desentralisasi sebagai wahana transformasi pendidikan

advertisement
ISSN 0215 - 8250
127
DESENTRALISASI SEBAGAI WAHANA
TRANSFORMASI PENDIDIKAN
oleh
Wayan Rai
Jurusan Ilmu Keolahragaan
Fakultas Pendidikan Ilmu Keolahragaan, IKIP Negeri Singaraja
ABSTRAK
Desentralisasi yang dilakukan dalam dunia pendidikan kita seyogyanya
dapat memfasilitasi proses transformasi pendidikan kita, dalam rangka
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang harus menghadapi tantangan
masyarakat global. Tulisan ini merupakan suatu pemikiran tentang pentingnya
proses pendidikan yang lebih bermakna dan lebih demokratis yang merupakan halhal yang esensial dalam proses transformasi pendidikan. Analisis tentang
hambatan-hambatan potensial bagi keberhasilan proses transformasi tersebut juga
dibahas.
Kata kunci : desentralisasi, transformasi pendidikan
ABSTRACT
Our educational decentralization is supposed to facilitate our process of
educational transformation, in order to improve the quality of our human resources
whose struggle is apparent in this global world. This article discusses the
importance of a more meaningful and democratic process of education which is
essential in the process of educational transformation. An analysis of potential
obstacles to the transformation is also a part of the discussion.
Key words : decentralization, educational transformation.
1. Pendahuluan
Sejak era reformasi di Indonesia dimulai sekitar lima tahun yang lalu,
berbagai harapan muncul untuk terjadinya perubahan dalam sendi-sendi kehidupan
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
128
berbangsa dan bernegara, termasuk dalam bidang pendidikan. Reformasi di
bidang pendidikan adalah agenda wajib yang tidak bisa ditunda-tunda lagi.
Mochtar Buchori dalam bukunya Pendidikan Antisipatoris (2001) menyebut
perubahan pendidikan sebagai upaya reformasi sekaligus transformasi.
Menurutnya, reformasi pendidikan adalah perubahan –perubahan yang perlu
dilakukan pada sekolah-sekolah kita tanpa mengubah fondasi dan struktur dari
sistem yang ada sekarang, sedangkan transformasi pendidikan adalah perubahanperubahan yang mendasar dan mendalam dalam sistem pendidikan kita, perubahan
yang menyentuh sendi-sendi (foundations), struktur, dan modus operasi di
sekolah-sekolah kita. Perubahan-perubahan seperti ini akan mengubah wajah dan
watak sekolah kita. Transformasi pendidikan memerlukan waktu yang lama dan
merupakan akibat kumulatif dari langkah-langkah reformasi pendidikan yang
dilakukan. Dengan mengambil pemikiran Buchori ini, berarti transformasi
memiliki tataran esensi yang lebih tinggi daripada sekadar reformasi; reformasi
adalah kendaraan menuju terwujudnya sistem masyarakat baru Indonesia, dimana
pendidikan inklusif.
Tantangan pendidikan kita pada abad ke-21 ini adalah penyiapan tenaga
kerja yang handal dan memiliki moralitas yang baik. Dalam era globalisasi dan
pesatnya perkembangan teknologi informasi, mau tak mau kita memang harus
melakukan perubahan-perubahan yang mendasar agar generasi muda kita
mendapat pendidikan yang relevan dengan kemajuan itu, sehingga mereka dapat
hidup dengan baik dalam kancah pergaulan yang mendunia ini.
Menurut hasil telaah terhadap pendidikan kita oleh Depdiknas, Bappenas,
dan Bank Dunia yang dilaporkan oleh Jalal dan Supriadi (2001), ada tiga acuan
dasar pengembangan pendidikan kita dalam era reformasi untuk menjawab
tantangan globalisasi, yaitu acuan filosofis, acuan nilai kultural, dan acuan
lingkungan strategis. Acuan filosofis ini berdasarkan pada abstraksi acuan hukum
dan kajian empiris tentang kondisi sekarang serta idealisasi masa depan. Secara
filosofis, pendidikan perlu memiliki karakteristik a) mampu mengembangkan
kreatifitas, kebudayaan, dan peradaban, b) mendukung diseminasi nilai
keunggulan, c) mengembangkan nilai-nilai demokrasi, kemanusiaan, keadilan dan
keagamaan, d) mengembangkan secara berkelanjutan kinerja kreatif dan produktif
yang koheren dengan nilai-nilai moral.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
129
Pendidikan kita harus pula memiliki acuan nilai kultural dalam penataan
aspek legal, termasuk dalam penataan pendidikan. Tata nilai itu sendiri bersifat
kompleks dan berjenjang, mulai dari jenjang nilai ideal, instrumental, sampai pada
operasional. Pada tingkat ideal, acuan pendidikan adalah pemberdayaan untuk
kemandirian dan keunggulan. Pada tingkat instrumental, nilai-nilai penting yang
perlu dikembangkan melalui pendidikan adalah otonomi, kecakapan, kesadaran
berdemokrasi, kreativitas, daya saing, estetika, kearifan, moral, harkat, martabat
dan kebanggaan. Pada tingkat operasional, pendidikan harus menanamkan
pentingnya kerja keras, sportivitas, kesiapan bersaing, dan sekaligus bekerja sama
dan disiplin diri.
Acuan lingkungan strategis mencakup lingkungan nasional dan lingkungan
global. Lingkungan nasional ditandai dengan dua hal yang sangat substansial,
yaitu masih berlangsungnya krisis multidimensi dan tuntutan untuk reformasi di
segala bidang. Acuan strategis ini mengandung arti bahwa pendidikan kita harus
dapat menjawab tantangan reformasi dan membawa negeri ini keluar dari berbagai
krisis, sedangkan, lingkungan global kita ditandai, antara lain, dengan pesatnya
perkembangan teknologi informasi. Pesatnya perkembangan global mengharuskan
pendidikan menerapkan berbagai prinsip yang sangat mendasar, seperti penetapan
standar mutu sehingga kita bisa bersaing dengan dunia global, dan penggunaan
berbagai cara belajar dengan mendaya gunakan beragam sumber belajar (Jalal dan
Supriadi, 2001, hal 6-7).
Pada masa lampau, kebijakan sentralistik telah menjadi salah satu
penghambat potensial kemajuan pendidikan Indonesia, khususnya pada tingkat
pendidikan dasar. Mulai dari kurikulum, manajemen, sampai kepada evaluasi
hasil belajar ditentukan oleh pusat. Terbukti kebijakan yang bersifat top down ini
tidak menyentuh kebutuhan masyarakat secara spesifik karena tidak menjawab
tantangan kehidupan yang nyata, sehingga sekolah telah terposisi secara marginal,
kurang berdaya, tidak mandiri, tidak ada lagi celah bagi guru maupun siswa untuk
mengembangkan kreativitas. Para pelaku pendidikan terbiasa untuk membebek
karena segalanya telah diatur oleh juklak dan juknis. Lihat saja susunan kurikulum
yang terlalu padat dan kaku, ditambah lagi sistem evaluasi dalam bentuk ebtanas
yang lebih banyak lemahnya dibandingkan manfaat yang diperoleh. Dilihat dari
isu sentralisasi pendidikan yang tidak relevan lagi sekarang ini, desentralisasi
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
130
adalah jawabannya. Pertanyaannya sekarang, bila transformasi pendidikan sangat
mendesak untuk dilakukan, apakah desentralisasi dapat dijadikan wahana untuk
mewujudkannya.
Pembahasan berikut ini akan mencoba menjawab pertanyaan di atas
melalui suatu pemikiran yang mengupas isu desentralisasi sebagai suatu fenomena
yang hangat dalam dunia pendidikan kita, dan transformasi pendidikan sangat
penting di lakukan. Di sini, penulis mengajukan dua pemikiran, yaitu 1) bahwa
pendidikan yang bermakna dan pendidikan yang demokratis berpeluang untuk
terjadi melalui desentralisasi pendidikan; dan 2) faktor administratif dan psikologis
merupakan ancaman bagi pelaksanaan desentralisasi. Kedua isu ini menimbulkan
pertanyaan sekaligus juga memberi jalan untuk menjawab pertanyaan apakah
desentralisasi dapat membawa kita keluar dari krisis pendidikan nasional yang
sedang terjadi sekarang ini.
2. Pembahasan
2.1. Desentralisasi Pendidikan
Kelemahan sistem sentralistik dalam pendidikan kita merupakan data
empiris yang dapat menjadi dasar amat kuat untuk dilakukannya desentralisasi.
Bahkan, secara filosofis-sosiologis, desentralisasi pendidikan merupakan pilihan
strategis bagi pengembangan pendidikan pada masa depan.
Berdasarkan UU No. 5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah,
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menganut tiga azas sekaligus,
yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan. Selanjutnya melalui UU
No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah dan PP No. 25/2000, diatur mengenai
otonomi daerah. Secara umum, tujuan desentralisasi adalah untuk (1) mengurangi
beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil di
tingkat lokal, (2) meningkatkan pengertian rakyat serta dukungan mereka dalam
usaha kegiatan sosial ekonomi, (3) menyusun program-program perbaikan sosial
ekonomi pada tingkat lokal lebih realistis.
Arah kebijakan nasional untuk memberikan otonomi yang lebih besar
kepada daerah juga dilaksanakan pada sektor pendidikan. Pemerintah pusat
(Depdiknas), secara bertahap menyerahkan sebagian urusannya pada instansi
vertikal di bawahnya, terutama dalam pengelolaan pendidikan wajib belajar
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
131
sembilan tahun. Model desentralisasi pendidikan menggunakan kabupaten/kota
sebagai basis pengelolaan pendidikan dasar. Implikasi dari model ini adalah
kewenangan yang lebih besar diberikan kepada kabupaten/kota untuk mengelola
pendidikan sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerahnya, mengadakan
perubahan kelembagaan, penataan dan pemberdayaan sumber daya manusia
dengan lebih menekankan pada profesionalisme, dan pendanaan langsung ke
kabupaten dalam bentuk block grants.
Desentralisasi memang merupakan pintu masuk untuk mengembangkan
otonomi pendidikan guna memperbaiki kondisi pendidikan kita yang kian
terpuruk. Keleluasaan yang diperoleh daerah memungkinkan harapan menuju
transformasi budaya melalui pendidikan dapat terwujud.
2.2. Desentralisasi Sebagai Wahana Transformasi Pendidikan
Menurut pendapat penulis, ada dua hal esensial yang patut diperjuangkan
melalui desentralisasi pendidikan agar transformasi pendidikan bisa diwujudkan,
yaitu: (1) terjadinya pendidikan yang bermakna dan (2) pelaksanaan pendidikan
yang demokratis.
2.2.1. Pendidikan yang Bermakna
Menurut Buchori (2001), pendidikan bermakna dapat diartikan sebagai
pendidikan untuk memahami makna. Pemahaman makna ini penting karena
pengetahuan yang tidak bermakna (meaningless knowledge) tidak ada gunanya
dan hanya menjadi beban hidup. Sebaliknya, pengetahuan yang bermakna
(meaningful knowledge) merupakan sesuatu yang bersifat fungsional dan berguna
bagi kehidupan.
Mengutip buku terkenal dan menjadi buku klasik berjudul Realms of
Meaning, Buchori menyebutkan enam jenis wilayah makna, yaitu makna simbolik,
empirik, estetik, sinoetik, etik, dan sinoptik. Untuk memahami makna di wilayah
simbolik, siswa harus mempelajari bahasa dan matematika. Untuk masuk ke
wilayah makna empiris, siswa harus belajar lingkungan fisik (fisika, kimia,
biologi, dsb), lingkungan sosial, dan budaya. Pelajaran seni (seni suara, seni sastra,
seni gerak, dan seni visual) dapat membentuk makna estetik. Makna sinoetik
dipahami melalui bermain peran, pembahasan film, maupun cerita-cerita lain.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
132
Untuk wilayah makna etik, siswa perlu memahami dan mematuhi secara sukarela
norma-norma yang ada, sedangkan pelajaran sejarah, filsafat, dan agama
membangun makna sinoptik.
Semua makna itu hanya akan dapat diperoleh apabila proses pendidikan
dilakukan secara mendasar, holistik, dan membumi. Pendidikan yang begini akan
terjadi apabila guru dan siswa mempunyai keleluasaan untuk menentukan arah
pembelajaran yang paling relevan dengan kebutuhan siswa. Kebutuhan itu sendiri
mencakup tingkat perkembangan siswa dan faktor lingkungan tempat siswa itu
berada. Selama ini, karena berbagai kebijakan pusat yang membelenggu,
kreativitas guru menjadi terpasung, sehingga pembelajaran bermakna tak dapat
terjadi. Contohnya test-oriented sebagai salah satu akibat langsung dari sistem
Ebtanas maupun UAN telah mendorong pembelajaran berlangsung secara
parroting, siswa menghafal materi dan berlatih menjawab pertanyaan. Sangat
sedikit kesempatan diberikan untuk memahami apa yang sebenarnya sedang
mereka pelajari.
Menurut Delors dkk. (1996), pendidikan yang bermakna harus
dilaksanakan melalui empat pilar pendidikan (the four pillars of education), yaitu
learning to know, learning to do, learning to live together, dan learning to be.
Keempat pilar ini mesti diterapkan secara seimbang dalam praktek pendidikan
sebab keempatnya merupakan pengalaman hidup sepanjang hayat di mana siswa
belajar memahami dan mengaplikasikan ilmu dan nilai yang difokuskan, baik pada
individu maupun lingkungan. Pendidikan harus mengupayakan setiap individu
menemukan, menggali, dan memperkaya potensi kreatifnya masing-masing dalam
rangka pembangunan manusia seutuhnya (learning to be).
Melalui learning to know, siswa menguasai the instruments of knowledge.
Pengetahuan itu sendiri adalah alat (means) dan tujuan (ends) hidup. Dikatakan
sebagai alat karena pengetahuan digunakan untuk memahami lingkungan,
mengembangkan keterampilan untuk bekerja, dan alat berkomunikasi. Sebagai
tujuan, pengetahuan itu memberikan kenikmatan dalam memahami, mengetahui,
dan menemukan suatu fenomena kehidupan. Mengingat pengetahuan terus
berkembang, penting bagi setiap individu untuk mengetahui segala hal (general
knowledge) sebelum dia menuju suatu spesialisasi.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
133
Dalam learning to do, individu dilatih untuk mempraktekkan
pengetahuannya. Jadi, di sini dikembangkan keterampilan agar siswa siap
menyongsong dunia kerja. Melalui learning to do ini, proses pendidikaan
menyiapkan individu siap pakai dan mampu mengantisipasi berbagai
kemungkinan tuntutan pekerjaan di masa depan.
Dalam learning to live together, setiap individu harus menyadari bahwa
dunia sudah sangat kompleks, penuh konflik, dan adanya kompetisi tidak sehat.
Namun, penting disadari bahwa ada tujuan yang sama, yaitu terciptanya kerjasama
dan persahabatan (cooperation and friendship). Karena itu, perlu setiap individu
belajar memahami orang lain, menerima persamaan maupun perbedaan, dan
menyadari adanya saling ketergantungan. Dalam praktek, siswa perlu latihan kerja
kelompok, maupun berpartisipasi dalam kegiatan sosial.
Dalam learning to be, pendidikan adalah all round development,
keseluruhan perkembangan di mana siswa menjadi independen, berpikir dan
berpendapat kritis, sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah sendiri, serta
berani mengambil keputusan dan memikul tanggung jawab.
2.2.2. Pendidikan yang Demokratis
Demokrasi dalam pendidikan paling tidak dapat dibahas dari dua sudut.
Pertama, pendidikan demokratis yang terkait dengan kesempatan untuk
memperoleh pendidikan. Karena belajar adalah sepanjang hayat (throughout life),
maka patut diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada setiap orang untuk
memperoleh pendidikan yang sebaik-baiknya dan setinggi-tingginya. Kedua,
demokrasi dalam proses pelaksanaan pendidikan di sekolah. Dalam konteks
desentralisasi, maka sangat mungkin untuk menjadikan pendidikan demokratis,
dengan tujuan peningkatan mutu sekaligus juga sebagai wahana pengembangan
jiwa dan sikap demokratis dikalangan siswa.
Dalam buku 4 Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang
diterbitkan oleh Ditjen Dikdasmen (2001) yaitu mengenai Pedoman Tatakrama
dan Tata Tertib Kehidupan Sosial Sekolah (untuk SLTP) disebutkan pentingnya
pendidikan budi pekerti, baik yang berupa perceived behavior (yang dipelajari
melalui pendidikan PPKN, Agama, dan lain-lain), maupun manifested behavior
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
134
(yang dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari). Sesungguhnya tujuan puncak
dari kedua aspek pendidikan budi pekerti adalah manifested behavior itu.
Selanjutnya, dalam buku itu disebutkan, dalam pengembangan pedoman
tata krama dan tata tertibnya, setiap sekolah wajib melakukannya dengan
melibatkan semua unsur, yaitu kepala sekolah, guru, siswa, maupun orang ttua
murid. Hal ini di lakukan untuk terciptanya pemahaman yang baik terhadap
pedoman itu, sehingga setiap orang menaatinya tanpa ada rasa terpaksa, maupun
mengerti segala konsekuensi yang timbul sebagai akibat dari suatu pelanggaran.
Terlibatnya siswa dalam pengembangan tata tertib bukanlah menjadi ciri khas
otonomi sekolah yang sekarang sedang digulirkan. Aturan itu sudah ada sejak
dulu. Namun, sejauh mana siswa betul-betul terlibat dan pendapatnya didengar,
itulah yang mestinya dikembangkan sekarang ini.
Pada sekolah-sekolah kita, fenomena pendidikan budi pekerti melalui tata
tertib kelas/sekolah dilakukan secara bervariasi. Pada beberapa sekolah swasta
yang cukup modern, proses pengambilan keputusan mengenai tata tertib sudah
melibatkan siswa secara langsung sejak perencanaannya. Pada beberapa sekolah,
ada juga draf disiapkan oleh guru/kepala sekolah, kemudian disodorkan kepada
siswa untuk dimintakan tanggapan dan persetujuan mereka. Namun, pada banyak
sekolah, peraturan dibuat oleh kepala sekolah, dipajang di dinding masing-masing
kelas. Dalam desentralisasi di mana sekolah mempunyai wewenang luas untuk
mengatur diri sendiri, atmosfer yang kondusif untuk pengembangan demokrasi
dapat diciptakan melalui penanaman rasa saling menghormati, menghargai
pendapat orang lain, dan kerjasama yang berlandaskan kesejajaran dapat
dilakukan.
Berdasarkan berbagai kajian teori dan hasil penelitian,
Dantes(1992) mengajukan pola pendidikan demokratis-partisipatoris, dengan
dicirikan oleh prinsip; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut
Wuri Handayani. Sesuai dengan prinsip di atas, dalam bentuk pola
asuhan/pendidikan ini, orang tua atapun guru dalam menanamkan berbagai
perilaku kehidupan, seyogyanya terlebih dahulu memberi suri tauladan secara
kontinyu mengenai perilaku-perilaku apa yang dikehendaki dimiliki oleh anak.
Pendidikan harus konsisten dengan peranannya sebagai model dari anak-anaknya,
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
135
sehingga dituntut adanya konsistensi antara lain, sikap dan prilaku yang dipegang
oleh pendidik dan terwujud secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidik memfungsikan dirinya sebagai Ing Madya Mangun Karso yaitu,
secara berencana memberikan kesempatan mandiri sedini mungkin pada anak,
yang dapat diwujudkan dengan memberi peluang pada anak untuk mengambil
keputusan, berpendapat, memberi motivasi, serta dorongan pada anak. Pendidik
hendaknya dapat memfungsikan dirinya sebagai teman bagi anak, sehingga orang
tua dapat berfungsi komplementer dalam berbagai hal bagi anak. Segala sesuatu
yang dilakukan oleh anak yang berhubungan dengan berbagai perilaku kehidupan
dapat didiskusikan untuk mencari hakikatnya. Dengan demikian, internalisasi,
kemandirian, keberanian mengambil keputusan, kreativitas secara optimal akan
terjadi pada anak. Semua ini memiliki pengaruh yang optimal pula dalam berbagai
pembentukan dan perkembangan aspek-aspek psikologis dan kepribadian anak.
Di pihak lain, orang tua maupun guru secara bertahap dapat mengurangi
peranannya baik sebagai model maupun sebagai motivator. Orang tua secara
terencana berfungsi secara Tut Wuri Handayani. Dalam konteks ini, orang tua
cukup mengamati dan mengawasi anak dalam berbagai perilakunya. Orang tua
cukup menunjukkan peranannya lagi bila memang terjadi sesuatu penyimpangan,
atau kerancuan terhadap pola prilaku yang ditunjukkan oleh anak. Orang tua
bersama anak mendiskusikan
perilaku-perilaku kehidupan yang memang
dianggap masih rancu atau bahkan menyimpang. Harus didapatkan suatu alasan
yang memang dapat diterima oleh anak, mengapa secara hakikat perilaku itu
dikatakan salah atau menyimpang. Jelas, untuk hal itu, interaksi sosial antara orang
tua dan anak l akan terjadi secara maksimal.
Suasana demokratis akan sangat tampak terwujud dalam pola asuhan
secara nyata, dan partisipasi pendidik sesuai dengan kebutuhan ditinjau dari
pengembangan psikologis dan pertambahan umur serta pengalaman anak juga
terlihat secara baik dan proporsional. Dantes (1992) selanjutnya menekankan,
terwujudnya suatu kondisi pola asuhan yang memang nyaman, kondusif,
menghargai hak dan kewajiban anak sebagai subyek didik, baik secara jasmani
maupun rohani, pembangkitan sifat mandiri pada anak, keberanian mengambil
keputusan, tanggung jawab, pembinaan sifat simpati, kejujuran mewarnai pola
asuhan ini. Pola pendidikan demokratis partisipatoris ini diyakini dapat menjadi
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
136
kendaraan untuk dapat mencapai tujuan-tujuan pendidikan secara makro, sehingga
secara makro paedagogik pendidikan minimal memiliki fungsi pengembangan
sumber daya manusia dan pelestarian serta pengembangan nilai-nilai.
2.3. Hambatan-Hambatan Desentralisasi Pendidikan
Sebagai suatu paradigma baru dalam kehidupan pendidikan kita, konsepkonsep desentralisasi perlu dipahami secara mendasar. Sistem sentralistik yang
sudah mengakar dan membentuk pola pikir dan pola kerja para pelaku pendidikan
kita selama ini tidaklah mudah untuk diubah dan disesuaikan dengan paradigma
baru ini. Dalam proses ini, penulis berpendapat, paling tidak ada dua penghambat
besar pelaksanaan desentralisasi pendidikan, yaitu faktor administratif dan faktor
psikologis.
2.3.1. Hambatan Administratif
Dengan adanya pelimpahan sejumlah besar kewenangan pusat kepada
daerah, berarti daerah dituntut untuk mampu menyelenggarakan segala limpahan
tugas itu dengan sebaik-baiknya. Sejumlah tugas yang dulunya ditangani pusat,
dalam desentralisasi, menjadi wewenang daerah. Seperti kita ketahui,
desentralisasi akan lebih besar ke tingkat kabupaten/kota dan sekolah. Di tingkat
kabupaten, manajemen keuangan akan lebih berat karena adanya sistem block
grant. Di tingkat sekolah, manajemen pendidikan berbasis sekolah (MPBS)
memberikan kewenangan kepada kepala sekolah untuk mengatur rumah
tangganya. Agar program desentralisasi dapat berlangsung dengan baik dan
menghasilkan peningkatan mutu pendidikan, kewenangan-kewenangan baru ini
harus dijawab dengan personalia yang handal untuk itu.
Di sinilah persoalannya. Seberapa mampukah personalia yang ada di
kabupaten/kota dan di sekolah sekarang ini melaksanakan tugas baru tersebut?
Sungguh sangat meragukan. Pasalnya, manajemen yang terlalu sentralistik telah
membuat aparat pendidikan di bawah apatis dan menunggu perintah dari pusat
saja. Mereka sama sekali tidak tertuntut untuk bisa merencanakan dan
melaksanakan sesuatu yang sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Di samping
kurangnya pengalaman itu, patut juga diperhatikan tingkat pendidikan aparat di
daerah. Bila diperhatikan, sebagian besar mereka berijazah sekolah menengah;
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
137
ditambah bagi yang beruntung dan mau, mendapat tambahan pengetahuan melalui
pelatihan dan penataran.
Kurangnya aparat administratif di daerah yang berpendidikan tinggi juga
tidak terlepas dari kebijakan pusat yang sudah lama mengadakan rekrutmen
pegawai lebih banyak pada golongan dua. Sebagian terbesar penjabat pendidikan
di daerah adalah pejabat karier yang mulai dari bawah. Dengan pengalaman
bekerja dengan sistem sentralistik dan top down selama ini, tampaknya sulit bagi
mereka untuk melakukan manajemen yang leluasa tapi terarah. Nah, dengan
kondisi yang demikian, dapatkah kita harapkan SDM yang memadai untuk tugas
besar desentralisasi ini?. Sejumlah pakar pendidikan telah menyatakan
keraguannya. Winarno Surakhmad, misalnya, mengatakan bila perangkat dan
aturan pelaksanaannya tidak disiapkan dengan baik, seperti yang terjadi sekarang
ini, desentralisasi justru akan memperburuk mutu pendidikan (Kompas, 16 Mei
2001). Apakah dengan demikian perlu adanya bantuan tenaga dari perguruan
tinggi setempat(yang notabene memiliki SDM yang lebih baik) ? Hingga saat ini
belum ada yang mengemukakan pendapat ke arah itu. Mungkin, hal ini perlu
diwacanakan.
2.3.2. Hambatan Psikologis
Fenomena menarik lainnya yang akan menjadi penghambat suksesnya
desentralisasi pendidikan adalah akan adanya banyak pejabat maupun aparat di
pusat yang kehilangan otoritas. Pelimpahan sebagian wewenang ke daerah berarti
mengurangi `kekuasaan` pejabat pusat, dan menurunnya `daya cengkeram` mereka
terhadap daerah. Di samping itu, bila kita percaya bahwa pejabat di pusat itu
berpraktek KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme), maka pengurangan wewenang
ini berarti pula mereka kehilangan sebagian `lahan` rejeki tak halal yang selama ini
mereka nikmati.
Meskipun wacana ini jauh dari nuansa akademis, namun sangat penting di
pahami sebab KKN telah menjadi fenomena yang memasyarakat secara luas. Hal
ini tentu akan menimbulkan dampak psikologis yang besar di kalangan pejabat
pusat. Kekhawatiran kita adalah `pemangkasan` ini akan membuat mereka
kehilangan semangat, yang akibatnya menjadi `masa bodo`. Semua tugas dilepas
begitu saja ke daerah, sementara daerah belum siap sama sekali (dan memang
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
138
tugas itu bukan sepenuhnya dilimpahkan ke daerah). Inilah salah satu hambatan
yang nyata di depan mata.
Sudut lain yang terkait dengan faktor psikologis adalah nuansa
pendaerahan itu sendiri. Persepsi yang salah terhadap konsep desentralisasi bukan
hanya akan menurunkan kualitas pendidikan, tetapi juga akan menimbulkan
semangat kedaerahan yang tinggi. Perbedaan kemampuan antardaerah dalam
mengelola pendidikannya secara psikologis akan menyebabkan timbulnya
perasaan berbeda; merasa lebih tinggi, baik, hebat dan sebagainya bagi yang lebih
mampu, sedangkan rasa inferior akan muncul pada daerah-daerah miskin. Lebih
jauh, hal ini akan memunculkan kecendrungan `putra asli daerah`untuk guru.
Padahal, Prof. Suyanto Rektor UNY mengatakan, bahwa guru seharusnya lintas
lokasi, lintas etnis, dan lintas agama (Kompas, 16 Mei 2001). Ini tentu sangat
potensial untuk menimbulkan fragmentasi antardaerah, yang pada akhirnya akan
mengancam integritas bangsa.
3. Penutup
Dengan uraian diatas, dapat kita lihat bahwa masih terlalu dini bagi kita
untuk berharap bahwa desentralisasi akan dapat memperbaiki kondisi pendidikan
kita. Reformasi melalui desentralisasi ini boleh saja dilakukan, tetapi patut diingat
betapa, karena pembodohan-pembodohan rakyat yang selama lebih dari tiga puluh
tahun ini, kita telah benar-benar terpuruk dari segi kualitas sehingga suatu upaya
reformasi menuju perbaikan harus selalu diperhitungkan dari segi sejauh mana kita
siap untuk itu.
Untuk itu, diperlukan adanya langkah-langkah awal melalui koordinasi
yang baik antara daerah dan pusat, untuk menyiapkan daerah maupun pusat
sendiri, baik fisik maupun mental psikologis dalam menyongsong desentralisasi.
Memang, mau tidak mau, suka tidak suka, pusat harus rela desentralisasi ini
berjalan sesuai dengan fitrahnya, sementara daerah harus siap dengan segala
konsekuensi dari kewenangan baru yang sangat berat ini.
Tampaknya kita sepakat bahwa dalam keterpurukan yang multidimensi
sekarang ini, pendidikan adalah satu-satunya tiang penyangga upaya kita keluar
dari kemelaratan ini. Karena itu, seyogyanya pendidikan di upayakan sesegera
mungkin `sembuh dari sakit yang panjang` ini, dan menjadi the leading point
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
ISSN 0215 - 8250
139
untuk perbaikan semua aspek kehidupan kita. Kesadaran ini harus dipupuk dan di
kembangkan pada semua unsur masyarakat sehingga wacana desentralisasi yang di
atas kertas sangat menjanjikan perbaikan mutu pendidikan ini, benar-benar dapat
terlaksana dengan baik. Jika hal itu terjadi, barulah kita dapat berharap bahwa
desentralisasi pendidikan dapat menjadi wahana transformasi pendidikan seperti
yang disebutkan pada awal tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Buchori, M. 2001. Pendidikan Antisipatoris. Yogyakarta : Kanisius.
Dantes; 1992. Pola asuhan dalam hubungannya dengan pendidikan nilai di
lingkungan keluarga: Suatu Analisis Makropedagogik. Pidato pengukuhan
guru besar. Denpasar: Universitas Udayana.
Delors, J et al. 1996. Learning:The Teasure Within. France: Unesco Publishing.
Jalal, F & Supriadi, D. (Ed).2001.Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi
daerah. Yogyakarta: Depdiknas-Bappenas_Adicita Karya Nusa.
_________________ 2001. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah, Buku
1 dan 4, Depdiknas.
Kompas, 2001. `Desentralisasi Bisa Turunkan Mutu Pendidikan`, Edisi 16 Mei
2001.
__________________ Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri Singaraja, No. 3 TH. XXXVII Juli 2004
Download