③ laut dan atmosfer sebagai suatu sistem geokimia

advertisement
① PENDAHULUAN
P
engetahuan geokimia berasal dari dua buah disiplin
ilmu yaitu ilmu geologi dan kimia, tetapi bukan
merupakan penggabungan ilmu, namun geokimia
merupakan disiplin ilmu yang membantu menjelaskan
fenomena geologi yang terjadi. Dengan perkataan lain,
pengetahuan mengenai bumi yang dilihat dari aspek
kimianya. Nah, untuk itu, tentu saja kita harus mengerti dan
memahami ilmu geologi lebih dahulu. Halmana “geology”,
adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang berkenan
dengan gejala-gejala yang terjadi di bumi, baik yang
diakibatkan oleh gerakan bumi maupun penyusunan kimia di
alam secara mandiri. Intinya geologi (geo=bumi dan logos=
ilmu/pengetahuan), yakni pengetahuan
bumi
yang
menyelidiki struktur bumi dengan tiga lapisan, yaitu kerak
bumi, mantel dan inti bumi. Ketiga lapisan ini memiliki
struktur-lapisan yang berbeda dengan didominasi oleh unsur
kimia tertentu. Jadi dengan perkataan lain geologi adalah
pengetahuan tentang susunan zat yang terbentuk dari bumi.
Bahkan geologi pun merupakan pengetahuan yang
mempelajari sejarah perkembangan bumi serta mahkluk yang
pernah hidup di bumi. Oleh karenanya geologi itu sendiri
terdiri dari banyak cabang juga, seperti: Mineralogi, Petrologi
(petros=batuan dan logos= ilmu),Palaentologi (palaios=purba,
ontos=mahkluk), sedimentologi,
geomorfologi, geofisika,
geokimia dan geoteknik.
Geokimia
ialah
pengetahuan
yang
mempelajari
bentuk,sifat dan fungsi serta aksi- reaksi kimia alam yang ada
~1~
di bumi. Hakikinya, Geokimia adalah ilmu yang mempelajari
kandungan unsur dan isotop dalam lapisan bumi, terutama
yang berhubungan dengan kelimpahan (abundant),
penyebaran serta hukum-hukum yang mengaturnya. Dari
dasar ini berkembang beberapa cabang ilmu geokimia di
antaranya, geokimia panas bumi, geokimia mineral, geokimia
petroleum dan geokimia lingkungan. Buku yang ditulis ini
akan menguraikan tentang geokimia laut, pengetahuan ini
dipandang penting pada dekade belakang ini, dikarena
ilmuan dunia dan ahli ekonomi berpandangan bahwa laut
memiliki sumberdaya alam yang menjamin keberlangsungan
hidup manusia di muka bumi.
Para ahli geologi berasumsi bahwa zat besi adalah unsur
kimia terbesar pada lapisan bumi. Logam ini terpusat di inti
bumi. Senyawa magnesium silikat, yang mengandung
magnesium, silikon, dan oksigen, menjadi penyusun utama
lapisan mantel. Sebagian besar dari unsur-unsur penyusun
tersebut telah tercipta di ruang angkasa sejak jutaan tahun
silam. Gambar 1.1 memperlihatkan secara global komposisi
kimia penyusun bumi. Dimana zat besi mendominasi
meliputi 35% dari total zat kimia di bumi, zat besi ini di
dalamnya juga ada kobalt dan mangan. Oleh karenanya di
kerak samudera gabungan antara besi dan mangan disebut
sebagai kerak kobalt yang kaya akan Fe-Mn.
Oksigen menduduki posisi kimia kedua terbanyak sesudah
besi, hal itu menunjukan diplanit bumi terdapat banyak
makhluk hidup dan proses fotosintesis oleh butir hijau daun
yang memproduksi oksigen cukup berpolah. Kemudian
urutan komposisi kimia penyusun bumi terbesar sampai
terkecil adalah magnesium (Mg) meliputi 17%, silikon (13%),
~2~
nikel (2,7%), belerang (2,7%), kalsium (0,6%), aluminium
(0,4%) dan unsur-unsur lain.
Gambar 1.1. Komposisi Kimia Penyusun Kulit Bumi
Buku yang disajikan ini akan membahas tentang
geokimia yang meliputi :
sejarah perkembangan ilmu
geokimia;
laut dan atmosfer merupakan suatu sistem
geokimia;
sumber-sumber material yang masuk laut;
kesetimbangan thermodinamika; kinetika dan kristalisasi;
kelarutan gas di laut; sedimen laut, air antara sedimen dan
proses diagenesis; biomineralisasi; dan kerak kobalt di laut
yang memiliki nilai ekonomis tinggi.
Intinya dalam buku ini mengulas
sifat kimia di laut,
interaksi kimia dan faktor-faktor pembatas serta
pembentukan sedimen yang berlangsung jutaan tahun silam.
Kemudian bahasan tentang transpor/pemindahan zat kimia
serta reaksi yang mungkin dan yang sudah terjadi. Pada
dasarnya, geokimia dari sudut ilmu, banyak membicarakan
~3~
tentang perubahan kimia secara alamiah bertalian dengan
prinsip termodinamika dan kinetika reaksi kimia.
Praktisnya geokimia berasal dari pengetahuan geologi dan
kimia, kemudian para ahli seperti: Georg Bauer dan Nicolas
Steno (1800-an) memperluas kedua pengetahuan ini untuk
tujuan meneliti kejadian-kejadian di bumi selain secara fisika
tetapi reaksi kimia yang terjadi. Dalam pengembangan ilmu
ini turut terlibat para ahli geologi, kimiawan, fisikawan,
metematikawan dan para ahli biologi.
Lahirnya geokimia sebagai cabang ilmu geologi baru
menyebabkan munculnya metoda dan data observasi baru
mengenai berbagai hal yang banyak menarik perhatian para
ahli sedimentologi dan mineralogi. Sebagian besar riset
geokimia pada mulanya diarahkan pada riset kuantitatif
untuk mengetahui penyebaran unsur-unsur kimia di alam,
termasuk penyebarannya dalam pebatuan sedimen. Lambat
laun data tersebut menuntun para ahli untuk memahami apa
yang disebut sebagai siklus geokimia (geochemical cycle) serta
penemuan hukum-hukum yang mengontrol penyebaran
unsur dan proses-proses yang menyebabkan timbulnya pola
penyebaran unsur seperti nikel, kobalt, mangan, besi, logam
mulia, silicon, karbon, magnesium, kalsium, karbonat dan
sebagainya.
Berkembangnya kimia moderen pemahaman geokimia
makin meluas dan pemanfaatannya makin signifikan,
sehingga mereka berasumsi bahwa perbedaan ketiga habitat,
yaitu lautan, atmosfer dan daratan hanya dipisahkan oleh
sebaran, komposisi dan reaksi kimia saja. Bahkan dalam
analisa mereka ketiga habitat ini memiliki mahkluk hidup
berbeda. Pengetahuan itulah sampai saat ini tetap diakui
kehidupan yang ada di laut, darat dan atmosfir berbeda sifat
~4~
dan bentuknya. Pembentukan kimia yang terjadi di ketiga
habitat tersebut menjadikan sebagai objek riset yang sangat
strategis dan bermanfaat bagi umat manusia.
Baru-baru ini, kimia nuklir (nuclear chemistry)
menyumbangkan sebuah “jam” dan “termometer” yang pada
gilirannya membuka era riset baru terhadap sedimen. Unsurunsur radioaktif, khususnya 14C dan K, memungkinkan
dilakukannya metoda penanggalan langsung terhadap batuan
sedimen tertentu. Metoda 14C, yang dikembangkan oleh
Libby, dapat diterapkan pada endapan resen. Metoda 40K/40Ar
terbukti dapat diterapkan pada glaukonit, felspar autigen,
mineral lempung, dan silvit yang ditemukan dalam endapan
tua. Analisis isotop dapat digunakan untuk menentukan
temperatur purba. Metoda Urey—berdasar-kan nisbah
16
O/18O yang merupakan fungsi dari temperatur—dapat
dipakai untuk menaksir temperatur pembentukan cangkang
fosil yang ada dalam endapan di laut. Meskipun “jam” dan
“termometer” tersebut masih memperlihatkan kekeliruan,
namun harus diakui bahwa keduanya telah memberikan
kontribusi yang berarti terhadap pembelajaran sedimentasi
dan sedimen.
Van’t Hoff adalah orang pertama yang memanfaatkan
azas fasa untuk mempelajari kristalisasi larutan garam dan
pembentukan
endapan
garam.
Mulanya
penelitian
eksperimental terhadap campuran yang dapat menghasilkan
kristal, terutama sistem silikat pada temperatur tinggi,
dilakukan oleh para ahli petrologi batuan beku dan metamorf.
Baru pada beberapa dasawarsa terakhir ini saja, hal itu
menarik perhatian para ahli sedimentologi. Sebagai contoh,
Carmichael dan Eugster (1987) memakai cara itu untuk
meneliti endapan non-marin dan mineral-mineral yang
~5~
mencirikan pembentukan sungai hijau di Wyoming dan
Colorado. Zen (1959) menunjukkan bahwa azas fasa yang
diajukan oleh Gibbs dapat diterapkan untuk menganalisis
hubungan antara mineral lempung dan mineral karbonat.
Hasil penelitian Zen kemudian diterapkan oleh Peterson
(1962) terhadap larutan karbonat di bagian timur Tennessee.
Perkembangan metoda yang relatif baru itu dapat dibaca
dalam karya tulis Eugster (1971).
Berbagai kajian teoritis dan eksperimental tentang
stabilitas mineral pada berbagai kondisi oksidasi-reduksi (Eh)
dan pH dilakukan oleh Garrels dan beberapa ahli lain (Garrels
dan Christ, 1965). Penelitian aspek-aspek geokimia sedimen
banyak menambah pengertian kita tentang endapan sedimen.
Buku-buku yang membahas tentang topik-topik geokimia
sedimen antara lain adalah Geochemistry of Sediments karya
Degens (1965) dan Principles of Chemical Sedimentology karya
Berner (1971). Aplikasi atau contoh nyata yang dapat dilihat
dari geokimia salah satunya adalah metode yang digunakan
oleh sedimentologist dalam mengumpulkan data dan bukti
pada sifat dan kondisi depositional batuan sedimen, yaitu
analisis kimia dari pebatuan, melingkupi geokimia isotop,
termasuk penggunaan penanggalan radiometrik, untuk
menentukan usia batu, dan kemiripan dengan daerah sumber.
Metode ini pertama kali dipakai pada tahun 1970-an dimana
penelitian sedimentologi mulai beralih dari makroskopis dan
fisik ke arah mikroskopis dan kimia. Dengan perkembangan
teknik analisa dan penggunaan katadoluminisen dan
mikroskop elektron memungkinkan para ahli sedimentologi
mengetahui
lebih
baik
tentang
aspek
geokimia.
Perkembangan yang pesat ini memacu kita untuk mengetahui
hubungan antara diagenesis, pori-pori dan pengaruhnya
~6~
terhadap evolusi porositas dengan kelulusan batupasir dan
batugamping.
Saat ini berkembang perbedaan antara makro
sedimentologi dan mikro sedimentologi.
Makro
sedimentologi berkisar studi fasies sedimen sampai ke
struktur sedimen. Di sisi lain, mikro sedimentologi meliputi
studi batuan sedimen di bawah mikroskop atau lebih dikenal
dengan petrografi.
Akhir-akhir ini riset dan pengamatan terhadap sumber
minyak bumi dilakukan pendekatan dengan prinsip geokimia.
Dalam pidato ilmiah saudara Dr. Eddy Ariyono Subroto pada
tanggal 30 September 2011, disaat pengukuhan sebagai Guru
Besar Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB) institut
teknologi Bandung, Dengan pidato ilmiah yang berjudul
"Peran Geokimia Petrolium Dalam Usaha Eksplorasi Migas di
Indonesia". Dia menjelaskan, kebutuhan energi di dunia
semakin meningkat tajam, tak terkecuali di Indonesia. Untuk
mengatasi hal tersebut, pemerintah juga menggali potensi
energi dari yang tidak konvensional. Eksplorasi energi
tersebut menjadikan ilmu geokimia sebagai ilmu yang
penting dan sangat diperlukan.
Tahun 2008 penulis menjadi salah seorang delegasi RI
pada konfrensi “International Seabed Authority/ISA” di
Kingston, Jamaica. Disaat itu ada sesi seminar tentang
mineral dan nodul polimetalik di dasar laut. Dalam seminar
itu terungkap begitu besar nilai ekonomi yang terkandung
pada kerak kobalt yang kaya akan ferromanganese. Dalam
diskusi terungkap bahwa untuk mengeksplorasi dan
eksploitasi kerak samudera itu di perlukan pengetahuan
geokima, agar zat kimia secara individu dapat diprakirakan
nilai ekonominya dengan pasti.
~7~
Ilmu geokimia sendiri kemudian terus berkembang,
sehingga tidak saja berupa ilmu tradisional atau ilmu yang
mendasarkan analisisnya dari data kualitatif, tetapi juga
menjadi arah kuantitatif. Saat ini muncullah pemodelan
cekungan (basin modelling) berbasis geokimia. Dengan
adanya pemodelan ini, ilmu geokimia berperan semakin
signifikan. Dia lebih pertegas lagi, Jika di masa lampau suatu
pemboran boleh dilakukan hanya dengan justifikasi ilmu
geofisika, maka sekarang keikutsertaan ilmu geokimia sudah
menjadi keharusan. Dengan demikian pengetahuan geokimia
akan makin berperan dalam menentukan potensi sumberdaya
alam secara kuantitatif maupun kualitatif.
Para ilmuan dunia mengakui bahwa Indonesia adalah
negara kepulauan terbesar di dunia, sehingga
dalam
konferensi PBB pada tanggal 10 Desember 1982 di Montego
Bay Jaimaika yang dikenal sebagai United Nations Convention
on the Law of the Sea/UNCLOS ke III memutuskan Indonesia
sebagai “archipelago State”. Karena memiliki ribuan pulau
dengan garis panjang pantai 95.181 km2. Keberdaan sebagai
negara kepulauan menunjukan Indonesia memiliki wilayah
laut lebih luas dari wilayah daratan (kontinental),
implikasinya kekayaan alam di laut lebih banyak dari di
daratan. Kekayaan yang dimiliki di laut tidak hanya hayati
dan nir-hayati yang ada di badan air tetapi mineral yang ada
di dasar laut dan di tanah bawah dasar laut sangat berpolah.
Pengajaran geokimia laut sangat berarti bagi para
pemangku kepentingan di laut (stakeholder) baik dosen,
mahasiswa, pengusaha tambang, pembisnis dan para
pengambil kebijakan. Karena pengetahuan dasar tentang
geokimia laut sangat membantu kelancaran dalam rangka
~8~
prediksi potensi, kegiatan riset, peluang usaha dan
kemungkinan peristiwa alam yang akan terjadi di laut.
Berbicara geokimia laut tidak terlepas dari pembahasan
mineral, baik yang terkandung dalam air laut maupun
“seabed minerals”. Kandungan mineral yang ada di landas
kontinen wilayah perairan laut Indonesia sangat berlimpah
baik jenis maupun jumlah. Analisis ekonomi (suatu prediksi)
mineral yang ada di dasar laut dan tanah di bawah dasar laut
memiliki nilai ± 330 miliar US$ (Rompas dkk, 2013).
Diterbitkan buku ini merupakan salah satu usaha
mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia dan akan
menambah khazanah berpikir bagi para ilmuan kelautan,
geologi dan pembisnis tambang. Disamping itu buku ini
menjadi bahan bacaan bagi para mahasiswa dan para dosen.
Barangkali buku ini dapat juga dijadikan buku ajar di
perguruan tinggi sekaligus berperan buku pinter bagi siswa
dan mahasiswa. Tidak berlebihan dapat disimpulkan bahan
bacaan ini merupakan bahan bacaan yang langka atau kurang
ilmuan Indonesia menulisnya.
~9~
②
SEJARAH PERKEMBANGAN
ILMU GEOKIMIA
B
erjalannya waktu dan sejarah mengajarkan
kepada kita, bahwa kemajuan suatu negara
termasuk kemajuan budaya sangat tergantung
pada keberadaan kekayaan sumberdaya alam dari negara
tersebut. Sebagian besar dari kekayaan itu terdapat di dalam
bumi, lapisan-lapisan batuan yang ada dalam bumi termasuk
dalam nodule yang ada di dasar laut dan tanah dasar laut
berguna bagi kehidupan manusia. Bahkan di badan air proses
kimia mineral yang berinteraksi dengan aspek biologi dapat
mendatangkan energi untuk keperluan hidup manusia, oleh
karenanya ada bagian ilmu yang membahas khusus untuk itu,
yaitu disebut “biogeokimia”.
Sebelum masuk ke pengetahuan dan perkembangan
geokimia, kita ketahui lebih dahulu bagaimana bumi yang
kita tempati, struktur lapisannya dan zat-zat apa yang
mendominasinya.
Bumi tempat kita tinggal saat ini merupakan salah satu
anggota tata surya dengan matahari sebagai pusatnya. Jarak
bumi dengan matahari sekitar 150 juta km. Bumi berbentuk
bulat pepat dengan jari-jari ± 6.370 km. Bumi merupakan
planet dengan urutan ketiga dari delapan planet yang dekat
dengan matahari. Bumi diperkirakan telah terbentuk sekitar
4,6 milyar tahun yang lalu, dan merupakan satu-satunya
planet yang dapat dihuni oleh berbagai jenis mahluk hidup.
Permukaan bumi terdiri dari daratan dan lautan. Jika bumi
~ 10 ~
diiris maka akan tampak lapisan-lapisan seperti pada gambar
di bawah ini :
Gambar 2.1 Struktur lapisan bumi
Sumber: Ensiklopedia
Lapisan bumi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai
berikut
:
1.) Kerak bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar bumi yang terbagi
menjadi dua kategori, yaitu kerak samudera dan kerak benua.
Kerak samudera mempunyai ketebalan sekitar 5-10 km
sedangkan kerak benua mempunyai ketebalan sekitar 20-70
km.
Tebal lapisan kerak bumi mencapai 70 km dan
merupakan lapisan tanah dan batuan .Lapisan ini menjadi
tempat tinggal bagi seluruh mahluk hidup. Suhu di bagian
bawah kerak bumi mencapai 1.100 derajad Celcius. Lapisan
~ 11 ~
kerak bumi dan bagian di bawahnya hingga kedalaman 100
km dinamakan litosfer.
Unsur-unsur kimia utama pembentuk kerak bumi
adalah: Oksigen (46,6%), Silikon (27,7%), Aluminium
(8,1%), Besi (5,0%), Kalsium (3,6%) Natrium (2,8%),
Kalium (2,6%) dan Magnesium (2,1%). Unsur–unsur
tersebut membentuk satu senyawa yang disebut dengan
batuan (Skinner dan Brian, 1976).
2.) Selimut atau Selubung Mantel.
Selimut merupakan lapisan yang terletak di bawah
lapisan kerak bumi. Lapisan ini dikenal juga sebagai lapisan
Pyrosphere. Tebal selimut bumi mencapai 2.900 km dan
merupakan lapisan batuan padat. Suhu di bagian bawah
selimut bumi mencapai 3.000 derajat Celcius. Mantel ini
terdiri dari besi dan mineral SIMA. Density sekitar 3.5 SG.
Tekanan dari lapisan diatasnya membuat lapisan ini selalu
dalam kondisi solid, tapi tetap bisa melelehkan batuan.
Lapisan mantle paling luar sekitar 200 km dinamai dengan
asthenosphere. Pada lapisan ini tekanan dan suhu berada
pada kondisi berimbang sehingga lapisan ini bersifat plastis.
3.) Inti Bumi.
Inti bumi terdiri dari material cair, dengan penyusun
utama logam besi (90%), nikel (8%), dan lain-lain yang
terdapat pada kedalaman 2900–5200 km. Lapisan ini
dibedakan menjadi lapisan inti luar dan lapisan inti dalam.
Lapisan inti luar tebalnya sekitar 2.000 km dan terdiri atas
besi cair yang suhunya mencapai 2.200 oC. Inti dalam
merupakan pusat bumi berbentuk bola dengan diameter
sekitar 2.700 km. Inti dalam ini terdiri dari nikel dan besi
yang suhunya mencapai 4500oC.
~ 12 ~
Berdasarkan penyusunnya lapisan bumi terbagi atas
litosfer, astenosfer, dan mesosfer.
Litosfer adalah lapisan
paling luar bumi (tebal kira-kira 100 km) dan terdiri dari
kerak bumi dan bagian atas selubung. Litosfer memiliki
kemampuan menahan beban permukaan yang luas misalkan
gunungapi. Litosfer bersuhu dingin dan kaku. Di bawah
litosfer pada kedalaman kira-kira 700 km terdapat astenosfer.
Astenosfer hampir berada dalam titik leburnya dan karena itu
bersifat seperti fluida. Astenosfer mengalir akibat tekanan
yang terjadi sepanjang waktu. Lapisan berikutnya mesosfer.
Mesosfer lebih kaku dibandingkan astenosfer namun lebih
kental dibandingkan litosfer. Mesosfer terdiri dari sebagian
besar selubung hingga inti bumi. Permukaan bumi ini terbagi
atas kira-kira 20 pecahan besar yang disebut lempeng.
Ketebalannya sekitar 70 km. Ketebalan lempeng kira-kira
hampir sama dengan litosfer yang merupakan kulit terluar
bumi yang padat. Litosfer terdiri dari kerak dan selubung
atas. Lempengnya kaku dan lempeng-lempeng itu bergerak
diatas astenosfer yang lebih cair. Arus konveksi
memindahkan panas melalui zat cair atau gas, yang membuat
lempeng-lempeng dapat bergerak, yang dapat menimbulkan
getaran yang terjadi dipermukaan bumi.
Pergerakan dan pembentukan senyawa kimia pada
lapisan-lapisan tersebut yang terjadi secara alamiah
merupakan dasar utama pengembangan ilmu geokimia.
Dengan mengetahui jenis lapisan dan ketebalannya maka
sudah dapat prakirakan besaran potensi enerji, mineral dan
gas yang tersedia di bumi.
Perkembangan geokimia, historisnya diawali dari
sejarah perkembangan geologi, dimana pengetahuan
purbakala apa yang terjadi di muka bumi selalu dihubungkan
~ 13 ~
dengan kepercayaan tahyul. Misalnya peristiwa gempa bumi
yang terjadi di daerah pedalaman Afrika, bangsa Mozambigue
beranggapan bahwa bumi karena kedinginan dan demam.
Demikian juga penduduk pedalaman di Peru (Amerika
Selatan) menduga gempabumi yang terjadi karena dewa bumi
sedang menari. Semua anggapan-anggapan itu digugurkan
dengan munculnya ahli geologi, seperti Hution (1726-1729);
Cuvier (1830) dan Lyell (1830). Para ahli geologi menjabarkan
secara jelas perkembangan evolusi bumi dan peristiwa di
bumi adalah akibat gerakan bumi yang mengelilingi matahari.
Gerakan bumi ini berjalan lambat tetapi dapat memisahkan
pulau yang satu dengan yang lain.
Pengetahuan “geologi” menceritakan segala fosil-fosil
sejak purbakala yang mendiami bumi, fosil-fosil itu
merupakan sedimen yang terendap dalam waktu lama jutaan
tahun silam, sehingga membentuk lapisan-lapisan keras
sampai bisa terbentuknya pebatuan/kerak. Sedimen tersebut
dapat berasal dari bahan mineral yang ada di atmosfir jatuh
ke bumi dan ada juga makhluk hidup (flora dan fauna) yang
mati dan mengendap sejak ribuan tahun silam. Sehingga
dalam geologi dikenal lapisan strata menurut waktu
pengendapan (periode). Seperti
Prakambrium dan
Kambrium. Istilah “Kambrium” menunjukan batuan-batuan
yang tertua yang mengandung fosil berlimpah. Pembagian
prakambrium dan kambrium, bertolak dari waktu nol, yaitu
dihitung dari tahun kelahiran Jesus Kristus (Isa Al-masih).
Periode prakambriun di asumsikan hanya satu lapisan batu
tertua yang biasanya berada di bawah lapisan batuan yang
berfosil (Katili dan Marks, 1959).
Bertolak teori geologi pelbagai jenis pebatuan yang ada
menurut stratifikasi, pembentukan lapisan itu tidak lepas dari
~ 14 ~
suatu reaksi kimia alam yang berlangsung lama. Reaksi kimia
menjadikan sedimen yang mengeras jadi batu dikarenakan
mengandung kapur (kalsium/Ca), silikat dan fosfat. Demikian
pula karena fosil yang mengendap dari mahkluk hidup maka
di dalamnya ada unsur karbon, misalnya teori minyak bumi
menjelaskan bahwa minyak bumi itu terbentuk berasal dari
fosil plankton yang mengendap cukup lama di kerak bumi.
Karena pembentukan pebantuan, nodul (bongkahan)
dan gas-gas yang ada di bumi akibat interaksi kimia satu
dengan yang lain membentuk senyawa baru yang berfaedah
bagi kehidupan, itulah pengetahuan geokimia. Oleh
karenanya akar ilmu geokimia (geochemistry) adalah geologi
dan kimia, kemudian dikembangkan oleh praktisi ilmuan,
seperti
Georg Bauer, Nicolas Steno dan beberapa ahli
geologi. Mereka mempelajari sifat elemen kimia dan
mengembangkan daya nalarnya untuk mengetahui proses
reaksinya yang terjadi secara alamiah di bumi.
Akhir abad ke 18 pengetahuan geologi dan kimia
moderen tumbuh secara cepat, seorang ilmuan bernama
Antoine Lavoisier menulis hasil risetnya dalam sebuah buku
yang menceritakan keberadaan kimia yang masuk ke laut,
atmosfir, tanah dan dipebatuan, dan terjadi modifikasi
menjadi unsur kimia tertentu. Dasar temuan itu ilmu
geokimia dikembangkan oleh ilmuan kimia moderen, antara
lain: Humphry Davy dan John Dalton. Walaupun terjadi
perdebatan serius oleh para ilmuan geologi, akhirnya mereka
coba mempelajari sifat dan struktur kimia kristal serta timah
dalam mineralogy.
Awal memperkenalkan terminologi Geokimia adalah
kimiawan Swiss CF Schonbein di tahun 1838, ilmu ini
merupakan disiplin ilmu tersendiri yang dapat dipakai untuk
~ 15 ~
pelbagai bidang, kini pengetahuan geokimia dipakai dimanamana dan telah menjadi cabang ilmu yang berfaedah pada
pengetahuan ilmu alam.
Hasil survey beberapa laboratorium geofisika seperti :
“Geological Survey” Amerika Serikat pada tahun 1884;
Carnegie Institution of Washington , DC , pada tahun 1904
dan di beberapa negara Eropa ,terutama Norwegia dan Uni
Soviet , antara sekitar 1910 dan 1925. Data-data hasil survey
mereka membuka khazanah riset dan dipakai oleh ahli
geologi untuk memperkirakan komposisi rata-rata kerak
lapisan bumi.
Abad kedua puluh , jalannya geokimia telah dipandu
oleh beberapa kemajuan teknologi . Yang pertama adalah
penemuan dari seorang pakar bernama Max von Laue di
tahun 1912 dia membuktikan bahwa dalam kristal ada
substansi atom dapat berfungsi sebagai kisi difraksi untuk
menyebarkan seberkas sinar - X . Bertolak hasil temuan ini,
ilmuan William L. Bragg mencoba membuktikan struktur
kimia garam yang ada dikarang . Selanjutnya di tahun 1920,
Victor M. Goldschmidt dan rekan-rekannya di University of
Oslo berhasil menentukan struktur sejumlah besar mineral
umum , dan dari struktur ini , dirumuskan prinsip-prinsip
tentang kimia dan distribusi unsur-unsur dalam senyawa
alami.
Akhir-akhir ini
banyak pengetahuan geokimia
dimanfaatkan oleh ahli perminyakan, tidak hanya digunakan
untuk prediksi kandungan minyak dan gas tetapi segi
pemanfaatan produk itu lebih luas. Oleh karenanya mereka
menggunakan istilah
geokimia petroleum.
Geokimia
petroleum (minyak dan gas bumi) adalah penerapan prinsipprinsip kimia yang mempelajari tentang asal, migrasi,
~ 16 ~
akumulasi dan alterasi dari petroleum, selain itu menerapkan
konsep-konsepnya dalam rangka eksplorasi petroleum yang
lebih efektif.
Walaupun sebenarnya pengetahuan dan eksplorasi
minyak dan gas bumi telah berlangsung sejak zaman dahulu,
namun begitu, seiring berkembangnya waktu, ilmu semakin
berkembang, dengan lahirnya teknologi-teknologi terbarukan
sehingga semakin memudahkan dalam eksplorasi minyak dan
gas bumi untuk memenuhi kebutuhan energi.
Dengan kemajuan teknologi , akhirnya pengetahuan
geokimia mampu menyelidiki dan prediksi kimia bagian
lapisan bumi yang tidak dapat diakses, sampai saat ini ilmu
ini lebih banyak dipergunakan ketimbang geofisika.
Geokimia laut objek studinya yang lebih luas , termasuk
penguraian elemen utama ; gas-gas terlarut,
organik,
radionuklida, padatan tersuspensi, zat yang dikeluarkan dari
gunung api di dasar laut, sedimen dan mineral di dasar dan
tanah dibawah laut.
Disamping itu geokimia diapliksaikan pada teknologi
terapan radioaktif. Perkembangan kimia nuklir (radio aktif
isotop) bermula pada akhir abad kesembilan belas, oleh
Marie dan Pierre Curie. Oleh karena itu satuan mengukur
radioaktif menggunakan satuan curie. Peneliti bernama
Alfred O.C. Nier dari Minnesota universitas melakukan
penelitian selama 3 tahun (1936-1939) telah menemukan
kandungan isotop dari 25 elemen, akhirnya di tahun 1947
isotop diaplikasikan pada massa spektrometer. Sampai saat
ini prinsip-prinsip dari pengetahuan geokimia masih relevan
pada penerapan isotop, seperti pada spektrofotometer dan
radiologi kedokteran, penggunaan kimia nuklir di pelbagai
~ 17 ~
senjata yang mematikan manusia. Bahkan sampai saat ini
pengetahuan geokimia terus berkembang.
Massuk keabad dua puluh pengetahuan geokimia lebih
khusus geokimia laut makin berkembang pesat, terutama
diaplikasikan pada eksplorasi kerak samudera yang
mengandung kobalt kaya akan manganese.
Pebatuaan
tersbut sangat tersohor sebagai sumberdaya alam laut yang
memiliki nilai ekonomi tinggi , banyak diminati oleh negaranegara maju. Sering mereka menyebut pebatuan Fe-Mn
adalah pengganti minyak bumi sebagai penghasil devisa
negara.
Masyarakat dunia telah menyadari bahwa daratan kita
semakin sempit, dikarenakan adanya pertambahan penduduk
dan kegiatan pembangunan pemukiman serta aktifitas
industri. Semua faktor ini mempengaruhi kegiatan ekonomi
di daratan, alternatif
satu-satunya
menggali atau
memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di laut dalam
rangka mengisi devisa negara.
.
~ 18 ~
③
LAUT DAN ATMOSFER
SEBAGAI SUATU SISTEM GEOKIMIA
B
ab ini akan mengulas bagaimana kedudukan
geokimia dalam hubungan antara laut dengan
atmosfer. Tapi sebelum masuk lebih dalam uraian
tentang samudera (laut), kita harus pahami lebih dahulu
bahwa samudera itu secara geologi masuk kedalam lapisan
hidrosfer. Planit bumi yang kita tempati lebih dari 70%
didiami air sedang daratan luasnya relatif kecil. Barangkali
juga ini mempertanda kehidupan mahkluk di dalamnya
membutuhkan air yang cukup banyak bagi keberlanjutan
hidupnya.
Apabila kita melihat planit bumi dimana samudera
digambar dengan warna biru tua, maka terkesan pada kita
adalah betapa luasnya samudera itu jika dibandingkan
dengan daratannya, yakni 71% muka bumi ditutupi dengan
lapisan air yang kita sebut hidrosfer. Secara fisik permukaan
bumi ditinjau dari kedudukan garis lintang, berbeda daerah
yang satu dengan yang lain (lihat Tabel 3.1).
Hidrosfer sangat penting bagi kehidupan dibumi. Tak
ada mahluk hidup yang dapat hidup tanpa air. Hidrosfer juga
dapat meredam teriknya panas matahari, karena energi
cahaya matahari digunakan untuk menguapkan air. Dengan
hidrosfer terjadi pula sirkulasi air. Akibat dari adanya siklus
air ini, maka ada berbagai macam aliran air yang dikenal
antara lain, air laut menjadi bertambah asin, terbentuknya
sungai-sungai, danau-danau dan air tanah. Erosi juga dapat
mengubah permukaan tanah dan membentuk pebatuan
sedimen.
~ 19 ~
Tabel 3.1. Distribusi Perairan Laut dan Daratan
Garis
Lintang
( 0)
90-85
85-80
80-75
75-70
70-65
65-60
60-55
55-50
50-45
45-40
40-35
35-30
30-25
25-20
20-15
15-10
10-5
5-0
90-00
Belahan Bumi Utara
Perairan
Daratan
Perairan
Daratan
Perairan
(106km2)
(106km2)
( %)
(%)
(106km2)
0,979
……
100,0
…..
…..
2,545
0,384
85,2
12,8
…..
3,742
1,112
77,1
22,9
0,522
4,414
2,326
65,5
34,5
2,604
2,456
6,116
28,7
71,3
6,816
3,123
7,210
31,2
69,8
10,301
5,399
6,613
45,0
55,0
12,006
5,529
8,066
40,7
59,3
13,388
6,612
8,458
43,8
56,2
14,693
8,411
8,016
51,2
48,8
15,833
10,029
7,627
56,8
43,2
16,483
10,806
7,943
57,7
42,3
15,782
11,747
7,952
59,6
40,4
15,438
13,354
7,145
65,2
34,8
15,450
14,981
6,164
70,8
29,2
16,147
16,553
5,080
76,5
23,5
17,211
16,628
5,332
75,7
24,3
16,808
17,387
4,737
78,6
21,4
16,792
154,695
100,281
60,7
39,3
206,364
6
2
Total Perairan Laut
361,059 X 10 km , 70,8%
Total Daratan
148,892 X 106km2 , 29,2%
Sumber: Kossinna, 1921 dalam Sverdrup dkk, The Oceans, 1962.
~ 20 ~
Belahan Bumi Selatan
Daratan
Perairan
(106km2)
( %)
0,978
…..
2,929
…..
4,332
10,7
4,136
38,6
1,756
79,5
0,032
99,7
0,006
99,9
0,207
98,5
0,377
97,5
0,594
96,4
1,173
93,4
2,967
84,2
4,261
78,4
5,049
75,4
4,998
76,4
4,422
79,6
5,062
76,9
5,332
75,9
48,611
80,9
Daratan
(%)
100,0
100,0
89,3
61,4
20,5
0,3
0,1
1,5
2,5
3,6
6,6
15,8
21,6
24,6
23,6
20,4
23,1
24,1
19,1
Disamping itu akibat erosi bisa terancaman kehidupan
manusia, seperti peristiwa banjir bandang di Manado, Jakarta,
daerah pantura dan di daerah lain di Indonesia (peristiwa
tahun 2014), peristiwa ini berakibatkan hilang nyawa
manusia, kerugian material dan terganggu aktifitas
perekonomian. Adanya aliran air ini juga ke laut menjadikan
raut muka bumi di laut lebih “rata” daripada diatas tanah.
Proses perubahan itu melibatkan pengetahuan geokimia,
olehnya antar laut dan atmosfer merupakan satu sistem yang
tak terpisahkan
Sesungguhnya berapa volume air yang ada di dunia ini?
Suatu pertanyaan yang sangat menarik. Memang banyak
pendapat yang bermunculan, tapi consensus para ahli
diperkirakan sebanyak 1,35. 1012 m3. sebagian besar terdiri dari
air asin sebanyak 97,2%. Sedang yang berupa air danau,
sungai, air tanah dan uap air (awan) hanya sebesar 0,6%.
Lapisan air yang menyelimuti permukaan bumi disebut
hidrosfer, dimana hidrosfer di muka bumi dikelompokkan
menjadi dua, yaitu perairan darat dan perairan laut. Laut
merupakan sekumpulan air yang sangat luas di muka bumi
yang memisahkan atau menghubungkan suatu pulau atau
benua dengan pulau atau benua lainnya. Perairan laut tidak
hanya terdiri atas laut itu sendiri tetapi juga terdiri atas
samudera, teluk, dan selat.
Intinya komposisi kimia relatif di laut didominasi oleh
enam unsur utama ( Na , Mg , Ca , K , Cl , dan S ) . Pada awal
1819 profesor Kimia di Jenewa, Alexander Marcet mengatakan
dalam publikasinya bahwa , enam unsur ini hampir sama di
seluruh perairan laut di dunia . Senyawa-senyawa ini biasa di
kalkulasikan sebagai “salinitas” . Dari keenam unsur kimia
yang selalu ada di laut, hanyalah kalsium memperlihatkan
variasi kecil tetapi dapat diukur.
Berangkat dari keterangan ilmiah ini, maka seorang ahli
oseanografi yang sangat terkenal, W. Dittmar pada tahun 1873
melakukan riset secara detail. Peneliti ini menggunakan
~ 21 ~
contoh air laut sebanyak 77 contoh diambil dari beberapa
perairan di Samudera Pasifik, Hindia dan Atlantik melalui
suatu ekspedisi yang dilakukan oleh H.M.S. Challenger. Ia
mendeterminasi tentang garam-garam, sulfat, magnesium,
kalsium dan kalium (potassium) dan jenis kimia lainnya
dalam takaran garam per kilogram (‰). Tabel 3.2 berikut ini
disajikan hasil kajian Dittmar tentang kimia utama terdapat
di air laut pada standar konsentrasi Cl = 19.00 ‰, angka Cl ini
merupakan nilai tengah rasio antar perbedaan ion dan total
padatan terlarut.
Tabel.3.2. Kimia Utama yang Terkandung di Air Laut
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Ion
Nilai
Cl = 19‰
%
Cl
18,980
55,04
Br
0,065
0,19
SO42,649
7,68
CO3
0,00
HCO3
0,140
0,41
F0,001
0,00
H3BO3
0,026
0,07
++
Mg
1,272
3,69
Ca++
0,400
1,16
++
Sr
0,013
0,04
+
K
0,380
1,10
Na+
10,556
30,61
∑ 34,482 ‰
Sumber: Sverdrup dkk, 1962. The Ocean.
-
Air yang ada di perairan laut tidak berbentuk air murni
namun bersenyawa dengan beberapa garam, para ahli telah
sepakat ukuran garam-garam yang terlarut di dalam air laut
menggunakan satuan salinitas (salinity). Salinitas di laut
umumnya berkisar antara 33 – 37 ‰ tergantung pada kondisi
~ 22 ~
wilayahnya, yakni wilayah yang banyak curah hujan, muara
sungai, limpasan es dan salju, dan daerah yang setengah
tertutup (semi-enclosed). Khusus di laut merah sering terjadi
proses penguapan (evaporasi) yang sangat cepat, kadar
salinitasnya dapat mencapai 40‰.
Pengikatan ion dalam tingkat tertentu, untuk pasangan
ion antara delapan ion terlarut paling banyak dalam air laut,
yaitu Na+ , K+, Ca2+, Cl-, HCO3-, CO32- dan SO42-, yang
membentuk lebih 99% total ion terlarut. Data konsentrasi
dan keseimbangan untuk interaksi antara empat kation dan
empat anion larutan yang telah digunakan untuk menghitung
hasil pada tabel-tabel berikut.
Tabel 3.3. Distribusi ion di Unsur Utama pada Anion di Air Laut
Ion
Konsentrasi
(mol)
Ion
bebas
(%)
Dengan
SO42-
Dengan
HCO3-
Dengan
CO32-
Kalsium, Ca2+
Magnesium,Mg2+
+
Natrium, Na
+
Potasium, K
0,0104
0,0540
0,4752
0,0100
91
87
99
99
8
11
1,2
1
1
1
0,001
-
0,2
0,3
-
Sumber: Svedrup dkk (1962)
Tabel 3.4. Distribusi ion di Unsur Utama pada kation di Air Laut
Ion
2-
Sulfat, SO4
Bikarbonat,
Karbonat
Konsentra
si
(mol)
Ion
bebas
(%)
Dengan
2+
Ca (%)
Dengan
2+
Mg
(%)
Dengan
+
Na
(%)
Denga
n
K+
(%)
0,0284
0,00238
0,000,269
54
69
9
3
4
7
21,5
19
7
21
8
17
0,5
-
Sumber: Svedrup dkk (1962)
Zat terlarut kebanyakan mempunyai waktu residen
lebih lama daripada waktu pengadukan.
Hal ini
memungkinkan terjadi karena siklus ulang di dalam perairan,
~ 23 ~
terutama karena keterlibatannya dalam reaksi biologi.
Disamping itu, dapat terjadi juga pertukaran di sepanjang
dasar laut dan bidang batas udara-laut.
Zat terlarut itu pada akhirnya akan berpindah dari
larutan air ke sedimen di dasar laut dan batuan melalui proses
bolak-balik.
Proses tersebut termasuk penyerapan dan
“scavenging” unsur-unsur minor, formasi pembentukan
kerangka, reaksi diagenetika di sedimen, penimbunan partikel
di lingkungan sekitar lingkaran anoxic, serta reaksi pada saat
aktivitas hidrotermal.
Kadar garam air laut rata-rata adalah + 3%, sebagian
besar berupa garam dapur (NaCl) sebanyak 85%, garam
inggris (MgSO4) sebanyak 10%, dan inilah yang membuat air
laut terasa agak pahit. Adapun 5% lainnya terdiri dari
berbagai mineral antara lain Calsium, Kalium, Bromida dan
lain-lain.
Laut mempunyai kedalaman dasar yang berbeda-beda.
Dasar laut membentuk lereng mulai garis pantai ke arah
tengah laut. (gambar 3.1) Kedalaman laut makin bertambah
dengan makin jauh jaraknya dari daratan pantai.
Gambar 3.1. Zona Kedalam Laut
Bertolak pada gambar diatas ternyata di laut ada 4
zona yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu:
~ 24 ~
a. Zona litoral atau zona pasang surut, merupakan
wilayah laut yang berada di antara pasang naik dan
pasang surut air laut. Zona ini sering disebut dengan
daerah pantai.
b. Zona neritik, merupakan wilayah laut yang berada di
antara garis pantai kedalaman 200 m. Pada zona ini
sinar matahari masih dapat menembus ke dalam.
Ikan dan sejenisnya serta tumbuhan laut banyak
dijumpai pada zona ini.
c. Zona batial, merupakan wilayah laut yang berada
pada kedalaman 200–2.500 m. Pada zona ini sinar
matahari sudah tidak mampu menembus ke dalam
sehingga organisme laut tidak sebanyak pada zona
neritik. Zona batial biasanya merupakan lereng benua
(continental slope) yang curam dan berbatasan
dengan landas benua (continental shelf).
d. Zona abisal, merupakan wilayah laut yang
mempunyai kedalaman lebih dari 2.500 m. Suhu pada
wilayah ini sangat dingin. Hewan laut yang dapat
hidup hanya terbatas, tumbuhan laut sudah tidak
ada.
Gambaran secara keseluruhan fisik laut (relief) perlu juga
kita ketahui agar proses interaksi kimia sebagai proses
geokimia lebih mudah dipahami oleh pembaca. Relief dasar
laut (morfologi) adalah perbedaan tinggi dan rendah
permukaan laut. Halmana relief merupakan bentuk kekasaran
permukaan bumi, baik berupa tonjolan, gunung, dataran,
atau cekungan yang terjadi karena adanya pengaruh tenagatenaga pembentuk muka bumi, baik tenaga endogen maupun
tenaga eksogen.
Bentuk muka bumi di lautan tidak seruncing dan
sekasar relief di daratan. Keadaan ini sebagai akibat dari erosi
di dalam lautan dan oleh adanya pengikisan yang berlangsung
lama oleh arus laut di dasar perairan (lihat gambar 3.2).
~ 25 ~
Gambar 3.2. Morfologi Dasar Laut
Sumber: Skinner ( 1976)
Gambar diatas memperlihatkan beberapa bagian dasar
laut, yaitu (a) Landas Kontinen (Continental Shelf) adalah
bagian dari benua yang terendam oleh air laut. Untuk
menentukan apakah dasar laut merupakan kelanjutan dari
suatu benua, biasanya dilihat dari struktur batuan
pembentuknya (kondisi geologi). Yang paling mudah diamati,
landas kontinen memiliki kedalaman tidak boleh lebih dari
150 meter. Sedangkan Batas Landas Kontinen merupakan
batas dasar laut yang sumberdaya alamnya dapat dikelola
oleh negara yang bersangkutan;
(b) Lereng kontinen
(continental slope) merupakan kelanjutan dari continental
shelf dengan kemiringan antara 4% sampai 6%. Kedalaman
lereng benua lebih dari 200 meter. Daerah ini meluas dari
patahan beting sampai pada kedalaman rata-rata 2 km.
Daerahnya curam dengan kemiringan rata-rata 1:2 sampai
1:40, dan mencakup luas 13% dari luas permukaan bumi; (c)
~ 26 ~
Jurang submarine (submarine canyon) adalah lembah yang
dalam (tenggelam) dan lebar. Yang dimaksud lembah
tenggelam adalah lembah lembah sungai yang tergenang air
laut sebagai akibat penenggelaman daratan. Contoh: lembahlembah sungai purba di Laut Jawa dan Selat Karimata; (d)
kontinen landai (continental rise), punggung bukit lautan
yang terbentuk di dasar laut, mirip tanggul raksasa,
panjangnya bisa ribuan kilometer; (e) Mid ocean ridge,
merupakan kumpulan gunung-gunung vulkanik dari dasar
lautan yang bagian-bagian badan dan puncaknya mencapai
permukaan laut dan membentuk pulau-pulau. Mid ocean
ridge ini banyak terdapat di tengah samudra pasifik;
(f)
Guyot, yaitu gunung di dasar laut yang bentuknya serupa
dengan “seamount” tetapi bagian puncaknya datar. Banyak
terdapat di lautan pasifik. Sedang Seamount adalah gunung
di dasar laut dengan lereng yang curam dan berpuncak
runcing serta kemungkinan mempunyai tinggi sampai 1 km
atau lebih tetapi tidak sampai ke permukaan laut; dan (g)
Palung (trench) adalah lembah yang sangat dalam dan
memanjang di dasar laut serta memiliki lereng yang curam.
Palung ini merupakan bentukan morfologi dasar laut yang
berbentuk seperti saluran atau parit yang sangat dalam yang
pada umumnya terdapat pada perbatasan antara benua
dengan kepulauan. Trench ini memiliki tingkat kedalaman
yang tinggi, sebagai contoh sebagian dari ava trench memiliki
kedalaman 7.700 meter
Setelah kita ketahui secara bentuk kimia utama dan
bentuk laut serta bagian-bagiannya, sekarang ini marilah lihat
bentuk dan karakteristik atmosfer.
Kata atmosfer berasal dari bahasa Yunani, dari kata
atmos yang berarti udara dan spheira yang berarti lapisan.
Jadi, atmosfer adalah lapisan udara yang menyelubungi bumi.
Atmosfer tersusun oleh sejumlah zat yaitu: Nitrogen (N2)
sebesar 78,08%, Oksigen (O2) sebesar 20,94%, Argon (Ar)
~ 27 ~
sebesar 0,90%, Karbondioksida (CO 2) sebesar 0,03% dan
sisanya terdiri atas gas lainnya dengan jumlah sedikit.
Sifat fisik atmosfer, yakni (1) merupakan campuran
berbagai gas yang tidak berwarna dan tidak terlihat oleh
mata; (2) Memiliki berat sehingga memiliki juga tekanan
udara; (3) Mengembang jika terkena panas dan mengerut
ketika dingin; (4) Jika terjadi perbedaan tekanan, maka
terjadilah pergerakan udara yang disebut angin yang bergerak
dari tekanan tinggi ke tekanan rendah; dan ke (5) Tidak
berbau, tidak berwarna, dan tidak bisa dirasakan
Atmosfer merupakan udara yang menyelubungi bumi dan
sangat berguna bagi keberlangsungan kehidupan di bumi
karena beberapa sebab: ① atmosfer mampu melindungi
bumi dari pancaran radiasi matahari yang bersuhu 6000
derajat Kelvin; ② atmosfer berperan penting dalam siklus
hidrologi pada proses penampungan air dari permukaan bumi
(daratan dan lautan); ③ atmosfer mengandung oksigen yang
dibutuhkan makhluk hidup untuk bernapas; dan ke ④
atmosfer merupakan medium tempat bercampurnya pelbagai
unsur kimia yang berdampak pada kualitas udara.
Sudut pandang profil temperatur vertikal, maka atmosfer
dapat dibagi menjadi empat lapisan yang berbeda yaitu
troposfer, stratosfer, mesosfer, dan termosfer. Puncak dari
lapisan-lapisan tersebut adalah tropopause, stratopause,
mesopause, dan termopause (gambar 3.3).
Troposfer merupakan lapisan terbawah dari atmosfer
terdapat pada ketinggian dari 8 km di daerah kutub dan 16
km di ekuator. Ruang terjadinya sirkulasi dan turbulensi
seluruh bahan di atmosfer atau dapat dikatakan sebagai
daerah interaksi kimia, sehingga menjadi salah satu lapisan
yang mengalami pembentukan dan perubahan cuaca seperti
angin, awan, presipitasi, badai, kilat dan guntur. Secara
umum panas bumi yang terjadi akibat oleh jumlah zat rumah
kaca berlimpah akan bertumpuk di lapisan ini sehingga sinar
~ 28 ~
matahari masuk ke bumi, pantulan baliknya terhambat
terhalang oleh gas rumah-kaca di lapisan ini.
Gambar 3.3. Bentuk Lapisan Atmosfer
Sumber: Skinner ( 1976)
Kecepatan angin pada lapisan ini bertambah dengan
naiknya ketinggian dan di troposfer ini pemindahan energi
berlangsung. Radiasi surya menyebabkan pemanasan
permukaan bumi yang selanjutnya panas tersebut diserap
oleh air untuk berubah menjadi uap. Akibat proses evaporasi,
energi panas diangkat oleh uap ke lapisan atas yang lebih
tinggi berupa panas laten. Setelah terjadi pendinginan
berlangsung proses kondensasi.
Pada lapisan ini suhu udara turun dengan bertambahnya
ketinggian (dT/dz < 0) atau pada keadaan lapse rate (Suhu
udara turun dengan bertambahnya ketinggian).
Rata-rata
lapse rate seluruh dunia pada keadaan normal adalah -6.5
derajatK, setiap kenaikan ketinggian 1 km. Pada atmosfer
normal, suhu troposfer berubah dari 15 0C pada permukaan
laut menjadi -600C di puncak troposfer.
~ 29 ~
Lapisan di atasnya dengan suhu tetap atau meningkat
disebut stratofer kisaran ketinggiannya antara 12-50 km diatas
permukaan laut. Lapisan ini terdiri dari 3 wilayah antara lain
Stratofer bawah ketinggiannya 12-20 km daerah isotermis,
Stratosfer tengah ketinggiannya 20-35 km daerah inversi suhu,
Stratosfer atas ketinggiannya 35-50 km daerah inversi suhu
yang kuat. Lapisan ini tidak mengalami turbulensi maupun
sirkulasi. Stratosfer merupakan lapisan atmosfer utama yang
mengandung gas ozon.
Lapisan dengan suhu menurun di ketinggian 50-80 km
disebut mesosfer dengan perubahan suhu terhadap ketinggian
adalah lapse rate. Pada lapisan ini suhu udara sekitar -50C
pada lapisan hingga -950C pada puncaknya. Tidak mengalami
turbuleni atau sirkulasi udara. Merupakan daerah penguraian
O2 menjadi atom O. Batas atasnya adalah lapisan mesopause
dengan perubahan suhu terhadap ketinggian mulai bersifat
isotermal. Lapisan di atasnya dengan suhu yang meningkat
disebut termosfer. Lapisan ini ditandai dengan beberapa ciri
yaitu memiliki ketinggian 80 km hingga batas yang sulit
ditentukan karena sangat jarangnya partikel gas yang
mencapai lapisan ini.
Di atas termosfer adalah ionosfer, merupakan puncak
atmosfer yang langsung bersentuhan dengan ruang hampa
udara. Lapisan ini merupakan tempat berlangsungnya proses
ionisasi gas ionasasi gas N2 dan O2 sehingga lapisan ini
disebut ionosfer. Dimana diatas ketinggian 100km pengaruh
radiasi uv dan sinar x makin kuat.
Lapisan terdekat bumi, troposfer, mengandung 6/7
bagian dari massa total atmosfer yang relatif tercampur secara
sempurna, sangat basah, dan merupakan pusat aktivitas dan
pembentukan awan maupun hujan.
Seperti uraian diatas, kimia-kimia utama di laut yang
relatif konstan berdiam di perairan laut walaupun kecil
jumlahnya, kecuali kalsium (Ca2+) yang sangat bervariasi
rasionya namun bisa diterah atau dapat diukur. Zat kimia di
~ 30 ~
laut yang konstan disebut sebagai senyawa “konservatif”.
Senyawa-senyawa itu dapat berubah kuantumnya jika ada
pemasukan air murni ke laut, seperti dari sungai, danau dan
sebagainya.
Umumnya para ahli geokimia menaruh perhatian pada
elemen minor dilaut seperti B , Li , Sb , U , dan Br dan juga
kimia konservatif , yang sering bervariasi secara dramatis
relatif terhadap salinitas.
Kekuatan pengikatan kimia sangat tergantung pada ion,
dimana kation dan anion dalam larutan mengalami tarikan
dan atau tolakan elektrostatik bergantung pada muatan tiap
ionik. Interaksi tersebut adalah kabalikan proporsi terhadap
kuadrat jarak antara ion dan sangat kecil dalam larutan yang
sangat encer ketika ionnya jauh terpisah. Akan tetapi, dalam
larutan asin seperti air laut, interaksi antara ion terlarut tidak
dapat diabaikan. Interkasi tersebut menentukan spesifikasi
zat terlarut dan pengaruhnya mengurangi kemampuan ionion dalam reaksi kimia organik atau biologi. Di laut ada juga
unsur kimia nir-konservatif yang memegang peranan dalam
proses biologi di laut.
Kadar garam yang ada di laut umumnya diterah
dengan satuan salinitas dalam takaran per mil (‰).Dengan
demikian , air laut yang memiliki total kandungan garam
terlarut dari 3,45 % berat memiliki salinitas 34,5 ‰ . Menurut
McSween dkk (2003) perairan laut terbuka dan normal
salinitas bervariasi dari 33 ‰ sampai 38 ‰, kecuali di laut
mati kadar garamnya tinggi bisa mencpai 45‰.
Ion dengan garam ionik yang kuat (elektrolit yang
kuat) seperti natrium klorida
mempunyai satu-satunya
interaksi yaitu tarikan elektrostatik dan atau tolakan antara
ion yang bersifat independen, dan lingkaran hidrasi yang
tetap.
Beberapa ion membentuk pasangan ion ketika
lingkaran hidrasi ion unsur besar dan hasilnya dapat berupa
spesies netral atau bermuatan. Pasangan ion jarang terbentuk
~ 31 ~
antara dua monovalen, biasanya terbentuk antara dua ion
polivalen atau antara satu ion polivalen dan satu ion
monovalen.
Walaupun tidak ada bagian yang jelas antara
pembentukan ion kompleks dan pasangan ion, terdapat dua
perbedaan prinsip: pertama, ikatan dalam ion kompleks
adalah kovalen, bukan elektrovalen seperti pada pasangan
ion. Kedua, bila ion kompleks terbentuk dalam larutan,
lingkaran hidrasi dwikutub atau lebih ion tunggal akan
membuat gabungan kompleks untuk membentuk selimut
penyatuan hidrasi.
Sesungguhnya, jika sebagian jumlah total ion terlarut
berinteraksi dengan ion-ion lain dalam larutan, ion tersebut
tidak bebas untuk terlibat dalam reaksi kimia. Besarnya
interaksi dan pengaruhnya pada reaktivitas kimia jenis
terlarut bergantung pada sifat ion-ion yang terlibat.
Umumnya untuk konsentrasi larutan adalah sama terhadap
air laut, dan proporsi konsentrasi total jenis ionik yang bebas
bereaksi berkurang dengan bertambahnya muatan.
Konsentrasi efektif
akan
kurang variasinya
dibandingkan dengan konsentrasi sebenarnya. Konsentrasi
efektif (dikenali sebagai aktivitas keseimbangan larutan)
hakekatnya berada dalam larutan 70% konsentrasi yang
sesungguhnya, disamping itu terdapat beberapa ion-ion
multivalen yang kompleks meliputi 5-10%, contohnya Al3+.
Sedang untuk ion kurang berinteraksi, seperti Na+ adalah
merupakan subyek pada interaksi elektrostatik
Mula-mula diperkirakan bahwa zat-zat kimia yang
menyebabkan air laut asin berasal dari darat yang dibawa oleh
sungai-sungai yang mengalir ke laut, entah itu dari pengikisan
pebatuan di darat, dari tanah longsor, dari air hujan atau dari
gejala alam lainnya, yang terbawa oleh air sungai ke laut. Jika
hal ini benar tentunya susunan kimiawi air sungai tidak akan
berbeda dengan susunan kimiawi air laut. Namun menurut
teori, zat-zat garam tersebut berasal dari dalam dasar laut
~ 32 ~
melalui proses outgassing, yakni rembesan dari kulit bumi di
dasar laut yang berbentuk gas ke permukaan dasar laut.
Bersama gas-gas ini, terlarut pula hasil kikisan kerak bumi
dan bersama-sama garam-garam ini merembes pula air,
semua dalam perbandingan yang tetap sehingga terbentuk
garam di laut. Kadar garam ini tetap tidak berubah sepanjang
masa. Artinya kita tidak menjumpai bahwa air laut makin
lama makin asin.
Zat-zat yang terlarut yang membentuk garam, yang
kadarnya diukur dengan istilah salinitas dapat dibagi menjadi
empat kelompok, yakni:
1. Konstituen utama : Cl, Na, SO4, dan Mg.
2. Gas terlarut : CO2, N2, dan O2.
3. Unsur Hara : Si, N, dan P.
4. Unsur Runut : I, Fe, Mn, Pb, dan Hg.
Konstituen utama merupakan 99,7% dari seluruh zat
terlarut dalam air laut, sedangkan sisanya 0,3% terdiri dari
ketiga kelompok zat lainnya. Akan tetapi meskipun kelompok
zat terakhir ini sangat kecil persentasenya, mereka banyak
menentukan kehidupan di laut. Sebaliknya kepekatan zat-zat
ini banyak ditentukan oleh aktivitas kehidupan di laut.
Hakikinya, salinitas merupakan jumlah dari seluruh
garam-garaman dalam gram pada setiap kilogram air laut.
Secara praktis, adalah susah untuk mengukur salinitas di laut,
oleh karena itu penentuan harga salinitas dilakukan dengan
meninjau komponen yang terpenting saja yaitu klorida (Cl).
Kandungan klorida ditetapkan pada tahun 1902 sebagai
jumlah dalam gram ion klorida pada satu kilogram air laut
jika semua halogen digantikan oleh klorida. Penetapan ini
mencerminkan proses kimiawi titrasi untuk menentukan
kandungan klorida.
Salinitas ditetapkan pada tahun 1902 sebagai jumlah total
dalam gram bahan-bahan terlarut dalam satu kilogram air
laut jika semua karbonat dirubah menjadi oksida, semua
bromida dan yodium dirubah menjadi klorida dan semua
~ 33 ~
bahan-bahan organik dioksidasi. Selanjutnya hubungan
antara salinitas dan klorida ditentukan melalui suatu
rangkaian pengukuran dasar laboratorium berdasarkan pada
sampel air laut di seluruh dunia dan dinyatakan sebagai:
S (o/oo) = 0.03 +1.805 Cl (o/oo)
Simbol o/oo (dibaca per mil) adalah bagian per seribu.
Kandungan garam 3,5% sebanding dengan 35o/oo atau 35
gram garam di dalam satu kilogram air laut. Persamaan tahun
1902 di atas akan memberikan harga salinitas sebesar
0,03o/oo jika klorinitas sama dengan nol dan hal ini sangat
menarik perhatian dan menunjukkan adanya masalah dalam
sampel air yang digunakan untuk pengukuran laboratorium.
Oleh karena itu, pada tahun 1969 UNESCO memutuskan
untuk mengulang kembali penentuan dasar hubungan antara
klorinitas dan salinitas dan memperkenalkan definisi baru
yang dikenal sebagai salinitas absolut dengan rumus:
S (o/oo) = 1.80655 Cl (o/oo) (1969)
Namun demikian, dari hasil pengulangan definisi ini
ternyata didapatkan hasil yang sama dengan definisi
sebelumnya.
Definisi salinitas ditinjau kembali ketika cara untuk
menentukan salinitas dari pengukuran konduktivitas,
temperatur dan tekanan dikembangkan. Maka sejak tahun
1978, didefinisikan suatu satuan baru yaitu Practical Salinity
Scale (Skala Salinitas Praktis) dengan simbol S, sebagai rasio
dari konduktivitas.
Hakiki, salinitas dari suatu sampel air laut ditetapkan
sebagai perbandingan dari konduktivitas listrik (K) sampel air
laut pada temperatur 15oC dan pada tekanan satu atmosfer
terhadap larutan kalium klorida (KCl), dimana bagian massa
KCl adalah 0,0324356 pada temperatur dan tekanan yang
sama. Rumus dari definisi ini adalah:
S = 0.0080 - 0.1692 K1/2 + 25.3853 K + 14.0941 K3/2 - 7.0261 K2
+ 2.7081 K5/2
~ 34 ~
Dari penggunaan definisi baru ini, dimana salinitas
dinyatakan sebagai rasio, maka satuan ‰ (permil) tidak lagi
berlaku, praktis nilai 35 ‰ berkaitan dengan nilai 35 dalam
satuan. Beberapa oseanografer menggunakan satuan "psu"
dalam menuliskan harga salinitas, yang merupakan singkatan
dari "practical salinity unit". Karena salinitas praktis adalah
rasio, maka sebenarnya ia tidak memiliki satuan, jadi
penggunaan satuan "psu" sebenarnya tidak mengandung
makna apapun dan tidak diperlukan. Pada kebanyakan
peralatan yang ada saat ini, pengukuran harga salinitas
dilakukan berdasarkan pada hasil pengukuran konduktivitas.
Salinitas di daerah subpolar (yaitu daerah di atas daerah
subtropis hingga mendekati kutub) rendah di permukaan dan
bertambah secara tetap (monotonik) terhadap kedalaman. Di
daerah subtropis (atau semi tropis, yaitu daerah antara 23,5 o 40oLU atau 23,5o - 40oLS), salinitas di permukaan lebih besar
daripada di kedalaman akibat besarnya evaporasi
(penguapan). Di kedalaman sekitar 500 sampai 1000 meter
harga salinitasnya rendah dan kembali bertambah secara
monotonik terhadap kedalaman. Sementara itu, di daerah
tropis salinitas di permukaan lebih rendah daripada di
kedalaman akibatnya tingginya presipitasi (curah hujan).
Besaran senyawa kimia di laut bervariasi dan sangat
tergantung pada kondisi atmosfer, terlihat korelasi positif
antar samudera dan atmosfer. Gambar berikut memberikan
ilustrasi bagaimana interaksi positif antar daerah permukaan
laut (atmosfer) dengan kedudukan kimia di laut.
Air menguap ke udara membawa beberapa senyawa
kimia, apalagi jika udara itu telah terpolusi oleh kimia logam,
maka zat-zat kimia tersebut akan bersama uap air akan
terkondensasi yang akhirnya akan jatuh ke laut dan
mengendap sebagai sedimen dan membentuk lapisan keras
(kerak) (lihat gambar warna hitam).
Adanya sirkulasi hidrotermal terjadilah pengikisan
pebatuan, mineral dalam batuan kerak lautan mengakibatkan
~ 35 ~
pemasukan unsur klorida, sulfat serta gas-gas ke dalam
perairan laut sehingga elemen kimia di laut lebih kompleks.
penguap
an
1
Cuaca
}
Batuan di
daratan
kondensasi
penguapa
n
sendimen
4
subduksi
photosintesa
penghancur
bahan larutan
hidrothermal
Kepermukaa
3
aerosol
oceanic
Perubahan
gas
organism
kepermukaan n
Gerakan
pengendap
debu
an
pore
waterpenghancuran bakteri
air
2
nutrien
exchang
e
Gambar3.4. Ilustrasi Atmosfer dan Laut Suatu Sistem
Sumber: Rompas dkk (2009)
Selain itu oleh adanya gerakan bumi apalagi wilayah perairan
laut Indonesia terdapat lempengan bumi yang mudah
bergerak berakibatkan penambahan unsur kimia di laut.
Pebatuan sedimen maupun partikel-partikel hasil
vulkanik di dasar laut dipindahkan secara langsung keatas
(uplit) atau ke atas permukaan laut maupun oleh subduksi ke
dalam mantel bumi. Elemen-elemen naik keatas dan adanya
pengaruh cuaca partikel-pertikel itu jatuh sebagai sedimen
dan batuan ke dalam kerak melalui proses magmatik, dan
~ 36 ~
membentuk macam bentuk batuan (igneous) dan
membebaskan gas-gas vulkanik kedalam perairan.
Partikel-partikel dari udara masuk kedalam laut
membawa pelbagai elemen kimia, ada yang bentuk padatan,
cair dan gas. Semua elemen kimia itu akan berasosiasi
dengan elemen di laut, bahkan ada yang dimanfaatkan oleh
organisme hidup untuk keperluan kehidupannya. Sebagian
partikel itu jatuh sebagai sedimen dan mengendap di dasar
laut, kemudian diluruhkan oleh mikroorganisme sehingga
menjadi bahan nutrien bagi percepatan proses fotosintesa.
Adanya aliran air sungai maupun air permukaan tanah
(run off) membawa elemen kimia yang menambah kekayaan
kimia di lautan. Bahan-bahan yang dihantar oleh aliran
sungai ada yang bentuk padatan maupun berbentuk senyawa.
Sedimen laut dan batuan igneous mempunyai
komposisi elemen kimia yang sangat kompleks, halini berlaku
tidak hanya unsur utama limestone, sandstone dan shales,
melainkan berlaku juga untuk elemen unsur minor.
Hampir semua sedimen terigen di bagian lapisan
pelagis terdiri atas bahan-bahan yang berukuran kecil. Ada
dua cara bahan tersebut sampai ke permukaan, pertama
adanya bantuan arus turbulensi dan aliran gravitasi dan
kedua melalui gerakan es yaitu bahan glasial yang dibawa
oleh bongkahan es ke laut lepas dan mencair. Bongkahan es
besar yang mengapung bongkahan es kecil dan pasir dapat
ditemukan pada sedimen pelagis yang berjalan beberapa ratus
kilometer dari daerah gletser atau tempat asalnya.
Selain zat-zat terlarut ini, air juga mengandung butiranbutiran halus dalam suspensi. Sebagian dari zat ini akhirnya
terlarut, sebagian lagi mengendap ke dasar laut dan sisanya
diurai oleh bakteri menjadi zat-zat hara yang dimanfaatkan
tumbuhan untuk fotosintesis
Unsur terlarut kebanyakan mempunyai waktu residen
lebih lama dari pada waktu pengadukan.
Hal ini
memungkinkan terjadi karena siklus ulang di dalam perairan,
~ 37 ~
terutama karena keterlibatannya dalam reaksi biologi.
Disamping itu, dapat terjadi juga pertukaran di sepanjang
dasar laut dan bidang batas udara-laut.
Unsur terlarut, pada akhirnya akan berpindah dari
larutan air ke sedimen di dasar laut dan batuan oleh prosesproses perubahan yang reversible. Proses tersebut termasuk
penyerapan dan “scavenging” unsur-unsur minor, formasi
material kerangka, reaksi diagenetik dengan sedimen,
penyimpanan dalam lingkaran anoxic, serta reaksi pada saat
aktivitas hidrotermal. Interaksi kimia di dasar laut dalam
periode yang cukup panjang bisa mengakibatkan polimetalik
nodul yang keras.
Elemen kimia di laut sejak bumi awal sampai sekarang
sangat berbeda, apalagi laut merupakan wadah terbesar yang
dapat menampung pelbagai kimia, baik dari daratan, udara
maupun dari dasar lautan.
Gambar berikut ini memperlihatkan lempengan kerak
bumi dengan kandungan elemen kimia yang terdapat pada
setiap lapisan.
Pebatuan Vulkanik: Fe,Cu, Mn,
Co, Cd, Zn, Ni, He, La, Nd, dsb
Senyawa
organik
Batuan Granit: Si, Al, K, Ar,
Ni, Cd, Pb, Au, Fe, dsb.
Pebatuan sedimen: Ca, C, S, Na, Mg,
K, Fe , Cd, P, , Cl,Co dsb.
Gambar. 3.5. Sumber Elemen Kimia di Laut
~ 38 ~
Bahan-bahan ini hadir di badan air, akibat dari kejadian
gerakan bumi akan melepaskan elemen kimia ke perairan
laut, yang kemudian kimia tersebut sebagian dimanfaatkan
oleh organisme perairan, sebagian diuraikan oleh
mikroorganisme dan yang lain akan tertinggal sebagai
sedimen. Hein (2004) kobalt yang kaya akan senyawa
ferromaganese yang ada dilaut sesungguhnya berasal dari
“seamount”; punggung laut (ridge) dan tanah keras didasar
laut, selain itu pula bisa zat kimia ini hadir di laut oleh
adanya gerakan bumi mengeluarkan magma. Tetapi tidak
hanya cobalt saja, namun senyawa titanium, cerium, nikel,
platinum, Mg, thallium dan tellurium dapat terjadi. Kobalt
kaya akan Fe-Mn, para ilmuan geokimia laut menyebut
sebagai kerak dan bongkahan kobalt atau Fe-Mn. Karena
kerak tersebut belakangan ini telah menjadi perhatian khusus
oleh ISA, karena sumber ekonominya sangat besar, maka
penulis membahas khusus di bab 11 (bagian akhir).
Sejak pertengahan 1970-an , ahli geokimia secara bertahap
menemukan bahwa sejumlah trace elemen , seperti Sr , Cd ,
Ba , dan Cr , juga kehadiran zat kimia yang berhubungan
dengan nutrien di laut , meskipun tidak begitu jelas dalam
banyak kasus bagaimana elemen ini terlibat dalam proses
secara biokimia di laut. Dari sudut pandang geokimia ,
gradien terukur sangat penting untuk kemampuan kita
melacak jalur dan proses biologi , sedimen , dan perilaku
sirkulasi di lautan .
McSween dkk (2003) telah melakukan penelitian terhadap
kimia dilaut dan teridentifikasi kelimpahan serta sifat
sejumlah elemen di laut dalam, seperti terlihat pada tabel 3.5
berikut. Sejumlah elemen itu dikelompok ke dalam kimia
konservatif dan nir-konservatif. Juga gas-gas terlarut ( O2 ,
CO2 , H2S , dan beberapa gas yang bebas N2 dan N2O , yang
terlibat dalam proses metabolisme. Pola kelimpahan sangat
menentukan sebagian besar kelarutan senyawa kimia di laut.
~ 39 ~
Tabel 3.5 Kelimpahan dan Sifat Beberapa Kimia di Laut
Kosentrasi di Permukaan
Kosentrasi di Kedalaman
Unsur
Sifat
-1
Li
178 µg Kg
Konservatif 1
-1
B
4.4 mg Kg
Konservatif 1
C
2039178 µmol
2264 µmol Kg-1 (714
Nutrien
m)
N (N2) 560 µmol Kg-1 (995 m) GasNonnutrien
-7
-1
(NO3-) <3 X 10 mol Kg
41 µmol Kg-1 (891 M)
Nutrien
-1
O(O2)
205 µmol Kg
47 µmol Kg-1 (891 m)
Hub. Nutrien
-1
F
1,3 mg Kg
konservatif
Na
10, 781 g Kg-1
Konservatif
-1
Mg
1,284 g Kg
Konservatif
Al
1,0 µg Kg-1
0,6 µg Kg-1 (1000 m)
?
-1
100,8 µ mol Kg (891 m)
Si
2,0 µg Kg-1
Nutrien
-1
-1
2,84
µ
mol
Kg
(891
m)
P
0,08 µg Kg
Nutrien
S
2,712 g Kg-1
Konservatif
Cl
19, 353 g Kg-1
Konservatif
-1
K
399 mg Kg
Konservatif
413,6 mg Kg-1 (1000 m)
Ca
417,6 mg Kg-1
Konservatif 2
-1
-1
Cr
268 ng Kg
296 ng Kg (1000 m)
Hub. Nutrien
-1
-1
Mn
34 ng Kg
38 ng Kg (985 m)
Hub. Nutrien
Fe
8 ng Kg-1
45 ng Kg-1
Hub. Nutrien
Ni
146 ngKg-1
566 ng Kg-1 (985 m)
Hub. Nutrien
-1
-1
Cu
34 ng Kg
130 ng Kg (985 m)
Hub. Nutrien
Zn
6-7 ng Kg-1
438 ng Kg-1 (985 m)
Hub. Nutrien
-1
-1
As
1,1 ng Kg
1,8 µg Kg (1000 m)
Hub. Nutrien
Br
67 mg Kg-1
Konservatif
Rb
124 µg Kg-1
Konservatif
-1
-1
Sr
7,404 mg Kg
7,720 mg Kg (700 m) Hub. Nutrien
Cd
0,3 ng Kg-1
117 ng Kg-1 (985 m)
Hub. Nutrien
-1
Sn
1,0 ng Kg
Antropogenik
-1
-1
I
48 µg Kg
60 µg Kg (1036 m)
Hub.Nutrien
Cs
0,3 µg Kg-1
Konservatif
Ba
4,8 µg Kg-1
13,3 µg Kg-1 (997 m)
Hub.Nutrien
-1
-1
Hg
3 ng Kg
4 ng Kg (1000 m)
Hub. Nutrien
Pb
13,6 ngKg-1
4,5 ng Kg-1 (1000 m)
Antropogenik
U
3,2 µg Kg-1
Konservatif
Sumber : McSween dkk, 2003. GEOCHEMISTRY Pathways and Processes.
~ 40 ~
Keterangan :
Hub.Nutrien : Dalam hubungan dengan nutrisi di Laut
1) Angka yang diperkirakan karena sangat sedikit
kandungannya.
2) Kalsium mudah berubah karena dalam kaitan dengan
karbonat, diperkirakan zat itu mendekati konservatif.
Banyak kimia di laut berperan sebagai penyuplai
makanan di laut, halmana jenis tumbuhan umumnya berada
di daerah permukaan laut (zona neritik), oleh adanya sinar
surya proses fotosintesis dapat berlangsung, beberapa jenis
kimia memperlancar proses biologi tersebut. seperti fosfat ,
nitrat , silika terlarut ( ΣSi ) , dan karbon anorganik terlarut
(ΣCO2 = CO2 + HCO3 - + CO32 - ) . Hasil fotosintesa itu di
makan oleh hewan termasuk zooplankton, yang kemudian
dikonversi menjadi bahan organik dalam tubuh organisme.
Setelah organisme itu mati dan kotorannya akan mengendap
didasar perairan, yang selanjutnya di luruhkan oleh mikroba.
Peluruhan zat tersebut hasilnya merupakan elemen penting
sebagai nutrien di laut.
Bertolak dari tabel 3.5, ternyata organisme hidup
berperan penting pada kelimpahan zat kimia di laut.
Beberapa zat kimia yang bersifat hara (nutrien) dan zat yang
ada hubungannya dengan nutrien khususnya 5 elemen, yaitu
Fosfat , nitrat , silika , Zn , dan Cd makin berkurang ke area
permukaan air dan sering disebut sebagai “biolimiting” faktor
bagi konstituen di laut. Salah satu dari ke 5 zat kimia itu,
yakni fosfat merupakan elemen penting bagi organisme dalam
rangka proses metabolisme, karenanya fosfat adalah unsur
“biolimiting”. Kalau silika dalam bentuk SiO2 merupakan
penyuplai pembentukan kulit keras pada organisme diatom
dan radiolaria. Tetapi tidak untuk skleton, karena
membutuhkan senyawa kalsium karbonat.
Elemen nitrat merupakan pembatas pada banyak
spesies besar tetapi tidak untuk marga “bluegreen algae”,
~ 41 ~
biasanya pengambilan nitrogen tetap (fix nitrogen) ada dalam
bentuk N2.
Unsur kadmium (Cd) dan seng (Zn) umumnya akan
makin berkurang mendekati permukaan, karena banyak
dimanfaatkan oleh organisme bersama-sama dengan fosfat.
Kehadiran unsur karbon di laut, bukan merupakan faktor
pembatas biologi (biolimiting), dimana meskipun di air
permukaan konsentrasi karbon sedikit dibandingkan pada
perairan dalam, organisme hanya memanfaatkan 10% saja,
dan mereka tinggalkan sebesar 90% dari karbon yang terlarut.
Salah satu cara untuk melihat sifat bukan pembatas
biologi adalah membandingkan kelimpahan dengan unsur
pembatas biologi (biolimiting). Halmana perbandingan unsur
fosfor, nitrogen dan karbon di dalam jaringan organisme,
umumnya tetap, yakni 1:15: 105 [fosfor:nitrogen:karbon].
Perbandingan ini sering disebut sebagai rasio “Redfield”.
Mengapa disebut rasio “Redfield” karena diambil dari nama
seorang ahli geokimia yakni Alfred C. Redfield dialah yang
pertama kali menetapkannya. Suatu hal yang tidak
mengherankan lagi, perbandingan atom P : N di perairan
dalam adalah 01:15 . Sedang perbandingan P : C di perairan
dalam sebesar 1:1000, ini menunjukan bahwa 90% tidak
dalam bahan organik, memang ada sebagian terikat sebagai
karbonat tetapi relatif kecil. Setiap empat karbon dalam
bahan organik, rata-rata satu atom dikombinasikan dengan
ion kalsium dan terikat secara biokimia dalam bentuk
karbonat.
Dalam kaitan suatu sistem antar laut dan atmosfer,
kita lihat di atmosfer ada tiga komponen reaktif utama yaitu
oksigen , air , dan karbon dioksida, ketiganya berperan dalam
pertukaran di udara dan lautan. Aktifitas pertukaran
tergantung pada kesetimbangan atau faktor kinetika pada
distribusi elemen, yang akhirnya berpengaruh pada komposisi
kimia laut.
~ 42 ~
Walaupun beberapa reaksi fotokimia yang terjadi di
bagian atas atmosfer yakni pada ketinggian 12 Km, atau yang
dikenal sebagai lapisan troposfer (lihat gambar 3.3) sangat
mempengaruhi proses geokimia yang terjadi di bumi. Wilayah
ini mengandung banyak massa gas dan akibat pengaruh dari
siner surya ke bumi maka pertukaran udara di troposfer dan
laut mudah terjaling baik. Holland (1978) menyajikan massa
udara di daerah troposfer, konstituen ini sangat
mempengaruhi pertukaran zat di laut. Tabel 3.6 menyajikan
komposisi zat di atmosfer tepatnya pada wilayah troposfer.
Tabel 3.6 Komposisi Unsur Udara di Atmosfer
No
Unsur di udara
KONSENTRASI (ppm)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nitrogen (N2)
Oksigen (O2)
Argon
Air
Karbon dioksida
Neon
Helium
Gas Methan (CH4)
Krypton
78,084 (±0,004) X 104
20,946 (±0,002) X 104
9340 (± 10)
40 – 4X 104
320
18,18 (±0,04)
5,24 (±0,04)
1,4
1,14 (±0,01)
Sumber: Holland (1978). The Chemistry of the Atmosphere and Oceans.
Selain jenis unsur yang tercantum dalam tabel 3.6 ,
ada banyak gas dengan konsentrasi < 1 ppm . Variasi dalam
beberapa ini , seperti ozon ( O3 ) , dapat memiliki efek yang
signifikan pada organisme , tapi jarang memiliki peran yang
terukur dalam mengendalikan lingkungan geokimia. Gas-gas
penting (juga disebut langka) merupakan “senyawa inert”
tidak memiliki kecendrungan membentuk senyawa walaupun
adanya pengaruh sinar surya, atau membentuk pebatuan.
Secara pelan-pelan unsur-unsur itu akan terakumulasi di
atmosfer dengan bertambahnya waktu.
~ 43 ~
④
SUMBER MATERIAL DI LAUT
U
mumnya sumber material alam yang ditransfer
kedalam laut berasal dari batuan di daratan dan
di dalam laut sendiri. Bahan yang berasal dari
batuan di daratan biasanya melalui peluruhan oleh sinar
matahari (tumbukan batu) dengan suhu rendah, tapi kalau
bersumber dari aktivitas vulkanik (gunung berapi) biasanya
lewat proses dengan suhu tinggi. Kemudian material berasal
dari polutan sebagai akibat dari macam-macam antropogenik
biasanya juga melibatkan suhu dan sirkulasi udara.
Banyak jenis material yang menjadi sumber terus
menerus masuk ke laut sebagian besar terjadi di daerah
permukaan seperti:
partikel, bahan terlarut dan gas.
Kenyataan perairan laut di dunia pengtransferan material
melalui
beberapa cara masuk ke badan air laut, yakni
melalui aliran sungai (fluvial), udara (atmosfer, seperti uraian
bab terdahulu) dan daratan (glacial). Semuanya itu sangat
tergantung pada ruang dan waktu. Sebagai contoh transpor
melalui atmosfer di daerah lintang rendah adalah sangat kuat,
dimana debu yang ada terus-menerus akan masuk ke
permukaan laut, sesekali ada tekanan kuat. Material yang
berasosiasi di udara di semua permukaan laut satu saat akan
tiba di laut , walaupun kadang-kadang konsentrasinya
rendah. Bahan yang berasal dari aliran sungai cukup banyak
di dunia, tapi yang dari daratan yang ada es (glacial) relatif
tidak terlalu banyak.
Pemindahan material lewat air dalam bentuk es
biasanya dengan cara fisik tergantung pada keadaan iklim.
Daerah yang polar biasanya berada di “interglacial” dan
daerah yang diselimuti es (gunung es). Garrels dan Mackenzie
(1977), memperkirakan material berasal dari pebatuan yang
~ 44 ~
masuk ke samudera melalui aliran sungai ada sekitar 20 X 1014
g Tahun-1, dimana 90% berasal dari antartika. Ada juga
transpor material melalui aliran “run-off”
masuk ke
lingkungan laut. Pemindahan material itu merupakan bagian
yang menarik bagi geokimia, halmana pemindahan material
melalui “glacial” kurang mendapat perhatian, tapi
pemindahan melalui aliran sungai dan atmosfer sangat
menarik.
Menurut Tissot dan Welte (1984) keberadaan karbon
organik di bumi bisa bersumber dari dua sistem siklus yang
terjadi, yakni secara biologi dan secara geokimia. Iluistrasi
model siklus yang terjadi terlihat pada gambar berikut.
Gambar 4.1, Dua Model Siklus Karbon Organik di Bumi
Keterangan OM= organic material
Sumber: Tissort dan Welte (1984).
Transpor Melalui Aliran Sungai
Sungai banyak terkandung komponen baik organik
maupun nir-organik, ada yang bentuk partikel maupun bahan
terlarut.
Umumnya material melalui sungai sangat
~ 45 ~
mempengaruhi reaksi kimia di laut, khususnya “trace
element”. Suatu data dasar memperlihatkan proses
pemasukan material lewat sungai sangat erat keterkaitannya
dengan kimia (chemical signals)
Material yang ada di air dan lingkungan perairan
berasal dari atmosfer dan/atau melalui aliran permukaan
tanah (run-off), sirkulasi air tanah dan pemasukan lewat
larutan buangan. Larutan dan partikel yang ada di sungai
merupakan bahan berasal dari batuan akibat pengikisan oleh
sinar matahari, dekomposisi dari bahan organik, dekomposisi
bahan di atmosfer (basa dan kering), dan juga pencemaran.
Banyak faktor yang membuat komposisi material yang
ada di badan air sungai, tetapi intinya semua bahan itu ada
dalam bentuk partikel dan terlarut, nanti dalam periode
tertentu proses reaksi kimia berlangsung.
Pola aliran sungai sangat berhubungan dengan jenis
batuan, struktur geologi, bentuk erosi dan sejarah
pembentukan kerak bumi. Sistem pengaliran yang
berkembang pada permukaan bumi secara regional dikontrol
oleh kemiringan lereng, jenis dan ketebalan lapisan batuan,
struktur geologi, jenis dan kerapatan vegetasi serta kondisi
iklim. Bentuk erosi sangat tergantung struktur partikelnya.
Pola pengaliran pada batuan yang berlapis sangat
tergantung pada kondisi topografi, geologi (jenis, sebaran,
ketebalan dan bidang perlapisan batuan serta geologi struktur
seperti sesar, kekar, arah dan bentuk perlipatan), iklim, serta
vegetasi yang terdapat di dalam DAS bersangkutan.
Zat kimia utama yang masuk ke sungai dan dialirkan
ke laut secara global di sajikan pada tabel 4.1 berikut.
Kandungan rata-rata yang ada di sungai dan di air laut
jumlahnya berbeda. Sangat menarik perhatian , halmana di
sungai umumnya didominasi oleh kalsium dan bikarbonat,
sedangkan di air laut adalah natrium (sodium) dan klorida
yang punya peran penting pada kelarutan zat-zat lain, seperti
garam.
~ 46 ~
Tabel 4.1 Komposisi Zat Utama di Sungai Mengalir ke Laut
zat
Na+
K+
Ca2+
Hg2+
ClSO42HCO-3
SiO3-2
TDS
Atlantik Hindia Kutub
Utara
4,2
8,5
8,8
1,4
2,5
1,2
10,5
21,6
16,1
2,5
5,4
1,3
5,7
6,8
11,8
7,7
7,9
15,9
37
94,9
63,5
9,9
14,7
5,1
78,9
154,9 123,7
Pasifik
Rata-rata
di sungai
Rata-rata di
air laut
5,2
1,2
13,9
3,6
5,1
9,2
53,4
11,7
195,3
5,3
1,5
13,3
3,1
6,0
8,7
51,7
10,7
101,5
10733
399
412
1294
19344
2712
142
-
Sumber: Chester dan Jickells ( 2012)
TDS = Total padatan terlarut
Hakekatnya, variasi zat yang ada di sungai lebih
banyak di bandingkan yang terkadung di air laut, hal itu
dapat dilhat pada tabel diatas. Maybeck (1981) mengatakan
secara garis besar ranking variasi zat yang terlarut di sungai
adalah sebagai berikut: Cl-> SO42-> Ca2+= Na+> Mg2+> HCO3->
SiO2> K+ .
Sejumlah perairan di muka bumi kita intinya berbasis
pada jumlah ion yang dikandung ( salinitas) dan saling
berintegrasi deengan pelbagai variasi ion yang ada atau rasio
ion (ionic ratios). Gibbs (1970) telah melakukan kajian
tentang dua sifat air yang berlainan, dan sebagai kesimpulan
zat Ca2+ banyak di air tawar sedang Na+ lebih banyak di
perairan salinitas yang tinggi. Dia juga telah meneliti tentang
anion di kedua perairan yang sifat berbeda, yaitu unsur HCO3untuk air tawar dan Cl- untuk perairan air laut.
Zona permukaan air umumnya ion komponen disitu
berasal dari luar. Seperti adanya curah hujan (precipitation)
dan hasil pengikisan batuan oleh cuaca, dan ada juga proses
alamiah yang terjadi di dalamnya. Menurut Gibbs (1970)
selama penguapan (evaporation) akan terjadi peningkatan
~ 47 ~
kristalisasi kadar garam di perairan,
sehingga akan
mempengaruhi nilai salinitasnya. Hasil riset Stallard dan
Edmond (1983), menunjukan
sungai di lembah Amazon
kadar garamnya relatif tinggi, diakibatkan penguapan oleh
adanya panas matahari dan juga adanya unsur karbonat.
Kalau kita gunakan ion Cl- sebagai referens di laut,
maka siklus garam di permukaan laut Amazon dapat di
simpulkan yang sangat berlimpah adalah Na +, Mg2+ dan SO42dan sesudah itu Cl- ( Stallard dan Edmond, 1981), dan
biasanya yang menjadi penghambat siklus ini adalah aliran
sungai yang berasal dari lembah. Dalam kenyataan muara
sungai dekat pantai , material yang dominan adalah Na
(sodium), yaitu meliputi 50% berada di daerah permukaan.
Kemudian ada 15 % zat Ca dan K, ini merupakan akibat siklus
asli di sungai, dan kurang lebih 3% akan hilang masuk ke
daerah laut.
Menurut Chester (1990), umumnya sungai yang
membawa material Na dan Mg sangat sedikit jika di
bandingkan dengan kandungan sebagai hasil peleburan
batuan oleh sinar matahari. Gibbs (1970) mendukung bahwa
kandungan Na, K, Mg dan Ca sekitar 80% berasal dari tanah
dibawah sungai.
Hakekatnya, disaat keadaan di dominasi curah hujan
berlimpah atau luapan “presipitasi” sangat tinggi, total ion
relatif rendah, dimana perbandingan Na/(Na+Ca) juga
Cl/(Cl+HCO3-) akan relatif tinggi. Dalam keadaan demikian
peluruhan akibat pemanasan sinar matahari bersifat rendah
dan percepatan penguapan yang terjadi adalah rendah.
Sebaliknya bila di dominasi penguapan dan proses
kritalisasi, maka total ion sangat tinggi dan rasio
Na/(Na+Ca) juga Cl/(Cl+HCO3-) adalah tinggi. Keadaan ini
memperlihatkan peluruhan kimia akibat sinar matahari
sangat intensif dan kecepatan penguapan tinggi. Tetapi bila
di dominasi dengan bebatuan, jumlah ion tidak terlalu
banyak serta rasio Na/(Na+Ca) juga Cl/(Cl+HCO3-) juga
relatif rendah. Pada kondisi demikian, daerah itu terjadi
~ 48 ~
peluruhan berasal dari sinar matahari sangat intensif dan
penguapan rata-rata rendah.
Bertolak dari dimensi dominan seperti uraian diatas,
maka kondisi permukaan air menyangkut keberadaan ion dan
perbandingan zat-zat tersebut merupakan bahan diskusi yang
menarik. Sebagai ilustrasi respek dari ketiga keadaan tersebut
di sungai disajikan pada tabel 4.2. (hasil riset Maybeck, 1981)
Berangkat dari tabel tersebut, sungai yang mengalir ke
teluk Kanada relatif air murni dengan kandungan total ion
hanya sekitar 19 mg l-1 , dimana kehadiran elemen utama
melalui hujan, kecuali tidak ada hujan , maka tidak ada
pemasukan ion. Kalau di sungai Mackenzie tipe sungai
didominasi batuan, kandung zat yang masuk berasal dari
sedimen dan kristalisasi dari udara, nilai kandung total ion
ada sebanyak 207 mg l-1 . Beberapa sungai kandungan total
ion dan rasio Na(Na+Ca) relatif tinggi, seperti di sungai
Colorado kandungan total ion adalah hampir 700 mg l-1 , dan
kandungan Na+
agak lebih tinggi sedikit dari ion Ca2+ .
Dengan demikian sungai tersebut bersifat “saline” (agak asin)
karena terjadi penguapan dan kristalisasi.
Tabel 4.2 Rata-rata Konsentrasi Elemen Utama di Sungai
No
Mengalir Kebeberapa Tipe Penampungan. (mg l-1)
Sungai
Sungai Colorado
Elemen Aliran
sungai ke
teluk
Kanada
Mackenzie
didominasi
pebatuan
1
Na+
0,60
7,0
2
K+
0,40
1,1
3
Ca2+
3,3
33
4
Mg2+
0,7
10,4
5
Cl
1,9
8,9
6
SO421,9
36,1
7
HCO310,1
111
8
TIC
18,9
207
Keterangan: TIC= total ionic content
Sumber : Chester dan Jickells ( 2012)
~ 49 ~
dengan situasi
penguapan &
kristalisasi
95
5
83
24
82
270
135
694
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan memiliki
banyak sungai yang bermuara ke perairan laut Nusantara,
dari sekian banyak sungai hanya ada 10 sungai yang
dikategorikan sungai terpanjang, yaitu: 1. Sungai Kapuas, di
Kalimantan barat, dengan panjang total hingga 1.178 km,
Sungai Kapuas tercatat sebagai sungai terpanjang di
Indonesia, 2. Sungai Mahakam terletak di Kalimantan Timur,
dengan panjang 920 km, 3. Sungai Barito terletak di
Kalimantan tengah dengan panjang 909 km, 4. Sungai
Batanghari terletak di pulau Sumatera tepatnya di provinsi
Jambi, memiliki panjang sungai 800 km dan lebar sungai
berkisar antara 200 – 650 meter, 5. Sungai Musi terletak di
Palembang (Sumatera Selatan) memiliki panjang 750 km, 6.
Sungai Membramo terletak di Papua. Sungai ini memiliki
panjang sampai 670 km, 7. Sungai Bengawan Solo, terletak di
pulau Jawa dengan panjang sungai mencapai 548,53 km yang
mengalir di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, 8. Sungai
Digul terletak di Papua memiliki panjang 546 km, 9. Sungai
Indragiri terletak di dengan panjang sungai ini mencapai 500
km, dan ke 10. Sungai Kahayan terletak di Palangkaraya
Kalimantan tengah memiliki panjang hingga 250 km. Semua
sungai-sungai melewati aliran dengan kondisi pebatuan,
hujan dominan dan proses penguapan relatif tinggi. Dengan
demikian rata-rata sungai tersebut kandungan ion total relatif
tinggi.
Di Indonesia cukup banyak sungai kecil yang bermuara
ke daerah pantai, seperti Bali, 15 sungai; Bengkulu, 22 sungai;
DKI, 13 sungai; Jambi, 10 sungai; di Jawa barat ada 27 sungai;
di Jawa tengah, 21 sungai; di Jawa Timur ada sebanyak 22
sungai; di Kalimatan barat, 17 sungai; di Kalimantan Selatan,
25 sungai; Kalimatan tengah, 8 sungai, di Kalimatan timur, 10
sungai; di Lampung, 10 sungai; di Maluku, 10 sungai; di Aceh,
10 sungai; di NTB ada sebanyak 19 sungai; Di Papua ada 10
~ 50 ~
sungai; di Riau, 10 sungai; Sulawesi Tengah ada 11 sungai ;
Sulawesi Selatan, 12 sungai ; Sulawesi tengara, 8 sungai;
Sulawesi utara ada sebanyak 15 sungai; Sumatera Barat, 23
sungai; Sumatera Selatan, 11 sungai; Sumatera Utara, 11 sungai
dan Yogyakarta ada sebanyak 18 sungai. Dikatakan sebagai
sungai kecil karena ukuran panjang relatif tidak terlalu
panjang dan pada umumnya kedalam berkisar pada 0,2-3 m.
Namun demikian sungai-sungai tersebut ada dominan
terjadi hujan atau adanya “presipitasi”; dominasi daerah
bebatuan dan
dominasi penguapan dan proses
kritalisasi.
Ratusan sungai yang mengalir ke perairan
laut
nusantara suatu pertanda material seperti: partikel, material
terlarut dan senyawa polutan lainnya sangat berpotensi.
Sehingga tingkat kualitas dari sudut pandang geokimia akan
cepat berubah di setiap tahun.
Berbagai referens menyatakan ada hubungan erat
kondisi geologi didaerah penangkapan air dengan kimia
perairan. Seperti seorang profesor bidang geokimia yang
bernama M. Maybeck, mengatakan bahwa kecepatan
pengadukan kimia berasal dari batuan kerak kulit bumi yaitu:
pertama, kimia yang teraduk berasal dari sedimen
memberikan kontribusi sebesar 90%, dan kurang lebih 66%
merupakan turunan dari deposit karbonat. Kedua, kecepatan
peluruhan oleh adanya matahari memperlihatkan bahwa
penguapan > batuan karbonat > batuan kristal > butiran batu
karang dan pasir.
Keadaan lingkungan di Indonesia dibelakangan ini sangat
dikuatirkan, dimana banyak hutan dan daerah pertanian
berubah fungsi, terkadang terjadi “tandus” bahan geologi
utama adalah partikel tanah dan batu. Apabila partikelpartikel itu diangkut oleh air permukaan di waktu hujan (runoff) maka akan tiba di muara sungai di daerah pantai, dalam
periode tertentu muara sungai akan membentuk delta.
~ 51 ~
Delta merupakan suatu wilayah perairan terbentuk dari
endapan sedimen yang dialirkan oleh sungai, dalam waktu
lama terjadi deposit yang menumpuk sehingga di muara
sungai ada tumpukan tanah yang membentuk huruf “Y” (lihat
gambar 4.2). Seorang sejarawan terkenal yaitu Herodotus,
melihat bentuknya delta yang terjadi disungai Nil seperti
huruf “Y” , mereka mengatakan itu bentukan Yunani sehingga
mereka simbol “Δ”, sampai sekarang ini simbol ini dipakai di
dunia.
Gambar 4.2. Pembentukan Delta
Pembentukan delta di daerah pantai membawa
konsekuensi garis pantai akan berubah dan komposisi kimia
juga berubah, sehingga total ion berubah pula.
Dalam tabel berikut disajikan komposisi ion utama di
sungai yang mengalir ke perairan laut setelah melewati
berbagai tipe pebatuan.
Tabel 4.3. Komposisi Ion Utama di Sungai Dialirkan ke Laut (mg l -1)
ion
Batuan Plutonik
dan metamorpik
tinggi
Na+
Memang sejak semula ion ini sudah ada di
Batuan
vulkanik
~ 52 ~
Batuan
sedimen
pengaruhi oleh air laut
K+
1,0
1,5
1,0
2+
Ca
4,0
8,0
30
2+
Mg
1,0
3,0
8,0
ClMemang sejak semula ion ini sudah ada
dipengaruhi oleh air di laut
SO422,0
6,0
25
HCO3
15,
45
100
TIC
30
70
175
Sumber: Maybeck (1981).
TIC = total ionic content.
Material yang merupakan dari kerak bumi dan
peluruhan dari batuan oleh sinar matahari diidentifikasi
sebagai ∑ konsentrasi kation, diberi simbol TZ +. Stallard dan
Edmond telah melakukan kajian, alhasil telah teridentifikasi
bahwa:
⁕ Sungai yang mengandung ∑ konsentrasi kation
dengan kisaran 0< TZ+<200 µeq l-1 adalah sungai yang relatif
kaya silika sedang elemen utama lain kurang. Umumnya
aliran air melalui daerah pebatuan .
⁕ Sungai yang mengandung ∑ konsentrasi kation
dengan kisaran 200< TZ+<450 µeq l-1 adalah sungai yang
silikanya berasal dari pengikisan batuan karang, dan sungai
tersebut kaya akan kandungan silika. Pada sungai ini
tendensinya muatan kation kurang banyak, relatif ada di
dalam Na dan K, juga relatif ada di dalam Ca - Mg
dibandingkan dengan sungai yang penuh pebatuan.
⁕ Sungai yang mengandung ∑ konsentrasi kation
dengan kisaran 450< TZ+<3000 µeq l-1 adalah sungai dengan
airnya melalui sedimen laut atau daerah tanah dasar merah
(red bed), kaya akan kation dari karbonat asalnya dari batu
karang lunak yang mudah hancur dan sedikit ada penguapan.
Sungai ini memiliki kandungan Ca dan Mg dan salinitasnya
cukup tinggi. Karena melalui pebatuan karang yang mudah
~ 53 ~
hancur dan kurang terjadi penguapan maka ion SO42- adalah
tinggi.
⁕ Sungai yang mengandung ∑ konsentrasi kation
dengan kisaran 4TZ+>3000 µeq l-1 adalah sungai yang terusmenerus penguapan dan kaya Na dan Cl.
Umumnya elemen dominan dan “ trace elements” yang
ada di sungai nantinya akan dialiri ke daerah pantai (laut)
dianggap sebagai partikel di sungai (the particulate river
signal), dan beberapa referens mengatakan sebagai bahan
partikel sungai atau RPM (river particulate material). Bahan
partikel ini berasal dari padatan yang tersuspensi di badan air,
misalnya suspensi sedimen.
RPM, mengandung variasi komponen yang terserap
dalam bentuk berbagai ukuran partikel.
Komponenkomponen itu berasal dari pelbagai sumber pengikisan
batuan, termasuk: pertama, daerah tanah yang gundul
(feldspars), daerah yang kondisi setengah subur (amphiboles),
daerah yang banyak patahan batu (pyroxenes) dan daerah
yang banyak mineral (micas). Kedua, aluminosilika, seperti
mineral tanah liat; kuartz; karbonat; hydro oksida dari Al, Fe
dan Mn; serta pelbagai komponen organik.
Komposisi mineral yang ada pada RPM sesungguhnya
agak homogen bercampur dengan tanah dari sungai, tetapi
setiap sungai memiliki mineral spesifik di dalam RPM. Dalam
studi Konta (1985) melaporkan bahwa:
① Mineral di tanah lebih dominasi oleh komponen
kristalin, walaupun distribusi secara sendiri-sendiri
berbeda. Intinya, sungai di daerah tropis relatif tinggi
peluruhan mineral oleh sinar matahari, sungai ini
termasuk sungai tipe kaolin pada RPM, sedang sungai
di daerah subtropis termasuk tipe “mortmorillonite”.
② Tanah kuarsa tidak ada sungai yang tidak memiliki
RPM.
~ 54 ~
③ Mineral kristalin pada RPM termasuk asam
plagioklas, K dan bahan-bahan dari daerah setengah
subur, dan
④ kemungkinan ada juga calcite dan atau dolomit
pada RPM.
Sungai merupakan media transpor material kearah laut
yang telah berlangsung jutaan tahun silam. Karbon organik
seperti terlukis pada gambar 4.1 bisa berlansung selama
proses transport material baik lewat aliran air permukaan
tanah (run-off), saluran air maupun sungai.
Memang prinsip dasar teori fluida, air akan mengalir
dari dataran tinggi (tempat tinggi) ke bagian wilayah yang
rendah. Selama dalam proses pengaliran air sejak mengalirnya
air permukaan tanah (run-off) maupun dari daerah
pengunungan atau dataran tinggi, proses pengikisan di
pebatuan maupun partikel tanah akan membawa pelbagai
bahan kimia termasuk mineral. Disamping itu ada juga
material yang diangkut oleh angin melalui udara. Zat-zat
kimia yang diangkut oleh sungai maupun angin lewat
atmosfer akan mengendap di dasar samudera menjadi suatu
lapiran kerak samudera. Dengan adanya bantuan mikroba
bahan-bahan itu akan terakumulasi di lapisan sedimen.
Semua mineral yang disebut ini akan dialirkan oleh
sungai ke arah laut, sehingga perairan laut, khususnya daerah
pantai komposisi elemen sangat bervariasi sangat tergantung
dari tipe tanah, kontur daratan dan aktivitas yang terjadi di
kontinental. Umumnya aliran sungai melewati lokasi
pemukiman, kluster industri maupun daerah pertanian akan
membawa bahan organik yang cukup banyak, sehingga
mempengaruhi komposisi kimia di perairan. Chester (1990)
mengatakan umumnya sungai di dunia terdapat komposisi
seperti pada tabel 4.4
~ 55 ~
Tabel 4.4. Komposisi rata-rata Unsur di bebatuan, Tanah
dan yang Terlarut di Sungai
Daratan
Sungai
Unsur
Batuan
Tanah
Terlarut
Partikel
-1
-1
-1
(µg g )
(µg g )
(µg l )
(µg g-1)
Ag
Al
As
Au
B
Ba
Br
Ca
Cd
Ce
Co
Cr
Cs
Cu
Er
Eu
Fe
Ga
Gd
Hf
Ho
K
La
Li
Lu
Mg
Mn
Mo
Na
Nd
Ni
P
Pb
Pr
Rb
Sb
Se
Si
Sm
Sr
Ta
0,07
69300
7,9
0,01
6,5
445
4
4500
02
86
13
71
3,6
32
3,7
1,2
35900
16
6,5
5
1,6
24400
41
42
0,45
16400
720
1,7
14200
37
49
610
16
9,6
112
0,9
10,3
275000
7,1
278
0,8
0,05
71000
6
0,001
10
500
10
15000
0,35
50
8
70
4
30
2
1
40000
20
4
0,5
14000
40
25
0,4
5000
1000
1,2
5000
35
50
800
35
150
1
7
330000
4,5
250
2
0,3
50
1,7
0,002
18
60
20
13300
0,02
0,08
0,2
1
0,035
1,5
0,004
0,001
40
0,09
0,008
0,01
0,001
1500
O,o5
12
0,001
3100
8,2
0,5
5300
0,04
0,5
115
0.1
0,007
1,5
1
0,004
5000
0,008
60
<0.002
~ 56 ~
0,07
94000
5
0,05
70
600
5
21300
1
95
20
100
6
100
3
1,5
48000
25
5
6
1
20000
45
25
0,5
11800
1050
3
7100
35
90
1150
100
8
100
2,3
18
285000
7
150
1,25
Tb
Th
Ti
Tm
U
V
Y
Yb
Zn
1,05
9,3
3800
0,5
3
97
33
3,5
127
0,7
9
3000
0,6
2
90
40
90
0,001
0,1
10
0,001
0,24
1
0,004
30
1
14
5600
0,6
3
170
30
3,5
250
Sumber : Martin &Whitfield (1983) disitasi oleh Chester (1990)
Material yang ada di sungai sebagai elemen kimia
dengan komposisi yang bervariasi masuk ke laut, tidak semua
sungai langsung ke arah laut terbuka. Tapi ada juga kawasan
pantai didiami daerah estuari, dimana di wilayah (zona) ini
merupakan filter alamiah. Unsur-unsur seperti terterah pada
tabel 4.4. bila masuk di zona estuari akan tercampur, dan
dalam waktu beberapa hari atau mingguan ada yang
berbentuk larutan dan partikel, semuanya bisa tenggelam ke
daerah itu. Namun sedimen yang berasal dari aliran “run-off”
akan masuk ke sistem estuari bersifat statis, tetapi bisa oleh
adanya proses kimia dan biologi masuk dalam suatu siklus
sehingga menjadi deposit komponen.
Secara singkat
ilustrasinya di sajikan pada gambar 4.3 berikut.
ZONA PERCAMPURAN DI ESTUARI
S ‰ 35
SUNGAI
LAUT
S‰ 0
p
kd
d
SEDIMEN
ESTUARINE REACTIVITY
Gambar 4.3. Skema Pemasukan Material ke Wilayah Estuari
Zona estuari memiliki peran penting dalam
pembentukan/penyusunan geokimia di laut,
khususnya
~ 57 ~
sumber material itu berasal dari sungai,
tanda
ini menunjukan material dalam bentuk partikel maupun
terlarut terasosiasi secara fisika, kimia dan biologi di daerah
estuari. Pemisahan material dalam fase partikel dan terlarut
didefinisikan koefisien alamia adalah: kd = X/C, dimana X
merupakan konsentrasi peluang perubahan elemen pada fase
partikel, sedang C adalah konsentrasi elemen terlarut.
Muara sungai dekat estuari, biasanya sirkulasi terjadi akibat
adanya aliran/arus sungai, tetapi di estuari dekat mulut sungai
dapat terjadi lapisan air berkadar garam tinggi, sering disebut “salt
wedge of estuary” (lapisan tebal garam estuari). Sifatnya kadar
garam itu berada dibawah lapisan air tawar, karena densitas
masing-masing lapisan berbeda, maka akan terjadi dua lapisan di
mulut sungai.
Adanya
aliaran pasang air laut memungkinkan
percampuran secara bertahap lapisan air tawar di permukaan
perairan muara sungai,
jika ada gerakan ombak
kemungkinan akan terjadi lapisan air asin naik ke lapisan air
tawar, sehingga terjadilah percampuran air, maka lapisan air
tawar di permukaan akan menurun densitasnya , sebaliknya
salinitasnya naik. Meade (1972) dan Potsma (1980)
mengatakan distribusi suspensi partikel di eustuari sangat
dipengaruhi oleh dinamika sirkulasi yang terjadi.
Dalam kenyataan tenaga arus pasang dapat membuat
goyangan di muara sungai, pada keadaan demikian
memungkinkan terjadi pengadukan tidak penuh, banyak ahli
mengatakan/istilahkan “partially stratified”. Pecampuran yang
terjadi akibat dorongan atau difusi oleh arus eddy, maka
lapisan air asin di bawah akan ke permukaan (upward),
sebaliknya air tawar di permukaan akan ke bawah
(downward).
Suspensi yang diangkut oleh sungai melewati daerah
estuari dan akhirnya terjadi percampuran ke perairan laut.
Secara garis besar konsentrasi bahan terlarut di sungai dan di
laut di bumi kita ini, disajikan di tabel 4.5
~ 58 ~
Tabel 4.5. Konsentrasi Zat Terlarut di Sungai dan Laut
di belahan bumi
SUNGAI
TERLARUT
µg l-1
Ag
Al
As
Au
B
Ba
Br
Ca
Cd
Ce
Co
Cr
Cs
Cu
Er
Eu
Fe
Ga
Gd
Hf
Ho
K
La
Li
Lu
Mg
Mn
Mo
Na
Nd
Ni
P
Pb
Pr
Rb
Sb
Sc
Si
Sm
Sr
Ta
Tb
Th
Ti
Tm
U
V
Y
Yb
Zn
0,3
50
1,7
0,002
18
60
20
13.300
0,02
0,08
0,2
1
0,035
1,5
0,004
0,001
40
0,09
0,008
0,01
0,001
1500
0,05
12
0,001
3100
8,2
0,3
3300
0,04
0,5
115
0,1
0,007
1,5
1
0,004
5000
0,008
60
<0,002
0,001
0,1
10
0,001
0,24
1
0,004
30
PARTIKEL
µg g-1
0,07
94000
5
0,05
70
600
5
21500
1
95
20
100
6
100
3
1,3
4800
23
5
6
1
20000
45
25
0,3
11800
1050
3
7100
35
90
1150
100
8
100
2,5
18
285000
7
150
1,25
10
14
5600
0,4
3
170
30
3,5
250
PERAIRAN LAUT
TANAH DI LAUT
BADAN AIR
DALAM (µg g-1)
µg l-1
0,04
0,3
1,5
0,004
4440
20
67000
41200
0,01
0,001
0,05
0,3
0,4
0,1
0,0008
0,0001
2
0,03
0,0007
0,007
0,0002
380000
0,003
180
0,0002
6
1,29 X 10
0,2
10
2
1,077 X 10
0,003
0,2
60
0,003
0,0006
120
0,24
0,0006
2000
0,0005
8000
0,002
0,0001
0,01
1
0,0002
3,2
2,5
0,0013
0,0008
0,1
Sumber : Chester dan Jickells ( 2012)
~ 59 ~
0,1
95000
13
0,003
220
1500
100
10000
0,23
100
55
100
5
200
2,7
1,5
60000
20
7,8
4,5
1
28000
45
45
0,5
18000
6000
8
20000
40
200
1400
200
9
110
0,8
20
283000
7
250
1
1
10
5700
0,4
2,0
150
32
3
120
Masuk Material dari Atmosfer
Material yang ada di daerah troposfer ada dalam
ukuran 0,1 - 10µm, dan lama tinggal di udara relatif singkat
kurang lebih beberapa hari. Sangat berbeda dengan material
yang diangkut oleh sungai, harus melalui peluruhan dan
modifikasi di zona estuari. Hanya yang menarik material
yang diangkut oleh udara di atmosfer dapat menyebar
kemana-mana dan langsung jatuh ke permukaan laut.
Material yang ada di udara terus meningkat di akhir-akhir ini,
karena adanya pencemaran dan aktivitas gunung berapi
(vulkanik).
Material di udara berbentuk padatan dan cairan yang
tergabung sebagai gas, biasanya dikenal sebagai “aerosol”.
Menurut Prospero dkk (1983) bahwa tipe aerosol yang udara
dapat diklasifikasi: a) aerosol alamiah, seperti;
residu
semprotan, debu mineral yang ditiupkan angin, debu gunung
berapi, bahan biogenik, asap dari pembakaran lahan dan
partikel berubah jadi gas. b) antropogenik aerosol seperti:
emisi partikel antropogenik dan bahan hasil konversi gas,
misal buangan industri ke udara.
Atmosfer adalah lapisan gas yang melingkupi sebuah
planet, termasuk bumi, dari permukaan planet tersebut
sampai jauh di luar angkasa. Di bumi, atmosfer terdapat dari
ketinggian 0 km di atas permukaan tanah, sampai dengan
sekitar 560 km dari atas permukaan bumi. (lihat 3.3).
Atmosfer Bumi terdiri atas nitrogen (78.17%) dan oksigen
(20.97%), dengan sedikit argon (0.9%), karbondioksida
(variabel, tetapi sekitar 0.0357%), uap air, dan gas lainnya.
Lapisan troposfer berada pada level yang terendah dari
atmosfer, lapisan ini dianggap sebagai bagian atmosfer yang
paling penting, karena berhubungan langsung dengan
permukaan bumi yang merupakan habitat dari berbagai jenis
mahluk hidup termasuk manusia, serta sebagian besar iklim
berlangsung pada lapisan troposfer. Susunan kimia udara
troposfer terdiri dari 78,03% nitrogen, 20,99 oksigen, 0,93%
~ 60 ~
argon, 0,03% asam arang, 0,0015% nenon, 0,00015% helium,
0,0001% kripton, 0,00005% hidrogen, serta 0,000005% xenon.
Secara global Troposfer terbagi ke dalam empat
lapisan, yaitu :
①
Lapisan Udara Dasar, tebal lapisan 1 – 2 meter
di atas permukaan bumi. Pada lapisan udara ini tergantung
dari keadaan fisik muka bumi, dari jenis tanaman, ketinggian
dari permukaan laut dan lainnya. Biasanya lapisan inilah yang
disebut sebagai iklim mikro, yang mempengaruhi kehidupan
tanaman dan ekosistem laut.
②
Lapisan Udara Bawah, lapisan udara ini
dinamakan juga lapisan-batasan planiter (planetaire grenslag,
planetary boundary layer). Tebal lapisan ini 1 – 2 km. Di sini
berlangsung berbagai perubahan suhu udara dan juga
menentukan iklim serta dalam lapisan ini polutan relatif
banyak (terlarut dan partikel debu)
③
Lapisan Udara Adveksi (Gerakan Mendatar),
lapisan ini disebut juga lapisan udara konveksi atau lapisan
awan, yang tebalnya 2 – 8 km. Di dalam lapisan udara ini
gerakan mendatar lebih besar daripada gerakan tegak. Hawa
panas dan dingin yang beradu di sini mengakibatkan kondisi
suhu yang berubah-ubah. Pada lapisan ini peluang besar
terjadi konversi kimia ke bentuk gas.
④
Lapisan Udara Tropopouse, merupakan lapisan
transisi antara lapisan troposfer dan stratosfer terletak antara
8 – 12 km di atas permukaan laut (dpl). Pada lapisan ini
terdapat derajat panas yang paling rendah, yakni antara – 46 o
C sampai – 80o C pada musim panas dan antara – 57 o C
sampai – 83 o C pada musim dingin. Suhu yang sangat rendah
pada tropopouse inilah yang menyebabkan uap air tidak
dapat menembus ke lapisan atmosfer yang lebih tinggi,
karena uap air segera mengalami kondensasi sebelum
mancapai tropopouse dan kemudian jatuh kembali ke bumi
dalam bentuk cair (hujan) dan padat (salju, hujan es). Di zona
ini biasanya terjadi percampuran antara material terlarut,
~ 61 ~
partikel primer, pertukaran agregat dan kondensasi. (lihat
gambar 4.4).
Sebagai gambaran hubungan antara proses yang terjadi
di udara dan material yang naik ke atmosfer, disajikan
kedalam gambar 4.4 berikut.
KIMIA BERUPA GAS
DAN MUDAH MENGUAP
UAP
PANAS
PERLAHAN
BERUBAH UAP
KONDENSASI
PARTIKEL PRIMER
DEBU OLEH ANGIN
EMISI
UAP AIR LAUT
GUNUNG BERAPI
AWAL PERCAMPURAN
TERJADI KONDENSASI
KOAGULASI
PARTIKEL DARI TUMBUHAN
Menetes
PERTUKARAN AGREGAT
KOAGULASI
KOAGULASI
HUJAN
SEDIMENTASI
0,002
0,01
0,1
PARTIKEL
µm
PARTIKEL HALUS
1
2
10
100
PARTIKEL KASAR
Gambar 4.4. Skema Proses Kehadiran Partikel dan Endapan
ke Laut (Modifikasi dari Chester, 1990)
Bertolak dari gambar diatas, intinya partikel yang naik ke
atmosfer dikategorikan ke dalam dua kelompok besar, yakni:
partikel halus berdiameter < 2 dan partikel kasar berukuran
>2. Partikel yang naik ke troposfer sumber utama berasal dari
proses pembakaran seperti: kegiatan antropogenik (buangan
industri, dan sebagainya), emisi dari letusan gunung berapi,
pembakaran lahan dan hutan.
Partikel-partikel ini
terakumulasi di udara, dan ada juga berbentuk gas akan
terjadi coagulasi menjadi partikel primer.
~ 62 ~
Partikel kasar naik ke troposfer oleh adanya kegiatankegiatan yang terjadi di permukaan bumi, itupun tergantung
pada kondisi suhu, misalnya debu dari kerak bumi dan uap
garam dapat terjadi pada proses suhu rendah, sedang dengan
suhu tinggi seperti debu berasal pembakaran industri dan
buangan gas kendaraan bermotor.
Maring & Duce (1997) telah melakukan penelitian
tentang aerosol di udara seputar Atlantik utara, dimana dia
temui partikel berdiameter .40 µm; ada semburan uap air
laut; partikel debu mineral; partikel yang memang sudah ada
di troposfer; dan ada partikel berdiameter <0,06 µm. Partikel
yang sudah ada di troposfer mengandung banyak jenis kimia
tetapi lebih di dominasi adalah sulfat (85%). Sedang partikel
Tabel 4.6. Estimasi Emisi Partikel di Atmosfer ( 10 12 g thn-1)
SUMBER
1
Kegiatan Manusia:
Partikel langsung
Partikel bentuk gas:
• Dikonversi menjadi Sulfat
• lain-lain
Total
Di alam:
Partikel langsung:
• Pembakaran hutan
• Emisi gunung berapi
• Vegetasi
• Debu mineral (hancuran oleh
matahari)
• Garam dari laut
Partikel bentuk gas:
•Dikonversi menjadi Sulfat
• Lain-lain
Total
Jumlah Keseluruhan
Produksi Global
2
3
30
200
30
280
5
25
250
500
200
36
10
75
300
1000
335
135
1250
1530
Keterangan: (1) Prospero dkk, (1983); (2) Nriagu (1979) dan (3)
Lantzy & Mackenzi (1979) disitasi oleh Chester (1990).
~ 63 ~
yang berukuran <0,06 µm diperkirakan dari debu daratan,
uap asin dari laut, proses biologi di darat, dan polutan, semua
partikel itu naik ke troposfer terjadi koagulasi. Semua
partikel yang ada di troposfer (terkoagulasi) akan jatuh ke
laut oleh air hujan.
Sebagaimana uraian diatas jelas bagi kita bahwa
material gas dan partikel yang masuk ke atmosfer berasal
dari alam dan aktivitas manusia (antropogenik), dimana
proses yang berlangsung bisa terjadi dengan suhu rendah
atau tinggi tergantung pada zat itu berikatan dengan
inangnya. Beberapa sumber material yang naik ke atmosfer
dapat berasal dari alam dan antropogenik, diuraikan sebagai
berikut:
Sumber alamiah
Berasal dari kerak bumi, muka bumi kita dapat
menyuplai partikel dan gas ke atmosfer. Umumnya partikel
(tumbukan batu) sebagai deposit di permukaan bumi akan
terangkut melalui cara mekanik yaitu adanya angin.
Komponen-komponen ini adalah penting dan banyak sebagai
aerosol di permukaan laut.
Berasal dari laut, sama seperti kerak bumi dapat
berbentuk partikel dan gas. Material partikel dapat terbentuk
dari garam laut lewat proses mekanik (secara fisik).
Penguapan dari permukaan laut akan menjadi bentuk gas dan
masuk ke atmosfer.
Demikian juga dari aktivitas gunung berapi berupa
erupsi
(pembakarannya dengan suhu tinggi) dimana
erupsinya dapat menyuplai material partikel, seperti abu
bersama-sama gas . Kemudian dalam fase gas lewat proses
kondensasi bisa menjadi elemen yang mudah menguap.
Di daerah biosphere, dapat menyuplai material ke
atmosfer, seperti vegetasi melalui pembakaran dengan suhu
tinggi, dan juga bisa berasal adanya
penguapan dari
tumbuhan dipermukaan bumi dan dari tanah.
~ 64 ~
Kemungkinan pula bisa dari luar angkasa, tetapi
sangat kecil jumlahnya masuk ke atmosfer, seperti meteor
kecil (cosmic spherules) dan juga bisa radioaktif berasal dari
sinar meteor.
Sumber antropogenik
Material berasal dari antropogenik masuk ke atmosfer
dalam bentuk partikel dan gas, seperti hasil pembakaran fosil
(minyak bumi), tambang dan proses penggilingannya,
buangan bersifat debu, produk kimia, penggunaan kimia di
bidang pertanian dan dapat juga berasal dari industri serta
aktivitas sosial lainnya.
Secara umum emisi yang naik ke atmosfer sebagai
siklus debu di alam disajikan pada tabel 4.7 berikut ini.
Tabel. 4.7 Siklus Debu secara Global di Troposfer
Rata-rata Deposit
10-6 g cm2 thn-1
1012 g thn-1
Wilayah Laut
Angin pasat di Bagian Utara
Angin pasat di Atlantik Utara
Atlantik Selatan
Samudera India
Pasifik Utara:
- Barat Pasifik Utara
- Timur dan tengah Pasifik
utara
Pasifik Selatan
Seluruh Pasifik
Keseluruhan Perairan Laut
Sumber: Prospero dkk (1983)
82
85
450
12
100 – 400
18 – 37
336
5000
11-62
5-64
300
30
18
350
816 – 1135
Tabel diatas memperlihatkan bahwa debu di daerah
barat pasifik utara ( ± 300 x 1012 g thn-1), asalnya dari padang
pasir Asia, sama halnya di Atlantik utara tropis berasal dari
padang Sahara. Intinya debu secara global lebih kurang
berkisar (800 – 1100) x 1012 g thn-1.
~ 65 ~
Jumlah mineral aerosol yang ada pada atmosfer di atas
Samudera Atlantik sebagian besar akan jatuh ke perairan
sebagai elemen di laut. Material yang tertangkap di udara
sesungguhnya bersumber dari daerah daratan seputar
samudera Atlantik yang kemudian adanya tiupan angin
tersebar ke daerah lain (Chester, 1990). Untuk gambaran
global kandungan mineral aerosol di daerah kutub utara.
Atlantik dan kutub selatan dapat dilihat pada tabel 4,8
Tabel 4.8 Mineral Dalam Aerosol di Kutub Utara,
Atlantik dan Kutub Selatan
Wilayah Laut
Konsentrasi mineral
aerosol
-3
( µg m dalam udara)
Bagian kutub Utara:
Variable: kabut
- Atlantik utara bagian barat
-0,1 — -2,5
- Atlantik utara, angin pasat
<1.0 - > 103
di timur barat daya
- Atlantik selatan, angin
-0,1 — -1,0
pasat di Selatan timur daya
- Atlantik Selatan, Bagian
<0,1
barat
Bagian Kutub Selatan
<0,01
Sumber: Chester (1990)
Wilayah kutub utara banyak partikel di atmosfer
sehingga udaranya mirip kabut karena adanya percampuran
antara mineral dan polutan yang berasal Eurasia (Amerika
bagian timur dan Eropa tengah).
Kalau di Atlantik utara bagian barat ( pada lintang
utara 650 – 400 ) konsentrasi mineral aerosol di udara
diperkirakan < 0,5 µg m-3 , sebagian besar bahan-bahan itu
berasal dari polutan yang ada di Amerika dan Eropa.
Konsentrasi yang tinggi di Atlantik disebabkan adanya angin
pasat dari arah utara-timur yang melewati pantai Afrika barat,
~ 66 ~
angin itu membawa material debu yang berasal dari padang
sahara.
Daerah kutub selatan memperlihatkan konsentrasi
mineral aerosol relatif kecil (atau berkurang) dibandingkan
dengan daerah Atlantik, halmana udara yang berasal dari
sahara dengan membawa material banyak, melewati ekuator,
tetapi oleh adanya angin pasat selatan-barat, secara dramastis
partikel-partikel itu jatuh sebelum tiba di kutub selatan.
Mineral aerosol di udara diatas Samudera India
diperkirakan bersumber dari padang pasir di bagian utara
samudera India. Sebagai contoh, yang dilaporkan oleh
Chester dan Jickells (2012) konsentrasi dengan nilai rata-rata
16µg m-3 di udara diatas Laut Arabian utara di hantar oleh
angin ke Samudera India.
Daerah Samudera Pasifik bagian utara telah dilakukan
kajian lewat proyek SADS ( the SEAREX Asian Dust Study),
alhasil kegiatan projek ini telah memperlihatkan data bahwa,
aerosol yang ada di lapisan troposfer di atas samudera Pasifik
sebagian besar di suplai dari padang pasir Asia.
Menurut Uematsu dkk, (1983) distribusi mineral aerosol di
udara bisa melalui dua cara, yaitu (1) konsentrasi menurun
secara gradien dari daratan Asian dan konsentrasi tinggi pada
daerah lintang tengah (500 LU dan 200LU) dengan rata-rata
mineral aerosol di udara adalah 0,79 µg m-3. Kemudian
menurun menjadi 0,26 µg m-3 pada 110LU, dan kalau di
katulistiwa rata-rata konsentrasi di udara adalah 0,07 µg m-3 .
(2) Mineral aerosol yang di transpor ke permukaan Pasifik
utara sangat bervariasi , itu biasanya terjadi pada bulan
Februari, sedang bulan-bulan yang lain relatif rendah semua
aerosol itu bersumber dari daratan Asia.
Kalau bagian Pasifik Selatan, tersedia data dari hasil
kajian SPAN (South Pasific Aerosol Network), dimana pada
katulistiwa dan pada 150LS mineral aerosol di temui sekitar
0,23 µg m-3 , kemudian lebih ke selatan lagi kemungkinan
konsentrasinya di udara akan menurun, diperkirakan ± 0,01
~ 67 ~
µg m-3. Menurut Chester dan Jickells (2012) udara di daerah
pasifik, khususnya diatas Samoa (Amerika) konsentrasi
mineral aerosol relatif rendah, tetapi konsentrasi kelihatan
tinggi berada di daerah samudera Pasifik selatan, tepatnya
udara diatas pulau Norfolk, yakni berkisar 0,79 µg m-3.
Halmana wilayah ini sangat dekat dengan daratan Australia,
jadi prakiraan sumber debu yang ada berasal daerah daratan.
Hasil penelitian LIPI menyatakan debu yang ada di udara
samudera Pasifik Selatan terutama di seputar wilayah
Indonesia, Fuji, Papua New Quinea, kepulauan Solomo dan
Filipina, umumnya berasal dari daratan utama pulau-pulau
negara tersebut,
apalagi pada waktu-waktu tertentu
dipengaruhi oleh erupsi gunung vulkanik. Misalnya erupsi
gunung Sinabung (di tanah Karo), Gunung berapi (Jawa
tengah), gunung Kelud (Jawa Timur), gunung Lokon
(Tomohon) dan ada dua gunung di Filipina yang meletus dua
tahun lalu. Semua material itu di hantar oleh angin sehingga
jatuh di prmukaan samudera Pasifik.
Hakekatnya, debu yang berada di udara permukaan
laut perairan laut dunia konsentrasinya berbeda-beda sangat
tergantung pada ruang dan waktu, kalau di bagian pasifik
Selatan kandungan mineral aerosol di udara adalah ≤ 10-3 µg
m-3 sedang di bumi bagian Timur utara Atlantik udaranya
banyak dipengaruhi oleh pantai barat Afrika dihantar oleh
angin pasat, kandungannya agak tinggi > 103 µg m-3.
Umumnya udara diatas permukaan laut/samudera
banyak bersumber pada padang pasir dan tanah gersang di
daerah daratan, seperti di daerah Atlantik kelihatan
konsentrasi tinggi itu berada di lintang rendah (0-350N),
sedang padang pasir di utara Afrika ke barat akan
mempengaruhi tingginya konsentrasi di wilayah Pasifik (pada
lintang menengah, 20-500N).
Secara global distribusi mineral aerosol mengandung
garam air laut tinggi, itu dapat terjadi oleh adanya dorongan
angin yang kuat, halmana mineral aerososl itu berasal dari
~ 68 ~
padang pasir dan daerah tanah gersang pada wilayah lintang
rendah, tabel 4.9 menyajikan informasi tentang konsentrasi
uap garam air laut dan mineral aerosol yang berada di udara
bawah troposfer.
Kejadian uap air naik ke atmosfer bisa melewati
beberapa cara, yakni oleh adanya gelombang besar
menghantam pemecah ombak sehingga terjadi butiran air
atau gelembung-gelembung , dan gelembung itu diangkut
oleh angin naik ke bagian troposefer. Seperti apa yang
dikemukakan oleh Blanchard (1983) semprotan air laut
memungkinkan produksi butiran-butiran air-laut, dan
butiran itu akan berperan penting penyediaan uap-asin
aerosol. Dimana adanya tumbukan gelombang pada pemecah
ombak, badan kapal di laut, dan atau tembok-tembok di
pelabuhan, mengakibatkan kekuatan arus edy makin kuat.
Kemudian disertai angin yang kencang menyebabkan butiran
air terangkut ke atmosfer.
Dalam beberapa referens menyimpulkan bahwa
ukuran garam air laut berkisar <0,2 µm sampai > 200 µm ,
tetapi hampir 90 persen garam air laut di perairan laut dunia
memiliki ukuran antara 2-20 µm. Walaupun demikian dalam
riset mereka telah terbukti jumlah garam-air laut yang naik
ke atmosfer relatif sedikit jumlahnya.
Tabel 4.9 Konsentrasi Uap air Laut dan Mineral
Aerosol di bawah Troposfer
Nilai Tengah Konsentrasi (µg m-3
Daerah Laut
udara)
0
Mineral aerosol
0
Atlantik Utara, 22 – 64 N
0
0
Atlantik Utara, 0 – 28 N
0
0
Atlantik Selatan, 5 – 35 S
0
0
Atlantik Selatan, 5 – 35 S
termasuk tanjung harapan.
0
0
Pasifik, 28 N – 40 S
Laut Mediterania
0
0
Samudera India, 15 S- 7 N
Sumber: Prospero dkk (1983)
~ 69 ~
Uap air laut
1,30
36,6
1,35
1,22
6,71
11,2
9,06
11,3
0,58
4,57
7,20
8,44
6,98
3,52
Jadi dapat dikatakan mineral aerosol di atmosfer
berasal dari garam-air laut itu sangat tergantung pada angin
dan kedudukan lintang. Umumnya angin yang bertiup di
permukaan laut adalah 5 sampai 35 m s-1 , dan makin cepat
angin bertiup maka peluang partikel uap air laut naik ke
atmosfer makin besar.
Partikel uap air laut yang naik ke troposfer unsur
sulfat adalah sangat penting, seperti (NH4)2SO4 bersifat
aerosol utama. Sulfat yang ada di permukaan laut bisa juga
berasal dari alam dan polutan yang ada di daratan. Kemudian
sulfat yang ada di permukaan laut bisa langsung membentuk
garam-air laut atau dapat terbentuk dari bentuk gas ke
partikel melalui reaksi kimia. Persenyawaan antar garam air
laut dengan sulfat sebagai aerosol laut di perkirakan adalah
SO42- : Na+, dan rasionya dalam air laut adalah 0,25. Memang
ada juga sulfat tanpa garam laut, tetapi itu hanya kekecualian
saja dan jarang terjadi.
Kandungan Kimia Pada Laut Aerosol
Tabel 4.10 disajikan keadaan konsentrasi beberapa zat
kimia yang ada di aerosol laut, data-data ini di kumpulkan
dari beberapa referens. Memang dalam realita besaran
kandungan zat kimia sangat tergantung pada lokasi dan cara
pemindahan zat itu (dari dan ke) atmosfer. Disamping itu
ada juga kandungan zat kimia telah lama sudah berada di
daerah itu,
namun demikian tabel 4.10 memberikan
gambaran global zat-zat utama pada aerosol laut.
Komposisi kimia pada aerosol laut umumnya berasal
dari partikel ukuran besar yang kemudian adanya reaksi
percampuran senyawa, maka terurai menjadi bagian-bagian
kecil.
Walaupun partikel itu dalam ukuran kecil, tapi punya
peran sebagai indikator, pembentuk aerosol di atmosfer, dan
zat-zat itu tergantung pada sumber mineralnya. Seperti,
fraksi yang ada tidak berasal dari mana-mana, atau memang
~ 70 ~
sudah ada disitu, hal itu di sebut sebagai faktor pengkayaan
(enrichment factor = EF), dimana dapat dikalkulasi dengan
persamaan berikut:
EF sumber = (E/I)udara / (E/I)sumber
4.1
Dimana (E/I)udara adalah perbandingan antara elemen E
dengan indikator elemen I yang ada di aerosol. Sedangkan
(E/I)sumber adalah rasio konsentrasi material sumber.
Tabel 4.10 Kisaran Konsentrasi Zat Kimia di Aerosol Laut.
Zat Kimia
Estimasi Rata-rata Kisaran
Konsentrasi (ng m-3 di udara)
Al
1 – 104
Fe
1 – 104
Mn
0,1 - 102
Cu
0,1 – 101
Zn
0,1 – 102
Pb
0,1 – 102
Sumber: Chester dan Jickells ( 2012)
Kandungan kimia seperti terterah pada tabel diatas
berasal dari dua sumber, yaitu dari kerak bumi dan
permukaan samudera. Kerak bumi adalah merupakan benda
padat yang terdiri dari endapan dan batu-batuan, yang dapat
terangkut ke atmosfer melalui proses penguraian oleh sinar
matahari, dan atau aktivitas gunung berapi (vulkanik),
dimana erupsinya naik ke lapisan troposfer, seperti baru-baru
terjadi di Indonesia, erupsi gunung Sinabung ( provinsi
Sumatera Utara) yang terjadi di akhir tahun 2013, kemudian
erupsi gunung Kelud (Jawa Timur) yang mengeluarkan udara
panas bercampur material naik ke lapisan troposfer, peristiwa
ini terjadi di awal tahun 2014. Memang wilayah Indonesia
tidak bisa di sangkal komponen kimia yang naik ke lapisan
~ 71 ~
troposfer umumnya berasal dari aktivitas vulkanik, karena
Indoneisa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang
memiliki jumlah gunung api terbanyak di dunia.
Seperti aluminium (Al) adalah contoh material yang
bersumber dari batu-batuan atau dari tanah keras, bisa
terlepas dari batuan melalui suatu proses (lihat uraian
sebelumnya), proses peluruhannya disebabkan pelbagai
faktor, hal itu dapat di hitung dengan persamaan berikut:
EFbatuan = (E/Al)udara/(E/Al) batuan
4.2
Dimana, (E/Al)udara adalah perbanding konsentrasi
antara elemen E dan Al di aerosol, sedang (E/Al) batuan adalah
perbandingan konsentrasi yang ada di kerak batuan.
Kandungan aluminium pada batuan asli umumnya
mengandung >10, tetapi jika nilai EF batuan terdapat 10 sampai
5 X 103 di aerosol artinya pengkayaan yang terjadi tidak
terkontrol, halmana di sebut AEE (anomalously enriched
elements), Tetapi bila nilai 1 sampai 10 yang ada di aerosol
menunjukan tidak ada pengkayaan, disebut sebagai NEE
(non-enriched elements).
Keberadaan nilai NEE di atmosfer adalah merupakan
hal biasa, tetapi nilai AEE dengan variasi komposisi dapat
merubah konsentrasi di aerosol, pada peningkatan nilai AEE
merupakan hal yang menarik untuk di teliti atau
didiskusikan.
Debu dan gas yang telah berasosiasi di atmosfer
sumbernya bermacam, seperti vulkanik, minyak bumi (fossil
fuel) dan industri. Sampai sekarang konsentrasi tetap di
udara atmosfer di dunia nilai selalu berubah-ubah. Namun
demikian para ahli geokimia memperkirakan suatu kisaran
rata-rata dalam kurun waktu 5 tahun penelitiannya. Dalam
tabel 4.11 di tampilkan emisi partikel di atmosfer yang berasal
dari alam maupun antropogenik.
~ 72 ~
Tabel 4.11. Emisi partikel di Atmosfer Bersumber Dari Alam
dan Antropogenik
(108g th-1)
Unsu
r
Kimia
Debu di
Daratan
Debu
Vulkanik
Gas
Vulkanik
Buangan
Industri
Minyak
bumi
∑ Minyak
bumi +
Industri
Faktor
penganggu
di atmosfer
(%)
Al
Ti
Sm
Fe
Mn
Co
Cr
V
Ni
Sn
Cu
Cd
Zn
As
Se
Sb
Mo
Ag
Hg
Pb
35650 13275
8,4
4000 12000 72000
15
0
0
0
1600
5200
15
23000 12000
3600
5
12
29
32
9
3,2
7
3200 10700
39
19000 87750
2,1
75000
0
0
52
0
1800
0,04
3000
160
3100
63
4250
30
0,005
24
20
44
161
40
84
0,05
650
290
940
323
500
150
0,000
1000
1100
2100
346
500
83
9
600
380
980
812
200
2,4
0,005
400
30
430
1363
50
93
0,012
2200
430
2630
1897
100
0,4
0,001
40
15
55
2346
2,5
108
0,14
7000 14000 8400
2786
250
3
0,10
620
160
780
3390
25
1
0,13
50
90
140
3878
3
0,3
0,013
200
180
380
4474
9,5
1,4
0,02
100
410
510
8333
10
0,1
0,000
40
10
50
27500
0,5
0,1
6
50
60
110
14583
0,3
8,7
0,001 16000 4300 20300
30
0,012
Sumber: Lantzy & Mackenzie (1979) disitasi oleh Chester (1990).
Pelbagai unsur kimia yang naik ke atmosfer bisa
terjadi reaksi membentuk senyawa tertentu, tapi ada juga
dalam bentuk utuh. Semua unsur kimia itu merupakan faktor
pengganggu di atmosfer. Banyak referens menyatakan unsur
kimia yang menjadi faktor pengganggu disebut sebagai
“atmospheric Interference factor” (AIF). Faktor pengganggu
~ 73 ~
atau yang mengatur elemen di udara dapat dihitung dengan
persamaan berikut:
AIF = (Ea ∕ En) X 100
4.3
Dimana Ea adalah jumlah (∑) zat yang terkandung
pada emisi antropogenik, sedang En memperlihatkan jumlah
emisi dari alam.
Berangkat dari tabel diatas terlihat, ada tiga kelompok
zat kimia, yaitu ❶ Al, Ti, Fe, Mn dan Co semua memiliki
nilai AIF (faktor pengaruh di atmosfer) adalah < 100, dan zat
dari alam lebih mendominasi di atmosfer. ❷ terdiri dari Cr,
V dan Ni yang memiliki nilai AIF pada kisaran 100 – 500
halmana lebih didominasi dari emisi antropogenik, walaupun
ada juga dari alam tapi tidak melebihi nilai 5 dibandingkan
dengan antropogenik. Dan kelompok ke ❸ Sn, Cu, Cd, Zn,
As, Se, Mo, Hg dan Pb kelompok ini memiliki kisaran 500 –
35000 kelompok ini sebagian besar berasal dari emisi
antropogenik.
Emisi yang masuk ke atmosfer secara umum dari
beberapa data penelitian dan pernyataan para ahli geokimia
laut di dunia, bahwa kandungan emisi terbanyak berada di
belahan bumi utara yaitu ± 90%, sedang sisa 10% ada di
belahan bumi bagian selatan katulistiwa.
Dalam laporan Weisel dkk (1984) bahwa estimasi
sumber zat secara global yang naik ke atmosfer disajikan
pada tabel 4.12, dan hal menarik ketersediaan data logam
mikro bersumber dari permukaan perairan laut.
Data dalam tabel 4.12 terlihat unsur kimia logam
mikro seperti : Al, Fe, Mn dan Co di atmosfer hampir 90%
berasal dari alam yang disumbangkan dari debu batuan,
sedang zat kimia K dan Mg umumnya (± 80%) bersumber
dari garam laut. Kemudian unsur V (± 24%), Cu (23 %) dan
Pb (69%) merupakan hasil proses alamiah yang bersumber
dari permukaan samudera. Kecuali unsur kimia Cu di duga
~ 74 ~
Tabel 4.12. Secara Global Sumber logam mikro yang naik ke Atmosfer
(109 g th-1)
Zat
ALAM
ANTROPOGENIK
*)
Kimia Samudera Debu Vulkanik Vegetasi Minyak bumi Lain-lain
Al
200
20000 700 40
2000
2000
Co
0,2
7
0,1
0,04
0,9
2
Cu
5
10
6
0,9
2
50
K
30000 6000
200 100
200
200
Fe
50
10000 300 20
2000
4000
Mg
100000 3000
80
20
300
200
Mn
7
200
9
5
8
400
Pb
8
3
0,4
0,2
4
400
Se
0,0005 7
0,2
0,002 0,6
0,4
V
10
30
0,2
0,2
20
2
Zn
8
80
10
10
80
200
Cd
0,4
0,005 0,1
0,05
0,2
5
Sumber: Weisel dkk (1984).
*) Sebagai nilai yang diperkirakan pada butiran air dalam
bentuk gelembung yang naik ke udara.
dapat berasal dari kegiatan vulkanik, tapi relatif kecil yaitu ≥
5%. Kalau menurut Nriagu (1979) bahwa vegetasi di daratan
memiliki kemampuan menyumbang unsur Zn, nilainya di
perkirakan 20 persen.
Secara umum dapat dikatakan, unsur logam mikro
seperti Al, Fe, Mn, Co dan Sc merupakan sumbangan dari
batu-batuan melalui proses alamiah, dan zat-zat itu bukan
merupakan pengkayaan dari atmosfer. Tetapi aktivitas
vulkanik
dan vegetasi di daratan merupakan proses
pengkayaan secara alamiah, dan jumlah bervariasi tergantung
dari anomali pengkayaan zat
(anomalously enriched
elements). Kalau zat kimia Na, K, Mg dan beberapa logam
mikro (trace metal) di atmosfer adalah sumbangan dari garam
laut. Namun demikian semua zat-zat itu menjadi aerosol di
udara akan jatuh kembali ke laut, memang ada sebagian
~ 75 ~
besar aerosol, mineral dan logam mikro yang bersumber dari
permukaan laut satu berpindah tempat ke laut lain akibat
dihantar oleh angin pasat.
Suatu ilustrasi tentang proses terjadi pengkayaan logam
mikro di atmosfer yang bersumber dari permukaan samudera,
disajikan dalam gambar 4.5 berikut ini.
Aerosol
Lapisan organik
Me
Partikel
Me
Me
Organik
Pengikatan
anorganik
Partikel anorganik
Serap
Lapisan mikro
Mikroba
PERAIRAN
Terlarut Logam mikro
Pengikatan organik tidak
dipermukaan air
Pengikatan bahan
organik di permukaan
Ilustrasi Proses Pengkayaan Partikel
di Atmosfer berasal dari Permukaan Samudera.
Gambar 4.5.
Samudera merupakan wilayah luas dan terbuka
memungkinkan terjadinya butiran air yang bisa naik ke
atmosfer. Butiran air/gelembung terbentuk akibat adanya
angin dan gerakan glombang besar, apalagi ombak itu
melewati tanggul pemecah ombak, jumlah butiran air yang
akan naik ke atmosfer makin signifikan.
~ 76 ~
Umumnya pengkayaan di atmosfer bersumber dari
samudera bisa berasal dari bahan organik dan partikel yang
ada di lapisan mikro. Organik alam yang ada dipermukaan
sangat bervariasi senyawanya di dalam butiran yang ada di
lapisan mikro, seperti: padatan suspensi, organik karbon dan
partikel terlarut, fosfat organik dan anorganik, bahan organik
berbentuk nitrogen (termasuk nitrat), bakteri dan organisme
mikro lainnya, bahan cemar (polutan) dan logam mikro.
Intinya pengkayaan logam mikro di lapisaan mikro
(lihat gambar) fenomenanya tidak stabil, dan frekuensi
kehadiran logam mikro sangat tergantung dari bentuk dan
sifat bahan organik yang ada di permukaan. Kemudian proses
pengikatan bahan organik dan partikel logam mikro di
lapisan mikro cukup tinggi dibandingkan dengan yang ada di
bagian perairan.
Walaupun sesungguhnya peluang
pengkayaan di perairan variasi luas.
Hakekatnya, partikel ada dalam bentuk debu, mineral
aerosol dan logam mikro yang bersumber dari samudera
memiliki kisaran ≤ 10-3 m-3 sampai ≥ 103 µg m-3 (bersumber
dari daerah padang pasir). Secara global sumber debu yang
menjadi mineral aerosol di atmosfer sekitar 100 sampai 800 g
th-1 , dan prinsipnya sumber utama partikel sebagai laut
aerosol ada tiga, yaitu dari kerak bumi, permukaan paerairan
samudera dan antropogenik. Semua partikel dan aerosol akan
turun ke laut melalui proses kondensasi atau adanya proses
presipitasi (lihat gambar 4.3)
Material bersumber dari hidrothermal
Lapisan dasar laut dan tanah di dasar laut (sea bed) terdapat
komposisi sebagai batuan keras lava yang tersusun pada
lapisan pertama sebagai sedimen (kerak samudera pertama)
dan lapisan ke dua dasar sebagai lapisan batu keras laut
terbentuk oleh adanya vulkanik, dan lapisan ke tiga adalah
lapisan gabbro (lihat gambar 4.6).
~ 77 ~
Secara umum aktivitas vulaknik dimulai dari gas vulkanik
yang berakumulasi di dalam dapur magma berfungsi sebagai
motor penggerak magma. Dalam kegiatannya ataupun bila
terjadi peningkatan kegiatan gas-gas vulkanik tersebut akan
keluar ke permukaan terlebih dahulu karena lebih ringan
daripada material dalam bentuk cair/fluida atau padat.
Kerak samudra, merupakan benda padat yang terdiri
dari endapan di laut pada bagian atas, kemudian di bawahnya
batuan batuan vulkanik dan yang paling bawah tersusun dari
batuan beku gabbro dan peridolit.
Oksidasi di Air Laut
Permukaan Laut
SEDIMEN (Lapisan 1)
Hidrotermal
terendam
Transfer panas
dan zat kimia
Dominasi logam Fe
Padatan Batuan
Vulkanik (Lapisan 2)
Dolit
Pengeluaran gas
MAGMA
ASTENOSFER
GABBRO (Lapisan 3)
MOHO
MANTLE
Gambar 4.6. Lapisan Kerak Samudera (Dasar laut dan
Tanah di bawahnya)
Celah yang ada di bawah badan air laut atau geyser disebut
sebagai ventilasi hidrotermal. Celah itu terbentuk akibat
lempengan kerak samudera bergerak tanpa henti dan
bertabrakan dengan gunung laut.
~ 78 ~
Komposisi kimia di landas kontinen dan di badan air
berbeda, karenanya pembentukan sedimen dan pertukaran
kimia perbedaan itu yang berperan penting, biasanya melalui
proses “diagenesis” dan adanya aktivitas biota perairan,
maka membentuk sedimen di dasar perairan, apalagi partikel
yang keluar melalui ventilasi hidrotermal akan makin cepat
membentuk suatu bongkahan keras (nodul)
Lapisan kerak samudera sangat dipengaruhi oleh lapisan
vulkanik, komposisi kimia yang dikandung di landas kontinen
telah tersusun ribuan tahun, yang mula-mula zat-zat itu ada
dalam batuan gabbro dan predolit. Semakin bertambah
tahun lapisan-lapisan makin keras, apalagi jika di seputarnya
atau didalam samudera terdapat gunung berapi. Sebagai
contoh Indonesia pada wilayah perairan laut banyak di temui
gunung berapi (misalnya daerah kepulauan Sangihe,
kabupaten Banten, gunung anak Karatau). Disamping itu di
pinggiran daerah pantai Indonesia banyak ditemui gunung
berapi aktif, lava gunung berapi antar satu dengan yang lain
saling berhubungan. Pergeseran material di lapisan bawah
tanah memungkin terjadi, sehingga membentuk lapisan tebal
yang keras di dasar laut. Dalam lapisan itu mengandung zatzat kimia, seperti: Al, Fe, Ni, Mg, Co, Pb dan sebagainya.
Karena asosiasi yang kuat maka membentuk suatu manganes
nodule.
Gambar diatas terlihat magma merupakan sumber panas
dalam bentuk cair dan gas naik ke lapisan dua melewati
lapisan dolit, pada lapisan dua terbentuk batuan
hidrothermal. Dalam periode panjang membentuk suatu
lapisan yang disebut sebagai sedimen, halmana pada lapisan
ini banyak terdapat logamfero dan logam lainnya. Zat kimia
yang ada di lapisan ini berasosiasi sering membentuk suatu
nodul manganese.
Elderfield (1976) mengatakan bahwa ada perbedaan antara
“geotermal” dan “hidrotermal”, halmana kalau geotermal
sumber panasnya bisa langsung masuk ke dalam sirkulasi air
~ 79 ~
tanpa pemindahan kimiawi, pelapukan dari batuan kerak
samudera atau dari partikel akan jatuh ke dasar membentuk
sedimen (jadi sedimen itu bersifat mineral).
Tetapi
hidrotermal selain panas yang ada terjadi juga transfer
kimiawi. Seperti unsur Hg, Ce dan B, bersumber dari mantel
(kulit) berubah bentuk gas dan juga gas radiogenik ( 3H)
ditransfer ke sirkulasi air, walaupun akhirnya zat-zat itu akan
membentuk sedimen di dasar perairan.
Jadi jelas terlihat aktivitas hidrotermal bisa sebagai
penghasil batuan samudera yang baru di pusat punggung
dasar laut, dan dalam waktu lama akan membentuk lapisan
keras sehingga tersusun nodul mangan.
Secara umum gambaran komposisi nodul mangannes
dan batuan keras yang tersusun pada daerah landas kontinen
disajikan pada tabel 4.13 berikut ini.
Tabel 4.13 Kelimpahan zat Mn, Fe, Ni, Co dan Cu pada
nodul Mangan dan Batuan ( satuan berat dalam %)
Mn
Fe
Ni
Co
Cu
Mn/Fe
Kedalaman
Seamounts
Datar
an
Punggung
laut aktif
14,62
15,810,35
1
1,15
0,058
0,92
1872
17,17
11,81
0,641
0,347
0,087
1,53
0,45
15,15
19,15
0,306
0,40
0,081
0,80
2870
Punggu
ng laut
lainnya
19,74
20,08
0,336
0,570
0,052
0,98
1678
Pinggiran
kontinen
Pinggiran
Seamount
Abysal
38,69
1,34
0,121
0,011
0,082
28,8
3547
15,65
19,32
0,296
0,419
0,078
0,81
1694
16,78
17,27
0,540
0,256
0,370
0,97
4460
Sumber: Murton, B.J. dkk (2004)
Interaksi antara batuan lava dengan air laut dapat
terjadi dengan kisaran temperatur luas dan periode yang
panjang, aktivitas itu bisa melalui beberapa alur sebagai
berikut: (1) adanya aktivitas hidrotermal dengan suhu tinggi
dapat menghancurkan kerak batuan di dasar laut, kemudian
pada punggung dasar laut dengan suhu tidak terlalu tinggi
bisa terjadi interkasi dengan air laut; (2) dengan suhu rendah
pelapukan batuan dapat terjadi, dan zat-zat hasil pelapukan
dapat berasosiasi dengan air laut dalam waktu yang tidak
~ 80 ~
terlalu lama; dan ke (3) hasil yang dikeluarkan oleh lava panas
dapat masuk ke dasar perairan atau tanah di dasar perairan.
Chester dan Jickells ( 2012) menyatakan unsur kimia
yang dikandung oleh batuan di dasar samudera bisa
berbentuk unsur utama dan minor, disajikan pada tabel 4.14.
dan tabel 4.15 berikut ini.
Tabel 4.14. Unsur Kimia Utama di Bebatuan Dasar Samudera
Senyawa
SiO2
TiO2
Al2O3
Fe2O3
FeO
MnO
MgO
CaO
Na2O
K2 O
H2O(∑)
P2O3
Batuan di pulau Oseanik
Rata-rata
batuan tolelitik
49,36
2,50
13,94
3,03
8,53
0,16
8,48
10,30
2,13
0,38
0,26
Rata-rata
batuan alkali
46,46
3,01
14,64
3,37
9,11
0,14
8,19
10,33
2,92
0,84
0,37
Batuan di Punggung
Atlantik
Batuan
Batuan
tolelitik
Alumina
50,47
48,13
1,04
0,72
15,93
17,07
0,95
1,17
7,88
8,65
0,13
0,13
8,75
10,29
11,38
11,26
2,60
2,39
0,10
0,09
0,59
0,29
0,11
0,10
Sumber: Chester dan Jickells ( 2012)
Tabel 4.15. Kimia Minor di Bebatuan Dasar Samudera (µg g-1)
Unsur Batuan
Batuan
Batuan
Batuan di
Batuan di
diPunggung
SamuderaIndia Pulau Tonga
alkali
tolelitik
Atlantik
Fe
Mn
Cu
Ni
Co
Ca
Cr
V
Ba
Sr
82600
1084
36
51
25
22
67
252
498
815
76800
1239
77
97
32
17
297
292
14
130
63616
87
123
41
18
292
289
12
123
Sumber: Chester dan Jickells ( 2012)
~ 81 ~
68282
90
242
23
20
347
340
131
54008
51
25
30
13
75
230
13
115
Zat kimia baik berbentuk utama (major) maupun
minor sebagaimana terterah pada table diatas (Tabel 4.14 dan
4.15) memiliki kemampuan bersenyawa satu dengan yang lain,
bahkan bisa membentuk ikatan yang kompleks berwujud
mineral. Interaksi kimia-kimia tersebut dapat terjadi di
badan/kolom air atau dapat juga di sedimen.
Keberadaan zat kimia, baik organik maupun anorganik
di samudera akan menentukan dan sebagai pengendali
kehidupan di samudera dan penyusunan kerak samudera.
Berbicara kerak/bongkahan di dasar samudera, secara umum
lapisan kerak ada yang bersifat keras dan ada juga lunak,
artinya masik mengandung sejumlah air (larutan kental), hal
ini disebut sebagai hidrogenetika. Walaupun kerak yang
bersifat larutan dengan viskositas tinggi itu, akan menjadi
keras oleh adanya reaksi oksidasi.
Dalam kenyataan di sedimen, kerak samudera ataupun
bongkahan abisal terdapat beberapa lapisan, lapisan yang
bagian atas biasanya berupa partikel halus sebagai endapan
berasal dari badan air, yang kemudian diikuti lapisan
pebatuan keras berasal dari vulanik.
Intinya pada lapisan batuan keras di lapisan dua
(batuan vulkanik) berinteraksi dengan air laut merupakan
suatu sumber material dari aktivitas hidrotermal dimana
akan membentuk cadangan geokimia di landas kontinen.
Rekasi kimia yang terjadi yang menyusun beberapa
komponen dan tenggelam di dasar perairan sangat
tergantung pada volume air dan aktivitas.
Secara umum proses pembentukan batuan keras
samudera maupun batuan-batuan baru yang tersusun di
punggung dasar laut
sebagai akibat adanya aktivitas
hidrotermal. Mula-mula di dasar laut membentuk asap putih
dan makin bertambah waktu kelihatan seperti asap hitam,
akhirnya zat-zat itu mengeras menjadi bahan mineral di dasar
perairan sampai membentuk nodul.
~ 82 ~
⑤
KESETIMBANGAN
THERMODINAMIKA
T
ermodinamika merupakan suatu kajian yang
menyangkut perubahan energi yang menyertai
suatu proses perubahan fisik atau kimia ataupun s
benda. Konsep utama yang digunakan adalah hukum kekalan
energi yang menyatakan bahwa energi adalah kekal adanya,
energi hanya ditransformasikan dari satu bentuk ke bentuk
yang lain. Suatu perubahan zat menjadi zat lain, bisa jadi zat
atau benda semula mengalami degradasi (peluruhan)
kandungan energi dalamnya karena pada proses tersebut
energinya dipindahkan ke zat/benda lain atau dilepaskan ke
lingkungan.
Bentuk kesetimbangan kimia di perairan alamiah
sangat kompleks karena material yang ada berasal dari
pelbagai sumber. Mengidentifikasi komposisi kimia yang ada
disertai kesetimbangannya,
dapat dilakukan dengan
pendekatan seperti
berbentuk zat tunggal atau terdiri
beberapa senyawa, sifat senyawa padat atau cair, di troposfer
tertutup atau terbuka, dan apakah sifat kimia itu mudah
dipengaruhi oleh cahaya atau tidak.
Proses perubahan fisika maupun kimia kebanyakan
berlangsung bolak-balik. Pada awalnya proses berlangsung ke
arah hasil, tetapi begitu molekul hasil terbentuk, maka proses
ke arah yang berlawanan akan berlangsung. Ketika proses
kedua arah yang berlawanan tersebut mempunyai laju yang
sama dan konsentrasi zat tidak berubah lagi dengan
bertambahnya waktu, saat itulah kesetimbangan dinamika
tercapai. Kesetimbangan tersebut bersifat dinamis karena
kedua proses dengan arah berlawanan tersebut tetap
~ 83 ~
berlangsung walaupun tidak menghasilkan perubahan
konsentrasi.
Termodinamika merupakan suatu instrumen untuk
meramal apakah suatu proses yang belum kita ketahui dapat
dilaksanakan atau tidak. Termodinamika dapat menjelaskan
mengapa proses pertumbuhan dan reproduksi sistem hayati
seperti manusia, hewan dan tumbuhan dapat terjadi. Kita
akan dapat mengerti mengapa reaksi fotosintesis dapat
berlangsung dan mengapa pula ikan dapat bernafas dalam air.
Bertolak dari pemikiran itu, timbulah beberapa
pertanyaan mendasar bagi kita, seperti: mengapa bila ada
oksigen, besi lama kelamaan akan berkarat; mengapa gas O2
bisa menjadi H2O dengan sendirinya pada suhu rendah.
Kalau di atmosfer, mengapa gas O2 menjadi gas ozon (O3)
atau sebaliknya dapat terjadi. Semua perubahan yang
dipertanyakan tadi, bisa dijawab dengan menggunakan
konsep termodinamika.
Memang
pengetahuan termodinamika banyak di
gunakan sebagai kurikulum di ilmu keteknikan (misalnya,
fakultas teknik), karena pengetahuan pemindahan bentuk
benda satu ke bentuk lain memerlukan perubahan energi
“transfer energy”. Menurut Thomas (1992), Transfer kalor
didefinisikan sebagai pemindahan energi dari satu tempat ke
tempat lain dalam satu
sistem yang disebabkan oleh
perbedaan suhu.
Menurut teori, termodinamika terdiri dari dua suku
kata yakni. Termo dan dinamika. Termo dalam bahasa
Yunani mengartikan sebagai panas atau kalor, sedang
dinamika bermakna kekuatan atau tenaga. Pengertian
termodinamika secara harfiah yaitu perubahan kalor menjadi
kekuatan atau tenaga. Aspek yang terkandung dari makna
tadi melibatkan peristiwa konversi energi. Tetapi adanya
perkembangan ilmu dan teknologi yang begitu pesat, maka
aspek yang terlibat makin beragam seperti: Pengetahuan
tentang pemindahan panas umumnya digunakan pada
~ 84 ~
disiplin ilmu kimia, “aerospace”, lingkungan, mekanikal,
teknik nuklir, refigerasi, polimer dan sebagainya. Namun
demikian, pengetahuan kelautan lebih khusus untuk siklus
energi berasal dari nurtrien di laut juga akan menggunakan
teori panas dan persamaannya, penulis mencoba aplikasikan
ke dalam sistem geokimia di laut.
Ada tiga prinsip dalam hukum termodinamika yang
berkembang sampai saat ini, yakni Hukum termodinamika
pertama, dipelajari prinsip kekelan energi, sedangkan hukum
termodinamika kedua, membahas arah suatu perubahan,
proses atau peristiwa yang memperlihatkan kecenderungan
dari pergerakan semesta ke arah tidak teratur, hukum
termodinamika II digunakan sebagai alat untuk menilai dan
mengukur tingkat kespontanan dari proses atau perubahan
tersebut. Sedang untuk hukum termodinamika ketiga,
memberikan prinsip dasar dari kedua hukum tersebut
(termodinamika I dan II) sebelumnya dengan menjelaskan
derajat ketidakteraturan pada kondisi temperatur (suhu) 0oK
absolut. Jadi menurut hukum termodinamika ke III, kristal
murni berada pada suhu absolut 00K memiliki keteraturan
struktur tertinggi, dan menurut konvensi ditetapkan NOL.
Intinya para ahli merumuskan
persamaan
tentang
termodinamika, yakni sebagai energi konservasi. Hukum
termodinamika adalah:
(5.1)
Catatan: rata-rata perubahan energi = 0
Dimana Ẻ0 dan Ẻ1 merupakan pemindahan energi masuk dan
keluar ke dalam sistem. Δ Ẻ3 / Δt adalah perubahan energi yang
tersimpan di dalam sistem.
Untuk analisis pemindahan kalor di dalam perubahan suatu
larutan (fluida), ada dua rumusan dasar, yaitu: (1) prinsip massa
konservasi dengan persamaan berikut,
~ 85 ~
(5.2)
Ke (2) hukum Newton kedua, dengan persamaannya sebagai
berikut,
(5.3)
Dimana M adalah produk dari komponen x dari
velosity µ dan massa m
Hakekatnya, berbicara termodinamika tidak terlepas
pemahaman tentang panas secara alamiah, cara kerjanya dan
identifikasi pengaruhnya pada sistem alam. Hukum-hukum
tentang panas dalam kaitan dengan termodinamika yang di
aplikasikan pada geokimia merupakan pusat diskusi dalam
bab ini.
Sebagai sasaran pembahasan dalam bagian ini yaitu
membicarakan hal yang berkaitan dengan temperatur, panas
dan hal-hal yang mempengaruhi kesetimbangan kimia di laut
termasuk kimia potensial, entropy dan enthalpy. Intinya
untuk mengetahui rumusan dasar dari pertukaran energi di
alam akibat pengaruh suhu, tekanan, volume, entropy dan
komposisi kimianya.
Suhu Dan Rumus Persamaannya.
Dalam kehidupan keseharian kita, dimana suhu sangat
berhubungan dalam tubuh kita, terkadang suhu dapat
mengendalikan aktivitas keseharian, tergantung rasa kita
apakah panas atau dingin.
Batasan suhu tinggi atau rendah tidak hanya dengan
perasaan tetapi sebaiknya dianalisa dengan pendekatan
prinsip geokimia, jelas bagi kita untuk mendefinisikan suhu
tidak hanya dengan dua alasan seperti: (1) Sulit menentukan
konsep suhu hanya dengan cara prediksi melalui pengamatan
~ 86 ~
subjektif. Oleh karenanya penentuan skala suhu haruslah
menggunakan dasar matematika; ke (2) Agak sulit bagi kita
menentukan panas (kalor), secara kuantum masuk kedalam
tubuh kita akibat suhu. Sesungguhnya pemahaman panas
perlu pendekatan sifat termodinamika.
Sebagai contoh ada dua sistem tertutup dengan kondisi
homogen, dimana setiap sistem terdiri dari zat tunggal
dengan sifak fisiknya, pasti tidak akan terjadi proses reaksi
kimia dengan sempurna. Untuk itu dengan pendekatan
termodinamika dapat menjelaskannya sifat intensif dari
kedua sistem, kemungkinan akibat tekanan dan viskositas,
sehingga berpengaruh pada kecepatan akustik dan volume
molar. Dalam teori tekanan di simbolkan dengan “p” sedang
Volume dengan simbol “v”
Seandainya kita tempatkan dua kontainer berdekatan
secara spontan terjadi pertukaran tekanan dan volume molar
kedalam sistem itu tetapi jika dibiarkan dalam beberapa saat,
pasti tidak akan tejadi perubahan. Pada kondisi itu kedua
kontainer dalam kesetimbangan panas (thermal equilibrium).
Untuk itu mengukur tekanan dan volume molar diberi
label P1, V1 dan p1, v1 , tidak bisa dipungkiri secara umum
harapan P1 akan sama dengan p1 demikian juga pada volume
molar V1 akan berimbang dengan v1 . Jikalau kita pisahkan
sistem itu, kemungkinan salah satu sistem akan berubah,
ditandai dengan nilai
P2 , V2
dan sudah pasti ada
kesetimbangan panas dengan p1,dan v1 halini menunjukan
bahwa kemungkinan kombinasi P dan V adalah stabil.
Perubahan yang terjadi biasanya menimbulkan panas atau
sering disebut “suhu”, kalau suhu ada dalam kesetimbangan
di katakan “isotherm”, secara empiris rumus kesetimbangan
suhu di gambarkan sebagai berikut:
f (p, v¯ ) = t atau F(P, V¯ ) = T,
(5.4)
~ 87 ~
Apabila t=T , akan memperlihatkan sifat intensif dari
suatu sistem ada dalam kesetimbangan termal. Dalam
kenyataan di alam banyak sistem yang sama, maka rumus ini
dapat dikembangkan.
Kalau ada gas pada tekanan rendah
maka
persamaannya adalah PV¯ = RT, dimana R adalah konstanta
gas (1,987 cal mol−1K−1). Kemudian pada daerah tekanan
tinggi yang mengandung banyak atom per molekul maka
berlaku persamaan Van der Waals, yaitu:
(P + a/V¯ 2)(V¯ − b) = RT,
(5.5)
Di mana nilai a dan b adalah konstanta empiris. Jadi
hakekatnya perubahan tekanan di suatu tempat akan
mempengaruhi
suhu
(temperatur)
sehingga
dapat
dikembangkan persamaan yang terterah diatas.
Sebagai contoh, kalau kita memindahkan sesuatu benda atau
objek dari satu tempat ke tempat lain maka akan keluarkan
gaya, jumlah kalor yang keluar adalah dw , maka fungsi gaya
itu adalah sebagai berikut:
dw = F dx
(5.6)
dimana F adalah gaya sedang dx menunjukan tempat yang
berpindah. Merupakan suatu konsensus bahwa, dw akan
positif jika terjadi perpindahan atau gaya, sedang nilai
negatif adalah tempat dimana benda itu di pindahkan. Dalam
setiap gerakan selalu ada kekuatan (gaya), maka persamaan
umum adalah :
dw = ΣFi dxi.
(5.7)
Gaya merupakan tekanan hirostatik, P, seperti tekanan,
tegangan permukaan, tarikan listrik atau gradien magnit.
Keseluruhan pekerjaan itu dikaitkan dengan thermodinamika,
dapat digunakan dengan rumus persamaan dw .
~ 88 ~
Apabila dihubungkan dengan geokimia , dimana
pertukaran volume di nyatakan dV diterapkan pada tekanan
hidrostatik, maka persamaannya adalah sebagai berikut:
dw = PdV.
(5.8)
Jadi berbicara geokimia dalam kesetimbangan
termodinamika sesungguhnya berhubungan akan dengan
tekanan dan volume.
Kalau perhitungan thermodinamika didasarkan pada
tekanan dan volume kemungkinan kesalahannya kecil, tetapi
jika penerapan pada geologi, karena ada pengaruh gerakan
yang signifikan, seperti letusan vulkanik dengan gas yang
meluas tersebar dan gas-gas lain yang signifikan pengaruhnya,
maka agak sulit dievaluasi, sebab tekanan tidak sama di
semua tempat dan gas tidak dalam kesetimbangan mekanis
dengan lingkungannya.
Hukum Pertama Termodinamika
Hukum pertama termodinamika merupakan bentuk lain
dari hukum kekekalan energi. Dalam suatu sistem yang
terisolasi jumlah energi total selalu tetap. Jika antara sistem
dan lingkungan terjadi pertukaran kalor atau kerja, maka
menurut hukum pertama termodinamika jumlah total energi,
yaitu energi sistem ditambah energi lingkungan harus selalu
tetap.
Kita tahu alam semesta yang merupakan ciptaan Tuhan,
mempunyai energi yang konstan. Berdasarkan asas kekekalan
energi (nanti diuraikan berikut), kita tidak mungkin bisa
menciptakan/membuat dan memusnahkan suatu energi yang
dapat kita lakukan hanyalah mengubah suatu bentuk energi
tersebut menjadi sebuah bentuk energi yang lain. Secara
ilustrasi kondisi energi di alam seperti terlihat pada gambar
5.1 . Masuk dan keluar energi adalah perubahan energi yang
tersimpan di dalam sistem.
~ 89 ~
Sebelum lebih lanjut membahas tentang hukum
termodinamika, marilah kita pelajari tentang hukum
kekekalan energi, apa yang dimaksud dengan kerja dan kalor
serta fungsi keadaan (lingkungan).
Gambar 5.1. Ilustrasi Kerja energi di Alam
① Hukum Kekekalan Energi:
Prinsip hukum kekekalan energi yaitu dalam setiap
proses, energi tidak dapat dimusnahkan maupun diciptakan.
Energi dapat dipertukarkan dari satu bentuk ke bentuk lain
atau dialihkan dari satu sistem ke sistem lain dalam bentuk
kerja atau kalor, tetapi jumlah energinya tak pernah berubah.
Marilah kita ketahui bentuk-bentuk energi yang lazim
terlibat yaitu energi kinetik,
Ek =½ m.V2.
(5.9)
dimana m adalah massa benda dan v kecepatannya.
Satuan energi dinamakan SI adalah joule (J). 1 J= 1 kg.m2.det-2
Suatu benda juga memiliki energi karena lokasinya.
Energi ini dinamakan energi potensial (Ep) dengan persamaan
sebagai berikut:
Ep = mgh
(5.10)
halmana g adalah percepatan gravitasi, yang nilainya
berdasar percobaan adalah 9,81 m.det-2 untuk massa di bumi,
sedang h merupakan ketinggian benda.
~ 90 ~
Jadi hukum kekekalan energi :
E total = Ek + Ep = tetap
(5.11)
Laju produksi atau penggunaan energi disebut daya. Satuan
SI untuk daya adalah watt (J.det-1)
Prinsip yang menjadi dasar dari perkembangan
termodinamika adalah hukum kekekalan energi. Prinsip ini
berlaku baik pada mahkluk hidup maupun benda mati seperti
kontainer (pada percobaan James Joule), gas, logam, dan
sebagainya. Bila kita ambil contoh pada benda mati seperti
batu, yang kita letakan pada suatu tempat dengan ketinggian
tertentu maka batu itu memiliki energi potensial.
Selanjutnya bila batu kita jatuhkan dari ketinggian tertentu
maka batu akan bergerak dengan kecepatan tertentu, keadaan
ini menunjukan bahwa saat ini batu memiliki energi kinetik.
Proses perubahan energi pada gerakan batu tadi adalah
perubahan dari energi potensial menjadi energi kinetik yang
dikatakan sebagai peristiwa transformasi energi. Energi yang
dimiliki batu tadi secara keseluruhannya tetap hanya bentuk
energinya berubah.
② Pengertian Kerja dan Kalor (Panas)
Kerja mekanik terbentuk apabila sebuah gaya bekerja
pada suatu jarak yang tertentu. Besar kerja dinyatakan
sebagai hasil perkalian antara gaya dan jarak. Satuan SI untuk
kerja adalah Joule (J), ini diambil dari nama James Joule
sebagai penemu teori hukum termodinamika. Besaran Joule
ini berhubungan gaya satu newton (N) yang bekerja pada
jarak satu meter (m). Oleh karena itu 1 Joule = 1 newton X 1
meter (atau Kerja = gaya X jarak).
Kerja dapat dinyatakan sebagai segala bentuk alih energi
yang dapat ditimbulkan melalui pengangkatan atau
penurunan beban.
Kalor adalah energi yang dipindahkan sebagai akibat
adanya perbedaan suhu.
Energi berupa kalor selalu
berpindah dari benda yang panas (suhu lebih tinggi) ke benda
yang dingin (suhunya lebih rendah). Kalau kita lihat dari segi
~ 91 ~
molekul, hal ini berarti bahwa molekul dari benda panas
akan memberikan sebagian energi kinetiknya kepada molekul
benda dingin ketika kedua benda itu bersentuhan.
Akibatnya, energi kinetik rata-rata dari molekul benda panas
akan berkurang dan suhunya turun, sedang suhu benda
dingin akan naik karena energi kinetik rata-rata molekulnya
bertambah. Kalor akan mengalir antara kedua benda tersebut
sampai suhunya sama.
Banyaknya kalor q. Yang dibutuhkan untuk mengubah
suhu zat, tergantung pada besarnya perubahan suhu, jumlah
zat dan jenis zat (jenis molekul). Kapasitas kalor adalah
banyaknya kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu
suatu zat 10C; sudah barang tentu kapasitas kalor bergantung
pada jumlah zat kapasitas kalor spesifik atau kalor jenis.
Pengertian kalor jenis adalah jumlah kalor yang dibutuhkan
untuk menaikkan suhu 1 gram zat 10C. Kapasitas kalor
molar adalah banyaknya kalor yang diperlukan untuk
menaikkan suhu 1 mol zat 10C Menurut sejarahnya banyaknya
energi kalor dinyatakan dalam satuan kalor. Satu kalori
adalah jumlah kalor yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu
1 gram air dari 14,50C ke 15,50C. yang perlu diingat satuan
kalori bukan satuan SI.
Dalam
percobaan
Joule
memperlihatkan
kerja
ditimbulkan dengan jalan melepaskan beban karena efek
gravitasi kerja tersebut diubah menjadi kalor yang direkam
melalui adanya kenaikan suhu air dalam wadah percobaan.
Hasil menunjukan bahwa jumlah joule kerja yang dihasilkan
beban selalu kira-kira 4,15 kali lebih besar dari jumlah kalor
yang diserap oleh air. Percobaan Joule ini menegaskan bahwa
kerja mekanik dapat diubah menjadi kalor, dan menyatakan
bahwa kalor serta dapat diukur dengan menggunakan satuan
yang sama yaitu joule atau kalori. Secara empirik percobaan
itu memperlihatkan bahwa :
1 kal = 4,184 J dan 1 kkal = 4,184 kJ.
~ 92 ~
③ Pengertian sistem, Lingkungan dan Fungsi Keadaan.
Sistem dalam termodinamika didefinisikan sebagai
sejumlah materi atau daerah dalam ruang yang dijadikan
sebagai objek studi. Massa atau daerah yang berada di luar
sistem disebut sebagai lingkungan. Bidang yang bersifat riil
maupun imaginer yang memisahkan sistem dan lingkungan
disebut sebagai batas. Batas ini dapat berupa batas tetap
(fixed boundry) atau batas berubah (movable boundry). Dalam
bidang kimia, yang dimaksudkan dengan sistem adalah suatu
reaksi kimia zat-zat yang kita reaksikan. Sedangkan tabung
reaksi atau gelas kimia beserta segala sesuatu di sekelilingnya
merupakan lingkungan (lihat gambar 5.1).
Intinya sistem yang dimaksud diatas, ada empat tipe,
yaitu sistem terbuka, tertutup, terisolasi dan adiabatik,
perbedaan dari keempatnya terletak pada interaksi antara
sistem dan lingkungannya. Sistem terbuka memiliki ciri
yang memungkinkan adanya perpindahan massa dan kalor,
baik masuk atau keluar. Contohnya, reaksi yang berlangsung
dalam gelas piala dimana materi atau massa dan kalor dapat
dengan mudah masuk dan keluar dari sistem ke lingkungan
dan sebaliknya. Untuk sistem tertutup, cirinya adalah tidak
dapat terjadi aliran massa namun aliran kalor masih
dimungkinkan. Sebagai contoh apabila kita panaskan gas di
dalam tabung silender yang tertutup dengan sumber kalor
(bunsen misalnya), maka volume gas di dalam tabung silinder
akan memuai sebagai akibat dari peningkatan suhu gas yang
diterimanya melalui dinding yang dipanaskan tadi. Kemudian
suatu sistem disebut sistem terisolasi, bila tidak
dimungkinkan adanya aliran baik massa atau kalor yang
terjadi antara sistem dan lingkungan. Suatu sistem disebut
adiabatik, bila sistem tersebut tidak memungkinkan kalor
keluar dari sistem ke lingkungan.
Besaran ekstensif adalah variabel yang ukurannya
ditentukan oleh jumlah atau kuantitas dari sistem.
Sebaliknya besaran intensif adalah variabel yang tidak
~ 93 ~
tergantung pada jumlah atau kuantitas sistem atau dengan
pengertian lain nilainya tetap pada berbagai jumlah atau
kuantitas sistem. Contoh besaran (ukuran) ekstensif dan
intensif dapat dilihat pada tabel 5.1 berikut.
Tabel 5.1 Ukuran Besaran Intensif dan Ekstensif
Besaran
Tekanan, Densitas, Suhu, Viskositas,
intensif
Tegangan permukaan, Kalor Jenis
Besaran
Volume, Massa, Energi, Energi bebas
ekstensif
Gibbs, Entalpi, Entropi, Energi dalam,
Kapasitas kalor.
Setiap sitem memiliki karakteristik, misalnya satu balok
es memiliki massa volume, suhu, densitas, kekerasan dan
tekanan.
Kumpulan nilai atau harga dari seluruh
karakteristik yang dimiliki sistem tadi mendefinisikan apa
yang disebut sebagai keadaan. Sifat dari sistem yang hanya
ditentukan oleh keadaan sistem, dan tidak ditentukan oleh
cara mencapai keadaan tersebut disebut sebagai fungsi
keadaan.
Gas ideal dengan massa tertentu akan memiliki hubungan
dengan sifat tekanan, volume dan suhu. Paling tidak dua sifat
yang diperlukan untuk mendefinisikan keadaan gas ideal,
misalnya tekanan dan volume, maka dari hubungan tekanan
volume dapat diketahui suhu gas.
Kronologis penemuan hukum termodinamika, diawali
dengan pengujian bertahun-tahun di sekitar tahun 1940-an
oleh seorang ahli kimia berkebangsaan Inggris, yaitu James
Joule. Hasil percobaan ini di publikasi resmi pada tahun 1947
dalam bentuk jurnal ilmiah. Oleh karenanya satuan dari
energi dipakai ukuran Joule.
Joule melakukan percobaan dengan memindahkan air
kedalam kontainer (wadah) dan ada juga wadah lain yang
bersifat terisolasi . Salah satu wadah di putar airnya dengan
menggunakan alat pedal sepeda yang terbuat dari besi
~ 94 ~
sedang wadah yang satu tidak diberi perlakuan.. Sambil uji
berjalan suhu (temperatur) di kedua wadah itu di monitoring.
Hasil uji itu sangat mengejutkan , menyimpulkan bahwa ada
sejumlah energi spesifik dalam proses itu berlangsung, namun
kedua suhu relatif sama. Perubahan spesifik itu terjadi adalah
merupakan fungsi energi potensial. Sebagai contoh jika kita
melemparkan potongan (balok) timah ke atas meja, maka
energi terjadi tidak hanya gaya pemindahan benda itu saja,
tapi ada energi potensial bertambah berasal dari dalam balok
itu (tergantung pada suhu, tekanan dan komposisi benda itu).
Pemindahan air ke wadah yang dilakukan Joule tidak
hanya perubahan tempat air itu, tapi ada internal energi
(energi dalam) dari air tersebut, semuanya dapat di terah
dengan suhu. Fungsi energi merupakan energi internal di
dalam sistem, diberi simbol E, rumus sederhananya adalah
sebagai berikut:
dE = −dw.
(5.12)
Energi yang terjadi pada pengujian itu, ada dua dugaan
yakni: pertama, di bagian dinding pada wadah yang airnya
tidak dipindahkan ada berhubungan dengan suhu, energi
yang ada merupakan transfer energi, disebut sebagai panas
atau kalor. Pemindahan energi (panas) menyangkut dengan
pemindahan suatu massa yang masuk ke dalam sistem
(Thomas, 1992). Jadi menurut penjelasan Joule panas yang
ada bukan dari gaya pemindahan melainkan berasal dari
cahaya yang masuk ke dalam sistem. Kedua, panas yang ada
di wadah pemindahan adalah berasal dari gaya kerja itu.
Bertolah dari dua cara pengujian itu pada intinya sistem
yang terjadi bersifat tertutup dimana kedua wadah itu ada
dinding yang tidak bisa ditembus, disebut sebagai adiabatic
(lihat penjelasan diatas). Jadi pengujian Joule membuktikan
tidak terjadi pemindahan panas di kedua sistem itu. Para ahli
geokimia juga beranggapan di alam terbuka bisa terjadi
~ 95 ~
adiabatic, namun sifat nir-adiabatic dapat terjadi tergantung
pada sifat dan bentuk dinding pemisahnya.
Pada rumus di sebut diatas sebagai hukum
termodinamika pertama, dimana proses panas yang berkerja
di keadaan adiabatic atau panas yang bertambah hanya dari
internal sistem, bukan dari luar. Pertukaran panas secara
internal sama dengan panas yang diperoleh (dq) sedang
panas yang diperoleh dari gaya kerja adalah (−dw),
persamaannya adalah sebagai berikut:
dE = dq − dw.
(5.13)
Dimana pada dE ada sejumlah energi di dalam sistem
itu (internal energi) halmana total perubahan energi di dalam
sistem itu adalah:
dE = Eakhir – Eawal = ΔE.
(5.14)
dimana nilai ΔE. Tidak tergantung dari kedua sistem itu
berlangsung, sebaliknya berbeda dengan nilai dq dan dw ada
sejumlah panas yang masuk relatif makin bertambah dengan
panas internal. Jadi berbicara soal panas maka proses ini
dikatakan sebagai “energy transfer”. Secara integral nilai dq
dan dw tergantung dari E awal dan E akhir.
Dalam percobaan Joule seperti uraian diatas adalah
sustu sistem yang terisolasi, dimana jumlah energi total selalu
tetap. Jika antara sistem dan lingkungan terjadi pertukaran
kalor atau kerja, maka menurut hukum termodinamika
pertama jumlah total energi yaitu energi sistem di tambah
energi lingkungannya harus selalu tetap (rumus 5.14).
Apabila nilai dq positif artinya energi diserap sistem,
sedang nilai negatif menunjukan sistem melepaskan energi.
Demikian pula, jika nilai dw positif artinya sistem dikenai
kerja sistem, tapi bila negatif artinya sistem melakukan
kerja. Simbol E adalah energi dalam (internal energi) dari
sistem. Sedang ΔE perubahan energi dalam dari sistem.
Termodinamika tidak berhubungan dengan teori
mengenai struktur zat. Pengetahuan termodinamika telah
berkembang sebelum adanya teori atom moderen, tetapi kita
~ 96 ~
sekarang telah mengetahui bahwa energi dalam merupakan
banyaknya energi total yang dimiliki partikel suatu zat.
Energi dalam ini berhubungan dengan ikatan kimia, energi
kinetik, translasi, energi vibrasi yang berhubungan dengan
ikatan, energi rotasi molekul-molekul poliatomik, energi
ikatan antar molekul dan seterusnya.
Energi dalam merupakan fungsi keadaan. Ini berarti
nilai dari energi dalam tergantung pada keadaan sistem dan
bukan tahapan yang dilaluinya. Nilai dari ΔE perubahan
energi dalam, nilai ini tergantung dari keadaan awal dan akhir
saja. Namun demikian internal energi merupakan kombinasi
variable intensif dan variable ekstensif.
Tabel 5.2
memperlihatkan hubungan bentuk energi dalam dan
pasangan variable intensif0ekstensifnya.
Tabel 5.2 Jenis Energi dan Bentuk Variabelnya
Jenis Energi
Variabel
Variable
Kerja
intensif
ekstensif
Mekanik
Tekanan (p)
Volume
P dV
Termal
Temperatur
Entropi (S)
T dS
Kimia
Potensial Kimia
Mol (n)
Δ dn
(µ)
Listrik
Tegangan
Muatan (Q)
E dQ
Grativitasi
Medan
Tinggi
Mg dh
gratifitasi
Untuk dq dan dw, nilainya tergantung dari keadaan
dan lintasan yang dipilih dalam proses transformasi yang
terjadi. Bila sistem selama proses transformasi mengatasi
reaksi kimia, maka keadaan awal dan akhir terlihat adanya
perbedaan komposisi kimia. Untuk komponen dq disebut
kalor reaksi.
Apabila perubahan keadaan tidak diikuti dengan
kerja, maka dw= 0 dan ΔE = q. Contoh yang paling umum
adalah proses yang terjadi pada volume tetap. Perlu kita
~ 97 ~
ketahui bahwa proses yang terjadi di laboratorium dilakukan
pada tekanan konstan. Pada kondisi tekanan tetap, dw=pΔV,
p adalah tekanan dan ΔV adalah perubahan volume yang
timbul. Dalam situasi sperti ini maka nilai ΔE:
ΔE = dq-dw (lihat rumus 5.13), dengan dw=pΔV, maka
ΔE=qv – pΔV (perubahan internal energi pada p tetap),
sehingga qv = ΔE + pΔV.
Pembahasan tentang hukum termodinamika tidak
akan terlepas dengan pembicaran soal entalpi dan entropi.
Untuk itu mari kita pelajari apa yang di sebut entalpi dan
entropi.
Entalpi (H) adalah jumlah energi yang dimiliki sistem
pada tekanan tetap. Entalpi dirumuskan sebagai jumlah
energi yang terkandung dalam sistem (E) dan kerja (W),
persamaannya sebagai berikut:
H=E+W
(5.15)
Dimana W = P × V :
W = kerja sistem (joule), V = volume
(liter) dan P adalah tekanan (atm).
Seperti hukum kekekalan energi (lihat rumus 5.11), bahwa
energi tidak dapat diciptakan dan tidak dapat dimusnahkan,
tetapi hanya dapat diubah dari bentuk energi yang satu
menjadi bentuk energi yang lain. Nilai energi suatu materi
tidak dapat diukur, yang dapat diukur hanyalah perubahan
energi (ΔE). Demikian juga halnya dengan entalpi, entalpi
tidak dapat diukur, kita hanya dapat mengukur perubahan
entalpi (ΔH) persamaan rumus entalpi adalah :
ΔH = Hp – Hr
(5.16)
Dimana: ΔH adalah perubahan entalpi, sedang Hp =
entalpi produk dan Hr = entalpi reaktan atau pereaksi.
Apabila H produk > H reaktan, maka ΔH bertanda
positif, berarti terjadi penyerapan kalor dari lingkungan ke
sistem. Sebaliknya jika H reaktan > H produk, maka ΔH
~ 98 ~
bertanda negatif, berarti terjadi pelepasan kalor dari sistem
ke lingkungan.
secara matematis, perubahan entalpi (ΔH) dapat
diturunkan kalkulasi matematis adalah sebagai berikut.
H = E + W (1) . Pada tekanan tetap: ΔH = ΔE + PΔV (2); ΔE =
q + W (3) dan Wsistem = –PV (4).
Substitusi persamaan (3) dan (4) dalam persamaan (2):
H = (q + W) + PΔV; H = (q – PΔV) + PΔV sehingga H =
q.Jadi, pada tekanan tetap, perubahan entalpi (ΔH) sama
dengan kalor (q) yang diserap atau dilepas.
Sebagai ilustrasi agar lebih di pahami bagaimana
hubungan entalpi dengan kerja endoterm dan eksoterm
secara kimiawi (lihat gambar berikut).
Gambar 5.2. Reaksi Endoterm dan Eksoterm dalam
hubungan Entalpi.
Dimana, (a). Reaksi kimia yang membutuhkan atau
menyerap kalor disebut reaksi endoterm. Contoh: Reaksi
pemutusan ikatan pada molekul unsur H2 adalah:
H2 → 2 H ΔH = +a kJ. Reaksi endoterm dengan ΔH bertanda
positif (+).
(b). Reaksi kimia yang membebaskan kalor disebut
reaksi eksoterm. Contoh:
~ 99 ~
Reaksi pembentukan ikatan pada molekul unsur H2
adalah: 2H → H2 ΔH = –a kJ. Reaksi eksoterm dengan ΔH
bertanda (–).
Entropi adalah salah satu besaran termodinamika yang
mengukur energi dalam sistem per satuan temperatur yang
tak dapat digunakan untuk melakukan usaha kerja. Mungkin
manifestasi yang paling umum dari entropi adalah (mengikuti
hukum termodinamika), entropi dari sebuah sistem tertutup
selalu naik dan pada kondisi transfer panas, energi panas
berpindah dari komponen yang bersuhu lebih tinggi ke
komponen yang bersuhu lebih rendah.
Umumnya
beranggapan bahwa entropi itu mengukur perubahan yang
tidak keberaturan (disorder) di dalam sistem.
Pada suatu sistem yang panasnya terisolasi, entropi
hanya berjalan satu arah (bukan proses reversibel/bolakbalik). Entropi suatu sistem perlu diukur untuk menentukan
bahwa energi tidak dapat dipakai untuk melakukan kerja
pada proses-proses termodinamika. Proses-proses ini hanya
bisa dilakukan oleh energi yang sudah diubah bentuknya, dan
ketika energi diubah menjadi kerja/usaha, maka secara
teoritis mempunyai efisiensi maksimum tertentu. Selama
kerja/usaha tersebut, entropi akan terkumpul pada sistem,
yang lalu terdisipasi dalam bentuk kalor buangan.
Pada
termodinamika
klasik,
konsep
entropi
didefinisikan pada hukum kedua termodinamika, yang
menyatakan bahwa entropi dari sistem yang terisolasi selalu
bertambah atau tetap konstan. Maka, entropi juga dapat
menjadi ukuran kecenderungan suatu proses, apakah proses
tersebut cenderung akan "terentropikan" atau akan
berlangsung ke arah tertentu. Entropi juga menunjukkan
bahwa energi panas selalu mengalir secara spontan dari
daerah yang suhunya lebih tinggi ke daerah yang suhunya
lebih rendah.
~ 100 ~
Hukum Kedua Termodinamika
Banyak peristiwa alam yang terjadi disekitar kita tidak
cukup dijelaskan dengan hukum pertama termodinamika.
Rumusan hukum tersebut tidak memberikan penjelasan
mengenai arah dari dapat/atau tidaknya suatu proses
berlangsung, fenomena ini disebut derajat kespontanan.
Sebagai contoh keseharian kita dimana sebuah kolam
tidak akan membeku di musim panas. Jika sebuah benda
panas berinteraksi dengan benda dingin, maka tak terjadi
bahwa benda panas tersebut semakin panas dan benda dingin
semakin dingin, meskipun proses-proses tersebut tidaklah
melanggar hukum kekekalan energi yang dinyatakan sebagai
hukum pertama termodinamika.
Hukum kedua termodinamika berkaitan dengan
apakah proses-proses yang dianggap taat azas dengan hukum
pertama, terjadi atau tidak terjadi di alam. Hukum kedua
termodinamika seperti yang diungkapkan oleh Clausius
mengatakan, “Untuk suatu mesin siklis maka tidak mungkin
untuk menghasilkan efek lain, selain dari menyampaikan kalor
secara kontinu dari sebuah benda ke benda lain pada
temperatur yang lebih tinggi". ( Prof. Rudolf Clausius, yang
menemukan peristiwa spontan yang tidak beraturan)
Bertolak dari siklus Carnot, yakni siklus hipotesis yang
terdiri dari empat proses terbalikkan, yaitu
pemuaian
isotermal dengan penambahan kalor, pemuaian adiabatik,
pemampatan isotermal dengan pelepasan kalor dan
pemampatan adiabatik; jika integral sebuah kuantitas
mengitari setiap lintasan tertutup adalah nol, maka kuantitas
tersebut yakni variabel keadaan, mempunyai sebuah nilai
yang hanya merupakan ciri dari keadaan sistem tersebut, tak
peduli bagaimana keadaan tersebut dicapai.
Variabel keadaan dalam hal ini adalah entropi.
Perubahan entropi hanya tergantung pada keadaan awal dan
keadaan akhir dan tak tergantung pada proses yang
menghubungkan keadaan awal dan keadaan akhir sistem
~ 101 ~
tersebut. Hukum kedua termodinamika dalam konsep entropi
mengatakan, "Sebuah proses alami yang bermula di dalam satu
keadaan kesetimbangan dan berakhir di dalam satu keadaan
kesetimbangan lain akan bergerak di dalam arah yang
menyebabkan entropi dari sistem dan lingkungannya semakin
besar".
Jika entropi diasosiasikan dengan kekacauan (tak
beraturan) maka pernyataan hukum kedua termodinamika di
dalam proses-proses alami cenderung bertambah ekivalen
dengan menyatakan, kekacauan dari sistem dan lingkungan
cenderung semakin besar.
Sebagai contoh, bila kita menyebarkan wangi parfum.
Molekul penyususun parfum akan menyebar memenuhi
seluruh ruang pada saat disemprotkan. Kecenderungan
pergerakan dari molekul-molekul parfum untuk menyebar
memenuhi ruangan merupakan ciri peristiwa spontan.
Di dalam ekspansi bebas, molekul-molekul gas yang
menempati keseluruhan ruang kotak adalah lebih kacau
dibandingkan bila molekul-molekul gas tersebut menempati
setengah ruang kotak. Jika dua benda yang memiliki
temperatur berbeda T1 dan T2 berinteraksi, sehingga
mencapai temperatur yang serba sama T, maka dapat
dikatakan bahwa sistem tersebut menjadi lebih kacau, dalam
arti, pernyataan "semua molekul dalam sistem tersebut
bersesuaian dengan temperatur T adalah lebih lemah bila
dibandingkan dengan pernyataan semua molekul di dalam
benda A bersesuaian dengan temperatur T1 dan benda B
bersesuaian dengan temperatur T2".
Pada tahun 1850, Rudolf Clausius seorang profesor
Jerman menemukan sifat keadaan yang berkaitan dengan
peristiwa perubahan spontan. Beliau menyimpulkan suatu
besaran entropi , yang dalam bahasa Yunani “εντροπία
[entropía], εν- [en-] (masuk) dan τροπή [tropē]” yang artinya
mengkonversi, tapi banyak ahli kimia menyebut sebagai
~ 102 ~
“pemberi arah”. Pada saat itu Clausius menyadari bahwa
entropi, S, merupakan ukuran derajat tidak beraturan.
Esensi dari hukum kedua termodinamika adalah
mendefinisikan sifat baru, entropi (S) yang merupakan fungsi
keadaan. Nilai entropi maksimum dicapai pada kondisi
keseimbangan untuk sistem terisolasi. Apabila di dalam
sistem terisolasi (yang mencakup sistem dan lingkungan)
proses yang spontan terjadi, misalnya sejumlah kalor , dqrev
dipindahkan ke dalam sistem secara “reversibel” (perubahan
yang sangat lambat jalannya) pada suhu T, entropi yang
timbul akibat proses pada sistem tersebut didefinisikan
sebagai:
dS = (dq/T)rev
(5.16)
Dimana T adalah panas yang ditimbulkan pada sistem
yang prosesnya bersifat reversible.
Performan kerja pada sistem biasanya menggambarkan
panas yang hilang pada sistem, jika nilainya negatif untuk
kerja selanjutnya.
Pertukaran entropi keseluruhan
didefinisikan sebagai:
dS = dq/T − dq/T = 0.
(5.17)
Dengan perkataan lain entropi adalah energi termal
yang diserap oleh sistem dalam kondisi keseimbangan dibagi
dengan suhu sistem.
Perubahan entropi total
dapat dijadikan ukuran
spontanitas suatu reaksi dengan mengukurnya pada sistem
terisolasi. Untuk proses spontan, perubahan entropi untuk
terisolasi bernilai positif yaitu:
ΔStotal =ΔSsis + ΔSling > 0
(5.18)
Untuk memudahkan pengertian persamaan diatas,
maka sebagai contoh: Satu gram es 0oC dimasukan ke dalam
4 gram air 10oC. Bila diketahui kalor spesifik air 1 kal/g oC dan
~ 103 ~
lebur es 80 kal/g. Apakah proses peleburan es merupakan
peristiwa spontan ?. Penyelesaiannya adalah: pada proses
pendinginan air sebanyak 4 gram dari 10oC menjadi 0oC akan
dilepaskan kalor sebanyak = 4 gX 10oC X 1 kal/g oC= 40 kal.
Jumlah es yang dapat melebur dengan 40 kal yang diperoleh
dari pelepasan energi oleh air adalah:
40 kal
=
= 0,5 g
80.kal/g
dqrev
ΔSes =
=
T
ΔSes =
0,5 X 80 g.kal/g
= 0,1465 kal/K
273
K
- dqrev/T =
- CdT/T= -Cln 283/273
=0,1439 kal/K
Dimana C = 4 kal/K untuk 4 gram sampel. Maka
perubahan entropi total adalah:
ΔStotal = ΔSes + ΔSair = 0,1465 kal/K – 0,1439 kal/K
= 0,0026 kal/K = 0,0109 J/K
Diperoleh ΔStotal> 0, berarti proses peleburan es
adalah spontan.
Energi Bebas dan Perubahan Spontan
Bertolak dari hasil soal diatas, terlihat kriterian
spontan ditentukan dengan mengetahui nilai ΔStotal atau
ΔSuniversium. Untuk mengetahui nilai ΔStotal berarti harus
diketahui nilai ΔSlingkungan yang secara praktek sulit dihitung
karena harus diketahui secara pasti bagaimana interaksi yang
terjadi antara sistem dan lingkungan. Yang kita perlukan
sekarang adalah suatu kriteria yang dapat digunakan hanya
kepada sistem itu sendiri. Untuk itu dikemukakan suatu
~ 104 ~
besaran termodinamika baru yang disebut energi bebas yang
dicirikan oleh simbol G. Energi bebas terdiri dari:
Energi bebas Helmholtz
Energi bebas Gibss
: A= U- TS
: G= H – TS
Fungsi hukum energi bebas dari Helmholtz, analogi
dengan persamaan yang ada dalam proses entalpi, yakni: dE ≤
TdS − PdV.. Dengan kondisi isothermal maka didefinisikan
sebagai berikut:
d(E − TS) ≤ −PdV.
(5.19)
dimana fungsi F = E – TS
sering disebut sebagai
“Helmholtz function”, Walaupun demikian banyak literatur
mengatakan sebagai Energi bebas Helmholts “Helmholtz free
energy” atau fungsi kerja.
Hanya disayangkan banyak simbol yang dipergunakan
pada energi dalam, entalphi dan energi bebas Helmholtz ,
akhirnya mengukur perubahan energi lebih dikenal dengan
“energi bebas Gibbs” yang di beri simbol “G”. Tapi pemakaian
simbol ini tidak merupakan standar internasional. Kalau
ilmuan di Amerika energi bebas Gibbs diberi simbol F,
sedang untuk energi bebas Helmhots adalah A.
Untuk proses pada suhu dan tekanan konstan
digunakan energi bebas Gibbs, yang perubahannya
ditunjukan oleh persamaan:
ΔG = ΔH – TΔS
(5.20)
Kespontanan suatu proses dengan demikian dapat
diukur dengan satu kriteria, yaitu perubahan energi bebas
Gibbs (ΔG). Ketetapannya adalah untuk suatu proses yang
terjadi pada suhu dan tekanan di dalam suatu sistem tertutup,
perubahan secara spontan akan disertai oleh penurunan
energi bebasnya.
~ 105 ~
ΔG < 0
Proses spontan
Berangkat dari persamaan energi bebas Gibbs, ada dua
unit energi yang merupakan perubahan energi bebas, yang
pertama adalah ΔH dan yang kedua TΔS. Halmana ΔH kita
kenal sebagai kalor reaksi pada tekanan konstan atau entropi,
sedangkan TΔS adalah perkalian antara suhu dengan nilai
entropi dalam sistem (K X J/K) sehingga TΔS pun merupakan
ukuran energi yang disebut sebagai energi pengorganisasian
sistem atau organizational energy of a system.
Penggunaan kriteria baru ini menentukan perubahan
yang bersifat spontan dapat ditentukan dengan melihat tanda
ΔH dan ΔS yang kemungkinan prosesnya dapat dilihat pada
tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3. Kriteria Perubahan Spontan ΔG = ΔH – TΔS ( lihat. 5.20)
Kasus
1
ΔH
-
ΔS
+
ΔG
-
2
-
-
+
3
+
+
+
-
+
4
Hasil
Spontan pada seluruh
kisaran suhu
Spontan pada suhu rendah
Nonspontan pada suhu
tinggi
Nonspontan pada suhu
rendah
Spontan pada suhu Tinggi
Non spontan pada seluruh
suhu
Contoh reaksi
2H2O(g)2H2(g)+O2(g)
H2O (I) H2O (p)
2NH3(g)N2(g)+3H2(g)
3O2(g)2O3(g)
Agar lebih dipahami konsep perubahan spontan,
diberikan contoh soal, yakni ada reaksi disosiasi AB (g)
A(g) + B(g). Apakah cenderung berjalan spontan pada suhu
tinggi atau suhu rendah. Penyelesaian : Reaksi ini melibatkan
pemecahan ikatan antara A dan B, maka energi harus diserap
oleh sistem jadi ΔH>0. Karena 2 mol gas dihasilkan dari 1 mol
gas maka terdapat kenaikan ketidak teraturan dari reaksi
tersebut sehingga ΔS>0.
Persamaannya adalah sebagai
berikut:
~ 106 ~
ΔG = ΔH – TΔS = ?
(+) (+)
(+atau-)
(-) = spontan
(+)= tidak spontan
Spontanitas reaksi pada suhu tertentu akan tergantung
pada nilai relatif ΔH terhadap TΔS. Kita dapat prediksi
bahwa makin tinggi suhu reaksi nilai TΔS akan makin besar
(sementara ΔH tidak terlalu dipengaruhi suhu), sehingga
operasi dan persamaan tersebut akan menghasilkan nilai ΔG
< 0. Dengan demikian reaksi-reaksi disosiasi dari tipe akan
cenderung spontan pada suhu yang tinggi.
Perubahan Energi Bebas Standar, ΔG0.
Seperti halnya ΔH, ΔU dan ΔS, energi bebas dari
bahan kimia tergantung pada keadaannya. Untuk dapat
menggunakan kaidah ini dalam suatu perhitungan diperlukan
konvensi untuk menetapkan keadaan standar bagi energi
bebas suatu zat. Konvensi keadaan standar untuk suatu zat
adalah:
-Padatan: senyawa/bahan murni pada tekanan 1 atm
-Cairan: senyawa/bahan murni pada tekanan 1 atm
- Gas
: gas ideal pada tekanan 1 atm.
- Terlarut : larutan ideal pada konsentrasi 1 M
Perubahan energi yang dihasilkan bila pereaksi dan
produk berada pada keadaan standar disebut sebagai
perubahan energi bebas standar, ΔG0. Untuk reaksi suatu
senyawa yang dibentuk dan unsur-unsurnya, maka ΔG0
mencerminkan nilai energi bebas pembentukan standar dari
senyawa tersebut yang disimbolkan oleh nilai ΔG0. Bila
senyawa yang dibentuk jumlahnya satu mol (yang biasanya
ditampilkan pada data tabel termodinamika), umunya
digunakan tanda garis pada bagian atas simbol (overbar) ΔG0.
Berdasarkan konvensi, energi bebas pembentukan
standar unsur pada keadaan bentuknya yang paling stabil
~ 107 ~
pada tekanan 1 atm didefinisikan besarnya = Nol pada suhu
tertentu. Beberapa contoh dituliskan pada tabel 5.4 sebagai
berikut.
Tabel 5.4. Nilai ΔHf0, ΔGf0 dan ΔSf0 beberapa Zat
Br2(g)
Br2(I)
C (berlian)
Grafit
I2 (g)
I2 (p)
ΔHf0, kJ/mol
ΔGf0 kj/mol
30,71
0
1,88
0
62,26
0
3,14
0
2,85
0
19,37
0
ΔSf0, J mol1 -1
K
245,35
152,30
2,43
5,69
260,58
116,7
Beberapa sifat ΔG yang harus diperhatikan adalah:
1. ΔG adalah suatu besaran yang bersifat ekstensif
2. ΔG akan berubah tanda bila proses berjalan
sebaliknya
3. ΔG untuk seluruh proses bersih dapat diperoleh
dengan menjumlahkan nilai-nilai ΔG dari masingmasing.
Energi Bebas dan Kesetimbangan
Seperti uraian di atas bahwa ΔG < 0 maka proses
berjalan spontan dan sebaliknya. Suatu keadaan harus dapat
kita jelaskan bila suatu proses mempunyai nilai ΔG = 0.
Keadaan ini disebut keadaan setimbang, bila suatu sistem
dalam
keadaan
setimbang
akan
terdapat
suatu
kecenderungan yang sama (equal) dari suatu proses untuk
bergerak ke arah produk atau ke arah pereaksi. Apabila
dalam keadaan kesetimbangan terjadi perubahan yang
sangat kecil dari variabel percobaan misalnya suhu atau
~ 108 ~
tekanan, maka perubahan tersebut tidak akan mengganggu
perubahan bersihnya.
Jika terjadi keseimbangan, ilustrasinya disajikan pada
gambar 5.3 berikut:
ΔH, TΔS
ΔH
ΔG < 0
ΔG > 0
ΔG = 0
TΔS
SUHU (K)
Gambar 5.3. Perubahan Energi Bebas Sebagai
Fungsi Suhu
Melihat pada gambar 5.3,
di garis
pertama
memperlihatkan variasi suhu terhadap perubahan enthalpi ,
dan garis vertikal menunjukan hasil perkalian TΔS. Garis ΔH
akan mempunyai kemiringan positif pada suatu kasus dan
negatif pada kasus yang lain, tapi pada umumnya kemiringan
bersifat datar (gradual). Dapat dikatakan bahwa ΔH tidak
sensitif terhadap perubahan suhu. Kemiringan dari garis T ΔS
diduga lebih curam. Jarak vertikal dari garis TΔS terhadap
ΔH menunjukan nilai ΔG= ΔH – TΔS.
Dimulai dari sebelah kiri gambar, nilai ΔG akan positif
dan besar. Besarannya nilai ΔG akan menurun dengan
meningkatnya suhu. Pada sisi kanan gambar, nilai TΔS
melebihi ΔH sehingga nilai ΔG menjadi negatif. Pada
perpotongan kedua garis tersebut, biasanya nilai ΔG = 0, dan
sistem tersebut pada keadaan seimbang.
~ 109 ~
Peristiwa transisi fasa adalah suatu proses yang berada
dalam keseimbangan.
Dengan demikian fenomena
kesetimbangan pada gambar 5.3 dapat dimanfaatkan untuk
menghitung entropi pada peristiwa tersebut. Hakekatnya,
seandainya gambar 5.3 adalah gambar yang menjelaskan
mengenai pencairan es. Bila kita mulai dengan air dengan
wujud padat dan cairan pada keadaan standarnya (misalnya
pada tekanan 1 atm), maka titik perpotongan dari dua garis
adalah pada 273, 15 K, suhu ini merupakan titik cair normal
es. Pada 273, 15K cairan air berada pada kesetimbangan
dengan wujud padat.
Perubahan entropi, ΔS 0 untuk
pencairan/peleburan es (kalor lebur molar es pada 273, 15K
adalah 6,02 kJ/mol), maka dapat ditentutukan sebagai
berikut:
Tampak bahwa untuk proses transisi fasa, persamaan
dapat
di-modifikasi.
Untuk proses umum
transisi fasa seperti peleburan dan pembekuan,
penguapan dan kondensasi, perubahan entropi pada proses
tersebut dinyatakan dengan rumus:
ΔG = ΔH – TΔS = 0
ΔS =
atau
~ 110 ~
ΔS0tr =
Secara matematis menghitung entropi didasarka pada
rumus diatas, pertanyaan berapa entropi penguapan molar
standar air pada 1000C . Enthalpi penguapan molar standar
pada suhu 1000C adalah 40,7 kJ/mol. Penyelesaian sebagai
berikut:
Persamaan kimia proses tersebut adalah : H2O (C, 1 atm)
 H2O (g, 1 atm)
Tabel berikut di sajikan beberapa nilai perubahan
entropi molar standar untuk fasa, yakni:
Tabel 5.5. Perubahan Entropi Molar Standar
Untuk Transisi Fasa
Bahan
Ttrs
ΔH0trs
ΔS0trs J mol-1
kJ/mol
1K
Penguapan:
Aseton
320
30,25
91,9
Etanol
351
39,33
112.1
n-heksana
342
28,58
83.6
timbal
2042
179,41
88,6
Peleburan:
Benzena
279
9,83
35,2
Kamper
452
6,86
15,2
Timbal
601
4,77
7,9
merkuri
234
2,30
9,8
Hukum Ketiga Termodinamika
Meskipun nilai absolut dari kebanyakan sifat-sifat
termodinamika tidak dapat ditentukan, adalah mungkin
untuk memperoleh nilai absolut dari entropi untuk berbagai
~ 111 ~
bahan.
Hal ini dimungkinkan oleh hukum ketiga
termodinamika menyatakan bahwa:
“Entropi suatu kristal sempurna yang murni pada
suhu NOL absolut adalah NOL.”
Kristal sempurna pada suhu nol absolut menunjukan
tingkat paling teratur yang mungkin diperoleh untuk suatu
sistem termodinamika. Jika suhu naik dari suatu nilai yang
dekat dengan O K. Maka entropi akan naik. Entropi absolut
selalu bernilai posistif.
Bila terdapat lebih dari satu bentuk fase padatan
(alotropi), maka akan terdapat entropi transisi pada suhu
dimana bentuk pada suhu yang rendah akan berubah menjadi
fase padatan baru. Kenaikan drastis yang lain dari entropi
dapat terjadi titik cair padatan, dan masih lebih besar lagi
pada titik didih cairan keragaman nilai entropi absolut
dengan suhu.
~ 112 ~
⑥
KINETIKA DAN KRISTALISASI
T
idak semua proses reaksi geokimia mengikuti
hukum kesetimbangan karena proses-proses itu
sangat kompleks, seperti
kristalisasi dari
magma dan pembentukan kembali kristal batuan metamorf
(batuan ubahan) umumnya di kendalikan oleh aktivitas
kinetika atau laju reaksi. Apalagi penyusunan kristal dari
material kecil (mineral) selalu melalui suatu proses yang
membutuhkan suhu tertentu sehingga terbentuk partikel
padatan yang struktur sangat kuat. Berikut ini kimiawan ahli
geokimia McSween, dkk (2003) melukiskan suatu contoh
kristal yang terbentuk dari partikel/mineral kecil, melalui
suatu proses nukleasi, seperti gambar berikut:
Gambar 6.1. Struktur Kristal pyroxena C2/c .
Sumber: McSween dkk (2003),
~ 113 ~
Secara geometri M1 dan M2 adalah kation yang
dikelilingi oleh enam atom oksigen dan kesemua atom itu
membentuk tetrahidral (T). Bentuk diatas tersusun kurang
lebih 100 bentuk kristal yang dibantu dengan atom silicon,
sehingga tersusun struktur yang padat.
Uraian berikut akan membahas tentang kinetika dan
kristalisasi, kedua aspek ini saling keterikatan ditinjau dari
sudut pandang kimia. Halmana kinetika kimia mempelajari
laju (kecepatan) dan mekanisme reaksi. Laju reaksi
dinyatakan sebagai perubahan konsentrasi atau tekanan dari
produk atau reaktan terhadap waktu. Perubahan konsentrasi
lazim dinyatakan dalam satuan mol L-1 atau M, atau dengan
kata lain adalah kecepatan berkurangnya pereaksi atau
bertambahnya produk reaksi dinyatakan dlm molar/detik
(mol.L−1.s−1). Sedang yang dimaksud dengan mekanisme
reaksi adalah seperangkat proses dasar yang menjelaskan
kemolekulan reaksi.
Suatu reaksi sering kali tersusun dari serangkaian
langkah reaksi. Urutan langkah-langkah terjadinya reaksi ini
dikenal sebagai mekanisme reaksi. Sedang kristalisasi
adalah proses penyusunan kristal dari bentuk atom dan ion
menjadi struktur yang padat dan morfologinya berbeda-beda.
Pengetahuan tentang kinetika kimia dirintis oleh Peter
Waage pada tahun 1864, sehingga terbitnya hukum aksi
massa, yang menyatakan bahwa kecepatan suatu reaksi kimia
secara proporsi dengan kuantitas zat yang bereaksi ( setiap
reaksi kimia, jumlah massa sebelum dan sesudah reaksi selalu
sama). Prinsip dari persamaan Laju adalah persamaan yg
mengaitkan laju reaksi dengan konsentrasi molar pereaksi
dgn pangkat yang sesuai, seperti persamaan berikut:
dX/dt = V = k. [A]a.[B]b
(6.1)
Dimana k, (tetapan Laju) adalah tetapan perbandingan antara laju reaksi dan hasil kali konsentrasi jenis zat yang
~ 114 ~
mempengaruhi laju reaksi. Hakekatnya: Tetapan laju =
koefisien laju = laju reaksi jenis
Kristal adalah zat padat yang mempunyai bentuk
bangun beraturan yang terdiri dari atom-atom, molekul atau
ion dengan susunan teratur, dan polanya berulang melebar
secara tiga dimensi (lihat gambar 6.1). Jadi kristalisasi adalah
proses pembentukan padatan kimia dari unsur kimia
mikro/partikel kecil melalui pembekuan atau reaksi kimia.
Seorang ahli keturunan Jerman yaitu Van’t Hoff yang mulamula memanfaatkan azas fasa untuk mempelajari kristalisasi
larutan garam dan pembentukan endapan garam. Dia
meneliti bagaimana kecepatan reaksi kimia dari ion garam
yang terkecil sampai membentuk endapan berbentuk kristal.
Pada intinya penyusunan atom sehingga menjadi
padatan biasanya mengikuti kaidah penggabungan volume,
yaitu volume dua gas yang bereaksi (pada suhu dan tekanan
sama) merupakan nisbah dari bilangan-bilangan bulat yang
sesderhana. Demikian pula, nisbah volume setiap produk
(gas, cair dan padatan) terhadap volume dari masing-masing
komponen itu yang bereaksi merupakan nisbah dari bilanganbilangan bulat yang sederhana.
Sebagaimana penjelasan diatas, bahwa laju reaksi
adalah penambahan konsentrasi produk atau pengurangan
konsentrasi reaktan per satuan waktu, maka berdasarkan
jumlah molekul yang bereaksi dikenal ada tiga kelompok
yaitu:
(1) reaksi unimolekuler (hanya 1 mol) reaktan yang
bereaksi, contoh: N2O5 → N2O4 + ½ O2.
(2) reaksi bimolekuler ada 2 mol reaktan yang
bereaksi, contoh: 2HI → H2 + I2.
(3) reaksi termolekular ada 3 mol reaktan yang
bereaksi, contoh 2NO + O2 → 2NO2. .
Kalau didasarkan pada banyaknya fasa yang terlibat,
maka dikenal reaksi homogen dan heterogen. Secara
kuantitatif, kecepatan reaksi kimia ditentukan oleh orde
~ 115 ~
reaksi (n), yaitu jumlah dari eksponen konsentrasi pada
persamaan kecepatan reaksi. n = umumnya bilangan bulat
kecil (1,2,3…) dalam hal tertentu bisa berupa pecahan atau
nol. Jadi orde reaksi dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Reaksi Orde Nol; pada reaksi orde nol, kecepatan
reaksi
tidak
tergantung
pada
konsentrasi
reaktan.Persamaan laju reaksi orde nol dinyatakan
sebagai berikut:
A – A0 = – k0 . t
(6.2)
A = konsentrasi zat pada waktu t
A0 = konsentrasi zat mula – mula
Contoh reaksi orde nol ini adalah reaksi heterogen
pada permukaan katalis.
2. Reaksi Orde Satu; pada reaksi orde satu, kecepatan
reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi reaktan.
Persamaan laju reaksi orde satu dinyatakan sebagai
berikut:
ln = k1 (t – t0)
(6.3)
Bila t = 0 –> A = A0
ln [A] = ln [A0] - k1 t
[A] = [A0] e-k1t
3. Reaksi Orde Dua; persamaan laju reaksi untuk orde dua
dinyatakan sebagai berikut :
-dA
[A]2
-dA/ 2
[A] = k2 t
1
/[A] - 1/[Ao] = k2 (t – t0)
/ dt
= k2
(6.4)
Dalam proses kinetika (laju rekasi) temperatur sangat
mempengaruhi kecepatan reaksi. Kalau bab-bab terdahulu
menjelaskan perubahan bentuk senyawa kimia oleh adanya
suhu rendah. Tapi suatu kenyataan kinetika banyak berperan
aktif pada proses geokimia dengan suhu tinggi termasuk
~ 116 ~
kristalisasi dari magma atau rekristalisai dari batuan ubahan
(metamorf). Halmana kecepatan reaksi (r) X →Y + Z, dapat
dilukiskan sebagai :
−dX/dt = k(X)n,
Dimana X adalah konsentrasi reaktan pada waktu “t”
dan k merupakan nilai konstanta, sedang “n” menunjukan
orde reaksi.
Untuk kecepatan pengendalian proses magma atau
sistem metamorf sangat tergantung pada nilai konstanta
temperatur. Hubungan antara rata-rata nilai konstanta dan
temperatur mengikuti rumus Arrhenius sebagai berikut:
k=A exp(−∆G¯*/RT),
(6.5)
dimana A faktor frekuensi, ∆G¯* adalah energi aktivasi
R adalah konstanta molar gas, dan T adalah suhu absolut.
Karena terjadi tabrakan dua molekul maka kecepatan
reaksi sesuai dengan frekuensi tabrakan tersebut. Faktor
frekuensi (A) menunjukan jumlah waktu per detik molekul
atom pada reaksi penuh. Walaupun demikian tidak semua
peristiwa tabrakan dapat menyebabkan reaksi,
karena
kemungkinan tabrakan antar molekul tidak cukup energi
untuk bereaksi. Olehnya setiap reaksi yang terjadi ada batas
nilai energi yang dibutuhkan. Secara teori transformasi satu
zat ke zat lainnya melalui rekasi kimia selalu diiringi dan
dipengaruhi oleh perubahan energi.
Energi yang menggerakan suatu reaksi kimia disebut
“energi aktivasi” (activation energy) yakni energi bebas yang
keluar untuk melakukan proses reaksi (Ea). Dimana
(−∆G¯*/RT) menunjukan fraksi reaksi atom yang memiliki
energi tinggi melebihi energi rata-rata masuk ke dalam sistem
untuk mendorong suatu reaksi kimia. Berbicara tentang
energi bebas ada yang disebut “faktor Boltzmann” (sifatnya
mirip dengan distribusi Boltzmann pada hukum statistika).
Bentuk eksponensial negatif dari faktor Boltzmann
~ 117 ~
berhubungan dengan temperatur tinggi dalam sistem, sangat
tergantung pada nilai ∆G¯*, dan kecepatan konstanta boleh
berubah adanya perubahan temperatur.
Prinsip teori tabrakan pada laju reaksi ialah suatu
reaksi antara atom, ion, dan/atau molekul harus melalui
tabrakan antar partikel. Teori tabrakan mengatakan bahwa
laju reaksi berbanding lurus dengan jumlah tabrakan yang
terjadi antara molekul-molekul zat yang bereaksi tiap detik
(faktor frekuensi/A). Laju reaksi berbanding lurus dengan
frekuensi tabrakan yang terjadi
(A), fraksi molekul
teraktifkan (f), dan peluang untuk bertabrakan (p). Frekuensi
tabrakan bergantung pada konsentrasi zat yang terlibat dalam
reaksi. Kenaikan konsentrasi zat yang bereaksi memperbesar
jumlah tabrakan per satuan waktu. Akan tetapi, harus
diingat bahwa tidak semua tabrakan yang efektif. Agar
tabrakan efektif, zat-zat yang bereaksi harus (1) memiliki
energi minimum tertentu yang dibutuhkan untuk
penyusunan partikel-partikel kembali, dan (2) mempunyai
orientasi yang sesuai satu sama lain pada saat bertabrakan.
Bagian yang akan bertabrakan dengan efektif bergantung
pada sifat pereaksi dan suhu.
Energi yang harus dimiliki suatu molekul agar dapat
bereaksi disebut energi aktivasi hipotesis (Ea). Laju reaksi
bergantung pada hasil kali frekuensi tabrakan dengan fraksi
molekul yang berenergi ≥Ea. Semakin besar energi aktivasi
semakin kecil fraksi molekul dan semakin lambat reaksi
berlangsung.
Dalam kecepatan reaksi, hakekatnya hanya sebagian
kecil dari tabrakan efektif yang akan menghasilkan reaksi.
Jika dua molekul reaktan bertabrakan dengan
pergerakan yang lambat, awan elektron molekul yang satu
tidak dapat memasuki molekul lainnya sehingga tidak terjadi
perubahan kimia. Sebaliknya, bila tabrakan keras (gaya
tabrakan cukup besar),molekul-molekul akan saling
berdekatan dan awan elektron saling mempengaruhi. Hal ini
~ 118 ~
menimbulkan pemutusan dan pembentukan ikatan, dan
reaktan pun berubah menjadi produk. Terdapat gaya kinetik
minimum yang harus dimiliki suatu molekul untuk
mengatasai gaya tolak diantara awan-awan elektron pada
saat bertabrakan. Energi kinetik minimum ini disebut energi
aktivasi.
Pada suatu reaksi kesetimbangan A + B2 ⇆ AB + B,
kita misalkan reaksi kekanan melibatkan perubahan energi E1.
Reaksi sebaliknya melibatkan perubahan teori keadaan
transisi, pada reaksi ini dapat digambarkan sebelum A dan B
membentuk AB dan B akan terdapat transisi A-B-B.
A + B-B
Reaktan
A- B–B
A–B+B
Produk
Keadaan transisi
(6.6)
Suatu reaksi akan berlangsung melalui keadaan transisi
yang memiliki energi E1 lebih besar daripada keadaan awal
(reaktan) dan E1 lebih besar daripada keadaan (produk).
Ilustrasinya pada gambar berikut memperlihatkan koordinat
rekasi yang ditentukan oleh energi potensial. Koordinat reaksi
adalah parameter yang terus bervariasi, dan setiap nilai sesuai
dengan seperangkat atom atau molekul sistem reaksi
sepanjang jalannya reaksi.
A—B--B
A—B--B
EP reaksi EP reaksi
ke kiri
ke kanan
EP reaksi
ke kanan
Produk
AB + B
△E rekasi
△E rekasi
Reaktan
A + B
EP reaksi
ke kiri
Reaktan
AB + B
(a)
(b)
Koordinat Reaksi
Produk
A + B
Gambar 6.2. Koordinat Energi Potensial Untuk reaksi
Keterangan: (a) reaksi endoterm dan (b) reaksi eksoterm.
~ 119 ~
Penggabungan/difusi
Kejadian suatu reaksi kimia pada prinsipnya
merupakan penggabungan dua unsur kimia. Walaupun
penggabungan (difusi) secara fisik kelihatan reaksi kimia
mudah berlangsung, namun reaksi kimia itu diatur dengan
energi aktivasi.
Energi aktivasi atau energi pengaktifan adalah energi
minimum yang harus dimiliki oleh molekul pereaksi agar
menghasilkan tabrakan yang efektif. Komponen kecil dapat
bergerak bebas dipermukaan (difusi permukaan) di antara
partikel-partikel kecil (difusi antar pertikel) atau cairan (difusi
volume). Penggabungan zat kimia itu (padat maupun cair)
dapat berkembang oleh suhu tinggi. Berkaitan dengan difusi
volume, dimana penggabungan dapat terjadi antar atom atau
ion yang sama (misalnya zat oksigen bergabung dengan
oksigen lain di senyawa lain). Bisa terjadi interdifusi, dimana
satu atom atau ion dapat bergabung dengan sistem
berlawanan (misalnya, Mg – Fe pertukaran olivin). Umumnya,
proses
interdifusi
dapat
menurunkan
kecepatan
penggabungannya.
Dalam persamaan Fick, pemindahan materi didalam
suatu media dapat berlangsung terus-menerus.
Proses
pemindahan antar dua zat akan
menyangkut dengan
koefisien difusi (D), dimana pengukuran penggabungan
hanya dapat menggunakan ” tracer koefisien difusi ( D * )”,
suatu teknologi menggunakan isotop (misalnya, 18O bergerak
melalui ikatan oksigen pada silikat ). Kalau koefisien
interdifusi (D1-2) adalah merupakan interaksi ion satu dengan
ion lainnya. Secara empiris hal itu dapat dihitung dengan
“trace koefisien” dari setiap jenis di dalam sistem itu:
D1–2 = (n1D1* + n2D2*)/(n1 + n2).
Memang pada
sangat
kompleks
sistem geologi penggabungannya
untuk dianalisa oleh karenanya
~ 120 ~
menghitung D1–2 sangat sulit , karena kita harus terlebih
dahulu mengumpulkan sejumlah data eksperimen untuk
memperkirakan koefisien tracer dalam sistem yang reaksi.
Oleh karena itu dalam kimia geologi dilakukan pendekatan
alternatif yaitu cara konvensional pengikatan kimia, dengan
asumsi difusi yang terjadi adalah secara mekanik (fisik),
seperti analisa yang dilakukan pada pengikatan atom logam
dan batuan, akibat pengikatan ion membentuk mineral atau
pembentukan struktur kristal.
Penggabungan volume pada unsur padat terjadi
pemindahan atom atau ion yang tidak sempurna seperti
struktur kristal. Bentuk fisik kristal akan terdapat kekosongan
atom pada kisi-kisi tertentu, diantara kisi-kisi itu terdapat
elektri netral. Frenkel menyatakan kisi-kisi itu terbentuk
karena ditinggalkan oleh ion sehingga terjadi kekososngan,
tapi Schottky mengatakan jumlah kation dan anion dalam
posisi sama sehingga terjadi kekosongan.
Dalam kristal murni terdapat juga di bagian luar
(extrinsic) yang cacat (kekosongan), hal ini disebabkan oleh
ion-ion asing yang bermuatan berbeda dengan ion asli
sehingga ion asing menempatinya.
Karena prinsip
kesetimbangan tidak terpenuhi maka terjadi kekosongan
pada struktur kristal, seperti penggabungan Fe3 + menjadi
olivin biasanya
menempati tempat kosong dalam kristal
memerlukan kation.
Secara umum diketahui bahwa kristal non-stoikiometri
juga memiliki kekosongan. Jadi kristal mengandung intrisik
dan
ekstrinsik
yang
cacat,
pembentuknya
atau
penggabungannya tergantung pada suhu, namun lebih
efektifnya proses penggabungan atom pada suhu tinggi.
Seandainya suhu diturunkan maka peluang terjadi
pemasukan ion asing makin besar dan proses intrinsik akan
terjadi sebaliknya.
Mekanisme difusi ekstrinsik mungkin mendominasi
sistem alam , karena kebanyakan mineral mengandung
~ 121 ~
banyak kotoran , dan suhu untuk sebagian besar proses
geologi kurang dari yang dibutuhkan untuk mekanisme
intrinsik.
Biasanya makin banyak bagian yang cacat akan
berperan penting pada proses penggabungan volume,
termasuk dislokasi , perpindahan bidang kisi , dan berbagai
macam cacat planar , seperti batas-batas kembar dan
susunan yang tidak teratur dan termasuk patahan kecil.
Bagian yang cacat merupakan saluran efektif untuk
penggabungan/difusi ( sering disebut “short circuits”) di mana
saluran ini dapat mengontrol kelimpahan sampai pada
bagian kristal yang terjadi kekosongan, walaupun
kekosongan yang panjang sulit untuk model kuantitatif.
Lingkaran lobang kecil terkadang dianggap sebagai
cacat panjang, sehingga mengkaburkan antar difusi volume
dan difusi bunderen kecil. Banyak ahli geokimia percaya
bahwa perpindahan massa atom pada batuan metamorf yang
efektif berasal dari butiran padat. Meskipun gagasan ini
mungkin benar dalam banyak kasus , namun proses
pengikatan material sangat tergantung pada kekuatan
kimiawi dan efektifitas suhu di lingkungannya.
Nukleasi
Bertolak dari perspektif termodinamika terbentuknya
kristal adalah hal yang menajubkan, karena proses nukleasi
dari fase produk volume kecil diinisiatif menjadi kristal
(padatan besar). Pengertian nukleasi adalah proses
penyusunan atom/ion membentuk suatu inti struktur
material yang padat, contohnya pembentukan kristal. Sangat
sulit dimengerti bahwa inti kristal dapat terbentuk oleh
adanya fluktuasi pemanasan yang bersifat sementara. Karena
belum ada penelitian yang secara rinci mengamati
pembentuk kristal inti.
Kekuatan pendorong untuk nukleasi sama halnya
dengan prinsip kecepatan proses lainnya mengikuti sistem
~ 122 ~
kesetimbangan. Secara umum dapat dikatakan kekuatan
pendorong terbentuknya inti kristal adalah sangat jenuh
(supersaturation) terhadap kosentrasi dan kesetimbangannya.
Dalam studi geokimia
sering dikatakan suatu
penyimpangan dari kesetimbangan dalam cara lain, yaitu,
kondisi dibawa pendinginan (△T), ini merupakan parameter
untuk melihat kesetimbangan antara suhu penampilan
pertama dari fase dan suhu di mana itu benar-benar muncul
Sebagai contoh, dalam magma, kristalisasi biasanya
gagal terjadi karena adanya suhu tinggi melelehkan batuan,
nilai △T adalah sama dengan suhu minus di bawah suhu
leleh.
Nukleasi Pada Situasi cair
Suatu pengikatan kimia yang terjadi di saat penurunan
derajat bebas dalam sistem dilukiskan secara deferensial
dengan persamaan berikut:
(6.7)
Dalam prakteknya , persamaan diatas melukiskan
setiap fase penyusunan selalu mengikuti sifat termodinamika
kimia. Jika pengikatan satu fase dengan fase yang lain dengan
termodinamika bersifat diskontunitas, hal itu menunjukan
tidak ada kontribusi energi dalam sistem itu. Harus diakui
bahwa tidak mudah memberikan penjelasan antara fase satu
dengan yang lain dalam kaitannya sifat termodinamika
diskontunitas. Atom-atom pada permukaan tetesan atau
kristal bagian dalamnya tidak disertai dengan pengikatan
yang seragam . Penyusunan struktur terganggu oleh adanya
pengikatan yang tidak teratur, hal tersebut membutuhkan
peningkatan energi bebas. Umumnya energi bebas
dipermukaan jumlahnya sedikit karena jumlah atom pada
fase pengikatan lebih banyak dari yang ada didalamnya.
~ 123 ~
Dapat diprediksi selama nukleasi sumbangan rata-rata inti
kristal atau tetesan (droplet) adalah sangat kecil. Energi bebas
dipermukaan yang menghambat proses kinetika, keadaan
demikian disebut sebagai pendinginan (undercooling).
Suatu energi bebas akan berasosiasi dengan kondisi
minimal maka akan terbentuk pertikel juga minimal. Untuk
itu
diperlukan
suatu
kekuatan
baru
mendorong
pembentukannya, kekuatan itu disebut sebagai kekuatan
tensional (δ). Hakekatnya tegangan permukaan hanya
berlaku pada fase cair tidak berlaku pada fase padat.
Kekuatan tensional akan hilang pada nukleasi di kristal.
Tegangan permukaan dapat dipandang sebagai ukuran
perubahan energi bebas karena peningkatan permukaan
partikel di daerah A , yaitu
Apabila “G” didefrensialkan maka dapat dimodifikasi
dengan persamaan berikut:
Dimana △Gvol simbol yang berkaitan dengan suhu,
tekanan dan komposisi yang ada dalam volume keseluruhan.
Jadi unutk inti keseluruhan dengan radius “r” di rumuskan
sebagai berikut:
(6.8)
Dimana △G adalah energi bebas per volume. Karena σ
selalu positif maka radius kecil energi permukaan lebih
~ 124 ~
mendominasi tapi jika radius besar akan didominasi oleh
volume. Kondisi yang tidak stabil implikasinya jika radius r
naik sampai pada keadaan radius kritis (r crit) energi bebas
akan meningkat dalam proses nukleasi, dan apabila energi
bebas cenderung menurun sampai pada radius kritis (rcrit)
maka pembentukan inti akan makin kecil.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dibuat contoh soal
yaitu,
umpamanya pembentukan inti “forsterit”
pada
Mg2SiO4 cair. Dengan asumsi sebagai pendingin 10 ° C dan
energi permukaan 103 ergs cm-2 (= 2.39 × 10-5 kal cm-2) serta
radius kristis pada inti olivin dibawah kondisi, pertanyaannya
bagaimana energi bebas pada inti dengan radius bervariasi ?.
ΔGv pada olivin dengan suhu 2063 K (10 K di bawah cairan
forsterit) adalah -1,738 cal cm-3. Didasarkan pada rumus 6.8,
maka subsitusinya mengikuti persamaan berikut:
(6.9)
Jika r = 2 × 10−5 cm, maka ΔGtotal adalah 6.18 × 10−14 cal.
Nukleasi pada padatan
Sesungguhnya proses nukleasi pada materi padatan
dapat saja terjadi namun prosesnya lebih rumit. Berbicara
pemindahan fasa pada material padat tidak terlepas dengan
perubahan volume melalui fase reaktan.
Hal ini
menimbulkan masalah ruang untuk memasukan energi. Jadi
harus ada energi tambahan ke dalam sistem, sehingga energi
bebas akan berbentuk persamaan ini:
ΔGtotal = 4π/3r 3(ΔGv + ΔGs ) + 4πr 2σ,
Dimana ΔGs adalah energi regangan
Nukleasi pada batuan metamorf mungkin selalu
heterogen. Seperti butiran kecil, dislokasi dan daerah rentang
~ 125 ~
yang merupakan faktor pembentuk inti, dalam hal ini pada
sistem proses nukleasi dapat menurunkan energi bebas.
Sebuah contoh menarik nukleasi pada padatan dengan
yang berada di larutan-padat, seperti pyroxene dan feldspars
biasanya proses yang terjadi lambat.
Gambar berikut
memperlihatkan percobaan solvus (padatan dalam larutan)
yang ada didalam NaAlSi3O8-KAlSi3O8.
Gambar 6.3. Diagrama Percobaan Tentang Solvus dan
Spinodal
Keterangan:
Grafik bagian atas memperlihatkan
diagram T-Xor pada sistem “feldspar” alkali dengan
bentuk reaksi Solvus dan Spinodal. Sedang grafik
dibawahnya adalah diagrama Ĝ-Xor memperlihatkan
pergerakan suhu, dimana titik a1-a2 adalah lokasi solvus
sedang grafik lengkung
b1-b2 merupakan garis
spinodal.
Gambar diatas menunjukan “feldspars” alkali yang
homogen dengan kondisi solvus merupakan bagian padatan
sedang pendinginan sehingga terbagi ke dalam dua bagian
(lihat titik a1 dan a2), nukleasi di bagian luar sistem padatan
~ 126 ~
bisa juga homogen ataupun heterogen. Dalam gambar 6.3.
grafik lengkung kearah bawah (a1-a2) menunjukan kondisi
suhu pada felspars alkali, sehingga pada titik A1 –A2 adalah
bentuk suhu relatif stabil.
Bentuk nukleasi yang lain, oleh adanya percepatan
reaksi bisa membentuk A1 dan A2 dengan komposisi yang
stabil, kondisi ini sering disebut “spinodal” (gambar 6.3.
bagian atas). Disamping itu oleh adanya keterbatasan solvus
dan campuran suhu yang rendah terbentuklah dua titik, yaitu
b1 dan b2. (δ2ĜδX2=0) yang membentuk lengkungan
spinodal. Apabila komposisi feldspar berlebihan di antara
titik B1 dan B2 dimana isi berfluktuasi (contoh pada x1 dan x2),
maka energi bebas akan hilang dan feldspare akan menjadi
homogen. Artinya dalam kondisi itu tidak terjadi
percampuran situasi seperti ini disebut “dekomposisi
spinodal”. Jadi pada fase homogen spinodal sangat terbatas (b1
ke b2) dan pada lokasi titik x1 dan x2 kondisi relatif stabil.
Disamping itu pada titik x3 dan x4 kondisinya tidak terjadi
percampuran/pengikatan. Permasalahan, antar homogen
dan fase diluar percampuran perbedaan energi adalah kecil,
sebab adanya atom yang tidak kesesuaian maka komposisi
antara x1 dan x2 adalah kecil sehingga energi yang masuk
kecil. Oleh karena itu , pada batas antaranya tidak terjadi
percampuran
(difusi)
dengan
demikian
kelihatan
dekomposisi
spinodal
utama
tidak
melibatkan
nukleasi. Sehingga komposisi antara titik A1 dan A2 terjadi
kestabilan yang kuat (sangat padat).
Penyusunan keseluruhan “feldspars” pada letak solvus
dan spinodal (lihat gambar 6.3: grafik antara titik A1 dan B1
atau A2 dan B2) dengan pengontrolan larutan padat solvus
mengakibatkan tidak terjadi percampuran. Hal ini
dikarenakan struktur yang tidak cocok sehingga kinetika (laju
reaksi) terhambatdan kerja nukleasi juga lambat.
Larutan padatan pada fase solvus kinetikanya sangat
susah mengakibatkan pengikatan lambat, barangkali
~ 127 ~
pengaruhnya temperatur, waktu dan pemindahannya. Secara
ilustrasi di lukiskan pada gambar 6.4, berikut.
Gambar 6.4. Hubungan Suhu, Waktu dan
Kecepatan Berpindah
Sumber : Marine Geochemistry oleh Chester dan
Jickells (2012)
Gambar diatas memperlihatkan suatu percobaan
untuk melihat sintesis kerja kinetika yang dipengaruhi oleh
suhu dan waktu. Terlihat dua grafik yang melengkung
(bergaris dan hitan) adalah bentuk produk yang dimulai dari
1% sampai bisa mencapai 99% dengan mengikuti prinsip
kesetimbangan yang dipengaruhi atau dikontrol oleh nukleasi
homogen atau dekomposisi spinodal. Sebagai contoh, pada
kondisi proses pendinginan yang lambat (slow cooling) lebih
kearah nukleasi homogen ketimbang dekomposisi spinodal.
Sebaliknya pada tingkat pendinginan yang benar (tidak
lambat dan tidak cepat) cenderung ke arah dekomposisi
spinodal. Tetapi dengan kondisi pendingin yang cepat
dekomposisi spinodal akan sempurna, dimana tidak terjadi
lagi percampuran atau terjadi padatan kuat.
~ 128 ~
Perkembangan Pembentukan Kristal
Pembentukan kristal dari partikel mikro sampai
terbentuknya padatan yang kuat sangat tergantung pada : ❶
reaksi kimia pada lapisan pembatas (interface) antara kristal
dan disekitarnya; ❷ difusi komponen ke dan dari lapisan
pembatas; ❸ panas yang keluar dari pembatas pada saat
proses kristalisasi; ❹ Bahan sekitar yang menyusun struktur
kristal itu. Kalau pembentukan kristal pada mineral silika
melalui hanya proses pada butir 1 dan 2 saja. Kemudian dua
butir terakhir merupakan pengaruh lingkungan sekitarnya
lebih kuat daripada penyusunan inti kristal yang dikendalikan
oleh reaksi pembatas.
Sebaliknya, jika pemindahan
komponen ke pembentukan inti kristal berlangsung cepat
artinya proses penggabungan berlangsung baik. Kecuali
antara kristal dan sekitarnya komposisinya sama, maka
lapisan pembatas tidak melakukan difusi dan pembentukan
tidak terjadi meskipun panas laten kristalisasi dibutuhkan.
Sesungguhnya panas laten itu sangat penting bagi proses
pembentukan kristal. Pengendalian oleh lapisan pembatas
lebih efekti pada sistem beku seperti pada sistem metamorf,
namun faktor sekitarnya cukup berperan.
Gradien
konsentrasi yang terjadi akibat pengendalian pembentukan
dan pemindahan komponen ke dan dari sekitarnya untuk
kristalisasi tidak bisa mengimbangi atau adanya penolakan di
lapisan pembatas, olehnya proses pembentukan terlambat.
Apabila terjadi adveksi cairan akan cenderung merusak
gradien sehingga kecepatan pembentukan terhambat.
Halmana lapisan pembatas sebagai pengendali proses
pembentukan dan komponen pembentukan kristal serta
gerakan dari sekitarnya relatif kurang, maka keadaan seperti
ini tidak dipengaruhi oleh pemindahan cairan.
Lapisan Pembatas Sebagai Pengendali Pembentukan
Kecepatan pengendalian oleh lapisan pembatas sangat
tergantung keberadaan atom yang melekat dan terlepas dari
~ 129 ~
kristal.
Kecepatan pengambilan (ra) dinyatakan dalam
persamaan berikut:
ra = ν exp(−ΔG*/RT),
dimana v adalah atom yang bergerak, sedang ΔG* adalah
energi aktivasi , Persamaan ini sama dengan persamaan pada
kecepatan pemisahan atom (rd) yaitu
rd = ν exp(−[ΔG′ + ΔG*]/RT),
Dimana
ΔG′
adalah
kekuatan
pendorong
termodinamika. Pada tingkat pembentukan, Y, adalah (ra - rd)
kali ketebalan lapisan ( σ0), dan atom yang ada permukaan
berhasil dalam pengikatannya (f) sehingga dapat dijabarkan
dalam persamaan berikut:
Y = σ0 fν exp(−ΔG*/RT)[1 − exp(−ΔG′/RT)].
(6.10)
Persamaan diatas memperlihatkan kecepatan nukleasi
sangat variatif dibawah kondisi dingin, halmana jika ΔG′
adalah nol maka kondisi pendingin nol juga, tetapi kalau
sistem ada pada tataran kesetimbangan suhu maka
pembentukan akan naik sebab ΔG′ naik. Namun demikian
pada saat pendingin derajatnya membesar, pembentukan
mulai menurun sebab ΔG′ mulai kelihatan,
hal itu
menunjukan atom mulai berpindah sehingga viskositas
(kekentalan) cairan makin bertambah. Oleh karenanya
pendingin pada tingkat pertama mulai naik sampai mencapai
maksimum, yang akhirnya akan turun karena kecepatan
nukleasi sudah tidak ada.
Para ahli kimia menyadari bahwa setiap mekanisme
pembentukan di kendalikan oleh lapisan pembatas , seperti
terlukis pada huruf f didalam persamaan 6.10 diatas. Karena
atom dapat diambil kapan saja maka lapisan pembatas bisa
tentukan keberlanjutan pengikatannya itu. Jika nilai f=1 pada
semua pendingin mengakibatkan pembentukan relatif cepat.
Dalam model lapisan tersebar (layer-spreading) di lapisan
~ 130 ~
pembatas adalah datar, kecuali pada tahap-tahap
pengambilan satu atom di tempat tertentu. Contoh
ilustrasinya seperti gamabr berikut (gambar 6.5) berikut:
Gambar 6.5. Mekanisme Pembentukan Kristal pada
model Lapisan Datar
Sumber: Chester (1990).
Keterangan: (a) adalah nukleasi di permukaan kristal,
dimana satu atom ada dibagian ujung, sedang (b)
adalah kedudukan atom dislokasi dan akan menempel
pada bagian lain struktur kristal.
Jadi f < 1 memperlihatkan disuatu lapisan tebal
tersebar satu atom secara lateral dan satu atom lagi
bertambah di bagian ujung dari lapisan pembatas. Halmana
atom yang berada di bagian ujung lapisan pembatas akan
membentuk spiral.
Suatu percobaan yang dilakukan oleh Kirkpatrick dkk,
(1976) mereka mengamati kerja perkembangan benih kristal
yang berada pada variasi pendingin, yang diukur adalah
kecepatan pemindahan atom pada bagian luar lapisan
pembatas. Alhasil percobaannya menunjukan
lapisan
pembatas sebagai pengendali pembentukan agak sulit untuk
memecahkan atom yang ada di luar, karena tidak memiliki
△G dan ΔG′ sebagiamana yang terlukis pada persamaan
6.10.
Teori Stokes – Einstein pada saat terjadi kekentalan
(η) secara eksponensial memungkinkan terjadi pengantian
kedudukan atom sebagaimana tersirat pada persamaan 6.10.
~ 131 ~
Walaupun secara matematis agak sulit terjadi karena
reaksinya agak kompleks tapi dengan logika hal itu bisa
terjadi. Suatu hal yang pasti pembentukan kristal dapat cepat
terjadi dibawa kondisi pendingin dengan tingkat kekentalan
yang rendah (△G dan ΔG′ adalah rendah). Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa nilai Yη /T sama dengan nilai f
yaitu mengukur kemampuan pengikatan atom pada kristal.
Artinya Yη /T merupakan suatu mekanisme pembentukan
kristal. Dimana pembentukan bisa terjadi bentuk garis lurus
horisontal, pada dislokasi bisa terjadi garis melengkung yang
positif, dan atau garis kurva positif pada perkembangannya.
Suatu perhitungan yang dilakukan oleh Kirkpatrick
(1974), dengan memplotkan data kekentalan pada cairan
pendingin, yaitu suatu cairan dibawah kondisi pendingin
(500C), η sama dengan 19 poise (g cm-1 detik-1). Sedang
menggantikan nilai pembentukan adalah 9 × 10-3 cm detik –1
di dalam pendingin, maka di jabarkan pada persamaan
berikut:
Yη / △T = 3,4 × 10-3 g sec -2 deg -1
Sebagai contoh, sebuah kristal dari planet pluto
dengan derajat kecil membentuk batuan vulkanik, dengan
pendingin hanya 10C, berapa besar pembentukan di kristal
bagi luar dalam satuan sentimeter ? . Jika dugaan Y pada △T
= 10C, maka persamaannya adalah Yη / △T =6,6 X 10-5 T.
atau dengan kata lain △T =10C, Yη / △T =6,6 X 10-5g sec-2 .
Karena η = 15 poise pada 10C dibawa kondisi pendingin. Jadi
kecepatan rata-rata dalam 106 sec selama 10 hari, perkembangan
kristal yang terjadi adalah 1 cm. Hal yang harus diingat, batu pluto
yang sesungguhnya memiliki suhu ±1390°C melebihi suhu
magma sehingga nilai kekentalan rendah, oleh karenanya
proses penggabungan dapat terjadi pada magma
multikomponen.
~ 132 ~
Difusi sebagai Pengendali Pembentukan
Kecepatan
difusi
sebagai
pengendali
pada
pembentukan akan mengikuti hukum Ficks pertama dan
kedua. Halmana kecepatan pembentukan dikendalikan
cepatnya atom bergabung pada lapisan pembatas, dan itu
tergantung cuaca disaat itu.
Hakekatnya, kecepatan pembentukan terletak pada
keadaan difusi dengan persamaan kesetimbangan masa,
karena kecepatan atom mendekati ke lapisan pembatas lewat
cara difusi harus sama dengan atom yang melekat pada
lapisan pembatas.
Secara umum persamaan kecepatan
pembentukan (Y) didalam kondisi pengendalian difusi
(penggabungan) adalah sebagai berikut:
Y = k(D/t)1/2
(6.11)
Dimana k adalah nilai kontanta dari konentrasi yang
terlibat, sedang D adalah koefisien penggabungan (difusi yang
lambat), dan t adalah waktu.
Sesungguhnya pembentukan struktur atau termal yang
dihasilkan oleh difusi dapat mempengaruhi pertumbuhan
menyebabkan bentuk kristal rusak. Ketika permukaan kristal
menjadi tidak stabil ,tonjolan mulai berkembang . Panas dan
komponen ditolak selama prose
pembentukan kristal
sehingga dapat terjadi pengembangan tambahan struktur di
sekitarnya. Hal ini dapat menghasilkan bentukan struktur
kuat dan kristal dendritik. Meningkatnya pendingin, maka D
akan menurun dan nilai Y akan naik sehingga perbandingan
D/Y turun.
Beberapa Aplikasi Kinetika
Dalam sistem geokimia banyak terjadi interaksi kinetika
berlangsung secara bersamaan . Dimana kecepatan reaksinya
akan berjalan lambat dan proses itu dikenal sebagai ratelimiting step. Proses kinetika disini banyak factor yang
~ 133 ~
mempengaruhinya, seperti suhu lingkungan. Contohnya
model kinetika yang terjadi pada proses kristalisasi seperti
ilustrasi sebagai berikut:
Aragonit ⇆ kalsit adalah sebagai rate-limiting step
Semua kalsit dipermukaan bumi kondisi termodinamikanya adalah stabil, tapi argonit hanya stabil pada tekanan
tinggi, tapi pada batuan metarmorf terkadang bisa terangkat
jika tekanan tinggi. Apabila alur kinetika, reaksi balik dari
aragonit ke kalsit
maka proses pengakatannya dapat
dikendalikan.
Selama kalsit mengalamai diagenesis bisa mengantikan
posisi aragonit di daerah luar kristal sehingga keberlanjutan
ubahan (metamorf) aragonit mengambarkan kondisi yang
tidak biasanya. Misalnya pada suhu rendah (200oC)
memungkinkan penempatan kembali aragonit hanya
beberapa hari walaupun reaksi yang berlangsung lebih lambat
karena ketiadaan air. Apabila aragonit terlarutkan dan terjadi
penguapan maka akan terbentuk benih baru kalsit.
Sebaliknya dari aspek pengetahuan perminyakan bahwa
ubahan aragonit dikonversi ke kalsit halitu menunjukan kalsit
mengantikan kedudukan arogonit. Jadi dapat simpulkan
bahwa batuan ubahan (metamorf) tidak memiliki pori-pori
untuk masuknya cairan disaat ada proses pengangkatan.
Suatu percobaan yang dilakukan oleh William Carlson
dan John Rosenfeld (1981), mereka menyimpulkan bahwa
nukleasi kalsit bukanlah
“rate-limiting step “ (tahap
membatasi kecepatan ), karena sebagian diganti aragonit
biasanya dikelilingi oleh banyak butir kalsit kecil . Gambar
berikut memberikan ilustrasi dari proses dimaksud.
Dalam gambar 6.6. memperlihatkan bagaimana
faktor penghambat pembentukan struktur kristal dibawa
kondisi pendingin, bereaksi dengan kecepatan yang berbeda
~ 134 ~
sehingga pelbagai bentuk terjadi seperti bentuk memanjang,
kerangka keras, berbentuk kotak dan berbentuk bola.
Cairan
Suhu
Padatan
Berat % An
Gambar 6.6. Diagram T-Xan pada sistem albite-anorthite.
Sumber: Chester dan Jickells (2012)
Berangkat dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
faktor kinetika sangat penting pada proses geologi sampai
dengan suhu tinggi. Dalam setiap proses pemindahan atom,
aspek energi keaktifan merupakan hal utama yang
diperhatikan, karena energi aktif berkurang proses
pembentukan akan berkurang.
Kemudian pada proses pembentukan dengan kondisi
pendinginan sering tidak mengikuti kaidah kesetimbangan
kimia.
Dalam keadaan sistem suhu tinggi maka ada tiga
proses yang terjadi, yaitu:
1. Nukleasi merupakan pengendalian utama dalam
proses pembentukan kristal, dan penggabungan
sebagai respons dari energi potensial dari kimia.
~ 135 ~
Penggabungan volume selalu mengikuti hukum
pertama dan kedua dari hukum Ficks.
2. Proses nukleasi bisa berlangsung pada konsidi
homogen maupun heterogen, namun energi bebas
dipermukaan sering dihambat sampai pada tingkat
kritis.
3. Pembentukan/perkembangan kristal dikendalikan
oleh laju reaksi (kinetika), biasanya lapisan
pembatas menentukan kecepatan nukleasi, dan
pada posisi dislokasi grafik perkembangannya bisa
membuat grafik melengkung tidak regresi.
~ 136 ~
⑦
KELARUTAN GAS
DI PERAIRAN LAUT
K
andungan gas di perairan laut sebagian besar
berasal dari atmosfer. Halmana di atmosfer
sendiri terdapat campuran gas major, minor
dan trace, kelimpahannya seperti terlihat pada tabel berikut:
Tabel 7.1. Gas Non-variabel di Atmosfer
Gas
Konsentrasi
Gas
Konsentrasi
(%)
(ppm)
N2
78,084
Ne
18,18
O2
20,946
He
5,24
CO2
0,033
Kr
1,14
Ar
0,934
Xe
0.087
H2
0,5
CH4
2,0
N2O
0,5
Sumber: Richards (1965) disitasi oleh Chester dan Jickells (2012)
.
Pemasukan gas dari udara ke perairan atau sebaliknya
dari perairan naik ke udara (exchange across) akan melalui
suatu lapisan di permukaan air yang disebut sebagai
“interface”. Secara umum gas dari atmosfer ditransfer ke
dalam perairan laut biasanya akan melalui proses mekanik (
fisikal), seperti pengadukan, gerakan angin, ombak dan
sebagainya.
Beberapa gas konservatif memang sudah ada di dalam
perairan laut, tapi banyak juga gas masuk melalui proses
biologi (seperti proses fotosintesis pada hayati laut) dan
kimiawi (seperti aktifitas vulkanik gunung berapi di dasar
~ 137 ~
laut). Jumlah kelarutan gas di perairan laut merupakan suatu
hal penting, dari sudut pandang geokimia, karena proses yang
terjadi merupakan siklus biogeokimia laut. Secara global
dapat dikatakan ada dua gas yang sangat penting dalam
proses pemindahan yaitu oksigen (O2) dan karbon dioksida
(CO2), dan kedua gas tersebut mendapat perhatian dalam
pembahasan bagian ini.
Proses kelarutan gas di laut dapat dikatakan sangat
mudah mekanismenya bisa melalui difusi langsung maupun
melalui mekanik, misalnya gas-gas konvensional seperti
oksigen, nitrogen dan argon. Kalau zat oksigen bersifat difusi
langsung, zat itu mudah bersenyawa dengan hydrogen, atau
dapat pula merupakan hasil proses fotosintesis. Dimana
bantuan sinar matahari dengan sinar ultra akan merangsang
kerja butir hijau untuk memproduksi glukosa dan oksigen.
Demikian pula zat nitrogen bisa langsung oleh tumbuhan
untuk kepentingan tumbuh, sedang gas argon pada umumnya
melalui penyerapan dengan beberapa unsur yang ada di
kolom air.
Hakekatnya untuk menghitung tingkat kelarutan gas,
ada pelbagai bentuk persamaan yang dikemukakan oleh para
ilmuan, namun harus diingat bahwa kelarutan gas tersebut
sangat dipengaruhi oleh temperatur (suhu) dan salinitas.
Menurut Weiss (1970) berbagai persamaan menghitung
kelarutan gas di perairan laut yang bersumber dari udara
basa, jumlah kelarutannya sangat tergantung pada faktor
suhu dan salinitas. Halitu dapat di jabarkan sebagai berikut:
C = A1 + A2(100/T)+ A3 (T/100)+ A4(T/100)+ S‰
[B1+B2(T/100)+B3(T/100)2]
(7.1)
Dimana C adalah kelarutan gas di perairan laut
bersumber dari udara bertekanan 1 atmosfer, A dan B
berisikan jumlah setiap gas dan kecepatan kelarutannnya,
sedang T adalah suhu absolut dan S (‰) adalah salinitas.
~ 138 ~
Data hasil hitungan dari rumus 7.1 disajikan pada tabel 7.1
berikut ini, yang memperlihatkan kelarutan oksigen dalam
satuan µmol dalam kg-1 pada pelbagai (variasi) suhu dan
salinitas.
Dalam table yamg di kemukakan oleh Kester (1975)
menunjukan bahwa semakin bertambah nilai salinitas daya
kelarutan oksigen makin menurun. Demikian juga dengan
suhu, makin naik suhu daya kelarutan oksigen makin kecil.
Sebelum
membahas
lebih
lanjut
bagaimana
mekanisme difusi gas ke laut, marilah kita lihat faktor-faktor
sebagai pengendali pada pertukaran gas di samudera dan
atmosfer. Besaran kelarutan gas di perairan laut merupakan
faktor kontrol penting bagi pengikatan kimia di dalam
samudera. Hakekatnya partisi gas dari atmosfer ke perairan
laut merupakan fungsi dari suhu, salinitas dan tekanan.
Suatu hal yang menarik adalah bagaimana pengaruh tekanan
terhadap percampuran gas, misalnya di atmosfer. Halmana
tekanan gas yang terjadi pada suatu volume campuran
merupakan bagian dari tekanan dari setiap gas (individu gas).
Konsep ini juga berlaku pada kelarutan molekul gas di dalam
perairan. Untuk itu hukum Henry menjabarkan hubungan
antara tekanan gas di dalam larutan (PG) dan konsentrasinya
(CG), yakni:
P G = KG C G
(7.2)
Dimana
KG adalah konstanta hukum Henry,
merupakan kecepatan transfer proporsi gas dari atmosfer ke
tekanan dari kedua tempat, yaitu: atmosfer (p) dan di laut
(P), halmana tekanan parsial di kedua tempat (udara dan
laut) diasumsi ada dalam kesetimbangan [ p =P].
Biasanya pemindahan gas, cairan dan padat dari udara
ke air atau sebaliknya, selalu melalui suatu lapisan ”interface”
(sebagimana uraian diatas), jika perpindahan yang terjadi
hanya beberapa puluh μm cenderung terakumulasi di lapisan
”interface” tersebut.
~ 139 ~
Tabel 7.2. Kelarutan Oksigen di Perairan Laut (µ mol Kg-1)
Salinitas ‰
Sumber: Kester (1975) disitasi oleh Chester dan Jickells (2012)
~ 140 ~
Gas-gas dipindahkan ke perairan melalui ”interface” adalah
suatu difusi molekul. Prosesnya dua arah meskipun terjadi
kejenuhan bila konsentrasi gas dalam air dalam keadaan
kesetimbangan dengan konsentrasi gas di atmosfir. Ketebalan
lapisan batas tidak konstan, yaitu akan berkurang dengan
meningkatnya turbulensi dalam air sehingga pertukaran gas
terjadi secara cepat pada saat badai (terjadi agitasi) daripada
cuaca tenang. Daya larut gas diperairan sangat tergantung
pada suhu, yaitu proses kelarutan akan lebih baik di air dingin
(suhu rendah) daripada di air hangat. Jika temperatur air
meningkat dalam kondisi kesetimbangan akan diperoleh net
fluks gas dari laut ke udara.
Kelarutan gas dalam air juga akan meningkat dengan
kenaikan tekanan,
kelarutan bervariasi terbalik dengan
salinitas, semakin tinggi salinitas semakin kurang
kelarutannya.
Persamaan kecepatan pertukaran gas, F, yaitu gas yang
melalui batas udara air adalah:
F = K(T)w∆C
(7.3)
K, adalah konstanta kecepatan perpindahan,
yaitu laju saat perpindahan terjadi.
∆C, adalah perbedaan konsentrasi yang
menyebabkan terjadi fluks gas melalui
”interface”.
Biasanya K dalam Cm/jam-1, sedang C dalam ml/L-1 dan
F dalam ml.Cm-2 yaitu unit volume kali unit luas dalam unit
waktu.
Persamaan reaksi diatas berjalan sedemikian rupa
sehingga K konstan (K dikenal sebagai koefisien pertukaran).
Halmana ∆C adalah perbedaan konsentrasi yang dikendalikan
oleh “fluks” dan konstanta proposional. Dalam keadaan nilai
~ 141 ~
∆C sama dengan nol saat itu terjadi jenuh tetapi pertukaran gas
masih terjadi dan kedua arah reaksi adalah sama.
K(T)w adalah keterikatan fluks dan perbedaan
konsentrasi yang menggambarkan suatu kecepatan gerak
(velositas) dan bisa juga sebagai koefisien pemindahan gas
(kecepatan transfer atau kecepatan seher/piston). Untuk
kondisi normal, harga K(T)w berkisar antara beberapa
sentimeter sampai beberapa puluh sentimeter per jam dan
bertambah besarnya dengan kecepatan angin.
Sebagai perbedaan konsentrasi (∆C) persamaannya
adalah sebagai berikut:
∆C = CaH-1 – Cw
(7.4)
Dimana Ca dan Cw adalah konsentrasi didalam udara
dan di perairan, sedang H adalah nilai kontanta hukum Henry
(melukiskan kesetimbangan antara konsentrasi gas di udara
dengan konsentrasi gas bentuk nir-ion di perairan).
Untuk total kecepatan transfer (pemindahan) gas di
rumuskan sebagai berikut:
1/ K(T)w = 1/αkw + 1/Hka
(7.5)
Dimana ka dan kw adalah kecepatan transfer dari gas
yang tidak dapat bereaksi di dalam udara dan di perairan.
Sedang α adalah faktor reaksi kimia gas yang ditransfer ke
perairan. Kemudian H adalah konstanta hukum Henry sebagai
terlukis pada rumus 7.4. Menurut pendapat Liss (1983)
pengukuran timbal-balik kecepatan transfer gas (udaraperairan) dengan adanya resistansi pertukaran gas adalah
sangat mudah. Halmana persamaan 7.5 telah mengambarkan
bagaimana resistensi pertukaran gas yaitu 1/ K(T)w = R(T)w, 1/αkw
= rw dan 1/Hka = ra, jadi persamaannya adalah:
R(T)w = rw + ra
~ 142 ~
(7.6)
Untuk itu sebagai kontrol resitensinya ada pada nilai rw
dan ra dengan demikian disimpulkan ada dua kelompok gas
dalam proses pertukarannya, yakni:
1. Gas dalam keadaan ra > rw memperlihatkan gas
umumnya memiliki nilai H rendah (kelarutan di air
tinggi), artinya partisi gas lebih dominan masuk ke
perairan. Gas-gas yang masuk kedalam kelompok ini
seperti SO2, NH3 dan HCl.
2. Gas dalam keadaan rw > ra memperlihatkan rw
resistensi dominan pada transfer. Jadi umumnya gas
memiliki nilai H tinggi (kelarutan di air rendah),
dalam kelompok ini termasuk O2, CO2, CO, CH3,
CH3I, MeI, Me2S
dan gas-gas yang lemah.
Hakekatnya gas pada kelompok ini umumnya gasgas yang penting pada proses siklus geokimia.
Pertukaran
atau transfer gas sebagaimana yang
diuraikan diatas melalui “interface” proses pertukaran gas
sangat tergantung pada:
a. Perbedaan konsentrasi antara yang ada di udara dan
di air yang akan melewati “interface” yaitu setiap
aliran (fluks) dikendalikan oleh setiap gradien
konsentrasi ( koefisien difusi molekul); dan
b. Koefisien transfer (kecepatan gerak putaran/piston).
Pertukaran gas tergantung pada kecepatan angin,
suhu, dan daya kelarutan, kecepatan difusi dan
reaksi kimia setiap gas. Dalam tabel 7.2 disajikan
kecepatan difusi dan kelarutan gas di perairan laut
pada suhu berbeda.
~ 143 ~
Tabel 7.3. Daya Larut dan difusi beberapa Gas di Laut
O0C
240C
Gas
Daya Larut
Daya Larut
Koefisien difusi
Koefisien difusi
3 -1
-5
2 -1
(Cm L )
(x 10 Cm s ) (Cm3 L-1)
(x 10-5Cm2s-1)
He
7,8
2,0
7,4
4,0
Ne
10,1
1,4
8,6
2,8
N2
18,3
1,1
11,8
2,1
O2
38,7
1,2
23,7
2,3
Ar
42,1
0,8
26,0
1,5
Kr
85,6
0,7
46,2
1,4
Xe
192
0,7
99
1,4
Rn
406
0,7
186
1,4
CO2
1437
1,0
666
1,9
N2O
1071
1,0
476
2,0
Sumber: Broecker dan Peng (1982)
Gas-gas yang ada di udara difusi ke dalam air laut
terbagi dalam dua kategori yaitu:
1.
Kelarutan gas dengan reaksi kimia yang rendah,
seperti: N2, O2, Ar dan gas mulia lain.
2.
Kelarutan gas dengan reaksi yang tinggi, seperti :
SO2, NO2 dan NH3.
Tiga perempat massa gas di atmosfer berada di bawah
10 km dan tidak menunjukan variasi dalam proporsi unsurunsur utamanya, yaitu nitrogen (77%) oksigen (21%) dan argon
(1%) dan gas-gas minor (1%), sedang gas rumah kaca seperti
CO2 secara normal hanya 0,035% dari total gas yang ada di
atmosfer. Disamping itu terdapat juga gas-gas yang minor
(trace) seperti hydrogen sulfida (H2S), Amonia dan methan.
Konsentrasi gas-gas di atmosfer bergantung pada volumenya
dan asupan gas dari industri dan aktifitas manusia yang ada di
bumi.
~ 144 ~
Meskipun karbon dioksida merupakan gas paling
mudah larut diantara gas utama, konsentrasinya di dalam air
laut sangat kecil. Mengapa? Karena gas karbon dioksida cepat
bereaksi dengan air (H2O) membentuk senyawa bikarbonat
dan karbonat. Kedua senyawa itu berperan sebagai penyangga
keasaman (pH buffer), model reaksinya adalah sebagai berikut:
CO2 (gas) + H2O ↔ H2CO3 ↔ H+ +HCO3
(7.7)
Grafik di bawah ini memperlihatkan kedudukan gas-gas
utama di atmosfer.
1.0
0.1
0.01
0.001
0.0001
N2
O2
Ar
CO2
Gambar 7.1 Proporsi Volume dari 4 Gas di atmosfer.
(Sumber data The Open University, 1996)
Keterangan: Bersama-sama ke empat gas tersebut berjumlah
99% Sisanya terbentuk dari gas-gas minor.
~ 145 ~
Skala vertikal pada gambar diatas memperlihatkan
tekanan parsial yang identik dengan komposisi persentase
didasarkan pada volume. Sebagai contoh pada gas Oksigen
dengan komposisi 21% akan menyebabkan tekanan parsial
sebesar 0,21 atm.
Demikian pula gas nitrogen dengan
komposisi sebesar 77% kedudukan tekanan adalah 0,77 atm.
Keempat gas utama ini memegang peran dalam sirkulasi
udara di atmosfer sedang gas-gas minor atau trace biasanya
volumenya akan bertambah jika adanya aktifitas manusia
termasuk industri yang memproduksi gas-gas tersebut.
Disamping gas-gas utama itu, terdapat pula gas-gas
tambahan sebagai asupan dari industri seperti
SO2 ,
Kloroflorokarbon (CFC), Poliklorin bipenil (PCB). Gas-gas
tambahan ini merupakan polutan di atmosfer. Bahkan gas CFC
dan CO2 merupakan gas rumah kaca yang mempengaruhi
pemanasan global. Gas-gas tersebut berpotensi merusak
lapisan oxon (O3) sehingga mengakibatkan penetrasi sinar ultra
violet ke permukaan bumi makin bertambah, akhirnya
berakibat fatal terjadinya pencarian es dan salju di daerahdaerah kutub.
Penambahan gas-gas rumah kaca ini merupakan
pembicaraan serius di dunia internasional dan telah menjadi
kekuatiran manusia. Sebab akan meningkatkan jumlah volume
air di laut akibat es yang ada di daerah kutub akan mencair
sehingga akhirnya dapat menegelamkan pulau-pulau kecil
dan merusakan garis pantai. Disamping itu, adanya gas-gas
rumah kaca terjadilah perubahan iklim yang ekstrim, seperti
musim panas yang terlalu panjang mengakibatkan kekeringan,
dan jika musim hujan menyebabkan banjir yang sulit
dikendalikan.
~ 146 ~
100
10.0
1.0
0.1
N2
2
O2
Ar
CO2
(ml/L-1 pada 240C)
Gambar 7.2. Kesetimbangan Konsentrasi 4 Gas di Laut
Pada suhu 24 derajat Celcius.
(Sumber The Open University, 1996).
Beberapa hal yang mengontrol pertukaran udara-laut
CO2 adalah solubility pump, biological pump dan physical
pump. Solubility pump adalah kemampuan memompa gas
karbon dioksida merupakan fungsi dari suhu perairan, DIC
(dissolved inorganic carbon), TA (total alkalinitas) dan angin
(piston velocity). Aliran udara itu sendiri ditentukan oleh
gradien tekanan parsial CO2 (pCO2). Jika pCO2 di atmosfer
~ 147 ~
lebih tinggi dari permukaan laut, maka laut berperan sebagai
penyerap (atau penerima), namun sebaliknya jika pCO2 di
atmosfer lebih rendah maka laut berperan sebagai pelepas.
Perairan tropis yang memiliki suhu permukaan laut
yang relatif tinggi cenderung menurunkan daya larut gas
sehingga pCO2 di permukaan laut tinggi.
Biological pump adalah besaran produksi karbon
dioksida di perairan yang dihasilkan oleh aktifitas biologis
seperti adanya foto sintesis alga makro dan mikro, biota
perairan yang mati dan tenggelam yang akhirnya terjadi
peluruhan di dasar perairan. Dimana partikel organik karbon
yang dihasilkan itu (setelah terjadi mortalitas dan
dekomposisi) akan di transfer ke dasar perairan yang tidak bisa
kembali ke permukaan. Dengan demikian, biological pump
efektif terjadi di perairan dalam setelah melewati lapisan
termoklin.
Perairan dangkal ataupun lapisan yang masih bias
bercampur (mix-layer) masih memungkinkan terjadi proses
remineralisasi sehingga gas karbon diaokside itu bisa
dilepaskan kembali ke permukaan. Sintesis Joint Global Ocean
Flux Study (JGOFS) di AS telah melaporkan bahwa dari 1000
unit karbon yang diserap di permukaan laut, maka hanya 1 unit
yang berhasil tenggelam ke perairan dalam dan terkubur pada
kedalaman 1000 meter atau lebih.
Physical pump adalah proses penenggelaman karbon
dioksida diperairan dilakukan secara fisikal, misalnya CO2
yang di dasar perairan akan naik ke permukaan oleh gerakan
“upwelling” atau sebaliknya oleh gerakan “downwelling”.
Pemindahan gas dari udara ke perairan laut maupun
sebaliknya akan melalui suatu lapisan dipermukaan air. Secara
teoritis jumlah pemindahan gas tergantung pada kecepatan
transfer gas dan lajunya perubahan gas dalam bentuk gas lain.
Tetapi proses ini berlangsung pada daerah “interface”, secara
teori ada 3 model pertukaran gas pada wilayah “interface”,
yakni:
~ 148 ~
1. Model lapisan yang stagnan (Stagnant film model),
halmana proses transfer akan dikendalikan oleh
difusi molekul gas itu.
2. Model pembaharuan permukaan (Surface renewal
model), yaitu dalam lapisan stagnan, pada saat-saat
tertentu terjadi gelembung di permukaan air dan
secara bertahap terjadi transport gas, dan
kecepatannya tergantung pada lapisan dimana akan
diletakan gas itu.
3. Model batas lapisan (boundary-layer model),
memang konsep teori ini relatif lebih kompleks
(ribet) dipermukaan, biasanya ada gaya panas
menjadikan pertukaran gas. Secara ilustrasi
digambarkan pada gambar 7.3 berikut ini.
αp
Cs
Batas Lapisan stagnan
Z
K
e
d
a
l
a
m
a
n
Fluks = D
Cs – αp
Z
Lapisan
tercampur
Kecepatan
perputaran
= D/Z
Gambar 7.3. Model Batas Lapisan Stagnan
(Sumber: Broecker dan Peng, 1974)
Ilustrasi diatas memperlihatkan model lapisan stagnan
(stagnant film model/SFM), dimana kecepatan transfer
molekul gas antara udara ke perairan laut dikontrol oleh
ketebalan batas lapisan stagnan, dan apabila telah melewati
lapisan itu maka air dibawahnya diasumsikan telah terjadi
percampuran. D adalah difusi molekul gas, Z adalah ketebalan
lapisan sedang Cs adalah konsentrasi gas dibawah lapisan,
~ 149 ~
sedangkan α adalah daya kelarutan gas dan p adalah tekanan
gas di udara.
Hakekatnya difusi gas yang terjadi diperairan laut sangat
tergantung pada beberapa faktor yakni:
➊.
Kecepatan difusi gas ke perairan laut dipengaruhi
oleh suhu, seperti terlihat pada tabel 7.2, halmana
bertambah suhu daya difusi makin berkurang.
➋.
Ketebalan lapisan. Apabila ketebalan lapisan
bertambah konsekuensi waktu difusi gas akan
bertambah juga. Intinya rerata kecepatan
pemindahan gas ke perairan laut tergantung pada
ketebalan lapisan dan agitasi air laut oleh gerakan
angin dan kecepatan angin dan derajat ketebalan
lapisan.
➌.
Perbedaan konsentrasi antara di udara dan di
perairan laut. Perbedaan besar, artinya gradien
konsentrasi besar dan difusi molekul transfer
sangat cepat.
Oksigen
Kelarutan gas di perairan alamiah termasuk laut
nampaknya gas oksigen merupakan bagian yang penting dan
signifikan perannnya bagi ekosistem perairan. Kebanyakan
perubahan konsentrasi oksigen di perairan diakibatkan adanya
bahan cemar berbentuk senyawa organik. Halmana proses
penyerapan bahan organik dilakukan oleh bakteri yaitu dalam
rangka peluruhan bahan organik ini dibutuhkan suatu oksidasi
dengan memanfaatkan oksigen yang tersedia di perairan. Sisi
lain kandungan oksigen berlimpa disebabkan adanya hasil
proses fotosintesis yang dilakukan oleh fitoplankton dan atau
alga hijau, disamping itu pula oleh adanya difusi gas dari udara
melalui “interface”.
Oleh karena itu kelarutan oksigen
(dissolved oxygen) sering dijadikan indikator dari adanya
pencemaran di lingkungan. Satuan yang digunakan untuk
mengukur adanya perubahan oksigen di perairan para ahli
~ 150 ~
menggunakan istilah “ Biochemical Oxygen Demand” dan
“Chemical Oxygen Demand”
Selain adanya difusi kandungan oksigen dari udara,
diperairan dapat juga asupan oksigen dari hasil kerja
fotosintesis dari mikroorganisme seperti fitoplankton dan juga
oleh rumput laut.
Daya kelarutan oksigen di perairan
tergantung juga pada kadar klorida di dalam air, tabel 7.3
berikut ini memperlihatkan daya kelarutan oksigen pada
pelbagai kandungan klorida di perairan. Mengapa daya larut
oksigen di perairan tawar dan perairan laut berbeda ?. Hal itu
di sebabkan adanya kandungan Cl di laut cukup tinggi,
sehingga proses kelarutan oksigen menjadi terhalang, untuk
itu tabel 7.3 memperlihatkan hubungan antar klorida dengan
daya larut gas oksigen
Permukaan air laut
kandungan oksigen dapat
dikatakan lewat jenuh, hal ini terjadi karena pembebasan
oksigen pada saat terjadinya proses fotosintesis. Biasanya
oksigen yang terikat dengan massa air diperlihatkan adanya
gelembung udara (bulb). Gelembung-gelembung udara yang
terbentuk di puncak gelombang yang didorong ke bawah ke
dalam kolom air, dan sebagian gas yang ada digerakkan ke
dalam larutan oleh pertambahan tekanan hidrostatik.
Konsentrasi oksigen terlarut dalam keadaan jenuh
bervariasi tergantung dari suhu dan tekanan atmosfer. Pada
suhu 200C dengan tekanan satu atmosfer konsentrasi oksigen
terlarut dalam keadaan jenuh adalah 9,2 ppm, sedang pada
suhu 500C dengan tekanan atmosfer yang sama tingkat
kejenuhannya hanya 5,6 ppm. Semakin tinggi suhu air,
semakin rendah tingkat kejenuhan
Kelarutan oksigen di perairan sangat berperan penting
terhadap proses korosi (pengkaratan) pipa besi di dalam air.
Kecepatan proses korosi besi yang ada di laut sangat
tergantung dari jumlah konsentrasi oksigennya, makin banyak
kandungan oksigen proses korosinisasi akan makin cepat.
~ 151 ~
Tabel 7.4. Daya kelarutan Oksigen di perairan dengan pelbagai konsentrasi Klorida.
Konsentrasi Klorida (Cl) di air (mg/l)
Perbedaan/100mg
Klorida
0
5
10
15
20
0
Temp.( C)
Kelarutan Oksigen (mg/l)
0
14,6
13,8
13,0
12,1
11,3
0,017
1
14,2
13,4
12,6
11,8
11,0
0,016
2
13,8
13,1
12,3
11,5
10,8
0,015
3
13,5
12,7
12,0
11,2
10,5
0,015
4
13,1
12,4
11,7
11,0
10,3
0,014
5
12,8
12,1
11,4
10,7
10,0
0,014
6
12,5
11,8
11,1
10,5
9,8
0,014
7
12,2
11,5
10,9
10,2
9,6
0,013
8
11,9
11,2
10,6
10,0
9,4
0,013
9
11,6
11,0
10,4
9,8
9,2
0,012
10
11,3
10,7
10,1
9,6
9,0
0,012
11
11,1
10,5
9,9
9,4
8,8
0,011
12
10,8
10,3
9,7
9,2
8,6
0,011
13
10,6
10,1
9,5
9,0
8,5
0,011
14
10,4
9,9
9,3
8,8
8,3
0,010
15
10,2
9,7
9,1
8,6
8,1
0,010
~ 152 ~
Lanjutan Tabel 7.4
16
10,0
17
9,7
18
9,5
19
9,4
20
9,2
21
9,0
22
8,8
23
8,7
24
8,5
25
8,4
26
8,2
27
8,1
28
7,9
29
7,8
30
7,6
31
7,5
32
7,4
33
7,3
34
7,2
9,5
9,3
9,1
8,9
8,7
8,6
8,4
8,3
8,1
8,0
7,8
7,7
7,5
7,4
7,3
9,0
8,8
8,6
8,5
8,3
8,1
8,0
7,9
7,7
7,6
7,4
7,3
7,1
7,0
6,9
8,5
8,3
8,2
8,0
7,9
7,7
7,6
7,4
7,3
7,2
7,0
6,9
6,8
6,6
6,5
`
~ 153 ~
8,0
7,8
7,7
7,6
7,4
7,3
7,1
7,0
6,9
6,7
6,6
6,5
6,4
6,3
6,1
0,010
0,010
0,009
0,009
0,009
0,009
0,008
0,008
0,088
0,088
0,008
0,008
0,008
0,008
0,008
Lanjutan Tabel. 7.4
Konsentrasi Klorida (Cl) di air (mg/l)
0
5
10
15
0
Temp. ( C)
Kelarutan Oksigen (mg/l)
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
20
Perbedaan/100mg
Klorida
7,1
7,0
6,9
6,8
6,7
6,6
6,5
6,4
6,3
6,2
6,1
6,0
5,9
5,8
5,7
5,6
Ket.: Tekanan pada 760 mm Hg. Menghitung O2 dengan rumus= S’=S(P-p)/(760-p).
Dimana S larut pada tekanan 760 mm, dan p lebih dari 1000 meter, suhu
berada dibawah dari 250C.
~ 154 ~
Kelarutan gas-gas umumnya berkurang dengan bertambahnya
temperature dan salinitas, tetapi dapat meningkat dengan
pertambahan tekanan. Distribusi gas-gas pada daerah lautan
yang lebih dalam terjadi karena arus dan turbulensi
dibandingkan karena difusi molekuler. Distribusi ke bawah
biasanya perlahan dan membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Pada kedalaman yang jauh, oksigen secara kontinu
dikonsumsi lewat respirasi hewan dan penguraian tumbuhan
oleh mikroba detritus. Akan tetapi oksigen tidak hilang karena
pencampuran ke bawah dan difusi oksigen terlarut dari
permukaan, juga adanya produk dari aktifitas fotosinsis.
Lapisan minimum oksigen terbentuk bila penyerapan
oksigen terlarut terjadi maksimum relative terhadap laju
pengurangannya dan umumnya itu terjadi diantara kedalaman
500 – 1000 meter. Di beberapa daerah seperti di Samudera
Hindia bagian utara dan Samudera Pasifik Selatan, airnya
mengandung sedikit oksigen dan dibagian-bagian tertentu bisa
terjadi kekosongan oksigen (anoxic), tetapi di kedalaman yang
jauh makin jauh ke arah laut lepas tingkat oksigen akan naik
lagi. Hal ini terjadi karena masukan air yang dingin dengan
membawa oksigen yang banyak dari daerah kutub.
Nitrogen
Gas nitrogen sangat penting di perairan karena derivat
gas ini merupakan pembentuk dasar senyawa organik, seperti
penyusun komposisi protein. Gas ini dapat dimanfaatkan
sebagai nutrisi bagi kelancaran proses sintesis oleh tumbuhan
air dan fitoplankton,. Tetapi sering derivat nitrogen dapat juga
merupakan bahan cemar (polutan) di lingkungan, seperti
ammonia (NH3).
Nitrogen yang ada di udara ada dalam bentuk senyawa
N2 maupun senyawa yang lebih kompleks, beberapa referensi
dari para ahli lingkungan senyawa ini di atmosfir ada sebanyak
78% dan yang lainnya ada di kulit bumi dan di dalam perairan.
Atmosfer kita kandungan nitrogen ada sekitar 80% sedang
~ 155 ~
oksigen kurang lebih 20%.
Nitrogen sebagai gas tidak
merupakan signifikansi bagi indikator kualitas perairan (water
quality), tetapi dapat berperan nyata bila nitrogen berubah
menjadi nitrat. Halmana senyawa itu merupakan elemen
esensial bagi penyuburan perairan.
Menurut konstanta hukum Henry, kelarutan gas nitrogen di
dalam air bisa mencapai 15,1 mg/l pada suhu 20oC. Bila
nitrogen sebagai gas N2 daya reaksi kelarutan di perairan
bersifat rendah, tetapi apabila berbentuk gas NO2 dan NH3
reaktivitasnya termasuk tinggi atau cepat.
Gas nitrogen terlarut (N2) jarang digunakan dalam
proses-proses biologi karena hanya beberapa fitoplankton (
terutama Cyanophaecea atau alga hijau-biru) mampu
menggunakannya, yaitu mengubahnya menjadi senyawa
nitrogen organik yang diperlukan bagi pertumbuhan. Sebagian
besar nitrogen di lautan berbentuk nitrat (NO3) yang diperoleh
dari penguraian bahan organik di daratan, senyawa ini
terbentuk akibat dari bantuan nitrobakteri atau bakteri
pengurai nitrogen.
Nitrogen merupakan faktor pembatas yang utama di
perairan laut terbuka. Akan tetapi apabila terjadi kondisi
keterbatasan nitrogen yang ekstrim, mikro organisme sejenis
Trichodesmium dapat memanfaatkan nitrogen terlarut di
dalam perairan laut.
Di perairan Samudera Pasifik dan Atlantik, organisme
tersebut melakukan fiksasi nitrogen (nitrogen fixing) untuk
meningkatkan produktifitas primer sehingga melampaui batas
nitrat di perairan Pertukaran ini mengubah rasio karbon
terhadap nitrogen, fosfat dan besi pada fitoplankton (lihat
gambar 7.4). Kondisi ini juga memberikan sebuah mekanisme
yang efisien untuk mengekspor karbon dan elemen-elemen
yang menyertainya ke perairan laut dalam (deep sea). Adanya
elemen fosfor, besi dan lainnya akan mampu mengndalikan
kecepatan produktivitas primer di dalam air. Akan tetapi
~ 156 ~
penambahan nitrogen juga berpengaruh secara signifikan
terhadap siklus biogeokimia secara lokal maupun regional.
Karbon dioksida (CO2)
Karbon dioksida masuk ke biosfer bisa melalui
fotosintesis dari tumbuhan laut dan hasil penguraian karbon
berasal dari sel tumbuhan dan hewan.
Penguraian bahan
organik dapat menurunkan kandungan oksigen di air,
sebaliknya akan menaikan gas karbon dioksida di dalam
kolum air. Gas-gas itu bisa ke luar ke atmosfer.
Gas karbon dioksida di udara dapat berasal dari
berbagai sumber antara lain, hasil pembakaran fosil dan
buangan industri. Gas ini termasuk gas rumah kaca yang
sering dibicarakan keberadaannya di udara, karena dapat
mempengaruhi temperatur udara dan perubahan cuaca.
Memang belum ada penelitian yang detil menghitung berapa
besaran difusi karbon dioksida secara langsung ke air laut atau
berapa jumlah gas per luas persegi serapan fitoplankton di laut.
Namun demikian para ahli memprakirakan pelepasan
dan penyerapan karbon dioksida di udara mencapai
kesetimbangan pada masa pra-industri, emisi gas CO2
antropogenik meningkat secara drastis di atmosfir, tetapi laut
memiliki kemampuan menyerap gas rumah kaca itu. Dugaan
ahli sekitar 6 peta gram karbon per tahun (Pg C/Y) karbon
dioksida di lepaskan ke atmosfir akibat pembakaran bahan fosil
(1 peta gram= 1 gigaton= 1000 juta ton). Meningkatnya
konsentrasi karbon dioksida di atmosfir mengakibatkan
gradien tekanan parsial antara atmosfir dan laut mengalami
perubahan.
Kenaikan jumlah emisi gas rumahkaca ke atmosfer
berdampak signifikan pada kehidupan manusia dan kehidupan
di perairan laut, akibat perubahan cuaca (efek Elnino dan La
nina). Data Global Carbon Project (GCP) tahun 2007
melaporkan bahwa dari total emisi karbon global ke atmosfer
(9,1 Pg C per tahun, 1 Pg sama dengan 10 pangkat 15 gram atau 1
~ 157 ~
milyar ton) maka 26% diserap oleh lautan global, 29% oleh
daratan (hutan) dan sisanya terakumulasi di atmosfer (45%).
Dalam hal ini telah terjadi peningkatan akumulasi CO2 di
atmsofer, yaitu pada tahun 1960 berkisar 40% dan pada tahun
2008 meningkat 45%.
Gambar 7.4. Diagrama CO2 dan pCO2 di Permukaan Laut
Ketika karbon membutuhkan δ11Calkalin, δ13CKalsit, δ11N
dan akibat pengaruh suhu di permukaan (Andersen
Andersen dan Malahoff. 1977)
Diagrama pada gambar 7.4. menunjukan bahwa karbon
dioksida yang berada di udara dapat di serap oleh hayati laut
(alga) dalam ikatan δ11Calkalin, δ13CKalsit kemudian dibantu oleh hara
nitrogen. Disamping itu suhu permukaan laut berpengaruh pada
tingkat penyerapan karbon dioksida di laut.
~ 158 ~
Udara yang kering dan normal, kandungan gas karbon
dioksida hanya terdapat sejumlah 0,0314% dari total gas
keseluruhan di udara. Karena konsentrasi yang sangat kecil,
maka pada air murni (khusus air bebas alkalinitas)
kandungannya sangat rendah walaupun gas itu memiliki sifat
mudah larut kedalam air. Ironinya, karbon dioksida bebas yang
tinggi di dalam air akan menghambat pernafasan biota
perairan, bahkan dapat memberikan efek yang fatal, yaitu
kematian. Oleh karenanya disarankan kandungan gas ini tidak
boleh melebihi 25 ppm di dalam air. Hampir semua karbon
dioksida dalam air laut menyatu dengan air sebagai asam
karbonat dan produk disosiasi yang lain.
Sesungguhnya prinsip dasar sistem karbon dioksida
(CO2) di perairan laut adalah sebagai berikut:
(a)
CO2
saat
pertukaran gas udara/ perairan
“interface” keadaan di atmosfer ada dalam
setimbang dengan di perairan laut, jadi
CO2 (gas) ⇆ CO2 (terlarut)
(7.8)
(b)
Pembentukan hidrat dari CO2 terlarut, yaitu
CO2 + H2O ⇆ H2CO3
(7.9)
(c)
Asam karbonat berdisosiasi membentuk sebagai
berikut:
H2CO3 ⇆ HCO3¯ (ion bikarbonat)
(7.10)
HCO3¯ ⇆ H+ + CO32-(ion karbonat)
(7.11)
Kalau demikian sistem karbon dioksida di perairan
maka total karbon inorganik (∑CO2) adalah:
∑CO2 = c CO2 + c H2CO3 + c HCO3¯ + c CO3¯
~ 159 ~
(7.12)
Kemampuan kelarutan gas ini mengikuti kaidah pada
rumus 9.1 diatas. Sedang proses pembentukan sebagai bahan
penyangga derajat keasaman di perairan (buffer capacity) telah
di uraikan pada bab 6.
Walaupun konsentrasi gas ini relatif kecil di atmosfir
dibandingkan dengan gas-gas lainnya, tetapi laut mampu
menyerap karbon dioksida sebesar ± 2,2 peta gram per tahun
setara dengan emisi total karbon antropogenik. Kelarutan ini
gas karbon dioksida dari kegiatan antropogenik sangat
mempengaruhi pada reservoir karbon yang ada di laut.
Gas karbon dioksida mudah larut di dalam air dingin
dibandingkan dengan air hangat. Kelarutan gas meningkat
terhadap tekanan. Tekanan parsial (pCO2) pada lapisan
permukaan laut dan udara akan menentukan arah pertukaran
gas. Apabila pCO2 rendah akan menyerap karbon dioksida di
atmosfir. Sebaliknya apabila pCO2 tinggi akan melepaskan
karbon dioksida ke atmosfir.
Proses pertukaran ini juga
ditentukan oleh kandungan karbon anorganik terlarut
(Disolved inorganic carbon/ DIC) dan total alkalinitas. Bila DIC
semakin tinggi pCO2 permukaan laut akan meningkat. Tetapi
bila total alkalinitas semakin meningkat akan menyebabkan
penurunan pCO2 permukaan laut. Pasokan nutrient dari
daratan ( misalnya: sungai dan air run off) akan mempercepat
aktivitas proses fotosintesis yang di barengi oleh menurunnya
DIC. Namun demikian pasokan dari daratan juga membawa
DIC dan total alkalinitas yang memiliki dampak berbeda
terhadap pCO2 di perairan pesisir. Karbon dioksida di atmosfir
(udara) dan ditransfer ke dalam perairan laut (lihat gambar
7.4)
Alkalinitas total sangat penting dalam pembentukan
fisikokimia air laut dan merupakan faktor kritis yang berperan
terhadap proses kimia dan biologi di perairan laut. Burke dan
Atkinson (1988) memberikan beberapa alasan mengapa?
Alkalinitas merupakan faktor penting di perairan laut, yakni:
~ 160 ~
①
bahwa HCO3- dan CO32- adalah ion asam lemah
yang merupakan major anion di perairan laut,
dengan demikian memiliki kemampuan merubah
alkinitas total (HCO3- → CO32- ),
②
Adanya curah hujan menurunkan kadar kalsium
karbonat dalam alkalinitas total, sehingga
pengukuran alkalinitas total sama halnya dengan
mengukur kalsium dan karbon dioksida yang ada
dalam proses biogeokimia,
③
bahwa respirasi komunitas biologi dan netfotosintesis dapat merubah konsentrasi DIC,
halmana DIC suatu sampel air dapat diterah
dengan pengukuran pH dan alkalinitas total.
Hakekatnya, alkalinitas merupakan suatu faktor dalam
sistem karbon dioksida di perairan; seperti, terjadi perubahan
nilai alkalinitas akan mempengaruhi kesetimbangan karbon
dioksida di laut dan atmosfer serta kelarutan dan bentuk
karbonat biogenik. Jadi dapat dikatakan alkalinitas adalah
salah satu parameter yang digunakan untuk melihat siklus
karbon global di laut.
Seperti diuraikan di atas gas karbon dioksida di dalam
air laut sangat kecil, di permukaan hanya terdapat sekitar 1
atom karbon dari 200 yang berbentuk molekul CO2 terlarut,
tetapi di laut dalam bisa mencapai 3 atom dari 200 molekul
yang terlarut. Perubahan konsentrasi yang terlarut di dalam
air laut sangat di tentukan oleh aktivitas manusia
(antropogenik), makin besar aktivitas manusia membuang gas
karbon dioksida dan atau bahan organik maka peluang
kelarutan gas di perairan laut akan makin besar.
Kelarutan gas karbon dioksida di perairan laut dan
tawar sangat berbeda, gas karbon dioksida di laut mudah
terjadi pelarutan oleh karena adanya reaksi ikatan bikarbonat
dan karbonat, tetapi di perairan tawar yang kandungan
~ 161 ~
salinitasnya sangat rendah, yaitu <5 ‰ peluang kelarutan
kecil. Sebaliknya jika di dalam perairan terjadi perombakan
bahan organik dan memproduksi gas karbon dioksida, di
perairan tawar gas tersebut cepat terjadi penguapan ke udara,
tetapi di perairan laut gas tersebut akan diikat oleh air
membentuk ikatan karbonat dan bikarbonat .
Lapisan Campuran
Interface
ATMOSFIR
NUTRIEN
Permukaan Laut
CO2
CO2
NUTRIEN
Anorganik terlarut
Fitoplankton Kecil
Bakteri
Organik
Terlarut
Fitoplankton Besar
Bakteri
Zooplankton
T
Partikulat
Organik
THERMOHALINE
Partikulat organik
Organik terlarut
Bakteri
Remineralisasi
Organik terlarut
BENTHOS
Gambar 7.5 Mekanisme Kelarutan CO2 di Air Laut dan difusi
Dari atmosfir melalui interface.
Sumber: Rompas dkk (2009)
Gambar diatas memperlihatkan, bahwa gas karbon
dioksida masuk ke laut bisa melalui difusi langsung gas
tersebut kemudian bersenyawa dengan air membentuk ikatan
karbonat (ikatan senyawa ini kekuatannya relatif kurang).
Disamping itu bisa masuk melalui senyawa bahan organik
dalam hal ini bakteri akan berperan meluruhkan bahan-bahan
tersebut sehingga terbentuk gas karbon dioksida. Tetapi gas
~ 162 ~
ini tidak bebas terlepas ke udara karena di laut adanya senyawa
penyangga keasaman yang disebut sebagai karbonat dan
bikarbonat.
Senyawa karbonat dan bikarbonat ini yang berperan
penting menstabilkan reaksi keasaman di perairan laut, oleh
karenanya di laut memiliki daya penyangga yang tinggi (buffer
capacity), suatu indikasi yang dilihat, bahwa laut dalam
keadaan normal kedudukan derajat keasaman (pH) ada di atas
7.3, berbeda dengan perairan tawar, dalam keadaan normal pH
berada pada 6,4.
Fitoplankton mengambil nutrien dan karbon dioksida
melalui proses fotosintesis, dimana karbon dioksida yang
diserap oleh butir hijau daun, kemudian ditopang oleh
beberapa nutrien seperti nitrogen dan fosfat akan
pmemproduksi glukosa, zat ini merupakan produksi energi
pertama, oleh karenanya fitoplankton di sebut sebagai
komponen produktivias pertama. Laju pengambilan nutrien
disebut
kinerja
produktivitas
primer,
zooplankton
memanfaatkan fitoplankton (primary productivity) kemudian
bahan-bahan organik yang telah mati akan diurai (luruhkan)
oleh mikroorganisme (bakteri) membentuk senyawa amoniak
dan hidrogen sulfida.
Bahan organik yang dihasilkan melalui jejaring makanan
(food web) yang berada di bagian atas badan air laut (zona
diatas garis termoklin) dimanfaatkan oleh biota perairan,
bagian lainnya akan tenggelam ke dasar laut. Sebagian dari
karbon ini kemudian mengalami proses mineralisasi
(reminalisasi) menjadi karbon dioksida. Sebagian kecil lainnya
terkubur dalam sedimen di dasar laut atau samudera.
~ 163 ~
Gambar 7.6. Perombakan Bahan Organik di Dasar Perairan
Bahan organik yang tenggelam ke dasar lautan memiliki
peluang remineralisasi, membentuk senyawa Hidrogen Sulfida
(H2S), Nitrat, ferri dan ferro, mangan yang merupakan nutrien
bagi fitoplankton. Semua senyawa-senyawa ini dapat naik ke
permukaan apabila ada peristiwa upwelling (pengadukan ke
atas), dan peluang pembentukan karbon dioksida relatif kecil.
Adanya pengadukan ke atas akibat arus dan angin, senyawa
dalam bentuk gas seperti hidrogen sulfida dan amoniak cepat
menguap ke udara, tetapi bila terjadi gas karbon dioksida, gas
ini cepat terikat dalam senyawa karbonat dan bikarbonat di
dalam air laut. Oleh karenanya peluang pelepasan gas karbon
dioksida ke udara dari air laut dapat dikatakan tidak ada, kalau
pun ada peluang kecil sekali.
Hampir semua kawasan lautan, ketersediaan nutrient
berupa nitrat, fosfat dan silika sebagai pengendali aktifitas
biologi, contohnya di Samudera Pasifik utara, sub artik
(mintakat yang terletak diantara perbatasan lintang tengah ke
arah kutub utara atau lintang 55o – 60o utara) dan katulistiwa,
serta wilayah Samudera bagian selatan. Semua kawasan
~ 164 ~
memiliki karakteristik konsentrasi nutrien yang tinggi akan
tetapi kandungan klorofilnya rendah. Sehingga semua perairan
seperti itu diindikasikan kegiatan proses fotosintesis rendah.
Keselurahan wilayah laut ± 30% masuk ke dalam kategori
”nutrien tinggi-klorofil rendah” (High nutrient-low cholophyll).
Hal inilah yang membingungkan para ilmuan, perlu ada kajiankajian yang lebih mendalam, agar pertanyaan yang besar ini
dapat terjawab secara ilmiah.
Zat nitrat, fosfat dan silika merupakan zat hasil
degradasi bahan organik dan anorganik. Seperti fosfat lebih
banyak bersumber dari pebatuan ketimbang hasil uraian bahan
organik,
sebaliknya nitrat lebih banyak sebagai hasil
penguraian bahan organik ketimbang dari pebatuan. Kalau zat
silika merupakan hasil uraian bahan organik dan anorganik
berimbang di perairan, artinya zat tersebut di perairan tertentu
banyak disumbangkan oleh aktivitas vulkanik, tetapi di
perairan tertentu merupakan hasil uraian biota perairan,
seperti kerang-kerangan lebih dominan, atau ada di perairan
tertentu konsentrasinya 50% disumbang oleh bahan organik
dan sisanya berasal dari udara dan aktivitas vulkanik.
Hidrogen Sulfida dan Methan
Kelarutan gas hidrogen sulfida dan methan kandungnya
sangat sedikit (trace) dan pelarutannya dapat melalui tanah di
sepanjang pinggiran pantai ataupun melalui difusi dari
atmosfer ke permukaan air. Gas-gas itu merupakan reduksi
sulfat dan karbon dioksida.
Walaupun gas H2S tergolong sebagai gas yang
konsentrasi relatif kecil, tapi gas ini sangat berbahaya bagi
kehidupan biota diperairan.
Dalam jumlah sedikit bisa
mematikan ikan atau menghambat pertumbuhan. Demikian
juga gas methan, gas ini adalah hasil degradasi bahan organik
dan bisa juga bersumber dari perut bumi. Kedua gas ini
merupakan zat polutan yang berbahaya bagi kehidupan
organisme perairan.
~ 165 ~
Bahan organik baik yang berasal dari kondisi alamiah
maupun berasal dari antropogenik (limbah rumah tangga)
akan terjadi peluruhan (terurai) oleh adanya mikroorganisme
baik melalui tanah maupun di dalam air laut. Halmana
mikroorganisme mengoksidasi bahan organik tersebut dengan
memanfaatkan anion sulfat atau kelarutan karbon dioksida
sebagai penerima elektron (electron acceptors), alhasilnya
mereduksi sulfur sebagai H2S dan mereduksi karbon sebagai
CH4.
Kedua gas ini kurang menguntungkan bagi kualitas air,
tetapi dibalik itu kedua gas tersebut merupakan indikator
umum terhadap adanya pencemaran dari bahan organik.
Kehadiran gas-gas ini di perairan laut akan memberikan efek
toksik (racun) bagi organisme yang hidup di permukaan air,
Walaupun demikian kedua gas tersebut dapat hilang jika
adanya aerasi air atau turbulensi di perairan.
~ 166 ~
⑧
SEDIMEN DI LAUT
M
aterial berupa padatan dan larutan yang masuk
ke laut akan berakhir menjadi sedimen,
prosesnya disebut sedimentasi. Dalam hal ini
zat-zat atau material akan terlibat pada proses biologi maupun
kimia yang terjadi selama material itu tenggelam kedalaman
laut. Dengan demikian dapat didefinisikan sedimen laut
sebagai akumulasi dari mineral-mineral dan pecahan-pecahan
batuan yang bercampur dengan hancuran cangkang dan tulang
dari organisme laut serta beberapa partikel lain yang terbentuk
lewat proses kimia yang terjadi di laut.
Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi sedimen, zat
tersebut melayang-layang di dalam laut. Setelah mencapai
dasar lautpun , sedimen tidak diam tetapi sedimen akan
terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian
sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus
bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan tertimbun.
Terjadi reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut
sepanjang perjalannya ke dasar laut dan reaksi kimia tetap
berlangsung pengendapannya. Ketika air laut terperangkap di
antara butiran mineral reaksi kimia terjadi, apalagi proses
oksidasi terjadi,
seperti pada pebembentukan senyawa
ferromangan dari zat besi.
Untuk mengetahui bagaimana mekanisme pengendapan
material itu, seyogianya perlu kita ketahui bagaimana tipologi
dasar pantai serta pembentukan sedimen itu dalam konteks
samudera secara menyeluruh.
Tinjauan secara morfologi dasar laut (relief),
sesungguhnya dasar laut dikategorikan ke dalam tiga topologi
daerah, yaitu margin kontinen (continental margins), dasar
lembah-samudera( ocean-basin floor) dan punggung dasar laut
~ 167 ~
(mid-ocean ridge). Betuk dan gambaran umum
kawasan dasar laut dapat dilihat pada gambar 8.
Daratan
Punggung Dasar Samudera
Pantai
tipologi
Gunung
di dasar Laut
Kontinen
Margin
Dasar lembah samudera
Abisal
Palung
Gambar 8.1. Tipologi Dasar Samudera
Kontinen margin atau pinggiran benua seperti terlihat
pada gambar diatas, yaitu termasuk didalamnya landasan
kontinen (continental shelf), lereng benua (continental slope)
dan landasan berbukit (continental rise). Landasan kontinen
adalah wilayah laut yang dangkal di sepanjang pantai dengan
kedalaman kurang dari 200 meter, dengan kemiringan kira-kira
8,4% atau sekitar 0o7’ atau 2m/km. Landasan kontinen
merupakan dasar laut dangkal di sepanjang pantai dan menjadi
bagian dari daratan. Contohnya Landas kontinental benua
Eropa barat sepanjang 250 km kearah barat. Dangkalan sahul
yang merupakan bagian dari benua Australia dan Pulau Irian,
Landas kontinen dari Siberia kearah laut Arktik sejauh 100 km,
dan dangkalan Sunda yang merupakan bagian dari benua Asia
yang terletak antara Pulau Kalimantan, Jawa, dan Sumatera.
~ 168 ~
Lereng benua merupakan kelanjutan dari landas kontinen
dengan kemiringan antara 4% sampai 6%. Kedalaman lereng
benua lebih dari 200 meter. Daerah ini meluas dari patahan
beting sampai pada kedalaman rata-rata 2 km. Daerahnya
curam dengan kemiringan rata-rata 1o – 35o atau 1:2 sampai 1:40,
mulai dari tepi dangkalan benua kearah laut lepas dan
mencakup luas ± 13% dari luas permukaan bumi,
kedalamannya antara 200 – 1800 meter dan terbentuk sebagai
hasil sedimentasi dan sesar. Sedang landasan berbukit adalah
transisi antara benua dengan samudera, mempunyai
kemiringan 1:50 sampai 1:800 dengan rata-rata 1:150. Tanjakan
continental merupakan tempat pengumpulan sedimen yang
berasal dari daratan.
Banyak di belahan dunia terdapat jurang di bagian tepi
samudera (submarine canyon) membentuk lereng benua dan
landasan berbukit/tanjakan yang palungnya bentuk seperti
bentuk penampang lembah (V- shape valley) disebut sebagai
“trench” dan kalau penampang bentuk seperti U disebut
“trough”. Jurang di tepian samudera atau “submarine canyon”
merupakan hal menarik untuk diketahui, karena transpor
material dari landasan/paparan ke laut sampai ke laut dalam,
melalui saluran jurang tersebut. Bentuk saluran pada jurang
tepian samudera yang berada di kawasan paparan benua
bentuk dan arah alur pemasukan material di sajikan pada
gambar 8.2 . Material yang berasal dari daratan masuk ke laut
yang kemudian oleh adanya arus air yang kuat akhirnya bahanbahan itu terangkut ke tengah samudera di bagian dasar
mengendap menjadi sedimen. Tipe dan struktur “Submarine
Canyon”, kalau di Indonesia banyak terdapat di laut Jawa
karena merupakan daerah paparan Sunda. Dalam gambar
terlihat ada panah merah bagian tengah, halitu
memperlihatkan bagaimana lumpur dari daratan mengalir ke
landasan kontinen dan masuk ke samudera.
~ 169 ~
Gambar 8.2. Bentuk “Submarine Canyon”
Paparan tepian yang berbentuk “trench” (palung)
banyak terdapat di samudera Pasifik (Chester, 1990)
mengelilingi lembah samudera. Diperkirakan panjangnya
sampai 4500 km, dan biasa lebarnya berukuran sedang, yaitu
< 100 km. Landas tepian ini berhubungan erat dengan daratan,
terkadang pembentuknya sebagai akibat dari gerak tektonik di
lautan. Umumnya palung terjadi dasar laut sangat dalam dan
berdinding curam, yang semakin ke dasar semakin menyempit.
Palung ini berperan penting sebagai penangkap material dari
kawasan landas kontinen ke arah laut, biasanya palung ini bisa
membentuk landasan berbukit (continental rise) jika telah
terjadi penimbunan sedimen.
Dasar lembah samudera (the ocean basin floor) letaknya
berhubungan dengan margin kontinen. Kalau di samudera
Hindia, Atlantik dan Pasifik utara dasar lautnya banyak
ditemui paparan abisal. Di paparan daerah ini umumnya
lapisan sedimen di dasar laut sangat tebal bisa mencapai > 1000
m, halmana material yang berasal dari margin kontinen di
transport ke daeah abisal oleh suatu gerakan arus yang kuat,
dimana arus itu membawa material dengan kekeruhan yang
tinggi sehingga makin bertambah waktu terbentuklah suatu
lapisan dasar laut yang tebal, itulah disebut sedimen. Jadi,
material yang berasal dari margin kontinen dipindahkan ke
dataran abisal membentuk lapisan tebal bisa juga berasal dari
daratan dan dihantar oleh arus dasar sampai ke curam abisal.
Sedimen yang terendam pada bagian bibir abisal itu, umumnya
~ 170 ~
material itu melalui daerah “hemi-pelagic” , yaitu suatu daerah
di badan air dibawah daerah pelagik.
Intinya lapisan yang ada di bibir abisal merupakan
tanggul penahan sedimen yang akan masuk ke lubuk abisal. Di
samudera Atlantik dan Hndia tanggul penahan itu banyak di
temui tetapi di samudera Pasifik relatif sedikit. Apabila
material didaerah telah berlimpah akan masuk ke daerah
palung abisal oleh adanya gerakan arus. Palung abisal adalah
dasar laut sangat dalam dan berdinding curam, yang semakin
ke dasar semakin menyempit. Palung sempit dan tidak terlalu
curam disebut
“trench” (lihat gambar 8.1). Gundukan di
daerah abisal dapat membentuk bukit atau gunung kecil di
dasar laut yang puncaknya tidak muncul di permukaan laut,
biasanya wilayah ini hampir 80% menutupi dasar laut di
beberapa Samudera .
Disamping itu didasar laut ditemui “seamounts” yaitu
gunung di dasar laut dengan lereng yang curam dan berpuncak
runcing serta kemungkinan mempunyai tinggi sampai 1 km
atau lebih tetapi tidak sampai ke permukaan laut.
Pembentukan gundukan tanah tersebut oleh adanya gerakan
magma di dasar laut, gunung didasar laut ini banyak terdapat
di samudera Pasifik.
Punggung didasar samudera atau “mid oceanic ridge”,
merupakan punggungan yang terbentuk akibat tenaga tektonik
vertikal di tengah samudera sehingga bentuknya memanjang .
Bentuk punggungan tersebut adalah wajah dipermukaan bumi,
seperti wilayah daratan provinsi Sulawesi utara terdapat
banyak bukit dan pengunungan dan hampir semua wilayah
Indonesia timur ditemui kawasan pergunungan, gambaran
seperti itu sama halnya wajah didasar samudera Atlantik,
Antartika, Hindia dan Pasifik. Bahkan di dasar samudera
Pasifik ada “mid oceanic ridge” (lihat gambar 8.3) mencakup
luas lebih dari 60.000 km, serta beberapa punggung dasar laut
ketinggiannya dari dasar laut bisa mencapai puncak 3.000
meter. Memang punggung dasar samudera sangat kompleks di
~ 171 ~
belahan bumi, bahkan ada dapat memisahkan dasar samudera
oleh adanya punggung yang tinggi oleh karena itu sering
disebut wajah wilayah pararel di dasar samudera.
Bertolak dari teori pembentukan punggung dasar laut
yaitu adanya gerakan sel-sel dari mantel bumi yang bersifat
panas keluar dari dasar samudera, secara perlahan-lahan
membentuk bukit kecil dan dibagian ujung menjadi retah oleh
adanya gerakan magma, akhirnya jumlah material tanah yang
panas makin bertambah sehingga membentuk gundukan tanah
yang banyak. Gambar 8.3 memperlihatkan bagaimana gerakan
magma membentuk punggung dasar laut .
Pulau
Bukitan
Tengah Laut
Gunung
Paparan
Abisal
di Bawah Laut
Magma
Gambar 8.3. Dasar Samudera Dengan Pembentukan
“Mid-ocean ridge”
Material tanah di bagian puncak punggung berpindah
tempat ke samping sehingga membentuk “trench”. Makin
bertambah waktu material tanah dari tanah dibawah dasar laut
naik kerpermukaan dasar laut oleh adanya gaya magma
akhirnya membukit sehingga akan bergeser ke daerah
sekitarnya, gundukan tanah ini bisa membentuk gunung laut
~ 172 ~
(seamount, lihat gambar). Biasanya lapisan tanah yang
terbentuk itu menjadikan kerak yang baru yang bersifat keras.
Menurut para ahli geofisika bahwa kecepatan
pembentuk lapisan keras itu sangat lambat hanya beberapa
centimeter dalam setahun, walaupun demikian penimbunan
material berasal dari tanah dibawah dasar laut berjalan terus
sepanjang tahun. Suatu dugaan punggung dasar laut di
samudera Atlantik, samudera India bisa terbentuk 1-2,5 cm per
tahun, sedang di bagian timur samudera Pasifik bisa mencapai
5 cm setiap tahun (Chester dan Jickells, 2012).
Hasil kajian ahli gempa mengatakan lembah samudera
umurnya relatif masih mudah ditinjau dari waktu geologi,
kemudian melalui pembuktian dengan data sedimen dari
proyek pengeboran dasar laut (DSDP/Deep Sea Drilling
Project)
memperlihatkan
bahwa
pembentuk
lapisan
keraksamudera terjadi pada miliaran tahun lalu diperkirakan
pada abad pertengahan “jurassic”, dan pembentukan memang
paten akibat dari gaya tektonik membentuk lempengan/plate
teknonik (Chester dan Jickells, 2012). Sampai saat ini telah
diakui permukaan bumi setebal 100-150 km mudah bergerak
dan terus bergeser, di bumi kita ada 6-7 patahan bumi yang
asli, olehnya tidak dapat dipungkiri gempa bumi sering terjadi.
Lempengan patahan bumi memiliki batas masingmasing, hakekatnya jenis batasan itu menurut Jones (1978) ada
tiga jenis yang diketahui, yakni:
①
Batas konservatif, halmana setiap lempengan
tidak terjadi gesekan atau merusak satu sama
lain.
②
Batas konstruktif, dimana lempengan itu aktif
bergerak membentuk bukit baru sehingga
menjadi lempengan baru. Oleh demikian batas
konstruktif adalah sumber lempengan (crust).
③
Batas destruktisf, halmana batas lempengan itu
bergerak dan menabrak lempengan lain, sehingga
batasan lempengan bisa membentuk “trench” dan
~ 173 ~
pulau atau kumpulan gunung mudah. Jadi adanya
gerakan maka pinggiran lempengan yang rusak
akan tenggelam masuk kedalam “trench” dan
kembali ke mantel bumi. Proses tenggelamnya
material lempengan yang rusak merupakan hal
yang menarik karena tanah yang kembali ke
mantel bumi adalah sedimen yang akan
terakumulasi di dasar laut. Implikasinya ke proses
geokimia telah terjadi penumpukan sedimen di
dasar laut, kemudian ditambahnya material yang
tenggelam dari badan air maka terjadi suatu
siklus geokimia di laut.
Prinsip dasar yang harus kita ketahui bahwa sedimen
adalah material bahan padat, berasal dari batuan yang
mengalami proses pelapukan; peluluhan (disintegration);
pengangkutan oleh air, angin dan gaya gravitasi; serta
pengendapan atau terkumpul oleh proses atau agen alam
sehingga membentuk lapisan-lapisan di permukaan bumi yang
padat atau tidak terkonsolidasi (Bates dan Jackson, 1987).
Sedang pernyataan Boggs (1986) bahwa sedimen permukaan
dasar laut umumnya tersusun oleh: material biogenik yang
berasal dari organisme; material autigenik hasil proses kimiawi
laut (seperti glaukonit, garam, fosfor); material residual;
material sisa pengendapan sebelumnya; dan material detritus
sebagai hasil erosi asal daratan (seperti kerikil, pasir, lanau dan
lempung)
Hakekatnya semua samudera di dunia ditutupi oleh
sedimen, entah bersumber dari material di permukaan air yang
tenggelam atau akibat hasil destruktif lempengan dan erosi
gunung-gunung di dasar laut. Lapisan sedimen itu sangat
bervariasi tergantung lokasinya, seperti: di samudera Pasifik
terdapat lapisan sedimen rata-rata setebal < 1 km, dan di
samudera Atlantik di temui rata-rata > 1 km. Tetapi secara
rata-rata ketebalan sedimen di semua samudera diperkirakan
500 meter (Chester, 1990). Intinya laut merupakan wadah
~ 174 ~
penampung partikel baik berasal dari atmosfer yang tenggelam
ke dasar laut, material yang dihantar oleh aliran sungai, dan
atau aliran air “run off”.
Material-material tersebut
mengandung pelbagai elemen kimia masuk ke samudera dan
ditambah lagi elemen kimia bersumber dari batuan di dasar
laut maka pertukaran reaksi kimia di dasar laut merupakan
suatu proses geokimia.
Prinsipnya sedimen yang di jumpai di dasar laut dapat
berasal dari beberapa sumber yaitu :
1. Lithogeneuos sedimen yaitu sedimen yang berasal dari
erosi pantai dan material hasil erosi daerah up land. Material
ini dapat sampai ke dasar laut melalui proses mekanik, yaitu
tertransport oleh arus sungai dan atau arus laut dan akan
terendapkan jika energi tertrransforkan telah melemah.
2. Biogeneuos sedimen yaitu sedimen yang bersumber dari
sisa-sisa organisme yang hidup seperti cangkang dan rangka
biota laut serta bahan-bahan organik yang mengalami
dekomposisi.
3. Hidreogenous sedimen yaitu sedimen yang terbentuk
karena adanya reaksi kimia di dalam air laut dan membentuk
partikel yang tidak larut dalam air laut sehingga akan
tenggelam ke dasar laut, sebagai contoh dan sedimen jenis ini
adalah magnetit, phosphorit dan glaukonit.
4. Cosmogenous sedimen yaitu sedimen yang bersal dari
berbagai sumber dan masuk ke laut melalui jalur media
udara/angin. Sedimen jenis ini dapat bersumber dari luar
angkasa, aktifitas gunung api atau berbagai partikel darat yang
terbawa angin. Material yang berasal dari luar angkasa
merupakan sisa-sisa meteorik yang meledak di atmosfir dan
jatuh di laut. Sedimen yang bersal dari letusan gunung berapi
dapat berukuran halus berupa debu volkanin, atau berupa
fragmen-fragmen aglomerat. Sedangkan sedimen yang bersal
~ 175 ~
dari partikel di darat dan terbawa angin banyak terjadi pada
daerah kering dimana proses eolian dominan namun demikian
dapat juga terjadi pada daerah sub tropis saat musim kering
dan angin bertiup kuat. Dalam hal ini umumnya sedimen tidak
dalam jumlah yang dominan dibandingkan sumber-sumber
yang lain.
Secara singkat, sedimen di lembah dasar laut yang
berasal dari aktivitas hidrotermal kaya akan elemen logam,
dapat membentuk batuan keras di lapisan dasar laut sehingga
menjadi gundukan tanah membentuk gunung dan tersebar di
samudera. Punggung gunung tersebut biasanya telah
terakumulasi dengan karbonat sedimen sehingga sebaran
gundukan gunung di samudera mengandung tanah liat dan
sedimen karbonat. Biasanya pembentukan kumpulan
gundukan tanah diatur atau dikontrol oleh faktor kimia, fisika
dan biologi. Kegiatan pembentukan gundukan sehingga
menjadi suatu lempengan akan berbeda dari satu lokasi ke
lokasi lain dan sangat tergantung pada lingkungannya. Dengan
demikian lapisan sedimen di dasar laut sangat bervariasi, bisa
berbentuk landasan yang mudah hancur, ukurannya berubah,
bentukannya yang curam dan lempengan berukuran
memanjang sehingga mngendalikan sirkulasi air di laut dalam
yang akhirnya berdampak pada pembentukan sedimen.
Telah diketahui banyak arus berasal dari perairan yang
dangkal membawa material dan kelarutan pelbagai elemen di
masuk ke perairan dalam yang akhirnya menyusun deposit
sedimen sehingga bisa membentuk lapisan sedimen tebal,
biasanya lapisan tersebut tersusun dalam waktu 120 juta tahun
(Davies & Gorsline, 1976). Selama periode itu penyusunan
sedimen di lingkungan laut umumnya bahan-bahan itu kaya
akan karbonat dan silika serta membentuk suatu lapisan
tertentu, tetapi dalam suatu waktu terjadi kekurangan unsur
itu akibat dari pengikisan oleh arus atau adanya reaksi kimia
yang berlangsung di dasar perairan. Juga kemungkinan hilang
senyawa itu dari sedimen yang paten oleh terjadi evolusi
~ 176 ~
tektonik di lembah dasar laut. Perubahan sedimen didasar
perairan bisa juga di sebabkan oleh adanya perubahan cuaca
secara global, bahan-bahan itu terangkut ke badan air laut dan
terjadi interaksi kimia di perairan, terkadang dengan adanya
suatu gerakan arus yang kuat bahan-bahan itu naik sampai ke
permukaan air (peristiwa up welling), mengakibatkan perairan
itu subur, proses produksi primer di laut makin cepat terjadi.
Banyak kejadian di laut terjadi kematian ikan secara massal,
karena akibat proses up welling, banyak gas-gas beracun di
dasar laut naik ke badan laut bahkan sampai ke permukaan,
misalnya tahun 2012 terjadi kematian ikan secara massal di
perairan Bali, hasil kajian oleh Badan Penelitian dan
Pengembangan KKP, ternyata oleh adanya proses
pengangkutan material dari dasar laut bersamaan dengan gasgas beracun seperti amoniak dan asam sulfida ke daerah
permukaan air.
Sedimen di laut tersusun oleh pelbagai senyawa yang
ada dilingkungan,
namun demikian secara pasti
penyusunannya di daerah dekat pantai dan di daerah laut
dalam akan berbeda. Dengan demikian sedimen di laut dapat
di kategorikan ke dalam dua rezim yang berbeda, yaitu:
①
Sedimen dekat pantai, sedimen di rezim ini
banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan dari daratan.
Secara umum aspek fisika, kimia dan biologi deposit
material di kawasan estuari, dune, teluk, lagun, delta,
daerah yang terkena pasang, bagian depan kontinen dan
pinggiran pantai sangat bervariasi dan sangat berbeda
dengan rezim di laut dalam. Sesungguhnya Sedimen di
daerah pingiran pantai rentan terkena dampak oleh dua
kekuatan yaitu alamiah dan antropogenik.
②
Sedimen laut dalam, dalam rezim ini biasanya
berada pada kedalaman > 500 meter, material-material
yang terdeposit dikendalikan oleh material berasal dari
~ 177 ~
daratan juga. Oleh karena ada aktivitas biologi, dan
terjadi penenggelaman material berasal dari atmosfer
ke permukaan air dan langsung kedasar perairan.
Diperkirakan hampir 50% sedimen di laut dalam
berasal dari atmosfer masuk melalui permukaan laut,
sifat kimia material itu sangat berbeda dengan sedimen
dari daratan. Disamping itu sedimen di laut dalam
bisa juga berasal dari aktivitas gunung berapi. Dengan
demikian karakteristik sedimen di rezim laut dalam
bisa dilihat dari ukuran material dan kecepatan
akumulasinya.
(a)
Sedimen di laut dengan fraksinya berasal dari daratan
umumnya lebih didominasi oleh tanah lempung dengan
ukurannya kecil yakni sedimen berdiameter <2 µm.
Tanah lempung memiliki daya viskositas tinggi sehingga
tanah ini tidak mudah menjadi ukuran pertikel kecil
seperti pasir. Umumnya tanah lempung mudah
bersenyawa dengan air, dalam larutan kental tanah ini
berwarna kecoklatan. Sedimen tersebut kurang-lebih 6070% mengandung material “non-biogenic”, sangat
berbeda dengan sedimen yang ada di daerah dekat pantai,
kalau sedimen di dekat pantai terdapat pelbagai variasi
ukuran dan lebih didominasi bahan “biogenic”.
Umumnya komponen fraksi tanah liat yang padat
berukuran kecil banyak terdapat di laut, seperti disajikan
pada tabel 8.1.
~ 178 ~
Tabel 8.1. Sedimen Laut Berukuran <2µm dan
Suspensi Material dari Sungai
Tipe sedimen
Lokasi
Sedimen pelagis
Samudera Atlantik
Samudera Pasifik
Samudera India
Pantai Atlantik di US
Dasar jurang perairan Meksiko
Dasar jurang perairan california
Landasan Sahul Australia
33 buah sungai di US
Sedimen pinggiran
pantai
Partikel dari
sungai
Berat (%) fraksi
<2µm
58
61
64
2
27
19
72
37
Sumber: Chester (1990)
(b)
Kecepatan akumulasi sedimen di laut biasanya dilakukan
dengan pengukuran menggunakan radio aktif seperti 14C,
3
H atau dari uranium lainnya, dan melihat fosil yang ada.
Perbedaan data di beberapa samudera di sajikan pada tabel
8.2 berikut.
Tabel 8.2. Kecepatan Akumulasi Bahan dari Daratan
Di Sedimen Laut Dalam
3
Wilayah Samudera Rata-rata akumulasi (mm/10 Tahun)
a
b
Pasifik Selatan
0,45
1,0
Pasifik Utara
1,5
5,8
Atlantik selatan
1,9
6,0
Atlantik Utara
1,8
5,7
Samudera India
4,4
Keterangan: a) data dari Goldberg & Griffin (1964)
b) data dari Ku dkk (1968)
Walaupun kedua sumber data pada tabel 8.2 agak
berbeda, karena metoda pendekatan agak berbeda. Namun
demikian simpulan yang dapat ditarik dari tabel itu, bahwa
kecepatan akumulasi material menjadi sedimen di laut dalam
~ 179 ~
relatif lambat dimana < 10 mm di daerah pelagis bisa mencapai
1000 tahun.
Hakekatnya kecepatan akumulasi membentuk sedimen
di laut dalam tergantung pada kondisi lingkungan, menurut
beberapa sumber pustaka akumulasi tertinggi biasanya di
landasan “hemi pelagic” yakni > 10 mm per 1000 tahun.
Kemudian adanya perpindahan ke arah daerah pelagik, maka
kecepatan makin berkurang yakni 0,5 mm per 1000 tahun
seperti yang terjadi di lembah Atlantik tengah. Walupun
demikian menurut Ku dkk, (1968) terkadang
nilai
3
kecepatannya agak naik ( 1 mm/10 tahun) di daerah yang agak
jauh, dan prakiraan rata-rata kecepatan akumulasi sedimen
non karbonat di laut dalam bisa mencapai 2 mm per 1000
tahun.
Alhasil beberapa ahli mengatakan material
yang
terakumulasi di sedimen laut dalam kecepatan rata-rata hanya
beberapa milimeter per tahun, tetapi bertolak belakang
dengan di daerah dekat pantai, dimana akumulasi dapat
terjadi beberapa milimeter dalam pertahun dan deposit
terbentuk ada dalam bentuk non-karbonat.
Bagaimana Batuan Sedimen Terbentuk ?
Batuan sedimen terbentuk dari batuan-batuan yang
telah ada sebelumnya oleh
kekuatan-kekuatan seperti
pelapukan, gaya-gaya air, pengikisan-pengikisan, angin, arus
serta proses litifikasi, diagnesis, dan transportasi, maka batuan
ini terendapkan di tempat-tempat yang relatif lebih rendah
letaknya, seperti di laut
Mula-mula sedimen merupakan butiran, partikel dan
batuan-batuan lunak, akan tetapi karena proses diagnesis
sehingga batuan-batuan lunak tadi akan menjadi keras. Proses
diagenesis adalah proses yang menyebabkan perubahan pada
sediment selama terpendamkan dan terlitifikasikan. Pengertian
litifikasi adalah proses perubahan material sedimen menjadi
batuan sedimen yang kompak.
~ 180 ~
Proses diagenesis ini dapat merupakan kompaksi yaitu
pemadatan karena tekanan lapisan di atas atau proses
sedimentasi yaitu perekatan bahan-bahan lepas tadi menjadi
batuan keras oleh senyawa kimia misalnya senyawa kapur atau
silisium. Sebagian batuan sedimen terbentuk di dalam
samudera. Beberapa zat ini mengendap secara langsung oleh
reaksi-reaksi kimia misalnya garam (CaSO4.nH2O), adapula
yang diendapkan dengan pertolongan jasad-jasad, baik
tumbuhan maupun hewan. Batuan endapan yang terbentuk
secara kimiawi hakekatnya pengikat material oleh reaksi kimia
sehingga membentuk padatan keras.
Prinsip dasar proses diagnesis memiliki tahapantahapan sebagai berikut:
a)
Eoldiagenesis, tahap ini merupakan tahap awal
dari
pengendapan
sedimen.
Dimana
terjadi
pembebanan, yang menyebabkan adanya kompaksi
pada tiap lapisan sedimennya. Pada tahap ini proses
kompaksi mendominasi;
b)
Mesodiagenesis = earlydiagenesis, tahap
mesogenesis ini terjadi setelah melewati tahap
eoldiagenesis. Pada tahap ini, kompaksi yang sangat
kuat disertai dengan proses peleburan, menyebabkan
kenaikan suhu dan tekanan yang memicu terjadinya
“dissolution”/pelarutan. Pada tahap ini proses yang
mendominasi adalah pelarutan.
c)
Latelydiagenesis, Jika proses peleburan berjalan
terus maka terjadilah butiran sedimen, biasanya disebut
latelydigenesis. Apabila kompaksi terus berlanjut,
hingga pada suhu 150 derajat celcius. Proses diagenesis
akan berhenti dan digantikan menjadi proses
metamorfisme.
d)
Telodiagenesis,
tahapan ini terjadi setelah
tahap mesodiagenesis terjadi pengangkatan, dalam
proses pengangkatan ini, keberadaan berbagai jenis air
(air meteorik, air tanah, dll) mempengaruhi susunan
~ 181 ~
komposisi kimia batuan, sehingga memungkinkan
terjadinya authigenesis (pengisian mineral baru).
Lapisan horizontal yang ada di batuan sedimen disebut
“bedding”. Bedding terbentuk akibat pengendapan dari partikelpartikel yang terangkut oleh air atau angin. Kata sedimen
sebenanrya berasal dari bahas latin ”sedimentum” yang
artinya endapan. Batas-batas lapisan yang ada di batuan
sedimen adalah bidang lemah yang ada pada batuan dimana
batu bisa pecah dan fluida bisa mengalir. Selama susunan
lapisan belum berubah ataupun terbalik maka lapisan termuda
berada di atas dan lapisan tertua berada di bawah. Prinsip
tersebut dikenal sebagai prinsip superposition. Susunan lapisan
tersebut adalah dasar dari skala waktu stratigrafi atau skala
waktu pengendapan.
Pengamatan pertama atas fenomena ini dilakukan oleh
Nicolaus Steno di tahun 1669. Beliau mengajukan beberapa
prinsip berkaitan dengan fenomena tersebut. Prinsip-prinsip
itu adalah prinsip horizontality, superposition, dan original
continuity. Prinsip “horizontality” menjelaskan bahwa semula
batuan sedimen diendapkan dalam posisi horizontal.
Pembentuk batuan sedimen adalah partikel-partikel atau
sering disebut sedimen yang terbentuk akibat hancuran batuan
yang telah ada sebelumnya seperti batuan beku, batuan
metamorf, dan juga batuan sedimen sendiri.
Disamping sedimen-sedimen di atas, adapula sejenis
batuan sejenis batuan endapan yang sebagian besar
mengandung bahan-bahan tidak larut, misalnya endapan puing
pada
lereng
pegunungan-pegunungan
sebagai
hasil
penghancuran batuan-batuan yang diserang oleh pelapukan,
penyinaran matahari, ataupun kikisan angin. Batuan yang
demikian disebut eluvium dan alluvium jika dihanyutkan oleh
air, sifat utama dari batuan sedimen adalah berlapis-lapis dan
pada awalnya diendapkan secara mendatar. Lapisan-lapisan ini
tebalnya berbeda-beda dari beberapa centimeter sampai
beberapa meter.
~ 182 ~
Di dekat muara sungai endapan-endapan itu pada
umumnya tebal, sedang semakin ke laut endapan-endapan ini
akan menjadi tipis dan akhirnya hilang. Di dekat pantai,
endapan-endapan itu biasanya merupakan butir-butir besar
sedangkan ke arah laut kita temukan butir yang lebih halus
lagi. Dengan demikian dapat katakan lapisan-lapisan dalam
sedimen itu disebabkan oleh beda butir batuan yang
diendapkan. Biasanya di dekat pantai akan ditemukan
batupasir, lebih ke arah laut batupasir ini berganti dengan
batulempung, dan lebih dalam lagi terjadi pembentukkan
batugamping (Katili dan Marks).
Ada dua tipe sedimen yaitu: detritus dan kimiawi.
Detritus terdiri dari partikel-partikel padat hasil dari pelapukan
mekanis. Sedimen kimiawi terdiri dari mineral sebagai hasil
kristalisasi larutan inorganik atau organik.
Partikel sedimen diklasifikasikan menurut ukuran butir,
gravel (termasuk bolder, cobble dan pebble), pasir, lanau, dan
lempung. Adanya gerakan air partikel/butiran berasal dari
daerah kontinental, pelagis dan abrasi di bukitan yang ada
didasar laut di transpor ke tempat lain akan membentuk
lempengan tipis, makin bertambah waktu makin menebal.
Sedang proses litifikasi dari sedimen menjadi batuan sedimen
terjadi melalui kompaksi dan sementasi. Intinya, batuan
sedimen dapat dibagi menjadi 3 golongan yakni:
1. Batuan sedimen klastik, terbentuk dari fragmen batuan
lain ataupun mineral
2. Batuan sedimen kimiawi, terbentuk karena penguapan
dan pelapukan
3. Batuan sedimen organik,
terbentuk dari sisa-sisa
kehidupan hewan/ tumbuhan
Batuan Sedimen Klastik terbentuk akibat pengendapan
kembali detritus atau pecahan-pecahan batuan asal, dapat
berupa batuan beku, sedimen atau metamorf.
Berbagai macam proses yang terjadi sebelum terbentuknya
batuan sedimen klastik, diantaranya : (1). Pelapukan
~ 183 ~
(Weathering) yaitu proses yang merubah ukuran dan
komposisi dari batuan dan terjadi dekat permukaan bumi
akibat perbedaan temperatur dan iklim; (2) Erosi yaitu proses
yang menyebabkan hilangnya partikel (clasts) batuan dari
permukaannya oleh tenaga eksogen (air, angin, atau es):
(3). Deposisi yaitu proses akhir dari transportasi yang
menempatkan partikel batuan di atas permukaan bumi, dan
membentuk fondasi untuk proses sedimentasi:
(4). Kompaksi yaitu proses penyatuan pada material-material
sedimen sehingga jarak antar material semakin dekat dan
menyebabkan sedimen dapat menjadi kompak, dan ke (5)
Litifikasi yaitu terjadinya proses sementasi atau perekatan
pada material-material yang telah mengalami proses kompaksi
membentuk batuan sedimen
Berdasarkan ukuran partikel dari sedimen klastik,
sedimen-sedimen dapat dibedakan sebagai berikut.
Tabel 8.3. Klasifikasi ukuran partikel
Di sedimen klastik.
Nama Partikel
Boulder/Bongkah
Cobble/Kerakal
Pebble/Kerikil
Sand/Pasir
Silt/Lanau
Clay/Lempung
Ukuran
>256 mm
64 – 256 mm
2 – 64 mm
1/16 – 2mm
1/256 – 1/16 mm
<1/256 mm
Sedimen
Gravel
Gravel
Gravel
Sand
Silt
Clay
Sumber: dikutip dari pelbagai pustaka
~ 184 ~
Nama batu
Konglomerat dan
Breksi (tergantung
kebundaran partikel)
Sandstone
Batu lanau
Batu lempung
Pembentukan sedimen di laut dalam
Proses pembentukan sedimen di laut dalam ada
kaitannya dengan jalannya transpor material dan distribusi ke
pelbagai tempat di samudera. Secara sederhana pemindahan
material ke samudera tergantung pada situasi yang ada, intinya
ada lima tipe mekanisme pemindahan sedimen di laut dalam.
Gravitasi arus, kecepatan pemindahan material ke
samudera tergantung pada daerah landasannya, apakah agak
miring, sedikit terjal dan bagaimana gaya aliran arusnya.
Namun demikian arus dengan kekeruhan tinggi agak lebih
cepat ke arah samudera terbuka. Arus yang keruh membawa
suspensi sedimen membentuk lapisan di laut dalam, ada yang
bersifat sementara, kecepatan arus tinggi dan kepadatan
arusnya. Umumnya suspensi yang merupakan kekeruhan itu
akan di transport ke laut dalam melalui “submarine canyon”
(ilsutrasinya dapat dilihat pada gambar 8.2). Biasanya bahanbahan itu akan melapisi pasir didasar laut sehingga terbentuk
lapisan baru sebagai lapisan “interbed”. Jadi kekeruhan yang
diangkut oleh arus akan membentuk sedimen di daerah
landasan berbukit (continental rise) dan lapisan abisal di lantai
laut dalam.
Arus di dasar laut, Intinya arus di dasar lautan
signifikan bagi pergerakan sedimen yang ada di dasar laut
dalam. Arus yang membawa material berukuran butiran kecil
dalam jumlah yang banyak sehingga terlihat kekeruhan tinggi,
material itu akan mengendap di dasar laut membentuk
tumpukan dan gundukan di dasar laut. Arus di dasar laut
biasanya sangat kuat di daerah bagian barat lautan, dan oleh
adanya gerakan arus ini peluang menyusun sedimen sebagai
lapisan di dasar laut mudah terjadi.
Arus bagian tengah di laut, arus ini merupakan arus
yang paten di laut, biasanya membawa berbagai jenis material
masuk ke lautan. Seperti material yang berasal dari pinggiran
~ 185 ~
pantai, suspensi material sedimen dari lembah di dasar laut
dan komponen hydrotermal. Bermula pemindahan material
berasal dari lembah bagian pinggir kemudian diangkut oleh
arus bagian tengah yang akhirnya material itu tiba di bagian
tengah laut membentuk gundukan di dasar laut.
Arus permukaan dan dekat dengan permukaan,
Umumnya arus permukaan dan arus dekat permukaan
membawa material berbagai bentuk yang bersumber dari
atmosfer, melalui “run-off”, butiran kecil dari daratan. Material
tersebut diangkut oleh arus ke tengah lautan yang akhirnya
tenggelam, ada pula material dalam perjalanan tenggelam di
daerah sekitar pinggiran pantai.
Pemindahan material secara vertikal,
karena
samudera itu begitu luas maka proses pemindahan material
dapat juga dikendalikan oleh material karbon yaitu melalui
proses biologi atau reaksi kimia atau lebih dikenal sebagai
“global ocean flux”. Dalam proses ini, material yang terangkut
tadi akan berasosiasi di laut masuk ke siklus biogeokimia yang
akhirnya membentuk material berbentuk karbon. Kemudian
senyawa karbon berbentuk partikel akan tenggelam ke dasar
perairan yang akhirnya bahan-bahan ini akan memegang peran
penting dalam proses kimiawi di laut. Namun demikian
sebagian material itu akan terangkut oleh arus bagian dalam
laut di transpor ke tengah samudera yang akhirnya akan
tenggelam di laut dalam.
Bertolak dari perbedaan transpor material seperti uraian
diatas, dalam kenyataan ada perbedaan vektor transpor dalam
rangkah pemindahan material, yakni: (1) pindahnya bahan itu
berasal dari pinggiran tumpukan gunung di dasar; (2) adanya
pengikisan di bagian permukaan dasar laut (lateral sea-bed); (3)
pindahnya bahan di bagian tengah laut; (4) pemindahan bahan
di permukaan air dan ke (5) pemindahan terjadi secara vertikal
(tenggelam atau naik kepermukaan akibat gerakan arus).
Kesemuan material yang masuk ke samudera akan menyusun
lapisan di atas dasar lautan, biasanya lapisan ini merupakan
~ 186 ~
media interaksi kimia dan proses biologi di sistem lingkungan
dasar laut.
Hakekatnya, material yang telah masuk ke laut, entah
melalui pelbagai alur pemindahan pasti akan berinteraksi
dengan lingkungan samudera, yang perlu diperhatikan adalah
komposisi kimia yang ada di sedimen dasar laut. Interaksi
kimia di dasar laut ada beberapa pertimbangan, yakni:
➊
Material padatan berasal dari daratan/kontinen
mengandung pelbagai kimia, dan begitu bahan-bahan
itu ke laut maka terjadilah percampuran komposisinya
dan tersebar jauh ke laut.
➋
Pasti pemindahan material ke laut tergantung
pada variasi kecepatan sesuai dengan mekanisme
transpor.
➌
Hal yang menarik lagi ketarikan relatif dari dasar
laut dan partikel yang tenggelam, yang umumnya
komposisi kimia di sedimen laut dalam adalah “non
biogenous”. Mengapa komposisi sedimen di laut dalam
berbentuk lebih dominan nir-biologi, ada beberapa
alasan antara lain; (1) sesungguhnya material sampah
yang membentuk gundukan di dasar laut ukurannya
tidak tentu dan miskin akan logam, umumnya
pemindahan itu melalui permukaan melewati zona
pantai, ke (2) biasanya material ke badan air ada
berbentuk partikel dan kelarutan yang menyerap
senyawa dari air laut dan tenggelam ke dasar membawa
beberapa elemen kecil (trace element) sehingga
menambah elemen di dasar, dimana material itu tidak
diikat oleh material di dasar lautan.
Prinsip dasar bahwa material yang ditranspor ke laut
bisa melalui 3 mekanisme, yaitu:
①
“Suspended load” mekanisme transpor dimana partikel
tersebut dibawa bersama-sama dengan air secara keseluruhan,
ukuran partikel bergantung dari kepadatan mereka dan
~ 187 ~
kecepatan arus, dimana kecepatan arus yang lebih tinggi dapat
membawa lebih besar dan partikel yang lebih padat.
②
“Bed load”merupakan mekanisme transpor dimana
partikel yang lebih kasar dan padat bergerak sepanjang dasar
perairan baik secara menggelinding, bergeser maupun
meloncat-loncat karena pengaruh tumbukan diantara partikel
dan turbulensi tetapi selalu kembali ke dasar. Mekanisme
transpor dapat berubah dari suspended loadmenjadi bed
loaddan sebaliknya karena adanya perubahan kecepatan aliran.
③
“Dissolve load” dimana berbagai ion masuk ke perairan
melalui proses weathering, mekanisme transpor ini tidak
terlihat (invisible) dimana ion-ion tersebut larut di dalam air.
Dissolve loadsebagian besar terdiri dari HCO-3(ion
bikarbonat), Ca+2, SO4-2, Cl-, Na+, Mg+2, dan K+. Ion ini
akhirnya terbawa ke lautan dan umumnya menyusun
kadungan garam di lautan.
Klasifikasi sedimen di laut secara umum.
Sebelum masuk ke pembahasan jenis sedimen di laut,
perlu diketahui pola gerak pemindahan sedimen dalam aliran
air dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
 Sedimen merayap (bed load) yaitu material yang
terangkut secara menggeser atau menggelinding di
dasar aliran.
 Sedimen loncat (saltation load) yaitu material yang
meloncat-loncat bertumpu pada dasar aliran.
 Sedimen melayang (suspended load) yaitu material yang
terbawa arus dengan cara melayang-layang dalam air
Uraian-uraian diatas tentang relief dasar laut dan pola gerak
sedimen merupakan gambaran bagi kita bagaimana bentuk
sedimen di laut. Secara garis besar bentuk sedimen di laut
adalah sebagai berikut:
~ 188 ~
1. Sedimen dekat pantai
Sedimen pantai merupakan deposit material berasal dari
pinggiran kontinen yang mengandung pelbagai jenis kimia di
lingkungan, mulai dari senyawa kimia yang sifatnya toksik
sampai nir-toksik. Sediment itu seperti batu kerikil, pasir,
endapan tanah dan lumpur semua material itu tersusun
membentuk komponen di daerah biogenous, agak becek dan
lapisan yang agak keras. Di daerah mengandung unsur biologi
(biogenous)
terdapat konsentrasi karbon organik yang
tersusun pada sedimen, dan di saat tertentu karbon itu bisa
berkurang.
Secara umum sedimen di kawasan pantai banyak di
pengaruhi oleh daratan sehingga bentuk butiran partikel
seperti diuraikan dalam skala Wenworth, ilustrasi seperti
berikut ini.
Lempung keras
0%
100%
Lempung
Lempung
agak
berpasir
Lanau
mendekati
Lempung
Lempung,
Lanau dan
Pasir
0%
Pasir
Pasir
sedikit
lanau
Lanau agak
berpasir
100%
Pasir berbatu
Lanau
100%
0%
Endapan padat
Gambar 8.4. Bentuk Sedimen Didasarkan Skala
Wenworth
Bertolak dari gambar diatas terlihat sedimen berbentuk
lempung bisa menjadi endapan yang padat, dan endapan padat
bisa menjadi lapisan pasir berbatu.
Proses ini dapat
~ 189 ~
berlangsung oleh adanya reaksi kimia dan biologi di dasar
perairan.
Secara fisik sedimen dapat dilihat teksturnya, yakni ada
yang ukuran butir (grain size), bentuk pertikel (partikel shape),
struktur sedimen, komposisi mineral serta kandungan biota.
Dari berbagai sifat fisik tersebut ukuran butir menjadi sangat
penting karena umumnya menjadi dasar dalam penamaan
sedimen yang bersangkutan serta membantu analisa proses
pengendapan karena ukuran butir berhubungan erat dengan
dinamika transportasi dan deposisi.
Intinya di sedimen pantai mengandung material dengan
ukuran bervariasi, yakni dalam bentuk partikel kecil dan
butiran yang padat dengan energi rendah di lingkungan dan
pasir dengan energi tinggi di lingkungan. Sedimen yang
berbentuk agak berbecek lumpur kecepatan akumulasi
membentuk sedimen relatif tinggi, yakni lebih besar beberapa
milimeter per tahun. Biasanya akumulasi ini merupakan tipe
deposit, tetapi deposit ini kurang mengandung karbonat.
2. Sedimen laut dalam
Bertolak dari beberapa mekanisme transpor material ke
samudera seperti yang diuraikan diatas, pada tipe sedimen
yang bersumber dari pelagik dan hemi-pelagik akan terdeposit
dan membentuk lapisan sedimen di dasar laut.
Sedimen hemi-pelagik laut dalam
Sesungguhnya sedimen ini bersumber dari daerah
pinggiran kontinen termasuk lapisan dataran di kawasan
abisal. Material sebagai sedimen yang bersumber dari daerah
daratan pada pinggiran pantai dan juga dari dasar perairan
membuat airnya keruh, diangkut oleh arus ke wilayah hemipelagik. Material yang melayang di perairan mengandung
banyak senyawa anorganik akan tenggelam ke bagian dasar
laut menyusun suatu lapisan. Lapisan yang terbentuk itu
memiliki struktur tanahnya meliputi tanah lempung yang agak
berlumpur, tanah berasal dari daratan kutub, lumpur yang
~ 190 ~
keruh dan pasir mineral lapisan ini di sebut sebagai sedimen
hemi-pelagik. Semua sedimen hemi-pelagik berisikan variasi
biologi membentuk suatu ekosistem tersendiri di dasar laut.
Kecepatan material menyusun sedimen hemi-pelagik di laut
dalam bisa mencapai 10 mm per 1000 tahun, dan terkadang
sedimen itu berisi 1-5% bahan karbon organik. Apabila tanah
lempung yang ada di hemi-pelagik memperlihatkan warna
abu-abu kehijauan serta ada lapisan oksidasi berwarna merah
dibawahnya, hal itu menunjukan ada pengurangan kondisi di
sedimen tersbut.
Sedimen pelagik laut dalam
Sedimen yang terbentuk di dasar laut dalam bersumber
dari permukaan samudera. Terkadang sedimen itu tidak ada di
dasar laut akibat efektivitas gerakan arus dasar laut, menurut
Davies dan Laughton (1972) sedimen bersumber dari daerah
pelagik turunnya ke dasar perairan disaat tidak ada arus.
Material yang tenggelam ke dasar seperti gelembung yang
jatuh secara vertikal akan menumpuk dan menutup dasar laut.
Jadi intinya sedimen pelagik akan ke dasar jatuh secara
vertikal, berbeda dengan sedimen hemi-pelagik dimana pada
hemi-pelagik sedimennya bisa berasal dari dasar perairan naik
ke atas oleh adanya gerakan arus dalam.
Sedimen Pelagik Laut mengandung bahan anorganik
Sedimen yang berukuran < 2 µm diperkirakan sebagian
besar mengandung fraksi non-biogenous (±60%), sedang
fraksi biogenous hanya < 30%. Biasanya sedimen itu berasal
dari permukaan air berupa partikel tanah liat, secara ringkas
sedimen tersebut dikatakan sebagai tanah lempung dilaut
dalam.
Material berasal dari daratan tersuspensi di perairan
dengan periode waktu panjang umumnya dalam waktu 1000
tahun hanya beberapa milimeter, sedimen ini sebagai sedimen
pelagik. Sebetulnya sedimen ini banyak mengandung unsur
karbon organik, tetapi proses penenggalaman material ini ke
dasar perairan terjadilah peluruhan disaat awal sedimen berada
~ 191 ~
dipermukaan air, sehingga begitu masuk ke dasar laut bahan
karbon organik hanya tertinggal 0,1 – 0,2 %.
Proses
pengendapan bahan tanah lempung biasanya disertai dengan
proses oksidasi karena umumnya tanah lempung mengandung
unsur besi, disaat unsur besi menjadi “ferri” akan terlihat air
berwarna merah, oleh karenanya sering disebut sebagai tanah
lempung merah. Beberapa ahli mengatakan tanah lempung
berwarna merah ini merupakan komponen utama penyusun
sedimen bersifat tanah keras dan bersifat tanah lunak.
Sedimen laut dalam bersumber pelagik mengandung
unsur biologi.
Biasanya sedimen ini mengandung > 30% biogenous,
banyak ahli mengatakan sebagai “ooze” (lumpur cair yang
halus) dan sedimen ini terbagi kedalam tipe “calcareous” dan
“siliceous”.
Tipe
“calcareous oozes” umumnya berisi >30%
karbonat skletal yang menunjukan material sedimen
mengandung banyak organisme sampai pada “formaminiferal
ooze” (terkadang disebut “globigerina ooze” jika sesudah semua
berbentuk “foram”), “nanofissil ooze” (atau coccolith ooze) dan
“pteropod ooze”.
a.
Globigeina ooze, Globigerina adalah dari salah satu
group organisme yang bersel tunggal yang dikenal sebagai
poraminifera. Sisa-sisa organisme ini membentuk ooze yang
menutupi 35% bagian permukaan dasar laut yang kebanyakan
dijumpai pada daerah-daerah panas di dunia.
b.
Coccolith ooze, sedimen mengandung organisme
yang ukuran kecil, berasal dari kerang-kerangan, organisme
berkulit keras.
c.
Pteropod ooze, Pteropod adalah golongan mollusca
yang bersifat sebgai plankton dimana tubuh mereka meiliki
kulit yang mengandung zat kapur. Ooze ini menutupi hanya
1% permukaan laut walaupun terkadang mereka sudah
tercampur dengan ooze yang dari jenis lain.
~ 192 ~
Tipe “siliceous ooze” pada tipe ini material yang
tertinggal ± > 30% mengandung silika yang tergolong pada
“diatom ooze”, “radiolaria ooze” dan juga red “clay ooze”.
a.
Diatom ooze, diatom adalah golongan tumbuhan
yang bersel tunggal memiliki kulit yang mengandung silica,
ooze yang terbentuk menutupi 9% dasar laut. Mereka banyak
dijumpai pada daerah dingin yang bersalinitas rendah seperti
daerah samudera Hindia pada bagian paling selatan.
b.
Radiolaria ooze, merupakan golongan protozoa
bersel satu yang endapannya menutupi 1-2% permukaan dasar
laut.
c.
Red Clay ooze, bentuk ooze ini mempunyai
kandungan silica yang tinggi, tapi asalnya sampai saat ini
belum diketahui. Diduga butiran halus ooze yang terdapat di
laut dalam berasal dari sedimen biogenous tetapi mengalami
perubahan yang besar di dalam laut karena pengaruh tinggi
tekanan dan konsentrasi asam karbon. Endapan tanah
lempung merah (red clay) ini banyak dijumpai di samudera
Hindia bagian timur.
Sebaran Sedimen di Laut
Sedimentasi adalah proses pengendapan sedimen,
termasuk semua aktivitas yang mempengaruhi dan merubah
sedimen menjadi timbunan sedimen atau batuan sedimen.
Batuan sedimen merupakan batuan yang terbentuk dari
akumulasi material hasil rombakan batuan yang sudah ada
sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun biologi, yang
diendapkan pada cekungan sedimentasi yang kemudian
mengalami pembatuan sehingga membentuk lapisan tertentu
di dasar laut. Berbagai jenis sedimen yang telah diuraikan
diatas (seperti: sedimen lithogeneous, hydrogenous, siliceous,
calcareous, terrigenous, glacial) secara ilustrasi sebaran
sedimen laut itu di perairan dunia dapat dilihat pada gambar
8.5. dan gambar 8.6.
~ 193 ~
Gambar 8.5. Sebaran sedimen laut secara umum
di perairan Dunia
Sumber: Davies dan Gorsline, (1976).
Suatu penelitian oseanografi oleh HMS Challenger
dikoordinasi seorang peneliti berkewargaan Kanada yaitu John
Murray di tahun 1876 merupakan penyelidikan awal tentang
sedimen laut dalam. Sedimen laut dalam dapat di bagi menjadi
dua yaitu:
Sedimen Biogenik Pelagis, dengan menggunakan
mikroskop terlihat bahwa sedimen biogenik terdiri atas
berbagai struktur halus dan kompleks. Kebanyakan sedimen
itu berupa sisa-sisa fitoplankton dan zooplankton laut yang
terdeposit di dasar laut. Pembentukan sedimen ini tergantung
pada beberapa faktor seperti kimia air dan kedalaman serta
jumlah produksi primer di permukaan air laut. Jadi,keberadan
mikrofil dalam sedimen laut dapat digunakan untuk
menentukan kedalaman air dan produktifitas permukaan laut
pada zaman dulu.
~ 194 ~
Sedimen Terigen Pelagis, hampir semua sedimen
terigen di lingkungan pelagis terdiri atas materi-materi yang
berukuran sangat kecil. Ada dua cara materi tersebut sampai ke
lingkungan pelagis. Pertama dengan bantuan arus turbiditas
dan aliran grafitasi. Kedua melalui gerakan es yaitu materi
glasial yang dibawa oleh bongkahan es ke laut lepas dan
mencair. Bongkahan es besar yang mengapung, bongkahan es
kecil dan pasir dapat ditemukan pada sedimen pelagis yang
berjarak beberapa ratus kilometer dari daerah gletser atau
tempat asalnya.
Bertolak dari gambar diatas, ternyata perairan laut di
dunia, material yang terdeposit di permukaan dasar laut lebih
didominasi oleh batuan lempung dan “calcareous oozes”.
Kemudian sedimen “calcareous oozes” lebih banyak menutupi
daerah permukaan dasar laut di kedalaman < 3-4 km. Sedimen
yang berwujud “siliceous oozes” ada di seputar lintang tinggi
yakni di Antartika dan Pasifik utara (daerah ini juga banyak
diatom oozes selain siliceous oozes) serta banyak ditemui di
samudera pasifik daerah katulistiwa (radiolarian oozes). Kalau
timbunan sedimen glacial di temui di pinggiran Antartika dan
di Atlantik Utara.
Dalam gambar yang tidak diberi warna adalah sedimen
pinggiran pantai atau margin laut. Sedimen yang terdeposit
daerah ini lebih banyak di pengaruhi dari daratan.
Sedimen lithogenous banyak ditemui di daerah Pasifik
utara, sedang bentuk sedimen hydrogenous banyak ditemui di
daerah Pasifik selatan.
~ 195 ~
Gambar 8.6 Sebaran Sedimen di Laut Dalam
Sumber: Chester dan Jickells (2012)
Beberapa peneliti Indonesia telah melakukan penelitian
tentang sebaran sedimen di permukaan dasar laut secara
terpisah-pisah berdasarkan lokasi kajian, seperti: Helfinalis
peneliti dari Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, melakukan
penelitian sedimen di perairan laut Jawa. Alhasilnya, endapan
sedimen di permukaan dasar hanya beberapa sentimeter
berwarna coklat kekuningan, hal itu memberi indikasi suplai
sedimen dari daratan melalui sungai cukup tinggi. Endapan
sedimen di dasar perairan sekitar Kalimantan selatan yang
dekat dengan daratan ditemukan endapan lumpur yang encer
di permukaan dengan warna coklat dan di lapisan bawahnya
lanau lumpuran. Kemudian Sebaran suspensi permukaan
berkisar antara 0.018 gr/l terendah ditemukan di sebelah
Selatan Pulau kalimantan hingga 0.053 gr/l tertinggi di sebelah
barat dari pulau Kalimantan selatan. Sebaran suspensi di
kedalaman perairan bagian tengah berkisar antara 0.023 gr/l
terendah di sebelah barat Pancel hingga 0.051 gr/l tertinggi
yang tersebar di sebelah barat dari pulau Kalimantan
~ 196 ~
selatan. Sebaran suspensi di kedalaman perairan bagian dasar
berkisar antara 0.022 gr/l terendah yang didapatkan disebelah
barat daya dari pulau Kalimantan selatan hingga 0.051 gr/l
tertinggi yang tersebar di sebelah barat dari pulau Kalimantan
selatan. (gambar 8.7)
Gambar 8.7. Sebaran suspensi di permukaan dasar
perairan laut Jawa tengah dan
Kalimantan selatan, September 2004
Hasil penelitian Isnaniawardhani (2012) di perairan
Madura bagian utara ditemui sedimen dipermukaan dasar laut
terdiri dari lempung, lempung-lanauan dan lanau-pasiran, yang
umumnya ditemui pecahan cangkang mikroorganisme.
Kemudian penelitian di perairan laut Paya, kabupaten Karimun
~ 197 ~
Provinsi Kepulauan Riau, dilakukan oleh Rifardi (2012),
ternyata sebaran sedimen di permukaan dasar laut di temui
tekstur lanau, lumpur dan perpasir dengan pelbagai ukuran
(lihat gambar 8.8).
Gambar 8.8. Sebaran Sedimen di Permukaan Dasar Laut
Bebrapa peneliti telah melakukan kajian tentang
foraminifera sebagai bagian bahan yang tersusun di dasar laut
(biostratifikasi), seperti: Loeblich dan Tappan (1994) telah
melakukan riset taksonomi foraminifera di paparan Sahul dan
Laut Timor, dimana mereka temui ada 946 spesies foraminera
di sedimen. Kemudian
Natsir dan Rubiman (2010)
mengidentifikasi 37 spesies foraminifera bentik di Laut Arafura
~ 198 ~
pada kedalaman antara 29 dan 341 m. Sedang di Teluk Ambon
oleh Natsir (2010) berhasil menemukan 61 spesies foraminifera
bentik dari 29 sampel sedimen dasar laut pada kedalaman 2650m. Untuk perairan teluk Tomini, dilaporkan oleh
Tri Dewi dan Hanafi (2013) bahwa foraminifera di sedimen
didominasi oleh foraminifera plangtonik (>90%), seperti
Globorotalia menardii, Orbulina universa, Globigerinoides ruber
dan lain-lain sebagai penciri sedimen laut dalam. Di sisi lain,
foraminifera bentik ditemukan dalam jumlah sedikit (<10%)
yang diwakili oleh Cibicidoides wuellerstorfi, Ceratobulimina
pacifica, Pyrgo sp., Bolivinita quadralatera, Uvigerina peregrina.
Dengan demikian penelitian tentang sedimen di dasar laut
dalam dekade terakhir ini di Indonesia makin berkembang.
Komposisi Kimia di Sedimen Laut
Akhirnya material yang masuk ke laut akan tenggelam
ke dasar laut, tetapi tidak berujung pada penimbunan saja
namun berjalannya waktu terjadi pemindahan oleh adanya
arus, atau bahkan melalui proses siklus geokimia di lingkungan
laut.
Dalam suatu proses sedimentasi, material yang masuk
ke laut berakhir menjadi sedimen. Dalam hal ini zat yang ada
terlibat proses biologi dan kimia yang terjadi sepanjang
kedalaman laut. Sebelum mencapai dasar laut dan menjadi
sedimen, zat tersebut melayang-layang di dalam laut. Setelah
mencapai dasar laut, sedimen tidak diam tetapi sedimen akan
terganggu ketika hewan laut dalam mencari makan. Sebagian
sedimen mengalami erosi dan tersuspensi kembali oleh arus
bawah sebelum kemudian jatuh kembali dan terendap. Terjadi
reaksi kimia antara butir-butir mineral dan air laut sepanjang
perjalanannya ke dasar laut dan reaksi tetap berlangsung
penimbunan, yaitu ketika air laut terperangkap di antara
butiran mineral.
Proses pengendapan material (partikel dan larutan)
umumnya akan membentuk batuan sedimen (lapisan sedimen
~ 199 ~
yang padat). Batuan sedimen (batuan reservoir) adalah suatu
batuan yang terbentuk dari hasil akumulasi partikel silikat
(terigen atau klastik) dan alokem (non-klastik) yang
tertransportasikan oleh gravitasi, angin, air, atau es dan melalui
presipitasi pada larutan cair.
Partikel
(sedimen)
klastik
terbentuk
akibat
pengendapan kembali detritus atau pecahan-pecahan batuan
asal, dapat berupa batuan beku, sedimen atau metamorf.
Berbagai macam proses yang terjadi sebelum terbentuknya
batuan sedimen klastik, diantaranya: : ➊. Pelapukan
(Weathering) yaitu proses yang merubah ukuran dan
komposisi dari batuan, halmana proses itu terjadi pada
permukaan bumi akibat perbedaan temperatur dan iklim.
➋. Erosi yaitu proses yang menyebabkan hilangnya partikel
(clasts) batuan dari permukaannya oleh tenaga eksogen (air,
angin, atau es). ➌. Deposisi yaitu proses akhir dari transportasi
yang menempatkan partikel-partikel di permukaan bumi, dan
membentuk
fondasi
untuk
proses
sedimentasi.
➍. Kompaksi yaitu proses penyatuan pada material-material
sedimen sehingga jarak antar material semakin dekat dan
menyebabkan
sedimen
dapat
menjadi
kompak.
➎. Litifikasi yaitu terjadinya proses sementasi atau perekatan
pada material-material yang telah mengalami proses kompaksi
membentuk batuan sedimen.
Pada prinsipnya batuan sedimen disusun oleh material
sebagai berikut : (1) fragmen silikat dan butiran yang bersosiasi
dengannya, (2) material hasil presipitasi kimia dan biokimia,
contohnya senyawa karbonat (kimia dan biokimia klastik) (3)
fragmen allochem dari material yang terpresipitasi lebih awal.
Ahli geologi sering menyebut “fragmen silikat” adalah
detritus atau material terigeneous (terigen), termasuk di
dalamnya: gravel, pasir, silt, dan lempung hasil rombakan
material silikat atau batuan. Kalau fragmen
allochem
merupakan fragmen yang terbentuk lebih awal hasil prespitasi
(peluruhan) kimia atau biokimia, misalnya material karbonat
~ 200 ~
berupa fosil cangkang ,
non skeletal, grain (karbonat
rombakan) seperti: oolit, ooid, pisoid, peloid, dan sebagainya.
Semua proses sedimentasi sampai terbentuk batuan sedimen
akan melibatkan reaksi kimia yang kompleks, sehingga tidak
bisa dipungkiri sedimen mengandung pelbagai elemen kimia.
Pengetahuan tentang komposisi kimia yang tersimpan
pada sedimen merupakan data dasar dalam mengsintesa
pelbagai reaksi kimia yang akan terjadi di perairan. Untuk itu
dari berbagai sumber hasil riset ilmiah yang dilakukan oleh
para ilmuan disajikan pada tabel 8.4.
Tabel diatas memperlihatkan data kompilasi dari
pelbagai sumber material, baik dari kontinen, udara maupun
partikel dari sungai, dimana data itu menunjukan tipe sedimen
laut secara global, seperti lumpur tepian, lempung laut dalam
dan deposit karbonat laut dalam. Tabel berikut (table 8.5)
memperlihatkan komposisi elemen secara umum di sedimen
utama di laut dalam.
~ 201 ~
Tabel 8.4 Komposisi elemen di sedimen laut dan beberapa material di daerah daratan (µg g-1)
Elemen
Ag
Al
As
Au
B
Ba
Br
Ca
Cd
Ce
Co
Cr
Cs
Cu
Er
Eu
Fe
Ga
Ge
Gd
Hf
Batuan
daratan
0,07
67300
7,9
0,01
65
448
4
45000
0,2
56
13
71
3,6
32
3,7
1,2
35000
16
1,5
6,5
5
Tanah daratan
0,05
71000
6
0,001
10
500
10
15000
0,35
50
6
70
4
30
2
1
40000
20
x
4
---
Material
sungai
0,07
94000
5
0,05
70
600
5
21500
1
95
20
100
6
100
3
1,5
48000
25
--5
6
Partikel
debu
--82000
----------------23
79
--47
----48000
---------
~ 202 ~
Lumpur
tepian
--84000
5
--------29000
----13
60
--50
----65000
---------
Lempung
laut dalam
0,1
95000
13
0,003
220
1500
100
10000
0,23
100
55
100
5
200
2,7
1,5
60000
20
1,2
7,8
4,5
Karbonat laut
dalam
--20000
1,0
--55
190
70
312400
0,23
35
7
11
0,4
50
1,5
0,6
9000
13
0,3
3,8
0,41
Ho
In
K
La
Li
Lu
Mg
Mn
Mo
Na
Nd
Ni
P
Pb
Pr
Rb
Se
Sb
Sc
Si
Sm
Sn
Sr
Ta
Tb
Th
1,6
0,1
24000
41
42
0,45
16400
720
1,7
14200
37
49
610
16
9,6
112
0,05
0,9
10
275000
7,1
2
278
0,8
1,08
9,3
0,6
--14000
40
25
0,40
5000
1000
1,2
5000
35
50
800
35
--150
0,01
1
7
330000
4,5
0,1
250
2
0,7
9
1
--20000
45
25
0,5
11800
1050
3
5300
35
90
1150
100
8
100
--2,5
18
285000
7,0
--150
1,2
1
14
----20000
--------865
1,8
5100
--73
--52
-------------------------
~ 203 ~
----25000
--79
--21000
850
1
40000
--35
550
22
--------12
250000
--2
160
-------
1,0
0,08
25000
45
45
0,5
18000
6000
8
40000
40
200
1400
200
9
110
4,5
0,8
20
283000
7,0
1,5
250
1
1
10
0,8
0,02
2900
10
5
0,5
--1000
3
20000
14
35
350
9
3,3
10
0,5
0,15
2
32000
3,8
0,x
2000
0,x
0,6
---
Ti
Tm
U
V
Y
Yb
Zn
Zr
3800
0,5
3
97
33
3,5
127
165
5000
0,6
2
90
40
--90
300
5600
0,4
3
170
30
3,5
250
---
5700
----120
----75
---
5000
----145
----92
240
5700
0,4
2
150
32
3
120
150
770
0,1
--20
42
1,5
35
20
Sumber: Data dari laporan Martin & Vhitfield( 1983); Murphy ( 1985) dan Vadepohl (1960)
disitasi oleh Chester dan Jickells (2012)
~ 204 ~
Tabel 8.5. Komposisi Zat Kimia di Sedimen Laut Dalam
( % berat oksidasi)
Senyawa Calcareous Lempung Siliceous
Rerata
lithogeneous
Samudera
SiO2
26,96
55,34
63,91
42,72
TiO2
0,38
0,84
0,65
0,59
Al2O3
7,97
17,84
13,30
12,29
Fe2O3
3,00
7,04
5,66
4,89
FeO
0,87
1,13
0,67
0,94
MnO
0,33
0,48
0,50
0,41
CaO
0,30
0,93
0,75
0,60
MgO
1,29
3,42
1,95
2,18
Na2O
0,80
1,53
0,94
1,10
K2O
1,48
3,26
1,90
2,10
P2O3
0,15
0,14
0,27
0,16
H2O
3,91
6,54
7,13
5,35
CaCO3
50,09
0,79
1,09
24,87
MgCO3
2,16
0,83
1,04
1,51
C. organik
0,31
0,24
0,22
0,27
N. organik
--0,016
0,016
0,015
Total
100
100
100
100
∑ Fe2O3
3,89
8,23
6,42
--Sumber : El Wakeel dan Riley (1961)
Ukuran berat (%) dikalkulasi dari luas tutupan sedimen di
dasar laut (calcareous, 48,7%; lithogeneous, 37,8% dan
siliceous, 13,5%).
Kalau melihat table di atas, ternyata sedimen di
samudera elemen CaCO3 , SiO2 dan Al2O3 mendominasi pada
komposisi kimia di batuan sedimen.
Dalam table 8.6,
memperlihatkan komposisi trace elemen yang terdeposit di
laut dalam.
~ 205 ~
Tabel 8.6. Konsentrasi Trace Elemen yang Tersimpan di Laut Dalam
Trace
elemen
Lumpur
dipantai
Karbonat Lempung
laut
laut dalam
dalam
Atlantik
Cr
100
11
86
V
130
20
140
Ga
19
13
21
Cu
48
30
130
Ni
55
30
79
Co
13
7
38
Pb
20
9
65
Zn
95
35
130
Mn
850
1000
4000
Fe
69900
9000
82000
Sumber: Chester dan Jickells (2012)
Lempung
laut dalam
Pasifik
77
130
19
570
293
116
162
--12500
65000
~ 206 ~
Sedimen
di bukitan
dasar laut
55
450
--730
430
105
--380
60000
180000
Nodule Ferromanganese
10
590
17
3300
5700
3400
1500
3500
220000
140580
Tabel diatas menunjukan bahwa elemen Fe dan Mn
mendominasi pada pelbagai jenis sedimen seperti: lumpur di
pantai, lempung laut dalam, karbonat laut dalam, sedimen di
bukitan dasar laut serta bongkahan (nodule) ferro-manganese
di dasar laut dan tanah di dasar laut.
Seluruh table disajikan diatas memperlihatkan secara
umum komposisi kimia yang terdeposit (tersimpan) di sedimen
laut, dan hal itu memperlihatkan secara global bagaimana
keadaan geokimia di sedimen laut serta merupakan data dasar
dalam mengestimasi kandungan kimia di perairan, termasuk
elemen kecilnya (trace-element).
Intinya mineral yang ada pada lempung, biogenous
karbonat dan opal (sedimen banyak pecahan kulit organisme),
komposisi kimianya di kendalikan oleh sedimen penyusun
mineral itu. Bertolak dari komposisi mineral ini, maka terjadi
pelbagai interaksi kimia sehingga membentuk pelbagai jenis
sedimen, seperti: tipe lempung, tipe “carbonat oozes” dan tipe
“siliceous oozes”. Jika dilihat rerata dari ketiga table diatas
dapat disimpulkan bahwa unsur kimia aluminium
terkonsentrasi pada lempung, kalau elemen kalsium terdapat
dalam sedimen karbonat, sedang unsur silicon terkonsentrasi
pada “siliceous oozes”. Kemudian pada table 8.5 terlihat ada
unsur Mn dan Fe masuk sebagai elemen utama di sedimen laut
dalam, walaupun unsur-unsur itu merupakan trace elemen
karena kedua unsur itu sangat penting sebagai agen larutan
logam.
Didasarkan pada tabel 8.6 terlihat kecenderungan naik
jumlah dan sebaran trace elemen di sedimen laut dalam,
bertolak dari table itu dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a)
Secara umum, tipe sedimen karbonat sangat
miskin trace elemen jika dibandingkan pada
sedimen lempung, kecuali unsur Sr.
(b)
Kandungan trace elemen seperti Cr, V dan Ga di
lumpur pantai relatif sama jumlahnya dengan
yang ada pada lempung laut dalam.
~ 207 ~
(c)
Agak berbeda dengan kandungan Mn, Cu, Ni dan
Pb, dimana relatif tinggi di daerah lempung laut
dalam,
dibandingkan yang dikandung oleh
lumpur di pantai.
(d)
Terjadi perbedaan trace elemen yang ada di
lumpur laut dalam di daerah Pasifik jumlahnya
lebih besar ketimbang yang terkandung di
Atlantik.
(e)
Kandungan trace elemen yang ada pada nodul
(bongkahan) ferromanganese konsentrasinya
tinggi dibandingkan dengan konsentrasi pada
lempung di laut dalam, apalagi konsentrasi Cr, V
dan Ga sangat sedikit di lempung laut dalam.
(f)
Sedimen di bukitan dasar laut aktif memproduksi
metalliferous, seperti Fe, Mn, Cu, Zn, dan Co dan
kandungnya relatif tinggi ketimbang yang
dikandung pada lempung laut dalam.
(g)
Kandung trace elemen yang dikandung oleh
lempung laut dalam tidak sebesar yang tersimpan
di tanah daratan, sebab kemampuan akumulasi
kimia trace elemen di laut sangat lambat.
Bertolak tabel-tabel diatas ternyata variasi elemen di
permukaan dasar laut sebagai akibat reaksi kimia (peluruhan,
interaksi dan akumulasi) bahan-bahan
cangkang, sisa
organisme dan elemen yang ada di material itu, seperti terlihat
pada kandungan yang ada di lumpur dan lempung di laut
dalam. Kandungan yang ada di metalliferous pada daerah di
bukitan dasar laut, bermula dari sedimen laut, baik bersumber
dari pelagis maupun oleh gerakan sentrafugal, masing-masing
memiliki fraksi kimia tertentu, yang kemudian berinteraksi
dengan senyawa kimia yang ada di skeletal yang mengendap di
dasar, maka terbentuklah senyawa logam yang kompleks.
Prinsipnya, sedimen laut terbentuk oleh adanya material
yang masuk ke laut(bisa dari sungai, udara dan air hujan)
semua bahan-bahan itu merupakan signal kimia yang
~ 208 ~
terdeposit di dasar laut, oleh adanya pelbagai organisme yang
ada di dasar perairan mengakibat reaksi kimia dan membentuk
pelbagai jenis sedimen sampai terbentuk lapisan keras
mengandung logam.
Ada dua hal yang mendasar untuk melihat bagaimana?
komposisi kima yang terjadi di sedimen:
①
Apakah bentuk signal kimia yang dikandung oleh
partikel dan larutan yang masuk ke laut ?
②
Bagaimana setiap signal kimia mengikat kimia
lainnya yang merupakan suatu karakteristik
kimia laut membentuk sedimen atau lapisan
sedimen.
Hakekatnya, setiap komponen kimia akan berinteraksi
dengan pelbagai bentuk sedimen yang ada di perairan pada
kondisi cuaca normal atau bisa melalui proses yang terjadi di
setiap elemen kimia sehingga membentuk komponen di
sedimen laut. Dengan adanya proses interaksi kimia itu, maka
terbnetuk empat jenis sedimen, yakni lithogeneous, biogenous,
hydrogenous dan cosmogeneous (lihat uraian terdahulu).
Sesungguhnya sedimen dilaut terbentuk sangat
tergantung pada topografi dasar laut, arus, angin dan gerakan
sentrifugal. Dengan demikian sedimen di perairan dunia secara
global dapat disimpulkan sebagai berikut:
(a)
Sebagian besar di permukaan dasar perairan
dunia ditutupi sedimen, rerata 500 m,
(b)
Sedimen di tepian pantai depositnya sangat
bervariasi. Kalau sedimen di laut dalam, lebih
dari 50% menutupi perairan dunia, umumnya
deposit yang terbentuk tergantung pada
kelandaian pantai dan biasanya akumulasi yang
terjadi sangat lambat. Sedimen laut dalam yang
tergolong pada tipe “hemi-pelagik”, mekanisme
pembentukannya, berasal dari daerah kontinen
diangkut lewat dasar perairan, sedang tipe
~ 209 ~
pelagik umumnya dari permukaan laut jatuh ke
dalam perairan dan terdeposit di dasar laut.
(c)
Jenis sedimen “calcareous oozes” banyak ditemui
di permukaan dasar perairan dengan kedalaman
< 3-4 km. Sedang sedimen “siliceous oozes”
banyak di pinggiran laut yang terletak di lintang
tinggi.
(d)
Intinya, komponen sedimen laut dapat di
kategorikan ke dalam fase “aqueous” (interstitial
water), lithogenous, hydrogenous, biogeneous
dan cosmogeneous.
(e)
Daerah lumpur pinggiran pantai dan lempung
laut dalam konsentrasi trace elemen, relatif diisi
oleh: Mn, Cu, Ni, Co dan Pb.
Sedimen yang pada
dipermukaan dasar laut ada
kecenderungan membentuk blok-blok sedimen keras bahkan
membentuk lapisan tertentu. Terbentuk lapisan itu tidak
hanya oleh kimia yang ada di reservoir tetapi dapat juga dari
kerak bumi samudera yang terlepas elemennya dan
berintegrasi dengan komposisi kimia yang ada di sedimen.
Upaya negara-negara di dunia dalam rangka memajukan perekonomiannya
dan untuk memenuhi kehidupan
masyarakat, pelbagai kegiatan pembangunan digalahkan,
sehingga beberapa dekade belakangan ini lompatan jumlah
material, baik berupa partikel maupun fluida yang masuk ke
perairan laut tidak dapat dihindarkan, hal ini dapat kita
bayangkan laut dengan sistem kimianya akan bekerja keras
untuk mengatasinya. Intinya, proses penimbunan material
menjadi endapan sedimen dan peluruhan zat-zat ataupun daur
ulang sedimen yang ada di dalamnya adalah berbicara soal
geokimia laut. Oleh karena itu pengetahuan geokimia sangat
dibutuhkan bagi kebutuhan pembangunan secara umum.
Geokimia adalah pengetahuan tentang bagaimana
sistem kimia di laut sebagai pengendali berbagai proses di laut,
sejak dari tenggelamnya atau mengendap material ke laut
~ 210 ~
sampai interaksi kimia yang terjadi, baik di badan air maupun
yang ada didasar laut. Selanjutnya bagaimana peristiwa
persenyawaan kimia sehingga membentuk kerak samudera.
Semuanya merupakan lingkup pengetahuan geokimia. Kalau
zat kimia itu melakukan aksi-reaksi yang berhubungan dengan
organisme di laut maka halitu disebut sebagai proses
biogeokimia di laut.
Konsentrasi kimia yang ada di badan air berperan
sebagai pengendali sistem kimia di laut adalah merupakan
kombinasi elemen yang masuk dari luar, baik bersumber dari
sungai maupun dari atmosfer (kelimpahan geokimia), serta
sejumlah zat kimia yang keluar akibat dari reaktivitas
samudera. Memang tidak dipungkiri, banyak zat kimia di
parairan laut juga berasal bebatuan didalamnya, maupun
aktivitas vulkanik yang terjadi di bawah tanah dasar laut.
Semua zat-zat itu bersama-sama membentuk sedimen di dasar
laut. Dalam kegiatan aksi-reaksi zat-zat tersebut di sedimen,
ada yang bersifat meluruhkan zat, namun ada yang melakukan
daur ulang bahkan daur ulang bisa juga bersumber dari magma
yang keluar dari gunung di dasar laut. Secara ilustrasi model
daur ulang yang terjadi di permukaan dasar laut dan di seputar
gunung di dasar laut seperti terlihat pada gambar 8.9. Dalam
gambar tersebut memperlihatkan bagaimana material yang
mengendap membentuk sedimen di dasar laut yang kemudian
oleh adanya reaksi alam ( reaksi H2O, weathering, dan interaksi
zat lain) maka zat-zat itu bisa terurai bagi kepentingan
penyusunan kembali sedimen baru dalam pelbagai bentuk,
seperti mineral. Menurut Whitfiel (1979) disitasi oleh Chester
dan Jickells (2012), bahwa lebih kurang ratusan jenis zat
tedensi akumulasi di dalam sistem.
~ 211 ~
Gambar 8.9. Proses Daur Ulang Sedimen di Pemukaan Dasar Laut dan di Gunung di dasar Laut.
(Degens dan Mopper disitasi oleh Chester dan Jickells (2012)
~ 212 ~
Hakekatnya, elemen yang diambil dari endapan sedimen akan
bersenyawa membentuk suatu fase padat merupakan afinitas
pengikatan bahan padat yang diekspresikan dengan koefisien
pembagi yaitu Kr. Dimana koefisien itu dikalkulasi antara
konsentrasi yang ada di badan air dengan yang ada di
bebatuan, sebagai log Kr. Sebetulnya Kr itu berlangsung
selama proses daur ulang terjadi di endapan.
Menurut Whitfiled dan Turner (1979) disitasi oleh Chester dan
Jickells (2012) bahwa pemisahan antara fase padat dan larutan
merupakan suatu model
elektrostatik, dimana fungsi
elektronegatif adalah Qro, yakni melukiskan suatu reaksi
oksidasi pada kisi-kisi mineral.
Jadi elektronegatif ini
berhubungan dengan koefisien pembagi (Kr).
Dengan demikian
fungsi eletroknegatif (Qro) dan
koefisen pembagi (Kr) adalah suatu konsep untuk menghitung
konsentrasi di badan air yang dikendalikan geokimia.
Kesimpulannya, konsentrasi kandungan zat di badan air
dikendalikan kelimpahan yang ada di bebatuan (kelimpahan
geokimia) dan yang terserap membentuk lapisan keras di
sedimen (reaktivitas laut)
~ 213 ~
⑨ AIR ANTARA DI SEDIMEN
DAN DIAGENESIS
A
ir antara di sedimen (interstitial waters )
adalah cairan atau larutan yang menempati
ruang pori antara partikel dibatuan dan atau
sedimen. Larutan ini berperan mempercepat proses diagenetik
disedimen.
Endapan dari daerah kontinen atau berasal dari pantai
akan masuk keperairan dan bercampur dengan air laut, pada
fase ini memungkinkan terjadi interaksi sehingga mampu
mengencerkan material/partikel termasuk bahan berasal dari
hidrotermal, akhirnya material itu akan masuk ke badan air
laut menjadi sedimen laut. Dengan demikian interaksi itu
berpeluang air masuk kedalam sedimen, sehingga diantara
sedimen itu terdapat air, cairan tersebut
sebagai airinterstisial. Pada air-interstisial disedimen mengandung
elemen kimia , fisika dan biologi yang aktif. Reaksi kimia lewat
aktifitas biologi akan berakibat perubahan fase mineral dan
komposisi elemen di sedimen, halmana perubahan yang terjadi
itu disebut “diagenesis”. Bener (1980) yang pertama
menggunakan istilah itu, dimana diagenesis merupakan jumlah
total proses perubahan di sedimen atau bebatuan sedimen,
walaupun pada akhirnya material itu akan terdeposisi kembali
di perairan.
Diagenesis awal, Karbon organik yang tersimpan atau
diawetkan dalam sedimen merupakan
komposisi bahan
organik yang sangat kompleks, sebagian besar biostratifikasi
itu ada dalam kondisi kurang oksigen, olehnya unsur oksigen
merupakan agen pengokidasi. Dalam oksidasi karbon organik
ada yang berperan sebagai penerima (akseptor) elektron dan
yang lain kehilangan elektron, atau terjadi reduksi-oksidasi
~ 214 ~
(redoks). Menurut Stumm dan Morgan (1996) bahwa proton
dan elektron aktif dalam larutan, dimana proses asam-basa
akan terjadi pemindahan proton, reaksinya seperti berikut:
pH = − log10 aH+
(9.1)
dimana, ion hydrogen akan tinggi pada pH rendah dan
sebaliknya akan turun jika pH naik. Jadi nilai pH merupakan
pengatur kesetimbangan asam-basa. Terkadang perubahan
nilai akan berpengaruh pada intensitas kerja redoks. Reaksi
redoks akan melibatkan transfer elektron dan p, seperti
persamaan berikut.
p = − log10 ae−
(9.2)
dimana larutan ini dapat menerima atau transfer
elektron. Karena p merupakan variabel dari kesetimbangan
redoks. Jika nilai p relatif tinggi ada kecenderungan oksidasi
juga tinggi. Hakekatnya, redoks adalah reaksi oksidasireduksi, biasanya digambarkan sebagai dua separuh-reaksi,
yaitu reaksi oksidasi dikatakan sempurna apabila redoks terjadi
duakali. Sebagai Ilustrasi, ambil contoh reduksi Fe 3+ pada
bahan organik menurut Drever (1982) sebagaimana persamaan
berikut.
4Fe3+ + C + 2H2O  4Fe2+ + CO2 + 4H+.
(9.3)
Persamaan ini memperlihatkan dalam molekul tak ada
satupun baik oksigen maupun elektron yang terjadi, karena
telah dipecahkan menjadi setengah reaksi. Reaksi yang ada
hanyalah Fe dan C, dengan demikian:
4Fe3+ + 4e−  4Fe2+
Dimana Fe3+ berubah menjadi Fe2+ dan,
~ 215 ~
(9.4)
(C) + 2H2O  CO2 + 4H+ + 4e−
(9.5)
Hal ini memperlihatkan oksigen berinteraksi dengan
karbon membentuk CO2. Walaupun demikian setengah reaksi
kimia tidak lengkap sebab larutan tidak bermuatan elektron
bebas.
Secara teoritis kimia redoks adalah mengukur kimia
elektron di setengah-sel. Jadi nilai Eh mengambarkan aktifitas
elektro dalam volt, dimana h menunjukan nilai Eh yang
merupakan standar elektroda hydrogen. Dengan demikian
aktivitas elektron (p) adalah electron relatif dalam larutan,
yaitu suatu dimensi jumlah atau dalam volt (Eh), dimana
reaksi antar p dan Eh diuraikan dalam persamaan berikut:
(9.6)
dimana, F adalah Konstanta “Faraday”, R = konstanta
gas dan T adalah suhu absolut. Jadi pada suhu 25 0C nilai Eh =
0,059 p.
Dengan demikian
nilai Eh analog dengan
pengukuran pH. Walaupun demikian mengukur nilai Eh
dalam oksidasi di perairan alam dalam hubungan reaksi
pasangan redoks sulit diaplikasikan. Tapi menurut Stumm
dan Morgan (1996) maupun Drever (1982) bahwa nilai itu
penting untuk membedakan antara elektroda yang mengukur
nilai Eh dan nilai Eh merupakan hasil kalkulasi dari aktivitas
redoks.
Secara umum konsep keberadaan redoks (redox
conditions), jika nilai Eh (redoks potensial) positif memberi
indikasi oksidasi terjadi, tapi bila negatif maka telah terjadi
reduksi, dengan demikian dapat dikatakan nilai Eh tinggi di
separuh-reaksi memperlihatkan telah terjadi oksidasi,
sebaliknya bila nilai Eh rendah terjadi reduksi. Tetapi jika
suatu setengah-reaksi Eh tinggi di kombinasikan dengan
~ 216 ~
setengah reaksi Eh dengan nilai rendah, maka proses oksidasi
dapat terjadi, situasi ini disebut proses diagenetik di sedimen
dengan perantara redoks. Bertolak dari persamaan (9.1), Eh
dapat dikonversi ke unit energi, hal ini disebut
“thermodinamika”, tetapi proses reaksi yang terjadi tidak
membutuhkan kinetika.
Keberadaan nilai Eh di sedimen mengandung bahan
organik yang diproduksi oleh bakteri nir-fotosintetis, Namun
dalam proses diagenetik secara garis besar membutuhkan
oksigen, dan oksigen diperairan umumnya berasal dari hasil
fotosintetis. Tetapi di sedimen proses oksidasinya bisa berjalan
halmana oksigen bisa berasal dari bahan organik yang
dikandungnya.. Peleburan bahan organik biasanya dilakukan
oleh bakteri, sedang bakteri itu dalam melakukan peleburan
bahan organik memerlukan oksidasi atau menerima elektron,
halini memperlihatkan bila p rendah akan menghasilkan
energi rendah. agar reaksi tetap berjalan membutuhkan suatu
energi yang cukup, karena mikro organisme yang akan
melalukan peleburan bahan organik membutuhkan energi
untuk proses metaboliknya.
Diagenesis sedimen secara reaksi redoks harus ada
ketersediaan beberapa elemen agar proses akan berjalan baik ,
telah diketahui beberapa elemen seperti: C, N, O, S, Fe dan Mn
aktif terlibat dalam proses redoks di akuatik, walaupun
sesungguhnya masih ada beberapa komponen kecil (trace
element) yang dibutuhkan. Intinya kegiatan itu memerlukan
beberapa elemen untuk membantu kerja mikroba
dalam
rangka mempercepat proses redoks. Secara singkat reaksireaksi yang terjadi disajikan pada table 9.1 dan gambar 9.1 yang
dikutip dari Stumm dan Morgan (1996) adalah sebagai berikut.
~ 217 ~
Tabel 9.1. Reaksi Reduksi-Oksidasi di Lingkungan pada
pH 7.
P
A
B
C
D
E
F
G
H
J
L
¼O2(g) + H+(aq) + e  ½ H2O
1/5NO-3(aq) + 6/5H+(aq) + e  1/1ON2(g)
+ 3/5H2O
½Mn (IV)O2(s) + ½HCO-3(aq) + e 
½Mn(II)CO3(s)+ H2O
1/8 NO-3(aq) + 5/4H+(aq) + e 
1/8NH+4(aq) + 3/8H2O
FeOOH(s) + HCO-3(aq) + 2H+(aq) + e 
FeCO3(s) + 2H2O
½CH2O + H+(aq) + e  ½CH3OH
1/8CO2(g) + H+(aq) + e  1/8HS-(aq) +
½H2O
1/8CO2(g) + H+(aq) + e  1/8CH4(g) +
¼H2O
1/6N2 + 4/3H+(aq) + e  1/3NH+(aq)
¼CH2O(aq) + ¼H2O  ¼CO2(g) +
H+(aq) + e
Sumber: Stumm dan Morgan (1996)
~ 218 ~
+13,75
+12,65
+8,9
+6,15
-o,8
-3,01
-3,75
-4,13
-4,68
-8.2
Kombinasi setengah reaksi dalam proses diagenesis
menghasilkan sejumlah energi oleh karenanya nilai Eh dan p
akan bervariasi. Contoh yang dapat dilihat pada ilustrasi di
gambar 9.1, dalam fase oksidasi bahan organik oleh adanya
kelarutan oksigen (A + L) dapat menurunkan nilai p dan Eh.
Struktur keseluruhan diagenesis bisa dilihat pada gambar 9.1.,
sebagai contoh lihat kotak kombinasi yang ada dalam gambar,
proses kimia yang terjadi kecenderungan menghasilkan banyak
energi sedang energi yang digunakan untuk kebutuhan reaksi
itu sangat sedikit. Prinsipnya diagenesis dimulai dengan
respirasi aerobic (A+L), kemudian denitrifikasi (B+L) dan
seterusnya.
Hakekatnya, proses diagenetik di sedimen dimana
peleburan bahan organik selalu dikendalikan oleh redoks,
beberapa kejadian reaski disedimen oleh redoks di sajikan pada
table 9.1 dan gambar 9.1. Bertolak dari situ ternyata secara
umum proses diagenetik adalah proses katabolik, dan secara
alamiah tergantung dari agen oksidan untuk membakar bahan
organik.
Penguraian bahan organik di sedimen membutuhkan
elektron dari pelbagai oksidan yang terjadi di air-interstisial,
dan ketika oksigen ada, maka sedimen itu sebagai penerima
oksigen.
Selama proses diagenetik berlangsung, maka
akan terjadi penurunan produksi energi per mol dalam karbon
organik, sedang energi itu sangat dibutuhkan bagi kegiatan
oksidatif. Jadi apabila oksigen semakin habis maka mikroba
sebagai penerima elektron akan berkurang sehingga
termodinamikanya turun (. Froelich dkk., 1979; Galoway dan
Bender, 1982; Wilson dkk., 1985).
Mekanisme reaksi yang terterah pada gambar 9.1 diatas,
bisa terjadi dalam kondisi aerob (membutuhkan oksigen) dan
anaerob (tidak dibutuhkan oksigen), uraian berikut menjelakan
bagaimana proses aerob dan anerob yang akan terjadi.
~ 219 ~
Gambar 9.1. Susunan Proses Diagenesis di Sedimen
Dengan Bantuan Mikroba
Sumber : Chester dan Jickelss (2012)
Metabolisme aerobik, organisme aerobik akan
menggunakan oksigen yang terlarut di air-interstisial untuk
menghancurkan bahan organik. Peleburan bahan organik ini
diawal proses diagenesis akan melalui suatu komposisi yang
disebut “redfield”, yakni (CH2O)106(NH3)16(H3PO4). Selanjutnya
untuk proses oksidasi bahan organik oleh organisme aerob
persamaan reaksinya adalah sebagai berikut:
~ 220 ~
5(CH2O)106(NH3)16(H3PO4)+690O2 
530CO2 + 80HNO3+5H3PO4+610H2O
(9.7)
Dalam hubungan reaksi karbon dioksida dimana
peluruhan karbonat dan amoniak untuk menjadi nitrat
diperlukan proses oksidasi, rekasi ini di sebut “nitrifikasi”.
Dibawah kondisi oksit, bagi organisme dan plankton yang telah
mati kelihatannya mulai rusak oleh adanya aktifitas bakteri,
disaat ini tahap terjadinya susunan diagenetik. Seperti yang
dikatakan oleh Bender dan Heggie (1984), kurang lebih >90%
karbon organik tersebar di dasar laut akan mulai terurai oleh
adanya dukungan oksigen.
Dengan demikian oksigen
merupakan oksidan pertama perusak bahan organik. Selama
oksigen tersedia cukup walaupun redoks potensialnya rendah,
kondisi ini cukup mampu membantu untuk kelancaran
diagenesis berikutnya. Selanjutnya, jika
oksigen terlarut
kehabisan,
namun
dekomposisi bahan organik tetap
berlangsung, halitu dikarenakan tersedianya
oksidan
sekunder, keadaan ini disebut “suboxic diagenesis”.
Metabolime anerob, apabila kandungan oksigen
menurun maka terjadilah proses metabolism anaerob, atau
proses penggunaan oksigen bersumber dari oksidan sekunder
yaitu: nitrat, MnO2, Fe2O3 atau FeOOH dan sulfat.
Nitrat, Menurut Berner (1980) ketika kelarutan oksigen
turun sampai 5%, maka nitrat menjadi penerima elektron,
persamaan reaksinya seperti berikut:
5(CH2O)106(NH3)16(H3PO4)+472HNO3  276N2+ 520CO2
+ 5H3PO4+886H2O
(9.8a)
Nitrogen oksida (N2O) diketahui umum sebagai gas
rumah-kaca, dalam reaksinya di alam akan menghasilkan
senyawa tertentu, dimana nitrogen organik akan membentuk
senyawa amonia, proses ini disebut sebagai “denitrification”.
~ 221 ~
Persamaan reaksi oksidasi
sebagai berikut:
5 NH3 + 3 HNO3
pada molekul nitrogen adalah
4N2 + 9H2O
(9.8b)
Reaksi oksidasi diatas memanfaatkan oksidan sekunder,
produk nitrogen ini mempercepat susunan diagenesis. Dengan
demikian seluruh nitrogen yang memanfaatkan nitrat sebagai
oksidan sekunder, hal ini tumpa-tindi dengan MnO2, tetapi
bagi nitrogen prosesnya berkaitan dengan ammonia sedang
MnO2 direduksi sebelum nitrat menjadi N2 tidak
membutuhkan proses oksidasi. Nampaknya oksidan sekunder
yang digunakan adalah berasal Mn (IV), Fe(III) dan sulfat,
dimana senyawa ini membutuhkan elektron untuk peluruhan
bahan organik dengan stoichiometri “redfield”. Seperti berikut:
.
Oksidasi mangan
(CH2O)106(NH3)16(H3PO4) + 236MnO2 + 472 H+
236Mn2 + 106CO2 + 8N2 + H3PO4 + 336 H2O. (9.9)
Oksidasi besi
(CH2O)106(NH3)16(H3PO4) + 212Fe2O3 + 484 H+
424Fe2+ + 106 CO2 + 16NH3 + H3PO4 + 530 H2O
(9.10)
Sulfat
(CH2O)106(NH3)16(H3PO4) + 55SO4
16NH3 + H3PO4 +55S-+ H3PO4 + 530 H2O
(9.11)
Kalau sulfat terjadi reduksi maka methan biogenik akan
terjadi dua tipe rekasi seperti berikut:
CH3COOH
Atau,
CO2 + 8H2
CH4 + CO2
CH4 + 2H2O
~ 222 ~
(9.12a)
(9.12b).
Prinsip dasar proses diagenesis secara umum
membutukan oksidan dari pelbagai sumber seperti susunan
urutan adalah sebagai berikut: oksigen  nitrat  Mangan
oksida  oksida besi  sulfat. Dengan asumsi diagenetik di
sedimen laut sebagai penerima elektron adalah O2, NO3, Fe2O3
(atau FeOOH) and SO42− , dan bahan organik (komposisi di
redfield) sebagai pemberi elektron serta oksidan adalah faktor
pembatas untuk proses selanjutnya. Walaupun demikian
tidak selamanya peleburan bahan organik akan mengikuti
urutan tersebut, sebagai contoh pada reduksi sulfat tidak
didahului bentuk gas methan. Oremland dan Taylor (1978)
mempertegas bahwa dalam dua proses dapat terjadi secara
serentak, tapi keduanya tidak saling membutuhkan.
Suatu proses diagenesis di sedimen sangat tergantung
pada kondisi lingkungan, dalam kaitan itu Berner (1981),
menjelaskan hubungan antara lingkungan dengan diagenesis
yang akan berlangsung, yakni:
Lingkungan oksit, yaitu pada air-interstisial di
sedimen ada oksigen terlarut dimana proses diagenesis yang
terjadi dalam kondisi aerob. Melalui kondisi itu sedimen di
samudera dalam hanya terdapat sedikit bahan organik, reaksi
kimia yang terjadi disana seperti pada perasamaan
9.7.
Hakekatnya oksigen yang tersedia itu disuplai dari hasil
perombakan bahan organik yang ada atau yang terdapat di
sedimennya.
Lingkungan anoksit, yaitu air-interstisial di sedimen
tidak mengandung oksigen, proses diagenesis yang terjadi
memanfaatkan oksidan sekunder melalui metabolism anaerob.
Sesungguhnya
pada lingkungan anoksit dikategorikan
kedalam beberapa tipe:
Nir-Sulfat berada di lingkungan oksit, yaitu lingkungan yang
berisikan larutan nir-sulfida, keadaan ini banyak ditemui di
sedimen laut dalam, keadaan itu disebut sebagai lingkungan
suboksit. Halmana proses diagenesis disedimen dalam suasana
~ 223 ~
oksit, dan oksidan diharapkan dari hasil peluruhan karbon
organik di sedimen. Dalam lingkungan ini, proses pada nitrat,
Mangan oksida dan besi oksida akan menggunakan oksidan
sekunder, tapi susunan yang diharapkan bukan sebagai sulfat.
Untuk proses reaksi kimia yang terjadi dapat dilihat pada
persamaan 9.8 sampai dengan 9.10. diatas. Lingkungan sulfat,
yaitu proses diagenesis, dimana sulfat di rombak menjadi
senyawa H2S dan HS- melalui metabolisme oleh kerja bakteri.
Sebetulnya
di air-interstisial sedimen
dan di air laut
terkandung konsentrasi sulfat yang tinggi. Namun pada saat
proses transpor bahan organik dari wilayah kontinen banyak
konsentrasi sulfat tertahan di sedimen pantai, sehingga
konsentrasi sulfat di laut dalam relatif
sedikit. Proses
diagenesis di lingkungan sulfat di sajikan pada persamaan 9.11
(lihat diatas). Sesungguhnya produk sulfat sangat penting
diperhatikan, karena zat ini beracun bagi banyak organisme
dan mudah bereaksi dengan logam sehingga membentuk
sulfida yang sulit larut, seperti besi sulfida didalamnya
termasuk FeS2 (polysulfida pyrite) dan “markasit diamorph”;
Chamosit; glauconit; mangan sulfida (MnS).
Lingkungan nir-sulfida methan, yaitu proses peleburan
bahan organik di sedimen dengan reaksi diagenesis melalui
penggunaan oksigen, mangan oksida, besi oksida dan sulfat
yang proses lanjutnya akan membentuk gas methan, reaksi
kimia yang terjadi seperti terlukis pada persamaan 9.12a dan
9.12b.
Secara
umum
proses
diagenetik
disedimen
mengunakan pelbagai oksidan dan urutannya sebagai berikut:
Oksigen  Nitrat  Mangan oksida  Besi
oksida  Sulfat
Unsur oksigen diperlukan untuk respirasi mikroba
dalam rangka proses dekomposisi bahan organik, sedang unsur
nitrat, mangan, besi dan sulfat merupakan hasil reduksi bahan
organik berfingsi sebagai oksidan sekunder. Kecepatan
peleburan dan jumlah konsentrasinya sangat tergantung pada
~ 224 ~
ketersediaan bahan organik di sedimen, dan setiap sedimen
yang terkubur dan terdeposit bisa melalui zona perjalanan
seperti diurai diatas.
Sudut pandang diagenetik vertikal zonasi sedimen,
menurut Froelich dkk. (1979) hasil kajiannya di samudera
Atlantik ekuator timur, pada sedimen hemi-pelagik suboksit
akan terlihat suatu lapisan agak terang kekuning-kuningan
setebal 35Cm yang berisikan sedikit karbon organik (± 0,20,5% per berat), kemudian lapisan dibawahnya
adalah
terigenous sedimen berwarna agak hijau kegelapan, berisikan
karbon organic ± 0,5 sampai >1%.
Prinsip dasar keadaan larutan di air-interstisial di
sedimen diuraikan sebagai berikut:
① Kelarutan nitrat makin bertambah sampai di
permukaan sedimen, dan bila terjadi pengurangan
maka lapisan air-interstisial akan berwarna hijau agak
kekuningan (transisi lithologikal).
② Kelarutan Mn2+ sangat lambat di permukaan tetapi
akan bertambah dengan bertambahnya masuknya ke
sedimen sehingga membentuk partikel/butiran, dan
akan menghilang dengan makin ke poros.
③
Kelarutan Fe2+
kosentrasinya sangat sedikit
sekali, tapi ketika kosentrasi nitrat mulai turun,
konsentrasi besi mulai naik.
④
Kelarutan sulfat tidak ada perbedaannya di dasar
perairan sampai menghilangnya di sedimen.
Senyawa yang berperan dalam proses diagenesis
menurut zonasi dan profil air-interstisial di sedimen suboksit
dilukiskan pada gambar berikut.
~ 225 ~
Sumber: Chester dan Jickells (2012)
Zona 1., Di zona ini terdapat variasi oksigen yang cukup
dalam rangka peluruhan bahan organik, bentuk
reaksi yang terjadi disajikan pada rumus 9.7.
Dimana oleh adanya proses oksidasi pada nitrat
di bahan organik akan terurai menjadi amoniak.
Zona 2 dan 5., Konsentrasi nitrat di bawah maksimum
dan akan naik secara linear, walaupun dizona ini
tidak terjadi produksi dan di zona 5 nitrat
kosong, keadan ini denitrifikasi, rekasi kimianya
yang terjadi seperti pada rumus 9.8.
Zona 3 dan 4., Dalam zona ini terjadi tumpah-tindi
dengan zona 2 dan 5. Kalau di zona 4 oksidasi
karbon organik di lakukan oleh mangan oksidasi
di air-interstisial, reaksi kimianya seperti terlihat
pada persamaan 9.9. Halmana Mn di reduksi
~ 226 ~
menjadi Mn2+ tapi relatif sebagai oksidasi
Mn(IV). yang kemudian dikonversi sebagai MnO2
di zona 3.
Zona 6 dan 7., Di daerah zona 7 oksidasi organik karbon
melalui reduksi feri oksida dan hasil ini untuk
konsumsi bagi daerah diatas zona 7 dan didalam
zona 6.
Didasarkan
pada mintakad (perwilayahan) maka
susunan diagenetik pada sedimen hemi-pelagik
yang
memanfaatkan oksidan secara berturut-turut adalah sebagai
berikut: oksigen > nitrat ≅ mangan oksida > besi oksida >
sulfat.
Sesungguhnya penyusunan sedimen dibawah keadaan
anoksit di perairan relatif kurang di dunia. Karena pada
kenyataan lingkungan di dasar laut dapat terjadi oksidasi pada
bahan organik di lapisan sedimen. Walaupun lingkungan
sedimen sangat tertutup, tapi suplai oksigen dari badan air
cukup besar dan bisa bersumber dari air-interstisial di
sedimen. Oksigen yang terlarut di air-interstisial di sedimen
dapat berkurang mengakibatkan kondisi anoksit sehingga
berpengaruh pada
proses diagenetik.
Disamping itu,
sesungguhnya di kolom (badan) air dapat terjadi pertukaran
situasi anoksit dan oksit oleh adanya agitasi air, sehingga
memungkinkan adanya suplai oksigen ke perairan, juga
tengelamnya unsur karbon memberi peluang oksidatif terjadi.
Menurut Muller and Mangini (1980) bahwa sedimen
setebal  1-4 cm membutuhkan oksigen sebesar 103 per tahun
untuk proses penyusunan sedimen. Jadi ketebalan lapisan
oksit di permukaan sedimen di daerah pinggiran pantai
cenderung naik, namun mendekati daerah pelagik terjadi
penurunan. Suatu pernyataan Burdige (2007), katanya bahan
karbon (C) organik yang ada di sedimen tersebut jumlahnya
<0,25 sampai 20% dari berat kering. Sedang hasil kajian Seiter
dkk. (2004) rata-rata bahan karbon organik di laut dalam
(>4000 m) di permukaan sedimen (±5 cm) ada sekitar 0,5%
~ 227 ~
berat kering, tetapi di laut dangkal sebesar 1,5% berat kering.
Jadi kandungan karbon organik di laut dangkal lebih banyak
dari yang dikandung oleh sedimen di laut dalam.
Untuk
ketebalan lapisan oksit diperairan dangkal tidak melebihi 1 cm,
sedang dilaut dalam ditemui ada sekitar 20 cm (Soetart dkk.
1996).
Samudera Pasifik bagian timur ketebalan lapisan oksit
di sedimen ditemui sangat bervariasi (Lyle, 1983). Lapisan oksit
di suatu sedimen berpengaruh langsung pada proses
diagenetik, sebab kandung oksigen sangat membantu pada
percepatan reaksi. Kalau keadaan ada dalam pada situasi
oksit, artinya terjadi pertukaran oksigen halitu menunjukan
potensi redoks positif, tapi jika terjadi penurunan oksigen,
kondisi ada pada anoksit, artinya potensi redoks negatif.
Apabila di sedimen terjadi oksidasi indikasinya, warna sedimen
ada pada coklat-kemerahan, tapi bila oksigen kurang warna
sedimen akan berwarna abu-abu ke hijauan.
Hubungan kecepatan redoks di sedimen laut dengan
ketebalan lapisan oksit di permukaan sedimen adalah sebagai
berikut:
Sedimen anoksit, umumnya terdapat di kawasan pantai atau
daerah yang terisiolasi dan diselokan/kubangan didasar laut,
dimana sedimennya terdapat kandungan organik karbon
sebesar  10%.
Sedimen dekat pantai, biasanya lapisan oksit tidak
melebihi beberapa sentimeter, dan lapisannya berwarna coklat.
Sedimen ini berisi  5% organik karbon, tapi akumulasi
sedimen di daerah ini relatif lebih cepat.
Sedimen “hemi-pelagik”, kecepatan deposit relatif agak
berkurang dibandingankan dengan sedimen di pantai,
sedimennya berisi organik karbon sebesar 2%, dan ketebalan
lapisan oksit hanya beberapa sentimeter saja.
Sediment pelagik, Kecepatan penyusunan sedimen ini
lambat mengandung organik karbon sebesar 0,5%, tapi ada di
beberapa tempat di perairan laut dunia ditemui hanya 0,1 –
~ 228 ~
0,2% (Burdige, 2007). Di sedimen pelagik ini ditemui lapisan
oksit pada kedalaman 1 m sampai mendekati 10 meter.
Suatu hal yang menjadi perhatian bahwa diagenesis
awal di sedimen laut adalah susunan mintakad (zona) vertikal,
dimana secara lateral susunan zona diagenetik di samudera
adalah sebagai berikut: dekat pantai  hemi-pelagik 
pelagik.
Dalam proses diagenetik kandungan bahan organik di
sedimen merupakan faktor penting untuk di determinasi
(perhatikan), karena bahan organik itu berperan aktif sebagai
faktor penentu pada besaran distribusi, penghambatan dan
pengendapan di sedimen, secara khusus akan diuraikan sebagai
berikut.
Bahan organik di sedimen adalah suatu hal yang sangat
penting, tidak hanya sebagai sumber siklus karbon global di
laut, tapi merupakan penggerak diagenesis awal serta bahan
organik itu berperan penting dalam perputaran kimia di laut.
Bertolak dari kajian Burdige (2007), secara global bahan
organik yang mengendap atau terkubur di laut disajikan pada
table 9.2 berikut ini.
Tabel 9.2. Karbon Organik yang terendap di Laut
Kedalaman
Area Laut (%)
Karbon organik
(Km)
Terendap
(% dalam
kelompok)
0 – 0,2
7
152 (50%)
0,2 – 2
9
96 (31%)
>2
84
61 (21%)
Sumber: Burdige (2007).
Sedimen di pantai jumlah bahan organik relatif kurang,
karena di daerah ini banyak ditemui partikel pasir. Namun
demikian ada sejumlah bakteri dapat menguraikan bahan
~ 229 ~
organik yang berasosiasi dengan partikel pasir sehingga
kawasan ini relatif oksit.
Bertolak dari table 9.2 terlihat bahan organik didominasi
di perairan dangkal khususnya di delta, tetapi di perairan
terbuka pada kedalaman >2km karbon organik yang terlarut
dan mengendap ada sebesar 21% . Sedang menurut Lampitt dan
Antia (1997) bahwa aliran bahan organik di perairan 2000
meter diduga sebesar 340 X 1012 gC/tahun (lihat table berikut).
Tabel. 9.3. Estimasi Aliaran Karbon di Laut.
Aliran
Gross Ton
Karbon/Thn
Produktivitas primer di laut
36
Produksi dari eupotik zona
4,5
Ada disedimen kedalaman
0,34
2000 m.
Sumber : Lampitt dan Antia (1997).
Jadi kurang lebih 20% karbon akan mengendap di laut
sebagai sedimen, tetapi bahan organik yang mengendap
diperairan laut dalam (4km) di sebagian besar (±63%)
samudera di dunia jumlah karbon yang ditemui adalah <5%.
Kehadiran partikel organik sebagaimana yang diuraikan
di bab 4, material itu bersumber dari daratan, permukaan laut
dan antropogenik. Dimana material bahan organik dari
atmosfer dan aliran sungai ada sejumlah 216 sampai 180 X 1012
per tahun, sedang dari laut itu sendiri sebagai hasil fotosintesis
hanya 1% bahan organik.
Bahan organik berasal dari luar laut umumnya agak sulit
terdegradasi jika di bandingkan dengan hasil fotosintesa,
bahkan ada juga tidak bisa terdegradsi. Misalnya, lignin dan
beberapa komponen phenol yang dihantar oleh sungai masuk
kedalam laut. Komponen phenol dan lignin berasal dari
bahan-bahan, seperti tumbuhan, kayu olahan manusia dan
plastik-plastik hitam yang mengandung karbon harus melalui
~ 230 ~
proses peluruhan oleh bakteri. Hampir semua partikel-partikel
organik itu mengendap (terkubur) dekat di daerah kontinen,
khusus terendap di daerah delta akan masuk ke laut sebagai
sedimen di dasar laut diperkirakan ada sekitar >10%.
Bahan organik yang masuk ke laut sebagai bahan
timbunan sedimen merupakan hal yang menarik perhatian,
sebab bahan-bahan itu yang akan melakukan proses diagenesis.
Hakekatnya sedimen dilaut yang diketahui umum, ada dua
kategori yaitu sedimen dekat pantai dan sedimen di laut dalam,
keduanya memiliki sifat dan karakter berbeda dalam
penyusunan sedimen.
Sedimen dekat pantai, materialnya berasal dari daerah
pantai dan bahan organik hasil fotosintesa. Kalau sedimen
dekat pantai biasanya akumulasi deposit sangat cepat terjadi,
dan kandungan bahan organik yang dikandungnya kurang
lebih 1-5%. Sebagian bahan organik ini akan mengakibatkan
daerah anoksit, tapi ada sebagian organik di manfaatkan untuk
kebutuhan fotosintesis, misal,
Calvert dan Price (1970)
melaporkan di Namibian shelf kaya akan lumpur diatom dan
bahan organik yang dikandung ada diatas 25%. Daerah ini
ditemui cukup tersedia unsur oksigen.
Sedimen di laut dalam, materialnya lebih banyak dari
atmosfer, hasil fotosintesis dan unsur logam dari kerak
samudera, umumnya sedimen ini kurang bahan organik
diperkirakan ada sebesar 0,5% (Seiter dkk., 2004). Bahan-bahan
organik sebagian besar berasal dari air hujan masuk ke laut
dan proses penengelaman bahan organiknya agak lambat yaitu
<1% di laut terbuka, tapi kalau bersumber dari delta deposit
yang terbentuk agak cepat yaitu >50%. Bahan-bahan organik
yang terakumulasi ini walaupun relatif kurang namun proses
diagenetik akan berjalan sempurna.
Intinya, bahan organik yang tersimpan di sedimen
terdiri dari molekul asam amino (termasuk protein)
karbohidrat dan lipida termasuk lignin (karbohidrat plus).
~ 231 ~
Namun demikian bahan organik berasal dari fitoplankton yang
tenggelam menjadi sedimen cukup banyak di laut.
Secara umum bahan organik akan masuk ke dalam
proses diagenesis awal membentuk “karogen” dalam wujud
amorphous
(amorf)
yang
mengandung
konsentrasi
hidrokarbon dengan berat molekul tinggi dan sangat kental.
Semua bahan organik akan terkubur di sedimen laut dalam
(>1 km) biasanya proses itu melibatkan reaksi kimiawi, jika
suhu naik akan mengalami proses peleburan. Untuk proses
diagenesis, katagenesis dan metagenesis, dilukiskan dalam
gambar 9.3.
Metagenesis
Katagenesis
Diagenesis
Organisme
hidup
Karbohidrat
Lignin
Protein
Molekul
Lainnya
Mikroba , degradasi
Polimerisasi
kondensasi
Sedimen
baru
terbentuk
Zona
berbentuk
minyak
Zona berbentuk
Gas
Rangka karbon
Asam FulviK
Asam Humik
Humin
Kerogen
Degradasi Termal
Lipida
Fosil Geokimia
Molekul
terikat
Hidrokarbon BM rendah
Dan sedang
Retakan
Retak
Minyak
mentah
Hidrokarbon BM Tinggi
Methan
Hidrokarbon
Gas
Residu karbon
Gambar 9.3. Bahan Organik di Sedimen Pada Tahap
Diagenesis, Katagenesis dan Metagenesis
Sumber : Tissot dan Welte ( 1984) disitir oleh Chester dan Jickells
(2012)
Gambar diatas terlihat, pada fase diagenesis terjadi pada
kedalam dibawah 1000 meter, sedang katagenesis di kedalaman
beberapa kilometer, di daerah itu biasanya suhu naik dan
tekanan naik, kemudian lanjut ke fase metagenesis atau
“metamorfis” (Tissot dan Welte, 1984).
~ 232 ~
Hakekatnya, variasi karbon organik bersumber dari
pelbagai jaringan dengan pelbagai ukuran yang masuk ke laut
akan tenggelam dan menyusun lapisan sedimen, dimana
sebagian menjadi makanan organisme bentik dan sebagian
akan masuk kedalam siklus oksigen dan karbon global.
Dengan demikian terkuburnya bahan organik di laut
merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti, karena
dalam proses penyusunan dan peluruhannya akan
berhubungan dengan reaksi kimiawi. Menurut Burdige (2007)
dalam proses “biodegradable” ada tiga proses yang memegang
peran penting, yakni: (1) Peluruhan bahan organik
menghasilkan produk berbagai karakter material; (2) Adanya
bakteri peluruhan dari fraksi material itu dapat terjadi dan ke
(3) secara fisikal peluruhan bahan organik itu bisa terganjal
akibat substrat inorganik dan atau organik. Pengikatan bahan
organik di permukaan, partikel lempung bisa menghalangi
proses peluruhan, atau dapat juga partikel itu menghalangi
kerja bakteri atau enzim yang ada didalam bahan organik itu
(Hedges dan Keil, 1995; Lee dkk, 2004). Artinya adanya
pertukaran karakter kimia yang ada di permukaan lempung itu
bisa menganjal proses peluruhan.
Konsentrasi oksigen
sangat berarti bagi proses
peluruhan di sedimen, karena umumnya sedimen di laut
dalam, lingkungannya adalah anoksit, misalnya di laut hitam.
Berbicara konsentrasi oksigen di dasar laut sama halnya
berbicara organik karbon di sedimen,
sebab untuk
menghancurkan bahan organik itu diperlukan sejumlah
oksigen. Ketersediaan oksigen di lingkungan sedimen sematamata hanya dipergunakan peluruhan bahan organik, halmana
bahan organik menerima elektron sehingga proses diagenesis
berlangsung. Intinya, peluruhan bahan organik di bawah
kondisi oksit dan anoksit, kecepatannya berbeda. Apabila
kondisi anoksit atau kurang oksigen bahan organik sulit terurai
(Middleburg and Levin, 2009).
~ 233 ~
Menyangkut kandungan oksigen di sedimen, menurut
Burdige (2007), bahwa ada dua faktor yang berperan di dalam
bahan organik yang terendap, yaitu pertama, ketersediaan
oksigen di dalam bahan organik itu.; kedua, adanya redoks di
lingkungan yang akan mempercepat peluruhan bahan organik.
Inti dari diagenesis yang terjadi dialam adalah sebagai
berikut:
①
Diagenesis awal di sedimen laut prinsipnya
melalui suatu seri penggunaan oksidan untuk keperluan
peleburan karbon organik seperti berikut:
Oksigen  nitrat  MgO2  besi oksida  sulfat
Dari uraian diatas terlihat bahwa konsumsi oksigen di
laut merupakan indikator siklus biogeokimia secara global.
Oleh karenanya unsur oksigen punya arti penting dalam
proses biogeokimia di laut. Halmana oksigen bisa didapatkan
lewat proses fotosintesis dari tumbuhan termasuk fitoplankton
dan difusi langsung dari atmosfer (lihat bahasan di bab 7).
Dalam proses denitrifikasi membutuhkan oksigen yang
cukup, dimana beberapa peneliti menggemukakan bahwa di
laut lebih-kurang
60%
hilang karena digunakan pada
denitrifikasi dan aktifitas biologi lainnya, dan yang tertinggal di
badan air hanya 30% (oksigen kurang) sedang ada di dalam
bahan organik yang terkubur sebanyak 10%.
②
Proses diagenetik melalui oksidan akan berjalan
sempurna, karena oksigen factor utama penggerak lajunya
diagenesis.
③ Banyak bahan organik masuk mengikut pelbagai
aliran, secara ilustrasi dilukiskan pada gambar 9.4. dimana
karbon organik sebelum terendap di laut umumnya akan
melewati daerah kontinen dan delta. Pemasukan bahan
organik bersumber dari atmosfer (lewat hujan) atau di hantar
~ 234 ~
oleh arus, aliran sungai ke laut, dan terjadi endapan di dasar
laut dalam, merupakan diagenetik bersifat vertikal.
④
Proses diagenesis sangat tergantung pada jumlah
bahan organik yang tersedia di permukaan sedimen. Secara
umum pengurangan oksigen dan bahan organik dimulai dari
pinggiran kontinen ke samudera terbuka, artinya proses
diagenetik yang terjadi adalah bersifat lateral. Dengan proses
ini berakibat secara perlahan akan terjadi: (1) sedimen
Lembah
anoksit
Zona produktivitas
tinggi
Dataran Abysal
Pelagik
Gambar 9.4. Ilustrasi Proses Terendap Bahan Organik di Laut
Sumber Hedges and Keil (1995) disitasi oleh Chester dan
Jickells (2012).
dekat pantai lingkungannya ada lapisan anoksit, dan lapisan itu
akan terus ke laut sampai pada beberapa millimeter
dipermukaan sedimen adalah lapisan anoksit. (2) sedimen
dekat pantai hanya sedikit lapisan oksitnya. (3) sedimen
hemipelagik di laut dalam hanya memiliki sedikt lapisan oksit
yang diperoleh dari hasil reduksi nitrat, mangan oksida dan
besi oksida. (4) sesungguhnya pelagik sedimen di laut dalam
tidak terjadi proses diagenesis, sebab oksigen yang ada
~ 235 ~
digunakan untuk peluruhan organik karbon yang ada
dipermukaan sedimen. Jadi sedimen banyak mengandung batu
(shelf) dan di bagian miring, halmana bahan organik disitu
akan terhambat proses diagenetiknya karena akibat pengikatan
material yang ada di permukaan sedimen.
Prinsip dasar, semua bahan organik yang masuk dari
pelbagai aliran (seperti terlihat di gambar 9.4), akan berubah
bentuk fisiknya menjadi larutan, yang kemudian larutan ini
melalui air-interstisial atau secara bersama-sama akan
membentuk komposisi mineral di sedimen. Dengan demikian
fraksi elemen yang ada di badan air maupun yang terkandung
di air-interstisial akan digunakan untuk mempercepat proses
diagenesis sehingga jumlah elemen yang ada di bahan organik
maupun di badan air akan habis.
Mekanisme masuknya air-interstisial ke laut diuraikan
sebagai berikut. bahan organik itu berasal dari daerah pelagik
jatuh kedasar (vertikal), selama proses berlangsung partikel
makin berkurang karena telah terjadi suatu reaksi kimia antar
airlaut dan elemen yang ada di bahan organik itu. Akhirnya
bahan-bahan itu akan ke dasar perairan. Bahan organik yang
ada di atas sedimen laut dengan ketebalan kurang lebih > 10
sentimeter akan terurai oleh adanya oksigen, proses ini disebut
awal diagenesis, bila proses ini berjalan terus maka bahan
organik tersebut akan terendap, bertambahnya waktu lapisan
itu akan mengeras membentuk pebantuan sedimen.
Disaat diagenetik awal proses berlangsung, kimia yang
ada di air-interstisiaal berperan penting bersama-sama
sejumlah komponen kimia dalam siklusnya di badan air.
Komponen kimia tersebut adalah: (a) bioaktif atau labile dari
elemen C, N, P bersama Ca (kalsium karbonat) dan Si (opal).
Komponen kimia tersebut relatif sedikit jumlahnya yang akan
mengendap di sedimen laut, karena ada sebagian jumlahnya
akan melakukan siklus alamiah. (b) Sesungguhnya oksidan
yang digunakan untuk menghancurkan bahan organik adalah
oksigen, nitrat, Mn dan FeO2 serta sulfat. Konsumsi nitrat dan
~ 236 ~
sulfat di sedimen biasanya melalui suatu siklus biogeokimia
yang menggunakan ion dari komponen itu.(c) Logam kecil,
dalam proses peleburan bahan organik dengan menggunakan
oksidan biasanya ditopang dengan sejumlah logam kecil (trace)
yang ada di air-interstisial serta komponen kimia lainnya
dibadan air, saat bahan itu di transpor ke dasar perairan,
misalnya mangan oksida. Asosiasi antar logam dengan bahan
elemen-elemen tersebut untuk peleburan bahan organik,
secara umum disebut recycling. (d) Dalam proses diagenesis
awal berlangsung, ada beberapa elemen yang agak sulit dilebur,
seperti Na, K dan Mg. Elemen-elemen ini akan berinetraksi
dengan mineral aluminosilikat dalam siklus biogeokimia yang
akhirnya akan tenggelam ke dasar lautan.
Penyusunan elemen di air-interstisial secara garis besar
mekanismenya ada hubungan dengan faktor:
①
masuknya larutan berasal dari air laut
②
Proses pemindahan ke dalam sedimen
melalui difusi
③
reaksi yang terjadi antara air laut dengan
batuan vulkanis yang padat (baslt),
dimana bisa berlangsung pada suhu tinggi
maupun rendah.
④
proses reaksi berlangsung di dalam
sedimen
⑤
reaksi yang terjadi antar sedimen dan air
laut.
Intinya, penyusunan elemen yang dikandung oleh airinterstisial, semuanya elemen berasal dari air laut dan masuk
ke sedimen secara difusi, konsentrasi bervariasi halitu sangat
tergantung pada milieu dari sedimen itu.
Proses difusi air laut beserta beberapa komponen ke
sedimen, secara matematis agak sulit di hitung. Tapi dengan
melihat pengembangan model reaksi yang berlangsung di
sedimen maka dugaan besaran dapat dideteksi. Untuk
mengetahui sifat reaksi dari beberapa kimia yang ada di air-
~ 237 ~
interstisial dalam sedimen, secara ilustrasi diuraikan sebagai
berikut.
Perubahan komposisi kimia di dalam air-interstisial
lebih banyak pengaruhnya bahan organik yang masuk secara
vertikal dari pada horizontal, walaupun demikian proses
diagenetik yang berlangsung
adalah sama. Intinya, airinterstisial masuk ke sedimen akibat dari pemanasan sehingga
berubah menjadi larutan, kemudian oleh adanya tekanan akan
merembes ke sedimen (transport secara fisikal) atau dapat
pula dengan proses difusi. Hakekatnya, masuknya melalui
transpor fisikal dan difusi akan menaikan konsentrasi atau
potensi kimia akan bertambah. Secara matematis difusi suatu
larutan akan mengikuti persamaan hukum Fick adalah sebagai
berikut:
Pertama,
(9.13)
Kedua,
(9.14)
Dimana J= difusi komponen; i= massa/area/waktu; c=
konsentrasi massa dalam volume. Sedang D= koefisien difusi
massa per luas/waktu, dan x adalah kenaikan massa
maksimum.
Rumus pertama Fick
digunakan untuk
perhitungan pada sistem aliran tetap tapi rumus kedua,
digunakan pada kondisi dimana aliran difusi tidak tetap.
Sebelum menggunakan persamaan Fick perlu diketahui
jumlah
sedimen, air-interstisial dan air laut. Caranya,
keluarkan air-interstisial dari sedimen sehingga bisa dihitung
besaran difusi air-interstisial dengan hukum Fick. Material
padat yang terpisah dengan air adalah merupakan efek
porosity. Rasio antara panjang difusi yang berliku-liku dengan
difusi yang sifat lurus di sebut tortuosity (θ) (Berner, 1980).
Umumnya tortuosity digunakan untuk mengukur perubahan
~ 238 ~
listrik di sedimen dan air-interstisial di sedimen. Untuk
melihat hubungan antar sedimen dan air-interstisial
dilukiskan rumus sebagai berikut:
(9.15)
Dimana ϕ adalah porosity dan F
adalah faktor
pembentukan (F = R/R0, halamana R= daya elektrik di
sedimen; Ro= daya air-interstisial). Faktor pembentuk sedimen
di laut biasanya sekitar 1 – 10, sedang
effective diffusion
coefficient (D’) sedimen melebihi dari larutannya, yakni >10.
Untuk menghitung koefisien efektif dari difusi dapat
digunakan dengan rumus sebagai berikut:
(9.16)
Dimana D adalah koefisien difusi dalam larutan, ϕ
adalah porosity dan Θ = tortuosity.
Untuk menghitung difusi komponen di sedimen,
Gieskes (1983) membuat rumusan reaksi kimianya, dengan
anggapan transpor bahan secara vertikal melalui airinterstisial, maka aliran kimia yang terjadi dapat hitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
(9.17)
Dimana Jb adalah massa aliran, p = porosity , Z = kedalaman
dalam cm, u adalah kecepatan relatif air-interstisial ke
sedimen dalam cmb s− 1 ( kecepatan adveksi), C adalah
~ 239 ~
konsentrasi massa dalam mol cmp−3 dan Db koefisien difusi ke
sedeimen.
Untuk kesetimbangan larutan adalah sebagai berikut:
(9.18)
Dimana R adalah kimia yang masuk dengan kecepatan
reaksi mol cmb−3S −1.
Jika
densitas air-interstisial dan padatan tidak terjadi
perubahan, maka diberikan rumusan berikut:
(9.19)
Apabila di hubungan dengan rumus (9.18), maka
terbentuklah persamaan berikut:
(9.20)
Dan ketika tetap stabil atau tidak terjadi peubahan,
maka terjadilah persamaan:
(9.21)
Menurut Gieskes (1983), jika kecepatan sedimentasi
dan fluktuasi suhu tetap selama 10-12 menit dengan asumsi
permukaan sedimen tetap stabil, maka kecepatan akumulasi
20 meter per satu menit. Gieskes melukiskan
keadaan
konsentrasi dihubungkan dengan keadalaman di ilustrasikan
pada gambar berikut.
~ 240 ~
Gambar 9.5. Profil Konsentrasi larutan Kalsium di air-
interstisial menurut Kedalamannya (Data yang
diperoleh lewat pengeboran ke bagian dasar lautan)
.
Didasarkan pada gambar diatas kelarutan kalsium (Ca)
di air-interstisial akan berpengaruh pada tiga
peubah
(variabel) yaitu: difusi (Db), kecepatan rekasi (R), dan adveksi
(u), jadi untuk dugaan tentang difusi-adveksi dan reaksi di
dalam grafik itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
Kasus pertama, terhadap kecepatan difusi adalah R = 0,
Db = f(z) dan u = 0,artinya tidak terjadi reaksi dan adveksi.
Dengan demikian difusi (Db) terjadi penurunan dengan
bertambahnya kedalaman, dalam gambar terlihat grafik naik.
Kasus kedua, tentang kecepatan reaksi, dimana R ≠0,
Db adalah tetap dan u = 0. Kondisi ini menunjukan kalsium
mulai keluar dari larutan, jadi sumber kalsium disekitarnya
makin sedikit jumlahnya.
~ 241 ~
Kasus ketiga, tentang kecepatan adveksi adalah nol (R =
0), Db adalah tetap dan u ≠ 0. Keadaan ini memperlihatkan
tidak terjadi reaksi dan koefisien difusi tetap, dalam gambar
terlihat kurva adveksi relatif naik.
Pernyataan Gieskes (1983) terhadap profil konsentrasi
dan kedalaman Ca dan Mg di air-interstisial adalah sebagai
berikut:
Pertama tentang hubungan linear antara ΔCa dan
ΔMg, dimana R = 0. Bertolak dari persamaan 9.21, dengan
asumsi R = 0 maka profil Ca dan Mg komponen ini akan
masuk secara konservatif, yakni masuk melalui air-interstisial
dengan tidak terjadi reaksi. Dengan demikian keadaan
disekitar sedimen adalah batuan kecil vulkanik dan air laut itu
sendiri yang masuk. Kedua, hubungan non-linear antara ΔCa
dan ΔMg, terjadi reaksi di sedimen yaitu R ≠ 0, pada kondisi
ini persamaan 9.21 menghitung konsentrasinya harus gunakan
geometri.
Sesungguhnya proses diagenesis bahan organik (C,N
dan P) di sedimen telah melebar jauh sehingga melibatkan
unsur non biogenik di poros serta beberapa elemen yang
hanya bisa terurai oleh adanya cahaya matahari, seperti
Na+, K+ and Mg2+ serta silika. Pelbagai riset telah
dilakukan, ternyata komposisi kimia di sedimen cukup banyak
elemen yang tersusun bahkan sampai pelbagai bahan dari
vulkanik. Salah satu hasil penelitian Sayles (1979), yang
dilakukan di Samudera Atlantik bagian utara dan selatan
ternyata ditemui senyawa kimia sebagai berikut:
1) Pada air-interstisial kaya akan Na+, Ca2+ and HCO3-,
tetapi di air laut kandungan K+ dan Mg2+ menurun.
Namun di beberapa titik sampling terlihat
kandungan SO42− agak tinggi, halitu barangkali ada
peran sulfat sebagai penerima elektron dalam
oksidasi bahan organic.
2) Proses pengurangan dan pengkayaan elemen terlihat
sangat bervariasi, misalnya elemen Na+ relatif
~ 242 ~
sedikit walaupun ada peningkatan di antara air
dengan bertambahnya kedalaman, sebaliknya pada
sedimen dengan ketebalan 15-30 cm, konsentrasi
kation utama di air-interstisial menurun sangat
drastik.
3) Hakekatnya kandungan Mg2+, K+, Ca2+ dan HCO3tergantung dari kondisi geografis, dimana airinterstisial di sedimen dekat pantai relatif tinggi
tetapi di laut dalam rendah. Hal ini dikarenakan
pada air-interstisial disedimen pada perairan dengan
kedalaman sekitar 1-2 m umumnya kaya akan unsur
kalsium, natrium dan bikarbonat, tapi unsur kalium
dan magnesium telah habis. Terjadi pengurangan
elemen K+ karena telah berasosiasi dengan mineral
yang ada di lempung, seperti apa yang dikemukakan
oleh Mackenzie dan Kump (1995) bahwa dalam air
interstisial di laut dalam, umumnya kandungan
kalsium memperlihatkan kecenderungan naik,
sebaliknya elemen magnesium menurun. Dimana
secara teoritis bahwa: pertama, pembentukan
dolomit membutuhkan unsur magnesium kalsit
yang diambil dari shell yang mengandung karbonat;
kedua, serapan elemen magnesium pada fase opal,
akan menurunkan kandungan magnesium di airinterstisial sedimen yang mengandung silika.
Selain ada perubahan elemen magnesium dan kalsium,
juga sering terjadi penurunan nilai δ18 O di air-interstisial.
Menurut Lawrence dkk (1975) reaksi karbonat pada diagenesis
opal agak sulit dijelaskan, namun intinya nilai-nilai δ18 O
merupakan hasil reaksi dari batuan vulkanik di bawah tanah
atau yang tersebar di sedimen.
Hasil temuan Gieskes (1983) tentang profil beberapa
unsur kimia yang berasal dari bahan vulkanik terdapat dalam
disedimen dilukiskan pada gambar berikut.
~ 243 ~
Alkalinitas
K e d a l a m a n (M)
Sulfat (mM)
Strontium (mM)
Kalium (mM)
Kalsium dan Magnesium (mM)
Silika (mM)
Gambar 9.6. Profil Beberapa Elemen Kimia di Airinterstisial didasarkan pada Kedalamannya. (Data di
dapatkan lewat pengeboran/drilling: dimana lapisan
pertama berwarna coklat berisi lumpur terigen dan
lempung; kedua lempung pelagik, abu, siliceous; ketiga,
lumpur berbatu, lempung berbatu, lumpur berbatu,
calcareous, dan pasir berbatu;
empat, lempung
calcareous berbatu, glauconite, lumpurbatu; dan ke lima,
lumpur butiran vulanik dan ada rembesan air.
Sumber: Gieskes (1983).
Bertolak pada gambar diatas proses geokimia yang
terjadi dapat di uraikan sebagai berikut:
(1) Kosentrasi maksimum strontium merupakan
rekristalisasi karbonat pada cairan nanofossil
(nanofossil ooze), umumnya pada fase ini
dimulainya pembentukan mineral baru;
~ 244 ~
(2) Konsentrasi kalium menurun dengan bertambah
kedalaman, hal itu mengindikasi adanya pengikatan
elemen kalium oleh pembentukan tanah liat
(lempung);
(3) Profil sulfat menunjukkan penurunan dengan
kedalaman, menunjukkan bahwa telah terjadi
reduksi sulfat dalam kolom sedimen;
(4) Profil kalsium dan magnesium diinterpretasikan
sebagai proses tenggelamnya kandungan Mg dengan
bertambah
kedalaman, dan telah berintegrasi
dengan kalsium dan butiran vulkanik lainnya,
meskipun dalam profil lain memperlihatkan adanya
penambahan ion di sedimen dan di butiran vulkanik
didasar lautan.
Air-interstisial memiliki peran utama dalam proses
diagenetik bahan-bahan organik di sedimen yang dibantu
oleh
elemen oksigen.
Pelbagai uraian diatas dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Air-interstitial di sedimen laut sesungguhnya berasal
dari air laut, masuknya melalui beberapa cara, seperti
difusi, fisik akibat tekanan dan perbedaan suhu.
2. Kondisi eksternal dari air-interstisial di sedimen
dipengaruhi oleh lingkungan di dasar perairan dan
kolom air di atasnya.
3. Reaksi yang berlangsung di sedimen- air interstisial
biasanya sangat dipengaruhi oleh keberadaan komposisi
kimia yang ada di badan air, intinya pemindahan
unsure-unsur itu mengikuti kaidah dari konsentrasi
tinggi ke konsentrasi rendah.
4. Reaksi yang berlangsung pada air-interstisial paling
intens biasanya di kedalaman 30-50 cm di atas kolom
sedimen.
5. Kecepatan difusi ke sedimen sangat tergantung pada
bahan-bahan yang tenggelam membentuk sedimen,
dan lingkungan awal sedimen didasar perairan.
~ 245 ~
6. Bahan-bahan yang masuk ke sedimen dengan pelbagai
elemen yang terkandung dikenal ada dua sifat alirannya,
yaitu aliran primer, umumnya material berasal dari
vulkanik atau disebut “hidrotermal” terlarut di perairan
serta mengendap di dasar perairan berinteraksi dengan
elemen yang tersedia di alam, masuk ke air-interstisial.
Selanjutnya aliran sekunder, melalui bahan-bahan
organik dari pelbagai sumber masuk ke dalam airinterstisial di sedimen. Misalnya bahan-bahan yang
dialirkan oleh sungai, berasal dari atmosfer, semuanya
akan diurai di badan air bahkan terendap di dasar
perairan, hasil peleburan itu bersifat amorf masuk ke
sedimen sebagai air-interstisial. Sehingga Bruland (1983)
mengatakan bahwa elemen-elemen itu sebagai
tambahan bagi proses diagenetik.
Berbagai reaksi kimia yang sangat kompleks yang terjadi
di sedimen, air-interstisial maupun di antara muka sedimen
dan air laut berpotensi membentuk komposisi kimia di
cadangan sedimen (yang telah terendap di dasar). Reaksi
kimianya telah di uraikan diatas, dan untuk model diagenesis
mangan di sedimen laut disajikan bahasan berikut.
Burdige dan Gieskes (1983) mengatakan model
kualitatif diagenetik mangan (Mn) di pori-pori mengikuti
model persamaan berikut:
(9.22)
(9.23)
Dimana, Db adalah koefisien difusi sedimen, Cp adalah
konsentrasi Mn di pori-pori air, Cs adalah konsentrasi Mn
~ 246 ~
dalam fase padat, w adalah tingkat sedimentasi, φ adalah
porositas dan R (z) adalah ekspresi tingkat baik untuk oksidasi
atau pengurangan. Istilah φ / (1 × φ), melukiskan cm3
porewater / cm3 sedimen ,
nilai ini digunakan untuk
mengkonversi konsentrasi Mn antara fase padat dan cair.
Sehubungan dengan model Mn ini dengan asumsi bahwa
proses diagenetik yang terjadi ada sebagi berikut:
1. Diagenesis “Steady-state” yang berlangsung.
2. Vertikal gradien jauh lebih penting daripada gradien
horisontal sering gradient horizontal diabaikan.
Air Laut
Antarmuka air-sedimen
Zona Oksidasi
Zona oksidasi Mn
Reaksi Redoks
Zona Reduksi Mn
Zona Keseimbangan
Gambar 9.7. Model zona Diagenetik Mn.
3.
4.
5.
6.
Sumber : Burdige and Gieskes (1983)
Difusi di
“porewater” terjadi melalui proses
molekuler, yaitu difusinya mengikuti hukum Fick.
Porositas dan koefisien difusi
konstan dengan
kedalaman.
Sifat adveksi
konstan sampai pada tingkat
sedimentasi.
Umumnya fase padat dapat diabaikan
~ 247 ~
7. Bertambah waktu
pasokan Mn ke permukaan
sedimen tetap konstan
2+
8. Serapan Mn dapat diabaikan
9. Di zona reduksi Mn oksigen sangat terbatas sehingga
biodegradasi diabaikan.
Realita reaksi yang terjadi di alam memperlihatkan
bahwa peubah (variabel) Db berbeda tentang difusi ion bebas
di air laut, karena efek “tortuosity” pada partikel di sedimen.
Berkaitan dengan itu, maka persamaan berikut menjelaskan
prosesnya:
(9.24)
Dimana F adalah 'faktor pembentukan ', yang diukur sebagai
persentase resivitasi sedimen dengan resistivitas di pori-air
(porewater). Berdasarkan pada persamaan 9.23 dan 9.24
dimana R(x) itu menunjukan ekspresi pada tingkat oksidasi
maupun reduksi.
Dengan adanya luas permukaan cukup, maka
pengendapan Mn dan oksidasi merupakan suatu proses
pseudo-orde pertama, sehingga,
(9.25)
Untuk mengambarkan bagaimana oksidasi yang terjadi
pada kondisi ini, dengan asumsi bahwa reaksi yang terjadi
adalah hidro oksida (MnOx). Oleh karenanya mekanisme
pengurangan Mn akan sebanding dengan jumlah Mn di bahan
padat yang tersedia (dugaan yang terjadi adalah hidro-oksida),
dengan demikian, Rred (z) dapat dinyatakan sebagai
(9.26)
Apabila di gabungkan rumus pada 9.22 dan 9.23 maka
di peroleh persamaan berikut:
Pertama, untuk zona oksidasi (L1 ≤ z ≤ L2),
~ 248 ~
(9.27)
(9.28)
Kedua, untuk zona reduksi (L2 ≤ z ≤ L3),
(9.29)
(9.30)
Dari persamaan pada keadaan di zona oksidasi dan
reduksi, secara ringkas persamannya adalah sebagai berikut:
(9.31)
(9.32)
(9.33)
(9.34)
Dimana,
(9.35)
Halamana dengan suatu asumsi, jika 4Dbkox > w2,
adveksi pada “porewater” tidak berpengaruh pada difusi, maka :
~ 249 ~
 = Kred/W
Lox = L2 – L1
(9.36)
(9.37)
Wn, Wt%
K e d a l a m a n (cm)
(A)
Gambar 9.8. Model Diagenesis Mangan di Sedimen Laut
Grafik (A), garis yang terputus-putus (titik-titik) adalah
“porewater”, sedang garis normal adalah fase padat.
Sumber : (Burdige dan Gieskes, 1983).
Grafik diatas merupakan hasil analisis dengan
menggunakan persamaan 9.31 dan 9.39, dimana: Db = 71,6
3
-3
cm2/tahun; w = 3 cm 10 /Tahun; φ = 0,8; ρ-sedimen = 2,6 cm ;
L1 = 20 cm; L2 = 30 cm; Cos = 0,1% berat; Kox = 5 per tahun dan
Kred = 1.50 × 10-3/Tahun.
~ 250 ~
Konsentrasi Mangan
Kedalaman
(B)
Gambar 9.9. Model Diagenesisi Mn di sedimen Laut
Menurut Froelich dkk, (1979)
(Grafik B)
(9.37)
(9.38)
(9.39)
~ 251 ~
Perhitungan aktual menggunakan dua peubah (Kox dan
Kred) dimasukan kedalam persamaan maka hasilnya model
diagenesis Mn baik larutan maupun padatan terlihat pada
gambar 9.8 (grafik A). Sedang grafik (B) adalah model
diagenesis Mn yang dilukiskan oleh Froelich dkk, (1979).
Migrasi Mn pasca-pengendapan dikaitkan dengan model
adalah sebagai berikut: Sedimen terkubur dalam kondisi di
bawah batas redoks, padat Mn oksida akan direduksi menjadi
Mn2+, selama proses oksidasi dan pengendapan. Kemudian
sedimentasi berlangsung terus terjadi pengendapan di zona
oksidasi yang akhirnya akan masuk ke wilayah redoks dan Mn
terperangkap di zona sempit di batas redoks (lihat gambar 9.7).
.
~ 252 ~
⑩
BIOMINERALISASI
B
iomineralisasi berkaitan dengan mineral yang
ada di jaringan organisme seperti rangka
(tulang, gigi dan kulit) serta cangkang yang
hidup maupun terdeposit (fosil) sebagai sedimen di dasar laut,
dari jaringan itu merupakan sumber pembentukan mineral di
laut. Banyak organisme hidup sebagai pembentuk mineral,
produk mineral itu disebut mineral biogenik atau “biomineral”
yang tersusun dari material berisikan matriks organik yang
sangat kecil ukurannya (nano atau mikro) atau sering disebut
kristalin mineral.
Mekanisme biomineral dalam organisme,
seperti
mineral kalsium, silika dan fosfat, serta trace elemen seperti Fe,
Na+,Mg2+ dan juga kalium di tulang dan kulit diatom yang
mengalami nukleasi masuk ke dalam pori-pori di dalam seratserat kolagen. Nukleasi dikatalisasi oleh adanya grup ester
fosfat dan grup karboksilat (Duda dan Pajak, 2004).
Pertumbuhan atau mineralisasi terjadi diseluruh serat kolagen
dan atau menghubungkan serat-serat kolagen satu sama lain
membentuk apatit tulang atau rangka organisme; apatit tulang
atau rangka ini dikenal dengan hidroksiapatit biologik.
Disamping gugus karbonat (CO32+), terdapat gugus fosfat
(PO43-) yang merupakan impuritas tulang. Gugus-gugus
tersebut secara struktur dan fisik bersifat tidak stabil dan
sangat reaktif. Sifat reaktif tersebut memberikan sifat-sifat
fisikokemikal, biologik, fungsional, dan kemikal yang penting
dalam pembentukan dan disolusi kristal di dalam jaringan
biologik
Prinsip dasar,
biomineralisasi adalah proses
pembentukan mineral sebagai bahan abiotik yang sebetulnya
bermula dari organisme hidup. Mineral-mineral yang
terbentuk itu, sering membentuk ciri berstruktur seperti
~ 253 ~
cangkang dan tulang biota (skeletal) , dimana proses itu
menghasilkan rangka bermineral yang terjadi sepanjang 550
juta tahun silam. Contoh: lapisan besi, dan emas yang ada di
sedimen
berasal dari biota lewat proses biokimia dan
perombakan yang melibatkan bakteri . Mineral-mineral yang
bersumber dari unsur biologi seringnya mempunyai kegunaan
khusus seperti penderia magnet di dalam bakteria
magnetotaktik (Fe3O4), piranti penderiaan graviti (CaCO3,
CaSO4, BaSO4), serta penyimpanan dan mobilisasi besi
(Fe2O3•H2O di dalam protein ferritin). Dari segi pengagihan
taksonomi, biomineral yang paling umum ialah garam-garam
fosfat dan karbonat kalsium yang digunakan bersama-sama
polimer organik, seperti kolagen dan kitin untuk menyokong
pada
percepatan
pembentukan
batuan
sedimen.
Sesungguhnya komposisi material pada biomineral berasal dari
tulang, gigi, enamel, staolit, otolit, kulit moluska dan krustasea,
tulang ekor ikan, kulit telur, rangka silika spongs, alga,
radiolarian, foraminifera dan kulit diatom mengandung silika,
juga mineral besi hasil pembentukan oleh bakteri (Lowestam
dan Weiner, 1989; Fortin dkk, 1997; Fortin dan Beveridge,
2000; Lower dkk, 2001 ; Mann, 2001; De Yoreo dan Dove,
2004).
Karena adanya ketarikan biomineral tersebut, yakni
bahan organik diubah bentuk menjadi unsur abiotik bernilai
ekonomis tinggi, maka beberapa dekade belakangan ini para
ilmuan memandang pengetahuan biogeokimia sangat penting
untuk melihat bagaimana evolusi kebumian, pelbagai mineral
yang ada di dasar laut yang bersumber dari organisme hidup
pada jutaan tahun silam, membentuk lapisan mineral yang
memiliki nilai ekonomis tinggi.
Perkembangan pengetahuan biogeokimia belakangan
ini sangat pesat, ditandai dengan berbagai judul riset di bidang
ini dengan melibatkan para ilmuan interdisplin, seperti ahli
biologi, kimia, fisika dan kebumian (earth sciences). Memang
disadari antar bumi dan pelbagai kehidupan bisa bermunculan
~ 254 ~
unsur-unsur baru yang merupakan sumberdaya alam yang
sangat bermanfaat, diantaranya biomineralisasi. Disiplin ilmu
ini telah dikembangkan oleh para ilmuan muda, bahkan
banyak dari mereka telah berhasil mengaplikasikan riset
dengan menggunakan metoda piranti komputer. Tetapi
sesungguhnya
terbitan
buku
pertama
tentang
“biomineralization” sudah sejak tahun 1824 oleh seorang
pakar dari Jerman bernama W.J. Schmidt. Kemudian di awal
tahun 1980-an bermunculan pelbagai tulisan ilmiah tentang
“calcification”, dimana menceritakan bagaimana proses biologi
terjadi pada pengkapuran yang berisikan mineral. Lebih dalam
kajiannya ternyata mineral biogenik itu diliputi oleh kation,
halini dikenal sebagai biomineralisasi, karya tulis itu antara
lain : Lowenstam dan Weiner, 1989; Leadbeater dan Riding,
1989; Bäuerlein, 2000 dan Mann, 2001.
Sebelum menanjak ke pembahasan lebih dalam tentang
biomineral, kita perlu ketahui bagaimana evolusi biomineral
dalam sejarahnya. Ada seorang ahli dari Belanda bernama
Nicolaas Tinbergen sangat terkenal sebagai ahli biologi dalam
prediksi dan perkembangan lanjut maklum hidup. Dia telah
mempelajari bagiamana fungsi organisme yaitu molukuler dan
fisiologi ditinjau dari sudut biomineralisasi. Dalam kesimpulan
dia bahwa berbicara biomineralisasi tidak akan terlepas
dengan pengetahuan biologi dan kimia, termasuk dalamnya
bakteri sebagai peluruh sel-sel organisme.
Rangka biota dan cangkang yang terdeposit di dasar
perairan dalam periode geologi yang panjang, secara alamiah
terjadi pengikatan kimia sehingga membentuk lapisan keras
(lihat uraian pada bab 8). Di tinjau dari segi evolusi rangka
organisme,
secara phylogenetik dan fossil di sajikan pada
gambar 10.1.
Bentukan mineral mula-mula terjadi pada organisme
prokaryotik yang kemudian ke eukaryotik proses ini terjadi
kurang lebih lebih 3500 juta lalu (Weiner dan Dove, 2003).
Kemudian diakhir era “Precambrian” dan khusus pada
~ 255 ~
“Cambrian” kira-kira 540 juta tahun silam, telah terbentuk 64
jenis mineral yang berbeda bersumber dari pelbagai phylum
(Knoll, 2003). Sesungguhnya biomineral tidak hanya di
produksi oleh biota tetapi dapat juga bersumber dari kerak
bumi, dan bentuknya tergantung pada jenis, ukuran,
kristalinitas, isotop dan trace elemen yang menyusun
komposisinya.
Gambar 10.1. Skala Geologi 1000 tahunan dan
Kejadian Evolusi
[Era Mesoproterozoic (1600-1000 juta tahun yang lalu)
dan Paleoproterozoic (2500-1600 juta tahun lalu).
Sedang Proterozoic dan Archean (>2500 juta tahun
lalu), tidak terlihat pada gambar.
Sumber : Remane (2000)
~ 256 ~
Prinsip dasar proses biomineral
dari skeletal
membutuhkan energy dan energy itu digunakan pada proses
metabolik
organisme
pembentuk kerangka tubuh dan
cangkang. Bongkahan sebagai mineral bisa diproduksi oleh
hewan, tumbuhan dan bakteri, tetapi jelas bagi kita bahwa
penyusun mineral dari organisme (prokariotik dan eukariotik)
mengeluarkan energy cukup besar, dan hal itu tergantung
pada lingkungan. Namun demikian proses yang berlangsung
bertalian dengan interaksi kimia sebagai pembentuk mineral.
Mekanisme penyusunan biomineral melibatkan
pelbagai
senyawa di lingkungan maupun proses biokimia di dalam
tubuh organisme itu, seperti asupan nutrisi di organisme,
fotosintesis serta kerja enzim yang memproduksi butiran
kristal mineral.
Bertolak dari gambar diatas, terlihat organisme yang
hidup jutaan tahun yang lalu telah menyusun lapisan kerak
samudera dengan pelbagai mineral yang padat, belakang ini
para ilmuan menyebutnya sebagai “nodule” di dasar laut dan
tanah di dasar laut. Suatu kehebatan yang harus kita kagumi
para ahli paleosenografi mampu menelusuri peristiwa jutaan
tahun yang lalu dalam struktur fosil yang ditinggalkan oleh
organisme laut.
Secara phylogenik organisme
eukariotik sebagai
penyusun kerangka mineral telah teridentifikasi lewat kajian
oleh para ilmuan. Phylogenik dan model sebaran penyusun
kerangka mineral itu di ilustrasikan dalam gambar 9.2.
Gambar
tersebut
menyerupai
bentuk
pohon
memperlihatkan jalannya (roadmap) evolusi skeletal,
hakekatnya ada tiga biomineral skeletal, yaitu kalsium
karbonat dan silika merupakan jumlah terbanyak, sedang
kalsium fosfat relatif sedikit jumlahnya , biomineral ini
tersebar luas, tetapi proses pembentuknya tergantung pada
organisme eukariotnya dengan proses biokimia yang terjadi.
~ 257 ~
Gambar 10.2.
Phylogenik Molekul Eukariotik Penyusun
Kerangka Mineral
[ C= mineral kalsium karbonat; P= mineral Kalsium
fosfat; S= opal silika] Sumber: Mishler dkk (1994)
Khusus untuk tumbuhan; tentang “opisthokonts”
(Giribet, 2001); dan Baldauf (2003) untuk Eucarya; dan
Lowenstam and Weiner (1989) disitir dan diramuh oleh
Knoll (2003).
Mineral bisa berasal batuan yang terlepas akibat sinar
matahari dan beberapa sumber dipindahkan oleh sungai atau
jatuh dari atmosfer. Dengan demikian komposisi kimianya
~ 258 ~
sangat kompleks dan peluruhannya dipengaruhi oleh
temperatur, pH, tekanan parsial dan CO2 dari udara. Material
ini terlarut membentuk endapan sebagai batuan sedimen.
Selain itu, mineral laut dapat juga ditransformasi secara pasif
diagenesis membentuk struktur, yaitu bersumber dari
organisme prokariot dan eukariot. Kedua kelompok organisme
ini memiliki kemampuan menyusun skeletal mineral yang
terakumulasi di sedimen laut.
Rangka karbonat
Seperti pada gambar 10.2, ada delapan kelompok
organisme
(
Opisthokont,
Heterokont,
Alveolate,
Cercozoan, Discicristate, Amoebonozoan, Excavate dan
plant) lima diantaranya berisikan kerangka mineral dan
endapan kalsit atau aragonit. Namun demikian yang menjadi
pertanyaan bagi kita, berapa banyak rangka karbonat yang
terbentuk pada spesies eukariot ?, jawabannya, sangat
tergantung pada struktur skeletal dan proses biokimianya.
Telah diketahui ada dua taxa yang secara orginal dapat
menghasilkan rangka CaCO3, yaitu echinodermata dan
foraminifera.
Biomineralisasi karbonat dari kelompok “foram”
berbeda antar cerozoan dan opisthokon, tetapi bagi kelompok
echinodermata dan ascidian jelas memiliki mineral yang sama,
kedua kelompok ini mengandung “deuterotome kalsifit”
walaupun bentuk anatomi skeletal berbeda, yakni berbentuk
spikula pada ascidian sedang pada echinordemata ditandai
“stereo” (Knoll, 2003). Suatu dugaan rangka karbonat yang ada
pada eukariot ada sekitar 20-80 , termasuk ada 20
sesungguhnya dari metazoa (kalau pada Cnidaria hanya 8)
(Romano dan Caims, 2000), ada 4 pada tumbuhan (alga hijau
dan alga merah), dan pada cercozoan, haptophyte, heterokont,
dan pada alveolate (di dinoflagelatta mengandung kalsifit).
Menurut Besgtson dan Conway (1992) keanekaragaman
rangka pada batuan Cambrian rendah yang bentuk endapan
~ 259 ~
skeletal dengan lapisan terputus-putus disitu terdapat banyak
biomineralisasi karbonat berasal dari demospongs.
Intinya pada phylogenic, menjelaskan suatu evolusi
rangka karbonat, mekanisme lewat system molekuler sama.
Pembentukan rangka membutuhkan endapan mineral, dan
endapan itu di kendalikan oleh system biologi. Biokomposit
rangka organisme terdiri dari matriks organik, yaitu protein
kolagen dan substansi inorganik ( protein nonkolagen).
Kolagen dalam bentuk lamela-lamela ini membentuk rangka
yang padat (kompak). Di antara lamela matriks, terdapat
osteosit yang menerima dan mentransmit nutrien. Selain
kolagen, di matriks organik tulang juga berupa protein
nonkolagen akan
berperan di dalam remodelling
(pembentukan rangka). Dalam biomineralisasi skeletal
membutuhkan kalsium dan karbonat, dimana kedua unsur ini
sebagai inti mineral untuk pertumbuhan rangka.
Cangkang moluska ialah bahan komposit biogenik yang
telah menarik banyak minat dalam bidang sains, karena
sifatnya yang luar biasa serta cirinya yang unggul untuk
mengkaji biomineralisasi. Beratnya terdiri daripada 95-99%
kalsium karbonat dan
1-5% yang tertinggal merupakan
komponen organik. Dalam biomineralisasi cangkang moluska,
protein-protein khusus bertanggungjawab mengarahkan
penukleusan hablur, fasa, morfologi, serta dinamika
pertumbuhan dan akhirnya memberikan cangkang itu
kekuatan mekanik yang luar biasa.
Proses
biologi
pada
eukariot
baik
bersifat
photoautotropik maupun heterotropik membutuhkan ion Ca 2+
dan enzim tertentu. Hasil studi dari Weiner and Wagner
(1999), menyimpulkan bahwa pada organisme pembentuk
karbonat terjadi sintesa asam protein dan glikoprotein menjadi
mineral sebagai diagenetik pertumbuhan Kristal. Jadi banyak
hewan dan bakteria bukan pembentuk rangka tetapi memiliki
peran sintesa karbonat dalam proses biomolekul. Walaupun
secara biokimia ada juga molekul yang dapat menghambat
~ 260 ~
mineral CaCo3, Martin
(1995) mendukung adanya
pengurangan mineral pada rangka, melalui “anti-calcifying” di
makromolekuler sehingga terjadi penghambatan pertumbuhan
Kristal.
Sebab di samudera yang mengandung banyak
“proterozoic”
biasanya cepat terjadi kalsifikasi pada sel dan
jaringan, terkadang molekul itu menghambat pertumbuhan
rangka, hal ini disebut sebagai anti-kalsifikasi. Menurut Luo
dkk (1997) kalau pada moluska dan cnidarians ada aktivitas
biokimia yang bekerja sebagai kekebalan terhadap “anticalcifying”.
.
Dengan demikian banyak rangka calcareous terbentuk
hasil kerjasama molekul dan proses fisiologi pada organisme
eukariot. Intinya rangka strukturnya tidak homogen
tergantung proses biokimia pada pembentukan kerangka
karbonat.
Rangka silika
Biomineralisasi silika di bumi lebih banyak dilakukan
oleh organisme akuatik, seperti diatom, radiolaria dan
sinurophyta multi sel yang berongga (Lowenstam dan Weiner,
1989). Organisme itu memproduksi rangka bagian dalam dan
luarnya sampai tersusun massa tubuhnya, dan fenomena ini
lebih banyak dilakukan oleh diatom. Gambaran secara elektro
mikroskopi yang dilakukan oleh Sumper dan Kröger (2004)
disajikan pada gambar 10.3.
Pembentukan massa biosilika dimulai dari bentuk
ukuran nano secara perlahan-lahan terbentuklah rangka
dinding kulitnya, proses yang berlangsung ini dikontrol dengan
mekanisme biokimia. Jadi kulit diatom terdiri dari nano silika
yang tersusun membentuk ikatan SiO2 organik.
~ 261 ~
Gambar 10.3. Struktur kulit luar beberapa Jenis diatom. (a)
Cylindrotheca fusiformis; b,c) Coscinodiscus asteromphalus;
d,e) Thalassiosira pseudonana.
Sumber: Sumper dan Kröger (2004)
Rangka silika opaline banyak terdapat pada organisme
eukariot, kurang lebih lima atau enam kelompok dari delapan
kelompok besar ditemukan rangka silika. Secara biologikal
sebaran rangka SiO2 berbeda dengan rangka CaCO3. Halmana
biomineralisasi silika endapannya hanya pada intrasel. Dengan
demikian ukurannya mikroskopis, umumnya banyak ditemui
pada “cercozoan” (radiolarian dan sejenisnya), “ebridian” dan
“heterokon”. Tetapi di hewani rangka siliceous hanya ada pada
rongga spikula dan sedikit di kopepoda ( Sullivan dkk, 1975),
juga ada di intrasel bagian epidermis larva brachiopoda
(Williams dkk, 2001)
.
Kalau di tumbuhan, biomineralisasi karbonat laut dan
phytolith mineral berisi silika, di alga airtawar terjadi di
jaringan tumbuhan bagian luar, seperti pada rumputan, sedges
dan “sphenopsid” genus Equisetum (Rapp dan Mulholland,
1992), kecuali choanoflagellate dan spongs memang telah
~ 262 ~
mengandung endapan silika, diperkirakan 8-10 kali lebih besar
dari organisme eukariotik.
Apabila terjadi kerusakan mineral di dalam tubuh
organisme, dibutuhkan silika transpor ke bagian sel itu
(berasal dari deposit silika yang tersedia pada gelembung air di
perairan), dimana yang berperan disini adalah enzim. Silika di
gelembung air, biasanya bersumber dari pelbagai molekul,
dimana adanya polimerisasi molekul asam silisik, poliamin dan
silaffin di diatom (Korning dkk, 2001). Intinya, setiap organisme
menyusun rangka silika mineral selalu di kendalikan dengan
proses biokimia.
Polimerisasi asam silikik bisa terjadi dalam tiga tahap,
yakni: ①. Asam silikik dari kelompok“silanol” yang berukuran
kecil akan membentuk “dimer” ; “trimer” dan siklus oligomer.
Jenis asam oligosilikik berkemampuan membentuk ikatan
“siloxane” atau Si-O-Si sebagai bentuk maksimal, dan dalam
polisilikik ini merupakan inti pada rangka silika. ②
polimerisasi berjalan terus inti itu berkembang menjadi bentuk
bola kecil (lihat gambar 9.4) halmana asam silikik berbentuk
monomerik sampai oligomerik akan membentuk partikel. dan
ke ③ massa polysiklikik ini berkembang terus sehingga terjadi
pekat berwujud gel yang akhirnya terjadi ikatan silika yang
kuat, maka tersusunlah kulit diatom.
Biomineral yang terjadi berisikan matriks kimia organik
dan atau inorganik dalam pelbagai bentuk tergantung pada
interaksi mineral yang terjadi. Silika pada organisme dilaut
lebih banyak (± giga ton per tahun) dari silika yang dikandung
oleh manusia (diperkirakan hanya mega ton), umumnya silika
di perairan alam ada dalam bentuk asam silikik dan terdeposit
di sedimen.
Biomineral silika yang di alam
mekanisme
pembentukan secara diagenesis, mula-mula unsur kimia
organik (protein dan karbohidrat) melalui reaksi biokimia
sehingga terbentuk senyawa kimia kompleks (larutan), dan
larutan itu terdapat juga ion-ion lain seperti: Li+, Na+, K+ dan
~ 263 ~
karbonat.
Proses
biokimianya berlangsung terus dan
dipengaruhi kondisi lingkungan, larutan itu berubah jadi gel
(terjadi pengentalan), biasanya pada keadaan berbentuk gel ini
makin jelas terlihat senyawa silika, berkat bantuan reaksi
biokimia, suhu dan tekanan maka terbentuk endapan silika di
sedimen. Gambar 9.4 memberikan Ilustrasi proses pembentuk
butiran silika membentuk rangka.
Gambar 10.4. Proses terbentuk rangka silika
Silika dalam bentuk SiO4 (tetrahedron) dan SiO6
(octahedron) merupakan unsur pembentuk struktur rangka
organisme, senyawa itu bersama dengan material silika
berbasis zeolite membentuk endapan yang tidak berbentuk
(amorf) di dasar perairan. Material yang “amorphous”
biasanya ada dalam ikatan Si−O−Si atau ikatan yang terpisah
berbentuk Si−O, bentuk struktur kimia silika amorf seperti
terlihat pada gambar 10.5. berikut ini.
Gambar 10.5. Struktur Ikatan Silika Penyusun Rangka
~ 264 ~
Senyawa silika dalam ikatan Si-O- grup dengan adanya
pengentalan dua senyawa asam silikik , mekanisme reaksi
yang terjadi seperti dilukiskan pada gambar 10.6.
Gambar 10.6. Mekanisme Pengentalan Dua Asam Silikik
Senyawa kimia silika seperti yang ada di gambar 9.5.,
halmana senyawa Si (OH)4 di bawa kondisi pH normal akan
mengalami reaksi seperti berikut:
Si(OH)4 + Si(OH)4↔ (HO)3Si–O–Si(OH)3 + H2O
(10.1)
Apabila terjadikan tabrakan dua molekul asam silikik
(yang bermuatan ion dan non-ion) maka menurut perry
(2003), reaksinya akan terjadi demikian:
Si(OH)4 + Si(OH)3O−↔ (HO)3Si–O–Si(OH)3 + OH−
~ 265 ~
(10.2)
Proses pembentukan silika oleh organisme atau sering
disebut biosilika bisa bersumber dari pelbagai organisme,
seperti radiolaria, diatom, plankton dan sebagainya, walaupun
secara global kandungan biomineral silika lebih sedikit jika
dibandingkan dengan biogenik CaCO3. Beberapa contoh
organisme yang mampu memproduksi silika (biosilika),
disajikan pada gambar berikut.
Gambar 10.7. Silika bersumber dari beberapa organisme.
(sumber: Perry, 2003)
Silika dalam suatu ikatan kimia kompleks merupakan
polimer alam (natural) seperti agarose, hialuronat, fibrin,
kolagen ataupun gelatin akan mengalami metabolisme dalam
tubuh sehingga membentuk lapisan kulit dan rangka silika
tubuh.
~ 266 ~
Rangka fosfat
Mineralisasi kalsium fosfat membentuk granula kecil
merupakan fosfat yang tenggelam dan tersimpan di laut (
Lowenstam & Weiner, 1989). Rangka fosfat yang terbentuk
berasal dari hewan sangat terbatas, kecuali pada branchipoda
dan beberapa jenis organisme bertulang belakang. Sebagian
besar sumber itu melalui metabolisme
bisa merupakan
nutrient fosfat bagi rangka. Apalagi sebagiannya digunakan
untuk perbaikan perbaikan sel tubuh organisme.
Walaupun rangka fosfatik berbeda dengan evolusi
pembentukan kalsium karbonat, tetapi dalam proses
pembentukan mineral selalu melewati proses biokimia. Hal
yang menarik di semua organisme eukariot terjadi transport
kalsium dan ini merupakan pengendali bagi pembentukan
fosfat secara molekuler. Endapan fosfat dan CaCO3 pada hewan
merupakan tanda bahwa molekul bisa menyumbangkan
mineral. Memang berbeda endapan mineral berasal dari
organisme bertulang belakang (vertebrat) dan moluska, namun
kuncinya pembentukan rangka tergantung pada proses
biokimia dan jumlah tulang yang dimiliki oleh hewan itu.
Biomineral Utama
Mineral di laut terdiri pelbagai jenis, kurang lebih ada
64 jenis yang telah ditemui, tetapi ada beberapa jenis yang
mendominasi atau disebut juga sebagai biomineral utama.
Kation kalsium banyak terdapat pada organisme, hampir 50%
biomineral yang diketahui mengandung kalsium (Lowenstam
dan Weiner, 1989). Ternyata kalsium punya peran penting pada
metabolisme sel (Lowenstam dan Margulis, 1980; Simkiss dan
Wilbur, 1989) halamana banyak dipakai untuk kalsifikasi.
Pelbagai sumber menyatakan bahwa kalsium bisa berasosiasi
dengan fosfat, karbonat, oksalat dan mineral lainnya. Tabel 10.1
berikut memperlihatkan
nama dan komposisi kimia
biomineral.
~ 267 ~
Tabel 10.1. Nama dan Komposisi Kimia Mineral
Hasil Mineralisasi Secara Biologi
Nama Kimia
Bentuk Senyawa
Karbonat
Kalsit
Mg-Kalsit
Aragonit
Vaterit
Monohydrokalsit
Protodolomite
Hydrocerussite
Amorphous Kalsium Karbonat
(ada 5 bentuk)
Fosfat
Octakalsium fosfat
Brushite
Francolite
Carbonated-hydroxylapatite
(dahllite)
Whitlockite
Struvite
Vivianite
Amorphous kalsium fospat
(ada 6 bentuk) Amorphous
kalsium Pyrofosfat
Sulfat
Gypsum
Barite
Celestite
Jarosite
Sulfida
Pyrite
Hydrotroilite
Sphalerite
Wurtzite
Galena
Greigite
Mackinawite
Amorphous Pyrrhotite
Acanthite
Arsenat
Orpiment As2S3
Hydrat Silika
Amorphous Silika
~ 268 ~
CaCO
(MgxCa1 )CO
CaCO
CaCO
CaCO3·H2O
CaMg(CO3)2
Pb3(CO3)2(OH)2
CaCO3·H2O or CaCO3
3
x
3
3
3
Ca8H2(PO4)6
CaHPO4·2H2O
Ca10(PO4)6F2
Ca5(PO4,CO3)3(OH)
Ca18H2(Mg,Fe)2 +2(PO4)14
Mg(NH4)(PO4)·6H2O
Fe3+2(PO4)2·8H20
bervariasi
Ca2P2O7·2H2O
CaSO4·2H2O
BaSO4
SrSO4
KFe3+3(SO4)2(OH)6
FeS2
FeS·nH2O
ZnS
ZnS
PbS
Fe3S4
(Fe,Ni)9S8
Fe1−xS (x = 0−0.17)
Ag2S
As2S3
SiO2·nH2O
Klorida
Atacamite
Fluorida
Fluorite
Hieratite
Logam
Sulfur
Oksida
Magnetite
Amorphous Ilmenite
Amorphous Besi Oksida
Amorphous Manganes
Oksida
Hydroksida & Hydrous Oksida
Goethite
Lepidocrocite
Ferrihydrite
Todorokite
Birnessite
Organik Kristal
Earlandite
Whewellite
Weddelite
Glushinskite
Manganese Oxalate
Sodium urate
Asam Urik (asam urat)
Kalsium tartrat
Kalsium malat
Paraffin Hydrocarbon
Guanine
Cu2Cl(OH)3
CaF2
K2SiF6
S
Fe3O4
Fe+2TiO3
Fe2O3
Mn3O4
α-FeOOH
γ-FeOOH
5Fe2O3·9H2O
(Mn+2CaMg)Mn3+4O7·H20
Na4Mn14O27·9H2O
Ca3(C6H5O2)2·4H2O
CaC2O4·H2O
CaC2O4·(2+X)H2O (X<0.5)
MgC2O4·4H2O
Mn2C2O4·2H2O
C5H3N4NaO3
C5H4N4O3
C4H4CaO6
C4H4CaO5
C5H3(NH2)N4O
Sumber : Lowenstam dan
Weiner (1989), Simkiss dan Wilbur
(1989), Mann (2001), Weiner and Addadi (2002)
Hal yang menarik dari biomineral kimia organik dari
tubuh biota setelah terurai dapat menyusun endapan di dasar
laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Endapan mineral itu
berbentuk amorf biogenik, seperti granula (butiran halus)
hidro-besifosfat yang bersumber dari kulit holothurians,
Molpadia ( Lowenstam dan Rossman 1975). Contoh butiran
material amorf yang terdapat di kulit holothurian.
~ 269 ~
Gambar 10.8. Endapan Butiran Hydrous Besi Fosfat
pada Kulit Holothurian
Sumber: Weiner dan Dove (2003)
.
Mineral kalsium karbonat banyak dikandung oleh
organisme baik dalam jumlahnya maupun sebaran pada
pelbagai taxa (Lowenstam dan Weiner, 1989). Telah diketahui
ada delapan polimer kalsium karbonat, dimana tujuh
berbentuk kristalin sedang yang satu berbentuk amorf (butiran
kecil tidak berbentuk). Kemudian ada tiga polimer
mengandung kalsium karbonat murni, yakni: Kalsit, aragonit
dan vaterit. Selain itu dua senyawa monohidrokalsit dapat
membentuk kalsium karbonat stabil yang berisi satu molekul
H2O setiap kalsium karbonat (Addadi dkk, 2003)
Kurang lebih ada 25% tipe biogenik mineral adalah
fosfat, kecuali “struvite” dan “brushite”. Fosfat mineral yang
diproduksi oleh biota sangat berlimpah, senyawa itu ada dalam
ikatan karbonat hidroksiapatit, sering disebut “dahllite”, dan
mineral-mineral itu banyak ditemui di tulang dan gigi, tapi
kalau pada brachiopoda ada di inarticulate shell.
Kristal biogenik karbonat apatit biasanya berbentuk
lempengan tipis dan kecil (± 2-4 nm tebalnya dan ada juga
beberapa bisa sampai 10 nm agak panjang dan lebar). Memang
umumnya mineral berbentuk kristal dapat terjadi melalui
sistem “hexagonal crystallography” (Stumm, 1992).
~ 270 ~
Kalau melihat pada table 9.1 diatas terlihat setiap klas
mineral berisikan satu atau lebih H2O atau gugus hidroksil, dan
hampir 60% biomineral berisi hydrat. Kemudian bentuk
pertama kristalin biomineral karbonat adalah fase hidrat, jika
senyawa itu berisikan anhidrat maka perkembangan inti akan
terhambat, karena energy kurang serta air yang ada bisa
menghambat pertumbuhan.
Untuk biomineral besi agak sulit di prediksi jenisnya
sebab kebanyakan mineral itu ada dalam ikatan oksida,
hidroksil dan sulfida (Bazylinski dan Moskovitz, 1997).
Menurut Konhauser (1998) ada beberapa mineral besi sulfat
(FeS) dan fosfat yang terdapat di permukaan bumi bisa
memperkaya mineral di sedimen. Namun demikian mineral
yang tersedia kurang lebih 40% berasal dari organisme
(Bazylinski and Frankel, 2003). Mineral bersifat inorganik
berasal dari permukaan tanah dapat berasosiasi dan masuk ke
biomineralisasi. Demikian juga Kirschvink dan Hagadorn
(2000), mempertegas bahwa mineral itu dapat menarik
biomineral dan mineral besi secara umum lewat aktivitas
mineralisasi.
Dalam table 10.1. terlihat ada satu grup “organik”
mineral
walaupun pembentukannya kontradiksi dengan
proses fase kristallin oleh organisme. Namun dapat dipastikan
mineral-mineral itu akan kembali terbentuk lewat fraksinasi.
Kecuali DNA telah diketahui ditransformasi ke fase kristalin
melalui bakteri.
Prinsip Dasar Biomineralisasi
Pengaturan secara biologi pada proses mineralisasi
diatur oleh dua kelompok, yaitu tergantung pada kebebasan
biologikal dan mediasi matrik organik. Prinsipnya
biomineralisasi sangat tergantung pada lokasi, yaitu: (1)
bagaimana bentuk apakah konsentrasi ion atau fase padat serta
dimana biomineral itu terbentuk; (2) tipe translokasi yang
terjadi; (3) letak dan bentuk produk terjadi. Hakekatnya
~ 271 ~
aktivitas biomineralisasi akan dikendalikan oleh biologikal,
seperti mekanisme transport dan hidrasi di lingkungan
biasanya memberi efek sedikit elemen kimia.
Endapan mineral dapat terjadi karena interaksi antara
aktivitas biologi dan lingkungan, sering disebut sebagai
“biologically induced” mineralisasi. Dalam kondisi ini
permukaan sel merupakan tempat pertumbuhan inti mineral
dan perkembangannya. Mineral yang terdeposit melalui proses
metabolisme dan didukung oleh proses “redox” (reduksi
oksidasi) yang dikendalikan oleh pH, pCO2 maka organisme
boleh mengsekresikan mineral dan terdeposit dilingkungan
(McConnaughey, 1989; Fortin dkk, 1997 dan Tebo dkk, 1997).
Proses mineralisasi di tubuh organisme seperti terlihat pada
ilustrasi di gambar 10.9. berikut ini.
Nukleat di episel
Produk organik
Keterangan
Aktif
memompa
Difusi
pasif
Sekresi
Nukleat terangkat menjadi partikel
Gambar 10.9. Skematik “biologically induced” mineralisasi
Sumber: Weiner dan Dove (2003)
Partikel mineral akan keluar dari kulit sel melalui suatu
mekanisme seperti ilustrasi diatas, halmana adanya aktivitas
memompa dari tubuh (proses metabolism) maka terjadi
pengeluaran bahan organik atau sekresi bahan organik yang
~ 272 ~
bermuatan mineral, yang kemudian akan terlepas ke
lingkungan perairan dan menjadi endapan sedimen ( Knoll
2003; Van Cappellen 2003). Prinsip dasar, komposisi mineral
yang keluar sebagai proses rangsangan secara biologi ada
dalam berbagai jenis mineral disertai bentuk bermacammacam pula. Kemudian mineral ini akan mengendap dan
berubah menjadi bahan kimia anorganik yang tersusun sebagai
batuan sedimen.
Aktivitas proses mineralisasi oleh organisme terjadi
langsung pada inti, dan inti itu akan bertumbuh sehingga
membentuk morphologi tertentu, akhirnya terdeposit di
lingkungan. Harus disadari, mekanisme biomineralisasi di
dalam tubuh organisme sangat rumit, namun demikian
pelbagai biota mampu memproduksi butiran mineral sebagai
awal pembentukan mineral di sedimen. Proses biomineral
biasanya terjadi di intrasel dan tersimpan pada bagian-bagian
sel tertentu, kemudian terlepas melalui kulit yang pada
akhirnya akan terlepas ke lingkungan perairan.
Mineralisasi dapat berlangsung di sel bagian luar yakni
adanya suatu matriks makromolekul berasal dari protein,
polisakarida dan glikoprotein secara bersama-sama atau
berintegrasi menyusun mineral, tetapi proses ini dikendalikan
oleh kegiatan biokimia (metabolism) di sel bagian dalam
tubuh. Intinya penyusunan komposisi biomineral dilakukan
oleh asam amino (protein) lebih khusus lagi “aspartate” dan
grup fosforil (Swift dan Wheeler, 1992).
Matriks molekul yang terbentuk itu berasal dari:
pertama, adanya difusi ion di cairan dengan kekentalannya
tinggi di dalam tubuh, kemudian secara aktif sel itu memompa
kation melalui membrane sel dan akan terkumpul di suatu
bagian tertentu (Simkiss, 1986)( lihat gambar 10.10,a), kedua,
Kation yang ada terkonsentrat di sel sehingga terjadi
gelembung kecil yang bermuatan kation, gelembung ini
dipompa ke luar sehingga terbentuklah matriks organik
(gambar 10.10,b). Akhirnya terbentuklan tulang muda berisi
~ 273 ~
mineral sehingga berkembang menjadi lempengan “epiphyseal”
(Ali, 1983)
Pompa
aktif
Gradien
difusi
Sekresi
Matriks organik
Matriks organik
Gambar 10.10 Mekanisme Penyusunan Mineral di inti sel bagian luar.
a). Kation yang dipompa keluar sel melalui
membrane dan cairan itu
keluar secara difusi pasif. b) Kation dalam cairan
terkumpul (terkonsentrat) di sel dan membentuk
gelembung kemudian
dikeluarkan ke sel bagian luar. Material ini yang
akan menjadi biomineral.
Sumber: Weiner dan Dove (2003)
Mekanisme itu terjadi juga pada larva bulubabi (sea
uchin) dimana kalsium kabonat yang ada di dalam tubuh
membentuk gelembung cairan yang akhirnya terjadi Kristal
kalsit ( Beniash dkk, 1999)
Dalam bentuk anion akan
berpindah secara pasif yang akhirnya akan berubah menjadi
kation yang menyusun matriks organik di sel bagian luar.
~ 274 ~
Kedua proses (gambar 9.10 a dan b) bekerja aktif di sel bagian
luar pada nukleasi episel menyuplai matriks organik dan
berkembang sehingga terjadi penumpukan mineral.
Hampir semua struktur yang terbentuk lewat proses di
sel bagian luar diawali dengan pembentukan matriks yang
berasal dari jaringan epithel multisel yang mengeluarkan bahan
organik. Watabe dan Kingsley (1989) mempertegas lagi bahwa
jaringan-jaringan itu memfasilitasi pembentukan rangka secara
masif. Contoh-contoh organisme yang mengalami proses
seperti itu, yakni foraminifera, kulit moluska, statolit pada
cephalopoda, rangka luar dari bry0zoa, skleraktin di karang
dan tulang dan gigi pada biota air (Bettencourt dan Guerra,
2000; Constantz dan Meike, 1989; Zeebe dan Sanyal, 2002; Erez,
2003; Lowenstam dan Weiner 1989 dan Veis 2003)
Kita pahami sekarang bahwa mekanisme penyusunan
mineral diawali dengan pembentukan matriks organik
kemudian masuk dalam suatu siklus kerja tubuh. Ada beberapa
penelitian yang dilakukan oleh para ilmuan, ternyata banyak
bahan organik, protein β-kitin dan serat sel lunak yang
berasosiasi dengan mineral aragonite. Adanya aktivitas kimiawi
yaitu reaksi asam terjadi sehingga membentuk struktur
mineral. Menurut Levi-Kalisman dkk, (2001) struktur dilapisan
kedua dikulit moluska mengandung matriks protein dan cairan
asam kental menyerupai kulit yang lunak seperti gel disebut
“nacreous layer” . Gambaran umum bentuk “nacreous layer”
disajikan pada gambar 10.11.
Terlihat pada gambar diantara lapisan kitin dan sel
makro berasam terdapat serat yang lunak berbentuk gel.
Struktur di sel makro berasam ini yang tersusun dari matriks
protein dapat mengeluarkan mineral. Tetapi dari sisi lain
kondisi itu, bertolak belakang, dengan lazim yang berlaku di
proses biomineral, dimana komposisi asam amino tersusun
berbentuk larutan ada di dalam matriks.
Dikotomi ini
memperlihatkan bahwa fiksasi protein berjalan cepat dan
~ 275 ~
-kitin
Glikoprotein
yang
terhambat
Glikoprotein
berlimpah
Serat lunak
berbentuk gel
Gambar 10.11. Bentuk lapisan kulit yang lunak “nacreous layer”
Sumber: Levi-Kalisman dkk, (2001)
berlangsung terus sehingga terjadi protein yang mengandung
asam yang tinggi (Gotliv dkk, 2003). Suatu hal yang menarik
pada kulit moluska, kandungan protein yang mengandung
asam tinggi merupakan fraksi yang mendominasi penyusunan
struktur kulit dan mekanisme berlangsung terus-menerus.
Mineralisasi yang terjadi di ekstrasel merupakan fungsi
matriks protein yang bekerja seperti bentuk “bottleneck”, yaitu
reaksi biokimia yang menghasilkan cairan matriks protein
terus bertambah, sedang produksi mineral sangat sedikit,
sehingga bahan organik itu terjadi penumpukan di bagian
lapisan kulit tertentu. Beberapa ahli telah melakukan kajian
tentang kemampuan protein membentuk inti mineral, seperti
Belcher dkk (1996), Falini dkk (1996) dan Gotliv dkk (2003)
menyimpulkan proses penyusunan mineral ada berbagai cara,
tetapi di tubuh moluska untuk penyusunan inti mineral
diperlukan
aragonit khusus yang merangsang proses
~ 276 ~
tumbuhnya mineral. Hal yang menarik disini, disaat Weiss dkk
(2002) mengadakan uji in vitro dengan cara memasukan inti
aragonit melalui amorphous kalsium karbonat dan salah satu
bagian tidak diberi amorphous kalsium karbonat, ternyata yang
terjadi di larva moluska, produksi kulitnya (shell) diperlukan
amorphous kalsium karbonat. Dengan demikian disimpulkan
penyusunan biomineral di moluska tidak hanya bersumber dari
matriks
protein
tetapi
diperlukan
aragonite
agar
pertumbuhannya cepat berlangsung.
Mineralisasi intersel, Proses pembentukan mineral
dalam sel dapat terjadi pada setiap organisme di suatu
komoditas, halmana pembentukan mineral dari setiap
organisme terjadi di ekstrasel. Bagi semua mahklub hidup
aktivitas tumbuh kompartemen sel yang satu dengan yang lain
saling berhubungan dan berinteraksi dalam pertumbuhan sel.
Sebagai ilustrasi pengontrolan secara biologi pembentukan
mineral dalam sel disajikan pada gambar 10.12.
Pompa
aktif
Difusi pasif
Gambar 10.12. Mineralisasi intersel.
[ Substrat inti mineral ada di bagian epithel sel, kemudian
Kation dipompa keluar sel, biomineral diluar sel itu bertumbuh]
Sumber: Weiner dan Dove (2003)
Inti mineral yang ada disubstrat pada ephitel mengeluarkan
nukleasi dan berkembang di permukaan sel bagian luar, disana
terjadi interaksi antar sel sehingga dengan leluasa menyusun
~ 277 ~
rangka. Namun demikian sesungguhnya penyusunan
polymorph dan biomineral diawali dari bagian epidermis sel
organisme itu. Sebagai contoh, terjadinya “calcareous” alga
dimana inti dan pertumbuhan kalsit dengan c-axis terjadi di
pendikular permukaan sel (Borowitzka, 1982). Aktivitas
penyusunan mineral di setiap sel akan melalui alur metabolism
dalam tubuh, dimana unsur makro dan mikro elemen akan
berintegrasi membentuk sel baru, sedang sel yang lama akan
didorong ke luar tubuh.
Mineralisasi intrasel, Proses ini terjadi antar sel, yakni
sebagai pembentukan mineral di dalam sel (seperti uraian
diatas) yang kemudian antar sel itu terjadi interaktif atau saling
tukar-menukar ion bahkan saling mengikat membentuk inti
mineral, secara umum inti biomineral antar sel terjadi di
vesikel atau vacuola. Komposisi biomineral dan bentuknya
sangat tergantung pada pembentukan kristal pada
kompartemennya. Biasanya perkembangan itu dikendalikan
oleh kondisi lingkungan serta muatan kation dan anion pada
biomineral yang ada dalam matriks organik. Pengaruh kondisi
lingkungan dalam penyusunan matriks organik di membrane
sel, seperti
pH, tekanan karbon dioksida (pCO2) serta
komposisi minor dan trace elemen.
Sejumlah lipida yang ada di vesikel akan membantu
matriks organic dalam rangka pengendapan bahan itu sehingga
membentuk struktur mineral. Dalam gambar 9.13 terlihat
secara garis besar bagaimana skenario pembentukan
biomineral oleh antar sel sehingga terjadi ekstrasel (sel baru
dibagian luar sel).
Sebagai gambaran umum cara kerja antar sel diilustrasi
di gambar 10.13 berikut ini:
~ 278 ~
(A)
(B)
Pompa
Aktif
Difusi pasif
Akumulasi matriks organik
Sekresi
Gambar 10.13. Alur Kerja antar sel pada biomineralisasi di vesikel
Keterangan: (A) inti biomineral [ 1. Interaksi di sel dan
lingkungan; 2. Terjadi sekresi; 3a. senyawa organic telah
dikeluarkan; 3.b. material penyusun mineral organik].
(B) tipe mineral membentuk biomineral di sel [ 1. Pertumbuhan di setiap sel sedang 2. Struktur mineral padat.
Sumber: Weiner dan Dove (2003)
Adanya reaksi biokimia dalam tubuh organisme maka
senyawa yang terbentuk akan keluar dari membrane sel
membentuk struktur di sel luar sebagai cikabakal mineral.
Sebagai contoh di haptophyta alga, penyusunan awal
terbentuknya kristal kalsit sampai bagian ujungnya sel pada
antara sel di dalam tubuh, kemudian bahan itu keluar dari
membrane sel.
Menurut Watabe dan Kingsley (1989)
mekanisme zat sebagai pembentuk biomineral yang keluar dari
membrane, ada dua cara, yakni: pertama, apabila biomineral
yang sudah siap di vesikel/vacuola akan keluar melalui
membrane; kedua, plasma membran telah bergabung
.
~ 279 ~
membentuk biomineral (bersifat premature) maka membran
itu akan pecah sehingga keluar.
Ada beberapa jenis organisme tertentu, biasanya di
bagian luar sel telah tersedia larutan lipida, jika inti mineral
keluar dari membran sel langsung terjadi interaksi dengan
lipida yang akhirnya mengendap. Seperti terlihat pada gambar
9.13 (A), struktur “coccolith” Haptophyta alga telah matang
langsung ditutup oleh sel. Intinya, mineral silika di alga
berpengaruh pada vesikel sehingga amorphbous silica itu
merupakan pendorong utama penyusunan biomineral di sel
(Watabe and Kingsley, 1989).”coccolith” adalah kelompok
fitoplankton terdiri dari banyak sel memiliki kemampuan
menghasilkan butiran kalsit untuk rangka bagian luar.
Berkaitan dengan biomineral di vesikel, aktivitasnya
dimulai dari adanya interaksi antara biomineral dengan
organik matriks di ekstrasel (sel luar) sehingga membentuk
struktur ekstrasel yang padat. Di lingkungan ini beberapa
foraminifera mulai menyusun kristal. Kemudian kristal
bertumbuh oleh adanya masukan bahan organik sehingga
terjadi penumpukan yang akhirnya akan keluar melalui
membrane sel (exocytosis), sebagian kristal akan membentuk
struktur kulit (Hemleben dkk, 1986)
Menurut Markel (1986), kalau echinodermata memiliki
kemampuan menyusun biomineral sampai beberapa
sentimeter panjangnya pada kulit bagian luarnya. Tetapi kalau
bulubabi (sea urchin) walaupun struktur spikulanya terdapat
banyak amorphous kalsium karbonat namun produk
mineralnya hanya kristal-kristal kecil (single crystal), dan
perkembangan menjadi kristalografi sangat lambat (Beniash
dkk, 1997; Beniash, 1999; Wilt 2002).
Dalam kenyataan tidak semua proses penyusunan
mineral di antar sel akan menjadi ekstrasel, kalau kita lihat
pada gambar 9.13 (b) dimana biomineral di vesikel bisa
membentuk di antar sel tetapi tetap tidak menyebar dan hanya
tetap tinggal di kulit saja, hal ini menarik , barangkali ada
~ 280 ~
sesuatu produk kimia dibentuk oleh
bakteri yang
menghambatnya. Sesungguhnya diseputar membran ada gaya
magnetik dari kristal euhedral untuk memproduksi mineral
baru (Bazylinski, 1996; Schüler and Frankel, 1999; Bazylinski
and Frankel, 2003).
Jenis radiolaria juga dapat melakukan proses biomineral
di antar sel, halmana pada sitoplasma dapat terjadi spikula
silika, yang kemudian secara sedikit-sedikit akan membentuk
kompartemen sitoplasmik (Simkiss dan Wilbur, 1989).
Tumbuhan juga bisa terjadi proses mineral di antar sel yakni
menyusun kalsium sebagai kristal oksalat (Raven dkk,. 1982;
Webb 1999; Skinner and Jahren 2003). Demikian pula di kulit
diatom dapat terjadi proses mineral, disini terjadi dua proses,
yaitu pertama terjadi polimerisasi silika sehingga membentuk
matriks organik polypeptida (Swift and Wheeler, 1991, 1992;
Kröger dkk. 1999, 2002). Kemudian kedua, silika akan keluar
kepermukaan membrane sel dan membentuk bingkai intrasel
(Garrone dkk, 1981).
Kalsit pada ”coccolith” adalah kelompok fitoplankton
yang dapat memproduksi kalsit biasanya berukuran 1-10 μm,
kelompok ini mampu menyusun biomineral dengan sistem
organik. Di samudera terbuka “coccolithophere” berlimpah,
sebab dalam kehidupannya di laut berperan sebagai produksi
primer dan bisa melakukan fiksasi karbon. Apabila kelompok
fitoplankton ini mati dan tenggelam ke dasar laut akan cepat
terakumulasi sebagai “calcareous oozes” dan kapur, dengan
demikian proses ini sering disebut sebagai biogeokimia.
Umumnya sedimen yang terbentuk oleh “coccolith” umurnya
sangat panjang dan merupakan fossil di laut, oleh karenanya
banyak riset bersifat multidisplin dilakukan pada bidang ini,
seperti aspek biologi, palaeontologi, lingkungan, geologi dan
sebagainya.
Secara
biologi
“coccolithophere”
adalah
filum
Haptophyta, diantara filum ini ada beberapa genera
diantaranya:
Phaeocystis, Prymnesium, Pavlova dan
~ 281 ~
Chrysochromulina tidak mengandung kalsium. Jenis-jenis ini
terdapat kloroplas berwarna emas kecoklatan dan memiliki
flagela. Bila ditinjau segi fosilnya, pembentukan endapan yang
terbentuk diperkirakan terjadi pada periode Precambrian (>600
juta tahun) namun mineral yang tersusun berasal dari
kloroplas, sebagai proses endosimbiose kedua, penyusunan itu
terjadi diperkirakan di akhir Plaeozoic yaitu kira-kira 300 – 400
juta tahun yang lalu (Medlin dkk, 1997). Data belakangan
sebagai hasil kajian, menurut Edvardsen dkk (2000) dan
Fujiwara dkk (2001) ternyata ada satu genera dari filum
Haptophyta bisa menghasilkan kalsium.
Ada pula data geologi yang berbeda dengan pernyataan
diatas, dimana coccolith mulai menyusun endapan terjadi di
akhir periode Triassic diperkirakan pada 200 juta tahun lalu
(Bown 1998a,b). Halamana golgi di tubuh mulai terjadi proses
endosimbiose dan mengeluarkan kalsik, dengan demikian
kalsik coccolith terjadi de novo (peluruhan) tapi tergantung
dari grup biomioneralisasinya.
Dua dekade belakang ini
kajian biomineral dari
coccolith berkembang cepat, seperti yang dilakukan oleh de
Vrind-de Jong dkk, (1986, 1994), Westbroek dkk, (1989), Pienaar
(1994), de Vrindde Jong and de Vrind (1997), Young dkk,
(1999), and Marsh (2000). Bahkan dari peneliti tersebut ada
yang mengatakan bahwa produksi biomineral dari coccolith
lebih tinggi dari organisme lain. Halmana mekanisme
biomineralisasi dikendalikan dengan aktivitas biologi di vesikel
intrasel. Dengan demikian mekanisme pembentukan
biomineral berasal dari coccolith merupakan suatu hal sangat
menarik untuk diteliti.
Sesungguhnya hal yang menarik dari coccolithophore dalam
proses biomineral, yaitu dalam model biomineralisasi diketahui
ada dua tipe yang berbeda didasarkan dari siklus hidupnya
(Life cycle), yaitu diploid dan haploid. Berikut ini diagrama
kedua siklus hidup coccolith (gambar 10.14).
~ 282 ~
MEIOSIS
(Sel diploid mengalami mitosis
menjadi 4 sel haploid)
N
2N
Haploid
holococcolith
Diploid heterococcolith
MITOSIS
MITOSIS
(2 haploid menjadi satu sel diploid)
Kombinasi coccosphere
Heterococcocolith
Holococcocolith
Gambar 10.14. Siklus Hidup “Coccolithophore”
[ Pemecahan sel secara aseksual pada coccolith diploid dan
haploid, sehingga menghasilkan heterococcolith dan
holococcolith]
Sumber : Young dan Henriksen (2003)
Gambar diatas terlihat siklus hidup dari sel eukariot yang terdiri dari
diploid dan haploid. Dimana diploid adalah setiap kromosom
ada dua sel yang di beri tanda 2N sedang haploid adalah setiap
kromosom hanya satu sel saja di beri symbol N. Transisi dari
sel diploid ke haploid biasanya melalui meiosis, tetapi jika
terjadi pemecahan sel dari haploid ke diploid harus melalui
“syngamy”. Secara umum, pemecahan sel organisme hanya
melalui satu fase, tetapi pada haptophyta yang terjadi adalah
dua fase dan pengembangan kedua sel itu adalah sama serta
pemecahan itu melalui pasangan aseksual (Mitosis). Pada
dasarnya pemecahan sel pada coccolith dapat terjadi di dua
fase (diploid dan haploid) tapi memiliki sifat berbeda, sehingga
akan berdampak pada pembentukan biomineral juga yakni
~ 283 ~
akan berbeda (Billard, 1994;Young dkk. 1999; Cros dkk. 2000;
Geisen dkk. 2002; Cros dan Fortuño 2002).
Kristal kalsit (± 0,1 μm) yang dibentuk pada fase diploid
menjadi heterococcolith adalah sangat terbatas jumlahnya,
hanya < 100, tetapi pada fase haploid menjadi holococcolith
bisa mencapai beberapa ratus bahkan sampai seribuan. Dalam
ilustrasi di gambar 9.14, terlihat
coccosphere di
heterococcolith banyak holococcolith yang mengelilinginya,
halmana ada coccolith yang ditambahkan ke coccosphere di
bagian permukaan diperkirakan sekelompok sel diploid yang
membungkus heterococcolith, sedang kalau dua sel haploid
menjadi diploid dan membentuk kulit holococcolith melalui
“syngamy” (Geisen dkk. 2002). Dengan demikian dapat
dikatakan siklus hidup coccolithophores sangat bervariatif,
seperti pada genera Pleurochrysis dan Emiliania dalam proses
menjadikan heterococcolith, kalsit yang ada hanya pada fase
diploid sedang haploid tidak ada. Jelas bagi kita bahwa
pengembangan sel diploid akan terbentuk struktur
heterococcolith,
sedang struktur dari
holococcolith
bersumber dari sel haploid.
Bahasan berikut akan melihat bagaimana biomineralisasi pada
heterococcolith dan holococcolith ditinjau dari aspek biokimia.
Heterococcolith biomineralisasi, prinsip dasar dalam proses
pembentukan mineral oleh organisme
berasal dari molekul
organik yang ada di inti sel yang kemudian tumbuh menjadi
suatu matriks organik (seperti uraian diatas) yang pada
akhirnya akan membentuk Kristal. Khusus pada organisme
kelompok coccolith, diawal bahan organik itu membentuk
kristal terdapat polisakarida yang kompleks (FichtingerSchepman dkk, 1981; Marsh dkk, 1992; Marsh, 1994; Ozaki dkk,
2001 dan Marsh dkk. 2002). Bermula inti sel yang spesifik akan
mengeluarkan kristalografi dan terjadi pengikatan dengan
bahan organik lainnya membentuk suatu matriks organik,
dimana organik-organik ini yang akan menjadi kompartemen
~ 284 ~
penyusunan mineral. Dalam ukuran yang lebih besar akan
membentuk morfologi biomineral (Mann, 1993).
Prinsip dasar yang harus kita ketahui bahwa
pembentukan mineral dari matriks organik tidak sama dengan
organisme lain seperti moluska dan diatom Sebab di coccolith
protein organik berasosiasi dengan gugus polisakarida. Seperti
penelitian yang dilakukan oleh Fichtinger-Schepman dkk,
(1981) terhadap jenis, Emiliania huxleyi dimana ada satu gugus
polisakarida dengan rantai asam galakturonik yang kompleks
berada di bagian belakang “mannose” sebagai gugus ester
mengikat sulfat. Tetapi kalau di jenis Pleurochrysis carterae,
terdapat 3 tipe gugus polisakarida, halmana dua tipe gugus
polisakarida berperan mengikat kalsium dan akan membentuk
beberapa coccolith, sedang satu gugus lainnya berperan
penting pada intisel (Marsh dkk. 2002).
Kelompok coccolith yang terbentuk merupakan suatu
gambaran adanya fotosintesis alga yang berlimpah di
samudera, umumnya coccolith itu melalui biosintesa
menghasilkan nutrient N (nitrogen) dan P (fosfat). Matriks
organik yang tersusun di coccolith akan menjadi cikal-bakal
kristal mineral, namun proses ini membutuhkan enzim
tertentu sehingga proses biokimia akan berjalan baik untuk
membentuk biomineral.
Struktur coccolith asli (proto-coccolith) sesungguhnya terdapat
sedikit kristal kalsit yang berbentuk vertikal dan bergaris-garis yang
berorientasi C-axis (struktur V/R), kemudian berkembang menjadi
heterococcolith. Kelompok coccolith yang mengumpal dan padat
disebut sebagai bentuk coccosphere. Sumber mineral pada
coccolith ini berasal dari senyawa kalsit, kemudian dengan
adanya proses biokimia yang berjalan (kerja enzim) maka
terbentuk gugusan coccolith (heterococcolith). Gambar 9.15
memperlihatkan pertumbuhan inti (nukleasi) sampai terwujud
bentuk coccolith dengan struktur vertical dan radial (V-R).
~ 285 ~
Gambar 10.15. Bentuk coccosphere dan proses
pertumbuhan “proto-coccolith”
Sumber: Young dkk (1992).
Prinsip dasar,
sifat dari
lingkaran nukleasi
di
heterococcolith dikontrol oleh c-axis dan a-axis yang ada di
makromolekul, dimana pengendalian oleh c-axis akan berperan
mengatur sistem biomineralnya. Adanya substrat dalam
makromolekul maka inti akan berkembang menyusun kristal
mineral. Bahan organik yang ada berintegrasi dengan kalsit
maka terbentuk kalsium atau dapat juga pengikatan dengan
ion karbonat sehingga memungkinkan terjadi kristal kalsit.
Struktur coccolith berbentuk V dan R merupakan struktur
paten walaupun terjadi evolusi pada inti Young dkk (1992).
Holococcolith biomineralisasi, bentuk coccolith ini
berasal dari haploid yang telah berkembang. Kajian tentang
biomineral dari holococcolith relatif sedikit, seperti penelitian
pada jenis Emiliania huxleyi dan Pleurochrysis carterae,
ternyata produksi holococcolith tidak ada. Namun demikian,
prinsip dasarnya dalam siklus hidup coccolithphore akan
~ 286 ~
mengikuti sistem fase haplo-diploid, tetapi bagi fase haploid
tidak ada pembentukan kalsit.
Pengamatan secara morfologi yang dilkakukan oleh ahli
dari Norwegia, Halldal dan Markali yang disitir oleh Young dan
Henriksen (2003) bentuk struktur holococcolith dapat dilihat
pada gambar 9.16 berikut ini. Namun secara detail struktur
penyusunan rangka holococcolith seperti yang ada pada
kelompok heterococcolith sangat kurang risetnya.
Coccosphere
Organik mengelilingi coccolith
Heksagonal kristal dari jenis
Calyptrolithophora papillifera
Detail coccolith
Coccolith membentuk kristal rhombohedral
Konstruksi kristal rhombohedral
Gambar 10.16. Bentuk Holococcolith
Sumber: Young dan Henriksen (2003)
Secara morfologi bentuk holococcolith sangat unik
bentuk strukturnya memanjang
dan didominasi dengan
“euhedral rhombohedra” rangka kristalnya berbentuk
heksagonal. Kristalnya tidak saling menghambat atau tidak
terjadi pertumbuhan didalam intinya. Kemudian kristal itu
terlihat terbungkus dengan bahan organik sama seperti pada
heteroccolith dibungkus dengan bahan polisakarida.
~ 287 ~
Foraminifera adalah amuba
multi sel yang bisa
menghasilkan kalsium, jenis ini termasuk kedalam bagian
protista (Loeblich dan Tappan , 1987). Walaupun jenis
organism ini sebagai organism laut, tetapi ada beberapa
referens memperlihatkan di air tawar terdapat organisme
seperti amuba namun tidak menghasilkan kalsit (Holzmann
dan Pawlowski 2002; Holzmann dkk, 2003).
Organisme ini telah menjadi perhatian beberapa dekade
belakang ini, karena ada hubungannya dengan siklus karbon
dioksida di udara, dimana bertalian dengan perubahan iklim
global. Disamping itu rangka foraminifera di laut berperan juga
dalam memberikan informasi “paleosenografi” dan siklus
karbon dilaut secara global. Menurut Singh (2008)
biostratigrafi di sedimen merupakan salah satu bagian yang
diperlukan dalam dunia perminyakan yaitu menentukan
satuan batuan berdasarkan kumpulan mikrofosil tertentu,
khususnya foraminifera.
Sehubungan dengan perubahan iklim tentang naiknya
gas rumahkaca (CO2) dimana adanya kekuatiran lapisan es di
bagian kutub bumi akan mencair sehingga akan menaikkan
permukaan air, sehingga berdampak pada tenggelamnya
pulau-pulau kecil.
Sesungguhnya, samudera memiliki peran untuk
menetralkan kandungan gas karbondioksida di udara, di
perkirakan kemampuan menetralkan adalah 50-60 kali lebih
besar dari atmosfer (Siegenthaler and Sarmiento, 1993).
Halmana gelembung udara CO2 dipermukaan air berasal dari
udara akan dinetralkan atau terikat dengan CaCO3 yang ada
dilaut. Tetapi prosesnya sangat lambat bisa mencapai 1000
tahun, sehingga gas karbondioksida bertumpuk di udara. Oleh
karena itu, banyak ahli biogeokimia memfokus kajiannya
bagaimana ekosistem laut merespons konsentrasi CO2 di udara
(Archer dan Maier-Reimer, 1994; Broecker, 1997; Sigman dan
Boyle, 2000 serta Berger, 2002).
~ 288 ~
Foraminifera, karang dan coccolithphore berperan
dalam siklus karbon secara global, halmana organismeorganisme itu menetralkan karbon dioksida di udara masuk ke
dalam samudera, melalui empat proses, yakni: (1) pertukaran
gas antara air dan udara melalui karbonat ion membentuk
bikarbonat; (2) proses primer productivity; (3) produksi dan
terlarut pada CaCO3 dan ke (4) sirkulasi samudera. Khusus
foraminifera merupakan kelompok terbesar dalam pembentuk
biomineral di laut, karena adanya pengendapan CaCO3 yang
tinggi di laut.
Kelompok organisme yang berperan dalam siklus
karbon diudara mampu melakukan fotosintesis dan oksidasi
bahan organik membentuk kalsium, aktifitas ini dikontrol
dengan pH di laut dan tingkatan karbondioksida di atmosfer.
Secara umum reaksi yang terjadia adalah sebagai berikut:
Ca2+ + 2HCO3− → CaCO3 + H2O + CO2→ CaCO3 + CH2O + O2 (10.3)
Pembentukan kalsium
fotosintesis
Ca2+ + 2HCO3− ← CaCO3 + H2O + CO2 ← CaCO3 + CH2O + O2
terlarut
(10.4)
respirasi
Dalam dugaan Schiebel (2002) planktonik foraminifera
mampu menghasilkan karbon 0.36–0.88 gross ton (Gt) per
tahun dimana 32-80% terdeposit sebagai CaCO3 di dalam laut,
dan diprediksi kalsium yang ada sama dengan 0,16 Gt di
sedimen laut. Kalau didasarkan pada perhitungan Milliman
(1993), endapan CaCO3 di dasar laut kurang lebih 40-50%
adalah kalsium (Ca). Sedang di daerah pelagik akumulasi
CaCO3 maksimal di perkirakan 0,09 Gt per tahun, kandungan
itu ada pada coccolithphore ( diasumsikan foraminifera ada
sebanyak 50%).
Jumlah karbonat ini nantinya akan
mengendap sebagai sedimen diperkirakan 0,045 Gt per tahun
(kurang-lebih 50% akan tenggelam ke permukaan dasar laut),
~ 289 ~
beberapa foraminifera terlarut di sedimen itu, kemungkinan
besar “lysocline” yang terlarut (Archer dkk, 1989).
Produksi total CaCO3 oleh foraminifera di samudera
terbuka diperkirakan oleh Schiebel (2001) ada sebanyak 3,24 Gt
per tahun, sebanyak 65% dari jumlah itu akan terlarut di
perairan. Dalam kaitan siklus karbon global, kemungkinan 10%
akan menjadi karbon dioksida yang akan masuk ke atmosfer
(Siegenthaler and Sarmiento 1993). Apabila konsentrasi
karbondioksida di udara bertambah maka pH permukaan
samudera akan menurun (Brewer dkk, 1997). Secara teoritis
pembentukan kalsium oleh foraminifera di perairan berkaitan
erat kondisi pH (derajat keasaman), halmana bila pH rendah
maka pembentukan kalsium (calcification) dari foraminifera
akan terhenti. Seandainya CO2 di atmosfer konstan maka bisa
terbentuk sebanyak 0,4 gross ton karbon pertahun.
Mekanisme kerja biomineral di foraminifera adalah
sebagai berikut:
sesungguhnya di endoplasma terdapat
konsentrasi kalsium berlimpah, disamping itu terkandung juga
magnesium (Mg), fosfat (P) dan kemungkinan sulfat (S).
Sebagai organism hidup foraminifera mengandung matriks
organik yang berfungsi membentuk granula mineral. Unsur
kalsium merupakan cikal-bakal penyusunan kristal CaCO3,
yang kemudian terendap sehingga terbentuk suatu gugus
matriks organik. Pada saat itu kulit mulai terbentuk, dalam
kerja penyusunan kulit ada dua tahapan yang terjadi yakni:
pertama, magnesium yang ada pada kalsit yang halus akan
melekat menyusun matriks organik; kedua, mulai terjadi
pembentukan kalsium, dan secara massif terjadi pengendapan
Mg yang rendah sehingga terbentuk kulit kalsit. Kalsit ini yang
akan membentuk lapisan agregat kristal atau butiran yang agak
lebih besar sehingga secara perlahan membentuk kerangka.
.
Proses biomineralisasi membentuk kalsit sekunder
dalam gelembung air laut di sitoplasma dan modifikasinya
mengurangi rasio unsur Mg dan Ca, disajikan pada gambar
berikut.
~ 290 ~
Gambar 10.17. Skema Proses Pembentukan Kalsium di
foraminifera.
[V= vacuola; P=pseudopodia; S=simbiose alga; d=
ruang batas biomineralisasi;
IC= intralocullar sitoplasma; ec= extralocullar
sitoplasma dan sw= seawater]
Sumber: Erez J (2003) “The Source of Ions for Biomineralization in
Foraminifera and Their Implications for Paleoceanographic Proxies”
Selama sel memompa atau bergerak maka endositosis
akan membentuk gelembung/rongga airlaut (vakuola) di dalam
~ 291 ~
sitoplasma, sehingga pH naik dan memungkinkan unsur Ca 2+
dan CT berada di gelembung udara itu. Kemudian gelembung
itu didorong ke luar sampai di ruang batas biomineralisasi,
yang akhirnya CaCO3 terendap di sel, dan kemungkinan
kandungan Mg sangat rendah di airlaut dalam sel itu.
Adanya difusi karbon dioksida di gelembung udara
sebaliknya ion CO32- akan ditranspor melalui membrane
sehingga terjadi penumpukan karbon (ter Kuile dkk. 1989a).
Karena adanya proses fotosintesis tetap berlangsung, maka pH
di sekitar gelembung airlaut itu tetap terjaga. Namun pada
endoplasma terjadi kompetisi CO2 antara simbiose alga dan
alkalinitas yang ada di gelembung air laut sehingga bisa
terganggu pembentukan karbonat.
Bagaimana hubungan antar Ca2+ dan CO32- dalam
menyusun endapan kalsium karbonat, diuraikan sebagai
berikut. Diketahui umum bahwa komponen utama air laut
adalah unsur Ca2+ and CO32−, dimana konsentrasi Ca2+ ada
sebanyak 10-11 mM sedang CO32− hanya 100−300 M artinya
kandungan karbonat lebih rendah (50%) dari kalsium. Kedua
unsur ini akan membentuk senyawa baru yang dikenal sebagai
kalsium karbonat (CaCO3). Secara umum CaCO3 mengendap
akan berpengaruh pada alkalinitas, halmana jumlah alkalinitas
akan turun sehingga berakibat pula pada turunnya pH. Untuk
menaikan kadar keasaman di perlukan sejumlah CO32−
sehingga konsentrasi CT akan turun. Apabila derajat keasaman
(pH) naik di gelembung, disana telah terjadi penguraian CO2(aq)
sehingga terbentuk CT dan bila proses ini berjalan terus maka
mulailah terjadi proses penyusunan kalsifikasi. Demikian pula
di terumbu karang mekanisme ini juga terjadi Al Horani dkk
(2003).
Kalau di air laut konsentrasi CO32− ada sekitar 1 mM
diperkirakan setengah dari konsentrasi adalah CT, kecuali bagi
foraminifera pH di airlaut pada vakuola akan naik sehingga
endoplasma sampai ruang pembentukan kalsium pHnya
berkisar 9.
Apabila vakuola itu diluar endoplasma
~ 292 ~
kemungkinan akan terjadi akumulasi sehingga konsentrasi C T
akan tinggi sebab pH di sitosol ada sekitar 7,2 (kondisi normal
bagi sel organisme laut).
Foramininfera
punya peran penting dalam siklus
karbon global di laut, disamping itu kerangka foraminifera
memberikan informasi yang berarti bagi paleoseanografi.
Untuk proses biomineral pada foraminifera, mineralnya
berawal dari gelembung air laut (vakuola) yang ada di sel ,
dimana tempat itu tersedia komponen dasar untuk kalsifikasi.
Kemudian proses pengkapuran oleh kegiatan biologi akan
membentuk matriks organik sehingga lapisan kulit terbentuk.
Kristal yang terbentuk dalam bentuk tiga dimensi
merupakan endapan matriks organik , di dalamnya terdapat
pelbagai komposisi kimia maupun isotop.
Sebagian besar
proses kalsifikasi berjalan terus dengan adanya laminasi
sekunder yang melibatkan kristal epitaxial. Biasanya kalsifikasi
sekunder oleh pseudopodia terjadi dalam ruang yang dibatasi
sedang ion utama untuk proses biomineralisasi berasal dari
vakuola air laut.
Gelembung airlaut
di dalam organism peran terutama
menaikan nilai pH sehingga karbon organik yang terlarut akan
bertambah. Kalsit yang ada dalam ruang dibatasi itu memiliki
fungsi rendahkan endapan Mg. Kalsium yang tersimpan akan
membantu percepatan klasifikasi, biasanya Ca yang tersimpan
ini ada dalam bentuk padat atau bentuk amorf.
Pengurangan Mg di foraminifera terjadi di gelembung
air laut. Mekanisme ini sama halnya untuk karbonat, dimana
peningkatan CO32- biasanya dekat situs kalsifikasi, kalau pada
foraminifera terjadi pada gelembung (vakuola) air laut sedang
di karang terjadi proses Ca2+- ATPase. Organisme foraminifera
dan karang mengandung pelbagai trace elemen seperti Sr, Ba,
Cd, U dan sebagainya. Disamping itu oleh adanya fotosintesis
maka memungkinkan terjadi struktur organik.
~ 293 ~
⑪ KOMPOSISI DAN DISTRIBUSI
KOBALT KAYA FERROMANGAN
(Fe-Mn) DI KERAK SAMUDERA
B
atuan kobalt yang kaya akan Fe-Mn oksihidroksi atau
sering disebut batuan Fe-Mn, banyak ditemui pada
tumpukan tanah dasar laut, dataran tinggi di dasar laut ,
gunung dasar laut dan di dataran abisal. Bermula dari sedimen
yang diangkut oleh arus pada jutaan tahun yang lalu, kemudian
mengeras membentuk batuan di dasar samudera. Batuan ini
sangat penting, karena berpotensi menghasilkan terutama
kobalt, namun tidak hanya unsur itu, didalamnya banyak
terdapat titanium, cerium, nikel, platina, mangan, thallium,
tellurium dan unsur-unsur kimia lainnya.
Lapisan batuan di dasar lautan itu bentuknya seperti
aspal di jalan raya dengan ketebalan diatas 2,5 m atau seperti
gumpalan kotoran yang telah mengeras di dasar laut. Halmana
kerak Fe-Mn terbentuk sebagai endapan yang terjadi pada
ambien suhu rendah di dasar perairan atau disebut sebagai
“hidrogenetika”, dapat juga terjadi adanya kombinasi antar
hidrogenetika dan hydrothermal (endapan berasal dari
aktivitas vulkanik).
Umumnya kerak Fe-Mn bersisikan
sejumlah besi dan mangan yang memperkaya unsur di kerak
kobalt, termasuk juga adanya unsur timah, bismuth dan
platina, kemungkinan juga titanium serta bahan yang jarang
ditemui seperti tellurium, thallium, fosfat dan sebagainya.
Beberapa komponen dengan komposisinya di air laut, lithosfer
dan batuan Fe-Mn di sajikan pada table 11.1.
Endapan kobalt yang kaya kandungan “ferromanganese”
merupakan sumber daya lam nir-hayati laut yang memiliki
~ 294 ~
nilai ekonomis yang tinggi, seperti prediksi ekonomi yang
dikemukakan oleh Rompas dkk (2013) di Laut Nusantara ada
sebesar 256 miliar $ US/tahun, nilai itu lebih tinggi dari
minyak dan gas bumi (68 miliar $ US). Unsur kimia yang
dikandung pada mineral seabed banyak digunakan untuk
kepentingan teknologi tingkat tinggi atau “high-tech”, seperti
bahan bakar peluncur satelit/roket, dan unsur besi, timah,
tembaga dan tellurium menjadi bahan baku pembuatan badan
roket, pesawat, alat-alat perang, armada transpor laut-darat,
dan belakang ini berkembang sebagai bahan bagunan gedunggedung bertingkat.
Begitu bernilai endapan di samudera, maka organisasi
dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk satu
komisi khusus untuk mengurusi bidang ini, yaitu di beri nama
“International Seabed Authority/ISA”. Kantor utama komisi ini
berada di Kingston, Jamaica. Komisi bersidang dalam 4 tahun
sekali, ditahun 2008, penulis pertama buku ini pernah menjadi
sebagai anggota delegasi RI, dalam sidang itu sungguh besar
minat negara-negara maju untuk menguasai kekayaan mineral
yang tersimpan di dasar laut, terutama di kawasan Samudera
Pasifik. Seperti pada sidang ISA tahun 2008, telah memutuskan
beberapa negara maju : Cina, Amerika, korea dan costarica di
beri kewenangan mengeksplorasi polimetalik nodul dan kerak
kobalt yang ada di kawasan Pasifik berbatasan dengan negara
Indonesia dan Papua new Guinea. Memang disaat itu komisi
ISA dalam sidang telah mempersilahkan Indonesia untuk
memanfaatkan area itu, karena negara yang terdekat. Tetapi
Indonesia tidak memiliki teknologi dan dana yang cukup untuk
melakukan eksplorasi dan eksploitasi mineral yang di dasar
samudera, maka sidang memutuskan untuk diberi kesempatan
negara-negara lain mengajukan permohonan kegiatan
eksplorasi dan ekploitasi.
~ 295 ~
Tabel 11.1 Komponen Mn, Besi, Kobalt, Nikel, Platina, Cerium,
Tembaga dan Tellurium (% berat) pada bebatuan Fe-Mn di
Samudera.
Fe/Mn
Mangan
Mn/air laut
Mn/lithosfer
Besi
Fe/air Laut
Fe/lithosfer
Kobalt
Co/air laut
Co/lithosfer
Nikel
Ni/air laut
Ni/lithosfer
Platina
Pt/air laut
Pt/lithosfer
Cerium
Ce/air laut
Ce/lithosfer
Tembaga
Cu/ air laut
Cu/lithosfer
Tellurium
Te/airlaut
Te/lithosfer
Air Laut
1,2
5,0 X 10-9
6.0 X 10-9
1.0 X 10-10
5.0 X 10-8
2,4 X 10-11
2,8 X 10-10
2,5 X 10-8
1,66 X 10-11
-
Lithosfer
57
0,095
1,9 X 107
54
9.0 X 10-8
2.5 X 10-3
2.5 X 106
8.0 X 10-3
1.6 X 105
4.0 X 10-7
1.7 X 104
7.0 X 10-3
2.5 X 107
5,0 X 10-3
2.0 X 105
1.0 X 10-6
0.6 X 10-5
-
Batuan Fe-Mn
0,7
23
4,6 X 109
242
17
2,8 X 109
3,1
0,70
7,0 X 108
280
0,48
9,6 X 106
60
5 X 10-5
2,1 X 106
125
0,18
6,4 X 108
26
0,009
3,6 X 106
18
0,005
3,6 X 108
5000
Sumber : Hein (2004).
Hakekatnya, mempelajari komposisi kandungan kimia
yang ada di kobalt yang kaya akan Fe-Mn memiliki arti
penting, selain sebagai sumber daya laut bernilai ekonomis
tinggi (uraian diatas), tapi juga berguna bagi para ahli
palaentologi, karena bahan endapan itu telah terbentuk sejak
60 juta tahun lalu, dan sekaligus merupakan rekaman sejarah
iklim yang berlaku di daerah tersebut.
~ 296 ~
Para ilmuan di bidang geologi di tahun 1970-an mulai
mendiskusikan tentang kandungan “ferromanganese” (Fe-Mn),
bahwa ternyata Fe-Mn tidak hanya berasal dari bongkahan
(nodul) dataran abisal saja, tetapi juga berasal dari kerak
samudera yang disebut bongkahan gunung bawah laut (
seamount nodule). Morfologi kedua nodul tersebut berbeda.
Dalam table 11.2. disajikan perbedaan “ferromangan oksida” di
kedua lokasi itu.
Prinsip dasar bongkahan yang ada disedimen ada
dalam bentuk butiran kecil yang mengumpal dan mengeras
berwujud bebatuan, padatan seperti tulang keras dan ada juga
lapisan di atas permukaan sedimen.
Mekanisme penyusunan sedimen atau pembentukan kerak
kobalt yang kaya akan Fe-Mn melalui proses diagenetik, telah
diuraikan secara rinci pada bagian (bab) sembilan. Untuk
proses hidrogenetik umumnya melalui suatu interaksi kimia di
perairan, halmana sedimen berasal dari daratan, atmosfer dan
aliran sungai masuk ke laut, sementara dalam proses
tenggelamnya material itu ke dasar perairan terjadilah interaksi
kimia baik organik maupun anorganik, pada akhirnya bahanbahan itu mengendap (terdeposit) di dasar laut, kemudian
lapisan endapan di atas permukaan dasar perairan maupun di
dalam sedimen itu terjadi reaksi kimia yang sangat kompleks.
Sedang proses pembentukan lewat hidrothermal, biasanya ada
gerakan sentrifugal bumi, keluarkan magma yang menyuplai
partikel ke dasar laut, disamping itu ada juga partikel dari
luapan vulkanik masuk ke atmosfer yang akhirnya jatuh ke laut
dan terdeposit di dasar perairan laut.
Semua
material
tersebut yang masuk ke laut akan melewati suatu proses
hidrogenetik dengan pelbagai bentuk reaksi kimia dan
biokimia sehingga terjadi peleburan beberapa kimia yang
akhirnya membentuk suatu
ikatan kimia yang kompleks dan terendap didasar perairan
(Hein dan Morgan, 1999).
~ 297 ~
Tabel 11.2
Klasifikasi Endapan Fe-Mn oksida didasarkan pada Bentuk, Proses dan lokasinya.
Hidrogenetik
Hidrothermal
Diagenetik
Nodul
(Bongkahan)
Abisal,
Dataran tinggi
laut,
Seamount.1)
Lapisan keras
dan zona
vulkanik
Dataran
abisal,
permukaan
dasar lautan
Kerak (bebatuan)
Lapisan tipis,
pecahan
vulkanik 2)
aktif keluarkan pecahan,
bahan vulkanik
----
Pecahan
vulkanik,
lapisan agak
tebal
Bahan
vulkanik,
Pecahan besar
5)
Lembah, pusat
tumpukan,
Lingkungan
vulkanik
Diatas sedimen
Sedimen keras
pecahan
vulkanik yang
agak besar
Gundukan tanah
------
Hidrogenetik &
hidrothermal
Pecahan
bebatuan ukuran
sedang
Hidrogenetik &
Diagenetik
Dataran abisal,
Permukaan dasar
laut
Lokasi
Bahan aktif
vulkanik, gunung
didasar laut, zona
bebatuan
Kemiringan abisal
Lapisan tipis
(kerak dengan penuh
bebatuan)
----
------
Pecahan
bebatuan
vulkanik 4)
Lapisan tipis
pecahan vulanik
Dekat daerah vulkanik
-----
------
-----
------
-------
------
Pinggiran
kontinen 3)
Sumber: Hein (2004)
~ 298 ~
Semua lokasi inti nodul.
Tepi kontinen,
Dekat vulkanik,
Pecahan kecil
Keterangan table 10.14 (diatas):
1) Biasanya berada di bukitan dasar laut, lereng kontinen
dan pelataran (shelf).
2) Gunung dasar laut, guyot (seperti gunung tapi diatasnya
datar) dan bukitan
3) Fe-Mn yang mengkilap (bercahaya) dan bentuk keras.
4) Kebanyakan terperangkap pada lembah berbentuk V,
bentuk keras.
5) Lumur pasir, pasirbebatuan dank eras seperti semen.
Umumnya morfologi kerak samudera dan bongkahan
akan berbeda dan itu sangat tergantung pada lokasi tangkapan
sedimen, seperti bentuk V (vernadite) dan yang lainnya
“todorokite”.
Demikian juga komposisi kimianya sangat
berbeda, seperti ada lokasi tertentu tinggi kandungan kobalt
dan ada juga yang tinggi kandungan tembaga, di tempat lain
ada juga kandungan kobalt rendah tapi mangan tinggi.
Umumnya perbedaan komposisi di pengaruhi juga faktor
kedalaman dan daya sebaran komponen.
Sebagaimana dalam table 11.2, proses hydrothermal yang
terjadi di bawah dasar perairan, dapat menghasilkan elemen
besi, Mn hidroksida dan oksihidroksida, dimana zat-zat itu
akan membentuk lapisan mangan yang padat pada sedimen
yang bersumber dari bahan vulkanik. Sedang jumlah dan
komposisi besi dan Mn melalui proses hidrogenetik pada
bongkahan Fe-Mn dapat dilihat pada table 11.1 diatas. Kalau
dalam endapan hydrothermal ditemui kandungan besi/mangan
sangat bervariasi yakni, dari 24000 (diatas 54% bebatuan besi)
sampai 0,001 (diatas, 52% mangan oksida). Intinya sedimen di
dasar laut banyak juga mineral besi dan mangan yang
berasosiasi dengan pelbagai elemen membentuk kerak Fe-Mn
(Hein, 2004).
Kerak atau bebatuan Fe-Mn banyak terdapat di gunung bawah
laut dan gundukan tanah di atas permukaan laut, secara global
~ 299 ~
terdapat di lekukan-lekukan di dasar perairan Pasifik dan
Atlantik serta Samudera India. Namun demikian, penelitian di
gunung bawah laut (seamount) banyak dilakukan di Pasifik
bagian ekuator, lebih khusus di kawasan ZEE (Zona Economic
Exclusive) negara federal Micronesia, kepulauan Marshall,
Kiribati serta Samudera Pasifik bagian tengah ( Hein, 2004).
Lebih kurang 50.000 gunung bawah laut di Samudera Pasifik,
Atlantik dan India telah di ketahui kerak Fe-Mn relatif sedikit
di gunung bawah laut tetapi jumlah yang banyak terdapat di
gundukan tanah yang tersebar merata di atas permukaan dasar
laut. Kemudian secara komposisi material yang ada di
gundukan tanah itu umumnya berasal dari hidrothermal
(bahan aktif vulkanik), sedang kerak yang terbentuk berasal
sedimen asli di lokasi itu hanya berkisar <30% (Bury, 1989;
Hein dkk, 2000). Sedang tipe hidrogenetik-hidrothermal yang
ditemui di Pasifik bagian barat sebagian besar bersumber dari
vulkanik aktif (Hein dkk, 1987). Gundukan tanah didasar
perairan yang memanjang di kawasan barat dan selatan-barat
Pasifik serta bagian tengah selatan dan timur Pasifik umumnya
material itu berasal vulkanik.
Kerak Fe-Mn biasanya berada di kedalaman 400-4000m, tetapi
pada kedalam 1000 sampai 4000 meter lapisan kerak Fe-Mn
lebih banyak dibandingkan dengan kedalaman lainnya. Kalau
kandungannya kaya akan kobalt umumnya berada di
kedalaman 800-2200 meter dimana daerah itu merupakan zona
oksigen minimum (lihat gambar 11.1)
Kalau di samudera Pasifik lapisan batuan Fe-Mn
umumnya terbentuk di kedalaman 1500-2500 meter dimana
kebanyakan berada di sekelilingi dan dilapisan atasnya gunung
bawah laut.
Dengan bertambahnya kedalaman maka
kandungan kobalt bertambah, tetapi perairan di Pasifik selatan
memperlihatkan kandungan kobalt lebih dominan di
kedalaman rendah (tidak terlalu dalam),
dimana wilayah
~ 300 ~
Gambar 11.1 Profil Kelarutan Mangan dan Fosfat Dalam
Kaitannya dengan Kandungan Oksigen
Perairan di atas Gunung Bawah Laut.
Sumber : Hein (2004)
zona oksigen minimum mulai berkurang banyak terjadi di
Pasifik bagian selatan. Sesungguhnya kandungan kobalt
maksimum dan pembentukan lapisan secara umum terjadi
pada kedalaman 1000-1500 m (Cronan, 1984).
Material yang ada di perairan (terapung dan melayang) akan
tenggelam ke dasar jatuh di punggung gunung bawah laut,
disamping itu juga bahan vulkanik jatuh di gundukan tanah di
dasar laut atau di gunung bawah laut, dalam periode panjang
material itu akan tersusun menjadi lapisan yang keras seperti
batu padat. Menurut Hein dkk (2000) kandungan kerak FeMn ada di bagian tengah dan agak ke bagian bawah gunung.
Dalam kenyataan sedimen pelagik di gunung bawah laut dan
gundukan tanah tidak memberikan dukungan bagi
pembentukan kerak. Tetapi debu vulkanik seperti karang batu
~ 301 ~
yang jatuh maupun yang keluar dari magma di dasar laut
merupakan cikal-bakal kerak Fe-Mn.
Prinsip dasar material vulkanik banyak tenggelam di
kedalaman 3000 meter
dekat dengan pulau bahkan
membentuk gunung bawah laut berbentuk atol, bentuk seperti
itu bisa menampung kotoran di perairan serta pelbagai
komponen yang terdapat dimaterial vulkanik, yang pada
akhirnya terjadilah interaksi kimia sehingga membentuk kerak
samudera (Moore dkk, 1994).
Perairan Pasifik tengah, sedimen yang terbentuk dari material
yang melayang di perairan dan tenggelam ke dasar perairan
umumnya memiliki ketebalan hanya 5-40 mm dan proses
tersusunnya memakan waktu 10-30 jutaan tahun. Makin
bertambah waktu lapisan itu makin menebal, disaat lapisan >
80 mm akan membentuk substrat batuan cretaceous.
Intinya, kerak Fe-Mn di gunung bawah laut di Samudera
Pasifik telah terbentuk sejak 65-95 juta tahun yang lalu, sedang
sedimen yang menutupi dasar samudera Pasifik di perkirakan
di mulai pada 25 juta tahun yang lalu. Kalau di Samudera
Atlantik dan India jarang ditemui kerak Fe-Mn, kalau pun ada
hanya terdapat di sekitar gunung bawah laut di new England
(Atlantik bagian utara agak ke barat) dengan ketebalan diatas
125 mm. Untuk di Samudera India ada di bagian tengah
Samudera India dengan ketebalan ± 72 mm.
Secara umum gunung bawa laut puncaknya tidak datar diliputi
lapisan keras bukan sedimen setebal 0-150 meter, dan ada juga
permukaan yang datar (guyot) dengan ketebalan 0-500 meter.
Bagian samping gunung itu berbentuk lapisan bukit kecil (± 10
meter tingginya) seperti “terasering” yang berlapis-lapis
sampai ke bagian bawah gunung. Bukit di pinggiran gunung
bawah laut itu ada yang membentuk kemiringan 20 derajat
tetapi kebanyakan yang ditemui rata-rata kemiringan 40
derajat (Hein dkk, 2000). Kemiringan gunung kecil itu
merupakan tempat akumulasi material sehingga terbentuklah
lapisan keras dan disitulah kerak Fe-Mn terbentuk. Lapisan 2
~ 302 ~
meter di bawah sedimen permukaan kandungan Fe-Mn
berlimpah, menurut Yamazaki (1993) bahwa di lapisan itu ke
arah lebih dalam lagi ditemui kandungan Fe-Mn dua kali lebih
jumlahnya, maka di lapisan itu cocok untuk eksplorasi
tambang.
Karakteristik kerak Fe-Mn
Hakekatnya, bebatuan di permukaan dasar laut disebut
“botryoidal” dan ukurannya bervariasi ada yang berukuran
millimeter (mikrobotryoidal) sampai dengan ukuran
sentimeter. Oleh adanya gerakan (aliran) arus yang kuat,
bebatuan ini akan berubah secara masif yang pada akhirnya
membentuk granula dan keras dimana di dalam porosnya
terdapat unsur kobalt yang tinggi. Perkembangan “botryoidal”
menjadi lapisan padat dapat terjadi secara cepat tergantung
pada kekuatan aliran arus, namun demikian penyusunan
botryoidal ini sampai terwujud kerak di perlukan waktu yang
sangat panjang.
Profil bebatuan ini yaitu ketebalan dan strukturnya sangat
tergantung pada kondisi oseanografi di lokasi itu. Umumnya
butiran “botryoidal” yang menutupi batuan dengan ketebalan
<40 mm adalah timah berwarna hitam. Lapisan pada ketebalan
40-80 mm berubah warna dari hitam ke warna coklatan
dengan tanda garis titik-titik, biasanya mulai terjadinya
pembentukan fosfat. Biasanya pada ketebalan > 80 mm akan
terbentuk lapisan makroskopis di lapisan itu terdapat banyak
fosfat.
Dalam kenyataan kisaran pada lapisan 1 – 50 mm banyak
terdapat batuan granit yang kaya akan detritus merupakan
proses pembentukan kerak Fe-Mn, dan kecepatan
pembentukannya tergantung pada pengendapan oksida (Hein
dkk, 1992).
Prinsip dasar kandungan bebatuan Fe-Mn berkembang
tergantung juga pada substrat, apakah bahan vulaknik,
batukapur, lumpur keras dengan kelimpahan fosforik
~ 303 ~
(sedimen) dan sebagainya, namun substrat dari bahan vulkanik
lebih kuat menciptakan kerak/bebatuan Fe-Mn. Ketebalan
lapisan bebatuan di perairan tergantung pada keadaan
oseanografi dan substrat dimana unsur itu berkembang.
Kandungan mineral
Perbedaan ukuran kandungan mineral pada pebatuan Fe-Mn
yang terbentuk oleh proses hydrothermal dan diagenetik tidak
terlalu sulit, hanya dapat di lihat melalui kandungan besi dan
mangan yang terendap (deposit). Dalam kenyataan pada fase
kristal sesungghuhnya terkandung besi dan δ-MnO2
(ferruginous vernadite) yang berlimpah (Bolton dkk, 1990).
Ukuran kristal dan kandungan mangan bisa diterah dengan
menggunakan refleksi sinar X-ray pada 1,4 Å dan 2,4 Å.
Halmana pada fase kristal umumnya terdapat δ-MnO2 diatas
95%, didalamnya terdapat butiran mineral seperti: kuarsa,
plagioclase, kalium, pyrosen, phillipsite dan CFA (carbonat
fluorapatite (Hein, 2004). Kandungan mineral pada kerak FeMn dari samudera Pasifik disajikan pada table 11.3.
Tabel 11.3. Kandungan Mineral pada Kerak Fe-Mn di
Samudera Pasifik.
Dominan
δ-MnO2
(besi-vernadit),
besi-oksihidrksida
(Ferroxyhite)
Sebutan Lazim
CFA, kuarsa,
plagioclase,
smectite
Diluar kelaziman
Phillipsite, goethite,
todorokite, kalsit,
K-fieldspar, pyrosen,
opal-A, barite,
amphibole,
magnetite, amorf,
aluminosilikat.
Sebutan Lain
Halida, illida,
clinoptilolida,
lepidocrosida,
manjiroida, manganida,
palygorskida, klorida,
dolomida, stevesida,
kutnahorida,
hematida,modrnida,
natrojarosida,
manganosida,
maghemida,
lithiophorida, analsida
CFA= Karbonat fluorapatit.
Sumber: Hein (2004).
Selain mineral tersebut ada juga bagian kerak dilapisi
dengan kandungan fosfat dengan berisikan 30% karbonat
~ 304 ~
fluorapatit tetapi sesungguhnya ketebalan lapisan karbonat
fluorapatit (CFA) di kerak Fe-Mn tidak melebihi 10%, namun
disamping itu pula terdapat besi amorf oksihidrosida (δFeOOH, feroxyhyte) yang sebetulnya hasil perkembangan dari
δ-MnO2 (Burns and Burns, 1977).
Di samudera Pasifik kuarsa adalah bagian dari
plagioclase sering disebut eolian yang umumnya menutupi
bagian atas kerak, material ini berasal buangan gunung berapi.
Kalau todorokite biasanya bongkahan Fe-Mn diagenetik
sedang endapan mangan hydrothermal relatif sedikit. Di
samudera Pasifik, khususnya di laut lepas California ditemui
hanya 5% todorokite, mengapa demikian dikarenakan
produktivitas biologi sangat tinggi sehingga potensi oksidasi
adalah rendah, berbeda dengan wilayah pasifik tengah sampai
ke bagian barat. Untuk karbonat fluorapatit (CFA) umumnya
terdapat sebanyak 28% tetapi di Pasifik bagian barat dan
tengah ditemui sebanyak 34%, sedang di laut lepas California
sampai ke bagian utara Pasifik tidak ditemui kandungan
karbonat fluorapatit. Tetapi kandungan CFA di samudera
Atlantik dan India presentasinya kecil, umumnya lapisan itu
belum lama terbentuk. Hasil riset membuktikan proses
pembentukan lapisan fosfat pada Fe-Mn terjadi dalam dua
periode, yaitu 24 juta tahun dan 34 juta tahun yang lalu (Hein
dkk, 1993).
Perkembangan pembentukan kerak/pebatuan Fe-Mn
dengan proses hidrogenetik berjalan sangat lambat, yakni <1 11 mm per jutaan tahun, namun kebanyakan yang terjadi pada 1
- 6mm/jutaan tahun (lihat gambar 11.2). Dalam pembentukan
pebatuan itu serapan elemen kecil melalui oksihidroksida
berjalan sangat lambat, sehingga tidak bisa dipungkiri
pertumbuhannya memakan waktu yang panjang sampai jutaan
tahun.
~ 305 ~
Jumlah Sampel
Rata-rata Pertumbuhan (mm/Jutaan tahun)
Gambar 11.2. Kecepatan Perkembangan Bebatuan Fe-Mn
secara Hidrogenetik
Sumber: Hein dkk. (2000).
Pengukuran umur dan kecepatan pembentukan pebatuan FeMn dapat dilakukan dengan metode radioaktif uranium dan
beryllium hanya bisa terdeteksi pada bagian luar kerak setebal
2 – 20 mm. Atau dapat juga mempergunakan cara paleontologi
yaitu memprediksi umur dengan memperhatikan substrat di
pebatuan. Kedua metoda ini dapat menaksir umur, kecepatan
perkembangan serta fase disaat tidak berkembang.
Kalau menggunakan teknik pengukuran dengan isotop
beryllium seharusnya ketebalan kerak lebih kurang 20 mm
agar dapat terdeteksi umur pebatuan lebih baik, jika lebih dari
itu bisa terjadi kesalahan. Hasil identifikasi kerak Fe-Mn dari
Pasifik bagian ekuator ternyata lapisan kerak telah terbentuk
sejak 60 juta tahun yang lalu (Hein, 2004).
~ 306 ~
Dapat juga dipergunakan metoda perbandingan isotop
osmium, biasanya dengan cara ini digunakan pada pebatuan
yang berumur 65 juta tahun lalu, dimana setiap lapisan
pebatuan atau nanofosil biostratifikasi yang terbentuk
memperlihatkan susunan lapisan tahunan. Dari data itu di
perbandingankan sehingga dapat persentasenya, kemudian
hasil kalkulasi itu di petakan kedalam grafik, cara ini disebut
kurva Cenozoic air laut (Janin, 1985; Cowen dkk, 1993).
Pada prinsipnya,
untuk mengukur umur dan
perkembangan pebatuan Fe-Mn dapat digunakan pelbagai
metoda baik secara palaentologi maupun menggunakan radio
isotop. Secara umum, umur lapisan pebatuan menentukan
jumlah dan komposisi unsur kimia yang dikandungnya,
artinya makin tua kerak/pebatuan itu, kelimpahan komposisi
kimia yang dikandungnya makin bervariasi.
Kerak Fe-Mn yang terbentuk dari proses hidrogenetika
umumnya memiliki kandungan besi : mangan dengan
perbandingan 0,4 dan 1,2, namun kebanyakan di temui adalah
0,7±0,2. Bagi pebatuan di pinggiran kontinen yang merupakan
campuran antara proses hydrothermal dan hidrogenetika
perbandingan komposisi Fe/Mn ada sekitar 1 dan 3, tetapi
kebanyakan yang ditemui 1,3-1,8 (dapat dilihat pada table 11.4)
Kobalt disuatu pebatuan sebagai logam yang memiliki
nilai ekonomis tinggi (greatest economic potential)
kandungannya berkisar 0,05% – 17% (500 – 17.000 ppm), tetapi
jika pebatuan itu bersumber dari pelbagai jenis lapisan (baik di
kerak maupun bongkahan abisal), maka nilai rata-rata kandung
kobalt dipekirakan ada sekitar 0,19% - 0,74% (1900-7400 ppm)
(lihat table 11.4). Sesungguhnya kobalt merupakan endapan
logam yang terbentuk melalui proses hidrogenetika (Halbach
dkk, 1982).
Demikian juga, nikel dan platinum merupakan unsur
kimia yang bernilai ekonomis penting. Pada pebatuan biasanya
terkandung nikel sebesar 1,1% (11.000 ppm) dan platinum ada
sekitar 1,3 ppm. Tetapi bongkahan (nodul) Fe-Mn di daerah
~ 307 ~
abisal banyak terkandung
elemen seperti: besi, kobalt,
platinum, timah, arsenik, bismut, bromida, vanadium, fosfat,
kalsium, titanium, strontium, tellurium, aluminium, kalium
dan kadmium. Sesungguhnya unsur kimia yang ada kerak FeMn lebih banyak dari yang dikandung oleh air laut, kecuali
bromida, klorin dan natrium. Kelimpahan kandungan unsur
kimia di pebatuan seperti: bismuth, kobalt, Mn, titanium,besi,
tellurium, tembaga dan thorium bisa mencapai 108 sampai 1010
kali lebih banyak. Tetapi kalau unsur kimia seperti: tin,
hafnium, zirconium, aluminium, yttrium, scandium, thallium,
nikel, kalsium, niobium, indium, tembaga, germanium, zink,
tungsten dan tantalum konsentrasinya 106 sampai 108 lebih
banyak dari di air laut.
Kalau kita bandingkan kandungan kimia yang ada di
pebatuan Fe-Mn dengan yang ada di lithosfer, khususnya kimia
tellurium umumnya di pebatuan lebih banyak 5000 kali dari
yang terkandung di lithosfer, namun untuk kimia
molybdenum, thallium, antimony, kobalt, Mn, bismuth,
arsenik, selenium dan timah hanya 100 – 5000 kali lebih
banyak.
Kerak/pebatuan maupun bongkahan Fe-Mn sudah
menjadi incaran petambang dunia, karena memiliki nilai
ekonomi tinggi, tidak hanya kobalt, nikel, mangan dan
platinum,
tetapi juga unsure kimia titanium, cerium,
tellurium, thallium, zirconium dan fosfat (Hein, 2004).
~ 308 ~
Tabel 11.4. Komposisi Kimia di Kerak Fe-Mn yang ada di Samudera Pasifik, India dan Atlantik serta bongkahan di
Zona Clarion-Clipperton dan bongkahjan abisal lainnya.
~ 309 ~
Lanjutan Tabel 11.4 .
~ 310 ~
Sumber: data di Pasifik bagian barat-utara (Ku, 1977 disitasi oleh Hein, 2004); data di Hawai (De
Carlo dan McMurttry, 1992); Data di Pasifik Selatan (Exon, 1977) dan Hein (2004).
~ 311 ~
Secara umum ahli geokimia berpendapat bahwa zat kimia
yang berasosiasi membentuk kerak/pebatuan dapat dilalui
dengan 5 fase, yaitu δ-MnO2, besi oksihidroksida,
aluminiumsilika, CFA (carbonat fluorapatite) dan residu
biogenik. Kalau zat kimia Mn, kobalt, nikel, kadmium dan
molybdenum selalu bersenyawa dengan fase δ-MnO2. Namun
demikian, lebih kurang 40% dari hasil
kegiatan riset
menunjukan jenis kimia timah, vadium, zink, natrium,
kalsium, strontium, magnesium dan titanium juga bisa
berasosiasi dengan fase δ-MnO2 (Hein, 2004).
Zat kimia besi dan arsenik lebih mudah bersenyawa
dengan besi oksihidroksida, walaupun juga elemen vanadium,
tembaga, timah, yttrium, fosfat, chromium, beryllium,
strontium, titanium dan cerium bisa bersenyawa dengan fase
besi oksihidroksida. Untuk fase detrital (aluminiumsilika)
yang sering bersenyawa adalah silikon, aluminium dan
kalium, tetapi elemen kimia seperti: titanium, chromium,
magnesium, besi, natrium dan tembaga mampu juga
berasosiasi.
Zat kimia yang punya sifat lebih mudah bersenyawa
pada fase CFA adalah kalsium, fosfat dan CO2, tetapi kimia
strontium, yttrium, molybdenum, barium, cerium dan zink
mampu bersenyawa di fase CFA namun hanya di bagian
tertentu saja atau tidak merata di semua pebatuan. Sedang
fase residu biogenik zat kimia yang bisa bersenyawa meliputi
barium, strontium, cerium, tembaga, vanadium, kalsium dan
magnesium, namun zat besi, arsenik, natrium, molybdenum,
yttrium, fosfat, karbon dioksida, timah, titanium dan nikel
mampu juga berasosiasi tetapi hanya di bagian-bagian
tertentu saja.
Sesungguhnya zat besi memiliki kemampuan
bersenyawa lebih kuat pada fase besi-oksihidroksida, namun
demikian zat ini mudah bersenyawa melalui fase-fase lain
termasuk fase campuran
antar δ-MnO2
dan besioksihidroksida. Kalau pada fase detrital dan biogenik besi
~ 312 ~
ada dalam bentuk senyawa pyroxene, amphibole, smectite,
magnetite dan spinel sebagai mineral. Kekuatan zat besi
bersenyawa dengan unsur lain di kerak sangat tergantung
pada kelimpahan ddisetiap fase (Hein dkk, 2000).
Pada fase CFA biasanya berlangsung di pebatuan yang
padat, dimana inti batuan itu banyak terdapat lapisan fosfat.
Sedang bagian permukaan pebatuan keras jarang ditemui zat
kalsium, fosfat dan CO2, kalaupun ada zat-zat itu bersenyawa
dengan δ-MnO2
dan residu biogenik. Zat-zat seperti
platinum, rhodium dan iridium yang bersenyawa dengan fase
CFA akan makin bertambah dengan bertambahnya kepadatan
kerak. Halini berlawanan dengan mekanisme pengikatan
kobalt dan zat-zat lain melalui fase detrital, dimana
jumlahnya makin berkurang dengan bertambahnya
kepadatan (Halbach dkk, 1982).
Dalam kerak Fe-Mn terdapat banyak zat-zat yang
kandungannya relatif sedikit seperti lanthanum (La), lutetium
(Lu), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd),
samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium
(Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium
(Tm), ytterbium (Yb) diperkirakan ada ribuan ppm, sedang
zat yttrium hanya ratusan ppm. Konsentrasi trivalent dari
zat-zat yang jumlah sedikit (rare-earth element/REE), kecuali
cerium, akan makin bertambah di kerak dengan
bertambahnya kedalaman perairan (Aplin, 1984; De Carlo dan
Fraley, 1990). Sesungguhnya pada kerak Fe-Mn di laut banyak
ditemui zat-zat yang jumlahnya sedikit, tidak hanya REE.
Seperti pada pecahan batu karang ukuran kecil terdapat
sangat banyak kandungan REE, dan hampir semua samudera
di dunia ditemui zat-zat itu. Umumnya zat-zat seperti
lanthanum (La), Ce, Eu dan Gd hampir merata di semua
samudera, kecuali zat yttrium terkadang tidak ada di tempat
tertentu. Semua zat-zat itu berasal dari daratan yang masuk
kelaut dihantar oleh aliran sungai sejak ribuan tahun lalu.
Kecuali ada zat-zat yang mudah terjadi secara redoks
~ 313 ~
(reduksi-oksidasi), seperti cerium dan yttrium telah ada di air
laut, yang kemudian diserap oleh Fe-Mn oksihidroksida.
Cerium adalah satu-satunya REE yang memiliki iontrivalen, zat ini dilingkungan laut bersenyawa dengan mangan
dan besi oksihidrooksida dalam ikatan oksidasi cerium
dimana senyawa ini akan dikatalisis oleh mikroba di perairan
(Moffett, 1990).
Dalam kerak Fe-Mn terdapat juga zat kimia yang
bernilai ekonomis tinggi, banyak di gunakan pada pelbagai
industri tingkat tinggi (high-tech) di beberapa negara maju di
dunia, zat-zat itu adalah platinum, palladium, rhodium,
ruthenium dan iridium, kelompok zat-zat tersebut sering
disebut sebagai grup kimia platinum (platinum group
elements/PGEs). Sessungguhnya kelimpahan zat-zat tersebut
di kerak bumi sangat tinggi, kecuali palladium relatif kurang
(lihat table 11.4). Platinum jumlahnya sangat banyak di
tambang kobalt, diperkirakan 0,8 ppm sampai dengan 3 ppm
(Halbach dkk, 1984; Aplin and Cronan, 1985; Hein dkk, 1988).
Sedang zat kimia rhodium, ruthenium dan iridium hanya
ditemui 124 ppb, 32 ppb dan 54 ppb, kemudian palladium
hanya 1-16 ppb saja. Intinya PGE memiliki hubungan positif
dengan konsentrasi dan ketebalan kerak, artinya kosentrasi
PGE makin tinggi akan memperlihatkan lapisan kerak makin
tebal. Biasanya para ahli geologi dalam melakukan eksplorasi,
salah satu indikator ekspetasi potensi ekonomi tinggi di
daerah tambang hanya di dasarkan pada ketebalan kerak dan
warna sampel pebatuan.
Pembentukan lapisan fosfat di kerak Fe-Mn umumnya
melalui hidrogenetik, kalau di samudera Pasifik, menurut
Hein (2004) lapisan fosfat ada dua generasi, yakni generasi
lapisan fosfat yang telah lama terbentuk dan lapisan generasi
baru dengan relatif fosfatnya kurang. Umumnya tersebar luas
di Pasifik bagian tengah dan selatan pada kedalaman >2800
meter. Pada dasarnya fosfat terbentuk melalui ikatan senyawa
difase CFA (carbonat fluorapatite), dan pembentukannya
~ 314 ~
tidak di semua pinggiran kontinen, seperti dilingkungan laut
ZEE Amerika bagian barat-utara tidak terbentuk lapisan fosfat
di pebatuan.
Pengendapan fosfat di laut telah berlangsung sejak 55
dan 25 juta tahun yang lalu, dimana zat itu bersenyawa
dengan CFA yang kemudian terendap menutupi bagian atas
pebatuan secara bertahap dengan berjalannya waktu lapisan
itu makin menumpuk, dan akhirnya bagian tengah pebantuan
terbentuk besi oksihidroksida. Umumnya lapisan fosfat yang
terbentuk ada sekitar 12 cm, halmana kandungan kalsium
diperkirakan 15% dari berat pebantuan, dan kandungan fosfat
ada sekitar 5% dari berat.
Menurut Hein dkk (1993) bahwa pembentuk fosfat di
gunung dasar laut di samudera Pasifik bagian ekuator terjadi
dua kali Cenozoic (major dan minor). Hal itu juga sama
dengan pembentukan fosfat di Fe-Mn generasi lama.
Kejadian major Cenozoic pada pembentuk fosfat di Fe-Mn
terjadi pada ± 34 juta tahun lalu (Eocene-Oligocene) dan
lapisan yang mengelilingi “Oligocene-Miocene” diperkirakan
pada 24 juta tahun yang lalu.
Sedang kejadian minor Cenozoic terjadi pada 15 juta tahun
yang lalu (Miocene). Periode pembentukan fosfat di kerak
Fe-Mn dapat terlihat jelas pada susunan lapisannya di
pebatuan.
Menurut Puteanus dan Halbach (1988), pembentukan
lapisan fosfat pada kerak Fe-Mn dihubungkan dengan umur,
berhubungan erat dengan komposisi kimia dan elemen
mineral. Halmana penyusunan lapisan fosfat sampai pada
lapisan bukan fosfat di kerak Fe-Mn dengan susunan sebagai
berikut: silicon  besi  aluminium  thorium > titanium
kobalt> timah  uranium. Sebaliknya zat nikel, tembaga,
zink, yttrium, REE, strontium, platinum dan barium terdapat
banyak di pebatuan fosfat.
Sesungguhnya dalam kolom air dan daerah permukaan
pebatuan di perairan laut miskin akan unsur kimia tetapi
~ 315 ~
oleh adanya masukan material ke lingkungan laut, berasal
dari aliran sungai yang berlangsung ribuan tahun, aktifitas
hidrothermal, material dari daratan serta adanya peleburan
kimia di pebatuan oleh akibat sinar matahari (lihat uraian bab
sebelumnya), maka material-material itu terjadi percampuran
atau bersenyawa melalui media air (hidrogenetika) dan
mengendap membentuk lapisan pebatuan, mekanisme ini
memungkinkan terbentuknya kerak Fe-Mn.
Dengan demikian di perairan laut telah terjadi
interaksi pelbagai kimia yang kompleks baik organik maupun
anorganik. Model reaksi yang terjadi seperti interaksi kimia
dipermukaan air, thermodinamika dan
kimia koloida
memungkinkan terjadi endapan logam (Koeppenkastrop dan
De Carlo, 1992; Koschinsky dan Halbach, 1995; Bau, 1996).
Suatu hal yang menarik, zat kimia yang bersifat kation hidrat ,
seperti: kobalt, nikel, seng, timah, cadmium, thallium dan dan
lain-lain agak kurang bersenyawa dengan Mn-oksihidroksida,
sedang anion pada kimia yang
bentuknya besar dan
kompleks seperti: vanadium, arsenik, fosfat, zirconium,
hafnium dan lain-lain mampu bersenyawa pada besi
hidroksida walaupun kapasitas pengikatan adalah rendah.
Pada pebatuan keras biasanya kurang kristalin atau
sering dikatakan batuan amorf oksihidrosida, namun oleh
adanya campuran antara besi dan mangan berbentuk koloid
disertai bantuan kerja bakteri maka terbentuklah endapan
logam. Kemudian endapan logam ini makin bertambah
terjadilah penimbunan endapan sehingga terlihat adanya kisikisi kristal yang menutupi pebatuan Fe-Mn oksihidroksida.
Kobalt yang ada di permukaan pebatuan merupakan
hasil proses hidrogenetik, dimana kobalt (II) menjadi larutan
kobalt (III), walaupun sesungguhnya reaksi yang terjadi
bersifat tidak beraturan. Demikian pula, zat kimia timah,
titanium, tellurium, thallium serta cerium terjadi mekanisme
oksidasi yang relatif sama dengan kobalt (Koschinsky dan
Halbach, 1995).
~ 316 ~
Sebetulnya kandungan kimia yang ada di perairan air
laut merupakan refleksi dari kandungan kimia yang ada di
pebatuan laut walaupun banyak faktor pembatasnya. Seperti
keadaan zat kimia tembaga, nikel dan seng. Dimana di
perairan, zat nikel lebih banyak dari pada tembaga dan seng.
Tembaga yang di pebatuan bersifat larutan relatif kurang
jumlahnya karena sebagian besar terbentuk dari zat organik
di perairan laut dalam, halmana zat ini agak sulit bersenyawa
dengan logam besi dan Mn-oksihidroksida (Takematsu dkk,
1989). Demikian juga dengan zat seng relatif lebih kurang
dibandingkan dengan zat nikel di perairan, karena endapan
seng di pebantuan juga sedikit. Hal itu berbeda dengan
kandungan kobalt dan besi di laut dalam serta Fe-Mn di
pebatuan (lihat table 11.1).
Hakekatnya, jumlah zat dan konsentrasinya di
pebantuan hidrogenetika sangat tergantung pada aktifitas
partikel dan zat-zat yang ada di perairan, lamanya zat itu di
laut, kelimpahan kandungan besi dan mangan di pebatuan,
agen kimia koloid yang sangat kompleks di permukaan,
jumlah bahan baik organik dan anorganik
diperairan,
aktifitas oksidasi MnO2 (oksigen/mangan) dan kemampuan
reaksi kimia yang terkandung di perairan laut. Disamping itu
material dari atmosfer dan daratan berpengaruh besar
terhadap kecepatan pembentukan kerak Fe-Mn (Bau, 1996).
~ 317 ~
KEPUSTAKAAN
~ 318 ~
KEPUSTAKAAN
Addadi L. and S. Weiner., 1992. Control and design principles in
biological mineralization. Angew Chem Int Ed 31:153-169
Addadi L. and S. Weiner., 2001. Crystals, asymmetry and life. Nature
411:753-755
Addadi L.; S. Raz and S. Weiner., 2003. Taking advantage of disorder:
amorphous
calcium
carbonate
and
its
roles
in
biomineralization. Adv Mat 15:959-970
Ali S.Y., 1983. Calcification of cartilage. In: Cartilage, Structure,
Function and Biochemistry. Hall BK (ed) Academic Press, New
York, p 343-378
Andersen, N.R and A. Malahoff. 1977. The fate of fossil fuel CO 2 in the
Ocean. Plenum Press. NY. 749 p
Andreae, M.O. 1986. The Ocean as a Source of Atmospheric Sulfur
Compounds. In the Role of Air-Sea Exchangge in Geochemical
Cycling, P. Buat-Menarda (ed), 331-362. Drodrecht Reidel.
Andreae, M.O., R.J., F. Bruynseels, H. Storm, R. Van Grieken and W.
Maenhaut, 1986. Internal Mixtures of Sea Salt, Silicates, Excess
Sulfate in Marine Aerosols. Science 232: 1620-1623
Aplin, A.C., 1984. Rare Earth Element Geochemistry of Central Pasific
Ferromanganese Encrustation. Earth and Planetray Scien. Lett.
71: 13-22.
Aplin, A.C and D.S. Cronan., 1985. Ferromanganese Oxide Deposits
from the Central Pasific Ocean. I. Encrustation from the Line
Island Archipelago. Geochimica et cosmochimica acta. 49: 427436.
Archer D.E. ; S. Emerson and C. Reimers. 1989., Dissolution of calcite in
deep-sea sediments: pH and O2 microelectrode results.
Geochim Cosmochim Acta 53:2831-2845.
Archer D and E. Maier-Reimer., 1994. Effect of deep-sea sedimentary
calcite preservation on atmospheric CO2, concentration. Nature
367: 260-263
Archer, D.E., 1990. An Atlas of the Distribution of Calcium Carbonat in
~ 319 ~
Sediment of the deep Sea. Global Biochemical Cycles. 10: 159174.
Balls, p.W., 1985. Copper, Lead and Cadmium in Coastal Waters of the
Western North Sea. Marine Chem. 15, 363-378.
Barnes, H. L., ed. 1997. Geochemistry of Hydrothermal Ore Deposits,
3rd ed. Wiley Interscience. New York. 561 p
Bates, R. L., and Jackson, J. A. 1987. Glossary of Geology, third edition,
American Geological Institute, p.598
Bau, M., 1996. Comparison of the Partitioning Behaviors of Yttrium,
rare-earth elements, and Titanium between Hydrogenetik
Marine Ferromanganese Crust and Seawater. Geochimca et
Cosmochimica Acta, 60: 1709-1725.
Bäuerlein E. (ed), 2000. Biomineralization. Wiley-VCH Verlag GmbH,
Weinheim Germany.
Bazylinski D.A., 1996. Controlled biomineralization of magnetic
minerals by magnetotactic bacteria. Chem.Geo 132:191-198
Bazylinski D.A. and B.M. Moskowitz., 1997. Microbial biomineralization
of magnetic iron minerals: Microbiology, magnetism and
environmental significance. Rev Mineral 35:181-223
Bazylinski D.A. and R.B. Frankel., 2003.
Biologically controlled
mineralization in prokaryotes. Rev Mineral Geochem 54:217247
Belcher A.M; X.H. Wu; R.J. Christensen; P.K. Hansma; G.D. Stucky and
D.E. Morse., 1996. Control of crystal phase switching and
orientation by soluble mollusc-shell proteins. Nature
381(6577):56-58
Bender, M.L. and D.T. Heggie, 1984. Fate of organic carbon reaching
the deep sea flow: a status report. Geochim. Cosmochim. Acta,
48, 977–986.
Bengtson S. and M.S. Conway, 1992. Early radiation of biomineralizing
phyla. In: Origin and Early Evolution of the Metazoa. Lipps JH,
Signor PW (eds) Plenum, New York, p 447–481
~ 320 ~
Beniash E.; J. Aizenberg; L. Addadi and S. Weiner., 1997. Amorphous
calcium carbonate transforms into calcite during sea-urchin
larval spicule growth. Proc R Soc London B Ser 264:461-465
Beniash E.; L. Addadi and S. Weiner., 1999. Cellular control over spicule
formation in sea urchin embryos: a structural approach. J
Struct Biol 125:50-62
Bennett, P. C. 1991. Quartz dissolution in organic-rich aqueous systems.
Geochimica et Cosmochimica Acta 55:1781–1797.
Berelson, W.M.; D.E. Hammond and G.A. Cutter., 1990. In situ
measurements of calcium carbonate dissolution rates in deep
sea sediments. Geochimica of Cosmoschimica Acta, 54: 30133020.
Berger W.H., 2002. Climate history and the great geophysical
experiment. In: Climate Development and the History of the
North Atlantic Realm.Wefer G, Berger W, Behre KE, Jansen E
(eds) Springer Verlag, p 1-16
Berner, R. A. 1980. Early Diagenesis: A Theoretical Approach.
Princeton: Princeton University Press. 289 p
Berner, R.A., 1981. A new geochemical classification of sedimentary
environments. J. Sed. Petrol., 51, 359–365.
Berner, B.A., 1982. Burial of organic carbon and pyrite sulfur in the
modern ocean: its geochemical and environmental significance.
Am J. Sci., 282, 451–473.
Berner, R. A. 1989. Biogeochemical cycles of carbon and sulfur and their
effect on atmospheric oxygen over Phanerozoic time.
Palaeogeography, Palaeoclimatology, Palaecology 73: 97–122.
Bettencourt V and A. Guerra., 2000. Growth increments and
biomineralization process in cephalopod statoliths. J Exper Mar
Biol Ecol 248:191-205
Bewen, J.M. and P.A. Yeats, 1980. Behaviour of Trace Metals During
Estuarine Mixing. In River inputs to Oceans Systems, I.M.
Martin, J.D. Burton and D. Eisma (eds), 103-115. Paris:
UNEP/UNESCO.
Billard C.. 1994. Life cycles. In: The Haptophyte Algae. Green J.C. and
B.S.C. Leadbeater (eds) Clarendon Press, Oxford, p 167-186
~ 321 ~
Blanchard, D.C. 1983. The Production, Distribution and Bacterial
Enrichment of the Sea-Salt Aerosol. In Air-sea exchange of gases
and particles. P.S. Liss & W.G.N. Slin (eds) pp. 407-454
Dondrecht; Reidel.
Bolton, B.R.; N.F.Exon and J. Ostwald., 1990. Thick ferromanganese
deposits from the Dampier Ridge and the Lord Howe Rise of
eastern Australia. BMR journal of Auatralian Geology and
Geophysics, 11: 421-427.
Boogs, S. 1986. Petrology of Sedimentary Rocks, Mc Millan Publishing
Company, New
York, 707 p.
Borowitzka M.A., 1982., Morphological and cytological aspects
of algal calcification. Intl Rev Cytology.74:127-160.
Bown P.R., 1998a. Calcareous Nannofossil Biostratigraphy. Chapman &
Hall, London.
Bown P.R., 1998b., Triassic. In: Calcareous Nannofossil Biostratigraphy.
Bown PR (ed) Chapman & Hall, London, p 29-33.
Bown P.R. and J.R. Young., 1998. Techniques. In: Calacareous
Nannofossil Biostratigraphy. Bown PR (ed) Chapman & Hall,
London, p 16-28
Brady, James E. Dan J. R. Holum, 1981. Fundamentals of Chemistry.
Jhon Wiley & Sons. New York.
Brasseur, Guy P.; Orlando, John J.; Tyndall, Geoffrey S., 1999.
Atmospheric Chemistry and Global Change. Oxford University
Press.
Brewer P.G.; C. Goyet and G. Frienderich., 1997. Direct observation on
the oceanic CO2 increase revisited. Geophys Proc Nat Acad Sci
USA 94:8308-8313
Broecker, W. S., and T. H.Peng. 1974. Gas Exchange rates between Air
and Sea. Tellus 26, 21-35.
Broecker, W. S., and T. H.Peng. 1982. Tracers in the Sea. Eldigio Press,
Columbia University. New York. 347 p
~ 322 ~
Burdige, D.J. and J.M. Gieskes, 1983. A pore water/solid phase
diagenetic model for manganese in marine sediments. Am. J.
Sci., 283, 29–47.
Burdige, D.J., 2007. Preservation of organic matter in marine
sediments: controls, mechanisms and an imbalance in sediment
organic carbon budgets? Chem. Rev., 107, 467–485.
Burke, C.M. and M.J. Atkinso. 1988. Measurement of total Alkalinity in
Hypersaline Waters. Marine Chemistry, 25, 49-55.
Burns R.G. and V.M. Burns., 1977. Mineralogy, in Marine Manganese
Deposits. In Marine Manganese Deposits, G.P. Glasby (ed).
Elsevier Amsterdam. Pp 185-248.
Bury, S.J., 1989. The geochemistry of North Atlantic ferromanganese
encrustation, Ph.D. Thesis, Cambridge University, 265 p.
Calvert, S.E. and N. B. Price, 1970. Minor metal contents of Recent
organic-rich sediments off South West Africa. Nature, 227, 593–
595.
Cameron, M., and J. J. Papike. 1980. Crystal chemistry of silicate
pyroxenes. Mineralogical Society of America Reviews in
Mineralogy 7:5–92.
Carlson, W. D., and J. L. Rosenfeld. 1981. Optical determination of
topotactic aragonite -calcite growth kinetics: Metamorphic
implications. Journal of Geology 89:615–638.
Carmichael, I.S.E., and H. P. Eugster, eds. 1987. Thermodynamic
Modeling of Geological Materials: Minerals, Fluids and Melts.
Reviews in Mineralogy 17. Washington, D.C.: Mineralogical
Society of America.
Chester Roy. 1990. Marine Geochemistry Pub. Academic Division of
UNWIN HYMAN. London. 698 h.
Chester, R and T. Jickells, 2012. Marine Geochemistry (3rd Edt). Science
Jhon Wiley & Sons Pub. London, 436 p.
Childers, J.J. 1988. Hydrothermal Vents. A Case Study of the Biology
and Chemistry of a Deep-sea hydrothermal vent of the
Galapagos Rift. Deep-Sea Res. 35 p. 1673-1849.
~ 323 ~
Cohen A.L. and Ted A. McConnaughey., 2003. Geochemical Perspectives
on Coral Mineralization. In Biomineralization by Jodi J. Rosso
(Edt) on Review in Mineralogy and Geochemistry. Mineralogical
Society of America, Geochemistry Society, Vol 54, 151-187
Colman, S. P., and D. P. Dethier, eds. 1986. Rates of Chemical
Weathering of Rocks and Minerals. Academic Pres. New York.
Constantz B.R., 1986. Coral skeleton construction: A physiochemically
dominated process. Palaios 1:152- 157
Constantz B.R. and A. Meike., 1989. Calcite centers of calcification in
Mussa Angulosa (Scleractinia). In: Origin, Evolution and
Modern Aspects of Biomineralization in Plants and Animals.
Crick RE (ed) Elsevier, Amsterdam, p 201-207
Cowen J.P.; E.H. De Carlo and D.L. McGee., 1993. Calcareous
nannofossil biostratigraphie dating of a ferromanganese crust
from Schumann Seamount. Marine Geology, 115: 289-306
Cronan, D.S., 1984. Criteria for the recognition of areas of potentially
economic manganese nodules and encrustations in the
CCOP/SOPAC region of the central and south-western tropical
Pasific. South Pasific Marine Geological Notes, CCOP/SOPAC,
3:1-17.
Cros L. and J.M. Fortuño, 2002. Atlas of northwestern Mediterranean
coccolithophores. Scientia Marina 66: 1-186
Cros L.; A. Kleijne; A. Zeltner; C. Billard and J.R. Young. 2000. New
examples
of
holococcolith-heterococcolith
combination
coccospheres and their implications for coccolithophorid
biology. Mar Micropaleontol. 39:1-34.
Darmono Djoko dkk., 2009. Mineral Dan Energi Kekayaan Bangsa.
Sejarah Pertambangan dan Energi Indonesia. Dep. Energi dan
Sumber Daya Mineral.
Davies, T.A. and A.S. Laughton, 1972. Sedimentary Processes in the
North Atlantic. Initial reports of the deep sea drilling project.
Vol. 12. Pp 905-934. Washington DC. US Government Printing
Office.
Davies, T.A. and D.S. Gorsline. 1976.
Oceanic Sediments and
Sedimentary Processes. In Chemical Uceanography, J.P. Riley &
R. Chester (eds). Vol, 5, p: 1-80. London Academic Press.
~ 324 ~
De Carlo, E.H. and G.M. McMurtry., 1992. Rare-earth element
geochemistry of ferromanganese crust from Hawaiian
Archipelago central Pasific. Chemical geology. 95: 235-250.
De Carlo, E.H. and C.M. Fraley., 1990. Chemistry and Mineralogy of
Ferromanganese Deposits from Equatorial Pacific Ocean. In
Geology and Offshore Mineral Resources of the Central Pasific
Basin. B.H. Kreating and B.R. Bolton (eds). Circum-Pasific
Council for Energy and Mineral Resources. Houston, Texas.
Earth Scien. Series. V: 5, pp 225-245.
De Yoreo J.J and P.M. Dove., 2004. Shaping crystals with biomolecules.
Science 306:1301-1302
De Vrind-de Jong E.W.; A.H. Borman; R. Thierry; P. Westbroek, M.
Grüter and J.P. Kamerling., 1986. Calcification in the
coccolithophorids Emiliania huxleyi and Pleurochrysis carterae
II. Biochemical aspects. Syst. Assoc Spec Vol 30, p 205-217
De Vrind-de Jong E.W. and J.P.M. de Vrind., 1997. Algal deposition of
carbonates and silicates. Rev Mineral 35:267-307
De Vrind-de Jong E.W.; P. van Emburg and J.P.M. de Vrind., 1994.
Mechanisms of calcification: Emiliania huxleyi as a model
system. In: The Haptophyte Algae. Green JC, Leadbeater BSC
(eds) Syst Assoc Spec Vol 51, p 149-166
Drever, J. I., 1974. The magnesium problem. In E. D. Goldberg, ed. The
Sea, vol. 5. New York: Wiley Interscience, pp. 337– 357.
Drever, J. I., 1997. The Geochemistry of Natural Waters. New York:
Simon and Schuster.
Drever, J.I., 1982. The Geochemistry of Natural Waters. Englewood
Cliffs, NJ: Prentice-Hall.
Duda M. dan F. Pajak ., 2004. The issue of bioresorption of the Bio-Oss
xenogeneic
bone subtitue in bone defects. Ann UnivMariae Curie Sklodawska
59: 269277
Edvardsen B; W. Eikrem; J.C. Green; R.A. Andersen; S. Yeo Moon-van
der Staay and L.K. Medlin., 2000. Phylogenetic reconstructions
~ 325 ~
of the Haptophyta inferred from 18S ribosomal DNA sequences
and available morphological data. Phycologia 39:19-35
Elderfield, H., 1976. Hydrogenous Material In Marine Sediments:
Excluding Manganese nodules. In Chemical Oceanography, J.P.
Riley and R. Chester (eds) Vol. 5, 137-215 London Academic
Press.
Elderfield, H. (ed), 2006. The Oceans and Marine Geochemistry.
Treatise on Geochemistry, Volume 6. Pergamon. New York. 664
p.
Elgquist, B., and M. Wedborg. 1978.
Stability constants of NaSO4 −,
MgSO4, MgF+, MgCl+ ion pairs at the ionic strength of seawater
by potentiometry. Marine Chemistry 6:243–252.
El Wakeel, S.K. and J.P. Riley, 1961. Chemical and Mineralogical Studies
of Deep Sea Sediment. Geochim Cosmochim. Acta 25, pp 110146.
Engel, M. H., and S. A. Macko, eds. 1993. Organic Geochemistry:
Principles and Applications. Plenum. New York.
Erez J., 2003. The Source of Ions for Biomineralization in Foraminifera
and Their Implications for Paleoceanographic Proxies In
Biomineralization by Jodi J. Rosso (Edt) on Review in
Mineralogy and Geochemistry. Mineralogical Society
of
America, Geochemistry Society, Vol 54, 115-149
Eugster, H. P., and D. R. Wones. 1962. Stability relations of the
ferruginous biotite, annite. Journal of Petrology 3:82–125
Exon,N.F., 1997. Ferromanganese crust and nodule deposit from the
continental margin south and west of Tasmania. Australian
journal of Earth Sciences, 44: 701-710.
Falini G; S. Albeck; S. Weiner and L. Addadi., 1996. Control of aragonite
or calcite polymorphism by mollusk shell macromolecules.
Science 271:67-69
Faure, G. 1991. Principles and Applications of Inorganic Geochemistry.
New York: Macmillan. 369 p
Ferry, J. M., ed. 1982. Characterization of Metamorphism through
Mineral Equilibria. Reviews in Mineralogy 10. Washington,
D.C.: Mineralogical Society of America.
~ 326 ~
Fichtinger-Schepman A.M.J.; J.P. Kamerling; C. Versluis and J.F.G.
Vligenthart. 1981. Structural studies of the methylated, acidic
polysaccharide associated with coccoliths of Emiliania huxleyi
(Lohmann) Kamptner. Carbohydrate Research 93:105-123
Finlayson-Pitts, Barbara J.; Pitts, James N., Jr., 2000. Chemistry of the
Upper and Lower Atmosphere. Academic Press.
Fortin D, Ferris F.G and T.J. Beveridge., 1997. Surface-mediated
mineral development by bacteria. Rev Mineral 35: 161-180
Fortin D and T.J.Beveridge., 2000. Mechanistic routes to biomineral
surface development. In: Biomineralization. Baeuerlein E (ed)
Wiley-VCH, Weinheim, Germany, p 7-24
Froelich, P.N., G.P. Klinkhammer and M.L. Bender., 1979. Early
oxidation of organic matter in pelagic sediments of the eastern
equatorial Atlantic: suboxic diagenesis. Geochim. Cosmochim.
Acta, 43, 1075–1090.
Fujiwara S; M. Tsuzuki; M. Kawachi; N. Minaka and I.Inouye., 2001.
Molecular phylogeny of the haptophyta based on the rbcL gene
and ssequence variation in the spacer region of the RUBISCO
operon. J. Phycol 37:121-129
Fütterer D.K., 2006. The Solid Phase of Marine Sediments. In Marine
Geochemistry, Horst D Schulz and Matthias Zabel (eds).
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. P 1-25.
Galoway, F. and M. Bender., 1982. Diagenetic models of interstitial
nitrate profiles in deep-sea suboxic sediments. Limnol.
Oceanogr., 27, 624–638.
Garrels, R.M. and F.T. Mackenzie. 1977.
Rocks. New York: Norton.
Evolution of Sedimentary
Garrone R.; T.L. Simpson and J. Pottu-Boumendil., 1981. Ultrastructure
and deposition of silica in sponges. In: Silicon and Siliceous
Structures in Biological Systems. Simpson TL, Volcani BE (eds)
Springer-Verlag, New York, p 495-525
Geisen M.; C. Billard; A.T.C. Broerse; L. Cros; I. Probert and J.R. Young .
2002.
Life-cycle
associations
involving
pairs
of
holococcolithophorid species: intraspecific variation or cryptic
speciation? Eur J Phycol 37:531-550
~ 327 ~
Gibbs, R.J. 1970. Mechanisms Controlling World River Water
Chemistry. Science 170: 1088-1090.
Gieskes, J.M., 1983. The chemistry of interstitial waters of deep sea
sediments: interpretations of deep-sea drilling data, in
Chemical Oceanography, J.P. Riley and R. Chester (eds), Vol. 8,
pp.221–269. London: Academic Press
Gilbert P.U.P.A., Mike Abrecht, Bradley H. Frazer, 2005. The OrganicMineral Interface in Biominerals. Reviews in Mineralogy &
Geochemistry. Vol. 59, pp. 157-185, Mineralogical Society of
America.
Goldberg, E.D. and J.J. Griffin. 1964. Sedimentation Rates and
Mineralogy in the south Atlantic. J. Geophys. Res 69 pp 42934309.
Gotliv B.A; L. Addadi and S. Weiner., 2003. Mollusk shell acidic
proteins: in search of individual functions. Chem Bio Chem
4:522-529
Gray, J. C., and J. C. G. Walker. 1990. Numerical Adventures with
Geochemical Cycles. London: Oxford University Press. 456 p
Haese, R.R. 2006
The Biogeochemistry of Iron. In
Marine
Geochemistry, Horst D Schulz and Matthias Zabel (eds).
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. pp 241-270.
Harvie, C. E., N. Moller, and J. H. Weare. 1984. The prediction of
mineral solubilities in natural waters: The Na-K-Mg-CaH-ClSO4-OH-HCO3-CO3-CO2-H2O system to high ionic strengths at
25°C. Geochimica et Cosmochimica Acta 48: 723–752
Hedges, J. I., and R. G. Keil. 1995. Sedimentary organic-matter
preservation—an assessment and speculative synthesis. Marine
Chemistry 492–493: 81–115
Hein, J.L.; A.Konschinsky; P.Halbach; F.T.Manheim, M.Bau; J.K. Kang
and N. Lubicl., 1977. Iron and manganese oxide mineralization
in the Pasific. In Manganese Mineralisation: Geochemistry and
Mineralogy of Terrestrial and Marine Deposits, Hein et a (Eds).
Geol. Sco. Special Pub, 119. 123-138.
~ 328 ~
Hein, J.R.; W.C. Schwab and A.S. David., 1988. Cobalt and Platium-rich
ferromanganese Crust and Associated Substrate Rocks from the
Marshall Island, Marine Geology, 78: 255-283.
Hein J.R. and C.L. Morgan., 1999. Influence of substrate rocks on FeMn Crust Composition. Deep-sea research I, 46: 855-875.
Hein J.R.; A. Koschinsky; M. Bau; F.T. Manheim; J.K. Kang and L.
Roberts., 2000. Cobalt-rich ferromanganese crust in the Pacific.
In Handbook of Marine Mineral Deposits, D.S. Cronan (ed),
CRC Press, Boca Raton, Florida p. 239-279.
Hein
J.R., 2004. Cobalt-Rich Ferromanganese Crusts: Global
Distribution, Composition, Origin and Research Activities.
Dalam Prosiding workshop Tentang Minerals Other Than
Polymetallic Nodules of The International Seabed Area (volume
I), Dilaksanakan pada tanggal 26-30 Juni 2000 di Kingston
Jamaica. pp 188-272
Helfinalis, 2005. Suspensi Dan Endapan Sedimen Di Perairan Laut
Jawa. MAKARA SAINS, Vol. 9, No. 1, pp : 34-40
Hemleben C; O.R. Anderson; W. Berthold and M.Spindler., 1986.
Calcification and chamber formation in foraminifera-a brief
overview. In: Biomineralization in Lower Plants and Animals.
Leadbeater BSC, Riding R (eds) Clarendon Press, Oxford, p 237249
Hess, P. C., 1989. Origins of Igneous Rocks. Cambridge: Harvard
University Press. (Chapter 2 presents a thorough explanation of
phase
diagrams,
although
without
reference
to
thermodynamics.)
Hill, J.W., K. Koib dan S.W. Keller. 2004. Chemistry for Changing
Times. (edition 10th). Pearson Prentice. Hall . USA.
Holland, H. D. 1978. The Chemistry of the Atmosphere and Oceans. New
York: Wiley Interscience. 339 p
Holland, H. D. 1984. The Chemical Evolution of the Atmosphere and
Oceans. Princeton: Princeton University Press. 365 p
Holzmann M.; A. Habura; H. Giles; S.S. Bowser and J. Pawlowski., 2003.
Freshwater foraminiferans revealed by analysis of
environmental DNA samples. J Eukaryotic Microbiol 50(2):135139
~ 329 ~
Holzmann M. and J. Pawlowski., 2002. Freshwater foraminiferans
from Lake Geneva: Past and present. J. Foramin Res 32
(4):344-350
Hosokawa, I.O., F. Oshima and N. Kondo. 1970. On the Concentration of
the Dissolved Chemical Elements in The Estuary of The
Chikukogawa River. J. Oceanography. Soc. Jap. 26, 1-5.
Horne, R. A., ed. 1972. Water and Aqueous Solutions: Structure,
Thermodynamics, and Transport Properties. New York: Wiley
Interscience.
Honnerez, J., 1981. The Aging of the Oceanic Crust at Low Temperature.
In The Sea. C. Emillani (ed). Vol. 7, 525-587. New York,
Interscience.
Indrani D.J., 2012. Komposit Hidroksiapatit Kalsinasi Suhu rendah
dengan Alginat SARGASSUM DUPLICATUM
atau
SARGASSUM CRASSIFOLIUM Sebagai material Scaffold
Untuk Pertumbuhan Sel Punca Mesenkimal. Disertasi Doktor
dalam Bidang Ilmu Material FMIPA-UI. 168 h.
Ittekkot, V. 1988. Global Trends in The Nature of Organic Matter in
River Suspensions. Nature 332, 436-438.
Isnaniawardhani V., Natsir dan Suhartati M., 2011. Tipe Sedimen
Permukaan Dasar Laut Selatan Dan Utara Kepulauan
Tambelan Perairan Natuna Selatan. Laporan Penelitian Pusat
Penelitian Oseanografi (P2O) LIPI.
Isnaniawardhani, V. , 2012. Karakteristik Sedimen dan Mikro
Organisma Permukaan Dasar Laut Perairan Madura Bagian
Utara. Bulletin of Scientific Contribution, Volume 10, Nomor 1,
18-30.
Janin M.C., 1985. Biostratigraphie de concretions polymetallique de I’
Arhipel des Tuamotu, fondėe sur les nanofossiles calcaires.,
Bull. Soc. Geol. France. 8: 79-87.
Jones, E.J.W. 1978. Sea-floor Spreading and the Evolution of the Ocean
Basins. In Chemical Oceanography, J.P. Rilley and R. Chester
(eds), vol 7, p 1-74. London. Academic Press.
Jørgensen, B.B and S. Kasten, 2006. Sulfur Cycling and Methane
Oxidation. In Marine Geochemistry, Horst D Schulz and
~ 330 ~
Matthias Zabel (eds). Springer-Verlag
Germany. pp 271-309.
Berlin
Heidelberg.
Katili, J.A. dan P. Marks, 1959. Geologi. Dep. Urusan Research Nasional
Djakarta. 855 h.
Kaul, L.W and P.N. Froelich. 1984. Modeling Estuarine Nutrient
Geochemistry in A Simple System. Geochim. Cosmochim. Acta
48, 1417- 1433.
Keil, R. G., E. Tsamakis, C. B. Fuh, C. Giddings, and J. I. Hedges. 1994.
Mineralogical and textural controls on the organic composition
of coastal marine sediments—hydrodynamic separation using
SPLITT-fractionation. Geochimica et Cosmochimica Acta
582:879–893.
Kerrick, D. M., and G. K. Jacobs. 1981. A
modified
RedlichKwong
equation for H2O, CO2, and H2O-CO2 mixtures at elevated
pressures and temperatures. American Journal of Science
281:735–767
Kerrick, D. M., ed. 1990. The Al2SiO5 polymorphs. Reviews of
Mineralogy 22. Washington, D.C.: Mineralogical Society of
America.
Killops, S. D., and V. J. Killops. 1993. An Introduction to Organic
Geochemistry. Wiley Pub.New York. 542 p
Kirkpatrick, R. J. 1974. Kinetics of crystal growth in the system
CaMgSi2O6-CaAl2SiO6. American Journal of Science 274: 215–
242.
Kirkpatrick, R. J., G. R. Robinson, and J. F. Hays. 1976. Kinetics of
crystal growth from silicate melts: Anorthite and diopside.
Journal of Geophysical Research 81:5715–5720
Kirschvink J.L. and J.W.Hagadorn., 2000. A grand unified theory of
biomineralization. In: Biomineralization. Bäuerlein E (ed)
Wiley-VCH Verlag GmbH, Weinheim, Germany, p 139-149
Koeppenkastrop, D. and E.H. De Carlo., 1992., Sorption of Rare-earth
elements from Seawater onto Synthetic Mineral Perticles: An
experimental Approach. Chemical Geology. 95: 251-263.
Konhauser K.O., 1998. Diversity of bacterial iron mineralization. EarthScience Rev 43:91-121
~ 331 ~
Knoll A.H, 2003. Biomineralization and Evolutionary History. In
Biomineralization by Jodi J. Rosso (Edt) on Review in
Mineralogy and Geochemistry. Mineralogical Society
of
America, Geochemistry Society, Vol 54, 329-356.
Konta, J. 1985. Mineralogy and Chemical Maturity of Suspended
Matter in Major Rivers sampled Under the SCOPE?UNEP
Project. In Transport of Carbon and Minerals in Major World
Rivers, Part 3, E.T. Degens, S. Kempe and R. Herrera (eds), 569592. Mitt. Geol. Palont. Inst. Univ. Hamburg, SCOPE/UNEP,
sonderband 58.
Koning E.; J.M. van Iperen; W. van Raaphorst; W. Helder; G.J.A.
Brummer and T.C.E. Weering., 2001. Selective preservation of
upwelling-indicating diatoms in sediments off Somalia, NW
Indian Ocean. Deep-Sea Research 48:2473-2495.
Koschinsky, A. and P. Halbach., 1995.
Sequential leaching of
ferromanganese precipitates: Genetic implications. Geochimica
et Cosmochimica Acta, 59: 5113-5132
Kretz, R. 1994. Metamorphic Crystallization.Wiley Pub. New York. 354
p
Kröger N.; R. Deutzmann and Sumper M., 1999. Polycationic peptides
from diatom biosilica that direct silica nanosphere formation.
Science 286:1129-1132
Kröger N.; S. Lorenz; E. Brunner and M. Sumper., 2002. Self-assembly
of highly phosphorylated silaffins and their function in biosilica
morphogenesis. Science 298:584-586
Ku, T.L., W.S.Broecker and N. Opdyke. 1968.
Comparison of
Sedimentation rates measured by paleomagnetic and ionium
methods of determination. Earth Planet Sci. Lett 4, 1-16.
Lampitt, R.S. and A.N. Antia, 1997. Particle flux in deep sea: regional
characteristics and temporal variability. Deep-Sea Res. I, 44,
1377–1403.
Lampitt, R.S.; P.P. Newton ; T.D. Jickells; J. Thomson and P. King,
2000. Near bottom particle flux in the abyssal northeast
Atlantic. Deep-Sea Res. II, 47, 2051–2071.
~ 332 ~
Langmuir, D. 1996. Aqueous Environmental Chemistry. Upper Saddle
Brook: Prentice-Hall
Lasaga, A. C. 1998. Kinetic Theory in the Earth Sciences. Princeton:
Princeton University Press, 647 p.
Lasaga, A. C., and H. Ohmoto. 2002. The oxygen geochemical cycle:
Dynamics and stability. Geochimica et Cosmochimica Acta
66:361–38 1.
Leadbeater B.S.C. and Riding R. (eds), 1986. Biomineraliza-tion in
Lower Plants and Animals. The Systematics Association Special
Volume. Clarendon Press, Oxford.
Lee, C.;
W. Wakeham and C. Arnosti, 2004. Particulate organic
matter in the sea: the composition conundrum. Ambio, 33,
565–575.
Levi-Kalisman .; L. Addadi and S. Weiner. 2001. Structure of the
nacreous organic matrix of a bivalve mollusk shell examined in
the hydrated state using cryo-TEM. J Struct Biol 135:8-17
Levi-Kalisman Y.; S. Raz; S. Weiner; L. Addadi and I. Sagi. 2002.
Structural differences between biogenic amorphous calcium
carbonate phases using x-ray absorption spectroscopy.
Advanced Functional Mat 12(1):43-48
Li, Y.-H., and S. Gregory. 1975. Diffusion of ions in sea water and in
deep-sea sediments. Geochimica et Cosmochimica Acta 38:703–
714.
Li, Y.-H. 2000. A Compendium of Geochemistry. Princeton: Princeton
University Press. 569 p.
Liss, P.S., 1983.
Gas Transfer:
Experiments and geochemical
implication. In Air-Sea Exchange of gases and particles, P.S. Liss
& W.G. Slinn (eds), p 241-248> Dordrecht Reidel.
Loeblich Ar. And H. Tappan ., 1987. Foraminifera genera and their
classification. New York, Van Nostrand Reinhold Company
Loeblich, A.R. dan H. Tappan. 1994. Foraminifera of the Sahul Shelf and
Timor Sea. Cushman foundation for foraminifera research
special publication. 31-661 pp.
~ 333 ~
Lowenstam H.A. and G.R. Rossman., 1975. Amorphous, hydrous, ferric
phosphatic dermal granules in Molpadia (Holothurodidea):
Physical and chemical characterization and ecologic
implications of the bioinorganic fraction. Chem Geol 15:15-51.
Lowenstam H.A. and L. Margulis., 1980. Calcium regulation and the
appearance of calcareous skeletons in the fossil record. In: The
Mechanisms of Biomineralization in Animals and Plants. Omori
M, Watabe N (eds) Tokai University Press, Tokyo, p 289-300
Lowenstam HA and Weiner S., 1989.
University Press, New York
On Biomineralization. Oxford
Lower S.K., M.F. Hochella Jr and T.J. Beveridge., 2001. Bacterial
recognition of mineral surfaces: nanoscale interactions between
Shewanella and -FeOOH. Science 292:1360-1363
Mackenzie, F.T. and R. L. Kump, 1995. Reverse weathering, clay
mineral formation and oceanic element cycles. Science, 270,
586–587.
Manheim, F.T.; R.M. Pratt and P.F. McFarlin., 1980. Composition and
orgin of phosphorus deposits of the Blake Plateau. In Marine
Phosphorus-Geochemistry, Occurrence, Genesis. Y.K. Bentor
(ed). SEPM Special Publication 29: 117-137.
Mann S., 2001. Biomineralization: Principles and Concepts in
Bioinorganic Materials Chemistry. Oxford University Press,
New York.
Marsh M.E., 1994. Polyanion-mediated mineralization—assembly and
reorganization of acidic polysaccharides in the Golgi system of
a coccolithophorid alga during mineral deposition. Protoplasma
177:108-122
Marsh M.E., 2000. Polyanions in the CaCO3 mineralization of
coccolithophores. In: Biomineralization: from Biology to
Biotechnology and Medical Application. Bäuerlein E. (ed) WileyVCH, Weinheim, pp 251-268.
Marsh M.E.; D. Chang and G.C. King., 1992.
Isolation and
characterization of a novel acidic polysaccharide containing
tartrate and glyoxylate residues from the mineralized scales of
a unicellular coccolithophorid alga Pleurochrysis carterae. J
Biol Chem 267:20507-20512
~ 334 ~
Marsh
M.E.; A.L. Ridall; P. Azadi and P.J. Duke., 2002.
Glacturonomannan and Golgi-derived membrane linked to
growth and shaping of biogenic calcite. J Struct Biol 139: pp 3945
Maring, H.B and R.A. Duce, 1987. The Impact of Atmospheric Aerosol on
Trace Metal Chemistry in Oipen Ocean Surface Waters. 1.
Aluminium. Earth Planet. Sci. Latt. 84: 381-392.
Martin R.E., 1995. Cyclic and secular variation in microfossil
biomineralization: Clues to the biogeochemical evolution of
Phanerozoic oceans. Global Planetary Change 11:1-23
Maybeck, M. 1978. Note on Dissolved Elemental Content of The Zaire
River. Neth. Jur. Sea Res. 12 293-295.
Maybeck, M. 1981. Pathway of Major Elements From Land to Ocean
Through River. In River inputs to Ocean System. J. M. Martin,
J.D. Burton and D.Eisma (Eds), p. 18 – 30. Paris
UNEP/UNESCO.
Mayer, L. M. 1994. Surface area control of organic carbon accumulation
in continental shelf sediments. Geochimica et Cosmochimica
Acta 114:347–363.
McConnaughey T., 1989. 13C and 18O isotopic disequilibrium in
biological carbonates: I. Patterns. Geochim Cosmochim Acta
53:151-162
McMurray, J. and R. C.Fay. 1995. Chemistry. Englewood Cliffs: PrenticeHall, 451 p.
McSween, H.Y. Jr ; S. M. Richardson dan Maria E. Uhle. 2003.
GEOCHEMISTRY Pathways and Processes (Edisi kedua).
Columbia University Press. in the United States of America. 494
h.
Meade, R.H., 1972. Transport and Deposition of Sediment in Estuaries.
Geol. Soc. Am. Mem. 133 : 91-120
Medlin LK; W.H.C.F. Kooistra; D. Potter; J.B. Saunders and R.A.
Andersen., 1997. Phylogenetic relationships of the "golden
algae" (haptophytes, heterokont chromophytes) and their
plastids. Pl Syst Evol Suppl 11: 187-219
~ 335 ~
Middleburg, J.J. and L.A. Levin, 2009. Coastal hypoxia and sediment
biogeochemistry. Biogeosciences, 6, 1273–1293.
Milliman J.D., 1993.
Production and accumulation of calcium
carbonate in the ocean: budget of a non steady state. Global
Biogeochem Cycles 7:927-957
Minkowyez, w.J., E.M. Sparrow, G.E. Schneider dan R.H. Pletcher
(editor), 1988. Handbook of Nurerical Heat Transfer. John
Wiley & Sons. New York.
Moffett, J.W., 1990. Microbially Mediated Cerium Oxidation in
Seawater. Nature, 345:421-423.
Moore, J.; W.R. Normark and R.T. Holcomb., 1994. Giant Hawaiian
underwater landslides. Science, 264: 46-47.
Morel, F.M.M., 1983 , Principles of Aquatic Chemistry. A Wiley-Inter.
Pub. Jhon Wiley & Sons. 446 p
Morgenstein, M., 1992. Manganese accreation at the sediment water
interface at 400-2400 meters depth, Hawaiian Achipelago. In
ferromanganese Deposit on Ocean Floor. D.R. Horn (ed), Arden
House, Harriman, New York, pp 131-138.
Muller, P.J. and A. Mangini, 1980. Organic carbon decomposition ratio
in sediments of the Pacific manganese nodule belt dated by
230Th and 231Pa. Earth Planet. Sci. Lett., 51, 96–114.
Murton, B.J; L.M.Parson; P.J.Hunter and P.R. Miles, 2004. Evaluation
of Non-living Resources of the Continental Shelf Beyond 200mile Limit of the World’s Margins. In Minerals other than
Polymetallic Nodules of The International Seabed Area.
Proceeding of a workshop, Kingston, Jamica : p 667-761.
Natsir, S.M. 2010. Kelimpahan foraminifera resen pada sedimen
permukaan di Teluk Ambon. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan
Tropis, 2(1):9-18.
Natsir, S.M. dan Rubiman. 2010. Distribusi foraminifera bentik Resen di
Laut Arafura. J. Ilmu dan Teknologi Kelautan, 2(2):74-82.
Nriagu, J.O., 1979. Global Inventory of Natural and Antropogenic
Emissions of Trace Metals to the Atmosphere. Nature 279, 409411.
~ 336 ~
Ohmoto, H., and R. O. Rye. 1979. Isotopes of sulfur and carbon. In H. L.
Barnes ( ed.) Geochemistry of Hydrothermal Ore Deposits, 2nd
ed. New York: Holt, Rinehart, and Winston, pp. 509–567.
Olson, J. S., R. M. Garrels, et al. 1985. The Natural Carbon Cycle.
Atmospheric Carbon Dioxide and the Global Carbon Cycle. J. R.
Trabalka, ed. Washington, D.C.: U.S. Department of Energy, pp.
175–213.
Open University, 1996. The Open University Courses Oceanography. Unit
1-12 (Milton Keynes). The Open Univesrsity Press.
Oremland, R.S. and B.F.Taylor,
1978. Sulfate reduction and
methanogenesis in marine sediments. Geochim. Cosmochim.
Acta, 42, 209–214.
Oxtoby, D.W., H.P. Gillis dan N.H. Nachtrieb. 2001. Prinsip-Prinsip
Kimia Modern (Edisi ke 4). Alih bahasa, S.S. Achmadi. Editor
Silverter L Sinarmata. Erlangga. Jakarta.
Oxtoby, D.W., W.A. Freeman dan T.F. Block. 2003. Chemistry , Science
of Change. (4th edition). Thomson Brooks/Cole. USA.
Ozaki N; S. Sakuda and H. Nagasawa., 2001. Isolation and some
characterization of an acidic polysaccharide with anticalcification activity from coccoliths of a marine alga,
Pleurochrysis carterae. Biosci. Biotechnol Biochem 65:23302333
Parker, V. B., D. D. Wagman, and W. H. Evans. 1971. Selected Values of
Chemical Thermodynamic Properties: Tables for the Alkaline
Earth Elements (Elements 92 through 97 in the Standard Order
of Arrangement). Technical Note 270-6. Washington, D.C.: U.S.
National Bureau of Standards.
Perry Carole C. 2003. Silicification: The Processes by Which Organisms
Capture and Mineralize Silica. In Biomineralization by Jodi J.
Rosso (Edt) on Review in Mineralogy and Geochemistry.
Mineralogical Society of America, Geochemistry Society, Vol 54,
291- 327
Philpotts, A. R., 1990. Principles of Igneous and Metamorphic Rocks.
Englewood Cliffs: Prentice-Hall. 476 p.
~ 337 ~
Pienaar
R.N., 1994.
Ultrastructure and calcification of
coccolithophores. In: Coccolithophore. Winter A, Siesser WG
(eds) Cambridge University Press, Cambridge, p 13-37
Pichocki, C. and M. Hoffert., 1987.
Characteristic of Co-rich
ferromanganese nodules and crust sampeled in French
Polynesia. Marine Geology, 77: 109-119.
Potsma, H., 1980. Sediment Transport and Sedimentation. In
Chemistry and Biochemistry of Estuarie. E. Olausson and I. Cato
(eds), 153-186. New York.
Pytkowicz, R. M. 1983. Equilibria, Nonequilibria, and Natural Waters,
vol. I. New York
Prospero, J.M. 1981. Eolian Transport To The World Ocean. In The
Sea C. Emiliani (ed) vol 7, 801 – 874. New York: interscience.
Quimby-Hunt, M. S., and K. K. Turekian. 1983. Distribution of elements
in sea water. EOS, Transactions of the American Geophysical
Union 64:130–131.
Raven J.A; H. Griffiths; S.M. Glidewell and T. Preston. 1982. The
mechanism of oxalate biosynthesis in higher plants:
Investigating with the stable isotopes 18O and 13C. Proc R Soc
London B, Biol Sci 216:87-101
Remane J., 2000, International stratigraphic chart. International
Union of Geosciences. IUGS Secretariat, Geological Survey of
Norway, Trondheim, Norway
Rifardi, 2012. Ekologi Sedimen Laut Moderen. UR PRESS Pekanbaru.
164 h.
Rompas, R.M.; N.D.C. Rumampuk dan J.R. Rompas. 2006.
Oseanografi Kimia. Dewan Kelautan Indonesia. Jakarta. 262
h.
Rompas, R.M., 2010. Toksikologi Kelautan. Sekretariat Dewan
Kelautan Indonesia. 338 h.
Rompas. R.M.; Aryo Hanggono dan Gabriel A. Wagey. 2013. Tingkap
Langit Taburi Laut Nusantara. Suatu Kekuatan Ekonomi Dan
Ketahanan Bangsa. Balitbang Kementerian Kelautan dan
Perikanan. 306 h.
~ 338 ~
Romano S.L.
and S.D. Cairns, 2000.
Molecular phylogenetic
hypotheses for the evolution of scleractinian corals. Bull Mar Sci
67:1043–1068
Rona A.P., G.Klinkhammer, T.A. Nelson, J.H. Trefry and H. Elderfield.,
1986. Black Smokers, Massive Sulphides and Vent Biota at the
Mid-Atlantic Ridge. Nature 321, pp 33-37.
Rona
A. Peter. 2004. Metallogenesis of Marine Mineral Resouurces.
Dalam Prosiding workshop Tentang Minerals Other Than
Polymetallic Nodules of The International Seabed Area (volume
I), Dilaksanakan pada tanggal 26-30 Juni 2000 di Kingston
Jamaica. h 69-92
Saxena, S. K. 1973. Thermodynamics of Rock-Forming Crystalline
Solutions. New York: Springer-Verlag.
Schiebel R., 2002., Planktonic foraminiferal sedimentation and the
marine calcite budget. Global Biogeochem Cycles 16(4):13-1–1321
Schnitzer, M. 1986. Reactions of humic substances with metals and
minerals. In D. Carlisle, W. L. Berry, I. R. Kaplan, and J. R.
Watterson, eds. Mineral Exploration: Biological Systems and
Organic Matter. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, pp. 408–427.
Schneider, R. R.; Horst D. Schulz and Christian Hensen, 2006 Marine
Carbonates: Their Formation and Destruction. In Marine
Geochemistry, Horst D Schulz and Matthias Zabel (eds).
Springer-Verlag Berlin Heidelberg. Germany. pp 311-337.
Schüler D. and R.B. Frankel., 1999. Bacterial magnetosomes:
Microbiology,
biomineralization
and
biotechnological
applications. Applied Microbiol Biotech 52:464-473
Seinfeld, John H.; Pandis, Spyros N., 2006. Atmospheric Chemistry
and Physics - From Air Pollution to Climate Change (2nd Ed.).
John Wiley and Sons, Inc.
Seiter, K.; C. Hensen; J. Schröter and M. Zabel, 2004. Organic carbon
content in surface sediments – defining regional provinces.
Deep-Sea Res. I, 2001–2026.
Siegenthaler U. and J.L. Sarmiento., 1993. Atmospheric carbon dioxide
and the ocean. Nature 365(9):119-125
~ 339 ~
Sigman D.M. and E.A. Boyle., 2000. Glacial/interglacial variations in
atmospheric carbon dioxide. Nature 407(6806):859-869
Simkiss K., 1986. The processes of biomineralization in lower plants and
animals-an overview. In: Biomineralization in Lower Plants and
Animals. Vol 30. Leadbeater BSC, Riding R (eds) Oxford
University Press, NY, p 19-37
Simkiss K. and K. Wilbur., 1989. Biomineralization. Cell Biology and
Mineral Deposition. Academic Press, Inc., San Diego.
Siswanto, A.D. 2011. Kajian Sebaran Substrat Sedimen Permukaan
Dasar Di perairan Pantai Kabupaten Bangkalan. Embryo. Vol.
8. No.1. p 1-8.
Smith, E. B. 1982. Basic Chemical Thermodynamics, 3rd ed. New York:
Oxford University Press
Skinner H.C.W. and J. Brian., 1976, Earth Resources. Prentice Hall, 643
p. USA.
Skinner
H.C.W. and A.H. Jahren ., 2003. Biomineralization.
Biogeochemistry: Treatise on Geochemistry. W. H. Schlesinger,
Elsevier Science. 8: 45-93.
Soetart, K.; P.M.J. Herman and J.J. Middelburg, 1996. A model of
diagenetic processes from the shelf to abyssal depths. Geochim.
Cosmochim. Acta., 60, 1019–1040.
Sri Saeni M. 2006. Kinetika Kimia. Diktat Kuliah Kimia (Edisi revisi)
Dep. Kimia FMIPA IPB. P. 189-203.
Stallard, R.F. and J.M. Edmond, 1981. Geochemistry of the Amazon 1.
Precipitation Chemistry and the Marine Contribution to the
Dissolved Load at the time of Peak Discharge. J. Geophys. Res.
86, 9844-9858.
Stallard, R.F. and J.M. Edmond, 1983. Geochemistry of the Amazon 2,
The Influence of Geology and Weathering Environment on the
Dissolved load. J Geophys. Res. 88, 9671-9688.
Stallard, R.F. and J.M. Edmond, 1987. Geochemistry of the Amazon 3,
Weathering Chemistry and Linits to dissolved inputs. J Geophys.
Res. 92: 8297-8307.
~ 340 ~
Stumm W., 1992. Chemistry of the Solid-Water Interface. John Wiley &
Sons Inc, New York 346 p.
Stumm, W., and J. J. Morgan. 1995. Aquatic Chemistry, Chemical
Equilibria and Rates in Natural Waters, 3rd edt. New York:
Wiley and sons, INC. 1021 h.
Subroto E. Ariyono, 2011. Peran Geokimia Petrolium Dalam Usaha
Ekploitasi Migas di Indonesia. Pidato pengukuhan guru besar
di Institut Teknologi Bandung. 32 h.
Sullivan B.K; C.B. Miller ; W.T. Peterson and A.H. Soeldner., 1975. A
scanning electron microscope study of the mandibular
morphology of boreal copepods. Marine Biol 30:175–182
Sumper M and Nils Kröger., 2004. Silica formation in diatoms: the
function of long-chain polyamines and silaffins. Juornal Mater .
Chem. Vol. 14, pp 2059-2065. The royal Society of Chemistry.
Germany.
Sundby, B.; N. Silverburg and R. Chesselet 1981. Pathways of
Manganese in An Open Estuarine System.
Geochim.
Cosmochim Acta 45, 293-307
Sundquist, E. T. 1985. Geological perspectives on carbon dioxide and the
carbon cycle. In E. T. Sundquist and W. S. Broecker, eds. The
Carbon Cycle and Atmospheric CO2: Natural Variations Archean
to Present. American Geophysical Union Monograph 32.
Washington, D.C.: American Geophysical Union, pp. 5–60.
Suradikusumah E. Dan H. Purwaningsih. 2006. Kesetimbang-an Kimia.
Diktat Kuliah Kimia (Edisi revisi) Dep. Kimia FMIPA IPB. P.
136-153.
Svedrup H.U. Martin W. Jhonson and Richard H. Fleming., 1962. The
Oceans. Their Physics, Chemistry and General Biology. Pub.
Prentice-Hall. Eleventh Printing, US. America. 1089 p.
Swift D.M dan A.P. Wheeler., 1991. Some structural and functional
properties of a possible organic matrix from the frustules of the
freshwater diatom Cyclotella meneghiniana. In: Surface
Reactive Peptides and Polymers. Vol 444. Sikes CS, A.P.
Wheeler (eds) American Chemical Society, Washington, DC, p
340-353
~ 341 ~
Swift D.M. dan A.P. Wheeler., 1992. Evidence of an organic matrix from
diatom biosilica. J Phycol 28:202-209
Takematsu, N.; Y. Sato and S. Okabe., 1989. Factor Controling the
Chemical Composition of Marine Manganese Nodules and
Crusts: A review and synthesis. Marine Chemistry. 26: 41-46.
Tebo B.M.; W.C. Ghiorse; L.G. van Waasbergen ; P.L. Siering and R.
Caspi., 1997.. Bacterially mediated mineral formation: Insights
into manganese(II) oxidation from molecular genetic and
biochemical studies. Rev Mineral 35:225-266
Ter Kuile B. and J. Erez., 1984. In-situ growth rate experiments on the
symbiont bearing foraminifera Amphistegina lobifera and
Amphisorus hemrprichii. J Foramin Res 14(4)262-276
Ter Kuile B. and J. Erez., 1987. Uptake of inorganic carbon and internal
carbon cycling in symbiont-bearing benthonic foraminifera.
Mar Biol 94:499-510
Ter Kuile B. and J. Erez., 1988. The size and function of the internal
inorganic carbon pool of the foraminifer Amphiseigina lobifera.
Mar Biol 99:481-487
Ter Kuile B.; J. Erez and E. Padan., 1989a. Competition for inorganic
carbon between photosynthesis and calcification in the
symbiont-bearing foraminifer Amphistegina lobifera. Mar Biol
103:253-259
Ter Kuile B.; J. Erez and E. Padan. 1989b. Mechanisms for the uptake of
inorganic carbon by two species of symbiont-bearing
foraminifera. Mar Biol 103:241-251
Thomas L.C. 1992. Heat Transfer. Prentice hall, Englewood Cliffs, New
Jersey. London. 804 h.
Thompson, G. 1983. Hydrothermal Fluxes in the Ocean. In Chemical
oceanography. J.P Riley & R. Chester (eds). Vol 8, 270-337.
London. Academic Press.
Thompson, J. B., J. Laird, and A. B. Thompson. 1982. Reactions in
amphibolite, greenschist, and blueschist. Journal of Petrology
23:1–27.
Tissot, B.P. and D.H. Welte, 1984. Petroleum Formation and
Occurrence. Berlin: Springer-Verlag.
~ 342 ~
Tri Dewi K. dan Mustafa Hanafi., 2013. Karakteristik Komunitas
Foraminifera Laut Dalam di teluk Tomini, Sulawesi. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 5, No. 1, Hlm. 17-25
Uematsu, M., R.A. Duce, J.M. Prospero, L.Chen, J.J. Merril and R.L.
McDonald, 1983. Transport Mineral Aerosol From Asia over
the North Pasific Ocean . J. Geophys. Res. 88: 5343-5352
Uematsu, M., R.A. Duce, T, Patterson and J.M. Prospero, 1985. Spatial
Distribution of Mineral aerosol over the Southwest Pasific
Ocean. SEAREX News 8, 34-38.
Ujiie, H. and F. Shioya. 1980. Sedimen in Bay of Nago and Around the
Island s of Sesoko. Sesoko. Mar. Sci. Lab., Tech. Rept. 7 : 1-17.
Ujiie, H and Rifardi, 1993. Some Benthic Foraminifera from The Oura
River Estuary and its Environs, Okinawa. Bull. Coll. Sci., Univ.
Ryukyus, 56, 121-243.
Ujiee, H. and Y. Oshiro, 1993. Surface Sediments of Coral Seas, West of
miyako Island and its environs, Ryukyus Island Arc, Japan.
Rep.Tech.Res.Center. Japan National Oil Corpseamount.
Usui, A.; A. Nishimura and K. Lizasa., 1993. Submersible observations of
manganese nodule and crust deposits on the Tenpo seamount
north-western Pasific.
Marine Georesources and
Geotechnology, 11: 263-291.
Van Cappellen P., 2003. Biomineralization and global biogeochemical
cycles. Rev Mineral Geochem. 54:357-381
Veis Arthur, 2003. Mineralization in Organic Matrix Frameworks. In
Biomineralization by Jodi J. Rosso (Edt) on Review in
Mineralogy and Geochemistry. Mineralogical Society
of
America, Geochemistry Society, Vol 54, 249-289
Warneck, Peter, 2000. Chemistry of the Natural Atmosphere (2nd Ed.).
Academic Press
Watabe N. and R.J. Kingsley., 1989. Extra-, inter-, and intracellular
mineralization in invertebrates and algae. In: Origin,
Evolution, and Modern Aspects of Biomineralization in Plants
and Animals. Crick RE (ed) Plenum, New York, p 209-223
~ 343 ~
Wayne, Richard P. 2000. Chemistry of Atmospheres (3rd Ed.). Oxford
University Press.
Webb M.A., 1999. Cell-mediated crystallization of calcium oxalate in
plants. Plant Cell 11:751-761
Weisel, C.P.; R.A. Duce; J.L. Fasching and R.W. Heaton, 1984. Estimates
of the Transport of Trace Metals from the Ocean to the
Atmosphere. J. Geophys. Res. 89: 11607-11618.
Weiss, R.F. 1970. The Solubility of Nitrogen, Oxygen and Argon in
Water and sea Water. Deep Sea Res. 17. 721-735.
Weiss I.M.; N. Tuross; L. Addadi and S. Weiner., 2002. Mollusk larval
shell formation: amorphous calcium carbonate is a precursor
for aragonite. J Exp Zool 293:478-491.
Weiner S, W. dan T. H.D. Wagner, 1999. Lamellar bone: structurefunction relations. Journal of Structural Biology 126: 241-255
Weiner S and L. Addadi., 2002. At the cutting edge. Perspectives.
Science 298:375-376
Weiner
S. and Patricia M. Dove,
2003. An Overview of
Biomineralization Processes and the Problem of the Vital Effect.
In Biomineralization by Jodi J. Rosso (Edt) on Review in
Mineralogy and Geochemistry. Mineralogical Society
of
America, Geochemistry Society, Vol 54, 1-29.
Weiner S. and J.J. Morgan. 1996. Aquatic Chemistry. Chemical
Equilibria and rates in Natural Waters. Third Editions. WileyInterscience Pub. New York.
Westbroek P.; J.R. Young and K. Linschooten., 1989. Coccolith
production (Biomineralization) in the marine alga Emiliania
huxleyi. J. Protozool 36:368-373
Williams A.; C. Luter and M. Cusack. 2001. The nature of siliceous
mosaics forming the first shell of the brachiopod Discinisca. J
Structur Biol 134:25–34.
Wilson, T.R.S.; J. Thompson; S. Colley; D.J. Hydes and N.C. Higgs.,
1985. Early organic diagenesis: the significance of progressive
subsurface oxidation fronts in pelagic sediments. Geochim.
Cosmochim. Acta, 49, 811–822.
~ 344 ~
Wilt F.H., 1999. Matrix and mineral in the sea urchin larval skeleton. J
Struc Biol 126:216-226.
Wilt F.H., 2002. Biomineralization of the spicules of sea urchin
embryos. Zool Sci 19:253-261.
Wolery, T.J and N.H. Sleep, 1976. Hydrothermal Circulation and
Geochemical Flux at Mid-Oceanic Ridges. J. Geol. 84, pp 249276.
Wood, B. J., and D. G. Fraser. 1977. Elementary Thermodynamics for
Geologists. Oxford: Oxford University Press.
Wood, W. W., and M. J. Petratis. 1984. Origin and distribution of carbon
dioxide in the unsaturated zone of the southern high plains of
Texas. Water Resources Research 20:1193–1208.
Yamazaki, Y., 1993. A re-evalution of cobalt-rich crust abudance on the
Pacific seamounts. International Journal of offshore and Polar
engineering, 3:259-263.
Yamazaki, T.; Y. Igarashi and K. Maeda., 1993. Buried cobalt rich
manganese deposits on seamounts. Resource Geology Special
Issue. 17: 76-82.
Young J.R.; S.A. Davis ; P.R. Bown and S. Mann., 1999. Coccolith
ultrastructure and biomineralization. J Struct Biol 126:195-215
Young J.R. and Karen Henriksen. 2003. Biomineralization Within
Vesicles: The Calcite of Coccoliths. In Biomineralization by Jodi
J. Rosso (Edt) on Review in Mineralogy and Geochemistry.
Mineralogical Society of America, Geochemistry Society, Vol 54,
189-247.
Zeebe R.E. and A. Sanyal., 2002. Comparison of two potential strategies
of planktonic foraminifera for house building: Mg 2+ or H+
removal?. Geochim Cosmochim Acta 66(7):1159-1169
~ 345 ~
Lampiran
~ 346 ~
Lampiran 1
Tabel Penjelasan Simbol Kimia yang terterah pada Tabel 11.4.
Zat Kimia
Fe
Mn
Si
Na
Al
K
Mg
Ca
Ti
P
S
Cl
CO2
Ag
As
B
Ba
Be
Bi
Br
Cd
Co
Cr
Cu
Ga
Hf
Li
Mo
Nb
Ni
Pb
Rb
Sb
Sc
Nama umum
Zat Kimia
Besi
Mangan
Silikon
Natrium
Aluminium
Kalium
Magnesium
Kalsium
Titanium
Fosfat
Sulfur
Klorida
Karbon dioksida
Perak
Arsenik
Boron
Barium
Beryllium
Bismuth
Bromida
Kadmium
Kobalt
Khromium
Tembaga
Gallium
Hafnium
Lithium
Molybdenum
Niobium
Nikel
Timah
Rubidium
Antimony
Scandium
Se
Sn
Sr
Te
Tl
Th
U
V
W
Y
Zn
Zr
La
Ce
Pr
Nd
Sm
Eu
Gd
Tb
Dy
Ho
Er
Tm
Yb
Lu
Hg
Au
Ir
Pd
Pt
Rh
Ru
Nama
Selenium
Tin
Strontium
Tellurium
Thallium
Thorium
Uranium
Vanadium
Tungsten
Yttrium
Seng
Zirconium
Lanthanum
Cerium
Praseodymium
Neodymium
Samarium
Europium
Gadolinium
Terbium
Dysprosium
Holmium
Erbium
Thulium
Ytterbium
Lutetium
Merkuri
Emas
Iridium
Palladium
Platinum
Rhodium
Ruthenium
Keterangan: Zat kimia La s/d Lu adalah elemen di
bumi yang kandungnnya sangat sedikit (cetak tebal); zat
kimia Ir s/d Ru adalah elemen grup platinum.
Sumber: Hein (2004).
~ 347 ~
Lampiran 2
~ 348 ~
Lampiran 3.
Beberapa Unsur Kimia Penting Di Perairan Umum
~ 349 ~
Lampiran 4
Formula kimia dan Nama Umum
Unsur-unsur yang ada dalam jaringan:
H
Hydrogen
C
Karbon
N
Nitrogen
O
Oksigen
S
Sulfur
P
fosfat
Besi – Mangan (Fe-Mn)/ Kobalt kaya Ferromanganese
di kerak bumi :
Fe
Besi
Mn
Mangan
Cu
Tembaga
Co
Kobalt
Ion-ion Konservasi:
Na+
Natrium
ClKlorida
K+
Kalium
Ca2+
Kalsium
Mg2+
Magnesium
SO42+
Sulfat
Radionukleotida di alam:
U
Th
Pa
Rn
Ra
Po
Pb
He
3H
Uranium
Thorium
Protactinium
Radon
Radium
Polonium
Timah hitam
Helium
Tritium
~ 350 ~
Sistem Karbonat:
CO2
H2CO3
HCO2CO32CaCO3
C(H2O)
∑CO2
C.A.
Gas-Gas:
Ne
Ar
O2
Kr
N2
CO2
CH4
H2
H2 S
N2O
Karbon dioksida
Asam karbonat
Bikarbonat
Karbonat
Kalsium karbonat
Bahan organik
Total karbon anorganik terlarut
Karbonat alkalinitas
Neon
Argon
Oksigen
Krypton
Nitrogen
Karbon dioksida
Methan
Hidrogen
Asam sulfur
Nitrooksida
Komponen Nitrogen:
N2
NO3NO2H2 O
NH4+
NH3
Gas Nitrogen
Nitrat
Nitrit
Nitrooksida
Amonium
Amonia
Jenis kimia lainnya:
PO43Fosfat
H4SiO4
Asam Silisik
SiO2
Silika
Si
Silikon
~ 351 ~
Lampiran 5
Simbol dan Cara Baca Alfabet Yunani
Alpha
A
a
Iota
I
I
Rho
P
π
Beta
B
β
Kappa
K
κ
Sigma
∑
σ
Gamma
Г
γ
Lambda
Λ
λ
Tau
Т
τ
Delta
∆
δ
Mu
М
μ
Upsilon Υ
ν
Epsilon Ε
Є
Nu
И
υ
Phi
Ф
υ
Zeta
Ζ
δ
Xi
Ξ
ξ
Chi
Х
‫א‬
Eta
Η
ε
Omicron
Ο
ο
Psi
Ψ
ψ
Theta
Θ
ζ
Pi
Π
π
Omega Ώ
ω
~ 352 ~
Lampiran 6
Satuan Ukuran dan Konversi
Satuan Besaran :
atto ( a )
femto ( f )
pico ( p )
nano ( n )
micro ( μ )
milli ( m )
centi ( c )
deci ( d )
deca ( da )
hector ( h )
kilo ( k )
mega ( M )
giga ( G )
tera ( T )
Satuan Panjang :
= 0,000000000000000001
= 0,000000000000001
= 0,0000000000001
= 0,000000001
= 0,000001
= 0,001
= 0,01
= 0,1
= 10
= 100
= 1000
= 1.000.000
= 1.000.000.000
= 1.000.000.000.000
1 ǻngström (Ǻ)
1 nanometer (nm)
1 mikron (μm)
1 millimeter (mm)
1 centimeter (cm)
1 inci
1 decimeter
1 meter (m)
1 kilometer (km)
= 0,001 micron
= 10-9 meter
= 0,001 mm
= 1000 mikron
= 0,394 inci
= 2,54 cm
= 0,1 m
= 39,37 inci
= 1000 m
= 0,62 mil darat
= 10-10 m
1 mil darat
= 5280 kaki
= 0,87 mil laut
= 6076 kaki
= 1,15 mil darat
= 2,54 cm
= 0,3048 m
= 0,9144 m
= 1,83 m
= 1,6 km
1 mil laut
1 inci
1 kaki
1 yard
1 fathom
~ 353 ~
= 10-6 = 10 Ǻ
= 0,001 m
= 3,281 kaki
= 3280 kaki
= 0,54 mil laut
= 1,85 km
= 12 inci
= 3 kaki
= 6 kaki
= 10-18
= 10-15
= 10-12
= 10-9
= 10-6
= 10-3
= 10-2
= 10-1
= 101
= 102
= 103
= 106
= 109
= 1012
Luas :
1 cm2
1 m2
1 kaki2
1 inci2
1 are
1 km2
= 100 mm2
= 104 cm2
= 0,0929 m2
= 6,452 cm2
= 100 m2
= 106 m2
= 0,386 mil darat2
1 hektar (ha) = 10.000 m2
= 0,155 inci2
= 10,76 kaki2
= 144 inci2
= 247,1 acre
= 0,292 mil laut2
Volume:
1 ml
= 0,001 liter
1 liter
= 1.000 cm3
1 gallon (gal) = 3,785 dm3
= 231 inci3
3
1m
= 106 cm3
3
1 kaki
= 1728 inci3
Fluida Amerika= 0,0353 kaki3
1 kaki3
= 7,481 gal
= 2,832 X 10-2 m3
= 1 cm3
= 1 cc
= 1,0576 kuart
= 3,785 liter
= 6,102 X 104 inci3
= 2,83 X 10-2 m3
= 28,32 liter
Kecepatan:
1 knot
= 1 mil laut/jam
= 1,15 mil darat/jam
= 1,85 km/jam = 0,515 m.S-1 atau 16.234 Km/tahun
1 mil darat/jam= 1,47 kaki/detik= 0,447 m/detik= 1,62 km/jam
1 m/detik
= 100 cm/detik
= 3,281 kaki/detik
1 mil darat/menit
= 88 kaki/detik
= 60 mil darat/jam
Kecepatan suara di air laut salinitas 35%
= 1507 m/detik
Massa:
1 mg
= 0,001 gram
1 kg
= 1000 g
1 pound (lb)
= 453,6 gram
1 ton (ton metrik)
= 1000 kg
1 slug
= 14,59 kg
1u
= 1,66 X10-27 kg
1 ton panjang (Inggris)
= 1.016 Mg
1 ton pendek (Amerika)
= 0,907 Mg
~ 354 ~
= 2,2 pound
= 106 g = 1 Mg
Tekanan:
1 bar
1 atmosfir
= 105 N/m2
= 14,50 lb/inci2
= 760 mm Hg = 76,0 cm Hg
= 14,7 lb/inci2 = 1,013 X 105 N/m2
= 12,5 psi
1 Pa (Pascal) = 1 N/m2
= 1,45 X 10-4 lb/inci2
Temperatur:
0C
0K
= 5/9 (0F-32)
= 273.15 + 0C
Energi:
1J
= 0,738 kaki
1 lb
= 107 erg
1 kal = 4,186 J
1 Btu = 252 kal
= 1,054 X 103 J
-19
1 eV = 1,6 X 10 J
931,5 MeV ekivalen dengan 1 u
1 kWh = 3,60 X 106 J
Gaya:
1N
= 105 dyne
1 lb
= 4,448 N
1 dyne = 10-5 N
= 0,2258 lb
= 2,248 X 10-6 lb
Daya:
1 tenaga kuda = 550 kaki*lb/detik = 0,746 kW
1W
= 1 J/detik
= 0,738 kaki*lb/detik
1 Btu/jam
= 0,293
Unit Konsentrasi:
M
m
μg-atom/L
% (persen)
ppt
ppm
ppb
= 1 mole yang terlarut pada satu liter larutan
= 1 mole yang terlarut dalam kg pelarut
= μM = mg-atom/m3
= 1 g/100 mL
= g/1000 ml
= g/L
= 10-3 g/1000 ml
= mg/L
= 10-6 g/1000 ml
= μl/L
~ 355 ~
Lampiran 7.
Siklus Karbon Dalam Kaitan Perubahan Iklim Global
Sumber : Chester dan Jickells (2012).
~ 356 ~
Lampiran 8.
CaCO3 di permukaan sedimen [%]
Sebaran Karbonat di Laut Secara Umum Laut
Sumber: Archer (1996)
~ 357 ~
Lampiran 9.
SISTEM KARBONAT DI LAUT DALAM
Sumber: Archer (1996)
~ 358 ~
Lampiran 10.
Sumber Produksi Karbon Anorganik di Laut serta Kecepatan Akumulasi
(satuan X 1012 mol per tahun)
Sumber: Milliman dan Droxler, 1996).
~ 359 ~
PENJURUS IKHWAL
A
Abundant, 2,
Aluminium, 2, 12,72,79,
Astenosfer, 13
Abisal, 26, 170,
Atmos, 27
Atmosfer, 27, 28, 35, 36, 43, 45, 46,60,63,64,
66,69,70,76,77, 144,157, 158,
Argon, 27,60, 145,147,
Amphiboles, 54,
Aerosol, 60, 66,67,68,69,70,76,77,
Antropogenik, 60, 62,65,73,74, 160,166,
Asam arang, 61,
Atlantik, 65,66,
Anomalously enrich element, 72,75,
Atmospheric interference factor, 73,
Adiabatik, 93,95,
Alotropi, 112,
Aragonit, 134,
Alkalinitas, 160,
Arus di laut, 185,
Air antara di sedimen, 214,
Aktivitas electron, 216,
Anaerob, 221,
Anoksit, 223,
Amorf, 232,264,
Air interstitial, 236,239,241,243, 244,246,
Archean, 256,
Alveolate, 259,
Asam silikik, 265,
Aragonit, 275,
B
~ 360 ~
Belerang,2,
Besi, 3, 12, 23,79, 94,151,234,270,296,
Basin modeling, 8,
Biogeokimia, 10,
Bikarbonat, 23,46,162,163,
Bongkahan, 37, 79,82, 195,208,306
Bakteri, 37,77,163,217, 254,
Biolimiting factor, 41,42,
Bluegreen algae, 41,
Bahan terlarut di sungai dan laut, 59,
Biosfer, 64,
Bioaktif, 236,
BOD, 151,
Biogeneuos, 175,210,
Biogenic, 178,270,
Bed load,188,
Biomineralisasi, 253,259,271,279,282,286,290,
Biomineral, 254,257,263,267,271,274,
Biosilika, 261,266,
C
D
Continental shelf, 26,168,
Continental slope, 26,168,
Continental rise, 26, 27,168,170,
Continental margin, 167,
Cerium, 39,80,296,
Calcite, 55,
COD, 151,
Cyanophaecea, 156,
Cosmogenous, 175,
Calcareous oozes, 192,193,195,210,
Calcareous, 278,
Coccolith ooze, 192,
Coccolith, 280, 281, 285,
Carbonat ooze, 207,
Cerozoan, 259,
Coccolithophere, 283,284,
Coccosphere, 286,
Detritus, 183,
Deposisi, 184,
Diatom ooze, 193,262
Diagenesis, 214,217,226,232,234,237,250,251,
Denitrification, 221,
Deuterotome, 259,
Demospongs, 260,
Diploid, 282,283
E
Delta, 52,
Dolomit, 55,
Debu di troposfer, 65,
Debu, 66, 67,
Derajat kespontanan, 101,
Difusi, 120, 133, 240
Dekomposisi spinodal, 127,
~ 361 ~
Elemen kimia di laut, 38,
Elemen utama di sungai, 49,
Enrichment factor (EF), 71
Emisi partikel di atmosfer, 73,
Emisi, 74,
Energi, 85, 90,97,98, 105,
Energi potensial, 90,91,119,
Energi kinetic, 91,119,
Entalpi, 98,99,
Entropi, 100,101, 102, 103,104,111,112,
Energi bebas, 107,108,125,
Energi aktivasi, 117,
Elnino, 157,
Eoldiagenesis,181,
Earlydiagenesis, 181,
Erosi, 184,200,
Effective diffusion coefficient, 239,
Eukaryotik, 255,258,
Era Mesoproterozoic, 256,
F
G
Fe-Mn, 2, 18, 33, 39, 294,296,
298,299,303,306,308,
Fosfat, 15, 33,41,164,
Fluvial, 44,
Feldspars, 54,
Fosil, 72,
Fluida, 85, 210,
Fixed boundry, 93,
Forsterit, 125,
Feldspars, 126,127,
Foraminifera, 199,275,291,
Fragmen silikat, 200,
Fragmen allochem, 200,
Fungsi elektronegatif, 213,
Fosfat, 267,270,301,
Gradien konsentrasi, 129,
Gas, 137,138,139,142,143,144,146,148,155,161,
162,166,
Gas non-variabel di atmosfer, 137,
Glaukonit, 174,
Gravitasi arus, 185,
Globigeina ooze, 192,
H
Geologi, 1, 14, 46, 256,
Geochemical cycle, 3,
Garam dapur, 24,
Garam Inggris, 24,
Guyot, 27,
Glacial, 44, 45,
Geothermal, 79,
Gaya, 88,
Grativitas, 97,
Gibbs, 105,
Hidrosfer, 19,
Hg, 33,80,
H2S, 39,144, 164, 165,
Helium, 61,
Hidrothermal, 77,79, 82,176,
Hukum Newton ke2, 86,
Hukum kekalan energi, 90,91,98,
Hukum Fick, 238,
Helmhltz function, 105,
High nutrient-low chlorophyll, 165,
Hemi-pelagik, 171,180,190,209,228,229,
Hidrogenous, 175, 193, 195, 209, 210;
Heterokont, 259,
Haptophyte, 259,
Holothurians, 269,
Haploid, 282,283,
Heteroccocolith, 284,285,287,
Holoccocolith, 284,287,
Hidrogenetik, 306,
~ 362 ~
I
Inti Bumi, 1, 12,
International Seabad Authority, 7,
Ionosfer, 30,
Igneous, 37,
Ionic ratio, 47,
Ion utama di sungai, 52,
Isoterm, 87,101,
Internal energik, 96,
Interface, 141, 143,148,150,
Ion karbonat, 159,
Ion bikarbonat, 159,
Interstitial water, 210,
Inarticulate shell, 270,
J
Jesus Kristus, 14,
James Joule, 94,
K
Kerak bumi, 1, 11, 12,
Kerak Samudera, 11, 78,300,
Kalsium, 2, 12, 15, 21, 22, 23, 30,46,47,207,
241,291,
Kalsit, 134, 285,
Kobalt, 2, 3, 18, 39, 294, 296,301,
Katadoluminisen, 6,
Kalium, 12, 22, 23, 245,
Kambium, 14,
Karbon, 15, 229,230,
Klorida, 21, 33, 36,46,48,
Kimia utama, 22, 40,
Karbonat, 23, 51, 54, 162,163, 253,259,260,
Karbondioksida, 28, 33, 39,60,145,147,157,158,
159,161,162, 164,278,288,292,
Kimia konservatif, 31,
Kalium klorida, 34,
Kadmium, 42,
Kristalisasi, 48, 113,
Kuartz, 54,
Koagulasi, 64,
Kesetimbangan dinamika, 83,
Kalor, 85, 87,91, 93,97,99,101,104,
Kapasitas kalor, 92,
Kinetika, 113, 116, 133,136,
Kristal, 115,121, 129,131,132,133,269,270,
Koefisien interdifusi, 120,
Kelarutan oksigen di laut, 140,152,
Koefisien difusi, 144,
Kloroflorokarbon (CFC), 146,
Korosi, 151,
Kompaksi, 184,200,
Kimia di sedimen laut, 199,
Komposisi elemen di sedimen laut, 202,205,
Katagenesis, 232,
Karogen, 232,
Kecepatan adveksi, 242,
Karboksilat, 253,
~ 363 ~
L
M
Logos, 1
Litosfer, 13,
Landas kontinen, 26,
Lapisan Atmosfer, 29,
Lapse rate, 29, 30,
Limestone, 37,
Logam mikro di atmosfer, 75,
Listrik, 97,
Laju reaksi, 114,115,
Lapisan stagnan, 149,
Lanina, 157,
Lithougeneous, 175,193,195,209,210,
Latelydiagenesis, 181,
Lateral sea-bed, 186,
Litifikasi, 200,
Lateral, 235,
Magnesium, 2, 12, 21, 33, 39,48,53, 242,243,
Mesosfer, 13, 28,
Manado, 21,
Morfologi, 25, 26,167,297,
Mid ocean ridge, 27,
Mesopause, 28,
Monovalen, 32,
Mineral, 54,76,
Micas, 54,
Mortmorillonite, 54,
Molar, 87,
Movable boundry, 93,
Magma, 132,
Mineralisasi, 163,268,272,277,278,
Mineral, 254, 258, 273,275,
Methan, 165,
Mid oceanic ridge, 171, 172,
Mesodiagenesis, 181,
Mikroorganisme, 197,
Mangan, 223, 296, 301,
Metagenesis,232
Moluska, 254,
Mitosis, 283,
N
Nikel, 2, 12, 39,
Natrium, 12, 21, 32, 46, 47,48, 49,53, 242,
Nodul. 15,79, 208,
Nitrogen, 27, 30, 33, 39,42, 144, 145,147,155,
156, 221, 242,
Nenon, 61,
Nir-adiabatik, 96,
Nukleasi, 113,122, 123, 125,127, 135,
Nacreous layer, 276,
O
Ontos, 1
Oksigen, 27, 30,60,84, 144,145,150,151, 223,
227,233,234,243,
Ozon, 43, 84,
Ocean basin floor, 170,
~ 364 ~
Oksidasi, 222,248,252,
Opisthokont, 259,
P
Palaios, 1
Porositas, 6,
Porewater, 247,249,
Prakambium, 14,255,
Petroleum, 16, 17,
Polivalen, 32,
Practical salinity scale, 34, 35,
Platinum, 39,
ppm, 43,151,
Presipitasi, 47, 48,51,
Pyroxenes, 54, 113,126,
Phylogenetik, 255, 257,258,260
Partially stratified, 58,
Planetarie grenslag, 61,
Planetary boundry layer, 61,
Partikel, 62,63,64,184,
Partikel di atmosfer, 63,73, 76,
Pasifik, 65,179,195,
PCB, 146,
Piston velocity, 147,
Partikel di sungai, 179,
Preropod ooze, 192,
Proses daur-ulang sedimen di laut, 212,
Proses diagenesis di sedimen, 220,
Polysulfida pyrite (FeS2), 224,
Prokaryotik, 255,
Paleoproterozoic, 256,
Proterozoic, 256,261,
Poliamin, 263,
Proto-coccolith, 286,
R
Redfield, 42,
River particulate material, 54
Radiogenik, 80,
Reaksi endoterm pada entalpi, 99,119,
Reaksi eksoterm pada entalpi, 99,100,119,
Reaksi unimolekuler, 115,
Reaksi bimolekuler, 115,
Reaksi termolekuler, 115,
Rate limiting step, 134,
Radiolaria ooze, 193,
Red clay ooze, 193,
Reaktivitas laut, 213,
Redoks, 215,216,218,252,
S
Silika, 2, 15,242,261,264,266,
Silikon, 2
Siliceous, 193,
Seabed minerals, 9,
Suhu, 11, 12, 30,64, 85,86, 87,95, 108,109,115,
124, 128,156,
Selebung mantel, 12,
Sulfur, 21,
~ 365 ~
Salinitas, 21, 22, 31, 34, 35,47,
Samudera Pasifik, 22,68,164,171,179,
Samudera Hindia, 22,67, 171,179,
Samudera Atlantik, 22,171, 179,
Semi-enclosed, 23,
Spheira, 27,
Seamount, 27, 39,171,173,
Stratosfer, 28, 30
Stratopause, 28,
Sulfat, 36,70,222,223,225,234,245,
Sandstone, 37,
Shales, 37,
Scavenging, 38,
Seng, 42,
Senyawa inert, 43,
Siklus karbon organik, 45,
Saline, 49,
Sungai-sungai di Indonesia, 50,
Sedimen, 55, 167, 170,174,175,177,178,180,
190, 228,
Solvus, 126, 127,
Spinodal,126, 127, 128,
Sistem albite-anorthite, 135,
Submarine canyon, 169, 170,
Sedimen di laut, 179,185,188, 209,231,235,
Sedimentum, 182,
Sedimen klasik, 183,184,
Suspended load, 187,
Saltation load, 188,
Skala Wenworth, 189,
Skala geologi, 256,
Sedimen pelagik laut dalam, 191,192,228,
Siliceous ooze, 193,207,210,
Sebaran sedimen di laut, 193,196,198,
Sedimen biogenic pelagis, 194,
Sedimen terigen pelagik, 195,
Skeletal, 254,
Silaffin, 263,
T
~ 366 ~
Thermodinamika, 3,85,87,89,96,100, 101,103,
111,
Trench, 27, 171,172,
Troposfer, 28, 29,43,60,64,69,70,83,
Tropopause, 28,61,
Termopause, 28,
Termosfer, 30,
Trace element, 39, 46,54,75,187, 206,207,217,
Titanium, 39,
Thallium, 39,
Tellurium, 39,296,
Topografi, 46,
Termo, 84,
Thermal equilibrium, 87,
Tekanan, 89,98, 110,124,
Tekanan parsial, 147,158,160,
Termal, 97,
Temperatur, 102,118,138,
Tipologi Samudera, 168,
Telodiagenesis,181,
Tortuosity, 238,
U
UNCLOS, 8,
Unsur utama, 23,
Unsur kimia di Atmosfer, 43,
Unsur kimia di bebatuan, 56,81,
Unsur kimia, di tanah, 56,
Unsur kimia terlarut di sungai, 56,
Uap air laut, 69,
Unsur kimia minor di dasar samudera, 81,
Ukuran intensif, 94,
Ukuran ekstensif, 94,
Upwelling, 164,177,
V
Van’t Hoff, 5,115,
Vulkanik, 44,71, 77,78,82, 137,
Viskositas, 82,
Vertikal, 235,
W
Weathering, 200,
Z.
Zona kedalaman laut, 24,
Zona litoral, 25
Zona neritik, 25,
Zona batial, 25,
Zona abisal, 25,
Zona diagenetik Mn, 247,
Zat utama di sungai, 47,
Zona reduksi, 249,
~ 367 ~
Download