1 MAKALAH KOLOKIUM Nama Pemrasaran/NIM Departemen Pembahas Dosen Pembimbing/NIP Judul Rencana Penelitian Tanggal dan Waktu : : : : : Salis Rizka Agung Putri / I34100051 Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ditha Fitrialdi Putri / I34100115 Heru Purwandari, SP, M.Si / 19790524 200701 2 001 Pengaruh Penguasaan Lahan terhadap Stratifikasi Sosial Masyarakat : 17 Maret 2014 Pukul 14.00 – 15.00 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi negara agraris seperti Indonesia, pertanian merupakan komoditas utama. Data BPS 2013 menunjukkan 39.96 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian. Hal ini tentu membuat tanah menjadi sumberdaya yang paling penting dan tinggi nilainya. Tjondronegoro (1998), menyatakan bahwa tanah yang menjadi aset utama bagi rakyat banyak adalah tanah untuk bercocok tanam yang merupakan sumber kehidupan utamanya. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang vital, dimana keberadaannya saat ini merupakan hal yang langka (Wiradi 2000). Pernyataan tersebut konsisten dengan pertambahan jumlah penduduk yang terus meningkat sedangkan ketersediaan tanah sebagai kebutuhan hidup selalu tetap jumlahnya. Hal tersebut menjadikan tanah menjadi satu komoditas tersendiri yang seringkali menimbulkan masalah terkait pembagian, penyebaran dan distribusinya. Kelembagaan tradisional merupakan aturan yang digunakan untuk mengatasi permasalahan terkait dengan tanah, sebelum diberlakukannya UUPA No.5 Tahun 1960. Sejak lahirnya UUPA pada tanggal 24 september 1960, persoalan mengenai penguasaan dan pemilikan tanah di Indonesia diatur dalam UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya dengan beberapa pengecualian. Penguasaan tanah sendiri berarti suatu hak dan wewenang untuk mengatur, mengelola, menggunakan dan memberikan hak milik tanah dalam suatu wilayah kekuasaan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku baik hukum adat maupun peraturan lainnya (Ilyas Abd Hamid dan Usuluddin Tadorante, op.cit, h .30). Penguasaan tanah tidak hanya merujuk kepada kepemilikan tanah, tetapi tanpa memiliki tanah tersebut seseorang juga dapat menguasai tanah melalui hubungan sewa, gadai, sakap dan sebagainya. Melalui hubungan tersebut, masyarakat yang memiliki penghasilan besar dapat menguasai sebidang tanah dengan luas tertentu. Akibatnya dapat terjadi pemusatan penguasaan lahan oleh sejumlah kecil golongan masyarakat. Selain itu, pemusatan penguasaan lahan ini juga disebabkan oleh politik hukum yang seringkali bertentangan dengan UUPA, sehingga UUPA tidak mampu dijadikan rujukan dalam mengatasi berbagai masalah agraria dan pertanahan. Masalah penguasaan tanah bukan saja masalah hubungan manusia dengan tanahnya, tetapi lebih menyangkut hubungan sosial politik dan ekonomi antar manusia (Wiradi 2009). Hal tersebut menjelaskan bahwa suatu hubungan penguasaan atas tanah melibatkan manusia dalam suatu hubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Dengan demikian pola-pola penguasaan atas tanah akan berubah-ubah dari waktu ke waktu, sehingga dalam menjelaskan pola dan perubahan yang terlihat sekarang, harus melihat dari sejarah zaman dulu. Perubahan yang terjadi pada umumnya disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Desa Tonggara merupakan salah satu desa berbasis pertanian yang terletak di Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal. Memiliki delapan dusun dengan karakteristik yang cukup heterogen. Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo merupakan dua dusun yang ada di Desa Tonggara dan memiliki karakteristik yang cukup berbeda yaitu mayoritas masyarakat Dusun Margajaya masih bekerja di sektor pertanian, sedangkan masyarakat Dusun Karanglo bekerja di 2 sektor non pertanian. Kedua dusun tersebut juga memiliki karakteristik yang sama yaitu keduanya merupakan dusun yang berbasis pertanian, namun hampir sebagian besar lahan di dua dusun tersebut dikuasai oleh orang luar dusun. Penguasaan lahan oleh orang luar dusun ini menyebabkan lahan dikuasai oleh golongan tertentu, sehingga terjadi ketimpangan penguasaan. Kekayaan, pendapatan, kekuasaan seringkali dianggap sebagai suatu hal yang dihargai dalam masyarakat. Selama dalam suatu masyarakat ada sesuatu hal yang dihargai, maka akan menumbuhkan sistem lapisan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas bekerja di bidang pertanian, tanah menjadi suatu hal yang dihargai. Hal ini memungkinkan terjadinya pelapisan masyarakat berdasarkan penguasaan lahan. Penentuan lahan sebagai dasar untuk menggolong-golongkan masyarakat pada dasarnya tidak salah, namun dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru. Masalah baru tersebut bisa saja hingga menimbulkan konflik apabila timbul kecemburuan di antara masing-masing lapisan, karena pada umumnya manusia memiliki keinginan untuk berada pada lapisan atas. Sementara keinginan tersebut tidak mungkin terpenuhi untuk semua individu karena setiap masyarakat harus menempatkan individu-individu pada tempat tertentu dalam struktur sosial. Oleh karena itu, penting untuk diteliti lebih lanjut bagaimana penguasaan lahan memiliki pengaruh terhadap stratifikasi sosial suatu masyarakat. 1.2 Masalah Penelitian Tanah merupakan sumberdaya terpenting bagi masyarakat pedesaan yang mayoritas masyarakatnya bekerja di bidang pertanian. Tanah bukan saja menjadi sumber mata pencaharian, tetapi juga menjadi sumber dari segala aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat. Hal ini menjadikan tanah sebagai komoditas yang memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan benda lainnya. Bersumber dari nilai tanah yang tinggi itu timbul berbagai hak dan kewajiban serta hal-hal yang sangat kompleks, misalnya dalam penguasaan tanah. Penguasaan tanah sendiri menunjuk pada penguasaan tanah secara efektif. Seseorang bisa saja menguasai sebidang tanah tanpa harus memiliki tanah tersebut, dengan cara menyewa atau melakukan sistem bagi hasil. Sehubungan dengan masalah tanah ini telah dibentuk peraturan-peraturan sejak zaman dulu berupa kelembagaan tradisional hingga saat ini dalam bentuk undang-undang. Perubahanperubahan atau perkembangan politik di Indonesia selanjutnya membuat peraturan-peraturan tersebut ikut berubah, sehingga penguasaan tanah juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana mekanisme penguasaan lahan di Dusun Margajaya? Setiap masyarakat senantiasa memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu. Penghargaan yang lebih tinggi terhadap hal-hal tertentu tersebut, akan menimbulkan lapisan masyarakat. Bagi masyarakat pedesaan Jawa yang masih kental dengan pertanian, tanah memiliki nilai yang sangat tinggi. Tingginya nilai tanah ini dapat dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menentukan lapisan masyarakat. Akan tetapi, pada zaman sekarang dengan kesempatan bekerja di luar pertanian terbuka lebar, mungkin saja tanah bukan lagi menjadi ukuran penentu lapisan masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa ukuran pelapisan masyarakat bukan hanya tanah saja, sehingga bentuk-bentuk lapisan masyarakat pun berbeda-beda. Oleh karena itu, perlu untuk diteliti bagaimana bentuk stratifikasi sosial yang terjadi di Dusun Margajaya? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut : 1. Menganalisis mekanisme penguasaan lahan di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo 2. Menganalisis bentuk stratifikasi sosial di Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo 3. Menganalisis pengaruh penguasaan lahan terhadap stratifikasi sosial 1.4 Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran leih lanjut mengenai hubungan antara penguasaan lahan dengan stratifikasi yang ada di masyarakat Dusun Margajaya, Desa 3 Tonggara. Melalui penelitian ini, terdapat juga beberapa hal yang ingin penulis sumbangkan pada beberapa pihak, yaitu: 1. Bagi akademisi, diharapkan tulisan ini menjadi referensi dalam melakukan penelitianpenelitian terkait stratifikasi di pedesaan berdasarkan penguasaan lahan. 2. Bagi Pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan berupa kritik dan saran kepada pemerintah sebagai pembuat kebijakan agar lebih teliti dalam menetapkan kebijakan yang terkait dengan penguasaan lahan. 2. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka Penguasaan Lahan a. Konsep Penguasaan Lahan Pada masa pra-kolonial, pola pembagian wilayah yang menonjol di Indonesia berupa pembagian tanah ke dalam beragam penguasaan atau pengawasaan, yang diberikan oleh pejabat-pejabat yang ditunjuk oleh raja atau yang berwenang di istana. Pada masa itu menurut Wiradi (2000) konsep kepemilikan atau penguasaan tanah menurut konsep Barat (“property“, Eigendom) belum dikenal, bahkan bagi penguasa. Dengan kekuasaan dan pengaruh dari para pejabat, mereka dapat mempertahankan dan secara teoritis juga mempunyai hak untuk menguasai, menggunakan, ataupun menjual hasil buminya sesuai dengan hukum adat. Menurut Harsono (2008) dalam hukum tanah dikenal adanya penguasaan tanah secara yuridis. Penguasaan tanah secara yuridis yaitu penguasaan yang dilandasi hak yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah tersebut. Pada kenyataannya penguasaan tanah dapat dilakukan oleh pihak lain, meskipun secara yuridis pemilik lahan diberi kewenangan untuk menguasai tanah secara fisik. Misalnya, apabila tanah yang dikuasai disewakan kepada pihak lain, maka tanah tersebut dikuasai secara fisik oleh pihak lain dengan hak sewa. Tetapi ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberikan kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik, misalnya saja kreditor atau bank sebagai pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan secara yuridis atas tanah yang telah dijadikan jaminan oleh pemiliknya. Akan tetapi secara fisik penguasaannya tetap pada pemegang hak atas tanah. Dalam pengertian struktur agraria, perlu juga dibedakan antara istilah pemilikan, penguasaan, dan pengusahaan tanah. Kata “pemilikan” menunjuk kepada penguasaan formal, sedangkan kata “penguasaan” menunjuk kepada penguasaan efektif. Misalnya, jika sebidang tanah disewakan kepada orang lain maka orang lain itulah yang secara efektif menguasainya. Jika seseorang menggarap tanah miliknya sendiri, misalnya 2 ha, lalu menggarap juga 3 ha tanah yang disewa dari orang lain, maka ia menguasai 5 ha. Kata “pengusahaan” yaitu menunjuk kepada bagaimana caranya sebidang tanah diusahakan secara produktif (Wiradi 2009). Wiradi dalam Rachmat M (2000) seperti yang dikutip oleh Supriyati et al. (2008) dalam penelitiannya, mendefinisikan penguasaan lahan merupakan tatanan dan prosedur yang mengatur hak dan kewajiban dari individu atau kelompok dalam penggunaan dan pengawasan atas tanah. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UU No.5 tahun 1960), hak atas tanah yang diakui adalah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka hutan, hak memungut hasil hutan, serta hak yang sifatnya sementara seperti hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Dengan diundangkannya UUPA, beberapa bentuk penguasaan tanah tradisional diubah status hukumnya. Dalam praktek, di beberapa pedesaan, perlakuan maupun istilah dalam penguasaan tanah tradisional masih banyak dipakai. Secara garis besar, tata hubungan antara kepemilikan, penguasaan, dan peruntukan tanah disebut struktur agraria. Dalam struktur agraria sendiri dikenal istilah land tenure dan land tenancy. Land tenure merujuk pada status hukum dari penguasaan tanah. Sedangkan land tenancy 4 menyangkut tentang sistem pembayaran diantara pihak yang memiliki urusan dengan tanah. Istilah penguasaan tanah tidak hanya menunjuk pada tanah milik, tetapi juga tanah yang didapat melalui cara menyewa, gadai, dan bagi hasil. Selain itu dalam hukum tanah dikenal juga penguasaan secara yuridis dengan diberi kewenangan dan tanpa diberi kewenangan. b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penguasaan Lahan Komersialisasi yang terjadi di pedesaan Jawa pada tahun 1800-1950-an menyebabkan terjadinya perubahan pemaknaan terhadap nilai uang. Perubahan pemaknaan tersebut merupakan salah satu hal yang mendorong pada terjadinya perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Menurut Wiradi dan Manning (1984) ada dua faktor penyebab perubahan struktur agraria penguasaan lahan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa desa di DAS Cimanuk, faktor yang mempengaruhi tersebut adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dimaksud adalah umur petani, lama pendidikan petani, pendapatan RTP, akses memperoleh lahan, dan jumlah tanggungan keluarga, sedangkan faktor eksternal yang dimaksud adalah pertumbuhan penduduk, intervensi pemerintah melalui rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW), intervensi swasta, faktor ekonomi (kesejahteraan), faktor sosial budaya (warisan), faktor alam dan kelembagaan hukum pertanian. Berbeda dengan penelitian Wiradi dan Manning (1984), Setiawan (2006) menemukan beberapa faktor yang mempengaruhi semakin merosotnya penguasaan lahan. Tetapi jika dilihat lagi dengan merujuk pada penelitian Wiradi dan Manning (1984), sebenarnya faktor-faktor tersebut dapat pula digolongkan secara garis besar dalam dua faktor. Faktor-faktor yang termasuk faktor eksternal diantaranya adalah faktor ekonomi (misal: lemahnya proporsi pendapatan usaha tani terhadap total penerimaan RTP), faktor alam (misal: banjir, kekeringan, erosi, pencemaran, iklim, cuaca, serangan hama penyakit yang semakin intensif, luas dan bervariasi, sehingga sulit untuk diprediksi dan dikendalikan), kebijakan pemerintah tidak mengutamakan pertanian (kebijaksanaan yang berkaitan dengan masalah pengendalian penguasaan sudah banyak dibuat, namun implementasinya tidak efektif karena tidak didukung oleh data dan sikap proaktif yang memadai dari pemangku kepentingan), faktor sosial ekonomi (misalnya: tingginya biaya sekolah anak) dan terbatasnya kredit modal kerja di sektor pertanian. Sedangkan yang termasuk faktor internal adalah akses petani terhadap penggunaan lahan pertanian yang tersedia, jumlah tanggungan keluarga (anak-anak pewaris tidak mendapatkan pekerjaan di luar sektor pertanian, akibatnya lahan warisan dibagi-bagi hingga jelas batas-batas kepemilikannya. Sementara itu, dari hasil penelitian Susanti et al. (2013) hanya ada dua faktor yang jika dikategorikan sesuai dengan yang dikemukakan Wiradi dan Manning (1984), maka kedua faktor tersebut termasuk dalam faktor eksternal. Faktor yang pertama yaitu faktor pertumbuhan penduduk, dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa semakin tingginya angka pertumbuhan penduduk, maka ketimpangan penguasaan lahan pun semakin meluas. Faktor yang kedua adalah faktor ekonomi, tingginya nilai jual lahan yang diiringi dengan tingginya kebutuhan sementara pendapatan tidak menunjang, membuat seorang petani dapat dengan mudah menjual lahannya. Ketika peristiwa seperti itu terus terjadi, maka bukan tidak mungkin jika beberapa waktu yang akan datang penguasaan lahan akan semakin timpang. Berbeda dengan penjelasan Wiradi dan Manning (1984), penelitian dari Swastika et al. (2000) menyebutkan bahwa faktor keterbatasan tenaga kerja dan modal usaha serta kondisi lahan yang rusak akibat keterbatasan air mempengaruhi terjadinya pola penguasaan lahan. Jika merujuk pada temuan Wiradi dan Manning (1984) ketiga faktor tersebut tidak serta merta dapat langsung digolongkan ke dalam faktor eksternal maupun internal. Tetapi jika dicermati lebih jauh lagi, faktorfaktor yang ditemukan dalam penelitian Swastika et al. (2000) ini dapat digolongkan dalam faktor eksternal. Berbeda daerah, berbeda pula faktor yang mempengaruhi terjadinya penguasaan lahan di daerah tersebut hingga terkadang harus sampai menimbulkan ketimpangan. Dalam menganalisis faktor yang mempengaruhi penguasaan lahan dapat digunakan temuan dari Wiradi dan Manning (1984), dengan menggolongkan menjadi dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Meskipun berbeda-beda faktor di setiap daerah, namun dari tiga hasil penelitian di atas dapat 5 disimpulkan bahwa faktor yang sama yang muncul di tiga daerah penelitian yang berbeda adalah faktor ekonomi. Hal tersebut menandakan bahwa faktor ekonomi yang lebih sering mempengaruhi terjadinya suatu pola penguasaan lahan tertentu, namun bukan berarti bahwa faktor lain tidak berpengaruh. c. Pola Penguasaan Lahan Bagi masyarakat pedesaan, lahan masih menjadi hal yang penting dan berperan sebagai tumpuan utama kehidupan. Apalagi nilai jual lahan semakin hari semakin tinggi, sementara kebutuhan tidak bisa terpenuhi jika hanya mengandalkan pertanian sebagai sumber penghasilan. Hal inilah yang seringkali melatarbelakangi petani pemilik lahan menjual lahannya jika dalam keadaan terdesak untuk membeli kebutuhan atau menyewakan lahannya. Adanya strategi jual beli, sewa menyewa lahan dan bagi hasil ini membuat seseorang tidak hanya menggunakan pola eksklusif (satu orang hanya menggunakan satu pola), tetapi banyak pola. Hasil penelitian Sihaloho et al. (2009) dalam penelitian di dua desa perkebunan di Banten, menemukan pola penguasaan lahan terdiri atas pola penguasaan tetap dan pola penguasaan sementara. Pola penguasaan tetap berarti petani menguasai lahan dengan cara memiliki lahan tersebut. Sementara pola penguasaan sementara dimaksudkan bahwa petani menguasai lahan tidak dengan cara memiliki lahan, tetapi dengan cara lain, seperti sewa, gadai, sakap. Hal ini sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) yang menyebutkan tentang jenis-jenis penguasaan lahan yang diaplikasikan di Indonesia yaitu berupa milik, sewa, sakap atau bagi hasil, menjual lepas, gadai, dan maro atau sewa bersama-sama dengan gadai. Pola penguasaan lahan yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) juga dikenal dalam penelitian Susanti et al. (2013) di Pegunungan Tengger. Pola penguasaan yang umunya dikenal di daerah tersebut adalah pemilikan lahan bercorak pribadi. Jika merujuk pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola seperti ini termasuk pola pemilikan tetap. Dengan sistem ini, pemilik bebas untuk melakukan pemindahtanganan kepada orang lain yang berakibat pada perpecahan dan fragmentasi lahan pertanian. Meskipun yang umumnya dikenal adalah pola pemilikan tetap, tetapi dikenal juga penguasaan lahan bersifat sementara di Pegunungan Tengger. Penguasaan lahan bersifat sementara tersebut bisa didapat dengan cara sewa menyewa, bagi hasil, dan gadai. Penelitian lain yang sejalan dengan penjelasan Wiradi (2009) adalah penelitian Supriyati et al. (2008) yang menyebutkan bahwa dalam studi-studi sosial ekonomi pertanian tentang masalah penguasaan tanah di pedesaan Indonesia dilakukan penyederhanaan dalam pengelompokkan bentuk-bentuk penguasaan tanah ke dalam dua kelompok besar, yaitu penguasaan tanah milik, dan penguasaan tanah bukan milik, yang terdiri dari sewa, bagi hasil, gadai, dan lainnya. Jika merujuk kepada hasil penelitian Sihaloho et al. (2009) cara mengelompokkannya sedikit berbeda. Pada penelitian Sihaloho et al. (2009) pola penguasaan lahan dikelompokkan menjadi penguasaan milik tetap dan penguasaan bersifat sementara. Sementara pada penelitian ini dikelompokkan menjadi penguasaan tanah milik dan penguasaan tanah bukan milik. Meski begitu, cara mendapatkan lahan dari dua pengelompokkan tersebut tetap dengan cara yang sama seperti penjelasan Wiradi (2009). Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pola penguasaan lahan di pedesaan Indonesia umumnya ada dua, yaitu penguasaan lahan milik dan penguasaan lahan sementara. Penguasaan lahan sementara sendiri terdiri dari sewa menyewa, sakap/bagi hasil, gadai. Dari dua pola penguasaan tersebut, pola yang umumnya terjadi pada daerah penelitian di atas adalah pola penguasaan lahan milik. Hal ini terjadi karena jenis lahan dari lokasi di ketiga penelitian tersebut berbeda-beda, sehingga pola penguasaan yang terjadi pun berbedabeda. Hal ini senada dengan temuan Supriyati et al. (2008) yang melakukan penelitian di dua lokasi yang berbeda, yaitu Jawa dan Luar Jawa. Pada Pulau Jawa penguasaan yang umum terjadi adalah penguasaan milik. Hal ini disebabkan jenis lahan yang umumnya berupa tegalan dan relatif sempitnya lahan yang bisa diusahakan, sehingga orang cenderung memilih penguasaan milik karena keuntungan yang didapat lebih besar dibandingkan penguasaan sementara. Sementara di luar Jawa umumnya penguasaan sementara karena jenis lahannya termasuk perkebunan. Dengan 6 luas kebun yang besar, maka jika pola penguasaan sementara dilaksanakan pun tidak akan memberikan hasil yang lebih kecil dari penguasaan tetap. STRATIFIKASI SOSIAL a. Pengertian Stratifikasi Sosial Masyarakat telah mengakui adanya pelapisan dalam kehidupan mereka sejak berabadabad yang lalu. Perwujudan dari pelapisan sosial adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas rendah. Tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak dan kewajiban serta tanggung jawab antar anggota masyarakat menjadi dasar dari pelapisan masyarakat itu sendiri. Selain itu, setiap masyarakat pada umumnya memiliki penghargaan terhadap hal-hal tertentu dalam masyarakat yang bersangkutan. Penghargaan terhadap hal-hal tertentu akan menempatkan hal tersebut pada kedudukan yang lebih tinggi dari hal lainnya. Gejala tersebut menimbulkan pelapisan dalam masyarakat. Sistem pelapisan tersebut, dalam sosiologi dikenal dengan istilah stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial menurut Pitirim A. Sorokin dalam Sajogyo (1985) adalah pembedaan masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat. Stratifikasi sosial menyebabkan adanya perbedaan posisi sejumlah grup sosial. Perbedaan tersebut selanjutnya memberikan perlakuan yang berbeda. Misalnya saja, masyarakat yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah sangat banyak dianggap berada di lapisan atas oleh anggota masyarakat lainnya. Biasanya kedudukan yang tinggi tersebut bersifat kumulatif. Artinya, mereka yang memiliki uang banyak akan mudah sekali mendapatkan tanah, kekuasaan, dan mungkin untuk mendapatkan kemudahan akses terhadap hal lain. Lapisan masyarakat memiliki banyak bentuk konkret, tetapi secara prinsip bentuk tersebut dapat diklasifikasikan dalam tiga macam kelas, yaitu ekonomis, politik dan didasarkan pada jabatan tertentu dalam masyarakat. Pada umumnya ketiga macam kelas tadi mempunyai hubungan yang erat satu sama lain, namun tidak semua keadaan demikian. Hal itu semuanya tergantung pada sistem nilai yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat. b. Dasar-Dasar Pelapisan Masyarakat Pelapisan masyarakat memiliki banyak bentuk dan berbeda-beda. Namun, pelapisan masyarakat tetap ada, meskipun dalam masyarakat kapitalis, demokratis, komunis dan lain sebagainya (Soekanto 1982). Menurut Inkeles(1965) dalam Soekanto (1982) pada awalnya pelapisan masyarakat didasarkan pada perbedaan seks, perbedaan antara pemimpin dan yang dipimpin, pembagian kerja, dan bahkan pembedaan berdasarkan kekayaan. Semakin rumit dan semakin maju teknologi suatu masyarakat, semakin kompleks pula sistem lapisan masyarakatnya. Saat ini ada empat ukuran yang biasa dipakai untuk menggolongkan anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan, yaitu : - ukuran kekayaan, seseorang yang memiliki banyak kekayaan termasuk dalam lapisan teratas. Misalnya dapat dilihat dari bentuk rumah, kendaraan yang dimiliki, pakaian, dan lain sebagainya. - ukuran kekuasaan, seseorang yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar menempati lapisan teratas. - ukuran kehormatan, ukuran semacam ini biasanya ditemui pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. - ukuran ilmu pengetahuan, ukuran ini biasanya dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Seseorang dengan gelar tertinggi menempati lapisan teratas. Dasar pelapisan masyarakat tidak terbatas pada keempat ukuran sebagaimana yang dipaparkan di atas. Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia, misalnya di Jawa, seseorang yang berasal dari kerabat dan keturunan pembuka tanah menempati lapisan tertinggi. Kemudian, menyusul para pemilik tanah. Lalu, menyusul mereka yang hanya mempunyai pekarangan atau rumah saja. 7 2.2 KERANGKA PEMIKIRAN Definisi sederhana dari penguasaan lahan menunjuk kepada penguasaan efektif. Seseorang dapat menguasai lahan tanpa memiliki lahan tersebut secara yurisprudensi. Penguasaan lahan dapat dilihat dari luas lahan yang dikuasai, jenis lahan, dan status lahan yang dikuasai. Seiring dengan perubahan yang terjadi di masyarakat dari waktu ke waktu juga menyebabkan terjadinya perubahan dalam hal penguasaan lahan. Perubahan penguasaan lahan itu sendiri disebabkan oleh faktor internal dan faktor eksternal. Stratifikasi sendiri dibedakan menjadi tiga lapisan, yaitu lapisan atas, lapisan menengah dan lapisan bawah. Pelapisan masyarakat tidak terjadi begitu saja, tetapi memiliki dasar. Biasanya ukuran yang menjadi dasar pelapisan adalah sesuatu hal yang berharga. Bagi masyarakat yang bekerja di bidang pertanian, umumnya lahan memiliki nilai yang sangat tinggi dan sangat berharga. Oleh karena itu diduga stratifikasi sosial yang terbentuk di masyarakat dipengaruhi oleh penguasaan lahan. Faktor Internal : - Tingkat akses terhadap lahan - Jumlah tanggungan keluarga - Tingkat pendapatan - Status Penduduk Penguasaan Lahan : - Luas Lahan - Jenis Lahan - Status Lahan Faktor Eksternal: - Nilai jual lahan - Kondisi geografis - Cara mengurus tanah - Cara mengurus sertifikat tanah Keterangan : : mempengaruhi : kualitatif Stratifikasi Sosial : - Tingkat pendapatan - Kepemilikan aset - Kemampuan menyekolahkan anak 8 2.3 HIPOTESIS Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dipaparkan peneliti di atas, maka dapat dirumuskan dua hipotesis, yaitu : 1. Diduga penguasaan lahan yang terjadi dipengaruhi oleh faktor internal 2. Diduga penguasaan lahan yang terjadi dipengaruhi oleh faktor eksternal 3. Diduga penguasaan lahan mempengaruhi stratifikasi sosial 2.4 DEFINISI OPERASIONAL Faktor Internal No Variabel Definisi Indikator Jenis Data 1 Tingkat akses terhadap lahan Peluang yang dimiliki untuk memanfaatkan lahan Ordinal 2 Tingkat Pendapatan 3 Status penduduk Asli Pendatang Ordinal 4 Jumlah Tanggungan Keluarga Jumlah uang pemasukan per bulan yang dihasilkan oleh responden dari hasil bekerja Hal yang berhubungan dengan keanggotaan sebagai orang yang mendiami suatu tempat Banyaknya anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan responden dalam memenuhi kebutuhan hidup Tinggi Sedang Rendah (diukur dari banyaknya jaringan, ketrampilan bertani, dan teknologi yang digunakan) Tinggi Rendah Sedang Banyak (>5 orang) Sedang(3-5) Kecil (<3) Ordinal Ordinal Penguasaan Lahan No Variabel Definisi Indikator Jenis Data 1 Luas Lahan ukuran lahan yang dikuasai responden dalam satuan hektar Luas (>1 ha) Ordinal Sedang (0.5-1 ha) Sempit (<0.5 ha) 9 2 Jenis Lahan Tipe lahan yang dikuasai responden Kebun Nominal Sawah Tegalan 3 Status Lahan Hal yang berhubungan dengan status lahan yang dikuasai oleh seseorang Milik Nominal Sewa Sakap Gadai Waris Stratifikasi Sosial No Variabel Definisi Indikator Jenis Data 1 Kemampuan menyekolahkan anak Sejauhmana responden mampu menyekolahkan anak SD SMP SMA Ordinal 2 Kepemilikan asset Benda atau barang yang dimiliki oleh responden Tinggi (memiliki >10 benda) Sedang (memiliki 5-9 benda) Rendah ( memiliki <5 benda) Ordinal 10 3. PENDEKATAN LAPANG 3.1 METODE PENELITIAN Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang didukung dengan pendekatan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan dengan metode survey kepada kepala rumah tangga yang menjadi responden. Metode survey sendiri adalah mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang lengkap (Singarimbun dan Effendi 1989). Sedangkan pendekatan kualitatif dilakukan melalui pendekatan lapang secara langsung. Data kualitatif diperoleh melalui FGD (Focus Group Discusion) dengan masyarakat dusun, wawancara mendalam kepada responden dan informan dengan panduan pertanyaan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. 3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Lokasi yang dipilih untuk dilakukannya penelitian ini adalah Dusun Margajaya dan Dusun Karanglo, Desa Tonggara, Kecamatan Kedung Banteng, Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah. Dusun Margajaya ini sengaja dipilih dengan mempertimbangkan kondisi dusun sebagai dusun pertanian dengan mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai buruh tani di lahan Perhutani yang ada di dusun tersebut. Sementara alasan pemilihan Dusun Karanglo sebagai lokasi penelitian karena mempertimbangkan kondisi dusun sebagai dusun pertanian dengan mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor non pertanian. Kemudian alasan lain pemilihan lokasi mempertimbangkan keadaan masyarakat dusun yang heterogen mata pencahariannya dan adanya perbedaan dari segi ekonomi. Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret-April 2014. Aktivitas Februari Maret April Mei Juni 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan Data lapang Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi 3.3 TEKNIK PENENTUAN RESPONDEN Unit analisis yang diambil oleh peneliti adalah rumahtangga, baik yang bekerja di bidang pertanian maupun non pertanian yang menguasai lahan. Selanjutnya, informasi dan data penelitian diperoleh melaui responden dan informan. Responden adalah pihak yang memberikan keterangan mengenai 11 dirinya dan keluarganya, sedangkan informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi mengenai situasi-situasi yang terjadi di sekitarnya. Dalam penelitian ini, responden yang ditentukan adalah rumahtangga yang lokasi pemukimannya dan menguasai lahan di Dusun Margajaya dan rumah tangga yang lokasi pemukimannya dan menguasai lahan di Dusun karanglo. Sebelum pengambilan responden, terlebih dahulu dibuat sampling frame berupa stratified random sampling. Pemilihan jenis sampling tersebut karena karaktersistik unit analisis yang heterogen. Selanjutnya akan dipilih 35 responden untuk Dusun Margajaya, sementara 55 responden untuk Dusun Karanglo dengan penggolongan berdasarkan status lahan yang dikuasai. Sedangkan untuk memperoleh nama informan digunakan teknik bola salju (snowball sampling) yakni mengetahui satu nama informan dan dari informan tersebut kemudian diketahui nama informan-informan yang lain 3.4 TEKNIK PENGUMPULAN DATA Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui FGD, kuesioner, wawancara mendalam, dan observasi langsung. FGD dilaksanakan untuk mengetahui indikator yang digunakan oleh masyarakat lokal untuk menggolong-golongkan masyarakat di dusun tersebut. Kuesioner diberikan kepada responden dan peneliti membantu responden dalam pengisian kuesioner tersebut untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman pertanyaan kepada informan yang telah ditentukan oleh peneliti sebelumnya. Observasi langsung dilakukan untuk memperoleh gambaran keadaan desa dan masyarakat secara langsung serta untuk kebutuhan dokumentasi. Sementara data sekunder diperoleh melalui kajian pustaka dan analisis berbagai literatur yang terkait dengan kondisi desa, peta lokasi penelitian, penguasaan lahan, dan dokumen tertulis lainnya. 3.5 TEKNIK PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA Data yang diperoleh, baik primer maupun sekunder, selanjutnya akan diolah menggunakan tabel tabulasi silang, Microsoft Excel, dan analisis regresi. Tabulasi silang digunakan untuk menggambarkan hubungan antar dua variabel atau lebih dan mempermudah dalam membaca serta memahami data. Data tersebut kemudian diinterpretasikan dan ditarik kesimpulan berdasarkan hipotesis yang sudah ada. Data kualitatif dari wawancara mendalam dan observasi disajikan secara deskriptif untuk mendukung dan memperkuat analisis kuantitatif. Tahap terakhir yaitu menarik kesimpulan sesuai dengan tujuan penelitian. 12 DAFTAR PUSTAKA Murniatmo Gatut, Murianto Wiwoho, Krisnanto, Poliman, Suhatno. 1989. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah secara tradisional di Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Pudjiwati Sajogyo. 1985. Sosiologi pembangunan. Jakarta. Setiawan I. 2006. Dinamika struktur dan kultur agrraia petani pada berbagai zona agroekosistem di Kecamatan Solokanjeruk, Kecamatan Nagreg dan Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung [skripsi]. Bandung : Fakultas Pertanian, Universitas Padjajaran. Sihaloho M, Purwandari H, dan Supriyadi A. 2009. Reforma agrarian di bidang pertanian : studi kasus perubahan struktur agrarian dan diferensiasi kesejahteraan komunitas pekebun di Lebak, Banten. Sodality [internet]. [Diunduh pada 18 Desember 2013].Vol.3 No.1:1-16. Tersedia pada http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/download/5874/4539 Soekanto Soerjono. 1982. Sosiologi suatu pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Supriyati, Saptana, dan Supriyatna Y. 2008. Hubungan penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga di pedesaan (kasus di Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat). [internet]. [Diunduh pada 12 Novemer 2013]. Tersedia pada http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4035/3024 Susanti A, Hidayat K, dan Sukesi K. 2013. Struktur penguasaan lahan pertanian dan hubungan kerja agraris pada masyarakat Tengger (studi kasus di Dusun Krajan, Desa Sapikerep, Kawasan pegunungan Tengger Lereng Atas). Jurnal Habitat [internet. [Diunduh pada 6 Oktober 2013]. Vol. XXIV No.1. Tersedia pada http://habitat.ub.ac.id/index.php/habitat/article/viewFile/99/99 Suyanto, et al. 2005. Metode penelitian sosial. Jakarta : Kencana. Swastika DKS, Djulin A, dan Ramli R. 2000. Struktur penguasaan lahan dan pendapatan rumah tangga tani. [internet]. [Diunduh pada 3 Desember 2013]. Tersedia pada http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4008/2998 Tjondronegoro, Soediono M.P. 1998. Keping-keping sosiologi dari pedesaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Wiradi G. 2009. Metode penelitian agrarian. Dalam : Shohibuddin M, penyunting. Metodologi studi agraria : karya terpilih Gunawan Wiradi. Bogor [ID] : Sajogyo Institut. 348 hal. Wiradi G, White B, Collier WL, Soentoro, Makali, dan Manning C.2009. Ranah studi agrarian. Dalam : Shohibuddin M, penyunting. Ranah studi agrarian : penguasaan tanah dan hubungan agraris. Yogyakarta [ID] : Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional. 355 hal. Wiradi G, dan Manning C.1984. Dampak perubahan struktur ekonomi terhadap struktur penguasaan lahan beberapa desa di DAS CIMANUK. J struktur dan distribusi penguasaan lahan. 1:1-15. 13 LAMPIRAN Lampiran 1 KUESIONER HUBUNGAN PENGUASAAN LAHAN DENGAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT DUSUN MARGAJAYA, DESA TONGGARA, KECAMATAN KEDUNG BANTENG, KABUPATEN TEGAL No. responden (diisi oleh peneliti) : ……………………………………….. Nama responden : ……………………………………….. Alamat : ……………………………………….. Hari/tanggal wawancara : ……………………………………….. A. Karakteristik Responden A.1 Identitas Responden dan Karakteristik Rumah Tangga 1 2 Nama Jenis Kelamin 3 Jumlah Tanggungan Keluarga 4 5 6 7 Usia Pekerjaan Utama Pekerjaan Sampingan Pendidikan Terakhir No Jenis Penerimaan [ [ [ [ [ [ [ [ ] Perempuan ] Laki-Laki ]5 ]4 ]3 ]2 ]1 ] lainnya, sebutkan [ ] Tidak Tamat SD [ ] SD [ ] SMP [ ] SMA 8 Status Penduduk [ ] Asli [ ] Pendatang A. 2 Tingkat Pendapatan Rumah Tangga Responden 1 Pertanian: Sawah Ternak Lain-lain, sebutkan Per Minggu Per Bulan Per Tahun Keterangan 14 Non Pertanian (sebutkan) 2 A. 3 Kepemilikan Aset Rumah Tangga (lingkari sesuai dengan yang anda miliki) No Indikator Keterangan 1 Rumah 2 Dinding Rumah 3 Lantai Rumah 4 Kamar Mandi a. Tidak Punya b. Sumur 5 Peralatan Elektronik 6 Kendaraan 7 Ternak a. b. c. d. e. f. g. h. a. b. c. d. e. a. b. c. a. b. a. b. Jumlah Tahun Kepemilikan Tembok Bambu/Triplek Keramik Tanah TV Radio Kulkas Kipas Angin HP Setrika Rice Cooker DVD/VCD Tidak Punya Sepeda Motor Becak Mobil Ayam Kambing Sapi B. Data Penguasaan Lahan Rumah Tangga Responden No Unsur 1 Luas Lahan 2 Jenis Lahan 3 Status Lahan Indikator [ [ [ [ [ [ [ [ ] Sawah ] Kebun ] Tegalan ] Milik ] Sewa ] Bagi Hasil ] Gadai ] Warisan Tahun Penguasaan Keterangan 15 Lampiran 2 Panduan Pertanyaan Panduan Pertanyaan (Wawancara Mendalam dengan Responden) 1. Sejak kapan anda tinggal di dusun ini? 2. Apakah anda memiliki/menguasai lahan di dusun ini? 3. Sejak kapan anda menguasai lahan? 4. Bagaimana cara anda mendapatkan lahan tersebut? 5. Sejak kapan anda menjadi petani? 6. Mengapa anda menjadi petani? 7. Tanaman apa yang anda tanam? 8. Apa fungsi lahan bagi anda? 9. Apakah pendapatan yang anda peroleh dari hasil mengelola lahan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup anda dan keluarga? Panduan Pertanyaan dalam Diskusi Kelompok Terarah (FGD) 1. Riwayat pembukaan lahan 2. Distribusi penguasaan dan pemilikan lahan di desa (komposisi penduduk dusun dan luar dusun, pola-pola penguasaan lahan, aturan penguasaan lahan) 3. Sejauhmana penguasaan lahan oleh penduduk luar dusun (seberapa luas, bagaimana mekanismenya) 4. Bagaimana sistem stratifikasi yang ada di dusun (ukuran yang sering digunakan untuk penggolongan lapisan sosial tersebut)