Meteorologi laut 1 - Karya Tulis Ilmiah

advertisement
Syllabus Mata Kuliah Meteorologi Laut
1. Pengenalan Meteorologi laut
1 pertemuan
2.
-
Radiation and Energy budget (Komposisi radiasi dan energi bumi) 1 pertemuan
komposisi dan lapisan atmosfir bumi,
radiasi surya
tekanan udara dan angin
3.
-
Atmosphere and Ocean (Hubungan antara laut dan atmosfir)
dari radiasi ke arus laut
Hadley and Walker cell
pergerakan ekman
coupling atmosfir dan laut
salinitas, curah hujan dan profil temperatur laut
stabilitas isotherm laut dan atmosfir
Proses konveksi di laut dan atmosfir
4.
-
Indonesian climate (Iklim Indonesia)
pembagian iklim Indonesia
diurnal, musim, MJO, interannual
monsoon, ITCZ dan ENSO
2 pertemuan
1 pertemuan
5. Air sea interaction, local and regional phenomena (proses interaksi laut udara) 2
pertemuan
- easterly waves
- tropical cyclones
- SST rainfall relationship
- ENSO and laut Indonesia
- ENSO predictability
6.
-
Coastal Meteorology (meteorologi pesisir atau pulau pulau kecil) 2 pertemuan
pentingnya pulau pulau kecil
angin darat dan laut (sea breeze)
gelombang pasang
pengelolaan sumber daya air pesisir dan hubungan dengan cuaca
7.
-
Extreme Weather (bentuk bentuk cuaca ekstrim)
Siklon dan tsunami
Bentuk bentuk cuaca ekstrim di Indonesia
Weather for fisheries, insurance, shipping and tourism.
satellite observation
8.
-
Global climate change (perubahan iklim global)
2 pertemuan
bagaimana proses pemanasan global terjadi
catatan historis proses pemanasan global dari data lautan
effek pemanasan global terhadap ekosistim laut
biogeochemistry dan pengurangan dampak pemanasan global oleh laut
prospek iklim Indonesia kedepan
1 pertemuan
1
Textbook list
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Coastal Meteorology by S. A. Hsu, Academic Press, 1988
Ocean Circulation by Open Univ. and Pergamon Press, 1989
Klimatologi Umum by Bayong Tjasjono, Penerbit ITB Bandung 1999
Atmosphere – Ocean Dynamics by Adrian E. Gill, Academic Press, 1982
Climate System Modeling by Kevin E. Trenberth, Cambridge Univ Press, 1992
Water at the surface of the earth by David H Miller, Academic Press, 1977
IPCC Report „Climate Change 2001: The Scientific Basis“, IPCC panel, 2001
References list
Aldrian, E., R. D. Susanto, 2003, Identification of three dominant rainfall regions within
Indonesia and their relationship to sea surface temperature, Intl. J. Climatol., 23,
1435-1452
Aldrian, E., L. D. Gates, F. H. Widodo, 2003, Variability of Indonesian Rainfall and the
Influence of ENSO and Resolution in ECHAM4 simulations and in the Reanalyses,
MPI Report 346, 30pp [Available from Max Planck-Institut für Meteorologie,
Bundesstr. 55, D-20146, Hamburg, Germany.]
Ffield, A., K. Vranes, A. L. Gordon, R. D. Susanto, 1999, Temperature variability within
Makassar Strait, Geophys. Res. Lett., 27, 237-240
Gordon, A.L., R. D. Susanto, 2001, Banda sea surface layer divergence., Ocean Dyn.,
52, 2-10
Gordon, A.L., R. D. Susanto, A. Ffield, 1999, Throughflow within Makassar Strait,
Geophys. Res. Lett., 26, 3325-3328
Gordon, A.L., R. D. Susanto, K. Vranes, 2003, Cool Indonesian throughflow as a
consequence of restricted surface layer flow., Nature, 425, 824-828
Hadi, T. W., T. Horinouchi, T. Tsuda, H. Hashiguchi, S: Fukao, 2002, Sea-breeze
circulation over Jakarta, Indonesia: A climatology based on boundary layer radar
observations, Month. Wea. Rev., 130, 2153-2166
Hamada, J. I., M. D. Yamanaka, J. Matsumoto, S. Fukao, P. A. Winarso, T. Sribimawati,
2002, Spatial and temporal variations of the rainy season over Indonesia and their
link to ENSO., J of Meteorol. Soc. Japan, 80, 285-310
Haylock, M., McBride, J.L. 2001. Spatial coherence and predictability of Indonesian wet
season rainfall. J. Clim., 14: 3882-3887
Hendon, H. H., 2003, Indonesian rainfall variability: Impacts of ENSO and local air sea
interaction, J. Clim., 16, 1775-1790
Renggono, F., H. Hashiguchi, S. Fukao, S Y Ogino, N. Okamoto, F. Murata, B. P.
Sitorus, M. Kudsy, M. Kartasasmita, G. Ibrahim, 2001, Precipitating clouds
observed by 1.3-GHz boundary layer radars in equatorial Indonesia, Ann.
Geophys., 19, 889-897
Susanto, R.D., A. L. Gordon, Q. Zheng, 2001, Upwelling along the coasts of Java and
Sumatra and its relationto ENSO, Geophys. Res. Lett., 28 1599-1602
Susanto, R. D:, A. L. Gordon, J. Sprintall, B. Herunadi, 2000, Intraseasonal variability
and tides in Makassar Strait., Geophys. Res. Lett., 27, 1499-1502
Widiyatmi, I., H. Hashiguchi, S. Fukao, M. D. Yamanaka, S. Y. Ogino, K. S. Gage, S. W.
B. Harijono, S. Diharto, H. Djojodihardjo, 2001, Examination of 3-6 day
disturbances over equatorial Indonesia based on boundary layer radar
observations during 1996-1999 at Bukittinggi, Serpong and Biak., J. Of Meteorol.
Soc. Japan, 79, 317-331
CRU – WWF, Climate Change scenario for Indonesia.
2
BAB I
Pengenalan
Kuliah Meteorologi Laut
Tujuan dari mata kuliah ini adalah memberikan
- pemahaman atas proses meteorologi dan iklim yang mempengaruhi dinamika di laut
- pemahaman atas proses di laut yang mempengaruhi dinamika atmosfir
Kedua tujuan diatas merupakan masalah interaksi laut atmosfir. Permasalahan interaksi laut
atmosfir mencakup permasalahan micro fisis dekat muka laut dimana terjadi perpindahan
aerosol dari air laut ke atmosfir dan perubahan fluxes atmosfir dan energi menjadi dinamika
laut. Dalam skala makro peristiwa interaksi laut atmosfir juga terlihat dari terjadinya
interaksi iklim Indonesia dengan peristiwa ENSO, arus lintas Indonesia. Salah satu contoh
paling nyata dan penting bagi Indonesia adalah bagaimana peristiwa cuaca terpengaruh oleh
panas tidaknya suhu muka laut disekitar pulau pulau besar nusantara. Dalam skala
kepentingan ekonomi praktis proses interaksi laut atmosfir yang paling diminati adalah yang
menyangkut dinamika perikanan terpengaruh iklim dan bagaimana kita memanfaatkan
pengaruh tersebut. Dinamika laut atmosfir juga membahas interaksi di daerah pesisir yang
berhubungan dengan dinamika sekitar pantai dan juga interaksi di laut dalam. Dinamika laut
atmosfir laut dalam berhubungan dengan fenomena skala besar dimulai dengan pembentukan
awan potensial siklon hingga gejala ENSO dan arus lintas samudra (conveyor belt).
Untuk dapat memahami hal hal tersebut diperlukan pengertian dasar dari ilmu meteorologi
dan dinamikanya serta bagaimana aplikasi dinamika tersebut pada media air. Pada dasarnya
semua pemahaman dalam ilmu meteorologi atmosfir dapat diaplikasikan dalam dinamika air
laut. Perbedaan utama tampak dari jenis fasa air yang merupakan medium bekerjanya proses
fisis tersebut. Dinamika di laut berhubungan dengan media air pada fase cair, sedangkan
dinamika di atmosfir berhubungan dengan air pada fase gas. Peristiwa angin barotropik dan
baroklinik memiliki persamaan dengan arus laut barotropik dan baroklinik. Rumus dasar
timbulnya angin dari perbedaan tekanan juga memiliki persamaan di laut dalam dengan
perbedaan tinggi muka laut dan densitas laut berdasarkan tingkat salinitasnya. Dibalik
persamaan tersebut antara laut dan atmosfir memiliki perbedaan mendasar seperti kapasitas
memori laut yang besar sehingga perubahan di laut memiliki skala bulanan (di permukaan)
hingga ribuan tahun (di dasar laut dalam). Sedangkan atmosfir memiliki kapasitas memori
yang relatif kecil dalam skala perubahan jam – jaman sehingga perubahan di atmosfir sangat
dinamis dalam skala hariannya. Contoh nyata adalah siklus pertumbuhan dan matinya awan
yang terjadi hanya dalam skala jam.
Yang menjadi pertanyaan dasar sekarang adalah kepentingan ilmu meteorologi laut.
Indonesia adalah negara kepulauan tropis terbesar dimuka bumi dengan garis pantai
terpanjang. Rasio wilayah laut terhadap darat di muka bumi rata rata adalah 71.1% dibanding
28.9% sedangkan untuk wilayah Indonesia adalah sekitar 62% dibanding 38%. Dengan
perbandingan sebesar itu diyakini bahwa iklim Indonesia sangat dipengaruhi laut. Pada
kenyataannya iklim di wilayah Jawa dan pulau pulau besar lainnya masih mewakili iklim
maritim. Salah satu aplikasi sifat iklim akibat komposisi permukaan tersebut adalah kuatnya
prediksi iklim kita pada waktu bulanan atau musiman dibandingkan dengan prediksi pada
skala harian. Jika kita mengingat faktor besarnya daya memori laut seperti disebutkan diatas
maka hal ini akan mudah dimengerti. Dari alenia ini dapat disimpulkan bahwa dibutuhkan
pengertian dasar dari sistim iklim Indonesia agar dapat memahami bagaimana proses
interaksi laut atmosfir terjadi di Indonesia.
Dari pemahaman iklim Indonesia dapat kita lihat proses interaksi laut atmosfir yang spesifik
terjadi di Indonesia. Proses interaksi laut atmosfir dalam ilmu kebumian merupakan hal
3
terpenting yang sangat mempengaruhi pola kehidupan manusia terutama di daerah pesisir.
Ilmu meteorologi di Indonesia merupakan ilmu dasar yang kurang diminati, sehingga
perkembangannya dibandingkan ilmu kebumian lainnya seperti geofisika, geologi dan
kelautan sangat jauh tertinggal. Pemahaman atas proses fisis kebumian atmosfir Indonesia
masih terbilang jauh tertinggal dibandingkan bidang ilmu kebumian lainnya. Kurangnya
minat mempelajari meteorologi karena sering dihubungkan dengan salah satu pekerjaan
meteorologi, untuk meramal cuaca atau iklim. Padahal pengkajian ilmu meteorologi cukup
luas meliputi berbagai aspek. Di negara maju yang berlintang tinggi dengan empat musim,
masalah kebumian lain selalu dihubungkan dengan perubahan fisis meteorologi yang terjadi.
Karena pada dasarnya hampir semua aspek kehidupan manusia dipengaruhi oleh keempat
musim tersebut dan variasinya. Variasi iklim utama di Indonesia adalah faktor musiman yang
dikenal dengan istilah monsoon. Faktor musiman ini tanpa disadari sangat mempengaruhi
pola kehidupan masyarakat Indonesia. Perhatikan bagaimana pola bercocok tanam petani dan
pola melautnya nelayan Indonesia. Perhatikan juga bagaimana wabah penyakit yang bersifat
musiman dan banyak pekerjaan yang sifatnya berfluktuatif tergantung musim yang sedang
terjadi. Salah satu indikator terpenting dari sifat cuaca dan iklim Indonesia adalah hujan. Di
negara lintang tinggi selain hujan, temperatur juga faktor utama lainnya. Sehingga untuk
mengetahui proses interaksi dari dan terhadap cuaca dapat dilakukan dengan
menghubungkannya dengan indikator cuaca tersebut. Salah satu hubungan tersebut dapat
dicapai dengan menghubungkan variasi suhu muka laut dan curah hujan lokal, regional
ataupun dengan skala global.
Pentingnya interaksi laut atmosfir di Indonesia dapat dilihat paling tidak diwilayah yang
paling berperan ekonomis yaitu disekitar garis pantai. Diperlukan pemahaman meteorologi
pesisir pantai dan peran pulau pulau dalam dinamika proses meteorologi lokal. Kepulauan
Indonesia terdiri dari lebih 17 000 pulau yang tersebar seantero nusantara. Sebagian besar
pulau pulau tersebut adalah pulau pulau kecil yang tidak dihuni dan tempat bermukimnya
warga yang berjumlah kecil. Diperlukan pemahaman fungsi meteorologis dari pulau pulau
kecil tersebut terhadap iklim regional Indonesia karena keberadaan pulau pulau tersebut
mengatur arus lintas air laut dan atmosfir disekitarnya. Sebagaimana diulas diatas bahwa
daratan memiliki waktu memori yang kecil sehingga radiasi matahari berpengaruh secara
lokal dalam hitungan jam sehingga variasi dan fluktuasinya lebih besar dari laut sekitarnya,
maka pulau pulau kecil tersebut berperan sebagai heat source atau heat engine untuk proses
konveksi awan lokal. Proses proses kecil ini terjadi seantero nusantara dan berperan penting
bagi sifat iklim regional.
Keberadaan variasi cuaca dan iklim membawa dampak yang terkadang cukup serius bagi
kehidupan manusia karena terlalu ekstrimnya fluktuasi tersebut. Meskipun demikian
karakteristik cuaca regional juga ditentukan selain faktor orografis, juga letak lintangnya.
Beruntung Indonesia berada di daerah khatulistiwa dimana faktor coriolis muka bumi kecil
sehingga meski dengan garis pantai yang panjang, tidak akan dilalui oleh siklon tropis tetapi
masih menerima dampaknya. Beberapa gejala cuaca ekstrim lainnya yang dapat terjadi di
wilayah Indonesia dan bagaimana dampaknya terhadap laut dan kehidupan lain seperti
turisme dan perikanan juga menjadi topik penting dalam pembahasan ini. Juga perlu dibahas
bagaimana peran ilmu pengetahuan dalam mitigasi bencana tersebut terutama dengan
teknologi sensor jarak jauh (remote sensing).
Perubahan akibat variasi ekstrim bersifat sesaat, sedangkan ada lagi faktor perubahan laten
lainnya yang terjadi pada iklim global yang sedang dialami bumi ini. Akibat faktor natural
dan antropogenis (hasil perbuatan manusia) cuaca dan iklim berubah secara perlahan dari
kestabilan normal tertentu menuju kestabilan baru yang lebih mendekati kondisi ekstrim pada
masa lampau. Artinya apabila dahulu kondisi yang sama berada pada bagian kondisi ekstrim,
maka kejadian tersebut akan lebih sering terjadi sehingga merubah rata rata statistik cuaca
pada umumnya. Kondisi ini terjadi secara global meskipun tanda tandanya sangat sukar
4
dideteksi karena perubahan yang terjadi berlangsung dalam rentang waktu yang sangat
lambat dan lama. Perubahan ini dikenal dengan istilah perubahan iklim global atau global
change. Tentu saja dampak dari perubahan iklim global ini akan terjadi pada interaksi laut
atmosfir di wilayah Indonesia tetapi bagaimana dampak sebenarnya perlu dikaji lebih lanjut
lagi. Yang terpenting diketahui adalah bagaimana mekanisma proses itu dapat terjadi dan
proyeksi kedepan akibat perubahan tersebut. Proyeksi kedepan akan dapat menentukan
strategi sosio-ekonomis masa depan. Pemahaman fisis dan biologis atas perubahan global
terhadap iklim regional laut atmosfir Indonesia masih sangat rendah dan merupakan peluang
kajian yang sangat menarik.
Kemajuan pesat ilmu pengetahuan dibidang teori, pengamatan dan komputasi membawa
dampak semakin matangnya kemampuan umat manusia memahami proses alam dengan
membuat model alam tersebut. Model iklim saat ini telah dapat dimasukkan dalam sebuah
komputer pribadi dan dijalankan untuk menghitung secara komprehensif kondisi alam yang
terjadi. Dengan model iklim, kita dapat mengisi kekosongan titik titik pengamatan dengan
cukup baik meskipun dengan tingkat asumsi teori yang lumayan besar. Hasil dari model
iklim seperti ini seringkali berhasil memberikan gambaran skala luas fenomena yang terjadi
meski tidak pada skala yang terlalu detail. Meskipun dengan berbagai pendekatan, tingkat
keberhasilan manusia dalam komputasi iklim masih jauh dari memuaskan, namun demikian
peningkatan pemahaman kita terhadap proses dinamika alam sangat jauh meningkat dari
hasil menjalankan model iklim tersebut. Hal ini karena model iklim menyediakan hasil
komprehensif yang diluar imaginasi manusia sebelumnya dan tidak terbayangkan oleh teori
liniar dan observasi pada titik titik tertentu dimuka bumi. Ambisi manusia dalam
pengembangan model iklim saat ini tidak terbatas pada hanya proses fisis tetapi juga proses
biologi, kimia dan geologis. Model iklim telah menjadi suatu tren dimana meteorologi
menjadi pusatnya. Model iklim telah menjadikan ilmu meteorologi suatu ilmu dan fenomena
favorit dari yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bagaimanakah aplikasi dan hasil model
iklim terhadap kondisi regional Indonesia dan apa permasalahan serta prospeknya?
5
Gambar 1. Sistim iklim muka bumi
Gambar 2. Energi budget dari atmosfir bumi
6
BAB II
Komposisi radiasi dan energi bumi
Radiasi matahari
Tidak dapat dibayangkan kehidupan didunia tanpa matahari. Bagi mahluk hidup, selain air, maka
matahari adalah sumber kehidupan utama dimuka bumi. Matahari adalah sumber energi utama
pergerakan di atmosfir dan di lautan. Untuk pergerakan di lautan, sebagai tambahan perputaran
bumi juga membantu timbulnya aliran arus air laut. Matahari mengatur pergerakan di laut
dengan membuat dinamika di atmosfir dalam membentuk angin. Energi juga ditransfer dari
angin ke lapisan teratas dari laut melalui gaya gesek antara lautan dan atmosfir di permukaan
laut. Matahari juga mengatur pergerakan di laut dengan membuat variasi suhu dan salinitas di
lautan yang pada akhirnya membedakan densitas masa jenis air laut. Perubahan pada suhu air
laut disebabkan oleh aliran energi panas di batas laut atmosfir sedangkan perubahan tingkat
salinitas diakibatkan oleh perpindahan air tawar melalui proses hujan atau penguapan.
Sedangkan di daerah kutub ditambah lagi dengan proses mengkristalnya air laut menjadi es.
Keseluruhan proses tersebut berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan
aktivitas radiasi matahari. Jika permukaan air laut menjadi lebih padat berat jenisnya daripada
lapisan air dibawahnya, kondisi menjadi tidak stabil dan air dengan berat jenis besar akan
tenggelam. Pergerakan vertikal, sirkulasi akibat beda berat jenis akibat proses pendinginan atau
perubahan tingkat salinitas dikenal dengan sirkulasi thermohaline atau proses gabungan berat
jenis dan perubahan energi panas. Pergerakan air laut akibat perputaran bumi akan dibahas pada
bab kemudian.
Secara umum jenis energi yang diterima lautan terdiri dari sumber primer yaitu radiasi dari
matahari, radiasi gelombang panjang, pertukaran fase air ke gas dan sebaliknya (perpindahan
energi sensibel), penguapan dan proses adveksi. Selain sumber primer, laut juga menerima
transfer energi dari sumber sekunder yaitu dari proses biochemistry di lautan, aktivitas
hidrothermal, proses dari friksi arus laut dan dari proses radioaktivitas.
Radiasi matahari terdiri dari gelombang pendek yang tersebar pada spektrum energi
elektromagnetis. Diantara besaran spektrumnya adalah termasuk sinar gamma, sinar X-ray, sinar
ultraviolet, sinar tampak, sinar infra merah, sinar microwave untuk radar dan radio sonde, sinar
gelombang radio pendek, sinar gelombang radio AM dan sinar gelombang radio panjang. Semua
gelombang elektromagnetis tersebut berjalan pada kecepatan yang sama yaitu kecepatan cahaya.
Saat ini hampir seluruh aspek kehidupan manusia tidak terlepas dari pemanfaatan panjang
gelombang energi yang disebut diatas. Tidak semua energi matahari mencakup keseluruhan
spektrum energi diatas, tetapi terbatas pada panjang gelombang sinar, bukan gelombang radio.
Besarnya radiasi matahari yang terpancarkan berhubungan dengan nilai panjang gelombang
pangkat 4. hasilnya adalah kurva penyebaran energi dari radiasi pada suhu sekitar 6000 K yaitu
suhu dipermukaan matahari. Radiasi yang diterima bumi pada sumbu normal adalah sebesar 2.00
cal cm-2 min-1. sedangkan berdasarkan distribusinya radiasi di khatulistiwa diterima sekitar
1100 cal cm-2 day-1 dan di daerah kutub sebesar 800 - 900 cal cm-2 day-1. variasi dari energi
yang diterima bumi sangat rendah hanya sekitar 3.34 % dan variasi tersebut dapat diprediksi
dengan baik dan menggambarkan perubahan iklim dalam satuan waktu geologis. Sedangkan
bentuk gelombang radiasi matahari yang diterima bumi telah mengalami banyak degradasi akibat
penyerapan radiasi matahari pada panjang gelombang tertentu. Energi matahari akan terserap
pada panjang gelombang dimana radiasi tersebut bertemu partikel yang dimaksud. Sebagai
contoh uap air di atmosfir akan menyerap energi matahari pada panjang gelombang sekitar 3m.
sehingga bentuk kurva energi pada panjang gelombang itu akan mengalami degradasi.
Pemanfaatan dari sifat degradasi ini adalah untuk teknologi penginderaan jauh. Sebagai contoh,
untuk satelit yang memantau awan dan nilai kandungan uap airnya bekerja dengan sensor yang
7
sensitif pada panjang gelombang 3m tersebut. Metoda yang sama dipakai untuk melihat
berbagai kandungan polutan di atmosfir termasuk gas ozon dari sifat degradasi diatas.
Gambar 2.1. Spektral energi radiasi matahari yang dipancarkan (black body radiation) dan yang diterima di
muka bumi
Distribusi penyebaran energi radiasi matahari di muka bumi beragam menurut posisi lintang.
Nilai rata-rata radiasi yang ditangkap muka bumi menurun dari khatulistiwa ke kutub karena
daerah lintang rendah menerima energi dalam jumlah besar sepanjang tahun, hal ini dikarenakan
sinar matahari menuju daerah ini dengan tegak lurus, sehingga nilai yang terpendar atau
terefleksi kecil. Sementara sepanjang garis lintang menuju kutub, nilai sudut inklinasi sinar
matahari akan semakin besar dan nilai radiasi yang terpendar atau terefleksi akan semakin besar,
akibatnya nilai radiasi matahari yang sampai ke permukaan akan semakin kecil. Selain itu
distribusi menurut energi yang diterima juga beragam, 16% darinya diserap oleh atmosfir seperti
digambarkan diatas, 24 % dipantulkan oleh awan, 7 % diradiasikan kembali ke luar angkasa dari
atmosfir, sedangkan 4% dipantulkan oleh permukaan bumi terutama laut dan es di kutub. Secara
total sekitar 35 % kembali ke luar angkasa. Tidak semua radiasi matahari dapat menembus badan
air di laut. sekitar 73 % mencapai kedalaman 1 cm, 44.5 % kedalaman 1 m, 22.2 % kedalaman
10 m, 0.53 m kedalaman 100 m dan 0.0062% kedalaman 200 m. Energi minimum yang
dibutuhkan untuk mensuplai dan menjaga perkembangan pitoplankton untuk proses fotosintesis
adalah sekitar 0.003 cal cm-2 min-1. dengan kalkulasi sesuai kedalaman diatas, hal ini dapat
tercapai hingga kedalaman 220 m.
Bumi tidak hanya menerima energi gelombang pendek matahari tetapi juga menghasilkan balik
energi yang diterimanya dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian kecil dari
gelombang radiasi panjang akan dipancarkan kembali ke luar angkasa. Biasanya gelombang
panjang ini dipancarkan di bagian paling atas atmosfir dan dikenal dengan istilah Outgoing Long
wave radiation. Karena dipancarkan di bagian paling atas atmosfir dari lapisan awan terluar,
maka parameter ini sering dipakai untuk melihat potensi cuaca setempat, sebab semakin tinggi
tempat berpancarnya maka awan yang memancarkannya akan semakin tinggi dan semakin
berpotensi memberikan curah hujan maksimum. Berbeda dengan panjang gelombang pendek,
maka radiasi keluar panjang gelombang panjang tidak memiliki variasi sebagaimana halnya
radiasi gelombang datang dengan panjang gelombang pendek. Laut sendiri juga memancarkan
energi dengan panjang gelombang panjang, karena suhu muka laut berkisar 283 K, maka panjang
gelombang yang dipancarkan, berdasarkan hukum Wien adalah 10 mikrometer atau panjang
gelombang infra merah.
8
Walhasil dari perbandingan energi masuk (gelombang pendek) dan energi keluar (gelombang
panjang) terjadi surplus energi masuk di dekat khatulistiwa dan surplus energi keluar di dekat
kutub. Meskipun adanya nilai masuk positif di dekat khatulistiwa dan negatif di kutub, tidak
pernah ada petunjuk bahwa daerah dekat khatulistiwa terus menerus memanas dan daerah kutub
terus menerus mendingin, sehingga pastilah ada transfer energi radiasi antara daerah lintang
rendah dan tinggi. Kejadian itu dilakukan oleh angin di atmosfir dan sirkulasi air di lautan. Ada
berbagai perdebatan tentang siapa dari keduanya yang lebih penting terhadap pergerakan ke arah
kutub dari energi panas diatas, tetapi dipercaya kalau lautan lebih berkontribusi di daerah tropis
dan atmosfir lebih di daerah lintang tinggi. Nilai maksimum dari kehilangan energi panas akibat
evaporasi terjadi di daerah subtropis akibat proses adveksi di atmosfir pada daerah kering,
sedangkan kehilangan energi panas minimum di daerah tropis akibat dari kandungan uap air di
udara tropis yang cukup jenuh. Sedangkan penghilangan akibat energi panas sensibel kurang
lebih sama antara daerah tropis dan subtropis. Arus laut berfungsi membawa panas dari daerah
tropis ke daerah kutub.
Gambar 2.2. Besarnya variasi energi yang dibawa dari daerah tropis menuju daerah
subtropis dan daerah kutub pada beberapa samudra di dunia.
Tekanan Udara dan Angin
Angin menghantarkan kandungan panas terutama dengan proses adveksi masa air hangat ke
daerah dingin dan sebaliknya. Sebagian lagi transfer energi panas melalui panas laten yang
diambil ketika air laut menguap ke atmosfir dan berkondensasi pada lingkungan yang lebih
dingin. Angin dihasilkan dari perbedaan tekanan dan suhu di atmosfir akibat distribusi energi
radiasi matahari, tutupan awan serta dinamika sekitarnya.Pergerakan horisontal angin dinamai
adveksi sedangkan yang vertikal lebih disebut konveksi. Proses konveksi biasanya bersifat
sangat lokal, sehingga untuk perhitungan bugdet energi biasanya diabaikan. Proses konveksi
sendiri dapat terjadi untuk skala kecil hingga besar dalam bentuk siklon atau badai tropis. Siklon
atau badai tropis dipercaya sebagai media transpor jumlah energi panas dalam jumlah besar
menjauh dari lautan khatulistiwa dalam bentuk energi panas laten yang terbawa ke daerah lintang
tinggi. Proses pergerakan arus laut juga sangat dipengaruhi oleh angin di atmosfir terutama pada
kedalaman hingga sekitar 200 m. Pada lapisan atas yang sangat terpengaruh oleh angin, terdapat
lapisan turbulensi, dibawahnya terdapat lapisan thermokline dan lebih ke bawah lagi yang
disebut lapisan laut dalam. Lapisan thermokline adalah lapisan dimana terjadi penurunan suhu
air yang sangat drastis dan mencapai kedalaman hingga 200m. Sedangkan lapisan turbulensi
tidaklah dalam, tergantung pada besarnya gelombang laut di permukaan.
Dilaut juga terjadi proses pergerakan vertikal atau konveksi dan peristiwa upwelling dan
downwelling. Kedua peristiwa terakhir biasanya terjadi karena adanya dorongan angin di
permukaan. Tergantung pada posisinya, kedua proses tersebut dapat terjadi pada musim yang
berbeda. Kedua peristiwa upwelling dan downwelling akan dibahas kemudian.
9
BAB III
Hubungan antara laut dan atmosfir
Coupling atmosfir dan laut
Interaksi laut dan atmosfir membertuk proses kopling yang terjadi di pergantian energi dan masa
di permukaan laut. Terjadinya perpindahan energi dan masa dalam proses neraca energi dalam
hal energi radiasi termasuk energi panas dan momentum dalam hal friksi permukaan. Pergantian
energi dalam hal neraca masa terjadi dalam hal penguapan dan hujan, perpindahan mineral dan
gas. Gas gas yang ada di permukaan mengabsorbsi energi radiasi karena gas gas tersebut
menyerap energi matahari pada panjang gelombang khusus. Hasilnya adalah peningkatan dari
suhu atmosfir dan mengakibatkan juga peningkatan suhu laut. Salah satu gas penting yaitu CO2
juga banyak terdapat di atmosfir yang kemudian dapat diendapkan di dalam lautan. Kepentingan
pengendapan CO2 sangat membantu mengurangi pengaruh pemanasan global. Dalam hal
kopling atau interaksi laut atmosfir, perlu ditekankan hubungan antara lautan dan atmosfir dalam
hal sebagai pensuplai uap air terbesar bagi atmosfir. Penguapan terjadi akibat tidak jenuhnya
atmosfir oleh uap dan akibat cukup hangatnya suhu muka laut. Sebaliknya atmosfir mensuplai
energi dan masa dalam bentuk curah hujan dan endapan yang juga melibatkan transfer energi.
Ketika lautan mendingin, maka laut akan merespon dengan menghasilkan gerak konveksi
vertikal yang akan mensuplai panas ke permukaan. Hal ini terjadi karena persamaan kontinuitas
masa membutuhkan air dingin mengendap ke kedalaman dari permukaan tergantikan oleh masa
air dibawahnya yang notabene lebih hangat. Air hangat tersebut akan menyembul ke permukaan.
Proses perubahan suhu di lautan terjadi jauh lebih lambat daripada di atmosfir. Sebagai akibat
maka lautan terus panas meskipun equinok atau titik nadir matahari telah menjauhi garis
khatulistiwa.
Dari angin ke arus laut
Sewaktu angin bertiup di muka laut, energi di transofrmasikan dari angin ke permukaan laut.
Beberapa dari energi tersebut menjadi gelombang gravitasi permukaan yang mengikuti
pergerakan arus permukaan akibat pergerakan angin. Hal yang terkahir ini yang menyebabkan
terjadinya arus laut. Proses transfer energi sebenarnya yang terjadi di permukaan laut sangat
kompleks. Seberapa besar energi yang terpakai untuk proses penghasilan turbulensi dan seberapa
besar yang dikonversi menjadi arus. Akan tetapi aturan umum adalah semakin kuat angin
bertiup, semakin besar friksi permukaan yang mendorong arus di bawahnya. Pekerjaan angin
yang mendorong arus laut disebut dengan wind stress.
Peristiwa dorongan angin terhadap arus laut lebih banyak terjadi pada skala kecil melalui proses
turbulensi. Peningkatan kecepatan arus laut dan sebaliknya lebih banyak disebabkan oleh proses
turbulensi permukaan. Turbulensi akan mendistribusikan dan menghilangkan energi gerak
(kinetic) dan merubahnya menjadi energi panas melalui viskositas molekular. Hal terakhir inilah
yang memberikan kontribusi terhadap suhu muka laut. Selebihnya arus laut diatur oleh kondisi
salinitas densitas, suhu dan topography dasar laut.
Pergerakan Ekman
Salah satu proses pergerakan arus laut oleh angin adalah pergerakan ekman yang seringkali
mendorong adanya upwelling dan downwelling di tepi pantai. Proses ekman spiral akibat
dorongan angin permukaan atau transfer dari momentum gerak angin ke arus laut dan diamati
oleh Fridjof Nansen yang melihat bahwa bongkahan es di laut bergerak 20 – 40 derajat ke kanan
dari arah angin. Dia memberikan hasil observasinya kepada Wilfrid Ekman. Akibat pengaruh
gaya coriolis, arus permukaan bergerak 45 derajat dari arah angin dan energy dinamik di
10
salurkan ke lapisan laut yang lebih dalam. Energi diserap oleh gesekan pada kedalaman dimana
kecepatan menurun menurut kedalaman dan akhirnya kecepatan masa air adalah 0 pada
kedalaman ekman. Gaya coriolis menyebabkan penyimpangan berturut turut ke kedalaman
sementara juga menyalurkan energi ke lapisan lebih dalam lagi (ekman spiral). Gerak masa air
secara umum mengarah 90 derajat dari arah angin. Asumsi utama dari pergerakan Ekman adalah
luas wilayah yang sangat luas dan sangat dalam (tidak ada friksi dengan dasar laut atau pantai).
Kedalaman proses ini dapat terjadi hingga 150 m dibawah muka laut.
Gambar 3.1. Proses Ekman spiral akibat tiupan angin permukaan.
Secara lokal pergerakan Ekman dapat terjadi pada garis pantai karena hembusan angin darat
dan laut, tergantung pada musim saat angin bertiup.
Salinitas, curah hujan dan profil temperatur laut
Lautan merupakan badan air terbesar di dunia. Sekitar 96.5 % adalah air dan hampir 3.5%
nya adalah garam yang terlarut. Distribusi salinitas atau tingkat kegaraman dan suhu adalah
aspek penting bagi pergerakan arus laut. Sebagian besar perbedaan distribusi suhu dan
salinitas terdapat di permukaan laut atau sekitar kedalaman 200 m. sedangkan sisa bagian
laut terisi oleh air dengan suhu dan tingkat salinitas yang seragam. Sekitar 75% air laut
memiliki tingkat salinitas antara 3.4 dan 3.5 % dan suhu antara 0 hingga 4 C dengan suhu
rata rata 3.8C. Di khatulistiwa, rata rata suhu air laut hanya 4.9C. Lapisan dimana suhu
berubah dengan cepat terhadap kedalaman ditemukan antara suhu 8 – 15C dan disebut
lapisan thermocline yang kedalamannya antara 150 – 400 m di khatulistiwa dan antara 400
hingga 1000m di daerah subtropis.
Gambar 3.2 Distribusi penyebaran salinitas dan suhu dalam persentase untuk air laut.
11
Jika suhu permukaan sangat rendah proses konveksi dari pendinginan air laut dapat mencapai
daerah yang dalam. Pada umumnya di samudra samudra besar di dunia, mulai kedalaman
1000 m, suhu dan salinitas laut sudah seragam. Penurunan suhu mengakibatkan peningkatan
berat jenis sehingga stratifikasi suhu akan menghasilkan stratifikasi berat jenis yang teratur.
Penurunan salinitas menghasilkan penurunan berat jenis. Sehingga stratifikasi salinitas justru
akan menimbulkan stratifikasi yang tidak stabil. Pada umumnya di lautan, efek dari
penurunan suhu lebih kuat dari efek penurunan salinitas sehingga laut terstratifikasi lebih
stabil.
Gambar 3.3. nilai rata rata stratifikasi suhu dan salinitas di kepulauan Indonesia pada bulan
Januari hasil keluaran model laut dan dirata rata antara tahun 1979 – 1993.
Tingkat salinitas dan suhu sangat dipengaruhi oleh aktivitas di permukaan laut dimana curah
hujan dan penguapan memegang peranan paling besar. Sekitar 51% dari energi yang diserap
lautan akan diambil oleh proses penguapan. Selain itu, penguapan juga memberikan
kontribusi terbesar dari neraca masa air di lautan dimana terjadipengurangan besar besaran
akibat penguapan. Proses penguapan terjadi saat udara menjadi tidak jenuh dengan uap.
Semakin hangat suhu udara, semakin kuat penguapan yang terjadi. Dalam kondisi normal
transfer panas langsung adalah dari laut ke udara dengan asumsi panas dialirkan dari lapisan
paling bawah. Pada situasi normal tersebut udara menjadi jenuh dengan kelembaban dan
penguapan yang terjadi. Selanjutnya udara hangat akan terkondensasi apabila bertemu
dengan lapisan udara tinggi yang dingin atau bertemu badan air yang dingin. Pada kasus
pertama akan turun sebagai hujan, sedangkan pada kasus kedua akan terbentuk kabut. Pada
kedua kasus tersebut, energi yang dihasilkan dari proses kondensasi akan lebih terserap di
atmosfir, sehingga kontribusi kondensasi terhadap neraca energi panas di laut sangat kecil.
Pada kondisi global seperti disampaikan pada bab terdahulu, energi di lautan lebih banyak
dipakai di daerah sub tropis untuk pergerakan arus menjauh khatulistiwa. Energi panas yang
12
diterima menurun dekat khatulistiwa akibat pantulan dari awan awan yang banyak terdapat di
daerah tersebut. Proses evaporasi terjadi maksimum di daerah sub tropis karena adveksi
udara dingin yang salah satunya disebabkan oleh Hadley cell. Evaporasi di daerah tropis
sangat minimum karena sudah jenuhnya udara di daerah tersebut yang salah satu dikarenakan
tutupan awan yang sangat tinggi. Sedangkan curah hujan tinggi didaerah dekat khatulistiwa
di sebelah utara akibat bentuk rupa bumi dan distribusi darat dan lautan serta di daerah dekat
kutub pada lintang 50. Distribusi perpaduan evaporasi dikurangi hujan akan menyerupai
distribusi melintang tingkat salinitas laut. Secara umum jumlah evaporasi di dunia mencapat
440 x 103 km3 per tahun, curah hujan mencapai 411 x 103 km3 per tahun dan volume aliran
permukaan di sungai danau dll mencapai 29 x 103 km3 per tahun.
Gambar 3.4. distribusi melintang curah hujan, evaporasi dan tingkat salinitas.
Stabilitas isotherm laut dan atmosfir
Stratifikasi di laut dan atmosfir terjadi akibat perbedaan suhu dan tekanan. Perbedaan tekanan
dikonversikan dalam hal salinitas atau kerapatan masa jenis di laut.
-
Proses konveksi di laut dan atmosfir
-
coupling atmosfir dan laut
Hadley and Walker cell
13
BAB IV
Iklim Indonesia
Sifat iklim daerah tropis
Iklim daerah tropis ditandai dengan tingginya curah hujan dan evaporasi. Akibat dari kedua
proses tersebut, daerah tropis memiliki tutupan awan yang tinggi yang mengakibatkan rendahnya
jumlah radiasi dipermukaan. Sebenarnya jumlah radiasi dalam bentuk energi gelombang pendek
terbanyak diterima didaerah tropis. Akan tetapi tutupan awan menghalangi radiasi masuk. Selain
itu awan berfungsi sebagai cermin dimana nilai albedo yang sangat kecil sehingga jumlah radiasi
yang dipantulkan oleh awan sangat tinggi dan hanya lebih kecil daripada tutupan es didaerah
kutub. Karena pesatnya proses curah hujan dan evaporasi, maka daerah tropis merupakan daerah
yang paling lembab di muka bumi, terutama daerah tropis yang berada diatas pulau. Hal ini
karena pulau-pulau berfungsi sebagai pusat aktivitas konveksi atau pusat pertumbuhan awan
terutama didaerah pesisir. Untuk lautan, kuatnya proses hujan dan evaporasi mengakibatkan
daerah tropis memiliki nilai salinitas yang rendah terutama pada waktu musim hujan dimana
terdapat kontribusi besar aliran sungai didaratan. Perbedaan salinitas antara puncak musim hujan
dan puncak musim kering tidak terlalu drastis jika dibandingkan oleh perbedaan suhu muka laut.
Meskipun demikian perbedaan suhu muka laut didaerah tropis tidak sedemikian besar
dibandingkan dengan daerah non tropis. Perbedaan terbesar dari normal untuk suhu muka laut
lebih disebabkan oleh faktor luar seperti Cold Surge di laut Cina Selatan pada bulan januari
hingga maret, ENSO atau Indian Dipole. Meskipun perbedaan suhu muka laut maksimum dan
minimum tidak terlalu besar, tetapi pengaruh terhadap jumlah curah hujan sangat besar.
Peningkatan suhu muka laut sedikit dapat mengakibatkan besarnya suplai uap air yang
mendorong tingginya curah hujan. Dapat dikatakan, daerah tropis berada diambang kritis suhu
muka laut yang mendorong curah hujan maksimum dan minimum. Karena faktor luar sangat
tidak dominan, seperti siklon tropis, maka pengaruh perubahan suhu muka laut terhadap curah
hujan lebih dominan. Sebagai hasilnya kemanapun perubahan atau peramalan cuaca dan iklim
didaerah tropis jauh lebih baik untuk skala bulanan hingga semi tahunan dibandingkan untuk
skala harian hingga bulanan.
Selain tingginya nilai curah hujan dan evaporasi, daerah tropis ditandai dengan lemahnya angin
permukaan dan tingginya tekanan udara permukaan. Perubahan tekanan udara juga relatif kecil
dibandingkan skala perubahan waktu sehingga sulit terjadi pembentukan angin kencang. Hal
yang terakhir ini juga didukung oleh lemahnya gaya coriolis bumi di daerah tropis yang
menyebabkan tidak mungkinnya didaerah tropis terbentuk atau menjadi lintasan siklon tropis.
Daerah yang bebas siklon tropis biasanya antara 10 LU dan 10 LS. Meskipun tidak menjadi
tempat tumbuh dan lintasannya, daerah tropis mendapat imbas dari siklon tropis yang lewat pada
ekornya. Biasanya menyebabkan angin kencang dan curah hujan tinggi didaerah ekor siklon.
Sedangkan daerah yang jauh dapat mengalami kekurangan awan karena tertarik kedaerah siklon.
Angin permukaan untuk daerah tropis umumnya rendah yang mana berlawanan dengan angin
pada level atas yang umumnya relatif kencang. Salah satu penyebab lemahnya angin permukaan
adalah karena kecilnya perbedaan tekanan udara permukaan di daerah tropis. Pada musim hujan,
akibat kuatnya suplai udara basah dan konveksi udara, sirlasi angin kencang pada level atas
terganggu sehingga angin pada level tersebut lebih lemah dari pada musim kemarau. Lemahnya
angin permukaan didaerah tropis membawa konsekuensi lemahnya sirkulasi arus laut di daerah
tropis jika dibandingkan dengan daerah non tropis. Pengaruh faktor luar dapat merubah ini.
Seperti contohnya Arus Lintas Indonesia (ARLINDO) yang konsisten selalu mengalir dari
Samudera Pasifik ke Samudera India melewati benua maritim Indonesia. Arus ini mengalir lebih
bukan karena pengaruh angin permukaan tetapi karena tekanan massa air permukaan di daerah
kolam hangat (warm pool) disebelah utara pulau Irian. Meskipun angin permukaan lemah, tetapi
pola tahunannya berubah-ubah mengikuti pola monsoon, sehingga pola sirkulasi arus laut
Indonesia secara umum dapat diprediksi.
14
Pembagian iklim Indonesia
Pola iklim di Indonesia didominasi sifat monsoonal karena pergerakan titik kulminasi matahari
dari bumi belahan utara ke selatan dan sebaliknya dalam skala setengah tahunan. Hal ini
mengakibatkan nilai kontras akumulasi hujan pada puncak musim hujan dan puncak kemarau.
Sesuai dengan kriteria yang telah dikembangkan oleh BMG, jika hujan diatas 150 mm, maka
dikategorikan bulan basah, sebaliknya apabila curah hujan dibawah 150 mm per bulan akan
disebut bulan kering. Meskipun dipengaruhi monsoon, tidak semua daerah Indonesia memiliki
pola iklim tahunan yang serupa. Untuk daerah selatan Indonesia, memiliki satu puncak hujan dan
satu puncak kemarau. Sedangkan untuk daerah sebelah utaranya dapat memiliki dua puncak
hujan dan dua puncak bawah. Pada daerah tengah dan utara Indonesia, terkadang disebut daerah
iklim ekuatorial dimana tidak jelas nampak perbedaan puncak musim kemarau dan hujan pada
pola tahunannya. Kedua puncak atas terjadi pada saat titik kulminasi matahari melewati daerah
tersebut. Dan kedua puncak bawah terjadi pada saat titik kulminasi meninggalkan daerah
tersebut. Puncak musim hujan terjadi pada saat pergantian tahun dan puncak musim kemarau
terjadi pada pertengahan tahun. Wilayah Indonesia bagian selatan hanya memiliki satu puncak
atas dan satu puncak bawah karena pergerakan monsoon berhenti didaerah tersebut. Hal ini
karena di Samudera Indonesia sebelah selatan kepulauan Indonesia tidak terdapat pulau-pulau
lagi yang menjadi pusat konveksi.
Selain variasi utara-selatan, terdapat variasi barat-timur pola iklim di wilayah Indonesia. Untuk
wilayah bagian selatan, semakin ke timur maka musim kemarau akan semakin panjang. Hal ini
dikarenakan lebih cepatnya pusat konveksi meninggalkan daerah tersebut mengikuti pola
kulminasi matahari. Selain bergerak utara-selatan, pergerakan suhu laut di wilayah maritim
Indonesia sebenarnya juga bergerak dari arah barat laut-tenggara. Sehingga daerah ini lebih
banyak mengalami musim kemarau.
Perkecualian pola iklim diatas terjadi di wilayah Maluku Utara dimana pola iklimnya berbalik
belakang dari pola iklim monsunal umum wilayah lain Indonesia. Puncak dari musim hujan
bukannya terjadi pada akhir tahun tetapi pada pertengahan tahun. Apabila diteliti lebih lanjut,
ternyata anomali iklim ini lebih disebabkan oleh aliran arus laut di daerah tersebut. Pada
pertengahan tahun, arus laut hangat mengalir dari daerah kolam hangat di utara pulau Irian
masuk ke laut utara Maluku. Akibatnya daerah ini mengalami puncak musim hujan. Pada
pertengahan tahun yang lain, arus laut dingin mengalir ke daerah ini dan menghambat
pertumbuhan daerah konvektif di wilayah ini. Akibatnya pola iklim tahunan lebih diatur oleh
pola arus laut permukaan dan menunjukkan pola kebalikan dan pola monsoon umumnya.
Pengaruh arus laut terhadap pola iklim tahunan juga terjadi pada wilayah lainnya. Pada bulan
Januari hingga Maret, di wilayah laut Cina Selatan terjadi peristiwa cold surge dimana arus laut
dingin mengalir dari sebelah utara dan membawa akibat penurunan curah hujan secara drastis di
wilayah ini. Apabila cold surge tidak terjadi, daerah ini akan mengalami pola ekuatorial seperti
daerah lainnya. Dengan adanya cold surge ini, wilayah sekitar laut Cina Selatan tersebut akan
mengalami perbedaan pola curah hujan yang mencolok pada bulan sekitar kejadian cold surge.
Cold surge terjadi karena di Siberia pada puncak musim dingin (winter) memiliki tekanan udara
yang tinggi. Tekanan udara tinggi ini mendorong aliran angin permukaan ke selatan yang
mendorong aliran arus ke selatan. Aliran arus laut permukaan ini bersifat dingin karena di bumi
belahan utara sedang mengalami puncak musim dingin. Dari uraian diatas, kita melihat peranan
laut dalam membentuk pola iklim di wilayah Indonesia dan berfungsi sebagai interaksi laut
atmosfer.
Monsoon, ITCZ dan Enso
Monsoon adalah fenomena iklim global dimana terjadi perubahan iklim di atmosfer dan laut.
Penyebab utama dari fenomena ini adalah pergerakan titik kulminasi matahari terhadap bumi
yang bergerak utara selatan. Fenomena monsoon selain mengikuti fungsi kulminasi matahari
15
juga mengikuti pola garis pantai karena pada daerah tersebut terjadi pusat konveksi. Sehingga
pergerakan daerah fenomena monsoon tidak murni bergerak arah utara selatan.
Pergerakan titik pusat konveksi membawa akibat daerah pumpunan awan konvektif lintas benua
yang dikenal dengan istilah Inter Tropical Convergence Zone (Daerah Konvergensi Lintas
Tropis). Daerah ini memiliki ciri, tempat kumpulan awan, tempat bertemunya angin pasat timur
laut dan tenggara dan daerah dengan suhu muka laut maksimum. Pergerakan arus laut yang
diakibatkan oleh pola monsoonal ini menyebabkan perubahan distribusi ikan pada kedua musim
tersebut. Perubahan di laut juga terjadi karena penurunan suhu laut permukaan pada musim
kemarau yang mengakibatkan beberapa jenis ikan dalam naik ke level kedalaman laut yang lebih
tinggi.
Fenomena monsoon adalah gejala alam umum yang terjadi pada skala waktu tahunan di
Indonesia. Variasi pola umum ini berubah akibat proses pemanasan global atau karena fluktuasi
gejala ENSO. ENSO adalah fenomena global yang membawa implikasi laut Indonesia lebih
dingin pada kejadian El Nino dan lebih hangat pada kejadian La Nina. Akibatnya terjadi
peningkatan jumlah hujan pada tahun La Nina dan penurunannya pada tahun El Nino. Untuk
wilayah Indonesia, akibat pola monsoonal yang mengatur pola sirkulasi arus laut permukaan,
pengaruh El Nini dan La Nina ternyata dibatasi hanya pada musim kemarau. Karena pada musim
inilah arus laut dari Pasifik mengalir masuk ke wilayah Indonesia dengan implikasi perubahan
akibat kedua fenomena global tersebut. Sedangkan pada musim hujan pengaruh dari kedua
fenomena global tersebut dihambat oleh tidak didukungnya pola arus laut, dimana pola arus
permukaan menuju keluar wilayah Indonesia. Berdasarkan kriteria diatas, maka pengaruh El
Nino akan lebih memperburuk iklim Indonesia karena pengurangan jumlah hujan terjadi pada
puncak musim kemarau, sedangkan La Nina lebih bukan merupakan bencana karena terjadi juga
di musim kemarau yang tidak terlalu kering.
Diurnal, MJO, Interannual
Selain faktor tahunan tersebut, pola iklim Indonesia juga dipengaruhi oleh faktor-faktor non
tahunan seperti pada frekuensi yang lebih tinggi seperti harian intra seasonal dan frekuensi
rendah seperti faktor inter tahunan. Wilayah tropis memiliki ciri faktor harian yang kuat karena
tidak adanya perbedaan suhu permukaan dan tekanan yang besar antar selang waktu berbeda.
Konsekuensinya adalah sirkulasi angin permukaan yang lemah didaerah ini. Kekurangan dari
faktor angin permukaan yang lemah akan menyebabkan kuatnya pengaruh angin lokal seperti
angin darat dan laut, angin lembah dan gunung dan angin danau. Angin-angin ini ditambah
dengan besarnya perbedaan radiasi matahari menyebabkan dominannya faktor harian diurnal.
Faktor diurnal merupakan perbedaan antara siang dan malam akibat kondisi lokal diatas.
Untuk skala intra seasonal atau antara 30 – 90 hari, terdapat dominasi pengaruh pergerakan
daerah konveksi dari Samudera India ke arah timur. Pergerakan variabilitas intra seasonal ini
membawa akibat daerah hujan yang tinggi pada daerah yang dilaluinya. Variabilitas atau osilasi
intra seasonal ini dikenal dengan istilah Madden Julian Oscillation (MJO) sesuai nama
pencetusnya. Pergerakan MJO lebih mengikuti keberadaan ITCZ, yaitu ke daerah selatan pada
waktu puncak musim hujan dan kearah utara pada waktu puncak musim kemarau.
Pengaruh dari osilasi inter-tahunan lebih terjadi pada skala panjang seperti 2 tahunan akibat
perubahan atmosfir atas, 11 tahunan akibat perubahan aktivitas matahari dan lebih panjang lagi
akibat perubahan iklim global karena proses pemanasan di muka bumi.
16
BAB V
Proses Interaksi Laut Udara Lokal dan Regional
Easterly waves - MJO di Indonesia
Easterly waves atau terjemahannya gelombang ke timur terjadi di berbagai belahan dunia.
Penjalaran gelombang di timur yang dikenal dengan easterly waves terjadi sebenarnya di
samudra atlantik dari benua amerika selatan menuju pantai afrika. Penjalaran gelombang ditandai
dengan timbulnya siklon tropis yang menjalar ke arah timur. Peristiwa easterly wave yang
digambarkan disini biasanya terjadi di permukaan laut yang merupakan gejala interaksi laut
atmosfir dimana selain tekanan udara juga terjadi perubahan suhu permukaan laut yang pada
akhirnya menghasilkan siklon tropis. Untnk daerah lain seperli di daerah dekat kutub (diatas
lintang 60 derajat) dikenal juga gelombang menjalar ke timur yang disebut dengan rossby wave.
Penjalaran gelombang ini ditandai dengan perubahan tekanan udara naik dan turun dalam
perioda sekitar 10 harian ditandai dengan kenaikan dan turunnya tekanan permukaan. Dengan
kenaikan maka udara menjadi cerah dan sebaliknya akan menyebabkan udara dalam kondisi
hujan. Pcnyebab udara cerah karena pada pusat tekanan tinggi masa udara akan menjauh dan uap
air juga sehingga tidak ada suplai udara basah yang mendukung turunnya hujan.
Untuk daerah benua maritim Indonesia penjalaran gelombang ke timur juga terjadi yang dikenal
dengan istilah Madden Julian Oscillation yang merupakan istilah dari kedua nama penemu
gelombang ini. Serupa dengan yang terjadi di samudra Atlantik, gejala ini juga terjadi di samudra
India dan peristiwa yang dimulai di laut akan berakibat pada daerah hujan yang mana daerah
hujan ini akan bergerak ke arah timur masuk di kepulauan Indonesia melalui propinsi Sumatera
Barat dan terus bergerak ke Timur. Apabila peristivva tersebut terjadi pada bulan musim hujan
maka pergerakan akan lebih ke arah selatan mengikuti jalur ITCZ yang sedang berada di bumi
belahan selatan. Apabila penjalaran terjadi pada saat musim kemarau maka akan bergerak ke
utara juga mengikuti jalur ITCZ. Peristiwa penjalanan dengan gelombang ini terjadi dengan
periode antara 30 - 90 hari atau periode seasonal dan intraseasonal sehingga gejala MJO ini
dikenal juga dengan istilah intraseasonal wave. Pergerakan gelombang ini membawa implikasi
ke laut dan atmosphere seperti perpindahan suhu laut hangat menuju timur dan daerah konvektif
yang juga searah.
17
18
SST rainfall relationship
Hubungan antara suhu muka laut dan hujan menunjukkan hubungan antara laut dan atmosphere
dengan hubungan langsung atau interaksi antara keduanya. Dari data lokal Indonesia terdapat
hubungan antara suhu muka laut dan hujan dengan ciri-ciri yang tidak linear. Hubungan antara
keduanya dapat dibagi dalam tiga jarak yaitu antara dibawah sekitar 28°C, antara 28 hingga
29.6°C dan diatas 29.6°C. Apabila dilihat dari gambar tersebut, apabila suhu muka laut naik
maka kemungkinan nilai curah hujan akan lebih tinggi dan demikian juga sebaliknya. Pada suhu
muka laut diatas 29.6°C terdapat penurunan curah hujan pada saat kenaikan suhu muka laut. Dari
gambaran tersebut terlihat puncak curah hujan tercapai pada saat suhu muka laut mencapai
29.6°C dimana suhu diatas atau dibawahnya menurunkan nilai curah hujan.
Kenaikan suhu laut yang membawa implikasi naiknya curah hujan karena naiknya suhu muka
laut menunjukkan peningkatan energi di laut yang memberikan kemungkinan naiknya tingkat
penguapan di atmosfir. Dengan demikian ada hubungan yang tidak langsung antara kenaikan
SST dan curah hujan serta evaporasi.
Dengan nilai suhu muka laut di Indonesia berada dinilai kritis seperti 29.6°C diatas, maka
dengan dampak pemanasan global, suhu muka laut di Indonesia tidak akan meningkat lebih jauh
lagi tetapi kenaikan suhu bumi akan lebih berdampak pada peningkatan suhu di daratan.
Hadley and Walker cell
Di wilayah Indonesia ada dua aliran udara regional global yang terjadi. Proses sirkulasi barat
timuran disebut sebagai sirkulasi walker, sementara proses sirkulasi udara utara selatan disebut
dengan sirkulasi hadley. Proses pembentukan sirkulasi barat timuran terjadi karena distribusi laut
dan benua di daerah khatulistiwa Indonesia sebagai benua maritim memiliki kekhasan dengan
menjadi pusat konveksi aktif karena panjangnya daerah pesisir atau garis pantai yang memicu
konveksi di pinggir laut. Sementara di sebelah barat dan timur wilayah Indonesia terdapat dua
samudra luas yang merupakan badan air terluas di dunia. Dengan sistim tersebut maka akan
terjadi udara naik di daerah maritim Indonesia dan udara turun di daerah lautan pasifik dan India.
19
Aliran udara naik disekitar wilayah Indonesia terjadi disebelah utara pulau Irian atau dikenal
dengan istilah kolam hangat (Warm Pool). Sedangkan proses aliran udara dari sirkulasi ini lebih
banyak dikendalikan oleh perbedaan suhu muka laut di daerah pasifik. Pada kondisi normal
sirkulasi terjadi dengan naiknya udara di daerah kolam hangat (barat Pasifik) dan menurun di
timur Pasifik. Pergerakan dari sirkulasi Walker ini dapat tcrlihat dan juga terasa pada aliran laut
di sebelah timur Indonesia dengan aliran masa air laut menuju kolam hangat di daerah
khatulistiwa samudra Pasifik. Pada kondisi tidak normal yang lebih dikenal dengan El Nino
terjadi pergeseran pusat naik atmosfir dari kolam hangat menuju ke timurnya dan mengakibatkan
terjadinya dua sirkulasi di daerah Pasifik. Peristiwa El Nino sendiri diakibatkan oleh proses
interaksi laut atmosfir di daerah Pasifik yang tidak hanya merubah arah sirkulasi atmosfir tetapi
juga pola arus dan iklim di benua maritime Indonesia.
Gambar. Aliran udara dalam sirkulasi walker di daerah Pasifik Tropis.
Selain pola sirkulasi tersebut, ada juga
sirkulasi utara selatan yang dikenal dengan
sirkulasi Hadley. Pola sirkulasi ini terjadi
akibat dari gaya koriolis akibat rotasi bumi
dan posisi titik equinok puncak radiasi
matahari yang selalu berpindah utara
selatan. Sirkulasi Hadley di daerah tropis
merupakan bagian dari beberapa sirkulasi
lain pada lintang tinggi yang merupakan
sistim ventilasi bumi yang terbentuk secara
natural yaitu sirkulasi Ferrel dan sirkulasi
Kutub. Sering menjadi kesalahan bahwa
sirkulasi Hadley tergantung pada posisi
garis lintang absolut, tetapi kenyataannya
sirkulasi ini tergantung pada puncak
equinok matahari yang memberikan radiasi maksimum. Salah satu akibat dari sirkulasi ini adalah
angin pasat tenggara di bumi belahan utara dan angin pasat barat laut di bumi belahan selatan.
Pusat pertemuan dari kedua angin pasat tersebut dikenal sebagai daerah ITCZ (Inter Tropical
Convergence Zone) atau daerah Konvergensi lintas Tropis.
ENSO and laut Indonesia
ENSO atau El Nino Southern Oscillation adalah fenomena alam global yang berpusat di
samudra Pasifik. Fluktuasi atau osilasi dari ENSO terdiri dari tiga fenomena yaitu kondisi
normal, El Ninodan La Nina. Pembagian kriteria pada masing-masing tergantung pada nilai suhu
muka laut pada daerah acuan yang dikenal sebagai daerah Ninol, Nino2 .. Nino4. Daerah tersebut
tersebar dari yang paling timur (Ninol) hingga mendekati daerah Warm Pool di sebelah utara
Papua Nugini (Nino4). Apabila anomali suhu muka laut di daerah Nino tersebut bersifat positif
20
atau lebih hangat melebihi 1°C dari normalnya maka akan terjadi El Nino, sedangkan peristiwa
sebaliknya disebut dengan La Nina. Peristiwa El Nino merupakan peristiwa yang terjadi di
atmosfir dan laut. Pemicu dari El Nino ini hingga saat ini belum diidentifikasi secara pasti. Pada
fase awal El Nino akan terjadi tiupan angin ke timur yang dikenal dengan easterly wind burst dan
pergeseran kolam hangat ke timur sehingga terjadi perubahan pola arus laut dan angin. El Nino
banyak membawa dampak terhadap iklim dan laut di wilayah Indonesia terutama di Indonesia
bagian timur. Perpindahan kolam hangat ke sebelah timur samudra Pasifik akan berakibat
dinginnya kolam hangat yang biasanya mengalir ke wilayah Indonesia Timur. Aliran arus dingin
ini membawa konsekuensi berkurangnya evaporasi dan sekaligus berkurangnya curah hujan.
Pada kondisi El Nino ekstrem seperti kasus tahun 1997, perubahan yang terjadi membawa akibat
kemarau panjang dan resiko kebakaran hutan tinggi karena keringnya udara saat. Salah satu
peluang dari masuknya arus dingin selama gejala El Nino ini adalah naiknya ikan-ikan laut
dalam ke atas permukaan laut karena suhu di lapisan atasnya mendukung lingkungan hidup
mereka (peristiwa upwelling). Ikan tuna sebagai contoh ikan laut dalam yang ternyata lebih
mudah ditangkap pada tahun-tahun El Nino yang dikarenakan lebih dinginnya laut di wilayah
Indonesia bagian timur.
Gambar Perubahan anomali suhu muka laut dan upwelling di laut Banda selama perioda El Nino
dan La Nina
Dari gambar diatas dapat terlihat bahwa dampak atau pengaruh El Nino tidak seragam dalam
tahun kejadian El Nino. Ada bulan-bulan dimana dampak tersebut menjadi maksimal dan ada
saat kapan dampak tersebut mulai terasa. Episode El Nino mulai terasa pada bulan April dan
berkembang hingga mencapai puncaknya pada bulan Agustus dan September. Setelah itu
dampak dari El Nino tersebut akan menghilang pada akhir tahun. Karena dampak dari ENSO
sangat terasa pada saat Indonesia mengalami musim kemarau, maka dari gejala alam diatas, yaitu
El Nino dan La Nina, kasus El Nino akan memberikan dampak yang lebih merusak. Hal ini
dikarenakan sifat dari El Nino yang akan memberikan kekeringan yang lebih pada saat kita
mengalami musim yang telah kering. Sedangkan pada kasus tahun La Nina, kekeringan di
musim kemarau akan berkurang dengan kejadian sebaliknya dari El Nino. Dampak ENSO akan
tidak terasa pada puncak musim hujan karena sistim monsoon dan arus laut menghambat
pengaruh tersebut. Besarnya dampak El Nino pada musim kemarau dan menghilangnya dampak
tersebut pada musim hujan lebih disebabkan oleh sirkulasi laut wilayah Indonesia. Pada
pertengahan musim kemarau, arus laut akan mengalirkan masa laut dari wilayah kolam hangat ke
wilayah timur Indonesia. Pada saat El Nino, sirkulasi arus laut ini membawa masa air dingin
yang menghambat hujan ke wilayah Indonesia. Pada paruh setengah tahun berikutnya, sirkulasi
arus laut akan membawa massa air dari wilayah Indonesia keluar menuju kolam hangat dan
menghambat dampak ENSO bagi wilayah Indonesia.
Permasalahan lain dari gejala El Nino adalah kemampuan untuk melakukan prediksi kedatangan
El Nino seperti kasus El Nino ekstrim. Mengingat dampak yang sangat luas yang terasa di
wilayah Indonesia, maka prediksi kedatangan El Nino merupakan hal yang sangat penting untuk
membuat penataan kerja dan manajemen lapangan bagi pertanian, pariwisata, transportasi energi
21
dan berbagai sektor ekonomi lainnya. Upaya untuk menghasilkan prediksi yang handal sering
dilakukan dengan memakai berbagai metoda peramalan seperti secara statistik atau dinamis
memakai model iklim. Kesulitan utama dari berbagai peramalan tersebut adalah turunnya kinerja
peramalan pada waktu musim peralihan ENSO yaitu pada bulan Maret, April dan Mei. Pada
masa peralihan ini belum jelas nampak kecendrungan El Nino, apakah menuju ke situasi normal,
El Nino atau La Nina. Kondisi yang tidak jelas ini biasanya menghambat kinerja berbagai teknik
peramalan yang ada. Setelah melewati masa tersebut, kinerja model akan menjadi lebih baik dan
kita dapat memperoleh gambaran apakah tahun ini kita melewati masa El Nino ekstrim atau
tidak.
Indian Dipole dan iklim Indonesia
Selain pengaruh dari samudra Pasifik, Indonesia, terutama wilayah bagian barat dipengaruhi oleh
aktivitas lautan di samudra India. Sama seperti di samudra Pasifik, indikator pengaruh tersebut
dinyatakan dengan besarnya nilai suhu permukaan laut. Di samudra India dikenal sebuah gejala
yang disebut sebagai Indian Dipole yang agak berbeda dengan yang di Pasifik. Untuk di samudra
India, dipole mengacu pada dua tempat sehingga aktivitas gejala tersebut ditandai dengan
anomali dari perbedaan suhu muka laut kedua tempat tersebut. Perbedaan perubahan suhu muka
laut untuk wilayah 50°E - 70°E / 10°S - 10°N (tengah samudra India) dikurangi 90°E - 110°E /
10°S - equator (sebelah barat pantai Sumatera adalah indikator gejala ini. Apabila terjadi indeks
sangat negatif (dibawah -1) yang berarti suhu di tengah samudra India lebih hangat dari pada di
pantai barat Sumatera, maka wilayah Indonesia Bagian Barat mendapat resiko kekeringan.
Apabila yang terjadi sebaliknya, maka wilayah yang sama akan mengalami curah hujan tinggi.
Pada gambar berikut ini digambarkan pengaruh kekuatan Indian dipole terhadap lamanya musim
kemarau pada beberapa waduk di pulau jawa.
Gambar Regressi linier hubungan antara lamanya musim kemarau (dry months) dan indeks
Indian Dipole pada inflow waduk saguling (kiri) dan waduk Kedung Ombo (kanan)
22
BAB VI
Meteorologi pantai dan pulau pulau kecil
Masalah terumbu karang
Daerah pantai merupakan tempat ikan bertelur dan menaruh larva terutama di daerah terumbu
karang. Terumbu karang terdapat di daerah tropis dimana salinitas air rendah dan di kedalaman
mixing dimana masih terdapatnya pengaruh radiasi matahari sebagai sumber energi bagi proses
fotosintesa.
Kerusakan terumbu karang disebabkan oleh shok psikologis akibat response dari perubahan
mendadak dari temperatur, salinitas dan turbiditas. Kerusakan ini merupakan kehilangan
ganggang simbiotic (symbiotic algae) yang penting untuk penyuburan sumber makanan dan
warna terumbu karang tersebut. Proses kerusakan dapat terjadi sementara akibat kondisi
lingkungan dan hilang jika tekanan lingkungan meluruh. Brown et al. (2000) mengindikasikan
bahwa beberapa coral di lautan hindia, karibia dan pasifik bleach secara rutin tiap tahun sebagai
variasi dari temperatur dan radiasi. Kerusakan serius terjadi apabila penyimpangan suhu terjadi
diatas 1C (Brown et al., 1996). Lebih lanjut Hoegh-Guldberg (1999) menemukan bahwa
kerusakan dari terumbu karang pada 20 tahun terakhir berasosiasi dengan peristiwa El Nino pada
waktu temperatur maksimum penyimpang lebih dari 1C. Kerusakan permanen terumbu karang
terjadi apabila penyimpangan temperatur terjadi lebih dari 3C selama beberapa bulan (Brown
and Suharsono, 1990).
Proses konveksi pada garis pantai dan pulau pulau kecil
Pulau pulau kecil berperan penting bagi proses konveksi di lapisan batas atmosfir. Proses
konveksi seringkali dimulai dari tepi pantai karena besarnya suplai uap air dari wilayah laut oleh
proses evaporasi. Suplai uap air besar apabila kondisi muka laut mendukung seperti adanya
radiasi matahari yang cukup, angin yang berhembus dan suhu muka laut yang mendukung.
Diperlukan suhu muka laut antara 28 – 29.6 C untuk daerah tropis seperti Indonesia agar terjadi
kondisi yang mendukung terjadinya evaporasi. Radiasi matahari diperlukan untuk memberikan
energi perubahan fase cair ke gas. Radiasi ini tidak harus radiasi langsung, tapi dapat juga akibat
radiasi tidak langsung dari pantulan awan awan di langit. Angin diperlukan untuk mengurangi
saturasi udara di atas muka laut tempat evaporasi untuk memberikan peluang evaporasi lebih
lanjut. Angin yang terlalu lemah dapat mengakibatkan proses evaporasi berpengaruh sangat lokal
dan proses konveksi yang dapat terjadi juga bersifat lokal. Angin kecepatan sedang antara 3 – 8
knot merupakan angin ideal bagi suplai udara basah yang kontinu ke daerah konveksi di pantai.
Apabila angin terlalu kencang, proses konveksi awan sulit terbentuk, akibatnya tidak ada
pertumbuhan awan di daerah pantai. Angin yang seringkali berpengaruh bagi peristiwa konveksi
di pantai di siang hari berhubungan dengan angin laut yaitu aliran angin dari laut ke daratan.
Apabila suhu dibawah 28C evaporasi sulit terjadi karena radiasi yang diterima muka laut masih
dipakai untuk pemanasan air laut sehingga akumulasi hujan yang terjadi juga rendah. Diatas 29.6
C suhu muka laut juga tidak mendukung karena hujan yang turun seringkali tidak sampai di
muka bumi tetapi langsung menguap dalam perjalanan jatuhnya.
Tanpa bantuan fenomena global, kecepatan angin ini sangat ideal (tidak terlalu cepat dan lambat)
bagi pertumbuhan awan konvektif. Fenomena alam global seperti siklon tropis bisa memberikan
suplai uap air berlebih dan membentuk awan awan, tetapi awan yang terbentuk adalah awan
skala luas yang tipis pada lapisan tinggi yaitu 10 000 kaki atau sekitar 3500 m. Awan jenis ini
terbentuk tidak di siang atau sore hari seperti pembentukan awan awan konvektif tetapi adalah
awan yang bertahan lama hingga di malam hari. Seringkali awan ini cukup tebal untuk dapat
memberikan curah hujan tinggi di malam hari. Pada skala luas akibat dari pembentukan awan
jenis ini, peristiwa monsoon memiliki jangkauan awan hingga jauh ke daratan benua.
23
Sebuah teluk atau estuari biasanya berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan dimana terjadi
penumpukan atau konvergensi masa udara basah. Di daerah Palopo di teluk Bone hal ini terjadi
dimana antara Palopo dan Luwuk terjadi penumpukan hujan pada saat angin timuran mengalir
dari tenggara. Bentuk orografis teluk yang cekungan menjebak aliran masa udara dan
mengangkatnya menjadikan udara basah tersebut terkondensasi. Hal ini tentu saja akan lebih
dibantu apabila orografis pantai disertai pegunungan atau perbukitan. Daerah Bogor merupakan
daerah tangkapan hujan bagi teluk Jakarta. Tetapi pada akhir akhir ini daerah tangkapan hujan di
Bogor berkurang. Bogor tidak lagi mengalami hujan sepanjang tahun akibat polusi. Industri di
wilayah Jabotabek. Polusi Industri membawa dampak meningkatnya kadar aerosol di udara.
Aerosol industri biasanya menghambat pembentukan awan awan konvektif. Hanya awan
konvektif kuat di musim hujan tetap terbentuk di daerah Bogor. Padahal sebelumnya
penumpukan awan orografis dapat berarti bagi pembentukan awan di Bogor.
Untuk pulau pulau kecil, peristiwa konvektif kecil kecil merupakan ventilasi energi dan siklus
hidrologi yang paling vital bagi muka bumi. Peristiwa perubahan fase cair menjadi gas,
menyerap energi atmosfir dan mendinginkannya. Peristiwa pendinginan ini menjaga suhu muka
laut tidak mendidih akibat panas radiasi matahari. Selebihnya energi kinetik mentransfer suplai
uap air ke daerah lain. Pada skala global peristiwa evaporasi di daerah tropis di transfer ke
daerah lintang tinggi dan energi laten yang terkandung di suplai uap air tersebut mentransfer
energi dari daerah tropis ke daerah lintang tinggi. Siklus hidrologi atmosfir terjadi akibat
penguapan membawa potensi hujan ke daerah konvektif lainnya dan mendorong proses pada
siklus hidrologi berikutnya.
Keberadaan pulau pulau kecil tidak hanya berarti bagi konveksi di atmosfir tetapi juga
mempengaruhi jalur lintasan arus permukaan. Akibat dominasi angin di wilayah Indonesia yang
monsoonal atau berbalik arah dalam kurun waktu setengah tahun. Sifat pola arus sekitar pulau
pulau kecil di sebagian besar wilayah Indonesia sudah dapat diperkirakan. Keberadaan pulau
pulau kecil tersebut sangat berpengaruh bagi penentuan arus dan volume transport masa air
keseluruhan. Hal inilah yang seringkali menjadi faktor kesalahan yang mendominasi pemodelan
laut dan atmosfir wilayah Indonesia. Kedua faktor diatas yaitu proses konveksi dari pulau pulau
kecil bagi pemodelan atmosfir dan arus lintas sepanjang pulau kecil yang dipengaruhi
keberadaannya bagi pemodelan laut. Kedua masalah tersebut merupakan problema utama bagi
wilayah kita yang memiliki ribuan pulau pulau kecil. Dengan turut memperhitungkan keberadaan
pulau pulau kecil menggunakan model resolusi tinggi akan membutuhkan kemampuan komputer
dan memori yang besar, mengabaikannya akan memberikan faktor kesalahan yang besar.
Proses upwelling dan downwelling di tepi pantai
Apabila angin permukaan berhembus searah garis pantai maka proses ekman akan mendorong
upwelling atau downwelling menuju daerah pantai. Upwelling membawa unsur hara dari
pitoplanton di permukaan laut dari laut dalam. Pada laut dangkal peristiwa upwelling yang terjadi
lebih banyak merupakan proses mixing dari laut yang lebih dalam. Peristiwa upwelling dengan
unsur hara terjadi apabila garis pantai terjal hingga dalam beberapa ratus meter ke tengah laut
kedalaman laut mencapai lebih dalam dari daerah thermocline. Peristiwa upwelling dengan
menaiknya unsur hara makanan seringkali dihubungkan dengan tempat berkumpulnya ikan ikan.
Akan tetapi hubungan langsung dari hal tersebut masih diperdebatkan. Salah satu argumen yang
timbul adalah pengaruh dari rantai makanan dari pitoplanton ke ikan ikan kecil dan ikan besar.
Rantai makanan tersebut membutuhkan waktu untuk berlangsungnya dan hal ini yang
menyulitkan membuat hubungan korelasi langsung peristiwa upwelling dan keberadaan ikan ikan
tangkap. Karena sifat dari daerah upwelling yang membawa unsur hara dihubungkan dengan
garis pantai yang berdekatan dengan laut dalam, maka lokasi terjadinya peristiwa ini adalah di
sekitar laut laut dalam seperti barat Sumatera, selatan Jawa atau disekitar laut Banda. Peristiwa
upwelling membawa pengaruh terhadap mixing di permukaan karena air dari laut dalam
biasanya mengandung kadar garam tinggi (salinitas tinggi) dan suhu rendah. Pengaruh peristiwa
24
upwelling terjadi hingga tidak jauh dari garis pantai (beberapa ratus meter) tetapi cukup berarti
bagi nelayan untuk penambahan penangkapan ikan mereka. Salah satu fenomena upwelling yang
paling terkenal adalah peristiwa El Nino dimana di pantai Peru terjadi upwelling dalam perioda
yang lama pada akhir bulan Desember. Waktu itu merupakan puncak peristiwa El Nino. Saat
tersebut nelayan setempat panen ikan akibatnya. Karena peristiwa tersebut terjadi bersamaan
dengan peristiwa Natal maka nelayan setempat menamakan fenomena tserbut dengan El Nino
yang berarti anak laki laki untuk juga memperingati kelahiran anak laki laki yaitu Yesus yang
dirayakan pada akhir bulan tersebut. Untuk mengetahui kapan peristiwa upwelling terjadi di
wilayah Indonesia perlu diketahui situasi angin dominan di muka laut dan posisi geografis
apakah di belahan bumi utara atau selatan. Faktor terakhir mempengaruhi putaran ekman
transport akibat dari gaya coriolis bumi. Untuk daerah upwelling di pantai selatan Jawa.
Kemungkinan terjadinya adalah pada saat angin timuran bertiup yang membawa konsekuensi
upwelling mengalir dari selatan Jawa. Hal ini terjadi pada bulan Juni, Juli dan Agustus dimana
terjadi puncak angin timuran. Akibat tiupan angin permukaan tersebut, proses ekman akan
mendorong arus menjauhi garis pantai. Arus muka laut menjauhi pantai akan menyebabkan
kekosongan masa air di pantai dan diisi oleh aliran masa air dari laut dalam. Kejadian sebaliknya
apabila angin di pantai selatan jawa mengalir dari barat maka akan terjadi downwelling.
Peristiwa upwelling akan jelas sekali terlihat dari satelit inderaja laut. Dengan satelit ini seperti
SeaWif, warna daerah mixing dari daerah upwelling akan jelas terlihat dan berbeda dari daerah
lainnya. Akan tetapi peristiwa mixing di garis pantai juga biasa terjadi akibat turunnya hujan di
garis pantai. Air hujan yang jauh lebih tawar dari laut sekitarnya akan menandai proses mixing
yang terlihat dari satelit inderaja. Hal ini seringkali menjadi faktor kesalahan dari data satelit
inderaja.
Cara paling praktis mengetahui peristiwa upwelling dengan melihat data suhu muka laut. Proses
upwelling dan mixing yang diakibatkannya akan menambah unsur variabilitas rata rata data suhu
muka laut. Dengan mengambil data suhu muka laut historis dan membandingkannya dengan
nilai rata rata bulanan dapat diketahui kecenderungan wilayah yang terjadi upwelling. Metoda ini
baik untuk mendeteksi peristiwa upwelling yang terjadi akibat angin di permukaan laut dari
peristiwa monsoonal yang berlangsung dalam beberapa bulan. Untuk peristiwa upwelling dalam
hitungan hari, metoda ini tidak layak untuk dilakukan, melainkan dengan memakai data satelit
inderaja lebih baik lagi.
Pantai tempat bercampurnya dua dunia
Pantai merupakan akhir dari mengalirnya aliran (runoff) dari sungai yang membawa banyak
sedimentasi dan limbah dari daratan. Air tawar dan asin bercampur di muara sungai yang
letaknya di tepi pantai. Aliran air sungai membawa sedimentasi daratan dan limbah antropogenik
atau hasil perbuatan manusia. Sedimentasi biasanya menambah kadar garam di laut, meski kadar
garam dalam sedimen air sungai sangat minim.Selain sedimentasi yang menciptakan
pendangkalan, kejadian sebaliknya dapat terjadi yaitu erosi garis pantai. Erosi garis pantai
merupakan bahaya nyata dalam dekade kedepan akibat munculnya gejala pemanasan global yang
membawa dampak menaiknya tinggi muka air laut sehingga erosi adalah bahaya nyata untuk
negara dengan garis pantai terbanyak seperti Indonesia. Perlu dihitung berapa banyak warga
masyarakat yang bermukim di garis pantai dan dalam ketinggian daratan tertentu. Perlu
diperhatikan bahwa pemanasan global adalah fenomena iklim dengan skala variabilitas yang
sangat lambat.
Beban muara sungai bertambah akibat bertumpuknya limbah, sehingga banyak terumbu karang
di dekat muara sungai rusak olehnya. Rusaknya terumbu karang tersebut dan kondisi
penangkapan ikan berlebihan akan mengakibatkan habisnya stok ikan disekitar muara sungai.
Limbah kotor yang berisi zat kimia seringkali merusak tidak hanya terumbu karang tetapi juga
25
ikan ikan kecil dan tempat tumbuhnya ikan tersebut. Hal ini membahayakan habisnya stok ikan
secara lebih cepat. Untuk wilayah tertentu dimana arus air laut terpengaruh pada pola monsoon
dimana terjadi aliran berbalik arah, seringkali ikan akan datang pada suatu periode dan hilang
pada perioda lain. Hal ini biasa melengahkan para nelayan sehingga beranggapan tidak ada
pengaruh kerusakan ekosistim setempat.
Eutropication adalah contoh rusaknya muara sungai akibat pencemaran air laut. Eutropication
adalah fenomena dimana mengalirnya material Nitrogen dan Fosfat dari urea hasil fertilisasi
pupuk buatan manusia. Pupuk merupakan penyubur untuk upaya intensifikasi pertanian yang
intensif dipakai hingga saat ini. Pemakaian pupuk yang berlebihan akan terbuang ke dalam aliran
sungai dan akhirnya mengalir ke laut. Kasus eutropication ini turut membantu rusaknya
ekosistim garis pantai karena senyawa kimia ini tidak diproduksi secara natural dan tidak berurai
secara natural di laut melainkan sumber hara atau makanan bagi berbagai pitoplankton berbahaya
atau beracun. Eutropication merupakan salah satu faktor yang menyebabkan negara maju
menghentikan pemakaian pupuk non biologis atau alamiah dalam intensifikasi pertanian mereka.
Kasus pencemaran lain adalah limbah dari badan manusia yaitu bakteri e-coli yang terdapat
dalam tinja atau kotoran manusia. Akibat sistim drainasi di Indonesia tidak terkoordinir secara
rapi. Limbah ini dibuang di halaman rumah dan dibiarkan meresap ke tanah. Tetapi akibat aliran
air tanah atau ground water, kotoran tersebut juga mengalir ke dalam aliran sungai yang mengalir
ke laut. Keberadaan bakteri ini di muara sungai membuktikan daya tahan hidup yang lama untuk
mengarungi dari buangan manusia hingga ke muara sungai. Kemungkinan lain adalah terjadinya
mutasi dari bakteri ini untuk dapat terdeteksi di muara sungai. Hal yang menarik adalah dalam
beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran tempat bakteri ini di muara sungai hingga menjangkau
jarak yang lebih jauh dari garis pantai. Kemungkinan adanya tingkat kejenuhan bakteri ini di
muara sungai hingga akhirnya keberadaannya dapat terdeteksi hingga jauh di tengah laut. Pola
penyebaran bakteri ini di muara sungai juga terpengaruh oleh sistim iklim kita yaitu pada waktu
musim basah dimana hujan sering turun, konsentrasi bakteri ini di muara sungai menurun. Pada
waktu musim kering keberadaan bakteri ini memiliki konsentrasi tinggi.
Garam, aerosol pantai
Meskipun kandungan garam di laut hanya 3%, tetapi garam membentuk sifat fisis yang khusus
bagi air laut. Sifat fisis yang dinyatakan denga tingkat salinitas dan tingkat dielektris karena
garam seringkali berupa ion lepas bermuatan listrik statis positif atau negatif. Di permukaan laut
pada lapisan kulit udara dan muka air, terjadi mixing dari laut ke udara dimana partikel garam
terlepas ke udara dalam bentuk aerosol garam. Aerosol adalah partikel di udara selain partikel air
dalam fase cair, padat atau gas. Aerosol garam ini terbawa dengan angin ke daerah lain dan
sangat mempengaruhi kondisi iklim di tepi pantai. Wilayah Indonesia dimana hampir semua
pulau (termasuk hampir semua pulau besar) memiliki iklim maritim. Salah satu ciri iklim
maritim adalah terdapatnya aerosol garam di udara. Hal termudah yang dapat terlihat adalah
mudahnya terjadi karat pada besi besi di kota kota di pinggir pantai Indonesia. Salah satu
penyebabnya adalah keberadaan aerosol garam baik itu merupakan senyawa garam maupun ion
ion garam lepas. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat iklim wilayah Indonesia berupa
pengangkatan udara, dimana wilayah tropis adalah pusat pergerakan hadley cell yang
mengirimkan energi dari tropis ke daerah lintang tinggi. Di daerah tropis terjadi pengangkatan
udara. Pengangkatan udara inilah yang membantu peristiwa mixing aerosol garam di udara
sehingga aerosol garam terangkat dan dibawa angin. Peristiwa pengangkatan udara juga terjadi
di darat dimana aerosol tanah terangkat dalam bentuk debu sehingga kota kota besar di Indonesia
sering kumuh karena kepulan debu di udaranya. Hal ini tidak terdapat pada kota kota besar di
lintang tinggi dimana tidak terjadi proses pengangkatan sebagaimana digambarkan dalam hadley
cell. Meskipun tingkat salinitas di daerah tropis rendah di bawah permukaan laut, tetapi peristiwa
pengangkatan aerosol cukup membuat masalah. Perpaduan antara sifat angkat, aerosol garam
dan tingkat kelembaban tinggi membuat manusia Indonesia sebenarnya memiliki daya tahan
26
yang tinggi terhadap iklim tropis. Manusia non tropis memiliki kesulitan besar untuk beradaptasi
untuk lingkungan demikian.
Angin darat dan laut (sea breeze)
Peristiwa pembentukan angin darat dan angin laut sangat berhubungan dengan sifat daya hantar
panas air dan daratan. Air memiliki sifat daya hantar panas yang kecil atau lambat sedangkan
daratan memiliki sifat daya hantar besar dan cepat. Sifat kedua media tersebut berperan penting
dalam lamanya pembentukan panas daratan dan lautan. Akibat daratan lebih cepat hangat maka
di siang hari suhu permukaan di daratan lebih tinggi daripada di laut dan udara yang lebih hangat
tersebut merenggangkan udara diatasnya dan udara renggang tersebut mengapung dan naik.
Udara naik tersebut diisi oleh aliran udara dari muka laut yang mengalir ke daratan. Fenomena di
siang hari inilah yang disebut sebagai angin darat. Pada malam hari suhu daratan lebih cepat
mendingin dan pada saat ini suhu muka laut lebih hangat dari daratan sehingga proses sebaliknya
terjadi. Akibat dari aliran bolak balik angin darat dan laut maka cuaca di garis pantai sangat
diurnal dimana terjadi pergantian suasana udara siang malam. Angin malam di tepi pantai akan
lebih segar karena mengalirkan udara yang tidak mengandung garam, sebaliknya disiang hari
udara akan terasa lengket di kulit karena kandungan garamnya.
Gelombang pasang
Selain berbagai fenomena yang telah diuraikan diatas garis pantai juga mengalami gelombang
pasang dan surut (tides) akibat peristiwa astronomik karena daya tarik gravitasi bumi dan bulan.
Hubungan dan posisi bumi dan bulan telah diketahui secara pasti sejak dulu dan perhitungan
kekuatan gelombang pasang dapat dilakukan untuk masa mendatang. Hal ini menjadikan tides
adalah salah satu fenomena laut yang paling sudah dimengerti. Bentuk panjang gelombang dari
fluktuasi tides adalah sebesar lama perioda evolusi atau rotasi bulan yaitu 29.45 hari. Yang
menjadi rumit adalah interferensi dari masing masing tides tersebut akibat pantulan dan
refleksinya dikarenakan rumitnya orografi garis garis pantai terlebih di kepulauan maritim
Indonesia. Dengan bantuan program komputer hal ini dapat di kalkulasi. Yang membantu adalah
sifat tides itu yang berulang ulang akibat posisi bumi dan bulan berulang ulang dalam rotasinya
sehingga dengan analisa fourrier, karakteristik tides suatu daerah dapat diinterpolasikan untuk
jangka waktu yang lebih lama kedepan dan ramalan bentuk tides yang akan datang dapat
dihitung secara pasti.
Pengelolaan mata air pesisir dan pulau pulau kecil
Ketersediaan sumber air tawar pulau kecil dipengaruhi oleh curah hujan lokal tahunan yang jatuh
di pulau tersebut, lapisan geologi pembentuk pulau dan tutupan vegetasi setempat. Hal ini
berbeda dengan kondisi di pulau besar dimana ketersediaan air dapat berasal dari curah hujan
yang berasal dari daerah lain yang kemudian di transfer melalui sistim akuifer air tanah ke dalam
suatu cekungan air tanah (ground water basin) atau melalui aliran permukaan sungai yang
kemudian meresap masuk sistim air tanah di bagian hilirnya atau tertampung kedalam sistim
danau. Dengan demikian ketersediaan air di pulau kecil ini sangat bergantung dari besarnya
curah hujan sebagai pasokan utama seumber air tawar serta kemampuan pulau tersebut
menyimpan sumber air secara alami. Pada umumnya ketebalan lapisan air di pulau kecil berkisar
antara 1 – 2 m.
Ketersediaan air di pulau kecil juga dipengaruhi oleh bentuk pulau itu sendiri, pasang surut dan
kekuatan serta arah arus laut. Dilaporkan dalam suatu pulau kecil yang memanjang, keberadaan
sumber air tawar terletak salah satu atau kedua ujung pulau, tidak mengikuti panjang pulau
dengan titik berat bedara di bagian tengah pulau sebagaimana umumnya. Hal ini dapat terjadi
karena adanya arah arus laut yang menuju tegak lurus pulau sehingga air tawar mendapat
27
tekanan ke salah satu atau kedua ujung pulau akibatnya terjadi akumulasi resapan air di bagian
tersebut.
No.
1
2
3
4
5
Tabel 1. contoh neraca air pulau Bira Besar di pulau seribu
Keseimbangan
Jumlah air (mm/tahun)
Volume air (m3/hari)
Curah hujan
1768
1409
Evapotranspirasi
1433
1142
Resapan
335
267
Kebutuhan
514
410
Defisit
179
143
Keunikan sumber daya air pulau kecil dibandingkan dengan pulau besar adalah karena luas
kawasan yang kecil menyebabkan volume air yang tertampung sangat sedikit. Hal ini
menyebabkan ketersediaan sumber air sangat terbatas, terisolasi dan mudah terkontaminasi air
asin. Permasalahan yang dihadapi adalah pada saat musim kemarau dimana secara alami hujan
sebagai sumber utama air tawar relatif sangat rendah, sehingga ketersediaan air juga sangat
terbatas, disisi lain kebutuhan air relatif tetap. Oleh karena itu pengelolaan dan pengambangan
sumber air di kawasan ini harus terproteksi dari pencemaran baik secara alami maupun pengaruh
manusia, alokasi pengambilan dibatasi pada batas aman dan pemanfaatan air yang rasional untuk
menjaga pemanfaatan yang menerus.
Intrusi air laut di kawasan pulau kecil menjadi sangat menentukan dibandingkan di pulau besar
dimana di pulau besar ada tekanan air tanah yang selalu menjaga keseimbangan antara air tawar
dan air asin. Berkurangnya pasokan air hujan sebagai sumber air tawar di pulau kecil
menyebabkan terjadinya intrusi air laut sehingga menyebabkan berkurangnya lapisan lensa air
tawar dengan terjadinya fluktuasi air tawar. Pengambilan air tanah melalui pemompaan yang
berlebihan merupakan penyebab utama terjadinya intrusi air asin. Selain itu adanya kegiatan
pembangunan dermaga marina dan jalur air di pulau kecil dapat menyebabkan terjadinya intrusi
air laut.
Gambar 4. Skala waktu dan ruang beberapa sistim gejala atmosfir
28
Gambar 5. Proses terjadinya awan awan konvektif di laut cina selatan selat Karimata dan pulau
Kalimantan dan peran angin darat dan angin laut.
Gambar 6. Contoh terjadinya interaksi laut daratan dalam pembentukan zona mixing akibat
angin laut dengan dibantu cerobong asap untuk menggambarkan arah aliran angin dan daerah
mixing (daerah dimana turbulensi kuat).
29
Gambar 7. Beberapa skala lapisan batas atmosfir dan definisinya pada daerah rata dan terbuka.
Gambar 8. Diagram perpindahan energi dan air dalam berbagai fase antara daratan lautan dan
atmosfir (siklus hidrologi). Nilai nilai yang tertera adalah rasio dari nilai rata rata hujan tahunan
di bumi yaitu 1040 mm.
30
Gambar 9. berbagai pembagian wilayah lapisan batas atmosfir dan efek tutupan lahan
permukaan.
31
Gambar 10. Proses konveksi di lapis batas atmosfir dari micro evaporasi (a), peran angin (b) dan
pembentukan barisan awan (c)
32
Gambar 11. Proses pembentukan angin darat dan angin laut.
Gambar 12. Berbagai skema pembentukan lapisan batas atmosfir dan pembentukan daerah
mixing di darat dan di laut.
33
Gambar 13. Proses pusaran atmosfir (seperti siklon tropis) dan efeknya di bawah laut..
Gambar 14. Efek perubahan tinggi muka laut dan lapisan thermocline pada saat terjadinya pola
siklonik seperti siklon tropis.
34
Gambar 15. proses pembentukan barisan buih lautan akibat proses tiupan angin dan proses
ekman. Perhatikan kemiripan proses tersebut dengan pembentukan barisan awan.
Gambar 16. Perubahan tinggi muka laut dan kedalaman thermokline akibat angin passat tenggara
dan sewaktu terjadi El Nino
35
Gambar 17. Beberapa proses di atmosfir saat terjadinya El Nino
Gambar 18. Proses walker sel dan peran warm pool di sekitar Indonesia
36
Gambar 19. Sistim monsoon Indonesia dari data curah hujan
37
Gambar 20. Sistim arus laut permukaan akibat angin monsoon di Indonesia bagian timur sebagai
keluaran dari model iklim laut.
38
Gambar 21. Sistim arus laut permukaan akibat angin monsoon di Indonesia bagian barat.
39
Gambar 22. Wilayah monsoon di bawah laut Indonesia pada data arus zonal (timur barat).
Wilayah monsoon digambarkan dengan kontur berwarna. Gambar variasi melintang vertikal dari
9 seksi laut sebagaimana digambarkan pada kotak box kecil di sudut kiri bawah. Batas seksi laut
tersebut tertera pada informasi lintang (sumbu x- bawah) dan bujur (sumbu x- atas).
40
Gambar 23. Wilayah monsoon di bawah laut Indonesia pada data arus meridional (utara selatan)
Gambar 24. Wilayah monsoon di bawah laut Indonesia pada data temperatur
41
Gambar 25. Wilayah monsoon di bawah laut Indonesia pada data salinitas
42
Gambar 26. contoh arus laut di selat Makasar dan Halmahera dimana pengaruh monsoon sangat
jelas.
43
BAB VIII
Perubahan iklim global
Bagaimana proses pemanasan global terjadi
Proses pemanasan global terjadi akibat akumulasi emisi gas gas rumah kaca di atmosfir dimana
gas gas tersebut menghambat keluarnya radiasi matahari dari atmosfir bumi, sehingga
mengakibatkan energi radiasi tersebut terserap atmosfir dan memanaskannya. Prinsip
memanaskan atmosfir dengan mengisolasikan energi akibat terserap gas gas tersebut serupa
dengan isolasi panas pada rumah kaca, sehingga gas gas tersebut disebut sebagai gas gas rumah
kaca. Gas gas rumah kaca terdiri dari gas gas hasil buangan pembakaran industri, rumah tangga
dan transportasi. Gas gas tersebut diantaranya adalah CO2 (karbon dioksida), CH4 (methane),
N2O, CFC-11 (freon), HFC-23 dan CF4. Proses akumulasi gas gas tersebut diatmosfir dimulai
sejak adanya revolusi industri an usaha manusia melakukan mekanisasi dan industrialisasi besar
besaran sejak pertengahan abad 19. pada akhir perang dunia II, terjadi pengurangan besar
besaran emisi rumah kaca karena terjadi kekosongan industri dan sejak beberapa saat kemudian
terjadi peningkatan kembali.
Proses peningkatan gas gas tersebut di atmosfir dapat dilacak dari data spektrum sinar matahari.
Pada panjang gelombang tertentu dimana absorpsi sinar matahari terjadi akibat penyerapan
radiasi matahari oleh gas gas tersebut menyebabkan adanya kekosongan sinyal pada panjang
gelombang tersebut. Metoda ini telah dipakai luas untuk melihat peningkatan akumulasi gas gas
tersebut dan melihat kerusakan lapisan ozon.
Beberapa dampak langsung pemanasan global
Akibat akumulasi gas gas tersebut, maka selain terjadi proses pemanasan global, juga terjadi
kerusakan lapisan ozon di lapisan stratosphere dan troposphere bumi. Gas ozon atau O3
merupakan lapisan pelindung bumi yang konsentrasinya sangat sedikit tetapi berfungsi sebagai
pelindung terhadap radiasi ultra violet dan radiasi dengan panjang gelombang yang diatasnya.
Ozon terbentuk dari reaksi fotokimia dari proses alamiah. Radiasi ultra violet bersifat merusak
kulit dan menyebabkan kanker kulit. Kerusakan lapisan ozon terutama nyata di daerah kutub
utara dimana terjadi akumulasi gas di lapisan ionosphere karena daerah tersebut sirkulasi
atmosfir tidak intensif berpindah tempat. Gas perusak lapisan ozon adalah freon yang pada
dekade 1960-an sering dipakai untuk zat hair foam, pendingin ruangan dan kulkas. Sejak
diketahuinya dampak negatif pemakaian freon, maka sejak tahun 1988 (Protokol Montreal)
pemakaian freon telah dilarang dan berbagai produk yang memakai freon telah diganti gas lain
yang lebih ramah lingkungan. Akibat pelarangan tersebut, telah terjadi perbaikan lapisan ozon
hingga awal dekade 2000 lapisan ozon dikutub mulai menutup.
Peningkatan energi di atmosfir bumi selain meningkatkan suhu atmosfir juga meningkatkan suhu
muka laut rata rata. Akibatnya terjadi ancaman mencairnya es di kutub. 2.5% air yang ada di
muka bumi adalah air tawar yang mana diantaranya 0.3% adalah air tawar di danau dan sungai,
sementara 29.9% adalah air tanah dan 0.9% terdapat di kandungan tanah lapisan atas dan rawa
rawa. Sebagian besar air tawar atau 68.9% berada di glasier, dan lapisan es permanen seperti di
kutub. Apabila terjadi pemanasan global dan peningkatan suhu permukaan laut dan atmosfir,
maka es di kutub dapat mencair dan pencairan tersebut memberikan kontribusi yang relatif besar
terhadap peningkatan volume air laut yang akhirnya adalah peningkatan tinggi muka air laut.
peningkatan muka air laut merupakan ancaman nyata bagi komunitas yang tinggal di tepi pantai.
Catatan historis proses pemanasan global
Perubahan suhu permukaan global telah meningkat 0.6  0.2 C sejak akhir abad ke 19 dengan
perkecualian pada masa perang dunia II. Perubahan suhu global ini membawa dampak
44
peningkatan suhu di lapisan laut atas (hingga 300m) dengan laju peningkatan 0.04 C / dekade.
Hasil pengamatan satelit dan observasi balon menunjukkan peningkatan suhu muka bumi pada
laju 0.1C / dekade. Pengamatan perubahan suhu sebelum era industrialisasi dilakukan dengan
catatan proxy berupa catatan iklim yang tercatat pada paleo data dari data batang pohon, terumbu
karang, es di kutub dan data historis dari catatan sejarah sejak tahun 1000 an masehi.
Selain suhu pengamatan perubahan curah hujan dan kadar uap air di atmosfir juga telah
dilakukan. Peningkatan terjadi pada curah hujan daerah lintang tinggi di belahan bumi utara
antara 0.5 hingga 1.0 % per dekade. Sedangkan diperkirakan jumlah total kandungan uap air
telah meningkat beberapa persen dalam beberapa dekade dari banyak region di belahan bumi
utara. Perubahan dari kandungan uap air telah dianalisa dari berbagai region dengan data
lapangan dan pengukuran lapisan bawah troposphere dari data satelit dan balon cuaca. Perubahan
jumlah kandungan uap air membawa konsekuensi peningkatan jumlah tutupan awan di daerah
lintang tinggi yang meningkat sekitar 2% dari awal abad 20 dan berakibat pada turunnya
peredaan temperatur siang dan malam atau mengakibatkan turunnya kapasitas angin darat dan
angin laut. Analisa terbaru menyebutkan bahwa pada daerah yang terjadi peningkatan curah
hujan juga terjadi peningkatan curah hujan berintensitas tinggi. Selain itu juga karakter dari
tropikal storm juga berubah pada intensitas dan frekuensinya.
Perubahan suhu juga mengakibatkan penurunan lahan tertutup salju dan laju perubahan tutupan
lahan bersalju berkorelasi dengan menariknya suhu permukaan. Dari data satelit terlihat bahwa
terjadi penurunan sekitar 10% dari tutupan salju sejak tahun 1960 yang berhubungan erat dengan
laju peningkatan suhu permukaan daratan di belahan bumi utara. Jumlah tutupan es di bumi
belahan utara menurun, tetapi tidak ada tren yang jelas pada laju penurunan tutupan es di
Antartika. Meski demikian kemunduran tutupan bongkahan es di Arktik pada musim semi dan
musim panas sebesar 10 hingga 15% sejak tahun 1950 konsisten dengan peningkatan suhu
permukaan pada musim panas di belahan bumi utara.
Dari data instrumen muka laut (tide gauge), laju peningkatan muka laut pada abad 20 ada pada
kisaran 1.0 hingga 2.0 mm/tahun. Laju peningkatan muka laut ini bukan hanya diakibatkan oleh
mencairnya glasier dan es di kutub tetapi juga karena ekspansi termal akibat peningkatan suhu
air laut itu sendiri. Karena perubahan ekspansi termal air laut berlangsung lama terutama pada
laut dalam, maka dikuatirkan apabila masalah konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir telah
selesai diatasi perlu waktu agak lama agar termal ekspansi di laut juga berhenti. Selain itu
distribusi geografis dari perubahan muka laut juga dipengaruhi oleh perubahan salinitas, angin,
sirkulasi lautan dan perpindahan masa air dari daratan menuju laut atau dari kandungan lapisan
es di darat atau laut ke laut. Mencairnya glasier dan es di kutub memberikan kontribusi terbesar
setelah ekspansi termal. Perubahan muka laut juga ditentukan oleh faktor geologis yang tidak
terkait dengan iklim yang bervariasi dalam skala ribuan tahun. Faktor perubahan pemanfaatan
kandungan air di dalam tanah juga berpengaruh terhadap laju perubahan muka laut. terakhir,
pada skala seasonal, interannual dan dekadal, muka laut terpengaruh pada perubahan di atmosfir
dan laut dengan contoh nyata adalah gejala El Nino.
Pemanasan global juga disinyalir berpengaruh terhadap perubahan sirkulasi laut yang pada
akhirnya menyebabkan perubahan karakter El Nino dan fenomena besar lainnya seperti Osilasi
Atlantik Utara. Terjadi peningkatan anomali pada suhu muka laut di pasifik yang memicu
terjadinya El Nino terbesar abad ini pada tahun 1997/1998 yang diduga akibat peningkatan suhu
muka laut akibat rumah kaca dimana energi yang tersimpan di muka bumi meningkat.
Faktor yang menghambat pemanasan global
Selain terjadi proses pemanasan global akibat kegiatan manusia, beberapa faktor lainnya dapat
mengurangi terjadinya pemanasan global. Perubahan fluxes di permukaan laut dan atmosfir
mendorong terpendamnya aerosol beberapa gas gas rumah kaca seperti misalnya CO2 dan NO2
45
dalam lautan. Sehingga lautan bisa dianggap sebagai penyerap panas atmosfir terbesar dan
penyimpan sedimen dari dua gas rumah kaca terbesar yaitu uap air dan CO2 dengan proses
berikut ini. Lautan juga berfungsi sebagai tempat berfoto sintesa pitoplankton dan respirasi
zooplanton dimana terjadi perubahan gas gas dari CO2 menjadi O2 (pada proses fotosintesa
pitoplankton) dan dari O2 menjadi CO2 (pada proses respirasi zooplanton). Beberapa faktor
tersebut menjadikan laut sebagai peredam efek pemanasan global. Kedua fungsi lautan sebagai
peredam dampak pemanasan global tersebut sering diistilahkan sebagai faktor biogeochemistry
lautan.
Selain lautan, proses foto sintesa juga terjadi pada tanaman di darat seperti hutan belantara.
Hutan berfungsi sebagai paru paru bumi dan peredam pemanasan global menjadikan hutan
sebagai daya tarik dalam perdagangan emisi karbon untuk mengikuti konsep Kyoto protokol.
Salah satu konsep yang ditawarkan adalah dept swap atau pengganti hutang negara dengan emisi
negatif dari hutan karena hutan mengurangi emisi gas gas rumah kaca. Yang belum dibahas oleh
pemerintah adalah peran dari kemampuan menyerap dari lautan yang merupakan kontribusi
nyata dan bagian dari wilayah yang luas dari negara ini.
Faktor pengurang lain adalah dari letusan gunung berapi yang berfungsi mengurangi jumlah
kadar air di atmosfir. Gas SO2 yang dihasilkan dari letusan gunung berapi akan bereaksi dengan
uap air dan menyerap energi yang ada di atmosfir dan turun dalam bentuk hujan asam.
Terkondensasinya uap air menjadi butir butiran hujan membantu mengurangi energi di atmosfir.
Selain itu aerosol letusan gunung berapi juga menjadi penghalang radiasi matahari masuk ke
muka bumi dan mengurangi terserapnya energi radiasi matahari yang berada di permukaan bumi.
Energi tersebut malah tertahan di lapisan atas atmosfir (stratosfir) dan memanaskan suhu disana.
Biasanya perubahan suhu di stratosfir berbanding terbalik dengan perubahan suhu di lapisan
troposfir atau lapisan paling bawah di muka bumi, apabila suhu di stratosfir meningkat maka
suhu di troposfir menurun dan sebaliknya.
Efek pemanasan global terhadap ekosistim laut
Proses pemanasan global akan mempengaruhi karakter fisis, biologis dan biogeokimia dari
lautan dan pantai, memodifikasi struktur ekologisnya dan fungsi dari struktur tersebut terhadap
ekosistim. Dampak global dari pemanasan tersebut meliputi peningkatan tinggi muka laut dan
suhu muka laut, penurunan tutupan es di laut dan perubahan salinitas, alkalinitas, meteorologi
gelombang laut dan sirkulasi air laut. Akibatnya terjadi umpan balik terhadap sistim iklim
dengan perubahan daerah mixing di laut, produksi laut dalam dan upwelling di garis pantai yang
pada akhirnya akan mempengaruhi terhadap status, kesetimbangan, produktivitas dan
biodiversivitas zona pantai dan ekosistim laut. Perubahan distribusi suhu muka laut akan
berakibat dengan perubahan distribusi biota laut dan biodiversitas.
Perubahan habitat laut termasuk meningkatnya suhu muka laut, pelemahan sirkulasi laut, tutupan
es di laut dan tinggi muka laut. Perubahan frekuensi gejala ekstrim juga akan terjadi. Kejadian El
Nino juga diperkirakan akan meningkat intensitas dan frekuensinya seiring dengan perubahan
iklim global. Hal ini akibat meningkatnya energi di atmosfir. Jika terjadi penurunan beda suhu di
equator dan di kutub akibat pemanasan global maka terjadi pelemahan sirkulasi atmosfir di
banyak tempat (bukan daerah siklon) dan mengakibatkan berkurangnya upwelling. Pengamatan
dan penelitian tentang angin dan gelombang menunjukkan peningkatan tinggi gelombang laut di
lautan Atlantik meski belum ada keyakinan penuh apakah akibat dari pemanasan global. Habitat
laut juga terganggu akibat meningkatnya siklon tropis dan peningkatan hujan di daerah lintang
tinggi akibat menyebarnya daerah tropis. Akibat dari kasus terakhir ini adalah mengurangnya
perbedaan salinitas laut di daerah tropis dan lintang tinggi, sehingga mengurangi laju sirkulasi
arus laut. Tutupan es di laut mempengaruhi albedo, salinitas dan proses transfer energi laut
atmosfir. Hal terakhir mempengaruhi peristiwa konveksi di dalam laut dan pada akhirnya
mempengaruhi daya serap terhadap CO2 dan penimbunannya. Selain itu melemahnya sirkulasi
46
arus laut itu sendiri juga mengurangi kemampuan menyerap CO2 di permukaannya karena
mengurangi wilayah tempat menyerapnya CO2. Sedangkan albedo mempengaruhi besarnya
intensitas energi radiasi matahari yang dipantulkan oleh muka bumi seperti tutupan awan di
daerah tropis.
Proses biologi berperan penting dalam menyerap CO2 dan membuang karbon dari atmosfir ke
laut dalam melalui partikel organik dan dengan arus laut yang melarutkan partikel organik.
Proses ini dikenal dengan nama pompa biologis yang memompa kandungan karbon di
permukaan laut dan mengendapkannya di kedalaman. Proses ini seringkali dipengaruhi oleh
kondisi biocalcification di terumbu karang dan kandungan organisma di lautan. Peningkatan
suhu muka laut akan mengakibatkan peningkatan degradasi biologis laut. Perubahan iklim
diperkirakan akan mempengaruhi proses yang mengontrol siklus dari berbagai elemen. Proses
fotosintesa sebagai faktor utama biota laut dalam menyerap CO2 dikontrol oleh keberadaan zat
besi. Perubahan runoff dari sungai ke laut akibat pemanasan global akan mempengaruhi nutrisi
dan kandungan besi ke laut sehingga mengakibatkan perubahan daya serap CO2 di laut. Dampak
nyata kemungkinan terdapat di laut semi tertutup dan teluk. Salah satu penelitian akhir
menunjukkan bahwa kandungan zat besi dalam jumlah beberapa ton saja dapat menyebabkan
pertumbuhan biota organisme laut yang menyerap CO2 meningkat pesat. Hal ini diramalkan
akan dapat membuat kondisi atmosfir menjadi jauh labih dingin dan sehingga dapat
menyebabkan timbulnya iklim era es seperti beberapa ribu tahun yang lalu.
Sudah lama diketahui bahwa ada hubungan erat antara distribusi ikan dan perubahan iklim.
Perubahan suhu, salinitas, nutrisi, tinggi muka laut kondisi arus dan tutupan es diyakini
mempengaruhi distribusi tersebut. Suhu laut juga mempunyai efek langsung dengan
pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva ikan dan ikan muda. Suhu laut juga mempengaruhi
laju produksi biologis dan akhirnya ketersediaan makanan di lautan yang merupakan regulator
utama dari distribusi dan kumpulnya ikan. Sebagai contoh adalah penyebaran ikan tuna di utara
dan timur laut pulau Irian yang erat terkait dengan peristiwa El Nino dan La Nina. Keterkaitan
penyebaran tuna dengan suhu muka laut tersebut diyakini akan berpengaruh pula jika terjadi
proses pemanasan global. Jumlah penangkapan ikan sarden di Pasific utara sebagai contoh
berikutnya juga terpengaruh dengan variabilitas iklim dekadal di daerah tersebut. Hal ini
dirasakan pada penangkapan ikan sarden di laut Jepang, California dan Chile. Di Tasmania,
Australia, berkurangnya stress angin permukaan di perairannya mengurangi produksi
zooplankton secara besar besaran dan mempengaruhi densitas ikan Jack makerel. Peningkatan
suhu muka laut di laut utara Pasific diyakini akan menahan distribusi Sokeye solmon keluar
lautan Pasific utara dan menuju laut Bering. Dari beberapa fakta diatas, efek dari pemanasan
global terhadap distribusi ikan di wilayah perairan Indonesia masih banyak belum diketahui.
Salah satu faktor seperti telah dibahas diatas yang mungkin adalah pengurangan gradien suhu
muka laut antara daerah tropis dan kutub sehingga memperlemah angin dan mengurangi potensi
upwelling dan berakibat pada distribusi nutrisi dan distribusi ikan.
Perubahan iklim global akan membawa efek perubahan fisis dan ekosistim di lingkungan laut
dan air tawar. Tinggi muka air dan suhu permukaan akan meningkat di daerah lintang tinggi
dengan konsekuensi memanjangnya masa pertumbuhan ikan budi daya dan kerang kerangan.
Perubahan ini akan memberi dampak positif untuk laju pertumbuhan dan angka efisiensi rantai
makanan. Akan tetapi peningkatan suhu muka laut akan berakibat juga seperti perubahan level
kandungan oksigen yang dihubungkan dengan intensitas dan frekuensi menyebarnya penyakit
perairan seperti seringnya algal blooms di perairan pantai. Peningkatan suhu laut dan cuaca
ektrim akan mempengaruhi produksi ikan budi daya dan merusak infra struktur produksi.
Peningkatan tinggi muka laut akan berakibat negatif pada rumpon rumpon. Peningkatan suhu
muka laut juga berakibat positif akan lebih luasnya peta penyebaran ikan ikan yang aslinya dari
daerah bersuhu tinggi.
47
Keberadaan mamalia laut dan burung burung pantai juga banyak dipengaruhi oleh pola iklim.
Perubahan komposisi mamalia dan burung pantai di laut Pasific utara dipercaya dipengaruhi oleh
variasi iklim. Penyelidikan menemui penyebaran ikan paus berhubungan erat dengan situasi El
Nino. Pengurangan tutupan es di kutub akan mempersulit beruang kutub untuk memangsa
mangsa mereka. Lebih lamanya masa musim panas dikutub akan juga mempengaruhi waktu
berburu beruang kutub sehingga memperlama waktu berpuasa mereka. Hal ini justru menambah
peluang hidup mangsanya seperti anjing laut.
Efek pemanasan global terhadap populasi pantai
Paling kurang 20% dari populasi dunia hidup dalam jarak 30 km dari garis pantai dan dua
kalinya pada jarak 100 km dari laut. Sehingga perubahan terhadap sistim ekologi dan ekosistim
pantai akan berpengaruh besar terhadap populasi di daerah pantai. Daerah daerah pantai dunia
telah mendapat tekanan daeri berbagai faktor seperti peningkatan jumlah penduduk, perusakan
habitat dan peningkatan polusi dari atmosfir, yang bersumber dari daratan dan sungai. Dengan
tambahan meningkatnya radiasi sinar Ultra violet akibat rusaknya ozon akan membawa
konsekuensi yang jauh lebih parah.
Perubahan pada curah hujan, pH, suhu laut, angin terlarutnya CO2 dan salinitas akan
mempengaruhi kualitas air di estuari dan perairan pantai. Beberapa organisma penyekit dan
spesies algae terpengaruh pada faktor faktor fisis tersebut. Pada dekadal terakhir ditemui
penyekit yang mempengaruhi organisme laut seperti terumbu karang dan rumput laut. Kerusakan
terparah terumbu karang pada tahun 1997 – 1998 berhubungan erat dengan gejala El Nino.
Dilaporkan juga penyakit baru pada penyebaran terumbu karang foraminifera dengan implikasi
sedimentasi pantai. Siklus ENSO dan peningkatan suhu laut berkorelasi dengan peningkatan
penyakit Dermo (akibat parasit bakteri protozoa) dan MSX (multinucleated spore) pada pembudi
dayaan oyster sepanjang pantai timur amerika. Beberapa penyakit tersebut di transfer kepada
manusia akibat mengkonsumsi oyster tersebut. Bakteri Vibrio vulnificus yang ditemukan di
oyster juga mematikan bagi manusia dan menjadi meningkat populasinya akibat naiknya suhu
muka laut. Epidemi kolera (Vibrio Cholerae) sering diasosiasikan dengan meningkatnya suhu
muka laut dan tinggi muka air seperti di Banglades.
Beberapa masalah pantai yang mungkin timbul diantaranya peningkatan banjir akibat badai,
peningkatan erosi pantai, intrusi air laut ke dalam air tanah, menyeruaknya daerah pasang surut
hingga estuari dan sistim sungai dan peningkatan tinggu muka laut dan suhu daratan. Dalam 100
tahun terakhir sekitar 70% pantai pasir dunia telah mundur akibat erosi dan sekitar 20 – 30%
stabil dan sekitar 10% bertambah luas ke laut. Dengan pemanasan global dan peningkatan suhu
muka laut akan terjadi tendensi erosi lebih lanjut. Pendekatan multi disiplin diperlukan untuk
menggabungkan beberapa faktor seperti morfologi pantai, suplai sedimen, tekstur pantai dan
komposisi, sejarah tektonik dan keberadaan proteksi pantai biologis seperti hutan bakau. Pada
saat El Nino laju peningkatan erosi pantai menjadi lebih nyata. Keberadaan hutan bakau penting
untuk tempat produksi makanan laut dan sumber produk kayu dan perlindungan laut. Di
Thailand, 50% hutan bakau telah hilang dalam 35 tahun terakhir. Hutan tersebut diganti oleh
penumpukan sedimen di pantai, pada akhirnya hutan bakau tersebut menjalar jauh ke tengah laut.
Dalam berbagai penelitian disebutkan bahwa hutan bakau juga terpengaruh oleh kenaikan tinggi
muka laut.
Terumbu karang merupakan sumber utama biodiversitas dan mereka merupakan tempat lebih
dari 25% dari seluruh jenis ikan dan mengandung lebih banyak spesies dari hutan tropis.
Terumbu karang penting bagi kepulauan atoll, perlindungan pantai, sumber pasir laut, daya tarik
turisme dan masa depan bioteknologi laut. Lebih dari 80% terumbu karang di asia dalam bahaya
akibat perbuatan manusia seperti industrialisasi, polusi, turisme, urbanisasi, buangan pertanian,
buangan limbah air perkotaan, sedimentasi, penangkapan berlebihan penambangan pasir,
reklamasi pantai, penyakit dan predator. Proyeksi kerusakan akibat kenaikan tinggi muka laut
48
dianggap kecil tetapi kenaikan suhu muka laut yang diprediksikan diatas 1 – 2C pada tahun 2100
akan menyebabkan terumbu karang berada diatas ambang toleransi hidupnya. Dengan
meningkatnya kandungan CO2 akan menurunkan kadar kapur (CaCO3) pada terumbu karang
tersebut sehingga membahayakan kelangsungan hidupnya.
Dampak sosioekonomi dari pemanasan global
Untuk daerah pesisir, dampak nyata dari segi sosioekonomis akan terasa pada beberapa sektor
seperti turisme, kualitas dan suplai air bersih, perikanan dan pembudidayaannya, pertanian,
pemukiman, lembaga keuangan dan kesehatan. Jumlah manusia yang akan terpengaruh oleh
banjir di pesisir akibat badai akan berlipat dua kali pada akhir abad ini tanpa faktor pertambahan
penduduk. Proteksi untuk daerah pesisir bagi daerah pantai rendah seperti negara Belanda akan
menjadi sangat mahal. Sayangnya beberapa penelitian sosioekonomi tidak selalu dihubungkan
dengan faktor atau mekanisme biologis dan fisis dari dampak yang ditimbulkan oleh proses
pemanasan global tersebut.
Penelitian pada garis pantai Amerika bahwa pada akhir abad ini kerugian akibat kenaikan tinggi
muka air laut akan mengakibatkan kerugian sebesar US$ 20.4 billion. Penelitian dampak potensi
kenaikan tinggi muka laut 0.5 m di Montevideo, Uruguay menyebutkan angka kerugian hingga
US$ 23 juta. Penelitian di Venezuala menunjukkan angka potensi kerugian dengan kenaikan
muka laut 0.5 m adalah US$ 30 billion untuk sepanjang pantai mereka. Diperkirakan akibat erosi
pantai di Amerika sekitar 1500 rumah akan hanyut dengan angka kerugian properti US$ 530 juta
per tahun. Sementara itu untuk Jepang diperkirakan kenaikan muka laut 0.5 m akan
mengakibatkan kerusakan US$ 3.4 billion per tahun. Di Inggris, untuk proteksi garis pantai
sebesar 4300km diperlukan biaya sekitar US$ 500 juta per tahun. Total biaya untuk proteksi dan
membuat pelabuhan pelabuhan di Jepang tetap bekerja seperti sekarang (1000 pelabuhan)
diperkirakan sekitar US$ 110 billion untuk kenaikan muka laut 1 m. Hampir keseluruhan beban
biaya tersebut akan ditanggung oleh lembaga keuangan dan asuransi.
Prospek iklim Indonesia kedepan
Akibat pemanasan global dan peningkatan suhu muka laut dan tinggi muka air laut maka akan
berakibat terhadap berubahnya pola iklim di Indonesia. Seperti sudah digambarkan sebelumnya,
terjadi proses penyebaran daerah tropis menuju iklim sub tropis. Konsekuensinya adalah
berubahnya iklim di daerah sub tropis menjadi lebih menyerupai tropis. Sementara di wilayah
Indonesia hubungan antara suhu muka laut dan hujan sudah berada pada titik puncaknya
sehingga peningkatan suhu muka laut hanya akan menyebabkan berkurangnya akumulasi curah
hujan. Dikuatirkan akan terjadi penurunan volume curah hujan tahunan di Indonesia dan
penurunan hai hujan. Hal ini juga berakibat semakin banyaknya hari dengan intensitas hujan
tinggi yang membawa resiko banjir lebih besar. Dengan berkurangnya hari hari hujan maka
resiko kekeringan juga terus mengancam untuk iklim Indonesia. Perubahan pola iklim tersebut
tentu berakibat perubahan pula terhadap pola iklim tahuna dimana diperkirakan akan terjadi
perlambatan masuknya musim hujan dan melambatnya kedatangan musim kering. Selain itu
perioda musim hujan juga diperkirakan akan lebih pendek.
49
Gambar 27. Data historis anomali kenaikan suhu permukaan bumi sejak tahun 1860 hingga 2000
terhadap nilai rata rata (garis nol) dari perioda 1961 – 1990. nilai ketidak pastian digambarkan
dengan dua skala error.
Gambar 28. Deret waktu dari anomali suhu tiga bulanan di troposphere (atas) atau lapisan
atmosphere bagian bawahdan di bawah stratosphere (bawah) atau lapisan udara diatas
troposphere menurut data balon dan satelit. Perhatikan efek nyata dari letusan tiga gunung berapi
besar yang menghambat perubahan suhu global berupa perubahan anomali negatif suhu
permukaan.
50
Gambar 29. Rekonstruksi perubahan suhu permukaan dalam skala ratusan tahun dari data lingkar
pohon, terumbu karang, es di kutub dan data historis (biru), data dari peralatan observasi (merah)
dan standar estimasi kesalahan (abu abu).
51
Gambar 30. skema perubahan variasi beberapa indikator suhu (atas) dan beberapa indikator
proses hidrologi dan cuaca ekstrim (bawah).
52
Gambar 31. Catatan perubahan komposisi atmosfir dari konsentrasi atmosfir CO2, CH4 dan N2O
dalam 1000 tahun terakhir. Data dari analisa es kutub dan beberapa tempat lain di Antartika dan
Greenland ditambah data pengukuran atmosfir langsung pada beberapa dekade terakhir. Gambar
bawah menunjukkan data yang serupa bagi konsentrasi sulfat.
Gambar 32. Beberapa faktor yang mendukung dan mengurangi dampak gas gas rumah kaca dan
seberapa besar tingkat pengetahuan manusia saat ini.
53
Table 2. Peningkatan beberapa spesies gas gas rumah kaca di atmosfir hasil perbuatan manusia.
CO2
CH4
N2O
CFC-11
HFC-23
CF4
Karbon
Metan
Nitrous
Chlorofluoro- Hidrofluoro Perfluoro
dioksida
Oxide
carbon11
carbon 23
metan
Konsentrasi Sekitar 280 Sekitar 700 Sekitar 270 Nol
Nol
40 ppt
sebelum
ppm
ppb
ppb
industri
Konsentrasi 365 ppm
1745 ppb
314 ppb
268 ppt
14 ppt
80 ppt
th 1998
Laju
1.5
7.0
0.8
-1.4
0.55
1 ppt/tahun
perubahan
ppm/tahun
ppb/tahun
ppb/tahun
ppt/tahun
ppt/tahun
konsentrasi
Siklus hidup 5 – 200 12 tahun
114 tahun
45 tahun
260 tahun
> 50 000
di atmosfir
tahun
tahun
Table 3. Global CO2 budget dari perhitungan CO2 dan O2. Positif (negatif) berarti tambahan ke
(pengurangan dari) atmosfir.
SAR
1980 - 1989
1990 - 1999
(laporan sebelum IPCC)
1980 ke 1989
Peningkatan
di
3.3  0.1
3.3  0.1
3.2  0.1
atmosphere
Emisi (semen, minyak
5.5  0.3
5.4  0.3
6.3  0.4
bumi)
Fluks laut atmosfir
-2.0  0.5
-1.9  0.6
-1.7  0.5
Fluks darat atmosfir
-0.2  0.6
-0.2  0.7
-1.4  0.7
Gambar 33. Peningkatan suhu muka bumi akibat alamiah dan hasil perbuatan manusia (antropo).
54
Gambar 34. Beberapa prediksi peningkatan suhu muka bumi hingga tahun 2100 dari hasil
keluaran beberapa model iklim dan skenario.
Table 4. Proyeksi tingkat kepercayaan beberapa indikator perubahan iklim global.
Tingkat
kepercayaan
hasil Perubahan fenomena
pengamatan (setengah abad 20
akhir)
Memadai
Suhu max. meningkat dan lebih
banyak hari panas di wilayah
darat
Sangat memadai
Suhu min. meningkat dan lebih
sedikit hari dingin dan hari beku
di wilayah darat.
Sangat memadai
Jarak suhu diurnal siang malam
menurun
Memadai, di banyak wilayah
Meningkatnya indeks panas di
daratan
Proyeksi tingkat
pada abad 21
kepercayaan
Sangat memadai
Sangat memadai
Sangat memadai
Sangat memadai, hampir semua
wilayah
55
Memadai, di banyak wilayah Lebih banyak curah hujan
lintang tinggi
intensitas tinggi
Memadai, di beberapa wilayah
Meningkatnya musim panas dan
kering di benua dan resiko
kekeringan
Tidak terlihat pada beberapa Meningkatnya siklon tropis dan
kasus
kecepatan angin maksimumnya
Kurang data
Meningkatknya rata rata dan
puncak curah hujan dari siklon
tropis.
Sangat memadai, hampir semua
wilayah
Memadai di daerah lintang tinggi
Memadai di beberapa wilayah
Memadai di beberapa wilayah
Gambar 34. Beberapa prediksi peningkatan tinggi muka air laut hingga tahun 2100 dari hasil
keluaran beberapa model iklim dan skenario.
56
Gambar 35. Pengaruh iklim bagi penyebaran wilayah penangkapan ikan tuna pada kondisi
anomali iklim El Nino dan La Nina.
Gambar 36. Tren penurunan curah hujan di Tangkil DAS Brantas dalam 50 tathun terakhir.
57
Download