TEMU ILMIAH IPLBI 2016 Pemahaman Masyarakat terhadap Faktor Struktural dan Nonstruktural Rumah Tahan Gempa Agus Dwi Hariyanto(1), Sugeng Triyadi(2), Hanson E. Kusuma(3) (1) (2) (3) Mahasiswa Program Studi Doktor Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung, Dosen Program Studi Arsitektur UK Petra. Kelompok Keilmuan Teknologi Bangunan, SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Kelompok Keilmuan Perancangan Arsitektur, SAPPK, Institut Teknologi Bandung. Abstrak Kesadaran masyarakat terhadap kualitas bangunan rumahnya dapat mendukung pemerintah dalam program mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko terhadap bencana. Mitigasi non fisik untuk gempa mencakup peran serta masyarakat dalam meningkatkan pemahaman terhadap kualitas rumah yang aman terhadap gempa. Kemampuan masyarakat menilai kondisi rumahnya bila terjadi gempa dapat mencerminkan tingkat pemahaman mereka bagaiman rumah yang aman terhadap gempa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap kriteria rumah tahan gempa. Selain itu penelitian ini dilakukan mengetahui korespondensi antara rasa aman responden terhadap rumahnya dengan kriteria rumah tahan gempa. Penelitian kualitatif ini diolah dengan analisis data teks, dilanjutkan dengan analisis distribusi, korespondensi, dan cluster. Pemahaman responden cukup baik karena responden mampu menilai kondisi rumahnya bila terjadi gempa dan mampu memberikan gambaran kriteria rumah yang aman terhadap gempa. Dari hasil analisis data teks, terdapat tujuh kriteria yang dapat dikelompokan dalam kategori faktor struktural (struktur responsif, material sesuai, bentuk sederhana, kondisi tanah stabil) dan non struktural (elemen arsitektur tidak rusak, mudah menyelamatkan diri, dan pelaksanaan tepat). Faktor struktural lebih dominan dibanding dengan faktor non struktural, dengan frekuensi tertinggi kriteria struktur responsif. Selain itu terdapat hubungan yang signifikan antara variabel hasil penilaian terhadap rumah tinggal dengan kriteria tahan gempa. Kata-kunci : rumah, tahan gempa, struktural, non struktural, pemahaman masyarakat Pengantar Indonesia berada pada situasi yang disebut dengan “ring of fire” atau cincin api, sehingga sering terjadi gempa pada sebagian wilayahnya. Kejadian gempa yang memakan banyak korban adalah gempa di Bantul, Yogyakarta tahun 2006 (korban jiwa lebih dari 3000 orang) dan di Padang tahun 2009 (korban jiwa lebih dari 1000 orang). Faktor utama yang menyebabkan begitu banyaknya korban adalah runtuhnya bangunan pada saat terjadi gempa. Kejadian runtuhnya bangunan yang sangat cepat menyebabkan para korban tidak memiliki waktu untuk menyelamatkan diri. Bangunan yang tidak mampu ber- tahan sedikitpun terhadap gempa menjadi penyebab utama banyaknya korban jiwa. Masyarakat menjadi korban karena tertimpa rumahnya sendiri. Hal ini membuktikan bahwa rumah yang ditinggali sangat rawan terhadap gempa. Ketidaktahuan masyarakat terhadap ketahanan bangunan rumahnya menunjukan ketidaksiapan masyarakat ketika gempa tersebut terjadi. Rumah tinggal adalah bangunan skala domestik yang sangat penting direncanakan untuk memenuhi rasa aman penghuninya terhadap kondisi iklim maupun pengaruh lainnya seperti gempa bumi. Kesadaran masyarakat terhadap Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 109 Pemahaman Masyarakat terhadap Faktor Struktural dan Non-struktural Rumah Tahan Gempa kualitas bangunan rumahnya dapat mendukung pe-merintah dalam program mitigasi bencana, khususnya gempa bumi. Mitigas adalah upayaupaya yang dilakukan untuk mengurangi resiko terhadap bencana. Mitigasi dapat dilakukan baik secara fisik maupun non fisik. Mitigasi non fisik untuk gempa mencakup peran serta masyarakat dalam meningkatkan pemahaman terhadap kualitas rumah yang aman terhadap gempa atau tahan gempa. Dengan latar belakang beberapa kejadian gempa besar yang terjadi di Indonesia, maka masyarakat secara umum mendapatkan gambaran dampak gempa tersebut. Untuk itu penelitian ini bertujuan yang pertama untuk mengetahui tingkat pemahaman masyarakat terhadap kriteria rumah yang tahan gempa. Yang kedua adalah untuk mengetahui korespondensi antara rasa aman responden terhadap rumahnya dengan kriteria rumah tahan gempa. Pada saat terjadi gempa di Indonesia, kerusakan terbesar terjadi pada bangunan-banguan nonengineered (Kusumastuti, D. et.al. 2008). Bangunan ini dibangun oleh masyakarat sendiri tanpa melibatkan tenaga ahli. Pada umumnya bangunan tersebut kurang memenuhi persyaratan bangunan, kualitas material bervariasi, pelaksanaan yang tidak sesuai, desain struktur yang salah. Sehingga bangunan-bangunan tersebut cenderung berkualitas struktur rendah dan rentan terhadap gempa. Menurut K. Mora, et.al. (2015), bukan hal yang mudah bagi masyarakat untuk menilai keamanan dari bangunan terhadap gempa tanpa bantuan tenaga ahli. Sehingga masyarakat mungkin mencoba menilai dengan melihat beberapa ciri seperti misalnya material konstruksi. Berdasarkan pengalaman, masyarakat dapat menilai bahwa konstruksi dinding bata atau beton kurang aman dibandingkan dengan konstruksi dengan material baja atau kayu. Penelitian tersebut menunjukan bahwa masyarakat memiliki persepsi suatu bangunan aman dari gempa apabila dapat mencegah timbulnya korban jiwa dan cedera penghuninya. Untuk itu keterpaduan struktur (structural integrity) menjadi penting, sedangH 110 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 kan fungsionalitas dari bangunan menjadi aspek yang kurang penting dibandingkan struktur bangunan. Selain itu, hal yang penting dalam hal keamanan bangunan adalah adanya pintu keluar yang aman saat terjadi gempa. Hal ini dinilai lebih penting dibandingkan elemen disain lainnya. Menurut Karaesman (Ozmen,C Ali dan Unay, I, 2007) penyebab lemahnya kinerja bangunan terhadap gempa di Turki pada tahun 1999 adalah kurangnya pengetahuan umum publik yang terkait dengan bangunan tahan gempa. Selain itu publik juga mengabaikan ancaman gempa terhadap bangunan mereka. Pertumbuhan perumahan yang cepat dan kurang terkendali mengakibatkan masyarakat tidak mempedulikan kondisi geologi dan geoteknik ketika memilih lokasi untuk perumahan. Dari evaluasi yang dilakukan, kerusakan struktur terjadi karena kurangnya pemahaman pelaksana terhadap sistem struktur yang benar dan buruknya kualitas konstruksi. Harmankaya, Z.Y., & Soyluk, A (2012) meneliti tentang irregular building yang rawan mengalami kegagalan saat terjadi gempa. Penelitian ini juga dilaksanakan di Turki, yang sebagian wilayahnya merupakan daerah rawan gempa. Dari pengalaman gempa di Turki, kegagalan bangunan secara langsung maupun tidak diakibatkan oleh disain arsitekturnya. Ketidakteraturan dari bentuk bangunan menjadi penyebab kerusakan bangunan saat terjadi gempa di Turki. Metode Penelitian kualitatif ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang mendalam dari responden tentang rumah yang aman terhadap gempa. Dari kategori kriteria yang disebutkan, akan dinilai tingkat pemahaman responden terhadap faktor yang mempengaruhi rumah tahap gempa. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data survei melalui daring dengan memanfaatkan fasilitas pada google drive. Pertanyaan dalam kuesioner terdiri dari 6 Agus Dwi Hariyanto perta-nyaan. Empat pertanyaan pertama sifatnya ada-lah data pribadi (jenis kelamin, usia, pendidikan terakhir, dan kota tempat tinggal). Pertanyaan ke lima bersifat tertutup untuk mengetahui pendapat responden tentang keamanan rumahnya bila terjadi gempa. Responden cukup menjawab dengan memilih jawabah YA, TIDAK, atau RAGU-RAGU. Pertanyaan terakhir bersifat terbuka, untuk mengetahui pendapat responden bagaimana rumah yang aman terhadap gempa. Responden diminta menjawab dalam beberapa kalimat yang membentuk 1 atau 2 paragraf. Metode Analisis Data Analisis distribusi secara khusus dilakukan untuk mengetahui prosentase data pribadi responden dan hasil evaluasi responden terhadap rumah tinggalnya (Neuman, 2014). Selain itu, analisis distribusi juga dilakukan untuk mengetahui faktor apa yang paling berpengaruh terhadap keamanan rumah terhadap gempa. Data teks yang masuk dari pertanyaan terakhir diolah secara kualitatif dengan mengacu pada Creswell (2008). Open coding dilakukan untuk menemukan kata-kata kunci dari setiap pendapat. Kemudian dilakukan axial coding untuk mengelompokan kata-kata kunci dalam kategori. Selec-tive coding dilakukan dengan menggunakan contingency analysis untuk mengetahui hubungan antara dua variabel yaitu variabel penilaian kondisi rumah tinggal dengan faktorfaktor yang mempengaruhi keamanan rumah terhadap gempa. Setelah mendapatkan hasil yang signifikan, maka dilakukan correspondence analysis untuk mengetahui tingkat kedekatan hubungan antar variabel. Kemudian dilakukan cluster analysis untuk mengetahui pengelompokan antar variabel dengan penilaian responden terhadap rumahnya. Analisis dan Interpretasi Jumlah responden 118 orang dengan komposisi sebagai berikut: laki-laki 46% dan perempuan 54%. Responden berasal dari 21 kota di Indonesia, yang tersebar pada 11 provinsi. Data tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 1. Distribusi normal terjadi dengan pro- sentase terbesar adalah responden dengan pendidikan terakhir S-1 (60%) dan paling sedikit adalah SMA (5%). Dari tingkat pendidikan ini dapat diasumsikan bahwa responden memiliki pengetahuan tentang gempa yang pernah terjadi di Indonesia. Selain itu dengan tingkat pendidikan tersebut diharapkan responden dapat memberikan penilaian terhadap rumah tinggalnya sendiri. 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% SMA D3 S1 S2 S3 Gambar 1. Tingkat Pendidikan Responden Penilaian terhadap Rumah Tinggal Hasil penilaian responden terhadap kondisi rumah tinggalnya adalah 45% menjawab YA (yakin aman), 15% menjawab TIDAK (tidak yakin aman), dan 40% RAGU-RAGU. Dari jawaban tidak dan ragu-ragu (total 65%) mengindikasikan bahwa rumah mereka kurang memenuhi persyaratan secara struktural. Pada umumnya masyarakat cenderung membangun atau mere-novasi rumah tinggalnya tanpa menggunakan jasa perencana dan pelaksana. Sehingga merekapun tidak yakin dan ragu-ragu terhadap kondisi rumahnya bila terjadi gempa ringan sampai sedang. Kriteria Rumah Tahan Gempa Pendapat responden tentang rumah yang aman terhadap gempa dapat dikelompokan dalam tujuh kategori yang dapat dilihat pada Gambar 2. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 111 Pemahaman Masyarakat terhadap Faktor Struktural dan Non-struktural Rumah Tahan Gempa Dari ke tujuh kriteria tersebut, dapat dikelompokan dalam 2 kategori umum yaitu faktor struktural dan non struktural. Yang termasuk di dalam faktor struktural adalah struktur responsif, mate-rial sesuai, bentuk sederhana, dan kondisi tanah stabil. Sedangkan non struktural adalah elemen arsitektur tidak rusak, mudah menyelamatkan diri, dan pelaksanaan tepat. Faktor struktural terlihat lebih dominan (batang warna merah) diban-dingkan dengan faktor non struktural (batang warna biru). Sehingga dapat dinilai bahwa ma-syarakat memahami faktor struktural lebih mem-pengaruhi keamaan rumah terhadap gempa di-bandingkan non struktural. 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% yang terparah adalah sektor perumahan. Rumah yang paling banyak roboh berusia 15-25 tahun, yang rata-rata tidak memenuhi persyaratan bangunan tahan gempa (Kusumasari, 2012). Jadi korban sangat banyak karena tertimpa reruntuhan rumahnya sendiri. Keruntuhan total rumah dipengaruhi terutama oleh kualitas strukturnya. Faktor struktur responsif ini telah dipahami oleh 84% responden (Gambar 2). Selain struktur reponsif, material yang sesuai juga menjadi perhatian responden. Kesesuaian merujuk pada material yang ringan (misalnya kayu), material berkualitas, dan material yang memiliki kelenturan sehingga diharapkan dapat mendukung keamanan terhadap gempa. Kualitas material yang bervariasi dan tidak sesuai standar dapat mengurangi kinerja bangunan saat terjadi gempa (Kusumastuti, D. et.al. 2008). Dalam kelompok non struktural, faktor kemudahan menyelamatkan diri dinilai paling berpengaruh dibandingkan dua lainnya. Kemudahan menyelamatkan diri ini terdiri dari dua pemahaman, yaitu ada cukup waktu bagi penghuni un-tuk menyelamatkan diri sebelum terjadi kega-galan struktur dan adanya akses yang mudah bagi penghuni untuk keluar rumah dengan cepat. Faktor ini sejalan dengan hasil penelitian dari K. Mora, et.al. (2015), bahwa safe exit building sangat penting dan dibutuhkan oleh penghuni sa-at terjadi gempa. Korespondensi Kriteria Gambar 2. Kriteria Rumah Tahan Gempa Dari ketujuh kategori tersebut, kriteria struktur responsif menempati ranking tertinggi. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Mora, K., et.al. (2015), yaitu structural integrity sangat penting untuk mendukung kinerja bangunan terhadap gempa karena faktor ini sangat mempengaruhi keselamatan penghuni. Sebagai contoh, gempa yang terjadi di Yogyakarta pada tahun 2006 mengakibatkan tingkat kerusakan yang sangat tinggi yaitu mencapai VII skala MMI. Kerusakan H 112 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 antara Hasil Penilaian dan Hasil contingency analysis data teks antara penilaian responden terhadap rumahnya dengan kriteria rumah yang aman terhadap gempa menun-jukan hubungan yang signifikan yaitu 0,037 (lihat Tabel 1). Tabel 1. Contingency Test Likelihood Ratio Pearson ChiSquare Prob>ChiSq 26.884 0.0080* 22.027 0.0372* Agus Dwi Hariyanto Hasil correspondence analysis (Gambar 3) terlihat jawaban YA dalam menilai keamanan rumah tinggalnya paling erat hubungannya dngan kriteria struktur responsif, dan bentuk sederhana. Struktur yang responsif ini merujuk pada dua hal yaitu kekuatan dan daktilitas struktur. Sedangkan bentuk sederhana merujuk pada bentuk denah dan rumah yang tidak bertingkat. Hal ini menunjukan bahwa faktor struktural dari bangunan telah dipahami oleh responden. Faktor ini menjadi hal yang penting dalam mendukung ketahanan bangunan terhadap gempa. dan mudah menyelamatkan diri. Hal ini menarik karena orang yang ragu dengan kondisi rumahnya membutuhkan kemudahan ketika ingin menyelamatkan diri. Kemudahan ini merujuk pada dua hal yaitu penghuni memiliki waktu untuk menyelamatkan diri sebelum terjadi kegagalan struktur dan penghuni memiliki kemudahan aksesibilitas untuk keluar rumah dengan cepat saat terjadi gempa. Pentingnya structural integrity dan safe exit of building pada bangunan di daerah rawan gempa ini juga sejalan dengan hasil penelitian hasil penelitian Mora, K., et.al. (2015). Gambar 4. Dendogram Cluster Analysis Gambar 3. Hasil Correspondence Analysis Kategori bentuk sederhana erat berkorelasi dengan penilaian YA. Bentuk merupakan bagian yang mudah diamati oleh orang awam, tetapi cenderung kurang dipahami bahwa ini menjadi salah satu kriteria bangunan tahan gempa. Menurut Harmankaya, Z.Y., & Soyluk, A (2012), bentuk bangunan yang sederhana (beraturan /regular) dan simetris lebih kuat menahan gempa dibandingkan dengan bentuk yang tidak bera-turan (irregular). Karena bentuk yang tidak bera-turan memiliki bagian-bagian yang lemah se-hingga kurang mampu bertahan saat terjadi gempa. Hal ini sering kurang dipahami oleh masyarakat, sehingga bentuk yang rumit cenderung lebih disukai. Sedangkan penilaian RAGU-RAGU paling erat hubungannya dengan kriteria material sesuai Pada Gambar 4 terlihat bahwa jawaban TIDAK berhubungan erat dengan kriteria kondisi tanah stabil. Tanah stabil berkaitan dengan lokasi rumah. Sejalan dengan Karaesman (Ozmen,C Ali dan Unay, I, 2007) penyebab lemahnya kinerja bangunan terhadap gempa di Turki pada tahun 1999 karena publik mengabaikan ancaman gempa terhadap bangunan mereka. Publik mengabaikan kondisi tanah yang kurang stabil (rawan terhadap gempa) ketika memilih lokasi untuk perumahan. Faktor non struktural yaitu elemen arsitektur tidak rusak dan pelaksanaan tepat kurang berhubungan dengan ketiga hasil evaluasi responden terhadap rumahnya. Hal ini terjadi karena hanya sedikit (≤10%) responden yang menyebutkan kriteria ini sebagai kriteria rumah tahan gempa. Tetapi bagaimanapun dua kriteria ini penting karena eleman arsitektur yang rusak, mi-salnya pintu tidak bisa dibuka saat kejadian, Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 | H 113 Pemahaman Masyarakat terhadap Faktor Struktural dan Non-struktural Rumah Tahan Gempa akan mengakibatkan penghuni kesulitan menyelamatkan diri. Kemudian pelaksanaan konstruksi yang tidak sesuai persyaratan akan berakibat fatal saat terjadi gempa, misalnya penyam-bungan yang salah antar elemen balok dan kolom (Arya, A.S. et al., 2014). Dari pola korespondensi (gambar 3 dan 4), terlihat bahwa responden yang menjawab YA (45%) dan RAGU-RAGU (40%) masing-masing dalam satu cluster memiliki kedekatan dengan 2 kriteria. Sedangkan responden yang menjawab TIDAK (15%) hanya terhubung dengan 1 kriteria. Jadi sebanyak total 85% responden dapat diasum-sikan lebih memahami kriteria rumah tahan gempa dibandingkan 15% lainnya. Kesimpulan Masyarakat dengan latar belakang pendidikan menengah dan tinggi mampu menilai keamanan bangunan rumah tinggalnya bila terjadi gempa. Masyarakat memahami hal ini dengan baik sehingga mampu mendiskripsikan rumah yang aman terhadap gempa dalam 7 kriteria, yaitu struktur responsif, material sesuai, bentuk sederhana, kondisi tanah stabil, elemen arsitek-tur tidak rusak, mudah menyelamatkan diri, dan pelaksanaan tepat. Kriteria struktur responsif dinilai paling dominan dibandingkan yang lainnya. Terdapat hubungan yang signifikan antara variabel hasil penilaian terhadap rumah tinggal dan variabel kriteria bangunan tahan gempa. Faktor struktural memiliki kedekatan yang lebih erat dengan hasil penilaian kondisi bangunan dibandingkan faktor non struktural. Diantara kriteria dalam faktor non struktural, kriteria mudah menyelamatkan diri adalah kriteria yang paling dominan dan memiliki kedekatan dengan hasil penilaian. Dari pola korespondensi, terlihat bahwa responden yang menjawab YA dan RAGU-RAGU dapat diasumsikan lebih memahami faktor struktural dan non strruktural bangunan terhadap gempa bila dibandingkan yang menjawab TIDAK. Jadi dapat disimpulkan bahwa sebagian besar resH 114 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016 ponden memahami dengan baik kriteria rumah tahan gempa. Kekurangan dari penelitian ini adalah responden tinggal di perkotaan dan 95% berpendidikan tinggi, sehingga kurang mewakili pemahaman masyarakat di pedesaaan dan mereka yang berpendidikan rendah. Padahal rumah di pedesaan biasanya dibangun masyarakat tanpa melibatkan tenaga ahli. Selain itu, responden mengalami kesulitan saat menyatakan pendapat mereka melalui penulisan satu paragraf atau lebih. Sehingga rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah memperluas lingkup respon-den dan menggunakan metode survei yang lebih mudah diakses. Daftar Pustaka Arya, A.S., Boen, T., Ishiyama, Y. (2014). Guidelines for Earthquake Resistant Non-Engineered Construction. United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization. France. Creswell, J.W. (2008). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage Publications, Inc. Kusumasari, B. (2012). Network organisation in supporting post-disaster management in Indonesia. International Journal of Emergency Services , Vol. 1 No. 1, 71-85. Kusumastuti, D., Pribadi, K.S., dan Rildov (2008). Reducing Earthquake Vulnerability of NonEngineered Buidings: Case Study of Retrofitting of School Building in Indonesia. The 14th World Conference on Earthquake Engineering. Beijing, China. Mora, K., Chang, J., Beatson, A., & Morahan, C. (2015). Public perceptions of building seismic safety following the Canterbury earthquakes: A qualitative analysis using Twitter and focus groups. International Journal of Disaster Risk Reduction, 13, 1–9. Elsevier Ltd. Ozmen, C., & Unay, A.I. (2007). Commonly encountered seismic design faults due to the architectural design of residential buildings in Turkey. Building and Environment ,42, 1406–1416. Elsevier Ltd. Harmankaya, Z.Y., & Soyluk, A (2012). Architectural Design of Irregular Buildings in Turkey. International Journal of Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS , Vol. 12 No. 01, 42-48. Neuman, L.W. (2014). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches. USA: Pearson Education Limited