FORUM STUDI MAHASISWA PENGEMBANG PENALARAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MODUL KURIKULUM PENDIDIKAN ANGGOTA (KPA) FORDIMAPELAR UB 2009 GEDUNG SEKBER UKM JL.MT.HARYONO KAV.5 UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 0 DAFTAR ISI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. KESADARAN LINGKUNGAN INTERNAL ........................................................... 2 Sejarah FORDIMAPELAR ................................................................................. 2 Pengenalan AD/ART, GBPK, KPA ..................................................................... 3 KESADARAN LINGKUNGAN EKSTERNAL ......................................................... 5 Profil Lembaga Mahasiswa UB ........................................................................ 5 Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus ............................................................ 7 PENALARAN ................................................................................................... 19 Sejarah Logika ................................................................................................ 19 Pengantar Logika ............................................................................................ 20 Pembagian Logika .......................................................................................... 23 Pikiran ............................................................................................................ 24 Asas Berpikir .................................................................................................. 25 Kata ................................................................................................................ 26 Universal dan Partial ...................................................................................... 28 Bermakna ....................................................................................................... 29 Abstrak dan Konkret ....................................................................................... 31 Ambigu ........................................................................................................... 32 Konsepsi dan Penilaian ................................................................................... 34 Kesesatan/Falaccia ......................................................................................... 35 PSIKOLOGI ...................................................................................................... 45 Psikologi Sosial ............................................................................................... 49 Teori Perkembangan Psikososial .................................................................... 62 Kognisi ........................................................................................................... 72 SOSIOLOGI ..................................................................................................... 75 IDEOLOGI ....................................................................................................... 80 POLITIK .......................................................................................................... 97 PENDIDIKAN .................................................................................................. 139 Andragogi ....................................................................................................... 142 Psikologi Pendidikan ....................................................................................... 146 Filsafat Pendidikan ......................................................................................... 150 FILSAFAT ........................................................................................................ 153 1 I KESADARAN LINGKUNGAN INTERNAL I. SEJARAH BERDIRINYA FORDIMAPELAR Berawal dari keinginan para aktivis yang ada di universitas Brawijaya pada awal tahun 80-an antara lain, Sundjojo, Anang Susapto, Edward, Andrek Prana, Gatot Suryanto, R.Soendoro RZ., Yudiono, Lukman, Dwi Putro Mudjiwidodo, Heru PHS., Ibnu Tricahyo, Saiful Usman, Sudi Harono, Dwi Agung Nugroho, dan H. B. Marwoto, untuk memiliki suatu forum dimana mereka dapat berkumpul dan berdiskusi maka mereka sepakat berbentuk suatu lembaga. Pada tanggal 6 April 1981 diadakan rapat yang dihadiri oleh mahasiswa seperti yang tersebut di atas dan tercetus ide konsep untuk membentuk UNIT AKTIVITAS DISKUSI. Setelah berkonsultasi dengan Masyur Effendi SH. (PR III pada waktu itu) dan Ir. Syahri Muhammad selaku Koordinator Bidang Penal aran BKK UNIBRAW saat itu ide diwujudkan. Pada tanggal 8 April 1981 dibuka pendaftaran untuk menjadi anggota UNIT AKTIVITAS DISKUSI. Pada tanggal 13 April 1981, diadakan suatu forum untuk seluruh mahasiswa Universitas Brawijaya yang mana di forum tersebut dikemukakan pemikiran dasar tentang keinginan membentuk suatu aktivitas diskusi. Dalam forum tersebut telah dicapai suatu keputusan bersama yaitu, dibentuknya suatu team komisi yang bertugas mencari format dan membuat Anggaran Dasar serta Anggaran Rumah Tangga bagi lembaga kemahasiswaan yang akan dibentuk tersebut. Setelah sebelumnya disetujui, memang diperlukan adanya lembaga kemahasiswaan yang dapat menampung mereka yang ingin berkumpul dan berdiskusi. Maka pada tanggal inilah yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahir FORDIMAPELAR UNIBRAW. Pada tanggal 4 Mei 1981 diadakan Musyawarah Anggota bagi anggota Unit Aktivitas Diskusi yang telah terdaftar, untuk membahas AD/ART. Pada Musyawarah Anggota itu dapat disetujui beberapa poin yang menentukan perkembangan selanjutnya, yaitu: 1. Mensahkan rancangan AD/ART yang telah disusun 2. Menetapkan nama unit aktivitas diskusi yaitu, Lembaga Studi Mahasiswa Pengembang Penalaran (LEDI MAPELAR UNIBRAW) 3. Menunjuk Sundjojo sebagai ketua LEDIMAPELAR Prof. Drs. Harsono selaku Rektor Unibraw saat itu kurang berkenan dengan nama LEDI MAPELAR karena, mengandung konotasi yang akan rancu dengan lembaga penelitian, lembaga bantuan hukum, dll. Yang notabene merupakan perangkat Universitas Brawijaya. Oleh karena itu disarankan untuk mengganti kata ‘lembaga’ menjadi ‘forum’. Walaupun secara dejure FORDIMAPELAR telah berdiri secara resmi telah diakui oleh pihak universitas, baru tanggal 4 Juni 1983 melalui SK Ketua BKK Unibraw No. 004/SK/BKK/1983. 2 II. PENGENALAN AD/ART, GBPK, DAN KPA 1. AD/ART FORDIMAPELAR UNIBRAW Anggaran Dasar Fordimapelar Unibraw memuat 3 hal yaitu, pembukaan, batang tubuh, dan penjelasan. AD/ART yang telah diperbaharui ditetapkan di Malang pada tanggal 24 Juli 1991. Lembaga Fordimapelar Unibraw yang berbentuk LINGKAR INSAN PENALARAN mempunyai arti sebagai berikut : a. Warna putih melambangkan sikap FORDIMAPELAR yang obyektif dan tidak berpihak b. Warna kuning melambangkan sikap jujur serta selalu berpijak pada realita dan kebenaran c. Warna biru tua melambangkan sikap ilmu pengetahuan sebagai dasar penalaran FORDIMAPELAR d. Warna biru muda melambangkan bahwa anggota FORDIMAPELAR generasi muda yang mempunyai idealisme e. Lingkaran terbuka dengan mata panah melambangkan sikap FORDIMAPELAR yang selalu terbuka dan tanggap terhadap setiap permasalahan yang kemudian disaring dan dianalisa sesuai dengan kapasitas pikir manusia f. Lingkaran berlapis 3 dengan warna kuning diapit dengan warna biru tua melambangkan FORDIMAPELAR dalam menganalisa suatu masalah selalu berpijak pada realita dan ilmu pengetahuan serta dijiwai oleh idealisme, kebenaran, dan kejujuran g. Kepala manusia dengan otak terbuka melambangkan pikiran sebagai ujung tombak penalaran dan selalu terbuka untuk menerima masukan baru h. Kepala menghadap ke kanan dengan mulut terbuka melambangkan FORDIMAPELAR selalu berlandaskan pada kejujuran dan berani mengungkapkan kebenaran Semboyan FORDIMAPELAR adalah “Nalar Hasta Terusing Budi” yang menggambarkan alam pikiran dan hakekat kegiatan FORDIMAPELAR sebagai kelompok studi yang didukung oleh kreativitas individu, pada hakekatnya mempunyai kegiatan intelektual yang menganalisa kebenaran tetapi juga terpanggil untuk menunaikan kewajiban 3 sosialnya. “Nalar Hasta Terusing Budi” juga berarti bahwa bagi FORDIMAPELAR Universitas Brawijaya, bernalar, berkarya, menganalisa pikiran adalah kelanjutan dari budi yang arif untuk memebentuk manusia seutuhnya sesuai dengan hakekat manusia. “Nalar Hasta Terusing Budi” menurut rumusan candra sengkala adalah ‘nalar’ berwatak 1, ‘hasta’ berwatak 8, ‘terusing’ berwatak 9, dan ‘budi’ berwatak 1. Sebagaimana lazimnya sengkala dibaca terbalik, 1981 tahun berdirinya FORDIMAPELAR Universitas Brawijaya. Sebagai catatan, terhadap pembukaan AD/ART tidak dapat dilakukan peninjauan dan/atau perubahan karena, pembukaan AD/ART mengandung jiwa, hakekat, dan falsafah FORDIMAPELAR sejak didirikannya. 2. GARIS-GARIS BESAR PROGRAM KERJA (GBPK) Garis-garis Besar Program Kerja adalah suatu tata aturan yang menjadi arahan/pedoman dalam membuat kebijakan/program kerja organisasi. GBPK ini berlaku selama lima tahun dan sesudahnya dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan/keadaan organisasi dan perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya. Hal ini mengisyaratkan bahwa perkembangan/kemajuan organisasi harus melalui suatu proses yang bertahap, terencana, terarah, dan berkesinambungan. Selain itu, dengan ditinjaunya GBPK setiap 2 tahun sekali, maka organisasi (baca : FORDIMAPELAR) dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya sehingga eksistensi/kelangsungan hidup organisasi tetap terpelihara. Dalam GBPK yang masih berlaku, setiap periode kepengurusan ditekankan untuk menitikberatkan program kerjanya pada pengembangan sumber daya manusia dan pengembangan sumber daya organisasi. 3. KURIKULUM PEMBINAAN ANGGOTA (KPA) KPA dibuat berdasarkan amanat yang secara implisit terdapat dalam AD/ART. KPA adalah suatu susunan/rencana yang dijadikan pedoman dalam pembinaan anggota. Sedangkan pembinaan anggota adalah segala usaha pembinaan yang dilakukan secara sadar, terencana dan berkesinambungan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan yang sesuai dengan tujuan organisasi yang meliputi kegiatan pokok dan kegiatan penunjang. MANIFESTO PENAL RAN BAHWA SESUNGGUHNYA FORDI MAPELAR UNIVERSITAS BRAWIJAYA DALAM SEGALA GERAK DAN LANGKAHNYA SELALU DIJIWAI OLEH SEMANGAT PENALARAN YANG MENGARAH PADA PENGEJAWANTAHAN IDEALISME KEMAHASISWAAN DALAM MEMENUHI TANGGUNGJAWAB SOSIALNYA. DAN DARI PADA ITU, SEMANGAT PENALARAN ADALAH SUATU JIWA YANG TERPANCAR, DARI KEJERNIHAN HATI NURANI YANG PALING DALAM DENGAN DASAR PEMIKIRAN YANG BENAR SERTA DIWUJUDKAN DALAM KETEGUHAN SIKAP DAN KEBERANIAN MENYUARAKAN KEBENARAN. 4 II KESADARAN LINGKUNGAN EKSTERNAL PROFIL LEMBAGA MAHASISWA UB Lembaga Kedaulatan Mahasiswa Universitas Brawijaya (LKM-UB) LKM-UB merupakan sebuah wadah mahasiswa untuk mengimplementasikan peran mahasiswa dan memberikan sumbangsih dalam turut memajukan bangsa dan negara Indonesia. Lembaga ini didirikan tanggal 27 September 1998 dan merupakan hasil mengintegrasikan dirinya dengan seluruh gerakan perubahan yang memperjuangkan kebenaran dengan secara konsisten pada nilai-nilai religius, kedaulatan, intelektualitas dan demokrasi. Lembaga ini terdiri atas (a) lembagalembaga di tingkat Universitas : Kongres Mahasiswa Universitas Brawijaya, KM-UB, Dewan Perwakilan Mahasiswa, DPM, Eksekutif Mahasiswa Universitas Brawijaya, EM-UB dan Unit Aktivitas Mahasiswa (Unitas) (b) lembaga di tingkat Fakultas : Musyawarah Umum Mahasiswa Fakultas, MUMF; Eksekutif Mahasiswa Fakultas, EMF; Himpunan Mahasiswa Jurusan/Program , HMJ/HMP; Lembaga Otonomi Fakultas, LOF dan (c) Dewan Pers Kampus, DPM baik tingkat Universitas dan tingkat Fakultas. Lembaga-lembaga di tingkat Universitas KM-UB merupakan gabungan dari DPM dan utusan-utusan lembaga yang ada di lingkungan universitas. KM-UB memegang amanah kedaulatan untuk merumuskan haluan-haluan paramadigmatis ( Garis-garis besar haluan, GBH ), sedangkan sebagai DPM merupakan legislatif yang mempunyai fungsi kontrol terhadap GBH LKM-UB. Sementara EM-UB sebagai lembaga tinggi yang dipimpin oleh seorang Presiden mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketetapan KM UB serta mewakili mahasiswa Universitas Brawijaya dalam berbagai aktifitas mahasiswa, baik yang sifatnya internal maupun eksternal. Presiden atau DPM dipilih melalui Pemilwa Raya (1 tahunan ) dan dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu Dewan Menteri dan mempunyai tata hubungan koordinatif dengan UKM dan DPK UNITAS merupakan lembaga yang berperan sebagai unit pelaksana kegiatan ekstrakurikuler di tingkat Universitas. Unit aktivitas ini terbagi dalam lima karakter kerja, meliputi : (1) Minat Penalaran : FORMASI, FORDI MAPELAR, UAPKM, IAAS (2) Minat Olah Raga : IMPALA, Bola Basket, Bola Voli, Tenis lapangan, Bulutangkis, Sepakbola, Tai Kwondo, Tapak Suci, Inkai, Perisai Diri, Merpati Putih, Setia Hati Teratai, Persaudaraan Tenaga Dalam, Persatuan Kempo Indonesia, (3) Minat Kesenian : Paduan Suara, Karawitan, Tari, Band, Teater (4) Minat Khusus : Menwa, Pramuka, KSR, IMPALA (5) Minat Kesejahteraan Mahasiswa : UAKI, UAKK, UAKKat, UAKHD, Budhis Lembaga-lembaga tingkat Fakultas MUMF merupakan forum tertinggi di tingkat Fakultas yang memiliki kewenanganuntuk membuat GBH mahasiswa Fakultas. Forum ini juga berkewajiban untuk membentuk badan tingkat Fakultas sesuai dengan kebutuhan masing-masing fakultas. Lembaga EMF berkewajiban untuk melaksanakan hasil MUMF yang dalam melaksanakan kegiatan internalnya memiliki hak ontonomi, sedangkan kegiatan 5 eksternal yang membawa nama Universitas harus berkoordinasi dengan EM-UB. Lembaga EMF juga dipimpin oleh seorang Presiden hasil Pewilwa tingkat fakultas. HMJ/HMP merupakan lembaga eksekutif tingkat jurusan atau program. Lembaga ini memiliki jalur koordinasi dengan EMF. Sedangkan tanggungjawab kegiatan HMJ/HMP dilakukan kepada pimpinan Fakultas. LOF sebagai unit pelaksana teknis tingkat fakultas yang memiliki hubungan koordinatif dengan EMF. Dewan Pers Kampus DPK merupakan lembaga pelaksana teknis pers di lingkungan kampus, baik tingkat Universitas maupun tingkat Fakultas yang bertugas turut mengontrol ”student goverment” Struktur Organisasi Lembaga Kemahasiswaan Universitas Brawijaya KETERANGAN : 1. : Hubungan instruktif/ derektif 2. : Hubungan Konsultatif / koordinatif 6 ORGANISASI MAHASISWA EKSTRA KAMPUS (OMEK) Organisasi kemahasiswaan yang bersifat ekstra kampus pada umumnya terkait dengan aliran politik atau ideologi tertentu seperti: IMM, HMI, PMII, KAMMI, FMN, GMNI, GMKI, PMKRI, Mapancas, Gema Pembebasan dan sebagainya. Ada pula organisasi kemahasiswaan ekstra kampus yang didasarkan pada ikatan asal daerah, misalnya Himpunan Mahasiswa Jawa Timur (HIMAJATI), Ikatan Mahasiswa Pelajar Padang Lawas-Sumatera Barat (IMAPPALAS SUMBAR) atau Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kalimantan Timur (KPMKT). Untuk organisasi kemahasiswaan yang bersifat kedaerahan umumnya sekretariatnya sekaligus merupakan Asrama Mahasiswa asal daerah yang bersangkutan. Meskipun tidak semua mahasiswa asal daerah tersebut merupakan anggota organisasi atau tinggal di Asrama Mahasiswa daerah yang bersangkutan. 1. HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM (HMI) Dampak dari penjajahan Belanda, yang menyebabkan dunia pendidikan dan kemahasiswaan di Indonesia telah tercekoki oleh unsur-unsur dan sosok pendidikan Barat yang mengarah pada sekulerisme dengan meninggalkan agama, di setiap aspek kehidupan umat manusia. Kenyataan memang menunjukkan bahwa kehidupan kemahasiswaan berada dalam krisis keseimbangan, dimana iman dan ilmu tidak ada keserasian. Demikian alam dan situasi kehidupan pendidikan di Indonesia sebelum kehadiran HMI. Di pihak lain sebelum lahirnya HMI telah berdiri Perserikatan Mahasiswa Islam (PSI) yang dalam anggaran dasarnya dengan tegas menyatakan bahwa organisasi ini berdasarkan non agama dan non politik, dasar pertama tentu sangat bertentangan dengan Islam. Sedang dasar kedua, non politik memang pada prinsipnya semua organisasi kemahasiswaan itu non politik. Di Surakarta terdapat Serikat Mahasiswa Islam (SMI) yang tokoh-tokohnya gembong PKI. Kedua organisasi kemahasiswaan itu setali tiga uang, tak mengerti peluang terhadap perkembangan agama. Pemrakarsa berdirinya HMI pada waktu itu membayangkan bagaimana kehidupan mahasiswa-mahasiswa itu kelak sebagai calon sarajana dan pemimpin umat yang asama sekali tidak mendapat pengajaran agama Islam di bangku perkulaiahan. Betapapun kelak senadainya para intelektual yang semata-mata mengutamakan ilmu pengetahuan tanpa didasari oleh ilmu agama sama sekali, akan tampil sebagai tokoh masyarakat dan pemimpin bangsa. Pengalaman dan fakta menunjukkan dan sebagai saksi sejarah siapa yang dapat menguasai generasi muda dan cendekiawan pasti akan dapat menguasai masa depan bangsa. Dari problem ini, sejak Nopember 1945 timbullah gagasan di benak seorang mahasiswa Sekolah Tinggi Islam (UII), yang selama ini selalu mengikuti dan memperhatikan segala aspek dan aneka ragam kehidupan mahasiswa dan perguruan tinggi khususnya, maupun perjalanan sejarah rakyat dan bangsa Indonesia umumnya, untuk mendirikan organisasi mahasiswa sebagai alat perjuangan untuk mencapai 7 cita-citanya. Tersebutlah nama Lafran Pane, ia adalah Ketua III SEMA STI bidang kemahasiswaan. Untuk mendirikan organisasi mahasiswa, lafran Pane tidak bekerja sambil lalu saja, ia meminta saran dan pemikirn Rektor STI, yaitu Prof. A. Kahar Muzakir. Dan pendukung idenya itu bukan sembarangan orang diikutsertakan, ia amat selektif sekali. Mengingat kebutuhan yang mendesak, Lafran Pane berjihad, mencari jalan keluar dari ketidakmengertian beberapa pihak tentang niat baiknya. Yaitu, bahwa organisasi ini memang harus didirikan. Memang sudah takdir Allah, disaat bapak Husaen Yahya yang memberi jam kuliah ilmu tafsir, memenuhi permintaan Lafran Pane, waktunya digunakan untuk rapat. Dan pada saat itu pula pada tanggal 5 Februari 1947 bertepatan dengan tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, secara formal semua peserta rapat menyetujui didirikannya organisasi mahasiswa Islam, yang bernama Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bertujuan : 1. Mempertahankan negara RI dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia 2. Menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam 2. PERGERAKAN MAHASISWA ISLAM INDONESIA (PMII) Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) merupakan salah satu elemen mahasiswa yang terus bercita-cita mewujudkan Indonesia ke depan menjadi lebih baik. PMII berdiri tanggal 17 April 1960 dengan latar belakang situasi politik tahun 1960-an yang mengharuskan mahasiswa turut andil dalam mewarnai kehidupan sosial politik di Indonesia. Pendirian PMII dimotori oleh kalangan muda NU (meskipun di kemudian hari dengan dicetuskannya Deklarasi Murnajati 14 Juli 1972, PMII menyatakan sikap independen dari lembaga NU). Di antara pendirinya adalah Mahbub Djunaidi dan Subhan ZE (seorang jurnalis sekaligus politikus legendaris). Latar belakang pembentukan PMII Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) lahir karena menjadi suatu kebutuhan dalam menjawab tantangan zaman. Berdirinya organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia bermula dengan adanya hasrat kuat para mahasiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlusssunnah wal Jama'ah. Dibawah ini adalah beberapa hal yang dapat dikatakan sebagai penyebab berdirinya PMII: Carut marutnya situasi politik bangsa indonesia dalam kurun waktu 1950-1959. Tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada. Pisahnya NU dari Masyumi. 8 Tidak enjoynya lagi mahasiswa NU yang tergabung di HMI karena tidak terakomodasinya dan terpinggirkannya mahasiswa NU. Kedekatan HMI dengan salah satu parpol yang ada (Masyumi) yang nota bene HMI adalah underbouw-nya. Hal-hal tersebut diatas menimbulkan kegelisahan dan keinginan yang kuat dikalangan intelektual-intelektual muda NU untuk mendirikan organisasi sendiri sebagai wahana penyaluran aspirasi dan pengembangan potensi mahasiswa-mahsiswa yang berkultur NU. Disamping itu juga ada hasrat yang kuat dari kalangan mahsiswa NU untuk mendirikan organisasi mahasiswa yang berideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Organisasi-organisasi pendahulu Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa'il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad. Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma'il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU. Deklarasi Pada tanggal 14-16 April 1960 diadakan musyawarah mahasiswa NU yang bertempat di Sekolah Mu’amalat NU Wonokromo, Surabaya. Peserta musyawarah adalah perwakilan mahasiswa NU dari Jakarta, Bandung, Semarang,Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar, serta perwakilan senat Perguruan Tinggi yang bernaung dibawah NU. Pada saat tu diperdebatkan nama organisasi yang akan didirikan. Dari Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny. Dari Bandung dan Surakarta mengusulkan nama PMII. Selanjutnya nama PMII yang menjadi kesepakatan. Namun kemudian kembali dipersoalkan kepanjangan dari ‘P’ apakah perhimpunan atau persatuan. Akhirnya disepakati huruf "P" merupakan singkatan dari Pergerakan sehingga PMII menjadi “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia”. Musyawarah juga menghasilkan susunan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga organisasi serta memilih dan menetapkan sahabat Mahbub Djunaidi sebagai ketua umum, M. Khalid Mawardi sebagai wakil ketua, dan M. Said Budairy sebagai sekretaris umum. Ketiga orang tersebut diberi amanat dan wewenang untuk menyusun kelengkapan kepengurusan PB PMII. Adapun PMII dideklarasikan secara 9 resmi pada tanggal 17 April 1960 masehi atau bertepatan dengan tanggal 17 Syawwal 1379 Hijriyah. Independensi PMII Pada awal berdirinya PMII sepenuhnya berada di bawah naungan NU. PMII terikat dengan segala garis kebijaksanaan partai induknya, NU. PMII merupakan perpanjangan tangan NU, baik secara struktural maupun fungsional. Selanjutnya sejak dasawarsa 70-an, ketika rezim neo-fasis Orde Baru mulai mengkerdilkan fungsi partai politik, sekaligus juga penyederhanaan partai politik secara kuantitas, dan issue back to campus serta organisasi- organisasi profesi kepemudaan mulai diperkenalkan melalui kebijakan NKK/BKK, maka PMII menuntut adanya pemikiran realistis. 14 Juli 1971 melalui Mubes di Murnajati, PMII mencanangkan independensi, terlepas dari organisasi manapun (terkenal dengan Deklarasi Murnajati). Kemudian pada kongres tahun 1973 di Ciloto, Jawa Barat, diwujudkanlah Manifest Independensi PMII. Namun, betapapun PMII mandiri, ideologi PMII tidak lepas dari faham Ahlussunnah wal Jamaah yang merupakan ciri khas NU. Ini berarti secara kultural- ideologis, PMII dengan NU tidak bisa dilepaskan. Ahlussunnah wal Jamaah merupakan benang merah antara PMII dengan NU. Dengan Aswaja PMII membedakan diri dengan organisasi lain. Keterpisahan PMII dari NU pada perkembangan terakhir ini lebih tampak hanya secara organisatoris formal saja. Sebab kenyataannya, keterpautan moral, kesamaan background, pada hakekat keduanya susah untuk direnggangkan. 3. PERHIMPUNAN MAHASISWA KATOLIK REPUBLIK INDONESIA (PMKRI) Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) merupakan organisasi kemasyarakatan (ormas) katolik yang berfungsi sebagai organisasi pembinaan dan organisasi perjuangan mahasiswa katolik (juga bukan katolik) yang berazaskan Pancasila, dijiwai kekatolikan, dan disemangati kemahasiswaan. Ditetapkan berdiri pada 25 Mei 1947. Namun demikian cikal bakal organisasi ini telah lahir jauh sebelumnya yakni saat berdirinya KSV Sanctus Bellarminus Batavia (didirikan di Jakarta, 10 November 1928), KSV Sanctus Thomas Aquinas Bandung (didirikan di Bandung, 14 Desember 1947), dan KSV Sanctus Lucas Surabaya (didirikan di Surabaya, 12 Desember 1948). Sejarah PMKRI Adapun PMKRI Yogyakarta yang pertama kali diketuai oleh St. Munadjat Danusaputro, didirikan pada tanggal 25 Mei 1947. Fusi 11 Juni 1950 (Konggres I) Keinginan Federasi KSV untuk berfusi dengan Perserikatan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia Yogyakarta saat itu, karena pada pertemuan antar KSV di 10 penghujung 1949, dihasilkan keputusan bersama bahwa “….Kita bukan hanya mahasiswa Katolik, tetapi juga mahasiswa Katolik Indonesia ..." Federasi akhirnya mengutus Gan Keng Soei dan Ouw Jong Peng Koen untuk mengadakan pertemuan dengan moderator dan pimpinan PMKRI Yogyakarta. Setelah mendapat saran dan berkat dari Vikaris Apostolik Batavia yang pro Indonesia, yaitu Mgr. Peter J Willekens SJ, utusan Federasi KSV (kecuali Ouw Jong Peng Koen yang batal hadir karena sakit) bertemu dengan moderator pada tanggal 18 Oktober 1950. Pertemuan dengan Ketua PMKRI Yogyakarta saat itu, yaitu PK Haryasudirja, bersama stafnya berlangsung sehari kemudian. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut intinya wakil federasi KSV yaitu Gan Keng Soei mengajak dan membahas keinginan ”Mengapa kita tidak berhimpun saja dalam satu wadah organisasi nasional mahasiswa Katolik Indonesia? Toh selain sebagai mahasiswa Katolik, kita semua adalah mahasiswa Katolik Indonesia. “ Maksud Federasi KSV ini mendapat tanggapan positif moderator dan pimpinan PMKRI Yogyakarta. Dan dari pertemuan itu dihasilkan dua keputusan lain yaitu : Setelah pertemuan tersebut, masing-masing organisasi harus mengadakan kongres untuk membahas rencana fusi. Kongres Gabungan antara Federasi KSV dan PMKRI Yogyakarta akan berlangsung di Yogyakarta tanggal 9 Juni 1951. 4. IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH (IMM) IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) ialah organisasi mahasiswa Islam di Indonesia yang memiliki hubungan struktural dengan organisasi Muhammadiyah dengan kedudukan sebagai organisasi otonom. Memiliki tujuan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Keberadaan IMM di perguruan tinggi Muhammadiyah telah diatur secara jelas dalam qoidah pada bab 10 pasal 39 ayat 3: "Organisasi Mahasiswa yang ada di dalam Perguruan Tinggi Muhammadiyah adalah Senat Mahasiswa dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)”. Sedangkan di kampus prguruan tinggi lainnya, IMM bergerak dengan status organisasi ekstra-kampus — sama seperti Himpunan Mahasiswa Islam maupun KAMMI — dengan anggota para mahasiswa yang sebelumnya pernah bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) didirikan di Yogyakarta pada tangal 14 Maret 1964, bertepatan dengan tanggal 29 Syawwal 1384 H. Dibandingkan dengan organisasi otonom lainya di Muhammadiyah, IMM paling belakangan dibentuknya. Organisasi otonom lainnya seperti Nasyiatul `Aisyiyah (NA) didirikan pada tanggal 16 Mei 1931 (28 Dzulhijjah 1349 H); Pemuda Muhammadiyah dibentuk pada tanggal 2 Mei 1932 (25 Dzulhijjah 1350 H); dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM, yang namanya 11 diganti menjadi Ikatan Remaja Muhammadiyah [IRM]) didirikan pada tanggal 18 Juli 1961 (5 Shaffar 1381 H). Kelahiran IMM dan keberadaannya hingga sekarang cukup sarat dengan sejarah yang melatarbelakangi, mewarnai, dan sekaligus dijalaninya. Dalam konteks kehidupan umat dan bangsa, dinamika gerakan Muhammadiyah dan organisasi otonomnya, serta kehidupan organisasi-organisasi mahasiswa yang sudah ada, bisa dikatakan IMM memiliki sejarahnya sendiri yang unik. Hal ini karena sejarah kelahiran IMM tidak luput dari beragam penilaian dan pengakuan yang berbeda dan tidak jarang ada yang menyudutkannya dari pihak-pihak tertentu. Pandangan yang tidak apresiatif terhadap IMM ini berkaitan dengan aktivitas dan keterlibatan IMM dalam pergolakan sejarah bangsa Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an; serta menyangkut keberadaan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) pada waktu itu. Ketika IMM dibentuk secara resmi, itu bertepatan dengan masa-masanya HMI yang sedang gencar dirusuhi oleh PKI dan CGMI serta terancam mau dibubarkan oleh rezim kekuasaan Soekarno. Sehingga kemudian muncul anggapan dan persepsi yang keliru bahwa IMM didirikan adalah untuk menampung dan mewadahi anggota HMI jika dibubarkan. Logikanya dalam mispersepsi ini, karena HMI tidak jadi dibubarkan, maka IMM tidak perlu didirikan. Anggapan dan klaim yang mengatakan bahwa IMM lahir karena HMI akan dibubarkan, menurut Noor Chozin Agham, adalah keliru dan kurang cerdas dalam memberi interpretasi terhadap fakta dan data sejarah. Justru sebaliknya, salah satu faktor historis kelahiran IMM adalah untuk membantu eksistensi HMI dan turut mempertahankannya dari rongrongan PKI yang menginginkannya untuk dibubarkan. 5. KESATUAN AKSI MAHASISWA MUSLIM INDONESIA (KAMMI) KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) adalah sebuah organisasi mahasiswa muslim yang lahir di era reformasi yaitu tepatnya tanggal 29 Maret 1998 di Malang. Latar Belakang Berdirinya KAMMI KAMMI muncul sebagai salah satu kekuatan alternatif Mahasiswa yang berbasis mahasiswa Muslim dengan mengambil momentum pada pelaksanaan Forum Silahturahmi Lembaga Dakwah Kampus (FS-LDK) X se-Indonesia yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Meskipun orientasinya adalah NON profit, namun kami jelaskan kepada segenap masyarakat bahwa kammi selalu menjalin link sehingga bisa berkembang dan mendapatkan dana dimana-mana. Acara ini dihadiri oleh 59 LDK yang berafiliasi dari 63 kampus (PTN-PTS) diseluruh Indonesia 12 . Jumlah peserta keseluruhan kurang lebih 200 orang yang notabenenya para aktifis dakwah kampus. KAMMI lahir pada ahad tanggal 29 Maret 1998 PK.13.00 wib atau bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijah 1418 H yang dituangkan dalam naskah Deklarasi Malang. KAMMI lahir didasari sebuah keprihatinan yang mendalam terhadap krisis nasional tahun 1998 yang melanda Indonesia. Krisis kepercayaan terutama pada sektor kepemimpinan telah membangkitkan kepekaan para pimpinan aktivis dakwah kampus di seluruh Indonesia yang saat itu berkumpul di UMM Malang. Pemilihan Nama Pemilihan nama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia yang kemudian disingkat KAMMI mengandung makna atau memiliki konsekwensi pada beberapa hal yaitu : KAMMI adalah sebuah kekuatan terorganisir yang menghimpun berbagai elemen Mahasiswa Muslim baik perorangan maupun lembaga yang sepakat bekerja dalam format bersama KAMMI. KAMMI adalah sebuah gerakan yang berorientasi kepada aksi real dan sistematis yang dilandasi gagasan konsepsional yang matang mengenai reformasi dan pembentukan masyarakat Islami (berperadaban). Kekuatan inti KAMMI adalah kalangan mahasiswa pada berbagai stratanya yang memiliki komitmen perjuangan keislaman dan kebangsaan yang jelas dan benar. Visi gerakan KAMMI dilandasi pemahaman akan realitas bangsa Indonesia dengan berbagai kemajemukannya, sehingga KAMMI akan bekerja untuk kebaikan dan kemajuan bersama rakyat, bangsa dan tanah air Indonesia. 6. GERAKAN MAHASISWA NASIONAL INDONESIA (GMNI) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (disingkat GMNI) adalah sebuah organisasi mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah sebuah gerakan mahasiswa yang berlandaskan ajaran Marhaenisme. GMNI dibentuk pada tanggal 22 Maret 1954 sebagai hasil gabungan dari tiga organisasi mahasiwa, masing-masing Gerakan Mahasiswa Marhenis, Gerakan Mahasiswa Merdeka, dan Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia. 13 Sejarah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, atau disingkat GMNI, lahir sebagai hasil proses peleburan tiga organisasi mahasiswa yang berasaskan Marhaenisme Ajaran Bung Karno. Ketiga organisasi itu ialah: Gerakan Mahasiswa Marhaenis, berpusat di Jogjakarta Gerakan Mahasiswa Merdeka, berpusat di Surabaya Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia, berpusat di Jakarta. Proses peleburan Proses peleburan ketiga organisasi mahasiswa mulai tampak, ketika pada awal bulan September 1953, Gerakan Mahasiswa Demokrat Indonesia (GMDI) melakukan pergantian pengurus, yakni dari Dewan Pengurus lama yang dipimpin Drs. Sjarief kepada Dewan Pengurus baru yang diketuai oleh S.M. Hadiprabowo. Dalam satu rapat pengurus GMDI yang diselenggarakan di Gedung Proklamasi, Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta, tercetus keinginan untuk mempersatukan ketiga organisasi yang seasas itu dalam satu wadah. Keinginan ini kemudian disampaikan kepada pimpinan kedua organisasi yang lain, dan ternyata mendapat sambutan positif. Deklarasi Setelah melalui serangkaian pertemuan penjajagan, maka pada Rapat Bersama antar ketiga Pimpinan Organisasi Mahasiswa tadi, yang diselenggarakan di rumah dinas Walikota Jakarta Raya (Soediro), di Jalan Taman Suropati, akhirnya dicapai sejumlah kesepakatan antara lain: Setuju untuk melakukan fusi Wadah bersama hasil peleburan tiga organisasi bernama "Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia" (GMNI). Asas organisasi adalah: Marhaenisme ajaran Bung Karno. Sepakat mengadakan Kongres I GMNI di Surabaya, dalam jangka waktu enam bulan setelah pertemuan ini. 7. GERAKAN MAHASISWA KRISTEN INDONESIA (GMKI) Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia adalah organisasi kemahasiswaan yang didirikan pada tanggal 9 Februari 1950. Namun Christelijke Studenten Vereeniging op Java (CSV) yang menjadi cikal bakal GMKI telah ada jauh sebelumnya dan berdiri sejak 28 Desember 1932 di Kaliurang. 14 Sejarah Berdirinya CSV tidak terpisahkan dengan peranan Ir. C.L Van Doorn, seorang ahli kehutanan yang mempelajari aspek sosial dan ekonomi khususnya ilmu pertanian dan kemudian memperoleh doktor di bidang ekonomi serta sarjana di bidang teologi. Dengan adanya mahasiswa di Indonesia dan bersamaan dengan berdirinya School tot Opleiding van Indishe Artsen (STOVIA) tahun 1910-1924 di Batavia. Selain itu, berdiri juga Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) di Surabaya (1913), Sekolah Teknik di Bandung (1920), Sekolah Kedokteran Hewan di Bogor (1914) dan Sekolah Hakim Tinggi di Jakarta (1924). Pada tahun 1924 terbentuklah Batavia CSV dan inilah cabang CSV yang pertama. Kurun waktu 1925-1927 para mahasiswa di Surabaya yang tergabung dalam Jong Indie aktif melakukan penelaahan Alkitab. Kelompok ini bersama Batavia CSV mengadakan Konferensi di Kaliurang pada bulan Desember 1932. Pembicara-pembicara utama kegiatan tersebut adalah Dr. J. Leimena, Ir. C.L van Doorn dan Dr. Hendrik Kraemer. Jumlah anggota CSV op Java dalam kurun waktu 1930-an sekitar 90 orang. Cabang-cabangnya baru ada di kota-kota perguruan tinggi di Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung dan Surabaya). Walaupun kecil dan lemah namun keberadaan CSV op Java telah berhasil meletakkan dasar bagi pembinaan mahasiswa Kristen yang akan dilanjutkan GMKI di kemudian hari. Sejumlah mahasiswa kedokteran dan hukum di Jakarta memutuskan untuk membentuk suatu organisasi mahasiswa Kristen. Organisasi itu untuk menggantikan CSV op Java yang sudah tidak ada. Dalam pertemuan di STT Jakarta tahun 1945, dibentuk Perhimpunan Mahasiswa Kristen Indonesia (PMKI) dengan maksud keberadaannya sebagai Pengurus Pusat PMKI. Dengan demikian Dr. J. Leimena dipilih sebagai Ketua Umum dan Dr. O.E Engelen sebagai Sekretaris Jenderal. Tetapi karena Leimena sibuk dengan tugas-tugas sebagai Menteri Muda Kesehatan, tugas-tugasnya diserahkan kepada Dr. Engelen. Kegiatan-kegiatan PMKI tidak jauh berbeda dengan CSV op Java dengan Penelahaan Alkitab salah satu inti kegiatannya. Keanggotaan PMKI sebagian besar adalah mahasiswa yang memihak pada perjuangan kemerdekaan. Terbentuklah PMKI di Bandung, Bogor, Surabaya dan Yogyakarta (setelah UGM berdiri) segera menyusul. Tak lama setelah PMKI lahir, awal tahun 1946 muncul organisasi baru dengan menggunakan CSV di Bogor, Bandung dan Surabaya dengan “CSV yang baru” dan tidak menjadi tandingan PMKI. Kesamaan kedua organisasi ini adalah merealisasikan persekutuan iman dalam Yesus Kristus dan menjadi saksi Kristus dalam dunia mahasiswa. Masuknya Jepang ke Indonesia mengakhiri eksistensi CSV op Java secara struktural dan organisatoris. Pemerintah pendudukan Jepang melarang sama semua kegiatan-kegiatan organisasi yang dibentuk pada zaman Belanda. Secara prakatis CSV op Java tidak ada lagi sejak tahun 1942. Sepanjang sejarahnya, CSV op Java dipimpin oleh Ketua Umumnya Dr. J. Leimena (1932-1936) serta Mr. Khouw (1936-1939). Sedangkan sekretaris (full time) dijalankan Ir. C.L Van Doorn (1932-1936). Dengan berakhirnya pertikaian Indonesia dengan Belanda, tahun 1949 berakhir pula “pertentangan” antara PMKI dengan CSV baru tersebut. Tanggal 9 Februari 1950 di kediaman Dr. J. Leimena di Jl. Teuku Umar No. 36 Jakarta, wakil-wakil PMKI dan CSV baru hadir dalam pertemuan tersebut. Maka lahirlah kesepakatan yang menyatakan bahwa PMKI dan CSV baru untuk meleburkan diri dalam suatu organisasi yang dinamakan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) dan mengangkat Dr. J. 15 Leimena sebagai Ketua Umum hingga diadakan kongres. Pertemuan tersebut merupakan pertemuan sangat penting dan suatu moment awal perjuangan mahasiswa Kristen yang tergabung dalam GMKI. GMKI merupakan tempat persiapan kader dengan kompetensi dalam iman, ilmu, kepemimpinan dan kepekaan sosial yang dapat diaplikasikan dalam tiga medan pelayanannya yakni, gereja, perguruan tinggi dan masyarakat. 8. GERAKAN MAHASISWA PEMBEBASAN (GEMA PEMBEBASAN) Gerakan Mahasiswa Pembebasan atau disingkat Gema Pembebasan adalah sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus yang bergerak di kalangan mahasiswa untuk menjadikan Ideologi Islam sebagai arus utama pergerakan mahasiswa di Indonesia. Organisasi ini adalah bagian dari gerakan Hizbut Tahrir Indonesia. Dalam setiap kegiatannya selalu menyerukan untuk diterapkannya Islam secara menyeluruh dalam setiap aspek kehidupan, mengingat Islam (sebagaimana dipahami para aktivis organisasi ini) adalah sebuah ideologi pembebasan yang membebaskan manusia dari segala bentuk dominasi ideologi lain di luar Islam (Kapitalisme, Liberalisme, Komunisme, Sosialisme, dan lain-lain). Latar belakang Mahasiswa dengan idealismenya memiliki potensi yang cukup besar dalam proses perubahan sosial dan politik. Akan tetapi selama ini mahasiswa banyak diwarnai oleh berbagai gerakan yang tidak atau kurang berani dalam mengedepankan ideologi Islam. ( lihat: Islamisme). Oleh karena itu diperlukan sebuah jaringan dakwah kampus se-Indonesia untuk mengkampanyekan pemikiran-pemikiran Islam dan solusi-solusi Islam atas segala permasalahan serta untuk melahirkan kader-kader dakwah mahasiswa yang suatu saat akan terjun ke masyarakat. Jaringan inilah yang kemudian diberi nama Gerakan Mahasiswa Pembebasan atau disingkat Gema Pembebasan. Pembentukan Gema Pembebasan resmi dibentuk pada tanggal 28 Februari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia. Setelah terbentuk, organisasi ini terus menyebar di Indonesia mulai tingkat pusat hingga perguruan tinggi dengan membentuk struktur baku Pengurus Pusat (PP), Pengurus Wilayah (PW), Pengurus Daerah (PD) dan Pengurus Komisariat (PK). 16 9. FRONT MAHASISWA NASIONAL (FMN) Sejarah Front Mahasiswa Nasional (FMN) resmi berdiri pada founding kongres 18 Mei 2003 di Jakarta. menegaskan bahwa telah lahir sebuah organisasi massa mahasiswa nasional bernama FMN. Sebuah lompatan kualitatif atas perjalanan dan kerja keras seluruh anggota yang membangun organisasi mulai dari tingkat kampus, kota hingga kemudian menjadi organisasi dengan skala nasional. Kongres Pendirian yang dihadiri oleh utusan-utusan dari berbagai kota di seluruh Indonesia. Ditingkat internasional, FMN menjadi anggota Internasional League of People Struggle (ILPS) yang mengusung platform "lawan Penjajahan dan Perang Imperialisme", dengan jumlah keanggotaan lebih dari 200 dari 40-an Negara di seluruh dunia, ILPS pada bulan November 2007 menyelenggarakan siding ke-3. selain tergabung dalam ILPS, FMN juga menjadi anggota Asia Student Association (ASA), sebuah organisasi mahsiswa yang menghimpun organisasi-organisasi mahasiswa di tingkat Asia-Pasifik, ASA dalam 2007 juga telah melaksanakan Konfrensi Luar Biasa untuk bertransformasi menjadi Asia Pacific Student and Youth Association (APSYA). Garis Politik FMN Indonesia adalah negeri setengah jajahan dan setengah feudal, meskipun telah memproklamirkan kemerdekaannya 17 Agustus 1945. hal ini dikarenakan masih adanya sisa-sisa feodalisme di Indonesia. Lepas dari penjajahan fisik dan langsung diganti dengan penjajahan secara halus melalui jerat utang dari Negara-negara imperialisme. Selain itu, masa feodalisme Indonesia belum belum bias musnah sepenuhnya dari tuan tanah lama dalam bentuk raja-raja kecil menjadi tuan tanah baru dalam bentuk perusahaan dan atau perseorangan. Dengan melihat kenyatan objektif tersebut, maka kontradiksi pokok masyarakat Indonesia atau yang menjadi musuh utama seluruh rakyat Indonesia untuk mewujudkan cita-cita perjuangan demokrasi dan kemerdekaan nasional adalah imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat. Program Perjuangan FMN "Memperjuangkan Sistem Pendidikan Nasional yang Ilmiah, Demokratis dan Mengabdi Kepada Rakyat" adalah program perjuangan FMN. Pendidikan yang ilmiah bertujuan untuk memajukan ilmu pengetahuan sebagai upaya untuk memajukan tingkat pemikiran sekaligus kebudayaan rakyat dan bangsa Indonesia sesuai dengan kenyataan kongkrit rakyat Indonesia. Pendidikan yang demokratis bertujuan agar seluruh rakyat Indonesia mampu mengakses dan menjangkau pendidikan. Sedangkan pendidikan yang mengabdi kepada rakyat Indonesia adalah bertujuan memberi memberi kontribusi langsung untuk memajukan kebudayaan nasional dan tenaga produktif rakyat Indonesia. Sehingga pendidikan kemudian tidak lagi mengabdi kepada imperialisme dan kaki tangannya. Untuk mewujudkan semua itu, FMN 17 mengkongkritkan melalui usaha-usaha perjuangan yang akan diperjuangkan melalui organisasi. Usaha-usaha perjuangan ini adalah tuntutan perjuangan jangka pendek yang ditujukan untuk pemenuhan hak-hak demokratis pemuda mahasiswa Indonesia. 10. MAHASISWA PANCASILA (MAPANCAS) Sejarah Mapancas Mahasiswa Pancasila (Mapancas) didirikan pada tanggal 28 Oktober 1958 di Jakarta. Semangat awal pendirian organisasi ini Untuk menghimpun dan membentuk insan yang berjiwa Pancasila guna mencapai masyarakat adil, makmur spirituil dan materiil dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan Mapancas Organisasi Mahasiswa Pancasila bertujuan menghayati, mengamalkan dan mengamankan Pancasila yang sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 dalam dunia kemahasiswaan khususnya dan dalam masyarakat Indonesia pada umumnya. Untuk menghimpun dan membentuk insan yang berjiwa Pancasila guna mencapai masyarakat adil, makmur spirituil dan materiil dalam negara Kesatuan Republik Indonesia. 6 (ENAM) AGENDA REFORMASI 1998 1. Penegakan Supremasi Hukum 2. Pemberantasan KKN 3. Pengadilan mantan Presiden Soeharto dan kroninya 4. Amandemen Konstitusi 5. Pencabutan Dwifungsi TNI/Polri 6. Pemberian Otonomi Daerah seluas- luasnya 18 III PENALARAN Penalaran adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan akan terbentuk proposisi – proposisi yang sejenis, berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui, proses inilah yang disebut menalar. Metode menalar dibagi menjadi dua jenis yaitu, Metode induktif Metode berpikir induktif adalah metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal khusus ke umum. Hukum yang disimpulkan difenomena yang diselidiki berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diteliti. Generalisasi adalah bentuk dari metode berpikir induktif. Metode deduktif Metode berpikir deduktif adalah metode berpikir yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih dahulu untuk seterusnya dihubungkan dalam bagian-bagiannya yang khusus. Penalaran juga merupakan aktivitas pikiran yang abstrak, untuk mewujudkannya diperlukan simbol. Simbol atau lambang yang digunakan dalam penalaran berbentuk bahasa, sehingga wujud penalaran akan berupa argumen. Argumenlah yang dapat menentukan kebenaran konklusi dari premis. Tidak ada ada proposisi tanpa pengertian dan tidak akan ada penalaran tanpa proposisi. Bersama – sama dengan terbentuknya pengertian perluasannya akan terbentuk pula proposisi dan dari proposisi akan digunakan sebagai premis bagi penalaran. Atau dapat juga dikatakan untuk menalar dibutuhkan proposisi sedangkan proposisi merupakan hasil dari rangkaian pengertian. 1. Sejarah Logika Kita mulai dengan ulasan singkat sejarah logika yang diurutkan berdasarkan perkembangan serta tokoh-tokoh pelakunya pada setiap masanya, artikel ini ditujukan khusus kepada penguasaan sejarahnya saja. Ada tiga tahapan yang dilalui oleh kata ‘logika’ sampai kemudian dikemas menjadi ilmu. Tahap pertama adalah tentang ‘kata’ logika itu sendiri, kapankah kata itu pertama sekali di pakai sebagai istilah? Dari bukunya Bertrand Russell “History of Western Philosophy” diceritakan bahwa kata ‘logika’ itu pertama sekali digunakan oleh Zeno dari Citium. Setelah itu kemudian diketahui juga bahwa ternyata Plato dan Socrates juga sudah banyak 19 melibatkan logika dalam banyak pembahasannya, tapi mereka (Plato dan Socrates,red) belum atau tidak sampai kepada tahap memformalkan logika sebagai ilmu. Logika pertama sekali diperkenalkan sebagai ilmu oleh Aristoteles dan kemudian di sebarkan kepada pengikutnya sampai kemudian masuk ke dunia islam. Menurut bukunya Richard B.Angel “Reasoning and Logic”, Aristoteles sendiri meninggalkan enam buah buku khusus yang membicarakan ilmu logika ini yang oleh murid-muridnya diberi nama “Organon”. Keenam buku tersebut adalah Categoriae (mengenai pengertian-pengertian), De Interpretatiae (Mengenai keputusankeputusan) Analitica Priora (mengenai silogisme) Analitica Posteriora ( Mengenai pembuktian) Topika (mengenai berdebat) dan De Sophisticis Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Adalah Theoprostus yang kemudian mengembangkan ilmu logika Aristoteles itu dan sekaligus menyebarkannya sampai dikemudian hari masuk kedalam dunia islam. Didunia islam, ilmu logika ini tidak diterima begitu saja dengan mulus, tapi direspon dengan berbagai macam pendapat oleh tokoh-tokoh islam terkemuka. Ibnu Salih dan Imam Nawawi misalnya, mereka sangat menentang penggunaan ilmu logika. Penentangan mereka itu bukan hanya sebatas menentang tidak setuju atau tidak sepakat tapi jauh lebih keras dari itu. Penentangan mereka sampai kepada mengharamkan ilmu logika untuk digunakan didalam dunia islam. Namun demikian, sebagian besar dari mereka (Jumhur Ulama) membolehkan mempelajari ilmu logika dengan syarat orang-orang yang akan mempelajarinya sudah kokoh iman dan cukup akalnya. Selain penolakan yang tegas serupa diatas, diantara mereka ada juga yang malah menganjurkannya, seperti Al-Gazali, Al-Farabi , Al-Kindi dan lain-lain. Al-Kindi bukan hanya menganjurkan tapi malah mempelajari dan sekaligus menyelidiki logika yunani secara khusus, bahkan Al-Farabi melakukannya lebih mendalam lagi dari apa yang sudah dilakukan oleh Al-Kindi. Logika pada perkembanganya kemudian sempat mengalami masa dekadensi yang panjang. Logika bahkan dianggap sudah tidak bernilai dan dangkal sekali, barulah pada abad ke XIII sampai dengan Abad XV tampil beberapa tokoh lain seperti Petrus Hispanus, Roger Bacon, Raymundus Lullus dan Wilhelm Ocham yang coba mengangkat kembali ilmu logika sebagai salah satu ilmu yang penting untuk disejajarkan dengan ilmu-ilmu penting lainnya. Pada abad ke XVII dan XVIII muncul lagi tokoh-tokoh berikutnya seperti Francis Bacon membuat buku “Novum Organum Scientiarum” yang bahas-annya antara lain tentang metode induksi yang terkenal itu. Imanuel Kant dengan Logika Transendental- nya dan W. Leibnitz dengan Logika Aljabar. Kemudian berikutnya muncullah tokoh-tokoh pencetus dan sekaligus orang yang paling dianggap berjasa dalam pengembangan ilmu logika modern, seperti Bertrand Russell, George Boole dan G.Frege. Dari tangan-tangan mereka inilah kemudian ilmu logika sampai kepada kita. 2. PENGANTAR LOGIKA Tidak logis…Tidak masuk akal, kita sering mendengar ucapan seperti itu dalam kehidupan sehari-hari. Sebenarnya, Apakah yang disebut dengan tidak logis itu? Dan apa pula yang dimaksud dengan tidak masuk akal itu? Kemudian, Apakah semua hal bisa dijelaskan dengan logika? Mari kita lihat… 20 Dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengar ucapan seperti ini; Alasannya tidak logis, berita itu tidak logis…, sekilas bagi kita seperti sudah maklum (mengetahui) dengan persis, apa maksud dari kata-kata itu. Tapi coba kita check kembali, apakah kita betul-betul sudah mengetahui apa maksud dari kata-kata tersebut. ‘Logis‘ yang dimaksud dalam kata-kata tersebut adalah ‘logika‘ , jadi apakah logika itu? Logika berasal dari kata Yunani kuno λόγος (logos) yang berarti hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Ilmu disini mengacu pada kemampuan rasional untuk mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis yang dipergunakan tersebut bisa juga diartikan dengan masuk akal. Logika dalam definisi verbal, terdapat berbagai macam definisi tentangnya, namun hampir semua tukang definisi menyimpulkan, Logika adalah ‘Aturan Berpikir Benar’. Apakah aturan berpikir yang benar itu? Aturan berpikir yang benar adalah inti dari kajian logika. Logika bisa digunakan sebagai alat untuk menguji, apakah berpikir seperti ini sudah benar? Ataukah berpikir yang seperti itu yang benar? Dalam perkara menguji aturan berpikir, peran logika persis seperti alat ukur (Meteran,red) untuk si tukang jahit, Berapa ukuran baju si fulan? Berapa cm ? Atau seperti bandulan pengukur tegak lurus sebuah bangunan, bagi tukang bangunan, dengan bandulan ini tukang bangunan bisa mengukur, Apakah dinding yang ia bangun sudah tegak lurus atau belum. Karena ‘tugas’ logika menangani hal-hal yang bersifat ‘aturan’ , maka logika juga bisa didefinisikan sebagai : ‘ Aturan yang mematok hukum-hukum berpikir untuk membedakan penalaran yang benar dari penalaran yang salah’. Dari tugas itu, sekarang sudah menjadi lebih jelas bahwa logika tidaklah bertugas untuk mengukur dalamnya isi hati seseorang dan luasnya makna beberapa ayat-ayat dalam kitab suci yang abstrak. Karena tugas logika adalah untuk mengukur cara berpikir yang benar, kemudian timbul pertanyaan, apakah kalau cara berpikirnya sudah benar, logika mampu juga untuk mengukur isi dari pikiran itu? Untuk menjawab itu, mari kita lihat tugas dan pekerjaan logika lebih kedalam lagi. Apakah pekerjaan logika? Logika bekerja dengan penalaran. Kalau begitu sekarang kita harus tahu dulu, bagaimana penalaran (fikr) bekerja. Cara kerja penalaran adalah mengubah hal-hal yang belum diketahui menjadi pengetahuan baru. Yaitu melalui proses berpikir yang bertolak dari sebuah target yang sudah diketahui menuju serangkaian premis yang diketahui untuk menghasilkan pengetahuan baru. Untuk mengerjakan proses ini, pikiran akan membuat bentuk (form) dan tata tertib tertentu, sehingga pikiran bisa bekerja dengan aturan yang baku. Jadi sekarang kita sudah tahu, bahwa pekerjaan logika adalah untuk mengendalikan gerak pikiran saat sedang berpikir supaya tetap mengikuti form (bentuk) yang sudah distandarisasi. Bagaimana logika mengendalikan penalaran (fikr) ini? Mengendalikan, bisa diartikan sebagai mengatur. Logika mengatur gerak pikiran saat sedang berpikir dengan mengendalikan kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Argumentasi didalam pikiran kita bagaikan sebuah bangunan. Yang disebut dengan sebuah bangunan adalah jika bagian-bagian pengikatnya yang berupa batako, semen, besi dan bahan-bahan bangunan lainnya diambil dari bahan pendukung yang benar sesuai dengan fungsinya masing-masing. Apabila salah satu dari bahan bangunan ini diambil dari materi yang salah, maka akan 21 berakibat langsung dengan keutuhan bangunan tersebut. Bagaimana proses berpikir benar yang mengikuti bentuk (form) itu dikerjakan oleh logika? Kita ambil contoh yang susunan bentuk (form) kata yang Benar TAPI isinya KELIRU A : Setiap Manusia suka mencuri B : Alexander adalah manusia Kesimpulan : Alexander suka mencuri Bentuk (form) diatas adalah BETUL, tapi ISI nya menjadi salah, coba kita teliti lagi : A : Setiap manusia suka mencuri = Bentuk BENAR, tapi isi salah (tidak mungkin setiap manusia suka mencuri) B : Alexander adalah manusia = Bentuk dan isi BENAR Kesimpulan : Alexander suka mencuri = Bentuk (form) nya benar tapi ISI nya menjadi salah ketika menyimpulkan Alexander suka mencuri. Contoh lain : Kata 1. : Alexander adalah manusia Kata 2 : Alexander adalah anggota STUDY CLUB Kesimpulan : Manusia adalah anggota STUDY CLUB Coba kita perhatikan : Alexander adalah Manusia = BETUL Alexander adalah anggota STUDY CLUB = BETUL Tapi menjadi KACAU ketika disimpulkan menjadi : Manusia adalah anggota STUDY CLUB. Kekacauan terjadi karena menarik kesimpulan dari 2 objek yang berbeda. Kalimatkalimat yang seperti inilah yang sering kita dengar sebagai sebuah pernyataan yang tidak logis dan tidak masuk akal. Logika sebagai ilmu pengetahuan Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan dimana obyek materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/proses penalaran) dan obyek formal logika adalah berpikir/penalaran yang ditinjau dari segi ketepatannya. Logika sebagai cabang filsafat Logika adalah sebuah cabang filsafat yang praktis. Praktis disini berarti logika dapat dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di Yunani. Dalam usaha untuk memasarkan pikiran-pikirannya serta pendapat-pendapatnya, filsuf-filsuf Yunani kuno tidak jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan menunjukkan kesesatan penalarannya. Logika digunakan 22 untuk melakukan pembuktian. Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi juga bisa dianggap sebagai cabang matematika. Kegunaan logika Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan koheren. Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak, cermat, dan objektif. Menambah kecerdasan dan meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri. Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan menggunakan asasasas sistematis Meningkatkan cinta akan kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir, kekeliruan serta kesesatan. Mampu melakukan analisis terhadap suatu kejadian. Terhindar dari klenik , gugon-tuhon ( bahasa Jawa ) Apabila sudah mampu berpikir rasional,kritis ,lurus,metodis dan analitis sebagaimana tersebut pada butir pertama maka akan meningkatkan citra diri seseorang. 3. PEMBAGIAN LOGIKA Logika dapat disistematisasikan menjadi beberapa golongan, tergantung darimana kita mau meninjaunya. Sistematisasi Logika pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga, pertama dilihat dari segi kualitasnya, kedua dari segi metodenya dan yang ketiga dari segi objeknya. Dalam artikel ini akan kita bicarakan yang pertama dulu, yaitu Logika dilihat dari segi kualitasnya. Dari segi kualitasnya Logika dibagi menjadi dua, pertama adalah Logika naturalis dan yang kedua adalah Logika ilmiah. Logika naturalis adalah sebuah kecakapan berlogika berdasarkan kemampuan akal bawaan manusia. Pertanyaan seperti “apakah cinta mempunyai Logika nya sendiri?” adalah termasuk kedalam tinjauan logika naturalis, yaitu sebuah kemampuan alami dari seseorang untuk menggunakan Logika tanpa perlu mempelajari ilmu Logika terlebih dahulu. Khabar baiknya untuk kita semua adalah, bahwa akal manusia memang dirancang untuk mampu berlogika secara spontan sesuai dengan hukum-hukum Logika dasar. Ini bisa dibuktikan dengan kemampuan semua orang untuk membedakan antara satu benda dengan benda yang lain itu adalah berbeda. Betapapun rendahnya tingkat intelejensi seseorang, dia secara alami akan tahu bahwa sesuatu itu adalah dirinya sendiri. A adalah A bukan B, C, D ,E atau pun yang lainnya. Hal yang diketahui secara alami ini dalam ilmu Logika disebut sebagai Logika naturalis yang memenuhi kaidah dasar Logika yaitu asas pemikiran ketentuan nomor 1, yakni asas identitas. Kita bisa saksikan disekitar kita aneka pernyataan dan pertanyaan yang pada dasarnya membicarakan Logika, mereka melakukan antraksi Logika naturalis dengan bobot dan cara yang berbeda-beda. Kemampuan mengolah Logika naturalis yang dimiliki oleh setiap manusia berbeda-beda tergantung tingkat intelejensi yang dimilikinya. Seorang orator politik bisa mengutarakan pernyataanpernyataannya secara logis dan baik walaupun dia pada dasarnya belum pernah mempelajari ilmu Logika secara khusus. Seorang biduan bisa bernyanyi mengutip istilah-istilah Logika dengan baik walaupun dia sebenarnya belum tahu hubungan23 bubungan Logika. Namun sering juga kita temui banyak diantara mereka tidak bisa berbuat banyak ketika terlibat dalam kesulitan dan tekanan yang tinggi dalam berpikir, sering kesulitan dalam memecahkan persoalan itu dilakukan dengan mengikuti naluri alami yang lainnya saja, yaitu seperti mengikuti kecenderungan pribadi, kecenderungan kelompok, kecenderungan golongan, pengaruh teman, pengaruh kepentingan, dan sugesti-sugesti yang lainnya. Tiba pada persoalan serupa diatas, maka terlihat jelas bahwa logika naturalis pada suatu titik akan mengalami jalan buntu. Untuk mengatasi kebuntuan berpikir seperti itulah maka orang-orang tempoe doeleo kemudian menyusun suatu aturan main dalam berlogika, yaitu sebuah aturan yang menyusun rumus-rumus, patokanpatokan dan hukum-hukum berpikir yang benar. Rumus-rumusan itu selanjutnya disebut dengan Logika ilmiah (logika Artifiliasi). Logika ilmiah bertugas untuk memperhalus, mempertajam serta menunjukkan jalan pikiran agar akal dapat bekerja lebih teliti, efisien , mudah dan aman. Sekarang mari kita lihat penggolongan yang lainnya. Penggolongan yang lainnya adalah dari segi metodeloginya. Dari segi metodenya Logika dapat dibagi menjadi dua, yaitu Logika tradisional dan logika modern. Logika tradisional adalah Logika Aristoteles dan semua logikawan setelahnya yang mengikuti sistem Logika aristoteles. Logika modern mulai tumbuh dan berkembang setelah masa Aristoteles yang ditandai dengan adanya perubahanperubahan penting, diantaranya adalah ketika diperkenalkannya metode baru semacam aljabar (Ars Magna) oleh Raymundus Lullus pada abad XIII. Sejak pengenalan itu, akhirnya sampai juga kepada kita nama-nama besar lainnya seperti, Roger Bacon, Francis Bacon, Rene Descartes sampai dengan Goorge Boole dan Bertrand Russell sebagai tokoh logika modern. Dilihat dari segi objeknya, Logika dapat dibagi menjadi logika formal dan Logika material. Logika formal bicara mengenai hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir benar. Sedangkan logika material lebih konsentrasi kepada metode induktifnya, yaitu meneliti atau mempelajari dasar-dasar persesuaian pikiran dengan kenyataan. Ia menilai hasil kerja logika formal dan menguji benar tidaknya dengan kenyataan empiris. Dengan demikian maka sekarang semakin jelas bagi kita, bahwa logika sebenarnya selalu ada disekitar kita, baik kita mengetahuinya ataupun tidak. Logika bukan hanya se-onggokan ilmu yang jauh diseberang sana, tapi dia ada disini, disekitar kita. 4. PIKIRAN Pikiran merupakan juru kunci didalam berlogika, sebenarnya apakah yang disebut dengan pikiran itu? Apakah semua orang sudah menyadari bahwa pikiran bisa bekerja sendiri secara otomatis dan juga bisa bekerja dengan tuntunan si pemilik pikiran? Mari kita lihat… Sebagaimana telah kita ketahui sebelumnya bahwa ilmu logika pada dasarnya adalah untuk mempelajari hukum-hukum, patokan-patokan dan rumus-rumus berpikir. Sekarang yang menjadi pertanyaan kita adalah apakah semua pemikiran yang sering kita kemukakan dan pemikiran seseorang yang disampaikan kepada kita bisa dinilai logis atau tidak? Membicarakan hal serupa ini serasa gampang-gampang susah, gampang karena bagi kebanyakan kita yang disebut berpikir ya berpikir aja. Tinggal ngikuti naluri saja, apa yang kita rasakan, apa yang kita yakini, bagaimana pikiran 24 kelompok kita, bagaimana kecenderungan pribadi kita, bagaimana kepribadian dan sugesti-sugesti apa yang kita dapatkan, maka itulah yang akan kita sampaikan sebagai buah pikiran. Namun demikian, diluar itu masih ada juga dari sebagian kita yang mengemukakan buah pikirannya dengan mengikuti luapan emosi seperti caci maki, kata pujian atau pernyataan keheranan dan kekaguman. Membicarakan pikiran juga bisa menjadi susah jika kita harus menilai hasil buah pikiran yang disampaikan itu, apakah sudah benar atau salah? Sudah bertujuan “baik” atau “jahat” , bertujuan mengatakan fakta apa adanya atau hanya sekedar ingin memutar balikkan fakta, bertujuan untuk memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok atau untuk tujuan kebenaran dan lain-lain. Bagaimana cara kita untuk mengetahui apa yang disampaikan seseorang dalam buah pikirannya adalah merupakan tugas ilmu logika untuk mengukurnya. Ilmu Logika akan menyelediki, menyaring dan menilai buah pikiran seseorang dengan cara serius dan terpelajar serta bertujuan mendapakan kebenaran terlepas dari segala kepentingan perorangan dan kelompok. Logika akan merumuskan, menetapkan patokan-patokan dan memberikan hukum-hukum yang harus ditaati agar manusia bisa berpikir benar, efisien dan teratur. Sekarang yang menjadi perhatian kita adalah, bagaimana caranya ilmu logika melakukan hal serupa diatas? Logika melakukan hal serupa diatas bisa dengan dua cara, pertama dengan meneliti logika formalnya, yaitu melakukan penelitian terhadap kaidah logikanya, hukumhukum logikanya dan patokan-patokan yang digunakan, apakah sudah benar atau masih salah dalam menarik kesimpulan atau konklusinya. Kedua dengan melakukan penelitian terhadap logika materialnya, apakah sudah ada persesuaian antara pikiran yang diutarakan dengan kenyataan. Sampai disini ada perbedaan sedikit, apa yang bisa dilakukan oleh ilmu logika material dengan apa yang bisa dilakukan oleh ilmu spiritual semacam tawasuf. Bagi ilmu logika material, mengukur kebenaran buah pikiran itu tidak lebih dari meneliti kesatuan (non kontradiksi) antara apa yang diucapkan berdasarkan buah pikiran dengan apa yang bisa dilihat sebagai fakta. Apakah buah pikiran sesuai dengan kenyataan atau tidak. Bagi logika, ucapan adalah buah pikiran. Pikiran hanya bisa berbuah jika dia diucapkan melalui suara, ucapan, tulisan atau isyarat. Isyarat adalah perkataan yang dipadatkan, karena itu ia adalah perkataan juga. Jadi pikiran dan perkataan adalah identik, tidak berbeda satu sama lain dan yang satu bukan tambahan bagi yang lainnya. Dan bagi logika, susunan katakata yang keluar melalui ucapan, isyarat dan tulisan seseorang adalah ‘data’ dan data itu disebut sebagai premis-premis. Apakah premisnya sudah sesuai dengan kenyataan yang ada atau tidak. 5. Asas Berpikir Sebagian besar orang-orang sering menuangkan pikiran nya kedalam bentuk tulisan, perkataan, obrolan, isyarat dan lain sebagainya. Pikiran yang disampaikan itu tentu beraneka ragam adanya, ada yang kelihatannya bagus dan masuk akal, Ada juga yang kelihatan bagus tapi tidak masuk akal, ada juga yang kelihatannya tidak bagus tapi masuk akal dan ada juga yang tidak bagus dan tidak masuk akal pula. Sekarang bagaimana cara kita untuk membedakan manakah buah pikiran yang bagus dan manakah buah pikiran yang ngaco? Untuk membedakannya kita bisa menggunakan atau menerapkan patokan-patokan dan hukum-hukum logika yang sudah ada. 25 Hukum, patokan dan rumus logika sering juga disebut dengan Asas Berpikir. Asas sebagaimana kita ketahui adalah pangkal atau asal dari mana sesuatu itu muncul dan dimengerti, atau bisa juga disebut sebagai pondasinya sesuatu dimana sesuatu itu bermula. Dalam hal ‘asas pemikiran’ , maka yang disebut dengan asas pemikiran adalah pengetahuan dimana pengetahuan lain muncul dan dimengerti. Kapasitas asas ini bagi kelurusan berpikir adalah mutlak, dan salah benar-nya suatu pemikiran tergantung kepada salah benarnya asas-asas ini. Ia adalah dasar daripada pengetahuan dan ilmu. Asas berpikir itu dapat dibedakan menjadi 3 asas, Pertama, Asas Identitas (Principium Identitatis) yaitu sebuah patokan dasar yang paling mendasar. Patokan yang dipatok oleh asas identitas mengatakan bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri BUKAN yang lainnya. Contohnya, Jika kita mengakui bahwa sesuatu itu adalah A, maka ia adalah A, bukan B, C, D, ataupun yang lainnya. Identititas A adalah A sendiri. Kalau kita mengakui nama pacar kita adalah Siti, maka yang dimaksud dengan nama Siti adalah Siti yang menunjukkan identitas seseorang yang menjadi pacar kita itu, bukan Siti yang lainnya dan bukan pula Siti yang isterinya tetangga. Kedua, Asas Non kontradiksi (Principium contradictoris) yaitu sebuah aturan dasar yang mengatakan bahwa pengingkaran sesuatu TIDAK MUNGKIN sekaligus sebagai pengakuan terhadap sesuatu itu. Misal kita mengatakan benda itu BUKAN A, maka tidak mungkin sekaligus kita mengakui benda itu adalah A sebab realitasnya A yang kita maksud adalah A yang sama sebagaimana yang dimaksud oleh Asas Identitas, bahwa segala sesuatu itu adalah dirinya sendiri. Dengan kata lain bisa dirumuskan bahwa tidak mungkin dua kenyataan yang kontradiksi menyatu secara bersamaan sekaligus dan simultan. Tidak mungkin menyatu realitas kontradiktif sekaligus pada detik yg sama, tertawa sekaligus menangis, pergi sekaligus tidak pergi dan seterusnya. Asas berpikir pada patokan ini mengatakan bahwa “Tidak ada pernyataan yang sekaligus benar dan salah” Ketiga, Asas penolakan kemungkinan ketiga (Principium exlusi tertii) yaitu sebuah aturan mendasar yang mengatakan bahwa antara pengingkaran dan pengakuan maka kebenaran terletak pada salah satunya. Pengakuan dan pengingkaran merupakan pertentangan mutlak, karena itu disamping tidak mungkin benar keduanya juga bisa dipastikan tidak mungkin salah keduanya. Asas ini menolak kemungkinan ada kebenaran yang ketiga. 6. KATA Sering dalam berdiskusi, kita kesulitan untuk bersepakat tentang suatu persoalan yang sesungguhnya mudah. Persoalan-persoalan mudah tersebut sering menjadi persoalan berlarut-larut karena dua hal, pertama karena persoalan teknis, yaitu ketidak mampuan untuk membedakan satu kata dengan kata yang lainnya dan satu pernyataan dengan pernyataan lainnya. Kedua karena persoalan non teknis, yaitu keinginan untuk merpertahankan kecenderungan pribadi, kepentingan kelompok, dan aneka egoisme yang lainnya. Sekarang kita lihat hal yang pertama dulu, yaitu persoalan teknis tentang pengetahuan kita terhadap kata-kata. Didalam berlogika kemampuan yang paling rendah yang harus dimiliki untuk meneliti kekeliruan berpikir, silogisme, analogi, generalisasi dan dilema adalah kemampuan untuk 26 membedakan kata perkata. Permasalahan seperti ini sekilas kelihatannya sepele, tapi apakah betul permasalahan seperti ini adalah persoalan yang mudah dan sepele? Mari kita lihat… Kita sering ngeyel bersikeras mempersamakan kata tidak gemuk dengan kurus, tidak kaya dengan miskin, tidak terang dengan gelap, tidak pandai dengan bodoh dan sebagainya. Penggunaan kata-kata seperti itu tidaklah benar dan logis, karena kata tidak gemuk bukanlah berarti kurus, kata tidak gemuk untuk seseorang bisa saja berarti orang tersebut adalah orang yang berbadan atletis dan ideal. Kata ‘tidak kaya’ tidak berarti seseorang itu miskin, tidak kaya bisa juga berarti orang yang mempunyai uang yang cukup, namun tidak sampai berlebihan sehingga dia belum layak disebut sebagai orang yang kaya. Tidak pandai juga tidak bisa disamakan dengan bodoh, karena orang-orang yang sekolah dan kuliah sampai sarjana sekalipun banyak juga yang disebut sebagai orang yang tidak pandai, tapi juga tidak bisa dikatagorikan sebagai orang yang bodoh. Dalam ilmu logika, persoalan seperti ini diatur khusus dalam sebuah bahasan, yakni tentang pengetahuan terhadap kata. Dalam masalah ini dikenal tiga istilah teknis, yaitu kata positif, negatif dan privatif. Kata positif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti : Gemuk - menunjukkan ’adanya’ daging. Kaya - menunjukkan ’adanya’ harta. Terang - menunjukkan ‘adanya’ cahaya. Pandai - menunjukkan ‘adanya’ ilmu. Kata Negatif adalah suatu kata yang yang diawali oleh kata-kata negasi seperti, tidak, non, tak, dan bukan, contohnya seperti : Non Gemuk –> diawali kata ‘Non’ Tidak Kaya –> diawali kata ‘ tidak’ Tak Terang –> diawali kata ‘tak’ Tak Pandai –> diawali kata ‘tak’. Kata Privatif adalah suatu kata yang mempunyai pengertian tentang penegasan ‘tidak adanya’ sesuatu terhadap dirinya sendiri, seperti : Kurus –> menunjukkan ‘ tidak adanya’ daging. Miskin –> menunjukkan ’ tidak adanya’ harta. Gelap –> menunjukkan ‘ tidak adanya’ cahaya. Bodoh –> menunjukkan ’ tidak adanya’ ilmu. Dengan memperhatikan pengertian kata tersebut, maka sekarang makin jelaslah bagi kita bahwa tidak gemuk tidak semakna dengan kurus, tidak kaya tidak semakna 27 dengan miskin, tidak pandai tidak semakna dengan bodoh dan tidak terang tidak sama dengan gelap. Pertanyaannya, apakah semua kata negatif tidak sama dengan kata privatif? Tentu saja tidak semua, ada juga beberapa kata negatif yang semakna dengan kata privatif, misalnya tidak lulus yang semakna dengan gagal, tidak hidup semakna dengan mati, tidak pergi semakna dengan ditempat dan lain sebagainya. Sampai disini kita sudah tahu sedikit tentang kemampuan teknis dalam berdiskusi dari sisi logika, berikutnya akan kita bahas kemampuan teknis yang lain, yaitu tentang penggunaan kata universal dan partial. 7. UNIVERSAL DAN PARTIAL Pembicaraan tentang perkara umum dan khusus ini akan lebih mudah jika kita mengetahui terlebih dahulu tentang dua hal yang menjadi fokus dari permasalahan suatu subjek, yaitu pertama konsepsi tentang zat (esensi) dan yang kedua pendefinisian atau penilaian tentang sifat (aksidental). Pertama bicara tentang esensi, konsepsi tentang esensi ini sendiri bisa dikelompokkan menjadi dua kelompok, yang pertama konsepsi tentang zat yang bersifat umum (universal) dan yang kedua adalah zat yang bersifat khusus (partikular). Kita mulai dari esensi yang bersifat umum, pembicaran yang merujuk kepada hal-hal yang bersifat universal atau umum lebih banyak dijumpai diranah ilmiah, dan seyogyanya memang digunakan untuk pembicaraan-pembicaraan yang bersifat ilmiah dan logis. Misalnya, Apa yang dimaksud dengan lingkaran? Misalnya, Apa yang dimaksud dengan kehidupan? Misalnya, Apa yang dimaksud dengan manusia? Misalnya, Apa yang dimaksud dengan segitiga? Misalnya, Apa yang dimaksud dengan gunung? Pertanyaan-pertanyaan seperti diatas disebut sebagai pertanyaan universal, karena yang dimaksud dari sipenanya adalah tentang esensi dari masing-masing hal. Yang mana kemudian akan menghasilkan kesimpulan umum berupa : Lingkaran itu adalah… Kehidupan itu adalah… Manusia itu adalah… Segitiga itu adalah.. Gunung itu adalah…. Pengertian umum yang dihasilkan dari pertanyaan tersebut akan menjadi acuan standar karena bisa digunakan dimana saja dan oleh siapa saja secara umum bahkan tanpa batas. Sehingga ketika orang bertanya apakah yang dimaksud dengan lingkaran maka sipenanya akan mendapatkan jawaban yang sama dari semua orang yang 28 menjawab tanpa memandang perbedaan ras, negara, budaya dan agama sehingga terjaga independensi hakikat (esensi) dari perkara yang ditanyakan. Sekarang ke esensi yang bersifat khusus. Pembicaraan yang bersinggungan dengan perihal-perihal khusus biasanya ditujukan kepada nama sesuatu dengan menunjuk kepada benda/hal yang bersangkutan. Dan pembicaraan mengenai masalah ini umumnya ditemukan dalam kesehari-harian kita, dan memang seyogyanya pembicaraan mengenai sifat-sifat khusus ini digunakan dalam pembicaraan non ilmiah. Misalnya, ketika kita bercerita dengan tetangga perihal Hasan anaknya pak Husin. Kata ‘Hasan’ dan ‘Pak Husin’ adalah ‘esensi khusus’ tentang orang yang bernama Hasan sebagai Anaknya Pak Husin. Esensi khusus disitu berbicara tentang satu pribadi, yaitu Pribadi Hasan. Akan menjadi berbeda kalau kita bercerita kepada tetangga, bahwa nama Hasan adalah nama yang baik untuk anak laki-laki. Pengertian kata ‘Hasan’ disana akan berubah makna menjadi esensi yang bersifat umum (universal) karena nama Hasan belum mengikat ke pribadi manapun. Misalnya kata ‘berlari’. Kata ‘berlari’ adalah satu kata yang bersifat umum, tapi jika dilekatkan kepada objek tertentu, Misalnya kucing itu pandai berlari maka maknanya akan berubah menjadi esensi khusus , yaitu esensi tentang seekor kucing. Atau dilekatkan kepada objek lain, Misalnya Irwansyah itu berlari Kencang…, maka pengertian umum dari kata ‘berlari’ akan berubah menjadi pengertian khusus tentang ‘seseorang yang bernama Irwansyah’ yang berlari kencang. Membolak balik subjek dari kalimat yang akan dibicarakan seperti ini sering menjebak si pembicara kedalam diskusi yang berputar-putar tanpa arah jika kita tidak sempat memperhatikan bagaimana aturan penggunaan kata-kata khusus ataupun yang umum. Pembolak-balikan bisa saja terjadi di kata ganti yang lainnya, misalnya bicara ‘Kucing’. Kucing adalah esensi universal…, dimana-mana kucing ya kucing. Tapi kalau kita akan membicarakan tentang kucing mati, maka yang dimaksud sipembicara tentulah satu kucing, atau kucing tertentu yang sudah atau akan mati. Dan penyebutan seperti itu akan berubah esensi kucing secara universal menjadi kucing yang khusus. Pertanyaannya sekarang adalah, apakah bisa esensi umum dikhususkan? Tentu bisa sebatas yang dikhususkan adalah objek yang sama. Misalnya kucing, kucing adalah esensi umum…dan bisa dikhususkan menjadi kucingnya pak budi, kucing itu, kucing mati, kucing itu bisa berlari dan lain-lain. Kalau ditambahkan Anjing, apakah kucing masih bisa dikhususkan? Dibandingkan? Atau disamakan? Jawabannya TIDAK bisa jika kita masih berbicara tentang satu subjek khusus yang bernama kucing! Karena jika dibandingkan dengan subjek yang berbeda maka dia akan kehilangan esensi umumnya (universalnya) sebagai kucing. Pengecualian hanya bisa jika kita ingin membicarakan esensi khusus dari kelompok yang lebih besar, yaitu Hewan. 8. BERMAKNA Nyai Loro Kidul pun menarik kais kereta kudanya meniti jalan ke angkasa. Begitu pula pendekar dari dunia kramat itu, melewati kobaran api yang dahsyat dengan menunggang kuda sembrani. Di sudut negeri yang lain, Gatot Kaca dan Superman tertegun satu sama lain menatap ke unikan kostum terbang masing-masing. Cerita 29 demikian begitu akrab di telinga kita, kita bisa saja terbius atau ikut-ikutan menjadikan cerita seperti itu menjadi rujukan kita dalam berargumentasi ilmiah. Sebenarnya perlu ndak sih kita mengetahui cerita serupa itu? Apakah cerita seperti itu betul-betul ada atau hanya bohong belaka? Suatu hari kita harus mempertanyakan cerita serupa itu demi ketelitian kita dalam memilah baik dan buruknya pengaruh suatu cerita. Konon ada tokoh nyata ( Vampir) tapi diperkenalkan sebagai tokoh tahayul (fiktif). Sementara tokoh fiktif benaran ( Rambo), eh… malah di jadikan seolah-olah tokoh nyata. Tulisan ini tidak akan membahas ketokohan dan politisasi yang sedemikian rupa dan bukan pula bertujuan untuk menolak membaca novel dan komik. Kritis dalam mempersoalkan cerita yang kita terima, bisa dimulai dari pengenalan kata. Pengenalan kata yang berhubungan dengan persoalan di atas didalam ilmu logika dikenal dengan istilah kata bermakna dan tak bermakna. Dalam pengertian kata yang lain dikenal ada istilah kata universal dan partial. Dan jika kita teliti, kita akan menemukan bahwa setiap kata universal selalu mempunyai dua macam pengertian, yaitu konotasi dan denotasi. Konotasi menunjuk kepada sifat-sifat khusus dari kata yang dibicarakan, misalnya kata ‘manusia’. Manusia adalah kata yang tidak diberikan kepada sembarang benda, tetapi khusus hanya kepada sesuatu yang mempunyai sifat-sifat tertentu. Berdasarkan sifat-sifat khusus tersebut akhirnya kita bisa mengetahui bahwa yang namanya manusia itu adalah suatu makluk hidup yang mempunyai persamaan seperti hewan dalam banyak hal tetapi berbeda dalam beberapa hal, seperti kemampuannya untuk menerima pendidikan, bekerja dengan menggunakan teknologi atau alat, membuat sesuatu dengan menggunakan kemampuan akal dan sebagainya. Sedangkan denotasi menunjuk kepada barang apa saja yang dicakup oleh kata tersebut. Misalnya kata ‘manusia’, maka dia akan mencakup Budi, Carlie, Deni, Desi, Etty, manusia berkulit kuning, manusia berkulit putih, manusia berkulit hitam dan sebagainya. Suatu kata yang memiliki pengertian konotasi dan denotasi itulah yang disebut sebagai kata yang bermakna atau konotatif. Sedangkan kata yang hanya memiliki konotasi tetapi tidak memiliki denotasi (cakupan) disebut sebagai kata tak bermakna. Dari keterangan diatas sekarang kita bisa menguji, apakah kata-kata seperti Mak Lampir, Nyai Loro Kidul, Kuda Sembrani, Gatot Kaca dan Superman sebagaimana yang kita sebutkan diawal tadi itu termasuk kedalam kelompok kata yang bermakna atau tak bermakna. Kuda sembrani misalnya, kita mengenal nama itu dari cerita yang ditulis dibuku-buku komik dan dongeng, yakni seekor kuda yang memiliki sayap yang dapat terbang. Kita dapat menangkap pengertiannya, tapi sampai kapanpun kita tidak akan menemukan jenis kuda yang seperti itu didalam realita kehidupan. Karena ia tidak mempunyai realitas, maka dia tidak mempunyai denotasi. Dan setiap kata yang tidak mempunyai denotasi maka dia termasuk kedalam kata yang tak bermakna. Contoh yang lain adalah Superman, sama dengan cerita kuda sembrani, cerita tentang Superman juga hanya bisa kita dapati dari komik dan film saja, yaitu sosok jagoan yang bisa terbang kesana kemari dan kalau lagi marah, dia bahkan bisa mengejar dan meremukkan jet supersonik dengan menggunakan sorot matanya saja. Kita dapat menangkap pengertian dari cerita itu, tapi sama halnya dengan kuda sembrani, sampai kapanpun kita juga tidak akan pernah menemui manusia seperti itu 30 dalam realitas. Dan sekali lagi, karena ia tidak mempunyai realitas, maka dia tidak mempunyai denotasi. Dan setiap kata yang tidak mempunyai denotasi maka dia termasuk kedalam kata yang tak bermakna. Catatan : Tidak setiap kata yang tidak bisa diobservasi secara indrawi adalah sama dengan kata yang tak bermakna. Kata seperti : Malaikat, Iblis, Surga, Neraka dan semacamnya adalah kata yang dapat dimengerti dan ada dalam realitas 9. ABSTRAK DAN KONKRET Ah dasar orang batak! Orang batak itu tidak seperti orang jawa yang ngomongnya halus. Orang batak ngomongnya kasar, karena orang batak kebanyakan dari Medan. Pernyataan seperti itu sering kita dengar dan kebanyakan dari kita sudah tidak mempersoalkan kalimat itu terkecuali jika kita sedang tidak mood dan mudah tersinggung maka kita akan mempersoalkannya secara alami ( logika Natural ). Sebenarnya kenapa sebagian orang bisa tersinggung dan kenapa sebagian lainnya menganggap pernyataan seperti itu biasa-biasa saja? Mengenai kenapa sebagian orang tidak mau tau dan tidak mau mempersoalkan isi pernyataan seperti itu, pastilah jawabannya beragam dan jawaban mereka mudah ditebak, yaitu karena pengaruh pergaulan. Tapi bagi mereka yang mempersoalkannya secara alami, mereka bisa melihat bahwa pernyataan seperti itu sebenarnya mengandung “nilai salah” dan karenanya mereka protes. Bagaimana mereka bisa mengira-ngira kalau pernyataan seperti itu sebenarnya mengandung “nilai salah” ? Tentu saja karena setiap orang sesungguhnya mempunyai logika (logika natrual) yang bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah secara alami. Kalau memang betul ada sesuatu yang salah disitu, maka pertanyaannya adalah salahnya dimana? Mari kita lihat… Bagi ilmu logika, perkara seperti itu menjadi bahan kajian khusus. Logika sangat berkepentingan untuk membedakan makna kata-kata yang diselipkan didalam kalimat seperti itu untuk memeriksa maksud sipenutur. Bagi logika memperhatikan objek yang dibicarakan tersebut sangat penting, apakah yang dimaksud adalah sifat objek atau diri si objek. “Orang jawa, Orang batak” yang disinggung dalam kalimat diatas bisa dibedakan dalam dua pengertian kata, yaitu pengertian abstrak dan konkret. Bagi ilmu logika, suatu kata dianggap mempunyai pengertian abstrak jika kata itu menunjuk kepada sifat, keadaan dan kegiatan yang dilepas dari objek tertentu. Misalnya : Kesehatan, Kebodohan, Kepandaian, Kekayaan, Kemiskinan dan lain lain. Dan suatu kata mempunyai pengertian konkret apabila ia menunjuk kepada suatu benda, orang atau apa saja yang mempunyai eksistensi tertentu seperti : Mobil, Motor, TV, Meja, Kursi, Orang batak itu, Orang Jawa itu, Rumah dan lain-lain. Kata ‘orang batak’ dan ‘orang jawa’ jika dimaksudkan adalah sekelompok orang yang tinggal di Medan atau di Jawa Tengah, maka dia akan bermakna konkret. Konkret, karena jelas yang dimaksudkan adalah tentang keberadaan (eksistensi) sekelompok orang. Tetapi jika maksud si penutur adalah tentang sifat, cara dan sikap hidup orang jawa dan orang batak, maka pengertian kata tersebut berubah menjadi kata abstrak. Sebaliknya, Kesehatan, Kebodohan, Kepandaian, Kekayaan, Kemiskinan juga bisa 31 berubah maknanya menjadi kata konkret jika ia menunjuk kepada suatu benda, orang atau apa saja yang mempunyai eksistensi tertentu. Untuk memudahkan kita dalam membedakan pengertian kata abstak dan konkret, berikut ini adalah contoh kata yang mempunyai pengertian konkret : Kebaikan anda tidak mungkin terlupakan. Kesempurnaan lukisan ini mengagumkan banyak pengunjung. Kekayaan Bill Gate bernilai Milyaran Dollar. Kenakalan remaja membikin gerah Pemda DKI. Sedangkan pada pernyataan berikut ini, pengertian kata-kata yang bergaris miring dan tebal itu berubah menjadi kata Abstrak : Kebaikan adalah perbuatan yang sangat diharapkan. Kesempurnaan adalah tanda kesungguhan dalam berusaha dan berkarya. Kekayaan dapat membuat orang lupa kepada Tuhan. Kenakalan adalah sikap yang perlu mendapat perhatian khusus. Kepiawaian dalam membedakan makna konkret dan abstark ini sangat berguna dalam banyak kajian sosial, politik, agama dan filsafat. Sering dalam berdiskusi kita memperhatikan orang ’sekenanya’ saja ‘memukul rata’ dalam persoalan yang terjadi dimasyarakat dengan mengatakan, “Indonesia susah maju karena korupsi” . Satu orang yang korupsi dinisbah-kan (dikaitkan) kepada semua orang yang tinggal diindonesia karena hanya kesalahan dalam membedakan kata ‘indonesia’ antara satu orang dengan yang lainya. 10. AMBIGU Demokrasi adalah tentang bagaimana caranya untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, persamaan hak, kesetaraan dan pengakuan. Hak Asasi adalah hak paling mendasar yang dimiliki oleh setiap anak manusia, hak akan kebebasan, hak akan hidup, hak akan mendapatkan ilmu dan lain-lain. Demikianlah definisi dari kata demokrasi dan hak asasi yang sering kita temui dibeberapa buku, tapi apakah memang demikian pengertian demokrasi yang difahami oleh semua orang di setiap negara. Kata yang demikian didalam ilmu logika disebut dengan kata ambigu, yakni suatu kata yang mempunyai pengertian lebih dari satu atau banyak. Kata demokrasi berbeda pengertiannya menurut masyarakat liberal dengan masyarakat totaliter. Suatu tindakan mungkin saja disebut demokratis disuatu tempat tapi sudah tidak lagi ditempat lagi. Bisa jadi tindakan tertentu dianggap demokratis di Amerika tapi tidak di China, Demokratis di China tapi tidak menurut orang tibet dan begitu seterusnya. Begitu juga dengan pengertian kata hak asasi, disebut ambigu karena disetiap negara mempunyai pengertian yang berbeda-beda tentang batasan hak asasi. Suatu tindakan tertentu dianggap baik-baik aja oleh suatu negara tertentu, tapi tidak menurut negara yang lain. Suatu tindakan disebut melanggar HAM dinegara Amerika, 32 tapi tidak menurut negara China dan Indonesia. Selain kata yang mempunyai pengertian ambigu tersebut, didalam istilah logika dikenal juga istilah-istilah yang lain, seperti : univok, equivok dan analog. Univok adalah kata yang mempunyai satu makna dan jelas, tidak membingungkan seperti : kursi, meja, pulpen, pensil dan sebagainya. Kata univok ini tidak terlalu sulit untuk dikenali, karena kata ini lebih sering menunjuk kepada benda. Equivok adalah kata yang mempunyai makna lebih dari satu dan umumnya mempunyai dua makna, seperti : bunga, bulan, buku dan lain sebaginya. Bunga bisa berarti adalah gadis manis nan cantik, bisa juga berarti bunga mawar yang merah nan harum dan bisa pula berarti bunga bank. Bulan bisa berarti bulan yang ada dilangit (planet), bisa juga berarti bulan untuk perhitungan kalender. Begitu juga buku, buku bisa berarti panjang batang tanaman diantara dua ruas, dan bisa pula berarti kertas yang diikat sebagian sisinya yang kemudian dijilid. Untuk lebih jelasnya bisa kita lihat penggunaannya didalam kalimat, seperti : • Isabella sangat menyukai bunga. • Isabella menabung di BCA dan dapat bunga 7% satu tahun Bunga pada kalimat pertama berarti bunga sebagai tanaman, bisa bunga mawar, bunga melati dan lain lain. Bunga pada kalimat kedua mempunyai arti keuntungan atau penambahan nilai dari uang yang disimpan. • Bulan lebih kecil dari bumi • Bulan februari sering terjadi banjir akibat hujan. Bulan pada kalimat pertama mempunyai makna sebuah planet yang mengitari bumi. Bulan pada kalimat kedua mempunyai makna suatu perhitungan dikalender. Analog adalah kata yang umumnya mempunyai makna berbeda karena penggunaannya dalam kalimat. Misalnya : Kursi itu terbuat dari kayu jati Banyak kader partai melakukan apa saja supaya bisa mendapatkan kursi di dewan. Bila hujan tanah akan basah. Banyak pejabat menyukai tempat yang basah. Waktu muda Ani adalah bunga desa Bunga di taman itu sungguh indah. Terlihat ada kemiripan antara equivok dengan anolog, dan mereka memang mirip sehingga hampir semua kata equivok bisa dibuat menjadi kata yang bermakna analog. Sampai disini kita sudah bisa membedakan sedikit bagaimana suatu kata itu bisa mempunyai pengertian yang sudah jelas dan tidak membingungkan dan bagaimana juga suatu kata itu bisa mempunyai makna yang ambigu dan memusingkan. 33 11. KONSEPSI DAN PENILAIAN Mengeluarkan pendapat, mengemukakan teori, menyimpulkan sesuatu menjadi hal yang benar (kebenaran) atau menjadi hal yang salah (kekeliruan) adalah pekerjaan pikiran, dan pikiran diatur oleh logika. Logika mengatur gerak pikiran saat sedang berpikir dengan mengendalikan kemungkinan benar dan kemungkinan salah. Sekarang bicara kemungkinan benar dan kemungkinan salah, berarti kita harus urut kebelakang terlebih dahulu bagaimana cara kemungkinan-kemungkinan itu timbul. Kita bisa saja mengatakan kemungkinan perkara yang seperti ini adalah betul atau perkara seperti itu yang betul. Atau sebaliknya, kita bisa saja bercerita bahwa hal yang seperti itu adalah salah atau hal yang seperti ini yang salah dst. Semua pendapat yang kita coba kemukakan itu bermula dari pengamatan atau pemahaman kita terhadap sesuatu yang kemudian menjadi pengetahuan kita tentangnya, yaitu sesuatu yang kita PEROLEH, sesuatu yang KITA RASAKAN, sesuatu yang kita CAPAI, sesuatu yang kita SADARI melalui pancaindra, akal dan batin kita. Setelah kita memperoleh pemahaman (konsepsi) tentang apa-apa yang kita dapat dari pengamatan itu, apakah kemudian pengamatan kita itu bisa serta merta menjadi kebenaran? Atau sebaliknya, suatu kekeliruan? Tentu saja tidak, untuk menetapkan nilai dari apa yang kita amati kita harus mengujinya terlebih dahulu dengan alat uji yang bernama ‘penilaian’. Disini kita berhenti sebentar, kita lihat lagi bahwa ternyata untuk menentukan sesuatu itu mempunyai ‘nilai’ benar (kebenaran) atau salah (kekeliruan) kita butuh tahapan- tahapan. Tahapannya apa saja? Tahapan pertama adalah melihat bagaimana sesuatu itu bisa ada dalam pikiran seseorang, misalnya ada mak lampir, ada kuda terbang , ada malaikat, ada nyai loro kidul, ada hawa dingin, ada keong emas, ada api, ada kerbau, ada kerupuk, ada peyek ada laptop dan seterusnya. Sekilas contoh keberadaan benda-benda tersebut tidak ada bedanya, semua contoh itu sering kita lihat dan dengar. Tapi apakah yang kita lihat dan dengar itu semuanya sudah betul? Tentang api, kerbau, kerupuk, peyek, dan laptop sudah jelas benar adanya dan bisa dilihat dan disaksikan oleh siapa saja dan dimana saja. Tapi mengenai yang lainnya seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dan keong emas? Siapa dan dimana orang pernah menemukan dan menyaksikannya? Disini kita akan mulai bertanya-tanya, iya ada mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas TAPI itu kan hanya di sinetron dan film…, betul ada keong emas, tapi keong toh tetap keong…dan kita tidak pernah bisa mengambil emas dari keong itu. Betul ada hawa panas, tapi yang manakah bendanya? Disinilah tempatnya kita masuk ketahapan kedua dari pembicaraan mengenai nilai benar (kebenaran) atau nilai salah (kekeliruan) yang ada didalam pikiran, yaitu ada dalam pikiran yang keberadaannya ‘ada’ dengan sendirinya secara otomatis (ekstemporal) dan ada juga yang keberadaannya ‘ada’ melalui proses pengamatan dan penelitian (kontemplatif). Kebenaran itu bisa muncul dengan sendirinya didalam pikiran tanpa proses pengamatan dan penelitian, kebenaran seperti ini biasanya terhubung dengan apa-apa yang bersangkutan dengan panca Indra. Misalnya kebenaran tentang adanya mobil, adanya handphone, adanya kucing, adanya tanah, adanya singkong, adanya air, adanya komputer dst. Benda-benda ini ada dipikiran secara otomatis begitu panca indra kita bersentuhan dengannya. 34 Untuk menguji tingkat otomatis ini, kita bisa perhatikan bayi atau balita, mereka (balita) itu tidak pernah diajarkan bertanya, tapi faktanya hampir semua balita sering bertanya, tentang nama-nama benda sekitarnya. Darimana munculnya ilmu bertanya si balita? Tentu saja itu muncul dengan sendirinya begitu alat pancaindranya mulai berfungsi terhadap alam materi. Sebaliknya dengan benda benda yang immaterial, seperti mak lampir, kuda terbang, malaikat, nyai loro kidul, hawa panas dst, bendabenda immateri ini ada dan keberadaannya ada ketika dilakukan imajinasi dan penilaian (asensi) oleh akal terhadapnya. Tapi apakah benda-benda itu benar ada (kebenaran) atau tidak pernah ada (kekeliruan)? Disini kita masuk ketahapan yang ketiga. Yakni pemahaman (konsepsi) dan penilaian (asensi) terhadap suatu perkara akal. Apa-apa yang kita pahami melalui pancaindra dan akal tidak selalu akan menghasilan pilihan BETUL (kebenaran) , atau sebaliknya SALAH (kekeliruan) secara serta merta. Diperlukan suatu hukum untuk menentukan nilainya. Misalnya, kuda terbang, hawa panas, perbuatan baik, perbuatan buruk. Adalah contoh bagaimana akal memberikan hukum tehadap dua hal, yakni kuda dan terbang, hawa dan panas. Terlihat direkaman pemikiran ada benda bernama kuda, sekarang disambung dengan terbang? Darimana rekaman yang didapat tentang terbang? Pastilah sudah terekam secara otomatis di pikiran ketika pancaindra melihat burung atau sejenisnya yang bisa terbang. Kemudian dengan melalui proses imaginasi, muncullah benda baru yang bernama kuda terbang. Cara kerja pikiran yang merakit-rakit dan menyambung-nyambung seperti inilah yang kita sebut dengan proses pemahaman (konsepsi) terhadap nilai dari suatu perkara. Sekarang bagaimana dan apa yang disebut penilaian? Gambaran pikiran atau ‘IDE’ mengenai ‘KUDA’ ditambah sayap menjadi ‘TERBANG’ adalah sebuah konsepsi. Dan yang disebut sebuah Penilaian adalah ketika ‘pikiran menghukumi’ bahwa KUDA itu TERBANG, atau itu kuda terbang maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN bahwa ‘ADA’ kuda terbang. Contoh lain, hawa ditambah panas adalah ‘ide’ yang tergambar didalam pikiran, tapi jika pikiran menghukumi nilai ide itu menjadi ‘hawa itu panas’ maka pikiran telah memberikan kesimpulan atau PENILAIAN terhadap hawa dan panas menjadi suatu NILAI, yaitu ‘ADA’ hawa panas. 12. KESESATAN ATAU FALACCIA Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas berfikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan/atau penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika, dikenal juga sebagai fallacia/falacy, dimana beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: i) ii) Ketidak tepatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah. Ketidak tepatan relevansi: Pemilihan premis yang tidak tepat; yaitu membuat premis dari proposisi yang salah. Proses kesimpulan premis yang caranya tidak tepat; premisnya tidak berhubungan dengan kesimpulan yang akan dicari. 35 Klasifikasi kesesatan Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai macam tipe kesesatan dalam penalaran. Walaupun model klasifikasi kesesatan yang dianggap baku hingga saat ini belum disepakati para ahli, mengingat cara bagaimana penalaran manusia mengalami kesesatan, sangat bervariasi, namun secara sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material. Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena bentuk (form) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih. Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu argumen. Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat teriadi karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi). Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata itu dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Kesesatan Bahasa Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai dengan keseluruhan arti kalimatnya. Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat bervanasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan penalaran. Berikut ini adalah beberapa bentuk kesesatan karena penggunaan bahasa. Kesesatan Aksentuasi Pengucapan terhadap kata-kata tertentu perlu diwaspadai karena ada suku kata yang harus diberi tekanan. Perubahan dalam tekanan terhadap suku kata dapat menyebabkan perubahan arti. Karena itu kurangnya perhatian terhadap tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti sehingga penalaran mengalami kesesatan. Kesesatan aksentuasi verbal Contoh: Serang (kota) dan serang (tindakan menyerang dalam pertempuran) Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara bendera) Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting) Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu) Kesesatan aksentuasi non-verbal 36 Contoh sebuah iklan: "Dengan 2,5 juta bisa membawa motor" Mengapa bahasa dalam iklan ini termasuk kesesatan aksentuasi non-verbal (contoh kasus): Karena motor ternyata baru bisa dibawa (pulang) tidak hanya dengan uang 2,5 juta tetapi juga dengan menyertakan syarat-syarat lainnya seperti slip gaji, KTP, rekening listrik terakhir dan keterangan surat kepemilikan rumah. Contoh ungkapan: “Apa dan Ha” memiliki arti yang berbeda-beda bila: diucapkan dalam keadaan marah diucapkan dalam keadaan bertanya diucapkan untuk menjawab panggilan. Kesesatan Ekuivokasi Kesesatan ekuivokasi adalah kesesatan yang disebabkan karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang sama, maka terjadilah kesesatan penalaran. Kesesatan Ekuivokasi verbal Adalah kesesatan ekuivokasi yang terjadi pada pembicaraan dimana bunyi yang sama disalah artikan menjadi dua maksud yang berbeda. Contoh: teh (tumbuhan, jenis minuman) dan teh (basa sunda - kata imbuhan) buntut (ekor) dan buntut (anak kecil yang mengikuti kemanapun seorang dewasa pergi) menjilat (es krim) dan menjilat (ungkapan yang dikenakan pada seseorang yang memuji berlebihan dengan tujuan tertentu) Kesesatan Ekuivokasi non-verbal Contoh: Menggunakan kain/ pakaian putih-putih berarti orang suci. Di India wanita yang menggunakan kain sari putih-putih umumnya adalah janda Bergandengan sesama jenis pasti homo Menggelengkan kepala (berarti tidak setuju), namun di India menggelengkan kepala dari satu sisi ke sisi yang lain menunjukkan kejujuran. 37 Kesesatan Amfiboli Kesesatan Amfiboli (gramatikal) adalah kesesatan yang dikarenakan konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga artinya menjadi bercabang. Ini dikarenakan letak sebuah kata atau term tertentu dalam konteks kalimatnya. Akibatnya timbul lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padalahal hanya satu saja makna yang benar sementara makna yang lain pasti salah. Contoh: Dijual kursi bayi tanpa lengan. Arti 1: Dijual sebuah kursi untuk seorang bayi tanpa lengan. Arti 2: Dijual sebuah kursi tanpa dudukan lengan khusus untuk bayi. Penulisan yang benar adalah: Dijual kursi bayi, tanpa lengan kursi. Contoh lain: Kucing makan tikus mati. Arti 1: Kucing makan, lalu tikus mati Arti 2: Kucing makan tikus lalu kucing tersebut mati Arti 3: Kucing sedang memakan seekor tikus yang sudah mati. Ali mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya! Arti 1: Ali mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai kekasih Ali. Arti 2: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai kekasih saya. Kesesatan Metaforis Disebut juga (fallacy of metaphorization) adalah kesesatan yang terjadi karena pencampur-adukkan arti kiasan dan arti sebenarnya. Artinya terdapat unsur persamaan dan sekaligus perbedaan antara kedua arti tersebut. Tetapi bila dalam suatu penalaran arti kiasan disamakan dengan arti sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis, yang dikenal juga kesesatan karena analogi palsu. Contoh: Pemuda adalah tulang punggung negara. Penjelasan kesesatan: Pemuda disini adalah arti sebenarnya dari orang-orang yang berusia muda, sedangkan tulang punggung adalah arti kiasan karena negara tidak memiliki tubuh biologis dan tidak memiliki tulang punggung layaknya mahluk vertebrata. Pencampur adukan arti sebenarnya dan arti kiasan dari suatu kata atau ungkapan ini sering kali disengaja seperti yang terjadi dalam dunia lawak Kesesatan metaforis ini dikenal pula dengan nama kesesatan karena analogi palsu 38 Kesesatan Relevansi Kesesatan Relevansi adalah sesat pikir yang terjadi karena argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang (lawan bicara) yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya. Kesesatan ini timbul apabila orang menarik kesimpulan yang tidak relevan dengan premis nya. Artinya secara logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak merupakan implikasi dari premisnya. Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi tidak menampakkan adanya hubungan logis antara premis dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan adanya hubungan - namun kesan akan adannya hubungan secara psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh. Argumentum ad Hominem 1 Argumentum ad hominem adalah argumen diarahkan untuk menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen ini dapat menggambarkan tindak pelecehan terhadap pribadi individu yang menyatakan sebuah argumen. Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi argumennya. Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek penilaian psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat terjadi karena perkbedaan pandangan. Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum ad hominem 1 adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal yang melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi. Contoh 1: Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena seseorang itu pendek. Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola lampu dengan menggunakan alat bantu tangga tidak tergantung dari tinggi/ pendeknya seseorang. Contoh 2: Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang cantik sebagai pemenang, bukan karena suaranya yang bagus tapi karena parasnya yang lebih cantik dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara kandidat lain ada yang lebih bagus Argumentum ad Hominem 2 Berbeda dari argumentum ad hominem 1, argumentum ad hominem 2 menitikberatkan pada hubungan yang ada diantara keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya argumentum ad hominem 2 ini menunjukkan pola pikir yang diarahkan pada pengutamaan kepentingan pribadi; yaitu: suka-tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal yang berkaitan dengan SARA. Contoh 3: 39 Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang Pembicara S katakan karena ia bukan orang Islam Kesesatan: ketidak setujuan bukan karena hasil penalaran dari argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama. Bila ada dua orang yang telibat dalam sebuah konflik atau perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak dapat menemukan titik temu dikarenakan mereka tidak mengetahui apakah argumen masing-masing itu benar atau keliru. Hal ini terjadi ketika masing-masing pihak beragumen atas dasar titik tolak dari ruang lingkup yang berbeda satu sama lain. Contoh 4: Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen) ataukah seorang nabi (Islam). Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak akan menemukan titik temu karena berangkat dari keyakinan dan ilmu agama yang berbeda Contoh 5: Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena mahasiswanya berasal dari suku yang ia tidak suka dan sering protes di kelas, bukan karena prestasi akademiknya yang buruk. Argumentum ad hominem 1 dan argumentum ad hominem 2 adalah argumentasiargumentasi yang mengarah kepada hal-hal negatif dan biasanya melibatkan emosi. Argumentum ad baculum Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat atau pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa jika ia menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua agar anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh menakut-nakuti anak kecil: Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel (sejenis hantu yang mengerikan). Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang merupakan pernyataan atau keadaan yang mendesak orang untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika menolak akan membawa akibat yang tidak diinginkan. Contoh argumentum ad baculum: Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih pintar tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar, ibunya akan datang dan mencubitnya. Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan karena ia menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang mengawasi dan ia takut ditilang. Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada pembeli agar produk yang ia jual laku, karena ia takut dipecat bila ia tidak melakukan penjualan. 40 Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi adalah mengajukan gagasan (yang seringkali bersifat tuntutan) agar didengar dan dipenuhi oleh pihak penguasa, namun gagasan itu didasari oleh penalaran yang samasekali irasional dan argumen yang dikemukakan tidak memperlihatkan hubungan logis antara premis dan kesimpulannya. Penolakan mahasiswa akan skripsi sebagai syarat kelulusan dengan alasan skripsi mahal dan menjadi "akal-akalan" dosen. Argumentum ad misericordiam (Latin: misericordia artinya belas kasihan) adalah sesat pikir yang sengaja diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/ keinginan. Contoh: Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan digeletakkan tidur di trotoar. Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak bisa membeli sandang dan pangan. Argumentum ad populum (Latin: populus berarti rakyat atau massa) Argumentum ad populum adalah argumen yang dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang melatarbelakangi suatu usul atau program adalah demi kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini bertujuan untuk memperoleh dukungan atau membenarkan tindakan si pembicara. Di sini pembuktian logis tidak diperlukan/ tidak digunakan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan massa pendengar, membangkitkan semangat dan membakar emosi orang banyak agar menerima suatu pernyataan tertentu. Argumentum auctoritatis (Latin: auctoritas berarti kewibawaan) adalah sesat pikir dimana nilai penalaran ditentukan oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya. Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah terkenal karena keahliannya. Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang). Argumentasi ini sangat mirip dengan argumentum ad hominem, bedanya dalam argumentum ad hominem yang menjadi acuan adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan (dilihat dari disenangi/ tidak disenangi), maka dalam argumentum auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam masyarakat/ keahliannya/ kewibawaannya) yang mengemukakan. Contoh: 41 Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar. Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar. Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar. "Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan benar karena beliau adalah seorang pemimpin yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan seorang dokter yang jenius" Argumentum ad verecundiam Argumentum ad verecundiam adalah argumentasi yang diberikan dengan sengaja tidak terarah kepada persoalan yang sesungguhnya tetapi dibuat sedemikian rupa untuk membangkitkan perasaan malu si lawan bicara. Contoh 1: Pembicara G: Saya merasa aneh mengapa Pembicara S tidak setuju dengan pernyataan saya Pembicara S: Memang kamu orang aneh.. Argumentum ad verecundiam juga digunakan sebagai pembenaran, dan sering dipakai dalam iklan : Contoh 2: "Orang pintar pasti minum jamu tolak angin!" Contoh 3: "Bila anda benar-benar seorang pembela kebenaran maka anda pasti akan membenarkan apa yang saya katakan karena yang saya katakan ini adalah benar" lgnoratio elenchi Ignoratio elenchi adalah kesesatan yang terjadi saat seseorang menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki relevansi dengan premisnya. Loncatan sembarangan dari premis ke kesimpulan yang memiliki hubungan semu (tidak benar-benar berhubungan) biasanya dilatar belakangi oleh prasangka, emosi, dan perasaan subyektif. Ignoration elenchi juga dikenal sebagai kesesatan penggambaran seseorang (Image), " Halo Impact" , atau stereotyping. Contoh: Orang yang baru keluar dari penjara pasti jahat. Orang Madiun pasti komunis. Si Ucup kalau datang pasti hendak berhutang. Orang Sagitarius pasti playboy. Anak bungsu pasti manja. Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur (padahal ia pedagang nasi bungkus). Ignoratio elenchi mirip dengan generalisasi namun pernyataan yang dapat digolongkan ke dalam kesesatan ini lompatan kesimpulannya harus jauh. 42 Argumentum ad ignoratiam Adalah kesesatan yang terjadi dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada. Contoh 1: Tuhan, setan, dan hantu itu tidak ada karena belum pernah lihat. Contoh 2: Seorang tersangka pencuri didakwa bersalah karena pada saat kejadian ia sedang tidur sendirian di rumahnya dan tidak memiliki alibi/orang yang bersaksi yang melihat bahwa ia benar sedang tidur. Pernyataan diatas merupakan sesat pikir karena belum tentu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada/ tidak bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada. Petitio principii Adalah kesesatan yang terjadi dalam kesimpulan atau pernyataan pembenaran dimana didalamnya premis digunakan sebagai kesimpulan dan sebaliknya, kesimpulan dijadikan premis. Sehingga meskipun rumusan (teks/ kalimat) yang digunakan berbeda, sebetulnya sama maknanya. Contoh: “Belajar logika berarti mempelajari cara berpikir tepat, karena di dalam berpikir tepat ada logika” Guru: "Kelas dimulai jam 7:30 kenapa kamu datang jam 8:30?" Murid: "Ya, karena saya terlambat.." Kesesatan petitio principii juga dikenal karena pernyataan berupa pengulangan prinsip dengan prinsip. Kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc/ false cause) Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa kedua, atau peristiwa kedua adalah akiat dari peristiwa pertama - padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya menunjukkan hubungan sebab-akibat. Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan post-hoc ergo propter hoc (sesudahnya maka karenanya) Contoh: Seorang pemuda setelah diketahui baru putus cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetangganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit karena baru putus cinta. 43 Kesesatan: Padahal diagnosa dokter adalah si pemuda terkena radang paru-paru karena kebiasaannya merokok tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu. Kesesatan aksidensi Adalah kesesatan penalaran yang dilakukan oleh seseorang bila ia memaksakan aturan-aturan/ cara-cara yang bersifat umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat aksidental; yaitu situasi yang bersifat kebetulan, tidak seharusnya ada atau tidak mutlak. Contoh: Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula juga baik untuk penderita diabetes. Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak daging supaya sehat. Kesesatan karena komposisi dan divisi Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif. Contoh: Badu ditilang oleh polisi lalu lintas di sekitar jalan Sudirman dan Thamrin dan polisi itu meminta uang sebesar Rp. 100.000 bila Badu tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu lintas di sekitar jalan sudirman dan thamrin adalah pasti pelaku pemalakan. Maulana Kusuma anggota KPU sekaligus dosen kriminologi di UI melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di UI pasti koruptor. Kesesatan karena divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi seluru kelompok secara kolektif pasti juga benar (berlaku) bagi individu-individu dalam kelompok tersebut. Contoh 1: Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota DPR, maka Yahya Zaini juga korupsi. Contoh 2: Umumnya pasangan artis-artis yang baru menikah pasti lalu bercerai. Dona Agnesia dan Darius adalah pasangan artis yang baru menikah, pasti sebentar lagi mereka bercerai. 44 IV PSIKOLOGI Psikologi (dari bahasa Yunani Kuno: psyche = jiwa dan logos = kata) dalam arti bebas psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental. Psikologi tidak mempelajari jiwa/mental itu secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental tersebut yakni berupa tingkah laku dan proses atau kegiatannya, sehingga Psikologi dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental. Sejarah Psikologi adalah ilmu yang tergolong muda (sekitar akhir 1800an.) Tetapi, manusia di sepanjang sejarah telah memperhatikan masalah psikologi. Seperti filsuf yunani terutama Plato dan Aristoteles. Setelah itu St. Augustine (354-430) dianggap tokoh besar dalam psikologi modern karena perhatiannya pada intropeksi dan keingintahuannya tentang fenomena psikologi. Descartes (1596-1650) mengajukan teori bahwa hewan adalah mesin yang dapat dipelajari sebagaimana mesin lainnya. Ia juga memperkenalkan konsep kerja refleks. Banyak ahli filsafat terkenal lain dalam abad tujuh belas dan delapan belas—Leibnits, Hobbes, Locke, Kant, dan Hume, memberikan sumbangan dalam bidang psikologi. Pada waktu itu psikologi masih berbentuk wacana belum menjadi ilmu pengetahuan. Psikologi kontemporer Diawali pada abad ke 19, dimana saat itu berkembang 2 teori dalam menjelaskan tingkah laku, yaitu: Psikologi Fakultas Psikologi fakultas adalah doktrin abad 19 tentang adanya kekuatan mental bawaan, menurut teori ini, kemampuan psikologi terkotak-kotak dalam beberapa ‘fakultas’ yang meliputi: berpikir, merasa dan berkeinginan. Fakultas ini terbagi lagi menjadi beberapa subfakultas: kita mengingat melalui subfakultas memori, pembayangan melalui subfakultas imaginer, dan sebagainya. Psikologi Asosiasi Bagian dari psikologi kontemporer abad 19 yang mempercayai bahwa proses psikologi pada dasarnya adalah ‘asosiasi ide.’ Dimana ide masuk melalui alat indera dan diasosiasikan berdasarkan prinsip-prinsip tertentu seperti kemiripan, kontras, dan kedekatan. Dalam perkembangan ilmu psikologi kemudian, ditandai dengan berdirinya laboratorium psikologi oleh Wundt (1879) Pada saat itu pengkajian psikologi didasarkan atas metode ilmiah (eksperimental) Juga mulai diperkenalkan metode intropeksi, eksperimen, dsb. Beberapa sejarah yang patut dicatat antara lain: F. Galton > merintis test psikologi. Charles Darwin > memulai melakukan komparasi dengan binatang. 45 A. Mesmer > merintis penggunaan hipnosis Sigmund Freud > merintis psikoanalisa Psikologi sebagai ilmu pengetahuan Walaupun sejak dulu telah ada pemikiran tentang ilmu yang mempelajari manusia dalam kurun waktu bersamaan dengan adanya pemikiran tentang ilmu yang mempelajari alam, akan tetapi karena kekompleksan dan kedinamisan manusia untuk dipahami, maka psikologi baru tercipta sebagai ilmu sejak akhir 1800-an yaitu sewaktu Wilhem Wundt mendirikan laboratorium psikologi pertama didunia. Pada tahun 1879 Wilhem Wundt mendirikan laboratorium Psikologi pertama di University of Leipzig, Jerman. Ditandai oleh berdirinya laboratorium ini, maka metode ilmiah untuk lebih mamahami manusia telah ditemukan walau tidak terlalu memadai. dengan berdirinya laboratorium ini pula, lengkaplah syarat psikologi untuk menjadi ilmu pengetahuan, sehingga tahun berdirinya laboratorium Wundt diakui pula sebagai tanggal berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan. Fungsi psikologi sebagai ilmu Psikologi memiliki tiga fungsi sebagai ilmu yaitu: 1) Menjelaskan Yaitu mampu menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasilnya penjelasan berupa deskripsi atau bahasan yang bersifat deskriptif. 2) Memprediksikan Yaitu mampu meramalkan atau memprediksikan apa, bagaimana, dan mengapa tingkah laku itu terjadi. Hasil prediksi berupa prognosa, prediksi atau estimasi. 3) Pengendalian Yaitu mengendalikan tingkah laku sesuai dengan yang diharapkan. Perwujudannya berupa tindakan yang sifatnya prevensi atau pencegahan, intervensi atau treatment serta rehabilitasi atau perawatan. Pendekatan Psikologi Tingkah laku dapat dijelaskan dengan cara yang berbeda-beda, dalam psikologi sedikitnya ada 5 cara pendekatan, yaitu 1) Pendekatan neurobiologis Tingkah laku manusia pada dasarnya dikendalikan oleh aktivitas otak dan sistem syaraf. Pendekatan neurobiologis berupaya mengaitkan perilaku yang terlihat dengan impuls listrik dan kimia yang terjadi didalam tubuh serta menentukan proses neurobiologi yang mendasari perilaku dan proses mental. 46 2) Pendekatan perilaku Menurut pendekatan perilaku, pada dasarnya tingkah laku adalah respon atas stimulus yang datang. Secara sederhana dapat digambarkan dalam model S - R atau suatu kaitan Stimulus - Respon. Ini berarti tingkah laku itu seperti reflek tanpa kerja mental sama sekali. Pendekatan ini dipelopori oleh J.B. Watson kemudian dikembangkan oleh banyak ahli, seperti B.F.Skinner, dan melahirkan banyak subaliran. 3) Pendekatan kognitif Pendekatan kognitif menekankan bahwa tingkah laku adalah proses mental, dimana individu (organisme) aktif dalam menangkap, menilai, membandingkan, dan menanggapi stimulus sebelum melakukan reaksi. Individu menerima stimulus lalu melakukan proses mental sebelum memberikan reaksi atas stimulus yang datang. 4) Pendekatan psikoanalisa Pendekatan psikoanalisa dikembangkan oleh Sigmund Freud. Ia meyakini bahwa kehidupan individu sebagian besar dikuasai oleh alam bawah sadar. Sehingga tingkah laku banyak didasari oleh hal-hal yang tidak disadari, seperti keinginan, impuls, atau dorongan. Keinginan atau dorongan yang ditekan akan tetap hidup dalam alam bawah sadar dan sewaktu-waktu akan menuntut untuk dipuaskan. 5) Pendekatan fenomenologi Pendekatan fenomenologi ini lebih memperhatikan pada pengalaman subyektif individu karena itu tingkah laku sangat dipengaruhi oleh pandangan individu terhadap diri dan dunianya, konsep tentang dirinya, harga dirinya dan segala hal yang menyangkut kesadaran atau aktualisasi dirinya. Ini berarti melihat tingkah laku seseorang selalu dikaitkan dengan fenomena tentang dirinya. Kajian psikologi Psikologi adalah ilmu yang luas dan ambisius, dilengkapi oleh biologi dan ilmu saraf pada perbatasannya dengan ilmu alam dan dilengkapi oleh sosiologi dan anthropologi pada perbatasannya dengan ilmu sosial. Beberapa kajian ilmu psikologi diantaranya adalah: 1) Psikologi perkembangan Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari perkembangan manusia dan faktorfaktor yang membentuk prilaku seseorang sejak lahir sampai lanjut usia. Psikologi perkembangan berkaitan erat dengan psikologi sosial, karena sebagian besar perkembangan terjadi dalam konteks adanya interaksi sosial. Dan juga berkaitan erat dengan psikologi kepribadian, karena perkembangan individu dapat membentuk kepribadian khas dari individu tersebut. 2) Psikologi sosial bidang ini mempunyai 3 ruang lingkup, yaitu : 47 studi tentang pengaruh sosial terhadap proses individu, misalnya : studi tentang persepsi, motivasi proses belajar, atribusi (sifat) studi tentang proses-proses individual bersama, seperti bahasa, sikap sosial, perilaku meniru dan lain-lain studi tentang interaksi kelompok, misalnya : kepemimpinan, komunikasi hubungan kekuasaan, kerjasama dalam kelompok, persaingan, konflik 3) Psikologi kepribadian Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari tingkah laku manusia dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya, psikologi kepribadian berkaitan erat dengan psikologi perkembangan dan psikologi sosial, karena kepribadian adalah hasil dari perkembangan individu sejak masih kecil dan bagaimana cara individu itu sendiri dalam berinteraksi sosial dengan lingkungannya. 4) Psikologi kognitif Adalah bidang studi psikologi yang mempelajari kemampuan kognisi, seperti: Persepsi, proses belajar, kemampuan memori, atensi, kemampuan bahasa dan emosi. Wilayah terapan psikologi Wilayah terapan psikologi adalah wilayah-wilayah dimana kajian psikologi dapat diterapkan. walaupun demikian, belum terbiasanya orang-orang Indonesia dengan spesialisasi membuat wilayah terapan ini rancu, misalnya, seorang ahli psikologi pendidikan mungkin saja bekerja pada HRD sebuah perusahaan, atau sebaliknya. 1) Psikologi pendidikan Psikologi pendidikan adalah perkembangan dari psikologi perkembangan dan psikologi sosial, sehingga hampir sebagian besar teori-teori dalam psikologi perkembangan dan psikologi sosial digunakan di psikologi pendidikan. Psikologi pendidikan mempelajari bagaimana manusia belajar dalam setting pendidikan, keefektifan sebuah pengajaran, cara mengajar, dan pengelolaan organisasi sekolah. 2) Psikologi sekolah Psikologi sekolah berusaha menciptakan situasi yang mendukung bagi anak didik dalam mengembangkan kemampuan akademik, sosialisasi, dan emosi. 3) Psikologi industri dan organisasi Psikologi industri memfokuskan pada menggembangan, mengevaluasi dan memprediksi kinerja suatu pekerjaan yang dikerjakan oleh individu, sedangkan psikologi organisasi mempelajari bagaimana suatu organisasi memengaruhi dan berinteraksi dengan anggota-anggotanya. 4) Psikologi kerekayasaan 48 Penerapan psikologi yang berkaitan dengan interaksi antara manusia dan mesin untuk meminimalisasikan kesalahan manusia ketika berhubungan dengan mesin (human error). 5) Psikologi klinis Adalah bidang studi psikologi dan juga penerapan psikologi dalam memahami, mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal. 6) Parapsikologi Parapsikologi adalah cabang psikologi yang mencakup studi tentang extra sensory perception, psikokinesis, dan sebagainya. Bagi para pendukungnya, parapsikologi dilihat sebagai bagian dari psikologi positif dan psikologi transpersonal. Penelitian parapsikologi pada umumnya dilakukan di laboratorium sehingga parapsikolog menganggap penelitian tersebut ilmiah. PSIKOLOGI SOSIAL Akar awal Psikologi Sosial Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di"claim" sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi. Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi - di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan "social psychological section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya. Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial adalah : " Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku kita?'". Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang kehadiran orang lain dalam memacu 49 prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya" Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif). Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain. Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives). Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku 50 seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang. Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang. Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial. 1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective) Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik", "mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)". Dalam hal ini pandangan 51 Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial. Para "behaviorist" memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses), dan lingkungan ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak hitam (black-box)" . Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional. Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud dengan "operant condition" adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud dengan "reinforcement" adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja). Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain 52 adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory). a. Teori Pembelajaran Sosial. Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning " - "pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard. Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anakanak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau. Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film 53 atau bahkan film karton. Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain. b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory) Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan. Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :"Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : "Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran 54 sosial adalah "distributive justice" - aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi " seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan". Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan. 2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective) Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem - karena mengabaikan kegiatan mental manusia. Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif . Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer. a. Teori Medan (Field Theory) Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan 55 tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi tertentu. Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagianbagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada. b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory) Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman. Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika 56 kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi. c. Teori Kognitif Kontemporer Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang diberi istilah "schema" (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya. Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teoriteori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi. 3. Perspektif Struktural Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self. 57 Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism) a. Teori Peran (Role Theory) Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanakkanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi. b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory) Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada 58 kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapanharapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin. Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial. c. Posmodernisme (Postmodernism) Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan. Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya. 59 Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”. Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya. 4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective) Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya. Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu 60 yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory). a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory) Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna. Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial. Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orangorang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka. Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain. b. Teori Identitas (Identity Theory) Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu. 61 Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita. Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai. Teori Perkembangan Psikososial Teori Erik Erikson dipilih dan disajikan dalam buku yang berjudul “Personality Theory Researche” oleh Pervin dan Jhon sebab dianggap sebagai teori yang mendukung perkembangan dalam ilmu psikologi. Dengan kata lain teori Erikson dikatakan sebagai salah satu teori yang sangat selektif karena didasarkan pada tiga alasan. Alasan yang pertama, karena teorinya sangat representatif dikarenakan memiliki kaitan atau hubungan dengan ego yang merupakan salah satu aspek yang mendekati kepribadian manusia. Kedua, menekankan pada pentingnya perubahan yang terjadi pada setiap tahap perkembangan dalam lingkaran kehidupan, dan yang ketiga/terakhir adalah menggambarkan secara eksplisit mengenai usahanya dalam mengabungkan pengertian klinik dengan sosial dan latar belakang yang dapat memberikan kekuatan/kemajuan dalam perkembangan kepribadian didalam sebuah lingkungan. Melalui teorinya Erikson memberikan sesuatu yang baru dalam mempelajari mengenai perilaku manusia dan merupakan suatu pemikiran yang sangat maju guna memahami persoalan/masalah psikologi yang dihadapi oleh manusia pada jaman modern seperti ini. TEORI Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud. Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Tampak dengan jelas bahwa yang dimaksudkan dengan psikososial apabila istilah ini dipakai dalam kaitannya dengan perkembangan. Secara 62 khusus hal ini berarti bahwa tahap-tahap kehidupan seseorang dari lahir sampai dibentuk oleh pengaruh-pengaruh sosial yang berinteraksi dengan suatu organisme yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. Sedangkan konsep perkembangan yang diajukan dalam teori psikoseksual yang menyangkut tiga tahap yaitu oral, anal, dan genital, diperluasnya menjadi delapan tahap sedemikian rupa sehingga dimasukkannya cara-cara dalam mana hubungan sosial individu terbentuk dan sekaligus dibentuk oleh perjuangan-perjuangan insting pada setiap tahapnya. Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumpsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia. Proses yang terjadi dalam setiap tahap yang telah disusun sangat berpengaruh terhadap “Epigenetic Principle” yang sudah dewasa/matang. Dengan kata lain, Erikson mengemukakan persepsinya pada saat itu bahwa pertumbuhan berjalan berdasarkan prinsip epigenetic. Di mana Erikson dalam teorinya mengatakan melalui sebuah rangkaian kata yaitu : (1) Pada dasarnya setiap perkembangan dalam kepribadian manusia mengalami keserasian dari tahap-tahap yang telah ditetapkan sehingga pertumbuhan pada tiap individu dapat dilihat/dibaca untuk mendorong, mengetahui, dan untuk saling mempengaruhi, dalam radius sosial yang lebih luas. (2) Masyarakat, pada prinsipnya, juga merupakan salah satu unsur untuk memelihara saat setiap individu yang baru memasuki lingkungan tersebut guna berinteraksi dan berusaha menjaga serta untuk mendorong secara tepat berdasarkan dari perpindahan didalam tahap-tahap yang ada. Dalam bukunya yang berjudul “Childhood and Society” tahun 1963, Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “delapan tahap perkembangan manusia”. Erikson berdalil bahwa setiap tahap menghasilkan epigenetic. Epigenetic berasal dari dua suku kata yaitu epi yang artinya “upon” atau sesuatu yang sedang berlangsung, dan genetic yang berarti “emergence” atau kemunculan. Gambaran dari perkembangan cermin mengenai ide dalam setiap tahap lingkaran kehidupan sangat berkaitan dengan waktu, yang mana hal ini sangat dominan dan karena itu muncul , dan akan selalu terjadi pada setiap tahap perkembangan hingga berakhir pada tahap dewasa, secara keseluruhan akan adanya fungsi/kegunaan kepribadian dari setiap tahap itu sendiri. Selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tiap tahap psikososial juga disertai oleh krisis. Perbedaan dalam setiap komponen kepribadian yang ada didalam tiap-tiap krisis adalah sebuah masalah yang harus dipecahkan/diselesaikan. Konflik adalah sesuatu yang sangat vital dan bagian yang utuh dari teori Erikson, karena pertumbuhan dan perkembangan antar personal dalam sebuah lingkungan tentang suatu peningkatan dalam sebuah sikap yang mudah sekali terkena serangan berdasarkan fungsi dari ego pada setiap tahap. Erikson percaya “epigenetic principle” akan mengalami kemajuan atau kematangan apabila dengan jelas dapat melihat krisis psikososial yang terjadi dalam lingkaran kehidupan setiap manusia yang sudah dilukiskan dalam bentuk sebuah gambar. Di 63 mana gambar tersebut memaparkan tentang delapan tahap perkembangan yang pada umumnya dilalui dan dijalani oleh setiap manusia secara hirarkri seperti anak tangga. Di dalam kotak yang bergaris diagonal menampilkan suatu gambaran mengenai adanya hal-hal yang bermuatan positif dan negatif untuk setiap tahap secara berturut-turut. Periode untuk tiap-tiap krisis, Erikson melukiskan mengenai kondisi yang relatif berkaitan dengan kesehatan psikososial dan cocok dengan sakit yang terjadi dalam kesehatan manusia itu sendiri. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa dengan berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual dari Freud yang lebih menekankan pada dorongandorongan seksual, Erikson mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek perkembangan sosial. Melalui teori yang dikembangkannya yang biasa dikenal dengan sebutan Theory of Psychosocial Development (Teori Perkembangan Psikososial), Erikson tidak berniat agar teori psikososialnya menggantikan baik teori psikoseksual Freud maupun teori perkembangan kognitif Piaget. Ia mengakui bahwa teori-teori ini berbicara mengenai aspek-aspek lain dalam perkembangan. Selain itu di sisi lain perlu diketahui pula bahwa teori Erikson menjangkau usia tua sedangkan teori Freud dan teori Piaget berhenti hanya sampai pada masa dewasa. Meminjam kata-kata Erikson melalui seorang penulis buku bahwa “apa saja yang tumbuh memiliki sejenis rencana dasar, dan dari rencana dasar ini muncullah bagianbagian, setiap bagian memiliki waktu masing-masing untuk mekar, sampai semua bagian bersama-sama ikut membentuk suatu keseluruhan yang berfungsi. Oleh karena itu, melalui delapan tahap perkembangan yang ada Erikson ingin mengemukakan bahwa dalam setiap tahap terdapat maladaption/maladaptif (adaptasi keliru) dan malignansi (selalu curiga) hal ini berlangsung kalau satu tahap tidak berhasil dilewati atau gagal melewati satu tahap dengan baik maka akan tumbuh maladaption/maladaptif dan juga malignansi, selain itu juga terdapat ritualisasi yaitu berinteraksi dengan pola-pola tertentu dalam setiap tahap perkembangan yang terjadi serta ritualisme yang berarti pola hubungan yang tidak menyenangkan. Menurut Erikson delapan tahap perkembangan yang ada berlangsung dalam jangka waktu yang teratur maupun secara hirarkri, akan tetapi jika dalam tahap sebelumnya seseorang mengalami ketidakseimbangan seperti yang diinginkan maka pada tahap sesudahnya dapat berlangsung kembali guna memperbaikinya. Delapan tahap/fase perkembangan kepribadian menurut Erikson memiliki ciri utama setiap tahapnya adalah di satu pihak bersifat biologis dan di lain pihak bersifat sosial, yang berjalan melalui krisis diantara dua polaritas. Adapun tingkatan dalam delapan tahap perkembangan yang dilalui oleh setiap manusia menurut Erikson adalah sebagai berikut : Trust vs Mistrust (Kepercayaan vs Kecurigaan) Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 atau 1 ½ tahun. Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan tenang, menyantap makanan 64 dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya. Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kwalitatif sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil. Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang dewasa tersebut bayi belajar untuk menggantungkan diri dan percaya kepada mereka. Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri, maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu curiga kepada orang lain. Hal ini jangan dipahami bahwa peran sebagai orangtua harus serba sempurna tanpa ada kesalahan/cacat. Karena orangtua yang terlalu melindungi anaknya pun akan menyebabkan anak punya kecenderungan maladaptif. Erikson menyebut hal ini dengan sebutan salah penyesuaian indrawi. Orang yang selalu percaya tidak akan pernah mempunyai pemikiran maupun anggapan bahwa orang lain akan berbuat jahat padanya, dan akan memgunakan seluruh upayanya dalam mempertahankan cara pandang seperti ini. Dengan kata lain,mereka akan mudah tertipu atau dibohongi. Sebaliknya, hal terburuk dapat terjadi apabila pada masa kecilnya sudah merasakan ketidakpuasan yang dapat mengarah pada ketidakpercayaan. Mereka akan berkembang pada arah kecurigaan dan merasa terancam terus menerus. Hal ini ditandai dengan munculnya frustasi, marah, sinis, maupun depresi. Pada dasarnya setiap manusia pada tahap ini tidak dapat menghindari rasa kepuasan namun juga rasa ketidakpuasan yang dapat menumbuhkan kepercayaan dan ketidakpercayaan. Akan tetapi, hal inilah yang akan menjadi dasar kemampuan seseorang pada akhirnya untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik. Di mana setiap individu perlu mengetahui dan membedakan kapan harus percaya dan kapan harus tidak percaya dalam menghadapi berbagai tantangan maupun rintangan yang menghadang pada perputaran roda kehidupan manusia tiap saat. Adanya perbandingan yang tepat atau apabila keseimbangan antara kepercayaan dan ketidakpercayaan terjadi pada tahap ini dapat mengakibatkan tumbuhnya pengharapan. Nilai lebih yang akan berkembang di dalam diri anak tersebut yaitu harapan dan keyakinan yang sangat kuat bahwa kalau segala sesuatu itu tidak berjalan sebagaimana mestinya, tetapi mereka masih dapat mengolahnya menjadi baik. Pada aspek lain dalam setiap tahap perkembangan manusia senantiasa berinteraksi atau saling berhubungan dengan pola-pola tertentu (ritualisasi). Oleh sebab itu, pada tahap ini bayi pun mengalami ritualisasi di mana hubungan yang terjalin dengan 65 ibunya dianggap sebagai sesuatu yang keramat (numinous). Jika hubungan tersebut terjalin dengan baik, maka bayi akan mengalami kepuasan dan kesenangan tersendiri. Selain itu, numinous ini pada akhirnya akan menjadi dasar bagaimana orang menghadapi/berkomunikasi dengan orang lain, dengan penuh penerimaan, penghargaan, tanpa ada ancaman dan perasaan takut. Sebaliknya, apabila dalam hubungan tersebut bayi tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu akan merasa terasing dan terbuang, sehingga dapat terjadi suatu pola kehidupan yang lain di mana bayi merasa berinteraksi secara interpersonal atau sendiri dan dapat menyebabkan adanya idolism (pemujaan). Pemujaan ini dapat diartikan dalam dua arah yaitu anak akan memuja dirinya sendiri, atau sebaliknya anak akan memuja orang lain. Otonomi vs Perasaan Malu dan Ragu-ragu Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 18 bulan sampai 3 atau 4 tahun. Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi) sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian. Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah, maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-ragu. Dengan kata lain, ketika orang tua dalam mengasuh anaknya sangat memperhatikan anaknya dalam aspek-aspek tertentu misalnya mengizinkan seorang anak yang menginjak usia balita untuk dapat mengeksplorasikan dan mengubah lingkungannya, anak tersebut akan bisa mengembangkan rasa mandiri atau ketidaktergantungan. Pada usia ini menurut Erikson bayi mulai belajar untuk mengontrol tubuhnya, sehingga melalui masa ini akan nampak suatu usaha atau perjuangan anak terhadap pengalaman-pengalaman baru yang berorientasi pada suatu tindakan/kegiatan yang dapat menyebabkan adanya sikap untuk mengontrol diri sendiri dan juga untuk menerima control dari orang lain. Misalnya, saat anak belajar berjalan, memegang tangan orang lain, memeluk, maupun untuk menyentuh benda-benda lain. Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian. Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain, keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri. Sedikit rasa malu dan ragu-ragu, sangat diperlukan bahkan memiliki fungsi atau kegunaan tersendiri bagi anak, karena tanpa adanya perasaan ini, anak akan berkembang ke arah sikap maladaptif yang disebut Erikson sebagai impulsiveness (terlalu menuruti kata hati), sebaliknya apabila seorang anak selalu memiliki perasaan malu dan ragu-ragu juga tidak baik, karena akan membawa anak pada sikap malignansi yang disebut Erikson 66 compulsiveness. Sifat inilah yang akan membawa anak selalu menganggap bahwa keberadaan mereka selalu bergantung pada apa yang mereka lakukan, karena itu segala sesuatunya harus dilakukan secara sempurna. Apabila tidak dilakukan dengan sempurna maka mereka tidak dapat menghindari suatu kesalahan yang dapat menimbulkan adanya rasa malu dan ragu-ragu. Jikalau dapat mengatasi krisis antara kemandirian dengan rasa malu dan ragu-ragu dapat diatasi atau jika diantara keduanya terdapat keseimbangan, maka nilai positif yang dapat dicapai yaitu adanya suatu kemauan atau kebulatan tekad. Ritualisasi yang dialami oleh anak pada tahap ini yaitu dengan adanya sifat bijaksana dan legalisme. Melalui tahap ini anak sudah dapat mengembangkan pemahamannya untuk dapat menilai mana yang salah dan mana yang benar dari setiap gerak atau perilaku orang lain yang disebut sebagai sifat bijaksana. Sedangkan, apabila dalam pola pengasuhan terdapat penyimpangan maka anak akan memiliki sikap legalisme yakni merasa puas apabila orang lain dapat dikalahkan dan dirinya berada pada pihak yang menang sehingga anak akan merasa tidak malu dan ragu-ragu walaupun pada penerapannya mengarah pada suatu sifat yang negatif yaitu tanpa ampun, dan tanpa rasa belas kasih. Inisiatif vs Kesalahan Tahap ketiga adalah tahap kelamin-lokomotor (genital-locomotor stage) atau yang biasa disebut tahap bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat anak menginjak usia 3 sampai 5 atau 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak terlalu melakukan kesalahan. Masa-masa bermain merupakan masa di mana seorang anak ingin belajar dan mampu belajar terhadap tantangan dunia luar, serta mempelajari kemampuan-kemampuan baru juga merasa memiliki tujuan. Dikarenakan sikap inisiatif merupakan usaha untuk menjadikan sesuatu yang belum nyata menjadi nyata, sehingga pada usia ini orang tua dapat mengasuh anaknya dengan cara mendorong anak untuk mewujudkan gagasan dan ide-idenya. Akan tetapi, semuanya akan terbalik apabila tujuan dari anak pada masa genital ini mengalami hambatan karena dapat mengembangkan suatu sifat yang berdampak kurang baik bagi dirinya yaitu merasa berdosa dan pada klimaksnya mereka seringkali akan merasa bersalah atau malah akan mengembangkan sikap menyalahkan diri sendiri atas apa yang mereka rasakan dan lakukan. Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa, sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu kesalahan. 67 Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan, maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose). Selain itu, ritualisasi yang terjadi pada masa ini adalah masa dramatik dan impersonasi. Dramatik dalam pengertiannya dipahami sebagai suatu interaksi yang terjadi pada seorang anak dengan memakai fantasinya sendiri untuk berperan menjadi seseorang yang berani. Sedangkan impersonasi dalam pengertiannya adalah suatu fantasi yang dilakukan oleh seorang anak namun tidak berdasarkan kepribadiannya. Oleh karena itu, rangakain kata yang tepat untuk menggambarkan masa ini pada akhirnya bahwa keberanian, kemampuan untuk bertindak tidak terlepas dari kesadaran dan pemahaman mengenai keterbatasan dan kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Kerajinan vs Inferioritas Tahap keempat adalah tahap laten yang terjadi pada usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya. Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini. Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang tua maupun guru dalam mengontrol mereka. Kecenderungan maladaptif akan tercermin apabila anak memiliki rasa giat dan rajin terlalu besar yang mana peristiwa ini menurut Erikson disebut sebagai keahlian sempit. Di sisi lain jika anak kurang memiliki rasa giat dan rajin maka akan tercermin malignansi yang disebut dengan kelembaman. Mereka yang mengidap sifat ini oleh Alfred Adler disebut dengan “masalah-masalah inferioritas”. Maksud dari pengertian tersebut yaitu jika seseorang tidak berhasil pada usaha pertama, maka jangan mencoba lagi. Usaha yang sangat baik dalam tahap ini sama seperti tahap-tahap sebelumnya adalah dengan menyeimbangkan kedua karateristik yang ada, dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi. Dalam lingkungan yang ada pola perilaku yang dipelajari pun berbeda dari tahap sebelumnya, anak diharapkan mampu untuk mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara maupun metode yang standar, sehingga anak tidak terpaku pada aturan yang berlaku dan bersifat kaku. Peristiwa tersebut biasanya dikenal 68 dengan istilah formal. Sedangkan pada pihak lain jikalau anak mampu mengerjakan segala sesuatu dengan mempergunakan cara atau metode yang sesuai dengan aturan yang ditentukan untuk memperoleh hasil yang sempurna, maka anak akan memiliki sikap kaku dan hidupnya sangat terpaku pada aturan yang berlaku. Hal inilah yang dapat menyebabkan relasi dengan orang lain menjadi terhambat. Peristiwa ini biasanya dikenal dengan istilah formalism. Identitas vs Kekacauan Identitas Tahap kelima merupakan tahap adolesen (remaja), yang dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 18 atau 20 tahun. Pencapaian identitas pribadi dan menghindari peran ganda merupakan bagian dari tugas yang harus dilakukan dalam tahap ini. Menurut Erikson masa ini merupakan masa yang mempunyai peranan penting, karena melalui tahap ini orang harus mencapai tingkat identitas ego, dalam pengertiannya identitas pribadi berarti mengetahui siapa dirinya dan bagaimana cara seseorang terjun ke tengah masyarakat. Lingkungan dalam tahap ini semakin luas tidak hanya berada dalam area keluarga, sekolah namun dengan masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Masa pubertas terjadi pada tahap ini, kalau pada tahap sebelumnya seseorang dapat menapakinya dengan baik maka segenap identifikasi di masa kanak-kanak diintrogasikan dengan peranan sosial secara aku, sehingga pada tahap ini mereka sudah dapat melihat dan mengembangkan suatu sikap yang baik dalam segi kecocokan antara isi dan dirinya bagi orang lain, selain itu juga anak pada jenjang ini dapat merasakan bahwa mereka sudah menjadi bagian dalam kehidupan orang lain. Semuanya itu terjadi karena mereka sudah dapat menemukan siapakah dirinya. Identitas ego merupakan kulminasi nilai-nilai ego sebelumnya yang merupakan ego sintesis. Dalam arti kata yang lain pencarian identitas ego telah dijalani sejak berada dalam tahap pertama/bayi sampai seseorang berada pada tahap terakhir/tua. Oleh karena itu, salah satu point yang perlu diperhatikan yaitu apabila tahap-tahap sebelumnya berjalan kurang lancar atau tidak berlangsung secara baik, disebabkan anak tidak mengetahui dan memahami siapa dirinya yang sebenarnya ditengah-tengah pergaulan dan struktur sosialnya, inilah yang disebut dengan identity confusion atau kekacauan identitas. Akan tetapi di sisi lain jika kecenderungan identitas ego lebih kuat dibandingkan dengan kekacauan identitas, maka mereka tidak menyisakan sedikit ruang toleransi terhadap masyarakat yang bersama hidup dalam lingkungannya. Erikson menyebut maladaptif ini dengan sebutan fanatisisme. Orang yang berada dalam sifat fanatisisme ini menganggap bahwa pemikiran, cara maupun jalannyalah yang terbaik. Sebaliknya, jika kekacauan identitas lebih kuat dibandingkan dengan identitas ego maka Erikson menyebut malignansi ini dengan sebutan pengingkaran. Orang yang memiliki sifat ini mengingkari keanggotaannya di dunia orang dewasa atau masyarakat akibatnya mereka akan mencari identitas di tempat lain yang merupakan bagian dari kelompok yang menyingkir dari tuntutan sosial yang mengikat serta mau menerima dan mengakui mereka sebagai bagian dalam kelompoknya. Kesetiaan akan diperoleh sebagai nilai positif yang dapat dipetik dalam tahap ini, jikalau antara identitas ego dan kekacauan identitas dapat berlangsung secara seimbang, yang mana kesetiaan memiliki makna tersendiri yaitu kemampuan hidup berdasarkan 69 standar yang berlaku di tengah masyarakat terlepas dari segala kekurangan, kelemahan, dan ketidakkonsistennya. Keintiman vs Isolasi Tahap pertama hingga tahap kelima sudah dilalui, maka setiap individu akan memasuki jenjang berikutnya yaitu pada masa dewasa awal yang berusia sekitar 2030 tahun. Jenjang ini menurut Erikson adalah ingin mencapai kedekatan dengan orang lain dan berusaha menghindar dari sikap menyendiri. Periode diperlihatkan dengan adanya hubungan spesial dengan orang lain yang biasanya disebut dengan istilah pacaran guna memperlihatkan dan mencapai kelekatan dan kedekatan dengan orang lain. Di mana muatan pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung arti adanya kerja sama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi, peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa terisolasi. Erikson menyebut adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam periode ini ialah rasa cuek, di mana seseorang sudah merasa terlalu bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memperdulikan dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang yang kita cintai/kekasih sekalipun. Sementara dari segi lain/malignansi Erikson menyebutnya dengan keterkucilan, yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi/menutup diri sendiri dari cinta, persahabatan dan masyarakat, selain itu dapat juga muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan kesepian yang dirasakan. Oleh sebab itu, kecenderungan antara keintiman dan isoalasi harus berjalan dengan seimbang guna memperoleh nilai yang positif yaitu cinta. Dalam konteks teorinya, cinta berarti kemampuan untuk mengenyampingkan segala bentuk perbedaan dan keangkuhan lewat rasa saling membutuhkan. Wilayah cinta yang dimaksudkan di sini tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain. Ritualisasi yang terjadi pada tahap ini yaitu adanya afiliasi dan elitisme. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun dengan sahabat, kekasih, dan lain-lain. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain. Generativitas vs Stagnasi Masa dewasa (dewasa tengah) berada pada posisi ke tujuh, dan ditempati oleh orang-orang yang berusia sekitar 30 sampai 60 tahun. Apabila pada tahap pertama sampai dengan tahap ke enam terdapat tugas untuk dicapai, demikian pula pada masa ini dan salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas) dengan tidak berbuat apa-apa (stagnasi). Generativitas adalah perluasan cinta ke masa depan. Sifat ini adalah kepedulian terhadap generasi yang akan datang. Melalui generativitas akan dapat dicerminkan sikap memperdulikan orang lain. Pemahaman ini sangat jauh berbeda dengan arti kata stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri dan sikap yang dapat digambarkan dalam stagnasi ini adalah tidak perduli terhadap siapapun. Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu peduli, sehingga mereka tidak 70 punya waktu untuk mengurus diri sendiri. Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, di mana seseorang tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya akibat dari semua itu kehadirannya ditengah-tengah area kehiduannya kurang mendapat sambutan yang baik. Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya keseimbangan antara generativitas dan stagnansi guna mendapatkan nilai positif yang dapat dipetik yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan otoritisme. Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan diantara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan baik dan menyenangkan. Integritas vs Keputusasaan Tahap terakhir dalam teorinya Erikson disebut tahap usia senja yang diduduki oleh orang-orang yang berusia sekitar 60 atau 65 ke atas. Dalam teori Erikson, orang yang sampai pada tahap ini berarti sudah cukup berhasil melewati tahap-tahap sebelumnya dan yang menjadi tugas pada usia senja ini adalah integritas dan berupaya menghilangkan putus asa dan kekecewaan. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dilewati menurut pemandangan sebagian orang dikarenakan mereka sudah merasa terasing dari lingkungan kehidupannya, karena orang pada usia senja dianggap tidak dapat berbuat apa-apa lagi atau tidak berguna. Kesulitan tersebut dapat diatasi jika di dalam diri orang yang berada pada tahap paling tinggi dalam teori Erikson terdapat integritas yang memiliki arti tersendiri yakni menerima hidup dan oleh karena itu juga berarti menerima akhir dari hidup itu sendiri. Namun, sikap ini akan bertolak belakang jika didalam diri mereka tidak terdapat integritas yang mana sikap terhadap datangnya kecemasan akan terlihat. Kecenderungan terjadinya integritas lebih kuat dibandingkan dengan kecemasan dapat menyebabkan maladaptif yang biasa disebut Erikson berandai-andai, sementara mereka tidak mau menghadapi kesulitan dan kenyataan di masa tua. Sebaliknya, jika kecenderungan kecemasan lebih kuat dibandingkan dengan integritas maupun secara malignansi yang disebut dengan sikap menggerutu, yang diartikan Erikson sebagai sikap sumpah serapah dan menyesali kehidupan sendiri. Oleh karena itu, keseimbangan antara integritas dan kecemasan itulah yang ingin dicapai dalam masa usia senja guna memperoleh suatu sikap kebijaksanaan. PENUTUP Pada dasarnya pusat dari perumusan konsep Erikson meliputi beberapa bagian yang dianggap memiliki aspek penting seiring berjalannya roda dalam kehidupan manusia yaitu : Identitas ego yang menurut Erikson berarti bahwa perkembangan setiap individu adalah di dalam kerangka lingkungan dan budaya di mana setiap individu dapat menemukan dirinya yang sebenarnya. 71 Langkah-langkah guna mengembangkan psikososial yang epigenetik. Pada awalnya teori Erikson bermula dari teori Freud mengenai psikoseksual namun kemudian dikembangkan oleh Erikson ke luar dari pendapat tersebut dengan mempertimbangkan perkembangan ego dalam konteks psikososial. Perkembangan hidup manusia pada dasarnya berawal atau beredar dari masa bayi sampai masa usia senja/tua sesuai dengan delapan tahap perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson. Kekuatan ego, yang menandai masing-masing delapan langkah-langkah perkembangan manusia adalah kebaikan seperti harapan, akan tujuan dan kebijaksanaan. Hal lain yang menurut Erikson penting bahwa apabila kecenderungan dari segi positif yang diinginkan tidak dapat dicapai dalam tahap sebelumnya, maka pada tahaptahap sesudahnya semua itu dapat terulang kembali untuk dapat diraih dan dikembangkan. Setelah mempelajari teori perkembangan kepribadian Erikson ada hal positif dan negatif yang muncul mengenai Teori Psikososial dari Erik Erikson yaitu bahwa pencetus ide dalam teori ini, dalam hal ini Erikson setidak-tidaknya berhasil memberi arah perkembangan kepribadian yaitu guna pencapaian identitas ego berikut pematangannya. Dan hal ini diterangkan maupun dipaparkan oleh Erikson secara baik dan lengkap melalui delapan tahap yang ada. Sedangkan dari sisi negatifnya bahwa Erikson menetapkan hubungan antar tahap agak mengikat, seolaholah tahap sebelumnya begitu menentukan secara langsung kualitas dan kuantitas pada tahap berikutnya. KOGNISI Kognisi adalah kepercayaan seseorang tentang sesuatu yang didapatkan dari proses berpikir tentang seseorang atau sesuatu. Proses yang dilakukan adalah memperoleh pengetahuan dan memanipulasi pengetahuan melalui aktivitas mengingat, menganalisis, memahami, menilai, menalar, membayangkan dan berbahasa. Kapasitas atau kemampuan kognisi biasa diartikan sebagai kecerdasan atau inteligensi. Bidang ilmu yang mempelajari kognisi beragam, di antaranya adalah psikologi, filsafat, komunikasi, neurosains, serta kecerdasan buatan. Kepercayaan/ pengetahuan seseorang tentang sesuatu dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku/ tindakan mereka terhadap sesuatu. Merubah pengetahuan seseorang akan sesuatu dipercaya dapat merubah perilaku mereka. Sejarah Istilah kognisi berasal dari bahasa latin cognoscere yang artinya mengetahui. Kognisi dapat pula diartikan sebagai pemahaman terhadap pengetahuan atau kemampuan untuk memperoleh pengetahuan. Istilah ini digunakan oleh filsuf untuk mencari pemahaman terhadap cara manusia berpikir. Karya Plato dan Aristotle telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan tujuan filsafat adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman dari manusia itu sendiri. Kognisi dipahami 72 sebagai proses mental karena kognisi mencermikan pemikiran dan tidak dapat diamati secara langsung. Oleh karena itu kognisi tidak dapat diukur secara langsung, namun melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Misalnya kemampuan anak untuk mengingat angka dari 1-20, atau kemampuan untuk menyelesaikan tekateki, kemampuan menilai perilaku yang patut dan tidak untuk diimitasi. Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai kognisi maka berkembanglah psikologi kognitif yang menyelidiki tentang proses berpikir manusia. Proses berpikir tentunya melibatkan otak dan saraf-sarafnya sebagai alat berpikir manusia oleh karena itu untuk menyelidiki fungsi otak dalam berpikir maka berkembanglah neurosains kognitif. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh kedua bidang ilmu tersebut banyak dimanfaatkan oleh ilmu robot dalam mengembangkan kecerdasan buatan. Fungsi-fungsi kognisi 1) Atensi dan kesadaran Atensi adalah pemrosesan secara sadar sejumlah kecil informasi dari sejumlah besar informasi yang tersedia. Informasi didapatkan dari penginderaan, ingatan dan proses kognitif lainnya. Atensi terbagi menjadi atensi terpilih (selective attention)dan atensi terbagi (divided attention). Kesadaran meliputi perasaan sadar maupun hal yang disadari yang mungkin merupakan fokus dari atensi. 2) Persepsi Persepsi adalah rangkaian proses pada saat mengenali, mengatur dan memahami sensasi dari panca indera yang diterima dari rangsang lingkungan. Dalam kognisi rangsang visual memegang peranan penting dalam membentuk persepsi. Proses kognitif biasanya dimulai dari persepsi yang menyediakan data untuk diolah oleh kognisi. 3) Ingatan Ingatan adalah saat manusia mempertahankan dan menggambarkan pengalaman masa lalunya dan menggunakan hal tersebut sebagai sumber informasi saat ini. Proses dari mengingat adalah menyimpan suatu informasi, mempertahankan dan memanggil kembali informasi tersebut. Ingatan terbagi dua menjadi ingatan implisit dan eksplisit. Proses tradisional dari mengingat melalui pendataan penginderaan, ingatan jangka pendek dan ingatan jangka panjang. 4) Bahasa Bahasa adalah menggunakan pemahaman terhadap kombinasi kata dengan tujuan untuk berkomunikasi. Adanya bahasa membantu manusia untuk berkomunikasi dan menggunakan simbol untuk berpikir hal-hal yang abstrak dan tidak diperoleh melalui penginderaan. Dalam mempelajari interaksi pemikiran manusia dan bahasa dikembangkanlah cabang ilmu psikolinguistik 5) Pemecahan masalah dan kreativitas 73 Pemecahan masalah adalah upaya untuk mengatasi hambatan yang menghalangi terselesaikannya suatu masalah atau tugas. Upaya ini melibatkan proses kreativitas yang menghasilkan suatu jalan penyelesaian masalah yang orisinil dan berguna. Pengambilan keputusan dan penalaran Dalam melakukan pengambilan keputusan manusia selalu mempertimbangkan penilaian yang dimilikinya. Misalnya seseorang membeli motor berwarna merah karena kepentingan mobilitasnya, dan kesenangannya terhadap warna merah. Proses dari pengambilan keputusan ini melibatkan banyak pilihan. Untuk itu manusia menggunakan penalaran untuk mengambil keputusan. penalaran adalah proses evaluasi dengan menggunakan pembayangan dari prinsip-prinsip yang ada dan faktafakta yang tersedia. 74 V SOSIOLOGI Pada abad ke-19 seorang ahli filsafat Auguste Comte mengenalkan istilah sosiologi. Sosiologi berasal dari kata latin socius yang berarti kawan dan kata logos yang berarti kata atau berbicara. Jadi sosiologi berarti berbicara mengenai masyarakat. Pitirim Sorokin mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral) dan gejala sosial dengan gejala-gejala non-sosial (misalnya gejala geografis, biologis). Selo Soemardjan menyatakan bahwa sosiologi ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan prosesproses sosial, termasuk perubahan sosial. Obyek sosiologi adalah masyarakat (society) yang didefinisikan oleh Selo Soemardjan adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Interaksi sosial sebagai faktor utama dalam kehidupan sosial Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial oleh karena tanpa interaksi sosial tak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial baru akan terjadi jika memenuhi dua syarat, yaitu : Adanya kontak sosial Adanya komunikasi Bentuk-bentuk interaksi sosial Bentuk-bentuk interaksi sosial dapat berupa kerja sama (cooperation), persaingan (competition), dan bahkan dapat juga berbentuk pertentangan/pertikaian (conflict). Suatu pertikaian mungkin mendapatkan suatu penyelesaian. Mungkin penyelesaian tersebut hanya akan dapat diterima untuk sementara waktu, proses ini dinamakan akomodasi (accomodation) dan ini berarti bahwa kedua belah pihak belum tentu puas sepenuhnya. Kelompok-kelompok sosial Tipe-tipe kelompok sosial dapat diklasifikasikan dari beberapa sudut atau dasar ukuran yaitu : Besar-kecilnya anggota Derajat interaksi sosial Kepentingan dan wilayah Kesamaan tujuan Derajat organisasi Kelompok primer (primary group) merupakan kelompok sosial yang paling sederhana dimana anggotanya saling mengenal dan ada kerjasama yang erat. Kelompok sekunder (secondary group) adalah kelompok yang terdiri dari banyak orang, antara siapa hubungannya tidak perlu berdasarkan pengenalan secara pribadi dan sifatnya juga tidak begitu langgeng. 75 Paguyuban (gemeinschaft) adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta kekal. Dasar hubungan tersebut adalah rasa cinta dan rasa persatuan batin yang telah dikodratkan. Misalnya, keluarga, kelompok kekerabatan, rukun tetangga. Patembayan (gesellschaft) adalah ikatan lahir yang bersifat pokok dan biasanya untuk jangka pendek. Ia bersifat sebagai suatu bentuk dalam pikiran belaka. Misalnya, ikatan antar pedagang, organisasi dalam suatu pabrik. Formal group adalah kelompok yang mempunyai peraturan tegas dan sengaja diciptakan oleh anggotanya untuk mengatur hubungan antar sesamanya. Misalnya, partai politik, organisasi. Informal group tidak mempunyai struktur dan organisasi tertentu atau yang pasti. Kelompok-kelompok tersebut biasanya terbentuk karena pertemuan-pertemuan yang berulangkali, yang menjadi dasar bertemunya kepentingan-kepentingan dan pengalaman yang sama. Misalnya, adalah klik (clique) suatu kelompok kecil tanpa struktur formal yang sering timbul dalam kelompok-kelompok besar. Klik tersebut ditandai dengan adanya pertemuan-pertemuan timbal balik antar anggota, biasanya hanya bersifat “antara kita” saja. Membership group merupakan suatu kelompok dimana setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok tersebut. Reference group ialah kelompok-kelompok sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok tersebut) untuk membentuk pribadi dan perilakunya. Misalnya seorang anggota partai politik yang kebetulan menjadi anggota DPR. DPR merupakan membership group baginya, akan tetapi jiwa dan jalan pikirannya tetap terikat pada reference group-nya yaitu partainya. Community (masyarakat setempat) menunjuk pada bagian masyarakat yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan batas-batas tertentu, dimana faktor utama yang menjadi dasarnya adalah interaksi yang lebih besar diantara anggota dibandingkan dengan interaksi dengan penduduk di luar batas wilayahnya. Kelompok-kelompok sosial yang tidak teratur Kerumunan (crowd) adalah individu-individu yang berkumpul secara kebetulan di suatu tempat dan juga pada waktu yang bersamaan. Bentuk-bentuk kerumunan : Khalayak penonton atau pendengar yang formal (formal audiences) Kelompok ekspresif yang telah direncanakan (planned expressive group) Kumpulan yang kurang menyenangkan (inconvenient aggregations) Kerumunan orang-orang yang sedang dalam keadaan panik (panic crowds) Kerumunan penonton (spectator crowds) Kerumunan yang bertindak emosional (acting mobs) Kerumunan yang bersifat immoral (immoral crowds) 76 Stratifikasi Sosial Sistem lapisan dalam masyarakat dikenal dengan istilah social stratification yang merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat (hirarkis). Adanya sistem lapisan masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya (dalam proses pertumbuhan masyarakat itu) tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Ukuran-ukuran yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan adalah : Ukuran kekayaan Ukuran kekuasaan Ukuran kehormatan Ukuran ilmu pengetahuan Kebudayaan Kebudayaan adalah semua hasil dari karya, rasa, dan cita-cita masyarakat. Oleh C.Kluckhohn menyimpulkan adanya 7 unsur kebudayaan yang dianggap sebagai cultural-universals, yaitu : Peralatan dan perlengkapan hidup manusia Mata pencaharian hidup dan sistem-sistem ekonomi Sistem kemasyarakatan Bahasa Kesenian Sistem pengetahuan Religi Kebudayaan berguna bagi manusia yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan antar manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan manusia. Pembentukan kepribadian individu dipengaruhi oleh faktor-faktor kebudayaan, organisme biologis, lingkungan alam, dan lingkungan sosial individu tersebut. Tak ada kebudayaan yang statis, setiap kebudayaan mempunyai dinamika. Gerak tersebut merupakan akibat dari gerak masyarakat yang menjadi wadah kebudayaan. Perubahan Sosial Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola-pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Faktor-faktor yang mendorong jalannya proses perubahan adalah : Kontak dengan kebudayaan lain Sistem pendidikan yang maju Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan-keinginan untuk maju Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan menyimpang 77 Sistem lapisan masyarakat yang terbuka Penduduk yang heterogen Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu Orientasi ke muka Nilai meningkatkan taraf hidup Faktor-faktor yang menghambat terjadinya perubahan adalah : Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain Perkembangan ilmu pengetahuan yang terhambat Sikap masyarakat yang tradisionalistis Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan Prasangka terhadap hal-hal yang baru/asing Hambatan ideologis Kebiasaan Nilai pasrah Masalah dan Manfaat Sosiologi Masalah sosial adalah ketidaksesuaian antara unsur-unsur dalam kebudayaan atau masyarakat yang membahayakan hidupnya kelompok sosial. Atau menghambat terpenuhinya keinginan-keinginan pokok para warga kelompok sosial sehingga menyebabkan rusaknya ikatan sosial. Beberapa masalah sosial yang penting adalah : Kemiskinan, sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan ukuran kehidupan kelompoknya dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisiknya dalam kelompok tersebut Kejahatan Disorganisasi keluarga, yaitu suatu perpecahan dalam keluarga sebagai unit oleh karena anggota-anggota keluarga tersebut gagal memenuhi kewajiban-kewajibannya yang sesuai dengan peranan sosialnya Masalah generasi muda Peperangan Pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat Masalah kependudukan Masalah lingkungan Birokrasi Sosiologi mempunyai kegunaan bagi proses pembangunan dalam hal-hal sebagai berikut: a) i. ii. iii. iv. b) Tahap perencanaan untuk mengidentifikasi Kebutuhan-kebutuhan sosial Lapisan sosial Pusat-pusat kekuasaan Sistem dan saluran-saluran komunikasi sosial Tahap pelaksanaan 78 i. Identifikasi terhadap kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat ii. Pengamatan terhadap perubahan-perubahan sosial yang terjadi c) Tahap evaluasi Analisis terhadap efek-efek sosial pembangunan 79 VI IDEOLOGI Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Ideologi adalah suatu ilmu yang berkaitan dengan cita-cita yang terdiri atas seperang kat gagasan-gagasan atau pemikiran manu sia mengenai soal-soal cita politik, doktrin atau ajaran, nilainilai yang berhubungan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Profesor Lowenstein “ideologi adalah suatu penyelarasan dan penggabung an pola pikiran dan kepercayaan, atau pemikiran bertukar menjadi kepercayaan, penerangan sikap manusia tentang hidup dan kehadirannya dalam masyarakat dan mengusulkan suatu kepemimpinan dan memperseimbangkannya berdasarkan pemikiran dan kepercayaan itu”. Menurut Sastrapratedja, ideologi adalah seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Ideologi merupakan gambaran dari : • Sejauh mana masyarakat berhasil memahami dirinya sendiri. • Lukisan tentang kemampuannya memberikan harapan kepada berbagai kelompok/ golongan yang ada pada masyarakat untuk mempunyai kehidupan bersama secara lebih baik dan untuk membangun masa depan yang lebih cerah. • Kemampuan mempengaruhi sekaligus menyesuaikan diri dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat. Fungsi Ideologi : • Memberi struktur kognitif, pengetahuan ma- nusia sebagai landasan untuk memahami dan menafsirkan dunia dan kejadian-kejadiannya dalam alam sekitarnya. • Orientasi dasar dengan membuka wawasan yang memberikan makna serta menunjuk-kan tujuan dalam kehidupan manusia. • Norma-norma yang menjadi pedoman dan pegangan bagi seseorang untuk melangkah dan bertindak. • Memberikan bekal dan jalan seseorang untuk menemukan identitasnya. • Kekuatan yang mampu menyemangati dan mendorong seseorang untuk menjalankan kegiatan dan mencapai tujuan. • Pendidikan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami, menghayati serta memolakan tingkah lakunya sesuai dengan orientasi dan norma-norma yang terkandung di dalamnya. 80 Bentuk-bentuk ideologi Menurut Karl manheim yang beraliran Marx secara sosiologis ideologi dibedakan menjadi 2 yaitu, ideologi yang bersifat partikular dan ideologi yang bersifat komprehensif. 1) Ideologi partikular Nilai-nilai dan cita-cita merupakan suatu keyakinan-keyakinan yang tersusun secara sistematis dan terkait erat dengan kepentingan kelas sosial tertentu Hubungan penguasa dengan rakyat pada negara komunis membela kaum proletar sedangkan, pada negara liberal membela kebebasan individu 2) Ideologi komprehensif Mengakomodasi nilai-nilai dan cita-cita yang bersifat menyeluruh tanpa berpihak pada golongan tertentu atau melakukan transformasi sosial secara besar-besaran menuju bentuk tertentu Negara mengakomodasi berbagai idealisme yang berkembang dalam masyarakat yang bersifat majemuk seperti Indonesia dengan ideologi Pancasila Pada konsep yang lain ideologi dibagi menjadi 2 bentuk yaitu, ideologi terbuka dan ideologi tertutup. a) Ideologi terbuka Memiliki ciri khas nilai-nilai dan cita-cita digali dari kekayaan adat istiadat, budaya dan religius masyarakatnya. Menerima reformasi Penguasa bertanggungjawab pada masyarakat sebagai pengemban amanah rakyat b) Ideologi tertutup Nilai-nilai dan cita-cita dihasilkan dari pemikiran individu atau kelompok yang berkuasa dan masyarakat berkorban demi ideologinya Menolak reformasi Masyarakat harus taat kepada ideologi elit penguasa Totaliter Jenis-jenis Ideologi 1) Anarkisme Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan. Teori politik Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis (baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah format 81 yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Anarkis melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Anarkisme dan kekerasan Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani. Yang sangat sarat akan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara. Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun. Varian-varian anarkisme Anarkisme, yang besar dan kemudian berbeda jalur dengan Marxisme, bukan merupakan suatu ideologi yang tunggal. Di dalam anarkisme sendiri banyak aliranaliran pemikiran yang cukup berbeda satu dengan yang lain. Perbedaan itu terutama dalam hal penekanan dan prioritas pada suatu aspek. Aliran-aliran dan pemikiranpemikiran yang berbeda di dalam Anarkisme adalah suatu bentuk dari berkembangnya ideologi ini berdasarkan perbedaan latar belakang tokoh, peristiwaperistiwa tertentu dan tempat/lokasi dimana aliran itu berkembang. Anarkisme-kolektif Kelompok anarkisme-kolektif sering diasosiasikan dengan kelompok anti-otoritarian pimpinan Mikhail Bakunin yang memisahkan diri dari Internationale I. Kelompok ini kemudian membentuk pertemuan sendiri di St. Imier (1872). Disinilah awal perbedaan antara kaum anarkis dengan Marxis, diman sejak saat itu kaum anarkis menempuh jalur perjuangan yang berbeda dengan kaum Marxis. Perbedaan itu terutama dalam hal persepsi terhadap negara. Doktrin utama dari anarkis-kolektif adalah "penghapusan segala bentuk negara" dan "penghapusan hak milik pribadi dalam pengertian proses produksi". Doktrin pertama merupakan terminologi umum anarkisme, tetapi kemudian diberikan penekanan pada istilah "kolektif" oleh Bakunin sebagai perbedaan terhadap ide negara sosialis yang dihubungkan dengan kaum Marxis. Sedangkan pada doktrin kedua, anarkis-kolektif mengutamakan penghapusan 82 adanya segala bentuk hak milik yang berhubungan dengan proses produksi dan menolak hak milik secara kolektif yang dikontrol oleh kelompok tertentu. Menurut mereka, pekerja seharusnya dibayar berdasarkan jumlah waktu yang mereka kontribusikan pada proses produksi dan bukan "menurut apa yang mereka inginkan". Pada tahun 1880-an, para pendukung anarkis kebanyakan mengadopsi pemikiran anarkisme-komunis, suatu aliran yang berkembang terutama di Italia setelah kematian Bakunin. Ironisnya, label "kolektif" kemudian secara umum sering diasosiasikan dengan konsep Marx tentang negara sosialis. Anarkisme-komunis William Godwin menjadi orang pertama yang memberikan bentuk yang jelas mengenai filsafat anarkisme dan meletakannya dalam konteks proses evolusi sosial pada saat itu. Karya tersebut, boleh kita bilang adalah ‘buah matang’ yang merupakan hasil daripada evolusi yang panjang dalam perkembangan konsep politik dan sosial radikal di Inggris. William Godwin menyadari bahwa sebab-sebab penyakit sosial dapat ditemukan bukanlah dalam bentuk negara tetapi karena adanya negara itu. Pada saat ini, negara hanyalah merupakan karikatur masyarakat, dan manusia yang ada dalam cengkraman negara ini hanyalah merupakan karikatur diri mereka karena manusia-manusia ini digalakkan untuk menyekat ekspresi alami mereka dan untuk melakukan tindakan-tindakan yang merusak akhlaknya. Hanya dengan caracara tersebut, manusia dapat dibentuk menjadi hamba yang taat. Ide Godwin mengenai masyarakat tanpa negara mengasumsikan hak sosial untuk semua kekayaan alam dan sosial, dan kegiatan ekonomi akan dijalankan berdasarkan kooperasi bebas diantara produsen-produsen; dengan idenya, Godwin menjadi penemu Anarkisme Komunis. Berbeda dengan anarkisme-kolektif yang masih mempertahankan upah buruh berdasarkan kontribusi mereka terhadap produksi, anarkisme-komunis memandang bahwa setiap individu seharusnya bebas memperoleh bagian dari suatu hak milik dalam proses produksi berdasarkan kebutuhan mereka. Kelompok anarkismekomunis menekankan pada egalitarianism (persamaan), penghapusan hirarki sosial (social hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik pribadi adalah hal-hal yang tidak seharusnya eksis dalam anarkisme-komunis. Setiap orang dan kelompok berhak dan bebas untuk berkontribusi pada produksi dan juga untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan pilihannya sendiri. Anarko-Sindikalisme Salah satu aliran yang berkembang cukup subur di dalam lingkungan anarkisme adalah kelompok anarko-sindikalisme. Tokoh yang terkenal dalam kelompok anarkosindikalisme antara lain Rudolf Rocker, ia juga pernah menjelaskan ide dasar dari pergerakan ini, apa tujuannya, dan kenapa pergerakan ini sangat penting bagi masa depan buruh dalam pamfletnya yang berjudul Anarchosyndicalism pada tahun 1938.[6] Pada awalnya, Bakunin juga adalah salah satu tokoh dalam anarkisme yang gerakan-gerakan buruhnya dapat disamakan dengan orientasi kelompok anarkosindikalisme, tetapi Bakunin kemudian lebih condong pada anarkisme-kolektif. 83 Anarko-sindikalisme adalah salah satu cabang anarkisme yang lebih menekankan pada gerakan buruh (labour movement). Sindikalisme, dalam bahasa Perancis, berarti “trade unionism”. Kelompok ini berpandangan bahwa serikat-serikat buruh (labor unions) mempunyai kekuatan dalam dirinya untuk mewujudkan suatu perubahan sosial secara revolusioner, mengganti kapitalisme serta menghapuskan negara dan diganti dengan masyarakat demokratis yang dikendalikan oleh pekerja. Anarkosindikalisme juga menolak sistem gaji dan hak milik dalam pengertian produksi. Dari ciri-ciri yang dikemukakan diatas, anarko-sindikalisme sepertinya tidak mempunyai perbedaan dengan kelompok-kelompok anarkisme yang lain. Prinsip-prinsip dasar yang membedakan anarko-sindikalisme dengan kelompok lainnya dalam anarkisme adalah : (1) Solidaritas pekerja (Workers Solidarity); (2) Aksi langsung (direct action); dan (3) Manajemen-mandiri buruh (Workers self-management). Anarkisme individualisme Anarkisme individualisme atau Individual-anarkisme adalah salah satu tradisi filsafat dalam anarkisme yang menekankan pada persamaan kebebasan dan kebebasan individual. Konsep ini umumnya berasal dari liberalisme klasik. Kelompok individualanarkisme percaya bahwa "hati nurani individu seharusnya tidak boleh dibatasi oleh institusi atau badan-badan kolektif atau otoritas publik". Karena berasal dari tradisi liberalisme, individual-anarkisme sering disebut juga dengan nama "anarkisme liberal". Tokoh-tokoh yang terlibat dalam individual-anarkisme antara lain adalah Max Stirner, Josiah Warren, Benjamin Tucker, John Henry Mackay, Fred Woodworth, dan lain-lain. Kebanyakan dari tokoh-tokoh individual-anarkisme berasal dari Amerika Serikat, yang menjadi basis liberalisme. Dan oleh karena itu pandangan mereka terhadap konsep individual-anarkisme kebanyakan dipengaruhi juga oleh alam pemikiran liberalisme. Individual-anarkisme sering juga disebut "anarkisme-egois". Selain aliran-aliran yang disebut diatas, masih banyak lagi aliran lain yang memakai pemikiran anarkisme sebagai dasarnya. Antara lain : Post-Anarchism, yang dikembangkan oleh Saul Newman dan merupakan sintesis antara teori anarkisme klasik dan pemikiran post-strukturalis. Anarki pasca-kiri, yang merupakan sintesis antara pemikiran anarkisme dengan gerakan anti-otoritas revolusioner diluar pemikiran “kiri” mainstream. Anarka-Feminisme, yang lebih menekankan pada penolakan pada konsep patriarka yang merupakan perwujudan hirarki kekuasaan. Tokohnya antara lain adalah Emma Goldman. Eko-Anarkisme dan Anarkisme Hijau, yang lebih menekankan pada lingkungan. Anarkisme insureksioner, yang merupakan gerakan anarkis yang menentang segala organisasi anarkis dalam bentuk yang formal, seperti serikat buruh, maupun federasi. Anarkisme dan Agama Anarkis-kristen Dalam agama Kristen, konsep yang dipakai oleh kaum anarkis-kristen adalah berdasarkan konsep bahwa hanya Tuhan yang mempunyai otoritas dan kuasa di dunia ini dan menolak otoritas negara, dan juga gereja, sebagai manifestasi 84 kekuasaan Tuhan. Dari konsep ini kemudian berkembang konsep-konsep yang lain misalnya pasifisme (anti perang), non-violence (anti kekerasan), abolition of state control (penghapusan kontrol negara), dan tax resistance (penolakan membayar pajak). Semuanya itu dalam konteks bahwa kekuasaan negara tidak lagi eksis di bumi dan oleh karena itu harus ditolak. Tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi dalam perkembangan gerakan anarkis-kristen antara lain : Soren Kierkegaard, Henry David Thoreau, Nikolai Berdyaev, Leo Tolstoy, dan Adin Ballou. Anarkisme dan Islam Dalam agama Islam, kelompok anarkisme melakukan interpretasi terhadap konsep bahwa Islam adalah agama yang bercirikan penyerahan total terhadap Allah (bahasa Arab allāhu )ا هلل, yang berarti menolak peran otoritas manusia dalam bentuk apapun. Anarkis-Islam menyatakan bahwa hanya Allah yang mempunyai otoritas di bumi ini serta menolak ketaatan terhadap otoritas manusia dalam bentuk fatwa atau imam. Hal ini merupakan elaborasi atas konsep “tiada pemaksaan dalam beragama”. Konsep anarkisme-islam kemudian berkembang menjadi konsep-konsep lainnya yang mempunyai kemiripan dengan ideologi sosialis seperti pandangan terhadap hak milik, penolakan terhadap riba, penolakan terhadap kekerasan dan mengutamakan selfdefense, dan lain-lain. Salah seorang tokoh muslim anarkis yang berpengaruh yaitu Peter Lamborn Wilson, yang selalu menggunakan nama pena Hakim Bey. Dia mengkombinasikan ajaran sufisme dan neo-pagan dengan anarkisme dan situasionisme. Kritik atas anarkisme Baik secara teori ataupun praktek, anarkisme telah menimbulkan perdebatan dan kritik-kritik atasnya. Beberapa kritik dilontarkan oleh lawan utama dari anarkisme seperti pemerintah. Beberapa kritik lainnya bahkan juga dilontarkan oleh para anarkis sendiri serta ada juga yang muncul dari kalangan kaum kiri otoritarian seperti yang dilontarkan oleh kalangan marxisme. Kritik biasanya dilontarkan sekitar permasalahan idealisme anarkisme yang mustahil dapat diterapkan di dunia nyata, seperti apa yang banyak dipecaya oleh para anarkis mengenai ajaran bahwa manusia pada dasarnya baik dan bisa menggalang solidaritas kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia tanpa penindasan oleh sebagiannya yang hal tersebut banyak dibantah oleh para ekonom. Dan juga mengenai ajaran bahwa setiap manusia lahir bebas setara yang juga dibantah oleh para pakar sosiolog. 2) Sosialisme Istilah sosialisme atau sosialis dapat mengacu ke beberapa hal yang berhubungan dengan ideologi atau kelompok ideologi, sistem ekonomi, dan negara. Istilah ini mulai digunakan sejak awal abad ke-19. Dalam bahasa Inggris, istilah ini digunakan pertama kali untuk menyebut pengikut Robert Owen pada tahun 1827. Di Perancis, istilah ini mengacu pada para pengikut doktrin Saint-Simon pada tahun 1832 yang dipopulerkan oleh Pierre Leroux dan J. Regnaud dalam l'Encyclopédie Nouvelle. Penggunaan istilah sosialisme sering digunakan dalam berbagai konteks yang berbeda-beda oleh berbagai kelompok, tetapi hampir semua sepakat bahwa istilah ini berawal dari pergolakan kaum buruh industri dan buruh tani pada abad ke-19 85 hingga awal abad ke-20 berdasarkan prinsip solidaritas dan memperjuangkan masyarakat egalitarian yang dengan sistem ekonomi menurut mereka dapat melayani masyarakat banyak daripada hanya segelintir elite. Menurut penganut Marxisme, terutama Friedrich Engels, model dan gagasan sosialis dapat dirunut hingga ke awal sejarah manusia dari sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial. Sosialisme sebagai sistem ekonomi Sistem ekonomi sosialisme sebenarnya cukup sederhana. Berpijak pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepimilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak, seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya. 3) Fasisme Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah. Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah. 4) Kapitalisme Kapitalisme adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut. Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan 86 sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu. Perspektif filosofi kapitalisme Kapitalisme adalah salah satu pola pandang manusia dalam segala kegiatan ekonominya. Perkembangannya tidak selalu bergerak ke arah positif seperti yang dibayangkan banyak orang, tetapi naik turun. Kritik keberadaan kapitalis sebagai suatu bentuk penindasan terhadap masyarakat kelas bawah adalah salah satu faktor yang menyebabkan aliran ini banyak dikritik. Akan tetapi, bukan hanya kritik saja yang mengancam kapitalisme, melainkan juga ideologi lain yang ingin melenyapkannya, seperti komunisme. 5) Komunisme Komunisme adalah salah satu ideologi di dunia. Penganut faham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manuskrip politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik. Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap faham kapitalisme di awal abad ke-19an, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dengan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangannya yang saling berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia. Ide dasar Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut "Marxisme-Leninisme". Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar, namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi "tumpul" dan tidak lagi diminati karena korupsi yang dilakukan oleh para pemimpinnya. Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai komunis sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu. pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata akan tetapi dalam kenyataannya hanya dikelolah serta menguntungkan para elit 87 partai, Komunisme memperkenalkan penggunaan sistim demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme. Secara umum komunisme berlandasan pada teori Dialektika materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa "agama dianggap candu" yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi). 6) Komunitarianisme Komunitarianisme sebagai sebuah kelompok yang terkait, namun berbeda filsafatnya, mulai muncul pada akhir abad ke-20, menentang aspek-aspek dari liberalisme, kapitalisme dan sosialisme sementara menganjurkan fenomena seperti masyarakat sipil. Komunitarianisme tidak dengan sendirinya memushi liberalisme in dalam pengertian katanya di Amerika saat ini, namun penekanannya berbeda. Paham ini mengalihkan pusat perhatian kepada komunitas dan masyarakat serta menjauhi individu. Masalah prioritas, entah pada individu atau komunitas seringkali dampaknya paling terasa dalam masalah-masalah etis yang paling mendesak, seperti misalnya pemeliharaan kesehatan, aborsi, multikulturalisme, dan hasutan. Terminologi Meskipun istilah komunitarianisme berasal dari abad ke- 20, kata ini berasal dari istilah komunitarian tahun 1840-an, yang diciptakan oleh Goodwyn Barmby untuk merujuk kepada orang yang menjadi anggota atau penganjur dari suatu masyarakat yang komunalis. Penggunaan istilah ini di masa modern mendefinisikan ulang pengertian aslinya. Banyak penganjur komunitarian yang menelusuri filsafat mereka kepada para pemikir yang lebih awal. Istilahnya sendiri pada dasarnya digunakan dalam tiga pengertian: Komunitarianisme filosofis menganggap liberalisme klasik secara ontologis dan epistemologis tidak koheren, dan menentangnya dengan alas an-alasan tersebut. Berbeda dengan liberalisme klasik, yang memahami bahwa komunitias berasal dari tindakan sukarela individu-individu dari masa prakomunitas, komunitarianisme menekankan peranan komunitas dalam mendefinisikan dan membentuk individu. Kaum komunitarian percaya bahwa nilai komunitas tidak cukup diakui dalam teori-teori liberal tentang keadilan. Komunitarianisme ideologis adalah sebuah ideologi tengah yang radikal, yang menekankan komunitas, dan kadang-kadang ditandai oleh paham kirinya dalam masalah-masalah ekonomi dan konservatisme dalam masalah-masalah sosial. Penggunaan istilah ini diciptakan baru-baru ini. Bila istilahnya menggunakan huruf besar, maka kata ini biasanya merujuk kepada gerakan Komunitarian Responsif dari Amitai Etzioni dan para filsuf lainnya. Hukum komunitarian, juga dikenal sebagai acquis communautaire, merujuk kepada seluruh kumpulan hukum yang diakumulasikan dalam organisasiorganisasi supra nasional seperti misalnya Uni Eropa. 88 7) Konservatisme Konservatisme adalah sebuah filsafat politik yang mendukung nilai-nilai tradisional. Istilah ini berasal dari kata dalam bahasa Latin, conservāre, melestarikan; "menjaga, memelihara, mengamalkan". Karena berbagai budaya memiliki nilai-nilai yang mapan dan berbeda-beda, kaum konservatif di berbagai kebudayaan mempunyai tujuan yang berbeda-beda pula. Sebagian pihak konservatif berusaha melestarikan status quo, sementara yang lainnya berusaha kembali kepada nilai-nilai dari zaman yang lampau, the status quo ante. Samuel Francis mendefinisikan konservatisme yang otentik sebagai “bertahannya dan penguatan orang-orang tertentu dan ungkapanungkapan kebudayaannya yang dilembagakan.” Roger Scruton menyebutnya sebagai “pelestarian ekologi sosial” dan “politik penundaan, yang tujuannya adalah mempertahankan, selama mungkin, keberadaan sebagai kehidupan dan kesehatan dari suatu organisme sosial.” Meskipun konservatisme adalah suatu pemikiran politik, sejak awal, ia mengandung banyak alur yang kemudian dapat diberi label konservatif, baru pada Masa Penalaran, dan khususnya reaksi terhadap peristiwa-peristiwa di sekitar Revolusi Perancis pada 1789, konservatisme mulai muncul sebagai suatu sikap atau alur pemikiran yang khas. Banyak orang yang mengusulkan bahwa bangkitnya kecenderungan konservatif sudah terjadi lebih awal, pada masa-masa awal Reformasi, khususnya dalam karya-karya teolog Anglikan yang berpengaruh, Richard Hooker – yang menekankan pengurangan dalam politik demi menciptakan keseimbangan kepentingan-kepentingan menuju keharmonisan sosial dan kebaikan bersama. Namun baru ketika polemic Edmund Burke muncul - Reflections on the Revolution in France - konservatisme memperoleh penyaluran pandanganpandangannya yang paling berpengaruh. Negarawan Inggris-Irlandia Edmund Burke, yang dengan gigih mengajukan argumen menentang Revolusi Perancis, juga bersimpati dengan sebagian dari tujuan-tujuan Revolusi Amerika. Tradisi konservatif klasik ini seringkali menekankan bahwa konservatisme tidak mempunyai ideologi, dalam pengertian program utopis, dengan suatu bentuk rancangan umum. Burke mengembangkan gagasan-gagasan ini sebagai reaksi terhadap gagasan 'tercerahkan' tentang suatu masyarakat yang dipimpin oleh nalar yang abstrak. Meskipun ia tidak menggunakan istilah ini, ia mengantisipasi kritik terhadap modernisme, sebuah istilah yang pertama-tama digunakan pada akhir abad ke-19 oleh tokoh konservatif keagamaan Belanda Abraham Kuyper. Burke merasa terganggu oleh Pencerahan, dan sebaliknya menganjurkan nilai tradisi. 8) Liberalisme Liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama. Liberalisme menghendaki adanya, pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap pemilikan individu. Oleh karena itu paham liberalisme lebih lanjut menjadi dasar bagi tumbuhnya kapitalisme. 89 Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. 9) Marxisme Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial dan sistem politik. Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis. Teori ini merupakan dasar teori komunisme modern. Teori ini tertuang dalam buku Manisfesto Komunis yang dibuat oleh Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels. Marxisme merupakan bentuk protes Marx terhadap paham kapitalisme. Ia menganggap bahwa kaum kapital mengumpulkan uang dengan mengorbankan kaum proletar. Kondisi kaum proletar sangat menyedihkan karena dipaksa bekerja berjamjam dengan upah minimum sementara hasil keringat mereka dinikmati oleh kaum kapitalis. Banyak kaum proletar yang harus hidup di daerah pinggiran dan kumuh. Marx berpendapat bahwa masalah ini timbul karena adanya "kepemilikan pribadi" dab penguasaan kekayaan yang didominasi orang-orang kaya. Untuk mensejahterakan kaum proletar, Marx berpendapat bahwa paham kapitalisme diganti dengan paham komunisme. Bila kondisi ini terus dibiarkan, menurut Marx kaum proletar akan memberontak dan menuntut keadilan. Itulah dasar dari marxisme. 10) Nasionalisme Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa "kebenaran politik" (political legitimacy). Bersumber dari teori romantisme yaitu "identitas budaya", debat liberalisme yang menganggap kebenaran politik adalah bersumber dari kehendak rakyat, atau gabungan kedua teori itu. Ikatan nasionalisme tumbuh di tengah masyarakat saat pola pikirnya mulai merosot. Ikatan ini terjadi saat manusia mulai hidup bersama dalam suatu wilayah tertentu dan tak beranjak dari situ. Saat itu, naluri mempertahankan diri sangat berperan dan mendorong mereka untuk mempertahankan negerinya, tempatnya hidup dan menggantungkan diri. Dari sinilah cikal bakal tubuhnya ikatan ini, yang notabene lemah dan bermutu rendah. Ikatan inipun tampak pula dalam dunia hewan saat ada ancaman pihak asing yang hendak menyerang atau menaklukkan suatu negeri. Namun, bila suasanya aman dari serangan musuh dan musuh itu terusir dari negeri itu, sirnalah kekuatan ini. Beberapa bentuk dari nasionalisme Nasionalisme dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut. Nasionalisme kewarganegaraan (atau nasionalisme sipil) adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari penyertaan aktif rakyatnya, 90 "kehendak rakyat"; "perwakilan politik". Teori ini mula-mula dibangun oleh JeanJacques Rousseau dan menjadi bahan-bahan tulisan. Antara tulisan yang terkenal adalah buku berjudulk Du Contract Sociale (atau dalam Bahasa Indonesia "Mengenai Kontrak Sosial"). Nasionalisme etnis adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya asal atau etnis sebuah masyarakat. Dibangun oleh Johann Gottfried von Herder, yang memperkenalkan konsep Volk (bahasa Jerman untuk "rakyat"). Nasionalisme romantik (juga disebut nasionalisme organik, nasionalisme identitas) adalah lanjutan dari nasionalisme etnis dimana negara memperoleh kebenaran politik secara semulajadi ("organik") hasil dari bangsa atau ras; menurut semangat romantisme. Nasionalisme romantik adalah bergantung kepada perwujudan budaya etnis yang menepati idealisme romantik; kisah tradisi yang telah direka untuk konsep nasionalisme romantik. Misalnya "Grimm Bersaudara" yang dinukilkan oleh Herder merupakan koleksi kisah-kisah yang berkaitan dengan etnis Jerman. Nasionalisme Budaya adalah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh kebenaran politik dari budaya bersama dan bukannya "sifat keturunan" seperti warna kulit, ras dan sebagainya. Contoh yang terbaik ialah rakyat Tionghoa yang menganggap negara adalah berdasarkan kepada budaya. Unsur ras telah dibelakangkan di mana golongan Manchu serta ras-ras minoritas lain masih dianggap sebagai rakyat negara Tiongkok. Kesediaan dinasti Qing untuk menggunakan adat istiadat Tionghoa membuktikan keutuhan budaya Tionghoa. Malah banyak rakyat Taiwan menganggap diri mereka nasionalis Tiongkok sebab persamaan budaya mereka tetapi menolak RRC karena pemerintahan RRC berpaham komunisme. Nasionalisme kenegaraan ialah variasi nasionalisme kewarganegaraan, selalu digabungkan dengan nasionalisme etnis. Perasaan nasionalistik adalah kuat sehingga diberi lebih keutamaan mengatasi hak universal dan kebebasan. Kejayaan suatu negeri itu selalu kontras dan berkonflik dengan prinsip masyarakat demokrasi. Penyelenggaraan sebuah 'national state' adalah suatu argumen yang ulung, seolaholah membentuk kerajaan yang lebih baik dengan tersendiri. Contoh biasa ialah Nazisme. Nasionalisme agama ialah sejenis nasionalisme dimana negara memperoleh legitimasi politik dari persamaan agama. Walaupun begitu, lazimnya nasionalisme etnis adalah dicampuradukkan dengan nasionalisme keagamaan. Misalnya, di Irlandia semangat nasionalisme bersumber dari persamaan agama mereka yaitu Katolik; nasionalisme di India seperti yang diamalkan oleh pengikut partai BJP bersumber dari agama Hindu. Namun demikian, bagi kebanyakan kelompok nasionalis agama hanya merupakan simbol dan bukannya motivasi utama kelompok tersebut. Misalnya pada abad ke-18, nasionalisme Irlandia dipimpin oleh mereka yang menganut agama Protestan. Gerakan nasionalis di Irlandia bukannya berjuang untuk memartabatkan teologi semata-mata. Mereka berjuang untuk menegakkan paham yang bersangkut paut dengan Irlandia sebagai sebuah negara merdeka terutamanya budaya Irlandia. Justru itu, nasionalisme kerap dikaitkan dengan kebebasan. 91 11) Nazisme Nazisme, atau secara resmi Nasional Sosialisme (Jerman: Nationalsozialismus), merujuk pada sebuah ideologi totalitarian Partai Nazi (Partai Pekerja Nasional-Sosialis Jerman, Jerman: Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei atau NSDAP) di bawah kepemimpinan Adolf Hitler. Kata ini juga merujuk pada kebijakan yang dianut oleh pemerintahan Jerman pada tahun 1933—1945, sebuah periode yang kemudian dikenal sebagai Jerman Nazi atau Reich Ketiga. Sampai hari ini orang-orang yang berhaluan ekstrim kanan dan rasisme sering disebut sebagai Neonazi (neo = "baru" dalam bahasa Yunani). Partai yang semula bernama Partai Pekerja Jerman (DAP) ini didirikan pada tanggal 5 Januari 1919 oleh Anton Drexler. Hitler kemudian bergabung dengan partai kecil ini pada bulan September 1919, dan menjadi pemimpin propaganda, mengubah nama partai itu (1 April 1920), dan menjadi pemimpin partai pada tanggal 29 Juli 1921. Nazisme bukanlah sebuah ideologi baru, melainkan sebuah kombinasi dari berbagai ideologi dan kelompok yang memiliki kesamaan pendapat tentang penentangan Perjanjian Versailes dan kebencian terhadap Yahudi dan Komunis yang dipercaya berada di balik perjanjian tersebut. 12) Neoliberalisme Neoliberalisme yang juga dikenal sebagai paham ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi-politik akhir-abad keduapuluhan, sebenarnya merupakan redefinisi dan kelanjutan dari liberalisme klasik yang dipengaruhi oleh teori perekonomian neoklasik yang mengurangi atau menolak penghambatan oleh pemerintah dalam ekonomi domestik karena akan mengarah pada penciptaan Distorsi dan High Cost Economy yang kemudian akan berujung pada tindakan koruptif. Paham ini memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas merobohkan hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi agar semua negara bisa mendapatkan keuntungan dari meningkatkan standar hidup masyarakat atau rakyat sebuah negara dan modernisasi melalui peningkatan efisiensi perdagangan dan mengalirnya investasi. Neoliberalisme bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar, dengan pembenaran mengacu pada kebebasan. Seperti pada contoh kasus upah pekerja, dalam pemahaman neoliberalisme pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja atau dalam masalah-masalah tenaga kerja sepenuhnya ini urusan antara si pengusaha pemilik modal dan si pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terlebih pada usaha-usaha industri yang dimiliki-dikelola pemerintah. Tapi privatisasi ini tidak terjadi pada negara-negara kapitalis besar, justru terjadi pada negara-negara Amerika Selatan dan negara-negara miskin berkembang lainnya. Privatisasi ini telah mengalahkan proses panjang nasionalisasi yang menjadi kunci negara berbasis kesejahteraan. Nasionalisasi yang menghambat aktivitas pengusaha harus dihapuskan. Revolusi neoliberalisme ini bermakna bergantinya sebuah manajemen ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Sehingga menurut kaum Neoliberal, sebuah perekonomian dengan inflasi rendah dan pengangguran tinggi, tetap lebih baik dibanding inflasi tinggi dengan pengangguran rendah. Tugas pemerintah hanya menciptakan lingkungan sehingga modal dapat bergerak bebas dengan baik. Dalam titik ini pemerintah menjalankan kebijakankebijakan memotong pengeluaran, memotong biaya-biaya publik seperti subsidi, 92 sehingga fasilitas-fasilitas untuk kesejahteraan publik harus dikurangi. Akhirnya logika pasarlah yang berjaya diatas kehidupan publik. Ini menjadi pondasi dasar neoliberalism, menundukan kehidupan publik ke dalam logika pasar. Semua pelayanan publik yang diselenggarakan negara harusnya menggunakan prinsip untung-rugi bagi penyelenggara bisnis publik tersebut, dalam hal ini untung rugi ekonomi bagi pemerintah. Pelayanan publik semata, seperti subsidi dianggap akan menjadi pemborosan dan inefisiensi. Neoliberalisme tidak mengistimewakan kualitas kesejahteraan umum. Tidak ada wilayah kehidupan yang tidak bisa dijadikan komoditi barang jualan. Semangat neoliberalisme adalah melihat seluruh kehidupan sebagai sumber laba korporasi. Misalnya dengan sektor sumber daya air, program liberalisasi sektor sumber daya air yang implementasinya dikaitkan oleh Bank Dunia dengan skema watsal atau water resources sector adjustment loan. Air dinilai sebagai barang ekonomis yang pengelolaannya pun harus dilakukan sebagaimana layaknya mengelola barang ekonomis. Dimensi sosial dalam sumberdaya public goods direduksi hanya sebatas sebagai komoditas ekonomi semata. Hak penguasaan atau konsesi atas sumber daya air ini dapat dipindah tangankan dari pemilik satu ke pemilik lainnya, dari satu korporasi ke korporasi lainnya, melalui mekanisme transaksi jual beli. Selanjutnya sistem pengaturan beserta hak pengaturan penguasaan sumber air ini lambat laun akan dialihkan ke suatu badan berbentuk korporasi bisnis atau konsursium korporasi bisnis yang dimiliki oleh pemerintah atau perusahaan swasta nasional atau perusahaan swasta atau bahkan perusahaan multinasional dan perusahaan transnasional. Satu kelebihan neoliberalisme adalah menawarkan pemikiran politik yang sederhana, menawarkan penyederhanaan politik sehingga pada titik tertentu politik tidak lagi mempunyai makna selain apa yang ditentukan oleh pasar dan pengusaha. Dalam pemikiran neoliberalisme, politik adalah keputusan-keputusan yang menawarkan nilai-nilai, sedangkan secara bersamaan neoliberalisme menganggap hanya satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar. Semua pemikiran diluar rel pasar dianggap salah. Kapitalisme neoliberal menganggap wilayah politik adalah tempat dimana pasar berkuasa, ditambah dengan konsep globalisasi dengan perdagangan bebas sebagai cara untuk perluasan pasar melalui WTO, akhirnya kerap dianggap sebagai Neoimperialisme. Sekilas tentang pandangan kaum libertarian Dalam kebijakan luar negeri, neoliberalisme erat kaitannya dengan pembukaan pasar luar negeri melalui cara-cara politis, menggunakan tekanan ekonomi, diplomasi, dan/atau intervensi militer. Pembukaan pasar merujuk pada perdagangan bebas. Neoliberalisme secara umum berkaitan dengan tekanan politik multilateral, melalui berbagai kartel pengelolaan perdagangan seperti WTO dan Bank Dunia. Ini mengakibatkan berkurangnya wewenang pemerintahan sampai titik minimum. Neoliberalisme melalui ekonomi pasar bebas berhasil menekan intervensi pemerintah (seperti paham Keynesianisme), dan melangkah sukses dalam pertumbuhan ekonomi keseluruhan. Untuk meningkatkan efisiensi korporasi, neoliberalisme berusaha keras untuk menolak atau mengurangi kebijakan hak-hak buruh seperti upah minimum, dan hak-hak daya tawar kolektif lainnya. 93 Neoliberalisme bertolakbelakang dengan sosialisme, proteksionisme, dan environmentalisme. Secara domestik, ini tidak langsung berlawanan secara prinsip dengan poteksionisme, tetapi terkadang menggunakan ini sebagai alat tawar untuk membujuk negara lain untuk membuka pasarnya. Neoliberalisme sering menjadi rintangan bagi perdagangan adil dan gerakan lainnya yang mendukung hak-hak buruh dan keadilan sosial yang seharusnya menjadi prioritas terbesar dalam hubungan internasional dan ekonomi. Kekalahan liberalisme Sejak masa kehancuran Wall Street (dikenal dengan masa Depresi Hebat atau Great Depression) hingga awal 1970-an, wacana negeri industri maju masih 'dikuasai' wacana politik sosial demokrat dengan argumen kesejahteraan. Kaum elit politik dan pengusaha memegang teguh pemahaman bahwa salah satu bagian penting dari tugas pemerintah adalah menjamin kesejahteraan warga negara dari bayi sampai meninggal dunia. Rakyat berhak mendapat tempat tinggal layak, mendapatkan pendidikan, mendapatkan pengobatan, dan berhak mendapatkan fasilitas-fasilitas sosial lainnya. Dalam sebuah konferensi moneter dan keuangan internasional yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di Bretton Woods pada 1944, setelah Perang Dunia II. Konferensi yang dikenal sebagai konferensi Bretton Woods ini bertujuan mencari solusi untuk mencegah terulangnya depresi ekonomi di masa sesudah perang. Negara-negara anggota PBB lebih condong pada konsep negara kesejahteraan sebagaimana digagas oleh John Maynard Keynes. Dalam konsep negara kesejahteraan, peranan negara dalam bidang ekonomi tidak dibatasi hanya sebagai pembuat peraturan, tetapi diperluas sehingga meliputi pula kewenangan untuk melakukan intervensi fiskal, khususnya untuk menggerakkan sektor riil dan menciptakan lapangan kerja. Pada kondisi dan suasana seperti ini, tulisan Hayek pada tahun 1944, The Road Of Serdom, yg menolak pasal-pasal tentang kesejahteraan dinilai janggal. Tulisan Hayek ini menghubungkan antara pasal-pasal kesejahteraan dan kekalahan liberal, kekalahan kebebasan individualisme. Kebangkitan Neoliberalisme Perubahan kemudian terjadi seiring krisis minyak dunia tahun 1973, akibat reaksi terhadap dukungan Amerika Serikat terhadap Israel dalam perang Yom Kippur, dimana mayoritas negara-negara penghasil minyak di Timur Tengah melakukan embargo terhadap AS dan sekutu-sekutunya, serta melipatgandakan harga minyak dunia, yang kemudian membuat para elit politik di negara-negara sekutu Amerika Serikat berselisih paham sehubungan dengan angka pertumbuhan ekonomi, beban bisnis, dan beban biaya-biaya sosial demokrat (biaya-biaya fasilitas negara untuk rakyatnya). Pada situasi inilah ide-ide libertarian sebagai wacana dominan, tidak hanya di tingkat nasional dalam negeri tapi juga di tingkat global di IMF dan World Bank. Pada 1975, di Amerika Serikat, Robert Nozick mengeluarkan tulisan berjudul "Anarchy, State, and Utopia", yang dengan cerdas menyatakan kembali posisi kaum ultra minimalis, ultra libertarian sebagai retorika dari lembaga pengkajian universitas, yang kemudian disebut dengan istilah "Reaganomics". Di Inggris, Keith Joseph menjadi arsitek "Thatcherisme". Reaganomics atau Reaganisme menyebarkan retorika kebebasan yang dikaitkan dengan pemikiran Locke, sedangkan Thatcherisme mengaitkan dengan pemikiran liberal klasik Mill dan Smith. Walaupun sedikit 94 berbeda, tetapi kesimpulan akhirnya sama: Intervensi negara harus berkurang dan semakin banyak berkurang sehingga individu akan lebih bebas berusaha. Pemahaman inilah yang akhirnya disebut sebagai "Neoliberalisme". Paham ekonomi neoliberal ini yang kemudian dikembangkan oleh teori gagasan ekonomi neoliberal yang telah disempurnakan oleh Mazhab Chicago yang dipelopori oleh Milton Friedman. 13) Feminisme Inti pemikiran : emansipasi wanita. Landasan pemikiran: bahwa wanita tidak hanya berkutat pada urusan wanita saja melainkan juga dapat melakukan seprti apa yang dilakukan oleh pria. Wanita dapat melakukan apa saja. Sistem pemerintahan: demokrasi. 14) Pancasila Pancasila dijadikan ideologi dikarenakan, Pancasila memiliki nilai-nilai falsafah mendasar dan rasional. Pancasila telah teruji kokoh dan kuat sebagai dasar dalam mengatur kehidupan bernegara. Selain itu, Pancasila juga merupakan wujud dari konsensus nasional karena negara bangsa Indonesia ini adalah sebuah desain negara moderen yang disepakati oleh para pendiri negara Republik Indonesia kemudian nilai kandungan Pancasila dilestarikan dari generasi ke generasi. Pancasila pertama kali dikumandangkan oleh Soekarno pada saat berlangsungnya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia (BPUPKI). Pada pidato tersebut, Soekarno menekankan pentingnya sebuah dasar negara. Istilah dasar negara ini kemudian disamakan dengan fundamen, filsafat, pemikiran yang mendalam, serta jiwa dan hasrat yang mendalam, serta perjuangan suatu bangsa senantiasa memiliki karakter sendiri yang berasal dari kepribadian bangsa. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Pancasila secara formal yudiris terdapat dalam alinea IV pembukaan UUD 1945. Di samping pengertian formal menurut hukum atau formal yudiris maka Pancasila juga mempunyai bentuk dan juga mempunyai isi dan arti (unsur-unsur yang menyusun Pancasila tersebut), yaitu : Ketuhanan (Religiusitas) Nilai religius adalah nilai yang berkaitan dengan keterkaitan individu dengan sesuatu yang dianggapnya memiliki kekuatan sakral, suci, agung dan mulia. Memahami Ketuhanan sebagai pandangan hidup adalah mewujudkan masyarakat yang beketuhanan, yakni membangun masyarakat Indonesia yang memiliki jiwa maupun semangat untuk mencapai ridlo Tuhan dalam setiap perbuatan baik yang dilakukannya. Dari sudut pandang etis keagamaan, negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah negara yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Dari dasar ini pula, bahwa suatu keharusan bagi masyarakat warga Indonesia menjadi masyarakat yang beriman kepada Tuhan, dan masyarakat yang beragama, apapun agama dan keyakinan mereka. Kemanusiaan (Moralitas) Kemanusiaan yang adil dan beradab, adalah pembentukan suatu kesadaran tentang keteraturan, sebagai asas kehidupan, sebab setiap manusia mempunyai potensi untuk menjadi manusia sempurna, yaitu manusia yang beradab. Manusia yang maju peradabannya tentu lebih mudah menerima 95 kebenaran dengan tulus, lebih mungkin untuk mengikuti tata cara dan pola kehidupan masyarakat yang teratur, dan mengenal hukum universal. Kesadaran inilah yang menjadi semangat membangun kehidupan masyarakat dan alam semesta untuk mencapai kebahagiaan dengan usaha gigih, serta dapat diimplementasikan dalam bentuk sikap hidup yang harmoni penuh toleransi dan damai. Persatuan (Kebangsaan) Indonesia Persatuan adalah gabungan yang terdiri atas beberapa bagian, kehadiran Indonesia dan bangsanya di muka bumi ini bukan untuk bersengketa. Bangsa Indonesia hadir untuk mewujudkan kasih sayang kepada segenap suku bangsa dari Sabang sampai Marauke. Persatuan Indonesia, bukan sebuah sikap maupun pandangan dogmatik dan sempit, namun harus menjadi upaya untuk melihat diri sendiri secara lebih objektif dari dunia luar. Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dalam proses sejarah perjuangan panjang dan terdiri dari bermacam-macam kelompok suku bangsa, namun perbedaan tersebut tidak untuk dipertentangkan tetapi justru dijadikan persatuan Indonesia. Permusyawaratan dan Perwakilan Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hidup berdampingan dengan orang lain, dalam interaksi itu biasanya terjadi kesepakatan, dan saling menghargai satu sama lain atas dasar tujuan dan kepentingan bersama. Prinsip-prinsip kerakyatan yang menjadi cita-cita utama untuk membangkitkan bangsa Indonesia, mengerahkan potensi mereka dalam dunia modern, yakni kerakyatan yang mampu mengendalikan diri, tabah menguasai diri, walau berada dalam kancah pergolakan hebat untuk menciptakan perubahan dan pembaharuan. Hikmah kebijaksanaan adalah kondisi sosial yang menampilkan rakyat berpikir dalam tahap yang lebih tinggi sebagai bangsa, dan membebaskan diri dari belenggu pemikiran berazaskan kelompok dan aliran tertentu yang sempit. Keadilan Sosial Nilai keadilan adalah nilai yang menjunjung norma berdasarkan ketidak berpihakkan, keseimbangan, serta pemerataan terhadap suatu hal. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cita-cita bernegara dan berbangsa. Itu semua bermakna mewujudkan keadaan masyarakat yang bersatu secara organik, dimana setiap anggotanya mempunyai kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang serta belajar hidup pada kemampuan aslinya. Segala usaha diarahkan kepada potensi rakyat, memupuk perwatakan dan peningkatan kualitas rakyat, sehingga kesejahteraan tercapai secara merata. 96 VII POLITIK Konsep-konsep Politik Sejak awal hingga perkembangan terakhir terdapat sekurang-kurangnya lima pandangan mengenai politik. Pertama, politik ialah usaha-usaha yang ditempuh oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting (Surbakti : 1992). Kelima cara pandang dalam melihat politik tersebut dapat dijelaskan berikut ini. 1. Pandangan Klasik Sebagaimana dikemukakan Aristoteles, pandangan klasik melihat politik sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh anggota masyarakat. Filsuf ini membedakan urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta). Pada hemat Aristoteles, urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan individu/swasta. Menurut Aristoteles, manusia merupakan makhluk politik dan sudah menjadi hakikat manusia untuk hidup dalam polis. Hanya dalam polis itu manusia dapat memperoleh sifat moral yang paling tinggi, karena di sana urusan-urusan yang berkenaan dengan seluruh masyarakat akan dibicarakan dan diperdebatkan, dan tindakan-tindakan untuk mewujudkan kebaikan bersama akan diambil. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksudkan dengan kepentingan umum atau kebaikan bersama? Apakah yang harus dipandang sebagai isi atau substansi kebaikan bersama? Siapakah yang harus menafsirkan suatu urusan merupakan kepentingan umum atau tidak? Rumusan kepentingan umum yang dikemukakan oleh para sarjana sangat bervariasi, sebagian mengatakan kepentingan umum merupakan tujuan-tujuan moral atau nilai-nilai ideal yang bersifat abstrak seperti keadilan, kebajikan, kebahagiaan, dan kebenaran. Sebagian lagi merumuskan kepentingan umum sebagai keinginan orang banyak sehingga mereka membedakan general will (keinginan orang banyak atau kepentingan umum) dari will of all (keinginan banyak orang atau kumpulan keinginan banyak orang). Sementara itu, ada yang merumuskan kepentingan umum sebagai kepentingan golongan mayoritas. Samuel P. Huntington dalam (Surbakti : 1999), melukiskan kepentingan umum secara singkat sebagai kepentingan pemerintah karena lembaga pemerintahan dibentuk untuk menyelenggarakan kebaikan bersama. Konsep politik menurut pandangan klasik ini nampak sangat kabur. Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada “apa yang seharusnya” dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara 97 polis, dan “dengan cara apa sebaiknya” tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata lain, pandangan klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik) dari pada aspek politik. Dalam pengertian politik terkandung tujuan dan etik masyarakat yang jelas. Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama. Barangkali aspek filosifis ini yang merupakan kelebihan, dan arena itu menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam hal ini aspek-aspek filosofis lebih ditekankan dari pada aspek politik. Oleh karena itu metode kajian yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatifnormatif. 2. Pandangan Kelembagaan Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu. Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan persaingan untuk membagi kekuasaan atau persaingan untuk mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara maupun antar kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan ia membatasi pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan untuk memaksakan ketaatan. Berdasarkan pendapat Weber tersebut di atas dapat disimpulkan tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu : Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda, seperti jabatan, peranan, dan lembaga-lembaga yang memiliki tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal, dan permanen; Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh negara. Negara yang memiliki kewenangan yang sah untuk membuat keputusan yang final dan mengikat seluruh warga negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakkan keputusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan maka negara menggunakan aparatnya seperti polisi, militer, jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut. Sebelum perang dunia kedua, para sarjana ilmu politik mengidentifikasikan politik sebagai studi mengenai negara. Dalam hal ini, ada berbagai literatur yang berjudul “Pengantar ilmu politik” yang diawali dengan pernyataan ilmu politik bermula dan berakhir dengan negara. Akan tetapi, saat ini para sarjana ilmu politik tidak lagi menggunakan konseptualisasi itu, sebab mereka berpendapat bahwa politik merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat apa saja, yang tidak terbatas pada masyarakat negara atau negara modern. Lalu mereka mencari dan merumuskan konsep politik yang sejauh mungkin dapat diterapkan dalam sebanyak mungkin tempat dan waktu. Timbul pertanyaan, mengapa mereka tidak lagi menggunakan pandangan kelembagaan? Mereka mengajukan empat kritik terhadap pandangan kelembagaan tersebut. Pertama, konsep itu terlalu sempit, ciri-ciri negara yang disebutkan itu berlaku pada masyarakat yang berbentuk negara, khususnya negara98 negara industri maju seperti Eropa Barat, dan Amerika Utara. Sebagaimana diketahui ada berbagai masyarakat suku atau masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun belum memenuhi ciri-ciri negara modern akan tetapi sudah malaksanakan proses dan kegiatan politik. Masyarakat yang disebutkan terakhir ini belum memenuhi ciri-ciri negara modern, hal tersebut disebabkan antara lain : Belum ada diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan yang jelas. Satu struktur melaksanakan lebih dari satu fungsi. Dengan kata lain struktur masyarakatnya masih bersifat sederhana dan informal, akan tetapi kegiatan politik sudah berlangsung. Tidak memiliki struktur yang memonopoli kewenangan dalam menggunakan paksaan fisik sebab kekuasaan terpencar atau terdistribusi kepada seluruh anggota masyarakat. Sanksi biasanya lebih kepada sanksi moral dan psikologis seperti pengucilan dari pergaulan, sindiran, teguran, dan gossip. Batas wilayah masyarakat belum jelas sebab penduduk cenderung berpindah, termasuk apabila mereka tidak senang kepada pemimpin mereka. Kedua, di negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat pada negara melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian, dan kepada berbagai kekuatan politik dalam masyarakat. Ketiga, konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari sudut pandang yuridis-formal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis. Keempat, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak memiliki nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sendiri. oleh karena itu, perilaku elit yang memiliki jabatan pada lembaga tersebut yang dipelajari, bukannya lembaganya. Demikian kritik yang diajukan oleh kaum behavioralist. Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik Amerika Serikat kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka memandang negara tidak lagi sekadar arena persaingan kepentingan di antara berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi juga sebagai lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri). negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda dari berbagai kepentingan yang bersaing atau bertentang yang ada di dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga statist perspective (perspektif negara). 3. Pandangan Kekuasaan Pandangan ketiga, melihat politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan, dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan. Robson dalam (Surbakti : 1999), merupakan salah seorang yang mengembangkan pandangan tentang kekuasaan mengatakan bahwa, ilmu politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan, mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan. Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, proses-proses, ruang lingkup, dan hasil-hasil kekuasaan. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud dengan kekuasaan? Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berfikir dan berperilaku 99 sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai interaksi antara pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi, atau yang satu mempengaruhi dan yang lain mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini. Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan kekuasaan juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, konseptualisasi tersebut tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiyai atau pendeta untuk mempengaruhi jamaah agar melaksanakan ajaran agama tidaklah beraspek politik. Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut lingkungan masyarakat yang lebih terbatas. Namun, apabila konseptualisasi di atas diikuti maka kemampuan para pemimpin agama untuk mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anggota jamaah termasuk dalam kategori kegiatan politik. Kedua, kekuasaan hanya salah satu konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki konsep-konsep yang lain seperti kewenangan, legitimasi, konflik, konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi politik sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan semata dalam ilmu politik merupakan konseptualisasi yang sempit dan kurang tajam. Walaupun harus diakui bahwa konsep kekuasaan politik merupakan salah satu konsep yang tidak terpisahkan dari ilmu politik. 4. Pandangan Fungsionalisme Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan kelembagaan tersebut di atas. Dewasa ini para sarjana politik memandang politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka, politik merupakan kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan umum. Di antara sarjana politik yang menggunakan pandangan fungsional dalam mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell. David Easton merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of values for a society, atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat. Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang) proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets what, when, how, atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana. “Mendapatkan apa” artinya mendapatkan nilai-nilai, “Kapan” berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak, “Bagaimana” berarti dengan cara apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Yang menjadi pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai hal-hal yang diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman upaya yang berbeda untuk mencapainya. Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa, kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan, sandang, perumahan, fasilitas 100 kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilainilai itu ada yang berupa kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah. Nilai yang abstrak dan kongkrit itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jadi, kegiatan mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan umum berarti mempengaruhi pembagian dan penjatahan nilai-nilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat. Kelemahan pandangan fungsionalisme adalah menempatkan pemerintah sebagai sarana dan wasit terhadap persaingan di antara berbagai kekuatan politik untuk mendapatkan nilai-nilai yang terbanyak dari kebijakan umum. Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga memiliki kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada kepentingan lembaga pemerintah (yang mewakili kepentingan umum), maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan (melaksanakan peranan). Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara instrumental bukan sebagai tujuan seperti yag ditekankan pandangan klasik. Bagi fungsionalisme nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif karena berbeda dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain. Dalam hal ini, politik tidak dapat pernah bersifat netral, bahwa politik secara ideal seharusnya menyangkut kebaikan bersama. 5. Pandangan Konflik Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain selain upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai. Dalam memperjuangkan hal itu seringkali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik di antara berbagai pihak. Dalam hal ini di antara pihak yang berupaya mendapatkan nilai-nilai, dan pihak yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan dan perebutan dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk dalam proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam setiap proses politik. Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya tepat. Hal tersebut disebabkan selain konflik, konsensus, kerja sama, dan integrasi juga terjadi dalam hampir semua proses politik. Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, dan pertentangan untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai itu justru diselesaikan melalui proses dialog sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian dan penjatahan nilai-nilai. Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya menyelesaikan konflik politik. Kelemahan lain dari konseptualisasi ini ialah konflik tidak semua berdimensi politik sebab selain konflik politik terdapat pula konflik pribadi, konflik ekonomi, konflik agama yang tidak selalu diselesaikan melalui proses politik. Apabila konflik-konflik yang disebutkan terakhir ini berkaitan dengan 101 pemerintah atau diselesaikan melalui proses politik maka konflik-konflik yang semula tidak berdimensi politik berkembang menjadi konflik politik. Dari segi metodologi, kelima pandangan ini acapkali dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yakni tradisionalme dan behavioralisme. Ilmu politik tradisionalisme memandang gejala politik dari segi normatif, dan menganggap tugas ilmu politik untuk memahami dan memberikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai perwujudan tujuan masyarakatnegara. Termasuk ilmu politik tradisional dalam hal ini berupa pandangan klasik dan pandangan kelembagaan. Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya (what it is) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi, kalau mungkin juga memperkirakan gejala politik apa yang akan terjadi. Behavioralisme memandang politik sebagai kegiatan (perilaku), yang berawal dari asumsi terdapat keajegan atau pola dalam perilaku manusia. Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan dan diperkirakan. Termasuk behavioralisme dalam hal ini berupa pandangan kekuasaan, pandangan konflik, dan pandangan fungsionalisme. SISTEM POLITIK Sistem politik adalah keseluruhan unit-unit politik yang saling berkaitan satu dengan yang lain untuk mempengaruhi proses politik. Bagian-bagian atau unit-unit dari sistem politik terdiri dari input, proses, dan output. Berbagai macam input-input ini lalu kemudian diubah oleh proses-proses yang terjadi di dalam sistem tersebut menjadi output, yang selanjutnya output-output tersebut menimbulkan kembali pengaruh terhadap sistem itu sendiri maupun terhadap lingkungan di mana sistem itu berada. Rumusan ini sangat sederhana akan tetapi cukup memadai untuk menjelaskan berbagai hal seperti input - proses - output. LINGKUNGAN Sebagai suatu sistem, tentu saja sistem politik memiliki ciri-ciri tertentu. Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh tentang pendekatan ini, berikut ini adalah ciri-ciri utama dari sistem politik. 1. Ciri-ciri Identifikasi. Untuk membedakan sistem politik dengan sistem sosial lainnya, kita harus bisa mengidentifikasikannya dengan menggabarkan unit-unit dasarnya dan membuat garis batas yang memisahkan unit-unit itu dari unit-unit yang ada di luar sistem politik itu. Unit-unit Sistem Politik. Unit-unit adalah adalah unsur-unsur yang membentuk suatu sistem. Dalam sistem politik, unit-unit ini bewrwujud tindakan-tindakan politik. Perlu sekali memperhatikan tindakan-tindakan ini karena merekalah yang membentuk peranan-peranan politik dan kelompok-kelompok politik. Perbatasan. 102 Sistem politik selalu berada dalam atau dikelilingi oleh lingkungan berupa sistemsistem lain. Tidak ada sistem yang hidup dalam lingkungan yang kosong. Cara berfungsinya suatu sistem sebagian merupakan perwujudan dari upayanya untuk menanggapi keseluruhan lingkungan sosial, biologis, dan fisiknya. Suatu sistem politik memiliki perbatasan dalam pengertian yang sama dengan yang dimiliki oleh suatu sistem fisik. Yang termasuk dalam suatu sistem politik adalah semua tindakan yang lebih kurang langsung berkaitan dengan pembuatan keputusan yang mengikat masyarakat; dan setiap tindakan sosial yang tidak mengandung ciri tersebut tidak termasuk di dalam sistem politik, sehingga secara otomatis akan dipandang sebagai variabel eksternal di dalam lingkungan sistem tersebut. 2. Input dan Output Input merupakan tuntutan dan dukungan, sedangkan output merupakan keputusan yang otoritatif atau kebijakan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Untuk menjamin tetap bekerjanya suatu sistem diperlukan input-input secara ajeg. Tanpa input sistem tidak akan dapat berfungsi - begitu pula tanpa adanya output kita tidak dapat mengidentifikasikan pekerjaan yang dikerjakan oleh sistem tersebut. David Easton dalam (Afan Gaffar : 1983), melakukan telaah tegas atas kehidupan politik dalam kaitannya dengan sistem, dan memperkenalkan dua macam input ke dalam sistem politik, yaitu tuntutan dan dukungan. Klasifikasi di bawah ini akan memberikan gambaran nyata tentang jarak dan variasi dari input tuntutan, yaitu : Tuntutan untuk memperoleh barang-barang dan pekerjaan seperti upah, jam kerja, pendidikan, fasilitas rekreasi, dan transportasi. Tuntutan pengaturan tingkah laku seperti jaminan keselamatan, Kontrol atas harga, dan tuntutan akan adanya suatu peraturan yang menyangkut suatu permasalahan sosial. Tuntutan untuk berpartisipasi dalam sistem politik seperti, hak pilih, kesempatan untuk menjadi pegawai negeri, dan kesempatan untuk mengorganisir kekuatan politik formal, dan lain-lain. Tuntutan untuk mendapatkan informasi, dan komunikasi seperti, permintaan keterangan dari pemerintah atas suatu kebijakan umum yang sementara dibuat atau dilaksanakan, dan tuntutan untuk menyatakan aspirasi. Suatu tuntutan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk, derajat, serta intensitas yang berbeda-beda. Sedangkan input dukungan dapat diperinci ke dalam empat bagian besar, yaitu : Dukungan materi, seperti ketaatan membayar pajak, kesediaan bekerja dalam pelayanan umum. Kepatuhan pada hukum, dan peraturan perundang-undangan, dan undang-undang. Dukungan partisipatif, seperti ikut serta menggunakan hak pilih dalam suatu pemilihan umum, diskusi politik, dan semua kegiatan politik lainnya. Memperhatikan segala sesuatu yang diumumkan oleh pemerintah, hak pemerintah, simbol-simbol kenegaraan, dan perayaan-perayaan nasional. Jika suatu sistem politik tanggap atas semua tuntutan yang berkembang ditengahtengah masyarakat dan berupaya untuk memprosesnya secara efektif, maka 103 dukungan dan peran serta dari masyarakat akan diperoleh. Secara umum dapat dikatakan bahwa tuntutan akan menghasilkan keputusan / kebijaksanaan umum, sedangkan dukungan dari masyarakat akan mempermudah suatu sistem politik untuk membuat output atau kebijakan umum. 3. Diferensiasi Dalam Suatu Sistem Input merupakan energi bagi suatu sistem politik dan juga sekaligus merupakan sumber informasi yang berharga bagi para pengambil keputusan politik. Input-input ini lalu kemudian diproses menghasilkan jenis output yang berbeda dengan input yang diperolehnya dari lingkungannya. Pekerjaan mengubah input menjadi output yang berbeda-beda dalam waktu yang terbatas membuat struktur suatu sistem politik harus mengenal diferensiasi minimal seperti pembagian kerja bagi anggotaanggotanya, dan menyediakan suatu struktur yang bervariasi sehingga dapat menampung pekerjaan yang berbeda-beda dan harus diselesaikan pada saat yang sama. 4. Integrasi Dalam Suatu Sistem Bila suatu sistem ingin mempertahankan dirinya dari kehancuran, sistem tersebut harus memiliki suatu mekanisme yang bisa mengitegrasikan (menyatukan) atau bahkan memaksa para anggotanya untuk bekerjasama walaupun dalam kadar minimal sehingga mereka dapat membuat keputusan-keputusan yang otoritatif. A. Pengertian : Input tuntutan dan Input Dukungan Input : Tuntutan Input tuntutan ini pada dasarnya merupakan bahan baku, dan sekaligus merupakan informasi yang berharga bagi sebuah sistem politik yang berasal dari masyarakat untuk mengambil suatu keputusan/kebijakan umum. Tuntutan berasal dari orangorang atau kelompok-kelompok yang ada di tengah masyarakat yang merasa tidak puas dengan keadaan yang ada. Ketidakpuasan tersebut dapat berupa kelangkaan akan sebagian besar hal-hal atau benda-benda yang bernilai tinggi. Beberapa dari tuntutan akan nilai-nilai yang relatif langka itu tidak pernah masuk ke dalam sistem politik sebelum dipenuhi melalui perundingan-perundingan pribadi. Input tuntutan itu dapat berupa : pendidikan, lapangan kerja, gaji, fasilitas kerja, harga-harga, suplai kebutuhan pokok, lingkungan hidup, masalah kegamaan, gender, moral, kebudayaan dan lain-lain. Input tuntutan dapat dibagi ke dalam dua macam, yaitu tuntutan eksternal dan tuntutan internal : 1. Tuntutan eksternal. Tuntutan eksternal adalah tuntutan yang berasal dari luar sebuah sistem politik. Lingkungan sistem politik ini terdiri dari sistem-sistem lain seperti ekonomi, kebudayaan, ekologi, pribadi-pribadi, dan demografi. Masing-masing sistem tersebut merupakan suatu kumpulan besar variabel-variabel yang membantu atau mempengaruhi pembentukan jenis tuntutan yang masuk ke dalam sistem politik. 104 2. Tuntutan internal. Jenis tuntutan ini berbeda dengan pengertian tuntutan eksternal, yaitu sebuah tuntutan yang berasal dari luar sistem politik.. Sangat perlu bagi kita untuk membedakan tuntutan internal dengan tuntutan eksternal oleh karena tuntutan internal bukanlah input yang dimasukkan ke dalam sistem politik, akan tetapi merupakan suatu jenis tuntutan yang timbul dari dalam sistem itu sendiri atau disebut juga dengan withinput. Bagaimana agar tuntutan-tuntutan tersebut dapat diubah menjadi isu-isu politik dan faktor apa yang menentukan sehingga suatu tuntutan dapat menjadi suatu masalah yang dapat menimbulkan diskusi politik yang serius, atau tetap merupakan sesuatu yang harus diselesaikan secara pribadi oleh anggota masyarakat tersebut ? Timbulnya suatu tuntutan, baik internal maupun eksternal tidak begitu saja akan menjadi sebuah isu politik yang mendapat perhatian para pengambil keputusan. Banyak tuntutan yang hilang begitu saja begitu diajukan kepada pembuat keputusan / pembuat kebijakan umum, ataukah proses pengajuannya seret dan bertele-tele hanya karena didukung oleh anggota masyarakat yang kurang berpengaruh dan tidak pernah bisa masuk ke dalam tingkat pembuatan keputusan, sedangkan yang lain mungkin menjadi isu politik. Isu politik merupakan suatu tuntutan yang oleh anggota-anggota masyarakat ditanggapi dan dianggap sebagai hal yang penting untuk dibahas melalui saluran-saluran yang diakui dalam sistem itu. Bila kita ingin memahami proses perubahan tuntutan menjadi isu, maka kita harus mendapatkan data yang cukup seperti ; (a) mengetahui hubungan antara suatu tuntutan dengan lokasi dari pencetusnya atau pendukungnya dalam struktur kekuasaan pada masyarakat tersebut, (b) pentingnya kerahasiaan jika dibandingkan dengan publisitas atau keterbukaan dalam mengajukan tuntutan tersebut, (c) masalah waktu diajukannya tuntutan tersebut, (d) kecakapan dan pengetahuan politik, (e) penguasaan saluran komunikasi, (f) sikap dan suasana pemikiran masyarakat, dan (g) gambaran yang dimiliki oleh pencetus tuntutan itu mengenai cara kerja sistem politik tertentu. Jawaban terhadap masalah-masalah ini mungkin akan merupakan suatu indeks pengubahan atau konversi yang mencerminkan probabilitas bagi suatu kumpulan tuntutan untuk bisa diubah menjadi sebuah isu politik yang hidup. B. Input : Dukungan Untuk dapat tetap mempertahankan kelangsungan hidupnya, suatu sistem politik juga memerlukan energi dalam bentuk dukungan. Bentuk-bentuk dukungan itu berupa tindakan-tindakan atau pandangan-pandangan yang memajukan ataukah merintangi sistem politik. Jadi input dukungan berfungsi untuk merintangi ataukah memajukan suatu pengambilan keputusan atau kebijakan umum. Jenis input ini 105 disebut juga dengan support inputs. Tanpa dukungan, tuntutan tidak akan bisa terpenuhi atau konflik mengenai tujuan tidak akan terselesaikan. Jika sebuah tuntutan ingin mendapatkan tanggapan, kelompok kepentingan yang memperjuangkan satu tuntutan menjadi sebuah keputusan/kebijakan umum yang mengikat, maka kelompok kepentingan tersebut harus mampu memperoleh dukungan dari pihak-pihak lain yang ada di dalam sistem politik tersebut. Menurut David Easton dalam (Mas’oed dan MacAndrews : 2000), tingkah laku mendukung ada dua macam; (a) Tindakan-tindakan yang mendorong pencapaian tujuan, kepentingan, dan tindakan orang lain yang mungkin berwujud memberikan suara yang mendukung, membela, atau mempertahankan tindakan tersebut. tindakan mendukung dalam bentuk tindakan nyata dan terbuka ini disebut juga dengan istilah over action. Sebaliknya, tingkah laku mendukung ini mungkin tidak berwujud tindakan yang nampak nyata dari luar, tetapi merupakan bentuk-bentuk tingkah laku “batiniah” yang kita sebut pandangan atau suasana pemikiran. Suasana pemikiran yang mendukung (supportif) merupakan kumpulan sikap-sikap atau kecendrungan-kecendrungan yang kuat, ataukah suatu kesediaan untuk bertindak demi orang lain. Dalam tahap ini, memang tidak ada tindakan nyata atau terbuka akan tetapi implikasinya jelas bahwa seseorang mungkin akan melakukan suatu tindakan yang searah dengan sikapnya. Bila seseorang yang kita anggap memiliki suasana pemikiran tertentu ternyata tidak bertingkah laku atau tidak bertindak sesuai dengan suasana pemikiran tersebut, maka kita berasumsi bahwa kita tidak cukup dalam memahami dan menyelami perasaan yang sebenarnya dari orang tersebut dan hanya memperhatikan sikap yang tampak dari luar saja. C. Mekanisme Dukungan Tidak ada satu sistem politik yang dapat menghasilkan output berupa keputusankeputusan yang otoritatif jika dukungan, di samping tuntutan tidak memperoleh jalan masuk ke dalam sistem politik. Dukungan merupakan input yang penting bagi suatu sistem politik. Dukungan bagi suatu sistem haruslah dipelihara dan dikelola menjadi suatu arus dukungan yang tetap oleh karena tanpa arus dukungan yang tetap dan ajeg suatu sistem tidak akan bisa menyerap energi yang cukup memadai untuk mengubah tuntutan menjadi keputusan. Terdapat berbagai sarana yang bisa digunakan oleh unit-unit politik untuk dapat menyalurkan dukungan pada suatu sistem politik. 1. Output-output Sebagai Mekanisme Dukungan Output dari suatu sistem politik dapat berwujud pada suatu keputusan atau kebijakan umum. Salah satu cara untuk memperkuat ikatan antara warga negara dengan sistem politiknya adalah dengan cara menciptakan atau membuat keputusankeputusan yang dapat memenuhi tuntutan-tuntutan warga dari sebuah sistem politik. Output yang berwujud keputusan atau kebijakan umum merupakan pendorong khas bagi anggota-anggota dari suatu sistem politik untuk memberikan dukungannya. Sifat dukungan ada dua, bisa positif juga sebaliknya bisa negatif. Bila dukungan itu negatif, ada kemungkinan dukungan itu diberikan oleh karena pemberi dukungan takut terhadap hukuman. Sehingga dukungan yang diberikan sebagiannya hanyalah merupakan akibat dari ketakutan akan sanksi-sanksi atau karena paksaan. 106 2. Politisasi Sebagai Mekanisme Dukungan Begitu seorang individu lahir dan tumbuh dalam suatu masyarakat, maka pada dasarnya ia hidup dengan anggota masyarakat lainnya dalam suatu jaringan ganjaran dan hukuman (network of rewards and Funishment), berkomunikasi dengannya, dan menanamkan berbagai jenis tujuan dan norma yang telah melembaga dalam masyarakat, ilmu sosiologi menamakannya dengan istilah proses sosialisasi. Melalui proses sosialisasi ini seorang individu belajar untuk memainkan berbagai peranan sosialnya. Sebagian dari tujuan-tujuan dan norma-norma ini berkaitan dengan hal-hal yang bersifat politik yang dianggap bermanfaat dari masyarakat tersebut. Mengenai cara dan bagaimana anggota masyarakat mempelajari pola-pola politik ini, disebut dengan istilah politisasi politik. Proses politisasi masyarakat, pada awalnya dimulai ketika seorang anak meningkat dewasa harus menyerap berbagai orientasi dan sikap terhadap masalah-masalah politik yang diharapkan dimiliki oleh setiap orang dalam masyarakat tersebut. Bila harapan-harapan anggota masyarakat mengenai cara bagaimana seharusnya setiap orang bertingkah laku dalam situasi-situasi politik tertentu berbeda jauh, maka tidak mungkin dilakukan tindakan bersama dalam membuat keputusan-keputusan yang mengikat. Agar suatu sistem politik dapat tetap berfungsi dengan tertib dan tidak hancur, anggota-anggota sistem tersebut harus memeliki harapan dasar yang sama dalam hal patokan-patokan atau ukuran-ukuran yang harus diterapkan untuk membuat penilaian politik, cara seorang berpikir tentang berbagai masalah politik, dan cara anggota-anggota sistem memandang dan menafsirkan gejala politik. Mekanisme yang dipakai selama proses balajar ini, dan yang sangat relevan dengan proses politisasi adalah yang pertama, proses belajar atau politisasi bagi individu tidak pernah berhenti yang dimulai dari masa kanak-kanak. Kedua, politisasi melibatkan suatu jaringan ganjaran dan hukuman. Dengan menyelaraskan diri dengan masyarakat kita akan mendapatkan keuntungan karena dihormati, kekayaan, kesempatan-kesempatan yang lebih baik. Akan tetapi kalau kita mengingkari masyarakat di luar batas, kita akan ditolak, tidak dihargai, dan seringkali menderita kerugian material. Ketiga, komunikasi yang berulang-ulang mengenai tujuan-tujuan dan norma-norma kepada seluruh anggota masyarakat melalui mitos, doktrin, dan filsafat politik dalam rangka menanamkan suatu penafsiran tertentu mengenai tujuan-tujuan dan norma-norma kepada setiap generasi. Unsur-unsur yang sangat menentukan dalam proses penanaman dan pewarisan nilai-nilai tersebut adalah orang tua, saudara, teman sepergaulan, guru, organisasi dan pemimpin masyarakat, serta lambang-lambang negara seperti bendera, upacara-upacara yang dipenuhi makna politik. Bila keterikatan (attachment) politik itu menjadi mengakar dan sangat kuat melembaga ditengah masyarakat, sistem politik tersebut telah memiliki legitimasi yang tinggi. Dengan demikian, politisasi secara efektif bisa membentuk jalan dengan mana ukuran-ukuran legitimasi diciptakan dan diwariskan kepada generasi berikutnya dalam sistem politik tersebut. secara empiris terbukti bahwa suatu sistem politik dapat bertahan hidup lama disebabkan oleh dukungan yang ditumbuhkan dan dipelihara oleh keyakinan yang mendalam akan legitimasi pemerintahannya. Keyakinan yang mendalam tersebut diperoleh melalui proses politisasi. 107 SOSIALISASI POLITIK, BUDAYA POLITIK, DAN PARTISIPASI POLITIK A. SOSIALISASI POLITIK 1. Pengertian Sosialisasi Politik. Berbagai pengertian dan batasan mengenai sosialisasi politik sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana terkemuka yang dirangkum oleh Sri Jutmini dan Winarno (2007), adalah sebagai berikut : a. Kenneth P. Langton Sosialisasi politik dalam pengertian luas merujuk pada cara masyarakat dalam mentransmisikan budaya politiknya dari generasi ke generasi b. Richard E. Dawson Sosialisasi politik dapat dipandang sebagai pewarisan pengetahuan, nilai-nilai dan pandangan-pandangan politik dari orang tua, guru, dan sarana-sarana sosialisasi lainnya kepada warga negara baru dan mereka yang menginjak dewasa. c. Dennis Kavanagh Sosialisasi politik adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses di mana individu belajar tentang politik dan mengembangkan orientasi terhadap politik. d. Prewitt dan Dawson Sosialisasi politik didefinisikan sebagai proses bagaimana warga negara memperoleh pandangan-pandangan politik yang merupakan perkumpulan cara yang telah menjadi pegangan bagi kehidupan politik bangsanya. e. Cholisin Sosialisasi politik merupakan proses transmisi orientasi politik dan budaya politik bangsanya (sistem politik nasionalnya) agar warga negara memiliki kematangan politik (sadar akan hak dan kewajibannya sesuai dengan yang ditentukan dalam politik nasionalnya). Sosialisasi politik sebagaimana yang dikemukakan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam (Mas’oed dan MacAndrews : 2000 : 34), adalah bagian dari proses sosialisasi yang khusus membentuk nilai-nilai politik yang menunjukkan bagaimana seharusnya masing-masing anggota masyarakat berpartisipasi dalam sistem politiknya. Kebanyakan anak-anak, sejak masa kanak-kanaknya belajar memahami sikap-sikap dan harapan-harapan politik yang hidup dalam masyarakatnya. Jadi sosialisasi politik menunjuk pada proses-proses pembentukan sikap-sikap politik dan pola-pola tingkah laku. Di samping itu sosialisasi poltik juga merupakan sarana bagi suatu generasi untuk “mewariskan” patokan-patokan dan keyakian-keyakinan politik kepada generasi sesudahnya. Proses ini disebut transmisi kebudayaan. Terdapat dua hal yang harus diperhatikan mengenai proses sosialisasi politik ini. Pertama, sosialisasi ini berjalan terus menerus selama hidup seseorang. Sikap-sikap 108 yang terbentuk selama masa kanak-kanak selalu disesuaikan atau diperkuat sementara ia menjalani berbagai pengalaman sosial. Pengaruh keluarga pada masa anak-anak mungkin menciptakan gambaran-gambaran yang baik mengenai suatu partai politik tertentu dalam pemikiran seseorang, tetapi pendidikan sekolah, pengalaman bekerja, dan pengaruh pergaulan mungkin saja merubah gambaran itu dengan dramatis. Juga peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman tertentu seperti perang besar atau malaise ekonomi akan meninggalkan bekas yang dalam pada seluruh masyarakat. Bagi anggota-anggota masyarakat yang lebih tua, pengalaman-pengalaman ini dapat menimbulkan resosialisasi, yaitu perubahan drastis dalam sikap-sikap mereka terhadap lembaga-lembaga politik yang ada. Tetapi pengaruh dari peristiwa-peristiwa semacam ini rupanya paling banyak menimpa golongan pemilih (electrorate) yang berusia muda, yang mempunyai sikap-sikap yang lebih fleksibel terhadap sistem politiknya. Kedua, sosialisasi politik dapat berwujud transmisi dan pengajaran yang langsung maupun tidak langsung. Sosialisasi bersifat langsung kalau melibatkan komunikasi informasi, nilai-nilai atau perasaan-perasaan mengenai politik secara eksplisit. Mata pelajaran kewarganegaraan di sekolah-sekolah merupakan contoh dari sosialisasi politik langsung. Sosialisasi politik tak langsung terutama sangat kuat berlangsung di masa kanak-kanak - sejalan dengan berkembangnya sikap penurut atau sikap pembangkang terhadap orang tua, guru, dan teman, yaitu sikap-sikap yang cenderung mempengaruhi sikapnya di masa dewasa terhadap pemimpin-pemimpin politiknya dan terhadap sesama warga negara. Sosialisasi politik membentuk dan “mewariskan” kebudayaan politik suatu bangsa. Sosialisasi politik juga bisa memelihara kebudayaan politik suatu bangsa dalam bentuk pewarisan kebudayaan itu oleh suatu generasi kepada generasi berikutnya. Sosialisasi politik juga bisa merubah kebudayaan politik, yaitu bila sosialisasi itu bisa menyebabkan penduduk atau sebagian penduduk, melihat atau mengalami kehidupan politik dijalankan dengan cara lain. Pada waktu terjadi perubahan besar atau peristiwa-peristiwa luar biasa, misalnya terbentuknya negara baru, sosialisasi politik bahkan dapat menciptakan kebudayaan politik yang baru. Memelihara, merubah, dan menciptakan kebudayaan politik adalah macam-macam fungsi yang dijalankan oleh sosialisasi politik. Kebudayaan politik seringkali berubah secara dramatis karena adanya perang atau revolusi. Kadang-kadang perubahan ini disengaja, yaitu merupakan tujuan daripada pemimpin-pemimpin atau golongan-golongan politik. Tetapi perubahan kebudayaan politik itu mungkin juga terjadi akibat tanggapan yang tidak direncanakan dan tidak disengaja dari kelompok-kelompok atau segenap masyarakat terhadap pengaruh dari peristiwa-peristiwa besar. Jerman Barat (Jerman saat ini) dan Kuba merupakan contoh masyarakat yang mengalami perubahan kebudayaan di bidang politiknya. 2. Tipe Sosialisasi Politik Tipe sosialisasi politik yang dimaksud adalah bagaimana cara atau mekanisme sosialisasi politik berlangsung. Oleh karena itu, tipe sosialisasi politik dapat disebut pula dengan mekanisme sosialisasi politik. Ada dua tipe sosialisasi politik yaitu tidak langsung dan langsung. 109 a. Sosialisasi politik tidak langsung Sosialisasi politik tidak langsung adalah warga negara pada mulanya berorientasi pada hal-hal yang bukan politik (non-politik), namun kemudian mempengaruhinya untuk memiliki orientasi politik. Terdapat dua tahap dalam sosialisasi politik tidak langsung yaitu tahap pertama berorientasi pada non-politik, tahap kedua - orientasi pertama digunakan untuk orientasi pada politik. Sosialisasi politik secara tidak langsung ini dapat dilakukan melalui dua cara : Pengalihan Hubungan Antar Individu Hubungan antar individu yang pada mulanya tidak berkaitan dengan politik, namun nantinya akan terpengaruh ketika berhubungan atau berorientasi dengan kehidupan politik. Contohnya, hubungan mahasiswa dengan dosen nantinya akan membentuk siswa manakala ia bertemu dengan bupati. Magang Magang merupakan bentuk aktivitas sebagai sarana belajar. Magang di tempattempat tertentu atau organisasi non-politik, nantinya akan mempengaruhi seseorang ketika berhubungan dengan politik. Contohnya, mahasiswa ikut organisasi kemahasiswaan, dalam organisasi tersebut mereka belajar mengenai rapat, melakukan voting, dan membuat keputusan. Kegiatan ini akan sangat membantu manakala mahasiswa nanti benar-benar terjun ke dalam dunia politik praktis. Generalisasi Kepercayaan dan nilai-nilai yang diyakini selama ini yang sebenarnya tidak ada kaitannya secara langsung dengan politik dapat mempengaruhi seseorang untuk berorientasi pada objek politik tertentu. Contohnya, seseorang yang memiliki kepercayaan bahwa semua orang pada dasarnya baik, maka kepercayaan ini akan menjadikan ia berprasangka baik terhadap semua pejabat negara. Sebaliknya, jika seseorang berpendapat bahwa semua orang pada dasarnya buruk, ia akan hati-hati manakala bertemu dengan pejabat. Jadi kepercayaan atau nilai-nilai yang diyakini digeneralisasikan kepada kehidupan politik. b. Sosialisasi Politik Langsung Tipe sosialisasi politik langsung berlangsung dalam satu tahap saja, yaitu bahwa halhal yang diorientasikan dan ditransmisikan adalah hal-hal yang bersifat politik saja. Sosialisi politik langsung dapat dilakukan melalui beberapa cara yaitu sebagai berikut : Peniruan Perilaku (imitasi) Proses menyerap atau mendapatkan orientasi politik dengan cara meniru orang lain. Yang ditiru bukan hanya pandangan politik, tetapi juga sikap-sikap politik, keyakinan politik, harapan mengenai politik, tingkah laku politik, serta keterampilan dalam berpolitik. Sosialisasi Antisipatori 110 Sosialisasi politik dengan cara belajar bersikap dan berperilaku seperti tokoh politik yang diidealkan. Pendidikan Politik Sosialisasi politik melalui pendidikan politik adalah upaya yang secara sadar dan sengaja serta direncanakan untuk menyampaikan, menanamkan, dan memberikan pelajaran kepada anak untuk memiliki orientasi politik tertentu. Pendidikan politik bisa dilakukan di sekolah, organisasi, partai politik, media massa, diskusi politik, serta forum-forum politik. Pengalaman Politik Pengalaman politik adalah belajar langsung dalam kegiatan-kegiatan politik atau kegiatan-kegiatan yang sifatnya publik. Terlibat langsung dalam kegiatan partai politik. 3. Sarana Sosialisasi Politik Sosialisasi dijalankan melalui bermacam-macam lembaga. Beberapa diantaranya seperti pelajaran kewarganegaraan di sekolah-sekolah dengan sengaja direncanakan demi tujuan sosialisasi politik. Berikut ini adalah beberapa sarana sosialisasi politik. Keluarga, pengaruh kehidupan keluarga baik yang langsung maupun yang tidak langsung - yang merupakan struktur sosialisasi pertama yang dialami seseorang sangat kuat dan kekal. Yang paling jelas pengaruhnya dari keluarga adalah dalam hal pembentukan sikap terhadap wewenang kekuasaan (authority). Keluarga biasanya membuat keputusan bersama, dan bagi si anak keputusan-keputusan yang dibuat itu bisa otoritatif, dalam arti keengganan untuk mematuhinya dapat mengundang hukuman. Pengalaman berpartisipasi dalam pembuatan keputusan keluarga dapat meningkatkan perasaan kompetensi politik si anak, memberinya kecakapankecakapan untuk melakukan interaksi politik, serta membuatnya lebih mungkin berpartisipasi dengan aktif dalam sistem politik sesudah menjadi dewasa. Keluarga juga membentuk sikap-sikap politik masa depan dengan menempatkan individu dalam dunia kemasyarakatan luas; dengan membentuk ikatan-ikatan etnik, linguistik, religius, dan kelas sosialnya; dengan memperkuat nilai-nilai dan prestasi kultural dan pendidikannya; dan dengan mengarahkan aspirasi-aspirasi pekerjaan dan ekonominya. Sekolah, orang yang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap kehidupan mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, memperoleh lebih banyak informasi tentang proses-proses politik, dan lebih kompeten dalam tingkah laku politiknya. Sekolah memberi pengetahuan kepada kaum muda tentang dunia politik dan peranan mereka di dalamnya. Sekolah memberi pandangan yang lebih konkrit tentang lembaga-lembaga politik dan hubungan-hubungan politik. Sekolah juga merupakan saluran pewarisan nilai-nilai dan sikap-sikap masyarakatnya. Sekolah dapat memegang peranan penting dalam pembentukan sikap-sikap terhadap “aturan permainan politik” (rule of the political game) yang tidak tertulis seperti menanamkan nilai-nilai kewajiban warganegara, hubungan politik informal, dan integritas politik. Sekolah dapat mempertebal kesetiaan terhadap sistem politik dan memberikan simbol-simbol umum untuk menunjukkan tanggapan yang ekspresif 111 terhadap sistem itu, seperti bendera nasional, dan ikrar kesetiaan “padamu negeri”. Pengajaran sejarah nasional juga berfungsi memperkuat kesetiaan kepada sistem politik. Kelompok Pergaulan, Meskipun sekolah dan keluarga merupakan sarana yang paling jelas terlibat dalam proses sosialisasi, ada juga beberapa unit social lain yang bisa membentuk sikap-sikap politik seseorang. Salah satunya adalah kelompok pergaulan, termasuk kelompok bermain di masa kanak-kanak, kelompok persabatan, dan kelompok kerja yang kecil, di mana setiap anggota mempunyai kedudukan yang relatif sama dan saling memiliki ikatan-ikatan yang erat. Setiap individu dalam kelompok itu menyesuaikan pendapatnya dengan teman-temannya mungkin karena ia menyukai atau menghormati mereka, atau mungkin pula karena ia ingin sama dengan mereka. Jadi kelompok pergaulan itu mensosialisasikan angota-anggotanya dengan cara mendorong atau mendesak mereka untuk menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap atau tingkah laku yang dianut olah kelompok itu. Seseorang mungkin menjadi tertarik pada politik, atau mulai mengikuti peristiwa-peristiwa politik karena teman-temannya berbuat begitu. Seorang anak lulusan sekolah menengah mungkin memilih masuk ke suatu perguruan tinggi karena pelajar-pelajar lain temannya berbuat hal serupa. Dalam hal ini, individu tersebut merubah kepentingan dan tingkah lakunya agar sesuai dengan kelompoknya sebagai usaha agar ia tetap diterima oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Pekerjaan, Pekerjaan - dan organisasi-organisasi formal maupun nonformal yang dibentuk berdasar lingkungan pekerjaan tersebut, seperti serikat buruh, klub sosial, dan semacamnya - juga merupakan saluran komunikasi informasi dan keyakinan yang jelas. Individu-individu mengidentifikasikan diri dengan suatu kelompok tertentu dan menggunakan kelompok itu sebagai acuan (reference) dalam kehidupan politik. Mereka menjadi sensitif terhadap norma-norma kelompok itu dan menilai tidakantindakannya berdasar perhitungan apa yang paling baik bagi kelompok itu. Berpartisipasi dalam suatu tawar-menawar kolektif atau dalam suatu demonstrasi dapat merupakan pengalaman sosialisasi yang berkesan mendalam baik bagi pihak buruh maupun pihak majikan. Buruh yang berdemonstrasi dapat mengetahui bahwa ia dapat mempengaruhi bentuk keputusan yang akan mempengaruhi masa depannya yang sedang dibuat, di samping ia juga dapat memperoleh pengetahuan tentang kecakapan-kecakapan bertindak tertentu seperti berdemonstrasi dan mogok, yang bisa berguna kelak ketika ia berpartisipasi lagi dalam bentuk-bentuk kegiatan politik lain. Media Massa. Masyarakat modern tidak dapat hidup tanpa komunikasi yang luas, cepat, dan secara umum seragam. Informasi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di mana saja di dunia segera menjadi pengetahuan umum dalam beberapa jam saja. Sebagian besar masyarakat dunia - terutama bagian-bagiannya yang modern - telah menjadi satu kelompok penonton tunggal, yang tergerak hatinya oleh peristiwaperistiwa yang sama dan dirangsang oleh selera yang sama. Kita tahu bahwa media massa - surat kabar, radio, televisi, majalah - memegang peranan penting dalam menularkan sikap-sikap dan nilai-nilai modern kepada bangsa-bangsa yang baru merdeka. Di samping memberikan informasi tentang peristiwa-pristiwa politik, media massa juga menyampaikan, langsung maupun tidak, nilai-nilai utama yang dianut 112 oleh masyarakatnya. Beberapa simbol tertentu disampaikan dalam suatu konteks emosional, dan peristiwa-peristiwa yang digambarkan di sekitar simbol itu mengambil warna yang emosional. Karena itu, sistem media massa yang terkendali merupakan sarana kuat dalam membentuk keyakinan-keyakinan politik. Kontak-kontak Langsung, Tidak peduli betapa positif pandangan terhadap sistem politik yang telah ditanamkam oleh keluarga atau sekolah, tetapi bila seseorang diabaikan oleh partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan tanpa ditolong, dan dipaksa masuk wajib militer, pandangannya terhadap dunia politik sangat mungkin berubah. Partai politik, kampanye pemilihan umum, krisis-krisis politik luar negeri dan perang, dan daya tanggap badan-badan pemerintah terhadap tuntutan-tuntutan individu dan kelompok-kelompok dapat mempengaruhi kesetiaan dan kesediaan mereka untuk mematuhi hukum. B. BUDAYA POLITIK Kebudayaan politik termasuk kajian dari ilmu politik. Banyak sarjana ilmu politik yang telah berupaya merumuskan makna budaya politik. Pendapat mereka tentang budaya politik terangkum dalam (Sri Jutmini dan Winarno : 2007), adalah sebagai berikut : a. Gabriel Almond dan Sidney Verba Budaya politik mengacu pada sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan bagian-bagiannya dan sikap terhadap peranan warga negara dalam sistem itu. b. Kay Lawson Budaya politik adalah terdapatnya satu perangkat yang meliputi seluruh nilai-nilai politik yang terdapat di seluruh bangsa. Berdasar berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan tentang budaya politik adalah sebagai berikut, Budaya politik dapat saja berupa perilaku aktual warga negara yang seperti tindakan, tetapi juga menekankan pada perilaku non-aktual yang berupa orientasi, seperti pengetahuan, sikap nilai, kepercayaan, dan penilaian warga negara terhadap suatu objek politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik. Objek pembicaraan warga negara adalah kehidupan politik pada umumnya. Budaya politik menggambarkan orientasi politik warga negara dalam jumlah besar, tetapi kadangkala juga perseorangan. Kalau kita mengacu pada pendapat Gabriel Almond dan Sidney Verba di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pada hakikatnya budaya politik mencakup dua hal, yaitu : orientasi warga negara terhadap objek politik, dan Sikap warga negara terhadap peranannya sendiri dalam sistem politik. 113 1. Orientasi Politik dan Objek Politik Salah satu makna dari budaya politik adalah orientasi warga negara terhadap subjek politik. Apa itu orientasi warga negara dan apa itu objek politik? Kata “orientasi” bermakna luas meliputi melihat, mengenal, pandangan, pendapat, sikap, penilaian, pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, dan lain-lain. Oleh karena itu, orientasi warga negara meliputi tiga komponen orientasi yaitu : koginitif, afektif, dan evaluatif. Orientasi kognitif yaitu, orientasi warga negara yang sifatnya kognitif atau pengetahuan seperti pengetahuan, wawasan, kepercayaan dan keyakinan warga negara terhadap suatu objek politik. Orientasi afektif yaitu, orientasi warga negara yang sifatnya afektif atau sikap, seperti sikap-sikap, nilai-nilai, dan perasaan warga negara terhadap objek politik. Orientasi evaluatif yaitu, orientasi warga negara yang sifatnya evaluatif atau penilaian, seperti pendapat dan penilaian warga negara terhadap suatu objek politik. Objek politik adalah hal yang dijadikan sasaran dari orientasi politik warga negara. Objek politik yang dijadikan sasaran orientasi itu meliputi tiga hal sebagai berikut : Objek politik umum atau sistem politik secara keseluruhan meliputi sejarah bangsa, simbol negara, wilayah negara, kekuasaan negara, konstitusi negara, lembagalembaga negara, pimpinan negara dan hal lain dalam politik yang sifatnya umum. Objek politik input, yaitu lembaga atau pranata politik yang termasuk proses input dalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik input ini seperti partai politik, kelompok kepentingan, organisasi masyarakat, pers, dukungan dan tuntutan. Objek politik output yaitu, lembaga atau pranata politik yang termasuk proses output dalam sistem politik. Lembaga yang termasuk dalam kategori objek politik output ini seperti birokrasi, lembaga peradilan, kebijakan, keputusan, undang-undang, dan peraturan. Berdasarkan uraian di atas kita dapat mengatakan bahwa orientasi warga negara terhadap objek politik merupakan serangkaian pengetahuan, sikap, dan penilaian warga negara terhadap objek poltik, baik objek politik secara umum, objek politik input, maupun objek politik dalam proses output di dalam sistem politik. Meskipun komponen orientasi politik dapat dipisah-pisahkan, akan tetapi dalam kenyataannya ketiga komponen orientasi politik tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Ketiga komponen itu saling berkaitan, saling berhubungan, dan saling mempengaruhi (Sri Jutmini dan Winarno 2007 : 7). Lebih jauh Sri Jutmini dan Winarno memberikan contoh : “seorang warga negara diminta untuk menilai seorang pemimpin negara maka jawaban warga negara tersebut akan dipengaruhi oleh pengetahuannya terhadap pemimpin itu dan sikapnya sendiri terhadap pemimpin tersebut. Sikap warga negara terhadap peranannya sebagai subjek politik adalah sikap individu terhadap partisipasinya sendiri dalam sistem politik. Warga negara sendiri dalam kehidupan bernegara memiliki peranan, tugas, hak, dan kewajiban-kewajiban tertentu. Sebagai warga negara, dia dapat mempertanyakan kepada diri sendiri apakah merasa memiliki dan mampu menjalankan seluruh peranan ataukah dia merasa tidak memiliki dan tidak mampu menjalankan peranan tersebut dalam 114 kehidupan politik. Dengan demikian pribadinya sendiri sebagai warga negara dijadikan sasaran sikap dan orientasi dan pada saat itu ia merupakan suatu objek politik. Orientasi warga negara terhadap objek politik dapat menghasilkan dua orientasi yang berbeda yaitu : orientasi yang loyal atau setia terhadap sistem politik (alliegensi), dan orientasi yang terasing atau tersisihkan dari sistem politik (allienasi). Di antara dua orientasi tersebut terdapat orientasi apatis (apathy), yaitu seseorang tidak mau tahu, bersikap acuh atau masa bodoh terhadap objek politik. Dengan demikian sikap warga negara terhadap peranannya dalam sistem politik menghasilkan dua orientasi yang berbeda, yaitu orientasi yang partisipan atau aktif dan orientasi yang pasif. 2. Tipe-tipe Budaya Politik Orientasi warga negara terhadap sistem atau objek politik berbeda-beda dan beragam. Berdasarkan hal ini maka terdapat variasi budaya politik. Menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam (Sri Jutmini dan Winarno : 2007 : 8), mengklasifikasikan budaya politik menjadi tiga kebudayaan politik yaitu : Budaya politik parokial; Budaya politik subjek; Budaya politik partisipan. Ukuran yang digunakan untuk membedakan ketiga jenis budaya politik tersebut adalah derajat orientasi warga negara terhadap objek politiknya. Dengan adanya perbedaan orientasi warga negara terhadap objek politik memunculkan tiga budaya politik yang berbeda pula, ketiga budaya politik tersebut digambarkan sebagai berikut : a. Budaya Politik Parokial Dalam budaya politik parokial, orientasi politik warga negara terhadap keseluruhan objek politik , baik umum, input, dan output, serta pribadinya mendekati nol atau dapat dikatakan rendah. Berdasarkan hal ini maka ciri-ciri budaya politik parokial adalah sebagai berikut : 1. Warga negara cenderung tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas, kecuali yang ada disekitarnya. 2. Warga tidak banyak berharap atau tidak memiliki harapan-harapan tertentu dari sistem politik di mana ia berada. 3. Kesadaran anggota masyarakat akan adanya pusat kewenangan atau kekuasaan dalam masyarakatnya. 4. Berlangsung dalam masyarakat yang tradisional dan sederhana. 5. Belum adanya peran-peran politik yang khusus, peran politik dilakukan serempak bersamaan dengan peran ekonomi, keagamaan dan lain-lain. 6. Berkaitan dengan di atas maka pelaku politik tidak hanya menjalankan peran politik tetapi berperan lain di masyarakat tersebut, contohnya : seorang kepala suku tidak 115 hanya memimpin suku, tetapi juga sekaligus penguasa ekonomi, pemimpin spiritual dan panglima perang. b. Budaya Politik Subjek Dalam budaya politik subjek, orientasi politik warga negara terhadap objek politik umum dan objek politik output adalah mendekati satu atau dapat dikatakan orientasinya tinggi. Sebaliknya orientasi warga negara terhadap objek politik input dan peranannya sendiri adalah mendekati nol atau dapat dikatakan rendah. Berdasarkan hal tersebut berikut ini adalah ciri-ciri budaya politik subjek : 1. Warga negara menaruh kesadaran, minat, dan perhatian terhadap sistem politik pada umumnya dan terutama pada objek politik output, sedangkan kesadarannya terhadap input dan kesadarannya sebagai aktor politik rendah. 2. Warga negara menyadari sepenuhnya akan otoritas pemerintah 3. Mereka tidak berdaya mempengaruhi, bahkan tunduk dan patuh saja terhadap segala kebijakan dan keputusan yang ada di masyarakatnya. 4. Sikapnya sebagai aktor politik adalah pasif, artinya tidak mampu berbuat banyak untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik. 5. Tidak banyak memberi masukan dan tuntutan kepada pemerintah, tetapi cukup puas untuk menerima apa yang berasal dari pemerintah. c. Budaya Politik Partisipan Dalam budaya politik partisipan, orientasi politik warga negara terhadap keseluruhan objek politik, baik umum, input, output, maupun pribadinya mendekati satu atau dapat dikatakan tinggi. Berdasarkan hal ini maka ciri-ciri budaya politik partisipasi adalah sebagai berikut : 1. Anggota masyarakat sangat partisipatif terhadap semua objek politik, baik menerima maupun menolak suatu objek politik. 2. Kesadaran bahwa mereka adalah warga negara yang aktif dan berperan sebagai aktivis. 3. Warga negara menyadari akan hak dan tanggungjawabnya dan mampu mempergunakan hak itu serta menanggung kewajibannya. 4. Tidak menerima begitu saja keadaan, tunduk kepada keadaan, berdisiplin, tetapi dapat menilai dengan penuh kesadaran semua objek politik, baik keseluruhan, input, output, ataupun posisi dirinya sendiri. 5. Kehidupan politik dianggap sebagai sarana transaksi seperti halnya penjual dan pembeli. Warga negara dapat menerima berdasarkan kesadarannya, tetapi juga mampu menolak berdasarkan penilaiannya. Lebih jauh menurut Gabriel Almond dan Sidney Verba, ketiga budaya politik di atas sebangun dan selaras dengan budaya politiknya, yaitu sebagai berikut : 116 Budaya politik parokial sebangun dengan sistem politik tradisional. Budaya politik subjek sebangun dengan sistem politik otoritarian. Budaya politik partisipan sebangun dengan sistem politik demokrasi. Keserasian antara budaya politik dengan sistem poltiknya akan membentuk kematangan budaya politik. Dengan demikian, kematangan budaya politik bangsa akan tergantung sejauh mana keserasian antara budaya politik dengan sistem politik dari bangsa yang bersangkutan. Semakin serasi antara struktur atau sistem politik dengan aspek-aspek budaya bangsa semakin matang pula budaya politiknya. Akan tetapi dalam kenyataannya sulit dijumpai masyarakat atau bangsa yang hanya berbudaya politik parokial, subjek atau partisipan semata. Kenyataan umumnya satu bangsa memiliki budaya politik campuran di antara ketiga tipe kebudayaan tersebut di atas. C. PARTISIPASI POLITIK Parisipasi politik adalah bentuk-bentuk keikutsertaan warga negara dalam aktivitasaktivitas politik dalam suatu negara. Bentuk-bentuk partisipasi tersebut dapat berupa keikutsertaan warga negara dalam proses pembuatan keputusan politik, ikut memberikan suara pada pemilihan umum, dan ikut menduduki jabatan-jabatan baik politik maupun pemerintahan. Kecendrungan warga negara untuk ikut berpartisipasi politik dalam bentuknya yang lebih luas bermula pada masa renaissance dan reformasi abad ke-15 sampai abad ke-17 dan abad ke-18 dan abad ke-19. Akan tetapi bagaimana cara berbagai golongan dalam masyarakat menuntut hak mereka untuk ikut berpartisipasi lebih luas dalam pembuatan keputusan politik sangat berbeda di berbagai negara. Menurut Myron Weiner dalam (Mas’oed dan MacAndrews : 2000), bahwa paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik, yaitu : 1. Penyebab Partisipasi a. Modernisasi Modernisasi menyebabkan indsustrialisasi, urbanisasi, penyebaran kepandaian bacatulis, perbaikan pendidikan, teknologi media massa, serta komersialisasi pertanian. Dari kesemuanya itu membuat sebagian besar warga negara merasa mampu mempengaruhi nasib mereka sendiri, dan mereka banyak menuntut keterlibatan dalam politik. b. Perubahan-perubahan kelas sosial Selama proses modernisasi dan industrialisasi dimulai, lapangan kerja semakin terspesialisasi, lapangan kerja semakin banyak, terbentuk kelas-kelas baru dalam masyarakat dan kelas menengah semakin meluas. Masalah tentang siapa yang berhak berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola-pola partisipasi. 117 c. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern Kaum intelektual seperti sarjana, pengarang, wartawan sering mengemukakan ideide kepada warga negara untuk membangkitkan tuntutan akan partisipasi massa yang lebih luas dalam pembuatan keputusan politik. Begitu pula sistem transportasi dan komunikasi modern akan memudahkan dan mempercepat penyebaran ide-ide baru. d. Konflik di antara pemimpin politik Ketika terjadi konflik di antara pemimpin politik, maka strategi yang sering digunakan oleh para pemimpin politik adalah melibatkan kelompok-kelompok politik yang ada dan mencari dukungan rakyat. e. Keterlibatan pemerintah yang lebih luas dalam kehidupan sosial. Meningkatnya peranan pemerintah dalam kehidupan sosial warga negara seperti ekonomi, kebudayaan, pendidikan, tentunya akan menimbulkan dampak yang lebih luas. Dampak tersebut dapat menguntungkan warga negara ataupun merugikannya. Perjuangan untuk menuntut hak secara berkelompok dalam bentuk seperti demonstrasi bagi masyarakat yang dirugikan akan memberikan kesempatan untuk berperan serta mempengaruhi suatu kebijakan pemerintah. 2. Bentuk-bentuk Partisipasi Politik Tabel berikut ini menunjukkan bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara dan berbagai waktu. Kegiatan politik konvensional adalah bentukbentuk partisipasi politik yang normal di negara demokrasi modern. Sedangkan bentuk-bentuk partisipasi yang non-konvensional termasuk beberapa yang mungkin legal (seperti petisi) maupun yang illegal, yang penuh kekerasan, dan bersifat revolusioner. Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai alat ukur untuk menilai stabilitas sistem politik, dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah tabel bentuk-bentuk partisipasi politik. Konvensional -Pemberian suara (voting)-Diskusi politik -Kegiatan kampanye -Membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan -Komunikasi individual dengan pejabat politik dan administratif Non-Konvensional -Pengajuan petisi -Demonstrasi -Konfrontasi -Mogok 118 -Tindak kekerasan politik terhadap harta benda (pengrusakan, pembakaran, bom) -Tindakan kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan) -Perang gerilya, revolusi. PEMERINTAHAN DAN BIROKRASI A. PEMERINTAHAN 1. Konsep Dasar Pemerintahan Pemikiran tentang bentuk-bentuk pemerintahan sudah tua usianya. Ilmu politik dimulai dengan klasifikasi bentuk-bentuk pemerintah dan sampai dewasa ini masalah tersebut masih tetap menarik perhatian sarjana-sarjana ilmu politik. Herodotus pernah melukiskan suatu percakapan antara tujuh saudagar Bangsa Parsi yang harus mengadakan pilihan antara bentuk-bentuk pemerintah, yaitu antara bentuk kerajaan, oligarkhi atau demokrasi. Menurut Herodotus, saudagar-saudagar Parsi tersebut memilih kerajaan sebagai bentuk pemerintah yang terbaik. Namun, Plato kemudian Aristoteles mengadakan peneyelidikan tentang bentuk-pemerintah secara mendalam dan sistematis. Menurut Isjwara (1999), Dalam kepustakaan ilmu politik dikenal adanya dua klasifikasi tradisionil dari bentuk-bentuk pemerintah. Pertama dan tertua adalah klasifikasi tri-bagian (tri-partite classification) dan kedua adalah klasifikasi duabagian (bi-partite classification). Plato adalah salah seorang sarjana yang pertamatama mengadakan pembahasan yang mendalam dan sistematis tentang bentukbentuk pemerintah. Plato membahas masalah itu dalam bab VIII dan IX dari “Republik”nya. Klasifikasi Plato tentang bentuk pemerintahan adalah sebagai berikut : Klasifikasi Bentuk-bentuk Pemerintah Menurut Plato Bentuk pemerintah yang terbaik 1. Kerajaan 2. Aristokrasi 3. Demokrasi Bentuk pemerintah yang merosot 1. Tirani 2. Oligarkhi 3. Mobokrasi Sejalan dengan bentuk-bentuk pemerintahan yang baik dan yang merosot itu ada pula warga negara yang baik dan ada yang buruk yang menempati jabatan-jabatan 119 yang tertinggi dalam negara itu. Jika Plato memberikan uraian-uraian yang filosofisidealistis tentang bentuk bentuk pemerintah, maka Aristoteles murid Plato sebaliknya mengemukakan masalah bentuk pemerintah itu secara empiris induktif. Aristoteles mengupas masalah bentuk-bentuk pemerintah setelah ia menyelidiki kurang lebih 158 konstitusi negara-negara kota Yunani yang pernah ada dan yang masih ada dalam zamannya. Dari penyelidikan-penyelidikan konstitusionil itu hanya satu yang dapat diketemukan kembali, yaitu penyelidikan tentang konstitusi kota Athena. Atas dasar penyelidikan yang empiris ini Aristoteles kemudian membuat klasifikasi bentukbentuk pemerintah atas dasar dua kriteria : secara kuantitatif, yaitu berdasarkan jumlah orang orang yang memegang kekuasaan dalam suatu negara. Dan secara kualitatif, yaitu berdasarkan pelaksanaan kesejahteraan umum oleh penguasapenguasa negara itu. Berikut ini adalah tabel yang menunjuk hal tersebut di atas : Bentuk Pemerintah Bentuk-bentuk biasa dalam mana penguasa-penguasa berusaha mewujudkan kesejahteraan umum Bentuk merosot dalam mana penguasa berusaha mewujudkan kepentingan dirinya sendiri/gol. Pemerintah seorang Pemerintah beberapa orang Pemerintah semua warga negara Monarkhi Tirani Aristokrasi Oligarkhi Polity Demokrasi Monarchy berasal dari kata-kata Yunani monos yang berarti satu dan archein yang berarti menguasai , memerintah, kerajaan adalah pemerintahan dalam hal mana seluruh kekuasan dipegang oleh seorang yang berusaha mewujudkan kesejahteraan umum. Tirani ialah bentuk pemerintahan di mana kekuasaan juga berpusat pada satu orang, tetapi yang berusaha mewujudkan kepentingan dirinya sendiri dan tidak mengindahkan kesejahteraan umum. Aristokrasi berasal dari kata aristoi, yaitu kaum bangsawan atau cendekiawan dan kratein yang berarti kekuasaan. Ialah bentuk pemerintah dalam mana kekuasaan negara berpusat pada beberapa orang yang berusaha mewujudkan kesejahteraan umum. Bentuk ini disebut aristokrasi karena orang-orang yang berkuasa adalah orang-orang yang paling baik dan senantiasa mewujudkan kesejahteraan umum. Bentuk merosotnya ialah oligarchi yang berarti oligoi atau beberapa, dan archein yakni pemerintahan beberapa orang yang mengutamakan kepentingan golongan sendiri. Polity ialah bentuk pemerintahan dalam mana seluruh warga negara turut serta mengatur negara dengan maksud mewujudkan kesejahteraan umum. Bentuk ini 120 ditafsirkan oleh Garner dalam (Isjwara : 1999), sebagai bentuk pemerintahan yang menyerupai bentuk pemerintahan demokrasi konstitusionil dewasa ini. Sedangkan menurut McIver sebagai bentuk pemerintahan di mana golongan menengah yang memegang kekuasaan pemerintahan. Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratein berarti pemerintahan, yang ekstrim disebut sebagai bentuk merosot dari polity. Aristoteles menganggap demokrasi sebagai bentuk merosot, karena berdasarkan pengalamannya sendiri penguasa-penguasa di negara negara kota yang demokratis dari zamannya seperti Athena adalah teramat korupsi. Aristoteles menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintah yang buruk, pemerosotan bentuk pemerintahan polity. Dalam hal ini Aristoteles juga berbeda dengan Plato yang menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintah yang paling buruk dari pada bentuk-bentuk pemerintah yang baik. Aristoteles menganggap demokrasi sebagai bentuk pemerintah yang merosot, karena negara yang berbentuk demokratis yang berkuasa adalah orang-orang miskin, serakah dan tidak beradab. Mereka yang pertama-tama memenuhi kebutuhannya sendiri dengan tidak mengindahkan kesejahteraan umum. Cicero (106-43 SM), seorang filosof Romawi menggolongan bentuk-bentuk pemerintahan berdasarkan prinsip yang dinamakannya concilium. Penggolongannya adalah sebagai berikut : apabila concillium itu dipegang oleh seorang, maka bentuk pemerintahan itu adalah kerajaan ; apabila dipegang oleh beberapa orang bentuk pemerintahanya adalah aristokrasi, apabila dipegang oleh seluruh rakyat bentuk adalah demokrasi. Cicero juga menerima adanya bentuk pemerintah yang merosot dari pemerintah yang baik. Dominus atau despot adalah bentuk merosot dari kerajaan dan Facto, turba et confucio adalah bentuk-bentuk merosot yang dihasilkan oleh aristokrasi dan demokrasi. Demikian pula Hobbes, menerima penggolongan tribagian dari Aristoteles. Bagi Hobbes kriterium yang membedakan satu pemerintah dari pemerintah lainnya ialah perbedaan dalam letak kedaulatan. Apabila kedaulatan terletak pada satu orang bentuk pemerintah itu ialah kerajaan, apabila pada semua warga negara, maka didapati demokrasi, dan apabila beberapa orang yang berdaulat maka bentuknya adalah aristokrasi. Dari semua jenis bentuk pemerintahan itu Hobbes mengutamakan kerajaan, teristimewa kerajaan mutlak. Bagi Hobbes tidak mengenal bentuk-bentuk merosot dari pemerintahan yang baik seperti klasifikasi Aristoteles, menurutnya tirani, oligarkhi, dan anarkhi hanya sebutan yang dipergunakan bagi mereka yang tidak puas dengan bentuk-bentuk kerajaan, aristokrasi dan demokrasi itu. John Locke juga mengemukakan teori bentuk-bentuk pemerintah yang berpangkal dari tri-bagian dari Aristoteles. Locke membedakan bentuk-bentuk pemerintahan atas kriteria wewenang membuat hukum, jadi perbedaan yang didasarkan atas letak kekuasaan legislatif. Berdasarkan kriteria tersebut Locke membedakan tiga jenis bentuk-bentuk pemerintah yaitu demokrasi, oligarkhi, dan monarkhi. Kerajaan dapat berbentuk turun-temurun, apabila yang dapat menjadi raja hanya seorang dan keturunannya saja, ataukah kerajaan elektif atau pilihan, apabila rakyat setelah raja itu meninggal, dapat menentukan penggatinya. Montesqueiu (1669-1785), juga mengikuti klasifikasi Aristoteles. Ia mendalilkan adanya tiga macam bentuk 121 pemerintah yaitu republik dengan dua bentukan tambahan demokrasi dan aristokrasi serta kerajaan dan despotisme. Dengan bentuk pemerintah republik dimaksudkan pemerintahan di mana seluruh rakyat (demokrasi) atau sebagian rakyat (aristokrasi) memegang kekuasaan tertinggi. Kerajaan adalah bentuk pemerintahan di mana satu orang memerintah, tetapi memerintah menurut undang-undang yang telah ditentukan. Despotisme adalah bentuk pemerintah di mana satu orang memerintah tanpa undang-undang dan peraturan menurut kehendak dan kesukaannya. Despotisme adalah pemerintahan yang didasarkan atas kesewenang-wenangan. Ketiga macam bentuk-bentuk pemerintahan ini masing-masing didasarkan atas asas khusus, yaitu repuplik didasarkan atas asas kebaikan warga negara yaitu demokrasi berdasarkan cinta tanah air dan persamaan, lalu aristokrasi didasarkan atas asas modernisasi, sedangkan kerajaan berdasarkan atas asas kehormatan, dan despotisme didasarkan atas asas ketakutan. Akan tetapi, disamping penerimaan tri-bagian Aristoteles itu ada pula yang menolaknya sebagai tidak mencukupi dan tidak sesuai lagi dengan perkembangan praktek-praktek bentuk-bentuk pemerintahan modern. Di samping klasifikasi tribagian, bentuk-bentuk pemerintahan dapat juga digolongkan dalam klasifikasi duabagian (two-partite classification) yaitu dalam bentuk kerajaan dan republik. Pembagian dalam dua jenis bentuk pemerintahan ini dimulai oleh Machiavelli yang memulai halaman pertama dari bukunya yang termasyhur “The Prince” dengan kalimat, “semua pemerintahan dan bentuk penguasaan yang pernah ada yang kini menguasai manusia dan yang pernah menguasai manusia adalah atau republik atau kerajaan”. Bagi Machiavelli tidak ada bentuk-bentuk pemerintahan selain kerajaan dan republik. Dalam “the prince” itu, Machiavelli menganggap bentuk kerajaan sebagai bentuk pemerintahan yang terbaik. Kedudukan raja dapat turun-temurun atau dapat didasarkan atas pemilihan. 2. Birokrasi Secara etimologis, birokrasi berasal dari kata biro (bureau) yang berarti kantor atau dinas, dan kata krasi (cracy, kratie) yang berarti pemerintahan. Dengan demikian birokrasi berarti dinas pemerintahan. Secara tipologik (tipe ideal), Max Weber dalam (Surbakti : 1999), mendeskripsikan sejumlah karakteristik birokrasi sebagai berikut : Pertama, dalam organisasi terdapat pembagian kerja dengan spesialisasi peranan yang jelas. Pembagian kerja yang jelas dan terinci ini akan membuka kesempatan untuk hanya merekrut para pegawai yang ahli dalam bidangnya dan memungkinkan masing-masing pegawai sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan tugasnya. Kedua, organisasi jabatan ini mengikuti prinsip hirarki. Artinya, jabatan yang lebih rendah berada dalam kontrol dan pengawasan jabatan yang lebih tinggi. Setiap pejabat dalam hirarki administrasi ini mempertanggungjawabkan kepada atasannya tidak saja setiap keputusan dan tindakan yang diambilnya sendiri, tetapi juga setiap keputusan dan tindakan yang diambil bawahannya. Untuk dapat mempertanggungjawabkan tindakan bawahan, pejabat memiliki kewenangan untuk memberikan pengarahan kepada bawahan dan pejabat bawahan berkewajiban menaati pejabat atasan. Ketiga, kegiatan organisasi jabatan ini dilakukan berdasarkan sistem aturan abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan aturan-aturan ini ke dalam kasus-kasus yang khusus. Sistem standar ini dirancang untuk menjamin 122 keseragaman tidak hanya dalam pelaksanaan setiap tugas, terlepas dari berapapun jumlah personil yang terlibat di dalamnya, tetapi juga dalam koordinasi berbagai tugas. Aturan dan pengaturan yang eksplisit membatasi kewajiban masing-masing anggota organisasi dan hubungan-hubungan di antara mereka. Keempat, setiap pejabat melaksanakan tugasnya dalam semangat kerja yang tinggi dan hubungan yang formal dan impersonal, yaitu tanpa perasaan benci ataupun simpati, dan karena itu tanpa afeksi atau antusiasme, artinya pejabat dalam melaksanakan tugasnya tanpa intervensi (dicampuri) dengan kepentingan personal. Perilaku diskriminatif dan ketidakefisienan hanya dapat dihilangkan apabila pertimbangan-pertimbangan pribadi tidak dilibatkan dalam pelaksanaan tugas operasional organisasi. Dalam hal ini, terdapat satu kritik terhadap Weber, yaitu hubungan-hubungan informasi yang berlangsung di antara anggotanya justru mendorong pelaksanaan kegiatan organisasi formal. Kelima, setiap pegawai dalam organisasi ini direkrut menurut prinsipi kualifikasi teknis (merit sistem), digaji dan dipensiunkan menurut pangkat dan kemampuan, dan dipromosikan menurut asas kesenioran atau kemampuan, atau keduanya. Prinsip-prinsip ini akan mendorong pengembangan kesetiaan kepada organisasi dan pengembangan semangat korps di antara para anggotanya. Hal-hal inilah yang akan mendorong para pegawai untuk memajukan tujuan-tujuan organisasi. Keenam, organisasi administrasi yang bertipe birokratis dari segi pandangan teknis murni cenderung lebih mampu mencapai tingkat efisiensi lebih tinggi. Oleh karena itu, birokrasi mengatasi masalah unik organisasi. Artinya, memaksimalkan koordinasi dan pengendalian sehingga akan tercapai tidak hanya efisiensi organisasi tetapi juga efisiensi produktif setiap pegawai. Seluruh karakteristik birokrasi itu akan menghasilkan suatu birokrasi yang tidak hanya superior dalam efektivitas, yaitu skala yang besar, tetapi juga superior dalam efisiensi. Di samping fungsi birokrasi yang positif (efektif dan efisien) seperti yang disebutkan di atas, Weber juga menyebutkan fungsi negatif dari birokrasi. Pertama, birokrasi cenderung memonopoli informasi sehingga pihak luar tidak dapat mengetahui atas dasar apa keputusan itu diambil. Konsep “rahasia jabatan” merupakan penemuan unik birokrasi, dan tidak ada yang lebih dipertahankan secara fanatik oleh birokrasi selain rahasia jabatan tersebut. kedua, apabila sudah terlembaga, birokrasi merupakan salah satu struktur sosial yang paling sukar dihancurkan. Menghapuskan birokrasi merupakan pekerjaan yang sia-sia. Tidak mungkin mengelola suatu bangsa-negara yang besar atau perusahaan swasta tanpa menggunakan spesialisasi dan keahlian yang dimiliki oleh birokrasi, pegawai dapat diganti tetapi seluruh pola administrasi yang konsisten dengan pola birokratis itu tidak mudah diubah. Ketiga, birokrasi yang sudah mapan cenderung bersifat mendua terhadap demokrasi. Pada satu pihak prinsip-prinsip persamaan di depan hukum yang melandasi kegiatan birokrasi (impersonal, sistem aturan yang homogen) mendukung pelaksanaan demokrasi, pada pihak lain birokrasi cenderung tidak tanggap terhadap pendapat umum. Baik fungsi negatif maupun fungsi positif dari birokrasi dapat dipahami sebagai akibat dari prinsip-prinsip pengorganisasian yang dimaksudkan untuk mencapai koordinasi dan pengendalian. Pada dasarnya birokrasi merupakan aparat yang melaksanakan keputusan yang dibuat dan dijabarkan oleh pemerintah. Untuk itu birokrasi berkewajiban memberikan informasi dan sumber daya manusia (keahlian) kepada pemerintah selaku pembuat peraturan, sedangkan kepada masyarakat birokrasi tidak 123 hanya memberikan pelayanan, tetapi juga menegakkan peraturan sesuai dengan kewenangan yang ada padanya. Sehubungan dengan tugas-tugas birokrasi ini dapat ditambahkan bahwa kenyataan menunjukkan birokrasi tidak hanya melaksanakan kebijakan umum, tetapi juga birokrasi yang pertama-tama mengusulkan kebijakan tersebut. berbeda dengan Weber yang memandang birokrasi sebagai netral dalam politik, dewasa ini kenyataan menunjukkan bahwa birokrasi memiliki pengaruh politik dan tindakannya ikut menentukan gerak-gerik pemerintahan. Selain itu, birokrasi bahkan berkembang menjadi penguasa ketika peraturan diterapkan kepada masyarakat. Kedua hal yang disebutkan terakhir ini merupakan gejala atau karakteristik sistem politik yang disebut birokratik polity atau birokratis-otoriter. a. New Public Manajement. Pada awalnya birokrasi dimaksudkan untuk memfasilitasi pembengunan dengan menciptakan efisiensi organisasi secara maksimum. Selama tahun 1930-an birokrasi memainkan peran utama dalam pembangunan. Namun birokrasi yang semakin kuat tersebut kemudian menunjukkan kecendrungan-kecendrungan yang kurang baik, di antaranya birokrasi menjadi sangat sulit untuk ditembus, sentralistis, top down, dan hierarki yang sangat panjang. Birokrasi justru menyebabkan kelambanan, terlalu betele-tele, dan mematikan kreativitas. Birokrasi juga dipandang mengganggu mekanisme pasar dan menciptakan distorsi ekonomi (Mardiasmo : 2004). Pada akhirnya, birokrasi justru menyebabkan inefisiensi organisasi. Lebih jauh Mardiasmo (2004), mengatakan bahwa, saat ini - ketika dunia dihadapkan pada ketidakpastian (turbulence and uncertainty), teknologi informasi yang semakin canggih, masyarakat yang semakin banyak menuntut (demanding community), dan persaingan yang semakin ketat, maka birokrasi yang seperti itu tidak akan dapat bekerja dengan baik. Untuk mengantisipasi era globalisasi dan masyarakat yang semakin cerdas (knowledge based society) birokrasi perlu melakukan perubahan menuju profesionalisme birokrasi dan lebih menekankan efisiensi. Sejak pertengahan tahun 1980-an di Eropa dan Amerika terjadi perubahan manajemen sector public yang cukup drastis dari sistem manajemen tradisional yang terkesan kaku, birokratis, dan hirarkis menjadi model manajemen publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut telah mengubah peran pemerintah terutama dalam hal hubungan antara pemerintah dan masyarakat. Paradigma baru manajemen sector publik tersebut kemudian dikenal dengan New Public Manajement. New Public Manajement berfokus pada manajemen, penilaian kinerja, dan efisiensi. Bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma New Public Manajement tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah di antaranya adalah tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetisi tender (compulsory competitive tendering - CCT). Pada dasarnya New Public Manajement merupakan konsep manajemen sektor publik yang berfokus pada perbaikan kinerja organisasi. Penerapan konsep tersebut akan berimplikasi pada perlunya dilakukan pada perubahan manajerial, terutama yang menyangkut perubahan personil dan struktur organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut di atastuntutan kebutuhan dan perubahan zaman maka Osborne dan Gaebler (1992), mengajukan suatu model pemerintahan yang dikenal dengan konsep 124 “reinventing government“. reinventing government merupakan persfektif baru bagi pemerintah. adalah sebagi berikut : a. Pemerintahan Katalis : focus pada pemberian pengarahan bukan produksi pelayanan publik. Pemerintah daerah harus menyediakan (providing) beragam pelayanan public, tetapi tidak harus terlibat secara langsung dengan proses produksinya (producing). Sebaliknya pemerintah daerah memfokuskan diri pada pemberian arahan, sedangkan produksi pelayanan public diserahkan kepada pihak swasta dan/atau sektor ketiga (lembaga swadaya masyarakat dan nonfrofit lainnya). Produksi pelayanan public oleh pemerintah daerah, harus dijadikan sebagai pengecualian. Dan bukan keharusan: pemerintah daerah hanya memperoduksi pelayanan public yang belum dapat dilakukan oleh pihak non government atau pihak swasta. Pada saat sekarang ini, telah banyak bentuk pelayanan public yang dapat diproduksi oleh sector swasta dan sector ketiga (LSM). Bahkan pada beberapa negara, penagihan pajak dan retribusi sudah lama dikelola oleh pihak bukan pemerintah. b. Pemerintah Milik Masyarakat : memberi wewenang pada masyarakat dari pada melayani. Pemerintah daerah sebaiknya memberikan wewenang kepada masyarakat sehingga mereka mampu menjadi masyarakat yang mampu menolong dirinya sendiri (community self-help). Misalnya, masalah keselamatan umum adalah juga merupakan tanggungjawab masyarakat, tidak hanya tugas kepolisian. Oleh karenanya kepolisian semestinya tidak hanya memperbanyak polisi untuk menanggapi peristiwa criminal, tetapi juga membantu warga untuk memecahkan masalah yang meyebabkan timbulnya tindakan criminal. Contoh lainnya adalah pemerintah mengembangkan usaha kecil, pemberian wewenang optimal kepada asosiasi pengusaha kecil untuk memmecahkan masalah yang mereka hadapi. c. Pemerintah yang Kompetitif : memotivasi semangat kompetisi dalam pemberian pelayanan public. Kompetisi adalah satu-satunya cara untuk menghemat biaya sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan. Dengan kompetisi, banyak pelayanan public yang dapat ditingkatkan kualitasnya tanpa harus memperbesar biaya. Perhatikan pada pelayanan pos oleh negara yang sifatnya monopoli - dengan memberikan kesempatan kompetisi yang sehat pada sector pelayanan titipan kilat akan menjadi lebih cepat dari pada kualitas ketika masih dalam bentuk pelayanan monopoli oleh pos negara dimasa lalu. d. Pemerintah yang Digerakkan oleh Misi : mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan menjadi organisasi yang digerakkan oleh misi. Mengenai apa yang dapat dan tidak dapat dilaksanakan oleh pemerintah daerah diatur dalam mandatnya. Namun tujuan pemerintah daerah bukanlah mandatnya, tetapi misinya. e. Pemerintah yang Berorientasi Kepada Hasil: membiayai hasil, bukan masukan. 125 Pada pemerintahan daerah tradisional, besarnya alokasi anggaran pada suatu unit kerja ditentukan oleh kompleksitas masalah yang dihadapi (pemerintah daerah membiayai masukan). Semakin kompleks masalah yang dihadapi, semakin besar pula dana yang dialokasikan. Kebijakan seperti ini kelihatannya logis dan adil, akan tetapi yang terjadi adalah, unit kerja yang tidak punya inisiatif untuk memperbaiki kinerjanya. Akibatnya adalah justru, mereka beranggapan bahwa semakin lama suatu permasalah dapat dipecahkan, semakin besar peluangnya untuk memperoleh banyak anggaran. Pemerintah daerah berciri wirausaha berusaha merubah bentuk penghargaan dan bentuk insentif tersebut, mereka membiayai hasil dan bukan masukan. Pemerintah daerah yang berciri wirausaha mengembangkan suatu standar kinerja, yang akan mengukur seberapa baik suatu unit kerja mampu memecahkan permasalahan yang menjadi tanggungjawabnya. Semakin baik kinerjanya, semakin banyak pula dana yang akan dialokasikan untuk mengganti semua dana yang telah dikeluarkan oleh unit kerja tersebut. f. Pemerintah Berorientasi pada Pelanggan: memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan kebutuhan birokrasi. Pemerintah daerah tradisional yang birokratis seringkali salah dalam mengidentifikasikan pelanggannya. Penerimaan pajak memang dari masyarakat dan dunia usaha, tetapi pemanfaataanya harus disetujui oleh DPRD. Akibatnya, pemerintah daerah seringkali menganggap DPRD dan semua pejabat yang ikut dalam pembahasan APBD adalah pelanggannya. Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah tradisional akan memenuhi semua kebutuhan dan keinginan birokrasi, sedangkan pada masyarakat dan dunia bisnis yang merupakan pelanggan yang sesungguhnya bagi pemerintah malah sering diabaikan. Pemerintah daerah yang berciri wirausaha akan mengidentifikasi para pelanggan yang sesungguhnya. Dengan cara seperti ini bukan berarti pemerintah akan mengabaikan DPRD, akan tetapi sebaliknya, ia menciptakan sistem pertanggungjawaban ganda (dual accountability); kepada DPRD dan kepada masyarakat luas dan dunia bisnis. Dengan demikian pemerintah daerah tidak akan arogan, tetapi secara terus menerus akan berupaya untuk lebih memuaskan masyarakat luas dan dunia bisnis. g. Pemerintah Antisipatif: berupaya mencegah darpada mengobati Pemerintah daerah tradisional yang birokratis memusatkan diri pada pelayanan public untuk memecahkan masalah public. Jenis pemerintahan yang birokratis tersebut biasanya cenderung bersikap reaktif. Seperti misalnya, Dinas Pemadam Kebakaran tidak bekerja apabila tidak ada kebakaran (masalah). Apabila tidak ada kebakaran maka tidak ada upaya pemecahan masalah berupa pencegahan agar tidak terjadi kebakaran. Akan tetapi pemerintah daerah yang berciri wiwausaha tidak bersifat reaktif akan tetapi proaktif. Ia tidak hanya mencoba untuk mencegah masalah, akan tetapi juga berupaya keras untuk mengantisipasi masa depan. Ia menggunakan perencanaan strategis untuk menciptakan visi daerah. Visi daerah tersebut sangat membantu masyarakat luas, dunia bisnis, dan pemerintah daerah sendiri untuk meraih peluang yang tidak terduga serta menghadapi krisis yang tidak terduga pula, tanpa menunggu perintah. h. Pemerintah Desentralisasi: dari hirarki menuju partisipatif dan tim kerja 126 Lima puluh tahun yang lalu, pemerintah daerah yang sentralistis dan hirarkis sangat diperlukan. Pengambilan keputusan harus berasal dari pusat, mengikuti rantai komandonya hingga sampai pada staf yang paling berhubungan dengan masyarakat dan dunia bisnis. Pada saat tersebut sistim ini sangat cocok karena teknologi informasi masih sangat primitive, komunikasi antar berbagai lokasi masih lamban, dan staf pada pemrintah daerah masih relative belum terdidik (masih sangat membutuhkan petunjuk langsung terhadap apa yang harus dilaksanakan). Akan tetapi saat ini, keadaan sudah berubah, perkembangan teknologi sudah sangat maju, kebutuhan/keinginan masyarakat dan dunia bisnis sudah semakin kompleks, serta staf pemerintah daerah sudah banyak yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, pengambilan keputusan harus digeser ke tangan masyarakat, asosiasi-asosiasi, pelanggan, dan lembaga swadaya masyarakat. i. Pemerintah Berorientasi pada (Mekanisme) Pasar: mengadakan perubahan dengan mekanisme pasar (system insentif) dan bukan bukan dengan mekanisme administratif (sistem prosedur dan pemaksaan). Ada dua cara alokasi sumber daya, yaitu mekanisme pasar dan mekanisme administratif. Dari keduanya, mekanisme pasar terbukti sebagai yang terbaik dalam mengalokasikan sumber daya. Pemerintah daerah yang bercirikan birokrasi menggunakan mekanisme administrative, sedangkan pemerintah daerah yang bercirikan wirausaha menggunakan mekanisme pasar. Dalam mekanisme administrative, pemerintah daerah tradisional menggunakan perintah dan pengendalian, mengeluarkan prosedur dan definisi baku dan kemudian memerintahkan orang untuk melaksanakannya (sesuai dengan prosedur tersebut). dalam mekanisme pasar, pemerintah daerah wirausaha tidak memerintahkan dan mengawasi, tetapi mengembangkan dan menggunakansistem insentif agar orang tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang merugikan masyarakat. Reinventing Government Steering : Pengarah Empowering:Pemberdayaan organisasi Competition:Persaingan Mission-driven:Mengarahkan pada tugas Funding outcomes : Menggunakan/melibatkan dana masyarakat (Anggaran berdasarkan kinerja). Bureaucracy Rowing : Pelaksana Service:Pelayanan rutin pemerintah dan masyarakat Monopoli: Tunggal Role-Driven:Berdasarkan arahan/ petunjuk dari satu peraturan yang seragam Budgeting inputs : Mengelola/menghabiskan Anggaran yang tersedia Dalam satu priode (Anggaran berimbang). Customer driven: Penekanan pelayanan kepada pelanggan, arah pertanggungjawaban kinerja diletakkan pada pelanggan. Bureaucracy-driven: Arah pertanggungjawaban kepada pimpinan. Team work: Bekerja sama dalam tim Hierarchy: Kontrol berdasarkan tingkatan 127 berdasarkan keahlian dan kompetensi. Market: Pelayananan berorientasi pada pasar dalam organisasi Organization: Pelayanan berorientasi pada organisasi Antisipatif : Mencegah Represif : Mengobati Konsep reinventing government muncul sebagai kritik atas kinerja pemerintah selama ini (pemerintahan yang berciri birokrasi), dan juga sekaligus sebagai antisipasi atas berbagai perubahan yang akan terjadi. Konsep ini menawarkan sepuluh prinsip dasar bagi sebuah model baru pemerintahan di masa yang akan datang. reinventing government memang merupakan konsep yang monumental, akan tetapi tanpa diikuti dengan perubahan-perubahan lain seperti bureaucracy reengineering, rightsizing, dan perbaikan mekanisme reward and punishment, maka konsep reinventing government tidak akan dapat mengatasi permasalahan birokrasi selama ini. Penerapan konsep reinventing government membutuhkan arah yang jelas dan political will yang kuat dari pemerintah dan dukungan masyarakat. Selain itu, yang terpenting adalah adanya perubahan pola pikir dan mentalitas baru di tubuh birokrasi pemerintah itu sendiri oleh karena sebaik apapun konsep yang ditawarkan jika semangat dan mentalitas penyelenggara pemerintahan masih menggunakan paradigma lama, konsep tersebut hanya akan menjadi slogan kosong tanpa membawa perubahan apa-apa. b. Good Governance Pengertian governance dapat diartikan sebagai cara mengelola urusan-urusan publik. Word Bank memberikan definisi governance sebagai “the way state power is used in managing economic ang social resources for development of society“. Sedangkan United Nation Development Program (UNDP) mendefinisikan governance sabagai “the evercise of political, economic and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels“. Dalam hal ini, Word bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya social dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menkankan pada aspek politik, ekonomi, dan administrative dalam pengelolaan negara. Political governance mengacu pada pembuatan kebijakan (policy/strategy formulation), economic governance mengacu pada proses pembuatan keputusan di bidang ekonomi yang berimplikasi pada masalah pemerataan, penurunan kemiskinan, dan peningkatan kualitas hidup. Administrative governance mengacu pada system implementasi kebijakan. Jika mengacu pada Word bank dan UNDP, orientasi pembangunan sector public adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik. Sementara itu Word Bank mendefinisikan good governance sebagai suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun secara administrative, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frame work bagi tumbuhnya aktivitas usaha. 128 Karakteristik Good Governance Menurut UNDP UNDP memberikan beberapa karakteristik pelaksanaan good governance yang meliputi : 1. Participation, keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu. 3. Transparency, transparansi dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan public secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. 4. Responsiveness, lembaga-lembaga public harus cepat dan tanggap dalam melayani stake holders. 5. Concensus Orientation, berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Equity, setiap masyarakat memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan. 7. Efficiency and effectiveness, pengelolaan sumber daya public dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). 8. Accountability, pertanggunjawaban kepada public atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Strategic Vision, penyelenggara pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan. PARTAI POLITIK DAN KELOMPOK KEPENTINGAN I. PARTAI POLITIK 1. Pengertian Partai Politik Carl friedrich dalam (Surbakti : 1999), memberi batasan mengenai partai politik, yaitu sekelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materil dan idiil kepada para anggotanya. Sementara itu, Soltau dalam (Surbakti : 1999), juga memberikan definisi partai politik sebagai kelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisasikan , yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih, bertujuan untuk menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang mereka buat. Dari uraian tersebut di atas dapat kita rumuskan pengertian partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan 129 dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang mereka susun. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah. 2. Fungsi Partai Politik Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan oleh suatu pertai politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologik oleh suatau diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh diktatorial individu (fasis). Ketika melaksanakan fungsi itu partai politik dalam sistem politik demokrasi melakukan tiga kegiatan. Adapun ketiga kegiatan meliputi seleksi calon-calon, kampanye, dan melaksanakan fungsi pemerintahan (legislatif dan / atau eksekutif). Apabila kekuasaan untuk memerintah telah diperoleh maka partai politik itu berperan pula sebagai pembuat keputusan politik. Partai politik yang tidak mencapai mayoritas di badan perwakilan rakyat akan berperan sebagai pengontrol terhadap partai mayoritas. Dalam sistem politik totaliter kalaupun dilaksanakan maka pemilihan umum lebih berfungsi sebagai sarana pengesahan calon tunggal yang telah ditetapkan lebih dahulu oleh partai tunggal. Namun, partai politik baik dalam sistem politik demokrasi maupun dalam sistem politik totaliter, juga melaksanakan sejumlah fungsi lain. Berikut ini dikemukakan sejumlah fungsi lain tersebut. a. Sosialisasi Politik Yang dimaksud dengan sosialisasi politik adalah proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat. Melalui proses sosialisasi politik inilah para anggota masyarakat memperoleh sikap dan orientasi terhadap kehidupan politik yang berlangsung dalam masyarakat. Proses ini berlangsung seumur hidup yang diperoleh secara sengaja melalui pendidikan formal, nonformal dan informal maupun secara tidak sengaja malalui kontak dan pengalaman sehari-hari baik dalam kehidupan keluarga dan tetangga maupun dalam kehidupan masyarakat. Dari segi metode penyampaian pesan, sosialisasi politik dibagi dua, yakni : pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan suatu proses dialogis di antara pemberi dan penerima pesan. Melalui proses ini, para anggota masyarakat mengenal dan mempelajari nilainilai, norma-norma, dan simbol-simbol politik negaranya dari berbagai pihak dalam sistem politik seperti sekolah, pemerintah, dan partai politik. Pendidikan politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik seperti sekolah, pemerintah, partai politik dan peserta didik dalam rangka pemahaman, penghayatan dan pemahaman nilai, norma dan simbol politik yang dianggap ideal dan baik. Melalui kegiatan kursus, latihan kepemimpinan, diskusi dan keikutsertaan dalam berbagai forum pertemuan, 130 partai politik dalam sistem politik demokrasi dapat melaksanakan fungsi pendidikan politik. Indoktrinasi politik ialah proses sepihak ketika penguasa memobilisasi dan memanipulasi warga masyarakat untuk menerima nilai, norma, dan simbol yang dianggap oleh pihak yang berkuasa sebagai ideal dan baik. Indoktrinasi politik ini dilakukan melalui berbagai forum pengarahan yang penuh dengan paksaan psikologis, dan latihan yang penuh disiplin. b. Rekrutmen Politik. Rekrutmen politik ialah seleksi dan pemilihan atau seleksi dan pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Fungsi ini semakin besar porsinya manakala partai politik itu merupakan partai tunggal seperti dalam sistem politik totaliter, atau manakala suatu partai merupakan mayoritas di dalam badan perwakilan rakyat sehingga berwenang membentuk pemerintahan dalam sistem politik demokrasi. Fungsi rekrutmen merupakan kelanjutan dari fungsi mencari dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu, fungsi rekrutmen politik sangat penting bagi kelangsungan sistem politik sebab tanpa elit yang mampu melaksanakan peranannya, kelangsungan hidup suatu sistem politik akan terancam berakhir. c. Partisipasi Politik Partisipasi politik ialah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan umum dan ikut menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan yang dimaksud antara lain mengajukan tuntutan, membayar pajak, melaksanakan keputusan, mengajukan kritik dan koreksi atas pelaksanaan suatu kebijakan umum, dan mendukung atau menentang calon pemimpin tertentu, mengajukan alternatif pemimpin, dan memilih wakil rakyat dalam pemimlihan umum. Dalam hal ini, partai politik mempunyai fungsi untuk membuka kesempatan, mendorong, dan mengajak para anggota dan anggota masyarakat yang lain untuk menggunakan partai politik sebagai saluran kegiatan mempengaruhi proses politik. Fungsi ini lebih tinggi porsinya dalam sistem politik demokrasi daripada dalam sistem politik totaliter karena dalam sistem politik yang terakhir ini lebih mengharapkan ketaatan dari para warga negara. d. Pemadu Kepentingan Dalam masyarakat terdapat sejumlah kepentingan yang berbeda bahkan kadang kala saling bertentangan seperti antara kehendak mendapatkan keuntungan sebanyakbanyaknya dan kehendak untuk mendapatkan barang dan jasa dengan harga murah tapi bermutu; antara kehendak untuk mencapai efisiensi dan penerapan teknologi yang canggih tetapi memerlukan tenaga kerja yang sedikit, dan kehendak untuk mendapatkan dan mempertahankan pekerjaan; antara kehendak untuk mencapai dan mempertahankan mutu pendidikan tinggi dengan jumlah penerimaan mahasisiwa yang lebih sedikit, dan kehendak masyarakat untuk menyekolahkan anak ke perguruan tinggi; antara kehendak menciptakan dan memelihara kestabilan politik dan kehendak berbagai kelompok seperti mahasiswa, intelektual, pers, dan kelompok agama untuk berkumpul dan menyatakan pendapat secara bebas. 131 Untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda dan bahkan sering bertentangan itu maka partai politik dibentuk. Menurut Almond dan Powel dalam (Surbakti :1999), yang dimaksud dengan fungsi pemadu kepentingan adalah kegiatan menampung , menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda menjadi berbagai alternatif kepentingan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Sebagaimana dikemukakan di atas, fungsi ini merupakan salah satu fungsi utama partai politik sebelum mencari dan mempertahankan kekuasaan. Fungsi ini sangat menonjol dalam sistem politik demokrasi. Karena dalam sistem politik totaliter, kepentingan dianggap seragam maka partai politik dalam sistem ini kurang melaksanakan fungsi pemaduan kepentingan. Alternatif kebijakan umum yang diperjuangkan oleh partai tunggal dalam sistem politik totaliter lebih banyak merupakan tafsiran atas ideologi doktriner. Dalam sistem politik demokrasi, ideologi digunakan sebagai cara memandang permasalahan dan perumusan penyelesaian permasalahan. e. Komunikasi Politik Pendapat Lucyan W. Pie dalam (Surbakti :1999), bahwa komunikasi politik adalah proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada masyarakat dan dari masyarakat kepada pemerintah. Dalam hal ini, partai politik berfungsi sebagai komunikator politik yang tidak hanya menyampaikan segala keputusan dan penjelasan pemerintah kepada masyarakat sebagaimana diperankan oleh partai politik di negara totaliter tetapi juga menyampaikan aspirasi dan kepentingan berbagai kelompok masyarakat kepada pemerintah. Kedua fungsi ini dilaksanakan oleh partai-partai politik dalam sistem politik demokrasi. Dalam melaksanakan fungsi ini partai politik tidak menyampaikan begitu saja segala informasi dari pemerintah kepada masyarakat atau dari masyarakat kepada pemerintah, tetapi merumuskannya sedemikian rupa sehingga penerima informasi (komunikan) dapat dengan mudah memahami dan memanfaatkan. Dengan demikian segala kebijakan pemerintah yang biasanya tidak terumuskan dalam bahasa teknis diterjemahkan ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat. Sebaliknya, segala aspirasi, keluhan dan tuntutan masyarakat yang biasanya tidak terumuskan dalam bahasa teknis dapat diterjemahkan oleh partai politik ke dalam bahasa yang dapat dipahami oleh pemerintah. Jadi, proses komunikasi politik antara pemerintah dan masyarakat dapat berlangsung secara efektif melalui partai politik. f. Pengendalian Konflik Konflik yang dimaksud di sini dalam arti yang luas, mulai dari perbedaan pendapat sampai pada pertikaian fisik antara individu atau kelompok dalam masyarakat. Dalam negara demokrasi, setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak menyampaikan dan memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya sehingga konflik merupakan gejala yang sukar dielakkan. Akan tetapi, tentu suatu sistem politik hanya akan mentolerir konflik yang tidak menghancurkan dirinya sehingga permasalahanya bukan menghilangkan konflik itu, melainkan mengendalikan konflik melalui lembaga demokrasi untuk mendapatkan penyelesaian dalam bentuk keputusan politik. Partai politik sebagai salah satu lembaga demokrasi berfungsi untuk mengendalikan konflik 132 melalui cara berdialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi dan kepentingan dari pihak-pihak yang berkonflik dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat untuk mendapatkan penyelesaian berupa keputusan politik. Untuk mencapai penyelesaian berupa keputusan itu diperlukan kesediaan berkompromi di antara para wakil rakyat yang berasal dari partai-partai politik. Apabila partai-partai politik keberatan untuk mengadakan kompromi maka partai politik bukannya mengendalikan konflik, melainkan menciptakan konflik dalam masyarakat. g. Kontrol Politik Kontrol politik ialah kegiatan untuk menunjukkan kesalahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanakan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Dalam melakukan suatu kontrol politik atau pengawasan harus ada tolok ukur yang jelas sehingga kegiatan itu bersifat relatif objektif. Tolok ukur suatu kontrol politik berupa nilai-nilai politik yang dianggap ideal dan baik (ideologi) yang dijabarkan ke dalam berbagai kebijakan atau peraturan perundang-undangan. Tujuan kontrol politik, yakni meluruskan kebijakan atau pelaksanaan kebijakan yang menyimpang dan memperbaiki yang keliru sehingga kebijakan dan pelaksanaannya sejalan dengan tolok ukur tersebut. fungsi kontrol ini merupakan salah satu mekanisme politik dalam sistem politik demokrasi untuk memperbaiki dan memperbaharui dirinya secara terus menerus. Dalam melaksanakan fungsi kontrol politik, partai politik juga harus menggunakan juga tolok ukur tersebut sebab tolok ukur itu pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan bersama sehingga seharusnya menjadi pegangan bersama. Dalam sistem kabinet parlementer, kontrol yang dilakukan oleh partai politik oposisi terhadap kebijakan partai yang memerintah dapat menjatuhkan partai yang berkuasa apabila mosi tidak percaya (karena pemerintah sulit memberi penjelasan yang memuaskan terhadap isi kontrol politik oposisi) mendapatkan dukungan mayoritas dari parlemen. Menurut Samuel P. Huntington dalam (Surbakti : 1999), bahwa berdasarkan kenyataan tidak semua fungsi dilaksanakan dalam porsi dan tingkat keberhasilan yang sama. Hal ini tidak hanya bergantung pada sistem politik yang menjadi konteks yang melingkupi partai politik, tetapi juga ditentukan oleh faktor lain. Di antara faktor lain itu berupa tingkat dukungan yang diberikan anggota masyarakat terhadap partai politik (berakar tidaknya partai dalam masyarakat), dan tingkat kelembagaan partai yang dapat diukur dari segi kemampuan adaptasi, kompleksitas organisasi, otonomi, dan kesatuannya. II. KELOMPOK KEPENTINGAN Kelompok kepentingan ialah sarana yang digunakan sekelompok orang yang memiliki kepentingan yang sama dan secara bersama-sama menyampaikan kepentingan mereka kepada pemerintah. Kepentingan tersebut dapat berupa kebutuhankebutuhan, keinginan-keinginan, nilai-nilai, dan harapan-harapan - yang bisa terpenuhi, akan tetapi bisa juga dikecewakan oleh tindakan-tindakan pemerintah. Seseorang ataupun sekelompok orang bisa pula diuntungkan akan tetapi bisa dirugikan oleh tindakan atau keputusan tersebut. Oleh karena itu warga negara sangat memperhatikan dan berkepentingan dengan keputusan-keputusan yang 133 dibuat oleh pemerintah. Mereka menyatakan atau mengartikulasikan kepentingan mereka kepada lembaga-lembaga politik dan pemerintah melalui kelompokkelompok yang mereka bentuk bersama dengan orang lain yang memiliki kepentingan yang sama. Walaupun kelompok kepentingan yang terorganisir tidak mudah dibedakan dengan partai politik, akan tetapi ada satu perbedaan yang nampaknya secara umum diterima. Suatu kelompok kepentingan adalah setiap organisasi yang berusaha mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah, dan pada waktu yang sama tidak berkeinginan memperoleh jabatan publik. Sebalikanya, partai politik benar-benar bertujuan untuk menguasai jabatan-jabatan publik, yaitu jabatan politik, maupun jabatan pemerintahan. Dalam praktek, perbedaan tersebut tidak setegas itu. Keanggotaan kelompok kepentingan dan keanggotaan partai politik sering tumpang tindih, dan lebih-lebih lagi, kelompok kepentingan sering terlibat dalam penyeleksian calon-calon keanggotaan partai politik dan selalu berusaha agar anggota-anggotanya terwakili dalam komisi-komisi yang dibentuk oleh pemerintah. Kadang-kadang pula kelompok kepentingan bahkan berkembang menjadi partai politik. A. JENIS-JENIS KELOMPOK KEPENTINGAN Sebagaimana dikatakan oleh Gabriel A. Almond dalam (Mas’oed dan MacAndrews : 2000), bahwa kelompok-kelompok kepentingan berbeda-beda dalam struktur, gaya, sumber pembiayaan, dan basis dukungannya. Perbedaan tersebut sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial suatu bangsa. Walaupun kelompok-kelompok kepentingan juga diorganisir berdasar keanggotaan, kesukuan, ras, etnis, agama, ataupun berdasarkan isu-isu kebijaksanaan - kelompok kepentingan yang paling kuat, paling besar, dan secara finansial paling mampu adalah kelompok yang berdasarkan pada bidang pekerjaan atau profesi. Berikut ini adalah beberapa jenis kelompok kepentingan yang dikenal, diantaranya adalah : 1. Kelompok Anomik Kelompok-kelompok anomik ini terbentuk secara spontan dan seketika, dan tidak memiliki nilai-nilai, norma-norma yang mengatur serta tidak terorganisir. Jenis kelompok ini terbentuk tanpa ada yang merencanakan sebelumnya, terjadi begitu saja, yang mungkin penyebabnya adalah ketidakpuasan yang lama menumpuk dan dilampiaskan seketika pada saat ada pemicu dan bubar dengan sendirinya. Jenis kelompok ini sering bertumpang tindih (overlap) dengan bentuk-bentuk partisipasi politik nonkonvensional seperti demonstrasi, kerusuhan, tindak kekerasan politik dan sebagainya. Sehingga apa yang dianggap sebagai perilaku anomik mungkin saja tidak lebih dari tindakan-tindakan kelompok terorganisir (bukan kelompok anomik) yang menggunakan cara-cara nonkonvensional seperti kekerasan. Boleh jadi kelompok terorganisir yang oleh karena kepentingannya tidak terwakili secara memadai dalam sistem politik, melakukan suatu insiden yang sepintas lalu terkesan terjadi secara spontan dan mengarah kepada ledakan yang tidak dapat dikendalikan lagi, bila salah memahami hakikat kejadian tersebut lalu menganggapnya sebagai tindakan kelompok anomik. Kita harus hati-hati menilai, sebab sering kali yang nampak anomik itu kadang kala merupakan tindakan yang direncanakan secara teliti oleh kelompok kepentingan yang terorganisir. 134 2. Kolompok Non-Assosiasional Kelompok kepentingan non-assosiasional pada dasarnya sudah terorganisasi, akan tetapi jarang yang terorganisir dengan rapi dan kegiatannya bersifat temporer. Kelompok ini berwujud seperti kelompok-kelompok keluarga dan keturunan atau etnik, regional, status dan kelas yang menyatakan kepentingan secara kadangkala melalui individu-individu, klik-klik, kepala keluarga, atau pemimpin agama. Secara teoretis, kegiatan kelompok non-assosiasional terutama sekali merupakan ciri masyarakat belum maju, di mana kesetiaan kesukuan atau keluarga-keluarga bangsawan mendominasi kehidupan politik. Akan tetapi dalam negara industri majupun, kelompok non-assosiasional seperti keluarga-keluarga yang masih berpengaruh, tokoh-tokoh kedaerahan, serta pemimpin-pemimpin agama seringkali menerapkan pengaruhnya yang seringkali lebih besar dari pengaruh kelompok professional. Sarana yang sering digunakan jenis kelompok ini untuk mempengaruhi pemerintah biasanya pertemuan-pertemuan informal yang sering dihadiri oleh pejabat pemerintah maupun pimpinan partai. 3. Kelompok Institusional Organisasi-organisasi seperti partai politik, perusahaan besar, badan legilatif, militer, birokrasi, dianggap sebagai kelompok kepentingan institusional atau memiliki anggota-anggota yang khusus bertanggungjawab melakukan kegiatan lobbying. Kelompok ini bersifat formal dan memiliki fungsi-fungsi politik atau sosial lain selain fungsi artikulasi kepentingan. Bila kelompok-kelompok kepentingan institusional sangat besar pengaruhnya, hal ini disebabkan oleh basis organisasinya yang kuat. Jenis kelompok kepentingan ini sangat dominan pengaruhnya di negara-negara maju, jika dibandingkan dengan jenis kelompok non-assosiasional. 4. Kelompok Assosiasional Kelompok assosiasional seperti serikat buruh, kamar dagang , atau perkumpulan pengusahan dan industri (seperti di indonesia : Kadin, Gapensi, Inkindo, dan lain-lain), paguyuban etnik, persatuan kelompok keagamaan, dan sebagainya. Secara khas kelompok ini menyatakan kepentingan dengan cara memakai tenaga staf professional serta memiliki prosedur standar untuk merumuskan kepentingan. Kelompok kepentingan ini sangat besar pengaruhnya dalam membela kepentingan mereka. Kegiatan utama mereka adalah melakukan tawar-menawar (bargaining) di luar saluran-saluran partai politik dengan pejabat-pejabat pemerintah tentang kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah, atau usul suatu rancangan undangundang di parlemen. Kelompok ini juga berusaha mempengaruhi pendapat umum (public opinion) dengan cara kampanye-kampanye lewat iklan. Studi-studi menunjukkan bahwa kelompok kepentingan assosiasional - bila diizinkan berkembang cenderung untuk menentukan perkembangan dari jenis-jenis kelompok kepentingan yang lain. Basis organisasi yang menempatkannya berada di atas kelompok kepenetingan non-assosiasional, taktik dan tujuannya sering diakui sah dalam masyarakat. Dan dengan mewakili kelompok dan kepentingan yang luas, kelompok assosiasional dengan efektif bisa membatasi pengaruh anomik, nonassosiasional, dan institusional. 135 B. BAGAIMANA MENCAPAI KAUM BERPENGARUH Agar efektif, kelompok kepentingan harus mempu mencapai atau berhubungan langsung dengan pembuat keputusan politik utama. Kelompok kepentingan dapat saja menyatakan kepentingan anggotanya secara informal maupun formal. Tetapi tanpa mampu menyusupi atau mempengaruhi struktur pembuatan keputusan politik mereka tidak akan berhasil. Kelompok-keleompok kepentingan ini memiliki strategi yang berbeda-beda untuk untuk mencapai kaum berpengaruh, dan cara mereka mengorganisir pengaruh berbeda-beda di masing-masing sistem politik. Misalnya, bila hanya ada satu saluran utama yang sah untuk mencapai kaum berpengaruh seperti dalam sistem politik yang didominasi oleh satu partai tunggal dan totaliter sangat sulit bagi semua kelompok umtuk secara efektif berhubungan langsung dengan kaum berpengaruh tersebut. tuntutan-tuntutan yang disalurkan melalui saluran yang tunggal tersebut bisa jadi diselewengkan sebelum mencapai para pembuat keputusan utama. Dengan demikian para pembuat keputusan dihalangi dalam memperoleh informasi tentang kebutuhan dan tuntutan dari kelompokkelompok kepentingan dalam masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini dengan mudah dapat membuat para pengambil keputusan tersebut salah perhitungan dan dapat menimbulkan keresahan dari kelompok-kelompok yang tidak puas yang dapat menimbulkan kerusuhan. Dalam mengkomunikasikan tuntutan politik, individu-individu yang mewakili kelompok kepentingan atau dirinya sendiri biasanya tidak hanya ingin sekadar memberi informasi. Mereka bertujuan agar pandangan-pandangan mereka dipahami oleh para pembuat keputusan yang relevan dengan kepentingan mereka, dan memperoleh tanggapan baik. Karena itulah kelompok kepentingan berusaha mencari saluran-saluran khusus untuk menyalurkan tuntutan mereka dan mengembangkan teknik-teknik penyampaian pesan agar tuntutan itu diperhatikan dan ditanggapi. Dan saluran-saluran untuk menyatakan pendapat dalam mesayarakat berpengaruh besar dalam menentukan luas dan efektifnya tuntutan kelompok kepentingan. Saluransaluran paling penting adalah sebagai berikut. 1. Demonstrasi dan Tindakan Kekerasan Salah satu sarana untuk menyatakan tuntutan adalah melalui demonstrasi dan tindak kekerasan fisik. Seperi telah kita sebut di muka, kerusuhan, demonstrasi, dan pembunuhan merupakan ciri khas kelompok kepentingan anomik, tetapi sering juga kelompok kepentingan lain menggunakan sarana ini : karena itu perlu dibedakan antara (1) tindakan kekerasan spontan oleh kelompok kepentingan anomik ; dengan (2) tindak kekerasan dan demonstrasi sebagai sarana menyatukan tuntutan yang bisa dipakai oleh kelompok kepentingan yang lain. 2. Hubungan Pribadi Sarana kedua untuk mencapai elit politik adalah melalui hubungan pribadi - misalnya dengan menggunakan keluarga, sekolah, hubungan-hubungan kedaerahan sebagai perantara. Walaupun hubungan pribadi ini umumnya dipergunakan kelompok nonassosiasional yang mewakili kepentingan keluarga atau daerah, tetapi sering juga digunakan oleh kelompok assosiasional dan kelompok kepentingan lain. Hal ini terjadi 136 di semua sistem politik, baik yang tradisional mapun yang modern. Hubungan langsung melalui tatap muka merupakan salah satu cara paling efektif dalam membentuk sikap seseorang. Bila hubungan ini terjadi dalam suasana yang ramah tamah dan bersahabat, besar kemungkinan akan memperoleh tanggapan baik. Tuntutan yang disampaikan oleh seorang teman, anggota keluarga, atau tetangga baik, lebih banyak diperhatikan daripada bila disampaikan secara formal oleh orang yang belum dikenal. 3. Perwakilan Langsung Perwakilan atau representasi langsung dalam badan legislatif dan birokrasi memungkinkan suatu kelompok kepentingan untuk mengkomunikasikan secara langsung dan kontinyu kepentingan-kepentingannya melalui seorang anggota aktif dalam struktur pembuat keputusan. Anggota kelompok kepentingan institusional pemerintahan sering mempunyai hubungan sehari-hari dengan para pembuat keputusan, dan biasanya anggota-anggotanya sendiri terlibat dalam pembuatan keputusan dalam suatu depertemen ataukah bagian pemerintahan tempat mereka beraktivitas. 4. Saluran Formal dan institusional lain Saluran-saluran lain tersebut yang harus diperhatikan salah satunya adalah media massa seperti surat kabar, radio, televisi, dan majalah. Akan tetapi bila media massa itu dikendalikan atau disensor oleh elit politik penguasa, maka fungsinya jadi merosot, atau hanya menyalurkan kepentingan kelompok yang disukai oleh penguasa saja. Dalam masyarakat terbuka media massa merupakan penyalur utama tuntutan politik dan sarana mencapai pembuatan keputusan. Saluran institusional penting kedua adalah partai politik. Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitasnya. Partai yang sangat ideologis dengan struktur oreganisasinya berbentuk hirarki seperti partai komunis, lebih cenderung untuk mengendalikan kelompokkelompok kepentingan yang berafiliasi dengannya dan kurang mengkomunikasikan tuntutan-tuntutan dari kelompok-kelompok tersebut. Saluran institusional ketiga adalah melalui badan legislatif, kabinet, maupun birokrasi. Dengan menggunakan strategi lobbying suatu tuntutan atau informasi dapat disampaikan melalui pernyataan di depan anggota parlemen, pejabat pemerintah, dan pejabat birokrasi yang lainnya. Hubungan dengan birokrasi di berbagai tingkatan dan depertemen sangat penting terutama bila wewenang pembuatan keputusan didelegasikan ke bawah. C. EFEKTIVITAS KELOMPOK KEPENTINGAN Faktor-faktor yang menentukan efektivitas kelompok kepentingan antara lain adalah kemampuan untuk mengerahkan dukungan, tenaga, dan sumber daya dari anggotaanggotanya. Begitu pula luas sumber daya yang dimiliki seperti kemampuan finansial, jumlah anggota, kecakapan politik, kesatuan organisasi dan prestisenya di mata masyarakat dan pemerintah. Di samping sifat internalnya tersebut, efektivitas kelompok kepentingan juga dipengaruhi oleh sifat dari isu dan kebijakan pemerintah yang terjadi saat itu. Misalnya, pada suatu saat kebijakan pemerintah menekankan pada pengembangan industri yang berskala besar, maka yang punya peluang lebih 137 besar untuk memiliki pengaruh adalah kelompok-kelompok kepentingan yang memiliki anggota dengan pengetahuan yang luas dan kepentingan khusus dalam bidang industri. Akan tetapi bila arah kebijakan pemerintah beralih kepada pembangunan sosial, maka kelompok-kelompok kepentingan yang mengkhususkan diri dalam perencanaan kota, perumahan, transportasi, pengobatan, dan kesejahteraan sosial akan memperoleh lebih banyak pengaruh. Efektifitas kelompok kepentingan sebagian besar juga ditentukan oleh perbedaan-perbedaan struktur pemerintahan, seperti federal, kesatuan. Begitu pula otonomi dan kebebasan kelompok kepentingan juga merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi efektivitas kelompok kepentingan tersebut. 138 VIII PENDIDIKAN Seorang calon pendidik hanya dapat melaksanakan tugasnya denga nbaik jika memperoleh jawaban yang jelas dan benar tentang apa yang dimaksud pendidikan. Jawaban yang benar tentang pendidikan diperoleh melalui pemahaman terhadap unsur-unsurnya, konsepdasar yang melandasinya, dan wujud pendidikan sebagi sistem. PENGERTIAN PENDIDIKAN 1. Batasan tentang Pendidikan Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. a. Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain. b. Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri. c. Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik. d. Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia. 2. Tujuan dan proses Pendidikan a. Tujuan pendidikan Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. 139 b. Proses pendidikan Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal. 3. Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH) PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH merupakan sesuatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh comenius 3 abad yang lalu (di abad 16). Selanjutnya PSH didefenisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstruktursn ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.(Cropley:67) Berikut ini merupakan alasan-alasan mengapa PSH diperlukan: a. Rasional b. Alasan keadilan c. Alasan ekonomi d. Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja, dan emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek e. Alasan perkembangan iptek f. Alasan sifat pekerjaan 4. Kemandirian dalam belajar a. Arti dan perinsip yang melandasi Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan sampai kepada perolehan hasil belajar. b. Alasan yang menopang Conny Semiawan, dan kawan-kawan (Conny S. 1988; 14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut: Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik. Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif. Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik. 140 B. UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu: 1. Subjek yang dibimbing (peserta didik). 2. Orang yang membimbing (pendidik) 3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif) 4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan) 5. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan) 6. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode) 7. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan) Penjelasan: 1. Peserta Didik Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah: a. Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik. b. Individu yang sedang berkembang. c. Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi. d. Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri. 2. Orang yang membimbing (pendidik) Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat. 3. Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif) Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan. 4. Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan) a. Alat dan Metode Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat pendidikan dibedakan atas alat yang preventif dan yang kuratif. b. Tempat Peristiwa Bimbingan Berlangsung (lingkungan pendidikan) Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. 141 ANDRAGOGI A. Pengertian Andragogi berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni Andra berarti orang dewasa dan agogos berarti memimpin. Perdefinisi andragogi kemudian dirumuskan sebagau “Suatu seni dan ilmu untuk membantu orang dewasa belajar”. Kata andragogi pertama kali digunakan oleh Alexander Kapp pada tahun 1883 untuk menjelaskan dan merumuskan konsep-konsep dasar teori pendidikan Plato. Meskipun demikian, Kapp tetap membedakan antara pengertian “Social-pedagogy” yang menyiratkan arti pendidikan orang dewasa, dengan andragogi. Dalam rumusan Kapp, “Social-pedagogy” lebih merupakan proses pendidikan pemulihan (remedial) bagi orang dewasa yang cacat. Adapun andragogi, justru lebih merupakan proses pendidikan bagi seluruh orang dewasa, cacat atau tidak cacat secara berkelanjutan. B. Andragogi dan Pedagogi Malcolm Knowles menyatakan bahwa apa yang kita ketahui tentang belajar selama ini adalah merupakan kesimpulan dari berbagai kajian terhadap perilaku kanak-kanak dan binatang percobaan tertentu. Pada umumnya memang, apa yang kita ketahui kemudian tentang mengajar juga merupakan hasil kesimpulan dari pengalaman mengajar terhadap anak-anak. Sebagian besar teori belajar-mengajar, didasarkan pada perumusan konsep pendidikan sebagai suatu proses pengalihan kebudayaan. Atas dasar teori-teori dan asumsi itulah kemudian tercetus istilah “pedagogi” yang akar-akarnya berasal dari bahasa Yunani, paid berarti kanak-kanak dan agogos berarti memimpin. Kemudian Pedagogi mengandung arti memimpin anak-anak atau perdefinisi diartikan secara khusus sebagai “suatu ilmu dan seni mengajar kanakkanak”. Akhirnya pedagogi kemudian didefinisikan secara umum sebagai “ilmu dan seni mengajar”. Untuk memahami perbedaan antara pengertian pedagogi dengan pengertian andragogi yang telah dikemukakan, harus dilihat terlebih dahulu empat perbedaan mendasar, yaitu : 1. Citra Diri Citra diri seorang anak-anak adalah bahwa dirinya tergantung pada orang lain. Pada saat anak itu menjadi dewasa, ia menjadi kian sadar dan merasa bahwa ia dapat membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Perubahan dari citra ketergantungan kepada orang lain menjadi citra mandiri. Hal ini disebut sebagai pencapaian tingkat kematangan psikologis atau tahap masa dewasa. Dengan demikian, orang yang telah mencapai masa dewasa akan berkecil hati apabila diperlakukan sebagai anak-anak. Dalam masa dewasa ini, seseorang telah memiliki kemauan untuk mengarahkan diri sendiri untuk belajar. Dorongan hati untuk belajar terus berkembang dan seringkali justru berkembang sedemikian kuat untuk terus melanjutkan proses belajarnya tanpa batas. Implikasi dari keadaan tersebut adalah dalam hal hubungan antara guru dan murid. Pada proses andragogi, hubungan itu bersifat timbal balik dan saling membantu. Pada proses pedagogi, hubungan itu lebih ditentukan oleh guru dan bersifat mengarah. 142 2. Pengalaman Orang dewasa dalam hidupnya mempunyai banyak pengalaman yang sangat beraneka. Pada anak-anak, pengalaman itu justru hal yang baru sama sekali.Anakanak memang mengalami banyak hal, namun belum berlangsung sedemikian sering. Dalam pendekatan proses andragogi, pengalaman orang dewasa justru dianggap sebagai sumber belajar yang sangat kaya. Dalam pendekatan proses pedagogi, pengalaman itu justru dialihkan dari pihak guru ke pihak murid. Sebagian besar proses belajar dalam pendekatan pedagogi, karena itu, dilaksanakan dengan caracara komunikasi satu arah, seperti ; ceramah, penguasaan kemampuan membaca dan sebagainya. Pada proses andragogi, cara-cara yang ditempuh lebih bersifat diskusi kelompok, simulasi, permainan peran dan lain-lain. Dalam proses seperti itu, maka semua pengalaman peserta didik dapat didayagunakan sebagai sumber belajar. 3. Kesiapan Belajar Perbedaan ketiga antara pedagogi dan andragogi adalah dalam hal pemilihan isi pelajaran. Dalam pendekatan pedagogi, gurulah yang memutuskan isi pelajaran dan bertanggung jawab terhadap proses pemilihannya, serta kapan waktu hal tersebut akan diajarkan. Dalam pendekatan andragogi, peserta didiklah yang memutuskan apa yang akan dipelajarinya berdasarkan kebutuhannya sendiri. Guru sebagai fasilitator. 4. Waktu dan Arah Belajar Pendidikan seringkali dipandang sebagai upaya mempersiapkan anak didik untuk masa depan. Dalam pendekatan andragogi, belajar dipandang sebagai suatu proses pemecahan masalah ketimbang sebagai proses pemberian mata pelajaran tertentu. Karena itu, andragogi merupakan suatu proses penemuan dan pemecahan masalah nyata pada masa kini. Arah pencapaiannya adalah penemuan suatu situasi yang lebih baik, suatu tujuan yang sengaja diciptakan, suatu pengalaman pribadi, suatu pengalaman kolektif atau suatu kemungkinan pengembangan berdasarkan kenyataan yang ada saat ini. Untuk menemukan “dimana kita sekarang” dan “kemana kita akan pergi”, itulah pusat kegiatan dalam proses andragogi. Maka belajar dalam pendekatan andragogi adalah berarti “memecahkan masalah hari ini”, sedangkan pada pendekatan pedagogi, belajar itu justru merupakan proses pengumpulan informasi yang sedang dipelajari yang akan digunakan suatu waktu kelak. C. Langkah-langkah Pelaksanaan Andragogi Langkah-langkah kegiatan dan pengorganisasian program pendidikan yang menggunakan asas-asas pendekatan andragogi, selalu melibatkan tujuh proses sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Menciptakan iklim untuk belajar Menyusun suatu bentuk perencanaan kegiatan secara bersama dan saling membantu Menilai atau mengidentifikasikan minat, kebutuhan dan nilai-nilai Merumuskan tujuan belajar Merancang kegiatan belajar Melaksanakan kegiatan belajar 143 7. Mengevaluasi hasil belajar (menilai kembali pemenuhan minat, kebutuhan dan pencapaian nilai-nilai. Andragogi dapat disimpulkan sebagai : Cara untuk belajar secara langsung dari pengalaman Suatu proses pendidikan kembali yang dapat mengurangi konflik-konflik sosial, melalui kegiatan-kegiatan antar pribadi dalam kelompok belajar itu Suatu proses belajar yang diarahkan sendiri, dimana kira secara terus menerus dapat menilai kembali kebutuhan belajar yang timbul dari tuntutan situasi yang selalu berubah. D. Prinsip-prinsip Belajar untuk Orang Dewasa 1. Orang dewasa belajar dengan baik apabila dia secara penuh ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan 2. Orang dewasa belajar dengan baik apabila menyangkut mana yang menarik bagi dia dan ada kaitan dengan kehidupannya sehari-hari. 3. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila apa yang ia pelajari bermanfaat dan praktis 4. Dorongan semangat dan pengulangan yang terus menerus akan membantu seseorang belajar lebih baik 5. Orang dewasa belajar sebaik mungkin apabila ia mempunyai kesempatan untuk memanfaatkan secara penuh pengetahuannya, kemampuannya dan keterampilannya dalam waktu yang cukup 6. Proses belajar dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman lalu dan daya pikir dari warga belajar 7. Saling pengertian yang baik dan sesuai dengan ciri-ciri utama dari orang dewasa membantu pencapaian tujuan dalam belajar. E. Karakteristik Warga Belajar Dewasa 1. Orang dewasa mempunyai pengalaman-pengalaman yang berbeda-beda 2. Orang dewasa yang miskin mempunyai tendensi, merasa bahwa dia tidak dapat menentukan kehidupannya sendiri. 3. Orang dewasa lebih suka menerima saran-saran dari pada digurui 4. Orang dewasa lebih memberi perhatian pada hal-hal yang menarik bagi dia dan menjadi kebutuhannya 5. Orang dewasa lebih suka dihargai dari pada diberi hukuman atau disalahkan 6. Orang dewasa yang pernah mengalami putus sekolah, mempunyai kecendrungan untuk menilai lebih rendah kemampuan belajarnya 144 7. Apa yang biasa dilakukan orang dewasa, menunjukkan tahap pemahamannya 8. Orang dewasa secara sengaja mengulang hal yang sama 9. Orang dewasa suka diperlakukan dengan kesungguhan iktikad yang baik, adil dan masuk akal 10. Orang dewasa sudah belajar sejak kecil tentang cara mengatur hidupnya. Oleh karena itu ia lebih suka melakukan sendiri sebanyak mungkin 11. Orang dewasa menyenangi hal-hal yang praktis 12. Orang dewasa membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat akrab dan menjalon hubungan dekat dengan teman baru. F. Karakteristik Pengajar Orang Dewasa Seorang pengajar orang dewasa haruslah memenuhi persyaratan berikut : 1. Menjadi anggota dari kelompok yang diajar 2. Mampu menciptakan iklim untuk belajar mengajar 3. Mempunyai rasa tanggung jawab yang tinggi, rasa pengabdian dan idealisme untuk kerjanya 4. Menirukan/mempelajari kemampuan orang lain 5. Menyadari kelemahannya, tingkat keterbukaannya, kekuatannya dan tahu bahwa di antara kekuatan yang dimiliki dapat menjadi kelemahan pada situasi tertentu. 6. Dapat melihat permasalahan dan menentukan pemecahannya 7. Peka dan mengerti perasaan orang lain, lewat pengamatan 8. Mengetahui bagaimana meyakinkan dan memperlakukan orang 9. Selalu optimis dan mempunyai iktikad baik terhadap orang 10. Menyadari bahwa “perannya bukan mengajar, tetapi menciptakan iklim untuk belajar” 11. Menyadari bahwa segala sesuatu mempunyai segi negatif dan positif. 145 PSIKOLOGI PENDIDIKAN A. Pendahuluan Psikologi pendidikan adalah studi yang sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10). Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar. Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan belajar. Karena konsentrasinya pada persoalan belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif. B. Mendorong Tindakan Belajar Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan sebagai individu terdidik. Anggapan-anggapan seperti ini, meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas. Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Namun demikian bukan berarti fungsi traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan informasiinformasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang setiap hari mengepung kehidupan mereka. Sebagai 146 penengah, pendidik harus mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktuwaktu diperlukan oleh subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai kebutuhan-kebutuhannya. Dari deskripsi di atas terlihat bahwa indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”. Adalah tugas pendidik untuk menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks, melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator, inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik. C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar Agar fungsi pendidik sebagai motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud, 1985 :11). 1. Faktor Fisiologis Faktor-faktor fisiologis ini mencakup faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ; juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat lebih kompeks. Faktor lingkungan, yang meliputi lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian. Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan pencapaian hasil belajar yang optimal. Yang tak kalah pentingnya untuk dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software). Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar. Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas pencapaian tujuan-tujuan belajar. Faktor fisiologis lainnya yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi 147 individual subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai untuk memulai tindakan belajar. 2. Faktor Psikologis Faktor-faktor psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak dapat dibahas secara terpisah. Perilaku individu, termasuk perilaku belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif. 2.1. Perhatian Tentulah dapat diterima bahwa subjek didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran (role playing), debat dan sebagainya. Strategi pemebelajaran seperti ini juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah, yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu, seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja. 2.2. Pengamatan Pengamatan adalah cara pengenalan dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan, pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu pengamatan penting artinya bagi pembelajaran. Untuk kepentingan pengaturan proses pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara unsurunsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui penglihatan dan pendengaran. Jika demikian, para pendidik perlu mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ; bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya. 148 2.3. Ingatan Secara teoritis, ada 3 aspek yang berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2) menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan. Kecakapan merima kesan sangat sentral peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu mengingat hal-hal yang dipelajarinya. Dalam konteks pembelajaran, kecakapan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam), b (bebek) dan sebagainya. Hal lain dari ingatan adalah kemampuan menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama. Untuk mencapai proporsi yang memadai untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya. Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu submaterial pembelajaran selesai. Kemampuan resroduksi, yakni pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari, tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons tantangan-tangan dunia sekitar. Pendidik dapat mempertajam kemampuan subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan material pembelajaran yang telah diberikan. 2.4. Berfikir Definisi yang paling umum dari berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam Suriasumantri, 1983) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagianbagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang berupa pengertianperngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan. 149 Kemampuan berfikir pada manusia alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda. Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang “selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka. Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi subjek didik untuk merumuskan kesimpulankesimpulannya secara mandiri. 2.5. Motif Motif adalah keadaan dalam diri subjek didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu. Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik. Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin mengetahui lebih dalam tentang sesuatu. Dalam konteks belajar, motif intrinsik tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik, pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini, umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak mengarah kepada hal-hal yang negatif. Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain. Filsafat Pendidikan Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka selama membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat berbagai mazhab/aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurnagnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. 150 Brubacher (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu a. Filsafat pendidikan “progresif” Didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantik naturalisme dari Roousseau b. Filsafat pendidikan “ Konservatif”. Didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religius. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme,dan sebagainya. Berikut aliran-aliran dalam filsafat pendidikan: 1. Filsafat Pendidikan Idealisme memandang bahwa realitas akhir adalah roh, bukan materi, bukan fisik. Pengetahuan yang diperoleh melaui panca indera adalah tidak pasti dan tidak lengkap. Aliran ini memandang nilai adalah tetap dan tidak berubah, seperti apa yang dikatakan baik, benar, cantik, buruk secara fundamental tidak berubah dari generasi ke generasi. Tokoh-tokoh dalam aliran ini adalah: Plato, Elea dan Hegel, Emanuael Kant, David Hume, Al Ghazali 2. Filsafat Pendidikan Realisme merupakan filsafat yang memandang realitas secara dualitis. Realisme berpendapat bahwa hakekat realitas ialah terdiri atas dunia fisik dan dunia ruhani. Realisme membagi realitas menjadi dua bagian, yaitu subjek yang menyadari dan mengetahui di satu pihak dan di pihak lainnya adalah adanya realita di luar manusia, yang dapat dijadikan objek pengetahuan manusia. Beberapa tokoh yang beraliran realisme: Aristoteles, Johan Amos Comenius, Wiliam Mc Gucken, Francis Bacon, John Locke, Galileo, David Hume, John Stuart Mill. 3. Filsafat Pendidikan Materialisme berpandangan bahwa hakikat realisme adalah materi, bukan rohani, spiritual atau supernatural. Beberapa tokoh yang beraliran materialisme: Demokritos, Ludwig Feurbach 4. Filsafat Pendidikan Pragmatisme dipandang sebagai filsafat Amerika asli. Namun sebenarnya berpangkal pada filsafat empirisme Inggris, yang berpendapat bahwa manusia dapat mengetahui apa yang manusia alami. Beberapa tokoh yang menganut filsafat ini adalah: Charles sandre Peirce, wiliam James, John Dewey, Heracleitos. 5. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu. Secara umum, eksistensialisme menekankn pilihan kreatif, subjektifitas pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia atau realitas. Beberapa tokoh dalam aliran ini: Jean Paul Satre, Soren Kierkegaard, Martin Buber, Martin Heidegger, Karl Jasper, Gabril Marcel, Paul Tillich 6. Filsafat Pendidikan Progresivisme bukan merupakan bangunan filsafat atau aliran filsafat yang berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan yang 151 benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, william O. Stanley, Ernest Bayley, Lawrence B.Thomas, Frederick C. Neff 7. Filsafat Pendidikan esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di sekolahsekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak standarstandar intelektual dan moral di antara kaum muda. Beberapa tokoh dalam aliran ini: william C. Bagley, Thomas Briggs, Frederick Breed dan Isac L. Kandell. 8. Filsafat Pendidikan Perenialisme Merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan, terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio kultual. Oleh karena itu perlu ada usaha untuk mengamankan ketidakberesan tersebut, yaitu dengan jalan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat dan teruji. Beberapa tokoh pendukung gagasan ini adalah: Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler. 9. Filsafat Pendidikan rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada sekarang. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Beberapa tokoh dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, Harold Rugg. Fenomena ”Hidup Lebih Maju” Setiap orang, pasti menginginkan hidup bahagia. Salah satu diantaranya yakni hidup lebih baik dari sebelumnya atau bisa disebut hidup lebih maju. Hidup maju tersebut didukung atau dapat diwujudkan melalui pendidikan. Dikaitkan dengan penjelasaan diatas, menurut pendapat saya filsafat pendidikan yang sesuai atau mengarah pada terwujudnya kehidupan yang maju yakni filsafat yang konservatif yang didukung oleh sebuah idealisme, rasionalisme(kenyataan). Itu dikarenakan filsafat pendidikan mengarah pada hasil pemikiran manusia mengenai realitas, pengetahuan, dan nilai seperti yang telah disebutkan diatas. Jadi, aliran filsafat yang pas dan sesuai dengan pendidikan yang mengarah pada kehidupan yang maju menurut pikiran saya yakni filsafat pendidikan progresivisme (berfokus pada siswanya). Tapi akan lebih baik lagi bila semua filsafat diatas bisa saling melengkapi. 152 IX FILSAFAT Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab ف ل س فة, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία, philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia = persahabatan, cinta dsb.) dan (sophia = "kebijaksanaan"). Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta kebijaksanaan”. Kata filosofi yang dipungut dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih mirip dengan aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut "filsuf". Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa "filsafat" adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis. Hal ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari prosesproses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa. Logika merupakan sebuah ilmu yang sama-sama dipelajari dalam matematika dan filsafat. Hal itu membuat filasafat menjadi sebuah ilmu yang pada sisi-sisi tertentu berciri eksak di samping nuansa khas filsafat, yaitu spekulasi, keraguan, dan couriousity 'ketertarikan'. Filsafat juga bisa berarti perjalanan menuju sesuatu yang paling dalam, sesuatu yang biasanya tidak tersentuh oleh disiplin ilmu lain dengan sedikit sikap skeptis yang mempertanyakan segala hal. Metode Filsafat Metode filsafat adalah metode bertanya. Objek formal filsafat adalah ratio yang bertanya. Obyek materinya semua yang ada. Maka menjadi tugas filsafat mempersoalkan segala sesuatu yang ada sampai akhirnya menemukan kebijaksanaan universal. Klasifikasi filsafat Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama , menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”. Filsafat Barat Filsafat Barat adalah ilmu yang biasa dipelajari secara akademis di universitasuniversitas di Eropa dan daerah-daerah jajahan mereka. Filsafat ini berkembang dari tradisi falsafi orang Yunani kuno. Tokoh utama filsafat Barat antara lain Plato, Thomas 153 Aquinas, Réne Descartes, Immanuel Kant, Georg Hegel, Arthur Schopenhauer, Karl Heinrich Marx, Friedrich Nietzsche, dan Jean-Paul Sartre. Dalam tradisi filsafat Barat, dikenal adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut tema tertentu. Ontologi membahas tentang masalah "keberadaan" (eksistensi) sesuatu yang dapat dilihat dan dibedakan secara empiris, misalnya tentang keberadaan alam semesta, makhluk hidup, atau tata surya. Epistemologi mengkaji tentang pengetahuan (episteme secara harafiah berarti “pengetahuan”). Epistemologi membahas berbagai hal tentang pengetahuan seperti batas, sumber, serta kebenaran suatu pengetahuan. Dari epistemologi inilah lahir berbagai cabang ilmu pengetahuan (sains) yang dikenal sekarang. Aksiologi membahas masalah nilai atau norma sosial yang berlaku pada kehidupan manusia. Dari aksiologi lahirlah dua cabang filsafat yang membahas aspek kualitas hidup manusia: etika dan estetika. Etika membahas tentang perilaku menuju kehidupan yang baik. Di dalamnya dibahas aspek kebenaran, tanggung jawab, peran, dan sebagainya. Estetika membahas mengenai keindahan dan implikasinya pada kehidupan. Dari estetika lahirlah berbagai macam teori mengenai kesenian atau aspek seni dari berbagai macam hasil budaya. Filsafat Timur Filsafat Timur adalah tradisi falsafi yang terutama berkembang di Asia, khususnya di India, Republik Rakyat Cina dan daerah-daerah lain yang pernah dipengaruhi budayanya. Sebuah ciri khas Filsafat Timur ialah dekatnya hubungan filsafat dengan agama. Meskipun hal ini kurang lebih juga bisa dikatakan untuk Filsafat Barat, terutama di Abad Pertengahan, tetapi di Dunia Barat filsafat ’an sich’ masih lebih menonjol daripada agama. Nama-nama beberapa filsuf Timur, antara lain Siddharta Gautama/Buddha, Bodhidharma, Lao Tse, Kong Hu Cu, Zhuang Zi dan juga Mao Zedong. Filsafat Timur Tengah Filsafat Timur Tengah dilihat dari sejarahnya merupakan para filsuf yang bisa dikatakan juga merupakan ahli waris tradisi Filsafat Barat. Sebab para filsuf Timur Tengah yang pertama-tama adalah orang-orang Arab atau orang-orang Islam (dan juga beberapa orang Yahudi!), yang menaklukkan daerah-daerah di sekitar Laut Tengah dan menjumpai kebudayaan Yunani dengan tradisi falsafi mereka. Lalu mereka menterjemahkan dan memberikan komentar terhadap karya-karya Yunani. Bahkan ketika Eropa setalah runtuhnya Kekaisaran Romawi masuk ke Abad Pertengahan dan melupakan karya-karya klasik Yunani, para filsuf Timur Tengah ini mempelajari karya-karya yang sama dan bahkan terjemahan mereka dipelajari lagi oleh orang-orang Eropa. Nama-nama beberapa fiosof Timur Tengah: Avicenna(Ibnu Sina), Ibnu Tufail, Kahlil Gibran (aliran romantisme; kalau boleh disebut begitu)dan Averroes. 154 Filsafat Islam Filsafat Islam merupakan filsafat yang seluruh cendekianya adalah muslim. Ada sejumlah perbedaan besar antara filsafat Islam dengan filsafat lain. Pertama, meski semula filsuf-filsuf muslim klasik menggali kembali karya filsafat Yunani terutama Aristoteles dan Plotinus, namun kemudian menyesuaikannya dengan ajaran Islam. Kedua, Islam adalah agama tauhid. Maka, bila dalam filsafat lain masih 'mencari Tuhan', dalam filsafat Islam justru Tuhan 'sudah ditemukan.' Filsafat Kristen Filsafat Kristen mulanya disusun oleh para bapa gereja untuk menghadapi tantangan zaman di abad pertengahan. Saat itu dunia barat yang Kristen tengah berada dalam zaman kegelapan (dark age). Masyarakat mulai mempertanyakan kembali kepercayaan agamanya. Tak heran, filsafat Kristen banyak berkutat pada masalah ontologis dan filsafat ketuhanan. Hampir semua filsuf Kristen adalah teologian atau ahli masalah agama. Sebagai contoh: Santo Thomas Aquinas, Santo Bonaventura, dsb.: Munculnya Filsafat Filsafat, terutama Filsafat barat muncul di Yunani semenjak kira-kira abad ke 7 S.M.. Filsafat muncul ketika orang-orang mulai memikirkan dan berdiskusi akan keadaan alam, dunia, dan lingkungan di sekitar mereka dan tidak menggantungkan diri kepada [agama] lagi untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filsuf ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filsuf-filsuf Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Sokrates, Plato dan Aristoteles. Sokrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “Komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Buku karangan plato yg terkenal adalah berjudul "etika, republik, apologi, phaedo, dan krito. Aliran-aliran filsafat 1) Aliran Materialisme Mengajarkan bahwa hakikat realitas kemestaan adalah materi artinya semua realitas ditentukan oleh materi yang ter-ikat pada hukum alam yaitu hukum sebab akibat 2) Aliran Idealisme/Spiritualisme Mengajarkan bahwa ide atau spirit manusia yang menentu-kan hidup dan pengertian yang mengacu pada realitas diri dan kemestaan karena adanya akal dan budi. 155 3) Aliran Realisme Mengajarkan diantara kedua aliran tersebut yaitu bahwa manusia mempunyai daya pikir, cipta dan budi atau merupakan sintesis antara jasmaniah dan rohaniah atau materi dan non materi. Sejarah Filsafat Barat Sejarah Filsafat Barat bisa dibagi menurut pembagian berikut: Filsafat Klasik, Abad Pertengahan, Modern dan Kontemporer. Klasik "Pra Sokrates": Thales - Anaximander - Anaximenes - Pythagoras - Xenophanes Parmenides - Zeno - Herakleitos - Empedocles - Democritus - Anaxagoras "Zaman Keemasan": Sokrates - Plato - Aristoteles Abad Pertengahan "Skolastik": Thomas Aquino Modern Machiavelli - Giordano Bruno - Francis Bacon - Rene Descartes - Baruch de SpinozaBlaise Pascal - Leibniz - Thomas Hobbes - John Locke - George Berkeley - David Hume - William Wollaston - Anthony Collins - John Toland - Pierre Bayle - Denis Diderot Jean le Rond d'Alembert - De la Mettrie - Condillac - Helvetius - Holbach - Voltaire Montesquieu - De Nemours - Quesnay - Turgot - Rousseau - Thomasius - Ch Wolff Reimarus - Mendelssohn - Lessing - Georg Hegel - Immanuel Kant - Fichte - Schelling Schopenhauer - De Maistre - De Bonald - Chateaubriand - De Lamennais - Destutt de Tracy - De Volney - Cabanis - De Biran - Fourier - Saint Simon - Proudhon - A. Comte JS Mill - Spencer - Feuerbach - Karl Marx - Soren Kierkegaard - Friedrich Nietzsche Edmund Husserl Kontemporer Jean Baudrillard - Michel Foucault - Martin Heidegger - Karl Popper - Bertrand Russell - Jean-Paul Sartre - Albert Camus - Jurgen Habermas - Richard Rotry - FeyerabendJacques Derrida - Mahzab Frankfurt. Beberapa Cabang Filsafat Filsafat Alam Obyeknya: alam kehidupan dan alam bukan kehidupan. Tujuannya: menjelaskan fenomena alam dari aspek eksistensi fenomena tersebut dan menelusuri syaratsyarat kemungkinan. 156 Filsafat Analitis Ilmu memusatkan perhatian pada bahasa dan upaya untuk menganalisis pernyataan (konsep, atau ungkapan kebahasaan aatau bentuk-bentuk logis. Tujuannya ialah untuk menemukan pernyataan-pernyataan yang berbentuk logis dan ringkas dan yang terbaik, yang cocok dengan fakta atau arti yang disajikan. Filsafat Bahasa Sehari-hari Paham ini berpandangan bahwa dengan menganalisis bahasa biasa (makna, implikasi, bentuk dan fungsinya) kita dapat memperlihatkan kebenaran mengenai kenyataan. Dengan analisis bahasa biasa kita dapat memahami masalah pokok filsafat dan sekaligus dapat memecahkannya. Filsafat Gestalt Salah satu pandangan filsafat ini berpandangan bahwa realitas merupakan dunia tempat organisme fisik memberikan tanggapan dalam proses mengatur strukturstruktur atau keseluruhan yang diamati. Filsafat Kebudayaan Filsafat ini memberikan gambaran keseluruhan mengenai gejala kebudayaan (bentuk, nilai dan kreasinya). Tugasnya untuk menyelidiki hakekat kebudayaan, memahaminya berdasarkan sebab-sebab dan kondisi-kondisinya yabg esensial. Filsafat ini juga bertugas untuk menjabarkan pada tujuan-tujuannya yang paling mendasar dan karena itu juga menemukan arah dan luas perkembangan budaya. Filsafat Kehidupan Filsafat kehidupan dalam bahasa sehari-hari berarti (1) cara tau pandangan hidup. Dan ini bertujuan mengatur segalanya secara praktis. (2) Etika sebagai ilmu yang berbicara mengenai tujuan dan kaidah-kaidah kehidupan dapat juga disebut sebagai filsafat kehidupan. 157