KENDALA GURU SENI BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI EKSPRESI SENI RUPA DI SMP NEGERI SE KABUPATEN MADIUN ARTIKEL PENELITIAN OLEH: DWI ANA ROMLAH NIM.107251407173 UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS SASTRA JURUSAN SENI DAN DESAIN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI RUPA Juni 2011 KENDALA GURU SENI BUDAYA DALAM PEMBELAJARAN STANDAR KOMPETENSI EKSPRESI SENI RUPA DI SMP NEGERI SE KABUPATEN MADIUN Dwi Ana Romlah ABSTRAK Di Kabupaten Madiun masih ada beberapa kompetensi dasar ekspresi seni rupa tingkat SMP yang belum dapat diberikan oleh guru seni budaya bidang seni rupa, beberapa hambatan dialami oleh guru untuk membelajarkan kompetensi dasar tersebut, sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui kesulitan-kesulitan yang mungkincdialami oleh para guru, meliputi kondisi guru mata pelajaran seni budaya, perencanaan pembelajaran oleh guru, sarana dan prasarana penunjang kegiatan pembelajaran, media pembelajaran, strategi pembelajaran, penilaian pembelajaran, minat dan motivasi siswa, dan dukungan dari kepala sekolah. Penelitian dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa angket berisi sejumlah pertanyaan yang kemudian diberikan kepada responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa guru seni budaya di SMP Negeri di Kabupaten Madiun mengalami beberapa hambatan dalam pembelajaran standar ekspresi seni rupa, diantaranya pada kompetensi dasar mempersiapkan dan mengadakan pameran. Faktor penghambat diantaranya adalah tidak tersedianya sarana seperti ruang pembelajaran khusus dan media pembelajaran seni rupa. Selain itu, diketahui bahwa guru seni budaya bidang seni rupa bukanlah guru yang memiliki latar belakang pendidikan seni. Para guru tersebut cukup mengalami kesulitan dalam menentukan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan mengembangkan materi bahan ajar sesuai dengan KTSP. Pengalaman berkesenian memiliki peranan yang sangat penting dalam membantu perkembangan anak, menolong pertumbuhan dan perkembangan kematangan estetis anak, dan membantu anak belajar untuk hidup secara sempurna (Wickiser, 1974:7). Namun dalam perkembangannya, pendidikan seni di Indonesia juga diharapkan mampu menjadi sarana untuk menanamkan pengetahuan dan mengenalkan keanekaragaman budaya bangsa yang merupakan ciri khas jati diri atau kepribadian bangsa, hingga akhirnya pendidikan seni diharapkan mampu menanamkan dan menumbuhkembangkan rasa cinta tanah air pada anak sebagai generasi muda. Sejalan dengan rumusan tujuan pendidikan seni yang telah ditetapkan, saat ini pendidikan seni di sekolah terwujud dalam mata pelajaran Seni Budaya, maka telah jelas bahwa pendidikan seni di sekolah harus diadakan untuk memberikan pengetahuan dan pengenalan terhadap kesenian budaya bangsa yang meliputi seni rupa, seni tari, seni musik, dan seni teater. Sesuai dengan kurikulum yang berlaku dalam dunia pendidikan Indonesia saat ini yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau biasa dikenal dengan KTSP, maka pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran seni budaya bukan menekankan pada teori melainkan lebih memberikan kepada peserta didik suatu pengalaman berkesenian. Pelaksanaan kegiatan ekspresi pada bidang seni rupa sejak dulu hingga sekarang adalah mutlak atau wajib dilaksanakan, karena pada dasarnya kegiatan berkesenian pasti menghasilkan suatu karya melalui suatu proses, oleh sebab itu dalam mempelajari seni khususnya seni rupa tidak hanya melulu pada teori, namun juga harus diiringi dengan kegiatan menciptakan suatu karya. Apalagi jika berpedoman pada KTSP, maka memberikan pengalaman artistik atau pengalaman menciptakan karya seni rupa estetik kepada siswa adalah wajib bagi guru seni. Namun pada kenyataannya, terkadang tidak semua konsep dan rancangan pembelajaran kegiatan ekspresi seni rupa dapat diterapkan secara optimal, seperti yang terjadi di Kabupaten Madiun. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti, beberapa kompetensi dasar pada standar kompetensi ekspresi seni rupa yang tercantum dalam KTSP belum bisa diberikan oleh guru atau pengajar seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun kepada siswa. Seperti menciptakan karya seni grafis, merancang karya seni tekstil, mengadakan pameran dan beberapa kompetensi dasar lainnya. Maka sudah pasti bahwa pelaksanaan kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa di Kabupaten Madiun tidak berjalan dengan lancar. Jika demikian, maka sudah dapat dipastikan bahwa tujuan standar kompetensi berekspresi seni rupa yang berpedoman pada KTSP yaitu untuk memberikan pengalaman berkesenian, khususnya pengalaman artistik bagi siswa tidak dapat dicapai secara optimal. Untuk mengatasinya maka perlu diketahui dengan pasti apa yang sebenarnya menjadi kendala dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun serta faktor-faktor apa sajakah yang menimbulkan hambatan terjadi. Setelah kendala atau hambatan diketahui, maka solusi atau jalan keluar untuk pelaksanaan kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa yang lebih baik pun dapat dicari, dan diterapkan untuk pencapaian tujuan pembelajaran seni rupa tingkat SMP di kabupaten Madiun yang lebih baik dan membawa manfaat bagi siswa, guru, sekolah, masyarakat, daerah, hingga Bangsa dan Negara Indonesia. Proses pembelajaran termasuk pembelajaran seni rupa adalah suatu sistem, dan salah satu komponen pembelajaran adalah guru yang merupakan komponen yang selama ini dianggap sangat mempengaruhi proses pendidikan (Sanjaya, 2008:273), karena bagaimanapun sarana dan prasarana pendidikan tanpa diimbangi dengan kemampuan guru dalam mengimplementasikannya, maka semuanya akan kurang mencapai hasil yang optimal. Empat kompetensi yang harus dimiliki oleh guru berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 (dalam Sanjaya, 2008:279) adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi professional. Menurut Katjik dkk (1972:28) guru seni rupa harus memiliki sikap dan nilai sebagaimana dimilki oleh seorang seniman sekaligus seorang guru/pendidik yang baik, diantaranya: 1) Memiliki pengetahuan tentang tujuan pembelajaran seni rupa, metodologi pembelajaran seni rupa, dan pengertian seni rupa hingga ke pengertian yang paling hakiki; 2) Pendidik/guru seni rupa sebaiknya memiliki keterampilan tentang memilih dan menentukan tujuan pembelajaran, sanggup berkarya, mengapresiasi dan mengevaluasi seni terutama karya seni rupa khususnya karya murid-murid; 3) Pendidik/guru seni rupa harus telah menemukan nilai pendidik dalam jiwanya sebagai norma tugasnya yang terbabar dalam wujud sikap yaitu pendidik/guru seni rupa. Purwatingsih dalam Mozaik Seni dan Pengajarannya (1996:12) menyebutkan tiga pendekatan yang efektif untuk pembimbingan praktek berkesenian, yaitu formal, informal, dan fungsional. Sedangkan Soehardjo mengkategorikan model pembelajaran ekspresi seni rupa menjadi tiga, yaitu apretensip, progresif, dan akademik. Sedangkan beberapa metode yang dapat digunakan dalam pembelajaran ekspresi seni rupa diantaranya adalah mencontoh, drill, karya cipta, pemberian tugas, demonstrasi, dll. Komponen-komponen pembelajaran dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori utama, yaitu guru, isi atau materi pembelajaran, dan siswa (Sumiati dan Asra,2007:3). Sumiati dan Asra juga menyatakan bahwa interaksi antara tiga komponen utama melibatkan sarana dan prasarana, seperti metode pembelajaran, media pembelajaran, dan penataan lingkungan tempat belajar, sehingga tercapai situasi pembelajaran yang memungkinkan tercapainya tujuan yang telah direncanakan sebelumnya. Sehingga Sumiati dan Asra (2007:4) menyimpulkan peran guru dalam proses pembelajaran untuk dapat membangkitkan aktivitas siswa adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, memberikan umpan balik dan mengevaluasi pembelajaran.Terkadang keempat hal tersebut memang sudah direncanakan dengan matang, namun menurut Sumiati dan Asra (2007:5) beberapa faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran diantaranya adalah guru, siswa, kurikulum, dan lingkungan. Sumiati dan Asra (2007:160) menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong proses belajar. Edgar Dale (dalam Sumiati dan Asra, 2007:175) memandang bahwa nilai media pembelajaran dalam pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan nilai pengalaman belajar, tingkat pengalaman yang paling tinggi nilainya adalah hal yang paling kongkrit, sedangkan yang paling rendah nilainya adalah yang paling abstrak. Berikut adalah hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih media pembelajaran menurut Sumiati dan Asra (2007:165): 1) Jenis kemampuan yang akan dicapai sesuai dengan tujuan pembelajaran, meliputi aspek kognitif, afektif, ataukah psikomotorik; 2) Nilai kegunaan dari media pembelajaran itu sendiri; 3) Kemampuan guru dalam menggunakan media pembelajaran; 4) Fleksibelitas, keamanan, daya tahan dari media dan penggunaan media; 5) Keefektifan suatu media pembelajaran dibandingkan dengan jenis media pembelajaran lain untuk digunakan dalam pembelajaran suatu materi pembelajaran tertentu. Made Wena (2009:10) bahwa media yang digunakan guru harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan sehingga mampu merangsang dan menumbuhkan minat siswa dalam belajar. Penggunaan media pembelajaran juga harus sesuai dengan metode pembelajaran yang digunakan, juga harus disesuaikan dengan karakteristik peserta didik yang akan mendapatkan pesan pembelajaran melalui media pembelajaran. Itulah mengapa media lebih menaruh perhatian pada kajian mengenai kegiatan belajar apa yang dilakukan siswa dan bagaimana peranan media untuk merangsang kegiatan-kegiatan belajar tersebut (Degeng dalam Made, 2009:10). Pada pembelajaran ekspresi seni rupa, teknik penilaian yang digunakan adalah teknik penilaian tes perbuatan atau unjuk kerja, yaitu tes yang dilaksanakan dengan jawaban berupa perbuatan, tindakan atau unjuk kerja (Sumiati dan Asra, 2007:204). Tes perbuatan ini bertujuan untuk menilai kemampuan: 1) Manipulatif, yaitu kemampuan untuk menggunakan alat; 2) Manual, yaitu kemampuan melakukan perbuatan berdasarkan petunjuk; 3) Non verbal, yaitu kemampuan yang sulit diungkapkan secara verbal; 4) Meningkatkan kesadaran diri tentang kemampuannya sehingga menimbulkan motivasi belajar. Ada dua aspek yang perlu dinilai dalam ekpresi siswa, yaitu pada proses penciptaan dan hasil. Oleh sebab itulah untuk menilai dua aspek ini diperlukan alat penilaian non tes berupa pedoman pengamatan untuk mengamati kegiatan siswa dalam menyelesaikan tugas. Pedoman pengamatan dapat berupa skala penilaian atau skala tingkat, yaitu alat penilaian yang menggunakan skala yang telah disusun dari ujung yang negatif hingga ujung positif (Sudjana, 2010:115). Alat penilaian harus dapat mendukung terselenggaranya penilaian yang obyektif, yaitu menilai prestasi siswa sebagaimana adanya (Sudjana, 2010:116). Menurut bentuknya skala tingkat dibedakan menjadi tiga yaitu skala tingkat kuantitatif, skala tingkat deskriptif, dan skala tingkat grafis, selain skala tingkat ada instrument penilaian berupa rubrik penilaian. METODE Rancangan yang dipilih dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif kuantitatif, teknik pengumpulan data adalah kuosioner dengan instrument penelitian berupa angket. Angket yang disusun untuk penelitian ini berisi seperangkat pertanyaan yang jumlahnya mencukupi untuk mengukur variabel yang diteliti, bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dengan tipe pertanyaan tertutup, yaitu tipe pertanyaan yang membutuhkan jawaban singkat dan atau memberikan pilihan jawaban pada responden. Angket yang dibuat terdidi atas 2 kelompok, yaitu kelompok A dan B. kelompok A berisi tentang identitas guru, kelompok B berkaitan dengan pembelajaran. Ada beberapa pertanyaan yang menggunakan skala Likert, yaitu skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2008:93). Pada pertanyaan yang mengandung skala ini, skala tertinggi memiliki skor 4 dan skala terendah adalah 1. Ada pula pertanyaan yang tidak mengandung skala ini, yaitu pertanyaan yang membutuhkan jawaban akan keberadaan benda, dan adapula pertanyaan yang memberikan pilihan cukup banyak namun tidak berskala, sehingga penghitungannya hanya pada presentase jumlah yang terpilih. Angket diberikan kepada responden penelitian, yaitu beberapa guru seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun yang dipilih dengan teknik cluster sampling atau sampel area. Menurut Sugiyono (2008:84) teknik cluster sampling atau sampel area digunakan untuk mengambil sampel dari populasi di suatu wilayah yang luas, dengan cara membagi wilayah menjadi beberapa area, kemudian dari beberapa area dipilih secara acak. Dari area yang terpilih kemudian ditentukan siapa yang menjadi responden atau sumber informasi. Langkah pertama adalah mencari informasi tentang jumlah kecamatan di Kabupaten Madiun. Diketahui bahwa Kabupaten Madiun terdiri atas 14 kecamatan, dari 14 kecamatan yang tidak diambil sebagai sampel adalah Kecamatan Kebonsari, Dagangan, Sawahan, dan Gemarang. Dari 10 Kecamatan yang dipilih sebagai sampel diperoleh 20 responden. Angket disebarkan sendiri oleh peneliti, kemudian diambil beberapa hari kemudian. Setelah angket diambil, kemudian diteliti, ditabulasikan lalu diolah dan dianalisis dengan menggunakan rumus prosentase. HASIL Dari keseluruhan data yang diperoleh, berikut ini akan dipaparkan beberapa informasi yang telah diperoleh, diantaranya adalah bahwa sebagian besar guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun adalah warga Kabupaten Madiun, dan didominasi oleh guru yang berusia 41-50 tahun, sebagian dari para guru tersebut telah menjabat sebagai guru seni selama lebih dari 16 tahun, hingga banyak yang dipercaya sebagai wali kelas. Sebagian besar guru seni budaya tidak memiliki latar pendidikan bidang seni budaya yang sesuai dengan bidang ajar yang dipegang, dan mereka memiliki jam mengajar lebih dari 20 jam pelajaran/minggu. Ada beberapa hambatan yang dialami guru Seni Budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun dalam melaksanakan pembelajaran standar kompetensi ekspresi seni rupa. Sebagai contoh adalah tidak dapat terlaksananya beberapa kompetensi dasar dalam KTSP dikarenakan tidak tersedianya fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran, misalnya untuk mengadakan pameran tidak tersedia ruang pameran atau ruang khusus seni rupa. Selain itu juga pada beberapa media pembelajaran yang sulit diperoleh oleh guru dan juga siswa. Dalam hal ini tentunya memerlukan dukungan dari pihak sekolah, utamanya kepala sekolah sebagai pemimpin sekolah. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kepala sekolah mendukung pembelajaran ekspresi seni rupa, namun kenyataannya dukungan tersebut belum ditunjukkan melalui ketersediaan ruang dan media pembelajaran untuk kegiatan ekspresi seni rupa. Kemungkinan lain yang menjadi penyebab tidak dapat dibelajarkannya kompetensi dasar ekspresi seni rupa adalah latar belakang pendidikan guru seni budaya bidang seni rupa yang tidak sesuai dengan bidang ajarnya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa sebagian besar guru seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun tidak berlatar belakang pendidikan seni rupa atau cabangnya. Namun demikian para guru tersebut mengaku bahwa pembelajaran kompetensi dasar ekspresi seni rupa yang dilaksanakan di SMP Negeri di Kabupaten Madiun berjalan dengan baik dan sesuai dengan rencana dalam Rancangan Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Kesulitan yang cukup dialami para guru dalam membuat perencanaan pembelajaran hanyalah dalam menentukan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan dalam mengembangkan materi bahan ajar yang berdasarkan KTSP. Akan tetapi meskipun dengan perencanaan yang mungkin kurang maksimal, para siswa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun berantusias dalam mengikuti pembelajaran ekspresi seni rupa. Berdasarkan informasi dari guru sebagian besar dari siswa juga mengumpulkan tugas-tugas ekspresi seni rupa tepat pada waktu yang telah ditentukan, dan bagi guru seni rupa sebagian besar karya siswa memiliki kualitas yang bagus. Dalam melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran ekspresi seni rupa siswa, para guru di SMP Negeri di Kabupaten Madiun hampir tidak mengalami kesulitan untuk menilai proses berkarya dan hasil karya siswa, instumen penilaian yang banyak digunakan adalah rubrik penilaian dan pedoman pengamatan untuk menilai proses dan hasil, namun berdasarkan hasil penelitian masih ada guru yang menggunakan soal uraian untuk melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran ekspresi seni rupa. Sedangkan dalam hal strategi pembelajaran yang berkaitan dengan metode dan model pembelajaran yang banyak digunakan oleh guru seni budaya di SMP Negeri di Kabupaten Madiun adalah demonstrasi dan karya cipta bebas dengan pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) dan Pembelajaran terpadu. PEMBAHASAN Di SMP Negeri di Kabupaten Madiun, sebagian dari guru seni budaya bidang seni rupa berasal dari Kabupaten Madiun dan sebagian tidak berasal dari Kabupaten Madiun. Maka dapat timbul kemungkinan bahwa guru seni budaya bidang seni rupa yang berasal dari luar Madiun belum mengenal secara utuh potensi seni rupa di daerah Madiun. Hal ini tentunya tidak sejalan dengan tujuan bahwa kurikulum yang dikembangkan di setiap satuan pendidikan akan menjadi lebih bermakna untuk mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang berguna dalam mengembangkan potensi daerahnya (Sanjaya, 2008:32). Jika guru pembimbing seni rupa tidak mengenal potensi seni rupa di daerah Madiun, maka tentunya potensi seni rupa di daerah Madiun belum bisa dikembangkan melalui peserta didik di SMP Negeri di Kabupaten madiun. Masalah yang timbul adalah bahwa sebagian besar guru seni budaya di SMP Negeri di Kabupaten Madiun tidak memiliki latar belakang pendidikan bidang seni rupa atau bidang lain yang berkaitan dengan seni rupa. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan pernyataan Katjik dkk (1972:28) bahwa guru seni rupa harus memiliki sikap dan nilai sebagaimana dimilki oleh seorang seniman sekaligus seorang guru/pendidik yang baik. Guru juga dituntut untuk memiliki kompetensi profesional, yaitu kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 10 butir 4 (dalam Sanjaya, 2008:279). Kompetensi professional ini tentunya tidak diperoleh secara akademik jika tidak menempuh program dan jenjang pendidikan yang sesuai. Maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di kabupaten Madiun bukanlah guru yang pendidikannya sesuai dengan bidang ajarnya sekarang, dan berdasarkan penelitian, para guru tersebut memiliki jam mengajar yang lebih dari 20 jam pelajaran/minggu. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tuntutan para guru sebagai Pegawai Negeri Sipil yang harus menempuh jam mengajar minimal 24 jam pelajaran/minggu. Maka kemungkinannya adalah jika di sekolah tidak terdapat guru seni, dapat diganti dengan guru mata pelajaran lain yang belum memenuhi 24 jam pelajaran/minggu. Guru seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun menyatakan bahwa membuat perencanaan pembelajaran adalah hal yang sangat penting, dan para guru membuat perencanaan untuk setiap kompetensi dasar yang mereka berikan. Hal ini sejalan dengan pernyataan Sudjana (2010:20) bahwa bagi guru kemampuan merencanakan program belajar mengajar merupakan muara dari segala teori, keterampilan dasar dan pemahaman yang mendalam tentang obyek belajar dan situasi pengajaran, yang berarti bahwa guru wajib membuat perencanaan yang merupakan langkah awal dalam pembelajaran. Sumiati dan Asra (2007:5) menyimpulkan perencanaan pembelajaran banyak tergantung pada kemampuan guru dalam mengembangkannya, karena tugas guru berkaitan dengan melaksanakan pembelajaran mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Namun di SMP Negeri di Kabupaten Madiun kesulitan yang dihadapi justru terletak pada pengembangan materi bahan ajar dan penyusunan langkah-langkah kegiatan pembelajaran. Hal ini menunjukkan bahwa Guru seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun memiliki kendala dalam hal perencanaan, padahal pelaksanaan pembelajaran berpegang pada apa yang terdapat dalam perencanaan pembelajaran (Sumiati dan Asra, 2007:5). Jika dalam perencanaan masih sulit maka tidak menutup kemungkinan dalam pelaksanaan pun juga akan terhambat. Namun demikian situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pembelajaran mempunyai pengaruh yang besar terhadap proses pembelajaran itu sendiri (Sumiati dan Asra, 2007:5). Novak dan Gowin (dalam Sumiati dan Asra, 2007:5) menyebut lingkungan fisik tempat belajar meliputi keadaan ruang, tata ruang dan berbagai situasi fisik yang ada di sekitar kelas atau sekitar tempat berlangsungnya proses pembelajaran. Lingkungan ini pun dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi situasi belajar. Pembelajaran ekspresi seni pada dasarnya adalah kegiatan praktek penciptaan karya yang saat ini berpedoman pada KTSP, sehingga semestinya juga memiliki ruang khusus. Namun sebagian besar SMP Negeri di Kabupaten Madiun tidak memiliki ruang khusus seni, hal ini tentunya tidak menjadi masalah jika pembelajaran ekspresi seni rupa memang dapat dilakukan di kelas. Namun bagi kegiatan praktek yang memerlukan ruang tersendiri seperti membatik dan pameran, meskipun sekolah telah menyediakan alat dan bahan untuk kegiatan ekspresi seni rupa namun tidak menentukan kemungkinan dimanakah perlengkapan kegiatan praktek seni rupa dapat dilakukan, maka tetap tidak akan mendukung terlaksananya pelaksanaan pembelajaran ekpresi seni rupa. Sehingga kemungkinan penyediaan perlengkapan atau alat bahan akan sia-sia. Jika terpaksa dilakukan di kelas seperti mata pelajaran lain pada umumnya, hal yang biasanya akan menjadi masalah adalah membersihkan kembali ruang kelas untuk mata pelajaran selanjutnya, jika tidak akan dapat menimbulkan komentar yang kurang menyenangkan terhadap mata pelajaran seni khususnya seni rupa. Maka tidak heran jika ada beberapa kompetensi dasar pada KTSP yang belum bisa dilaksanakan seperti pada bahasan sebelumnya yaitu terutama kompetensi dasar mengadakan pameran di kelas atau sekolah, membuat karya seni grafis dan kriya tekstil. Sebagian besar guru-guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupeten Madiun menggunakan buku penunjang dalam pembelajaran ekspresi seni rupa. Buku penunjang merupakan media pembelajaran yang bersifat teks atau verbal. Buku penunjang memberikan pengalaman abstrak bagi siswa, yang menurut Edgar Dale (Sumiati dan Asra, 2007:175) adalah pengalaman yang nilainya paling rendah dalam memberikan pengalaman belajar pada siswa. Edgar juga memandang bahwa nilai media pembelajaran dalam pembelajaran diklasifikasikan berdasarkan nilai pengalaman belajar. Tujuan utama dalam pembelajaran ekspresi seni rupa adalah memberikan pengalaman nyata bagi siswa, dalam hal ini tentunya memerlukan media pembelajaran yang dapat memberikan pengalaman langsung pada siswa, memberi petunjuk pada siswa dan dapat menginspirasi siswa. Namun kenyataannya tidak semua media pembelajaran yang sesuai dengan tujuan pembelajaran berdasarkan kompetensi dasar yang ada mudah diperoleh oleh guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun. Diantaranya adalah media untuk mengadakan pameran dan membuat karya seni kriya tekstil. Ketidaktersediaan media tersebut menjadi penghambat diberikannya kompetensi dasar ekspresi seni rupa kepada siswa. Dalam ekspresi seni rupa, media pembelajaran yang dimaksud juga dapat berupa alat dan bahan yang diperlukan untuk berkarya, karena alat dan bahan adalah media fisik yaitu media nyata yang dapat dilihat dan diraba, berupa material atau bahan yang digunakan dalam penciptaan suatu karya . Lilik Indrawati (2004:17) mengatakan bahwa pada dasarnya media fisik dan media estetik saling melebur membentuk suatu struktur fisik dan estetik dalam suatu karya. Maka tidak akan mungkin tercipta karya oleh siswa jika tidak ada media fisik atau alat dan bahan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kesulitan memperoleh media juga menjadi hambatan bagi guru seni budaya untuk memberikan kompetensi dasar dalam KTSP pada peserta didik. Ada beberapa faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya memperoleh media pembelajaran dan penciptaan untuk berkarya seni rupa, kemungkinan diantaranya adalah harga yang kurang bisa dijangkau oleh siswa, karena bagaimanapun juga dalam menentukan media pembelajaran guru harus mempertimbangkan tingkat kemudahan diperolehnya oleh sekolah dan siswa (Sumiati dan Asra, 2007:166). guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun banyak menggunakan metode demonstrasi dan metode karya cipta terarah dalam pembelajaran ekspresi seni rupa. Pemilihan metode ini sangat tepat karena dengan metode demonstrasi siswa dapat mengetahui bagaimana cara membuat, bahan apa saja yang diperlukan, dan bagaimana proses kerja dalam menciptakan suatu karya seni. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hasibuan dan Moedjiono dalam Proses Belajar Mengajar (2008:29) bahwa metode demonstrasi adalah metode yang paling efektif untuk membantu siswa mencari jawaban atas pertnyaan-pertanyaan seperti bagaimana cara membuatnya, bahan apa saja yang diperlukan, dan bagaimana proses kerjanya. Menurut Hasibuan dan Mudjiono (2008:29) metode demonstrasi menjadi ridak wajar jika tidak bisa diamati dengan jelas oleh siswa. Hal ini menunjukkan bahwa siapapun yang melakukan demonstrasi sebaiknya juga memperhatikan apakah demonstrasi yang dilakukan dapat dilihat oleh semua siswa dengan jelas sehingga benar-benar menjadi petunjuk bagi siswa. Terkadang di kelas yang masih menggunakan penataan bangku yang disusun berbaris, siswa yang jaraknya jauh dari tempat dilakukannya demonstrasi tidak akan bisa melihat proses demonstrasi dengan jelas, hal yang mungkin dapat dilakukan oleh guru adalah merubah tatanan bangku sehingga mempermudah siswa melihat proses demonstrasi. Sedangkan penggunaan metode karya cipta bebas memang dinilai dapat memberikan kebebasan kepada siswa dalam menentukan apa yang akan dibuat selama masih mengikuti tema, namun karena kebebasan inilah terkadang siswa justru kebingungan dalam menentukan apa yang akan dibuat. Katjik dkk (1972) menyatakan bahwa dalam menggunakan metode berkarya, jenis berkarya terarah lebih lancar digunakan karena siswa tidak kebingungan dalam menentukan apa yang akan dibuat. Ada beberapa guru yang menggunakan metode ceramah dan diskusi dalam pembelajaran ekspresi seni rupa. Penggunaan metode ceramah mungkin baik jika hanya untuk memberi petunjuk pada siswa, misalnya di awal kegiatan pemeblajaran ekspresi seni rupa, karena pada dasarnya pendidikan seni rupa berdasarkan kegiatan berkarya, sehingga lebih menuntuk keaktifan siswa dalam bekerja, semakin banyak siswa bekerja lebih baik daripada siswa mendengar (Katjik dkk, 1972:49). Guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun mengalami sedikit kesulitan dalam menilai karya siswa, hal ini kemungkinan disebabkan oleh pemilihan instrument penilaian yang tidak tepat. Berdasarkan hasil penelitian, masih ada guru yang menilai proses berkarya dan menilai karya siswa dengan menggunakan soal uraian. Tanpa mengaitkan apakah responden memahami atau tidak maksud pertanyaan tentang alat penilaian yang biasa digunakan untuk menilai proses berkarya siswa, penggunaan soal uraian untuk menilai proses berkarya siswa adalah tidak tepat. Hal ini menunjukkan ketidaksesuaian antara tujuan pembelajaran ekspresi seni rupa dengan aspek penilaian, sehingga dapat menimbulkan kesalahan dalam menilai kemampuan siswa, karena bagaimanapun juga dalam kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa yang dinilai menggunakan tes unjuk kerja adalah proses, misalnya bagaimana menggunakan alat dan bagaimana ketepatan teknik dan prosedur penciptaan (Sumiati dan Asra, 2007:204). Salah satu tujuan penggunaan alat penilaian adalah agar penilaian bersifat obyektif, yaitu menilai kemampuan atau prestasi siswa apa adanya (Sudjana, 2010:116). Meskipun sudah banyak guru yang menggunakan rubrik penilain, namun berdasarkan hasil penelitian masih ada guru yang menggunakan perasaan, hal ini juga dapat menyebabkan nilai yang didapat siswa bukanlah nilai sebenarnya, dalam arti bukan nilai yang sesuai untuk siswa tersebut. Sehingga dapat disimpulkan bahwa secara tidak sadar sedikit dari guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun kurang tepat dalam menilai proses dan karya siswa. Menurut guru seni budaya bidang seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun, sebagian besar siswa di SMP Negeri di kabupaten Madiun berantusias dalam mengikuti pembelajaran ekspresi seni rupa, hal ini juga dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan siswa yang sebagian besar bagus. Selain itu juga dilihat dari ketepatan waktu pengumpulan tugas yang sebagian besar tepat waktu. Namun demikian masih ada beberapa siswa yang kurang berantusias dalam mengikuti kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya seperti yang diungkapkan oleh Sumiati dan Asra (2007:60), yaitu faktor dari dalam diri siswa seperti keinginan, minat, bakat, kehendak, dan kesukaan. Selain itu juga dari keadaan lingkungan belajar, serta dari cara dan gaya mengajar guru. Oleh sebab itulah guru perlu memilih model dan metode pembelajaran ekspresi seni rupa yang dapat menarik minat dan perhatian siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Oho Garha (1980:88) Dalam pendidikan seni rupa sebisa mungkin diusahakan agar murid merasa bahwa apa yang mereka lakukan di sekolah dalam kegiatan seni rupa adalah untuk memenuhi kebutuhan batin mereka, dan sangat bermanfaat bagi siswa, sehingga siswa akan termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Jika siswa termotivasi, siswa akan bersemangat mengikuti kegiatan pembelajaran ekspresi seni rupa, keingintahuan meningkat, begitu pula dengan keaktifan dalam mengikuti kegiatan pembelajaran. Maka siswa yang merasa tidak memiliki bakat pun akan mendapatkan nilai yang baik melalui proses belajar dan berkarya yang baik. Menurut pengakuan guru seni budaya di SMP Negeri di Kabupaten Madiun, kepala SMP Negeri di Kabupaten Madiun mendukung pelaksanaan pembelajaran ekspresi seni rupa. Namun dukungan tersebut kurang tampak jika dilihat dari fasilitas untuk pembelajaran ekspresi seni rupa yang kurang memadai. Seperti kurangnya keberadaan ruang khusus pembelajaran ekspresi seni rupa di SMP Negeri di Kabupaten Madiun. Hal ini tentunya tidak sebanding dengan bidang seni budaya yang diajarkan di SMP Negeri di Kabupaten Madiun yang didominsi oleh seni rupa. KESIMPULAN DAN SARAN Pembelajaran standar kompetensi ekspresi seni rupa oleh guru seni budaya di SMP Negeri di Kabupaten Madiun yang berdasarkan pada KTSP mengalami beberapa hambatan, di antaranya adalah tidak tersedianya sarana dan sarana pembelajaran untuk praktek seni rupa seperti ruang khusus seni. Selain itu juga pada media penunjang pembelajaran yang masih sulit untuk diperoleh. Pengadaan media dan sarana ini tentunya memerlukan dukungan kepala sekolah, selain itu juga pada kreatifitas guru dalam menentukan sumber dan media pembelajaran yang tidak membebani siswa, misalnya dengan menggunakan bahan alam. Hambatan lain adalah pada pendidikan guru yang tidak sesuai dengan bidang ajarnya yaitu seni rupa, sehingga kemungkinan guru belum memahami dan belum mampu menerapkan kompetensi dasar ekspresi seni rupa yang berdasarkan KTSP karena kurangnya wawasan berkesenian. Maka untuk selanjutnya sekolah perlu mencari tenaga pendidik yang relevan, yang memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidang ajar. Pemerintah juga perlu menegaskan kembali tentang kebijakan dalam mengajar oleh guru, baik penempatan tenaga pendidik, juga waktu mengajar. Karena bagaimanapun juga, pembelajaran seni budaya dalam KTSP adalah untuk melestarikan kebudayaan lokal, maka perlu tenaga pendidik dari daerah setempat. Guru seni budaya cukup kesulitan dalam menentukan langkah-langkah kegiatan pembelajaran dan mengembangkan materi bahan ajar, dan juga belum tepat dalam menentukan instrumen penilaian untuk menilai hasil belajar dalam pembelajaran ekspresi seni rupa. Hal ini kemungkinan adalah karena ketidaktepatan guru seni budaya dalam menentukan model dan metode pembelajaran. Maka perlu diadakan suatu pelatihan tentang model-model pembelajaran seni rupa, sehingga para guru memiliki wawasan lebih dalam menentukan langkah-langkah kegiatan pembelajaran. Untuk pengembangan bahan ajar, hendaknya tim pengembang kurikulum setempat menyusun atau membuat buku yang sesuai dengan kesenian daerah khusus setempat sebagai panduan bagi guru dan juga siswa. DAFTAR RUJUKAN Budiningsih, C. Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta. Djamarah, Saiful Bahri & Zain, Aswan. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Rineka Cipta. Garha, Oho. 1983. Pengetahuan Kesenian Seni Rupa. Jakarta: departemen Pendidikan dan Budaya. Hasibuan, J. J & Moedjiono. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Indrawati, Lilik. 2004. Nirmana (Organisasi Visual). Malang: Universitas Negeri Malang. Kartika, Dharsono Sony. 2007. Kritik Seni. Bandung: Rekayasa Sains. Katjik, dkk. 1972. Metode Pengajaran Seni Rupa untuk SMA. IKIP Malang: Sub Proyek Penyusunan Metode Khusus Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Koentjoroningrat dkk. 2002. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Djakarta: Djambatan. Malang, Universitas Negeri. 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah edisi ke 5. Malang: Universitas Negeri Malang. Mbulu, Joseph. 2001. Pengajaran Individual (Pendekatan, metode, dan media pada pedoman mengajar bagi guru dan calon guru). Malang: Yayasan Elang Emas Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Seni Budaya. Jakarta: Lampiran Menteri Pendidikan Nasional Muhadjir, Imam & Purwatiningsih. 1990. Pengetahuan Seni. Malang: Proyek Operasi dan Perawatan Fasilitas IKIP. Sanjaya, Wina. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Saputro, Suprihadi. 1999. Strategi Pembelajaran. Malang: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Malang. Seksi Kajian Bahasa dan Seni. 1996. Mozaik Seni dan Pengajarannya Edisi Ke Dua. Malang. Sevilla, Consuelo. G. Tanpa tahun. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan oleh Alimuddin Tuwu. Jakarta: Universitas Indonesia. Soekmono. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia I. Yogyakarta: Kanisius. Sudjana, Nana. 2010. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algesindo. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfaabeta. Sumiati & Asra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: CV Wacana Prima Susanto, Mikke. 2002. Diksi Rupa: Kumpulan Istilah Seni Rupa. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Wena, Made. 2010. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara Wickiser, R. Ralph. Tanpa tahun. Menuju ke Pendidikan Seni. Terjemahan oleh A. J. Soehardjo, 1974. Malang: Sub Proyek Penulisan Buku Pelajaran Proyek Penigkatan/Pengembangan Perguruan Tinggi IKIP.