BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perilaku seksual di

advertisement
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perilaku seksual di kalangan remaja yang belum menikah menunjukkan tren
yang tidak sehat. Hal ini dapat dipengaruhi era globalisasi yang dianggap sebagai
bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media
audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk
mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman
beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar remaja
atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan
mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan
berperilaku seksual yang berisiko tinggi karena kebanyakan remaja tidak memiliki
pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas (Rachman,
2008).
Seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah satu contoh
realita perilaku remaja di bidang seksual. Hal ini ditambah dengan terbatasnya
pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi, seringkali menyebabkan perbuatan
coba-coba karena ingin tahu perbuatan mereka membuahkan kehamilan yang tidak
direncanakan (Tanjung, 2001).
Bagaimanapun orang tua juga memegang peranan penting di dalam remaja
memutuskan atau tidak melakukan hubungan seks. Penelitian pada tahun 2001
1
2
diperoleh 45% remaja mengatakan bahwa orang tua berpengaruh sangat kuat
terhadap keputusan mereka terhadap seks. Orang tua mempengaruhi keputusan
remaja dalam perilaku seks dengan melalui status perkawinan orang tua, sikap,
pengawasan dan meliputi kehidupan anak-anak mereka (Maher, 2005).
Perlunya cara asuh orang tua memang berat tantangannya karena seringkali
remaja bersikap kritis dan cenderung menentang pendapat orang tua, sehingga orang
tua perlu membangun komunikasi dengan anak terutama masalah seksualitas dengan
menyadari berbagai perubahan atau gejolak yang dialami remaja. Orang tua harus
mampu memposisikan diri sebagai sahabat bagi remaja serta perlu melakukan
pengikatan emosi terhadap mereka dengan tujuan agar anak selalu merasa dekat dan
aman di lingkungan keluarganya.
Pola asuh orangtua memiliki pengaruh penting terhadap perilaku seksual
remaja, terutama berkaitan dengan perilaku seksual pranikah. Nilai-nilai moral,
agama, dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam
keluarga. Menurut Baumrind (2004) ada tiga bentuk pola asuh yang sering diterapkan
orang tua terhadap remaja, yaitu demokratis, otoriter dan permisif.
Hurlock (1994) mengemukakan mengertian pola asuh demokratis adalah pola
asuh yang dicirikan sebagai orangtua yang lebih melihat pada pentingnya remaja
mengetahui mengapa suatu peraturan dibuat, remaja juga diberi kesempatan untuk
berbicara atau memberi alasan ketika melanggar peraturan. Hukuman yang diberikan
tergantung pelanggarannya dan bersifat mendidik. Selain itu orang tua juga
memberikan hadiah dalam bentuk pujian ketika remaja berperilaku baik. Anak yang
3
mendapat pola asuh demokratis, mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang mampu
mengendalikan diri dan secara umum memiliki konsep diri yang positif.
Pola asuh demokratis sebagaimana yang telah dijelaskan di atas merupakan
pola asuh yang paling mendukung dalam pembentukan kepribadian remaja masa kini.
Orangtua melalui pola asuh demokratis akan memberikan kehangatan
, perhatian,
kasih sayang, dukungan dan arahan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang berguna.
Orangtua akan mengakui dan menghargai keberadaan anak, berusaha menciptakan
suasana yang kondusif bagi perkembangan anak. Lingkungan kondusif dimana anak
dapat mengembangkan potensi dan kepribadiaannya ditemukan pada ciri-ciri pola
asuh orangtua demokratis (Setiyati, 2006).
Dewasa ini masyarakat, terutama yang ada di perkotaan menunjukkan
kecenderungan yang cukup positif terutama terhadap pola asuh demokratis yang
diterapkan dalam memperlakukan anak-anaknya. Orang tua sekarang tidak lagi
menerapkan aturan secara kaku, atau memaksa anak melakukan hal yang tidak
disukai sehingga komunikasi dengan anak semakin terbuka (Prayitno, 2007). Adanya
kecenderungan yang cukup positif pada masyarakat perkotaan untuk penerapan pola
asuh demokratis inilah yang diharapkan dapat menurunkan tingkat perilaku seksual
yang dilakukan oleh remaja.
Penelitian Wulandari (2010) dengan judul “hubungan pola demokratis dengan
sikap terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan
signifikan antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual remaja. Apabila pola
4
asuh demokratis diterapkan dengan baik maka tingkat perilaku seksual remaja akan
rendah.
Penelitian lain tentang pola asuh dengan perilaku seksual remaja dilakukan
oleh Setiyati (2006) dengan judul “Hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap
perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara
pola asuh otoriter orang tua dengan perilaku seksual remaja, yang berarti semakin
otoriter pola asuh orang tua, maka perilaku seksual remaja akan semakin tinggi. Pola
asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi
dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan
tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat
bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau
pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock, 2006).
Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku seksual
pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung disebabkan terlalu
longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Remaja
akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya
pengawasan yang kurang dari orangt uanya. Kebanyakan orang tua memang tidak
termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab
mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal
anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks
lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain.
5
Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di Desa Lai Butar
Kecamatan Gunung Meriah diperoleh bahwa mereka sekitar 30% sudah melakukan
seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan cara asuh orang tua dan pendidikan seks
yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan anak.
Dan
berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang remaja diperoleh bahwa
mereka sebanyak 3 orang (30,0%) sudah melakukan seks pra nikah dan sebanyak 7
orang (70,0%) tidak melakukan sekes bebas. Perilaku seks bebas pada remaja di Desa
Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah terkait dengan cara asuh orang tua yang kurang
terhadap anak.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian
tentang ”Hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja
di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitin ini
adalah bagaimana hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas
dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015.”
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan cara asuh orangtua
dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung
Meriah Tahun 2015.
6
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah khususnya ibu sebagai informasi
upaya meningkatkan perhatian perilaku seks bebas pada remaja dan
meningkatkan cara asuh yang baik..
2. Bagi remaja sebagai upaya untuk mengetahui seks bedan dan menurunkan
perilaku seks bebas.
3. Bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan
perilaku seks bebas.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pola Asuh Orangtua
2.1.1. Pengertian
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan,
memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orangtua dalam rangka
memenuhi
kebutuhan,
memberi
perlindungan
dan
mendidik
anak
dalam
kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan
bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang
berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002).
Menurut Soetjiningsih (1995), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang,
secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, antara lain :
a. Kebutuhan fisik-biomedis (“ASUH”)
Pola asuh orang tua terhadap anak meliputi :
1. Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting.
2. Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI,
penimbangan bayi/ anak yang teratur, pengobatan jika sakit, dll.
3. Papan/ pemukiman yang layak.
4. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan.
5. Sandang.
7
8
6. Kesegaran jasmani, rekreasi.
b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (“ASIH”)
Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras
antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh
kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih sayang orang
tua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan
dasar (basic trust).
c. Kebutuhan akan stimulasi (“ASAH”)
Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan
pelatihan)
pada
anak.
Stimulasi
mental
(ASAH)
ini
mengembangkan
perkembangan mental psikososial: kecerdasan, keterampilan, kemandirian,
kreativitas, agama, kepribadian, moral, produktivitas dan sebagainya dapat
membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah
membesarkannya dengan cina dan kasih sayang. Masa remaja merupakan masa
yang rentan terhadap masalah yang dihadapi, padahal disisi lain remaja
merupakan generasi penerus bangsa, calon pemegang estafet kepemimpinan
bangsa di masa yang akan datang. Pola asuh orangtua turut membentuk dasar
kepribadian seseorang, apakah akan menjadi seorang yang yang memiliki
kepribadian yang kokoh atau rapuh sehingga mempengaruhi kerentanan
seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009).
2.1.2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua
Terdapat tipe-tipe pola asuh orang tua kepada anak yaitu :
9
1. Pola asuh permisif
Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak.
Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah,
bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis,
dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini
diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau
urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik.
Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau
tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan
metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang
perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan
sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai
orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa.
2. Pola asuh otoriter
Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras
dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus
dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan
emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang
diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima
oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta
menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan
teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada
10
dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci
orangtua, dan lain-lain, tetapi di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter
lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin
dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup.
3. Pola asuh otoritatif
Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi
kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai
dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari
orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan
para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan
otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka
pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan
depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain.
2.1.3. Kriteria Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orangtua terhadap perilaku anak remaja memiliki beberapa kriteria
yaitu (Syamsul, 2005) :
a. Pola asuh Authoritarian
Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua yang rendah, namun kontrolnya
tinggi, suka menghukum secara fisik dan bersikap komando.
b. Pola asuh permissive
Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua meningkat namun kontrolnya rendah,
memberikan kebebasan terhadap anak untuk mengatakan dorongan keinginannya.
11
c. Pola asuh Authoritative
Pola asuh oragtua, dimana sikap yang meninggat dan kontrolnya meningkat,
bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan
pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan
yang baik atau buruk.
d. Pola asuh dominan
Pola asuh orangtua yang mendominasi dalam segala hal yang menyangkut remaja
dalam tindakan sehari-hari.
e. Pola asuh Submission
Orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak
berperilaku semaunya dirumah.
f. Pola asuh overdisplin
Orangtua senantiasa mudah memberikan hukuman, menanamkan kedisiplinan
secara keras.
2.14. Tips Cara Mendidik Anak
Terdapat beberapa cara dalam mendidik anak bagi orangtua yaitu (Suwanto,
2009) :
a. Bagi orangtua harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada
anak. Jangan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung.
b. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal
positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal
baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan
12
menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan
menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain.
c. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak.
Pola asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan
mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan
anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan,
namun atas dasar kesadaran diri sendiri.
d. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil
hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat.
Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga
orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran
kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak.
e. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar
kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku
yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang
telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal
dunia.
f. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan
tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin
disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya
orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat
13
dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua
tidak menyenangkan.
g. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh
anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak,
merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak,
membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak,
enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya.
2.2. Perilaku Seks bebas
2.2.1. Pengertian Perilaku Seks bebas
Seks dalam arti sempit diartikan kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri
badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan wanita, kelenjar-kelenjar dan
hormon yang mempengaruhi alat kelamin, hubungan kelamin dan proses pembuahan,
kehamilan dan kelahiran. Sedangkan seks dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi
sebagai akibat (konsekuensi) dari adanya jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah
laku, perbedaan atribut (pakaian, nama), perbedaan peran dan pekerjaan serta
hubungan antara pria dan wanita (tata krama pergaulan, etika dan lain-lain). Oleh
karena itu, sebagai usaha pendidikan, komunikasi tentang seks yang dilakukan orang
tua dengan anak tidak boleh terlepas dari segi seksualitas yang luas tersebut
(Sarwono, 1986).
Istilah seks lebih tepat untuk menunjukkan alat kelamin. Namun, seringkali
masyarakat umum (awam) memiliki pengertian bahwa istilah seks lebih mengarah
14
pada bagaimana masalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis
kelamin. Adapun pengetahuan tentang masalah seksualitas, berkaitan dengan anatomi
seksual (organ-organ tubuh), fungsi hormon seksual, dan perilaku seksual dalam
kehidupan sosial.
Perilaku seks bebas adalah pergaulan bebas yang tidak terkendali secara
normatif dan etika moral antar remaja yang berlainan jenis (Dariyo, 2004). Perilaku
seks adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam,
mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan
bersenggama. Obyek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan
ataupun dari diri sendiri (Sarwono, 1991).
Hubungan seksual pranikah adalah sebagai hubungan kelamin yang dilakukan
oleh seorang pria dan wanita yang terjadi sebelum ada ikatan resmi (pernikahan) atau
dalam istilah asing disebut premarital heterosexual intercourse (Daryanto, 2009).
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seks bebas
adalah suatu aktivitas seksual yang didorong oleh hasrat seksual, yang dilakukan oleh
pria dan wanita sebelum adanya ikatan resmi (pernikahan) menurut agama dan
hukum, mulai dari bentuk perilaku seks yang paling ringan sampai tahapan
senggama.
2.2.2. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seks bebas
Perilaku negatif remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan
seksualitas seperti seks bebas ini, dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (dari diri
15
remaja sendiri) serta faktor eksternal (berasal dari luar) yang mendukung perilaku
tersebut.
Faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya perilaku seks bebas
antara lain:
a. Meningkatnya libido seksualitas, dimana menurut Freud bahwa energi-energi
seksual berkaitan erat dengan kematangan fisik.
b. Proses kematangan organ tubuh yang menyangkut perkembangan fisik maupun
kematangan organ-organ seksual dikendalikan oleh kelenjar endokrin yang
terletak pada dasar otak. Kelenjar pituari ini menghasilkan dua hormon, yaitu
hormon pertumbuhan yang mempengaruhi ukuran dan bentuk fisik tubuh
individu, dan hormon gonadotropik yang merangsang kelenjar gonad (kelenjar
seks) menjadi lebih aktif sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan seksual.
c. Kualitas diri pribadi seperti kurangnya kontrol diri atau pengendalian diri,
motivasi kesenangan, pengalaman emosional yang kurang sehat, terhambatnya
perkembangan hati nurani yang agamis, ketidakmampuan mempergunakan waktu
luang dengan baik (Sarwono, 1991).
Faktor-faktor eksternal yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks bebas
antara lain:
a. Kurangnya informasi tentang seks.
Hubungan seks dianggap ekspresi rasa cinta. Selain itu tidak tersedianya
informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja
mencari akses dan mengeksplorasi sendiri. Majalah, buku dan film pornografis
16
yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab
yang harus disandang dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama
mereka.
b. Percintaan.
Hubungan seks pada remaja umumnya akibat berpacaran atau percintaan dan
beberapa di antaranya berorientasi pada pemuasan nafsu.
c. Kurangnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sehingga
memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang.
d. Pergaulan.
Menurut Hurlock, perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan
pergaulannya, terutama pada masa pubertas dimana pengaruh teman sebaya lebih
besar dibandingkan orang tua.
e. Adanya penundaan usia perkawinan yang menyebabkan tidak segera dilakukan
penyaluran kebutuhan biologis yang tepat.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Besar
Kaiser (Kaiser Family Foundation, dalam Santrock, 1998), faktor yang mendorong
remaja melakukan hubungan seks bebas adalah:
a. Hubungan seks, bentuk penyaluran kasih sayang yang salah dalam pacaran seperti
ungkapan kasih sayang dengan pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman
dan bahkan melakukan hubungan seks.
b. Faktor religiusitas, kehidupan iman yang rapuh. Individu yang rapuh imannya
cenderung mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agamanya.
17
c. Faktor kematangan biologis, sehingga remaja sudah dapat melakukan fungsi
reproduksi layaknya orang dewasa. Kematangan biologis yang tidak disertai
dengan kemampuan mengendalikan diricenderung berakibat negatif seperti
perilaku seks pranikah, sebaliknya kematangan biologis yang disertai dengan
kemampuan mengendalikan diri akan membawa kebahagiaan bagi remaja di masa
depannya (Dariyo, 2004).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpilkan bahwa faktor yang
mempengaruhi remaja melakukan perilaku seks pranikah, diantaranya persepsi yang
salah dalam mengartikan suatu perasaan dan hubungan dalam berpacaran, faktor
religiusitas (keimanan), faktor kematangan biologis yang berkaitan dengan
pengendalian diri, kontrol diri, media massa, pornografi serta rasa ingin tahu yang
tinggi mengenai masalah seks.
2.2.3. Bentuk-bentuk Perilaku Seks bebas
Bentuk perilaku seks adalah tingkat perilaku yang dilakukan pasangan lawan
jenis. Menurut Simanjuntak (1984), bentuk perilaku seks bebas yang biasa dilakukan
pelajar adalah sebagai berikut:
a. Bergandengan tangan adalah perilaku seks mereka hanya terbatas pada pergi
berdua/ bersama dan saling berpegangan tangan, belum sampai pada tingkat yang
lebih dari bergandengan tangan, seperti berciuman atau lainnya. Bergandengan
tangan termasuk dalam perilaku seks bebas karena adanya kontak fisik secara
langsung antara dua orang lawan jenis yang didasari dengan rasa suka/cinta.
18
b. Berciuman, didefinisikan sebagai suatu tindakan saling menempelkan bibir ke
pipi atau bibir ke bibir, sampai saling menempelkan lidah sehingga dapat
menimbulkan rangsangan seksual antar keduanya.
c. Bercumbu adalah tindakan yang sudah dianggap rawan yang cenderung
menyebabkan suatu rangsangan akan melakukan hubungan seksual (senggama)
dimana pasangan ini sudah memegang atau meremas payudara, baik melalui
pakaian atau secara langsung, juga saling menempelkan alat kelamin tapi belum
melakukan hubungan seksual atau senggama secara langsung.
d. Senggama, yaitu melakukan hubungan seksual atau terjadi kontak seksual.
Bersenggama mempunyai arti bahwa memasukkan alat kelamin laki-laki ke
dalam alat kelamin perempuan (Simanjuntak. 1986).
Furhmann (1990) menjelaskan jenis-jenis perilaku seksual yang dilakukan
selama masa remaja, diantaranya adalah:
a. Masturbasi
Aktivitas seksual yang bertujuan untuk meredakan ketegangan seksual tanpa
melakukan hubungan seksual dengan obyek manusia tetapi dengan obyek seksual
lain yang bisa berupa fantasi atau benda tertentu. Pada masturbasi tidak terjadi
hubungan seksual tapi dapat dicapai orgasme. Terdapat perbedaan presentase
antara anak perempuan dengan anak laki-laki dalam melakukan masturbasi.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinsey (dalam Jersild, 1965), pada masa
remaja akhir diduga sebesar 90% anak laki-laki yang belum menikah melakukan
masturbasi dan sebagian besar melakukan secara rutin sekali atau bahkan lebih
19
dari sekali seminggu. Pada anak perempuan, aktivitas seksualnya dikategorikan
rendah. Studi yang dilakukan pada wanita dewasa berkaitan dengan aktivitas
seksualnya di masa remaja didapatkan bahwa hanya sekitar 30-60% yang
melakukan aktivitas seksual. Berdasarkan laporan Kinsey, pada remaja akhir
hanya 2 sampai 5 anak perempuan yang memiliki pengalaman masturbasi dan
dari separuhnya melakukan aktivitas tersebut secararutin pada saat-saat tertentu
(Jersild, 1965).
b. Meraba daerah sensitif (petting)
Upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan tanpa
tindakan intercourse atau hubungan seksual. Petting merupakan aktifitas erotis
yang umum dilakukan dalam masa remaja. Menurut Kinsey (Jersild, 1965),
petting merupakan bentuk kontak fisik yang tidak melibatkan alat kelamin atau
bagian genital yang bertujuan untuk menimbulkan efek erotis. Berdasarkan studi
Hass ditemukan 90% remaja (usia 15-18) melakukan petting menggunakan
anggota tubuh bagian pinggang ke atas dan dikatakan pula bahwa petting
merupakan aktivitas heteroseksual yang sering terjadi pada remaja. Sedangkan
menurut Masland, petting adalah langkah yang lebih mendalam dari ciuman dan
pelukan yang berupa merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk
lengan, dada, buah dada, kaki dan kadang-kadang daerah kemaluan dari dalam
atau dari luar pakaian.
20
c. Oral genital sex
Hubungan seks oral merupakan rangsangan dengan mulut pada organ seks atau
alat kelamin pasangan atau dapat diartikan sebagai hubungan seksual yang hanya
melibatkan adanya pertemuan antara bagian oral genital dari masing-masing
individu tanpa melakukan penetrasi. Tipe hubungan seks model oral-genital
sexini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap cukup aman oleh
remaja.
Morrison
(dalam
Fuhrmann,
1990)
menemukan
berdasarkan
penelitiannya bahwa beberapa anak laki perempuan yang menjadi sampelnya
menyatakan bahwa dirinya masih perawan sepanjang dia tidak melakukan
penetrasi, dan oral-genital sex dianggap cukup efektif untuk mempertahankan
keperawanannya.
d. Sexual intercourse (hubungan seksual)
Menurut Adams, hubungan seksual terjadi pada remaja belasan cenderung kurang
direncanakan dan lebih bersifat spontan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
romantisme aktivitas seks, ketidakpastian identitas seksual, sifat impulsif remaja
serta dipengaruhi oleh tingkat kematangan kognitif dan sosial. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Sorenson (Roediger, 1991) terdapat 400 remaja
berusia 13-19 tahun ditemukan sebesar 75% remaja menyatakan bahwa
premarital sexdapat diterima apabila individu yang melakukan terlibat secara
emosional atau mempunyai rasa cinta terhadap pasangannya. Ada perasaan yang
saling bertentangan saat remaja pertama kali melakukan sexual intercourse.
Pertama muncul perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada
21
sisi lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan
bersalah. Remaja laki-laki pada umumnya memiliki perasaan yang lebih positif
mengalami pengalaman seksualnya yang pertama kali dari pada remaja
perempuan. Penelitian yang dilakukan Hass (Furhmann, 1990) ditemukan sebesar
43% remaja awal laki-laki dan 31% remaja awal perempuan (sekitar usia 15-16
tahun) kemudian 56% remaja akhir laki-laki dan 44% remaja akhir perempuan
(usia sekitar 17-18 tahun) pernah melakukan sexual intercourse atau hubungan
seksual (Daryanto, 2009).
Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk perilaku seks
bebas atau tingkat perilaku seksual yang dilakukan pasangan lawan jenis yang
dilakukan oleh remaja meliputi masturbasi, meraba daerah sensitif (petting), oral
genital sex, sampai dengan sexual intercourse atau hubungan seksual.
3.2.4. Dampak Perilaku Seks bebas
Setiap perbuatan pasti ada dampak dan konsekuensinya, begitu juga
konsekuensi yang ditimbulkan dari hubungan seks bebas sangat jelas terlihat
khususnya bagi remaja putri seperti hamil di luar nikah. Perilaku seks bebas
khususnya bagi pelajar akan menimbulkan masalah antara lain :
a. Memaksa pelajar tersebut dikeluarkan dari sekolah, sementara mental belum siap
dibebani masalah ini.
b. Kemungkinan
terjadinya
aborsi
yang
tidak
bertanggung
membahayakan jika sampai terjadi kehamilan yang tidak diinginkan.
jawab
dan
22
c. Pengalaman seksualitas yang terlalu dini sering berpengaruh di masa dewasa,
seperti merasakan hubungan seks bukanlah sesuatu yang sakral lagi sehingga
tidak bisa menikmati hubungan tersebut, hanya sebagai alat memuaskan nafsu
saja.
d. Hubungan seks yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan menimbulkan
resiko yang tinggi seperti terjangkitnya berbagai penyakit kelamin menular.
Tidak hanya itu dampak psikologis perilaku seks pranikah, tetapi juga
mengakibatkan rasa bersalah dan penyesalan karena melanggar norma, depresi,
ketegangan mental dan kebingungan untuk menghadapi segala kemungkinan resiko
yang akan terjadi. Kehamilan remaja, pengguguran kandungan (aborsi), terputusnya
sekolah, perkawinan di usia muda, perceraian, penyakit kelamin, penyalahgunaan
obat merupakan akibat buruk dari petualangan cinta dan seks yang salah pada saat
remaja masih sebagai seorang pelajar. Akibatnya, masa depan mereka yang penuh
dengan harapan menjadi hancur berantakan. Oleh karena itu, pendidikan seks bagi
remaja sebaiknya diberikan agar mereka sadar bagaimana menjaga organ
reproduksinya tetap sehat dan mereka mempunyai pengetahuan tentang seks yang
benar.
2.3. Remaja
2.3.1. Pengertian Remaja
Remaja adalah periode perkembangan selama dimana individu mengalami
perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan
23
20 tahun. Istilah adolesens biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu,
ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi.
Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada orang
muda, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesis
dan berhadapan dengan abstraksi (Perry dan Potter, 2005).
Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja
kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan sering kali
pada aparat keamanan. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi
antara kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini sering kali menghadapkan
individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia
masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa
(Purwanto, 1999).
Menurut Purwanto (1999), tingkat-tingkat perkembangan dalam masa remaja
dapat dibagi dengan berbagai cara. Salah satu pembagian yang dilakukan oleh Stolz
adalah sebagai berikut :
a. Masa prapuber : satu atau dua tahun sebelum masa remaja yang sesungguhnya.
Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan terhambat sementara.
b. Masa puber atau masa remaja : perubahan-perubahan sangat nyata dan cepat.
Dimana anak wanita lebih cepat memasuki masa ini dari pada pria. Masa ini
lamanya berkisar antara 2,5-3,5 tahun.
c. Masa postpuber : pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, tetapi masih nampak
perubahan-perubahan tetap berlangsung pada beberapa bagian badan.
24
d. Masa akhir puber : melanjutkan perkembangan sampai mencapai tanda-tanda
kedewasaan.
Sedangkan menurut Irwanto (2000), periode remaja adalah periode yang
dianggap sebagai masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya
dalam perkembangan kepribadian individu. Secara psikologis masa remaja adalah
usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dimana usia anak tidak
lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam
tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1999).
2.3.2. Ciri-ciri Masa Remaja
Menurut Hurlock (1999), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang
membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain :
a. Masa remaja sebagai periode yang penting
Peroide remaja dianggap sangat penting dari pada beberapa periode lainnya,
karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku. Akibat fisik dan
psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang
cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat,
terutama pada awal pada masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan
perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat
baru (Hurlock, 1999).
b. Masa remaja sebagai periode peralihan
Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya,
tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap
25
berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya
pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa
kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang
bersifat kekakak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap
baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock,
1999).
c. Masa remaja sebagai periode perubahan
Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan
tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi
dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau
perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada
empat perubahan yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya
emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis.
Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok.
Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah.
Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan
(Hurlock, 1999).
d. Masa remaja sebagai usia bermasalah
Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh
anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu,
yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh
orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman
26
dalam mengatasi masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka
ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru.
Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai
menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja akhirmya menemukan bahwa
penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock, 1999).
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas
Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya,
apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa, apakah
ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya
membuat beberapa orang merendahkannya. Secara keseluruhan, apakah ia akan
berhasil atau akan gagal (Hurlock, 1999).
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan
Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih,
yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak,
menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan
remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap
perilaku remaja yang normal (Hurlock, 1999).
g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik
Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu.
Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal
cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi
juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang
27
merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya
semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain
mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang
ditetapkannya sendiri (Hurlock, 1999).
h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa
Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi
gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan
bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang
dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri
pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum
minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks.
Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka
inginkan (Hurlock, 1999).
2.3.3. Tugas Perkembangan pada Masa Remaja
a. Menerima citra tubuh
Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanakkanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada
waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan
untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai
dengan apa yang dicita-citakan (Hurlock, 1999).
28
b. Menerima identitas seksual
Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai
banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak
awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan, mereka didorong
untuk memainkan peran sederajat sehingga usaha untuk mempelajari peran
feminim dewasa memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun (Hurlock,
1999).
c. Mengembangkan sisitem nilai personal
Remaja megembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja mempelajari
hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan
untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan mereka (Hurlock, 1999).
d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri
Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri harus
didukung oleh orang terdekat (Hurlock, 1999).
e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua
Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang
ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari orang tua
atau orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam
kelompok sebaya yang mempunyai hubungan akrab dengan anggota kelompok
dapat mengurangi ketergantungan remaja pada orang tua (Hurlock, 1999).
29
f. Mengembangkan ketrampilan mengambil keputusan
Ketrampilan mengambil keputusan dipengaruhi oleh perkembangan ketrampilan
intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil keputusan untuk menikah
di usia remaja (Hurlock, 1999).
g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa
Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilai-nilai yang selaras
dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk
mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock, 1999).
2.3.4. Perubahan Pada Remaja
a. Perubahan fisik pada remaja
Menurut Tim Pembina UKS Propinsi Jawa Barat (2004) terjadi pertumbuhan fisik
yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ reproduksi (organ seksual)
untuk mencapai kematangan sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi.
Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda yaitu :
1. Tanda-tanda seks primer yaitu yang berhubungan langsung dengan organ
seks. Terjadinya haid pada remaja putri (menarche) dan terjadinya mimpi
basah pada remaja laki-laki.
2. Tanda-tanda seks sekunder yaitu : pada remaja laki-laki terjadi perubahan
suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya
ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis,
cambang dan rambut disekitar kemaluan dan ketiak. Dan pada remaja putri
30
terjadi perubahan pinggul lebar, pertumbuhan rahim dan vagina, payudara
membesar, tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (pubis).
b. Perubahan kejiwaan pada remaja
Proses perubahan kejiwaan berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan
fisik yang meliputi :
1. Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi :
a. Sensitif (mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa)
b. Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh,
sehingga misalnya mudah berkelahi.
2. Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi :
a. Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik
b. Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin coba-coba.
2.4. Kerangka Konsep
Variabel Independent
Pola Asuh Orang Tua
Variabel Dependent
Perilaku Seks Bebas
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
2.5. Hipotesis
1. Ada hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja
di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015.
31
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik, penelitian
yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan pendekatan
cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan cara asuh
orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan
Gunung Meriah Tahun 2015.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
3.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah.
3.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni 2015.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja usia 12-16 tahun Desa Lai
Butar Kecamatan Gunung Meriah yang berjumlah 106 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan sebagai sampel
berjumlah 106 orang (total sampling).
31
32
3.4. Metode Pengumpulan Data
3.4.1. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner.
b. Data Sekunder
Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data-data dari
dokumen atau catatan yang diperoleh dari Desa Lai Butar Kecamatan Gunung
Meriah.
3.5. Variabel dan Definisi Operasional
3.5.1. Variabel Independent
1. Pola asuh orangtua adalah suatu perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi
kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya atau
bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang
berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak.
Kategori Pola asuh orangtua : 0. Baik
1. Tidak Baik
Pengukuran variabel Pola asuh orangtua disusun 8 pertanyaan yang diajukan
dengan jawaban ”ya (bobot nilai 2 )” dan ”tidak (bobot nilai 1)”, dan
dikategorikan menjadi 2, yaitu:
0. Baik, jika responden memperoleh skor > 50% yaitu 9-16
1. Tidak baik, jika responden memperoleh skor ≤ 50% yaitu 0-8
33
3.5.2. Variabel Dependent
1. Perilaku seks bebas adalah segala bentuk kegiatan untuk mendapatkan kesenangan
organ seksual yaitu dengan menyalurkan dorongan nafsu seksual yang timbul
dari dalam diri maupun dari luar diri dan dilakukan oleh para remaja tanpa ada
ikatan perkawinan. Perilaku seksual yaitu berciuman (kissing), bersentuhan
(touching), petting (bercumbu dengan saling menggesekkan alat kelamin) dan
berhubungan seksual (coitus).
Kategori Perilaku seksual pada remaja :
0. Baik
1. Tidak Baik
Pengukuran variabel perilaku seksual pada remaja disusun 8 pertanyaan
yang diajukan dengan jawaban ”tidak (bobot nilai 1)”, dan ”ya (bobot nilai
0)”, dan dikategorikan menjadi 2, yaitu:
0. Baik : Jika responden memperoleh skore = 100% yaitu 8
1. Tidak Baik : Jika responden memperoleh skore < 100% yaitu 1-7
3.6. Metode Pengukuran
Tabel 3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur
Variabel
Variabel Bebas
Pola Asuh Orangtua
Variabel Terikat
Perilaku seks bebas
Cara dan
Alat Ukur
Skala
Ukur
Hasil Ukur
Wawancara
(kuesioner
Ordinal
0. Baik
1. Tidak baik
Wawancara
(kuesioner
Ordinal
0. Baik
1. Tidak baik
34
3.7. Metode Analisis Data
3.7.1. Analisis Univariat
Analisis data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran
distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran
variabel independen (pola asuh orangtua) dan variabel dependen yaitu perilaku seks
bebas.
3.7.2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan pola asuh
orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan
Gunung Meriah Tahun 2015 dengan menggunakan statistik uji chi-square kemudian
hasilnya dinarasikan.
35
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Lai Butar terletak di Kecamatan Gunung Meriah. Desa ini merupakan
salah satu kecamatan yang terletak di daerah dataran sedang. Secara geografis Desa
Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah mempunyai luas wilayah 12.492 km2.
4.2. Analisis Univariat
Analisis univariat yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: pola asuh
orangtua dan perilaku seks bebas.
4.2.1. Pola Asuh Orangtua
Untuk melihat pola asuh orangtua dikalangan remaja di Desa Lai Butar
Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dapat di lihat pada Tabel 4.1:
Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orangtua Dikalangan Remaja di Desa
Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015
No Pola Asuh Orangtua
1 Baik
2 Tidak Baik
Jumlah
f
62
44
106
%
58,5
41,5
100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pola asuh orangtua lebih
banyak dengan pola asuh baik sebanyak 62 orang (58,5%) dan lebih sedikit dengan
pola asuh tidak baik sebanyak 44 orang (41,5%).
36
4.2.3. Perilaku Seks Bebas
Untuk melihat perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar
Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dapat di lihat pada Tabel 4.2:
Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perilaku Seks Bebas Dikalangan Remaja di Desa
Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015
No Perilaku Seks Bebas
1 Baik
2 Tidak Baik
Jumlah
f
70
36
106
%
66,0
34,0
100,0
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa perilaku seks bebas
dikalangan remaja Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Merih lebih banyak dengan
perilaku seks bebas baik sebanyak 70 orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan
perilaku seks bebas tidak baik sebanyak 36 orang (34,0%).
4.3. Analisis Bivariat
Analisis bivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan pola asuh orangtua
dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung
Meriah Tahun 2015.
Berdasarkan hasil analisis bivariat antara variabel hubungan pola asuh
orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan
Gunung Meriah Tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.3 :
37
Tabel 4.3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Seks Bebas
Dikalangan Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah
Tahun 2015
No
1
2
Pola Asuh Orangtua
Baik
Tidak Baik
Perilaku Seks Pranikah
Baik
Tidak Baik
n
%
n
%
60 96,8
2
3,2
10 22,7
34
77,3
Total
n
%
62 100
44 100
p value
0,000
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari 62 orang dengan pola asuh
orangtua baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 60
orang (96,8%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 2 orang (3,2%).
Sedangkan dari 44 orang dengan pola asuh orangtua tidak baik terdapat perilaku seks
bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 10 orang (22,7%) dan perilaku seks
bebas kategori tidak baik sebanyak 34 orang (77,3%). Hasil uji statistik chi square
menunjukkan bahwa nilai p < 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan pola asuh
orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan
Gunung Meriah Tahun 2015.
38
BAB 5
PEMBAHASAN
5.1. Pola Asuh Orangtua
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dikalangan remaja di
Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan pola
asuh baik sebanyak 62 orang (58,5%) dan lebih sedikit dengan pola asuh tidak baik
sebanyak 44 orang (41,5%). Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa
pola asuh orang tua tergolong rendah, walau lebih banyak dengan pola asuh baik
karena hanya mencapai 58,5%.
Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan,
memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orangtua dalam rangka
memenuhi
kebutuhan,
memberi
perlindungan
dan
mendidik
anak
dalam
kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan
bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang
berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002).
Pada saat remaja sangat diperlukan pola asuh orangtua yang baik, karena pada
remaja memang berat tantangannya karena seringkali remaja bersikap kritis dan
cenderung menentang pendapat orang tua, sehingga orang tua perlu membangun
komunikasi dengan anak terutama masalah seksualitas dengan menyadari berbagai
perubahan atau gejolak yang dialami remaja. Orang tua harus mampu memposisikan
38
39
diri sebagai sahabat bagi remaja serta perlu melakukan pengikatan emosi terhadap
mereka dengan tujuan agar anak selalu merasa dekat dan aman di lingkungan
keluarganya.
Menurut asumsi peneliti bahwa pola asuh orangtua di dikalangan remaja di
Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 tergolong baik, karena orang
masih lebih banyak memperhatikan anak. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari perilaku
remaja akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala
adanya pengawasan yang kurang dari orangtuanya. Kebanyakan orang tua memang
tidak termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab
mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal
anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks
lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain.
5.2. Perilaku Seks Bebas
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks bebas dikalangan remaja
di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan
perilaku seks bebas baik sebanyak 70 orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan
perilaku seks bebas tidak baik sebanyak 36 orang (34,0%). Perilaku seks bebas pada
remaja ini tergolong baik karena remaja mungkin sadar bahwa perilaku seks bebas
tidak baik untuk dilakukan.
Seks dalam arti sempit diartikan kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri
badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan wanita, kelenjar-kelenjar dan
40
hormon yang mempengaruhi alat kelamin, hubungan kelamin dan proses pembuahan,
kehamilan dan kelahiran. Sedangkan seks dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi
sebagai akibat (konsekuensi) dari adanya jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah
laku, perbedaan atribut (pakaian, nama), perbedaan peran dan pekerjaan serta
hubungan antara pria dan wanita (tata krama pergaulan, etika dan lain-lain). Oleh
karena itu, sebagai usaha pendidikan, komunikasi tentang seks yang dilakukan orang
tua dengan anak tidak boleh terlepas dari segi seksualitas yang luas tersebut
(Sarwono, 1986).
Perilaku seks bebas adalah pergaulan bebas yang tidak terkendali secara
normatif dan etika moral antar remaja yang berlainan jenis (Dariyo, 2004). Perilaku
seks adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam,
mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan
bersenggama. Obyek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan
ataupun dari diri sendiri (Sarwono, 1991).
Menurut asumsi peneliti bahwa perilaku seks bebas pada remaja tergolong
baik, hal ini membuktikan bahwa remaja memahami perilaku seks sehat. Remaja
mengetahui bahwa seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah
satu contoh realita perilaku remaja di bidang seksual. Keadaan seperti ini dapat
terjadi karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang perilaku seks sehingga remaja
melakukan perilaku sekes bebas.
41
5.3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Seks Bebas Dikalangan
Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015
Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 62 orang dengan pola asuh orangtua
baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 60 orang
(96,8%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 2 orang (3,2%).
Sedangkan dari 44 orang dengan pola asuh orangtua tidak baik terdapat perilaku seks
bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 10 orang (22,7%) dan perilaku seks
bebas kategori tidak baik sebanyak 34 orang (77,3%).
Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p < 0,000 maka dapat
disimpulkan ada hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan
remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. Mengacu pada uji
tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik pola asuh orangtua terhadap anak maka
semakin baik perilaku seks anak, dan sebaliknya semakin tidk baik pola asuh
orangtua maka akan semakin buruk perilaku seks anak.
Pola asuh orangtua memiliki pengaruh penting terhadap perilaku seksual
remaja, terutama berkaitan dengan perilaku seksual pranikah. Nilai-nilai moral,
agama, dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam
keluarga. Menurut Baumrind (2004) ada tiga bentuk pola asuh yang sering diterapkan
orang tua terhadap remaja, yaitu demokratis, otoriter dan permisif.
Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Wulandari (2010) tentang
“hubungan pola demokratis dengan sikap terhadap perilaku seksual remaja” yang
membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara pola asuh demokratis dengan
42
perilaku seksual remaja. Apabila pola asuh demokratis diterapkan dengan baik maka
tingkat perilaku seksual remaja akan rendah.
Penelitian lain tentang pola asuh dengan perilaku seksual remaja dilakukan
oleh Setiyati (2006) tentang “Hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap
perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara
pola asuh otoriter orang tua dengan perilaku seksual remaja, yang berarti semakin
otoriter pola asuh orang tua, maka perilaku seksual remaja akan semakin tinggi. Pola
asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi
dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan
tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat
bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau
pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock, 2006).
Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku seksual
pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung disebabkan terlalu
longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Remaja
akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya
pengawasan yang kurang dari orangt uanya. Kebanyakan orang tua memang tidak
termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab
mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal
anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks
lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain.
43
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1.
Pola asuh orangtua dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung
Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan pola asuh baik sebanyak 62 orang
(58,5%) dan lebih sedikit dengan pola asuh tidak baik sebanyak 44 orang
(41,5%).
2.
Perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung
Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan perilaku seks bebas baik sebanyak 70
orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan perilaku seks bebas tidak baik sebanyak
36 orang (34,0%)..
3.
Terdapat hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan
remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015.
6.2. Saran
1.
Sebaiknya orang tua memberikan pola asuh yang baik terhadap anak remaja
sehingga remaja tidak melakukan perilaku seks bebas.
2.
Hendaknya orang tua lebih memperhatikan anak dalam memberikan pola asuh.
3.
Hendaknya anak remaja tidak melakukan perilaku seks bebas dan meningkatkan
kontrol diri untuk mampu menahan keinginan atau dorongan sesaat yang
bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial.
44
DAFTAR PUSTAKA
Abm, “30% Mahasiswi Tak Perawan”, Radar Malang, 8 Desember 2009.
Calhoun, Acocella. 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan
Kemanusiaan. Terjemahan oleh Satmoko. Semarang: IKIP Semarang.
Dariyo, Agoes. 2004. Perkembangan Remaja. Bogor. PT. Ghalia Indonesia.
Daryanto, Tiffany. 2009. Hubungan antara Religius dengan Perilaku Seks bebas pada
Mahasiswa Indekost di Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang:
Universitas Negeri Malang.
Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Erwin J., Skripsiadi. 2005. Pendidikan Dasar Seks untuk Anak. Yogyakarta:
Curiosita.
Gunarsa, Singgih. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi
Perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia.
Hurlock. E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Jakarta: Erlangga.
Hurlock. E. B. 1993. Perkembangan Anak: Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Remaja. Bandung. PT. Bandar Maju.
Mufidah, Lilik. 2008. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Seks bebas
Siswa SMKN 2 di Kota Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UIN
Malang.
Notoadmodjo, S. 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta.
____________ , 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta.
Nuranti Alifah, 2, Hubungan antara Komunikasi Orangtua – Remaja dengan Sikap
Remaja Terhadap Hubungan Seksual Pranikah di SMA Kabupaten Purworejo,
Tesis, Program Pascasarjana, FK UGM, Yogyakarta.
44
45
Putri F.A, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seks bebas Pada Remaja SMA di
Rengat Kabupaten Indragiri Hulu.
Rachman W.A, 2008, Analisis Ketahanan Keluarga dalam Perilaku Seks bebas
Remaja (Studi Kasus di Kota Ambon), Dosen FKM Universitas Hasanuddin
Makassar, Jurnal Ilmiah Sinergi IPTEKS, LP3M Universitas Islam Makassar.
Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.
Safitri Erlina, 2007, Hubungan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual Remaja,
Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya,
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Sarwono, Sarlito. W & Ami Siamsidar. 1986. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan
Seks, Jakarta: CV Rajawali.
Sarwono. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press.
Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta:
Kanisius.
Susanti, Dini. 2002. Kontrol Diri dalam Perilaku Seks bebas MahasiswaUIIS Malang,
Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UIIS Malang.
Tanjung, A.et'al., 2001, Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan
Reproduksi Remaja. (online), (http://www/pkbi.or.id diakses 6 Agustus 2006).
Uin, 2013, Hubungan antara Komunikasi Orang Tua-Anak Mengenai Seksualitas dan
Kontrol Diri dengan Perilaku Seks Pranikah, Tesis, UIN, Malang,
http://lib.uin-malang.ac.id /files /thesis/fullchapter/06410008.pdf
Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Widayanto, Arif. 2005. Studi Perilaku Seks Pra Nikah pada Siswa SMA Katolik
Diponegoro Blitar. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UMM Malang
Wiendijarti I, 2011, Komunikasi Interpersonal Orang Tua-Anak dalam Pendidikan
Seksual Remaja, Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan
Nasional ’Veteran’Yogyakarta, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 9, Nomor
3, September-Desember 2011
Zulkifli, L. 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
46
KUESIONER PENELITIAN
HUBUNGAN CARA ASUH ORANGTUA DENGAN PERILAKU SEKS
BEBAS DIKALANGAN REMAJA DI DESA LAI BUTAR
KECAMATAN GUNUNG MERIAH
A. Indentitas Responden
1. Nomor
2. Umur
3. Jenis Kelamin
: …………….
: …………….
: …………….
B. Pola Asuh Anak
Berilah tanda (√) pada jawaban yang sesuai menurut saudara pada kolom
disamping yang sudah tersedia.
Pernyataan
1. Orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian
dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan
dan mendidik anak dalam kesehariannya.
2. Orangtua selama mengadakan pengasuhan bersifat mendidik,
membimbing dan melindungi anak.
3. Kasih sayang orang tua baik dari ayah maupun ibu
menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar kepada
anak
4. Orangtua membentuk dasar kepribadian anak menjadi
kepribadian yang kokoh atau tangguh
5. Orangtua mengasuh anak kelihatan tidak cuek terhadap anak.
6. Orangtua mengasuh anak tidak bersifat pemaksaan, keras dan
kaku dan tertekan
7. Orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi
dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan
anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari
orangtua.
8. Orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu yang
diminta anak tetapi terkontrol.
Ya
Tidak
47
C. Perilaku Seks Bebas
Berilah tanda (√) pada jawaban yang sesuai menurut saudara
1. Apakah anda pernah melakukan hubungan seksual?
a. Ya
b. Tidak
2. Saya dan pasangan suka mencari tempat-tempat sepi untuk bisa saling berciuman
a. Ya
b. Tidak
3. Saya mencium pasangan saya setiap kali kami bertemu
a. Ya
b. Tidak
4. Ketika sedang berkencan kami saling mencumbu satu sama lain
a. Ya
b. Tidak
5. Saya tidak menolak untuk diraba pada bagian tubuh saya yang sensitif
a. Ya
b. Tidak
6. Saya tidak menolak jika pasangan saya mencumbui saya
a. Ya
b. Tidak
7. Saat berduaan dengan pasangan, kami saling meraba daerah sensitif pasangan saya.
a. Ya
b. Tidak
8. Kami melakukan petting (saling menggesekkan alat kelamin) supaya sama-sama
terangsang
a. Ya
b. Tidak
48
MASTER DATA PENELITIAN
Pola Auh Orangtua
Perilaku Seks Bebas
NO
1
2
3
4
5
6
7
8
PTOT
KK
1
2
3
4
5
6
7
8
PTOT
PK
1
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
2
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
3
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
4
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
1
0
1
1
1
6
1
5
2
2
1
2
1
2
2
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
6
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
1
0
1
1
6
1
7
1
2
2
2
2
2
1
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
8
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
9
2
1
2
2
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
10
2
2
1
2
1
2
1
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
11
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
0
1
1
0
1
6
1
12
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
0
1
1
1
1
0
6
1
13
1
2
1
2
1
2
2
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
14
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
15
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
16
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
1
0
1
1
0
1
5
1
17
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
18
1
2
1
2
1
2
2
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
19
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
1
0
1
1
6
1
20
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
21
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
0
1
1
0
0
5
1
22
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
23
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
1
1
0
1
1
1
6
1
24
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
25
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
26
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
27
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
28
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
0
1
1
0
1
5
1
29
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
0
0
1
1
5
1
30
2
2
2
2
2
1
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
31
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
0
1
1
0
6
1
32
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
49
33
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
0
1
0
1
1
5
1
34
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
35
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
36
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
0
0
0
0
1
1
3
1
37
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
1
1
1
0
1
6
1
38
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
39
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
40
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
41
2
2
1
2
1
2
1
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
42
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
0
0
1
1
1
5
1
43
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
44
2
2
2
2
1
2
1
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
45
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
46
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
47
2
2
1
2
1
2
1
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
48
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
0
1
1
1
1
6
1
49
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
0
0
1
1
5
1
50
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
51
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
52
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
53
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
1
0
1
1
0
0
4
1
54
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
55
2
2
1
2
1
2
1
2
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
56
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
0
0
1
1
1
1
5
1
57
2
2
2
2
1
2
2
1
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
58
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
59
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
60
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
0
0
0
1
5
1
61
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
0
0
0
1
1
1
1
4
1
62
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
63
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
64
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
0
1
1
1
6
1
65
2
2
1
2
1
2
2
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
66
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
0
0
1
1
6
1
67
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
50
68
2
2
1
2
1
2
1
1
12
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
69
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
70
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
71
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
72
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
73
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
0
1
0
6
1
74
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
75
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
76
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
77
2
2
2
2
2
1
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
78
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
0
0
1
1
1
6
1
79
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
80
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
81
1
2
1
2
2
2
2
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
82
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
0
1
1
1
1
1
1
6
1
83
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
0
0
1
1
1
6
1
84
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
85
2
2
2
2
2
1
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
86
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
0
0
1
6
1
87
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
88
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
1
1
1
0
0
6
1
89
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
90
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
0
1
0
0
1
4
1
91
2
2
1
2
1
2
2
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
92
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
93
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
0
1
0
0
0
1
4
1
94
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
95
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
96
1
2
1
2
1
2
1
1
11
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
97
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
98
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
99
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
0
1
0
1
1
1
5
1
100
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
0
1
1
0
0
5
1
101
2
2
1
2
1
2
2
1
13
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
102
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
0
1
1
0
1
1
1
6
1
51
103
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
1
1
1
0
1
0
0
1
5
1
104
1
1
1
1
1
1
1
1
8
1
0
1
0
1
1
1
1
1
6
1
105
2
2
2
1
2
2
2
2
15
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
106
2
1
2
2
2
1
2
2
14
0
1
1
1
1
1
1
1
1
8
0
po1
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
57
53.8
53.8
53.8
2
49
46.2
46.2
100.0
106
100.0
100.0
Total
po2
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
58
54.7
54.7
54.7
2
48
45.3
45.3
100.0
106
100.0
100.0
Total
po3
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
65
61.3
61.3
61.3
2
41
38.7
38.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
po4
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
65
61.3
61.3
61.3
2
41
38.7
38.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
52
po5
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
66
62.3
62.3
62.3
2
40
37.7
37.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
po6
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
60
56.6
56.6
56.6
2
46
43.4
43.4
100.0
106
100.0
100.0
Total
po7
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
60
56.6
56.6
56.6
2
46
43.4
43.4
100.0
106
100.0
100.0
Total
po8
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
1
66
62.3
62.3
62.3
2
40
37.7
37.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
Pola Asuh Orangtua
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Baik
62
58.5
58.5
58.5
Tidak Baik
44
41.5
41.5
100.0
106
100.0
100.0
Total
53
pr1
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
8
7.5
7.5
7.5
1
98
92.5
92.5
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr2
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
11
10.4
10.4
10.4
1
95
89.6
89.6
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr3
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
12
11.3
11.3
11.3
1
94
88.7
88.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr4
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
16
15.1
15.1
15.1
1
90
84.9
84.9
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr5
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
15
14.2
14.2
14.2
1
91
85.8
85.8
100.0
106
100.0
100.0
Total
54
pr6
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
13
12.3
12.3
12.3
1
93
87.7
87.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr7
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
13
12.3
12.3
12.3
1
93
87.7
87.7
100.0
106
100.0
100.0
Total
pr8
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
0
7
6.6
6.6
6.6
1
99
93.4
93.4
100.0
106
100.0
100.0
Total
Perilaku Sek Bebas
Frequency
Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative
Percent
Baik
70
66.0
66.0
66.0
Tidak Baik
36
34.0
34.0
100.0
106
100.0
100.0
Total
55
Pola Asuh Orangtua * Perilaku Sek Bebas
Crosstab
Perilaku Sek Pranikah
Baik
Pola Asuh
Orangtua
Baik
Count
Tidak Baik
2
62
40.9
21.1
62.0
96.8%
3.2%
100.0%
10
34
44
29.1
14.9
44.0
22.7%
77.3%
100.0%
70
36
106
70.0
36.0
106.0
66.0%
34.0%
100.0%
Count
Expected Count
% within Kontrol Diri
Total
Count
Expected Count
% within Kontrol Diri
Total
60
Expected Count
% within Kontrol Diri
Tidak Baik
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
b
Continuity Correction
Likelihood Ratio
Fisher's Exact Test
Linear-by-Linear
Association
b
N of Valid Cases
Asymp. Sig.
(2-sided)
df
a
62.916
59.658
71.011
1
1
1
Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided)
sided)
.000
.000
.000
.000
62.323
1
.000
106
a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.94.
b. Computed only for a 2x2 table
.000
Download