Cakradonya Dent J 2012; 4(2):475-542 EPIDEMIOLOGI MOLEKULER KANKER Abdillah I Nasution Program Studi Kedokteran Gigi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala ABSTRAK Epidemiologi molekuler merupakan penggabungan ilmu molekuler, seluler, dan pengukuran biologi dalam penelitian epidemiologi termasuk integrasi teknik biologi molekuler dalam studi epidemiologi menawarkan kesempatan untuk lebih memahami penyebab kanker, sejarah penyakit dari berbagai jenis kanker, dan penentu kelangsungan hidup setelah kanker didiagnosis. Beberapa metode yang biasa digunakan dalam biomelekuler seperti Hybrid Capture (HC) dan polymerase chain reaction (PCR) memiliki keuntungan dalam pendekatan epidemiologi molekuler. Keuntungan yang paling utama dari kedua metode ini adalah memiliki sensitivitas yang tinggi dan kebutuhan jumlah data purifikasi DNA yang relatif kecil. Artikel ini akan menjelaskan bagaimana penggunaan teknik molekuler yang informatif tersebut dalam penelitian untuk epidemiologi, prediksi peningkatan insiden, deteksi dini, dan kematian akibat kanker. Kata kunci: epidemiologi molekuler, kanker ABSTRACT The epidemiologic molecular as the incorporation of molecular, cellular, and other biologic measurements into epidemiologic research including the integration of molecular biologic techniques into epidemiologic studies offers a opportunities to better understand the causes of cancer, the natural history of the different types of cancer, and the determinants of survival once a cancer is diagnosed. The advantages of methods include Hybrid Capture (HC) and polymerase chain reaction (PCR) in molecular epidemiology approaches include high sensitivity and the need for relatively small amount of purified DNA. Finally, this article will be describe how use of molecular techniques is informative in epidemiological studies of cancer and is predicted to lead to improvements in cancer incidence, early detection, and mortality. Keywords: Epidemiology molecular, cancer. 524 Cakradonya Dent J 2012; 4(2):475-542 mendalam dan menjanjikan. Strategi ini dikenal sebagai epidemiologi molekular. Pada perkembangan selanjutnya, strategi ini menjadi sangat penting pada penegakan diagnosa, pengembangan strategi pencegahan, isu pembahasan tentang etika, sosial dan aspek legal penyakit kanker. 2 Epidemilogi molekuler merupakan salah satu bidang peneltian yang sangat penting pada saat ini. 2 Suatu pencarian Pubmed pada istilah "epidemiology molecular" pada bulan Juli 2004 ditemukan lebih dari 3.500 kutipan. Pemeriksaan kutipan atas pencarian epidemiology molecular lebih banyak menunjukkan bahwa aplikasi epidemiologi molekular digunakan dalam riset kanker.2 Schulte mendeskripsikan istilah epidemiology molecular sebagai penggabungan dari molekular, selular, dan penilaian biologi pada riset epidemiologi.3 Istilah epidemiology molecular pada mulanya dipopulerkan dalam konteks penyakit kronis. Berbagai bukti penelitian di negara maju menunjukkan bahwa mayoritas kanker pada prinsipnya dapat dicegah. Dasar pemikiran ini adalah faktor yang menentukan timbulnya kanker sebagian besar adalah eksogen. Bukti ini sebagian besar berasal dari studi epidemiologi molekuler yang menjelaskan beberapa hal penting mengenai: kecenderungan waktu kematian dan timbulnya kanker; variasi geografi dan efek migrasi; identifikasi faktor-faktor spesifik seperti rokok, bahan-kimia lingkungan, radiasi, virus dan pengamatan akan kejadian kanker yang menunjukkan pola genetis yang sederhana.2,4 Epidemiologi molekuler juga berkembang dengan kemampuannya menentukan bahwa faktor genetik merupakan faktor yang sangat penting pada seseorang yang mengidap kanker, di mana jarang sekali ditemukan faktor herediter berperan pada penderita kanker.4 Faktor lingkungan dan faktor gaya hidup sangat berpotensi pada hubungannya dengan kanker, tantangan ini terutama sekali jika relevansi terpapar yang terjadi pada masa lalu.14 Sebuah studi baru yang dilakukan para peneliti Amerika menemukan bahwa Human Papilloma Virus (HPV) yang kini merupakan penyebab kasus kanker mulut yang sama banyaknya dengan tembakau dan alkohol, akan menjadi penyebab utama dalam 10 tahun ke depan. Para peneliti menduga hal ini disebabkan perubahan dalam perilaku seksual pria dan penurunan kanker mulut yang tidak PENDAHULUAN Kanker, sampai saat ini masih menjadi penyakit yang menakutkan bagi banyak orang. Lebih dari 10 juta kasus baru terdeteksi setiap tahunnya. Sementara itu, pengetahuan mengenai kanker belum seluruhnya tuntas. Di sisi lain, ahli kanker di Indonesia jumlahnya masih sangat sedikit. Perkembangan persoalan kanker ini semakin mengkhawatirkan, apalagi rumah sakit khusus yang menangani penyakit mengerikan ini hanya satu di Indonesia, ditambah lagi alat untuk mendukung operasionalnya kurang begitu memadai. Risetriset untuk menangani penyakit kanker menjadi masalah yang sangat penting.1 Penelitian mengenai penyakit kanker di negara-negara maju belakangan ini telah mencapai banyak kemajuan terutama dalam hal epidemiologi molekular kanker. Sementara itu, di Indonesia perkembangan riset epidemiologi molekular kanker hingga saat masih dalam tahap awal.2 Apalagi diketahui pada sebuah studi baru yang dilakukan para peneliti Amerika menemukan bahwa Human Papilloma Virus (HPV) yang kini merupakan penyebab kasus kanker mulut yang sama banyaknya dengan tembakau dan alkohol, akan menjadi penyebab utama dalam 10 tahun ke depan. Para peneliti menduga hal ini disebabkan perubahan dalam perilaku seksual pria dan penurunan kanker mulut yang tidak berkaitan dengan HPV. Aplikasi yang berkenaan dengan studi tersebut adalah epidemiologi molekuler. Sangat diperlukan penelitian-penelitian epidemiologi molekular kanker yang inovatif untuk pencegahan kanker yang bermanfaat bagi pasien kanker di Indonesia. Tulisan ini dimaksudkan untuk mendiskusikan perkembangan dan penggunaan strategi epidemiologi molekuler dalam mengatasi salah satu penyakit yang merupakan penyebab utama kematian di dunia saat ini. TINJAUAN PUSTAKA Epidemiologi Molekuler Sebagai Strategi Pada awalnya, epidemiologi diketahui sebagai strategi pencegahan kanker yang sangat sukses dalam mengidentifikasi faktor lingkungan dan gaya hidup yang dapat meningkatkan ataupun mengurangi resiko suatu penyakit. Pengintegrasian teknik molekular ke dalam studi epidemiologi menjadikannya sebuah strategi yang lebih 525 Cakradonya Dent J 2012; 4(2):475-542 fenomena yang terjadi pada peristiwa progresi ataupun penyebab kanker. 5 Biomarkers yang digunakan pada epidemiologi molekuler di dalam riset kanker dapat digolongkan ke dalam tiga kategori, yaitu: biomarkers of exposure,6 yang terdiri dari: markers of dose,7 markers of internal dose,8,9 markers of biologically effective dose,10. Kategori biomarker yang kedua adalah biomarker of effect yang dibagi dalam: markers of altered structure/ function,11,12 markers of clinical desease, serta markers of prognosis.13 Kategori yang terakhir adalah kategori biomarkers of susceptibility13 Biomarker kejadian (biomarkers of exposure) adalah penanda biologi yang menunjukkan kehadiran dan besarnya paparan kanker dengan persenyawaan di sekitarnya, misalnya, kehadiran suatu kanker yang disebabkan oleh virus6, jumlah kanker yang disebabkan oleh virus,7 paparan DNA yang dibentuk setelah pengaktifan karsinogen tertentu seperti aflatoxin,8,9 dan juga mutasi p53 somatik yang mengindikasikan segala penyebab kanker spesifik dan salah satu paparan genetis pada model multihit karsinogenesis.10 Biomarker kejadian pada kasus kanker ini terdiri dari: markers of dose,7 markers of internal dose,8,9 markers of biologically effective dose.10 Biomarker akibat (biomarker of effect) adalah penanda biologi yang menunjukkan atau mengindikasikan kehadiran dan besarnya respon biologi pada ekspose kanker dengan persenyawaan di sekitarnya. Biomarker akibat dibagi dalam: markers of altered structure/ function,11,12 markers of clinical desease, serta markers of prognosis.13 Contoh aplikasi biomarker efek ini antara lain perubahan ataupun penyimpangan yang disebabkan oleh kanker pada tatanan struktur ataupun fungsifungsi tertentu, misalnya: penyimpangan kromosom,11,12 perubahan reseptor estrogen dan progesteron pada kanker payudara, serta metabolisme polimorfisme pada drugmetabolism gen.13 Biomarkers kerentanan (biomarkers of susceptibility) adalah nilai-nilai biologi yang ditunjukkan pada perbedaan efek sensitivitas pada ekspose kanker dengan persenyawaan di sekitarnya. Contoh aplikasi biomarker ini adalah metabolisme polimorfisme pada gengen yang terlibat dalam metabolisme karsinogen dan detoksifikasi. 10 berkaitan dengan HPV. Selain kanker mulut, HPV juga menyebabkan kutil kelamin, kanker penis dan dubur.15 Faktor-faktor eksternal ini telah terbukti merupakan kesempatan emas untuk 2 pencegahan kanker. Optimisme ini menjelaskan bahwa perkembangan kanker bukan merupakan sebuah konsekuensi dari proses aging, dan spesies manusia tidak dapat dihindarkan dari ancaman kanker yang sangat tinggi. Kesadaran ini telah memunculkan betapa pentingnya pencarian perangkat yang lebih baik untuk menemukan upaya preventif sebagai sistem peringatan dini untuk mengidentifikasi agen lingkungan penyebab kanker dan sebelum kanker ganas bersikukuh di dalam tubuh seseorang.4 Selanjutnya epidemiologi molekular ini telah memberikan kontribusi pada pemahaman akan interaksi yang kompleks antara faktor host susceptibility dan faktor lingkungan yang kedua-duanya diperoleh secara inheriter dan didapat pada proses multi stage karsinogenesis.5 Paradigma epidemiologi molekuler sangat berbeda dengan epidemiologi tradisional yang banyak dilakukan dengan menggunakan database, kuisioner, ataupun dengan menggunakan wawancara telepon.2 Hal ini terbukti dapat memperkecil kesempatan untuk memperoleh sampel biologi yang penting bagi analisa molekular. Cara-cara epidemiologi tradisional yang pernah dilakukan dinyatakan dapat membatasi peluang epidemiologi molekuler yang juga berfungsi mengintegrasikan analisa molekular ke dalam epidemiologi kanker. 5 Biomarker Pada Epidemiologi Molekuler Kanker Nilai-nilai biologi yang merupakan dasar aplikasi epidemiologi molekuler telah banyak menghasilkan beberapa kajian yang tidak didapat pada aplikasi epidemiologi tradisional.2 Kajian tersebut antara lain: dosis internal, dosis efektif, efek biologi dini, mengubah struktur atau fungsi, diagnosa invasi kanker, metastasis tumor dan juga prognosis kanker. Biomarker kanker adalah penanda biologi yang mengindikasikan tahapantahapan kanker pada level fisiologis, seluler, sub seluler, dan molekuler. Dengan cara ini, ahli epidemiologi molekuler kanker dapat meningkatkan sebuah riset-riset penyingkapan 526 Cakradonya Dent J 2012; 4(2):475-542 anus, vagina, dan vulva. Penggunaan teknologi HPV DNA ini telah terbukti dapat mendeteksi sebesar 95% dari 100% spesimen dari berbagai kanker.19,20 Dengan teknik ini juga, para peneliti dapat menyimpulkan bahwa kasus kanker sel skuamosa mulut berkaitan dengan meningkatnya HPV di Amerika Serikat sejak 1973 sampai 2004, yang diakibatkan perubahan perilaku seksual.21 Gambar 1. Biomarker pada Epidemiologi Molekuler KESIMPULAN Epidemiologi molekuler diketahui sebagai strategi pencegahan kanker menjanjikan di masa depan. Nilai-nilai biologi yang merupakan dasar aplikasi epidemiologi molekular telah banyak menghasilkan beberapa kajian yang tidak didapat pada aplikasi epidemiologi tradisional. Biomarkers yang digunakan pada epidemiologi molekuler di dalam riset kanker adalah: biomarker pada ekspose (biomarkers of exposure), biomarker pada akibat (biomarker of effect), dan biomarker kerentanan (biomarkers of susceptibility). Analisis laboratorium biomarker pada epidemiologi molekuler yang digunakan memiliki sensitiviats yang tinggi dan membutuhkan DNA yang tidak begitu besar. Analisis Laboratorium Biomarker Pada Epidemiologi Molekuler Bagian penting dari analisis analisis laboratorium biomarker pada epidemiologi molekuler adalah perangkat analisis, perangkat biokimia, perangkat imunologis, serta perangkat biologi molekuler.10 Pada mulanya teknik non-amplifikasi seperti Southern blot, in situ hybridization, dan dot-blot digunakan pada pemeriksaan pelacakan radio-labeled asam nukleat untuk mendeteksi infeksi HPV.16,17 Kerugiankerugian pendekatan ini adalah kondisi selektivitas yang rendah dan juga membutuhkan DNA dalam jumlah besar.18 Selanjutnya dikembangkanlah suatu teknik yang diyakini mempunyai selekstivitas yang lebih baik lagi yaitu Hybrid Capture (HC) dan Polymerase Chain Reaction (PCR).16,17 DAFTAR PUSTAKA 1. Anonymous. Tahap awal penelitian kanker di Indonesia, Mochtar Riady Institute for Nanotechnology. 2008Jakarta 2. Yen CC and David JH. Molecular epidemiology of cancer. CA Cancer J Clin 2005; 55:45-54. 3. Schulte PA. Molecular Epidemiology: Principles and Practices. San Diego: Academic Press; 1993. 4. Frederica P, Perera I, Bernard W. Molecular epidemiology: recent advances and future directions. Carcinogenesis 2000; 21: 517-524 5. Perera FP. Environment and cancer: who are susceptible? Science, 1997: 278, 10681073 6. Josefsson AM, Magnusson PK, Ylitalo N. Viral load of human papilloma virus 16 as a determinant for development of cervical carcinoma in situ: a nested case-control study. Lancet 2000; 355: 2189 93. 7. Silins I, Wang X, Tadesse A, et al. A population-based study of cervical carcinoma and HPV infection in Latvia. Gynecol Oncol 2004; 93: 484 492. PCR dan Epidemiolgi Molekuler Kanker Mulut Berbagai PCR digunakan sebagai pendekatan dalam epidemiologi berbasis biomolekuler untuk mendeteksi jenis HPV yang membentuk kelompok ataupun yang tunggal.16 terdapat juga metode RT PCR (Reverse Tranverse Polymerase Chain Reaction).17 Penggunaan PCR pada dasarnya dilakukan dengan penggunaan konsensus dasar sehingga genotip HPV spesifik dapat ditentukan Dengan Restriction Fragment Length Polymorphisms (RFLP), linear probe assays, direct sequencing, serta genotypespecific PCR primers.18 Lebih dari 100 genotypes HPV telah diidentifikasi.14 Human Papilloma Virus (HPV) yang diseleksi adalah yang telah menyerang epitel selaput lendir dan kulit. Human Papilloma Virus (HPV) dapat diidentifikasi mempunyai hubungan yang erat dengan squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, dan displasia serviks, penis, 527 Cakradonya Dent J 2012; 4(2):475-542 cause of invasive cervical cancer worldwide. J Pathol 1999; 189: 12 19. 21. Schiffman MH, Castle P. Epidemiologic studies of a necessary causal risk factor: human papillomavirus infection and cervical neoplasia. J Natl Cancer Inst 2003; 95: E2 E2. 8. Wild CP, Jiang YZ, Sabbioni. Evaluation of methods for quantitation of aflatoxinalbumin adducts and their application to human exposure assessment. Cancer Res 1990; 50: 245 251. 9. Bennett RA, Essigmann JM, Wogan GN. Excretion of an aflatoxin-guanine adduct in the urine of aflatoxin B1-treated rats. Cancer Res 1981; 41: 650 654. 10. Olivier M, Hussain SP, Caron de Fromentel C, et al. TP53 mutation spectra and load: a tool for generating hypotheses on the etiology of cancer. IARC Sci Publ 2004: 247 270. 11. Hagmar L, Stromberg U, Bonassi S. Impact of types of lymphocyte chromosomal aberrations on human cancer risk: results from Nordic and Italian cohorts. Cancer Res 2004; 64: 2258-2263. 12. Hagmar L, Stromberg U, Tinnerberg H, Mikoczy Z. Epidemiological evaluation of cytogenetic biomarkers as potential surrogate end-points for cancer. IARC Sci Publ 2004: 207 215. 13. Chen J, Stampfer MJ, Hough HL. A prospective study of N-acetyltransferase genotype, red meat intake, and risk of colorectal cancer. Cancer Res 1998; 58: 3307 3311. 14. Cubie A. When is an STD not an STD? HPV and cervical cancer. Microbiol Today 2003; 30: 58 60. 15. Josefsson AM, Magnusson PK, Ylitalo N, et al. Viral load of human papilloma virus 16 as a determinant for development of cervical carcinoma in situ: a nested casecontrol study. Lancet 2000; 355: 2189-93. 16. Davey DD, Zarbo RJ. Human papillomavirus testing-are you ready for a new era in cervical cancer screening? Arch Pathol Lab Med 2003; 127: 927-929. 17. Auerkari EI, Sutanto H, dan Djais A. RT PCR (Reverse Tranverse-Polimerasi Chain) suatu cara pendeteksi perubahan ekspresi gen pada penyakit. JFKUI 1998: 5. 18. Hubbard RA. Human papillomavirus testing methods. Arch Pathol Lab Med 2003; 127: 940 945. 19. Silins I, Wang X, Tadesse A. A population-based study of cervical carcinoma and HPV infection in Latvia. Gynecol Oncol 2004; 93: 484 492. 20. Walboomers JM, Jacobs MV, Manos MM, et al. Human papillomavirus is a necessary 528