1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perilaku seksual di kalangan remaja yang belum menikah menunjukkan tren yang tidak sehat. Hal ini dapat dipengaruhi era globalisasi yang dianggap sebagai bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman beralkohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar remaja atau tawuran. Pada akhirnya, secara kumulatif kebiasaan-kebiasaan tersebut akan mempercepat usia awal seksual aktif serta mengantarkan mereka pada kebiasaan berperilaku seksual yang berisiko tinggi karena kebanyakan remaja tidak memiliki pengetahuan yang akurat mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas (Rachman, 2008). Seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah satu contoh realita perilaku remaja di bidang seksual. Hal ini ditambah dengan terbatasnya pengetahuan mereka tentang sistem reproduksi, seringkali menyebabkan perbuatan coba-coba karena ingin tahu perbuatan mereka membuahkan kehamilan yang tidak direncanakan (Tanjung, 2001). Bagaimanapun orang tua juga memegang peranan penting di dalam remaja memutuskan atau tidak melakukan hubungan seks. Penelitian pada tahun 2001 1 2 diperoleh 45% remaja mengatakan bahwa orang tua berpengaruh sangat kuat terhadap keputusan mereka terhadap seks. Orang tua mempengaruhi keputusan remaja dalam perilaku seks dengan melalui status perkawinan orang tua, sikap, pengawasan dan meliputi kehidupan anak-anak mereka (Maher, 2005). Perlunya cara asuh orang tua memang berat tantangannya karena seringkali remaja bersikap kritis dan cenderung menentang pendapat orang tua, sehingga orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak terutama masalah seksualitas dengan menyadari berbagai perubahan atau gejolak yang dialami remaja. Orang tua harus mampu memposisikan diri sebagai sahabat bagi remaja serta perlu melakukan pengikatan emosi terhadap mereka dengan tujuan agar anak selalu merasa dekat dan aman di lingkungan keluarganya. Pola asuh orangtua memiliki pengaruh penting terhadap perilaku seksual remaja, terutama berkaitan dengan perilaku seksual pranikah. Nilai-nilai moral, agama, dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam keluarga. Menurut Baumrind (2004) ada tiga bentuk pola asuh yang sering diterapkan orang tua terhadap remaja, yaitu demokratis, otoriter dan permisif. Hurlock (1994) mengemukakan mengertian pola asuh demokratis adalah pola asuh yang dicirikan sebagai orangtua yang lebih melihat pada pentingnya remaja mengetahui mengapa suatu peraturan dibuat, remaja juga diberi kesempatan untuk berbicara atau memberi alasan ketika melanggar peraturan. Hukuman yang diberikan tergantung pelanggarannya dan bersifat mendidik. Selain itu orang tua juga memberikan hadiah dalam bentuk pujian ketika remaja berperilaku baik. Anak yang 3 mendapat pola asuh demokratis, mereka akan tumbuh sebagai pribadi yang mampu mengendalikan diri dan secara umum memiliki konsep diri yang positif. Pola asuh demokratis sebagaimana yang telah dijelaskan di atas merupakan pola asuh yang paling mendukung dalam pembentukan kepribadian remaja masa kini. Orangtua melalui pola asuh demokratis akan memberikan kehangatan , perhatian, kasih sayang, dukungan dan arahan bagi anak untuk melakukan hal-hal yang berguna. Orangtua akan mengakui dan menghargai keberadaan anak, berusaha menciptakan suasana yang kondusif bagi perkembangan anak. Lingkungan kondusif dimana anak dapat mengembangkan potensi dan kepribadiaannya ditemukan pada ciri-ciri pola asuh orangtua demokratis (Setiyati, 2006). Dewasa ini masyarakat, terutama yang ada di perkotaan menunjukkan kecenderungan yang cukup positif terutama terhadap pola asuh demokratis yang diterapkan dalam memperlakukan anak-anaknya. Orang tua sekarang tidak lagi menerapkan aturan secara kaku, atau memaksa anak melakukan hal yang tidak disukai sehingga komunikasi dengan anak semakin terbuka (Prayitno, 2007). Adanya kecenderungan yang cukup positif pada masyarakat perkotaan untuk penerapan pola asuh demokratis inilah yang diharapkan dapat menurunkan tingkat perilaku seksual yang dilakukan oleh remaja. Penelitian Wulandari (2010) dengan judul “hubungan pola demokratis dengan sikap terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara pola asuh demokratis dengan perilaku seksual remaja. Apabila pola 4 asuh demokratis diterapkan dengan baik maka tingkat perilaku seksual remaja akan rendah. Penelitian lain tentang pola asuh dengan perilaku seksual remaja dilakukan oleh Setiyati (2006) dengan judul “Hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter orang tua dengan perilaku seksual remaja, yang berarti semakin otoriter pola asuh orang tua, maka perilaku seksual remaja akan semakin tinggi. Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock, 2006). Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung disebabkan terlalu longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Remaja akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya pengawasan yang kurang dari orangt uanya. Kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain. 5 Berdasarkan survei awal yang dilakukan peneliti di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah diperoleh bahwa mereka sekitar 30% sudah melakukan seks pra nikah. Keadaan ini terkait dengan cara asuh orang tua dan pendidikan seks yang kurang dari orang tua terhadap anak yang kurang di dapatkan anak. Dan berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap 10 orang remaja diperoleh bahwa mereka sebanyak 3 orang (30,0%) sudah melakukan seks pra nikah dan sebanyak 7 orang (70,0%) tidak melakukan sekes bebas. Perilaku seks bebas pada remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah terkait dengan cara asuh orang tua yang kurang terhadap anak. Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang ”Hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitin ini adalah bagaimana hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015.” 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 6 1.4. Manfaat Penelitian 1. Bagi Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah khususnya ibu sebagai informasi upaya meningkatkan perhatian perilaku seks bebas pada remaja dan meningkatkan cara asuh yang baik.. 2. Bagi remaja sebagai upaya untuk mengetahui seks bedan dan menurunkan perilaku seks bebas. 3. Bagi pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, khususnya yang terkait dengan perilaku seks bebas. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pola Asuh Orangtua 2.1.1. Pengertian Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Menurut Soetjiningsih (1995), kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang, secara umum digolongkan menjadi 3 kebutuhan dasar, antara lain : a. Kebutuhan fisik-biomedis (“ASUH”) Pola asuh orang tua terhadap anak meliputi : 1. Pangan/ gizi merupakan kebutuhan terpenting. 2. Perawatan kesehatan dasar, antara lain imunisasi, pemberian ASI, penimbangan bayi/ anak yang teratur, pengobatan jika sakit, dll. 3. Papan/ pemukiman yang layak. 4. Higiene perorangan, sanitasi lingkungan. 5. Sandang. 7 8 6. Kesegaran jasmani, rekreasi. b. Kebutuhan emosi/kasih sayang (“ASIH”) Pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dengan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Kasih sayang orang tua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar (basic trust). c. Kebutuhan akan stimulasi (“ASAH”) Stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental (ASAH) ini mengembangkan perkembangan mental psikososial: kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreativitas, agama, kepribadian, moral, produktivitas dan sebagainya dapat membahagiakan dan membanggakan orang tua yang telah susah payah membesarkannya dengan cina dan kasih sayang. Masa remaja merupakan masa yang rentan terhadap masalah yang dihadapi, padahal disisi lain remaja merupakan generasi penerus bangsa, calon pemegang estafet kepemimpinan bangsa di masa yang akan datang. Pola asuh orangtua turut membentuk dasar kepribadian seseorang, apakah akan menjadi seorang yang yang memiliki kepribadian yang kokoh atau rapuh sehingga mempengaruhi kerentanan seseorang terhadap stresor (Suwanto, 2009). 2.1.2. Tipe-tipe Pola Asuh Orangtua Terdapat tipe-tipe pola asuh orang tua kepada anak yaitu : 9 1. Pola asuh permisif Pola asuh permisif adalah jenis pola mengasuh anak yang cuek terhadap anak. Jadi apa pun yang mau dilakukan anak diperbolehkan seperti tidak sekolah, bandel, melakukan banyak kegiatan maksiat, pergaulan bebas negatif, matrialistis, dan sebagainya. Biasanya pola pengasuhan anak oleh orangtua semacam ini diakibatkan oleh orangtua yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, kesibukan atau urusan lain yang akhirnya lupa untuk mendidik dan mengasuh anak dengan baik. Dengan begitu anak hanya diberi materi atau harta saja dan terserah anak itu mau tumbuh dan berkembang menjadi apa. Anak yang diasuh orangtuanya dengan metode semacam ini nantinya bisa berkembang menjadi anak yang kurang perhatian, merasa tidak berarti, rendah diri, nakal, memiliki kemampuan sosialisasi yang buruk, kontrol diri buruk, salah bergaul, kurang menghargai orang lain, dan lain sebagainya baik ketika kecil maupun sudah dewasa. 2. Pola asuh otoriter Pola asuh otoriter adalah pola pengasuhan anak yang bersifat pemaksaan, keras dan kaku di mana orangtua akan membuat berbagai aturan yang saklek harus dipatuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Hukuman mental dan fisik akan sering diterima oleh anak-anak dengan alasan agar anak terus tetap patuh dan disiplin serta menghormati orang-tua yang telah membesarkannya. Anak yang besar dengan teknik asuhan anak seperti ini biasanya tidak bahagia, paranoid/selalu berada 10 dalam ketakutan, mudah sedih dan tertekan, senang berada di luar rumah, benci orangtua, dan lain-lain, tetapi di balik itu biasanya anak hasil didikan ortu otoriter lebih bisa mandiri, bisa menjadi orang sesuai keinginan orang tua, lebih disiplin dan lebih bertanggungjawab dalam menjalani hidup. 3. Pola asuh otoritatif Pola asuh otoritatif adalah pola asuh orangtua pada anak yang memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. Pola asuh ini adalah pola asuh yang cocok dan baik untuk diterapkan para orangtua kepada anak-anaknya. Anak yang diasuh dengan tehnik asuhan otoritatif akan hidup ceria, menyenangkan, kreatif, cerdas, percaya diri, terbuka pada orangtua, menghargai dan menghormati orangtua, tidak mudah stres dan depresi, berprestasi baik, disukai lingkungan dan masyarakat dan lain-lain. 2.1.3. Kriteria Pola Asuh Orangtua Pola asuh orangtua terhadap perilaku anak remaja memiliki beberapa kriteria yaitu (Syamsul, 2005) : a. Pola asuh Authoritarian Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua yang rendah, namun kontrolnya tinggi, suka menghukum secara fisik dan bersikap komando. b. Pola asuh permissive Pola asuh orangtua, dimana sikap orangtua meningkat namun kontrolnya rendah, memberikan kebebasan terhadap anak untuk mengatakan dorongan keinginannya. 11 c. Pola asuh Authoritative Pola asuh oragtua, dimana sikap yang meninggat dan kontrolnya meningkat, bersikap responsif terhadap kebutuhan anak, mendorong anak untuk menyatakan pendapat atau pertanyaan, memberikan penjelasan tentang dampak perbuatan yang baik atau buruk. d. Pola asuh dominan Pola asuh orangtua yang mendominasi dalam segala hal yang menyangkut remaja dalam tindakan sehari-hari. e. Pola asuh Submission Orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak berperilaku semaunya dirumah. f. Pola asuh overdisplin Orangtua senantiasa mudah memberikan hukuman, menanamkan kedisiplinan secara keras. 2.14. Tips Cara Mendidik Anak Terdapat beberapa cara dalam mendidik anak bagi orangtua yaitu (Suwanto, 2009) : a. Bagi orangtua harus kompak memilih pola asuh yang akan diterapkan kepada anak. Jangan berubah-ubah agar anak tidak menjadi bingung. b. Jadilah orangtua yang pantas diteladani anak dengan mencontohkan hal-hal positif dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai anak dipaksa melakukan hal baik yang orangtuanya tidak mau melakukannya. Anak nantinya akan 12 menghormati dan menghargai orang tuanya sehingga setelah dewasa akan menyayangi orangtua dan anggota keluarga yang lain. c. Sesuaikan pola asuh dengan situasi, kondisi, kemampuan dan kebutuhan anak. Pola asuh anak balita tentu akan berbeda dengan pola asuh anak remaja. Jangan mendidik anak dengan biaya yang tidak mampu ditalangi orangtuanya. Usahakan anak mudah paham dengan apa yang kita inginkan tanpa merasa ada paksaan, namun atas dasar kesadaran diri sendiri. d. Kedisiplinan tetap harus diutamakan dalam membimbing anak sejak mulai kecil hingga dewasa agar anak dapat mandiri dan dihormati serta diharga masyarakat. Hal-hal kecil seperti bangun tidur tepat waktu, membantu pekerjaan rumah tangga orangtua, belajar dengan rajin, merupakan salah satu bentuk pengajaran kedisiplinan dan tanggungjawab pada anak. e. Kedepankan dan tanamkan sejak dini agama dan moral yang baik pada anak agar kedepannya dapat menjadi orang yang saleh dan memiliki sikap dan perilaku yang baik dan agamis. Anak yang shaleh akan selalu mendoakan orangtua yang telah melahirkan dan membesarkannya walaupun orangtuanya telah meninggal dunia. f. Komunikasi dilakukan secara terbuka dan menyenangkan dengan batasan-batasan tertentu agar anak terbiasa terbuka pada orangtua ketika ada hal yang ingin disampaikan atau hal yang mengganggu pikirannya. Jika marah sebaiknya orangtua menggunakan ungkapan yang baik dan tidak langsung yang dapat 13 dipahami anak agar anak tidak lantas menjadi tertutup dan menganggap orangtua tidak menyenangkan. g. Hindari tindakan negatif pada anak seperti memarahi anak tanpa sebab, menyuruh anak seenaknya seperti pembantu tanpa batas, menjatuhkan mental anak, merokok, malas beribadah, menbodoh-bodohi anak, sering berbohong pada anak, membawa pulang stres dari kantor, memberi makan dari uang haram pada anak, enggan mengurus anak, terlalu sibuk dengan pekerjaan dan lain sebagainya. 2.2. Perilaku Seks bebas 2.2.1. Pengertian Perilaku Seks bebas Seks dalam arti sempit diartikan kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan wanita, kelenjar-kelenjar dan hormon yang mempengaruhi alat kelamin, hubungan kelamin dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran. Sedangkan seks dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi sebagai akibat (konsekuensi) dari adanya jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah laku, perbedaan atribut (pakaian, nama), perbedaan peran dan pekerjaan serta hubungan antara pria dan wanita (tata krama pergaulan, etika dan lain-lain). Oleh karena itu, sebagai usaha pendidikan, komunikasi tentang seks yang dilakukan orang tua dengan anak tidak boleh terlepas dari segi seksualitas yang luas tersebut (Sarwono, 1986). Istilah seks lebih tepat untuk menunjukkan alat kelamin. Namun, seringkali masyarakat umum (awam) memiliki pengertian bahwa istilah seks lebih mengarah 14 pada bagaimana masalah hubungan seksual antara dua orang yang berlainan jenis kelamin. Adapun pengetahuan tentang masalah seksualitas, berkaitan dengan anatomi seksual (organ-organ tubuh), fungsi hormon seksual, dan perilaku seksual dalam kehidupan sosial. Perilaku seks bebas adalah pergaulan bebas yang tidak terkendali secara normatif dan etika moral antar remaja yang berlainan jenis (Dariyo, 2004). Perilaku seks adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Obyek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan ataupun dari diri sendiri (Sarwono, 1991). Hubungan seksual pranikah adalah sebagai hubungan kelamin yang dilakukan oleh seorang pria dan wanita yang terjadi sebelum ada ikatan resmi (pernikahan) atau dalam istilah asing disebut premarital heterosexual intercourse (Daryanto, 2009). Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku seks bebas adalah suatu aktivitas seksual yang didorong oleh hasrat seksual, yang dilakukan oleh pria dan wanita sebelum adanya ikatan resmi (pernikahan) menurut agama dan hukum, mulai dari bentuk perilaku seks yang paling ringan sampai tahapan senggama. 2.2.2. Faktor-faktor Penyebab Perilaku Seks bebas Perilaku negatif remaja terutama hubungannya dengan penyimpangan seksualitas seperti seks bebas ini, dipengaruhi oleh faktor-faktor internal (dari diri 15 remaja sendiri) serta faktor eksternal (berasal dari luar) yang mendukung perilaku tersebut. Faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya perilaku seks bebas antara lain: a. Meningkatnya libido seksualitas, dimana menurut Freud bahwa energi-energi seksual berkaitan erat dengan kematangan fisik. b. Proses kematangan organ tubuh yang menyangkut perkembangan fisik maupun kematangan organ-organ seksual dikendalikan oleh kelenjar endokrin yang terletak pada dasar otak. Kelenjar pituari ini menghasilkan dua hormon, yaitu hormon pertumbuhan yang mempengaruhi ukuran dan bentuk fisik tubuh individu, dan hormon gonadotropik yang merangsang kelenjar gonad (kelenjar seks) menjadi lebih aktif sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan seksual. c. Kualitas diri pribadi seperti kurangnya kontrol diri atau pengendalian diri, motivasi kesenangan, pengalaman emosional yang kurang sehat, terhambatnya perkembangan hati nurani yang agamis, ketidakmampuan mempergunakan waktu luang dengan baik (Sarwono, 1991). Faktor-faktor eksternal yang menjadi penyebab terjadinya perilaku seks bebas antara lain: a. Kurangnya informasi tentang seks. Hubungan seks dianggap ekspresi rasa cinta. Selain itu tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja mencari akses dan mengeksplorasi sendiri. Majalah, buku dan film pornografis 16 yang memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab yang harus disandang dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. b. Percintaan. Hubungan seks pada remaja umumnya akibat berpacaran atau percintaan dan beberapa di antaranya berorientasi pada pemuasan nafsu. c. Kurangnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak sehingga memperkuat munculnya perilaku yang menyimpang. d. Pergaulan. Menurut Hurlock, perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh lingkungan pergaulannya, terutama pada masa pubertas dimana pengaruh teman sebaya lebih besar dibandingkan orang tua. e. Adanya penundaan usia perkawinan yang menyebabkan tidak segera dilakukan penyaluran kebutuhan biologis yang tepat. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yayasan Keluarga Besar Kaiser (Kaiser Family Foundation, dalam Santrock, 1998), faktor yang mendorong remaja melakukan hubungan seks bebas adalah: a. Hubungan seks, bentuk penyaluran kasih sayang yang salah dalam pacaran seperti ungkapan kasih sayang dengan pemberian hadiah bunga, berpelukan, berciuman dan bahkan melakukan hubungan seks. b. Faktor religiusitas, kehidupan iman yang rapuh. Individu yang rapuh imannya cenderung mudah melakukan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran agamanya. 17 c. Faktor kematangan biologis, sehingga remaja sudah dapat melakukan fungsi reproduksi layaknya orang dewasa. Kematangan biologis yang tidak disertai dengan kemampuan mengendalikan diricenderung berakibat negatif seperti perilaku seks pranikah, sebaliknya kematangan biologis yang disertai dengan kemampuan mengendalikan diri akan membawa kebahagiaan bagi remaja di masa depannya (Dariyo, 2004). Berdasarkan paparan di atas dapat disimpilkan bahwa faktor yang mempengaruhi remaja melakukan perilaku seks pranikah, diantaranya persepsi yang salah dalam mengartikan suatu perasaan dan hubungan dalam berpacaran, faktor religiusitas (keimanan), faktor kematangan biologis yang berkaitan dengan pengendalian diri, kontrol diri, media massa, pornografi serta rasa ingin tahu yang tinggi mengenai masalah seks. 2.2.3. Bentuk-bentuk Perilaku Seks bebas Bentuk perilaku seks adalah tingkat perilaku yang dilakukan pasangan lawan jenis. Menurut Simanjuntak (1984), bentuk perilaku seks bebas yang biasa dilakukan pelajar adalah sebagai berikut: a. Bergandengan tangan adalah perilaku seks mereka hanya terbatas pada pergi berdua/ bersama dan saling berpegangan tangan, belum sampai pada tingkat yang lebih dari bergandengan tangan, seperti berciuman atau lainnya. Bergandengan tangan termasuk dalam perilaku seks bebas karena adanya kontak fisik secara langsung antara dua orang lawan jenis yang didasari dengan rasa suka/cinta. 18 b. Berciuman, didefinisikan sebagai suatu tindakan saling menempelkan bibir ke pipi atau bibir ke bibir, sampai saling menempelkan lidah sehingga dapat menimbulkan rangsangan seksual antar keduanya. c. Bercumbu adalah tindakan yang sudah dianggap rawan yang cenderung menyebabkan suatu rangsangan akan melakukan hubungan seksual (senggama) dimana pasangan ini sudah memegang atau meremas payudara, baik melalui pakaian atau secara langsung, juga saling menempelkan alat kelamin tapi belum melakukan hubungan seksual atau senggama secara langsung. d. Senggama, yaitu melakukan hubungan seksual atau terjadi kontak seksual. Bersenggama mempunyai arti bahwa memasukkan alat kelamin laki-laki ke dalam alat kelamin perempuan (Simanjuntak. 1986). Furhmann (1990) menjelaskan jenis-jenis perilaku seksual yang dilakukan selama masa remaja, diantaranya adalah: a. Masturbasi Aktivitas seksual yang bertujuan untuk meredakan ketegangan seksual tanpa melakukan hubungan seksual dengan obyek manusia tetapi dengan obyek seksual lain yang bisa berupa fantasi atau benda tertentu. Pada masturbasi tidak terjadi hubungan seksual tapi dapat dicapai orgasme. Terdapat perbedaan presentase antara anak perempuan dengan anak laki-laki dalam melakukan masturbasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinsey (dalam Jersild, 1965), pada masa remaja akhir diduga sebesar 90% anak laki-laki yang belum menikah melakukan masturbasi dan sebagian besar melakukan secara rutin sekali atau bahkan lebih 19 dari sekali seminggu. Pada anak perempuan, aktivitas seksualnya dikategorikan rendah. Studi yang dilakukan pada wanita dewasa berkaitan dengan aktivitas seksualnya di masa remaja didapatkan bahwa hanya sekitar 30-60% yang melakukan aktivitas seksual. Berdasarkan laporan Kinsey, pada remaja akhir hanya 2 sampai 5 anak perempuan yang memiliki pengalaman masturbasi dan dari separuhnya melakukan aktivitas tersebut secararutin pada saat-saat tertentu (Jersild, 1965). b. Meraba daerah sensitif (petting) Upaya membangkitkan dorongan seksual antar jenis kelamin dengan tanpa tindakan intercourse atau hubungan seksual. Petting merupakan aktifitas erotis yang umum dilakukan dalam masa remaja. Menurut Kinsey (Jersild, 1965), petting merupakan bentuk kontak fisik yang tidak melibatkan alat kelamin atau bagian genital yang bertujuan untuk menimbulkan efek erotis. Berdasarkan studi Hass ditemukan 90% remaja (usia 15-18) melakukan petting menggunakan anggota tubuh bagian pinggang ke atas dan dikatakan pula bahwa petting merupakan aktivitas heteroseksual yang sering terjadi pada remaja. Sedangkan menurut Masland, petting adalah langkah yang lebih mendalam dari ciuman dan pelukan yang berupa merasakan dan mengusap-usap tubuh pasangan termasuk lengan, dada, buah dada, kaki dan kadang-kadang daerah kemaluan dari dalam atau dari luar pakaian. 20 c. Oral genital sex Hubungan seks oral merupakan rangsangan dengan mulut pada organ seks atau alat kelamin pasangan atau dapat diartikan sebagai hubungan seksual yang hanya melibatkan adanya pertemuan antara bagian oral genital dari masing-masing individu tanpa melakukan penetrasi. Tipe hubungan seks model oral-genital sexini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap cukup aman oleh remaja. Morrison (dalam Fuhrmann, 1990) menemukan berdasarkan penelitiannya bahwa beberapa anak laki perempuan yang menjadi sampelnya menyatakan bahwa dirinya masih perawan sepanjang dia tidak melakukan penetrasi, dan oral-genital sex dianggap cukup efektif untuk mempertahankan keperawanannya. d. Sexual intercourse (hubungan seksual) Menurut Adams, hubungan seksual terjadi pada remaja belasan cenderung kurang direncanakan dan lebih bersifat spontan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya romantisme aktivitas seks, ketidakpastian identitas seksual, sifat impulsif remaja serta dipengaruhi oleh tingkat kematangan kognitif dan sosial. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sorenson (Roediger, 1991) terdapat 400 remaja berusia 13-19 tahun ditemukan sebesar 75% remaja menyatakan bahwa premarital sexdapat diterima apabila individu yang melakukan terlibat secara emosional atau mempunyai rasa cinta terhadap pasangannya. Ada perasaan yang saling bertentangan saat remaja pertama kali melakukan sexual intercourse. Pertama muncul perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada 21 sisi lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan perasaan bersalah. Remaja laki-laki pada umumnya memiliki perasaan yang lebih positif mengalami pengalaman seksualnya yang pertama kali dari pada remaja perempuan. Penelitian yang dilakukan Hass (Furhmann, 1990) ditemukan sebesar 43% remaja awal laki-laki dan 31% remaja awal perempuan (sekitar usia 15-16 tahun) kemudian 56% remaja akhir laki-laki dan 44% remaja akhir perempuan (usia sekitar 17-18 tahun) pernah melakukan sexual intercourse atau hubungan seksual (Daryanto, 2009). Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk perilaku seks bebas atau tingkat perilaku seksual yang dilakukan pasangan lawan jenis yang dilakukan oleh remaja meliputi masturbasi, meraba daerah sensitif (petting), oral genital sex, sampai dengan sexual intercourse atau hubungan seksual. 3.2.4. Dampak Perilaku Seks bebas Setiap perbuatan pasti ada dampak dan konsekuensinya, begitu juga konsekuensi yang ditimbulkan dari hubungan seks bebas sangat jelas terlihat khususnya bagi remaja putri seperti hamil di luar nikah. Perilaku seks bebas khususnya bagi pelajar akan menimbulkan masalah antara lain : a. Memaksa pelajar tersebut dikeluarkan dari sekolah, sementara mental belum siap dibebani masalah ini. b. Kemungkinan terjadinya aborsi yang tidak bertanggung membahayakan jika sampai terjadi kehamilan yang tidak diinginkan. jawab dan 22 c. Pengalaman seksualitas yang terlalu dini sering berpengaruh di masa dewasa, seperti merasakan hubungan seks bukanlah sesuatu yang sakral lagi sehingga tidak bisa menikmati hubungan tersebut, hanya sebagai alat memuaskan nafsu saja. d. Hubungan seks yang dilakukan dengan berganti-ganti pasangan menimbulkan resiko yang tinggi seperti terjangkitnya berbagai penyakit kelamin menular. Tidak hanya itu dampak psikologis perilaku seks pranikah, tetapi juga mengakibatkan rasa bersalah dan penyesalan karena melanggar norma, depresi, ketegangan mental dan kebingungan untuk menghadapi segala kemungkinan resiko yang akan terjadi. Kehamilan remaja, pengguguran kandungan (aborsi), terputusnya sekolah, perkawinan di usia muda, perceraian, penyakit kelamin, penyalahgunaan obat merupakan akibat buruk dari petualangan cinta dan seks yang salah pada saat remaja masih sebagai seorang pelajar. Akibatnya, masa depan mereka yang penuh dengan harapan menjadi hancur berantakan. Oleh karena itu, pendidikan seks bagi remaja sebaiknya diberikan agar mereka sadar bagaimana menjaga organ reproduksinya tetap sehat dan mereka mempunyai pengetahuan tentang seks yang benar. 2.3. Remaja 2.3.1. Pengertian Remaja Remaja adalah periode perkembangan selama dimana individu mengalami perubahan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa, biasanya antara usia 13 dan 23 20 tahun. Istilah adolesens biasanya menunjukkan maturasi psikologis individu, ketika pubertas menunjukkan titik dimana reproduksi mungkin dapat terjadi. Perubahan hormonal pubertas mengakibatkan perubahan penampilan pada orang muda, dan perkembangan mental mengakibatkan kemampuan untuk menghipotesis dan berhadapan dengan abstraksi (Perry dan Potter, 2005). Masa remaja dikenal sebagai masa yang penuh kesukaran. Bukan saja kesukaran bagi individu, tetapi juga bagi orang tuanya, masyarakat bahkan sering kali pada aparat keamanan. Hal ini disebabkan masa remaja merupakan masa transisi antara kanak-kanak dan masa dewasa. Masa transisi ini sering kali menghadapkan individu yang bersangkutan kepada situasi yang membingungkan, disatu pihak ia masih kanak-kanak, tetapi dilain pihak ia harus bertingkah laku seperti orang dewasa (Purwanto, 1999). Menurut Purwanto (1999), tingkat-tingkat perkembangan dalam masa remaja dapat dibagi dengan berbagai cara. Salah satu pembagian yang dilakukan oleh Stolz adalah sebagai berikut : a. Masa prapuber : satu atau dua tahun sebelum masa remaja yang sesungguhnya. Anak menjadi gemuk, pertumbuhan tinggi badan terhambat sementara. b. Masa puber atau masa remaja : perubahan-perubahan sangat nyata dan cepat. Dimana anak wanita lebih cepat memasuki masa ini dari pada pria. Masa ini lamanya berkisar antara 2,5-3,5 tahun. c. Masa postpuber : pertumbuhan yang cepat sudah berlalu, tetapi masih nampak perubahan-perubahan tetap berlangsung pada beberapa bagian badan. 24 d. Masa akhir puber : melanjutkan perkembangan sampai mencapai tanda-tanda kedewasaan. Sedangkan menurut Irwanto (2000), periode remaja adalah periode yang dianggap sebagai masa yang amat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam perkembangan kepribadian individu. Secara psikologis masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, dimana usia anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak (Hurlock, 1999). 2.3.2. Ciri-ciri Masa Remaja Menurut Hurlock (1999), masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Ciri-ciri tersebut antara lain : a. Masa remaja sebagai periode yang penting Peroide remaja dianggap sangat penting dari pada beberapa periode lainnya, karena akibatnya yang langsung terhadap sikap dan perilaku. Akibat fisik dan psikologis mempunyai persepsi yang sangat penting. Perkembangan fisik yang cepat dan penting disertai dengan cepatnya perkembangan mental yang cepat, terutama pada awal pada masa remaja. Semua perkembangan itu menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan perlunya membentuk sikap, nilai dan minat baru (Hurlock, 1999). b. Masa remaja sebagai periode peralihan Peralihan tidak berarti terputus atau berubah dari apa yang terjadi sebelumnya, tetapi peralihan yang dimaksud adalah dari satu tahap perkembangan ke tahap 25 berikutnya. Artinya, apa yang terjadi sebelumnya akan meninggalkan bekasnya pada apa yang terjadi sekarang dan akan datang. Bila anak beralih dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, anak harus meninggalkan segala sesuatu yang bersifat kekakak-kanakan dan juga harus mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan (Hurlock, 1999). c. Masa remaja sebagai periode perubahan Tingkat perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Selama awal masa remaja, ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat maka perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung pesat. Kalau perubahan fisik menurun maka perubahan sikap dan perilaku menurun juga. Ada empat perubahan yang sama dan hampir bersifat universal. Pertama, meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan fisik dan psikologis. Kedua, perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok. Ketiga, dengan berubahnya minat dan pola perilaku maka nilai-nilai juga berubah. Keempat, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan (Hurlock, 1999). d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Masalah pada masa remaja sering menjadi masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu, yaitu sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak sebagian diselesaikan oleh orang tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman 26 dalam mengatasi masalah, serta para remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang tua dan guru. Ketidakmampuan remaja untuk mengatasi sendiri masalahnya, maka memakai menurut cara yang mereka yakini. Banyak remaja akhirmya menemukan bahwa penyelesaian tidak selalu sesuai dengan harapan mereka (Hurlock, 1999). e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Identitas diri yang dicari remaja berupa usaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, apakah ia seorang anak atau dewasa, apakah ia mampu percaya diri sekalipun latar belakang ras atau agama atau nasionalnya membuat beberapa orang merendahkannya. Secara keseluruhan, apakah ia akan berhasil atau akan gagal (Hurlock, 1999). f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Anggapan stereotip budaya bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, yang tidak dapat dipercaya dan cenderung merusak dan berperilaku merusak, menyebabkan orang dewasa yang harus membimbing dan mengawasi kehidupan remaja yang takut bertanggung jawab dan bersikap tidak simpatik terhadap perilaku remaja yang normal (Hurlock, 1999). g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung memandang kehidupan melalui kaca berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya sendiri dan orang lain sebagaimana adanya, terlebih dalam hal cita-cita. Cita-cita yang tidak realistik ini, tidak hanya bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi keluarga dan teman-temannya, menyebabkan meningkatnya emosi yang 27 merupakan ciri dari awal masa remaja. Semakin tidak realistik cita-citanya semakin ia menjadi marah. Remaja akan sakit hati dan kecewa apabila orang lain mengecewakannya atau kalau ia tidak berhasil mencapai tujuan yang ditetapkannya sendiri (Hurlock, 1999). h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin mendekatnya usia kematangan yang sah, para remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotip belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa. Berpakaian dan bertindak seperti orang dewasa ternyata belumlah cukup. Oleh karena itu, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, minum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap bahwa perilaku ini akan memberikan citra yang mereka inginkan (Hurlock, 1999). 2.3.3. Tugas Perkembangan pada Masa Remaja a. Menerima citra tubuh Seringkali sulit bagi remaja untuk menerima keadaan fisiknya bila sejak kanakkanak mereka telah mengagungkan konsep mereka tentang penampilan diri pada waktu dewasa nantinya. Diperlukan waktu untuk memperbaiki konsep ini dan untuk mempelajari cara-cara memperbaiki penampilan diri sehingga lebih sesuai dengan apa yang dicita-citakan (Hurlock, 1999). 28 b. Menerima identitas seksual Menerima peran seks dewasa yang diakui masyarakat tidaklah mempunyai banyak kesulitan bagi anak laki-laki, mereka telah didorong dan diarahkan sejak awal masa kanak-kanak. Tetapi berbeda bagi anak perempuan, mereka didorong untuk memainkan peran sederajat sehingga usaha untuk mempelajari peran feminim dewasa memerlukan penyesuaian diri selama bertahun-tahun (Hurlock, 1999). c. Mengembangkan sisitem nilai personal Remaja megembangkan sistem nilai yang baru misalnya remaja mempelajari hubungan baru dengan lawan jenis berarti harus mulai dari nol dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana harus bergaul dengan mereka (Hurlock, 1999). d. Membuat persiapan untuk hidup mandiri Bagi remaja yang sangat mendambakan kemandirian, usaha untuk mandiri harus didukung oleh orang terdekat (Hurlock, 1999). e. Menjadi mandiri atau bebas dari orang tua Kemandirian emosi berbeda dengan kemandirian perilaku. Banyak remaja yang ingin mandiri, tetapi juga membutuhkan rasa aman yang diperoleh dari orang tua atau orang dewasa lain. Hal ini menonjol pada remaja yang statusnya dalam kelompok sebaya yang mempunyai hubungan akrab dengan anggota kelompok dapat mengurangi ketergantungan remaja pada orang tua (Hurlock, 1999). 29 f. Mengembangkan ketrampilan mengambil keputusan Ketrampilan mengambil keputusan dipengaruhi oleh perkembangan ketrampilan intelektual remaja itu sendiri, misal dalam mengambil keputusan untuk menikah di usia remaja (Hurlock, 1999). g. Mengembangkan identitas seseorang yang dewasa Remaja erat hubungannya dengan masalah pengembangan nilai-nilai yang selaras dengan dunia orang dewasa yang akan dimasuki, adalah tugas untuk mengembangkan perilaku sosial yang bertanggung jawab (Hurlock, 1999). 2.3.4. Perubahan Pada Remaja a. Perubahan fisik pada remaja Menurut Tim Pembina UKS Propinsi Jawa Barat (2004) terjadi pertumbuhan fisik yang cepat pada remaja, termasuk pertumbuhan organ reproduksi (organ seksual) untuk mencapai kematangan sehingga mampu melangsungkan fungsi reproduksi. Perubahan ini ditandai dengan munculnya tanda-tanda yaitu : 1. Tanda-tanda seks primer yaitu yang berhubungan langsung dengan organ seks. Terjadinya haid pada remaja putri (menarche) dan terjadinya mimpi basah pada remaja laki-laki. 2. Tanda-tanda seks sekunder yaitu : pada remaja laki-laki terjadi perubahan suara, tumbuhnya jakun, penis dan buah zakar bertambah besar, terjadinya ereksi dan ejakulasi, dada lebih lebar, badan berotot, tumbuhnya kumis, cambang dan rambut disekitar kemaluan dan ketiak. Dan pada remaja putri 30 terjadi perubahan pinggul lebar, pertumbuhan rahim dan vagina, payudara membesar, tumbuhnya rambut di ketiak dan sekitar kemaluan (pubis). b. Perubahan kejiwaan pada remaja Proses perubahan kejiwaan berlangsung lebih lambat dibandingkan perubahan fisik yang meliputi : 1. Perubahan emosi, sehingga remaja menjadi : a. Sensitif (mudah menangis, cemas, frustasi dan tertawa) b. Agresif dan mudah bereaksi terhadap rangsangan luar yang berpengaruh, sehingga misalnya mudah berkelahi. 2. Perkembangan intelegensia, sehingga remaja menjadi : a. Mampu berpikir abstrak, senang memberikan kritik b. Ingin mengetahui hal-hal baru, sehingga muncul perilaku ingin coba-coba. 2.4. Kerangka Konsep Variabel Independent Pola Asuh Orang Tua Variabel Dependent Perilaku Seks Bebas Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian 2.5. Hipotesis 1. Ada hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 31 BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian survei yang bersifat analitik, penelitian yang diarahkan untuk menjelaskan suatu keadaan atau situasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan cara asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah. 3.2.2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan bulan Juni 2015. 3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh remaja usia 12-16 tahun Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah yang berjumlah 106 orang. 3.3.2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi dijadikan sebagai sampel berjumlah 106 orang (total sampling). 31 32 3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Jenis Data a. Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara menggunakan kuesioner. b. Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan mengambil data-data dari dokumen atau catatan yang diperoleh dari Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah. 3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel Independent 1. Pola asuh orangtua adalah suatu perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya atau bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak. Kategori Pola asuh orangtua : 0. Baik 1. Tidak Baik Pengukuran variabel Pola asuh orangtua disusun 8 pertanyaan yang diajukan dengan jawaban ”ya (bobot nilai 2 )” dan ”tidak (bobot nilai 1)”, dan dikategorikan menjadi 2, yaitu: 0. Baik, jika responden memperoleh skor > 50% yaitu 9-16 1. Tidak baik, jika responden memperoleh skor ≤ 50% yaitu 0-8 33 3.5.2. Variabel Dependent 1. Perilaku seks bebas adalah segala bentuk kegiatan untuk mendapatkan kesenangan organ seksual yaitu dengan menyalurkan dorongan nafsu seksual yang timbul dari dalam diri maupun dari luar diri dan dilakukan oleh para remaja tanpa ada ikatan perkawinan. Perilaku seksual yaitu berciuman (kissing), bersentuhan (touching), petting (bercumbu dengan saling menggesekkan alat kelamin) dan berhubungan seksual (coitus). Kategori Perilaku seksual pada remaja : 0. Baik 1. Tidak Baik Pengukuran variabel perilaku seksual pada remaja disusun 8 pertanyaan yang diajukan dengan jawaban ”tidak (bobot nilai 1)”, dan ”ya (bobot nilai 0)”, dan dikategorikan menjadi 2, yaitu: 0. Baik : Jika responden memperoleh skore = 100% yaitu 8 1. Tidak Baik : Jika responden memperoleh skore < 100% yaitu 1-7 3.6. Metode Pengukuran Tabel 3.1. Variabel, Cara, Alat, Skala dan Hasil Ukur Variabel Variabel Bebas Pola Asuh Orangtua Variabel Terikat Perilaku seks bebas Cara dan Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur Wawancara (kuesioner Ordinal 0. Baik 1. Tidak baik Wawancara (kuesioner Ordinal 0. Baik 1. Tidak baik 34 3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat Analisis data secara univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi responden. Analisa ini digunakan untuk memperoleh gambaran variabel independen (pola asuh orangtua) dan variabel dependen yaitu perilaku seks bebas. 3.7.2. Analisis Bivariat Analisis bivariat dilakukan untuk menguji ada tidaknya hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dengan menggunakan statistik uji chi-square kemudian hasilnya dinarasikan. 35 BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Desa Lai Butar terletak di Kecamatan Gunung Meriah. Desa ini merupakan salah satu kecamatan yang terletak di daerah dataran sedang. Secara geografis Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah mempunyai luas wilayah 12.492 km2. 4.2. Analisis Univariat Analisis univariat yang diteliti dalam penelitian ini meliputi: pola asuh orangtua dan perilaku seks bebas. 4.2.1. Pola Asuh Orangtua Untuk melihat pola asuh orangtua dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dapat di lihat pada Tabel 4.1: Tabel 4.1. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Orangtua Dikalangan Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 No Pola Asuh Orangtua 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah f 62 44 106 % 58,5 41,5 100,0 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa pola asuh orangtua lebih banyak dengan pola asuh baik sebanyak 62 orang (58,5%) dan lebih sedikit dengan pola asuh tidak baik sebanyak 44 orang (41,5%). 36 4.2.3. Perilaku Seks Bebas Untuk melihat perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dapat di lihat pada Tabel 4.2: Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Perilaku Seks Bebas Dikalangan Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 No Perilaku Seks Bebas 1 Baik 2 Tidak Baik Jumlah f 70 36 106 % 66,0 34,0 100,0 Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa perilaku seks bebas dikalangan remaja Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Merih lebih banyak dengan perilaku seks bebas baik sebanyak 70 orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan perilaku seks bebas tidak baik sebanyak 36 orang (34,0%). 4.3. Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk menganalisis hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. Berdasarkan hasil analisis bivariat antara variabel hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 dapat dilihat pada Tabel 4.3 : 37 Tabel 4.3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Seks Bebas Dikalangan Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 No 1 2 Pola Asuh Orangtua Baik Tidak Baik Perilaku Seks Pranikah Baik Tidak Baik n % n % 60 96,8 2 3,2 10 22,7 34 77,3 Total n % 62 100 44 100 p value 0,000 Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa dari 62 orang dengan pola asuh orangtua baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 60 orang (96,8%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 2 orang (3,2%). Sedangkan dari 44 orang dengan pola asuh orangtua tidak baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 10 orang (22,7%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 34 orang (77,3%). Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p < 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 38 BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Pola Asuh Orangtua Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola asuh orangtua dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan pola asuh baik sebanyak 62 orang (58,5%) dan lebih sedikit dengan pola asuh tidak baik sebanyak 44 orang (41,5%). Berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pola asuh orang tua tergolong rendah, walau lebih banyak dengan pola asuh baik karena hanya mencapai 58,5%. Pola asuh merupakan sikap orang tua dalam berinteraksi dengan anakanaknya. Sikap tersebut meliputi cara orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian. Pola asuh sebagai suatu perlakuan orangtua dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. Sedangkan Pengertian pola asuh orangtua terhadap anak merupakan bentuk interaksi antara anak dan orangtua selama mengadakan pengasuhan yang berarti orangtua mendidik, membimbing dan melindungi anak (Gunarsa, 2002). Pada saat remaja sangat diperlukan pola asuh orangtua yang baik, karena pada remaja memang berat tantangannya karena seringkali remaja bersikap kritis dan cenderung menentang pendapat orang tua, sehingga orang tua perlu membangun komunikasi dengan anak terutama masalah seksualitas dengan menyadari berbagai perubahan atau gejolak yang dialami remaja. Orang tua harus mampu memposisikan 38 39 diri sebagai sahabat bagi remaja serta perlu melakukan pengikatan emosi terhadap mereka dengan tujuan agar anak selalu merasa dekat dan aman di lingkungan keluarganya. Menurut asumsi peneliti bahwa pola asuh orangtua di dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 tergolong baik, karena orang masih lebih banyak memperhatikan anak. Hal ini sesuai dengan tuntutan dari perilaku remaja akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya pengawasan yang kurang dari orangtuanya. Kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain. 5.2. Perilaku Seks Bebas Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan perilaku seks bebas baik sebanyak 70 orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan perilaku seks bebas tidak baik sebanyak 36 orang (34,0%). Perilaku seks bebas pada remaja ini tergolong baik karena remaja mungkin sadar bahwa perilaku seks bebas tidak baik untuk dilakukan. Seks dalam arti sempit diartikan kelamin, anggota-anggota tubuh dan ciri-ciri badaniah lainnya yang membedakan laki-laki dan wanita, kelenjar-kelenjar dan 40 hormon yang mempengaruhi alat kelamin, hubungan kelamin dan proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran. Sedangkan seks dalam arti luas yaitu segala hal yang terjadi sebagai akibat (konsekuensi) dari adanya jenis kelamin, seperti perbedaan tingkah laku, perbedaan atribut (pakaian, nama), perbedaan peran dan pekerjaan serta hubungan antara pria dan wanita (tata krama pergaulan, etika dan lain-lain). Oleh karena itu, sebagai usaha pendidikan, komunikasi tentang seks yang dilakukan orang tua dengan anak tidak boleh terlepas dari segi seksualitas yang luas tersebut (Sarwono, 1986). Perilaku seks bebas adalah pergaulan bebas yang tidak terkendali secara normatif dan etika moral antar remaja yang berlainan jenis (Dariyo, 2004). Perilaku seks adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis. Bentuk-bentuk tingkah laku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan, bercumbu dan bersenggama. Obyek seksualnya dapat berupa orang lain, orang dalam khayalan ataupun dari diri sendiri (Sarwono, 1991). Menurut asumsi peneliti bahwa perilaku seks bebas pada remaja tergolong baik, hal ini membuktikan bahwa remaja memahami perilaku seks sehat. Remaja mengetahui bahwa seks bebas dan kehamilan dikalangan remaja merupakan salah satu contoh realita perilaku remaja di bidang seksual. Keadaan seperti ini dapat terjadi karena terbatasnya pengetahuan mereka tentang perilaku seks sehingga remaja melakukan perilaku sekes bebas. 41 5.3. Hubungan Pola Asuh Orangtua dengan Perilaku Seks Bebas Dikalangan Remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 Hasil penelitian diperoleh bahwa dari 62 orang dengan pola asuh orangtua baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 60 orang (96,8%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 2 orang (3,2%). Sedangkan dari 44 orang dengan pola asuh orangtua tidak baik terdapat perilaku seks bebas remaja dengan kategori baik sebanyak 10 orang (22,7%) dan perilaku seks bebas kategori tidak baik sebanyak 34 orang (77,3%). Hasil uji statistik chi square menunjukkan bahwa nilai p < 0,000 maka dapat disimpulkan ada hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. Mengacu pada uji tersebut dapat dijelaskan bahwa semakin baik pola asuh orangtua terhadap anak maka semakin baik perilaku seks anak, dan sebaliknya semakin tidk baik pola asuh orangtua maka akan semakin buruk perilaku seks anak. Pola asuh orangtua memiliki pengaruh penting terhadap perilaku seksual remaja, terutama berkaitan dengan perilaku seksual pranikah. Nilai-nilai moral, agama, dan norma-norma sosial dikenalkan kepada anak melalui interaksi di dalam keluarga. Menurut Baumrind (2004) ada tiga bentuk pola asuh yang sering diterapkan orang tua terhadap remaja, yaitu demokratis, otoriter dan permisif. Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Wulandari (2010) tentang “hubungan pola demokratis dengan sikap terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan signifikan antara pola asuh demokratis dengan 42 perilaku seksual remaja. Apabila pola asuh demokratis diterapkan dengan baik maka tingkat perilaku seksual remaja akan rendah. Penelitian lain tentang pola asuh dengan perilaku seksual remaja dilakukan oleh Setiyati (2006) tentang “Hubungan pola asuh otoriter orang tua terhadap perilaku seksual remaja” yang membuktikan bahwa ada hubungan yang positif antara pola asuh otoriter orang tua dengan perilaku seksual remaja, yang berarti semakin otoriter pola asuh orang tua, maka perilaku seksual remaja akan semakin tinggi. Pola asuh permisif dapat diartikan sebagai pola perilaku orang tua dalam berinteraksi dengan anak, yang membebaskan anak untuk melakukan apa yang ingin dilakukan tanpa mempertanyakan. Pola asuh ini tidak menggunakan aturan-aturan yang ketat bahkan bimbinganpun kurang diberikan, sehingga tidak ada pengendalian atau pengontrolan serta tuntutan kepada anak (Hurlock, 2006). Sejalan dengan itu, Baumrind (2004) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh para remaja lebih cenderung disebabkan terlalu longgarnya pengawasan dan aturan aturan yang diterapkan oleh orang tua. Remaja akan cenderung terjerumus ke dalam perilaku seksual pranikah manakala adanya pengawasan yang kurang dari orangt uanya. Kebanyakan orang tua memang tidak termotivasi untuk memberikan informasi seks dan kesehatan pada remaja, sebab mereka takut hal ini justru meningkatkan terjadinya perilaku seks pranikah. Padahal anak yang mendapatkan pendidikan seks dari orang tua cenderung berperilaku seks lebih baik dari pada anak yang mendapatkan dari orang lain. 43 BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan 1. Pola asuh orangtua dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan pola asuh baik sebanyak 62 orang (58,5%) dan lebih sedikit dengan pola asuh tidak baik sebanyak 44 orang (41,5%). 2. Perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015 lebih banyak dengan perilaku seks bebas baik sebanyak 70 orang (66,0%) dan lebih sedikit dengan perilaku seks bebas tidak baik sebanyak 36 orang (34,0%).. 3. Terdapat hubungan pola asuh orangtua dengan perilaku seks bebas dikalangan remaja di Desa Lai Butar Kecamatan Gunung Meriah Tahun 2015. 6.2. Saran 1. Sebaiknya orang tua memberikan pola asuh yang baik terhadap anak remaja sehingga remaja tidak melakukan perilaku seks bebas. 2. Hendaknya orang tua lebih memperhatikan anak dalam memberikan pola asuh. 3. Hendaknya anak remaja tidak melakukan perilaku seks bebas dan meningkatkan kontrol diri untuk mampu menahan keinginan atau dorongan sesaat yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. 44 DAFTAR PUSTAKA Abm, “30% Mahasiswi Tak Perawan”, Radar Malang, 8 Desember 2009. Calhoun, Acocella. 1995. Psikologi Tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan. Terjemahan oleh Satmoko. Semarang: IKIP Semarang. Dariyo, Agoes. 2004. Perkembangan Remaja. Bogor. PT. Ghalia Indonesia. Daryanto, Tiffany. 2009. Hubungan antara Religius dengan Perilaku Seks bebas pada Mahasiswa Indekost di Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: Universitas Negeri Malang. Desmita. 2006. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Erwin J., Skripsiadi. 2005. Pendidikan Dasar Seks untuk Anak. Yogyakarta: Curiosita. Gunarsa, Singgih. 2004. Dari Anak Sampai Usia Lanjut: Bunga Rampai Psikologi Perkembangan. Jakarta: PT. BPK Gunung Mulia. Hurlock. E. B. 1980. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga. Hurlock. E. B. 1993. Perkembangan Anak: Jilid 2. Jakarta: Erlangga. Kartono, Kartini. 1995. Psikologi Remaja. Bandung. PT. Bandar Maju. Mufidah, Lilik. 2008. Hubungan Antara Kontrol Diri Dengan Perilaku Seks bebas Siswa SMKN 2 di Kota Malang. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UIN Malang. Notoadmodjo, S. 2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. ____________ , 2005, Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta, Jakarta. Nuranti Alifah, 2, Hubungan antara Komunikasi Orangtua – Remaja dengan Sikap Remaja Terhadap Hubungan Seksual Pranikah di SMA Kabupaten Purworejo, Tesis, Program Pascasarjana, FK UGM, Yogyakarta. 44 45 Putri F.A, 2012, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Seks bebas Pada Remaja SMA di Rengat Kabupaten Indragiri Hulu. Rachman W.A, 2008, Analisis Ketahanan Keluarga dalam Perilaku Seks bebas Remaja (Studi Kasus di Kota Ambon), Dosen FKM Universitas Hasanuddin Makassar, Jurnal Ilmiah Sinergi IPTEKS, LP3M Universitas Islam Makassar. Rakhmat, Jalaluddin. 2007. Psikologi Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya. Safitri Erlina, 2007, Hubungan Kontrol Diri Dengan Perilaku Seksual Remaja, Program Studi Psikologi Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Sarwono, Sarlito. W & Ami Siamsidar. 1986. Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Seks, Jakarta: CV Rajawali. Sarwono. 1991. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Press. Supratiknya, A. 1995. Komunikasi Antar Pribadi Tinjauan Psikologis. Yogyakarta: Kanisius. Susanti, Dini. 2002. Kontrol Diri dalam Perilaku Seks bebas MahasiswaUIIS Malang, Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UIIS Malang. Tanjung, A.et'al., 2001, Kebutuhan akan informasi dan pelayanan kesehatan Reproduksi Remaja. (online), (http://www/pkbi.or.id diakses 6 Agustus 2006). Uin, 2013, Hubungan antara Komunikasi Orang Tua-Anak Mengenai Seksualitas dan Kontrol Diri dengan Perilaku Seks Pranikah, Tesis, UIN, Malang, http://lib.uin-malang.ac.id /files /thesis/fullchapter/06410008.pdf Walgito, B. 2002. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Penerbit Andi. Widayanto, Arif. 2005. Studi Perilaku Seks Pra Nikah pada Siswa SMA Katolik Diponegoro Blitar. Skripsi (tidak diterbitkan). Malang: UMM Malang Wiendijarti I, 2011, Komunikasi Interpersonal Orang Tua-Anak dalam Pendidikan Seksual Remaja, Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pembangunan Nasional ’Veteran’Yogyakarta, Jurnal Ilmu Komunikasi, Volume 9, Nomor 3, September-Desember 2011 Zulkifli, L. 1992. Psikologi Perkembangan. Bandung: Remaja Rosdakarya. 46 KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN CARA ASUH ORANGTUA DENGAN PERILAKU SEKS BEBAS DIKALANGAN REMAJA DI DESA LAI BUTAR KECAMATAN GUNUNG MERIAH A. Indentitas Responden 1. Nomor 2. Umur 3. Jenis Kelamin : ……………. : ……………. : ……………. B. Pola Asuh Anak Berilah tanda (√) pada jawaban yang sesuai menurut saudara pada kolom disamping yang sudah tersedia. Pernyataan 1. Orangtua memberikan aturan-aturan, memberikan perhatian dalam rangka memenuhi kebutuhan, memberi perlindungan dan mendidik anak dalam kesehariannya. 2. Orangtua selama mengadakan pengasuhan bersifat mendidik, membimbing dan melindungi anak. 3. Kasih sayang orang tua baik dari ayah maupun ibu menciptakan ikatan yang erat dan kepercayaan dasar kepada anak 4. Orangtua membentuk dasar kepribadian anak menjadi kepribadian yang kokoh atau tangguh 5. Orangtua mengasuh anak kelihatan tidak cuek terhadap anak. 6. Orangtua mengasuh anak tidak bersifat pemaksaan, keras dan kaku dan tertekan 7. Orangtua memberikan kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak dengan sensor batasan dan pengawasan yang baik dari orangtua. 8. Orangtua cenderung senantiasa memberikan sesuatu yang diminta anak tetapi terkontrol. Ya Tidak 47 C. Perilaku Seks Bebas Berilah tanda (√) pada jawaban yang sesuai menurut saudara 1. Apakah anda pernah melakukan hubungan seksual? a. Ya b. Tidak 2. Saya dan pasangan suka mencari tempat-tempat sepi untuk bisa saling berciuman a. Ya b. Tidak 3. Saya mencium pasangan saya setiap kali kami bertemu a. Ya b. Tidak 4. Ketika sedang berkencan kami saling mencumbu satu sama lain a. Ya b. Tidak 5. Saya tidak menolak untuk diraba pada bagian tubuh saya yang sensitif a. Ya b. Tidak 6. Saya tidak menolak jika pasangan saya mencumbui saya a. Ya b. Tidak 7. Saat berduaan dengan pasangan, kami saling meraba daerah sensitif pasangan saya. a. Ya b. Tidak 8. Kami melakukan petting (saling menggesekkan alat kelamin) supaya sama-sama terangsang a. Ya b. Tidak 48 MASTER DATA PENELITIAN Pola Auh Orangtua Perilaku Seks Bebas NO 1 2 3 4 5 6 7 8 PTOT KK 1 2 3 4 5 6 7 8 PTOT PK 1 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 3 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 4 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 1 0 1 1 1 6 1 5 2 2 1 2 1 2 2 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 6 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 1 0 1 1 6 1 7 1 2 2 2 2 2 1 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 8 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 9 2 1 2 2 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 10 2 2 1 2 1 2 1 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 11 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 0 1 1 0 1 6 1 12 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 0 1 1 1 1 0 6 1 13 1 2 1 2 1 2 2 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 14 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 15 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 16 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 1 0 1 1 0 1 5 1 17 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 18 1 2 1 2 1 2 2 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 19 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 1 0 1 1 6 1 20 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 21 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 0 1 1 0 0 5 1 22 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 23 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 1 1 0 1 1 1 6 1 24 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 25 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 26 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 27 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 28 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 0 1 1 0 1 5 1 29 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 0 0 1 1 5 1 30 2 2 2 2 2 1 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 31 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 0 1 1 0 6 1 32 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 49 33 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 0 1 0 1 1 5 1 34 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 35 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 36 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 0 0 0 0 1 1 3 1 37 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 1 1 1 0 1 6 1 38 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 39 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 40 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 41 2 2 1 2 1 2 1 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 42 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 0 0 1 1 1 5 1 43 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 44 2 2 2 2 1 2 1 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 45 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 46 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 47 2 2 1 2 1 2 1 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 48 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 0 1 1 1 1 6 1 49 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 0 0 1 1 5 1 50 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 51 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 52 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 53 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 1 0 1 1 0 0 4 1 54 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 55 2 2 1 2 1 2 1 2 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 56 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 0 0 1 1 1 1 5 1 57 2 2 2 2 1 2 2 1 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 58 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 59 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 60 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 0 0 0 1 5 1 61 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 0 0 0 1 1 1 1 4 1 62 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 63 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 64 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 0 1 1 1 6 1 65 2 2 1 2 1 2 2 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 66 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 0 0 1 1 6 1 67 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 50 68 2 2 1 2 1 2 1 1 12 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 69 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 70 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 71 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 72 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 73 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 0 1 0 6 1 74 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 75 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 76 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 77 2 2 2 2 2 1 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 78 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 0 0 1 1 1 6 1 79 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 80 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 81 1 2 1 2 2 2 2 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 82 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 0 1 1 1 1 1 1 6 1 83 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 0 0 1 1 1 6 1 84 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 85 2 2 2 2 2 1 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 86 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 0 0 1 6 1 87 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 88 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 1 1 1 0 0 6 1 89 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 90 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 0 1 0 0 1 4 1 91 2 2 1 2 1 2 2 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 92 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 93 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 0 1 0 0 0 1 4 1 94 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 95 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 96 1 2 1 2 1 2 1 1 11 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 97 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 98 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 99 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 0 1 0 1 1 1 5 1 100 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 0 1 1 0 0 5 1 101 2 2 1 2 1 2 2 1 13 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 102 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 0 1 1 0 1 1 1 6 1 51 103 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 1 1 1 0 1 0 0 1 5 1 104 1 1 1 1 1 1 1 1 8 1 0 1 0 1 1 1 1 1 6 1 105 2 2 2 1 2 2 2 2 15 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 106 2 1 2 2 2 1 2 2 14 0 1 1 1 1 1 1 1 1 8 0 po1 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 57 53.8 53.8 53.8 2 49 46.2 46.2 100.0 106 100.0 100.0 Total po2 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 58 54.7 54.7 54.7 2 48 45.3 45.3 100.0 106 100.0 100.0 Total po3 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 65 61.3 61.3 61.3 2 41 38.7 38.7 100.0 106 100.0 100.0 Total po4 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 65 61.3 61.3 61.3 2 41 38.7 38.7 100.0 106 100.0 100.0 Total 52 po5 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 66 62.3 62.3 62.3 2 40 37.7 37.7 100.0 106 100.0 100.0 Total po6 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 60 56.6 56.6 56.6 2 46 43.4 43.4 100.0 106 100.0 100.0 Total po7 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 60 56.6 56.6 56.6 2 46 43.4 43.4 100.0 106 100.0 100.0 Total po8 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 1 66 62.3 62.3 62.3 2 40 37.7 37.7 100.0 106 100.0 100.0 Total Pola Asuh Orangtua Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent Baik 62 58.5 58.5 58.5 Tidak Baik 44 41.5 41.5 100.0 106 100.0 100.0 Total 53 pr1 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 8 7.5 7.5 7.5 1 98 92.5 92.5 100.0 106 100.0 100.0 Total pr2 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 11 10.4 10.4 10.4 1 95 89.6 89.6 100.0 106 100.0 100.0 Total pr3 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 12 11.3 11.3 11.3 1 94 88.7 88.7 100.0 106 100.0 100.0 Total pr4 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 16 15.1 15.1 15.1 1 90 84.9 84.9 100.0 106 100.0 100.0 Total pr5 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 15 14.2 14.2 14.2 1 91 85.8 85.8 100.0 106 100.0 100.0 Total 54 pr6 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 13 12.3 12.3 12.3 1 93 87.7 87.7 100.0 106 100.0 100.0 Total pr7 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 13 12.3 12.3 12.3 1 93 87.7 87.7 100.0 106 100.0 100.0 Total pr8 Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent 0 7 6.6 6.6 6.6 1 99 93.4 93.4 100.0 106 100.0 100.0 Total Perilaku Sek Bebas Frequency Valid Percent Valid Percent Cumulative Percent Baik 70 66.0 66.0 66.0 Tidak Baik 36 34.0 34.0 100.0 106 100.0 100.0 Total 55 Pola Asuh Orangtua * Perilaku Sek Bebas Crosstab Perilaku Sek Pranikah Baik Pola Asuh Orangtua Baik Count Tidak Baik 2 62 40.9 21.1 62.0 96.8% 3.2% 100.0% 10 34 44 29.1 14.9 44.0 22.7% 77.3% 100.0% 70 36 106 70.0 36.0 106.0 66.0% 34.0% 100.0% Count Expected Count % within Kontrol Diri Total Count Expected Count % within Kontrol Diri Total 60 Expected Count % within Kontrol Diri Tidak Baik Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square b Continuity Correction Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b N of Valid Cases Asymp. Sig. (2-sided) df a 62.916 59.658 71.011 1 1 1 Exact Sig. (2- Exact Sig. (1sided) sided) .000 .000 .000 .000 62.323 1 .000 106 a. 0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.94. b. Computed only for a 2x2 table .000