BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelainan Refraksi Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang terdiri atas kornea, cairan mata, lensa, benda kaca, dan panjangnya bola mata. Pada orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui media penglihatan dibiaskan tepat di daerah makula lutea. Mata yang normal disebut sebagai mata emetropia dan akan menempatkan bayangan benda tepat di retinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi atau istirahat melihat jauh (Ilyas, 2004). Dikenal beberapa titik di dalam bidang refraksi, seperti pungtum proksimum yang merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Pungtum remotum adalah titik terjauh dimana seseorang masih dapat melihat dengan jelas, yang merupakan titik dalam ruang yang berhubungan dengan retina atau foveola bila mata istirahat. Pada emetropia, pungtum remotum terletak di depan mata (Ilyas, 2004). Emetropia adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar atau jauh dibiaskan atau difokuskan oleh sistem optik mata tepat pada daerah makula lutea tanpa melakukan akomodasi. Pada mata emetropia, terdapat keseimbangan antara kekuatan pembiasan sinar dengan panjangnya bola mata. Keseimbangan dalam pembiasan sebagin besar ditentukan oleh dataran depan dan kelengkungan kornea serta panjangnya bola mata. Kornea mempunyai daya pembiasan sinar terkuat dibanding media penglihatan mata lainnya. Lensa memegang peranan terutama pada saat melakukan akomodasi atau bila melihat benda yang dekat (Ilyas, 2006). Panjang bola mata seseorang berbeda-beda. Bila terdapat kelainan pembiasan sinar oleh kornea (mendatar, mencembung) atau adanya perubahan panjang (lebih panjang, lebih pendek) bola mata, maka sinar normal tidak dapat terfokus pada makula. Keadaan ini disebut sebagai ametropia (Ilyas, 2006). Universitas Sumatera Utara Ametropia adalah suatu keadaan mata dengan kelainan refraksi dimana mata yang dalam keadaan tanpa akomodasi atau istirahat memberikan bayangan sinar sejajar pada fokus yang tidak terletak pada retina. Ametropia dapat ditemukan dalam bentuk-bentuk kelainan seperti miopia (rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisme (silinder) (Ilyas, 2006). Kelainan lain pada pembiasan mata normal adalah gangguan perubahan kecembungan lensa yang dapat berkurang akibat berkurangnya elastisitas lensa sehingga terjadi gangguan akomodasi. Gangguan akomodasi dapat terlihat pada usia lanjut sehingga terlihat keadaan yang disebut presbiopia (Ilyas, 2006). Miopia Emetropia (normal) Hipermetopia Astigmatisme Gambar 2.1 Pembiasan cahaya pada mata normal dan mata dengan kelainan refraksi (Soelendro, E.A., 2009) Bentuk ametropia pada kelainan refraksi meliputi ametropia aksial, ametropia refraktif, dan ametropia kurvatur (Ilyas, 2006). Ametropia aksial adalah ametropia yang terjadi akibat sumbu optik bola mata lebih panjang atau lebih pendek sehingga bayangan benda difokuskan di depan atau dibelakang retina. Pada miopia aksial, fokus akan terletak di depan retina karena bola mata lebih panjang. Sedangkan pada hipermetropia aksial, fokus bayangan terletak di belakang retina. Kekuatan refraksi mata ametropia aksial adalah normal (Ilyas, 2006). Universitas Sumatera Utara Ametropia indeks refraktif adalah ametropia akibat kelainan indeks refraksi media penglihatan. Sehingga walaupun panjang sumbu mata normal, sinar terfokus di depan (miopia) atau di belakang retina (hipermetropia). Kelainan indeks refraksi ini dapat terletak pada kornea atau pada lensa (cembung, diabetik) (Ilyas, 2006). Ametropia kurvatur disebabkan kelengkungan kornea atau lensa yang tidak normal sehingga terjadi perubahan pembiasan sinar. Kecembungan kornea yang lebih berat akan mengakibatkan pembiasan lebih kuat sehingga bayangan dalam mata difokuskan di depan bintik kuning sehingga mata ini akan menjadi mata miopia atau rabun jauh. Sedangkan kecembungan kornea yang lebih kurang atau merata (flat) akan mengakibatkan pembiasan menjadi lemah sehingga bayangan dalam mata difokuskan dibelakang bintik kuning dan mata ini menjadi hipermetropia atau rabun dekat (Ilyas, 2006). 2.1.1 Miopia Miopia adalah suatu keadaan mata yang mempunyai kekuatan pembiasan sinar yang berlebihan sehingga sinar yang datang dibiaskan di depan retina (bintik kuning) (Ilyas, 2001). Pada miopia, titik fokus sistem optik media penglihatan terletak di depan makula lutea. Hal ini disebabkan sistem optik (pembiasan) terlalu kuat, miopia refraktif atau bola mata yang terlalu panjang, miopia aksial atau sumbu (Ilyas, 2004). Pasien miopia mempunyai pungtum remotum (titik terjauh yang masih dapat dilihat dengan jelas) yang dekat sehingga mata selalu dalam atau berkedudukan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas, 2004). Ada berbagai klasifikasi untuk miopia, yaitu klasifikasi berdasarkan gambaran klinis, derajat miopia, dan usia saat terkena miopia (Tabel 1) (American Optometric Association, 2006). Universitas Sumatera Utara Table 2.1. Classification Systems for Myopia Type of Classification Clinical Entity Classes of Myopia - Simple Myopia - Nocturnal Myopia - Pseudomyopia - Degenerative myopia - Induced myopia Degree - Low myopia (<3.00 D) - Medium myopia (3.00 D-6.00 D) High myopia (>6.00 D) Age of Onset - Congenital myopia (present at birth and persisting through infancy) - Youth-onset myopia (<20 years of age) - Early adult-onset myopia (20-40 years of age) - Late adult-onset myopia (>40 years of age) Sumber: American Optometric Association, 2006 Pada mata dengan simple myopia, status refraksinya tergantung pada kekuatan optik dari kornea dan lensa kristalin, dan panjang aksial mata. Pada mata emetropik, panjang aksial dan kekuatan optik adalah berbanding terbalik. Mata dengan kekuatan optik yang lebih besar dari rata-rata dapat menjadi emetropik jika panjang aksialnya lebih pendek dari rata-rata, begitu juga mata dengan kekuatan optik yang lebih rendah jika panjang aksialnya lebih panjang dari ratarata (American Optometric Association, 2006). Mata dengan simple myopia adalah mata normal yang memiliki panjang aksial yang terlalu panjang untuk kekuatan optiknya, atau kekuatan optiknya terlalu besar untuk panjang aksialnya. Simple myopia, yang merupakan tipe yang paling sering terjadi daripada tipe lainnya, biasanya kurang dari 6 dioptri (D). Pada banyak pasien biasanya kurang dari 4 atau 5 D. Astigmatisme dapat terjadi pada konjungsi dengan simple myopia (American Optometric Association, 2006). Universitas Sumatera Utara Nocturnal myopia hanya terjadi pada penerangan yang kurang atau gelap. Hal ini dikarenakan meningkatnya respon akomodasi sehubungan dengan sedikitnya cahaya yang ada (American Optometric Association, 2006). Pseudomyopia merupakan hasil dari peningkatan kekuatan refraksi okular akibat overstimulasi terhadap mekanisme akomodasi mata atau spasme siliar. Disebut pseudomyopia karena pasien hanya menderita miopia karena respon akomodasi yang tidak sesuai (American Optometric Association, 2006). Miopia yang berat yang berhubungan dengan perubahan degeneratif pada segmen posterior mata disebut degenerative atau pathological myopia. Perubahan degeneratif dapat menyebabkan fungsi penglihatan yang abnormal, seperti perubahan lapangan pandang. Retinal detachment dan glaukoma adalah sekuele yang biasa terjadi (American Optometric Association, 2006). Induced myopia adalah akibat terpapar oleh berbagai obat-obatan, kadar gula darah yang bervariasi, nuklear sklerosis pada lensa kristalin, atau kondisi ganjil lainnya. Miopia ini seringnya bersifat sementara dan reversibel (American Optometric Association, 2006). Menurut perjalanan miopia dikenal bentuk: (Ilyas, 2004) a. Miopia stasioner, miopia yang menetap setelah dewasa b. Miopia progresif, miopia yang bertambah terus pada usia dewasa akibat bertambah panjangnya bola mata c. Miopia maligna, miopia yang berjalan progresif, yang dapat mengakibatkan ablasi retina dan kebutaan atau sama dengan miopia pernisiosa = miopia degeneratif Terdapat dua pendapat yang menerangkan faktor resiko terjadinya miopia, yaitu yang berhubungan dengan faktor herediter atau keturunan dan lingkungan (Ilyas, 2006). Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi miopia pada anak yang kedua orang tuanya menderita miopia adalah sebesar 33-60%. Pada anak yang salah satu orang tuanya menderita miopia, prevalensinya adalah 23-40%. Kebanyakan penelitian menemukan bahwa anak yang kedua orang tuanya tidak menderita miopia, hanya 6-15% yang menderita miopia. Perbedaan prevalensi ini Universitas Sumatera Utara menunjukkan bahwa riwayat orang tua memang berperan pada kejadian miopia bahkan pada anak pada beberapa tahun pertama sekolahnya (Saw dkk, 1996). Pada beberapa studi cross-sectional di Denmark, Israel, Amerika, dan Finlandia menunjukkan prevalensi miopia yang lebih tinggi pada individu dengan pendidikan yang lebih tinggi. Penelitian lain menujukkan adanya hubungan antara miopia dengan inteligensi dan status sosioekonomi (Saw dkk, 1996). Faktor resiko yang lain yang telah diteliti mungkin berperan pada kejadian miopia dan perkembangannya yaitu prematuritas, berat badan lahir rendah (BBLR), tinggi badan, kepribadian, dan malnutrisi. Ada bukti yang kuat tentang hubungan prematuritas dan BBLR dengan miopia, tetapi belum ada bukti yang meyakinkan tentang hubungan miopia dengan tinggi badan, kepribadian, atau malnutrisi (Saw dkk, 1996). Pada mata dengan miopia tinggi akan terdapat kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula, degenerasi retina bagian perifer, dengan miopik kresen pada papil saraf optik (Ilyas,2001). Pengobatan pasien dengan miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas,2001). Pasien dengan miopia akan menyatakan melihat lebih jelas bila dekat bahkan terlalu dekat, sedangkan melihat jauh kabur (rabun jauh). Seseorang dengan miopia mempunyai kebiasaan mengerinyitkan matanya untuk mencegah aberasi sferis atau mendapatkan efek pinhole (lubang kecil) (Ilyas, 2004). Pasien miopia jarang merasakan sakit kepala. Kadang-kadang terlihat bakat untuk menjadi juling (Ilyas, 2006). Hal ini dikarenakan pasien miopia mempunyi pungtum remotum yang dekat sehingga mata selalu dalam atau keadaan konvergensi yang akan menimbulkan keluhan astenopia konvergensi. Bila kedudukan mata ini menetap, maka penderita akan terlihat juling ke dalam atau esotropia (Ilyas, 2004). Pada pemeriksaan funduskopi terdapat miopik kresen, yaitu gambaran bulan sabit yang terlihat pada polus posterior fundus mata miopia, yang terdapat pada daerah papil saraf optik akibat tidak tertutupnya sklera oleh koroid. Pada Universitas Sumatera Utara mata dengan miopia tinggi akan terdapat pula kelainan pada fundus okuli seperti degenerasi makula dan retina bagian perifer (Ilyas, 2004). Pengobatan pada miopia adalah dengan memberikan kacamata sferis negatif terkecil yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal (Ilyas, 2006). Pada miopia tinggi sebaiknya koreksi dengan sedikit kurang atau under correction. Lensa kontak dapat dipergunakan pada penderita miopia (Ilyas,2001). Pada saat ini telah terdapat berbagai cara pembedahan pada miopia seperti keratotomi radial (radial keratotomy - RK), keratektomi fotorefraktif (Photorefraktive Keratectomy - PRK), danl laservasisted in situ interlamelar keratomilieusis (Lasik) (Ilyas, 2006). Penyulit yang timbul pada pasien dengan miopia adalah terjadinya ablasi retina dan juling. Juling biasanya esotropia atau juling ke dalam akibat mata berkonvergensi terus-menerus. Bila terdapat juling ke luar, mungkin fungsi salah satu mata telah berkurang atau terdapat ambliopia (Ilyas,2001). 2.1.2 Hipermetropia Hipermetropia juga dikenal dengan istilah hiperopia atau rabun dekat. Hipermetropia merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang makula lutea (Ilyas, 2004). Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan dfokuskan di belakang retina (Ilyas, 2006). Berdasarkan penyebabnya, hipermetropia dapat dibagi atas (Ilyas, 2006): a. Hipermetropia sumbu atau aksial, merupakan kelainan refraksi akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek. b. Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina. c. Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada sistem optik mata. Secara klinis, hipermetropia terbagi dalam 3 kategori (AOA, 2008): Universitas Sumatera Utara a. Simple hyperopia, karena variasi normal biologis, bisa disebabkan oleh panjang sumbu aksial mata ataupun karena refraksi. b. Pathological hyperopia, disebabkan anatomi mata yang abnormal karena gagal kembang, penyakit mata, atau karena trauma. c. Functional hyperopia adalah akibat dari paralisis akomodasi. Hipermetropia juga dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat kelainan refraksinya, yaitu: (AOA, 2008) a. Hipermetropia ringan (≤ +2,00 D) b. Hipermetropia sedang (+2,25 - +5,00 D) c. Hipermetropia berat (≥+5,00 D) Terdapat berbagai gambaran klinik hipermetropia seperti (Ilyas, 2006): a) Hipermetropia manifes, ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Hipermetropia manifes didapatkan tanpa siklopegik dan hipermetropia yang dapat dilihat dengan koreksi kacamata maksimal. b) Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang memberikan penglihatan normal, maka otot akomodasinya akan mendapatkan istirahat. Hipermetropia manifes yang masih memakai tenaga akomodasi disebut sebagai hipermetropia fakultatif. c) Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh. Biasanya hipermetropia laten yang ada berakhir dengan hipermetropia absolut ini. Hipermetropia manifes yang tidak memakai tenaga akomodasi sama sekali disebut sebagai hipermetropi absolut. d) Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa siklopegia (atau dengan otot yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua Universitas Sumatera Utara seseorang akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien muda dan daya akomodasinya masih kuat. e) Hipermetropia total, hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia. Gejala yang ditemukan pada hipermetropia yaitu sakit kepala terutama di daerah dahi atau frontal, silau, dan kadang rasa juling atau lihat ganda (Ilyas, 2006). Pasien dengan hipermetropia apapun penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karena terus menerus harus berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak di belakang makula agar terletak di daerah makula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat terusmenerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling ke dalam (Ilyas, 2006). Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia akibat mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik dan jelas. Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua mata, maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia sering menggulir ke arah temporal (Ilyas, 2004). Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia yang lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan (Ilyas, 2006). Keluhan mata yang harus berakomodasi terus untuk dapat melihat jelas adalah mata lelah, sakit kepala, dan penglihatan kabur bila melihat dekat (Ilyas, 2006). Universitas Sumatera Utara Pada usia lanjut, seluruh titik fokus akan berada di belakang retina karena berkurangnya daya akomodasi mata dan penglihatan akan berkurang (Ilyas, 2006). Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6) (Ilyas, 2006). Bila terdapat juling ke dalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia total. Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksoforia) maka diberikan kacamata koreksi positif kurang (Ilyas, 2006). Tidak ada pembedahan yang dapat bertahan untuk mengatasi hipermetropia. RK dan PRK dicoba untuk merubah permukaan kornea dengan hipermetropia (Ilyas, 2006). Penyulit yang dapat terjadi pada pasien dengan hipermetropia adalah esotropia dan glaukoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien selamanya melakukan akomodasi. Glaukoma sekunder terjadi akibat hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut bilik mata (Ilyas, 2006). 2.1.3 Astigmatisme Astigmatisme adalah suatu keadaan dimana sinar yang sejajar tidak dibiaskan dengan kekuatan yang sama pada seluruh bidang pembiasan sehingga fokus pada retina tidak pada satu titik (Ilyas, 2004). Umumnya setiap orang memiliki astigmatisme ringan (Ilyas, 2006). Pada astigmatisme dapat dilihat berbagai faktor di bawah ini (Yani, 2008): 1) Lengkungan jari-jari pada satu meridian kornea lebih panjang dibanding jarijari meridian yang tegak lurus padanya. 2) Pembiasan sinar pada mata tidak sama pada semua bidang atau meridian. 3) Astigmatisme disebabkan karena pembiasan sinar yang tidak sama pada berbagai sumbu penglihatan mata. 4) Keadaan dimana terjadi mata lebih rabun jauh pada salah satu sumbu (misal 90 derajat) dibanding sumbu lainnya (180 derajat). Astigmatisme merupakan akibat bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin tinggi astigmatisme mata tersebut. Universitas Sumatera Utara Astigmatisme biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir. Astigmatisme biasanya berjalan bersama dengan miopia dan hipermetropia dan tidak banyak terjadi perubahan selama hidup (Ilyas, 2006). Pada usia pertengahan, kornea menjadi lebih sferis kembali sehingga astigmatisme menjadi astigmatism against the rule (astigmatisme tidak lazim) (Ilyas, 2006). Astigmatisme juga dapat terjadi akibat jaringan parut pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan kornea. Bila dilakukan pengencangan dan pengenduran jahitan pada kornea maka dapat terjadi astigmatisme akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea (Ilyas, 2006). Dikenal beberapa bentuk astigmatisme seperti astigmatisme regular dan astigmatisme iregular (Ilyas, 2006). Astigmatisme regular adalah suatu keadaan refraksi dimana terdapat dua kekuatan pembiasan yang saling tegak lurus pada sistem pembiasan mata. Hal ini diakibatkan kornea yang mempunyai daya bias berbeda-beda pada berbagai meridian permukannya. Astigmatisme ini memperlihatkan kekuatan pembiasan bertambah atau berkurang perlahan-lahan secara teratur dari satu meridian ke meridian berikutnya. Bayangan yang terjadi pada astigmatisme regular dengan bentuk teratur dapat berbentuk garis, lonjong, atau lingkaran (Ilyas, 2006). Astigmatisme iregular yaitu astigmatisme yang terjadi tidak mempunyai 2 meridian saling tegak lurus. Astigmatisme ireguler dapat terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian yang sama berbeda sehingga bayangan menjadi iregular. Astigmatisme iregular terjadi akibat infeksi kornea, trauma dan distrofi, atau akibat kelainan pembiasan pada meridian lensa yang berbeda (Ilyas, 2006). Astigmatisme lazim (astigmat with the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisme regular dimana koreksi dengan silinder negatif dengan sumbu horizontal (45-90 derajat). Keadaan ini lazim didapatkan pada anak atau orang muda akibat perkembangan normal dari serabut-serabut kornea (Ilyas, 2006). Universitas Sumatera Utara Astigmatisme tidak lazim (astigmat against the rule) adalah suatu keadaan kelainan refraksi astigmatisme regular dimanana koreksi dengan silinder negatif dilakukan dengan sumbu tegak lurus (60-120 derajat) atau dengan silinder positif sumbu horizontal (30-150 derajat). Keadaan ini terjadi akibat kelengkungan kornea pada meridian horizontal lebih kuat dibandingkan kelengkungan kornea vertikal. Hal ini sering ditemukan pada usia lanjut (Ilyas, 2004). Seseorang dengan astigmatisme akan memberikan keluhan seperti: (Ilyas, 2006) a. Melihat jauh kabur sedang melihat dekat lebih baik b. Melihat ganda dengan satu atau kedua mata c. Melihat benda yang bulat menjadi lonjong d. Pada astigmatisme, penglihatan akan kabur untuk jauh ataupun dekat e. Bentuk benda yang dilihat berubah f. Mengecilkan celah kelopak mata g. Sakit kepala h. Mata tegang dan pegal i. Mata dan fisik lelah j. Astigmatisme tinggi (4 – 8 D) yang selalu melihat kabur sering mengakibatkan ambliopia. Untuk memperbaiki kelainan astigmatisme diberikan lensa silinder dengan cara coba-coba, cara pengabur, ataupun cara silinder bersilang (Ilyas, 2001). Pengobatan astigmatisme iregular dengan lensa kontak keras bila epitel tidak rapuh atau lensa kontak lembut bila disebabkan infeksi, trauma, dan distrofi untuk memberikan efek permukaan yang regular (Ilyas, 2006). Pemeriksaan mata dengan astigmatisme dipergunakan alat berikut (Ilyas, 2004): a. Cakram Placido, alat yang memproyeksikan sel lingkaran konsentris pada permukaan kornea. Dengan alat ini dapat dilihat kelengkungan kornea yang regular (konsentris), iregular kornea, dan adanya astigmatisme kornea. Universitas Sumatera Utara b. Juring atau kipas astigmatisme, yaitu garis berwarna hitam yang disusun radial dengan bentuk semisirkular dengan dasar yang putih, dipergunakan untuk pemeriksaan subjektif ada dan besarnya kelainan refraksi astigmatisme. Selain itu, untuk menentukan adanya astigmatisme terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan tajam penglihatan dengan kartu Snellen. Periksa kelainan refraksi miopia atau hipermetropia yang ada. Untuk mengetahui kelengkungan setiap meridian kornea dilakukan dengan keratometri, dengan mengingat hukum Javal (Ilyas, 2006). Hukum Javal untuk keratometer, dimana disebut pada setiap penilaian keratometer harus diingat (Ilyas, 2004a): 1. Pada astigmat with the rule (penderita dengan silinder minus sumbu 180°), tambahkan astigmatisme yang ditemukan dengan 25% dan kurangi dengan 0,50 D untuk koreksi astigmatismenya. 2. Pada astigmat against the rule (penderita dengan silinder minus sumbu 90°), tambahkan astigmatisme yang ditemukan dengan 25% dan tambahkan dengan 0,50 D untuk koreksi atigmatismenya. Tindakan bedah refraksi yang dapat dilakukan pada penderita astigmatisme yaitu Lasik, PRK, dan Lasek (laser-assisted subepithelial keratomileusis) (Mayoclinic, 2009). 2.1.4 Presbiopia Presbiopia yaitu hilangnya daya akomodasi yang terjadi bersamaan dengan proses penuaan pada semua orang. Seseorang dengan mata emetropik (tanpa kesalahan refraksi) akan mulai merasakan ketidakmampuan membaca huruf kecil atau membedakan benda-benda kecil yang terletak berdekatan pada usia sekitar 44-46 tahun. Hal ini semakin buruk pada cahaya yang temaram dan biasanya lebih nyata pada pagi hari atau apabila subyek lelah. Banyak orang mengeluh mengantuk apabila membaca. Gejala-gejala ini meningkat sampai usia 55 tahun, kemudian stabil tetapi menetap (Ilyas, 2006). Presbiopia terjadi akibat lensa makin keras sehingga elastisitasnya berkurang. Demikian pula dengan otot akomodasinya, daya kontraksinya berkurang sehingga tidak terdapat pengenduran zonula Zinn yang sempurna. Pada Universitas Sumatera Utara keadaan ini maka diperlukan kacamata bifokus, yaitu kacamata untuk melihat jauh dan dekat (Ilyas, 2006). Pada mata normal, maka pada saat melihat jauh mata tidak melakukan akomodasi. Pada waktu melihat dekat maka mata akan mengumpulkan sinar ke daerah retina dengan melakukan akomodasi (Ilyas, 2006). Penderita miopia akan memberikan keluhan setelah membaca, yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa pedas. Sering memerlukan sinar yang lebih terang untuk membaca. Membaca dengan menjauhkan kertas yang dibaca, sukar mengerjakan pekerjaan dengan melihat dekat terutama malam hari (Ilyas, 2006). Presbiopia dikoreksi dengan menggunakan lensa plus untuk mengejar daya fokus lensa yang hilang. Lensa plus dapat digunakan dalam beberapa cara. Kacamata baca memiliki koreksi dekat di seluruh bukaan kacamata, sehingga kacamata tersebut baik untuk membaca tetapi membuat benda-benda jauh menjadi kabur. Untuk mengatasi gangguan ini, dapat digunakan kacamata separuh yaitu kacamata yang bagian atasnya terbuka dan tidak dikoreksi untuk penglihatan jauh. Kacamata bifokal melakukan hal serupa tetapi memungkinkan koreksi kesalahan refraksi yang lain. Kacamata trifokal memperbaiki penglihatan jauh di segmen atas, penglihatan sedang di segmen tengah, dan penglihatan dekat di segmen bawah. Lensa progresif juga mengoreksi penglihatan dekat, sedang, dan jauh tetapi dengan perubahan daya lensa yang progresif bukan bertingkat (Vaughan dkk, 2000). Pada pasien presbiopia ini diperlukan kacamata baca atau adisi untuk membaca dekat yang berkekuatan tertentu, biasanya (Ilyas, 2006): + 1.0 D untuk usia 40 tahun + 1.5 D untuk usia 45 tahun + 2.0 D untuk usia 50 tahun + 2.5 D untuk usia 55 tahun + 3.0 D untuk usia 60 tahun Universitas Sumatera Utara Pemeriksaan adisi untuk membaca perlu disesuaikan dengan kebutuhan jarak kerja pasien pada waktu membaca. Pemeriksaan sangat subjektif sehingga angka di atas tidak merupakan angka yang tetap (Ilyas, 2006). 2.2. Pengetahuan Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia terhadap objek melalui indera yang dimilikinya seperti mata, hidung, telinga dan alat indera lainnya. Dengan sendirinya, pada waktu penginderaan sampai menghasilkan pengetahuan tersebut sangat dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap objek (Notoatmodjo, 2005b). Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan yang dicakup di dalam kognitif mempunyai enam tingkatan, yaitu: a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu, ‘tahu’ ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mengidentifikasi, menyatakan, dsb. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan dan dapat menginterpretasikan secara benar tentang suatu objek/materi yang diketahui. Orang yang telah paham terhadap objek/materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, dsb. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi riil (sebenarnya). Universitas Sumatera Utara d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur orgnisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. e. Sintesis (synthesis) Sintesis merupakan suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu kemampuan yang baru. Dengan kata lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun suatu formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. f. Evaluasi (evaluation) Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi/objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri atau dengan menggunakan kriteria yang telah ada. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: a) Pengalaman Pengalaman dapat diperoleh dari pengalaman sendiri maupun orang lain. Pengalaman yang sudah diperoleh dapat memperluas pengetahuan seseorang. b) Umur Makin tua umur seseorang, maka proses-proses perkembangan mentalnya bertambah baik. Akan tetapi pada umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan mental ini tidak secepat seperti ketika berumur belasan tahun. Selain itu, daya ingat seseorang dipengaruhi oleh umur. Dari uraian ini, maka dapat kita simpulkan bahwa bertambahnya umur seseorang dapat berpengaruh pada pertambahan pengetahuan yang diperolehnya, akan tetapi pada umurumur tertentu atau menjelang usia lanjut, kemampuan penerimaan atau mengingat suatu pengetahuan akan berkurang. Universitas Sumatera Utara c) Tingkat Pendidikan Pendidikan dapat memperluas wawasan atau pengetahuan seseorang. Secara umum, seseorang yang berpendidikan lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan seseorang yang tingkat pendidikannya lebih rendah. d) Keyakinan Biasanya keyakinan diperoleh secara turun temurun dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu. Keyakinan ini bisa mempengaruhi pengetahuan seseorang, baik keyakinan itu sifatnya positif maupun negatif. e) Sumber Informasi Meskipun seseorang memiliki pendidikan yang rendah, tetapi jika ia mendapatkan informasi yang baik maka pengetahuan seseorang akan meningkat. Sumber informasi yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang misalnya radio, televisi, majalah, koran dan buku. f) Penghasilan Penghasilan tidak berpengaruh langsung terhadap pengetahuan seseorang. Namun bila seseorang berpenghasilan cukup besar maka dia akan mampu menyediakan atau membeli fasilitas-fasilitas sumber informasi. g) Sosial Budaya Kebudayaan setempat dan kebiasaan dalam keluarga dapat mempengaruhi pengetahuan, persepsi, dan sikap seseorang terhadap sesuatu. Universitas Sumatera Utara