Prevalensi Penyakit Tidak Teridentifikasi (R69) pada Poliklinik Rawat Jalan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Tahun 2010 dan Faktor Sosiodemografis yang Berhubungan Nanda Lucky Prasetya, Muchtaruddin Mansyur Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ABSTRAK Menegakkan diagnosis merupakan salah satu kompetensi dokter yang utama. Tantangan dalam mendiagnosis tersebut bisa datang dari sisi pasien dan sisi layanan kesehatan. Dari sisi pasien, faktor sosiodemografis pasien telak memiliki hubungan dengan perilaku pencarian pengobatan. Perilaku ini sendiri berkaitan dengan penalaran klinis seorang dokter. Penelitian ini menggunakan metode cross-sectional, pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Indonesia, melalui analisis data sekunder rekam medik pasien poliklinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010. Sampel yang digunakan berjumlah 904 (Pria: 466, Wanita: 438) dengan kriteria inklusi 18-65 tahun, dipilih dengan proportional random sampling sesuai banyaknya pasien pada setiap poliklinik departemen yang terlibat antara lain Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen Psikiatri, Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan, dan Departemen Mata. Didapatkan prevalensi R69 sebesar 5,6% dengan 84,3% dari jumlah tersebut terdapat pada Poliklinik Ilmu Penyakit Dalam RSCM. Dilakukan uji chi-square, dan didapat hasil yang menunjukkan tidak ada satu pun faktor sosiodemografis yang memiliki hubungan bermakna (p < 0,05) dengan penyakit tidak teridentifikasi (Usia p = 0,570; Jenis Kelamin p = 0,285; Pekerjaan p = 0,972; Asuransi Pembiayaan p = 0,886; Tingkat Pendidikan p = 0,933). Pada kepustakaan, terdapat faktor lain yang mungkin mempengaruhi proporsi Penyakit Tidak Teridentifikasi (R69) seperti fasilitas diagnostik dan kompetensi dokter. Kata kunci: faktor sosiodemografis; penyakit tidak teridentifikasi; rumah sakit ABSTRACT Diagnosing is the main competency of medical doctor. The challenge to diagnose could be from patient or health care provider. It is known that sociodemographical factor has association with health seeking behaviour. This behaviour is related to physician’s clinical reasoning. Therefore, sociodemographical factors had an indirect association with diagnosis, regardless the other factors contributing in clinical reasoning. In case of disease could not be identified in clinical reasoning, diagnosis would be Unidentified Disease (R69). This research used cross-sectional method, in Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia, through secondary data analysis from medical record of polyclinic patient in Cipto Mangunkusumo Hospital in 2010. Sample was 904 (Male:466, Female: 438) with inclusion criteria 18-65 year old, chosen by propotional random sampling method as amount of patient in each department including Department of Ophthalmology, Department of Neurology, Department of Psychiatry, Department of ENT, Department of Internal Medicine, and Department of Dermatoveneorology. The prevalence of R69 is 5.6% and 84.3% of R69 contained in medical record of Polyclinic of Internal Medicine. Analyzed by chi-square, and the result was no one of those factors have a significant association (p < 0,05) with unidentified disease (Age p = 1 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 0,570; Gender p = 0,285; Job p = 0,972; Insurance p = 0,886; Education p = 0,933). In literature, there are another factor that may contribute to Unidentified Disease (R69) such as diagnostic facility and doctor’s competency. Keywords: hospital; sociodemographical factors; unidentified disease PENDAHULUAN Menegakkan diagnosis merupakan salah satu kompetensi dokter yang utama. Selalu ada tantangan dalam menegakkan diagnosis. Dalam pustaka, banyak sekali faktor yang mempengaruhi penegakkan diagnosis, baik dari dokter, fasilitas, maupun faktor lainnya. Tantangan bisa datang dari sisi pasien, salah satunya adalah tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan seseorang tentunya mempengaruhi kemampuan komunikasinya, sedangkan salah satu alat untuk diagnosis adalah anamnesis yang sangat bergantung pada komunikasi antara pasien dan dokter.1 Selain itu, banyak pemeriksaan yang hasilnya bergantung pada penilaian subjektif pasien, misalnya pemeriksaan visus2. Hasil pemeriksaan yang membingungkan karena keterbatasan kemampuan komunikasi dapat menjadi tantangan dalam penalaran klinis. Tingkat pendidikan bukan menjadi satu-satunya faktor yang mempengaruhi penegakkan diagnosis, terdapat jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan asuransi, sebagai faktor sosiodemografi dapat mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan (health seeking behaviour).3 Perilaku ini berpengaruh pada spesifiknya gejala yang dikeluhkan pasien. Lebih sering seseorang terpapar pada sarana kesehatan tentunya ia akan lebih terbiasa dalam menyatakan keluhannya. Sebagai contoh, pria lebih cenderung pergi ke dokter ketika penyakit yang diderita sudah lebih parah.4 Padahal keparahan penyakit yang berkaitan waktu tersebut biasanya berhubungan dengan perkembangan penyakit lain pada tubuhnya. Penegakkan diagnosis akan dipersulit dengan adanya gejala penyakit penyerta yang menyamarkan arah diagnosis. Tantangan bisa datang dari sisi dokter, fasilitas, dan kebijakan kesehatan. Penentuan klinis adalah proses yang subjektif dan dapat sangat dipengaruhi oleh proses kognitif dokter.5 Apabila terdapat proses kognitif yang kurang baik pada dokter, maka diagnosis yang ditegakkan juga menjadi kurang baik. Selain itu, kurang tersedianya pemeriksaan penunjang acapkali menjadi halangan penegakkan diagnosis, apalagi pada informasi dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terbatas. Ketersediaan fasilitas diagnostik tersebut tentunya dipengaruhi oleh kebijakan kesehatan. 2 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Indonesia memiliki sistem rujukan pada kebijakan kesehatannya. RS Umum Pusat yang menempati hirarki tertinggi rujukan tersebut diharapkan dapat menjawab keadaan kesehatan pasien. Namun, keterbatasan penentuan klinis yang dilandasi berbagai faktor bukan menjadi masalah yang hilang di semua sarana pelayanan kesehatan. Pasti ada diagnosis yang tidak dapat ditegakkan dan dimasukkan pada penyakit yang tidak teridentifikasi (Pada ICD10 dikodekan sebagai R69).6 Prevalensi penyakit yang tidak teridentifikasi sampai saat ini belum diketahui, terutama pada RS Cipto Mangunkusumo sebagai rumah sakit rujukan nasional. Diagnosis selalu menentukan arah tatalaksana sehingga penyakit yang tidak teridentifikasi dapat memengaruhi penanganan dan penentuan prognosis kondisi kesehatan seseorang. Hasil yang dikeluarkan (output) sebuah sarana kesehatan sangat bergantung pada kualitas diagnosis. Belum ada penelitian yang mengenai penyakit yang tidak teridentifikasi ini khususnya di Indonesia. Penelitian sebelumnya terbatas pada faktor sosiodemografi yang memengaruhi health seeking behaviour¬. Dengan mengetahui prevalensi dan faktor sosiodemografi yang berhubungan dengan penyakit yang tidak teridentifikasi, diharapkan dapat menjadi saran dalam penentuan arah kebijakan kesehatan dan memicu studi lainnya tentang penyakit tidak teridentifikasi. TINJAUAN TEORITIS Untuk melakukan eksplorasi hubungan antara sosiodemografis dan perilaku pencarian pengobatan dilakukan studi cross-sectional pada dua distrik di Pakistan dengan 1080 sampel. Hasilnya, faktor sosiodemografis secara signifikan mempengaruhi perilaku pencarian pengobatan pada populasi umum. Rakyat yang miskin lebih cenderung menggunakan fasilitas RS Umum. Biaya, tingkat kepuasan, dan keterjangkauan dengan pelayanan mempengaruhi penggunaan fasilitas kesehatan oleh masyarakat. Tingkat pendidikan dan pendapatan yang lebih tinggi menunjukkan kecenderungan penggunaan layanan RS Swasta dengan fasilitas pelayanan yang lebih baik dibanding RS Umum namun dengan biaya lebih tinggi. Biaya menjadi halangan bagi orang di daerah rural yang membutuhkan transportasi dan juga rakyat miskin.3 Terdapat penelitian pada 2478 buruh migran dimana 36,4% nya menderita suatu penyakit. Hanya 4,8% yang melakukan kunjungan ke pelayanan kesehatan. Kurang lebih sepertiganya mengobati sendiri dan sepertiga lainnya akan datang apabila penyakit sudah 3 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 lebih dari 2 minggu. Faktor yang mempengaruhi kurangnya kesadaran untuk sehat pada buruh ini adalah akses pelayanan kesehatan yang kurang dipermudah, kurang terjangkau secara biaya, dan tidak adanya asuransi pembiayaan kesehatan.8 Tabel 1. Rangkuman perbandingan kelompok dalam perilaku pencarian pengobatan Faktor sosiodemografis Usia Perbandingan kelompok dalam perilaku pencarian pengobatan 1. Prasekolah > Dewasa13 2. Kelompok usia <60 tahun dengan kelompok usia>=60 tahun, tidak ada perbedaan bermakna14 Jenis kelamin Wanita > Pria13 Pendidikan Pendidikan tinggi > Pendidikan rendah13,14 Pekerjaan Bekerja > Tidak bekerja16,22 Asuransi Berasuransi > Tidak berasuransi14,22 Salah satu strategi yang dipakai klinisi untuk menegakkan diagnosis medis adalah dengan bercermin pada metode saintifik dari membuat hipotesis yang lalu akan dibuat pengujian hipotesisnya. Hipotesis diagnostik diterima dan ditolak berdasarkan pengujian hipotesis melalui anamnesis, pemeriksaan klinis, dan pemeriksaan penunjang. Penegakkan hipotesis termasuk dalam mengidentifikasi dari kemungkinan diagnostik yang mungkin menjadi dasar menjadi masalah klinis pasien. Keluhan utama pasien dan data demografis dasar seperti umur, jenis kelamin, dan ras adalah poin awal untuk diagnosis diferensial yang biasanya diukur dengan mengenal pola penyakit. Setiap elemen dari kemungkinan yang ada idealnya diukur berapa probabilitasnya.5 Klinisi sering menggunakan kata kemungkinan, sangat mungkin, tidak mungkin, atau pasti. Antara klinisi dan pasien sering mengalami salah interpretasi karena istilah yang semi kuantitatif tersebut. Terminologi statistik yang eksplisit harus digunakan ketika tersedia. Komplikasi matematis membantu membuat diagnosis klinis dan bahkan ketika tidak ada 4 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 angka tepat. Ini minimal dapat mendefinisikan kemungkinan klinis dan mengerucutkan arah diagnosis. 5 METODE PENELITIAN Desain penelitian ini menggunakan metode cross-sectional, karena tujuannya adalah untuk mengetahui pola penyebaran penyakit pada pasien dewasa dan faktor-faktor yang berhubungan dengan hal tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis data sekunder rekam medik. Rekam medik yang digunakan adalah rekam medik pengunjung poliklinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010. Pengambilan data dilakukan dari catatan rekam medis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, Provinsi DKI Jakarta dengan pertimbangan tempat penelitian terjangkau oleh peneliti. Pengambilan data dilakukan sejak Maret – Desember 2011. Secara keseluruhan penelitian dilakukan dimulai dari Januari 2011 – Desember 2012. Populasi target dalam penelitian ini adalah semua pasien poliklinik RSCM. Populasi terjangkau penelitian ini adalah pengunjung poliklinik RSCM, Jakarta, kecuali poliklinik anak dan kebidanan, yang memiliki data rekam medik yang tersimpan di Unit Rekam Medik RSCM, Jakarta. Sampel adalah subyek penelitian yang merupakan bagian dari populasi terjangkau yang telah memenuhi kriteria inklusi, tetapi tidak memenuhi kriteria eksklusi. Pengambilan sampel penelitian dilakukan dengan cara simple random sampling dengan terlebih dahulu menghitung jumlah subyek dalam populasi terjangkau lalu dipilih sesuai teknik sebanyak sampel yang diperlukan. Pemilihan subyek dilakukan dengan melihat data pasien di RSCM per departemen pada tahun 2010, kemudian diambil sesuai besar sampel yang dibutuhkan menggunakan metode perbandingan. Sampel diambil dengan proporsi 50% laki-laki dan 50% perempuan dari setiap departemen. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini minimal adalah 427 orang pasien pria di RSCM yang terdaftar pada tahun 2010. Pada penelitian ini dibutuhkan jumlah wanita yang sama dengan jumlah pria karena termasuk faktor yang dicari hubungannya, sehingga jumlah sampel total minimal adalah 427 x 2 = 854 orang. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah pasien berusia antara 18 – 65 tahun yang terdaftar sebagai pasien Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, 5 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Departemen Psikiatri, Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Departemen Telinga Hidung dan Tenggorokan, dan Departemen Mata. Subyek yang akan diteliti adalah semua pasien dewasa di RSCM pada tahun 2010. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Data sekunder diperoleh dari data pasien RSCM Jakarta per departemen pada tahun 2010. Kemudian data yang didapatkan diseleksi berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi hingga jumlahnya mencapai jumlah sampel minimal per departemen dengan proporsi laki-laki dan wanita yang sebanding. Sebelum data dianalisa, terlebih dahulu data ditelaah karakteristiknya. Data yang bersifat numerik disajikan karakteristiknya dalam bentuk rata-rata ± standar deviasi untuk data dengan persebaran normal dan median ± min-max untuk data dengan persebaran tidak normal. Sedangkan data yang bersifat nominal disajikan frekuensi dan persentasenya. Setelah data ditelaah karakteristiknya, dilanjutkan dengan menelaah karakteristik persebaran sepuluh terbanyak diagnosis sampel. Analisa hubungan penyakit dan faktornya dilakukan menggunakan uji yang berbedabeda tergantung pada sifat data. Apabila data faktor risiko merupakan data numerik, maka terlebih dahulu diuji persebaran datanya. Jika persebaran data normal, maka uji yang dilakukan adalah uji t tidak berpasangan, sedangkan jika persebaran data tidak normal, maka digunakan uji Mann-Whitney. Apabila data faktor risiko merupakan jenis data nominal, maka dilihat terlebih dahulu bentuk tabel uji hipotesisnya. Jika bentuk tabelnya adalah 2x2 maka uji yang dilakukan adalah uji chi-square dan apabila tidak memenuhi syarat maka dilakukan uji Fisher. Apabila bentuk tabel bukan 2x2, maka terlebih dahulu dilakukan uji chi-square, dan apabila tidak memenuhi syarat, maka dilakukan modifikasi terhadap klasifikasi faktor risiko agar dapat memenuhi bentuk tabel 2x2. Dalam penelitian, peneliti menetapkan nilai α sebesar 0,05 serta interval kepercayaan atau confidence interval (CI) sebesar 95 %. Sehingga, bila p bernilai < 0,05, variabel bebas memiliki hubungan bermakna dengan variabel terikat. Bila p bernilai > 0,05, variabel bebas tidak memiliki hubungan bermakna dengan variabel terikat. Variabel terikat pada penelitian ini adalah pasien yang terdiagnosis penyakit tidak teridentifikasi atau code ICD10 R69.0 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta pada 6 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 tahun 2010. Variabel bebas pada penelitian ini meliputi faktor sosiodemografi, yang memiliki definisi operasional mencakup variabel: a. Usia, yang akan digolongkan berdasarkan kelompok usia 18-60 tahun dan kelompok usia 61-65 tahun b. Jenis kelamin c. Pekerjaan, yang akan digolongkan berdasarkan kelompok bekerja dan tidak bekerja d. Asuransi pembiayaan, yang akan digolongkan menjadi kelompok berasuransi dan kelompok tidak berasuransi e. Tingkat pendidikan, yang akan digolongkan menjadi tingkat pendidikan rendahmenengah dan tingkat pendidikan tinggi Dalam penelitian ini terdapat beberapa istilah yang memerlukan penjelasan eksplisit, antara lain: ü Pasien dewasa adalah pasien yang berusia diantara 18-65 tahun. ü Tidak ada data artinya kolom atau tempat pengisian data di kategori tersebut kosong. ü Variabel komposit sosiodemografi mencakup variabel usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan asuransi pembiayaan ü Pasien dengan pekerjaan kategori swasta merupakan pasien yang memiliki usaha sendiri atau bergerak di bidang swasta, termasuk wiraswasta, karyawan perusahaan swasta, buruh, supir, dan lain-lain, sementara, pasien yang tidak bekerja mencakup pengangguran, ibu rumah tangga, dan pelajar. ü Pasien dengan asuransi pembiayaan kategori umum merupakan pasien yang tidak menggunakan asuransi dalam pembayaran pelayanan kesehatan di RSCM atau menggunakan biaya sendiri, sedangkan kategori asuransi merupakan pasien yang menggunakan asuransi dalam pembayaran pelayanan kesehatannya, baik asuransi kesehatan (askes), jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas), dll. ü Pasien dengan tingkat pendidikan rendah-menengah merupakan pasien yang belum atau hanya sebatas tamat SD dan setingkatnya, tamat SMP atau SMA dan 7 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 setingkatnya, sedangkan pasien dengan tingkat pendidikan tinggi merupakan pasien yang pendidikan terakhirnya adalah diploma, sarjana atau pasca-sarjana. HASIL Setelah melalui seleksi sesuai dengan kriteria penelitian, didapatkan data pasien yang berkunjung ke RSCM sejak bulan Januari 2010 sampai Desember 2010 yang disertakan dalam penelitian adalah sebanyak 904 data. Data tersebut diperoleh dengan bekerja sama dengan Unit Rekam Medis RSCM yang berada di Unit Rekam Medis Pusat dan Departemen Mata RSCM Kirana. Karakteristik Sampel Penelitian Pada sampel penelitian, terdapat tiga data numerikal dari variabel yang ada, yaitu usia, tinggi badan, dan berat badan. Variabel tersebut tidak terisi lengkap, terdapat 846 data kosong (93,2%) pada data tinggi badan dan 827 data kosong (93,2%) pada data berat badan. Menggunakan uji normalitas, diketahui bahwa data berat badan memiliki persebaran normal (p=0,198), sedangkan data usia dan tinggi badan memiliki persebaran tidak normal (p<0,001). Karena persebaran normal, maka data berat badan disajikan dengan mean ± simpang baku senilai 60,03 ± 13,38. Data yang persebarannya tidak normal, disajikan dengan bentuk median± min-max. Untuk data usia 44 ± 18-65 dan untuk data tinggi badan 160 ± 145-175. Karena keterbatasan jumlah data, maka tidak dibahas dalam penelitian ini. Tabel 2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Sosiodemografi Variabel N % Laki-laki 466 51,5 Perempuan 438 48,5 Belum Menikah 104 11,5 Cerai 10 1,1 Menikah 288 31,9 Tidak ada data 502 55,5 Tidak Bekerja 176 19,5 Swasta 175 19,4 Jenis Kelamin Status Pernikahan Pekerjaan 8 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 PNS 97 10,7 Tidak ada data 456 50,4 Umum 259 28,7 Asuransi 201 22,2 Tidak ada data 444 49,1 Rendah-Menengah 240 26,6 Tinggi 129 14,2 Tidak ada data 535 59,2 Asuransi Pembiayaan Tingkat Pendidikan Tabel 3. Sepuluh Diagnosis Terbanyak dan Perbandingan Proporsi pada Laki-Laki dan Perempuan No Diagnosis N (%) 1 Katarak Senilis 93 10,3 2 Hipertensi 74 8,2 3 4 5 Diabetes Mellitus Tipe 2 Penyakit tak teridentifikasi Dispepsia fungsional Laki-laki Katarak Senilis Diabetes Mellitus Tipe 2 N (%) 42 9,0 39 8,4 Perempuan Katarak Senilis Hipertensi N (%) 51 11,6 36 8,2 22 5,0 21 4,8 18 4,1 18 4,1 Diabetes 61 6,8 Hipertensi 38 8,1 Mellitus Tipe 2 51 5,6 43 4,8 Penyakit tak teridentifikasi Dispepsia fungsional 30 6,4 25 2,6 Penyakit tak teridentifikasi Dispepsia fungsional Penggunaan 6 Tuberkulosis 38 4,2 Tuberkulosis 22 5,4 lensa intraokuler Pemeriksaan 7 penyakit atau 35 3,9 kondisi 8 Lipid storage disorders Lipid storage disorders 22 5,4 Jerawat 17 3,9 20 4,3 Nyeri dada 17 4,0 Pemeriksaan 34 3,8 penyakit atau kondisi 9 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Penggunaan 9 lensa Hipertensi 29 3,2 intraokuler Sindrom 10 Nefritik Kronik penyakit ginjal 16 3,4 Tuberkulosis 16 3,7 13 2,8 Astigmatisma 15 3,4 kronik Penyakit 27 3,0 jantung iskemik Analisa Hubungan Variabel Sosiodemografi dengan Penyakit Tak Teridentifikasi Berdasarkan hubungan antara variabel sosiodemografi dengan penyakit tidak terdiagnosis terlihat bahwa seluruh variabel yaitu jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan asuransi pembiayaan tidak memiliki perbedaan bermakna. Tabel 4. Hubungan Variabel Sosiodemografi dan Penyakit tidak teridentifikasi Diagnosis R69 n Bukan R69 % n p RRc (95% CI: min-max) % Usia 0,570 > 60 tahun 7 6.9 95 93.1 1.27 (95% CI: 0.5-2.9) < 60 tahun 44 5.5 758 94.5 ref Jenis Kelamin 0,285 Laki-laki 30 6,4 436 93,6 1.36(95% CI: 0,4 – 1,3) Perempuan 21 4,8 417 95,2 ref Pekerjaan 0,972 Tidak bekerja 7 4,0 169 96,0 0.98(95% CI: 0,4-2,7) Bekerja 11 4,0 261 96,0 ref Asuransi Pembiayaan 0,886 Tidak berasuransi 7 2,7 252 97,3 1.08(95% CI: 0,3-3,0) Asuransi 5 2,5 196 97,5 ref Tingkat Pendidikan 0,933 Rendah-Menengah 4 1,7 236 98,3 1.07 (95%CI: 0,2-5,1) Tinggi 2 1,6 127 98,4 ref Dari segi usia, proporsi pasien dengan penyakit tidak teridentifikasi yang berusia ≥45 tahun sebesar 6.9%, sedangkan pasien dengan penyakit tidak teridentifikasi berusia <45 tahun 10 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 sebesar 5.5%. Keduanya tidak memiliki perbedaan bermakna antara masing-masing kelompok usia (p=0,570). Resiko pada kelompok usia ≥45 tahun 1,28 kali lebih besar dari kelompok usia <45 tahun untuk memiliki penyakit tidak teridentifikasi (RRc 1,28; 95% CI: 0,4-1,4). Berdasarkan faktor jenis kelamin, laki-laki memiliki proporsi sebesar 6,4% dan proporsi wanita yang memiliki penyakit tidak teridentifikasi adalah 4,8%. Secara statistik juga menunjukan tidak ada perbedaan bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang memiliki penyakit tidak teridentifikasi (p=0,285). Risiko pada subjek berjenis kelamin laki-laki 1,36 kali lebih besar dibanding subjek berjenis kelamin perempuan untuk memiliki penyakit tidak teridentifikasi (RRc 1,36; 95% CI: 0,4-1,3). Berdasarkan faktor pekerjaan, proporsi pasien yang memiliki penyakit tidak teridentifikasi baik yang tidak bekerja maupun yang bekerja adalah sama, yaitu 4,0%. Secara statistic, hal ini menunjukan tidak ada perbedaan bermakna antara subjek yang bekerja dan tidak bekerja untuk memiliki penyakit tidak teridentifikasi (p=0,886). Risiko pada subjek yang tidak bekerja sama dengan yang bekerja (RRc 0,98; 95% CI:0,4-2,7). Berdasarkan asuransi pembiayaan, proporsi pasien yang memiliki penyakit tidak teridentifikasi yang tidak berasuransi sebesar 2,7% dan yang berasuransi sebanyak 2,5%. Secara statistic, hal ini tidak menunjukkan perbedaan bermakna (p=0,886). Resiko pada subjek yang berasuransi sama dengan yang tidak memiliki asuransi dalam memiliki penyakit tidak teridentifikasi (RRc 1.08; 95% CI: 0,3-3,0). Berdasarkan tingkat pendidikan, proporsi pasien yang memiliki penyakit tidak teridentifikasi pada tingkat pendidikan rendah-menengah sebesar 1,7% dan pada tingkat pendidikan tinggi sebesar 1,6%. Secara statistik, hal ini tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,933). Risiko subjek berpendidikan rendah-menengah sama dengan subjek yang berpendidikan tinggi. (RRc 1,07; 95% CI: 0,2-5,1). Apabila tidak ada keterbatasan hasil analisis data, dapat dilakukan analisis multivariat untuk mencari hubungan antara berbagai faktor determinan dengan penyakit tidak teridentifikasi dengan lebih ideal. 11 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Tabel 5. Jumlah R69 per departemen Departemen Jumlah R69 pada Sampel Penelitian % terhadap jumlah R69 keseluruhan % terhadap seluruh sampel Ilmu Penyakit Dalam 43 84.3% 4.8% Telinga, Hidung, dan Tenggorokan 6 11.8% 0.7% Kulit dan Kelamin 2 3.9% 0.2% Neurologi 0 0.0% 0.0% Mata 0 0.0% 0.0% Psikiatri 0 0.0% 0.0% Total 51 100.0% 5.6% Tabel 6. Jumlah R69 pada Divisi-divisi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam Jumlah R69 pada sampel (n) % terhadap keseluruhan R69 Tidak spesifik. (Pasien pada berbagai divisi departemen IPD atau tidak tertulis secara spesifik) Reumatologi 27 52.9% 1 1.9% Hepatologi 1 1.9% Pulmonologi 14 27.4% Ginjal dan Hipertensi 0 0% Kardiologi 0 0% TOTAL 43 84.3% Pada tabel 5, dapat dilihat bahwa 84,3% (43 diagnosis R69 pada sampel) dari keseluruhan penyakit tidak teridentifikasi yang ada di Poliklinik RSCM tahun 010 berasal dari Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Pada posisi dua, Departemen Telinga, Hidung, dan Tenggorokan memiliki 6 data berupa penyakit tidak teridentifikasi yang secara prosentase sebesar 11,8% dari keseluruhan penyakit tidak teridentifikasi. Lalu terakhir, pada Departemen Kulit dan Kelamin yang memiliki prosentase 3,9% dari seluruh penyakit yang tidak teridentifikasi. 12 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Sebanyak 84,3% dari keseluruhan diagnosis R69 yang ada, ditemukan pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam (IPD), sehingga diteliti lagi berdasarkan divisi yang ada. Pada pasien multi-divisi, atau yang berkunjung pada banyak poliklinik, maupun yang divisinya tidak ditulis secara spesifik, memiliki R69 paling banyak. Disusul oleh Divisi Pulmonologi, Reumatologi, dan Hepatologi. Departemen yang tidak memiliki diagnosis R69 pada sampel adalah departemen Neurologi, Mata, dan Psikiatri. Divisi pada Departemen IPD yang tidak memiliki diagnosis R69 pada sampel adalah divisi ginjal dan hipertensi dan divisi kardiologi. PEMBAHASAN Setelah mendapatkan hasil yang tercantum di Bab IV yang menyatakan bahwa hubungan antara faktor sosiodemografis dan penyakit tidak teridentifikasi adalah tidak bermakna, maka dalam bab ini akan dibahas mengenai kemungkinan yang mendasari. Merujuk pada kerangka masalah pada Bab II, Penyakit tidak teridentifikasi disebabkan banyak faktor, bukan hanya faktor sosiodemografis saja. Akan tetapi, untuk memastikan kembali bahwa kerangka masalah tersebut sudah tersusun dengan benar, maka dilakukan pengkajian ulang mengenai bagaimana faktor-faktor yang ada bisa saling terkait. Beberapa variabel demografis termasuk didalamnya usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, dan asuransi adalah hal yang memengaruhi perilaku pencarian pengobatan di samping karakteristik psikologis seseorang.13 Beberapa penelitian membuktikan bahwa setiap variabel tersebut memiliki hubungan yang signifikan dengan perilaku pencarian pengobatan seorang individu sebagai bagian dari masyarakat. 13 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Tabel 7. Rangkuman perbandingan kelompok dalam perilaku pencarian pengobatan Faktor sosiodemografis Usia Perbandingan kelompok dalam perilaku pencarian pengobatan 3. Prasekolah > Dewasa13 4. Kelompok usia <60 tahun dengan kelompok usia>=60 tahun, tidak ada perbedaan bermakna14 Jenis kelamin Wanita > Pria13 Pendidikan Pendidikan tinggi > Pendidikan rendah13,14 Pekerjaan Bekerja > Tidak bekerja16,22 Asuransi Berasuransi > Tidak berasuransi14,22 Faktor yang mempengaruhi penalaran klinis Penentuan klinis atau clinical reasoning adalah bagaimana seorang dokter berpikir dan melakukan proses penentuan yang digunakan pada praktek klinik.17 Hal ini berdasarkan data klinis, pilihan pasien, pertimbangan profesional, dan juga ilmu pengetahuan dokter. Data klinis diambil melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Hubungan perilaku pencarian pengobatan dan penalaran klinis Anamnesis dan pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan yang bersifat subjektif adalah hal yang berkaitan dengan bagaimana suatu individu berkomunikasi.10 Hal ini tentu saja dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi yang telah disinggung hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Seseorang yang lebih sering mencari pelayanan kesehatan, akan lebih dapat memahami tentang apa yang perlu dikeluhkan. Keluhan tersebut adalah salah satu hal yang paling penting dalam pertimbangan klinis. Terdapat penelitian pada 556 subyek yang tidak mengetahui apakah mereka menderita Irritable Bowel Syndrome (IBS), 86 subyek di antaranya ternyata memiliki gejala yang sangat persis dengan IBS, akan tetapi mereka tidak 14 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 menyadari itu dan tidak mencari pertolongan dokter. Sebanyak 33 orang dari subyek tersebut pergi ke dokter bukan untuk keluhan utama nyeri pada sistem gastrointestinal mereka, namun untuk keluhan utama non-gastrointestinal. Meskipun keluhan gastrointestinal yaitu nyeri abdomen bukan yang membuat mereka datang pada dokter, namun keluhan ini dapat tersampaikan dengan datang pada pelayanan kesehatan.23 Hal ini menunjukkan bahwa pada individu yang mencari pelayanan kesehatan, ia dapat mengeluhkan setiap hal yang dia rasakan, termasuk gejala minor yang tidak membuat ia datang pada dokter. Semakin sering individu mencari pelayanan kesehatan, maka keluhannya akan semakin spesifik, tidak tersamarkan oleh keluhan minor yang ia acuhkan selama ini. Sementara itu, penalaran klinis harus memisahkan antara keluhan untuk diagnosis satu dengan diagnosis lainnya. Semakin banyak keluhan yang berbeda dan tidak mengerucut, maka semakin sulit penalaran klinisnya. Maka itu dapat disimpulkan, semakin jarang individu mencari pelayanan kesehatan, penalaran klinis akan semakin sulit. Selain itu, pilihan pasien dalam penegakkan diagnosis juga berpengaruh pada pertimbangan klinis. Pasien yang menolak suatu proses penegakkan diagnosis akan mengubah penalaran klinis seorang dokter.17 Dengan melihat rangkuman pada tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor sosiodemografis erat hubungannya dengan perilaku pencarian pengobatan. Namun, hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit tidak teridentifikasi memiliki hubungan tidak bermakna dengan faktor sosiodemografis. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi penyakit tidak teridentifikasi kemungkinan adalah faktor yang tidak diteliti pada penelitian ini. Menurut kajian pustaka, penyakit tidak teridentifikasi (R69) berkaitan dengan penalaran klinis yang kurang baik, faktor sumber daya manusia (dokter umum dan dokter spesialis), ataupun fasilitas diagnostik. Fasilitas diagnostik yang terbatas di Indonesia, menjadi salah satu hambatan penegakkan diagnosis dan faktor yang mempengaruhi penalaran klinis. Namun, sebagai Pusat Rujukan Nasional, RSCM seyogyanya sudah memiliki fasilitas diagnostik yang memadai sehingga penyakit dapat diidentifikasi. Akan tetapi, fasilitas yang cukup bukan pernyataaan bahwa seluruh penyakit dapat diidentifikasi karena banyak faktor lainnya, seperti pilihan pasien untuk menyetujui uji diagnostik untuk penyakitnya, interpretasi dokter, dan sebagainya. Oleh karena itu, masih ada penyakit yang tidak teridentifikasi di RSCM. 15 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 Selain itu, dengan rasio dokter-pasien yang amat kecil, maka hal ini dapat berpengaruh pada waktu berkonsultasi kesehatan. Makin banyak pasien yang mendatangi pusat kesehatan khususnya yang difasilitasi negara, tentunya waktu berkonsultasi menjadi lebih singkat. Hal ini berpengaruh pada penalaran klinis seorang dokter. Data berupa penyakit tidak teridentifikasi atau diagnosis R69 pada rekam medis yang menempati urutan ke-4 diagnosis terbanyak menunjukkan ada faktor-faktor yang tidak optimal dalam mendukung diagnosis. Faktor tersebut dapat datang dari sisi pasien, yaitu faktor sosiodemografis pasien, yang setelah diteliti tidak ada hubungan bermakna, atau faktor yang datang dari sisi pelayanan kesehatan seperti kompetensi dokter, atau faktor yang datang dari sisi kebijakan seperti keberadaan fasilitas diagnostik. RSCM sebagai RS Pusat Nasional dan meraih hirarki tertinggi dalam sistem rujukan nasional, sebaiknya dapat menjawab diagnosis-diagnosis yang belum dapat ditegakkan oleh sarana sebelumnya. Hal ini berkatian dengan tatalaksana pasien yang lebih baik. Diharapkan terdapat penelitian beirkutnya mengenaik faktor dari sisi pelayanan kesehatan maupun faktor fasilitas diagnostik. Setelah diketahui faktor tersebut, diharapkan kemampuan diagnostik dapat ditingkatkan demi kebaikan bersama. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini yang tertulis pada Bab IV dan Bab V, dapat disimpulkan bahwa: • Prevalensi Penyakit Tidak Teridentifikasi (R69) pada Poliklinik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010 sebesar 5,6%. Departemen Ilmu Penyakit Dalam menempati urutan pertama dengan prevalensi R69 sebanyak 84,3% dari jumlah R69 keseluruhan. • Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara penyakit tidak teridentifikasi (R69) dengan faktor sosiodemografis, yaitu usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan, dan asuransi. Hipotesis penelitian ditolak. 16 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 • Keberadaan penyakit tidak teridentifikasi kemungkinan disebabkan oleh faktor lain seperti keterbatasan sumber daya dokter, fasilitas diagnostik yang kurang, dan faktorfaktor lain yang belum diketahui yang berkaitan dengan penalaran klinis. Saran Penelitian ini akan berjalan lebih baik apabila dapat dikembangkan, maupun dibantu oleh instansi yang diteliti maupun kajian pustaka yang lebih lengkap, oleh karena itu: 1. Perlu adanya pustaka maupun penelitian lain tentang penyakit tidak teridentifikasi 2. Perlu dilakukan penelitian terhadap hubungan faktor lain seperti faktor pelayanan kesehatan yang meliputi dokter, sarana diagnostik terhadap penyakit tidak teridentifikasi. 3. Data yang lengkap pada rekam medis RSCM, agar analisis data dapat berjalan lebih ideal. DAFTAR PUSTAKA 1. Peterlini MA, Rocha PK, Kusahara DM, Pedreira ML. Subjective assessment of backrest elevation: magnitude of error. Dalam: Pubmed Health 2006 [Internet]. Diunduh dari: http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17137940 2. Petersen J. Margin of error in subjective assessment of visual acuity. Dalam: Pubmed Health 1990 [Internet]. Diunduh dari: http://ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2086404 3. Mushtaq MU, Gull S, Akram J, Shad MA. Socio-demographic correlates of the health- seeking behaviours in two districts of Pakistan`s Punjab province. Dalam: JPMA 2006 [Internet]. Diunduh dari http://www.jpma.org.pk/full_article_text.php?article_id=3188 4. Brennan L. Health seeking behavior. Dalam: Mens’ Health Forum Ireland [Internet]. Diunduh dari http://mhfi.org/chapter5.pdf 5. Douglas LM. Clinical reasoning. Dalam Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19th ed. Philadelphia:2010. 17 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 6. WHO. International classification of disease (ICD). Dalam: ICD 10 Version 2010 [Internet]. Diakses melalui http://apps.who.int/classifications/icd10 7. Muela SH, Ribera JM, Nyamongo I. Health seeking behaviour and the health system response. 2003 [cited in 2013 Feb]. Dalam DCPP Working Paper [Internet]. Diunduh melalui http://dcp.org/file29/wp14 8. Peng Y, Chang W, Zhou H, Hu H, Liang W. Factor associated with health-seeking behavior among migrant workers in Beijing China. 2010. Dalam BMC Health Services Research [Internet]. Diunduh dari http://www.biomedcentral.com/1472-6963/10/69 9. Edwards et.al. Clinical reasoning strategies in physical therapy. 2004. Dalam Jurnal APTA [Internet]. Diunduh melalui http://ptjournal.apta.org/content/84/4/312.short 10. Douglas LM. Cognitive error in clinical decision making. Dalam Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19th ed. Philadelphia: Merck Publishing;2010. 11. Global Health Initiation. Indonesia GHI country strategy. Dalam Global Health Initation [Internet]. 2011 Rev. 2. Diakses melalui http://www.ghi.gov/documents/organization/175131.pdf 12. Lawson D. Determinants of Health Seeking Behaviour in Uganda – Is it Just Income and User Fees That Are Important? [Paper on Internet] Disitasi 21 Februari 2013 dari http://ageconsearch.umn.edu/bitstream/30553/1/de040006.pdf 13. MacKian S. A review of health seeking behaviour problems and prospects. [Article on Web] Cited 21 Februari 2013 dari http://www.dfid.gov.uk/r4d/PDF/Outputs/HealthSysDev_KP/0503_health_seeking_behaviour.pdf 14. Ahmed SM et.al. Socioeconomic status overrides age and gender in determining perilaku pencarian pengobatan in rural Bangladesh. Bulletin of the World Health Organization Volume 83:p.81-160. Cited 21 February 2013 from http://www.who.int/bulletin/volumes/83/2/ahmed0205abstract/en/index.html 15. Johansson E, Long NH, Diwan VK, Winkvist A. Gender and tuberculosis control: perspectives on health seeking behaviour amon men and women in Vietnam. Health Policy. 18 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 2000 May; 52(1):33-51. Cited 22 February 2013 from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10899643 16. Naing T, Geater A, Pungrassami P. Migrant workers' occupation and healthcare-seeking preferences for TB-suspicious symptoms and other health problems: a survey among immigrant workers in Songkhla province, southern Thailand. BMC Int Health Hum Rights. 2012 Oct 2;12:22. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23031509 17. Edwards I et.al. Clinical Reasoning Strategies in Physical Therapy. APTA Physical Therapy April 2004 vol. 84 no. 4 312-330. Accessed 21 Febriary 2013 from http://ptjournal.apta.org/content/84/4/312.full 18. Josephson I, Bulow P, Hedberg B. Physiotherapists' clinical reasoning about patients with non-specific low back pain, as described by the International Classification of Functioning, Disability and Health. Diasbil Rehabil. 2011;33(23-24):2217-28. Epub 2011 Mar 29. [Pubmed Health]. Accessed 22 February 2013 from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21446858 19. O'Malley KJ, et.al. Measuring diagnoses: ICD code accuracy. Health Serv Res. 2005 Oct;40(5):1620-1639. [Pubmed Health] Accessed 22 February 2013 from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1361216/ 20. WHO. International classification of diseases (ICD). [Web Article]. Accessed 22 February 2013 from http://www.who.int/classifications/icd/en/ 21. WHO. The International Classification of Diseases 11th Revision. [Web Article]. Accessed 22 February 2013 from http://www.who.int/classifications/icd/revision/en/index.html 22. Tseveenjav B, Suominen AL, Vehkalahti MM. Oral health-related behaviours among dentate adults in Finland: findings from the Finnish Health 2000 Survey. European Journal of Oral Sciences Vol 120. 2012. 23. Sandler RS, Drossman DA, Nathan HP, McKee DC. Symptom complaints and health care seeking behaviour in subjects with bowel dysfunction. Gastroenterology. 1984 Aug;87:314-8. Accessed 9 March 2013 from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6735075 19 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013 24. Monoarfa RA, Hamid AR, Mochtar CA, Umbas R. Diagnosis Kanker Prostat dalam perspektif spesialis urologi di Indoneisa: Sebuah Survei Kuesioner. Departemen Urologi RSCM/FKUI. Indonesian Journal of Cancer. 2012 No. 3 Jul-Sep. Diakses 9 Maret 2013 melalui http://indonesianjournalofcancer.org/2012/2012-no3-jul-sep/ 25. Ahmad RA, Mahendradhata Y, Utarini A, de Vlas SJ. Diagnostic delay amonst tuberculosis patients in Jogja Province, Indonesia is related to the quality of services in DOTS facilities. Departmen of Publig Health, Faculty of Medicine, Gadjah Mada University. Trop Med Int Health; 2011 Apr; 16(4):412023, doi: 10.1111. Dec 28 2010. Accessed 9 March 2013 from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/21199195 26. Tjindarbumi D, Mangunkusumo R. Cancer in Indonesia, Present and Future. Japanese Journal of Clinical Oncology, Volume 32. Accessed 9 March 2013 from http://jjco.oxfordjournals.org/content/32/suppl_1/S17.full 27. Muin A. Internship, profesi pendidikan dokter. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Diunduh melalui http://blog.umy.ac.id/abdulmuin/internship-2 28. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Provinsi Gorontalo Tahun 2011. Diunduh melalui http://www.depkes.go.id/downloads/ringkasan%20gorontalo 20 Prevalensi penyakit..., Nanda Lucky Prasetya, FK-UI, 2013