BAB I PENDAHULUAN Skripsi ini akan membahas mengenai hubungan antar kelompok di Irak pasca penarikan pasukan Amerika Serikat dari negara tersebut pada tahun 2011. Bagaimana hubungan antar kelompok yaitu Syiah, Sunni dan Kurdi menjadi perhatian peneliti. Dalam skripsi ini peneliti akan membahas ketiga kelompok tersebut sebagai kubu politik atau kelompok politik dan bukan dilihat dari suku atau etnis. Pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat, Irak memasuki era baru, masa transisi. Hal tersebut memberikan dampak yang sangat besar bagi Irak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Keberadaan pasukan keamanan Amerika Serikat selama ini dianggap sebagai stabilitator terhadap kondisi keamanan dan politik di Irak. Dengan keluarnya kekuatan asing tersebut, maka menjadi kesempatan bagi Irak untuk secara mandiri membangun perpolitikan dan menjaga keamanan negaranya secara mandiri. Akan tetapi jika melihat kondisi Irak saat ini, keluarnya pasukan Amerika Serikat justru membawa banyak permasalahan di Irak. Situasi politik dan sosial di Irak semakin memanas dan berpotensi memunculkan krisis yang lebih buruk di negara tersebut. Konflik antara Syiah, Sunni dan Kurdi mengalami peningkatan yang ditandai dengan aksi kekerasan dan ledakan bom terus terjadi dan menyebabkan banyak korban jiwa. Rangkaian kekerasan dan ledakan bom yang terjadi tidak lepas dari konflik yang melibatkan elit politik Syiah, Sunni dan Kurdi. Hal itu dikhawatirkan menyebabkan konflik yang semakin memburuk antara kelompok tersebut. A. Alasan Pemilihan Judul Irak menjadi perhatian dunia sejak jaman dahulu sampai saat ini. Invasi yang dilakukan Amerika Serikat dan Sekutunya pada Maret 2003 membuat negara tersebut semakin menjadi perhatian dunia. Invasi itu bertujuan untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein yang dianggap oleh Amerika Serikat memiliki bom nuklir dan senjata pemusnah massal serta dianggap telah membantu 1 pergerakan kelompok teroris Al-Qaeda, meskipun belakangan hal tersebut diklarifikasi oleh pentagon bahwa Saddam tidak memiliki hubungan dengan AlQaeda1. Kemudian fakta lainnya hingga penarikan pasukan Amerika Serikat dari Irak, apa yang dituduhkan bahwa Irak memiliki bom dan senjata pemusnah massal tidak dapat dibuktikan oleh Amerika Serikat. Invasi Amerika Serikat ini telah menyebabkan banyak korban jiwa, baik dari tentara Amerika Serikat maupun dari pihak loyalis Saddam Hussein. Namun yang menjadi sorotan adalah jatuhnya banyak korban jiwa dari penduduk sipil di Irak. Berdasarkan data selama rentang waktu 2003 hingga 2011 sebanyak 116,216 jiwa penduduk sipil menjadi korban.2 Setelah 8 tahun, akhirnya pasukan Amerika Serikat ditarik dari Irak. Namun yang menjadi perhatian adalah kondisi keamanan Irak pasca ditariknya pasukan Amerika Serikat justru menjadi lebih buruk dan semakin tidak jelas. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah konflik antar kelompok Sunni, Syiah yang terus meningkat pasca hengkangya pasukan Amerika Serikat.3 Kondisi keamanan semakin memburuk karena kelompok-kelompok perlawanan seperti ekstrimis Syah, militan Sunni dan juga Al-Qaeda semakin sering melakukan aksinya. Pasukan keamanan Irak, baik militer maupun kepolisian, masih belum mampu bahkan masih jauh dari mampu untuk mengamankan negara itu. Kondisi Irak yang tidak stabil dan porak-poranda akibat kekerasan dan kekisruhan politik menunjukkan bahwa Irak belum siap untuk mengurus negaranya sendiri tanpa adanya bantuan Amerika Serikat. Amerika Serikat menganggap Irak merupakan sebuah model ideal demokrasi di Timur Tengah karena telah berhasil melaksanakan 2 kali pemilihan umum. Akan tetapi dengan ditariknya Pasukan Amerika Serikat justru membuat keadaan menjadi kacau. Pemerintahan dibawah kendali Perdana Menteri Nouri alMaliki yang berasal dari kelompok Syiah masih rapuh dari ancaman kelompok 1 News BBC UK. “Saddam Had No Link To Al-Qaeda”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/5328592.stm. Diakses 5 Agustus 2012. 2 Iraq Body Count (IBC). Iraqi deaths from violence 2003–2011. http://www.iraqbodycount.org/analysis/numbers/2011/. Diakses 13 Oktober 2012 3 The Washington Post. Iraq violence up sharply since U.S. troops’ exit. January 17, 2012. http://articles.washingtonpost.com/2012-01-17/world/35438339_1_wathiq-hashimi-insurgents. Diakses 12 Juli 2013 2 lainnya yang ada dalam pemerintahan. Kekacauan politik di elit tidak lepas dari konflik kelompok mulai dari masyarakat di akar rumput. Harapan untuk sebuah rekonsiliasi nasional diantara kelompok yang bertikai semakin jauh dari harapan, justru yang muncul adalah perpecahan yang semakin mengkhawatirkan di Irak. B. Latar Belakang Pada tanggal 19 Maret tahun 2003, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan George W. Bush berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein yang telah berkuasa sejak tahun 1979 di Irak.4 Amerika Serikat sejak lama ingin menumbangkan rezim Saddam Hussein karena Amerika serikat menganggap kepemimpinan Saddam Hussein yang diktator dan represif terhadap rakyatnya perlu untuk diturunkan dari kekuasaannya. Gaya kepemimpinan Saddam dianggap membahayakan rakyatnya sendiri, terutama Kurdi dan Syiah. Disamping itu Irak dibawah Saddam juga membahayakan negara disekitarnya yaitu Iran dan Kuwait. Namun yang paling utama, Amerika Serikat menganggap Saddam menyembunyikan senjata biologis dan senjata pemusnah massal yang membahayakan seluruh dunia. Semula Amerika Serikat merasa perlu untuk menyelesaikan masalah di Irak secara menyeluruh. AS menganggap bahwa serangan – serangan ke Irak bertujuan untuk menegakkan demokrasi. Akan tetapi setelah rezim Saddam Hussein jatuh, justru timbul masalah – masalah baru yang tidak diprediksi sebelumnya oleh pemerintahan Bush, bermunculan pasca Saddam Hussein dieksekusi mati di tiang gantungan pada 30 desember 2006. Sebagai contoh, instabilitas keamanan dan politik, perekonomian yang tidak berjalan dengan baik, hingga tidak adanya pengakuan rakyat terhadap pemerintahan baru bentukan Amerika Serikat. Dalam pernyataanya Dr. Lubna Naji, seorang pengamat, menyatakan bahwa keberadaan AS di Irak membawa permasalahan dan kekacauan di negara tersebut: 4 About.com. ”Saddam Hussein”, http://history1900s.about.com/od/saddamhussein/p/saddamhussein.htm. Diakses 7 agustus 2012. 3 “Everyone is to blame when it comes to Iraq. Everyone has harmed this country really bad. The occupation made a mess, and as for our politicians, we know how they are, they just don’t stop getting it wrong. And don’t forget the Iraqi people themselves. They ate the bait, they fell into the trap.” 5 Walaupun begitu, invasi Amerika Serikat tetap berjalan selama bertahuntahun. Senjata pemusnah massal yang tidak terbukti dimiliki Saddam pun tidak mampu menjadi alasan bagi penghentian invasi tersebut. Baru pada tahun 2006, perubahan situasi politik Amerika Serikat yaitu menurunnya dukungan terhadap Bush yang berakhir dengan diambil alihnya pemerintahan oleh oposisinya yang anti invasi, ditambah kemunduran ekonomi Amerika Serikat tahun 2007, menjadi titik tolak bagi penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Irak. Pada Desember 2011, pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa perang Amerika Serikat Irak berakhir dan pasukan Amerika Serikat sepenuhnya ditarik mundur dari Irak. Invasi Amerika di Irak ini telah memakan banyak korban jiwa baik dari pihak Amerika dan sekutunya, pihak Irak, maupun dari penduduk sipil. Penduduk Sipil yang menjadi korban sebanyak 116,216 sedangkan dari pasukan Amerika Serikat dan Koalisi sebanyak 4,802 jiwa.6 Invasi Amerika ini telah menghabiskan biaya yang sangat besar. Menurut data, anggaran yang digunakan mencapai 1 triliun dollar Amerika.7 Anggaran tersebut diambil dari pajak yang dibayar oleh rakyat Amerika. Hal tersebut menjadi sorotan dan menimbulkan protes dari rakyat amerika sendiri. Hingga masa penarikan, apa yang dituduhkan oleh Amerika 5 Chohan, Aneka. Future Of Iraq. 16, Jan 2012 . http://blogs.thenews.com.pk/blogs/2012/01/thefuture-of-iraq/. Diakses 12 Juli 2012 6 Op cit Hal 3 7 US Liberal Politics. ”Iraq War Facts, Results & Statistics at January 31, 2012”, http://usliberals.about.com/od/homelandsecurit1/a/IraqNumbers.htm. Diakses 7 September 2012. 4 Serikat bahwa Irak dibawah Saddam memiliki senjata pemusnah massal tidak dapat dibuktikan. 8 Pasca penarikan pasukan AS, salah satu permasalahan yang cukup mengkhawatirkan adalah disintegrasi kelompok-kelompok di Irak. Sunni, Syiah dan Kurdi menjadikan Irak kota yang berdarah. Permasalahan ini berdampak besar pada Irak di berbagai segi, baik politik, ekonomi dan sosial. Bahkan dalam bulan Juli ini (hingga 13 Juli 2013), serangan-serangan terhadap tempat keramaian terus terjadi yang menelan korban 184 warga sipil yang tewas.9 Di Irak, isu kekuasaan selalu berkaitan dengan keberadaan tiga kelompok yang telah disebutkan di atas. Konflik di antara mereka terdapat dimensi politis dan ada kepentingan-kepentingan dalam memperebutkan akses sumber daya politik di pemerintah. Ketika masa kekuasaan Saddam Hussein, Sunni merupakan kelompok yang mendapatkan perlakuan istimewa, terutama dalam elit politik di Irak. Hubungan ketiga kelompok tersebut tidak pernah harmonis. Syiah dan Kurdi tidak pernah mendapatkan posisi di pemerintahan dan mengalami tindakan represif, sehingga akhirnya muncul protes dan perlawanan. Mereka sangat sulit untuk bersatu karena tidak ada rasa saling menghormati dan kesadaran untuk bersatu pada diri mereka, baik dari kelompok minoritas maupun dari kelompok mayoritas. Sementara itu, ketika Irak dikuasai Amerika Serikat, Syiah, yang merupakan kelompok mayoritas Irak, diberikan akses kekuasaan yang lebih besar. Skema kekuasaan menjadi berubah, Sunni tidak lagi mendapatkan keistimewaan sebagaimana di era Saddam Hussein. Dengan kepergian Amerika Serikat dari Irak, peningkatan konflik antara Syiah, Sunni, dan Kurdi menjadi menarik untuk diteliti. Permasalahan disintegrasi kelompok yang telah lama berakar dan situasi 8 Time U.S. “Iraq: How the CIA Says It Blew It on Saddam’s WMD”, http://nation.time.com/2012/09/06/iraq-how-the-cia-says-it-blew-it-on-saddamswmd/#ixzz25qWVo2nc. Diakses 7 September 2012 9 Iraq Body Count. “Recent Events”. http://www.iraqbodycount.org/database/recent/. Diakses 15 Juli 2013. 5 Irak yang dalam transisi pemerintahan tentunya akan mempengaruhi hubungan ketiga kelompok tersebut. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis eksplorasi di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: Mengapa konflik antara kelompok Sunni, Syi’ah dan Kurdi di Irak mengalami peningkatan pasca penarikan pasukan Amerika Serikat? D. Landasan Konseptual Untuk melihat bagaimana konflik antar kelompok di Irak bisa terjadi maka peneliti melihatnya dari bebarapa faktor penyebabnya. Hal tersebut sejalan dengan konsep Konflik Etnis oleh Jack Snyder. Namun peneliti memodifikasi teori tersebut agar dapat digunakan dalam penelitian ini, karena dalam permasalahan di Irak yang diangkat adalah permasalah kelompok dan bukan melihatnya sebagai etnis. Menurut peneliti bahwa pola pemikiran Jack Snyder tersebut sejalan dengan apa yang akan dibahas skripsi ini sehingga dapat digunakan dan menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antar kelompok di Irak. Seperti diketahui bahwa yang terjadi di Irak adalah konflik antar kelompok sehingga peneliti melihat Syiah, Sunni, dan Kurdi sebagai kelompok-kelompok politik. Keberadaan ketiga kelompok ini di Irak terkotak-kotak dan bersifat konfliktual, karena ketiganya memiliki ideologi dan tujuan politik yang berbeda. Perpecahan antar kelompok tersebut terbukti bersifat kaku dan abadi, karena kesetiaan pada kelompok bersifat menyeluruh, merembes ke dalam berbagai aspek. Kesetiaan pada kelompok menjadi penyebab terjadinya konflik. Tidak ada saling pengertian antar kelompok yang satu dan yang lainnya menjadi akar dari permasalahan di Irak. Menurut Lewis Coser konflik adalah perjuangan untuk mencapai tujuantujuan dan secara terus menerus berusaha menetralisir, melukai, ataupun 6 melenyapkan lawan.10 dalam hal ini artinya terdapat suatu hal yang tidak sesuai antara tujuan dan cara antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam suatu masayarakat majemuk seperti di Irak, perbedaan identitas yang mencakup budaya dan etnisitas sering menimbulkan perbedaan-perbedaan yang kerap menuju pada konflik. Sebuah konflik dapat dikatakan konflik jika terjadi perselisihan tentang isu-isu politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun territorial antara dua atau lebih masyarakat. Dalam kasus di Irak, konflik yang terjadi adalah perebutan kekuasaan politik antar kelompok hingga melibatkan semua kalangan mulai dari masyarakat di akar rumput hingga level elit politik. Ditariknya pasukan Amerika Serikat dari Irak menjadikan intensitas konflik di negara tersebut semakin meningkat. Konflik antar kelompok di Irak dilihat berdasarkan teorisasi konflik oleh Jack Snyder, bahwa konflik antar kelompok lebih disebabkan karena faktor-faktor yang ada di dalam negeri. Adapun faktor-faktor tersebut antara lain :11 Efektifitas pemerintah dalam memenuhi tuntutan rakyatnya, Nasionalisme kelompok, Demokratisasi, Kecenderungan untuk membentuk partai politik berdasarkan kelompok. Namun yang akan diambil untuk melihat konflik di Irak adalah faktor kedua, Nasionaliseme Kelompok, dan ketiga, Demokratisasi. Nasionalisme kelompok. Nasionalisme kelompok bukan tergantung pada institusi, melainkan budaya. Kebangkitan nasionalisme kelompok di satu kelompok dilihat sebagai ancaman oleh kelompok lain, sehinga berujung pada terjadinya disintegrasi kelompok. Akibat tingginya nasionalisme kelompok maka mereka membentuk partai politik berdasarkan garis kelompoknya masing-masing. Afiliasi partai lebih merupakan cerminan dari identitas kelompok daripada sebuah pendirian sistem politik. Seperti yang terjadi di Irak dimana partai-partai politk didirikan berdasarkan kelompok-kelompok. 10 D. L. Horowitz, Ethnic Groups In Conflict, University of California, California, 1983, hal. 95. B. E. Michael, ‘Ethnicity and Violence’, dalam M. Guibernau dan J. Rex (eds), The Ethnicity, Polity Press, Cambridge, 1999, hal. 81. 11 7 Demokratisasi Apabila rezim yang terdahulu berasal dari kelompok minoritas, maka masalah kelompok akan menyulitkan proses pembuatan aturan politik. Jika rezim terdahulu memperburuk masalah antar kelompok melalui tindakan otoritarian dan kekerasan terhadap suatu kelompok, maka proses demokratisasi akan menjadi semakin sulit. Dalam permasalahan di Irak, proses menuju demokrasi baru terlaksana setelah sebelumnya negara tersebut berada dalam rezim otoritarian. Dimana kelompok yang menjadi penguasa melakukan tindakan kekerasan terhadap kelompok lainnya. Pada saat transisi menuju demokrasi, hingga periode ini telah melaksanakan dua kali Pemilihan Umum, Irak masih sulit untuk melaksanakan Demokrasi yang diharapkan banyak pihak. Kelompok terdahulu yang menjadi penguasa sangat sulit untuk melepaskan kepada kelompok lainnya, sehingga konflik dan perebutan kepentingan sulit untuk dihindari. Pasca tumbangnya rezim Saddam Hussein, Amerika Serikat bertujuan untuk mendorong transisi pemerintahan di Irak dari rezim Saddam yang otoriter menuju demokratis. Karena inisiatif untuk melakukan perubahan datang dari Amerika Serikat, maka dianggap bahwa cara transisi rezim di Irak akan diarahkan menuju demokrasi ala Amerika Serikat. Dalam transisi, stabilitas politik cenderung rentan terhadap masalah konflik kepentingan dalam skema kekuasaan. Adanya transisi pemerintahan dari rezim Saddam ke rezim demokratis justru membuat instabilitas demokrasi di Irak. Proses demokrasi yang terjadi di bekas negara yang dipimpin oleh rezim tirani ini memang lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Peace Building yang dibangun oleh Amerika Serikat di Irak pasca tumbangnya Saddam Hussein juga terlihat semu. Untuk membahas masalah transisi maka peneliti menggunakan konsep Transisi. Salah satu konsep pemikiran tentang transisi yang dapat menjelaskan 8 masalah di Irak adalah proses ‖Pergantian‖ oleh Samuel P. Huntington.12 Dijelaskan dalam buku tersebut bahwa kelompok yang dulunya merupakan kelompok oposisi kini berkuasa dan manakala kelompok-kelompok dalam pemerintahan yang baru saling berselisih mengenai hakikat dari rezim yang seharusnya mereka lembagakan, maka konflik itu kemudian memasuki fase baru. Dalam proses pergantian tersebut terdapat tiga fase yang berbeda: perjuangan untuk menumbangkan rezim, tumbangnya rezim, dan perjuangan setelah tumbangnya rezim. Dalam proses pergantian tesebut, di fase pertama, perjuangan untuk menumbangkan rezim, kelompok oposisi diuntungkan oleh masuknya Amerika Serikat. Bisa dikatakan bahwa mereka tidak berjuang secara langsung untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein yang sedang berkuasa, melainkan diuntungkan oleh invasi Amerika Serikat. Bahkan setelah rezim Saddam Hussein berhasil ditumbangkan, kelompok oposisi yaitu Syiah mendapat dukungan untuk menjadi penguasa baru di negara Irak. Namun yang menjadi fokus dari pergantian tersebut adalah fase perjuangan setelah tumbangnya rezim. Setelah Saddam Hussein berhasil turun, maka terjadi pergeseran kekuasan dimana kelompok Sunni yang menjadi penguasa di rezimnya sekarang menjadi kelompok ‖oposisi‖. Meskipun pada pemerintahan baru Irak, kelompok Sunni mendapatkan posisi Wakil Presiden Irak,13 namun permasalahan bagi kelompok Syiah setelah mereka berada di posisi saat ini yaitu mempertahankannya dari upaya kelompok Sunni untuk mendapatkan kembali kedudukan mereka seperti rezim Saddam Hussein dahulu. Fase transisi menjadikan kelompok Syiah sebagai penguasa baru dengan kekuatan dan legitimasi yang bisa dikatakan masih sangat rentan, baik dalam artian rentan terhadap konflik kepentingan internal maupun terhadap pengaruh kepentingan eksternal. Penarikan pasukan Amerika Serikat sebagai sebuah 12 Huntington, Samuel P. “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. Pustaka Utama Graffiti, Jakarta, 1997. Hal. 180 13 CIA World Factbook. Irak. 2012. https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/iz.html. 14 Juli 2012 9 tantangan bagi Irak dalam melewati masa transisi. Pasukan Amerika Serikat sebagai aktor utama dalam pengelolaan konflik meninggalkan tanggung jawab besar pada pasukan Irak dalam memenuhi kepentingan keamanan dalam negeri. Akan tetapi kondisi Irak yang masih rapuh dan semakin meningkatnya konflik Sunni, Syiah, dan Kurdi mendorong Irak untuk membuka pintu kerjasama dengan negara tetangga seperti Iran dan Turki. Masa transisi Irak membentuk hubungan antara Irak dan Iran sebagai hubungan yang sangat strategis, baik dalam memenuhi pembangunan ekonomi melalui kerjasama maupun dalam mengelola kepentingan Iran melalui elit politik Syiah di Irak. Selain itu faktor kedekatan antara elit Syiah antara kedua negara tersebut akan semakin meningkatkan kerjasama keduanya. Sedangkan bagi Turki, membuka kerjasama dengan Irak adalah untuk kepentingan meredam pemberontakan ekstrimis Kurdi di wilayah Irak utara yang berbatasan dengan Turki. E. Hipotesa Meningkatnya konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan Kurdi pasca penarikan pasukan Amerika Serikat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pemerintah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, penguatan identitas kelompok, terpecahnya kekuatan militer berdasarkan kelompok, menurunnya legitimasi pemerintah karena ditariknya kekuatan militer Amerika Serikat, dan pembentukan partai politik berdasarkan kelompok. Rentannya kondisi sosial dan politik Irak pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat membuat negara-negara seperti Iran dan Turki turut campur guna menancapkan pengaruhnya di dalam politik domestik Irak yang baru. Selain itu meningkatnya konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan Kurdi juga mempengaruhi hubungan diplomatik antara Irak dan Amerika Serikat pasca penarikan pasukan AS dari Irak. 10 F. Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Penulis menggolongkan penelitian ini ke dalam jenis penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti perilaku kelompok manusia, suatu subyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun kilas peristiwa baik pada masa lampau maupun pada masa sekarang.14 Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.15 Karena itu penelitian skripsi ini lebih bersifat literer, yakni kajian yang menggunakan studi pustaka bahan-bahan tertulis.16 Fokus utama dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara kelompok di Irak pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dilihat dari konsep konflik etnis (kelompok politik) dan transisi yang mempengaruhi hubungan antara kelompok Syiah, Sunni, dan Kurdi. Karena itu, peneliti akan menjelaskan bagaimana hubungan antar kelompok-kelompok politik di Irak yaitu Syiah, Sunni, dan Kurdi sejak era pemerintahan Saddam Hussein hingga penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari negara tersebut. peneliti juga akan membahas apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hubungan antar kelompok tersebut pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat. b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yang dijadikan sebagai data dalam penulisan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil atau bahan-bahan dokumenter tentang obyek penelitian yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Sementara teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan (library research), baik dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah, artikel surat kabar dan internet. 14 Noh. Nazir, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 63. Ibid 16 Tatang M. Anwari, 1996, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali, hal, 135. 15 11