Agustus No.40_Hari Kustanto Krisis Negara Kebangsaan (word 2003)

advertisement
KRISIS NEGARA KEBANGSAAN
DAN KEBANGKITAN ETNONASIONALISME
J. B. Hari Kustanto
Indonesia mer upakan negara yang kompleksitas sosial
budayanya amat luar biasa. Di sana, hidup anggota-anggota dari
kurang-lebih 500 kelompok etnis yang berbicara dengan bahasa
masing-masing di samping bahasa Indonesia, dan tetap
memper tahankan adat-istiadat ser ta identitas etnisnya sendiri.
Apakah yang dapat mempersatukan berbagai kelompok etnis itu di
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia? Inilah salah satu
masalah kebangsaan yang tidak kunjung selesai di Indonesia.
T ulisan ini mencoba meneliti dialektika antara etnisitas dan
nasionalisme dalam sejarah Indonesia, dan menawarkan
“multikulturalisme” sebagai langkah solusi untuk mencegah
terjadinya disintegrasi bangsa Indonesia.
1.1 Etnisitas dan Nasionalisme
Ada dua model yang saling berinteraksi dan juga bersaing di
berbagai tempat di dunia, khususnya di negara Dunia Ketiga (Brown
1994: 258-265). Masing-masing dari model itu mempunyai kelebihan
serta kekurangan, dan tugas pokok kita di awal abad ke-21 ini adalah
menemukan cara untuk mendamaikan keduanya dan membangun
sintesa bar u di dalam kehidupan politik masyarakat. Per tama,
nasionalisme negara kebangsaan (nation state) atau nasionalisme
politis, yang melihat bangsa sebagai suatu komunitas yang diikat
oleh kewarganegaraan yang sama, tanpa memandang latar belakang
ras, etnis, bahasa, atau agama. Anggota-anggota suatu negara
kebangsaan mer upakan satu bangsa karena mereka ingin dan
percaya akan menjadi satu bangsa; dan kebangsaan di sini
Arah Reformasi Indonesia
dir umuskan berdasarkan asumsi kesamaan kewajiban, hak dan
kedudukan semua warga Negara. Konsep nasionalisme politis inilah
yang dianut Indonesia. Kedua, n a s i o n a l i s m e b u d a y a atau
nasionalisme etnis, yang juga sering kali dikenal sebagai
etnonasionalisme, yaitu paham kebangsaan yang menggunakan
sentimen etnis, agama, atau ras sebagai basisnya. Munculnya
etnonasionalisme berkaitan dengan terjadinya reaksi-reaksi dan
perlawanan-perlawanan terhadap Negara yang terlalu memusat dan
hegemonik, serta gerakan untuk mengubah komunitas etnis menjadi
entitas politik yang bernama “Negara kebangsaan”.
Sejak awal, proyek kebangsaan Indonesia sebenarnya telah
mengacu kepada multikulturalisme, sekurang-kurangnya dalam ar ti
“perayaan keanekaragaman etnis ser ta komitmen pada kesetaraan
antar-etnis” (Brown 2000: 128). Semboyan bangsa Indonesia Bhinneka
Tunggal Ika meringkaskan aspirasi-aspirasi untuk membentuk satu
bangsa yang terdiri dari banyak kelompok etnis yang hidup dalam
batas-batas negara. Akan tetapi, juga sejak awal kemerdekaan,
Indonesia sudah dilanda konflik yang bersandar pada identitas
etnis, ras, agama dan kedaerahan. Antropolog Clif ford C. Geer tz
membedakan empat tahap per ubahan nasionalisme di Indonesia
dan di negara-negara Dunia Ketiga lainnya, yaitu: “tahap saat gerakangerakan nasionalis terbentuk dan terkristal; tahap ketika gerakangerakan itu menang; tahap ketika gerakan-gerakan itu mengorganisasi
diri menjadi negara-negara; tahap (tahap sekarang) saat setelah
terorganisasi dalam negara-negara, gerakan-gerakan itu menemukan
diri mau tidak mau harus merumuskan dan memantapkan hubunganhubungan mereka baik dengan negara-negara yang lain maupun
dengan masyarakat-masyarakat yang belum teratur, tempat dari
mana mereka dahulu muncul” (1973: 238), untuk menemukan
identitas nasional mereka.
Pada tahap per tama, di Indonesia, perasaan senasib
sepenanggungan akibat penindasan yang lama oleh penjajah
mendorong sekelompok kecil cendekiawan nasionalis–yang banyak
belajar dan berkenalan dengan ide-ide Barat tentang nilai-nilai universal
kebebasan dan keadilan–untuk berkumpul dan menciptakan ideide, konsep-konsep, program-program, ser ta par tai-par tai, yang
ber fokus pada tuntutan-tuntutan untuk memperoleh kemerdekaan.
2
Krisis Negara Kebangsaan dan Kebangkitan Etnonasionalisme
Mereka membayangkan masyarakat Indonesia yang berdasar pada
prinsip-prinsip modernitas dan toleransi. Pada waktu itu “kemerdekaan”
dipahami bukan saja sebagai kebebasan dari pemerintah kolonial
belaka, tetapi juga dalam arti bebas dari pemerasan negara, tuantuan tanah, dan penguasa-penguasa lokal. Kesadaran nasional yang
berkembang dalam diri para cendekiawan itu kemudian membawa
pada tahun 1928, di dalam kongres pemuda nasional kedua, kepada
sumpah organisasi-organisasi pemuda untuk menciptakan satu
negara, satu bangsa dan satu bahasa. Perbedaan-perbedaan etnis,
budaya, ideologis, dan historis yang ada di antara mereka tidak
menjadi masalah di mata para nasionalis, karena cita-cita bersama
akan kebebasan diharapkan akan membawa ke suatu negara
merdeka dan negara itu akan menciptakan suatu identitas kolektif–
negara tersebut akan membuat bangsa. Dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, nasionalisme terbukti
menjadi semangat kolektif karena para pemimpin dari organisasiorganisasi berbeda di nusantara mencapai konsensus pada persoalanpersoalan yang sulit. Proklamasi disusul dengan tindakan terburuburu untuk menciptakan sebuah republik yang mencakup semua
wilayah bekas koloni Belanda. Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia, yang diciptakan oleh Jepang sebelum menyerah,
menyusun Undang-undang Dasar (UUD), memilih Sukarno dan
Hatta sebagai presiden dan wakil presiden, dan mengubah nama
menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat yang ber tindak sebagai
pemerintah bar u. UUD 45, dengan pembukaannya dan juga
penerimaan ideologi Pancasila, melambangkan konsensus di antara
para nasionalis dari semua kelompok, termasuk mayoritas Muslim.
Pada kurun waktu antara 1945 dan 1949, menjadi jelas bahwa
negara nasional muda itu menerima dukungan kuat dari mayoritas
penduduk, saat orang-orang membela negara mereka melawan usahausaha Belanda yang keras kepala untuk menghancurkan kesatuan
Republik. Revolusi dari tahun 1945 sampai 1949 memiliki dampak
besar pada pembentukan kesadaran nasional di antara massa-massa
yang luas di Indonesia. Pada tahun 1950, kesatuan nasional telah
menjadi simbol yang sedemikian kuat sehingga sistem negara-negara
federal yang diciptakan oleh Belanda diganti dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3
Arah Reformasi Indonesia
Akan tetapi, sesudah kedaulatan diakui secara internasional
dan musuh dari luar telah disingkirkan, segudang masalah
pembentukan negara dan bangsa muncul. Antusiasme pada kesatuan
telah menyembunyikan aneka perbedaan pandangan tentang bentuk
pemerintahan yang akan diambil, bagaimana hubungan individu
dengan negara akan diatur, dan kebijakan etnisitas seperti apa yang
akan diterapkan. Sebagian masyarakat tidak hanya ingin menentang
kembalinya penjajah, tetapi juga ingin mengubah selur uh tatanan
sosial yang sudah dipakai Belanda untuk menjajah. Di kota maupun
di pedalaman muncul tuntutan agar semua bekas kaki tangan Belanda
atau Jepang digeser saja. Sasarannya bukan hanya pejabat Indonesia
dan para pemimpin tradisional yang sudah mengabdi penjajah,
melainkah juga orang-orang Tionghoa dan Indo yang sering menikmati
keuntungan dari sistem kolonial itu. Kebencian yang meluas terhadap
orang-orang yang pernah mengabdi pada sistem kolonial itu diperkuat
dengan kecurigaan bahwa mereka tetap setia kepada penjajah dan
akan bekerja demi kembalinya penjajah.
Dari tahun 1950 sampai dengan 1962, Indonesia harus menghadapi
pember ontakan-pember ontakan serius di beberapa daerah.
Pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat mulai pada tahun 1948
dan diikuti oleh gerakan separatis di Maluku pada tahun 1950 – satusatunya gerakan separatis pada tahun-tahun itu yang sungguh-sungguh
ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia. Pemberontakan rakyat
Aceh melawan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat di Jakarta pecah
pada tahun 1953. Ruth McVey (1996: 20) melukiskan keadaan pada
waktu itu sebagai berikut:
“The young state did not have the economic and administrative
resources to control and satisfy those who claimed its recognition of
their needs. Political parties, which were now the fulcrum of policymaking, lacked organization and a clear sense of direction now that
sovereignty had been achieved. They turned increasingly to religious
and ethnic appeals in order to attract followings, and thus they
exacerbated centrifugal pressures. Most, moreover, had their strength
on Java; of the main parties only the modernist Islamic Masyumi was
important in the Outer Islands, and gradually it came to represent
regional resentment of Javanese rules. In some areas, such as Bali, the
parties attached themselves to long-standing local rivalries. In places
4
Krisis Negara Kebangsaan dan Kebangkitan Etnonasionalisme
where indigenous hierarchies had more completely dissolved–anda
especially on Java, the crystallized religious, cultural, and economic
variations into distinct ideological communities which compoted for
political power. By the middle of the 1950s it looked very much as if
the hard-won Indonesian nation-state might fall apart.”
Pada tahun1956 dan sesudahnya, muncul pemberontakanpemberontakan per wira militer daerah di Sumatra dan Sulawesi Utara
yang mengecam kebijakan satu pihak dari otoritas pusat di Jakarta
dan menuntut otonomi lebih besar bagi daerah-daerah. Pemberontakanpemberontakan tersebut menyebabkan pada bulan Febr uari 1957
dikeluarkannya Undang-Undang Keadaan Darurat dan Undang-Undang
Keadaan Perang. Dengan kedua undang-undang itu Angkatan Darat
menjadi sangat berkuasa dalam politik di daerah-daerah di seluruh
Indonesia. Bulan Desember 1957 terjadi kampanye Sita Modal Belanda.
Perusahaan-perusahaan Belanda dinasionalisir pada tahun 1958 dan
Angkatan Darat mengambil alih bekas per usahaan-per usahaan
tersebut. Sejak 1957-1958, Angkatan Darat sudah sangat berkuasa
dalam bidang politik dan ekonomi Indonesia. Angkatan Darat berhasil
mendesak Bung Karno untuk “Kembali ke UUD-45,” pada tanggal 5
Juli 1959. Campur tangan Angkatan Darat dalam bidang
pemerintahan dan perekonomian tersebut antara lain dipakai untuk
melemahkan posisi minoritas T ionghoa dengan secara paksa
memindahkan mereka ke kota-kota (Ricklefs 1993: 404). Kesatuan
negara kebangsaan mendapatkan prioritas utama di atas
kepentingan-kepentingan lain. Nasionalisme masih menjadi
kekuatan pemersatu dalam negara kebangsaan, tetapi basis
massanya jauh lebih sempit daripada periode-periode sebelumnya.
Ingrid Wessel, dalam tulisannya tentang “nasionalisme negara”
di Indonesia pada masa rezim Orde Baru, mengatakan bahwa “secara
keseluruhan, tahap-tahap yang berbeda dari nasionalisme sebagai
ideologi anti kolonial untuk meraih kemerdekaan dan nasionalisme
sebagai ideologi untuk menciptakan serta membela negara merdeka
har uslah dilihat sebagai tahap pada saat nasionalisme menjadi
kekuatan yang dapat dibenarkan, tanpa konotasi-konotasi
merendahkan yang belakangan menjadi dominan” (1994: 36). Akan
tetapi, seper ti dikatakan Clifford C. Geertz (1973: 246):
5
Arah Reformasi Indonesia
“[P]enyembelihan massal tahun 1965 ............... menandai akhir
sebuah tahap kemajuan nasionalisme Indonesia...... slogan-slogan
kesatuan (‘satu bangsa, satu bahasa, satu negara’; ‘dari banyak,
menjadi satu’; ‘keselarasaan kolektif,’ dan seterusnya) yang tidak
mudah untuk dipercaya begitu saja, sekarang dibuat tidak masuk
akal sama sekali......... keanekaragaman pada masa lampau,
tampaknya juga harus menjadi keanekaragamaan pada masa kini.”
Setelah pembunuhan massal 1965 masyarakat Indonesia sontak
ketakutan untuk berpolitik. Ketakutan ini dilembagakan dengan
screening bersih lingkungan, bersih diri, litsus, wajib lapor untuk bekas
tahanan politik, kartu penduduk yang dicap ET, dan sebagainya. Sekitar
satu juta orang menjadi tahanan politik selama belasan tahun. Slogan
yang diperkenalkan luas adalah Trilogi Pembangunan; stabilitas,
per tumbuhan ekonomi, dan pemerataan. Peristiwa-peristiwa 1965,
menur ut Clif ford C. Geer tz (1973: 283), semakin memperdalam
ketegangan antara kelompok-kelompok primordial, meskipun
ekspresinya belum tampak. Akibat pembunuhan massal 1965
mungkin baru akan muncul di kemudian hari (Geertz 1973: 326).
Di bawah Orde Baru, negara menempatkan diri sebagai otoritas
penguasa atas suatu wilayah dengan menggunakan nasionalisme untuk
tujuan integrasi nasional. Nasionalisme bahkan ber fungsi sebagai alat
untuk stabilisasi dan pembenaran elit yang memerintah. Untuk
masyarakat dilaksanakan politik “massa mengambang”. Dwi Fungsi
ABRI menjadi sangat dominan dalam bidang politik. Per wira-per wira
militer menduduki jabatan strategis dalam birokrasi pada tingkat pusat
maupun daerah. Kegiatan politik hanya terjadi di lapisan sangat
elit, seper ti misalnya dalam Peristiwa 15 Januari pada tahun 1974
(Malari) dan aksi-aksi mahasiswa pada tahun 1974 dan 1978. Aksiaksi itu pun kemudian dihentikan dengan politik NKK/BKK sejak
1978 (lihat Bagan Str uktur Kekuasaan Orde Bar u: Tiga Tahap
Evolusinya).
Pada tahun 1990an kesatuan Indonesia yang dipaksakan di bawah
ancaman kekuatan militer itu tampak rapuh. Masyarakat mulai
bergerak kembali. Hal tersebut antara lain terlihat dalam munculnya
LSM-LSM dan serikat bur uh. LSM dan kelompok-kelompok
mahasiswa mengadakan banyak aksi solidaritas membela korban
penggusuran, seper ti misalnya dalam kasus Kedung Ombo, Nipah,
6
Krisis Negara Kebangsaan dan Kebangkitan Etnonasionalisme
Garut dan lain-lain. Aksi-aksi buruh terjadi di mana-mana, dan yang
sangat besar terjadi di Medan (1994) dan Surabaya (1996).
Pembunuhan Marsinah, buruh wanita di Sidoarjo, menjadi persoalan
nasional. Mahasiswa juga mengadakan aksi-aksi bersama buruh.
Keputusan pemerintah untuk membredel Tempo-Detik-Editor
(1994) dilawan dengan aksi-aksi jalanan. Perlawanan masyarakat
terlihat gigih sekali dalam krisis yang terjadi dalam Partai Demokrasi
Indonesia (Peristiwa 27 Juli 1996). Pada tahun 1996 mulai terlihat
aksi-aksi berdasarkan primordialisme. Bulan Juni ada 11 gereja
dibakar di Surabaya, bulan Oktober terjadi peristiwa Situbondo, bulan
Desember terjadi peristiwa Tasikmalaya. Pada tahun 1997 bulan
Januari terjadi bentrokan besar antara etnik Dayak dan etnik Madura
di Kalimantan Barat, dan bulan Febr uari terjadi peristiwa
Rengasdengklok. Pukulan krisis ekonomi tahun 1997 dan kemiskinan
yang ditimbulkannya memperparah ketegangan-ketegangan etnik
dan hubungan antar umat beragama. Akhirnya, kejatuhan rezim
Orde Baru merobohkan benteng peredam ketegangan politik, agama,
dan etnik yang selama ini telah membebani struktur masyarakat
Indonesia. Ada tuntutan-tuntutan otonomi daerah dan bahkan
kemerdekaan, yang menyer tai protes-protes terhadap kelalaian
pemerintah pusat dalam memerhatikan budaya dan tradisi budaya
daerah yang berbeda-beda, sistem pembagian pendapatan daerahpusat yang tidak adil (padahal pemerintah pusat telah menguras
sumber daya alam daerah), dan kekejaman militer di masa lampau.
Kekerasan yang terjadi pada waktu itu menunjukkan bahwa identitas
etnoreligius tetap menjadi kekuatan pengerah massa yang penting
dalam politik daerah. Kekhawatiran bahwa Indonesia akan terceraiberai menjadi kapling-kapling etnonasionalisme masih terasa sampai
sekarang.
1.2 Format Masyarakat Multikultural sebagai Solusi
Dialektika antara etnisitas dan nasionalisme dalam sejarah
Indonesia, seper ti diuraikan di atas, menunjukkan bahwa dalam
praktiknya nasionalisme yang berkembang di Indonesia tidak persis
cocok untuk dimasukkan baik ke dalam kategori nasionalisme politis
atau pun ke dalam kategori nasionalisme budaya. Di satu pihak,
7
Arah Reformasi Indonesia
negara Indonesia menawarkan kesetaraan hak-hak kewarganegaraan
kepada semua warga negara tanpa memandang ciri-ciri budaya;
tetapi, di lain pihak, negara juga mendefinisikan bangsa Indonesia
dari sudut pandang budaya. Ambiguitas atau kerancuan dalam
penandaan negara kebangsaan inilah yang telah menghalangi
pengelolaan efektif hubungan-hubungan antara negara dengan
kelompok-kelompok etnis. Asal-usul ambiguitas dalam r umusan
kebangsaan Indonesia ini begitu jelas. Para elit negara menganggap
nasionalisme budaya memberikan basis yang lebih kuat untuk
kohesi politik dan loyalitas sosial daripada nasionalisme politis;
dan, tentu saja, nasionalisme politis dianggap berasal dari Barat
ser ta berkonotasi kolonialis. Meskipun memiliki pluralisme budaya,
masyarakat Indonesia dapat mengambil, dari sejarah pra-kolonialnya,
gambaran akan seperangkat ciri-ciri budaya yang dominan dan
nilai-nilai yang membentuk inti untuk definisi kebangsaan
kontemporer. Seper ti dikatakan oleh Eric Hobsbawn, negara
kebangsaan yang sekarang sering direka-ciptakan seolah-olah sudah
sejak dulu ada. Misalnya, dikatakan bahwa kebangsaan Indonesia
telah berproses sejak abad ke-9 (Sriwijaya) dan abad ke-14
(Majapahit). Pada masa Orde Baru, sejarah-sejarah lokal dan regional
dikonstruksikan sedemikian rupa sehingga dapat tercakup di dalam
historiografi nasional.
Persoalan etnonasionalisme ternyata tidak bisa dipecahkan
hanya dengan cara menekan atau menjinakkan kekuatan-kekuatan
etnis yang mengancam tatanan dan integrasi sosial, sebab sumber
permasalahannya terletak pada corak masyarakat majemuk (plural
society) Indonesia yang terlalu mengedepankan keanekaragaman
kelompok etnis. Corak masyarakat seperti itu terbukti telah membuka
banyak peluang bagi munculnya persaingan etnis dalam
memperebutkan kedudukan ser ta sumber daya, dan juga terjadinya
dominasi satu kelompok etnis atas kelompok-kelompok etnis yang
lain. Di samping itu, seper ti ditegaskan oleh Suparlan (2001:
2),”Landasan sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang bercorak
masyarakat majemuk berisikan potensi-potensi kekuatan primordial
yang despotik dan otoriter” yang tidak memberi jalan bagi usaha-
8
Krisis Negara Kebangsaan dan Kebangkitan Etnonasionalisme
usaha “mewujudkan adanya masyarakat sipil yang demokratis.” Salah
satu solusi yang dapat diambil untuk mengatasi masalah ini adalah
mengupayakan terbentuknya masyarakat Indonesia yang bercorak
multikultural. Sentral dalam konsep masyarakat multikultural adalah
ide tentang kesetaraan kelompok-kelompok budaya. Hak-hak budaya
kelompok-kelompok yang berbeda ditekankan dan dilindungi oleh
hukum.
John Rex (1997: 205-220) melukiskan masyarakat bercorak
multikultural sebagai “Suatu masyarakat yang merupakan kesatuan
di dalam domain publik dan mendorong keanekaragaman dalam
apa yang dianggap sebagai hal-hal pribadi atau komunal.” Di dalam
masyarakat bercorak multikultural, berlaku sebuah kebudayaan
dan seperangkat hak-hak individual yang mengatur domain publik,
dan berlaku berbagai kebudayaan komunitas yang lebih kecil di
domain domestik pribadi dan komunal. Pranata-pranata utama yang
menjadi unsur dari domain publik adalah pranata hukum, politik,
dan ekonomi. Hukum menentukan hak-hak setiap individu dan
bagaimana seseorang diinkorporasikan ke dalam masyarakat. Dalam
masyarakat multikultural yang ideal, semua individu memiliki
kedudukan yang sama di depan hukum. Di dalam bidang politik,
setiap individu dan kelompok dianggap memiliki hak yang sama
untuk menggunakan kekuatan politik melalui pemilihan atau saranasarana lain. Bidang ekonomi per tama-tama mengacu kepada pasar.
Pasar har us mencegah masuknya penipuan dan penggunaan
kekuatan yang memaksa; demikian juga, pasar har us tidak
memasukkan konsep tentang amal atau derma, yaitu konsep yang
menjadi milik dari komunitas kecil dan “moralitas rakyat’ (folk
morality). Hal-hal yang berkaitan dengan keluarga, moralitas dan
agama termasuk dalam bidang pribadi. Dalam tulisannya tentang
masyarakat multikultural, John Rex (1997: 211) mengatakan: “All
that I wish to claim is that it is to be assumed in multicultural society
that no individual has more or less rights than another or a greater
or lesser capacity to operate in this world of conflict because of his or
her ethnic category.”
9
Arah Reformasi Indonesia
Daftar Pustaka
Brown, David. ______. “The State and Ethnic Politics in Southeast
Asia”. London: Routledge. Contemporary Nationalism: Civic,
Ethnocultural and Multicultural Politics. London: Routledge.
Geertz, Clifford. 1973. The Interpretation of Cultures. New York: Basic
Books.
Mackie, Jamie and Andrew MacIntyre. 1994. “Politics” in Hal Hill (ed.)
Indonesia’s New Order. The Dynamics of Socio-Economic
Transformation. St. Leonards, Australia: Allen & Unwin. Pp:
1-53.
Mc Vey, Ruth. 1996. “Building Behemoth: Indonesian Constructions
of the Nation-State” in Daniel S. Lev and Rut Mc Vey (eds.).
Making Indonesia. Essays on Modern Indonesia in Honor of
George McT. Kahin. Ithaca: Cornell University. Pp: 11-25.
Rex, John. 1997. “The Concept of a Multicultural Society” in
Montsserrat Guibernau and John Rex (eds.). The Ethnicity.
Reader. Nationalism, Multiculturalism and Migration.
Cambridge, UK: Polity Press. Pp: 205-220.
Suparlan, Parsudi. 2001. “Kesetaraan Warga dan Hak Budaya Komuniti
dalam Masyarakat Majemuk Indonesia”, Antr opologi
Indonesia, Th. XXV, No. 66, Sept-Des. hlm: 1-12.
Wessel Ingrid. 1994. “State Nationalism in Present Indonesia” in
Ingrid Wessel (ed). Nationalism and Ethnicity in
Southeast Asia. Hamburg: Lit. Pp: 33-47.
10
Krisis Negara Kebangsaan dan Kebangkitan Etnonasionalisme
Lampiran
Struktur Kekuasaan Orde Baru: Tiga Tahap Evolusinya
1965-74
Ciri-ciri pokok
1974-83
1983-90
Konsolidasi politik dan
Pertumbuhan mantap,
Harga minyak jatuh:
pemulihan ekonomi.
didorong oleh penghasilan dorongan kuat deregulasi
Aliansi anti-komunis meluas dari minyak. Struktur negara dalam kebijakan-kebijakan
semakin patrimonialis
ekonomi. Status quo politik
dengan konsentrasi tinggi
tak dapat dilawan. Otoritas
pada kontrol politik.
presiden sangat
“Koalisi Orde Baru”
mempribadi.
mengalami disintegrasi
Hubungan-
Tentara (AD) dominan.
Tentara masih menjadi
hubungan
Otoritas presiden masih
kekuatan dominan.
Otoritas pribadi presiden
berada di puncak.
kekuasaan
belum tidak tertandingi.
Kedudukan presiden
Pengaruh politik ABRI
yang utama
Birokrasi lemah dan tidak
mudah diserang
menurun. Para teknokrat
efektif, karena pembersihan pada 1974-78, tetapi
mempunyai pengaruh kuat
keras dari orang-orang
kemudian menjadi lebih
atas kebijakan-kebijakan
beraliran kiri
kuat ketika ekonomi
deregulasi.
membaik. Birokrasi
mendapatkan pengaruh
dan menjadi efektif.
Pengaruh teknokrat
memudar.
Unsur-unsur
Partai-partai politik sangat
Partai-partai direduksi ke
tambahan
aktif pada 1966-71;
peranan kecil di DPR/MPR.
dalam struktur
kemudian dibatasi
Golkar memperoleh
kekuasaan
pada 1972 menjadi hanya keuntungan di tingkat lokal
dua partai gabungan.
atas korban partai-partai,
Doktrin “massa
meski kurang berpengaruh
mengambang”
membatasi aktivitas partai di Jakarta. Tahap peralihan: Partai-partai berada di titik
di daerah pedesaan.
beberapa bisnis swasta
nadir. Para pemimpin sipil
Golkar bertanding dalam
dan perusahaan negara
dalam Golkar memperoleh
Pemilu ’71 dengan
tumbuh cepat secara
pengaruh pada 1984-88,
dukungan pemerintah.
besar-besaran, yang lain
memperluas keanggotaan
Kelompok-kelompok bisnis
tertinggal. Pengaruh politik
pribadi lemah (tetapi cukong modal masih terbatas.
lokal; ABRI
mempertegaskan kembali
11
Arah Reformasi Indonesia
1965-74
1974-83
1983-90
memperoleh pengaruh
Islam dan PPP mengambil kontrolnya pada 1988-89.
pribadi): beberapa
sikap lebih oposisi.
Konglomerat besar
perusahaan negara
berkembangbiak,
menghimpun kekayaan
beberapa semakin
dan kekuasaan lokal.
berpengaruh. Perusahaan-
Islam menjadi kekuatan
perusahaan negara
besar yang menyokong
mendapat serangan
rezim Orde Baru melawan
karena tidak mampu
PKI
mendapatkan untung.
Sebagai kekuatan politik,
Islam melemah; lebih
mengarahkan perhatian
pada bidang sosialkeagamaan.
Iklim politik
Terbuka, kompetitif,
Pembatasan yang semakin Kontrol sosial lebih ketat,
atmosfernya amat
besar pada aktivitas politik, dengan konformitas
partisipatoris, relatif bebas
pers dan pernyataan-
ideologis yang dijamin
mengungkapkan
pernyataan publik.
dengan indoktrinasi P4 dan
pendapat, kecuali bagi
Tetapi LSM-LSM masih
asas tunggal. Pembatasan
aliran kiri. Penahanan
mengharapkan struktur-
ketat pada LSM-LSM
semena-mena dan
struktur administratif dan
mencolok terhadap
legal institusional yang
mantan anggota PKI dan
lebih terbuka.
para simpatisannya.
(Jamie Mackie dan Andrew MacIntyre, “Politics,” dalam Hal Hill 1994:9)
12
Download