TIGA PARADIGMA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

advertisement
TIGA PARADIGMA FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
Oleh: Mohammad Adib ([email protected])
Dalam Filsafat Sosial dikenal sekurang-kurangnya tiga paradigma ontologik/
epistimologik yang bisa saling bertentangan dan berada dalam gerakan saling menggeser
untuk ”merebut posisi mainstream”, namun bisa pula bisa bersifat komplementer untuk saling
mengisi. Ketiga paradigma itu ialah (1) yang moral-teologikal (Aristotelian), (2) yang
rasional (Cartesian), dan (3) yang saintifik (Galilean). Pokok-pokok pikiran ketiga paham
paradigmatik tersebut, adalah sebagai berikut.
1. Paradigma Moral-Teologik-Kausatif Aristotelian
Aristoteles (384-322 s.M.) lahir di Stagira, Yunani Utara dari ayah seorang dokter di
Macedonia. Pada usia 18 tahun Aristoteles belajar di Akademi Plato di Athena dan tetap di
akademi ini sampai meninggalnya Plato, kemudian kembali ke Athena mendirikan sekolah
Lyceum. Karya Aristoteles antara lain tentang logika (Organon): Kategoriai; Peri
Hermeneias; Analytika Protera; Analytika Hystera; Topika; dan Peri Spohistikoon.
Paradigma moral-teologik Aristoteles berpangkal pada pandangan ontologikmetafisika yang kental dengan—pengaruh gurunya yakni—pandangan idealistis dan
teleologis dari Plato1. Aristoteles menyatakan bahwa alam semesta diciptakan oleh sang
pencipta, penyebab pertama (causa prima) yang dilengkapi oleh seperangkat sistem
keteraturan dan ketertiban (order). Alam semesta merupakan adalah suatu dunia ideal,
keseluruhan organis yang saling berhubungan, suatu sistem idea-idea (forms) yang abadi dan
tetap. Ketertiban alam telah ditetapkan sebelumnya (pre-established) yang kesemua realitas
terpusat dan ditentukan, diprogram, dan ditata oleh serba keserasian2 oleh sang pencipta;
keserasian yang sempurna (perfect harmony), ini ditentukan oleh sang pencipta (teologik).
Kesemua realitas juga tunduk kepada keselaran dan keserasian. Dalam kenyataan dunia
makhluqi, wujud kenyataan Sang Causa prima adalah dalam keselaran, keharmonisan, dan
keseimbangan.
Realitas adalah universal. Ia merupakan obyek yang dipilahkan dalam form (bentuk)
dan matter (materi). Menurut Aristoteles, objek-objek adalah partikular sebagai substansi
yang nyata: (i) meteri mengandaikan bentuk-bentuk yang berbeda tetapi bentuk permulaan
tidak berubah; (ii) materi merupakan asas kebolehjadian sedangkan bentuk merupakan asas
kenyataan atau actual: materi dan bentuk itu menyatu. Aristoteles menyatukan materi dan
bentuk ini. Ia memasukkan sebab ke dalam tindakan (estelechy) pendekatan terhadap
kesatuan dari semua benda menjadi tujuan (teleology) dari alam semesta; bentuk-bentuk
adalah kekuatan yang bertujuan—yang diciptakan oleh pikiran itu sendiri; setiap organisme
menjadi suatu hal melalui tindakan dari idea tujuan; bentuk dan materi merupakan suatu yang
abadi.3 Karenanya haruslah materi tunduk pada hukum kausalitas, yang mutlak berlaku pada
ciptaan tuhan, tetapi tidak berlaku pagi sang pencipta. Dengan demikian sebab (causa) itu
sarat (padat) dengan nilai-nilai (values loaded).
1
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:24-25.
Gordon, The History and Philosophy of Social Science, 1993: 213.
3
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:26-27.
2
[email protected]
1
Realitas makhluk di alam semesta ini, telah menjadi anggapan aksiomamtik bagi
Aristoteles yang dipahaminya sebagai suatu keteraturan atau suatu tertib (disebut nomos atau
„order‟ dalam bahasa Inggris) yang sudah pre-establihed, dalam arti „sudah tercipta dan
menjadi ada sejak awal mulanya‟. Paradigma Aristotelian ini bertolak dari anggapan
aksiomatik bahwa seluruh kenyataan alam semesta itu pada hakikatnya adalah suatu totalitas
kodrati yang telah tercipta secara final dalam bentuknya yang sempurna, dan serba
berkeselarasan (harmony) sejak awal mulanya. Rancang bangun ontologik Aristotelian
didasarkan atas satu kausa utama (kausa prima) yang diimplementasikan dalam empat kausa.
Kausa prima ada pada diri Tuhan sedangkan empat kausa lainnya berada dalam realitas selain
tuhan (makhluk). Keempat kausa atau sebab itu adalah4: (i) sebab bahan (material) berupa
materi yakni bahan-bahan untuk membuat bangunan konstruksi rumah misalnya; (ii) sebab
bentuk (forma) berupa ide tentang benda-benda alam dan juga yang dipahami oleh pikiran;
(iii) sebab kerja (efisien) berupa aktivitas manusia; dan (iv) sebab tujuan (final) berupa target
yang hendak dicapai atas suatu rencana kegiatan. Kaualitas ini berlaku bagi semua realitas
makhluk kecuali sang causa prima. Causa prima yang menciptakan empat kausa tersebut,
tetapi ia sendiri tidak perlu tunduk kepada kausalitas yang ia ciptakan.
Episteme Aristotelian—yang memahamkan semesta sebagai suatu tertib tunggal yang
pre-established, finalistik, serba berkelarasan dan teleologik (<teleos=tujuan: baca kausa
finalis, sebab bertujuan) yang mendalilkan kebenaran bahwa semesta ini merupakan suatu
tertib kodrati yang telah sempurna, yang tidak hanya „tak akan dapat diganggu‟ akan tetapi
juga oleh sebab itu juga „tak boleh diganggu‟, tak ayal lagi lalu dipahamkan pula sebagai
suatu nomos yang sekaligus norma (ialah moral Tuhan).5 Implementasi dalam epistemologi,
bahwa dalam ilmu pengetahuan bagi Aristoteles terbentuk dalam logika ilmiah dengan empat
jenis pengetahuan; (i) definisi dan silogisme yang membahas penjelasan yang berpeluang
(possibility) dan proses pembuktian; (ii) ilmu pengetahuan yang benar dengan pemikiran
lurus terdiri atas (a) pengetahuan khusus yang diperoleh melalui metode silogisme (deduktif);
(b) tujuan pengetahuan untuk membuktikan secara lengkap melalui serangkaian silogisme;
(c) pembuktian yang valid melalui logika deduktif; (iii) sumber pengetahuan dari persepsi
indra; dan (iv) dalam proses pemikiran memerlukan penguasaan konsep-konsep.
Paradigma teologik-kausatif Aristotelian ini memiliki pengaruh sampai hampir 20
abad. Kuatnya pengaruh tersebut karena para pemikir sesudahnya terus melakukan kritik dan
tanggapan di wilayah Timur Tengah. Pada saat itu Eropa sedang mengalami abad kegelapan
yang lelap. Pemikir dari Timur Tengah antara lain al Kindi (873 M.), al Farabi (870 M.), ibn
Sina (Aveciena=1037), serta ibn Rusyd (Averoes=1126)6. Saat terjadi keredupan pengaruh,
pada masa renaisanse, Nama Gotfried Wilhelm Leibniz (1646-1716) dapatlah disebut sebagai
salah seorang representasi paham Aristotelian ini dari masa yang lebih mutakhir. Sebagai
pemikir dalam garis Aristotelian, Leibniz mau bernalar pada alur yang metafisikal, yang
berlangsung di dunia Sollen (alam keharusan, as what ought to be), dan bukan di dunia Sein
(alam kenyataan, as what it is). Alam pemikiran Leibniz amat dikuasai oleh pemikiran
metafisik yang meyakini kebenaran tentang kehidupan semesta yang telah dikuasai
imperativa keselarasan yang telah terwujud secara pasti sejak awal mulanya. Inilah yang
disebut a pre-established harmonius order. Leibniz bertolak dari keyakinan bahwa Tuhan
4
Mudhofir, 2001, Ibid, 26.
Wignjosoebroto, “Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian tentang Manusia, Masyarakat, dan
Hukumnya. Makalah. 2010:9. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/2009/04/babi_teori-dan-paradigma.pdf. diakses 1
Februari 2011 jam 23.23 wib.
6
Hitti, History of the Arabs. Macmillan Press. London:1974:363. Nakosteen, History of Islamic Origins of
Western Education. University of Colorado Press, 1964:207.
5
[email protected]
2
Mahakuasa dan Mahasempurna itu ada, dan Dialah pencipta semesta ini (Baca: causa prima
dari Aristoteles). Penciptaan tentulah didasari oleh suatu intensi dan alasan yang
mengisyaratkan adanya suatu tujuan final (causa finalis) yang Illahi. Bagi Leibniz,7
keteraturan yang berkeselarasan tanpa pertentangan ini dapat digambarkan sebagai suatu
orkestra sebagai suatu pre-established harmony sebagaimana dimaksudkan oleh Leibniz.
Sekian banyak pemusik (ialah satuan-satuan yang oleh Leibniz disebut monad yang
independen) telah “memainkan” bagian masing-masing yang sekalipun masing-masing
bertindak sendiri-sendiri secara mandiri, namun secara total lalu menjadi berkeselarasan.
2. Paradigma Rasional Cartesian
Cartesian merupakan predikat yang disematkan kepada Rene Descartes (1596-1650),
seorang filsuf dan ahli matematika Perancis yang lahir di La Haye Touraine, anak keluarga
bangsawan. Dia belajar ilmu pasti dan filsafat Skolastik. Ia senang merantau antara lain ke
Jerman, Belanda, Italy, dan Perancis yang kemudian menemukan ketenangan dan menetap di
negeri Belanda sejak 1629-1649. Pada masa inilah Descartes banyak menulis karya ilmiah
antara lain Discours de la Methode (diterbitkan 1937), Meditationes de Prima Philosophia
(1641), Principia Philosopiae (1644), dan Les Passiones de L‟ame (1650).8 Melalui tulisantulisan tersebutlah ia kemudian terkenal dengan sebutan Cartesian.
Dalam buku Discours de la Methode (1937), Descartes mendobrak total seluruh
pemikiran yang berasal dari tradisi dan otoritas dengan menempatkan rasio subjek sebagai
titik pangkalnya yang menyatakan bahwa manusia yang berfikir sebagai pusat dunia.
Subjektivitas Descartes mengacu pada aktivitas rasio subjek9. Ia memandang prinsip
matematika sebagai paradigma dalam seluruh jenis pengetahuan manusia. Bagian dari aliran
rasionalisme ini menggunakan asumsi ontologi-kosmologi yang berpandang bahwa alam
memiliki struktur matematis. Descartes menolak semua kebenaran apabila tidak dapat
dideduksi dengan prinsip matematika yang berangkat dari pengertian-pengertian umum yang
kebenarannya tidak dapat diragukan (clear and distinct). Semua fenomena alam dapat
dijelaskan dengan cara deduksi matematika. Sebagaimana dinyatakan Gordon10:
”....René Descartes, in his Discourse on Method (1637), established the mechanistic
conception of the world as a fundamental philosophical principle of science. In this book,
he announced the invention of analytical geometry, important in itself.” …… the
conception of reality as consisting of mechanistically linked phenomena.
Epistemologi makrokosmos dan mikrokosmos. Descartes telah mematematikkan alam
dan berkesimpulan bahwa alam raya (makrokosmos) adalah mesin raksasa. Alam bekerja
sesuai dengan hukum-hukum mekanik. Segala sesuatu dalam alam materi dapat diterangkan
sebagai tatanan dan gerakan dari bagian-bagianya. Kehidupan dan spiritualitas dalam alam
raya tidak ada tujuan. Adapun manusia (mikrokosmos) juga seperti itu yang di dalamnya
terdapat unsur ruh dan tubuh. Cara pandang dualisme seperti ini pada gilirannya menciptakan
pola pikir yang serba dikotomis melalui logika biner.11
7
Wignjosoebroto, Opcit; Gordon, Opcit. 1993:28.
Gordon, The History and Philosophy of Social Science, 1993: 52, 69, 72, Mudhofir, Kamus Filsafat Barat.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001:124-125; Flew, Dictionary of Philosophy. Pan Book. London, 1983:89-91.
9
Harianto, Paradigma Holistik. Teraju, Jakarta: 2010:34.
10
Gordon, Ibid, 1993:69, dan 72
11
Ibid.
8
[email protected]
3
Pada garis besarnya, fokus kajian rasionalisme Descartes adalah (i) menekankan akal
budi (rasio) sebagi sumber utama pengetahuan, mendahului atau unggul atas, dan bebas
(terlepas) dari pengamatan inderawi. (ii) Hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal
yang memenuhi syarat semua pengetahuan ilmiah. (iii) Pengalaman hanya dipakai untuk
mempertegas pengetahuan yang diperoleh akal. Akal tidak memperoleh pengalaman. Akal
dapat menurunkan kebenaran dari dirinya, yaitu atas dasar asas-asas pertama yang pasti.
Adapun ciri-ciri rasionalisme adala (i) tidak mengingkari nilai pengalaman, melainkan
pengalaman hanya dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran; (ii) keyakinannya
bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan bukannya di dalam barang sesuatu;
(iii) kebenaran bermakna sebagai keberadaan ide yang sesuai dengan atau yang menunjuk
kepada kenyataan, maka kebenaran hanya dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat
diperoleh dengan akal saja.
Cara kerja rasionalisme adalah (i) memulai dengan sebuah pernyataan yang sudah
pasti; (ii) aksioma dasar yang dipakai membangun sistem pemikirannya diturunkan dari ide
yang menurut anggapannya adalah jelas, tegas dan pasti dalam pikiran manusia; (iii) Pikiran
manusia mempunyai kemampuan untuk mengetahui ide tersebut, namun manusia tidak
menciptakannya, maupun tidak mempelajari lewat pengalaman; dan (iv) Ide tersebut sudah
ada "di sana" sebagai bagian dari kenyataan dasar dan pikiran manusia, karena ia terlihat
dalam kenyataan tersebut, pun akan mengandung ide pula. Adapun tiga asumsi paradigma
Cartesian adalah (i) subjektif-antroposentrik; (ii) dualisme; dan (iii) mekanistikdeterministik12. Pertama, subjektif-antroposentrik merepresentasikan modus khas kesadaran
modernisme bahwa manusia merupakan pusat dunia. Descartes mengembalikan skema
pendekatan metafisis dengan menolak cara-cara yang bersifat tradisional.
Kedua, dualisme. Prinsip ini memilahkan realitas atas subjek dan objek, manusia dan
alam yang menempatkan superioritas subjek atas subjek. Dualime memisahkan secara
mendasar antara kesadaran dan materi, ruh dan tubuh, jiwa dan benda, serta nilai dan fakta.
Gordon13 menguraikan:
“Descartes made a hard categorical distinction between „body‟ and „mind‟, which
stimulated intense efforts by metaphysicians to re-establish a monistic unity, which still
continues in the present day. Even philosophers who regard metaphysics as meaningless
nonsense, and are scornful of these early attempts to resolve the Cartesian dualism, have
nevertheless had to contend with some very difficult problems that are posed by it.”
Ketiga mekanistik-deterministik. Realitas dipahami dengan memilah-milahkan hal atau
benda menjadi bagian kecil, yang dijelaskan dengan pengukuran kuantitatif. Hasil penelitian
dari bagian-bagian kecil itu digeneralisasikan untuk keseluruhan. Namun titik-tolak utama
dalam penggeralisasian itu dalam pandangan Descartes, mendasarkan pada kenyataan bahwa
alam dan dunia hanyalah merupakan prinsip logika deduksi (matematika) yang berpulang
berupa prinsip-prinsip yang telah benar dengan sendirinya (self-evident primary
propositions).14 Prinsip matematika bermula dari aksioma dan asas-asas. Asas-asas ini
membentuk titik tolak untuk deduksi yang melalui asas ini disusunlah proposisi.
12
Harianto, Ibid. Hal 32-71.
Gordon, Opcit, 1993:212.
14
Gordon, Ibid, 1993:374; Mudhofir, Opcit, 2001: 125.
13
[email protected]
4
3. Paradigma Saintifik Galilean
Paradigma Galilean, mengacu kepada pemikir Galileo Galilei (1564-1642) yang lahir
di Pisa, Itali. Ia belajar dan kemudian mengajar di Universitas Pisa. Beberapa tahun kemudian
ia bergabung dengan Universitas Padua dan menetap di sana hingga 1610. Pada masa inilah
produktivitas temuan ilmiah Galileo tersalurkan. Karya tulis Galileo antara lain: Letter to the
Grand Duchess Christina (1636); the Assayer (1623); Dialogue in the Two Chief Word
Systems (1632); Discourse on Two New Sciences (1638).15
Galileo, amat berjasa pada ilmu fisika dan astronomi, khususnya penggunaan teleskop
untuk observasi. Ia menemukan rumus-rumus matematik untuk hukum fisika. Galileo juga
mengembangkan prinsip observasi objektif serta analisa teoritis yang rasional yang kemudian
menjadi sifat pendekatan ilmiah dalam ilmu pengetahuan, itulah yang dikenal dengan prinsip
causa effect, sebab akibat. Dari penemuannya itu Galileo membuka jalan formulasi sistematik
atas hukum mekanika fisika yang dikemukakan Isaac Newton (1642-1727) dalam kurun satu
setengah abad kemudian. Tapi ia sempat bertentangan dengan gereja Katolik, bahkan
bukunya, Dialogue on the Chief System of the World dilarang. Pertentangannya dengan
Gereja menyangkut pemihakan Galileo pada teori Copernicus, yang mengatakan, matahari
adalah pusat sistem planet, bukan bumi sebagaimana yang diyakini Gereja, dalam ajaranajaran kitab sucinya.16 Melalui buku Letter on Sunpots (1613), Ia menerima teori Copernicus.
Galileo dipanggil Gereja diadili dan diminta menjelaskan pendapatnya. Pada akhirnya
Galileo mampu meyakinkan kebenaran teori Copernicus pada Gereja. Disitulah ia dianggap
mempengaruhi para agamawan untuk menerima suatu teori ilmiah yang dasarnya penelitian
empiris, bukan kitab suci. Namun kendati demikian ia tidak mengklaim bahwa ilmu
pengetahuan tidak lebih unggul dari agama. 17
Pandangan ontologi-metafisika Galileo dapat digambarkan bahwa alam semesta
tidaklah harmoni, serasi, selaras, dan seimbang, melainkan terdiri dari unsur-unsur yang
beragam dan penuh kesemrawutan (chaos), bagaikan keberserakan dedaunan yang terjatuh
dari pepohonan di musim gugur. Kesemrawutan seperti ini merupakan koreksi total atas
peradaban manusia yang terjadi selama hampir 19 abad, tidak bergeming dari pengaruh
paradigma normative-teologik-kausatif Aristotelian. Galileo menetapkan paradigma yang
berbeda. Secara cerdas dan cermat Galileo menetapkan fenomena dan pengamatan empiris
sebagai titik tolak ilmu pengetahuan. Ia meralat teori Aristoteles yang mengajarkan bahwa
benda yang lebih berat, membutuhkan waktu jatuh lebih cepat dari pada benda yang lebih
ringan. Melalui eksperimen, Galileo berkesimpulan bahwa benda ringan dan benda berat
jatuh pada kecepatan yang sama kecuali sampai batas mereka berkurang kecepatannya akibat
pergeseran udara.18 Alam semesta itu pada hakikatnya merupakan himpunan fragmen—pada
perkembangannya disebut „variabel‟—yang jumlahnya tak terhingga, yang secara interaktif
berhubungan dalam suatu proses “kocokan” yang berlangsung secara berterusan tanpa
mengenal titik henti, sampai kelak tiba pada titik finalnya. Semesta adalah jaringan
kausalitas, eksis di tengah alam indrawi yang objektif, berada di luar rencana dan kehendak
15
Mudhofir, Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar. Yogyakarta,
Philosophy. Pan Book. London, 1983:139-130.
16
Gordon, Opcit, 1993:20.
17
Gordon, Ibid, 1993:20.
18
Mudhofir, Ibid, 2001:187
[email protected]
2001:188-189. Flew, Dictionary of
5
siapapun, yang karena itu tak sekali-kali tunduk kepada imperativa alami yang berlaku
universal.19
Hakekat pengetahuan (episteme) Galilean berangkat dari premis dasar ontologikmetafisika bahwa alam semestra dan isinya merupakan himpunan fragmen yang terdiri dari
variable-variabel yang jumlahnya tidak terhingga. Hubungan antar unsur dalam fragmen itu
selalu dapat disaksikan sebagai suatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar variable
berlangsung secara kausal-mekanistik. Setiap gejala dapat diidentifikasi yang karenanya
memiliki kecenderungan-kecenderungan (trend) dalam pergerakannya. Ilmu penegetahuan
(science) manusia berlangsung di ranah yang indrawi—penglihatan, pendengaran, pencecapa,
perasa, perabaan, dan penciuman. Proses hubungan antar-unsur selalu dapat disimak sebagai
sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan antar-variabel itu berlangsung secara kausalmekanististik di tengah alam objektif (yang karena itu tunduk kepada imperativa alami yang
berlaku universal serta berada di luar rencana dan kehendak sesiapapun. Kecuali objektif,
hubungan antar-fragmen itu berlangsung di ranah yang indrawi, dan yang karena itu pula
selalu dapat disimak sebagai sesuatu yang faktual dan aktual. Hubungan kausal antar variabel
itu berlangsung secara mekanististik dan dapat direproduksi, dan oleh sebab itu pula setiap
kejadian atau terjadinya peristiwa selalu dapat diprakirakan atau bahkan diramalkan.
Penguasaan atas berbagai hubungan kausal antar-faktor variabel ini dapat dilakukan untuk
memproduksi hubungan-hubungan baru dalam kombinasi antar-variabel yang akan
menghasilkan fakta-fakta baru yang sebagian besar tidak diprakirakan sebelumnya. Dari
pengetahuan tentang dan penguasaan atas berbagai kausa dan effek yang tak kunjung final
inilah lahirnya ilmu pengetahuan (science=sains) berikut berbagai metodenya untuk
memanipulasi hubungan-hubungan sebab-akibat ke arah ragam-ragamnya yang tak hanya
bernilai ilmiah/saintifik tetapi juga teknologik. Pada intinya, paradigma Galillean
berpandangan bahwa hukum alam semesta sebagai keteraturan hasil akhir proses yang acak
sebab-akibat antar-faktor.20 ***
Buku Bacaan
Adib, Mohammad
2011 Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan. Cetakan Ke-2. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Flew, Antony
1983 Dictionary of Philosophy. London: Pan Book.
Gordon, Scott
1993 The History and Philosophy of Social Science, New York: Paperback
Routledge.
Hakim, Em. Lukman.
2010 “Teori Pertukaran George Homans” dalam Suyanto dan Amal. Anatomi dan
Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media Publishing.
19
Wignjosoebroto, 2010, Opcit. Gordon, Opcit, 1993:24.
Wignjosoebroto, Ibid, 2010:10. Gordon, Opcit, 1993:20.
[email protected]
20
6
Harianto, Husein.
2010 Paradigma Holistik, Dialog Filsafat, Sains, dan Kehidupan Menurut Shadra
dan Whitehead. Jakarta: Teraju.
Hitti, Phillip, K.
1974 History of the Arabs. London: Macmillan Press.
Homans, George
1974 Social Behavior: Its Elementary Form. Social Behavior: Its Elementary Form.
Edisi Revisi. New York: Harcourt Bace Jovanovich.
Mudhofir, Ali
2001 Kamus Filsafat Barat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. (Terjemahan Nurhadi).
2010 Teori Sosiologi: Dari Teori Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan Muakhir
Teori Sosial Postmodern. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Wignjosoebroto, Soetandyo
2010 “Tentang Teori, Konsep, dan Paradigma dalam Kajian tentang Manusia,
Masyarakat, dan Hukumnya. Makalah. http://blog.unila.ac.id/pdih/files/
2009/04/babi_teori-dan-paradigma.pdf. diakses 1 Februari 2011 jam 23.23
wib.
[email protected]
7
Download