Judul Siauw Giok Tjhan

advertisement
Siauw Giok Tjhan
Orang Indonesia
100 Tahun
Yayasan Teratai
2014
Judul
Siauw Giok Tjhan
Orang Indonesia
100 Tahun
Penerbit: Yayasan Teratai
Pengantar: Siauw Tiong Djin
Desain Cover: Chan Chung tak
ISBN:
Memperbanyak dengan fotokopi atau bentuk reproduksi lain
apapun tidak dibenarkan , kecuali dengan izin penerbit.
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
All Right Reserved
Daftar Isi
Kata Pengantar
1
Siauw Giok Tjhan
Menuju Indonesia Yang Baik
8
Go Gien Tjwan
Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku
81
Siauw Tiong Djin
Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan
97
John Roosa
Siauw Giok Tjhan dan Negara Hukum
146
Leo Suryadinata
Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan Nasion Indonesia dan Suku Tionghoa
164
Benny Setiono
Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di Bidang
Pendidikan
202
Zhou Nan Jing
100 tahun Siauw Giok Tjhan
211
Asvi Warman Adam
Seabad Siauw Giok Tjhan
227
Stanley Adi Prasetyo
Menjadikan Warga Keturunan Tionghoa
Sebagai Indonesia Sejati
239
Putu Oka Sukanta
Si Rambut Putih yang Selalu Ceria
252
Siauw May Lie
Pendekatan Siauw Giok Tjhan Dalam
Penyelesaian Masalah Tionghoa
258
Soe Tjen Marching
Siauw Giok Tjhan
262
Bonnie Triyana
Masa Depan Siauw Giok Tjhan
269
Harry Bhaskara
Mengenang Siauw Giok Tjhan
286
Candra Jap
Siauw Giok Tjhan Yang Sudah Tak Dikenal
294
Shi Xue Qin
Peran Majalah Chiao Xing
310
Huang Shu Hai
Siauw Giok Tjhan: Siap Berkorban Demi
Kepentingan Negara, Pantang Mundur
Menghadapi Kesulitan Dan Penderitaan
327
Hiski Darmayana
Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam
Sejarah
338
Chan Chung Tak
Fakta Perjuangan Tak Bisa Dihapus
348
Tan Swie Ling
Guru Sejati Kebangsaan-ku
360
Tempo 6 April 2014
Ke-Indonesiaan Siauw Giok Tjhan
397
Tan Sien Tjhiang
Siauw Giok Tjhan Dalam Kenangan
418
Nancy Widjaja
Mengenang Siauw Giok Tjhan
420
Nurdiana
Sajak Siauw Giok Tjhan 100 tahun
425
Zhou Nan Jing
Balada Juang Siauw Giok Tjhan
428
Sajak-Sajak:
100 Tahun
(1914 - 2014)
Siauw Giok Tjhan - Orang Indonesia
1914 - 1981
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
Kata Pengantar
Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang
dikumpulkan dalam rangka memperingati hari ulang tahun
Siauw Giok Tjhan ke 100. Ia lahir pada tanggal 23 Maret 1914
dan meninggal pada tanggal 20 November 1981.
Dari namanya, orang mudah mengetahui bahwa
Siauw adalah seorang Indonesia keturunan Tionghoa. Akan
tetapi tulisan-tulisan dalam buku ini menunjukkan bahwa
walaupun ia adalah seorang keturunan Tionghoa, tindak
tanduk dan komitmen perjuangannya menunjukkan bahwa
ia patut dicatat sejarah sebagai seorang patriot Indonesia
sejati. Seorang Indonesia yang gigih memperjuangkan
pemba-ngunan nasion Indonesia yang pluralistik, yang berBhinneka Tunggal Ika dan yang bebas dari segala bentuk
perbedaan yang tidak adil, termasuk atas dasar keturunan.
Ruang
lingkup
perjuangannya
jauh
melebihi
penyelesaian masalah minoritas. Dengan penuh komitmen
atas ditegakkannya Rule of Law dan demokrasi di Indonesia,
ia berjuang sebagai anggota lembaga-lembaga legislatif –
DPR, MPR dan DPA dan beberapa institusi penting lainnya
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan
makmur.
Walaupun karena prinsip dan komitmen politiknya
ia berkali-kali meringkuk dalam penjara tanpa proses
pengadilan apapun – terakhir selama 12 tahun di zaman
pemerintahan Suharto, dari tahun 1965 hingga 1978 -- ia
tetap teguh dengan prinsipnya dan positif dengan keyakinan
bahwa perjuangan rakyat Indonesia membentuk nasion
Indonesia yang bebas dari diskriminasi rasial dan mencapai
1
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
demokrasi akan tercapai.
Peringatan hari ulang tahun ke 100-nya mendorong
kita untuk menghargai warisan politik yang ditinggalkannya:
Kewarganegaraan Indonesia
Kehadiran Tan Ling Djie -- sekretaris jendral Partai Sosialis
sekaligus guru politik Siauw dari zaman PTI -- dan Siauw
sebagai wakil-wakil Partai Sosialis di KNIP dan Badan Pekerja
KNIP memungkinkan dikeluarkannya UU kewarganegaraan
46 yang isinya sesuai dengan apa yang diperjuangkan PTI
sejak tahun 1932, yaitu semua orang yang lahir di Indonesia,
dari keturunan asing termasuk Tionghoa, India, Arab dan
Eropa, adalah warga negara Indonesia.
Sejak tahun 1946, Siauw duduk sebagai anggota
badan legislatif yang kemudian berbentuk DPR di zaman
RIS dan NKRI, hingga ia dipecat dengan hormat oleh rezim
Suharto pada tahun 1966.
Di zaman Demokrasi Parlementer Ia berkembang
sebagai politikus ulung di parlemen, memimpin sebuah fraksi
yang cukup berpengaruh, Fraksi Nasional Progresif, terdiri dari
banyak partai nasionalis seperti SKI, PRN, PIR dan Murba dan
beberapa tokoh tidak berpartai seperti Moh. Yamin dan Iwa
Kusumasumantri.
Di masa ini karena dukungan fraksi-nya dan banyak
tokoh nasionalis lainnya, ia berhasil membatalkan berbagai
RUU yang bersifat rasis atau kalau gagal membendung RUU
tersebut, membatasi dampak UU rasis yang keluar.
Yang terpenting adalah keberhasilannya membatalkan
RUU kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain
untuk membatalkan UU Kewarganegaraan 46 dan membuat
2
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
perubahan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan
antara RI dan RRT p[ada tahun 1955. Bilamana RUU dan
Perjanjian tanpa perubahan ini berhasil direstui DPR, jutaan
penduduk Tionghoa di Indonesia ketika itu akan berstatus
warga negara asing. Dan ini berarti jutaan Tionghoa di
Indonesia di masa kini kemungkinan besar akan tetap pula
berstatus asing.
Pengikisan Rasisme Melalui Pengembangan Konsep Integrasi
(multikulturalisme)
Puncak karier politik Siauw adalah pembentukan
Baperki dan dipilihnya ia sebagai ketua umum. Adanya
Baperki sebagai organisasi massa mempermudah ia untuk
menjangkau komunitas Tionghoa dan mempermudah
pelaksanaan keinginannya untuk mengajak komunitas
Tionghoa meng-integrasikan dirinya dalam semua bidang
yang berkaitan dengan pembangunan Nasion Indonesia.
Yang paling menonjol dari langgam perjuangan Siauw
adalah atribut perjuangan yang konstruktif, yang memba
ngun. Ia mengajak Baperki dan massanya untuk tidak
semata-mata berslogan anti rasisme, tetapi merumuskan dan
melaksanakan jalan keluar sehingga rasisme tidak memiliki
alasan hidup.
Dasar perjuangan Baperki adalah pembangunan
Nasion Indonesia yang bersandar atas Bhinneka Tunggal
Ika. Siauw berargumentasi bahwa Nasion Indonesia bukan
Indonesian Race. Nasion Indonesia adalah sebuah nasion
yang lahir karena terbentuknya Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Oleh karena itu Istilah Indonesia “asli” tidak
memiliki dasar hukum.
3
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
Yang mengisi kehadiran nasion Indonesia di wilayah
Indonesia secara hukum adalah kewarganegaraan
Indonesia. Karena pengertian Indonesia “asli” tidak
memiliki dasar hukum, UU dan peraturan pemerintah yang
membedakan warga negara Indonesia atas dasar “asli” dan
“non Asli”, menurut Siauw melanggar hukum.
Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
adalah nasion yang terdiri dari berbagai suku. Suku-suku
tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh nasion
Indonesia, dan mereka tetap hadir tanpa menghilangkan
ciri-ciri atau kebudayaan suku masing-masing.
Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mendorong
pemerintah dan masyarakat menerima keberadaan suku
Tionghoa. Sukarno dengan tegas mendukung konsep ini
dalam sambutannya di kongres Baperki pada tahun 1963.
KepPres 12 – 2014 secara resmi memulihkan istilah
Tionghoa dan Tiongkok, Istilah yang lahir dalam gerakan
nasionalisme Indonesia di awal abad ke 20. Sayangnya
KepPres ini tidak meresmikan pula istilah Suku Tionghoa yang
diperjuangkan oleh Baperki sejak tahun 50-an.
Konsep integrasi yang dicanangkan Baperki ternyata
diterapkan oleh banyak negeri maju di zaman modern dan
ia lebih dikenal sebagai paham multikulturalisme. Di Australia
dan Canada, pelaksanaan multikulturalisme di undangundangkan.
Pengembangan modal domestik – perpaduan sosialisme
dan kapitalisme
Oleh musuh politiknya Siauw selalu dinyatakan sebagai
seorang tokoh Komunis. Penelitian yang objektif menunjukkan
4
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
bahwa tuduhan ini tidak tepat. Siauw mendukung sosialisme
ala Indonesia yang dianjurkan Sukarno. Dalam konteks ini
ia sering bertentangan dengan para tokoh PKI tentang
pengertian modal domestik. Siauw sudah sejak tahun 50an mencanangkan konsep perkawinan sosialisme dan
kapitalisme. Yang dimaksud di sini adalah pembangunan
ekonomi sosialis yang bersandar atas pengembangan
modal domestik tanpa memperdulikan latar belakang ras
pemilik modal. Ia harapkan modal-modal dagang domestik
termasuk yang dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa
dibantu dan didukung pemerintah untuk berkembang demi
mempercepat pembangunan negara.
Ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh dari
pengembangan modal domestik akan disalurkan dalam
berbagai kegiatan membangun di dalam negeri. Berbeda
dengan sikap perusahaan multi nasional yang pada umumnya
menyirap kekayaan alam dan keuntungan dibawa ke luar.
Keberadaan Siauw di DPA, MPRS dan DPR
memungkinkan konsep ini masuk ke dalam GBHN (Garis Besar
Haluan Negara) yang diresmikan MPRS pada tahun 1964.
Pendidikan Komunitas dan siswa Tionghoa untuk menerima
Indonesia sebagai tanah air
Melalui Baperki, Siauw mendorong komunitas Tionghoa
dan para siswa-nya untuk menerima Indonesia sebagai
tanah airnya.
Pimpinan Baperki mengajak para anggotanya
dan komunitas Tionghoa untuk aktif meng-integrasikan
dirinya ke dalam berbagai bidang, untuk tidak berpeluk
tangan melihat pembangunan negara dan untuk secara
5
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
aktif melawan arus rasisme dengan tindakan-tindakan
membangun.
Pendidikan di ratusan sekolah Baperki yang tersebar
di banyak kota besar dan di kampus-kampus Universitas
Res Publica menekankan betapa pentingnya komunitas
Tionghoa mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia,
belajar untuk menjadi warga negara Indonesia yang berguna
untuk pembangunan nasion Indonesia.
Para siswa Baperki dianjurkan untuk belajar
berorganisasi. Belajar berdikari. Bahkan beberapa gedung
kampus Ureca dibangun sendiri oleh para mahasiswanya.
Komunitas Tionghoa berserta para cendekiawannya diajak
untuk bergotong royong mengembangkan universitas swasta
yang terbesar dan berkualitas tinggi di Indonesia ketika itu.
Walaupun umur Baperki relatif pendek – hanya
11 tahun, akan tetapi dampak pendidikan bernuansa
politik ini cukup besar. Sebagian besar anggota dan siswa
Baperki berkembang sebagai orang-orang yang mencintai
Indonesia, menjadi warga-warga negara yang berguna
untuk masyarakat Indonesia. Sayangnya teror yang dilakukan
oleh negara melahirkan trauma berkepanjangan untuk para
anggota dan siswa Baperki.
Akan tetapi Ketika Suharto lengser pada tahun
1998, banyak mantan mahasiswa Ureca atau anggota PPI
(Pemuda Baperki), terlatih semasa oleh pendidikan dan
asuhan Baperki, bisa mengambil inisiatif untuk mendirikan
dan memainkan peranan penting dalam berbagai organisasi
Tionghoa, di antaranya Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy
Widjaja dll.
Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini berguna untuk
lebih mengenal Siauw Giok Tjhan dan apa yang ia perjuang
6
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kata Pengantar
kan, terutama untuk generasi muda, sehingga bisa
dijadikan salah satu pelajaran berguna dalam melangkah
ke depan.
Penerbit menggunakan kesempatan ini untuk
menyatakan terima kasih kepada para penulis yang
menyumbangkan tulisan dan kepada semua pihak yang
telah bekerja keras membantu penerbitan buku ini.
Saya
sepenuhnya
bertanggung
jawab
atas
kekurangan atau kesalahan yang dibuat dalam upaya
penyunti ngan tulisan-tulisan di buku ini.
Penyunting
Siauw Tiong Djin
November 2014.
7
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Menuju Indonesia Yang Baik1
Siauw Giok Tjhan
Pendahuluan
Ketika Utusan Presidium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI)
di Belanda menghubungi saya untuk memberi ceramah pada
Seminar ini, Seminar yang bertema: “Menuju Indonesia Yang Baik,
implikasi sosial ekonomi bangsa terhadap kedudukan minoritas”,
saya telah menyanggupi untuk menceritakan pengalaman
saya. Pengalaman seorang yang pernah mengenal dari dekat
berbagai tokoh perintis pejuang kemerdekaan dan setelah
proklamasi kemerdekaan diikut sertakan untuk mewujudkan citacita yang telah ditetapkan Proklamasi Kemerdekaan Republik
Indonesia.
Dan sekarang generasi muda, calon-calon pemimpin
Indonesia harus bisa melanjutkan perjuangan generasi tua yang
belum selesai itu, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara
anggota masyarakat dunia yang baik.
Kalau menurut cita-cita saya sendiri, kualifikasi “yang baik”
seharusnya
ditingkatkan
menjadi
“yang
dibanggakan”.
Dibanggakan sebagai sumbangannya pada umat manusia
di dunia dalam mewujudkan masyarakat yang bersih dari
penindasan dan penghisapan, mewujudkan masyarakat yang
adil dan makmur. Sebagaimana rumusan tegas dari tekad Rakyat
Indonesia yang ditetapkan dalam “Pembukaan” UUD 1945,
yaitu: “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”
Dalam hubungan dengan pernyataan itu, baik juga
1 Ini adalah makalah yang dipersembahkan Siauw Giok Tjhan dalam seminar
yang diselenggarakan oleh PPI di Amsterdam pada bulan Serptember 1981.
8
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
dikemukakan pengalaman saya sebagai salah seorang anggota
utusan RI pada permulaan tahun 1947 ke Inter Asian Conference
pertama di New Delhi-India. Tindakan Rakyat Indonesia untuk
memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya dengan disertai
pernyataan tersebut, ternyata benar dikagumi oleh para utusan
rakyat-rakyat berbagai negeri Asia yang hadir dalam musyawarah
itu. Setiap kali delegasi Indonesia memasuki ruang sidang,
memperoleh sambutan yang luar biasa hangatnya. Sehingga
menimbulkan rasa bangga pada setiap anggota delegasi RI.
Karena rakyat Indonesia dianggap sebagai pelopor
di Asia untuk memproklamasikan kemerdekaan dan dengan
kesanggupannya membantu rakyat-rakyat negara lain untuk
membebaskan diri dari penindasan kolonialisme, mencapai
perdamaian abadi yang bersih dari nafsu saling tindas menindas
dengan melaksanakan keadilan sosial merata di dunia.
Peristiwa yang membanggakan ini, tentu harus disertai
dengan tantangan untuk mempertahankan penghargaan yang
telah diperolehnya itu.
Selanjutnya, Presidium PPI di Belanda dalam suratnya
menyatakan,
minoritas
supaya
umumnya
saya
dan
bisa
suku
membahas
Tionghoa
kedudukan
khususnya
dalam
masyarakat Indonesia di zaman pemerintah Sukarno dan di
zaman pemerintah Suharto sekarang ini. Kalau menurut surat itu,
pembahasan hendaknya menjawab problem-problem sebagai
berikut:
1. Apakah
perbedaan
gerak
ekonomi
dari
suku
Tionghoa dalam zaman Sukarno dan zaman Suharto?
Apakah ada pengaruh dari kapitalisme?
2. Bagaimana kedudukan suku Tionghoa yang ekonomi
lemah dalam kedua zaman tersebut?
3. Bagaimana sebaiknya pemecahan masalah tersebut
9
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
dilihat dari segi formal, konstitusi dan hukum?
Membaca surat tersebut, saya menjadi gembira. Gembira,
karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki,
ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukan, bahwa istilah
“suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan
oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada
pembukaan Kongres BAPERKI di Jakarta, tanggal 14 Maret 1963.
Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu
adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan
kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai
salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia.
Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari
masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat
Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai salah satu suku,
peranakan Tionghoa wajib diperlakukan sama sebagaimana
suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Dengan sikap inilah Bung
Karno menegaskan: bahwa yang terpenting adalah mengerahkan
seluruh kemampuan suku-suku untuk mempercepat pemba
ngunan masyarakat adil dan makmur, yang secara merata de
ngan memperkokoh perasaan diperlakukan sama antara semua
warganegara Indonesia. Ganti nama dan kawin campuran yang
sekarang dikatakan kawin silang adalah masalah pribadi masingmasing orang berdasarkan kemauan dan keinginan pribadi ma
sing-masing. Pemerintah tidak seharusnya ikut campur dalam
masalah pribadi ini.
Sengaja penjelasan Presiden Sukarno ini dikemukakan
dalam pendahuluan, karena penjelasan itu dijadikan landasan
pendirian-pendirian sebagai berikut:
1. Masalah minoritas etnis adalah masalah nasional dan oleh
10
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
karenanya tidak bisa diselesaikan oleh golongan minoritas
bersangkutan secara tersendiri.
2. Untuk mencapai penyelesaian bijaksana, baik dan
efektif bagi persoalan minoritas etnik perlu pengerahan
kemampuan
keadilan
untuk
merata
mewujudkan
dengan
kemakmuran
terbentuknya
dan
imbangan
kekuatan2 politik nasional yang sanggup merealisasi
kedaulatan di tangan rakyat secara efektif dengan selalu
mendahulukan kepentingan rakyat secara keseluruhan
diatas kepentingan golongan atau pribadi yang manapun
juga.
3. Karena di dalam pengalaman sering terbukti, bahwa
masalah
minoritas
“dongkrak”
untuk
etnik
dapat
menimbulkan
digunakan
sebagai
persoalan-persoalan
yang merugikan kepentingan nasional, maka perlu
adanya usaha untuk menciptakan iklim internasional,
sebagai faktor ekstern, yang favorable bagi penyelesaian
masalah minoritas etnis, terutama timbulnya iklim politik
internasional yang menguntungkan dipertegak-kokohkan
hak azasi manusia (HAM) dan pelaksanaannya secara
efektif.
Dengan landasan pendirian demikian inilah, saya akan
mencoba membahas apa yang diminta oleh Presidium PPI se
bagaimana suratnya yang dikutip diatas, walaupun dengan
urutan persoalan yang mungkin bisa menyimpang.
Sejarah Memupuk Rasa Bersatu
Memperhatikan bangkitnya kesadaran nasional dan di
mulainya usaha menyusun kekuatan rakyat untuk mencapai
kemerdekaan nasional, orang tentu melihat bahwa Indische Partij
11
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
yang dibentuk oleh tiga serangkai, Dr. Tjipto Mangunkusumo; Ki
Hajar Dewantoro dan Dowers Dekker, adalah organisasi politik
pertama di Indonesia yang mempunyai konsepsi paling menyeluruh
mengenai wilayah dan mereka yang wajib dinyatakan sebagai
warganegara dan usaha mencapai Kemerdekaan politik penuh.
Sejak tahun 1912, adanya konsepsi Indische Partij itulah diakui
bahwa, hak seseorang yang dilahirkan di Indonesia dan dibesarkan
di Indonesia untuk menentukan kewarganegaraan. Jadi prinsip
pikiran ini adalah jus soli dalam menentukan kewarganegaraan.
Prinsip ini tidak pernah disanggah oleh partai-partai politik yang
lahir di kemudian hari, sampai sekarang.
Kenyataan ini patut diperhatikan. Di dalam pembentukan
Partai Komunis Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia dan Partai
Nasional Indonesia tidak pernah dengan tegas mengemukakan
perbedaan warganegara berdasarkan keturunan, sehingga
partai-partai pelopor di Indonesia ini umumnya memperoleh
dukungan dan simpati semua golongan suku yang ada di
Indonesia. Tidak pernah mengemukakan masalah “asli” atau
“pribumi” harus didahulukan kepentingannya. Dan juga tidak
pernah
mempersoalkan orang-orang peranakan asing harus
puas dengan perlakukan sebagai “anak ngenger”.
Ketika partai-partai politik tersebut dipukul oleh penjajah
Belanda, di antara mereka yang ditangkap polisi penjajah
Belanda, terdapat juga orang-orang peranakan asing. Menurut
keterangan orang-orang yang pernah dibuang ke Digul oleh
penjajah Belanda, hampir dalam setiap rombongan yang dikirim
ke Boven Digul terdapat juga orang-orang peranakan Tionghoa,
orang-orang suku Tionghoa.
Baik juga dikemukakan apa yang saya ketahui dari Bung
Karno, bahwa pada persiapan pembentukan PNI dan Partindo, ia
juga memperoleh bantuan dari teman-teman seperjuangan suku
12
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Tionghoa. Antara lain yang sering disebut namanya seperti Tan
Ping Tjiat dari Surabaya, Liem Seng Tee dari Pabrik Rokok-kretek
Djie Sam Soe dan Sempurna di Surabaya dan Liem Sui Chuan dari
Bandung. Kenyataan ini tentu menyangkal adanya pendapat
bahwa golongan Tionghoa pasif, golongan Tionghoa tidak
menyatukan diri dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia,
tidak senasib dengan rakyat Indonesia.
Kenyataan sejarah tidak bisa disangkal, adanya kesatuan
nasib, merasa senasib diantara banyak suku yang ada di Indonesia,
termasuk suku Tionghoa yang hidup di Indonesia.
Sementara orang mengatakan, bahwa Chung Hua Hui
sebagai partai politik berdiri di pihak penjajah Belanda. Memang,
ada organisasi atau partai politik yang memihak penjajah Belanda
dari suku Tionghoa demikian juga dari suku-suku lainnya. Tidak aneh.
Dan dengan meningkatnya kesadaran nasional, menimbulkan
juga organisasi-organisasi politik yang tegas memperjuangkan
kemerdekaan nasional. Atas anjuran Dr. Sutomo yang memimpin
PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), dibentuklah PTI (Partai Tionghoa
Indonesia) di bawah pimpinan Liem Koen Hian. Pembentukan
PTI dibantu oleh tokoh PBI, Junus D.Syaranamual. Kemudian
pembentukan PAI (Partai Arab Indonesia) yang dipimpin oleh
Abdulrachman Baswedan, juga terjadi dengan bantuan orangorang PBI dan PTI.
Ketika itu pembentukan partai-partai politik berdasarkan
keturunan dianggap perlu, karena ketentuan hukum penjajah
Belanda mengenal perbedaan hak2 dan kewajiban berdasarkan
perbedaaan asal keturunan.
Memang
adanya
partai-partai
politik
berdasarkan
ke-suku-an patut disayangkan. Tapi, kita harus bisa melihat
kenyataan sejarah, bahwa ini terjadi sebagai akibat politik
penjajah Belanda. Baru
pada
13
akhir
tahun
30-an
dengan
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
pembentukan Gerindo (Gerakan Nasional Indonesia) di bawah
pimpinan A.K.Gani, Moh.Yamin, Amir Syarifudin dan Wilopo
dimulai perlawanan terhadap organisasi-organisasi berdasarkan
keturunan, ke-suku-an.
Gerindo meletakkan dasar, yang menghidupkan kembali
pendirian Indische Partij bahwa, perbedaan suku tidak seharusnya
merintangi perkembangan terwujudnya persatuan bangsa di
Indonesia.
Rasa senasib dikembangkan, “sense of belonging” menjadi
lebih kuat. Tapi, penyerbuan militer Jepang mengganggu
perkembangan ini.
Ketika para perintis pejuang kemerdekaan memperoleh
kesempatan untuk memikirkan UUD negara Indonesia yang
hendak dibentuk, maka dihidupkan kembali pikiran-pikiran
tentang siapa yang bisa dinyatakan sebagai warganegara
Indonesia. Di mana perdebatan sudah dimulai dengan adanya
petisi Soetardjo di Volksraad pada akhir penjajahan Belanda
sebelum Perang Dunia-II. Adanya pikiran mengenai “Indonesise
Staatsburgerschap”, yang oleh Moh.Yamin diterjemahkan menjadi
“kewarganegaraan Indonesia”, sejak itulah kita mengenal adanya
istilah “Kewarganegaraan Indonesia” di dalam Volksraad.
Menjelang pidato “Lahirnya Panca Sila” dari Bung Karno,
terdapat perdebatan mengenai masalah Kebangsaan. Tokoh
Islam, KH Dahlan atau KH Mansjur, menyatakan berdasarkan
agama Islam tidak dapat menyetujui pembagian umat manusia
dalam kotak2 bangsa. Sedang Liem Koen Hian, mengkhawatirkan
ke-bangsaan bisa meluncur ke arah chauvinisme. Oleh karenanya,
Bung Karno di dalam pidatonya “Lahirnya Panca Sila” me
negaskan: bahwa “Sila Ke-Bangsaan dalam Panca Sila mengan
dung unsur kuat Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Oleh karenanya tidak akan mungkin meluncur ke arah
14
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
chauvinisme dan menentang rasisme”. Panca Sila menentang
rasisme dan chauvinisme, karena prikemanusiaan yang adil
dan beradab, tidak menentukan kemampuan seseorang atau
kepandaian seseorang berdasarkan asal-keturunan atau asal rasnya.
Timbul pertanyaan, kalau Panca Sila menentang rasisme,
mengapa UUD 45, pasal 6 ayat1, menentukan Presiden RI harus
orang “asli”?
Harus diingat bahwa ketika UUD 45 itu dirumuskan,
Indonesia masih berada di bawah kekuasaan militer Jepang. Jadi,
di antara perumus UUD timbul kekhawatiran kalau nanti militer
Jepang “menodong” rakyat Indonesia untuk menerima seorang
Jepang menjadi Presiden Indonesia. Semula, ada 2 syarat untuk
menjadi Presiden RI, yang pertama harus Islam dan kedua “asli”.
Tapi, syarat Islam akhirnya dicoret dalam musyawarah tanggal 18
Augustus 1945, berhubung dengan dicoretnya ketentuan di dalam
Pembukaan UUD yang menyatakan “penganut agama Islam
harus menjalankan syariat-syairat agamanya.” Hal ini bisa terjadi
atas usul dari Gd Pudja dari Bali yang didukung oleh Latuhary dari
Maluku dan Ratulangie dari Menado, dan demi memperkokoh
persatuan bangsa tidak memberi kedudukan istimewa pada
mereka yang beragama Islam. Mengingat di daerah-daerah
masih ada suku lain yang beragama Hindu-Bali, Kristen dan Katolik
yang harus dipersatukan dalam kesatuan Bangsa Indonesia.
Apakah dengan tidak dicoretnya syarat “asli” dalam pasal
6 ayat 1, UUD45 itu berarti “asli” harus diperlakukan lebih istimewa,
sedang yang dinyatakan “bukan asli” boleh di anak-tirikan?
Tidak! Di dalam rapat DPR-RI hasil pemilihan umum
pertama dan juga di konstituante, atas pertanyaan saya sebagai
Ketua BAPERKI, Perdana Menteri Juanda ketika itu menegaskan:
“adanya istilah ”asli“ dalam pasal 6 ayat 1, tidak boleh menjadi
15
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
alasan untuk mengadakan dan mempraktekkan diskriminasi
rasial.” , dan dinyatakan bahwa rumusan “asli” dalam pasal ini
hanyalah akibat keadaan sejarah ketika UU dirumuskan. Patut
juga dikemukakan, bahwa ketika itu pemerintah mengajukan
pada DPR dan Konstituante untuk mengesahkan kembali ke UUD1945 menurut aslinya, tanpa amandemen. Sehingga peraturan
peralihan yang sudah usang juga tidak dicoret.
Jadi, tidaklah benar dengan UUD 1945 ini Pemerintah lalu
dapat mengadakan atau mempraktekkan diskriminasi rasial
berdasarkan pasal 6 ayat 1 itu.
Memang, pada saat Proklamasi kemerdekaan dan pada
saat memperjuangkan tegak kokohnya Republik Indonesia yang
baru saja diproklamasikan, tidak mengenal adanya perbedaan
perlakuan
berdasarkan
perbedaan
keturunan.
Sebaliknya,
setiap orang tanpa memperhatikan asal keturunan yang hendak
dinyatakan sebagai warganegara Indonesia, dijanjikan akan
dikembangkan menjadi demokrat dan patriot Indonesia sejati,
yaitu seperti dinyatakan dalam Manifesto Politik R.I., 1 November
1945. Antara lain sbb: “...di dalam negeri kita akan melaksanakan
kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan
lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi
orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”
Untuk melaksanakan janji negara itu, Badan Pekerja dan
Pemerintah RI pada tanggal 10 April 1946 telah mengundangkan
UU Kewarganegaraan RI. UU Kewarganegaraan ini masih sangat
dipengaruhi oleh semangat Proklamasi kemerdekaan yang murni
dan berdasarkan:
1. Prinsip “Jus Soli”, tempat kelahiran yang menentukan.
Dasar yang ditetapkan sejak Indische Partij tahun 1912;
2. Stelsel Passief, yang berarti semua orang dan semua suku
menjadi warganegara pada saat yang sama. Dengan
16
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
demikian
tidak
menimbulkan
Siauw Giok Tjhan
istilah
“warganegara
Indonesia baru”, semua orang yang dilahirkan di Indonesia
dinyatakan menjadi warga-negara Indonesia, kecuali bagi
mereka yang menolak menjadi warga-negara Indonesia.
3. Mengindahkan hak menentukan nasib sendiri dengan
memberi kesempatan untuk menolak kewarganegaraan
Indonesia.
Kesempatan menggunakan hak repudiatie telah menga
lami perpanjangan dua kali dalam rangka usaha mengatasi
tuntutan pihak Kuo Min Tang yang ketika itu berkuasa di Tiongkok.
Mereka menuntut supaya stelsel passief diubah menjadi stelsel
aktief. Badan Pekerja tetap mempertahankan stelsel passief untuk
kepentingan security nasional dengan menekan rendah jumlah
orang asing di Indonesia. Disamping berpendapat stelsel passief
juga tidak menghapus hak menentukan nasib sendiri seseorang,
tetap memberikan kesempatan bagi mereka yang hendak
menolak kewarganegaraan Indonesia, tetap mempertahankan
demokrasi bagi setiap orang untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pendirian Badan Pekerja KNIP kemudian diperkokoh oleh
Perjanjian KMB mengenai pemisahan Kewarganegaraan.
Untuk memenuhi janji negara dalam Manifesto Politik RI itu, tentu
saja tidak cukup hanya dengan UU Kewarganegaraan. Diperluas
kesempatan berpartisipasi dengan jalan menambah jumlah
anggota KNIP keturunan asing, kemudian dekrit Presiden No.6
tahun 1946 membuat ketentuan yang menjamin perwakilan untuk
golongan kecil. Yaitu, jaminan perwakilan dalam KNIP 9 wakil
untuk peranakan Tionghoa; 6 wakil untuk peranakan Europa dan
3 wakil untuk peranakan Arab. Jaminan perwakilan ini diperluas
dengan di-ikutsertakan 3 macam peranakan di dalam Badan
Pekerja KNIP, disamping itu juga ada peranakan Arab menjadi
wakil Menteri Penerangan; peranakan Tionghoa menjadi Menteri
17
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Ne gara dan wakil Menteri Keuangan.
Suasana politik nasional dan imbangan kekuatan politik
nasional ketika itu ternyata memungkinkan adanya peraturanperaturan dan tindakan-tindakan yang mempercepat tumbuhnya
perasaan senasib dan “sense of belonging”. Tapi, suasana politik
international ketika itu tidak menguntungkan perkembangan
politik di dalam negeri. Golongan minoritas Tionghoa oleh penjajah
Belanda dijadikan “dongkrak” dalam usaha melaksanakan
perang urat-syaraf untuk merugikan kedudukan RI di dunia dan
juga untuk merusak persatuan nasional dalam mempertahankan
RI.
Menjadi Dongkrak Perang Urat Syaraf
Dalam rangka memulihkan kekuasaan, penjajah Belanda
menjalankan perang urat-syarat yang bertujuan meniadakan
simpati dunia terhadap RI, yang dinyatakan RI sebagai bikinan
militer Jepang. Untuk mengatasi ini, sistem kabinet yang semula
Presidentieel
diubah
menjadi
sistem
kabinet
parlementer,
membatalkan rencana PNI sebagai partai tunggal dengan tetap
membiarkan partai-partai politik yang ada hidup secara bebas.
Usaha penjajah Belanda dengan cap RI bikinan Jepang
bisa digagalkan, tapi penjajah Belanda tidak putus-asah.
Kemudian digunakanlah kedudukan minoritas etnis suku Tionghoa
se bagai “dongkrak” yang menimbulkan persoalan merugikan
RI. Apa sebab penjajah Belanda memilih golongan Tionghoa se
bagai “dongkrak” dalam perang urat-syarat?
1. Karena penjajah Belanda hendak menarik keuntungan
politik internasional, bila berhasil menarik Tiongkok berada
di pihaknya.
2. Karena diantara golongan minoritas etnis, peranakan
18
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Tionghoa termasuk yang terbesar jumlahnya dan tersebar
di seluruh ploksok Indonesia;
3. Tentu merupakan alasan praktis terpenting bagi penjajah
Belanda yang berusaha mencegah bantuan/sokongan
golongan Tionghoa dalam perjuangan mempertegakkokohkan RI. Yang jelas sejak Proklamasi kemerdekaan
RI, penjajah Belanda yang dibantu Angkatan Laut Inggris
mengadakan blokade perairan Indonesia. Ternyata,
perahu-perahu dan tongkang-tyongkang Tionghoa dari
Sumatra dan Singapore menjadi penjebol blokade itu.
Merekalah yang membawa hasil kebun dan hasil bumi
yang tertumpuk di-gudang-gudang ke Singapore dan
ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan RI dalam
perjuangan, termasuk senjata dan obat-obat-an yang
memang sangat diperlukan. Para pedagang peranakan
Tionghoa di pulau Jawa juga melakukan perdagangan
melewati garis demarkasi yang dapat menguntungkan
perjuangan Rakyat Indonesia ketika itu.
Di samping itu, kalau kita perhatikan semasa pendudukan
Jepang, pengusaha-pengusaha kecil peranakan Tionghoa juga
telah mengadakan usaha guna memenuhi kebutuhan rakyat
setempat. Dari kertas-merang; sikat-gigi; pasta; mesin-tulis; semirsepatu, sampai pada “kurma” yang dibikin dari buah blimbing
yang disaleh. Usaha kecil itu umumnya labour-intensive, yaitu
banyak
menggunakan tenaga kerja secara menguntungkan
ekonomi di-desa-desa dan kota-kota kecil. Juga, peredaran
barang-barang di daerah RI umumnya dilakukan oleh pengusahapengusaha peranakan Tionghoa yang memang berpengalaman
dalam distribusi barang kebutuhan rakyat, di samping juga
berpengalaman dalam menghimpun (koleksi) hasil pertanian
rakyat di-desa-desa.
19
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kegiatan-kegiatan
Siauw Giok Tjhan
tersebut
tentu
sangat
membantu
perkembangan ekonomi dalam usaha memperkokoh Republik
Indonesia yang baru merdeka. Dan perkembangan yang baik
ini tentu dirasakan sangat merugikan penjajah Belanda dalam
usaha memulihkan kekuasaan menjajah di Indonesia. Jadi, tidak
aneh kalau penjajah Belanda menjalankan perang urat-syarat
yang keji. Dan kenyataan, pihak RI dan pejuang2 RI yang kurang
pengalaman bisa termakan oleh perang urat-syarat penjajah
Belanda itu.
Peristiwa Tanggerang
Peristiwa pertama yang sangat mengejutkan. Tanggerang
merupakan daerah khas di pulau Jawa di mana telah terjadi
proses pembauran dalam arti luas sekali. Mereka yang dikatakan
“peranakan Tionghoa”, praktis sudah tidak terlihat lagi ciri-ciri etnis
Tionghoa-nya. Sebagian terbesar dari golongan etnis Tionghoa itu
hidup dari pekerjaan menggarap tanah, juga tingkat hidup yang
tidak berbeda dengan rakyat terbanyak ditempat itu. Perbedaan
yang ada kalau diteliti adalah, rakyat terbanyak setempat
umumnya beragama Islam, sedang golongan etnis Tionghoa
umumnya menganut agama Sam Kauw. Agama Sam Kauw
merupakan percampuran antara Konghucu, Buddha dan Tao,
yang bisa di lihat dengan adanya secarik kertas kuning dengan
huruf-huruf Tionghoa di depan pintu rumah mereka. Kertas-kuning
yang di dapat dari rumah berhala Bun Tek Bio di Tanggerang itu,
dimaksud untuk menolak setan pembawa penyakit dan sial.
Eksplosi
rasis
pertama
meletus
setelah
Proklamasi
Kemerdekaan RI di Tanggerang itu, justru mengandung unsur
perbedaan agama ini, memaksa “sunat massal” guna meng-Islamkan golongan etnis Tionghoa. Dengan alasan untuk “melindungi”
20
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
golongan etnis Tionghoa di Tanggerang, yang oleh penjajah
Belanda dinyatakan masih merupakan warganegara dari negeri
sekutu-Tiongkok, tentara Belanda menyerbu dan menduduki
Tanggerang dengan kekuatan militer yang lebih unggul.
Peristiwa Tanggerang ini oleh penjajah Belanda digunakan
untuk memperhebat perang urat-syarat dalam rangka memecah
Persatuan Nasional antara Rakyat terbanyak dengan golongan
minoritas etnis Tionghoa. Misalnya yang terjadi di Front Jawa
Timur, di daerah antara Surabaya dan Sidoardjo, beberapa orang
pemuda ditahan oleh tentara penjajah Belanda. Interogasi yang
dilakukan dibawah penyiksaan fisik yang berat, ada pemuda
pe ranakan Tionghoa berasal Tanggerang yang mengaku.
Penyiksaan fisik baru dihentikan setelah perwira Belanda masuk
dalam ruang pemeriksaan dan melepas dua orang pemuda
itu. Pemuda yang dilepas ini segera lari masuk daerah RI dan
menceritakan pengalamannya. Cerita-cerita itu di-besar-besarkan dan menjurus jadi “hasutan” atau “hetze” anti-Tionghoa yang
cukup hebat!
Sebagai akibatnya, pengungsi-pengungsi Tionghoa dari
Surabaya yang masuk ke daerah kekuasaan RI, harus menerima
pemeriksaan
ketat.
Kalau
kedapatan
mereka
membawa
uang-tunai atau barang2 perhiasan yang bergemerlapan dan
membuat silau mata si-pemeriksa, dibuatlah tuduhan mereka
adalah “mata2” penjajah Belanda dan barang2 bawaan yang
bergemerlapan itu harus di-sita! Dan dengan tidak adanya buktibukti yang pasti mereka sebagai mata-mata penjajah Belanda,
tapi yang jelas, barang-barang yang disita itu tidak tahu ke
mana perginya. Kecurigaan berlebihan terhadap golongan etnis
Tionghoa sekalipun harus diakui kenyataan ada orang Tionghoa
yang menjadi mata-mata Belanda, tentu tidak ada perlunya dan
tidak seharusnya terjadi.
21
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Menghebatnya rasa kecurigaan itu berakibat adanya
tindakan di-daerah-daerah pertempuran untuk mengungsikan
secara massal penduduk Tionghoa dari rumah-rumah di daerah
yang tidak bisa dipertahankan lagi oleh RI. Mereka tentu menjadi
serba-sulit. Tidak turut mengungsi bisa dicurigai sebagai mata-mata
penjajah Belanda, tapi kalau ikut mengungsi juga tidak ada tempat
penampungan yang baik. Pengungsian dilakukan dengan harus
meninggalkan sebagian besar harta-benda mereka yang tidak
bisa dibawa sendiri, jadi mereka dipaksa ikut mengungsi dengan
meninggalkan sebagian besar harta-bendanya. Setelah mereka
mengungsi, bukan politik “bumi-hangus” yang dijalankan, tapi
“bumi-angkut” yang jalan. Harta-benda yang terpaksa ditinggal
oleh mereka yang mengungsi, diangkut pergi oleh mereka yang
tinggal karena tidak diwajibkan mengungsi.
Perampokan toko-toko Tionghoa
Cara lain yang digunakan penjajah Belanda dalam rangka
perang urat-syarafnya itu, adalah mengatur penyerbuan terhadap
toko-toko kecil milik Tionghoa dengan membawa serta pemudapemuda Indonesia yang ditawan. Mereka sengaja merampok
toko-toko kecil milik Tionghoa itu dan lalu meninggalkan tergeletak
mayat beberapa pemuda Indonesia untuk menimbulkan kesan,
bahwa tentara Belanda melindungi toko-toko milik Tionghoa
yang mau dirampok oleh pemuda Indonesia. Timbul pengungsian
“sukarela” dari para pengusaha kecil Tionghoa ke daerah
pendudukan Belanda, dan tentu sangat mempengaruhi usaha
peredaran barang dan perdagangan didaerah Republik, sangat
merugikan kedudukan ekonomi RI.
Pao An Tui
22
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Di
daerah
pendudukan
Siauw Giok Tjhan
Belanda,
Belanda
berhasil
membujuk masyarakat Tionghoa untuk membentuk Pao An Tui,
sebagai organisasi yang membantu menjaga keamanan dan
mencegah perampokan toko-toko milik Tionghoa di-daerahdaerah perbatasan. Excess yang terjadi dengan dibentuknya Pao
An Tui ini, tentunya memperhebat kecurigaan terhadap orang
Tionghoa yang hidup di daerah kekuasaan RI. Begitu hebatnya
rasa curiga terhadap orang Tionghoa bisa diceritakan peristiwa
yang terjadi di Nganjuk ketika agresi militer Belanda ke2.
Menjelang penyerbuan masuk tentara Belanda di Nganjuk,
semua pria Tionghoa di atas 12 tahun dikumpulkan dalam
satu gudang untuk dibakar! Mereka yang berusaha lari keluar
dari gudang yang sudah menyala itu, diberondong dengan
senapan mesin. Kejam! Satu tindakan kejahatan di luar batas
prikemanusiaan.
Tapi, tetap belum pernah menimbulkan penuntutan untuk
diajukan ke depan pengadilan bagi orang-orang yang harus
bertanggung jawab akan “crimes against humanity” semacam
itu, yang menyebabkan kota Nganjuk dikenal sebagai kota janda
Tionghoa.
Menteri Pertahanan dan Ketua Dewan Pertahanan Na
sional Amir Syarifudin, bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman
pernah mengeluarkan instruksi yang keras untuk mencegah
terjadinya peristiwa2 yang merugikan harta dan jiwa orang2
Tionghoa didaerah RI. Tetapi, instruksi keras dengan ancaman
ditembak
mati
ditempat
bagi
yang
melanggar,
ternyata
tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya excess yang
menyedihkan dan merugikan prestige Republik Indonesia sebagai
negara Hukum yang demokrasi berdasarkan Panca Sila, di mana
terdapat sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
23
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya membuktikan bahwa
imbangan kekuatan politik dalam negeri yang cukup baik,
menguntungkan bagi pelaksanaan janji negara untuk memupuk
rasa se-nasib yang dapat menjadikan setiap peranakan sebagai
patriot dan warga-negara Indonesia sejati, ternyata bisa dibikin
tidak efektif oleh faktor ekstern. Adanya usaha penjajah Belanda
untuk memulihkan kekuasaan menjajah dengan melaksanakan
perang urat-syarat yang memecah Persatuan Nasional dengan
menggunakan suku Tionghoa sebagai “dongkrak”-nya.
Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagaimana dikemukakan
diatas, tentu saja meninggalkan bekas dan pengaruh. Pengaruh
negatif yang tidak dapat lenyap dalam waktu singkat.
Proses Peralihan Tertunda
Setelah perjanjian KMB (Konperensi Meja Bunder), terjadilah
penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada
pemerintah Republik Indonesia Serikat, dengan Bung Karno
sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Dan
dalam peristiwa ini patut diperhatikan kenyataan dicoret-nya
pasal 33 UUD 1945. Pihak Belanda berpendapat ketentuan pasal
33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di Indonesia,
jadi harus dicoret.
Perjanjian KMB justru hendak membuka pintu Indonesia
bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Tetapi ternyata
RIS tidak panjang umur. Tanggal 17 Augustus 1950 diproklamasikan
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pasal 33 UUD 1945 yang
oleh para pejuang Kemerdekaan- Yogya dinyatakan sebagai
esensi jiwa Proklamasi 17 Augustus 1945, dihidupkan kembali
dalam pasal 38 UUD Sementara 1950.
Tapi, pengalaman membuktikan yang terpenting dan
24
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
paling pokok bukanlah rumusan tertulis. Sekalipun pasal 33 UUD 1945
sudah dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUD Negara Kesatuan
1950, tapi ketentuan itu ternyata tinggal tetap sebagai rumusan
hitam di atas putih. Tidak terasa ada kemauan dan kemampuan
untuk memulai pelaksanaan secara nyata dan sistematis.
Apa sebabnya?
Bisa dikemukakan secara ringkas beberapa hal yang
menyebabkan pasal 33 UUD 1945 atau pasal 38 UUD 1950 tidak
bisa dikonsekwenkan dalam pelaksanaan:
1. Komposisi
politik
atau
imbangan
kekuatan
politik
berdasarkan perjanjian KMB yang kurang menguntungkan.
Imbangan kekuatan politik, RI-Yogya hanya 1/3, sedang
2/3 anggota DPR-RIS berasal dari negara-negara bagian
bikinan Van Mook yang dengan kekerasan senjata
“membeli” para tokoh daerah itu. Sekalipun dalam proses
membubarkan negara-negara bagian bikinan Van Mook,
DPR-RIS berhasil membatalkan jatah “negara bagian”
Pasundan
dengan
diganti
oleh
orang-orang
yang
diangkat pemerintah RIS, dan seluruh anggota Badan
Pekerja KNIP dimasukkan sebagai anggota DPR-Negara
Kesatuan, tapi dalam pembentukan imbangan kekuatan
di DPR Negara Kesatuan RI, pihak RI-Yogya masih tetap di
pihak yang lemah.
2. Pada akhir kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia,
untuk mempermudah usaha “membeli” simpati para tokoh
daerah dalam membentuk negara bagian, penjajah
Belanda mengadakan peraturan yang dikenal sebagai
“benteng-grup” importir.
Peraturan itu ditujukan untuk
memberi fasilitas pada para tokoh daerah yang hendak
diajak bekerja sama untuk menjadi importir. Peraturan itu
tidak otomatis dihapus setelah penyerahan kedaulatan,
25
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
karena kabinet RIS masih membutuhkan juga “membeli”
dukungan dalam DPR-RIS. Juga setelah proklamasi Negara
Kesatuan RI, peraturan warisan penjajah Belanda itu tidak
segera dihapus, dengan alasan yang sama. Menganggap
peraturan itu diperlukan untuk “membeli” dukungan,
disamping itu ternyata peraturan itu berfaedah juga untuk
mencari dana untuk keperluan perkembangan partaipartai politik yang saling bergantian duduk dalam peme
rintahan. Dengan demikian, di dalam masyarakat timbul
“penyakit” ada importir aktentas atau dalam tingkat lebih
tinggi bisa dikatakan sebagai importir “Ali-Baba”. Yaitu
satu praktek diskriminasi rasial yang tidak sehat, karena
untuk mendapatkan fasilitas atau lisensi import harus “Ali”,
sekalipun diketahui jelas si “Ali” tidak mungkin menjalankan
lisensi sendiri, tapi harus menjual atau mengajak relasinya
si “Baba” untuk melaksanakannya. Keuntungan yang
didapat, digunakan untuk meningkatkan taraf hidup
mewah si “Ali” dan sebagian lagi digunakan untuk
keperluan dana partai-nya.
3. Karena Kabinet ketika itu umur-nya tidak panjang, hanya
se-tahun-an, tiap pergantian kabinet menyebabkan
pergantian
komposisi
partai
politik
yang
berkuasa.
Dengan demikian menimbulkan juga pergantian tokohtokoh yang memperoleh perlakuan istimewa dalam
usaha memperoleh izin import.
4. Jumlah
tokoh-tokoh
yang
mendapatkan
perlakuan
istimewa dalam usaha izin import, tambah lama tambah
besar, sedang devisa yang bisa disediakan untuk import
tidak berkembang dengan cepat. Akibatnya perlu
diperluas peraturan-peraturan “istimewa”, menjadi tidak
hanya terbatas pada lisensi import, tapi juga lisensi export.
26
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Praktek diskriminasi rasial yang ketika itu sudah mulai
menonjol, tentu sangat tidak menguntungkan usaha
memupuk rasa senasib, tidak menguntungkan usaha
memupuk rasa “sense of belonging”. Peranakan Tionghoa
yang duduk dalam kabinet mewakili partai politiknya juga
ada yang memperoleh perlakuan “istimewa” itu.
5. Sebelum perjanjian KMB yang membatalkan secara
unilateral pasal 33 UUD 1945, sebetulnya juga tidak pernah
menyinggung masalah bagaimana pelaksanaannya.
Sebaliknya selalu ada usaha melambaikan tangan untuk
memasukkan modal asing. Seperti dengan Statement on
Foreign capital investment, tapi kemudian, karena dengan
statement saja modal asing tidak mau masuk, maka
dikeluarkanlah undang-undang penanaman modal asing.
Dan dalam pembelaan untuk memasukkan modal-asing,
Partai-partai politik yang ada dalam memberi interpretasi
pasal 33 UUD 1945 juga jadi janggal. Pasal 33 ayat 2 UUD
1945 menentukan, bahwa cabang produksi yang penting
bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang
banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3 menentukan
“Bumi dan air dan kekayaan alam yang dikandung di
dalamnya dikuasai oleh negara,...” Istilah “dikuasai” diinterpretasi menjadi tidak berarti harus “dimiliki” oleh
negara. Jadi, asal pengusaha baik asing atau nasional
harus lebih dahulu mendapat izin dari pemerintah, sudah
berarti “dikuasai” oleh negara. Tentu saja, para tokoh
partai politik yang memberikan interpretasi demikian
“lupa” atau pura2 lupa, bahwa ketika 17 Augustus 1945
gedung-gedung raksasa modal-asing telah dicoret-coret
kata-kata “milik RI” oleh para pejuang Kemerdekaan.
Berdasarkan
kenyataan
27
tersebut,
seharusnya
istilah
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
“dikuasai” tidak bisa lain berarti juga “dimiliki”.
Dengan imbangan kekuatan politik di dalam negeri
selama Negara Kesatuan RI, 17 Augustus 1950, ternyata tidak
memungkinkan pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 secara sistematis
dan nyata. Proses peralihan ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
jadi tertunda, terbengkalai, atau ditelantarkan.
Dalam suasana politik demikian itu, yang dipengaruhi
juga oleh nafsu menghimpun harta untuk kemakmuran diri
sendiri atau juga untuk partai politik yang diwakilinya, maka terjadi
penyalah-gunaan wewenang kekuasaan. Dan penyalah-gunaan
wewenang ini tambah lama bertambah luas saja.
Dengan mengundang masuk modal-asing, tentu saja usaha
modal raksasa asing tidak boleh dan tidak bisa disentuh. Sedang
yang bisa dan mudah disentuh adalah modal-domestik, modal
milik golongan Tionghoa atau dengan kata lain modal milik warganegara Indonesia bukan “asli” yang bisa dan mudah disentuh.
Terjadi semacam inferiority complex terhadap usaha modal-asing
sejak 50-an.
Padahal tujuan revolusi Indonesia membangun satu
masyarakat berdasarkan Panca Sila, adalah satu masyarakat adil
dan makmur yang meniadakan segala bentuk penindasan dan
penghisapan, mengubah sistem kolonial menjadi sistem nasional.
Jadi jelas, harus bisa mempersatukan segala kekuatan nasional
untuk menggulingkan atau mengganti sistem kolonial yang masih
ada. Tapi di dalam praktek justru terbalik. Usaha modal-asing
yang seharusnya dilikwidasi menjadi tidak bisa disentuh, sedang
usaha modal domestik baik dia dikategorikan “asli” atau “bukan
asli” yang seharusnya dikembangkan se-besar-besar-nya malah
diganggu atau digerowoti.
Praktek yang kita saksikan sejak tahun 50-an menunjukkan
modal raksasa-asing yang menjadi sendi kolonialisme, seperti
28
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Stanvac; Shell; KPM; Good Year; BAT; Unilever dll, tidak bisa disentuh.
Sedang yang bisa disentuh dan digerowoti adalah usaha modal
domestik milik Tionghoa dan modal nasional milik peranakan
Tionghoa. Tindakan ini tentu bukan mengalihkan ekonomi kolonial
menjadi ekonomi nasional, tapi sebaliknya memperkuat ekonomi
kolonial dan memperlemah ekonomi nasional. Imbangan kekuatan
politik dalam negeri ketika itu, belum memungkinkan menahan
arus ini dan kemudian kita bisa menyaksikan juga tindakan antara
lain sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh lisensi import & export, perusahaanperusahaan
harus
mengandung
modal
dari
“asli”.
Perusahaan demikian ini semula menguasai 50% dari
devisa import, kemudian berkembang menjadi 70%
dari devisa import. Ketika itu permainan “asli” untuk izin
export belum begitu menonjol, karena kelancaran export
diperlukan untuk memperoleh devisa import yang sangat
dibutuhkan untuk kepentingan politik.
2. Dikeluarkan peraturan “Pedoman Baru” untuk usaha bis
dan pengangkutan truk. Pedoman Baru ini menentukan
pengusaha bis dan truk yang besar untuk bisa meneruskan
usahanya, harus memecahkan diri dalam berbagai
perusahaan baru dengan mengikut sertakan pimpinan
direksi dan “modal” dari yang dinamakan “asli”. Akibat
dari peraturan baru ini, timbul beberapa tokoh partai
politik pemerintah yang “memborong” kedudukan direktur
dan President Komisaris perusahaan-perusahaan baru
pecahan dari perusahaan lama yang dianggap “terlalu
besar” itu.
3. Dijalankan kebijakan dalam mengeluarkan izin baru
untuk perusahaan-perusahaan yang terkena “bedrijf
sregelementering
zordonnantie”,
29
seperti
percetakan,
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
pabrik biscuit, penggilingan minyak kelapa, penggilingan
beras dll, harus ada pimpinan dan modal dari yang
dinamakan “asli”. Semua peraturan ini tidak tertulis,
sehingga masih ada seorang tokoh politik pemerintah
peranakan Tionghoa yang tampil ke depan untuk
mengurus izin bisa mendapatkan izin dengan baik.
4. Peraturan
penggilingan
yang
beras
menentukan,
bahwa
hanya
menggiling
boleh
semua
padi
pemerintah. Artinya penggilingan beras tidak lagi boleh
membeli sendiri padi yang biasanya dibeli dari para
tengkulak atau para pengusaha kecil peranakan Tionghoa
langganannya. Patut diperhatikan, bahwa penggilingan
beras di Indonesia ketika itu pada pokoknya dimiliki oleh
peranakan Tionghoa yang sudah menjadi warga-negara
Indonesia. Peraturan itu membawa akibat antara lain:
a. Pengangguran jadi bertambah banyak. Karena
para
pengusaha
kecil/tengkulak
peranakan
Tionghoa pengumpul padi di-desa-desa menjadi
kehilangan mata-pencahariannya dan tidak ada
penampungan pekerjaan lain. Di samping itu,
terjadi modal yang beku atau bertambahnya
“hot money” uang yang tidak beredar dan tidak
dipertanggung-jawabkan
secara
fiscal
menjadi
lebih besar jumlahnya. Dan ini tentunya sangat tidak
menguntungkan bagi pengendalian uang dalam
peredaran.
b. Kemampuan pemerintah menyediakan uang untuk
pembelian padi melalui badan-badan resmi dan
setengah resmi, yang kurang pengalaman dalam
pembelian padi, ternyata hanya terbatas untuk
mencegah menghebatnya inflasi. Dengan tidak
30
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
memperhitungkan
Siauw Giok Tjhan
kemungkinan
mempermudah
terjadinya penyalahgunaan wewenang dan korupsi.
c. Karena jumlah padi yang bisa dijual pemerintah
ternyata tidak mencukupi kapasitas penggilingan
beras,
sehingga
terjadi
pemborosan
kapasitas
penggilingan beras. Dan akibatnya cukup besar,
napsu untuk menanam modal dibidang penggilingan
beras menjadi sangat berkurang. Karena hasil dalam
penggilingan beras sangat rendah. Sedang petani
juga terpaksa menumbuk padinya sendiri menjadi
beras, karena hasil menumbuk padi sendiri lebih
rendah dari padi digiling. Peredaran beras menjadi
jauh berkurang, dan tentunya tuntutan untuk import
beras jadi meningkat. Meng-import beras lebih besar
lagi jumlahnya, berarti memperberat beban devisa
negara, menambah berat beban hidup rakyat
banyak yang harus membeli beras-import dengan
harga lebih mahal. Tapi, sementara importir beras
menjadi lebih makmur yang biasanya ditangani oleh
tokoh2 partai politik yang berkuasa.
5. Menjelang akhir tahun 50-an, dikeluarkan Peraturan
Pemerintah No.10 atau PP-10, yang menimbulkan miniexodus orang Tionghoa dari Indonesia. Kurang lebih 120
ribu orang Tionghoa harus diangkut dengan kapal-kapal
khusus dari RRT untuk pulang kembali ke Tiongkok. PP10 sendiri sesungguhnya merupakan kompromi. Dimulai
de ngan putusan Dewan Kabupaten Sukabumi, yang
melarang
orang-orang
Tionghoa
asing
melakukan
kegiatan usaha dagangnya di luar ibukota Kabupaten
Sukabumi.
Kemudian disusul dengan Peraturan Penguasa Perang,
31
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
yang juga melarang setiap orang Tionghoa asing tinggal
di luar ibukota Kabupaten. Tapi, peraturan-peraturan ini
tidak disertai dengan kebijaksanaan untuk menampung
atau pengaturan bagi mereka yang tidak lagi boleh
berusaha dan tinggal di desa-desa. Tidak ada pengaturan
dan penampungan di ibukota Kabupaten atau ibukota
Propinsi bagi modal domestic yang tidak lagi boleh
berusaha di-desa-desa dan kota-kota kecil.
Maka pemerintah pusat mengeluarkan PP-10, yang
menentukan bahwa kegiatan usaha dagang di-desadesa dilakukan dengan usaha koperasi, dan pembentukan
koperasi di-desa2 hendaknya menggunakan keahlian/
pengalaman
para
pedagang
Tionghoa
sebagai
penasehat. Tapi, kenyataan pelaksanaan PP-10 menjadi
memaksa orang-orang Tionghoa asing meninggalkan
desa-desa di mana mereka telah hidup puluhan tahun
atau bahkan beberapa keturunan. Modal yang tidak
seberapa itu, juga menjadi habis untuk pindah tempat
dari desa ke ibukota Kabupaten, dan mereka ini menjadi
terlantar tanpa ada pengurusan dan penampungan di
ibukota Kabupaten atau ibukota Propinsi.
Jadi, pelaksanaan PP-10 ini merupakan pemborosan
modal domestik yang tidak seharusnya terjadi, satu
pemborosan modal yang sangat merugikan usaha
melikwidasi ekonomi kolonial dan membangun ekonomi
nasional.
Dalam kenyataan PP-10 membuat kacau
peredaran barang dari desa-desa ke-kota atau sebaliknya
dari kota ke desa-desa. Pabrik-pabrik tepung aci atau
tepung singkong di banyak kota menjadi kekurangan
bahan singkong, yang biasanya dikumpulkan oleh tukang
warung Tionghoa. Pabrik tepung aci harus mengurangi
32
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
produksi atau bahkan tutup, sehingga menimbulkan
pengangguran bagi buruh.
Sedangkan para petani penghasil singkong juga sangat
dirugikan, karena tidak ada orang yang bisa menampung
atau membeli hasil tanaman singkongnya. Satu tindakan
yang didorong oleh emosi rasis yang tidak dipikir panjang
akibat yang sangat merugikan kepentingan rakyat banyak
dan merugikan pembangunan ekonomi nasional.
Baru setelah Bung Karno merumuskan DEKON (Deklarasi
Ekonomi), dan kemudian diperkuat dengan ketetapan MPR-S yang
berjudul “Banting Stir Untuk BERDIKARI!” dapat dicapai penegasan,
bahwa modal domestic harus dikerahkan juga untuk membantu
tercapainya ekonomi BERDIKARI. Disamping itu juga ditegaskan
bahwa “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945 adalah
berarti juga “dimiliki” oleh negara.
Faktor Luar Menimbulkan Ekses
Dalam
meneliti
perkembangan
keadaan
Indonesia
selama tahun 50-an orang tidak boleh melupakan, bahwa
ketika itu “perang dingin” sedang berlangsung sangat hebat
di daerah Asia, terutama bertujuan membendung pengaruh
Republik Rakyat Tiongkok di Asia. USA sedang menjalankan politik
“China Containment policy”, dan politik ini tidak bisa tidak tentu
mempengaruhi perkembangan politik dalam negeri Indonesia.
Patut diperhatikan, bahwa cukup banyak perwira Indonesia dikirim
ke USA untuk mendapatkan pendidikan dan latihan kemiliteran.
Juga tidak sedikit sarjana-sarjana kejuruan dikirim ke USA untuk
mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan USA
mengirim tenaga-tenaga pengajar ke berbagai universitas negara
untuk “meningkatkan” mutu pendidikan di Indonesia.
33
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Sekalipun ketika itu imbangan kekuatan politik dalam negeri
masih memungkinkan bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah
Konperensi Asia-Afrika pertama di Bandung tahun 1955, dan
pemilihan umum pertama di Indonesia bisa dilangsungkan secara
demokratis, yang mengakibatkan PKI bisa keluar sebagai partai
politik besar, tapi semua ini tidak bisa menutupi kenyataan tetap
berkembangnya rasisme. Tidak bisa mencegah timbulnya rasa
curiga secara berlebihan terhadap golongan Tionghoa sebagai
“komunis” dan “mata-mata“ Tiongkok, sebagai pengaruh dari
hasutan politik China containment Policy USA itu.
Rasa curiga ber-lebihan itu terutama datang dari pihak
Penguasa Perang yang mudah membuat alasan demi “nasional
security”. Antara lain dapat dikemukakan tindakan-tindakan yang
terjadi sebagai berikut:
1.
Kebijakan minta bukti kewarganegaraan dari orangorang Tionghoa yang sudah menjadi warga-negara RI.
Kewajiban untuk lebih dahulu menunjukkan surat bukti
yang disahkan oleh pengadilan sebagai warganegara RI
dalam keperluan minta izin berusaha. Kebijakan demikian
ini tentu sangat merugikan perkembangan memupuk
perasaan senasib bagi warganegara Indonesia. Mereka
menjadi merasa di-eksklusif-kan.
2.
loyalitas
Tionghoa
terhadap
jelas warganegara Indonesia.
RI,
sekalipun
sudah
Loyalitas seseorang
dianggapnya tergantung atas asal keturunan! Sebuah
pikiran rasis yang mencengkeram pandangan banyak
petugas ne gara, yang mestinya paham Panca Sila dan
bebas dari pandangan rasis.
3.
Di beberapa daerah dengan alasan “security nasional”
rumah-rumah orang Tionghoa diharuskan memasang
tanda, dengan bendera nasionalnya. Bila warganegara
34
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
RRT diharuskan memasang papan yang dicat bendera
RRT, bila warga-negara Indonesia memasang papan
dengan dicat bendera Merah-Putih. Peraturan demikian
sekalipun tidak berumur panjang, tapi sudah cukup untuk
membuktikan adanya petugas negara yang rasis dan
phobia terhadap orang Tionghoa.
4.
Pajak kepala terhadap orang Tionghoa asing dinyatakan
berlaku. Semula diambil oleh penguasa UU Pajak Kepala
untuk orang asing.
5.
Masalah dwi kewarganegaraan dipersoalkan untuk
meragukan loyalitas warganegara keturunan Tionghoa.
Padahal masalah dwi kewarganegaraan timbul karena
ada ketentuan internasional yang menentukan, bahwa
bila terjadi masalah dwi kewarganegaraan dan tidak ada
perjanjian antara dua negara yang bersangkutan, yang
berlaku adalah UU kewarganegaraan di negeri di mana
orang bersangkutan itu hidup dan menetap. Tapi oleh
sementara penguasa, masalah dwi kewarganegaraan ini
justru ditimbulkan untuk mencapai tujuan membatalkan
kewarganegaraan
Indonesia
banyak
orang,
yang
diperoleh dengan stelsel pasif. Hal ini antara lain bisa
dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi sebagai
berikut:
a.
Ketika ada kesempatan mengadakan perjanjian
penyelesaian dwi kewarganegaraan antara
RI-RRT, dalam perjanjian hendak diwajibkan
semua warga-negara Indonesia peranakan
Tionghoa untuk memilih kembali secara aktif
kewarganegaraan Indonesia.
b.
Menyiapkan RUU Kewarganegaraan Indonesia
yang hendak membatalkan pilihan yang terjadi
35
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
berdasarkan UU 10 April 1946 dan berdasarkan
perjanjian KMB.
Dalam hubungan ini patut dicatat, bahwa perjanjian
penyelesaian Dwi Kewarganegaraan RI-RRT menjadi
ter-katung selama 5-6 tahun, setelah BAPERKI berhasil
memperjuangkan adanya perubahan yang diwujudkan
dalam Pertukaran Nota antara PM Ali Sastroamidjojo dan
PM Chou En Lai yang berisi antara lain sbb:
Mereka yang terdaftar di bawah dinyatakan sudah
memiliki kewarganegaraan tunggal RI dan dibebaskan
dari kewajiban memilih kewarganegaraan: :
a.Para pejabat negara yang telah disumpah setia
dengan UUD RI;
b.Mereka yang telah menggunakan hak memilih
dalam pemilihan umum di Indonesia;
c. Mereka yang mempunyai pekerjaan dan matapencaharian sama dengan rakyat terbanyak
setempat, seperti petani dan nelayan.
6.
Peraturan Penguasa Perang, yang kemudian diambil alih
oleh pemerintah yang melarang adanya sekolah-sekolah
asing di Indonesia.
Peraturan ini melarang sekolah-
sekolah Tionghoa asing menerima murid-murid yang
berstatus warganegara Indonesia. Tapi ia dikeluarkan
tanpa upaya penampungan untuk mereka yang harus
keluar. Sekolah-sekolah negeri membatasi penerimaan
murid warganegara Indonesia keturunan asing, khususnya
keturunan Tionghoa.
Penerimaan
membatasi
mahasiswa
hanya
bisa
di
universitas
menerima
negeri
10%
jelas
keturunan
Tionghoa. Jelas bukan lagi memperlakukan secara adil
36
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
setiap warganegaranya sesuai dengan kepandaian
murid yang ada, tapi untuk membatasi masuknya murid
Tionghoa di sekolah-sekolah negeri.
Menghadapi kenyataan ini, Baperki mengembangkan
kegiatannya dibidang pendidikan, membangun sekolahsekolah dan perguruan tinggi untuk menampung dan
membuka pintu bagi semua warganegara Indonesia
tanpa memandang asal keturunannya. Anak-anak
warga negara asing diterima berdasarkan pendirian,
bahwa mereka juga memerlukan menerima pendidikan
nasional Indonesia, agar mereka bersedia menerima
kewarganegaraan Indonesia dan tidak bertahan sebagai
asing.
7.
Sementara jenderal ketika itu mensponsori pembentukan
LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa), yang diketuai
oleh seorang Letnan Angkatan Laut, peranakan Tionghoa
yang telah mengganti namanya menjadi Sindhunata.
LPKB
dimaksudkan
menjadi
organisasi
tandingan
BAPERKI, dengan mengajukan konsepsi asimilasi-total.
Ia menganjurkan penghapusan ciri etnisitas Tionghoa,
dimulai dengan ganti nama Tionghoa menjadi nama lain
dan kawin campuran. Dan menurut keterangan, semua
ini harus terjadi dengan sukarela, tidak ada unsur paksaan.
8.
Pada akhir tahun 50-an, disamping meratifikasi perjanjian
penyelesaian
dwi
kewarganegaraan
RI-RRT,
yang
menjadi UU No 2 tahun 1958, pemerintah mengeluarkan
UU Kewarganegaraan baru, yaitu UU No 62/1958 dan
UU No 67/1958. Tapi, semua ketentuan ini tidak segera
dilaksanakan. Penegasan perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan itu baru ditentukan dalam Peraturan
Pemerintah No 11/1960. Yang kemudian ditambah lagi
37
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
dengan Peraturan Pemerintah No 5/1961.
Sekalipun sudah diratifikasi pelaksanaannya tertunda
kurang lebih 3 tahun.
Penundaan ini merugikan mereka yang bersangkutan.
Misalnya,
mereka
yang
ketika
di-undangkan
UU
No 2/1958 sudah mencapai usia 18 tahun dan oleh
karenanya mempunyai hak menentukan pilihan sendiri
sekalipun berlainan dengan pilihan orang tuanya, menjadi
tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tapi ketika 3
tahun kemudian, ada ketentuan lain yang menyatakan
waktu kesempatan memilih terbatas 2 tahun setelah
mencapai usia 18, maka dia tidak lagi mempunyai hak
memilih sendiri. Di samping itu, kelambatan pelaksanaan
perjanjian
penyelesaian
dwi-kewarganegaraan
itu
mengakibatkan peranakan Tionghoa yang memilih
warganegara Indonesia tidak bisa mengubah hak
eigendom menjadi hak milik.
9.
UU Pokok Agraria tahun 1962 membuat ketentuan,
hanya warganegara Indonesia tunggal saja yang boleh
mempunyai hak-milik, jadi selama status kewarganegaraan
tunggal belum bisa dicapai, banyak warganegara
Indonesia keturunan Tionghoa menghadapi kesulitan
untuk mengubah hak eigendom menjadi hak-milik. Hingga
tahun 1980 ini, mereka masih harus dengan susah-payah
mengurus perpanjangan atau mengalihkan menjadi
hak-milik dan harus membayar uang yang tidak sedikit
jumlahnya. Bagi mereka yang hidup dengan pekerjaan
menggarap tanah, keterlambatan pengakuan menjadi
warganegara Indonesia, berakibat mereka tidak dapat
mempertahankan hak-milik atas tanahnya sebelum
mengeluarkan banyak ongkos extra.
38
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Dalam meneliti pengaruh faktor luar tergambar di atas,
patut diperhatikan isi amanat Presiden Sukarno pada 17 Augustus
1964, yang antara lain menyatakan bahwa, ia menyetujui
didirikannya LPKB dengan menugaskan Dr. Ruslan Abdulgani
untuk membimbing pengikisan komunis phobia dalam masyarakat
Indonesia yang dirasakan sebagai penghalang perwujudan
konsepsi Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM. Penjelasan
ini penting artinya, karena menurut Presiden Sukarno, bukanlah
masalah asimilasi yang harus diutamakan, melainkan mengikis
habis komunis phobia.
Faktor luar ini oleh banyak pihak dianggap ringan, diremehkan.
Tapi, peristiwa apa yang dinamakan G30S/PKI membuktikan
bahwa banyak pernyataan para tokoh Angkatan Bersenjata
hanya berupa lip service belaka. Ternyata maksud sesungguhnya
adalah menyingkirkan dan menggulingkan Bung Karno, mendirikan
sebuah rezim baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto yang
kemudian membanting stir haluan negara dan membatalkan Garis
Besar Haluan Negara yang telah ditetapkan Presiden Sukarno dan
disahkan dalam MPR.
Pada bulan Mei 1963, meletus ledakan rasis ang dimulai
dari Tegal, kemudian menyusul Cirebon, Bogor, Sukabumi dan
Bandung. Bung Karno ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa
eksplosi rasis anti-Tionghoa itu sesungguhnya ditujukan terhadap
dirinya, ditujukan untuk menentang politiknya. Tapi, signal tegas
itu tidak cukup menggugah kewaspadaan para pengikut setia
Bung Karno dan alat-alat negara untuk mencegah pengaruh
faktor luar yang berkembang merusak Persatuan Nasional.
Akhirnya pengaruh faktor luar ini menyebabkan sementara
jendral berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno dan
merusak Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM yang sedang
berkembang dengan baik.
39
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Hetze Anti Tionghoa Meluap
Setiap orang yang meneliti kebijaksanaan politik luar
negeri RI sejak proklamasi Kemerdekaan, bisa menyimpulkan
bahwa RI selalu berusaha menarik keuntungan dengan adanya
pertentangan kepentingan di antara 2 negara Super Power, USA
dan USSR.
Timbullah
berbagai
penyimpangan
sebagai
akibat
keinginan memperoleh dukungan USA dalam memaksa penjajah
Belanda mengakui berdirinya RI. Misalnya pada tahun 1948
kabinet Hatta menjalankan “red drive” yang dikenal dengan
“Peristiwa Madiun”; kemudian pada tahun 1952, kabinet Sukirman
melakukan “red drive ke-II” atau yang dikenal dengan razzia
Sukiman dengan menangkapi orang-orang komunis atau yang
dituduh komunis dengan tujuan mendorong USA memaksa
penjajah Belanda menyerahkan kembali Irian Barat.
Pada awal tahun 1960-an, kebijakan anti imperialisme
Presiden Sukarno berhasil memperoleh bantuan perlengkapan
perang dari USSR karena perlengkapan perang serupa tidak
bisa diperoleh dari USA. Dan situasi ini berhasil memaksa USA
untuk menekan Belanda mengakui berdirinya RI dan kemudian
menyerahkan Irian Barat kembali ke dalam kekuasaan RI.
Di pihak lain, perkembangan politik internasional sudah
mencapai pada tingkat dimana USA terpaksa meningkatkan
perang di Vietnam dan USSR di dalam persengketaan ideologi
Moskow-Peking, menghadapi PKI yang selalu mengambil sikap
sepihak dengan Peking.
Ini menyebabkan kedua negara
Super Power ini bertemu kepentingannya. Yaitu sama-sama
berkepentingan untuk membendung atau menghapus pengaruh
Peking di Asia Tenggara umumnya dan di Indonesia khususnya.
40
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
USSR bertujuan mengubah pimpinan PKI yang condong pada
Peking, sedangkan USA bertujuan membasmi PKI dan kemudian
menyingkirkan Presiden Sukarno.
Peristiwa G30S menunjukkan berhasilnya kedua negara
Super Power ini dan masing-masing pihak berusaha mendapatkan
hasil sampingan. Ternyata USA dan kaki-tangannya lebih lincah
dan lebih unggul dari USSR. USA praktis mencapai seluruh tujuan
sebagaimana direncanakan, sedangkan USSR yang semula ha
nya bertujuan mengubah struktur PKI harus menerima kenyataan
bahwa PKI dibasmi habis dari Indonesia.
Tujuan kedua negara Super Power untuk menghapus pe
ngaruh RRT berlangsung.
Dikobarkanlah hetze anti Tionghoa,
PKI dituduh menjalankan garis Mao Tse-tung, Tionghoa berarti
Komunis, G30S dibiayai oleh RRT, dllnya lagi. Sekalipun tidak ada
bukti yang menyatakan RRT terlibat dalam G30S, dan tidak ada
seorang warganegara RRT yang terlibat dan ditangkap untuk
diadili dengan tuduhan terlibat G30S.
Hetze
anti-Tionghoa
diperhebat
oleh
kegiatan
dua
organisasi, LPKB dan KENSI. Walaupun Presiden Sukarno pernah
memberi amanat untuk membersihkan LPKB dari sikap komunis
phobia, setelah G30S, mereka paling aktif membubarkan Baperki
dan memaksakan gerakan ganti-nama secara massal. Oleh
mereka, asimilasi atau pembauran dengan cara ganti nama,
kawin campuran sebelum G30S dijanjikan sebagai proses sukarela
dan tidak mengandung paksaan. Perubahan keadaan politik
digunakan sebagai kesempatan baik, untuk memaksakan orangorang Tionghoa secara massal ganti nama.
Golongan
Tionghoa
diharuskan
membuktikan
dirinya
berkemauan untuk berasimilasi dengan masyarakat Indonesia,
yang berarti bersedia melenyapkan ciri-ciri etnisitas ke-Tionghoaannya, dengan ganti-nama Tionghoa menjadi nama lain yang
41
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
dikatakan biasa dipakai mayoritas masyarakat Indonesia. Seolah-olah nama Tionghoa yang diberikan orang-tuanya itu bisa
merugikan perkembangan Indonesia sebagai negara berdasarkan
Panca Sila. Menjurus menjadi, segala apa yang berasal dari
Tiongkok dan berbau Tionghoa harus dilenyapkan.
Kelanjutan dari aksi yang dilakukannya itu, ditutuplah sekolahsekolah
Tionghoa.
Tanpa
mempedulikan
bagaimana
penampungan ratusan ribu murid sekolah yang ditutup.
Atas usaha LPKB, dikeluarkan instruksi Presiden No.14/1967
yang membatasi pelaksanaan peribadatan dan kebudayaan
Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Dengan alasan, membiarkan
Tionghoa menjalankan ibadat dan kebudayaannya secara
terbuka dan luas merugikan usaha asimilasi. Instruksi Presiden itu
juga mempertegas, bahwa agama dan istiadat yang berpangkal
pada negeri leluhur bisa memanifestasikan pengaruh psykologis,
mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara
Indonesia. Jadi merupakan hambatan terhadap proses assimilasi
yang sedang dijalankan. Akibat instruksi Presiden ini, Tionghoa
sebagai golongan minoritas tidak bisa lagi melakukan ibadat
dan mengembangkan kebudayaan yang sehat dan sudah turun
te murun secara terbuka. Permainan Liang-liong, barongsay,
Kuntao-silat tidak lagi bisa dilakukan secara terbuka. Pembacaan
buku, koran dan majalah dalam bahasa Tionghoa harus dilakukan
secara bersembunyi. Kalau tidak dan diketahui oleh umum bisa
menyinggung perasaan?!
Untung, instruksi Presiden itu tidak menyatakan pelarangan
makan tahu, taoco, tauge, kecap taoyu dll lagi yang merupakan
makanan asal nenek moyang Tionghoa dan berasal dari negeri
leluhur. Makanan yang sudah menjadi makanan umum rakyat
banyak, makanan yang murah, enak dan disukai oleh rakyat
banyak. Instruksi Presiden itu sangat merugikan rakyat terbanyak.
42
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Pertunjukan Liang Liong dan barongsai ternyata dinikmati
rakyat, seperti yang dialami di Bogor pada tahun 1977. Sebuah
pertunjukkan yang sudah turun temurun diterima dan dinikmati
oleh rakyat banyak.
Demikian juga dengan KENSI. Setelah DEKON (Deklarasi
Ekonomi) diumumkan, yang dengan tegas menyatakan modal
domestik harus diikut sertakan dalam pelaksanaan ekonomi
nasional, KENSI tidak bisa berkutik. Tapi setelah G30S, KENSI
ikut meningkatkan kegiatan hetze anti-Tionghoa, menuntut
ditingkatkannya pelaksanaan PP-10. Artinya, supaya kegiatan
dagang orang-orang Tionghoa dilarang sama sekali, tidak hanya
terbatas di wilayah kecamatan saja.
Akibat tuntutan KENSI itu, Panglima Jawa Timur, jenderal
Sumitro mengeluarkan instruksi untuk melarang orang-orang
Tionghoa asing melakukan usaha dagang diseluruh Jawa Timur,
kecuali di ibu-kota propinsi Surabaya. Juga dilarang penggunaan
huruf-huruf Tionghoa dan bahasa Tionghoa, baik dalam usaha
dagang, surat-menyurat maupun hubungan telpon. Orangorang Tionghoa tidak boleh pindah ke lain propinsi tanpa izin dan
diwajibkan membayar pajak kepala.
Bung Hatta, bekas wakil Presiden RI, mengkritik tindakan
demikian yang menurut kenyataan merugikan rakyat banyak.
Instruksi semacam itu mengakibatkan peredaran barang menjadi
kacau, penghasilan kaum tani merosot keras dan penghasilan
kantor pajak jadi merosot drastis.
Di Aceh, Panglima daerah Aceh juga mengeluarkan
instruksi agar semua orang Tionghoa di-Aceh keluar dari propinsi
Aceh. Propinsi Aceh harus bersih dari orang Tionghoa. Exodus
besar di Aceh ini menimbulkan banyak macam penderitaan di
kalangan Tionghoa. Peredaran barang pun menjadi kacau.
Mereka keluar dari Aceh ke Sumatera Utara dan Medan
43
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
tanpa penampungan yang baik, sedangkan pengaturan mereka
pulang kembali ke RRT baru dalam pembicaraan dengan
pemerintah
RRT.
Usaha
mengangkut
kembali
orang-orang
Tionghoa ke RRT akhirnya terhenti karena hetze anti-Tionghoa
bukannya mereda, melainkan meningkat.
Di Kalimantan Barat, timbul gerakan mengusir orang-orang
Tionghoa dari daerah pedalaman Kalimantan Barat. Mereka yang
berusaha mempertahankan kebun karet dan ladang-ladang-nya
dibunuh. Kebun-kebun dan ladang-ladang itu telah diusahakan
puluhan tahun dan turun temurun oleh mereka. Timbullah kesan,
bahwa gerakan anti-Tionghoa itu sekaligus juga bertujuan ekonomi,
merampok harta dan mengambil alih kebun karet, ladang milik
orang Tionghoa. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang
berlaku di Indonesia, mereka itu adalah warganegara Indonesia
yang
harus
dilindungi
kepentingannya.
Tapi
yang
terjadi,
sedikitnya hampir 100 ribu orang Tionghoa harus diungsikan keluar
dari daerah pedalaman Kalimantan Barat ke kota-kota di-pesisir
seperti, Singkawang, Mempawah dan Pontianak. Kamp-kamp
penampungan mereka, tidak berbeda dengan yang di Sumatera.
Mereka harus berdikari, walaupun sebenarnya mereka adalah
displaced persons.
Pada tahun 1966-1968 telah terjadi banyak peristiwa
yang menggambarkan, bahwa milik dan jiwa orang Tionghoa,
baik mereka yang berkedudukan asing maupun sudah menjadi
warganegara Indonesia, terasa tidak memperoleh perlindungan
yang layak di dalam negara hukum berdasarkan Panca Sila ini.
Hal ini tentu sangat merugikan prestige RI di luar negeri, apalagi
ternyata bahwa aparat negara dan militer terlibat dalam kegiatan
anti Tionghoa.
Misalnya kejadian di Surabaya pada bulan Oktober 1968,
setelah Singapore melaksanakan hukuman mati pada 2 anggota
44
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
pasukan gerilya yang ditangkap. Kejadian ini membuat antiTionghoa dibangkitkan sehingga ratusan toko kecil milik Tionghoa
dirusak dan ini dilakukan oleh militer berbaju preman.
Sesuai dengan tuntutan seminar SESKOAD di Bandung pada
tahun 1967, pemerintah RI menginstruksikan untuk mengganti
istilah Tionghoa dengan “Cina”. Istilah Tionghoa dianggap
menimbulkan inferiority complex pada orang Indonesia. Istilah
“Cina” mengandung unsur penghinaan bagi golongan Tionghoa
di Indonesia. Sejak tahun 1900 dengan pembentukan Tionghoa
Hwee Kwan “Cina” sudah diubah menjadi “Tionghoa”.
Kesemua di atas diikuti dengan tuntutan “massa” untuk
memutus hubungan diplomatik dengan RRT.
Pada bulan
Nopember 1968 Indonesia membekukan hubungan diplomatik
dengan RRT. Memutuskan hubungan diplomatik dirasakan
bertentangan dengan prinsip politik bebas dan aktif.
Suasana politik demikian tentu sangat mempengaruhi
pelaksanaan
penyelesaian
dwi
kewarganegaraan
dan
penyelesaian permohonan naturalisasi dari orang-orang Tionghoa
untuk
menjadi
warga-negara
Indonesia.
Untuk
naturalisasi
menjadi warganegara Indonesia ditambah syarat harus gantinama. Kebijakan ini tentu dilakukan secara tidak resmi dan tidak
berdasarkan hukum. Akan tetapi kalau tidak mau ganti nama
dianggap sebagai sikap menentang kebijakan pemerintah untuk
asimilasi sehingga permohonan naturalisasi bisa ditolak. Dengan
demikian semua Tionghoa yang mengajukan naturalisasi pada
tahun 1966-1967 terpaksa melenyapkan nama Tionghoa-nya.
Pada tanggal 9 November 1966, Menteri Kehakiman
mengeluarkan instruksi No. D/T/1/2 menangguhkan pelaksanaan
penyelesaian dwi kewarganegaraan. Baru setelah dibekukan
hampir 2 tahun, pada tanggal 1 Februari 1968 pelaksanaan
penyelesaian
dwi
kewarganegaraan
45
dimulai
kembali
oleh
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
pengadilan negeri, berdasarkan instruksi Menteri Kehakiman No.
DT/1/5 tanggal 1-2-1968.
Setelah hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan,
perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan antara RI-RRT
secara sepihak dibatalkan oleh RI dengan ketentuan UU No.4/1969
tanggal 10 April 1969.
Patut diperhatikan, bahwa setelah terjadi G30S hubungan RI
dengan Taiwan berkembang lebih akrab. Taiwan memberi credit
pada Indonesia yang semula dijanjikan sebanyak US$ 20 juta,
kemudian hanya diberi US$ 10 juta dengan bentuk barang konsumsi
buatan Taiwan. Hubungan baik ini mungkin menyebabkan orangorang Tionghoa yang semula berkewarganegaraan Indonesia dan
telah lama hidup/menetap di Taiwan, bisa kembali ke Indonesia
dan kembali menjadi WNI tidak dengan jalan naturalisasi tapi
dengan jalan optie. Karena ada keputusan Menteri Kehakiman
No J.M./4/6 tanggal 1 Nopember 1969, bagi orang-orang yang
memenuhi syarat sebagai berikut:
a.
Semasa adanya larangan bagi warganegara RI untuk
pergi ke Taiwan dan meninggalkan Indonesia sebagai
warganegara RI dengan passport RI;
b.
Mereka tiba kembali ke Indonesia dengan visa masuk ke
Indonesia, dan visa itu dikeluarkan dari HongKong.
Dengan Kebijakan Pintu Terbuka, Mungkinkah Pelaksanaan UUD
dimurnikan?
Dengan semboyan “Memurnikan pelaksanaan UUD 45”,
Bung Karno disingkirkan, katanya secara “konstitusional”, karena
dengan persetujuan MPRS. Tapi jelas bahwa komposisi politik MPRS
dan DPR-GR terlebih dahulu dirombak dengan menyingkirkan
pendukung setia Bung Karno, sehingga imbangan kekuatan
46
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
sangat tidak menguntungkan Bung Karno. Pendukung setia Bung
Karno satu persatu ditangkap untuk ditahan tanpa proses hukum.
Bahkan ketua MPRS Chaerul Saleh harus meninggal di dalam ta
hanan dan kemudian kedudukannya diganti oleh jenderal A.H.
Nasution. Perubahan komposisi sedemikian menunjukkan bahwa
Bung Karno tidak disingkirkan secara “konstitusional”, melainkan
diserobot kekuasaannya.
Disingkirkannya Bung Karno sebagai Presiden pertama
RI dan disahkannya Jenderal Suharto semula sebagai pejabat
Pre siden dan kemudian dikokohkan sebagai Presiden kedua RI,
melahirkan berbagai keputusan yang perlu diperhatikan. Jenderal
Suharto mengeluarkan keputusan pertamanya: melarang PKI dan
semua ajaran Marxisme-Leninisme. Tindakan pelarangan sepihak
terhadap satu organisasi dan partai politik tanpa melalui proses
HUKUM, tentu saja menimbulkan pertanyaan: Apakah dengan
demikian pelaksanaan UUD 1945 dimurnikan? Padahal pasal
28 UUD 45 itu menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya.
Tindakan lain yang didukung oleh MPRS yang diubah
komposisinya demi “memurnikan UUD 45” adalah pembatalkan
Ketetapan MPRS lama yang berjudul “Banting Stir Untuk BERDIKARI”,
dan kemudian membekukan pelaksanaan pasal 33 UUD selama
5-6 tahun REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun).
Pembekuan pasal ini memungkinkan UU Penanaman Modal Asing
untuk menggali kekayaan alam bumi Indonesia.
Berdasarkan ketetapan MPRS yang kemudian diperkuat
oleh MPR hasil pemilihan umum pertama RI setelah menjalankan
kebijakan ekonomi “pintu terbuka”, telah terjadi peng-katrolan
para pengusaha “pribumi” swasta dengan berbagai macam
bantuan credit dari pemerintah dan berbagai fasilitas. Padahal,
dalam UUD 1945 tidak terdapat satu pasal-pun yang menetapkan
47
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
kedudukan istimewa bagi pengusaha “pribumi” swasta nasional.
Sedangkan Pasal 33 ayat 1 menentukan: “Perekonomian disusun
sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan”. Ini sebagai
kenyataan bahwa istilah “memurnikan” pelaksanaan UUD 1945,
justru meluncur ke tindakan yang mengkhianati cita-cita dan
semangat Proklamasi 17 Augustus 1945.
Tuntutan KENSI untuk meningkatkan pelaksanaan PP-10,
ternyata dikokohkaqn oleh Undang-Undang yang menentukan,
bahwa orang asing hanya diberi kesempatan berdagang selama
10 tahun lagi, yaitu sampai dengan tanggal 1 Januari 1979,
sedangkan usaha industri terbuka bagi orang asing hingga 1999.
UU itu jadi membuka kemungkinan untuk orang asing yang sudah
terlanjur berusaha dagang berubah memilih kewarganegaraan
Indonesia dalam 10 tahun waktu yang disediakan, atau kemudian
mengoper
perusahaannya
kepada
anak-anak-nya
yang
diperkirakan sudah menjadi warga-negara Indonesia. Dengan
demikian proses peralihan perusahaan dari asing menjadi nasional
dapat terjadi dengan diperolehnya status nasional dengan cara
naturalisasi atau pengoperan pada anak-anak-nya.
UU tersebut dikeluarkan untuk meringankan tekanan luar
negeri terutama dari para negeri industri besar, yang diharapkan
bisa memberi bantuan untuk pembangunan ekonomi RI. Tetapi
kalau diteliti, “bantuan” para negeri industri-besar itu hakekatnya
adalah semacam “uang kunci” untuk membuka pintu RI, yang
tadinya menjalankan politik pintu tertutup-BERDIKARI dan kemudian
membuka pintu terbuka lebar untuk masuknya modal asing. Para
negeri industri besar ini ternyata sangat membutuhkan bahanbahan mentah murah kekayaan alam bumi Indonesia, lapangan
penanaman modal yang menjamin keuntungan lebih besar bagi
modal yang ditanam, dan pasaran untuk hasil industrinya. Lalu
kita kenal adanya IGGI (International Governmental Group for
48
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Indonesia) sebagai lembaga yang mengatur dan menyalurkan
bantuan pada RI.
Kesemuanya ini lalu dilanjutkan dengan pembagian
kedudukan ke para jendral dan para teknorat pendukungnya
oleh Jendral Suharto. Diperlukanlah dana untuk membayar para
petinggi pendukung Suharto. Selain dari IGGI, diulang kembali
kebiasaan lama pada tahun 50-an. Ketika itu, banyak panglima
daerah
untuk
mengatasi
kekurangan
anggaran
belanja,
berdagang dan eksport hasil bumi daerah tanpa persetujuan
pusat. Dan biasanya usaha tersebut dilaksanakan dengan bantuan
pengusaha Tionghoa setempat. Melalui mereka dan kontaknya
di Singapura dan Hong Kong hasil setempat ini dipasarkan di
luar negeri. Hubungan demikian saling menguntungkan kedua
belah pihak dan akhirnya meluncur ke apa yang dikenal sebagai
cukong-isme.
Perkembangan ini tentunya mengecewakan para pemuda
dan mahasiswa yang semua mendukung upaya menggulingkan
Bung Karno, karena ternyata sistem yang menggantikan jauh lebih
jelek. Mereka mulai berubah dari pendukung menjadi penentang.
Dan sikap menentang semakin lama semakin sengit dan berani.
Kalau dulu mereka melakukan aksi menentang Bung Karno
didukung oleh militer, kini mereka harus berhadapan dengan militer.
Untuk menyerang militer tentu mengandung resiko. Sedangkan
menyerang para cukong, yang disamakan dengan golongan
Tionghoa, tidak mengandung resiko apa-apa. Terjadilah eksplosieksplosi rasis terhadap golongan Tionghoa, seperti yang terjadi
di Menado dan Bandung pada tahun 1973 yang menimbulkan
korban jiwa dan harta. Kerugian harta yang diderita diperkirakan
sebesar US 3 juta.
Seharusnya disadari bahwa yang ber”dosa”
adalah segelintir cukong Tionghoa saja.
Aksi
para
pemuda
dan
49
mahasiswa
terhadap
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
penyelewengan wewenang para Jendral yang membangkitkan
sistem cukong ini berpuncak pada peristiwa MALARI (Makar Lima
Belas Januari) pada tahun 1974. Ketidak-puasan juga ditujukan
terhadap
membanjirnya
barang-barang
buatan
Jepang.
Pemerintah Suharto menggunakan tangan besi dan menindak
para demonstran dan pendukungnya.
Patut diperhatikan bahwa antara modal USA dalam bidang
pengelolaan sumber kekayaan alam dan Jepang di bidang
industri seperti pembuatan/assembling mobil, sepeda motor dan
barang-barang elektronika terdapat perbedaan. Akan tetapi
kemarahan justru ditujukan ke Jepang, bukan ke USA.
Sebelum terjadi peristiwa MALARI, menjelang Pemilu
pertama di bawah kekuasaan Jenderal Suharto, sementara
tokoh mahasiswa telah mengadakan aksi menentang tidak
demokratisnya pemilu itu. Mereka membentuk apa yang
dinamakan GOLPUT (Golongan Putih), yang memberi suara
belangko di dalam pemilu itu. Memang dibanding dengan pemilu
tahun 1955, pemilu di zaman kekuasaan Jendral Suharto tidak bisa
dikatakan demokratis.
Penguasa,
melalui
badan
intel-nya
terlalu
banyak
mencampuri urusan dalam contestant di dalam pemilu. Daftar
calon harus di-screen terlebih dahulu dengan alasan “security
nasional”. Para calon tidak bisa ditentukan oleh partai-partai
politik. Para pengurus pimpinan partai harus melalui screening
keras. Walaupun kebijakan ini didasari UU, sulit untuk dinyatakan
sebagai tindakan yang “memurnikan” UUD 45.
Apalagi UU yang mengatur susunan DPR dan MPR.
Dirumuskan, hanya 40% dari anggota DPR dan MPR yang dipilih
langsung oleh rakyat. 60% lainnya diangkat oleh pemerintah.
Tidak aneh kalau ada wartawan asing yang menyatakan
di
Indonesia ha nya berlaku 40% demokrasi. Ini tentu bertentangan
50
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
dengan jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Di zaman penjajahan
Belanda, rakyat Indonesia pernah menuntut dicapainya parlemen
yang dipilih langsung oleh rakyat. Di zaman Suharto, MPR yang
merupakan lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, sebagian besar
anggotanya diangkat oleh presiden.
UUD memang merupakan batu-ujian untuk menilai tepat
tidaknya kebijakan pemerintah. Untuk mengetahui siapa yang
berkuasa di satu negeri, orang dapat dengan mudah melihatnya
dari rumusan-rumusan
UUD dan berbagai macam undang-
undang yang berlaku di negeri itu. Dalam hal Indonesia, setelah
Sukarno digulingkan, kita bisa lihat berbagai penyelewengan
yang serius.
UUD 45 dirumuskan oleh orang-orang tidak berdiri di pihak
pengusaha,
tapi
lebih
mendahulukan
kepentingan
rakyat
terba nyak. Dalam pembukaan UUD 45 tercantum dengan tegas,
tugas setiap pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut:
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia;
2.
Memajukan kesejahteraan umum;
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
1.
Pasal 27 ayat 2 UUD 45 menentukan: Tiap warga negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi ke
manusiaan; Pasal 31 menentukan: Tiap warganegara berhak
mendapat pengajaran; Pasal 34 menentukan: Fakir miskin
dan anak2 terlantar dipelihara oleh Negara.
Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa pemerintah belum
melaksanakannya dengan baik.
melaksanakan
pasal-pasal
Memang tidak mungkin
tersebut
sebelum
pasal
33
dilaksanakan secara tuntas. Baik juga dikutip penjelasan
51
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
resmi yang disusun pada akhir 1945 setelah UUD 1945 diUndangkan
untuk
menyegarkan
ingatan
kita
semua.
Penjelasan itu menyatakan: “Kemakmuran masyarakatlah
yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab
itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar
atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai
dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasarkan atas
demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.”
2.
Sebegitu jauh, belum pernah dikeluarkan UU yang memperbaiki
nasib kaum tani, yang merupakan mayoritas jumlah rakyat
Indonesia. Tidak terlihat adanya peraturan yang memperbaiki
nasib tani tanpa tanah garapan, nasib fakir miskin dan anakanak terlantar yang jelas ditetapkan merupakan tugas
negara. Jumlah pengangguran terus meningkat, padahal
adalah tugas negara untuk menjamin adanya pekerjaan
bagi seluruh rakyat. Upah minimum sebagai jaminan setiap
orang bisa hidup layak juga belum dapat dilaksanakan se
bagaimana mestinya.
Akan tetapi, demi kepentingan kaum pengusaha baik asing
maupun domestik, telah dikeluarkan berbagai peraturan
yang menguntungkan mereka. Contohnya adanya “tax
holiday”(kesempatan
berusaha
dengan
bebas
pajak),
peraturan perhitungan pajak demi mendorong para pengusaha
swasta untuk berdagang. Pincang kedengarannya, tapi inilah
dalih me“murnikan” pelaksanaan UUD 45.
Melihat kenyataan ini, orang bisa menyimpulkan bahwa yang berkuasa di Indonesia sekarang ini adalah para
usahawan. Para pengusaha yang menitik beratkan kemakmuran
usahanya sendiri, sebanyak mungkin mengejar keuntungan untuk
kepentingan usahanya sendiri, bukan menitik beratkan usaha
pada kepentingan rakyat banyak.
52
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Dapatlah disimpulkan, bahwa politik “pintu terbuka” yang
dijalankan sekarang ini justru mempersulit upaya memurnikan
pelaksanaan UUD 45 dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu ba
nyaknya orang yang kecewa dan merasa tidak puas akan usaha
pemerintah untuk me“murnikan”pelaksanaan UUD 45 itu. Barisan
orang yang dikecewakan dan tidak puas tentang perkembangan
situasi sekarang ini akan terus bertambah besar.
Dollar Membanjir tetapi Rakyat Terbanyak Tetap Miskin
Dengan politik “pintu terbuka”, dollar membanjir masuk.
Jumlah gedung pencakar langit dan mewah meningkat cepat
sekali . Tapi rakyat terbanyak masih tetap miskin dan RI dikenal
sebagai peng-IMPORT beras terbesar di dunia, sekalipun dikenal
juga sebagai negeri yang tanahnya subur.
Para teknorat Indodnesia merasa sudah berjasa besar pada
rakyat Indonesia dengan meningkatnya jumlah gedung pencakarlangit, merasa bangga dengan lahirnya bilioner “pribumi” yang
mampu memiliki helicopter pribadi. Merasa berhasil karena inflasi
ditekan sampai 16% setahun di dalam tahun1980. Tapi, “jasa”
mereka itu tentu tidak bisa dibanggakan dalam arti sesungguhnya.
Terutama ketika berhadapan dengan para negeri donor di
berbagai meja perundingan di Amsterdam baru-baru ini. Tiap
orang Indonesia tentu tidak bisa merasa bangga, bila delegasi
Indonesia dinyatakan sebagai negeri “pengemis” bantuan dari
negeri industri besar. Penilaian Menteri Belanda De Koning, dalam
memberi alasan untuk membantu Indonesia menyatakan, bahwa
di Indonesia masih lebih 40% Rakyatnya hidup dibawah kemiskinan.
Kenyataan ini tentu mendorong orang untuk meneliti
bagaimana sesungguhnya keadaan Indonesia sekarang ini,
53
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
yang oleh para teknorat dibanggakan berhasil menghimpun
devisa US$.7,5 milyard dollar, tapi tidak mampu berdikari dan
40% rakyatnya hidup di bawah kemiskinan itu. Hasil export minyak
kasar RI selama tahun 1980 mencapai jumlah US$12,285 milyard,
ditambah dengan export gas-alam seharga US$ 2,281 milyar.
Hasil export non-minyak tanah berjumlah US$ 5,404 milyard. Jadi
sekarang ini, seluruh export Indonesia sudah mencapai US$ 19,969
milyard.
Di zaman Bung Karno, hasil export dari minyak-bumi hanya
US$ 60 juta dan seluruh export hanya mencapai US$ 600 juta.
Akan tetapi ia berani dan bertekad untuk melaksanakan politik
berdikari, berusaha melaksanakan cita-cita para pejuang perintis
Kemerdekaan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945.
Bilamana pemerintah Suharto benar ingin
“memurnikan”
pelaksanaan UUD 45, mereka tidak menjadikan
Indonesia
sebagai negara pengemis yang minta-minta bantuan luar negeri.
Persoalannya, terletak pada keinginan dan tekad melaksanakan
cita-cita jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Augustus 1945, untuk
mewujudkan ekonomi nasional berdikari dengan mengerahkan
seluruh kekuatan secara demokratis, tanpa mengecualikan satu
golongan etnis atau golongan ideologi atau golongan agama
apapun juga. Selama masih dihinggapi keinginan mengangkangi
sendiri, mengangkangi kekuasaan dan kemakmuran untuk diri
sendiri saja, berdikari tidak mungkin dilaksanakan. Dan selama itu
tidak bisa menghentikan uluran tangan untuk mengemis bantuan
luar-negeri
Laporan berbagai harian seperti Merdeka, Kompas dan
berbagai majalah seperti Tempo selama tahun 1980 hingga bulan
Agustus tahun 1981 menunjukkan bahwa kebijakan “pintu Terbuka”
gagal memakmurkan rakyat. Membanjirnya dollar Amerika
tidak berhasil membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan.
54
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Sebaliknya harapan para perintis kemerdekaan RFI semakin jauh
dari realisasi.
Keterangan yang menyatakan hanya 40% saja yang hidup
dibawah garis kemiskinan, tentu bisa diragukan kebenarannya.
Karena Menteri Kesehatan RI menerangkan, bahwa manusia
Indonesia membutuhkan 2100 kalories sehari masih harus ditambah
46 gram protein. Tapi, yang tersedia hanya 1700 kalories seorang
plus 37 gram protein. Jadi, kalau berdasarkan perhitungan ini,
tentunya jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan jauh
lebih dari 40%.
Drs.Razak Sabiil dari fraksi PPP di DPR dalam meneliti
anggaran belanja negara tahun 1981-1982, mengemukakan
gambaran yang lebih suram, sekalipun angka-angka itu diperoleh
dari tahun 1976, yaitu sebagai berikut:
• Miskin, berarti mampu makan 320 Kg. beras setahun/per
capita berjumlah 40,5 juta orang;
• Sangat miskin, berarti hanya 240 Kg. beras setahun/per
capita berjumlah 27,5 juta orang;
• Termiskin, berarti hanya 180 Kg. beras setahun/per capita
dan berjumlah 17,2 juta orang.
Dari miskin sampai termiskin dalam tahun 1976 berjumlah
85,2 juta orang, jadi di tahun 1976 penduduk Indonesia lebih dari
60% termasuk kategori miskin, hidup dibawah garis kemiskinan!
Drs.
Razak
Sabiil
juga
menyatakan,
bahwa
struktur
masyarakat Indonesia merupakan A pyramida “terbaik”, karena:
20% dari penduduk menguasai 80-70% pendapatan nasional,
sedang 80% penduduk hanya mendapatkan bagian antara 2030% pendapatan nasional.
Gambaran dan jumlah kemiskinan Rakyat Indonesia juga
dapat diperoleh dengan cara lain, yaitu:
1.
Menurut keterangan Gubernur Jawa Timur, Jenderal
55
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Sunandar, penghasilan nelayan diseluruh Indonesia
yang berjumlah 40 juta orang, ternyata masih dibawah
Kebutuhan
Fisik
Minimum
(KFM),
yang
menurut
penilaiannya harus mencapai jumlah Rp 45.000 setahun
dengan nilai harga beras tahun 1981, Rp 250/Kg.
2.
Yayasan Kesejahteraan Anak2 Indonesia pada bulan
Maret 1981 mengemukakan angka-angka
sebagai
berikut:
a.
40.3% penduduk Indonesia adalah antara 0-15 tahun.
Dari jumlah ini 20 juta adalah anak-anak antara 0-5
tahun.
b.
Kematian anak-anak
“Balita”(bayi dibawah lima
tahun) berjumlah 50%.
c.
36% anak-anak
“Balita” menderita K.K.P. (Kurang
Kalori dan Protein).
d.
3.
40% anak-anak pra sekolah menderita aneamia.
Menurut Gubernur DKI, Ibukota Jakarta-Raya, Jenderal
Tjokropranoto, 30% dari sejuta anak-anak “Balita” di DKI
menderita sakit kelainan otak dan kebodohan, karena
kurang gizi. Dinas Kesehatan DKI melaporkan, bahwa
45% “Balita” menderita kekurangan kalori/protein.
Agus Soedono dari FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia)
menggambarkan, bahwa sebagian terbesar Buruh Indonesia
bekerja dengan upah yang belum bisa mencukupi K.F.M
(Kebutuhan Fisik Minimum). Untuk menggambarkan jeleknya nasib
buruh rokok bisa dikemukakan sebagai berikut:
• Buruh rokok di Indonesia berjumlah 106.000 orang,
ditambah dengan 278.000 pekerja yang hidup dari
perdagangan rokok.
• Upah buruh rokok-putih Rp 28.000 sebulan, atau Rp 935
sehari. Sedang setiap buruh menghasilkan cukai bagi
56
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
negara tiap harinya Rp 17.000
• Upah buruh rokok-kretek hanya Rp 7.000 sebulan, jadi rata2
hanya Rp 230 sehari. Sedang setiap buruh menghasilkan
cukai untuk negara sebesar Rp 2.799 sehari.
• Ongkos untuk upah buruh dari industri rokok di Indonesia
hanya 1.7% saja dari seluruh ongkos produksi.
KFM untuk buruh bujangan harus Rp 27.936 sebulan, sedang
buruh berkeluarga (1 istri dengan 2 anak) harus Rp 63.000 sebulan.
Jadi, buruh yang berkesempatan bekerja masih harus hidup
dibawah KFM, bagaimana dengan banyak orang yang kurang
beruntung dan harus nganggur?
Ada 2 macam angka yang menarik perhatian, yaitu:
1. Menurut fraksi PDI di DPR, jumlah penganggur di
Indonesia kurang lebih 20% dari jumlah penduduk,
yang berarti kurang lebih 29 juta orang;
2. Menteri Muda Abdul Gafur menyatakan ada 14,5 juta
pemuda Indonesia diantara usia 15-30 tahun, yang
lepas sekolah dan menganggur.
Sedang Prof.Dr. Sumitro mengemukakan keterangan,
bahwa selama REPELITA-III perlu diusahakan adanya pekerjaan
untuk 5 X 1,3 juta = 6,5 juta pekerja, karena jumlah pekerja setiap
tahun naik 1,5 juta orang. Tapi perlu juga diperhatikan, bahwa 70%
dari tenaga kerja itu hanya sebagian kecil bertaraf tamatan SD,
jadi sebagian besar belum tamat SD. Harus diperhatikan, bahwa
seluruh tenaga kerja di Indonesia tercatat 59 juta orang.
Pengalamanpun
memberi/menyediakan
membuktikan,
pekerjaan
bahwa
dengan
usaha
mengandalkan
penanaman modal asing dan domestik nasional ternyata tidak
menggembirakan. Sejak PELITA-I (1969) hingga Augustus 1980
telah dibangun dan dilaksanakan investasi sebagai berikut:
•
P.M.D.N. 3512 perusahaan dengan investasi Rp 5,1
57
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
trilioen;
•
P.M.A. dengan 835 investasi Rp.5 Trillioen atau US$ 8.500
milyard.
Jadi, dengan investasi sebanyak lebih dari Rp 10 trillioen itu
hanya bisa menampung pekerjaan pada 1,9 juta orang. Untuk
memberi pekerjaan pada seorang pekerja diperlukan investasi US$
8.500 atau kl. Rp 5 juta. Kenyataan yang kita hadapi, selama 12
tahun ini, penanaman modal asing dan domestik hanya mampu
menampung 1,9 juta orang pekerja, sedang jumlah tenaga kerja
setiap tahunnya meningkat dengan 1,5 juta orang. Dan perlu
diperhatikan, bahwa dengan masuknya PMA dan adanya PMDN,
banyak perusahaan-perusahaan kecil, yang mampu menyediakan
kerja pada banyak orang, karena bersifat labour-intensive, gulung
tikar. Tidak lagi mampu bersaing dengan para perusahaan modal
asing dan PMDN yang menggunakan lebih banyak mesin-modern.
Jumlah pengangguran dengan demikian meningkat lebih besar
dengan gulung tikarnya pabarik-pabrik biskuit, permen, limun
dllnya lagi. Bahkan mungkin peningkatan pengangguran lebih
besar jumlahnya dibandingkan penampungan tenaga kerja yang
bisa dihasilkan dengan PMA dan PMDN selama 12 tahun ini.
Kalau “pintu terbuka” ternyata tidak bisa menolong
mengatasi masalah perburuhan, lalu bagaimana dengan nasib
kaum tani?
Berdasarkan
sensus
1980,
penduduk
Indonesia
yang
berjumlah 147 juta orang, 65% dari jumlah ini berusia dibawah
25 tahun, 82% dari jumlah penduduk itu hidup tersebar di 61.158
desa. Untuk menggambarkan suramnya penghidupan ekonomi
di desa-desa dapat dikemukakan, bahwa hanya 20% dari jumlah
uang dalam peredaran yang beredar di-desa-desa. 70% dari
jumlah uang peredaran berada di Jakarta-Raya, sedang 10% lagi
beredar di-kota-kota besar lainnya.
58
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Bayangkan, 70% kaum tani di Indonesia adalah termasuk
petani “guram”, artinya hanya memiliki tanah tidak lebih dari
0,23 Ha. Usaha untuk melaksanakan “landreform”, pembagian
tanah pada penggarap tanah, yang sudah dimulai di zaman
Presiden Sukarno sejak tahun 1960 masih tetap saja macet. Karena
banyak “bapak-bapak” di kota besar, yang dikenal sebagai OKB,
memborong tanah sebagai penanaman modal tabungannya.
Yang dianggap pembelian tanah merupakan “wardavast”, lebih
kokoh nilainya daripada membeli emas. Penimbunan tanah
demikian ini, tentunya mengurangi daya produksi di desa-desa.
Oleh karena itu berkurang napsu menggarap tanah, atau tanah
digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan.
Jadi, “pintu terbuka” dengan menyisihkan pelaksanaan pasal 33
UUD 1945, tidak menimbulkan perbaikan bagi kaum tani Indonesia
dan tidak membawakan perkembangan baik bagi desa-desa di
Indonesia.
Di atas dikemukakan, bahwa 70% tenaga kerja Indonesia
yang masih menganggur dan perlu diberi pekerjaan belum
mencapai tamat SD. Kenyataan ini tentunya harus mendorong
perbaikan tingkat pendidikan di Indonesia, apalagi perusahaan
modern biasanya lebih banyak menggunakan mesin yang tidak
lagi memerlukan pendidikan sekolah lebih tinggi.
Perkembangan dunia pendidikan lebih mengecewakan
lagi. Tiap tahun terjadi kekurangan tempat sekolah bagi anak-anak
yang harus sekolah. Jumlah permintaan untuk tempat sekolah jauh
melebihi dari persediaan bangku sekolah yang ada. Sehingga
menimbulkan semacam “perdagangan” tempat duduk sekolah
dan hanya menguntungkan mereka yang “mendagangkan”
bangku sekolah. Keadaan di kota metropolitan Jakarta Raya
sendiri, masih menyedihkan. Pada tahun 1981, menurut Sekretaris
Kantor Wilayah PDK Jakarta harus disediakan tempat duduk
59
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
SMP untuk kl. 100.000 lulusan SD. Tahun lalu (1980) yang lulus SD
ada 112.000, tapi karena orang tua banyak yang tidak mampu
meneruskan
anaknya
sekolah,
maka
yang
mendaftarkan
untuk masuk SMP hanya 85.000 anak saja. Kemampuan untuk
menampung anak-anak masuk SMP di Jaya (Jakarta Raya) hanya
64.000 saja. Lulusan SMP tahun 1981 diduga 76.000 anak, sedang
penampungan SMA hanya mampu menampung 27.000 anak
saja. Kalau keadaan pendidikan di ibukota Jakarta Raya, kota
yang sudah menjadi metropolitan, masih demikian menyedihkan,
bagaimana keadaan di-kota-kota lain? Dan tentu lebih tidak bisa
dibayangkan bagaimana keadaan pendidikan di-desa-desa.
Menurut Prof. Soedarto SH - Rektor Universitas DiponegoroSemarang, jumlah lulusan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas)
tahun 1981 ada 510.00 orang, tapi daya tampung seluruh universitas
negeri dan swasta hanya 123.000 orang saja. 10 Universitas negeri
hanya mempunyai daya tampung 14.500 orang saja.
Prof.Dr. DA Tiana Amidjaya, DirJen Pendidikan Tinggi, menghitung
persentasi daya penampungan seluruh universitas di tahun 1975
masih berjumlah 32% dari seluruh lulusan SLTA, tapi di tahun
1981 merosot menjadi hanya 11% saja, karena pembengkakan
jumlah lulusan SLTA jauh melebihi imbangan kenaikan jumlah
penampungan bangku sekolah perguruan tinggi. Selanjutnya
dikatakan juga, bahwa produktivitas semua fakultas perguruan
tinggi Indonesia hanya mencapai 4% saja. Yang terbaik adalah
fakultas kedokteran dengan index produktivitas 10%, disusul
fakultas pertanian, teknik dan terakhir hukum. Dijelaskan, index
produktivitas itu adalah jumlah mahasiswa yang lulus dibanding
dengan jumlah mahasiswa yang ada dan yang paling ideal
seharusnya 20%.
Jadi, keadaan pendidikan dan perguruan tinggi di
Indonesia sangat mengecewakan. Tertinggalnya penampungan
60
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
masuk sekolah bagi anak-anak sekolah ternyata membuat ilmu
di Indonesia berkembang menjadi “barang dagangan” dengan
harga yang cukup tinggi. Bahkan harga untuk bisa masuk
universitas swasta cukup lumayan, tercatat lebih tinggi dari harga
tiket plane bolak-balik ke Eropah. Tentu akibatnya pendidikan
perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang orang
tuanya maha mampu saja dan bukan berdasarkan kepandaian
dari anak-anak itu sendiri.
Selama 20 tahun di bawah Presiden Sukarno berkuasa,
jumlah hutang luar-negeri hanya mencapai US$ 2,5 milyard. Di
bawah Jendral Suharto dengan “pintu terbuka” itu, hutang luarnegeri telah mencapai US$ 16,6 milyard dengan catatan, masih
ada “Public Debt” (hutang umum) RI yang telah mencapai US$
23 milyard pada 1 Juni 1981. Disamping itu perlu ditegaskan juga,
bahwa harga minyak bumi Indonesia yang diexport sejak tahun
1973 terus meloncat naik, sehingga menurut Menteri Keuangan
dalam bulan April yl., hasil export RI telah mencapai jumlah US$
21 milyard dan dengan cadangan devisa mencapai jumlah US$
8 milyard.
Musyawarah Daerah Dewan Harian Angkatan 45 harus
menyatakan, bahwa sumber kerawanan sosial-politik selama
dasawarsa 80-an ini adalah:
1. Suasana ketidak adilan;
2. Pengingkaran azas kerakyatan;
3. Belum terwujudnya pemerataan kemakmuran.
Sebuah penilaian dari organisasi Angkatan 45 yang
tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja.
Perut Manusia Tetap tidak kenyang
61
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Membanjirnya
dollar
ternyata
Siauw Giok Tjhan
tidak
membebaskan
rakyat Indonesia dari kemiskinan. Hanya segelintir orang yang
berkuasa dan yang mengatur banjirnya dollar ke Indonesia yang
memperoleh faedah, karena sebagian
mengalir ke kantong-
kantong pribadi mereka.
Apa yang dilaporkan Consortium Bank International yang
dikutip Jean Jaques Gugenheim dalam tulisannya yang berjudul
Le Development du Sous-development en Indonesia yang
dimuat dalam Le Monde Diplomatique, April 1977, menyatakan,
bahwa tiap tahun terdapat UD$ 300 juta barang yang diekspor
dari Indonesia. Tapi apa yang diekspor dan untuk siapa, tidak
diketahui. Ada contoh lain. Uang simpanan haji Thahir pada 3 Bank
Asing di Singapore yang mencapai jumlah US$ 80 juta, sedangkan
yang masih disengketakan dalam pengadilan di Singapura US$
35 juta. Haji Tahur adalah sekretaris Jendral Ibnu Sutowo, Direktur
Utama Pertamina.
Gaji resmi yang diperolehnya adalah US$
9.000 setahun. Ketika meninggal dunia ia bisa meninggalkan
warisan US$ 80 juta. Haji Tahir dinyatakan sebagai pahlawan dan
dimakamkan di Taman Pahlawan. Tidak dijelaskan mengapa ia
dianugerahkan predikat pahlawan, mengingat lebih dari separuh
rakyat Indonesia hidup di bawah kemiskinan dan di bawah garis
KFM, tetapi ia ternyata tega menghimpun kekayaan untuk dirinya
sendiri dari kegiatan di Pertamina.
Ada contoh-contoh lain yang tidak kalah mengherankan.
Banyak penguasa memiliki gedung-gedung pribadi yang mewah,
bahkan lebih mewah dari Istana Merdeka. Ada seorang pejabat
yang bisa memiliki ranch dengan kuda-kuda balap import. Ongkos
makan satu kuda sehari sudah lebih dari cukup untuk ongkos hidup
satu keluarga (empat orang) – berdasarkan KFM.
Prof.Dr. Sumitro sebagai Menteri Research, mengakui bahwa
62
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
penggunaan anggaran belanja negara mengalami “kebocoran”
antara 30-40% dan atas dasar perhitungan pengeluaran anggaran
belanja kl. US$10 milyard. Ini berarti uang negara yang lenyap
akibat “bocor” itu kl. US$. 3 hingga 4 milyard. “Bocor” berarti tidak
bisa dipertanggung jawabkan ke mana perginya dan digunakan
untuk apa.
DPR, Badan Pemeriksa Keuangan dan MPR ternyata
tidak ber“gigi” untuk
memeriksa dan mengatasi ke“bocoran”
keuangan negara itu. Orang tentu bisa menghitung sendiri, kalau
jumlah uang ke“bocoran” itu digunakan untuk perbaikan nasib
rakyat banyak, tentu kemiskinan di Indonesia bisa diakhiri dengan
lebih efektif.
UUD
1945
menampilkan
keinginan
para
perintis
kemerdekaan, yaitu diubahnya struktur masyarakat kolonial ke
masyarakat di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Yang
diutamakan bukanlah penggantian importir Belanda menjadi
importir “pribumi”, dan tidak ada maksud sama sekali mengganti
importir atau eksportir Tionghoa dengan importir dan eksportir
“pribumi”. Yang diinginkan adalah usaha membangun ekonomi
nasional yang demokratis dan mampu memakmurkan kehidupan
Rakyat terbanyak, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 33,
yang
jelas menyatakan: “1. Perekonomian disusun sebagai
usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan; 2. Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai
hajat orang ba nyak dikuasai oleh negara; 3. Bumi, dan air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
Rakyat.” Sekali lagi perlu digaris bawahi “untuk sebesar-besarnya
kemakmuran Rakyat”. Bukan untuk sementara pejabat, sementara
penguasa atau keluarga dan sekomplotannya saja.
Dari sini jelas terjadi penyelewengan serius. Mari kita lihat
63
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
perkembangan yang mendukung kesimpulan ini:
Usaha utama pemerintah adalah untuk menciptakan
pengusaha swasta nasional, terutama dalam usaha mengkatrol
pengusaha “pribumi” dengan bantuan kredit sampai berjumlah
Rp. 700 juta perorang. Tapi, ternyata tidak sembarang “pribumi”
bisa mendapatkan bantuan kredit guna bisa berpartisipasi
dagang. Hanya para perwira tinggi sajalah yang berhasil menjadi
usahawan yang berpartner dengan PMA atau PMDN.
Research yang dilakukan oleh Drs. Christianto menunjukkan,
bahwa
dari
2061
perusahaan
PMDN
hanya
968
yang
mengumumkan akta-nya. Modal dasar usaha PMDN yang
diteliti ada Rp.1,4 trillioen. Modalnya 26,9% menjadi milik “nonpribumi”, 11,2% menjadi milik “pribumi” dan 58.75% dimiliki oleh
para perusahaan negara. Jadi, di bidang PMDN ini tidak dapat
dikatakan, bahwa kedudukan “non-pribumi” dominant. Walaupun
demikian, BKPM tetap merasa belum puas dan pada tahun 1981
diusahakan supaya PMDN berwarna “pribumi” dengan proses
mengalihkan pemilihan saham, sehingga mencapai imbangan
50% “pribumi” dan 50% “non-pribumi”, dan pimpinan usaha juga
harus mencapai imbangan 50 : 50.
Kebijakan memberi bantuan kredit ke para pe ngusaha swasta
“pribumi” hanya untuk memperkokoh kedudukan penguasa.
Jumlah macam kredit yang diberikan selalu bertambah dengan
jumlah yang meningkat menjelang pemilihan umum. Karena yang
diberi kredit itu tentu saja adalah orang-orang terpilih. Melalui
pemberian kredit diharapkan cengkraman atas “floating mass”
– rakyat tidak berpolitik – semakin kuat, sehingga memudahkan
pemerintah menguasai situasi.
Selain kerdit istimewa untuk pedagang “pribumi” ada lagi
berbagai bentuk kredit kredit mini, KIK (kredit investasi kecil), KMKP
(Kredit Modal Kerja Permanen), dan paling kecil Kredit Candak
64
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Kulak untuk bakul-bakul di pasar. Menurut keterangan Gubernur
Bank Indonesia kepada Komisi VII DPR, untuk dua macam kredit
saja, yaitu KIK dan KMKP Bank Indonesia harus mengeluarkan uang
sebanyak Rp 1,5 milyard sehari.
Jumlah kredit-kredit kecil itu telah mencapai jumlah
65% dari seluruh kredit yang diberikan oleh pemerintah pada
para pengusaha swasta “pribumi” pada tahun 1980. Menteri Ali
Wardhana menerangkan, bahwa dalam waktu 1½ tahun, jumlah
penerima KIK meningkat dari 40 ribu orang menjadi 80 ribu orang,
sedang penerima kredit KMKP dari 300 ribu orang meningkat
menjadi 700 ribu orang.
Akan tetapi kalau dilihat cara pemberian kredit demikian
ini merupakan usaha pembagian rejeki, bahkan dengan tujuan
politik tertentu, yaitu penerima kredit adalah para tokoh di desadesa yang dapat menghimpun suara dalam pemilu. Di pihak
lain, terjadi juga kemacetan pemberian kredit oleh Bank Rak yat
Indonesia, antara tahun 1970-1979 tercatat kemacetan kredit
sampai berjumlah Rp 2 trillioen, disamping penghapusan pinjaman
kredit pada tahun 1979 mencapai Rp 10 milyard.
Pemberian kredit-kredit yang begitu besar ternyata tidak
membawakan pengaruh yang baik dalam usaha mengurangi
jumlah pengangguran dan kemakmuran rakyat Indonesia. Proses
pembagian “rejeki” itu gagal meningkatkan taraf hidup rakyat.
Penghasilan negara-pun dari pajak-pajak yang seyogyanya
meningkat karena keberadaan para usaha yang memperoleh
kredit ini, tidak bertambah.
Menjelang pemilu tahun 1982, penguasa ternyata merasa
perlu untuk memperluas usaha mengkatrol para pengusaha
“pribumi”. Untuk itu dikeluarkanlah Keputusan Presiden No.14 tahun
1980 yang kemudian disempurnakan menjadi Kep.Pres. No.14
A/1980. Dibanding dengan kredit2 kecil seperti yang dikemukan
65
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
diatas itu, Kep.Pres No.14-A ini dapat dikatakan menunjukkan
“kemajuan”, yaitu istilah “ekonomi lemah” tidak lagi diartikan 100%
pribumi. Keputusan Presiden ini hendak mendorongkan assimilasi
ekonomi dengan dibuatnya ketentuan “ekonomi lemah” adalah
perusahaan yang 50% modalnya dimiliki oleh “pribumi” dan
sebagian besar pengurusnya atau lebih dari separoh terdiri dari
“pribumi”.
kita menghadapi kejanggalan dengan sebutan istilah
“ekonomi lemah”, karena adanya ketentuan yang memberikan
pembatasan bahwa, untuk perusahaan dagang dan jasa, hak
milik yang bebas dari ikatan hutang tidak melebihi Rp 25 juta,
sedang untuk perusahaan industri dan kontraktor bangunan hak
milik yang bebas dari ikatan hutang tidak melebihi Rp.100 juta.
Dengan demikian, sebagian terbesar dari perusahaan yang ada
hak milik-nya masih di atas angka-angka yang ditetapkan. Jadi,
mereka itu tidak bisa “menikmati” bantuan khusus yang terkandung
dalam Kep.Pres. No.14-A/1980 itu. Bisalah disimpulkan bahwa Kep.
Pres itu bukan untuk “melindungi” golongan yang sungguh lemah
ekonominya, tapi hanya bertujuan untuk memberi kesempatan
pada golongan pengusaha tingkat tertentu saja.
Harus diterima kenyataan bahwa dengan pelaksanaan
Kep.Pres.14A/1980 yang kemudian disempurnakan dengan Kep.
Pres.18/1981, ada sejumlah pengusaha Tionghoa yang turut
berkembang dan menjadi kaya raya. Dengan adanya kerja sama
dengan para pengusaha “pribumi” mereka-pun memperoleh
keuntungan.
Keadaan ini menimbulkan ketidak puasan di
kalangan rakyat sehingga mudah membangkitkan eksplosi rasis.
Para pihak oposisi tidak terlalu berani menghantam pemerintah
yang dikuasai para jendral. Para penguasa yang turut menjadi
kaya raya memerlukan kambing hitam untuk mengarahkan
kekecewaan dan kemarahan rakyat – ke golongan yang mudah
66
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
diserang, yaitu golongan Tionghoa.
Akhirilah Status “Anak Ngenger”
UUD 1945 pasal 27 ayat 1 hanya mengenal satu macam
warga-negara dengan kedudukan sama dalam hukum dan
pemerintahan. Panca Sila mengenal sila Kemanusiaan yang
adil dan beradab, sehingga Nasionalisme Indonesia yang
mengandung unsur Kemanusiaan yang adil dan beradab tentu
tidak akan meluncur ke chauvinisme dan rasisme.
Sila ini juga mengharuskan Indonesia bersih dari napsu saling
tindas-menindas dan dengan adil memperlakukan segenap
warga yang ada, tanpa perbedaan atas dasar ras atau kesukuan.
Dengan demikian tidak diizinkan memperlakukan satu suku atau
golongan sebagai anak ngenger atau anak tiri.
Jiwa Proklamasi 17 Augustus 1945 menjanjikan untuk menjadikan
setiap Indo Europa dan Indo Asia warga-negara Indonesia sejati.
Dengan sendirinya segala warisan kolonial yang berbau diskriminasi
rasial harus dihapus, karena tidak mungkin orang bisa menjadi
warga-negara Indonesia sejati, bila ia diperlakukan sebagai anak
ngenger. Proses perkembangan menjadi warga-negara Indonesia
sejati pasti akan lebih mudah, bila ia merasa diperlakukan sama
sebagaimana warga yang lain, yang memperkokoh “sense of
belonging”.
Kita menghadapi kenyataan, bahwa dengan Proklamasi
Kemerdekaan tidak berarti susunan masyarakat kolonial yang
ada diakhiri dan berubah menjadi susunan masyarakat nasional
sebagaimana diharapkan. Ini adalah sebuah perjuangan yang
harus mengerahkan seluruh kemampuan nasional yang ada untuk
mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan
sebagai kenyataan. Tidak mudah, memerlukan kesabaran dan
67
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
keuletan yang kuat dalam perjuangan jangka panjang.
Lambang Negara RI melukiskan adanya kebutuhan membina
kesatuan bangsa dan kesatuan kemauan, walaupun di dalam
tubuh Rakyat Indonesia terdapat banyak macam perbedaan
etnisitas, perbedaan agama, perbedaan adat-istiadat dan
kebiasaan hidup. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya
untuk didengar saja tetapi harus diwujudkan dalam kenyataan
hidup se-hari-hari.
Semua ini adalah “das Sollen”, yaitu satu keinginan yang
semestinya demikian. Tapi kenyataannya atau “das Sein”
Bhinneka Tunggal Ika masih jauh dari diwujudkan. Ilmu politik
sendiri mengakui, bahwa masalah minoritas etnis Tionghoa bukan
saja dapat dijadikan “dongkrak” untuk menimbulkan persoalan
Nasional, tapi juga bisa digunakan sebagai “dongkrak” untuk
menimbulkan persoalan Internasional. Kenyataan ini perlu disadari
untuk dapat menimbulkan suasana atau iklim Nasional yang
memungkinkan terwujudnya “Bhinneka Tunggal Ika” berlandaskan
Kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam meneliti “das Sein” nasib peranakan Tionghoa
khususnya di Indonesia, kita menyaksikan berbagai macam
ketentuan yang menyebabkan mereka merasa dianak-tirikan.
Adanya berbagai ketentuan yang bertentangan dengan UUD 45,
dan yang bertentangan dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan.
MPR sebagai badan tertinggi pelaksanaan kedaulatan di tangan
Rakyat, ternyata tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah
pelanggaran UUD itu.
Mari kita teliti berbagai kebijakan yang menunjukkan bahwa
golongan Tionghoa yang seharusnya diperlakukan sebagai salah
satu suku di Indonesia, diperlakukan sebagai anak tiri atau anak
ngenger:
1.
Di zaman Bung Karno peranakan Tionghoa bisa menjadi
68
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
perwira Angkatan Bersenjata dan bisa mencapai posisi
penting, antara lain direktur Bank Indonesia. Di zaman
Suharto, sejak tahun 1965, di mana dilaksanakan
kebijakan pembauran, ternyata berakibat jumlah yang
menjadi perwira dan yang bisa mencapai posisi penting
doi berbagai lembaga pemerintahan turun drastik.
2.
Sistem penerimaan mahasiswa di universitas-universitas
negara mengadakan perbedaan antara “pribumi” dan
“non-pribumi”. Demikian juga kesempatan bekerja untuk
mereka yang selesai belajar di luar negeri diadakan
perbedaan atas dasar asal keturunan. Bahkan dalam
rangka mendorongkan “pembauran” dengan “kawin
silang” ada yang mengatakan, dalam penerimaan
mahasiswa di Universitas negeri kemungkinan calon
wanita peranakan Tionghoa diterima adalah lebih
besar daripada calon pria. Penerimaan mahasiswa suku
Tionghoa di universitas swasta juga dibatasi, tidak boleh
melebihi jatah 30% dari jumlah penerimaan mahasiswa.
Penerimaan murid di sekolah-sekolah negeri pun dilakukan
perbedaan berdasarkan asal keturunan. Ini melanggar
UUD 45 yang menentukan kesempatan meningkatkan
ilmu dan pendidikan, harus diberikan kepada setiap
warga di Indonesia tanpa membedakan asal keturunan.
3.
Seorang tukang jual baso dari Tanggerang, karena
bernama A Sam dan tukang jual sate-babi bernama A
Kong, tidak mungkin bisa memperoleh kredit KIK/KMKP
untuk membuka restoran. Mereka karena keturunan
Tionghoa dan dianggap dianggap sebagai “ekonomi
kuat”. Sedangkan Hasan, yang tinggal di Pluit dan memiliki
rumah seharga 50 juta rupiah dengan mobil sedan
mewah, bisa mendapatkan bantuan kredit dengan
69
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
mudah karena termasuk “pribumi” yang dianggap
sebagai....“ekonomi lemah”
4.
Akibat dari pelaksanaan Kep.Pres.14-A/1980, seorang
pengusaha
turunan
Tionghoa
mendapat
kesulitan
untuk memperoleh kontrak untuk mensuplai
barang
guna jawatan Pemerintah atau untuk melaksanakan
pembangunan proyek Negara ataupun daerah.
5.
Kartu Penduduk setiap warganegara Indonesia keturunan
Tionghoa diberi tanda kode tertentu, supaya jelas
diketahui bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa,
walaupun sudah ganti-nama dengan nama yang tidak
Tionghoa.
6.
Warga-negara Indonesia keturunan Tionghoa diwajibkan
memiliki
apa
yang
dinamakan
Surat
Keterangan
Kewarganegaraan Indonesia yang dikeluarkan oleh
Departemen Kehakiman.
7.
Bila seorang keturunan Tionghoa telah ganti nama, ia
diwajibkan mempunyai surat keterangan dari Pengadilan
Negeri, bahwa namanya telah diganti menurut prosedur
sah.
8.
Bank Indonesia mengeluarkan instruksi yang menonjolkan
syarat “pribumi”:
a. Bila perusahaan sepenuhnya milik pribumi, maka
perusahaan itu bisa mendapatkan segala jenis kredit;
b. Perusahaan
milik
non-pribumi
hanya
dapat
dipertimbangkan untuk memperoleh kredit investasi
dan bentuk2 kredit lain, bila:
(1) berpartner dengan orang2 pribumi dengan
komposisi modal 75% milik pribumi dan jumlah
pengurus aktif se-kurang2nya 50% adalah pribumi;
(2) Se-kurang2nya 50% saham dimiliki oleh pribumi dan
70
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
75% pengurus aktif adalah orang-orang pribumi
Instruksi demikian dikeluarkan dengan alasan ekonomi
Indonesia masih didominasi oleh golongan etnis Tionghoa.
Pendapat tersebut sulit didukung mengingat kenyataan bahwa
sebagian besar ekonomi masih berada di tangan perusahaanperusahaan negara dan multi-nasional.
Rasisme yang dilakukan khusus untuk golongan Tionghoa
menimbulkan berkurangnya self-respect, berkurangnya harga diri
pada tidak sedikit di kalangan pemuda Tionghoa, karena orang
tua mereka selalu menekankan untuk menelan saja segala ejekan,
penghinaan dan perlakuan kurang ajar yang terjadi di masyarakat
terhadap dirinya. Mereka khawatir bahwa adanya perlawanan
akan meluncur ke eksplosif rasis yang lebih merugikan.
Kalau ada bencana alam, para korban akan dibantu
oleh berbagai lembaga dan usaha gotong royong. Tapi bilamana
ada ledakan rasis, korban-korbannya tidak memperoleh bantuan
apa-apa. Tidak ada badan yang membantu. Bilamana usaha
dagangnya, seperti toko kecil dan warung kecil dirusak, mereka
tidak bisa memperoleh kredit untuk memulai kembali usahanya.
Pengrusakan yang dialami usaha Tionghoa yang cukup besar
menimbulkan pengangguran, karena mereka terpaksa harus
menghentikan banyak pegawainya. Jadi eksplosi rasis terhadap
golongan
Tionghoa sebenarnya juga memberi dampak negatif
terhadap masyarakat luas.
Memang, untuk mewujudkan cita-cita yang dirumuskan
dalam Pembukaan dan UUD 1945, diperlukan untuk menggalang
kemauan bersatu, diperlukan kebulatan tekad dari semua kekuatan
dan semua golongan yang ada dalam masyarakat Indonesia,
termasuk suku
Tionghoa.
Proses peralihan struktur masyarakat
kolonial menjadi masyarakat Panca Sila, yang mengandung
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta melaksanakan
71
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Keadilan Sosial untuk seluruh Rakyat tanpa ada yang dikecualikan,
adalah sebuah proses dan tugas yang berat.
Modal raksasa asing merasa dirugikan dengan terwujudnya
peralihan struktur masyarakat kolonial menjadi masyarakat Panca
Sila. Tentu mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghambat.
Demi mempertahankan menyedot kekayaan alam Indonesia,
mereka tentu berusaha untuk membelokkan pelaksanaan UUD
1945. Usaha mereka itulah yang menyebabkan Bung Karno
selalu menghadapi hambatan dan ganjelan-ganjelan dalam
usaha melaksanakan setiap kebijakannya. Usaha penggalangan
Persatuan Nasional yang kokoh dengan mengembangkan
kemauan berpartisipasi dari seluruh golongan, seluruh kekuatan
politik, seluruh agama yang ada dan hidup di Indonesia,
mendapatkan rongrongan yang hebat. Karena adanya Persatuan
Nasional yang kuat memungkinkan Bung Karno melaksanakan
kebijakan politiknya, termasuk kebijakan ekonomi berdikari, yang
pada hakekatnya akan meniadakan modal-modal asing besar di
Indonesia.
Far Eastern Economic Review, 4 Juni 1981 mengungkapkan
laporan
Bank
Dunia
yang
semula
dirahasiakan,
bahwa
modal asing raksasa tidak bisa membenarkan usaha memperkokoh
kedudukan Perusahaan Negara dalam rangka pelaksanaan pasal
33 ayat 2 UUD 45. Mereka menganjurkan, supaya tidak dilakukan
pengendalian terhadap pasar bebas, menggunakan cara
bekerja kapitalis yang efficient dan menghentikan campur tangan
dalam industri pokok yang membutuhkan modal besar. Kritik
Bank Dunia, bahwa perusahaan-perusahaan negara masih diurus
secara milik feodal, sehingga pengelolaannya memperkaya dan
meningkatkan taraf hidup mereka yang berkuasa, bukan demi
kepentingan dan kemakmuran Rakyat terbanyak.
Laporan Bank Dunia itu juga mengingatkan kita, bahwa para
72
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
technocrat seharusnya menggunakan “bonanza”(rejeki nomplok)
akibat meloncat tingginya harga minyak untuk kepentingan
peningkatan kemakmuran rakyat terbanyak, bukan digunakan
untuk memperkaya diri sementara penguasa.
Pengalaman membuktikan, bahwa masalah Tionghoa
tidak bisa diselesaikan hanya dengan ganti-nama yang dikatakan
sebagai
langkah
pertama
untuk
menghilangkan
etnisitas
Tionghoa. Orang yang sudah ganti-nama tetap diberi kode yang
mempertegas dia tetap adalah keturunan Tionghoa, dan tetap
ada berbagai kebijakan yang menyisihkan Tionghoa sebagai
golongan yang di anak tirikan.
Aksi ganti-nama kemudian ditingkatkan menjadi aksi ganti
agama. Tionghoa dianjurkan masuk agama Islam, sebagai
agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Kita harus ingat
bahwa ketika merumuskan Sila Nasionalisme, fihak Islam dan Liem
Koen Hian menuntut adanya ketegasan agar nasionalisme tidak
meluncur menjadi chauvinisme dan rasisme, sehingga ditambah
Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, seharusnya
golongan Islam tidak mempersoalkan apakah golongan Tionghoa
masih ingin mempertahankan ciri-ciri etnisitas Tionghoa-nya atau
tidak. Agama Islam juga menegakkan Kemanusiaan yang adil
dan beradab, setiap orang berhak dan mempunyai kebebasan
untuk menentukan nama-nya sendiri, setiap orang berhak dan
mempunyai kebebasan untuk menentukan pasangan hidupnya
sendiri dan setiap orang berhak dan mempunyai kebebasan
untuk me nganut agama sesuai dengan kepercayaannya sendiri.
Masalah nama, masalah perkawinan dan masalah agama adalah
masalah pribadi seseorang, yang tidak bisa dicampuri siapapun.
Lagi pula ganti nama, ganti agama dan kawin campuran tidak
akan menyelesaikan masalah Tionghoa. Kebijakan rasis tetap
berlangsung. Eksplosi rasis tetap saja terjadi.
73
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Penyelesaian masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari
upaya pembangunan masyarakat Pancasila berdasarkan UUD 45
dan pembukaannya. Sukju Tionghoa harus menunggal dengan
rakyat Indonesia dan menjadikan asiorasi rakyat Indonesia aspirasi
mereka sendiri.
Kesadaran ber-konstitusi dan kemauan melaksanakan konstitusi
secara sungguh-sungguh perlu dikembangkan sehingga sanggup
mencegah pelanggaran
konstitusi dan mencegah interpretasi
yang disesuaikan dengan selera masing pihak penguasa.
Yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 dalam
arti sesungguhnya. MPR dan DPR harus sepenuhnya diisi oleh orangorang yang dipilih rakyat secara langsung, bebas dan rahasia.
Sistem pengangkatan anggota DPR dan MPR oleh Pre siden harus
dihentikan.
Untuk memperkokoh pelaksanaan berbagai ketentuan UUD
45, antara lain pasal 27 ayat 1, yang menjamin persamaan antara
semua warga-negara, maka terasa perlu ada penambahan
undang-undang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,
yang memungkinkan dilakukan penuntutan dan ancaman
hukuman penjara seberat-beratnya terhadap mereka yang
menganjurkan atau melakukan praktek diskriminasi rasial. Tindakan
diskriminasi rasial harus dinyatakan sebagai kejahatan, yang harus
dijatuhi hukuman penjara yang berat. Di banyak negeri, termasuk
Nederland sudah memberikan teladan dalam masalah ini.
Pembukaan UUD 1945 menyatakan, perlunya membentuk
suatu Pemerintah Negara Indonesia dengan tugas:
1.
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia;
2.
Memajukan kesejahteraan umum;
3.
Mencerdaskan kehidupan bangsa;
4.
Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
74
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Kita semua pasti memandang Indonesia dengan
rasa bangga, bila apa yang dicantumkan dalam Pembukaan
UUD itu diwujudkan. Terutama dalam melaksanakan tugas keempat itu, yang mewajibkan Indonesia selalu berdiri tegas untuk
ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan Keadilan Sosial yang mengakhiri kemiskinan
dunia.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan sebagai
berikut:
1.
Masalah minoritas etnis di negeri bekas jajahan tidak dapat
diselesaikan sendiri oleh golongan yang bersangkutan.
Penyelesaian masalah etnis berkaitan erat sekali dengan
masalah pokok nasional, yaitu masalah transisi, masalah
peralihan masyarakat warisan penjajah bersifat kolonial
menjadi masyarakat nasional yang demokratis, masyarakat
yang tidak lagi mengenal sistem penindasan manusia oleh
manusia, masyarakat yang sanggup menjamin keadilan
sosial
dengan
mempertegak-kokohkan
Kemanusiaan
yang adil dan beradab. Dalam hal ini Indonesia khususnya
merupakan masalah transisi masyarakat warisan kolonial
ke masyarakat Panca Sila, menjadi masyarakat yang
sanggup membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari
kemiskinan, sanggup mempertinggi kecerdasan seluruh
rakyat Indonesia dengan mewujudkan Kemanusiaan
yang adil dan beradab bagi seluruh rakyatnya tanpa
pengecualian.
2.
Masyarakat
Indonesia
adalah
75
masyarakat
pluralistik,
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
majemuk. Proses transisi yang disebut dia atas adalah
proses memperkokoh jiwa
menghendaki
adanya
Bhinneka Tunggal Ika, yang
toleransi
terhadap
berbagai
macam perbedaan, termasuk perbedaan asal keturunan.
Penyelesaian masalah minoritas dalam hal ini berkaitan
dengan perwujudan UUD 1945 dan apa yang diuraikan
dalam Pembukaannya.
3.
Pengalaman
sejarah
menunjukkan
bahwa
Tionghoa
dijadikan dongkrak untuk mencapai tujuan penjajah
maupun penguasa di zaman kemerdekaan. Upaqya ini
dengan sendirinya merugikan usaha mempersatukan
bangsa dan merugikan Indonesia secara keseluruhan.
4.
Pelaksanaan Pembukaan dan UUD 1945 dibawah kekuasaan
Bung Karno juga terasa jadi ter-katung2. Pasal 33 UUD 1945
dalam hubungan dengan pasal 27 ayat 2 yang menjamin
pada setiap warga-negaranya hidup bebas dari rasa takut
akan menderita kekurangan, tidak mungkin dilaksanakan
secara sistematis dan sungguh-sungguh. Adanya kaum
elite yang tumbuh bukan untuk mementingkan rakyat
terbanyak, tapi berusaha menghimpun harta kekayaan
untuk diri sendiri. Kegiatan memperkaya diri ini dicapai
dengan tindakan-tindakan rasis.
5.
Kepentingan 2 super-power ternyata bertemu karena
berkepentingan membendung pengaruh RRT di Indonesia.
Peristiwa G30S dan penghancuran PKI disertai pembantaian
kejam hingga digulingkannya Sukarno adalah manifestasi
pertemuan kepentingan ke dua super power ini. Ini
kemudian dilanjutkan dengan gerakan anti Tionghoa,
penutupan
sekolah-sekolah
Tionghoa,
dikeluarkannya
berbagai ketentuan anti Tionghoa, pelarangan bahasa
Tionghoa dan meluapnya prasangka nanti-Tionghoa.
76
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Diikuti dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan
RRT.
6.
Orde Baru keluar dengan semboyan “memurnikan”
pelaksanaan UUD 1945. Tetapi pada kenyataannya Orde
Baru malah melakukan pelanggaran UUD 1945 serius. Ia
memerlukan banyak dana untuk mengendalikan inflasi
dan untuk mengendalikan ketertiban nasional. Untuk
“membantu” orde Baru bisa berdiri tegak, negara-negara
industri membentuk IGGI untuk menyalurkan “bantuan”nya,
yang ternyata berbentuk “uang kunci” membuka pintu
Indonesia
lebar-lebar
untuk
masuknya
penanaman
modal asing. Kaum elite yang tumbuh di zaman ORBA ini
menjadi jauh lebih banyak dan lebih makmur ketimbang
di zaman Bung Karno berkuasa. Timbullah penyakit yang
dikenal sebagai “cukong”-isme, yang ternyata dijadikan
alasan untuk membangkitkan napsu anti-Tionghoa di
antara mereka yang merasa kurang memperoleh bagian
“rejeki” di alam meningkatnya korupsi yang kemudian
membudaya di Indonesia.
7.
Dalam membuka lebar pintu untuk mengundang masuk
modal
monopoli-asing,
dilanggarlah
UUD
1945
dan
Pembukaan-nya. Modal raksasa asing dibiarkan menguras
ke kayaan alam bumi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 dan
pa sal 27 ayat 2 dilanggar.
Lebih dari separoh rakyat
Indonesia hidup dalam kemiskinan, hidup dibawah garis
KFM. Puluhan juta buruh, tani dan nelayan masih tetap
hidup dibawah garis kemiskinan; jumlah pengangguran
meningkat terus tiap tahunnya, penanaman modal
asing tidak sanggup menampung penambahan jumlah
pekerja yang terus meningkat. Dan masuknya modal asing
mengakibatkan gulung tikarnya perusahaan-perusahaan
77
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
domestik yang mempertinggi pengangguran. Puluhan
juta pemuda tersingkir dan tidak bisa melanjutkan sekolah
karena kekurangan jumlah bangku sekolah. Gap antara
kaya dan miskin semakin membesar. Para penguasa
diketahui menghimpun kekayaan untuk dirinya sendiri.
Golongan Tionghoa dijadikan penghalau gledek dan
kambing hitam. Setiap kekecewaan dan kemarahan
rakyat diarahkan ke golongan Tionghoa.
8.
Bonanza kenaikan harga minyak-tanah tidak digunakan
untuk
mengurangi
kemiskinan
rakyat,
tetapi
untuk
mengamankan kekuasaan politik ORBA dan memperkaya
mereka yang menjadi penguasa dan para pendukung
dan kerabatnya.
9.
Mereka yang tidak berkesempatan memperoleh bagian
rejeki ini menuntut agar golongan Tionghoa diperlakukan
sebagai anak ngenger. Tionghoa dituntut untuk tidak
memperoleh bagian rejeki.
Berkembanglah berbagai
kebijakan anti Tionghoa yang menyebabkan suku Tionghoa
merasa dirinya diperlakukan sebagai anak ngenger.
Berbagai pelanggaran UUD 1945 yang digambarkan di
atas hanya memperkaya segelintir kecil Tionghoa, yang
berfungsi sebagai cukong. Keadaan ini mempermudah
Tionghoa sebagai golongan dijadikan sasaran kemarahan
rakyat. Eksplosi-eksplosi anti Tionghoa ini bukan saja
merugikan
golongan
Tionghoa
yang
seharusnya
diperlakukan sebagai salah satu suku Indonesia, tetapi
juga masyarakat secara keseluruhan.
10. Penyelesaian masalah Tionghoa dapat dicapai dengan
efektif bilamana:
a. Setiap putra Indonesia menjadikan tugas melaksanakan
UUD 1945 dan Pembukaannya sebagai life assignment.
78
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Dimulai
dengan
Siauw Giok Tjhan
memperjuangkan
tergalangnya
Persatuan Nasional yang demokratis yang sanggup
memperlancar proses peralihan masyarakat warisan
kolonial menjadi masyarakat Panca Sila, masyarakat
adil dan makmur yang bebas dari segala macam
kemiskinan
dan
membentuk
satu
masyarakat
demokratis yang mewujudkan Kemanusiaan yang
adil dan beradab untuk seluruh rakyatnya tanpa
pengecualian, tanpa perbedaan asal keturunan,
agama yang dianut dan ideologi yang jelas ada
dalam masyarakat.
b. Memperjuangkan terlaksananya semangat Konperensi
Bandung dalam iklim internasional yang sanggup
mencegah adanya campur-tangan asing di dalam
urusan dalam negeri Indonesia dan negeri manapun
juga
berdasarkan
ditaatinya
dan
dijaminnya
pelaksanaan hak-hak azasi manusia.
Siauw Giok Tjhan
Ketua Fraksi Nasional Progresif - DPR (1950-1959)
79
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan
Delegasi Parlemen Indonesia menemui Perdana Menteri Zhou En Lai di
Beijing - 1956 . Zhou - paling kanan dan Siauw - paling kiri
Siauw (di tengah) bersama pengurus Baperki Jawa Timur - 1964
80
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku
Go Gien Tjwan1
Pada tanggal 4 November 1965, lebih dari sebulan setelah
Gerakan 30 September yang melakukan “kudeta” pada tanggal
1 Oktober 1965, Siauw Giok Tjhan diambil oleh sekelompok tentara
bersenjata dari rumahnya dengan dalih “diamankan”.
Istilah
“diamankan” yang digunakan pihak militer pada waktu itu mungkin
merupakan terjemahan dari Schutzhaft Nehmen yang digunakan
oleh Nazi ketika mereka menduduki negara-negara Eropa. Pada
waktu penangkapan itu dilakukan, Suiauw atau keluarganya tidak
ditunjukkan surat penahanan resmi dari pihak yang berwenang,
sebuah hal yang lazim berlaku di negara hukum.
Setelah berada di berbagai tahanan sebagai tahanan
politik yang tidak pernah diadili, pada tanggal 15 September 1975,
Siauw diizinkan pulang ke rumahnya sebagai seorang tahanan
rumah. Perubahan status ini terjadi
bukan karena keputusan
seorang hakim, akan tetapi karena jerih payah isteri Siauw yang
terus menerus memohon pihak berkuasa untuk membebaskan
Siauw, karena kemunduran kesehatan Siauw selama di penjara.
Pada tanggal 1 Mei 1978 Siauw Giok Tjhan “dikembalikan
ke masyarakat”, berarti penahanan rumah-nya dihentikan dan ia
tidak lagi harus melapor ke kekuasaan militer setiap minggu. Tetapi
ternyata ia tidak bebas penuh, karena di kartu penduduknya ada
tanda ET (eks Tapol), sebagai tanda bahwa ia adalah seorang
musuh masyarakat yang tindak tanduknya harus tetap diawasi
oleh penguasa. Karena kesehatannya yang kian mundur, pada
tanggal 18 September 1978, ia pergi ke negeri Belanda untuk
1 Go Gien Tjwan turut mendirikan Baperki dan menjadi Sekretaris Jendral-nya.
Perannya dalam sejarah Indonesia besar, sebagai salah satu tokoh Baperki dan
seorang akademisi yang kerap membahas masalah Tionghoa di Indonesia.
81
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
perawatan kesehatan dan pada tanggal 20 November 1981, di
usia 68 tahun, ia meninggal karena serangan jantung.
Atas permintaan saya, Siauw menulis sebuah memoar
yang ia beri judul Suatu Renungan. Ini diselesaikan antara bulan
Oktober dan Desember 1975. Ini adalah sebuah kombinasi refleksi
dan sekaligus pengamatan seorang yang terlibat dalam sejarah
politik Indonesia. Saya mendorongnya untuk lebih menceritakan
pengalaman pribadi-nya ketimbang analisis politik. Permintaan
ini melahirkan naskah kedua yang ia namakan Lima Jaman yang
diterbitkan pada tahun 1981 di Belanda. Ke Lima Jaman yang
dimaksud adalah zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan
Jepang, zaman revolusi kemerdekaan, zaman kemerdekaan,
termasuk masa demokrasi terpimpin dan zaman Orde Baru.
Pada tahun 1978, memperlengkap berbagai hal yang membuat
penuturannya tentang zaman Orde Baru lebih up-to-date.
Ternyata Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang tidak
bisa menggambarkan jasa dan kebesaran dirinya sendiri dalam
sejarah Indonesia. Kedua naskah yang disebut di atas, hampir tidak
menyinggung berbagai kegiatan dan keberhasilan politik seorang
Siauw Giok Tjhan. Oleh karena itu, saya anggap perlu memberi
sebuah ilustrasi yang lebih jelas tentang perjalanan politik Siauw
Giok Tjhan.
Untuk mengerti sosok Siauw Giok Tjhan dan perannya
dalam sejarah Indonesia, kita harus menengok ke posisi komunitas
Tionghoa di Indonesia. Siauw adalah seorang anggota komunitas
Tionghoa ini.
Kehadiran
Tionghoa
dalam
jumlah
yang
besar
di
berbagai kepulauan besar Indonesia sudah dimulai sejak era
Kristen.
Mereka pada umumnya adalah para pedagang yang
membawa barang-barang buatan Tiongkok dan negara-negara
lain ke Indonesia dan membawa barang-barang atau hasil bumi
82
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
para kerajaan yang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai
Indonesia. Mereka sudah melakukan kegiatan perdagangan
internasional. Banyak dari mereka din pulau Jawa bekerja sebagai
tukang diberbagai bidang, termasuk kayu dan pembuatan lemari.
Dan banyak di antara mereka yang sudah berasimilasi dengan
penduduk Jawa.
Kedatangan
Belanda
di
Indonesia
mengubah
perkembangan di atas. Secara berangsur posisi Tionghoa sebagai
pedagang internasional diambil alih oleh Belanda, apalagi setelah
VOC didirikan pada tahun 1602. Tionghoa terdesak untuk tidak lagi
menjadi importir dan eksportir, dan menjadi perantara antara para
pengusaha besar dan para pengusaha kecil dan para petani.
Selama zaman penjajahan bidang intermediate trade ini dikuasai
oleh Tionghoa.
Di zaman berkembangnya VOC di abad ke 17 dan 18,
penduduk di Hindia Belanda, nama Indonesia ketika itu, dibagi atas
perbedaan keturunan ras yang berkaitan dengan peran ekonominya. Pada abad ke 19, pembagian penduduk atas dasar ras ini
diundangkan secara resmi sebagai: golongan pribumi, golongan
Asing Asia dan golongan Eropa.
Tentunya perkembangan ini tidak membantu pembentukan
nasion Indonesia, terutama karena Belanda sengaja mencegah
terbentuknya kesatuan golongan Tionghoa dan golongan pribumi.
Di masa ini berkembang pula sebuah golongan hybrid – antara
Tionghoa dan pribumi yang dinamakan peranakan.
Peranakan
adalah
produk
kawin
campuran
antara
para
pendatang Tionghoa pria (totok) yang menikah dengan penduduk
wanita lokal. Keturunan mereka kemudian menikah antara sama
lain dan berkembang sebagai sebuah komunitas besar.
Dan
komunitas ini bersama para totok dan orang-orang Asia asing
lainnya, India dan Arab mengisi lapisan tengah di dalam struktur
83
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
masyarakat kolonial. Lapisan atas diisi oleh komunitas Eropa dan
terbawah diisi oleh komunitas pribumi.
Di awal abad ke 20, terutama di pulau Jawa, komunitas pe
ranakan telah berkembang sebagai komunitas yang memiliki nilai
sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama yang berbeda dengan
komunitas-komunitas lain, termasuk komunitas Tionghoa totok.
Sebagian besar Tionghoa di pulau Jawa adalah peranakan.
Di luar pulau Jawa, terutama Sumatra dan Kalimantan, situasinya berbeda. Sebagian besar Tionghoa di sana berhasil
mempertahankan ke Tionghoa-annya walaupun sudah bergenerasi hidup di Indonesia.
Walaupun demikian, komunitas peranakan oleh Belanda
diperlakukan secara hukum sebagai golongan Asing Tionghoa.
Oleh karenanya, didiskriminasi oleh berbagai kebijakan Belanda.
Bangkitlah gerakan melawan diskriminasi di pulau Jawa. Gerakan
ini dipengaruhi ajaran Kong Hu Cu dan mereka percaya bahwa
ajaran Kong Hu Cu akan menjadi alat ampuh gerakan melawan
diskriminasi Belanda. Timbullah tekad mendirikan sebuah organisasi
modern yang terdiri dari para peranakan dan totok.
Pada tahun 1900 Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) lahir di
Jakarta dan tidak lama kemudian cabang-cabangnya lahir di
berbagai kota besar dan kecil di Jawa dan di luar Jawa. Tidak
lama setelah itu, beberapa organisasi Tionghoa lainnya didirikan
di antaranya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa)
dan Soo Po Sia (Klub Pembaca) dengan tujuan menyebar luaskan
nasionalisme Tiongkok.
THHK terbentuk bukan karena gerakan nasionalisme
Tiongkok yang bertujuan menghancurkan kerajaan Manchuria.
Juga bukan karena gerakan reformasi politik yang dipimpin oleh
Kang Yu Wei. Kang Yu Wei datang ke Indonesia pada tahun 1904,
empat tahun setelah THHK berdiri. Kedatangan Kang di Indonesia
84
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
menimbulkan persepsi salah bahwa pendirian THHK adalah akibat
gerakan politik yang berkembang di Tiongkok.
Walaupun terjalin hubungan antara Tionghoa di Indonesia
dengan Tiongkok dan berbagai perkembangan di Tiongkok
mempengaruhi Tionghoa di Indonesia, tetapi pendirian THHK
disebabkan perkembangan di Indonesia. Perkembangan yang
berkaitan dengan dinamika dunia peranakan di Indonesia,
dengan bantuan komunitas totok.
Tujuan utama pendirian THHK adalah menjadikan ajaran
Kong Hu Cu sebuah kekuatan untuk semua Tionghoa di Hindia
Belanda yang memungkinkan mencapai reformasi hukum dan
sosial yang menguntungkan komunitas Tionghoa. Salah satu
langkah pertama adalah mengajar bahasa Tionghoa untuk
semua anak-anak Tionghoa. Sebagian besar peranakan tidak
bisa berbahasa Tionghoa. Dengan demikian anak-anak Tionghoa
bisa dengan baik mempelajari ajaran Kong Hu Cu. Inilah yang
menyebabkan THHK mendirikan sekolah-sekolah dan berubah
menjadi sebuah organisasi yang mengelola sekolah.
Model
pendidikan yang diambil adalah pendidikan modern Barat dan
Jepang. Bahasa Tionghoa yang dipakai adalah Mandarin.
Kesadaran untuk menemukan identitas peranakan melalui
pemahaman
kebudayaan leluhur menyebabkan timbulnya
kesalahan persepsi. Se-olah-olah gerakan ini dipengaruhi oleh ge
rakan nasionalisme Tiongkok yang disebar luaskan para pejuang
revolusi Tiongkok. Padahal gerakan ini tidak didasari kesadaran
politik walaupun perkembangannya secara tidak langsung
memiliki implikasi politik.
Pada tahun 1917 sekitar 700 tokoh peranakan dari berbagai
pelosok Jawa mengadakan sebuah kongres di Semarang. Tema
utama adalah perwakilan Tionghoa dalam Volksraad mengingat
secara hukum Tionghoa di Hindia Belanda adalah Kaula Belanda.
85
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
Akan tetapi sebagian besar hadirin menolak usul untuk berpartisipasi
dalam pemilihan umum mencapai perwakilan di Volksraad
karena mereka menganggap dirinya warga negara Tiongkok,
jadi menolak Undang-Undang Belanda 1910 yang menjadikan me
reka Kaula Belanda. Argumentasi mereka: ”sebagai orang-orang
asing, tidak harus masuk Volksraad yang juga tidak beranggotakan
orang-orang Inggris, Jerman maupun Jepang”.
Memang tidak adanya keinginan untuk terlibat dalam
kegiatan politik adalah hal yang wajar untuk komunitas Tionghoa
di Hindia Belanda. Akan tetapi ini bukan alasan utama mengapa
sebagian besar tokoh peranakan di kongres itu menolak untuk
masuk Volksraad. Keputusan semacam itu biasanya dibuat oleh
para tokoh masyarakat yang terlibat sebagai pimpinan organisasiorganisasi seperti perkumpulan kematian dan THHK.
Salah satu pengaruh kuat untuk tidak terlibat dalam
Volksraad datang dari harian Sin Po yang diterbitkan di Jakarta.
Ha rian ini mendorong komunitas Tionghoa untuk berpaling ke
Tiongkok dan menyebarluaskan pengertian bahwa Tiongkok yang
kuat akan selalu melindungi Tionghoa di Hindia Belanda.
Kegiatan peranakan di Jawa ternyata membuahkan
beberapa hal yang positif terhadap kebijakan diskriminasi.
Secara berangsur, keharusan membawa kartu penduduk dan
penangkapan semaunya dihentikan. Keluhan Tionghoa yang
tidak bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah pemerintah
menyebabkan Belanda mendirikan sekolah Tionghoa Belanda –
HCS.
Keinginan untuk berpolitik mulai menonjol setelah tahun
1920-an, setelah masyarakat melihat bahwa kegiatan-kegiatan
di tahun-tahun sebelumnya membuahkan perkembangan yang
positif. Peranakan ternyata cukup puas dengan adanya UndangUndang Belanda tentang dwi kewarganegaraan. Ini berarti selama
86
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
mereka tinggal di Hindia Belanda meraka menjadu Kaula belanda.
Kalau meninggalkan wilayah [penjajahan, mereka menjadi warga
negara Tiongkok.
Setelah
penindasan
keras
terhadap
pemberontakan
komunis pada tahun 1926/1927 dan dibuangnya Sukarno dan
Hatta ke pulau-pulau terpencil di luar Jawa pada tahun 1930an, para tokoh peranakan merasa sebaiknya tetap tidak terlibat
dalam kegiatan politik. Apalagi melihat peranakan yang terlibat
dalam pemberontakan komunis dibuang ke Boven Digul di Irian
Barat, bersama para komunis lainnya. Akan tetapi di lain pihak,
para tokoh pe ranakan ini melihat bahwa diskriminasi terhadap
Tionghoa masih ada. Orang Tionghoa tidak diizinkan masuk ke
Perkumpulan Belanda, tidak boleh masuk ke kolam-kolam renang
tertentu.
Walaupun kaula Belanda, orang Tionghoa tidak bisa
menjadi pegawai negeri di kementerian dalam negeri. Mereka
tidak boleh memilki tanah yang bisa diolah untuk pertanian, kecuali
di Tanggerang.
Bilamana berhadapan dengan kasus hukum,
mereka hanya bisa masuk ke pengadilan yang menangani kasuskasus pribumi.
Walaupun demikian, secara keseluruhan, posisi Tionghoa
di Hindia Belanda cukup baik. Masih ada pula harapan bahwa
Tiongkok yang kuat akan bisa membantu posisi mereka. Status
kaula Belanda juga memungkinkan peranakan untuk menjadi
pedagang, juru tulis, pegawai di berbagai institusi dan dokter atau
sarjana hukum. Syarat untuk bisa menikmati kehidupan tenang,
menurut mereka adalah tidak terlibat dalam kegiatan politik. Terlibat
dalam kegiatan politik, dianggap berbahaya, atau hong-hiam.
Terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, sebaliknya, merupakan
kegiatan terpuji. Cukup banyak peranakan yang terlibat dalam
pengembangan organisasi-organisasi sosial peranakan.
Kaitan dengan gerakan di Tiongkok terasa masih ada,
87
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
walaupun lemah. Hubungan kebudayaan dengan Tiongkok tetap
dipertahankan. Akan tetapi komitmen untuk mempertahankan
kebudayaan Tiongkok termasuk penggunaan bahasa Tionghoa
tidak besar. Dalam hal dukungan terhadap Tiongkok, pada
umumnya peranakan hanya menunjukkan sikap basa-basi,
walaupun kalau ada bencana alam dan ketika Tiongkok diserang
Jepang, mereka siap menyumbang.
Di lain pihak, peranakan juga tidak merasa merupakan
bagian penduduk Indonesia yang mulai menuntut kemerdekaan,
seperti yang dinyatakan dalam pemberontakan komunis pada
tahun 1926/1927 dan kegiatan nasionalisme pada tahun 1930an. Tentunya ada pengecualian, yaitu kehadiran sejumlah kecil
peranakan yang sudah memiliki kesadaran politik. Mereka sadar
bahwa tidak bijaksana ber-orientasi ke Tiongkok bilamana mereka
dan keturunannya ingin menetap di Indonesia.
Akan tetapi
mereka tetap berjumlah kecil dan tidak memperoleh dukungan
luas.
Pada tahun 1927, sebuah organisasi peranakan yang
dinamakan Chung Hua Hui (CHH) didirikan.
Nama organisasi
ini dalam Mandarin, yang memiliki arti sama dengan Tiong Hoa
Hwee Kwan (Perkumpulan Rumah Tionghoa nama dalam bahasa
Hokian.
Rencana mereka setiap perkumpulan Tionghoa akan
memiliki gedung sendiri). Hanya perkataan Kwan, atau gedung/
rumah ditiadakan. Orientasi CHH adalah Belanda dan bahasa
yang digunakan dalam rapat-rapatnya adalah bahasa Belanda.
Hanya ratusan peranakan yang kaya raya bergabung dalam
CHH.
Pada tahun 1932, sebuah organisasi politik peranakan
lain dibentuk, Partai Tionghoa Indonesia. Lagi-lagi, dukungan
masa untuk partai ini tidak besar. Akan tetapi PTI berorientasi ke
Indonesia, menentang kolonialisme dan mendukung gerakan
88
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
mencapai Indonesia merdeka, di mana peranakan akan menjadi
warga negara Indonesia dengan hak yang sama dengan pribumi.
Menjelang masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun
1942, PTI bersama para pejuang kemerdekaan nasionalis menuntut
Indonesia merdeka sekarang. Siauw Giok Tjhan yang lahir pada
tahun 1914 di Surabaya, mengikuti perjuangan ini sebagai
anggota PTI. Simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan bisa
dilihat dari tulisan-tulisannya sebagai seorang wartawan di harian
Mata Hari yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1930-an juga
mendukung gerakan Indonesia Merdeka Sekarang.
Jadi jelas
bahwa sudah sejak zaman kolonial, bertentangan dengan sikap
mayoritas peranakan, Siauw sudah terjun dalam kegiatan politik.
Bahkan, ia sudah bersikap anti kolonial dan berkeyakinan bahwa
masa depan peranakan berada di Indonesia yang merdeka,
bukan Tiongkok. Tentunya sikap Siauw muda ini dianggap oleh
masyarakat peranakan tidak ceng-lie (masuk di akal) dan sikap
anti kolonial-nya sangat hong-hiam.
Setelah Jepang masuk pada tahun 1942, Siauw Giok Tjhan
pindah ke Malang di Jawa Timur. Di sana ia berusaha untuk tidak
membangkitkan perhatian, karena sebagai wartawan Mata Hari
ia menulis banyak artikel anti Jepang, terutama setelah Jepang
menyerang Tiongkok pada tahun 1937.
Zaman pendudukan
Jepang dipergunakan oleh Siauw untuk merenungkan dan
mempersiapkan
perjuangan
rakyat
Indonesia
mencapai
kemerdekaan Indonesia. Ia menganggap dirinya bagian yang
tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia.
Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Dua hari
kemudian Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Tibalah kesempatan untuk Siauw berperan dalam memimpin
komunitas Tionghoa di masa yang penuh gejolak di masa revolusi
dan sesudahnya. Karena sikap a-politis dari sebagian besar
89
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
komunitas Tionghoa di zaman kolonial, tidak banyak kader politik
yang siap tampil ke depan. Siauw yang terlatih dalam kegiatan
politik sejak zaman PTI, mulai berkembang sebagai seorang
pemimpin yang paling trampil dari komunitas peranakan.
Pada waktu itu sebagian besar Tionghoa menginginkan
dipulihkannya kembali kekuasaan penjajahan Belanda. Dengan
tegas Siauw menekankan bahwa masa depan peranakan sangat
berkaitan dengan revolusi Indonesia yang akan menghilangkan
kemungkinan dikembalikannya penjajahan Belanda.
Untuk menunjukkan bahwa pemikiran ini konkrit, Siauw membentuk
Angkatan Muda Tionghoa, sebuah organisasi muda yang militan.
Ia ingin menunjukkan ke dunia bahwa Tionghoa di Indonesia tidak
hanya berpeluk tangan menunggu revolusi mencapai hasilnya di
tempat yang aman. Pada tanggal 9 November 1945, bersama
sekelompok pemuda Tionghoa Malang, ia pergi ke Surabaya,
yang menjadi medan pertempuran. Keesokan harinya, para
pemuda Tionghoa Malang ini bertemu pula dengan beberapa
pemuda Tionghoa asal Surabaya yang turut bertempur di pihak
rakyat Indonesia.
Akan tetapi Siauw menyadari bahwa bertempur di pihak
Indonesia sebagai sebuah golongan etnis yang terpisah tidak
benar. Para tokoh PTI lainnya pun berpendapat bahwa setelah
kemerdekaan
Indonesia
diproklamasikan,
peranakan
harus
berintegrasi ke dalam berbagai organisasi politik nasional untuk
membangun nasion Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini,
Siauw bergabung di dalam Partai Sosialis pada tahun 1946, partai
gabungan kedua partai sosialis yang tadinya dipimpin oleh Amir
Syarifudin dan Syahrir.
Pada tahun yang sama Siauw diangkat oleh Presiden
Sukarno menjadi anggota KNIP – Komite Nasional Indonesia Pusat
yang berfungsi sebagai parlemen sementara. Pada tahun 1947,
90
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
ia diangkat sebagai menteri negara di kabinet Amir Syarifudin
dengan tugas memobilisasi komunitas Tionghoa untuk mendukung
Republik Indonesia. Sebelum itu, ia turut berpartisipasi dalam
konperensi Inter Asian Relations
di New Delhi sebagai wakil
Indonesia. Hingga penyerahan kedaulatan penuh ke Indonesia oleh
Belanda pada tahun 1949, Siauw tetap menjadi anggota badan
Pekerja KNIP dan DPR sementara Indonesia. Setelah kedaulatan
penuh, ia pun tetap berada di parlemen, bergabung dengan
kelompok Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) yang dipimpin oleh
beberapa tokoh Batak. Siauw merasakan solidaritas kelompok ini
sebagai kelompok minoritas.
Sumbangan utama yang paling menonjol dari Siauw dalam
sejarah berkaitan dengan pendekatan dan pemikirannya tentang
penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1954,
beberapa tokoh peranakan merasa perlu mendirikan sebuah
organisasi massa untuk membela kepentingan Tionghoa. Mereka
meminta bantuan Siauw.
Yang direncanakan adalah pembentukan Baperwatt
(Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa).
Pada rapat pembentukan organisasi ini yang berlangsung selama
dua hari, 12 Maret dan 134 Maret 1954 di Jakarta, Siauw secara
aklamasi diangkat sebagai ketua umum. Prestasi Siauw sebagai
seorang politikus yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan
politik praktis karena keterlibatannya dalam revolusi Indonesia,
berada di atas semua hadirin rapat pembentukan tersebut. Siauw
dengan sangat berpengaruh dan meyakinkan mengubah prinsip
pembentukan Baperwatt.
Siauw menyatakan bahwa masalah Tionghoa berkaitan
dengan perjuangan membangun nasion Indonesia. Banyak tokoh
politik, menurutnya, lupa akan tugas penting ini. Mereka lebih
mementingkan kepentingan partai-partai politik mereka sebagai
91
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
batu loncatan untuk memperkaya diri mereka masing-masing
dengan memperoleh izin-izin import. Untuk mencapai ini, mereka
melahirkan berbagai kebijakan rasis terhadap kelas pedagang
Tionghoa yang sudah menjadi warganegara dan menurut UUD
memiliki hak dan kewajiban sama dengan para warganegara
Indonesia lainnya.
Kebijakan-kebijakan rasis ini harus ditentang dengan cara
yang positif dan membangun, dengan menyadarkan seluruh rakyat
Indonesia bahwa hanya ada satu nasion, bangsa Indonesia, dalam
negara Indonesia yang merupakan sebuah negara terbentuk atas
dasar nasion. Oleh karena itu, Siauw menandaskan, komunitas
peranakan tidak boleh memiliki Baperwatt, orga nisasi yang
hanya terdiri atas warganegara Indonesia keturunan Tionghoa.
Yang harus didirikan adalah Baperki, Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia. Konsep rasial yang salah tentang
kewarganegaraan Indonesia harus dikoreksi. Oleh karena itu Siauw
berkata: “mulai besok, ketika kita mendirikan Baperki cabang
Jakarta Raya, orang-orang “asli” harus diajak untuk menjadi
anggota”. Berdasarkan pemikiran inilah, pada waktu cabang
Jakarta dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954, rekan wartawan
Siauw, Sudarjo Tjokrosisworo, diangkat sebagai ketua-nya. Akan
tetapi terlambat. Baperki akhirnya tetap dicap sebagai organisasi
Tionghoa.
Siauw berpendapat bahwa pengelompokan masyarakat
atas dasar keturunan ras adalah peninggalan penjajahan
Belanda. Jalan keluar yang dicanangkan Baperki adalah integrasi
dalam kegiatan politik dan bahu membahu dengan golongan
etnis lainnya, membangun masyarakat yang adil dan makmur.
Hanya dengan jalan inilah, menurut Siauw, kepentingan Tionghoa
akan terlindungi. Pandangan ini didukung sepenuhnya oleh Pre
siden Sukarno. Akan tetapi, kepentingan politik dan ekonomi dari
92
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
berbagai pihak di Republik Indonesia menentang dalih ini.
Di bawah pimpinan Siauw yang inspirasional dan karismatik,
Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang
besar dan berpengaruh dalam membela kepentingan Tionghoa.
Ia menjadi organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah
Indonesia. Beberapa tokoh politik dari golongan etnis lain yang
menentang rasisme bergaung dalam Baperki. Di antaranya
tokoh-tokoh partai-partai politik yang berpengaruh. Akan tetapi,
pengelompokan masyarakat peninggalan Belanda lebih kuat
dari ajakan Baperki untuk bersama melawan diskriminasi dan
ketidak adilan dan membangun nasion Indonesia modern yang
demokratis.
Salah satu sumbangan penting Siauw dan Baperki-nya
dalam sejarah berhubungan dengan ajakan tanpa lelah-nya
bahwa Indonesia adalah tanah air Tionghoa di Indonesia, bukan
Tiongkok. Ajakan ini menjadi lebih mencolok setelah Penyelesaian
Dwi-Kewarganegaraan yang ditanda-tangani di Jakarta dan
Beijing pada tahun 1955, di mana Tionghoa menghadapi
kenyataan mereka harus memilih antara kewarganegaraan
Tiongkok atau Indonesia. Baperki melangsungkan kampanye
besar-besar-an menjelaskan betapa pentingnya Tionghoa memilih
kewarganegaraan Indonesia dan menolak kewarganegaraan
Tiongkok. Cukup banyak Tionghoa, karena hubungan kebudayaan
dengan Tiongkok, memilih kewarganegaraan Tiongkok - pilihan
yang kemudian mereka sesali. Pada akhir tahun 1970-an dan 1980an, mereka berusaha menjadi warganegara Indonesia melalui
jalur naturalisasi. Ini menunjukkan betapa tepatnya anjuran Siauw
tentang jalan keluar yang harus ditempuh komunitas Tionghoa di
Indonesia.
Siauw Giok Tjhan menyadari bahwa diskriminasi dan rasisme
tidak muncul di saat adanya Social Vacuum – kekosongan sosial –
93
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
melainkan merupakan warisan kolonialisme. Di awal pembentukan
Baperki, Siauw sering menyatakan harapannya bahwa: “harus ada
situasi yang tidak memungkinkan rasisme berkembang”, sebuah
formulasi yang ternyata diterima oleh banyak pihak.
Setelah Demokrasi Terpimpin yang dianjurkan Sukarno
pada tahun 1959 dilaksanakan, istilah Sosialisme Indonesia
menjadi tujuan utama. Kebijakan Baperki, integrasi, dicanangkan
sebagai integrasi dalam revolusi pembentukan masyarakat sosialis.
Integrasi yang dilaksanakan tanpa menanggalkan latar belakang
kebudayaan dan etnisitas Tionghoa.
Para musuh Baperki, termasuk beberapa intelektual Katolik
melihat perkembangan ini sebagai sesuatu yang berbahaya,
karena dianggapnya bisa menuju ke arah terbentuknya masyarakat
komunis. Dengan dukungan para perwira Angkatan Darat kanan,
mereka mencanangkan konsep asimilasi dan menentang integrasi.
Kebijakan asimilasi ini ternyata tidak secara dalam diformulasikan
oleh mereka. Praktisnya, mereka hanya menganjurkan ganti
nama dan dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari kelompok
peranakan. Mereka tidak ingin memaksakan perubahan agama ke
agama Islam dan kawin campuran. Program mereka sebenarnya
lebih bersifat anti komunis.
Gerakan 30 September yang
melakukan aksinya pada
tanggal 1 Oktober 1965 merupakan permulaan dari hancurnya
rezim Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Sukarno yang
didukung oleh PKI dan Baperki. Posisi Sukarno setelah itu lemah dan
pada tanggal 11 Maret 1966, Jendral Suharto melakukan kudeta
yang menjatuhkan Sukarno. Suharto kemudian menggantikannya
sebagai presiden Indonesia. Berakhirlah kehadiran Baperki se
bagai sebuah kekuatan politik. Ia dilarang oleh pemerintah militer.
Siauw Giok Tjhan menjadi seorang tahanan politik dan meninggal
di Belanda sebagai seorang eksil.
94
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
Setelah itu kelompok asimilasi memang menang. Akan
tetapi ternyata mereka gagal melahirkan seorang pemimpin
sekaliber Siauw Giok Tjhan, pemimpin yang memiliki visi politik
besar dan pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Memang
sosok seperti Siauw tidak mungkin bisa lahir di zaman Orde Baru.
Yang bisa muncul dan berkembang di zaman itu hanyalah para
Cukong.
Perjuangan Siauw Giok Tjhan untuk mewujudkan: “nasion
Indonesia yang sepenuhnya bebas dari diskriminasi rasial dan
masyarakat yang bebas dari kekhawatiran diperlakukan sebagai
warganegara kelas kambing” masih belum tercapai. Ia sendiri
memang mengakui bahwa ini adalah sebuah perjuangan yang
memerlukan perjuangan teguh yang memakan waktu panjang.
Tetapi ia yakin bahwa perjuangan ini pasti akan mencapai
kemenangan.
Siauw meninggal di universitas Leiden, beberapa saat
sebelum ia memberi seminar di mana ia akan mencanangkan
keyakinannya
bahwa
perjuangan
mencapai
demokrasi
di
Indonesia akan terwujud. Siauw Giok Tjhan adalah seorang
pembangun nasion yang meninggal sebagai seorang patriot,
walaupun “patriot asing”. Ia meninggal sebagai seorang sosialis
yang senantiasa berupaya membawa komunitas-nya menjadi
bagian tak terpisahkan dari nasion Indonesia tanpa menanggalkan
latar belakang kebudayaan dan etnisitas-nya.
95
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Go Gien Tjwan
Go Gien Tjwan - Satu-satunya pendiri Baperki
yang masih hidup. Kini berusia 94 Tahun
Go Gien Tjwan, Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sik Ien
Amsterdam 1980
96
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan
Siauw Tiong Djin1
Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai
ketika ia pada tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18
tahun.
Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di
Surabaya, yang hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan
siswa non Belanda pilihan, artinya anak-anak para pedagang
atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan
penjajah Belanda.
sudah
Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung.
yatim
piatu,
guru-guru
HBS
yang
Walaupun
menyayanginya
berhasil mengumpulkan dana sebagai bea-siswa untuk Siauw
menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama.
Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno
juga belajar.
Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan
Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di zaman Demokrasi Terpimpin,
Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap bersahabat
karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi
sponsor jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang
mencanangkan paham integrasi.
Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena
pendidikan di HBS. Bukan karena ia bersahabat dengan seorang
“pribumi” Ruslan Abdulgani, atau seorang teman peranakan
Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian menjadi
anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer.
1 Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat
hidup ayahnya dan telah menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan
Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca.
97
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu,
karena posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi
yatim piatu.
Dari anak yang tadinya dikelilingi kemewahan,
menjadi anak yang harus memikirkan bagaimana menyambung
hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan adik satusatunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14
tahun.
Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian,
seorang tokoh peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin
Tit Po. Liem Koen Hian memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa
memilih Indonesia sebagai tanah air” dan sekaligus mengajaknya
berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun
1932.
Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan,
pertama di harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di
harian Matahari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan
Tionghoa lain yang juga mendukung konsep Indonesia adalah
tanah air Tionghoa Indonesia.
Bekenalan-lah Siauw dengan
tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto
Mangunkusumo, Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad
Yamin.
Perkenalan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno dan
Hatta dilakukan melalui korespondensi. Siauw memuat karangankarangan mereka di harian Matahari atau menyalurkan inspirasi
mereka melalui tulisan-tulisannya.
Ternyata hubungan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo yang
pada tahun 1912, bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker
mendirikan Indische Partij, lebih mengisi pengertian Siauw muda
tentang Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia,
98
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
sebuah pengertian yang ia pahami secara baik. Dari sini lahirlah
visi politik, yang menjadi dasar perjuangan politiknya setelah
kemerdekaan, yaitu sebanyak mungkin komunitas Tionghoa harus
menjadi warga negara Indonesia. Siauw menganggap Dr Tjipto
Mangunkusumo salah satu guru politik yang ia sangat hormati.
Tentunya visi ini ia padukan dengan apa yang ia pelajari
dari para teman senior-nya tentang pengertian bangsa/nasion,
golongan minoritas keturunan asing dan diterimanya Indonesia
sebagai tanah air: Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie
dan Tjoa Sik Ien.
Para tokoh peranakan Tionghoa ini sadar bahwa sistem
kolonialisme di mana masyarakat dikotak-kotakkan – pribumi,
Tionghoa dan Eropa, telah mencetak rasisme. Sebuah sikap yang
ternyata berkelanjutan setelah kemerdekaan diproklamasikan.
Dimulailah perjalanan politik Siauw yang panjang, meliputi
berbagai zaman.
Perjalanan yang didasari atas keinginannya
berpartisipasi dalam pembangunan nasion Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika, mengajak sebanyak mungkin komunitas
Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dan berjuang gigih
melawan rasisme.
Di awal kemerdekaan visi dan keyakinan ini membuatnya
berlawanan dengan pandangan main-stream Tionghoa yang ia
wakili dan bela. Dan di berbagai zaman, karena aliran politiknya,
ia meringkuk dalam tahanan sebagai tahanan politik, terakhir
selama dua belas tahun di zaman pemerintahan Suharto. Akan
tetapi ia tetap teguh dengan visi dan pendiriannya.
Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia
Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian,
Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu
99
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
untuk merumuskan aspirasi komunitas Tionghoa yang harus diikut
sertakan dalam UU dan bentuk negara Indonesia merdeka yang
sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh
Sukarno.
Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa
yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia itu
dituturkan secara panjang lebar oleh Siauw dalam memoar-nya 2.
Masalah
nasion
Indonesia
dan
kewarganegaraan
Indonesia didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Menurut mereka: “Rumusan keberadaan sebuah bangsa (nasion)
yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal keturunan
dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut
memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun
1912 dengan berdirinya Indische partij pada tahu 1912 yang
dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar
Dewantara”. Selanjutnya diskusi itu juga mempertegas: “perlunya
diciptakan Undang-Undang yang melarang praktek-praktek
diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin
adanya persamaan hak dan kewajiban” 3.
Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa
hal yang menjadi dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zamanzaman mendatang: “1. nasionalisme tidak boleh meluncur menjadi
chauvinisme; 2. hanya ada satu macam kewarganegaraan
dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan
sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat;
4. mewujudkan demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil,
sehingga kepentingan rakyat terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD
harus tegas dalam ketentuan yang menjamin didahulukannya
2 Siauw Giok Tjhan, “Renungan Seorang patriot Indonesia”, Siauw Tiong Djin
(Ed), Lembaga kajian Sinergi Indonesia, pp114-118
3 Sama seperti di atas, pp 114-115
100
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
kepenti ngan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan
apa-pun” 4.
Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak
lama setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945,
tepatnya pada tanggal 1 November 1945, dikeluarkanlah Maklumat
Politik (Manifesto Politik) yang dengan tegas mengikutsertakan janji
para pendiri Republik Indonesia, yaitu “menjadikan semua orang
Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat
Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin”.
Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan
Indonesia lebih terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat
berperan dalam bidang itu. Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw
duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di dalam berbagai
lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante,
DPR-GR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan
minoritas di kabinet Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948)
dan menjadi anggota DPA di zaman Demokrasi terpimpin (19591965).
Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat
tokoh Tionghoa digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw
turut merumuskan UU Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan
pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini menjadikan semua penduduk
yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan, warga Negara
Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk
menolak kewarganegaraan Indonesia.
UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam
Maklumat Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak
mungkin warga keturunan asing di Indonesia, warga negara
Indonesia.
Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata
4 sama seperti di atas, p 118
101
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
menimbulkan berbagai kompromi politik yang sempat merugikan
pengukuhan Indonesia sebagai negara kesatuan. Pada tahun
1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk
Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negara-negara
boneka buatan Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian
Konperensi Meja Bundar, walaupun berisi berbagai hal yang
merugikan Indonesia, tetapi ternyata mempertahankan UU
kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu untuk
menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951.
RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia
pulih berdiri sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua
wilayah yang dijajah Belanda. Dimulai-lah masa yang dikenal
sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) di mana
pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas duku
ngan suara mayoritas DPR.
Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR se
bagai wakil golongan Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang
sebagai seorang anggota parlemen yang ulung di masa ini.
Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan minoritas,
ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia
membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang
cukup berpengaruh.
Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai
kebijakan rasis, yang pada saat itu dikenal sebagai kebijakan
“asli-asli-an”. Berbagai tokoh politik pribumi menginginkan peran
Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan dihilangkan,
demi memberi peluang untuk pedagang-pedagang “pribumi”.
Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang dalam dua
kategori, “asli” dan “tidak asli”. Komunitas Tionghoa masuk dalam
kategori “tidak asli” sehingga harus disisihkan.
Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU yang
102
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
mengandung kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal
utama.
Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang
dinamakan “asli” atau “tidak asli”.
Nasion Indonesia
bukan
Indonesian race seperti bangsa Aria untuk wilayah Jerman.
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku
dan golongan keturunan asing.
Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya
persamaan hak dan kewajiban untuk semua warga negara
Indonesia, tanpa membedakan asal usul keturunan atau ras 5.
Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional
Progresif dan beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak
kebijakan rasis tersebut batal disahkan sebagai Undang-Undang.
Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan, akan tetapi Siauw
dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak negatif
terhadap para pedagang Tionghoa 6.
Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakan-
kebijakan rasis ini membangkitkan keinginan para politikus senior
“pribumi” untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia
1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946. Argumentasi mereka,
bilamana pedagang-pedagang Tionghoa yang ingin disingkirkan
ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan
hak untuk semua warga negara tidak lagi bisa “melindungi” posisi
para pedagang Tionghoa.
Keluarlah
Rancangan
Undang-Undang
(RUU)
Kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain untuk
membatalkan UU kewarganegaraan 1946. Bilamana ini diresmikan,
semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang
5 Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalah-risalah Parlemen 1950 - 1959.
6 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi
keterlibatan Tionghoa dalam usaha bis dan penggilingan padi
103
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan
kewarganegaraan
Indonesia-nya
dan
harus
mengajukan
permohonan untuk menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat
untuk menjadi warga negara pun diperberat.
Bukan saja si
pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus lahir di
Indonesia.
RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di
luar DPR. Siauw memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam
DPR ia memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif. Di luar
DPR ia memimpin sebuah panitia Kewarganegaraan Indonesia
yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa, beberapa akhli
hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa
Indonesia.
Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat
kabar menekankan beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh
pemerintah, antara lain: RUU ini bertentangan dengan janji para
pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November
1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga
keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia
sebagai negara hukum yang menjadi anggota dunia internasional
tidak bisa membatalkan kewarganegaraan jutaan penduduknya,
apalagi mengingat ada di antaranya para anggota parlemen dan
menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa sebagai rakyat
jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang
tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan
1926 di luar Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua
pemohon tidak ada; seandainya mereka pernah memiliki suratsurat bukti tersebut, banyak yang hilang akibat pertempuran dan
pengungsian.
Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri
yang dekat dengan Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah
104
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
menarik kembali RUU tersebut.
Keberhasilan
ini
mendorong
para
tokoh
PDTI
untuk
meyakinkan Siauw masuk ke dalam dan memimpin organisasi
massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk melawan rasisme
dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas
Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua
umum Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan menjadikan Baperki
sebuah organisasi nasional di mana para anggota “pribumi” dan
keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam
sejarah sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah
sebagian terbesar anggota dan massa pendukung Baperki
berasal dari komunitas Tionghoa; dan yang menjadi dasar banyak
program politiknya berkaitan dengan tindakan melawan rasisme
terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan
kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa.
Dengan
adanya
Baperki,
Siauw
dan
para
kawan
seperjuangannya memiliki sarana efektif untuk menjangkau
komunitas
Tionghoa,
meyakinkan
mereka
untuk
menerima
Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara
Indonesia.
Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI
Tionghoa kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata
tidak menerima kekalahan dalam kancah demokrasi. Pada waktu
penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT dibicarakan dengan
Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk Konperensi
Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu
menteri luar negeri, mendesak kebijakan yang terkandung dalam
RUU Kewarganegaraan 1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk
di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan.
UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan
105
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Jus Sanguinis, artinya setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok
diakui sebagai warganegara Tiongkok.
Dengan demikian
banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki
kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia.
Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui
kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki
kewarganegaraan Indonesia.
Akan tetapi menurut hukum
Internasional, Indonesia tidak bisa secara sepihak membatalkan
kewarganegaraan Tiongkok yang diakui oleh RRT.
Siauw
bergerak
cepat
dan
berhasil
me-negasi
Perjanjian tersebut. Ia berhasil meyakinkan Chou En Lai dan Ali
Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran Nota (Exchange of
Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi jumlah
orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam
kategori petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu
1955, yang menjadi pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak
diharuskan memilih kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah
menjadi WNI.
Sebagai
seorang
yang
terlibat
dalam
perjuangan
mencapai kemerdekaan; ikut merumuskan UU Kewarganegaraan;
dan memimpin upaya melawan RUU Kewarganegaraan 1953;
Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan,
Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang
kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe
Tat, Yap Thiam Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua
sarjana hukum kenamaan -- mengakui keahlian dan penguasaan
Siauw tentang hukum-hukum kewarganegaraan yang seharusnya
diterapkan di Indonesia 7.
Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan
7 Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka
diwawancarai tentang Siauw Giok Tjhan
106
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
oleh Siauw atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Iapun kerap memberi ceramah di berbagai acara Baperki tentang
Kewarganegaraan dan Nasion Indonesia.
1958,
Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun
Siauw dengan panjang lebar menuturkan berbagai
perumusan nasion, dimulai dari John Stuart Mill pada tahun 1861,
Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke 20,
JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan
Dictionary of Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula
pembentukan nasion-nasion Eropa Barat atas dasar peleburan
berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis, Jerman dan Italia
- dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai
multi-racial
nations,
sehingga
terdapat
golongan-golongan
minoritas. Ia menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke
I, telah tercantum sebuah kesepakatan banyak negara tentang
perlindungan
kewarganegaraan
golongan
minoritas,
yaitu
mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut
kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan
oleh Lucia P Muir dalam bukunya The Protection of Minorities8.
Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia
sudah terbentuk pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di
waktu mana pengaruh feodalisme berkurang dan kapitalisme
menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan sebuah
kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda.
Dan ini, menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada
tahun 1928.
Dengan demikian Ia dengan tegas menyatakan
bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum negara Republik Indonesia
terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan sebuah
8 Ceramah Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan
Baperki nomor 53 tahun 1958). Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah parlemen, 1950 - 1958.
Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan 065/Stn/61 (Stensilan Baperki no 65 tahun 1961)
107
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan
sangat berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun
zaman tertentu 9.
Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan
nasion Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van
Mook dalam rangka pembentukan Republik Indonesia Serikat di
zaman revolusi.
Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda
dengan nasion, kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran
negara.
Seseorang bisa saja kehilangan kewarganegaraan
sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan dirinya sebagai
bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw
berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara
Republik Indonesia lahir.
Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika merupakan salah satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw
lebih berkaitan dengan penerimaan Indonesia sebagai tanah air.
Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan komunitas
Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion
Indonesia.
Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah
nasion sangat tergantung atas komitmen, lingkungan dan koneksi
psikologis seseorang dengan nasion tersebut. Akan tetapi, untuk
mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong sebanyak
mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia.
Dalam
ceramah
yang
sama,
Siauw
menyatakan:
“Nationality, Nationaliteit, Kebangsaan atau Kewarganegaraan
adalah persoalan politik dan tidak dapat dicampur adukkan
dengan
persoalan
etnis
dan
persoalan
ras.
Siapa
yang
tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik,
tidak ditentukan oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat
9 Seperti di atas
108
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
kebudayaan”. Sebagai contoh kongkrit, menurut Siauw adalah
UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan semua orang
yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan
stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali
menyatakan penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan,
menurutnya karena Indonesia sebagai negara muda terancam
Belanda yang sering menggunakan alasan melindungi orang
asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di samping
itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam
Maklumat Politik 1 November 1945 10.
Ia
lalu
menambahkan
bahwa
perwujudan
UU
Kewarganegaraan yang progresif merupakan sebuah proses
perjuangan11.
Tentunya dalam hal ini yang disitir oleh Siauw
adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU
Kewarganegaraan 1946.
Komitmen
dalam
bidang
kewarganegaraan
ini
menyebabkan Baperki berkembang sebagai organisasi yang
sangat berperan dalam bidang kewarganegaraan, terutama
dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu komunitas Tionghoa
di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan
dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan.
Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar
Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di
berbagai acara Baperki pada tahun 1957-1958. Banyak pidatopidato tidak tertulisnya menyinggung istilah suku12. Secara tertulis,
ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang penggunaannya
10 Seperti di atas
11 Seperti di atas
12 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap
Thiam Hien
109
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit
menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai
salah satu suku bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri
menghindari perdebatan ilm iah tentang istilah ini, sehingga tidak
memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya.
Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar
argumentasi simbolik untuk melawan arus “asli” dan arus yang
menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari nasion
Indonesia.
Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh
Sartono, ia selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling
Indonesia dan luar negeri. Oleh karena itu Siauw berkesempatan
mengunjungi berbagai pelosok Indonesia dan menemui beberapa
komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas penduduk
tetapi juga sudah ber-ratus tahun menetap di daerah-daerah
tersebut, di antaranya
Bagan Siapi api, Singkawang, Bangka,
Belitung, Binjai dan Tanggerang 13.
Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan
ukuran dasar terbentuknya sebuah suku adalah beradanya
sebuah kelompok etnis di sebuah lokasi di atas tiga atau empat
generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai lokasi
tersebut
bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak
hidup dan kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan
dengan lokasi-lokasi yang dihuninya.
Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang
Tionghoa di Indonesia sudah menetap di berbagai daerah
Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah meninggalkan
kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia
akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang
13 Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265
110
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
dinamakan penduduk “asli” 14.
Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus “asli-asli-
an” yang menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki
legitimasi Hukum dan sejarah pembentukan nasion Indonesia.
Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah:
nasion Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal
Ika. Untuk memperkuat argumentasi inilah Siauw menyamakan
keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai suku.
Ia
menyatakan: “Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau
besar dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100
suku bangsa. Di antara 100 suku bangsa adalah suku bangsa
Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis,
Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll.
Jadi bangsa
Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa,
banyak bahasa dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka
berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa dan kebudayaan”.
Siauw mendukung argumentasi kesamaan rumpun ini dengan
menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia
yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan
tengkorak manusia yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan
tengkorak-tengko rak ratusan tahun yang ditemui di Jawa Timur
serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan dan daerah
Asia lainnya15.
Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa
istilah suku itu datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung
menyatakannya sebagai istilah yang dipergunakan Sukarno,
yang di hadapan massa Baperki pada bulan Maret 1963 dengan
gamblang menyatakan bahwa peranakan Tionghoa adalah salah
14 Seperti di atas
15 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah
untuk PPI Belanda, Amsterdam, 1981
111
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 16.
Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian
menyatakan kepada penulis bahwa Siauw yang dekat dengan
Sukarno menyampaikan kepadanya pokok-pokok sambutan yang
ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki tersebut.
Ini
Sukarno
tidak
mengherankan.
mengikutsertakan
pula
Beberapa
isi
beberapa
pidato
konsep
resmi
Siauw
tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang berkaitan
dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw
masuk dalam GBHN MPRS 1964.
Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh
Sukarno pada zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih
berpengaruh dari apa-pun yang dinyatakan atau dihimbau oleh
Siauw atau Baperki.
Pada
tahun
1981,
walaupun
istilah
suku
sudah
dipergunakannya sejak tahun 1958, ia menyatakan: ”Saya gembira
karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki,
ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah
“suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan
oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada
pembukaan Kongres Baperki di Jakarta, tanggal 13 Maret 1963.
Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah
Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu
adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan
kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai
salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia. Golongan
peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari masyarakat
Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia
yang tidak bisa dipisahkan”17.
16 Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963.
112
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an,
terutama setelah tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’
sudah berkurang, tidak lagi menekankan istilah suku Tionghoa.
Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan. Ketepatan paham
integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwikewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam
mewujudkan sosialisme ala Indonesia; pengembangan program
pendidikan Baperki lebih diutamakan.
Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir
di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa. Ia kerap pula
mengkategorikan Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai
“golongan keturunan Tionghoa”. Dalam konteks ini, ia memang
sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang
masih ber-orientasi ke Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa
dalam pembicaraan sehari-hari dan masih mempertahankan
kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan “baba”
atau peranakan (golo ngan yang sudah berakulturasi dengan
Indonesia).
Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya
bahwa sebagian terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa
adalah komunitas yang memiliki atribut totok. Ini tentunya sesuai
dengan dasar perjuangannya yang bersandar atas janji para
pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945.
Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI
dan menerima Indonesia sebagai tanah air.
Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan
Sukarno tentang peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam
sambutannya di Kongres Baperki pada tahun 1963, pun sama
dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw.
Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia
17 Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda,
Amsterdam, September 1981
113
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
adalah nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri
dari banyak suku bangsa, termasuk suku Tionghoa; nasion yang
mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas suku dan
kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki
mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas
paham integrasi wajar.
Banyak
orang
menganggap
istilah
Integrasi
baru
dipergunakan setelah paham asimilasi lahir dan dikembangkan
oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang resmi
didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun 1961.
Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki
dan Siauw pada tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi
sambutan tertulis pada kongres ke Baperki.
Sambutan tertulis
yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini menyatakan: “bangsa
Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam suku
dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah.
Usaha mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu
“nation” yang bebas dari prasangka keturunan (racial prejudice)
dan bebas dari rasa takut akan dianak tirikan, memerlukan
waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut
sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah
golongan kecil (minority problem) bagi negara seperti Indonesia
kita ini, sesungguhnya adalah satu masalah menghapuskan sifatsifat “underdeveloped” dan mencapai “full employment”. Dengan
demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan mengadakan
diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana
meratakan kesejahteraan”18.
Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh
Siauw pada tahun 1960, pada Kongres Baperki ke delapan di
18 Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis
memiliki naskah asli yang diketik oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh
naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan tertulis Sukarno.
114
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Semarang, Desember 1960, dalam membeberkan beberapa
tugas pokok Baperki, diantaranya: “memperlancar proses integrasi
nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja
sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa
rakyat lainnya guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi
untuk menyelamatkan dan memperkokoh kehidupan sebagai
bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat penuh de ngan
mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika”19.
Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam
barisan Baperki, Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang
Peng Koen dan juga beberapa peranakan Tionghoa lainnya, seperti
Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai memformulasi konsepsi
asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan bahwa
jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas
Tionghoa adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini
dengan komunitas mayoritas sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan
komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan mengganti namanama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan
kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an
dan menanggalkan kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian
diresmikan sebagai program politik organisasi yang dinamakan
LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang disponsori
Angkatan Darat.
Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang
dituturkan di atas tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi.
Istilah integrasi kemudian dikembangkan oleh Siauw dan Baperki
sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif dalam penyelesaian
masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian bahwa
nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak
19 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk
Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember 1960
115
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
harus dilebur atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas
para suku itu hilang, Siauw berargumentasi bahwa yang harus
diupayakan adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya
bersama suku bangsa lainnya membangun nasion Indonesia. Ia
memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan
konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas
African Americans dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni
dan RRT.
Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas
pengertian apakah Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah
race dan apakah hilangnya ciri-ciri biologis Tionghoa memegang
peranan
dalam
kesetiaan
atau
ke-patriotik-kan
seseorang
terhadap Indonesia.
Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan
Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa
belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada
umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka
yang
berada
mengirim
anak-anaknya
ke
sekolah-sekolah
berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS).
Hanya
sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah
berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolahsekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan
untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena
itu, semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke
sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa.
Setelah
kemerdekaan
pada
tahun
1945,
penduduk
peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolahsekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah
ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan pelajaran
116
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan
studi-nya di negeri Belanda.
Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw
Giok Tjhan dan dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang
pada tahun 1945, juga mendirikan sekolah yang menampung
ratusan siswa Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan
Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948.
Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian
besar komunitas
Tionghoa masih mengirim anak-anaknya
ke sekolah-sekolah Tionghoa.
Bukan karena mereka tidak
menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia,
tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan
mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di
sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya.
Adanya
kenyataan
bahwa
banyak
siswa
Tionghoa
WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an
menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan
Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota
DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut
dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah
berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi
Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolahsekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional,
kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun
Takdir me ngakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup
untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada waktu itu belajar
di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa masyarakat
Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah
yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya.
Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan
yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954,
117
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan
sekolah-sekolah yang bisa menampung semua warga negaranya,
siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat
di
sekolah-sekolah
yang
bisa
menampungnya.
Banyaknya
siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa
Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim
anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional.
Mereka terpaksa
berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak
bisa menampungnya.
Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan
Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin
Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus
1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan sebuah kesimpulan
kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh politik
yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa
Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa
Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa
WNI. Siauw menganggap konsep ini mendorong diulanginya sistim
penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat.
Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan
keluar dari masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki
menyelenggarakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan
kebudayaan. Konperensi ini menentang program Sekolah Rakyat
Percobaan.
Konperensi ini menyepakati Baperki mendirikan
sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka
untuk semua WNI.
Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye
Pemilihan Umum 1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan
dengan masalah Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan
rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki.
118
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah
mendirikan sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari
Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau
Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra.
Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki
Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah-
sekolah Tionghoa diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957.
Setelah Keadaan darurat (SOB) diumumkan pada tahun 1957,
penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan
anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan
melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa.
Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957.
Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa
bulan, penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang
sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini dilaksanakan
di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup,
jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan
dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolahsekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan
guru-guru yang mengajar-pun harus WNI.
Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua
kepala sekolah dan guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan
lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang
berstatus asing harus dibatasi.
Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari
2000 hingga 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah
Tionghoa turun dari 425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari
250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah
siswa-siswa Tionghoa WNI.
119
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk
mendirikan lebih banyak sekolah yang bisa menampung para
siswa yang kehilangan tempat sekolah.
Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan
ini ditugaskan untuk membangun, mengasuh dan mengkontrol
jalannya sekolah-sekolah Baperki.
Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat
Siauw yang menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang,
Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja
sama dengan para pengelola sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam
waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah
menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada
tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah
96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan
mene ngah.
Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah
Tionghoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang
dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah Baperki.
Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih
besar pula.
Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki
dilaksanakan secara cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan
pimpinan Chiao Chung dan para pengelola sekolah Tionghoa
bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi membantu komunitas
Tionghoa WNI.
Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para
pedagang Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolahsekolah Baperki ini berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas
pendidikannya.
Keterlibatan
Baperki
dalam
120
bidang
pendidikan
dan
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
pemilikan sekolah-sekolah sempat menjadi topik perdebatan
dalam sebuah rapat pimpinan Baperki. Yap Thiam Hien khawatir
kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan memperlemah
upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus
rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu
menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah dana.
ke
Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa
terlibatan
Baperki
dalam
bidang
pendidikan
secara
langsung menanggulangi masalah kongkrit yang dihadapi
komunitasTionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas
Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi
pendidikan akan terus mengalir.
Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya,
Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan
dalam bidang pendidikan. Sebagian besar kebutuhan dana
tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang mampu diimbau untuk
memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi
tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung
dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa
yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang.
Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian
Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958.
Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di
Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4
di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi.
Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170.
Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki
dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta
yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah
swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki.
121
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Lahirya Universitas Baperki
Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas
(SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah
ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di
universitas-universitas negara, yang pada umumnya memberi
pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa tidak
bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima.
Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA
dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas
Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas,
para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk
Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi
ini mendorong pimpinan
Baperki untuk
mendirikan universitas
Baperki.
Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan
Matematika dengan tujuan mendidik guru-guru sekolah mene
ngah.
Setelah Baperki mendapatkan dana yang lebih besar,
Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki yang di
singkat UBA.
Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi
didirikan. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas
Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada
tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan.
Dalam
mengembangkan
universitas
Baperki,
Siauw
banyak menengok pada keberhasilan RRT mencapai kemajuan
pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat
itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi.
Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan
dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan
teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks
122
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
ini, Siauw menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk
mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan
teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki
bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam
masyarakat.
Siauw gagal menarik banyak tokoh politik “asli” untuk aktif
dalam Baperki. Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak
akademikus non-Tionghoa untuk membantu pengembangan
universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso sebagai
Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas
Ekonomi dan Hukum.
Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di
parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter
Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet
di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan
sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing
sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika,
dasar perjuangan Baperki.
Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan
Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang
mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia
bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah
miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan
sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau,
tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh
karenanya
diputuskan
untuk
membangun
gedung-gedung
universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur
Jakarta, Sumarno, di Grogol.
Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya
dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang
Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas
123
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Airlangga.
Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah
mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta
dan 592 di Surabaya.
Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk
Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara,
Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor
perempuan pertama di Indonesia.
Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan
nama universitas Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil
dari pidato Sukarno, yang diucapkan di Konstituante pada
tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Siauw
menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan
jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk
kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons
positif terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki
menentang diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa.
Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca.
Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang
mengajar di Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama
yang mengajar di UI dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula
tokoh teknorat yang ternama memperkuat tim pengajar Ureca.
Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan
Ilmu Pendidikan)
menyamakan lulusan sarjana muda dalam
bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari Ureca
dengan lulusan sarjana muda para universitas negara.
Pada
tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga
diakui sebagai sarjana penuh.
Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000,
300 darinya adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara.
Pada tahun 1965, sebelum pergantian politik pada bulan Oktober,
124
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi 6000.
Ureca
menjalankan
program
orientasi
yang
unik.
Perpeloncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa
baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota
sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh
para pedagang Tionghoa.
Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha
pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa
teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain
gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan
jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada
waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah.
Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun
oleh para mahasiswanya.
Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di
atas, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan
kebijakan untuk tidak melaksanakan diskriminasi atas dasar ras,
agama, aliran politik maupun status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili
aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang
berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu
Cu, cukup banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula
pribumi, walaupun merupakan minoritas.
Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup
banyak adalah Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula
yang masuk dari sekolah-sekolah Tionghoa.
Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa
walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap penduduk
Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya
untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw menegaskan
bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak
125
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini
mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan
sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar.
Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya
dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk
masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya
supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca.
Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”,
Baperki mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki
memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang
berprestasi untuk belajar di Ureca.
Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di
beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi
dan Pendidikan), Semarang (Fakultas Kedokteran), Jogjakarta
(Fakultas Ekonomi).
Sebelum peristiwa G30S, pembangunan
gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga
sudah dimulai.
Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam
sekejap mata, karena pergantian politik pada bulan Oktober
1965. Bisa dibayangkan bagaimana besar dan positif dampak
kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok Indonesia.
Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak akhli
membangun Indonesia.
Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca
Siauw
menggunakan
institusi
pendidikan
Baperki
memperdalam pengertian kewarganegaraan dan pembangunan
nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dari SD
hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik komunitas
Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan
126
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia.
Siauw
menyenangi
penggunaan
definisi-definisi
yang
sederhana untuk memperbesar animo orang berpartisipasi
dalam berbagai kegiatan politik dan sosial. Sekolah-sekolah dan
universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-Cinta:
a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia
b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian
c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan
a. Cinta bekerja
a. Cinta orang tua
Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola
oleh Siauw sendiri. Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan
partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan.
Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke
dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di
Ureca.
Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk
semua mahasiswa.
Bahan-bahan inilah juga dipergunakan
oleh banyak guru-guru civic di sekolah-sekolah Baperki sebagai
pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk menjadi
orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai
pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik.
Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah prose pengIndonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia
yang bernuansa politik.
Bahan
pendidikan
yang
digunakan
sekolah-sekolah
Tionghoa yang berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum
pendidikannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para
siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di universitas-universitas
Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah dan
politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan
127
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi
Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para
siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat
terbatas.
Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan
adalah kurikulum nasional.
Hubungan pelajar dengan sejarah,
kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Para siswa Baperki
didorong untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia.
Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok bukan
tanah air para siswa Baperki.
Indonesia-lah tanah air mereka.
Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini,
Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik
yang peranakan maupun yang totok.
Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar
pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah
Baperki dan Ureca berasal dari kelompok totok. Mereka lebih
militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifan di bidang
politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolahsekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah
militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan
politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok
peranakan.
Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI
(Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya
mencakup pelajar dan pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah
Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi anggotanya.
Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan programprogram Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong
untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah
yang mendorong terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acara-acara
128
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA senantiasa
menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan
bahwa ke-Indonesiaan para pemuda Baperki tercermin dari
kemampuannya mementaskan kebudayaan Indonesia dengan
baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari pemuda pemudi
Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya
melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah.
Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar
yang didirikan di setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar
Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi,
melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalahmajalah berkala.
Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki.
Pada waktu Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun
63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi
perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik Ureca didorong untuk
belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program
kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui.
Ini dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan
produk yang bisa digunakan oleh para petani.
Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih
menonjol setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964
menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk
ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah
itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi
anggota-anggota IPPI.
Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah
Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan
Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan
di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki.
Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S
meletus.
129
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah
Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas
memiliki
Senat
Mahasiswa
yang
mengkoordinasi
berbagai
kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut. Ketua
dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah
yang dinamakan Dewan Mahasiswa.
Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai
kebijakan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama
garis perjuangan Baperki disebar luaskan ke para mahasiswa.
Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas
pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun
1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi
(Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada tahun 50an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif
juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI
(Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia).
Siauw
sendiri
kurang
menyetujui
arus
ke
kiri
yang
berkembang di Ureca. Ia memang cenderung meletakkan posisi
Baperki dan semua institusi pendidikannya di posisi netral. Polarisasi
politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata sulit
dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw
mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan.
Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan
polarisasi politik. CGMI yang kiri cukup sering bertentangan dengan
PMKRI yang kanan. Akan tetapi pertentangan ini tidak mencapai
sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan kesetiakawanan
masih terpupuk baik.
Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa
Ureca masuk Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi
dengan PKI. Pada acara-acara perayaan organisasi-organisasi ini,
sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat
130
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
diharapkan.
Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban
keganasan rezim Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan
Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada yang dibuang ke pulau
Buru.
Berakhirnya Baperki dan Ureca
Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara
dramatik. Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum
1 Oktober 1965, dalam sekejap berubah menjadi buronan dan
kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu singkat setelah 1 Oktober
1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan Darat dan
sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober
berada di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar
biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang dianggap berkaitan
dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu orang lainnya
dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk
Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus
meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun
selama belasan tahun.
Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer
yang seharusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum.
Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI
dan para ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang
G30S.
PKI
dan
seluruh
ormas
yang
berafiliasi
dengannya
dibubarkan. Gedung-gedung milik mereka diserang dan dibakar.
Semua terjadi tanpa perlawanan apapun. Semua organisasi dan
partai yang berada dalam kamp kiri menjadi sasaran. Dengan
demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran.
131
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa
yang jelas didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus
A atau Kampus Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan
Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra
diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan
ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal
oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar.
Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa
ini sudah ber-jaga-jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca.
Ancaman bahwa tindakan demikian akan membahayakan
keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka rela berkorban
demi mempertahankan gedung-gedung nya. Mereka benarbenar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik
pribadi mereka.
Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu
tiba, dengan gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya.
Jumlah penyerang jauh lebih banyak dan satu jam kemudian para
mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan kampus
yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar.
Pada
waktu
bersamaan
kelompok
penyerang
lain
menyerang kampus Timur atau Kampus B, di mana perkuliahan
Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula pembakaran beberapa
gedung.
Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan
ketika ia berada di gedung DPR.
Ia segera menuju ke istana
menghadap Sukarno meminta bantuan. Bantuan yang diharapkan
tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa mengajak Siauw untuk
menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari helicopter.
Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata
berlinang, di hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul
untuk mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk
132
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
membangun kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia
penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang
mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon
politik tidak memungkinkan berdiri kembalinya Ureca.
Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor
Ureca, nyonya Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada
minggu terakhir Oktober 1965. Sukarno berjanji akan memerintahkan
pembukaan dan pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian
dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri pendidikan
Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw
dan Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke
tangan pemerintah, dengan harapan perkuliahan bisa segera
dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan Ureca yang dibuka
dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti dibawah
asuhan musuh politik Baperki, LPKB.
Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw
masuk penjara, ia masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville
yang ditugaskan LPKB untuk menangani pembangunan Universitas
Trisakti.
Permintaan Siauw kepada Ferry Sonneville pada awal
bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki
memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca
dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi.
Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan
Baperki dan para mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa
Ureca di awal hidup Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai
mahasiswa. Diadakan screening. Mereka yang menjadi anggota
CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang menyebabkan
ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan
Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih
di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa.
Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena
133
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
persekusi.
Siauw Tiong Djin
Mereka ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di
Universitas Trisakti.
Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip
“Pendidikan
Bukan
Barang
Dagangan”
tidak
dilanjutkan.
Universitas Trisakti berkembang sebagai universitas swasta untuk
mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu walaupun
memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa
masuk.
Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa
di dalam tubuh Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak.
Sejarah tidak akan bisa menyangkal peran yang dimainkan
URECA dalam pembangunan nasion Indonesia. 50 tahun setelah
Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui pendidikan
politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap
Indonesia tidak luntur.
Walaupun
dalam
bidang
akademik
upaya
Baperki
melahirkan ribuan sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya
berhasil meng-Indonesia-kan ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil
mengubah mind-set mereka untuk mencintai kebudayaan
Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya.
Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar
yang sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki
dan mereka yang masuk dalam PPI.
Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang
terbentuk sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun
1932, bisa dikatakan sebagian terwujud.
Ketergantungan atas Sukarno dan Politik Kiri
Dengan berkembangnya polarisasi politik, kiri dan kanan
dalam zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw tidak bisa tidak harus
134
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
memilih aliran politik. Para partai politik dan organisasi kiri, terutama
PKI di zaman ini mendukung kebijakan Siauw dan Baperki.
Sedangkan Angkatan Darat dan partai-partai politik kanan pada
umumnya menentangnya. Ironisnya, integrasi yang dijadikan
program politik Baperki dan asimilasi yang dijadikan program LPKB
dikaitkan dengan aliran politik. Integrasi dianggap jalan keluar kiri,
sedangkan asimilasi jalur kanan.
Sukarno sebagai pengimbang kekuatan politik di awalnya
sempat menunjukkan dukungan ke dua pihak ini. Di hadapan
Baperki ia mendukung integrasi. Di lain pihak, ia-pun menerima
konsepsi asimilasi.
Akan tetapi setelah tahun 1963, Sukarno
cenderung mendukung Baperki. Sampai akhir zaman Demokrasi
Terpimpin pada akhir 1965, Baperki berada di atas angin dan LPKB
tampak terpojok.
Perlindungan Sukarno yang diperoleh Baperki menyebabkan
ia mampu berkembang pesat, terutama di dalam bidang
pendidikan. Setelah tahun 1958, Baperki lebih dikenal sebagai
lembaga yang memberi kesempatan pendidikan untuk komunitas
Tionghoa, peranakan maupun totok, warganegara Indonesia
maupun warganegara asing (Tiongkok).
Ratusan sekolah dan
beberapa kampus universitas Baperki yang dinamakan Universitas
Respublica menampung puluhan ribu siswa Tionghoa di banyak
kota besar. Melalui program pendidikan inilah, Baperki mengajak
sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia
sebagai tanah airnya.
Pengembangan lembaga pendidikan Baperki beribarat
“membunuh dua burung dengan satu batu”. Ia dikembangkan
untuk menyambut rasisme dalam bidang pendidikan dan sekaligus
menjadi sarana efektif untuk meng-Indonesia – kan komunitas
Tionghoa, terutama yang totok. Siauw berkeyakinan bahwa Nation
Building dengan jalur integrasi adalah proses yang membangun,
135
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
yang memerlukan metode membangun, yaitu mengajak komunitas
Tionghoa untuk mencintai Indonesia, mencintai kebudayaan
Indonesia dan turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan aktif
membangun Indonesia. Kesetiaan dan kecintaan terhadap
Indonesia, menurutnya, tidak bisa dikaitkan dengan nama, latar
belakang ras, agama, bahkan kewarganegaraan seseorang.
Dalam konteks ini, seperti yang diutarakan di atas, Siauw
memandang nasion sebagai sesuatu yang lebih besar dari
kewarganegaraan.
Kebijakan untuk sepenuhnya bersandar atas perlindungan
Sukarno memang memungkinkan Baperki berkembang pesat dan
secara politis berada di atas angin. Akan tetapi tumbangnya
Sukarno dan kekuatan kiri secara langsung menyebabkan Baperki
hancur dan peran Siauw dalam percaturan politik Indonesia
segera terhenti pada akhir tahun 1965.
Banyak anggota Baperki menjadi korban keganasan militer
yang bergerak menghancurkan kekuatan kiri setelah peristiwa
G30S 1965 dengan pembantaian manusia tidak bersalah dalam
skala besar. Siauw dan banyak pendukungnya harus meringkuk
dalam penjara selama 12 tahun tanpa proses pengadilan apapun.
Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1978, Siauw pergi
berobat di Belanda. Begitu tiba di Belanda, ia segera melakukan
berbagai kegiatan mengecam kebijakan pemerintah Suharto
yang digambarkannya sebagai pemerintah yang telah meng
khianati jiwa proklamasi 45, melanggar UUD 45 dan menginjakinjak HAM. Ia pun kerap berbicara mengenai masalah Tionghoa
dan tetap teguh dengan pendiriannya yaitu: dengan integrasi
membangun nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
Pada tanggal 20 November 1981 ia meninggal karena
serangan jantung, beberapa menit sebelum memberi ceramah di
hadapan para Indonesianis Belanda di Universitas Leiden, tentang
136
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
kegagalan Demokrasi Indonesia dengan kesimpulan optimistik
bahwa rakyat Indonesia akan mewujudkan demokrasi yang di
dambakan.
Kesimpulan
Perjalanan politik Siauw didasari beberapa visi politik yang
berkembang sejak ia terlibat dalam pendirian partai Tionghoa
Indonesia pada tahun 1932.
Pertama keyakinannya bahwa untuk sebagian besar
Tionghoa yang lahir di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya.
Oleh karena itu ia berjuang untuk memungkinkan sebanyak
mungkin Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Ini dilakukan
baik dalam segi hukum dengan memperjuangkan dihukumkan UU
kewarganegaraan yang sesuai dengan visi ini.
Kedua, bersandar atas keinginan membangun nasion yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika, Siauw mendorong pengertian bahwa
nasion Indonesia adalah nasion yang terdiri dari berbagai suku,
termasuk suku Tionghoa. Komunitas Tionghoa, peranakan maupun
totok, diajaknya berintegrasi dalam tubuh nasion Indonesia,
bersama para suku lainnya, tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas
yang seyogyanya memperkaya kebudayaan Indonesia.
Ketiga, sejak tahun 50-an, walaupun berpaham sosialisme,
Siauw berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil
dan makmur, modal yang dimiliki oleh para pedagang Tionghoa
harus dilindungi secara hukum dan praktis untuk terus berkembang,
sehingga bisa menjadi bagian penting dalam pembangunan
ekonomi Indonesia. Perpaduan antara kapitalisme nasional dan
sosialisme inilah yang ia inginkan.
Langgam perjuangan Siauw yang bersifat membangun
di dalam perjalanan politik panjang Siauw jelas tampak.
137
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Rasisme dalam bidang kewarganegaraan disambutnya dengan
berbagai rumusan kewarganegaraan dan pelaksanaan UU di
lapangan oleh aparat Baperki; rasisme dalam bidang ekonomi
ditentangnya dengan rumusan ekonomi yang menjamin modal
domestik yang banyak dimiliki oleh pedagang Tionghoa secara
hukum dilindungi dan didorong untuk berkembang; rasisme
dalam bidang pendidikan disambutnya dengan pendirian institusi
pendidikan yang mampu menampung mereka yang karena
kebijakan rasis tidak bisa meneruskan sekolah; Sarana pendidikan
dijadikan landasan efektif untuk meng-Indonesia-kan sebanyak
mungkin komunitas Tionghoa, terutama generasi mudanya. Dan
untuk menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa yang rumit,
dikembangkan konsepsi integrasi yang kini lebih dikenal sebagai
multikulturalisme.
Akan tetapi di zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw dan
Baperki terlalu tergantung atas perlindungan politik Sukarno,
sehingga ketika Sukarno tumbang dan kekuatan kanan yang
didukung oleh blok Barat mengambil alih kekuasaan politik, Baperki
dan Siauw-pun kandas. Dengan demikian, program pendidikan
dan kebijakan untuk membawa komunitas Tionghoa menjadi
Indonesia harus terhenti.
Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan
massa-nya mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan
mendukung Demokrasi Terpimpin yang bersandar atas kekuatan
Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial bilamana
diteropong dengan kaca mata sekarang.
Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena
Sukarno memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai
sebuah kekuatan kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik
yang membunuh demokrasi dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya
justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri, termasuk
138
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Siauw Giok Tjhan dan Baperki.
Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada.
Tidak mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok
di mana tokoh-tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti
Tionghoa.
Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan
Siauw, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa
Tionghoa terbesar dalam sejarah Tionghoa di Indonesia. Ia-pun
berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif berpolitik dan
aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia
tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an.
Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung
idealisme
politik,
kemungkinan
besar
institusi
pendidikan
Baperki, terutama Ureca tidak akan berkembang seperti yang
disaksikan.
Kiranya sulit membangun animo para dosen dan
para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk
mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh
dana bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa.
Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa
terulang lagi.
Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa
lainnya seperti Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming
Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada adanya
pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak
mengandung penekanan politik.
yang
Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya
mendirikan
Universitas
Tarumanagara
ternyata
tidak
membuahkan prestasi segemilang Ureca di zaman Demokrasi
Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu menampung
mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kotakota lain.
139
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan
kegiatan politik tidak menjadi sasaran ganas kekuatan kanan
pada tahun 1965-1968. Universitas Tarumanagara tidak diserbu
dan dibakar.
Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki
tidak menentukan cuaca politik Indonesia yang merupakan
bagian percaturan dunia di mana ada dua kekuatan raksasa
yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir menjadi
korban.
Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966,
berdirilah sebuah rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah
menjadi sebuah lahan pembunuhan masal dan persekusi
terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Kebijakan musuh politik
Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah Suharto.
Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967
(baru dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa
selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan
Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi
penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga
perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk
dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan
komunitas Tionghoa di banyak bidang.
Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka
lembaran baru dalam dunia politik di Indonesia. Komunitas
Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan ledakan rasis pada
bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali.
Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena
penindasan terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap
anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal berdirinya rezim Orde
Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak berani
berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani
140
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan aparat
negara.
Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa
bahwa kebijakan asimilasi total yang dilaksanakan selama 32
tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa yang sudah ganti nama,
sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang masuk
Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada
bulan Mei 1998.
Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi.
Banyak Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam
kegiatan
LSM
atau
mendirikan
organisasi-organisasi
yang
menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan membela kepentingan
komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya tidak ada
yang membela.
Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang-
orang Tionghoa, seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi
Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa
Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas
Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI)
dll. Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah
Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara
lain majalah Sinergi. Diskusi-diskusi terbuka tentang pemecahan
masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum.
Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh
Baperki di institusi pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki
dan Ureca serta gerakan pemudanya – PPI (Permusyawaratan
Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan animo
ber-organisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil
inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan
organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum Baperki
dan institusi pendidikannya bubar pada tahu 1965, adalah alumni
141
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan
anggota PPI.
Beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat yang
membanggakan, Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Wijaya dan
Dr. Lie Dharmawan.
Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup
dan berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an
bisa dikatakan tidak ada lagi.
Masalah kewarganegaraan
bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas Tionghoa
sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan
kewarganegaraan
Indonesia,
bilamana
membutuhkannya,
memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan modal cukup,
bisa memperolehnya.
Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam
hal hukum bisa dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan
sebagai tindakan yang melanggar hukum. Semua warga negara
secara hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketentuan
presiden harus seorang asli sudah ditiadakan. Imlek dijadikan hari
raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat calon
wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet SBY ada menteri Mari
Pangestu, seorang Tionghoa.
Dan seorang Tionghoa menjadi
gubernur Jakarta Raya, Ahok.
Ramalan Siauw yang ia ingin sampaikan dikuliahnya di
Universitas Leiden pada tahun 1981 pun bisa dikatakan terwujud,
yaitu rakyat Indonesia akan memenangkan perjuangan mencapai
demokrasi. Demokrasi setelah Gusdur menjadi presiden jauh lebih
baik ketimbang di zaman-zaman sebelumnya. Kini, Indonesia
memiliki seorang presiden, Joko Widodo -- seorang tokoh yang
lahir dari keluarga miskin dan tidak pernah berada dalam jajaran
pim pinan yang berkaitan dengan rezim-rezim yang bangkit
setelah Sukarno tergulir pada tahun 1966 --
142
dipilih oleh rakyat,
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
mengalahkan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto,
yang didukung oleh money politics dan kekuatan politik yang
mendominasi Indonesia.
Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara
drastik. Walaupun masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan
studi di perguruan tinggi, baik non Tionghoa maupun Tionghoa,
penampungan mahasiswa bisa dikatakan tertanggulangi. Cukup
tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa yang ingin
dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba
memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan.
Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai
kekuatan ekonomi membangkitkan pula keinginan di kalangan
komunitas Tionghoa di kota-kota besar untuk menjadi bagian
dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai keganjilan di
mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal
yang membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda
di zaman penjajahan belanda, dan berbahasa Inggris di zaman
pasca Demokrasi Terpimpin.
Para
“the
Haves”
komunitas
Tionghoa
berlomba
memamerkan kekayaannya baik dalam berbagai kemewahan
termasuk kemampuan pesta besar-besaran di tempat-tempat
mahal, di te ngah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa
gangguan berarti.
Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme
lenyap
dari
permukaan
bumi
Indonesia
dan
perjuangan
melawannya patut dihentikan? Kiranya tidak.
Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan
langkah pertama. Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya
dan berkembangnya keharmonisan masyarakat yang menjamin
keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di
Indonesia.
143
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan
ekonomi terjadi di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin
membesar dan pimpinan politik yang berpengaruh menjadikan
komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme yang ganas
dan brutal bisa terulang lagi.
Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan
Baperki – paham integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun
ke dalam berbagai kegiatan masyarakat dan turut mendidik
masyarakat untuk menghilangkan benih-benih rasisme dengan
tindakan-tindakan membangun, tanpa menanggalkan latar
belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan.
Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme
di negara-negara maju.
Bahkan di Australia dan Canada,
sebagai negara di mana jumlah penduduknya terdiri dari berbagai
komunitas etnis non Anglo Saxon, paham multikulturalisme
diundangkan.
Organisasi semacam Baperki dan kini INTI (Perhimpunan
Indonesia Tionghoa) yang mampu dengan efektif menyuarakan
aspirasi dan membela kepentingan komunitas yang diwakilinya
masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari pengalaman
Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah
kekuatan politik penguasa. Organisasi-organisasi yang dimaksud
hendaknya merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat
dukungan rakyat terbanyak. Ini merupakan jalan selamat jangka
panjang, walaupun hasil yang diperoleh memakan waktu.
144
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Tiong Djin
Peresmian Klinik Kedokteran Gigi - Universitas Respublica
Oleh Hartini Sukarno pada tahun 1964
Gedung Universitas Respublica diserang dan dihancur massa yang
dikerahkan militer pada tanggal 15 Oktober 1965
145
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Siauw Giok Tjhan
Dan Indonesia Sebagai Negara Hukum
John Roosa1
Perkenalan saya dengan tulisan-tulisan Siauw Giok Tjhan
terjadi pada tahun 2000, ketika saya memperoleh foto-kopi yang
sudah menguning dari beberapa tulisannya yang belum pernah
diterbitkan.
Pada waktu itu, saya sedang duduk di antara rak-rak buku
di kamar kerja Oey Hay Djoen, di rumahnya, Jakarta Selatan.
Buku-buku tersebut telah diselamatkan dengan penuh keberanian
oleh isterinya, ketika ia sendiri meringkuk dalam tahanan sebagai
seorang tahanan politik selama 14 tahun.
Sambil duduk di meja, di mana ia bekerja keras untuk
menyelesaikan terjemahan tulisan-tulisan Marx dan para Marxis, ia
memberikan tulisan-tulisan Siauw tersebut tanpa menyampaikan
pendapatnya tentang sosok Bung Siauw maupun tulisan-tulisannya.
Pada waktu itu, saya hanya mengetahui Bung Siauw
sebagai ketua Baperki. Selain itu saya tidak banyak mengenalnya.
Saya pun tahu bahwa oom Oey, demikian saya memanggilnya,
cenderung menganjurkan orang Tionghoa Indonesia untuk masuk
ke dalam organisasi-organisasi nasional, tidak masuk ke dalam
organisasi yang bersandar atas etnisitas seperti Baperki.
Akan
tetapi saya tahu bahwa oom Oey sangat menghormati Bung
Siauw dan mengerti alasan sejarah pembentukan Baperki.
Ia
sangat antusias menerbitkan tulisan-tulisan Bung Siauw dan tulisantulisan tentangnya.
1 John Roosa adalah Associate Professor Sejarah di Universitas British Columbia
di Vancouver, Kanada. Ia penulis buku Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta
Suharto di Indonesia yang kini dilarang di Indonesia.
146
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Beberapa saat kemudian, di rumah saya yang terletak di
Jakarta Timur, saya membaca esai-esai Bung Siauw tersebut. Saya
kagumi kejelasan penuturannya.
Esai-Esai tersebut merupakan
sebuah teladan karena merefleksikan pemikiran yang analitis,
bahkan berani menyentuh topik-topik sensitif, seperti mengapa
PKI tidak melakukan perlawanan terhadap serangan dan
penghancuran yang dilakukan oleh Angkatan Darat.
Banyak orang tentunya tidak akan mengira bahwa seorang
korban kekerasan seperti Bung Siauw,
dipenjarakan selama
12 tahun sebagai seorang tahanan politik, telah mengalami
kelaparan dan menyaksikan para kawan setahanan meninggal
di sekitarnya, masih memiliki kemampuan untuk menulis sebuah
analisa mendalam.
Dalam mempersembahkan sebuah argumentasi, ia nyatakan
sumber bahan yang ia gunakan dan dengan penuh kerendahan
hati ia tandaskan, untuk beberapa butir pandangan, ia memang
tidak memiliki informasi yang lengkap. Tidak ada pengakuan yang
dibuat-buat, tidak ada penuturan yang tidak berdasar bukti-bukti
kuat dan tidak ada upaya menjelek-jelek-kan orang lain. Orang
yang membaca tulisan-tulisan ini akan memperoleh kesan bahwa
Bung Siauw adalah seorang pengamat, bukan seorang korban. Ia
tidak pernah menggambarkan penderitaannya sendiri.
Salah satu esai ditulis tentang Gerakan 30 September (G30S).
Ia menggambarkannya sebagai: “catatan-catatan berdasarkan
ingatan apa yang telah didengar, diperbincangkan di dalam
tahanan tanpa ada maksud untuk menyinggung perasaan
siapapun dan diajukan secara tulus dan sejujur-jujurnya.” Dari tulisan
ini, saya mengerti mengapa ia sangat dihormati di dalam gerakan
progresif dan sangat disegani oleh para tokoh militer kanan.
147
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Ia benar-benar jujur. Ia dengan sangat tulus dan rendah hati
mendengarkan apa yang para tapol tuturkan mengenai G30S
dan setelah itu dengan kritis mengevaluasi penuturan mereka.
Ia pun sangat rajin. Ia kumpulkan begitu banyak informasi yang
berbeda tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan G30S.
Saya belum pernah menemukan mantan tapol lain yang pernah
mengeluarkan sebuah analisa tentang kejadian 30 September
sedemikian komprehensif, teliti dan lengkap.
Dari kesemuanya ini saya kemudian mengerti kenapa ia
dipilih sebagai ketua Baperki pada tahun 50-an. Ia sangat terbuka
dan mampu berdialog secara tenang dan mantap dengan orangorang yang memiliki orientasi politik yang berbeda dengannya
tanpa mengkompromikan pendapat-pendapatnya.
Dalam esai ini, saya akan memusatkan perhatian ke
tulisan Bung Siauw pada tahun 1978 tentang G30S, dan tentang
tuntutannya yang ditulis pada tahun 1979, membawa Suharto
ke
pengadilan
kejahatannya2.
untuk
mempertanggung-jawabkan
semua
Kedua-duanya ditulis setelah ia bebas dari
tahanan dan ketika ia berobat di negeri Belanda.
Di dalam esai pertama, Bung Siauw menyatakan bahwa
ia ingin menyebar luaskan informasi yang ia peroleh dari
tahanan tentang hancurnya PKI. Ia ingin membantu para pelarian
politik di Eropa dan para kawan se-pengorbanan di Indonesia,
untuk mengerti, apa yang menyebabkan Angkatan Darat yang
dipimpin oleh Suharto menjadikan mereka -- yang tidak tahu
menahu tentang G30S -- kelompok orang yang bersalah.
2
Di Esai kedua, ia menulis sebuah tuntutan disertai informasi
Bung Siauw menggunakan nama dua nama pena: Sukidjan, “Berbagai
Catatan dari Berbagai Macam Cerita yang Dikumpulkan dalam Percakapan2
dengan Berbagai Teman Tahanan di Salemba, Rumah Tahanan Chusus, dan
Nirbaya.” (November 1978); Sigit, “‘The Smiling General’ Harus Dituntut di depan Mahkamah,” (August 1979).
148
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
dan argumentasi
John Roosa
untuk membawa Suharto ke pengadilan,
bilamana situasi politik memungkinkan, baik di pengadilan
Indonesia maupun pengadilan internasional.
Yang paling menarik perhatian saya dari tulisan-tulisan ini
adalah komitmen Bung Siauw terhadap rule of law. Tulisannya
bersandar atas Indonesia sebagai negara hukum. Sekilas, hal ini
tidak memerlukan sorotan apa-apa.
Penegakan hukum sering
dianggap sebagai topik yang membosankan dan kuno, sesuatu
yang sebenarnya lebih baik dibahas oleh orang-orang konservatif
yang berhubungan dengan kegiatan hukum dan ketertiban.
Akan tetapi dalam konteks Indonesia di mana penegakan
hukum merupakan pengecualian, ia adalah sebuah masalah yang
penting dan mendesak. Sejak kemerdekaan dan Republik Indonesia
diterima sebagai negara merdeka oleh dunia internasional pada
tahun 1949, sebagian besar masa keberadaannya, 1959 hingga
1998, Indonesia berada di bawah kekuasaan berbagai pemerintah
yang melanggar prinsip rule of law.
Pada umumnya orang-orang komunis dan anti komunis
tidak terlalu memperhatikan masalah penegakan hukum. Tulisantulisan tentang tragedi 1965-1966, contohnya, ditekankan sebagai
pertikaian politik, seolah-olah tragedi itu adalah semata-mata
akibat pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat.
Padahal
sementara pengamat menyatakan bahwa yang berlaku pada
masa itu adalah hukum rimba.
Kiranya sulit di masa kini untuk menghargai cita-cita para
nasionalis sebelum “kemunduran demokrasi konstitusional” (seperti
yang dinyatakan oleh Herb Feith) pada akhir tahun 1950-an. Tulisantulisan Bung Siauw menyegarkan ingatan kita tentang cita-cita ini.
Bung Siauw mengingatkan kita tentang apa yang diperjuangkan
oleh para nasionalis yang teguh berprinsip dalam mela-
149
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
wan kolonialisme. Para pejuang yang ingin membangun sebuah
negara hukum yang berpijak di atas HAM - Hak Asasi Manusia.
Bung Siauw menjadi anggota parlemen selama hampir 20
tahun (sejak KNIP pada tahun 1946 hingga DPR-GR pada tahun
1965) dan anggota Konstituante.
Ia sangat mengerti Undang-
Undang Indonesia dan menyadari betapa pentingnya Indonesia
memiliki kerangka hukum yang tepat.
Untuk bisa menghargai nilai tulisan-tulisan Bung Siauw,
kita harus membandingkannya dengan tulisan-tulisan beberapa
tokoh PKI yang berhasil menyelamatkan dirinya, tidak lama setelah
pembantaian massal pada tahun 1965-1966. Tulisan-tulisan ini lebih
banyak berbentuk perdebatan abstrak antar kelompok tentang
teori Marxisme dan Leninisme yang oleh mereka dijadikan dogma.
HAM dan penegakan hukum tidak ditonjolkan sebagai bahan
perdebatan. Yang berkiblat ke Soviet Uni menyalahkan pimpinan
PKI yang dianggapnya terlalu mengikuti Mao-isme; sebaliknya,
yang berkiblat ke RRT menyalahkan pimpinan tidak cukup disiplin
mengikuti Mao-isme. Timbullah perdebatan antara Revisionisme
Modern (Remo) dan Advonturisme, meminjam istilah-istilah yang
dipergunakan untuk mencela satu dengan yang lain pada waktu
itu. Mungkin hanya satu hal yang bisa yang bisa disimpulkan dari
tulisan-tulisan para tokoh PKI itu, yaitu terdapat tidak sedikit orang
dogmatis di dalam tubuh PKI.
PKI
tidak
menganggap
penegakan
hukum
sebagai
sesuatu yang maha penting. Memang semua partai komunis yang
dibentuk setelah revolusi di Rusia pada tahun 1917 menganggap
penegakan hukum sebagai penekanan borjuis, tidak perlu
didukung oleh orang-orang revolusioner. Hukum di bawah politik
sedangkan politik adalah dasar perperangan. Orang-orang
komunis harus menjadi pendekar-pendekar dalam perperangan
150
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
kelas,
mengambil
alih
kekuasaan
John Roosa
negara
dan
kemudian
menciptakan undang-undang baru setelah kekuasaan diraih.
Negara Soviet adalah bentuk negara yang diidami, di mana partai
komunis sepenuhnya berkuasa dan hukum atau undang-undang
diciptakan oleh partai
komunis. Penegakan hukum di luar partai komunis tidak diizinkan
berfungsi.
Beberapa tokoh yang meninggalkan gerakan komunis
internasional seperti sejarawan E.P. Thomson, keluar dari Partai
Komunis Inggris setelah Soviet menyerang Hongaria pada tahun
1956, menyimpulkan bahwa menganggap hukum sebagai alat
penindasan kelas adalah sebuah kesalahan.
Thompson yang tetap menjadi seorang Marxis, mengakhiri
bukunya Whigs and Hunters (1975)
dengan sebuah bab, 11
halaman, yang ia namakan The Rule of Law (Negara Hukum).
Kata-kata ternama dari bab itu adalah: “Saya hanya ingin
menekankan sebuah hal yang paling penting, yang telah
diabaikan oleh para Marxis modern, bahwa ada perbedaan antara
kekuasaan sewenang-wenang dan penegakan hukum. Kita harus
membongkar penipuan dan ketidak-adilan yang terselubung oleh
undang-undang. Penegakan hukum yang membatasi kekuasaan
dan melindungi rakyat dari kekuasaan sewenang-wenang,
menurut saya, tanpa pengecualian, adalah hal yang baik”.
Thompson
melihat
bahwa
Undang-Undang
Inggris
merangkul berbagai aspek perjuangan sosial yang berlangsung
berabad-abad dan yang mengandung kemenangan rakyat
jelata.
Pembatasan kekuasaan pemerintah dibutuhkan oleh
setiap negara, termasuk negara-negara yang terbentuk sebagai
hasil revolusi, walaupun negara itu, seperti yang Lenin definisikan
dalam bukunya State and Revolution (1917), merupakan jembatan
151
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
sementara dalam menuju masyarakat tidak bernegara.
Bung Siauw menyatakan: “pejuang2 kemerdekaan RI,
bercita-cita-kan menegakkan satu negara yang berdasarkan
prinsip “rule of law,” mencapai satu negara berdasarkan hukum
“rechtstaat” (negara hukum) dan bukan menjadi “machtstaat”
(negara kekuasaan).”
Saya ingin mengembangkan diskusi ini.
Saya yakin
bahwa para perumus UUD 45 memiliki komitmen tinggi tentang
pembentukan negara hukum, walaupun harus disadari bahwa
tidak semuanya seirama tentang apa yang dimaksud dengan
negara hukum.
Ada sementara anggota Badan Penyelidik Untuk Persiapan
Kemerdekaan Indonesia – (BPUPKI) menganggap rechstaat adalah
rechstaat yang dilakukan oleh Belanda di zaman kolonial Hindia
Belanda, yaitu sebagai negara yang mengikuti Undang-Undang
tertulis; Undang-Undang ini tidak perlu memiliki norma demokratik
atau mengindahkan HAM.
Di lain pihak, ada beberapa perumus UUD 45 menganggap
dirinya sebagai insinyur sosial, menciptakan cetak biru dalam
pembentukan
masyarakat baru. Oleh karena itu, menurut
mereka, kekuasaan negara tidak perlu dibatasi. Adanya UUD saja
sudah cukup sebagai dasar pembentukan sebuah negara hukum.
Mereka tidak mementingkan penegakan hukum. Istilah negara
hukum tidak dicantumkan dalam UUD 1945.
Mohammad Hatta-lah yang menekankan pentingnya
menjunjung tinggi hak perorangan di dalam UUD: “Kita mendirikan
negara yang baru. Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat
supaya negara yang kita bikin, jangan jadi Negara kekuasaan.”
Hatta mengusulkan dimasukkannya sebuah pasal: “hak untuk
berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.”
152
Siauw
Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Oleh karena itu ada Pasal 28 dalam UUD 1945: “Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de ngan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Akan tetapi perlu dicatat bahwa para perumus UUD
tersebut tidak tegas menyatakan bahwa rakyat memiliki hak untuk
melakukan hal-hal tercantum di atas. Istilah “hak” tidak masuk di
dalam Pasal 28. Yang dijamin adalah para pembuat UndangUndang
diberi
wewenang
untuk
mengeluarkan
peraturan
tambahan mengatur kegiatan-kegiatan yang tercantum.
Memang UUD 1945 tidak memberi banyak hak untuk rakyat.
Ada hak untuk bekerja dan memiliki standard hidup yang baik
(Pasal 27), hak untuk memilih agama (Pasal 29) dan hak untuk
memperoleh pendidikan (Pasal 31). Yang jelas terlewat adalah
hak untuk memilih. UUD 1945 juga tidak dengan jelas menjabarkan
bagaimana wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR dipilih. Kebijakan ini
dinyatakan akan ditentukan di lain kesempatan.
Keputusan
Presiden
Sukarno
untuk
mengganti
UUD
Sementara 1950 dengan UUD 1945 , sebagai reaksi terhadap
kegagalan Konstituante dalam merumuskan UUD baru pada
tahun 1959, merupakan sebuah tragedi terbesar dalam sejarah
Indonesia.
Berbeda dengan UUD 1945, seperti yang Bung Siauw
tandaskan, UUD sementara 1950 mengikutsertakan banyak hak:
“Rakyat Indonesia pernah hidup dibawah UUD Sementara Negara
Kesatuan (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959) yang mengutip seluruh isi
“Universal Declaration of Human Rights” yang disahkan PBB dalam
sidang umumnya 10 December 1948.”
Setelah UUD 1945 dibekukan selama 40 tahun, perubahan
positif akhirnya bisa dicapai. Sebelum itu, UUD 1945 diperlakukan
sebagai sebuah benda yang dibungkus kain kramat yang tidak
153
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
boleh disentuh dan hanya diletakkan di museum. Para perumus
Undang-Undang akhirnya sadar bahwa Indonesia harus menghentikan situasi di mana negara tergantung atas kata-kata seorang
presiden - yang dalam zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru
-- berbentuk hukum. Mereka sadar bahwa negara Indonesia harus
bersandar atas rule of law.
Dalam hal penegakan hukum, Indonesia memang sangat
terbelakang. Hanya sekali setelah Suharto jatuh pada tahun 1998,
perubahan ini dilakukan. Sebelum itu, Indonesia diajak oleh peme
rintah untuk menghindari penegakan hukum. Ini bisa dimengerti,
karena banyak perumus UU adalah orang-orang Orde Baru yang
tidak memiliki komitmen tentang penegakan hukum. Akan tetapi
akhirnya mereka sadar dan menanggulangi masalah penegakan
hukum yang sangat dibutuhkan Indonesia. Perubahan-perubahan
yang dicapai bersandar atas pasal-pasal yang ada dalam UUD
Sementara 1950.
Bung Siauw bertanya, mengapa Indonesia gagal menjadi
negara hukum yang diidami oleh para pendirinya? Jawaban atas
pertanyaan ini adalah satu kata: tentara.
Konflik di dalam tubuh Angkatan Darat telah mencegah
dikuasainya negara oleh kekuatan sipil dan gagalnya negara
bersandar atas rule of law.
Tentara-tentara Indonesia kerap
bertempur menghantam satu sama lain: Peristiwa Madiun pada
tahun 1948; pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 19571960; G30S pada tahun 1965.
Perwira-perwira Angkatan Darat juga kerap menentang
upaya Presiden dan parlemen untuk mempengaruhi Angkatan
Darat: Kejadian 1952; Kejadian Bambang Utoyo 1955 dan
pembangkangan terselubung Angkatan Darat di masa Konfrontasi
(1963-1966).
154
Siauw
Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Walaupun saya menganggap Sukarno dan Demokrasi Terpimpinnya
bertanggung jawab atas pelanggaran prinsip negara hukum, saya
bisa mengerti mengapa Bung Siauw tidak menyalahkan Sukarno.
Banyak politikus progresif seperti Bung Siauw me ngenalnya secara
pribadi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang
jujur, memiliki maksud baik dan terhormat. Mereka juga melihat
bahwa Sukarno, dalam merumuskan berbagai kebijakan mengikuti
prinsip-prinsip HAM walaupun ia tidak merealisasi kebijakankebijakan ini dengan prosedur-prosedur hukum yang kuat dan
berpengaruh.
Contohnya, Siauw menyatakan bahwa Sukarno tidak
melakukan
penangkapan
dan
pembunuhan
masal
ketika
menindas pemberontakan PRRI-Permesta dan tidak menganggap
orang-orang yang pernah memberontak terhadap pemerintah
sebagai penghianat bangsa.
Sukarno tidak menahan semua
anggota Masjumi dan PSI walaupun pimpinan partai-partai tersebut
terlibat dalam PRRI-Permesta. Dan mereka yang ditahan kemudian
diampuni dan dibebaskan. Sukarno tidak memerintahkan eksekusi
terhadap mereka yang memberontak:
“Dan ingat, Presiden
Sukarno tidak pernah mencabut atau membatalkan secara
sepihak pensiun yang mereka berhak menerimanya sebagai
bekas Menteri, sebagai anggota DPR!”
Ini
tentunya
bertolak
belakang
Suharto dalam membasmi G30S.
dengan
tindakan
Sebenarnya G30S bukan
sebuah gerakan. Ia tidak berbentuk gerakan pemberontakan
sekaliber PRRI-Permesta.
Akan tetapi Suharto menggunakan
dalih pemberontakan G30S sebagai alasan untuk melakukan
penangkapan dan pembantaian dalam skala yang sangat besar.
Mengingat kelaliman Suharto, mudah dimengerti mengapa para
korbannya tidak bisa menyalahkan Sukarno.
155
Siauw
Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Walaupun dekrit 1959 bisa dikatakan sebagai upaya darurat
untuk menanggulangi sebuah krisis, kiranya sulit memaafkan
Sukarno yang gagal menghentikan sistem yang bersandar atas
kekuasaan mutlak seseorang. Sukarno tidak memiliki komitmen
untuk memulihkan penegakan hukum dan demokrasi. Dan tidak
adanya harapan bahwa karakter Demokrasi Terpimpin yang
berkepanjangan ini akan berakhir telah mendorong PKI dan
Angkatan Darat untuk mencari jalan keluarnya masing-masing.
Pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak awal tahun 1965
saling ragu apakah mengambil langkah mendahului penyerangan
terhadap satu sama lain. Dokumen-dokumen rahasia pemerintah
Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa para Jendral Angkatan
Darat terus menerus berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika
Serikat dan memutuskan untuk menunggu PKI mengambil langkah
terlebih dahulu.
Para Jendral tersebut tidak ingin melakukan
kudeta terhadap Presiden Sukarno, karena ia sangat populer.
Mereka berpendirian sebaiknya menunggu adanya alasan untuk
menghantam PKI dan secara berangsur menyingkirkan Presiden
Sukarno. Dan dalam waktu bersamaan, tetap menunjukkan
kesetiaan terhadap Sukarno. Gerakan 30 September adalah
alasan yang mereka nantikan. Bung Siauw menyatakan: “Yang
jelas sekarang ini, G30S ternyata dijadikan alasan oleh Angkatan
Darat untuk menghancurkan PKI”.
Bung Siauw menyadari bahwa Aidit dan beberapa
pimpinan top PKI terlibat dalam G30S. Akan tetapi, ia tidak habis
pikir bagaimana mereka ini terlibat dan mengapa mereka terlibat.
Selama ia di penjara, ia berkesempatan berbicara dengan
beberapa pimpinan dan anggota PKI yang terlibat, seperti Kusno,
asisten pribadi Aidit, Mohamed Munir, anggota Polit-Biro PKI.
Walaupun mereka tidak memiliki informasi yang lengkap, tetapi
156
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
dari pembicaraan ini Bung Siauw bisa menyimpulkan bahwa yang
paling berperan dalam pengaturan G30S adalah seorang yang
bernama Syam: “ Dan dari kenyataan-kenyataan yang terjadi
sekitar G30S, kita bisa melihat bahwa yang memainkan peranan
menentukan dan sebagai ‘memimpin’ G30S adalah Syam, dan
jelas Syam tidaklah identiek dengan pimpinan PKI, karena Syam
bukanlah orang yang bisa bertindak mewakili PKI berdasarkan
Anggaran Dasar PKI.” Syam memainkan peranan sebagai ketua
Biro Khusus yang “merupakan alat dari ketua CC PKI D.N. Aidit.”
Dari Kusno Bung Siauw mengetahui bahwa Aidit berada di
Halim pada hari pelaksanaan G30S dan terbang ke Jawa Tengah
pada malam harinya dengan pesawat Angkatan Udara. Dalam
buku saya
Dalih Pembunuhan Massal, saya mencoba untuk
meneruskan analisa Bung Siauw tentang peran yang dimainkan
oleh Syam dan Biro Khusus dalam G30S dan kaitannya dengan
hubungan antara Aidit dengan para perwira yang oleh PKI
dinyatakan sebagai “perwira yang progresif dan revolusioner”.
Bung Siauw tidak bisa mengerti dan menerima bagaimana
orang yang tidak banyak diketahui ini bisa secara tiba-tiba muncul
berperan sebagai seorang “kingmaker”.
Syam, yang pernah
bersama Bung Siauw berada di penjara di Jakarta pada tahun 60an, dianggapnya sebagai seorang misterius.
Informasi yang ia peroleh tentang diri Syam selama
di tahanan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kesetiaan
terhadap partai, bahkan sering mengkhianati para anggota
partai: “Benar-benar satu mentalitet yang merusak nama baik
komunis. Bagaimana bisa terjadi seorang tokoh PKI seperti Syam
itu yang memegang peranan begitu pentingnya! Martabat yang
sedikitpun tidak ada bau komunis-nya.”
Bung Siauw tidak tahu apakah Aidit dikelabui Syam untuk
157
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
terlibat dalam G30S atau apakah Aidit bekerja sama dengan Syam
dalam mengkoordinasikan G30S. Bung Siauw curiga bahwa Syam
adalah agen anti komunis yang menyelundup ke dalam PKI untuk
menghancurkannya. Akan tetapi ia heran, kalau benar begitu,
mengapa Syam bisa dipercaya penuh oleh Aidit untuk memimpin
sebuah lembaga – Biro Khusus -
yang demikian pentingnya,
sehingga Aidit bersedia diperintah oleh Syam di hari aksi tersebut.
Situasi ini menurutnya aneh.
Walaupun peran apa yang Aidit mainkan dalam G30S tetap
tidak jelas, tetapi ia bukan seorang yang begitu bodoh untuk bisa
dikelabui oleh Syam berada di Halim sehingga PKI bisa disalahkan
dalam melakukan aksi yang direncanakan untuk gagal.
Beberapa minggu sebelum G30S, Aidit telah bekerja sama
dengan Syam untuk mengatur serangan mendadak terhadap
Jendral-Jendral kanan yang anti Komunis. Transkripsi pembicaraan
Aidit dengan Mao di Beijing pada tanggal 5 Agustus 1965
membuktikan bahwa Aidit tahu persis rencana untuk G30S. Aidit
menjelaskan ke Mao bahwa personil tentara yang pro-PKI akan
melakukan aksi untuk menyingkirkan perwira kanan dan mendirikan
dewan yang kelihatannya netral. Dua bulan sebelum G30S Aidit
bisa mengambarkan secara detil apa yang akan dilakukan dan
kenapa.
Komando G30S dan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh
Untung ternyata adalah sebuah jembatan untuk melakukan
perombakan susunan negara yang radikal. G30S adalah sebuah
ge rakan yang akan mengenyahkan jendral-jendral Angkatan
Darat kanan dan mempertahankan kedudukan Presiden Sukarno.
Rencananya
adalah
menghindari
pertentangan
dengan
kekuatan-kekuatan yang terhimpun dalam Front Nasional.
Akan tetapi rencana ini sebenarnya mengundang
158
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
kegagalan. G30S tidak bisa menyatakan menyelamatkan Presiden
Sukarno dan pada waktu bersamaan mengganti kabinet yang sah
dengan Dewan Revolusi, apalagi kalau Sukarno tidak berperan
dalam pemilihan kabinet dan tidak lagi berfungsi sebagai Presiden
de facto. Bung Siauw dengan panjang lebar menggambarkan
bagaimana
pengumuman
tentang
Dewan
Revolusi
dan
komposisinya telah mendorong kekuatan netral untuk turut
menyerang PKI.
Tentunya sulit untuk membantah argumentasi Bung Siauw
bahwa kekuatan anti komunis internasional turut memasang
jebakan untuk PKI pada tahun 1965 dan bahwa: “PKI kurang
kewaspadaan sehingga masuk dalam jebakan ini”.
Menurut
analisis di buku Dalih Pembunuhan Massal, Syam tidak bekerja
untuk organisasi di luar PKI, apakah itu CIA atau KGB atau Angkatan
Darat yang menginginkan kehancuran PKI. Kesalahan utama
Syam adalah kecerobohan dan ketidak-mampuannya dalam
merencanakan dan memimpin gerakan, bukan karena ia adalah
seorang agen berganda dan penghianat.
Dari
bahan-bahan
Amerika
Serikat
yang
sudah
di
deklasifikasi kita tahu bahwa Amerika Serikat bersama para jendral
Angkatan Darat giat memprovokasi PKI untuk mengambil langkah
mendahului; Mereka menantikan adanya kejadian yang bisa
dijadikan alasan untuk menyalahkan PKI. Aidit ternyata merasa
ada dasar untuk mengambil tindakan mendahului dan yakin
bahwa akan mencapai kemenangan, sehingga ia masuk ke
dalam perangkap.
Dalam mempertimbangkan keganasan serangan terhadap
para anggota PKI setelah G30S, Bung Siauw tidak segan mengkritik
pimpinan PKI. Ia mempertanyakan apa yang menjadi pertanyaan
banyak orang. Mengapa PKI tidak berbuat apa-apa untuk
159
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
melawan serangan ganas ini? Jawaban Bung Siauw adalah, PKI
telah menjadi sebuah partai yang hanya menerima perintah dari
atas. Setelah 1 Oktober 1965, Aidit bersembunyi di Jawa Tengah
dan Polit Biro tercerai berai. Instruksi Aidit adalah menunggu
Presiden Sukarno untuk mendapatkan jalan keluar. Sebuah instruksi
untuk tidak melawan demi kedamaian.
Dalam menghadapi penghancuran yang tidak dapat
dicegah oleh Sukarno, pimpinan PKI ternyata tidak mampu
mengubah strategi dan mengorganisasi perlawanan:
“Apa
yang dilakukan selanjutnya oleh Aidit di Jawa Tengah, tidak ada
kejelasan … dalam kehidupan dikejar-kejar, Aidit ternyata tidak
dapat melaksanakan pimpinan sebagaimana yang diharapkan
sebagai ketua PKI.”
Bung Siauw menyadari pada tahun 1970-an bahwa dalam
menghadapi kediktatoran Suharto, Indonesia harus kembali ke
dasar-dasar negara hukum dan hak rakyat: “Merasakan perlunya
ditegakkan kembali prinsip “rule of law”, ditegakkannya prinsip
“presumption of innocence”(hak untuk diperlakukan sebagai
manusia “tidak berdosa”, sebelum dibuktikan oleh pengadilan
yang tidak memihak); ditegakkannya prinsip “fair trial”(pemeriksaan
perkara secara adil oleh pengadilan yang tidak memihak) dan
diindahkannya Pernyataan Sedunia tentang hak2 asasi manusia
(Universal Declaration of Human Rights)”.
Dengan cerdik dan tepat Bung Siauw berargumentasi
bahwa salah satu sila Pancasila, sila Prikemanusiaan, harus
diinterpretasikan sesuai dengan Pernyataan PBB tentang HAM:
1948 Universal Declaration of Human Rights (UDHR): “Jadi, sila
Perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah
hak asasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan
harus dilaksanakan secara konsekwen tanpa kecuali.”
160
Siauw
Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak
ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacita umum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya
tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar
HAM. Selama Suharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk
menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya
rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah
tahun 1948.
Rezim Suharto tidak bersedia menanda-tangani
banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil
and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye
bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar
HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Suharto jatuh,
Indonesia mulai mengikuti konsensus internasional (bukan hanya
“Barat”) tentang HAM.
Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang
dilakukan oleh Ahmed Seif el-Islam (1951-2014) di Mesir. Ia adalah
seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer
pada tahun 1980-an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk men
jadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa
penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa-pun
yang melakukannya: “Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya
melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orang-orang komunis
secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orang-orang Islam
tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya
menyiksa orang-orang komunis.” Masalah yang diangkat oleh Seif
adalah hal yang Bung Siauw tandaskan pula, yaitu bagaimana
memadukan perjuangan politik dalam mencapai kekuasaan
negara dengan komitmen menjunjung tinggi HAM?
Sangat disayangkan Bung Siauw wafat di usia yang relatif
muda pada tahun 1981. Sebuah kematian yang harus dikaitkan
161
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
John Roosa
dengan rezim Suharto di mana kondisi penjaranya yang buruk
telah merusak kesehatan Bung Siauw.
Pembunuhan dan penangkapan masal yang dilakukan
Suharto
selama
ber-tahun-tahun
telah
menghancurkan
kehidupan banyak orang Indonesia yang terbaik dan terpandai.
Banyak penulis yang terbaik, pelukis yang terbaik, intelek yang
terbaik dan organisatoris terbaik dibunuh, menjadi cacat seumur
hidup, dibungkam, di teror dan dipaksa untuk hidup sebagai eksil.
Lalu muncullah sekelompok preman, perwira militer yang cupat,
koruptor dan oportunis yang tidak memiliki talenta menggantikan
mereka yang dipersekusi ini.
Dengan wafatnya Bung Siauw, Indonesia telah kehilangan
salah satu suara yang membela HAM. Ia adalah seorang yang
patut diingat sebagai salah satu pembangun bangsa dan negara
karena turut dalam perumusan kedua UUD pertama dan seorang
tua bijaksana yang di puncak kediktatoran Suharto mengingatkan
rakyat Indonesia bahwa mereka adalah rakyat yang memiliki
berbagai hak.
162
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan, Lu Tjun Sheng dan Aidit
di sebuah pertemuan pada tahun 1965
Siauw Giok Tjhan ketika dirawat di RSPAD
sebagai Tapolpada tahun 1974
163
John Roosa
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan
Mengenai Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa
Leo Suryadinata1
Pandangan Siauw Giok Tjhan (1914-1981) tentang Nasion/
Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa tidak banyak dibahas secara
ilmiah.
Saya pernah menerbitkan buku yang membahas masalah
Politik Tionghoa Indonesia dan menyoroti masalah ini2. Setelah 30
tahun lebih kita lewati, saya merasakan perlunya merenungkan
kembali apa yang ditulis ketika itu dan bertanya apakah mungkin
memperluas diskusi tentangnya.
Saya berpendapat bahwa untuk memahami konsep
Nasion/Bangsa Indonesia yang dituangkan Siauw Giok Tjhan, kita
perlu meneliti sepak terjang Siauw dalam sejarah; latar belakang
sejarah saat konsep itu dilahirkan, khususnya perkembangan
politik Indonesia pada saat itu; dan hubungan rumit Siauw dengan
banyak partai politik dan tokoh-tokoh ketika itu. Ternyata Siauw
sendiri di berbagai zaman tidak selalu berpendapat yang sama.
Oleh karena itu, kita mungkin bisa melakukan sebuah refleksi
sejarah.
Siauw Giok Tjhan sebelum Baperki Terbentuk
Siauw berpendidikan Belanda dan tidak mengerti bahasa
Tionghoa. Di masa muda sudah mulai bekerja di surat kabar milik
1 Penulis saat ini menjabat Peneliti Senior Lembaga Studi Asia Tenggara di Singapura; Profesor di Sekolah Internasional S Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang. Makalah ini ditulis dalam bahasa Tionghoa, dan diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh Chan Chung Tak dengan bantuan penulisnya.
2 Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study
of Perceptions and Policies. Kuala Lumpur and London: Heinamann, 1978.
164
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
peranakan Tionghoa. Dan ia banyak dipengaruhi oleh pimpinan
Partai Tionghoa Indonesia, Lim Koen Hian dan Pemimpin Redaksi
Harian Matahari, Kwee Hing Tjiat.
Liem Koen Hian adalah seorang tokoh Tionghoa kiri. Awalnya
ia adalah seorang Nasionalis Tiongkok, tetapi kemudian menjadi
salah seorang aktivis yang giat mendukung gerakan kemerdekaan
Indonesia.
Bahkan pada tahun 1937 ia masuk dalam Gerindo
(Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin,
yang kemudian menjadi anggota PKI. Sedangkan Kwee Hing Tjiat
tadinya menganut paham nasionalis Tiongkok. Akan tetapi setelah
kembali dari perantauan ke Indonesia pada tahun 1934 mendirikan
surat kabar yang berkiblat ke Indonesia.
Siauw juga berkenalan dengan tokoh-tokoh Tionghoa dan
pribumi yang berhaluan kiri, termasuk Pemimpin Redaksi Sin Tit
Po dan tokoh Partai Tionghoa Indonesia seperti Tjoa Sik Ien dan
Tan Ling Djie, para tokoh komunis Indonesia veteran seperti Amir
Syarifudin dan Muso, bahkan juga dengan Njoto, pimpinan PKI
baru. Nampaknya yang paling banyak mempengaruhi Siauw dari
para tokoh ini adalah Tan Ling Djie3.
Tan Ling Djie (1904-1969) lebih tua 10 tahun dari Siauw.
Pada tahun 30-an, Siauw sudah mengenalnya dan menjadi
pembimbing politiknya. Dari Tan Ling Djie itulah Siauw belajar
metode menganalisa politik dan masyarakat. Mereka berdua
menjadi sahabat kental. Sejak tahun 1951 sampai 1965, Tan Ling
Djie tinggal di rumah Siauw, dan anak-anaknya memanggilnya
“Empek”4.
Pada tahun 1946 Tan Ling Djie dan Siauw masuk dalam
Partai Sosialis. Mereka aktif pula di Front Demokrasi Rakyat
3 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot membangun
Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, Jakarta: Hasta Mitra,
1999, p.59.
4 Ibid., halaman 60.
165
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
Indonesia (FDR), kekuatan politik kiri di zaman revolusi. Pada Tahun
1948 Tan Ling Djie masuk di PKI, sedang Siauw tetap berada di FDR.
Pada tahun 1948 baik Tan Ling Djie maupun Siauw ditahan karena
Peristiwa Madiun, sekalipun tidak lama kemudian kedua-duanya
bebas. Setelah Tan Ling Djie dibebaskan, ia sempat menjabat
Sekretaris Jenderal PKI (1948-1951). Siauw sendiri pada tahun 1951
menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakjat (Juli 1951 – 30 Oktober
1953).
Pada Januari tahun 1951, Aidit berhasil menggulingkan Tan
Ling Djie dari posisi Sekjen PKI. Akan tetapi Tan tetap bertahan
sebagai anggota Central Comite5. Pada bulan Oktober 1953
kritikan terhadap Tan Ling Djie dilangsungkan dalam PKI dan ia
kemudian dihentikan dari Central Comite6. Tidak lama kemudian
Siauw meletakkan jabatan dari Pemimpin Redaksi Harian Rakjat
dan Njoto menggantikannya.
Ruth McVey mengomentari masalah ini: “Siauw Giok
Tjhan adalah sahabat baik Tan Ling Djie. Tidak jelas apakah ia
meninggalkan Harian Rakjat sebagai protes terhadap apa yang
dialami Tan Ling Djie, ataukah dari keputusan PKI, yang bermaksud
mengurangi jumlah orang Tionghoa dari posisi penting dalam
gerakan komunisme Indonesia. Kemungkinan terakhir tetap ada,
yang berarti pimpinan baru PKI memiliki sikap nasionalisme (rasisme
?--penulis) yang cukup kuat”7.
Lebih lanjut McVey menyatakan: “PKI di masa Aidit, tidak
menganjurkan Tionghoa Indonesia masuk jadi PKI”8.
Adanya
“Perubahan Baru” demikian ini, menyebabkan Siauw Giok Tjhan
5 Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia 1951-1963, Berkeley: University of California Press, 1964, p.78.
6 Tan Ling Djie dikritik melakukan kesalahan ”Menyerahisme”. Kemudian disebut
“Tan Ling Djie-isme”
7 Ruth McVey, “Indonesian Communism and China,” Tang Tsou and Ping-ti Ho,
eds. China in Crisis, vol. 2, University of Chicago Press, 1969, pp.361-361.
8
Ibid., halaman 362.
166
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
antipati terhadap kehadiran Aidit. Hubungan di antara kedua
orang ini kurang harmonis. Tetapi, hubungan Siauw dengan tokoh
utama PKI Njoto dll tidak pernah berubah. Sesungguhnya, pada
waktu Siauw menerbitkan dan menjabat Pemimpin Redaksi Harian
Rakjat, Njoto sudah berada di Harian Rakjat. Ada penulis yang
mengatakan, pada saat Siauw menjadi anggota Partai Sosialis dan
bertanggung jawab atas Harian Suara Ibu Kota, di Yogyakarta,
ia dibantu oleh pimpinan muda PKI Aidit dan Njoto. Menurutnya,
Njoto yang lebih muda 10-an tahun justru memperoleh bimbingan
Siauw dalam bidang kewartawanan pers9.
Hubungan
Siauw
dengan
Harian
Rakjat
(1951-1953)
menimbulkan dua versi pendapat. Umum menganggap sejak
awal Harian Rakjat adalah surat kabar PKI dan Njoto di Harian
Rakjat adalah pemimpin sesungguhnya10. Akan tetapi sementara
orang menganggap Harian Rakjat baru menjadi surat kabar PKI
setelah Siauw meninggalkan Harian Rakjat11.
Kalau kita perhatikan Editorial ketika Siauw meninggalkan
Harian Rakjat, PKI tidak menyangkal hubungan Harian Rakjat
dengan Partai pada waktu Siauw menjabat Pemimpin Redaksi.
Editorial itu menyatakan Harian Rakjat sebagai “Harian kita”.
Editorial tersebut menyatakan bahwa “Harian kita sudah lebih
dua tahun mengabdikan diri kepada rakjat dan perdjuangannya.
Dalam
pertentangan
antara
kepentingan
nasional
dan
kepentingan kolonial, harian kita selalu berpihak kepentingan
nasional. Dalam pertentangan antara Rakjat dan musuh-musuh
Rakjat, harian kita selalu berpihak Rakjat.” Editorial selanjutnya
menyatakan bahwa sejak tanggal 2 Nopember 1953, “Mulai
hari ini harian kita mengalami perubahan. Ada perubahan
9 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan1999 p.117.
10 Ruth McVey, “Indonesian Communism and China”, pp.361-362.
11 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), p. 147; Charles Coppel”Siauw Giok
Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed. Southeast Asian Personalities of Chinese descent: a Biographical Dictionary (Singapore: ISEAS) , p.971.
167
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
dalam pimpinan perusahaan, juga susunan redaksi mengalami
perubahan. Perubahan-perubahan ini tidak mempunjai tudjuan
lain ketjuali perbaikan dan penjempurnaan.”12
Di
“Pengumuman”
tersebut
Siauw
Giok
Tjhan
juga
dinyatakan, setelah ia dan Annast “Sukarela Meletakkan Jabatan”,
Pimpinan Umum N.V. Penerbit “Rakjat” dan menugaskan saudara
Naibaho sebagai Pimpinan Umum menggantikan Siauw13.
Pengumuman
itu
juga
mengharap
dukungan
para
pembaca pada pimpinan baru sehingga Harian Rakjat dapat
mencapai kemajuan lebih pesat dan merupakan harian yang
patut dibanggakan sebagai alat perjuangan kita semua untuk
melaksanakan cita-cita demokrasi sejati14. Sebetulnya, sebelum
Siauw meletakkan jabatan dari Pimpinan Umum kepengurusan
Harian Rakjat telah terjadi perubahan. Naibaho sudah menjadi
salah seorang Redaksi.
Dengan Siauw meletakkan jabatan,
nampak kelompok Aidit memperoleh kemenangan dalam PKI.
Masalah apakah Siauw Giok Tjhan anggota PKI kerap
menjadi perbincangan ramai. Sementara penulis menganggap
ia bukan anggota PKI15. Sekalipun ia bukan anggota PKI, tidak
dapat disangkal bahwa hubungannya dengan pimpinan utama
PKI sangat dekat, bahkan sejak awal ia sudah banyak dipengaruhi
oleh Marxisme. Faktor lain yang mempengaruhi konsep Nasion/
Bangsa Siauw adalah keterlibatannya dalam perjuangan nasionalis
Indonesia melawan kolonialisme. Sejak awal Perang Dunia II, ia
sudah aktif terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan,
berjuang bahu membahu bersama pribumi, bekerjasama erat
dan mendapatkan kepastian/sambutan dari kelompok nasionalis
Indonesia. Di masa revolusi ia menjadi anggota Badan Pekerja
12
13
14
15
Pembaharuan” (Editorial), Harian Rakjat, 2 November 1953.
“Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 October 1953.
“Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 Oktober 1953.
Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), pp.382-387.
168
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
KNIP, kemudian di Kabinet Amir Syarifudin menjadi Menteri Negara
Urusan Peranakan.
Patut dikemukakan, sebelum dan sesudah Perang Dunia
II, masalah ras banyak mempengaruhi politik Indonesia. Siauw
dijadikan Menteri Negara Urusan Peranakan
mungkin karena
Pemerintah Indonesia berusaha menarik dukungan kelompok
peranakan, khususnya peranakan Tionghoa yang jumlahnya
cukup besar dan menguasai kekuatan ekonomi. Siauw senantiasa
berdiri teguh di pihak nasionalis Indonesia. Hubungannya dengan
Sukarno semakin erat dan akhirnya ia menjadi pendukung setia
Sukarno, sehingga bersama Sukarno terguling jatuh dari panggung
politik.
Siauw Giok Tjhan dan Baperki
Latar belakang Siauw di atas akan membantu kita untuk
memahami pemikiran politik Siauw dan konsep Nasion Indonesianya.
Pada bulan Maret 1954, ketika Siauw tampil sebagai Ketua
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, ia sudah
tidak menjabat Pimpinan Umum Harian Rakjat.
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
(Baperki), berawal dari Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI),
yang sebelumnya bernama Persatuan Tionghoa, yang didirikan
pada tahun 1948 dengan ketua Thio Thiam Tjong, pengusaha
Tionghoa berpendidikan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan
kedaulatan, Persatuan Tionghoa berubah menjadi PDTI. Tetapi,
tak lama kemudian partai ini pecah. Banyak anggota partai
menganggap, PDTI adalah partai politik yang eksklusif, karena
hanya menerima Tionghoa menjadi anggota partai.
Mereka
menganggap PDTI hanya akan memperburuk sikap pribumi
169
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
terhadap Tionghoa.
Akan tetapi, sebagian lain beranggapan golongan Tionghoa
memiliki masalah khusus sehingga Tionghoa harus melindungi
kepentingan dan memperjuangkan haknya sendiri. Kalau masuk
dalam Partai politik pribumi, bilamana ada konflik antara kepen
tingan minoritas dan mayoritas, kepentingan mayoritas-lah yang
akan didahulukan.
Pertentangan di dalam PDTI tentang ini semakin merun cing.
Banyak di antara anggotanya meninggalkan PDTI, bergabung
dalam partai politik pribumi, seperti PNI, Partai Kristen, Partai Sosialis,
dll. Ketika itu masalah besar yang dihadapi
Tionghoa adalah
Kewarganegaraan. Ini disebabkan Pemerintah Indonesia ketika
itu
mempersiapkan Rancangan UU (RUU) Kewarganegaraan,
bermaksud membatalkan kewarganegaraan Indonesia orang
Tionghoa dan menghendaki mereka mengulang pemilihan
kewarganegaraan.
Seandainya saja RUU ini berhasil diundangkan pada akhir
1955, tidak sedikit peranakan Tionghoa yang sudah warga negara
Indonesia harus mengulang pemilihan kewarganegaraan lagi.
Mengingat banyak Tionghoa tidak paham dengan prosedur
hukum, pembatalan ini akan mengakibatkan jumlah warga
negara Indonesia keturunan Tionghoa akan turun secara drastik.
Beberapa
anggota
parlemen
Tionghoa
dan
perkumpulan
Tionghoa di luar parlemen menganggap masalah ini sebagai
tantangan mendesak dan gawat, sehingga merasa perlu segera
bertindak.
Pada tahun 1954 untuk bisa menghadapi tantangan ini,
PDTI mengumpulkan beberapa kelompok organisasi Tionghoa
untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang akan dinamakan
Badan Permusyawaratan Turunan Tionghoa, disingkat BAPERWAT.
Panitia persiapan pembentukan organisasi mengundang seluruh
170
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
organisasi Tionghoa dan kesatuan Tionghoa untuk mengirim utusan,
tanpa membedakan agama dan aliran politik untuk menghadiri
rapat akbar pembentukan.
Begitulah, yang menghadiri rapat akbar ini Tionghoa kiri,
kanan dan elemen tengah. Sebagian besar yang datang adalah
elite peranakan Tionghoa.
Mereka berharap Organisasi baru
ini akan mampu memperjuangkan keadilan untuk golongan
peranakan di Indonesia, termasuk peranakan Tionghoa.
Sebelum Baperki didirikan, Siauw pada bulan Nopember
1953 sudah mengeluarkan sebuah tulisan menentang rasisme. Ia
menyatakan sebagai golongan minoritas, keturunan Tionghoa
dibedakan dari kelompok suku minoritas
pribumi lainnya16. Ia
menyerang Pemerintah yang pada tahun 1950an mengeluarkan
“politik asli” [kebijakan mengutamakan Indonesia asli], kebijakan
yang di bidang ekonomi dan pendidikan lebih mendahulukan
dan memberikan keistimewaan pada pribumi. Menyingkirkan
perusahaan milik
Tionghoa yang kepemilikan sahamnya tidak
terdiri dari paling sedikit 50% pribumi, karena perusahaan tersebut
dinilai bukan “perusahaan nasional”.
Siauw menyatakan bahwa kebijakan ini melanggar UU
yang menjamin
seluruh warga negara di hadapan hukum
adalah setara . Ia berpendapat bahwa “politik asli” hanya akan
17
mendorong terciptanya monopoli perusahaan kolonialis barat
yang menjadikan pribumi boneka dengan tujuan mengendalikan
ekonomi Indonesia. Di matanya, kebijakan ini tidak sesuai dengan
kepentingan nasional Indonesia. Ia-pun menyatakan bahwa
kebijakan ini berlaku pula di bidang pendidikan. Akibatnya generasi
muda peranakan Tionghoa tidak memperoleh kesempatan
16 Siauw Giok Tjhan, “Apa itu exclusivisme?” Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera (1963), p.104.
17 Siauw Giok Tjhan, “Pembangunan Ekonomi Nasional”, Sin Po, 23-24 November 1953.
171
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
pendidikan. Dengan tegas ia menuntut Pemerintah mengakhiri
“politik asli”, dan memperlakukan setiap warga negara Indonesia
dengan hak dan kewajiban yang sama18.
Rapat akbar pembentukan Baperki diketuai oleh Thio
Thiam Tjong, ketua PDTI. Ia mengatakan bahwa PDTI telah gagal,
karena melaksanakan rasisme, yaitu hanya menerima Tionghoa
menjadi anggota partai dan tidak memperkenankan anggotanya
bergabung di Parpol lain. Lebih lanjut ia mengatakan agar supaya
organisasi baru tidak mempertahankan sikap seperti ini. Penyusun
konsep Anggaran Dasar Organisasi adalah Sarjana Hukum
kenamaan, Oei Tjoe Tat. Ia menyatakan, organisasi baru bukanlah
partai politik, oleh karena itu ia tidak menitik beratkan ideologi
politik.
Sebelum organisasi baru dibentuk, terjadi perdebatan sengit
tentang nama organisasi. Pada pokoknya ada 2 kelompok. Satu
kelompok diwakili oleh Yap Thiam Hien, sarjana hukum ternama
dari Tionghoa Kristen; dan kelompok lain diwakili Siauw Giok Tjhan.
Yap Thiam Hien mendukung nama Badan Permusyawaratan
Turunan Tionghoa, karena menurutnya “kita tetap saja akan
diperlakukan
sebagai
Warganegara
Indonesia
Keturunan
Tionghoa. Selama masih ada pandangan rasis dan diskriminasi
rasial, kita harus mempertahankan ‘ke-Tionghoaan’ kita”.
Sedang kelompok lain yang diwakili Siauw menentang
dipertahankannya nama Tionghoa. Ia berpendapat, organisasi
baru ini tidak boleh hanya untuk warganegara keturunan Tionghoa,
harus terbuka untuk suku-suku lain yang setuju dengan tujuan
organisasi baru ini. Warganegara yang bukan Tionghoa yang setju
dengan tujuan organisasi baru harus diterima sebagai anngota.
Ia menambahkan, organisasi baru ini bertujuan membasmi
rasisme dan diskriminasi rasial yang sedang meningkat. Adalah
18 Ibid.
172
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
tidak bijaksana mempertahankan istilah Tionghoa dalam nama
organisasi karena akan menjadikan organisasi yang eksklusif.
Yang paling mendesak dewasa ini adalah tugas mempersatukan
segenap warga Indonesia, tanpa membedakan latar belakang
suku atau etnisitas, berjuang bersama, dan memberikan pengertian
yang tepat pada hak kewarganegaraan.
Yap Thiam Hien tidak menyetujui pandangan Siauw. Ia
menganggap sebuah organisasi perlu ada identitas, nama itu
penting, karena ia merefleksikan siapa yang harus dilindungi dan
sesuai dengan usaha yang dilakukan. Kalau badan ini merupakan
badan keturunan Tionghoa, kenapa harus takut dengan nama
“Tionghoa”? Tetapi, lebih banyak hadirin rapat yang menyetujui
pendapat Siauw. Akhirnya rapat memutuskan organisasi baru
tidak menggunakan nama “Tionghoa”. Begitulah organisasi baru
itu
dinamakan
Badan
Permusyawaratan
Kewarganegaraan
Indonesia, disingkat menjadi Baperki.
Ada 3 tujuan Baperki yang ditetapkan saat pembentukan
13 Maret 1954:
1. “Memperdjuangkan pelaksanaan tjita2 nasional,
jaitu untuk mendjadikan tiap warganegara seorang
warganegara Republik Indonesia jang sedjati;
2. Memperdjuangkan pelaksanaan azas2 demokrasi dan
hak2 azasi manusia;
3. Memperdjuangkan terwudjunya persamaan hak dan
kewadjiban serta adanja kesempatan untuk madju
bagi tiap warga-negara dengan tidak memandang
keturunannja, kebudajaannja, adat-istiadatnja, maupun
agamanja.” (Anggaran Dasar Baperki, p.11)
Bagaimana mewujudkan tujuan ini? Anggaran Dasar
menunjukkan, harus dilaksanakan “dengan segala tjara jang halal
dan sah”. Ketika itu di Indonesia segera akan melangsungkan
173
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
Pemilihan Umum. Oleh karenanya, Baperki siap ikut serta dalam
Pemilu 1955.
Para anggota pengurus Baperki pada awalnya mendukung
ikut sertanya Baperki dalam Pemilu. Akan tetapi sebelum Pemilu
berlangsung, beberapa tokoh Baperki yang berhaluan kanan se
perti Auwyang Peng Koen dan Khoe Woen Sioe, yang menentang
haluan politik Siauw, meninggalkan Baperki. Mereka kemudian
menjadi lawan Baperki dalam Pemilu 1955.
Dalam Pemilu ini, hanya dua Tionghoa yang terpilih
sebagai anggota DPR (parlemen), Siauw Giok Tjhan seorang atas
nama Baperki dan Tjoe Tik Tjoen dari PKI. Pada waktu itu, untuk
golongan Tionghoa di DPR disediakan 9 kursi, jadi masih tersisa 7
kursi. Pemerintah kemudian mengisi jata perwakilan Tionghoa di
DPR dengan calon-calon beberapa partai politik yang menang.
Berdasarkan penelitian bahan-bahan diskusi Baperki dapat
disimpulkan bahwa ketika itu Baperki mencampur aduk masalah
kewarganegaraan dan bangsa, menganggap Bangsa/Nasion
Indonesia dan warganegara Indonesia sinonim. Pada tahun 1957,
Baperki melangsungkan Simposium tentang “Sumbangsih apakah
yang dapat diberikan oleh warganegara-warganegara Indonesia
keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan
kebudayaan nasional Indonesia”. Kecenderungan ini nampak
dalam dokumentasi ini.
Sebelum Simposium dimulai, peserta khusus pergi ke Istana
Negara menghadap Sukarno. Di dalam pertemuan itu Sukarno
menyatakan bahwa ia mendukung Baperki dan mengakui bahwa
peranakan Tionghoa adalah “human skill” [Sumber Tenaga
Manusia] Indonesia, yang akan memberikan sumbangan penting
dalam mengembangkan ekonomi Indonesia19.
19 “Wedjangan Presiden Sukarno kepada Delegasi Baperki”, Simposium Baperki
tentang Sumbangsih apakah yang dapat diberikan oleh warganegara2 Indonesia keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan kebuday-
174
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
Simposium ini dihadiri oleh para penduduk-asli, peranakan
Tionghoa dan peranakan non-Tionghoa. Sebagian besar jumlah
hadirin adalah peranakan Tionghoa.
Beberapa penduduk-asli,
peranakan Tionghoa, peranakan Indo dan Peranakan Arab
memberi makalah pada simposium tersebut. Peserta pribumi
yang menonjol adalah Njoto dan Buyung Saleh dari PKI. Kedua
orang ini menyampaikan makalahnya. Siauw Giok Tjhan sendiri
juga menyampaikan kata sambutan yang cukup panjang, yang
pada pokoknya membahas hubungan bangsa Indonesia dengan
kewarganegaraan Indonesia. Dari sambutan inilah kita bisa menyimpulkan pandangan Siauw tentang bangsa Indonesia.
Siauw Giok Tjhan menyatakan: untuk membangun sebuah
“nation/bangsa” yang harmonis, salah satu syarat utamanya
adalah “adanya keinginan keras untuk hidup bersama”. Ia
menyamakan penggunaan istilah bahasa Inggris nation dan istilah
bangsa yang sudah menjadi bahasa Indonesia, menunjukkan
bahwa pengertian “bangsa” di sini merupakan pengertian baru
dari luar. Untuk Siauw, para suku bangsa Indonesia, termasuk
keturunan Tionghoa, harus mempunyai keinginan keras untuk
hidup bersama di dalam satu Negara, baru bisa menjadi satu
bangsa. Salah satu syarat utama untuk mencapai keharmonisan
dalam satu bangsa adalah dihilangkannya sikap saling mencurigai
di antara suku. Setiap orang termasuk keturunan Tionghoa, harus
memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang. Pada
saat mengatakan demikian, Siauw menggunakan “suku dan
“golongan keturunan asing” menjadi pengertian satu bangsa.
Tidak nampak pengaruh definisi Marx atau Stalin tentang bangsa.
Dengan uraian: “Keinginan keras untuk hidup bersama” Siauw
menggunakan definisi terori non komunis.
Dalam sambutan Siauw itu, setelah membicarakan ttg
aan nasional Indonesia 1957, Halaman 1.
175
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
konsep bangsa secara singkat, ia Siauw tidak lagi membicarakan
masalah “suku”, tapi lebih banyak membicarakan “golongan
keturunan Tionghoa”, dan ia menyamakan istilah golongan
keturunan Tionghoa dengan suku keturunan Tionghoa. Yang
tersirat, begitu golongan keturunan Tionghoa menjadi “warga
negara Indonesia”, dengan sendirinya sudah menjadi “Suku
Indonesia”. Pimpinan Baperki ketika itu, tidak memperhatikan
bahwa “bangsa” adalah definisi kebudayaan, sedangkan warga
negara adalah istilah hukum.
Sebelum tahun 1959, Siauw belum mempunyai satu konsep
pengertian lengkap mengenai posisi Tionghoa dalam Bangsa
Indonesia. Ia pertama-tama menempatkan keturunan Tionghoa
sebagai golongan. Di dalam Anggaran Dasar Baperki 1954 juga
tidak mengajukan Tionghoa sebagai salah satu Suku, hanya
membicarakan HAK warga negara.
Tetapi di sebuah bulletin Baperki bahasa Tionghoa dalam
laporan tujuan Baperki, pernah muncul sebutan “Zhonghua Zu”
(Suku Tionghoa)20. Ia tidak menyatakannya sebagai pendapat
Siauw.
Pada tahun 1957 Siauw pernah menyatakan bahwa
keturunan Tionghoa (istilah yang dipakai bukan “peranakan
Tionghoa”), sebagai salah satu suku keturunan asing, adalah
bagian dari Indonesia - mengaitkannya dengan suku Indonesia
- yang harus diperlakukan sama sederajat dengan suku pribumi
Indonesia lainnya. Ia juga menyatakan bahwa keturunan Tionghoa
harus menjadi “warga negara Indonesia sedjati” .
Tapi ia tidak menjelaskan bagaimana keturnan Tionghoa
berintegrasi dengan masyarakat Indonesia. Apa yang menjadi
perhatiannya
dan
Baperki
hanyalah
“Kewarganegaraan
Indonesia” dan sebagai warga bisa diperlakukan sederajat.
Setelah keturnan Tionghoa menjadi warganegara Indonesia,
20 Yinni guoji xieshanghui de zongzhi yu mubiao (Tujuan Dan Sasaran BAPERKI) dimuat di Berita
Baperki, (Djakarta)1954, halaman 1.
176
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
maka ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.
Pengertiannya saat itu, warga negara Indonesia adalah anggota
Bangsa Indonesia, hakekatnya tidak perlu lagi integrasi ke dalam
masyarakat yang pada pokoknya adalah pribumi.
Mungkin
karena
pengertian
inilah
Baperki
tidak
memasalahkan konsep integrasi pada waktu itu. Konsep Integrasi
dikeluarkan dan dikembangkan setelah tahun 1959, setelah lahir
konsep asimilasi dari pihak lawan Baperki yang menganjurkan
keturunan Tionghoa berasimilasi total dengan pribumi Indonesia.
Baperki menentang “asimilasi total” dan menganjurkan “integrasi”.
Perbedaan antara kedua konsep ini akan dibicarakan secara lebih
mendetail di bagian lain.
Patut dikemukakan bahwa ketika itu yang berlangsung
adalah demokrasi parlementer di mana banyak pimpinan partai
politik yang berkuasa masih dipengaruhi oleh rasisme. Para
tokoh politik tersebut memilah penduduk dengan kategori “asli”
dan “tidak asli”. Kedua kelompok ini harus dibedakan. Tionghoa
termasuk peranakannya masuk dalam kategori “tidak asli”. UU
Kewarganegaraan Indonesia yang baru masih belum dikeluarkan.
Oleh karena itu perhatian utama dicurahkan ke upaya melawan
rasisme.
Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien dan Teori Asimilasi setelah tahun
1959
Untuk lebih lanjut memahami perkembangan pandangan
Siauw Giok Tjhan dan Baperki tentang bangsa Indonesia, kita harus
meneropong perkembangan politik Indonesia pada tahun 1949
hingga 1959.
Pada
akhir
tahun
1949
Belanda
dan
pemerintah
Indonesia menandatangani Perjanjian Konperensi Meja Bunder
(KMB), menerima sistem Federasi.
177
Dengan demikian Belanda
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
menyerahkan kedaulatan politik kepada Pemerintah Demokratis
Indonesia. Tapi tak lama terjadi pemberontakan Maluku Selatan,
yang
memproklamasikan
kemerdekaan.
Pemerintah
pusat
melancarkan penindasan bersenjata, berhasil mengalahkan
pemberontakan dan secara sepihak mengubah federasi menjadi
negara kesatuan.
Dimulailah masa demokrasi parlementer dan pemerintah
mengumumkan pada tahun 1955 akan melangsungkan pemilu
legislatif. Pada pemilu tersebut muncul 4 Partai Besar, Partai
Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi dan PKI.
Tetapi setiap pembentukan kabinet pemerintah, PKI tersisih.
Pemerintah sering berganti dan sering terjadi kerusuhan di daerahdaerah. Akibatnya Sukarno sebagai presiden mengambil inisiatif
membentuk kabinet.
Akan tetapi kekacauan di daerah tetap
terjadi. Demokrasi parlementer gagal. Sukarno membubarkan
Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan di daerah, dan
pada bulan Juli 1959 mendorong kembalinya UUD 45 sebagai UUD,
yang menjamin kekuasaan utama di tangan Presiden. Dimulailah
periode “Demokrasi Terpimpin” (1959-1965).
Di masa ini, tokoh utama adalah Sukarno, diikuti oleh
Angkatan Darat yang semakin berpengaruh dan PKI. Sukarno
berfungsi sebagai pengimbang kekuatan antara Angkatan
Darat dan PKI. Pada saat Angkatan Darat nampak lebih kuat,
ia mendukung PKI. Sebaliknya bilamana PKI nampak lebih kuat,
ia cenderung mendukung Angkatan Darat. Akan tetapi lamakelamaan, ia lebih condong ke kiri dan mendukung PKI.
Di zaman “Demokrasi Terpimpin” Baperki memperoleh
dukungan PKI dan Sukarno. Sedang parpol lain, khususnya partaipartai berhaluan kanan dan Angkatan Darat selalu menentang
Baperki dan usul-usul yang ia ajukan. Baperki telah menjadi duri
di mata kelompok Angkatan Darat dan partai-partai kanan. Oleh
178
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
karena itu Partai-partai politik kanan, intelek anti Komunis dan
Angkatan Darat bersatu mendukung kelompok asimilasi yang
kemudian mendirikan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa
(LPKB). LPKB kemudian berkembang sebagai lawan Baperki. LPKB
menganjurkan Tionghoa mengganti nama dan kawin campuran
sehingga menjadi pribumi.
Sebelum kita memasuki diskusi panjang lebar tentang
konsep asimilasi dan pendirian LPKB, sebaiknya kita perhatikan
juga pendapat salah satu penentang gigih asimilasi, yaitu Yap
Thiam Hien (1913-1989).
Pada tahun 1959 Siauw dan Yap bersama memimpin
Baperki. Pikiran Siauw cenderung ke sosialisme dan komunisme.
Sedang Yap, seorang penganut Kristen yang anti komunis. Karena
perbedaan pandangan politik yang kian meruncing, Yap akhirnya
mengundurkan diri dari posisi pengurus Baperki. Akan tetapi Ia
tetap menjadi anggota Baperki.
Pada tahun 1960, Yap mengeluarkan tulisan di majalah
Star Weekly yang berpengaruh di masyarakat. Yap menjelaskan
bahwa ada tiga terapi tentang penyelesaian masalah Tionghoa,
Terapi Siauw Giok Tjhan, terapi 10 orang dan terapi Yap sendiri.
Yap menuturkan bahwa terapi Siauw Giok Tjhan –
berdasarkan tulisan dan pidato-pidato Siauw dari tahun 1957
hingga Maret 1960 mengandung jalan keluar demikian: Struktur
masyarakat Indonesia masih feodal, kolonial dan kapitalis.
Dalam struktur masyarakat semacam ini terdapat banyak borok,
di antaranya adalah pandangan rasis. Pelaksanaan konsep
“integrasi” bisa mempertahankan keutuhan minoritas Tionghoa,
tetapi ini hanya bisa mencegah borok untuk tidak menjadi parah
dan meluas. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan borok-borok
tersebut adalah mengubah struktur masyarakat feodal, kolonial
dan kapitalis dengan
masyarakat yang meniadakan borok-
179
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
borok tersebut, sehingga terjamin keharmonisan masyarakat dan
minoritas Tionghoa tidak lagi didiskriminasi. Masyarakat macam
apakah itu? Masyarakat Komunis, contohnya Uni Soviet dan
Tiongkok.
Yap menyatakan bahwa untuk Siauw, diskriminasi rasial
baru hilang di Indonesia, setelah struktur masyarakat Indonesia
berubah menjadi masyarakat komunisme. Jadi menurut Yap, usul
Siauw tidak lain mewujudkan masyarakat komunisme di Indonesia.
Mungkinkah Indonesia berubah menjadi masyarakat komunisme?
Lalu, kapan bisa terlaksana? Yap berpendapat, penduduk
Indonesia 94% adalah umat Islam dan Kristen, mereka dengan
teguh menentang komunisme. Namun Yap juga menyatakan, “ia
tidak mengecilkan kekuatan PKI, tetapi, untuk merubah Indonesia
menjadi masyarakat komunisme, sekalipun mungkin bisa, juga
memerlukan waktu yang “Tidak pendek”.
Yap mengatakan bahwa Siauw pernah menandaskan,
“asimilasi total secara alamiah” memerlukan proses “waktu yang
sangat panjang”. Menurut Yap, sebenarnya pernyataan “Harus
melalui proses waktu sangat panjang” ini juga berlaku untuk “terapi
Siauw Giok Tjhan” sendiri.
Yap menyatakan bahwa Siauw hendak mempertahankan
“golongan minoritas Tionghoa”. Pada waktu bersamaan ia hendak
meng-integrasi-kan mereka dalam masyarakat Indonesia, yang
bersandar atas prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi
Ia tidak memberi penjelasan kongkrit tentang konsep “Integrasi”
yang ia ajukan.
Akhirnya Yap bertanya apakah “terapi Siauw” mempunyai
arti yang positif?
mempunyai
unsur
Yap mengatakan, tentu saja “terapi Siauw”
positif
dalam
pembangunan,
tapi
ia
beranggapan terapi Siauw tidak akan dalam waktu dekat
menyelesaikan masalah minoritas. Bagi Yap, menerima “terapi
180
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
Siauw”, berarti “berjuang membasmi rasisme serentak membangun
masyarakat komunisme”21
Siauw di Star Weekly menyanggah22. Ia menyatakan bahwa
yang ia tekankan adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” yang
dianjurkan Sukarno untuk secepatnya mengakhiri sistem manusia
menindas manusia. “Oleh Presiden Sukarno masjarakat adil dan
makmur djuga dinamakan Masjarakat Sosialis a-la Indonesia”.
Pikiran Presiden Sukarno tentang pembangunan masyarakat
adil dan makmur itu diperjelas dalam Pidatonya pada tanggal
17 Agustus 1959, dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi
Indonesia”, yang kemudian diumumkan sebagai Manifesto Politik
Republik Indonesia, … Dan pidato Presiden Sukarno ini telah
disahkan di DPA menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia, yang
dinyatakan menjadi garis-garis besar haluan negara, dan wajib
ditaati oleh tiap orang warga-negara Indonesia.
Siauw menyatakan bahwa yang mendukung Manipol
tidak hanya orang komunis dan orang-orang yang di mata Yap
Thiam Hien komunis, tapi juga diterima seluruh anggota DPA.
Masyarakat Adil dan Makmur ini bisa dicapai dalam waktu lebih
dekat. Bagi Siauw, “pertentangan jang digambarkan oleh sdr. Yap
hanja terdapat dalam pikiran sdr. Yap sendiri” karena kelompok
masyarakat
Indonesia
non-Komunis
juga
tidak
menentang
Masyarakat Adil dan Makmur yang dicanangkan dalam Manipol.
Siauw selanjutnya menyatakan: “Sampai sekarang ini,
tidak seorang sardjana ilmu sosial jang dapat menjangkal, bahwa
penjelesaian golongan minoriteit di Sovyet Uni dan RRT adalah
mentjapai tingkat ideal.
Tidak sedikit sardjana anti-komunis
Amerika kepaksa musti mengakui kenjataan tersebut”23.
Akhirnya Siauw mengatakan, kongres Baperki terakhir ini juga
21 Ibid.
22 Siauw Giok Tjhan, “Terapi: Manifesto Politik RI”, Star Weekly, 23 April 1960.
23 Ibid.
181
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
telah menerima usul mewujudkan “Masyarakat Adil dan Makmur”.
Menerima kenyataan yang diajukan Siauw cara memecahkan
masalah minoritas berarti juga harus bersama-sama berjuang
melaksanakan Manipol.
Siauw menyangkal apa yang ia ajukan adalah “masyarakat
komunisme”. Yang diajukan adalah “Masyarakat Adil dan
Makmur” sebagai yang definisikan Sukarno. Namun demikian, ia
mengakui bahwa dasar argumentasinya pada Soviet dan RRT
sebagai model, tapi tidak menjelaskan apa perbedaan antara
“Masyarakat Sosialisme” di kedua negara yang dikuasai Partai
Komunis dengan “Sosialisme a-la Indonesia”.
Dari sanggahan di atas, jelas Siauw tidak ingin konsep yang
diajukan itu dikatakan “terapi komunis”. Seiring dengan itu, Siauw
juga merasakan kekuatan revolusioner yang mendukung Sukarno
semakin
kuat,
sehingga
baginya
perwujudan
“masyarakat
Sosialisme ala Indonesia” bisa dicapai lebih cepat dari dugaan
Yap Thiam Hien. Namun kenyataan membuktikan bahwa Siauw
salah dalam memperhitungkan kekuatan revolusioner, dan
meremehkan kekuatan anti-komunis dan anti-sosialisme dalam
masyarakat Indonesia, yang didominasi oleh kekuatan kanan di
TNI dan organisasi agama.
Marilah kita meneliti apa konsep Yap Thiam Hien dalam
menyelesaikan masalah Tionghoa.
Dengan
mencanangkan
menentang
“Terapi
terapi-nya
dalam
komunis
Siauw”,
memecahkan
Yap
masalah
Tionghoa . Sebagai seorang Kristen yang anti-komunis, ia tidak
24
percaya apa yang diajukan Siauw dengan “revolusi Komunis” bisa
memecahkan masalah Tionghoa, karena menurutnya penduduk
Indonesia lebih 94% adalah umat Islam dan Kristen yang gigih
menentang komunisme. Ia menyatakan bahwa
24 Yap Thiam Hien, “Dua Terapi (1)”, Star Weekly, 16 April 1960.
182
masyarakat
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
komunisme akan memakan waktu lama sekali sebelum bisa
terwujud dan dalam waktu singkat terapi Siauw tidak akan
memecahkan masalah Tionghoa.
Di mata Yap, inti masalah Tionghoa berkaitan dengan
masalah hubungan antara golongan mayoritas dan golongan
minoritas25. Dan ini sudah berkembang dari zaman penjajahan
Belanda yang kemudian diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh
karena itu rasisme terhadap minoritas Tionghoa tetap berlangsung.
Selama hubungan mayoritas dan minoritas bermasalah,
masalah Tionghoa tidak akan terpecahkan. Bahkan asimilasi-pun
tidak akan bisa menyelesaikan masalah.
Yap tidak setuju dengan “brain-washing” (cuci otak)
dan “mengubah struktur masyarakat”. Menurut Yap, yang
harus dilakukan untuk memecahkan masalah Tionghoa adalah
melakukan “pembersihan hati”. Dengan demikian. menghilangkan
pandangan materialisme dan memusatkan perhatian pada
manusia, sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut Yap,
bilamana jalan Kristen ini ditempuh, rasa curiga, egoisme dan
kemunafikan antara suku dan golongan akan hilang dan
dibangkitkanlah jiwa mengabdi di pihak mayoritas yang berkuasa.
Yap juga menekankan pentingnya adanya undang-
undang hukum dan pelaksanaannya, yang berlaku untuk semua
suku yang ada di Indonesia. Setiap pelanggaran harus dijerat
dengan sanksi hukum.
Terapi Kristen ini juga tercermin dalam tulisan-tulisan Yap
Thiam Hien di kemudian hari. Pada tahun 1967 ia menghimbau
orang Indonesia yang mencintai bangsa dan negara, khususnya
umat Kristen Indonesia, untuk
memahami dan menghormati
perasaan dan budaya bangsa lain26.
25 Yap Thiam Hien, “Terapi III”, Star Weekly, 21 May 1960, pp. 4-6.
26 Yap Thiam Hien, “Masalah Tjina dan Sikap Sementara Pemimpin-Pemimpin
Kristen Keturunan Tjina”, Sinar Harapan, 25-27Januari 1967.
183
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
Yap berpendapat bahwa di Indonesia terdapat rasa anti-
pendatang asing, khususnya diskriminasi rasial terhadap Tionghoa.
Ia menyatakan bahwa usaha mengganti nama tidak akan bisa
memuaskan kelompok yang mengendap rasisme dan tidak akan
membahagiakan mereka yang memiliki kesadaran dan bijaksana.
Dan assimilasi tidak memiliki faedah untuk pembangunan nasion
Indonesia. Selanjutnya ia juga menyatakan: “adalah naif sekali
untuk mengira bahwa mengganti nama merupakan suatu langkah
positif kearah proses persatuan bangsa. Djuga proses asimilasi/
integrasi minoritas Tjina kedalam majoritas pribumi bukanlah
conditio sine qua non bagi kesatuan bangsa. Ini bergantung pada
factor-faktor lain lebih banjak dan kompleks.”27
Yap tidak menguraikan apa factor-faktor tersebut, hanya
mengusulkan sebuah
kerangka yang lebih luas, di dalamnya
masalah minoritas sebagai bagian dari masalah kemanusiaan
dapat diselesaikan. Ia mengatakan: “Kita mempunjai dan
mengakui prinsip-prinsip jang mengatur kehidupan sosial dan
nasional kita, jaitu Demokrasi Pantjasila, hak-hak asasi manusia dan
rule of law [peraturan-peraturan hokum]. Dan di atas segala-gala
itu: the Rule of the Will of God.[Aturan kehendak Tuhan]!”28
Yap adalah seorang yang patuh HAM. Ia menyatakan
bahwa mempertahankan identitas etnik merupakan salah satu
darihak tersebut. Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa
apa yang diajukan Yap tidak banyak berbeda dengan apa yang
diajukan Siauw Giok Tjhan. Penekanan Yap terletak pada posisi
hukum (warga negara Indonesia), bukan pada pengertian budaya
(nasion/bangsa Indonesia). Ia menghimbau pribumi, khususnya
umat Kristen Indonesia untuk menghormati suku dan bangsa lain,
karena mereka semua juga diciptakan Tuhan.
Mari kita akhiri diskusi tentang perbedaan antara Yap
27 Ibid, 27 Januari 1967.
28 Ibid.
184
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan.
Leo Suryadiniata
Sebenarnya setelah tahun
1959, pertentangan di antara mereka semakin meruncing
disebabkan kebijakan politik Siauw yang mendukung kembalinya
UUD 45 sebagai UUD. UUD-45 mengandung sebuah pasal yang
menentukan Presiden harus orang “Indonesia Asli”. Bagi Yap,
asas itu yang terpenting, tetapi bagi Siauw, kenyataan politiklah
yang terpenting. Baperki memerlukan perlindungan Presiden
Sukarno dan UUD45 menguntungkan posisi Presiden Sukarno. Inilah
sebab utama mengapa Siauw mendukung UUD 45. Disamping
perbedaan tersebut di atas, berkembang pula pandangan
ideologi yang berbeda di antara ke dua tokoh ini. Siauw semakin
condong ke kiri. Karena Yap tidak memiliki dukungan luas dalam
Baperki, kedudukannya semakin lemah dalam Baperki sehingga ia
hanya menjadi anggota biasa29.
Patut
dibahas
apa
yang
dianjurkan
oleh
sepuluh
cendekiawan peranakan Tionghoa pada awal tahun 1960.
Mereka menganjurkan Tionghoa berasimilasi dengan masyarakat
pribumi. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan asimilasi,
masalah Tionghoa bisa diselesaikan. Mereka berpendapat
bahwa Tionghoa seharusnya tidak membentuk organisasi etnik
dan dan memencilkan diri sendiri. Orang Tionghoa jangan ragu
untuk membaur ditengah-tengah pribumi Indonesia. Yang harus
dilakukan pertama adalah membubarkan organisasi-organisasi
Tionghoa, mengganti nama, melakukan kawin campur dan
sepenuhnya terjun masuk dalam masyarakat pribumi Indonesia.
Pada tahun 1961 ada lagi peranakan Tionghoa Kristen
berhaluan kanan mengorganisasi diri dan mengeluarkan Manifes
Asimilasi.
Mereka menyatakan demi melaksanakan cita-cita
“Sumpah Pemuda” 1928 Satu bangsa, Satu Tanah air dan Satu
29Tetapi, Yap Thiam Hien meneruskan perjuangan HAM, melakukan gerakan
tidak sebatas golongan Tionghoa, akhirnya menjadi seorang sarjana hukum
pembela HAM yang berpengaruh besar di Indonesia.
185
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
Bahasa, mereka bertekad menjadi “Patriot Indonesia sedjati”30.
Mereka berpendapat bahwa untuk menjadi “Patriot
Indonesia sedjati”, Tionghoa harus
membaur ditengah-tengah
pribumi, agar keturunan Tionghoa tidak menjadi golongan yang
menyendiri. Mereka menghimbau golongan mayoritas untuk bisa
menerima “kenyataan objektif”, dan mendorong maju proses
asimilasi ini31
Salah seorang juru bicara kelompok ini adalah Junus Jahja
yang bernama asal Lauw Chuan Tho, seorang ekonom lulusan
Roterdam. Ia berpendapat, selama golongan
Tionghoa terus
mempertahankan “posisi sosial dalam masyarakat”, mereka akan
tetap menjadi sasaran rasisme32.Oleh karena itu, menurutnya,
untuk menghapus diskriminasi rasial satu-satunya cara adalah
berasimilasi ditengah-tengah penduduk Indonesia. Lebih lanjut
ia mengatakan “Terapi asimilasi” merupakan sebuah cara untuk
membasmi diskriminasi rasial33.
Ong Hok Ham, seorang sarjana yang dipengaruhi budaya
Jawa, mengajukan pandangan yang lebih konkrit. Ia berpendapat
bahwa golongan peranakan Tionghoa yang menyendiri seringkali
merupakan golongan yang mempertahankan ciri khusus kolektif
yang eksklusif. Menurutnya: “…. halangan-halangan dari majoriteit
di Indonesia ini sedikit sekali dan kesukaran terbesar terletak pada
minoriteit. Di Indonesia rintangan-rintangan seperti agama adalah
ketjil. Prasangka warna kulit dan tjiri-tjiri rasial hampir tidak ada.
Rintangan-rintangan lain seperti adat istiadat, larangan larangan
beberapa makanan jang haram dan lain-lain makin lama
makin tak terasa di kota-kota dan pun hal-hal ini tak merupakan
halangan besar”34.
30
31
32
33
34
“Piagram Asimilasi”Asimilasi dalam Kesatuan Bangsa, p.8
Ibid.
Lauwchuantho “Untuk direnungkan Bersama”, Star Weekly, 7 May 1960, p.7.
Idem.
Onghokham”Assimilasi dan Manifesto Politik”, Star Weekly, 2 April 1960, pp.4-5
186
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Ong
menegaskan
bahwa
Leo Suryadiniata
halangan
terbesar
bagi
masyarakat minoritas untuk meleburkan diri ialah kurangnya
mereka berorientasi ke Indonesia. “Pikiran ini dipengaruhi oleh
djalan pikiran zaman kolonial ketika memang pemerintah kolonial
memberi kesan bahwa perbaikan kedudukan hanja bisa datang
dari Tiongkok. Sekarang pikiran ini harus ditinggalkan karena sudah
tak sesuai lagi dengan zaman”35.
Ong juga mengusulkan pada pemerintah untuk mendirikan
sekolah campuran suku-bangsa. Ia menganjurkan agar keturunan
Tionghoa mengganti nama untuk lebih lanjut mendorong mereka
tidak merasa dirinya khusus dan hanya berada dalam lingkungan
kelompok keturunan Tionghoa saja. Oleh karenanya harus ber
asimilasi dalam masyarakat mayoritas. Ia beranggapan, persatuan
itu penting. Hanya dengan asimilasi persatuan bisa tercapai dan
ini bisa menghilangkan sifat eksklusif Tionghoa. Dengan demikian
keturunan Tionghoa bisa membaur dengan kelompok mayoritas,
perkawinan silang dengan suku berbeda bisa terus bertambah
banyak.
Ia menegaskan bahwa, dengan demikian “asimilasi
dapat tercapai,baik secara biologis, ekonomis, sosioal, politis dan
lain-lain.”
Gagasan Ong Hok Ham dan “penganut asimilasi” lainnya
pada waktu itu masih belum jelas. Dalam menganjurkan asimilasi
mereka tidak membicarakan apakah kaum minoritas Tionghoa
harus lebih dulu terasimilasi ke dalam suku-suku asli sebelum terlebur
dalam bangsa Indonesia. Mereka tidak mengamati posisi Tionghoa
di daerah-daerah tempat kebudayaan Islam sangat kuat. Mereka
tidak menganjurkan orang Tionghoa menjadi Islam karena banyak
di antara pemimpin LPKB adalah orang Kristen dan Katolik. Mereka
lupa membicarakan posisi Tionghoa di daerah-daerah tempat
orang Tionghoa hidup dalam kesendirian atau tempat mereka
35 Idem.
187
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
merupakan golongan mayoritas.
Kelompok “Penganut asimilasi” berakar di kota, di mana
umumnya kontradiksi Tionghoa dengan setempat tidak tajam.
Mereka tidak jelas tentang bagaimana menerapkan asimilasi
di daerah di mana terdapat pertentangan yang tajam antara
Tionghoa dan penduduk mayoritas. Mereka tidak memiliki program
yang kuat dan dapat dilaksanakan untuk menerapkan gagasan
mereka. Namun demikian, konsep mereka diterima pemerintah,
sehingga terbentuklah “Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa”
(disingkat LPKB) yang berafiliasi dengan Badan Intelijensi Indonesia.
Entah mengapa banyak penganut asimilasi yang semula
menganjurkan konsep ini, ternyata tidak tergabung dalam LPKB
yang dipimpin oleh seorang peranakan Tionghoa katolik, Mayor
(AL) K. Sindhunata, nama aslinya Ong Tjong Hai. LPKB kemudian
memperoleh dukungan kuat dari kekuatan politik kanan termasuk
Angkatan Darat.
Ia berkembang tidak hanya sebagai lawan
politik Baperki, tetapi juga lawan politik partai-partai politik kiri.
Masalah asimilasi bukan lagi merupakan “hubungan antara
mayoritas dan minoritas”, tapi berkembang sebagai sebuah
perjuangan politik antara pihak kanan dan pihak kiri. Baperki dan
kekuatan politik kiri menuntut agar LPKB bersikap revolusioner dan
me-Nasakom-kan diri. LPKB yang didukung oleh kekuatan kanan
menentangnya.
Terjun Masuk ke Masyarakat Indonesia dan Terlibat dalam Revolusi
Indonesia
Politik Indonesia setelah tahun 1960 kian condong ke kiri dan
dengan demikian kekuatan kiri berkembang pesat. Hubungan RI-
188
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
RRT pun semakin akrab. Oleh para sarjana asing era 1959-1965
dinyatakan sebagai masa “Poros Jakarta-Hanoi-Beijing”.
Sukarno dibawah dukungan PKI dan kekuatan kiri lainnya,
aktif mendorong “revolusi” untuk mencapai “Sosialisme”. Pimpinan
Indonesia hendak menjadikan Indonesia pramuka kekuatan
Negara yang sedang Berkembang (New Emerging Forces).
Indonesia mulai Banting Stir, berusaha berlari di jalan “Sosialisme”.
Tetapi, kekuatan kanan tidak menghentikan kegiatan. Mereka
bekerjasama dengan Amerika Serikat, dengan sekuat tenaga
mencegah gabungan Sukarno dan kekuatan kiri untuk berada di
atas angin. Ternyata kekuatan kiri memandang enteng kekuatan
kongkrit kelompok kanan.
Kekuatan “Revolusioner” yang “sangat kuat” tampak jelas di
pidato-pidato Sukarno. Juga tampak dari berbagai kebijakan yang
dikeluarkan pemerintah Sukarno. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato
Siauw Giok Tjhan menunjukkan dukungannya terhadap Sukarno.
Kata-kata ekstrim yang digunakan oleh Sukarno digunakan pula
oleh Siauw. Sebelum tahun 1957, ketika Siauw mencanangkan
formulasinya tentang nasion Indonesia, ia tidak terang-terangan
menyitir teori Lenin atau Stalin. Akan tetapi setelah tahun 1959,
kecenderungan ke kiri semakin nyata. Ada 2 sebab. Pertama,
Baperki sudah berkembang dan kian bersandar pada Sukarno
dan PKI.
Kedua, Siauw semakin dalam dipengaruhi Marxisme-
Leninisme.
Pada tahun 1962, Siauw memformulasikan definisi bangsa/
nasion. Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia terwujud karena
hadirnya beberapa faktor utama:
1. Adanya
kesamaan
wilayah…karena
penjajahan
Belanda mempersatukan kepulauan Indonesia dengan
menggunakan kekerasan bersenjata.
2. Adanya kesamaan kehidupan ekonomi, yang diciptakan
189
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
oleh Imperialisme Belanda dengan membangun infrastruktur transportasi di seluruh Indonesia sehingga timbul
kesatuan ekonomi.
3. Adanya kesamaan bahasa yang terwujud dengan Sumpah
Pemuda, 28 Oktober 1928, dimana bahasa Indonesia
diakui sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia.
4. Adanya kesamaan susunan kejiwaan yang menampakkan
diri dalam kesamaan ciri-ciri khas kebudayaan nasional
yang muncul setelah Sumpah Pemuda tahun 192836
Keempat
ciri
bangsa
yang
diajukan
diatas
adalah
pengertian bangsa dari ajaran Stalin. Stalin di buku Marxisme dan
Masalah Bangsa, memberikan pengertian bangsa yang terkenal:
“Bangsa adalah kumpulan manusia yang dalam sejarahnya
mempunyai kesamaan bahasa, kesamaan wilayah, kesamaan
kehidupan ekonomi dan termanifestasi oleh kesamaan budaya
di dalam kehidupan bersama yang stabil dengan kesamaan
psikologi”37.
Sebelum Stalin, Marx, Engels, Lenin di dalam banyak
tulisan tentang bangsa memberikan perincian yang mencakup
pengertian serupa. Mereka hanya menyinggung tiga hal yaitu:
“Kesamaan bahasa, kesamaan wilayah dan kesamaan hubungan
ekonomi bersama”38.
Sangat jelas, Siauw bersandar atas teori Stalin tentang
formulasi Nasion Indonesia.
Pada
tahun
1963,
situasi
politik
di
Indonesia
lebih
menguntungkan kekuatan kiri. Sukarno makin condong ke kiri.
36Saya belum pernah melihat “Kuliah Ideologi Negara, Universitas Res Publica,
17 Oktober 1962”. Di sini hanya mengutip tulisan Siauw Tiong Djin, Siauw Giok
Tjhan (1999), halaman 364.
37Sidalin Quanji (Tulisan Lengkap Stalin), jilid-2, halaman 294. Dikutip dalam
Minzu da cidian (Kamus Besar Bangsa), Penerbit Bangsa Shichuan, 1984, halaman 57.
38 Minzu da cidian, halaman 57.
190
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
Retorika “revolusi” dan “sosialisme” berubah menjadi mantra.
Masyarakat Indonesia, khususnya golongan kiri memilah kekuatan
politik Indonesia dalam dua kategori, “Kekuatan Revolusioner” dan
“Kekuatan Reaksioner”. Kekuatan yang “Mendukung Sosialisme”
dan “Anti-Sosialisme”.
Presiden Sukarno mendorong setiap organisasi Indonesia
harus “NASAKOMISASI”, yaitu harus mengandung Nasionalisme,
Agama
dan
Komunisme.
Akan
tetapi,
organisasi
kanan
menentangnya.
Pada bulan Maret 1963 di depan pembukaan Kongres ke-8
BAPERKI, Presiden Sukarno memberikan pidato sambutan. Dengan
tandas ia mendukung pendirian Baperki dan Siauw, Tionghoa
tidak harus ganti nama, lebih-lebih tidak usah ganti kepercayaan
agama, karena ini adalah masalah pribadi. Ia mengatakan: “…
di Indonesia, ada banjak suku, Suku itu artinja sikil, kaki. Ya, suku
artinja kaki. Djadi bangsa Indonesia itu banjak kakinja, seperti luwing,
Saudara-Saudara. Ada kaki Djawa, kaki Sumatera, kaki Dajak, kaki
Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki
dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia”39.
Pidato ini jelas mengakui “Peranakan Tionghoa” adalah
salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia.
Sekalipun peranakan Tionghoa tidak memiliki “wilayah” khusus,
tetapi Sukarno sudah mengakui mereka adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari bangsa Indonesia. Saya akan bahas lebih banyak
di akhir tulisan ini.
Di acara yang sama, Siauw memberi sambutannya. Di
samping menyatakan kecintaan dan hormat terhadap Sukarno,
ia menyatakan: Baperki berjuang menyelesaikan cita-cita Bangsa,
yaitu menjadikan “warga negara Indonesia sedjati”, menjadi
39“Amanat P.M. Presiden Sukarno pada Kongres Nasional ke VIII Baperki, 14
Maret 1963”, Siauw Giok Tjhan, ed. Gotong Rojong Nasakom melaksanakan
Ampera, Jakarta, 1963, halaman 14.
191
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
“pembela Pantjasila” dan “peserta aktif revolusi Indonesia”.40
Di penutup kata sambutan, Siauw menandaskan bahwa
ukuran apakah seseorang itu adalah seorang warganegara
Indonesia baik atau jelek, tidak berkaitan dengan seberapa jauh
ia melaksanakan asimilasi, akan tetapi bersandar atas apakah ia
benar-benar seorang Manipolis sejati atau hanya “pendukung
Manipol di mulut” saja, atau bahkan “Anti-Manipol” dan “Kontra
revolusioner”41.
Pada bulan Desember tahun 1963, dalam laporan tahunan
Baperki, Siauw banyak mengutip retorika Sukarno yang berusaha
membela posisi Baperki.
Ia sekali lagi berterimakasih kepada
“Presiden Sukarno, Pemimpin Negara, Pemimpin Besar Revolusi”
atas dukungannya terhadap Baperki. Ia menandaskan bahwa
Baperki akan selalu mendukung Sukarno42.
Siauw
berulang
kali
menyatakan
bahwa
Sukarno
menjalankan revolusi untuk mewujudkan sosialisme.
Baperki
menurutnya adalah “Alat Revolusi”. Baperki akan berpartisipasi
dalam segenap kekuatan revolusioner: PKI, Partindo, Perti dan juga
kekuatan revolusioner lainnya untuk menyelesaikan tugas revolusi
sosialisme. Siauw menyatakan pula bahwa sebelum masyarakat
sosialisme terwujudkan tidak perlu “asimilasi”. Keberadaan suku
Tionghoa masih diperlukan dan tetap harus ikut aktif dalam
“revolusi sosialisme” Indonesia43.
Pada tahun 1964, Siauw tetap mengibarkan tinggi-tinggi
panji “Revolusi” Sukarno. Sebenarnya ia sudah mengibarkan panji
Sukarno sejak tahun 1957. Akan tetapi karena perkembangan politik
Indonesia yang makin ekstrim ke kiri, ia semakin tampak bersandar
40 Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera, halaman 76.
41 Ibid.
42“Maju Terus, Pantang Mundur” (Jakarta, 1963), dikutip Leo Suryadinata, ed.
Pemikiran politik etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. (Jakarta, LP3ES, 2005),
pp.174-191.
43 Ibid.
192
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
pada Sukarno. Siauw juga terang-terangan bersependapat
dengan PKI dan menggunakan formulasi Nasion dari Lenin. Contoh
kecenderungan ini bisa dilihat dari wawancara Siauw dengan
harian Zhong Cheng Bao (Warta Bhakti edisi Tionghoa) yang saya
kutip di sini44 :
Harian Zhong Cheng Bao tanya: Beberapa waktu yang lalu, LPKB di
depan pertemuan Persatuan Wartawan mengajukan pertanyaan
sehubungan dengan “asimilasi” dan “Integrasi”. Bagaimanakah
pandangan
Anda
dengan
pertanyaan
ini?
Bagaimana
pula pandangan Anda mengenai masalah perkembangan
penyelesaian hak kewarganegaraan?
Siauw
menjawab:
Saya
sepenuhnya
setuju
dengan
apa
yang di nyatakan Njoto, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat, di
pertemuan itu. Kita harus menggunakan dialektika revolusioner
dalam memahami pidato Presiden Sukarno 15 Juli 1963 yang
menggunakan istilah “asimilasi”. Agar lebih mengerti masalah,
ada baiknya kita memperhatikan apa yang dikatakan Njoto. Pada
saat ia mendiskusikan masalah “asimilasi” dan “Integrasi” dengan
Presiden Sukarno, Presiden Sukarno mengatakan: Ia tidak melihat
adanya perbedaan antara kedua istilah ini. Ia berpendapat, yang
lebih penting adalah, pada saat kita membangun persatuan
bangsa, kita harus mengajak dan bertolak dari kesederajatan dan
keadilan seluruh suku yang ada, termasuk suku Tionghoa.
Kemudian, kita harus memperhatikan juga kata Lenin berdasarkan
pengalaman perkembangan masyarakat, bahwa setelah revolusi
dunia berakhir, setelah seluruh dunia memasuki masyarakat tidak
berkelas, asimilasi akan terjadi secara alamiah di antara sukusuku yang ada.45 Tetapi, kalau membicarakan “asimilasi” sebelum
44“Ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan menyerukan warga Tionghoa Indonesia ikut
serta dalam perjuangan Revolusi Indonesia, …”, harian Zhong Cheng Bao, 16
Agustus 1964. Aslinya dalam bahasa Tionghoa.
45 Masalah Integrasi Bangsa, Stalin memberikan penjelasan rinci dalam tulisan
193
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
revolusi dunia selesai, tidak hanya membuktikan penganjuran
asimilasi adalah tidak bijaksana, tapi juga membuktikan “mereka
adalah
intelektual
anarkis”.
Penganjur
asimilasi
ini
disebut
“intelektual feodal”. Sebenarnya saja, asimilasi adalah sebuah
proses sejarah yang tidak seharusnya dipermasalahkan, selama
berlangsung secara wajar/alamiah dan akan berhasil dengan
sehat. Tetapi, kalau dilangsungkan dengan tidak wajar dan
mengandung paksaan, akan terjadi hasil yang jelek.46
Sekarang ini ada orang “menjual koyo”, seringkali menggunakan
-- atau lebih tepat dikatakan menyalah gunakan -- kenyataan di
dalam masyarakat masih ada diskriminiasi rasial dan kekerasan
rasis, sebagai dalih mempropagandakan obat mujarab yang
dinamakan -- “asimilasi total” – Propaganda demikian ini, jelas
mempunyai tujuan tertentu: mendorong warga keturunan asing,
khususnya Tionghoa untuk “ganti nama”, “kawin campur”, lalu di
bidang perdagangan mendorong apa yang dinamakan “politik
asli”, “melaksanakan joint venture”.
Dengan demikian di dalam masyarakat keturunan Tionghoa timbul
sebuah hayalan bahwa dengan cara asimilasi ini, mereka dalam
kehidupan bisa mendapatkan perlakuan adil, tanpa perjuangan
mewujudkan
revolusi
sosialisme,
memperoleh
pemecahan.
Rupanya mereka yang melakukan propaganda “asimilasi total” ini
ingin mengalihkan perhatian Tionghoa dari revolusi. Sebenarnya,
sebagai warga negara Indonesia yang menerima “Pancasila”,
konsekwen mendukung perjuangan politik “Manipol”, tugas
kita justru harus menyadarkan Tionghoa untuk membangkitkan
kesadaran dan keberanian untuk menjadi peserta revolusi, dengan
aktif mewujudkan masyarakat sosialisme yang tidak mengenal
Minzu wenti yu Lienin (Masalah Bangsa dan Leninisme), lihat Minzu da cidian
(Kamus Besar Bangsa), halaman 82.
46Lenin dalam menjelaskan 2 pengertian “Asimilasi Bangsa”. Yang satu asimilasi
secara alamiah dan yang lain asimilasi secara paksa.
194
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
penindasan manusia atas manusia.
Daripada membuang waktu, energi dan dana untuk “ganti nama”,
“kawin campur” dan mempropagandakan “faedah” kebijakan
“politik asli” di bidang perdagangan melakukan “joint venture”
dengan pribumi, akan jauh lebih baik memberi pengertian, bahwa
upaya
membasmi rasisme tidak terpisahkan dari perjua ngan
melaksanakan tujuan revolusi 17 Agustus 1945”.
Kalau sebelum tahun 1959, Siauw dalam pidato-pidato
dan tulisan-tulisannya, tidak dengan jelas menggunakan sebutan
perjuangan kelas, tapi pada tahun 1964 dalam wawancara
tertulis, tanpa tedeng aling-aling menyatakan pandangan
Marxisme-Leninisme.
Pada saat membicarakan hak warganegara, ia me
ngatakan: “ketidakadilan hak warganegara yang terjadi sekarang
ini disebabkan karena adanya kelas dan penindasan kelas. Hanya
setelah membasmi kelas, hak warganegara bisa mendapatkan
pemecahan dan mendapatkan perlakuan adil yang sebenarnya.
Oleh karena itu, pemecahan masalah hak warganegara tidak
bisa dipisahkan dari perjuangan menyelesaikan tujuan revolusi
sosialisme. Golongan keturunan asing, khususnya keturunan
Tionghoa, harus ikut dalam barisan revolusioner Rakyat Indonesia,
bersama-sama
melaksanakan
Amanat
Penderitaan
Rakyat
(Ampera)”47.
Tidak beda dengan sebelumnya, Siauw menegaskan
keturunan Tionghoa harus terlibat dalam perjuangan revolusi
Indonesia, secepatnya mewujudkan masyarakat sosialisme. Sangat
jelas, Siauw menghendaki keturunan Tionghoa “berintegrasi” ke
dalam perjuangan Revolusi Indonesia.
Suku Peranakan Tionghoa atau suku Tionghoa?
47 Harian Zhong Cheng Bao, 16 Agustus 1964.
195
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sekalipun
Siauw
aktif
Leo Suryadinata
mendukung
Sukarno
dan
berterimakasih pada Sukarno atas dukungannya terhadap Baperki
dan keturunan Tionghoa, tetapi, dalam masalah “peranakan
Tionghoa” Indonesia, di antara mereka berdua rupanya terdapat
perbedaan.
Di atas sudah dikemukakan bahwa pada bulan Maret 1963
di depan pembukaan Kongres ke-8 Baperki, Sukarno mengajukan
pengertian “Suku Peranakan Tionghoa”. Sukarno mengerti, di
tengah masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara
“Peranakan Tionghoa” dan “Tionghoa Totok”. Pada saat Sukarno
menyebut Tionghoa menjadi salah satu suku di tengah suku-suku
yang ada di Indonesia, ia secara khusus menekankan “Peranakan
Tionghoa”, bukan seluruh Tionghoa. Sekalipun ia tidak menjelaskan
lebih lanjut siapa yang dimaksudkan “peranakan Tionghoa”.
Tetapi, Siauw sendiri juga tidak menjelaskan lebih lanjut
pengertian ini. Ini adalah satu pertanyaan yang menarik. Pada
saat Sukarno sudah bicara tentang suku Indonesia, Siauw justru
masih membicarakan masalah Warganegara Indonesia. Disini bisa
ditarik 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, seandainya Siauw
menerima konsep “Suku peranakan Tionghoa”, maka kelompok
“Tionghoa totok” di Indonesia berada di luar “suku” tersebut.
Mungkin Siauw beranggapan, semua Tionghoa yang sudah
berkewarganegaraan Indonesia, tidak peduli Peranakan Tionghoa
atau Tionghoa Totok, semua termasuk dalam suku Tionghoa di
Indonesia ini, oleh karena itu, ia tidak menanggapi gagasan
tersebut dan tidak lebih lanjut menjelaskan untuk menghindari
perbedaan dengan Sukarno.
Kemungkinan
kedua,
ini
ada
hubungan
dengan
kemungkinan pertama. Siauw saat memperbincangkan masalah
suku, terkadang menggunakan sebutan peranakan Tionghoa,
196
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
di lain kesempatan menghilangkan kata peranakan. Dengan
demikian, Siauw mencampuradukkan “Suku Peranakan Tionghoa”
dan “Suku Tionghoa”, seakan-akan kedua itu sama. Ini untuk
menghindarkan perbedaan dengan gagasan Sukarno dan tidak
mempersulit masalah. Namun, saya masih belum memperoleh
bukti tertulis bahwa di antara 1963 dan 1965, Siauw menggunakan
istilah “Suku Pe ranakan Tionghoa”.
Pada tahun 1950-1960-an dalam komunitas Tionghoa
terdapat perbedaan jelas antara golongan Tionghoa Indonesia,
antara peranakan Tionghoa dan Tionghoa totok. Peranakan
Tionghoa lahir di Indonesia dan bahasa di rumah yang digunakan
bahasa Indonesia atau bahasa lokal. Tionghoa totok lahir di
Tiongkok dan bahasa di rumah adalah dialek Tiongkok (bahasa
asal Kampung di Tiongkok) atau Mandarin. Keturunan pertama
mereka, seringkali masih hidup dalam lingkungan Tionghoa Totok,
maka masih besar dipengaruhi kebudayaan orang-tua mereka
dan masih fasih dialek Tiongkok atau Mandarin.
Kedua
golongan
Tionghoa
ini
eksis
dalam
waktu
bersamaan. Tetapi, Baperki tidak hanya mendapatkan dukungan
dari peranakan Tionghoa, tapi juga dari Tionghoa Totok, khususnya
yang mendukung Beijing juga sangat mendukung Baperki.48.
Pada tahun 1981 Siauw menerbitkan buku biografi. Ada bab
yang berjudul “Minoritas Peranakan Tionghoa”49. Di situ ia tekankan:
“Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralistis. Di dalamnya
terdapat banyak macam suku. Ada besar, ada kecil dalam jumlah.
Di sampingnya terdapat banyak macam keturunan asing, yang
karena turun-temurun menetap di Indonesia berkembang menjadi
48Charles Coppel, “Siauw Giok Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed. Southeast Asian
Personalities of Chinese Descent, pp.970-973, terutama halaman 972.
49Siauw Giok Tjhan, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, Mei 1981.
197
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
suku-suku baru”50 Tetapi kalau saya tidak salah, di buku biografi
ini, meskipun Siauw menyebut pidato Sukarno tahun 1963, namun
ia tidak membahas konsep “peranakan Tionghoa” menjadi suku
di Indonesia yang dibicarakan Sukarno. Dalam biografi tersebut,
memang benar Siauw sering menggunakan istilah “peranakan
Tionghoa”, tetapi istilah tersebut tidak digunakannya pada tahun
1950-1960an. Sebagaimana telah saya jelaskan, ia hanya bicara
tentang “keturunan Tionghoa”.
Setelah Suharto berkuasa 32 tahun, tidak ada imigran suku
Tionghoa baru, 3 pilar penyanggah kebudayaan Tionghoa (Ormas
Tionghoa, Sekolah Tionghoa dan Media Bahasa Tionghoa) semua
dilarang. Kita bisa mengatakan, bahwa mayoritas Tionghoa di
Indonesia kini adalah peranakan Tionghoa. Berdasarkan gagasan
Sukarno, mereka semua sudah berubah menjadi suku di Indonesia.
Kesimpulan
Mengenang kembali pandangan Siauw Giok Tjhan dan
Baperki mengenai kedudukan Tionghoa dalam Nasion/Bangsa
Indonesia, saya memperoleh kesimpulan sebagai berikut:
Siauw tidak membedakan Bangsa/Nasion dan wargane
gara. Titik berat penyelesaian diletakkan pada hak warganegara,
memberikan sumbangsih dalam memperjuangkan hak wargane
gara
untuk
peranakan
Tionghoa
Indonesia.
Penyelesaian
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT atas keuletan Siauw
membatasi jumlah Tionghoa yang harus melakukan pemilihan
kewarganegaraan Indonesia.
Hanya mereka yang dianggap
memiliki kewarganegaraan ganda harus melalui proses memilih
kewarganegaraan
Indonesia.
Ini
keberhasilan Tionghoa di Indonesia.
50 Ibid.,halaman 203.
198
bisa
dikatakan
sebagai
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
Di samping itu, Siauw dan Baperki berhasil membatasi
dampak rasisme dengan menyerang kelompok yang mendukung
rasisme dan mencegah kelompok ini bertindak sewenang-wenang.
Karena tema saya adalah hubungan Siauw dengan Tionghoa dan
bangsa Indonesia, terutama pandangannya tentang kedudukan
Tionghoa dalam bangsa Indonesia, saya tidak akan membahas
sumbangsihnya yang sangat besar dalam bidang pendidikan
untuk masyarakat Tionghoa di Indonesia. Saya yakin ada tulisan
lain yang membahas prestasi Siauw Giok Tjhan dalam bidang
pendidikan.
Oleh karena Siauw tidak membedakan konsep wargane
gara dan bangsa, maka sejak awal tidak memperbincangkan
masalah bangsa Indonesia. Baru setelah golongan yang menganut
paham asimilasi muncul menyerang Baperki, Siauw baru mulai
berbicara mengenai masalah Tionghoa sebagai salah satu suku di
Indonesia.
Dan
jelas
ia
dipengaruhi
Marx
dan
Stalin.
Setelah
masyarakat tidak berkelas terwujud, asimilasi bisa terlaksana.
Contoh yang ditonjolkan Siauw adalah masyarakat sosialisme
Soviet dan Tiongkok, yang ia gambarkan sebagai masyarakat
yang melaksanakan kebijakan yang ideal untuk penyelesaian
masalah minoritas, karena di sana tidak ada lagi masalah
golongan dan suku lagi. Sebenarnya, masalah bangsa di Soviet
juga tidak mendapatkan pemecahan baik, Soviet terpecah-belah
sebagai akibat adanya masalah etnis. Masalah etnis di Tiongkok
juga tetap terjadi. Siauw ketika itu tidak berhasil memprediksikan
ini.
Situasi politik ketika itu sangat mempengaruhi Siauw. Setelah
tahun 1959 kekuatan kiri Indonesia membusungkan dada. Hanya
partai-partai politik kiri dan Presiden Sukarno yang bisa menerima
Tionghoa sebagai kelompok tersendiri. Siauw dan Baaperki
199
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadinata
mengikuti jalan Sukarno, dengan sekuat tenaga menganjurkan
sosialisme ala Indonesia. Seluruh golongan di Indonesia tampak
mendukung revolusi sosialis. Siauw mungkin salah menilai kekuatan
revolusi ketika itu, oleh karenanya menghendaki peranakan
Tionghoa mendukung gerakan revolusioner Indonesia. Sebenarnya,
Siauw sendiri juga berpendapat bahwa penyelesaian masalah
minoritas hanya bisa dicapai dengan terwujudnya masyarakat
sosialisme. Oleh karena itu ia mendorong Tionghoa untuk berjuang
mewujudkan masyarakat sosialisme.
Siauw dan Baperki menyerukan Tionghoa ber “Integrasi”
dalam gerakan revolusioner Indonesia. Kalau saja gerakan
revolusioner
berhasil
mewujudkan
sosialisme,
menurutnya,
pemecahan masalah Tionghoa juga tercapai. Tetapi, tanpa
diduga, situasi berkembang ke arah kebalikan. Kekuatan antirevolusi justru yang menang.
Dalam sejarah Indonesia tahun 1965 bagaikan batas air
(watershed) atau garis pemisah. Apa yang dikatakan “G30S”
telah membasmi komunis Indonesia, menggulingkan Sukarno
dan menampilkan kekuasaan militer di bawah pimpinan Suharto
yang bertahan selama lebih 32 tahun. Begitu Suharto naik ke atas
panggung, Baperki dibubarkan. Siauw sendiri ditangkap. Sukarno
berada dalam tahanan rumah. kebijakan “peranakan Tionghoa”
sebagai bagian bangsa Indonesia juga dicampakkan.
Suharto melaksanakan kebijakan asimilasi-total, dengan
memilah warga Indonesia menjadi “Pribumi” dan “Non-Pribumi”.
Warganegara Indonesia Tionghoa, tidak peduli “peranakan
Tionghoa” atau “Tionghoa Totok” masuk dalam kategori “NonPribumi” yang harus segera berasimilasi dengan masyarakat
pribumi Indonesia. Peraturan mengganti nama diumumkan
tahun 1966. Walaupun ini tidak berbentuk paksaan akan tetapi
merupakan tekanan berat untuk peranakan Tionghoa Indonesia,
200
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Leo Suryadiniata
sehingga sebagian besar Tionghoa mengganti namanya.
Kerusuhan rasial Mei 1998, yang menyerang Tionghoa,
membuktikan bahwa rasisme masih ada di Indonesia. Tetapi,
lengsernya Suharto mengakhiri kekuasaan militer yang antiTionghoa dan memulai era demokratis. Tionghoa bisa kembali
memulai kehidupan normal. Tionghoa kembali ikut bergerak di
bidang politik.
Pada bulan Oktober 2003, Paguyuban Sosial Marga
Tionghoa Indonesia di Pakan Baru Sumatera Utara, melangsungkan
Kongres Nasional ke-5. Mereka mengumumkan Tionghoa se bagai
“Suku Tionghoa” adalah bagian dari bangsa Indonesia51.
Apakah
Tionghoa
sudah
diterima
sebagai
bangsa
Indonesia? Apakah perjuangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki
melawan rasisme sudah selesai? Pelajaran apakah yang bisa
diperoleh dari perjalanan sejarah yang dilalui Siauw dan Baperki?
Ini adalah sebuah masalah penting yang patut kita renungkan
bersama.
51“Peserta Munas PSMTI Sepakati Tionghoa Jadi Suku di Indonesia”, Tribun Pekanbaru, 6 Oktober 2013.
201
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
Universitas Res Publica dan Sumbangsih
Siauw Giok Tjhan di Bidang Pendidikan
Benny G.Setiono1
Pada 17 Maret 1901, bertempat di jalan Patekoan 31, Batavia
untuk pertama kali berdiri sekolahTionghoa modern di Hindia Belanda dengan bahasa pengantar bahasa Tionghoa yang pada
masa itu disebut Cia Im atau Kuoyu dan kemudian diajarkan juga
bahasa Inggris. Anak-anak Tionghoa yang sebelumnya tidak
mempunyai kesempatan bersekolah, kini dapat memperoleh
pendidikan dengan sistim modern seperti yang pada masa itu
diterapkan di Jepang dan daratan Tiongkok. Sekolah tersebut
didirikan oleh para pengurus Tionghoa Hoa Hwe Koan (THHK) yang
dibentuk pada 17 Maret 1900.
Sebelum berdirinya sekolah THHK. anak-anak Tionghoa
hanya belajar di rumah dengan memanggil guru privat yang
pada umumnya adalah para pedagang yang telah bangkrut.
Mata pelajaran yang diberikan adalah ilmu hitung dan cara
mempergunakan siphoa (abacus), juga ujar-ujar atau syair kuno
yang harus dihafalkan oleh para murid tanpa mengerti artinya.
Mereka tidak diajar cara membaca dan menulis, dan
bahasa pengantar pada umumnya bahasa Hokkian. Ada juga
sekolah Gie-Oh yang diselenggarakan di Klenteng oleh Kongkoan.
Namun sekolah ini yang juga menyuruh muridnya menghafal syairsyair dan ceritera klasik kuno tanpa mengenal artinya, berjalan
tersendat-sendat dan kelak digabungkan dengan sekolah THHK.
1 Benny Setiono adalah salah satu pendiri INTI dan menjadi salah satu tokoh
utamanya. Ia adalah penulis buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik dan
peraih Wertheim Award pada tahun 2008.
202
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
Bagi anak-anak para opsir Tionghoa atau para hartawan,
mereka dipanggilkan guru privat orang-orang Belanda yang telah
pensiun untuk belajar bahasa Belanda dan bahasa lainnya di
rumah masing-masing. Ada juga yang beruntung bisa bersekolah
di sekolah-sekolah untuk anak-anak Belanda dan Eropa lainnya,
sudah tentu jumlahnya sedikit sekali. Ada juga yang belajar di
sekolah-sekolah zending kepunyaan misionaris Kristen seperti di
Bogor dan Cianjur. Lie Kim Hok seorang pelopor sastra Melayu
Tionghoa yang terkenal dan Phoa Keng Hek, presiden THHK (1900
– 1923 ) adalah murid- murid lulusan sekolah zending tersebut.
Tidak disangka kelahiran sekolah THHK di Batavia diikuti oleh
kota-kota lainnya di seluruh Hindia-Belanda. Dalam waktu singkat
puluhan sekolah THHK. telah berdiri dan hal ini sangat menguatirkan
pemerintah Hindia Belanda yang sedang giat melaksanakan politik
etisnya. Mereka kuatir berdirinya sekolah THHK. akan menimbulkan
gelombang nasionalisme yang sedang berkembang di daratan
Tiongkok. Juga lahirnya THHK. telah memberi inspirasi kepadqa
kalangan bumiputera untuk membentuk organisasi modern yang
pada akhirnya akan menimbulkan gerakan kebangkitan nasional.
Terbukti dengan berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, ISDV
dsbnya.
Akhirnya pada 1908 untuk menyaingi sekolah-sekolah THHK.
pemerintah Hindia Belanda meresmikan berdirinya sekolah untuk
anak-anak Tionghoa yang diberi nama Hollandsch Chineesche
School (HCS) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda.
Kemudian berturut-turut berdiri Meer Uitgebreid Lager Onderwijs
(MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), Hoogere Burger
School (HBS) dsbnya.
Kekuatiran karena berkembangnya THHK. juga telah
mendorong
diberlakukannya
Wet
op
het
Nederlandsch
Onderdaanschap (WNO) atau Undang-undang Kaula Belanda
203
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
pada tahun 1910, yang menempatkan orang-orang peranakan
Tionghoa menjadi kaula Belanda,setingkat di atas bumiputera,
namun bukan warga negara Belanda. Politik segregrasi pemerintah
Hindia Belanda yang merupakan politik adu domba inilah yang
hingga sekarang menimbulkan dampak negatif keharmonisan
kehidupan politik etnis Tionghoa dengan golongan bumiputera,
Namun politik segregasi lainnya yaitu wijkenstelsel dan passenstelsel
dengan politie-rollnya dihapus pada 1917.
Dengan berdirinya sekolah-sekolah Belanda tersebut,
perlahan-lahan sekolah-sekolah THHK mulai terdesak. Banyak
orang-orang Tionghoa yang mengirimkan anak-anaknya untuk
belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan pertimbangan dan
alasan ekonomis dan praktis. Anak-anak yang lulus dari sekolah
rendah THHK. harus melanjutkan sekolahnya ke Hongkong atau
Tiongkok, karena THHK. tidak mendirikan sekolah lanjutan. Jadi
hanya anak-anak orang kaya saja yang mempunyai kesempatan
untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang lebih tinggi.
Anak-anak lulusan THHK. sukar memperoleh pekerjaan, karena
pekerjaan yang tersedia bagi mereka sangat terbatas, yaitu hanya
kepada para pedagang Tionghoa mereka dapat berharap.
Berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah Belanda, lebih banyak
lapangan pekerjaan yang tersedia bagi mereka.
Dengan berkembangnya sekolah-sekolah Belanda tersebut,
masyarakat Tionghoa terpecah menjadi yang berpendidikan
Tionghoa dan mereka yang berpendidikan Belanda. Hal ini
kelak tercermin pada pandangan dan pilihan politik mereka,
terutama golongan peranakan. Yang berpendidikan Tionghoa
pada umumnya berkiblat pada nasionalisme Tiongkok dan biasa
disebut golongan Sin Po dengan tokohnya Tjoe Bouw San, Kwee
Kek Beng dllnya. Yang berpendidikan Belanda lebih berkiblat
kepada penjajah Belanda, biasa disebut golongan Chung Hua
204
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
Hui dengan tokohnya Kan Hok Hoei (H.H.Kan), Dr.Yap Hong Tjoen
dllnya. Tetapi yang berpendidikan Belanda kemudian ada yang
berkiblat kepada kemerdekaan dan mendirikan Partai Tionghoa
Indonesia (PTI) dengan tokohnya Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien, Tan
Ling Djie dllnya.
Hal ini berlangsung sampai tiba masa pendudukan
Jepang tahun 1942. Setelah masa pendudukan Jepang dan
perang kemerdekaan, terjadi banyak perubahan politik di
Indonesia. Dengan berdirinya Republik Indonesia, timbul masalah
dwikewarganegaraan bagi orang Tionghoa yang akan sangat
berpengaruh dalam masalah pendidikan.
Masalah kewarganegaraan menjadi masalah yang rumit
bagi golongan Tionghoa, karena Indonesia menganut asas ius
soli yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan
tempat kelahiran, sebaliknya pemerintah Tiongkok dengan dekrit
yang dikeluarkan kaisar pada zaman dinasti Ming menganut
asas Ius sanguinus, yang menyatakan setiap orang Tionghoa, di
manapun ia berada dan dilahirkan tetap menjadi warga negara
Tiongkok.
Untuk mengatasi masalah ini pada 1946, telah dikeluarkan
undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan stelsel
pasif, bagi yang ingin menolak kewarganegaraan Indonesia
diberi waktu sampai 1947. Apabila diam saja otomatis menjadi
warga negara Indonesia. Kemudian Perjanjian Meja Bundar (KMB)
juga mendukung dan mengesahkan UU
Kewarganegaraan
berdasarkan stelsel pasif dan memperpanjang waktu memilih
sampai 27 Desember 1951. Ternyata lebih dari 300.000 orang
Tionghoa kebanyakan dari golongan totok yang menolak
kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi orang asing.
Dengan demikian sisanya menjadi warga negara Indonesia,
demikian juga keturunannya yang dilahirkan di Indonesia.
205
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
Namun pada 1953, menteri luar negeri pada kabinet
Ali Sastroamidjojo mengajukan RUU Kewarganegaraan yang
ingin membatalkan kedua undang-undang kewarganegaraan
sebelumnya dan menentukan syarat antara lain, hanya orang
keturunan asing yang telah menetap di Indonesia selama tiga
generasi yang berhak mengajukan permohonan menjadi warga
negara Indonesia dan harus dapat membuktikannya. Sudah tentu
hal ini sangat sulit untuk dipenuhi dan menimbulkan keresahan di
kalangan etnis Tionghoa. RUU ini mendapat protes dan perlawanan
yang keras dari kalangan etnis Tionghoa, terutama dari tokoh
politik Siauw Giok Tjhan.
Untuk mengantisipasi masalah ini pada akhir 1953 atas inisiatif
tokoh-tokoh Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) diadakan
pertemuan untuk membentuk panitia yang akan membahas RUU
tersebut. Hadir pengacara-pengacara dan tokoh-tokoh Tionghoa
antara lain :
Khoe Woen Sioe, Gouw Giok Siong,Yap Thiam
Hien,Auwjong Peng Koen, Oei Tjoe Tat, Siauw Giok Tjhan, Tan Po
Goan, Liem Koen Seng dllnya. Akhirnya Siauw Giok Tjhan terpilih
sebagai ketua.
Pada 13 Maret 1954, bertempat di gedung Sin Ming
Hui (Candra Naya) berhasil dibentuk sebuah organisasi yang
dinamakan
Badan
Permusyawaratan
Kewarganegaraan
Indonesia disingkat BAPERKI dengan ketuanya Siauw Giok Tjhan.
Organisasi baru ini dalam waktu singkat mendapat sambutan luas
dan menjadi terkenal sebagai wadah golongan etnis Tionghoa
dalam membela hak-haknya, terutama yang menyangkut
masalah kewarganegaraan.
Pada 6 November 1957, Menteri Pertahanan kabinet
Djuanda mengeluarkan larangan bagi warga negara Indonesia
belajar di sekolah-sekolah asing. Peraturan ini terang-terangan
ditujukan kepada golongan etnis Tionghoa yang anak-anaknya
206
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
banyak bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Akibatnya
puluhan ribu murid sekolah tersebut menjadi terkatung-katung
karena tidak cukup sekolah yang dapat menampungnya.
Atas inisiatif Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya pada
awal 1958 didirikan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran yang
dipimpin sendiri olehnya dan mulai dibuka sekolah-sekolah untuk
menampung anak-anak tersebut. Dalam waktu singkat berdiri
ratusan sekolah-sekolah yang dikelola Baperki di berbagai kota
di Indonesia. Kemudian timbul masalah baru, kemana harus
disalurkan murid-murid yang telah menyelesaikan SLA nya ?
Tempat-tempat di universitas negeri sangat terbatas dan juga
dijalankan pembatasan atau sistim jatah bagi etnis Tionghoa yang
ingin melanjutkan studinya di universitas-universitas tersebut.
Pada 1958 atas desakan pimpinan Baperki, akhirnya Siauw
Giok Tjhan memutuskan untuk mendirikan Universitas Baperki.
Pada 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang bertujuan
mendidik guru-guru sekolah menengah. Pada September 1959
dibuka fakultas Kedokteran Gigi disusul pada November rahun
yang sama Fakultas Tehnik jurusan sipil,mesin dan elektro. Kemudian
pada tahun-tahun berikutnya didirikan Fakultas Kedokteran,
Hukum, Ekonomi dan Sastra. Rektor pertamanya Dr. Ferdinand
Lumban Tobing dan para dekannya antara lain Ir.Pudjono
Hardjoprakoso (FT), Prof.DR. Ernst Utrecht (FE), Prof. Lie Oen Hock
SH. (FH), Dr. Be Wie Tjoen (FKG), Prof.DR. Tjan Tjoe Siem (FS) dllnya.
Pada 1963, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universitas
Res Publica disingkat URECA yang berarti untuk kepentingan
public atau umum dan diambil dari pidato Bung Karno di muka
sidang Konstituante 1959 yang berjudul “Res Publica, sekali lagi
Res Publica”. Rektor baru Ny. DR. Utami Suryadarma diangkat
menggantikan Dr. Lumban Tobing yang meninggal pada 1962.
Dalam waktu singkat jumlah mahasiswanya bertambah
207
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
dengan cepat, di Jakarta saja mencapai hampir 6000 ribu orang
pada 1965 yang datang dari seluruh Indonesia. Banyak murid-murid
lulusan sekolah Tionghoa yang tidak dapat melanjutkan studinya
ke universitas-universitas negeri atau ke luar negeri, ditampung di
Ureca. Mereka disyaratkan untuk mengambil ijazah SMA secara
extrane pada tahun berikutnya.
Pada 1962, Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Baperki
mendirikan Universitas di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik,
Hukum dan Farmasi dipimpin oleh Prof. Gondowardojo, rektor
Universitas Airlangga. Disusul fakultas Kedokteran di Semarang dan
fakultas lainnya di Medan.
Sistim yang diterapkan di Universitas Res Publica adalah
kombinasi teori dan praktek. Pelajaran ideologi negara menjadi
kurikulum wajib tingkat persiapan di setiap fakultas dan Siauw
Giok Tjhan sendiri menjadi dosennya. Kepada setiap mahasiswa
ditanamkan rasa kebangsaan yang tinggi, demikian juga rasa
kecintaan dan memiliki (sense of belonging) universitasnya.
Mungkin
hanya
Ureca
yang
mengharuskan
setiap
mahasiswanya, terutama dari fakultas Teknik untuk bekerja bakti
membangun gedung universitas dan asramanya sendiri. Karena
ketika itu sedang terjadi kesulitan pangan, maka pihak pimpinan
universitas mengajak para mahasiswanya untuk menanam
jagung di halaman universitasnya yang luas. Pada masa-masa
tertentu mahasiswa-mahasiswi Ureca aktif melakukan kerja bakti
memperbaiki jalan-jalan yang rusak di ibu kota. Ketika itu menjadi
pemandangan yang biasa apabila kita melihat gadis-gadis
Tionghoa mahasiswi Ureca mengendarai mesin giling memperbaiki
jalan-jalan di Jakarta yang rusak akibat hujan dan banjir.
Para mahasiswa diberi kebebasan untuk aktif berorganisasi
baik intra maupun extra universiter sesuai dengan pilihan politiknya.
Dewan dan Senat mahasiswa menjadi mitra atau partner pimpinan
208
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
universitas
dalam
mengendalikan
Benny Setiono
dan
mengembangkan
kehidupan kampus. Mahasiswa Ureca memelopori penghapusan
sistim perpeloncoan yang sudah usang dan tidak manusiawi,
peninggalan kolonial Belanda dan mengisi acara-acara Mapram
dengan acara-acara yang lebih bermanfaat seperti ceramahceramah, kerja bakti, olah raga dsbnya.
Dewan Mahasiwa juga aktif ambil bagian dalam kegiatan
Resimen Mahajaya, olah raga dan di bidang kesenian. Pada awal
1965 berhasil dibentuk team kesenian yang berhasil mementaskan
drama dan kesenian yang kemudian melakukan tour ke Jawa
Tengah dan Jawa Timur dengan sukses.
Pada 1964, Departemen Perguruan Tinggi dan Imu Pendidikan
(PTIP) menyamakan ijazah Sarjana Muda Teknik, Kedokteran Gigi,
Ekonomi dan Hukum Ureca dengan lulusan universitas negeri. Pada
1965, lulusan fakultas Teknik dan Kedokteran Gigi Ureca diakui
sebagai sarjana penuh.
Namun Ureca akhirnya menjadi korban kerusuhan dan
dibakar pada 15 Oktober 1965, sebagai ekses bencana G30S.
Dengan tuduhan menjadi antek PKI dan Peking, Ureca telah
menjadi korban kesewenang-wenangan tanpa berdaya dan
mengetahui apa kesalahannya.
Mahasiswa Ureca di bawah pimpinan Go Gien Tjwan
dengan heroik dan gagah berani mempertahankan kampusnya
ketika diserbu, dijarah dan dibakar gerombolan liar yang dibantu
militer. Dengan penuh linangan air mata mereka menyaksikan
kampus yang dicintainya, yang bersama-sama dibangun dan
dibimbing Siauw Giok Tjhan, seorang pemimpin Tionghoa yang arif
bijaksana menjadi tumpukan puing yang sangat mengenaskan.
Ureca akhirnya diambil alih oleh Yayasan Trisakti di bawah
pimpinan orang-orang LPKB yang dibantu jenderal Nasution dan
merubah namanya menjadi Universitas Trisakti yang tetap eksis
209
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Benny Setiono
sampai sekarang.
Sampai hari ini masih menjadi tanda tanya besar, seperti
juga
sekolah-sekolah
dasar
dan
menengah Baperki
yang
berjumlah ratusan di seluruh Indonesia, apa yang menjadi dasar
hukum pengambil alihan tersebut, padahal negara kita katanya
negara hukum. Banyak sekolah-sekolah Baperki yang telah disulap
menjadi ruko-ruko dan perkantoran tanpa jelas status hukumnya.
Jasa Siauw Giok Tjhan di bidang pendidikan luar biasa
besarnya, biarlah semua itu menjadi catatan sejarah dan
kenangan anak cucu kita.
Pembangunan Gedung Ureca oleh mahasiswa sendiri
210
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
Renungan Memperingati
Siauw Giok Tjhan
Zhou Nan Jing1
Pada kesempatan memperingati 100 tahun Siauw Giok Tjhan,
23 Maret 1914 -– 20 Nopember 1981, saya sebagai peneliti masalah
Tionghoa Indonesia dan sudah lanjut usia, ingin menyampaikan
hormat setinggi-tingginya pada bung Siauw Giok Tjhan dan
merasa kehilangan sedalam-dalamnya. Siauw Giok Tjhan adalah
pahlawan bangsa Indonesia dan seorang pemimpin Tionghoa
yang ulung. Sudah seharusnya Bung Siauw menempatkan posisi
penting dalam sejarah Indonesia, dan memperoleh penilaian
mulia dan adil.
Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan secara menyeluruh
perjalanan kehidupan Siauw Giok Tjhan, tetapi hanyalah menilai
beberapa masalah penting berdasarkan kenyataan objektif.
Mencintai tanah air Indonesia
Loyalitas kesetiaan dibuktikan sejarah
Sekalipun Siauw dilahirkan berdarah Tionghoa, tetapi
tindak-tanduk seumur hidupnya, dipandang dari sudut manapun,
membuktikan jiwa-raganya mencintai tanah air Indonesia. Ia
adalah seorang patriotik yang loyal dan setia pada Indonesia.
Pada Tahun 1929 Lim Koen Hian (1896—1952), redaktur Sin
Tit Po Surabaya, menganjurkan Tionghoa yang lahir di Indonesia,
hendaknya menjadikan Indonesia tanah airnya dan mendukung
perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada Tahun 1932,
Partai Tionghoa Indonesia didirikan di Surabaya. Pimpinannya
1 Zhou Nan Jing lama mengajar dalam bidang sejarah Asia Sekatan di Universitas
Peking. Ia pernah mengepalai berbagai lembaga penelitian di universitas tersebut sebelum pensiun.
211
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
antara lain: Lim Koen Hian, Tjoa Sik Ien dll.
Sin Tit Po menjadi
organ partai ini. PTI beranggapan Indonesia adalah tanah air
peranakan Tionghoa; peranakan Tionghoa sudah seharusnya
setia pada Indonesia; berbagai lapisan rakyat dan kelompok
masyarakat, termasuk peranakan Tionghoa menikmati hak yang
sama. Bersama-sama dengan partai politik Indonesia lainnya,
PTI mengikuti perjuangan politik, mewujudkan kemerdekaan
Indonesia;
memperkokoh
hubungan
persahabatan
antara
peranakan Tionghoa dan Rakyat Indonesia.
Sejak tahun 1932, Siauw Giok Tjhan sudah berpandangan
demikian. Teguh tak tergoyahkan berjuang demi usaha mulia
mencapai kemerdekaan Indonesia.
Ada
perpolitikan
pasif
satu
kekuatan
Indonesia,
Kewarganegaraan
dahsyat
sekuat
tenaga
dengan
di
dalam
dunia
menetapkan
menentang
stelsel
stelsel
aktif
Kewarganegaraan. Pada tanggal 10 April 1946, Komite Nasional
Indonesia Pusat, sebagai badan legislatif saat itu dengan
singkatan KNIP, setelah melalui perdebatan sengit telah berhasil
meratifikasi stelsel pasif Kewarganegaraan yang diajukan Tan Ling
Djie: setiap orang yang lahir di Indonesia, tanpa harus mengajukan
permohonan,
dengan
sendirinya
menjadi
warga
negara
Indonesia. Siauw dan Tan Ling Djie sejak awal sudah mendukung
dan mempertahankan stelsel pasif Kewarganegaraan ini.
Pada tahun 1955, saat perundingan pemerintah Republik
Indonesia dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengenai
perjanjian penyelesaian
Dwi-kewarganegaraan, kedua belah
pihak telah mencapai kesepakatan. Diantaranya: 1. Bagi siapa
yang ber-dwi-kewarganegaraan dan sudah dewasa, diberi
kesempatan 2 tahun untuk menentukan pilihan kewarganegaraan.
Mereka
harus
menghadap
instansi
bersangkutan
untuk
memilih kewarganegaraan. 2. Bagi yang tidak memenuhi syarat
212
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
diatas, dengan sendirinya mengikuti kewarganegaraan ayah.
3. Setiap orang yang belum mencapai 18 tahun, mengikuti
kewarganegaraan ayah. 4. Orang yang ayahnya adalah warga
asing dan belum mencapai usia 18 tahun, dengan sendirinya
menjadi warga asing.
Demikianlah perjanjian Dwi-Kewarganegaraan memuaskan
sementara orang Indonesia yang hendak mengurangi warga
Indonesia keturunan Tionghoa dan ternyata juga sesuai dengan
harapan sebagian besar Tionghoa totok dan pimpinan Chung
Hua Chung Hui pada saat itu.
Di saat yang sangat menentukan ini, Siauw Giok Tjhan
dengan tegas melawan arus, mengajukan keberatan dan
menentang isi perjanjian itu. Siauw mendefinisikan siapa yang
ber-Dwi-Kewarganegaraan: 1. Orang yang menyatakan dirinya
berkewarganegaraan ganda; 2. Orang yang bisa memiliki 2
passport Indonesia dan Tiongkok; 3. Orang yang antara 27
Desember 1949 s/d 27 Desember 1951 belum genap 18 tahun,
sedang saat itu ayah-ibu menolak kewarganegaraan Indonesia.
Siauw menandaskan, kecuali orang-orang tersebut diatas,
Pemerintah harus
memperlakukan semua orang yang lahir di
Indonesia sebagai warganegara Indonesia. Siauw pun menuntut
bahwa setiap orang yang ikut serta dalam Pemilihan Umum,
pegawai negeri, para menteri dan mantan menteri, anggota DPR
dan Buruh-Tani harus tetap diperlakukan sebagai warganegara
Indonesia. Usul Siauw ini mendapatkan dukungan Fraksi Nasionalis
Progresif, banyak anggota DPR dan banyak tokoh cendekiawan,
bahkan ia memperoleh dukungan partai-partai oposisi.
Atas persetujuan PM Ali Sastroamidjojo, pada akhir bulan
April 1955, di Kedutaan Besar RRT di Jakarta Siauw menemui
PM Zhou En Lai yang sedang berkunjung di Indonesia, untuk
memperbincangkan masalah Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan.
213
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
PM Zhou ternyata menerima seluruh uraian yang diajukan Siauw
Giok Tjhan dan menyesalkan perjanjian yang sudah ditandatangani
ini. Ia menyatakan, di kemudian hari sebelum Pemerintah TIongkok
menetapkan pendirian masalah Kewarganegaraan, harus lebih
dahulu berunding dengan Siauw.
Hasilnya, Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT dilakukan
perubahan, dan naskah perubahan perjanjian dibuat oleh Siauw
Giok Tjhan. Naskah perubahan Perjanjian yang berdasarkan Siauw,
menentukan antara lain: 1. Kedua Pemerintah menyetujui bahwa
sebagian besar warga Tionghoa Indonesia sudah secara sah
adalah warganegara Indonesia. Mereka dianggap tidak memiliki
kewarganegaraan berganda dan dibebaskan dari kewajiban
memilih lagi; 2. Orang-orang yang telah melakukan pemilihan
kewarganegaraan pada tahun 1951, tdak lagi perlu memilih
kewarganegaraan lagi sekalipun masa keberlakuan perjanjian
tiba; 3. Bagi mereka yang memiliki kewarganegaraan berganda
tetap diakui sebagai warga negara yang sah hingga jangka waktu
2 tahun untuk memilih dilaksanakan.
Pada bulan Nopember 1957, kabinet Juanda membuat
rancangan UU Kewarganegaraan.
oleh
Soiauw
perubahan.
yang
kemudian
Rancangan ini ditentang
mengajukan
berbagai
usul
Ia tetap mendsasarkan argumentasinya kepada
prinsip-prinsip UU kewarganegaraan 1946. Pada tanggal 1 Juli
1958 UU Kewarganegaraan disahkan. Sekalipun Siauw menentang
beberapa pasal, tapi beranggapan UU tersebut masih bisa
diterima.
Beberapa masalah diatas sepenuhnya membuktikan,
kecintaan Siauw pada Indonesia. Ia selalu berusaha menemukan
pemecahan yang terbaik untuk Tionghoa khususnya dan bangsa
Indonesia umumnya, dalam menghadapi kesulitan apapun.
Loyalitas dan kesetiaan tidak hanya diucapkan, tapi juga nampak
214
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
jelas dari tapak langkah perjuangan hidupnya.
Mengejar kemajuan,
Senasib sepenanggungan dengan massa rakyat
Pandangan politik yang progresif cenderung kiri, adalah
benang merah yang menelusuri tindak-tanduk kehidupan Siauw.
Sejak masa mudanya, Siauw sangat dipengaruhi oleh paham
Sosialisme. Ia menentang kekuasaan kolonial Belanda dan berbagai
bentuk penjajahan imperialism. Ia sangat gandrung membangun
Indonesia menjadi sebuah negara yang adil dan makmur dan
tidak mengenal diskriminasi-rasial. Siauw beranggapan, sosialisme
adalah jalan keluar memecahkan masalah suku-suku minoritas
dan politik sosial yang dihadapi bangsa Indonesia. Begitulah
pada tahun 1959-1965, Siauw mendukung Soekarno menegakkan
Demokrasi
Terpimpin,
karena
Soekarno
juga
menyerukan
pembangunan masyarakat sosialis Indonesia. Siauw berkeyakinan
bahwa pemecahan masalah Tionghoa adalah bagian tak
terpisahkan dari pembangunan bangsa Indonesia.
Siauw adalah seorang tokoh gerakan sosial yang berbakat,
cerdas dan supel. Ia bisa mempertahankan hubungan akrab
dengan banyak orang dari berbagai lapisan dan aliran politik yang
berbeda-beda. Di antara mereka termasuk: Presiden Soekarno,
Sartono (Partai Nasionalis Indonesia), Ali Sastroamidjojo (PNI),
Arudji Kartawinata (PSII), Sudibjo (PSII), Tambunan (Partai Kristen),
Kasimo (Partai Katholik), Soekarni (Murba), Adam Malik (Murba),
Zainul Arifin (NU), Djodi Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional),
Mohammad Yamin (non-Partrai)dll.
Hubungan akrab yang terjalin dengan para tokoh tersebut
sangat menguntungkan gerakan Siauw di bidang politik. Bahkan
setelah G30S, selama Siauw di dalam penjara, dan selama masa
215
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
interogasi, ia tidak pernah disiksa atau dianiaya. Sebaliknya ia bisa
memperoleh pengobatan berkat bantuan Adam Malik yang sejak
tahun 1966 menjabat Wk. Perdana Menteri, Menteri Luar negeri dan
Wk. Presiden. Setelah bulan Mei 1978 Siauw dibebaskan secara
resmi. Pada bulan Agustus 1978, atas persetujuan Adam Malik,
Siauw bisa pergi ke Belanda untuk berobat.
Walaupun Siauw lahir di keluarga pengusaha peranakan
Tionghoa, tapi pandangan politik progresif kiri itu berkembang
karena kecintaan, kepedulian dan simpatinya pada massa rakyat
Indonesia. Ia menjiwai nasib rakyat.
Setelah kedua orang-tuanya meninggal, keadaan keluarga
menjadi sulit. Bukan saja ia harus meninggalkan sekolah dan
menjual perabot rumah tangga, ia juga menjalankan usaha taxi
dan merangkap guru silat-kongfu untuk meneruskan hidup. Dari
sinilah ia menjadi lebih memahami penderitaan kehidupan rakyat
jelata. Jadi tidak sulit memahami mengapa Siauw menganut
dengan teguh pandangan progresif kiri.
Pada bulan Desember 1945 Partai Sosialis didirikan. Partai
ini terbagi dalam 3 golongan: golongan Amir Syarifudin; golongan
Syahrir dan golongan Abdulmadjit. Pada saat itu Tan Ling Djie
menjabat Sekretaris Jendral Parta1Sosialis.
Ia mengajak Siauw
untu bergabung. Pada bulan Desember 1945 Siauw masuk dalam
Partai Sosialis, dengan tujuan me ngubah sikap dan pandangan
barisan bersenjata pemuda Indonesia terhadap Tionghoa dan
menunjukkan ke masyarakat bahwa Tionghoa turut membela
Kemerdekaan Indonesia.
Walaupun Siauw secara resmi berada dalam golongan
Amir, tetapi ia berhubungan baik dengan Syahrir. Pada bulan
Februari 1948, Partai Sosialis pecah, Syahrir dll keluar mendirikan
Partai Sosialis Indonesia. Siauw, Tan Ling Djie dan sebagian besar
anggota Partai tetap mendukung Amir Syarifuddin.
216
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso dari Moskow kembali
di Indonesia. Ia membawa konsep yang dinamakan “Jalan Baru”.
Terjadilah perubahan besar dalam situasi politik. Pada tanggal 31
Agustus 1948 PKI mengumumkan penggabungan Partai Sosialis,
Partai Buruh Indonesia dan Partai Komunis Indonesia menjadi
satu Partai Komunis Indonesia. Dalam kesempatan itu juga, Front
Demokrasi Rakyat dinyatakan bubar. Padas tanggal 1 September
1948 PKI mengumumkan susunan Politbiro baru. Muso menjabat
Sekjen, Tan Ling Djie Wk. Sekjen dan Amir Syarifuddin menjabat
kepala Grup Pertahanan Negara. Muso melesat keluar sebagai
pimpinan baru dan Amir menduduki posisi ke-3.
Siauw menolak masuk dalam PKI. Sejak itu Siauw tidak
tergabung dalam Partai politik manapun juga. Namun demikian,
hubungan Siauw dengan tokoh-tokoh PKI tetap baik.
Siauw mengambil keputusan ini, disebabkan karena dia
menyadari bahwq perjuangan partai politik seringkali bertentangan
dengan kepentingan suku minoritas. Siauw beranggapan, dengan
mempertahankan diri sebagai non-Partai akan memungkinkannya
secara maksimal berperan sebagai wakil minoritas di dalam
DPR. Setelah peristiwa berdarah di
Madiun pada tahun 1948,
PKI diteror. Siauw sebagai salah seorang Front Demokrasi Rakyat,
dengan sendirinya ditangkap oleh Pemerintah. Ia beruntung bisa
lolos dari pembantaian.
Pada tahun 50-60an dalam kancah politik Indonesia terdiri
dari 3 kekuatan: Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Ketiganya
saling tergantung karena keterbatasan kekuasaan. Saling tarikmenarik, saling berusaha melemahkan pihak lain bahkan berusaha
kuat untuk mematikan lawan.
Situasi semacam ini memaksa Siauw untuk mengambil
pilihan. Tentunya Ia tidak mungkin berdiri di pihak kekuatan kanan
yang dipimpin oleh Angkatan Darat. Apalagi di belakang AD ada
217
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
CIA-AS dan negara-negara barat. Seandainya saja kekuatan kanan
ini yang menang, menurutnya, masyarakat Tionghoa dan bangsa
Indonesia pasti akan lebih menderita. Setelah mempertimbangkan
dengan seksama, Siauw yang sangat berpengaruh dalam
masyarakat, hanya bisa bersekutu dengan Soekarno dan berdiri di
pihak kiri yang dipimpin oleh PKI.
Terbentuknya
poros
Jakarta—Beijing
lebih
banyak
mempengaruhi jalan pikiran Siauw. Politik mengandung taruhan
yang mengandung risiko berbahaya. Sulit untuk menduga pihak
mana yang akan menang. Meletusnya peristiwa G30S membuat
orang untuk mendiskusikan kebenaran dan kesalahan pemikiran
Siauw. Tuntutan semacam ini tidak mempunyai banyak artinya.
Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa situasi sejarah ketika itu
mendesak Siauw, yang mendasarkan perjuangannya atas sebuah
idealisme, ke satu pilihan, masuk ke dalam pihak Soekarno dan
pihak kiri yang setelah peristiwa G30S dikalahkan oleh pihak kanan
dengan dukungan CIA-AS. Situasi yang menyebabkan Soekarno,
DN Aidit dan Siauw pribadi mengalami nasib kekalahan.
Melindungi Kepentingan Tionghoa,
Mendorong maju keharmonisan bangsa
Tujuan dan keyakinan perjuangan seumur hidup Siauw
mencakup melindungi kepentingan Tionghoa, mendorong maju
keharmonisan bangsa Indonesia melalui proses integrasi wajar.
Dalam
zaman
Revolusi
Indonesia,
Pemerintah
pusat
Republik Indonesia tidak mampu mencegah kehadiran tentara
gadungan yang bermunculan bagaikan jamur di musim hujan.
Ini menyebabkan sering terjadinya perampokan, pembunuhan
dan penganiayaan terhadap Tionghoa. Keadaan yang dihadapi
Tionghoa sangat mengkhawatirkan.
218
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Pada
bulan
Oktober
Zhou Nan Jing
1945,
Siauw
di
Malang
membentukAngkatan Muda Tionghoa, organisasi pemuda Tionghoa
tidak bersenjata. Dengan pedoman ikut aktif mempertahankan
Kemerdekaan Indonesia, memperkuat hubungan dan persekutuan
organisasi pemuda dengan kekuatan bersenjata Indonesia,
organisasi ini mengajak para laskar bersenjata pemuda Indonesia
untuk bersahabat dengan Tionghoa.
Yang menjadi ketua resmi
orghanisasi ini adalah Siauw Giok Bie, adik kandung Siauw Giok
Tjhan. Siauw Giok Tjhan
memimpin dan menentukan strategi
organisasi dari belakang.
Dalam
menghadapi
gelombang
anti-Tionghoa
yang
menghampar Jawa, Sumatera dan beberapa daerah lain, pemuda
Tionghoa bergegas mendirikan Pasukan Pelindung Keamanan
(Pao An Tui), mengumpulkan senjata untuk membela diri. Partai
Kuomintang yang berwenang ikut terlibat. Karena pemerintah
tidak berdaya menguasai situasi, Pao An Tui mengulurkan tangan
minta pada Belanda. Bahkan Pao An Tui membangkitkan perasaan
dendam melampiaskan kebencian bangsa berkembang menjadi
alat koloni Belanda.
Dalam menghadapi keadaan demikian, hanya Wang Ren
Shu (Pa Ren) di Sumatera Utara, kota Medan dan Siauw Giok Tjhan
di Jawa Timur, yang mengibarkan panji dengan jelas dan tegas
mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka
menentang pembentukan Pao An Tui dan menghimbau Tionghoa
untuk menahan diri dan tidak menjadikan bangsa Indonesia
sebagai musuh dan bersama-sama mengatasi segala kesulitan.
Pada bulan Juli 1947 hingga bulan Januari 1948, Di dalam
kabinet Amir Syarifuddin, Siauw menjabat Menteri Negara Urusan
Minoritas. Pada saat menjabat, Siauw pernah memberi sambutan
pada seluruh negeri melalui Siaran Radio, mengutuk pejabat
Belanda yang membangkitkan sentimen-rasial, mengadu domba
219
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
untuk menciptakan kerusuhan anti-Tionghoa. Ia
mengunjungi
penampungan pengungsi Tionghoa di berbagai tempat dan
menuntut
membebaskan
tahanan-tahanan
Tionghoa.
Ia
mendesak Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan
Bersenjata
Indonesia
untuk
mengeluarkan
instruksi
tegas,
menembak ditempat perampokan dan melindungi penduduk
Tionghoa.
Ia menghimbau masyarakat Tionghoa untuk tetap
percaya dan mendukung Republik Indonesia. Ia-pun dengan
tegas
mempertahankan stelsel pasif Kewarganegaraan dan
berhasil menggagalkan usaha Kuomintang Tjiang Tjia Tung untuk
mengadopsi stelsel aktif Kewarganegaraan.
Ia menganjurkan komunitas Tionghoa untuk berdikari,
berproduksi tahu dan tempeh memperbaiki bahan makanan
mereka sehingga bisa mengurangi beban dan tidak bersandar
Pemerintah. Oleh karenanya, Koran Tionghoa ketika itu, Sin Po dan
Keng Po menjuluki Siauw sebagai “Menteri Tahu-tempeh”.
Inilah masalah yang dihadapi ditengah-tengah gelombang
anti-Tionghoa, dan saat menyelesaikan tugas yang dipikulnya,
Siauw menghadapi berfbagai kesulitan dan hal yang kurang
nyaman.
Pada 31 Januari 1948 dibentuk kabinet Hatta. Kementerian
minoritas ditiadakan. Siauw tidak lagi tergabung dalam kabinet.
Pada bulan September 1948, meletus Peristiwa Madiun. Setelah
Nopemper 1949 Siauw keluar dari penjara, segera menghadiri
sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, meneruskan
jabatannya sebagai wakil tidak berpartai. Siauw dengan tegas
mengutuk Kabinet Hatta yang menandatangani Perjanjian KMB
dengan koloni Belanda. Ia menganggap perjanjian itu merugikan
posisi dan kepentingan Republik Indonesia, Hanya satu hal positif
yang diterima Siauw dari perjanjian ini yaitu dipertahankannya
stelsel pasif Kewarganegaraan.
220
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
Kegiatan Siauw di DPR menitik beratkan 3 masalah: masalah
bangsa, termasuk kewarganegaraan, pembangunan ekonomi
nasional dan UU mewujudkan demokrasi.
Pemerintah
perlindungan
Indonesia
kepentingan
berturut-turut
“pribumi”,
mengajukan
menjalankan
politik
ekonomi mendiskriminasikan Tionghoa, misalnya kebijakan asliasli-an, kebijakan Benteng, kebijakan izin import, kebijakan usaha
transportasi dan kebijakan penggilingan padi. Ada pula kehadiran
Konperensi Ekonomi Nasional (KENSI) yang dipimpin oleh Assaat
yang bertujuan menyingkirkan pedagang Tionghoa.
Siauw dengan tegas menentang dan memblejeti kebijakan
dan politik yang selalu berusaha menyingkirkan Tionghoa. Siauw
selalu menegaskan, bahwa modal Tionghoa adalah modal
domestik, adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekonomi
nasional Indonesia. Siauw dengan kokoh tegak berdiri di dalam
DPR memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi
pengusaha menengah-bawah Tionghoa.
Dalam proses melindungi hak dan kepentingan Tionghoa,
jasa terbesar Siauw adalah mendirikan Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia, disingkat menjadi Baperki. Sebuah
organisasi massa yang bersifat nasional dan mendapatkan
dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Tionghoa.
Pada
bulan Maret 1954 didirikan di Jakarta. Siauw menjabat Ketua.
Pedoman organisasi yang ditetapkan: mewujudkan inspirasi
bangsa Indonesia; menjadikan setiap warga menjadi warga
negara Indonesia; mewujudkan prinsip dasar Demokrasi dan
Hak asasi manusia; mewujudkan kesamaan hak, kewajiban dan
kesempatan bagi setiap warga tanpa perbedaan latar belakang
keturunan, budaya, adat-istiadat dan keyakinan Agama.
Siauw
selalu
menghimbau
warganegara Indonesia.
Ia
Tionghoa
untuk
menjadi
tegas menentang asimilasi total
221
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
karena beranggapan bahwa Tionghoa bisa mempertahankan
ciri etnisitas ke-Tionghoa-an, dan memperjuangkan Tionghoa
diperlakukan sebagai salah satu suku Bangsa Indonesia.
Ia
berpendapat bahwa masalah minoritas hanya bisa diselesaikan
tuntas dengan terwujudnya masyarakat sosialisme.
Pedoman Baperki yang ditegaskan oleh Siauw menunjukkan
bahwa ruang lingkup perjuangan Siauw tidak hanya terbatas
pada masalah Tionghoa tetapi mencakup ajakan untuk Tionghoa
berpartisipasi dalam gerakan nasional. Pengalaman menunjukkan
bahwa konsep perjuangan Siauw dan Baperki tepat. Sebagian
besar Tionghoa kini sudah menjadi warganegara Indonesia.
Yang belum tercapai sepenuhnya adalah pembauran
alamiah
antar
suku
Bangsa
sebagai
keharusan
proses
perkembangan sejarah.
Menitik beratkan Usaha Pendidikan,
Sumbangsih yang tidak bisa dihapus
Sumbangsih Siauw di bidang pendidikan sangat menonjol
dan tidak bisa dihapus dari sejarah. Sejak masa muda Siauw sudah
berusaha sekuat tenaga dalam usaha pendidikan Tionghoa. Pada
tahun 30-an , Siauw sudah mendirikan sekolah malam di Surabaya,
menjadi guru merangkap kepala-sekolah, untuk membantu
pemuda Tionghoa yang tidak mampu meneruskan sekolah.
Setelah kemerdekaan, Siauw menganjurkan Angkatan
Muda Tionghoa Indonesia di Malang untuk menyelenggarakan
sekolah, memberikan bimbingan dan bantuan kepada muridmurid yang pernah sekolah Belanda, untuk bisa mengikuti ujian
masuk sekolah Belanda.
Setelah
BAPERKI
terbentuk,
Siauw
berkiprah
banyak
dalam mengembangkan pendidikan, membantu jutaan mudamudi Tionghoa yang didiskriminasi untuk bisa meneruskan
222
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
sekolahnya dengan baik. Baperki di banyak kota besar telah
mendirikan banyak sekolah, dari Taman kanak-kanak, Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah sampai Universitas. Sekolah-sekolah ini
terbuka untuk umum, sekalipun mayoritas murid adalah Tionghoa,
di antaranya peranakan Tionghoa yang lebih banyak.
Mereka
tersingkir
oleh
kebijakan
diskriminasi-rasial
Pemerintah di bidang pendidikan, yang membatasi Sekolah negeri
tidak lebih 5% menerima masuk anak Tionghoa, bahkan Tionghoa
yang bisa diterima di Universitas negeri tidak lebih dari 3% saja.
Begitulah terlalu banyak Tionghoa tidak bisa masuk sekolah negeri,
lebih-lebih di universitas negeri.
Pada Tahun 1957, pemerintah menutup semua sekolah
Tionghoa milik Kuomintang. Pada tahun 1958, Pemerintah
menetapkan,
anak-anak
Tionghoa
berkewarganegaraan
Indonesia tidak lagi boleh masuk Sekolah Tionghoa.
Pada waktu Siauw di awal tahun 1958 membentuk Yayasan
Pendidikan Baperki, ia memperoleh dukungan Chiao Chung
Jakarta dalam pengumpulan dana untuk mendirikan sekolahsekolah dan bertanggungjawab untuk mengurus dan membimbing
pendidikan sekolah.
Pada bulan Juli 1958, sekolah Tionghoa dari 2000 gedung
menyusut jadi 850, murid sekolah dari 425 ribu menyusut jadi
150 ribu murid saja. Berarti, ada 250 ribu anak murid Tionghoa
berkewarganegaraan Indonesia. Dan sebagian besar dari mereka
ditampung di sekolah-sekolah yang baru saja dibentuk dan diurus
Yayasan Pendidikan Baperki.
Untuk mengatasi kesulitan pemuda Tionghoa meneruskan
sekolah tingkat Universitas, pada bulan Oktober 1958, Yayasan
Pendidikan Baperki
membentuk Akademi Teknik. Rencananya
adalah mengatasi kesulitan murid Tionghoa memasuki Universitas
negeri dan menjamin kemungkinan pemuda Tionghoa untuk
223
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
meneruskan sekolah lebih lanjut. Tentunya juga melahirkan ahli-ahli
teknologi yang mampu mengabdi pada negara dan masyarakat.
Akademi ini kemudian diubah menjadi
Universitas BAPERKI,
disingkat UBA. Dan pada tahun 1963 berganti nama menjadi
Universitas Res Publica disingkat menjadi Ureca.
Ureca cepat berkembang sesuai tuntutan masyarakat
ketika itu. Ia terdiri dari Fakultas Teknik, Kedokteran, Dokter-Gigi,
Sastra, Ekonomi, Hukum, Farmasi dll. Tidak lama kemudiaan, Baperki
mendirikan pula cabang-cabang Ureca di Surabaya, Semarang,
Yogya, Bandung dan Medan.
Pada awal tahun 1965, sudah lebih 10 ribu mahasiswa
URECA di Jakarta, Surabaya dan Semarang. Setelah G30S tahun
1965, oleh kekuasaan Soeharto, Ureca ditutup dan dibuka kembali
menjadi Universitas Trisakti.
Siauw dengan gencar menganjurkan pemuda-
pemudi mengenal kebudayaan Indonesia, belajar tarian nasional
Indonesia, dengan aktif ikut serta kegiatan politik, bergabung
dalam organisasi pemuda dan pelajar, mahasiswa.
Melalui
program pendidikan ini Siauw berusaha merealisasi pemikirannya
bahwa pemuda Tionghoa memiliki kesadaran politik dan menjadi
orang Indonesia sejati.
Kehidupan Sederhana-Polos, Moral Anggun-Mulia
Jiwa kepemimpinan Siauw Giok Tjhan yang mengandung
kebijaksanaan dan karisma, telah banyak membuat orang sangat
menghormatinya.
Ia memiliki semangat patriotik mencintai
tanah airnya, Indonesia. Ia-pun memiliki komitmen terhadap
Internasionalisme. Ia ulet bekerja, sederhana, bermoral anggun
mulia, jujur, berdisiplin dan rendah hati. Ia sangat ramah tamah,
mudah bergaul dengan siapa-pun dan memiliki rasa ketia
224
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
kawanan yang kental. Selalu siap membantu orang dan teguh
dengan pendiriannya.
Sikap dan karisma demikian menyebabkan ia tidak hanya
dicintai, dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Tionghoa, tapi
juga oleh berbagai lapisan elite dan tokoh masyarakat Indonesia
umumnya.
Berbagai keindahan kata yang memuji jiwa kepemimpinan
Siauw Giok Tjhan sudah tersiar secara luas. Dalam tulisan singkat
untuk memperingatinya ini, kiranya banyak cara bisa ditempuh.
Dalam kesempatan ini saya hendak mencuplik sepenggal “Balada
Juang Siauw Giok Tjhan”:
Ruang kantor rangkap ruang tidur keluarga
Terjadi petaka dari meja jatuh kelantai
Hidup penuh keserderhanaan
Celana pendek kaos oblong keseharian
Tamu datang ingin berkunjung
Duga pelayan padahal dia
Sering tampak dikedai warung pasar
Pemilik tolak waktu bayar
Masuk keluar istana sederhana tampilan
Sandal baju tambal variasi tontonan
Sukarno lihat kasat mata
Masuk kamar tidur penuh haru
Hadiahkan tiga helai baju baru
Siauw jadi kepalang rasa malu
Siauw Giok Tjhan sudah 33 tahun meninggalkan kita
semua. Sementara orang dengan pandangan bias politik atau
berkacamata warna, mengakibatkan sampai saat kini ia tidak
memperoleh tempat layak dalam sejarah Indonesia. Namun kita
tetap harus memberikan kehormatan tertinggi kepada Pahlawan
Bangsa Indonesia dan pemimpin Tionghoa terkemuka ini.
Saya ramalkan, pada suatu saat, setelah kabut tebal buyar,
225
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Zhou Nan Jing
di kota Surabaya, Jawa-Timur bisa muncul satu jalan bernamakan
Jalan Siauw Giok Tjhan.
Siauw Giok Tjhan dan isteri (Tan Gien Hwa) ketika Siauw masih
ber-status tahanan rumah - 1979
226
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
Seabad Siauw Giok Tjhan
Asvi Warman Adam1
Dalam bedah buku “Renungan Seorang Patriot Indonesia,
Siauw Giok Tjhan” tanggal
22 Mei 2010 di Jakarta saya telah
membahas dua aspek dalam buku tersebut yakni, pertama Razia
Sukiman dan kedua G30S. Pada diskusi yang diselenggarakan
Gema INTI di Kemayoran Jakarta tanggal 29 Maret 2014 saya
menambahkan dua aspek lagi yaitu, ketiga,
Universitas Res Publica dan Trisakti
masalah sejarah
serta, keempat,
penulisan
sejarah Tionghoa dalam buku pengajaran sejarah di sekolah.
Untuk penulisan buku ini ditambahkan satu hal lagi yakni masalah
kewarganegaraan yang merupakan sumbangan Siauw Giok Tjhan
dalam sejarah Indonesia dan diakhiri dengan epilog (mengakhiri
diskriminasi Tionghoa).
Pertama
Pada bulan Agustus 1951 terjadi apa yang disebut “Razia
Agustus”. Kabinet waktu itu dipimpin oleh Sukiman dari Masyumi
dan Suwirjo dari PNI, sehingga ada yang menjuluki “kabinet Su-Su”.
Kabinet Su-Su ini menandatangani perjanjian Pertahanan dengan
Amerika dan karena AS ketika itu sedang menghadapi Perang di
Korea, suasana Perang Dingin dengan sendirinya juga terpantul
ke Indonesia. Pemerintah Kabinet Su-Su --untuk membuktikan
mereka anti komunis-- menangkap sekitar lebih 2000 orang yang
dianggap komunis dan kiri. Dalam penangkapan terjadi banyak
kekeliruan, banyak salah tangkap. Misalnya terjadi penangkapan
1 Dr Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI dan anggota Dewan Pakar Yayasan
Nabil
227
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
atas diri Abdulah Aidit yang merupakan ayah DN Aidit. Abdullah
Aidit ini adalah seorang tokoh dari fraksi Masyumi, hanya karena
sama-sama Aidit kena tangkap juga.
Terjadi juga penangkapan atas diri Sutan Syahrir sekalipun
dari Partai Sosialis, tapi dia itu tergolong Sosialis-kanan. Ketika itu,
ditangkap pula Ang Yan Gwan pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw
Giok Tjhan. Dan ketika diinterogasi, yang menjadi pertanyaan “Di
mana saat Peristiwa Madiun September 1948”. Pertanyaan yang
sama diajukan pada tawanan saat G30S, “Di mana keberadaan
saat 30 September 1965”,
demikian diungkapkan John Roosa,
penulis Buku Dalih Pembunuhan Massal, yang dilarang itu. Patut
juga diteliti lebih lanjut, alasan penangkapan tersebut atau
provokasi yang dilakukan agar ada alasan untuk menangkap.
Aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos “Palu-Arit” pada
sebuah kantor Polisi di Tanjung Priok dijadikan alasan untuk
menangkapi orang saat Razia Agustus itu.
Kemudian pada Razia Agustus juga ditangkap Liem Koen
Hian, seorang tokoh Tionghoa yang mendirikan Partai Tionghoa
Indonesia, yang sebetulnya memperjuangkan Tionghoa untuk
menjadi Indonesia. Setelah ditangkap, melalui anaknya ia
meminta bantuan Mr. Achmad Subardjo, Menteri Luar Negeri
ketika itu agar dapat dibebaskan. Achmad Subardjo yang di masa
revolusi Agustus banyak dibantu Liem Koen Hian, tapi ternyata
tidak memberikan pertolongan saat keluarganya datang minta
bantuan. Penangkapan yang dilakukan Pemerintah terhadap Liem
Koen Hian ini, membuat kekecewaan yang sangat berat. Tidak bisa
diterima Liem Koen Hian, Pemerintah yang dulu ia perjuangkan,
justru
menangkap
dirinya
dan
akhirnya
Liem
melepaskan
kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara China.
Sangat mengenaskan, karena seorang pejuang patriot yang
lama berjuang untuk kemerdekaan dan berjuang agar Tionghoa
228
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
menjadi Indonesia, akhirnya disakiti dengan kekecewaan berat
jadi menolak kewarganegaraan RI dan menjadi warganegara
RRC.
Cerita lain yang juga menarik, dalam penangkapan 2 bulan
atas diri pak Siauw ketika itu, beliau sakit mata dan dirawat di RS
Yang Sheng Yi, RS Husada sekarang. Dan sakit matanya itu harus
menjalani operasi mata yang dilakukan oleh dr. Sie Boen Lian. Jadi
Pak Siauw ketika memang betul-betul sakit, tidak seperti kebiasaan
setelah zaman Suharto sampai sekarang, orang kalau ditahan
dalam pemeriksaan jadi sakit. Dan setelah ditahan 2 bulan pak
Siauw dari rumah sakit tidak kembali ke penjara, karena diubah
statusnya menjadi tahanan rumah.
Nah, dalam status masih tahanan rumah, pak Siauw pada
satu hari menghadiri Sidang DPR untuk ikut mendengar laporan
Perdana Menteri Sukiman. Kebetulan di depan pintu DPR, pak
Siauw bertemu dengan Perdana Menteri Sukiman yang sambil
bersalaman menanyakan tentang operasi mata pak Siauw. Pak
Siauw memberikan penjelasan seperlunya dan melanjutkan bahwa
malam itu karena ingin mendengar laporan Perdana Menteri, ia
melanggar ketentuan hukum karena dirinya masih dalam status
tahan rumah. Karena Jaksa Agung juga berada di situ, Sukiman
kemudian juga menegaskan, bahwa kehadiran pak Siauw di Sidang
DPR malam itu atas ijinnya. Baru esok paginya, pak Siauw kedatangan
kurir yang menyampaikan surat keputusan Jaksa, perubahan status
tahanan rumah menjadi tahanan kota, berlaku surut dari kemarin.
Kedua
Kemudian masalah kedua, peristiwa Gerakan 30 September,
di mana pak Siauw namanya dicantumkan dalam 45 anggota
Dewan Revolusi. Sebagaimana kita ketahui, akhirnya pak Siauw
229
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
harus meringkuk dalam tahanan selama 12 tahun, sedang Baperki
termasuk organisasi yang dibubarkan dan Universitas Baperki yang
kemudian menjadi Universitas Res Publica juga sempat dirusak
dan dibakar. Pak Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan
sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa
sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan, kumpulan cerita yang
didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya
dari wawancara dengan para tahanan di situ, ternyata menjadi
bahan dasar dari tulisan John Roosa dalam bukunya “Dalih
Pembunuhan Massal”. Karena catatan-catatan dan cerita-cerita
dari percakapan para tahanan yang diwawancarai itu merupakan
bahan yang lengkap dan meyakinkan, mengungkap banyak hal,
termasuk Biro Khusus, siapa saja yang berperan disitu. Dan menurut
saya, buku John Roosa “Dalih Pembunuhan Massal” ini merupakan
buku versi terakhir masalah G30S yang paling sahih dan ternyata
buku ini dilandasi oleh catatan yang ditulis oleh pak Siauw Giok
Tjhan dari cerita-cerita hasil wawancara selama di tahanan.
Kemudian saya pada tanggal 7-9 Mei 2010 menghadiri
konperensi Internasional ISSCO (International Society for the Study
of Chinese Overseas) ketujuh di Singapura.
Ada pembicara
yang membahas masalah Tionghoa Islam di Indonesia, dari Wali
Songo sampai Antonio Safei dengan “ekonomi Syariah”nya, juga
ada yang menulis masalah Anton Medan dengan “ekonomi
spanduk”nya. Ada juga yang menulis masalah di Rembang,
bagaimana Klenteng berubah menjadi Vihara di masa Orba, tapi
kemudian berubah lagi menjadi Klenteng pasca Orba. Dibahas
juga di situ bagaimana hubungan Tionghoa dengan gereja
Kristen dan Pantekosta yang tidak terlepas dari hubungan bisnis.
Disinggung juga kegiatan-kegiatan ritual Tionghoa seperti di
Singkawang, misalnya. Tapi sayang tidak ada yang membahas
dan menulis masalah Tionghoa yang terkait sehubungan dengan
230
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
Baperki seperti dalam buku Siauw Giok Tjhan ini.
Ketiga
Dalam pertemuan di rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur
Jakarta, saya diberitahu Pak Ramadhan KH bahwa ia telah menulis
buku atau liflet “Lahirnya Universitas Trisakti”. Buku itu memang
dipesan oleh Yayasan Trisakti yang diketuai oleh K. Sindhunatha.
Namun Pak Ramadhan dikenal piawai dalam menulis. Ketika menulis
Otobiografi Suharto pun ia bisa menggali dan mengungkapkan
fakta yang tidak terduga. Misalnya pengakuan Suharto tentang
kasus Petrus (pembunuhan misterius) tahun 1980-an.
Pak Ramadhan KH mengirim fotokopi tulisan itu kepada
saya dengan catatan pada halaman depan “lihat halaman 30+31
dan seterusnya”. Apa yang ada pada halaman tersebut ?
Terdapat catatan kaki no 49 yang berbunyi “Surat Dr Go
Gien Tjwan kepada Ramadhan KH. 10 November 2000 “Siauw Giok
Tjhan minta saya (Go Gien Tjwan) datang untuk merundingkan
naskah surat yang sudah ia tulis sendiri yang ditujukan pada
Kementerian
(Departemen?)
Pendidikan
dan
Pengetahuan
(dan) Kebudayaan (Departemen PTIP, Ramadhan KH) dan yang
Sekretaris Jenderalnya adalah Jenderal Dr Sumantri Hardjoprakoso,
kakak atau adik (?) Ir Pudjono. Inti surat itu yang semestinya (?)
masih ada dalam arsip Kementerian (Departemen ?) ialah bahwa
“Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki selama tidak atau
belum dapat mengurus Ureca menyerahkan kepengurusannya
pada pemerintah”. Saya (Go Gien Tjwan)…dengan Siauw Giok
Tjhan harus menandatangani surat penyerahan manajemen
(bukan hibah) pada pemerintah”.
231
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
Keempat
Pada Kongres Pemuda kedua yang melahirkan Sumpah
Pemuda tahun 1928 terdapat beberapa orang pemuda Tionghoa,
bahkan gedung tempat berlangsungnya peristiwa monumental itu
juga milik seorang Tionghoa. Ketika Sukarno-Hatta dibawa pemuda
ke Rengas Dengklok 16 Agustus 1945, kedua tokoh itu beristirahat
pada rumah seorang Tionghoa. Dalam sidang Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh
Tionghoa terlibat intensif dalam perdebatan tentang konstitusi dan
bentuk negara.
Dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan
tahun 1945-1949 orang-orang Tionghoa turut berjuang. Salah
satu di antaranya Mayor John Lie yang baru diangkat pahlawan
nasional tahun 2009 setelah 50 tahun berlangsung pemberian
gelar tersebut. Itu pun belum dimasukkan dalam pelajaran
sejarah di sekolah. Dalam rangka mengisi kemerdekaan etnis
Tionghoa berperan dalam berbagai bidang termasuk olahraga.
Dari kalangan mereka ini lahir juara badminton All England tujuh
kali berturut-turut. Kontingen Indonesia hanya akan pulang
tanpa membawa medali emas di Olimpiade bila tidak ada atlet
bulutangkis Tionghoa.
Di bawah pemerintahan Suharto, tiga pilar budaya Tionghoa
yakni pers, organisasi dan sekolah dirubuhkan. Dalam kurikulum
sejarah tidak disinggung sama sekali kebudayaan Tiionghoa atau
sumbangan etnis Tionghoa bagi peradaban Indonesia. Setelah era
reformasi memang terdapat perubahan namun sangat terbatas.
Dalam buku teks Indonesia dalam Arus Sejarah yang terdiri 8 jilid
dari zaman purbakala sampai era reformasi, hanya ada sebuah
tulisan tentang etnis Tionghoa yaitu artikel Leo Suryadinata “Peran
232
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kelompok
Etnik Tionghoa dan
Asvi Warman Adam
Kebijakan Negara” setebal 26
halaman. Dibandingkan dengan keseluruhan buku yang tebalnya
5000 halaman maka ulasan tentang budaya dan etnis Tionghoa
hanya 0,5 persen.
Menurut Prof Denys Lombard ada empat mega budaya
yang mempengaruhi kebudayaan Nusantara yakni budaya yang
berasal dari India, Tionghoa, Arab dan Eropa. Lombard memakai
istilah nebula. Semua nebula itu diajarkan dalam sejarah resmi
Indonesia kecuali nebula Tionghoa.
Jasa kebudayaan Tionghoa bagi perkembangan iptek
(ilmu pengetahuan dan teknologi) di Nusantara sangat signifikan.
Kehidupan kita sehari-hari bisa berjalan dan berkembang
seperti sekarang ini berkat ilmu dan teknologi yang berasal dari
kebudayaan Tionghoa, sebagaimana diuraikan dalam berbagai
tulisan Denys Lombard dan Claudine Salmon. Orang Belanda yang
berada di pulau Jawa pada mulanya tidak begitu memperhatikan
pertanian. Orang Tionghoa-lah yang telah mengembangkan
budidaya padi. Setiap tahun banyak jung (kapal besar dari kayu)
datang ke sini untuk berdagang sambil membawa sekitar 12001300 orang China untuk dipekerjakan terutama di tanah pertanian.
Pada abad ke-17 orang-orang Tionghoa di Batavia
mengembangkan
budi
daya
tebu
untuk
perdagangan.
Penggilingan tebu dilakukan secara sederhana dengan menaruh
dua tabung kayu yang diputar seekor sapi dengan perantaraan
sebuah sistem roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter.
Kedua tabung itu tegak lurus, tebu dimasukkan ke dalamnya dan
diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya.
Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, sejak tahun 1815
industri gula ini dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Budi daya padi bukanlah monopoli etnis Tionghoa, tetapi
mereka berjasa dalam menemukan teknik baru seperti alat
233
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
penyosoh padi pada tahun 1750 yang dengan dua-tiga ekor
sapi bisa mengolah sampai 500 ton per hari menggantikan sistem
tumbuk tradisional dengan lesung berkapasitas 100 ton per hari.
Penyebaran alat tersebut
merangsang produksi beras dan
mengatasi masalah persediaan pangan di Batavia saat itu.
Orang-orang Tionghoa mengembangkan penyulingan
arak sejak tahun 1611. Orang Tionghoa pula yang mendatangkan
ke pulau Jawa tanaman seperti kapas dan terung serta
membudidayakan bermacam sayur dan buah-buahan. Tanaman
yang mengandung protein yang diperkenalkan etnis Tionghoa
adalah kacang hijau yang semua produk olahannya diberi nama
Tionghoa yaitu tauge (kecambah), tahu dan taoco. Dari sejenis
kacang-kacangan dibuat kecap.
Orang Tionghoa juga pionir dalam bidang metalurgi dan
pertambangan. Etnis Tionghoa bekerja di tambang timah di
Bangka dan emas di Kalimantan Barat (paruh pertama abad ke19). Teknik yang digunakan penambang Tionghoa ini sangat efisien
pada zamannya. Barang lain yang juga dibuat orang Tionghopa
adalah jarum jahit (bahkan busana yang dijahit pun berasal dari
Tiongkok) dan perkakas dapur yakni kuali. Etnis Tionghoa juga
berperan sebagai pengecor meriam di Aceh dan Patani.
Etnis Tionghoa juga menyumbang teknologi kelautan.
Merekalah yang membuat kapal yang digunakan oleh Pati Unus,
pangeran dari Jepara, untuk menyerang Malaka. Etnis Tionghoa
juga berperan aktif dalam pembudidayaan tiram, kerang dan ikan
di tambak-tambak. Teknik pembuatan garam juga dikembangkan
oleh orang Tionghoa.
Etnis Tionghoa memang minoritas dalam hal jumlah
penduduk, tetapi memegang peran “mayoritas” dalam sektor
perekonomian nasional. Mereka ditampilkan minimal dalam
sejarah Indonesia. Sumbangan budaya Tionghoa signifikan dalam
234
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
peradaban Nusantara, sayang ini tidak ditulis dan diajarkan di
sekolah.
Kelima
Salah satu perjuangan Siauw Giok Tjhan yang penting
adalah mewujudkan “nasion” Indonesia yang terdiri dari berbagai
suku bangsa termasuk suku Tionghoa. Menurut Siauw, sejak tahun
50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia,
harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa
adalah bagian dari “nasion” Indonesia. Berdasarkan pengertian
inilah, Siauw mengemukakan konsep integrasi. Setiap suku,
termasuk suku Tionghoa harus mengintegrasikan diri mereka ke
dalam tubuh ‘nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan
ekonomi, sehingga aspirasi “nasional” Indonesia itu menjadi aspirasi
setiap suku. Berdasarkan prinsip ini Siauw Giok Tjhan berpendapat
bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan
kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya
dalam membangun Indonesia. Karena itu Siauw menentang konsep
asimilasi yang dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa). Menurut pandangan ini, menghilangkan
keTionghoaannya (ganti nama dan menanggalkan kebudayaan
serta kawin campuran) dapat melenyapkan diskriminasi rasial.
Walaupun Siauw juga tidak menolak proses asimilasi yang berjalan
secara wajar dan sukarela.
Konsep integrasi ini didukung Presiden Sukarno. Pada
pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istora Bung Karno
14 Maret 1963, Bung Karno mengecam imperialisme yang “tidak
boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisahpisahkan mayoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang
benci kepada mayoritas dan dibuat mayoritas ini benci kepada
235
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
minoritas.” Sukarno mengatakan “ Buat apa saya mesti menuntut,
yang orang Peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota
negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau
mengubah namanya Indonesia, ini sudah bagus kok…Tjam Nio
kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini.” Bahkan Bung Karno
juga menganjurkan rakyat berjuang agar perkataan “asli” dalam
konstitusi “Presiden Republik Indonesia harus orang Indonesia asli”
dicoret sama sekali. Keinginan Bung Karno itu kini telah terwujud.
Epilog (Mengakhiri diskriminasi Tionghoa)
Sejak
era
reformasi
telah
dilakukan
berbagaikoreksi
terhadap kebijakan diskriminatif Orde Baru terhadap keturunan
Tionghoa.
Hari raya Imlek dijadikan libur fakultatif pada era
Presiden Abdurrachman Wahid dan menjadi libur nasional pada
masa kepresidenan Megawati. Konghucu telah kembali diakui
sebagai agama resmi negara walaupun belum dibentuk Direktorat
Jenderal di Kementerian Agama seperti lima agama lainnya. Tidak
ada lagi istilah “asli” pada warganegara Indonesia.
Walaupun telah dilakukan perbaikan yang signifikan,
masih terdapat aturan yang mengganjal misalnya mengenai
penggunaan istilah yang berkonotasi negatif.
Seminar ke-2
Angkatan Darat di Bandung pada tanggal 25 sampai dengan 31
Agustus 1966 mengusulkan penggantian sebutan “Republik Rakjat
Tiongkok” dan warga-negaranya, menjadi “Republik Rakjat Tjina”
dan “warga negara Tjina”, dengan alasan “Untuk mengembalikan
sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat
di mana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri,
dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara
dan Warga-Negara jang bersangkutan, tetapi terutama untuk
menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja
236
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan
di dalam Negara kita”. Hal tersebut di atas kemudian dituangkan
ke dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.
Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang “Masalah Cina”.
Peraturan itu bersifat menghasut. Kita tahu sepanjang
Orde Baru bukan hanya penggantian nama etnis tetapi juga
penggantian nama perorangan keturunan Tionghoa dilakukan
dengan
setengah
memaksa.
Segala
buku/dokumen
yang
beraksara Tionghoa disensor oleh pihak imigrasi. Eddie Lembong
dari Yayasan Nabil meminta agar Murdaya Po yang menjadi
penyelenggara Imlek yang diadakan Forum Bersama IndonesiaTionghoa Februari 2014 menyampaikan permintaan agar surat
edaran tahun 1966 itu dicabut dalam pidato sambutan yang
dihadiri oleh Susilo Bambang Yudoyono. Hal itu ternyata tidak
disinggung dalam acara imlek bersama tersebut namun Murdaya
Poo berjanji akan menyampaikan secara langsung kepada
Presiden atau Menteri Sekretaris Negara.
Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara resmi
mencabut surat Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/
Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 dengan Surat Keputusan Presiden
no 12, tanggal 12 Maret 2014. Sebuah masalah besar yang tersisa
dari warisan Orde Baru akhirnya dapat diselesaikan dengan baik.
Ini menjadi angpao besar pada Perayaan Cap Go Meh 2014.
Seperti diketahui adanya surat edaran tersebut telah
menekan perasaan masyarakat Tionghoa dan menimbulkan
ketegangan dalam hubungan dengan pihak Negara Tiongkok,
yang sesungguhnya tidak membawa manfaat pada siapa pun
juga. Keputusan Presiden itu mempertimbangkan bahwa
Pertama, penggantian
penggunaan istilah “Tionghoa/
Tiongkok” dengan istilah “Tjina” telah menimbulkan
dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang
237
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Asvi Warman Adam
dialami warga bangsa yang berasal dari keturunan
Tionghoa.
Kedua, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap
seseorang, kelompok, komunitas dan atas ras tertentu
pada dasarnya melanggar nilai, prinsip, perlindungan hak
asasi manusia karena itu bertentangan dengan Undang
Undang Dasar RI tahun 1945, Undang-Undang tentang
HAM
dan
Undang-Undang
tentang
Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis.
Ketiga, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan
semakin erat hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka
dipandang perlu untuk memulihkan sebutan yang tepat
bagi Negara People’s Republic of China dengan sebutan
Negara Republik Rakyat Tiongkok.
Presiden memutuskan:
Pertama, mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat
Edaran
Presidium
Kabinet
Ampera
no
SE-06/Pres-
Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967.
Kedua, dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka
dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan,
penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/
China/Cina dirubah menjadi orang dan atau komunitas
Tionghoa dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat
China dirubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.
Terlepas dari waktu dikeluarkannya Keputusan Presiden
menjelang Pemilihan Umum sehingga bisa ditafsirkan untuk
mmperoleh dukungan kelompok tertentu, kebijakan itu sangat
positif dalam pembentukan nation building yang pluralis.
238
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
Siauw Giok Tjhan:
Menjadikan Warga Keturunan Tionghoa
Sebagai Indonesia Sejati
Stanley Adi Prasetyo1
Sebagian besar anak muda sekarang, termasuk anak muda
keturunan Tionghoa, tak lagi mengenal namanya. Padahal ia orang
sangat populer dan terkenal di jaman pemerintahan Presiden Soe
karno. Nama tokoh yang dilupakan dan sengaja dihapus dalam
catatan sejarah resmi oleh penguasa ini tak lain adalah Siaw Giok Tjhan.
Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya,
Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw Gwan Swie (seorang
Tionghoa peranakan) dan Kwan Tjian Nio (anak dari Tionghoa
Totok). Namun Siauw Gik Tjhan tumbuh dalam keluarga yang
berintegrasi dengan etnis lainnya di kawasan Kapasan, Surabaya.
Kaadaan itu membuat Siauw Giok Tjhan sehari-hari berkomunikasi
dalam 3 bahasa, yaitu Tionghoa, Melayu dan Jawa.
Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah
Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan sang
ayah, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia
bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif
yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut
terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri
perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang
kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih seringkali membuat
kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat
perkelahian dengan mereka.
1 Stanley adalah mantan komisioner Komnasham yang banyak berperan
dalam pembongkaran masalah G30S dan pelanggaran HAM yang berkaitan
dengan peristiwa G30S. Sebagai wartawan ia pun banyak menulis tentang berbagai topik, termasuk Tionghoa.
239
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
Saat itu, ejekan “cina loleng” sering sekali dilayangkan
oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang
Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari
dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi
melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek
dirinya. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan
keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi.
Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia
muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk
mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya,
Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu.
Berbekal modal seadanya peninggalan dari orang tua,
ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan di
Surabaya. Kegigihan Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi
kesulitan hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini.
Ketangguhan itu pula yang membuat Siauw Giok Tjhan tak
perang mencoba lari dari kenyataan sosial kala itu di mana rakyat
banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Ia justru mmilih
bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao
Tsing Nien Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu
rakyat yang didera kesulitan ekonomi.
Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga
bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di
partai ini sekaligus menjadi penanda mulai masuknya Siauw Giok
Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI merupakan
partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang
lahir dan menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki
kesadaran bahwasanya tanah air mereka adalah Indonesia.
Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
240
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan
Siauw Giok Tjhan menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia
(Gerindo), sebuah organisasi berhaluan nasionalis kiri yang dibentuk
Amir Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo inilah, spirit
nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara.
Tak hanya dalam masalah politik, semangat nasionalisme
yang ada juga diwujudkannya dalam bidang olahraga. Hal
itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan
terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische
Voetbaldbond (NIVB) ketika NIVB akan menggelar pertandingan
di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawannya
berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di pasar
tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia
dengan mengikuti proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia
(PTI) yang dipelopori Liem Koen Hian pada 1932. Saat berusia
18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. PTI
berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa
di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di
kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk
menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya,
menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa
pada umumnya lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah
hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang.
Partai Tionghoa Indonesia mendukung berdirinya Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 18 Mei 1937, yang berdasarkan
keputusan kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat
(Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus
Gerindo. Saat itu, Gerindo di bawah pimpinan A.K. Gani, Amir
Syarifudin, Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha
241
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang ditangkap Belanda
dan dibuang ke Digul. Jadi, Gerindo menjalankan garis demokrasi
yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak
mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu
untuk menerima etnis Tionghoa.
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah,
Siauw bersinggungan dengan Marxisme. Sebuah ideologi yang
saat itu tengah berkembang subur di tanah air dan dikobarkan
untuk melawan kolonialisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua
kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Perkenalannya dengan
Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw kian
‘condong’ ke kiri. Ia juga berkawan baik dengan beberapa tokoh
gerakan kemerdekaan di antaranya adalah Dr. Sutomo dan Tjipto
Mangunkusumo.
Siauw Giok Tjhan juga aktif dalam bidang jurnalistik. Ia
mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian
Matahari, sebuah koran yang beraliran nasionalis. Menjelang
masuknya tentara Jepang ke nusantara, Siauw pun menjadi
pemimpin redaksi koran tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, harian Matahari mengambil posisi anti-fasisme Jepang sehingga
membuat Siauw menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar dari kejaran Jepang itu
dengan menjadi pedagang toko eceran di Malang. Di kota
tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota
organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta
mendirikan organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah,
Siauw menetap hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dikumandangkan.
Pasca proklamasi kemerdekaan Belanda ingin kembali
berkuasa di Indonesia dengan cara membonceng Sekutu
dan Inggris selaku pemenang Perang Dunia ke II. Pada saat ini
242
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
Siauw Giok Tjhan pun kembali berpartisipasi dalam perjuangan
mempertahankan
kemerdekaan
dengan
mendirikan
dua
organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru.
Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan
tentara Inggris di Surabaya pada 10 November 1945.
Perjuangan Siauw juga berlanjut dengan aktif di Partai
Sosialis yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti
yang disinggung sebelumnya, Amir Sjarifudin ini merupakan kawan
Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo pada masa
penjajahan Belanda dahulu.
Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung
Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw yang menganggap
seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian
tak
terpisahkan
dari
revolusi
nasional
telah
membuat
ia
memperjuangkan disahkannya UU Kewarganegaraan RI di tahun
1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga keturunan Asia dan
Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan turut
serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang
kemerdekaan ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri
Negara urusan Minoritas ketika Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin
pada tahun 1947.
Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak
hanya ia tunjukkaan melalui perjuangan politik atau organisasi,
melainkan juga hal-hal yang kecil seperti hidup secara sederhana.
Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan anaknya
yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan
dengan agresi militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw
Giok Bie, hendak menggunakan mobil organisasi Palang Biru untuk
mengantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw dengan tegas
melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab 243
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
mobil itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang
yang terluka karena bertempur melawan agresi Belanda.
Dalam perkembangan politik yang ada, Partai Sosialis
tempat Siauw mengalami perpecahan. Terjadi perbedaan
pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu Sjahrir dengan
kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri
dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948.
Sedangkan kubu Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw
memilih bergabung dalam kubu Amir.
Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan
Amir makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama
ketika pertentangan politik menghangat pasca disepakatinya
perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis dan
PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap
kabinet pimpinan Bung Hatta yang didukung Masyumi. FDR sangat
menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin ‘membersihkan’
angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat.
Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya
“peristiwa Madiun”, ketika gerakan FDR dianggap sebagai
pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR pun ditumpas
oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution.
Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap
TNI. Namun, tak lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang
kedua di akhir 1948. Siauw pun lolos dari penjara Republik, namun
ia kembali ditangkap Belanda.
Figur Yang Sederhana
Meski Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh, tapi gaya
hidupnya sangat sederhana. Dalam kesejariannya ia selalu tampil
244
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering
terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu
sandal saja. Gaya tampilan itu pula yang digunakan saat Siauw
Giok Tjhan dilantik menjadi Menteri Negara Urusan Minoritas oleh
Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil
menteri, hanya bisa naik andong untuk ke istana. Tapi malang,
ternyata andong dilarang memasuki halaman istana, terpaksa
ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton
Yogyakarta.
Pada saat itu Siauw Giok Tjhan juga terbentur dengan
masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah
yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri. Pada saat itu,
menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel
Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara,
Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan
Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas sebuah meja tulis.
Pembawaan dan tampilan Siauw Giok Tjhan yang sangat
bersahaja banyak dikagumi orang, baik
oleh kawan-kawan
maupun lawan-lawan politiknya.
Pada 1954 Siauw Giok Tjhan terpilih menjadi ketua umum
Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI),
sebuah organisasi massa yang didirikan pada pertemuan di
Gedung Sin Ming Hui pada pada 13 Maret 1954 di Jakarta.
Pertemuan itu dihadiri oleh 44 orang tokoh Tionghoa, kebanyakan
dari me reka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa,
seperti Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa (PERWITT)
yang berpusat di Kediri, Persatuan Warga Indonesia Tionghoa
(PERWANIT) yang berdiri di Surabaya dan Perserikatan Tionghoa
Peranakan (PERTIP) yang berpusat di Makassar. Semua peserta
yang
hadir
adalah
peranakan
Tionghoa
yang
umumnya
berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari
245
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
Jawa, tapi ada pula yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang,
Palembang, dan Banjarmasin.
Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat
itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen
Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian. Tokohtokoh yang dianggap berhaluan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go
Gien Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral,
seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie,
Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian).
Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai Ketua Umum, sementara
wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek
Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta dibentuk
pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo yang
merupakan seorang pribumi Indonesia.
Pada 1955 Baperki ikut serta dalam untuk memilih anggota
DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember
1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk
DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan
Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki
berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw
Giok Tjhan sebagai wakilnya.
Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan,
Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei
Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah
wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo.
Pada 1958 Yayasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki
mencoba mendirikan sebuah perguruan tinggi dengan membuka
Akademi Fisika dan Matematika yang bertujuan untuk mendidik
para guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, menyusul
dibuka Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Teknik. Pada 1962
diresmikan pendirian perguruan tinggi Universitas Res Publica
246
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
(Ureca) dengan membuka Fakultas Kedokteran dan Fakultas
Sastra. Motto Ureca adalah “Pendidikan bukan barang dagangan.
Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup
rakyat banyak!” Rektor Universitas Baperki yang pertama adalah
Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi
menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer.
Lumban Tobing kemudian digantikan oleh Utami Suryadarma, istri
Komodor Suryadarma. Dengan cepat Ureca membuka cabang di
berbagai kota di Jawa dan Sumatra.
Setelah Peristiwa G30S, Universitas Res Publica diserbu dan
dirusak oleh para demonstran dan kemudian dinyatakan ditutup,
dan gedungnya diambil-alih oleh pemerintah dalam hal ini oleh
tentara. Ureca di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan
kepengurusan yang baru yang disokong pemerintah Orde Baru
dengan nama Universitas Trisakti. Puluhan sekolah dan universitas
yang didirikan Siauw disulap jadi kantor militer dan gedung milik
“swasta”.
Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena
dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah
pengurus dan aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat
dijebloskan ke penjara. Sebagian dari mereka setelah dipenjarakan
selama bertahun-tahun akhirnya kemudian dilepaskan tanpa
pernah diadili.
Peristiwa G30S memang buah tsunami politik bagi Indonesia.
La ini juga dialami oleh Baperki. Ratusan pendukung Baperki diculik
dan “dihilangkan” oleh sejumlah barisan pemuda yang didukung
tentara.
Siauw Giok Tjhan selama 10 tahun, sejak November 1965
hidup di penjara. Pada September 1975, statusnya diubah jadi
tahanan rumah. Meskipun demikian, siksaan, tekanan psikologis
yang dialaminya selama dalam masa tahanan membuat
247
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
kesehatannya, terutama matanya, merosot drastis. Atas bantuan
sahabatnya, Adam Malik, pada September 1978 Siauw diijinkan
berobat ke Belanda. Ia meninggal pada 20 November 1981,
beberapa menit sebelum menyampaikan pidatonya di Universitas
Leiden.
Warisan Siauw
Siauw Giok Tjhan memang telah meninggal dunia 33 tahun
lalu. Pemerintah Idonesia tak pernah menyebut-nyebut namanya,
apalagi mencatat peran peting yang pernah dilakukan almarhum
dalam ikut membentuk nations bernama Indonesia. Namun
demikian peran dan keteladanan serta berbagai nilai yang
ditinggalkannya kerap menjadi bahan diskusi di berbagai forum
diskusi. Beberapa media nasional kembali mencoba mengangkat
peran dan perjuangan yang pernah dilakukannya. Ide-idenya
masih memiliki relevansi dengan kekinian, terutama dalam
kehidupan sosial-politik dan kebangsaan yang dihadapi Indonesia
saat ini.
Ada tiga pikiran penting Siauw Giok Tjhan yang masih
memiliki relevansi dengan kondisi saat ini yang perlu diulas lebih
lanjut. Antara lain tentang pluralisme, peran organisasi warga,
dan pendidikan sebagai sarana untuk melawan rasialisme dan
diskriminasi. Selain itu tentu saja ada pikiran penting Siauw Giok
Tjhan yang lain, misalnya tentang perekonomian Indonesia yang
harus berbentuk pada sosialisme Indonesia. Sebuah konsep
ekonomi yang lebih bersandar pada penguatan sektor ekonomi
domestik.
Dalam
hal
pluralisme,
Siauw
berpendapat
bahwa
warga keturunan Tionghoa harus bisa bersama-sama hidup
berdampingan
dengan
etnis
lainnya
248
di
Indonesia
tanpa
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
menegasikan kebudayaan masing-masing etnis sesuai motto
Bhineka Tunggal Ika. Konsep ini dikenal sebagai konsep integrasi.
Pemikiran ini dilontarkan Siauw Giok Tjhan dalam rangka mengakhiri
semua bentuk diskriminasi dan rasialisme yang diarahkan kepada
warga keturunan Tionghoa. Namun konsep ini dilawan dengan
konsep
“asimilasi”
yang
berupaya
menghilangkan
seluruh
indentitas kultural dari salah satu etnis.
Penting
untuk
melihat
kembali
seluruh
perdebatan
mengenai dua konsepsi ini. Pemikiran Siauw Giok Tjhan tentang
konsep integrasi diilhami dari lontaran Kwee Hing Tjiat di harian
Matahari pada 1933 yang menyatakan bahwa Arga keturunan
Tionghoa di Indoneia “lahir di Indonesia, besar di Indonesia menjadi
putra-putri Indonesia”. Hal ini tampaknya menjadi keyakinan hidup
Siauw Giok Tjhan yang berupaya berjuang menjadi untuk putra
ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra
Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan
kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama.
Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia,
Siauw Giok Tjhan menganjurkan agar orang Tionghoa di Indonesia
bisa menjadi warganegara dan menjadi bagian dari masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa
menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing-masing
komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep ini
sangat identik dengan hal yang kini lebih populer disebut sebagai
“pluralisme” atau “multikulturalisme”.
Perjuangan panjang menghapus diskriminasi yang pernah
dilakukan Siauw Giok Tjhan sempat terganjal di jaman pemerintahan
Orde Baru yang justru melakukan diskriminasi secara masif melalui
pemberlakuan berbagai peraturan perundang-undangan. Namun
pada akhirnya terwujud setelah pemerintah Republik Indonesia
pada 2008 memberlakukan Undang-Undang No 40 Tahun 2008
249
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik. Hal ini diusul
dengan diberlakukannya Undang-Undang No 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan yang menghapuskan pembedaan
antara pribumi dan keturunan berdasarkan asal-usul dan ras.
Hal penting yang banyak digagas adalah aktivitas setiap
orang untuk meningkatkan organisasi kewargaan. Sesuatu yang
kini banyak dilupakan orang. Membangun organisasi warga
adalah penting untuk menciptakan kerja sama di antara warga
dalam sebuah komunitas dalam rangka mewujudkan cita-cita
bersama dan memecahkan masalah bersama. Siauw Giok Tjhan
sejak masa mudanya banyak terlibat dalam organisasi seperti ini,
hingga ia dengan mudah mengajak warga untuk memboikot
kegiatan Belanda.
Organisasi kewargaan umumnya efektif dalam mengatasi
masalah sesama warga yang bersifat lintas kepentingan dan lintas
identitas. Sebuah hal yang langka di jaman sekarang. Di jaman
sekarang orang lebih menghidupkan sebuah organisasi berbasis
marga, berbasis suku, atau berbasis agama dan asal usul. Begitu
melebur dan merakyatnya Siauw Giok Tjhan dalam kehidupannya
sebagai warga ini membuat Presiden Sukarno lebih memilih
menyebut Siauw Giok Tjhan dengan sebut “Cak Siauw”. Sebutan ini
menggambarkan bahwa Siauw lebih cocok mewakili gambaran
“arek Suroboyo”, tempat asal kelahiran Siauw Giok Tjhan.
Hal mencolok lain yang bisa diteladani dari Siauw Giok
Tjhan adalah upayanya menciptakan dan menggunakan sarana
pendidikan
untuk
menghapus
praktek-praktek
diskriminatif.
Pendirian Ureca merupakan salah satu respons positif Siauw Giok
Tjhan terhadap praktek diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan
yang ada saat itu. Nama baik Ureca terutama cabang-cabangnya
di berbagai kota berhasil menarik minat mahasiswa baru dari
berbagai golongan dan suku. Tentunya ini juga menciptakan
250
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Stanley Adi Prasetyo
sebuah nations-state mini di mana orang bisa saling berinteraksi
tanpa dibatasi sekat-sekat identitas, asal-usul maupun agama.
Sekolah-sekolah
dan
universitas
Baperki
menampung
puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa ditampung untuk
mengejar ilmu sebagai bekal hidup mereka. Di Universitas ini
pengarang terkenal Pramoedya Ananta Toer pernah mengajar dan
menjadi dosen di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer bukan
hanya mengajar, tapi ia mengembangkan metode pengajaran
yang unik dengan mengajak para mahasiswa untuk menyusun
riset bersama. Dalam perkuliahan ini, Pramoedya Ananta Toer
berhasil menelusuri dan menyusun sejarah awal Nusatara sebelum
kedatangan Portugis, Inggris dan Belanda.
Nama dan peran Siauw Giok Tjhan boleh saja dihapus dari
catatan sejarah resmi Indonesia. Namun namanya sesungguhnya
tak pernah pudar. Tahun ini adalah peringatan 100 tahun kelahiran
Siauw Giok Tjhan. Jejak dan langkah yang ditinggalkaannya
masih menjadi sumber inspirasi dan teladan banyak orang
keturunan Tionghoa yang cinta Indonesia. Paling tidak banyak
orang mengakui bahwa Siauw Giok Tjhan adalah tokoh keturunan
Tionghoa yang tak pernah berhenti untuk berjuang dan menjadikan
warga keturunan Tionghoa menjadi warga Indonesia sejati.***
251
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Puto Oka Sukanta
Si Rambut Putih Yang Selalu Ceria
(Secuil kenangan)
Putu Oka Sukanta1
Saya adalah orang baru di Jakarta pada tahun 1965 dan
tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu dengan tokohtokoh pergerakan. Di dalam penjara Salembalah saya baru melihat
dan mengenal mereka, salah satunya adalah Om Siauw. Satu-sa
tunya tahanan yang saya panggil dengan sebutan Om, saya tidak
tahu mengapa. Tahanan lain ada yang saya panggil pak, seperti
pak Sumarsono (yang jendral itu), Bung Ayoeb (sebutan lainnya
si Raja Jin, Ketua Umum Lekra ). Semua mereka itu jauh lebih tua
dari saya, dan punya posisi penting di dalam percaturan politik
sebelum Peristiwa Gerakan 30 September.
Saya dimasukkan ke penjara Salemba bulan Januari 1967,
sesudah sejak Oktober 1966 ditangkap dan disiksa di Kodim Air
Mancur Budi Kemuliaan Jakarta Pusat. Di Salemba hanya dua
malam, dan langsung dipindah ke Tangerang sampai April 1967,
dan kemudian dikembalikan ke Salemba. Di Salemba inilah saya
bertemu, bersalaman dengan Om Siauw pertamakali sewaktu
mengikuti Kebaktian Agama Budha di suatu hari minggu. Penguasa
penjara mencampur pengikut agama Budha, Hindu, Konghucu,
Kepercayaan / Kejawen, menjadi satu kelompok yang mendapat
jadwal Kebaktian pada setiap hari Minggu. Pada awalnya saya
tidak punya kesempatan untuk berkenalan lebih mendalam
dengan Om Siauw sebab saya ditempatkan di Blok Rakyat Jelata,
Blok Miskin, dan Om Siauw berada di Blok Intelektual atau kami
sebut juga sebagai Blok Kaya.
1 Putu Oka adalah seorang sastrawan yang pernah lama meringkuk dalam
tahanan di zaman pemerintahan Suharto. Ia banyak menulis dan berbicara
tentang kejahatan negara yang berkaitan dengan peristiwa G30S.
252
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Putu Oka Sukanta
Saya berpendapat bahwa pengelompokkan tahanan
menjadi dua kelompok besar, yang di tempatkan di blok yang
berbeda, adalah strategi penguasa untuk menimbulkan konflik
antar tahanan, yang pemimpin, kaya, intelek, berkonflik dengan
yang masa, miskin, orang awam biasa, berpendidikan rendah.
Tetapi strategi dan taktik penguasa ini tidak mempan, hubungan
antar tahanan yang datang dari berbagai latar belakang tetap
disemangati
oleh rasa solidaritas. Tahanan yang di Blok Kaya,
dengan berbagai cara mengirimkan makanan, pakaian atau apa
saja kepada teman-teman sesamanya di blok lain. Om Siauw dan
anggota riungannya ada di dalam kehidupan seperti itu.
Sebutan itu menyiratkan bahwa tahanan yang disekap di
Blok Kaya ini mendapat kiriman teratur dari keluarganya, hanya
beberapa orang saja yang tidak mendapat kiriman. Di Blok Rakyat,
Jelata, berjubel tahanan kelas bawah yang keluarganya morat
marit dan tidak mampu mengirim makanan, atau keluarganya
tidak ada di Jakarta.
Penjara Salemba, juga pernah disebut penjara Rawa
Kerbau pada jaman Belanda, atau penjara Gang Tengah, yang
bentuk bangunannya seperti tapal kuda. Di tengah-tengahnya
terhampar lapangan yang bisa digunakan untuk main bola
tangan, dan juga bola voley. Selain itu digunakan sebagai tempat
upacara Apel Bendera, Sholat
Jumatan dan
pemutaran film
layar tancap. Di tepi lapangan ini berderet blok penahanan dari
Bloak A sampai Blok R. Di Blok R inilah kemudian saya bertemu
dengan Om Siauw di akhir tahun 1969. Sebelumnya saya sekamar
dengan Dr. Lie Tjwan Sien di Blok O, dokter yang memperkenalkan
saya dengan sistim totok yang kemudian dilengkapkan menjadi
system akupunktur. Tentang kesediaan Dr. Lie mengajarkan ilmu
totok/akupunktur ada ceritanya, yang saya baru mendengarnya
sesudah bebas.
253
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Puto Oka Sukanta
Pada mulanya Dr. Lie tidak bersedia mengajarkan saya,
teman satu selnya, ketika saran itu disampaikan oleh Pak Phoa
(Phoa Toan Hian SH, sahabat dekat dan panutan saya untuk
beberapa sifat demokratisnya). Pak Phoa merasa tidak mempan
mendorong Dr. Lie agar mengajarkan ilmu totok kepada saya,
entah apa alasannya, lalu Pak Phoa menyampaikan idenya itu
kepada Om Siauw. Kata yang memberi berita kepada saya, suatu
saat Om Siauw meminta Dr. Lie supaya mengajarkan ilmu totok itu
kepada saya. Maka mulailah kami belajar tanpa buku dan pinsil,
ilmu mengalir dari kepala Dr. Lie ke kepala saya, yang sampai saat
sekarang menjadi ilmu andalan saya untuk hidup, setelah lulus
ujian pembakuan Akupunktur oleh Ikatan Naturopathi Indonesia
bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Jakarta di tahun 1978.
Sesudah ijin praktik saya keluar, tahun 1978, maka jadilah saya
seorang praktisi akupunktur. Saya tidak sempat mengucapkan
terimakasih kepada Om Siauw atas gagasannya itu, karena berita
ini saya dengar sesudah Om Siauw ke Belanda. Sewaktu saya ke
Belanda tahun 1990, beliau sudah meninggal.
Pertemuan saya dengan Om Siauw di blok R juga tidak
lama.
Saya sempat ikut makan di riungan Om Siauw untuk
beberapa saat. Jadi saya sempat dihidupi oleh makanan sari nutrisi
yang dimasak dan diantar oleh Tante Siauw. Tahanan yang tidak
punya kiriman keluarga seperti saya, ditempatkan oleh Bagian
Sosek (Sosial ekonomi) masing-masing blok. Sosek ini diketuai
oleh seorang tahanan . Entah bagaimana cara menentukan,
siapa yang menjadi ketua, sama sekali tidak ada campur tangan
penguasa. Ide Riungan sepenuhnya keluar dari rasa solidaritas
sesama tahanan. Bahwa kadang-kadang tercium aroma like
and dislike, keputusannya didasarkan pertemanan, bagi saya itu
tidak menjadi masalah, sebab hak saya adalah jatah makanan
dari penguasa, sama sekali tidak punya hak atas kiriman tahanan
254
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Putu Oka Sukanta
yang dikirim oleh keluarganya. Sikap ini menyebabkan saya tidak
punya beban, untuk meriung dengan siapa saja bisa, bahkan saya
sering menolak untuk diriungkan karena sikap pemilik kiriman tidak
menyenangkan hati.
Salah satu kriteria untuk disebut tahanan baik, adalah
bersedia meriungkan beberapa tahanan yang tidak punya
makanan. Ada juga tahanan yang dijuluki, “Tahanan menghadap
tembok.”. Tahanan ini menolak meriung, hanya memberikan
solidaritas sewaktu menerima kiriman saja. Lebih lanjut dia akan
makan sendiri dengan apa yang dikirim oleh keluarganya. Tahanan
seperti ini berdalih bahwa kiriman itu adalah untuk dirinya yang
dikirim dengan tetesan keringat keluarga, bukan untuk tahanan
lain.
Selama saya ditahan satu blok dengan Om Siauw, saya
hampir setiap hari melihat Om Siauw di pagi hari melalukan
semacam yoga yang disebut Kopstan. Kepala di lantai dengan ke
dua kaki ke atas. Juga saya sering melihat Om Siauw membaca
sesuatu buku, sambil bersandar di tembok sel, salah satu kakinya
di tekuk dan kaki lainnya bersilang. Saya tidak punya kesempatan
untuk ngobrol dengan Om Siauw, karena saya merasa bukan
levelnya. Hanya suatu kali Om Siauw bercerita sepulang dari
pertemuan keluarga, bahwa anaknya akan belajar ke Australia
dan bahasa Inggrisnya sudah lebih baik dari bahasa Inggris Om
Siauw.
Ada hal lain yang membekas di kepala saya, yaitu cara
dan sikap Om Siauw melakukan sebuah perlawanan terhadap
penguasa. Saya menduga ini sudah dirancang matang oleh Om
Siauw untuk menjatuhkan rasa berkuasa si Komandan Seksi Satu
yang kami kenal sangat jahat.
Semua tahanan takut dengan di Kasi Satu ini, dan selalu
memberikan hormat dengan sebutan Bapak, ketika ia memeriksa
255
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Puto Oka Sukanta
Blok. Tetapi Om Siauw saya dengar sendiri dia memanggil si Kasi
Satu itu dengan panggilan Dik.
“Dik Marjuki.” Si Marjuki ini tidak menolak panggilan Dik itu,
padahal ia seorang pemberang besar. Menurut saya ini adalah
salah satu cara Om Siauw melakukan pembebasan.
Suatu pagi Si Marjuki ini masuk Blok R, semua orang bersiap
di depan selnya masing-masing, menghentikan semua kegiatan,
mandi, berolah raga, membaca buku suci, mengurus kebersihan
blok, apalagi yang sedang ngobrol. Semua tahanan berdiri
menyambutnya dan mengikutinya sampai di halaman. Semua
tahanan mendengarkan celotehnya, dan makiannya. Nah ia
berkata:” Saudara-saudara memang belum berubah. Saudarasaudara masih menganggap saya sebagai petugas, sebagai tamu
di blok ini. Mengapa saudara-saudara berdiri, bersiap menyambut
saya. Saya ini kan Pembina, pelindung saudara-saudara.”
Kemudian dia meninggalkan blok. Pada kesempatan lain, si
Marjuki ini masuk lagi ke Blok R, dan tidak ada seorang tahananpun
menyambutnya kecuali Kepala Blok. Tahanan dikumpulkan, dan
dimarahi: “Saudara-saudara menganggap saya ini kayu hanyut di
sungai ya? Semua tidak acuh kepada saya. Saya ini petugas yang
bisa berbuat apa saja. Tahu?”
Saya melihat Om Siauw tidak acuh dengan polah si
Marjuki.
Lain halnya dengan beberapa tahanan yang serius
membincangkan celoteh si Marjuki. Ada yang ketakutan dan
mencari jalan untuk mereda kemarahan itu. Si Pardede, sewaktu
Marjuki meninggalkan Blok, ia terburu-buru menimbal air dan
membawanya ke WC. Teman lain menegor: ”Hah ha kamu
terberak-berak dibikin Marjuki.” Pardede menyahut, “ Aku mau
nyentor beraknya Marjuki.”
Di kepala saya ada potret Om Siauw yang rambutnya putih
dan tersenyum tanpa beban.
256
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Putu Oka Sukanta
Penjara Salemba Jakarta pada tahun 70-an - Sebagian besar
penghuninya adalah tahanan politiik dan di mana Siauw
ditahan selama 8 tahun tanpa proses pengadilan apapun
257
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw May Lie
Pendekatan Siauw Giok Tjhan
Dalam Penyelesaian Masalah Tionghoa
Siauw May Lie1
Pendekatan Siauw Giok Tjhan dalam mengatasi pikiran
diskriminasi dikalangan bangsa Indonesia baik yang ada di
kalangan penduduk asli Indonesia maupun di kalangan penduduk
Timur Asing ( Tionghoa, Arab dan India), berbeda dengan pemimpin
keturunan Tionghoa lainnya. Banyak pemimpin Tionghoa berjuang
untuk melawan diskriminasi yang ada di dalam masyarakat
Indonesia dengan mendirikan organisasi yang ekskusif Tionghoa,
seperti Perwitt (Persatuan Warganegara Turunan Tionghoa),
Perwanit (Persatuan Warganegara Indonesia Tionghoa), dllnya.
Atau dengan mendirikan partai politik Tionghoa seperti PDTI (Partai
Demokrat Tionghoa Indonesia).
Siauw Giok Tjhan selalu menandaskan masalah Tionghoa
hanyalah bagian dari masalah nasion Indonesia, tidak mungkin
memecahkan masalah Tionghoa secara tersendiri dan oleh
Tionghoa sendiri saja. Tapi, harus mengajak dan mengikut sertakan
suku-suku lain, bersama-sama memecahkan masalah nasion
Indonesia yang ada. Dan oleh karenanya Siauw selama hidupnya
selalu aktif berjuang bersama-sama pemimpin yang berasal
dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, baik dalam
perjuangan mencapai kemerdekaan, selama revolusi Agustus
1945, maupun pembangunan ekonomi nasional dan proses
pembangunan nasion Indonesia selanjutnya. Siauw menganggap
bahwa pendekatan organisasi berdasarkan etnisitas (Tionghoa)
berarti etnis tersebut telah mengambil langkah memencilkan diri
1 Siauw May Lie adalah putri Siauw Giok Tjhan. Ia adalah seorang dokter yang
memadukan pengobatan Tionghoa dan Barat, kini bermukim di Jakarta.
258
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw May Lie
dari komponen bangsa Indonesia lainnya, sehingga perjuangan
demikian sulit mencapai hasil. Menurut Siauw Giok Tjhan, pikiran
untuk tidak mendirikan partai berdasarkan etnis telah ada semenjak
kesepakan antara Siauw Giok Tjhan dengan Liem Koen Hian dan
Dr. Tjoa Sik Ien pada akhir pendudukan Jepang. 2
Maret 1954, dalam proses pembentukan BAPERKI, sebuah
panitia yang di pimpin oleh Oei Tjoe Tat telah menyusun naskah
anggaran dasar bagi sebuah organisasi massa yang rencana
nya akan diberi nama Badan Permusyawaratan Warga Negara
Turunan Tionghoa , disingkat Baperwatt. Dalam musyawarah
pendirian dan pengesahan anggaran dasar organisasi tersebut
tanggal 11-13 Maret 1954, pendapat para pemimpin Tionghoa
terbelah dua. Satu golongan tetap berpendapat bahwa kata
“Tionghoa” harus ada dalam nama organisasi tersebut. Satu
golongan lainnya berpendapat tidak perlu ada kata Tionghoa
tercantum dalam nama organisasi tersebut. Menurut Siauw Giok
Tjhan “adanya istilah itu pada nama organisasi
telah diambil
langkah untuk memencilkan diri”, padahal “tujuan organisasi itu
adalah tegas memperjuangkan pelaksanaan jiwa proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang wajib dilakukan oleh tiap orang
warganegara Indonesia dan tidak terbatas pada warganegara
peranakan Tionghoa melulu.” 3
Golongan yang merasa tidak seharusnya dicantumkan
kata “Tionghoa” memperoleh dukungan bulat dalam musyawarah
tersebut. Golongan ini kemudian disebut sebagai golongan yang
mendukung proses integrasi. Sejak itu lahirlah sebuah organisasi
2 Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei
1981. Hal. 234 “Berdasarkan keputusan musyawarah dengan Liem Koen Hian di
zaman akhir pendudukan Jepang di rumah Dr. Tjoa Sik Ien di Surabaya, tentu
saja tidak dapat disetujui pikiran mendirikan partai politik berdasarkan asal keturunan”.
3 Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei
1981. Hal. 235
259
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw May Lie
yang bernama “Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia disingkat
Baperki. Anehnya, beberapa orang
yang
menganggap perlu dicantumkan kata “Tionghoa” dalam nama
organisasi tersebut, justru yang tergolong pendukung
gerakan
“asimilasi total” diantaranya, Kwik Hway Gwan. Seorang tokoh
yang kemudian menuntut agar gerakan “ganti nama” massal
sebagai langkah pertama melenyapkan segala ciri etnik Tionghoa.
Kenyataan sejarah memperlihatkan bahwa Baperki berhasil
mengajak banyak komponen bangsa Indonesia lainnya untuk
bersama-sama memperjuangkan nasion Indonesia berdasarkan
kewargaan. Dengan membangun negara Indonesia berdasarkan
kewarganegaraan Indonesia maka dengan sendirinya bangsa
Indonesia
tentu
akan
berjuang
bersama-sama
mengikis
pandangan diskriminasi yang dibangun secara sistematis oleh
kaum kolonial Belanda dalam melaksanakan politik “pecah-belah”
(divide et empera) terhadap berbagai suku bangsa dan etnis yang
ada di Indonesia demi melanggengkan kekuasaan kolonialnya.
Siauw Giok Tjhan berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia yang di
dasarkan kepada kewarganegaraan Indonesia dapat mengatasi
sikap-sikap diskriminasi bukan hanya terhadap etnis Tionghoa,
Arab, India, tetapi juga berbagai suku bangsa Indonesia lainnya.
Siauw Giok Tjhan menempatkan perjuangan menentang
diskriminasi dalam konteks perjuangan “nation and character
building” seperti yang tertera dalam Pancasila yang digagas oleh
Sukarno dan Maklumat Politik Pemerintah RI 1 November 1945. Siauw
Giok Tjhan menulis “Azas organisasi massa itu adalah mencapai
terwujudnya negara Pancasila, dimana setiap warganegara
Indonesia dapat menuntut penghidupan bebas dari rasa takut
akan di anak-tirikan, dan bebas dari rasa takut akan menderita
kekurangan. Organisasi itu adalah tegas memperjuangkan
pelaksanaan janji negara seperti yang dirumuskan dalam
260
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Siauw May Lie
Manifesto Politik Negara 1 November 1945, yang menjanjikan
untuk menjadikan tiap warganegara peranakan Indo Asia dan
Indo Eropah sebagai warganegara dan patriot Indonesia sejati” 4
Sikap Siauw Giok Tjhan yang menempatkan perjuangan
menentang diskriminasi dalam hubungannya
ngunan
bangsa
Indonesia
berdasarkan
dengan pemba
kewarganegaraan
sesuai dengan politik pemerintah Indonesia sejak tahun 1945
menyebabkan bangsa Indonesia memandang sosok Siauw Giok
Tjhan sebagai salah satu pemimpin bangsa Indonesia!
4
Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei
1981.
Yang dimaksud Manifesto Politik Negara 1 November 1945 tersebut adalah
“Maklumat Politik” pemerintah Republik Indonesia yang ditanda tangani oleh
Wakil Presiden Mohamad Hatta di Jakarta tanggal 1 Nopember 1945. Isi Maklumat itu yang dikutip oleh Siauw Giok Thjan berbunyi sebagai berikut : “… kita
akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang
akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Indo Eropah menjadi
orang Indoensia sedjati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”.
261
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
Siauw Giok Tjhan
Soe Tjen Marching1
Siapakah Siauw Giok Tjhan? Berpuluh tahun lamanya saya
tidak tahu sama sekali. Mendengar namanya pun saya belum
pernah. Karena saya adalah anak Orde Baru. Lahir pada awal tahun
tujuh puluhan, saya mengalami pendidikan tempaan Suharto,
yang menghilangkan nama berbagai tokoh komunis dan kiri. Kita
mengenal nama Aidit dan Njoto sebagai pengkhianat besar yang
harus ditakuti. Bahkan nama mereka seolah lebih menakutkan
daripada Westerling atau Daendels. Nama Siauw Giok Tjhan, yang
lahir pada tahun 1914 dan dipenjara tanpa pengadilan sebagai
tahanan politik, selama 12 tahun dari 1965 sampai 1978, tentu tak
dapat ditemukan dalam sejarah Orde Baru.
Hanya setelah saya berada di Australia, setelah saya
memulai disertasi saya, nama Siauw Giok Tjhan saya kenal. Saat
bertemu dengan anak bungsunya: Siauw Tiong Djin di Melbourne,
pada pertengahan tahun 1998, saat kami sedang menggarap
disertasi kami di Monash University. Dari tulisan-tulisan Tiong Djin,
saya mulai tahu siapa Siauw Giok Tjhan.
Saat itu, mungkin ia hanya sebagai bayangan bagi saya.
Sebagai salah satu tokoh yang disembunyikan keberadaannya
oleh Orde Baru, lalu samar-samar mulai muncul setelah Orde
Baru ambruk. Namun, setelah bertahun lamanya, barulah saya
mengenal Giok Tjhan lebih jauh lagi. Giok Tjhan yang mempunyai
banyak kedekatan dengan saya dan keluarga. Giok Tjhan, yang
ayahnya lahir dan besar di Kapasan – Surabaya, sebuah daerah
1 Soe Tjen Marching adalah seorang akademisi, aktifis dan penggubah musik. Ia
pendiri Majalah Bhinneka dan banyak menulis tentang Perempuan, Politik Indonesia dan Agama dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jerman
262
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
yang tidak jauh dari tempat saya dibesarkan di Surabaya. Dan tak
jauh dari tempat tinggal orang tua saya sewaktu baru menikah.
Kapasan, di jaman penjajahan Belanda, di mana rasisme
ditumbuhkan oleh pemerintah kolonial antara mereka yang
diklasifikasikan sebagai Tionghoa, dan mereka yang digolongkan
sebagai
pribumi.
Politik
Wijkenstelsel
yang
mengharuskan
pemisahan antara mereka yang Tionghoa dan pribumi. Dan
mereka yang diklasifikasi sebagai Tionghoa diharuskan tinggal
di sebuah daerah tertentu. Banyak manusia Tionghoa Indonesia
yang akhirnya hidup terpencil karena kebijakan Belanda ini.
Kapasan, adalah salah satu daerah Tionghoa peninggalan
pemerintah Belanda itu. Namun, rakyat mempunyai cara tersendiri
(walau mungkin tidak mereka sadari) untuk melawan politik adudomba pemerintah kolonial ini. Di Kapasan, pembauran ternyata
tak dapat dihindari. Kelenteng Konghucu Boen Bio terletak cukup
dekat dari Cungkup, sebuah makam tokoh agama Islam. Pada
hari-hari Raya Islam, Cungkup tidak saja ramai dikunjungi penganut
agama Islam, tapi juga kaum ibu Tionghoa. Dan tidak kalah aneh,
ibu Giok Tjhan, seorang Tionghoa totok beragama Konghucu yang
mahir membuat berbagai obat ramuan Tionghoa, mempunyai
kebiasaan membakar kemenyan dan pergi ziarah ke makam
tokoh-tokoh Islam. Pada hari-hari Raya Islam, ibu Giok Tjhan juga
mengajak anak-anaknya berziarah ke berbagai makam Islam
seperti Ngampel di Kampung Arab – Surabaya, hingga ke Gresik
dan Gunung Giri. Dan justru sang ibu tidak pernah mengajak
anak-anaknya ke Boen Bio. Uniknya, sang ibu tetap berpaku pada
berbagai ajaran Konghucu juga.
Percampuran antara mistik, kepercayaan dan agama
inilah yang disaksikan oleh Giok Tjhan kecil: seorang pria dengan
ikat kepala khas Jawa bersembahyang menggunakan hio (dupa
panjang yang biasa dipakai orang Tionghoa). Sebaliknya, di
263
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
sebelah pria ini, seorang perempuan Tionghoa memakai celana
hitam, menyekar dengan menggunakan kemenyan.
Selain percampuran berbagai agama, kepercayaan dan
kebudayaan yang mengesankan Giok Tjhan kecil, ia mengalami
hal pahit juga: rasisme. Giok Tjhan pertama kali belajar di sekolah
Tionghoa, karena kakeknya yang mengharuskan. Setelah sang
kakek pindah ke Tiongkok, ayah Giok Tjhan mengirimnya ke sekolah
Belanda. Di Sekolah Belanda inilah, Giok Tjhan mendapat sebutan
“Cina loleng”, ejekan dari anak-anak Belanda dan indo terhadap
mereka yang Cina.
Namun, ada hal lain yang jauh lebih pedih, yang harus
dihadapi Siauw Giok Tjhan: wafatnya sang papa dan mama dalam
usia belia pada tahun yang sama, tahun 1932, sehingga Giok
Tjhan harus menghidupi dirinya dan adiknya. Dengan menggeluti
berbagai bisnis dan pekerjaan, Siauw akhirnya menjabat sebagai
pemimpin redaksi harian Mata Hari (1939 – 1942), dan tidak segan
mengritik ambisi pemerintah Jepang di kawasan Asia. Sebuah
wawasan yang luar biasa, walaupun saat itu, Jepang belum
menjajah Indonesia, tapi Siauw tidak terkecoh dengan mulut manis
dan tipu daya pemerintah Negara Matahari terbit ini. Karena hal
ini, Siauw sempat dikejar-kejar Jepang, dan dengan terpaksa ia
pindah ke Malang dan berganti profesi. Namun, Siauw yang cerdik
tidak menghentikan perjuangannya dengan melakukan berbagai
penyamaran, termasuk dengan menjadi anggota organisasi
bentukan Jepang, Kakyo Shokai.
Dan Indonesia pun Merdeka . . .
Masalah diskriminasi Tionghoa harus ditanggulangi setelah
Indonesia merdeka. Sukarno, karena berbagai hal, termasuk
keberadaan Maklumat Pemerintah November 1945 dan UUDS
264
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
1950, tidak memiliki kekuasaan memerintah hingga tahun 1959
(setelah Indonesia kembali ke UUD 1945). Dan Giok Tjhan ikut andil
dalam beberapa kebijakan sang Presiden. Giok Tjhan, yang telah
ditempa perpaduan pengalaman masa kecilnya di Kapasan,
menentang adanya sebutan ras Indonesia, dan mempromosikan
adanya Nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai suku. Baginya,
orang Tionghoa bisa dianggap sebagai salah satu suku ini, karena
banyak dari mereka yang sudah bergenerasi-generasi lahir dan
tinggal di Indonesia. Giok Tjhan menentang adanya asimilasi
yang kemudian meniadakan identitas budaya seseorang, seperti
misalnya mereka yang Tionghoa diharuskan mengganti nama
Indonesia (atau nama non-Tionghoa). Justru Giok Tjhan merasa
kesatuan Indonesia bisa berhasil bila identitas budaya seseorang
diberi kebebasan, namun tetap bersatu dalam nasion Indonesia,
yang beraneka ragam. Mungkin inilah wujud dari indahnya
percampuran hio dan kemenyan, dan perpaduan antara makam
Islam dan kelenteng, yang disaksikan pada masa kecilnya.
Ide Giok Tjhan inilah yang diterima Sukarno. Karena itu, pada
massa Sukarno tidak ada pemaksaan orang-orang Tionghoa untuk
mengganti nama mereka, seperti yang terjadi pada massa Orde
Baru. Massa di mana nama-nama Tionghoa harus berganti dengan
nama Indonesia. Namun, yang disebut sebagai “nama Indonesia”
sebenarnya bisa juga nama-nama Yunani seperti Helena dan
Agatha atau nama Arab seperti Ahmad dan Yusron, atau nama
India seperti Krishna dan Indra. Nama Indonesia yang dimaksud
Orde Baru adalah nama yang tidak kedengaran TIonghoa. Politik
adu-domba pemerintah kolonial Belanda berlanjut pada masa
Orde Baru, sebuah ideologi wijkenstelsel yang ditentang oleh
Giok Tjhan sampai akhir hayatnya. Betapa pada masa Orde Baru,
impi Giok Tjhan akan persatuan bangsa telah dikhianati oleh
pemerintah Indonesia sendiri.
265
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
G30S
Sebagai ketua BAPERKI, Siauw Giok Tjhan cukup dekat
dengan beberapa tokoh komunis, termasuk Aidit. Tapi hal ini tidak
berarti Siauw selalu setuju dan mendukung PKI. Siauw tidak jarang
terlibat konflik dengan Aidit, dan bahkan pada ulang tahun PKI
yang ke 45, Siauw mengritik Aidit yang datang dengan berpakaian
menteri. Siauw merasa bila Aidit ada pada acara ulang tahun
tersebut, seharusnya ia tidak hadir sebagai menteri tapi sebagai
bagian dari partai. Memang, Siauw merasa beberapa pimpinan
PKI menjadi terlalu elitis dan lebih mementingkan posisi dalam
pemerintahan.
Dalam bidang ekonomi, walaupun sangat terkesan de ngan
ide Karl Marx, Giok Tjhan mencoba mencari perpaduan antara
sosialisme dan kapitalisme, karena ia merasa ekonomi Indonesia
tidak akan cepat berkembang tanpa adanya perpaduan ini. Tapi
ide ini mendapat banyak tentangan dari beberapa tokoh PKI, yang
berkeras menerapkan sistem sosialisme.Justru Giok Tjhan, yang
bukan PKI dan yang pernah ditentang idenya oleh PKI, akhirnya
dituduh sebagai PKI oleh rezim Suharto setelah G30S meletus.
Peristiwa G30S digambarkan oleh Siauw sebagai kekuatan
luar negeri yang ingin menggulingkan Sukarno dan menghancurkan
gerakan kiri dan hal ini, membangkitkan gerakan anti Tionghoa.
Berjuta manusia tak berdosa dibunuh, dipenjara dan disiksa oleh
tentara Suharto, termasuk menteri-menteri dan politikus pendukung
Sukarno. Siauw Giok Tjhan adalah salah satunya. Begitu juga papa
saya, yang tak saya ketahui banyak aktifitasnya. Saya hanya tahu,
papa saya sempat bekerja pada sebuah Koran yang dianggap
kiri. Lalu, ada kisah lain: bahwa papa saya sempat membantu
beberapa organisasi yang dianggap kiri. Penangkapan papa
yang mempertemukan saya, anak bungsu Giok Tjhan (Tiong Djin)
266
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
dan mama suatu ketika. Sayang sekali, papa saya sudah tiada,
ketika saya bertemu Tiong Djin. Bila tidak, pasti akan banyak kisah
yang terkuak tentang penangkapan papa & Giok Tjhan, serta
massa-massa mereka di penjara Surabaya.
Giok Tjhan di Mata Mama
Dan Giok Tjhan ternyata telah dikenal oleh mama saya,
sebagai pejabat yang rendah hati yang masih menyempatkan
membantu orang-orang muda yang ingin melanjutkan studi
mereka. Salah satu orang itu, adalah mama saya. Mereka yang
Tionghoa, biasanya dikirim ke sekolah berbahasa Mandarin.
Tapi, ketika lulus SMA, para siswa ini kebingungan, karena tidak
ada Universitas Tionghoa. Universitas kebanyakan menggunakan
bahasa Indonesia. Dalam berbagai kesibukannya dalam dunia
politik, Giok Tjhan masih menyempatkan diri membantu para
pelajar, untuk bisa melanjutkan studi mereka.
Siauw Giok Tjhan dibantu oleh adiknya, Siauw Giok Bie,
untuk memberi para pelajar ini pelatihan bahasa Indonesia serta
mengikuti tes persamaan, agar bisa diterima di Universitas. Mama
saya, adalah salah satu orang tersebut. Mama sempat bertemu
Siauw Giok Bie, dan berkat bantuan Giok Bie, mama berhasil
melanjutkan kuliahnya di Universitas Baperki, yang bisa berdiri atas
jasa Siauw Giok Tjhan juga.
Namun, manusia luar biasa ini harus terbuang oleh
ne
gerinya sendiri. Dengan predikat ET (Eks Tapol) setelah bebas dari
penjara, Giok Tjhan tidak mungkin bisa bergerak bebas lagi. Ha
nya berkat bantuan Adam Malik, sahabatnya yang cukup dekat,
Giok Tjhan diijinkan untuk berobat ke Belanda. Di Belanda, Siauw
dengan aktif menyuarakan tentang pentingnya penegakan
HAM dan sempat mengumpulkan dana untuk para eks-tapol
267
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Soe Tjen Marching
dan keluarganya. Namun, kegiatan kemanusiaan ini yang justru
membuat passportnya dicabut oleh KBRI, sehingga ia tak bisa
pulang lagi. Ia meninggal dalam pengasingan.
Saya hanya bisa berandai: kalaupun ada yang berniat
menyebut nama Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia saat
itu, tentunya akan dicatat sebagai salah satu kriminal yang hampir
setara dengan Aidit atau Njoto. Karena Suharto memusuhi merekamereka yang sungguh-sungguh ingin berjuang demi rakyat.
Tapi, hal yang sangat menyakitkan bagi saya, ketika tahun
lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menobatkan mertuanya
sendiri, Sarwo Edhie, sebagai pahlawan nasional. Padahal, Sarwo
Edhie terlibat dalam pembunuhan massal tahun 1965-67 di
Indonesia. Dialah yang menjadi komandan para jagal di masa
itu, dengan menghasut rakyat jelata untuk ikut serta membunuh
mereka yang dituduh PKI.
Saya tidak begitu setuju dengan gelar kepahlawanan
(karena hal ini biasanya akan mengultuskan individu), tapi kalau
gelar ini masih harus dipertahankan, manusia seperti Siauw Giok
Tjhan berjuta kali jauh lebih pantas mendapatkannya daripada
mahluk seperti Sarwo Edhie.
268
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Masa Depan Siauw Giok Tjhan
Bonnie Triyana1
Demokrasi
di
Indonesia
sedang
dipertaruhkan.
Persoalannya bukan terletak pada prosedur demokrasi, misalnya
penyelenggaraan pemilihan umum secara rutin, melainkan
esensi dari demokrasi itu sendiri yakni kesetaraan, keadilan dan
kebebasan. Baru-baru ini, atas nama penghematan biaya dan
menghindari intervensi asing (sic!), DPR mengesahkan UndangUndang Pilkada yang menghapus pemilihan kepala daerah
secara langsung.
Setelah mendapat banyak kritik, Presiden SBY buru-buru
menerbitkan Peraturan Perundang-Undangan (Perppu No 1/2014)
yang membatalkan Undang-Undang Pilkada. Sehingga pemilihan
kepala daerah bisa dilakukan secara langsung seperti sediakala.
Namun, penerbitan Perppu itu pun masih berada di ujung tanduk.
Mengingat bisa saja DPR periode 2014-2019, yang dikuasai koalisi
pembela Prabowo menolak pemberlakuan Perppu.
Ketika makalah ini ditulis, komposisi DPR (2014-2019)
yang baru saja dilantik merupakan “kelanjutan” dari DPR Koalisi
Merah Putih periode 2009-2014. Ada potensi untuk membatalkan
pemberlakuan Perppu Presiden tersebut. Sehingga pelaksanaan
pemi lihan kepala daerah secara langsung kembali terancam tak
bisa dilanjutkan pada periode mendatang.
Padahal
pemilihan
kepala
daerah
secara
langsung
merupakan wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia 15 tahun
belakangan ini. Hal yang sama merupakan buah dari pembaruan
politik yang dilakukan semenjak kejatuhan rezim kediktatoran
Suharto pada 21 Mei 1998.
1
Bonnie Triyana adalah pemimpin redaksi Majalah Historia, Jakarta.
269
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Sebagai buah manis reformasi politik, pemilihan kepala
daerah secara langsung ternyata melahirkan sosok-sosok pemimpin
yang memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Hal
lain yang juga penting untuk dicatat adalah kesempatan yang
setara bagi setiap orang untuk mencalonkan dirinya sebagai
pemimpin, tanpa memandang suku, agama dan rasnya.
Salah satu contoh sosok terbaik dari hasil pemilihan langsung
itu adalah Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Lelaki kelahiran
Belitung keturunan Tionghoa itu kini sedang mendapat banyak
perhatian. Bukan karena ketionghaannya, tapi juga karena gaya
kepemimipinan dan prestasinya yang mengundang banyak pujian
(juga cercaaan).
Tanpa pemilihan langsung, kecil kemungkinan orang
seperti Ahok bakal terpilih sebagai kepala daerah. Dia minoritas:
seorang keturunan Tionghoa dan non-muslim, namun memimpin
DKI Jakarta yang mayoritas muslim. Ahok menjadi contoh bahwa
kualitas kepemimpinan tak ada hubungannya dengan latar
belakang agama dan rasnya.
Terpilihnya Ahok adalah langkah awal dari sebuah lompatan
besar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Namun
belakangan ini muncul gugatan dari sebagian kecil kelompok antidemokrasi agar dia mundur dari jabatannya sebagai gubernur.
Alasannya tentu saja sudah bisa diduga: dia “Cina-Kafir” yang tak
diperkenankan memimpin. Dan tuntutan-tuntutan tersebut, bukan
kebetulan, mencuat seiring dengan munculnya gagasan usang
agar pemilihan kepala daerah dilakukan kembali oleh DPRD.
Pemilihan lewat DPRD dikhawatirkan bakal menutup
kemungkinan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas.
Lebih jauh lagi, menutup peluang bagi orang seperti Ahok
(dan mereka yang memiliki latar belakang minoritas) untuk bisa
bertarung secara setara di dalam sebuah pemilihan langsung
270
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
yang demokratis.
Kekhawatiran pun mulai merebak: apakah ini akhir dari
masa reformasi yang berhasil menghantar rakyat Indonesia ke alam
demokrasi? Apakah ini kabar suram bagi upaya penghapusan
diskriminasi dalam politik dan ganjalan untuk menciptakan
masyarakat Indonesia yang pluralis serta multikultural? Masih
mungkinkah gagasan-gagasan Siauw Giok Tjhan tentang “integrasi
wajar” (baca: multikulturalisme) yang dikemukakan sejak awal
1960-an bisa diterapkan? Strategi apa yang musti diterapkan agar
bangsa Indonesia bisa melepaskan warga Tionghoa?
Melacak Jejak Sejarah Problem Rasisme di Indonesia
Dari sejarah kita bisa melihat beberapa peristiwa rasisme
yang terjadi pada warga Tionghoa. Mereka selalu jadi sasaran amuk
massa dan tindak kekerasan dengan berbagai alasan di baliknya.
Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dipisahkan dari kehidupan
warga pribumi melalui politik segregasi sosial pemerintah kolonial.
Berdasarkan
Regering
Reglements
1854,
masyarakat
jajahan digolongkan menurut ras dan kebangsaannya. Warga
Tionghoa menjadi warga kelas kedua di atas warga pribumi
(Inlanders) dan di bawah warga kulit putih (Europeesch). Jauh
sebelum pemberlakuan peraturan tersebut, warga Tionghoa pun
telah mengalami tindak kekerasan dalam peristiwa di Batavia 1740
dan pembatasan aktivitasnya melalui peraturan wijkenstelsel 1816.
Pemberlakuan berbagai peraturan yang membatasi hak
warga Tionghoa itu pada kenyataannya semakin menjadikan
mereka teralienasi dari kehidupan masyarakat jajahan. Ia seakan
menjadi komunitas “sang liyan” yang didesain untuk tetap berjarak
dengan warga pribumi. Kendati ada interaksi kultural (melalui
kesenian dan kebudayaan), warga Tionghoa diperlakukan melulu
271
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
sebagai “mahluk ekonomi” penghasil duit bagi penguasa.
Menurut sejarawan Didi Kwartanada dalam makalahnya
“Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi
Seorang Sejarawan Peranakan” mengatakan bahwa golongan
Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara atau ‘mesin pencetak
uang’ baik oleh raja maupun penguasa kolonial. Keadaan
demikian semakin memperumit hubungan masyarakat karena
ditandai oleh berbagai pandangan minor (stereotype) dari warga
pribumi terhadap warga Tionghoa yang dianggap hidup ekslusif
dan bergelimang kekayaan.
Padahal kondisi yang dialami warga Tionghoa bukan
semata datang dari dalam dirinya, melainkan hasil dari kebijakan
pemerintah kolonial. Kelak kebijakan tersebut turut membentuk
pola hubungan kekuasaan dengan warga Tionghoa.2 Maka
saat terjadi perubahan politik dan transisi kekuasaan, komunitas
Tionghoa selalu terseret ke dalam peristiwa yang tak pernah
mereka harapkan: tindak kekerasan.
Pada 1946 misalnya, setahun berselang setelah proklamasi
kemerdekaan, sejumlah warga Tionghoa di Surabaya tewas dalam
kerusuhan rasialisme. Pada 1965, dalam proses transisi kekuasaan
(baca: perebutan kekuasaan) dari Presiden Sukarno ke Soeharto,
warga Tionghoa menjadi sasaran kekerasan massa anti PKI. Lantas
pada 13-14 Mei 1998, beberapa hari menjelang mundurnya
Soeharto, warga Tionghoa kembali jadi korban kekerasan.
Tionghoa Masa Awal Kemerdekaan dan Era Sukarno
Kemerdekaan Indonesia memberi harapan baru bagi
2 Pada masa kolonial, warga Tionghoa diposisikan sebagai middle man atau
perantara khususnya dalam urusan ekonomi. Desain masyarakat jajahan yang
timpang, rasis dan diskriminatif tersebut turut pula membentuk citra warga Tionghoa sebagai kelas ekslusif yang teralienasi dari masyarakat di sekitarnya.
272
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
seluruh rakyat Indonesia akan terbentuknya suatu masyarakat
yang berkeadilan dan setara. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945,
Sukarno telah mengemukakan bahwa nasion Indonesia berdasar
kepada prinsip-prinsip nasionalisme modern yang tak memandang
pada kesukuan, ras, warna kulit dan agama.3
Dengan mengutip Ernest Renan, Sukarno dalam pidatonya
itu mengatakan bahwa sebuah bangsa bersatu mendirikan
negara atas dasar hasrat untuk hidup bersama. Hal itu semakin
mengukuhkan kontrak sosial pertama 28 Oktober 1928 bahwa
bangsa Indonesia diikat oleh bahasa (mindscape) dan tanah air
(landscape) yang satu.
Liem Koen Hian4 yang turut dalam sidang BPUPK (Badan
Persiapan Usaha Kemerdekaan) pun bersetuju dengan usulan
Sukarno. Warga Tionghoa menyatakan diri bagian yang satu
dengan suku bangsa lainnya untuk sama-sama meleburkan diri
menjadi sebuah bangsa yang baru: bangsa Indonesia. Bersamasama
menyelenggarakan
sebuah
negara
yang
dilandasi
semangat persatuan dan kesetaraan.
Persoalan kewarganegaraan Tionghoa memang sudah
menjadi bahan perdebatan di dalam Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Siauw Giok Tjhan, sebagaimana
pula Tang Ling Djie, mengusulkan sistem pasif berdasarkan prinsip
ius soli. Dengan sistem ini, semua orang Tionghoa yang lahir di
Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia.
Namun Sunario dari PNI, kelak menjadi menteri luar negeri,
menentang ide tersebut. Dia mengusulkan sistem aktif: setiap
3 Pada pidato 1 Juni 1945, Sukarno sempat bertanya mengenai posisi warga Tionghoa yang disebutnya kosmopolitan, tak mengakui eksistensi nasion-state. Namun Liem Koen Hian menyatakan bahwa warga Tionghoa turut setuju dengan
apa yang disampaikan Sukarno mengenai konsep nasionalisme modern yang
menjadi dasar berdirinya Indonesia.
4 Liem Koen Hian adalah tokoh Tionghoa terdepan yang berada di gerakan nasionalisme Indonesia. Penulis di koran Mata Hari dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PITI) di mana Siauw Giok Tjhan menjadi anggotanya sejak muda belia.
273
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
warga Tionghoa wajib mengajukan permohonan sebagai warga
negara Indonesia dan menyatakan tak lagi jadi warga Tionghoa.
Usulan ini menjadi perdebatan panjang sampai berujung ke
perjanjian dwikewarganegaraan antara pemerintah Tiongkok
dengan Indonesia. Isinya antara lain tetap berlaku dengan sistem
aktif.
Peraturan yang berbau rasialis belum berhenti di sana.
Pada 1950, hanya berselang lima tahun sejak pidato Sukarno
1 Juni 1945 yang terkenal itu, Kabinet Djuanda atas usul Sumitro
Djojohadikusumo,
meluncurkan
program
Ekonomi
Benteng.
Program ini bermaksud mengubah struktur ekonomi kolonial yang
memberi porsi peran besar kepada warga Tionghoa. Saat itu
pemerintah hanya memberikan izin impor kepada pengusaha
pribumi demi meningkatkan peran mereka di lapangan ekonomi.
Pada kenyataanya, pengusaha pribumi tak memiliki
pengalaman berbisnis dan jaringan internasional sebagaimana
rekan-rekan Tionghoa mereka. Alih-alih bisnis importir murni
berbekal izin resmi pemerintah, pemilik izin diam-diam menjual
izinnya kepada pengusaha Tionghoa. Sehingga sudah rahasia
umum kalau hubungan yang terjalin kerap diolok sebagai “BabaAli”, Ali (pribumi) punya lisensi, Baba yang jalankan kongsi.
Program
ekonomi
ini
pun
tak
berhasil
sepenuhnya
mengubah struktur ekonomi warisan kolonial.5 Malah kembali
melanggengkan apa yang terjadi di masa kolonial dengan
menjadikan warga Tionghoa sebagai “mesin penghasil uang”
bagi kekuasaan dan kroni-kroninya.
Tekanan terhadap warga Tionghoa semakin menguat saat
Mr. Asaat Datuk Mudo, mantan pejabat Presiden RIS berpidato
pada kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, 19
5 Studi tentang program ekonomi Benteng telah dilakukan oleh Yahya Muhamin
dalam Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta,
LP3ES).
274
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Maret 1956. Dalam kesempatan itu dia menuduh warga Tionghoa
bersikap ekslusif dan monopolistis dalam berdagang. Sehingga
tak memberikan celah sedikit pun bagi warga pribumi untuk
berdagang. Pidato tersebut mendorong lahirnya “Gerakan Assaat”
yang menghendaki “pribumiisasi” di dalam bidang ekonomi.
Pada 14 Mei 1959 pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah No 10 yang melarang warga Tionghoa berdagang di
wilayah pedesaan. Di sejumlah daerah, terutama di wilayah Jawa
Barat, peraturan tersebut diterapkan dengan paksaan. Salah satu
peristiwa yang cukup terkenal adalah peristiwa Cibadak, di mana
ratusan warga Tionghoa diusir paksa di bawah todongan senjata.
Bahkan di Cimahi, Jawa Barat, tentara dilaporkan menembak
mati dua perempuan warga Tionghoa.
PP 10/1959 tersebut lagi-lagi bukan solusi ampuh untuk
mengatai problem ekonomi dalam negeri Indonesia. Bahkan,
senada dengan Leo Suryadinata, kebijakan tersebut lebih terlihat
sebagai produk hukum yang rasis ketimbang regulasi yang hendak
menata bidang ekonomi secara berkeadilan.
Dari beberapa kebijakan tersebut kentara sekali kalau
pemerintah Indonesia di bawah Sukarno tak sempat melakukan
telaah mendalam atas keberadaan warga Tionghoa di Indonesia.
Sehingga, mengutip Charles Coppel dalam Tionghoa Indonesia
dalam Krisis, sebelum 1960 pemerintah Indonesia tak pernah
berkesempatan untuk merumuskan suatu kebijakan menyeluruh
berkenaan dengan minoritas Tionghoa. Dalam soal regulasi
kewarganegaraan misalnya, Coppel berpendapat peraturan
yang dihasilkan “bersifat sementara, dan tidak merupakan
bagian dari suatu kebijakan mengenai masalah Tionghoa secara
terkoordinasi.”
275
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Menjadi Indonesia ala Siauw Giok Tjhan
Menariknya, pada zaman di mana peraturan yang
bernuansa rasis itu silih berganti diterbitkan, dialog mengenai
kewarganegaraan etnis Tionghoa bisa dilakukan secara bebas.
Organisasi seperti Baperki dan LPKB bisa berdiri dan mengambil
peran aktif di dalam masyarakat dalam rangka mengupayakan
munculkan kesepahaman mengenai hubungan antar etnis di
tengah masyarakat Indonesia.
Tokoh-tokoh Tionghoa seperti Ong Eng Die, Tan Po Goan,
Yap Thiam Hien, Oei Tjoe Tat, dan Siauw Giok Tjhan mengambil
peran aktif di bidang politik untuk memperjuangkan gagasannya.
Secara garis besar ada dua konsep kewarganegaraan yang
diperdebatkan saat itu, yakni asimilasi total versus integrasi wajar.
Konsep asmilasi total digagas oleh kelompok LPKB di bawah
Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay). Konsep ini berangkat dari
ide Onghokham dalam tulisannya di mingguan Star Weekly yang
menghendaki agar golongan minoritas melebur ke dalam golongan
mayoritas dengan jalan menghilangkan berbagai identitas kultural
yang melekat pada diri warga Tionghoa, mengubah nama salah
satunya.
Asimilasi mendorong dilakukannya perkawinan campur
antara suku-suku bangsa di Indonesia. Asimilasi total juga harus dii
ringi oleh integrasi di bidang ekonomi dan politik.6 Ong mengambil
contoh apa yang terjadi di Filipina, di mana orang-orang Cina di
sana telah sejak lama kawin mawin dengan penduduk lokal dan
berhasil menghapus batas-batas etnisitas yang ada.
Agaknya, lahirnya gagasan asimilasi total itu berkaitan erat
dengan berbagai peristiwa yang dialami warga Tionghoa pada
6 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Dalam Pembangunan Nasion Indonesia
(Lembaga Kajian Sinergi Indonesia: Jakarta, 2010) Hlm. 343
276
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
periode 1950-an. Ditambah lagi dengan peraturan-peraturan
berbau rasial yang dikeluarkan pemerintah pada periode yang
sama. Sehingga ide asimilasi total lebih terlihat sebagai solusi instan
untuk mengatasi problem hubungan warga Tionghoa dengan
pribumi ketimbang satu konsep ideal tentang sebuah masyarakat
multikultural yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan dan
kesetaraan.
Sementara itu Siauw Giok Tjhan, tokoh yang menjadi tema
pembahasan seminar ini, datang dengan gagasan “integrasi
wajar”. Sebuah konsep yang memandang bahwa seorang
Tionghoa tak perlu menghilangkan identitas kultural yang
dibawanya dan tak perlu merisaukan ciri-ciri etnis yang tampak
pada fisiknya. Karena ukuran kesetiaan seseorang pada negerinya
tak bisa diukur dari ciri-ciri fisik yang dibawa sejak lahir.
Siauw masuk akal ketika mengatakan bahwa Indonesia
lebih menyerupai sebuah nasion ketimbang bangsa. Karena
bangsa seringkali diasosiasikan kepada ras, yang berpotensi
ditafsirkan kepada penghuni asli kepulauan Nusantara yang justru
bakal merusak pengertian nasion itu sendiri. Menurut Siauw, ras
mengacu pada definisi biologis sementara nasion merujuk pada
satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri
politik.7
Pemikiran tersebut senada dengan gagasan Sukarno
yang disampaikannya pada 1 Juni 1945. Sukarno mengatakan
bahwa Indonesia adalah negeri “semua untuk semua”, yang
tidak membatasi diri pada satu agama, golongan dan kelompok
etnis tertentu. Dalam pidatonya di Kongres Baperki, Maret 1963,
Sukarno mengatakan “Saya sendiri menanya diri saya kadangkadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya engkau
7 Ibid Hlm 351
277
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli
itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, saudara-saudara.” Sukarno
lantas menyarankan kepada peserta kongres “berjuanglah agar
supaya hilang perkataan ini,” katanya mengacu pada wacana
asli dan asing.
Persoalan yang membuat ide integrasi wajar ini tak kunjung
bisa direalisasikan adalah suasana politik yang diwarnai pertikaian
antara kelompok kiri (baca: PKI) dengan kelompok anti-komunis.
Dalam domain perdebatan kewarganegaraan Tionghoa ini,
Baperki sering disebut-sebut sebagai kelompok kiri yang berafiliasi
pada PKI. Sementara itu pengusung asimilasi total, yakni LPKB,
diasosiasikan sebagai kelompok kanan anti-komunis.
Diskusi yang jernih mengenai sejauh mana kedua konsep
tersebut bisa lebih realistis diberlakukan di tengah masyarakat
tertutup oleh kontestasi politik yang mengiringinya. Maka ketika
peristiwa G30S 1965 meletus, tamat sudah riwayat perdebatan
dan diskusi ihwal kedudukan warga Tionghoa di dalam masyarakat
Indonesia.
Warga Tionghoa kembali menjadi sasaran tindak diskriminasi
dan target kekerasan bernuansa rasial sepanjang tahun 19651969. Tuduhan Tiongkok ada di belakang peristiwa pembunuhan
enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat itu
semakin memperburuk perlakuan terhadap warga Tionghoa.
Ribuan orang harus eksodus dan mereka yang tergabung di dalam
organisasi-organisasi kiri dibunuh dan ditahan tanpa pernah diadili,
sebagaimana yang menimpa Siauw Giok Tjhan.
Boleh
dikatakan
berakhirnya
kekuasaan
Sukarno
sekaligus mengakhiri polemik gagasan yang memperjuangkan
terbentuknya masyarakat multikultural. Organisasi seperti Baperki
dilarang dan ide-idenya dianggap berbahaya dan diidentikan
dengan komunisme.
278
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Warga Tionghoa di Zaman Orde Baru dan Masa Reformasi
Studi tentang keberadaan warga Tionghoa semasa Orde
Baru sudah banyak dilakukan.8 Pada masa Suharto ini, warga
Tionghoa tidak diperkenankan menunjukkan identitas dan tradisi
kulturalnya. Pertunjukan barongsai yang biasa dimainkan pada saat
hari besar warga Tionghoa dilarang oleh pemerintah. Peraturan
diskriminasi yang berdasar pada UU No. 62/1958, seperti Surat Bukti
Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dilanggengkan
praktiknya.
Keterlibatan warga Tionghoa ke dalam politik pun sangat
terbatas. Tak seperti di masa sebelumnya, di mana berbagai
kelompok Tionghoa bisa terlibat aktif di dalam politik untuk
membicarakan nasib dan kedudukannya di tengah masyarakat
Indonesia, pemerintah Orde Baru tak memperkenankan secara
terbuka peran Tionghoa di dalam politik.
Yang menarik kendati berbagai peraturan yang diskriminatif
tetap ada, pemerintah Orde Baru mempromosikan modal
Tionghoa dalam banyak industri: perbankan, asuransi, real estate,
perkebunan, dan manufaktur. Sejumlah pengusaha bermunculan,
sebagian karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto. Yang
ternama adalah Liem Sioe Liong, atau yang juga dikenal dengan
nama Sudono Salim.9
Beberapa taipan kelas atas yang dekat dengan kekuasaan
mendapatkan banyak fasilitasn untuk membesarkan usahanya.
8 Beberapa studi tentang kaum Tionghoa semasa Orde Baru antara lain dilakukan oleh Valina Singka dalam Hubungan bisnis Cina dan politik di Indonesia
pada masa orde baru : studi kasus Summa-Astra dan Barito Pacific Group
(Tesis FISIP UI). Karya Benny G Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Elkasa,
Jakarta:2003) juga membahas hubungan penguasa dengan kaum minoritas
Tionghoa di masa Orde Baru.
9 Budi Setiyono, Majalah Historia edisi Jejak Naga di Nusantara.
279
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Bukan rahasia lagi jika Presiden Soeharto dikelilingi banyak
konglongmerat yang memegang banyak porsi kegiatan ekonomi
di Indonesia. Kedekatan ini tak serta merta dibarengi dengan
upaya untuk menghapus praduga rasial di kalangan masyarakat.
Ada anggapan pula kalau pemerintah Orde Baru semata
menempatkan kelompok Tionghoa sebagai “economic animal”
yang bisa sewaktu-waktu diperas. Corak pemerintahan yang anti
demokrasi serta otoritarian tak memberikan banyak kesempatan
bagi terciptanya ruang-ruang dialog dan diskusi menyoal posisi
warga Tionghoa di tengah masyarakat.
Pada masa Orde Baru pula tercatat ada sekitar delapan
produk perundang–undangan yang sangat diskriminatif secara
rasial terhadap etnis Tionghoa, yakni:10
1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang
Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina
2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967
tentang Masalah Cina
3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Keperca
yaan, dan Adat istiadat Cina
4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf
Khusus Urusan Cina
5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng
6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan
Koordinasi Masalah Cina
7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang
Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan
dalam Bahasa dan Aksara Cina
8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang
Larangan
Penerbitan
dan
Pencetakan
Tulisan/Iklan
10 http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-padamasa-orde-lama-dan-orde-baru. Diakses, 29 September 2014.
280
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
Beraksara dan Berbahasa Cina
Selain peraturan yang sifatnya diskriminatif, pada masa Orde
Baru juga terjadi beberapa kali kerusuhan berlatarbelakang
rasial. Sejak 1967, warga Tionghoa selalu jadi korban kekerasan.
Pada 1974, ketika Peristiwa Malari terjadi, ribuan warga Tionghoa
di Jakarta jadi korban. Pada 1980 juga terjadi kerusuhan rasial di
Solo dan Semarang. Puncaknya adalah peristiwa 13-14 Mei 1998 di
Jakarta, di mana ribuan warga Tionghoa jadi korbannya.
Kasus kerusuhan terakhir terjadi menjelang kejatuhan Soeharto.
Sampai saat ini masih begitu banyak versi yang beredar menyoal
siapa orang yang ada di belakang kerusuhan tersebut. Namun
satu yang pasti, korbannya adalah warga Tionghoa. Peristiwa
tersebut menyisakan luka yang dalam di kalangan warga Tionghoa
sekaligus memunculkan sejumlah persoalan yang ternyata tak
kunjung terselesaikan sejak lama.
Beruntung pada zaman Gus Dur berkuasa sebagai presiden, dia
melakukan berbagai terobosan menyangkut keberadaan warga
Tionghoa di Indonesia. Gus Dur membuka keran kebebasan bagi
warga Tionghoa untuk mengeskpresikan identitas kultural mereka
melalui kegiatan seni dan budaya yang selama masa Orde Baru
dilarang.
Tak lama ini, Presiden SBY baru saja menerbitkan sebuah
keputusan tentang penggunaan istilah Tionghoa untuk mengacu
kepada masyarakat Cina di Indonesia dan Tiongkok untuk merujuk
kepada negeri Cina. Ini salah satu tonggak penting yang perlu
diapresiasi karena selama berpuluh-puluh tahun sebutan “Cina”
pada masyarakat Tionghoa bermakna peyoratif dan menunjukkan
penghinaan rasialis.
Dalam masa reformasi ada banyak kemajuan, namun pula
masih ada beberapa kelompok yang menggunakan isu rasialis
sebagai komoditi politik. Contoh paling terbaru adalah isu
281
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
sentimen rasial yang diembuskan kepada pihak Jokowi sebagai
calon presiden dalam Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung di
Indonesia.
Dengan menggunakan media sosial dan cetak11, kelompok
anti-Jokowi menyebut kalau calon presiden itu keturunan Tionghoa
yang beragama Kristen. Dalam masyarakat yang demokratis
dan menghargai keberagaman, tentulah isu tersebut dianggap
angin lalu. Namun penggunaan isu itu oleh lawan politik Jokowi
menujukkan fenomena bahwa sentimen anti-cina masih begitu
kuat di kalangan masyarakat.
Beberapa lembaga survey12 mengatakan bahwa kampanye
hitam
tersebut
berhasil
menurunkan
tingkat
keterpilihan
(elektabilitas) Jokowi di beberapa daerah, khususnya di Jawa
Barat dan Timur.
Agar Siauw Giok Tjhan Tetap Relevan
David Hollinger (1995) membedakan multikulturalisme
dalam dua jenis, pertama: “model pluralis” yang memperlakukan
kelompok sebagai sesuatu yang permanen dan sebagai subyek
dari hak-hak kelompok (groups right). Kedua, “model kosmopolitan”
yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi
ganda dan identitas hibrida; yang menekankan hak-hak individu
(Individual rights).13
Mengacu pada pengalaman di Amerika Serikat dengan
11 Dua orang wartawan, Setiyardi dan Dharmawan Sepriyosa dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian karena melanggar Undang-Undang Pokok
Pers No 40/1999. Pengacara Tim Jokowi mengatakan semestinya dua orang
wartawan ini dikenakan pelanggaran pasal 16 UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. Tempo.co, 16 Juni 2014
12 Lembaga Survey Indonesia (LSI) menyebutkan serangan kampanye hitam bernada rasialis menurunkan suara Jokowi. Sumber: tribunnews.com, 26 Juni 2014.
13 Bonnie Triyana, Eddie Lembong: Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati (Penerbit
Buku Kompas: Jakarta, 2011) Hlm. 26-27
282
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
“melting
pot”-nya,
Hollinger
Bonnie Triyana
lebih
mengidealkan
model
kosmopolitan. Menurutnya, model ini memberi fleksibilitas kepada
individu untuk menentukan seberapa ketat atau seberapa cair
ikatannya dengan salah satu atau pelbagai komunitas. Dengan
demikian identitas bukanlah suatu hal yang fixed, melainkan
senantiasa dalam proses menjadi.14
Berbagai
pemikiran
tentang
masyarakat
multikultural
itu bisa berkembang dalam kondisi di mana masyarakat telah
memiliki kesepahaman yang tinggi dan negara menjalankan
hukum secara tegas dan konsisten. John Rawls (1980) mengatakan
sumber persatuan negeri multikultural adalah apa yang disebutnya
sebagai suatu konsepsi bersama tentang keadilan.15
Maka iklim demokratis menjadi syarat penting bagi
terciptanya masyarakat multikultural yang dalam istilah Siauw
Giok Tjhan disebut integrasi wajar itu. Dalam iklim demokratis yang
terjaga dengan baik, ruang-ruang publik untuk mendiskusikan
wacana multikulturalisme semakin terbuka. Masyarakat sipil
yang kuat dan kebebasan pers diharapkan mampu secara terus
menerus merawat hubungan antar etnis dari sebuah negeri yang
multikultural seperti di Indonesia.
Sudah saatnya pula para tokoh muda Tionghoa ambil
peran aktif di dalam kegiatan politik sehingga bisa turut mewarnai
jalannya arena politik di republik serta turut dalam pengambilan
keputusan penting.
Pendidikan sejarah pun menjadi penting untuk mengatasi
problem diskriminasi yang kerap mendera warga Tionghoa. Lewat
pengajaran sejarah, generasi muda bisa belajar mengenai peran
penting warga Tionghoa di masa lalu. Sumbangan warga Tionghoa
bagi pembangunan nasion-state Indonesia melalui sastra, bahasa
14 Ibid
15 Ibid
283
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
dan pers harus disampaikan agar timbul pemahaman bahwa
saudara Tionghoa mereka bukanlah datang untuk bertamu,
melainkan ada di negeri ini untuk bersama-sama mencapai tujuan
bersama sebagai orang Indonesia.
Media Sosial dan Penyebarluasan Gagasan Multikulturalisme
Perkembangan dalam teknologi informasi yang semakin
pesat, seperti merebaknya penggunaan media sosial akhirakhir ini, menjadi peluang untuk terus menyuarakan gagasangagasan masyarakat yang multikultural berbasiskan keadilan dan
kesetaraan. Indonesia adalah pengguna facebook dan twitter
terbesar ketiga di dunia. Jutaan orang terhubung melalui media
sosial.
Tak jarang pula media sosial digunakan justru sebagai alat
penebar sentimen rasialisme seperti yang pernah terjadi pada
masa kampanye pemilihan presiden yang lalu.16 Lemahnya
pemberlakuan hukum17 bagi para penebar kebencian itu mau
tak mau harus dilawan lewat media serupa. Twitter, misalnya,
telah berhasil digunakan untuk menggalang aksi demonstrasi
menentang rezim Hosni Mubarak di Mesir.
Oleh karena itu media sosial menjadi media alternatif untuk
membagi gagasan dan menjalin komunikasi dengan pengguna
media sosial lainnya yang datang dari berbagai latar belakang
etnis. Media sosial kini menjadi semacam ruang publik alternatif
untuk membawa (dan mendiskusikan) problem-problem sosial di
16 Akun-akun anonim seperti @TrioMacan2000 atau @Ronin memiliki jumlah follower mencapai ribuan dan kerapkali menebarkan kampanye sentimen rasialisme lewat twitter.
17 Kendati ada UU ITE, namun seringkali pelaku penyebaran sentimen rasialis di
media sosial jarang bisa diseret ke pengadilan. Seringkali penyebarluasan kebencian itu dilakukan atas nama kebebasan menyampaikan pendapat, kendati tentu saja hal itu adalah salah kaprah.
284
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Bonnie Triyana
alam nyata ke dunia maya.
Beberapa waktu terakhir ini, pengguna media sosial di
Indonesia aktif menggalang aksi untuk mencegah agar para
legislator di parlemen tidak mengesahkan UU Pilkada melalui
DPRD. Setelah gagal mencegah, gerakan pun berubah dengan
menuntut SBY untuk segera membatalkan UU tersebut melalui
Perppu. Untuk sementara berhasil, karena sebagaimana telah
disebutkan di atas, Presiden SBY menerbitkan Perppu No 1/2014
yang membatalkan UU Pilkada.
Media sosial menjadi penting sebagai medium kritik yang
pada tahap tertentu diharapkan bisa merawat demokrasi yang
kini sedang berjalan di Indonesia. Tanpa adanya demokrasi yang
memberikan kesempatan yang setara kepada setiap individu
untuk dipilih dan memilih, maka pemimpin seperti Ahok kecil
kemungkinan bakal terpilih, betapapun integritas pribadinya dan
kualitas kepemimpinannya di atas rata-rata.
Organisasi-organisasi seperti INTI, Gema INTI atau organisasi
lain yang memiliki perhatian pada isu multikulturalisme seyogianya
menggunakan media sosial untuk membagi ide, menjalin interaksi
dan membuka ruang diskusi lebih luas kepada publik. Inilah revolusi
teknologi informasi yang belum hadir semasa Siauw Giok Tjhan
hidup.
Dan inilah masa depan Siauw Giok Tjhan: saat di mana
gagasan integrasi wajar bisa diuji dan disebarluaskan melalui
media sosial untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang
bisa saling menghargai terhadap keunikan dari masing-masing
kelompok etnis yang ada di dalamnya. Saat di mana setiap
tindakan diskriminasi bisa segera diresponse melalui gerakan sosial
yang berawal di dunia maya.
285
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
Mengenang Siauw Giok Tjhan
Pejuang Kemerdekaan Indonesia
Harry Bhaskara1
Kalau saja Siauw Giok Tjhan masih hidup, ia akan
menyongsong peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke
68 ini dengan hati berbunga-bunga.
Betapa tidak, begitu banyak hal yang ia perjuangkan telah
menjadi kenyataan. Indonesia hanya mengenal satu macam
kewarganegaran dengan hak dan kewajiban yang sama. Tak
ada lagi pembagian “asli” atau pribumi dengan non-pribumi.
Kemanunggalan
komunitas
Tionghoa
dengan
rakyat
Indonesia juga makin nyata dengan banyaknya anggota
komunitas ini yang berkiprah didalam masyarakat. Contoh terakhir
adalah Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama yang menjadi wakil
gubernur Jakarta.
Larangan terhadap kebudayaan Tionghoa sudah dihapus.
Bagi Siauw hal ini hanya membenarkan pandangannya
bahwa kebudayaan tak bisa dimusnahkan. Sama seperti alam
Indonesia yang kaya, perbedaan kebudayaan berbagai suku di
Indonesia adalah sebentuk kekayaan.
Siauw yang meninggal tahun 1981 adalah seorang wartawan
pejuang yang kemudian duduk dalam berbagai bidang legislatif
dari KNIP sampai MPRS dan menjadi menteri dalam kabinet Amir
Syarifuddin.
1 Harry Bhaskara adalah mantan Managing Editor Jakarta Post. Ia kini bermukim di Australia, sebagai koresponden harian Kompas. Ia adalah fellow dari Asia
Research Centre, Murdoch University, Perth dan Graduate School of Journalism,
University of California, Berkeley, dan East West Center, Hawaii.
286
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
Siauw bahkan memperjuangkan agar Tionghoa diterima
sebagai suku sendiri, sebagaimana didukung oleh Sukarno,
presiden pertama Indonesia, karena orang Tionghoa di Indonesia
memiliki budaya sendiri yang khas yang berbeda dengan orangorang Tionghoa di negara lain termasuk di Tiongkok sendiri.
Namun
naskah-naskah
tulisan
yang
ditinggalkannya
beberapa tahun sebelum meninggal, termasuk “Lima Jaman”,
membuktikan bahwa perjuangannya meletakkan kepentingan
rakyat di atas kepentingan komunitas Tionghoa.
Dari naskah-naskah tersebut nyata bahwa obsesi utamanya
adalah membasmi kemiskinan rakyat dan membangun Indonesia
yang gemilang.
Siauw Giok Tjhan adalah ketua Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) ketika peristiwa G30S
meletus pada tahun 1965. Seperti banyak pemimpin dan anggota
organisasi yang dianggap sealiran dengan Partai Komunis
Indonesia, ia ditahan selama 12 tahun.
Namun
setelah
ditahan
tanpa
pernah
dibuktikan
kesalahannya ia tidak merasa getir terhadap Indonesia, tutur Dr.
Siauw Tiong Djin, putranya yang ditemui di Melbourne.
“Ia memang selalu berpikir positif dan optimis,” tutur Tiong
Djin, tokoh masyarakat Indonesia dan pengusaha yang berhasil di
Melbourne.
Adalah almarhum Daniel Lev dari Amerika dan almarhum
Herb Feith dari Australia, dua ahli terkemuka dan pencinta
Indonesia, serta Go Gien Tjwan, teman seperjuangan Siauw,
yang mendorong Tiong Djin untuk membuat buku riwayat hidup
ayahnya.
“Kamu punya pengalaman langsung,” begitu kira-kira
ucapan Lev pada Tiong Djin yang pindah ke Melbourne ketika ia
masih kelas tiga SMA sekitar 40 tahun lalu.
287
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
Buku berjudul “Siauw Giok Tjhan Dalam Pembangunan
Nasion Indonesia” selesai ditulisnya tahun 1998 sebagai tesis
PhDnya di Universitas Monash.
Tiong Djin kemudian juga mengedit naskah-naskah terakhir
Siauw yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Sinergi Indonesia
tahun 2010 dalam sebuah buku berjudul “Renungan Seorang
Patriot Indonesia: Siauw Giok Tjhan”.
Menurut Tiong Djin, sumbangan komunitas Tionghoa dalam
sektor ekonomi cukup besar sejak zaman penjajahan Belanda.
Sumbangan ini mencakup pembentukan jaringan distribusi antara
desa dan kota maupun antar kota; pembentukan jaringan retail;
transportasi dan penggilingan beras.
Dalam bidang politik dan kebudayaan, komunitas Tionghoa
diketahui sudah lama aktif dalam dunia penerbitan seperti
suratkabar dan buku-buku.
“Sebagian besar surat kabar dan majalah berbahasa
Indonesia pra- kemerdekaan dijalankan dan dimodali oleh
komunitas Tionghoa,” tuturnya.
Penyebar-luasan berita tentang aspirasi para pejuang
kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh beberapa surat kabar
terutama Sin Po, Matahari dan Sin Tit Po.
“Kedua suratkabar terakhir ini dipimpin oleh tokoh-tokoh
Partai Tionghoa Indonesia (PTI),” tambahnya.
Dr. David Hill, professor dan kepala Studi Asia di Murdoch
University, Perth, mengatakan banyak orang Tionghoa yang ikut
mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia.
“Yang jelas, cukup banyak organisasi serta pemimpin
masyarakat Tionghoa yang muncul pada awal kemerdekaan untuk
menyatakan dukungannya pada gerakan tersebut,” tuturnya.
Seperti Tiong Djin, Hill yang juga dikenal sebagai pemerhati
pers Indonesia, mengatakan peranan masyarakat Tionghoa
288
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
sangat terkenal di bidang media.
“Wartawan ataupun editor yang berperan penting antara
lain adalah Inyo Beng Goat dengan koran Keng Po,” tambah Hill.
Peran ini kemudian diteruskan di zaman kemerdekaan oleh
orang-orang seperti P.K. Oyong dengan Kompas, tambahnya.
“Tanpa masukan dan sumbangan pikiran, kepemimpinan,
dan tenaga dari orang2 seperti mereka itu, sulit membayangkan
media cetak Indonesia berkembang seperti yang kita lihat
sekarang,” tuturnya.
Sejalan dengan itu, Hill mengatakan, sumbangan komunitas
Tionghoa juga besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia.
“Kalau kita lihat ciri-ciri bahasa Indonesia sekarang, jelas
mencerminkan kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa,
baik dalam bahasa baku maupun bahasa lisan yang informal,”
tambah Hill yang di Australia gigih memperjuangkan kelangsungan
pelajaran bahasa Indonesia baik di sekolah maupun di universitas
yang terus tergerus sejak lebih 10 tahun terakhir.
“Kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa cukup
banyak, antara lain, kakak, kecap, kue, kuli, lihai, lobak, loténg,
tahu, teh, dan teko,” tuturnya.
Pendapat Hill didukung oleh Dr. Ian Chalmers, dosen senior
dalam Studi Asia dan Hubungan Internasional di Curtin University,
Perth.
“Saya kira sudah diterima oleh kebanyakan sejarawan
bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia mengawali gerakan
kemerdekaan dengan kegiatan di bidang budaya, dengan
mempromosikan pemakaian bahasa Indonesia,” tuturnya pada
Kompas.
“Yang menarik, perubahan pada tingkat kesadaran dan
visi masa depan tersebut justru mendahului perubahan pada
tingkat politik dengan meningkatnya kepercayaan diri kelompok-
289
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
kelompok tertentu di dalam masyarakat Tionghoa,” tuturnya.
Mungkin karena banyak masyarakat Tionghoa terlibat
dalam dunia bisnis, tambah Chalmers, maka mereka sudah
terbiasa memakai bahasa Melayu
“Jadi tidak mengherankan bila banyak usaha pers untuk
pertama kali dimulai ataupun dikerjakan oleh wartawan keturunan
Tionghoa,” tutur Chalmers.
Tiong Djin menambahkan, lahirnya PTI telah mendorong
partisipasi komunitas Tionghoa dalam kancah perjuangan nasional.
Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian, Tan Ling Djie
(sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI
setelah peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun
1951), Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat (yang dibunuh bersama Amir
Syarifuddin pada tahun 1948) dan Siauw Giok Tjhan.
Menurut Tiong Djin, keteguhan sikap ayahnya untuk
mendukung kemerdekaan Indonesia terbentuk di PTI.
Sikap itu antara lain adalah menerima Indonesia sebagai
tanah air komunitas Tionghoa; komunitas Tionghoa di Indonesia
adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia;
Tiongkok dan Belanda bukan pilihan hidup komunitas Tionghoa
dan jalan keluar jangka panjang untuk komunitas Tionghoa adalah
terwujudnya negara Indonesia yang merdeka.
“Keteguhan ini juga bersandar atas paham Marxisme yang
di zaman itu menjadi “the in thing” – melawan kelaliman dan
penindasan.
“Belanda berada di pihak penindas, pemeras.
Rakyat
Indonesia adalah pihak yang harus dibela dan dibebaskan dari
belenggu penjajahan dan penindasan.”
Keteguhan
sikap
berkembang
pula
karena
kian
mendekatnya hubungan Siauw dengan para tokoh nasionalis
lainnya, sebelum Jepang masuk dan selama Jepang menduduki
290
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
Indonesia dari 1942 hingga 1945, tambah Tiong Djin.
“Di awal kemerdekaan, bersama tiga tokoh PTI,
Liem
Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien, Siauw ikut memformulasi
tuntutan komunitas Tionghoa dalam pembahasan bentuk negara
merdeka Indonesia melalui Liem Koen Hian yang yang menjadi
anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI).
“Ekses-ekses revolusi yang merugikan komunitas Tionghoa
dilihatnya sebagai ekses dan proses yang memerlukan pendidikan
politik. Oleh karena itu Siauw aktif di Partai Sosialis dan secara
kebetulan diangkat sebagai pimpinan penerangan Partai Sosialis
(1946-1948).”
Melalui pers dan penerbitan buku-buku bacaan, komunitas
Tionghoa secara tidak langsung membantu perkembangan
bahasa Indonesia, tambah Tiong Djin, dimulai dari bahasa yang
dinamakan Tionghoa-Melayu.
“Akan
tetapi,
pada
hakekatnya
bahasa
Indonesia
berkembang justru karena pers dan buku-buku yang diterbitkan
komunitas Tionghoa,” tutur Tiong Djin.
Tiong Djin memberi jawaban menarik ketika ditanya tentang
sikap para pejuang Indonesia terhadap pejuang Tionghoa.
“Yang progresif dan matang seperti Sukarno, Hatta, Yamin,
Amir Syarifuddin, Sjahrir, Sutomo dan lain-lain menerima komunitas
Tionghoa sebagai aliansi dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
“Akan tetapi cukup banyak yang melihat Tionghoa sebagai
aliansi Belanda karena memang ada kelompok yang bersikap
demikian, yang dipimpin oleh Chung Hua Hui.
“Juga banyak yang menganggap Tionghoa sebagai
komunitas apatis, yang maunya hanya berdagang dan hidup
enak.
291
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
“Oposisi dari komunitas Tionghoa sendiri berat.
Mereka
menganggap anjuran Siauw Giok Tjhan tidak tepat.
“Siapa yang percaya bahwa Indonesia bisa melawan
Belanda?
Dan siapa yang menganggap Indonesia lebih baik
sebagai sandaran dibandingkan dengan Tiongkok, one of the big
Five di PBB?
“Hingga tahun 1950-an, pandangan Siauw tidak diterima
oleh sebagian besar komunitas Tionghoa.”
Bagaimana sikap Belanda terhadap komunitas Tionghoa?
“Belanda selalu menjalankan politik ‘divide and rule’.
Tionghoa dipakai sebagai alat ampuh dalam menjembatani usaha
dagang Belanda dan rakyat - terutama dalam bidang retail dan
distribusi. Juga sebagai wakil mereka dalam bidang perkebunan di
berbagai lokasi bahkan diberi pangkat mayor, kapten dan letnan.
“Tapi pada hakekatnya tidak diterima sebagai Belanda
dan dijadikan perisai dalam menghadapi kemarahan rakyat.
“Tentunya mereka khawatir dengan kehadiran PTI yang
mengandung gerakan politik menunjang gerakan kemerdekaan,”
tutur Tiong Djin.
Lalu, apakah yang ditinggalkan Siauw bagi Indonesia?
Menurut
Tiong
Djin
warisan
utama
Siauw
adalah
kewarganegaraan Indonesia bagi sebagian besar komunitas
Tionghoa.
“Tanpa perjuangan Siauw pada tahun 1950-an dalam
membatalkan RUU kewarganegaraan 1953/1954, sebagian besar
komunitas Tionghoa kini berstatus asing.
“Warisan lain adalah komunitas Tionghoa menerima ajakan
Siauw untuk menerima bahwa Indonesia adalah tanah airnya,
bukan Tiongkok. Dan menerimanya dengan prinsip integrasi,
bukan assimilasi yaitu menjadi Indonesia tanpa menghilangkan
ciri-ciri etnisitas dan kebudayaan Tionghoa.”
292
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Harry Bhaskara
Siauw meninggal karena serangan jantung di negeri
Belanda, dimana ia menjalani pengobatan setelah masa
penahanan, ketika berjalan kaki melintasi sebuah jembatan untuk
menjadi pembicara sebuah diskusi mengenai Indonesia dengan
para intelektual Belanda.
Kepergiannya bak sebuah metafora bahwa generasinya
adalah sebuah jembatan menuju Indonesia yang gemilang.
293
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Lagi Dikenal
Candra Jap1
Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih yang
setinggi-tingginya kepada segenap keluarga besar Siauw Giok
Tjhan, segenap panitia acara 100 tahun Siauw Giok Tjhan serta
para alumni Universitas Res Publica (Ureca) yang telah memberikan
kesempatan untuk menuliskan pandangan saya sebagai anak
muda tentang Siauw Giok Tjhan. Sungguh sebuah kehormatan
yang tidak terkira.
Semua bermula pada awal April 2014 lalu, beberapa hari
setelah Pengurus Pusat GEMA INTI (Generasi Muda Indonesia
Tionghoa) menyelenggarakan Diskusi Terbuka 100 Tahun Siauw
Giok Tjhan di Sekretariat Perhimpunan INTI, Jakarta. Pak Tan Swie
Ling menghubungi saya melalui telpon, beliau menjelaskan saat
ini ia dengan beberapa teman sedang menyiapkan materi untuk
menerbitkan buku 100 Tahun Siauw Giok Tjhan. Dan saya sebagai
anak muda diminta untuk ikut membuat tulisan juga tentang Siauw.
Waktu itu saya langsung mengiyakan saja, karena sungkan dan
tidak berani menolak permohonan beliau. Pertanyaan saya
kepadanya waktu itu hanya satu, “Kapan deadline-nya, pak?”.
Padahal dalam hati, saya agak bingung karena jujur saja saya
sendiri masih terbata-bata mengenal sosok Siauw. Siauw yang
saya kenal hanya melalui tulisan dan cerita yang dikisahkan oleh
para alumni Ureca yang kebetulan banyak bersentuhan langsung
di Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi, di mana saya menjadi
salah satu pengurus aktifnya.
Akhirnya saya memutuskan tulisan yang nanti akan saya
1 Candra Jap adalah salah satu pemimpin Gerakan Muda INTI
294
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
buat adalah sebuah tulisan mengenai pandangan anak muda
masa kini tentang Siauw Giok Tjhan. Tidak akan terlalu banyak
membahas tentang sisi historis ketokohan dan perjuangannya,
karena saya sendiri tidak mengenal dan berinteraksi dengan
pribadinya
langsung.
Apalagi
tentang
perjuangan
dan
pergerakan politiknya, saya rasa para sejarawan akan lebih
paham dan detil dalam menuliskannya.
Layaknya menulis sebuah tulisan tentang seorang tokoh,
hal pertama yang saya lakukan adalah membuat sebuah survey
kecil tentang Siauw. Ini saya lakukan salah satunya juga karena
saya dihinggapi rasa kekuatiran. Kalau-kalau tulisan yang nanti
saya buat akan menjadi tidak objektif, karena saya dekat sekali
dengan beberapa pengikut Siauw yang menjadi pengurus di
Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi. Semua cerita yang
saya dengar tentang Siauw selalu tentang kisah kehebatannya
khususnya cerita heroiknya dalam mendirikan Ureca.
Tetapi pada perjalanannya, kekuatiran tersebut berubah
menjadi sebuah rasa miris yang bahkan boleh dibilang sebagai
ironi yang menyedihkan. Siauw Giok Tjhan, pendiri Baperki dan
Universitas Res Publica (Ureca). Seorang tokoh besar di masa lalu
yang memberikan warisan pemikiran tentang kebangsaan untuk
Indonesia dan etnis Tionghoa khususnya. Namanya sekarang
menjadi sangat asing di telinga anak-anak muda Indonesia, sedikit
sekali yang mengetahui bahkan mengingat tentang ketokohan
dan perjuangan besarnya di masa lalu.
Ini berdasarkan hasil survey yang saya lakukan ke beberapa
anak muda. Dari 30 orang yang ditanya, hanya 2 orang yang tahu
siapa itu Siauw Giok Tjhan. Emang dia siapa, begitu jawab mereka
rata-rata yang tidak mengenalnya. Sempat juga di Facebook saya
meng-update status bertuliskan, “Siauw Giok Tjhan?”. Seorang
teman kecil dari SD lalu malah menuliskan komentar, “Itu nama
295
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
Tionghoa lu ya, Can?”. Ia berpikiran seperti itu karena ada kata
Tjhan di belakangnya, yang ia pikir dari nama saya Candra.
Rezim Orde Baru tampaknya berhasil betul merobek kisah
Siauw dari lembaran catatan perjalanan bangsa Indonesia. Siauw
seperti terhapus dalam ingatan sejarah bangsa ini. Walau ada
banyak buku dan literatur yang menuliskan kisahnya, tapi keinginan
anak-anak muda untuk mencari tahu lebih dalamnyalanya redup
saja seperti lampu tempel yang kurang minyak.
Theresia Stefanus salah seorang pengurus GEMA INTI ketika
diajak berbicara mengenai sosok Siauw yang tidak dikenal oleh
generasi sekarang, malah terus terang berkata ya memang tidak
ada yang tahu. Kalau bukan anak sejarah atau kuliah di jurusan
politik, sepertinya tidak ada yang tahu siapa Siauw kecuali mereka
yang aktivis atau melek dan sadar politik. Ia berkaca pada dirinya
sendiri sebagai seorang gadis Tionghoa lulusan Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia tahun 2009, ia sendiri baru mendengar
tentang Siauw Giok Tjhan karena bergabung dengan GEMA INTI
tahun lalu.
Saya sendiri jika 5 tahun ke belakang ditanya siapa itu Siauw
Giok Tjhan, sudah pasti akan geleng kepala dan menjawab tidak
tahu. Sebagai anak muda Tionghoa yang kala itu masih berusia 26
tahun dan sedang mencari sosok pahlawan Indonesia dari etnis
Tionghoa yang bisa dibanggakan. Saya lebih mengenal sosok Soe
Hok Gie dengan segala kisah catatan demonstrannya, ditambah
karena menonton film Gie karya Riri Riza dan Mira Lesmana pada
tahun 2005.
Bagi saya saat itu, sosok Soe Hok Gie luar biasa sekali.
Kiprah nya sebagai anak muda Tionghoa aktif dalam dunia
pergerakan dan ikut aksi turun ke jalan menumbangkan ‘penguasa’
saat itu, berhasil menyulut rasa nasionalisme saya menjadi bangkit
dan bergemuruh berkembali setelah luntur dan kusam akibat
296
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
peristiwa Tragedi Mei 98. Rasanya jadi berani bertepuk dada,
bangga sebagai anak muda Tionghoa karena menemukan bukti
kalau etnis Tionghoa juga punya tokoh yang berperanan dan ikut
andil dalam sejarah Indonesia.
Ternyata, belakangan baru saya tahu ada cerita di balik
cerita dari kisah Soe Hok Gie kala itu. Bagaimana Soe Hok Gie
dan kakaknya Arief Budiman yang berbeda pandangan de
ngan Siauw Giok Tjhan tentang masalah politik etnis Tionghoa di
Indonesia. Siauw dengan Baperkinya mengusung paham Integrasi,
sedangkan Gie dan Arief bersama LPKB (Lembaga Pembinaan
Kesatuan Bangsa) mengusung paham Asimiliasi.
Membaca tulisan Arief Budiman yang berjudul “Siauw
Giok Tjhan Yang Tidak Saya Kenal”, dari sana saya mengetahui
secara singkat. Kubu Integrasi yang dekat dengan Bung
Karno
memperjuangkan
keanekaragaman
budaya
atau
“multikulturalisme”. Meminta supaya orang Tionghoa diakui
sebagai salah satu suku di Indonesia, seperti layaknya suku Jawa,
Batak, Minang, dan sebagainya. Budaya Tionghoa juga patut
dikembangkan seperti halnya kebudayaan suku lain. Semua
kebudayaan ini seharusnya dianggap sebagai kekayaan budaya
Indonesia yang berdasarkan pada semboyan Bhineka Tunggal
Ika.
Sedangkan kubu Asimilasi yang dekat dengan Militer kala
itu berbeda pandangan. Bagi mereka, orang-orang Tionghoa di
Indonesia tidak bisa disamakan sebagai salah satu suku, karena
bukan berasal dari salah satu daerah yang ada di Indonesia tapi
dari daratan Tiongkok. Kubu Asimilasi kuatir, kalau budaya dan
identitas Tionghoa ini dikembangkan, akan terjadi loyalitas ganda
dalam sikap kebangsaan orang-orang Tionghoa ini. Kepada yang
mana mereka harus lebih setia, Tiongkok atau Indonesia? Karena
itu, kubu Asimilasi menginginkan supaya orang-orang Tionghoa
297
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam
tubuh bangsa Indonesia. Perkawinan campur antara orang-orang
Tionghoa dan orang-orang pribumi dianjurkan sebagai salah satu
usaha peleburan total, badaniah dan rohaniah.
Sejarah mencatat akhirnya aksi turun ke jalan Soe Hok
Gie bersama mahasiswa dan dibantu Militer kala itu berhasil
menurunkan Soekarno dan menaikkan Soeharto sebagai presiden
RI kedua. Hal tersebut ternyata memakan banyak korban
khususnya orang-orang Tionghoa termasuk Siauw dan kelompok
Integrasi yang dianggap dekat dengan Bung Karno.
Arief menuliskan Militer yang berkuasa saat itu segera
melakukan pembunuhan masal terhadap orang-orang yang
dituduh PKI, dan memasukkan mereka ke penjara. Dalam hal
kebijakannya, pemerintah militer Orde Baru di bawah Jendral
Suharto melakukan tindakan ekstrim. Polemik intelektual antara
Baperki dan LPKB tentang posisi warga Tionghoa, akhirnya
diputuskan sepihak dan dijalankan paksa dengan bantuan
kekuasaan negara.
Doktrin Asimilasi bukan saja diterapkan, tapi dilaksanakan
secara sangat ekstrim. Pertama, nama orang Tionghoa dianjurkan
diganti menjadi nama Indonesia. Kedua, secara resmi istilah
Tionghoa diganti menjadi Cina, sebuah istilah yang dianggap
menghina untuk orang Tionghoa saat itu. Lalu ketiga, segala bentuk
ekspresi kebudayaan Tionghoa dilarang, seperti penggunaan huruf
Kanji, perayaan tradisional seperti Tahun Baru Imlek, pertunjukan
barongsai dan naga, dan sebagainya. Cuma kawin paksa saja
yang tidak dilakukan.
Seiring perjalanan waktu menyaksikan kebijakan yang
dijalankan oleh pemerintah Suharto terhadap orang-orang
Tionghoa di Indonesia, Arief mengakui Asimilasi merupakan sebuah
doktrin yang salah. Salah satu hal yang menyadarkannya adalah
298
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
pengalaman ketika belajar di Amerika Serikat selama 8 tahun,
yakni dari tahun 1973 sampai 1981. Di sana ia melihat bahwa
orang-orang Hitam memperjuangkan identitas budayanya tanpa
mengurangi sikap nasionalis mereka. Mereka menganggap diri
mereka sebagai orang Amerika. Dengan semboyan “Black is
Beautiful,” mereka mempopulerkan kebudayaan Afro-Amerika,
dan yang pada akhirnya ikut memperkaya kebudayaan Amerika.
Pengalaman di Amerika itu membuat Arief sadar bahwa
mempertahankan kebudayaan etnis tetap bisa dilakukan, tanpa
menjadi kurang nasionalis. Nasionalisme dan etnisitas bukanlah
dua hal yang saling meniadakan, tapi mereka bisa saling
berinteraksi dan saling memperkaya. Doktrin ini dikenal dengan
nama “multikulturalisme”, yang sedari dulu diperjuangkan oleh
Baperki dan Siauw Giok Tjhan. Doktrin yang dulu sangat ditentang
olehnya.
Membaca tulisan Arief Budiman tentang Siauw, saya jadi
teringat sebuah kalimat sederhana “Pengakuan terbaik datang
dari seorang musuh atau lawan”. Seseorang dianggap sebagai
pemenang sejati ketika lawan yang sebelumnya menyerang habishabisan akhirnya mengakui kekalahannya secara legawa. Melalui
tulisannya, Arief secara tulus mengakui bahwa doktrin Integrasi
yang diusung oleh Baperki dan Siauw adalah paham politik yang
paling tepat untuk orang Tionghoa di Indonesia.
Bagi saya pribadi, Siauw Giok Tjhan sosok yang hebat.
Walaupun terlahir sebagai minoritas, Siauw telah meresapi
dan memaknai secara utuh tentang kebangsaan Indonesia
dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perjuangan dan warisan
pemikirannya
tentang
nasionalisme
dan
integrasi
atau
multikulturalisme sudah pantas untuk membuatnya sebagai
seorang tokoh bangsa, setidaknya ia telah menempatkan pondasi
awal tentang penyelesaian masalah politik keberadaan orang
299
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
Tionghoa di Indonesia.
Tetapi saat ini harus diakui juga bahwa ketokohan Siauw
sulit untuk dikenal atau dicintai oleh anak-anak muda zaman
sekarang. Kisah hidupnya tidak seheroik dan sedramatis Soe
Hok Gie yang turun ke jalan dan mati muda di Gunung Semeru.
Kesederhanaan, keteguhan, kerendahan hati, serta kepintarannya
dalam bernegosiasi hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang
memang dekat dan bersentuhan langsung dengan dirinya.
Sebagai anak muda yang besar di masa Orde Baru, saya
sendiri sempat menjadi bagian dari anak-anak muda yang tidak
mengenalinya sebagai tokoh besar. Tetapi saya ingin bercerita
sedikit mengenai sebuah kisah yang mudah-mudahan bisa
membesarkan hati Siauw bahwa ia tetap ada dan tidak dilupakan
oleh generasi sekarang.
Pada
akhir
tahun
2011
lalu,
salah
seorang
pendiri
Perhimpunan INTI Benny G. Setiono dan Wakil Sekjen Perhimpunan
INTI Ulung Rusman meminta saya, Hardy Stefanus dan Jandi
Mukianto untuk menghidupkan kembali GEMA INTI yang sudah
mati suri beberapa tahun. Tantangan pertama yang kami hadapi
saat itu adalah bagaimana membuat sebuah kalimat sederhana
yang bisa menjelaskan visi misi INTI secara menarik ke anak-anak
muda agar mereka mau ikut bergabung. Bukan perkara mudah
mensarikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga
Perhimpunan INTI yang tebal dan baku menjadi sebuah kalimat
sederhana yang menarik untuk anak muda.
Setelah sekian lama mencari, jawaban itu akhirnya datang
saat bulan Mei 2012 lalu. Ketika dilangsungkannya Reuni ke-7
Alumni Ureca di Hotel Seruni 3, Cisarua, Jawa Barat. Waktu itu
kebetulan saya diminta ikut membantu menjadi salah satu panitia.
Saya yang datang dengan niat hanya ingin membantu para
orang tua bereuni, tanpa memiliki pengetahuan tentang Ureca
300
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
dan Siauw Giok Tjhan yang mendalam, ketika itu seperti mendapat
pencerahan dari langit.
Siauw Tiong Djin, salah seorang putra Siauw Giok Tjhan
malam itu memberikan kata sambutan yang cukup panjang. Saya
mendengarkan sambil sepintas lalu karena kesibukan dipanggil ke
sana kemari membantu para panitia dan peserta reuni. Tetapi saat
Tiong Djin berbicara di bagian Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya, saya kebetulan berdiri di depan dan bisa mendengarkan
secara jelas. “Jadi tujuan Siauw Giok Tjhan mendirikan Baperki
saat itulah adalah untuk memberikan penyadaran kepada semua
orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia”, begitu
ucap Siauw Tiong Djin malam itu.
Sepotong kalimat buah pemikiran Siauw Giok Tjhan itu
langsung tertanam kuat di otak saya. Inilah jawaban yang kami
cari selama ini, memberikan penyadaran kepada semua orang
bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ketika saya
menceritakan hal ini kepada Hardy, ia juga langsung menyukai
kalimat tersebut.
Sejak saat itu ditetapkan visi misi GEMA INTI secara garis
besar adalah memberikan penyadaran kepada semua orang
bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Dengan kalimat
sederhana tersebut, sampai hari ini GEMA INTI terus berkembang
dan menjadi semakin besar. Banyak anak muda yang tertarik
bergabung karena merasa cocok dengan kalimat berkonsep
multikulturalisme itu.
Tetapi pada prakteknya di lapangan memang tidak
semudah itu untuk meyakinkan anak-anak muda khususnya
Tionghoa agar mau bergabung dengan GEMA INTI. Jangankan
mengajak untuk memberi penyadaran kepada semua orang
bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, mendengar kata
organisasi saja mereka sudah malas duluan. Takut, karena dianggap
301
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
berbau politik. “Ngapain sih ngurusin begituan, mendingan cari
duit ajalah” begitu jawaban dari mereka yang kebanyakan lahir
pada tahun 80-an.
Sangat wajar rasanya jika melihat mereka jadi apatis seperti
itu, generasi yang lahir tahun 80-an memang ikut mengalami
langsung peristiwa Tragedi Mei 1998. Usia yang kala itu baru beranjak
remaja dipaksa melihat dan menerima kenyataan bahwa terlahir
sebagai etnis Tionghoa ketika itu adalah sebuah dosa yang tidak
terampuni. Orang Tionghoa pantas dijarah, dipukuli, diperkosa, dan
dibantai ketika itu. Negara tidak hadir untuk memberikan jaminan
rasa keamanan kepada mereka sebagai warga negaranya saat
itu, jadi sekarang buat apa mereka peduli dengan negara ini.
Wah pantas saja GEMA INTI mati suri, pikir saya saat itu.
Warisan pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme
sekarang ini tidak bisa diterapkan bulat-bulat begitu saja. Harus
mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan dan kondisi
zaman saat ini. Tantangan yang dihadapi sudah berbeda dulu
dengan sekarang.
Kalimat visi misi GEMA INTI warisan Siauw, memberikan
penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah
bagian Indonesia, akhirnya kami modifikasi sedikit. Atau diberi
tambahan tepatnya, menjadi memberikan penyadaran kepada
semua orang baik Tionghoa maupun non Tionghoa bahwa
Tionghoa adalah bagian Indonesia.
Awalnya kami beranggapan yang perlu diberi penyadaran
hanyalah
orang-orang
non
Tionghoa,
karena
banyaknya
penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru tentang
orang Tionghoa yang perlu diluruskan. Orde Baru menghapus
banyak sekali catatan sejarah peranan dan sumbangsih orang
Tionghoa dalam ikut mendirikan dan membangun Republik ini
sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebab itu kami beranggapan
302
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
bahwa hal pertama yang harus GEMA INTI lakukan adalah
memberikan penyadaran kepada orang-orang non-Tionghoa
bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ternyata, kami
salah.
Pekerjaan rumah terbesar dan terberat yang pertama
kali harus dilakukan GEMA INTI adalah memberikan penyadaran
terlebih dahulu kepada orang-orang Tionghoa bahwa mereka
juga adalah bagian dari Indonesia. Bahwa banyak tokoh Tionghoa
ikut andil dan berperanan dalam mendirikan Republik ini. Rezim
Pemerintah Orde Baru yang telah dengan sengaja menghapusnya
dari catatan sejarah bangsa ini, bahkan melakukan diskriminasi
terhadap
orang
Tionghoa
dengan
berbagai
kebijakannya
(discrimination by state).
Orang-orang Tionghoa juga perlu diberikan penyadaran
bahwa diskriminasi terhadap orang Tionghoa sebenarnya sudah
dilakukan oleh penjajah Belanda sejak zaman pra-kemerdekaan
dengan politik segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis
secara paksa). Pemerintah kolonial Belanda saat itu membagi
warga negara di Hindia Belanda ke dalam 3 tingkat yaitu orang
Eropa; Timur Asing yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India
maupun non-Eropa lainnya; dan kaum bumiputera atau pribumi.
Orang Eropa berada di puncak hierarki tertinggi sebagai warga
negara kelas 1. Sementara orang-orang Timur Asing termasuk
Tionghoa berada di kelas 2. Sengaja diposisikan berhadapan
langsung dengan kaum bumiputera yang berada di bawahnya,
jika terjadi kebijakan Belanda yang memberatkan. Siasat Belanda
yang memposisikan orang Tionghoa sebagai bemper untuk yang
berhadapan langsung dengan kaum bumiputera itulah yang
akhirnya menimbulkan kebencian terhadap orang Tionghoa di
dalam masyarakat (discrimination by society).
Perihal mengenai discrimination by state dan discrimination
303
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
by society inilah yang perlu dan harus diketahui anak-anak muda
Tionghoa saat ini. Mereka harus sadar bahwa diskriminasi yang
terjadi selama ini terhadap etnis Tionghoa ada asal mulanya. Jika
mereka sudah memahami tentang hal tersebut, akan lebih mudah
nantinya bagi mereka untuk memaknai pemikiran Siauw tentang
konsep nasionalisme dan multikulturalisme.
Saya sendiri mendapat pemahaman tentang kedua
hal tersebut dari Benny G. Setiono salah seorang pendiri
Perhimpunan INTI yang juga alumni Ureca. Kerapkali berdiskusi dan
mendampinginya sebagai pembicara tentang masalah Tionghoa
ke berbagai daerah membuat saya sedikit banyak jadi paham
tentang permasalahan politik etnis Tionghoa di Indonesia. Harus
diakui bahwa ia memang salah seorang yang memaknai secara
utuh pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme.
Selain dengan Benny G. Setiono, pengalaman lain
yang berkesan ketika berdiskusi tentang nasionalisme dan
multikulturalisme adalah dengan Budi Krisnawan Suhargo (salah
seorang tokoh Tionghoa pengurus Perhimpunan INTI) dan tokoh
politisi muda PDI-P Maruarar Sirait. Waktu itu di Villa Hutan Jati
(proyek social-entrepreneurship berkonsep lingkungan hidup milik
Budi di Parungpanjang Bogor), Maruarar Sirait bertanya kepada
saya, “Candra, kamu sebagai anak muda Tionghoa apakah
merasa terdiskriminasi selama ini hidup di Indonesia? Kalau iya,
apa kamu mau nanti 20 tahun yang akan datang anak cucu
kamu akan didiskriminasi juga?” Mendapat pertanyaan seperti itu,
saya hanya terdiam tidak tahu harus berkata apa, pertanyaannya
terasa sangat menohok. Melihat saya yang terdiam, ia pun
melanjutkan perkataannya, “Kalau kamu tidak mau itu terjadi, mari
kita berjuang bersama-sama agar Pancasila dan nasionalisme
selalu menjadi yang terdepan di negeri ini.”
Mendengar
Pancasila
304
dan
nasionalisme
untuk
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
menghapuskan diskriminasi, saya lalu bergumam di dalam hati
lagi-lagi konsep pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan
multikulturalisme. Tetapi saya langsung tersadar ini bukan hanya
pemikiran Siauw, namun ini pemikiran para founding fathers
Indonesia di mana Siauw memang ikut terlibat langsung dalam
merumuskannya. Siauw telah secara utuh memaknai, menjalankan,
dan memperjuangkan anti-diskriminasi khususnya terhadap etnis
Tionghoa dengan paham nasionalisme dan multikulturalisme.
Terinspirasi dengan pertanyaan menohok dari Maruarar
Sirait tadi, akhirnya pertanyaan tersebut selalu menjadi kalimat
pembuka saya ketika ingin menjelaskan tentang GEMA INTI ke
anak-anak muda khususnya Tionghoa. “Kalian sebagai anak
muda Tionghoa, apakah merasa terdiskriminasi selama ini hidup
di Indonesia? Kalau iya, apa kalian mau nanti 20 tahun yang akan
datang, anak cucu kalian akan didiskriminasi juga?”.
Setelah itu perkataan saya selanjutnya baru sepotong
kalimat sakti dari Siauw. “Kalau kalian tidak mau hal itu terjadi,
mari kita bersama-sama berjuang melalui GEMA INTI memberikan
penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah
bagian dari Indonesia.”
Kebanyakan anak-anak muda setelah mendengar penjelasan
seperti ini biasanya akan tertarik bergabung dengan GEMA INTI.
Jauh di dalam lubuk hatinya mereka masih mempunyai kerinduan
dan kecintaan terhadap Indonesia, mereka ikut bangga jika
Indonesia berjaya di dunia internasional. Tapi di sisi lain mereka
juga sangat bangga dengan ke-Tionghoa-annya. “Saya Tionghoa,
saya juga Indonesia.
Sebagai anak muda Tionghoa, saya juga ingin berbuat
sesuatu untuk negara ini tapi tidak tahu harus ke mana dan
bagaimana”, begitu biasanya jawaban dari mereka.
Saya, Hardy, Jandi dan beberapa pengurus GEMA INTI yang besar
305
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
di kawasan Pecinan Jakarta juga mempunyai perasaan yang
sama seperti mereka. Walau rezim Orde Baru dengan berbagai
kebijakan
diskriminatifnya
telah
berhasil
dengan
sempurna
menciptakan rasa ketakutan turun temurun etnis Tionghoa selama
32 tahun.
Kami yang dibesarkan dengan warisan rasa trauma yang
disebabkan oleh berbagai pelarangan terhadap budaya Tionghoa
bahkan sampai tidak bisa lagi berbahasa Mandarin karena orang
tua kami ketakutan untuk mengajarkannya, kami tetap cinta
Indonesia. Kami bangga dan cinta terhadap Indonesia dengan
Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya.
Ada kisah menarik mengenai kebhinnekaan tersebut.
Beberapa teman non Tionghoa seringkali ingin ikut bergabung
dengan GEMA INTI karena tertarik dengan konsep nasionalisme
dan multikulturalisme, tetapi mereka takut tidak diterima. “Gua
boleh enggak ikut bergabung masuk GEMA INTI? Tapi gua bukan
Tionghoa.” Kami tertawa biasanya mendengar pertanyaan seperti
itu dan langsung memberi penjelasan. “Ya bolehlah. GEMA INTI
terbuka untuk seluruh anak muda Indonesia, tidak hanya untuk
orang Tionghoa saja. Namanya juga INTI, Indonesia Tionghoa,
Indonesia-nya di depan, Tionghoa-nya di belakang.”
Setelah itu biasanya mereka menjawab, “Wah hebat ya.
GEMA INTI ternyata berbeda de ngan organisasi Tionghoa yang
lain, tidak eksklusif.”
Semangat dan jiwa GEMA INTI memang sarat dengan
nasionalisme dan multikulturalisme seperti cita-cita Siauw yang
ingin menjadikan orang Tionghoa sebagai patriot Indonesia sejati.
Tetapi itu tidak serta merta meninggalkan budaya Tionghoa
seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Makan Bakcang, Festival
Kue Bulan, dan Makan Onde.
Kami belajar banyak mengenai semua hal tersebut dari PINTI
306
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
(Perempuan INTI) khususnya dari Nancy Widjaja dan Effie Sari yang
juga merupakan pendiri Perhimpunan INTI serta alumni Ureca. PINTI
yang setiap tahun selalu rutin mengadakan perayaan-perayaan
tersebut selalu mengundang dan melibatkan GEMA INTI dalam
pelaksanaan acaranya.
Sedikit banyak kami akhirnya kembali mengenal tentang
budaya Tionghoa tanpa mengurangi rasa nasionalisme kami
terhadap Indonesia.
GEMA INTI juga seringkali diajak berbakti sosial mengikuti
pelayanan medis yang dilakukan oleh dr. Lie Agustinus Dharmawan
Ph.D, Ketua Departmen Kesehatan Perhimpunan INTI yang juga
salah seorang alumni Ureca. Dr. Lie mengajarkan dan menjadi
contoh nyata bagi kami tentang arti pengabdian tanpa pamrih
terhadap negara.
Ia mendirikan sebuah yayasan bernama doctorShare, lalu
dengan uang pribadinya membeli sebuah kapal phinisi yang
kemudian diubah menjadi sebuah Rumah Sakit Apung swasta
pertama di Indonesia yang modern lengkap dengan kamar bedah
di dalamnya.
Ia bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebanggaan
dirinya menjadi orang Indonesia, mencoba memberi jawaban atas
ketidakhadiran negara dalam memberikan jaminan kesehatan
kepada jutaan warga negaranya yang berada di pulau-pulau
terpencil Indonesia. “Orang-orang bilang saya gila ketika pertama
kali saya mencetuskan ide Rumah Sakit Apung ini, tetapi keinginan
untuk melayani dan kecintaan yang begitu besar terhadap
Indonesia yang membuat saya maju terus,” begitu katanya ketika
kami tanya mengapa ia begitu berani membuat sebuah Rumah
Sakit Apung yang tentunya memerlukan biaya tidak sedikit.
Satu lagi rasanya tidak lengkap jika saya tidak menceritakan
juga mengenai Program Beasiswa Pelangi. Sebuah program
307
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
beasiswa
multikulturalisme
untuk
Candra Jap
siswa-siswi
SMA
sederajat
di Jabodetabek yang tidak mampu. Setelah 3 tahun ini aktif
sebagai pengurus Beasiswa Pelangi, saya menyadari bahwa ada
semangat Siauw Giok Tjhan dalam setiap nafas kegiatan Pelangi
yang memberikan beasiswa kepada setiap siswa-siswi yang tidak
mampu tanpa membedakan latar belakang suku, agama, suku,
ataupun golongan.
Mungkin ini tidak lepas dari banyaknya alumni Ureca
yang tercatat sebagai pendiri dan pengurus Beasiswa Pelangi.
Kalau tidak salah, Ureca didirikan oleh Siauw Giok Tjhan karena ia
menyadari bahwa proses integrasi akan berjalan dengan lancar
jika setiap orang mendapatkan pendidikan yang baik. Mungkin
semangat dari buah pemikiran Siauw inilah yang melandasi para
alumni Ureca seperti Benny G. Setiono, Lim Tjeng Ting, Lim Ko Phing,
Lu Ik Kun, Paulus Mulyadi, Wang Tian Xiang, dan Bambang Soedjoko
Tan dengan dibantu beberapa anak muda seperti Ulung Rusman,
Lisa Suroso, Sofia Tijptadjaja, Abdullah Taruna, dan Jandi Mukianto
untuk mendirikan Program Beasiswa Pelangi ketika itu.
Saat ini tercatat sekitar 750 anak telah dibantu lepas dari
putus sekolah oleh Pelangi sejak didirikan pada 2 Mei 2008 lalu.
Saya teringat pada suatu rapat kerja Beasiswa Pelangi, Ulung
Rusman yang tercatat sebagai Sekretaris Program Beasiswa Pelangi
kala itu mengucapkan suatu kalimat yang sangat menggetarkan.
“Teman-teman harus diingat bahwa kita selalu meneriakkan
pluralisme dan anti-diskriminasi, bukan berarti kita sebagai minoritas
ingin berlindung di balik isu tersebut. Tetapi karena kita sadar
sepenuhnya bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan
Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.”
Pernyataan yang langsung diamini dan disambut dengan
tepuk tangan oleh Lim Ko Phing selaku Ketua Program Beasiswa
Pelangi dan segenap pengurus Pelangi lainnya yang hadir ketika
308
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Candra Jap
itu. Latar belakang Ulung sebagai anak muda Tionghoa yang
aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa tahun 1998 memang
sudah seharusnya membuat
diri nya paham dengan konsep
nasionalisme dan multikulturalisme.
Pada suatu kesempatan, ia juga pernah mengatakan bahwa
dirinya adalah seorang pengagum Siauw.
Berbagai kisah di atas yang menceritakan tentang hidup
kembalinya GEMA INTI, Beasiswa Pelangi serta interaksi saya
dengan para pengikut Siauw dari Tan Swie Ling, Siauw Tiong Djin,
Benny G. Setiono, Nancy Widjaja, dr. Lie Dharmawan, serta para
alumni Ureca dalam beberapa tahun ini.
Pada prinsipnya ingin menyampaikan kepada Siauw Giok
Tjhan, bahwa ia tidak perlu berkecil hati di alam sana. Walaupun
namanya hampir tidak dikenali oleh generasi sekarang, namun citacita dan pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme
di Indonesia tetap ada dan tidak hilang tergerus oleh waktu.
Saya rasa ini adalah bentuk penghormatan yang tertinggi untuk
Siauw. Apalah artinya namanya terus dikenang tetapi warisan
pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme malah
dilupakan oleh semua orang.
Semoga Siauw sependapat dengan saya dalam hal ini.
309
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
Peran Mingguan Chiao Hsing
Shi Xueqin1
Mingguan Chiao Hsing (Majalah SADAR) adalah majalah yang
didirikan oleh Siauw Giok Tjhan, tokoh politik peranakan Tionghoa.
Sebuah majalah berbahasa Tionghoa yang berusaha memberikan
pencerahan pandangan politik pada Tionghoa Indonesia. Ia mulai
diterbitkan pada tahun 1954 dan di larang terbit pada tahun 1959.
Sekalipun hanya terbit dalam waktu 6 tahunan, tetapi majalah
ini telah memainkan peran besar dalam pencerahan pandangan
politik untuk Tionghoa Indonesia, mendorong perubahan pemikiran
politik Tionghoa Indonesia dan menjernihkan pengertian pada
Tionghoa dalam melihat Indonesia. Ia berusaha menghilangkan
pandangan rasisme, mendorong pembangunan Nasion Indonesia
yang harmonis, melindungi hak politik warganegara Tionghoa
Indonesia, dan berperan dalam upaya mempererat Persahabatan
Tiongkok dan Indonesia.
Mingguan Chiao Hsing yang didirikan Siauw Giok Tjhan
pada tahun 50-an ini, telah berperan dalam mendidik Tionghoa
Indonesia untuk memiliki kesadaran politik dan menjadi penerang
politik bagi Tionghoa Indonesia. Ia menempati posisi yang paling
penting dalam sejarah perjuangan politik, khususnya editorial –
editorial Mingguan Chiao Hsing dan berbagai tulisan komentar
analisa politik yang dimuat di dalamnya.
Tidak bisa diragukan bahwa dari editorial dan analisa-analisa
politik tersebut, orang bisa mengerti situasi politik internasional
ketika itu, situasi politik Indonesia dan sumbangsih Tionghoa di
1 Shi Xue Qin adalah seorang profesor dari Universitas Xia Men dan wakil ketua
Akademi Penelitian Pasifik Selatan
310
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
Indonesia. Selain masalah internasional, fokus utama para analisa
politik tersebut adalah perkembangan politik Indonesia dan masa
depan Tionghoa di Indonesia. Tulisan-tulisan ini menampilkan
keteguhan prinsip dan visi politik jauh ke depan. Analisa-analisanya objektif dan bijaksana. Jelas menunjukkan wawasan luas
Siauw Giok Tjhan.
Isi Mingguan Chiao Hsing sangat padat mencakup banyak
bidang terdiri dari editorial, dalam negeri (Indonesia), komentar,
Internasional, ulasan politik dalam negeri, masalah pemuda
(menyiarkan tulisan dan opini pemuda Tionghoa), kebudayaan
Indonesia (penulisan Cerpen dan sajak), sejarah dan ilmu bumi
Indonesia, pelajaran bahasa Indonesia, informasi tentang Industri
Indonesia, ekonomi dan politik, Laporan tentang Tiongkok dan
masalah Tionghoa Indonesia dan lain-lainnya.
Sampul majalah lebih banyak berbentuk karikatur politik,
sedangkan sampul belakang seringkali memuat lagu-lagu rakyat
Indonesia atau lagu-lagu revolusioner Indonesia. Isinya sangat kaya.
Layak untuk dibaca untuk memahami masalah Tionghoa Indonesia
dan politik internasional, ekonomi politik Indonesia, sejarah dan
bumi Indonesia, tradisi budaya dan usaha mempererat hubungan
persahabatan Tiongkok-Indonesia secara komprehensif.
Mingguan Chiao Hsing disambut hangat oleh masyarakat
Tionghoa Indonesia. Jumlah pelanggan banyak, tidak hanya di
Jakarta tapi juga tidak sedikit pelanggan dari berbagai pulau di
luar Jawa. Untuk mempercepat jangkauan ke luar Jawa, sejak
tahun 1958, Mingguan Chiao Hsing
dikirim dengan Pos-Udara.
Sehubungan peringatan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan, saya
gembira mengetahui Huakiao asal Indonesia di Hongkong
menyelenggarakan
Seminar
dan
gembira
memperoleh
kehormatan untuk ikut menghadiri dan mengajukan sebuah
311
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
pemikiran
dangkal.
Makalah
ini
Shi Xue Qin
berusaha
menelusuri
dan
menganalisa Editorial Mingguan Chiao Hsing pada tahun 1958.
Mengapa saya memilih Chiao Hsing tahun 1958? Pertama, ke
terbatasan waktu dan syarat objektif di mana Mingguan Chiao
Hsing yang berada di perpustakaan Universitas Xia Men Akademi
South Pasifik tidak lengkap. Kedua, tahun 1958 adalah tahun
menentukan setelah Indonesia Merdeka. Indonesia
sedang
menghadapi pemberontakan separatisme, intervensi luar negeri,
menghadapi tantangan serius mempertahankan kedaulatan
wilayah negara.
Melalui editorial tahun 1958 yang mencerminkan pandangan
Siauw
Giok
Tjhan
dalam
perjuangan
mempertahankan
kedaulatan; melawan intervensi luar negeri; pembangunan
nasion Indonesia; mempererat hubungan Tiongkok Indonesia
dan penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia, diharap diikuti
bersama di dalam seminar ini.
Dalam waktu bersamaan, saya
ingin menyatakan rasa hormat dan kagum sedalam-dalamnya
pada visi politik bung Siauw Giok Tjhan yang memiliki visi jauh ke
depan dan melampaui zaman.
Ada 42 tulisan yang berbentuk editorial di dalam majalah
Chiao Hsing yang terbit pada tahun 1958. Daftarnya sebagai
berikut (No 30 dan no 49 tidak ada):
No. Majalah
Judul Editorial
1/1958
“Menyambut Tahun Baru 1958”
2/1958
“Perjuangan Persatuan Rakyat Indonesia dan Rakyat Asia-Afrika”
3/1958
“Rumor Pembentukan Negara Sumatera”
4/1958
“Perjalanan KSAD di Sumatera dan Negara Sumatera”
5/1958
“Mendorong Sekuat Tenaga Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia”
6/1958
“Bantuan Yang Tulus Tanpa Pamrih”
7-8/1958
“Pemberontak Jalan Ke mana? Menghitung Nasib Ahmad Husein”
9/1958
“Pemerintah Revolusioner Tenggelam dalam Defensif”
10/1958
“Jalan Perundingan Menemui Jalan Buntu”
312
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
11/1958
“Mengalahkan Siasat Intervensi Dalam Negeri lebih lanjut AS”
12/1958
“Menyoroti Peristiwa Militer Medan”
13/1958
“Harus Mengambil Sikap dan Tindakan Tegas terhadap KMT-Chiang Kai Sek”
14/1958
“Kutuk Klik KMT/Chiang”
15/1958
“Menjawab Tantangan Jaman”
16-20/1958
“Lahirnya Pancasila Dasar Negara”
21-26/1958
“Pekerjaan Kabinet Setelah di Perkuat”
27/1958
“Menjadi Warga Indonesia Yang Mulia”
28/1958
“Perkokoh Persatuan Bangsa: Di depan Kongres ke-5 BAPERKI”
29/1958
“Menentang Tentara AS Mengagresi Libanon”
31/1958
“Pemilihan Umum Dan Komunitas Tionghoa”
32/1958
“Memperbincangkan Terbentuknya Partai Politk Indonesia”
33/1958
“13 Tahun RI : Perjuangkan Masyarakat Adil Dan Makmur,
Melancarkan Rehabilitasi dan Konstruksi”
34/1958
“Menghadapi Tahun Yang Penuh Tantangan”
35/1958
“Dengan Tuntas Membersihkan Klik KMT-Chiang”
36/1958
‘Masalah Investasi Modal Asing”
37/1958
“Mendukung Perjuangan Adil Rakyat Tiongkok”
38/1958
“Pemerintah menempuh jalan Avonturis”
39/1958
“Memperbincangkan Pemerintah Menunda Pemilu”
40/1958
“Hormat Pada Seluruh Angkatan Darat, Laut dan Udara”
41/1958
“Panglima Tertinggi Inspeksi Ketiga Angkatan”
42/1958
“Rakyat Negara Kita Menentang Keras Kompromi”
43/1958
“Beberapa Masalah Gerakan Perdamaian Negeri Kita”
44/1958
“Demokrasi Terpimpin Atau Diktatur Militer”
45/1958
“Ada Kesalahan Dikoreksi, Waspada Jika Tidak ada Salah”
46/1958
“Warisi Tekad Juang Pahlawan, Menyelesaikan Perjuangan Bangsa”
47/1958
“Memperbincangkan Memperpanjang Peperangan Dan SOB”
48/1958
“Masalah Modal Tionghoa”
50/1958
“Sumbangan Demi Perdamaian Dunia”
51/1958
“Pelajaran Nyata”
52/1958
“Perkokoh Persahabatan Rakyat Indonesia Dan Yugoslavia”
Para Editorial yang menganalisa masalah politik dalam dan
luar negeri yang dihadapi Indonesia, pada pokoknya mengajukan
beberapa hal:
1. Dengan
Indonesia,
teguh
mempertahankan
melindungi
persatuan
313
Kesatuan
bangsa
Wilayah
Indonesia,
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
menentang pemberontakan bersenjata dan gerakan
separatisme, menentang subversi kekuatan Barat terhadap
dalam negeri Indonesia yang didalangi AS.
2. Memperhatikan
mendukung
masalah
Pancasila
demokrasi
Dasar
di
Indonesia,
Negara
Indonesia,
mendukung sistem politik “Demokrasi Terpimpin” Soekarno
dalam pembangunan masyarakat adil dan makmur.
3. Fokus pada integrasi Tionghoa, naturalisasi dan masalah
partisipasi politik, konsekwen menentang diskriminasi rasial,
melindungi hak suku minoritas dan mendorong maju
persatuan besar bangsa Indonesia.
4. Mendesak Pemerintah Indonesia mendukung Republik
Rakyat Tiongkok dan menentang klik Chiang Kai Sek di
Taiwan. Mengutuk klik Chiang Kai Sek yang memberi
dukungan dan membantu Pemberontakan Sumatera
Utara.
5. Mendorong Persatuan Asia-Afrika, menentang kolonialisme
dan Imperialisme dalam agresi militer terhadap negaranegara Asia-Afrika, melindungi perdamaian dunia.
Mengingat keterbatasan waktu, makalah ini menyoroti analisa
tentang masalah Tionghoa Indonesia yang ada pada Editorial
“Mingguan Chiao Hsing” tahun 1958 untuk dipertimbangkan.
Ada 5 editorial yang secara khusus memperbincangkan
masalah politik, ekonomi dan pendidikan Tionghoa Indonesia
dan peranakannya. Editorial No.1/1958 “Menyambut Tahun Baru
1958”, mengharapkan Tionghoa Indonesia dengan menyatakan:
“Peranakan Tionghoa Indonesia adalah salah satu suku minoritas
dalam bangsa Indonesia, sedangkan Huakiao adalah warga
perantau Tionghoa Republik Rakyat Tiongkok. Kita yang tergolong
keturunan berdarah Tionghoa, baik warga peranakan Tionghoa
maupun Huakiao, tidak peduli sebagai suku bangsa Indonesia
314
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
maupun
sebagai
warga
Shi Xue Qin
Diaspora,
memiliki
kepentingan
bersama di Indonesia. Kita semua mengharapkan Indonesia
bisa mengikis habis sisa kolonialisme dan berhasil mendapatkan
posisi penting di dunia Internasional. Nasib Indonesia berkaitan
erat dengan kepentingan kita masing-masing, oleh karenanya
kita semua harus memperhatikan dan peduli akan keadaan
dan hari depan Indonesia, harus menyumbangkan tenaga
dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, perjuangan
mencapai demokrasi dan pembangunan masyarakat adil dan
makmur.” (1/1958, Hal.2)
Pernyataan
Editorial
“Menyambut
Tahun
Baru”
ini,
mendapatkan sambutan positif politikus Indonesia. Wakil Ketua
DPR Indonesia, Zainul Arifin di Edisi Khusus Tahun Baru “Mingguan
Chiao Hsing”, dalam kata sambutan Menyongsong Tahun Baru
menyatakan: “Melalui Mingguan Chiao Hsing, saya mengharapkan
seluruh warga Indonesia keturunan Tionghoa, sebagaimana
diutarakan dalam
Manifes Politik bisa menjadi patriotik sejati,
dengan penuh kesadaran ikut memberikan sumbangan pikiran
dan tenaga dalam perjuangan bangsa dan memecahkan
masalah yang dihadapi.” (Hal.3)
Ketua Badan Intelejen Indonesia, Sudibyo menganggap:
“Khususnya
keunggulan,
pengalaman komunitas
kemampuan,
ketrampilan
dan
Tionghoa di bidang ekonomi dan
perdagangan, bisa dikembangkan dan berperan lebih penting
dalam tugas pembangunan.” (Hal.4)
Gubernur DKI Jakarta, Soediro juga menyatakan: “Menurut
pendapat saya, yang dihadapi bangsa kita sekarang ini, terutama
yang dihadapi pendukung dan pembaca setia Mingguan Chiao
Hsing, pintu terbuka lebar bagi kalian untuk menggunakan dana,
pikiran dan tenaga ikut serta aktif
dan berpartisipasi dalam
perjuangan membebaskan Irian, membuktikan kehangatan dan
315
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
kesetiaan kalian pada Bangsa dan Tanah air Indonesia!”
Sebagai warga Indonesia biasa, seorang pembaca menulis:
“menyatakan kesediaan ikut bersama rakyat Indonesia dalam
perjuangan merebut kembali Irian Barat!”
Siauw dalam editorial “Menyambut Tahun Baru” itu, juga
menyerukan: ”Kita semua mengharapkan dipercepatnya proses
persatuan bangsa. Di dalam persatuan bangsa itu hanya ada
satu hak dan kewajiban yang sama dan adil bagi semua warga
negara. Seandainya saja dalam kehidupan sehari-hari kita semua
bisa mewujudkan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, maka proses
mempercepat kesatuan Bangsa akan terjadi. Setiap warga harus
bisa konsekwen untuk tidak mengutamakan etnis keturunan
darah, tetapi setiap saat mengutamakan kepentingan Rakyat
Indonesia secara keseluruhan. Setiap warga bisa bebas dari
pertengkaran mendahulukan keinginan sendiri, bisa mempererat
kesungguhan kerjasama, mempercepat pembangunan bangsa
tanpa rasisme, tidak saling menyisihkan satu sama lain, hidup
bersama dalam masyarakat tanpa rasa takut disingkirkan dan
bebas dari kemiskinan” (1/1958, Hal.10). Sepenggal kalimat yang
memanifestasikan pandangan politik Siauw Giok Tjhan untuk
persatuan bangsa dan kesederajatan bangsa yang adil.
Kesederajatan bangsa yang dianjurkan Siauw Giok Tjhan,
tidak hanya sederajat bangsa dalam hak politik, tetapi juga
kesederajatan budaya untuk setiap suku-bangsa.
Menghadapi
beranggapan
sementara
bahwa
Tionghoa
kebudayaan
ketimbang kebudayaan
yang
Tionghoa
Indonesia, atau nilai
umumnya
lebih
unggul
kebudayaan
Tionghoa lebih tinggi ketimbang kebudayaan Indonesia, Mingguan
Chiao Hsing No.5/1958 mengeluarkan editorial berjudul “Sekuat
Tenaga Mendorong Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia”.
Editorial
ini
berlatar
belakang
316
menghadapi
keputusan
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Pemerintah
melarang
Shi Xue Qin
anak-anak
Warganegara
Indonesia
bersekolah di Sekolah Tionghoa. Mereka diharuskan bersekolah
di sekolah Nasional Indonesia. Banyak Tionghoa menganggap
keputusan ini terlalu tergesa-gesa tanpa perhitungan masak.
Sangat tidak masuk akal dalam pelaksanaan, sehingga tidak
sedikit orang-tua murid warga negara Indonesia menentang dan
mengajukan protes keras.
Editorial Mingguan Chiao Hsing memberikan analisa objektif
tentang arti penting menguasai bahasa Indonesia, “Mengapa
anak-anak peranakan Tionghoa tidak tertarik masuk sekolah
Indonesia, disebabkan karena mereka beranggapan kebudayaan
Indonesia lebih rendah dari kebudayaan Tionghoa, sehingga lebih
baik sekolah Tionghoa ketimbang sekolah Indonesia. Pandangan
demikian tidak hanya ada di kalangan Huakiao, tetapi juga di
kalangan peranakan Tionghoa yang Warganegara Indonesia”.
Editorial
itu
secara
tegas
menentang
pemikiran
teori
Keunggulan Budayaan ini. Sanggahnya: “Sebagai Huakiao dan
peranakan Tionghoa, tentu saja boleh menekankan kebudayaan
dan bahasa Tionghoa dari bangsa Tionghoa. Sikap demikian
ini sedikitpun tidak bertentangan dengan upaya pemahaman
kebudayaan dan bahasa Indonesia”.
Kita harus sepenuhnya mendukung pandangan Siauw Giok
Tjhan dan kelompok progresif lainnya, berjuang melindungi
kebudayaan suku Tionghoa dan memberikan hak yang adil untuk
mempertahankan dan mendidik kebudayaan mereka sendiri.
Tetapi kita tidak boleh karena keputusan Departemen Pendidikan
dianggap
tidak
masuk
akal
lalu
menentangnya
dengan
mengabaikan arti penting belajar bahasa Indonesia hanya karena
ingin mempertahankan kebudayaan dan bahasa Tionghoa.
Editorial lebih lanjut menunjukkan arti penting bagi Peranakan
Tionghoa dan Huakiao menguasai bahasa Indonesia, pertama
317
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
“Menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan kepentingan vital
kita semua. Karena penguasaan bahasa akan memudahkan bagi
kita menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setelah menguasai
bahasa Indonesia dengan baik kita semua bisa langsung
membaca koran Indonesia dan mengerti dengan baik ketentuan,
peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah, dan menjadi
seirama dengan dinamika bangsa Indonesia. Dengan demikian
kita juga bisa lebih mudah dan erat berkomunikasi de ngan
orang Indonesia dan peranakan Tionghoa yang sudah tidak lagi
bisa bahasa Tionghoa, dan yang lebih penting bisa mengurangi
kemungkinan adanya kesalah-pahaman dan kecurigaan.” Kedua,
“Dengan menguasai baik bahasa Indonesia kita bisa lebih mudah
ikut mendorong hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok. Di
Indonesia, seandainya saja peranakan Tionghoa dan Huakiao
bisa mengembangkan kemampuan
dengan baik yang akan
bermanfaat untuk usaha memperkokoh persahabatan IndonesiaTiongkok. Peranakan Tionghoa dan Huakiao harus belajar dan
menguasai dengan baik bahasa Indonesia.”
Terakhir, Editorial menganjurkan bahwa gerakan belajar
bahasa Indonesia akan sangat berperan untuk hari depan
peranakan Tionghoa dan Huakiao.. Ia menandaskan bahwa
mengabaikan belajar bahasa Indonesia adalah sebuah kesalahan
serius. “Perkembangan setahun terakhir ini membuktikan keadaan
peranakan Tionghoa dan Huakiao di Indonesia sangat serius.
Kalau kita tidak mengubah sikap dalam hubungan kita dengan
bangsa Indonesia secara cepat dan efektif, sulit dibayangkan apa
yang akan terjadi dengan hari depan kita. Untuk menyesuaikan
diri dengan perkembangan, kita harus membuat rencana
bertahap, bahkan segera melaksanakan serentetan tugas.
Salah satu langkah yang sangat penting dan berarti adalah
mendorong sebisanya gerakan belajar bahasa Indonesia. Kita
318
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
semua harus mengembangkan gerakan belajar bahasa Indonesia
secara massal di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa dan
Huakiao.” (5/1958, Hal.1)
Dari sini kita bisa lihat bahwa Mingguan Chiao Hsing adalah
penggerak utama gerakan belajar bahasa Indonesia.
Sejak
akhir tahun 1957 Mingguan Chiao Hsing sudah mulai dengan
melangsungkan seksi pelajaran bahasa Indonesia.
Seksi ini dibagi dalam 3 bagian: terjemahan berita aktual,
istilah dan penelitian terjemahan dan tata bahasa Indonesia. Isi
pokok seksi ini dengan sendirinya sa ngat berguna dalam usaha
mendorong agar peranakan Tionghoa dan Huakiao belajar
menguasai bahasa Indonesia.
Siauw Giok Tjhan selalu dengan teguh mendorong Tionghoa
Indonesia
menjadi Warganegara Indonesia dan di atas dasar
persatuan Bangsa mendapatkan perlakuan adil dan sederajat.
Dengan judul “Berusaha Menjadi Warganegara Indonesia yang
terhormat” Editorial menulis: “... Untuk orang-orang yang tidak
bisa kembali ke Tiongkok karena berbagai alasan atau yang ingin
tinggal di Indonesia untuk jangka panjang, menjadi warganegara
Indonesia adalah jalan yang paling sesuai dengan kepentingan
jangka panjang maupun kepentingan diri sendiri. Tindakan ini juga
menguntungkan persahabatan Indonesia Tiongkok.”
Untuk Tionghoa yang naturalisasi menjadi Warganegara
Indonesia, editorial juga tegas mengharapkan: “Huakiao yang
sudah menjadi warganegara Indonesia dan juga Peranakan
Tionghoa yang menetap tinggal di Indonesia, jangan memisahkan
nasib hidupnya dengan rakyat luas Indonesia, … kita sudah
seharusnya berjuang di atas jalan yang sama, bersama-sama
dengan
rakyat
Indonesia
menciptakan
masyarakat
yang
membawakan kehidupan bahagia dan keindahan bagi kita
semua dan diri sendiri. Sebaliknya juga tidak ada alasan untuk
319
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
menuntut “perlakuan istimewa”. Sebagai seorang warga negara
Indonesia, kita tidak bisa mengulurkan tangan “meminta” pada
Republik Indonesia, tapi bersikap “memberi”. Sebaliknya juga tidak
bisa bersikap hanya “memberi” tapi tidak “meminta”. Dengan kata
lain, kita tidak bisa semata-mata hanya menuntut Hak tapi tidak
melaksanakan kewajiban, juga tidak bisa dituntut kewajibannya
saja tanpa diberikan hak yang adil”.
Editorial menambahkan: “Oleh karena itu untuk menjadi
seorang warganegara Indonesia yang baik, disamping harus
mentaati ketentuan aturan kewarganegaraan juga harus siap
hidup senasib dengan Rakyat Indonesia, berat sama dipikul ringan
sama dijinjing, bersama-sama berjuang mengatasi masalah yang
dihadapi dan menjadikan aspirasi rakyat aspirasi kita sendiri. Kita
harus melepaskan segenap kehendak diperlakukan istimewa.
Kita tidak boleh menganggap naturalisasi sebagai formalitas saja.
Sikap demikian adalah sebuah kesalahan besar. Hanya dengan
demikian kita bisa menyesuaikan sikap dengan kepentingan
pribadi, menguntungkan usaha mendorong maju persahabatan
Indonesia-Tiongkok, menguntungkan Republik Indonesia.” Inilah
kata-kata tulus yang tak perlu diragukan lagi berdampak positif
pada naturalisasi politik dan identitas Tionghoa Indonesia. (27/1958,
Hal.2)
Patut diajukan bahwa Mingguan Chiao Hsing dengan
tegas menyatakan prinsip Tionghoa berintegrasi dengan rakyat
Indonesia. Dasar pemecahan masalah Tionghoa Indonesia adalah
membasmi diskriminasi rasial dan chauvinisme/nasionalisme yang
cupat.
Di dalam satu tulisan yang berjudul “Resolusi Masalah
Tionghoa Indonesia” di edisi 41/1958, menghadapi Sidang Pleno ke
2 Kongres Ekonomi Nasional Indonesia (KENSI) yang menyatakan
kekuatan ekonomi Tionghoa Indonesia lebih kuat dari pribumi.
320
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
KENSI menyodorkan ketentuan “masa peralihan panjang” dengan
meneruskan diskriminasi terhadap Tionghoa. Ia mengajukan pula
pandangan absurd agar “Kelompok Tionghoa bisa secara sadar
menyesuaikan kehidupan bersama Bangsa Indonesia”.
Mingguan Chiao Hsing menanggapinya: “Mendasarkan
definisi ekonomi kuat dan lemah atas dasar keturunan dan
mengaitkannya dengan hak politik warga negara adalah sangat
tidak adil dan tidak pantas.”
Di samping itu, tulisan di Chiao Hsing ini menyatakan bahwa
mengabaikan adanya keaneka-ragaman budaya dan tradisi suku
yang berbeda dan juga kepercayaan agama yang beraneka
ragam sambil
menuntut “Kelompok Tionghoa bisa secara
sadar menyesuaikan kehidupan bersama Bangsa Indonesia”,
bertentangan dengan tradisi politik dan kebudayaan Indonesia
yang berdasarkan “Bhinneka Tunggal Ika”.
Tulisan lebih lanjut menyerukan: “Demi mempertahankan
persatuan Bangsa Indonesia, kita semua harus belajar lebih keras,
berani mengoreksi kesalahan pikiran sendiri, kesalahan langgam
hidup dan berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan
objektif di Indonesia; Di lain pihak harus bersatu padu, secara aktif
menentang pandangan diskriminasi rasial, di dalam satu barisan
menentang pikiran chauvinisme, memblejeti, menyingkap dan
membasmi secara menyeluruh pandangan diskriminasi-rasial dan
chauvinisme, membangun cita-cita perjuangan Revolusi Agustus
1945 dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur”.
Keterlibatan Tionghoa Indonesia di bidang politik adalah
langkah integrasi yang harus dilalui Tionghoa Indonesia dan
Huakiao yang naturalisasi dan juga merupakan keharusan untuk
melindungi hak.
Editorial Mingguan Chiao Hsing No. 31/1958 yang berjudul “Pemilu
dan Warga peranakan Tionghoa Indonesia” membicarakan arti
321
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
penting ikut sertanya Tionghoa Indonesia dalam pemilu, mendesak
warga peranakan Tionghoa memperhatikan dan dengan aktif
ikut serta dalam pemilihan umum. Editorial menyatakan: “Warga
peranakan Tionghoa harus menyadari pentingnya pemilu…, hak
memilih tidak hanya semata-mata merupakan hak politik, tapi juga
merupakan kewajiban politik yang sakral. Hanya dengan demikian,
kita baru bisa secara tepat mengikuti dinamika pemilu, dan bisa
memilih pimpinan yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat.
… Warga peranakan Tionghoa harus berhati-hati, berani dan tepat
menentukan pilihan, menampilkan Partai dan tokoh yang bisa
mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia.”
(31/1958, Hal.1)
Editorial ini dengan menunjukkan bahwa ia mendorong
Tionghoa Indonesia terlibat dalam politik, berusaha mengubah
pandangan Tionghoa untuk menggunakan jalur hukum dan politik
memperjuangkan tuntutan dan melindungi hak warga Tionghoa
yang sah.
Editorial Mingguan Chiao Hsing kerap menyinggung masalah
ekonomi yang berkaitan dengan posisi Tionghoa.
Perjalanan
sejarah menunjukkan bahwa Tionghoa unggul dalam bidang
perdagangan dan memainkan peran besar dalam perkembangan
ekonomi. Hal ini menyebabkan sementara pejabat pemerintah
kanan setelah kemerdekaan bertindak untuk mendiskriminasikan
pedagang Tionghoa, demi memperkecil perannya, dengan
tujuan menyisihkan pedagang Tionghoa untuk diganti dengan
pedagang-pedagang pribumi.
Ada dua editorial pada tahun 1958 yang khusus menyinggung
masalah ekonomi berjudul: “Ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah
kalau tidak ada” dan “Masalah Modal Huakiao”.
Yang pertama memperingatkan warga Tionghoa untuk
menyimak komentar i Kolonel Tahir, KODAM teritorial I DKI Jakarta
322
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
Raya, yang di hadapan wartawan Antara tentang tuntutan
Tionghoa mencapai persamaan hak. Kolonel Taher mengkritik:
“Kesamaan Hak yang dituntut warga Tionghoa hanya di bidang
ekonomi, sedang di bidang lain sedikit bahkan tidak hendak
disamakan. Pertama harus diingat, bahwa setiap warga negara
Indonesia mempunyai kewajiban yang sama. Misalnya, boleh
dikata sedikit atau bahkan tidak ada terdengar warga Tionghoa
bersedia
menyumbangkan
tenaga
mereka
dalam
Barisan
Keamanan Kampung, berkecimpung dalam berbagai kegiatan
ketertiban, dll.”
Editorial juga menyatakan: “Golongan Tionghoa harus
merenungkan perkataan Kolonel Taher itu, dan menganggapnya
sebagai sebuah “obat pahit mujarab” atau “kata-kata mutiara”,
… Dia tidak menentang tuntutan Tionghoa mencapai persamaan
hak dengan warga Indonesia umumnya, tapi yang ia kelukan
adalah tuntutan warga keturunan asing berat yang berfokus
kepada kesamaan hak dalam bidang ekonomi saja, dan tidak
di semua bidang lain. Oleh karena itu Kol. Taher menganggap
warga keturunan asing Indonesia hanya bisa “Meminta”, tapi tidak
“memberi”. Editorial ini secara positif mendukung ajakan Kol. Taher,
“sebagai seruan pada warga Tionghoa Indonesia untuk lebih aktif
dalam segala kegiatan politik dan kegiatan masyarakat lainnya.
Dan karena ketika itu masyarakat Indonesia sedang bersiaga
mengangkat senjata melindungi keamanan dan kedaulatan tanah
air, dengan sendirinya warga Tionghoa seharusnya menggunakan
kesempatan untuk menunjukkan loyalitas dan kesetiaan pada
tanah airnya Indonesia ,….”
Editorial
akhirnya
menandaskan:
“sadarlah
kalian,
di
masyarakat Indonesia masih ada sementara orang yang dengki
dan rasis terhadap golongan
Tionghoa. Oleh karenanya kita
harus lebih keras menuntut pada diri sendiri dan selalu introspeksi,
323
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
jadikanlah kata-kata yang menyindir dan kritik pedas sebagai
cermin cerah melihat kesalahan sendiri. Selalu bersikap positif,
“ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah kalau tidak ada”. Sikap
demikian tidak merugikan orang lain sebaliknya menguntungkan
diri sendiri.”
Editorial ini menunjukkan bahwa masalah paling mendasar
pada waktu itu yaitu diprioritaskannya masalah ekonomi, tapi
mengabaikan keterlibatan dalam politik dan kegiatan masyarakat
lainnya. Ia mendorong komunitas Tionghoa untuk memperhatikan
perjuangan politik Indonesia dan usaha menciptakan kesejahteraan
sosial masyarakat, sehingga hari depan warga Tionghoa-pun lebih
baik. Editorial ini dengan jitu menunjukkan penyakit kronis yang
ada dengan kata-kata yang membangun.
Editorial yang kedua: “Masalah Modal Huakiao” (48/1958)
menganalisa perbedaan sikap masyarakat terhadap modal
Tionghoa dan jalan keluar di Indonesia. Editorial beranggapan
bahwa ada 2 pandangan yang berbeda. Pertama, “Komprador
yang
mewakili
kepentingan
kapitalisme
dan
imperialisme,
berpandangan modal Tionghoa harus disingkirkan. Mereka
berusaha keras untuk menggantikan dan mengambil alih berbagai
perusahaan yang dikelola Tionghoa untuk kemudian dijadikan milik
kapitalis Indonesia nasionalis. Bersamaan dengan itu berusaha
keras membatasi bahkan menghilangkan jumlah pengusaha
Tionghoa di Indonesia, mengurangi pesaing pengusaha Indonesia
nasionalis dalam menjalankan usaha.”
Editorial lebih lanjut menyatakan “sekelompok orang ini di
satu pihak mewakili kepentingan imperialisme dan selalu berusaha
membangkitkan gerakan kerusuhan anti-Tionghoa sebagai tujuan
politiknya. Di pihak lain hendak menggunakan berbagai ketentuan
pemerintah untuk mengembangkan kekuatan sendiri, meraih
keuntungan ekonomi lebih besar lagi.”
324
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
Editorial juga menganalisa pandangan
golongan yang
mewakili kepentingan rakyat banyak dalam memandang modal
Tionghoa, yang beranggapan: “Masalah pokok dan yang harus
diutamakan dewasa ini adalah kontradiksi dasar antara rakyat
seluruh negeri dengan modal monopoli asing. Modal peranakan
Tionghoa dan modal Huakiao harus digunakan sebaik mungkin
untuk membangun ekonomi Indonesia. Modal Huakiao sudah
dijalankan turun menurun dengan pengalaman dagang yang
kaya, dan keuntungan yang didapatkan modal Tionghoa tidak
dibawa keluar, jadi merupakan bagian penting modal domestik.
Pandangan golongan ini mengusulkan menggunakan modal
Tionghoa sebaik mungkin untuk mendorong kemajuan ekonomi
nasional sehingga bisa lebih cepat mewujudkan masyarakat adil
dan makmur.”
Editorial mengkritik pandangan pertama: “Usaha yang
dijalankan tidak membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat
banyak. Kebalikannya, hanya memelihara segelintir klas kapitalis
komprador menjadi lebih gemuk. Pandangan semacam ini
bukan saja membiarkan mayoritas rakyat tetap miskin, tetapi juga
membuat kesenjangan sosial yang menimbulkan kerusuhan sosial
dan sepenuhnya melanggar komitmen pemerintah Indonesia
yang
ingin
melaksanakan
Resolusi
Konperensi
Asia
Afrika:
menggalang persahabatan negara-negara Asia Afrika, dan
sekaligus mengkhianati harapan dan kepentingan seluruh Rakyat
Indonesia.”
Editorial lebih lanjut menandaskan: “Pandangan kedua
akan berperan mendorong kemajuan masyarakat Indonesia dan
kehidupan rakyat Indonesia ke tingkat lebih tinggi. Seandainya
Negara bisa dengan bijaksana menggunakan modal dan
pengalaman Tionghoa, membantu mereka berkembang, Huakiao
dan modal-nya akan menguntungkan usaha pembangunan
325
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Shi Xue Qin
nasional dan berguna untuk kepentingan rakyat Indonesia.”
Bersamaan dengan itu, editorial juga menyatakan “Pihak
pedagang Huakiao harus menyadari pula bahwa mereka sedang
menghadapi perubahan zaman, harus pandai menyesuaikan diri
dengan perubahan ini dan tidak hanya merindukan masa lalu
sambil menuntut lebih banyak demi kebaikan hari depannya.
Mereka harus realistik dalam menuntut perlindungan, membantu
pembangunan nasional rakyat Indonesia. Ini adalah jalan keluar
bagi modal Huakiao.”
Melalui
Editorial-editorial
Mingguan
Chiao
Hsing
1958
yang berkaitan dengan masalah peranakan Tionghoa, kita
bisa mengenal dengan baik upaya Siauw Giok Tjhan dalam
mempersatukan peranakan Tionghoa dengan Bangsa Indonesia
dan konsepnya berintegrasi dengan bangsa.
Pada tahun 50-60an telah berkibar tinggi panji nasionalis
Indonesia, teryutama ketika perang dingin memanas. Siauw yang
berpandangan jauh dengan tepat mendasarkan pandangannya
atas sejarah dan menyodorkan visi politik jauh ke depan, visi
yang berkaitan dengan keterlibatan Tionghoa dalam politik dan
ekonomi Indonesia. Apa yang ia anjurkan memiliki dampak yang
sangat berpengaruh. Layaklah ia menjadi seorang tokoh dan
pemimpin yang menyadarkan komunitas Tionghoa Indonesia.
Walaupun waktu sudah lewat sekian lama dan lembaran
sejarah sudah membuka halaman baru, pemikiran Siauw Giok
Tjhan tetap memperkuat integrasi Tionghoa Indonesia dalam
bangsa Indonesia. Pikirannya masih tetap membimbing pengintegrasian Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia.
Dengan makalah singkat ini kita memperingati 100 Tahun
Siauw Giok Tjhan!
326
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
Siauw Giok Tjhan
Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara,
Pantang Mundur Menghadapi
Kesulitan Dan Penderitaan
Huang Shu Hai1
Judul di atas mengungkapkan dua aspek sosok Siauw Giok
Tjhan.
Itulah perjuangan Siauw Giok Tjhan yang bercahaya
gemerlapan.
Siauw Giok Tjhan mendapatkan pujian tinggi dari khalayak.
Ada yang menyanjung beliau sebagai pahlawan bangsa
Indonesia, pemimpin terkemuka Tionghoa Indonesia, politikus
gerakan masyarakat, ahli pendidikan, akademikus dan masih
banyak lagi. Namun saya berpendapat, berkaitan de ngan
usaha gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, demi kemajuan
pembangunan demokrasi, perjuangan seumur hidupnya
yang
dilakukan demi keadilan dan kemakmuran Indonesia, akan lebih
tepat dinyatakan beliau adalah “seorang pejuang setia yang
mencintai Tanah air dan Rakyat Indonesia”.
Pada tahun 50-an, ketika bekerja di surat kabar Medan, saya
sudah mengenal dengan baik nama Siauw Giok Tjhan. Pada
akhir tahun 1954, setelah saya direkrut bekerja di Kedutaan Besar
Tiongkok di Indonesia, saya berkesempatan berhubungan dengan
Siauw secara akrab. Pada musim panas tahun 1981, setelah beliau
bebas dari penjara dan bisa berkunjung ke Beijing dari Belanda,
saya diminta menterjemahkan 2 buku karya beliau, Bhinneka
Tunggal Ika dan Lima Jaman. Dengan demikian hubungan
menjadi lebih akrab dan tukar-pikiran lebih mendalam. Bahkan
1 Huang Shu Hai adalah mantan penterjemah Kedutaan Besar RRT di Indonesia
dan Pem Red Penerbitan Pengetahuan Dunia
327
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
saya secara pribadi mendampingi beliau berkunjung ke mantan
Konselor Politik Kedubes RRT, Zhong Qing Fa dan Li Ju Sheng.
Keakraban persahabatan mereka tampak sekali dari pertemuanpertemuan ini.
Pada tanggal 23 Maret 1914, Siauw Giok Tjhan lahir di
Surabaya, tergolong Huakiao keturunan kesekian. Di tubuhnya
mengalir 2 jenis darah, yang satu darah dari ayah Siauw Gwan
Swie dan darah dari ibu Kwan Tjian Nio, mewarisi darah psikologis
– jenis darah Tionghoa. Jenis darah satu lagi, adalah darah politik
dari rakyat Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda,
perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa. Kedua jenis darah
yang mengalir dalam tubuhnya inilah memancarkan cahaya
gemerlapan dalam hidupnya.
Di antara sekian banyak tokoh ternama Tionghoa: Liem Koen
Hian, Tan Ling Djie, Tony Wen, The Ping Oen, Thio Hian Shou, Yap
Tjwan Bing, Ko Kwat Tiong, Ho Tik Kong, Kwee Hing Tjiat, Kouw Bian
Kie, Sie Hian Ling, Oey Tiong Ham, Tjung Tin Yan, Ang Yang Gwan,,
Siauw Giok Tjhan bisa muncul ke depan dari tumpukan sekian
banyaknya nama-nama tokoh ternama itu, menjadi pemimpin
Tionghoa yang terpandang dan dihormati dalam kancah politik
Indonesia.
Ini bukan sesuatu yang kebetulan apalagi sesuatu
bualan dan ilusi khayalan.
Di mulai awal 30-an, Siauw Giok Tjhan sudah terjun dalam
gerakan melawan koloni Belanda yang berusaha mencapai
kemerdekaan bangsa, memperjuangkan hak keadilan dan
melindungi kepentingan minoritas Tionghoa di bidang politik
dan hukum dan melawan diskriminasi rasial. Beliau belajar dan
meningkatkan kemampuan dari praktek perjuangan itu sendiri.
Beliau pernah dijebloskan dalam penjara pemerintah koloni
Belanda. Untuk mendorong semangat juang dan mempersatukan
kawan setahanan, beliau di dalam penjara dengan tulisan
328
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
tangan sendiri membuat selebaran “Suara Tapa”, secara periodik
menganjurkan para tahanan menyanyikan lagu nasional Indonesia
sebagai pernyataan protes; namun beliau juga 3 kali dijebloskan
dalam penjara Pemerintah reaksioner Indonesia:
Pertama, pada tahun 1948 setelah peristiwa Madiun, dengan
tuduhan- tuduhan palsu beliau ditahan selama beberapa bulan.
Kedua, pada tahun 1951 “Razia Agustus” Sukiman, tanpa
alasan juga dijebloskan dalam kamp konsentrasi.
Ketiga, setelah peristiwa G30S pada tahun 1965, sekali lagi
beliau ditangkap tanpa alasan, dibekuk dalam penjara selama 12
tahun tanpa melalui proses pengadilan dan menderita persekusi
kejam secara fisik dan mental.
Pandangan dunia dan pikiran politik Siauw adalah pluralisme.
Sejak mula, beliau banyak dipengaruhi pemikiran Sun Yat Sen:
San Min Zhu Yi (Trisila). Pada tahun 40-an, beliau tergabung dalam
Partai Sosialis, kemudian karena pecah menjadi 2 kubu, Syahrir dan
Amir Syarifudin, beliau mengundurkan diri dan banyak dipengaruhi
arus sosialis-demokrat Eropa.
Pada bulan Maret 1954, beliau di Jakarta membentuk Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Sebuah
organisasi massa independen yang tidak berdasarkan ideologi
kepartaian, tidak membedakan ras dan tidak membedakan
kepercayaan agama. Tujuan visi dan misinya adalah: berdasarkan
lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan janji “Manifes
Politik” 1 Nopember 1945 “di dalam negeri kita akan melaksanakan
kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan
lekas membuat semua golongan Indo-Asia dan Eropah menjadi
orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”;
menganjurkan “Integrasi wajar” - menentang asimilasi-total;
menghimbau Tionghoa menjadi Warganegara Indonesia dan
mempertahankan etnisitas Tionghoa: nama, budaya dan adat-
329
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
istiadat Tionghoa; menentang pelarangan bahasa Tionghoa dan
gerakan ganti-nama.
Siauw secara pribadi tegak berdiri melawan tekanan
kebijakan ganti nama dan dengan tegas menentang diskriminasi
rasial terhadap Tionghoa diberbagai bidang.
Beliau pandai menggalang kekuatan masyarakat. Dalam
waktu beberapa bulan saja, Baperki berhasil mendirikan belasan
cabang di Jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk memperjuangkan
kesejahteraan sosial dan menerbitkan surat kabar dan majalah.
Pada tahun 1961, Baperki, di berbagai kota sudah mendirikan
lebih dari 100 Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah. Untuk
mengatasi pembatasan kuota penerimaan siswa Tionghoa di
Universitas Negeri, pada bulan Oktober 1958, Yayasan Pendidikan
dan
Budaya
Baperki
mendirikan
Universitas
Baperki
yang
menampung semua Indonesia, khususnya anak Tionghoa. Pada
tahun 1963, namanya diubah menjadi Universitas Res Publica.
Cabang-cabang di Bandung, Surabaya, Yogya, Semarang dan
Medan didirikan. Jumlah mahasiswa mencapai 20 ribu.
Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di bidang kebudayaan dan
pendidikan sangat menonjol sehingga ia memperoleh pujian
masyarakat luas dan memperoleh reputasi nama baik.
Namun sedikit orang mengetahui bahwa Siauw telah
memberikan sumbangan tidak ternilai yang tidak ada orang lain
bisa menggantikannya, yaitu dalam pemecahan masalah DwiKewarganegaraan RRT-RI.
Ini
adakah
masalah
peninggalan
sejarah
Dwi-
Kewarganegaraan yang sangat rumit dan kompleks. Pada tahun
1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan, sedikitnya telah terjadi 3
kali perdebatan sengit tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan
di dalam pemerintah:
Pertama pada tahun 1946 di dalam Badan Pekerja Komite
330
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
Nasional Indonesia Pusat, pertarungan sengit antara konsep
“stelsel Pasif” dan “stelsel Aktif”.
Ketika itu Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan, mewakili Partai
Sosialis menganjurkan kewarganegaraan yang berdasarkan
prinsip tempat lahir, yaitu siapa saja yang lahir di Indonesia otomatis
menjadi Warganegara Indonesia yang sah, kecuali mereka
menolak warganegara Indonesia. Kebijakan ini dinamakan “Stelsel
Pasif”.
Sedangkan
Prof.
Sunaryo,
wakil
dari
Partai
Nasionalis
Indonesia menganjurkan “Stelsel Aktif”, yaitu sekalipun Tionghoa
lahir di Indonesia, dalam waktu ditetapkan, harus mengajukan
permohonan masuk menjadi Warganegara Indonesia dengan
menyatakan melepaskan Warganegara Tiongkok.
Mayoritas mendukung “Stelsel Pasif”.
Kedua, pada saat Konperensi Meja Bunder antara Indonesia
dan Belanda di Den Haag. Ada usaha untuk mengubah Stelsel
Pasif dengan Stelsel Aktif. Tapi usaha ini gagal.
Ketiga, pada tahun 1953 arus rasisme berkembang di
Indonesia. Para pimpinan politik anti-Tionghoa berusaha merebut
posisi ekonomi Tionghoa dan menuntut Pemerintah membatalkan
UU Kewarganegaraan 1946. Prof. Sunaryo yang ketika itu Menteri
Luar Negeri, menggunakan taktik lihai, mengajukan kembali prinsip
Stelsel Aktif. Yang ia anjurkan adalah: yang berhak memohon
menjadi warganegara Indonesia hanyalah Tionghoa yang sudah
hidup 3 generasi di Indonesia, dan harus mengeluarkan surat-surat
bukti, membuktikan kedua orang-tua juga lahir di Indonesia dan
telah tinggal menetap lebih 10 tahun di Indonesia.
Syarat-syarat mempersulit Tionghoa menjadi warganegara
Indonesia yang dianjurkan Sunaryo, terutama keberadaan buktibukti, sulit untuk dipenuhi sebagian besar Tionghoa di Indonesia.
Oleh karenanya anjuran ini ditentang
331
keras oleh khalayak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
Tionghoa.
Pada waktu bersamaan pemerintah Tiongkok dan Indonesia
berkehendak
menggunakan
kesempatan
Konperensi
Asia-
Afrika, untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan
peninggalan sejarah ini.
Masalah Dwi-Kewarganegaraan ini ada karena Indonesia
(termasuk masa koloni Belanda) menjalankan prinsip tempat lahir,
sedang Tiongkok pada waktu itu menjalankan prinsip berdasarkan
darah keturunan. Kedua pemerintah bersepakat bahwa harus
dicapai penyelesaian dalam waktu sesingkat mungkin.
Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan TiongkokIndonesia ditanda- tangani pada tanggal 22 April 1955, oleh
PM merangkap Menlu Zhou En Lai dan Menlu Sunaryo, di celah
waktu KAA-Bandung. Ini adalah
perjanjian penyelesaian Dwi-
Kewarganegaraan pertama yang ditandatangani sejak berdirinya
Tiongkok Baru. Semula diperkirakan akan menjadi blue-print untuk
memecahkan masalah sama di negara-negara Asia Tenggara.
Sungguh tidak dinyana pada 26 April sekitar jam 10 malam,
Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien sekonyong-konyong datang di
Kedubes RRT untuk menemui Zhu Yi, saat itu menjabat Ketua Komite
hubungan Luar Negeri – Urusan Hua Kiao pemerintah Tiongkok.
Siauw menjelaskan maksud kedatangannya. Zhu Yi merasa apa
yang disampaikan Siauw tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan
sangat positif dan sangat penting. Ia tidak memiliki kuasa untuk
mengambil keputusan.
Ia segera melaporkan ke atasannya, Liao Chengzhi, ketua
Qiao-Wei. Setelah Kakek Liao (begitu sebutan umum pada Liao
ketika itu) selesai mendengarkan laporan, ia segera melaporkannya
kepada PM Zhou dan mengusulkan untuk menemui kedua kawan
tersebut, Siauw dan Tjoa.
Terjadilah pembicaraan yang sangat akrab antara PM Zhou
332
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
dan Siauw-Tjoa berdua, berlangsung lebih dari 5 jam, dari jam 11
malam hingga jam 4 pagi.
Sekalipun PM Zhou pertama kali bertemu dengan Siauw dan
Tjoa, tapi sudah seperti sahabat lama saja. PM Zhou dengan
sabar dan penuh perhatian mendengarkan penjelasan Siauw
bahwa Perjanjian Penyelesaian dwi-kewarganegaraan baru saja
ditandatangani bertentangan dengan proses diundangkannya
UU kewarganegaraan Indonesia.
Dalam
pertemuan
itu,
PM
Zhou
mempelajari
secara
mendetail posisi dan pendapat partai-partai politik tentang dwikewarganegaraan dan dampak kewarganegaraan Indonesia
untuk komunitas Tionghoa di Indonesia. Pembicaraan dilakukan
dengan serius dan harmonis.
Secara umum, Siauw mengutarakan tiga hal utama:
1. Undang-undang
Kewarganegaraan
Indonesia
berdasarkan prinsip tempat kelahiran, dijalankan dengan
stelsel pasif. Ini lebih sesuai dengan kepentingan mayoritas
Tionghoa di Indonesia, baik yang yang totok maupun
peranakan.
Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan
yang
ditanda-tangani menggunakan prinsip stelsel aktif, yang
tidak bisa diterima oleh Baperki dan mayoritas Tionghoa;
2. Berdasarkan
Undang-Undang
Kewarganegaraan
Indonesia 1946, di antara jutaan Tionghoa, sudah ada
yang menjabat anggota DPR, menjadi Menteri Negara,
dan pegawai negeri di berbagai tingkat. Bahkan sebagian
besar hidup tersebar dikota-kota kecil, di pedesaan dan
sudah turun-menurun bergenerasi hidup harmonis dengan
rakyat
setempat,
nelayan.
sebagai
pedagang
kecil,
petani,
Berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia
1946, mereka sudah menjadi warganegara Indonesia.
Bilamana Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dilaksanakan,
333
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
dalam waktu sekejap kewarganegaraan mereka berubah
menjadi kabur atau stateless. Ini tentu tidak bijaksana.
3. Perjanjian menetapkan masa berlaku 20 tahun, apa yang
dimaksudkan juga tidak jelas, orang bisa meragukan
apakah berarti setelah 20 tahun harus kembali memilih
kewarganegaraan?
Siauw
menyatakan,
sekalipun
Perjanjian
Dwi-
Kewarganegaraan sudah ditandatangani, tapi belum disahkan
badan legislatif untuk dilaksanakan. Beliau yakin, kalau Perjanjian
Dwi-Kewarganegaraan ini diajukan ke DPR Indonesia, tidak akan
disahkan.
Siauw mengajukan usul pada PM Zhou, kemungkinan
wakil
kedua
Pemerintah
kembali
berembuk,
kembali
memasukkan sebagian prinsip Stelsel pasif dalam Perjanjian DwiKewarganegaraan itu.
Apa yang diajukan Siauw sangat masuk akal dan diuraikan
secara sistematis. Membuat PM Zhou tertegun dan menghormati
argumentasi yang diajukan.
PM Zhou sangat berterimakasih kepada Siauw dan Tjoa
yang sangat bersahabat itu. PM Zhou menandaskan dan
menjelaskan keharusan Pemerintah Tiongkok memperhatikan
kebijakan melindungi massa luas Huakiao dan Tionghoa Indonesia.
Menjelaskan
betapa
penandatanganan
pentingnya
Perjanjian
menyelesaikan
masalah
Dwi-Kewarganegaraan,
dan
berjanji akan mengajukan masalah yang diajukan kedua kawan
dalam perundingan kembali dengan Pemerintah Indonesia dan
berusaha mencapai pemecahan yang baik.
Siauw-Tjoa merasa sangat puas dengan pertemuan dan
jawaban yang diberikan PM Zhou.
Apa yang dikatakan PM Zhou bisa dipercaya. Kunjungan
PM Ali Sastroamidjojo ke Tiongkok atas undangan PM Zhou, dan
334
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
perundingan bersahabat pada 3 Juni 1955, mencapai kesepakatan
mengenai
pelaksanaan
kelanjutan
dari
Perjanjian
Dwi-
Kewarganegaraan. Persetujuan bersama ditetapkan berdasarkan
format hubungan luar-negeri, dengan melangsungkan “pertukaran
nota”. Kedua belah pihak menegaskan “Pertukaran Nota” ini
adalah bagian penting dari Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan.
“Pertukaran-Nota” menetapkan: pada saat melaksanakan
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, pemerintah kedua negara
harus mewujudkan syarat-syarat yang memudahkan orang-orang
yang ber kewarganageraan ganda untuk bisa bebas menentukan
pilihannya.
“Pertukaran-Nota”
menegaskan
bahwa
siapa
yang
dinyatakan ber-dwi-kewarganegaraan atas definisi Pemerintah
Indonesia, karena posisi sosial dan politik mereka, dibebaskan
dari kewajiban memilih lagi dan
dianggap telah melepaskan
kewarganegaraan Tiongkok dan telah memiliki kewarganegaraan
tunggal. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini, bebas
memilih lagi kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian DwiKewarganegaraan.
“Pertukaran-Nota” juga dengan tandas menyatakan, setelah
Perjanjian lewat 20 tahun, orang-orang yang sudah memilih
kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan,
tidak perlu memilih kewarganegaraan lagi.
Pekerjaan memilih kewarganegaraan akan berlangsung
selama 2 tahun dan dimulai pada bulan Mei 1961. Kecuali lebih 1
juta tergolong “Bebas Memilih” kewarganegaraan lagi, dari 1,52
juta Tionghoa yang tergolong dwi-kewarganegaraan, ada 1,08
juta memilih WNI dan 160 ribu memilih WN-Tiongkok. Masih ada 80
ribu terlambat, tidak memilih kewarganegaraan, dengan demikian
mereka ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tua
masing-masing. Kemudian masih ada lebih 200 ribu orang yang
335
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
belum mencapai usia dewasa untuk memilih, dan bagi mereka
diberi kesempatan dalam 1 tahun setelah usia dewasa untuk
memilih kewarganegaraan.
Begitulah masalah Dwi-Kewarganegaraan Tionghoa Indonesia
pada prinsipnya mendapatkan pemecahan.
Akan tetapi, pengalaman ini menunjukkan bahwa delegasi
Tiongkok tidak siap dalam perundingan Dwi-Kewarganegaraan
karena belum secara baik melakukan penelitian yang mendalam,
belum mengetahui apa yang dihadapi Tionghoa Indonesia
dan aspirasi mereka. Atau karena keterbatasan waktu dan
kerahasiaan, menyebabkan mereka tidak berkonsultansi dengan
pimpinan Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan dll. Ini merupakan
sebuah kekurangan yang serius. Sampai sekarang hal ini tidak
diperbincangkan secara terbuka oleh instansi yang bersangkutan.
Untunglah ada Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien, dua sahabat
yang
patut
dihormati,
demi
melindungi
dan
mendorong
maju Persahabatan rakyat kedua negara RI-RRT, di saat
menentukan, tampil mengajukan usul pemecahan masalah DwiKewarganegaraan dan dengan demikian berhasil mengurangi
dampak yang merugikan massa luas Tionghoa dan pelaksanaan
Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan bisa berjalan lancar.
Usul kedua sahabat ini kemudian sangat berfaedah dalam
memperlancar dan penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan
yang terjadi antara Tiongkok dengan Filipina, Malaysia, Thailand
dan beberapa negara lainnya.
PM Zhou sekalipun hanya untuk pertama kali bertemu Siauw
Giok Tjhan, tapi melalui pertemuan panjang di tengah malam,
telah terkesan oleh Siauw.
Pada 27 April, Siauw dan Tjoa atas
undangan menghadiri jamuan perpisahan dengan PM Zhou di
Kedubes RRT. Saya masih ingat pada saat saya berperan sebagai
penterjemah bahasa Indonesia, melaporkan situasi Indonesia, PM
336
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Huang Shu Hai
Zhou setidaknya 2 kali menanyakan keadaan Siauw Giok Tjhan.
Menunjukan PM Zhou senantiasa tidak melupakan sahabatsahabat yang pernah membantu Tiongkok.
Siauw Giok Tjhan juga sangat menghormati PM Zhou. PM Zhou
menunjukkan keluwesan dalam berdiplomasi di depan Konferensi
Asia-Afrika, sehingga dikagumi para hadirin. Kemampuan Zhou
yang berpengalaman luas
dengan rendah hati menerima usul-
usul dan kemudian dalam waktu singkat mewujudkan apa yang
diusulkan, menyebabkan Siauw menghormati PM Zhou, sang
diplomat besar.
Kepribadian Siauw yang rendah-diri, ramah tamah dan
sopan-santun, menyebabkan beliau memperoleh simpati dan
menjadi sahabat yang memudahkan kerja sama dengan Presiden
Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, Menlu Adam Malik, dan para
tokoh Partai Politik dan ormas lain.
Siauw Giok Tjhan sudah pergi masuk dalam sejarah. Walaupun
beliau sudah wafat, pikiran dan jiwanya tetap abadi. Di dalam
perjuangan sepanjang hidupnya, beliau asyik tenggelam dalam
bekerja, kreatif mengejar pembaruan. Bahaya maut diterjang,
kesulitan penderitaan dilaluinya demi menempa budi luhur
hidupnya.
Jejak langkah perjuangannya yang luar biasa, buku karya
besar-nya, budi-pekerti luhur beliau akan hidup abadi dalam hati
setiap suku rakyat Indonesia.
337
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
Siauw Giok Tjhan,
Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah
Hiski Darmayana1
Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme
hingga akhir hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri
orang sebagai pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan
kemerdekaannya. Namun, namanya tak akan ditemukan dalam
buku sejarah resmi versi pemerintah. Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal
dari etnis Tionghoa ini memang memiliki naluri untuk menentang
penindasan sejak ia berusia remaja. Karakter yang kemudian ia
bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten melawan
penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan
juga dari bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi
rasial.
Spirit Nasionalisme
Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra
dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh
dalam keluarga Tionghoa yang yang telah berintegrasi dengan
etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok Tjhan
fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa.
Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah
Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan ayahnya,
ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia
bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif
1 Hiski Darmayana adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI)
338
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut
terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri
perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang
kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih seringkali membuat
kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat
perkelahian de ngan mereka.
Menginjak usia remaja, Siauw Giok Tjhan harus berjuang
untuk menghidupi dirinya dan adik-adiknya karena kedua orang
tuanya wafat. Berbekal modal seadanya peninggalan dari orang
tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan
di Surabaya. Ketangguhan jiwa Siauw Giok Tjhan muda dalam
menghadapi kesulitan hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini.
Ketangguhan jiwa itu pula yang membuat ia tak ‘lari’ dari
situasi sosial kala itu, ketika rakyat banyak yang dilanda kesulitan
akibat penjajahan. Siauw Giok Tjhan pun bergabung dengan
organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Niem Hui, dimana
melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera
kesulitan ekonomi.
Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga
bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di
partai ini sekaligus menjadi penanda mulai masuknya Siauw Giok
Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI merupakan
partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang
lahir dan menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki
kesadaran bahwasanya tanah air mereka adalah Indonesia.
Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia
pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia.
Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw
Giok Tjhan menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo),
sebuah organisasi berhaluan nasionalis kiri yang dibentuk Amir
339
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo inilah, spirit
nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara.
Tak hanya di aspek politik, semangat nasionalisme juga ia ma
nifestasikan di bidang olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat
dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola
Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB) ketika NIVB
akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok
Tjhan dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton
ke Pasar Turi, dimana di pasar tersebut sedang berlangsung
pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh
Indonesia (PSSI).
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw
bersinggungan dengan Marxisme. Ia mengenal ideologi itu dari
kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Perkenalannya
dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw
kian ‘condong’ ke kiri.
Selain dalam organisasi dan partai, Siauw juga berkiprah di
bidang jurnalistik. Ia mengawali kiprahnya di bidang tersebut
sebagai wartawan harian Matahari, sebuah koran yang
bertendensi nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke
nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran ini. Pada
masa pendudukan Jepang, harian Matahari mengambil tendensi
anti-fasisme Jepang sehingga membuat Siauw dalam posisi yang
berbahaya.
Siauw pun menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw
berupaya menghindar dari kejaran Jepang itu dengan mengambil
posisi aman menjadi pemilik toko eceran di Malang. Di kota
tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota
organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta
mendirikan organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah,
Siauw menetap hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
340
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
dikumandangkan.
Proklamasi kemerdekaan ternyata bukanlah akhir perjuangan,
melainkan jutru awal berkecamuknya revolusi kemerdekaan.
Belanda tak ingin melepas bekas jajahan di zamrud katulistiwa
ini begitu saja. Dengan membonceng Sekutu dan Inggris selaku
pemenang Perang Dunia ke II, mereka berupaya menguasai
kembali Indonesia.
Siauw
pun
mempertahankan
kembali
berpartisipasi
kemerdekaan
dengan
dalam
perjuangan
mendirikan
dua
organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru.
Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan
tentara Inggris di Surabaya pada 10 November 1945.
Perjuangan Siauw juga berlanjut di ‘wadah’ baru, yakni Partai
Sosialis yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti
yang disinggung sebelumnya, Amir Sjarifudin ini merupakan kawan
Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo pada masa
penjajahan Belanda dahulu.
Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung
Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw yang menganggap
seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian
tak
terpisahkan
dari
revolusi
nasional
telah
membuat
ia
memperjuangkan disahkannya UU Kewarganegaraan RI di tahun
1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga keturunan Asia dan
Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan turut
serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang
kemerdekaan ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri
Negara urusan Minoritas ketika Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin
pada tahun 1947.
Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak
hanya ia tunjukkaan melalui perjuangan politik atau organisasi,
341
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
melainkan juga hal-hal yang kecil seperti hidup secara sederhana.
Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan anaknya
yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan de
ngan agresi militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok
Bie, hendak menggunakan mobil organisasi Palang Biru untuk
me ngantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw dengan tegas
melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab mobil itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang
yang terluka karena bertempur melawan agresi Belanda.
Di sisi lain, perpecahan yang melanda Partai Sosialis tempat
Siauw bernaung makin tak terhindarkan. Perbedaan pendapat
yang bernuansa ideologis antara kubu Sjahrir dengan kubu
Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri dan
membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948.
Sedangkan kubu Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw
memilih bergabung dalam kubu Amir.
Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan
Amir makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama
ketika pertentangan politik menghangat pasca disepakatinya
perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis dan
PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front
Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap
kabinet pimpinan Bung Hatta yang didukung Masyumi. FDR sangat
menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin ‘membersihkan’
angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat.
Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya
“peristiwa Madiun”, ketika gerakan FDR dianggap sebagai
pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR pun ditumpas
oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution.
Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap
TNI. Namun, tak lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang
342
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
kedua di akhir 1948. Siauw pun lolos dari penjara Republik, namun
ia kembali ditangkap Belanda.
Integrasi vs Asimilasi
Di akhir tahun 1949, kemerdekaan Indonesia pun diakui
oleh Belanda. Perang kemerdekaan usai, namun masalah
kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga tuntas. Guna
menuntaskan masalah tersebut, Siauw dan beberapa tokoh
Tionghoa lain seperti Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hien dan Ang Jang
Goan membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Siauw pun menjadi ketua umum
organisasi ini.
Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda
yang muncul dari kalangan masyarakat terkait penyelesaian
masalah etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua konsep itu dipandang
sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut oleh masingmasing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi
dan integrasi.
Untuk konsep asimilasi, definisinya adalah penyatuan antara
dua etnis dengan menghilangkan seluruh identitas kultural dari
salah satu etnis. Dalam konteks masalah Tionghoa, etnis Tionghoa
diharuskan menghilangkan seluruh identitas ke-Tionghoaan-nya
untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas
rakyat Indonesia yang dianggap kebudayaan ‘asli’ Indonesia.
Sedangkan
konsep
integrasi
mengandung
arti
persatuan antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya di Indonesia
tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis. Hal ini
sesuai dengan moto Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda tapi
tetap bersatu dalam naungan negara Republik Indonesia.
Baperki yang dipimpin oleh Siauw menentang keras konsep
343
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
asimilasi. Menurut Baperki, asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan
tidak sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika yang mengakui
keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala ‘pernakpernik’ kulturalnya. Karena itu tak seharusnya etnis Tionghoa
menanggalkan identitas kulturalnya untuk bisa bersatu dengan
unsur rakyat Indonesia yang lain.
Masalah etnis Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan
dari masyarakat Indonesia dapat dituntaskan dengan berintegrasi
pada kehidupan dan perjuangan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan, tanpa harus melupakan kebudayaan Tionghoa-nya.
Maka, Baperki mendukung konsep integrasi revolusioner sebagai
solusi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Dan PKI, yang
bertendensi anti rasialisme, juga mendukung konsep integrasi yang
diusung oleh Baperki ini. Tak heran apabila pada perkembangan
politik selanjutnya, terutama di era Demokrasi Terpimpin, Baperki
menjadi sangat dekat dengan PKI.
Sementara, konsep asimilasi didukung juga oleh beberapa
tokoh Tionghoa. Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus
Sindunata, Ong Hok Ham, serta H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa
pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa
(LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan,
terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD)
yang pada umumnya rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB
ini memegang peranan penting dalam perumusan berbagai
kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis
Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk
kebijakan pelarangan perayaan Imlek, pelarangan agama Kong
Hu Chu dan pergantian nama warga Tionghoa.
Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi
(LPKB) berlanjut dimasa Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi
politik antar berbagai kekuatan dimasa itu juga berpengaruh pada
344
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang dekat
dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok
nasionalis kanan.
Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep
integrasi yang digagas Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya
ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8 Baperki. Dalam pidato itu
tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi. Berikut
isi pidato beliau :
“Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama
Indonesia asli ? Tidak ! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara,
Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya
asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna.
Pak Ali itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit,
campuran dia itu.
Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya
persoonlijk, persoonlijk, pribadi-what is in a name ? Walau
saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu
ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja.
Saya sendiri juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak
Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran,
Arab dan Sanskrit.
Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa
yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau
menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus
kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah,
tidak ?
Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campurcampur.Yang
saya
minta
yaitu,
supaya
benar-benar
kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi
warganegara Republik Indonesia.”
345
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
Akhir Perjuangan
Selain memperjuangkan integrasi etnis Tionghoa ke dalam
masyarakat Indonesia, Baperki dan Siauw juga memperjuangkan
nation-building melalui pendidikan. Maka pada tahun 1958,
Baperki mulai membuka Akademi Fisika dan Matematika yang
diperuntukkan bagi pendidikan guru sekolah menengah. Pada
tahun-tahun berikutnya, Baperki juga membuka beberapa fakultas
baru seperti fakultas Kedokteran, Sastra dan Teknik.
Pada tahun 1962, perguruan tinggi Baperki itu diberi nama
Universitas
Res
Publica
(Ureca).
Dalam
penyelenggaraan
pendidikan di Universitas ini, Baperki punya motto :“pendidikan
bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan
dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”
Untuk diketahui, pasca meletusnya tragedi Gestok 1965, Ureca
ditutup oleh Soeharto karena dianggap universitas ‘komunis’. Di
kemudian hari, rezim Orde Baru membentuk Universitas baru untuk
menggantikan Ureca, yakni Universitas Trisakti.
Sementara itu, terkait masalah yang dipandang paling krusial
dari masalah-masalah lainnya yang menyangkut etnis Tionghoa di
negeri ini, yakni masalah ekonomi, Siauw juga punya pandangan
sendiri. Menurutnya, tak perlu ada pembedaan antara kapital milik
orang Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Sepanjang
modal itu dimiliki oleh rakyat Indonesia, apapun etnisnya, maka
bisa diperuntukkan bagi perkuatan ekonomi nasional serta
berguna juga untuk menangkal pengaruh negatif modal
asing
multinasional.
Tampak bahwa Siauw mentolerir adanya kapitalis domestik
di Indonesia, guna melawan pengaruh negatif kapital asing
multinasional yang menurut Siauw sangat eksploitatif. Konsep
346
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Hiski Darmayana
Siauw ini dikenal sebagai konsep Ekonomi Domestik.
Sementara itu, dinamika politik berjalan cepat dan tak
terduga. Tragedi Gestok yang meletus 1 Oktober 1965, merubah
secara drastis konstelasi politik nasional. PKI, selaku pihak tertuduh
dalam tragedi tersebut, segera dihabisi oleh tentara sayap kanan
pimpinan Soeharto yang didukung imperialis Amerika Serikat (AS).
Jutaan pendukung PKI dan Bung Karno dibantai serta ditangkapi
tanpa proses peradilan.
Sebagai seorang simpatisan kiri sekaligus pendukung Bung
Karno, Siauw pun tak lepas dari ‘tsunami’ politik tersebut. 4
Nopember 1965, Siauw ditangkap dan dibui selama 13 tahun
oleh Orde Baru tanpa proses pengadilan. Baperki pun dibubarkan,
begitu juga dengan universitas yang dibentuknya, Ureca.
Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan dari
penjara. Perlakuan buruk yang diterimanya selama meringkuk di
tahanan rezim Soeharto membuat kesehatan Siauw memburuk.
Setelah bebas dari penjara, ia pergi berobat ke Belanda.
Selain berobat, kepergian Siauw ke Belanda juga untuk
menghindar dari kontrol rezim Soeharto yang dikhawatirkan makin
membuat kesehatannya memburuk. Siauw menderita komplikasi
beragam penyakit, mulai dari gangguan penglihatan hingga
penyakit jantung. Akhirnya, pada 20 November 1981, pejuang
bangsa itu meninggal dunia sebagai pelarian politik.
Riwayat juang putra Surabaya yang telah mengabdikan
seluruh hidupnya bagi kemaslahatan negara, bangsa dan etnisnya
ini seakan hilang dalam sejarah, hanya oleh stigma yang masih
‘sakti’ hingga kini, yakni stigma ‘komunis’.
347
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
Fakta Sejarah Perjuangan
Siauw Giok Tjhan Tidak Bisa Dihapus
Chan Chung Tak1
Eddie Lembong, mantan ketua-umum INTI2, pendiri dan ke
tua Nabil3 dengan tegas mengatakan, “Fakta Sejarah Perjuangan
Siauw Giok Tjhan, tidak bisa dihapus dari sejarah untuk selamanya”.
Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh Tionghoa terbesar dalam
sejarah Indonesia, demikian tandas Eddie Lembong di penutup
Diskusi Terbuka “100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus
Dari Sejarah” yang diselenggarakan oleh Gema-Inti, pada tanggal
29 Maret 2014 di Aula Sekretariat Inti, Jakarta.
Sejarah ditulis oleh pemenang. Tidak aneh kalau ada tokohtokoh yang dihapus dari sejarah terutama untuk pihak yang kalah.
Tidak hanya nama Siauw Giok Tjhan dihilangkan dalam buku
sejarah. Ada empat anggota BPUPKI4 Tionghoa, Liem Koen Hian,
Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Houw dan Tan Eng Hoa yang namanya
juga dihilangkan sejak masa ORBA sampai sekarang. Hingga saat
ini belum ada pembetulan resmi dari pemerintah. Dan seandainya
1 Chan Chung Tak turut mendirikan dan memimpin HKSIS. Kini ia mengelola
beberapa milis termasuk milis Ureca dan Gelora dan kerap menulis tentang
masalah Tionghoa
2 INTI singkatan dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa, didirikan pada 5 Februari 1999 oleh 18 Warga Negara Indonesia yang peduli terhadap penyelesaian
“Masalah Tionghoa”.
3 Nabil (Nation Building) Adalah yayasan yang didirikan oleh Eddie Lembong
dengan tujuan untuk turut serta dalam proses Nation Building Indonesia melalui
Cross Cultural Fertilization.
4 BPUPKI singkatan dari Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 29
April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk untuk memperoleh dukungan bangsa Indonesia dengan janji Jepang akan
membantu Indonesia mencapai kemerdekaan. BPUPKI beranggotakan 67
orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman
Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan
Raden Pandji Soeroso.
348
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
hendak mengusung Siauw Giok Tjhan menjadi Pahlawan Nasional,
bisa menggunakan cara yang ditempuh Nabil dalam mengajukan
John Lie sebagai pahlawan Nasional, jelas Eddie Lembong lebih
lanjut.
Diskusi dibuka oleh MC muda, Robby Dharmawan
yang
berasal dari Surabaya. Ia lebih dahulu mempersilahkan para
hadirin untuk berdiri menyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia
Raya dan lalu mempersilahkan ketua Gema-Inti, Hardy Stefanus
untuk memberikan kata sambutan pembukaan Diskusi.
Bonnie Triyana sebagai pembicara pertama menegaskan
Pemikiran Siauw dengan konsep Integrasi wajar yang sekarang
ini lebih dikenal dengan konsep multikulturalisme lebih masuk akal
ketimbang konsep asimilasi yang dijalankan masa Suharto berkuasa
selama lebih 32 tahun. Kebijakan asimilasi ternyata telah membuat
kelompok Tionghoa hidup tertekan, harus menghilangkan identitas
ke-Tionghoa-annya, dipaksa mengganti nama bahkan dilarang
merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka.
Sabam Sirait, sesepuh PDI-P yang juga hadir dalam Diskusi,
tidak melewatkan kesempatan untuk berbicara. Ia menyatakan
bahwa sebagai mahsaiswa pada tahun 1960-an mengenal
nama Siauw Giok Tjhan dan beberapa tokoh pimpinan Perhimi
– Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Sekalipun belum pernah
berdiskusi dengan Siauw, tetapi ia dengan tegas menegaskan
bahwa konsep Siauw Giok Tjhan itulah yang benar. Kenapa orang
diharuskan ganti nama, dimana salah nama-nama Tionghoa itu?
Ia menegaskan: “Saya tidak akan mau disuruh ganti nama menjadi
Sabamo Sirainto, misalnya. Ditembak mati juga akan tetap saya
pertahankan nama Sabam Sirait, nama Batak saya”.
Namun, sampai sekarang tentunya masih ada orang-orang
pendukung konsep asimilasi. Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, sekalipun
diakhir katanya mengakui: “Siauw adalah pemimpin yang baik
349
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah
memilih ikut Indonesia terlindungi haknya”, tetapi nampak masih
tidak menerima Tionghoa diperlakukan sebagai suku-Tionghoa:
“menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap
menjadi suku merupakan kemunduran. Itu berarti mereka masih
ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for
Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Konflik antara
pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. (lihat majalah TEMPO
6 April 2014, halaman 57).
Presiden Sukarno pada saat menghadiri pembukaan Kongres
Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada tanggal 14 Maret 1963,
telah menyatakan komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai
suku
Tionghoa dan menyamakannya dengan suku-suku lain
dalam tubuh Bangsa Indonesia. Dalam sambutannya, Sukarno
mengatakan: “Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas,
... suku Dajak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas,
suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu- adalah minoritas,
suku Tionghoa adalah minoritas, tidak ....Saya kata Sama Paman
Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku itu apa
artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya kaki. Jadi bangsa
Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara.
Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba,
kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh,
tubuh bangsa Indonesia.” Demikian tegas Bung Karno pada tahun
1963, lebih dari 61 tahun yang lalu.
Asvi Warman Adam mengisahkan bagaimana Komitmen
Siauw yang begitu teguh menjadi Indonesia. Ia tidak patah saat
dirinya ditangkap oleh Pemerintah yang penegakkannya ia ikut
perjuangkan. Siauw ditahan sebagai akibat Razia Agustus Sukiman
pada tahun 1951. Karena sakit mata dan perlu dioperasi oleh Dr.
Sie Boen Lian, Siauw diizinkan keluar dasi penjara dan statusnya
350
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
diubah menjadi tahanan rumah setelah dua bulan di penjara.
Menurut Asvi, Siauw benar-benar sakit sehingga harus dirawat
di luar penjara, tidak sama dengan kebiasaan yang dilakukan
para tokoh sejak zaman Suharto, yaitu menggunakan alasan sakit
menuntut dirinya dibebaskan saat pemeriksaan.
Asvi melanjutkan bahwa Siauw melanggar status tahanan
rumahnya untuk hadir dalam sidang DPR. Di depan pintu DPR
ia bertemu dengan Perdana Menteri Sukiman yang ternyata
mengetahui keadaan matanya. Sukiman kemudian menyatakan
kepada
Siauw
untuk
memberi
tahu
jaksa
agung
yang
memperhatikan pembicaraan kedua orang itu bahwa Siauw
telah memperoleh izin Perdana Menteri untuk hadir di DPR, jadi
tidak melanggar status tahanan rumah-nya. Keesokan harinya,
Siauw menerima surat keputusan Jaksa Agung yang menyatakan
status-nya diubah menjadi tahanan kota, berlaku sejak sehari
sebelumnya.
Asvi menuturkan setelah peristiwa Gerakan 30 September,
di Siauw namanya dicantumkan dalam Dewan Revolusi yang
beranggotakan 45 orang. Akhirnya Siauw harus meringkuk dalam
tahanan selama 12 tahun. Dan Baperki termasuk organisasi yang
dibubarkan. Universitas Baperki yang dikenal sebagai Universitas
Res Publica dirusak dan dibakar.
Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan sosial,
mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa
sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan kumpulan cerita yang
didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya
dari wawancara para tahanan disitu, ternyata menjadi bahan
dasar tulisan John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan
Massal, G30S dan Kudeta Suharto”. Karena catatan-catatan dan
cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang diwawancarai
itu merupakan bahan lengkap dan meyakinkan, mengungkap
351
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
banyak hal, termasuk Biro Khusus dan siapa saja yang berperan
disitu. Menurutnya, buku John Roosa merupakan buku versi terakhir
tentang G30S yang pa ling sahih. Ternyata buku ini dilandasi oleh
catatan yang ditulis oleh Siauw Giok Tjhan dari cerita-cerita hasil
wawancara selama di tahanan.
Asvi di akhir pembicaraan dengan tandas mengusulkan karena
situasi politik Indonesia sekarang masih belum memungkinkan
mengajukan Siauw Giok Tjhan sebagai Pahlawan Nasional,
sebagaimana beberapa tahun yang lalu diajukan oleh Ibrahim
Isa, untuk lebih dahulu mengajukan Siauw Giok Tjhan dijadikan
nama satu Jalan di Jakarta atau Surabaya kota kelahirannya.
Usul disambut hangat oleh para hadirin dan juga oleh pembicara
berikut Stanley Adi Prasetio.
Siauw Tiong Djin dalam sambutannya menyatakan, Siauw
Giok Tjhan tergolong orang yang perlu dihapus dari sejarah
Indonesia, hanya karena Pemerintah Suharto menuduh Siauw
komunis. Tergolong komunis yang harus dibasmi. Padahal selama
dipenjara 12 tahun itu, sekalipun melalui interogasi berulangkali
dan penyiksaan kader-kader PKI, pemerintah tetap tidak berhasil
membuktikan Siauw adalah anggota PKI.
Yang patut diajukan adalah: “Ada yang mengatakan: Politik
bersatu dengan rakyat yang diajukan oleh BAPERKI adalah politik
PKI. ……… Kalau ada orang mengatakan bahwa Sukarno juga telah
melaksanakan politik PKI, itu berarti terlalu membesarkan peranan
PKI. Dulu, penjajah Belanda juga terlalu melebih-lebihkan kegiatan
PKI, mereka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan
nasional juga sebagai kegiatan PKI, sedangkan kenyataannya
gerakan kemerdekaan nasional bukanlah monopoli orang-orang
komunis.” (Lihat : “Bhinneka Tunggal Ika”, edisi bahasa Tionghoa
hal. 161)
Ada juga orang yang mengatakan Baperki sejalan dengan
352
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
PKI, karena Baperki menyetujui terlaksananya persatuan nasional
“NASAKOM”: “Konsep kerjasama NASAKOM bukanlah diajukan
oleh PKI, melainkan dikemukakan oleh presiden Sukarno dalam
suatu sidang DPA... Jika kita mengambil sikap menentang atau tidak
acuh terhadap konsep NASAKOM, justru akan menempatkan diri
kita sendiri berada dalam kedudukan terpencil dan patut dikutuk
sebagai golongan yang bersikap “sektaris.”…. Menghadapi situasi
semacam ini, sebagai suatu organisasi massa yang tidak terlalu
besar, bila BAPERKI berusaha merintangi pelaksanaan konsep
NASAKOM, pasti akan digilas babak belur oleh partai-partai
politik besar, sehingga tak punya tempat berdiri lagi. BAPERKI
menganjurkan integrasi berarti harus mendukung “NASAKOM”,
harus ada kesesuaian kata-kata dengan tindakan, tidak boleh
plintat-plintut. “ Demikian sanggah Siauw. (Lihat : “Bhineka Tunggal
Ika”, edisi bahasa Tionghoa hal. 159 -- 160)
Siauw selanjutnya menunjukkan pengalaman sejarah bahwa
Jalan paling selamat bagi Tionghoa bukan bersandar pada
penguasa pemerintah, melainkan bersandar dan menjadi satu
dengan rakyat banyak. Rakyatlah yang akan berfungsi sebagai
pelindung ampuh. Siauw secara tegas menyatakan: “Selanjutnya
juga
telah
cukup
jelas,
bahwa
menggantungkan
nasib
golongan peranakan Tionghoa sebagai keseluruhan pada tetap
berkuasanya orang atau orang-orang tertentu, tidak bisa tidak
bersifat sementara saja. Orang bisa mati, atau segolongan orang
bisa diganti karena prubahan perkembangan. Tetapi berhasil
menyatukan diri dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan
proses integrasi wajar dengan rakyat sebagai pewujudan BHINEKA
TUNGGAL IKA, merupakan jalan selamat lebih kekal.” (Lihat Siauw
Giok Tjhan: “Lima Jaman”, edisi bahasa Indonesia, halaman 429)
Siauw Tiong Djin dengan tandas menyatakan, sudah tiba
saatnya harus mengakhiri komunis phobia, jangan sedikit-dikit dan
353
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
apa saja dikaitkan dengan paham komunis. Harus berani melihat
kenyataan konsep pemikiran yang diajukan Siauw sesuai dan
bermanfaat bagi perkembangan masyarakat ketika itu, bahkan
tidak sedikit tetap relevan di zaman sekarang.
Siauw Tiong Djin lebih lanjut menandaskan warisan yang
ditinggalkan Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia:
1. Kewarganegaraan
peranakan,
Indonesia:
termasuk
Menjadikan
Tionghoa
orang
semua
Indonesia.
Bersama tokoh-tokoh PTI dan Partai Sosialis, di KNIP
berhasil memenangkan UU No.3/1946 yang menetapkan
seseorang yang lahir di Indonesia sebagai warganegara
Indonesia secara otomatis.
2. Konsep
Integrasi:
Dasar
perjuangan
Siauw
adalah
pembangunan Nasion Indonesia yang bersandar atas
Bhinneka Tunggal Ika. Siauw berargumentasi bahwa Nasion
Indonesia bukan Indonesian Race.
adalah sebuah nasion yang lahir
Nasion Indonesia
karena terbentuknya
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Oleh karena itu
Istilah Indonesia “asli” tidak memiliki dasar hukum.
Konsep integrasi yang dicanangkan Baperki ternyata
diterapkan oleh banyak negeri maju di zaman modern
dan lebih dikenal sebagai paham multikulturalisme. Di
Australia dan Canada, pelaksanaan
multikulturalisme
di undang-undangkan. Siauw mendorong pemerintah
dan masyarakat menerima keberadaan suku Tionghoa.
Sukarno dengan tegas mendukung konsep ini dalam kata
sambutannya di pembukaan kongres Baperki tahun 1963.
3. Pengembangan Modal Domestik: Siauw lebih mendukung
sosialisme
ala
Indonesia
pembangunan
ekonomi
yang
sosialis
dianjurkan
yang
Sukarno,
bersandar
diatas dasar pengembangan modal domestik tanpa
354
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
mempedulikan latar belakang ras pemilik modal.
Ia
harapkan modal-modal dagang domestik termasuk yang
dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa dibantu dan
didukung pemerintah agar terus tumbuh berkembang
lebih baik dalam usaha mempercepat pembangunan
negara.
4. Pendidikan
untuk
menjadi
Indonesia:
Siauw
melalui
BAPERKI dan URECA mendorong komunitas Tionghoa
dan para mahasiswa-nya untuk menerima Indonesia
sebagai tanah airnya, menjadi INDONESIA yang baik.
Dengan ketegasan prinsip menjadi patriot Indonesia tidak
perlu menanggalkan ciri etnis Tionghoa, boleh saja tetap
mempertahankan budaya dan adat-istiadat Tionghoa.
Jadi, komunitas Tionghoa dihimbau aktif meng-integrasikan
dirinya ditengah-tengah rakyat, melibatkan dirinya dalam
berbagai kegiatan masyarakat. Para siswa dan mahasiswa
Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi, mengikuti
organisasi pelajar dan mahasiswa yang ada.
Belajar
memproduksi kebutuhan praktis masyarakat, bahkan
melibatkan
para
mahasiswa
dalam
pembangunan
gedung kuliah, bengkel dan tanur baja kampus Ureca.
Dengan demikian Komunitas Tionghoa berserta para
cendekiawannya
diajak
untuk
bergotong
royong
mengembangkan universitas swasta yang terbesar dan
berkualitas tinggi di Indonesia ketika itu.
Sangat menarik kalau kita perhatikan kebijakan yang diambil
Siauw/BAPERKI ketika itu. Pada saat pemerintah RI melarang
anak-anak WNI masuk sekolah Tionghoa pada tahun 58, Siauw/
BAPERKI justru menetapkan kebijakan menerima anak-anak totok,
berkewarganegaraan Tiongkok untuk masuk sekolah di UBA,
Universitas BAPERKI yang kemudian pada tahun 1963 menjadi
355
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
URECA, Universitas Res Publica. Maksud dan tujuannya hanya satu:
Melalui pendidikan berusaha merubah anak-anak Tionghoa asing
itu juga menjadi INDONESIA!
Baik saya kutipkan sepenggal tulisan di Majalah TEMPO, 6
April 2014, “Pergulatan Keindonesiaan Siauw”: “Yang menarik,
universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu
masih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi ke
Indonesiaannya. Nancy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Ditemui
Tempo, Nancy bercerita bahwa ia lahir di Garut, Jawa Barat,
tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut,
adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar hingga menengah
ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan
dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung.
“Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana
pulang ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi kesana
dan menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun
cita-citanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina
di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya.
Harta benda orang tuanya musnah.
Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk
pulang ke Cina terkumpulkan kembali. Dia diminta membantu
berdagang batik. Namun ayahnya, yang cukup berpendidikan,
tidak setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya
Nancy didaftarkan ke URECA. “Di tempat lain tak mungkin
diterima karena saya WNA”, dia menambah.
Di Ureca, Nancy benar-benar seperti anak yang baru belajar
bahasa Indonesia “Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa
Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan
hanya dua kali dalam seminggu”. Tidak hanya mengajarkan
bahasa Indonesia, bagi Nancy, URECA juga mengindonesiakan
dirinya. “Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi
356
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
pulang ke Tiongkok, yang asing sama sekali. Saya mulai sadar
bahwa saya lahir dan besar di Indonesia. Akar saya disini.”
Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. “Bahkan
saya akan diputuskan hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika
pecah peristiwa Oktober 1965 karena diseluruh Garut hanya
ada tiga perempuan yang masuk URECA, jadi sangat dikenal,”
kata Nancy, yang pada 2003-2013 menjadi Ketua Perempuan
INTI. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di
Fakultas Sastra URECA di Kampus A Grogol. Pada 15 Oktober
1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap
berkaitan dengan kaum kiri. URECA di Jakarta dan cabangcabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan
serta sekolah-sekolah yang didirikan BAPERKI ditutup.” Kutipan
selesai.
Siauw Tiong Djin di akhir kata sambutannya menyatakan:
Seandainya Siauw masih ada di sekitar kita, ia berhak merasa
gembira.
Gembira karena apa yang diperjuangkan bersama
rekan-rekannya
sudah
terwujud
menjadi
kenyataan.
UU
Kewarganegaraan yang baru seirama dengan apa yang pada
tahun 50-an menjadi tuntutan Baperki. Sebagian besar komunitas
Tionghoa menjadi Indonesia, Rasisme sudah resmi dinyatakan
sebagai sikap yang melanggar hukum. Kebudayaan dan tradisi
Tionghoa kembali diperbolehkan, bahkan tahun baru Imlek
menjadi libur nasional dan dirayakan secara besar-besaran dengan
mengikutsertakan semua suku Indonesia, sesuatu yang pernah
menjadi harapan dan impian di masa hidupnya. Bahasa Mandarinpun tampak mulai diterima sebagai bahasa perdagangan penting.
Republik Rakyat Tiongkok kembali memperoleh penghargaan
tinggi, dengan keunggulan kekuatan ekonomi di dunia.
Bagi yang hendak mengikuti acara diskusi terbuka “100 Tahun
Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah” yang
357
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
diselenggarakan oleh Gema-Inti, tgl. 29 Maret di Aula Sekretariat
INTI Jakarta ini, bisa klik link dibawah ini:
https://www.youtube.com/watch?v=Lhy9vYQPcaw
Acara peringatan 100 tahun Siauw Giok Tjhan di Reuni Ureca ke 8 Cisarua 23 Maret 2014 - Penampilan konsep Bhinneka Tunggal Ika
358
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Chan Chung Tak
Acara Seminar 100 tahun Siauw Giok Tjhan
diselenggarakan oleh Gema Inti - 29 Maret 2014 di Jakarta
359
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Mengenang Seratus tahun Siauw Giok Tjhan
Guru Sejati Kebangsaan Indonesiaku
Tan Swie Ling1
Tulisan mengenang seratus tahun Siauw Giok Tjhan guru sejati
kebangsaan Indonesiaku ini, aku buat diatas sepasang landasan
sejarah. Pertama, di atas landasan sejarah peristiwa pembantaian
Tionghoa tahun 1740 di Batavia. Ke dua, diatas landasan sejarah
peristiwa 10 Mei 1963 dan atau landasan dokumen CIA. Dan aku
akan mulai dengan tulisan berikut dibawah ini.
Aku tahu sejak kapan negeriku, Republik Indonesia ini ada.
Yaitu sejak dikumandangkannya proklamasi Kemerdekaan pada
17 Agustus 1945. Tapi sejak kapan isi negeriku, yaitu berbagai
komunitas masyarakat manusia yang
mengumandangkan
Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dimaksud ada
dan menjadi penghuni negeri Indonesia ini ,
yang selanjutnya
hidup bersama-sama sebagai masyarakat jajahan, selama
beratus , atau bahkan mungkin beribu tahun yang lalu, kemudian
hidup bersama-sama sebagai masyarakat jajahan, jauh sebelum
perbendaharaan kata Indonesia ada, Aku tidak tahu.
Yang aku tahu, awal proses masyarakat manusia yang
kemudian disebut sebagai “bangsa Indonesia
tersebut ada”,
itu terjadi bersamaan dengan ditemukannya India oleh Ekspedisi
kapal laut Portugis yang dippimpin oleh
Vasco da Gama.
Sehingga berdasarkan itu,keberadaan masyarakat Indonesia yang
kemudian berkembang menjadi bangsa Indonesia, umurnya
sesungguhnya masih muda.
1 Tan Swie Ling turut mendirikan dan memimpin Permusyawaratan
Pemuda Indonesia – organisasi pemuda Baperki. Ia lama ditahan di zaman
pemerintahan Suharto. Setelah Suharto lengser, ia mendirikan dan memimpin
majalah Sinergi. Ia penulis beberapa buku yang berkaitan dengan G30S,
pembangunan bangsa dan Sukarno.
360
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Masih muda, mengingat prosesnya bertalian dengan tahun 1497.
Di mana pada tahun tersebut dalam rangka pencarian wilayah
baru untuk memecahkan kebutuhan perluasan pasar,
Raja
Portugis menunjuk Vasco da Gama, bangsawan rendah yang lahir
di kota Sines, Portugis sekitar 1460, untuk memimpin ekspedisi kapal
menuju India.
Di mana pada 8 juli 1497, Vasco da Gama mengangkat
sauh empat buah kapal di bawah komandonya, berlayar menuju
kepulauan Tanjung Verde. Tapi tidak seperti yang dilakukan
Bartolomeu Dias yang menyusuri pantai Afrika, Vasco da Gama
berlayar ke Selatan, jauh di luar Samudra Atlantik. Vasco da
Gama terus bergerak jauh kearah Selatan kemudian berbelok
arah ketimur mencapai Tanjung Harapan. Rute perjalanan ini lebih
cepat ketimbang menyusuri pantai selatan seperti yang ditempuh
Bartolomeu Dias; sekali pun dua setengah kali lebih lama dari
waktu yag dicapai oleh kapal Christopher Columbus. ( Tan Swie
Ling: “Masa Gelap” Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia).
Adalah merupakan suatu keniscayaan bahwa ekspedisi
pelayaran dibawah pimpinanVasco da Gama tersebut memiliki
arti penting bagi proses kehidupan masyarakat manusia
lebih
lanjut setelah itu. Arti penting perjalanannya adalah karena ia
sadar atau tidak telah membuka jalur jalan laut langsung antara
Eroupa (Portugis)-India serta Timur Jauh, yang manfaatnya turut
dinikmati oleh banyak negeri dan tentu saja faedah terbesar
dinikmati oleh Portugis. Sehingga membuat Portugis, negeri kecil
dipinggiran Eroupa yang semula melarat, mendadak semasa
itu berubah menjadi negeri terkaya di Eroupa, dan selanjutnya
mendirikan banyak koloni jajahan di seputar Samudra Indonesia
serta membangun benteng-benteng dan pos-pos serdadu
di India, Indonesia, Madagaskar, Pantai Timur Afrika, juga
361
di
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
banyak tempat lainnya. Hal yang selanjutnya membuat terjadi
dan berlangsungnya penghisapan atas manusia oleh manusia
serta tumbuh terjadinya
penjajahan hampir di seluruh wilayah
Asia, Afrika, dan Amerika latin sampai dengan berakhirnya masa
dekolonisasi di pertengahan abad XX.
Dan Indonesia yang merupakan salah satu dari isi samudra
Indonesia dengan sendirinya tak terlepas dari segala dinamika
yang berlangsung di dalamnya, sehingga jadilah ia salah satu
negeri jajahan dimaksud. Artinya Indonesia sebagaimana faktanya
silih berganti, dari semula di jajah Portugis berganti menjadi jajahan
Belanda selanjutnya dari jajahan Belanda berganti menjadi jajahan
Inggris dan tak lama lagi kembali menjadi jajahan Belanda dan
berlanjut menjadi jajahan Jepang sampai akhirnya beriringan
dengan berahirnya perang dunia ke II, pada tanggal 17 Agustus
1945 Ir Soekarno berdua dengan Drs. Mohamad Hata, atas nama
segenap rakyat Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia.
Dibawah Kebijaksanaan Politik Devide Et Impera:
Akan
tetapi
sayang
sekali,
kebebasan/kemerdekaan
bangsa apa pun selalu saja pada awalnya tidak diiringi dengan
sebuah kesempurnaan. Demikian yang terjadi dengan bangsa
Indonesia. Adapun berbagai bentuk wujud ketidak-sempurnaan
tersebut
antara lain
Belanda sebagai
pertama-tama adalah ketidak relaan
bangsa penjajah,
untuk merelakan negeri
bekas jajahannya lepas dari belenggu penjajahannya, sehingga
dengan berbagai cara penjajah Belanda terus berusaha agar
Indonesia tetap saja menjadi negeri jajahannya. Maka dalam
rangka itu Belanda terus menjalankan politik andalannya; yaitu
“devide et impera” atau politik “pecah belah dan kuasai” rakyat
negeri jajahannya.
362
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Mengingat sebagai negeri kecil Belanda sepenuhnya sadar
tidak mungkinlah dirinya akan mampu mengendalikan negeri
sebesar Indonesia tanpa menjalankan politik “pecah belah dan
kuasai”. Itulah rahasia bagaimana negeri sekecil Belanda mampu
dan berhasil mengalungkan belenggu penjajahan pada negeri
dan bangsa sebesar Indonesia sampai tiga ratus tahun lebih
lamanya.
Adapun sasaran politik “pecah belah dan kuasai” adalah
para raja yang berkuasa atas kerajaan-kerajaan bumi putera,
yang pada umumnya kecil-kecil
disamping para pendatang
yang oleh pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai VreemdeOosterlingen atau “golongan bangsa Timur Asing”. Yang terdiri dari
golongan penduduk Tionghoa, Arab dan India. Dimana dari ketiga
golongan penduduk yang disebut sebagai bangsa Timur Asing,
pertama,
golongan penduduk Tionghoalah yang paling besar
jumlahnya, kemudian golongan Penduduk Arab yang jumlahnya
lebih
banyak dari golongan penduduk India serta
golongan
penduduk India, yang jumlahnya paling kecil .
Kembali berbicara Devide et Impera atau politik “Pecah
belah dan kuasai”adalah bicara tentang dasar politik dari sebuah
negeri yang lebih kecil agar dapat langgeng menaklukkan
bangsa dan negeri lebih besar sebagai taklukannya. Maka kebijak
sanaan (“pecah-belah dan kuasai”) tersebut akan secara abadi
dilaksanakan oleh sebuah bangsa dan negeri kecil demi agar
terus dapat berhasil menguasai bangsa dan negeri yang jauh
lebih besar. Demikian halnya yang terjadi antara Belanda si negeri
kecil dengan Indonesia negeri yang berlipat-lipat kali jauh lebih
besar. Maka demikianlah untuk selanjutnya “devide et impera”
menjadi dasar kebijaksanaan politik penjajah Belanda. Sebuah
negeri kecil berhasil melakukan penaklukan atas negeri yang jauh
lebih besar, serta berhasil pula melanggengkan penjajahannya.
363
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Tentu saja perjalanannya mengakibatkan penderitaan tak
terperikan pada seluruh golongan penduduk Indonesia. Namun
tanpa bermaksud mengecil-ngecilkan derita yang dialamami oleh
semua golongan penduduk Indoneaia yang lain, sesungguhnya
golongan penduduk Tionghoalah yang paling merasakan derita
akibat praktek devide et impera yang berlaku di Indonesia baik
semasa zaman penjajahan Belanda
dahulu, maupun setelah
zaman berikutnya ,yang disebut zaman merdeka.
Dan dalam hampir sepanjang zaman itulah Siauw Giok
Tjhan, Pejuang Besar Tionghoa Milik Bangsa Indonesia, hidup.
Hidup yang penuh arti bagi nusa dan bangsa Indonesia. Hidup
yang penuh arti bagi kehidupan pluralisme sejati yang kini mulai
bersemi di negeri ini. Hidup yang penuh arti bagi mereka yang
menganggap-nya sebagai guru perjuangan bangsa sejati.
Panjang sekali kisah derita hidup dibawah kebijakan “Pecah
Belah dan Kuasai” (devide et impera) yang dipraktekan oleh
penguasa kolonial Belanda dan rezim orde Baru. Teristimewa yang
dialami oleh komunitas Tionghoa di Indonesia. Komunitas Tionghoa
Indonesia tidak saja mengalami pait getirnya akibat devide et
impera sepanjang masa kekuasaan kolonialisme Belanda dimasa
lalu, tapi juga sepanjang kekuasaan Orde Baru.
Bahkan setelah Orde Baru tersebut tumbang.
Karena
tumbangnya Orde Baru tidak serta merta menghapus pengaruh
buruk dari kebijaksanaan politik “devide et impera” yang diadopsi
Orde Baru dari penguasa kolonial. Karena sebagaimana nyatanya
kebijaksanaan devide et impera tersebut terus berberlangsung
dalam wujud diskriminasi rasial (anti Tionghoa), terutama.
Memang bicara soal diskriminasi, di Indonesia terutama di
masa Orde Baru, boleh dikatakan tidak ada golongan penduduk
apapun yang tidak mengalami diskriminasi dari penguasa Orde
Baru. Akan tetapi dengan tidak melebih-lebihkan kenyataan yang
364
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
berlaku, semua golongan penduduk yang sama-sama mengalami
diskriminasi dari penguasa Orde Baru, yang mengalami perlakuan
diskriminasi paling berat adalah golongan penduduk Tionghoa.
Di mana faktanya perlakuan diskriminasi yang dialami golongan
penduduk TiongHoa sampai-sampai terbukukan ke dalam tiga
jilid buku berjudul: “PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH CINA
DI INDONESIA” Dihimpun dan disusun oleh BADAN KOORDINASI
MASALAH CINA (BKMC)-BAKIN 1979-1980. Sedangkan golongan
penduduk bangsa Timur asing yang lain serta golongan-golongan
penduduk terdiskriminasi yang lain tidak mengalami perlakuan
seperti yang dialami golongan penduduk Tionghoa.
Pengalaman pahit yang bahkan berlangsung sejak zaman
penjajahan sanpai dengan waktu diproklamasikannya hari
kemerdekaan Indonesia. Dan bersambung ke masa Orde Baru.
Sudah tentu keberlangsunganya praktek diskriminasi selama itu
menanamkan akibat tidak baik pada kedua belah pihak golongan
penduduk. Golongan penduduk yang biasa disebut pribumi dan
golongan penduduk yang biasa disebut sebagai non-pribumi.
Pada golongan penduduk yang biasa disebut sebagai nonpribumi
tumbuh perasaan selalu diperlakukan tidak adil. Terutama setiap
kali terjadi perubahan kekuasaan selalu dijadikan tumbal. Tidak
pernah luput dari penjarahan dan berbagai tindak kekerasan
sampai ke tindak kebrutalan lain, sepertti pemerkosaan dan
pembunuhan sebagai mana terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei
1998. Sebaliknya pada golongan penduduk yang sering disebut
sebagai “pribumi” hampir pada umumnya berpendapat bahwa
apa yang dialami golongan pendudukTionghoa sudah sepadan.
Mengingat akibat kebijakan politik devide et impera
oleh penguasa kolonial, mereka meyakini bahwa keberadaan
golongan penduduk Tionghoa di negeri ini, sama sekali tidak ada
sum- bangsihnya apa-apa. Golongan penduduk Tionghoa di
365
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
negeri ini sepenuhnya diyakini hanya sebagai golongan yang :
“numpang makan, numpang tidur, numpang berak dan numpang
beranak”. Sampai-sampai ada pembesar tinggi hasil pilpres tahun
2004-2009 negeri ini, seusai dilantik sesuai jenjang kepangkatannya
yang tinggi, mungkin karena teringat pada peristiwa Mei 1998,
melontarkan kata-kata:
“ Orang Cina yang hidup di Indonesia
tinggal pilih: “minta dibakar-bakari atau minta didiskriminasi”.
Suatu tawaran pilihan tanpa alternatif positif! Begitulah
agaknya akibat dari lamanya praktek devide et impera di suatu
negeri. Golongan penduduk berbeda yang menjadi korban
diskriminasi dan golongan penduduk yang mendiskriminasi samasama menangkap kesan negatif satu terhadap yang lain. Dimata
golongan penduduk pribumi golongan
penduduk Tionghoa di
negeri ini sama sekali tidak ada peran positifnya.
Hal ini bahkan tergambar nyata pada
berikut ini.
generasi muda
Secara kebetulan suatu ketika penulis menjumpai
sekelompok pemuda usia duapuluh tahunan tampak sedang panas
beradu pendapat. Salah satu pihak dengan penuh keyakinan
berpendapat ten- tang orang Tionghoa sebagaimana tersebut
diatas. Maksudnya, orang Tionghoa tidak memiliki sumbangsih
apapun terhadap negeri dimana ia bertmpat tinggal.
Apa benar begitu? Mari kita tengok sejarah.
Pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740.
kita
Sehubungan dengan permasalahan diatas, ada baiknya
menengok sejarah. Dalam buku pelajaran sejarah untuk
Sekolah Rakyat (SD) tahun 1950-han
ditulis: Pada tahun 1740
terjadi pembantaian besar-besaran atas kurang-lebih sepuluh
ribu orang Tionghoa, oleh kompeni Veerenigde Oost Indisce
Compagnie (VOC) di Batavia. Oleh Menteri Pendidikan semasa
366
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
itu diperintahkan, agar Peristiwa tersebut di tulis dan di jadikan
bahan pelajaran sejarah di Sekolah Rakyat, di mana penulis
bersekolah waktu itu.
Adapun mengapa peristiwa mengerikan itu bisa terjadi?
Menurut versi VOC, karena orang Tionghoa dicurigai akan
melakukan pemberontakan. Padahal menurut keyakinan penulis,
kecurigaan bahwa orang-orang Tionghoa akan melakukan
pemberontakan, kalau itu benar, dasarnya adalah karena orangorang Tionghoa para pemilik kapal jung yang biasa digunakan
mengangkut teh yang didatangkan dari Tiongkok, teh yang
didatangkannya,jumlahnya makin lama makin sedikit. sehingga
tidak mencu- cukupi kebutuhan VOC. Adapun mengapa begitu,
menurut para pemilik perahu jung, hubungan dagang orang
Tionghoa
dengan VOC dirasakannya
mitra dagang,
tidak seperti hubungan
yang menentukan pembayaran berdasarkan
kesepakatan harga jul-beli. Melainkan seperti hubungan budak
dan majikan. Harga jual-beli barang sepenuhnya dibayar menurut
kemauan VOC. Hal ini membuat pedagang teh malas berdagang
dengan VOC.
Dan keengganan para pedagang teh berdagang dengan
VOC ditafsirkan sebagai pembangkangan dan niat memberontak.
Dan berhubung hakekatnya VOC adalah pedagang bermeriam,
maka dimeriamlah lawan dagang yang tidak mau mengikuti
cara dagang pedagang bermeriam tersebut. Dan itulah latar
belakang terjadiny peristiwa pembantaian orang Tionghoa di
tahun 1740 oleh VOC.
Sudah barang tentu orang Tionghoa yang niatnya berdagang
bukan berperang, akan tetapi diperlakukan seperti musuh dalam
peperangan, menjadi kucar-kacir tidak keruan. Itulah yang terjadi
dalam peritiwa pembataian Tionghoa di Batavia tahun 1740. Lalu
apa hubun gannya peristiwa pembantaian Tionghoa tahun 1740
367
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
dengan
pada
umumnya
Tan Swie Ling
anggapan anggapan golongan
penduduk “pribumumi” yang beranggapan keberadaan orang
Tiong- hoa di negeri ini hanya “ numpang makan, numpang tidur,
numpang berak dan beranak saja” dan sama sekali tidak ada
sumbang sihnya sama sekali terhadap negeri ini?
Hubungan Tionghoa dengan Bumi Putera Bagai saudara
Mari kita lihat.
pembantaian
semasa
Sebahagian orang yang selamat dari
itu,
sudah
tentu
mencari
tempat
perlindungan guna menyelamatkan diri Untuk itu. kemana mereka
pergi?
dan
Secara naluriah mereka menjauh dari tempat pembantaian
datang pada sobat kenalan di kampung-kampung
terdekat.
Mereka
menceritakan
kemalangan
nasib
yang
dialaminya. Bagaimana sikap kenalan-kenalan di kampung yang
didatanginya?.
Sisa orangTionghoa yang malang itu dibukakan pintu rumah.
Dengan penuh empati mereka diterima dan diper- silahkan tidur
di kamar-kamar tidur yang mereka miliki. Esok harinya mereka
diajak sarapan makanan yang biasa mereka makan. Sehari, dua
hari. Seminggu, dua minggu dan sebulan dua bulan kelompok
orang Tionghoa yang malang itu diberi tempat berlindung serta
dilindungi penduduk yang disebut orang kampung.
Pelaku Kejahatan (VOC) Mengeluarkan Dekrit Pengampunan
Kepada Korbannya
Dalam pada itu gubernur Valkenir, yang berkuasa semasa
itu, siang malam menc cemaskan akibat orang-orang Tionghoa
malang yang selamat dan selanjutnya lama ber- lindung dan
368
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
dilindungi penduduk desa di berbagai kampung-kampung。Karena dalam naluri perhitungan kemiliteran sang Gubernur, semakin
lama orang-
orang Tionghoa berada dalam
perlindungan
penduduk desa di kampung-kam pung, itu akan berarti bahaya
bagi keamanan VOC. Dan tentunya ini tidak baik bagi VOC. Oleh
karena itu orang-orang Tionghoa harus segera ditarik keluar dari
kampung-kampung tempatnya berlindung.
Maka dibuatlah
dekrit oleh Gubernur Valkenir agar para orang Tionghoa yang saat
itu masih berada di dalam kampung-kampung supaya segera
keluar meninggalkan tempat perlindungannya itu.
Dan bagi
barang siapa yang tidak mengindahkan dekrit tersebut akan
dijatuhi hukum- an yang lebih berat. Sedangkan
bagi mereka
yang mematuhi dekrit akan diberi pengampunan.
Sampai disini kepada kita dipertonton kan hati dan
wajah penjajah yang sedemi- kian culas dan jahatnya. Sebagai
pembantai (penjahat) Gubernur Valkenir berting
kah sok suci.
Memberi pengampunan kepada golongan pendudukTionghoa
yang dijahati dan difitnah akan melakukan pemberontakan.
Tanpa diperiksa dan di- buktikan kebenaranya, kurang lebih
sepuluh ribu penduduk, langsung dibantai. Kemudian mereka,
korban yang tersisa selamat dari pembantaian didekritkan harus
keluar dari rumah-rumah di mana mereka dilindungi. Dalam pada
itu para orang Tionghoa
sisa korban pembantaian, oleh satu
dan lain pertimbgan seperti salah satunya tentu perasaan rikuh
berlama-lama merepotkan penduduk yang telah melindunginya,
akhirnya mereka putuskan keluar dari desa/kampung tempatnya
berlindung. Sedikit demi sedikit, serombongan demi serobongan
mereka keluar meme nuhi seruan dekrit.
Lalu perlakuan apa yang mereka terima dari pihak VOC?
Mereka ditempatkan di dalam pondok-pondok peneduh
dari hujan dan teriknya matahari
369
didalam
lapangan terbuka
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
yang berpagarkan kawat berduri perintang orang , sisa korban
pembantaian agar tidak leluasa keluar -masuk kamp alias
penjara terbuka. Yang kira-kira semacam barak-barak orang
buangan di pulau Buru karya Orde Baru. Yang letaknya kurang lebih
dalam jarak tembak meriam dari tangsi kompeni VOC. Dengan
demikian apabila orangTionghoa sisa pemban taian diketahui
akan melakukan gerakan yang ditafsirkan bisa merugikan kumpe
ni (VOC), akan mudah dimeriam dari tangsi kumpeni. Kesemuanya
itu membuat orang-orang Tionghoa sisa korban pembantaian
tidak bisa berbuat lain selain mematuhi apa mau VOC itu.
Mengubah Penjara Jadi Ladang Niaga.
Bagaimana selanjutnya orang Tionghoa sisa pembantaian
besar-besaran itu hidup?
Sudah tentu sangat sulit. Karena sekalipun di lapangan
terbuka, yang memungkin kan kalau mau lari tinggal melangkahi
kawat berduri.
tetapi faktanya mereka adalah orang yang
dihukum didalam penjara terbuka. Tegasnya, walau mungkin
mereka mudah melangkahi kawat berduri toh mereka tidak
bisa leluasa pergi kemana mereka mau. Karena untuk itu mereka
harus mengatongi pas jalan alias surat ijin bepergian dari VOC.
Jadi hidup dalam kondisi semacam itu, tanpa terja dinya suatu
KEAJAIBAN, mustahil orang Tionghoa sisa korban pembantaian
1740 bisa terus berlangsung hidup. Ya, tanpa adanya sebuah
keajaiban niscaya mustahil kita akan pernah mengerti
belakang tempat
dan jalan yang bernama
latar
“muara angke”
dan atau nama “ jalan Tubagus Angke”.
dialek
Nama-nama tempat mau pun nama jalan
yang dalam
Hokian berarti KALI atau SUNGAI MERAH, MERAH OLEH
DARAH yang
tercurah dari
kurang-lebih
370
10.000
penduduk
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Tionghoa di Batavia yang konon semasa itu lazim bertempat
tinggal di sepanjang kali, aman, namun
tiba-tiba
saja kulit
pembungkus tubuhnya robek oleh peluru dan tajamnya mata
pedang kumpeni (VOC) serta darahnya tercurah membanjiri kali
yang sampai sekarang dikenal dengan nama tempat:
MUARA
ANGKE dan JALAN TUBAGUS ANGKE yang lambat laun seiring
pe rubahan zaman kini nama tersebut berubah menjadi
“Jalan
Tubagus Angke”.
Di atas kita bicara tentang “keajaiban” dan berikut ini
adalah proses terjadinya kea jaiban tersebut.
tidak berdaya,
Dalam keadaan
sisa korban pembantaian Batavia th 1740, sekali
lagi memperoleh bantuan dari mantan-mantan Tuan penolongnya
semasa mereka berlindung menyelamatkan diri di kampungkampung. Dalam kondisi seratus persen tak berdaya, tidak leluasa
bepergian, di luar dugaan dan diluar harapan orang
sisa
pembantaian
mereka mendapat
Tionghoa
kunjungan dari para
mantan pelindungnya yang datang sembari membawakan oleholeh 5-6 butir telur ayam peliharaanya atau seiket-dua iket kacang
panjang hasil tanaman pagarnya sendiri.Yang karena seringnya
ini terjadi, benar-benar membuat dalam rasa rikuhnya, orang
Tionghoa yang malang itu mencoba berterima kasih dengan cara
membalas oleh-oleh itu dengan memberikan balsem atau minyak
kayu putih, atau apa saja yang mereka punya.
Dan
benar-benar
ajaib.
persaudaraan yang tulus serta
Peristiwa
barter
semangat
ajaib ini di samping
makin
mempererat hubungan persaudaraan antara Tionghoa malang
dengan penduduk desa baik hati di kampung- kampung. Suatu
keajaiban
mereka
punya
kepentingan serupa melakukana
aktivitas yang semula berupa barter oleh-oleh ala kadarnya
namun terkandung dalam keluhuran harapan untuk dapat terus
hidup bebas dari kebuasan tirani kumpeni. Tak disengaja secara
371
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
AJAIB dinamika tersebut telah mengubah penjara terbuka yang
semula merupakan tempat pemukiman berupa penjara terbuka
ternyata, berubah menjadi tempat mencarikehidupan yang lebih
lanjut menjadi tempat berniaga yang seterusnya sampai waktu
sekarang dikenal dengan sebutan sebagai PECINAN. Atau
pusat kegiatam ekonomi di sebuah wilayah kota.
Demikian itulah yang penulis maksud sebagai suatu
keajaiban. Seandainya saja kebaikan hati penduduk desa itu
hanya gincu, maka dapat dipastikan sisa korban pembantaian di
Batavia tahun 1740 oleh VOC tersebut akan terpupus habis tidak
akan dapat beranak-pinak sampai seperti adanya sekarang. Tapi
faktanya mereka eksis sampai sekarang. Niscaya ada keajaiban
yang tak akan pernah terjadi seandainya penduduk kampung
beranggapan komunitas Tionghoa tidak setitik pun memiliki sisi
positif dalam kehidupan bersama ini.
Apakah keajaiban itu?
Keajaiban
itu
adalah
sesuatu
yang
dirasakan
oleh
penduduk anak negeri dalam hubungannya terhadap golongan
penduduk Tionghoa di satu sisi, dan terhadap golongan penduduk
Belanda di sisi lain. Dalam hubungannya dengan golongan pendu
duk Belanda, golongan penduduk anak negeri ini merasakan
kekakuan hubungan. Ini terjadi, karena bagaimana pun pihak
Belanda adalah pedagang bersenjata. Pola dagang pedagang
bersenjata bagaimanapun berbau mesiu.(bedil). Kalau pedagang
Belanda melihat jenis rempah-rempah tertentu yang mencocoki
perasaan hatinya, ujung jarinya menunjuk,memberi isyarat agar
rempah-rempah itu dikumpulkan untuk ia beli. Kalau jual beli yang
dibantu dengan bahasa isyarat selesai dan pedagang bermeriam
tersebut di minta membayar, ternyata dibayarlah harga yang telah
disepakati dengan jumlah pembayaran yang besarnya semau
sendiri VOC bersedia membayarnya. Kalau rakyat menganggap
372
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
pembayaran itu kurang, pihak kompeni cuma goyang-goyang
telapak tangan. Maksudnya pihak kumpeni sudah tidak bisa tawarmenawar lagi. Kalau pedagang ngotot, pedagang berbedil itu
mulai mengancam.
Kalau sudah diancam, masih berani ngotot, ditempelenglah
ia. Dan kalau sudah ditempeleng juga masih ngotot ,..di dorlah
pedagang rempah-rempah anak negeri itu. Karena memang
begitulah cara kumpeni membeli barang dagangan dari rakyat.
Pendeknya, pemilik barang harus menyerahkan barang dagangan yang dikehendaki kepada sang juragan bermeriam.
Kalau tidak, akan
mengalami nasib saperti golongan
penduduk Tionghoa yang dibantai di Batavia pada tahun 1740.
Atau akan mengulang mengalami nasib seperti: yang ditulis
da- lam bukunya Des Alui, putera asli Bandaneira,
pembantaian
1621 oleh VOC.
6000
seputar
petani pala di Bandaneira pada tahun
Ketika itu belum lama Saudagar bermeriam
yang dikenal dengan nama lain sebagai VOC,
menapakkan
kedua kakinya di bumi Nusantara.
Dalam pengembaraanya mencari rempah-rempah yang
dibutuhkan negerinya di bu mi nusantara ini kumpeni menemukan
buah pala kualitas idaman masyarakat Eropa di Bandaraneira.
Dimintanya para petani Bandaraneira mengumpulkan
dan memberikan buah pala yang telah dikumpulkan itu kepada
kumpeni .
Dibayarnya kumpulan buah pala tersebut lima sen
per kilo. Para petani yang tahu pala di nege ri VOC dijual per
kilo satu rupiah uang Belanda, menolak dan menunut penyesuai
an pembayaran harga. Malang sekali petani pala Bandaneira
semasa itu.
Tak disangka dan tak diduganya sama sekali kalau tuntutan
untuk mendapatkan penyesuaian harga sama sekali tidak dilayani
pihak VOC. Penyesuaian pembayaran har- ga yang diminta tapi
373
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
tajamnya pedang dan ujung peluru yang diterima 6000 petani
pala Bandaraneira.
Begitulah tahun 1621 6000 petani pala di
Bandaneira mengawali tradisi pembantaian rakyat di negeri ini
oleh VOC.
Rakyat Mulai Mengerti.
Penguasa kolonial bukannya tidak mengerti. Bahwa rakyat
yang dijajahnya lambat laun akan menyadari, dan mempertanyakan
mengapa kehadiran dirinya berakibat memiskinkan segenap
penduduk negeri ini. Maka untuk mengalihkan tudingan jari rakyat,
bahwa bukan dirinya sebagai penjajah yang menjadi penyebab
kemiskinan yang dirasakan oleh rakyat, maka dialihkanlah arah
tudingan jari itu kepada golongan penduduk Tionghoa.
Bukan aku kata penguasa kolonial Belanda, penyebab
kemiskinanmu. Melainkan si Cina itulah penyebab dari kemiskinan
penduduk negeri ini. Dan oleh kenyataan hampir semua barang
yang diperdagangkan dari mulai terasi/ikan asin sampai perhiasan
emas di pasar memang sebagian besar diperdagangkan oleh
pedagang Tionghoa, maka percayalah penduduk, bahwa
penyebab kemiskinannya memng dari si Cina. Dengan kata lain
penduduk dibuat percaya bahwa penjajah negeri ini bukan
Belanda, melainkan Tionghoa. Sementara itu yang dibutuhkan
negeri iniadalah solusi problem yang terjadi, bukan tuduh kanan
atau tuduh kiri. Dan solusi itu tidak lain adalah kebebasan,
kemerdekaan.
Sebagaiman sebagaimana diketengahkan, Bung Karno di
dalam Pidato lahirnya Pancasila : Di dalam tahun tahun’33 saya
telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama
“Mencapai
Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun’33 itu, telah
saya katakan, bahwa kemerdekaan, poitieke onafhankelijheid,
374
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
political independence, tak lain dan bukan, ialah satu jembatan,
satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa di
sebrangnya jembatan emas itulah kita sempurnakan kita punya
masyarakat (persoalan)
Tapi setelah sepuluh , dua puluh, tigapuluh, empat puluhh
tahun dan setengah abad, Indonesia menyeberangi jembatan,
kita telah dan berada di seberang jembatan emas, ternyata
kedudukan komunitas Tionghoa di zaman merdeka masih tetap
tak ada bedanya, alias sama saja.
Di zaman penjajahan kolonial Belanda maupun di zaman
Indonesia merdeka, tetap, diperlakukan sebagai orang asing.
Kala Di zaman kolonial Belanda kedudukan hukum
komunitas
Tionghoa tak ubahnya seperti balon gas yang terapung-apung
diudara. Dapat perlakuan hukum Belanda tidak, dapat perlakuan
hukum pribumi pun tidak. Demikian pula ternyata pada zaman
Indonesia merdeka, zaman yang menurut terminologi Bung Karno,
zaman kemerdekaan atau zaman dimana bangsa yang berjuang
melawan penjajahan kolonialisme Belanda ini sudah berada di
seberang jembatan emas , namun ternyata bahkan perlakuan
hukum yang memposisikan komunitas Tionghoa sebagai bangsa
Timur Asing tetap berlaku.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 ,
jangankan membawa serta golongan penduduk Tionghoa ke
seberang jembatan emas.
Nyatanya
bahkan
ke seberang
jembatan batu pun tidak. Komunitas Tionghoa tetap hidup dengan
balutan tali-tali diskriminasi.
Bedanya hanya terletak kalau pada zaman penjajahan,
berbagai tali diskriminasi dikendalikan oleh tangan penguasa
kolonial, sedangkan di zaman merdeka tali-tali diskriminasi dipintal
oleh tangan penguasa merdeka.
Jadi yang ingin dikatakan
disini, baik di zaman kolonial maupun zaman merdeka, belitan
375
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa senantiasa terjadi tidak
oleh kehendak rakyat, melainkan mutlak oleh kehendak penguasa.
Buktinya, di masa Orde Lama, diskriminasi memang terjadi. Tapi
tidak sedahsyat pada masa Orde Baru. Demikian setelah Orde
Baru tumbang diskriminasi terhadap komunutas Tionghoa susut
secara drastis.
Kena apa begitu? Sebab sebagaimana dikatakan di
atas. Diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa terjadi bukan
disebabkan oleh karena orang Indonesia tidak suka atau benci
terhadap orang Tionghoa. Melainkan diskriminasi terjadi oleh
sebab kehendak penguasa.
Walau sekalipun demikian
faktanya, toh sebelum ada
penguasa, atau di saat-saat Indonesia baru menyiapkan diri untuk
menjadi sebuah bangsa merdeka, sudah tumbuh diskriminasi
yang mendasar. Seperti tampak jelas dalam risalah Sidangsidang BPUPKI. Untuk menyambut lahirnya kemerdekaan bangsa
Indonesia,
wakil-wakil golongan agama,
dengan mengatas
namakan rakyat memaksakan kemauan sendiri agar didalam UUD
1945 dicantumkan pasal yang berbunyi Presiden adalah ORANG
INDONESIA ASLI BERAGAMA ISLAM.
Adalah sudah barang tentu,
hal ini terjadi oleh
sebab
banyak faktor, yang membuat terciptanya situasi dan kondisi
dimana sidang-sidang BPUPKI nyaris menghadapi jalan buntu.
Yang jelasnya agar para pembaca dapat membayangkan situasi
sidang sebaik mungkin, dibawah ini disajikan kutipan pidato dua
anggota BPUPKI . Pertama pidato anggota BPUPKI
K.H.ABDUL
KAHAR MOEZAKIR, kedua, Pidato anggota BPUPKI, SOEKARNO:
Pidato anggota BPUPKI: K.H. ABDUL KAHAR MOEZAKIR:
“Saya mau mengusulkan kompromi, Paduka Tuan Ketua,
376
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
supaya Tuan-tuan anggota Tyoosakai senang hatinya, yaitu kami
sekalian yang dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan
hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka
sampai kepada pasal di dalam Undang-undang Dasar itu yang
menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret
sama sekali, jangan ada hal-hal itu. (memukul meja). Terima kasih.”
Pidato anggota BPUPKI: SOEKARNO
Paduka Tuan Ketua yang termulia!
“Saya yakin bahwa banyak di antara anggota-anggota
Dokuritu ZYunbi Tyoosakai tadi malam tidak bisa tidur, sebagaimana
juga terjadi dengan diri saya. Boleh dikatakan, hampir datang
waktu subuhlah saya baru bisa menutupkan mata saya, oleh
karena memikirkan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di dalam
rapat-rapat kita tadi malam. Makin mendalamlah di dalam
keyakinan saya, apa yang saya katakana kemarin, yaitu bahwa
sebelum terbentuk suatu Undak-undang Dasar dari
pada sesuatu rakyat, selalu didahului oleh kesukaran-kesukaran
yang amat hebat, kesukaran-kesukaran, pertikaian dan perselisihan
pendapat, tetapi akhirnya jika- lau
sesuatu bangsa cukup
kekuatan batinnya untuk mengatasi segala kesukaran-kesukaran
itu, barulah bisa disusun Undang-undang Dasar itu menjadi suatu
hal yang dikeramatkan, di dalam arti yang tidak mengenai hal
agama. Ini sekadar suatu peribahasa yaitu: “yang dikeramatkan
oleh bangsa yang membuatnya”. Kita kemarin menghadapi
satu kesukaran yang amat sulit, tetapi Allah swt. selalu memberi
petunjuk kepada kita. Kepada tiap-tiap manusia yang betul-betul
memohon petunjuk daripada Allah swt, dalam tiap-tiap kesukaran,
maka Allah swt selalu mem beri petunjuk. Maka petunjuk bagi kita
377
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai tadi malam telah mulai datang
“.
“Sesudah ditutup rapat tadi malam itu, maka dengan
segera kami, yaitu beberapa pemuka yang dinamakan pemuka
kebangsaan
dan
pemuka
yang
dinamakan
pihak
Islam,
mengadakan perundingan. dan sekarang telah sampailah
saatnya saya sebagai Ketua Panitia itu, mengemukakan, apakah
pendapat saya sebagai Ketua Panitia itu tentang masalah itu.”
“Saya tidak akan berbicara panjang lebar. Pokoknya ialah
demikian, bahwa kita se
kalian hendaknya insyaf seinsyaf-insyafnya akan penting dan
gentingnya keadaan;
bahwa kita telah bersumpah –walaupun sumpah itu tidak kita
ikrarkan- tidak akan
pulang, tidak akan kembali ke tempat kediaman kita masingmasing, sebelum Undang-undang Dasar Indonesia merdeka
tersusun.”
“Jikalau kita sekarang mengemukakan alasan-alasan,
argumen-argumen lagi, saya
yakin bahwa soal yang menjadi pembicaraan kemarin itu tidak
akan ada habis-habisnya. Pihak kebangsaan, jikalau diminta, bisa
mengemukakan argument bergu
dang-gudang; pihak Islam pun jikalau diminta, bisa mengeluarkan
argument bergudang-gudang pula. Di sini 10 gudang. Di situ pun
10 gudang. Di sini 100 gudang, disitu pun 100 gudang.
Tidak akan ada habis-habisnya soal ini, bila kita masih
mengemukakan argument-argumen untuk memperteguh, untuk
menyokong, untuk menerangkan pendirian kita masing-masing.
Maka oleh karena itu, saya sebagai Ketua Panitia, menasehatkan
kepada tuan-tuan sekalian, marilah kita sudahi perkara ini dengan
tidak masing-masing memegang kokoh-kokoh pendirian kita
378
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
masing-masing lagi.” “Kepada kaum yang dinamakan kaum
kebangsaan Indonesia, saya minta dengan tegas, supaya suka
menjalankan suatu pengorbanan, menjalankan suatu offer
kepada keyakinanitu. Alangkah gilang-gemilang kita kaum
kebangsaan, jikalau kita bisa menunjukkan kepada dunia umum,
dunia Indonesia khususnya, bahwa kita demi persatuan, demi
Indonesia merdeka yang hendaknya datang selekas-lekasnya,
bisa menjalankan suatu offer mengenai keyakinan kita sendiri “.
“Saya berkata, bahwa adalah sifat kebesaran di dalam
pengorbanan, “er is grootheid in Offer”.
Marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan itu, dan
pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang
tidak sefaham dengan golongan-golongan yang dinamakan
Islam ialah supaya saudara-saudara mufakati apa yang saya
usulkan itu. “Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa
didalam Undang-undang Dasar
dituliskan, bahwa ”Presiden
Republik Indonesia heruslah orang Indonesia asli yang Beragama
Islam”. Saya mengetahui, bahwa buat sebagia pihak kaum
kebangsaan ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan
mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimana
pun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan100% telah yakin,
bahwa justru oleh karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia
terdi ri dari pada 90 atau 95 % orang-orang yang beragama Islam,
bagaimana pun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden
Indonesia tentulah orang yang beragama Islam.”
“Apa boleh buat, Saya minta kepada Saudara-saudara
yang berdiri atas dasar ke bangsaan itu tadi, supaya melepaskan
teoritis prinsip ini, mengorbankan teoritis prinsip ini kepada
persatuan yang harus lekas kita selenggarakan,agar bisa lekas
tersusun Undang-undang Dasar, agar supaya bisa lekas pula
tercapai
Indonesia Merdeka. Inilah permintaan saya kepada
379
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
saudara-saudara yang berdiri di atas faham kebangsaan. Dengan
terus terang saja, marilah kita sekalian menjalankan pengorbanan.
Saya katakan kepada saudara-saudara sekalian , bahwa saya
,sejak dibuang ke Flores, saya belajar sembahyang dan dalam
tiap-tiap kali saya sembahyang tidak berhenti-hentinya saya
mohon kepada Allah swt, supaya Allah memberi petunjuk kepada
saya, supaya saya bisa menjadi seorang pemimpin yang bisa
menunjukkan jalan kepada bangsa Indonesia, jalan bagaimana
kita sekalian bisa lekas mencapai Indonesia Merdeka. Inilah Tuantuan sekalian, saya anggap jalan yang harus kita tempuh. Dengan
jalan demikian itulah kita bisa lekas menyusun hukum dasar kita,
sehingga bisa lekas mencapai Indonesia Merdeka.”
“Saya minta kepada saudara-saudara kaum kebangsaan
jalankanlah offer itu. Kalau masih kita bicarakan lanjut hal itu, tidaklah
ada habisnya. Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule di
dalam Undang-undang dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah
orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28,
yang mengenai urusan agama, tetap sebagaimana yang telah
kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: “Negara berdasar atas
ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya”” Ayat ke-2 “Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya
masinb-masing”.
Saya minta supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan
bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui,
bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat hebatnya,terutama
sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan
Maramis yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa
menangis supaya suka lah saudara-saudara menjalankan offer
kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan
kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya kita bisa lekas
380
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai.
Demikianlah Paduka Tuan Ketua yang mulia penjelasan saya.
Saya harap, Paduka Tuan Ketua yang mulia suka mengusahakan
sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan
persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk
apa yang saya usulkan tadi.”
Dipetik dari Buku Otobiografi
salah Seorang
Anggota panitia
persiapan Kemerdekaan Berjudul Yap Tjwan Bing: Meretas Jalan
Kemerdekaan.
Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung
Pada tanggal 8 dan 9 Mei 1963 terjadi aksi massa di kota
Cirebon dan Tegal. Terjadi gerakan merusak dan membakar
barang-barang milik golongan masyarakat keturunan Cina.
Pada tanggal 9 Mei 1963 sekitar pukul 18.00, saya dan beberapa
pemuka masyarakat
golongan keturunan Cina, diantaranya
Siauw Giok Tjhan yang pada waktu itu sebagai Ketua Baperki,
menerima telpon dari Gubernur Jawa Barat, Bapak Marshudi. Kami
diminta oleh beliau untuk berkumpul di kantor Cubernur, guna
mendengarkan secara langsung penjelasan tentang perusakan
terhadap barang-barang milik golongan masyarakat keturunan
Cina di kota Cirebon dan Tegal. Maksudnya adalah agar kami
tidak terkena provokasi dan agar peristiwa tidak akan menjalar
ke kota Bandung. Kami mendegar penjelasan itu dengan penuh
perhatian. Namun demikian, kami tetap merasa bimbang karena
menurut keterangan Bapak Marshudi, panglima Kodam Jawa
Barat yaitu Brigjen Ibrahim Adji tidak berada di tempat pada saat
yang genting tersebut.
Selesai mendengar penjelasan Bapak Marshudi, kami
381
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
pulang kerumah masing-masing. Pada hari itu, sejak pagi saya
sibuk mengikuti rapat-rapat anggota Sinode Gereja Kristen
Indonesia Jawa Tengah yang diselenggarakan di kota Bandung.
Saya segera menuju ke tempat rapat yang berlangsung sampai
lewat pukul 14.00. Pukul 05.00 pagi harinya saya mengantar
peserta rapat ke stasiun kereta api Bandung untuk kembali ke
kotanya masing-masing seperti Yogyakarta, Solo, dan Semarang.
Saya pulang dan tiba di rumah pukul 07.00 pagi dan segera tidur.
Rupanya, mulai pukul 08.00 pagi tanggal 10 Mei 1963 tersebut
para mahasiswa bersama massa mulai membakar mobil, rumah,
dan merusak toko-toko kecil milik keturunan Cina yang kurang
mampu di Tegallega Bandung. Istri saya pada pagi itu berbelanja
di Pasar Baru. Beruntung bahwa tidak terjadi apa-apa atas dirinya.
Pagi hari itu juga beberapa mahasiswa ITB ke rumah saya. Mereka
mengumpulkan uang untuk kepentingan asrama mahasiswa.
Padahal sebelumnya saya bersama teman-teman dari Gereja
Kristen Taman Cibunut telah memberi bantuan untuk kepentingan
dana asrama mahasiswa itu.
Pada pagi hari tanggal 10 Mei itu saya menerima telepon
dari beberapa orang sahabat yang berikhtiar untuk menolomg
kehidupan kami sekeluarga. Mr.Astrawinata yang menjabat
sebagai wakil Gubernur Jawa Barat (kemudian menjadi Menteri
Kehakiman) menelpon saya agar saya membawa barang-barang
yang penting ke rumahnya untuk mendapat perlindungan. Tetapi
saya menjawab tidak perlu. Juga Tachja, Kepala Polisi Priangan,
menelpon bahwa ia akan mengirimkan anggota polisinya untuk
menjaga rumah saya. Saya menolak tawaran tersebut dengan
halus. Mochtar dari partai Masyumi dan menjabat sebagai staf
redaksi Pikiran rakyat Bandung menelpon dan menanyakan
bagaimana keadaan kami sekeluarga. Saya merasa terharu atas
perhatian yang diberikan oleh para sahabat orang Indonesia asli
382
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
ini.
Mengingat bahwa gerakan perusakan di kota Bandung
dipelopori oleh para mahasiswa, maka Dewan Kurator ITB dan
universitas Pajajaran mengadakan rapat gabungan yang dipimpin
oleh Ir. Ukar Brata Kusuma. Dalam rapat gabungan itu hadir juga
Bapak Mashudi (gubernur Jawa Barat), Jaksa, dan beberapa
orang perwira tinggi dari ABRI. Saya juga mengikuti rapat itu .
Dalam rapat tersebut terjadi perdebatan perdebatan yang sengit,
tetapi berkat pimpinan yang tegas dari Ir Ukar, rapat itu dapat
berjalan dengan suasana persaudaraan. Bapak Gubernur adalah
seorang yang adil dan tidak dipengaruhi oleh persengketaan
antara pemuda atau mahasiswa pribumi dan nonpribumi. Rapat
itu akhirnya berhasil merumuskan beberapa keputusan, yaitu:
1.
Mencegah sedapat mungkin terulangnya peristiwa 10
Mei 1963.
2.
Berusaha
atau
merapatkan
mahasiswa
hubungan
pribumi
dengan
antara
pemuda
nonpribumi
dan
menyadarkan mereka bahwa mereka adalah satu
bangsa, yaitu bangsa Indonesia.
3.
Agar mereka sebagai pemuda dan mahasiswa saling
mendorong dan membantu dalam pelajarannya dan
saling memaafkan kalau salah satu dari mereka berbuat
kesalahan.
Beberapa wktu kemudian, Gubernur Jawa Barat Mashudi
menyarankan kepada saya untuk bersama-sama dengan temanteman golongan keturunan Cina untuk menulis surat kepada
Bung Karno. Isi surat tersebut adalah mengaharapkan bantuan
dari pemerintah pusat agar peristiwa 10 Mei ini tidak terulang lagi.
Siauw Giok Tjhan dari Baperki turut bersama kami menandatangani
surat tersebut. Kemudian saya menyerahkan surat itu kepada
Bapak Mashudi untuk meneruskannya kepada Bung Karno.
383
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
Dalam suasana seperti ini, terlihat bahwa Bapak Mashudi sebagai
Gubernusr Jawa Barat telah menjalankan tugasnya secara adil
tanpa sikap diskriminasi.
Tiga orang anggota DPR RI dari keturunan Cina, yaitu saya
sendiri sebagai wakil dari
PNI, Mr. Tjung Tin Yan wakil dari Partai
Katolik, dan Siauw Giok Tjhan dari non partai sepakat agar persoalan
yang berhubungan dengan
golongan masyarakat keturu an
Cina terutama tentang Peristiwa 10 Mei di Bandung itu dibawa
dan dibicarakan di dalam fraksi partai politiknya masing-masing.
Dalam fraksi PNI, saya harus membicarakan masalah tersebut.
Setelah diterima oleh fraksi PNI, fraksi menunjuk seorang juru bicara
bukan dari keturunan Cina untuk mengajukan persoalan itu di
dalam sidang paripurna DPR. Persoalan ini mendapat tanggapan
yang baik dan sungguh-sungguh dari DPR dan menjadi bahan
pertanyaan DPR kepada pemerintah.
Kesan yang dapat saya tangkap dari peristiwa itu adalah
adanya suatu jarak sosial di dalam masyarakat. Para pemuda
dan mahasiswa pribumi dan non pribumi rupanya tidak bergaul
secara rapat seperti dahulu. Kenyataan ini mendorong kita
untuk tidak tinggal diam, tetapi harus berbuat sesuatu. Menurut
pendapat saya, pemimpin dari dari kedua belah pihak wajib
berupaya untuk memberikan penerangan kepada para pemuda
dan mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kita
harus menanamkan rasa persaudaraan diantara mereka, karena
mereka merupakan warga dari negara dan bangsa yang sama,
yaitu negara dan bangsaRepublik Indonesia, tanpa yang sama ,
melihat perbedaan berdasarkan keturunan.
Jikalau saya mempelajari dan meninjau Pancasila sebagai
dasar atau idiologi negara terutama pada pasal III dan IV, yaitu
Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka saya
384
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
berkesimpulan bahwa kedua sila itu merupakan sila yang harus
diperhatikan dan
dijalankan
oleh pemuda pemudi Indonesia
sertta seluruh bangsa Indonesia. Usaha menumbuhkan pengertian
yang baik antara pemuda pemudi Indonesia dengan pemuda
pemuda pemudi keturunan Cina menurut pendapat saya perlu
dilaksanakan oleh semua pihak. Apabila upaya ini berhasil, maka
bangsa Indonesia akan dapat memusatkan perhatiannya pada
pembangunan nasional untuk menuju tercapainya masyarakat
yang adil dan makmur.
Musibah yang menimpa keluarga saya pada Peristiwa 10
Kei 1963 itu adalah dibakar nya sebuah mobil baru kami oleh
pemuda dan perusakan bungalow kami yang terletak di Jalan
Lembang, Bandung. Para pemuda yang membakar dan merusak
barang itu tidakbertanya siapa pemilik barang itu, apakah barangbarang itu kepunyaan orang Cina atau bukan. Saya yakin apabila
pemuda perusuh itu mengetahui bahwa barang itu adalah
milik saya (YapTjwan Bing), maka mereka tidak akan membakar
ataupun merusaknya, karena saya cukup dikenal oleh para
pemuda di Bandung. Saat itu saya menjabat sebagai anggota
DPR RI, anggota Dewan Pimpinan PNI, Dewan Kurator ITB, dan
anggota panitia ujian di Fakultas Farmasi Universitas Pajajaran.
Gubernur Jawa Barat, Bapak Mashudi, pada rapatdi
kantor
gubernur mengatakan bahwa para pemuda telah membakar
mobil baru dan
merusak bungalow milik Bapak Yap Tjwan Bing
yang termasuk salah seorang
patriot Indonesia. Beliau sangat
menyesalkan peristiwa ini.
Pembakaran mobil dan perusakan bungalow
sangat
dirasakan oleh istri saya sebagai seorang wanita. Ia terus menangis
dan tidak dapat memahami atau mengerti mengapa para
pemuda melakukan hal ini. Menurut pendapatnya, kami telah ikut
berjuang dan membantu pemerintah Republik Indonesia sejak
385
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
awal berdirinya. Sejak peristiwa itu, Istri saya terus dibayangi oleh
ketakutan yang amat mendalam. Bagaimana kalau
peristiwa
10 Mei terulang kembali dan rumah kami di Jalan Cipaganti
23Bandung dibakar lagi oleh para perusuh. Kemungkinan besar
Siong Hoei yang lumpuh tidak dapat lari dan turut terbakar dengan
rumah kami.
Oleh karena itu istri saya berpendapat bahwa kami harus
secepatnya membawa Siong Hoei untuk mendapat pengobatan
di Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan nasihat dari Dokter Suharso.
Jalan pikiran istri saya ini juga dapat dimengerti oleh teman dan
sahabat-sahabat kami dari orang Indonesia asli. Pada mulanya
saya menolak istri saya , namun setelah istri saya bersikeras dan
mengatakan bahwa mereka akan pergi sendiri ke Amerika Serikat,
maka sikap saya menjadi luluh. Dengan berat hati saya mengikuti
jalan pikiran istri saya. Saya sadar bahwa keluarga saya senantiasa
memerlukan pimpinan dan bimbingn saya selama hidup di Amerika
Serikat. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat dan bermukim di
Los Angeles. Dantulisanku berikutnya akan berangkat dari tiga
point di bawah ini.
1. Bagaimana kalau Peristiwa 10 Mei terulang kembali
2. Kesan yang dapat saya tangkap dari peristiwa itu adalah
adanya suatu jarak sosial di dalam masyarakat.
3. Saya yakin, apabila pemuda perusuh itu mengetahui bahwa
barang itu milik saya (Yap Tjwan Bing), maka mereka tidak akan
membakar atau pun merusaknya, karena saya cukup dikenal
oleh para pemuda di Bandung.
Kutipan berakhir.
Saya ingin mengomentari bagian-bagian tertentu kutipan
otobiografi Drs Yap Tjwan Bing seperti tersebut di atas dengan
kutipan dari buku saya berjudul G30 1965 Perang Dingin&
386
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
kehancuran nasionalisme Pemikiran Cina Jelata Korban Orba,
bagian yang
berkaitan dengan DOKUMEN CIA sebagai berikut:
Memorandum Dipersiapkan CIA untuk State Departmen 248
Washington, 18 September 1964
PROYEK UNTUK AKSI TERSEMBUNYI
Hubungan AS/Indonesia yang menurun, dilaporkan dalam telegram
baru-baru ini (khususnya Embte 1317249, 320250, dan 359251) dan
menimbulkan pertanyaan bagaimana memulai program aksi
tersembunyi sebagai respon perkembangan situasi ini. Dalam
konteks tersebut paragraf berikut ini menerangkan
beberapa
kemungkinan aksi, dan sebuah analisis tentang persoalan yang
terkandung dalam perencanaan tersebut dan penerapannya. Jika
anda menyetujui intinya, mungkin akan tepat untuk dikirim ke State
Departmen dan Markas Besar CAS dan meminta pertimbangan
mereka, dan semoga mendapat persetujuan dari mereka.
Situasi
1. Selama dua bulan lalu hubungn Indonesia dan AS
semakin menegang.Sikap Indonesia telah mengkristal
dalam menghadapi sejumlah perkembangan terakhir.
Termasuk indikasi berulang mengenai penarikan mundur
program bantuan yang tersisa secara unilateral oleh AS,
sampai akhirnya muncul pasal-pasal amandemen Towe
252; hasil resmi pertemuan (komunike) dikeluarkan oleh
Presiden Johnson dan Tunku Abdul Rahman 253 yang
mengakibatkan
Indonesia
menafsirkannya
sebagai
ungkapan AS untuk membantu Malaysia; dan akhirnya
387
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
episode Teluk Tonkin.
2. Dalam
pidato
Soekarno
17
Agustus’64
yang
mendeklarasikan AS menjadi musuh publik nomer 1 di
Asia, dan mengidentifikasikan diri sendiri, secara lebih
terbuka daripada sebelumnya, dengan blok komunis.
Secara internal kecenderungan kekiri memang cocok
dengan postur internasional Soekarno. Melalui seruan
menggunakan kembali tingkat perwira sampai Menko
“reaksioner”, maka Presiden dengan terang-terangan
mengundang PKI untuk mengadvokasi penggunaan
kembali seluruh kekuatan anti komunis di pemerintahan.
Dia mengumumkan akan membubarkan setiap partai
politik reaksioner, tapi pada
memberikan
persetujuan
saat bersamaan dia
secara
diam-diam
bagi
aksi unilateral oleh PKI. Dalam pidatonya Soekarno
mengesahkan secara empati program landreform dan
pembentukan pengadilan landriform, yang semuanya
akan dilaksanakan di bawah kontrol PKI, tapi juga
mendeklarasikan bahwa setiap orang yang menentang
Nasakom berarti juga menentang revolusi. Meskipun
di dalam perubahan struktur kabinetnya yang terkahir
(27 Agustus) Soekarno sama sekali tidak melakukan
Nasakomisasi, tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa
dia melangkah lebih jauh untuk melegitimasi peran
PKI di dalam jajaran eksekutif pemerinrtahannya.
Perkembangan ini tentu saja serasi dengan tamparan
berulang-ulang terhadap AS, termasuk pembatalan
training polisi dan militer, boikot Pan Amerika. Aksi
melawan UISD I Yogyakarta, dan ancaman umum
terhadap properti Amerika.
388
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
3. Sekalipun gambaran ini, nampak suram, terdapat
indikasi bahwa situasi ini sama sekali tidak diluar batas,
dan bisa diperbaiki lagi. Kata-kata penguatan terus
diterima oleh berbagai komponen Misi AS yaitu kontakkontak dekat, sumber informasi, dan teman pada
umumnya. Ada orang-orang Indonesia yang baik
dalam pemerintahan, Angkatan Bersenjata dan sektor
swasta yang berkeinginan untuk membela keyakinan
sendiri bahkan jika harus membahayakan kehidupan
mereka sekalipun, (kurang dari 1 baris teks sumber
tidak dideklasififikasikan)…terus memberi kemungkinan
bekerja
secara
efektif
dengan
individu-individu
semacam ini, dan motivasi mereka sama sekali tidak
dilakukan demi uang. Diantara mereka beberapa telah
menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik
yang tersembunyi meskipun terbatas namun efektif. Lenih
jauh, terdapat sejumlah pendekatan ke Kedutaan dan
Komponen Misi lainnya oleh individu-individu beberapa
bermotivasi untuk kepentingan diri, tapi lainnya untuk
kepentingan orang lain yang mencari bantuan agar
mereka mampu melawan komunisme di Indonesia.
4. Tapi waktu tidak berpihak pada orang-orang ini,
dan sebenarnya telah hampir habis. Mungkin tidak
dapat dihentikan. Sudah pasti program tersembunyi
itu sendiri tidak dapat membalikkan kecenderungan
Sorkarno. Kedutaan dalam rekomendasinya untuk
State
Department,
talah
menempatkan
sejumlah
Pertimbangan, yang bertujuan untuk memperthankan
pegangan di Indonesia dengan syarat bahwa program
389
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
tersebut dapat memampukan kita hidup lebih lama
dari Soekarno. Sehubungan dengan misi dasar program
dan sebagai tambahan di sana, (kurang dari 1 baris
teks sumber tidak dideklasifikasikan) kami mengajukan
sebuah program aksi tersembunyi yang intensif, terbatas
pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika
situasi mengijinkan.
5. Kebijakan AS sekarang ini terhadap Indonesia telah
benar-benar konstruktif dan bertujuan jangka panjang,
didasarkan pada konsep mengkontribusi pembangunan
ekonomi Indonesia, ditambah lagi dengan peningkatan
suara komunis yang semakin kuat di Indonesia, kita harus
mencari cara untuk mempertahankan hak keadilan kita
di sini sampai datangnya waktu yang lebih baik. Didalam
kerangka kerja ini (kurang dari 1 baris teks sumber tidak
dideklasifikasikan)
program
aksi
tersembunyi
telah
dibatasi. Usaha yang lebih sederhana telah dibuat
untuk membangun poin kontak dan pengaruh (1
baris teks sumbuer tidak dideklasifikasikan). Kita telah
melunakkan penekanan pada pengembangan (kurang
dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan) tipe-tipe
para pemimpin potensial. Dan akhirnya, program ini
mengakibatkan kekerasan terbatas terhadap PKI. Tentu
saja tidak ada penugasan untuk melakukan serangan
langsung ke Soekarno. Tingkat perijinan mengambil
tindakan berisiko, dengan sendirinya sangat rendah
dan hampir seluruhnya hanya terbatas pada bidang
pengumpulan informasi intelijen.
6. MOHON
PERHATIAN
UNTUK
390
BARIS
KALIMAT
ke-15
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
dibawah nanti beberapa aktivitas tertentu seperti
yang ditawarkan dalam paragraf 5-11 di atas dapat
dipakai di dalam kerangka kerja kebijakan yang
berlaku. Tapi jika kita harus menggunakan usahausaha tersebut, sejumlah pertanyaan penting pertamatama harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati.
Harus dipahami sejak dari awal bahwa tujuan dari
seluruh pelaksanaan ini adalah agitasi dan dorongan
perselisihan internal antara elemen komunis dan non
komunis. Pola aktivitas cukup sederhana cakupannya,
namun ukuran keberhasilan program adalah untuk
mendapatkan
momentumnya.
Artinya
kita
perlu
melakukan perluasan cakupan program dan intensifikasi
langkah. Bahkan usaha awal yang sederhana tersebut,
dengan sendirinya akan menimbulkan pertanyaan kritis
mengenai kebijakan.
Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah
PKI dan lebih penting lagi, untuk mengadu PKI
melawan
elemen
nonkomunis,
khususnya
dengan
Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, jika ada, kita
harus menyerang Soekarno? Sampai sejauh mana jika
ada, kita harus menyerang Soekarno? Apakah tidak
terpikirkan untuk menggerakan tekanan internal seperti
membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di
bawah syarat-syarat tertentu mungkin akan memaksa
Angkatan Darat untuk menanggung kekuatan besar
untuk memeulihkan Perintah?
Kita tidak ingin nampak terlalu ambisius dalam hal ini.
Tapi jika kita membangun program yang didalamnya
391
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
terdapat bentuk (kurang dari 1 baris teks sumber
tidak di deklasifikasikan) sebagai tambahan di dalam
perkembangan
politik
jangkan
panjang,
maka
penting sekali bawa kita sudah sampai di tempat
seperti sekarang ini dan mampu mempertimbangkan
dampak kemungkinan
dampak usaha kita. Saat
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah
sekarang, tidak ada nanti. Kita tidak akan berhasil untuk
mengambil tindakan seperti yang direncanakan di atas
bahkan dalam skala yang paling sederhana sekalipun,
jika tidak mempelajari pertanyaan- pertanyaan ini
terlebih dahulu dan komitmen-komitmen yang mungkin
diperlukan. Sangat jauh lebih baik untuk tetap bertahan,
tanpa harus menanggung risiko dipermalukan atau
menanggung bahaya (kurang dari 1 baris teks sumber
tidak dideklasifikasikan).
7. Jika di dalam aksi merusak ini muncul elemen yang tidak
sesuai dengan usaha jangka panjang memberikan
kehidupan jangka panjang memberikan kehidupan
pada elemen-elemen ningrat masyarakat Indonesia, kita
hanya dapat membantah bahwa dalam jangka panjang
hanya akan tersisa sedikit yang bisa diselamatkan.
Kombinasi terakhir terakhir antara kediktatoran Soekarno
dengan peningkatan pencucian otak eleman-elemen
masyarakat lokal, ditambah eksploitasi PKI secara terlatih
atas nasionalisme Indonesia yang disahkan, dan terakhir
pembawaan tradisi Jawa yaitu menyetujui kekuasaan
secara diam-diam, pasti akan menghapus sisa-sisa
rintangan antara komunis dan anti komunis di negara ini.
392
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
8. Mungkin hal yang paling penting dibanding semuanya,
adalah membuat usaha-usaha untuk menghancurkan
pertumbuhan dominasi PKI
propaganda
(pers,
radio
di bidang propaganda
dan
TV).
Karena
garis
propaganda PKI sekarang ini dan rezim Soekarno tidak
dapat dibedakan secara nyata, hal ini akan membawa
risiko yang jelas. Kami percaya risiko ini harus diambil.
Demikianlah semoga melalui 4 halaman kutipan dari 647
halaman buku DOKUMEN CIA Melacak Penggulingan Soekarno
dan Konspirasi G 30 S 1965. Edisi Indonesia Redaksi Hasta Mitra,
yang di sana-sini masih terkurangi lagi oleh tidak sedikit adanya
kalimat-kalimat yang tidak dideklasifikasi yang tentunya memang
sengaja dimaksudkan oleh AS selaku Panglima Komando Perang
Dingin agar tidak semua kejahatan dan dosa CIA diketahui oleh
umum, melainkan tetap harus ada yang dikubur untuk selamalamanya.
Penutup:
Dimuka aku awali tulisan ini, aku buat diatas sepasang
landasan.
Pertama,
di
atas
landasan
sejarah
peristiwa
pembantaian komunitas Tionghoa di Batavia pada tahun 1740.
Kedua, diatas landasan sejara peristiwa 10 Mei 1963 (dokuem CIA)
yang aku kutipkan juga dalam tulisan ini.
Dengan landasan sejarah peristiwa pembantaian Tionghoa
di Batavia tahun 1740, aku bermaksud mengetengahkan betapa
harmonisnya hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas
anak negeri. Yang tanpa itu, komunitas Tionghoa sisa pembantaian
yang dilakukan oleh VOC niscaya tidak mungkin memperoleh
pertolongan dan perlindungan di kampung-kampung hunian
393
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
masyarakat anak negeri.Yang lebih lanjut akan membuat seluruh
penduduk negeri ini tidak akan pernah
mengenal adanya
kawasan penggerak kehidupan ekonomi yang disebut sebagai
PECINAN.
Sedangkan
dengan sejarah peristiwa 10 Mei 1963, aku
bermaksud menunjukkan betapa hancur rusaknya
harmoni
hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas anak negeri
setelah diobok-obok kepentingan dunia Barat berulang kali.
Setidaknya selain kerusuhan 10 Mei 1963, menyusul lagi kerusuhan
yang meminta korban lebih heibat dari kerusuhan 10 Mei 1963,
yaitu kerusuhan Mei 1998. Dikatakan memakan korban lebih
heibat mengingat seperti yang dikatakan oleh mantan anggota
Panitia
Persiapan Kemerdekaan RI, Drs Yap Tjwan Bing, yang
dibakar adalah mobil baru miliknya disamping perusakan rumah
tinggalnya disamping banyak pula toko-toko milik para pedagang.
Sementara dalam peristiwa 13-14 Mei 1998 kadar kerusakan akibat
penghancuran tidak sebatas pada harta benda melainkan juga
pda martabat manusia. Berapa banyak wanita Tionghoa yang
diperkosa?Bukankah ribuan jiwa melayang bersama ketika para
pemiliknya berhasil dipancing masuk ke dalam mal-mal dan pintu
mal-malnya dikunci lalu dibakar?
Siapa pemilik prakarsa serta pelaku pelaksana kejahatan
itu? Diatas, salah satu dari sepasang landasan sejarah tulisan
ini disebut-sebut Dokumen
CIA. Bagaimana penjelasannya?
Sebelum sampai pada pembahasan soal CIA, terlebih dahulu
cobalah kita periksa seperi apa sesungguhnya kondisi sosial politik
komunitas Tionghoa di Indonesia. Banyak orang tentu banyak
pendapat berkaitan dengan seperti apa kondisi sosial politik
komunitas Tionghoa di Indonesia. Diantara banyak pendapat itu
berdasarkan
pengamatan berpuluh tahun lamanya sejak aku
menjadi aktifis Tionghoa (Baperki), aku meyakini bahwa kondisi
394
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
dan atau posisi sosial politik komunitas Tionghoa, tidak lebih dan
tidak kurang laksana “seikat rumput kering” yang mudah dibakar
oleh siapa pun orangnya yang berkepentingan untuk mengawali
menciptakan kerusuhan di negeri ini, seperti mereka yang biasanya
membakar-bakar ban bekas. Apa lagi kalau dalam kerusuhan itu
ada yang mati dan yang mati itu pemimpin atau calon-calon
pemimpin seperti para mahasiswa. Daya panggil politiknya untuk
menciptakan kerusuhan jadi lebih kuat.
Dahulu aku tidak mengerti siapa sesungguhnya dalang
dari pencipta kerusuhan pilitik itu. Baru setelah aku baca ulang
buku ku sendiri berjudul G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran
Nasionalisme, halaman 190, baris 15, yang berbunyi: “Apakah
tidak terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti
membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan dibawah syratsyarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk
menanggung kekuatan besar untuk memulihkan perintah?
Dan seterusnya, dan seterusnya.
Memorandum
Dipersiapkan
CIA
Tolong diperhatikan, tanggal
berbunyi,
Washington,
18
September 1964. sedangkan masalahnya seperti tertulis dikatakan
“Apakah tidak terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal
seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu (!963?)
Sedangkan dalam tahun 1963 tidak ada kerusuhan anti Cina
yang lain selain kerusuhan 10 Mei 1963. Sehingga jelaslah yang
dimaksudkan dengan “membangkitkan kerusuhan Cina tahun
lalu, tidak lain tentulah peristiwa 10 Mei 1963. Sehingga kalau saja
almarhum Drs Yap Tjwan Bing tahu hal ini, artinya tahu siapa yang
membakar mobil barunya serta merusak rumahnya, belum tentu
istrinya berkeras mengajak hijrah ke AS dengan alasan menunggui
Siong Hoei berobat di AS.
Apalagi kalau almarhum Drs Yap Tjwan Bing tahu kalau
pembakar mobil baru dan perusak rumahnya adalah salah
395
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Tan Swie Ling
seorang mahasiswa yang seidiologi dengan idiologi yang
dianutnya sendiri. Dan apa lgi pula, kalau almarhum drs Yap Tjwan
bing tahu kalau salah seorang perusak rumah dan pembakar mobil
baru yang seidiologi dengan idiologinya sendiri itu pernah menulis
sebuah buku yang diberinya judul “Warga Baru” Warga Baru yang
dimaksudkan sebagai “Tionghoa” yang maknanya bukan orang
sebangsa dan setanah air, Aku yakin Drs Yap Tjwan Bing akan lebih
memilih mencari tahu dalang penghancuran rumah tangganya di
tanah air ketimbang hijrah ke negerinya CIA.
Sampai di sini semoga jelas, bahwa anggapan keberadaan
komunitas Tionghoa di negeri ini, sepenuhnya hanya numpang
makan, numpang tidur, numpang berak dan numpang beranak,
sama sekali tidak ada sumbangsih apapun terhadap nusa dan
bangsa, adalah anggapan yang telah teracuni oleh kepentingan
dunia Barat yang berlangsung sejak paska era VOC sampai dengan
era perang dingin. Masalahnya ke depan adalah bagaimana kita
membersihkan racun yang telah masuk dan meresap kedalam
tubuh sebagian besar bangsa kita.
Semoga arwah Siauw Giok Tjhan serta arwah Yap Tjwan
Bing berkenan mendukung anak dan pengikut masig-masing yang
masih tertinggal di dunia fana ini memiliki kegigihan meneruskan
cita-cita juang kita bersama, Amin.
396
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
100 Tahun Siauw Giok Tjhan
Pergulatan Ke-Indonesiaan Siauw
Majalah TEMPO, 6 April 2014
Bagi
sebagian
orang
Tionghoa
akhir
1940-ahingga
pertengahan
Tjhan
adalah
yang
tokoh
mengindonesiakan
orang
aktif
di
Indonesia
1960-an,
terlibat
Tionghoa.
Ia
Siauw
mulai
Giok
dalam
gagasan
percaya
golongan
Tionghoa yang sudah hidup bergenerasi di Indonesia berhak
mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti
Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Untuk melebur ke
dalam bangsa Indonesia sebagai suku, menurut Siauw, orang
Tionghoa
tak
perlu
menghilangkan
ciri
ketionghoaannya.
Demi tujuan itu, ia membentuk Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 13 Maret 1954.
Baperki banyak membangun sekolah. Juga mendirikan perguruan
tinggi swasta pertama: Universitas Baperki, yang kemudian menjadi
Universitas Res Publica (Ureca).
Dalam kepemimpinan Siauw, Baperki condong mendekat
kesumbu kekuasaan, yang berorientasi kiri. Akibatnya, pada 15
Oktober 1965, setelah terjadi tragedi Gerakan 30 September,
kampus Ureca di Grogol dibakar massa. Tanggal 23 Maret lalu
tepat 100 tahun kelahiran Siauw. Tempo ingin menyajikan kembali
pergumulan hidupnya dan tulisan yang menampilkan kesaksian
mengenai pembakaran Universitas Res Publica.
AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua, Bogor,
Minggu dua pekan lalu. Santap malam 300-an peserta reuni itu
baru saja usai. Suasana kangen-kangenan kemudian menjadi
khidmat. Pembawa acara meminta hadirin yang rata-rata berusia
di atas 60 tahun itu berdiri dari kursikursinya.
397
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Para opa dan oma mengambil posisi siaga. Tatkala musik dari alat
pemutar terdengar, mereka pun menyanyikan lagu Indonesia
Raya. Ada yang bersemangat, bernyanyi sambil menempelkan
tangan kanan ke dada kirinya.
Nuansa kebangsaan Indonesia memang kental terasa
di acara Reuni Ke-8 Alumni Universitas Res Publica (Ureca) itu.
Selain menampilkan tetarian kontemporer Sunda dan Bali, acara
memperdengarkan
lagu-lagu
nasional
oleh
paduan
suara
Gerakan Pemuda Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Peserta temu
kangen ini adalah orang-orang yang pada 1959-1965 menempuh
pendidikan di universitas yang didirikan organisasi kemasyarakatan
Tionghoa masa itu: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia (Baperki).
Acara reuni kali ini menjadi lebih istimewa karena bertepatan
dengan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki
yang juga penggagas berdirinya Ureca. Siauw lahir pada 23 Maret
1914 di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur.
Baperki awalnya banyak terlibat dalam dunia pendidikan.
Pada November 1957, Perdana Menteri Djuanda melarang sekolah
asing menerima murid warga negara Indonesia. Akibatnya,
puluhan ribu anak Tionghoa yang semula belajar di sekolah
milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) terkatung-katung—tidak bisa
meneruskan sekolah.
Siauw bersama Baperki bergerak cepat. Mereka mendirikan
Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan. Siauw membuka sekolahsekolah
untuk
menampung
anak-anak
Tionghoa.
Baperki
juga mendirikan universitas swasta pertama di Indonesia, yaitu
Universitas Baperki. Pemicunya adalah banyak anak Tionghoa tak
bisa melanjutkan studi lantaran kuota bagi etnis Tionghoa masuk
universitas negeri hanya 2 persen.
Pada 1963, Universitas Baperki berganti nama menjadi
398
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Universita Res Publica. Yang menarik, universitas ini membuka mata
kalangan Tionghoa yang saat itu masih memiliki kewarganegaraan
Cina untuk memahami segi keindonesiaannya. Nancy Widjaja, 70
tahun, salah satunya. Ditemui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia
lahir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang
batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar
hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa
di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung.
Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang
ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi ke sana dan
menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun citacitanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut
pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya. Harta
benda orang tuanya musnah. Ibu Nancy meminta ia bersabar
sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpul kembali. Dia diminta
membantu berdagang batik.
Namun
ayahnya,
yang
cukup
berpendidikan,
tidak
setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya Nancy
didaftarkan ke Ureca. ”Di tempat lain tak mungkin diterima karena
saya WNA,” dia menambahkan.
Di Ureca, Nancy benar-benar seperti anak yang baru belajar
bahasa Indonesia. “Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa
Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan hanya
dua kali dalam seminggu.” Tidak hanya mengajarkan bahasa
Indonesia, bagi Nancy, Ureca juga mengindonesiakan dirinya.
“Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi pulang ke
Tiongkok, yang asing sama sekali? Saya mulai sadar bahwa saya
lahir dan besar di Indonesia. Akar saya di sini.” Keputusan Nancy
itu membuat ayahnya marah. “Bahkan saya akan diputuskan
hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober
1965 karena di seluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang
399
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
masuk Ureca, jadi sangat dikenal,” kata Nancy, yang pada 20032013 menjadi Ketua Perempuan Inti. Peristiwa 1965 itu juga yang
mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sastra Ureca di Kampus A
Grogol. Pada 15 Oktober 1965, kampus itu diserbu massa dan
dibakar karena dianggap berkaitan dengan kaum kiri. Ureca
di Jakarta dan cabang-cabangnya di Surabaya, Semarang,
Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-sekolah yang didirikan
Baperki ditutup.
***
BETULKAH Ureca berpihak pada gagasan kiri? Apa gagasan
Siauw Giok Tjhan yang membuatnya ditangkap dan dipenjara
tanpa proses pengadilan selama 12 tahun? Siauw Tiong Djin
mengaku tidak mengenal dekat ayahnya. Sebab, ketika sang
ayah ditangkap pada 4 November 1965, ia masih berusia 9 tahun.
Pertemuan dengan ayahnya hanya terjadi di ruangan besuk di
Rumah Tahanan Salemba, Kamp Satuan Tugas Kebayoran Baru,
Rumah Tahanan Militer Lapangan Banteng, dan Penjara Nirbaya
(Interniran dalam Keadaan Bahaya) Jakarta Timur.
“Awalnya saya penasaran ingin bertanya. Di sekolah, saya
sering mendengar bahwa Baperki sebagai organisasi komunis
harus diganyang dan orang-orang komunis pengkhianat bangsa
harus dipenjara selama-lamanya,” kata Tiong Djin.
Jawaban panjang-lebar yang disampaikan Siauw Giok
Tjhan menambah rasa ingin tahu Tiong Djin. Sepulang dari penjara,
ia membaca pidato dan tulisan Siauw yang disimpan rapi oleh
ibunya, Tan Gien Hwa. Tiong Djin juga bertanya kepada temanteman seangkatan ayahnya tentang apa yang dilakukan dan
tujuan perjuangan politik Siauw. Aktivitas itu terhenti saat ia harus
ke Australia untuk kuliah pada 1973.
Pertemuan Tiong Djin dengan Daniel S. Lev, guru besar
Washington University yang tengah merampungkan biografi
400
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien pada 1988, menguatkan
niatnya menulis riwayat hidup sang ayah. Dengan bimbingan
Herbert Feith dan Barbara Hatley dari Monash University dalam
melakukan penelitian obyektif dan penulisan akademis, Tiong Djin
menyusun disertasi berjudul Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leaders
in Emerging Indonesia, yang rampung pada 1998. Pada 1999, ia
meraih gelar PhD dalam ilmu politik di Monash University.
Melalui disertasi yang kemudian diterbitkan Penerbit
Hasta Mitra menjadi buku berjudul Siauw Giok Tjhan: Perjuangan
Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat
Bhineka Tunggal Ika ini, Tiong Djin ingin meluruskan sejarah yang
telah memojokkan sang ayah. Menurut Tiong Djin, ayahnya
bukan anggota atau anggota rahasia Partai Komunis Indonesia
sebagaimana dituduhkan. “Ayah saya tidak pernah masuk PKI.
Dari proses pemeriksaan pun tidak didapatkan pengakuan satu
tokoh PKI yang pernah menyumpah Siauw masuk menjadi anggota
PKI,” kata Tiong Djin, yang datang ke Jakarta dari kediamannya
di Melbourne, Australia, untuk reuni Universitas Res Publica, dua
pekan lalu.
“Tidak terbukti juga kalau Baperki onderbouw PKI.” Menurut
Tiong Djin, berdasarkan penelusurannya terhadap beragam
naskah pidato, risalah, dan tulisan Siauw, juga dokumen Baperki,
komunisme tidak pernah dicanangkan sebagai obyek perjuangan
politik organisasi itu. “Yang didambakan Siauw adalah perwujudan
masyarakat sosialisme ala Indonesia seperti yang diformulasikan
Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945,” ucap Tiong
Djin.
Lebih lanjut, Tiong Djin mengatakan Baperki merupakan
organisasi kemasyarakatan yang terbuka. Adanya orang-orang
PKI di Baperki karena organisasi itu menganut asas NasionalisAgama-Komunis (Nasakom).
401
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kebijakan
Baperki,
kata
Majalah Tempo
Tiong
Djin,
juga
tidak
100
persen seirama dengan PKI. Konsep ekonomi yang menjadi
sumbangsih Siauw, yang kemudian masuk ke Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (Garis-garis Besar Haluan
Negara) pada 1963, adalah konsep modal domestik yang bertolak
belakang dengan konsep PKI bahwa semua harus diambil alih
negara.
”Konsep Siauw itu mengawinkan sosialisme dan kapitalisme.
Ekonomi Indo-nesia harus dibangun atas dasar pengembangan
modal yang dimiliki para pedagang Indonesia, siapa pun
pedagang itu, tanpa mempedulikan latar belakang rasnya,” ujar
Tiong Djin.
***
SALAH satu sumbangan besar Siauw Giok Tjhan adalah
pemikiran dalam debat isu kewarganegaraan. Siauw adalah salah
seorang pelopor konsep integrasi. Menurut keyakinan Siauw dan
kelompok integrasionis, masalah diskriminasi rasial terhadap orang
Tionghoa hanya bisa hilang jika terwujud Nasion Indonesia yang
ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua suku, termasuk suku Tionghoa,
harus mengintegrasikan diri ke tubuh Nasion Indonesia melalui
kegiatan politik, sosial, dan ekonomi.
Suku Tionghoa merupakan tuntutan Baperki. Alasannya,
pada 1950, golongan Tionghoa sudah hidup bergenerasi di
Indonesia sehingga berhak mendapatkan status suku setara
dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon.
Sebagai satu suku, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri
ketionghoaannya. Untuk tujuan menjadikan sebanyak-banyaknya
suku Tionghoa yang menyeberangi jembatan menjadi bangsa
Indonesia yang utuh, Baperki dibentuk pada 13 Maret 1954.
Konsep integrasi ini ditentang kubu pendukung konsep asimilasi.
Menurut konsep ini, pembauran dalam segala lapangan secara
402
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
aktif dan bebas merupakan terapi yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan yang dialami golongan Tionghoa. Sepuluh tokoh
mencanangkan konsep asimilasi ini pada 26 Maret 1960. Salah
satu tokoh kelompok ini adalah Junus Jahja, pentolan Chung Hua
Hui, perkumpulan Tionghoa di Belanda, yang justru membubarkan
perkumpulan eksklusif itu.
Kelompok asimilasionis ini kemudian melahirkan Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) pada 12 Maret 1963 saat
digelar Musyawarah Asimilasi di Jakarta. Dalam buku Catatan
Orang Indonesia, Junus menyebutkan Sukarno membenarkan
konsep asimilasi alias pembauran ini. Perkataan Bung Karno yang
dikutip Junus adalah, “Saya membenarkan usaha pemudapemuda
untuk memecahkan masalah minoritas dengan jalan asimilasi dan
menghilangkan eksklusivisme dalam tubuh bangsa Indonesia.”
Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, anggota LPKB yang masih
tersisa, menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa
tetap menjadi suku merupakan kemunduran. “Itu berarti mereka
masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre
for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat.
Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut.
Presiden Sukarno hadir dalam Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan
pada 14 Maret 1963. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan,
“Baperki itu satu perkumpulan yang baik; tegas berdiri di atas
Pancasila; tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan
Rakyat; tegas berdiri di atas Manipol-Usdek. Baperki adalah salah
satu dari Revolusi Indonesia. Oleh karena itu saya datang.”
Harry mengatakan memang tidak terbukti Siauw anggota
PKI. “Tapi Siauw itu pasti orang kiri, jalan pikirannya Marxisme,”
ujarnya. Lagi pula, kata Harry, hanya Marxisme yang mau menerima
orang Tionghoa waktu itu. Kenyataannya, Siauw masuk Partai
Sosialis pada Desember 1945 dan ia berada di kelompok Amir
403
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Sjarifuddin. Sebagai pendukung Amir, otomatis Siauw termasuk
kelompok sayap kiri, yang kemudian berganti nama menjadi Front
Demokrasi Rakyat (FDR).
Ketika PKI meleburkan Partai Sosialis dan Partai Buruh
Indonesia ke dalam PKI, Siauw termasuk yang tidak bergabung.
Dalam buku yang ditulis Tiong Djin, alasan Siauw: karena fungsinya
sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukan di luar PKI.
Sementara Partai Sosialis dan FDR bubar, Siauw memilih tetap
berada di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai
wakil golongan minoritas tak berpartai. Setelah Peristiwa Madiun,
Siauw ditangkap karena pernah menjadi anggota FDR. Dia ditahan
di penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Harry Tjan melihat kepemimpinan Siauw saat menjabat
Ketua Baperki cenderung ke kiri. Apalagi ketika Baperki turun ke
politik praktis dengan ikut Pemilihan Umum 1955, yang ditentang
banyak pendiri Baperki yang berorientasi kanan, seperti P.K.
Ojong. Menurut Harry, alasan Baperki ikut pemilu agar perwakilan
golongan minoritas Tionghoa di Dewan Perwakilan Rakyat yang
mendapat jatah delapan kursi dipilih, bukan ditunjuk. “Ini memang
masih bisa diterima karena ada logikanya.”
Namun, begitu kebijakan Baperki lebih condong ke kiri,
banyak kalangan Tionghoa gelisah, takut menjadi kambing hitam.
Pasalnya, ada anggapan Baperki sama dengan Tionghoa karena
anggota Baperki pada 1963 mencapai lebih dari 250 ribu (sekitar
10 persen dari total jumlah orang Tionghoa), sebanyak 99 persen
adalah orang Tionghoa. Harry menyebut hubungan Baperki-PKI
sebagai simbiosis dalam politik.
Dia memberi contoh Baperki kerap ikut acara PKI. Jumlah
pelajar sekolah Baperki yang puluhan ribu menjadi andalan PKI
untuk menunjukkan kekuatannya. “Kampus Baperki itu menjadi
asrama CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan
404
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Tak mengherankan
kalau diserbu oleh kesatuan aksi mahasiswa,” ucap Harry.
Bekas Ketua Dewan Mahasiswa Ureca Sie Ban Hauw kepada
Tempo mengatakan ia menolak anggapan bahwa kampusnya
memobilisasi massa untuk kegiatan politik. Menurut dia, Dewan
Mahasiswa merupakan organisasi intra-universitas. Kalaupun ada
pengerahan massa, kata Sie, hanya untuk kegiatan budaya,
seperti ketika ada Asian Games, Ganefo, atau Kongres Baperki.
“Sedangkan untuk demonstrasi politik dikoordinasi mahasiswa
yang menjadi anggota organisasi ekstra-universitas, seperti CGMI,
Perhimi, dan PMKRI, tanpa permisi kepada pihak universitas,” ujar
Sie, yang masuk Ureca pada 1959 di Fakultas Teknik karena ditolak
masuk Institut Teknologi Bandung.
Sahabat dekat Siauw, Go Gien Tjwan, 94 tahun, yang kini
tinggal di Amsterdam, Belanda, menepis keras tuduhan orang
seperti Harry Tjan, yang menganggap Siauw sebagai komunis.
“Jelas tidak mungkin Siauw komunis! Mana mungkin seorang
komunis bisa memimpin Baperki begitu lama, sementara isi Baperki
itu sebagian besar adalah para kapitalis kecil,” katanya sambil
tertawa saat ditemui Tempo di kediamannya di kawasan Max
Havelaarlaan, Amstelveen.
Menurut Go, Baperki bukan partai politik ataupun organisasi
kemasyarakatan. “Baperki adalah sebuah badan musyawarah
untuk mencapai mufakat, antara lain dengan cara groot
gemengde deal, jalan tengah kebijaksanaan politik. Dan itu
adalah jalan tengah yang menjadi nilai kebudayaan Tionghoa,”
kata Go.
Lelaki yang menjadi dosen senior sejarah Asia modern di
Universiteit van Amsterdam ini menambahkan, “Anggota Baperki
adalah siapa saja, tanpa memperhitungkan latar belakang ras,
ideologi, dan politik. Adam Malik dari Murba, K. Woedojo anggota
405
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
PKI dan tokoh SOBSI, atau Winoto dari Partindo adalah anggota
dewan penasihat Baperki. Ini jelas menggambarkan bagaimana
karakter dan visi Baperki yang tidak eksklusif.”
Tapi baik Go maupun Harry Tjan sepakat satu hal mengenai
Siauw: kesederhanaannya. Go ingat, pada 1946, ia bersama
Siauw pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sukarno. Bung Karno
melihat Siauw memakai kemeja dengan kerah yang robek di
sanasini. “Sukarno bilang Siauw tidak pantas memakai baju robek
demikian. Ia kemudian memberi dua bungkusan kemeja.”
Harry Tjan juga mengakui kesederhanaan lelaki asal Kapasan
itu. “Saya tidak mengenal Pak Siauw secara personal karena kami
berbeda usia 20-an tahun.” Namun, berdasarkan observasi Harry,
Siauw adalah pemimpin yang baik dan ikhlas berjuang supaya
orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia
terlindungi haknya. “Semoga dia beristirahat dengan tenang,”
kata Harry.
● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM), DIAN YULIASTUTI
SIAPA MEMBAKAR KAMPUS RES PUBLICA?
BATU-BATU melayang menghujani kampus Universitas Res
Publica yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Sin Ming Hui, Grogol.
Mahasiswa di dalam kampus pun membalas lemparan itu. Perang
batu antara mahasiswa Universitas Res Publica (Ureca) dan massa
liar yang tak diketahui asalnya itu tak terelakkan di pagi menjelang
siang pada 15 Oktober 1965. Peristiwa itu masih membekas dalam
memori Khouw Thian Tong atau Benny G. Setiono, 71 tahun. Siang
itu, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica,
ia turut mempertahankan kampus. Umurnya masih 22 tahun saat
itu. Benny ingat ia menggenggam rantai sepeda di tangan.
Sedangkan mahasiswa Ureca yang lain membawa apa pun.
406
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Seingat Benny, di antara massa yang datang, ada beberapa
yang mengenakan atribut organisasi ekstrakampus, Persatuan
Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telanjur merangsek,
melompati gerbang setinggi dada orang dewasa.
Benny dan kawan-kawannya tak kuasa melawan mereka.
Pintu gerbang besi itu bisa didobrak dengan ditarik truk. “Apalagi
setelah terdengar tembakan oleh tentara, terpaksa kami mundur,”
ujar Benny kepada Tempo.
Massa penyerbu semakin beringas. Mereka membakar
gedung Kampus A yang dibangun sendiri oleh tangan para
mahasiswa dan dosen universitas yang semula bernama Universitas
Baperki itu. Setelah puas meluluhlantahkan Kampus A, massa
menjarah Kampus B, yang berada di kawasan Slipi.
Perlawanan juga dikisahkan oleh Tan Ping Ien, Wakil Ketua
Dewan Mahasiswa saat itu. Ia mengkoordinasi puluhan mahasiswa
untuk “ronda” mengamankan kampusnya. Dalam buku Ureca
Berperan dalam Pembangunan Bangsa, Tan bercerita mahasiswa
sudah mendapat informasi tentang rencana penyerbuan kampus
mereka. Beberapa aktivis mahasiswa dari PMKRI, Himpunan
Mahasiswa Islam, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia
datang dan meminta mahasiswa lain membubarkan diri demi
keselamatan mereka.
“Pada pukul 14.00, mereka datang tergopoh-gopoh
menemui saya dan memberi tahu akan ada aksi besar
menghancurkan Ureca,” tulis Tan Ping Ien. Informasi ini disampaikan
kepada mahasiswa yang lain. Mereka pun menutup kampus. “Kami
tidur bergilir dan minum banyak kopi.” Keesokan paginya, dengan
mata yang masih “pedas” karena kurang tidur, Tan berkeliling
memeriksa. Ternyata rombongan wartawan sudah datang lebih
dulu. Mereka tiba mendahului massa yang akan segera datang.
Dua aktivis mahasiswa, Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani
407
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
dari HMI, dengan berlinang air mata meminta Tan Ping Ien dan
kawan-kawannya segera pergi daripada mati konyol. Tak berapa
lama, beberapa jip dan truk militer datang. Tak kurang dari 20
tentara masuk ke kampus. Melihat itu, Keng Liong dan Ayub pergi.
Mayor CI Santoso, yang mengomandani para tentara,
meminta Tan Ping Ien mundur, tapi diabaikan. Tak berapa lama,
suara gemuruh datang mengiringi bus-truk yang mengangkut
massa berjaket kuning, biru, dan hijau. Dengan penuh amarah,
mereka meneriakkan yel-yel untuk membakar Ureca. Saat itulah
batu mulai berhamburan. Tan tetap bertahan hingga Mayor
Santoso marah dan menodongkan pistolnya. “Perintahkan semua
temanmu mundur. Tak ada gunanya melawan. Mereka bukan
mahasiswa. Rekan-rekanmu bukan tandingan.”
Laboratorium di beberapa fakultas meledak dan hangus terbakar.
Menurut Tan, ada kelompok massa yang naik ke lantai 2 dan
membakar secara serentak gedung yang mereka bangun. Kampus
Ureca dicap sebagai kampus “kiri” yang terafiliasi dengan komunis
dan Cina. Benny mengakui Consentrasi Gerakan Mahasiswa
Indonesia (CGMI) memang berkembang pesat di kampus itu,
tapi dia menampik jika Ureca disebut sarang CGMI. Kabar soal
banyaknya anggota CGMI di kampus itu dibenarkan Go Gien
Tjwan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki,
yang saat kejadian itu berada di sana. Menurut Go dalam buku
Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, kampus memang
menjadi tempat menginap para peserta pertemuan akbar CGMI
yang berasal dari luar Jawa. “Mereka terpaksa karena diusir dari
stadion olahraga Senayan,” tulis Go.
Harry Tjan Silalahi, yang menjadi Sekretaris Jenderal Front
Pancasila waktu itu, kepada Tempo mengatakan tidak mengenal
siapa yang menyerbu Ureca. Yang pasti, kata Harry, para penyerbu
adalah aktivis kesatuan mahasiswa yang antikomunis. “Mereka
408
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
tersinggung oleh pernyataan Aidit, ‘Kalau CGMI tidak mau
membubarkan HMI, pakai sarung saja’,” ucap Harry di kantornya
di Centre for Strategic and International Studies, Selasa pekan lalu.
● DIAN YULIASTUTI
KISAH PENDIRI HARIAN RAKYAT
Siauw
Giok
Tjhan
tumbuh
dalam
keluarga
yang
menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan
totok. Dia menjadi wartawan sampai anggota parlemen. Ia
adalah pendiri Harian Rakjat.
KWA Sioe Ing, 64 tahun, menunjuk rumah berpagar besi
hitam kecokelatan yang berkarat di Gang Kapasan Dalam 2
Nomor 18, Kapasan, Simokerto, Surabaya. Menurut sesepuh
Kapasan itu, rumah yang tepat berada di seberang rumahnya
tersebut tak berpenghuni. Rumah itu tampak tidak terawat.
Permukaan jendela dan lantai terasnya dipenuhi debu. Plafonnya
juga sudah jebol. Seingat Kwa Sioe Ing, rumah itu sudah berulang
kali direnovasi. “Kalau tidak salah, dulu memang ditempati orang
Baperki,” ujarnya.
Anak keenam Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin,
membenarkan bahwa kakeknya pernah menempati rumah di
ujung gang di Kapasan itu. Rumah itu dekat Boen Bio, klenteng
terbesar di Jawa Timur.
Oei Hiem Hwie, 72 tahun, yang mengaku masih kerabat
Siauw, membenarkan bahwa rumah keluarga Siauw dekat dengan
Boen Bio. Tapi itu bukan milik ayah Siauw, melainkan milik Kwan Sin
Liep, mertuanya.
Kwan adalah pengusaha totok serta ahli kungfu dan
astrologi Cina. “Itu lingkungan elite di pinggiran jalan raya,” kata
bekas wartawan Terompet Masyarakat yang kini menjadi Pembina
Yayasan Medayu Agung itu saat ditemui di kediamannya di Jalan
409
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Medayu, Rungkut, Surabaya.
Dalam memoarnya yang terbit sepekan sebelum ia wafat,
Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, Siauw bercerita tentang
masa kecilnya di Kapasan. Ia lahir dalam keluarga campuran,
baba-totok. Ayahnya, Gwan Swie, juga lahir di sana dan menjadi
yatim-piatu pada usia 11 tahun. Sang ayah tak masuk sekolah milik
Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), tapi memilih kursus bahasa Inggris
karena lebih gampang mendapat pekerjaan. Selain bergaul
dengan orangorang Belanda, Gwan Swie, yang mengagumi
Sun Yat Sen, berkawan dengan tokoh Tionghoa peranakan yang
berkiblat pada nasionalisme Cina. Salah satunya The Ping Oen,
Direktur Koran Pewarta Soerabaia.
Gwan Swie kerap berjumpa dengan putri pertama Kwan
Sin Liep. Perempuan itu bernama Kwan Tjian Nio. Gwan Swie jatuh
hati. Mulanya lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kwan
karena latar belakang Gwan Swie yang peranakan. Tapi kekerasan
hati Kwan luruh juga. Ia menerima Gwan Swie menikahi putrinya,
dengan syarat anak mereka harus bersekolah di THHK. Pada 23
Maret 1914, lahirlah Siauw Giok Tjhan.
***
SIAUW tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan
norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Saat usia Siauw
empat tahun, sang kakek memasukkan cucu pertamanya itu ke
sekolah THHK di belakang Boen Bio. Pada umur lima tahun, Siauw
terserang sakit keras. Kwan pun menyerahkan cucunya kepada
Toapekong di Klenteng Kampung Dukuh.
Saat Kwan pulang ke Cina, Gwan Swie memindahkan
Siauw ke sekolah ELS. Tatkala kembali, Kwan kaget mengetahui
sang cucu tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudian mengharuskan
Siauw mengurus toko sepulang sekolah di Hogere Burger School
(HBS).
410
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Krisis ekonomi di Surabaya memaksa Kwan memilih menutup
toko, menjual asetnya, melunasi semua utangnya, dan pulang
ke Cina. Tekanan ekonomi itu membuat kesehatan Tjian Nio
menurun. Ia pun wafat karena perdarahan pada 1932. Enam bulan
kemudian, Gwan Swie, yang mengidap darah tinggi, menyusul
istrinya. Jadilah Siauw dan adiknya, Siauw Giok Bie, yatim-piatu
pada usia 18 dan 14 tahun.
Agar tak menyusahkan kehidupan kerabat dan keluarganya,
Siauw menjual perabot rumahnya untuk membeli dua sepeda
motor roda tiga Relieg. Dari penyewaan angkutan yang dikenal
sebagai Atax itu, Siauw bertahan hidup. Dalam kondisi itulah ia
berkenalan dengan Liem Koen Hian, yang 30 tahun berselisih usia
dengannya Liem Koen Hian adalah Pemimpin Redaksi Sin Tit Po.
Liem pula yang memperkenalkan Siauw dengan Dr Soetomo, yang
mendirikan Indonesian Study Club. Dari kedua orang inilah Siauw
pertama belajar tentang nasionalisme Indonesia dan menyadari
Indonesia tanah airnya. Ia juga tertarik pada program Partai
Bangsa Indonesia yang dipimpin Soetomo, yang menganjurkan
semua golongan minoritas menyelesaikan masalahnya.
Siauw lantas bergabung dengan partai baru yang didirikan
Liem, Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada 1932. Ia tercatat
sebagai pendiri termuda partai itu. Masuknya Siauw ke PTI berarti
ia meninggalkan sebagian besar peranakan Tionghoa yang ketika
itu berkiblat ke Belanda, kelompok Chung Hua Hui, dan kelompok
Sin Po, yang berkiblat ke Cina.
Setamat HBS pada 1933, Siauw tidak melanjutkan sekolah.
Ia menjadi wartawan Mata Hari, yang didirikan Kwee Hing Tjiat di
Semarang pada 1934. Mata Hari menjadi trompet PTI. Siauw ditugasi
sebagai penghubung dengan tokoh yang diasingkan Belanda,
seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sukarno. Siauw menghormati
kedua tokoh itu dan menganggap mereka gurunya. Pada 1937 itu,
411
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
pemimpin PTI berganti. Liem, yang pindah ke Batavia, melepaskan
jabatan Ketua PTI kepada Tjoa Sik Ien. Sedangkan jabatan
pemimpin redaksi di Sin Tit Po diberikan kepada Tan Ling Djie.
Adapun Siauw menjadi kepala cabang Mata Hari di Surabaya.
Dipengaruhi Tan dan Tjoa, Siauw menjadi pendukung Marxisme
dan mengagumi Mao Tse Tung.
Kembali ke Semarang, Siauw tinggal di rumah ahli ekonomi
teman baik Mohammad Hatta, Khouw Bian Tie. Di situ ia bertemu
dengan Tan Gien Hwa, anak kedua Tan Peng Hoat, pedagang
dari Pemalang. Siauw dan Tan, yang saat itu berumur 18 tahun,
pun menjalin hubungan. Mereka menikah pada 1940, lalu pindah
ke rumah yang tak jauh dari kantor Mata Hari.
Ketika Kwee mendadak meninggal, jabatan pemimpin
redaksi diambil alih Siauw. Di bawah Siauw, Mata Hari jadi lebih
radikal. Selain mendukung nasionalis Cina, Siauw memasukkan
tulisan yang mendukung Indonesia merdeka.
***
SAAT Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang diketuai Sukarno terbentuk, Liem Koen Hian menjadi salah
satu dari 63 anggotanya. Liem menghubungi Siauw, Tan, dan Tjoa
untuk membuat formulasi yang mewakili kepentingan golongan
Tionghoa. Liem menyampaikan pendapatnya dalam rapat PPKI
pada 1 Juni 1945, hari yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila.
Butir-butir yang diusulkan Liem diserap ke Undang-Undang
Dasar 1945. Tatkala Proklamasi dibacakan Sukarno-Hatta, Siauw
memobilisasi dukungan golongan Tionghoa bagi Negara Republik
Indonesia.
Pasca-kemerdekaan, mulai berlaku sistem multipartai.
Siauw, yang sudah dekat dengan golongan Marxis, masuk ke
Partai Sosialis. Ia pun menjadi dekat dengan Amir Sjarifuddin. Siauw
diminta Amir aktif di seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi
412
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
orang Sjahrir di Partai Sosialis yang beraliran kanan. Aktivitas politik
Siauw makin dalam.
Pada 3 Maret 1947, ia diangkat menjadi anggota Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), sebagai satusatunya wakil Tionghoa. Ia juga menjadi delegasi Indonesia dalam
Inter Asia Conference di New Delhi, India, bahkan menjabat
sekretaris delegasi. Dalam konferensi itu, Indonesia dikecam
delegasi Cina yang menyebut Indonesia negara kejam yang
melakukan penindasan terhadap warga Cina.
Siauw, yang berbicara di forum itu, membela posisi Indonesia.
Ia mengatakan kekecewaannya terhadap Cina yang tidak
menjalankan prinsip San Min Chu I, yang menjunjung solidaritas
tinggi sesama negara baru. Pada 3 Juli 1947, terbentuk Kabinet
Amir Sjarifuddin. Amir mengangkat Siauw menjadi Menteri Urusan
Minoritas. Siauw ikut ditangkap setelah meletusnya pemberontakan
Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Padahal ia tidak
ikut gerbong Amir, yang menyatakan diri bergabung dengan PKI.
Siauw memilih menjadi anggota BP KNIP wakil nonpartai.
Setelah Konferensi Meja Bundar, Siauw kembali ke Jakarta.
Ia memulai lagi kegiatan jurnalistiknya. Ia bertemu dengan Oei
Tiang Tjoei, pemilik percetakan Hong Po.
Oei dendam kepada pesaingnya, Injo Beng Goat, Direktur
Ken Po dan Star Weekly. Ia bersedia menjual percetakan Hong Po
kepada Siauw dengan harga murah, tapi syaratnya koran Siauw
harus mengalahkan Ken Po dan Star Weekly. Pada Januari 1950,
Siauw menerbitkan mingguan Sunday Courier untuk menyaingi
Star Weekly. Siauw dengan keluarga tinggal di percetakan itu. Ia
dan istri serta lima anak-anaknya harus tidur di meja-meja kantor.
Siauw May Lie, 71 tahun, anak kedua Siauw, mengenang
pengalaman itu. “Adik saya yang masih kecil sering terguling jatuh
413
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
dari meja,” kata May Lie kepada Tempo.
Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan mingguan Soeara
Rakyat. Enam bulan kemudian, ia mengubah mingguan itu menjadi
harian sehingga bernama Harian Rakjat. Kebanyakan wartawan
Harian Rakjat juga bekerja untuk Sunday Courier. Salah satunya
Njoto, pemimpin penting CC PKI.
Usaha komersial Harian Rakjat yang ternyata kurang
berhasil membuat Siauw melepaskannya. Njoto, yang terlibat dari
awal, bersedia mengambil alih. Terhitung 31 Oktober 1953, Siauw
tidak lagi menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat. Saat menjadi
anggota parlemen, ia menyewa rumah milik B.R. Motik, pedagang
kaya yang aktivis PSI, di Jalan Tosari 70, Jakarta Pusat. Keluarga
ini tinggal di sana ketika Siauw ditangkap pada 4 November 1965
dan diusir Angkatan Darat pada 1966.
Siauw ditahan tanpa proses pengadilan selama 12 tahun.
Mulai 1966 hingga 1975, ia ditahan berpindah-pindah rumah
tahanan. Pada September 1975, Siauw dipulangkan ke rumahnya
dan menjadi tahanan kota. Pada Agustus 1978, Siauw resmi
dibebaskan.
Di kartu tanda penduduknya tercantum kode eks-tapol.
Atas izin Wakil Presiden Adam Malik, yang juga temannya, Siauw
berangkat ke Belanda untuk menjalani operasi mata yang
terserang glaukoma.
***
MAY LIE, lulusan Kedokteran Universitas Beijing yang tinggal
di Belanda sejak 1978, mengingat kedatangan ayah dan ibunya
di Amsterdam, Belanda. Saat itu, ia baru dua bulan datang dari
Cina dan membuka klinik akupunktur di Egidius straat 121, Bos en
Lommer, Amsterdam. Terletak di pinggiran Amsterdam yang dihuni
imigran Turki dan Maroko, rumah sederhana ini kini ditempati Siauw
Tiong Hian, anak keempat Siauw yang meneruskan praktek May
414
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Majalah Tempo
Lie.
May Lie ingat, di Belanda, tempat seharusnya Siauw
berobat, sang ayah malah disibukkan oleh banyak acara. Ia
mendatangi semua undangan dan memenuhi permintaan
Amnesty International, yang ikut mendorong pembebasannya,
tur keliling Eropa untuk memperkenalkan demokrasi. “Dia seperti
mengejar waktu yang hilang selama di penjara,” katanya. Selain
memenuhi undangan, Siauw menulis buku, yang tak bisa dilakukan
di penjara. “Saya sering dibangunkan oleh suara mesin ketik.
Biasanya Ayah mulai mengetik sebelum pukul 6 dan baru berhenti
pada pukul 23. ”
May Lie sendiri meraih gelar dokter pada 1966 di Beijing. Ia
kemudian melanjutkan ke sekolah spesialis akupunktur. Dia tinggal
di Beijing sampai Revolusi Kebudayaan berakhir pada 1977. May
ingat, di malam sebelum keberangkatannya ke Cina, sang ayah
meninggalkan pesan agar May kembali lagi ke Indonesia.
“Saya bertanya kepada Ayah mengapa kita harus berta
han di Indonesia kalau tidak diterima di sini?” ujarnya. Seingat
May, sang ayah menjawab, “Justru kita harus memperjuangkan
hak yang adil untuk menjadi bagian masyarakat Indonesia ini.”
Mendengar penjelasan itu, May Lie berjanji kepada ayah
nya untuk pulang ke Indonesia. Janji itu ditunaikan May. Sejak
November tahun lalu, ia pindah ke Indonesia. May Lie masih ingat
detik kematian ayahnya. “Pada 20 November 1981 malam, saat
Belanda dilanda angin topan, ayah saya memenuhi undangan
makan malam di rumah guru besar politik Vrije Universitiet. Ayah
juga akan memberikan ceramah di depan para mahasiswa
sejarah dan ahli Indonesia di Universitas Leiden. Tapi, 30 menit
sebelum ceramah tentang kegagalan pemerintah Indonesia
dalam demokrasi, Ayah meninggal karena serangan jantung.”
415
Lambang Baperki
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan dalam Kenangan
Tan Sien Tjhiang1
Sandal jepit yang menopang kaki
Itulah keserdehanaan panutan kami
Ajaran civic kebersamaan yang disampaikan
Untuk mengabdi bumi persada Indonesia
Wahana inspirasi yang tak lentur oleh jaman
Gelombang pasang menerpa bumi kita berpijak
Ibu pertiwi dalam konflik kepentingan
Olengan kapal melelahkan pengemudi
Karno terhempas dari singasana
Trenyuh juga karena perang dingin
Jalinan persatuan terpecah belah
Hasutan kebencian merana tak berujung
Aku putih engkau merah terpisahkan
Nandung kesedihan melantunkan irama duka
Derita kesunyian berpagar tembok
Asa dan harapan tak pernah meluntur
Lamunan sepi tentang bakti pertiwi
Abadi membara dalam tubuh yang renta
Menguatkan tekad persatuan dalam kebhinekaan
1 Tan Sien Tjhiang sempat berkuliah di Fakultas Sastra di Universitas Respublica. Ia aktif di berbagai organisasi sosial, termasuk INTI dan Pelangi
418
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Keberanian prinsip tetap tak berubah
Ejekan,fitnahan,cercaan terpatri
Nasib dipaksa berpisah meninggalkan Tanah Air
Anggota keluarga porak poranda ke manca negara
Niat cinta rayuan pulau kelapa tetap membahana
Getaran kesetiaan tak punah dalam kematian
Akhir hayat tak akan membendung semangat
Namamu senantiasa terkenang dalam hati
419
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Mengenang Pendiri URECA
Bapak Siauw Giok Tjhan
Nancy Widjaja1
Pada seratus tahun lalu,
Telah lahir Siauw Giok Tjhan,
Patriot bangsa Indonesia,
Penabur bunga teratai di taman sari Nusantara,
Didirikannya BAPERKI, URECA dan ratusan sekolah,
Untuk meng-Indonesiakan siswa-siswi Tionghoa,
Dengan rajin beliau memberikan pupuk Lima Cinta,
Cinta tanah air,
Cinta orang tua,
Cinta kawan - kawan,
Cinta ilmu,
Cinta kerja,
1 Nancy Widjaja pernah berkuliah di Fakultas sastra Universitas Respublica. Ia
adalah salah satu pendiri INTI dan ketua PINTI - Perempuan INTI
420
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Mekarlah bunga-bunga teratai nan indah,
Alangkah bahagianya sang Penabur Teratai.
Pada tahun 1965,
Tiba-tiba turun hujan badai,
Bunga-bunga teratai URECA roboh lunglai,
Ada yang hanyut lenyap seketika,
Ada yang terapung-apung di empat penjuru lautan,
Ada yang tetap bertahan di tanah lumpur Indonesia,
Masing-masing berjuang untuk hidup aman,
Dan jadilah tumbu-tumbuhan yang tak bergelar,
Berdaun tapi tak bertangkai,
Bertangkai tapi tak berakar,
Berakar tapi tak bertanah,
Mereka telah kehilangan tanah URECA,
421
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Hampir setengah abad sudah,
Logo URECA terpendam sinarnya.
Kini teratai-teratai URECA yang sudah lansia,
Tak perlu berkeluh-kesah,
Pahit dan manis adalah bumbu kehidupan.
Tak perlu membandingkan siapa yang lebih bersinar,
Sama-sama ditempa oleh arus jaman,
Para alumni URECA yang tercinta,
Umur boleh tua semangat tetap bergelora,
Mari kita rapatkan barisan,
Menyongsong hari depan cemerlang,
Tugas integrasi Pak Siauw kita pikul,
Derita dan duka jaman ini,
Di pundak kita pikul,
Tak seorangpun berniat mundur,
422
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Sekali jadi murid URECA tetap cinta URECA.
Wahai kawan-kawan URECA,
Teruskanlah ajaran Lima Cinta Pak Siauw,
Cinta tanah air,
Cinta orang tua (anak dan cucu),
Cinta kawan - kawan,
Cinta ilmu,
Cinta kerja,
Ikutilah jejak juang Pak Siauw,
Selalu cinta tanah air Indonesia,
Walaupun hati penuh luka dan kecewa,
Mari singsingkan lengan baju kita,
Membangun masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika,
Membangun peradaban baru Indonesia,
Indonesia yang adil, makmur dan jaya.
423
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Siauw memberi wejangan di Ureca - Jakarta - 1964
424
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Banteng dan Naga
Siauw Giok Tjhan
Nurdiana
Di alam Utara jagat raya,
Berdandan Karakorum dan Himalaya,
Dihuni umat turunan Naga,
Dari Qin Shi Huang sampai penerus Mao,
Kini mendamba “IMPIAN RAYA”
1
Mengiringi Dong Fang Hong tengah bergelora
Dan irama “Bangunlah kaum yang terhina !”
Bak mercu suar di cakrawala.
Di pinggang bumi khatulistiwa,
Pulau pemulau belasan ribu,
Bak untaian zamrud khatulistiwa,
Dihuni umat ratusan suku,
Bersemangat Banteng turunan Gajah Mada,
425
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Sampai Diponegoro dan Sukarno,
Rukun mendamba Sumpah Palapa
2
Kini mengidam perobahan mendasar.
Di Nusa Jelita khatulistiwa,
Ratusan suku aneka rupa,
Pemuja Banteng dan Turunan Naga,
Di satu alam hidup bersama,
Berkat Bhinneka Tunggal Ika.
Banteng dan Naga bila seia,
Walau berbeda satu jua.
Persatuan bangsa bisa tercipta,
Tapi tak lurus jalan ke puncak,
Onak duri perintang banyak,
Pahit getir mempersatukan,
Umat berbeda bermacam ragam,
Usaha keras pemersatu bangsa,
426
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Lawan usaha pemecah-belah,
Tokoh berjasa dalam sejarah,
SIAUW GIOK TJHAN bak mutiara.
(Catatan)
1 Impian Tiongkok, semboyan yang dikumandangkan Presiden Xi Jinping.
2 Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh
Gajah Mada pada upacara pengangkatan menjadi Patih Amangkubhumi
Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).Sumpah Palapa ini berbunyi: “Gajah Mada
Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, sebelum berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik.”!
427
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Balada Juang Siauw Giok Tjhan1
Zhou Nan Jing
(diterjemahkan oleh: Abdi Teratai)
Kapasan Surabaya
Tak jauh dari jembatan Merah 2
Lahirlah putra dari pengusaha kaya
Tri budaya baur dalam kalbu suasana
Kakek garis bunda pegang tradisi tionghoa
Menekankan belajar di Tiong Hwa Hwee Kwan 3
Saat kakek pulang kampung halaman
Sekolahpun berubah ganti arah
Ayah seorang moderat rindu kebebasan 4
Junjung tinggi kiblat budaya barat
Tunduk taat kehendak ayah ‘tuk pindah sekolah
Selanjutnya didikan Belanda menyemai
Kakek kembali dari rantau asal
Nasi jadi bubur buah kenyataan
Kompromi lahir antara mertua menantu
Pulang sekolah jaga toko syarat diminta
Kendati kejar ilmu di sekolah Belanda
Sahabat karib banyak dari sekolah tionghoa
Lebur aktif dalam Perhimpunan Pemuda Tionghoa 5
Bahasa harian berkomunikasi tetap melayu tionghoa
Nama Freddy 6 tidak digunakan,
Panggilan Giok Tjhan lazim disebut teman teman
Perkelahian kelompok anak kecamuk dijalanan
Jiwa penengah muncul dalam bijak
Sebaliknya bila bertemu dengan musuh Belanda,
Tak segan ichtiar terjun dikancah perkelahian
428
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Empat bahasa kuasai serta mahir
Inggris, Belanda,Perancis dan Jerman
Aneka pengetahuan gali dari buku buku,
Komik, detektif tak ketinggalan
Harian Sin Tit Po Surabaya tempat berkiprah 7
Penuh cita harapan pandangan baru
Haribaan Hindia Belanda tanah air tercinta
Ayah bunda terkasih pergi kealam baka
Malapetaka silih berganti keterpurukan
Kakek luar putus asa bergelut susah
langkah berlayar kembali negeri asal
Sisa barang berharga digadaikan
Penyewaan mobil dalam usaha
Sembari mengajar kungfu sampingan hasil
Bersua Liem Koen Hian terinspirasi 8
Pikiran pandangan seirama bakti
Mengaku ribuan pulau ibu pertiwi
Jiwa raga kuserahkan padamu negeri
Pertemuan Sutomo sang tokoh 9
Nasionalis terkemuka pionir bangsa
Bertekun dalam mengenal sejarah
Kejayaan pertiwi penuh kagum bangga
Curahan tenaga demi usaha sosial
Teruntuk rakyat dalam penderitaan
Sekolah malam didirikan
Rangkap jabatan Kepala sekolah dan guru
Partai Tionghoa Indonesia bersemi 10
Gabung saat usia belia delapan belas tahun
Jelang lulus sekolah HBS
Terkilas benak lanjut kuliah dokter di Belanda
Ekonomi keluarga tak dukung akibat miskin
Kelangsungan hidup paksa kerja nyata
Gaji tinggi Tawaran Perusahaan menggiur
Pilih karya wartawan walau rendah upah
Buku Edgar Snow diterjemahkan
429
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Dukung Mao Ze Dong lawan agresi Jepang
Simpati jejak Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien 11
Wajar jelas condong paham kiri
Untung berjumpa idaman hati Tan Gien Hwa 12
Jenjang kawin berpadu kasih ujud cinta
Beban ekonomi keluarga mandiri
Keempat adik ipar termasuk tanggungan
Jadi pimpinan redaksi harian Matahari 13
Tunjangan hasil memadai kebutuhan
Tentara agresi Jepang menyerang selatan
Sekejap kota Semarang diduduki
Tak luput grebek kantor Harian
Siauw diluar lolos dari jeratan
Kota Malang tujuan berlindung
Toko kecil penyambung lansung hidup 14
Dirinya tiada Jiwa dagang
Perpolitikann tetap menjadi gairah hidup
Kekalahan Jepang sudah diramalkan
Berpihak kemerdekaan jadi angka mati
Perhimpunan Perantau Tionghoa Malang
Ajang pengabdian penuh gagasan cerdas 15
Jalinan rahasia dengan Tan Kah Kee
Saling tukar pikiran dan kagum padanya 16
Proklamasi Kemerdekaan berkumandang
Perhimpunan Perantau Tionghoa Malang bubar
Rumit situasi pertentangan silih berganti
Angkatan muda Tionghoa ikut serta membangun 17
Tekad bulat tegak bentengi kemerdekaan
Himbau masyarakat Tionghoa tak diam diri
Dalam angkatan bersenjata Indonesia
Praduga anti Tionghoa surut berkurang
Dorong pemuda Tionghoa berbaur aktif
Siap korban bela demi kemerdekaan
430
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Ajakan Tan Ling Djie dorong diri
Menjadi anggota Partai sosialis 18
Kiprah dalam panggung perpolitikan
Tambah sibuk penuh kegiatan
Kelompok Amir Syarifuddin
Berprogram politik jelas jemelas 19
Masuk Komite Nasional Indonesia pusat
Terpilih jadi anggota Badan Pekerja 20
Masalah kewarganegaraan bergulir
Pandai debat penuh argumentasi
Ide Tan Ling Djie membahana berhasil unggul
Semua yang lahir di Indonesia
Sewajarnya jadi warga Negara Indonesia
Duet Siauw dan Tan keliling kampanye
Mengumandangkan jadi warga Indonesia
Situasi memanas anti Tionghoa membara
Masyarakat Tionghoa tanggap dingin tak bergeming 21
Gundah hati kecamuk pada diri Siauw Tan
Pantang nyerah menebar semangat tekad
Tan Po Goan jabat menteri urusan minoritas
Siauw tetap menjadi anggota Badan Pekerja.
Peserta misi muhibah keluar negeri
Terbentur hadapi masalah sulit
Anggota rombongan dimana ia berada
Para sahabat menolong lepas dari kekusutan 22
Titik awal tambah teman bagai sahabat
Manfaat libat ranah panggung politik
Dalam kabinet Syarifuddin
Menteri Negara dijabat 23
Siauw urus kaitan soal minoritas
Setelah tiba di Yogjakarta,
Rela tidur diatas Meja kerja
Timbul rusuh amukan anti Tionghoa
Peran Belanda pengadu domba
Bagai api disiram minyak
431
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Membara rasialis berkobar luas
Ichtiar mencari solusi ke aparat
Tuntut penguasa empati lindung
Masyarakat Tionghoa jadi korban hasutan
Himbau korban berdikari produksi tahu
Media Tionghoa sinis juluki Menteri Tahu
Dilema timbul kondisi amat prihatin
Jalan keluar tak kunjung datang
Stelsel pasif kewarganegaraan,
Dipegang teguh tak tergoyahkan
Ciang Cia Tung hadir berkunjung
Bawa niat konsep perubahan 24
Siauw tolak dengan argumentasi
Tuan Ciang pulang tanpa hasil
Teguh pendirian tak goyah
Hasil nyata buat masyarakat lebih Simpati
Parlementer sistim demokrasi
Orang kiri dan kanan bebas bicara
Kekhususan dengan ciri khas Tionghoa
Tali persahabatan tetap erat diuntai
Saat kabinet Hatta berdiri
lepaslah jabatan semula
Partai Sosialis terbelah
Teguh pendirian tak goyah 25
Amir Syarifudin tetap didukung
Bahu membahu libat diri berjuang
Fusi tiga partai jadi PKI 26
Siauw tolak tergabung
Namun tetap jalin persahabatan
Peristiwa Madiun terjadi
Lautan darah membasahi bumi 27
Sekejap jadi tahanan politik
Tapi lolos dari maut menghadang
432
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kembali ditangkap tentara Belanda agresi
Nama tercantum dalam daftar hitam
Dalam penjara Wirogunan
Terjalin tali senasib antar penghuni
Dibalik jeruji terbit “Suara Tapa”
Bangkitkan semangat kepedulian
Menyebar Dekrit “Pernyataan Wirogunan”
Bangun Indonesia adil dan merdeka 28
Usai Konferensi Meja Bundar 29
Siauw bebas dari belenggu penjara
Partisipasi libat Badan Pekerja
Kutuk pasal kompromi pro Belanda
Stelsel pasif kewarganegaraan
Satu ide yang dapat dilaksanakan
Suruh tanggung hutang Belanda jadi beban
Gejolak marah massa tak tertahan
Masalah Irian Barat ditunda
Negara dalam kancah bahaya
Lihat Partai Politik dari Anggaran dasar
Unsur etnis dipertentangkan
Siauw jadi partisan non partai
Timbul pedoman baru perpolitikan
Majalah dan surat kabar terbit bermula
Demi kelangsungan hutang pun rela
Ruang kantor rangkap ruang tidur keluarga
Terjadi petaka dari meja jatuh kelantai
Hidup penuh keserderhanaan
Celana pendek kaos oblong keseharian
Tamu datang ingin berkunjung
Duga pelayan padahal dia
Sering tampak dikedai warung pasar
Pemilik tolak waktu bayar
Masuk keluar istana sederhana tampilan
Sandal baju tambal variasi tontonan
433
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sukarno lihat kasat mata
Masuk kamar tidur penuh haru
Hadiahkan tiga helai baju baru
Siauw jadi kepalang rasa malu
Empat surat kabar majalah dibidani
Jasa tanpa nama disandang
Suara Rakyat ubah Harian Rakyat
Corong resmi Partai Komunis Indonesia 30
Yayasan Kebudayaan Sadar bentuk binaan
Tujuan sadar budaya idaman 31
Rela keluar dana demi penerbitan
Majalah “Sadar” bahasa Tionghoa diedarkan
Mendorong Perantau Tionghoa berkesadaran
‘tuk cinta Indonesia jadi kebanggaan
Cepat ambil sikap mendua jangan
Karya tulisan tema Tionghoa Indonesia
Terpapang jual pajang di toko buku
Persatuan Pemilik Surat kabar dibentuk
Kiprah libat penuh tanggung jawab
Bahasa lugas tegas sederhana
lawan arus rasialisme prinsip pandangan
Tahun 1950 titik awal masuk DPR
Aktif dalam problem kenegaraan 32
Presiden ibarat kakak kandung
Dialog akrab tak berjarak nuansa
Ia jadi tangan kanan ketua DPR
Masalah timbul tumpuan rundingan 33
Waktu Sartono keluar negeri
Pendamping setia ia sandang
Diluar dua tokoh idaman
Tetap akrab galang persahabatan
Tali pertemanan terus terbina laras
Persoalan timbul ia tetap berempati
Langkah kegiatan penuh toleransi
Bela minoritas jadi tempat mengabdi
434
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Razia Agustus bergeming
Siauw pun tak luput ditangkap 34
Penjara Cipinang dihuni
Ikatan bela rasa dengan Perantau Tionghoa
Saling tebar pemahaman dalam perkenalan
Jeruji besi tempa kepedulian persahabatan
Dampak Razia Agustus membawa petaka
Tiga ratus ribu keturunan Tionghoa tolak
jadi berkewarganegaraan Indonesia
Gejolak emosional Liem Koen Hian
Jadi asing dan menekuni dagang
35
Gara sakit mata ia bebas dulu
Sukisman minta maaf padanya
Di Parlemen tiga hal di ajukan
Aklamasi penuh peroleh dukungan 36
Dukungan pengaruh luas meningkat
Jadi panutan masyarakat Tionghoa
Siauw tenar tak tertanding jua
Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia
Singkat Baperki lahir ketua disandang
Gagasan ide penuh dinamika
Gayung usaha kembang menebar
Jelang Pemilu partisipasi dilontar
Mantap maju siap medan tanding
Debat sengit dengan Tjoa Sik Ien
tentang paham libat Pemilu 37
Pihak Tjoa kalah dalam nyata
Enam kursi hasil dapat pasti
Tiga kursi tambah dari partai sahabat 38
Gelombang badai hadir rubah dunia politik
Demokrasi alami mundur menurun
Konperensi Ekonomi Nasional bawa batasan
Keunggulan sektor ekonomi Tionghoa
Cemburu timbul langkah sulit menghadang
Batasi gerak lingkup utamakan pribumi
435
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Tionghoa miskin ada wujud nyata
Dasar ras jangan jadi ajang perbedaan
Pribumipun ada ekonomi kuat atasan
Wajar status ekonomi lemah tiada guna
Bela hak dan kewajiban Tionghoa
Keadilan prioritas semu merana
Praktek berpihak timbul nyata
Lindungi “Pribumi” alasan utama
Semboyan kebijakan“benteng” mengelegar
dibakukan dalam hukum undang undang 39
Kaum Tionghoa dijalur niaga dihadang
Siauw gigih lawan dan tentang
Kalah kuat bagai telur adu batu tak daya
Bidang usaha penggilingan padi
Orang Tionghoa sulit berusaha
Pandangan Siauw soal ekonomi 40
Tegas jelas peranan keberpihakan
Modal Tionghoa jabaran modal dosmetik
Melestarikan pembangunan nasional
Pemerintahan Asaat besi kukuh
Kebijakan ekonomi nada anti tionghoa 41
Keluar tuntutan larang tionghoa kuasai ekonomi
Himbauan seruaan membahana dari Siauw
Kalah hadap tantangan gelombang dahsyat
Undang undang kewarganegaraan dilontar
Debat sengit jadi arena pembahasan seru
Tempat lahir jadi usulan dasar kokoh Siauw
Kewarganegaraan stelsel pasif senjata pamungkas
Dipertahankan tegas tanpa kompromi
Achir ujung debat Siauw menang dukungan
Keturunan tionghoa lega puas serta senang
Perjanjian Dwi-kewarganegaraan Tiongkok Indonesia
Lancar ditanda tangani tapi kendala timbul
Dilema muncul harus pilih ulang
Jadi warga Negara Indonesia kembali
436
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Kejernihan masalah perlu ditanggulangi
Syarat pilih ulang jangan jadi kerancuan
Kewarganegaraan Indonesia sudah jelas
Debat kusir jelas tak bermanfaat
Laporan masalah dilansir didengar
Perdana Menteri Zhou kejut sadar
Khusus undang Siauw berbincang
Dengan cermat serius dengar pendapatnya
Sesal dibenak hati PM Zhou
Sadar kurang menguasai menyeluruh
Walau sudah ditanda tangani
Jalan keluar masih dapat dibatasi
Lawan arus Siauw hadapi
Dukungan gagasan dibela masyarakat
Tanda tangan kewarganegaran ujud nyata
Silih berdatangan Penuh problema
Pemilu telah dilewati
Suasana perpolitikan kacau balau
Deklarasi maklumat dari Soekarno
Tindak sederhanakan partai politik 42
Wujud gagal demokrasi parlementer
Ubah sistim politik keharusan
Demokrasi arah terpimpin
Harap parlemen taat konstitusi
Hak asasi manusia diutamakan
Lestari kunci musyawarah mufakat
UUD ’45 dipulih kembali 43
Kuasa presiden lebih besar
Demokrasi terpimpin datang gejolak
Tentang menentang tambah runcing
Kekuasaan dialihkan ke MPR
Presiden angkat henti oleh MPR
Presiden parlemen dua institusi
Kerjasama butuh saling isi
Undang undang serta rancangan Negara
437
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Persetujuan parlemen mensahkan
Wujud Kabinet presidensial
Gondam ditangan presiden
Namun pembubaran parlemen
Hak tidak ditangannya
Menteri harus lepas partai
Pandangan jauh depan presiden
Bentuk baru Dewan Pertimbangan Agung
Kian besar kuasa presiden
Tiap maklumat aturan penting
Pidato presiden dalam lingkup
Jadi pedoman kebijakan politik
Tiada bursa tawar menawar
Kabinet Negara
Kuasa penuh dipundak presiden
Dewan Perancang Nasional
Tentukan pembangunan ekonomi
DPR yang ada dibubarkan
Bentuk baru DPR Gotong Royong
MPR bentukan jadi sementara
Serta DPR pilih presiden
Pikiran Bung Karno
Ajang program besar besaran
Front Persatuan Nasional lahir
Siap sedia tindakan pasti
Dasar lima pokok besar
Bahana dentum Manifesto Politik 44
Partai politik tunduk tanpa tawar
Menentang bubar vonisnya
Nasakom hadir lahir kembang
Satu padu saling mengekang 45
Hak Wakil minoritas dibiri
Hari esok peserta kurang semula
438
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Waspada dan cermat perlu protes
Siauw sulit rasahati tak berdaya
Sekeliling orang tiada prinsip hadir
Cari selamat setuju tanpa resiko
Puncak kediktaturan penuh onak duri
Kumandang sanjung serta mulia taut irama
Tampak gagah perkasa yang semu
Derap arus menentang sembunyi karya
Siasat CIA terjun kancah keruh-kacau
Kelompok kanan hunus pedang merona
Kolonel Untung dahului tindak langkah
Gerakan 30 September letup menggoncang
Soeharto muncul gempur balik badan
Gelimpang korban rentetan tak peri
Basmi akar paham komunis Indonesia
Presidenpun tak luput nasib merana
Militer kuasa sektor pemerintahan
Panji kibaran tinggi julang angkasa raya
Meski Siauw bukan komunis
Pikiran kiri anutan jadi petaka
Dalam ringkuk tembok penjara
Derita batin dan badan bergulir
Interograsi runtun tak berujung
Tekanan jiwa muncul tuaian tegang
Pindah pulau Buru tersebar rumor
Ancaman hukum hendak diadili
Rekayasa tuduh komunis
Bukti mana tak temu duga
Tahanan rumah putusan rumit
Suasana membaik jauh didapat 46
Terima bebas pindah tuju Belanda
Tekad juang kokoh teguh bagai batu karang
Tinjau titian perjalanan hidup pribadi
Merah putih sandar bakti setia
439
Sajak-Sajak
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Cinta tanah Indonesia haribaan diri
Semangat membara ngabdi sejati
Tak lunglai hadap badai topan bergulung
Penuh tekad hati prinsip tak goyah
Karena ikut jejak langkah Soekarno
Resiko bahaya tanggung jawab insan
Cinta minoritas Tionghoa terpatri
Sepenuh hati rela berkorban
Bentengi hak keadilan kaum Tionghoa
Tak lentur juang murni tiada jemu
Baperki …………………
Penuh Puncak bhakti dan ngabdi
Warga Indonesia angka mati
Wancana seruan ulang tak jenuh
Pandangan jauh depan sangat
Pendidikan budaya senjata pamungkas
Pengumuman aturan pendidikan
Batasan kuota bagi anak tionghoa
Tinggalkan Sekolah Tionghoa bagi warga negara
Penuh tak tertampung di sekolah nasional
Desakan bangun sekolah sekolah baru
Atasi kegamangan anak tionghoa cari sekolah
Dapat dukungan Tionghoa perantau
250 ribu anak ditampung lanjut sekolah
Yayasan Pendidikan Baperki berdiri tegak
Tata bangun sekolah baru langsung jalan
Pendidikan tinggi jadi program mendesak
Lahirlah Universitas Res Publica
Cakup berbagai jurusan ilmu
ekonomi, hukum, teknik, sastra, dokter serta dokter gigi
Pertiwi bergelut kontradiksi runcing
Kudeta depan mata kasat nyata
Teror berubah nan tak kendali
Jeruji besi dihuni tak terelak
Situasi kian rubah taktentu
Samudera raya ubah jadi sawah ladang
440
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Pekat hitam awan selimuti kota
Bagai laut langit menyatu balut setia
Persahabatan utama tak pernah geser
Beda pendapat wajar hadapi setia kawan
Tjoa Sik Ien marah serapah
Namun pribadi tetap jalin kokoh mantap
Sejarah ibarat cermin jernih mengkilap
Kebenaran tetap hadir dunia nyata
Perkasa pahlawan penuh abdi
Giok Tjhan sang Giok Tjhan kasih
Masa silam lalu takan lenyap bak asap api
Kuberdoa sembah sujud kenang balada juangmu
(Catatan)
1 Siauw Giok Tjhan, 1914—1981, seorang gerakan politik Tionghoa Indonesia. Lahir di Kapasan wilayah Pecinan Surabaya. Dimasa kanak-kanan pernah masuk sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan, kemudian pindah ke
sekolah dasar Belanda. Setelah lulus meneruskan sekolah HBS. Kemudian
karena kedua orang-tua meninggal, berhenti sekolah akibat kesulitan
ekonomi, dan bekerja menjadi wartawan Harian Matahari di Semarang.
Tahun 1934—1941 menjabat redaksi “Harian Matahari”, “Liberal”, “Pemuda” dan “Suara Rakyat”. Pada saat Jepang menguasai Indonesia, menyingkir ke kota Malang Jawa Timur. Dimasa perang ikut serta dalam
gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tahun 1946 terpilih menjadi
anggota Bada Pekerja, Komite Nasional Indonesia Pusat. Tahun 1947
menjabat Menteri Negara Urusan minoritas di Kabinet Amir Syarifuddin
ke-1 dan ke-2. Tahun 1948 pada saat Belanda melancarkan agresi keII berusaha menjajah kembali, dan peristiwa Madiun, 2 kali ditangkap.
Setelah dilepas meneruskan jabatan anggota Parlemen sementara. Rasia Sukisman, Agustus 1951 ditangkap dalam penjara. Setelah dilepas
tetap melanjutkan perjuangan keadilan bagi Tionghoa, menentang
politik diskriminasi rasial peninggalan kolonialisme. Maret 1954 mendiri-
441
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
kan BAPERKI, dan menjabat ketua. Kemudian menjabat anggota DPR
Gotong-Royong, Anggota DPA, MPRS dll jabatan. Dengan teguh melindungi hak kepentingan Tionghoa Indonesia. Dibidang politik mengikuti jejak garis politik dan strategi yang ditetapkan Presiden RI, Soekarno. Setelah G30S 1965, kembali ditangkap, 1975 baru berubah menjadi
tahanan rumah dan Agustus 1978 resmi dibebaskan. Tidak lama kemudian hijrah ke Belanda. Buku tulisan tangannya, “Bhineka Tunggal Ika”,
“Lima Jaman”, dan “Hari Depan Yang Cemerlang”. Balada ini banyak
mengambil bahan dari buku Siauw Tiong Djin “Biografi Siauw Giok Tjhan”
yang diterjemahkan Lin Liu Shun, dan diamati oleh Zhou Nan Jing. Penerbit Nan Dao, tahun 2001.
2 Kapasan adalah jalan utama Pecinan Surabaya, berada di sebelah
timur Jembatan Merah.
3 Kakek garis ibu, Kwan Sien Lip, orang Khe, majikan toko kelontong,
seorang nasionalis Tiongkok. Hidupnya sederhana, sangat banyak mempengaruhi Siauw.
4 Ayah, Siauw Gwan Swie, 1880—1932, kampung leluhur Hokkian, peranakan Tionghoa yang dilahirkan dalam kemiskinan, hidup disebuah lorong wilayah kaum miskin. Awalnya hanya sebagai pelayan toko saja.
Bersandar dari kerajinan belajar sendiri, akhirnya bisa mengajar bahasa Inggris di Akademi Yale. Tahun 1910 menjadi partner perusahaan
Schmidt, milik Belanda, akhirnya menjadi salah seorang kaya di Kapasan. 1913 menikah dengan putrinya Kwan Sin Liep.
5 Organisasi Pemuda Pelajar Sekolah Surabaya, Siauw sekalipun bersekolah di sekolah Belanda, tapi lebih suka bersahabat dengan murid sekolah Tionghoa, bahkan tergabung dalam organisasi mereka.
442
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
6 Freddy, adalah nama Belanda Siauw Giok Tjhan yang digunakan dimasa Sekolah Belanda.
7 “Sin Tit Po”, adalah surat kabar Pedagang peranakan Tionghoa berbahasa Melayu. Sebelumnya dinamakan “Soeara Poeblik”, ganti nama
pada tahun 1929. Liem Koen Hian menjabat Redaksi Umum. Menganjurkan Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadikan Indonesia tanahairnya,
mendukung perjuangan Kemerdekaan Indonesia. 5 tahun kemudian,
1932 PTI terbentuk, menjadi corong suaranya. Dimasa penjajahan Jepang awal tahun 1942, berhenti terbit.
8 Liem Koen Hian, 1896—1952, pekerja warta Tionghoa Indonesia, pendiri
Partai Tionghoa Indonesia. Lahir di Keluarga pengusaha kecil di Kalimantan Timur. Di Padang menerbitkan <<Tjahaya Sumatera>>, kemudian di
Surabaya menjabat Redaktur <<Harian Surabaya>>, redaktur <<Sin Tit
Po>> Surabaya. Diawal mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, dengan
aktive menganjurkan Tionghoa ikut gerakan nasionalis Indonesia, ikut serta dalam Partai Gerakan Rakyat Indonesia. 1950 menjadi Warganegara
Indonesia, mendirikan Aliansi Kekuatan Indonesia, menyerukan Tionghoa menjadi WNI, ikut serta dalam pembangunan Republik Indonesia.
Pada saat penangkapan rasia Agustus Sukisman, Liem juga ditangkap
dan membuat beliau sangat kecewa pada Pemerintah Indonesia.
Segera setelah 19 Oktober 1951 dibebaskan, mengumumkan menolak
Kewarganegaraan Indonesia dan kembali memilih Kewarganegaraan
Tiongkok, menjadi pengusaha dagang. Karena sakit meninggal di Medan. Perilaku tidak menentu demikian, sebagai “Gejala Liem Koen Hian”,
adalah bayangan watak sebagian Tionghoa Indonesia.
9 Raden Sutomo, 1888—1938, nasionalis Indonesia. Kelahiran keluarga
bangsawan klas bawah Jawa Timur. Mei 1908 ikut mendirikan organisasi
sosial Budi Utomo. Tahun 1911 menjadi dokter lulusan Univ. Kedokteran
443
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Jawa, lalu melangsungkan usaha dokter di Sumatera dan Jawa, dan
mengikuti organisasi budaya suku setempat. Tahun 1919 melanjutkan
sekolah di Belanda. Menjabat Ketua Perhimpunan Indonesia. Tahun 1923
kembali ketanah air dan menjalankan usaha dokter di Surabaya, mrangkap Profesor di Univ. Kedokteran Surabaya. Pikirannya banyak dipengaruhi Gandhi dan Tagore. Menganjurkan kerjasama dengan Pemerintah
Belanda. Memusatkan tenaga memperbaiki ekonomi dan usaha pendidikan budaya, mendirikan koperasi, serikat dagang, serikat tani, serikat
buruh, Bank nasional, sekolah tekstil, asrama sekolah dll. Menganjurkan
boikot barang luarnegeri. Tahun 1924 mendirikan Organisasi Peneliti Indonesia, menerbitkan majalah <<Obor Indonesia>> dan <<Obor Rakyat
Indonesia>>, menyerukan Persatuan Bangsa dan Kesadaran Bangsa. Desember tahun 1926, secara terbuka mengutuk Pemberontakan Bangsa
yang dipimpin PKI, dan menyatakan simpatinya pada Gubernur Belanda. Akhir tahun berikut, menjabat ketua Dewan Permusyawaratan Grup
Politik Bangsa Indonesia. Tahun 1930 membubarkan Organisasi Peneliti
Indonsia, tahun berikut mendirikan Partai Kesatuan Indonesia. Juga
menerbitkan majalah <<Suara Masyarakat>>, <<Jaman>>, <<Penyebar Rohani>>, <<SADAR>> dll., menganjurkan pengembangan budaya
bangsa dan ekonomi bangsa. Tahun 1935 menggabungkan organisasi sosial dan Partai Kesatuan Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya
dan menjabat Ketua. 1936—1937 berkunjung ke Jepang dan beberapa
negara. Kembali dari Jepang, mempropagandakan kemesrahaan dengan Jepang, dan berhayal kerjasama dengan Jepang mewujudkan Kemerdekaan Indonesia.
10 PTI, Partai Tionghoa Indonesia, adalah organisasi politik peranakan Tionghoa Indonesia. Didirikan pada tahun 1932 di Surabaya. Tokoh pimpinannya Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien dll. Mewakili lapisan dan kepentingan
klas kapitalis Tionghoa dan intelektual Tionghoa berpendidikan Belanda;
Berbagai lapisan masyarakat kelompok masyarakat termasuk Tionghoa
444
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
sudah seharusnya mendapatkan hak dan perlakuan yang sama; bersama-sama partai politik lainnya melancarkan perjuangan politik, untuk
mewujudkan Kemerdekaan Indonesia; memperkuat hubungan dan persahabatan Tionghoa dan Rakyat Indonesia. Menjelang agresi Jepang,
bekerjasama dengan Partai Gerakan Rakyat Indonesia, melawan perluasan agresi Fasis Jepang. Setelah Jepang menjajah, ditindas penguasa Jepang setempat.
11Yang dimaksudkan Tan, Tjoa adalah Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien. Tan Ling
Djie, 1904—1970, adalah salah seorang tokoh pimpinan Partai Komunis
Indonesia. Peranakan Tionghoa yang pernah sekolah Hukum di Belanda.
Di Belanda pernah ikut Chong Hua Hui, Organisasi Peranakan Tionghoa di
Belanda, tapi tahun 1932 keluar. Lalu mendirikan Perhimpunan Tionghoa
Indonesia dan menjabat Sekretaris. Tahun 1933 menjadi wartawan Sin
Tit Po di Eropah, 1939—1942 menjabat Redaktur Umum. Tahun 1941 Tan
bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia. Setelah kemerdekaan RI,
tergabung di Partai Sosialis dan menjabat Sekjen, merangkap anggota
politbiro “PKI Dibawah-tanah” dan anggota Komite Nasional Indonesia
Pusat. Agustus 1948 Tan menjabat wk. Sekretaris PKI, 1949—1953 menjabat Sekjen PKI. Karena perbedaan pendapat dengan DN Aidit, dituduh
Tan Ling Djie-isme dan diganyang. Oktober 1953 dipecat dari jabatan
anggota CC. Pada tahun 1959, melalui Kongres ke-6 dipilih kembali menjadi anggota CC dan anggota Dewan Ferifikasi. Setelah G30S tahun 1965
beliau ditangkap dan meninggal didalam penjara.
Tjoa Sik Ien, 1907—1987, aktivis gerakan politik peranakan Tionghoa Indonesia. Kampung leluhur asal Hokkian, lahir di Surabaya. Lulus jadi dokter
dari Univ. Leiden Belanda. Setelah lulus, kembali di Indonesia menjalankan usaha dokter di Surabaya dan ikut kegiatan politik, tergabung di Partai Tionghoa Indonesia. Tahun 1936 menjabat Presiden Surat kabar Sin
Tit Po, organ PTI. Tahun 1939 menjabat Ketua Partai Tionghoa Indonesia.
Setelah Kemerdekaan RI, pindah ke Jogya usaha dokter dan tergabung
445
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
dalam Partai Sosialis. Bersama Siauw Giok Tjhan dan Tan Po Gwan berpropaganda menganjurkan Tionghoa menjadi warga Indonesia, mendukung perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tahun 1948—1949
mewakili Indonesia di PBB. Tahun 1959 menjadi anggota Dewan Perancang mewakili Tionghoa. Setelah G30S 1965, seluruh keluarga hijrah ke
Wina melangsungkan usaha dokter.
12 Tan Gien Hwa, 1921 – 2003, istri Siauw Giok Tjhan. Kampung leluhur Hokkian, kelahiran keluarga pengusaha Tionghoa kaya di Pemalang Jawa
Tengah. Tahun 1940 menikah dengan Siauw Giok Tjhan.
13 Harian Matahari adalah surat kabar Melayu yang dimiliki Tionghoa Indonesia. 1 Agustus 1934, Grup Kongsi Oey Tiong Ham mensponsori dana
menerbitan Surat Kabar Matahari di Semarang, Jawa Tengah. Redaksi,
Kwee Hing Tjiat. Tahun 1940 Kwee tiba-tiba meninggal dunia, sejak itu
Redaksi dipegang Siauw. Dengan teguh mempertahankan dukungan
gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Setelah terbit, membuat perhatian pemerintah koloni Belanda. Dibawah dukungan pendonor, surat
kabar ini menyiarkan tulisan simpati pada Jepang, tanpa mempedulikan
kritik banyak Tionghoa dan memuat iklan orang-orang Jepang.
14 Awal tahun 1942 tentara Jepang masuk mengagresi Semarang, Siauw
melalui Pemalang dan Surabaya bersembunyi di kota Malang, dengan
membuka toko kelontong kecil Cuan-Cuanan. Tapi beliau tidak tertarik
dengan usaha dagang, selalu gairah dalam diskusi rahasia politik dengan sahabat-sahabatnya.
15 Hua Chio Chong Hui Malang, disingkat Ma Hua, adalah organisasi yang
dibangun Huakiao Malang, Jawa Timur. Han Kang Hun menjabat ketua. Tetapi, karena Siauw dalam memecahkan banyak persoalan dan
hubungan kemasyarakatan lebih luas dan berpengalaman, diakui oleh
446
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Tionghoa Malang secara umum kemampuannya memimpin, kekuasaan
organisasi tersebut hakekatnya berada ditangan Siauw.
16 Tan Kah Kee, 1874—1961, tokoh pimpinan Huakiao Patriotik Singapore
dan Asia-Tenggara. Pada saat penjajahan Jepang, dibawah perlindungan sahabat alumni Sekolah Ji Mei, bersembunyi di Batu, sekitar kota
Malang, dan sampai terakhir tetap tidak diketahui penguasa Jepang setempat. Siauw Giok Tjhan pernah mengunjungi Tan, berdiskusi beberapa
masalah kondisi saat itu dan dengan rendah hati mendengarkan petunjuknya. Oktober 1945 beliau kembali ke Singapore.
17 Angkatan Muda Tionghoa, Oktober 1945, Siauw di Malang mengorganisasi kekuatan non-senjata Pemuda Tionghoa. Dengan aktive ikut
ambil bagian membela dan melindungi Kemerdekaan Indonesia, memperkuat hubungan komunikasi dan kerjasama dengan barisan-barisan
kekuatan bersenjata Indonesia, agar mereka mengerti bahwa Tionghoa
bukan musuh, sebaliknya adalah kawan. Siauw Giok Bie, adik-kandung
Siauw Giok Tjhan, menjadi ketua, sedang Siauw Giok Tjhan memimpin
dari belakang untuk menentukan garis dan strategi tepat organisasi.
18 Desember 1945, atas anjuran Tan Ling Djie, Siauw tergabung dalam Partai Sosialis, untuk menunjukkan Tionghoa juga terlibat dalam gerakan Kemerdekaan Indonesia.
19 Siauw tergabung dalam Partai Sosialis dan ikut faksi Amir Syarifuddin.
20 Komite Nasional Indonesia Pusat, disingkat KNIP, dibentuk 22 Agustus
1945 di Jakarta. Bulan Oktober 1945, Siauw terpilih menjadi anggota KNIP
wilayah Malang. Tahun 1946 menjadi anggota KNIP; sedang tahun 1947
menjabat Badan Pekerja KNIP.
447
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
21 10 April 1946 Komite Nasional Indonesia Pusat akhirnya berhasil mensahkan konsep Tan Ling Djie “Stelsel Pasif Kewarganegaraan” setelah
berlangsung perdebatan sengit: menetapkan barang siapa lahir di Indonesia sebelum Kemerdekaan, tanpa harus mengajukan permohonan,
otomatis diperlakukan sebagai warganegara Indonesia. Sekitar bulan
April-Mei tahun 1946, pemerintah RI mengutus Siauw dan Mr. Tan Po
Gwan, 1911—1985, sarjana hukum etnis Tionghoa, mempropagandakan UU Kewarganegaraan di berbagai daerah Jawa-timur. Tapi, karena
keadaan arus anti-Tionghoa cukup keras, mendapatkan respon yang
sangat dingin dikalangan Tionghoa, ... sangat menyesalkan Siauw dan
Tan.
22 Maret 1947, PM Syahrir memimpin Delegasi Indonesia menghadiri Konfrensi Asia pertama di New Delhi, Siauw saat itu menjadi sekretaris Delegasi. Pada saat tiba di Singapore, kehabisan dana, (Rupiah tidak diakui
diluarnegeri). Siauw berhasil mendapatkan bantuan sahabat lama Tan
Kah Kee, Tan dengan gembira memberikan bantuan. Pada saat perjalanan pulang, Delegasi hendak terbang langsung ke Jogya, tidak hendak
berhenti di Jakarta. Oleh karena itu, sekali lagi harus melewati Singapore,
tersangkut di Singapore selama sebulan. Akibat Pihak Belanda mengancam akan menembak jatuh pesawat yang terbang langsung ke Jogya,
Delegasi tidak berhasil mendapatkan pesawat yang berani membawa
Delegasi terbang pulang Jogya. Sekali lagi Siauw harus mengumpulkan
dana untuk memecahkan ongkos kehidupan Delegasi selama tersangkut di Singapore. Pengalaman ini sangat penting meningkatkan pamor
politik Siauw.
23 3 Juli 1947 pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin, Siauw dinobatkan
menjadi Menteri Negara Urusan Minoritas.
24 Akhir tahun 1947, Tiongkok Nasionalis Kuomintang atas undangan seke-
448
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
lompok Tionghoa, mengutus Jiang Jia Dong (baca: Ciang Cia Tung)
berkunjung ke Jogya, dan mengajukan tuntutan mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan. Yaitu menghendaki merubah stelsel pasif Kewarganegaraan menjadi stelsel aktif. Setelah Siauw menemui Ciang Cia
Tung, menjelaskan alasan mengapa Pemerintah menggunakan stelsel
pasif Kewarganegaraan, akhirnya, Ciang harus pulang kembali dengan
kegagalan.
25 13 Pebruari 1948, karena perbedaan pandangan politik, Partai Sosialis
pecah. Kelompok Syahrir keluar mendirikan partai baru – Partai Sosialis
Indonesia. Sebagian besar pimpinan Partai Sosialis seperti Siauw Giok
Tjhan, Tan Ling Djie dll., meneruskan dukungan pada Amir Syarifuddin.
26 31 Agustus 1948, PKI mengumumkan fusi, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia bergabung dalam Partai Komunis Indonesia. Siauw Giok Tjhan dan
beberapa orang tersembunyi menolak tergabung dalam PKI.
27 12 September 1948, Amerika bersama Belanda dan Pemerintah RI
melancarkan pembasmian komunis Indonesia. Juli 1948, Amerika dan
Pemerintah Indonesia melangsungkan perundingan di Sarangan, Madiun Jawa-timur, merencanakan membasmi kekuatan bersenjata komunis
Indonesia. Bulan Agustus tahun yang sama, wakil AS, H. Merle Cochran,
1892—1973 mendarat di Jogya, lebih lanjut merencakan pembasmian
komunis. Bersamaan waktu, Pemerintah Indonesia melakukan perjanjian
gelap dengan Belanda, menetapkan Belanda dengan pemerintah setempat bertanggungjawab membersihkan “sarang” gerakan PKI dan
rakyat di sebelah barat dan timur Jogya. Mulai 1 September, Masyumi,
PSI dan klik Tan Malaka di Solo, Madiun dll daerah menangkap, menyandra dan membunuh orang komunis, pimpinan Serikat Buruh dan aktivis
Gerakan rakyat, menyerang kekuatan bersenjata patriotik. 18 September, pemerintah Hatta memfitnah PKI di Madiun “Menggulingkan Repub-
449
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
lik Indonesia”, “melancarkan kudeta bersenjata membentuk Pemerintah Sovyet”, mengirim tentara melakukan “pengepungan”, menangkap
dan membunuhi anggota PKI. PKI melakukan perlawanan bela diri, dan
membentuk Pemerintah Front Nasional di Madiun. Kekuatan bersenjata yang dipimpin PKI di Madiun, Tjepu, Kudus, Ponorogo melancarkan
pertahanan serangan tentara Pemerintah. Tetapi, karena kekurangan
amunisi dan kekuatan tidak seimbang, 31 Oktober, Muso dalam pertempuran di Ponorogo tewas. Perlawanan Komunis ditindas dengan bengis
dan kejam. Sekitar 36 ribu orang komunis dan patriotik ditangkap, diantaranya 10 ribu dibunuh. 19 Desember Amir Syarifuddin, Surono, Maruto
Darusman dll. 11 orang pimpinan PKI didesa Ngalian dekat Solo ditembak mati.
28 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi ke-II, bahkan berhasil menguasai Jogya. Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim dll pimpinan
negara ditangkap dan dialihkan ke Sumatera. Pada saat Peristiwa Madiun Siauw ditangkap, menjelang Belanda menyerbu penjara Wirogunan terjadi kekacauan, Siauw berhasil lolos keluar. Tapi, setelah pulang
tidak lama, ditangkap kembali oleh tentara Belanda. Didalam penjara,
Siauw menulis sendiri siaran harian “Suara Tapa”, memberitakan keadan
dalam dan luar negeri beserta analisa situasi. Kemudian juga mengeluarkan << Pernyataan Wirogunan >> merupakan pernyataan tahanan
politik, bertekad membangun Indonesia yang sosialis dan berdaulat
penuh. Menyelundupkan keluar penjara dan dikirim ke PBB.
29 Antara Belanda dan Indonesia dilangsungkan Konfernsi Meja Bunder, 23
Agustus s/d 2 Nopember 1949 di Den Haag, Belanda. Dinamakan juga
“Konfrensi Den Haag”. Perjanjian yang ditandatangani 2 Nopember
dinamakan <<Perjanjian KMB>> atau <<Perjanjian Den Haag>>. Isi pokoknya: 1. Republik Indonesia Serikat terdiri dari Republik Indonesia dan
Federasi Indonesia, Belanda selambat-lambatnya 30 Desember 1949
450
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
menyerahkan kedaulatan pada RIS. 2. Belanda, RIS, Suriname, Curacao
bergabung bersama Belanda menjadi Republik Federal, dengan Ratu
Belanda sebagai pimpinan utama. 3. Hubungan luarnegeri, pertahanan
negara, keuangan-ekonomi, budaya dll dari RIS harus selamanya bekerjasama dengan Belanda; pihak Indonesia diharuskan membayar hutang
Pemerintah Belanda sebanyak 4,3 Milyar Rp. Indonesia harus memberikan prioritas istimewa dalam hubungan dagang dengan Belanda; Belanda bertanggungjawab “melatih, mendidik teknik dan perlengkapan”
tentara Indonesia, segenap pengeluaran dibayar Indonesia. Tentara
koloni Belanda dahulu (KNIL) masuk tergabung dalam TNI. 4. Belanda
tetap menguasai wilayah Iran Barat (Sekarang Irian Jaya), masalah penandatangan Iran-Barat dilakukan Belanda dan Indonesia setelah terselesaikan dengan musyawarah setahun kemudian. Pada tgl. 3 Mei 1965,
pihak Indonesia mengumumkan KMB tidak berlaku lagi.
30 Januari 1950 Siauw menerbitkan Majalah bulanan “Sunday Curier” dan
koran “REPUBLIK”. Juga menerbitkan Majalah Mingguan “Suara Rakyat”,
bulan Juli tahun yang sama, majalah mingguan berubah menjadi Koran
Harian dengan nama “Harian Rakyat”. Oktober 1953, Siauw mengoper
“Harian Rakyat” dan percetakan Persatuan pada PKI, sepenuhnya di
manage oleh Njoto. Sejak itu “Harian Rakyat” menjadi organ PKI.
31 Setelah Oktober 1953 Siauw mengoper “Harian Rakyat” pada PKI, beralih membentuk Yayasan SADAR, mengumpulkan dana utamanya dari
pengusaha Tionghoa-totok. Yayasan ini terutama berusaha mendorong
Tionghoa-totok menerima Indonesia dan menjadi Indonesia. Dengan
menerbitkan Majalah “SADAR” edisi bahasa Tionghoa, pada awal tahun
1960 dibredel oleh Pemerintah. Kecuali itu, beliau juga menerbitkan buku-buku berbahasa Tionghoa yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan juga sebaliknya. Juga menerbitkan Kamus bahasa TionghoaIndonesia dan Indonesia –Tionghoa.
451
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
32 Saat tahun 1950 Republik Indonesia Serikat, Tionghoa yang mewakili RI
menjadi anggota DPR ada: Siauw Giok Tjhan, Yap Tjwan Bing, Tan Boen
An dan Tjoa Sie Hwie, sedang Tionghoa yang mewakili RIS Tjung Tin Jan
dan Tjong Liem Sheng. Di Parlemen, Siauw mendapatkan dukungan Mohammad Yamin, melawan sistem Federasi, mengusulkan kembali memulihkan Kesatuan Indonesia. 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan kembali
menjadi kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan politik Siauw sangat aktive selama Demokrasi Parlementer, 1950-1959.
33 Sartono, 1900-1968, seorang nasionalis Indonesia. Sarjana Hukum. Kelahiran keluarga bangsawan Wonogiri di Solo, Jawa-tengah. Di tahun 1922
menamatkan Sarjana Hukum di Batavia (sekarang Jakarta), kemudian
melanjutkan sekolahnya di Belanda. Tahun 1925 mendapatkan Master
dibidang Hukum di Univ. Leiden. Menjabat Sekretaris Perhimpunan Indonesia. Tahun 1925 kembali sarjana hukum di Salatiga, Bandung. Tahun 1926 menjabat Ketua eksekutif Dewan Persatuan Indonesia, Tahun
1927 menjabat sekretaris Perhimpunan Politik Bangsa Indonesia, Tahun
1931 menjabat Ketua Partai Indonesia, Tahun 1937 menjabat wk.Ketua
Gerakan Rakyat Indonesia dan Hakim Makamah Agung Hindia-timur,
Tahun 1941 menjabat Ketua Perwakilan Rakyat Indonesia didalam Federasi Politik Indonesia dll jabatan. Sartono di tahun 1930 adalah hakim
yang membela Soekarno saat diadili koloni Belanda. Pada saat penjajahan Jepang, menjadi anggota komite Peneliti sistem lama, Ketua
Organisasi Pusat Gerakan Massa Rakyat, Anggota Dewan Penasehat
Pusat, Penasehat Kementerian Dalam Negeri dll jabatan. Sekitar revolusi
Agustus Indonesia, menjabat ketua Fraksi PNI di KNIP, tahun 1949 menjabat penasehat umum Delegasi Indonesia di KMB. Sejak tahun 1950 s/d
Juli 1959, berturut-turut menjabat Ketua DPR. Tahun 1959 saat Soekarno
melaksanakan “Demokrasi Terpimpin”, membubarkan DPR hasil pemilu,
membentuk DPR-Gotongroyong, beliau menolak menjabat Ketua DPR-
452
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Gotongroyong. Kemudian menjabat Ketua Mahkamah Agung sampai
pensiun tahun 1967. Hubungan dengan Siauw sangat akrab, khususnya
selama menjabat Ketua DPR.
34 Penangkapan Rasia Agustus, Pemerintah Sukisman di Agustus 1951 tibatiba melancarkan penangkapan terhadap orang komunis dan tokohtokoh progresif masyarakat. Tanggal 3 Agustus 1951, Jawa Pos Surabaya
menyatakan, di Banyuwangi didapatkan “Organisasi illegal yang didukung luarnegeri”, dikatakan “Berencana” menggulingkan Pemerintah
dan membentuk Pemerintah Sovyet. Lebih lanjut dikatakan, kegiatan
“Berencana” tersebut adalah kerjasama antara PKI dengan Huakiao
Indonesia. Tanggal 5, segerombolan perusuh dengan membawa logo
Palu dan Arit, menyerang pos Polisi di Tanjung Periuk, tanggal 7, Pemerintah Sukisman dengan alasan mencegah “Kudeta”, memerintahkan
menangkap tokoh-tokoh dan orang-orang komunis, Serikat Buru Progresif, Serikat Tani, Organisasi Pemuda dan Wanita. Tentu saja termasuk
tokoh-tokoh demokrat dan Huakiao. Sukisman didepan DPR, 29 Oktober melaporkan bahwa penangkapan yang dilancarkan sekitar 15 ribu
orang. Tahun 1952, setelah beberapa bulan Kabinet Wilopo terbentuk,
semua tahanan dibebaskan.
35 Penangkapan besar-besaran Rasia Agustus Sukisman berdampak sangat jelek, akibat ditangkapnya banyak Tionghoa-totok, mengakibatkan
lebih banyak Tionghoa tidak lagi percaya dan bisa mendukung Pemerintah yang berkuasa. Akhirnya, sampai Desember 1951 lebih banyak Tionghoa, mencapai lebih dari 300 ribu orang menolak Kewarganegaraan
Indonesia (lebih banyak diantara Tionghoa-totok).
36 Kegiatan Siauw di DPR, memperjuangkan sekitar 3 masalah besar: masalah rasisme (termasuk Kewarganegaraan), Pembangunan Ekonomi
Nasional dan UU Menjamin Demokrasi Keadilan. Dengan dukungan ber-
453
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
bagai pihak, Beberapa konsep berhasil disahkan DPR dan itu tidak terpisahkan dari hasil keuletan perjuangan Siauw.
37 Setelah BAPERKI didirikan, menghadapi problem apakah BAPERKI ikut
serta dalam PEMILU 1955 yang segera akan dilangsungkan. Tidak hanya
dari luar, PNI, PSI, Partai Katholik dengan terbuka menentang BAPERKI
ikut serta pemilu. Tapi juga dari dalam, ada yang menentang BAPERKI
terlibat Pemilu. Diantara pengurus BAPERKI, yang berkeras menentang
adalah Tjoa Sik Ien. Setelah melancarkan perdebatan sengit, akhirnya
pemikiran Tjoa dikalahkan total dan kebijakan Siauw untuk ikut PEMILU
berhasil dimenangkan dan disahkan.
38 Hasil Pemilu 1955, 6 wakil Tionghoa untuk DPR dan Konstituante dari
BAPERKI keluar terpilih adalah: Siauw Giok Tjhan, Oey Tjoe Tat, Yap Thiam
Hien, Go Gien Tjwan; Liem Koen Seng dan Oen Poen Djiang, (tidak termasuk 2 wakil etnis Eropah). Sedang 3 etnis Tionghoa keluar dari Partai
Politik lain: Tan Ling Djie, Oey Hay Djoen dan Tonny Wen (Wen King Tou).
39 Desember 1949, Juanda sebagai Menteri Keuangan Federasi RI, mengambil konsep melindungi dan mendahlukan pengusaha “pribumi”.
April tahun 1950, Juanda sekali lagi menetapkan ketentuan melindungi
importir “pribumi”. Ketentuan itu menetapkan: Jenis barang yang telah
ditetapkan politik Benteng hanya bisa dilakukan oleh importir “pribumi”.
Orang asing (Tionghoa) tidak lagi diperkenankan mengimport. Hanya
Perusahaan dengan lebih 70% modal milik “pribumi” diperkenankan
mengimport jenis barang yang ditetapkan politik Benteng. Kecuali itu,
Pemerintah juga memberikan pada perusahaan “pribumi” kemudahan
dan kredit bunga rendah istimewa dan lisensi usaha, sebaliknya memberi
batasan lebih ketat dan melarang pengusaha Tionghoa, menjalankan
politik diskriminasi rasial yang menyingkirkan. Siauw menentang keras
politik Benteng ini, dan menuding politik demikian ini jelas sangat merugi-
454
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
kan dan berakibat maraknya korupsi.
40 Garis besar Konsep ekonomi Siauw Giok Tjhan adalah: 1. Perusahaan
Belanda, Inggris dan Amerika telah merampas kekayaan alam, mereka
mentransfer keuntungan keluarnegeri dan tidak diputar di Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus mengambil alih perusahan-perusahaan besar ini. 2. Menentang konsep “Pribumisasi”, garis pemisah ekonomi kuat
atau lemah tidak berdasarkan etnis, tidak benar seluruh Tionghoa tergolong kaya. Tidak sedikit Tionghoa ekonomi-lemah. Juga tidak semua
pribumi miskin. Diantaranya juga ada yang golongan ekonomi-kuat. 3.
Perusahaan Tionghoa termasuk modal domestik, bukan modal asing,
keuntungan yang didapatkan mereka tidak ditransfer keluar, tapi digunakan dan berputar di Indonesia; 4. Politik “Benteng” adalah kebijakan
berdasarkan ras, yang harus ditentang dengan tegas.
41 Assaat Datuk Mudo, 1904 – 1976. Politikus dan Ahli Hukum Indonesia.
Kelahiran keluarga bangsawan di Banuhampu, Sumatera. Tahun 1939
mendapatkan gelar Master dibidang Hukum dari Univ. Leiden Holland.
Kembali ketanahair membuka biro Hukum. Saat Jepang masuk tahun
1941, menjabat Pengurus Sentral Tabungan dan kredit Mortage Bank.
Tahun 1950 pernah pejabat Presiden Republik Indonesia. Tahun 19501951 menjabat Menteri Dalam Negeri. Tahun 1956 perancang Gerakan
Assaat (yaitu gerakan anti-Tionghoa). Tahun 1961 menjabat “Mentgeri
Dalam Negeri” dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, Perusuh. Dijebloskan dalam tahanan selama 3 tahun, tahun 1966 bebas.
42 Konsep Soekarno, dinamakan juga konsep Presiden Soekarno. 21 Februari 1957 Presiden Soekarno di Istana Merdeka, dihadapan tokoh Partai
politik dan masyarakat mengajukan konsep politik. Isi pokoknya: 1. Demokrasi parlementer barat tidak sesuai dengan kekhususan Indonesia,
harus jalankan Demokrasi Terpimpin; 2. Untuk melaksanakan Demokrasi
455
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Terpimpin, harus membentuk Kabinet terdiri dari Partai politik dan ormas;
Yaitu Kabinet yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI merupakan kerjasama nasional; 3. Membentuk Dewan Nasional yang terdiri golongan
karya berbagai lapisan masyarakat, untuk memberi saran pada pemerintah dan survey yang diperlukan. Konsep ini menjadi perdebatan sengit
didalam negeri. Beberapa daerah terjadi kerusuhan. Maret 1957 Kabinet
Ali ke-2 meletakan jabatan. Tanggal 14 bulan yang sama, Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang diseluruh negeri.
43 UUD45 Indonesia, lengkapnya Undang-Undang Dasar 1945 Republik
Indonesia. 18 Agustus 1945 Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mensahkan UUD Republik Indonesia. Dalam Kata Pengantar UndangUndang menegaskan dasar Republik Indonesia adalah: “Ketuhanan;
Keadilan, Kemanusiaan yang beradab; Persatuan Indonesia; Demokrasi
Perwakilan dan berdasarkan permusyawaratan yang bijaksana; Melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pasal Keadilan
seluruhnya ada 37, diantaranya menetapkan: 1. Indonesia adalah negara yang dipersatukan berbentuk republik. 2. Kedaulatan milik Rakyat
dan dilaksanakan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3. Parlemen
merupakan kekuasan legislatif, namun Rencana UU berlaku sah, setelah
mendapatkan persetujuan Presiden; 4. Presiden berhak menetapkan undang-undang dan peraturan pemerintah,Panglima Tertinggi Angkatan
Darat, Laut, dan Udara, Mengumumkan perang dengan asing, membuat perdamaian dan perjanjian, mengumumkan keadaan darurat;
menobatkan Duta Bear diluarnegeri dan menerima Dubes negara asing
di Indonesia; memberi pengampunan amnesti, grasi, rehabilitasi nama
dan kehormatan dll. 22 Februari 1959, atas usul kabinet Juanda, Presiden
Soekarno secara resmi berlakukan kembali UUD45. Sejak itu kekuasaan
Presiden menjadi lebih besar.
44 Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali
456
Siauw Giok Tjhan 100 Tahun
Sajak-Sajak
Revolusi kita”. Kemudian dinamakan << Manifesto Politik Republik Indonesia >>, disingkat menjadi “MANIPOL”. Berdasarkan usul mahkamah
Agung, Ketetapan Presiden No.1/1960 dan TAP-1 MPRS 1960 “MANIPOL”
dijadikan Pedoman pokok Negara. Februari 1960, Presiden Soekarno di
Bandung dalam pembukaan Kongres Pemuda menunjukkan, <<MANIPOL>> ada 5 makna: Kembali ke UUD45; Sosialisme Indonesia; Demokrasi
Terpimpin; Ekonomi Terpimpin dan berwatak Indonesia (USDEK).
45 NASAKOM, singkatan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Soekarno menghendaki 3 aliran politikm yang ada di Indonesia ini bisa bersatu-padu, bekerja-bersama melawan musuh bersama imperialisme. Tulisan semula pada tahun 1926 << Nasionalisme, Islam dan Marxisme >>. Isi
klas “NASAKOM” termasuk klas buruh, klas tani, borjuis-nasional, kapitalisbirokrat dan tuan-tanah feodal. Tahun 1965 setelah G30S, konsep NASAKOM bangkrut.
46 Siauw dipenjarakan dibeberapa tempat, Penjara Salemba, Ta-hanan
Kebayoran Lama, Penjara Nirbaya, sekalipun tidak disiksa, tapi diinterogasi dalam waktu cukup panjang, membuat tekanan dan ketegangan
jiwa, berbagai penyakit memberat. Masih beruntung sahabat karibnya,
Adam Malik, pejabat tinggi pemerintah Orba ketika itu diam-diam memberikan bantuan, juga pelayanan pengobatan. September 1975 Siauw
berubah menjadi tahanan rumah, keadaan berubah membaik. Agustus
1978 Siauw secara resmi dibebaskan. Bulan berikut, Siauw bersama istri
hijrah ke Belanda.
457
Download
Study collections