Erna Marbun-Ukrida

advertisement
Abstrak
Gangguan pendengaran konduktif pada celah bibir dan langit-langit telah
diketahui lebih dari 1 abad yang lalu, dengan penyebab utama adalah disfungsi tuba
Eustachius sehingga terjadi otitis media efusi.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran fungsi pendengaran
pada anak dengan celah bibir dan langit-langit dengan pemeriksaan ABR dan
timpanometri, distribusi penderita menurut jenis kelamin, kelainan penyerta, tipe
celah dan riwayat keluarga.
Dari 142 pasien, didapatkan 54,2 % jenis kelamin laki-laki, riwayat keluarga
dengan kelainan yang sama ditemukan pada palatoskisis lebih banyak dari pada celah
bibir dan langit-langit, kelainan penyerta ditemukan pada 10 pasien. Sebesar 55
pasien ( 38,7 % ) celah terdapat disisi kiri ( labiognatopalatoskisis unilateral kiri ).
Pemeriksaan ABR, 86 ( 60,6 % ) memberikan hasil ambang sebesar 40 dB, 4,2 %
tidak memberi respons pada pemeriksaan ABR hingga 90 dB . Hanya 1,4 % memberi
respons pada 30 dB, sedangkan 60 dB, 14,1 % dan 50 dB, 19,7 %. Pada pemeriksaan
timpanometri seluruh pasien
hasilnya adalah tipe B yang menggambarkan otitis
media efusi.
Abstract
The presence of conductive hearing loss in patients with cleft lip and palate
has been known for more than a century, with Eustachian tube dysfunction being the
primary cause of middle ear disease.
The aim of this study was to examine the audiological status of patients with
cleft lip, cleft palate or both. The hearing health status of the patients was analyzed on
the basis of tympanometry and ABR examination. The patients’s sex, age, type of
cleft, other anomaly and related with the family were included . The records a total
of 142 patients attending
ENT department Children and Women Harapan Kita
hospital, from January 2002 to December 2007 were reviewed . In the whole patients
with clefts ( n = 142 ), there were 88 patients give respons to ABR, 40 dB this
response more in cleft lip and palate rather than cleft palate only. 6 patients no
respons until 90 dB indicated sensori nerve hearing loss. Only 2 patients give respons
30 dB. Tympanometric examination were found 100 % type B ,indicated there was
otitis media effusion. Of these patient, 77 (54,2 % ) were males and 65 ( 45,8%)
female patients, cleft lip and palate unilateral left side in 55 ( 38,7% ), right side 23 (
16,2% ) , both side 22 ( 15,5 % ) and cleft palate 42 ( 29,6 % ) patients. 10 ( 0,07 %)
associated with another anomaly such microtia, micrognathia, Pierre Robin
Syndrome, fistel preauricula, torsch and 2 patients with history mump in gestation.
32 ( 22,5 % ) patients with history same anomaly in the family, 10 patiens cleft
palate, 8 patients cleft lip and palate in left side, 7 patients cleft lip and palate in right
side. .
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan kongenital bibir dan langit
langit atau keduanya bersamaan, yang dapat terjadi dalam berbagai bentuk
konfigurasinya dari yang ringan sampai berat. Celah terjadi oleh karena tidak
bersatunya jaringan yang membentuk bibir dan langit-langit selama trimester pertama
kehamilan ( Middleton and Pannbacker, 1997 ). Diantara berbagai bentuk kelainan
di kraniofasial, celah langit-langit yang paling banyak ditemukan, dengan prevalensi 1
diantara 500 sampai 750 kelahiran hidup ( Carrie et al, 1999).
Di Indonesia dilaporkan angka kejadian 1 per 1000 kelahiran hidup ( Hendrarto, 2001
)
Celah bibir , celah langit – langit atau keduanya mempunyai prevalensi sekitar
1/1000 hingga 2,69/1000 diberbagai negara di dunia. Orang Asia lebih banyak dari
Kaukasia atau kulit hitam. Distribusi jenis kelamin terlihat kecenderungan laki-laki
lebih banyak terkena daripada perempuan. Rasio antara celah pada satu sisi dibanding
celah pada dua sisi adalah dua dibanding satu. Diantara celah yang unilateral, celah
disebelah kiri dilaporkan lebih banyak dari pada disebelah kanan
Keadaan ini merupakan kelainan kongenital yang terjadi pada duabelas minggu
pertama kehamilan . Gangguan pendengaran adalah salah satu masalah yang
berhubungan dengan kelainan ini, terutama pada anak . Bagian telinga yang biasanya
terkena adalah bagian telinga tengah. Secara umum seratus persen anak sampai umur
tujuh tahun pernah menderita otitis media efusi , setidaknya satu episode. Biasanya
pada umur enam atau tujuh tahun, sesuai dengan perkembangan anatomi wajah, maka
saluran tuba Eustachius berubah dari bentuk horizontal menjadi vertikal. Dengan
perubahan letak tuba Eustcahius , infeksi dari tenggorok tidak mempunyai akses
langsung ke telinga tengah. Oleh karena itu masalah infeksi di telinga tengah menurun
sesuai dengan pertambahan usia
Gangguan pendengaran konduktif pada penderita kelainan celah bibir dan langitlangit sudah dikemukakan oleh para ahli , fungsi tuba Eustachius yang tidak baik
adalah penyebab utamanya .
Adanya hubungan antara masalah pendengaran dan celah bibir dan langit-langit
pertama kali dikemukakan oleh Alt pada tahun 1878. Berbagai penelitian secara
konsisten mencatat tingginya risiko gangguan pendengaran konduktif pada pasien
celah bibir dan langit-langit. Penelitian di Amerika ( Broen, Et al, 1996), Croatia (
Handzic – Cuk et al,1996) dan Australia ( Sheahan et al, 2002 ) menemukan 50 %
atau lebih pasien celah bibir dan langit-langit menderita gangguan pendengaran. Pada
tahun 1906, kebutuhan akan pemeriksaan telinga pasien celah bibir dan langit-langit
ditekankan oleh Brunck. Sejak saat itu banyak laporan yang berhubungan dengan
insiden, keadaan dan derajat gangguan pendengaran pada pasien celah bibir dan
langit-langit.
Celah bibir dan langit-langit juga berpengaruh pada fungsi mengunyah, bicara dan
menelan. Doyle , 1984, mengatakan hampir 100 % anak dengan celah bibir dan
langit-langit menderita otitis media efusi, hal ini
mengakibatkan gangguan
pendengaran yang fluktuatif dari ringan sampai sedang , hal ini juga mempengaruhi
berbicara dan bahasa bahkan perkembangan kognitif .
Hendrarto ( 2001 ) dalam penelitiannya menemukan adanya otitis media efusi 100 %
pada anak – anak dengan celah langit – langit. Schonweiler et al, 1994 menemukan
417 anak dengan celah langit-langit mengalami gangguan berbahasa dan berbicara, 80
% disebabkan oleh otitis media efusi.
Pemeriksaan timpanometri merupakan alat diagnostik untuk melihat keadaan di
telinga tengah. Sedangkan untuk menilai fungsi pendengaran pada anak dibawah 2
tahun dilakukan dengan test ABR, yaitu dengan merekam potensial listrik yang
dikeluarkan oleh sel-sel koklea hingga mencapai inti-inti tertentu di batang otak.
Di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, penanganan anak dengan
kelainan celah bibir dan langit-langit dilakukan secara terpadu dengan multidisiplin
ilmu, di Klinik Sehati. Multidisiplin ilmu yang terdiri dari dokter spesialis THT,
Bedah Plastik, Bedah Mulut, Anak,Anestesi, spesialis Gizi, Dokter gigi, Ortodontis,
psikolog dan ahli terapi wicara.
Pemeriksaan THT dari pasien pertama datang,
dilakukan pemeriksaan THT secara keseluruhan, umur 6 bulan dilakukan test ABR
dan timpanometri.
Selama ini belum ada data mengenai fungsi pendengaran anak dengan celah bibir dan
langit-langit maka penulis tertarik melakukan penelitian ini.
Tujuan Penelitian
Mengetahui keadaan di rongga telinga tengah dan fungsi pendengaran pada
pasien celah bibir dan langit-langit
Mengetahui perkiraan ambang dengar anak dengan celah bibir dan langit-langit
dengan pemeriksaan ABR dan timpanometri
Manfaat Penelitian
Mengetahui jumlah pasien celah bibir dan langit-langit yang diperiksa
timpanometri dan ABR
Mendeteksi angka kejadian otitis media efusi pasien celah bibir dan langit-langit
Untuk mengetahui data dasar yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya
Untuk FK UKRIDA
Dapat mengembangkan keilmuannya mengenai pemeriksaan pendengaran , ABR
dan timpanometri
Mengajarkan anatomi hubungan nasofaring dan telinga khususnya telinga tengah
Jenis Penelitian
Penelitian bersifat deskriptif analitik
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di bagian THT RS Anak dan Bunda Harapan Kita,
berlangsung dari 10 Maret 2008 sampai 30 Juni 2008.
TINJAUAN PUSTAKA
EMBRIOLOGI CELAH BIBIR DAN LANGIT-LANGIT
Ahli embriologi membagi hidung, bibir dan palatum menjadi palatum primer
dan palatum sekunder. Palatum primer terdiri dari hidung, bibir, prolabium dan
premaksila. Palatum sekunder terdiri dari sebagian besar palatum durum dan seluruh
palatum mole.
Pembentukan palatum primer dimulai kira-kira masa kehamilan minggu ke empat
dan lima, dengan munculnya tonjolan-tonjolan wajah. Tonjolan-tonjolan ini terdiri
dari tiga pasang yaitu prosesus nasalis medialis, prosesus nasalis lateralis dan
prosesus maksilaris.
Penyatuan prosesus nasalis medialis dan prosesus nasalis maksilaris diikuti dengan
prosesus nasalis lateralis dengan prosesus nasalis medialis melengkapi pembentukan
palatum primer. Avery,1994, megatakan kegagalan penyatuan ini menyebabkan
terjadinya celah bibir.
Clarke B mengatakan perkembangan wajah pada kehamilan 6 minggu,
prosesus nasal media mengalami migrasi menuju masing-masing sisi sehingga
menyatu. Minggu ke 7 ujung inferior prosesus nasal medial mengalami ekspansi ke
lateral untuk membentuk prosesus intermaksilaris. Ujung maskila membengkak
bertumbuh bertemu prosesus intermaksilaris dan kemudian menyatu.
Bila
pembengkakan maksila untuk menyatu dengan prosesus intermaksilaris gagal, maka
akan terjadi celah bibir
Selanjutnya terjadi pembentukan palatum sekunder pada masa kehamilan antara
delapan, sembilan minggu. Pembentukan palatum primer, bibir dan alveolus dari
proliferasi mesodermal dan ektodermal prosesus maksilaris dan prosesus frontonasal.
Palatum sekunder berkembang sebagai perkembangan bagian medial maksila lateral
yang menyatu ditengah. Kegagalan penyatuan ini menyebabkan celah langit-langit.
Clarke B mengatakan, pembentukan palatum / langit-langit terjadi pada kehamilan 6
minggu, pada saat ini nasal pits dari prosesus nasal lateral mengalami invaginasi dan
menyatu, prosesus intermaksilaris berkembang membentuk palatum primer
Kehamilan minggu ke 8 – 9, dinding medial prosesus maksilaris membentuk palatine
shelves. Palatine shelves ini bertumbuh kebawah, sejajar dengan permukaan lidah
dan menyatu satu dengan yang lain dengan palatum primer membentuk palatum
sekunder .
Gambar 1 : Anatomi normal bibir dan langit-langit
( dikutip dari Clinical Aspects of Cleft lip / palate reconstruction, Clarke B )
Gambar 2: embriologi bibir
( dikutip dari Clinical aspects of Cleft lip/palate reconstruction, Clarke B )
Gambar 3 : perkembangan palatum pada usia kehamilan 6 minggu
(dikutip dari Clinical aspect of Cleft Lip/Palate, Clarke B )
Gambar 4 : Perkembangan palatum usia kehamilan 8 – 9 minggu
( dikutip dari Clinical aspect of CLP , Clarke B)
Gambar 5 :celah bibir,gusi dan langit-langit
Gambar 6 :celah bibir gusi dan langit- langit
unilateral kiri
(Gbr 5 & 6 : dikutip dari Clinical Aspect of CLP, Clarke B )
bilateral
EP IDEMIOLOGI
Clarke B mengatakan secara keseluruhan angka kejadian celah bibir dan
langit-langit adalah 1 dalam 1000 kelahiran hidup, sedangkan celah langit-langit saja
1 dalam 2000 kelahiran hidup. Celah bibir dan langit-langit bervariasi dengan ras dan
jenis kelamin, dikatakan Asian lebih banyak dari Kaukasian . Laki-laki lebih banyak
dari perempuan, kecuali pada celah langit-langit saja. Diantara jumlah celah, celah
bibir 20 % ( 18 % satu sisi /unilateral , 2 % bilateral / dua sisi ), 50% celah bibir dan
langit-langit ( 38 % satu sisi / unilateral , 12 % bilateral / dua sisi ) dan 30 % celah
langit-langit saja
Etiologi / penyebab celah ini merupakan multifaktor, genetik dan lingkungan
merupakan faktor yang memegang peranan
serta pengaruh lingkungan saat
perkembangan dini embrio .
Hampir 70 % kasus celah bibir dan langit - langit adalah non – sindromik, sedangkan
30 % adalah kasus sindromik, terjadi bersama kelainan kongenital yang lain,
dikatakan
lebih dari 150 sindrom. Risiko meningkat dengan usia,
faktor
lingkungan, seperti infeksi virus ( misalnya rubella ), teratogens ( misalnya steroid,
antikonvulsant , alkohol, derivatif dari asam retinoik)
Pengertian kita mengenai etiologi dan patogenesis kelainan ini, terutama yang nonsindromik tetap masih sangat kurang
EMBRIOLOGI TELINGA
Perkembangan pembentukan telinga pada mudigah sangat menakjubkan dan
tidak sejajar dengan pembentukan organ lain di dalam tubuh. Telinga dalam
merupakan satu-satunya organ yang telah mencapai ukuran dewasa dan sudah
berdifferensiasi lengkap pada pertengahan masa kehamilan. Meskipun mudigah
belum dapat dikatakan bayi prematur, tetapi telinga bagian dalam telah terbentuk
sempurna. ( Glasscock, 1987 ; Adam, 1994)
Pembentukan telinga dimulai umur mudigah tiga minggu , berasal dari penebalan
lapisan ektoderm yang disebut “placode”, dan mengalami invaginasi ke arah
mesodem membentuk “auditorypit”
Bagian mulut “auditory pit” menutup dan
membentuk auditory vesicle atau otocyst pada minggu ke empat. Otocyst ini
mengandung cairan yang menjadi endolimf. Pada umur empat setengah minggu
otocyst akan memanjang dan terbagi dua, bagian pertama menjadi duktus
endolimfatikus dan sakus endolimfatikus, bagian kedua menjadi utrikulus dan sakulus
( Adams , 1994 ) Pada minggu ke enam jaringan mesenkhim yang mengelilingi epitel
labirin akan berubah menjadi tulang rawan dan kemudian mengalami osifikasi
membentuk labirin tulang dan koklea. Kemudian koklea memanjang dan melingkar,
pada minggu ke sebelas membentuk dua setengah kali putaran
Reseptor alat pendengaran terletak di koklea disebut organ Corti melekat pada
membran basilaris.
ANATOMI DAN FISIOLOGI PENDENGARAN
Fisiologi pendengaran sangat penting bagi manusia sebagai alat penerima
suara dan komunikasi dengan sesamanya. Fungsi pendengaran sangat menentukan
perkembangan kemampuan bahasa.
Sistem pendengaran dibagi dalam empat bagian, yaitu telinga luar, telinga
tengah, telinga dalam dan sistem saraf pendengaran, disertai pusat pendengaran di
otak.
Telinga luar terdiri dari daun telinga, liang telinga dan membran timpani.
Daun
telinga merupakan penangkap suara dan berperan menentukan sumber bunyi. Liang
telinga luar panjangnya 2,5 sampai 3 sentimeter dan diameter 0,75 sentimeter
meresonansi bunyi. Se pertiga bagian luar liang telinga terdiri dari tulang rawan, dua
pertiga bagian dalam terdiri dari tulang yang bersatu dengan tulang tengkorak.
Membran timpani memisahkan bagian
dalam liang telinga luar
dengan rongga
telinga tengah.
Telinga tengah berbentuk kubus. Tuba Eustachius menghubungkan rongga
telinga tengah dengan rongga hidung, sehingga selalu terdapat keseimbangan tekanan
udara di rongga telinga tengah dengan tekanan udara di luar tubuh. Di dalam telinga
tengah terdapat tiga tulang pendengaran yaitu maleus, inkus dan stapes. Fungsi ketiga
tulang ini adalah untuk memperkuat energi suara. Pada
lengan maleus melekat
insersio otot tensor timpani, selain itu di rongga telinga tengah terdapat juga otot
stapedius yang berperan juga pada proses pendengaran dan proteksi.
Telinga dalam terdiri dari dua bagian, yaitu koklea yang merupakan bagian
pendengaran, dan vestibula , kanalis semisirkularis yang merupakan organ
keseimbangan.
Secara singkat, mekanisme pendengaran adalah sebagai berikut:
Daun telinga menangkap suara, kemudian suara diresonansi di liang telinga luar dan
diteruskan ke membran timpani, getaran suara ini diteruskan ke telinga tengah,
maleus ,inkus, stapes kemudian ke fenestra ovalis, disini terjadi peninggian getaran 22
kali disebabkan perbedaan penampang membran timpani dengan fenestra ovalis.
Getaran ini diteruskan ke perilimf ke skala vestibuli, kemudian melalui membran
basilaris ke skala timpani untuk mencapai fenestra rotundum. Getaran membran
basilaris menyebabkan sel-sel rambut yang melekat pada membran tektoria bergerak.
Getaran mekanik dirubah menjadi potensial listrik dan selanjutnya diteruskan ke
pusat pendengaran melalui nervus koklearis . Dari Nervus koklearis ,impuls
diteruskan ke nukleus koklearis ventralis dan dorsalis. Dari nukleus koklearis
sebagian menuju ke nukleus olivatorius homolateral dan sebagian ke nukleus
olivatorius kontralateral. Neuron dari nukleus koklearis ada yang menuju korpus
genikulatum mediale, sebagian neuron bersinaps pada nukleus lemniskus lateralis dan
kolikulus inferior. Dari korpus genikulatum medial impuls saraf pendengaran
diteruskan ke korteks auditorius. Korteks pendengaran primer terdapat di area 41
Brodmann yang terletak pada girus temporalis superior.
Fungsi pendengaran sangat menentukan perkembangan kemampuan bahasa. Pada
tahun pertama kehidupan merupakan ”golden periode” perkembangan psikolinguistik
pada bayi dengan pendengaran normal.
Gambar 7 : Proses jalannya suara dari telinga sampai pusat pendengaran di otak
(dikutip dari Rappaport)
ANATOMI NASOFARING – TUBA EUSTACHIUS – TELINGA TENGAH
Telinga tengah adalah bagian dari sistem organ yang berkesinambungan, yang
melibatkan hidung, nasofaring, tuba Eustachius, telinga tengah dan mastoid. Mukosa
respirasi adalah sistem yang berkesinambungan tersebut. Oleh karena itu akibat dari
inflamasi, infeksi atau penyumbatan ( obstruksi ) di satu area akan mengenai area lain.
Telinga tengah berisi udara terletak di bagian petrosa tulang temporal, didalamnya
terdapat tulang – tulang perndengaran , maleus inkus dan stapes. Disebelah posterior
telinga tengah terdapat bagian yang berisi udara disebut antrum mastoid. Antrum ini
berfungsi menghubungkan telinga tengah dengan sel-sel mastoid. Pada bayi prosesus
mastoid berkembang dan derajat pneumatisasi masih rendah. Pada usia antara 5
sampai 10 tahun, proses pneumatisasi hampir lengkap. Perkembangan yang tidak
lengkap dari sistem udara berhubungan dengan sering terjadinya otitis media pada
bayi dan anak-anak.
Nasofaring terletak dibelakang rongga hidung dan diatas palatum molle, tidak seperti
palatum mlolle bagian ini paten tidak bergerak. Berhubungan dengan rongga hidung
melalui koana. Oleh velofaringeal nasofaring berhubungan dengan rongga mulut
yang akan menutup dengan terangkatnya palatum molle.
Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah
dengan bagian dari rongga mulut yang disebut nasofaring. Pada orang dewasa
panjangnya kira-kira 37 mm, terdiri dari sepertiga bagian tulang disebelah luar
seluruhnya terletak di bagian petrosa tulang temporal tengkorak sedangkan dua
pertiga bagian dalam terdiri dari tulang rawan . Bagian tulang selalu terbuka
sedangkan bagian tulang rawan selalu tertutup, bagian ini terbuka bila mengunyah,
menelan dan menguap. Pada anak-anak panjang saluran rata-rata 18 mm, saluran ini
letaknya relatif lebih mendatar lebih pendek dan lebih lebar dari pada orang dewasa.
Akibatnya infeksi daerah tenggorok akan lebih mudah mencapai telinga tengah.
Holbrow ( 1975 ) mendemonstrasikan bahwa pada bayi bagian tulang rawan tuba
eustachius relatif lebih pendek disebabkan oleh jaringan tuba lebih sedikit dan lebih
kaku dari pada anak yang lebih tua dan dewasa. Otot tensor veli palatini kurang
efisien pada bayi.
Mukosa yang melapisi tuba Eustachius merupakan lanjutan dari
mukosa nasofaring dan telinga tengah
Fungsi tuba Eustachius adalah
ventilasi, proteksi dan pembersih. Fungsi
ventilasi untuk mempertahankan tekanan udara didalam rongga telinga tengah agar
sama dengan tekanan udara luar. Fungsi proteksi , untuk melindungi telinga tengah
dari suara yang keras dengan jalan mengatur tekanan udara di dalam rongga telinga
tengah dan mencegah masuknya sekret ke dalam rongga telinga tengah dari
nasofaring. Fungsi pembersih untuk mengalirkan sekret dari ronga telinga tengah ke
nasofaring. Fungsi ventilasi merupakan fungsi yang terpenting dari tuba Eustachius.
Cantekin et al, 1979, Honjo et al,1979, Rich 1920, mengatakan pada fungsi tuba
Eustachius yang ideal, pembukaan aktif tuba Eustachius yang intermiten hanya
disebabkan oleh kontraksi otot levator veli palatini selama menelan.
Fungsi ventilasi dari tuba Eustachius pada anak-anak kurang efisien dari pada dewasa.
Bylander , 1980 dalam penelitiannya mrnyimpulkan pada anak-anak normal, fungsi
tuba Eustachius tidak sebaik pada dewasa, sehingga otitis media efusi lebih banyak
terdapat pada anak-anak. Fungsi ini akan semakin baik dengan bertambahnya usia
terlihat dari penurunan otitis media pada dewasa.
Brooks( 1969) mengukur tekanan udara di telinga tengah dengan timpanometri, pada
anak normal berkisar antara 0 – 175 mm H2O . Tekanan negatif yang tinggi tidak
selalu mengidentifikasi adanya suatu penyakit, tapi dapat mengidentifikasikan
obstruksi tuba fisiologik, diperkirakan bahwa anak ini mempunyai faktor risiko akan
menderita otitis media efusi
Gambar 8 a: Hubungan tuba eustachius dengan sekitarnya (dikutip dari Jackson and Jackson )
Gambar 8 b : Hubungan tuba eustachius dengan sekitarnya ( dikutip dari Scott Smith)
Gambar 9 : Anatomi Tuba Eustachius (dikutip dari Timothy C. Hain)
Otot yang berhubungan dengan tuba Eustachius
Ada 4 otot yang letaknya berhubungan dengan tuba Eustachius yaitu tensor
veli palatini, levator veli palatini, salpingopharingeus dan tensor timpani.
Otot yang berperan dalam membuka tuba Eustachius adalah muskulus Levator veli
palatini dan tensor veli palatini.
Muskulus Levator Veli Palatini
Berbentuk silinder yang bundel bagian posteriornya berasal dari petrosus
tulang temporal. Bundel bagian anteriornya berasal dari sisi medial dari kartilago tuba
eustachius. Otot ini merupakan pembuka tuba yang utama, bila otot ini berkontraksi
akan membuka tuba Eeustachius.
Muskulus Tensor Timpani
Merupakan otot yang berbentuk pipih. Berasal dari fossa scaphoid ( medial
pterygoid palate ), spina sphenoid dan sisi lateral tuba eustachius. Otot ini berjalan
anterior inferior menyempit dan sebagian melekat pada hamulus. Sebagian besar dari
bundel mengitari hamulus dan menyebar seperti kipas menuju tengah dari palatum.
Otot ini tidak banyak berperan dalam fungsi tuba Eustachius
Gambar 10a : Anatomi palatum dengan otot levator veli palatini dan otot tensor veli palatini (dikutip
dari Zol B. Kryger)
Gambar 10b : Otot langit-langit (dikutip dari Ann W. Kummer)
Kelainan otot langit-langit pada keadaan adanya celah
Adanya celah menyebabkan perbedaan susunan otot-otot. Pada orang normal,
otot bertemu di garis tengah dengan orientasi transversal. Pada celah langit-langit
otot-otot berinsersi pada tepi posterior pada tulang palatine dengan arah orientasi
bundel longitudinal, keadan ini menyebabkan otot-otot ini tidak bisa berfungsi
maksimal serta mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya ( Mc Carthy, 1990 )
Otot tensor veli palatini serabut-serabutnya berbelok ke arah medial. Pada
bagian ini jaringan otot sementara diganti jaringan ikat sehingga merupakan katrol (
Kriens, 1990 ).
Otot tensor veli palatini merupakan pembuka tuba Eustachius yang utama, bila otot
ini berkontraksi terjadi gerakan langit-langit lunak dan terbukanya tuba Eustachius.
Pada kelainan celah langit-kangit terjadi devíasi ke arah kraniolateral sehingga tidak
dapat mengangkat tuba akibatnya terjadi disfungsi tuba Eustachius (Mc Carthy,1990 )
Bila otot levator veli palatini berkontraksi akan mengangkat langit-langit ke posterior
dan kartilago tuba ke medial. Adanya celah menyebabkan fungsi ini tidak terjadi
Gambar 11 a : variasi tipe celah bibir dan langit-langit ( dikutip dari Children hospital of Winconsin )
gambar
Gambar 11 b : bibir normal dan tipe celah bibir ( dikutip dari Ann W Kummer )
OTITIS MEDIA EFUSI
Telinga terdapat bagian
konduktif atau bagian yang pneumotik. Telinga
sangat erat hubungannya dengan saluran nafas atas dan merupakan bagian yang berisi
udara. Kelainan pada hidung dan palatum seperti yang terjadi pada celah bibir dan
langit-langit mempunyai akibat sekunder terhadap pneumatisasi. Itulah sebabnya
sering terjadi otitis media efusi yang mengakibatkan penurunan mobilitas membran
timpani
Otitis media efusi adalah terdapatnya sekret non purulen di rongga telinga
tengah dengan membran timpani yang utuh
Etiologi dan patogenesis otitis media efusi adalah multi faktor. Anatomi dan fungsi
tuba Eustachius merupakan penyebab utama. Tuba Eustachius adalah bagian dari
sistem yang berdampingan dengan organ-organ lain seperti hidung, nasofaring,
telinga tengah dan sel-sel mastoid . Gangguan pada salah satu organ ini misalnya
infeksi atau obstruksi akan mempengaruhi organ lain.
Pada fungsi tuba Eustachius yang normal udara di rongga telinga tengah mempunyai
tekanan sebesar satu atmosfir, apabila kurang dari satu maka akan terjadi tekanan
negatif dalam rongga telinga tengah, hal ini meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
aktifitas sekresi telinga tengah, sehingga timbul efusi telinga tengah.
Para peneliti mengatakan dengan pemeriksaan timpanometri pada pasien celah bibir
dan langit-langit ditemukan berbagai derajat kesulitan mengimbangi tekanan negatif
dalam telinga tengah dengan aktif menelan . Doyle ( 1980 ) menemukan tuba
Eustachius anak dengan celah langit-langit, mengalami konstriksi dari pada dilatasi
selama menelan. Semua penelitian ini mengidentifikasikan bahwa tuba Eustachius
pada celah langit-langit mengalami fungsional obstruksi dan keadaan ini
mengakibatkan kelainan di telinga tengah dengan karakteristik tingginya tekanan
negatif di telinga tengah yang persisten, efusi atau keduanya.
Patofisiologi gangguan pendengaran pada otitis media efusi
Tekanan udara di rongga telinga tengah secara fisiologis dipertahankan sedikit
dibawah atau diatas tekanan atmosfir. Kegagalan mempertahankan tekanan ini dapat
mengakibatkan keadaan patologik. Dengan timpanometri tekanan udara di telinga
tengah dapat diukur. Pada orang normal tekanan – 150 mm H20. Bila tekanan
berkurang / negatif akan menyebabkan eksudasi serum , dikatakan tekanan berbeda –
70 mm H2O diantara kapiler dan sekitarnya yaitu rongga telinga tengah akan
meyebabkan keluarnya cairan dari pembuluh darah dan berkumpul di rongga telinga
tengah.
Gangguan pendengaran disebabkan beberapa faktor. Cairan yang terdapat di rongga
telinga tengah menyebabkan penurunan dan perlambatan hantaran suara sampai ke
koklea. Walby ( 1983 ) mengatakan bahwa pada otitis media efusi yang kronik terjadi
gangguan transmisi mekanik suara, sehingga menimbulkan tuli konduktif derajat
ringan dan sedang . Ambang dengar rata-rata anak dengan otitis media efusi adalah 20
dB hingga 25 dB HL. Fria (1985) menyatakan bahwa 40 % anak-anak yang menderita
otitis media efusi memiliki ambang dengar antara 25 dB – 30 dB, sedangkan 30 %
didapatkan lebih dari 30 dB.
Paparella mengatakan
ambang dengar anak – anak penderita otitis media efusi
berkisar antara 10 dB hingga 40 dB , ketulian bersifat konduktif. Ambang dengar
anak dengan otitis media efusi berbeda berdasarkan usia, lateralisasi dan durasi. Pada
usia bayi atau anak berusia kurang dari 18 bulan, maturitas inti-inti saraf belum
sempurna sehingga proses hantaran suara lebih lambat dibandingkan dengan anak
yang berusia lebih tua. Pada anak berusia lebih dari 2 tahun proses maturasi inti-inti
saraf telah sempurna dan dianggap seperti orang dewasa.
Fenitzio mengatakan bahwa anak-anak yang menderita otitis media efusi dalam waktu
yang lama akan mengalami gangguan bicara lebih besar dari pada yang menderita
otitis media efusi lebih pendek.
Pada otitis media efusi dapat terjadi tuli sensorineural, hal ini disebabkan oleh toksin
yang mencapai tingkap bundar dan memasuki koklea
Gejala
Kebanyakan kasus otitis media efusi asimptomatik ( tidak ada gejala ). Anak
jarang dapat mengatakan keluhannya. Diagnosis sering terlambat beberapa bulan atau
tahun dan sering sudah menimbulkan kesulitan dalam bicara maupun perkembangan
bahasa.
Karena penyakit sering tenang ( silent ) maka sulit untuk menegakkan diagnosis dan
sering terlambat. Diagnosis yang sederhana dengan anamnesa yang teliti, pemeriksaan
otoskopi dan evaluasi audiologis.
Timpanometri dapat dilakukan pada seluruh pasien dan merupakan tes yang obyektif
yang tidak membutuhkan respons penderita. Pada otitis media efusi timpanogram
terbanyak menunjukkan kurve B yang datar ( flat).
TIMPANOMETRI
Adalah suatu teknik untuk menentukan kelenturan ( compliance ) membran
timpani dan memperkirakan tekanan telinga tengah secara tidak langsung dengan
menggunakan elektroakustik dan manometrik. Pengukuran ini dilakukan di liang
telinga luar dengan alat yang disebut electroacustic impedance bridge. Ujung sumbat
ditutupkan rapat ke liang telinga luar dengan menggunakan balon ( cuff ) karet
sehingga mengubah liang telinga luar sebagai ruang yang tertutup.
Ujung ini menghubungkan 3 saluran, osilator penerima yang menyampaikan nada
dengan frekuensi tetap, satu mikrofon yang memonitor ambang tekanan suara, pompa
manometer yang dapat berubah dan mengukur tekanan udara.
Nada diberikan pada statu intensitas tertentu dan ambang tekanan suara di liang
telinga luar dimonitor ketika diberikan tekanan udara yang bervariasi
dari + 200
mmH2O sampai - 400 mmH2O. Pada keadaan normal, ketika membran timpani
ditegangkan baik oleh tekanan luar yang positif atau negatif, impedansnya akan
meningkat dan kelenturan menurun. Refleksi suara oleh oleh membran timpani
meningkat sesuai dengan ambang suara di dalam kanal yang meningkat. Ambang
tekanan suara dimonitor secara terus menerus, perubahan ambang suara secara
langsung diubah menjadi kelenturan membran timpani, sehingga kelenturan membran
timpani dapat dibaca secara kontinu. Kurve yang memperlihatkan perubahan
kelenturan membran timpani yang timbul respons dari perubahan dalam tekanan
udara liang telinga luar, disebut sebagai timpanogram.
Timpanogram adalah statu penyajian dalam bentuk grafik dari kelenturan relatif
sistem timpano-osikular, sementara tekanan udara liang telinga luar diubah-ubah.
Dalam grafik, kelenturan membran timpani dicatat pada garis vertikal dan tekanan
udara pada garis mendatar sehingga diperoleh suatu kurva. Untuk pembacaan
timpanogram yang perlu diperhatikan adalah 1) tinggi kurve ,menunjukkan kelenturan
efektif telinga tengah, 2) lokasi puncak, menunjukkan tekanan telinga tengah 3)
gradien puncak ( rata-rata perubahan tinggi kurve pada puncak ).
Pengukuran gradien penting untuk membedakan efusi dari non efusi,
gradien yang
sama atau kurang dari 0,15 disebut landai, yang lebih besar dari 0,15 disebut curam.
Liden dan Jarger membuat klasifikasi timpanogram .
Timpanogram tipe A mempunyai beberapa hal yang khas, yaitu terdapatnya puncak
dari grafik. Puncak berada pada atau dekat tekanan 0 decapascal ( 1 daPa = 1,02
mmH2O). Pada orang dewasa, diantara + 50 daPa sampai dengan – 50 daPa, pada
anak-anak antara + 50 daPa sampai dengan – 150 daPa. Kelenturan puncak berada
diatas 0,5 cm
3
. Timpanogram tipe A adalah tipe normal berarti membran timpani
utuh, dapat bergerak normal dan tekanan dalam telinga tengah dalam batas normal
yang menunjukkan bahwa rongga telinga tengah berisi udara.
Timpanogram tipe B compílance rendah , tidak terdapat puncak. Tekanan telinga
tengah tidak diketahui, kemungkinan negatif , mengindikasikan adanya cairan di
telinga tengah.
Timpanogram tipe C puncak compliance
normal,
puncak berada di daerah
bertekanan negatif dibawah – 150 daPa untuk anak-anak, menunjukkan fungsi tuba
Eustachius yang buruk.
Gambar 12 : Skema pemeriksaan timpanometri (dikutip dari Core Curriculum Syllabus)
Gambar 13 : Hasil pemeriksaan timpanometri (dikutip dari Edward Onusko)
ABR ( Audiometry Brain Stem Response )
ABR adalah test fungsi saraf pendengaran yang merupakan respons terhadap
stimulus suara / click. Pertama kali dikemukakan oleh Jewett dan Williston pada
tahun 1971.
ABR merupakan suatu test untuk menilai fungsi pendengaran dan
fungsi saraf ke VIII dengan merekam potensial listrik yang dikeluarkan sel-sel koklea
hingga mencapai inti – inti tertentu di batang otak.
Jewett mengatakan bahwa ABR merupakan gambaran reaksi bioelektrik saraf ke VIII
dan inti- inti di batang otak. Reaksinya adalah berupa gelombang yang timbul dalam
waktu 10 milidetik , terdapat 5 atau 7 gelombang positif. Gelombang 6 dan 7
merupakan aktifitas rostral
Prinsip pemeriksaan ABR adalah menilai perubahan potensial listrik di otak, setelah
pemberian rangsang sensorik berupa suara. Rangsang suara yang diberikan lewat
head phone akan menempuh perjalanan melalui koklea , nucleus koklearis, nukleus
olivatorius superior,
lemniskus lateralis dan folikulus inferior kemudian menuju
korteks auditosius di lobus temporalis otak Perubahan potensial listrik di otak akan
diterima oleh ketiga elektrode di kulit kepala. Impuls yang timbul dari setiap inti
dapat dinilai dalam bentuk gelombang. Waktu yang diperlukan dari setiap gelombang
mulai dari saat pemberian rangsang suara sampai mencapai inti saraf dapat dinilai
dengan melihat latensinya.
Pemeriksaan ABR sangat bermanfaat karena dapat dipergunakan pada keadaan sulit
dilakukan pemeriksaan dengan cara biasa, misalnya pada bayi, gangguan sifat dan
tingkah laku, inteligensia rendah, cacat ganda dan kesadaran yang menurun.
Pemeriksan ini dapat digunakan untuk menilai fungsi pendengaran bayi baru lahir,
bahkan pada bayi dengan masa gestasi 26 minggu. ABR dapat memberikan informasi
mengenai fungsi pendengaran perifer dan sentral
Cara pemeriksaan ABR, dengan memasang 3 buah elektrode, di verteks, dahi dan
prosesus mastoid kiri dan kanan . Stimulus yang diberikan berupa jenis klik dengan
frekuensi menengah yaitu 1000 Hz sampai 4000 Hz yang diberikan melalui head
phone pada masing-masing telinga secara bergantian. Pemeriksaan dilakukan dalam
keadaan bayi tertidur setelah minum sehingga akan memberikan gambaran yang lebih
baik.
Reaksi yang timbul akibat rangsang suara sepanjang jalur saraf pendengaran ini dapat
dibedakan menjadi 3 bagian berdasarkan waktu yang diperlukan mulai dari saat
pemberian rangsang suara sampai menimbulkan reaksi dakam bentuk gelombag, yaitu
Early response timbul dalam waktu kurang dari 10 milidetik ( 0 – 10 milidetik ) dan
merupakan reaksi dari batang otak, Middle response , atara 10 – 50 milidetik
merupakan reaksi dari talamus dan korteks auditori primer, Late response , antara 50
– 500 milidetik yang timbul dari area auditoris primer dan sekitarnya. Jewett pada
tahun 1970 menulis dalam angka Romawi untuk gelombang-gelombang yang timbul.
Gelombang yang timbul 10 milidetik, gelombang I berasal dari koklea, gelombang II
berasal dari nukleus koklearis, gelombang III berasal dari nukleus olivarius superior,
gelombang IV berasal dari lemniskus lateralis dan gelombang V berasal dari kolikulus
inferior. Gelombang V selalu ada pada setiap orang, paling mudah diidentifikasi
karena berasal dari bagian paling superior yang mengalami maturasi lebih tinggi
dibandingkan dengan bagian yang lebih kaudal. Gelombang V dapat dipakai sebagai
penilaian ambang dengar. Gelombang V lebih mudah diidentifikasi sehingga pada
intensitas yang rendah hanya gelombang V yang dapat dipakai sebagai pegangan
penilaian ada tidaknya reaksi pada ABR.
Gambaran ABR pada orang dewasa dapat dijumpai 7 bentuk gelombang, sedangkan
pada bayi biasanya hanya 3 bentuk gelombang yaitu I/II, III, IV/V.
Pemeriksaan ABR memiliki korelasi yang baik dengan pemeriksaan konvensional.
Bashiruddin dalam penelitiannya mendapatkan korelasi yang positif antara
pemeriksaan free field test dengan pemeriksaan ABR. Owen mendapatkan anak-anak
dengan otitis media efusi
yang diperiksa audiometri dibandingkan dengan
pemeriksaan ABR, memberikan hasil yang hampir sama.
Pemeriksaan ABR mempunyai keunggulan yaitu tidak invasif, aman dan stabil, dapat
mengetahui fungsi pendengaran dari perifer sampai sentral dan dapat menentukan
lesi. Pemeriksaan ABR juga bersifat obyektif tidak tergantung pada sikap kooperatif
pasien dan kesadaran pasien. Kekurangan alat ini adalah mahal dan tidak setiap
institusi memilikinya. Adanya gangguan fungsi pendengaran pada frekuensi rendah
kadang-kadang sulit dinilai dengan pemeriksaan ABR
Parameter pemeriksaan ABR adalah, a) masa laten absolut yaitu waktu yang
diperlukan mulai saat pemberian rangsang hingga timbul gelombang,Masa laten
absolut gelombang I, III, V mempunyai nilai lebih penting dari pada gelombang yang
lain, b) beda masing-masing masa laten absolut gelombang, antara gelombang
I–
III, I - V dan III - V,
c) beda masa laten absolut telinga kanan dan kiri; d) beda masa laten pada penurunan
intensitas suara dan e) rasio amplitudo gelombang V/I yaitu rasio antara nilai puncak
ke puncak gelombang I dan gelombang V. Hal ini berguna untuk menilai brainstem
auditory integrity
Pada tuli konduktif dengan pemeriksaan ABR didapatkan pemanjangan latensi
gelombang I, III dan V, oleh karena impuls yang sampai di koklea lebih lambat akibat
gangguan konduksi suara. Gelombang I merupakan gelombang yang paling sensitif
terhadap gangguan konduksi karena merupakan bagian yang paling perifer dalam
sistem hantaran suara ke sentral. Gelombang V paling sering muncul karena
gelombang ini berasal dari folikulus inferior yang merupakan inti yang paling
sempurna mengalami maturasi dibandingkan dengan inti-inti yang lain. Pada tuli
konduktif kadang-kadang tidak semua gelombang dapat dilihat adanya perlambatan
terutama gelombang III. Hal tersebut tergantung dari durasi proses patologik dan
intensitas yang diberikan. Pada otitis media efusi kadang-kadang tidak ditemukan
perlambatan gelombang III, menurut Owen bila ada perlambatan gelombang III
menunjukkan bahwa otitis media efusi sudah kronis.
Menurut Yamada dkk, terdapat sedikit perbedaan ambang pendengaran normal ABR
antara bayi baru lahir ( 10 – 20 dB ) dan dewasa ( 5 – 10 dB ). Galambos melaporkan
hasil penelitian yang sama, ambang dengar bayi baru lahir lebih tinggi 10 dB
dibandingkan orang dewasa. Masa latensi ABR bayi baru lahir lebih panjang dari
dewasa. Perbedaan tersebut karena maturitas sel saraf pada bayi belum sempurna.
Kaga melaporkan ambang dengar ABR, gelombang V , berubah sesuai dengan
bertambahnya usia
Gambar 14 : Pemeriksaan ABR (dikutip dari http://www.bradingrao.com/abr.htm)
Gambar 15. hasil pemeriksaan ABR ( dikutip dari Lippincott Williams and Wilkins )
Penanganan Multidisiplin kelainan celah bibir dan langit-langit di RS Anak dan
Bunda Harapan Kita
Kelainan celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan yang kompleks
melibatkan berbicara, pendengaran dan kosmetik. Hal ini membutuhkan evaluasi dan
perhatian dari multidisiplin ilmu termasuk dokter spesialis THT, anak, bedah plastik,
terapi wicara, audiolog dan orthodontist. Koordinasi dan usaha dari para spesialis ini
sangat penting dalam menangani anak dengan kelainan celah bibir dan langit- langit
Di RS Anak dan Bunda Harapan Kita anak dengan kelainan celah bibir, celah
langit-langit atau keduanya bersamaan ditangani oleh tim yang terdiri dari berbagai
disiplin ilmu yang bergabung dalam Klinik Sehati. Tim ini terdiri dari multidisiplin
ilmu yaitu , dokter spesialis THT, spesialis Bedah Plastik, spesialis Bedah mulut,
dokter gigi, ortodontis, dokter anak, spesialis anestesi, psikolog, ahli terapi wicara,
tenaga paramedik, dan petugas administrasi.
Pada prinsipnya semua disiplin ilmu saling memberi saran untuk penanganan kasus
celah bibir dan langit-langit sesuai bidang masing – masing.
METODOLOGI PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini merupakan deskriptif analitik.
Dalam penelitian ini dicari
sampai intensitas berapa dapat dinilai gelombang pada pemeriksaan ABR,
dan pada pemeriksaan timpanometri dilihat tipe grafik
serta dinilai juga
faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Populasi penelitian
Populasi adalah semua pasien celah bibir dan langit-langit yang diperiksa
ABR dan timpanometri dari 1 Januari 2000 sampai 31 Desember 2007
Kriteria penerimaan
adalah pasien dengan kelainan celah bibir,gusi dan langit-langit atau celah
langit-langit saja, usia antara 6 bulan sampai 6 tahun
Kriteria penolakan
kelainan hanya celah bibir saja
berusia lebih dari 6 tahun
Cara Kerja
Pasien yang datang ke bagian THT dijadwalkan untuk diperiksa ABR dan
timpanometri.
Dilakukan anmnesis yang meliputi :
-
nama, umur,jenis kelamin
-
riwayat keluarga
-
penyakit yang diderita ibu selama kehamilan
-
kelainan yang lain yang menyertai kelainan yang ada
Alat-alat penelitian
- Rekam medik pasien
- Alat diagnostik : lampu kepala, otoskop, ABR dan timpanometer
Pengumpulan data meliputi :
-
File Rekam medis pasien dikumpulkan
-
Pemeriksaan THT
-
Pemeriksaan ABR kemudian diikuti pemeriksaan timpanometri
-
Sebelum penelitian, dilakukan penelusuran kepustakaan
Proses pengumpulan data
Data diperoleh dari :
Rekam medis, anamnesis , pemeriksaan THT kemudian dilakukan
pemeriksaan ABR dan timpanometri
Rancangan pengolahan data dan analisis data
Langkah yang dilakukan dalam pengolahan data :
Hasil pemeriksaan ABR dilihat gelombang yang timbul, gelombang V
dilihat sampai intensitas berapa masih nyata ada. Pemeriksaan
timpanometri dilihat grafik yang timbul. Sebelum pemeriksaan anak
diberi obat tidur Chloral Hidrat
Teknik Pengukuran
ABR merupakan respons listrik saraf kedelapan dan sebagian batang otak
yang timbul dalam 10 sampai 12 milidetik setelah rangsang suara
ditamgkap telinga dalam. Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan
rangsang klik dengan frekuensi 1000 Hz – 4000 Hz. Pasien dalam keadaan
tidur setelah diberi chloral hidrat. Elektroda dipasang tiga buah, satu pada
vertex atau dahi dan dibelakang telinga di prosesus mastoideus kanan dan
kiri. Akan terlihat V gelombang,
gelombang I berasal dari saraf ke
delapan, gelombang II berasal dari nucleus koklearias,
Gelombang III
dari kompleks olivari superior ( setinggi pons ), gelombang IV dari
lemniskus lateralis dan gelombang V berasal dari bagian kollikulus
inferior setinggi otak bagian
tengah ( midbrain)
Pada penelitian ini dipakai alat ABR merk Nihon Kohden MEB 7102 K
neuropack 2.
Timpanometri
Pemeriksaan timpanometri dilakukan dengan alat timpanometer, alat
ini mengukur kelenturan relative sistem timpano-osikular sementara
tekanan telinga tengah diubah- ubah. Ujung probe disumbatkan ke liang
telinga
dengan rapat dengan cuff karet, sehingga menjadikan liang telinga
luar sebagai ruang tertutup. Ujung ini menghubungkan tiga saluran berupa
1), osilator penerima, yang menyampaikan nada dengan frekuensi tetap 2)
mikrofon yang memonitor ambang tekanan suara dan
3) pompa
manometer yang dapat merubah dan mengukur tekanan udara .
Nada diberikan pada suatu intensitas tertentu, ambang tekanan suara
dimonitor
Ketika diberikan tekanan udara bervariasi dari + 200 mm H2O sampai –
400 mmH2O. Tekanan setinggi + 200 mmH2O menyebabkan membran
timpani dan tulang pendengaran menjadi kaku, sehingga sedikit sekali
suara yang diteruskan
compliance ) dicatat.
pada keadaan ini kelenturan membran (
Kemudian
berangsur- angsur sehingga
maksimal.
dicapai
tekanan udara diturunkan
kelenturan
membran timpani
Dalam keadaan normal, hal ini terjadi pada tekanan antara +
50 mmH2O dan - 5 mmH2O. Tekanan pada saat kelenturan maksimal
dianggap sama dengan tekanan telinga tengah. Kemudian tekanan udara
diturunkan sampai – 400 mmH2O, pada saat ini terjadi
kekakuan
membran timpani. Perubahan kelenturan akibat perubahan tekanan
tersebut
dicatat , terlihat berupa grafik disebut timpanogram.
Klasifikasinya , tipe A, tipe B, tipe AD dan tipe C
Pada penelitian ini dipakai alat timpanoeter merk ear scan DPV 411
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Telah dilakukan penelitian terhadap 142 pasien celah bibir dan celah langitlangit yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, sejak 1 Januari 2002
hingga 31 Desember 2007 di bagian THT RS Anak dan Bunda Harapan Kita Jakarta.
Data Dasar Penelitian
Data dasar yang dicatat pada penelitian ini meliputi distribusi pasien
berdasarkan tahun, jenis kelamin, umur, riwayat keluarga menderita celah bibir dan /
atau celah langit-langit, kelainan penyerta, serta tipe celah.
Tabel 1. Distribusi sampel berdasarkan tahun periksa
Tahun periksa
Frekuensi
Persentase (%)
2002
20
14,1
2003
19
13,4
2004
33
23,2
2005
35
24,6
2006
20
14,1
2007
15
10,6
TOTAL
142
100
Sampel penelitian terbanyak dijumpai pada tahun 2005, yaitu sebesar 35
sampel (24,6 %) dan paling sedikit pada tahun 2007 sebesar 15 sampel (10,6 %).
Tabel 2. Karakteristik demografik sampel
Karakteristik Demografik
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
77
54,2
Perempuan
65
45,8
1
105
73,9
2
25
17,6
3
6
4,2
4
3
2,1
5
2
1,4
6
1
0,7
142
100
Jenis Kelamin
Umur (tahun)
TOTAL
Berdasarkan jenis kelamin, dijumpai sampel penelitian terbanyak berjenis kelamin
laki-laki sebesar 77 sampel (54,2%). Sementara berdasarkan umur dijumpai terbanyak
pada umur 1 tahun sebesar 105 sampel (73,9%) dan paling kecil persentase pada umur
6 tahun yaitu 0,7% (1 sampel).
Tabel 3. Distribusi tipe celah berdasarkan riwayat keluarga
Riwayat Keluarga
Tipe Celah
Total
Palato
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgp bilat
Ada
10
7
8
7
32
Tidak ada
32
16
47
15
110
TOTAL
42
23
55
22
142
Riwayat keluarga menderita celah bibir dan langit-langit terbanyak, dijumpai
pada kelompok sampel dengan palatoskisis yaitu sebesar 10 sampel dari 32 sampel
yang memiliki riwayat keluarga menderita kelainan yang sama.
110, 77%
Riwayat keluarga (+)
Tidak ada
32, 23%
Diagram 1. Diagram sampel berdasarkan adanya riwayat keluarga
menderita celah bibir dan/atau celah langit-langit
Dijumpai sebesar 23% (32 sampel) yang memiliki riwayat keluarga menderita
celah bibir dan / atau celah langit-langit.
Tabel 4. Distribusi tipe celah yang disertai kelainan lain
Kelainan Penyerta
Tipe Celah
Total
Palato
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgp bilat
Mikrotia
1
0
0
0
1
Ankylosis OD
0
0
1
0
1
Fistel preaurikuler kiri
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
0
2
0
2
Assesori ear
0
0
1
0
1
Tidak ada
37
23
50
22
132
TOTAL
42
23
55
22
142
Micrognatia
+ Pierre Robin Synd
Pierre Robin Synd
TORSCH + cortical blindness
+ tetraparesis spastis
vander Ward syndrome
Riw kehamilan dg peny
(campak, mumps)
Dari 142 sampel penelitian, terdapat 10 sampel memiliki kelainan penyerta yaitu
mikrotia, ankylosis Oculi Dextra, fistel preaurikuler, micrognatia dan Pierre-Robin
Syndrome, TORSCH-cortical blindness-tetraparesis spastis, vander Ward Syndrome,
telinga dengan asesori, masing-masing pada 1 sampel, dan riwayat kehamilan ibu
dengan penyakit (campak, mumps) pada 2 sampel.
Tabel 5. Distribusi sampel berdasarkan tipe celah
Tipe celah
Frekuensi
Persentase (%)
Palatoskisis
42
29,6
Labiognatopalatoskisis unilateral kanan
23
16,2
Labiognatopalatoskisis unilateral kiri
55
38,7
Labiognatopalatoskisis bilateral
22
15,5
TOTAL
142
100
Sebesar 55 sampel (38,7%) menderita labiognatopalatoskisis unilateral kiri
(celah bibir-rahang-langit satu sisi kiri).Celah bibir dan langit-langit satu sisi kanan
sebesar 23 sampel ( 16,2 % ) Hanya terdapat 15,5% (22 sampel) yang menderita
labiognatopalatoskisis bilateral (celah bibir-rahang-langit dua sisi).
HASIL PEMERIKSAAN AUDIOLOGI SAMPEL PENELITIAN
Tabel 6. Distribusi sampel berdasarkan hasil pemeriksaan ABR
Ambang Respons ABR (dB)
Frekuensi
Persentase (%)
30
2
1,4
40
86
60,6
50
28
19,7
60
20
14,1
Tidak ada gelombang
6
4,2
TOTAL
142
100
Pada 86 sampel penelitian (60,6%) memberikan hasil ambang respons ABR
sebesar 40 dB. Sebesar 4,2% (6 sampel) tidak memberikan respons pada pemeriksaan
ABR hingga 90 dB. Hanya 2 sampel ( 1,4 % ) memberikan respons pada 30
dB.Sedangkan 60 dB ditemukan pada 20 sampel ( 14,1 % ). 50 dB pada 28 sampel (
19,7 % )
Dari 142 sampel penelitian, ditemukan semua sampel (100%) memberikan
hasil pemeriksaan timpanometri tipe B.
ANALISIS STATISTIK HASIL PEMERIKSAAN AUDIOLOGI SAMPEL
PENELITIAN
Tabel 7. Tabel silang jenis kelamin sampel penelitian dengan tipe celah
Tipe celah
Jenis
Total
kelamin
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
Laki-laki
20
17
30
10
77
Perempuan
22
6
25
12
65
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Sampel penelitian berjenis kelamin laki-laki paling banyak menderita
labiognatopalatoskisis unilateral kiri, demikian juga dengan sampel penelitian
perempuan
Secara keseluruhan pasien laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Tabel 8. Tabel silang umur sampel penelitian dengan tipe celah
Tipe celah
Umur
Total
(tahun)
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
1
31
15
39
20
105
2
6
5
12
2
25
3
3
2
1
0
6
4
1
1
1
0
3
5
1
0
1
0
2
6
0
0
1
0
1
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Pemeriksaan ABR dan timpanometri paling banyak dilakukan pada usia 1 tahun yaitu
pada 105 sampel, dengan tipe celah langit- langit yaitu 31 sampel
Tabel 9. Tabel silang adanya riwayat keluarga menderita celah bibir dan/atau
celah langit-langit pada sampel penelitian dengan tipe celah
Tipe celah
Riwayat
Total
Keluarga
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
Ada
10
7
8
7
32
Tidak ada
32
16
47
15
110
TOTAL
42
23
55
22
142
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Sampel penelitian dengan tipe palatoskisis merupakan kelompok terbesar (10
sampel) yang memiliki riwayat keluarga menderita celah bibir dan/atau celah langitlangit. Dari kelompok sampel penelitian yang tidak memiliki riwayat keluarga
menderita celah bibir dan/atau celah langit-langit, tipe celah yang terbanyak adalah
labiognatopalatoskisis unilateral kiri yaitu sebesar 47 sampel.
Tabel 10. Tabel silang hasil pemeriksaan ABR sampel penelitian dengan tipe
celah
Tipe celah
Ambang
Total
respons ABR
Palatoskisis
Lgp uni ka
Lgp uni ki
Lgb bilat
30 dB
0
2
0
0
2
40 dB
25
16
32
13
86
50 dB
7
3
12
6
28
60 dB
8
1
9
2
20
2
1
2
1
6
42
23
55
22
142
Tidak
ada
gel
TOTAL
Keterangan :
lgp uni ka = labiognatopalatoskisis unilateral kanan
lgp uni ki = labiognatopalatoskisis unilateral kiri
lgp bilat = labiognatopalatoskisis bilateral
Sampel penelitian yang dilakukan pemeriksaan ABR didapatkan, hasil 40
dB yang terbanyak, yaitu 25 sampel palatoskisis , labiognatopalatoskisis kanan
sebanyak 16 sampel, labiognatopalatoskisis unilateral kiri sebanyak 32 sampel dan
labiognatopalatoskisis bilateral sebanyak 13 sampel. Hasil pemeriksaan ABR yang
tidak dijumpai gelombang ditemukan pada semua sampel penelitian, celah langitlangit dan celah bibir dan langit-langit satu sisi kiri masing-masing 2 sampel
Tabel 11. Tabel 2 x 2 jenis kelamin dengan tipe palatoskisis sampel penelitian
Jenis Kelamin
Tipe celah
Total
Palatoskisis
Non-palatoskisis
Laki-laki
20
57
77
Perempuan
22
43
65
TOTAL
42
100
142
Dengan uji McNemar didapatkan angka signifikan menunjukkan angka 0,000.
Karena nilai p < 0,05 maka diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara jenis kelamin sampel penelitian laki-laki dan perempuan.
Tabel 12. Tabel 2 x 2 hasil pemeriksaan ABR dengan tipe palatoskisis sampel
penelitian
Ambang
respons
ABR
Tipe celah
Total
Palatoskisis
Non-palatoskisis
</= 40 dB
25
63
88
>40 dB
17
37
54
TOTAL
42
100
142
Dengan uji McNemar didapatkan angka signifikan menunjukkan angka 0,000.
Karena nilai p < 0,05 maka diambil kesimpulan bahwa terdapat perbedaan bermakna
antara ambang respons ABR kurang atau sama dengan 40 dB dan ambang respons
ABR lebih dari 40 dB.
PEMBAHASAN
Celah bibir dan langit-langit mempunyai prevalensi berkisar antara 1/1000 ke
2,69/1000 di berbagai negara di dunia ini. Orang Asia lebih berisiko tinggi dari pada
Kaukasian dan kulit hitam. Distribusi jenis kelamin cenderung laki-laki lebih banyak.
Dalam penelitian ini dijumpai jumlah pasien
jenis kelamin laki-laki lebih banyak
dari pada perempuan yaitu 77 (54,2 % ), sedangkan Chu dkk dalam penelitiannya di
Hong Kong menemukan jumlah yang hampir sama antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kepustakaan dikatakan bahwa celah bibir dan langit-langit satu sisi
lebih banyak di sisi kiri dari pada sisi kanan. Dalam penelitian ini ditemukan celah
bibir gusi langit-langit satu sisi lebih banyak disisi kiri dari pada kanan yaitu 55
pasien ( 38,7 % )
Diantara kelainan kongenital dikatakan bahwa kelainan celah bibir dan langitlangit menduduki tempat ke tiga , terjadi sekitar 1 dalam 700 kelahiran . Dikatakan
lebih dari 150 sindrom genetik bersamaan dengan celah bibir dan langit-langit. Dua
kelainan paling sering ditemukan yaitu Hemifacial Microsomia dan Pierre Robin
Sequence. Hal ini terjadi berturut-turut 1 dalam 4000 dan 1 dalam 8000. Kelainan ini
menyebabkan konsekuensi yang sangat penting dalam perkembangan anak tersebut,
yaitu perkembangan makan, bernafas, pertumbuhan, tumbuh kembang, pendengaran ,
berbicara dan berbahasa, belajar dan sosial integrasi. Dalam penelitian ini didapatkan
10 penderita menderita kelainan kongenital yang lain, yaitu mikrotia 1 pasien, fistel
preaurikula 1 pasien, Vander Ward sindrome 1 pasien, Ankylosis Okuli Dextra 1
pasien, Pierre Robin Sequence 3 pasien, Cortical blindness, gangguan pendengaran
saraf berat 2 pasien.
Faktor keluarga dalam penelitian ditemukan 32 pasien ( 23 % ) ada riwayat
keluarga yang menderita celah juga, paling banyak ditemukan pada celah langit-langit
saja yaitu 10 pasien. Dalam kepustakaan dikatakan celah bibir dengan atau tanpa
celah langit-langit 2% ditemukan ada riwayat keluarga, celah langit-langit saja 7%
ditemukan keluarga yang juga menderita kalainan yang sama.
Ditemukannya gangguan pendengaran konduktif pada pasien celah bibir dan
langit langit telah diketahui lebih dari 1 abad, dengan penyebab utama
adalah
disfungsi tuba Eustachius. Malfungsi saluran yang menghubungkan telinga tengah
dengan bagian belakang hidung ini menyebabkan terjadinya otitis media efusi yang
rekuren yang mempengaruhi fungsi pendengaran. Fungsi tuba Eustachius adalah
ventilasi, proteksi dari sekret nasofaring agar tidak masuk ke telinga tengah dan
drainase sekret dari telinga tengah ke nasofaring. Otot tensor veli palatini mempunyai
fungsi utama untuk membuka tuba Eustachius, pasien dengan celah bibir dan langit-
langit otot ini tidak bersambung oleh adanya celah sehingga tidak dapat membuka
tuba Eustachius.
Banyak peneliti menemukan hampir 100 % pasien celah bibir dan langit-langit
menderita otitis media efusi ( adanya cairan di rongga telinga tengah ) Derajat
gangguan pendengaran tergantung jumlah cairan yang terjadi di telinga tengah. Ratarata gangguan pendengaran adalah 15 – 45 dB.
Gangguan pendengaran merupakan hal yang sering ditemukan pada penderita celah
bibir dan langit-langit, gangguan ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan
bahasa dan berbicara. Bluestone mengatakan bahwa fungsi tuba terganggu akibat
celah sehingga hampir 100 % mengalami gangguan fungsi tuba Eustachius. Cuk et
all dalam penelitiannya menemukan seluruh pasien mengalami otitis media efusi.
Saraf pendengaran dapat terkena oleh toksin inflamasi yang masuk ke telinga dalam
melalui tingkap lonjong dan tingkap bundar yang menyebabakan labirintitis serosa
atau kerusakan organ corti.
Dalam penelitian ini respons pada pemeriksaan ABR sama dengan 40 dB didapatkan
pada 77 pasien ,
ditemukan pada celah bibir dan langit-langit lebih banyak
dibandingkan pada celah langit-langit saja. Ditemukan 6 pasien tidak ada respons (
tidak ada gelombang) yang berarti ditemukan gangguan saraf pendengaran, disini
gangguan pendengarn saraf telinga ini akibat penyakit yang diderita ibu waktu hamil
yaitu mumps dan torsch, jadi merupakan kelainan kongenital penyerta. Tunbileck et al
dalam penelitiannya menemukan gangguan pendengaran konduktif sebanyak 18 %,
sedangkan gangguan saraf tidak ditemukan. Mello dkk dalam penelitiannya
menemukan 88,4 % terdapat gangguan pendengaran konduktif, 1 kasus terdapat
gangguan pendengaran campur. Derajat gangguan pendengaran berkisar antara 25 –
68 dB yang mengindikasikan adanya otitis media efusi yang tidak diobati
mengakibatkan gangguan pendengaran dari ringan sampai berat.
Pada pemeriksaan timpanometri, Mello dkk menemukan 63,38% terdapat
hasil tipe B. Dalam penelitian ini semua pasien hasil pemeriksaan timpanometri
adalah tipe B
Grant et al pada tahun 1988 menemukan 97 % pasien dengan celah langit-langit
mengalami otitis media efusi. Cuk dkk mendapatkan 51,7 % hasil timpanometri tipe
B pada usia rata-rata 5 tahun, sedangkan tipe A sebesar 41,6 % pada usia rata-rata 11
tahun . Banyaknya hasil timpanometri tipe B pada pasien usia sampai 7 tahun
menunjukkan adanya otitis media efusi yang diakibatkan oleh tidak ada koordinasi
antara otot tensor levator veli palatini dan levator veli palatini, neuromuskular kontrol
yang masih immatur dan seringnya infeksi saluran nafas atas yang khas pada usia ini.
Holborow memperkirakan fungsi otot tensor veli palatini dan otot levator veli palatini
menjadi lengkap hanya setelah usia 7 tahun, sehingga konsekuensinya frekuensi otitis
media efusi pada pasien yang tidak ada celah akan turun secara signifikan pada usia
diatas 7 tahun. Pada pasien celah bibir dan langit-langit tingginya
frekuensi tipe B setelah usia 7 tahun tetap tidak menurun oleh karena terhambatnya
maturitas dari neuromuskular dan terganggunya perkembangan wajah bagian tengah .
Pada pemeriksaan timpanometri dengan hasil tipe B didapatkan ambang pendengaran
sekitar 21-40 dB pada usia 7 tahun tetapi akan membaik sampai 11 – 20 dB setelah
usia bertambah.
Rata-rata gangguan pendengaran terjadi dari yang ringan sampai berat, disebabkan
oleh orang tua yang tidak waspada terhadap adanya otitis media efusi sehingga tidak
diobati, bila dibiarkan maka gangguan pendengaran dapat lebih berat.
Dalam penelitiannya, Boltezar menemukan kelainan dibidang telinga, hidung,
tenggorok pada hampir dua pertiga pasien dengan celah. Sekalipun langit-langit telah
dilakukan operasi rekontruksi, tidak ada perbedaan antara celah langit-langit dengan
celah bibir dan langit-langit dalam kelainan telinga. Oleh karena itu telinga, hidung,
tenggorok harus diberi perhatian sedini mungkin pada kasus-kasus celah. Boltezar dan
kawan-kawan juga berusaha mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi
kelainan suara pada kasus celah ini. Dari adanya insufisiensi velofaringeal pada kasus
celah langit-langit, dimana kelainan suara telah diketahui banyak terjadi , tetapi dari
hasil penelitian ditemukan bahwa tidak menunjukkan ada perbedaan kelainan suara
terutama fungsional disfoni pada pasien celah langit-langit dan celah bibir dan langitlangit. Faktor gangguan pendengaran yang lama ditemukan merupakan faktor yang
mempengaruhi terjadinya disfoni pada pasien celah. Setiap gangguan pendengaran
mempengaruhi kontrol pendengaran pada suara anak. Anak dengan gangguan
pendengaran seringkali bersuara keras. Pemeriksaan telinga dan pendengaran
merupakan hal yang sangat perlu dan penting, sehingga setiap anak yang lahir dengan
deformitas wajah harus dilakukan skrining pendengaran. Dilakukan test pendengaran
secara periodik untuk mengetahui keadaan telinga tengah, dan fungsi tuba Eustachius
dapat dimonitor dan bila ada gangguan saraf pendengaran dapat ditemukan segera
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, G.L, et al. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6 th ed. WB
Saundwers, p 29 – 80, 1994
2. Avery, JK., et al. Oral development and Histology. New York. Thieme Medical
Publisher Inc, p : 24 – 29, 1994
2. Boltezar IH, Jarc A, Kozelj V. Ear, nose and voice problems in children with
orofacial cleft. The Journal of Laringology and Otology. London : Apr 2006.
Vol.120, Iss. 4 :pg.276
3. Bluestone CD, Klein JO. Diagnosis. In : Otitis media in infants and children 2
nd
ed. WB Saunders Company. 1995 : 89-144
4. Bashiruddin J. Analisis Hubungan Hasil Pemeriksaan FFT dan Bera pada Anak
dengan Gangguan Pendengaran. Skripsi Ahli THT pada FKUI Jakarta
5. Cantekin EI. Identification of otitis media with effusion in children. Ann Otol
Rhinol Laryngol 1980;89 : 190-5
6. Cawthorne ST.Pathology and clinical course of inflammatory disease of the
middle ear. In : Glassock ME, Shambough GE, Johnsons GD, editors, Surgery of
the ear, 4 th ed. Philadelphia : Saunders 1987 : 167 – 93.
7. Children’s hospital of Wisconsin. Available at: http:www.chw.org/display
//DocID/35472/Nav/1/router.asp
8.
Chu KMY, McPherson B. Audilogical Status of Chinese Patients With Cleft Lip
/Palate.. The Cleft-Palate – Craniofacial Journal , vol 42, Iss 3; pg 280, May 2005
9. Cinamon U and Sade J. Tympanometry Versus Direct Middle Ear Pressure
Measurement in an Artificial Model : I Tympanometry an Accurate Method in
Measure Middle Ear Pressure ?. Otology and Neurology 24 : 850 – 853, 2003
10. Clarke B. clinical Aspects of Cleft Lip / Palate Reconstruction. Dalhousie universi
Ty. Halifax, Nova Scotia.
11. Cuk JH, Cuk V, Gluhinic M, Risavi R, Katusic. Tympanometric findings in cleft
Palate patients : Influence of age and cleft type. The Journal of Laryngology and
Otology. Vol 115, Iss 2; pg 91 – 98, London, Feb 2001.
12. Core curriculum sylabus audiology. Available at:
http://www.bcm.edu/oto/studs/aud.html .
13. D’Mello J, Kumar S. Audilogical findings in cleft palate patients attending
speech camp. Indian J Med Res 125, pp 777-782, June 2007
14. Finitzo T. Imcidence, prevalence and duration of otitis media in infant. In : Lim
DJ,Bluestone CD, Klein JO eds. Proceedings of fourth International Symposium
of Recent Advances in Otitis Media. Decker Inc, Toronto,Philadelphia: 15 - 7
15. Fria TJ. Hearing Acuity of Children with Otitis Media Effusion. Arch Otolaryngol
203 p : 310 – 16, 1985.
16. Galambos CS, Galambos R. Brain stem E#voked Response Audiometry in New
Born Hearing Screening Arch Otolaryngol 105, p : 86 – 90, 1979
17. Glassock ME, Jackson CG, Josey AF. The ABR Handbook: Auditory Brainstem
Response, 2 nd. New York. Thieme Medical Publisher, p 1 – 149, 1987
18. Hendrarto. Pengaruh Tindakan Palatoplasti Terhadap Aerasi Telinga Tengah
pada Anak usia 2-3,5 tahun dengan Kelainan Celah Langit-langit di Rumah Sakit
Dr Hasan Sadikin Bandung. ( Karya Ilmiah Ahir Program Dokter Spesialis THT)
Hal 9-15
17. Holborow CA. Deafness associated with cleft palate. J Laryngol Otol; 76 p 762 –
773, 1962.
18. Jackson and Jackson.. Disease of The Nose Throat and Ear.. WB Saunders
company Philadelphia and London, p 423, 1959.
19. Kahn SY, Paul R, Sengupta A, Roy.P . Clinical study of otological manifestations
in cases of cleft palate.. Indian Journal of Otolaryngology and Head and Neck Sur
gery vol 58, No 1, January – March 2006
20. Liston SL, Duvall AJ . Embriology, anatomy and physiology of the ear
21. Milczuk, HA. Comprehensive Mangement of Children with Cleft Lip, Cleft
Palate, or Craniofacial. Avalaible from www.ohsu.edu/ent/peds/hamcomp.html
22. Owen MJ, Nechay KN, Howie VM. Brainstem auditory evoked potensials in
young children before and after tympanostomy tube replacement. Int J Ped
Otorhinolaryngol
; 25 : 105 – 17,1993
23. Paradise J, Bluestone CD. Tympanometric detection of middle ear effusion in
infant
and young children. Pediatrics 58 : 198 -210,1976
24 .Rappaport JM, Provençal C. Neuro-otology for audiologists. Dalam: Katz J,
Burkard RF, Medwetsky editors. Handbook of clinical audiology edisi ke-5.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; . p.9-30., 2002
25. Shah P, Wong D. Management of children with cleft lip and palate. CMA Journal
vol122, January 12, 1980
26. Scott Smith. Medical Encyclopedia Eustachian Tube. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/19596.html
27. Stool, S.E, et al. Ear disease in Children with Cleft Palate : State of the Art. In :
Bardach JB Morris, HL. Multidisiciplilinary of Cleft Lip and Palate. WB
Saunders
Company p 85 – 91, 1990
28. Tuncbilek G, Ozgur F, Begin E. Audilogic and Tympanometric Findings in Childr
en With Cleft lip and Palate .The Cleft Palate – Craniofacial Journal: vol 40, No 3,
pp
34 – 309, 2002.
29. Timothy C.Hain. Eustachian tube dysfunction. Available at:
http://www.tchain.com/otoneurology/disorders/symptoms/etdysfunction.htm
30. Onusko E. Tympanometry. American Family Physician. Available at:
http://www.aafp.org/afp/AFPprinter/20041101/1713.html?print=yes
31. Zol B. Kryger, Mark Cisco. Practical Plastic Surgery. Austin, Texas, USA:
Landes Bioscience, 2007.
Download