JURNAL AGROTEKNOS Juli 2012 Vol.2. No.2. hal. 112-120 ISSN: 2087-7706 KARAKTERISTIK BAHAN INDUK TANAH DARI FORMASI GEOLOGI KOMPLEKS ULTRAMAFIK DI SULAWESI TENGGARA Characteristics of Soil Parent Materials Complex Ultramafic Geological Formations in Southeast Sulawesi SYAMSU ALAM1*), BAMBANG HENDRO SUNARMINTO2, SYAMSUL ARIFIN SIRADZ2 1 Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Halu 2 Oleo, Kendari. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian UGM, Jl. Flora, Bulaksumur, Yogyakarta 55281 ABSTRACT The research aiming to study the characteristics of the soil parent material ultramafic Complex Geologic Formations in the Southeast Sulawesi has been carried out in December 2010 to June 2011 . Fieldwork was conducted at two different locations, namely in the District Lasusua, North Kolaka and in the District Puriala, Konawe. Laboratory studies were conducted using thin section rock and extraction with concentrated acid extraction using HNO3 + HF to determine the mineral composition and chemical composition of total elemental rock. The research results showed that the type of host rock found commonly included peridotite and serpentinite group which were the main constituents of the rock group Ultarmafik complex geological formations. The dominant mineral found in rocks peridotite included olivine followed by some minerals such as antigorit accompaniment, enstantit, and hornblende, picotit, plagioclase feldspar and anthophyllit. The dominant mineral types found in serpentinite rocks included olivine and antigorit accompaniment followed by minerals such as enstantit, plagioclase feldspar and anthophyllit. Elemental composition of the rock group ultramafic complex geological formations were characterized by low contents of SiO2 and Al2O3 compared to other rocks, as well as contained relatively high MgO, CaO and Na2O. Kata Kunci : soil parent material, geologic formations, mineral composition, ultramafic, 1PENDAHULUAN Tanah merupakan media tumbuh bagi tanaman. Tanah terbentuk melalui proses pelapukan bahan baku tanah, dalam hal ini batuan sebagai bahan induk tanah mineral dan bahan organic sebagai bahan induk tanah organic. Batuan induk yang berbeda mempunyai komposisi mineral yang berbeda dan penting dalam proses pembentukan tanah (Sutanto, 2005; Irmak et al., 2007; Haumahu, 2009). Kecepatan proses pembentukan tanah sangat tergantung kepada ukuran butir dari bahan induk tanah. Semakin halus, semakin mudah mengalami proses pentanahan (Warmada dan Titisari, 2004). Corresponding author: [email protected] 1 Pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat tergantung kepada kandungan unsur hara dalam tanah. Unsur hara berasal dari proses mineralisasi dari pelapukan batuan membentuk tanah. Kecepatan pelepasan unsur hara dari batu sangat tergantung pada intensitas faktor-faktor yang mempengaruhi pelapukan, misalnya: suhu, curah hujan dan kelembaban (Buol et al., 1989; Kusdarto, 2006). Pulau Sulawesi dan pulau-pulau kecil di sekitarnya mempunyai kondisi geologi yang kompleks. Hal ini disebabkan kawasan Pulau Sulawesi merupakan tempat tumpukan aktif dari tiga lempeng yaitu Lempeng HindiaAustralia yang bergerak relatif ke arah utara, Lempeng Samudera Pasifik bergerak relatif ke barat, dan Lempeng Benua Eurasia yang relatif diam (Hutchinson, 1989). Tumbukan ketiganya mengakibatkan kawasan Pulau Vol. 2 No.2, 2012 Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium 113 Sulawesi mempunyai struktur geologi dan stratigrafi yang rumit, serta komposisi batuan yang beragam (Villeneuve et al., 2002). Kondisi geologi Pulau Sulawesi bagian barat berbeda dengan bagian timurnya. Bagian timurnya didominasi oleh dua kelompok besar batuan yang mempunyai asal berbeda yaitu batuan asal lempeng samudera (kepingan samudra) dan batuan asal lempeng benua (kepingan benua). Batuan asal samudera, yang diberi nama Lajur Ofiolit Sulawesi Timur (Simandjuntak, 1993) atau Kompleks Ofiolit Sulawesi, yang diduga berasal dari punggung tengah Samodra (midoceanic ridge) merupakan kompleks ofiolit terluas nomor tiga di dunia (Surono, 2010), yang didominasi oleh batuan ultramafik dan mafik serta sedimen pelagik. Daratan Sulawesi Tenggara yang terbentuk karena pengaruh lempeng Eurasia yang berbeda dengan Pulau Sumatera dan Jawa (pengaruh lempeng Indo-Australia) (Tailor, 2005), memiliki potensi batuan yang cukup bervariasi dengan sebaran formasi geologi yang cukup beragam dan umur yang berbedabeda dari sejak zaman/priode karbon (paleozoikum) hingga holosen (kuarter). Formasi geologi yang terbentuk pada era/masa Paleozoikum (255-203 juta tahun lalu) meliputi: Formasi Kompleks Mekongga/batuan malihan paleozoikum (Pzm), Pualam Paleozoikum (Pzmm), Batuan terobosan/intrusi (PTR). Pada era/masa Mesozoikum (182-127 juta tahun lalu) terbentuk: Formasi Meluhu (TRJm), Formasi Tokala/Laonti (TRJt), Kompleks Ultramafik (Ku), Formasi Matano (Km), serta Kompleks Pompangeo (MTpm). Di era/masa Kenozoikum/Tersier (58-12 juta tahun lalu) terbentuk: Formasi Salodik (Tems), Formasi Langkowala (Tml), Formasi Boepinang (Tmpb), Formasi Eemoiko (Tmpe), serta Formasi Pandua (Tmpp). Sementara di zaman Kuarter (1-0,5 juta tahun lalu) terbentuk: Formasi Alangga (Qpa), Formasi Buara/Terumbu Koral Kuarter (Ql) dan Aluvium (Qa). Setiap formasi tersebut memiliki susunan batuan tertentu. Formasi Ku (kapur/cretaceous: 127 juta tahun yang lalu) misalnya meliputi: harsburgit, dunit, sepentinit, gabro, peridotit, wherlit, dan basal (Rusmana et al., 1993; Simandjuntak et al., 1993). Sebaran jenis tanah yang terbentuk dapat saja berbeda meskipun pada bahan induk yang sama (Prokofyeva et al., 2011). Proses geogenesis dan pedogenesis dari enam belas formasi geologi tersebut yang dipengaruhi oleh faktor iklim dan topografi yang beragam, menghasilkan tujuh jenis tanah utama di Sulawesi Tenggara yaitu: Podsolik, Latosol, Mediteran, Alluvial, Regosol, Grumusol serta Organosol (Sub Direktorat Tata Guna Tanah, 1988); dengan sembilan asosiasi ordo tanah menurut Bakosurtanal (1988) yaitu: Entisol, Inceptisol, Alfisol, Ultisol, Oxisol, Mollisol, Vertisol, Histosol, dan Spodosol. Pengetahuan mengenai sifat dan ciri setiap batuan atau mineral di lapangan akan memudahkan dalam menduga kandungan unsur hara yang dominan dan sekaligus menentukan jenis pupuk yang diperlukan oleh tanah tersebut. Mengingat pentingnya batuan atau mineral tersebut dalam menunjang sistem kehidupan, maka pengetahuan tentang batuan atau mineral menjadi penting. Kaitan antara tanah dengan batuan di alam dapat dikatakan bahwa batuan yang sifatnya berbeda akan menghasilkan ciri tanah yang berbeda pada tahap awal perkembangan namun akan memiliki sifat yang sama pada tahap lanjut (Schaetzl dan Anderson, 2005). BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2010 hingga Juni 2011. Penelitian ini dilakukan di Propinsi Sulawesi Tenggara sebagai salah satu daerah yang memiliki sebaran batuan ultramafik yang cukup luas, dari duabelas kabupaten/kota yang ada, enam kabupaten diantaranya terdapat formasi geologi kompleks ultramafik yaitu : Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, dan Kabupaten Bombana. Penelitian lapangan ditetapkan pada dua lokasi berbeda yaitu Kabupaten Kolaka Utara dan Kabupaten Konawe berdasarkan pertimbangan kondisi iklim yang berpengaruh besar terhadap genesis batuan dan mineral yang terjadi. Selanjutnya dalam setiap kabupaten ditetapkan satu kecamatan sebagai lokasi penelitian yang memiliki landscape yang berkembang di atas batuan ultramafik. Kecamatan Puriala (Kabupaten Konawe) memiliki curah hujan rata-rata 800 mm tahun1 dengan suhu berkisar antara 31,4-33,2 °C, 114 SAFUAN DAN BAHRUN J. AGROTEKNOS termasuk regim kelembaban torrik. Kecamatan Lasusua (Kabupaten Kolaka Utara) memiliki curah hujan rata-rata 1.800 mm tahun-1 dengan suhu berkisar antara 23,4-26,3 °C, termasuk regim kelembaban udik. Jumlah profil pada setiap landscape ditentukan dengan menggunakan konsep katena (toposekuen) yaitu dengan membuat profil pewakil berdasarkan posisi di lereng (lereng atas, tengah dan lereng bawah) (Lee et al., 2003; Pai et al., 2007; Garnier et al., 2009; Graham and O’Geen, 2010). Penelitian laboratorium dilakukan di Laboratorium Teknik Geologi UGM dan Laboratorium Geokimia Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Yogyakarta. Analisis komposisi kimia total unsur batuan dianalisis dengan cara pengabuan basah dengan asam pekat Ekstraksi HNO3 + HF. Identifikasi komposisi mineral batuan induk ditentukan menggunakan irisan tipis (thin section) batuan. HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Batuan Induk Ultramafik berdasarkan Hasil analisis sayatan tipis batuan. Hasil identifikasi lapangan dan analisa petrografi sayatan tipis (thin section) batuan menunjukkan bahwa batuan induk sebagai bahan induk tanah yang terdapat di lokasi penelitian termasuk kelompok batuan beku ultramafik khususnya jenis peridotit dan serpentinit baik di daerah penelitian Puriala maupun Lasusua. Gambaran jenis batuan induk masing-masing profil pewakil di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 1. P2 P3 P1 Peridotit Serpentinit L1 Peridotit L2 Peridotit Serpentinit L3 Serpentinit Gambar 1. Foto batuan induk pada setiap profil di lokasi penelitian Hasil pengamatan petrografis sayatan tipis batuan induk dari masing-masing profil pewakil menunjukkan adanya perbedaan baik morfologi maupun komposisi mineral penyusunnya pada kedua lokasi penelitian. Lokasi penelitian Puriala hasil sayatan tipis batuan induk dari profil P1 menunjukkan warna abu-abu keputihan, tekstur granular, bentuk butir subhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral olivin, pyroxin, hornblenda, mineral bijih (mineral chromit dan mineral picotit) dan mineral feldspar plagioklas. Sayatan tipis batuan induk dari profil P2 menunjukkan warna abu-abu keputihan, tekstur granular, tampak olivin dilingkari (surrounded) oleh serpentin (antigorit) atau telah mengalami serpentinisasi, tampak hadir mineral bijih berupa chromit dan mineral feldspar plagioklas. Sayatan tipis batuan induk dari profil P3 mirip dengan P2 yaitu warna abuabu keputihan, tampak olivin dilingkari (surrounded) oleh serpentin (antigorit) atau telah mengalami serpentinisasi, tampak hadir mineral bijih berupa chromit namun tidak teridentifikasi adanya mineral feldspar plagioklas. Lokasi penelitian Lasusua hasil sayatan tipis batuan induk profil L1 menunjukkan warna abu-abu keputihan, tekstur granular, Vol. 2 No.2, 2012 Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium 115 mineral terdiri dari mineral olivin, pyroxin (surrounded) oleh serpentin (antigorit) atau (enstatit), serpentin (antigorit), amphibol telah mengalami serpentinisasi, terdapat (anthophyllit) serta mineral bijih (mineral pyroxin dari jenis orthopyroxin, mineral chromit). Sayatan tipis batuan induk profil L2 anthopyllit dan sedikit mineral bijih berupa mirip dengan L1 yaitu warna abu-abu chromit. Hasil analisis petrografis foto sayatan keputihan, tekstur granular, terdiri dari tipis batuan induk di lokasi penelitian mineral olivin, enstatit, antigorit, anthophyllit, disajikan pada Gambar 2. Matriks rekapitulasi chromit. Sayatan tipis batuan induk profil L3 komposisi mineral batuan induk disajikan menunjukkan warna abu-abu keputihan, pada Tabel 1. tekstur granular, tampak olivin dilingkari Lokasi Penelitian Puriala P1 P2 P3 Foto posisi nikol sejajar Hb Cr Pi Ol Cr PF Ol Ol PF Ag Ag Cr Et Foto posisi nikol silang Keterangan : Ol (olivin), Ag (antigorit), Et (enstatit), Hb (hornblenda), Cr (chromit), Pi (picotit), PF (plagioklas feldspar) Gambar 2a. Foto mikrograp hasil sayatan tipis batuan induk perbesaran 40x lokasi penelitian Puriala Hasil pemerian komposisi batuan ultramafik pada lokasi penelitian Puriala menggunakan irisan tipis (thin section) di bawah mikroskop polarisasi dengan posisi nikol silang dan nikol sejajar menunjukkan adanya mineral yang tak berwarna, bentuk subhedral-poligonal, ukuran mineral 0,08-0,9 mm, pecahan tidak teratur, relief sedang-tinggi, indeks bias n > nKb, bias rangkap kuat, diidentifikasi sebagai olivin. Jenis mineral lain tak berwarna-kehijauan pucat, kuning pucat, bentuk anhedral, ukuran 0,08-0,5 mm surrounded terhadap olivin, relief rendah, indeks bias n > nKb, bias rangkap lemah diidentifikasi sebagai antigorite (grup serpentine) yang telah mengalami serpentinized sebagai hasil ubahan dari olivin. Jenis mineral lain yang juga teridentifikasi adalah enstatite termasuk grup orthopyroxin, tak berwarna, bentuk subhedral-euhedral, ukuran mineral 0,2-0,3 mm, belahan relatif tegak lurus, relief tinggi, indeks bias n > nKb, bias rangkap lemah-sedang. Mineral hornblenda memiliki ciri warna coklatkecoklatan, bentuk sub hedral, ukuran 0,2-0,3 mm, belahan dua arah menyudut miring, relief sedang, indeks bias n > nKb, pleokroisme kuat. Kelompok mineral bijih yang diidentifikasi adalah chromite berwarna kehitaman-coklat gelap, kilap metal, bentuk subhedral, ukuran 0,1-0,4 mm, relief tinggi, indeks bias n > nKb. Picotite mirip chromite hanya warnanya lebih transparan, kilap metal, bentuk subhedral, ukuran 0,1-0,2 mm, relief tinggi, indeks bias n > nKb, juga merupakan mineral bijih. Jenis mineral lain yang teridentifikasi adalah plagioklas feldspar berwarna putih-abu abu, bentuk subhedral, ukuran 0,1-0,4 mm, relief 116 SAFUAN DAN BAHRUN J. AGROTEKNOS rendah-sedang, indeks bias n < nKb sampai n antigorite 60%, dan chromite 5%. Hasil > nKb. pemerian irisan tipis batuan ultramafik pada Komposisi batuan ultramafik pada profil P1 ini daerah penelitian profil P1 tergolong dalam menunjukkan mineral olivin 66%, enstatite grup peridotit menurut Walhastron (1958) 11%, hornblenda 6%, chromite 3%, picotite dalam Graha (1987), sedangkan profil P2 dan 2%, serta plagioklas feldspar 12%. Komposisi P3 tergolong dalam grup serpentinit. batuan ultramafik pada profil P2 ini Komposisi mineral batuan ultramafik dari menunjukkan mineral olivin 44%, antigorite lokasi penelitian Puriala menunjukkan variasi 42%, chromite 6%, dan plagioklas feldspar mineral yang cukup beragam dengan 8%. Komposisi batuan ultramafik pada profil persentase berbeda-beda baik pada batuan P3 ini menunjukkan mineral olivin 35%, peridotit maupun serpentinit. Lokasi Penelitian Lasusua L1 L2 L3 Foto posisi nikol sejajar Cr Ap Ag Cr Ol Et Ol Ag Ag Ap Cr Et Ol Ap Et Foto posisi nikol silang Keterangan : Ol (olivin), Ag (antigorit), Et (enstatit), Cr (chromit), Ap (anthophyllit) Gambar 2b. Foto mikrograp hasil sayatan tipis batuan induk perbesaran 40x lokasi penelitian Lasusua Hasil pemerian komposisi batuan ultramafik pada lokasi penelitian Puriala menggunakan irisan tipis (thin section) di bawah mikroskop polarisasi dengan posisi nikol silang dan nikol sejajar menunjukkan adanya mineral yang tak berwarna, bentuk subhedral-poligonal, ukuran mineral 0,1-0,4 mm, pecahan tidak teratur, relief sedangtinggi, indeks bias n > nKb, bias rangkap kuat, diidentifikasi sebagai olivin. Jenis mineral lain tak berwarna-kehijauan pucat, kuning pucat, bentuk anhedral, ukuran 0,1- 0,35 mm surrounded terhadap olivin, relief rendah, indeks bias n > nKb, bias rangkap lemah diidentifikasi sebagai antigorite (grup serpentine) yang telah mengalami serpentinized sebagai hasil ubahan dari olivin. Jenis mineral lain yang juga teridentifikasi adalah enstatite termasuk grup orthopyroxin, tak berwarna, bentuk subhedral-euhedral, ukuran mineral 0,2-0,3 mm, belahan relatif tegak lurus, relief tinggi, indeks bias n > nKb, bias rangkap lemah-sedang. Kelompok mineral bijih yang diidentifikasi adalah chromite berwarna kehitaman-coklat gelap, kilap metal, bentuk subhedral, ukuran 0,15-0,3 mm, relief tinggi, indeks bias n > nKb. Jenis mineral yang juga teridentifikasi adalah anthophyllite tak berwarna-abu abu pucat, bentuk mineral fibrous (menyerat), relief tinggi, indeks bias n > nKb, bias rangkap sedang, merupakan mineral dari grup amphibole dan biasanya merupakan hasil replacement dari pyroxin. Komposisi batuan ultramafik pada profil L1 ini menunjukkan mineral olivin 51%, enstatite 11%, antigorite 23%, chromite 1%, dan anthophyllite 14%. Komposisi batuan Vol. 2 No.2, 2012 Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium 117 ultramafik pada profil L2 ini menunjukkan mineral olivin 50%, enstatite 14%, antigorite 14%, chromite 2%, dan anthophyllite 20%. Komposisi batuan ultramafik pada profil L3 ini menunjukkan mineral olivin 31%, enstatite 9%, antigorite 48%, chromite 2%, dan anthophyllite 10%. Hasil pemerian irisan tipis batuan ultramafik pada daerah penelitian profil L1 dan L2 tergolong dalam grup peridotit menurut Walhastron (1958) dalam Graha (1987), sedangkan profil L3 ini tergolong dalam grup serpentinit. Hasil pengamatan secara mikroskopik batuan ultramafik dengan foto mikrograp batuan peridotit menunjukkan adanya olivin (>50%) yang merupakan mineral utama penyusun batuan peridotit (P1, L1 dan L2), sedangkan mineral lainnya merupakan mineral pengiring. Foto mikrograp batuan serpentinit (P2, P3, dan L3) menunjukkan kadar olivin yang rendah (<50%) karena telah mengalami proses serpentinisasi, serta terdapat antigorit (>40%) yang merupakan kelompok serpentin sebagai mineral utama penyusun batuannya, sedangkan mineral lain termasuk mineral pengiringnya. Perbedaan komposisi mineral batuan induk ini akan sangat mempengaruhi variasi karakteristik tanah yang terbentuk diatasnya. Hal senada diungkapkan oleh Olowolafe (2002), yang mengkaji perbedaan karakteristik tanah yang terbentuk dari bahan induk berbeda yaitu granite dan basalt menemukan adanya perbedaan karakteristik tanah yang dihasilkan termasuk input teknologi pengelolaan yang diperlukan untuk meningkatkan produktifitas tanahnya. Tabel 1. Jenis mineral penyusun batuan induk pada setiap profil pewakil di lokasi penelitian Komposisi Mineral (%) Profil Jenis Batuan Olivin Antigorit Enstatit Hornblenda Chromit Picotit Plagioklas Feldspar Anthophyllit P1 P2 P3 L1 L2 L3 Peridotit Serpentinit Serpentinit Peridotit Peridotit Serpentinit 66 44 35 51 50 31 42 60 23 14 48 11 11 14 9 6 - 3 6 5 1 2 2 2 - 12 8 - 14 20 10 Grim (1968) dalam Drits et al. (1995) mengatakan bahwa komposisi dan tekstur bahan induk sangat penting pada tahap awal pelapukan dalam pembentukan tanah, sedangkan Mohr et al. (1972) menambahkan pentingnya faktor struktur batuan terhadap laju pelapukannya. Menurut Grim (1968) dalam Drits et al. (1995), peran bahan induk tersebut akan semakin menurun dengan lamanya proses pelapukan berlangsung. Tanah yang mengandung kaolinit dan smektit keduanya dapat berkembang dari bahan induk yang sama di bawah kondisi iklim, topografi, dan waktu yang berbeda. Demikian pula pada tanah yang memiliki tipe mineral lempung yang sama dapat berasal dari bahan induk yang mempunyai komposisi dan tekstur berbeda, setelah mengalami pedogenesis cukup lama. Steila (1978) menambahkan bahwa lamanya proses pedogenesis tersebut bersifat relatif. Lingkungan pelapukan yang sangat kondusif untuk pelindian menyebabkan proses tersebut dapat dicapai dalam waktu yang relatif singkat (Muggler et al., 2007). Jenis batuan dan persentase komposisi mineral masing-masing batuan induk pada setiap profil di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2. Karakteristik Batuan Induk Ultramafik berdasarkan komposisi total unsur batuan. Hasil analisis komposisi kimia unsur batuan di laboratorium menunjukkan kandungan SiO2, Al2O3, Fe2O3, MgO, CaO, Na2O, K2O, MnO, TiO2 dan kandungan P2O5 dari kedua lokasi penelitian tidak jauh berbeda. Kandungan oksida-oksida unsur batuan di kedua lokasi penelitian serta beberapa hasil penelitian sebelumnya disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara hasil analisis batuan dari lokasi penelitian ini yaitu baik dari lokasi penelitian Lasusua maupun Puriala dengan hasil-hasil analisis komposisi kimia total unsur batuan ultramafik yang telah dilakukan peneliti sebelumnya, terutama dalam hal kandungan SiO2 dan MgO. Hasil kajian yang dilakukan menunjukkan bahwa adanya perbedaan ini sangat boleh jadi disebabkan 118 SAFUAN DAN BAHRUN J. AGROTEKNOS oleh perbedaan dalam teknik pengambilan sampel batuan, hal mana dalam penelitian ini sampel batuan diambil dari batu yang dijumpai dalam profil tanah paling dalam pada saat penggalian profil dilakukan, sehingga sampel batuan ini telah mengalami proses pelapukan (idealnya sampel batuan yang dianalisa adalah sampel batuan yang masih fresh/segar). Tabel 2. Jenis batuan dan komposisi mineral batuan induk pada setiap profil pewakil di lokasi penelitian Profil P1 Jenis Batuan Peridotit P2 Serpentinit P3 Serpentinit L1 Peridotit L2 Peridotit L3 Serpentinit Komposisi mineral 1. Olivine 2. Enstatite (orthopyroxin) 3. Hornblenda 4. Chromite (mineral bijih) 5. Picotite (mineral bijih) 6. Plagioklas Feldspar 1. Olivine 2. Antigorite (serpentine) 3. Chromite (mineral bijih) 4. Plagioklas Feldspar 1. Olivine 2. Antigorite (serpentine) 3. Chromite (mineral bijih) 1. Olivine 2. Enstatite (orthopyroxin) 3. Antigorite (serpentine) 4. Chromite (mineral bijih) 5. Anthophyllite (amphibole) 1. Olivine 2. Enstatite (orthopyroxin) 3. Antigorite (serpentine) 4. Chromite (mineral bijih) 5. Anthophyllite (amphibole) 1. Olivine 2. Enstatite (orthopyroxin) 3. Antigorite (serpentine) 4. Chromite (mineral bijih) 5. Anthophyllite (amphibole) Jumlah (%) 66 11 6 3 2 12 44 42 6 8 35 60 5 51 11 23 1 14 50 14 14 2 20 31 9 48 2 10 Tabel 3. Hasil analisis komposisi kimia total unsur batuan induk di lokasi penelitian serta beberapa hasil penelitian sebelumnya K2O MnO TiO2 P2O5 H2O 7,31 7,87 0,08 3,46 2,22 9,82 6,83 19,83 19,33 39,33 34,02 34,75 8,65 4,72 5,57 5,36 0,10 0,56 0,17 3,22 3,30 0,42 0,41 0,20 0,25 0,45 1,43 2,76 0,11 0,12 0,10 0,21 0,11 0,13 0,23 0,31 0,34 0,03 0,81 0,02 2,00 1,02 0,13 0,23 0,02 0,05 0,76 0,48 0,43 5,34 0,27 1,68 0,74 13,8 0,76 10,3 3,98 2,36 1) Present study; 2) TKU Sulsel, 2007; 3) Nockolds, 1954 cit Graha, 1987 Anda et al., 2008 HD Na2O 7,60 8,72 7,78 2,51 8,05 18,6 10,1 MgO 3,12 3,83 0,88 3,99 1,67 12,9 17,8 CaO 48,98 51,23 37,76 43,54 39,12 43,42 52,30 3 Fe2O Lasusua1 Puriala1 TKU Sulsel2 Peridotit3 Serpentinit4 Basalt4 Andesit4 Al2O3 Sampel SiO2 Komposisi unsur (% berat) ; 4) Paramananthan, 1977 cit Vol. 2 No.2, 2012 Pengaruh Bahan Organik Dan Pupuk Kalium 119 Kandungan MgO yang relatif rendah (19,33-19,83%) yang diperoleh dalam penelitian ini dibandingkan hasil yang diperoleh Tim Kajian Ultrabasa Sulawesi Selatan (2007) sekitar 39,33%, karena sampel batuan yang sudah setengah melapuk sehingga unsur Mg termasuk kation yang mobilitasnya tinggi dan mudah larut pada saat proses pelapukan terjadi sudah berkurang dalam batuan. Sebaliknya kandungan Al2O3 yang relatif tinggi dalam penelitian ini disebabkan unsur ini termasuk kation bermobilitas rendah yang relatif tahan terhadap pelapukan meskipun batuan termasuk setengah melapuk. Hasil analisis komposisi kimia batuan ultramafik menunjukkan bahwa kandungan MgO batuan yang cukup tinggi sebagai penciri utama batuan ultramafik (Peridotit, Serpentinit, Harsburgit, Websterit Olivin) (Sunarminto, 2000), yang berbeda dengan kandungan MgO batuan basa (basalt) dan batuan intermedit (andesit) (Graha, 1987; Anda et al., 2008). Peridotit dan serpentinit merupakan batuan ultramafik yang paling banyak ditemukan di Indonesia. Batuan kelompok ini sekalipun banyak mengandung Mg dan Fe, akan tetapi karena kekurangan K dan Ca, akan membentuk tanah yang kurang subur. Batuan serpentinit menghasilkan tanah yang lebih miskin karena tingginya konsentrasi Ni dan Cr (Shah et al., 2010). Namun dipandang dari segi pertambangan menurut Darmawijaya (1997), batuan ini merupakan sumber industri besi dan baja yang juga mengandung nikel dan krom yang cukup tinggi. SIMPULAN 1. Jenis batuan induk yang ditemukan umumnya termasuk kelompok peridotit dan serpentinit yang merupakan penyusun utama dari kelompok batuan formasi geologi Kompleks Ultarmafik di lokasi penelitian. 2. Jenis mineral dominan yang ditemukan pada batuan peridotit meliputi olivine yang diikuti dengan beberapa mineral pengiring seperti antigorit, enstantit, serta hornblende, picotit, plagioklas feldspar dan anthophyllit. 3. Jenis mineral dominan yang ditemukan pada batuan serpentinit meliputi olivine dan antigorit yang diikuti dengan mineral pengiring seperti enstantit, plagioklas feldspar dan anthophyllit. 4. Komposisi unsur batuan dari kelompok formasi geologi Kompleks Ultramafik selain dicirikan kadar SiO2 dan Al2O3 yang rendah jika dibandingkan batuan lain, juga memiliki kandungan MgO, CaO dan Na2O yang relatif tinggi. DAFTAR PUSTAKA Anda, M., J. Shamshuddin, C.I. Fauziah, and S.R. Syed Omar. 2008. Mineralogy and Factors Controlling Charge Development of Three Oxisols Developed from Different Parent Materials. Geoderma 143:153–167. Bakosurtanal. 1988. Peta/Legenda Land System and Land Suitability 1:250.000 Lembar Larompong Sulawesi 2112 dan Raha Sulawesi 2211. RePPProT Series. Cibinong Bogor. Buol, S.W., F.D. Hole, and R.J. Mc Cracken. 1989. Soil Genesis and Classification. Iowa State Universty Press. Ames Iowa. 360p. Darmawijaya, M.I. 1997. Klasifikasi Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 411p. Drits, V.A. G. Besson and F. Muller. 1995. An Improved Model for Structural Transformations of Heat-Treated Aluminous Dioctahedral 2:1 Layer Silicates. Clay and Clay Minerals. 43(6):718-731. Garnier, J., C. Quantin, E. Guimarães, V.K. Garg, E.S. Martins, and T. Becquer. 2009. Understanding the Genesis of Ultramafik Soils and Catena Dynamics in Niquelândia, Brazil. Geoderma 151:204–214. Graha, D.S. 1987. Batuan dan Mineral. Nova. Bandung. 259p. Graham, R.C. and A.T. O'Geen. 2010. Soil Mineralogy Trends in California Landscapes. Geoderma 154:418–437. Haumahu, J.P. 2009. Mineral pada Tanah yang Terbentuk dari Batuan Andesit dan Bahan Lepas di Desa Hative Besar. Jurnal Budidaya Pertanian. 5(2):74-80. Hutchison, C.S. 1989. Geological Evolution of Southeast Asia. Oxford Monograph on Geology and Geophysics no. 13. 368p. Irmak, S., A.K. Surucu and I.H. Aydogdu. 2007. Effect of Different Parent Material on the Mineral Characteristics of Soil in the Arid 120 SAFUAN DAN BAHRUN Region of Turkey. Pakistan Journal of Biological Sciences 10:528-536. Kusdarto. 2006. Potensi Agromineral di Indonesia Salah Satu Alternatif Pengganti Pupuk Buatan. Subdit Mineral Non Logam, Direktorat Inventarisasi Sumber Daya Mineral, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Jakarta. Lee, B.D., S. K. Sears, R. C. Graham, C. Amrhein, and H. Vali. 2003. Secondary Mineral Genesis from Chlorite and Serpentine in an Ultramafik Soil Toposequence. Soil Sci. Soc. Am. J. 67:1309–1317. Mohr, E.J.C., F.A. van Baren, and J. van Schuylenborgh. 1972. Tropical Soils. A Comprehensive Study of Their Genesis. Geuze Dordrecht. Netherlands. 481p. Muggler, C.C., P. Buurman, and Jan D.J. van Doesburg. 2007. Weathering Trends and Parent Material Characteristics of Polygenetic Oxisol from Minas Gerais, Brazil: I. Mineralogi. Geoderma 138:39-48. Olowolafe, E.A. 2002. Soil Parent Materials and Soil Properties in Two Separate Catchment Areas on the Jos Plateau, Nigeria. Geojournal, 56(3):201-212. Pai, C.-W., M.-K. Wang, and C.-Y. Chiu. 2007. Clay Mineralogical Characterization of a Toposequence of Perhumid Subalpine Forest Soils in Northeastern Taiwan. Geoderma 138:177–184. Prokofyeva, T.V., I.A. Martynenko, and F.A. Ivannikov. 2011. Classification of Moscow Soils and Parent Materials and Its Possible Inclusion in the Classification System of Russian Soils. Eurasian Soil Science. 44(5):561-571. Rusmana, E., Sukido, D. Sukarna, E. Haryanto, dan T.O. Simandjuntak. 1993. Keterangan dan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi. Bandung. Schaetzl, R. and S. Anderson. 2005. Soils Genesis and Geomorphology. Cambridge University Press. New York. 817p. J. AGROTEKNOS Shah, M.T., S. Begum and S. Khan. 2010. Pedo and Biogeochemical Studies of Mafic and Ultramfic Rocks in the Mingora and Kabal Areas, Swat, Pakistan. Environ Earth Sci. 60:1091–1102. Simandjuntak, T.O. 1993. Neogene Plate Cenvergence in Eastern Sulawesi. J. Geol. SD Min. (20) 2:2-32. Simandjuntak, T.O. Surono, dan Sukido. 1993. Keterangan dan Peta Geologi Lembar Kolaka, Sulawesi Skala 1:250.000. Puslitbang Geologi. Bandung. Sub Direktorat Tata Guna Tanah. 1988. Peta Jenis Tanah Propinsi Sulawesi Tenggara Skala 1:500.000. Direktorat Agraria. Sunarminto, B.H. 2000. Genesis Oxisol dan Ultisol di Atas Batuan Dunit (Ultrabasis) di Daerah Malili, Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. 2(1):43-52. Surono. 2010. Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Publikasi Khusus, Badan Geologi KESDM. 161p. Sutanto, R. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 208p. Taylor, B. 2005. Batuan, Mineral, dan Fosil. Erlangga. Jakarta. 120p. Tim Kajian Ultrabasa. 2007. Kajian Potensi Batuan Ultramafik Di Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Untuk Menanggulangi Emisi Karbondioksida. Kelompok Program Penelitian Mineral. Pusat Sumber Daya Geologi. Bandung. Warmada, I.W. dan A.D. Titisari. 2004. Agromineralogi (Mineralogi untuk Ilmu Pertanian). Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik UGM. Yogyakarta. 76p. Villeneuve, M., W. Gunawan, J-J. Cornee and O. Vidal. 2002. Geology of the Central Sulawesi Belt (Eastern Indonesia): Constraints for Geodynamic Models. Int J Earth Sci (Geol Rundsch). 91:524–537.