1 BAB I PENDAHULUAN Skripsi ini akan membahas

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
Skripsi ini akan membahas mengenai hubungan antar kelompok di Irak
pasca penarikan pasukan Amerika Serikat dari negara tersebut pada tahun 2011.
Bagaimana hubungan antar kelompok yaitu Syiah, Sunni dan Kurdi menjadi
perhatian peneliti. Dalam skripsi ini peneliti akan membahas ketiga kelompok
tersebut sebagai kubu politik atau kelompok politik dan bukan dilihat dari suku
atau etnis. Pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat, Irak memasuki era
baru, masa transisi. Hal tersebut memberikan dampak yang sangat besar bagi Irak,
baik dampak positif maupun dampak negatif. Keberadaan pasukan keamanan
Amerika Serikat selama ini dianggap sebagai stabilitator terhadap kondisi
keamanan dan politik di Irak. Dengan keluarnya kekuatan asing tersebut, maka
menjadi kesempatan bagi Irak untuk secara mandiri membangun perpolitikan dan
menjaga keamanan negaranya secara mandiri. Akan tetapi jika melihat kondisi
Irak saat ini, keluarnya pasukan Amerika Serikat justru membawa banyak
permasalahan di Irak.
Situasi politik dan sosial di Irak semakin memanas dan berpotensi
memunculkan krisis yang lebih buruk di negara tersebut. Konflik antara Syiah,
Sunni dan Kurdi mengalami peningkatan yang ditandai dengan aksi kekerasan
dan ledakan bom terus terjadi dan menyebabkan banyak korban jiwa. Rangkaian
kekerasan dan ledakan bom yang terjadi tidak lepas dari konflik yang melibatkan
elit politik Syiah, Sunni dan Kurdi. Hal itu dikhawatirkan menyebabkan konflik
yang semakin memburuk antara kelompok tersebut.
A. Alasan Pemilihan Judul
Irak menjadi perhatian dunia sejak jaman dahulu sampai saat ini. Invasi
yang dilakukan Amerika Serikat dan Sekutunya pada Maret 2003 membuat negara
tersebut semakin menjadi perhatian dunia. Invasi itu bertujuan untuk
menumbangkan rezim Saddam Hussein yang dianggap oleh Amerika Serikat
memiliki bom nuklir dan senjata pemusnah massal serta dianggap telah membantu
1
pergerakan kelompok teroris Al-Qaeda, meskipun belakangan hal tersebut
diklarifikasi oleh pentagon bahwa Saddam tidak memiliki hubungan dengan AlQaeda1. Kemudian fakta lainnya hingga penarikan pasukan Amerika Serikat dari
Irak, apa yang dituduhkan bahwa Irak memiliki bom dan senjata pemusnah massal
tidak dapat dibuktikan oleh Amerika Serikat. Invasi Amerika Serikat ini telah
menyebabkan banyak korban jiwa, baik dari tentara Amerika Serikat maupun dari
pihak loyalis Saddam Hussein. Namun yang menjadi sorotan adalah jatuhnya
banyak korban jiwa dari penduduk sipil di Irak. Berdasarkan data selama rentang
waktu 2003 hingga 2011 sebanyak 116,216 jiwa penduduk sipil menjadi korban.2
Setelah 8 tahun, akhirnya pasukan Amerika Serikat ditarik dari Irak.
Namun yang menjadi perhatian adalah kondisi keamanan Irak pasca ditariknya
pasukan Amerika Serikat justru menjadi lebih buruk dan semakin tidak jelas. Hal
ini ditunjukkan dengan jumlah konflik antar kelompok Sunni, Syiah yang terus
meningkat pasca hengkangya pasukan Amerika Serikat.3 Kondisi keamanan
semakin memburuk karena kelompok-kelompok perlawanan seperti ekstrimis
Syah, militan Sunni dan juga Al-Qaeda semakin sering melakukan aksinya.
Pasukan keamanan Irak, baik militer maupun kepolisian, masih belum mampu
bahkan masih jauh dari mampu untuk mengamankan negara itu. Kondisi Irak
yang tidak stabil dan porak-poranda akibat kekerasan dan kekisruhan politik
menunjukkan bahwa Irak belum siap untuk mengurus negaranya sendiri tanpa
adanya bantuan Amerika Serikat.
Amerika Serikat menganggap Irak merupakan sebuah model ideal
demokrasi di Timur Tengah karena telah berhasil melaksanakan 2 kali pemilihan
umum. Akan tetapi dengan ditariknya Pasukan Amerika Serikat justru membuat
keadaan menjadi kacau. Pemerintahan dibawah kendali Perdana Menteri Nouri alMaliki yang berasal dari kelompok Syiah masih rapuh dari ancaman kelompok
1
News BBC UK. “Saddam Had No Link To Al-Qaeda”, http://news.bbc.co.uk/2/hi/5328592.stm.
Diakses 5 Agustus 2012.
2
Iraq Body Count (IBC). Iraqi deaths from violence 2003–2011.
http://www.iraqbodycount.org/analysis/numbers/2011/. Diakses 13 Oktober 2012
3
The Washington Post. Iraq violence up sharply since U.S. troops’ exit. January 17, 2012.
http://articles.washingtonpost.com/2012-01-17/world/35438339_1_wathiq-hashimi-insurgents.
Diakses 12 Juli 2013
2
lainnya yang ada dalam pemerintahan. Kekacauan politik di elit tidak lepas dari
konflik kelompok mulai dari masyarakat di akar rumput. Harapan untuk sebuah
rekonsiliasi nasional diantara kelompok yang bertikai semakin jauh dari harapan,
justru yang muncul adalah perpecahan yang semakin mengkhawatirkan di Irak.
B. Latar Belakang
Pada tanggal 19 Maret tahun 2003, Amerika Serikat di bawah
kepemimpinan George W. Bush berhasil menumbangkan rezim Saddam Hussein
yang telah berkuasa sejak tahun 1979 di Irak.4 Amerika Serikat sejak lama ingin
menumbangkan rezim Saddam Hussein karena Amerika serikat menganggap
kepemimpinan Saddam Hussein yang diktator dan represif terhadap rakyatnya
perlu untuk diturunkan dari kekuasaannya. Gaya kepemimpinan Saddam dianggap
membahayakan rakyatnya sendiri, terutama Kurdi dan Syiah. Disamping itu Irak
dibawah Saddam juga membahayakan negara disekitarnya yaitu Iran dan Kuwait.
Namun
yang
paling
utama,
Amerika
Serikat
menganggap
Saddam
menyembunyikan senjata biologis dan senjata pemusnah massal yang
membahayakan seluruh dunia.
Semula Amerika Serikat merasa perlu untuk menyelesaikan masalah di
Irak secara menyeluruh. AS menganggap bahwa serangan – serangan ke Irak
bertujuan untuk menegakkan demokrasi. Akan tetapi setelah rezim Saddam
Hussein jatuh, justru timbul masalah – masalah baru yang tidak diprediksi
sebelumnya oleh pemerintahan Bush, bermunculan pasca Saddam Hussein
dieksekusi mati di tiang gantungan pada 30 desember 2006. Sebagai contoh,
instabilitas keamanan dan politik, perekonomian yang tidak berjalan dengan baik,
hingga tidak adanya pengakuan rakyat terhadap pemerintahan baru bentukan
Amerika Serikat.
Dalam pernyataanya Dr. Lubna Naji, seorang pengamat,
menyatakan bahwa keberadaan AS di Irak membawa permasalahan dan
kekacauan di negara tersebut:
4
About.com. ”Saddam Hussein”,
http://history1900s.about.com/od/saddamhussein/p/saddamhussein.htm. Diakses 7 agustus
2012.
3
“Everyone is to blame when it comes to Iraq. Everyone has
harmed this country really bad. The occupation made a mess,
and as for our politicians, we know how they are, they just
don’t stop getting it wrong. And don’t forget the Iraqi people
themselves. They ate the bait, they fell into the trap.” 5
Walaupun begitu, invasi Amerika Serikat tetap berjalan selama bertahuntahun. Senjata pemusnah massal yang tidak terbukti dimiliki Saddam pun tidak
mampu menjadi alasan bagi penghentian invasi tersebut. Baru pada tahun 2006,
perubahan situasi politik Amerika Serikat yaitu menurunnya dukungan terhadap
Bush yang berakhir dengan diambil alihnya pemerintahan oleh oposisinya yang
anti invasi, ditambah kemunduran ekonomi Amerika Serikat tahun 2007, menjadi
titik tolak bagi penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Irak. Pada
Desember 2011, pemerintah Amerika Serikat menyatakan bahwa perang Amerika
Serikat Irak berakhir dan pasukan Amerika Serikat sepenuhnya ditarik mundur
dari Irak.
Invasi Amerika di Irak ini telah memakan banyak korban jiwa baik dari
pihak Amerika dan sekutunya, pihak Irak, maupun dari penduduk sipil. Penduduk
Sipil yang menjadi korban sebanyak 116,216 sedangkan dari pasukan Amerika
Serikat dan Koalisi sebanyak 4,802 jiwa.6 Invasi Amerika ini telah menghabiskan
biaya yang sangat besar. Menurut data, anggaran yang digunakan mencapai 1
triliun dollar Amerika.7 Anggaran tersebut diambil dari pajak yang dibayar oleh
rakyat Amerika. Hal tersebut menjadi sorotan dan menimbulkan protes dari rakyat
amerika sendiri. Hingga masa penarikan, apa yang dituduhkan oleh Amerika
5
Chohan, Aneka. Future Of Iraq. 16, Jan 2012 . http://blogs.thenews.com.pk/blogs/2012/01/thefuture-of-iraq/. Diakses 12 Juli 2012
6
Op cit Hal 3
7
US Liberal Politics. ”Iraq War Facts, Results & Statistics at January 31, 2012”,
http://usliberals.about.com/od/homelandsecurit1/a/IraqNumbers.htm. Diakses 7 September
2012.
4
Serikat bahwa Irak dibawah Saddam memiliki senjata pemusnah massal tidak
dapat dibuktikan. 8
Pasca penarikan pasukan AS, salah satu permasalahan yang cukup
mengkhawatirkan adalah disintegrasi kelompok-kelompok di Irak. Sunni, Syiah
dan Kurdi menjadikan Irak kota yang berdarah. Permasalahan ini berdampak
besar pada Irak di berbagai segi, baik politik, ekonomi dan sosial. Bahkan dalam
bulan Juli ini (hingga 13 Juli 2013), serangan-serangan terhadap tempat
keramaian terus terjadi yang menelan korban 184 warga sipil yang tewas.9
Di Irak, isu kekuasaan selalu berkaitan dengan keberadaan tiga kelompok
yang telah disebutkan di atas. Konflik di antara mereka terdapat dimensi politis
dan ada kepentingan-kepentingan dalam memperebutkan akses sumber daya
politik di pemerintah. Ketika masa kekuasaan Saddam Hussein, Sunni merupakan
kelompok yang mendapatkan perlakuan istimewa, terutama dalam elit politik di
Irak. Hubungan ketiga kelompok tersebut tidak pernah harmonis. Syiah dan Kurdi
tidak pernah mendapatkan posisi di pemerintahan dan mengalami tindakan
represif, sehingga akhirnya muncul protes dan perlawanan. Mereka sangat sulit
untuk bersatu karena tidak ada rasa saling menghormati dan kesadaran untuk
bersatu pada diri mereka, baik dari kelompok minoritas maupun dari kelompok
mayoritas.
Sementara itu, ketika Irak dikuasai Amerika Serikat, Syiah, yang
merupakan kelompok mayoritas Irak, diberikan akses kekuasaan yang lebih besar.
Skema kekuasaan menjadi berubah, Sunni tidak lagi mendapatkan keistimewaan
sebagaimana di era Saddam Hussein. Dengan kepergian Amerika Serikat dari
Irak, peningkatan konflik antara Syiah, Sunni, dan Kurdi menjadi menarik untuk
diteliti. Permasalahan disintegrasi kelompok yang telah lama berakar dan situasi
8
Time U.S. “Iraq: How the CIA Says It Blew It on Saddam’s WMD”,
http://nation.time.com/2012/09/06/iraq-how-the-cia-says-it-blew-it-on-saddamswmd/#ixzz25qWVo2nc. Diakses 7 September 2012
9
Iraq Body Count. “Recent Events”. http://www.iraqbodycount.org/database/recent/. Diakses 15
Juli 2013.
5
Irak yang dalam transisi pemerintahan tentunya akan mempengaruhi hubungan
ketiga kelompok tersebut.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang penulis eksplorasi di atas,
maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut: Mengapa konflik
antara kelompok Sunni, Syi’ah dan Kurdi di Irak mengalami peningkatan
pasca penarikan pasukan Amerika Serikat?
D. Landasan Konseptual
Untuk melihat bagaimana konflik antar kelompok di Irak bisa terjadi maka
peneliti melihatnya dari bebarapa faktor penyebabnya. Hal tersebut sejalan dengan
konsep Konflik Etnis oleh Jack Snyder. Namun peneliti memodifikasi teori
tersebut agar dapat digunakan dalam penelitian ini, karena dalam permasalahan di
Irak yang diangkat adalah permasalah kelompok dan bukan melihatnya sebagai
etnis. Menurut peneliti bahwa pola pemikiran Jack Snyder tersebut sejalan dengan
apa yang akan dibahas skripsi ini sehingga dapat digunakan dan menjelaskan
faktor-faktor penyebab terjadinya konflik antar kelompok di Irak.
Seperti diketahui bahwa yang terjadi di Irak adalah konflik antar kelompok
sehingga peneliti melihat Syiah, Sunni, dan Kurdi sebagai kelompok-kelompok
politik. Keberadaan ketiga kelompok ini di Irak terkotak-kotak dan bersifat
konfliktual, karena ketiganya memiliki ideologi dan tujuan politik yang berbeda.
Perpecahan antar kelompok tersebut terbukti bersifat kaku dan abadi, karena
kesetiaan pada kelompok bersifat menyeluruh, merembes ke dalam berbagai
aspek. Kesetiaan pada kelompok menjadi penyebab terjadinya konflik. Tidak ada
saling pengertian antar kelompok yang satu dan yang lainnya menjadi akar dari
permasalahan di Irak.
Menurut Lewis Coser konflik adalah perjuangan untuk mencapai tujuantujuan dan secara terus menerus berusaha menetralisir, melukai, ataupun
6
melenyapkan lawan.10 dalam hal ini artinya terdapat suatu hal yang tidak sesuai
antara tujuan dan cara antara pihak yang satu dengan pihak yang lain. Dalam
suatu masayarakat majemuk seperti di Irak, perbedaan identitas yang mencakup
budaya dan etnisitas sering menimbulkan perbedaan-perbedaan yang kerap
menuju pada konflik. Sebuah konflik dapat dikatakan konflik jika terjadi
perselisihan tentang isu-isu politik, ekonomi, budaya, sosial, maupun territorial
antara dua atau lebih masyarakat. Dalam kasus di Irak, konflik yang terjadi adalah
perebutan kekuasaan politik antar kelompok hingga melibatkan semua kalangan
mulai dari masyarakat di akar rumput hingga level elit politik.
Ditariknya pasukan Amerika Serikat dari Irak menjadikan intensitas
konflik di negara tersebut semakin meningkat. Konflik antar kelompok di Irak
dilihat berdasarkan teorisasi konflik oleh Jack Snyder, bahwa konflik antar
kelompok lebih disebabkan karena faktor-faktor yang ada di dalam negeri.
Adapun faktor-faktor tersebut antara lain :11 Efektifitas pemerintah dalam
memenuhi
tuntutan
rakyatnya,
Nasionalisme
kelompok,
Demokratisasi,
Kecenderungan untuk membentuk partai politik berdasarkan kelompok. Namun
yang akan diambil untuk melihat konflik di Irak adalah faktor kedua,
Nasionaliseme Kelompok, dan ketiga, Demokratisasi.

Nasionalisme kelompok.
Nasionalisme kelompok bukan tergantung pada institusi, melainkan
budaya. Kebangkitan nasionalisme kelompok di satu kelompok dilihat
sebagai ancaman oleh kelompok lain, sehinga berujung pada terjadinya
disintegrasi kelompok. Akibat tingginya nasionalisme kelompok maka
mereka membentuk partai politik berdasarkan garis kelompoknya
masing-masing. Afiliasi partai lebih merupakan cerminan dari identitas
kelompok daripada sebuah pendirian sistem politik. Seperti yang
terjadi di Irak dimana partai-partai politk didirikan berdasarkan
kelompok-kelompok.
10
D. L. Horowitz, Ethnic Groups In Conflict, University of California, California, 1983, hal. 95.
B. E. Michael, ‘Ethnicity and Violence’, dalam M. Guibernau dan J. Rex (eds), The Ethnicity,
Polity Press, Cambridge, 1999, hal. 81.
11
7

Demokratisasi
Apabila rezim yang terdahulu berasal dari kelompok minoritas, maka
masalah kelompok akan menyulitkan proses pembuatan aturan politik.
Jika rezim terdahulu memperburuk masalah antar kelompok melalui
tindakan otoritarian dan kekerasan terhadap suatu kelompok, maka
proses demokratisasi akan menjadi semakin sulit. Dalam permasalahan
di Irak, proses menuju demokrasi baru terlaksana setelah sebelumnya
negara tersebut berada dalam rezim otoritarian. Dimana kelompok
yang menjadi penguasa melakukan
tindakan kekerasan terhadap
kelompok lainnya. Pada saat transisi menuju demokrasi, hingga
periode ini telah melaksanakan dua kali Pemilihan Umum, Irak masih
sulit untuk melaksanakan Demokrasi yang diharapkan banyak pihak.
Kelompok terdahulu yang menjadi penguasa sangat sulit untuk
melepaskan kepada kelompok lainnya, sehingga konflik dan perebutan
kepentingan sulit untuk dihindari.
Pasca tumbangnya rezim Saddam Hussein, Amerika Serikat bertujuan
untuk mendorong transisi pemerintahan di Irak dari rezim Saddam yang otoriter
menuju demokratis. Karena inisiatif untuk melakukan perubahan datang dari
Amerika Serikat, maka dianggap bahwa cara transisi rezim di Irak akan diarahkan
menuju demokrasi ala Amerika Serikat.
Dalam transisi, stabilitas politik cenderung rentan terhadap masalah
konflik kepentingan dalam skema kekuasaan. Adanya transisi pemerintahan dari
rezim Saddam ke rezim demokratis justru membuat instabilitas demokrasi di Irak.
Proses demokrasi yang terjadi di bekas negara yang dipimpin oleh rezim tirani ini
memang lebih identik dengan konflik daripada perdamaian. Peace Building yang
dibangun oleh Amerika Serikat di Irak pasca tumbangnya Saddam Hussein juga
terlihat semu.
Untuk membahas masalah transisi maka peneliti menggunakan konsep
Transisi. Salah satu konsep pemikiran tentang transisi yang dapat menjelaskan
8
masalah di Irak adalah proses ‖Pergantian‖ oleh Samuel P. Huntington.12
Dijelaskan dalam buku tersebut bahwa kelompok yang dulunya merupakan
kelompok oposisi kini berkuasa dan manakala kelompok-kelompok dalam
pemerintahan yang baru saling berselisih mengenai hakikat dari rezim yang
seharusnya mereka lembagakan, maka konflik itu kemudian memasuki fase baru.
Dalam proses pergantian tersebut terdapat tiga fase yang berbeda: perjuangan
untuk menumbangkan rezim, tumbangnya rezim, dan perjuangan setelah
tumbangnya rezim.
Dalam proses pergantian tesebut, di fase pertama, perjuangan untuk
menumbangkan rezim, kelompok oposisi diuntungkan oleh masuknya Amerika
Serikat. Bisa dikatakan bahwa mereka tidak berjuang secara langsung untuk
menumbangkan rezim Saddam Hussein yang sedang berkuasa, melainkan
diuntungkan oleh invasi Amerika Serikat. Bahkan setelah rezim Saddam Hussein
berhasil ditumbangkan, kelompok oposisi yaitu Syiah mendapat dukungan untuk
menjadi penguasa baru di negara Irak. Namun yang menjadi fokus dari pergantian
tersebut adalah fase perjuangan setelah tumbangnya rezim.
Setelah Saddam Hussein berhasil turun, maka terjadi pergeseran kekuasan
dimana kelompok Sunni yang menjadi penguasa di rezimnya sekarang menjadi
kelompok ‖oposisi‖. Meskipun pada pemerintahan baru Irak, kelompok Sunni
mendapatkan posisi Wakil Presiden Irak,13 namun permasalahan bagi kelompok
Syiah setelah mereka berada di posisi saat ini yaitu mempertahankannya dari
upaya kelompok Sunni untuk mendapatkan kembali kedudukan mereka seperti
rezim Saddam Hussein dahulu.
Fase transisi menjadikan kelompok Syiah sebagai penguasa baru dengan
kekuatan dan legitimasi yang bisa dikatakan masih sangat rentan, baik dalam
artian rentan terhadap konflik kepentingan internal maupun terhadap pengaruh
kepentingan eksternal. Penarikan pasukan Amerika Serikat sebagai sebuah
12
Huntington, Samuel P. “Gelombang Demokratisasi Ketiga”. Pustaka Utama Graffiti, Jakarta,
1997. Hal. 180
13
CIA World Factbook. Irak. 2012. https://www.cia.gov/library/publications/the-worldfactbook/geos/iz.html. 14 Juli 2012
9
tantangan bagi Irak dalam melewati masa transisi. Pasukan Amerika Serikat
sebagai aktor utama dalam pengelolaan konflik meninggalkan tanggung jawab
besar pada pasukan Irak dalam memenuhi kepentingan keamanan dalam negeri.
Akan tetapi kondisi Irak yang masih rapuh dan semakin meningkatnya konflik
Sunni, Syiah, dan Kurdi mendorong Irak untuk membuka pintu kerjasama dengan
negara tetangga seperti Iran dan Turki.
Masa transisi Irak membentuk hubungan antara Irak dan Iran sebagai
hubungan yang sangat strategis, baik dalam memenuhi pembangunan ekonomi
melalui kerjasama maupun dalam mengelola kepentingan Iran melalui elit politik
Syiah di Irak. Selain itu faktor kedekatan antara elit Syiah antara kedua negara
tersebut akan semakin meningkatkan kerjasama keduanya. Sedangkan bagi Turki,
membuka
kerjasama
dengan
Irak
adalah
untuk
kepentingan
meredam
pemberontakan ekstrimis Kurdi di wilayah Irak utara yang berbatasan dengan
Turki.
E. Hipotesa
Meningkatnya konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan Kurdi pasca
penarikan pasukan Amerika Serikat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu
pemerintah yang tidak mampu memenuhi kebutuhan rakyat, penguatan identitas
kelompok, terpecahnya kekuatan militer berdasarkan kelompok, menurunnya
legitimasi pemerintah karena ditariknya kekuatan militer Amerika Serikat, dan
pembentukan partai politik berdasarkan kelompok.
Rentannya kondisi sosial dan politik Irak pasca penarikan mundur pasukan
Amerika Serikat membuat negara-negara seperti Iran dan Turki turut campur guna
menancapkan pengaruhnya di dalam politik domestik Irak yang baru. Selain itu
meningkatnya konflik antara kelompok Sunni, Syiah, dan Kurdi juga
mempengaruhi hubungan diplomatik antara Irak dan Amerika Serikat pasca
penarikan pasukan AS dari Irak.
10
F. Metode Penelitian
a. Jenis Penelitian
Penulis menggolongkan penelitian ini ke dalam jenis penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif merupakan suatu metode dalam meneliti perilaku kelompok
manusia, suatu subyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun kilas
peristiwa baik pada masa lampau maupun pada masa sekarang.14 Tujuan
penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat gambaran atau lukisan secara
sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki.15 Karena itu penelitian skripsi ini lebih bersifat
literer, yakni kajian yang menggunakan studi pustaka bahan-bahan tertulis.16
Fokus utama dari penelitian ini adalah bagaimana hubungan antara
kelompok di Irak pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dilihat dari
konsep konflik etnis (kelompok politik) dan transisi yang mempengaruhi
hubungan antara kelompok Syiah, Sunni, dan Kurdi. Karena itu, peneliti akan
menjelaskan bagaimana hubungan antar kelompok-kelompok politik di Irak yaitu
Syiah, Sunni, dan Kurdi sejak era pemerintahan Saddam Hussein hingga
penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari negara tersebut. peneliti juga
akan membahas apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hubungan
antar kelompok tersebut pasca penarikan mundur pasukan Amerika Serikat.
b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder yang dijadikan
sebagai data dalam penulisan. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari
hasil atau bahan-bahan dokumenter tentang obyek penelitian yang diperoleh
melalui studi kepustakaan. Sementara teknik pengumpulan data dilakukan melalui
studi kepustakaan (library research), baik dari buku-buku, jurnal ilmiah, majalah,
artikel surat kabar dan internet.
14
Noh. Nazir, 1998, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 63.
Ibid
16
Tatang M. Anwari, 1996, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Rajawali, hal, 135.
15
11
Download