iv. hasil dan pembahasan

advertisement
16
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif
selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel
pada dasar petri dan menjadi lebih lengket yang menandakan dimulainya proses
encystment, sedangkan parasit pada suhu 10°C tidak mengalami proses
encystment dan sel parasit tidak lengket pada dasar petri. Parasit selanjutnya
ditransfer pada tabung reaksi untuk perlakuan suhu rendah dan diamati
viabilitasnya selama 14 hari. Nilai hasil pengamatan nilai survival rate,
encystment, excystment, dan abnormalitas dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai survival rate parasit, persentase encystment, persentase excystment,
dan abnormalitas sel theront yang dihasilkan setelah inkubasi pada suhu
27±1°C
% Encystment
% Excystment
Perlakuan
Perlakuan
Hari
kontrol
kontrol
0
0
0
kontrol perlakuan
9±2 C 27±1 C
9±2 C 27±10C
SR
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
100
100
-
100
100
100
100
100
100
100
92
85
80
77
68
48
40
35
keterangan :
+
++
+++
4.1
100
100
-
0
0
86
100
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
100
100
100
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
−
100
100
-
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
100
100
100
100
100
100
100
66,66
66,66
66,66
66,66
66,66
33,33
33,33
33,33
Abnormalitas
kontrol perlakuan
-
−
−
−
−
+
+
+
++
++
+++
+++
+++
+++
+++
+++
: tidak ada sel abnormal
: sedikit
: banyak
: sangat banyak
Kelangsungan Hidup Parasit
Kolom SR (Survival Rate) yang terdapat pada Tabel 1 menunjukkan bahwa
sel trophont yang dipelihara dalam suhu rendah mampu bertahan hidup 100%
hingga pada hari ke-6 pengamatan, dan secara gradual mengalami kematian
17
sehingga nilai SR populasi parasit hanya 35% di akhir pengamatan. Sel parasit
yang mati tidak mengalami lisis sehingga tetap bisa diamati pada hari terakhir
pengamatan. Sedangkan seluruh sel trophont yang dipelihara pada suhu optimal
(kontrol) menyelesaikan proses encystment dan excystment hanya dalam 18-24
jam, sehingga pada hari pertama pengamatan seluruh parasit sudah dalam stadia
theront.
Ukuran sel yang besar memungkinkan parasit dapat menyimpan cadangan
energi yang lebih banyak untuk proses pembelahan sel. Pada perlakuan suhu
rendah, proses pembelahan sel diduga melambat dan mencegah proses
pembentukan sel tomite, sehingga tersedia energi yang cukup bagi parasit untuk
tetap bertahan hidup pada suhu rendah selama berada di luar tubuh inangnya.
Terdapat hubungan lurus antara ukuran sel trophont dengan viablitasnya,
dimana sel trophont yang ukurannya lebih kecil dari 95 µm tidak akan mampu
bertahan di luar tubuh inangnya (Dickerson 2006). Dalam penelitian ini, parasit
yang digunakan adalah parasit dengan ukuran minimal 350 µm sehingga mampu
bertahan selama beberapa hari. Pengamatan pada hari ke-14 menemukan hanya
sel parasit yang berukuran minimal 600 µm yang terlihat masih hidup.
Kelangsungan hidup parasit yang rendah pada penelitian ini diduga
disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu keterbatasan energi dan pengaruh
suhu. Pemisahan parasit dari inangnya mengakibatkan tidak adanya suplai energi
dari luar tubuh parasit dan memaksa parasit menggunakan cadangan energi yang
ada untuk bertahan hidup. Kemampuan membentuk kista dan cadangan lipid
diduga sangat menentukan kemampuan bertahan parasit saat meninggalkan inang
(Ewing dan Kocan 1986). Jumlah energi yang terbatas dan sangat ditentukan oleh
ukuran parasit akan menentukan berapa lama parasit tersebut mampu bertahan di
luar tubuh ikan.
Terdapat perbedaan fisiologi antara parasit I. multifiliis yang menginfeksi
ikan pada daerah subtropik dengan I. multifiliis yang menginfeksi ikan di daerah
tropik. Perbedaan fisiologi tersebut diduga berkaitan dengan kemampuan toleransi
parasit pada suhu inang dan suhu lingkungannya (Dickerson 2006). Penelitian
yang dilakukan oleh Noe dan Dickerson (1995) membuktikan parasit mampu
bertahan pada tubuh inangnya selama 20,4 hari, jauh lebih lama dibandingkan
18
perlakuan kontrol 5-6 hari walaupun suhu diturunkan pada 9°C. Hal ini menjadi
dugaan bahwa parasit I. multifiliis strain subtropik bertahan selama musim dingin
dengan cara tinggal lebih lama pada tubuh inangnya dan berkembang jauh lebih
lambat.
Penelitian terkait pada perlakuan suhu yang dilakukan oleh beberapa
peneliti (Noe dan Dickerson 2006; Dan et al. 2009) masih menggunakan kisaran
suhu yang secara alami terjadi dalam siklus satu tahun di perairan setempat. Hal
ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis karena menggunakan
suhu 9°C yang jarang sekali terjadi di perairan daerah tropik sehingga
kelangsungan hidup parasit hanya 35% saja setelah 14 hari perlakuan. Diduga
parasit yang merupakan isolat tropik ini tidak mampu bertahan hidup lebih lama
pada suhu 9°C.
4.2
Persentase Encystment
Kolom encystment pada Tabel 1 menunjukkan bahwa suhu rendah hanya
mampu menunda proses encystment (pembentukan kista) pada sel thropont pada
hari pertama pengamatan (Gambar 5a) akan tetapi tidak mampu mencegah proses
tersebut pada hari selanjutnya. Sel parasit yang dipelihara, melakukan inisiasi
pembentukan kista pada hari ke-2 sebesar 86%, dan akhirnya pada hari ke-3,
seluruh parasit yang dipelihara dalam suhu rendah sudah dalam stadia tomont
(Gambar 5b).
a)
Gambar 5.
200 µm
b)
200 µm
(a). Parasit pada stadia thropont pada perlakuan suhu rendah pada
hari pertama. (b). Pada hari kedua sel parasit sudah memulai
membentuk kista (panah hitam) dan melakukan inisiasi
pembelahan sel (panah putih).
Proses encystment berjalan dengan normal setelah sel parasit diinkubasi
pada suhu optimal 27°C. Pengamatan ini sesuai dengan hasil penemuan Dickerson
19
(2006), bahwa proses pembentukan kista dapat ditunda secara temporer dengan
mengkondisikan parasit pada media air yang bersuhu di bawah 10°C, namun akan
segera pulih kembali jika parasit dikondisikan pada suhu 21-23°C. Pembentukan
kista diduga sebagai salah satu mekanisme bertahan bagi parasit untuk mencegah
pengaruh lingkungan luar terhadap proses pembelahan biner yang terjadi di dalam
sel, seperti infeksi oleh bakteri dan fungi, atau predasi oleh protozoa lainnya
(Dickerson 2006).
4.3
Persentase Excystment
Berdasarkan nilai persentase excystment yang terdapat pada Tabel 1, terlihat
bahwa proses excystment tidak terjadi selama parasit dipelihara dalam suhu
rendah walaupun telah terjadi pembelahan sel pada sebagian parasit. Excystment
hanya terjadi pada sel parasit setelah diinkubasi pada suhu 27°C. Diawali dengan
penyempurnaan pembelahan sel hingga pembentukan sel tomite, selanjutnya sel
tomite berusaha keluar dari sel induk dengan cara menembus dinding kista.
Perbedaan proses excystment di antara perlakuan suhu rendah dapat dilihat pada
Gambar 6.
a)
Gambar 6.
200 µm
b)
200 µm
(a) Proses lepasnya sel theront dari kista (excystment) setelah 24
jam inkubasi sel parasit pada hari pertama, dan (b) proses
excystment dari parasit pada perlakuan suhu rendah hari ke-14.
Secara umum seluruh sel parasit yang dipelihara selama 7 hari pertama
mampu menyempurnakan proses excystment (100%) dimana sel tomite yang
ukurannya seragam mulai bergerak untuk memecah dinding kista pada beberapa
bagian sel tomont (Gambar 6a). Akan tetapi kemampuan tersebut semakin
menurun dengan bertambahnya hari perlakuan dimana pada akhir pengamatan
yaitu pada hari ke-14, hanya 33,33% dari parasit yang diinkubasi pada suhu 27°C
yang mampu melakukan proses excystment. Selain menurunnya persentase
20
excystment, waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses excystment juga
lebih panjang (36-48 jam) dibandingkan pada perlakuan kontrol (18-24 jam)
dengan ciri ukuran tomite yang tidak seragam dikarenakan tidak serentaknya
proses pembelahan sel (Gambar 6b).
Perlakuan pada suhu diduga telah menekan metabolisme parasit dan
bertambahnya waktu pemeliharaan di luar tubuh inang juga telah memaksa parasit
untuk menggunakan cadangan energi yang lebih besar selama bertahan hidup,
sehingga mengurangi cadangan energi yang dibutuhkan oleh sel tomite untuk
proses excystment.
4.4
Abnormalitas Parasit
Abnormalitas dalam pengamatan ini dicirikan dengan sel tomite yang tidak
mampu menembus dan keluar dari kista setelah inkubasi selama 24 jam dalam
suhu 27°C, mobilitas sel theront yang lemah, atau berputar-putar di tempatnya
saja. Beberapa perbedaan abnormalitas sel parasit pada hari perlakuan yang
berbeda dapat dilihat pada Gambar 7.
a)
400 µm
Gambar 7.
b)
250 µm
c)
200 µm
(a). Sel theront normal berenang meninggalkan kista yang sudah
kosong. (b) Sel tomite abnormal yang gagal menembus kista dari
parasit yang dipelihara pada suhu rendah selama 8 hari. (c)
Beberapa sel tomite abnormal pada perlakuan suhu rendah pada
hari ke-14.
Berdasarkan Tabel 1 pada kolom abnormalitas sel, diketahui bahwa
abnormalitas sel parasit terdeteksi pada hari ke-4 dan jumlahnya semakin
meningkat hingga pada hari ke-14. Suhu rendah diduga telah mengakibatkan
distribusi energi pada sel tomite menjadi tidak merata atau energi yang
didistribusikan tidak mencukupi bagi sebagian sel tomite untuk melepaskan diri
dari kista. Pada sel yang sehat sel parasit akan meninggalkan induk dalam 24 jam
21
tanpa adanya sel tomite yang tersisa (Gambar 7a). Sementara sel parasit abnormal
terlihat menyisakan beberapa sel tomite dalam kista sel induk (Gambar 7b) dan
jumlahnya semakin banyak dengan bertambahnya hari pengamatan (Gambar 7c).
Sel theront diyakini tidak memanfaatkan energi dari luar karena vokuola
makanan hanya terbentuk sempurna sesaat setelah sel theront mampu menginfeksi
dan berkembang menjadi sel trophont pada tubuh ikan (Dickerson 2006). Oleh
karena itu energi pada sel theront adalah energi yang terbatas dan hanya
didapatkan dari sel induknya. Pemanfaatan cadangan energi oleh sel induk agar
tetap dapat hidup selama pemeliharaan pada suhu rendah mungkin telah
mengurangi jumlah energi yang didistribusikan kepada sel anakan (tomite).
Mobilitas sel theront yang rendah selain dimungkinkan oleh kekurangan
energi, juga dapat disebabkan oleh cacat morfologi. Penelitian yang dilakukan
Dan et al. (2009) pada parasit Cryptocaryon irritans menunjukan terjadinya
peningkatan persentase sel theront yang cacat morfologi dengan bertambahnya
hari pemeliharaan pada suhu rendah. Cacat ini mengakibatkan menurunnya
infektifitas parasit pada ikan uji. Pada penelitian ini cacat morfologi (deformity)
tidak diamati, namun tidak menutup kemungkinan bahwa rendahnya mobilitas sel
theront dapat disebabkan oleh bentuk sel yang cacat akibat pemeliharaan pada
suhu rendah di luar tubuh inangnya.
4.5
Uji Infektifitas Sel Theront
Infektifitas parasit yang dihasilkan dilihat dari nilai prevalensi parasit dari
ikan uji yang diinfeksi oleh sel theront yaitu pada ikan bawal air tawar C.
macropomum dan ikan black molly P. sphenops. Uji dilakukan pada dua suhu
berbeda, yaitu pada suhu 27±2°C yang mendekati suhu alami pada kolam
budidaya dan suhu yang lebih rendah 23-24°C. Nilai prevalensi parasit disajikan
pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai prevalensi parasit I. multifiliis pada ikan uji bawal air tawar dan
black molly yang diinfeksi dengan sel theront
Jenis ikan
Suhu infeksi
Bawal air tawar
Black molly
Prevalensi Parasit
kontrol
suhu rendah
27±2°C
100%
40%
23-24°C
80%
50%
22
Ikan uji menunjukan gejala penyakit white spot setelah 7 hari infeksi, baik
pada ikan bawal air tawar yang diinfeksi pada suhu 27°C maupun pada ikan black
molly yang diinfeksi pada suhu 23-24°C. Hal tersebut menunjukan bahwa suhu
23-27°C merupakan kisaran suhu yang masih mendukung proses infeksi.
Hasil perhitungan prevalensi yang disajikan pada Tabel 2 menunjukkan
bahwa nilai prevalensi parasit perlakuan jauh lebih rendah jika dibandingkan pada
parasit kontrol. Rendahnya nilai prevalensi parasit pada ikan bawal dan ikan black
molly (40 dan 50%) yang diinfeksi parasit dari perlakuan suhu rendah (9±2°C)
diduga disebabkan oleh tingginya abnormalitas sel parasit I. multifiliis setelah
pemeliharaan selama 14 hari. Abnormalitas sel mempengaruhi jumlah sel tomite
yang mampu berdiferensiasi menjadi theront. Sedangkan abnormalitas pada sel
theront selanjutnya akan mempengaruhi kemampuan sel theront dalam
menginfeksi inang karena mengurangi mobilitas sel dalam mencari inang dan
menginfeksinya. Dalam kondisi sel dan suhu inkubasi normal, diperkirakan hanya
50% saja dari populasi sel theront mampu menginfeksi inang, terutama pada
bagian insang ikan (Ewing et al. 1986).
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan selama proses infeksi, diketahui
bahwa ikan uji mulai menunjukkan perubahan tingkah laku pada hari ke-3 dimana
beberapa ekor ikan terlihat lebih sering diam di dasar akuarium. Pada hari ke-5
beberapa bagian tubuh ikan uji tertutup oleh mukus yang berlebihan dan
menyerupai selaput tipis. Produksi mukus ini merupakan salah satu mekanisme
non spesifik ikan untuk membatasi infeksi parasit (Dickerson 2006). Beberapa
gejala lain yang teramati adalah merenggangnya sisik, dan menyatunya lembaran
sirip punggung ikan. Titik putih (white spot) mulai terlihat pada hari ke-7 yang
kepadatannya berbeda-beda pada setiap ikan dan semakin jelas pada hari ke-9.
Titik putih tersebut tersebar merata mulai dari ekor hingga kepala ikan
(Gambar 8) dan berisi satu atau lebih sel trophont.
23
2,5 mm
mm
Gambar 8.
Ikan black molly Poecilia sphenops setelah diinfeksi dengan sel
theront yang berasal dari parasit yang telah dipelihara selama 14
hari pada suhu rendah.
Sel theront sesaat setelah berhasil menginfeksi akan menembus lapisan
basal epidermis ikan dan berdiferensiasi menjadi sel trophont. Selanjutnya sel
trophont yang dilengkapi vokuola makanan akan berotasi dan bergerak dalam pola
amoeboid untuk menggerus dan memakan sel dan debris dari luka yang
dihasilkan. Titik putih yang terlihat sebagai gejala white spot pada ikan
sebenarnya berasal dari parasit yang mengisi ruang pada jaringan kulit (Dickerson
2006). Ruang ini biasanya diisi oleh satu sel trophont namun beberapa kasus dapat
ditemui lebih dari satu sel trophont hidup bersama-sama di dalam ruang tersebut.
Infestasi parasit pada sirip dan insang ikan bawal dapat dilihat pada Gambar 9.
a)
Gambar 9.
b)
c)
Infestasi sel trophont pada ikan bawal yang terinfeksi ringan oleh
parasit I. multifiliis pada a) sirip dada, b) sirip ekor, dan c) insang.
Titik hitam merupakan sel trophont yang teramati pada perbesaran
40x.
24
Pada ikan yang menunjukan infeksi ringan, titik putih hanya terlihat dengan
jelas pada sirip dada dan ekor ikan uji (Gambar 9a dan 9b). Namun saat dilakukan
pengamatan pada bagian insang, terlihat intensitas parasit pada bagian insang jauh
lebih tinggi dibandingkan pada bagian lainnya (Gambar 9c). Hal ini
mengindikasikan bahwa sel infektif (sel theront) memiliki preferensi lokasi
tertentu dalam menginfeksi ikan dalam hal ini insang ikan.
Ikan uji yang digunakan mengalami kematian untuk pertama kalinya pada
hari ke-8 pasca infeksi. Selanjutnya secara bertahap, nilai akumulasi kematian
mencapai 100% pada hari ke-14 pasca infeksi. Kematian massal pada ikan yang
terinfeksi diduga lebih dikarenakan gejala hipoksia dan keracunan amoniak yang
merupakan indikasi kegagalan fungsi utama insang akibat kerusakan yang
ditimbulkan oleh infeksi parasit I. multifiliis (Dickerson 2006).
Dalam memilih organ target dan bertahan terhadap sistem imunitas inang,
parasit memiliki beberapa strategi yaitu memilih area yang kompetensi
imunitasnya lemah atau memanfaatkan mekanisme imunitas inang (Bobadilla
2008). Parasit I. multifiliis memilih area atau organ yang kompetensi sistem
imunitasnya lemah dalam hal ini insang diduga karena beberapa alasan. Pertama,
secara alami lapisan lendir pada insang jauh lebih tipis untuk memastikan insang
dapat melakukan pertukaran oksigen dan karbondioksida lebih efisien, namun hal
tersebut secara bersamaan akan mengurangi proteksi sistem imunitas pada insang
ikan. Kedua, adanya pertukaran volume air akan membantu parasit dalam
melakukan infestasi pada insang menjadi jauh lebih mudah (Dickerson 2006).
Selain itu parasit I. multifiliis juga memiliki strategi memanfaatkan sistem
imunitas ikan untuk keuntungannya sendiri, dimana produksi lendir yang
berlebihan akan mengurangi mobilitas antibodi dan elemen imunitas lainnya
dalam memburu parasit I. multifiliis (Bobadilla 2008).
Mekanisme kematian pada ikan dalam kasus ini merupakan mekanisme
pertama, dimana parasit mengakibatkan kerusakan secara langsung pada sistem
vital ikan (Xu et al. 2011) seperti osmoregulasi, respirasi, dan ekskresi amoniak.
Infeksi yang berlanjut akan mengakibatkan inang mengalami hipoksia dan
keracunan amoniak yang berujung pada kematian massal suatu populasi ikan
(Dickerson 2006).
Download