FILSAFAT ILMU.rtf

advertisement
FILSAFAT ILMU
I.
LANDASAN KEFILSAFATAN
1. Ciri – Ciri Ilmu
Ilmu – ilmu timbul dari dunia mitikal yang pra – ilmiah, ilmu dan
mitos dua – duanya memberikan penjelasan – penjelasan atas kejadian –
kejadian biasa dan kejadian – kejadian yang tidak biasa. Selain itu, mitos
melakukan lebih banyak lagi; ia memberikan aturan – aturan untuk
masyarakat, kultus (keagamaan) dan perilaku manusia.
Mitos mencakup suatu keseluruhan cerita – cerita, lambang –
lambang dan ritus – ritus yang memberikan pemahaman tentang kekuatan –
kekuatan asing yang menguasai manusia dan kosmos; di dalamnya mereka
menyajikan “penjelasan – penjelasan ” perkenaan dengan dengan hidup dan
mati, terjadinya dunia.
Pengalaman mitikal atas dunia juga mengenal sesuatu seperti
hukum-hukum, sama kaidah-kaidah itu memiliki sesuatu dari hukum-hukum
alam yang kemudian, tetapi sekaligus berfungsi sebagai sejenis kaidahkaidah kesusilaan dalam hubungan kosmik. Demikianlah Heraklitus (abad
keenam sebelum Masehi), seorang filsuf Yunani, menulis bahwa Matahari
menurut hakikatnya menempuh suatu jalur (orbit) tertentu, namun
menambahkan padanya bahwa jika Matahari menyimpang dari jalurnya,
maka hal itu akan dihukum oleh kekuatan-kekuatan supranatural (dewadewa). "Hukum" dalam arti "hukum alam" dan dalam arti "kaidah" di sini
masih saling bercampur. Ciri khas dari ilmu modern justru memisahkan hal
itu secara tajam yang satu dari yang lainnya. Ilmu menyajikan hukum dalam
arti penjelasan, tetapi tidak dalam arti aturan (perintah); untuk itu ada Etika.
Sebagaimana berikutnya akan dijelaskan, dalam zaman modem muncul
1
pertanyaan apakah pemisahan secara tajam ini antara "penjelasan"
(verklaring) dan "peraturan" (voorschrift), antara teori dan etika.
Penjelasan mitikal atas kejadian-kejadian itu terjadi terutama lewat
cerita-cerita dan pengungkapannya dalam tarian, ritus dan lambang-lambang
yang dilukiskan atau diukir. Penjelasan ilmiah menjelaskan tidak dengan
cerita-cerita, melainkan dengan pengamatan-pengamatan dan eksperimeneksperimen yang dalam asasnya terbuka bagi tiap orang, yang dapat
dikontrol, yang berfungsi dalam suatu kerangka atau jaringan (jejaring,
network) teori-teori. Ilmu tidak memiliki karakter ritual.
Ilmu membedakan diri tidak hanya dari suatu gambaran dunia prailmiah, melainkan juga dari pengalaman hidup non-ilmiah atau pengalaman
hidup luar-ilmu atau luar-ilmiah (buiten-wetenschappelijke levenservaring).
Yang disebut terakhir, sebagai common sense atau akal sehat manusia,
seringkali dapat memberikan pemaparan-pemaparan yang tepat-sasaran dan
penjelasan-penjelasan yang tepat. Seorang ibu menjelaskan perilaku dari
anaknya kadang-kadang lebih baik ketimbang psikolog anak.
Namun semuanva itu tidak meniadakan pembedaan, dan jarak,
antara pengetahuan praktikal sehari-hari dan pengetahuan dari ilmu.
Pengetahuan
dalam
kehidupan
sehari-hari
menengarai
atau
mengkarakterisasi diri dengan keterlibatan dari pribadinya pada tindakantindakannya sendiri. Sedangkan seorang ilmuwan, jika awalnya baik, juga
sangat terlibat pada apa yang ia lakukan dan teliti.
Kekuatan dari pengetahuan ilmiah justru terletak dalam kemampuan
untuk mengabstraksi. Atau dirumuskan secara agak menyederhanakan
(simplistik): kekuatan dari akal sehat manusia sehari-hari justru terletak
dalam mengenali dan dapat merasakan pribadi-pribadi, urusan-urusan dan
peristiwa-peristiwa yang konkret; dan kekuatan dari mengetahui secara
ilmiah terletak dalam kemampuan untuk mengabstraksi, untuk baru dari
sana menempatkan gejala-gejala yang konkret.
2
2. METODE ILMIAH DAN KENYATAAN
Ilmu adalah penguasaan keahlian dan/atau kemahiran khusus dalam
bidang tertentu (vakmanschap): orang harus mempelajari bagaimana
caranya ia harus bekerja atau mengerjakan sesuatu, jalan apa yang harus
ditempuh. Perkataan "metode" adalah sebuah perkataan yang berkaitan
dengan perkataan "jalan". Hal itu berlaku untuk banyak bidang;
Metode tersebut, butir yang pertama, mengenal seperangkat "aturan
main" yang berlaku ajeg yang menyandang sifat tertutup: tidak boleh
mengandung pertentangan-pertentangan atau penyimpangan-penyimpangan
prinsip!. Jadi, aturan-aturan main ini lebih bersifat rasional atau teoretikal
ketimbang bersifat praktikal.
Melainkan merupakan suatu kaidah logikal dan formal. Ilmu-ilmu
Formal ini sebenamya adalah metode murni dan mereka juga memang
bekerja sebagai kerangka metodikal dalam banyak ilmu, baik dalam Ilmuilmu Alam maupun dalam Ilmu-ilmu Sosial. Terutama bagi Ilmu Alam,
tampak Matematika banyak kecocokannya.
Butir kedua yang menengarai (menjadi ciri khas bagi) metode,
adalah transformasi (pengubahan) secara sistematikal bahasa biasa dan
pengamatan sehari-hari. Kata-kata yang dalam bahasa sehari-hari digunakan
dengan cara yang berbeda-beda, di dalam suatu ilmu memperoleh satu arti
yang diletakkan (dirumuskan) dalam sebuah definisi yang dipaparkan secara
cermat.
Butir ketiga adalah alat-alat kerja dan instrumen-instrumen:
laboratorium dengan instrumentariumnya, formulir-formulir yang sudah
cercetak untuk angket, komputer, layar radar, termometer untuk mengukur
panas badan.
Butir keempat adalah pengaruh dari sebuah teori. demikianlah
terdapat suatu peningkatan derajat penguasaan secara rasional dalam teori
3
ilmiah: dari observasi ke pembentukan pengertian, yang dalam hal ini
definisi-definisi memainkan peranan, dan dengan itu sampai pada
perumusan hukum-hukum yang meletakkan hubungan-hubungan di antara
pengertian-pengertian (peredaran atau orbit planet-planet, massa, daya-tarik,
saling berkaitan dalam hukum gravitasi). Ini kemudian sampai pada teori
umum yang memberikan penjelasan-penjelasan untuk suatu keseluruhan
bidang dari kenyataan itu
Ilmu ternyata melalui jalan ini (metode) telah menimbulkan
pengaruh yang besar terhadap kenyataan. Hal itu terutama terjadi melalui
abstraksi. Pertama-tama karena sebuah ilmu terbawa oleh hakikatnya
mendekati satu aspek tertentu dari kenyataan konkret: aspek materi yang
tidak hidup (antara lain Fisika, Kimia Anorganik), yang biotik atau yang
hidup (Biologi, Kimia-biologi), aspek psikis, aspek sosial, dan sebagainya.
Bagaimana
terjadinya
penguasaan
intelektual
(pemahaman),
kekuasaan rasional ini, atas kenyataan konkret, tentang hal itu pandanganpandangan berbeda-beda (terdapat perbedaan pendapat). Pandangan yang
paling langsung dan sederhana adalah bahwa ilmu menggambarkan
kenyataan, pada akhirnya, persis sebagaimana keadaannya. Wama-warna
secara faktual hanyalah getaran-getaran elektromagnetik.
Tiap
ilmu
dengan
demikian
memiliki
suatu
gambaran
"obyektivistik" sendiri tentang dunia dan jika hal ini (petabumi-nya)
dipandang sebagai kenyataan. Pandangan ini disebut "scientisme".
Scientisme membiarkan dunia konkret seluruhnya terhisap ke dalam
penjelasan-penjelasan dari ilmu-ilmu. Pandangan kedua memandang ilmu
tidak sebagai sebuah pengungkapan (pencerminan dari) "kenyataan
sesungguhnya", melainkan lebih sebagai sebuah pendekatan terhadap dunia
konkret. Karena itu, orang juga berbicara tentang teori-teori ilmiah sebagai
model-model yang berupaya untuk memetakan kenyataan (menggambarkan
kenyataan dalam peta).
4
Aliran ketiga memandang teori-teori ilmiah dan kebenarankebenaran ilmiah sebagai alat-alat atau instrumen-instrumen untuk sampai
pada penemuan keterberian-keterberian (data tersaji) dan penerapanpenerapan baru ilmu bukan sebagai penggambaran sesungguhnya atau
sebagai model-model pendekatan, mamkan sebagai instrumen. Itu sebabnya
timbul istilah "instrumentalisme".
Kelompok pandangan-pandangan keempat menolak pikiran bahwa
ilmu adalah penggambaran yang benar, atau suatu pendekatan yang baik,
atau instrumen yang tepat.
Metode dari sebuah ilmu mengabdi (memiliki komitmen) pada
kebenaran, dalam teori pengetahuan kefilsafatan (Epsitomologi), realisme
berhadap – hadapan dengan idealisme. Idealisme mau meningkatkan bahwa
bukan kenyataan yang menentukan apa yang menjadi metode, melainkan
metode menentukan apa yang menjadi kenyataan. Realisme meletakkan titik
berat (Aksen) pada kenyataan.
Beberapa Aliran Kefilsafatan Modern
a. Positivisme
Yang dimaksud dengan ilmu-ilmu "positif' adalah ilmu-ilmu
yang hanya bertolak semata-mata dan fakta-fakta yang dapat
dikonstatasi dan dari situ dapat sampai pada keajegan-keajegan yang
dapat dikontrol secara logikal. Pada abad yang lalu (abad 19), pemikir
Perancis August Comte merancang sebuah sistem akbar filsafat "positif.
Di dalamnya, ilmu-ilmu, khususnya yang bekerja berdasarkan metodemetode ilmu alam. mewujudkan titik tertinggi dalam perkembangan
kultur manusia.
5
b. Filsafat Hermeneutik.
Jika aliran-aliran positivistik mengacu terutama pada Ilmu Alam,
maka Filsafat Hermeneutik sebaliknya lebih terarah pada Ilmu
Kerokhanian (Geisteswissenschaft). Ilmu-ilmu ini tidak pertama-tama
akan mengobservasi dan merumuskan keajegan-keajegan pada gejalagejala lahiriah, melainkan mencoba untuk menunjukkan makna dari
peristiwa-peristiwa (antara lain dalam Ilmu Sejarah) dan untuk
menginterpretasi teks-teks (Ilmu Sastera).
c. Strukturalisme
Orang dapat menggambarkan sebuah struktur sebagai sejenis
cetak-biru (blue-print), atau sebagai sebuah jaringan kotak-kotak (vakjes)
yang ke dalamnya gejala-gejala tidak hanya cocok, melainkan mereka
juga dengan itu dapat dijelaskan. Demikianlah pada suku-suku bangsa
tertentu terdapat (berlaku) aturan-aturan untuk mengawinkan keluar
(uithuwelijken): seorang gadis misalnya tidak boleh kawin dengan jejakajejaka yang dalam derajat pertama mempunyai hubungan darah dengan
saudara-saudara laki-laki dari pihak ibu. Jika orang menggambarkan
hubungan-hubungan yang rumit demikian itu pada sehelai kertas, maka
orang akan memperoleh percabangan-percabangan dari hubunganhubungan yang diizinkan dan yang tidak diizinkan. Atas dasar itu
maka seorang peneliti dapat meramalkan perkawinan-perkawinan
mana akan dilangsungkan dan mana yang tidak akan dilangsungkan.
Contoh ini diambil dari Antropologi Budaya, yang dalam
lingkungan disiplin ini Cl. Levi-Strauss berupaya untuk menjelaskan
keseluruhan kultur dari sudut struktur-struktur dalam, mulai dari
hubungan-hubungan perkawinan sampai pada buku-buku resep makan.
6
d. Holisme dan Teori Sistem
Menunjuk
pada
Holisme,
perkataam
“Keseluruhan”
“keseluruhan adalah lebih ketimbang jumlah dari bagian – bagian.” Para
empirisis (seperti Locke) rnengajarkan bahwa semua pengetahuan
berlandaskan pengamatan inderawi (empiri). Para rasionalis (seperti
Descartes, Leibniz) mengajarkan bahwa tidak mungkin ada pengetahuan
tanpa bekerjanya pengertian-pengertian akal-budi (verstandsbegrippen)
yang sudah ada terlebih dahulu. Dalam Filsafat Ilmu dewasa ini, akalbudi dan indera, atau teori dan keterberian pengalaman, dua-duanya
saling berjalin.
Butir kesesuaian ketiga adalah wawasan dinamik atas ilmu yang
terdapat pada semua aliran termaksud. Ilmu adalah bukan kebenaran
bebas-waktu (jadi kebenaran ilmu itu terikat pada waktu), dan bahkan
Popper, yang masih termasuk paling dekat pada pandangan tradisional
Kebanyakan berpendapat bahwa sejarah memainkan peranan
sangat penting: gambaran-gambaran dunia secara ilmiah, paradigmaparadigma, cakrawala-cakrawala saling mengikuti yang satu dari yang
lainnya. Justru relativisasi ini membuat menjadi jelas bahwa ilmu tidak
memiliki kebenaran yang berlaku untuk selamanya, melainkan tiap kali
ilmu harus memperbaharui dan tiap kali harus merumuskan dengan cara
lain. Justru karena pengetahuan manusia sendiri berubah dan kenyataan
tidak dapat dipaparkan di luar pengetahuan ini - bukankah terdapat.
Orang tidak dapat bertolak secara sepihak dari pengalaman
inderawi (empirisisme) dan juga tidak dapat hanya semata-mata dari
konstruksi akal-budi (rasionalisme). Di dalam ilmu dua-duanya saling
terjalin. Hal itu juga terjadi karena ilmu tidak mempelajari obyek-obyek
atau keadaan yang terisolasi, melainkan gejala-gejala hanya dapat
diketahui dari sudut perkaitan.
7
II. METODOLOGI
Berabad – abad orang telah memimpikan atau bermimpi tentang satu
metode ilmiah yang universal. Suatu metode ilmiah yang demikian itu, sering
dipandang sebagai jenis ilmu pasti atau matematika (yang disebut mathesis
universalis).
Pada abad tujuh belas dan delapan belas banyak pakar atau ilmuan
berupaya untuk menciptakan suatu “Ensiklopedia” dari ilmu – ilmu yang
mencakup semua ilmu, sebuah atlas.
Pada zaman yang lebih baru para Penganut Positivisme Logika
memprogandakan suatu unified science (ilmu yang dipersatukan, ilmu tunggal).
Penggolongan (klasifikasi) ilmu-ilmu yang paling terkenal adalah yang
membedakan antara Ilmu-ilmu Alam (Naturwissenschaften) dan Ilmu-ilmu
Kerokhanian (Ilmu-ilmu Manusia, Geisteswissenschaften). Ilmu dengan satu
metode universal adalah mustahil karena di dalam kenyataan itu sendiri terdapat
suatu perbedaan yang jelas antara mated dan roh, antara badan dan jiwa. Ilmuilmu Alam dapat dengan sangat baik memaparkan sisi materiil (fisikal, fisik)
dari dunia, tetapi tidak memadai untuk memahami kehidupan kerohanian (roh
manusia, kultur immaterial).
Apakah metode dari Ilmu-ilmu Alam itu? gejala-gejala (misalnya
perilaku zat-zat kimiawi) berdasarkan sebab-sebab dari mereka. Hal
"menjelaskan" ini (penulis-penulis Jerman memberikan relasi-relasi kausal
(sebab-musabab) untuk menjelaskan suatu peristiwa. Kekuatan dari penjelasanpenjelasan yang demikian itu terletak dalam keajegan-keajegan yang orang
dapat temukan. Air, pada tekanan udara biasa, mendidih pada 100 derajat
Celcius; itu selalu berlaku. Air itu sendiri terbangun oleh zat air (hidrogen,
waterstof) dan zat asam (oksigen, zuurstof); itu juga adalah suatu klaim umum.
Ilmu-ilmu Kerokhanian harus bekerja dengan cara lain. Teori gaya-berat
memberikan penjelasan umum tentang gejala-gejala dan berlaku di semua
8
bagian dunia. Namun orang tidak pernah dapat menderivasi suatu kaidah
kesusilaan dari dalamnya; pedoman-pedoman kesusilaan kadang-kadang bahkan
melawan atau bertentangan dengan tendensi kemasyarakatan umum tuntutan
untuk melindungi orang-orang yang iemah adalah tidak sejalan dengan aturan
biologikal yang lebih materiil dari hukum (hak) dari orang yang terkuat atau
survival of the fittest. Penjelasannya tidak terletak dalam hukum-hukum kausal
umum, melainkan dalam hal mengerti (begrijpeti) motivasi-motivasi, ideal-ideal
atau cita-cita yang hidup dalam manusia, perasaan keadilan atau perasaan
hukum, cinta, rasa kasihan atau iba.
Ilmu sejarah sebagai ilmu kerokhanian akan harus cukup menjelaskan,
meniliti keajegan- keajegan dan menata relasi – relasi kasual. Jika orang mau
menjelaskan tindakan – tindakan dari seorang negarawan, maka tidaklah cukup
hanya dengan menghayati perilakunya. Itu bahwkan hanya akan mendapat suatu
penilaian yang cukup subyektif. Orang harus memulai dengan meneliti sebab –
sebab yang mungkin, seperti situasi – situasi ekonomi yang menentukan
tindakan – tindakannya atau setidaknya telah mempermudah tindakan –
tindakannya. Juga suatu analisis atas keajegan – keajegan yang letaknya lebih
dalam yang menyangkut keadaan – keadaan. Juga suatu analisis atas keajegan –
keajegan yang letaknya lebih dalam yang menyangkut keadaan – keadaan
fisikal dan klimatologikal, pengenalan perubahan – peruabahan sosial dan
ideologi – ideologi yang berpengaruh.
Ilmu – ilmu alam maupun ilmu – ilmu kerohanian terbagi ke dalam
berbagai cabang. Dalam paragraf – paragraf berikut hal ini akan dipaparkan dan
pada pemaparan itu tampak lagi hubungan antara pengetahuan ilmiah dan dunia
konkret dipersoalkan.
Matematika adalah sebuah Ilmu Formal dan ia tidak memaparkan
kenyataan. llmu-ilmu Formal, seperti Matematika dan Logika, lebih banyak
merancang jaringan-jaringan kerja (jejaring, networks) tertutup yang baik
("konsisten") yang diperlukan jika orang membuat petabumi dari dunia. Ilmu
9
Alam adalah salah satu dari peta-peta bumi itu, namun demikian juga halnya
dengan Psikologi, Arkeologi, Ilmu Sejarah. Dalam asasnya orang dapat
menerapkan Matematika pada semua bidang-bidang itu.
Dalam Mekanika Kuantum, suatu apparatus matematikal yang sangat
spesifik mutlak diperlukan mengingat kemajemukan dari cara yang dengannya
gejala-gejala mikrofisikal menampilkan diri di hadapan pengamat. Sekali lagi,
untuk merangkumkan, Matematika tidak terikat pada satu ilmu tertentu,
melainkan dapat memainkan peranan dalam tiap disiplin ilmiah.
Matematika dan Logika adalah bukan ilmu-ilmu Empirikal: mereka
menjalin jaringan-jaringan kerja (networks), tetapi tidak memfabrikasi
(membuat) peta-peta bumi. Dalam llmu-ilmu Empirikal, hasil-hasil (resultat)
dari penelitian yang saling berkonflik adalah hal yang dapat terjadi;
pertentangan-pertentangan yang demikian itu disebut antinomi-antinomi. Yang
paling terkenal adalah hal menarik sebuah kesimpulan dalam bentuk penalaran
tertutup (sluitrede) atau silogisme berikut: "Semua M adalah F, S adalah M; jadi
S adalah P." Kerangka kerja (raamwerk) yang abstrak ini dapat diperjelas
dengan mengisi kerangka tersebut dengan contoh-contoh empirikal: "Semua
manusia adalah fana; Sokrates adalah seorang manusia.
Logika memberikan bentuk-bentuk untuk penalaran-penalaran yang
tepat dan dengan mengacu padanya orang juga dapat melihat bila sebuah
penalaran adalah tidak valid atau tidak sah. Sebuah contoh dari Logika
Proposisional. Kadang-kadang Ilmu-ilmu Formal dipandang juga sebagai
semata-mata konvensi-konvensi (kesepakatan-kesepakatan). Ilmu-ilmu Formal
itu memang tidak empirikal, mereka tidak memberikan pemaparan tentang
kenyataan. Namun demikian halnya adalah mencolok bahaya Ilmu-ilmu Formal
itu ternyata cocok pada (untuk) dunia empirikal sesungguhnya (yang dapat
diamati secara inderawi). Dalam Fisika Modem orang bahkan telah menerapkan
sistem-sistem matematikal yang dahulu sekali "begitu saja" dibayangkan atau
dikhayalkan: Ilmu Ukur dari sebuah ruang yang melengkung, disusun oleh
10
Riemann, ternyata dalam abad dua puluh dapat diterapkan pada struktur yang
diberikan oleh Einstein pada medan-medan gaya-berat.
Di Perancis, Matematika pernah digolongkan ke dalam Ilmu-ilmu
Kerokhanian ketimbang ke dalam Ilmu-ilmu Alam! Dan roh manusia itu
memang dapat mengkhayalkan dirinya memainkan sembarang permainanpermainan dengan angka-angka dan lambang-lambang logikal. Namun dalam
kenyataan roh tersebut tidak lepas dari dunia yang dari dalamnya ia sendiri
berasal. Karena itu, J. Piaget memandang hukum-hukum dari Matematika dan
Logika juga tidak sebagai semata-mata rekaan, melainkan sebagai jejaring
(networks) atau cetak- cetak biru (blueprints) yang di dalamnya orang memang
benar tidak mengungkapkan kenyataan empirikal, melainkan rnenunjukkan
bagaimana orang dapat beroperasi dengan kenyataan tersebut. Sebuah formula
seperti "a + b = b + a" memang benar tidak mengatakan sesuatu apapun tentang
kenyataan, setidaknya secara substansial tidak, namun memberikan bagaimana
misalnya orang dapat beroperasi dengan obyek-obyek: meletakkan dua blok
pada tiga blok lainnya adalah operasi yang berbeda ketimbang menambahkan
tiga pada dua, tetapi hasilnya adalah sama. Roh kita oleh suatu evolusi yang
panjang telah menjalankan pengaruh terhadap dunia sehari-hari kita.
Demikianlah kita dapat memegang dan mengendalikan kenyataan sehari-hari.
Ilmu-ilmu Formal adalah salah satu hasil (resultat) dari hal menjalankan
pengaruh ini terhadap kenyataan ini. Struktur dari jaringan-jaringan kerja
logikal mereka haras dilihat sebagai suatu resultat dari suatu perkembangan
(genese, timbulnya) yang terus menerus memunculkan jaringan-jaringan
kerja yang semakin abstrak.
Ilmu-ilmu Empirikal memberikan peta-peta bumi dari dunia konkret.
Mereka adalah tidak formal dan karena itu memberikan kesan (impresi) yang
jauh lebih konkret, juga meskipun mereka memang banyak menggunakan
pengertian-pengertian yang abstrak dan aturan-aturan. Sebuah Ilmu Formal
secara tidak langsung mempunyai juga kontak dengan suatu dunia konkret,
11
demikian sudah kita lihat. la adalah sebuah ilmu tentang struktur-struktur yang
mumi yang menyajikan skema dari hubungan saling mempengaruhi antara
manusia dan dunia; ia berkenaan dengan sesuatu yang lebih ketimbang sekedar
sebuah permainan secara acak.
Berkenaan dengan Ilmu-ilmu Empirikal, hal ikut mempengaruhi ini, hal
membangun jembatan-jembatan ini antara ilmu dan kenyataan adalah lebih
mencolok lagi. Dalam Ilmu-ilmu Empirikal, baik aturan-aturan logikal
(argumentasi-argumentasi yang baik, teori-teori yang konsisten, aturan-aturan
penderivasian atau penarikan kesimpulan misalnya dalam bentuk formulaformula
matematikal)
maupun
material
empirikal
(inderawi,
faktual)
memainkan peranan. Metode yang umum meletakkan suatu perkaitan antara
fakta-fakta (landasannya, basisnya) sebagaimana yang dibahas dalam 3.3,
dengan demikian adalah perlu). Namun dalam sebuah Ilmu Empirikal ihwalnya
tidak hanya sekedar berurusan dengan keabsahan (validitas), melainkan juga
berkenaan dengan kebenaran dari sebuah penderivasian (afleiding, penarikan
kesimpulan). Bam kemudian muncul syarat-syarat empirikal. Pertama-tama
aturannya (hukum atau juga hipotesis) yang menjadi titik beranjak orang harus
meletakkan suatu perkaitan yang niscaya (noodzakelijk verband) di antara datadata tersaji. Keharusan (noodzaak) tersebut adalah bukan suatu relasi logikal,
melainkan suatu relasi empirikal dalam arti dari suatu relasi kausal (kadangkadang relasi kemungkinan atau probabilitas). Jika orang secara teratur
(regelmatig).
Dalam hal itu orang bertolak dari sebuah hipotesis (misalnya dengan
bentuk: p → q), dari dalamnya menderivasi pemyataan-pernyataan (deduksi)
tentang kejadian-kejadian khusus yang dapat dikonstatasi di dalam kenyataan,
dan kemudian pertanyaan-pertanyaan tersebut diuji; ini namanya Metode
Deduktif Hipotetikal.
Beberapa penulis mengkombinasi induksi dan deduksi: mulai pada
fakta-fakta, lewat induksi naik ke hipotesis-hipotesis umum, memverifikasi
12
hipotesis-hipotesis ini, pada resultat yang positif menderivasi kejadian-kejadian
(fakta-fakta)
Semuanya ini juga menunjuk pada betapa pembagian-dua dalam Ilmuilmu Alam dan Ilmu-ilmu Kerokhanian adalah tidak memadai. Bukankah dalam
dunia kita yang biasa terdapat lebih banyak aspek-aspek yang jelas berbedabeda ketimbang hanya dua ini saja.
Sangat penting untuk mempertahankan keberadaan dari yang hidup atau
kehidupan adalah proses – proses Umpan – balik (terukoppelingsprosesses),
yang juga disebut “proses siberntika” (cybernetische processen) atau proses –
proses pengendalian.
Metode deduktif-hipotetikal digunakan dalam Ilmu-ilmu Alam dan juga
dalam berbagai Ilmu-ilmu Kerokhanian dan Ilmu-ilmu Sosial. Tetapi di sana
metode ini tampil dalam suatu metodologi yang lain, jika orang misalnya
membuat (mengupayakan) agar suatu struktur-dalam (depth-structure) dalam
Ilmu Bahasa atau Antropologi Budaya dapat diterima dengan menunjukkan
bahwa bahan-bahan terberi faktual (sebuah bahasa seperti Bahasa Belanda;
kebiasaan suku berkenaan dengan makanan mentah atau dimasak) secara
logikal dapat diderivasi dari struktur tersebut.
Kesimpulannya
adalah
pertama-tama
bahwa
terdapat
banyak
metodologi, yang tidak saling mengecualikan yang satu terhadap yang lainnya,
melainkan saling melengkapi. Orang tidak dapat berbicara tentang satu
metodologi yang seragam, tetapi dapat tentang metode ilmiah yang universal
yang bagi semua ilmuwan harus dapat dikenali. Metode ilmiah sebagai
demikian - obyektivitas, hal dapat dikontrol (dikaji), penjelasan-penjelasan,
abstraksi; ternyata dalam praktek ilmu-ilmu memperoleh bentuk dalam berbagai
metodologi. Kedua, ternyata bahwa ihwalnya berkenaan dengan praktek dari
ilmu. Berdasarkan itu dengan berjalannya waktu akhirnya orang melihat ada
berapa
banyak
ilmu-ilmu
itu
dan
metodologi-metodologi
apa
yang
dimanfaatkan. Dengan demikian maka dapat timbul ilmu-ilmu baru, seperti
13
Ilmu-ilmu Komunikasi, dan juga metodologi-metodologi baru, seperti studi
tentang proses-proses sibernika.
Dalam Ilmu-ilmu Praktikal tentang hal ini keadaannya sedikit berbeda.
Sebagai ilmu mereka tidak memberikan kaidah-kaidah kesusilaan, tetapi dalam
Ilmu Kedokteran (geneeskunde), etika medik memainkan suatu peran yang
semakin berpengaruh. Tentu saja bidang studi (matakuliah-matakuliah, vakken)
seperti Radioterapi - yang penting antara lain untuk melawan kanker - ,
Farmakologi - sebagai teori tentang peracikan obat-obatan - , Fisiologi dan
Ilmu-ilmu Teoretikal sejenis itu, masih tetap ada. Tetapi tempat mereka dalam
keseluruhan Ilmu Kedokteran, batas-batas yang diizinkan untuk penelitian,
Ilmu-ilmu Praktikal. Itu adalah ilmu-ilmu yang mengalami pengaruh
dari nilai-nilai non-ilmiah dan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih kuat
ketimbang Ilmu-ilmu Teoretikal. Adalah penting bahwa ekonomi juga
memberikan bentuk pada masyarakat. Di Belanda pengaruh dari pemikiran
ekonomi adalah besar dalam Dewan Ekonomi-Sosial (de Sociaal-Ekonomische
Raad, disingkat SER), yang pada gilirannya mempengaruhi politik dan penataan
ketenagakerjaan.
Istilah "etika" sesungguhnya mempunyai dua arti. Pertama-tama ia
menunjuk pada nilai-nilai, misalnya cinta atau kasih sayang kepada sesama
manusia, dan kaidah-kaidah
yang diturunkan dari dalamnya, seperti
menghormati kehidupan dan barang orang lain. Itu berkenaan dengan aspek
kesusilaan sehari-hari dari kehidupan manusia. Dengan itu maka Etika berada di
luar ilmu-ilmu, karena ia memberikan nilai-nilai dan kaidah-kaidah (perintahperintah),
dan
bukan
penjelasan-penjelasan
dan
pemaparan-pemaparan
teoretikal. Tetapi ada juga sesuatu sebagai suatu pokok telaah yang bernama
"etika" yang dapat diajarkan. Itu sesungguhnya adalah sejenis meta-etika,
apakah dalam arti sempit sebagai analisis bahasa dari etika, atau dalam arti luas
sebagai suatu pemaparan dan klasifikasi tatanan-tatanan internal dari kaidahkaidah kesusilaan dan filsafat-filsafat yang ditemukan di luar ilmu. Memang di
14
situ ciri khas yang sesungguhnya dari etika, berupa seperangkat kaidah-kaidah
untuk kehidupan sehari-hari, tetap terpelihara. Itu sebabnya, pada tataran
keilmuan, Etika itu adalah suatu Ilmu Praktikal.
Teologi selalu dipandang sebagai ilmu, atau pada zaman Yunani Kuno
sebagai bagian dari filsafat. Seringkali Teologi dipahami sebagai suatu pokok
telaah spekulatif. Sesuatu yang dewasa ini kita tidak akan menyebutnya "ilmu",
tetapi akan lebih menyebutnya bagian dari Metafisika (ajaran tentang suatu
kenyataan non-indera\vi). Ia lebih banyak bertujuan untuk secara ilmiah
meneliti bagaimana berita-berita (kabar gembira), cerita-cerita dan pesan-pesan
tertentu tentang Keberadaan Yang Ilahi disampaikan (diwartakan) dan pada
masa modern ini bagaimana pewartaan itu seyogianya harus dilakukan.
Singkatnya, ia sama sekali tidak ingin (menjadi suatu) spekulasi, dan dengan
begitu bukan Ilmu Teoretikal murni, melainkan harus digolongkan ke dalam
kelompok Ilmu-ilmu Praktikal.
Idealnya adalah bahwa tiap ilmuwan memperlihatkan perilaku yang
sama sebagai peneliti, suatu perilaku yang dapat disebut "intersubyektif'. Ini
berarti bahwa dalam prinsipnya tiap peneliti, jika ia terdidik dengan cara yang
sama, dapat diganti oleh orang (peneliti) yang lain. Hal subyeknya dapat
diganti ini berkorespondensi dengan obyektivitas yang "strikt" (kaku, lugas)
dari bidangnya sebagaimana hal itu oleh ilmu dipaparkan secara tertata
(dipetakan).
Pandangan yang pertama kita temui terutama pada para penganut
Positivisme Logikal, R. Carnap, yang bekerja di Amerika Serikat, dan A.J.
Ayer, di Inggeris, dua-duanya menyatakan bahwa ilmu harus membatasi diri
pada upaya membangun teori-teori yang secara logikal tertutup dan pada
pengujian pada fakta-fakta. Juga Popper menganggap penentuan garis-batas
wilayah atau ranah atau "demarkasi" dari ilmu adalah suatu urusan yang
15
prinsipiil. la mengakui nilai dari pandangan-pandangan pada bidang-bidang
Etika, Pandangan Dunia dan Metafisika (teori-teori kefilsafatan tentang suatu
Berhadapan secara langsung dengan ini adalah pandangan J. Habermas,
seorang pemikir Jerman kontemporer, yang berasal dari lingkungan neomarxistik. Dahulu ia sudah menunjukkan bahwa ilmu tidak begitu saja terlepas
dari suasana kepentingan dari dunia sehari-hari. Di belakang pengetahuan
ilmiah terdapat, kebanyakan tidak eksplisit, kepentingan-kepentingan yang
memberikan arah pada pengetahuan ini. Pada Ilmu-ilmu Alam kepentingan itu
pada akhirnya adalah perwujudan teknikal dari pengetahuan itu.
Sebuah contoh dapat menjelaskan apa yang secara konkret dimaksudkan
dengan pragamatika itu. Seorang yang datang ketugas cukur rambut – hari itu
cuaca terang benderang – dan ia (tukang gunting rambut itu) membuka
percakapannya dengan mengatakan “cuaca cerah hari ini” bila orang
menganggap kalimat yang demikian itu hanya semata – semata secara
semantikal, maka mungkin saja orang akan mengatakan “itu saya sendiri sudah
melihatnya”.
Pertama – tama informasi apa yang ingin diperoleh orang. Pada
pertanyaan ini sudah ikut bermain hipotesis dan/ atau teori, tetapi juga
metodologi dari bidang, ilmu yang bersangkutan selanjutnya timbul pertanyaan.
Demikian pengamatan dari suatu jarak, tetapi juga ada observasi pastisifasif.
Dalam kejadian yang terakhir ini penelitiannya hidup di “lapangan”, ia
bertempat tinggal di suatu desa, berbicara dalam bahasa dari penduduk setempat
dan dengan cara demikian ia memperoleh informasi yang dicarinya. Juga ada
yang disebut action – research, artinya penelitian yang dilakukan dengan jalan
penelitianya ikut serta melakukan perbuatan – perbuatan yang dijalankan oleh
kelompok yang mau diteliti. Orang ikut melakukan misalnya tindakan mogok
16
atau berdermontrasi untuk dapat mengetahui (memahami) motif dan metode –
metode yang digunakan.
Metodologikal
hanya
untuk
kepentingan-kepentingan
ilmiah,
bukan
kepentingan psikologikal, tentang cara yang berdasarkannya orang
dalam ilmu berupaya mencari penyelesaian-penyelesaian baru.
Hal mencari
ini disebut juga "heuristika" dan ia mencakup aturan-aturan yang berlaku
dalam suatu context of discovery. Pedoman-pedoman heuristikal yang tersirat
dalam contoh historikal yang dikemukakan di atas adalah yang berikut ini. 1.
Orang harus menguasai pengetahuan mendasar tentang teori-teori yang ada. 2.
Orang harus dapat menempatkan tandatanya-tandatanya (mampu mengajukan
pertanyaan-pertanyaan)
terhadap
penyelesaian-penyelesaian
yang
sudah
dianggap sebagai hal-hal yang sudah dengan sendirinya begitu. 3. Lapisanlapisan rasionalitas yang lebih dalam harus diaktifkan: perasaan tentang
orientasi atau arah mengenai di mana letaknya dalam teori-teori yang ada.
membuat hal-hal yang secara implisit bekerja terus dalam pengertian-pengertian
dan metode-metode ilmiah dibawa ke tingkat
memandang
tiap
bahan
terberi
tersendiri
4. tfengupayakan untuk
dalam
konteks
mereka
mengintegrasikan mereka ke dalam suatu sistem yang lebih besar. 5.
Menemukan alasan-alasan, analogi-analogi, contoh-contoh dan model-model
dalam dunia non-ilmiah yang dapat menstimulasi proses berpikir heuristikal
(dalam hal ini apel itu). Demikianlah orang memulai dengan atau beranjak dari
satu bahan terberi faktual yang masih harus dijelaskan, namun menempatkan
hal tersebut dalam suatu kerangka heuristikal yang luas untuk dengan cara
demikian menghasilkan sebuah hipotesis. Titik tolak pada "resultat" ini oleh
C.S. Peirce, pada akhir abad 19, disebut "abduksi"; suatu metode menemukan,
yang secara logikal tidak tertutup, yang berhadapan dengan metode pembuktian
dengan pretensi-pretensi yang logikal: induksi dan deduksi.
17
III. Ilmu dan Etika
Ilmu tidak mengharuskan yang baik, juga tidak mengagumi yang indah,
melainkan berupaya mencapai kebenaran. Pengetahuan ilmiah pengetahuan
ilmiah berupaya untuk membangun pernyataan-pernyataan pendirian (dalildalil, pemaparan-pemaparan, teori-teori) seobyektif dan seuniversal rnungkin.
Namun tentang apa yang baik dan indah maka pendapat-pendapat dapat sangat
berbeda-beda. Karena itu ilmu mencoba untuk mengubah putusan-putusan
tentang yang baik (etika dalam arti normatif) dan yang indah (estetika sebagai
putusan-putusan nilai) ke dalam aturan-aturan ilmiah yang lebih murni.
Etika Profesi (beroepsethieK). Ini mencakup kaidah-kaidah lama dan
dapat dipercaya yang timbul dari tradisi profesi, terjalin dengan kesadaran
tanggung-jawab yang umum. Tetapi juga dari ilmu disodorkan aturan-aturan
untuk suatu etika profesi yang demikian. Demikianlah ruang waktu yang di
dalamnya suatu etika profesi medika tertentu (tidak sebagai perenungan ilmiah,
sebagaimana yang disebut dalam 3.7, tetapi sebagai etika normatif) mau
mengizinkan tindakan abortus, maka hal itu akan harus ditentukan oleh ilmu.
Ilmu mewakili fakta-fakta dan pemaparan-pemaparan, etika mewakili
nilai-nilai dan kaidah-kaidah (perintah-perintah). Meskipun demikian ternyata
bidang-bidang non-ilmiah yang di dalamnya putusan-putusan nilai bekerja, tiap
kali mengembangkan penalaran-penalaran, bahkan tatanan-tatanan yang relatif
tertutup untuk memberikan keberlakuan universal pada nilai-nilai spesifik
mereka, suatu keberlakuan yang menurut pandangan dari pihak terkait juga
harus dipandang secara obyektif. Demikianlah telah dikembangkan tatanantatanan keagamaan, etikal, politikal, dunia seni (tatanan nilai seni, kunstzinnige
stelsel). Dalam zaman yang lebih baru sejauh ini sudah terjadi lebih banyak
upaya saling mendekatkan, bahwa orang beranjak dari ilmu menganalisis
18
taianan-tatanan
yang demikian itu, kadang-kadang juga untuk dapat
memberikan suatu penilaian positif terhadapnya (putusan ilmiah, bukan putusan
nilai): Ilmu Perbandingan Agama, analisis kefilsafatan terhadap tatanan-tatanan
kesusilaan, penelitian sejarah seni, studi perbandingan dalam Hukum
Internasional.
Kita sudah mengenal Etika Mikro: jangan mengatakan ketidak benaran
(jangan berbohong), jangan mencuri dan seterusnya. Sedangkan Etika Makro
masih belum dikenal, sebab apa arti "jangan berbohong" sebagai kaidah dalam
masyarakat-informasi yang modem, dan "jangan mencuri" berkenaan dengan
urusan-urusan seperti pajak-pajak, harga-harga bahan dasar, dan sejenisnya
Ilmu harus menampilkan kebenaran ke permukaan. Jika orang
mengajukan suatu hipotesis, maka harus ditelusuri apakah hipotesis ini benar.
Orang berbicara juga tentang suatu hipotesis yang menjadi lebih benar, jadi
lebih mungkin, sejauh ia setiap kali oleh lebih banyak fakta semakin diiyakan
atau dibenarkan (konfirmasi) atau setiap kali semakin jelas mampu bertahan
terhadap pengujian (koroborasi, penguatan). Kebenaran terutama dipandang,
sebagai kesesuaian dari teori dengan kenyataan. Ajaran ini disebut Teori
Korespondensi tentang kebenaran. Yang lain memandang kebenaran lebih
dalam kekuatan metodologikal dari suatu ilmu, jadi dalam argumentasinya yang
baik, dalam konsistensinya. Dengan demikian kebenaran tidak sebagai
pencerminan, melainkan oleh perkaitan dari argumen-argumennya (Teori
Perkaitan atau Teori Konsistensi).
Filsafat ilmu bukan merupakan ilmu disamping ilmu-ilmu lainnya.
Namun persamaan dengan ilmu-ilmu itu memang ada, sebab filsafat ilmu juga
menganalisis, mengabstraksi, berupaya untuk menjelaskan dan memberikan
argumen-argumen yang baik. Sama seperti bagian-bagian yang lain dari filsafat
seperti ajaran pengetahuan (Epistemologi), filsafat kebudayaan, antropologi
19
filsafat juga filsafat ilmu ingin mengintegrasikan berbagai ilmu-ilmu;
mengumpulkan dan membandingkan. Namun demikian filsafat ilmu adalah
bukan sebuah ilmu tentang ilmu-ilmu. Sebab filsafat ilmu juga harus berkiprah
di luar ilmu, membandingkan pengetahuan ilmiah dengan pengetahuan seharihari dan meneliti hubungan-hubungan saling mempengaruhi dengan tatanan
nilai non ilmiah, misalnya tatanan nilai kesusilaan, keagamaan, sosial.
Demikianlah ia berdiri dengan satu kaki di dalam ilmu-ilmu dan dengan satu
kaki diluar ilmu-ilmu. Ia menganalisis bagaimana ilmu itu bekerja; abstraksiabstraksi, peta bumi suatu wilayah, membatasi secara metodikal terhadap
pengamatan menjadi observasi-observasi, terhadap bahasa lewat devinisidevinisi, menjadi pengertian-pengertian ilmiah, mencapai obtektifitas antara
lain dengan melepaskan subyektifitas dan dengan intersubyektifitas. Bersamaan
itu juga pandangan harus difokuskan pada pandangan dunia, keyakinankeyakinan kesusilaan, pengakuan atas nilai-nilai.
20
Download