P ENDIDIKAN B AGI S ANG KALAH Oleh Anya P. Damastuti & Ki-Demang Situasi umum petani di Indonesia digambarkan dengan jelas oleh Greg. Sutomo dalam bukunya: Kekalahan Manusia Petani. Menurut Greg. massa petani adalah bagian dari kaum yang kalah. Kekalahan petani tercermin antara lain dari: kualitas hidupnya yang tidak beranjak naik (baca: tetap miskin) dari generasi ke generasi, serta dari nilai tukar produk pertaniannya yang makin menurun terhadap barang-barang kebutuhan lain; semisal sembako dan sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih, atau alat/mesin pertanian. Kekalahan yang paling mengenaskan tercermin dari harapan petani, agar anaknya, nanti jangan bekerja sebagai petani seperti dirinya. Petani Indonesia: Sang Kalah Di tengah kekalahan itu, petani 1 cenderung bersikap “diam”, mengeluh dan tak berdaya. Situasi ketidakberdayaan ini, menurut Greg. Soe-tomo, berakar dari persoalan struktural (sistemik). Dalam sistem sosial misalnya, petani cenderung menjadi elemen yang (dibuat) bergantung-tak berdaya sepenuhnya oleh kekuatan-kekuatan di luar dirinya 2 . Pilihan-pilihan petani sebagian besar ditentukan oleh pihak-pihak di luar dirinya. Bahkan, petani dibuat terasing (baca: dijauhkan) dari jaringan atau akses atas organisasi, informasi, permodalan, serta sistem transportasi. Dalam interaksi di pasar pun, petani selalu berada dalam 1 Petani y ang dimaksud di sini adalah peasant bukan farmer. Peasant adalah istilah untuk menggambarkan petani kecil y ang sederhana, miskin modal, berlahan sempit (atau tidak mempuny ai lahan sama sekali), serta kurang terdidik. Peasant merupakan gambaran petani pada umumny a di Indonesia. Adapun istilah farmer menggambarkan petani tuan tanah dengan kepemilikan lahan luas dan biasany a tidak menggarap sendiri lahanny a. 2 Kekuatan-kekuatan luar inilah y ang mengambil porsi terbesar dari surplus ekonomi atau nilai tambah produksi melalui kegiatan atau sistem produksi y ang tidak pro petani. Mereka adalah: produsen-produsen sarana produksi pertanian (saprotan), importir dan distributor pupuk kimia, pestisida, serta alat dan mesin pertanian, para pedagang, para birokrat dan penguasa di tingkat daerah maupun di tingkat nasional dengan mengambil peranan y ang beraneka ragam; dari dari calo hingga pengambil keputusan y ang terlibat berbagai praktek KKN dalam proy ekproy ek nasional. WACANA No. 12 / Juli -Agustus 1998 posisi lemah. Berikut adalah uraian ringkas situasi kekalahan petani. Dalam sistem yang disebut negara Indonesia, walau dianggap memegang peran penting sebagai penyedia kebutuhan pangan (baca: beras) bagi rakyat, petani tetap berada dalam posisi lemah. Bahkan, yang lebih parah, petani --secara sistemik-terjerat dalam kendali dan dominasi negara (baca: pemerintah). Dalam terminologi Gramsci 3 , keadaan ini disebut hegemoni 4 atas petani oleh kelompok-kelompok sosial di luar dirinya. Nuansa hegemonik --dalam konteks petani Indonesia-- sebagai misal tercermin dari tingkah laku dan suasana mental dalam diri petani yang lekat dengan tanaman padi. Meski terbukti bahwa hasil dari tanaman padi pada umumnya tidak mampu meningkatkan kesejahteraan petani tetapi mereka tetap menanamnya. Bisa jadi hal 3 4 Antonio Gramsci (1891-1937) adalah seorang pemikir (intelektual organik) berkebangsaan Italia y ang sangat militan. Hidup pada jaman kekuasaan diktator Italia: Mussolini. Hegemoni, dalam pemikiran Gramsci, dimengerti sebagai supremasi kelompok atas kelas sosial melalui kepemimpinan intelektual dan moral. Kontrol sosial dalam hegemoni dilakukan dengan cara pembentukan key akinankey akinan ke dalam norma (sosial) y ang berlaku. Supremasi kelompok dalam hegemoni diperoleh bukan lewat “penindasan” tetapi “konsensus”, dengan tujuan akhir menggiring orang untuk memandang problematika y ang ada dengan cara pandang kelompok atau kelas sosial y ang menaklukkan (Kekalahan Manusia Petani hlm. 62). itu disebabkan oleh rasa takut (yang sudah mengendap di alam bawah sadar petani) karena “anjuran” menanam padi datang dari “atas”. Atau, mungkin kegiatan menanam padi sudah menjadi aktivitas yang mekanis belaka, menjadi pola kerja yang tidak pernah direfleksikan lagi. Sebagai misal, suatu kebijakan pemerintah --agar petani menerapkan suatu metode atau teknologi tertentu-- akhirnya “diterima” petani bukan karena kebijakan itu disadari sebagai hal yang baik, melainkan karena petani tidak mempunyai perangkat intelektual yang cukup untuk memahami secara kritis “kebijakan” tersebut5 . Hegemoni atas petani --dalam konteks Indonesia--terlihat secara jelas, misalnya dalam kebijakan pemerintah soal produksi pangan (baca: padi/beras). Pemerintah berkepentingan menjamin tersedianya pangan dalam jumlah cukup dengan harga yang stabil (baca: terjangkau oleh masyarakat) dalam rangka mencegah timbulnya gejolak sosial-politik. Untuk itu, pemerintah menyusun berbagai perangkat dan kebijakan agar produksi beras meningkat dan harganya stabil. Filosofi Pendidikan Petani Konsep pendidikan yang diyakini paling sesuai untuk petani sebagai orang dewasa adalah pendidikan partisipatif dengan metode andragogi atau pendidikan orang dewasa. Ajaran inti andragogi adalah bahwa pendidikan bukanlah sekedar pengalihan informasi baku dari guru kepada murid, melainkan kegiatan menggerakkan proses belajar dalam rangka memecahkan masalah 6 . Istilah-istilah andragogi yang banyak dipakai adalah “fasilitator” dan “nara-sumber” sebagai pengganti “guru”; “memfasilitasi proses belajar” sebagai pengganti “mengajar”; “warga-belajar” sebagai pengganti “murid atau “siswa” dan sebagainya. Di pihak lain, cara-cara pendidikan konvensional yang tidak partisipatif, dikritik secara keras oleh Paulo Freire. Ia mengecam cara-cara penyuluhan konvensional karena cara itu dianggap sebagai suatu bentuk penindasan dari keseluruhan sistem pendidikan. Pendidikan seperti itu (penyuluhan) dianggap tidak membebaskan dan memberdayakan peserta didiknya. Ia menyebut model pendidikan itu sebagai “penjinakan” (domestication). Pemaparan situasi kekalahan manusia Paulo Freire mengecam cara-cara penyuluhan Dalam bagian dari petani Indonesia, Freire barulah merupakan konvensional karena cara itu dianggap sebagai tulisannya, suatu bentuk penindasan dari keseluruhan menggunakan istilah ilustrasi yang tidak lain, yaitu: pendidikan lengkap dari suatu sistem pendidikan. Pendidikan seperti itu 7 situasi kompleks berciri (penyuluhan) dianggap tidak membebaskan gaya bank . Dalam pendidikan model ini, hegemonik yang dan memberdayakan peserta didiknya. Ia pendidikan menjadi masih berlangsung menyebut model pendidikan itu sebagai sebuah kegiatan atas diri petani menabung, di mana Indonesia. Jalan yang “penjinakan” (domestication). para murid adalah diyakini dapat meretas celengannya dan guru adalah situasi ini dan kemudian membebaskan penabungnya. Yang terjadi bukanlah manusia petani dari kekalahannya, adalah proses komunikasi, tetapi guru melalui pendidikan. Yang menjadi menyampaikan pernyataan (mengisi pertanyaan, pendidikan seperti apakah yang dibutuhkan petani untuk membebaskan, memanusiakan dan pada akhirnya 6 Hal ini diistilahkan oleh Paulo Freire, salah mengubah situasi hidupnya? 5 Hal ini merupakan subordinasi secara intelektual y ang berpotensi menciptakan situasi hegemonik. WACANA No. 12 / Juli -Agustus 1998 7 seorang pakar pendidikan partisipatif terkemuka dan berpengaruh luas, sebagai pendidikan y ang “mengubah” dunia. Lihat buku Pendidikan Kaum Tertindas, hlm. 4970. tabungan), sedangkan kegiatan para murid hanya terbatas pada: mencatat, menerima, mengulangi, menghafal dan menyimpan dengan patuh. Tidak ada proses mengalami: mencari, mencoba atau menemukan. Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apaapa (bodoh). Alternatif yang kemudian ditawarkan adalah konsep conscientizacao (diterjemahkan sebagai “penyadaran”). Warga-belajar diajak untuk menghadapi realitas (baca: masalah atau situasi) yang melingkupi diri dan lingkungannya, melakukan proses refleksi atas realitas itu, serta diajak menyadari sifat menindas dari realitas itu. Warga-belajar kemudian menyadari dirinya sebagai “pelaku sejarah dan budaya” yang dapat mengatasi ketertindasan itu melalui praksis, yaitu proses aksi-refleksi-aksi yang berkelanjutan. Pendidikan yang Mengubahkan Beberapa LSM menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk pelayanan atau konsultansi teknis pertanian bagi para petani. Pelayanan tersebut mungkin dapat meningkatkan produktivitas lahan petani. LSM-LSM itu mungkin juga memberikan akses pasar bagi petani. Akibatnya, kualitas hidup petani mulai membaik karena panen yang meningkat dan pasar yang terbuka. Tetapi, di dalam sistem secara keseluruhan, kepentingan petani tetap saja dikalahkan untuk kepentingan masyarakat yang lebih luas atau bahkan untuk segelintir orang yang bermodal serta berkuasa. Model pendidikan di atas, memang menjawab sebagian persoalan, tetapi tidak menjawab akar permasalahannya. Akar permasalahannya ada pada kebijakan negara (pemerintah) serta sistem politik dan sistem ekonomi (mode of production) yang tidak memihak, bahkan cenderung merugikan petani. Untuk itu, pendekatan dalam pendidikan petani harus berawal dari pendidikan WACANA No. 12 / Juli -Agustus 1998 penyadaran (konsientisasi). Model pendidikan penyadaran adalah model pendidikan di mana petani menjalani suatu proses pembelajaran yang memungkinkannya untuk “mengalami” sendiri, menyadari dan kemudian mempertanyakan realitas hidupnya. Diharapkan setelah proses itu petani dapat memahami situasi dan posisi mereka dalam suatu sistem. Misalnya, bagaimana posisi petani di dalam sistem politik serta sistem ekonomi negara dan dunia (internasional). Keadaan sadar situasi dan posisi ini, diharapkan dapat mendorong petani untuk mulai berani bereksperimen: mempertanyakan, mencari, mencoba, meneliti, mengerti, dan pada akhirnya bertindak (praksis atau aksi). Praksis tersebut bertujuan untuk memecahkan masalah petani. Misalnya praksis untuk memperbaiki usaha tani atau untuk merebut hak-hak mereka (petani). Pendidikan seperti ini diharapkan dapat memekarkan kreativitas, membangun kemandirian dan mendorong petani membangun kekuatan dan posisi tawarnya. Tetapi, melihat kebijakan pertanian pemerintah --khususnya kebijakan di bidang pendidikan petani-sekarang ini, kelihatannya harapan tersebut masih sulit terwujud. Model pendidikan petani di Indonesia saat ini, masih menggunakan pendekatan konvensional yaitu dengan metode penyuluhan. Penyuluhan tersebut sarat dengan nuansa penjinakan, indoktrinasi dan dominasi. Akibatnya, pendidikan tersebut tidak dapat memenuhi tujuan pendidikan petani yang sesungguhnya. Beberapa Pengalaman Ornop Beberapa Ornop (baca: LSM) pendamping petani mulai mengembangkan model atau pendekatan yang berbeda (nonkonvensional) dalam program pendidikan petaninya. Beberapa kasus yang pernah ditemukan penulis di Magelang (Mitra Tani), Wonogiri (Gita Pertiwi), dan Malang (Yayasan Pengembangan Pedesaan) adalah aktivitas Sekolah Lapang (SL) bagi petani. Dalam Sekolah Lapang tersebut dikembangkan model pendidikan penyadaran. Metode belajar yang digunakan adalah metode belajar dari pengalaman (experential learning). Awalnya, Sekolah Lapang tersebut hanya ditujukan untuk kepentingan pengendalian hama-penyakit secara terpadu pada skala hamparan. Selanjutnya, SL tersebut tidak sekedar mengatasi masalah hama saja, tetapi mulai menggunakan pendekatan integral, yaitu memecahkan suatu masalah dengan melihat pertanian sebagai suatu sistem yang terpadu (kompleks dan saling kait-mengkait). Di Mangunsari-Magelang (Mitra Tani) dan Wonogiri (Gita Pertiwi), kelompok petani warga-belajar Sekolah Lapang melakukan penelitian (uji coba) di lahannya masingmasing. Mereka menjadikan lahannya sebagai laboratorium hidup. Melalui pengamatan hamparan dan analisis periodik yang dilakukan setiap minggu baik di lahannya sendiri maupun di lahan kelompok, para petani belajar mencari akar permasalahan (budidaya) di lahannya sendiri. Pengalaman dan temuan masingmasing petani, kemudian saling dibagikan dan didiskusikan secara rutin di dalam kelompok. Di Wonogiri, hasil positif yang dicapai lewat SL --sampai tahun 1997-- adalah: penurunan populasi hama serta tingkat penggunaan pestisida (sebesar 55-100 % di tingkat peserta SL, 45-70% di tingkat hamparan program), pengurangan biaya produksi sebesar 30 % (pestisida, pupuk, benih dan tenaga kerja) dan peningkatan harga jual gabah dan kedelai di tingkat petani (yaitu 20% lebih tinggi dari harga di tingkat KUD). Di Mangunsari-Magelang, lewat Sekolah Lapang, para petani dapat mengendalikan serangan hama (tikus) serta mengembangkan aktivitas usaha tani alternatif seperti: budidaya padi lokal secara organik, budidaya mina-padi (budidaya ikan di areal persawahan), serta pengembangbiakan musuh alami hama-penyakit. Berkat Sekolah Lapang tersebut; pola pikir, pola sikap serta pola tindak petani berangsur-angsur berubah. Makin banyak WACANA No. 12 / Juli -Agustus 1998 petani yang sadar dan bersikap kritis terhadap apa yang telah mereka lakukan dahulu. Mereka kemudian mulai menyesuaikan pola-pola bertani mereka agar lebih selaras dengan alam. Beberapa kelompok tani misalnya, bersepakat untuk tidak lagi menanam (benih) padi jenis unggul yang rakus unsur hara, dan menggantinya dengan padi jenis lokal 8 (misalnya rojolele) yang lebih tahan hama dan rasanya lebih enak. Insentif yang diterima petani jika menanam padi lokal ternyata lebih besar (lebih menguntungkan secara ekonomis) ketimbang jika menanam padi unggul. Hal ini disebabkan karena tingkat harganya yang lebih mahal, meskipun jumlah hasil panen untuk luas lahan yang sama lebih sedikit. Penggunaan input buatan seperti pupuk kimia (misalnya urea, TS/SP dan KCl) dan pestisida, dikurangi bahkan diganti dengan input yang lebih ramah lingkungan (misalnya pupuk kandang, kompos, pupuk hijau dan pestisida alami). Sekelompok kecil petani mulai kembali ke cara-cara pertanian “tradisional” yang tidak tergantung pada pupuk kimia dan benih pabrik. Mereka berani mengambil resiko gagal (produksi sangat menurun) dalam beberapa tahun pertama untuk memperoleh keuntungan dalam jangka panjang. Mereka kemudian membentuk jaringan pemasaran sendiri. bersambung ke hlm Dalam jaringan itu, posisi tawar yang dimiliki petani makin kuat. Petani dapat menjual produknya dengan harga yang tinggi (layak atau adil). Artinya, sebanding dengan biaya dan jerih payah yang telah dikeluarkan petani. Bahkan segelintir petani mulai mempelajari kembali tradisi-tradisi lama (kearifan 8 Petani tidak lagi tergiur menanam benih unggul y ang mempuny ai tingkat produksi atau produktiv itas (satuan berat per luas lahan) y ang tinggi serta masa tanam y ang lebih cepat dibanding jenis lokal. Mereka mempertimbangkan seberapa besar insentif y ang akan mereka terima jika menjual produk lokal mereka ke pasar. tradisional) dalam menentukan waktu-waktu bertani. Misalnya tradisi pranata-mangsa. Mereka mempelajari kembali tanda-tanda atau fenomena alam seperti puncak gunung yang menghijau, susunan bintang-bintang di langit serta jejak-jejak binatang melata di tanah. Tanda-tanda tersebut terbukti bisa dijadikan petunjuk pola budidaya yang masih tetap berlaku meski iklim global telah berubah (kalender masehi tidak lagi sesuai untuk menentukan musim tanam). Di balik semua itu, Sekolah Lapang telah mendatangkan suatu arus kesadaran baru dalam diri petani, yaitu kesadaran akan posisi dan akar masalah yang dihadapinya. Kesadaram ini lalu memunculkan kreativitas untuk melakukan inovasi. Penemuan mereka lewat suatu pengalaman empiris dalam Sekolah Lapang ternyata menimbulkan efek positif, yaitu berubahnya sikap serta perilaku petani. Lebih dari itu, para petani peserta SL semakin bersemangat, percaya diri dan yakin dengan apa yang mereka katakan dan lakukan. Pada akhirnya, para petani berani bersikap kritis untuk secara mandiri dan bebas memilih berbagai hal yang ditawarkan kepada mereka Referensi : 1. Soetomo, Greg. “Kekalahan Manusia Petani: Dimensi Manusia dalam Pembangunan Pertanian”. Kanisius. Yogyakarta, 1997. 2. Bunch, Roland. “Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat”. Yayasan Obor Indonesia untuk World Neighbors. 1991. 3. Paulo Freire, “Pendidikan Kaum Tertindas”. LP3ES. Jakarta, 1985. 4. Tim Editorial Studio Driya Media. “Berbuat Bersama, Berperan Setara: Participatory Rural Appraisal, Gambaran Teknik-teknik (Pengkajian dan Perencanaan Program Bersama Masyarakat)”. Studio Driya Media. Bandung,1994. WACANA No. 12 / Juli -Agustus 1998 5. Laporan Studi Lapang ELSPPAT. September, 1997. (PSDK).