Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam

advertisement
Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam
Husein Muhammad
Keadilan adalah gagasan paling sentral sekaligus tujuan tertinggi yang diajarkan
setiap agama dan kemanusiaan dalam upaya meraih cita-cita manusia dalam
kehidupan bersamanya.
Abu Bakar al Razi (wafat 865 M), pemikir besar Islam pada masanya,
menegaskan, "Tujuan tertinggi kita diciptakan dan ke mana kita diarahkan
bukanlah kegembiraan atas kesenangan fisik, tetapi pencapaian ilmu
pengetahuan dan praktik keadilan." Jauh sebelumnya filsuf klasik Aristoteles
mengemukakan, "Keadilan adalah kebajikan tertinggi yang di dalamnya setiap
kebajikan dimengerti."
Dalam konteks Islam, sentralitas ide keadilan dibuktikan melalui penyebutannya di
dalam Al Quran lebih dari 50 kali dalam beragam bentuk. Di samping
menggunakan kata al ’Adl, kitab suci tersebut juga menggunakan kata lain
yang maknanya identik dengan keadilan, seperti al qisth, al wasath (tengah), al
mizan (seimbang), al sawa/al musawah (sama/persamaan), dan al matsil (setara).
Lebih dari itu keadilan menjadi nama bagi Tuhan dan tugas utama kenabian.
Teks-teks suci Islam yang di dalamnya disebut kata adil atau keadilan
memperlihatkan bahwa ia merupakan gabungan nilai moral dan sosial yang
menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesetaraan, kebajikan, dan
kesederhanaan. Nilai moral ini menjadi inti visi agama yang harus direalisasikan
manusia dalam kapasitasnya sebagai individu, keluarga, anggota komunitas,
maupun penyelenggara negara.
Antonim keadilan adalah kezaliman (al zhulm), tirani (al thugyan), dan
penyimpangan (al jawr). Hal ini menunjukkan keadilan memiliki dua sisi yang
harus diperjuangkan simultan: menciptakan moralitas kemanusiaan yang luhur
dan menghapuskan segala bentuk penderitaan.
Keadilan bagi perempuan
Keadilan secara umum didefinisikan sebagai "menempatkan sesuatu secara
proporsional" dan "memberikan hak kepada pemiliknya". Definisi ini
memperlihatkan, dia selalu berkaitan dengan pemenuhan hak seseorang atas
1/3
Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam
orang lain yang seharusnya dia terima tanpa diminta karena hak itu ada dan
menjadi miliknya.
Dalam konteks relasi jender, wujud pemenuhan hak atas perempuan masih
merupakan problem kemanusiaan yang serius. Realitas sosial, kebudayaan,
ekonomi dan politik masih menempatkan perempuan sebagai entitas yang
direndahkan. Persepsi kebudayaan masih melekatkan stereotipe yang
merendahkan, mendiskriminasi dan memarjinalkan mereka.
Satu-satunya potensi perempuan yang dipersepsi kebudayaan adalah tubuhnya.
Pandangan ini pada gilirannya mendasari perspektif kebudayaan tubuh
perempuan seakan sah dieksploitasi, secara intelektual, ekonomi dan seksual,
melalui beragam cara dan bentuknya di ruang privat maupun publik.
Laporan Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun
2006 yang membukukan 22.350 kasus kekerasan terhadap kaum perempuan.
Demikianlah perempuan masih menjadi korban kebudayaan yang dirumuskan
berdasarkan ideologi patriarkhis dan serba maskulin. Maka, keadilan bagi
perempuan tampak masih sebatas sebagai retorika. Lalu ke arah mana
perempuan korban ketidakadilan tersebut harus diakhiri?
Gagal memenuhi
Komunitas dunia sepakat, ketidakadilan harus diakhiri melalui diktum hukum,
termasuk fikih.
Hal yang diidealkan dari hukum adalah keputusannya memastikan tercapainya
keadilan substansial. Tetapi, produk perundangan dan fikih tidak selamanya
melahirkan keadilan bagi korban (perempuan).
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), misalnya, belum mengafirmasi keadilan bagi perempuan.
Dalam konteks Islam, menarik mengemukakan pandangan ahli hukum Islam
klasik; Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 1350 M). Dia mengatakan, tidak masuk akal
jika hukum Islam menciptakan ketidakadilan, meskipun dengan
mengatasnamakan teks ketuhanan. Jika ini terjadi, pastilah pemaknaan dan
rumusan hukum positif tersebut mengandung kekeliruan.
2/3
Kesetaraan Jender: Memaknai Keadilan dari Perspektif Islam
Dia juga mengatakan keadilan manusia harus diusahakan dari mana pun ia
ditemukan karena ia juga adalah keadilan Tuhan yang hanya untuk tujuan itulah
hukum Tuhan diturunkan. Dengan begitu, interpretasi dan pemaknaan atas teks
ketuhanan yang tidak mampu menangkap esensi keadilan harus diluruskan.
Pandangan ini juga bisa menjadi rujukan bagi hukum positif lain.
Suara korban
Kegagalan instrumen hukum memenuhi keadilan bagi perempuan lebih
disebabkan masih kokohnya pengaruh persepsi dan konstruksi kebudayaan
patriarkhis. Adalah niscaya di atas premis kebudayaan dan tradisi ini terminologi
hukum dan kebijakan publik, termasuk postulat fikih, harus dibangun.
Dari sinilah kita perlu membangun kembali makna keadilan berdasarkan konteks
sosial baru dan dengan paradigma keadilan substantif sebagaimana sudah
dikemukakan pada awal tulisan. Penyusunan makna keadilan bagi perempuan
dalam konteks ini harus didasarkan pada dan dengan mendengarkan
pengalaman perempuan korban. Pemenuhan keadilan bagaimanapun hanya
dapat tercapai jika kebudayaan dan tradisi masyarakat menunjukkan
pemihakannya kepada korban.
Hal lain yang lebih mendasar adalah pemaknaan keadilan bagi perempuan harus
didasarkan pada paradigma hak asasi manusia. Bagi saya, hak asasi manusia
bukan saja sejalan melainkan menjadi tujuan keputusan Tuhan.
Perempuan dalam paradigma ini memiliki seluruh potensi kemanusiaan
sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Dari sini konstruksi sosial baru yang
menjamin keadilan jender diharapkan lahir menjadi basis pendefinisian kembali
pranata sosial, regulasi, kebijakan politik, dan ekonomi, tidak terkecuali fikih.
Kesimpulan uraian di atas adalah keadilan bagi perempuan mutlak dimaknai
kembali sejalan dengan prinsip kemanusiaan, karena keadilan sendiri adalah
kemanusiaan.
Husein Muhammad Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
3/3
Download