Siauw Giok Tjhan Orang Indonesia 100 Tahun Yayasan Teratai 2014 Judul Siauw Giok Tjhan Orang Indonesia 100 Tahun Penerbit: Yayasan Teratai Pengantar: Siauw Tiong Djin Desain Cover: Chan Chung tak ISBN: Memperbanyak dengan fotokopi atau bentuk reproduksi lain apapun tidak dibenarkan , kecuali dengan izin penerbit. Hak cipta dilindungi Undang-Undang All Right Reserved Daftar Isi Kata Pengantar 1 Siauw Giok Tjhan Menuju Indonesia Yang Baik 8 Go Gien Tjwan Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku 81 Siauw Tiong Djin Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan 97 John Roosa Siauw Giok Tjhan dan Negara Hukum 146 Leo Suryadinata Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan Nasion Indonesia dan Suku Tionghoa 164 Benny Setiono Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di Bidang Pendidikan 202 Zhou Nan Jing 100 tahun Siauw Giok Tjhan 211 Asvi Warman Adam Seabad Siauw Giok Tjhan 227 Stanley Adi Prasetyo Menjadikan Warga Keturunan Tionghoa Sebagai Indonesia Sejati 239 Putu Oka Sukanta Si Rambut Putih yang Selalu Ceria 252 Siauw May Lie Pendekatan Siauw Giok Tjhan Dalam Penyelesaian Masalah Tionghoa 258 Soe Tjen Marching Siauw Giok Tjhan 262 Bonnie Triyana Masa Depan Siauw Giok Tjhan 269 Harry Bhaskara Mengenang Siauw Giok Tjhan 286 Candra Jap Siauw Giok Tjhan Yang Sudah Tak Dikenal 294 Shi Xue Qin Peran Majalah Chiao Xing 310 Huang Shu Hai Siauw Giok Tjhan: Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, Pantang Mundur Menghadapi Kesulitan Dan Penderitaan 327 Hiski Darmayana Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah 338 Chan Chung Tak Fakta Perjuangan Tak Bisa Dihapus 348 Tan Swie Ling Guru Sejati Kebangsaan-ku 360 Tempo 6 April 2014 Ke-Indonesiaan Siauw Giok Tjhan 397 Tan Sien Tjhiang Siauw Giok Tjhan Dalam Kenangan 418 Nancy Widjaja Mengenang Siauw Giok Tjhan 420 Nurdiana Sajak Siauw Giok Tjhan 100 tahun 425 Zhou Nan Jing Balada Juang Siauw Giok Tjhan 428 Sajak-Sajak: 100 Tahun (1914 - 2014) Siauw Giok Tjhan - Orang Indonesia 1914 - 1981 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar Kata Pengantar Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan yang dikumpulkan dalam rangka memperingati hari ulang tahun Siauw Giok Tjhan ke 100. Ia lahir pada tanggal 23 Maret 1914 dan meninggal pada tanggal 20 November 1981. Dari namanya, orang mudah mengetahui bahwa Siauw adalah seorang Indonesia keturunan Tionghoa. Akan tetapi tulisan-tulisan dalam buku ini menunjukkan bahwa walaupun ia adalah seorang keturunan Tionghoa, tindak tanduk dan komitmen perjuangannya menunjukkan bahwa ia patut dicatat sejarah sebagai seorang patriot Indonesia sejati. Seorang Indonesia yang gigih memperjuangkan pemba-ngunan nasion Indonesia yang pluralistik, yang berBhinneka Tunggal Ika dan yang bebas dari segala bentuk perbedaan yang tidak adil, termasuk atas dasar keturunan. Ruang lingkup perjuangannya jauh melebihi penyelesaian masalah minoritas. Dengan penuh komitmen atas ditegakkannya Rule of Law dan demokrasi di Indonesia, ia berjuang sebagai anggota lembaga-lembaga legislatif – DPR, MPR dan DPA dan beberapa institusi penting lainnya untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Walaupun karena prinsip dan komitmen politiknya ia berkali-kali meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apapun – terakhir selama 12 tahun di zaman pemerintahan Suharto, dari tahun 1965 hingga 1978 -- ia tetap teguh dengan prinsipnya dan positif dengan keyakinan bahwa perjuangan rakyat Indonesia membentuk nasion Indonesia yang bebas dari diskriminasi rasial dan mencapai 1 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar demokrasi akan tercapai. Peringatan hari ulang tahun ke 100-nya mendorong kita untuk menghargai warisan politik yang ditinggalkannya: Kewarganegaraan Indonesia Kehadiran Tan Ling Djie -- sekretaris jendral Partai Sosialis sekaligus guru politik Siauw dari zaman PTI -- dan Siauw sebagai wakil-wakil Partai Sosialis di KNIP dan Badan Pekerja KNIP memungkinkan dikeluarkannya UU kewarganegaraan 46 yang isinya sesuai dengan apa yang diperjuangkan PTI sejak tahun 1932, yaitu semua orang yang lahir di Indonesia, dari keturunan asing termasuk Tionghoa, India, Arab dan Eropa, adalah warga negara Indonesia. Sejak tahun 1946, Siauw duduk sebagai anggota badan legislatif yang kemudian berbentuk DPR di zaman RIS dan NKRI, hingga ia dipecat dengan hormat oleh rezim Suharto pada tahun 1966. Di zaman Demokrasi Parlementer Ia berkembang sebagai politikus ulung di parlemen, memimpin sebuah fraksi yang cukup berpengaruh, Fraksi Nasional Progresif, terdiri dari banyak partai nasionalis seperti SKI, PRN, PIR dan Murba dan beberapa tokoh tidak berpartai seperti Moh. Yamin dan Iwa Kusumasumantri. Di masa ini karena dukungan fraksi-nya dan banyak tokoh nasionalis lainnya, ia berhasil membatalkan berbagai RUU yang bersifat rasis atau kalau gagal membendung RUU tersebut, membatasi dampak UU rasis yang keluar. Yang terpenting adalah keberhasilannya membatalkan RUU kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU Kewarganegaraan 46 dan membuat 2 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar perubahan Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan antara RI dan RRT p[ada tahun 1955. Bilamana RUU dan Perjanjian tanpa perubahan ini berhasil direstui DPR, jutaan penduduk Tionghoa di Indonesia ketika itu akan berstatus warga negara asing. Dan ini berarti jutaan Tionghoa di Indonesia di masa kini kemungkinan besar akan tetap pula berstatus asing. Pengikisan Rasisme Melalui Pengembangan Konsep Integrasi (multikulturalisme) Puncak karier politik Siauw adalah pembentukan Baperki dan dipilihnya ia sebagai ketua umum. Adanya Baperki sebagai organisasi massa mempermudah ia untuk menjangkau komunitas Tionghoa dan mempermudah pelaksanaan keinginannya untuk mengajak komunitas Tionghoa meng-integrasikan dirinya dalam semua bidang yang berkaitan dengan pembangunan Nasion Indonesia. Yang paling menonjol dari langgam perjuangan Siauw adalah atribut perjuangan yang konstruktif, yang memba ngun. Ia mengajak Baperki dan massanya untuk tidak semata-mata berslogan anti rasisme, tetapi merumuskan dan melaksanakan jalan keluar sehingga rasisme tidak memiliki alasan hidup. Dasar perjuangan Baperki adalah pembangunan Nasion Indonesia yang bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika. Siauw berargumentasi bahwa Nasion Indonesia bukan Indonesian Race. Nasion Indonesia adalah sebuah nasion yang lahir karena terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Istilah Indonesia “asli” tidak memiliki dasar hukum. 3 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar Yang mengisi kehadiran nasion Indonesia di wilayah Indonesia secara hukum adalah kewarganegaraan Indonesia. Karena pengertian Indonesia “asli” tidak memiliki dasar hukum, UU dan peraturan pemerintah yang membedakan warga negara Indonesia atas dasar “asli” dan “non Asli”, menurut Siauw melanggar hukum. Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika adalah nasion yang terdiri dari berbagai suku. Suku-suku tersebut menjadi bagian tak terpisahkan dari tubuh nasion Indonesia, dan mereka tetap hadir tanpa menghilangkan ciri-ciri atau kebudayaan suku masing-masing. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mendorong pemerintah dan masyarakat menerima keberadaan suku Tionghoa. Sukarno dengan tegas mendukung konsep ini dalam sambutannya di kongres Baperki pada tahun 1963. KepPres 12 – 2014 secara resmi memulihkan istilah Tionghoa dan Tiongkok, Istilah yang lahir dalam gerakan nasionalisme Indonesia di awal abad ke 20. Sayangnya KepPres ini tidak meresmikan pula istilah Suku Tionghoa yang diperjuangkan oleh Baperki sejak tahun 50-an. Konsep integrasi yang dicanangkan Baperki ternyata diterapkan oleh banyak negeri maju di zaman modern dan ia lebih dikenal sebagai paham multikulturalisme. Di Australia dan Canada, pelaksanaan multikulturalisme di undangundangkan. Pengembangan modal domestik – perpaduan sosialisme dan kapitalisme Oleh musuh politiknya Siauw selalu dinyatakan sebagai seorang tokoh Komunis. Penelitian yang objektif menunjukkan 4 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar bahwa tuduhan ini tidak tepat. Siauw mendukung sosialisme ala Indonesia yang dianjurkan Sukarno. Dalam konteks ini ia sering bertentangan dengan para tokoh PKI tentang pengertian modal domestik. Siauw sudah sejak tahun 50an mencanangkan konsep perkawinan sosialisme dan kapitalisme. Yang dimaksud di sini adalah pembangunan ekonomi sosialis yang bersandar atas pengembangan modal domestik tanpa memperdulikan latar belakang ras pemilik modal. Ia harapkan modal-modal dagang domestik termasuk yang dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa dibantu dan didukung pemerintah untuk berkembang demi mempercepat pembangunan negara. Ia berargumentasi, keuntungan yang diperoleh dari pengembangan modal domestik akan disalurkan dalam berbagai kegiatan membangun di dalam negeri. Berbeda dengan sikap perusahaan multi nasional yang pada umumnya menyirap kekayaan alam dan keuntungan dibawa ke luar. Keberadaan Siauw di DPA, MPRS dan DPR memungkinkan konsep ini masuk ke dalam GBHN (Garis Besar Haluan Negara) yang diresmikan MPRS pada tahun 1964. Pendidikan Komunitas dan siswa Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air Melalui Baperki, Siauw mendorong komunitas Tionghoa dan para siswa-nya untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Pimpinan Baperki mengajak para anggotanya dan komunitas Tionghoa untuk aktif meng-integrasikan dirinya ke dalam berbagai bidang, untuk tidak berpeluk tangan melihat pembangunan negara dan untuk secara 5 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar aktif melawan arus rasisme dengan tindakan-tindakan membangun. Pendidikan di ratusan sekolah Baperki yang tersebar di banyak kota besar dan di kampus-kampus Universitas Res Publica menekankan betapa pentingnya komunitas Tionghoa mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia, belajar untuk menjadi warga negara Indonesia yang berguna untuk pembangunan nasion Indonesia. Para siswa Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Belajar berdikari. Bahkan beberapa gedung kampus Ureca dibangun sendiri oleh para mahasiswanya. Komunitas Tionghoa berserta para cendekiawannya diajak untuk bergotong royong mengembangkan universitas swasta yang terbesar dan berkualitas tinggi di Indonesia ketika itu. Walaupun umur Baperki relatif pendek – hanya 11 tahun, akan tetapi dampak pendidikan bernuansa politik ini cukup besar. Sebagian besar anggota dan siswa Baperki berkembang sebagai orang-orang yang mencintai Indonesia, menjadi warga-warga negara yang berguna untuk masyarakat Indonesia. Sayangnya teror yang dilakukan oleh negara melahirkan trauma berkepanjangan untuk para anggota dan siswa Baperki. Akan tetapi Ketika Suharto lengser pada tahun 1998, banyak mantan mahasiswa Ureca atau anggota PPI (Pemuda Baperki), terlatih semasa oleh pendidikan dan asuhan Baperki, bisa mengambil inisiatif untuk mendirikan dan memainkan peranan penting dalam berbagai organisasi Tionghoa, di antaranya Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Widjaja dll. Semoga tulisan-tulisan dalam buku ini berguna untuk lebih mengenal Siauw Giok Tjhan dan apa yang ia perjuang 6 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kata Pengantar kan, terutama untuk generasi muda, sehingga bisa dijadikan salah satu pelajaran berguna dalam melangkah ke depan. Penerbit menggunakan kesempatan ini untuk menyatakan terima kasih kepada para penulis yang menyumbangkan tulisan dan kepada semua pihak yang telah bekerja keras membantu penerbitan buku ini. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas kekurangan atau kesalahan yang dibuat dalam upaya penyunti ngan tulisan-tulisan di buku ini. Penyunting Siauw Tiong Djin November 2014. 7 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Menuju Indonesia Yang Baik1 Siauw Giok Tjhan Pendahuluan Ketika Utusan Presidium Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Belanda menghubungi saya untuk memberi ceramah pada Seminar ini, Seminar yang bertema: “Menuju Indonesia Yang Baik, implikasi sosial ekonomi bangsa terhadap kedudukan minoritas”, saya telah menyanggupi untuk menceritakan pengalaman saya. Pengalaman seorang yang pernah mengenal dari dekat berbagai tokoh perintis pejuang kemerdekaan dan setelah proklamasi kemerdekaan diikut sertakan untuk mewujudkan citacita yang telah ditetapkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Dan sekarang generasi muda, calon-calon pemimpin Indonesia harus bisa melanjutkan perjuangan generasi tua yang belum selesai itu, untuk menjadikan Indonesia sebagai negara anggota masyarakat dunia yang baik. Kalau menurut cita-cita saya sendiri, kualifikasi “yang baik” seharusnya ditingkatkan menjadi “yang dibanggakan”. Dibanggakan sebagai sumbangannya pada umat manusia di dunia dalam mewujudkan masyarakat yang bersih dari penindasan dan penghisapan, mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sebagaimana rumusan tegas dari tekad Rakyat Indonesia yang ditetapkan dalam “Pembukaan” UUD 1945, yaitu: “... ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...” Dalam hubungan dengan pernyataan itu, baik juga 1 Ini adalah makalah yang dipersembahkan Siauw Giok Tjhan dalam seminar yang diselenggarakan oleh PPI di Amsterdam pada bulan Serptember 1981. 8 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan dikemukakan pengalaman saya sebagai salah seorang anggota utusan RI pada permulaan tahun 1947 ke Inter Asian Conference pertama di New Delhi-India. Tindakan Rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan nasionalnya dengan disertai pernyataan tersebut, ternyata benar dikagumi oleh para utusan rakyat-rakyat berbagai negeri Asia yang hadir dalam musyawarah itu. Setiap kali delegasi Indonesia memasuki ruang sidang, memperoleh sambutan yang luar biasa hangatnya. Sehingga menimbulkan rasa bangga pada setiap anggota delegasi RI. Karena rakyat Indonesia dianggap sebagai pelopor di Asia untuk memproklamasikan kemerdekaan dan dengan kesanggupannya membantu rakyat-rakyat negara lain untuk membebaskan diri dari penindasan kolonialisme, mencapai perdamaian abadi yang bersih dari nafsu saling tindas menindas dengan melaksanakan keadilan sosial merata di dunia. Peristiwa yang membanggakan ini, tentu harus disertai dengan tantangan untuk mempertahankan penghargaan yang telah diperolehnya itu. Selanjutnya, Presidium PPI di Belanda dalam suratnya menyatakan, minoritas supaya umumnya saya dan bisa suku membahas Tionghoa kedudukan khususnya dalam masyarakat Indonesia di zaman pemerintah Sukarno dan di zaman pemerintah Suharto sekarang ini. Kalau menurut surat itu, pembahasan hendaknya menjawab problem-problem sebagai berikut: 1. Apakah perbedaan gerak ekonomi dari suku Tionghoa dalam zaman Sukarno dan zaman Suharto? Apakah ada pengaruh dari kapitalisme? 2. Bagaimana kedudukan suku Tionghoa yang ekonomi lemah dalam kedua zaman tersebut? 3. Bagaimana sebaiknya pemecahan masalah tersebut 9 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan dilihat dari segi formal, konstitusi dan hukum? Membaca surat tersebut, saya menjadi gembira. Gembira, karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukan, bahwa istilah “suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres BAPERKI di Jakarta, tanggal 14 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan. Sebagai salah satu suku, peranakan Tionghoa wajib diperlakukan sama sebagaimana suku-suku lainnya yang ada di Indonesia. Dengan sikap inilah Bung Karno menegaskan: bahwa yang terpenting adalah mengerahkan seluruh kemampuan suku-suku untuk mempercepat pemba ngunan masyarakat adil dan makmur, yang secara merata de ngan memperkokoh perasaan diperlakukan sama antara semua warganegara Indonesia. Ganti nama dan kawin campuran yang sekarang dikatakan kawin silang adalah masalah pribadi masingmasing orang berdasarkan kemauan dan keinginan pribadi ma sing-masing. Pemerintah tidak seharusnya ikut campur dalam masalah pribadi ini. Sengaja penjelasan Presiden Sukarno ini dikemukakan dalam pendahuluan, karena penjelasan itu dijadikan landasan pendirian-pendirian sebagai berikut: 1. Masalah minoritas etnis adalah masalah nasional dan oleh 10 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan karenanya tidak bisa diselesaikan oleh golongan minoritas bersangkutan secara tersendiri. 2. Untuk mencapai penyelesaian bijaksana, baik dan efektif bagi persoalan minoritas etnik perlu pengerahan kemampuan keadilan untuk merata mewujudkan dengan kemakmuran terbentuknya dan imbangan kekuatan2 politik nasional yang sanggup merealisasi kedaulatan di tangan rakyat secara efektif dengan selalu mendahulukan kepentingan rakyat secara keseluruhan diatas kepentingan golongan atau pribadi yang manapun juga. 3. Karena di dalam pengalaman sering terbukti, bahwa masalah minoritas “dongkrak” untuk etnik dapat menimbulkan digunakan sebagai persoalan-persoalan yang merugikan kepentingan nasional, maka perlu adanya usaha untuk menciptakan iklim internasional, sebagai faktor ekstern, yang favorable bagi penyelesaian masalah minoritas etnis, terutama timbulnya iklim politik internasional yang menguntungkan dipertegak-kokohkan hak azasi manusia (HAM) dan pelaksanaannya secara efektif. Dengan landasan pendirian demikian inilah, saya akan mencoba membahas apa yang diminta oleh Presidium PPI se bagaimana suratnya yang dikutip diatas, walaupun dengan urutan persoalan yang mungkin bisa menyimpang. Sejarah Memupuk Rasa Bersatu Memperhatikan bangkitnya kesadaran nasional dan di mulainya usaha menyusun kekuatan rakyat untuk mencapai kemerdekaan nasional, orang tentu melihat bahwa Indische Partij 11 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan yang dibentuk oleh tiga serangkai, Dr. Tjipto Mangunkusumo; Ki Hajar Dewantoro dan Dowers Dekker, adalah organisasi politik pertama di Indonesia yang mempunyai konsepsi paling menyeluruh mengenai wilayah dan mereka yang wajib dinyatakan sebagai warganegara dan usaha mencapai Kemerdekaan politik penuh. Sejak tahun 1912, adanya konsepsi Indische Partij itulah diakui bahwa, hak seseorang yang dilahirkan di Indonesia dan dibesarkan di Indonesia untuk menentukan kewarganegaraan. Jadi prinsip pikiran ini adalah jus soli dalam menentukan kewarganegaraan. Prinsip ini tidak pernah disanggah oleh partai-partai politik yang lahir di kemudian hari, sampai sekarang. Kenyataan ini patut diperhatikan. Di dalam pembentukan Partai Komunis Indonesia, Partai Serikat Islam Indonesia dan Partai Nasional Indonesia tidak pernah dengan tegas mengemukakan perbedaan warganegara berdasarkan keturunan, sehingga partai-partai pelopor di Indonesia ini umumnya memperoleh dukungan dan simpati semua golongan suku yang ada di Indonesia. Tidak pernah mengemukakan masalah “asli” atau “pribumi” harus didahulukan kepentingannya. Dan juga tidak pernah mempersoalkan orang-orang peranakan asing harus puas dengan perlakukan sebagai “anak ngenger”. Ketika partai-partai politik tersebut dipukul oleh penjajah Belanda, di antara mereka yang ditangkap polisi penjajah Belanda, terdapat juga orang-orang peranakan asing. Menurut keterangan orang-orang yang pernah dibuang ke Digul oleh penjajah Belanda, hampir dalam setiap rombongan yang dikirim ke Boven Digul terdapat juga orang-orang peranakan Tionghoa, orang-orang suku Tionghoa. Baik juga dikemukakan apa yang saya ketahui dari Bung Karno, bahwa pada persiapan pembentukan PNI dan Partindo, ia juga memperoleh bantuan dari teman-teman seperjuangan suku 12 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Tionghoa. Antara lain yang sering disebut namanya seperti Tan Ping Tjiat dari Surabaya, Liem Seng Tee dari Pabrik Rokok-kretek Djie Sam Soe dan Sempurna di Surabaya dan Liem Sui Chuan dari Bandung. Kenyataan ini tentu menyangkal adanya pendapat bahwa golongan Tionghoa pasif, golongan Tionghoa tidak menyatukan diri dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia, tidak senasib dengan rakyat Indonesia. Kenyataan sejarah tidak bisa disangkal, adanya kesatuan nasib, merasa senasib diantara banyak suku yang ada di Indonesia, termasuk suku Tionghoa yang hidup di Indonesia. Sementara orang mengatakan, bahwa Chung Hua Hui sebagai partai politik berdiri di pihak penjajah Belanda. Memang, ada organisasi atau partai politik yang memihak penjajah Belanda dari suku Tionghoa demikian juga dari suku-suku lainnya. Tidak aneh. Dan dengan meningkatnya kesadaran nasional, menimbulkan juga organisasi-organisasi politik yang tegas memperjuangkan kemerdekaan nasional. Atas anjuran Dr. Sutomo yang memimpin PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), dibentuklah PTI (Partai Tionghoa Indonesia) di bawah pimpinan Liem Koen Hian. Pembentukan PTI dibantu oleh tokoh PBI, Junus D.Syaranamual. Kemudian pembentukan PAI (Partai Arab Indonesia) yang dipimpin oleh Abdulrachman Baswedan, juga terjadi dengan bantuan orangorang PBI dan PTI. Ketika itu pembentukan partai-partai politik berdasarkan keturunan dianggap perlu, karena ketentuan hukum penjajah Belanda mengenal perbedaan hak2 dan kewajiban berdasarkan perbedaaan asal keturunan. Memang adanya partai-partai politik berdasarkan ke-suku-an patut disayangkan. Tapi, kita harus bisa melihat kenyataan sejarah, bahwa ini terjadi sebagai akibat politik penjajah Belanda. Baru pada 13 akhir tahun 30-an dengan Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan pembentukan Gerindo (Gerakan Nasional Indonesia) di bawah pimpinan A.K.Gani, Moh.Yamin, Amir Syarifudin dan Wilopo dimulai perlawanan terhadap organisasi-organisasi berdasarkan keturunan, ke-suku-an. Gerindo meletakkan dasar, yang menghidupkan kembali pendirian Indische Partij bahwa, perbedaan suku tidak seharusnya merintangi perkembangan terwujudnya persatuan bangsa di Indonesia. Rasa senasib dikembangkan, “sense of belonging” menjadi lebih kuat. Tapi, penyerbuan militer Jepang mengganggu perkembangan ini. Ketika para perintis pejuang kemerdekaan memperoleh kesempatan untuk memikirkan UUD negara Indonesia yang hendak dibentuk, maka dihidupkan kembali pikiran-pikiran tentang siapa yang bisa dinyatakan sebagai warganegara Indonesia. Di mana perdebatan sudah dimulai dengan adanya petisi Soetardjo di Volksraad pada akhir penjajahan Belanda sebelum Perang Dunia-II. Adanya pikiran mengenai “Indonesise Staatsburgerschap”, yang oleh Moh.Yamin diterjemahkan menjadi “kewarganegaraan Indonesia”, sejak itulah kita mengenal adanya istilah “Kewarganegaraan Indonesia” di dalam Volksraad. Menjelang pidato “Lahirnya Panca Sila” dari Bung Karno, terdapat perdebatan mengenai masalah Kebangsaan. Tokoh Islam, KH Dahlan atau KH Mansjur, menyatakan berdasarkan agama Islam tidak dapat menyetujui pembagian umat manusia dalam kotak2 bangsa. Sedang Liem Koen Hian, mengkhawatirkan ke-bangsaan bisa meluncur ke arah chauvinisme. Oleh karenanya, Bung Karno di dalam pidatonya “Lahirnya Panca Sila” me negaskan: bahwa “Sila Ke-Bangsaan dalam Panca Sila mengan dung unsur kuat Kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karenanya tidak akan mungkin meluncur ke arah 14 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan chauvinisme dan menentang rasisme”. Panca Sila menentang rasisme dan chauvinisme, karena prikemanusiaan yang adil dan beradab, tidak menentukan kemampuan seseorang atau kepandaian seseorang berdasarkan asal-keturunan atau asal rasnya. Timbul pertanyaan, kalau Panca Sila menentang rasisme, mengapa UUD 45, pasal 6 ayat1, menentukan Presiden RI harus orang “asli”? Harus diingat bahwa ketika UUD 45 itu dirumuskan, Indonesia masih berada di bawah kekuasaan militer Jepang. Jadi, di antara perumus UUD timbul kekhawatiran kalau nanti militer Jepang “menodong” rakyat Indonesia untuk menerima seorang Jepang menjadi Presiden Indonesia. Semula, ada 2 syarat untuk menjadi Presiden RI, yang pertama harus Islam dan kedua “asli”. Tapi, syarat Islam akhirnya dicoret dalam musyawarah tanggal 18 Augustus 1945, berhubung dengan dicoretnya ketentuan di dalam Pembukaan UUD yang menyatakan “penganut agama Islam harus menjalankan syariat-syairat agamanya.” Hal ini bisa terjadi atas usul dari Gd Pudja dari Bali yang didukung oleh Latuhary dari Maluku dan Ratulangie dari Menado, dan demi memperkokoh persatuan bangsa tidak memberi kedudukan istimewa pada mereka yang beragama Islam. Mengingat di daerah-daerah masih ada suku lain yang beragama Hindu-Bali, Kristen dan Katolik yang harus dipersatukan dalam kesatuan Bangsa Indonesia. Apakah dengan tidak dicoretnya syarat “asli” dalam pasal 6 ayat 1, UUD45 itu berarti “asli” harus diperlakukan lebih istimewa, sedang yang dinyatakan “bukan asli” boleh di anak-tirikan? Tidak! Di dalam rapat DPR-RI hasil pemilihan umum pertama dan juga di konstituante, atas pertanyaan saya sebagai Ketua BAPERKI, Perdana Menteri Juanda ketika itu menegaskan: “adanya istilah ”asli“ dalam pasal 6 ayat 1, tidak boleh menjadi 15 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan alasan untuk mengadakan dan mempraktekkan diskriminasi rasial.” , dan dinyatakan bahwa rumusan “asli” dalam pasal ini hanyalah akibat keadaan sejarah ketika UU dirumuskan. Patut juga dikemukakan, bahwa ketika itu pemerintah mengajukan pada DPR dan Konstituante untuk mengesahkan kembali ke UUD1945 menurut aslinya, tanpa amandemen. Sehingga peraturan peralihan yang sudah usang juga tidak dicoret. Jadi, tidaklah benar dengan UUD 1945 ini Pemerintah lalu dapat mengadakan atau mempraktekkan diskriminasi rasial berdasarkan pasal 6 ayat 1 itu. Memang, pada saat Proklamasi kemerdekaan dan pada saat memperjuangkan tegak kokohnya Republik Indonesia yang baru saja diproklamasikan, tidak mengenal adanya perbedaan perlakuan berdasarkan perbedaan keturunan. Sebaliknya, setiap orang tanpa memperhatikan asal keturunan yang hendak dinyatakan sebagai warganegara Indonesia, dijanjikan akan dikembangkan menjadi demokrat dan patriot Indonesia sejati, yaitu seperti dinyatakan dalam Manifesto Politik R.I., 1 November 1945. Antara lain sbb: “...di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia” Untuk melaksanakan janji negara itu, Badan Pekerja dan Pemerintah RI pada tanggal 10 April 1946 telah mengundangkan UU Kewarganegaraan RI. UU Kewarganegaraan ini masih sangat dipengaruhi oleh semangat Proklamasi kemerdekaan yang murni dan berdasarkan: 1. Prinsip “Jus Soli”, tempat kelahiran yang menentukan. Dasar yang ditetapkan sejak Indische Partij tahun 1912; 2. Stelsel Passief, yang berarti semua orang dan semua suku menjadi warganegara pada saat yang sama. Dengan 16 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun demikian tidak menimbulkan Siauw Giok Tjhan istilah “warganegara Indonesia baru”, semua orang yang dilahirkan di Indonesia dinyatakan menjadi warga-negara Indonesia, kecuali bagi mereka yang menolak menjadi warga-negara Indonesia. 3. Mengindahkan hak menentukan nasib sendiri dengan memberi kesempatan untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. Kesempatan menggunakan hak repudiatie telah menga lami perpanjangan dua kali dalam rangka usaha mengatasi tuntutan pihak Kuo Min Tang yang ketika itu berkuasa di Tiongkok. Mereka menuntut supaya stelsel passief diubah menjadi stelsel aktief. Badan Pekerja tetap mempertahankan stelsel passief untuk kepentingan security nasional dengan menekan rendah jumlah orang asing di Indonesia. Disamping berpendapat stelsel passief juga tidak menghapus hak menentukan nasib sendiri seseorang, tetap memberikan kesempatan bagi mereka yang hendak menolak kewarganegaraan Indonesia, tetap mempertahankan demokrasi bagi setiap orang untuk menentukan nasibnya sendiri. Pendirian Badan Pekerja KNIP kemudian diperkokoh oleh Perjanjian KMB mengenai pemisahan Kewarganegaraan. Untuk memenuhi janji negara dalam Manifesto Politik RI itu, tentu saja tidak cukup hanya dengan UU Kewarganegaraan. Diperluas kesempatan berpartisipasi dengan jalan menambah jumlah anggota KNIP keturunan asing, kemudian dekrit Presiden No.6 tahun 1946 membuat ketentuan yang menjamin perwakilan untuk golongan kecil. Yaitu, jaminan perwakilan dalam KNIP 9 wakil untuk peranakan Tionghoa; 6 wakil untuk peranakan Europa dan 3 wakil untuk peranakan Arab. Jaminan perwakilan ini diperluas dengan di-ikutsertakan 3 macam peranakan di dalam Badan Pekerja KNIP, disamping itu juga ada peranakan Arab menjadi wakil Menteri Penerangan; peranakan Tionghoa menjadi Menteri 17 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Ne gara dan wakil Menteri Keuangan. Suasana politik nasional dan imbangan kekuatan politik nasional ketika itu ternyata memungkinkan adanya peraturanperaturan dan tindakan-tindakan yang mempercepat tumbuhnya perasaan senasib dan “sense of belonging”. Tapi, suasana politik international ketika itu tidak menguntungkan perkembangan politik di dalam negeri. Golongan minoritas Tionghoa oleh penjajah Belanda dijadikan “dongkrak” dalam usaha melaksanakan perang urat-syaraf untuk merugikan kedudukan RI di dunia dan juga untuk merusak persatuan nasional dalam mempertahankan RI. Menjadi Dongkrak Perang Urat Syaraf Dalam rangka memulihkan kekuasaan, penjajah Belanda menjalankan perang urat-syarat yang bertujuan meniadakan simpati dunia terhadap RI, yang dinyatakan RI sebagai bikinan militer Jepang. Untuk mengatasi ini, sistem kabinet yang semula Presidentieel diubah menjadi sistem kabinet parlementer, membatalkan rencana PNI sebagai partai tunggal dengan tetap membiarkan partai-partai politik yang ada hidup secara bebas. Usaha penjajah Belanda dengan cap RI bikinan Jepang bisa digagalkan, tapi penjajah Belanda tidak putus-asah. Kemudian digunakanlah kedudukan minoritas etnis suku Tionghoa se bagai “dongkrak” yang menimbulkan persoalan merugikan RI. Apa sebab penjajah Belanda memilih golongan Tionghoa se bagai “dongkrak” dalam perang urat-syarat? 1. Karena penjajah Belanda hendak menarik keuntungan politik internasional, bila berhasil menarik Tiongkok berada di pihaknya. 2. Karena diantara golongan minoritas etnis, peranakan 18 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Tionghoa termasuk yang terbesar jumlahnya dan tersebar di seluruh ploksok Indonesia; 3. Tentu merupakan alasan praktis terpenting bagi penjajah Belanda yang berusaha mencegah bantuan/sokongan golongan Tionghoa dalam perjuangan mempertegakkokohkan RI. Yang jelas sejak Proklamasi kemerdekaan RI, penjajah Belanda yang dibantu Angkatan Laut Inggris mengadakan blokade perairan Indonesia. Ternyata, perahu-perahu dan tongkang-tyongkang Tionghoa dari Sumatra dan Singapore menjadi penjebol blokade itu. Merekalah yang membawa hasil kebun dan hasil bumi yang tertumpuk di-gudang-gudang ke Singapore dan ditukarkan dengan barang-barang kebutuhan RI dalam perjuangan, termasuk senjata dan obat-obat-an yang memang sangat diperlukan. Para pedagang peranakan Tionghoa di pulau Jawa juga melakukan perdagangan melewati garis demarkasi yang dapat menguntungkan perjuangan Rakyat Indonesia ketika itu. Di samping itu, kalau kita perhatikan semasa pendudukan Jepang, pengusaha-pengusaha kecil peranakan Tionghoa juga telah mengadakan usaha guna memenuhi kebutuhan rakyat setempat. Dari kertas-merang; sikat-gigi; pasta; mesin-tulis; semirsepatu, sampai pada “kurma” yang dibikin dari buah blimbing yang disaleh. Usaha kecil itu umumnya labour-intensive, yaitu banyak menggunakan tenaga kerja secara menguntungkan ekonomi di-desa-desa dan kota-kota kecil. Juga, peredaran barang-barang di daerah RI umumnya dilakukan oleh pengusahapengusaha peranakan Tionghoa yang memang berpengalaman dalam distribusi barang kebutuhan rakyat, di samping juga berpengalaman dalam menghimpun (koleksi) hasil pertanian rakyat di-desa-desa. 19 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kegiatan-kegiatan Siauw Giok Tjhan tersebut tentu sangat membantu perkembangan ekonomi dalam usaha memperkokoh Republik Indonesia yang baru merdeka. Dan perkembangan yang baik ini tentu dirasakan sangat merugikan penjajah Belanda dalam usaha memulihkan kekuasaan menjajah di Indonesia. Jadi, tidak aneh kalau penjajah Belanda menjalankan perang urat-syarat yang keji. Dan kenyataan, pihak RI dan pejuang2 RI yang kurang pengalaman bisa termakan oleh perang urat-syarat penjajah Belanda itu. Peristiwa Tanggerang Peristiwa pertama yang sangat mengejutkan. Tanggerang merupakan daerah khas di pulau Jawa di mana telah terjadi proses pembauran dalam arti luas sekali. Mereka yang dikatakan “peranakan Tionghoa”, praktis sudah tidak terlihat lagi ciri-ciri etnis Tionghoa-nya. Sebagian terbesar dari golongan etnis Tionghoa itu hidup dari pekerjaan menggarap tanah, juga tingkat hidup yang tidak berbeda dengan rakyat terbanyak ditempat itu. Perbedaan yang ada kalau diteliti adalah, rakyat terbanyak setempat umumnya beragama Islam, sedang golongan etnis Tionghoa umumnya menganut agama Sam Kauw. Agama Sam Kauw merupakan percampuran antara Konghucu, Buddha dan Tao, yang bisa di lihat dengan adanya secarik kertas kuning dengan huruf-huruf Tionghoa di depan pintu rumah mereka. Kertas-kuning yang di dapat dari rumah berhala Bun Tek Bio di Tanggerang itu, dimaksud untuk menolak setan pembawa penyakit dan sial. Eksplosi rasis pertama meletus setelah Proklamasi Kemerdekaan RI di Tanggerang itu, justru mengandung unsur perbedaan agama ini, memaksa “sunat massal” guna meng-Islamkan golongan etnis Tionghoa. Dengan alasan untuk “melindungi” 20 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan golongan etnis Tionghoa di Tanggerang, yang oleh penjajah Belanda dinyatakan masih merupakan warganegara dari negeri sekutu-Tiongkok, tentara Belanda menyerbu dan menduduki Tanggerang dengan kekuatan militer yang lebih unggul. Peristiwa Tanggerang ini oleh penjajah Belanda digunakan untuk memperhebat perang urat-syarat dalam rangka memecah Persatuan Nasional antara Rakyat terbanyak dengan golongan minoritas etnis Tionghoa. Misalnya yang terjadi di Front Jawa Timur, di daerah antara Surabaya dan Sidoardjo, beberapa orang pemuda ditahan oleh tentara penjajah Belanda. Interogasi yang dilakukan dibawah penyiksaan fisik yang berat, ada pemuda pe ranakan Tionghoa berasal Tanggerang yang mengaku. Penyiksaan fisik baru dihentikan setelah perwira Belanda masuk dalam ruang pemeriksaan dan melepas dua orang pemuda itu. Pemuda yang dilepas ini segera lari masuk daerah RI dan menceritakan pengalamannya. Cerita-cerita itu di-besar-besarkan dan menjurus jadi “hasutan” atau “hetze” anti-Tionghoa yang cukup hebat! Sebagai akibatnya, pengungsi-pengungsi Tionghoa dari Surabaya yang masuk ke daerah kekuasaan RI, harus menerima pemeriksaan ketat. Kalau kedapatan mereka membawa uang-tunai atau barang2 perhiasan yang bergemerlapan dan membuat silau mata si-pemeriksa, dibuatlah tuduhan mereka adalah “mata2” penjajah Belanda dan barang2 bawaan yang bergemerlapan itu harus di-sita! Dan dengan tidak adanya buktibukti yang pasti mereka sebagai mata-mata penjajah Belanda, tapi yang jelas, barang-barang yang disita itu tidak tahu ke mana perginya. Kecurigaan berlebihan terhadap golongan etnis Tionghoa sekalipun harus diakui kenyataan ada orang Tionghoa yang menjadi mata-mata Belanda, tentu tidak ada perlunya dan tidak seharusnya terjadi. 21 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Menghebatnya rasa kecurigaan itu berakibat adanya tindakan di-daerah-daerah pertempuran untuk mengungsikan secara massal penduduk Tionghoa dari rumah-rumah di daerah yang tidak bisa dipertahankan lagi oleh RI. Mereka tentu menjadi serba-sulit. Tidak turut mengungsi bisa dicurigai sebagai mata-mata penjajah Belanda, tapi kalau ikut mengungsi juga tidak ada tempat penampungan yang baik. Pengungsian dilakukan dengan harus meninggalkan sebagian besar harta-benda mereka yang tidak bisa dibawa sendiri, jadi mereka dipaksa ikut mengungsi dengan meninggalkan sebagian besar harta-bendanya. Setelah mereka mengungsi, bukan politik “bumi-hangus” yang dijalankan, tapi “bumi-angkut” yang jalan. Harta-benda yang terpaksa ditinggal oleh mereka yang mengungsi, diangkut pergi oleh mereka yang tinggal karena tidak diwajibkan mengungsi. Perampokan toko-toko Tionghoa Cara lain yang digunakan penjajah Belanda dalam rangka perang urat-syarafnya itu, adalah mengatur penyerbuan terhadap toko-toko kecil milik Tionghoa dengan membawa serta pemudapemuda Indonesia yang ditawan. Mereka sengaja merampok toko-toko kecil milik Tionghoa itu dan lalu meninggalkan tergeletak mayat beberapa pemuda Indonesia untuk menimbulkan kesan, bahwa tentara Belanda melindungi toko-toko milik Tionghoa yang mau dirampok oleh pemuda Indonesia. Timbul pengungsian “sukarela” dari para pengusaha kecil Tionghoa ke daerah pendudukan Belanda, dan tentu sangat mempengaruhi usaha peredaran barang dan perdagangan didaerah Republik, sangat merugikan kedudukan ekonomi RI. Pao An Tui 22 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Di daerah pendudukan Siauw Giok Tjhan Belanda, Belanda berhasil membujuk masyarakat Tionghoa untuk membentuk Pao An Tui, sebagai organisasi yang membantu menjaga keamanan dan mencegah perampokan toko-toko milik Tionghoa di-daerahdaerah perbatasan. Excess yang terjadi dengan dibentuknya Pao An Tui ini, tentunya memperhebat kecurigaan terhadap orang Tionghoa yang hidup di daerah kekuasaan RI. Begitu hebatnya rasa curiga terhadap orang Tionghoa bisa diceritakan peristiwa yang terjadi di Nganjuk ketika agresi militer Belanda ke2. Menjelang penyerbuan masuk tentara Belanda di Nganjuk, semua pria Tionghoa di atas 12 tahun dikumpulkan dalam satu gudang untuk dibakar! Mereka yang berusaha lari keluar dari gudang yang sudah menyala itu, diberondong dengan senapan mesin. Kejam! Satu tindakan kejahatan di luar batas prikemanusiaan. Tapi, tetap belum pernah menimbulkan penuntutan untuk diajukan ke depan pengadilan bagi orang-orang yang harus bertanggung jawab akan “crimes against humanity” semacam itu, yang menyebabkan kota Nganjuk dikenal sebagai kota janda Tionghoa. Menteri Pertahanan dan Ketua Dewan Pertahanan Na sional Amir Syarifudin, bersama Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah mengeluarkan instruksi yang keras untuk mencegah terjadinya peristiwa2 yang merugikan harta dan jiwa orang2 Tionghoa didaerah RI. Tetapi, instruksi keras dengan ancaman ditembak mati ditempat bagi yang melanggar, ternyata tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya excess yang menyedihkan dan merugikan prestige Republik Indonesia sebagai negara Hukum yang demokrasi berdasarkan Panca Sila, di mana terdapat sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. 23 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Peristiwa-peristiwa tersebut tentunya membuktikan bahwa imbangan kekuatan politik dalam negeri yang cukup baik, menguntungkan bagi pelaksanaan janji negara untuk memupuk rasa se-nasib yang dapat menjadikan setiap peranakan sebagai patriot dan warga-negara Indonesia sejati, ternyata bisa dibikin tidak efektif oleh faktor ekstern. Adanya usaha penjajah Belanda untuk memulihkan kekuasaan menjajah dengan melaksanakan perang urat-syarat yang memecah Persatuan Nasional dengan menggunakan suku Tionghoa sebagai “dongkrak”-nya. Peristiwa-peristiwa yang terjadi sebagaimana dikemukakan diatas, tentu saja meninggalkan bekas dan pengaruh. Pengaruh negatif yang tidak dapat lenyap dalam waktu singkat. Proses Peralihan Tertunda Setelah perjanjian KMB (Konperensi Meja Bunder), terjadilah penyerahan kedaulatan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat, dengan Bung Karno sebagai Presiden dan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Dan dalam peristiwa ini patut diperhatikan kenyataan dicoret-nya pasal 33 UUD 1945. Pihak Belanda berpendapat ketentuan pasal 33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di Indonesia, jadi harus dicoret. Perjanjian KMB justru hendak membuka pintu Indonesia bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Tetapi ternyata RIS tidak panjang umur. Tanggal 17 Augustus 1950 diproklamasikan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pasal 33 UUD 1945 yang oleh para pejuang Kemerdekaan- Yogya dinyatakan sebagai esensi jiwa Proklamasi 17 Augustus 1945, dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUD Sementara 1950. Tapi, pengalaman membuktikan yang terpenting dan 24 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan paling pokok bukanlah rumusan tertulis. Sekalipun pasal 33 UUD 1945 sudah dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUD Negara Kesatuan 1950, tapi ketentuan itu ternyata tinggal tetap sebagai rumusan hitam di atas putih. Tidak terasa ada kemauan dan kemampuan untuk memulai pelaksanaan secara nyata dan sistematis. Apa sebabnya? Bisa dikemukakan secara ringkas beberapa hal yang menyebabkan pasal 33 UUD 1945 atau pasal 38 UUD 1950 tidak bisa dikonsekwenkan dalam pelaksanaan: 1. Komposisi politik atau imbangan kekuatan politik berdasarkan perjanjian KMB yang kurang menguntungkan. Imbangan kekuatan politik, RI-Yogya hanya 1/3, sedang 2/3 anggota DPR-RIS berasal dari negara-negara bagian bikinan Van Mook yang dengan kekerasan senjata “membeli” para tokoh daerah itu. Sekalipun dalam proses membubarkan negara-negara bagian bikinan Van Mook, DPR-RIS berhasil membatalkan jatah “negara bagian” Pasundan dengan diganti oleh orang-orang yang diangkat pemerintah RIS, dan seluruh anggota Badan Pekerja KNIP dimasukkan sebagai anggota DPR-Negara Kesatuan, tapi dalam pembentukan imbangan kekuatan di DPR Negara Kesatuan RI, pihak RI-Yogya masih tetap di pihak yang lemah. 2. Pada akhir kekuasaan penjajah Belanda di Indonesia, untuk mempermudah usaha “membeli” simpati para tokoh daerah dalam membentuk negara bagian, penjajah Belanda mengadakan peraturan yang dikenal sebagai “benteng-grup” importir. Peraturan itu ditujukan untuk memberi fasilitas pada para tokoh daerah yang hendak diajak bekerja sama untuk menjadi importir. Peraturan itu tidak otomatis dihapus setelah penyerahan kedaulatan, 25 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan karena kabinet RIS masih membutuhkan juga “membeli” dukungan dalam DPR-RIS. Juga setelah proklamasi Negara Kesatuan RI, peraturan warisan penjajah Belanda itu tidak segera dihapus, dengan alasan yang sama. Menganggap peraturan itu diperlukan untuk “membeli” dukungan, disamping itu ternyata peraturan itu berfaedah juga untuk mencari dana untuk keperluan perkembangan partaipartai politik yang saling bergantian duduk dalam peme rintahan. Dengan demikian, di dalam masyarakat timbul “penyakit” ada importir aktentas atau dalam tingkat lebih tinggi bisa dikatakan sebagai importir “Ali-Baba”. Yaitu satu praktek diskriminasi rasial yang tidak sehat, karena untuk mendapatkan fasilitas atau lisensi import harus “Ali”, sekalipun diketahui jelas si “Ali” tidak mungkin menjalankan lisensi sendiri, tapi harus menjual atau mengajak relasinya si “Baba” untuk melaksanakannya. Keuntungan yang didapat, digunakan untuk meningkatkan taraf hidup mewah si “Ali” dan sebagian lagi digunakan untuk keperluan dana partai-nya. 3. Karena Kabinet ketika itu umur-nya tidak panjang, hanya se-tahun-an, tiap pergantian kabinet menyebabkan pergantian komposisi partai politik yang berkuasa. Dengan demikian menimbulkan juga pergantian tokohtokoh yang memperoleh perlakuan istimewa dalam usaha memperoleh izin import. 4. Jumlah tokoh-tokoh yang mendapatkan perlakuan istimewa dalam usaha izin import, tambah lama tambah besar, sedang devisa yang bisa disediakan untuk import tidak berkembang dengan cepat. Akibatnya perlu diperluas peraturan-peraturan “istimewa”, menjadi tidak hanya terbatas pada lisensi import, tapi juga lisensi export. 26 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Praktek diskriminasi rasial yang ketika itu sudah mulai menonjol, tentu sangat tidak menguntungkan usaha memupuk rasa senasib, tidak menguntungkan usaha memupuk rasa “sense of belonging”. Peranakan Tionghoa yang duduk dalam kabinet mewakili partai politiknya juga ada yang memperoleh perlakuan “istimewa” itu. 5. Sebelum perjanjian KMB yang membatalkan secara unilateral pasal 33 UUD 1945, sebetulnya juga tidak pernah menyinggung masalah bagaimana pelaksanaannya. Sebaliknya selalu ada usaha melambaikan tangan untuk memasukkan modal asing. Seperti dengan Statement on Foreign capital investment, tapi kemudian, karena dengan statement saja modal asing tidak mau masuk, maka dikeluarkanlah undang-undang penanaman modal asing. Dan dalam pembelaan untuk memasukkan modal-asing, Partai-partai politik yang ada dalam memberi interpretasi pasal 33 UUD 1945 juga jadi janggal. Pasal 33 ayat 2 UUD 1945 menentukan, bahwa cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Dan ayat 3 menentukan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang dikandung di dalamnya dikuasai oleh negara,...” Istilah “dikuasai” diinterpretasi menjadi tidak berarti harus “dimiliki” oleh negara. Jadi, asal pengusaha baik asing atau nasional harus lebih dahulu mendapat izin dari pemerintah, sudah berarti “dikuasai” oleh negara. Tentu saja, para tokoh partai politik yang memberikan interpretasi demikian “lupa” atau pura2 lupa, bahwa ketika 17 Augustus 1945 gedung-gedung raksasa modal-asing telah dicoret-coret kata-kata “milik RI” oleh para pejuang Kemerdekaan. Berdasarkan kenyataan 27 tersebut, seharusnya istilah Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan “dikuasai” tidak bisa lain berarti juga “dimiliki”. Dengan imbangan kekuatan politik di dalam negeri selama Negara Kesatuan RI, 17 Augustus 1950, ternyata tidak memungkinkan pelaksanaan pasal 33 UUD 1945 secara sistematis dan nyata. Proses peralihan ekonomi kolonial ke ekonomi nasional jadi tertunda, terbengkalai, atau ditelantarkan. Dalam suasana politik demikian itu, yang dipengaruhi juga oleh nafsu menghimpun harta untuk kemakmuran diri sendiri atau juga untuk partai politik yang diwakilinya, maka terjadi penyalah-gunaan wewenang kekuasaan. Dan penyalah-gunaan wewenang ini tambah lama bertambah luas saja. Dengan mengundang masuk modal-asing, tentu saja usaha modal raksasa asing tidak boleh dan tidak bisa disentuh. Sedang yang bisa dan mudah disentuh adalah modal-domestik, modal milik golongan Tionghoa atau dengan kata lain modal milik warganegara Indonesia bukan “asli” yang bisa dan mudah disentuh. Terjadi semacam inferiority complex terhadap usaha modal-asing sejak 50-an. Padahal tujuan revolusi Indonesia membangun satu masyarakat berdasarkan Panca Sila, adalah satu masyarakat adil dan makmur yang meniadakan segala bentuk penindasan dan penghisapan, mengubah sistem kolonial menjadi sistem nasional. Jadi jelas, harus bisa mempersatukan segala kekuatan nasional untuk menggulingkan atau mengganti sistem kolonial yang masih ada. Tapi di dalam praktek justru terbalik. Usaha modal-asing yang seharusnya dilikwidasi menjadi tidak bisa disentuh, sedang usaha modal domestik baik dia dikategorikan “asli” atau “bukan asli” yang seharusnya dikembangkan se-besar-besar-nya malah diganggu atau digerowoti. Praktek yang kita saksikan sejak tahun 50-an menunjukkan modal raksasa-asing yang menjadi sendi kolonialisme, seperti 28 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Stanvac; Shell; KPM; Good Year; BAT; Unilever dll, tidak bisa disentuh. Sedang yang bisa disentuh dan digerowoti adalah usaha modal domestik milik Tionghoa dan modal nasional milik peranakan Tionghoa. Tindakan ini tentu bukan mengalihkan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional, tapi sebaliknya memperkuat ekonomi kolonial dan memperlemah ekonomi nasional. Imbangan kekuatan politik dalam negeri ketika itu, belum memungkinkan menahan arus ini dan kemudian kita bisa menyaksikan juga tindakan antara lain sebagai berikut: 1. Untuk memperoleh lisensi import & export, perusahaanperusahaan harus mengandung modal dari “asli”. Perusahaan demikian ini semula menguasai 50% dari devisa import, kemudian berkembang menjadi 70% dari devisa import. Ketika itu permainan “asli” untuk izin export belum begitu menonjol, karena kelancaran export diperlukan untuk memperoleh devisa import yang sangat dibutuhkan untuk kepentingan politik. 2. Dikeluarkan peraturan “Pedoman Baru” untuk usaha bis dan pengangkutan truk. Pedoman Baru ini menentukan pengusaha bis dan truk yang besar untuk bisa meneruskan usahanya, harus memecahkan diri dalam berbagai perusahaan baru dengan mengikut sertakan pimpinan direksi dan “modal” dari yang dinamakan “asli”. Akibat dari peraturan baru ini, timbul beberapa tokoh partai politik pemerintah yang “memborong” kedudukan direktur dan President Komisaris perusahaan-perusahaan baru pecahan dari perusahaan lama yang dianggap “terlalu besar” itu. 3. Dijalankan kebijakan dalam mengeluarkan izin baru untuk perusahaan-perusahaan yang terkena “bedrijf sregelementering zordonnantie”, 29 seperti percetakan, Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan pabrik biscuit, penggilingan minyak kelapa, penggilingan beras dll, harus ada pimpinan dan modal dari yang dinamakan “asli”. Semua peraturan ini tidak tertulis, sehingga masih ada seorang tokoh politik pemerintah peranakan Tionghoa yang tampil ke depan untuk mengurus izin bisa mendapatkan izin dengan baik. 4. Peraturan penggilingan yang beras menentukan, bahwa hanya menggiling boleh semua padi pemerintah. Artinya penggilingan beras tidak lagi boleh membeli sendiri padi yang biasanya dibeli dari para tengkulak atau para pengusaha kecil peranakan Tionghoa langganannya. Patut diperhatikan, bahwa penggilingan beras di Indonesia ketika itu pada pokoknya dimiliki oleh peranakan Tionghoa yang sudah menjadi warga-negara Indonesia. Peraturan itu membawa akibat antara lain: a. Pengangguran jadi bertambah banyak. Karena para pengusaha kecil/tengkulak peranakan Tionghoa pengumpul padi di-desa-desa menjadi kehilangan mata-pencahariannya dan tidak ada penampungan pekerjaan lain. Di samping itu, terjadi modal yang beku atau bertambahnya “hot money” uang yang tidak beredar dan tidak dipertanggung-jawabkan secara fiscal menjadi lebih besar jumlahnya. Dan ini tentunya sangat tidak menguntungkan bagi pengendalian uang dalam peredaran. b. Kemampuan pemerintah menyediakan uang untuk pembelian padi melalui badan-badan resmi dan setengah resmi, yang kurang pengalaman dalam pembelian padi, ternyata hanya terbatas untuk mencegah menghebatnya inflasi. Dengan tidak 30 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun memperhitungkan Siauw Giok Tjhan kemungkinan mempermudah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan korupsi. c. Karena jumlah padi yang bisa dijual pemerintah ternyata tidak mencukupi kapasitas penggilingan beras, sehingga terjadi pemborosan kapasitas penggilingan beras. Dan akibatnya cukup besar, napsu untuk menanam modal dibidang penggilingan beras menjadi sangat berkurang. Karena hasil dalam penggilingan beras sangat rendah. Sedang petani juga terpaksa menumbuk padinya sendiri menjadi beras, karena hasil menumbuk padi sendiri lebih rendah dari padi digiling. Peredaran beras menjadi jauh berkurang, dan tentunya tuntutan untuk import beras jadi meningkat. Meng-import beras lebih besar lagi jumlahnya, berarti memperberat beban devisa negara, menambah berat beban hidup rakyat banyak yang harus membeli beras-import dengan harga lebih mahal. Tapi, sementara importir beras menjadi lebih makmur yang biasanya ditangani oleh tokoh2 partai politik yang berkuasa. 5. Menjelang akhir tahun 50-an, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No.10 atau PP-10, yang menimbulkan miniexodus orang Tionghoa dari Indonesia. Kurang lebih 120 ribu orang Tionghoa harus diangkut dengan kapal-kapal khusus dari RRT untuk pulang kembali ke Tiongkok. PP10 sendiri sesungguhnya merupakan kompromi. Dimulai de ngan putusan Dewan Kabupaten Sukabumi, yang melarang orang-orang Tionghoa asing melakukan kegiatan usaha dagangnya di luar ibukota Kabupaten Sukabumi. Kemudian disusul dengan Peraturan Penguasa Perang, 31 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan yang juga melarang setiap orang Tionghoa asing tinggal di luar ibukota Kabupaten. Tapi, peraturan-peraturan ini tidak disertai dengan kebijaksanaan untuk menampung atau pengaturan bagi mereka yang tidak lagi boleh berusaha dan tinggal di desa-desa. Tidak ada pengaturan dan penampungan di ibukota Kabupaten atau ibukota Propinsi bagi modal domestic yang tidak lagi boleh berusaha di-desa-desa dan kota-kota kecil. Maka pemerintah pusat mengeluarkan PP-10, yang menentukan bahwa kegiatan usaha dagang di-desadesa dilakukan dengan usaha koperasi, dan pembentukan koperasi di-desa2 hendaknya menggunakan keahlian/ pengalaman para pedagang Tionghoa sebagai penasehat. Tapi, kenyataan pelaksanaan PP-10 menjadi memaksa orang-orang Tionghoa asing meninggalkan desa-desa di mana mereka telah hidup puluhan tahun atau bahkan beberapa keturunan. Modal yang tidak seberapa itu, juga menjadi habis untuk pindah tempat dari desa ke ibukota Kabupaten, dan mereka ini menjadi terlantar tanpa ada pengurusan dan penampungan di ibukota Kabupaten atau ibukota Propinsi. Jadi, pelaksanaan PP-10 ini merupakan pemborosan modal domestik yang tidak seharusnya terjadi, satu pemborosan modal yang sangat merugikan usaha melikwidasi ekonomi kolonial dan membangun ekonomi nasional. Dalam kenyataan PP-10 membuat kacau peredaran barang dari desa-desa ke-kota atau sebaliknya dari kota ke desa-desa. Pabrik-pabrik tepung aci atau tepung singkong di banyak kota menjadi kekurangan bahan singkong, yang biasanya dikumpulkan oleh tukang warung Tionghoa. Pabrik tepung aci harus mengurangi 32 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan produksi atau bahkan tutup, sehingga menimbulkan pengangguran bagi buruh. Sedangkan para petani penghasil singkong juga sangat dirugikan, karena tidak ada orang yang bisa menampung atau membeli hasil tanaman singkongnya. Satu tindakan yang didorong oleh emosi rasis yang tidak dipikir panjang akibat yang sangat merugikan kepentingan rakyat banyak dan merugikan pembangunan ekonomi nasional. Baru setelah Bung Karno merumuskan DEKON (Deklarasi Ekonomi), dan kemudian diperkuat dengan ketetapan MPR-S yang berjudul “Banting Stir Untuk BERDIKARI!” dapat dicapai penegasan, bahwa modal domestic harus dikerahkan juga untuk membantu tercapainya ekonomi BERDIKARI. Disamping itu juga ditegaskan bahwa “dikuasai” oleh negara dalam pasal 33 UUD 1945 adalah berarti juga “dimiliki” oleh negara. Faktor Luar Menimbulkan Ekses Dalam meneliti perkembangan keadaan Indonesia selama tahun 50-an orang tidak boleh melupakan, bahwa ketika itu “perang dingin” sedang berlangsung sangat hebat di daerah Asia, terutama bertujuan membendung pengaruh Republik Rakyat Tiongkok di Asia. USA sedang menjalankan politik “China Containment policy”, dan politik ini tidak bisa tidak tentu mempengaruhi perkembangan politik dalam negeri Indonesia. Patut diperhatikan, bahwa cukup banyak perwira Indonesia dikirim ke USA untuk mendapatkan pendidikan dan latihan kemiliteran. Juga tidak sedikit sarjana-sarjana kejuruan dikirim ke USA untuk mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi. Sedangkan USA mengirim tenaga-tenaga pengajar ke berbagai universitas negara untuk “meningkatkan” mutu pendidikan di Indonesia. 33 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Sekalipun ketika itu imbangan kekuatan politik dalam negeri masih memungkinkan bagi Indonesia untuk menjadi tuan rumah Konperensi Asia-Afrika pertama di Bandung tahun 1955, dan pemilihan umum pertama di Indonesia bisa dilangsungkan secara demokratis, yang mengakibatkan PKI bisa keluar sebagai partai politik besar, tapi semua ini tidak bisa menutupi kenyataan tetap berkembangnya rasisme. Tidak bisa mencegah timbulnya rasa curiga secara berlebihan terhadap golongan Tionghoa sebagai “komunis” dan “mata-mata“ Tiongkok, sebagai pengaruh dari hasutan politik China containment Policy USA itu. Rasa curiga ber-lebihan itu terutama datang dari pihak Penguasa Perang yang mudah membuat alasan demi “nasional security”. Antara lain dapat dikemukakan tindakan-tindakan yang terjadi sebagai berikut: 1. Kebijakan minta bukti kewarganegaraan dari orangorang Tionghoa yang sudah menjadi warga-negara RI. Kewajiban untuk lebih dahulu menunjukkan surat bukti yang disahkan oleh pengadilan sebagai warganegara RI dalam keperluan minta izin berusaha. Kebijakan demikian ini tentu sangat merugikan perkembangan memupuk perasaan senasib bagi warganegara Indonesia. Mereka menjadi merasa di-eksklusif-kan. 2. loyalitas Tionghoa terhadap jelas warganegara Indonesia. RI, sekalipun sudah Loyalitas seseorang dianggapnya tergantung atas asal keturunan! Sebuah pikiran rasis yang mencengkeram pandangan banyak petugas ne gara, yang mestinya paham Panca Sila dan bebas dari pandangan rasis. 3. Di beberapa daerah dengan alasan “security nasional” rumah-rumah orang Tionghoa diharuskan memasang tanda, dengan bendera nasionalnya. Bila warganegara 34 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan RRT diharuskan memasang papan yang dicat bendera RRT, bila warga-negara Indonesia memasang papan dengan dicat bendera Merah-Putih. Peraturan demikian sekalipun tidak berumur panjang, tapi sudah cukup untuk membuktikan adanya petugas negara yang rasis dan phobia terhadap orang Tionghoa. 4. Pajak kepala terhadap orang Tionghoa asing dinyatakan berlaku. Semula diambil oleh penguasa UU Pajak Kepala untuk orang asing. 5. Masalah dwi kewarganegaraan dipersoalkan untuk meragukan loyalitas warganegara keturunan Tionghoa. Padahal masalah dwi kewarganegaraan timbul karena ada ketentuan internasional yang menentukan, bahwa bila terjadi masalah dwi kewarganegaraan dan tidak ada perjanjian antara dua negara yang bersangkutan, yang berlaku adalah UU kewarganegaraan di negeri di mana orang bersangkutan itu hidup dan menetap. Tapi oleh sementara penguasa, masalah dwi kewarganegaraan ini justru ditimbulkan untuk mencapai tujuan membatalkan kewarganegaraan Indonesia banyak orang, yang diperoleh dengan stelsel pasif. Hal ini antara lain bisa dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi sebagai berikut: a. Ketika ada kesempatan mengadakan perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan antara RI-RRT, dalam perjanjian hendak diwajibkan semua warga-negara Indonesia peranakan Tionghoa untuk memilih kembali secara aktif kewarganegaraan Indonesia. b. Menyiapkan RUU Kewarganegaraan Indonesia yang hendak membatalkan pilihan yang terjadi 35 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan berdasarkan UU 10 April 1946 dan berdasarkan perjanjian KMB. Dalam hubungan ini patut dicatat, bahwa perjanjian penyelesaian Dwi Kewarganegaraan RI-RRT menjadi ter-katung selama 5-6 tahun, setelah BAPERKI berhasil memperjuangkan adanya perubahan yang diwujudkan dalam Pertukaran Nota antara PM Ali Sastroamidjojo dan PM Chou En Lai yang berisi antara lain sbb: Mereka yang terdaftar di bawah dinyatakan sudah memiliki kewarganegaraan tunggal RI dan dibebaskan dari kewajiban memilih kewarganegaraan: : a.Para pejabat negara yang telah disumpah setia dengan UUD RI; b.Mereka yang telah menggunakan hak memilih dalam pemilihan umum di Indonesia; c. Mereka yang mempunyai pekerjaan dan matapencaharian sama dengan rakyat terbanyak setempat, seperti petani dan nelayan. 6. Peraturan Penguasa Perang, yang kemudian diambil alih oleh pemerintah yang melarang adanya sekolah-sekolah asing di Indonesia. Peraturan ini melarang sekolah- sekolah Tionghoa asing menerima murid-murid yang berstatus warganegara Indonesia. Tapi ia dikeluarkan tanpa upaya penampungan untuk mereka yang harus keluar. Sekolah-sekolah negeri membatasi penerimaan murid warganegara Indonesia keturunan asing, khususnya keturunan Tionghoa. Penerimaan membatasi mahasiswa hanya bisa di universitas menerima negeri 10% jelas keturunan Tionghoa. Jelas bukan lagi memperlakukan secara adil 36 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan setiap warganegaranya sesuai dengan kepandaian murid yang ada, tapi untuk membatasi masuknya murid Tionghoa di sekolah-sekolah negeri. Menghadapi kenyataan ini, Baperki mengembangkan kegiatannya dibidang pendidikan, membangun sekolahsekolah dan perguruan tinggi untuk menampung dan membuka pintu bagi semua warganegara Indonesia tanpa memandang asal keturunannya. Anak-anak warga negara asing diterima berdasarkan pendirian, bahwa mereka juga memerlukan menerima pendidikan nasional Indonesia, agar mereka bersedia menerima kewarganegaraan Indonesia dan tidak bertahan sebagai asing. 7. Sementara jenderal ketika itu mensponsori pembentukan LPKB (Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa), yang diketuai oleh seorang Letnan Angkatan Laut, peranakan Tionghoa yang telah mengganti namanya menjadi Sindhunata. LPKB dimaksudkan menjadi organisasi tandingan BAPERKI, dengan mengajukan konsepsi asimilasi-total. Ia menganjurkan penghapusan ciri etnisitas Tionghoa, dimulai dengan ganti nama Tionghoa menjadi nama lain dan kawin campuran. Dan menurut keterangan, semua ini harus terjadi dengan sukarela, tidak ada unsur paksaan. 8. Pada akhir tahun 50-an, disamping meratifikasi perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT, yang menjadi UU No 2 tahun 1958, pemerintah mengeluarkan UU Kewarganegaraan baru, yaitu UU No 62/1958 dan UU No 67/1958. Tapi, semua ketentuan ini tidak segera dilaksanakan. Penegasan perjanjian penyelesaian dwikewarganegaraan itu baru ditentukan dalam Peraturan Pemerintah No 11/1960. Yang kemudian ditambah lagi 37 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan dengan Peraturan Pemerintah No 5/1961. Sekalipun sudah diratifikasi pelaksanaannya tertunda kurang lebih 3 tahun. Penundaan ini merugikan mereka yang bersangkutan. Misalnya, mereka yang ketika di-undangkan UU No 2/1958 sudah mencapai usia 18 tahun dan oleh karenanya mempunyai hak menentukan pilihan sendiri sekalipun berlainan dengan pilihan orang tuanya, menjadi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Tapi ketika 3 tahun kemudian, ada ketentuan lain yang menyatakan waktu kesempatan memilih terbatas 2 tahun setelah mencapai usia 18, maka dia tidak lagi mempunyai hak memilih sendiri. Di samping itu, kelambatan pelaksanaan perjanjian penyelesaian dwi-kewarganegaraan itu mengakibatkan peranakan Tionghoa yang memilih warganegara Indonesia tidak bisa mengubah hak eigendom menjadi hak milik. 9. UU Pokok Agraria tahun 1962 membuat ketentuan, hanya warganegara Indonesia tunggal saja yang boleh mempunyai hak-milik, jadi selama status kewarganegaraan tunggal belum bisa dicapai, banyak warganegara Indonesia keturunan Tionghoa menghadapi kesulitan untuk mengubah hak eigendom menjadi hak-milik. Hingga tahun 1980 ini, mereka masih harus dengan susah-payah mengurus perpanjangan atau mengalihkan menjadi hak-milik dan harus membayar uang yang tidak sedikit jumlahnya. Bagi mereka yang hidup dengan pekerjaan menggarap tanah, keterlambatan pengakuan menjadi warganegara Indonesia, berakibat mereka tidak dapat mempertahankan hak-milik atas tanahnya sebelum mengeluarkan banyak ongkos extra. 38 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Dalam meneliti pengaruh faktor luar tergambar di atas, patut diperhatikan isi amanat Presiden Sukarno pada 17 Augustus 1964, yang antara lain menyatakan bahwa, ia menyetujui didirikannya LPKB dengan menugaskan Dr. Ruslan Abdulgani untuk membimbing pengikisan komunis phobia dalam masyarakat Indonesia yang dirasakan sebagai penghalang perwujudan konsepsi Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM. Penjelasan ini penting artinya, karena menurut Presiden Sukarno, bukanlah masalah asimilasi yang harus diutamakan, melainkan mengikis habis komunis phobia. Faktor luar ini oleh banyak pihak dianggap ringan, diremehkan. Tapi, peristiwa apa yang dinamakan G30S/PKI membuktikan bahwa banyak pernyataan para tokoh Angkatan Bersenjata hanya berupa lip service belaka. Ternyata maksud sesungguhnya adalah menyingkirkan dan menggulingkan Bung Karno, mendirikan sebuah rezim baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto yang kemudian membanting stir haluan negara dan membatalkan Garis Besar Haluan Negara yang telah ditetapkan Presiden Sukarno dan disahkan dalam MPR. Pada bulan Mei 1963, meletus ledakan rasis ang dimulai dari Tegal, kemudian menyusul Cirebon, Bogor, Sukabumi dan Bandung. Bung Karno ketika itu dengan tegas menyatakan bahwa eksplosi rasis anti-Tionghoa itu sesungguhnya ditujukan terhadap dirinya, ditujukan untuk menentang politiknya. Tapi, signal tegas itu tidak cukup menggugah kewaspadaan para pengikut setia Bung Karno dan alat-alat negara untuk mencegah pengaruh faktor luar yang berkembang merusak Persatuan Nasional. Akhirnya pengaruh faktor luar ini menyebabkan sementara jendral berhasil menggulingkan kekuasaan Presiden Sukarno dan merusak Persatuan Nasional berporoskan NASAKOM yang sedang berkembang dengan baik. 39 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Hetze Anti Tionghoa Meluap Setiap orang yang meneliti kebijaksanaan politik luar negeri RI sejak proklamasi Kemerdekaan, bisa menyimpulkan bahwa RI selalu berusaha menarik keuntungan dengan adanya pertentangan kepentingan di antara 2 negara Super Power, USA dan USSR. Timbullah berbagai penyimpangan sebagai akibat keinginan memperoleh dukungan USA dalam memaksa penjajah Belanda mengakui berdirinya RI. Misalnya pada tahun 1948 kabinet Hatta menjalankan “red drive” yang dikenal dengan “Peristiwa Madiun”; kemudian pada tahun 1952, kabinet Sukirman melakukan “red drive ke-II” atau yang dikenal dengan razzia Sukiman dengan menangkapi orang-orang komunis atau yang dituduh komunis dengan tujuan mendorong USA memaksa penjajah Belanda menyerahkan kembali Irian Barat. Pada awal tahun 1960-an, kebijakan anti imperialisme Presiden Sukarno berhasil memperoleh bantuan perlengkapan perang dari USSR karena perlengkapan perang serupa tidak bisa diperoleh dari USA. Dan situasi ini berhasil memaksa USA untuk menekan Belanda mengakui berdirinya RI dan kemudian menyerahkan Irian Barat kembali ke dalam kekuasaan RI. Di pihak lain, perkembangan politik internasional sudah mencapai pada tingkat dimana USA terpaksa meningkatkan perang di Vietnam dan USSR di dalam persengketaan ideologi Moskow-Peking, menghadapi PKI yang selalu mengambil sikap sepihak dengan Peking. Ini menyebabkan kedua negara Super Power ini bertemu kepentingannya. Yaitu sama-sama berkepentingan untuk membendung atau menghapus pengaruh Peking di Asia Tenggara umumnya dan di Indonesia khususnya. 40 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan USSR bertujuan mengubah pimpinan PKI yang condong pada Peking, sedangkan USA bertujuan membasmi PKI dan kemudian menyingkirkan Presiden Sukarno. Peristiwa G30S menunjukkan berhasilnya kedua negara Super Power ini dan masing-masing pihak berusaha mendapatkan hasil sampingan. Ternyata USA dan kaki-tangannya lebih lincah dan lebih unggul dari USSR. USA praktis mencapai seluruh tujuan sebagaimana direncanakan, sedangkan USSR yang semula ha nya bertujuan mengubah struktur PKI harus menerima kenyataan bahwa PKI dibasmi habis dari Indonesia. Tujuan kedua negara Super Power untuk menghapus pe ngaruh RRT berlangsung. Dikobarkanlah hetze anti Tionghoa, PKI dituduh menjalankan garis Mao Tse-tung, Tionghoa berarti Komunis, G30S dibiayai oleh RRT, dllnya lagi. Sekalipun tidak ada bukti yang menyatakan RRT terlibat dalam G30S, dan tidak ada seorang warganegara RRT yang terlibat dan ditangkap untuk diadili dengan tuduhan terlibat G30S. Hetze anti-Tionghoa diperhebat oleh kegiatan dua organisasi, LPKB dan KENSI. Walaupun Presiden Sukarno pernah memberi amanat untuk membersihkan LPKB dari sikap komunis phobia, setelah G30S, mereka paling aktif membubarkan Baperki dan memaksakan gerakan ganti-nama secara massal. Oleh mereka, asimilasi atau pembauran dengan cara ganti nama, kawin campuran sebelum G30S dijanjikan sebagai proses sukarela dan tidak mengandung paksaan. Perubahan keadaan politik digunakan sebagai kesempatan baik, untuk memaksakan orangorang Tionghoa secara massal ganti nama. Golongan Tionghoa diharuskan membuktikan dirinya berkemauan untuk berasimilasi dengan masyarakat Indonesia, yang berarti bersedia melenyapkan ciri-ciri etnisitas ke-Tionghoaannya, dengan ganti-nama Tionghoa menjadi nama lain yang 41 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan dikatakan biasa dipakai mayoritas masyarakat Indonesia. Seolah-olah nama Tionghoa yang diberikan orang-tuanya itu bisa merugikan perkembangan Indonesia sebagai negara berdasarkan Panca Sila. Menjurus menjadi, segala apa yang berasal dari Tiongkok dan berbau Tionghoa harus dilenyapkan. Kelanjutan dari aksi yang dilakukannya itu, ditutuplah sekolahsekolah Tionghoa. Tanpa mempedulikan bagaimana penampungan ratusan ribu murid sekolah yang ditutup. Atas usaha LPKB, dikeluarkan instruksi Presiden No.14/1967 yang membatasi pelaksanaan peribadatan dan kebudayaan Tionghoa dalam lingkungan tertutup. Dengan alasan, membiarkan Tionghoa menjalankan ibadat dan kebudayaannya secara terbuka dan luas merugikan usaha asimilasi. Instruksi Presiden itu juga mempertegas, bahwa agama dan istiadat yang berpangkal pada negeri leluhur bisa memanifestasikan pengaruh psykologis, mental dan moril yang kurang wajar terhadap warganegara Indonesia. Jadi merupakan hambatan terhadap proses assimilasi yang sedang dijalankan. Akibat instruksi Presiden ini, Tionghoa sebagai golongan minoritas tidak bisa lagi melakukan ibadat dan mengembangkan kebudayaan yang sehat dan sudah turun te murun secara terbuka. Permainan Liang-liong, barongsay, Kuntao-silat tidak lagi bisa dilakukan secara terbuka. Pembacaan buku, koran dan majalah dalam bahasa Tionghoa harus dilakukan secara bersembunyi. Kalau tidak dan diketahui oleh umum bisa menyinggung perasaan?! Untung, instruksi Presiden itu tidak menyatakan pelarangan makan tahu, taoco, tauge, kecap taoyu dll lagi yang merupakan makanan asal nenek moyang Tionghoa dan berasal dari negeri leluhur. Makanan yang sudah menjadi makanan umum rakyat banyak, makanan yang murah, enak dan disukai oleh rakyat banyak. Instruksi Presiden itu sangat merugikan rakyat terbanyak. 42 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Pertunjukan Liang Liong dan barongsai ternyata dinikmati rakyat, seperti yang dialami di Bogor pada tahun 1977. Sebuah pertunjukkan yang sudah turun temurun diterima dan dinikmati oleh rakyat banyak. Demikian juga dengan KENSI. Setelah DEKON (Deklarasi Ekonomi) diumumkan, yang dengan tegas menyatakan modal domestik harus diikut sertakan dalam pelaksanaan ekonomi nasional, KENSI tidak bisa berkutik. Tapi setelah G30S, KENSI ikut meningkatkan kegiatan hetze anti-Tionghoa, menuntut ditingkatkannya pelaksanaan PP-10. Artinya, supaya kegiatan dagang orang-orang Tionghoa dilarang sama sekali, tidak hanya terbatas di wilayah kecamatan saja. Akibat tuntutan KENSI itu, Panglima Jawa Timur, jenderal Sumitro mengeluarkan instruksi untuk melarang orang-orang Tionghoa asing melakukan usaha dagang diseluruh Jawa Timur, kecuali di ibu-kota propinsi Surabaya. Juga dilarang penggunaan huruf-huruf Tionghoa dan bahasa Tionghoa, baik dalam usaha dagang, surat-menyurat maupun hubungan telpon. Orangorang Tionghoa tidak boleh pindah ke lain propinsi tanpa izin dan diwajibkan membayar pajak kepala. Bung Hatta, bekas wakil Presiden RI, mengkritik tindakan demikian yang menurut kenyataan merugikan rakyat banyak. Instruksi semacam itu mengakibatkan peredaran barang menjadi kacau, penghasilan kaum tani merosot keras dan penghasilan kantor pajak jadi merosot drastis. Di Aceh, Panglima daerah Aceh juga mengeluarkan instruksi agar semua orang Tionghoa di-Aceh keluar dari propinsi Aceh. Propinsi Aceh harus bersih dari orang Tionghoa. Exodus besar di Aceh ini menimbulkan banyak macam penderitaan di kalangan Tionghoa. Peredaran barang pun menjadi kacau. Mereka keluar dari Aceh ke Sumatera Utara dan Medan 43 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan tanpa penampungan yang baik, sedangkan pengaturan mereka pulang kembali ke RRT baru dalam pembicaraan dengan pemerintah RRT. Usaha mengangkut kembali orang-orang Tionghoa ke RRT akhirnya terhenti karena hetze anti-Tionghoa bukannya mereda, melainkan meningkat. Di Kalimantan Barat, timbul gerakan mengusir orang-orang Tionghoa dari daerah pedalaman Kalimantan Barat. Mereka yang berusaha mempertahankan kebun karet dan ladang-ladang-nya dibunuh. Kebun-kebun dan ladang-ladang itu telah diusahakan puluhan tahun dan turun temurun oleh mereka. Timbullah kesan, bahwa gerakan anti-Tionghoa itu sekaligus juga bertujuan ekonomi, merampok harta dan mengambil alih kebun karet, ladang milik orang Tionghoa. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang yang berlaku di Indonesia, mereka itu adalah warganegara Indonesia yang harus dilindungi kepentingannya. Tapi yang terjadi, sedikitnya hampir 100 ribu orang Tionghoa harus diungsikan keluar dari daerah pedalaman Kalimantan Barat ke kota-kota di-pesisir seperti, Singkawang, Mempawah dan Pontianak. Kamp-kamp penampungan mereka, tidak berbeda dengan yang di Sumatera. Mereka harus berdikari, walaupun sebenarnya mereka adalah displaced persons. Pada tahun 1966-1968 telah terjadi banyak peristiwa yang menggambarkan, bahwa milik dan jiwa orang Tionghoa, baik mereka yang berkedudukan asing maupun sudah menjadi warganegara Indonesia, terasa tidak memperoleh perlindungan yang layak di dalam negara hukum berdasarkan Panca Sila ini. Hal ini tentu sangat merugikan prestige RI di luar negeri, apalagi ternyata bahwa aparat negara dan militer terlibat dalam kegiatan anti Tionghoa. Misalnya kejadian di Surabaya pada bulan Oktober 1968, setelah Singapore melaksanakan hukuman mati pada 2 anggota 44 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan pasukan gerilya yang ditangkap. Kejadian ini membuat antiTionghoa dibangkitkan sehingga ratusan toko kecil milik Tionghoa dirusak dan ini dilakukan oleh militer berbaju preman. Sesuai dengan tuntutan seminar SESKOAD di Bandung pada tahun 1967, pemerintah RI menginstruksikan untuk mengganti istilah Tionghoa dengan “Cina”. Istilah Tionghoa dianggap menimbulkan inferiority complex pada orang Indonesia. Istilah “Cina” mengandung unsur penghinaan bagi golongan Tionghoa di Indonesia. Sejak tahun 1900 dengan pembentukan Tionghoa Hwee Kwan “Cina” sudah diubah menjadi “Tionghoa”. Kesemua di atas diikuti dengan tuntutan “massa” untuk memutus hubungan diplomatik dengan RRT. Pada bulan Nopember 1968 Indonesia membekukan hubungan diplomatik dengan RRT. Memutuskan hubungan diplomatik dirasakan bertentangan dengan prinsip politik bebas dan aktif. Suasana politik demikian tentu sangat mempengaruhi pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan dan penyelesaian permohonan naturalisasi dari orang-orang Tionghoa untuk menjadi warga-negara Indonesia. Untuk naturalisasi menjadi warganegara Indonesia ditambah syarat harus gantinama. Kebijakan ini tentu dilakukan secara tidak resmi dan tidak berdasarkan hukum. Akan tetapi kalau tidak mau ganti nama dianggap sebagai sikap menentang kebijakan pemerintah untuk asimilasi sehingga permohonan naturalisasi bisa ditolak. Dengan demikian semua Tionghoa yang mengajukan naturalisasi pada tahun 1966-1967 terpaksa melenyapkan nama Tionghoa-nya. Pada tanggal 9 November 1966, Menteri Kehakiman mengeluarkan instruksi No. D/T/1/2 menangguhkan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan. Baru setelah dibekukan hampir 2 tahun, pada tanggal 1 Februari 1968 pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan 45 dimulai kembali oleh Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan pengadilan negeri, berdasarkan instruksi Menteri Kehakiman No. DT/1/5 tanggal 1-2-1968. Setelah hubungan diplomatik dengan RRT dibekukan, perjanjian penyelesaian dwi kewarganegaraan antara RI-RRT secara sepihak dibatalkan oleh RI dengan ketentuan UU No.4/1969 tanggal 10 April 1969. Patut diperhatikan, bahwa setelah terjadi G30S hubungan RI dengan Taiwan berkembang lebih akrab. Taiwan memberi credit pada Indonesia yang semula dijanjikan sebanyak US$ 20 juta, kemudian hanya diberi US$ 10 juta dengan bentuk barang konsumsi buatan Taiwan. Hubungan baik ini mungkin menyebabkan orangorang Tionghoa yang semula berkewarganegaraan Indonesia dan telah lama hidup/menetap di Taiwan, bisa kembali ke Indonesia dan kembali menjadi WNI tidak dengan jalan naturalisasi tapi dengan jalan optie. Karena ada keputusan Menteri Kehakiman No J.M./4/6 tanggal 1 Nopember 1969, bagi orang-orang yang memenuhi syarat sebagai berikut: a. Semasa adanya larangan bagi warganegara RI untuk pergi ke Taiwan dan meninggalkan Indonesia sebagai warganegara RI dengan passport RI; b. Mereka tiba kembali ke Indonesia dengan visa masuk ke Indonesia, dan visa itu dikeluarkan dari HongKong. Dengan Kebijakan Pintu Terbuka, Mungkinkah Pelaksanaan UUD dimurnikan? Dengan semboyan “Memurnikan pelaksanaan UUD 45”, Bung Karno disingkirkan, katanya secara “konstitusional”, karena dengan persetujuan MPRS. Tapi jelas bahwa komposisi politik MPRS dan DPR-GR terlebih dahulu dirombak dengan menyingkirkan pendukung setia Bung Karno, sehingga imbangan kekuatan 46 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan sangat tidak menguntungkan Bung Karno. Pendukung setia Bung Karno satu persatu ditangkap untuk ditahan tanpa proses hukum. Bahkan ketua MPRS Chaerul Saleh harus meninggal di dalam ta hanan dan kemudian kedudukannya diganti oleh jenderal A.H. Nasution. Perubahan komposisi sedemikian menunjukkan bahwa Bung Karno tidak disingkirkan secara “konstitusional”, melainkan diserobot kekuasaannya. Disingkirkannya Bung Karno sebagai Presiden pertama RI dan disahkannya Jenderal Suharto semula sebagai pejabat Pre siden dan kemudian dikokohkan sebagai Presiden kedua RI, melahirkan berbagai keputusan yang perlu diperhatikan. Jenderal Suharto mengeluarkan keputusan pertamanya: melarang PKI dan semua ajaran Marxisme-Leninisme. Tindakan pelarangan sepihak terhadap satu organisasi dan partai politik tanpa melalui proses HUKUM, tentu saja menimbulkan pertanyaan: Apakah dengan demikian pelaksanaan UUD 1945 dimurnikan? Padahal pasal 28 UUD 45 itu menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Tindakan lain yang didukung oleh MPRS yang diubah komposisinya demi “memurnikan UUD 45” adalah pembatalkan Ketetapan MPRS lama yang berjudul “Banting Stir Untuk BERDIKARI”, dan kemudian membekukan pelaksanaan pasal 33 UUD selama 5-6 tahun REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Pembekuan pasal ini memungkinkan UU Penanaman Modal Asing untuk menggali kekayaan alam bumi Indonesia. Berdasarkan ketetapan MPRS yang kemudian diperkuat oleh MPR hasil pemilihan umum pertama RI setelah menjalankan kebijakan ekonomi “pintu terbuka”, telah terjadi peng-katrolan para pengusaha “pribumi” swasta dengan berbagai macam bantuan credit dari pemerintah dan berbagai fasilitas. Padahal, dalam UUD 1945 tidak terdapat satu pasal-pun yang menetapkan 47 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan kedudukan istimewa bagi pengusaha “pribumi” swasta nasional. Sedangkan Pasal 33 ayat 1 menentukan: “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar azas kekeluargaan”. Ini sebagai kenyataan bahwa istilah “memurnikan” pelaksanaan UUD 1945, justru meluncur ke tindakan yang mengkhianati cita-cita dan semangat Proklamasi 17 Augustus 1945. Tuntutan KENSI untuk meningkatkan pelaksanaan PP-10, ternyata dikokohkaqn oleh Undang-Undang yang menentukan, bahwa orang asing hanya diberi kesempatan berdagang selama 10 tahun lagi, yaitu sampai dengan tanggal 1 Januari 1979, sedangkan usaha industri terbuka bagi orang asing hingga 1999. UU itu jadi membuka kemungkinan untuk orang asing yang sudah terlanjur berusaha dagang berubah memilih kewarganegaraan Indonesia dalam 10 tahun waktu yang disediakan, atau kemudian mengoper perusahaannya kepada anak-anak-nya yang diperkirakan sudah menjadi warga-negara Indonesia. Dengan demikian proses peralihan perusahaan dari asing menjadi nasional dapat terjadi dengan diperolehnya status nasional dengan cara naturalisasi atau pengoperan pada anak-anak-nya. UU tersebut dikeluarkan untuk meringankan tekanan luar negeri terutama dari para negeri industri besar, yang diharapkan bisa memberi bantuan untuk pembangunan ekonomi RI. Tetapi kalau diteliti, “bantuan” para negeri industri-besar itu hakekatnya adalah semacam “uang kunci” untuk membuka pintu RI, yang tadinya menjalankan politik pintu tertutup-BERDIKARI dan kemudian membuka pintu terbuka lebar untuk masuknya modal asing. Para negeri industri besar ini ternyata sangat membutuhkan bahanbahan mentah murah kekayaan alam bumi Indonesia, lapangan penanaman modal yang menjamin keuntungan lebih besar bagi modal yang ditanam, dan pasaran untuk hasil industrinya. Lalu kita kenal adanya IGGI (International Governmental Group for 48 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Indonesia) sebagai lembaga yang mengatur dan menyalurkan bantuan pada RI. Kesemuanya ini lalu dilanjutkan dengan pembagian kedudukan ke para jendral dan para teknorat pendukungnya oleh Jendral Suharto. Diperlukanlah dana untuk membayar para petinggi pendukung Suharto. Selain dari IGGI, diulang kembali kebiasaan lama pada tahun 50-an. Ketika itu, banyak panglima daerah untuk mengatasi kekurangan anggaran belanja, berdagang dan eksport hasil bumi daerah tanpa persetujuan pusat. Dan biasanya usaha tersebut dilaksanakan dengan bantuan pengusaha Tionghoa setempat. Melalui mereka dan kontaknya di Singapura dan Hong Kong hasil setempat ini dipasarkan di luar negeri. Hubungan demikian saling menguntungkan kedua belah pihak dan akhirnya meluncur ke apa yang dikenal sebagai cukong-isme. Perkembangan ini tentunya mengecewakan para pemuda dan mahasiswa yang semua mendukung upaya menggulingkan Bung Karno, karena ternyata sistem yang menggantikan jauh lebih jelek. Mereka mulai berubah dari pendukung menjadi penentang. Dan sikap menentang semakin lama semakin sengit dan berani. Kalau dulu mereka melakukan aksi menentang Bung Karno didukung oleh militer, kini mereka harus berhadapan dengan militer. Untuk menyerang militer tentu mengandung resiko. Sedangkan menyerang para cukong, yang disamakan dengan golongan Tionghoa, tidak mengandung resiko apa-apa. Terjadilah eksplosieksplosi rasis terhadap golongan Tionghoa, seperti yang terjadi di Menado dan Bandung pada tahun 1973 yang menimbulkan korban jiwa dan harta. Kerugian harta yang diderita diperkirakan sebesar US 3 juta. Seharusnya disadari bahwa yang ber”dosa” adalah segelintir cukong Tionghoa saja. Aksi para pemuda dan 49 mahasiswa terhadap Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan penyelewengan wewenang para Jendral yang membangkitkan sistem cukong ini berpuncak pada peristiwa MALARI (Makar Lima Belas Januari) pada tahun 1974. Ketidak-puasan juga ditujukan terhadap membanjirnya barang-barang buatan Jepang. Pemerintah Suharto menggunakan tangan besi dan menindak para demonstran dan pendukungnya. Patut diperhatikan bahwa antara modal USA dalam bidang pengelolaan sumber kekayaan alam dan Jepang di bidang industri seperti pembuatan/assembling mobil, sepeda motor dan barang-barang elektronika terdapat perbedaan. Akan tetapi kemarahan justru ditujukan ke Jepang, bukan ke USA. Sebelum terjadi peristiwa MALARI, menjelang Pemilu pertama di bawah kekuasaan Jenderal Suharto, sementara tokoh mahasiswa telah mengadakan aksi menentang tidak demokratisnya pemilu itu. Mereka membentuk apa yang dinamakan GOLPUT (Golongan Putih), yang memberi suara belangko di dalam pemilu itu. Memang dibanding dengan pemilu tahun 1955, pemilu di zaman kekuasaan Jendral Suharto tidak bisa dikatakan demokratis. Penguasa, melalui badan intel-nya terlalu banyak mencampuri urusan dalam contestant di dalam pemilu. Daftar calon harus di-screen terlebih dahulu dengan alasan “security nasional”. Para calon tidak bisa ditentukan oleh partai-partai politik. Para pengurus pimpinan partai harus melalui screening keras. Walaupun kebijakan ini didasari UU, sulit untuk dinyatakan sebagai tindakan yang “memurnikan” UUD 45. Apalagi UU yang mengatur susunan DPR dan MPR. Dirumuskan, hanya 40% dari anggota DPR dan MPR yang dipilih langsung oleh rakyat. 60% lainnya diangkat oleh pemerintah. Tidak aneh kalau ada wartawan asing yang menyatakan di Indonesia ha nya berlaku 40% demokrasi. Ini tentu bertentangan 50 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan dengan jiwa proklamasi 17 Agustus 1945. Di zaman penjajahan Belanda, rakyat Indonesia pernah menuntut dicapainya parlemen yang dipilih langsung oleh rakyat. Di zaman Suharto, MPR yang merupakan lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, sebagian besar anggotanya diangkat oleh presiden. UUD memang merupakan batu-ujian untuk menilai tepat tidaknya kebijakan pemerintah. Untuk mengetahui siapa yang berkuasa di satu negeri, orang dapat dengan mudah melihatnya dari rumusan-rumusan UUD dan berbagai macam undang- undang yang berlaku di negeri itu. Dalam hal Indonesia, setelah Sukarno digulingkan, kita bisa lihat berbagai penyelewengan yang serius. UUD 45 dirumuskan oleh orang-orang tidak berdiri di pihak pengusaha, tapi lebih mendahulukan kepentingan rakyat terba nyak. Dalam pembukaan UUD 45 tercantum dengan tegas, tugas setiap pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 1. Pasal 27 ayat 2 UUD 45 menentukan: Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi ke manusiaan; Pasal 31 menentukan: Tiap warganegara berhak mendapat pengajaran; Pasal 34 menentukan: Fakir miskin dan anak2 terlantar dipelihara oleh Negara. Dari pasal-pasal tersebut jelas bahwa pemerintah belum melaksanakannya dengan baik. melaksanakan pasal-pasal Memang tidak mungkin tersebut sebelum pasal 33 dilaksanakan secara tuntas. Baik juga dikutip penjelasan 51 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan resmi yang disusun pada akhir 1945 setelah UUD 1945 diUndangkan untuk menyegarkan ingatan kita semua. Penjelasan itu menyatakan: “Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi. Perekonomian berdasarkan atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang.” 2. Sebegitu jauh, belum pernah dikeluarkan UU yang memperbaiki nasib kaum tani, yang merupakan mayoritas jumlah rakyat Indonesia. Tidak terlihat adanya peraturan yang memperbaiki nasib tani tanpa tanah garapan, nasib fakir miskin dan anakanak terlantar yang jelas ditetapkan merupakan tugas negara. Jumlah pengangguran terus meningkat, padahal adalah tugas negara untuk menjamin adanya pekerjaan bagi seluruh rakyat. Upah minimum sebagai jaminan setiap orang bisa hidup layak juga belum dapat dilaksanakan se bagaimana mestinya. Akan tetapi, demi kepentingan kaum pengusaha baik asing maupun domestik, telah dikeluarkan berbagai peraturan yang menguntungkan mereka. Contohnya adanya “tax holiday”(kesempatan berusaha dengan bebas pajak), peraturan perhitungan pajak demi mendorong para pengusaha swasta untuk berdagang. Pincang kedengarannya, tapi inilah dalih me“murnikan” pelaksanaan UUD 45. Melihat kenyataan ini, orang bisa menyimpulkan bahwa yang berkuasa di Indonesia sekarang ini adalah para usahawan. Para pengusaha yang menitik beratkan kemakmuran usahanya sendiri, sebanyak mungkin mengejar keuntungan untuk kepentingan usahanya sendiri, bukan menitik beratkan usaha pada kepentingan rakyat banyak. 52 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Dapatlah disimpulkan, bahwa politik “pintu terbuka” yang dijalankan sekarang ini justru mempersulit upaya memurnikan pelaksanaan UUD 45 dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu ba nyaknya orang yang kecewa dan merasa tidak puas akan usaha pemerintah untuk me“murnikan”pelaksanaan UUD 45 itu. Barisan orang yang dikecewakan dan tidak puas tentang perkembangan situasi sekarang ini akan terus bertambah besar. Dollar Membanjir tetapi Rakyat Terbanyak Tetap Miskin Dengan politik “pintu terbuka”, dollar membanjir masuk. Jumlah gedung pencakar langit dan mewah meningkat cepat sekali . Tapi rakyat terbanyak masih tetap miskin dan RI dikenal sebagai peng-IMPORT beras terbesar di dunia, sekalipun dikenal juga sebagai negeri yang tanahnya subur. Para teknorat Indodnesia merasa sudah berjasa besar pada rakyat Indonesia dengan meningkatnya jumlah gedung pencakarlangit, merasa bangga dengan lahirnya bilioner “pribumi” yang mampu memiliki helicopter pribadi. Merasa berhasil karena inflasi ditekan sampai 16% setahun di dalam tahun1980. Tapi, “jasa” mereka itu tentu tidak bisa dibanggakan dalam arti sesungguhnya. Terutama ketika berhadapan dengan para negeri donor di berbagai meja perundingan di Amsterdam baru-baru ini. Tiap orang Indonesia tentu tidak bisa merasa bangga, bila delegasi Indonesia dinyatakan sebagai negeri “pengemis” bantuan dari negeri industri besar. Penilaian Menteri Belanda De Koning, dalam memberi alasan untuk membantu Indonesia menyatakan, bahwa di Indonesia masih lebih 40% Rakyatnya hidup dibawah kemiskinan. Kenyataan ini tentu mendorong orang untuk meneliti bagaimana sesungguhnya keadaan Indonesia sekarang ini, 53 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan yang oleh para teknorat dibanggakan berhasil menghimpun devisa US$.7,5 milyard dollar, tapi tidak mampu berdikari dan 40% rakyatnya hidup di bawah kemiskinan itu. Hasil export minyak kasar RI selama tahun 1980 mencapai jumlah US$12,285 milyard, ditambah dengan export gas-alam seharga US$ 2,281 milyar. Hasil export non-minyak tanah berjumlah US$ 5,404 milyard. Jadi sekarang ini, seluruh export Indonesia sudah mencapai US$ 19,969 milyard. Di zaman Bung Karno, hasil export dari minyak-bumi hanya US$ 60 juta dan seluruh export hanya mencapai US$ 600 juta. Akan tetapi ia berani dan bertekad untuk melaksanakan politik berdikari, berusaha melaksanakan cita-cita para pejuang perintis Kemerdekaan yang telah ditetapkan dalam UUD 1945. Bilamana pemerintah Suharto benar ingin “memurnikan” pelaksanaan UUD 45, mereka tidak menjadikan Indonesia sebagai negara pengemis yang minta-minta bantuan luar negeri. Persoalannya, terletak pada keinginan dan tekad melaksanakan cita-cita jiwa Proklamasi Kemerdekaan 17 Augustus 1945, untuk mewujudkan ekonomi nasional berdikari dengan mengerahkan seluruh kekuatan secara demokratis, tanpa mengecualikan satu golongan etnis atau golongan ideologi atau golongan agama apapun juga. Selama masih dihinggapi keinginan mengangkangi sendiri, mengangkangi kekuasaan dan kemakmuran untuk diri sendiri saja, berdikari tidak mungkin dilaksanakan. Dan selama itu tidak bisa menghentikan uluran tangan untuk mengemis bantuan luar-negeri Laporan berbagai harian seperti Merdeka, Kompas dan berbagai majalah seperti Tempo selama tahun 1980 hingga bulan Agustus tahun 1981 menunjukkan bahwa kebijakan “pintu Terbuka” gagal memakmurkan rakyat. Membanjirnya dollar Amerika tidak berhasil membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan. 54 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Sebaliknya harapan para perintis kemerdekaan RFI semakin jauh dari realisasi. Keterangan yang menyatakan hanya 40% saja yang hidup dibawah garis kemiskinan, tentu bisa diragukan kebenarannya. Karena Menteri Kesehatan RI menerangkan, bahwa manusia Indonesia membutuhkan 2100 kalories sehari masih harus ditambah 46 gram protein. Tapi, yang tersedia hanya 1700 kalories seorang plus 37 gram protein. Jadi, kalau berdasarkan perhitungan ini, tentunya jumlah orang yang hidup dibawah garis kemiskinan jauh lebih dari 40%. Drs.Razak Sabiil dari fraksi PPP di DPR dalam meneliti anggaran belanja negara tahun 1981-1982, mengemukakan gambaran yang lebih suram, sekalipun angka-angka itu diperoleh dari tahun 1976, yaitu sebagai berikut: • Miskin, berarti mampu makan 320 Kg. beras setahun/per capita berjumlah 40,5 juta orang; • Sangat miskin, berarti hanya 240 Kg. beras setahun/per capita berjumlah 27,5 juta orang; • Termiskin, berarti hanya 180 Kg. beras setahun/per capita dan berjumlah 17,2 juta orang. Dari miskin sampai termiskin dalam tahun 1976 berjumlah 85,2 juta orang, jadi di tahun 1976 penduduk Indonesia lebih dari 60% termasuk kategori miskin, hidup dibawah garis kemiskinan! Drs. Razak Sabiil juga menyatakan, bahwa struktur masyarakat Indonesia merupakan A pyramida “terbaik”, karena: 20% dari penduduk menguasai 80-70% pendapatan nasional, sedang 80% penduduk hanya mendapatkan bagian antara 2030% pendapatan nasional. Gambaran dan jumlah kemiskinan Rakyat Indonesia juga dapat diperoleh dengan cara lain, yaitu: 1. Menurut keterangan Gubernur Jawa Timur, Jenderal 55 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Sunandar, penghasilan nelayan diseluruh Indonesia yang berjumlah 40 juta orang, ternyata masih dibawah Kebutuhan Fisik Minimum (KFM), yang menurut penilaiannya harus mencapai jumlah Rp 45.000 setahun dengan nilai harga beras tahun 1981, Rp 250/Kg. 2. Yayasan Kesejahteraan Anak2 Indonesia pada bulan Maret 1981 mengemukakan angka-angka sebagai berikut: a. 40.3% penduduk Indonesia adalah antara 0-15 tahun. Dari jumlah ini 20 juta adalah anak-anak antara 0-5 tahun. b. Kematian anak-anak “Balita”(bayi dibawah lima tahun) berjumlah 50%. c. 36% anak-anak “Balita” menderita K.K.P. (Kurang Kalori dan Protein). d. 3. 40% anak-anak pra sekolah menderita aneamia. Menurut Gubernur DKI, Ibukota Jakarta-Raya, Jenderal Tjokropranoto, 30% dari sejuta anak-anak “Balita” di DKI menderita sakit kelainan otak dan kebodohan, karena kurang gizi. Dinas Kesehatan DKI melaporkan, bahwa 45% “Balita” menderita kekurangan kalori/protein. Agus Soedono dari FBSI (Federasi Buruh Seluruh Indonesia) menggambarkan, bahwa sebagian terbesar Buruh Indonesia bekerja dengan upah yang belum bisa mencukupi K.F.M (Kebutuhan Fisik Minimum). Untuk menggambarkan jeleknya nasib buruh rokok bisa dikemukakan sebagai berikut: • Buruh rokok di Indonesia berjumlah 106.000 orang, ditambah dengan 278.000 pekerja yang hidup dari perdagangan rokok. • Upah buruh rokok-putih Rp 28.000 sebulan, atau Rp 935 sehari. Sedang setiap buruh menghasilkan cukai bagi 56 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan negara tiap harinya Rp 17.000 • Upah buruh rokok-kretek hanya Rp 7.000 sebulan, jadi rata2 hanya Rp 230 sehari. Sedang setiap buruh menghasilkan cukai untuk negara sebesar Rp 2.799 sehari. • Ongkos untuk upah buruh dari industri rokok di Indonesia hanya 1.7% saja dari seluruh ongkos produksi. KFM untuk buruh bujangan harus Rp 27.936 sebulan, sedang buruh berkeluarga (1 istri dengan 2 anak) harus Rp 63.000 sebulan. Jadi, buruh yang berkesempatan bekerja masih harus hidup dibawah KFM, bagaimana dengan banyak orang yang kurang beruntung dan harus nganggur? Ada 2 macam angka yang menarik perhatian, yaitu: 1. Menurut fraksi PDI di DPR, jumlah penganggur di Indonesia kurang lebih 20% dari jumlah penduduk, yang berarti kurang lebih 29 juta orang; 2. Menteri Muda Abdul Gafur menyatakan ada 14,5 juta pemuda Indonesia diantara usia 15-30 tahun, yang lepas sekolah dan menganggur. Sedang Prof.Dr. Sumitro mengemukakan keterangan, bahwa selama REPELITA-III perlu diusahakan adanya pekerjaan untuk 5 X 1,3 juta = 6,5 juta pekerja, karena jumlah pekerja setiap tahun naik 1,5 juta orang. Tapi perlu juga diperhatikan, bahwa 70% dari tenaga kerja itu hanya sebagian kecil bertaraf tamatan SD, jadi sebagian besar belum tamat SD. Harus diperhatikan, bahwa seluruh tenaga kerja di Indonesia tercatat 59 juta orang. Pengalamanpun memberi/menyediakan membuktikan, pekerjaan bahwa dengan usaha mengandalkan penanaman modal asing dan domestik nasional ternyata tidak menggembirakan. Sejak PELITA-I (1969) hingga Augustus 1980 telah dibangun dan dilaksanakan investasi sebagai berikut: • P.M.D.N. 3512 perusahaan dengan investasi Rp 5,1 57 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan trilioen; • P.M.A. dengan 835 investasi Rp.5 Trillioen atau US$ 8.500 milyard. Jadi, dengan investasi sebanyak lebih dari Rp 10 trillioen itu hanya bisa menampung pekerjaan pada 1,9 juta orang. Untuk memberi pekerjaan pada seorang pekerja diperlukan investasi US$ 8.500 atau kl. Rp 5 juta. Kenyataan yang kita hadapi, selama 12 tahun ini, penanaman modal asing dan domestik hanya mampu menampung 1,9 juta orang pekerja, sedang jumlah tenaga kerja setiap tahunnya meningkat dengan 1,5 juta orang. Dan perlu diperhatikan, bahwa dengan masuknya PMA dan adanya PMDN, banyak perusahaan-perusahaan kecil, yang mampu menyediakan kerja pada banyak orang, karena bersifat labour-intensive, gulung tikar. Tidak lagi mampu bersaing dengan para perusahaan modal asing dan PMDN yang menggunakan lebih banyak mesin-modern. Jumlah pengangguran dengan demikian meningkat lebih besar dengan gulung tikarnya pabarik-pabrik biskuit, permen, limun dllnya lagi. Bahkan mungkin peningkatan pengangguran lebih besar jumlahnya dibandingkan penampungan tenaga kerja yang bisa dihasilkan dengan PMA dan PMDN selama 12 tahun ini. Kalau “pintu terbuka” ternyata tidak bisa menolong mengatasi masalah perburuhan, lalu bagaimana dengan nasib kaum tani? Berdasarkan sensus 1980, penduduk Indonesia yang berjumlah 147 juta orang, 65% dari jumlah ini berusia dibawah 25 tahun, 82% dari jumlah penduduk itu hidup tersebar di 61.158 desa. Untuk menggambarkan suramnya penghidupan ekonomi di desa-desa dapat dikemukakan, bahwa hanya 20% dari jumlah uang dalam peredaran yang beredar di-desa-desa. 70% dari jumlah uang peredaran berada di Jakarta-Raya, sedang 10% lagi beredar di-kota-kota besar lainnya. 58 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Bayangkan, 70% kaum tani di Indonesia adalah termasuk petani “guram”, artinya hanya memiliki tanah tidak lebih dari 0,23 Ha. Usaha untuk melaksanakan “landreform”, pembagian tanah pada penggarap tanah, yang sudah dimulai di zaman Presiden Sukarno sejak tahun 1960 masih tetap saja macet. Karena banyak “bapak-bapak” di kota besar, yang dikenal sebagai OKB, memborong tanah sebagai penanaman modal tabungannya. Yang dianggap pembelian tanah merupakan “wardavast”, lebih kokoh nilainya daripada membeli emas. Penimbunan tanah demikian ini, tentunya mengurangi daya produksi di desa-desa. Oleh karena itu berkurang napsu menggarap tanah, atau tanah digunakan untuk kepentingan lain yang lebih menguntungkan. Jadi, “pintu terbuka” dengan menyisihkan pelaksanaan pasal 33 UUD 1945, tidak menimbulkan perbaikan bagi kaum tani Indonesia dan tidak membawakan perkembangan baik bagi desa-desa di Indonesia. Di atas dikemukakan, bahwa 70% tenaga kerja Indonesia yang masih menganggur dan perlu diberi pekerjaan belum mencapai tamat SD. Kenyataan ini tentunya harus mendorong perbaikan tingkat pendidikan di Indonesia, apalagi perusahaan modern biasanya lebih banyak menggunakan mesin yang tidak lagi memerlukan pendidikan sekolah lebih tinggi. Perkembangan dunia pendidikan lebih mengecewakan lagi. Tiap tahun terjadi kekurangan tempat sekolah bagi anak-anak yang harus sekolah. Jumlah permintaan untuk tempat sekolah jauh melebihi dari persediaan bangku sekolah yang ada. Sehingga menimbulkan semacam “perdagangan” tempat duduk sekolah dan hanya menguntungkan mereka yang “mendagangkan” bangku sekolah. Keadaan di kota metropolitan Jakarta Raya sendiri, masih menyedihkan. Pada tahun 1981, menurut Sekretaris Kantor Wilayah PDK Jakarta harus disediakan tempat duduk 59 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan SMP untuk kl. 100.000 lulusan SD. Tahun lalu (1980) yang lulus SD ada 112.000, tapi karena orang tua banyak yang tidak mampu meneruskan anaknya sekolah, maka yang mendaftarkan untuk masuk SMP hanya 85.000 anak saja. Kemampuan untuk menampung anak-anak masuk SMP di Jaya (Jakarta Raya) hanya 64.000 saja. Lulusan SMP tahun 1981 diduga 76.000 anak, sedang penampungan SMA hanya mampu menampung 27.000 anak saja. Kalau keadaan pendidikan di ibukota Jakarta Raya, kota yang sudah menjadi metropolitan, masih demikian menyedihkan, bagaimana keadaan di-kota-kota lain? Dan tentu lebih tidak bisa dibayangkan bagaimana keadaan pendidikan di-desa-desa. Menurut Prof. Soedarto SH - Rektor Universitas DiponegoroSemarang, jumlah lulusan SLTA (Sekolah Lanjutan Tingkat Atas) tahun 1981 ada 510.00 orang, tapi daya tampung seluruh universitas negeri dan swasta hanya 123.000 orang saja. 10 Universitas negeri hanya mempunyai daya tampung 14.500 orang saja. Prof.Dr. DA Tiana Amidjaya, DirJen Pendidikan Tinggi, menghitung persentasi daya penampungan seluruh universitas di tahun 1975 masih berjumlah 32% dari seluruh lulusan SLTA, tapi di tahun 1981 merosot menjadi hanya 11% saja, karena pembengkakan jumlah lulusan SLTA jauh melebihi imbangan kenaikan jumlah penampungan bangku sekolah perguruan tinggi. Selanjutnya dikatakan juga, bahwa produktivitas semua fakultas perguruan tinggi Indonesia hanya mencapai 4% saja. Yang terbaik adalah fakultas kedokteran dengan index produktivitas 10%, disusul fakultas pertanian, teknik dan terakhir hukum. Dijelaskan, index produktivitas itu adalah jumlah mahasiswa yang lulus dibanding dengan jumlah mahasiswa yang ada dan yang paling ideal seharusnya 20%. Jadi, keadaan pendidikan dan perguruan tinggi di Indonesia sangat mengecewakan. Tertinggalnya penampungan 60 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan masuk sekolah bagi anak-anak sekolah ternyata membuat ilmu di Indonesia berkembang menjadi “barang dagangan” dengan harga yang cukup tinggi. Bahkan harga untuk bisa masuk universitas swasta cukup lumayan, tercatat lebih tinggi dari harga tiket plane bolak-balik ke Eropah. Tentu akibatnya pendidikan perguruan tinggi hanya bisa dinikmati oleh mereka yang orang tuanya maha mampu saja dan bukan berdasarkan kepandaian dari anak-anak itu sendiri. Selama 20 tahun di bawah Presiden Sukarno berkuasa, jumlah hutang luar-negeri hanya mencapai US$ 2,5 milyard. Di bawah Jendral Suharto dengan “pintu terbuka” itu, hutang luarnegeri telah mencapai US$ 16,6 milyard dengan catatan, masih ada “Public Debt” (hutang umum) RI yang telah mencapai US$ 23 milyard pada 1 Juni 1981. Disamping itu perlu ditegaskan juga, bahwa harga minyak bumi Indonesia yang diexport sejak tahun 1973 terus meloncat naik, sehingga menurut Menteri Keuangan dalam bulan April yl., hasil export RI telah mencapai jumlah US$ 21 milyard dan dengan cadangan devisa mencapai jumlah US$ 8 milyard. Musyawarah Daerah Dewan Harian Angkatan 45 harus menyatakan, bahwa sumber kerawanan sosial-politik selama dasawarsa 80-an ini adalah: 1. Suasana ketidak adilan; 2. Pengingkaran azas kerakyatan; 3. Belum terwujudnya pemerataan kemakmuran. Sebuah penilaian dari organisasi Angkatan 45 yang tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Perut Manusia Tetap tidak kenyang 61 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Membanjirnya dollar ternyata Siauw Giok Tjhan tidak membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan. Hanya segelintir orang yang berkuasa dan yang mengatur banjirnya dollar ke Indonesia yang memperoleh faedah, karena sebagian mengalir ke kantong- kantong pribadi mereka. Apa yang dilaporkan Consortium Bank International yang dikutip Jean Jaques Gugenheim dalam tulisannya yang berjudul Le Development du Sous-development en Indonesia yang dimuat dalam Le Monde Diplomatique, April 1977, menyatakan, bahwa tiap tahun terdapat UD$ 300 juta barang yang diekspor dari Indonesia. Tapi apa yang diekspor dan untuk siapa, tidak diketahui. Ada contoh lain. Uang simpanan haji Thahir pada 3 Bank Asing di Singapore yang mencapai jumlah US$ 80 juta, sedangkan yang masih disengketakan dalam pengadilan di Singapura US$ 35 juta. Haji Tahur adalah sekretaris Jendral Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina. Gaji resmi yang diperolehnya adalah US$ 9.000 setahun. Ketika meninggal dunia ia bisa meninggalkan warisan US$ 80 juta. Haji Tahir dinyatakan sebagai pahlawan dan dimakamkan di Taman Pahlawan. Tidak dijelaskan mengapa ia dianugerahkan predikat pahlawan, mengingat lebih dari separuh rakyat Indonesia hidup di bawah kemiskinan dan di bawah garis KFM, tetapi ia ternyata tega menghimpun kekayaan untuk dirinya sendiri dari kegiatan di Pertamina. Ada contoh-contoh lain yang tidak kalah mengherankan. Banyak penguasa memiliki gedung-gedung pribadi yang mewah, bahkan lebih mewah dari Istana Merdeka. Ada seorang pejabat yang bisa memiliki ranch dengan kuda-kuda balap import. Ongkos makan satu kuda sehari sudah lebih dari cukup untuk ongkos hidup satu keluarga (empat orang) – berdasarkan KFM. Prof.Dr. Sumitro sebagai Menteri Research, mengakui bahwa 62 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan penggunaan anggaran belanja negara mengalami “kebocoran” antara 30-40% dan atas dasar perhitungan pengeluaran anggaran belanja kl. US$10 milyard. Ini berarti uang negara yang lenyap akibat “bocor” itu kl. US$. 3 hingga 4 milyard. “Bocor” berarti tidak bisa dipertanggung jawabkan ke mana perginya dan digunakan untuk apa. DPR, Badan Pemeriksa Keuangan dan MPR ternyata tidak ber“gigi” untuk memeriksa dan mengatasi ke“bocoran” keuangan negara itu. Orang tentu bisa menghitung sendiri, kalau jumlah uang ke“bocoran” itu digunakan untuk perbaikan nasib rakyat banyak, tentu kemiskinan di Indonesia bisa diakhiri dengan lebih efektif. UUD 1945 menampilkan keinginan para perintis kemerdekaan, yaitu diubahnya struktur masyarakat kolonial ke masyarakat di mana kedaulatan berada di tangan rakyat. Yang diutamakan bukanlah penggantian importir Belanda menjadi importir “pribumi”, dan tidak ada maksud sama sekali mengganti importir atau eksportir Tionghoa dengan importir dan eksportir “pribumi”. Yang diinginkan adalah usaha membangun ekonomi nasional yang demokratis dan mampu memakmurkan kehidupan Rakyat terbanyak, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 33, yang jelas menyatakan: “1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan; 2. Cabangcabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat orang ba nyak dikuasai oleh negara; 3. Bumi, dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat.” Sekali lagi perlu digaris bawahi “untuk sebesar-besarnya kemakmuran Rakyat”. Bukan untuk sementara pejabat, sementara penguasa atau keluarga dan sekomplotannya saja. Dari sini jelas terjadi penyelewengan serius. Mari kita lihat 63 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan perkembangan yang mendukung kesimpulan ini: Usaha utama pemerintah adalah untuk menciptakan pengusaha swasta nasional, terutama dalam usaha mengkatrol pengusaha “pribumi” dengan bantuan kredit sampai berjumlah Rp. 700 juta perorang. Tapi, ternyata tidak sembarang “pribumi” bisa mendapatkan bantuan kredit guna bisa berpartisipasi dagang. Hanya para perwira tinggi sajalah yang berhasil menjadi usahawan yang berpartner dengan PMA atau PMDN. Research yang dilakukan oleh Drs. Christianto menunjukkan, bahwa dari 2061 perusahaan PMDN hanya 968 yang mengumumkan akta-nya. Modal dasar usaha PMDN yang diteliti ada Rp.1,4 trillioen. Modalnya 26,9% menjadi milik “nonpribumi”, 11,2% menjadi milik “pribumi” dan 58.75% dimiliki oleh para perusahaan negara. Jadi, di bidang PMDN ini tidak dapat dikatakan, bahwa kedudukan “non-pribumi” dominant. Walaupun demikian, BKPM tetap merasa belum puas dan pada tahun 1981 diusahakan supaya PMDN berwarna “pribumi” dengan proses mengalihkan pemilihan saham, sehingga mencapai imbangan 50% “pribumi” dan 50% “non-pribumi”, dan pimpinan usaha juga harus mencapai imbangan 50 : 50. Kebijakan memberi bantuan kredit ke para pe ngusaha swasta “pribumi” hanya untuk memperkokoh kedudukan penguasa. Jumlah macam kredit yang diberikan selalu bertambah dengan jumlah yang meningkat menjelang pemilihan umum. Karena yang diberi kredit itu tentu saja adalah orang-orang terpilih. Melalui pemberian kredit diharapkan cengkraman atas “floating mass” – rakyat tidak berpolitik – semakin kuat, sehingga memudahkan pemerintah menguasai situasi. Selain kerdit istimewa untuk pedagang “pribumi” ada lagi berbagai bentuk kredit kredit mini, KIK (kredit investasi kecil), KMKP (Kredit Modal Kerja Permanen), dan paling kecil Kredit Candak 64 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Kulak untuk bakul-bakul di pasar. Menurut keterangan Gubernur Bank Indonesia kepada Komisi VII DPR, untuk dua macam kredit saja, yaitu KIK dan KMKP Bank Indonesia harus mengeluarkan uang sebanyak Rp 1,5 milyard sehari. Jumlah kredit-kredit kecil itu telah mencapai jumlah 65% dari seluruh kredit yang diberikan oleh pemerintah pada para pengusaha swasta “pribumi” pada tahun 1980. Menteri Ali Wardhana menerangkan, bahwa dalam waktu 1½ tahun, jumlah penerima KIK meningkat dari 40 ribu orang menjadi 80 ribu orang, sedang penerima kredit KMKP dari 300 ribu orang meningkat menjadi 700 ribu orang. Akan tetapi kalau dilihat cara pemberian kredit demikian ini merupakan usaha pembagian rejeki, bahkan dengan tujuan politik tertentu, yaitu penerima kredit adalah para tokoh di desadesa yang dapat menghimpun suara dalam pemilu. Di pihak lain, terjadi juga kemacetan pemberian kredit oleh Bank Rak yat Indonesia, antara tahun 1970-1979 tercatat kemacetan kredit sampai berjumlah Rp 2 trillioen, disamping penghapusan pinjaman kredit pada tahun 1979 mencapai Rp 10 milyard. Pemberian kredit-kredit yang begitu besar ternyata tidak membawakan pengaruh yang baik dalam usaha mengurangi jumlah pengangguran dan kemakmuran rakyat Indonesia. Proses pembagian “rejeki” itu gagal meningkatkan taraf hidup rakyat. Penghasilan negara-pun dari pajak-pajak yang seyogyanya meningkat karena keberadaan para usaha yang memperoleh kredit ini, tidak bertambah. Menjelang pemilu tahun 1982, penguasa ternyata merasa perlu untuk memperluas usaha mengkatrol para pengusaha “pribumi”. Untuk itu dikeluarkanlah Keputusan Presiden No.14 tahun 1980 yang kemudian disempurnakan menjadi Kep.Pres. No.14 A/1980. Dibanding dengan kredit2 kecil seperti yang dikemukan 65 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan diatas itu, Kep.Pres No.14-A ini dapat dikatakan menunjukkan “kemajuan”, yaitu istilah “ekonomi lemah” tidak lagi diartikan 100% pribumi. Keputusan Presiden ini hendak mendorongkan assimilasi ekonomi dengan dibuatnya ketentuan “ekonomi lemah” adalah perusahaan yang 50% modalnya dimiliki oleh “pribumi” dan sebagian besar pengurusnya atau lebih dari separoh terdiri dari “pribumi”. kita menghadapi kejanggalan dengan sebutan istilah “ekonomi lemah”, karena adanya ketentuan yang memberikan pembatasan bahwa, untuk perusahaan dagang dan jasa, hak milik yang bebas dari ikatan hutang tidak melebihi Rp 25 juta, sedang untuk perusahaan industri dan kontraktor bangunan hak milik yang bebas dari ikatan hutang tidak melebihi Rp.100 juta. Dengan demikian, sebagian terbesar dari perusahaan yang ada hak milik-nya masih di atas angka-angka yang ditetapkan. Jadi, mereka itu tidak bisa “menikmati” bantuan khusus yang terkandung dalam Kep.Pres. No.14-A/1980 itu. Bisalah disimpulkan bahwa Kep. Pres itu bukan untuk “melindungi” golongan yang sungguh lemah ekonominya, tapi hanya bertujuan untuk memberi kesempatan pada golongan pengusaha tingkat tertentu saja. Harus diterima kenyataan bahwa dengan pelaksanaan Kep.Pres.14A/1980 yang kemudian disempurnakan dengan Kep. Pres.18/1981, ada sejumlah pengusaha Tionghoa yang turut berkembang dan menjadi kaya raya. Dengan adanya kerja sama dengan para pengusaha “pribumi” mereka-pun memperoleh keuntungan. Keadaan ini menimbulkan ketidak puasan di kalangan rakyat sehingga mudah membangkitkan eksplosi rasis. Para pihak oposisi tidak terlalu berani menghantam pemerintah yang dikuasai para jendral. Para penguasa yang turut menjadi kaya raya memerlukan kambing hitam untuk mengarahkan kekecewaan dan kemarahan rakyat – ke golongan yang mudah 66 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan diserang, yaitu golongan Tionghoa. Akhirilah Status “Anak Ngenger” UUD 1945 pasal 27 ayat 1 hanya mengenal satu macam warga-negara dengan kedudukan sama dalam hukum dan pemerintahan. Panca Sila mengenal sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, sehingga Nasionalisme Indonesia yang mengandung unsur Kemanusiaan yang adil dan beradab tentu tidak akan meluncur ke chauvinisme dan rasisme. Sila ini juga mengharuskan Indonesia bersih dari napsu saling tindas-menindas dan dengan adil memperlakukan segenap warga yang ada, tanpa perbedaan atas dasar ras atau kesukuan. Dengan demikian tidak diizinkan memperlakukan satu suku atau golongan sebagai anak ngenger atau anak tiri. Jiwa Proklamasi 17 Augustus 1945 menjanjikan untuk menjadikan setiap Indo Europa dan Indo Asia warga-negara Indonesia sejati. Dengan sendirinya segala warisan kolonial yang berbau diskriminasi rasial harus dihapus, karena tidak mungkin orang bisa menjadi warga-negara Indonesia sejati, bila ia diperlakukan sebagai anak ngenger. Proses perkembangan menjadi warga-negara Indonesia sejati pasti akan lebih mudah, bila ia merasa diperlakukan sama sebagaimana warga yang lain, yang memperkokoh “sense of belonging”. Kita menghadapi kenyataan, bahwa dengan Proklamasi Kemerdekaan tidak berarti susunan masyarakat kolonial yang ada diakhiri dan berubah menjadi susunan masyarakat nasional sebagaimana diharapkan. Ini adalah sebuah perjuangan yang harus mengerahkan seluruh kemampuan nasional yang ada untuk mempercepat terwujudnya cita-cita Proklamasi Kemerdekaan sebagai kenyataan. Tidak mudah, memerlukan kesabaran dan 67 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan keuletan yang kuat dalam perjuangan jangka panjang. Lambang Negara RI melukiskan adanya kebutuhan membina kesatuan bangsa dan kesatuan kemauan, walaupun di dalam tubuh Rakyat Indonesia terdapat banyak macam perbedaan etnisitas, perbedaan agama, perbedaan adat-istiadat dan kebiasaan hidup. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya untuk didengar saja tetapi harus diwujudkan dalam kenyataan hidup se-hari-hari. Semua ini adalah “das Sollen”, yaitu satu keinginan yang semestinya demikian. Tapi kenyataannya atau “das Sein” Bhinneka Tunggal Ika masih jauh dari diwujudkan. Ilmu politik sendiri mengakui, bahwa masalah minoritas etnis Tionghoa bukan saja dapat dijadikan “dongkrak” untuk menimbulkan persoalan Nasional, tapi juga bisa digunakan sebagai “dongkrak” untuk menimbulkan persoalan Internasional. Kenyataan ini perlu disadari untuk dapat menimbulkan suasana atau iklim Nasional yang memungkinkan terwujudnya “Bhinneka Tunggal Ika” berlandaskan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam meneliti “das Sein” nasib peranakan Tionghoa khususnya di Indonesia, kita menyaksikan berbagai macam ketentuan yang menyebabkan mereka merasa dianak-tirikan. Adanya berbagai ketentuan yang bertentangan dengan UUD 45, dan yang bertentangan dengan jiwa Proklamasi Kemerdekaan. MPR sebagai badan tertinggi pelaksanaan kedaulatan di tangan Rakyat, ternyata tidak bisa berbuat banyak untuk mencegah pelanggaran UUD itu. Mari kita teliti berbagai kebijakan yang menunjukkan bahwa golongan Tionghoa yang seharusnya diperlakukan sebagai salah satu suku di Indonesia, diperlakukan sebagai anak tiri atau anak ngenger: 1. Di zaman Bung Karno peranakan Tionghoa bisa menjadi 68 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan perwira Angkatan Bersenjata dan bisa mencapai posisi penting, antara lain direktur Bank Indonesia. Di zaman Suharto, sejak tahun 1965, di mana dilaksanakan kebijakan pembauran, ternyata berakibat jumlah yang menjadi perwira dan yang bisa mencapai posisi penting doi berbagai lembaga pemerintahan turun drastik. 2. Sistem penerimaan mahasiswa di universitas-universitas negara mengadakan perbedaan antara “pribumi” dan “non-pribumi”. Demikian juga kesempatan bekerja untuk mereka yang selesai belajar di luar negeri diadakan perbedaan atas dasar asal keturunan. Bahkan dalam rangka mendorongkan “pembauran” dengan “kawin silang” ada yang mengatakan, dalam penerimaan mahasiswa di Universitas negeri kemungkinan calon wanita peranakan Tionghoa diterima adalah lebih besar daripada calon pria. Penerimaan mahasiswa suku Tionghoa di universitas swasta juga dibatasi, tidak boleh melebihi jatah 30% dari jumlah penerimaan mahasiswa. Penerimaan murid di sekolah-sekolah negeri pun dilakukan perbedaan berdasarkan asal keturunan. Ini melanggar UUD 45 yang menentukan kesempatan meningkatkan ilmu dan pendidikan, harus diberikan kepada setiap warga di Indonesia tanpa membedakan asal keturunan. 3. Seorang tukang jual baso dari Tanggerang, karena bernama A Sam dan tukang jual sate-babi bernama A Kong, tidak mungkin bisa memperoleh kredit KIK/KMKP untuk membuka restoran. Mereka karena keturunan Tionghoa dan dianggap dianggap sebagai “ekonomi kuat”. Sedangkan Hasan, yang tinggal di Pluit dan memiliki rumah seharga 50 juta rupiah dengan mobil sedan mewah, bisa mendapatkan bantuan kredit dengan 69 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan mudah karena termasuk “pribumi” yang dianggap sebagai....“ekonomi lemah” 4. Akibat dari pelaksanaan Kep.Pres.14-A/1980, seorang pengusaha turunan Tionghoa mendapat kesulitan untuk memperoleh kontrak untuk mensuplai barang guna jawatan Pemerintah atau untuk melaksanakan pembangunan proyek Negara ataupun daerah. 5. Kartu Penduduk setiap warganegara Indonesia keturunan Tionghoa diberi tanda kode tertentu, supaya jelas diketahui bahwa mereka adalah keturunan Tionghoa, walaupun sudah ganti-nama dengan nama yang tidak Tionghoa. 6. Warga-negara Indonesia keturunan Tionghoa diwajibkan memiliki apa yang dinamakan Surat Keterangan Kewarganegaraan Indonesia yang dikeluarkan oleh Departemen Kehakiman. 7. Bila seorang keturunan Tionghoa telah ganti nama, ia diwajibkan mempunyai surat keterangan dari Pengadilan Negeri, bahwa namanya telah diganti menurut prosedur sah. 8. Bank Indonesia mengeluarkan instruksi yang menonjolkan syarat “pribumi”: a. Bila perusahaan sepenuhnya milik pribumi, maka perusahaan itu bisa mendapatkan segala jenis kredit; b. Perusahaan milik non-pribumi hanya dapat dipertimbangkan untuk memperoleh kredit investasi dan bentuk2 kredit lain, bila: (1) berpartner dengan orang2 pribumi dengan komposisi modal 75% milik pribumi dan jumlah pengurus aktif se-kurang2nya 50% adalah pribumi; (2) Se-kurang2nya 50% saham dimiliki oleh pribumi dan 70 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan 75% pengurus aktif adalah orang-orang pribumi Instruksi demikian dikeluarkan dengan alasan ekonomi Indonesia masih didominasi oleh golongan etnis Tionghoa. Pendapat tersebut sulit didukung mengingat kenyataan bahwa sebagian besar ekonomi masih berada di tangan perusahaanperusahaan negara dan multi-nasional. Rasisme yang dilakukan khusus untuk golongan Tionghoa menimbulkan berkurangnya self-respect, berkurangnya harga diri pada tidak sedikit di kalangan pemuda Tionghoa, karena orang tua mereka selalu menekankan untuk menelan saja segala ejekan, penghinaan dan perlakuan kurang ajar yang terjadi di masyarakat terhadap dirinya. Mereka khawatir bahwa adanya perlawanan akan meluncur ke eksplosif rasis yang lebih merugikan. Kalau ada bencana alam, para korban akan dibantu oleh berbagai lembaga dan usaha gotong royong. Tapi bilamana ada ledakan rasis, korban-korbannya tidak memperoleh bantuan apa-apa. Tidak ada badan yang membantu. Bilamana usaha dagangnya, seperti toko kecil dan warung kecil dirusak, mereka tidak bisa memperoleh kredit untuk memulai kembali usahanya. Pengrusakan yang dialami usaha Tionghoa yang cukup besar menimbulkan pengangguran, karena mereka terpaksa harus menghentikan banyak pegawainya. Jadi eksplosi rasis terhadap golongan Tionghoa sebenarnya juga memberi dampak negatif terhadap masyarakat luas. Memang, untuk mewujudkan cita-cita yang dirumuskan dalam Pembukaan dan UUD 1945, diperlukan untuk menggalang kemauan bersatu, diperlukan kebulatan tekad dari semua kekuatan dan semua golongan yang ada dalam masyarakat Indonesia, termasuk suku Tionghoa. Proses peralihan struktur masyarakat kolonial menjadi masyarakat Panca Sila, yang mengandung Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, serta melaksanakan 71 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Keadilan Sosial untuk seluruh Rakyat tanpa ada yang dikecualikan, adalah sebuah proses dan tugas yang berat. Modal raksasa asing merasa dirugikan dengan terwujudnya peralihan struktur masyarakat kolonial menjadi masyarakat Panca Sila. Tentu mereka berusaha sekuat tenaga untuk menghambat. Demi mempertahankan menyedot kekayaan alam Indonesia, mereka tentu berusaha untuk membelokkan pelaksanaan UUD 1945. Usaha mereka itulah yang menyebabkan Bung Karno selalu menghadapi hambatan dan ganjelan-ganjelan dalam usaha melaksanakan setiap kebijakannya. Usaha penggalangan Persatuan Nasional yang kokoh dengan mengembangkan kemauan berpartisipasi dari seluruh golongan, seluruh kekuatan politik, seluruh agama yang ada dan hidup di Indonesia, mendapatkan rongrongan yang hebat. Karena adanya Persatuan Nasional yang kuat memungkinkan Bung Karno melaksanakan kebijakan politiknya, termasuk kebijakan ekonomi berdikari, yang pada hakekatnya akan meniadakan modal-modal asing besar di Indonesia. Far Eastern Economic Review, 4 Juni 1981 mengungkapkan laporan Bank Dunia yang semula dirahasiakan, bahwa modal asing raksasa tidak bisa membenarkan usaha memperkokoh kedudukan Perusahaan Negara dalam rangka pelaksanaan pasal 33 ayat 2 UUD 45. Mereka menganjurkan, supaya tidak dilakukan pengendalian terhadap pasar bebas, menggunakan cara bekerja kapitalis yang efficient dan menghentikan campur tangan dalam industri pokok yang membutuhkan modal besar. Kritik Bank Dunia, bahwa perusahaan-perusahaan negara masih diurus secara milik feodal, sehingga pengelolaannya memperkaya dan meningkatkan taraf hidup mereka yang berkuasa, bukan demi kepentingan dan kemakmuran Rakyat terbanyak. Laporan Bank Dunia itu juga mengingatkan kita, bahwa para 72 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan technocrat seharusnya menggunakan “bonanza”(rejeki nomplok) akibat meloncat tingginya harga minyak untuk kepentingan peningkatan kemakmuran rakyat terbanyak, bukan digunakan untuk memperkaya diri sementara penguasa. Pengalaman membuktikan, bahwa masalah Tionghoa tidak bisa diselesaikan hanya dengan ganti-nama yang dikatakan sebagai langkah pertama untuk menghilangkan etnisitas Tionghoa. Orang yang sudah ganti-nama tetap diberi kode yang mempertegas dia tetap adalah keturunan Tionghoa, dan tetap ada berbagai kebijakan yang menyisihkan Tionghoa sebagai golongan yang di anak tirikan. Aksi ganti-nama kemudian ditingkatkan menjadi aksi ganti agama. Tionghoa dianjurkan masuk agama Islam, sebagai agama yang dianut mayoritas rakyat Indonesia. Kita harus ingat bahwa ketika merumuskan Sila Nasionalisme, fihak Islam dan Liem Koen Hian menuntut adanya ketegasan agar nasionalisme tidak meluncur menjadi chauvinisme dan rasisme, sehingga ditambah Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Jadi, seharusnya golongan Islam tidak mempersoalkan apakah golongan Tionghoa masih ingin mempertahankan ciri-ciri etnisitas Tionghoa-nya atau tidak. Agama Islam juga menegakkan Kemanusiaan yang adil dan beradab, setiap orang berhak dan mempunyai kebebasan untuk menentukan nama-nya sendiri, setiap orang berhak dan mempunyai kebebasan untuk menentukan pasangan hidupnya sendiri dan setiap orang berhak dan mempunyai kebebasan untuk me nganut agama sesuai dengan kepercayaannya sendiri. Masalah nama, masalah perkawinan dan masalah agama adalah masalah pribadi seseorang, yang tidak bisa dicampuri siapapun. Lagi pula ganti nama, ganti agama dan kawin campuran tidak akan menyelesaikan masalah Tionghoa. Kebijakan rasis tetap berlangsung. Eksplosi rasis tetap saja terjadi. 73 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Penyelesaian masalah Tionghoa tidak terpisahkan dari upaya pembangunan masyarakat Pancasila berdasarkan UUD 45 dan pembukaannya. Sukju Tionghoa harus menunggal dengan rakyat Indonesia dan menjadikan asiorasi rakyat Indonesia aspirasi mereka sendiri. Kesadaran ber-konstitusi dan kemauan melaksanakan konstitusi secara sungguh-sungguh perlu dikembangkan sehingga sanggup mencegah pelanggaran konstitusi dan mencegah interpretasi yang disesuaikan dengan selera masing pihak penguasa. Yang harus dilakukan adalah pelaksanaan UUD 1945 dalam arti sesungguhnya. MPR dan DPR harus sepenuhnya diisi oleh orangorang yang dipilih rakyat secara langsung, bebas dan rahasia. Sistem pengangkatan anggota DPR dan MPR oleh Pre siden harus dihentikan. Untuk memperkokoh pelaksanaan berbagai ketentuan UUD 45, antara lain pasal 27 ayat 1, yang menjamin persamaan antara semua warga-negara, maka terasa perlu ada penambahan undang-undang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang memungkinkan dilakukan penuntutan dan ancaman hukuman penjara seberat-beratnya terhadap mereka yang menganjurkan atau melakukan praktek diskriminasi rasial. Tindakan diskriminasi rasial harus dinyatakan sebagai kejahatan, yang harus dijatuhi hukuman penjara yang berat. Di banyak negeri, termasuk Nederland sudah memberikan teladan dalam masalah ini. Pembukaan UUD 1945 menyatakan, perlunya membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia dengan tugas: 1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Memajukan kesejahteraan umum; 3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan 74 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kita semua pasti memandang Indonesia dengan rasa bangga, bila apa yang dicantumkan dalam Pembukaan UUD itu diwujudkan. Terutama dalam melaksanakan tugas keempat itu, yang mewajibkan Indonesia selalu berdiri tegas untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan Keadilan Sosial yang mengakhiri kemiskinan dunia. Kesimpulan Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan sebagai berikut: 1. Masalah minoritas etnis di negeri bekas jajahan tidak dapat diselesaikan sendiri oleh golongan yang bersangkutan. Penyelesaian masalah etnis berkaitan erat sekali dengan masalah pokok nasional, yaitu masalah transisi, masalah peralihan masyarakat warisan penjajah bersifat kolonial menjadi masyarakat nasional yang demokratis, masyarakat yang tidak lagi mengenal sistem penindasan manusia oleh manusia, masyarakat yang sanggup menjamin keadilan sosial dengan mempertegak-kokohkan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Dalam hal ini Indonesia khususnya merupakan masalah transisi masyarakat warisan kolonial ke masyarakat Panca Sila, menjadi masyarakat yang sanggup membebaskan seluruh rakyat Indonesia dari kemiskinan, sanggup mempertinggi kecerdasan seluruh rakyat Indonesia dengan mewujudkan Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi seluruh rakyatnya tanpa pengecualian. 2. Masyarakat Indonesia adalah 75 masyarakat pluralistik, Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan majemuk. Proses transisi yang disebut dia atas adalah proses memperkokoh jiwa menghendaki adanya Bhinneka Tunggal Ika, yang toleransi terhadap berbagai macam perbedaan, termasuk perbedaan asal keturunan. Penyelesaian masalah minoritas dalam hal ini berkaitan dengan perwujudan UUD 1945 dan apa yang diuraikan dalam Pembukaannya. 3. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa Tionghoa dijadikan dongkrak untuk mencapai tujuan penjajah maupun penguasa di zaman kemerdekaan. Upaqya ini dengan sendirinya merugikan usaha mempersatukan bangsa dan merugikan Indonesia secara keseluruhan. 4. Pelaksanaan Pembukaan dan UUD 1945 dibawah kekuasaan Bung Karno juga terasa jadi ter-katung2. Pasal 33 UUD 1945 dalam hubungan dengan pasal 27 ayat 2 yang menjamin pada setiap warga-negaranya hidup bebas dari rasa takut akan menderita kekurangan, tidak mungkin dilaksanakan secara sistematis dan sungguh-sungguh. Adanya kaum elite yang tumbuh bukan untuk mementingkan rakyat terbanyak, tapi berusaha menghimpun harta kekayaan untuk diri sendiri. Kegiatan memperkaya diri ini dicapai dengan tindakan-tindakan rasis. 5. Kepentingan 2 super-power ternyata bertemu karena berkepentingan membendung pengaruh RRT di Indonesia. Peristiwa G30S dan penghancuran PKI disertai pembantaian kejam hingga digulingkannya Sukarno adalah manifestasi pertemuan kepentingan ke dua super power ini. Ini kemudian dilanjutkan dengan gerakan anti Tionghoa, penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, dikeluarkannya berbagai ketentuan anti Tionghoa, pelarangan bahasa Tionghoa dan meluapnya prasangka nanti-Tionghoa. 76 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Diikuti dengan pembekuan hubungan diplomatik dengan RRT. 6. Orde Baru keluar dengan semboyan “memurnikan” pelaksanaan UUD 1945. Tetapi pada kenyataannya Orde Baru malah melakukan pelanggaran UUD 1945 serius. Ia memerlukan banyak dana untuk mengendalikan inflasi dan untuk mengendalikan ketertiban nasional. Untuk “membantu” orde Baru bisa berdiri tegak, negara-negara industri membentuk IGGI untuk menyalurkan “bantuan”nya, yang ternyata berbentuk “uang kunci” membuka pintu Indonesia lebar-lebar untuk masuknya penanaman modal asing. Kaum elite yang tumbuh di zaman ORBA ini menjadi jauh lebih banyak dan lebih makmur ketimbang di zaman Bung Karno berkuasa. Timbullah penyakit yang dikenal sebagai “cukong”-isme, yang ternyata dijadikan alasan untuk membangkitkan napsu anti-Tionghoa di antara mereka yang merasa kurang memperoleh bagian “rejeki” di alam meningkatnya korupsi yang kemudian membudaya di Indonesia. 7. Dalam membuka lebar pintu untuk mengundang masuk modal monopoli-asing, dilanggarlah UUD 1945 dan Pembukaan-nya. Modal raksasa asing dibiarkan menguras ke kayaan alam bumi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 dan pa sal 27 ayat 2 dilanggar. Lebih dari separoh rakyat Indonesia hidup dalam kemiskinan, hidup dibawah garis KFM. Puluhan juta buruh, tani dan nelayan masih tetap hidup dibawah garis kemiskinan; jumlah pengangguran meningkat terus tiap tahunnya, penanaman modal asing tidak sanggup menampung penambahan jumlah pekerja yang terus meningkat. Dan masuknya modal asing mengakibatkan gulung tikarnya perusahaan-perusahaan 77 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan domestik yang mempertinggi pengangguran. Puluhan juta pemuda tersingkir dan tidak bisa melanjutkan sekolah karena kekurangan jumlah bangku sekolah. Gap antara kaya dan miskin semakin membesar. Para penguasa diketahui menghimpun kekayaan untuk dirinya sendiri. Golongan Tionghoa dijadikan penghalau gledek dan kambing hitam. Setiap kekecewaan dan kemarahan rakyat diarahkan ke golongan Tionghoa. 8. Bonanza kenaikan harga minyak-tanah tidak digunakan untuk mengurangi kemiskinan rakyat, tetapi untuk mengamankan kekuasaan politik ORBA dan memperkaya mereka yang menjadi penguasa dan para pendukung dan kerabatnya. 9. Mereka yang tidak berkesempatan memperoleh bagian rejeki ini menuntut agar golongan Tionghoa diperlakukan sebagai anak ngenger. Tionghoa dituntut untuk tidak memperoleh bagian rejeki. Berkembanglah berbagai kebijakan anti Tionghoa yang menyebabkan suku Tionghoa merasa dirinya diperlakukan sebagai anak ngenger. Berbagai pelanggaran UUD 1945 yang digambarkan di atas hanya memperkaya segelintir kecil Tionghoa, yang berfungsi sebagai cukong. Keadaan ini mempermudah Tionghoa sebagai golongan dijadikan sasaran kemarahan rakyat. Eksplosi-eksplosi anti Tionghoa ini bukan saja merugikan golongan Tionghoa yang seharusnya diperlakukan sebagai salah satu suku Indonesia, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. 10. Penyelesaian masalah Tionghoa dapat dicapai dengan efektif bilamana: a. Setiap putra Indonesia menjadikan tugas melaksanakan UUD 1945 dan Pembukaannya sebagai life assignment. 78 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Dimulai dengan Siauw Giok Tjhan memperjuangkan tergalangnya Persatuan Nasional yang demokratis yang sanggup memperlancar proses peralihan masyarakat warisan kolonial menjadi masyarakat Panca Sila, masyarakat adil dan makmur yang bebas dari segala macam kemiskinan dan membentuk satu masyarakat demokratis yang mewujudkan Kemanusiaan yang adil dan beradab untuk seluruh rakyatnya tanpa pengecualian, tanpa perbedaan asal keturunan, agama yang dianut dan ideologi yang jelas ada dalam masyarakat. b. Memperjuangkan terlaksananya semangat Konperensi Bandung dalam iklim internasional yang sanggup mencegah adanya campur-tangan asing di dalam urusan dalam negeri Indonesia dan negeri manapun juga berdasarkan ditaatinya dan dijaminnya pelaksanaan hak-hak azasi manusia. Siauw Giok Tjhan Ketua Fraksi Nasional Progresif - DPR (1950-1959) 79 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Delegasi Parlemen Indonesia menemui Perdana Menteri Zhou En Lai di Beijing - 1956 . Zhou - paling kanan dan Siauw - paling kiri Siauw (di tengah) bersama pengurus Baperki Jawa Timur - 1964 80 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan Siauw Giok Tjhan, Sahabat-ku Go Gien Tjwan1 Pada tanggal 4 November 1965, lebih dari sebulan setelah Gerakan 30 September yang melakukan “kudeta” pada tanggal 1 Oktober 1965, Siauw Giok Tjhan diambil oleh sekelompok tentara bersenjata dari rumahnya dengan dalih “diamankan”. Istilah “diamankan” yang digunakan pihak militer pada waktu itu mungkin merupakan terjemahan dari Schutzhaft Nehmen yang digunakan oleh Nazi ketika mereka menduduki negara-negara Eropa. Pada waktu penangkapan itu dilakukan, Suiauw atau keluarganya tidak ditunjukkan surat penahanan resmi dari pihak yang berwenang, sebuah hal yang lazim berlaku di negara hukum. Setelah berada di berbagai tahanan sebagai tahanan politik yang tidak pernah diadili, pada tanggal 15 September 1975, Siauw diizinkan pulang ke rumahnya sebagai seorang tahanan rumah. Perubahan status ini terjadi bukan karena keputusan seorang hakim, akan tetapi karena jerih payah isteri Siauw yang terus menerus memohon pihak berkuasa untuk membebaskan Siauw, karena kemunduran kesehatan Siauw selama di penjara. Pada tanggal 1 Mei 1978 Siauw Giok Tjhan “dikembalikan ke masyarakat”, berarti penahanan rumah-nya dihentikan dan ia tidak lagi harus melapor ke kekuasaan militer setiap minggu. Tetapi ternyata ia tidak bebas penuh, karena di kartu penduduknya ada tanda ET (eks Tapol), sebagai tanda bahwa ia adalah seorang musuh masyarakat yang tindak tanduknya harus tetap diawasi oleh penguasa. Karena kesehatannya yang kian mundur, pada tanggal 18 September 1978, ia pergi ke negeri Belanda untuk 1 Go Gien Tjwan turut mendirikan Baperki dan menjadi Sekretaris Jendral-nya. Perannya dalam sejarah Indonesia besar, sebagai salah satu tokoh Baperki dan seorang akademisi yang kerap membahas masalah Tionghoa di Indonesia. 81 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan perawatan kesehatan dan pada tanggal 20 November 1981, di usia 68 tahun, ia meninggal karena serangan jantung. Atas permintaan saya, Siauw menulis sebuah memoar yang ia beri judul Suatu Renungan. Ini diselesaikan antara bulan Oktober dan Desember 1975. Ini adalah sebuah kombinasi refleksi dan sekaligus pengamatan seorang yang terlibat dalam sejarah politik Indonesia. Saya mendorongnya untuk lebih menceritakan pengalaman pribadi-nya ketimbang analisis politik. Permintaan ini melahirkan naskah kedua yang ia namakan Lima Jaman yang diterbitkan pada tahun 1981 di Belanda. Ke Lima Jaman yang dimaksud adalah zaman penjajahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, zaman revolusi kemerdekaan, zaman kemerdekaan, termasuk masa demokrasi terpimpin dan zaman Orde Baru. Pada tahun 1978, memperlengkap berbagai hal yang membuat penuturannya tentang zaman Orde Baru lebih up-to-date. Ternyata Siauw Giok Tjhan adalah seorang yang tidak bisa menggambarkan jasa dan kebesaran dirinya sendiri dalam sejarah Indonesia. Kedua naskah yang disebut di atas, hampir tidak menyinggung berbagai kegiatan dan keberhasilan politik seorang Siauw Giok Tjhan. Oleh karena itu, saya anggap perlu memberi sebuah ilustrasi yang lebih jelas tentang perjalanan politik Siauw Giok Tjhan. Untuk mengerti sosok Siauw Giok Tjhan dan perannya dalam sejarah Indonesia, kita harus menengok ke posisi komunitas Tionghoa di Indonesia. Siauw adalah seorang anggota komunitas Tionghoa ini. Kehadiran Tionghoa dalam jumlah yang besar di berbagai kepulauan besar Indonesia sudah dimulai sejak era Kristen. Mereka pada umumnya adalah para pedagang yang membawa barang-barang buatan Tiongkok dan negara-negara lain ke Indonesia dan membawa barang-barang atau hasil bumi 82 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan para kerajaan yang berada di wilayah yang kini dikenal sebagai Indonesia. Mereka sudah melakukan kegiatan perdagangan internasional. Banyak dari mereka din pulau Jawa bekerja sebagai tukang diberbagai bidang, termasuk kayu dan pembuatan lemari. Dan banyak di antara mereka yang sudah berasimilasi dengan penduduk Jawa. Kedatangan Belanda di Indonesia mengubah perkembangan di atas. Secara berangsur posisi Tionghoa sebagai pedagang internasional diambil alih oleh Belanda, apalagi setelah VOC didirikan pada tahun 1602. Tionghoa terdesak untuk tidak lagi menjadi importir dan eksportir, dan menjadi perantara antara para pengusaha besar dan para pengusaha kecil dan para petani. Selama zaman penjajahan bidang intermediate trade ini dikuasai oleh Tionghoa. Di zaman berkembangnya VOC di abad ke 17 dan 18, penduduk di Hindia Belanda, nama Indonesia ketika itu, dibagi atas perbedaan keturunan ras yang berkaitan dengan peran ekonominya. Pada abad ke 19, pembagian penduduk atas dasar ras ini diundangkan secara resmi sebagai: golongan pribumi, golongan Asing Asia dan golongan Eropa. Tentunya perkembangan ini tidak membantu pembentukan nasion Indonesia, terutama karena Belanda sengaja mencegah terbentuknya kesatuan golongan Tionghoa dan golongan pribumi. Di masa ini berkembang pula sebuah golongan hybrid – antara Tionghoa dan pribumi yang dinamakan peranakan. Peranakan adalah produk kawin campuran antara para pendatang Tionghoa pria (totok) yang menikah dengan penduduk wanita lokal. Keturunan mereka kemudian menikah antara sama lain dan berkembang sebagai sebuah komunitas besar. Dan komunitas ini bersama para totok dan orang-orang Asia asing lainnya, India dan Arab mengisi lapisan tengah di dalam struktur 83 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan masyarakat kolonial. Lapisan atas diisi oleh komunitas Eropa dan terbawah diisi oleh komunitas pribumi. Di awal abad ke 20, terutama di pulau Jawa, komunitas pe ranakan telah berkembang sebagai komunitas yang memiliki nilai sosial, ekonomi, kebudayaan dan agama yang berbeda dengan komunitas-komunitas lain, termasuk komunitas Tionghoa totok. Sebagian besar Tionghoa di pulau Jawa adalah peranakan. Di luar pulau Jawa, terutama Sumatra dan Kalimantan, situasinya berbeda. Sebagian besar Tionghoa di sana berhasil mempertahankan ke Tionghoa-annya walaupun sudah bergenerasi hidup di Indonesia. Walaupun demikian, komunitas peranakan oleh Belanda diperlakukan secara hukum sebagai golongan Asing Tionghoa. Oleh karenanya, didiskriminasi oleh berbagai kebijakan Belanda. Bangkitlah gerakan melawan diskriminasi di pulau Jawa. Gerakan ini dipengaruhi ajaran Kong Hu Cu dan mereka percaya bahwa ajaran Kong Hu Cu akan menjadi alat ampuh gerakan melawan diskriminasi Belanda. Timbullah tekad mendirikan sebuah organisasi modern yang terdiri dari para peranakan dan totok. Pada tahun 1900 Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK) lahir di Jakarta dan tidak lama kemudian cabang-cabangnya lahir di berbagai kota besar dan kecil di Jawa dan di luar Jawa. Tidak lama setelah itu, beberapa organisasi Tionghoa lainnya didirikan di antaranya Tiong Hoa Siang Hwee (Kamar Dagang Tionghoa) dan Soo Po Sia (Klub Pembaca) dengan tujuan menyebar luaskan nasionalisme Tiongkok. THHK terbentuk bukan karena gerakan nasionalisme Tiongkok yang bertujuan menghancurkan kerajaan Manchuria. Juga bukan karena gerakan reformasi politik yang dipimpin oleh Kang Yu Wei. Kang Yu Wei datang ke Indonesia pada tahun 1904, empat tahun setelah THHK berdiri. Kedatangan Kang di Indonesia 84 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan menimbulkan persepsi salah bahwa pendirian THHK adalah akibat gerakan politik yang berkembang di Tiongkok. Walaupun terjalin hubungan antara Tionghoa di Indonesia dengan Tiongkok dan berbagai perkembangan di Tiongkok mempengaruhi Tionghoa di Indonesia, tetapi pendirian THHK disebabkan perkembangan di Indonesia. Perkembangan yang berkaitan dengan dinamika dunia peranakan di Indonesia, dengan bantuan komunitas totok. Tujuan utama pendirian THHK adalah menjadikan ajaran Kong Hu Cu sebuah kekuatan untuk semua Tionghoa di Hindia Belanda yang memungkinkan mencapai reformasi hukum dan sosial yang menguntungkan komunitas Tionghoa. Salah satu langkah pertama adalah mengajar bahasa Tionghoa untuk semua anak-anak Tionghoa. Sebagian besar peranakan tidak bisa berbahasa Tionghoa. Dengan demikian anak-anak Tionghoa bisa dengan baik mempelajari ajaran Kong Hu Cu. Inilah yang menyebabkan THHK mendirikan sekolah-sekolah dan berubah menjadi sebuah organisasi yang mengelola sekolah. Model pendidikan yang diambil adalah pendidikan modern Barat dan Jepang. Bahasa Tionghoa yang dipakai adalah Mandarin. Kesadaran untuk menemukan identitas peranakan melalui pemahaman kebudayaan leluhur menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi. Se-olah-olah gerakan ini dipengaruhi oleh ge rakan nasionalisme Tiongkok yang disebar luaskan para pejuang revolusi Tiongkok. Padahal gerakan ini tidak didasari kesadaran politik walaupun perkembangannya secara tidak langsung memiliki implikasi politik. Pada tahun 1917 sekitar 700 tokoh peranakan dari berbagai pelosok Jawa mengadakan sebuah kongres di Semarang. Tema utama adalah perwakilan Tionghoa dalam Volksraad mengingat secara hukum Tionghoa di Hindia Belanda adalah Kaula Belanda. 85 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan Akan tetapi sebagian besar hadirin menolak usul untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum mencapai perwakilan di Volksraad karena mereka menganggap dirinya warga negara Tiongkok, jadi menolak Undang-Undang Belanda 1910 yang menjadikan me reka Kaula Belanda. Argumentasi mereka: ”sebagai orang-orang asing, tidak harus masuk Volksraad yang juga tidak beranggotakan orang-orang Inggris, Jerman maupun Jepang”. Memang tidak adanya keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik adalah hal yang wajar untuk komunitas Tionghoa di Hindia Belanda. Akan tetapi ini bukan alasan utama mengapa sebagian besar tokoh peranakan di kongres itu menolak untuk masuk Volksraad. Keputusan semacam itu biasanya dibuat oleh para tokoh masyarakat yang terlibat sebagai pimpinan organisasiorganisasi seperti perkumpulan kematian dan THHK. Salah satu pengaruh kuat untuk tidak terlibat dalam Volksraad datang dari harian Sin Po yang diterbitkan di Jakarta. Ha rian ini mendorong komunitas Tionghoa untuk berpaling ke Tiongkok dan menyebarluaskan pengertian bahwa Tiongkok yang kuat akan selalu melindungi Tionghoa di Hindia Belanda. Kegiatan peranakan di Jawa ternyata membuahkan beberapa hal yang positif terhadap kebijakan diskriminasi. Secara berangsur, keharusan membawa kartu penduduk dan penangkapan semaunya dihentikan. Keluhan Tionghoa yang tidak bisa mengirim anak-anaknya ke sekolah pemerintah menyebabkan Belanda mendirikan sekolah Tionghoa Belanda – HCS. Keinginan untuk berpolitik mulai menonjol setelah tahun 1920-an, setelah masyarakat melihat bahwa kegiatan-kegiatan di tahun-tahun sebelumnya membuahkan perkembangan yang positif. Peranakan ternyata cukup puas dengan adanya UndangUndang Belanda tentang dwi kewarganegaraan. Ini berarti selama 86 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan mereka tinggal di Hindia Belanda meraka menjadu Kaula belanda. Kalau meninggalkan wilayah [penjajahan, mereka menjadi warga negara Tiongkok. Setelah penindasan keras terhadap pemberontakan komunis pada tahun 1926/1927 dan dibuangnya Sukarno dan Hatta ke pulau-pulau terpencil di luar Jawa pada tahun 1930an, para tokoh peranakan merasa sebaiknya tetap tidak terlibat dalam kegiatan politik. Apalagi melihat peranakan yang terlibat dalam pemberontakan komunis dibuang ke Boven Digul di Irian Barat, bersama para komunis lainnya. Akan tetapi di lain pihak, para tokoh pe ranakan ini melihat bahwa diskriminasi terhadap Tionghoa masih ada. Orang Tionghoa tidak diizinkan masuk ke Perkumpulan Belanda, tidak boleh masuk ke kolam-kolam renang tertentu. Walaupun kaula Belanda, orang Tionghoa tidak bisa menjadi pegawai negeri di kementerian dalam negeri. Mereka tidak boleh memilki tanah yang bisa diolah untuk pertanian, kecuali di Tanggerang. Bilamana berhadapan dengan kasus hukum, mereka hanya bisa masuk ke pengadilan yang menangani kasuskasus pribumi. Walaupun demikian, secara keseluruhan, posisi Tionghoa di Hindia Belanda cukup baik. Masih ada pula harapan bahwa Tiongkok yang kuat akan bisa membantu posisi mereka. Status kaula Belanda juga memungkinkan peranakan untuk menjadi pedagang, juru tulis, pegawai di berbagai institusi dan dokter atau sarjana hukum. Syarat untuk bisa menikmati kehidupan tenang, menurut mereka adalah tidak terlibat dalam kegiatan politik. Terlibat dalam kegiatan politik, dianggap berbahaya, atau hong-hiam. Terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, sebaliknya, merupakan kegiatan terpuji. Cukup banyak peranakan yang terlibat dalam pengembangan organisasi-organisasi sosial peranakan. Kaitan dengan gerakan di Tiongkok terasa masih ada, 87 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan walaupun lemah. Hubungan kebudayaan dengan Tiongkok tetap dipertahankan. Akan tetapi komitmen untuk mempertahankan kebudayaan Tiongkok termasuk penggunaan bahasa Tionghoa tidak besar. Dalam hal dukungan terhadap Tiongkok, pada umumnya peranakan hanya menunjukkan sikap basa-basi, walaupun kalau ada bencana alam dan ketika Tiongkok diserang Jepang, mereka siap menyumbang. Di lain pihak, peranakan juga tidak merasa merupakan bagian penduduk Indonesia yang mulai menuntut kemerdekaan, seperti yang dinyatakan dalam pemberontakan komunis pada tahun 1926/1927 dan kegiatan nasionalisme pada tahun 1930an. Tentunya ada pengecualian, yaitu kehadiran sejumlah kecil peranakan yang sudah memiliki kesadaran politik. Mereka sadar bahwa tidak bijaksana ber-orientasi ke Tiongkok bilamana mereka dan keturunannya ingin menetap di Indonesia. Akan tetapi mereka tetap berjumlah kecil dan tidak memperoleh dukungan luas. Pada tahun 1927, sebuah organisasi peranakan yang dinamakan Chung Hua Hui (CHH) didirikan. Nama organisasi ini dalam Mandarin, yang memiliki arti sama dengan Tiong Hoa Hwee Kwan (Perkumpulan Rumah Tionghoa nama dalam bahasa Hokian. Rencana mereka setiap perkumpulan Tionghoa akan memiliki gedung sendiri). Hanya perkataan Kwan, atau gedung/ rumah ditiadakan. Orientasi CHH adalah Belanda dan bahasa yang digunakan dalam rapat-rapatnya adalah bahasa Belanda. Hanya ratusan peranakan yang kaya raya bergabung dalam CHH. Pada tahun 1932, sebuah organisasi politik peranakan lain dibentuk, Partai Tionghoa Indonesia. Lagi-lagi, dukungan masa untuk partai ini tidak besar. Akan tetapi PTI berorientasi ke Indonesia, menentang kolonialisme dan mendukung gerakan 88 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan mencapai Indonesia merdeka, di mana peranakan akan menjadi warga negara Indonesia dengan hak yang sama dengan pribumi. Menjelang masuknya Jepang ke Indonesia pada tahun 1942, PTI bersama para pejuang kemerdekaan nasionalis menuntut Indonesia merdeka sekarang. Siauw Giok Tjhan yang lahir pada tahun 1914 di Surabaya, mengikuti perjuangan ini sebagai anggota PTI. Simpatinya terhadap gerakan kemerdekaan bisa dilihat dari tulisan-tulisannya sebagai seorang wartawan di harian Mata Hari yang diterbitkan di Semarang pada tahun 1930-an juga mendukung gerakan Indonesia Merdeka Sekarang. Jadi jelas bahwa sudah sejak zaman kolonial, bertentangan dengan sikap mayoritas peranakan, Siauw sudah terjun dalam kegiatan politik. Bahkan, ia sudah bersikap anti kolonial dan berkeyakinan bahwa masa depan peranakan berada di Indonesia yang merdeka, bukan Tiongkok. Tentunya sikap Siauw muda ini dianggap oleh masyarakat peranakan tidak ceng-lie (masuk di akal) dan sikap anti kolonial-nya sangat hong-hiam. Setelah Jepang masuk pada tahun 1942, Siauw Giok Tjhan pindah ke Malang di Jawa Timur. Di sana ia berusaha untuk tidak membangkitkan perhatian, karena sebagai wartawan Mata Hari ia menulis banyak artikel anti Jepang, terutama setelah Jepang menyerang Tiongkok pada tahun 1937. Zaman pendudukan Jepang dipergunakan oleh Siauw untuk merenungkan dan mempersiapkan perjuangan rakyat Indonesia mencapai kemerdekaan Indonesia. Ia menganggap dirinya bagian yang tidak terpisahkan dari rakyat Indonesia. Pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah. Dua hari kemudian Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Tibalah kesempatan untuk Siauw berperan dalam memimpin komunitas Tionghoa di masa yang penuh gejolak di masa revolusi dan sesudahnya. Karena sikap a-politis dari sebagian besar 89 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan komunitas Tionghoa di zaman kolonial, tidak banyak kader politik yang siap tampil ke depan. Siauw yang terlatih dalam kegiatan politik sejak zaman PTI, mulai berkembang sebagai seorang pemimpin yang paling trampil dari komunitas peranakan. Pada waktu itu sebagian besar Tionghoa menginginkan dipulihkannya kembali kekuasaan penjajahan Belanda. Dengan tegas Siauw menekankan bahwa masa depan peranakan sangat berkaitan dengan revolusi Indonesia yang akan menghilangkan kemungkinan dikembalikannya penjajahan Belanda. Untuk menunjukkan bahwa pemikiran ini konkrit, Siauw membentuk Angkatan Muda Tionghoa, sebuah organisasi muda yang militan. Ia ingin menunjukkan ke dunia bahwa Tionghoa di Indonesia tidak hanya berpeluk tangan menunggu revolusi mencapai hasilnya di tempat yang aman. Pada tanggal 9 November 1945, bersama sekelompok pemuda Tionghoa Malang, ia pergi ke Surabaya, yang menjadi medan pertempuran. Keesokan harinya, para pemuda Tionghoa Malang ini bertemu pula dengan beberapa pemuda Tionghoa asal Surabaya yang turut bertempur di pihak rakyat Indonesia. Akan tetapi Siauw menyadari bahwa bertempur di pihak Indonesia sebagai sebuah golongan etnis yang terpisah tidak benar. Para tokoh PTI lainnya pun berpendapat bahwa setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, peranakan harus berintegrasi ke dalam berbagai organisasi politik nasional untuk membangun nasion Indonesia. Berdasarkan kesepakatan ini, Siauw bergabung di dalam Partai Sosialis pada tahun 1946, partai gabungan kedua partai sosialis yang tadinya dipimpin oleh Amir Syarifudin dan Syahrir. Pada tahun yang sama Siauw diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi anggota KNIP – Komite Nasional Indonesia Pusat yang berfungsi sebagai parlemen sementara. Pada tahun 1947, 90 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan ia diangkat sebagai menteri negara di kabinet Amir Syarifudin dengan tugas memobilisasi komunitas Tionghoa untuk mendukung Republik Indonesia. Sebelum itu, ia turut berpartisipasi dalam konperensi Inter Asian Relations di New Delhi sebagai wakil Indonesia. Hingga penyerahan kedaulatan penuh ke Indonesia oleh Belanda pada tahun 1949, Siauw tetap menjadi anggota badan Pekerja KNIP dan DPR sementara Indonesia. Setelah kedaulatan penuh, ia pun tetap berada di parlemen, bergabung dengan kelompok Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI) yang dipimpin oleh beberapa tokoh Batak. Siauw merasakan solidaritas kelompok ini sebagai kelompok minoritas. Sumbangan utama yang paling menonjol dari Siauw dalam sejarah berkaitan dengan pendekatan dan pemikirannya tentang penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Pada tahun 1954, beberapa tokoh peranakan merasa perlu mendirikan sebuah organisasi massa untuk membela kepentingan Tionghoa. Mereka meminta bantuan Siauw. Yang direncanakan adalah pembentukan Baperwatt (Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa). Pada rapat pembentukan organisasi ini yang berlangsung selama dua hari, 12 Maret dan 134 Maret 1954 di Jakarta, Siauw secara aklamasi diangkat sebagai ketua umum. Prestasi Siauw sebagai seorang politikus yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan politik praktis karena keterlibatannya dalam revolusi Indonesia, berada di atas semua hadirin rapat pembentukan tersebut. Siauw dengan sangat berpengaruh dan meyakinkan mengubah prinsip pembentukan Baperwatt. Siauw menyatakan bahwa masalah Tionghoa berkaitan dengan perjuangan membangun nasion Indonesia. Banyak tokoh politik, menurutnya, lupa akan tugas penting ini. Mereka lebih mementingkan kepentingan partai-partai politik mereka sebagai 91 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan batu loncatan untuk memperkaya diri mereka masing-masing dengan memperoleh izin-izin import. Untuk mencapai ini, mereka melahirkan berbagai kebijakan rasis terhadap kelas pedagang Tionghoa yang sudah menjadi warganegara dan menurut UUD memiliki hak dan kewajiban sama dengan para warganegara Indonesia lainnya. Kebijakan-kebijakan rasis ini harus ditentang dengan cara yang positif dan membangun, dengan menyadarkan seluruh rakyat Indonesia bahwa hanya ada satu nasion, bangsa Indonesia, dalam negara Indonesia yang merupakan sebuah negara terbentuk atas dasar nasion. Oleh karena itu, Siauw menandaskan, komunitas peranakan tidak boleh memiliki Baperwatt, orga nisasi yang hanya terdiri atas warganegara Indonesia keturunan Tionghoa. Yang harus didirikan adalah Baperki, Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Konsep rasial yang salah tentang kewarganegaraan Indonesia harus dikoreksi. Oleh karena itu Siauw berkata: “mulai besok, ketika kita mendirikan Baperki cabang Jakarta Raya, orang-orang “asli” harus diajak untuk menjadi anggota”. Berdasarkan pemikiran inilah, pada waktu cabang Jakarta dibentuk pada tanggal 14 Maret 1954, rekan wartawan Siauw, Sudarjo Tjokrosisworo, diangkat sebagai ketua-nya. Akan tetapi terlambat. Baperki akhirnya tetap dicap sebagai organisasi Tionghoa. Siauw berpendapat bahwa pengelompokan masyarakat atas dasar keturunan ras adalah peninggalan penjajahan Belanda. Jalan keluar yang dicanangkan Baperki adalah integrasi dalam kegiatan politik dan bahu membahu dengan golongan etnis lainnya, membangun masyarakat yang adil dan makmur. Hanya dengan jalan inilah, menurut Siauw, kepentingan Tionghoa akan terlindungi. Pandangan ini didukung sepenuhnya oleh Pre siden Sukarno. Akan tetapi, kepentingan politik dan ekonomi dari 92 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan berbagai pihak di Republik Indonesia menentang dalih ini. Di bawah pimpinan Siauw yang inspirasional dan karismatik, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa yang besar dan berpengaruh dalam membela kepentingan Tionghoa. Ia menjadi organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah Indonesia. Beberapa tokoh politik dari golongan etnis lain yang menentang rasisme bergaung dalam Baperki. Di antaranya tokoh-tokoh partai-partai politik yang berpengaruh. Akan tetapi, pengelompokan masyarakat peninggalan Belanda lebih kuat dari ajakan Baperki untuk bersama melawan diskriminasi dan ketidak adilan dan membangun nasion Indonesia modern yang demokratis. Salah satu sumbangan penting Siauw dan Baperki-nya dalam sejarah berhubungan dengan ajakan tanpa lelah-nya bahwa Indonesia adalah tanah air Tionghoa di Indonesia, bukan Tiongkok. Ajakan ini menjadi lebih mencolok setelah Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan yang ditanda-tangani di Jakarta dan Beijing pada tahun 1955, di mana Tionghoa menghadapi kenyataan mereka harus memilih antara kewarganegaraan Tiongkok atau Indonesia. Baperki melangsungkan kampanye besar-besar-an menjelaskan betapa pentingnya Tionghoa memilih kewarganegaraan Indonesia dan menolak kewarganegaraan Tiongkok. Cukup banyak Tionghoa, karena hubungan kebudayaan dengan Tiongkok, memilih kewarganegaraan Tiongkok - pilihan yang kemudian mereka sesali. Pada akhir tahun 1970-an dan 1980an, mereka berusaha menjadi warganegara Indonesia melalui jalur naturalisasi. Ini menunjukkan betapa tepatnya anjuran Siauw tentang jalan keluar yang harus ditempuh komunitas Tionghoa di Indonesia. Siauw Giok Tjhan menyadari bahwa diskriminasi dan rasisme tidak muncul di saat adanya Social Vacuum – kekosongan sosial – 93 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan melainkan merupakan warisan kolonialisme. Di awal pembentukan Baperki, Siauw sering menyatakan harapannya bahwa: “harus ada situasi yang tidak memungkinkan rasisme berkembang”, sebuah formulasi yang ternyata diterima oleh banyak pihak. Setelah Demokrasi Terpimpin yang dianjurkan Sukarno pada tahun 1959 dilaksanakan, istilah Sosialisme Indonesia menjadi tujuan utama. Kebijakan Baperki, integrasi, dicanangkan sebagai integrasi dalam revolusi pembentukan masyarakat sosialis. Integrasi yang dilaksanakan tanpa menanggalkan latar belakang kebudayaan dan etnisitas Tionghoa. Para musuh Baperki, termasuk beberapa intelektual Katolik melihat perkembangan ini sebagai sesuatu yang berbahaya, karena dianggapnya bisa menuju ke arah terbentuknya masyarakat komunis. Dengan dukungan para perwira Angkatan Darat kanan, mereka mencanangkan konsep asimilasi dan menentang integrasi. Kebijakan asimilasi ini ternyata tidak secara dalam diformulasikan oleh mereka. Praktisnya, mereka hanya menganjurkan ganti nama dan dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari kelompok peranakan. Mereka tidak ingin memaksakan perubahan agama ke agama Islam dan kawin campuran. Program mereka sebenarnya lebih bersifat anti komunis. Gerakan 30 September yang melakukan aksinya pada tanggal 1 Oktober 1965 merupakan permulaan dari hancurnya rezim Demokrasi Terpimpin yang dipimpin oleh Sukarno yang didukung oleh PKI dan Baperki. Posisi Sukarno setelah itu lemah dan pada tanggal 11 Maret 1966, Jendral Suharto melakukan kudeta yang menjatuhkan Sukarno. Suharto kemudian menggantikannya sebagai presiden Indonesia. Berakhirlah kehadiran Baperki se bagai sebuah kekuatan politik. Ia dilarang oleh pemerintah militer. Siauw Giok Tjhan menjadi seorang tahanan politik dan meninggal di Belanda sebagai seorang eksil. 94 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan Setelah itu kelompok asimilasi memang menang. Akan tetapi ternyata mereka gagal melahirkan seorang pemimpin sekaliber Siauw Giok Tjhan, pemimpin yang memiliki visi politik besar dan pemimpin yang memiliki integritas tinggi. Memang sosok seperti Siauw tidak mungkin bisa lahir di zaman Orde Baru. Yang bisa muncul dan berkembang di zaman itu hanyalah para Cukong. Perjuangan Siauw Giok Tjhan untuk mewujudkan: “nasion Indonesia yang sepenuhnya bebas dari diskriminasi rasial dan masyarakat yang bebas dari kekhawatiran diperlakukan sebagai warganegara kelas kambing” masih belum tercapai. Ia sendiri memang mengakui bahwa ini adalah sebuah perjuangan yang memerlukan perjuangan teguh yang memakan waktu panjang. Tetapi ia yakin bahwa perjuangan ini pasti akan mencapai kemenangan. Siauw meninggal di universitas Leiden, beberapa saat sebelum ia memberi seminar di mana ia akan mencanangkan keyakinannya bahwa perjuangan mencapai demokrasi di Indonesia akan terwujud. Siauw Giok Tjhan adalah seorang pembangun nasion yang meninggal sebagai seorang patriot, walaupun “patriot asing”. Ia meninggal sebagai seorang sosialis yang senantiasa berupaya membawa komunitas-nya menjadi bagian tak terpisahkan dari nasion Indonesia tanpa menanggalkan latar belakang kebudayaan dan etnisitas-nya. 95 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Go Gien Tjwan Go Gien Tjwan - Satu-satunya pendiri Baperki yang masih hidup. Kini berusia 94 Tahun Go Gien Tjwan, Siauw Giok Tjhan, Tjoa Sik Ien Amsterdam 1980 96 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Perjalanan Politik Siauw Giok Tjhan Siauw Tiong Djin1 Perjalanan politik Siauw Giok Tjhan yang panjang dimulai ketika ia pada tahun 1932 menjadi seorang yatim piatu, di usia 18 tahun. Ketika itu ia duduk di tingkat terakhir sekolah elite HBS di Surabaya, yang hanya bisa dimasuki oleh siswa Belanda dan siswa non Belanda pilihan, artinya anak-anak para pedagang atau petinggi Non Belanda yang memiliki hubungan baik dengan penjajah Belanda. sudah Karena prestasi akademik-nya, ia beruntung. yatim piatu, guru-guru HBS yang Walaupun menyayanginya berhasil mengumpulkan dana sebagai bea-siswa untuk Siauw menyelesaikan pendidikan HBS pada tahun yang sama. Di sekolah itu, empat-belasan tahun sebelumnya, Sukarno juga belajar. Salah satu tokoh Indonesia lainnya, Ruslan Abdulgani sekelas dengan Siauw. Di zaman Demokrasi Terpimpin, Ruslan Abdulgani dan Siauw, walaupun tetap bersahabat karib, mendukung dua paham yang berbeda. Ruslan menjadi sponsor jalur asimilasi, yang ditentang keras oleh Siauw, yang mencanangkan paham integrasi. Akan tetapi ke-Indonesiaan Siauw tidak terbentuk karena pendidikan di HBS. Bukan karena ia bersahabat dengan seorang “pribumi” Ruslan Abdulgani, atau seorang teman peranakan Tionghoa sekelas lain, Tjoa Sie Hwie, yang kemudian menjadi anggota DPR mewakili PNI di zaman Demokrasi Parlementer. 1 Siauw Tiong Djin adalah putra bungsu Siauw Giok Tjhan. Ia menulis riwayat hidup ayahnya dan telah menyuntying beberapa buku yang berkaitan dengan Siauw Giok Tjhan, Baperki dan Ureca. 97 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Ke-Indonesiaan itu terbentuk justru karena ia menjadi yatim piatu, karena posisi ekonomi-nya mendadak berubah setelah menjadi yatim piatu. Dari anak yang tadinya dikelilingi kemewahan, menjadi anak yang harus memikirkan bagaimana menyambung hidup tanpa orang tua, bagaimana menyekolahkan adik satusatunya, Siauw Giok Bie, yang pada waktu itu baru berumur 14 tahun. Di saat susah itu-lah, ia bertemu dengan Liem Koen Hian, seorang tokoh peranakan Tionghoa, Pemimpin Redaksi harian Sin Tit Po. Liem Koen Hian memperkenalkannya ke dunia “Tionghoa memilih Indonesia sebagai tanah air” dan sekaligus mengajaknya berpartisipasi dalam gerakan mencapai kemerdekaan Indonesia. Siauw menjadi salah seorang pendiri termuda Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Begitu ia selesai HBS, Siauw segera bekerja sebagai wartawan, pertama di harian Sin Tit Po, kemudian pada tahun 1934, di harian Matahari yang dipimpin oleh Kwee Hing Tjiat, tokoh kawakan Tionghoa lain yang juga mendukung konsep Indonesia adalah tanah air Tionghoa Indonesia. Bekenalan-lah Siauw dengan tokoh-tokoh perintis kemerdekaan Indonesia termasuk Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, Hatta, Amir Syarifuddin dan Mohamad Yamin. Perkenalan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo, Sukarno dan Hatta dilakukan melalui korespondensi. Siauw memuat karangankarangan mereka di harian Matahari atau menyalurkan inspirasi mereka melalui tulisan-tulisannya. Ternyata hubungan dengan Dr Tjipto Mangunkusumo yang pada tahun 1912, bersama Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker mendirikan Indische Partij, lebih mengisi pengertian Siauw muda tentang Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia, 98 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin sebuah pengertian yang ia pahami secara baik. Dari sini lahirlah visi politik, yang menjadi dasar perjuangan politiknya setelah kemerdekaan, yaitu sebanyak mungkin komunitas Tionghoa harus menjadi warga negara Indonesia. Siauw menganggap Dr Tjipto Mangunkusumo salah satu guru politik yang ia sangat hormati. Tentunya visi ini ia padukan dengan apa yang ia pelajari dari para teman senior-nya tentang pengertian bangsa/nasion, golongan minoritas keturunan asing dan diterimanya Indonesia sebagai tanah air: Liem Koen Hian, Kwee Hing Tjiat, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien. Para tokoh peranakan Tionghoa ini sadar bahwa sistem kolonialisme di mana masyarakat dikotak-kotakkan – pribumi, Tionghoa dan Eropa, telah mencetak rasisme. Sebuah sikap yang ternyata berkelanjutan setelah kemerdekaan diproklamasikan. Dimulailah perjalanan politik Siauw yang panjang, meliputi berbagai zaman. Perjalanan yang didasari atas keinginannya berpartisipasi dalam pembangunan nasion Indonesia yang berBhinneka Tunggal Ika, mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa menjadi warga negara Indonesia dan berjuang gigih melawan rasisme. Di awal kemerdekaan visi dan keyakinan ini membuatnya berlawanan dengan pandangan main-stream Tionghoa yang ia wakili dan bela. Dan di berbagai zaman, karena aliran politiknya, ia meringkuk dalam tahanan sebagai tahanan politik, terakhir selama dua belas tahun di zaman pemerintahan Suharto. Akan tetapi ia tetap teguh dengan visi dan pendiriannya. Nasion Indonesia dan Kewarganegaraan Indonesia Sebelum kemerdekaan diproklamasikan, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tjoa Sik Ien dan Siauw Giok Tjhan berkali-kali bertemu 99 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin untuk merumuskan aspirasi komunitas Tionghoa yang harus diikut sertakan dalam UU dan bentuk negara Indonesia merdeka yang sedang diperjuangkan. Liem Koen Hian kebetulan masuk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno. Diskusi bersejarah ke-empat tokoh peranakan Tionghoa yang memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia itu dituturkan secara panjang lebar oleh Siauw dalam memoar-nya 2. Masalah nasion Indonesia dan kewarganegaraan Indonesia didiskusikan dalam pertemuan-pertemuan tersebut. Menurut mereka: “Rumusan keberadaan sebuah bangsa (nasion) yang bersatu tanpa mengindahkan latar belakang asal keturunan dan prinsip bahwa semua yang berada dalam kesatuan tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama, lahir pada tahun 1912 dengan berdirinya Indische partij pada tahu 1912 yang dipimpin oleh Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara”. Selanjutnya diskusi itu juga mempertegas: “perlunya diciptakan Undang-Undang yang melarang praktek-praktek diskriminasi rasial dan adanya ketentuan hukum yang menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban” 3. Diskusi panjang lebar itu akhirnya merumuskan beberapa hal yang menjadi dasar perjuangan Siauw Giok Tjhan di zamanzaman mendatang: “1. nasionalisme tidak boleh meluncur menjadi chauvinisme; 2. hanya ada satu macam kewarganegaraan dengan hak dan kewajiban yang sama; 3. memperjuangkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat; 4. mewujudkan demokrasi materiil, bukannya demokrasi formil, sehingga kepentingan rakyat terbanyak selalu didahulukan; 5. UUD harus tegas dalam ketentuan yang menjamin didahulukannya 2 Siauw Giok Tjhan, “Renungan Seorang patriot Indonesia”, Siauw Tiong Djin (Ed), Lembaga kajian Sinergi Indonesia, pp114-118 3 Sama seperti di atas, pp 114-115 100 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin kepenti ngan rakyat terbanyak daripada kepentingan golongan apa-pun” 4. Seruan dan harapan ke-empat orang ini terpenuhi. Tidak lama setelah kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, tepatnya pada tanggal 1 November 1945, dikeluarkanlah Maklumat Politik (Manifesto Politik) yang dengan tegas mengikutsertakan janji para pendiri Republik Indonesia, yaitu “menjadikan semua orang Indo-Asia dan Indo-Eropa, warga negara, patriot dan demokrat Indonesia, dalam waktu sesingkat mungkin”. Pengertian Siauw tentang nasion dan kewarganegaraan Indonesia lebih terbentuk setelah kemerdekaan di mana ia sangat berperan dalam bidang itu. Sejak tahun 1946 hingga 1966, Siauw duduk sebagai wakil peranakan Tionghoa di dalam berbagai lembaga legislatif tertinggi, KNIP, BP KNIP, DPR, Konstituante, DPR-GR dan MPR. Ia sempat pula menjadi menteri untuk urusan minoritas di kabinet Amir Sjarifuddin di zaman revolusi (1947-1948) dan menjadi anggota DPA di zaman Demokrasi terpimpin (19591965). Sesuai dengan keinginan yang dirumuskan oleh ke empat tokoh Tionghoa digambarkan di atas, Tan Ling Djie dan Siauw turut merumuskan UU Kewarganegaraan Indonesia yang disahkan pada tahun 1946 oleh BP KNIP. UU ini menjadikan semua penduduk yang lahir di Indonesia, pada waktu bersamaan, warga Negara Indonesia. Warga keturunan asing diberi waktu dua tahun untuk menolak kewarganegaraan Indonesia. UU ini, menurut Siauw memenuhi janji yang tercantum dalam Maklumat Politik 1 November 1945, yaitu menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing di Indonesia, warga negara Indonesia. Pergolakan politik di dalam dan luar negeri ternyata 4 sama seperti di atas, p 118 101 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin menimbulkan berbagai kompromi politik yang sempat merugikan pengukuhan Indonesia sebagai negara kesatuan. Pada tahun 1949 pemerintah RI dan Belanda bersepakat membentuk Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas RI dan negara-negara boneka buatan Belanda. Perjanjian yang dinamakan perjanjian Konperensi Meja Bundar, walaupun berisi berbagai hal yang merugikan Indonesia, tetapi ternyata mempertahankan UU kewarganegaraan Indonesia 1946. Pada tahun 1949, waktu untuk menolak kewarganegaraan Indonesia ditunda hingga 1951. RIS berumur pendek dan pada tahun 1950 Republik Indonesia pulih berdiri sebagai sebuah negara kesatuan mencakup semua wilayah yang dijajah Belanda. Dimulai-lah masa yang dikenal sebagai zaman Demokrasi Parlementer (1950-1959) di mana pemerintah bersilih ganti dan sepenuhnya tergantung atas duku ngan suara mayoritas DPR. Siauw Giok Tjhan meneruskan karier politiknya di DPR se bagai wakil golongan Tionghoa tidak berpartai. Ia berkembang sebagai seorang anggota parlemen yang ulung di masa ini. Walaupun ia berada di parlemen sebagai wakil golongan minoritas, ruang lingkup perdebatannya di parlemen bersifat nasional. Ia membentuk dan menjadi ketua Fraksi Nasional Progresif yang cukup berpengaruh. Di lembaga inilah Siauw dengan gigih melawan berbagai kebijakan rasis, yang pada saat itu dikenal sebagai kebijakan “asli-asli-an”. Berbagai tokoh politik pribumi menginginkan peran Tionghoa dalam bidang ekonomi dibatasi bahkan dihilangkan, demi memberi peluang untuk pedagang-pedagang “pribumi”. Kebijakan-kebijakan ini memilah komunitas pedagang dalam dua kategori, “asli” dan “tidak asli”. Komunitas Tionghoa masuk dalam kategori “tidak asli” sehingga harus disisihkan. Argumentasi Siauw dalam menentang berbagai RUU yang 102 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin mengandung kebijakan rasis tersebut bersandar atas dua hal utama. Pertama nasion Indonesia tidak mengenal apa yang dinamakan “asli” atau “tidak asli”. Nasion Indonesia bukan Indonesian race seperti bangsa Aria untuk wilayah Jerman. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku dan golongan keturunan asing. Kedua, UUD yang berlaku di Indonesia menjamin adanya persamaan hak dan kewajiban untuk semua warga negara Indonesia, tanpa membedakan asal usul keturunan atau ras 5. Argumentasi Siauw selalu didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan beberapa partai politik lainnya, sehingga banyak kebijakan rasis tersebut batal disahkan sebagai Undang-Undang. Ada juga RUU yang tidak berhasil dibatalkan, akan tetapi Siauw dengan dukungan parlemen berhasil membatasi dampak negatif terhadap para pedagang Tionghoa 6. Ironis-nya, keberhasilan Siauw untuk membendung kebijakan- kebijakan rasis ini membangkitkan keinginan para politikus senior “pribumi” untuk membatalkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946 yang sudah berlaku sejak tahun 1946. Argumentasi mereka, bilamana pedagang-pedagang Tionghoa yang ingin disingkirkan ini menjadi warga negara asing, UUD yang menjamin persamaan hak untuk semua warga negara tidak lagi bisa “melindungi” posisi para pedagang Tionghoa. Keluarlah Rancangan Undang-Undang (RUU) Kewarganegaraan pada tahun 1953 yang didesain untuk membatalkan UU kewarganegaraan 1946. Bilamana ini diresmikan, semua orang keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang 5 Pidato-pidato Siauw yang menentang berbagai kebijakan rasis di dalam parlemen bisa diikuti di Risalah-risalah Parlemen 1950 - 1959. 6 Contohnya UU Pedoman dan UU Penggilingan Padi yang hendak membatasi keterlibatan Tionghoa dalam usaha bis dan penggilingan padi 103 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin karena UU tahun 1946 itu telah menjadi WNI akan kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya dan harus mengajukan permohonan untuk menjadi WNI dengan surat-surat bukti. Syarat untuk menjadi warga negara pun diperberat. Bukan saja si pemohon harus lahir di Indonesia, ayah-nya pun harus lahir di Indonesia. RUU ini segera ditentang oleh Siauw di dalam maupun di luar DPR. Siauw memobilisasi gerakan anti RUU tersebut. Di dalam DPR ia memperoleh dukungan Fraksi Nasional Progresif. Di luar DPR ia memimpin sebuah panitia Kewarganegaraan Indonesia yang terdiri dari para anggora DPR Tionghoa, beberapa akhli hukum Tionghoa dan para tokoh PDTI - Partai Demokrat Tionghoa Indonesia. Pidato-pidato dan tulisan-tulisan Siauw di berbagai surat kabar menekankan beberapa hal yang sulit untuk dibantah oleh pemerintah, antara lain: RUU ini bertentangan dengan janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945 tentang keinginan menjadikan sebanyak mungkin warga keturunan asing warga negara dan patriot sejati; Indonesia sebagai negara hukum yang menjadi anggota dunia internasional tidak bisa membatalkan kewarganegaraan jutaan penduduknya, apalagi mengingat ada di antaranya para anggota parlemen dan menteri; sebagian terbesar komunitas Tionghoa sebagai rakyat jelata tidak memiliki surat-surat bukti kelahiran dirinya dan orang tuanya; Catatan Sipil baru didirikan pada tahun 1918 di Jawa dan 1926 di luar Jawa, sehingga banyak surat bukti kelahiran orang tua pemohon tidak ada; seandainya mereka pernah memiliki suratsurat bukti tersebut, banyak yang hilang akibat pertempuran dan pengungsian. Didukung oleh Fraksi Nasional Progresif dan para menteri yang dekat dengan Siauw, ia berhasil meyakinkan pemerintah 104 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin menarik kembali RUU tersebut. Keberhasilan ini mendorong para tokoh PDTI untuk meyakinkan Siauw masuk ke dalam dan memimpin organisasi massa baru yang ingin dibentuk PDTI untuk melawan rasisme dan memperjuangkan kewarganegaraan Indonesia komunitas Tionghoa. Pada tahun 1954, Siauw diangkat sebagai ketua umum Baperki - Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia. Walaupun Siauw berkeinginan menjadikan Baperki sebuah organisasi nasional di mana para anggota “pribumi” dan keturunan asing lainnya aktif berpartisipasi, Baperki tercatat dalam sejarah sebagai organisasi Tionghoa. Alasan utamanya adalah sebagian terbesar anggota dan massa pendukung Baperki berasal dari komunitas Tionghoa; dan yang menjadi dasar banyak program politiknya berkaitan dengan tindakan melawan rasisme terhadap Tionghoa, termasuk dalam bidang pendidikan dan kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa. Dengan adanya Baperki, Siauw dan para kawan seperjuangannya memiliki sarana efektif untuk menjangkau komunitas Tionghoa, meyakinkan mereka untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya dan untuk menjadi warga negara Indonesia. Para politikus yang menginginkan sebanyak mungkin WNI Tionghoa kehilangan kewarganegaraan Indonesia-nya ternyata tidak menerima kekalahan dalam kancah demokrasi. Pada waktu penyelesaian dwi kewarganegaraan RI-RRT dibicarakan dengan Chou En Lai ketika ia berkunjung ke Indonesia untuk Konperensi Asia Afrika pertama pada tahun 1955, Sunaryo, pada waktu itu menteri luar negeri, mendesak kebijakan yang terkandung dalam RUU Kewarganegaraan 1953 yang sudah dibatalkan untuk masuk di dalam Perjanjian Penyelesaian Dwi Kewarganegaraan. UU kewarganegaraan RRT pada waktu itu berdasarkan 105 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Jus Sanguinis, artinya setiap keturunan Tionghoa di luar Tiongkok diakui sebagai warganegara Tiongkok. Dengan demikian banyak orang Tionghoa di Indonesia, berdasarkan UU ini memiliki kewarganegaraan rangkap – Tiongkok dan Indonesia. Ini menimbulkan konflik, karena Indonesia hanya mengakui kewarganegaraan tunggal, artinya setiap WNI hanya bisa memiliki kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi menurut hukum Internasional, Indonesia tidak bisa secara sepihak membatalkan kewarganegaraan Tiongkok yang diakui oleh RRT. Siauw bergerak cepat dan berhasil me-negasi Perjanjian tersebut. Ia berhasil meyakinkan Chou En Lai dan Ali Sastroamidjojo untuk mengeluarkan Pertukaran Nota (Exchange of Notes), yang seluruh isinya disiapkan oleh Siauw, membatasi jumlah orang yang harus memilih ulang. Tionghoa yang berada dalam kategori petani, buruh dan mereka yang sudah ikut dalam pemilu 1955, yang menjadi pegawai negeri, militer dan anggota DPR tidak diharuskan memilih kewarganegaraan. Mereka dinyatakan sudah menjadi WNI. Sebagai seorang yang terlibat dalam perjuangan mencapai kemerdekaan; ikut merumuskan UU Kewarganegaraan; dan memimpin upaya melawan RUU Kewarganegaraan 1953; Dan memimpin Baperki dari tahun 1954 hingga ia dibubarkan, Siauw memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Liem Koen Seng dan Phoa Thoan Hian -- semua sarjana hukum kenamaan -- mengakui keahlian dan penguasaan Siauw tentang hukum-hukum kewarganegaraan yang seharusnya diterapkan di Indonesia 7. Hampir semua dokumentasi Baperki tentang hal ini disiapkan 7 Kesemua tokoh hukum ini menyatakan hal ini kepada penulis ketika mereka diwawancarai tentang Siauw Giok Tjhan 106 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin oleh Siauw atau didasari tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw. Iapun kerap memberi ceramah di berbagai acara Baperki tentang Kewarganegaraan dan Nasion Indonesia. 1958, Dalam ceramah untuk para kader Baperki pada tahun Siauw dengan panjang lebar menuturkan berbagai perumusan nasion, dimulai dari John Stuart Mill pada tahun 1861, Ernest Renan pada tahun 1882, Otto Bauer di awal abad ke 20, JV Stalin, pada tahun 1913, Charles Winnick yang menerbitkan Dictionary of Anthropology dan Sukarno. Ia menggambarkan pula pembentukan nasion-nasion Eropa Barat atas dasar peleburan berbagai nasion - contohnya Inggris, Perancis, Jerman dan Italia - dan bagaimana nasion-nasion Eropa Timur terbentuk sebagai multi-racial nations, sehingga terdapat golongan-golongan minoritas. Ia menekankan pula bahwa setelah Perang Dunia ke I, telah tercantum sebuah kesepakatan banyak negara tentang perlindungan kewarganegaraan golongan minoritas, yaitu mencegah tindakan semena-mena mayoritas untuk mencabut kewarganegaraan golongan minoritas, seperti yang dituturkan oleh Lucia P Muir dalam bukunya The Protection of Minorities8. Siauw cenderung menerima teori bahwa nasion Indonesia sudah terbentuk pada akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 di waktu mana pengaruh feodalisme berkurang dan kapitalisme menanjak. Ia mengaitkannya dengan keberadaan sebuah kesatuan politik dan ekonomi yang diciptakan oleh Belanda. Dan ini, menurutnya, diperkokoh oleh Sumpah Pemuda pada tahun 1928. Dengan demikian Ia dengan tegas menyatakan bahwa Nasion Indonesia lahir sebelum negara Republik Indonesia terbentuk pada tahun 1945. Menurutnya, keberadaan sebuah 8 Ceramah Siauw Giok Tjhan, Dokumen Baperki nomor 53/Stn/58 (Stensilan Baperki nomor 53 tahun 1958). Bahan yang tertuang dalam dokumen ini didasari berbagai pidato Siauw di parlemen, lihat risalah-risalah parlemen, 1950 - 1958. Dokumen ini dicetak ulang pada tahun 1961, dengan berbagai tambahan 065/Stn/61 (Stensilan Baperki no 65 tahun 1961) 107 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin nasion tidak tergantung atas keberadaan sebuah negara, dan sangat berkaitan dengan perkembangan sejarah dan kurun zaman tertentu 9. Dalam konteks ini, Siauw membedakan proses pembentukan nasion Indonesia dengan nasion yang ingin diciptakan oleh Van Mook dalam rangka pembentukan Republik Indonesia Serikat di zaman revolusi. Di lain pihak, Siauw tegas menyatakan bahwa berbeda dengan nasion, kewarganegaraan berkaitan dengan kehadiran negara. Seseorang bisa saja kehilangan kewarganegaraan sebuah negara, tetapi ia tetap bisa menyatakan dirinya sebagai bagian dari sebuah nasion. Seperti dinyatakan di atas, Siauw berpendapat nasion Indonesia sudah terbentuk sebelum Negara Republik Indonesia lahir. Upaya membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika merupakan salah satu dasar perjuangan Siauw. Ajakan Siauw lebih berkaitan dengan penerimaan Indonesia sebagai tanah air. Dalam konteks ini Siauw menitik beratkan keberadaan komunitas Tionghoa sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Nasion Indonesia. Siauw percaya bahwa kesetiaan terhadap sebuah nasion sangat tergantung atas komitmen, lingkungan dan koneksi psikologis seseorang dengan nasion tersebut. Akan tetapi, untuk mengukuhkan hak dan kewajiban hukum, ia mendorong sebanyak mungkin Tionghoa untuk menjadi warganegara Indonesia. Dalam ceramah yang sama, Siauw menyatakan: “Nationality, Nationaliteit, Kebangsaan atau Kewarganegaraan adalah persoalan politik dan tidak dapat dicampur adukkan dengan persoalan etnis dan persoalan ras. Siapa yang tergolong dalam nationality ditentukan oleh syarat-syarat politik, tidak ditentukan oleh syarat-syarat biologis atau syarat-syarat 9 Seperti di atas 108 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin kebudayaan”. Sebagai contoh kongkrit, menurut Siauw adalah UU Kewarganegaraan 1946 yang menentukan semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warga negara Indonesia dengan stelsel pasif, yang berarti mereka otomatis menjadi WNI kecuali menyatakan penolakan dalam waktu 2 tahun. UU ini dikeluarkan, menurutnya karena Indonesia sebagai negara muda terancam Belanda yang sering menggunakan alasan melindungi orang asing di Indonesia untuk melancarkan tindakan militer. Di samping itu, UU ini dikeluarkan untuk memenuhi janji yang tertuang di dalam Maklumat Politik 1 November 1945 10. Ia lalu menambahkan bahwa perwujudan UU Kewarganegaraan yang progresif merupakan sebuah proses perjuangan11. Tentunya dalam hal ini yang disitir oleh Siauw adalah perjuangan melawan arus yang ingin membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Komitmen dalam bidang kewarganegaraan ini menyebabkan Baperki berkembang sebagai organisasi yang sangat berperan dalam bidang kewarganegaraan, terutama dalam zaman Demokrasi Terpimpin, membantu komunitas Tionghoa di seluruh Indonesia memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan pelaksanaan penyelesaian dwi kewarganegaraan. Suku Tionghoa, Peranakan Tionghoa dan Integrasi Wajar Istilah Suku Tionghoa, mulai dipergunakan Siauw di berbagai acara Baperki pada tahun 1957-1958. Banyak pidatopidato tidak tertulisnya menyinggung istilah suku12. Secara tertulis, ia mulai gunakan pada tahun 1958. Memang penggunaannya 10 Seperti di atas 11 Seperti di atas 12 Disampaikan kepada penulis oleh Oei Tjoe Tat, Phoa Thoan Hian dan Yap Thiam Hien 109 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin menimbulkan perdebatan pro dan kontra. Secara ilmiah sulit menyatakan komunitas Tionghoa yang tidak homogen sebagai salah satu suku bangsa Indonesia. Rupanya Siauw sendiri menghindari perdebatan ilm iah tentang istilah ini, sehingga tidak memberi penekanan khusus dalam berbagai tulisannya. Akan tetapi, ia gunakan istilah suku sebagai dasar argumentasi simbolik untuk melawan arus “asli” dan arus yang menuntut dihilangkannya ciri-ciri etnisitas Tionghoa dari nasion Indonesia. Siauw sangat dekat dengan ketua Parlemen, Sartono. Oleh Sartono, ia selalu diikutsertakan dalam delegasi parlemen keliling Indonesia dan luar negeri. Oleh karena itu Siauw berkesempatan mengunjungi berbagai pelosok Indonesia dan menemui beberapa komunitas Tionghoa yang bukan saja menjadi mayoritas penduduk tetapi juga sudah ber-ratus tahun menetap di daerah-daerah tersebut, di antaranya Bagan Siapi api, Singkawang, Bangka, Belitung, Binjai dan Tanggerang 13. Ia kerap menyatakan bahwa bilamana yang dijadikan ukuran dasar terbentuknya sebuah suku adalah beradanya sebuah kelompok etnis di sebuah lokasi di atas tiga atau empat generasi, komunitas-komunitas Tionghoa di berbagai lokasi tersebut bisa dinyatakan sebagai suku, karena memiliki corak hidup dan kebudayaan, termasuk bahasa, yang unik berkaitan dengan lokasi-lokasi yang dihuninya. Siauw menegaskan pula bahwa karena banyak orang Tionghoa di Indonesia sudah menetap di berbagai daerah Indonesia bergenerasi, bahkan tidak pernah meninggalkan kampung halamannya, dan kalau ke tempat lain di luar Indonesia akan merasa asing, mereka tidak berbeda dengan apa yang 13 Siauw Giok Tjhan, Renungan pp 263-265 110 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin dinamakan penduduk “asli” 14. Pada tahun 1950-an, Siauw gigih melawan arus “asli-asli- an” yang menurutnya, dalam konteks Indonesia, tidak memiliki legitimasi Hukum dan sejarah pembentukan nasion Indonesia. Seperti yang digambarkan di atas, argumentasinya adalah: nasion Indonesia adalah a multi-race nation - nasion yang terdiri dari berbagai suku bangsa, nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Untuk memperkuat argumentasi inilah Siauw menyamakan keberadaan komunitas peranakan Tionghoa sebagai suku. Ia menyatakan: “Wilayah Republik Indonesia terdiri dari 4,000 pulau besar dan kecil dan antara pulau ini tersebar hidup lebih dari 100 suku bangsa. Di antara 100 suku bangsa adalah suku bangsa Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, Toraja, Bali, sasak, Melayu, Tionghoa, Arab dll. Jadi bangsa Indonesia adalah bangsa yang terdiri dari banyak suku bangsa, banyak bahasa dan berbagai tingkat kebudayaan, tetapi mereka berasal dari satu rumpun bangsa, bahasa dan kebudayaan”. Siauw mendukung argumentasi kesamaan rumpun ini dengan menyatakan bahwa terdapat penemuan tengkorak manusia yang berusia ratusan tahun di Trinil, Solo yang serupa dengan tengkorak manusia yang ditemui di Beijing. Demikian pula dengan tengkorak-tengko rak ratusan tahun yang ditemui di Jawa Timur serupa dengan yang ditemukan di Tiongkok Selatan dan daerah Asia lainnya15. Akan tetapi Siauw sendiri tidak pernah mengklaim bahwa istilah suku itu datang darinya atau Baperki. Bahkan Ia cenderung menyatakannya sebagai istilah yang dipergunakan Sukarno, yang di hadapan massa Baperki pada bulan Maret 1963 dengan gamblang menyatakan bahwa peranakan Tionghoa adalah salah 14 Seperti di atas 15 Renungan, pp. Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, Ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, 1981 111 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin satu suku yang tidak terpisahkan dari nasion Indonesia 16. Tokoh-tokoh Baperki, Oei Tjoe Tat dan Phoa Thoan Hian menyatakan kepada penulis bahwa Siauw yang dekat dengan Sukarno menyampaikan kepadanya pokok-pokok sambutan yang ia harapkan Sukarno utarakan di acara Baperki tersebut. Ini Sukarno tidak mengherankan. mengikutsertakan pula Beberapa isi beberapa pidato konsep resmi Siauw tentang pembangunan ekonomi Indonesia yang berkaitan dengan pengembangan modal domestik. Bahkan rumusan Siauw masuk dalam GBHN MPRS 1964. Siauw berpendapat bahwa apa yang disabdakan oleh Sukarno pada zaman Demokrasi terpimpin tentu jauh lebih berpengaruh dari apa-pun yang dinyatakan atau dihimbau oleh Siauw atau Baperki. Pada tahun 1981, walaupun istilah suku sudah dipergunakannya sejak tahun 1958, ia menyatakan: ”Saya gembira karena salah satu hasil perjuangan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, yang lebih dikenal sebagai Baperki, ternyata diakui dan dikokohkan. Baik dikemukakan, bahwa istilah “suku” bagi peranakan Tionghoa untuk pertama kali digunakan oleh Presiden Sukarno, dalam pidato sambutannya pada pembukaan Kongres Baperki di Jakarta, tanggal 13 Maret 1963. Bung Karno sebagai Presiden RI pertama, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia dan diakui sebagai Penggali Pancasila, tentu adalah orang yang paling competent untuk memberi penjelasan kedudukan golongan peranakan Tionghoa di Indonesia sebagai salah satu suku dari banyak suku yang hidup di Indonesia. Golongan peranakan Tionghoa sebagai salah satu suku dari masyarakat Indonesia, merupakan satu kesatuan tubuh masyarakat Indonesia yang tidak bisa dipisahkan”17. 16 Sambutan Sukarno di kongres nasional Baperki ke 8, Jakarta, 14 Maret 1963. 112 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw pada tahun 60-an, terutama setelah tahun 1963, di waktu mana kebijakan ‘asli-asllian’ sudah berkurang, tidak lagi menekankan istilah suku Tionghoa. Apalagi setelah paham asimilasi dicanangkan. Ketepatan paham integrasi; penyelesaian masalah kewarganegaraan dan dwikewarganegaraan; pengembangan modal domestik dalam mewujudkan sosialisme ala Indonesia; pengembangan program pendidikan Baperki lebih diutamakan. Siauw menganggap semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai peranakan Tionghoa. Ia kerap pula mengkategorikan Tionghoa yang lahir di Indonesia sebagai “golongan keturunan Tionghoa”. Dalam konteks ini, ia memang sengaja tidak membedakan golongan totok (mereka yang masih ber-orientasi ke Tiongkok, menggunakan dialek Tionghoa dalam pembicaraan sehari-hari dan masih mempertahankan kebudayaan Tionghoa) dengan mereka yang dikatakan “baba” atau peranakan (golo ngan yang sudah berakulturasi dengan Indonesia). Rupanya pertimbangan ini berdasarkan pengamatannya bahwa sebagian terbesar Tionghoa yang lahir di luar pulau Jawa adalah komunitas yang memiliki atribut totok. Ini tentunya sesuai dengan dasar perjuangannya yang bersandar atas janji para pendiri RI yang tertuang dalam Maklumat Politik 1 November 1945. Semua yang lahir di Indonesia ingin diajaknya untuk menjadi WNI dan menerima Indonesia sebagai tanah air. Berdasarkan uraian di atas, penulis yakin bahwa rumusan Sukarno tentang peranakan Tionghoa, yang dituturkan dalam sambutannya di Kongres Baperki pada tahun 1963, pun sama dengan apa yang dikehendaki oleh Siauw. Berkaitan dengan argumentasi bahwa Nasion Indonesia 17 Siauw Giok Tjhan, Menuju Indonesia yang Baik, ceramah untuk PPI Belanda, Amsterdam, September 1981 113 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin adalah nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika; nasion yang terdiri dari banyak suku bangsa, termasuk suku Tionghoa; nasion yang mengenal dan menghargai adanya perbedaan etnisitas suku dan kebudayaan yang berkembang di Indonesia, Siauw dan Baperki mendasari perjuangan pembangunan nasion Indonesia atas paham integrasi wajar. Banyak orang menganggap istilah Integrasi baru dipergunakan setelah paham asimilasi lahir dan dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) yang resmi didirikan atas dukungan Angkatan Darat pada tahun 1961. Akan tetapi istilah ini sudah dipergunakan oleh Baperki dan Siauw pada tahun 1958-an. Pada tahun ini, Sukarno memberi sambutan tertulis pada kongres ke Baperki. Sambutan tertulis yang sebenarnya disiapkan oleh Siauw ini menyatakan: “bangsa Indonesia menurut kenyataan terdiri dari berbagai macam suku dan keturunan, di samping mengenal ratusan bahasa daerah. Usaha mempercepat proses integrasi bangsa untuk mencapai satu “nation” yang bebas dari prasangka keturunan (racial prejudice) dan bebas dari rasa takut akan dianak tirikan, memerlukan waktu dan keuletan berjuang.... Dalam hubungan ini patut sekali diperhatikan bahwa ditinjau dari sudut ekonomi, masalah golongan kecil (minority problem) bagi negara seperti Indonesia kita ini, sesungguhnya adalah satu masalah menghapuskan sifatsifat “underdeveloped” dan mencapai “full employment”. Dengan demikian penyelesaian bukanlah dengan jalan mengadakan diskriminasi rasial atau main asli-asli-an... Soalnya yalah: bagaimana meratakan kesejahteraan”18. Istilah Integrasi secara tertulis kembali dipergunakan oleh Siauw pada tahun 1960, pada Kongres Baperki ke delapan di 18 Sambutan Tertulis Sukarno pada Kongres Baperki, Solo, Maret 1958. Penulis memiliki naskah asli yang diketik oleh Siauw dengan mesin tik-nya. Seluruh naskah tersebut, tanpa perubahan keluar sebagai sambutan tertulis Sukarno. 114 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Semarang, Desember 1960, dalam membeberkan beberapa tugas pokok Baperki, diantaranya: “memperlancar proses integrasi nasional dengan membiasakan massa pendukung Baperki bekerja sama untuk berjuang bersama massa tani, massa buruh dan massa rakyat lainnya guna mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi untuk menyelamatkan dan memperkokoh kehidupan sebagai bangsa (nation) yang merdeka dan berdaulat penuh de ngan mencerminkan perwujudan jiwa Bhinneka Tunggal Ika”19. Beberapa tokoh Tionghoa yang pernah berada dalam barisan Baperki, Kwee Hwat Djien, Kwik Hay Gwan dan Auwyang Peng Koen dan juga beberapa peranakan Tionghoa lainnya, seperti Lauw Chuan To dan Ong Hok Ham mulai memformulasi konsepsi asimilasi pada tahun 1960. Konsepsi ini menganjurkan bahwa jalan keluar yang terbaik untuk memecahkan masalah minoritas Tionghoa adalah dengan meleburnya komunitas Tionghoa ini dengan komunitas mayoritas sehingga ciri-ciri ke-Tionghoaan komunitas itu hilang. Proses ini dimulai dengan mengganti namanama Tionghoa menjadi nama-nama non Tionghoa, melakukan kawin campuran untuk menghilangkan ciri-ciri ke-Tionghoa-an dan menanggalkan kebudayaan Tionghoa. Formulasi ini kemudian diresmikan sebagai program politik organisasi yang dinamakan LPKB - Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa, yang disponsori Angkatan Darat. Latar belakang perjuangan Siauw dan Baperki yang dituturkan di atas tentunya bertentangan dengan konsepsi asimilasi. Istilah integrasi kemudian dikembangkan oleh Siauw dan Baperki sebagai jalan keluar yang jauh lebih efektif dalam penyelesaian masalah minoritas Tionghoa. Sesuai dengan pengertian bahwa nasion Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa yang tidak 19 laporan Ketua Umum Baperki: Menyelesaikan Segala Persoalan Kewarganegaraan dalam rangka Membantu Pergerakan Funds and Forces Progresif untuk Melaksanakan Manipol, Semarang, 25-28 Desember 1960 115 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin harus dilebur atau dibaur sehingga ciri-ciri biologis maupun etnisitas para suku itu hilang, Siauw berargumentasi bahwa yang harus diupayakan adalah komunitas Tionghoa mengintegrasikan dirinya bersama suku bangsa lainnya membangun nasion Indonesia. Ia memberi contoh kegagalan Amerika Serikat yang melaksanakan konsep Melting Pot untuk menyelesaikan masalah komunitas African Americans dan menyitir keberhasilan integrasi di Soviet Uni dan RRT. Perbedaan hakiki di antara dua paham ini berdasar atas pengertian apakah Indonesia adalah sebuah nasion atau sebuah race dan apakah hilangnya ciri-ciri biologis Tionghoa memegang peranan dalam kesetiaan atau ke-patriotik-kan seseorang terhadap Indonesia. Keterlibatan Baperki dalam bidang Pendidikan Sebelum Perang Dunia II sebagian besar siswa Tionghoa belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa, yang pada umumnya dijalankan oleh Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK). Mereka yang berada mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Belanda (HCS, ELS, MULO, AMS atau HBS). Hanya sebagian kecil mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Di zaman pendudukan Jepang, sekolahsekolah Belanda ditutup dan siswa-siswa Tionghoa tidak diizinkan untuk pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Indonesia. Oleh karena itu, semua siswa Tionghoa tidak ada pilihan lain melainkan pergi ke sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa. Setelah kemerdekaan pada tahun 1945, penduduk peranakan di beberapa kota besar mulai mengorganisasi sekolahsekolah yang menggunakan kurikulum Belanda. Sekolah-sekolah ini mengakomodasi ribuan siswa yang ingin meneruskan pelajaran 116 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin dalam bahasa Belanda. Sebagian dari mereka ini ingin meneruskan studi-nya di negeri Belanda. Angkatan Muda Tionghoa (AMT) yang dibentuk oleh Siauw Giok Tjhan dan dipimpin oleh adiknya, Siauw Giok Bie, di Malang pada tahun 1945, juga mendirikan sekolah yang menampung ratusan siswa Tionghoa yang ingin meneruskan pendidikan Belanda. Sekolah AMT berlangsung hingga tahun 1948. Setelah kemerdekaan, hingga akhir tahun 50-an, sebagian besar komunitas Tionghoa masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah Tionghoa. Bukan karena mereka tidak menginginkan anak-anaknya memperoleh pendidikan Indonesia, tetapi karena tempat di sekolah-sekolah negeri terbatas dan mereka merasa mutu pendidikan yang anak-anaknya peroleh di sekolah-sekolah Tionghoa memenuhi harapannya. Adanya kenyataan bahwa banyak siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa pada tahun 50-an menimbulkan sebuah kontroversi. Pada awal tahun 1954, Sutan Takdir Alisjahbana, seorang penulis yang ternama dan anggota DPRD Jakarta mewakili PSI, mengajukan mosi di DPRD menuntut dikeluarkannya 200.000 siswa Tionghoa WNI dari sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa yang dijalankan oleh organisasi-organisasi Tionghoa asing. Mosi-nya juga menuntut diubahnya sekolahsekolah berbahasa Tionghoa ini menjadi sekolah-sekolah nasional, kalau jumlah WNI yang belajar di sana melebihi 25%. Walaupun Takdir me ngakui bahwa jumlah sekolah nasional tidak cukup untuk menampung siswa-siswa WNI yang pada waktu itu belajar di sekolah-sekolah Tionghoa, ia menyatakan bahwa masyarakat Tionghoa cukup kaya untuk bisa membangun sekolah-sekolah yang ber-kurikulum nasional untuk anak-anaknya. Siauw Giok Tjhan mengecam mosi ini. Dalam pernyataan yang dimuat dalam beberapa surat kabar pada bulan Juli 1954, 117 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Siauw mengatakan bahwa sampai pemerintah menyediakan sekolah-sekolah yang bisa menampung semua warga negaranya, siswa-siswa Tionghoa WNI harus diberi kebebasan memilih tempat di sekolah-sekolah yang bisa menampungnya. Banyaknya siswa Tionghoa WNI yang belajar di sekolah-sekolah berbahasa Tionghoa tidak bisa diartikan mereka tidak bersedia mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah nasional. Mereka terpaksa berbuat demikian karena memang sekolah-sekolah nasional tidak bisa menampungnya. Untuk mencapai kesepakatan, Siauw mengundang Sutan Takdir Alisjahbana untuk bertemu dengan beberapa pemimpin Baperki lainnya. Pertemuan ini diadakan pada tanggal 4 Agustus 1954. Walaupun pertemuan itu tidak melahirkan sebuah kesimpulan kongkrit, ia berhasil mematahkan upaya sementara tokoh politik yang berkeinginan mengeluarkan peraturan melarang siswa-siswa Tionghoa WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Pada bulan Maret 1955, pemerintah mendirikan beberapa Sekolah Rakyat Percobaan khusus untuk masyarakat Tionghoa WNI. Siauw menganggap konsep ini mendorong diulanginya sistim penjajahan Belanda yang meng kotak-kotakan masyarakat. Sesuai dengan langgam kerja Siauw untuk melahirkan jalan keluar dari masalah yang dihadapi, pada bulan Mei 1955, Baperki menyelenggarakan sebuah konperensi tentang pendidikan dan kebudayaan. Konperensi ini menentang program Sekolah Rakyat Percobaan. Konperensi ini menyepakati Baperki mendirikan sekolah-sekolah yang memiliki kurikulum nasional, yang terbuka untuk semua WNI. Akan tetapi karena kesibukan Baperki dalam kampanye Pemilihan Umum 1955, dan fokus perjuangan yang berkaitan dengan masalah Kewarganegaraan Indonesia menangguhkan rencana pendirian sekolah-sekolah Baperki. 118 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Walaupun demikian beberapa cabang Baperki di daerah mendirikan sekolah-sekolah dasar pada tahun 1956. Dimulai dari Jakarta, Garut, Tanggerang, Cilamaya, Kudus dan Kediri di pulau Jawa dan Bagan Siapi api di Sumatra. Berdirinya Sekolah-Sekolah Baperki Masalah kehadiran siswa-siswa Tionghoa WNI di sekolah- sekolah Tionghoa diangkat ke permukaan lagi pada tahun 1957. Setelah Keadaan darurat (SOB) diumumkan pada tahun 1957, penguasa militer di berbagai daerah, terdorong oleh perasaan anti-komunis, menutupi sekolah-sekolah Tionghoa asing dan melarang WNI belajar di sekolah-sekolah Tionghoa. Ini dimulai di Nusatenggara Barat pada bulan Mei 1957. Semua sekolah Tionghoa di kawasan itu ditutup. Dalam beberapa bulan, penguasa militer di kota-kota lainnya melakukan hal yang sama. Pada bulan November 1957, kebijakan ini dilaksanakan di Jakarta. Walaupun tidak semua sekolah Tionghoa ditutup, jumlah yang diizinkan untuk berjalan jauh lebih sedikit. Peraturan dikeluarkan untuk mempertegas definisi sekolah nasional. Sekolahsekolah nasional harus dipimpin oleh kepala sekolah yang WNI dan guru-guru yang mengajar-pun harus WNI. Pada tahun yang sama, peraturan ini diperkeras. Semua kepala sekolah dan guru dari sekolah-sekolah Tionghoa diwajibkan lulus ujian bahasa Indonesia (tertulis dan lisan). Jumlah guru yang berstatus asing harus dibatasi. Pada bulan Juli 1958, jumlah sekolah Tionghoa turun dari 2000 hingga 850 dan jumlah murid yang belajar di sekolah-sekolah Tionghoa turun dari 425.000 hingga 150.000. Sebagian besar dari 250.000 yang dikeluarkan dari sekolah-sekolah Tionghoa adalah siswa-siswa Tionghoa WNI. 119 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Situasi yang digambarkan ini mendorong Baperki untuk mendirikan lebih banyak sekolah yang bisa menampung para siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada 8 Pebruari 1958 Baperki mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan, yang diketuai oleh Siauw Giok Tjhan. Yayasan ini ditugaskan untuk membangun, mengasuh dan mengkontrol jalannya sekolah-sekolah Baperki. Baperki bergerak cepat. Atas bantuan para kawan dekat Siauw yang menjadi pimpinan Chiao Chung, terutama Sito Chang, Go Gak Cho, Kho Nai Chong dan Kho Ie Sioe, Baperki bekerja sama dengan para pengelola sekolah-sekolah Tionghoa. Dalam waktu singkat, Baperki bisa memiliki gedung-gedung sekolah menampung ribuan siswa yang kehilangan tempat sekolah. Pada tahun 1960, jumlah sekolah yang dijalankan oleh Baperki adalah 96, sebagian besar darinya adalah sekolah-sekolah dasar dan mene ngah. Baperki mengambil alih gedung-gedung sekolah-sekolah Tionghoa yang ditutup. Terdapat juga sekolah-sekolah besar yang dibagi dua. Murid-murid WNI ditampung oleh sekolah Baperki. Kalau jumlah yang WNI lebih besar, maka bagian Baperki lebih besar pula. Penyerah-terimaan sekolah-sekolah ke tangan Baperki dilaksanakan secara cuma-cuma. Baperki berhasil meyakinkan pimpinan Chiao Chung dan para pengelola sekolah Tionghoa bahwa mereka-pun harus turut berpartisipasi membantu komunitas Tionghoa WNI. Baperki berhasil pula mendorong sumbangan besar para pedagang Tionghoa, sehingga dalam waktu singkat, sekolahsekolah Baperki ini berjalan lancar dan dapat menjamin kualitas pendidikannya. Keterlibatan Baperki dalam 120 bidang pendidikan dan Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin pemilikan sekolah-sekolah sempat menjadi topik perdebatan dalam sebuah rapat pimpinan Baperki. Yap Thiam Hien khawatir kegiatan Baperki dalam bidang pendidikan akan memperlemah upayanya mengatasi masalah kewarganegaraan dan arus rasisme. Yap juga khawatir bahwa Baperki tidak akan mampu menjalankan sekolah-sekolah dengan baik karena masalah dana. ke Akan tetapi Siauw berhasil meyakinkan Yap bahwa terlibatan Baperki dalam bidang pendidikan secara langsung menanggulangi masalah kongkrit yang dihadapi komunitasTionghoa dan ini memperbesar dukungan komunitas Tionghoa. Siauw yakin bahwa dana untuk pengelolaan institusi pendidikan akan terus mengalir. Ternyata dugaan Siauw tidak meleset. Semasa hidupnya, Baperki tidak pernah mengalami kesulitan dana untuk kegiatan dalam bidang pendidikan. Sebagian besar kebutuhan dana tertutup oleh uang sekolah. Orang tua yang mampu diimbau untuk memberi sumbangan besar sedangkan yang tidak mampu diberi tarif murah, bahkan cuma-cuma. Untuk pembangunan gedung dan fasilitas baru, Baperki berpaling ke para pedagang Tionghoa yang pada umumnya selalu bersedia menyumbang. Jumlah sekolah Baperki meningkat pesat sejak pendirian Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki pada tahun 1958. Pada tahun 1961, jumlah sekolah yang terdaftar adalah 107. 27 di Jakarta, 17 di Jawa Barat, 12 di Jawa Tengah, 33 di Jawa Timur, 4 di Sumatra Selatan, 10 di Sumatra Utara, 1 di Bali dan 2 di Sulawesi. Pada tahun 1965, jumlah ini meningkat melebihi 170. Di kota-kota besar, mutu pendidikan sekolah Baperki dianggap tinggi dan tidak kalah dengan sekolah-sekolah swasta yang terkenal. Banyak guru-guru yang mengajar di sekolah-sekolah swasta mahal ini juga mengajar di sekolah-sekolah Baperki. 121 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Lahirya Universitas Baperki Setelah mendirikan beberapa Sekolah Menengah Atas (SMA), Baperki menghadapi dilema baru. Lulusan sekolah-sekolah ini tetap mengalami kesulitan untuk mendapatkan tempat di universitas-universitas negara, yang pada umumnya memberi pembatasan untuk siswa Tionghoa. Jumlah siswa Tionghoa tidak bisa lebih dari 10% dari jumlah total siswa yang diterima. Pada tahun 1958, beberapa siswa Tionghoa yang lulus SMA dengan angka gemilang ternyata tidak bisa masuk Universitas Indonesia. Walaupun tidak ada penjelasan dari pihak universitas, para siswa ini mengetahui bahwa kegagalannya untuk masuk Universitas Indonesia disebabkan oleh ke-Tionghoa-annya. Situasi ini mendorong pimpinan Baperki untuk mendirikan universitas Baperki. Yang pertama didirikan adalah Akademi Fisika dan Matematika dengan tujuan mendidik guru-guru sekolah mene ngah. Setelah Baperki mendapatkan dana yang lebih besar, Baperki mulai mewujudkan pendirian Universitas Baperki yang di singkat UBA. Pada bulan September 1959, Fakultas kedokteran Gigi didirikan. Pada bulan November di tahun yang sama, Fakultas Teknik yang mencakup teknik mesin, elektro dan sipil, dimulai. Pada tahun 1962, Fakultas Kedokteran dan Sastra diresmikan. Dalam mengembangkan universitas Baperki, Siauw banyak menengok pada keberhasilan RRT mencapai kemajuan pesat dalam waktu yang singkat. Menurutnya, kemajuan pesat itu dicapai karena adanya pengembangan bidang teknologi. Oleh karenanya, dalam berbagai rapat Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, ia menitik beratkan pendidikan teknologi dengan penekanan teknologi praktis. Dalam konteks 122 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin ini, Siauw menganjurkan para dekan Universitas Baperki untuk mengembangkan program pendidikan yang mengawinkan teori dan praktek, sehingga lulusan-lulusan universitas Baperki bisa dengan cekatan mengetrapkan pengetahuannya dalam masyarakat. Siauw gagal menarik banyak tokoh politik “asli” untuk aktif dalam Baperki. Akan tetapi ia cukup berhasil menarik banyak akademikus non-Tionghoa untuk membantu pengembangan universitas Baperki, diantaranya Pudjono Hardjo Prakoso sebagai Dekan Fakultas Teknik, dan Ernst Utrecht sebagai Dekan Fakultas Ekonomi dan Hukum. Yang menjadi Rektor pertama adalah kawan Siauw di parlemen, Ferdinand Lumban Tobing. Ia adalah seorang dokter Batak yang pernah menjadi menteri di dalam beberapa kabinet di zaman Demokrasi Parlementer. Pada waktu Tobing dikukuhkan sebagai rektor, Siauw menyatakan bahwa dipilihnya Tobing sebagai Rektor mencerminkan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dasar perjuangan Baperki. Beberapa bulan setelah Universitas Baperki didirikan, Tan Kah Kee, pemimpin Tionghoa yang menetap di Singapura yang mengenal Siauw sejak zaman pendudukan Jepang ketika ia bersembunyi di Batu, menawarkan Siauw untuk mengambil tanah miliknya yang terletak dekat Ancol, Jakarta untuk digunakan sebagai lahan universitas Baperki, cuma-cuma. Setelah ditinjau, tanah ini memerlukan ongkos pengurukan yang besar. Oleh karenanya diputuskan untuk membangun gedung-gedung universitas di tanah yang disediakan untuk Baperki oleh Gubernur Jakarta, Sumarno, di Grogol. Pada tahun 1962 Baperki mendirikan kampus di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi. Cabang Surabaya ini dipimpin Profesor Gondowardojo, rektor Universitas 123 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Airlangga. Jumlah mahasiswa pada tahun ini meningkat tinggi. Jumlah mahasiswa yang tercatat melebihi 3000 orang, 2,490 di Jakarta dan 592 di Surabaya. Ketika Rektor Tobing meninggal pada tahun 1963, Siauw menunjuk Nyonya Utami Suryadarma, isteri Kepala Staf Angkatan Udara, Komodor Suryadarma, untuk menggantikannya. Ia menjadi Rektor perempuan pertama di Indonesia. Pada tahun yang sama, Siauw menganjurkan pengubahan nama universitas Baperki menjadi Universitas Respublica, diambil dari pidato Sukarno, yang diucapkan di Konstituante pada tahun 1959 berjudul: “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Siauw menganggap nama Res Publica mencerminkan semangat dan jiwa Baperki dalam dunia pendidikan. Res Publica berarti untuk kepentingan umum. Universitas Baperki didirikan sebagai respons positif terhadap adanya diskriminasi rasial. Universitas Baperki menentang diskriminasi yang merusak pembangunan bangsa. Sejak saat itu universitas ini lebih dikenal sebagai Ureca. Demikianlah Ureca berkembang maju. Daftar dosen yang mengajar di Ureca sangat mengesankan. Banyak dosen ternama yang mengajar di UI dan ITB, mengajar pula di Ureca. Banyak pula tokoh teknorat yang ternama memperkuat tim pengajar Ureca. Pada tahun 1964, departemen PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan) menyamakan lulusan sarjana muda dalam bidang teknik, kedokteran gigi, ekonomi dan hukum dari Ureca dengan lulusan sarjana muda para universitas negara. Pada tahun 1965, lulusan fakultas teknik dan kedokteran gigi Ureca juga diakui sebagai sarjana penuh. Pada tahun 1964, jumlah mahasiswa Ureca tercatat 4000, 300 darinya adalah sarjana muda yang diakui sah oleh negara. Pada tahun 1965, sebelum pergantian politik pada bulan Oktober, 124 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin jumlah mahasiswa yang terdaftar melebihi 6000. Ureca menjalankan program orientasi yang unik. Perpeloncoan untuk mahasiswa baru dilarang. Para mahasiswa baru ditugaskan untuk membersihkan jalan-jalan di daerah kota sebagai tanda terima kasih atas bantuan yang diberikan oleh para pedagang Tionghoa. Para mahasiswa Ureca diimbau untuk membantu usaha pembangunan gedung-gedung universitas. Para mahasiswa teknik-nya bekerja sama dengan para dosen untuk mendesain gedung-gedung serta fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan. Dengan jalan gotong royong ini, banyak gedung bisa diselesaikan pada waktunya dengan ongkos pembangunan yang relatif rendah. Ureca adalah satu-satunya universitas di Indonesia yang dibangun oleh para mahasiswanya. Sesuai dengan prinsip Res Publica yang digambarkan di atas, Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki mengeluarkan kebijakan untuk tidak melaksanakan diskriminasi atas dasar ras, agama, aliran politik maupun status kewarganegaraan. Oleh karena itu yang diterima benar-benar mewakili aneka ragam latar belakang. Ada yang berhaluan kiri, ada yang berhaluan kanan, banyak yang beragama Buddha dan Kong Hu Cu, cukup banyak yang beragama Katolik dan Kristen. Ada pula pribumi, walaupun merupakan minoritas. Sebagian besar yang masuk adalah Tionghoa. Dan cukup banyak adalah Tionghoa totok yang berstatus asing. Banyak pula yang masuk dari sekolah-sekolah Tionghoa. Ketika hal ini dimasalahkan, Siauw menegaskan bahwa walaupun mereka berstatus asing, mereka tetap penduduk Indonesia yang bisa menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk membangun Indonesia. Di samping itu, Siauw menegaskan bahwa salah satu tugas Baperki adalah mengajak sebanyak 125 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin mungkin komunitas Tionghoa untuk menjadi WNI. Kebijakan ini mendorong lebih banyak lagi orang Tionghoa totok memberikan sumbangan-sumbangan dalam jumlah besar. Karena reputasi Ureca baik dan kualitas pendidikannya dianggap tinggi, cukup banyak mahasiswa “asli” yang tertarik untuk masuk. Beberapa rekan Siauw di DPRGR meminta bantuannya supaya anak-anak mereka bisa diterima di Ureca. Untuk mendorong masuknya mahasiswa-mahasiswa “asli”, Baperki mengadakan persetujuan dengan Taman Siswa. Baperki memberi beasiswa pada beberapa mahasiswa Taman Siswa yang berprestasi untuk belajar di Ureca. Menjelang Mei 1965, Ureca mempunyai cabang-cabang di beberapa kota besar lainnya termasuk Medan (Fakultas Ekonomi dan Pendidikan), Semarang (Fakultas Kedokteran), Jogjakarta (Fakultas Ekonomi). Sebelum peristiwa G30S, pembangunan gedung-gedung Ureca di Malang, Solo, Cirebon, Bandung juga sudah dimulai. Upaya yang berkembang dengan pesat ini buyar dalam sekejap mata, karena pergantian politik pada bulan Oktober 1965. Bisa dibayangkan bagaimana besar dan positif dampak kehadiran cabang-cabang Ureca di berbagai pelosok Indonesia. Institusi-institusi pendidikan yang akan menghasilkan banyak akhli membangun Indonesia. Kegiatan Politik di Sekolah-Sekolah Baperki dan Ureca Siauw menggunakan institusi pendidikan Baperki memperdalam pengertian kewarganegaraan dan pembangunan nasion Indonesia. Ia berkeyakinan bahwa pendidikan dari SD hingga tingkat universitas adalah sarana efektif mendidik komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah air dan 126 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin mengajaknya untuk berpartisipasi membangun nasion Indonesia. Siauw menyenangi penggunaan definisi-definisi yang sederhana untuk memperbesar animo orang berpartisipasi dalam berbagai kegiatan politik dan sosial. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki didorong untuk memahami Panca-Cinta: a. Cinta tanah air dan bangsa Indonesia b. Cinta kemanusiaan dan perdamaian c. Cinta pengetahuan dan kebudayaan a. Cinta bekerja a. Cinta orang tua Mata pelajaran wajib Civic di Ureca dibina dan dikelola oleh Siauw sendiri. Siauw menguraikan perkembangan sejarah dan partisipasi golongan Tionghoa dalam mencapai kemerdekaan. Masalah Nation Building dan pengintegrasian suku Tionghoa ke dalam tubuh bangsa Indonesia menjadi inti pendidikan politik di Ureca. Diktat-diktat kuliah Siauw dijadikan bahan bacaan untuk semua mahasiswa. Bahan-bahan inilah juga dipergunakan oleh banyak guru-guru civic di sekolah-sekolah Baperki sebagai pedoman bahan pengajarannya. Penekanan untuk menjadi orang Indonesia yang baik dan menerima manipol sebagai pedoman politik, menyebabkan institusi pendidikan Baperki unik. Di situlah pemuda pemudi Indonesia melalui sebuah prose pengIndonesia-an yang efektif, proses pembangunan nasion Indonesia yang bernuansa politik. Bahan pendidikan yang digunakan sekolah-sekolah Tionghoa yang berhaluan kiri diperoleh dari Tiongkok. Kurikulum pendidikannya didasari atas kebutuhan untuk mempersiapkan para siswa supaya bisa meneruskan studi-nya di universitas-universitas Tiongkok. Bahan pendidikan yang berkaitan dengan sejarah dan politik memiliki penekanan nasionalisme Tiongkok dan penuturan 127 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin sejarah perjuangan Mao Ze Dong dalam memenangkan revolusi Tiongkok. Oleh karena itu bahan-bahan yang mendekatkan para siswa dengan kebudayaan Indonesia dan politik Indonesia sangat terbatas. Di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca, yang digunakan adalah kurikulum nasional. Hubungan pelajar dengan sejarah, kebudayaan dan politik Indonesia dipererat. Para siswa Baperki didorong untuk mengenal dan mencintai kebudayaan Indonesia. Pendidikan menanamkan pengertian bahwa Tiongkok bukan tanah air para siswa Baperki. Indonesia-lah tanah air mereka. Dengan demikian, melalui program pendidikan semacam ini, Baperki secara sistimatik meng-Indonesia-kan para siswa-nya, baik yang peranakan maupun yang totok. Yang menarik adalah kenyataan bahwa sebagian besar pimpinan organisasi pelajar dan mahasiswa di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca berasal dari kelompok totok. Mereka lebih militan dan mempunyai kesungguhan dalam keaktifan di bidang politik. Ini disebabkan latar belakangnya. Pendidikan sekolahsekolah Tionghoa memperkenalkan mereka tentang kisah-kisah militan revolusi Tiongkok. Mereka lebih siap terjun dalam kegiatan politik dibandingkan para siswa yang berasal dari kelompok peranakan. Pada tahun 1959, Siauw mendorong dibentuknya PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) di Jakarta. Keanggotaannya mencakup pelajar dan pemuda. Banyak pelajar sekolah-sekolah Baperki dan mahasiswa-mahasiswa Ureca menjadi anggotanya. Organisasi ini diberi tugas untuk menyebar-luaskan programprogram Baperki dan mempromosikan kebudayaan Indonesia. Dalam bidang kebudayaan, para anggota PPI didorong untuk menguasai tarian-tarian Indonesia. Para anggota PPI inilah yang mendorong terbentuknya Tim Kesenian Ureca. Acara-acara 128 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin kesenian yang diselenggarakan di kampus URECA senantiasa menonjolkan kebudayaan Indonesia. Baperki sering menyatakan bahwa ke-Indonesiaan para pemuda Baperki tercermin dari kemampuannya mementaskan kebudayaan Indonesia dengan baik. Kualitas tarian dan kemampuan para penari pemuda pemudi Baperki menyebabkan Sukarno beberapa kali memintanya melakukan pertunjukan di acara-acara resmi pemerintah. Kegiatan PPI didukung oleh organisasi-organisasi pelajar yang didirikan di setiap sekolah Baperki, dinamakan Ikatan Pelajar Anggota-anggota Ikatan Pelajar ini dilatih untuk berorganisasi, melakukan diskusi-diskusi politik dan mengeluarkan majalahmajalah berkala. Kegiatan agrikultur dianjurkan di sekolah-sekolah Baperki. Pada waktu Sukarno mencanangkan konsep Berdikari pada tahun 63, tanah-tanah kosong di setiap sekolah Baperki diubah menjadi perkebunan jagung. Para mahasiswa teknik Ureca didorong untuk belajar membuat alat-alat pertanian. Pada tahun 1965, program kerja sama antara Ureca dan BTI (Barisan Tani Indonesia) disetujui. Ini dijadikan landasan usaha penelitian Ureca untuk menghasilkan produk yang bisa digunakan oleh para petani. Kegiatan politik di sekolah-sekolah Baperki dan Ureca lebih menonjol setelah tahun 1964. Kongres Baperki pada tahun 1964 menyetujui usul agar para pelajar sekolah-sekolah Baperki masuk ke IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia). Tidak lama setelah itu, Siauw mengumumkan bahwa 6000 pelajar Baperki menjadi anggota-anggota IPPI. Cukup banyak pelajar-pelajar sekolah Baperki menjadi pimpinan IPPI. Menjelang akhir 1965, Siauw dan Goei Hok Gie, ketua umum Perhimi mempersiapkan persetujuan di mana Perhimi dijadikan afiliasi organisasi mahasiwa Baperki. Persetujuan belum sampai diresmikan ketika peristiwa G30S meletus. 129 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Mahasiswa Ureca, seperti para siswa di sekolah-sekolah Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi. Setiap Fakultas memiliki Senat Mahasiswa yang mengkoordinasi berbagai kegiatan organisasi ke-mahasiswaan di fakultas tersebut. Ketua dan wakil ketua setiap Senat bergabung di dalam sebuah wadah yang dinamakan Dewan Mahasiswa. Melalui pimpinan Dewan Mahasiswa inilah berbagai kebijakan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, terutama garis perjuangan Baperki disebar luaskan ke para mahasiswa. Mulanya kegiatan politik di kampus-kampus Ureca terbatas pada inisiatif yang diambil oleh PPI. Akan tetapi setelah tahun 1962, kegiatan politik di kampus-kampus didominasi oleh Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia yang di pada tahun 50an bernama Ta Hshue Hsue Seng Hui). Disamping Perhimi, aktif juga PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Indonesia) dan CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia). Siauw sendiri kurang menyetujui arus ke kiri yang berkembang di Ureca. Ia memang cenderung meletakkan posisi Baperki dan semua institusi pendidikannya di posisi netral. Polarisasi politik yang mengarah ke kiri setelah tahun 1963 ternyata sulit dibendung. Pengaruh PKI di berbagai lapisan menanjak. Siauw mengkhawatirkan para mahasiswa Ureca akan disalah gunakan. Kegiatan politik di kampus Ureca-pun mencerminkan polarisasi politik. CGMI yang kiri cukup sering bertentangan dengan PMKRI yang kanan. Akan tetapi pertentangan ini tidak mencapai sifat destruktif. Semangat bekerja sama dan kesetiakawanan masih terpupuk baik. Menjelang akhir 1965, banyak pimpinan dewan mahasiswa Ureca masuk Pemuda Rakyat dan CGMI, kedua-duanya berafiliasi dengan PKI. Pada acara-acara perayaan organisasi-organisasi ini, sumbangan tenaga dan materi para mahasiswa Baperki sangat 130 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin diharapkan. Inilah yang menyebabkan banyak yang menjadi korban keganasan rezim Orde Baru. Cukup banyak pimpinan Dewan Mahasiswa yang ditahan, bahkan ada yang dibuang ke pulau Buru. Berakhirnya Baperki dan Ureca Peristiwa G30S sekejap mengubah politik Indonesia secara dramatik. Kekuatan kiri yang tampak berada di atas angin sebelum 1 Oktober 1965, dalam sekejap berubah menjadi buronan dan kekuatan yang dipersekusi. Dalam waktu singkat setelah 1 Oktober 1965, Jendral Suharto berhasil memobilisasi Angkatan Darat dan sebagian besar kekuatan politik kanan yang sebelum 1 Oktober berada di posisi yang terpojok, melakukan pembantaian yang luar biasa kejamnya. Sekitar dua juta orang yang dianggap berkaitan dengan PKI dan para ormasnya dibantai. 500 ribu orang lainnya dimasukkan ke dalam penjara. 100 ribu diantaranya, termasuk Siauw Giok Tjhan dan banyak pimpinan Baperki lainnya, harus meringkuk dalam penjara tanpa proses pengadilan apa-pun selama belasan tahun. Teror kejam ini dilakukan oleh negara dan aparat militer yang seharusnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum. Tuduhannya adalah G30S didalangi oleh PKI. Padahal jelas PKI dan para ormasnya tidak siap dan tidak tahu menahu tentang G30S. PKI dan seluruh ormas yang berafiliasi dengannya dibubarkan. Gedung-gedung milik mereka diserang dan dibakar. Semua terjadi tanpa perlawanan apapun. Semua organisasi dan partai yang berada dalam kamp kiri menjadi sasaran. Dengan demikian Baperki-pun turut menjadi sasaran. 131 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Pada tanggal 15 Oktober 1965 kampus Ureca diserbu massa yang jelas didukung dan dikoordinasi oleh kekuatan militer. Kampus A atau Kampus Timur Ureca yang menjadi tempat perkuliahan Fakultas Kedokteran, Kedokteran Gigi, Hukum, Ekonomi dan Sastra diserang ribuan orang. Berbeda dengan gedung-gedung PKI dan ormas-ormas-nya, Gedung-gedung Ureca dijaga dan dikawal oleh ratusan mahasiswa Ureca dengan jiwa militansi yang besar. Seminggu sebelum serangan tersebut, ratusan mahasiswa ini sudah ber-jaga-jaga dan menginap di gedung-gedung Ureca. Ancaman bahwa tindakan demikian akan membahayakan keselamatan mereka sendiri tidak dihirau. Mereka rela berkorban demi mempertahankan gedung-gedung nya. Mereka benarbenar merasa bahwa gedung-gedung beserta isinya adalah milik pribadi mereka. Ketika serangan yang mengikutsertakan ribuan orang itu tiba, dengan gagah berani para mahasiswa Ureca melawannya. Jumlah penyerang jauh lebih banyak dan satu jam kemudian para mahasiswa Ureca terpaksa mundur dan menyaksikan kampus yang dicintainya itu dihancurkan dan dibakar. Pada waktu bersamaan kelompok penyerang lain menyerang kampus Timur atau Kampus B, di mana perkuliahan Fakultas Teknik diadakan. Terjadi pula pembakaran beberapa gedung. Siauw memperoleh peringatan akan adanya penyerangan ketika ia berada di gedung DPR. Ia segera menuju ke istana menghadap Sukarno meminta bantuan. Bantuan yang diharapkan tidak bisa dipenuhi. Sukarno hanya bisa mengajak Siauw untuk menyaksikan penyerangan dan pembakaran itu dari helicopter. Siangnya ia bergegas ke kampus Ureca. Dengan air mata berlinang, di hadapan ratusan Mahasiswa Ureca yang berkumpul untuk mempertahankan gedung-gedung Ureca, ia berjanji untuk 132 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin membangun kembali Ureca. Janji yang tidak pernah bisa ia penuhi karena ia sendiri ditahan selama 12 tahun oleh rezim yang mengkoordinasi pengrusakan dan pembakaran Ureca. Dan sikon politik tidak memungkinkan berdiri kembalinya Ureca. Akan tetapi Siauw tetap berupaya. Bersama dengan Rektor Ureca, nyonya Utami Suryadarma, ia pergi menemui Sukarno pada minggu terakhir Oktober 1965. Sukarno berjanji akan memerintahkan pembukaan dan pembangunan Ureca. Pertemuan itu kemudian dilanjuti oleh Siauw dan Go Gien Tjwan dengan menteri pendidikan Syarif Thayeb. Sadar akan kelemahan posisi politik mereka, Siauw dan Go berkeinginan untuk menyerahkan manajemen Ureca ke tangan pemerintah, dengan harapan perkuliahan bisa segera dimulai untuk semua mahasiswa Ureca. Bukan Ureca yang dibuka dan dibangun kembali, melainkan Universitas Trisakti dibawah asuhan musuh politik Baperki, LPKB. Sebelum pengambil alihan tersebut dan sebelum Siauw masuk penjara, ia masih sempat bertemu dengan Ferry Sonneville yang ditugaskan LPKB untuk menangani pembangunan Universitas Trisakti. Permintaan Siauw kepada Ferry Sonneville pada awal bulan November 1965 adalah: lanjutkanlah upaya Baperki memberi peluang sebaik mungkin untuk para mahasiswa Ureca dan mereka yang tidak bisa diterima di perguruan tinggi. Akan tetapi yang berkembang berbeda dengan harapan Baperki dan para mahasiswa Ureca. Sebagian besar mahasiswa Ureca di awal hidup Universitas Trisakti tidak diizinkan masuk sebagai mahasiswa. Diadakan screening. Mereka yang menjadi anggota CGMI dan Perhimi tidak diizinkan masuk. Ini yang menyebabkan ribuan mahasiswa putus sekolah. Siauw dan banyak pimpinan Baperki lainnya hanya bisa menerima kenyataan ini dengan sedih di penjara. Mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Dosen-dosen yang dianggap berhaluan kiri pun kena 133 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun persekusi. Siauw Tiong Djin Mereka ditangkap atau tidak diizinkan mengajar di Universitas Trisakti. Program pendidikan Ureca yang besandar atas prinsip “Pendidikan Bukan Barang Dagangan” tidak dilanjutkan. Universitas Trisakti berkembang sebagai universitas swasta untuk mereka yang mampu membayar. Yang tidak mampu walaupun memiliki prestasi pendidikan baik harus menggigit jari, tidak bisa masuk. Akan tetapi Upaya meng-Indonesiakan komunitas Tionghoa di dalam tubuh Baperki dan institusi pendidikannya jelas nampak. Sejarah tidak akan bisa menyangkal peran yang dimainkan URECA dalam pembangunan nasion Indonesia. 50 tahun setelah Ureca dibakar, para mahasiswa yang sempat melalui pendidikan politik di Ureca menunjukkan bahwa kecintaan mereka terhadap Indonesia tidak luntur. Walaupun dalam bidang akademik upaya Baperki melahirkan ribuan sarjana gagal, tetapi pendidikan politik-nya berhasil meng-Indonesia-kan ribuan mahasiswa Tionghoa, berhasil mengubah mind-set mereka untuk mencintai kebudayaan Indonesia, menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Hal yang serupa bisa dikatakan untuk puluhan ribu pelajar yang sempat menikmati pendidikan di sekolah-sekolah Baperki dan mereka yang masuk dalam PPI. Dalam hal ini, upaya Baperki dan impian Siauw yang terbentuk sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia sejak tahun 1932, bisa dikatakan sebagian terwujud. Ketergantungan atas Sukarno dan Politik Kiri Dengan berkembangnya polarisasi politik, kiri dan kanan dalam zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw tidak bisa tidak harus 134 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin memilih aliran politik. Para partai politik dan organisasi kiri, terutama PKI di zaman ini mendukung kebijakan Siauw dan Baperki. Sedangkan Angkatan Darat dan partai-partai politik kanan pada umumnya menentangnya. Ironisnya, integrasi yang dijadikan program politik Baperki dan asimilasi yang dijadikan program LPKB dikaitkan dengan aliran politik. Integrasi dianggap jalan keluar kiri, sedangkan asimilasi jalur kanan. Sukarno sebagai pengimbang kekuatan politik di awalnya sempat menunjukkan dukungan ke dua pihak ini. Di hadapan Baperki ia mendukung integrasi. Di lain pihak, ia-pun menerima konsepsi asimilasi. Akan tetapi setelah tahun 1963, Sukarno cenderung mendukung Baperki. Sampai akhir zaman Demokrasi Terpimpin pada akhir 1965, Baperki berada di atas angin dan LPKB tampak terpojok. Perlindungan Sukarno yang diperoleh Baperki menyebabkan ia mampu berkembang pesat, terutama di dalam bidang pendidikan. Setelah tahun 1958, Baperki lebih dikenal sebagai lembaga yang memberi kesempatan pendidikan untuk komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, warganegara Indonesia maupun warganegara asing (Tiongkok). Ratusan sekolah dan beberapa kampus universitas Baperki yang dinamakan Universitas Respublica menampung puluhan ribu siswa Tionghoa di banyak kota besar. Melalui program pendidikan inilah, Baperki mengajak sebanyak mungkin komunitas Tionghoa untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Pengembangan lembaga pendidikan Baperki beribarat “membunuh dua burung dengan satu batu”. Ia dikembangkan untuk menyambut rasisme dalam bidang pendidikan dan sekaligus menjadi sarana efektif untuk meng-Indonesia – kan komunitas Tionghoa, terutama yang totok. Siauw berkeyakinan bahwa Nation Building dengan jalur integrasi adalah proses yang membangun, 135 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin yang memerlukan metode membangun, yaitu mengajak komunitas Tionghoa untuk mencintai Indonesia, mencintai kebudayaan Indonesia dan turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan aktif membangun Indonesia. Kesetiaan dan kecintaan terhadap Indonesia, menurutnya, tidak bisa dikaitkan dengan nama, latar belakang ras, agama, bahkan kewarganegaraan seseorang. Dalam konteks ini, seperti yang diutarakan di atas, Siauw memandang nasion sebagai sesuatu yang lebih besar dari kewarganegaraan. Kebijakan untuk sepenuhnya bersandar atas perlindungan Sukarno memang memungkinkan Baperki berkembang pesat dan secara politis berada di atas angin. Akan tetapi tumbangnya Sukarno dan kekuatan kiri secara langsung menyebabkan Baperki hancur dan peran Siauw dalam percaturan politik Indonesia segera terhenti pada akhir tahun 1965. Banyak anggota Baperki menjadi korban keganasan militer yang bergerak menghancurkan kekuatan kiri setelah peristiwa G30S 1965 dengan pembantaian manusia tidak bersalah dalam skala besar. Siauw dan banyak pendukungnya harus meringkuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa proses pengadilan apapun. Setelah bebas dari tahanan pada tahun 1978, Siauw pergi berobat di Belanda. Begitu tiba di Belanda, ia segera melakukan berbagai kegiatan mengecam kebijakan pemerintah Suharto yang digambarkannya sebagai pemerintah yang telah meng khianati jiwa proklamasi 45, melanggar UUD 45 dan menginjakinjak HAM. Ia pun kerap berbicara mengenai masalah Tionghoa dan tetap teguh dengan pendiriannya yaitu: dengan integrasi membangun nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Pada tanggal 20 November 1981 ia meninggal karena serangan jantung, beberapa menit sebelum memberi ceramah di hadapan para Indonesianis Belanda di Universitas Leiden, tentang 136 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin kegagalan Demokrasi Indonesia dengan kesimpulan optimistik bahwa rakyat Indonesia akan mewujudkan demokrasi yang di dambakan. Kesimpulan Perjalanan politik Siauw didasari beberapa visi politik yang berkembang sejak ia terlibat dalam pendirian partai Tionghoa Indonesia pada tahun 1932. Pertama keyakinannya bahwa untuk sebagian besar Tionghoa yang lahir di Indonesia, Indonesia adalah tanah airnya. Oleh karena itu ia berjuang untuk memungkinkan sebanyak mungkin Tionghoa menjadi warga negara Indonesia. Ini dilakukan baik dalam segi hukum dengan memperjuangkan dihukumkan UU kewarganegaraan yang sesuai dengan visi ini. Kedua, bersandar atas keinginan membangun nasion yang ber-Bhinneka Tunggal Ika, Siauw mendorong pengertian bahwa nasion Indonesia adalah nasion yang terdiri dari berbagai suku, termasuk suku Tionghoa. Komunitas Tionghoa, peranakan maupun totok, diajaknya berintegrasi dalam tubuh nasion Indonesia, bersama para suku lainnya, tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas yang seyogyanya memperkaya kebudayaan Indonesia. Ketiga, sejak tahun 50-an, walaupun berpaham sosialisme, Siauw berpendapat bahwa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur, modal yang dimiliki oleh para pedagang Tionghoa harus dilindungi secara hukum dan praktis untuk terus berkembang, sehingga bisa menjadi bagian penting dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Perpaduan antara kapitalisme nasional dan sosialisme inilah yang ia inginkan. Langgam perjuangan Siauw yang bersifat membangun di dalam perjalanan politik panjang Siauw jelas tampak. 137 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Rasisme dalam bidang kewarganegaraan disambutnya dengan berbagai rumusan kewarganegaraan dan pelaksanaan UU di lapangan oleh aparat Baperki; rasisme dalam bidang ekonomi ditentangnya dengan rumusan ekonomi yang menjamin modal domestik yang banyak dimiliki oleh pedagang Tionghoa secara hukum dilindungi dan didorong untuk berkembang; rasisme dalam bidang pendidikan disambutnya dengan pendirian institusi pendidikan yang mampu menampung mereka yang karena kebijakan rasis tidak bisa meneruskan sekolah; Sarana pendidikan dijadikan landasan efektif untuk meng-Indonesia-kan sebanyak mungkin komunitas Tionghoa, terutama generasi mudanya. Dan untuk menyelesaikan masalah minoritas Tionghoa yang rumit, dikembangkan konsepsi integrasi yang kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme. Akan tetapi di zaman Demokrasi Terpimpin, Siauw dan Baperki terlalu tergantung atas perlindungan politik Sukarno, sehingga ketika Sukarno tumbang dan kekuatan kanan yang didukung oleh blok Barat mengambil alih kekuasaan politik, Baperki dan Siauw-pun kandas. Dengan demikian, program pendidikan dan kebijakan untuk membawa komunitas Tionghoa menjadi Indonesia harus terhenti. Keputusan Siauw Giok Tjhan untuk mengajak Baperki dan massa-nya mendukung kebijakan Sukarno pada tahun 1959 dan mendukung Demokrasi Terpimpin yang bersandar atas kekuatan Angkatan Darat memang bisa dikatakan kontroversial bilamana diteropong dengan kaca mata sekarang. Demokrasi Terpimpin dan Dwi Fungsi ABRI yang lahir karena Sukarno memerlukan Jendral Nasution mendukungnya sebagai sebuah kekuatan kongkrit sebenarnya merupakan “racun” politik yang membunuh demokrasi dan akhirnya kekuatan kiri. Ironis-nya justru inilah yang sepenuhnya didukung oleh kekuatan kiri, termasuk 138 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Siauw Giok Tjhan dan Baperki. Apa ada jalan lain? Bagi Siauw, saat itu, rupanya tidak ada. Tidak mendukung Sukarno, berarti membawa Baperki ke kelompok di mana tokoh-tokohnya getol mengeluarkan kebijakan rasis anti Tionghoa. Sejarah memang menunjukkan bahwa di bawah pimpinan Siauw, Baperki berkembang sebagai sebuah organisasi massa Tionghoa terbesar dalam sejarah Tionghoa di Indonesia. Ia-pun berhasil memobilisasi massa Tionghoa untuk aktif berpolitik dan aktif menyebarluaskan paham integrasi – menjadi patriot Indonesia tanpa menanggalkan etnisitas ke-Tionghoa-an. Tanpa gerakan politik, tanpa dorongan yang mengandung idealisme politik, kemungkinan besar institusi pendidikan Baperki, terutama Ureca tidak akan berkembang seperti yang disaksikan. Kiranya sulit membangun animo para dosen dan para mahasiswanya untuk bekerja bakti sedemikian rupa, untuk mengawinkan teori dan praktek sedemikian rupa dan memperoleh dana bantuan komunitas Tionghoa sedemikian rupa. Di masa kini, tidak terbayangkan pengalaman Ureca bisa terulang lagi. Perbedaan utama antara yayasan pendidikan Tionghoa lainnya seperti Tiong Hoa Hwe Koan (THHK) atau Sin Ming Hui (Candranaya) dan Baperki justru terletak pada adanya pendidikan politik. Institusi pendidikan THHK dan Candranaya tidak mengandung penekanan politik. yang Apa yang dilakukan oleh Sin Ming Hui atau Candranaya mendirikan Universitas Tarumanagara ternyata tidak membuahkan prestasi segemilang Ureca di zaman Demokrasi Terpimpin. Universitras Tarumanagara tidak mampu menampung mahasiswa sebanyak Ureca dan tidak bisa berkembang di kotakota lain. 139 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Akan tetapi Candranaya yang tidak menitik beratkan kegiatan politik tidak menjadi sasaran ganas kekuatan kanan pada tahun 1965-1968. Universitas Tarumanagara tidak diserbu dan dibakar. Sulit untuk dipastikan jalur mana yang lebih tepat. Baperki tidak menentukan cuaca politik Indonesia yang merupakan bagian percaturan dunia di mana ada dua kekuatan raksasa yang ber-perang dingin. Baperki dan Ureca ikut tergulir menjadi korban. Dengan jatuhnya kekuasaan Sukarno pada tahun 1966, berdirilah sebuah rezim militer yang diktatorial. Indonesia berubah menjadi sebuah lahan pembunuhan masal dan persekusi terhadap orang-orang yang dianggap kiri. Kebijakan musuh politik Baperki, asimilasi dijadikan kebijakan resmi pemerintah Suharto. Hubungan diplomatik dengan RRT diputuskan pada tahun 1967 (baru dipulihkan kembali pada tahun 1995). Identitas Tionghoa selama 32 tahun ingin dipaksakan hilang. Istilah Tiongkok dan Tionghoa diubah dengan “Cina’, yang mengandung konotasi penghinaan. Penggunaan huruf Tionghoa dilarang. Demikian juga perayaan tahun baru Imlek. Nama-nama Tionghoa didorong untuk dihilangkan. Berbagai peraturan pemerintah mendiskriminasikan komunitas Tionghoa di banyak bidang. Lengsernya Suharto pada bulan Mei 1998 membuka lembaran baru dalam dunia politik di Indonesia. Komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran keganasan ledakan rasis pada bulan yang sama se-olah-olah bisa bernapas wajar kembali. Selama 32 tahun sebelumnya, komunitas Tionghoa, karena penindasan terhadap kaum kiri ganas yang merembet ke sikap anti Tiongkok dan anti Tionghoa di awal berdirinya rezim Orde Baru pada tahun 1965-1968, menjadi komunitas yang tidak berani berpolitik, tidak berani berorganisasi dan bahkan tidak berani 140 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin berurusan dengan apapun yang berhubungan dengan aparat negara. Lengsernya Suharto menyadarkan komunitas Tionghoa bahwa kebijakan asimilasi total yang dilaksanakan selama 32 tahun tidak berhasil. Banyak Tionghoa yang sudah ganti nama, sudah menanggalkan ke Tionghoaan-nya, bahkan yang masuk Islam-pun, turut menjadi korban keganasan anti Tionghoa pada bulan Mei 1998. Zaman pasca Suharto dinyatakan sebagai masa reformasi. Banyak Tionghoa yang kemudian terdorong untuk aktif dalam kegiatan LSM atau mendirikan organisasi-organisasi yang menonjolkan ke Tionghoa-an dengan tujuan membela kepentingan komunitas Tionghoa yang selama 32 tahun sebelumnya tidak ada yang membela. Berdirilah berbagai organisasi yang dipimpin oleh orang- orang Tionghoa, seperti SIMPATIK (Solidaritas Pemuda-Pemudi Tionghoa untuk Keadilan), Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa dan Bangsa (SNB), Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI) dll. Ada pula yang memulai majalah untuk membahas masalah Tionghoa yang dikaitkan dengan pembangunan bangsa, antara lain majalah Sinergi. Diskusi-diskusi terbuka tentang pemecahan masalah Tionghoa-pun diadakan diberbagai forum. Pendidikan politik dan berorganisasi yang dilakukan oleh Baperki di institusi pendidikannya – sekolah-sekolah Baperki dan Ureca serta gerakan pemudanya – PPI (Permusyawaratan Pemuda Indonesia) ternyata melahirkan ketrampilan dan animo ber-organisasi di awal zaman reformasi ini. Banyak pengambil inisiatif pendirian organisasi-organisasi dan mengisi pengaturan organisasi berdasarkan pengalaman yang dibina sebelum Baperki dan institusi pendidikannya bubar pada tahu 1965, adalah alumni 141 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Ureca dan alumni sekolah-sekolah Baperki atau para mantan anggota PPI. Beberapa di antaranya menjadi tokoh masyarakat yang membanggakan, Benny Setiono, Tan Swie Ling, Nancy Wijaya dan Dr. Lie Dharmawan. Tuntutan zaman tentunya sudah berubah. Alasan hidup dan berkembangnya Baperki pada tahun 50-an dan 60-an bisa dikatakan tidak ada lagi. Masalah kewarganegaraan bisa dikatakan selesai. Sebagian besar komunitas Tionghoa sudah menjadi warga negara Indonesia. Yang membutuhkan kewarganegaraan Indonesia, bilamana membutuhkannya, memenuhi persyaratan hukum yang berlaku dan modal cukup, bisa memperolehnya. Apa yang diperjuangkan oleh Siauw dan Baperki dalam hal hukum bisa dikatakan telah tercapai. Rasisme diundangkan sebagai tindakan yang melanggar hukum. Semua warga negara secara hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama. Ketentuan presiden harus seorang asli sudah ditiadakan. Imlek dijadikan hari raya nasional. Dalam pemilihan umum tahun 2014, terdapat calon wakil presiden Tionghoa. Di dalam kabinet SBY ada menteri Mari Pangestu, seorang Tionghoa. Dan seorang Tionghoa menjadi gubernur Jakarta Raya, Ahok. Ramalan Siauw yang ia ingin sampaikan dikuliahnya di Universitas Leiden pada tahun 1981 pun bisa dikatakan terwujud, yaitu rakyat Indonesia akan memenangkan perjuangan mencapai demokrasi. Demokrasi setelah Gusdur menjadi presiden jauh lebih baik ketimbang di zaman-zaman sebelumnya. Kini, Indonesia memiliki seorang presiden, Joko Widodo -- seorang tokoh yang lahir dari keluarga miskin dan tidak pernah berada dalam jajaran pim pinan yang berkaitan dengan rezim-rezim yang bangkit setelah Sukarno tergulir pada tahun 1966 -- 142 dipilih oleh rakyat, Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin mengalahkan Prabowo Subianto, mantan menantu Suharto, yang didukung oleh money politics dan kekuatan politik yang mendominasi Indonesia. Jumlah perguruan tinggi juga sudah bertambah secara drastik. Walaupun masih banyak pelajar tidak mampu meneruskan studi di perguruan tinggi, baik non Tionghoa maupun Tionghoa, penampungan mahasiswa bisa dikatakan tertanggulangi. Cukup tempat untuk mereka, Tionghoa maupun non Tionghoa yang ingin dan mampu masuk ke universitas. Para universitas malah berlomba memperoleh jumlah mahasiswa yang diinginkan. Di samping kesemuanya ini, tumbuhnya Tiongkok sebagai kekuatan ekonomi membangkitkan pula keinginan di kalangan komunitas Tionghoa di kota-kota besar untuk menjadi bagian dari kesuksesan Tiongkok. Berkembanglah berbagai keganjilan di mana kemampuan berbahasa Mandarin dianggap sebagai hal yang membanggakan, seperti kemampuan berbahasa Belanda di zaman penjajahan belanda, dan berbahasa Inggris di zaman pasca Demokrasi Terpimpin. Para “the Haves” komunitas Tionghoa berlomba memamerkan kekayaannya baik dalam berbagai kemewahan termasuk kemampuan pesta besar-besaran di tempat-tempat mahal, di te ngah kemiskinan rakyat. Ini berlangsung tanpa gangguan berarti. Apakah keadaan yang digambarkan ini berarti rasisme lenyap dari permukaan bumi Indonesia dan perjuangan melawannya patut dihentikan? Kiranya tidak. Keberadaan hukum yang favourable tentunya merupakan langkah pertama. Akan tetapi itu saja tidak menjamin adanya dan berkembangnya keharmonisan masyarakat yang menjamin keamanan dan ketentraman hidup komunitas Tionghoa di Indonesia. 143 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Benih-benih rasisme masih tetap ada. Bilamana kesenjangan ekonomi terjadi di Indonesia, jurang antara kaya dan miskin membesar dan pimpinan politik yang berpengaruh menjadikan komunitas kambing hitam, ledakan-ledakan rasisme yang ganas dan brutal bisa terulang lagi. Dalam konteks ini, apa yang dicanangkan Siauw dan Baperki – paham integrasi, di mana komunitas Indonesia terjun ke dalam berbagai kegiatan masyarakat dan turut mendidik masyarakat untuk menghilangkan benih-benih rasisme dengan tindakan-tindakan membangun, tanpa menanggalkan latar belakang etnisitas ke Tionghoa-an, masih sangat relevan. Paham Integrasi kini lebih dikenal sebagai multikulturalisme di negara-negara maju. Bahkan di Australia dan Canada, sebagai negara di mana jumlah penduduknya terdiri dari berbagai komunitas etnis non Anglo Saxon, paham multikulturalisme diundangkan. Organisasi semacam Baperki dan kini INTI (Perhimpunan Indonesia Tionghoa) yang mampu dengan efektif menyuarakan aspirasi dan membela kepentingan komunitas yang diwakilinya masih diperlukan. Yang penting kiranya belajar dari pengalaman Baperki, untuk tidak terlalu menggantungkan diri pada sebuah kekuatan politik penguasa. Organisasi-organisasi yang dimaksud hendaknya merakyat – bekerja untuk wong cilik dan mendapat dukungan rakyat terbanyak. Ini merupakan jalan selamat jangka panjang, walaupun hasil yang diperoleh memakan waktu. 144 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Tiong Djin Peresmian Klinik Kedokteran Gigi - Universitas Respublica Oleh Hartini Sukarno pada tahun 1964 Gedung Universitas Respublica diserang dan dihancur massa yang dikerahkan militer pada tanggal 15 Oktober 1965 145 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Siauw Giok Tjhan Dan Indonesia Sebagai Negara Hukum John Roosa1 Perkenalan saya dengan tulisan-tulisan Siauw Giok Tjhan terjadi pada tahun 2000, ketika saya memperoleh foto-kopi yang sudah menguning dari beberapa tulisannya yang belum pernah diterbitkan. Pada waktu itu, saya sedang duduk di antara rak-rak buku di kamar kerja Oey Hay Djoen, di rumahnya, Jakarta Selatan. Buku-buku tersebut telah diselamatkan dengan penuh keberanian oleh isterinya, ketika ia sendiri meringkuk dalam tahanan sebagai seorang tahanan politik selama 14 tahun. Sambil duduk di meja, di mana ia bekerja keras untuk menyelesaikan terjemahan tulisan-tulisan Marx dan para Marxis, ia memberikan tulisan-tulisan Siauw tersebut tanpa menyampaikan pendapatnya tentang sosok Bung Siauw maupun tulisan-tulisannya. Pada waktu itu, saya hanya mengetahui Bung Siauw sebagai ketua Baperki. Selain itu saya tidak banyak mengenalnya. Saya pun tahu bahwa oom Oey, demikian saya memanggilnya, cenderung menganjurkan orang Tionghoa Indonesia untuk masuk ke dalam organisasi-organisasi nasional, tidak masuk ke dalam organisasi yang bersandar atas etnisitas seperti Baperki. Akan tetapi saya tahu bahwa oom Oey sangat menghormati Bung Siauw dan mengerti alasan sejarah pembentukan Baperki. Ia sangat antusias menerbitkan tulisan-tulisan Bung Siauw dan tulisantulisan tentangnya. 1 John Roosa adalah Associate Professor Sejarah di Universitas British Columbia di Vancouver, Kanada. Ia penulis buku Dalih Pembunuhan Massal dan Kudeta Suharto di Indonesia yang kini dilarang di Indonesia. 146 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Beberapa saat kemudian, di rumah saya yang terletak di Jakarta Timur, saya membaca esai-esai Bung Siauw tersebut. Saya kagumi kejelasan penuturannya. Esai-Esai tersebut merupakan sebuah teladan karena merefleksikan pemikiran yang analitis, bahkan berani menyentuh topik-topik sensitif, seperti mengapa PKI tidak melakukan perlawanan terhadap serangan dan penghancuran yang dilakukan oleh Angkatan Darat. Banyak orang tentunya tidak akan mengira bahwa seorang korban kekerasan seperti Bung Siauw, dipenjarakan selama 12 tahun sebagai seorang tahanan politik, telah mengalami kelaparan dan menyaksikan para kawan setahanan meninggal di sekitarnya, masih memiliki kemampuan untuk menulis sebuah analisa mendalam. Dalam mempersembahkan sebuah argumentasi, ia nyatakan sumber bahan yang ia gunakan dan dengan penuh kerendahan hati ia tandaskan, untuk beberapa butir pandangan, ia memang tidak memiliki informasi yang lengkap. Tidak ada pengakuan yang dibuat-buat, tidak ada penuturan yang tidak berdasar bukti-bukti kuat dan tidak ada upaya menjelek-jelek-kan orang lain. Orang yang membaca tulisan-tulisan ini akan memperoleh kesan bahwa Bung Siauw adalah seorang pengamat, bukan seorang korban. Ia tidak pernah menggambarkan penderitaannya sendiri. Salah satu esai ditulis tentang Gerakan 30 September (G30S). Ia menggambarkannya sebagai: “catatan-catatan berdasarkan ingatan apa yang telah didengar, diperbincangkan di dalam tahanan tanpa ada maksud untuk menyinggung perasaan siapapun dan diajukan secara tulus dan sejujur-jujurnya.” Dari tulisan ini, saya mengerti mengapa ia sangat dihormati di dalam gerakan progresif dan sangat disegani oleh para tokoh militer kanan. 147 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Ia benar-benar jujur. Ia dengan sangat tulus dan rendah hati mendengarkan apa yang para tapol tuturkan mengenai G30S dan setelah itu dengan kritis mengevaluasi penuturan mereka. Ia pun sangat rajin. Ia kumpulkan begitu banyak informasi yang berbeda tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan G30S. Saya belum pernah menemukan mantan tapol lain yang pernah mengeluarkan sebuah analisa tentang kejadian 30 September sedemikian komprehensif, teliti dan lengkap. Dari kesemuanya ini saya kemudian mengerti kenapa ia dipilih sebagai ketua Baperki pada tahun 50-an. Ia sangat terbuka dan mampu berdialog secara tenang dan mantap dengan orangorang yang memiliki orientasi politik yang berbeda dengannya tanpa mengkompromikan pendapat-pendapatnya. Dalam esai ini, saya akan memusatkan perhatian ke tulisan Bung Siauw pada tahun 1978 tentang G30S, dan tentang tuntutannya yang ditulis pada tahun 1979, membawa Suharto ke pengadilan kejahatannya2. untuk mempertanggung-jawabkan semua Kedua-duanya ditulis setelah ia bebas dari tahanan dan ketika ia berobat di negeri Belanda. Di dalam esai pertama, Bung Siauw menyatakan bahwa ia ingin menyebar luaskan informasi yang ia peroleh dari tahanan tentang hancurnya PKI. Ia ingin membantu para pelarian politik di Eropa dan para kawan se-pengorbanan di Indonesia, untuk mengerti, apa yang menyebabkan Angkatan Darat yang dipimpin oleh Suharto menjadikan mereka -- yang tidak tahu menahu tentang G30S -- kelompok orang yang bersalah. 2 Di Esai kedua, ia menulis sebuah tuntutan disertai informasi Bung Siauw menggunakan nama dua nama pena: Sukidjan, “Berbagai Catatan dari Berbagai Macam Cerita yang Dikumpulkan dalam Percakapan2 dengan Berbagai Teman Tahanan di Salemba, Rumah Tahanan Chusus, dan Nirbaya.” (November 1978); Sigit, “‘The Smiling General’ Harus Dituntut di depan Mahkamah,” (August 1979). 148 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun dan argumentasi John Roosa untuk membawa Suharto ke pengadilan, bilamana situasi politik memungkinkan, baik di pengadilan Indonesia maupun pengadilan internasional. Yang paling menarik perhatian saya dari tulisan-tulisan ini adalah komitmen Bung Siauw terhadap rule of law. Tulisannya bersandar atas Indonesia sebagai negara hukum. Sekilas, hal ini tidak memerlukan sorotan apa-apa. Penegakan hukum sering dianggap sebagai topik yang membosankan dan kuno, sesuatu yang sebenarnya lebih baik dibahas oleh orang-orang konservatif yang berhubungan dengan kegiatan hukum dan ketertiban. Akan tetapi dalam konteks Indonesia di mana penegakan hukum merupakan pengecualian, ia adalah sebuah masalah yang penting dan mendesak. Sejak kemerdekaan dan Republik Indonesia diterima sebagai negara merdeka oleh dunia internasional pada tahun 1949, sebagian besar masa keberadaannya, 1959 hingga 1998, Indonesia berada di bawah kekuasaan berbagai pemerintah yang melanggar prinsip rule of law. Pada umumnya orang-orang komunis dan anti komunis tidak terlalu memperhatikan masalah penegakan hukum. Tulisantulisan tentang tragedi 1965-1966, contohnya, ditekankan sebagai pertikaian politik, seolah-olah tragedi itu adalah semata-mata akibat pertikaian antara PKI dan Angkatan Darat. Padahal sementara pengamat menyatakan bahwa yang berlaku pada masa itu adalah hukum rimba. Kiranya sulit di masa kini untuk menghargai cita-cita para nasionalis sebelum “kemunduran demokrasi konstitusional” (seperti yang dinyatakan oleh Herb Feith) pada akhir tahun 1950-an. Tulisantulisan Bung Siauw menyegarkan ingatan kita tentang cita-cita ini. Bung Siauw mengingatkan kita tentang apa yang diperjuangkan oleh para nasionalis yang teguh berprinsip dalam mela- 149 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa wan kolonialisme. Para pejuang yang ingin membangun sebuah negara hukum yang berpijak di atas HAM - Hak Asasi Manusia. Bung Siauw menjadi anggota parlemen selama hampir 20 tahun (sejak KNIP pada tahun 1946 hingga DPR-GR pada tahun 1965) dan anggota Konstituante. Ia sangat mengerti Undang- Undang Indonesia dan menyadari betapa pentingnya Indonesia memiliki kerangka hukum yang tepat. Untuk bisa menghargai nilai tulisan-tulisan Bung Siauw, kita harus membandingkannya dengan tulisan-tulisan beberapa tokoh PKI yang berhasil menyelamatkan dirinya, tidak lama setelah pembantaian massal pada tahun 1965-1966. Tulisan-tulisan ini lebih banyak berbentuk perdebatan abstrak antar kelompok tentang teori Marxisme dan Leninisme yang oleh mereka dijadikan dogma. HAM dan penegakan hukum tidak ditonjolkan sebagai bahan perdebatan. Yang berkiblat ke Soviet Uni menyalahkan pimpinan PKI yang dianggapnya terlalu mengikuti Mao-isme; sebaliknya, yang berkiblat ke RRT menyalahkan pimpinan tidak cukup disiplin mengikuti Mao-isme. Timbullah perdebatan antara Revisionisme Modern (Remo) dan Advonturisme, meminjam istilah-istilah yang dipergunakan untuk mencela satu dengan yang lain pada waktu itu. Mungkin hanya satu hal yang bisa yang bisa disimpulkan dari tulisan-tulisan para tokoh PKI itu, yaitu terdapat tidak sedikit orang dogmatis di dalam tubuh PKI. PKI tidak menganggap penegakan hukum sebagai sesuatu yang maha penting. Memang semua partai komunis yang dibentuk setelah revolusi di Rusia pada tahun 1917 menganggap penegakan hukum sebagai penekanan borjuis, tidak perlu didukung oleh orang-orang revolusioner. Hukum di bawah politik sedangkan politik adalah dasar perperangan. Orang-orang komunis harus menjadi pendekar-pendekar dalam perperangan 150 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun kelas, mengambil alih kekuasaan John Roosa negara dan kemudian menciptakan undang-undang baru setelah kekuasaan diraih. Negara Soviet adalah bentuk negara yang diidami, di mana partai komunis sepenuhnya berkuasa dan hukum atau undang-undang diciptakan oleh partai komunis. Penegakan hukum di luar partai komunis tidak diizinkan berfungsi. Beberapa tokoh yang meninggalkan gerakan komunis internasional seperti sejarawan E.P. Thomson, keluar dari Partai Komunis Inggris setelah Soviet menyerang Hongaria pada tahun 1956, menyimpulkan bahwa menganggap hukum sebagai alat penindasan kelas adalah sebuah kesalahan. Thompson yang tetap menjadi seorang Marxis, mengakhiri bukunya Whigs and Hunters (1975) dengan sebuah bab, 11 halaman, yang ia namakan The Rule of Law (Negara Hukum). Kata-kata ternama dari bab itu adalah: “Saya hanya ingin menekankan sebuah hal yang paling penting, yang telah diabaikan oleh para Marxis modern, bahwa ada perbedaan antara kekuasaan sewenang-wenang dan penegakan hukum. Kita harus membongkar penipuan dan ketidak-adilan yang terselubung oleh undang-undang. Penegakan hukum yang membatasi kekuasaan dan melindungi rakyat dari kekuasaan sewenang-wenang, menurut saya, tanpa pengecualian, adalah hal yang baik”. Thompson melihat bahwa Undang-Undang Inggris merangkul berbagai aspek perjuangan sosial yang berlangsung berabad-abad dan yang mengandung kemenangan rakyat jelata. Pembatasan kekuasaan pemerintah dibutuhkan oleh setiap negara, termasuk negara-negara yang terbentuk sebagai hasil revolusi, walaupun negara itu, seperti yang Lenin definisikan dalam bukunya State and Revolution (1917), merupakan jembatan 151 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa sementara dalam menuju masyarakat tidak bernegara. Bung Siauw menyatakan: “pejuang2 kemerdekaan RI, bercita-cita-kan menegakkan satu negara yang berdasarkan prinsip “rule of law,” mencapai satu negara berdasarkan hukum “rechtstaat” (negara hukum) dan bukan menjadi “machtstaat” (negara kekuasaan).” Saya ingin mengembangkan diskusi ini. Saya yakin bahwa para perumus UUD 45 memiliki komitmen tinggi tentang pembentukan negara hukum, walaupun harus disadari bahwa tidak semuanya seirama tentang apa yang dimaksud dengan negara hukum. Ada sementara anggota Badan Penyelidik Untuk Persiapan Kemerdekaan Indonesia – (BPUPKI) menganggap rechstaat adalah rechstaat yang dilakukan oleh Belanda di zaman kolonial Hindia Belanda, yaitu sebagai negara yang mengikuti Undang-Undang tertulis; Undang-Undang ini tidak perlu memiliki norma demokratik atau mengindahkan HAM. Di lain pihak, ada beberapa perumus UUD 45 menganggap dirinya sebagai insinyur sosial, menciptakan cetak biru dalam pembentukan masyarakat baru. Oleh karena itu, menurut mereka, kekuasaan negara tidak perlu dibatasi. Adanya UUD saja sudah cukup sebagai dasar pembentukan sebuah negara hukum. Mereka tidak mementingkan penegakan hukum. Istilah negara hukum tidak dicantumkan dalam UUD 1945. Mohammad Hatta-lah yang menekankan pentingnya menjunjung tinggi hak perorangan di dalam UUD: “Kita mendirikan negara yang baru. Hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin, jangan jadi Negara kekuasaan.” Hatta mengusulkan dimasukkannya sebuah pasal: “hak untuk berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain.” 152 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Oleh karena itu ada Pasal 28 dalam UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran de ngan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Akan tetapi perlu dicatat bahwa para perumus UUD tersebut tidak tegas menyatakan bahwa rakyat memiliki hak untuk melakukan hal-hal tercantum di atas. Istilah “hak” tidak masuk di dalam Pasal 28. Yang dijamin adalah para pembuat UndangUndang diberi wewenang untuk mengeluarkan peraturan tambahan mengatur kegiatan-kegiatan yang tercantum. Memang UUD 1945 tidak memberi banyak hak untuk rakyat. Ada hak untuk bekerja dan memiliki standard hidup yang baik (Pasal 27), hak untuk memilih agama (Pasal 29) dan hak untuk memperoleh pendidikan (Pasal 31). Yang jelas terlewat adalah hak untuk memilih. UUD 1945 juga tidak dengan jelas menjabarkan bagaimana wakil-wakil rakyat di DPR dan MPR dipilih. Kebijakan ini dinyatakan akan ditentukan di lain kesempatan. Keputusan Presiden Sukarno untuk mengganti UUD Sementara 1950 dengan UUD 1945 , sebagai reaksi terhadap kegagalan Konstituante dalam merumuskan UUD baru pada tahun 1959, merupakan sebuah tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia. Berbeda dengan UUD 1945, seperti yang Bung Siauw tandaskan, UUD sementara 1950 mengikutsertakan banyak hak: “Rakyat Indonesia pernah hidup dibawah UUD Sementara Negara Kesatuan (17 Agustus 1950 - 5 Juli 1959) yang mengutip seluruh isi “Universal Declaration of Human Rights” yang disahkan PBB dalam sidang umumnya 10 December 1948.” Setelah UUD 1945 dibekukan selama 40 tahun, perubahan positif akhirnya bisa dicapai. Sebelum itu, UUD 1945 diperlakukan sebagai sebuah benda yang dibungkus kain kramat yang tidak 153 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa boleh disentuh dan hanya diletakkan di museum. Para perumus Undang-Undang akhirnya sadar bahwa Indonesia harus menghentikan situasi di mana negara tergantung atas kata-kata seorang presiden - yang dalam zaman Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru -- berbentuk hukum. Mereka sadar bahwa negara Indonesia harus bersandar atas rule of law. Dalam hal penegakan hukum, Indonesia memang sangat terbelakang. Hanya sekali setelah Suharto jatuh pada tahun 1998, perubahan ini dilakukan. Sebelum itu, Indonesia diajak oleh peme rintah untuk menghindari penegakan hukum. Ini bisa dimengerti, karena banyak perumus UU adalah orang-orang Orde Baru yang tidak memiliki komitmen tentang penegakan hukum. Akan tetapi akhirnya mereka sadar dan menanggulangi masalah penegakan hukum yang sangat dibutuhkan Indonesia. Perubahan-perubahan yang dicapai bersandar atas pasal-pasal yang ada dalam UUD Sementara 1950. Bung Siauw bertanya, mengapa Indonesia gagal menjadi negara hukum yang diidami oleh para pendirinya? Jawaban atas pertanyaan ini adalah satu kata: tentara. Konflik di dalam tubuh Angkatan Darat telah mencegah dikuasainya negara oleh kekuatan sipil dan gagalnya negara bersandar atas rule of law. Tentara-tentara Indonesia kerap bertempur menghantam satu sama lain: Peristiwa Madiun pada tahun 1948; pemberontakan PRRI-Permesta pada tahun 19571960; G30S pada tahun 1965. Perwira-perwira Angkatan Darat juga kerap menentang upaya Presiden dan parlemen untuk mempengaruhi Angkatan Darat: Kejadian 1952; Kejadian Bambang Utoyo 1955 dan pembangkangan terselubung Angkatan Darat di masa Konfrontasi (1963-1966). 154 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Walaupun saya menganggap Sukarno dan Demokrasi Terpimpinnya bertanggung jawab atas pelanggaran prinsip negara hukum, saya bisa mengerti mengapa Bung Siauw tidak menyalahkan Sukarno. Banyak politikus progresif seperti Bung Siauw me ngenalnya secara pribadi dan menganggapnya sebagai seorang pemimpin yang jujur, memiliki maksud baik dan terhormat. Mereka juga melihat bahwa Sukarno, dalam merumuskan berbagai kebijakan mengikuti prinsip-prinsip HAM walaupun ia tidak merealisasi kebijakankebijakan ini dengan prosedur-prosedur hukum yang kuat dan berpengaruh. Contohnya, Siauw menyatakan bahwa Sukarno tidak melakukan penangkapan dan pembunuhan masal ketika menindas pemberontakan PRRI-Permesta dan tidak menganggap orang-orang yang pernah memberontak terhadap pemerintah sebagai penghianat bangsa. Sukarno tidak menahan semua anggota Masjumi dan PSI walaupun pimpinan partai-partai tersebut terlibat dalam PRRI-Permesta. Dan mereka yang ditahan kemudian diampuni dan dibebaskan. Sukarno tidak memerintahkan eksekusi terhadap mereka yang memberontak: “Dan ingat, Presiden Sukarno tidak pernah mencabut atau membatalkan secara sepihak pensiun yang mereka berhak menerimanya sebagai bekas Menteri, sebagai anggota DPR!” Ini tentunya bertolak belakang Suharto dalam membasmi G30S. dengan tindakan Sebenarnya G30S bukan sebuah gerakan. Ia tidak berbentuk gerakan pemberontakan sekaliber PRRI-Permesta. Akan tetapi Suharto menggunakan dalih pemberontakan G30S sebagai alasan untuk melakukan penangkapan dan pembantaian dalam skala yang sangat besar. Mengingat kelaliman Suharto, mudah dimengerti mengapa para korbannya tidak bisa menyalahkan Sukarno. 155 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Walaupun dekrit 1959 bisa dikatakan sebagai upaya darurat untuk menanggulangi sebuah krisis, kiranya sulit memaafkan Sukarno yang gagal menghentikan sistem yang bersandar atas kekuasaan mutlak seseorang. Sukarno tidak memiliki komitmen untuk memulihkan penegakan hukum dan demokrasi. Dan tidak adanya harapan bahwa karakter Demokrasi Terpimpin yang berkepanjangan ini akan berakhir telah mendorong PKI dan Angkatan Darat untuk mencari jalan keluarnya masing-masing. Pimpinan Angkatan Darat dan PKI sejak awal tahun 1965 saling ragu apakah mengambil langkah mendahului penyerangan terhadap satu sama lain. Dokumen-dokumen rahasia pemerintah Amerika Serikat jelas menunjukkan bahwa para Jendral Angkatan Darat terus menerus berhubungan dengan Kedutaan Besar Amerika Serikat dan memutuskan untuk menunggu PKI mengambil langkah terlebih dahulu. Para Jendral tersebut tidak ingin melakukan kudeta terhadap Presiden Sukarno, karena ia sangat populer. Mereka berpendirian sebaiknya menunggu adanya alasan untuk menghantam PKI dan secara berangsur menyingkirkan Presiden Sukarno. Dan dalam waktu bersamaan, tetap menunjukkan kesetiaan terhadap Sukarno. Gerakan 30 September adalah alasan yang mereka nantikan. Bung Siauw menyatakan: “Yang jelas sekarang ini, G30S ternyata dijadikan alasan oleh Angkatan Darat untuk menghancurkan PKI”. Bung Siauw menyadari bahwa Aidit dan beberapa pimpinan top PKI terlibat dalam G30S. Akan tetapi, ia tidak habis pikir bagaimana mereka ini terlibat dan mengapa mereka terlibat. Selama ia di penjara, ia berkesempatan berbicara dengan beberapa pimpinan dan anggota PKI yang terlibat, seperti Kusno, asisten pribadi Aidit, Mohamed Munir, anggota Polit-Biro PKI. Walaupun mereka tidak memiliki informasi yang lengkap, tetapi 156 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa dari pembicaraan ini Bung Siauw bisa menyimpulkan bahwa yang paling berperan dalam pengaturan G30S adalah seorang yang bernama Syam: “ Dan dari kenyataan-kenyataan yang terjadi sekitar G30S, kita bisa melihat bahwa yang memainkan peranan menentukan dan sebagai ‘memimpin’ G30S adalah Syam, dan jelas Syam tidaklah identiek dengan pimpinan PKI, karena Syam bukanlah orang yang bisa bertindak mewakili PKI berdasarkan Anggaran Dasar PKI.” Syam memainkan peranan sebagai ketua Biro Khusus yang “merupakan alat dari ketua CC PKI D.N. Aidit.” Dari Kusno Bung Siauw mengetahui bahwa Aidit berada di Halim pada hari pelaksanaan G30S dan terbang ke Jawa Tengah pada malam harinya dengan pesawat Angkatan Udara. Dalam buku saya Dalih Pembunuhan Massal, saya mencoba untuk meneruskan analisa Bung Siauw tentang peran yang dimainkan oleh Syam dan Biro Khusus dalam G30S dan kaitannya dengan hubungan antara Aidit dengan para perwira yang oleh PKI dinyatakan sebagai “perwira yang progresif dan revolusioner”. Bung Siauw tidak bisa mengerti dan menerima bagaimana orang yang tidak banyak diketahui ini bisa secara tiba-tiba muncul berperan sebagai seorang “kingmaker”. Syam, yang pernah bersama Bung Siauw berada di penjara di Jakarta pada tahun 60an, dianggapnya sebagai seorang misterius. Informasi yang ia peroleh tentang diri Syam selama di tahanan menunjukkan bahwa ia tidak memiliki kesetiaan terhadap partai, bahkan sering mengkhianati para anggota partai: “Benar-benar satu mentalitet yang merusak nama baik komunis. Bagaimana bisa terjadi seorang tokoh PKI seperti Syam itu yang memegang peranan begitu pentingnya! Martabat yang sedikitpun tidak ada bau komunis-nya.” Bung Siauw tidak tahu apakah Aidit dikelabui Syam untuk 157 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa terlibat dalam G30S atau apakah Aidit bekerja sama dengan Syam dalam mengkoordinasikan G30S. Bung Siauw curiga bahwa Syam adalah agen anti komunis yang menyelundup ke dalam PKI untuk menghancurkannya. Akan tetapi ia heran, kalau benar begitu, mengapa Syam bisa dipercaya penuh oleh Aidit untuk memimpin sebuah lembaga – Biro Khusus - yang demikian pentingnya, sehingga Aidit bersedia diperintah oleh Syam di hari aksi tersebut. Situasi ini menurutnya aneh. Walaupun peran apa yang Aidit mainkan dalam G30S tetap tidak jelas, tetapi ia bukan seorang yang begitu bodoh untuk bisa dikelabui oleh Syam berada di Halim sehingga PKI bisa disalahkan dalam melakukan aksi yang direncanakan untuk gagal. Beberapa minggu sebelum G30S, Aidit telah bekerja sama dengan Syam untuk mengatur serangan mendadak terhadap Jendral-Jendral kanan yang anti Komunis. Transkripsi pembicaraan Aidit dengan Mao di Beijing pada tanggal 5 Agustus 1965 membuktikan bahwa Aidit tahu persis rencana untuk G30S. Aidit menjelaskan ke Mao bahwa personil tentara yang pro-PKI akan melakukan aksi untuk menyingkirkan perwira kanan dan mendirikan dewan yang kelihatannya netral. Dua bulan sebelum G30S Aidit bisa mengambarkan secara detil apa yang akan dilakukan dan kenapa. Komando G30S dan Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung ternyata adalah sebuah jembatan untuk melakukan perombakan susunan negara yang radikal. G30S adalah sebuah ge rakan yang akan mengenyahkan jendral-jendral Angkatan Darat kanan dan mempertahankan kedudukan Presiden Sukarno. Rencananya adalah menghindari pertentangan dengan kekuatan-kekuatan yang terhimpun dalam Front Nasional. Akan tetapi rencana ini sebenarnya mengundang 158 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa kegagalan. G30S tidak bisa menyatakan menyelamatkan Presiden Sukarno dan pada waktu bersamaan mengganti kabinet yang sah dengan Dewan Revolusi, apalagi kalau Sukarno tidak berperan dalam pemilihan kabinet dan tidak lagi berfungsi sebagai Presiden de facto. Bung Siauw dengan panjang lebar menggambarkan bagaimana pengumuman tentang Dewan Revolusi dan komposisinya telah mendorong kekuatan netral untuk turut menyerang PKI. Tentunya sulit untuk membantah argumentasi Bung Siauw bahwa kekuatan anti komunis internasional turut memasang jebakan untuk PKI pada tahun 1965 dan bahwa: “PKI kurang kewaspadaan sehingga masuk dalam jebakan ini”. Menurut analisis di buku Dalih Pembunuhan Massal, Syam tidak bekerja untuk organisasi di luar PKI, apakah itu CIA atau KGB atau Angkatan Darat yang menginginkan kehancuran PKI. Kesalahan utama Syam adalah kecerobohan dan ketidak-mampuannya dalam merencanakan dan memimpin gerakan, bukan karena ia adalah seorang agen berganda dan penghianat. Dari bahan-bahan Amerika Serikat yang sudah di deklasifikasi kita tahu bahwa Amerika Serikat bersama para jendral Angkatan Darat giat memprovokasi PKI untuk mengambil langkah mendahului; Mereka menantikan adanya kejadian yang bisa dijadikan alasan untuk menyalahkan PKI. Aidit ternyata merasa ada dasar untuk mengambil tindakan mendahului dan yakin bahwa akan mencapai kemenangan, sehingga ia masuk ke dalam perangkap. Dalam mempertimbangkan keganasan serangan terhadap para anggota PKI setelah G30S, Bung Siauw tidak segan mengkritik pimpinan PKI. Ia mempertanyakan apa yang menjadi pertanyaan banyak orang. Mengapa PKI tidak berbuat apa-apa untuk 159 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa melawan serangan ganas ini? Jawaban Bung Siauw adalah, PKI telah menjadi sebuah partai yang hanya menerima perintah dari atas. Setelah 1 Oktober 1965, Aidit bersembunyi di Jawa Tengah dan Polit Biro tercerai berai. Instruksi Aidit adalah menunggu Presiden Sukarno untuk mendapatkan jalan keluar. Sebuah instruksi untuk tidak melawan demi kedamaian. Dalam menghadapi penghancuran yang tidak dapat dicegah oleh Sukarno, pimpinan PKI ternyata tidak mampu mengubah strategi dan mengorganisasi perlawanan: “Apa yang dilakukan selanjutnya oleh Aidit di Jawa Tengah, tidak ada kejelasan … dalam kehidupan dikejar-kejar, Aidit ternyata tidak dapat melaksanakan pimpinan sebagaimana yang diharapkan sebagai ketua PKI.” Bung Siauw menyadari pada tahun 1970-an bahwa dalam menghadapi kediktatoran Suharto, Indonesia harus kembali ke dasar-dasar negara hukum dan hak rakyat: “Merasakan perlunya ditegakkan kembali prinsip “rule of law”, ditegakkannya prinsip “presumption of innocence”(hak untuk diperlakukan sebagai manusia “tidak berdosa”, sebelum dibuktikan oleh pengadilan yang tidak memihak); ditegakkannya prinsip “fair trial”(pemeriksaan perkara secara adil oleh pengadilan yang tidak memihak) dan diindahkannya Pernyataan Sedunia tentang hak2 asasi manusia (Universal Declaration of Human Rights)”. Dengan cerdik dan tepat Bung Siauw berargumentasi bahwa salah satu sila Pancasila, sila Prikemanusiaan, harus diinterpretasikan sesuai dengan Pernyataan PBB tentang HAM: 1948 Universal Declaration of Human Rights (UDHR): “Jadi, sila Perikemanusiaan yang adil dan beradab tidak bisa lain adalah hak asasi manusia seperti yang diakui umat manusia sedunia dan harus dilaksanakan secara konsekwen tanpa kecuali.” 160 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa Setelah hampir setiap negara telah mengakui UDHR, tidak ada dokumen lain yang lebih baik dalam memformulasikan citacita umum untuk seluruh penduduk dunia. Indonesia tentunya tidak bisa menjunjung tinggi Pancasila selama ia melanggar HAM. Selama Suharto berkuasa, rakyat Indonesia dipaksa untuk menerima Pancasila tanpa menyadari adanya UDHR dan adanya rentetan perjanjian tentang HAM yang telah disetujui setelah tahun 1948. Rezim Suharto tidak bersedia menanda-tangani banyak Perjanjian HAM, seperti International Convenant on Civil and Political Rights of 1966. Ia menjalankan berbagai kampanye bersama Singapura dan Malaysia yang didesain untuk melanggar HAM dengan dalih martabat Asia. Baru setelah Suharto jatuh, Indonesia mulai mengikuti konsensus internasional (bukan hanya “Barat”) tentang HAM. Saya kira Bung Siauw akan menghargai kegiatan HAM yang dilakukan oleh Ahmed Seif el-Islam (1951-2014) di Mesir. Ia adalah seorang aktivis yang dipenjarakan dan disiksa oleh diktator militer pada tahun 1980-an. Ketika di penjara, ia memutuskan untuk men jadi sarjana hukum dan teguh mendukung HAM. Ia yakin bahwa penyiksaan adalah kejahatan dan harus ditentang, siapa-pun yang melakukannya: “Saya berkeyakinan bahwa tidak ada artinya melakukan kegiatan politik tanpa HAM. Orang-orang komunis secara rahasia menyatakan bahwa menyiksa orang-orang Islam tidak salah. Sedangkan orang Islam menyatakan: Apa salahnya menyiksa orang-orang komunis.” Masalah yang diangkat oleh Seif adalah hal yang Bung Siauw tandaskan pula, yaitu bagaimana memadukan perjuangan politik dalam mencapai kekuasaan negara dengan komitmen menjunjung tinggi HAM? Sangat disayangkan Bung Siauw wafat di usia yang relatif muda pada tahun 1981. Sebuah kematian yang harus dikaitkan 161 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun John Roosa dengan rezim Suharto di mana kondisi penjaranya yang buruk telah merusak kesehatan Bung Siauw. Pembunuhan dan penangkapan masal yang dilakukan Suharto selama ber-tahun-tahun telah menghancurkan kehidupan banyak orang Indonesia yang terbaik dan terpandai. Banyak penulis yang terbaik, pelukis yang terbaik, intelek yang terbaik dan organisatoris terbaik dibunuh, menjadi cacat seumur hidup, dibungkam, di teror dan dipaksa untuk hidup sebagai eksil. Lalu muncullah sekelompok preman, perwira militer yang cupat, koruptor dan oportunis yang tidak memiliki talenta menggantikan mereka yang dipersekusi ini. Dengan wafatnya Bung Siauw, Indonesia telah kehilangan salah satu suara yang membela HAM. Ia adalah seorang yang patut diingat sebagai salah satu pembangun bangsa dan negara karena turut dalam perumusan kedua UUD pertama dan seorang tua bijaksana yang di puncak kediktatoran Suharto mengingatkan rakyat Indonesia bahwa mereka adalah rakyat yang memiliki berbagai hak. 162 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Lu Tjun Sheng dan Aidit di sebuah pertemuan pada tahun 1965 Siauw Giok Tjhan ketika dirawat di RSPAD sebagai Tapolpada tahun 1974 163 John Roosa Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata Refleksi Pandangan Siauw Giok Tjhan Mengenai Nasion/Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa Leo Suryadinata1 Pandangan Siauw Giok Tjhan (1914-1981) tentang Nasion/ Bangsa Indonesia dan Suku Tionghoa tidak banyak dibahas secara ilmiah. Saya pernah menerbitkan buku yang membahas masalah Politik Tionghoa Indonesia dan menyoroti masalah ini2. Setelah 30 tahun lebih kita lewati, saya merasakan perlunya merenungkan kembali apa yang ditulis ketika itu dan bertanya apakah mungkin memperluas diskusi tentangnya. Saya berpendapat bahwa untuk memahami konsep Nasion/Bangsa Indonesia yang dituangkan Siauw Giok Tjhan, kita perlu meneliti sepak terjang Siauw dalam sejarah; latar belakang sejarah saat konsep itu dilahirkan, khususnya perkembangan politik Indonesia pada saat itu; dan hubungan rumit Siauw dengan banyak partai politik dan tokoh-tokoh ketika itu. Ternyata Siauw sendiri di berbagai zaman tidak selalu berpendapat yang sama. Oleh karena itu, kita mungkin bisa melakukan sebuah refleksi sejarah. Siauw Giok Tjhan sebelum Baperki Terbentuk Siauw berpendidikan Belanda dan tidak mengerti bahasa Tionghoa. Di masa muda sudah mulai bekerja di surat kabar milik 1 Penulis saat ini menjabat Peneliti Senior Lembaga Studi Asia Tenggara di Singapura; Profesor di Sekolah Internasional S Rajaratnam, Universitas Teknologi Nanyang. Makalah ini ditulis dalam bahasa Tionghoa, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Chan Chung Tak dengan bantuan penulisnya. 2 Leo Suryadinata, Pribumi Indonesians, the Chinese Minority and China: A Study of Perceptions and Policies. Kuala Lumpur and London: Heinamann, 1978. 164 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata peranakan Tionghoa. Dan ia banyak dipengaruhi oleh pimpinan Partai Tionghoa Indonesia, Lim Koen Hian dan Pemimpin Redaksi Harian Matahari, Kwee Hing Tjiat. Liem Koen Hian adalah seorang tokoh Tionghoa kiri. Awalnya ia adalah seorang Nasionalis Tiongkok, tetapi kemudian menjadi salah seorang aktivis yang giat mendukung gerakan kemerdekaan Indonesia. Bahkan pada tahun 1937 ia masuk dalam Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) yang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, yang kemudian menjadi anggota PKI. Sedangkan Kwee Hing Tjiat tadinya menganut paham nasionalis Tiongkok. Akan tetapi setelah kembali dari perantauan ke Indonesia pada tahun 1934 mendirikan surat kabar yang berkiblat ke Indonesia. Siauw juga berkenalan dengan tokoh-tokoh Tionghoa dan pribumi yang berhaluan kiri, termasuk Pemimpin Redaksi Sin Tit Po dan tokoh Partai Tionghoa Indonesia seperti Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie, para tokoh komunis Indonesia veteran seperti Amir Syarifudin dan Muso, bahkan juga dengan Njoto, pimpinan PKI baru. Nampaknya yang paling banyak mempengaruhi Siauw dari para tokoh ini adalah Tan Ling Djie3. Tan Ling Djie (1904-1969) lebih tua 10 tahun dari Siauw. Pada tahun 30-an, Siauw sudah mengenalnya dan menjadi pembimbing politiknya. Dari Tan Ling Djie itulah Siauw belajar metode menganalisa politik dan masyarakat. Mereka berdua menjadi sahabat kental. Sejak tahun 1951 sampai 1965, Tan Ling Djie tinggal di rumah Siauw, dan anak-anaknya memanggilnya “Empek”4. Pada tahun 1946 Tan Ling Djie dan Siauw masuk dalam Partai Sosialis. Mereka aktif pula di Front Demokrasi Rakyat 3 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika, Jakarta: Hasta Mitra, 1999, p.59. 4 Ibid., halaman 60. 165 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata Indonesia (FDR), kekuatan politik kiri di zaman revolusi. Pada Tahun 1948 Tan Ling Djie masuk di PKI, sedang Siauw tetap berada di FDR. Pada tahun 1948 baik Tan Ling Djie maupun Siauw ditahan karena Peristiwa Madiun, sekalipun tidak lama kemudian kedua-duanya bebas. Setelah Tan Ling Djie dibebaskan, ia sempat menjabat Sekretaris Jenderal PKI (1948-1951). Siauw sendiri pada tahun 1951 menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakjat (Juli 1951 – 30 Oktober 1953). Pada Januari tahun 1951, Aidit berhasil menggulingkan Tan Ling Djie dari posisi Sekjen PKI. Akan tetapi Tan tetap bertahan sebagai anggota Central Comite5. Pada bulan Oktober 1953 kritikan terhadap Tan Ling Djie dilangsungkan dalam PKI dan ia kemudian dihentikan dari Central Comite6. Tidak lama kemudian Siauw meletakkan jabatan dari Pemimpin Redaksi Harian Rakjat dan Njoto menggantikannya. Ruth McVey mengomentari masalah ini: “Siauw Giok Tjhan adalah sahabat baik Tan Ling Djie. Tidak jelas apakah ia meninggalkan Harian Rakjat sebagai protes terhadap apa yang dialami Tan Ling Djie, ataukah dari keputusan PKI, yang bermaksud mengurangi jumlah orang Tionghoa dari posisi penting dalam gerakan komunisme Indonesia. Kemungkinan terakhir tetap ada, yang berarti pimpinan baru PKI memiliki sikap nasionalisme (rasisme ?--penulis) yang cukup kuat”7. Lebih lanjut McVey menyatakan: “PKI di masa Aidit, tidak menganjurkan Tionghoa Indonesia masuk jadi PKI”8. Adanya “Perubahan Baru” demikian ini, menyebabkan Siauw Giok Tjhan 5 Donald Hindley, The Communist Party of Indonesia 1951-1963, Berkeley: University of California Press, 1964, p.78. 6 Tan Ling Djie dikritik melakukan kesalahan ”Menyerahisme”. Kemudian disebut “Tan Ling Djie-isme” 7 Ruth McVey, “Indonesian Communism and China,” Tang Tsou and Ping-ti Ho, eds. China in Crisis, vol. 2, University of Chicago Press, 1969, pp.361-361. 8 Ibid., halaman 362. 166 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata antipati terhadap kehadiran Aidit. Hubungan di antara kedua orang ini kurang harmonis. Tetapi, hubungan Siauw dengan tokoh utama PKI Njoto dll tidak pernah berubah. Sesungguhnya, pada waktu Siauw menerbitkan dan menjabat Pemimpin Redaksi Harian Rakjat, Njoto sudah berada di Harian Rakjat. Ada penulis yang mengatakan, pada saat Siauw menjadi anggota Partai Sosialis dan bertanggung jawab atas Harian Suara Ibu Kota, di Yogyakarta, ia dibantu oleh pimpinan muda PKI Aidit dan Njoto. Menurutnya, Njoto yang lebih muda 10-an tahun justru memperoleh bimbingan Siauw dalam bidang kewartawanan pers9. Hubungan Siauw dengan Harian Rakjat (1951-1953) menimbulkan dua versi pendapat. Umum menganggap sejak awal Harian Rakjat adalah surat kabar PKI dan Njoto di Harian Rakjat adalah pemimpin sesungguhnya10. Akan tetapi sementara orang menganggap Harian Rakjat baru menjadi surat kabar PKI setelah Siauw meninggalkan Harian Rakjat11. Kalau kita perhatikan Editorial ketika Siauw meninggalkan Harian Rakjat, PKI tidak menyangkal hubungan Harian Rakjat dengan Partai pada waktu Siauw menjabat Pemimpin Redaksi. Editorial itu menyatakan Harian Rakjat sebagai “Harian kita”. Editorial tersebut menyatakan bahwa “Harian kita sudah lebih dua tahun mengabdikan diri kepada rakjat dan perdjuangannya. Dalam pertentangan antara kepentingan nasional dan kepentingan kolonial, harian kita selalu berpihak kepentingan nasional. Dalam pertentangan antara Rakjat dan musuh-musuh Rakjat, harian kita selalu berpihak Rakjat.” Editorial selanjutnya menyatakan bahwa sejak tanggal 2 Nopember 1953, “Mulai hari ini harian kita mengalami perubahan. Ada perubahan 9 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan1999 p.117. 10 Ruth McVey, “Indonesian Communism and China”, pp.361-362. 11 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), p. 147; Charles Coppel”Siauw Giok Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed. Southeast Asian Personalities of Chinese descent: a Biographical Dictionary (Singapore: ISEAS) , p.971. 167 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata dalam pimpinan perusahaan, juga susunan redaksi mengalami perubahan. Perubahan-perubahan ini tidak mempunjai tudjuan lain ketjuali perbaikan dan penjempurnaan.”12 Di “Pengumuman” tersebut Siauw Giok Tjhan juga dinyatakan, setelah ia dan Annast “Sukarela Meletakkan Jabatan”, Pimpinan Umum N.V. Penerbit “Rakjat” dan menugaskan saudara Naibaho sebagai Pimpinan Umum menggantikan Siauw13. Pengumuman itu juga mengharap dukungan para pembaca pada pimpinan baru sehingga Harian Rakjat dapat mencapai kemajuan lebih pesat dan merupakan harian yang patut dibanggakan sebagai alat perjuangan kita semua untuk melaksanakan cita-cita demokrasi sejati14. Sebetulnya, sebelum Siauw meletakkan jabatan dari Pimpinan Umum kepengurusan Harian Rakjat telah terjadi perubahan. Naibaho sudah menjadi salah seorang Redaksi. Dengan Siauw meletakkan jabatan, nampak kelompok Aidit memperoleh kemenangan dalam PKI. Masalah apakah Siauw Giok Tjhan anggota PKI kerap menjadi perbincangan ramai. Sementara penulis menganggap ia bukan anggota PKI15. Sekalipun ia bukan anggota PKI, tidak dapat disangkal bahwa hubungannya dengan pimpinan utama PKI sangat dekat, bahkan sejak awal ia sudah banyak dipengaruhi oleh Marxisme. Faktor lain yang mempengaruhi konsep Nasion/ Bangsa Siauw adalah keterlibatannya dalam perjuangan nasionalis Indonesia melawan kolonialisme. Sejak awal Perang Dunia II, ia sudah aktif terlibat dalam gerakan perjuangan kemerdekaan, berjuang bahu membahu bersama pribumi, bekerjasama erat dan mendapatkan kepastian/sambutan dari kelompok nasionalis Indonesia. Di masa revolusi ia menjadi anggota Badan Pekerja 12 13 14 15 Pembaharuan” (Editorial), Harian Rakjat, 2 November 1953. “Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 October 1953. “Pemberitahuan”, Harian Rakjat, 31 Oktober 1953. Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), pp.382-387. 168 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata KNIP, kemudian di Kabinet Amir Syarifudin menjadi Menteri Negara Urusan Peranakan. Patut dikemukakan, sebelum dan sesudah Perang Dunia II, masalah ras banyak mempengaruhi politik Indonesia. Siauw dijadikan Menteri Negara Urusan Peranakan mungkin karena Pemerintah Indonesia berusaha menarik dukungan kelompok peranakan, khususnya peranakan Tionghoa yang jumlahnya cukup besar dan menguasai kekuatan ekonomi. Siauw senantiasa berdiri teguh di pihak nasionalis Indonesia. Hubungannya dengan Sukarno semakin erat dan akhirnya ia menjadi pendukung setia Sukarno, sehingga bersama Sukarno terguling jatuh dari panggung politik. Siauw Giok Tjhan dan Baperki Latar belakang Siauw di atas akan membantu kita untuk memahami pemikiran politik Siauw dan konsep Nasion Indonesianya. Pada bulan Maret 1954, ketika Siauw tampil sebagai Ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, ia sudah tidak menjabat Pimpinan Umum Harian Rakjat. Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), berawal dari Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), yang sebelumnya bernama Persatuan Tionghoa, yang didirikan pada tahun 1948 dengan ketua Thio Thiam Tjong, pengusaha Tionghoa berpendidikan Belanda. Setelah Belanda menyerahkan kedaulatan, Persatuan Tionghoa berubah menjadi PDTI. Tetapi, tak lama kemudian partai ini pecah. Banyak anggota partai menganggap, PDTI adalah partai politik yang eksklusif, karena hanya menerima Tionghoa menjadi anggota partai. Mereka menganggap PDTI hanya akan memperburuk sikap pribumi 169 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata terhadap Tionghoa. Akan tetapi, sebagian lain beranggapan golongan Tionghoa memiliki masalah khusus sehingga Tionghoa harus melindungi kepentingan dan memperjuangkan haknya sendiri. Kalau masuk dalam Partai politik pribumi, bilamana ada konflik antara kepen tingan minoritas dan mayoritas, kepentingan mayoritas-lah yang akan didahulukan. Pertentangan di dalam PDTI tentang ini semakin merun cing. Banyak di antara anggotanya meninggalkan PDTI, bergabung dalam partai politik pribumi, seperti PNI, Partai Kristen, Partai Sosialis, dll. Ketika itu masalah besar yang dihadapi Tionghoa adalah Kewarganegaraan. Ini disebabkan Pemerintah Indonesia ketika itu mempersiapkan Rancangan UU (RUU) Kewarganegaraan, bermaksud membatalkan kewarganegaraan Indonesia orang Tionghoa dan menghendaki mereka mengulang pemilihan kewarganegaraan. Seandainya saja RUU ini berhasil diundangkan pada akhir 1955, tidak sedikit peranakan Tionghoa yang sudah warga negara Indonesia harus mengulang pemilihan kewarganegaraan lagi. Mengingat banyak Tionghoa tidak paham dengan prosedur hukum, pembatalan ini akan mengakibatkan jumlah warga negara Indonesia keturunan Tionghoa akan turun secara drastik. Beberapa anggota parlemen Tionghoa dan perkumpulan Tionghoa di luar parlemen menganggap masalah ini sebagai tantangan mendesak dan gawat, sehingga merasa perlu segera bertindak. Pada tahun 1954 untuk bisa menghadapi tantangan ini, PDTI mengumpulkan beberapa kelompok organisasi Tionghoa untuk bergabung dalam sebuah organisasi yang akan dinamakan Badan Permusyawaratan Turunan Tionghoa, disingkat BAPERWAT. Panitia persiapan pembentukan organisasi mengundang seluruh 170 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata organisasi Tionghoa dan kesatuan Tionghoa untuk mengirim utusan, tanpa membedakan agama dan aliran politik untuk menghadiri rapat akbar pembentukan. Begitulah, yang menghadiri rapat akbar ini Tionghoa kiri, kanan dan elemen tengah. Sebagian besar yang datang adalah elite peranakan Tionghoa. Mereka berharap Organisasi baru ini akan mampu memperjuangkan keadilan untuk golongan peranakan di Indonesia, termasuk peranakan Tionghoa. Sebelum Baperki didirikan, Siauw pada bulan Nopember 1953 sudah mengeluarkan sebuah tulisan menentang rasisme. Ia menyatakan sebagai golongan minoritas, keturunan Tionghoa dibedakan dari kelompok suku minoritas pribumi lainnya16. Ia menyerang Pemerintah yang pada tahun 1950an mengeluarkan “politik asli” [kebijakan mengutamakan Indonesia asli], kebijakan yang di bidang ekonomi dan pendidikan lebih mendahulukan dan memberikan keistimewaan pada pribumi. Menyingkirkan perusahaan milik Tionghoa yang kepemilikan sahamnya tidak terdiri dari paling sedikit 50% pribumi, karena perusahaan tersebut dinilai bukan “perusahaan nasional”. Siauw menyatakan bahwa kebijakan ini melanggar UU yang menjamin seluruh warga negara di hadapan hukum adalah setara . Ia berpendapat bahwa “politik asli” hanya akan 17 mendorong terciptanya monopoli perusahaan kolonialis barat yang menjadikan pribumi boneka dengan tujuan mengendalikan ekonomi Indonesia. Di matanya, kebijakan ini tidak sesuai dengan kepentingan nasional Indonesia. Ia-pun menyatakan bahwa kebijakan ini berlaku pula di bidang pendidikan. Akibatnya generasi muda peranakan Tionghoa tidak memperoleh kesempatan 16 Siauw Giok Tjhan, “Apa itu exclusivisme?” Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera (1963), p.104. 17 Siauw Giok Tjhan, “Pembangunan Ekonomi Nasional”, Sin Po, 23-24 November 1953. 171 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata pendidikan. Dengan tegas ia menuntut Pemerintah mengakhiri “politik asli”, dan memperlakukan setiap warga negara Indonesia dengan hak dan kewajiban yang sama18. Rapat akbar pembentukan Baperki diketuai oleh Thio Thiam Tjong, ketua PDTI. Ia mengatakan bahwa PDTI telah gagal, karena melaksanakan rasisme, yaitu hanya menerima Tionghoa menjadi anggota partai dan tidak memperkenankan anggotanya bergabung di Parpol lain. Lebih lanjut ia mengatakan agar supaya organisasi baru tidak mempertahankan sikap seperti ini. Penyusun konsep Anggaran Dasar Organisasi adalah Sarjana Hukum kenamaan, Oei Tjoe Tat. Ia menyatakan, organisasi baru bukanlah partai politik, oleh karena itu ia tidak menitik beratkan ideologi politik. Sebelum organisasi baru dibentuk, terjadi perdebatan sengit tentang nama organisasi. Pada pokoknya ada 2 kelompok. Satu kelompok diwakili oleh Yap Thiam Hien, sarjana hukum ternama dari Tionghoa Kristen; dan kelompok lain diwakili Siauw Giok Tjhan. Yap Thiam Hien mendukung nama Badan Permusyawaratan Turunan Tionghoa, karena menurutnya “kita tetap saja akan diperlakukan sebagai Warganegara Indonesia Keturunan Tionghoa. Selama masih ada pandangan rasis dan diskriminasi rasial, kita harus mempertahankan ‘ke-Tionghoaan’ kita”. Sedang kelompok lain yang diwakili Siauw menentang dipertahankannya nama Tionghoa. Ia berpendapat, organisasi baru ini tidak boleh hanya untuk warganegara keturunan Tionghoa, harus terbuka untuk suku-suku lain yang setuju dengan tujuan organisasi baru ini. Warganegara yang bukan Tionghoa yang setju dengan tujuan organisasi baru harus diterima sebagai anngota. Ia menambahkan, organisasi baru ini bertujuan membasmi rasisme dan diskriminasi rasial yang sedang meningkat. Adalah 18 Ibid. 172 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata tidak bijaksana mempertahankan istilah Tionghoa dalam nama organisasi karena akan menjadikan organisasi yang eksklusif. Yang paling mendesak dewasa ini adalah tugas mempersatukan segenap warga Indonesia, tanpa membedakan latar belakang suku atau etnisitas, berjuang bersama, dan memberikan pengertian yang tepat pada hak kewarganegaraan. Yap Thiam Hien tidak menyetujui pandangan Siauw. Ia menganggap sebuah organisasi perlu ada identitas, nama itu penting, karena ia merefleksikan siapa yang harus dilindungi dan sesuai dengan usaha yang dilakukan. Kalau badan ini merupakan badan keturunan Tionghoa, kenapa harus takut dengan nama “Tionghoa”? Tetapi, lebih banyak hadirin rapat yang menyetujui pendapat Siauw. Akhirnya rapat memutuskan organisasi baru tidak menggunakan nama “Tionghoa”. Begitulah organisasi baru itu dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, disingkat menjadi Baperki. Ada 3 tujuan Baperki yang ditetapkan saat pembentukan 13 Maret 1954: 1. “Memperdjuangkan pelaksanaan tjita2 nasional, jaitu untuk mendjadikan tiap warganegara seorang warganegara Republik Indonesia jang sedjati; 2. Memperdjuangkan pelaksanaan azas2 demokrasi dan hak2 azasi manusia; 3. Memperdjuangkan terwudjunya persamaan hak dan kewadjiban serta adanja kesempatan untuk madju bagi tiap warga-negara dengan tidak memandang keturunannja, kebudajaannja, adat-istiadatnja, maupun agamanja.” (Anggaran Dasar Baperki, p.11) Bagaimana mewujudkan tujuan ini? Anggaran Dasar menunjukkan, harus dilaksanakan “dengan segala tjara jang halal dan sah”. Ketika itu di Indonesia segera akan melangsungkan 173 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata Pemilihan Umum. Oleh karenanya, Baperki siap ikut serta dalam Pemilu 1955. Para anggota pengurus Baperki pada awalnya mendukung ikut sertanya Baperki dalam Pemilu. Akan tetapi sebelum Pemilu berlangsung, beberapa tokoh Baperki yang berhaluan kanan se perti Auwyang Peng Koen dan Khoe Woen Sioe, yang menentang haluan politik Siauw, meninggalkan Baperki. Mereka kemudian menjadi lawan Baperki dalam Pemilu 1955. Dalam Pemilu ini, hanya dua Tionghoa yang terpilih sebagai anggota DPR (parlemen), Siauw Giok Tjhan seorang atas nama Baperki dan Tjoe Tik Tjoen dari PKI. Pada waktu itu, untuk golongan Tionghoa di DPR disediakan 9 kursi, jadi masih tersisa 7 kursi. Pemerintah kemudian mengisi jata perwakilan Tionghoa di DPR dengan calon-calon beberapa partai politik yang menang. Berdasarkan penelitian bahan-bahan diskusi Baperki dapat disimpulkan bahwa ketika itu Baperki mencampur aduk masalah kewarganegaraan dan bangsa, menganggap Bangsa/Nasion Indonesia dan warganegara Indonesia sinonim. Pada tahun 1957, Baperki melangsungkan Simposium tentang “Sumbangsih apakah yang dapat diberikan oleh warganegara-warganegara Indonesia keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan kebudayaan nasional Indonesia”. Kecenderungan ini nampak dalam dokumentasi ini. Sebelum Simposium dimulai, peserta khusus pergi ke Istana Negara menghadap Sukarno. Di dalam pertemuan itu Sukarno menyatakan bahwa ia mendukung Baperki dan mengakui bahwa peranakan Tionghoa adalah “human skill” [Sumber Tenaga Manusia] Indonesia, yang akan memberikan sumbangan penting dalam mengembangkan ekonomi Indonesia19. 19 “Wedjangan Presiden Sukarno kepada Delegasi Baperki”, Simposium Baperki tentang Sumbangsih apakah yang dapat diberikan oleh warganegara2 Indonesia keturunan asing kepada pembangunan dan perkembangan kebuday- 174 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata Simposium ini dihadiri oleh para penduduk-asli, peranakan Tionghoa dan peranakan non-Tionghoa. Sebagian besar jumlah hadirin adalah peranakan Tionghoa. Beberapa penduduk-asli, peranakan Tionghoa, peranakan Indo dan Peranakan Arab memberi makalah pada simposium tersebut. Peserta pribumi yang menonjol adalah Njoto dan Buyung Saleh dari PKI. Kedua orang ini menyampaikan makalahnya. Siauw Giok Tjhan sendiri juga menyampaikan kata sambutan yang cukup panjang, yang pada pokoknya membahas hubungan bangsa Indonesia dengan kewarganegaraan Indonesia. Dari sambutan inilah kita bisa menyimpulkan pandangan Siauw tentang bangsa Indonesia. Siauw Giok Tjhan menyatakan: untuk membangun sebuah “nation/bangsa” yang harmonis, salah satu syarat utamanya adalah “adanya keinginan keras untuk hidup bersama”. Ia menyamakan penggunaan istilah bahasa Inggris nation dan istilah bangsa yang sudah menjadi bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa pengertian “bangsa” di sini merupakan pengertian baru dari luar. Untuk Siauw, para suku bangsa Indonesia, termasuk keturunan Tionghoa, harus mempunyai keinginan keras untuk hidup bersama di dalam satu Negara, baru bisa menjadi satu bangsa. Salah satu syarat utama untuk mencapai keharmonisan dalam satu bangsa adalah dihilangkannya sikap saling mencurigai di antara suku. Setiap orang termasuk keturunan Tionghoa, harus memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang. Pada saat mengatakan demikian, Siauw menggunakan “suku dan “golongan keturunan asing” menjadi pengertian satu bangsa. Tidak nampak pengaruh definisi Marx atau Stalin tentang bangsa. Dengan uraian: “Keinginan keras untuk hidup bersama” Siauw menggunakan definisi terori non komunis. Dalam sambutan Siauw itu, setelah membicarakan ttg aan nasional Indonesia 1957, Halaman 1. 175 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata konsep bangsa secara singkat, ia Siauw tidak lagi membicarakan masalah “suku”, tapi lebih banyak membicarakan “golongan keturunan Tionghoa”, dan ia menyamakan istilah golongan keturunan Tionghoa dengan suku keturunan Tionghoa. Yang tersirat, begitu golongan keturunan Tionghoa menjadi “warga negara Indonesia”, dengan sendirinya sudah menjadi “Suku Indonesia”. Pimpinan Baperki ketika itu, tidak memperhatikan bahwa “bangsa” adalah definisi kebudayaan, sedangkan warga negara adalah istilah hukum. Sebelum tahun 1959, Siauw belum mempunyai satu konsep pengertian lengkap mengenai posisi Tionghoa dalam Bangsa Indonesia. Ia pertama-tama menempatkan keturunan Tionghoa sebagai golongan. Di dalam Anggaran Dasar Baperki 1954 juga tidak mengajukan Tionghoa sebagai salah satu Suku, hanya membicarakan HAK warga negara. Tetapi di sebuah bulletin Baperki bahasa Tionghoa dalam laporan tujuan Baperki, pernah muncul sebutan “Zhonghua Zu” (Suku Tionghoa)20. Ia tidak menyatakannya sebagai pendapat Siauw. Pada tahun 1957 Siauw pernah menyatakan bahwa keturunan Tionghoa (istilah yang dipakai bukan “peranakan Tionghoa”), sebagai salah satu suku keturunan asing, adalah bagian dari Indonesia - mengaitkannya dengan suku Indonesia - yang harus diperlakukan sama sederajat dengan suku pribumi Indonesia lainnya. Ia juga menyatakan bahwa keturunan Tionghoa harus menjadi “warga negara Indonesia sedjati” . Tapi ia tidak menjelaskan bagaimana keturnan Tionghoa berintegrasi dengan masyarakat Indonesia. Apa yang menjadi perhatiannya dan Baperki hanyalah “Kewarganegaraan Indonesia” dan sebagai warga bisa diperlakukan sederajat. Setelah keturnan Tionghoa menjadi warganegara Indonesia, 20 Yinni guoji xieshanghui de zongzhi yu mubiao (Tujuan Dan Sasaran BAPERKI) dimuat di Berita Baperki, (Djakarta)1954, halaman 1. 176 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata maka ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia. Pengertiannya saat itu, warga negara Indonesia adalah anggota Bangsa Indonesia, hakekatnya tidak perlu lagi integrasi ke dalam masyarakat yang pada pokoknya adalah pribumi. Mungkin karena pengertian inilah Baperki tidak memasalahkan konsep integrasi pada waktu itu. Konsep Integrasi dikeluarkan dan dikembangkan setelah tahun 1959, setelah lahir konsep asimilasi dari pihak lawan Baperki yang menganjurkan keturunan Tionghoa berasimilasi total dengan pribumi Indonesia. Baperki menentang “asimilasi total” dan menganjurkan “integrasi”. Perbedaan antara kedua konsep ini akan dibicarakan secara lebih mendetail di bagian lain. Patut dikemukakan bahwa ketika itu yang berlangsung adalah demokrasi parlementer di mana banyak pimpinan partai politik yang berkuasa masih dipengaruhi oleh rasisme. Para tokoh politik tersebut memilah penduduk dengan kategori “asli” dan “tidak asli”. Kedua kelompok ini harus dibedakan. Tionghoa termasuk peranakannya masuk dalam kategori “tidak asli”. UU Kewarganegaraan Indonesia yang baru masih belum dikeluarkan. Oleh karena itu perhatian utama dicurahkan ke upaya melawan rasisme. Siauw Giok Tjhan, Yap Thiam Hien dan Teori Asimilasi setelah tahun 1959 Untuk lebih lanjut memahami perkembangan pandangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki tentang bangsa Indonesia, kita harus meneropong perkembangan politik Indonesia pada tahun 1949 hingga 1959. Pada akhir tahun 1949 Belanda dan pemerintah Indonesia menandatangani Perjanjian Konperensi Meja Bunder (KMB), menerima sistem Federasi. 177 Dengan demikian Belanda Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata menyerahkan kedaulatan politik kepada Pemerintah Demokratis Indonesia. Tapi tak lama terjadi pemberontakan Maluku Selatan, yang memproklamasikan kemerdekaan. Pemerintah pusat melancarkan penindasan bersenjata, berhasil mengalahkan pemberontakan dan secara sepihak mengubah federasi menjadi negara kesatuan. Dimulailah masa demokrasi parlementer dan pemerintah mengumumkan pada tahun 1955 akan melangsungkan pemilu legislatif. Pada pemilu tersebut muncul 4 Partai Besar, Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama (NU), Masyumi dan PKI. Tetapi setiap pembentukan kabinet pemerintah, PKI tersisih. Pemerintah sering berganti dan sering terjadi kerusuhan di daerahdaerah. Akibatnya Sukarno sebagai presiden mengambil inisiatif membentuk kabinet. Akan tetapi kekacauan di daerah tetap terjadi. Demokrasi parlementer gagal. Sukarno membubarkan Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan di daerah, dan pada bulan Juli 1959 mendorong kembalinya UUD 45 sebagai UUD, yang menjamin kekuasaan utama di tangan Presiden. Dimulailah periode “Demokrasi Terpimpin” (1959-1965). Di masa ini, tokoh utama adalah Sukarno, diikuti oleh Angkatan Darat yang semakin berpengaruh dan PKI. Sukarno berfungsi sebagai pengimbang kekuatan antara Angkatan Darat dan PKI. Pada saat Angkatan Darat nampak lebih kuat, ia mendukung PKI. Sebaliknya bilamana PKI nampak lebih kuat, ia cenderung mendukung Angkatan Darat. Akan tetapi lamakelamaan, ia lebih condong ke kiri dan mendukung PKI. Di zaman “Demokrasi Terpimpin” Baperki memperoleh dukungan PKI dan Sukarno. Sedang parpol lain, khususnya partaipartai berhaluan kanan dan Angkatan Darat selalu menentang Baperki dan usul-usul yang ia ajukan. Baperki telah menjadi duri di mata kelompok Angkatan Darat dan partai-partai kanan. Oleh 178 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata karena itu Partai-partai politik kanan, intelek anti Komunis dan Angkatan Darat bersatu mendukung kelompok asimilasi yang kemudian mendirikan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB). LPKB kemudian berkembang sebagai lawan Baperki. LPKB menganjurkan Tionghoa mengganti nama dan kawin campuran sehingga menjadi pribumi. Sebelum kita memasuki diskusi panjang lebar tentang konsep asimilasi dan pendirian LPKB, sebaiknya kita perhatikan juga pendapat salah satu penentang gigih asimilasi, yaitu Yap Thiam Hien (1913-1989). Pada tahun 1959 Siauw dan Yap bersama memimpin Baperki. Pikiran Siauw cenderung ke sosialisme dan komunisme. Sedang Yap, seorang penganut Kristen yang anti komunis. Karena perbedaan pandangan politik yang kian meruncing, Yap akhirnya mengundurkan diri dari posisi pengurus Baperki. Akan tetapi Ia tetap menjadi anggota Baperki. Pada tahun 1960, Yap mengeluarkan tulisan di majalah Star Weekly yang berpengaruh di masyarakat. Yap menjelaskan bahwa ada tiga terapi tentang penyelesaian masalah Tionghoa, Terapi Siauw Giok Tjhan, terapi 10 orang dan terapi Yap sendiri. Yap menuturkan bahwa terapi Siauw Giok Tjhan – berdasarkan tulisan dan pidato-pidato Siauw dari tahun 1957 hingga Maret 1960 mengandung jalan keluar demikian: Struktur masyarakat Indonesia masih feodal, kolonial dan kapitalis. Dalam struktur masyarakat semacam ini terdapat banyak borok, di antaranya adalah pandangan rasis. Pelaksanaan konsep “integrasi” bisa mempertahankan keutuhan minoritas Tionghoa, tetapi ini hanya bisa mencegah borok untuk tidak menjadi parah dan meluas. Satu-satunya jalan untuk menghilangkan borok-borok tersebut adalah mengubah struktur masyarakat feodal, kolonial dan kapitalis dengan masyarakat yang meniadakan borok- 179 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata borok tersebut, sehingga terjamin keharmonisan masyarakat dan minoritas Tionghoa tidak lagi didiskriminasi. Masyarakat macam apakah itu? Masyarakat Komunis, contohnya Uni Soviet dan Tiongkok. Yap menyatakan bahwa untuk Siauw, diskriminasi rasial baru hilang di Indonesia, setelah struktur masyarakat Indonesia berubah menjadi masyarakat komunisme. Jadi menurut Yap, usul Siauw tidak lain mewujudkan masyarakat komunisme di Indonesia. Mungkinkah Indonesia berubah menjadi masyarakat komunisme? Lalu, kapan bisa terlaksana? Yap berpendapat, penduduk Indonesia 94% adalah umat Islam dan Kristen, mereka dengan teguh menentang komunisme. Namun Yap juga menyatakan, “ia tidak mengecilkan kekuatan PKI, tetapi, untuk merubah Indonesia menjadi masyarakat komunisme, sekalipun mungkin bisa, juga memerlukan waktu yang “Tidak pendek”. Yap mengatakan bahwa Siauw pernah menandaskan, “asimilasi total secara alamiah” memerlukan proses “waktu yang sangat panjang”. Menurut Yap, sebenarnya pernyataan “Harus melalui proses waktu sangat panjang” ini juga berlaku untuk “terapi Siauw Giok Tjhan” sendiri. Yap menyatakan bahwa Siauw hendak mempertahankan “golongan minoritas Tionghoa”. Pada waktu bersamaan ia hendak meng-integrasi-kan mereka dalam masyarakat Indonesia, yang bersandar atas prinsip Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Tetapi Ia tidak memberi penjelasan kongkrit tentang konsep “Integrasi” yang ia ajukan. Akhirnya Yap bertanya apakah “terapi Siauw” mempunyai arti yang positif? mempunyai unsur Yap mengatakan, tentu saja “terapi Siauw” positif dalam pembangunan, tapi ia beranggapan terapi Siauw tidak akan dalam waktu dekat menyelesaikan masalah minoritas. Bagi Yap, menerima “terapi 180 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata Siauw”, berarti “berjuang membasmi rasisme serentak membangun masyarakat komunisme”21 Siauw di Star Weekly menyanggah22. Ia menyatakan bahwa yang ia tekankan adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” yang dianjurkan Sukarno untuk secepatnya mengakhiri sistem manusia menindas manusia. “Oleh Presiden Sukarno masjarakat adil dan makmur djuga dinamakan Masjarakat Sosialis a-la Indonesia”. Pikiran Presiden Sukarno tentang pembangunan masyarakat adil dan makmur itu diperjelas dalam Pidatonya pada tanggal 17 Agustus 1959, dengan judul “Penemuan Kembali Revolusi Indonesia”, yang kemudian diumumkan sebagai Manifesto Politik Republik Indonesia, … Dan pidato Presiden Sukarno ini telah disahkan di DPA menjadi Manifesto Politik Republik Indonesia, yang dinyatakan menjadi garis-garis besar haluan negara, dan wajib ditaati oleh tiap orang warga-negara Indonesia. Siauw menyatakan bahwa yang mendukung Manipol tidak hanya orang komunis dan orang-orang yang di mata Yap Thiam Hien komunis, tapi juga diterima seluruh anggota DPA. Masyarakat Adil dan Makmur ini bisa dicapai dalam waktu lebih dekat. Bagi Siauw, “pertentangan jang digambarkan oleh sdr. Yap hanja terdapat dalam pikiran sdr. Yap sendiri” karena kelompok masyarakat Indonesia non-Komunis juga tidak menentang Masyarakat Adil dan Makmur yang dicanangkan dalam Manipol. Siauw selanjutnya menyatakan: “Sampai sekarang ini, tidak seorang sardjana ilmu sosial jang dapat menjangkal, bahwa penjelesaian golongan minoriteit di Sovyet Uni dan RRT adalah mentjapai tingkat ideal. Tidak sedikit sardjana anti-komunis Amerika kepaksa musti mengakui kenjataan tersebut”23. Akhirnya Siauw mengatakan, kongres Baperki terakhir ini juga 21 Ibid. 22 Siauw Giok Tjhan, “Terapi: Manifesto Politik RI”, Star Weekly, 23 April 1960. 23 Ibid. 181 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata telah menerima usul mewujudkan “Masyarakat Adil dan Makmur”. Menerima kenyataan yang diajukan Siauw cara memecahkan masalah minoritas berarti juga harus bersama-sama berjuang melaksanakan Manipol. Siauw menyangkal apa yang ia ajukan adalah “masyarakat komunisme”. Yang diajukan adalah “Masyarakat Adil dan Makmur” sebagai yang definisikan Sukarno. Namun demikian, ia mengakui bahwa dasar argumentasinya pada Soviet dan RRT sebagai model, tapi tidak menjelaskan apa perbedaan antara “Masyarakat Sosialisme” di kedua negara yang dikuasai Partai Komunis dengan “Sosialisme a-la Indonesia”. Dari sanggahan di atas, jelas Siauw tidak ingin konsep yang diajukan itu dikatakan “terapi komunis”. Seiring dengan itu, Siauw juga merasakan kekuatan revolusioner yang mendukung Sukarno semakin kuat, sehingga baginya perwujudan “masyarakat Sosialisme ala Indonesia” bisa dicapai lebih cepat dari dugaan Yap Thiam Hien. Namun kenyataan membuktikan bahwa Siauw salah dalam memperhitungkan kekuatan revolusioner, dan meremehkan kekuatan anti-komunis dan anti-sosialisme dalam masyarakat Indonesia, yang didominasi oleh kekuatan kanan di TNI dan organisasi agama. Marilah kita meneliti apa konsep Yap Thiam Hien dalam menyelesaikan masalah Tionghoa. Dengan mencanangkan menentang “Terapi terapi-nya dalam komunis Siauw”, memecahkan Yap masalah Tionghoa . Sebagai seorang Kristen yang anti-komunis, ia tidak 24 percaya apa yang diajukan Siauw dengan “revolusi Komunis” bisa memecahkan masalah Tionghoa, karena menurutnya penduduk Indonesia lebih 94% adalah umat Islam dan Kristen yang gigih menentang komunisme. Ia menyatakan bahwa 24 Yap Thiam Hien, “Dua Terapi (1)”, Star Weekly, 16 April 1960. 182 masyarakat Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata komunisme akan memakan waktu lama sekali sebelum bisa terwujud dan dalam waktu singkat terapi Siauw tidak akan memecahkan masalah Tionghoa. Di mata Yap, inti masalah Tionghoa berkaitan dengan masalah hubungan antara golongan mayoritas dan golongan minoritas25. Dan ini sudah berkembang dari zaman penjajahan Belanda yang kemudian diwarisi Indonesia setelah merdeka. Oleh karena itu rasisme terhadap minoritas Tionghoa tetap berlangsung. Selama hubungan mayoritas dan minoritas bermasalah, masalah Tionghoa tidak akan terpecahkan. Bahkan asimilasi-pun tidak akan bisa menyelesaikan masalah. Yap tidak setuju dengan “brain-washing” (cuci otak) dan “mengubah struktur masyarakat”. Menurut Yap, yang harus dilakukan untuk memecahkan masalah Tionghoa adalah melakukan “pembersihan hati”. Dengan demikian. menghilangkan pandangan materialisme dan memusatkan perhatian pada manusia, sesuai dengan ajaran agama Kristen. Menurut Yap, bilamana jalan Kristen ini ditempuh, rasa curiga, egoisme dan kemunafikan antara suku dan golongan akan hilang dan dibangkitkanlah jiwa mengabdi di pihak mayoritas yang berkuasa. Yap juga menekankan pentingnya adanya undang- undang hukum dan pelaksanaannya, yang berlaku untuk semua suku yang ada di Indonesia. Setiap pelanggaran harus dijerat dengan sanksi hukum. Terapi Kristen ini juga tercermin dalam tulisan-tulisan Yap Thiam Hien di kemudian hari. Pada tahun 1967 ia menghimbau orang Indonesia yang mencintai bangsa dan negara, khususnya umat Kristen Indonesia, untuk memahami dan menghormati perasaan dan budaya bangsa lain26. 25 Yap Thiam Hien, “Terapi III”, Star Weekly, 21 May 1960, pp. 4-6. 26 Yap Thiam Hien, “Masalah Tjina dan Sikap Sementara Pemimpin-Pemimpin Kristen Keturunan Tjina”, Sinar Harapan, 25-27Januari 1967. 183 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata Yap berpendapat bahwa di Indonesia terdapat rasa anti- pendatang asing, khususnya diskriminasi rasial terhadap Tionghoa. Ia menyatakan bahwa usaha mengganti nama tidak akan bisa memuaskan kelompok yang mengendap rasisme dan tidak akan membahagiakan mereka yang memiliki kesadaran dan bijaksana. Dan assimilasi tidak memiliki faedah untuk pembangunan nasion Indonesia. Selanjutnya ia juga menyatakan: “adalah naif sekali untuk mengira bahwa mengganti nama merupakan suatu langkah positif kearah proses persatuan bangsa. Djuga proses asimilasi/ integrasi minoritas Tjina kedalam majoritas pribumi bukanlah conditio sine qua non bagi kesatuan bangsa. Ini bergantung pada factor-faktor lain lebih banjak dan kompleks.”27 Yap tidak menguraikan apa factor-faktor tersebut, hanya mengusulkan sebuah kerangka yang lebih luas, di dalamnya masalah minoritas sebagai bagian dari masalah kemanusiaan dapat diselesaikan. Ia mengatakan: “Kita mempunjai dan mengakui prinsip-prinsip jang mengatur kehidupan sosial dan nasional kita, jaitu Demokrasi Pantjasila, hak-hak asasi manusia dan rule of law [peraturan-peraturan hokum]. Dan di atas segala-gala itu: the Rule of the Will of God.[Aturan kehendak Tuhan]!”28 Yap adalah seorang yang patuh HAM. Ia menyatakan bahwa mempertahankan identitas etnik merupakan salah satu darihak tersebut. Dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan bahwa apa yang diajukan Yap tidak banyak berbeda dengan apa yang diajukan Siauw Giok Tjhan. Penekanan Yap terletak pada posisi hukum (warga negara Indonesia), bukan pada pengertian budaya (nasion/bangsa Indonesia). Ia menghimbau pribumi, khususnya umat Kristen Indonesia untuk menghormati suku dan bangsa lain, karena mereka semua juga diciptakan Tuhan. Mari kita akhiri diskusi tentang perbedaan antara Yap 27 Ibid, 27 Januari 1967. 28 Ibid. 184 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Thiam Hien dan Siauw Giok Tjhan. Leo Suryadiniata Sebenarnya setelah tahun 1959, pertentangan di antara mereka semakin meruncing disebabkan kebijakan politik Siauw yang mendukung kembalinya UUD 45 sebagai UUD. UUD-45 mengandung sebuah pasal yang menentukan Presiden harus orang “Indonesia Asli”. Bagi Yap, asas itu yang terpenting, tetapi bagi Siauw, kenyataan politiklah yang terpenting. Baperki memerlukan perlindungan Presiden Sukarno dan UUD45 menguntungkan posisi Presiden Sukarno. Inilah sebab utama mengapa Siauw mendukung UUD 45. Disamping perbedaan tersebut di atas, berkembang pula pandangan ideologi yang berbeda di antara ke dua tokoh ini. Siauw semakin condong ke kiri. Karena Yap tidak memiliki dukungan luas dalam Baperki, kedudukannya semakin lemah dalam Baperki sehingga ia hanya menjadi anggota biasa29. Patut dibahas apa yang dianjurkan oleh sepuluh cendekiawan peranakan Tionghoa pada awal tahun 1960. Mereka menganjurkan Tionghoa berasimilasi dengan masyarakat pribumi. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan asimilasi, masalah Tionghoa bisa diselesaikan. Mereka berpendapat bahwa Tionghoa seharusnya tidak membentuk organisasi etnik dan dan memencilkan diri sendiri. Orang Tionghoa jangan ragu untuk membaur ditengah-tengah pribumi Indonesia. Yang harus dilakukan pertama adalah membubarkan organisasi-organisasi Tionghoa, mengganti nama, melakukan kawin campur dan sepenuhnya terjun masuk dalam masyarakat pribumi Indonesia. Pada tahun 1961 ada lagi peranakan Tionghoa Kristen berhaluan kanan mengorganisasi diri dan mengeluarkan Manifes Asimilasi. Mereka menyatakan demi melaksanakan cita-cita “Sumpah Pemuda” 1928 Satu bangsa, Satu Tanah air dan Satu 29Tetapi, Yap Thiam Hien meneruskan perjuangan HAM, melakukan gerakan tidak sebatas golongan Tionghoa, akhirnya menjadi seorang sarjana hukum pembela HAM yang berpengaruh besar di Indonesia. 185 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata Bahasa, mereka bertekad menjadi “Patriot Indonesia sedjati”30. Mereka berpendapat bahwa untuk menjadi “Patriot Indonesia sedjati”, Tionghoa harus membaur ditengah-tengah pribumi, agar keturunan Tionghoa tidak menjadi golongan yang menyendiri. Mereka menghimbau golongan mayoritas untuk bisa menerima “kenyataan objektif”, dan mendorong maju proses asimilasi ini31 Salah seorang juru bicara kelompok ini adalah Junus Jahja yang bernama asal Lauw Chuan Tho, seorang ekonom lulusan Roterdam. Ia berpendapat, selama golongan Tionghoa terus mempertahankan “posisi sosial dalam masyarakat”, mereka akan tetap menjadi sasaran rasisme32.Oleh karena itu, menurutnya, untuk menghapus diskriminasi rasial satu-satunya cara adalah berasimilasi ditengah-tengah penduduk Indonesia. Lebih lanjut ia mengatakan “Terapi asimilasi” merupakan sebuah cara untuk membasmi diskriminasi rasial33. Ong Hok Ham, seorang sarjana yang dipengaruhi budaya Jawa, mengajukan pandangan yang lebih konkrit. Ia berpendapat bahwa golongan peranakan Tionghoa yang menyendiri seringkali merupakan golongan yang mempertahankan ciri khusus kolektif yang eksklusif. Menurutnya: “…. halangan-halangan dari majoriteit di Indonesia ini sedikit sekali dan kesukaran terbesar terletak pada minoriteit. Di Indonesia rintangan-rintangan seperti agama adalah ketjil. Prasangka warna kulit dan tjiri-tjiri rasial hampir tidak ada. Rintangan-rintangan lain seperti adat istiadat, larangan larangan beberapa makanan jang haram dan lain-lain makin lama makin tak terasa di kota-kota dan pun hal-hal ini tak merupakan halangan besar”34. 30 31 32 33 34 “Piagram Asimilasi”Asimilasi dalam Kesatuan Bangsa, p.8 Ibid. Lauwchuantho “Untuk direnungkan Bersama”, Star Weekly, 7 May 1960, p.7. Idem. Onghokham”Assimilasi dan Manifesto Politik”, Star Weekly, 2 April 1960, pp.4-5 186 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Ong menegaskan bahwa Leo Suryadiniata halangan terbesar bagi masyarakat minoritas untuk meleburkan diri ialah kurangnya mereka berorientasi ke Indonesia. “Pikiran ini dipengaruhi oleh djalan pikiran zaman kolonial ketika memang pemerintah kolonial memberi kesan bahwa perbaikan kedudukan hanja bisa datang dari Tiongkok. Sekarang pikiran ini harus ditinggalkan karena sudah tak sesuai lagi dengan zaman”35. Ong juga mengusulkan pada pemerintah untuk mendirikan sekolah campuran suku-bangsa. Ia menganjurkan agar keturunan Tionghoa mengganti nama untuk lebih lanjut mendorong mereka tidak merasa dirinya khusus dan hanya berada dalam lingkungan kelompok keturunan Tionghoa saja. Oleh karenanya harus ber asimilasi dalam masyarakat mayoritas. Ia beranggapan, persatuan itu penting. Hanya dengan asimilasi persatuan bisa tercapai dan ini bisa menghilangkan sifat eksklusif Tionghoa. Dengan demikian keturunan Tionghoa bisa membaur dengan kelompok mayoritas, perkawinan silang dengan suku berbeda bisa terus bertambah banyak. Ia menegaskan bahwa, dengan demikian “asimilasi dapat tercapai,baik secara biologis, ekonomis, sosioal, politis dan lain-lain.” Gagasan Ong Hok Ham dan “penganut asimilasi” lainnya pada waktu itu masih belum jelas. Dalam menganjurkan asimilasi mereka tidak membicarakan apakah kaum minoritas Tionghoa harus lebih dulu terasimilasi ke dalam suku-suku asli sebelum terlebur dalam bangsa Indonesia. Mereka tidak mengamati posisi Tionghoa di daerah-daerah tempat kebudayaan Islam sangat kuat. Mereka tidak menganjurkan orang Tionghoa menjadi Islam karena banyak di antara pemimpin LPKB adalah orang Kristen dan Katolik. Mereka lupa membicarakan posisi Tionghoa di daerah-daerah tempat orang Tionghoa hidup dalam kesendirian atau tempat mereka 35 Idem. 187 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata merupakan golongan mayoritas. Kelompok “Penganut asimilasi” berakar di kota, di mana umumnya kontradiksi Tionghoa dengan setempat tidak tajam. Mereka tidak jelas tentang bagaimana menerapkan asimilasi di daerah di mana terdapat pertentangan yang tajam antara Tionghoa dan penduduk mayoritas. Mereka tidak memiliki program yang kuat dan dapat dilaksanakan untuk menerapkan gagasan mereka. Namun demikian, konsep mereka diterima pemerintah, sehingga terbentuklah “Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa” (disingkat LPKB) yang berafiliasi dengan Badan Intelijensi Indonesia. Entah mengapa banyak penganut asimilasi yang semula menganjurkan konsep ini, ternyata tidak tergabung dalam LPKB yang dipimpin oleh seorang peranakan Tionghoa katolik, Mayor (AL) K. Sindhunata, nama aslinya Ong Tjong Hai. LPKB kemudian memperoleh dukungan kuat dari kekuatan politik kanan termasuk Angkatan Darat. Ia berkembang tidak hanya sebagai lawan politik Baperki, tetapi juga lawan politik partai-partai politik kiri. Masalah asimilasi bukan lagi merupakan “hubungan antara mayoritas dan minoritas”, tapi berkembang sebagai sebuah perjuangan politik antara pihak kanan dan pihak kiri. Baperki dan kekuatan politik kiri menuntut agar LPKB bersikap revolusioner dan me-Nasakom-kan diri. LPKB yang didukung oleh kekuatan kanan menentangnya. Terjun Masuk ke Masyarakat Indonesia dan Terlibat dalam Revolusi Indonesia Politik Indonesia setelah tahun 1960 kian condong ke kiri dan dengan demikian kekuatan kiri berkembang pesat. Hubungan RI- 188 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata RRT pun semakin akrab. Oleh para sarjana asing era 1959-1965 dinyatakan sebagai masa “Poros Jakarta-Hanoi-Beijing”. Sukarno dibawah dukungan PKI dan kekuatan kiri lainnya, aktif mendorong “revolusi” untuk mencapai “Sosialisme”. Pimpinan Indonesia hendak menjadikan Indonesia pramuka kekuatan Negara yang sedang Berkembang (New Emerging Forces). Indonesia mulai Banting Stir, berusaha berlari di jalan “Sosialisme”. Tetapi, kekuatan kanan tidak menghentikan kegiatan. Mereka bekerjasama dengan Amerika Serikat, dengan sekuat tenaga mencegah gabungan Sukarno dan kekuatan kiri untuk berada di atas angin. Ternyata kekuatan kiri memandang enteng kekuatan kongkrit kelompok kanan. Kekuatan “Revolusioner” yang “sangat kuat” tampak jelas di pidato-pidato Sukarno. Juga tampak dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Sukarno. Tulisan-tulisan dan pidato-pidato Siauw Giok Tjhan menunjukkan dukungannya terhadap Sukarno. Kata-kata ekstrim yang digunakan oleh Sukarno digunakan pula oleh Siauw. Sebelum tahun 1957, ketika Siauw mencanangkan formulasinya tentang nasion Indonesia, ia tidak terang-terangan menyitir teori Lenin atau Stalin. Akan tetapi setelah tahun 1959, kecenderungan ke kiri semakin nyata. Ada 2 sebab. Pertama, Baperki sudah berkembang dan kian bersandar pada Sukarno dan PKI. Kedua, Siauw semakin dalam dipengaruhi Marxisme- Leninisme. Pada tahun 1962, Siauw memformulasikan definisi bangsa/ nasion. Ia menyatakan bahwa bangsa Indonesia terwujud karena hadirnya beberapa faktor utama: 1. Adanya kesamaan wilayah…karena penjajahan Belanda mempersatukan kepulauan Indonesia dengan menggunakan kekerasan bersenjata. 2. Adanya kesamaan kehidupan ekonomi, yang diciptakan 189 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata oleh Imperialisme Belanda dengan membangun infrastruktur transportasi di seluruh Indonesia sehingga timbul kesatuan ekonomi. 3. Adanya kesamaan bahasa yang terwujud dengan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dimana bahasa Indonesia diakui sebagai bahasa pemersatu di seluruh Indonesia. 4. Adanya kesamaan susunan kejiwaan yang menampakkan diri dalam kesamaan ciri-ciri khas kebudayaan nasional yang muncul setelah Sumpah Pemuda tahun 192836 Keempat ciri bangsa yang diajukan diatas adalah pengertian bangsa dari ajaran Stalin. Stalin di buku Marxisme dan Masalah Bangsa, memberikan pengertian bangsa yang terkenal: “Bangsa adalah kumpulan manusia yang dalam sejarahnya mempunyai kesamaan bahasa, kesamaan wilayah, kesamaan kehidupan ekonomi dan termanifestasi oleh kesamaan budaya di dalam kehidupan bersama yang stabil dengan kesamaan psikologi”37. Sebelum Stalin, Marx, Engels, Lenin di dalam banyak tulisan tentang bangsa memberikan perincian yang mencakup pengertian serupa. Mereka hanya menyinggung tiga hal yaitu: “Kesamaan bahasa, kesamaan wilayah dan kesamaan hubungan ekonomi bersama”38. Sangat jelas, Siauw bersandar atas teori Stalin tentang formulasi Nasion Indonesia. Pada tahun 1963, situasi politik di Indonesia lebih menguntungkan kekuatan kiri. Sukarno makin condong ke kiri. 36Saya belum pernah melihat “Kuliah Ideologi Negara, Universitas Res Publica, 17 Oktober 1962”. Di sini hanya mengutip tulisan Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan (1999), halaman 364. 37Sidalin Quanji (Tulisan Lengkap Stalin), jilid-2, halaman 294. Dikutip dalam Minzu da cidian (Kamus Besar Bangsa), Penerbit Bangsa Shichuan, 1984, halaman 57. 38 Minzu da cidian, halaman 57. 190 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata Retorika “revolusi” dan “sosialisme” berubah menjadi mantra. Masyarakat Indonesia, khususnya golongan kiri memilah kekuatan politik Indonesia dalam dua kategori, “Kekuatan Revolusioner” dan “Kekuatan Reaksioner”. Kekuatan yang “Mendukung Sosialisme” dan “Anti-Sosialisme”. Presiden Sukarno mendorong setiap organisasi Indonesia harus “NASAKOMISASI”, yaitu harus mengandung Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Akan tetapi, organisasi kanan menentangnya. Pada bulan Maret 1963 di depan pembukaan Kongres ke-8 BAPERKI, Presiden Sukarno memberikan pidato sambutan. Dengan tandas ia mendukung pendirian Baperki dan Siauw, Tionghoa tidak harus ganti nama, lebih-lebih tidak usah ganti kepercayaan agama, karena ini adalah masalah pribadi. Ia mengatakan: “… di Indonesia, ada banjak suku, Suku itu artinja sikil, kaki. Ya, suku artinja kaki. Djadi bangsa Indonesia itu banjak kakinja, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Djawa, kaki Sumatera, kaki Dajak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia”39. Pidato ini jelas mengakui “Peranakan Tionghoa” adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Sekalipun peranakan Tionghoa tidak memiliki “wilayah” khusus, tetapi Sukarno sudah mengakui mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Saya akan bahas lebih banyak di akhir tulisan ini. Di acara yang sama, Siauw memberi sambutannya. Di samping menyatakan kecintaan dan hormat terhadap Sukarno, ia menyatakan: Baperki berjuang menyelesaikan cita-cita Bangsa, yaitu menjadikan “warga negara Indonesia sedjati”, menjadi 39“Amanat P.M. Presiden Sukarno pada Kongres Nasional ke VIII Baperki, 14 Maret 1963”, Siauw Giok Tjhan, ed. Gotong Rojong Nasakom melaksanakan Ampera, Jakarta, 1963, halaman 14. 191 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata “pembela Pantjasila” dan “peserta aktif revolusi Indonesia”.40 Di penutup kata sambutan, Siauw menandaskan bahwa ukuran apakah seseorang itu adalah seorang warganegara Indonesia baik atau jelek, tidak berkaitan dengan seberapa jauh ia melaksanakan asimilasi, akan tetapi bersandar atas apakah ia benar-benar seorang Manipolis sejati atau hanya “pendukung Manipol di mulut” saja, atau bahkan “Anti-Manipol” dan “Kontra revolusioner”41. Pada bulan Desember tahun 1963, dalam laporan tahunan Baperki, Siauw banyak mengutip retorika Sukarno yang berusaha membela posisi Baperki. Ia sekali lagi berterimakasih kepada “Presiden Sukarno, Pemimpin Negara, Pemimpin Besar Revolusi” atas dukungannya terhadap Baperki. Ia menandaskan bahwa Baperki akan selalu mendukung Sukarno42. Siauw berulang kali menyatakan bahwa Sukarno menjalankan revolusi untuk mewujudkan sosialisme. Baperki menurutnya adalah “Alat Revolusi”. Baperki akan berpartisipasi dalam segenap kekuatan revolusioner: PKI, Partindo, Perti dan juga kekuatan revolusioner lainnya untuk menyelesaikan tugas revolusi sosialisme. Siauw menyatakan pula bahwa sebelum masyarakat sosialisme terwujudkan tidak perlu “asimilasi”. Keberadaan suku Tionghoa masih diperlukan dan tetap harus ikut aktif dalam “revolusi sosialisme” Indonesia43. Pada tahun 1964, Siauw tetap mengibarkan tinggi-tinggi panji “Revolusi” Sukarno. Sebenarnya ia sudah mengibarkan panji Sukarno sejak tahun 1957. Akan tetapi karena perkembangan politik Indonesia yang makin ekstrim ke kiri, ia semakin tampak bersandar 40 Gotong Rojong Nasakom Melaksanakan Ampera, halaman 76. 41 Ibid. 42“Maju Terus, Pantang Mundur” (Jakarta, 1963), dikutip Leo Suryadinata, ed. Pemikiran politik etnis Tionghoa Indonesia 1900-2002. (Jakarta, LP3ES, 2005), pp.174-191. 43 Ibid. 192 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata pada Sukarno. Siauw juga terang-terangan bersependapat dengan PKI dan menggunakan formulasi Nasion dari Lenin. Contoh kecenderungan ini bisa dilihat dari wawancara Siauw dengan harian Zhong Cheng Bao (Warta Bhakti edisi Tionghoa) yang saya kutip di sini44 : Harian Zhong Cheng Bao tanya: Beberapa waktu yang lalu, LPKB di depan pertemuan Persatuan Wartawan mengajukan pertanyaan sehubungan dengan “asimilasi” dan “Integrasi”. Bagaimanakah pandangan Anda dengan pertanyaan ini? Bagaimana pula pandangan Anda mengenai masalah perkembangan penyelesaian hak kewarganegaraan? Siauw menjawab: Saya sepenuhnya setuju dengan apa yang di nyatakan Njoto, Pemimpin Redaksi Harian Rakyat, di pertemuan itu. Kita harus menggunakan dialektika revolusioner dalam memahami pidato Presiden Sukarno 15 Juli 1963 yang menggunakan istilah “asimilasi”. Agar lebih mengerti masalah, ada baiknya kita memperhatikan apa yang dikatakan Njoto. Pada saat ia mendiskusikan masalah “asimilasi” dan “Integrasi” dengan Presiden Sukarno, Presiden Sukarno mengatakan: Ia tidak melihat adanya perbedaan antara kedua istilah ini. Ia berpendapat, yang lebih penting adalah, pada saat kita membangun persatuan bangsa, kita harus mengajak dan bertolak dari kesederajatan dan keadilan seluruh suku yang ada, termasuk suku Tionghoa. Kemudian, kita harus memperhatikan juga kata Lenin berdasarkan pengalaman perkembangan masyarakat, bahwa setelah revolusi dunia berakhir, setelah seluruh dunia memasuki masyarakat tidak berkelas, asimilasi akan terjadi secara alamiah di antara sukusuku yang ada.45 Tetapi, kalau membicarakan “asimilasi” sebelum 44“Ketua Baperki, Siauw Giok Tjhan menyerukan warga Tionghoa Indonesia ikut serta dalam perjuangan Revolusi Indonesia, …”, harian Zhong Cheng Bao, 16 Agustus 1964. Aslinya dalam bahasa Tionghoa. 45 Masalah Integrasi Bangsa, Stalin memberikan penjelasan rinci dalam tulisan 193 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata revolusi dunia selesai, tidak hanya membuktikan penganjuran asimilasi adalah tidak bijaksana, tapi juga membuktikan “mereka adalah intelektual anarkis”. Penganjur asimilasi ini disebut “intelektual feodal”. Sebenarnya saja, asimilasi adalah sebuah proses sejarah yang tidak seharusnya dipermasalahkan, selama berlangsung secara wajar/alamiah dan akan berhasil dengan sehat. Tetapi, kalau dilangsungkan dengan tidak wajar dan mengandung paksaan, akan terjadi hasil yang jelek.46 Sekarang ini ada orang “menjual koyo”, seringkali menggunakan -- atau lebih tepat dikatakan menyalah gunakan -- kenyataan di dalam masyarakat masih ada diskriminiasi rasial dan kekerasan rasis, sebagai dalih mempropagandakan obat mujarab yang dinamakan -- “asimilasi total” – Propaganda demikian ini, jelas mempunyai tujuan tertentu: mendorong warga keturunan asing, khususnya Tionghoa untuk “ganti nama”, “kawin campur”, lalu di bidang perdagangan mendorong apa yang dinamakan “politik asli”, “melaksanakan joint venture”. Dengan demikian di dalam masyarakat keturunan Tionghoa timbul sebuah hayalan bahwa dengan cara asimilasi ini, mereka dalam kehidupan bisa mendapatkan perlakuan adil, tanpa perjuangan mewujudkan revolusi sosialisme, memperoleh pemecahan. Rupanya mereka yang melakukan propaganda “asimilasi total” ini ingin mengalihkan perhatian Tionghoa dari revolusi. Sebenarnya, sebagai warga negara Indonesia yang menerima “Pancasila”, konsekwen mendukung perjuangan politik “Manipol”, tugas kita justru harus menyadarkan Tionghoa untuk membangkitkan kesadaran dan keberanian untuk menjadi peserta revolusi, dengan aktif mewujudkan masyarakat sosialisme yang tidak mengenal Minzu wenti yu Lienin (Masalah Bangsa dan Leninisme), lihat Minzu da cidian (Kamus Besar Bangsa), halaman 82. 46Lenin dalam menjelaskan 2 pengertian “Asimilasi Bangsa”. Yang satu asimilasi secara alamiah dan yang lain asimilasi secara paksa. 194 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata penindasan manusia atas manusia. Daripada membuang waktu, energi dan dana untuk “ganti nama”, “kawin campur” dan mempropagandakan “faedah” kebijakan “politik asli” di bidang perdagangan melakukan “joint venture” dengan pribumi, akan jauh lebih baik memberi pengertian, bahwa upaya membasmi rasisme tidak terpisahkan dari perjua ngan melaksanakan tujuan revolusi 17 Agustus 1945”. Kalau sebelum tahun 1959, Siauw dalam pidato-pidato dan tulisan-tulisannya, tidak dengan jelas menggunakan sebutan perjuangan kelas, tapi pada tahun 1964 dalam wawancara tertulis, tanpa tedeng aling-aling menyatakan pandangan Marxisme-Leninisme. Pada saat membicarakan hak warganegara, ia me ngatakan: “ketidakadilan hak warganegara yang terjadi sekarang ini disebabkan karena adanya kelas dan penindasan kelas. Hanya setelah membasmi kelas, hak warganegara bisa mendapatkan pemecahan dan mendapatkan perlakuan adil yang sebenarnya. Oleh karena itu, pemecahan masalah hak warganegara tidak bisa dipisahkan dari perjuangan menyelesaikan tujuan revolusi sosialisme. Golongan keturunan asing, khususnya keturunan Tionghoa, harus ikut dalam barisan revolusioner Rakyat Indonesia, bersama-sama melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat (Ampera)”47. Tidak beda dengan sebelumnya, Siauw menegaskan keturunan Tionghoa harus terlibat dalam perjuangan revolusi Indonesia, secepatnya mewujudkan masyarakat sosialisme. Sangat jelas, Siauw menghendaki keturunan Tionghoa “berintegrasi” ke dalam perjuangan Revolusi Indonesia. Suku Peranakan Tionghoa atau suku Tionghoa? 47 Harian Zhong Cheng Bao, 16 Agustus 1964. 195 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sekalipun Siauw aktif Leo Suryadinata mendukung Sukarno dan berterimakasih pada Sukarno atas dukungannya terhadap Baperki dan keturunan Tionghoa, tetapi, dalam masalah “peranakan Tionghoa” Indonesia, di antara mereka berdua rupanya terdapat perbedaan. Di atas sudah dikemukakan bahwa pada bulan Maret 1963 di depan pembukaan Kongres ke-8 Baperki, Sukarno mengajukan pengertian “Suku Peranakan Tionghoa”. Sukarno mengerti, di tengah masyarakat Tionghoa di Indonesia ada perbedaan antara “Peranakan Tionghoa” dan “Tionghoa Totok”. Pada saat Sukarno menyebut Tionghoa menjadi salah satu suku di tengah suku-suku yang ada di Indonesia, ia secara khusus menekankan “Peranakan Tionghoa”, bukan seluruh Tionghoa. Sekalipun ia tidak menjelaskan lebih lanjut siapa yang dimaksudkan “peranakan Tionghoa”. Tetapi, Siauw sendiri juga tidak menjelaskan lebih lanjut pengertian ini. Ini adalah satu pertanyaan yang menarik. Pada saat Sukarno sudah bicara tentang suku Indonesia, Siauw justru masih membicarakan masalah Warganegara Indonesia. Disini bisa ditarik 2 kemungkinan. Kemungkinan pertama, seandainya Siauw menerima konsep “Suku peranakan Tionghoa”, maka kelompok “Tionghoa totok” di Indonesia berada di luar “suku” tersebut. Mungkin Siauw beranggapan, semua Tionghoa yang sudah berkewarganegaraan Indonesia, tidak peduli Peranakan Tionghoa atau Tionghoa Totok, semua termasuk dalam suku Tionghoa di Indonesia ini, oleh karena itu, ia tidak menanggapi gagasan tersebut dan tidak lebih lanjut menjelaskan untuk menghindari perbedaan dengan Sukarno. Kemungkinan kedua, ini ada hubungan dengan kemungkinan pertama. Siauw saat memperbincangkan masalah suku, terkadang menggunakan sebutan peranakan Tionghoa, 196 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata di lain kesempatan menghilangkan kata peranakan. Dengan demikian, Siauw mencampuradukkan “Suku Peranakan Tionghoa” dan “Suku Tionghoa”, seakan-akan kedua itu sama. Ini untuk menghindarkan perbedaan dengan gagasan Sukarno dan tidak mempersulit masalah. Namun, saya masih belum memperoleh bukti tertulis bahwa di antara 1963 dan 1965, Siauw menggunakan istilah “Suku Pe ranakan Tionghoa”. Pada tahun 1950-1960-an dalam komunitas Tionghoa terdapat perbedaan jelas antara golongan Tionghoa Indonesia, antara peranakan Tionghoa dan Tionghoa totok. Peranakan Tionghoa lahir di Indonesia dan bahasa di rumah yang digunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal. Tionghoa totok lahir di Tiongkok dan bahasa di rumah adalah dialek Tiongkok (bahasa asal Kampung di Tiongkok) atau Mandarin. Keturunan pertama mereka, seringkali masih hidup dalam lingkungan Tionghoa Totok, maka masih besar dipengaruhi kebudayaan orang-tua mereka dan masih fasih dialek Tiongkok atau Mandarin. Kedua golongan Tionghoa ini eksis dalam waktu bersamaan. Tetapi, Baperki tidak hanya mendapatkan dukungan dari peranakan Tionghoa, tapi juga dari Tionghoa Totok, khususnya yang mendukung Beijing juga sangat mendukung Baperki.48. Pada tahun 1981 Siauw menerbitkan buku biografi. Ada bab yang berjudul “Minoritas Peranakan Tionghoa”49. Di situ ia tekankan: “Masyarakat Indonesia adalah masyarakat pluralistis. Di dalamnya terdapat banyak macam suku. Ada besar, ada kecil dalam jumlah. Di sampingnya terdapat banyak macam keturunan asing, yang karena turun-temurun menetap di Indonesia berkembang menjadi 48Charles Coppel, “Siauw Giok Tjhan”, in Leo Suryadinata, ed. Southeast Asian Personalities of Chinese Descent, pp.970-973, terutama halaman 972. 49Siauw Giok Tjhan, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar. Jakarta-Amsterdam: Yayasan Teratai, Mei 1981. 197 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata suku-suku baru”50 Tetapi kalau saya tidak salah, di buku biografi ini, meskipun Siauw menyebut pidato Sukarno tahun 1963, namun ia tidak membahas konsep “peranakan Tionghoa” menjadi suku di Indonesia yang dibicarakan Sukarno. Dalam biografi tersebut, memang benar Siauw sering menggunakan istilah “peranakan Tionghoa”, tetapi istilah tersebut tidak digunakannya pada tahun 1950-1960an. Sebagaimana telah saya jelaskan, ia hanya bicara tentang “keturunan Tionghoa”. Setelah Suharto berkuasa 32 tahun, tidak ada imigran suku Tionghoa baru, 3 pilar penyanggah kebudayaan Tionghoa (Ormas Tionghoa, Sekolah Tionghoa dan Media Bahasa Tionghoa) semua dilarang. Kita bisa mengatakan, bahwa mayoritas Tionghoa di Indonesia kini adalah peranakan Tionghoa. Berdasarkan gagasan Sukarno, mereka semua sudah berubah menjadi suku di Indonesia. Kesimpulan Mengenang kembali pandangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki mengenai kedudukan Tionghoa dalam Nasion/Bangsa Indonesia, saya memperoleh kesimpulan sebagai berikut: Siauw tidak membedakan Bangsa/Nasion dan wargane gara. Titik berat penyelesaian diletakkan pada hak warganegara, memberikan sumbangsih dalam memperjuangkan hak wargane gara untuk peranakan Tionghoa Indonesia. Penyelesaian Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT atas keuletan Siauw membatasi jumlah Tionghoa yang harus melakukan pemilihan kewarganegaraan Indonesia. Hanya mereka yang dianggap memiliki kewarganegaraan ganda harus melalui proses memilih kewarganegaraan Indonesia. Ini keberhasilan Tionghoa di Indonesia. 50 Ibid.,halaman 203. 198 bisa dikatakan sebagai Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata Di samping itu, Siauw dan Baperki berhasil membatasi dampak rasisme dengan menyerang kelompok yang mendukung rasisme dan mencegah kelompok ini bertindak sewenang-wenang. Karena tema saya adalah hubungan Siauw dengan Tionghoa dan bangsa Indonesia, terutama pandangannya tentang kedudukan Tionghoa dalam bangsa Indonesia, saya tidak akan membahas sumbangsihnya yang sangat besar dalam bidang pendidikan untuk masyarakat Tionghoa di Indonesia. Saya yakin ada tulisan lain yang membahas prestasi Siauw Giok Tjhan dalam bidang pendidikan. Oleh karena Siauw tidak membedakan konsep wargane gara dan bangsa, maka sejak awal tidak memperbincangkan masalah bangsa Indonesia. Baru setelah golongan yang menganut paham asimilasi muncul menyerang Baperki, Siauw baru mulai berbicara mengenai masalah Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia. Dan jelas ia dipengaruhi Marx dan Stalin. Setelah masyarakat tidak berkelas terwujud, asimilasi bisa terlaksana. Contoh yang ditonjolkan Siauw adalah masyarakat sosialisme Soviet dan Tiongkok, yang ia gambarkan sebagai masyarakat yang melaksanakan kebijakan yang ideal untuk penyelesaian masalah minoritas, karena di sana tidak ada lagi masalah golongan dan suku lagi. Sebenarnya, masalah bangsa di Soviet juga tidak mendapatkan pemecahan baik, Soviet terpecah-belah sebagai akibat adanya masalah etnis. Masalah etnis di Tiongkok juga tetap terjadi. Siauw ketika itu tidak berhasil memprediksikan ini. Situasi politik ketika itu sangat mempengaruhi Siauw. Setelah tahun 1959 kekuatan kiri Indonesia membusungkan dada. Hanya partai-partai politik kiri dan Presiden Sukarno yang bisa menerima Tionghoa sebagai kelompok tersendiri. Siauw dan Baaperki 199 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadinata mengikuti jalan Sukarno, dengan sekuat tenaga menganjurkan sosialisme ala Indonesia. Seluruh golongan di Indonesia tampak mendukung revolusi sosialis. Siauw mungkin salah menilai kekuatan revolusi ketika itu, oleh karenanya menghendaki peranakan Tionghoa mendukung gerakan revolusioner Indonesia. Sebenarnya, Siauw sendiri juga berpendapat bahwa penyelesaian masalah minoritas hanya bisa dicapai dengan terwujudnya masyarakat sosialisme. Oleh karena itu ia mendorong Tionghoa untuk berjuang mewujudkan masyarakat sosialisme. Siauw dan Baperki menyerukan Tionghoa ber “Integrasi” dalam gerakan revolusioner Indonesia. Kalau saja gerakan revolusioner berhasil mewujudkan sosialisme, menurutnya, pemecahan masalah Tionghoa juga tercapai. Tetapi, tanpa diduga, situasi berkembang ke arah kebalikan. Kekuatan antirevolusi justru yang menang. Dalam sejarah Indonesia tahun 1965 bagaikan batas air (watershed) atau garis pemisah. Apa yang dikatakan “G30S” telah membasmi komunis Indonesia, menggulingkan Sukarno dan menampilkan kekuasaan militer di bawah pimpinan Suharto yang bertahan selama lebih 32 tahun. Begitu Suharto naik ke atas panggung, Baperki dibubarkan. Siauw sendiri ditangkap. Sukarno berada dalam tahanan rumah. kebijakan “peranakan Tionghoa” sebagai bagian bangsa Indonesia juga dicampakkan. Suharto melaksanakan kebijakan asimilasi-total, dengan memilah warga Indonesia menjadi “Pribumi” dan “Non-Pribumi”. Warganegara Indonesia Tionghoa, tidak peduli “peranakan Tionghoa” atau “Tionghoa Totok” masuk dalam kategori “NonPribumi” yang harus segera berasimilasi dengan masyarakat pribumi Indonesia. Peraturan mengganti nama diumumkan tahun 1966. Walaupun ini tidak berbentuk paksaan akan tetapi merupakan tekanan berat untuk peranakan Tionghoa Indonesia, 200 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Leo Suryadiniata sehingga sebagian besar Tionghoa mengganti namanya. Kerusuhan rasial Mei 1998, yang menyerang Tionghoa, membuktikan bahwa rasisme masih ada di Indonesia. Tetapi, lengsernya Suharto mengakhiri kekuasaan militer yang antiTionghoa dan memulai era demokratis. Tionghoa bisa kembali memulai kehidupan normal. Tionghoa kembali ikut bergerak di bidang politik. Pada bulan Oktober 2003, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia di Pakan Baru Sumatera Utara, melangsungkan Kongres Nasional ke-5. Mereka mengumumkan Tionghoa se bagai “Suku Tionghoa” adalah bagian dari bangsa Indonesia51. Apakah Tionghoa sudah diterima sebagai bangsa Indonesia? Apakah perjuangan Siauw Giok Tjhan dan Baperki melawan rasisme sudah selesai? Pelajaran apakah yang bisa diperoleh dari perjalanan sejarah yang dilalui Siauw dan Baperki? Ini adalah sebuah masalah penting yang patut kita renungkan bersama. 51“Peserta Munas PSMTI Sepakati Tionghoa Jadi Suku di Indonesia”, Tribun Pekanbaru, 6 Oktober 2013. 201 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono Universitas Res Publica dan Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di Bidang Pendidikan Benny G.Setiono1 Pada 17 Maret 1901, bertempat di jalan Patekoan 31, Batavia untuk pertama kali berdiri sekolahTionghoa modern di Hindia Belanda dengan bahasa pengantar bahasa Tionghoa yang pada masa itu disebut Cia Im atau Kuoyu dan kemudian diajarkan juga bahasa Inggris. Anak-anak Tionghoa yang sebelumnya tidak mempunyai kesempatan bersekolah, kini dapat memperoleh pendidikan dengan sistim modern seperti yang pada masa itu diterapkan di Jepang dan daratan Tiongkok. Sekolah tersebut didirikan oleh para pengurus Tionghoa Hoa Hwe Koan (THHK) yang dibentuk pada 17 Maret 1900. Sebelum berdirinya sekolah THHK. anak-anak Tionghoa hanya belajar di rumah dengan memanggil guru privat yang pada umumnya adalah para pedagang yang telah bangkrut. Mata pelajaran yang diberikan adalah ilmu hitung dan cara mempergunakan siphoa (abacus), juga ujar-ujar atau syair kuno yang harus dihafalkan oleh para murid tanpa mengerti artinya. Mereka tidak diajar cara membaca dan menulis, dan bahasa pengantar pada umumnya bahasa Hokkian. Ada juga sekolah Gie-Oh yang diselenggarakan di Klenteng oleh Kongkoan. Namun sekolah ini yang juga menyuruh muridnya menghafal syairsyair dan ceritera klasik kuno tanpa mengenal artinya, berjalan tersendat-sendat dan kelak digabungkan dengan sekolah THHK. 1 Benny Setiono adalah salah satu pendiri INTI dan menjadi salah satu tokoh utamanya. Ia adalah penulis buku berjudul Tionghoa dalam Pusaran Politik dan peraih Wertheim Award pada tahun 2008. 202 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono Bagi anak-anak para opsir Tionghoa atau para hartawan, mereka dipanggilkan guru privat orang-orang Belanda yang telah pensiun untuk belajar bahasa Belanda dan bahasa lainnya di rumah masing-masing. Ada juga yang beruntung bisa bersekolah di sekolah-sekolah untuk anak-anak Belanda dan Eropa lainnya, sudah tentu jumlahnya sedikit sekali. Ada juga yang belajar di sekolah-sekolah zending kepunyaan misionaris Kristen seperti di Bogor dan Cianjur. Lie Kim Hok seorang pelopor sastra Melayu Tionghoa yang terkenal dan Phoa Keng Hek, presiden THHK (1900 – 1923 ) adalah murid- murid lulusan sekolah zending tersebut. Tidak disangka kelahiran sekolah THHK di Batavia diikuti oleh kota-kota lainnya di seluruh Hindia-Belanda. Dalam waktu singkat puluhan sekolah THHK. telah berdiri dan hal ini sangat menguatirkan pemerintah Hindia Belanda yang sedang giat melaksanakan politik etisnya. Mereka kuatir berdirinya sekolah THHK. akan menimbulkan gelombang nasionalisme yang sedang berkembang di daratan Tiongkok. Juga lahirnya THHK. telah memberi inspirasi kepadqa kalangan bumiputera untuk membentuk organisasi modern yang pada akhirnya akan menimbulkan gerakan kebangkitan nasional. Terbukti dengan berdirinya Boedi Oetomo, Sarekat Islam, ISDV dsbnya. Akhirnya pada 1908 untuk menyaingi sekolah-sekolah THHK. pemerintah Hindia Belanda meresmikan berdirinya sekolah untuk anak-anak Tionghoa yang diberi nama Hollandsch Chineesche School (HCS) dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Kemudian berturut-turut berdiri Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS), Hoogere Burger School (HBS) dsbnya. Kekuatiran karena berkembangnya THHK. juga telah mendorong diberlakukannya Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap (WNO) atau Undang-undang Kaula Belanda 203 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono pada tahun 1910, yang menempatkan orang-orang peranakan Tionghoa menjadi kaula Belanda,setingkat di atas bumiputera, namun bukan warga negara Belanda. Politik segregrasi pemerintah Hindia Belanda yang merupakan politik adu domba inilah yang hingga sekarang menimbulkan dampak negatif keharmonisan kehidupan politik etnis Tionghoa dengan golongan bumiputera, Namun politik segregasi lainnya yaitu wijkenstelsel dan passenstelsel dengan politie-rollnya dihapus pada 1917. Dengan berdirinya sekolah-sekolah Belanda tersebut, perlahan-lahan sekolah-sekolah THHK mulai terdesak. Banyak orang-orang Tionghoa yang mengirimkan anak-anaknya untuk belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan pertimbangan dan alasan ekonomis dan praktis. Anak-anak yang lulus dari sekolah rendah THHK. harus melanjutkan sekolahnya ke Hongkong atau Tiongkok, karena THHK. tidak mendirikan sekolah lanjutan. Jadi hanya anak-anak orang kaya saja yang mempunyai kesempatan untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah yang lebih tinggi. Anak-anak lulusan THHK. sukar memperoleh pekerjaan, karena pekerjaan yang tersedia bagi mereka sangat terbatas, yaitu hanya kepada para pedagang Tionghoa mereka dapat berharap. Berbeda dengan anak-anak lulusan sekolah Belanda, lebih banyak lapangan pekerjaan yang tersedia bagi mereka. Dengan berkembangnya sekolah-sekolah Belanda tersebut, masyarakat Tionghoa terpecah menjadi yang berpendidikan Tionghoa dan mereka yang berpendidikan Belanda. Hal ini kelak tercermin pada pandangan dan pilihan politik mereka, terutama golongan peranakan. Yang berpendidikan Tionghoa pada umumnya berkiblat pada nasionalisme Tiongkok dan biasa disebut golongan Sin Po dengan tokohnya Tjoe Bouw San, Kwee Kek Beng dllnya. Yang berpendidikan Belanda lebih berkiblat kepada penjajah Belanda, biasa disebut golongan Chung Hua 204 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono Hui dengan tokohnya Kan Hok Hoei (H.H.Kan), Dr.Yap Hong Tjoen dllnya. Tetapi yang berpendidikan Belanda kemudian ada yang berkiblat kepada kemerdekaan dan mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) dengan tokohnya Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien, Tan Ling Djie dllnya. Hal ini berlangsung sampai tiba masa pendudukan Jepang tahun 1942. Setelah masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, terjadi banyak perubahan politik di Indonesia. Dengan berdirinya Republik Indonesia, timbul masalah dwikewarganegaraan bagi orang Tionghoa yang akan sangat berpengaruh dalam masalah pendidikan. Masalah kewarganegaraan menjadi masalah yang rumit bagi golongan Tionghoa, karena Indonesia menganut asas ius soli yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan tempat kelahiran, sebaliknya pemerintah Tiongkok dengan dekrit yang dikeluarkan kaisar pada zaman dinasti Ming menganut asas Ius sanguinus, yang menyatakan setiap orang Tionghoa, di manapun ia berada dan dilahirkan tetap menjadi warga negara Tiongkok. Untuk mengatasi masalah ini pada 1946, telah dikeluarkan undang-undang kewarganegaraan yang berdasarkan stelsel pasif, bagi yang ingin menolak kewarganegaraan Indonesia diberi waktu sampai 1947. Apabila diam saja otomatis menjadi warga negara Indonesia. Kemudian Perjanjian Meja Bundar (KMB) juga mendukung dan mengesahkan UU Kewarganegaraan berdasarkan stelsel pasif dan memperpanjang waktu memilih sampai 27 Desember 1951. Ternyata lebih dari 300.000 orang Tionghoa kebanyakan dari golongan totok yang menolak kewarganegaraan Indonesia dan memilih menjadi orang asing. Dengan demikian sisanya menjadi warga negara Indonesia, demikian juga keturunannya yang dilahirkan di Indonesia. 205 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono Namun pada 1953, menteri luar negeri pada kabinet Ali Sastroamidjojo mengajukan RUU Kewarganegaraan yang ingin membatalkan kedua undang-undang kewarganegaraan sebelumnya dan menentukan syarat antara lain, hanya orang keturunan asing yang telah menetap di Indonesia selama tiga generasi yang berhak mengajukan permohonan menjadi warga negara Indonesia dan harus dapat membuktikannya. Sudah tentu hal ini sangat sulit untuk dipenuhi dan menimbulkan keresahan di kalangan etnis Tionghoa. RUU ini mendapat protes dan perlawanan yang keras dari kalangan etnis Tionghoa, terutama dari tokoh politik Siauw Giok Tjhan. Untuk mengantisipasi masalah ini pada akhir 1953 atas inisiatif tokoh-tokoh Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI) diadakan pertemuan untuk membentuk panitia yang akan membahas RUU tersebut. Hadir pengacara-pengacara dan tokoh-tokoh Tionghoa antara lain : Khoe Woen Sioe, Gouw Giok Siong,Yap Thiam Hien,Auwjong Peng Koen, Oei Tjoe Tat, Siauw Giok Tjhan, Tan Po Goan, Liem Koen Seng dllnya. Akhirnya Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai ketua. Pada 13 Maret 1954, bertempat di gedung Sin Ming Hui (Candra Naya) berhasil dibentuk sebuah organisasi yang dinamakan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia disingkat BAPERKI dengan ketuanya Siauw Giok Tjhan. Organisasi baru ini dalam waktu singkat mendapat sambutan luas dan menjadi terkenal sebagai wadah golongan etnis Tionghoa dalam membela hak-haknya, terutama yang menyangkut masalah kewarganegaraan. Pada 6 November 1957, Menteri Pertahanan kabinet Djuanda mengeluarkan larangan bagi warga negara Indonesia belajar di sekolah-sekolah asing. Peraturan ini terang-terangan ditujukan kepada golongan etnis Tionghoa yang anak-anaknya 206 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono banyak bersekolah di sekolah-sekolah Tionghoa. Akibatnya puluhan ribu murid sekolah tersebut menjadi terkatung-katung karena tidak cukup sekolah yang dapat menampungnya. Atas inisiatif Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya pada awal 1958 didirikan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran yang dipimpin sendiri olehnya dan mulai dibuka sekolah-sekolah untuk menampung anak-anak tersebut. Dalam waktu singkat berdiri ratusan sekolah-sekolah yang dikelola Baperki di berbagai kota di Indonesia. Kemudian timbul masalah baru, kemana harus disalurkan murid-murid yang telah menyelesaikan SLA nya ? Tempat-tempat di universitas negeri sangat terbatas dan juga dijalankan pembatasan atau sistim jatah bagi etnis Tionghoa yang ingin melanjutkan studinya di universitas-universitas tersebut. Pada 1958 atas desakan pimpinan Baperki, akhirnya Siauw Giok Tjhan memutuskan untuk mendirikan Universitas Baperki. Pada 1958 dibuka Akademi Fisika dan Matematika yang bertujuan mendidik guru-guru sekolah menengah. Pada September 1959 dibuka fakultas Kedokteran Gigi disusul pada November rahun yang sama Fakultas Tehnik jurusan sipil,mesin dan elektro. Kemudian pada tahun-tahun berikutnya didirikan Fakultas Kedokteran, Hukum, Ekonomi dan Sastra. Rektor pertamanya Dr. Ferdinand Lumban Tobing dan para dekannya antara lain Ir.Pudjono Hardjoprakoso (FT), Prof.DR. Ernst Utrecht (FE), Prof. Lie Oen Hock SH. (FH), Dr. Be Wie Tjoen (FKG), Prof.DR. Tjan Tjoe Siem (FS) dllnya. Pada 1963, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universitas Res Publica disingkat URECA yang berarti untuk kepentingan public atau umum dan diambil dari pidato Bung Karno di muka sidang Konstituante 1959 yang berjudul “Res Publica, sekali lagi Res Publica”. Rektor baru Ny. DR. Utami Suryadarma diangkat menggantikan Dr. Lumban Tobing yang meninggal pada 1962. Dalam waktu singkat jumlah mahasiswanya bertambah 207 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono dengan cepat, di Jakarta saja mencapai hampir 6000 ribu orang pada 1965 yang datang dari seluruh Indonesia. Banyak murid-murid lulusan sekolah Tionghoa yang tidak dapat melanjutkan studinya ke universitas-universitas negeri atau ke luar negeri, ditampung di Ureca. Mereka disyaratkan untuk mengambil ijazah SMA secara extrane pada tahun berikutnya. Pada 1962, Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Baperki mendirikan Universitas di Surabaya dengan fakultas-fakultas Teknik, Hukum dan Farmasi dipimpin oleh Prof. Gondowardojo, rektor Universitas Airlangga. Disusul fakultas Kedokteran di Semarang dan fakultas lainnya di Medan. Sistim yang diterapkan di Universitas Res Publica adalah kombinasi teori dan praktek. Pelajaran ideologi negara menjadi kurikulum wajib tingkat persiapan di setiap fakultas dan Siauw Giok Tjhan sendiri menjadi dosennya. Kepada setiap mahasiswa ditanamkan rasa kebangsaan yang tinggi, demikian juga rasa kecintaan dan memiliki (sense of belonging) universitasnya. Mungkin hanya Ureca yang mengharuskan setiap mahasiswanya, terutama dari fakultas Teknik untuk bekerja bakti membangun gedung universitas dan asramanya sendiri. Karena ketika itu sedang terjadi kesulitan pangan, maka pihak pimpinan universitas mengajak para mahasiswanya untuk menanam jagung di halaman universitasnya yang luas. Pada masa-masa tertentu mahasiswa-mahasiswi Ureca aktif melakukan kerja bakti memperbaiki jalan-jalan yang rusak di ibu kota. Ketika itu menjadi pemandangan yang biasa apabila kita melihat gadis-gadis Tionghoa mahasiswi Ureca mengendarai mesin giling memperbaiki jalan-jalan di Jakarta yang rusak akibat hujan dan banjir. Para mahasiswa diberi kebebasan untuk aktif berorganisasi baik intra maupun extra universiter sesuai dengan pilihan politiknya. Dewan dan Senat mahasiswa menjadi mitra atau partner pimpinan 208 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun universitas dalam mengendalikan Benny Setiono dan mengembangkan kehidupan kampus. Mahasiswa Ureca memelopori penghapusan sistim perpeloncoan yang sudah usang dan tidak manusiawi, peninggalan kolonial Belanda dan mengisi acara-acara Mapram dengan acara-acara yang lebih bermanfaat seperti ceramahceramah, kerja bakti, olah raga dsbnya. Dewan Mahasiwa juga aktif ambil bagian dalam kegiatan Resimen Mahajaya, olah raga dan di bidang kesenian. Pada awal 1965 berhasil dibentuk team kesenian yang berhasil mementaskan drama dan kesenian yang kemudian melakukan tour ke Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan sukses. Pada 1964, Departemen Perguruan Tinggi dan Imu Pendidikan (PTIP) menyamakan ijazah Sarjana Muda Teknik, Kedokteran Gigi, Ekonomi dan Hukum Ureca dengan lulusan universitas negeri. Pada 1965, lulusan fakultas Teknik dan Kedokteran Gigi Ureca diakui sebagai sarjana penuh. Namun Ureca akhirnya menjadi korban kerusuhan dan dibakar pada 15 Oktober 1965, sebagai ekses bencana G30S. Dengan tuduhan menjadi antek PKI dan Peking, Ureca telah menjadi korban kesewenang-wenangan tanpa berdaya dan mengetahui apa kesalahannya. Mahasiswa Ureca di bawah pimpinan Go Gien Tjwan dengan heroik dan gagah berani mempertahankan kampusnya ketika diserbu, dijarah dan dibakar gerombolan liar yang dibantu militer. Dengan penuh linangan air mata mereka menyaksikan kampus yang dicintainya, yang bersama-sama dibangun dan dibimbing Siauw Giok Tjhan, seorang pemimpin Tionghoa yang arif bijaksana menjadi tumpukan puing yang sangat mengenaskan. Ureca akhirnya diambil alih oleh Yayasan Trisakti di bawah pimpinan orang-orang LPKB yang dibantu jenderal Nasution dan merubah namanya menjadi Universitas Trisakti yang tetap eksis 209 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Benny Setiono sampai sekarang. Sampai hari ini masih menjadi tanda tanya besar, seperti juga sekolah-sekolah dasar dan menengah Baperki yang berjumlah ratusan di seluruh Indonesia, apa yang menjadi dasar hukum pengambil alihan tersebut, padahal negara kita katanya negara hukum. Banyak sekolah-sekolah Baperki yang telah disulap menjadi ruko-ruko dan perkantoran tanpa jelas status hukumnya. Jasa Siauw Giok Tjhan di bidang pendidikan luar biasa besarnya, biarlah semua itu menjadi catatan sejarah dan kenangan anak cucu kita. Pembangunan Gedung Ureca oleh mahasiswa sendiri 210 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing Renungan Memperingati Siauw Giok Tjhan Zhou Nan Jing1 Pada kesempatan memperingati 100 tahun Siauw Giok Tjhan, 23 Maret 1914 -– 20 Nopember 1981, saya sebagai peneliti masalah Tionghoa Indonesia dan sudah lanjut usia, ingin menyampaikan hormat setinggi-tingginya pada bung Siauw Giok Tjhan dan merasa kehilangan sedalam-dalamnya. Siauw Giok Tjhan adalah pahlawan bangsa Indonesia dan seorang pemimpin Tionghoa yang ulung. Sudah seharusnya Bung Siauw menempatkan posisi penting dalam sejarah Indonesia, dan memperoleh penilaian mulia dan adil. Tulisan ini tidak bermaksud menguraikan secara menyeluruh perjalanan kehidupan Siauw Giok Tjhan, tetapi hanyalah menilai beberapa masalah penting berdasarkan kenyataan objektif. Mencintai tanah air Indonesia Loyalitas kesetiaan dibuktikan sejarah Sekalipun Siauw dilahirkan berdarah Tionghoa, tetapi tindak-tanduk seumur hidupnya, dipandang dari sudut manapun, membuktikan jiwa-raganya mencintai tanah air Indonesia. Ia adalah seorang patriotik yang loyal dan setia pada Indonesia. Pada Tahun 1929 Lim Koen Hian (1896—1952), redaktur Sin Tit Po Surabaya, menganjurkan Tionghoa yang lahir di Indonesia, hendaknya menjadikan Indonesia tanah airnya dan mendukung perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Pada Tahun 1932, Partai Tionghoa Indonesia didirikan di Surabaya. Pimpinannya 1 Zhou Nan Jing lama mengajar dalam bidang sejarah Asia Sekatan di Universitas Peking. Ia pernah mengepalai berbagai lembaga penelitian di universitas tersebut sebelum pensiun. 211 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing antara lain: Lim Koen Hian, Tjoa Sik Ien dll. Sin Tit Po menjadi organ partai ini. PTI beranggapan Indonesia adalah tanah air peranakan Tionghoa; peranakan Tionghoa sudah seharusnya setia pada Indonesia; berbagai lapisan rakyat dan kelompok masyarakat, termasuk peranakan Tionghoa menikmati hak yang sama. Bersama-sama dengan partai politik Indonesia lainnya, PTI mengikuti perjuangan politik, mewujudkan kemerdekaan Indonesia; memperkokoh hubungan persahabatan antara peranakan Tionghoa dan Rakyat Indonesia. Sejak tahun 1932, Siauw Giok Tjhan sudah berpandangan demikian. Teguh tak tergoyahkan berjuang demi usaha mulia mencapai kemerdekaan Indonesia. Ada perpolitikan pasif satu kekuatan Indonesia, Kewarganegaraan dahsyat sekuat tenaga dengan di dalam dunia menetapkan menentang stelsel stelsel aktif Kewarganegaraan. Pada tanggal 10 April 1946, Komite Nasional Indonesia Pusat, sebagai badan legislatif saat itu dengan singkatan KNIP, setelah melalui perdebatan sengit telah berhasil meratifikasi stelsel pasif Kewarganegaraan yang diajukan Tan Ling Djie: setiap orang yang lahir di Indonesia, tanpa harus mengajukan permohonan, dengan sendirinya menjadi warga negara Indonesia. Siauw dan Tan Ling Djie sejak awal sudah mendukung dan mempertahankan stelsel pasif Kewarganegaraan ini. Pada tahun 1955, saat perundingan pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok mengenai perjanjian penyelesaian Dwi-kewarganegaraan, kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan. Diantaranya: 1. Bagi siapa yang ber-dwi-kewarganegaraan dan sudah dewasa, diberi kesempatan 2 tahun untuk menentukan pilihan kewarganegaraan. Mereka harus menghadap instansi bersangkutan untuk memilih kewarganegaraan. 2. Bagi yang tidak memenuhi syarat 212 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing diatas, dengan sendirinya mengikuti kewarganegaraan ayah. 3. Setiap orang yang belum mencapai 18 tahun, mengikuti kewarganegaraan ayah. 4. Orang yang ayahnya adalah warga asing dan belum mencapai usia 18 tahun, dengan sendirinya menjadi warga asing. Demikianlah perjanjian Dwi-Kewarganegaraan memuaskan sementara orang Indonesia yang hendak mengurangi warga Indonesia keturunan Tionghoa dan ternyata juga sesuai dengan harapan sebagian besar Tionghoa totok dan pimpinan Chung Hua Chung Hui pada saat itu. Di saat yang sangat menentukan ini, Siauw Giok Tjhan dengan tegas melawan arus, mengajukan keberatan dan menentang isi perjanjian itu. Siauw mendefinisikan siapa yang ber-Dwi-Kewarganegaraan: 1. Orang yang menyatakan dirinya berkewarganegaraan ganda; 2. Orang yang bisa memiliki 2 passport Indonesia dan Tiongkok; 3. Orang yang antara 27 Desember 1949 s/d 27 Desember 1951 belum genap 18 tahun, sedang saat itu ayah-ibu menolak kewarganegaraan Indonesia. Siauw menandaskan, kecuali orang-orang tersebut diatas, Pemerintah harus memperlakukan semua orang yang lahir di Indonesia sebagai warganegara Indonesia. Siauw pun menuntut bahwa setiap orang yang ikut serta dalam Pemilihan Umum, pegawai negeri, para menteri dan mantan menteri, anggota DPR dan Buruh-Tani harus tetap diperlakukan sebagai warganegara Indonesia. Usul Siauw ini mendapatkan dukungan Fraksi Nasionalis Progresif, banyak anggota DPR dan banyak tokoh cendekiawan, bahkan ia memperoleh dukungan partai-partai oposisi. Atas persetujuan PM Ali Sastroamidjojo, pada akhir bulan April 1955, di Kedutaan Besar RRT di Jakarta Siauw menemui PM Zhou En Lai yang sedang berkunjung di Indonesia, untuk memperbincangkan masalah Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. 213 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing PM Zhou ternyata menerima seluruh uraian yang diajukan Siauw Giok Tjhan dan menyesalkan perjanjian yang sudah ditandatangani ini. Ia menyatakan, di kemudian hari sebelum Pemerintah TIongkok menetapkan pendirian masalah Kewarganegaraan, harus lebih dahulu berunding dengan Siauw. Hasilnya, Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan RI-RRT dilakukan perubahan, dan naskah perubahan perjanjian dibuat oleh Siauw Giok Tjhan. Naskah perubahan Perjanjian yang berdasarkan Siauw, menentukan antara lain: 1. Kedua Pemerintah menyetujui bahwa sebagian besar warga Tionghoa Indonesia sudah secara sah adalah warganegara Indonesia. Mereka dianggap tidak memiliki kewarganegaraan berganda dan dibebaskan dari kewajiban memilih lagi; 2. Orang-orang yang telah melakukan pemilihan kewarganegaraan pada tahun 1951, tdak lagi perlu memilih kewarganegaraan lagi sekalipun masa keberlakuan perjanjian tiba; 3. Bagi mereka yang memiliki kewarganegaraan berganda tetap diakui sebagai warga negara yang sah hingga jangka waktu 2 tahun untuk memilih dilaksanakan. Pada bulan Nopember 1957, kabinet Juanda membuat rancangan UU Kewarganegaraan. oleh Soiauw perubahan. yang kemudian Rancangan ini ditentang mengajukan berbagai usul Ia tetap mendsasarkan argumentasinya kepada prinsip-prinsip UU kewarganegaraan 1946. Pada tanggal 1 Juli 1958 UU Kewarganegaraan disahkan. Sekalipun Siauw menentang beberapa pasal, tapi beranggapan UU tersebut masih bisa diterima. Beberapa masalah diatas sepenuhnya membuktikan, kecintaan Siauw pada Indonesia. Ia selalu berusaha menemukan pemecahan yang terbaik untuk Tionghoa khususnya dan bangsa Indonesia umumnya, dalam menghadapi kesulitan apapun. Loyalitas dan kesetiaan tidak hanya diucapkan, tapi juga nampak 214 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing jelas dari tapak langkah perjuangan hidupnya. Mengejar kemajuan, Senasib sepenanggungan dengan massa rakyat Pandangan politik yang progresif cenderung kiri, adalah benang merah yang menelusuri tindak-tanduk kehidupan Siauw. Sejak masa mudanya, Siauw sangat dipengaruhi oleh paham Sosialisme. Ia menentang kekuasaan kolonial Belanda dan berbagai bentuk penjajahan imperialism. Ia sangat gandrung membangun Indonesia menjadi sebuah negara yang adil dan makmur dan tidak mengenal diskriminasi-rasial. Siauw beranggapan, sosialisme adalah jalan keluar memecahkan masalah suku-suku minoritas dan politik sosial yang dihadapi bangsa Indonesia. Begitulah pada tahun 1959-1965, Siauw mendukung Soekarno menegakkan Demokrasi Terpimpin, karena Soekarno juga menyerukan pembangunan masyarakat sosialis Indonesia. Siauw berkeyakinan bahwa pemecahan masalah Tionghoa adalah bagian tak terpisahkan dari pembangunan bangsa Indonesia. Siauw adalah seorang tokoh gerakan sosial yang berbakat, cerdas dan supel. Ia bisa mempertahankan hubungan akrab dengan banyak orang dari berbagai lapisan dan aliran politik yang berbeda-beda. Di antara mereka termasuk: Presiden Soekarno, Sartono (Partai Nasionalis Indonesia), Ali Sastroamidjojo (PNI), Arudji Kartawinata (PSII), Sudibjo (PSII), Tambunan (Partai Kristen), Kasimo (Partai Katholik), Soekarni (Murba), Adam Malik (Murba), Zainul Arifin (NU), Djodi Gondokusumo (Partai Rakyat Nasional), Mohammad Yamin (non-Partrai)dll. Hubungan akrab yang terjalin dengan para tokoh tersebut sangat menguntungkan gerakan Siauw di bidang politik. Bahkan setelah G30S, selama Siauw di dalam penjara, dan selama masa 215 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing interogasi, ia tidak pernah disiksa atau dianiaya. Sebaliknya ia bisa memperoleh pengobatan berkat bantuan Adam Malik yang sejak tahun 1966 menjabat Wk. Perdana Menteri, Menteri Luar negeri dan Wk. Presiden. Setelah bulan Mei 1978 Siauw dibebaskan secara resmi. Pada bulan Agustus 1978, atas persetujuan Adam Malik, Siauw bisa pergi ke Belanda untuk berobat. Walaupun Siauw lahir di keluarga pengusaha peranakan Tionghoa, tapi pandangan politik progresif kiri itu berkembang karena kecintaan, kepedulian dan simpatinya pada massa rakyat Indonesia. Ia menjiwai nasib rakyat. Setelah kedua orang-tuanya meninggal, keadaan keluarga menjadi sulit. Bukan saja ia harus meninggalkan sekolah dan menjual perabot rumah tangga, ia juga menjalankan usaha taxi dan merangkap guru silat-kongfu untuk meneruskan hidup. Dari sinilah ia menjadi lebih memahami penderitaan kehidupan rakyat jelata. Jadi tidak sulit memahami mengapa Siauw menganut dengan teguh pandangan progresif kiri. Pada bulan Desember 1945 Partai Sosialis didirikan. Partai ini terbagi dalam 3 golongan: golongan Amir Syarifudin; golongan Syahrir dan golongan Abdulmadjit. Pada saat itu Tan Ling Djie menjabat Sekretaris Jendral Parta1Sosialis. Ia mengajak Siauw untu bergabung. Pada bulan Desember 1945 Siauw masuk dalam Partai Sosialis, dengan tujuan me ngubah sikap dan pandangan barisan bersenjata pemuda Indonesia terhadap Tionghoa dan menunjukkan ke masyarakat bahwa Tionghoa turut membela Kemerdekaan Indonesia. Walaupun Siauw secara resmi berada dalam golongan Amir, tetapi ia berhubungan baik dengan Syahrir. Pada bulan Februari 1948, Partai Sosialis pecah, Syahrir dll keluar mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Siauw, Tan Ling Djie dan sebagian besar anggota Partai tetap mendukung Amir Syarifuddin. 216 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing Pada tanggal 11 Agustus 1948, Muso dari Moskow kembali di Indonesia. Ia membawa konsep yang dinamakan “Jalan Baru”. Terjadilah perubahan besar dalam situasi politik. Pada tanggal 31 Agustus 1948 PKI mengumumkan penggabungan Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia dan Partai Komunis Indonesia menjadi satu Partai Komunis Indonesia. Dalam kesempatan itu juga, Front Demokrasi Rakyat dinyatakan bubar. Padas tanggal 1 September 1948 PKI mengumumkan susunan Politbiro baru. Muso menjabat Sekjen, Tan Ling Djie Wk. Sekjen dan Amir Syarifuddin menjabat kepala Grup Pertahanan Negara. Muso melesat keluar sebagai pimpinan baru dan Amir menduduki posisi ke-3. Siauw menolak masuk dalam PKI. Sejak itu Siauw tidak tergabung dalam Partai politik manapun juga. Namun demikian, hubungan Siauw dengan tokoh-tokoh PKI tetap baik. Siauw mengambil keputusan ini, disebabkan karena dia menyadari bahwq perjuangan partai politik seringkali bertentangan dengan kepentingan suku minoritas. Siauw beranggapan, dengan mempertahankan diri sebagai non-Partai akan memungkinkannya secara maksimal berperan sebagai wakil minoritas di dalam DPR. Setelah peristiwa berdarah di Madiun pada tahun 1948, PKI diteror. Siauw sebagai salah seorang Front Demokrasi Rakyat, dengan sendirinya ditangkap oleh Pemerintah. Ia beruntung bisa lolos dari pembantaian. Pada tahun 50-60an dalam kancah politik Indonesia terdiri dari 3 kekuatan: Soekarno, PKI dan Angkatan Darat. Ketiganya saling tergantung karena keterbatasan kekuasaan. Saling tarikmenarik, saling berusaha melemahkan pihak lain bahkan berusaha kuat untuk mematikan lawan. Situasi semacam ini memaksa Siauw untuk mengambil pilihan. Tentunya Ia tidak mungkin berdiri di pihak kekuatan kanan yang dipimpin oleh Angkatan Darat. Apalagi di belakang AD ada 217 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing CIA-AS dan negara-negara barat. Seandainya saja kekuatan kanan ini yang menang, menurutnya, masyarakat Tionghoa dan bangsa Indonesia pasti akan lebih menderita. Setelah mempertimbangkan dengan seksama, Siauw yang sangat berpengaruh dalam masyarakat, hanya bisa bersekutu dengan Soekarno dan berdiri di pihak kiri yang dipimpin oleh PKI. Terbentuknya poros Jakarta—Beijing lebih banyak mempengaruhi jalan pikiran Siauw. Politik mengandung taruhan yang mengandung risiko berbahaya. Sulit untuk menduga pihak mana yang akan menang. Meletusnya peristiwa G30S membuat orang untuk mendiskusikan kebenaran dan kesalahan pemikiran Siauw. Tuntutan semacam ini tidak mempunyai banyak artinya. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa situasi sejarah ketika itu mendesak Siauw, yang mendasarkan perjuangannya atas sebuah idealisme, ke satu pilihan, masuk ke dalam pihak Soekarno dan pihak kiri yang setelah peristiwa G30S dikalahkan oleh pihak kanan dengan dukungan CIA-AS. Situasi yang menyebabkan Soekarno, DN Aidit dan Siauw pribadi mengalami nasib kekalahan. Melindungi Kepentingan Tionghoa, Mendorong maju keharmonisan bangsa Tujuan dan keyakinan perjuangan seumur hidup Siauw mencakup melindungi kepentingan Tionghoa, mendorong maju keharmonisan bangsa Indonesia melalui proses integrasi wajar. Dalam zaman Revolusi Indonesia, Pemerintah pusat Republik Indonesia tidak mampu mencegah kehadiran tentara gadungan yang bermunculan bagaikan jamur di musim hujan. Ini menyebabkan sering terjadinya perampokan, pembunuhan dan penganiayaan terhadap Tionghoa. Keadaan yang dihadapi Tionghoa sangat mengkhawatirkan. 218 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Pada bulan Oktober Zhou Nan Jing 1945, Siauw di Malang membentukAngkatan Muda Tionghoa, organisasi pemuda Tionghoa tidak bersenjata. Dengan pedoman ikut aktif mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, memperkuat hubungan dan persekutuan organisasi pemuda dengan kekuatan bersenjata Indonesia, organisasi ini mengajak para laskar bersenjata pemuda Indonesia untuk bersahabat dengan Tionghoa. Yang menjadi ketua resmi orghanisasi ini adalah Siauw Giok Bie, adik kandung Siauw Giok Tjhan. Siauw Giok Tjhan memimpin dan menentukan strategi organisasi dari belakang. Dalam menghadapi gelombang anti-Tionghoa yang menghampar Jawa, Sumatera dan beberapa daerah lain, pemuda Tionghoa bergegas mendirikan Pasukan Pelindung Keamanan (Pao An Tui), mengumpulkan senjata untuk membela diri. Partai Kuomintang yang berwenang ikut terlibat. Karena pemerintah tidak berdaya menguasai situasi, Pao An Tui mengulurkan tangan minta pada Belanda. Bahkan Pao An Tui membangkitkan perasaan dendam melampiaskan kebencian bangsa berkembang menjadi alat koloni Belanda. Dalam menghadapi keadaan demikian, hanya Wang Ren Shu (Pa Ren) di Sumatera Utara, kota Medan dan Siauw Giok Tjhan di Jawa Timur, yang mengibarkan panji dengan jelas dan tegas mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mereka menentang pembentukan Pao An Tui dan menghimbau Tionghoa untuk menahan diri dan tidak menjadikan bangsa Indonesia sebagai musuh dan bersama-sama mengatasi segala kesulitan. Pada bulan Juli 1947 hingga bulan Januari 1948, Di dalam kabinet Amir Syarifuddin, Siauw menjabat Menteri Negara Urusan Minoritas. Pada saat menjabat, Siauw pernah memberi sambutan pada seluruh negeri melalui Siaran Radio, mengutuk pejabat Belanda yang membangkitkan sentimen-rasial, mengadu domba 219 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing untuk menciptakan kerusuhan anti-Tionghoa. Ia mengunjungi penampungan pengungsi Tionghoa di berbagai tempat dan menuntut membebaskan tahanan-tahanan Tionghoa. Ia mendesak Jenderal Sudirman sebagai Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia untuk mengeluarkan instruksi tegas, menembak ditempat perampokan dan melindungi penduduk Tionghoa. Ia menghimbau masyarakat Tionghoa untuk tetap percaya dan mendukung Republik Indonesia. Ia-pun dengan tegas mempertahankan stelsel pasif Kewarganegaraan dan berhasil menggagalkan usaha Kuomintang Tjiang Tjia Tung untuk mengadopsi stelsel aktif Kewarganegaraan. Ia menganjurkan komunitas Tionghoa untuk berdikari, berproduksi tahu dan tempeh memperbaiki bahan makanan mereka sehingga bisa mengurangi beban dan tidak bersandar Pemerintah. Oleh karenanya, Koran Tionghoa ketika itu, Sin Po dan Keng Po menjuluki Siauw sebagai “Menteri Tahu-tempeh”. Inilah masalah yang dihadapi ditengah-tengah gelombang anti-Tionghoa, dan saat menyelesaikan tugas yang dipikulnya, Siauw menghadapi berfbagai kesulitan dan hal yang kurang nyaman. Pada 31 Januari 1948 dibentuk kabinet Hatta. Kementerian minoritas ditiadakan. Siauw tidak lagi tergabung dalam kabinet. Pada bulan September 1948, meletus Peristiwa Madiun. Setelah Nopemper 1949 Siauw keluar dari penjara, segera menghadiri sidang Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat, meneruskan jabatannya sebagai wakil tidak berpartai. Siauw dengan tegas mengutuk Kabinet Hatta yang menandatangani Perjanjian KMB dengan koloni Belanda. Ia menganggap perjanjian itu merugikan posisi dan kepentingan Republik Indonesia, Hanya satu hal positif yang diterima Siauw dari perjanjian ini yaitu dipertahankannya stelsel pasif Kewarganegaraan. 220 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing Kegiatan Siauw di DPR menitik beratkan 3 masalah: masalah bangsa, termasuk kewarganegaraan, pembangunan ekonomi nasional dan UU mewujudkan demokrasi. Pemerintah perlindungan Indonesia kepentingan berturut-turut “pribumi”, mengajukan menjalankan politik ekonomi mendiskriminasikan Tionghoa, misalnya kebijakan asliasli-an, kebijakan Benteng, kebijakan izin import, kebijakan usaha transportasi dan kebijakan penggilingan padi. Ada pula kehadiran Konperensi Ekonomi Nasional (KENSI) yang dipimpin oleh Assaat yang bertujuan menyingkirkan pedagang Tionghoa. Siauw dengan tegas menentang dan memblejeti kebijakan dan politik yang selalu berusaha menyingkirkan Tionghoa. Siauw selalu menegaskan, bahwa modal Tionghoa adalah modal domestik, adalah bagian yang tak terpisahkan dari ekonomi nasional Indonesia. Siauw dengan kokoh tegak berdiri di dalam DPR memperjuangkan dan melindungi kepentingan ekonomi pengusaha menengah-bawah Tionghoa. Dalam proses melindungi hak dan kepentingan Tionghoa, jasa terbesar Siauw adalah mendirikan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, disingkat menjadi Baperki. Sebuah organisasi massa yang bersifat nasional dan mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Tionghoa. Pada bulan Maret 1954 didirikan di Jakarta. Siauw menjabat Ketua. Pedoman organisasi yang ditetapkan: mewujudkan inspirasi bangsa Indonesia; menjadikan setiap warga menjadi warga negara Indonesia; mewujudkan prinsip dasar Demokrasi dan Hak asasi manusia; mewujudkan kesamaan hak, kewajiban dan kesempatan bagi setiap warga tanpa perbedaan latar belakang keturunan, budaya, adat-istiadat dan keyakinan Agama. Siauw selalu menghimbau warganegara Indonesia. Ia Tionghoa untuk menjadi tegas menentang asimilasi total 221 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing karena beranggapan bahwa Tionghoa bisa mempertahankan ciri etnisitas ke-Tionghoa-an, dan memperjuangkan Tionghoa diperlakukan sebagai salah satu suku Bangsa Indonesia. Ia berpendapat bahwa masalah minoritas hanya bisa diselesaikan tuntas dengan terwujudnya masyarakat sosialisme. Pedoman Baperki yang ditegaskan oleh Siauw menunjukkan bahwa ruang lingkup perjuangan Siauw tidak hanya terbatas pada masalah Tionghoa tetapi mencakup ajakan untuk Tionghoa berpartisipasi dalam gerakan nasional. Pengalaman menunjukkan bahwa konsep perjuangan Siauw dan Baperki tepat. Sebagian besar Tionghoa kini sudah menjadi warganegara Indonesia. Yang belum tercapai sepenuhnya adalah pembauran alamiah antar suku Bangsa sebagai keharusan proses perkembangan sejarah. Menitik beratkan Usaha Pendidikan, Sumbangsih yang tidak bisa dihapus Sumbangsih Siauw di bidang pendidikan sangat menonjol dan tidak bisa dihapus dari sejarah. Sejak masa muda Siauw sudah berusaha sekuat tenaga dalam usaha pendidikan Tionghoa. Pada tahun 30-an , Siauw sudah mendirikan sekolah malam di Surabaya, menjadi guru merangkap kepala-sekolah, untuk membantu pemuda Tionghoa yang tidak mampu meneruskan sekolah. Setelah kemerdekaan, Siauw menganjurkan Angkatan Muda Tionghoa Indonesia di Malang untuk menyelenggarakan sekolah, memberikan bimbingan dan bantuan kepada muridmurid yang pernah sekolah Belanda, untuk bisa mengikuti ujian masuk sekolah Belanda. Setelah BAPERKI terbentuk, Siauw berkiprah banyak dalam mengembangkan pendidikan, membantu jutaan mudamudi Tionghoa yang didiskriminasi untuk bisa meneruskan 222 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing sekolahnya dengan baik. Baperki di banyak kota besar telah mendirikan banyak sekolah, dari Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah sampai Universitas. Sekolah-sekolah ini terbuka untuk umum, sekalipun mayoritas murid adalah Tionghoa, di antaranya peranakan Tionghoa yang lebih banyak. Mereka tersingkir oleh kebijakan diskriminasi-rasial Pemerintah di bidang pendidikan, yang membatasi Sekolah negeri tidak lebih 5% menerima masuk anak Tionghoa, bahkan Tionghoa yang bisa diterima di Universitas negeri tidak lebih dari 3% saja. Begitulah terlalu banyak Tionghoa tidak bisa masuk sekolah negeri, lebih-lebih di universitas negeri. Pada Tahun 1957, pemerintah menutup semua sekolah Tionghoa milik Kuomintang. Pada tahun 1958, Pemerintah menetapkan, anak-anak Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia tidak lagi boleh masuk Sekolah Tionghoa. Pada waktu Siauw di awal tahun 1958 membentuk Yayasan Pendidikan Baperki, ia memperoleh dukungan Chiao Chung Jakarta dalam pengumpulan dana untuk mendirikan sekolahsekolah dan bertanggungjawab untuk mengurus dan membimbing pendidikan sekolah. Pada bulan Juli 1958, sekolah Tionghoa dari 2000 gedung menyusut jadi 850, murid sekolah dari 425 ribu menyusut jadi 150 ribu murid saja. Berarti, ada 250 ribu anak murid Tionghoa berkewarganegaraan Indonesia. Dan sebagian besar dari mereka ditampung di sekolah-sekolah yang baru saja dibentuk dan diurus Yayasan Pendidikan Baperki. Untuk mengatasi kesulitan pemuda Tionghoa meneruskan sekolah tingkat Universitas, pada bulan Oktober 1958, Yayasan Pendidikan Baperki membentuk Akademi Teknik. Rencananya adalah mengatasi kesulitan murid Tionghoa memasuki Universitas negeri dan menjamin kemungkinan pemuda Tionghoa untuk 223 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing meneruskan sekolah lebih lanjut. Tentunya juga melahirkan ahli-ahli teknologi yang mampu mengabdi pada negara dan masyarakat. Akademi ini kemudian diubah menjadi Universitas BAPERKI, disingkat UBA. Dan pada tahun 1963 berganti nama menjadi Universitas Res Publica disingkat menjadi Ureca. Ureca cepat berkembang sesuai tuntutan masyarakat ketika itu. Ia terdiri dari Fakultas Teknik, Kedokteran, Dokter-Gigi, Sastra, Ekonomi, Hukum, Farmasi dll. Tidak lama kemudiaan, Baperki mendirikan pula cabang-cabang Ureca di Surabaya, Semarang, Yogya, Bandung dan Medan. Pada awal tahun 1965, sudah lebih 10 ribu mahasiswa URECA di Jakarta, Surabaya dan Semarang. Setelah G30S tahun 1965, oleh kekuasaan Soeharto, Ureca ditutup dan dibuka kembali menjadi Universitas Trisakti. Siauw dengan gencar menganjurkan pemuda- pemudi mengenal kebudayaan Indonesia, belajar tarian nasional Indonesia, dengan aktif ikut serta kegiatan politik, bergabung dalam organisasi pemuda dan pelajar, mahasiswa. Melalui program pendidikan ini Siauw berusaha merealisasi pemikirannya bahwa pemuda Tionghoa memiliki kesadaran politik dan menjadi orang Indonesia sejati. Kehidupan Sederhana-Polos, Moral Anggun-Mulia Jiwa kepemimpinan Siauw Giok Tjhan yang mengandung kebijaksanaan dan karisma, telah banyak membuat orang sangat menghormatinya. Ia memiliki semangat patriotik mencintai tanah airnya, Indonesia. Ia-pun memiliki komitmen terhadap Internasionalisme. Ia ulet bekerja, sederhana, bermoral anggun mulia, jujur, berdisiplin dan rendah hati. Ia sangat ramah tamah, mudah bergaul dengan siapa-pun dan memiliki rasa ketia 224 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing kawanan yang kental. Selalu siap membantu orang dan teguh dengan pendiriannya. Sikap dan karisma demikian menyebabkan ia tidak hanya dicintai, dihormati dan diagungkan oleh masyarakat Tionghoa, tapi juga oleh berbagai lapisan elite dan tokoh masyarakat Indonesia umumnya. Berbagai keindahan kata yang memuji jiwa kepemimpinan Siauw Giok Tjhan sudah tersiar secara luas. Dalam tulisan singkat untuk memperingatinya ini, kiranya banyak cara bisa ditempuh. Dalam kesempatan ini saya hendak mencuplik sepenggal “Balada Juang Siauw Giok Tjhan”: Ruang kantor rangkap ruang tidur keluarga Terjadi petaka dari meja jatuh kelantai Hidup penuh keserderhanaan Celana pendek kaos oblong keseharian Tamu datang ingin berkunjung Duga pelayan padahal dia Sering tampak dikedai warung pasar Pemilik tolak waktu bayar Masuk keluar istana sederhana tampilan Sandal baju tambal variasi tontonan Sukarno lihat kasat mata Masuk kamar tidur penuh haru Hadiahkan tiga helai baju baru Siauw jadi kepalang rasa malu Siauw Giok Tjhan sudah 33 tahun meninggalkan kita semua. Sementara orang dengan pandangan bias politik atau berkacamata warna, mengakibatkan sampai saat kini ia tidak memperoleh tempat layak dalam sejarah Indonesia. Namun kita tetap harus memberikan kehormatan tertinggi kepada Pahlawan Bangsa Indonesia dan pemimpin Tionghoa terkemuka ini. Saya ramalkan, pada suatu saat, setelah kabut tebal buyar, 225 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Zhou Nan Jing di kota Surabaya, Jawa-Timur bisa muncul satu jalan bernamakan Jalan Siauw Giok Tjhan. Siauw Giok Tjhan dan isteri (Tan Gien Hwa) ketika Siauw masih ber-status tahanan rumah - 1979 226 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam Seabad Siauw Giok Tjhan Asvi Warman Adam1 Dalam bedah buku “Renungan Seorang Patriot Indonesia, Siauw Giok Tjhan” tanggal 22 Mei 2010 di Jakarta saya telah membahas dua aspek dalam buku tersebut yakni, pertama Razia Sukiman dan kedua G30S. Pada diskusi yang diselenggarakan Gema INTI di Kemayoran Jakarta tanggal 29 Maret 2014 saya menambahkan dua aspek lagi yaitu, ketiga, Universitas Res Publica dan Trisakti masalah sejarah serta, keempat, penulisan sejarah Tionghoa dalam buku pengajaran sejarah di sekolah. Untuk penulisan buku ini ditambahkan satu hal lagi yakni masalah kewarganegaraan yang merupakan sumbangan Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia dan diakhiri dengan epilog (mengakhiri diskriminasi Tionghoa). Pertama Pada bulan Agustus 1951 terjadi apa yang disebut “Razia Agustus”. Kabinet waktu itu dipimpin oleh Sukiman dari Masyumi dan Suwirjo dari PNI, sehingga ada yang menjuluki “kabinet Su-Su”. Kabinet Su-Su ini menandatangani perjanjian Pertahanan dengan Amerika dan karena AS ketika itu sedang menghadapi Perang di Korea, suasana Perang Dingin dengan sendirinya juga terpantul ke Indonesia. Pemerintah Kabinet Su-Su --untuk membuktikan mereka anti komunis-- menangkap sekitar lebih 2000 orang yang dianggap komunis dan kiri. Dalam penangkapan terjadi banyak kekeliruan, banyak salah tangkap. Misalnya terjadi penangkapan 1 Dr Asvi Warman Adam, peneliti senior LIPI dan anggota Dewan Pakar Yayasan Nabil 227 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam atas diri Abdulah Aidit yang merupakan ayah DN Aidit. Abdullah Aidit ini adalah seorang tokoh dari fraksi Masyumi, hanya karena sama-sama Aidit kena tangkap juga. Terjadi juga penangkapan atas diri Sutan Syahrir sekalipun dari Partai Sosialis, tapi dia itu tergolong Sosialis-kanan. Ketika itu, ditangkap pula Ang Yan Gwan pendiri Suratkabar Sin Po dan Siauw Giok Tjhan. Dan ketika diinterogasi, yang menjadi pertanyaan “Di mana saat Peristiwa Madiun September 1948”. Pertanyaan yang sama diajukan pada tawanan saat G30S, “Di mana keberadaan saat 30 September 1965”, demikian diungkapkan John Roosa, penulis Buku Dalih Pembunuhan Massal, yang dilarang itu. Patut juga diteliti lebih lanjut, alasan penangkapan tersebut atau provokasi yang dilakukan agar ada alasan untuk menangkap. Aksi penyerbuan sekelompok pemuda berkaos “Palu-Arit” pada sebuah kantor Polisi di Tanjung Priok dijadikan alasan untuk menangkapi orang saat Razia Agustus itu. Kemudian pada Razia Agustus juga ditangkap Liem Koen Hian, seorang tokoh Tionghoa yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, yang sebetulnya memperjuangkan Tionghoa untuk menjadi Indonesia. Setelah ditangkap, melalui anaknya ia meminta bantuan Mr. Achmad Subardjo, Menteri Luar Negeri ketika itu agar dapat dibebaskan. Achmad Subardjo yang di masa revolusi Agustus banyak dibantu Liem Koen Hian, tapi ternyata tidak memberikan pertolongan saat keluarganya datang minta bantuan. Penangkapan yang dilakukan Pemerintah terhadap Liem Koen Hian ini, membuat kekecewaan yang sangat berat. Tidak bisa diterima Liem Koen Hian, Pemerintah yang dulu ia perjuangkan, justru menangkap dirinya dan akhirnya Liem melepaskan kewarganegaraan Indonesia untuk menjadi warganegara China. Sangat mengenaskan, karena seorang pejuang patriot yang lama berjuang untuk kemerdekaan dan berjuang agar Tionghoa 228 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam menjadi Indonesia, akhirnya disakiti dengan kekecewaan berat jadi menolak kewarganegaraan RI dan menjadi warganegara RRC. Cerita lain yang juga menarik, dalam penangkapan 2 bulan atas diri pak Siauw ketika itu, beliau sakit mata dan dirawat di RS Yang Sheng Yi, RS Husada sekarang. Dan sakit matanya itu harus menjalani operasi mata yang dilakukan oleh dr. Sie Boen Lian. Jadi Pak Siauw ketika memang betul-betul sakit, tidak seperti kebiasaan setelah zaman Suharto sampai sekarang, orang kalau ditahan dalam pemeriksaan jadi sakit. Dan setelah ditahan 2 bulan pak Siauw dari rumah sakit tidak kembali ke penjara, karena diubah statusnya menjadi tahanan rumah. Nah, dalam status masih tahanan rumah, pak Siauw pada satu hari menghadiri Sidang DPR untuk ikut mendengar laporan Perdana Menteri Sukiman. Kebetulan di depan pintu DPR, pak Siauw bertemu dengan Perdana Menteri Sukiman yang sambil bersalaman menanyakan tentang operasi mata pak Siauw. Pak Siauw memberikan penjelasan seperlunya dan melanjutkan bahwa malam itu karena ingin mendengar laporan Perdana Menteri, ia melanggar ketentuan hukum karena dirinya masih dalam status tahan rumah. Karena Jaksa Agung juga berada di situ, Sukiman kemudian juga menegaskan, bahwa kehadiran pak Siauw di Sidang DPR malam itu atas ijinnya. Baru esok paginya, pak Siauw kedatangan kurir yang menyampaikan surat keputusan Jaksa, perubahan status tahanan rumah menjadi tahanan kota, berlaku surut dari kemarin. Kedua Kemudian masalah kedua, peristiwa Gerakan 30 September, di mana pak Siauw namanya dicantumkan dalam 45 anggota Dewan Revolusi. Sebagaimana kita ketahui, akhirnya pak Siauw 229 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam harus meringkuk dalam tahanan selama 12 tahun, sedang Baperki termasuk organisasi yang dibubarkan dan Universitas Baperki yang kemudian menjadi Universitas Res Publica juga sempat dirusak dan dibakar. Pak Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan, kumpulan cerita yang didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya dari wawancara dengan para tahanan di situ, ternyata menjadi bahan dasar dari tulisan John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal”. Karena catatan-catatan dan cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang diwawancarai itu merupakan bahan yang lengkap dan meyakinkan, mengungkap banyak hal, termasuk Biro Khusus, siapa saja yang berperan disitu. Dan menurut saya, buku John Roosa “Dalih Pembunuhan Massal” ini merupakan buku versi terakhir masalah G30S yang paling sahih dan ternyata buku ini dilandasi oleh catatan yang ditulis oleh pak Siauw Giok Tjhan dari cerita-cerita hasil wawancara selama di tahanan. Kemudian saya pada tanggal 7-9 Mei 2010 menghadiri konperensi Internasional ISSCO (International Society for the Study of Chinese Overseas) ketujuh di Singapura. Ada pembicara yang membahas masalah Tionghoa Islam di Indonesia, dari Wali Songo sampai Antonio Safei dengan “ekonomi Syariah”nya, juga ada yang menulis masalah Anton Medan dengan “ekonomi spanduk”nya. Ada juga yang menulis masalah di Rembang, bagaimana Klenteng berubah menjadi Vihara di masa Orba, tapi kemudian berubah lagi menjadi Klenteng pasca Orba. Dibahas juga di situ bagaimana hubungan Tionghoa dengan gereja Kristen dan Pantekosta yang tidak terlepas dari hubungan bisnis. Disinggung juga kegiatan-kegiatan ritual Tionghoa seperti di Singkawang, misalnya. Tapi sayang tidak ada yang membahas dan menulis masalah Tionghoa yang terkait sehubungan dengan 230 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam Baperki seperti dalam buku Siauw Giok Tjhan ini. Ketiga Dalam pertemuan di rumah Ali Sadikin di Jalan Borobudur Jakarta, saya diberitahu Pak Ramadhan KH bahwa ia telah menulis buku atau liflet “Lahirnya Universitas Trisakti”. Buku itu memang dipesan oleh Yayasan Trisakti yang diketuai oleh K. Sindhunatha. Namun Pak Ramadhan dikenal piawai dalam menulis. Ketika menulis Otobiografi Suharto pun ia bisa menggali dan mengungkapkan fakta yang tidak terduga. Misalnya pengakuan Suharto tentang kasus Petrus (pembunuhan misterius) tahun 1980-an. Pak Ramadhan KH mengirim fotokopi tulisan itu kepada saya dengan catatan pada halaman depan “lihat halaman 30+31 dan seterusnya”. Apa yang ada pada halaman tersebut ? Terdapat catatan kaki no 49 yang berbunyi “Surat Dr Go Gien Tjwan kepada Ramadhan KH. 10 November 2000 “Siauw Giok Tjhan minta saya (Go Gien Tjwan) datang untuk merundingkan naskah surat yang sudah ia tulis sendiri yang ditujukan pada Kementerian (Departemen?) Pendidikan dan Pengetahuan (dan) Kebudayaan (Departemen PTIP, Ramadhan KH) dan yang Sekretaris Jenderalnya adalah Jenderal Dr Sumantri Hardjoprakoso, kakak atau adik (?) Ir Pudjono. Inti surat itu yang semestinya (?) masih ada dalam arsip Kementerian (Departemen ?) ialah bahwa “Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki selama tidak atau belum dapat mengurus Ureca menyerahkan kepengurusannya pada pemerintah”. Saya (Go Gien Tjwan)…dengan Siauw Giok Tjhan harus menandatangani surat penyerahan manajemen (bukan hibah) pada pemerintah”. 231 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam Keempat Pada Kongres Pemuda kedua yang melahirkan Sumpah Pemuda tahun 1928 terdapat beberapa orang pemuda Tionghoa, bahkan gedung tempat berlangsungnya peristiwa monumental itu juga milik seorang Tionghoa. Ketika Sukarno-Hatta dibawa pemuda ke Rengas Dengklok 16 Agustus 1945, kedua tokoh itu beristirahat pada rumah seorang Tionghoa. Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beberapa tokoh Tionghoa terlibat intensif dalam perdebatan tentang konstitusi dan bentuk negara. Dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan tahun 1945-1949 orang-orang Tionghoa turut berjuang. Salah satu di antaranya Mayor John Lie yang baru diangkat pahlawan nasional tahun 2009 setelah 50 tahun berlangsung pemberian gelar tersebut. Itu pun belum dimasukkan dalam pelajaran sejarah di sekolah. Dalam rangka mengisi kemerdekaan etnis Tionghoa berperan dalam berbagai bidang termasuk olahraga. Dari kalangan mereka ini lahir juara badminton All England tujuh kali berturut-turut. Kontingen Indonesia hanya akan pulang tanpa membawa medali emas di Olimpiade bila tidak ada atlet bulutangkis Tionghoa. Di bawah pemerintahan Suharto, tiga pilar budaya Tionghoa yakni pers, organisasi dan sekolah dirubuhkan. Dalam kurikulum sejarah tidak disinggung sama sekali kebudayaan Tiionghoa atau sumbangan etnis Tionghoa bagi peradaban Indonesia. Setelah era reformasi memang terdapat perubahan namun sangat terbatas. Dalam buku teks Indonesia dalam Arus Sejarah yang terdiri 8 jilid dari zaman purbakala sampai era reformasi, hanya ada sebuah tulisan tentang etnis Tionghoa yaitu artikel Leo Suryadinata “Peran 232 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kelompok Etnik Tionghoa dan Asvi Warman Adam Kebijakan Negara” setebal 26 halaman. Dibandingkan dengan keseluruhan buku yang tebalnya 5000 halaman maka ulasan tentang budaya dan etnis Tionghoa hanya 0,5 persen. Menurut Prof Denys Lombard ada empat mega budaya yang mempengaruhi kebudayaan Nusantara yakni budaya yang berasal dari India, Tionghoa, Arab dan Eropa. Lombard memakai istilah nebula. Semua nebula itu diajarkan dalam sejarah resmi Indonesia kecuali nebula Tionghoa. Jasa kebudayaan Tionghoa bagi perkembangan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) di Nusantara sangat signifikan. Kehidupan kita sehari-hari bisa berjalan dan berkembang seperti sekarang ini berkat ilmu dan teknologi yang berasal dari kebudayaan Tionghoa, sebagaimana diuraikan dalam berbagai tulisan Denys Lombard dan Claudine Salmon. Orang Belanda yang berada di pulau Jawa pada mulanya tidak begitu memperhatikan pertanian. Orang Tionghoa-lah yang telah mengembangkan budidaya padi. Setiap tahun banyak jung (kapal besar dari kayu) datang ke sini untuk berdagang sambil membawa sekitar 12001300 orang China untuk dipekerjakan terutama di tanah pertanian. Pada abad ke-17 orang-orang Tionghoa di Batavia mengembangkan budi daya tebu untuk perdagangan. Penggilingan tebu dilakukan secara sederhana dengan menaruh dua tabung kayu yang diputar seekor sapi dengan perantaraan sebuah sistem roda gigi serta sebuah poros sepanjang 4,5 meter. Kedua tabung itu tegak lurus, tebu dimasukkan ke dalamnya dan diperas dua kali untuk mendapatkan sebanyak mungkin sarinya. Karena kekurangan bahan bakar untuk tungku, sejak tahun 1815 industri gula ini dipindahkan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur. Budi daya padi bukanlah monopoli etnis Tionghoa, tetapi mereka berjasa dalam menemukan teknik baru seperti alat 233 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam penyosoh padi pada tahun 1750 yang dengan dua-tiga ekor sapi bisa mengolah sampai 500 ton per hari menggantikan sistem tumbuk tradisional dengan lesung berkapasitas 100 ton per hari. Penyebaran alat tersebut merangsang produksi beras dan mengatasi masalah persediaan pangan di Batavia saat itu. Orang-orang Tionghoa mengembangkan penyulingan arak sejak tahun 1611. Orang Tionghoa pula yang mendatangkan ke pulau Jawa tanaman seperti kapas dan terung serta membudidayakan bermacam sayur dan buah-buahan. Tanaman yang mengandung protein yang diperkenalkan etnis Tionghoa adalah kacang hijau yang semua produk olahannya diberi nama Tionghoa yaitu tauge (kecambah), tahu dan taoco. Dari sejenis kacang-kacangan dibuat kecap. Orang Tionghoa juga pionir dalam bidang metalurgi dan pertambangan. Etnis Tionghoa bekerja di tambang timah di Bangka dan emas di Kalimantan Barat (paruh pertama abad ke19). Teknik yang digunakan penambang Tionghoa ini sangat efisien pada zamannya. Barang lain yang juga dibuat orang Tionghopa adalah jarum jahit (bahkan busana yang dijahit pun berasal dari Tiongkok) dan perkakas dapur yakni kuali. Etnis Tionghoa juga berperan sebagai pengecor meriam di Aceh dan Patani. Etnis Tionghoa juga menyumbang teknologi kelautan. Merekalah yang membuat kapal yang digunakan oleh Pati Unus, pangeran dari Jepara, untuk menyerang Malaka. Etnis Tionghoa juga berperan aktif dalam pembudidayaan tiram, kerang dan ikan di tambak-tambak. Teknik pembuatan garam juga dikembangkan oleh orang Tionghoa. Etnis Tionghoa memang minoritas dalam hal jumlah penduduk, tetapi memegang peran “mayoritas” dalam sektor perekonomian nasional. Mereka ditampilkan minimal dalam sejarah Indonesia. Sumbangan budaya Tionghoa signifikan dalam 234 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam peradaban Nusantara, sayang ini tidak ditulis dan diajarkan di sekolah. Kelima Salah satu perjuangan Siauw Giok Tjhan yang penting adalah mewujudkan “nasion” Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa termasuk suku Tionghoa. Menurut Siauw, sejak tahun 50-an, golongan Tionghoa yang sudah bergenerasi di Indonesia, harus memperoleh status suku. Dengan demikian suku Tionghoa adalah bagian dari “nasion” Indonesia. Berdasarkan pengertian inilah, Siauw mengemukakan konsep integrasi. Setiap suku, termasuk suku Tionghoa harus mengintegrasikan diri mereka ke dalam tubuh ‘nasion” Indonesia melalui kegiatan politik, sosial dan ekonomi, sehingga aspirasi “nasional” Indonesia itu menjadi aspirasi setiap suku. Berdasarkan prinsip ini Siauw Giok Tjhan berpendapat bahwa setiap suku tetap mempertahankan nama, bahasa dan kebudayaannya, tetapi bekerja sama dengan suku-suku lainnya dalam membangun Indonesia. Karena itu Siauw menentang konsep asimilasi yang dikembangkan oleh LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa). Menurut pandangan ini, menghilangkan keTionghoaannya (ganti nama dan menanggalkan kebudayaan serta kawin campuran) dapat melenyapkan diskriminasi rasial. Walaupun Siauw juga tidak menolak proses asimilasi yang berjalan secara wajar dan sukarela. Konsep integrasi ini didukung Presiden Sukarno. Pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 Baperki di Istora Bung Karno 14 Maret 1963, Bung Karno mengecam imperialisme yang “tidak boleh ada persatuan antara mayoritas dan minoritas. Dipisahpisahkan mayoritas dari minoritas. Malahan dibentuk minoritas yang benci kepada mayoritas dan dibuat mayoritas ini benci kepada 235 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam minoritas.” Sukarno mengatakan “ Buat apa saya mesti menuntut, yang orang Peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau mengubah namanya Indonesia, ini sudah bagus kok…Tjam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini.” Bahkan Bung Karno juga menganjurkan rakyat berjuang agar perkataan “asli” dalam konstitusi “Presiden Republik Indonesia harus orang Indonesia asli” dicoret sama sekali. Keinginan Bung Karno itu kini telah terwujud. Epilog (Mengakhiri diskriminasi Tionghoa) Sejak era reformasi telah dilakukan berbagaikoreksi terhadap kebijakan diskriminatif Orde Baru terhadap keturunan Tionghoa. Hari raya Imlek dijadikan libur fakultatif pada era Presiden Abdurrachman Wahid dan menjadi libur nasional pada masa kepresidenan Megawati. Konghucu telah kembali diakui sebagai agama resmi negara walaupun belum dibentuk Direktorat Jenderal di Kementerian Agama seperti lima agama lainnya. Tidak ada lagi istilah “asli” pada warganegara Indonesia. Walaupun telah dilakukan perbaikan yang signifikan, masih terdapat aturan yang mengganjal misalnya mengenai penggunaan istilah yang berkonotasi negatif. Seminar ke-2 Angkatan Darat di Bandung pada tanggal 25 sampai dengan 31 Agustus 1966 mengusulkan penggantian sebutan “Republik Rakjat Tiongkok” dan warga-negaranya, menjadi “Republik Rakjat Tjina” dan “warga negara Tjina”, dengan alasan “Untuk mengembalikan sebutan umum kepada pemakaian jang telah lazim terdapat di mana-mana, baik di dalam negeri, maupun di luar negeri, dan dalam berbagai bahasa, sebagai sebutan bagi Negara dan Warga-Negara jang bersangkutan, tetapi terutama untuk menghilangkan rasa inferior pada bangsa kita sendiri, sebaliknja 236 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam menghilangkan rasa superior pada golongan jang bersangkutan di dalam Negara kita”. Hal tersebut di atas kemudian dituangkan ke dalam Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres. Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 tentang “Masalah Cina”. Peraturan itu bersifat menghasut. Kita tahu sepanjang Orde Baru bukan hanya penggantian nama etnis tetapi juga penggantian nama perorangan keturunan Tionghoa dilakukan dengan setengah memaksa. Segala buku/dokumen yang beraksara Tionghoa disensor oleh pihak imigrasi. Eddie Lembong dari Yayasan Nabil meminta agar Murdaya Po yang menjadi penyelenggara Imlek yang diadakan Forum Bersama IndonesiaTionghoa Februari 2014 menyampaikan permintaan agar surat edaran tahun 1966 itu dicabut dalam pidato sambutan yang dihadiri oleh Susilo Bambang Yudoyono. Hal itu ternyata tidak disinggung dalam acara imlek bersama tersebut namun Murdaya Poo berjanji akan menyampaikan secara langsung kepada Presiden atau Menteri Sekretaris Negara. Akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudoyono secara resmi mencabut surat Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/ Pres.Kab/6/1967 tgl 28 Juni 1967 dengan Surat Keputusan Presiden no 12, tanggal 12 Maret 2014. Sebuah masalah besar yang tersisa dari warisan Orde Baru akhirnya dapat diselesaikan dengan baik. Ini menjadi angpao besar pada Perayaan Cap Go Meh 2014. Seperti diketahui adanya surat edaran tersebut telah menekan perasaan masyarakat Tionghoa dan menimbulkan ketegangan dalam hubungan dengan pihak Negara Tiongkok, yang sesungguhnya tidak membawa manfaat pada siapa pun juga. Keputusan Presiden itu mempertimbangkan bahwa Pertama, penggantian penggunaan istilah “Tionghoa/ Tiongkok” dengan istilah “Tjina” telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam relasi sosial yang 237 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Asvi Warman Adam dialami warga bangsa yang berasal dari keturunan Tionghoa. Kedua, pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas dan atas ras tertentu pada dasarnya melanggar nilai, prinsip, perlindungan hak asasi manusia karena itu bertentangan dengan Undang Undang Dasar RI tahun 1945, Undang-Undang tentang HAM dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Ketiga, sehubungan dengan pulihnya hubungan baik dan semakin erat hubungan bilateral dengan Tiongkok, maka dipandang perlu untuk memulihkan sebutan yang tepat bagi Negara People’s Republic of China dengan sebutan Negara Republik Rakyat Tiongkok. Presiden memutuskan: Pertama, mencabut dan menyatakan tidak berlaku Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera no SE-06/Pres- Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Kedua, dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dan atau komunitas Tjina/ China/Cina dirubah menjadi orang dan atau komunitas Tionghoa dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China dirubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok. Terlepas dari waktu dikeluarkannya Keputusan Presiden menjelang Pemilihan Umum sehingga bisa ditafsirkan untuk mmperoleh dukungan kelompok tertentu, kebijakan itu sangat positif dalam pembentukan nation building yang pluralis. 238 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo Siauw Giok Tjhan: Menjadikan Warga Keturunan Tionghoa Sebagai Indonesia Sejati Stanley Adi Prasetyo1 Sebagian besar anak muda sekarang, termasuk anak muda keturunan Tionghoa, tak lagi mengenal namanya. Padahal ia orang sangat populer dan terkenal di jaman pemerintahan Presiden Soe karno. Nama tokoh yang dilupakan dan sengaja dihapus dalam catatan sejarah resmi oleh penguasa ini tak lain adalah Siaw Giok Tjhan. Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw Gwan Swie (seorang Tionghoa peranakan) dan Kwan Tjian Nio (anak dari Tionghoa Totok). Namun Siauw Gik Tjhan tumbuh dalam keluarga yang berintegrasi dengan etnis lainnya di kawasan Kapasan, Surabaya. Kaadaan itu membuat Siauw Giok Tjhan sehari-hari berkomunikasi dalam 3 bahasa, yaitu Tionghoa, Melayu dan Jawa. Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan sang ayah, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih seringkali membuat kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat perkelahian dengan mereka. 1 Stanley adalah mantan komisioner Komnasham yang banyak berperan dalam pembongkaran masalah G30S dan pelanggaran HAM yang berkaitan dengan peristiwa G30S. Sebagai wartawan ia pun banyak menulis tentang berbagai topik, termasuk Tionghoa. 239 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo Saat itu, ejekan “cina loleng” sering sekali dilayangkan oleh kelompok anti-Tionghoa untuk merendahkan orang-orang Tionghoa. Begitulah, dengan kemahiran kung-fu yang dipelajari dari kakeknya, memungkinkan Siauw Giok Tjhan untuk berkelahi melawan anak-anak Belanda, Indo, dan Ambon yang mengejek dirinya. Keteguhan dan kekerasan jiwa dalam memperjuangkan keadilan tumbuh dalam lingkungan hidup yang harus dihadapi. Terutama setelah kedua orang tuanya meninggal dalam usia muda, ia terpaksa melepaskan sekolah begitu selesai HBS, untuk mencari nafkah meneruskan hidupnya bersama adik tunggalnya, Siauw Giok Bie yang masih harus meneruskan sekolah itu. Berbekal modal seadanya peninggalan dari orang tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan di Surabaya. Kegigihan Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi kesulitan hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini. Ketangguhan itu pula yang membuat Siauw Giok Tjhan tak perang mencoba lari dari kenyataan sosial kala itu di mana rakyat banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Ia justru mmilih bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Nien Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera kesulitan ekonomi. Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di partai ini sekaligus menjadi penanda mulai masuknya Siauw Giok Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI merupakan partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang lahir dan menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki kesadaran bahwasanya tanah air mereka adalah Indonesia. Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. 240 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw Giok Tjhan menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi berhaluan nasionalis kiri yang dibentuk Amir Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo inilah, spirit nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara. Tak hanya dalam masalah politik, semangat nasionalisme yang ada juga diwujudkannya dalam bidang olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB) ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di pasar tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Siauw Giok Tjhan memasuki kancah politik nasional Indonesia dengan mengikuti proses pembentukan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang dipelopori Liem Koen Hian pada 1932. Saat berusia 18 tahun, Siauw menjadi salah seorang pendiri PTI termuda. PTI berkembang sebagai aliran terbaru di dalam komunitas Tionghoa di zaman Hindia Belanda. Ia mendorong semua Tionghoa di kawasan Hindia Belanda, terutama yang lahir di sana, untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya. Argumentasinya, menurut perspektif masa kini, sangat masuk di akal. Orang Tionghoa pada umumnya lahir, hidup dan meninggal di Indonesia. Setelah hidup bergenerasi, kaitan dengan Tiongkok semakin berkurang. Partai Tionghoa Indonesia mendukung berdirinya Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 18 Mei 1937, yang berdasarkan keputusan kongres di Palembang, menerima Oei Gee Hwat (Sekretaris Pengurus Besar PTI) menjadi salah seorang pengurus Gerindo. Saat itu, Gerindo di bawah pimpinan A.K. Gani, Amir Syarifudin, Mohammad Yamin dan lain lain melanjutkan usaha 241 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo perjuangan tokoh-tokoh PNI, Partindo, yang ditangkap Belanda dan dibuang ke Digul. Jadi, Gerindo menjalankan garis demokrasi yang mengutamakan perlawanan terhadap fasisme dan tidak mempersoalkan warna-kulit yang berbeda, bisa membuka pintu untuk menerima etnis Tionghoa. Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw bersinggungan dengan Marxisme. Sebuah ideologi yang saat itu tengah berkembang subur di tanah air dan dikobarkan untuk melawan kolonialisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Perkenalannya dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw kian ‘condong’ ke kiri. Ia juga berkawan baik dengan beberapa tokoh gerakan kemerdekaan di antaranya adalah Dr. Sutomo dan Tjipto Mangunkusumo. Siauw Giok Tjhan juga aktif dalam bidang jurnalistik. Ia mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian Matahari, sebuah koran yang beraliran nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran tersebut. Pada masa pendudukan Jepang, harian Matahari mengambil posisi anti-fasisme Jepang sehingga membuat Siauw menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar dari kejaran Jepang itu dengan menjadi pedagang toko eceran di Malang. Di kota tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta mendirikan organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah, Siauw menetap hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan. Pasca proklamasi kemerdekaan Belanda ingin kembali berkuasa di Indonesia dengan cara membonceng Sekutu dan Inggris selaku pemenang Perang Dunia ke II. Pada saat ini 242 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo Siauw Giok Tjhan pun kembali berpartisipasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan dengan mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru. Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan tentara Inggris di Surabaya pada 10 November 1945. Perjuangan Siauw juga berlanjut dengan aktif di Partai Sosialis yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti yang disinggung sebelumnya, Amir Sjarifudin ini merupakan kawan Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo pada masa penjajahan Belanda dahulu. Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw yang menganggap seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian tak terpisahkan dari revolusi nasional telah membuat ia memperjuangkan disahkannya UU Kewarganegaraan RI di tahun 1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga keturunan Asia dan Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan turut serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri Negara urusan Minoritas ketika Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin pada tahun 1947. Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak hanya ia tunjukkaan melalui perjuangan politik atau organisasi, melainkan juga hal-hal yang kecil seperti hidup secara sederhana. Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan anaknya yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan dengan agresi militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok Bie, hendak menggunakan mobil organisasi Palang Biru untuk mengantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw dengan tegas melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab 243 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo mobil itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang yang terluka karena bertempur melawan agresi Belanda. Dalam perkembangan politik yang ada, Partai Sosialis tempat Siauw mengalami perpecahan. Terjadi perbedaan pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu Sjahrir dengan kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948. Sedangkan kubu Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw memilih bergabung dalam kubu Amir. Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan Amir makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama ketika pertentangan politik menghangat pasca disepakatinya perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis dan PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap kabinet pimpinan Bung Hatta yang didukung Masyumi. FDR sangat menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin ‘membersihkan’ angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat. Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya “peristiwa Madiun”, ketika gerakan FDR dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR pun ditumpas oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution. Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap TNI. Namun, tak lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang kedua di akhir 1948. Siauw pun lolos dari penjara Republik, namun ia kembali ditangkap Belanda. Figur Yang Sederhana Meski Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh, tapi gaya hidupnya sangat sederhana. Dalam kesejariannya ia selalu tampil 244 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo mengenakan baju kemeja-tangan pendek, yang lebih sering terlihat hanya berwarna putih, celana-drill pantalon dan bersepatu sandal saja. Gaya tampilan itu pula yang digunakan saat Siauw Giok Tjhan dilantik menjadi Menteri Negara Urusan Minoritas oleh Kabinet Amir Syarifudin, Siauw yang belum mendapatkan mobil menteri, hanya bisa naik andong untuk ke istana. Tapi malang, ternyata andong dilarang memasuki halaman istana, terpaksa ia turun dari andong dan dengan jalan kaki masuk Keraton Yogyakarta. Pada saat itu Siauw Giok Tjhan juga terbentur dengan masalah rumah tinggal. Ternyata tidak ada perumahan pemerintah yang bisa diberikan kepadanya sebagai menteri. Pada saat itu, menteri yang datang dari luar Yogyakarta, boleh tinggal di Hotel Merdeka. Tapi untuk menghemat pengeluaran uang negara, Siauw memilih tinggal di gedung kementerian negara, di Jalan Jetis, Yogya, dan harus tidur di atas sebuah meja tulis. Pembawaan dan tampilan Siauw Giok Tjhan yang sangat bersahaja banyak dikagumi orang, baik oleh kawan-kawan maupun lawan-lawan politiknya. Pada 1954 Siauw Giok Tjhan terpilih menjadi ketua umum Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI), sebuah organisasi massa yang didirikan pada pertemuan di Gedung Sin Ming Hui pada pada 13 Maret 1954 di Jakarta. Pertemuan itu dihadiri oleh 44 orang tokoh Tionghoa, kebanyakan dari me reka merupakan wakil dari berbagai organisasi Tionghoa, seperti Persatuan Warga Indonesia Turunan Tionghoa (PERWITT) yang berpusat di Kediri, Persatuan Warga Indonesia Tionghoa (PERWANIT) yang berdiri di Surabaya dan Perserikatan Tionghoa Peranakan (PERTIP) yang berpusat di Makassar. Semua peserta yang hadir adalah peranakan Tionghoa yang umumnya berpendidikan Belanda. Sebagian besar dari mereka berasal dari 245 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo Jawa, tapi ada pula yang berasal dari luar Jawa, seperti Padang, Palembang, dan Banjarmasin. Mereka mewakili semua spektrum politik di Indonesia saat itu, antara lain tokoh-tokoh golongan kanan, seperti Khoe Woen Sioe, Tan Po Goan, Auwyong Peng Koen, Tan Siang Lian. Tokohtokoh yang dianggap berhaluan kiri, seperti Siauw Giok Tjhan, Go Gien Tjwan dan Ang Jang Goan, dan mereka yang bergaris netral, seperti Thio Thiam Tjong, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Tan Eng Tie, Lim Tjong Hian dan Liem Koen Seng (adik Liem Koen Hian). Siauw Giok Tjhan terpilih sebagai Ketua Umum, sementara wakil ketuanya adalah Oei Tjoe Tat, Khoe Woen Sioe, The Pek Siong, dan Thio Thiam Tjong. Baperki Cabang Jakarta dibentuk pada 14 Maret 1954 dan diketuai oleh Sudarjo Tjokrosisworo yang merupakan seorang pribumi Indonesia. Pada 1955 Baperki ikut serta dalam untuk memilih anggota DPR (29 September 1955) dan anggota Konstituante (15 Desember 1955). Dalam kedua pemilu ini, Baperki memperoleh 178.887 untuk DPR dan 160.456 untuk Konstituante, atau 70% suara dari golongan Tionghoa di Jawa. Dengan jumlah suara sebanyak ini, Baperki berhasil memperoleh satu kursi di DPR dan mendudukkan Siauw Giok Tjhan sebagai wakilnya. Untuk Konstituante, Baperki diwakili oleh Siauw Giok Tjhan, Oei Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan, Liem Koen Seng, Oei Poo Djiang, Jan Ave dan C.S. Richter. Dua nama terakhir adalah wakil-wakil Baperki untuk golongan Indo. Pada 1958 Yayasan Pendidikan dan Kebudajaan Baperki mencoba mendirikan sebuah perguruan tinggi dengan membuka Akademi Fisika dan Matematika yang bertujuan untuk mendidik para guru sekolah menengah. Setelah itu, pada 1959, menyusul dibuka Fakultas Kedokteran Gigi dan Fakultas Teknik. Pada 1962 diresmikan pendirian perguruan tinggi Universitas Res Publica 246 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo (Ureca) dengan membuka Fakultas Kedokteran dan Fakultas Sastra. Motto Ureca adalah “Pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!” Rektor Universitas Baperki yang pertama adalah Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang pernah menjadi menteri dalam beberapa kabinet di masa demokrasi parlementer. Lumban Tobing kemudian digantikan oleh Utami Suryadarma, istri Komodor Suryadarma. Dengan cepat Ureca membuka cabang di berbagai kota di Jawa dan Sumatra. Setelah Peristiwa G30S, Universitas Res Publica diserbu dan dirusak oleh para demonstran dan kemudian dinyatakan ditutup, dan gedungnya diambil-alih oleh pemerintah dalam hal ini oleh tentara. Ureca di Jakarta kemudian dibuka kembali dengan kepengurusan yang baru yang disokong pemerintah Orde Baru dengan nama Universitas Trisakti. Puluhan sekolah dan universitas yang didirikan Siauw disulap jadi kantor militer dan gedung milik “swasta”. Baperki dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru karena dituduh sebagai onderbouw Partai Komunis Indonesia. Sejumlah pengurus dan aktivisnya, seperti Siauw Giok Tjhan dan Oei Tjoe Tat dijebloskan ke penjara. Sebagian dari mereka setelah dipenjarakan selama bertahun-tahun akhirnya kemudian dilepaskan tanpa pernah diadili. Peristiwa G30S memang buah tsunami politik bagi Indonesia. La ini juga dialami oleh Baperki. Ratusan pendukung Baperki diculik dan “dihilangkan” oleh sejumlah barisan pemuda yang didukung tentara. Siauw Giok Tjhan selama 10 tahun, sejak November 1965 hidup di penjara. Pada September 1975, statusnya diubah jadi tahanan rumah. Meskipun demikian, siksaan, tekanan psikologis yang dialaminya selama dalam masa tahanan membuat 247 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo kesehatannya, terutama matanya, merosot drastis. Atas bantuan sahabatnya, Adam Malik, pada September 1978 Siauw diijinkan berobat ke Belanda. Ia meninggal pada 20 November 1981, beberapa menit sebelum menyampaikan pidatonya di Universitas Leiden. Warisan Siauw Siauw Giok Tjhan memang telah meninggal dunia 33 tahun lalu. Pemerintah Idonesia tak pernah menyebut-nyebut namanya, apalagi mencatat peran peting yang pernah dilakukan almarhum dalam ikut membentuk nations bernama Indonesia. Namun demikian peran dan keteladanan serta berbagai nilai yang ditinggalkannya kerap menjadi bahan diskusi di berbagai forum diskusi. Beberapa media nasional kembali mencoba mengangkat peran dan perjuangan yang pernah dilakukannya. Ide-idenya masih memiliki relevansi dengan kekinian, terutama dalam kehidupan sosial-politik dan kebangsaan yang dihadapi Indonesia saat ini. Ada tiga pikiran penting Siauw Giok Tjhan yang masih memiliki relevansi dengan kondisi saat ini yang perlu diulas lebih lanjut. Antara lain tentang pluralisme, peran organisasi warga, dan pendidikan sebagai sarana untuk melawan rasialisme dan diskriminasi. Selain itu tentu saja ada pikiran penting Siauw Giok Tjhan yang lain, misalnya tentang perekonomian Indonesia yang harus berbentuk pada sosialisme Indonesia. Sebuah konsep ekonomi yang lebih bersandar pada penguatan sektor ekonomi domestik. Dalam hal pluralisme, Siauw berpendapat bahwa warga keturunan Tionghoa harus bisa bersama-sama hidup berdampingan dengan etnis lainnya 248 di Indonesia tanpa Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo menegasikan kebudayaan masing-masing etnis sesuai motto Bhineka Tunggal Ika. Konsep ini dikenal sebagai konsep integrasi. Pemikiran ini dilontarkan Siauw Giok Tjhan dalam rangka mengakhiri semua bentuk diskriminasi dan rasialisme yang diarahkan kepada warga keturunan Tionghoa. Namun konsep ini dilawan dengan konsep “asimilasi” yang berupaya menghilangkan seluruh indentitas kultural dari salah satu etnis. Penting untuk melihat kembali seluruh perdebatan mengenai dua konsepsi ini. Pemikiran Siauw Giok Tjhan tentang konsep integrasi diilhami dari lontaran Kwee Hing Tjiat di harian Matahari pada 1933 yang menyatakan bahwa Arga keturunan Tionghoa di Indoneia “lahir di Indonesia, besar di Indonesia menjadi putra-putri Indonesia”. Hal ini tampaknya menjadi keyakinan hidup Siauw Giok Tjhan yang berupaya berjuang menjadi untuk putra ter-baik Indonesia yang tidak ada bedanya dengan putra-putra Indonesia bersuku lainnya dalam usaha dan memperjuangkan kemerdekaan dan kebahagiaan hidup bersama. Dalam menghadapi persoalan Tionghoa di Indonesia, Siauw Giok Tjhan menganjurkan agar orang Tionghoa di Indonesia bisa menjadi warganegara dan menjadi bagian dari masyarakat Indonesia yang terdiri dari beragam suku dan budaya tanpa menghilangkan identitas budaya dan suku dari masing-masing komponen masyarakat termasuk masyarakat Tionghoa. Konsep ini sangat identik dengan hal yang kini lebih populer disebut sebagai “pluralisme” atau “multikulturalisme”. Perjuangan panjang menghapus diskriminasi yang pernah dilakukan Siauw Giok Tjhan sempat terganjal di jaman pemerintahan Orde Baru yang justru melakukan diskriminasi secara masif melalui pemberlakuan berbagai peraturan perundang-undangan. Namun pada akhirnya terwujud setelah pemerintah Republik Indonesia pada 2008 memberlakukan Undang-Undang No 40 Tahun 2008 249 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnik. Hal ini diusul dengan diberlakukannya Undang-Undang No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menghapuskan pembedaan antara pribumi dan keturunan berdasarkan asal-usul dan ras. Hal penting yang banyak digagas adalah aktivitas setiap orang untuk meningkatkan organisasi kewargaan. Sesuatu yang kini banyak dilupakan orang. Membangun organisasi warga adalah penting untuk menciptakan kerja sama di antara warga dalam sebuah komunitas dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama dan memecahkan masalah bersama. Siauw Giok Tjhan sejak masa mudanya banyak terlibat dalam organisasi seperti ini, hingga ia dengan mudah mengajak warga untuk memboikot kegiatan Belanda. Organisasi kewargaan umumnya efektif dalam mengatasi masalah sesama warga yang bersifat lintas kepentingan dan lintas identitas. Sebuah hal yang langka di jaman sekarang. Di jaman sekarang orang lebih menghidupkan sebuah organisasi berbasis marga, berbasis suku, atau berbasis agama dan asal usul. Begitu melebur dan merakyatnya Siauw Giok Tjhan dalam kehidupannya sebagai warga ini membuat Presiden Sukarno lebih memilih menyebut Siauw Giok Tjhan dengan sebut “Cak Siauw”. Sebutan ini menggambarkan bahwa Siauw lebih cocok mewakili gambaran “arek Suroboyo”, tempat asal kelahiran Siauw Giok Tjhan. Hal mencolok lain yang bisa diteladani dari Siauw Giok Tjhan adalah upayanya menciptakan dan menggunakan sarana pendidikan untuk menghapus praktek-praktek diskriminatif. Pendirian Ureca merupakan salah satu respons positif Siauw Giok Tjhan terhadap praktek diskriminasi rasial dalam bidang pendidikan yang ada saat itu. Nama baik Ureca terutama cabang-cabangnya di berbagai kota berhasil menarik minat mahasiswa baru dari berbagai golongan dan suku. Tentunya ini juga menciptakan 250 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Stanley Adi Prasetyo sebuah nations-state mini di mana orang bisa saling berinteraksi tanpa dibatasi sekat-sekat identitas, asal-usul maupun agama. Sekolah-sekolah dan universitas Baperki menampung puluhan ribu siswa Tionghoa yang tidak bisa ditampung untuk mengejar ilmu sebagai bekal hidup mereka. Di Universitas ini pengarang terkenal Pramoedya Ananta Toer pernah mengajar dan menjadi dosen di Fakultas Sastra. Pramoedya Ananta Toer bukan hanya mengajar, tapi ia mengembangkan metode pengajaran yang unik dengan mengajak para mahasiswa untuk menyusun riset bersama. Dalam perkuliahan ini, Pramoedya Ananta Toer berhasil menelusuri dan menyusun sejarah awal Nusatara sebelum kedatangan Portugis, Inggris dan Belanda. Nama dan peran Siauw Giok Tjhan boleh saja dihapus dari catatan sejarah resmi Indonesia. Namun namanya sesungguhnya tak pernah pudar. Tahun ini adalah peringatan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan. Jejak dan langkah yang ditinggalkaannya masih menjadi sumber inspirasi dan teladan banyak orang keturunan Tionghoa yang cinta Indonesia. Paling tidak banyak orang mengakui bahwa Siauw Giok Tjhan adalah tokoh keturunan Tionghoa yang tak pernah berhenti untuk berjuang dan menjadikan warga keturunan Tionghoa menjadi warga Indonesia sejati.*** 251 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Puto Oka Sukanta Si Rambut Putih Yang Selalu Ceria (Secuil kenangan) Putu Oka Sukanta1 Saya adalah orang baru di Jakarta pada tahun 1965 dan tidak pernah punya kesempatan untuk bertemu dengan tokohtokoh pergerakan. Di dalam penjara Salembalah saya baru melihat dan mengenal mereka, salah satunya adalah Om Siauw. Satu-sa tunya tahanan yang saya panggil dengan sebutan Om, saya tidak tahu mengapa. Tahanan lain ada yang saya panggil pak, seperti pak Sumarsono (yang jendral itu), Bung Ayoeb (sebutan lainnya si Raja Jin, Ketua Umum Lekra ). Semua mereka itu jauh lebih tua dari saya, dan punya posisi penting di dalam percaturan politik sebelum Peristiwa Gerakan 30 September. Saya dimasukkan ke penjara Salemba bulan Januari 1967, sesudah sejak Oktober 1966 ditangkap dan disiksa di Kodim Air Mancur Budi Kemuliaan Jakarta Pusat. Di Salemba hanya dua malam, dan langsung dipindah ke Tangerang sampai April 1967, dan kemudian dikembalikan ke Salemba. Di Salemba inilah saya bertemu, bersalaman dengan Om Siauw pertamakali sewaktu mengikuti Kebaktian Agama Budha di suatu hari minggu. Penguasa penjara mencampur pengikut agama Budha, Hindu, Konghucu, Kepercayaan / Kejawen, menjadi satu kelompok yang mendapat jadwal Kebaktian pada setiap hari Minggu. Pada awalnya saya tidak punya kesempatan untuk berkenalan lebih mendalam dengan Om Siauw sebab saya ditempatkan di Blok Rakyat Jelata, Blok Miskin, dan Om Siauw berada di Blok Intelektual atau kami sebut juga sebagai Blok Kaya. 1 Putu Oka adalah seorang sastrawan yang pernah lama meringkuk dalam tahanan di zaman pemerintahan Suharto. Ia banyak menulis dan berbicara tentang kejahatan negara yang berkaitan dengan peristiwa G30S. 252 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Putu Oka Sukanta Saya berpendapat bahwa pengelompokkan tahanan menjadi dua kelompok besar, yang di tempatkan di blok yang berbeda, adalah strategi penguasa untuk menimbulkan konflik antar tahanan, yang pemimpin, kaya, intelek, berkonflik dengan yang masa, miskin, orang awam biasa, berpendidikan rendah. Tetapi strategi dan taktik penguasa ini tidak mempan, hubungan antar tahanan yang datang dari berbagai latar belakang tetap disemangati oleh rasa solidaritas. Tahanan yang di Blok Kaya, dengan berbagai cara mengirimkan makanan, pakaian atau apa saja kepada teman-teman sesamanya di blok lain. Om Siauw dan anggota riungannya ada di dalam kehidupan seperti itu. Sebutan itu menyiratkan bahwa tahanan yang disekap di Blok Kaya ini mendapat kiriman teratur dari keluarganya, hanya beberapa orang saja yang tidak mendapat kiriman. Di Blok Rakyat, Jelata, berjubel tahanan kelas bawah yang keluarganya morat marit dan tidak mampu mengirim makanan, atau keluarganya tidak ada di Jakarta. Penjara Salemba, juga pernah disebut penjara Rawa Kerbau pada jaman Belanda, atau penjara Gang Tengah, yang bentuk bangunannya seperti tapal kuda. Di tengah-tengahnya terhampar lapangan yang bisa digunakan untuk main bola tangan, dan juga bola voley. Selain itu digunakan sebagai tempat upacara Apel Bendera, Sholat Jumatan dan pemutaran film layar tancap. Di tepi lapangan ini berderet blok penahanan dari Bloak A sampai Blok R. Di Blok R inilah kemudian saya bertemu dengan Om Siauw di akhir tahun 1969. Sebelumnya saya sekamar dengan Dr. Lie Tjwan Sien di Blok O, dokter yang memperkenalkan saya dengan sistim totok yang kemudian dilengkapkan menjadi system akupunktur. Tentang kesediaan Dr. Lie mengajarkan ilmu totok/akupunktur ada ceritanya, yang saya baru mendengarnya sesudah bebas. 253 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Puto Oka Sukanta Pada mulanya Dr. Lie tidak bersedia mengajarkan saya, teman satu selnya, ketika saran itu disampaikan oleh Pak Phoa (Phoa Toan Hian SH, sahabat dekat dan panutan saya untuk beberapa sifat demokratisnya). Pak Phoa merasa tidak mempan mendorong Dr. Lie agar mengajarkan ilmu totok kepada saya, entah apa alasannya, lalu Pak Phoa menyampaikan idenya itu kepada Om Siauw. Kata yang memberi berita kepada saya, suatu saat Om Siauw meminta Dr. Lie supaya mengajarkan ilmu totok itu kepada saya. Maka mulailah kami belajar tanpa buku dan pinsil, ilmu mengalir dari kepala Dr. Lie ke kepala saya, yang sampai saat sekarang menjadi ilmu andalan saya untuk hidup, setelah lulus ujian pembakuan Akupunktur oleh Ikatan Naturopathi Indonesia bekerjasama dengan Dinas Kesehatan Jakarta di tahun 1978. Sesudah ijin praktik saya keluar, tahun 1978, maka jadilah saya seorang praktisi akupunktur. Saya tidak sempat mengucapkan terimakasih kepada Om Siauw atas gagasannya itu, karena berita ini saya dengar sesudah Om Siauw ke Belanda. Sewaktu saya ke Belanda tahun 1990, beliau sudah meninggal. Pertemuan saya dengan Om Siauw di blok R juga tidak lama. Saya sempat ikut makan di riungan Om Siauw untuk beberapa saat. Jadi saya sempat dihidupi oleh makanan sari nutrisi yang dimasak dan diantar oleh Tante Siauw. Tahanan yang tidak punya kiriman keluarga seperti saya, ditempatkan oleh Bagian Sosek (Sosial ekonomi) masing-masing blok. Sosek ini diketuai oleh seorang tahanan . Entah bagaimana cara menentukan, siapa yang menjadi ketua, sama sekali tidak ada campur tangan penguasa. Ide Riungan sepenuhnya keluar dari rasa solidaritas sesama tahanan. Bahwa kadang-kadang tercium aroma like and dislike, keputusannya didasarkan pertemanan, bagi saya itu tidak menjadi masalah, sebab hak saya adalah jatah makanan dari penguasa, sama sekali tidak punya hak atas kiriman tahanan 254 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Putu Oka Sukanta yang dikirim oleh keluarganya. Sikap ini menyebabkan saya tidak punya beban, untuk meriung dengan siapa saja bisa, bahkan saya sering menolak untuk diriungkan karena sikap pemilik kiriman tidak menyenangkan hati. Salah satu kriteria untuk disebut tahanan baik, adalah bersedia meriungkan beberapa tahanan yang tidak punya makanan. Ada juga tahanan yang dijuluki, “Tahanan menghadap tembok.”. Tahanan ini menolak meriung, hanya memberikan solidaritas sewaktu menerima kiriman saja. Lebih lanjut dia akan makan sendiri dengan apa yang dikirim oleh keluarganya. Tahanan seperti ini berdalih bahwa kiriman itu adalah untuk dirinya yang dikirim dengan tetesan keringat keluarga, bukan untuk tahanan lain. Selama saya ditahan satu blok dengan Om Siauw, saya hampir setiap hari melihat Om Siauw di pagi hari melalukan semacam yoga yang disebut Kopstan. Kepala di lantai dengan ke dua kaki ke atas. Juga saya sering melihat Om Siauw membaca sesuatu buku, sambil bersandar di tembok sel, salah satu kakinya di tekuk dan kaki lainnya bersilang. Saya tidak punya kesempatan untuk ngobrol dengan Om Siauw, karena saya merasa bukan levelnya. Hanya suatu kali Om Siauw bercerita sepulang dari pertemuan keluarga, bahwa anaknya akan belajar ke Australia dan bahasa Inggrisnya sudah lebih baik dari bahasa Inggris Om Siauw. Ada hal lain yang membekas di kepala saya, yaitu cara dan sikap Om Siauw melakukan sebuah perlawanan terhadap penguasa. Saya menduga ini sudah dirancang matang oleh Om Siauw untuk menjatuhkan rasa berkuasa si Komandan Seksi Satu yang kami kenal sangat jahat. Semua tahanan takut dengan di Kasi Satu ini, dan selalu memberikan hormat dengan sebutan Bapak, ketika ia memeriksa 255 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Puto Oka Sukanta Blok. Tetapi Om Siauw saya dengar sendiri dia memanggil si Kasi Satu itu dengan panggilan Dik. “Dik Marjuki.” Si Marjuki ini tidak menolak panggilan Dik itu, padahal ia seorang pemberang besar. Menurut saya ini adalah salah satu cara Om Siauw melakukan pembebasan. Suatu pagi Si Marjuki ini masuk Blok R, semua orang bersiap di depan selnya masing-masing, menghentikan semua kegiatan, mandi, berolah raga, membaca buku suci, mengurus kebersihan blok, apalagi yang sedang ngobrol. Semua tahanan berdiri menyambutnya dan mengikutinya sampai di halaman. Semua tahanan mendengarkan celotehnya, dan makiannya. Nah ia berkata:” Saudara-saudara memang belum berubah. Saudarasaudara masih menganggap saya sebagai petugas, sebagai tamu di blok ini. Mengapa saudara-saudara berdiri, bersiap menyambut saya. Saya ini kan Pembina, pelindung saudara-saudara.” Kemudian dia meninggalkan blok. Pada kesempatan lain, si Marjuki ini masuk lagi ke Blok R, dan tidak ada seorang tahananpun menyambutnya kecuali Kepala Blok. Tahanan dikumpulkan, dan dimarahi: “Saudara-saudara menganggap saya ini kayu hanyut di sungai ya? Semua tidak acuh kepada saya. Saya ini petugas yang bisa berbuat apa saja. Tahu?” Saya melihat Om Siauw tidak acuh dengan polah si Marjuki. Lain halnya dengan beberapa tahanan yang serius membincangkan celoteh si Marjuki. Ada yang ketakutan dan mencari jalan untuk mereda kemarahan itu. Si Pardede, sewaktu Marjuki meninggalkan Blok, ia terburu-buru menimbal air dan membawanya ke WC. Teman lain menegor: ”Hah ha kamu terberak-berak dibikin Marjuki.” Pardede menyahut, “ Aku mau nyentor beraknya Marjuki.” Di kepala saya ada potret Om Siauw yang rambutnya putih dan tersenyum tanpa beban. 256 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Putu Oka Sukanta Penjara Salemba Jakarta pada tahun 70-an - Sebagian besar penghuninya adalah tahanan politiik dan di mana Siauw ditahan selama 8 tahun tanpa proses pengadilan apapun 257 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw May Lie Pendekatan Siauw Giok Tjhan Dalam Penyelesaian Masalah Tionghoa Siauw May Lie1 Pendekatan Siauw Giok Tjhan dalam mengatasi pikiran diskriminasi dikalangan bangsa Indonesia baik yang ada di kalangan penduduk asli Indonesia maupun di kalangan penduduk Timur Asing ( Tionghoa, Arab dan India), berbeda dengan pemimpin keturunan Tionghoa lainnya. Banyak pemimpin Tionghoa berjuang untuk melawan diskriminasi yang ada di dalam masyarakat Indonesia dengan mendirikan organisasi yang ekskusif Tionghoa, seperti Perwitt (Persatuan Warganegara Turunan Tionghoa), Perwanit (Persatuan Warganegara Indonesia Tionghoa), dllnya. Atau dengan mendirikan partai politik Tionghoa seperti PDTI (Partai Demokrat Tionghoa Indonesia). Siauw Giok Tjhan selalu menandaskan masalah Tionghoa hanyalah bagian dari masalah nasion Indonesia, tidak mungkin memecahkan masalah Tionghoa secara tersendiri dan oleh Tionghoa sendiri saja. Tapi, harus mengajak dan mengikut sertakan suku-suku lain, bersama-sama memecahkan masalah nasion Indonesia yang ada. Dan oleh karenanya Siauw selama hidupnya selalu aktif berjuang bersama-sama pemimpin yang berasal dari berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia, baik dalam perjuangan mencapai kemerdekaan, selama revolusi Agustus 1945, maupun pembangunan ekonomi nasional dan proses pembangunan nasion Indonesia selanjutnya. Siauw menganggap bahwa pendekatan organisasi berdasarkan etnisitas (Tionghoa) berarti etnis tersebut telah mengambil langkah memencilkan diri 1 Siauw May Lie adalah putri Siauw Giok Tjhan. Ia adalah seorang dokter yang memadukan pengobatan Tionghoa dan Barat, kini bermukim di Jakarta. 258 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw May Lie dari komponen bangsa Indonesia lainnya, sehingga perjuangan demikian sulit mencapai hasil. Menurut Siauw Giok Tjhan, pikiran untuk tidak mendirikan partai berdasarkan etnis telah ada semenjak kesepakan antara Siauw Giok Tjhan dengan Liem Koen Hian dan Dr. Tjoa Sik Ien pada akhir pendudukan Jepang. 2 Maret 1954, dalam proses pembentukan BAPERKI, sebuah panitia yang di pimpin oleh Oei Tjoe Tat telah menyusun naskah anggaran dasar bagi sebuah organisasi massa yang rencana nya akan diberi nama Badan Permusyawaratan Warga Negara Turunan Tionghoa , disingkat Baperwatt. Dalam musyawarah pendirian dan pengesahan anggaran dasar organisasi tersebut tanggal 11-13 Maret 1954, pendapat para pemimpin Tionghoa terbelah dua. Satu golongan tetap berpendapat bahwa kata “Tionghoa” harus ada dalam nama organisasi tersebut. Satu golongan lainnya berpendapat tidak perlu ada kata Tionghoa tercantum dalam nama organisasi tersebut. Menurut Siauw Giok Tjhan “adanya istilah itu pada nama organisasi telah diambil langkah untuk memencilkan diri”, padahal “tujuan organisasi itu adalah tegas memperjuangkan pelaksanaan jiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia yang wajib dilakukan oleh tiap orang warganegara Indonesia dan tidak terbatas pada warganegara peranakan Tionghoa melulu.” 3 Golongan yang merasa tidak seharusnya dicantumkan kata “Tionghoa” memperoleh dukungan bulat dalam musyawarah tersebut. Golongan ini kemudian disebut sebagai golongan yang mendukung proses integrasi. Sejak itu lahirlah sebuah organisasi 2 Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei 1981. Hal. 234 “Berdasarkan keputusan musyawarah dengan Liem Koen Hian di zaman akhir pendudukan Jepang di rumah Dr. Tjoa Sik Ien di Surabaya, tentu saja tidak dapat disetujui pikiran mendirikan partai politik berdasarkan asal keturunan”. 3 Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei 1981. Hal. 235 259 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw May Lie yang bernama “Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia disingkat Baperki. Anehnya, beberapa orang yang menganggap perlu dicantumkan kata “Tionghoa” dalam nama organisasi tersebut, justru yang tergolong pendukung gerakan “asimilasi total” diantaranya, Kwik Hway Gwan. Seorang tokoh yang kemudian menuntut agar gerakan “ganti nama” massal sebagai langkah pertama melenyapkan segala ciri etnik Tionghoa. Kenyataan sejarah memperlihatkan bahwa Baperki berhasil mengajak banyak komponen bangsa Indonesia lainnya untuk bersama-sama memperjuangkan nasion Indonesia berdasarkan kewargaan. Dengan membangun negara Indonesia berdasarkan kewarganegaraan Indonesia maka dengan sendirinya bangsa Indonesia tentu akan berjuang bersama-sama mengikis pandangan diskriminasi yang dibangun secara sistematis oleh kaum kolonial Belanda dalam melaksanakan politik “pecah-belah” (divide et empera) terhadap berbagai suku bangsa dan etnis yang ada di Indonesia demi melanggengkan kekuasaan kolonialnya. Siauw Giok Tjhan berkeyakinan bahwa bangsa Indonesia yang di dasarkan kepada kewarganegaraan Indonesia dapat mengatasi sikap-sikap diskriminasi bukan hanya terhadap etnis Tionghoa, Arab, India, tetapi juga berbagai suku bangsa Indonesia lainnya. Siauw Giok Tjhan menempatkan perjuangan menentang diskriminasi dalam konteks perjuangan “nation and character building” seperti yang tertera dalam Pancasila yang digagas oleh Sukarno dan Maklumat Politik Pemerintah RI 1 November 1945. Siauw Giok Tjhan menulis “Azas organisasi massa itu adalah mencapai terwujudnya negara Pancasila, dimana setiap warganegara Indonesia dapat menuntut penghidupan bebas dari rasa takut akan di anak-tirikan, dan bebas dari rasa takut akan menderita kekurangan. Organisasi itu adalah tegas memperjuangkan pelaksanaan janji negara seperti yang dirumuskan dalam 260 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Siauw May Lie Manifesto Politik Negara 1 November 1945, yang menjanjikan untuk menjadikan tiap warganegara peranakan Indo Asia dan Indo Eropah sebagai warganegara dan patriot Indonesia sejati” 4 Sikap Siauw Giok Tjhan yang menempatkan perjuangan menentang diskriminasi dalam hubungannya ngunan bangsa Indonesia berdasarkan dengan pemba kewarganegaraan sesuai dengan politik pemerintah Indonesia sejak tahun 1945 menyebabkan bangsa Indonesia memandang sosok Siauw Giok Tjhan sebagai salah satu pemimpin bangsa Indonesia! 4 Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, Penerbit Yayasan Teratai, Amsterdam, Mei 1981. Yang dimaksud Manifesto Politik Negara 1 November 1945 tersebut adalah “Maklumat Politik” pemerintah Republik Indonesia yang ditanda tangani oleh Wakil Presiden Mohamad Hatta di Jakarta tanggal 1 Nopember 1945. Isi Maklumat itu yang dikutip oleh Siauw Giok Thjan berbunyi sebagai berikut : “… kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan Indo Eropah menjadi orang Indoensia sedjati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”. 261 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching Siauw Giok Tjhan Soe Tjen Marching1 Siapakah Siauw Giok Tjhan? Berpuluh tahun lamanya saya tidak tahu sama sekali. Mendengar namanya pun saya belum pernah. Karena saya adalah anak Orde Baru. Lahir pada awal tahun tujuh puluhan, saya mengalami pendidikan tempaan Suharto, yang menghilangkan nama berbagai tokoh komunis dan kiri. Kita mengenal nama Aidit dan Njoto sebagai pengkhianat besar yang harus ditakuti. Bahkan nama mereka seolah lebih menakutkan daripada Westerling atau Daendels. Nama Siauw Giok Tjhan, yang lahir pada tahun 1914 dan dipenjara tanpa pengadilan sebagai tahanan politik, selama 12 tahun dari 1965 sampai 1978, tentu tak dapat ditemukan dalam sejarah Orde Baru. Hanya setelah saya berada di Australia, setelah saya memulai disertasi saya, nama Siauw Giok Tjhan saya kenal. Saat bertemu dengan anak bungsunya: Siauw Tiong Djin di Melbourne, pada pertengahan tahun 1998, saat kami sedang menggarap disertasi kami di Monash University. Dari tulisan-tulisan Tiong Djin, saya mulai tahu siapa Siauw Giok Tjhan. Saat itu, mungkin ia hanya sebagai bayangan bagi saya. Sebagai salah satu tokoh yang disembunyikan keberadaannya oleh Orde Baru, lalu samar-samar mulai muncul setelah Orde Baru ambruk. Namun, setelah bertahun lamanya, barulah saya mengenal Giok Tjhan lebih jauh lagi. Giok Tjhan yang mempunyai banyak kedekatan dengan saya dan keluarga. Giok Tjhan, yang ayahnya lahir dan besar di Kapasan – Surabaya, sebuah daerah 1 Soe Tjen Marching adalah seorang akademisi, aktifis dan penggubah musik. Ia pendiri Majalah Bhinneka dan banyak menulis tentang Perempuan, Politik Indonesia dan Agama dalam bahasa Indonesia, Inggris dan Jerman 262 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching yang tidak jauh dari tempat saya dibesarkan di Surabaya. Dan tak jauh dari tempat tinggal orang tua saya sewaktu baru menikah. Kapasan, di jaman penjajahan Belanda, di mana rasisme ditumbuhkan oleh pemerintah kolonial antara mereka yang diklasifikasikan sebagai Tionghoa, dan mereka yang digolongkan sebagai pribumi. Politik Wijkenstelsel yang mengharuskan pemisahan antara mereka yang Tionghoa dan pribumi. Dan mereka yang diklasifikasi sebagai Tionghoa diharuskan tinggal di sebuah daerah tertentu. Banyak manusia Tionghoa Indonesia yang akhirnya hidup terpencil karena kebijakan Belanda ini. Kapasan, adalah salah satu daerah Tionghoa peninggalan pemerintah Belanda itu. Namun, rakyat mempunyai cara tersendiri (walau mungkin tidak mereka sadari) untuk melawan politik adudomba pemerintah kolonial ini. Di Kapasan, pembauran ternyata tak dapat dihindari. Kelenteng Konghucu Boen Bio terletak cukup dekat dari Cungkup, sebuah makam tokoh agama Islam. Pada hari-hari Raya Islam, Cungkup tidak saja ramai dikunjungi penganut agama Islam, tapi juga kaum ibu Tionghoa. Dan tidak kalah aneh, ibu Giok Tjhan, seorang Tionghoa totok beragama Konghucu yang mahir membuat berbagai obat ramuan Tionghoa, mempunyai kebiasaan membakar kemenyan dan pergi ziarah ke makam tokoh-tokoh Islam. Pada hari-hari Raya Islam, ibu Giok Tjhan juga mengajak anak-anaknya berziarah ke berbagai makam Islam seperti Ngampel di Kampung Arab – Surabaya, hingga ke Gresik dan Gunung Giri. Dan justru sang ibu tidak pernah mengajak anak-anaknya ke Boen Bio. Uniknya, sang ibu tetap berpaku pada berbagai ajaran Konghucu juga. Percampuran antara mistik, kepercayaan dan agama inilah yang disaksikan oleh Giok Tjhan kecil: seorang pria dengan ikat kepala khas Jawa bersembahyang menggunakan hio (dupa panjang yang biasa dipakai orang Tionghoa). Sebaliknya, di 263 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching sebelah pria ini, seorang perempuan Tionghoa memakai celana hitam, menyekar dengan menggunakan kemenyan. Selain percampuran berbagai agama, kepercayaan dan kebudayaan yang mengesankan Giok Tjhan kecil, ia mengalami hal pahit juga: rasisme. Giok Tjhan pertama kali belajar di sekolah Tionghoa, karena kakeknya yang mengharuskan. Setelah sang kakek pindah ke Tiongkok, ayah Giok Tjhan mengirimnya ke sekolah Belanda. Di Sekolah Belanda inilah, Giok Tjhan mendapat sebutan “Cina loleng”, ejekan dari anak-anak Belanda dan indo terhadap mereka yang Cina. Namun, ada hal lain yang jauh lebih pedih, yang harus dihadapi Siauw Giok Tjhan: wafatnya sang papa dan mama dalam usia belia pada tahun yang sama, tahun 1932, sehingga Giok Tjhan harus menghidupi dirinya dan adiknya. Dengan menggeluti berbagai bisnis dan pekerjaan, Siauw akhirnya menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Mata Hari (1939 – 1942), dan tidak segan mengritik ambisi pemerintah Jepang di kawasan Asia. Sebuah wawasan yang luar biasa, walaupun saat itu, Jepang belum menjajah Indonesia, tapi Siauw tidak terkecoh dengan mulut manis dan tipu daya pemerintah Negara Matahari terbit ini. Karena hal ini, Siauw sempat dikejar-kejar Jepang, dan dengan terpaksa ia pindah ke Malang dan berganti profesi. Namun, Siauw yang cerdik tidak menghentikan perjuangannya dengan melakukan berbagai penyamaran, termasuk dengan menjadi anggota organisasi bentukan Jepang, Kakyo Shokai. Dan Indonesia pun Merdeka . . . Masalah diskriminasi Tionghoa harus ditanggulangi setelah Indonesia merdeka. Sukarno, karena berbagai hal, termasuk keberadaan Maklumat Pemerintah November 1945 dan UUDS 264 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching 1950, tidak memiliki kekuasaan memerintah hingga tahun 1959 (setelah Indonesia kembali ke UUD 1945). Dan Giok Tjhan ikut andil dalam beberapa kebijakan sang Presiden. Giok Tjhan, yang telah ditempa perpaduan pengalaman masa kecilnya di Kapasan, menentang adanya sebutan ras Indonesia, dan mempromosikan adanya Nasion Indonesia yang terdiri dari berbagai suku. Baginya, orang Tionghoa bisa dianggap sebagai salah satu suku ini, karena banyak dari mereka yang sudah bergenerasi-generasi lahir dan tinggal di Indonesia. Giok Tjhan menentang adanya asimilasi yang kemudian meniadakan identitas budaya seseorang, seperti misalnya mereka yang Tionghoa diharuskan mengganti nama Indonesia (atau nama non-Tionghoa). Justru Giok Tjhan merasa kesatuan Indonesia bisa berhasil bila identitas budaya seseorang diberi kebebasan, namun tetap bersatu dalam nasion Indonesia, yang beraneka ragam. Mungkin inilah wujud dari indahnya percampuran hio dan kemenyan, dan perpaduan antara makam Islam dan kelenteng, yang disaksikan pada masa kecilnya. Ide Giok Tjhan inilah yang diterima Sukarno. Karena itu, pada massa Sukarno tidak ada pemaksaan orang-orang Tionghoa untuk mengganti nama mereka, seperti yang terjadi pada massa Orde Baru. Massa di mana nama-nama Tionghoa harus berganti dengan nama Indonesia. Namun, yang disebut sebagai “nama Indonesia” sebenarnya bisa juga nama-nama Yunani seperti Helena dan Agatha atau nama Arab seperti Ahmad dan Yusron, atau nama India seperti Krishna dan Indra. Nama Indonesia yang dimaksud Orde Baru adalah nama yang tidak kedengaran TIonghoa. Politik adu-domba pemerintah kolonial Belanda berlanjut pada masa Orde Baru, sebuah ideologi wijkenstelsel yang ditentang oleh Giok Tjhan sampai akhir hayatnya. Betapa pada masa Orde Baru, impi Giok Tjhan akan persatuan bangsa telah dikhianati oleh pemerintah Indonesia sendiri. 265 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching G30S Sebagai ketua BAPERKI, Siauw Giok Tjhan cukup dekat dengan beberapa tokoh komunis, termasuk Aidit. Tapi hal ini tidak berarti Siauw selalu setuju dan mendukung PKI. Siauw tidak jarang terlibat konflik dengan Aidit, dan bahkan pada ulang tahun PKI yang ke 45, Siauw mengritik Aidit yang datang dengan berpakaian menteri. Siauw merasa bila Aidit ada pada acara ulang tahun tersebut, seharusnya ia tidak hadir sebagai menteri tapi sebagai bagian dari partai. Memang, Siauw merasa beberapa pimpinan PKI menjadi terlalu elitis dan lebih mementingkan posisi dalam pemerintahan. Dalam bidang ekonomi, walaupun sangat terkesan de ngan ide Karl Marx, Giok Tjhan mencoba mencari perpaduan antara sosialisme dan kapitalisme, karena ia merasa ekonomi Indonesia tidak akan cepat berkembang tanpa adanya perpaduan ini. Tapi ide ini mendapat banyak tentangan dari beberapa tokoh PKI, yang berkeras menerapkan sistem sosialisme.Justru Giok Tjhan, yang bukan PKI dan yang pernah ditentang idenya oleh PKI, akhirnya dituduh sebagai PKI oleh rezim Suharto setelah G30S meletus. Peristiwa G30S digambarkan oleh Siauw sebagai kekuatan luar negeri yang ingin menggulingkan Sukarno dan menghancurkan gerakan kiri dan hal ini, membangkitkan gerakan anti Tionghoa. Berjuta manusia tak berdosa dibunuh, dipenjara dan disiksa oleh tentara Suharto, termasuk menteri-menteri dan politikus pendukung Sukarno. Siauw Giok Tjhan adalah salah satunya. Begitu juga papa saya, yang tak saya ketahui banyak aktifitasnya. Saya hanya tahu, papa saya sempat bekerja pada sebuah Koran yang dianggap kiri. Lalu, ada kisah lain: bahwa papa saya sempat membantu beberapa organisasi yang dianggap kiri. Penangkapan papa yang mempertemukan saya, anak bungsu Giok Tjhan (Tiong Djin) 266 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching dan mama suatu ketika. Sayang sekali, papa saya sudah tiada, ketika saya bertemu Tiong Djin. Bila tidak, pasti akan banyak kisah yang terkuak tentang penangkapan papa & Giok Tjhan, serta massa-massa mereka di penjara Surabaya. Giok Tjhan di Mata Mama Dan Giok Tjhan ternyata telah dikenal oleh mama saya, sebagai pejabat yang rendah hati yang masih menyempatkan membantu orang-orang muda yang ingin melanjutkan studi mereka. Salah satu orang itu, adalah mama saya. Mereka yang Tionghoa, biasanya dikirim ke sekolah berbahasa Mandarin. Tapi, ketika lulus SMA, para siswa ini kebingungan, karena tidak ada Universitas Tionghoa. Universitas kebanyakan menggunakan bahasa Indonesia. Dalam berbagai kesibukannya dalam dunia politik, Giok Tjhan masih menyempatkan diri membantu para pelajar, untuk bisa melanjutkan studi mereka. Siauw Giok Tjhan dibantu oleh adiknya, Siauw Giok Bie, untuk memberi para pelajar ini pelatihan bahasa Indonesia serta mengikuti tes persamaan, agar bisa diterima di Universitas. Mama saya, adalah salah satu orang tersebut. Mama sempat bertemu Siauw Giok Bie, dan berkat bantuan Giok Bie, mama berhasil melanjutkan kuliahnya di Universitas Baperki, yang bisa berdiri atas jasa Siauw Giok Tjhan juga. Namun, manusia luar biasa ini harus terbuang oleh ne gerinya sendiri. Dengan predikat ET (Eks Tapol) setelah bebas dari penjara, Giok Tjhan tidak mungkin bisa bergerak bebas lagi. Ha nya berkat bantuan Adam Malik, sahabatnya yang cukup dekat, Giok Tjhan diijinkan untuk berobat ke Belanda. Di Belanda, Siauw dengan aktif menyuarakan tentang pentingnya penegakan HAM dan sempat mengumpulkan dana untuk para eks-tapol 267 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Soe Tjen Marching dan keluarganya. Namun, kegiatan kemanusiaan ini yang justru membuat passportnya dicabut oleh KBRI, sehingga ia tak bisa pulang lagi. Ia meninggal dalam pengasingan. Saya hanya bisa berandai: kalaupun ada yang berniat menyebut nama Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia saat itu, tentunya akan dicatat sebagai salah satu kriminal yang hampir setara dengan Aidit atau Njoto. Karena Suharto memusuhi merekamereka yang sungguh-sungguh ingin berjuang demi rakyat. Tapi, hal yang sangat menyakitkan bagi saya, ketika tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menobatkan mertuanya sendiri, Sarwo Edhie, sebagai pahlawan nasional. Padahal, Sarwo Edhie terlibat dalam pembunuhan massal tahun 1965-67 di Indonesia. Dialah yang menjadi komandan para jagal di masa itu, dengan menghasut rakyat jelata untuk ikut serta membunuh mereka yang dituduh PKI. Saya tidak begitu setuju dengan gelar kepahlawanan (karena hal ini biasanya akan mengultuskan individu), tapi kalau gelar ini masih harus dipertahankan, manusia seperti Siauw Giok Tjhan berjuta kali jauh lebih pantas mendapatkannya daripada mahluk seperti Sarwo Edhie. 268 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Masa Depan Siauw Giok Tjhan Bonnie Triyana1 Demokrasi di Indonesia sedang dipertaruhkan. Persoalannya bukan terletak pada prosedur demokrasi, misalnya penyelenggaraan pemilihan umum secara rutin, melainkan esensi dari demokrasi itu sendiri yakni kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Baru-baru ini, atas nama penghematan biaya dan menghindari intervensi asing (sic!), DPR mengesahkan UndangUndang Pilkada yang menghapus pemilihan kepala daerah secara langsung. Setelah mendapat banyak kritik, Presiden SBY buru-buru menerbitkan Peraturan Perundang-Undangan (Perppu No 1/2014) yang membatalkan Undang-Undang Pilkada. Sehingga pemilihan kepala daerah bisa dilakukan secara langsung seperti sediakala. Namun, penerbitan Perppu itu pun masih berada di ujung tanduk. Mengingat bisa saja DPR periode 2014-2019, yang dikuasai koalisi pembela Prabowo menolak pemberlakuan Perppu. Ketika makalah ini ditulis, komposisi DPR (2014-2019) yang baru saja dilantik merupakan “kelanjutan” dari DPR Koalisi Merah Putih periode 2009-2014. Ada potensi untuk membatalkan pemberlakuan Perppu Presiden tersebut. Sehingga pelaksanaan pemi lihan kepala daerah secara langsung kembali terancam tak bisa dilanjutkan pada periode mendatang. Padahal pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud pelaksanaan demokrasi di Indonesia 15 tahun belakangan ini. Hal yang sama merupakan buah dari pembaruan politik yang dilakukan semenjak kejatuhan rezim kediktatoran Suharto pada 21 Mei 1998. 1 Bonnie Triyana adalah pemimpin redaksi Majalah Historia, Jakarta. 269 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Sebagai buah manis reformasi politik, pemilihan kepala daerah secara langsung ternyata melahirkan sosok-sosok pemimpin yang memberikan harapan baru bagi masyarakat Indonesia. Hal lain yang juga penting untuk dicatat adalah kesempatan yang setara bagi setiap orang untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin, tanpa memandang suku, agama dan rasnya. Salah satu contoh sosok terbaik dari hasil pemilihan langsung itu adalah Basuki Tjahja Purnama alias Ahok. Lelaki kelahiran Belitung keturunan Tionghoa itu kini sedang mendapat banyak perhatian. Bukan karena ketionghaannya, tapi juga karena gaya kepemimipinan dan prestasinya yang mengundang banyak pujian (juga cercaaan). Tanpa pemilihan langsung, kecil kemungkinan orang seperti Ahok bakal terpilih sebagai kepala daerah. Dia minoritas: seorang keturunan Tionghoa dan non-muslim, namun memimpin DKI Jakarta yang mayoritas muslim. Ahok menjadi contoh bahwa kualitas kepemimpinan tak ada hubungannya dengan latar belakang agama dan rasnya. Terpilihnya Ahok adalah langkah awal dari sebuah lompatan besar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Namun belakangan ini muncul gugatan dari sebagian kecil kelompok antidemokrasi agar dia mundur dari jabatannya sebagai gubernur. Alasannya tentu saja sudah bisa diduga: dia “Cina-Kafir” yang tak diperkenankan memimpin. Dan tuntutan-tuntutan tersebut, bukan kebetulan, mencuat seiring dengan munculnya gagasan usang agar pemilihan kepala daerah dilakukan kembali oleh DPRD. Pemilihan lewat DPRD dikhawatirkan bakal menutup kemungkinan terpilihnya pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Lebih jauh lagi, menutup peluang bagi orang seperti Ahok (dan mereka yang memiliki latar belakang minoritas) untuk bisa bertarung secara setara di dalam sebuah pemilihan langsung 270 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana yang demokratis. Kekhawatiran pun mulai merebak: apakah ini akhir dari masa reformasi yang berhasil menghantar rakyat Indonesia ke alam demokrasi? Apakah ini kabar suram bagi upaya penghapusan diskriminasi dalam politik dan ganjalan untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang pluralis serta multikultural? Masih mungkinkah gagasan-gagasan Siauw Giok Tjhan tentang “integrasi wajar” (baca: multikulturalisme) yang dikemukakan sejak awal 1960-an bisa diterapkan? Strategi apa yang musti diterapkan agar bangsa Indonesia bisa melepaskan warga Tionghoa? Melacak Jejak Sejarah Problem Rasisme di Indonesia Dari sejarah kita bisa melihat beberapa peristiwa rasisme yang terjadi pada warga Tionghoa. Mereka selalu jadi sasaran amuk massa dan tindak kekerasan dengan berbagai alasan di baliknya. Sejak zaman kolonial, etnis Tionghoa dipisahkan dari kehidupan warga pribumi melalui politik segregasi sosial pemerintah kolonial. Berdasarkan Regering Reglements 1854, masyarakat jajahan digolongkan menurut ras dan kebangsaannya. Warga Tionghoa menjadi warga kelas kedua di atas warga pribumi (Inlanders) dan di bawah warga kulit putih (Europeesch). Jauh sebelum pemberlakuan peraturan tersebut, warga Tionghoa pun telah mengalami tindak kekerasan dalam peristiwa di Batavia 1740 dan pembatasan aktivitasnya melalui peraturan wijkenstelsel 1816. Pemberlakuan berbagai peraturan yang membatasi hak warga Tionghoa itu pada kenyataannya semakin menjadikan mereka teralienasi dari kehidupan masyarakat jajahan. Ia seakan menjadi komunitas “sang liyan” yang didesain untuk tetap berjarak dengan warga pribumi. Kendati ada interaksi kultural (melalui kesenian dan kebudayaan), warga Tionghoa diperlakukan melulu 271 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana sebagai “mahluk ekonomi” penghasil duit bagi penguasa. Menurut sejarawan Didi Kwartanada dalam makalahnya “Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern: Refleksi Seorang Sejarawan Peranakan” mengatakan bahwa golongan Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara atau ‘mesin pencetak uang’ baik oleh raja maupun penguasa kolonial. Keadaan demikian semakin memperumit hubungan masyarakat karena ditandai oleh berbagai pandangan minor (stereotype) dari warga pribumi terhadap warga Tionghoa yang dianggap hidup ekslusif dan bergelimang kekayaan. Padahal kondisi yang dialami warga Tionghoa bukan semata datang dari dalam dirinya, melainkan hasil dari kebijakan pemerintah kolonial. Kelak kebijakan tersebut turut membentuk pola hubungan kekuasaan dengan warga Tionghoa.2 Maka saat terjadi perubahan politik dan transisi kekuasaan, komunitas Tionghoa selalu terseret ke dalam peristiwa yang tak pernah mereka harapkan: tindak kekerasan. Pada 1946 misalnya, setahun berselang setelah proklamasi kemerdekaan, sejumlah warga Tionghoa di Surabaya tewas dalam kerusuhan rasialisme. Pada 1965, dalam proses transisi kekuasaan (baca: perebutan kekuasaan) dari Presiden Sukarno ke Soeharto, warga Tionghoa menjadi sasaran kekerasan massa anti PKI. Lantas pada 13-14 Mei 1998, beberapa hari menjelang mundurnya Soeharto, warga Tionghoa kembali jadi korban kekerasan. Tionghoa Masa Awal Kemerdekaan dan Era Sukarno Kemerdekaan Indonesia memberi harapan baru bagi 2 Pada masa kolonial, warga Tionghoa diposisikan sebagai middle man atau perantara khususnya dalam urusan ekonomi. Desain masyarakat jajahan yang timpang, rasis dan diskriminatif tersebut turut pula membentuk citra warga Tionghoa sebagai kelas ekslusif yang teralienasi dari masyarakat di sekitarnya. 272 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana seluruh rakyat Indonesia akan terbentuknya suatu masyarakat yang berkeadilan dan setara. Dalam pidatonya pada 1 Juni 1945, Sukarno telah mengemukakan bahwa nasion Indonesia berdasar kepada prinsip-prinsip nasionalisme modern yang tak memandang pada kesukuan, ras, warna kulit dan agama.3 Dengan mengutip Ernest Renan, Sukarno dalam pidatonya itu mengatakan bahwa sebuah bangsa bersatu mendirikan negara atas dasar hasrat untuk hidup bersama. Hal itu semakin mengukuhkan kontrak sosial pertama 28 Oktober 1928 bahwa bangsa Indonesia diikat oleh bahasa (mindscape) dan tanah air (landscape) yang satu. Liem Koen Hian4 yang turut dalam sidang BPUPK (Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan) pun bersetuju dengan usulan Sukarno. Warga Tionghoa menyatakan diri bagian yang satu dengan suku bangsa lainnya untuk sama-sama meleburkan diri menjadi sebuah bangsa yang baru: bangsa Indonesia. Bersamasama menyelenggarakan sebuah negara yang dilandasi semangat persatuan dan kesetaraan. Persoalan kewarganegaraan Tionghoa memang sudah menjadi bahan perdebatan di dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP). Siauw Giok Tjhan, sebagaimana pula Tang Ling Djie, mengusulkan sistem pasif berdasarkan prinsip ius soli. Dengan sistem ini, semua orang Tionghoa yang lahir di Indonesia secara otomatis menjadi warga negara Indonesia. Namun Sunario dari PNI, kelak menjadi menteri luar negeri, menentang ide tersebut. Dia mengusulkan sistem aktif: setiap 3 Pada pidato 1 Juni 1945, Sukarno sempat bertanya mengenai posisi warga Tionghoa yang disebutnya kosmopolitan, tak mengakui eksistensi nasion-state. Namun Liem Koen Hian menyatakan bahwa warga Tionghoa turut setuju dengan apa yang disampaikan Sukarno mengenai konsep nasionalisme modern yang menjadi dasar berdirinya Indonesia. 4 Liem Koen Hian adalah tokoh Tionghoa terdepan yang berada di gerakan nasionalisme Indonesia. Penulis di koran Mata Hari dan pendiri Partai Tionghoa Indonesia (PITI) di mana Siauw Giok Tjhan menjadi anggotanya sejak muda belia. 273 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana warga Tionghoa wajib mengajukan permohonan sebagai warga negara Indonesia dan menyatakan tak lagi jadi warga Tionghoa. Usulan ini menjadi perdebatan panjang sampai berujung ke perjanjian dwikewarganegaraan antara pemerintah Tiongkok dengan Indonesia. Isinya antara lain tetap berlaku dengan sistem aktif. Peraturan yang berbau rasialis belum berhenti di sana. Pada 1950, hanya berselang lima tahun sejak pidato Sukarno 1 Juni 1945 yang terkenal itu, Kabinet Djuanda atas usul Sumitro Djojohadikusumo, meluncurkan program Ekonomi Benteng. Program ini bermaksud mengubah struktur ekonomi kolonial yang memberi porsi peran besar kepada warga Tionghoa. Saat itu pemerintah hanya memberikan izin impor kepada pengusaha pribumi demi meningkatkan peran mereka di lapangan ekonomi. Pada kenyataanya, pengusaha pribumi tak memiliki pengalaman berbisnis dan jaringan internasional sebagaimana rekan-rekan Tionghoa mereka. Alih-alih bisnis importir murni berbekal izin resmi pemerintah, pemilik izin diam-diam menjual izinnya kepada pengusaha Tionghoa. Sehingga sudah rahasia umum kalau hubungan yang terjalin kerap diolok sebagai “BabaAli”, Ali (pribumi) punya lisensi, Baba yang jalankan kongsi. Program ekonomi ini pun tak berhasil sepenuhnya mengubah struktur ekonomi warisan kolonial.5 Malah kembali melanggengkan apa yang terjadi di masa kolonial dengan menjadikan warga Tionghoa sebagai “mesin penghasil uang” bagi kekuasaan dan kroni-kroninya. Tekanan terhadap warga Tionghoa semakin menguat saat Mr. Asaat Datuk Mudo, mantan pejabat Presiden RIS berpidato pada kongres Importir Nasional Seluruh Indonesia di Surabaya, 19 5 Studi tentang program ekonomi Benteng telah dilakukan oleh Yahya Muhamin dalam Bisnis dan Politik: Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 1950-1980 (Jakarta, LP3ES). 274 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Maret 1956. Dalam kesempatan itu dia menuduh warga Tionghoa bersikap ekslusif dan monopolistis dalam berdagang. Sehingga tak memberikan celah sedikit pun bagi warga pribumi untuk berdagang. Pidato tersebut mendorong lahirnya “Gerakan Assaat” yang menghendaki “pribumiisasi” di dalam bidang ekonomi. Pada 14 Mei 1959 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 10 yang melarang warga Tionghoa berdagang di wilayah pedesaan. Di sejumlah daerah, terutama di wilayah Jawa Barat, peraturan tersebut diterapkan dengan paksaan. Salah satu peristiwa yang cukup terkenal adalah peristiwa Cibadak, di mana ratusan warga Tionghoa diusir paksa di bawah todongan senjata. Bahkan di Cimahi, Jawa Barat, tentara dilaporkan menembak mati dua perempuan warga Tionghoa. PP 10/1959 tersebut lagi-lagi bukan solusi ampuh untuk mengatai problem ekonomi dalam negeri Indonesia. Bahkan, senada dengan Leo Suryadinata, kebijakan tersebut lebih terlihat sebagai produk hukum yang rasis ketimbang regulasi yang hendak menata bidang ekonomi secara berkeadilan. Dari beberapa kebijakan tersebut kentara sekali kalau pemerintah Indonesia di bawah Sukarno tak sempat melakukan telaah mendalam atas keberadaan warga Tionghoa di Indonesia. Sehingga, mengutip Charles Coppel dalam Tionghoa Indonesia dalam Krisis, sebelum 1960 pemerintah Indonesia tak pernah berkesempatan untuk merumuskan suatu kebijakan menyeluruh berkenaan dengan minoritas Tionghoa. Dalam soal regulasi kewarganegaraan misalnya, Coppel berpendapat peraturan yang dihasilkan “bersifat sementara, dan tidak merupakan bagian dari suatu kebijakan mengenai masalah Tionghoa secara terkoordinasi.” 275 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Menjadi Indonesia ala Siauw Giok Tjhan Menariknya, pada zaman di mana peraturan yang bernuansa rasis itu silih berganti diterbitkan, dialog mengenai kewarganegaraan etnis Tionghoa bisa dilakukan secara bebas. Organisasi seperti Baperki dan LPKB bisa berdiri dan mengambil peran aktif di dalam masyarakat dalam rangka mengupayakan munculkan kesepahaman mengenai hubungan antar etnis di tengah masyarakat Indonesia. Tokoh-tokoh Tionghoa seperti Ong Eng Die, Tan Po Goan, Yap Thiam Hien, Oei Tjoe Tat, dan Siauw Giok Tjhan mengambil peran aktif di bidang politik untuk memperjuangkan gagasannya. Secara garis besar ada dua konsep kewarganegaraan yang diperdebatkan saat itu, yakni asimilasi total versus integrasi wajar. Konsep asmilasi total digagas oleh kelompok LPKB di bawah Kristoforus Sindhunata (Ong Tjong Hay). Konsep ini berangkat dari ide Onghokham dalam tulisannya di mingguan Star Weekly yang menghendaki agar golongan minoritas melebur ke dalam golongan mayoritas dengan jalan menghilangkan berbagai identitas kultural yang melekat pada diri warga Tionghoa, mengubah nama salah satunya. Asimilasi mendorong dilakukannya perkawinan campur antara suku-suku bangsa di Indonesia. Asimilasi total juga harus dii ringi oleh integrasi di bidang ekonomi dan politik.6 Ong mengambil contoh apa yang terjadi di Filipina, di mana orang-orang Cina di sana telah sejak lama kawin mawin dengan penduduk lokal dan berhasil menghapus batas-batas etnisitas yang ada. Agaknya, lahirnya gagasan asimilasi total itu berkaitan erat dengan berbagai peristiwa yang dialami warga Tionghoa pada 6 Siauw Tiong Djin, Siauw Giok Tjhan: Dalam Pembangunan Nasion Indonesia (Lembaga Kajian Sinergi Indonesia: Jakarta, 2010) Hlm. 343 276 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana periode 1950-an. Ditambah lagi dengan peraturan-peraturan berbau rasial yang dikeluarkan pemerintah pada periode yang sama. Sehingga ide asimilasi total lebih terlihat sebagai solusi instan untuk mengatasi problem hubungan warga Tionghoa dengan pribumi ketimbang satu konsep ideal tentang sebuah masyarakat multikultural yang berdiri di atas prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan. Sementara itu Siauw Giok Tjhan, tokoh yang menjadi tema pembahasan seminar ini, datang dengan gagasan “integrasi wajar”. Sebuah konsep yang memandang bahwa seorang Tionghoa tak perlu menghilangkan identitas kultural yang dibawanya dan tak perlu merisaukan ciri-ciri etnis yang tampak pada fisiknya. Karena ukuran kesetiaan seseorang pada negerinya tak bisa diukur dari ciri-ciri fisik yang dibawa sejak lahir. Siauw masuk akal ketika mengatakan bahwa Indonesia lebih menyerupai sebuah nasion ketimbang bangsa. Karena bangsa seringkali diasosiasikan kepada ras, yang berpotensi ditafsirkan kepada penghuni asli kepulauan Nusantara yang justru bakal merusak pengertian nasion itu sendiri. Menurut Siauw, ras mengacu pada definisi biologis sementara nasion merujuk pada satu kelompok manusia yang merupakan kesatuan karena ciri-ciri politik.7 Pemikiran tersebut senada dengan gagasan Sukarno yang disampaikannya pada 1 Juni 1945. Sukarno mengatakan bahwa Indonesia adalah negeri “semua untuk semua”, yang tidak membatasi diri pada satu agama, golongan dan kelompok etnis tertentu. Dalam pidatonya di Kongres Baperki, Maret 1963, Sukarno mengatakan “Saya sendiri menanya diri saya kadangkadang. He Sukarno, apa kowe iki bener-bener asli? Ya engkau 7 Ibid Hlm 351 277 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana itu dianggap asli Indonesia. Tetapi apakah saya betul-betul asli itu? Mboten sumerep. Saya tidak tahu, saudara-saudara.” Sukarno lantas menyarankan kepada peserta kongres “berjuanglah agar supaya hilang perkataan ini,” katanya mengacu pada wacana asli dan asing. Persoalan yang membuat ide integrasi wajar ini tak kunjung bisa direalisasikan adalah suasana politik yang diwarnai pertikaian antara kelompok kiri (baca: PKI) dengan kelompok anti-komunis. Dalam domain perdebatan kewarganegaraan Tionghoa ini, Baperki sering disebut-sebut sebagai kelompok kiri yang berafiliasi pada PKI. Sementara itu pengusung asimilasi total, yakni LPKB, diasosiasikan sebagai kelompok kanan anti-komunis. Diskusi yang jernih mengenai sejauh mana kedua konsep tersebut bisa lebih realistis diberlakukan di tengah masyarakat tertutup oleh kontestasi politik yang mengiringinya. Maka ketika peristiwa G30S 1965 meletus, tamat sudah riwayat perdebatan dan diskusi ihwal kedudukan warga Tionghoa di dalam masyarakat Indonesia. Warga Tionghoa kembali menjadi sasaran tindak diskriminasi dan target kekerasan bernuansa rasial sepanjang tahun 19651969. Tuduhan Tiongkok ada di belakang peristiwa pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pertama Angkatan Darat itu semakin memperburuk perlakuan terhadap warga Tionghoa. Ribuan orang harus eksodus dan mereka yang tergabung di dalam organisasi-organisasi kiri dibunuh dan ditahan tanpa pernah diadili, sebagaimana yang menimpa Siauw Giok Tjhan. Boleh dikatakan berakhirnya kekuasaan Sukarno sekaligus mengakhiri polemik gagasan yang memperjuangkan terbentuknya masyarakat multikultural. Organisasi seperti Baperki dilarang dan ide-idenya dianggap berbahaya dan diidentikan dengan komunisme. 278 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Warga Tionghoa di Zaman Orde Baru dan Masa Reformasi Studi tentang keberadaan warga Tionghoa semasa Orde Baru sudah banyak dilakukan.8 Pada masa Suharto ini, warga Tionghoa tidak diperkenankan menunjukkan identitas dan tradisi kulturalnya. Pertunjukan barongsai yang biasa dimainkan pada saat hari besar warga Tionghoa dilarang oleh pemerintah. Peraturan diskriminasi yang berdasar pada UU No. 62/1958, seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dilanggengkan praktiknya. Keterlibatan warga Tionghoa ke dalam politik pun sangat terbatas. Tak seperti di masa sebelumnya, di mana berbagai kelompok Tionghoa bisa terlibat aktif di dalam politik untuk membicarakan nasib dan kedudukannya di tengah masyarakat Indonesia, pemerintah Orde Baru tak memperkenankan secara terbuka peran Tionghoa di dalam politik. Yang menarik kendati berbagai peraturan yang diskriminatif tetap ada, pemerintah Orde Baru mempromosikan modal Tionghoa dalam banyak industri: perbankan, asuransi, real estate, perkebunan, dan manufaktur. Sejumlah pengusaha bermunculan, sebagian karena kedekatannya dengan Presiden Soeharto. Yang ternama adalah Liem Sioe Liong, atau yang juga dikenal dengan nama Sudono Salim.9 Beberapa taipan kelas atas yang dekat dengan kekuasaan mendapatkan banyak fasilitasn untuk membesarkan usahanya. 8 Beberapa studi tentang kaum Tionghoa semasa Orde Baru antara lain dilakukan oleh Valina Singka dalam Hubungan bisnis Cina dan politik di Indonesia pada masa orde baru : studi kasus Summa-Astra dan Barito Pacific Group (Tesis FISIP UI). Karya Benny G Setiono, Tionghoa dalam Pusaran Politik (Elkasa, Jakarta:2003) juga membahas hubungan penguasa dengan kaum minoritas Tionghoa di masa Orde Baru. 9 Budi Setiyono, Majalah Historia edisi Jejak Naga di Nusantara. 279 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Bukan rahasia lagi jika Presiden Soeharto dikelilingi banyak konglongmerat yang memegang banyak porsi kegiatan ekonomi di Indonesia. Kedekatan ini tak serta merta dibarengi dengan upaya untuk menghapus praduga rasial di kalangan masyarakat. Ada anggapan pula kalau pemerintah Orde Baru semata menempatkan kelompok Tionghoa sebagai “economic animal” yang bisa sewaktu-waktu diperas. Corak pemerintahan yang anti demokrasi serta otoritarian tak memberikan banyak kesempatan bagi terciptanya ruang-ruang dialog dan diskusi menyoal posisi warga Tionghoa di tengah masyarakat. Pada masa Orde Baru pula tercatat ada sekitar delapan produk perundang–undangan yang sangat diskriminatif secara rasial terhadap etnis Tionghoa, yakni:10 1. Instruksi Presidium Kabinet RI No. 37/U/IN/6/1967 tentang Kebijaksanaan Pokok Penyelesaian Masalah Cina 2. Surat Edaran Presidium Kabinet RI No. SE-36/Pres/Kab/6/1967 tentang Masalah Cina 3. Instruksi Presiden No.14/1967 tentang Agama, Keperca yaan, dan Adat istiadat Cina 4. Instruksi Presiden No.15/1967 tentang Pembentukan Staf Khusus Urusan Cina 5. Instruksi Mendagri No. 455.2-360 tentang Penataan Klenteng 6. Keputusan Kepala Bakin No. 031/1973 tetang Badan Koordinasi Masalah Cina 7. SK Menteri Perdagangan dan Koperasi No. 286/1978 tentang Pelarangan Impor, Penjualan, dan Pengedaran Terbitan dalam Bahasa dan Aksara Cina 8. Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02/SE/Di tentang Larangan Penerbitan dan Pencetakan Tulisan/Iklan 10 http://www.tionghoa.info/diskriminasi-etnis-tionghoa-di-indonesia-padamasa-orde-lama-dan-orde-baru. Diakses, 29 September 2014. 280 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana Beraksara dan Berbahasa Cina Selain peraturan yang sifatnya diskriminatif, pada masa Orde Baru juga terjadi beberapa kali kerusuhan berlatarbelakang rasial. Sejak 1967, warga Tionghoa selalu jadi korban kekerasan. Pada 1974, ketika Peristiwa Malari terjadi, ribuan warga Tionghoa di Jakarta jadi korban. Pada 1980 juga terjadi kerusuhan rasial di Solo dan Semarang. Puncaknya adalah peristiwa 13-14 Mei 1998 di Jakarta, di mana ribuan warga Tionghoa jadi korbannya. Kasus kerusuhan terakhir terjadi menjelang kejatuhan Soeharto. Sampai saat ini masih begitu banyak versi yang beredar menyoal siapa orang yang ada di belakang kerusuhan tersebut. Namun satu yang pasti, korbannya adalah warga Tionghoa. Peristiwa tersebut menyisakan luka yang dalam di kalangan warga Tionghoa sekaligus memunculkan sejumlah persoalan yang ternyata tak kunjung terselesaikan sejak lama. Beruntung pada zaman Gus Dur berkuasa sebagai presiden, dia melakukan berbagai terobosan menyangkut keberadaan warga Tionghoa di Indonesia. Gus Dur membuka keran kebebasan bagi warga Tionghoa untuk mengeskpresikan identitas kultural mereka melalui kegiatan seni dan budaya yang selama masa Orde Baru dilarang. Tak lama ini, Presiden SBY baru saja menerbitkan sebuah keputusan tentang penggunaan istilah Tionghoa untuk mengacu kepada masyarakat Cina di Indonesia dan Tiongkok untuk merujuk kepada negeri Cina. Ini salah satu tonggak penting yang perlu diapresiasi karena selama berpuluh-puluh tahun sebutan “Cina” pada masyarakat Tionghoa bermakna peyoratif dan menunjukkan penghinaan rasialis. Dalam masa reformasi ada banyak kemajuan, namun pula masih ada beberapa kelompok yang menggunakan isu rasialis sebagai komoditi politik. Contoh paling terbaru adalah isu 281 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana sentimen rasial yang diembuskan kepada pihak Jokowi sebagai calon presiden dalam Pemilu 2014 yang baru saja berlangsung di Indonesia. Dengan menggunakan media sosial dan cetak11, kelompok anti-Jokowi menyebut kalau calon presiden itu keturunan Tionghoa yang beragama Kristen. Dalam masyarakat yang demokratis dan menghargai keberagaman, tentulah isu tersebut dianggap angin lalu. Namun penggunaan isu itu oleh lawan politik Jokowi menujukkan fenomena bahwa sentimen anti-cina masih begitu kuat di kalangan masyarakat. Beberapa lembaga survey12 mengatakan bahwa kampanye hitam tersebut berhasil menurunkan tingkat keterpilihan (elektabilitas) Jokowi di beberapa daerah, khususnya di Jawa Barat dan Timur. Agar Siauw Giok Tjhan Tetap Relevan David Hollinger (1995) membedakan multikulturalisme dalam dua jenis, pertama: “model pluralis” yang memperlakukan kelompok sebagai sesuatu yang permanen dan sebagai subyek dari hak-hak kelompok (groups right). Kedua, “model kosmopolitan” yang mengidealkan peleburan batas-batas kelompok, afiliasi ganda dan identitas hibrida; yang menekankan hak-hak individu (Individual rights).13 Mengacu pada pengalaman di Amerika Serikat dengan 11 Dua orang wartawan, Setiyardi dan Dharmawan Sepriyosa dinyatakan sebagai tersangka oleh kepolisian karena melanggar Undang-Undang Pokok Pers No 40/1999. Pengacara Tim Jokowi mengatakan semestinya dua orang wartawan ini dikenakan pelanggaran pasal 16 UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan Etnis. Tempo.co, 16 Juni 2014 12 Lembaga Survey Indonesia (LSI) menyebutkan serangan kampanye hitam bernada rasialis menurunkan suara Jokowi. Sumber: tribunnews.com, 26 Juni 2014. 13 Bonnie Triyana, Eddie Lembong: Mencintai Tanah Air Sepenuh Hati (Penerbit Buku Kompas: Jakarta, 2011) Hlm. 26-27 282 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun “melting pot”-nya, Hollinger Bonnie Triyana lebih mengidealkan model kosmopolitan. Menurutnya, model ini memberi fleksibilitas kepada individu untuk menentukan seberapa ketat atau seberapa cair ikatannya dengan salah satu atau pelbagai komunitas. Dengan demikian identitas bukanlah suatu hal yang fixed, melainkan senantiasa dalam proses menjadi.14 Berbagai pemikiran tentang masyarakat multikultural itu bisa berkembang dalam kondisi di mana masyarakat telah memiliki kesepahaman yang tinggi dan negara menjalankan hukum secara tegas dan konsisten. John Rawls (1980) mengatakan sumber persatuan negeri multikultural adalah apa yang disebutnya sebagai suatu konsepsi bersama tentang keadilan.15 Maka iklim demokratis menjadi syarat penting bagi terciptanya masyarakat multikultural yang dalam istilah Siauw Giok Tjhan disebut integrasi wajar itu. Dalam iklim demokratis yang terjaga dengan baik, ruang-ruang publik untuk mendiskusikan wacana multikulturalisme semakin terbuka. Masyarakat sipil yang kuat dan kebebasan pers diharapkan mampu secara terus menerus merawat hubungan antar etnis dari sebuah negeri yang multikultural seperti di Indonesia. Sudah saatnya pula para tokoh muda Tionghoa ambil peran aktif di dalam kegiatan politik sehingga bisa turut mewarnai jalannya arena politik di republik serta turut dalam pengambilan keputusan penting. Pendidikan sejarah pun menjadi penting untuk mengatasi problem diskriminasi yang kerap mendera warga Tionghoa. Lewat pengajaran sejarah, generasi muda bisa belajar mengenai peran penting warga Tionghoa di masa lalu. Sumbangan warga Tionghoa bagi pembangunan nasion-state Indonesia melalui sastra, bahasa 14 Ibid 15 Ibid 283 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana dan pers harus disampaikan agar timbul pemahaman bahwa saudara Tionghoa mereka bukanlah datang untuk bertamu, melainkan ada di negeri ini untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama sebagai orang Indonesia. Media Sosial dan Penyebarluasan Gagasan Multikulturalisme Perkembangan dalam teknologi informasi yang semakin pesat, seperti merebaknya penggunaan media sosial akhirakhir ini, menjadi peluang untuk terus menyuarakan gagasangagasan masyarakat yang multikultural berbasiskan keadilan dan kesetaraan. Indonesia adalah pengguna facebook dan twitter terbesar ketiga di dunia. Jutaan orang terhubung melalui media sosial. Tak jarang pula media sosial digunakan justru sebagai alat penebar sentimen rasialisme seperti yang pernah terjadi pada masa kampanye pemilihan presiden yang lalu.16 Lemahnya pemberlakuan hukum17 bagi para penebar kebencian itu mau tak mau harus dilawan lewat media serupa. Twitter, misalnya, telah berhasil digunakan untuk menggalang aksi demonstrasi menentang rezim Hosni Mubarak di Mesir. Oleh karena itu media sosial menjadi media alternatif untuk membagi gagasan dan menjalin komunikasi dengan pengguna media sosial lainnya yang datang dari berbagai latar belakang etnis. Media sosial kini menjadi semacam ruang publik alternatif untuk membawa (dan mendiskusikan) problem-problem sosial di 16 Akun-akun anonim seperti @TrioMacan2000 atau @Ronin memiliki jumlah follower mencapai ribuan dan kerapkali menebarkan kampanye sentimen rasialisme lewat twitter. 17 Kendati ada UU ITE, namun seringkali pelaku penyebaran sentimen rasialis di media sosial jarang bisa diseret ke pengadilan. Seringkali penyebarluasan kebencian itu dilakukan atas nama kebebasan menyampaikan pendapat, kendati tentu saja hal itu adalah salah kaprah. 284 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Bonnie Triyana alam nyata ke dunia maya. Beberapa waktu terakhir ini, pengguna media sosial di Indonesia aktif menggalang aksi untuk mencegah agar para legislator di parlemen tidak mengesahkan UU Pilkada melalui DPRD. Setelah gagal mencegah, gerakan pun berubah dengan menuntut SBY untuk segera membatalkan UU tersebut melalui Perppu. Untuk sementara berhasil, karena sebagaimana telah disebutkan di atas, Presiden SBY menerbitkan Perppu No 1/2014 yang membatalkan UU Pilkada. Media sosial menjadi penting sebagai medium kritik yang pada tahap tertentu diharapkan bisa merawat demokrasi yang kini sedang berjalan di Indonesia. Tanpa adanya demokrasi yang memberikan kesempatan yang setara kepada setiap individu untuk dipilih dan memilih, maka pemimpin seperti Ahok kecil kemungkinan bakal terpilih, betapapun integritas pribadinya dan kualitas kepemimpinannya di atas rata-rata. Organisasi-organisasi seperti INTI, Gema INTI atau organisasi lain yang memiliki perhatian pada isu multikulturalisme seyogianya menggunakan media sosial untuk membagi ide, menjalin interaksi dan membuka ruang diskusi lebih luas kepada publik. Inilah revolusi teknologi informasi yang belum hadir semasa Siauw Giok Tjhan hidup. Dan inilah masa depan Siauw Giok Tjhan: saat di mana gagasan integrasi wajar bisa diuji dan disebarluaskan melalui media sosial untuk menciptakan masyarakat Indonesia yang bisa saling menghargai terhadap keunikan dari masing-masing kelompok etnis yang ada di dalamnya. Saat di mana setiap tindakan diskriminasi bisa segera diresponse melalui gerakan sosial yang berawal di dunia maya. 285 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara Mengenang Siauw Giok Tjhan Pejuang Kemerdekaan Indonesia Harry Bhaskara1 Kalau saja Siauw Giok Tjhan masih hidup, ia akan menyongsong peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke 68 ini dengan hati berbunga-bunga. Betapa tidak, begitu banyak hal yang ia perjuangkan telah menjadi kenyataan. Indonesia hanya mengenal satu macam kewarganegaran dengan hak dan kewajiban yang sama. Tak ada lagi pembagian “asli” atau pribumi dengan non-pribumi. Kemanunggalan komunitas Tionghoa dengan rakyat Indonesia juga makin nyata dengan banyaknya anggota komunitas ini yang berkiprah didalam masyarakat. Contoh terakhir adalah Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama yang menjadi wakil gubernur Jakarta. Larangan terhadap kebudayaan Tionghoa sudah dihapus. Bagi Siauw hal ini hanya membenarkan pandangannya bahwa kebudayaan tak bisa dimusnahkan. Sama seperti alam Indonesia yang kaya, perbedaan kebudayaan berbagai suku di Indonesia adalah sebentuk kekayaan. Siauw yang meninggal tahun 1981 adalah seorang wartawan pejuang yang kemudian duduk dalam berbagai bidang legislatif dari KNIP sampai MPRS dan menjadi menteri dalam kabinet Amir Syarifuddin. 1 Harry Bhaskara adalah mantan Managing Editor Jakarta Post. Ia kini bermukim di Australia, sebagai koresponden harian Kompas. Ia adalah fellow dari Asia Research Centre, Murdoch University, Perth dan Graduate School of Journalism, University of California, Berkeley, dan East West Center, Hawaii. 286 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara Siauw bahkan memperjuangkan agar Tionghoa diterima sebagai suku sendiri, sebagaimana didukung oleh Sukarno, presiden pertama Indonesia, karena orang Tionghoa di Indonesia memiliki budaya sendiri yang khas yang berbeda dengan orangorang Tionghoa di negara lain termasuk di Tiongkok sendiri. Namun naskah-naskah tulisan yang ditinggalkannya beberapa tahun sebelum meninggal, termasuk “Lima Jaman”, membuktikan bahwa perjuangannya meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan komunitas Tionghoa. Dari naskah-naskah tersebut nyata bahwa obsesi utamanya adalah membasmi kemiskinan rakyat dan membangun Indonesia yang gemilang. Siauw Giok Tjhan adalah ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) ketika peristiwa G30S meletus pada tahun 1965. Seperti banyak pemimpin dan anggota organisasi yang dianggap sealiran dengan Partai Komunis Indonesia, ia ditahan selama 12 tahun. Namun setelah ditahan tanpa pernah dibuktikan kesalahannya ia tidak merasa getir terhadap Indonesia, tutur Dr. Siauw Tiong Djin, putranya yang ditemui di Melbourne. “Ia memang selalu berpikir positif dan optimis,” tutur Tiong Djin, tokoh masyarakat Indonesia dan pengusaha yang berhasil di Melbourne. Adalah almarhum Daniel Lev dari Amerika dan almarhum Herb Feith dari Australia, dua ahli terkemuka dan pencinta Indonesia, serta Go Gien Tjwan, teman seperjuangan Siauw, yang mendorong Tiong Djin untuk membuat buku riwayat hidup ayahnya. “Kamu punya pengalaman langsung,” begitu kira-kira ucapan Lev pada Tiong Djin yang pindah ke Melbourne ketika ia masih kelas tiga SMA sekitar 40 tahun lalu. 287 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara Buku berjudul “Siauw Giok Tjhan Dalam Pembangunan Nasion Indonesia” selesai ditulisnya tahun 1998 sebagai tesis PhDnya di Universitas Monash. Tiong Djin kemudian juga mengedit naskah-naskah terakhir Siauw yang diterbitkan oleh Lembaga Kajian Sinergi Indonesia tahun 2010 dalam sebuah buku berjudul “Renungan Seorang Patriot Indonesia: Siauw Giok Tjhan”. Menurut Tiong Djin, sumbangan komunitas Tionghoa dalam sektor ekonomi cukup besar sejak zaman penjajahan Belanda. Sumbangan ini mencakup pembentukan jaringan distribusi antara desa dan kota maupun antar kota; pembentukan jaringan retail; transportasi dan penggilingan beras. Dalam bidang politik dan kebudayaan, komunitas Tionghoa diketahui sudah lama aktif dalam dunia penerbitan seperti suratkabar dan buku-buku. “Sebagian besar surat kabar dan majalah berbahasa Indonesia pra- kemerdekaan dijalankan dan dimodali oleh komunitas Tionghoa,” tuturnya. Penyebar-luasan berita tentang aspirasi para pejuang kemerdekaan Indonesia dilakukan oleh beberapa surat kabar terutama Sin Po, Matahari dan Sin Tit Po. “Kedua suratkabar terakhir ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Partai Tionghoa Indonesia (PTI),” tambahnya. Dr. David Hill, professor dan kepala Studi Asia di Murdoch University, Perth, mengatakan banyak orang Tionghoa yang ikut mendukung pergerakan kemerdekaan Indonesia. “Yang jelas, cukup banyak organisasi serta pemimpin masyarakat Tionghoa yang muncul pada awal kemerdekaan untuk menyatakan dukungannya pada gerakan tersebut,” tuturnya. Seperti Tiong Djin, Hill yang juga dikenal sebagai pemerhati pers Indonesia, mengatakan peranan masyarakat Tionghoa 288 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara sangat terkenal di bidang media. “Wartawan ataupun editor yang berperan penting antara lain adalah Inyo Beng Goat dengan koran Keng Po,” tambah Hill. Peran ini kemudian diteruskan di zaman kemerdekaan oleh orang-orang seperti P.K. Oyong dengan Kompas, tambahnya. “Tanpa masukan dan sumbangan pikiran, kepemimpinan, dan tenaga dari orang2 seperti mereka itu, sulit membayangkan media cetak Indonesia berkembang seperti yang kita lihat sekarang,” tuturnya. Sejalan dengan itu, Hill mengatakan, sumbangan komunitas Tionghoa juga besar terhadap perkembangan bahasa Indonesia. “Kalau kita lihat ciri-ciri bahasa Indonesia sekarang, jelas mencerminkan kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa, baik dalam bahasa baku maupun bahasa lisan yang informal,” tambah Hill yang di Australia gigih memperjuangkan kelangsungan pelajaran bahasa Indonesia baik di sekolah maupun di universitas yang terus tergerus sejak lebih 10 tahun terakhir. “Kata-kata yang berasal dari bahasa Tionghoa cukup banyak, antara lain, kakak, kecap, kue, kuli, lihai, lobak, loténg, tahu, teh, dan teko,” tuturnya. Pendapat Hill didukung oleh Dr. Ian Chalmers, dosen senior dalam Studi Asia dan Hubungan Internasional di Curtin University, Perth. “Saya kira sudah diterima oleh kebanyakan sejarawan bahwa masyarakat Tionghoa Indonesia mengawali gerakan kemerdekaan dengan kegiatan di bidang budaya, dengan mempromosikan pemakaian bahasa Indonesia,” tuturnya pada Kompas. “Yang menarik, perubahan pada tingkat kesadaran dan visi masa depan tersebut justru mendahului perubahan pada tingkat politik dengan meningkatnya kepercayaan diri kelompok- 289 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara kelompok tertentu di dalam masyarakat Tionghoa,” tuturnya. Mungkin karena banyak masyarakat Tionghoa terlibat dalam dunia bisnis, tambah Chalmers, maka mereka sudah terbiasa memakai bahasa Melayu “Jadi tidak mengherankan bila banyak usaha pers untuk pertama kali dimulai ataupun dikerjakan oleh wartawan keturunan Tionghoa,” tutur Chalmers. Tiong Djin menambahkan, lahirnya PTI telah mendorong partisipasi komunitas Tionghoa dalam kancah perjuangan nasional. Tokoh-tokohnya antara lain Liem Koen Hian, Tan Ling Djie (sekjen Partai Sosialis, wakil sekjen PKI di zaman Musso, ketua PKI setelah peristiwa Madiun hingga dikup oleh Aidit Cs pada tahun 1951), Tjoa Sik Ien, Oei Gee Hwat (yang dibunuh bersama Amir Syarifuddin pada tahun 1948) dan Siauw Giok Tjhan. Menurut Tiong Djin, keteguhan sikap ayahnya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia terbentuk di PTI. Sikap itu antara lain adalah menerima Indonesia sebagai tanah air komunitas Tionghoa; komunitas Tionghoa di Indonesia adalah bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia; Tiongkok dan Belanda bukan pilihan hidup komunitas Tionghoa dan jalan keluar jangka panjang untuk komunitas Tionghoa adalah terwujudnya negara Indonesia yang merdeka. “Keteguhan ini juga bersandar atas paham Marxisme yang di zaman itu menjadi “the in thing” – melawan kelaliman dan penindasan. “Belanda berada di pihak penindas, pemeras. Rakyat Indonesia adalah pihak yang harus dibela dan dibebaskan dari belenggu penjajahan dan penindasan.” Keteguhan sikap berkembang pula karena kian mendekatnya hubungan Siauw dengan para tokoh nasionalis lainnya, sebelum Jepang masuk dan selama Jepang menduduki 290 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara Indonesia dari 1942 hingga 1945, tambah Tiong Djin. “Di awal kemerdekaan, bersama tiga tokoh PTI, Liem Koen Hian, Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien, Siauw ikut memformulasi tuntutan komunitas Tionghoa dalam pembahasan bentuk negara merdeka Indonesia melalui Liem Koen Hian yang yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). “Ekses-ekses revolusi yang merugikan komunitas Tionghoa dilihatnya sebagai ekses dan proses yang memerlukan pendidikan politik. Oleh karena itu Siauw aktif di Partai Sosialis dan secara kebetulan diangkat sebagai pimpinan penerangan Partai Sosialis (1946-1948).” Melalui pers dan penerbitan buku-buku bacaan, komunitas Tionghoa secara tidak langsung membantu perkembangan bahasa Indonesia, tambah Tiong Djin, dimulai dari bahasa yang dinamakan Tionghoa-Melayu. “Akan tetapi, pada hakekatnya bahasa Indonesia berkembang justru karena pers dan buku-buku yang diterbitkan komunitas Tionghoa,” tutur Tiong Djin. Tiong Djin memberi jawaban menarik ketika ditanya tentang sikap para pejuang Indonesia terhadap pejuang Tionghoa. “Yang progresif dan matang seperti Sukarno, Hatta, Yamin, Amir Syarifuddin, Sjahrir, Sutomo dan lain-lain menerima komunitas Tionghoa sebagai aliansi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. “Akan tetapi cukup banyak yang melihat Tionghoa sebagai aliansi Belanda karena memang ada kelompok yang bersikap demikian, yang dipimpin oleh Chung Hua Hui. “Juga banyak yang menganggap Tionghoa sebagai komunitas apatis, yang maunya hanya berdagang dan hidup enak. 291 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara “Oposisi dari komunitas Tionghoa sendiri berat. Mereka menganggap anjuran Siauw Giok Tjhan tidak tepat. “Siapa yang percaya bahwa Indonesia bisa melawan Belanda? Dan siapa yang menganggap Indonesia lebih baik sebagai sandaran dibandingkan dengan Tiongkok, one of the big Five di PBB? “Hingga tahun 1950-an, pandangan Siauw tidak diterima oleh sebagian besar komunitas Tionghoa.” Bagaimana sikap Belanda terhadap komunitas Tionghoa? “Belanda selalu menjalankan politik ‘divide and rule’. Tionghoa dipakai sebagai alat ampuh dalam menjembatani usaha dagang Belanda dan rakyat - terutama dalam bidang retail dan distribusi. Juga sebagai wakil mereka dalam bidang perkebunan di berbagai lokasi bahkan diberi pangkat mayor, kapten dan letnan. “Tapi pada hakekatnya tidak diterima sebagai Belanda dan dijadikan perisai dalam menghadapi kemarahan rakyat. “Tentunya mereka khawatir dengan kehadiran PTI yang mengandung gerakan politik menunjang gerakan kemerdekaan,” tutur Tiong Djin. Lalu, apakah yang ditinggalkan Siauw bagi Indonesia? Menurut Tiong Djin warisan utama Siauw adalah kewarganegaraan Indonesia bagi sebagian besar komunitas Tionghoa. “Tanpa perjuangan Siauw pada tahun 1950-an dalam membatalkan RUU kewarganegaraan 1953/1954, sebagian besar komunitas Tionghoa kini berstatus asing. “Warisan lain adalah komunitas Tionghoa menerima ajakan Siauw untuk menerima bahwa Indonesia adalah tanah airnya, bukan Tiongkok. Dan menerimanya dengan prinsip integrasi, bukan assimilasi yaitu menjadi Indonesia tanpa menghilangkan ciri-ciri etnisitas dan kebudayaan Tionghoa.” 292 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Harry Bhaskara Siauw meninggal karena serangan jantung di negeri Belanda, dimana ia menjalani pengobatan setelah masa penahanan, ketika berjalan kaki melintasi sebuah jembatan untuk menjadi pembicara sebuah diskusi mengenai Indonesia dengan para intelektual Belanda. Kepergiannya bak sebuah metafora bahwa generasinya adalah sebuah jembatan menuju Indonesia yang gemilang. 293 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Lagi Dikenal Candra Jap1 Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada segenap keluarga besar Siauw Giok Tjhan, segenap panitia acara 100 tahun Siauw Giok Tjhan serta para alumni Universitas Res Publica (Ureca) yang telah memberikan kesempatan untuk menuliskan pandangan saya sebagai anak muda tentang Siauw Giok Tjhan. Sungguh sebuah kehormatan yang tidak terkira. Semua bermula pada awal April 2014 lalu, beberapa hari setelah Pengurus Pusat GEMA INTI (Generasi Muda Indonesia Tionghoa) menyelenggarakan Diskusi Terbuka 100 Tahun Siauw Giok Tjhan di Sekretariat Perhimpunan INTI, Jakarta. Pak Tan Swie Ling menghubungi saya melalui telpon, beliau menjelaskan saat ini ia dengan beberapa teman sedang menyiapkan materi untuk menerbitkan buku 100 Tahun Siauw Giok Tjhan. Dan saya sebagai anak muda diminta untuk ikut membuat tulisan juga tentang Siauw. Waktu itu saya langsung mengiyakan saja, karena sungkan dan tidak berani menolak permohonan beliau. Pertanyaan saya kepadanya waktu itu hanya satu, “Kapan deadline-nya, pak?”. Padahal dalam hati, saya agak bingung karena jujur saja saya sendiri masih terbata-bata mengenal sosok Siauw. Siauw yang saya kenal hanya melalui tulisan dan cerita yang dikisahkan oleh para alumni Ureca yang kebetulan banyak bersentuhan langsung di Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi, di mana saya menjadi salah satu pengurus aktifnya. Akhirnya saya memutuskan tulisan yang nanti akan saya 1 Candra Jap adalah salah satu pemimpin Gerakan Muda INTI 294 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap buat adalah sebuah tulisan mengenai pandangan anak muda masa kini tentang Siauw Giok Tjhan. Tidak akan terlalu banyak membahas tentang sisi historis ketokohan dan perjuangannya, karena saya sendiri tidak mengenal dan berinteraksi dengan pribadinya langsung. Apalagi tentang perjuangan dan pergerakan politiknya, saya rasa para sejarawan akan lebih paham dan detil dalam menuliskannya. Layaknya menulis sebuah tulisan tentang seorang tokoh, hal pertama yang saya lakukan adalah membuat sebuah survey kecil tentang Siauw. Ini saya lakukan salah satunya juga karena saya dihinggapi rasa kekuatiran. Kalau-kalau tulisan yang nanti saya buat akan menjadi tidak objektif, karena saya dekat sekali dengan beberapa pengikut Siauw yang menjadi pengurus di Perhimpunan INTI dan Beasiswa Pelangi. Semua cerita yang saya dengar tentang Siauw selalu tentang kisah kehebatannya khususnya cerita heroiknya dalam mendirikan Ureca. Tetapi pada perjalanannya, kekuatiran tersebut berubah menjadi sebuah rasa miris yang bahkan boleh dibilang sebagai ironi yang menyedihkan. Siauw Giok Tjhan, pendiri Baperki dan Universitas Res Publica (Ureca). Seorang tokoh besar di masa lalu yang memberikan warisan pemikiran tentang kebangsaan untuk Indonesia dan etnis Tionghoa khususnya. Namanya sekarang menjadi sangat asing di telinga anak-anak muda Indonesia, sedikit sekali yang mengetahui bahkan mengingat tentang ketokohan dan perjuangan besarnya di masa lalu. Ini berdasarkan hasil survey yang saya lakukan ke beberapa anak muda. Dari 30 orang yang ditanya, hanya 2 orang yang tahu siapa itu Siauw Giok Tjhan. Emang dia siapa, begitu jawab mereka rata-rata yang tidak mengenalnya. Sempat juga di Facebook saya meng-update status bertuliskan, “Siauw Giok Tjhan?”. Seorang teman kecil dari SD lalu malah menuliskan komentar, “Itu nama 295 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap Tionghoa lu ya, Can?”. Ia berpikiran seperti itu karena ada kata Tjhan di belakangnya, yang ia pikir dari nama saya Candra. Rezim Orde Baru tampaknya berhasil betul merobek kisah Siauw dari lembaran catatan perjalanan bangsa Indonesia. Siauw seperti terhapus dalam ingatan sejarah bangsa ini. Walau ada banyak buku dan literatur yang menuliskan kisahnya, tapi keinginan anak-anak muda untuk mencari tahu lebih dalamnyalanya redup saja seperti lampu tempel yang kurang minyak. Theresia Stefanus salah seorang pengurus GEMA INTI ketika diajak berbicara mengenai sosok Siauw yang tidak dikenal oleh generasi sekarang, malah terus terang berkata ya memang tidak ada yang tahu. Kalau bukan anak sejarah atau kuliah di jurusan politik, sepertinya tidak ada yang tahu siapa Siauw kecuali mereka yang aktivis atau melek dan sadar politik. Ia berkaca pada dirinya sendiri sebagai seorang gadis Tionghoa lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia tahun 2009, ia sendiri baru mendengar tentang Siauw Giok Tjhan karena bergabung dengan GEMA INTI tahun lalu. Saya sendiri jika 5 tahun ke belakang ditanya siapa itu Siauw Giok Tjhan, sudah pasti akan geleng kepala dan menjawab tidak tahu. Sebagai anak muda Tionghoa yang kala itu masih berusia 26 tahun dan sedang mencari sosok pahlawan Indonesia dari etnis Tionghoa yang bisa dibanggakan. Saya lebih mengenal sosok Soe Hok Gie dengan segala kisah catatan demonstrannya, ditambah karena menonton film Gie karya Riri Riza dan Mira Lesmana pada tahun 2005. Bagi saya saat itu, sosok Soe Hok Gie luar biasa sekali. Kiprah nya sebagai anak muda Tionghoa aktif dalam dunia pergerakan dan ikut aksi turun ke jalan menumbangkan ‘penguasa’ saat itu, berhasil menyulut rasa nasionalisme saya menjadi bangkit dan bergemuruh berkembali setelah luntur dan kusam akibat 296 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap peristiwa Tragedi Mei 98. Rasanya jadi berani bertepuk dada, bangga sebagai anak muda Tionghoa karena menemukan bukti kalau etnis Tionghoa juga punya tokoh yang berperanan dan ikut andil dalam sejarah Indonesia. Ternyata, belakangan baru saya tahu ada cerita di balik cerita dari kisah Soe Hok Gie kala itu. Bagaimana Soe Hok Gie dan kakaknya Arief Budiman yang berbeda pandangan de ngan Siauw Giok Tjhan tentang masalah politik etnis Tionghoa di Indonesia. Siauw dengan Baperkinya mengusung paham Integrasi, sedangkan Gie dan Arief bersama LPKB (Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa) mengusung paham Asimiliasi. Membaca tulisan Arief Budiman yang berjudul “Siauw Giok Tjhan Yang Tidak Saya Kenal”, dari sana saya mengetahui secara singkat. Kubu Integrasi yang dekat dengan Bung Karno memperjuangkan keanekaragaman budaya atau “multikulturalisme”. Meminta supaya orang Tionghoa diakui sebagai salah satu suku di Indonesia, seperti layaknya suku Jawa, Batak, Minang, dan sebagainya. Budaya Tionghoa juga patut dikembangkan seperti halnya kebudayaan suku lain. Semua kebudayaan ini seharusnya dianggap sebagai kekayaan budaya Indonesia yang berdasarkan pada semboyan Bhineka Tunggal Ika. Sedangkan kubu Asimilasi yang dekat dengan Militer kala itu berbeda pandangan. Bagi mereka, orang-orang Tionghoa di Indonesia tidak bisa disamakan sebagai salah satu suku, karena bukan berasal dari salah satu daerah yang ada di Indonesia tapi dari daratan Tiongkok. Kubu Asimilasi kuatir, kalau budaya dan identitas Tionghoa ini dikembangkan, akan terjadi loyalitas ganda dalam sikap kebangsaan orang-orang Tionghoa ini. Kepada yang mana mereka harus lebih setia, Tiongkok atau Indonesia? Karena itu, kubu Asimilasi menginginkan supaya orang-orang Tionghoa 297 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap menghilangkan identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Perkawinan campur antara orang-orang Tionghoa dan orang-orang pribumi dianjurkan sebagai salah satu usaha peleburan total, badaniah dan rohaniah. Sejarah mencatat akhirnya aksi turun ke jalan Soe Hok Gie bersama mahasiswa dan dibantu Militer kala itu berhasil menurunkan Soekarno dan menaikkan Soeharto sebagai presiden RI kedua. Hal tersebut ternyata memakan banyak korban khususnya orang-orang Tionghoa termasuk Siauw dan kelompok Integrasi yang dianggap dekat dengan Bung Karno. Arief menuliskan Militer yang berkuasa saat itu segera melakukan pembunuhan masal terhadap orang-orang yang dituduh PKI, dan memasukkan mereka ke penjara. Dalam hal kebijakannya, pemerintah militer Orde Baru di bawah Jendral Suharto melakukan tindakan ekstrim. Polemik intelektual antara Baperki dan LPKB tentang posisi warga Tionghoa, akhirnya diputuskan sepihak dan dijalankan paksa dengan bantuan kekuasaan negara. Doktrin Asimilasi bukan saja diterapkan, tapi dilaksanakan secara sangat ekstrim. Pertama, nama orang Tionghoa dianjurkan diganti menjadi nama Indonesia. Kedua, secara resmi istilah Tionghoa diganti menjadi Cina, sebuah istilah yang dianggap menghina untuk orang Tionghoa saat itu. Lalu ketiga, segala bentuk ekspresi kebudayaan Tionghoa dilarang, seperti penggunaan huruf Kanji, perayaan tradisional seperti Tahun Baru Imlek, pertunjukan barongsai dan naga, dan sebagainya. Cuma kawin paksa saja yang tidak dilakukan. Seiring perjalanan waktu menyaksikan kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Suharto terhadap orang-orang Tionghoa di Indonesia, Arief mengakui Asimilasi merupakan sebuah doktrin yang salah. Salah satu hal yang menyadarkannya adalah 298 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap pengalaman ketika belajar di Amerika Serikat selama 8 tahun, yakni dari tahun 1973 sampai 1981. Di sana ia melihat bahwa orang-orang Hitam memperjuangkan identitas budayanya tanpa mengurangi sikap nasionalis mereka. Mereka menganggap diri mereka sebagai orang Amerika. Dengan semboyan “Black is Beautiful,” mereka mempopulerkan kebudayaan Afro-Amerika, dan yang pada akhirnya ikut memperkaya kebudayaan Amerika. Pengalaman di Amerika itu membuat Arief sadar bahwa mempertahankan kebudayaan etnis tetap bisa dilakukan, tanpa menjadi kurang nasionalis. Nasionalisme dan etnisitas bukanlah dua hal yang saling meniadakan, tapi mereka bisa saling berinteraksi dan saling memperkaya. Doktrin ini dikenal dengan nama “multikulturalisme”, yang sedari dulu diperjuangkan oleh Baperki dan Siauw Giok Tjhan. Doktrin yang dulu sangat ditentang olehnya. Membaca tulisan Arief Budiman tentang Siauw, saya jadi teringat sebuah kalimat sederhana “Pengakuan terbaik datang dari seorang musuh atau lawan”. Seseorang dianggap sebagai pemenang sejati ketika lawan yang sebelumnya menyerang habishabisan akhirnya mengakui kekalahannya secara legawa. Melalui tulisannya, Arief secara tulus mengakui bahwa doktrin Integrasi yang diusung oleh Baperki dan Siauw adalah paham politik yang paling tepat untuk orang Tionghoa di Indonesia. Bagi saya pribadi, Siauw Giok Tjhan sosok yang hebat. Walaupun terlahir sebagai minoritas, Siauw telah meresapi dan memaknai secara utuh tentang kebangsaan Indonesia dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perjuangan dan warisan pemikirannya tentang nasionalisme dan integrasi atau multikulturalisme sudah pantas untuk membuatnya sebagai seorang tokoh bangsa, setidaknya ia telah menempatkan pondasi awal tentang penyelesaian masalah politik keberadaan orang 299 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap Tionghoa di Indonesia. Tetapi saat ini harus diakui juga bahwa ketokohan Siauw sulit untuk dikenal atau dicintai oleh anak-anak muda zaman sekarang. Kisah hidupnya tidak seheroik dan sedramatis Soe Hok Gie yang turun ke jalan dan mati muda di Gunung Semeru. Kesederhanaan, keteguhan, kerendahan hati, serta kepintarannya dalam bernegosiasi hanya bisa dinikmati oleh orang-orang yang memang dekat dan bersentuhan langsung dengan dirinya. Sebagai anak muda yang besar di masa Orde Baru, saya sendiri sempat menjadi bagian dari anak-anak muda yang tidak mengenalinya sebagai tokoh besar. Tetapi saya ingin bercerita sedikit mengenai sebuah kisah yang mudah-mudahan bisa membesarkan hati Siauw bahwa ia tetap ada dan tidak dilupakan oleh generasi sekarang. Pada akhir tahun 2011 lalu, salah seorang pendiri Perhimpunan INTI Benny G. Setiono dan Wakil Sekjen Perhimpunan INTI Ulung Rusman meminta saya, Hardy Stefanus dan Jandi Mukianto untuk menghidupkan kembali GEMA INTI yang sudah mati suri beberapa tahun. Tantangan pertama yang kami hadapi saat itu adalah bagaimana membuat sebuah kalimat sederhana yang bisa menjelaskan visi misi INTI secara menarik ke anak-anak muda agar mereka mau ikut bergabung. Bukan perkara mudah mensarikan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perhimpunan INTI yang tebal dan baku menjadi sebuah kalimat sederhana yang menarik untuk anak muda. Setelah sekian lama mencari, jawaban itu akhirnya datang saat bulan Mei 2012 lalu. Ketika dilangsungkannya Reuni ke-7 Alumni Ureca di Hotel Seruni 3, Cisarua, Jawa Barat. Waktu itu kebetulan saya diminta ikut membantu menjadi salah satu panitia. Saya yang datang dengan niat hanya ingin membantu para orang tua bereuni, tanpa memiliki pengetahuan tentang Ureca 300 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap dan Siauw Giok Tjhan yang mendalam, ketika itu seperti mendapat pencerahan dari langit. Siauw Tiong Djin, salah seorang putra Siauw Giok Tjhan malam itu memberikan kata sambutan yang cukup panjang. Saya mendengarkan sambil sepintas lalu karena kesibukan dipanggil ke sana kemari membantu para panitia dan peserta reuni. Tetapi saat Tiong Djin berbicara di bagian Siauw Giok Tjhan dengan Baperkinya, saya kebetulan berdiri di depan dan bisa mendengarkan secara jelas. “Jadi tujuan Siauw Giok Tjhan mendirikan Baperki saat itulah adalah untuk memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia”, begitu ucap Siauw Tiong Djin malam itu. Sepotong kalimat buah pemikiran Siauw Giok Tjhan itu langsung tertanam kuat di otak saya. Inilah jawaban yang kami cari selama ini, memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ketika saya menceritakan hal ini kepada Hardy, ia juga langsung menyukai kalimat tersebut. Sejak saat itu ditetapkan visi misi GEMA INTI secara garis besar adalah memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Dengan kalimat sederhana tersebut, sampai hari ini GEMA INTI terus berkembang dan menjadi semakin besar. Banyak anak muda yang tertarik bergabung karena merasa cocok dengan kalimat berkonsep multikulturalisme itu. Tetapi pada prakteknya di lapangan memang tidak semudah itu untuk meyakinkan anak-anak muda khususnya Tionghoa agar mau bergabung dengan GEMA INTI. Jangankan mengajak untuk memberi penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia, mendengar kata organisasi saja mereka sudah malas duluan. Takut, karena dianggap 301 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap berbau politik. “Ngapain sih ngurusin begituan, mendingan cari duit ajalah” begitu jawaban dari mereka yang kebanyakan lahir pada tahun 80-an. Sangat wajar rasanya jika melihat mereka jadi apatis seperti itu, generasi yang lahir tahun 80-an memang ikut mengalami langsung peristiwa Tragedi Mei 1998. Usia yang kala itu baru beranjak remaja dipaksa melihat dan menerima kenyataan bahwa terlahir sebagai etnis Tionghoa ketika itu adalah sebuah dosa yang tidak terampuni. Orang Tionghoa pantas dijarah, dipukuli, diperkosa, dan dibantai ketika itu. Negara tidak hadir untuk memberikan jaminan rasa keamanan kepada mereka sebagai warga negaranya saat itu, jadi sekarang buat apa mereka peduli dengan negara ini. Wah pantas saja GEMA INTI mati suri, pikir saya saat itu. Warisan pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme sekarang ini tidak bisa diterapkan bulat-bulat begitu saja. Harus mengalami penyesuaian mengikuti perkembangan dan kondisi zaman saat ini. Tantangan yang dihadapi sudah berbeda dulu dengan sekarang. Kalimat visi misi GEMA INTI warisan Siauw, memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian Indonesia, akhirnya kami modifikasi sedikit. Atau diberi tambahan tepatnya, menjadi memberikan penyadaran kepada semua orang baik Tionghoa maupun non Tionghoa bahwa Tionghoa adalah bagian Indonesia. Awalnya kami beranggapan yang perlu diberi penyadaran hanyalah orang-orang non Tionghoa, karena banyaknya penyimpangan sejarah yang dilakukan oleh Orde Baru tentang orang Tionghoa yang perlu diluruskan. Orde Baru menghapus banyak sekali catatan sejarah peranan dan sumbangsih orang Tionghoa dalam ikut mendirikan dan membangun Republik ini sebelum dan sesudah kemerdekaan. Sebab itu kami beranggapan 302 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap bahwa hal pertama yang harus GEMA INTI lakukan adalah memberikan penyadaran kepada orang-orang non-Tionghoa bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia. Ternyata, kami salah. Pekerjaan rumah terbesar dan terberat yang pertama kali harus dilakukan GEMA INTI adalah memberikan penyadaran terlebih dahulu kepada orang-orang Tionghoa bahwa mereka juga adalah bagian dari Indonesia. Bahwa banyak tokoh Tionghoa ikut andil dan berperanan dalam mendirikan Republik ini. Rezim Pemerintah Orde Baru yang telah dengan sengaja menghapusnya dari catatan sejarah bangsa ini, bahkan melakukan diskriminasi terhadap orang Tionghoa dengan berbagai kebijakannya (discrimination by state). Orang-orang Tionghoa juga perlu diberikan penyadaran bahwa diskriminasi terhadap orang Tionghoa sebenarnya sudah dilakukan oleh penjajah Belanda sejak zaman pra-kemerdekaan dengan politik segregasi (pemisahan kelompok ras atau etnis secara paksa). Pemerintah kolonial Belanda saat itu membagi warga negara di Hindia Belanda ke dalam 3 tingkat yaitu orang Eropa; Timur Asing yang meliputi orang Tionghoa, Arab, India maupun non-Eropa lainnya; dan kaum bumiputera atau pribumi. Orang Eropa berada di puncak hierarki tertinggi sebagai warga negara kelas 1. Sementara orang-orang Timur Asing termasuk Tionghoa berada di kelas 2. Sengaja diposisikan berhadapan langsung dengan kaum bumiputera yang berada di bawahnya, jika terjadi kebijakan Belanda yang memberatkan. Siasat Belanda yang memposisikan orang Tionghoa sebagai bemper untuk yang berhadapan langsung dengan kaum bumiputera itulah yang akhirnya menimbulkan kebencian terhadap orang Tionghoa di dalam masyarakat (discrimination by society). Perihal mengenai discrimination by state dan discrimination 303 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap by society inilah yang perlu dan harus diketahui anak-anak muda Tionghoa saat ini. Mereka harus sadar bahwa diskriminasi yang terjadi selama ini terhadap etnis Tionghoa ada asal mulanya. Jika mereka sudah memahami tentang hal tersebut, akan lebih mudah nantinya bagi mereka untuk memaknai pemikiran Siauw tentang konsep nasionalisme dan multikulturalisme. Saya sendiri mendapat pemahaman tentang kedua hal tersebut dari Benny G. Setiono salah seorang pendiri Perhimpunan INTI yang juga alumni Ureca. Kerapkali berdiskusi dan mendampinginya sebagai pembicara tentang masalah Tionghoa ke berbagai daerah membuat saya sedikit banyak jadi paham tentang permasalahan politik etnis Tionghoa di Indonesia. Harus diakui bahwa ia memang salah seorang yang memaknai secara utuh pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme. Selain dengan Benny G. Setiono, pengalaman lain yang berkesan ketika berdiskusi tentang nasionalisme dan multikulturalisme adalah dengan Budi Krisnawan Suhargo (salah seorang tokoh Tionghoa pengurus Perhimpunan INTI) dan tokoh politisi muda PDI-P Maruarar Sirait. Waktu itu di Villa Hutan Jati (proyek social-entrepreneurship berkonsep lingkungan hidup milik Budi di Parungpanjang Bogor), Maruarar Sirait bertanya kepada saya, “Candra, kamu sebagai anak muda Tionghoa apakah merasa terdiskriminasi selama ini hidup di Indonesia? Kalau iya, apa kamu mau nanti 20 tahun yang akan datang anak cucu kamu akan didiskriminasi juga?” Mendapat pertanyaan seperti itu, saya hanya terdiam tidak tahu harus berkata apa, pertanyaannya terasa sangat menohok. Melihat saya yang terdiam, ia pun melanjutkan perkataannya, “Kalau kamu tidak mau itu terjadi, mari kita berjuang bersama-sama agar Pancasila dan nasionalisme selalu menjadi yang terdepan di negeri ini.” Mendengar Pancasila 304 dan nasionalisme untuk Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap menghapuskan diskriminasi, saya lalu bergumam di dalam hati lagi-lagi konsep pemikiran Siauw tentang nasionalisme dan multikulturalisme. Tetapi saya langsung tersadar ini bukan hanya pemikiran Siauw, namun ini pemikiran para founding fathers Indonesia di mana Siauw memang ikut terlibat langsung dalam merumuskannya. Siauw telah secara utuh memaknai, menjalankan, dan memperjuangkan anti-diskriminasi khususnya terhadap etnis Tionghoa dengan paham nasionalisme dan multikulturalisme. Terinspirasi dengan pertanyaan menohok dari Maruarar Sirait tadi, akhirnya pertanyaan tersebut selalu menjadi kalimat pembuka saya ketika ingin menjelaskan tentang GEMA INTI ke anak-anak muda khususnya Tionghoa. “Kalian sebagai anak muda Tionghoa, apakah merasa terdiskriminasi selama ini hidup di Indonesia? Kalau iya, apa kalian mau nanti 20 tahun yang akan datang, anak cucu kalian akan didiskriminasi juga?”. Setelah itu perkataan saya selanjutnya baru sepotong kalimat sakti dari Siauw. “Kalau kalian tidak mau hal itu terjadi, mari kita bersama-sama berjuang melalui GEMA INTI memberikan penyadaran kepada semua orang bahwa Tionghoa adalah bagian dari Indonesia.” Kebanyakan anak-anak muda setelah mendengar penjelasan seperti ini biasanya akan tertarik bergabung dengan GEMA INTI. Jauh di dalam lubuk hatinya mereka masih mempunyai kerinduan dan kecintaan terhadap Indonesia, mereka ikut bangga jika Indonesia berjaya di dunia internasional. Tapi di sisi lain mereka juga sangat bangga dengan ke-Tionghoa-annya. “Saya Tionghoa, saya juga Indonesia. Sebagai anak muda Tionghoa, saya juga ingin berbuat sesuatu untuk negara ini tapi tidak tahu harus ke mana dan bagaimana”, begitu biasanya jawaban dari mereka. Saya, Hardy, Jandi dan beberapa pengurus GEMA INTI yang besar 305 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap di kawasan Pecinan Jakarta juga mempunyai perasaan yang sama seperti mereka. Walau rezim Orde Baru dengan berbagai kebijakan diskriminatifnya telah berhasil dengan sempurna menciptakan rasa ketakutan turun temurun etnis Tionghoa selama 32 tahun. Kami yang dibesarkan dengan warisan rasa trauma yang disebabkan oleh berbagai pelarangan terhadap budaya Tionghoa bahkan sampai tidak bisa lagi berbahasa Mandarin karena orang tua kami ketakutan untuk mengajarkannya, kami tetap cinta Indonesia. Kami bangga dan cinta terhadap Indonesia dengan Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya. Ada kisah menarik mengenai kebhinnekaan tersebut. Beberapa teman non Tionghoa seringkali ingin ikut bergabung dengan GEMA INTI karena tertarik dengan konsep nasionalisme dan multikulturalisme, tetapi mereka takut tidak diterima. “Gua boleh enggak ikut bergabung masuk GEMA INTI? Tapi gua bukan Tionghoa.” Kami tertawa biasanya mendengar pertanyaan seperti itu dan langsung memberi penjelasan. “Ya bolehlah. GEMA INTI terbuka untuk seluruh anak muda Indonesia, tidak hanya untuk orang Tionghoa saja. Namanya juga INTI, Indonesia Tionghoa, Indonesia-nya di depan, Tionghoa-nya di belakang.” Setelah itu biasanya mereka menjawab, “Wah hebat ya. GEMA INTI ternyata berbeda de ngan organisasi Tionghoa yang lain, tidak eksklusif.” Semangat dan jiwa GEMA INTI memang sarat dengan nasionalisme dan multikulturalisme seperti cita-cita Siauw yang ingin menjadikan orang Tionghoa sebagai patriot Indonesia sejati. Tetapi itu tidak serta merta meninggalkan budaya Tionghoa seperti Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh, Makan Bakcang, Festival Kue Bulan, dan Makan Onde. Kami belajar banyak mengenai semua hal tersebut dari PINTI 306 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap (Perempuan INTI) khususnya dari Nancy Widjaja dan Effie Sari yang juga merupakan pendiri Perhimpunan INTI serta alumni Ureca. PINTI yang setiap tahun selalu rutin mengadakan perayaan-perayaan tersebut selalu mengundang dan melibatkan GEMA INTI dalam pelaksanaan acaranya. Sedikit banyak kami akhirnya kembali mengenal tentang budaya Tionghoa tanpa mengurangi rasa nasionalisme kami terhadap Indonesia. GEMA INTI juga seringkali diajak berbakti sosial mengikuti pelayanan medis yang dilakukan oleh dr. Lie Agustinus Dharmawan Ph.D, Ketua Departmen Kesehatan Perhimpunan INTI yang juga salah seorang alumni Ureca. Dr. Lie mengajarkan dan menjadi contoh nyata bagi kami tentang arti pengabdian tanpa pamrih terhadap negara. Ia mendirikan sebuah yayasan bernama doctorShare, lalu dengan uang pribadinya membeli sebuah kapal phinisi yang kemudian diubah menjadi sebuah Rumah Sakit Apung swasta pertama di Indonesia yang modern lengkap dengan kamar bedah di dalamnya. Ia bergerak atas dasar kemanusiaan dan kebanggaan dirinya menjadi orang Indonesia, mencoba memberi jawaban atas ketidakhadiran negara dalam memberikan jaminan kesehatan kepada jutaan warga negaranya yang berada di pulau-pulau terpencil Indonesia. “Orang-orang bilang saya gila ketika pertama kali saya mencetuskan ide Rumah Sakit Apung ini, tetapi keinginan untuk melayani dan kecintaan yang begitu besar terhadap Indonesia yang membuat saya maju terus,” begitu katanya ketika kami tanya mengapa ia begitu berani membuat sebuah Rumah Sakit Apung yang tentunya memerlukan biaya tidak sedikit. Satu lagi rasanya tidak lengkap jika saya tidak menceritakan juga mengenai Program Beasiswa Pelangi. Sebuah program 307 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun beasiswa multikulturalisme untuk Candra Jap siswa-siswi SMA sederajat di Jabodetabek yang tidak mampu. Setelah 3 tahun ini aktif sebagai pengurus Beasiswa Pelangi, saya menyadari bahwa ada semangat Siauw Giok Tjhan dalam setiap nafas kegiatan Pelangi yang memberikan beasiswa kepada setiap siswa-siswi yang tidak mampu tanpa membedakan latar belakang suku, agama, suku, ataupun golongan. Mungkin ini tidak lepas dari banyaknya alumni Ureca yang tercatat sebagai pendiri dan pengurus Beasiswa Pelangi. Kalau tidak salah, Ureca didirikan oleh Siauw Giok Tjhan karena ia menyadari bahwa proses integrasi akan berjalan dengan lancar jika setiap orang mendapatkan pendidikan yang baik. Mungkin semangat dari buah pemikiran Siauw inilah yang melandasi para alumni Ureca seperti Benny G. Setiono, Lim Tjeng Ting, Lim Ko Phing, Lu Ik Kun, Paulus Mulyadi, Wang Tian Xiang, dan Bambang Soedjoko Tan dengan dibantu beberapa anak muda seperti Ulung Rusman, Lisa Suroso, Sofia Tijptadjaja, Abdullah Taruna, dan Jandi Mukianto untuk mendirikan Program Beasiswa Pelangi ketika itu. Saat ini tercatat sekitar 750 anak telah dibantu lepas dari putus sekolah oleh Pelangi sejak didirikan pada 2 Mei 2008 lalu. Saya teringat pada suatu rapat kerja Beasiswa Pelangi, Ulung Rusman yang tercatat sebagai Sekretaris Program Beasiswa Pelangi kala itu mengucapkan suatu kalimat yang sangat menggetarkan. “Teman-teman harus diingat bahwa kita selalu meneriakkan pluralisme dan anti-diskriminasi, bukan berarti kita sebagai minoritas ingin berlindung di balik isu tersebut. Tetapi karena kita sadar sepenuhnya bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.” Pernyataan yang langsung diamini dan disambut dengan tepuk tangan oleh Lim Ko Phing selaku Ketua Program Beasiswa Pelangi dan segenap pengurus Pelangi lainnya yang hadir ketika 308 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Candra Jap itu. Latar belakang Ulung sebagai anak muda Tionghoa yang aktif dalam dunia pergerakan mahasiswa tahun 1998 memang sudah seharusnya membuat diri nya paham dengan konsep nasionalisme dan multikulturalisme. Pada suatu kesempatan, ia juga pernah mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pengagum Siauw. Berbagai kisah di atas yang menceritakan tentang hidup kembalinya GEMA INTI, Beasiswa Pelangi serta interaksi saya dengan para pengikut Siauw dari Tan Swie Ling, Siauw Tiong Djin, Benny G. Setiono, Nancy Widjaja, dr. Lie Dharmawan, serta para alumni Ureca dalam beberapa tahun ini. Pada prinsipnya ingin menyampaikan kepada Siauw Giok Tjhan, bahwa ia tidak perlu berkecil hati di alam sana. Walaupun namanya hampir tidak dikenali oleh generasi sekarang, namun citacita dan pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme di Indonesia tetap ada dan tidak hilang tergerus oleh waktu. Saya rasa ini adalah bentuk penghormatan yang tertinggi untuk Siauw. Apalah artinya namanya terus dikenang tetapi warisan pemikirannya tentang nasionalisme dan multikulturalisme malah dilupakan oleh semua orang. Semoga Siauw sependapat dengan saya dalam hal ini. 309 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin Peran Mingguan Chiao Hsing Shi Xueqin1 Mingguan Chiao Hsing (Majalah SADAR) adalah majalah yang didirikan oleh Siauw Giok Tjhan, tokoh politik peranakan Tionghoa. Sebuah majalah berbahasa Tionghoa yang berusaha memberikan pencerahan pandangan politik pada Tionghoa Indonesia. Ia mulai diterbitkan pada tahun 1954 dan di larang terbit pada tahun 1959. Sekalipun hanya terbit dalam waktu 6 tahunan, tetapi majalah ini telah memainkan peran besar dalam pencerahan pandangan politik untuk Tionghoa Indonesia, mendorong perubahan pemikiran politik Tionghoa Indonesia dan menjernihkan pengertian pada Tionghoa dalam melihat Indonesia. Ia berusaha menghilangkan pandangan rasisme, mendorong pembangunan Nasion Indonesia yang harmonis, melindungi hak politik warganegara Tionghoa Indonesia, dan berperan dalam upaya mempererat Persahabatan Tiongkok dan Indonesia. Mingguan Chiao Hsing yang didirikan Siauw Giok Tjhan pada tahun 50-an ini, telah berperan dalam mendidik Tionghoa Indonesia untuk memiliki kesadaran politik dan menjadi penerang politik bagi Tionghoa Indonesia. Ia menempati posisi yang paling penting dalam sejarah perjuangan politik, khususnya editorial – editorial Mingguan Chiao Hsing dan berbagai tulisan komentar analisa politik yang dimuat di dalamnya. Tidak bisa diragukan bahwa dari editorial dan analisa-analisa politik tersebut, orang bisa mengerti situasi politik internasional ketika itu, situasi politik Indonesia dan sumbangsih Tionghoa di 1 Shi Xue Qin adalah seorang profesor dari Universitas Xia Men dan wakil ketua Akademi Penelitian Pasifik Selatan 310 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin Indonesia. Selain masalah internasional, fokus utama para analisa politik tersebut adalah perkembangan politik Indonesia dan masa depan Tionghoa di Indonesia. Tulisan-tulisan ini menampilkan keteguhan prinsip dan visi politik jauh ke depan. Analisa-analisanya objektif dan bijaksana. Jelas menunjukkan wawasan luas Siauw Giok Tjhan. Isi Mingguan Chiao Hsing sangat padat mencakup banyak bidang terdiri dari editorial, dalam negeri (Indonesia), komentar, Internasional, ulasan politik dalam negeri, masalah pemuda (menyiarkan tulisan dan opini pemuda Tionghoa), kebudayaan Indonesia (penulisan Cerpen dan sajak), sejarah dan ilmu bumi Indonesia, pelajaran bahasa Indonesia, informasi tentang Industri Indonesia, ekonomi dan politik, Laporan tentang Tiongkok dan masalah Tionghoa Indonesia dan lain-lainnya. Sampul majalah lebih banyak berbentuk karikatur politik, sedangkan sampul belakang seringkali memuat lagu-lagu rakyat Indonesia atau lagu-lagu revolusioner Indonesia. Isinya sangat kaya. Layak untuk dibaca untuk memahami masalah Tionghoa Indonesia dan politik internasional, ekonomi politik Indonesia, sejarah dan bumi Indonesia, tradisi budaya dan usaha mempererat hubungan persahabatan Tiongkok-Indonesia secara komprehensif. Mingguan Chiao Hsing disambut hangat oleh masyarakat Tionghoa Indonesia. Jumlah pelanggan banyak, tidak hanya di Jakarta tapi juga tidak sedikit pelanggan dari berbagai pulau di luar Jawa. Untuk mempercepat jangkauan ke luar Jawa, sejak tahun 1958, Mingguan Chiao Hsing dikirim dengan Pos-Udara. Sehubungan peringatan 100 Tahun Siauw Giok Tjhan, saya gembira mengetahui Huakiao asal Indonesia di Hongkong menyelenggarakan Seminar dan gembira memperoleh kehormatan untuk ikut menghadiri dan mengajukan sebuah 311 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun pemikiran dangkal. Makalah ini Shi Xue Qin berusaha menelusuri dan menganalisa Editorial Mingguan Chiao Hsing pada tahun 1958. Mengapa saya memilih Chiao Hsing tahun 1958? Pertama, ke terbatasan waktu dan syarat objektif di mana Mingguan Chiao Hsing yang berada di perpustakaan Universitas Xia Men Akademi South Pasifik tidak lengkap. Kedua, tahun 1958 adalah tahun menentukan setelah Indonesia Merdeka. Indonesia sedang menghadapi pemberontakan separatisme, intervensi luar negeri, menghadapi tantangan serius mempertahankan kedaulatan wilayah negara. Melalui editorial tahun 1958 yang mencerminkan pandangan Siauw Giok Tjhan dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan; melawan intervensi luar negeri; pembangunan nasion Indonesia; mempererat hubungan Tiongkok Indonesia dan penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia, diharap diikuti bersama di dalam seminar ini. Dalam waktu bersamaan, saya ingin menyatakan rasa hormat dan kagum sedalam-dalamnya pada visi politik bung Siauw Giok Tjhan yang memiliki visi jauh ke depan dan melampaui zaman. Ada 42 tulisan yang berbentuk editorial di dalam majalah Chiao Hsing yang terbit pada tahun 1958. Daftarnya sebagai berikut (No 30 dan no 49 tidak ada): No. Majalah Judul Editorial 1/1958 “Menyambut Tahun Baru 1958” 2/1958 “Perjuangan Persatuan Rakyat Indonesia dan Rakyat Asia-Afrika” 3/1958 “Rumor Pembentukan Negara Sumatera” 4/1958 “Perjalanan KSAD di Sumatera dan Negara Sumatera” 5/1958 “Mendorong Sekuat Tenaga Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia” 6/1958 “Bantuan Yang Tulus Tanpa Pamrih” 7-8/1958 “Pemberontak Jalan Ke mana? Menghitung Nasib Ahmad Husein” 9/1958 “Pemerintah Revolusioner Tenggelam dalam Defensif” 10/1958 “Jalan Perundingan Menemui Jalan Buntu” 312 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin 11/1958 “Mengalahkan Siasat Intervensi Dalam Negeri lebih lanjut AS” 12/1958 “Menyoroti Peristiwa Militer Medan” 13/1958 “Harus Mengambil Sikap dan Tindakan Tegas terhadap KMT-Chiang Kai Sek” 14/1958 “Kutuk Klik KMT/Chiang” 15/1958 “Menjawab Tantangan Jaman” 16-20/1958 “Lahirnya Pancasila Dasar Negara” 21-26/1958 “Pekerjaan Kabinet Setelah di Perkuat” 27/1958 “Menjadi Warga Indonesia Yang Mulia” 28/1958 “Perkokoh Persatuan Bangsa: Di depan Kongres ke-5 BAPERKI” 29/1958 “Menentang Tentara AS Mengagresi Libanon” 31/1958 “Pemilihan Umum Dan Komunitas Tionghoa” 32/1958 “Memperbincangkan Terbentuknya Partai Politk Indonesia” 33/1958 “13 Tahun RI : Perjuangkan Masyarakat Adil Dan Makmur, Melancarkan Rehabilitasi dan Konstruksi” 34/1958 “Menghadapi Tahun Yang Penuh Tantangan” 35/1958 “Dengan Tuntas Membersihkan Klik KMT-Chiang” 36/1958 ‘Masalah Investasi Modal Asing” 37/1958 “Mendukung Perjuangan Adil Rakyat Tiongkok” 38/1958 “Pemerintah menempuh jalan Avonturis” 39/1958 “Memperbincangkan Pemerintah Menunda Pemilu” 40/1958 “Hormat Pada Seluruh Angkatan Darat, Laut dan Udara” 41/1958 “Panglima Tertinggi Inspeksi Ketiga Angkatan” 42/1958 “Rakyat Negara Kita Menentang Keras Kompromi” 43/1958 “Beberapa Masalah Gerakan Perdamaian Negeri Kita” 44/1958 “Demokrasi Terpimpin Atau Diktatur Militer” 45/1958 “Ada Kesalahan Dikoreksi, Waspada Jika Tidak ada Salah” 46/1958 “Warisi Tekad Juang Pahlawan, Menyelesaikan Perjuangan Bangsa” 47/1958 “Memperbincangkan Memperpanjang Peperangan Dan SOB” 48/1958 “Masalah Modal Tionghoa” 50/1958 “Sumbangan Demi Perdamaian Dunia” 51/1958 “Pelajaran Nyata” 52/1958 “Perkokoh Persahabatan Rakyat Indonesia Dan Yugoslavia” Para Editorial yang menganalisa masalah politik dalam dan luar negeri yang dihadapi Indonesia, pada pokoknya mengajukan beberapa hal: 1. Dengan Indonesia, teguh mempertahankan melindungi persatuan 313 Kesatuan bangsa Wilayah Indonesia, Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin menentang pemberontakan bersenjata dan gerakan separatisme, menentang subversi kekuatan Barat terhadap dalam negeri Indonesia yang didalangi AS. 2. Memperhatikan mendukung masalah Pancasila demokrasi Dasar di Indonesia, Negara Indonesia, mendukung sistem politik “Demokrasi Terpimpin” Soekarno dalam pembangunan masyarakat adil dan makmur. 3. Fokus pada integrasi Tionghoa, naturalisasi dan masalah partisipasi politik, konsekwen menentang diskriminasi rasial, melindungi hak suku minoritas dan mendorong maju persatuan besar bangsa Indonesia. 4. Mendesak Pemerintah Indonesia mendukung Republik Rakyat Tiongkok dan menentang klik Chiang Kai Sek di Taiwan. Mengutuk klik Chiang Kai Sek yang memberi dukungan dan membantu Pemberontakan Sumatera Utara. 5. Mendorong Persatuan Asia-Afrika, menentang kolonialisme dan Imperialisme dalam agresi militer terhadap negaranegara Asia-Afrika, melindungi perdamaian dunia. Mengingat keterbatasan waktu, makalah ini menyoroti analisa tentang masalah Tionghoa Indonesia yang ada pada Editorial “Mingguan Chiao Hsing” tahun 1958 untuk dipertimbangkan. Ada 5 editorial yang secara khusus memperbincangkan masalah politik, ekonomi dan pendidikan Tionghoa Indonesia dan peranakannya. Editorial No.1/1958 “Menyambut Tahun Baru 1958”, mengharapkan Tionghoa Indonesia dengan menyatakan: “Peranakan Tionghoa Indonesia adalah salah satu suku minoritas dalam bangsa Indonesia, sedangkan Huakiao adalah warga perantau Tionghoa Republik Rakyat Tiongkok. Kita yang tergolong keturunan berdarah Tionghoa, baik warga peranakan Tionghoa maupun Huakiao, tidak peduli sebagai suku bangsa Indonesia 314 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun maupun sebagai warga Shi Xue Qin Diaspora, memiliki kepentingan bersama di Indonesia. Kita semua mengharapkan Indonesia bisa mengikis habis sisa kolonialisme dan berhasil mendapatkan posisi penting di dunia Internasional. Nasib Indonesia berkaitan erat dengan kepentingan kita masing-masing, oleh karenanya kita semua harus memperhatikan dan peduli akan keadaan dan hari depan Indonesia, harus menyumbangkan tenaga dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, perjuangan mencapai demokrasi dan pembangunan masyarakat adil dan makmur.” (1/1958, Hal.2) Pernyataan Editorial “Menyambut Tahun Baru” ini, mendapatkan sambutan positif politikus Indonesia. Wakil Ketua DPR Indonesia, Zainul Arifin di Edisi Khusus Tahun Baru “Mingguan Chiao Hsing”, dalam kata sambutan Menyongsong Tahun Baru menyatakan: “Melalui Mingguan Chiao Hsing, saya mengharapkan seluruh warga Indonesia keturunan Tionghoa, sebagaimana diutarakan dalam Manifes Politik bisa menjadi patriotik sejati, dengan penuh kesadaran ikut memberikan sumbangan pikiran dan tenaga dalam perjuangan bangsa dan memecahkan masalah yang dihadapi.” (Hal.3) Ketua Badan Intelejen Indonesia, Sudibyo menganggap: “Khususnya keunggulan, pengalaman komunitas kemampuan, ketrampilan dan Tionghoa di bidang ekonomi dan perdagangan, bisa dikembangkan dan berperan lebih penting dalam tugas pembangunan.” (Hal.4) Gubernur DKI Jakarta, Soediro juga menyatakan: “Menurut pendapat saya, yang dihadapi bangsa kita sekarang ini, terutama yang dihadapi pendukung dan pembaca setia Mingguan Chiao Hsing, pintu terbuka lebar bagi kalian untuk menggunakan dana, pikiran dan tenaga ikut serta aktif dan berpartisipasi dalam perjuangan membebaskan Irian, membuktikan kehangatan dan 315 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin kesetiaan kalian pada Bangsa dan Tanah air Indonesia!” Sebagai warga Indonesia biasa, seorang pembaca menulis: “menyatakan kesediaan ikut bersama rakyat Indonesia dalam perjuangan merebut kembali Irian Barat!” Siauw dalam editorial “Menyambut Tahun Baru” itu, juga menyerukan: ”Kita semua mengharapkan dipercepatnya proses persatuan bangsa. Di dalam persatuan bangsa itu hanya ada satu hak dan kewajiban yang sama dan adil bagi semua warga negara. Seandainya saja dalam kehidupan sehari-hari kita semua bisa mewujudkan semangat “Bhinneka Tunggal Ika”, maka proses mempercepat kesatuan Bangsa akan terjadi. Setiap warga harus bisa konsekwen untuk tidak mengutamakan etnis keturunan darah, tetapi setiap saat mengutamakan kepentingan Rakyat Indonesia secara keseluruhan. Setiap warga bisa bebas dari pertengkaran mendahulukan keinginan sendiri, bisa mempererat kesungguhan kerjasama, mempercepat pembangunan bangsa tanpa rasisme, tidak saling menyisihkan satu sama lain, hidup bersama dalam masyarakat tanpa rasa takut disingkirkan dan bebas dari kemiskinan” (1/1958, Hal.10). Sepenggal kalimat yang memanifestasikan pandangan politik Siauw Giok Tjhan untuk persatuan bangsa dan kesederajatan bangsa yang adil. Kesederajatan bangsa yang dianjurkan Siauw Giok Tjhan, tidak hanya sederajat bangsa dalam hak politik, tetapi juga kesederajatan budaya untuk setiap suku-bangsa. Menghadapi beranggapan sementara bahwa Tionghoa kebudayaan ketimbang kebudayaan yang Tionghoa Indonesia, atau nilai umumnya lebih unggul kebudayaan Tionghoa lebih tinggi ketimbang kebudayaan Indonesia, Mingguan Chiao Hsing No.5/1958 mengeluarkan editorial berjudul “Sekuat Tenaga Mendorong Gerakan Menguasai Bahasa Indonesia”. Editorial ini berlatar belakang 316 menghadapi keputusan Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Pemerintah melarang Shi Xue Qin anak-anak Warganegara Indonesia bersekolah di Sekolah Tionghoa. Mereka diharuskan bersekolah di sekolah Nasional Indonesia. Banyak Tionghoa menganggap keputusan ini terlalu tergesa-gesa tanpa perhitungan masak. Sangat tidak masuk akal dalam pelaksanaan, sehingga tidak sedikit orang-tua murid warga negara Indonesia menentang dan mengajukan protes keras. Editorial Mingguan Chiao Hsing memberikan analisa objektif tentang arti penting menguasai bahasa Indonesia, “Mengapa anak-anak peranakan Tionghoa tidak tertarik masuk sekolah Indonesia, disebabkan karena mereka beranggapan kebudayaan Indonesia lebih rendah dari kebudayaan Tionghoa, sehingga lebih baik sekolah Tionghoa ketimbang sekolah Indonesia. Pandangan demikian tidak hanya ada di kalangan Huakiao, tetapi juga di kalangan peranakan Tionghoa yang Warganegara Indonesia”. Editorial itu secara tegas menentang pemikiran teori Keunggulan Budayaan ini. Sanggahnya: “Sebagai Huakiao dan peranakan Tionghoa, tentu saja boleh menekankan kebudayaan dan bahasa Tionghoa dari bangsa Tionghoa. Sikap demikian ini sedikitpun tidak bertentangan dengan upaya pemahaman kebudayaan dan bahasa Indonesia”. Kita harus sepenuhnya mendukung pandangan Siauw Giok Tjhan dan kelompok progresif lainnya, berjuang melindungi kebudayaan suku Tionghoa dan memberikan hak yang adil untuk mempertahankan dan mendidik kebudayaan mereka sendiri. Tetapi kita tidak boleh karena keputusan Departemen Pendidikan dianggap tidak masuk akal lalu menentangnya dengan mengabaikan arti penting belajar bahasa Indonesia hanya karena ingin mempertahankan kebudayaan dan bahasa Tionghoa. Editorial lebih lanjut menunjukkan arti penting bagi Peranakan Tionghoa dan Huakiao menguasai bahasa Indonesia, pertama 317 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin “Menguasai bahasa Indonesia sesuai dengan kepentingan vital kita semua. Karena penguasaan bahasa akan memudahkan bagi kita menyesuaikan diri dengan lingkungan. Setelah menguasai bahasa Indonesia dengan baik kita semua bisa langsung membaca koran Indonesia dan mengerti dengan baik ketentuan, peraturan hukum yang dikeluarkan Pemerintah, dan menjadi seirama dengan dinamika bangsa Indonesia. Dengan demikian kita juga bisa lebih mudah dan erat berkomunikasi de ngan orang Indonesia dan peranakan Tionghoa yang sudah tidak lagi bisa bahasa Tionghoa, dan yang lebih penting bisa mengurangi kemungkinan adanya kesalah-pahaman dan kecurigaan.” Kedua, “Dengan menguasai baik bahasa Indonesia kita bisa lebih mudah ikut mendorong hubungan persahabatan Indonesia-Tiongkok. Di Indonesia, seandainya saja peranakan Tionghoa dan Huakiao bisa mengembangkan kemampuan dengan baik yang akan bermanfaat untuk usaha memperkokoh persahabatan IndonesiaTiongkok. Peranakan Tionghoa dan Huakiao harus belajar dan menguasai dengan baik bahasa Indonesia.” Terakhir, Editorial menganjurkan bahwa gerakan belajar bahasa Indonesia akan sangat berperan untuk hari depan peranakan Tionghoa dan Huakiao.. Ia menandaskan bahwa mengabaikan belajar bahasa Indonesia adalah sebuah kesalahan serius. “Perkembangan setahun terakhir ini membuktikan keadaan peranakan Tionghoa dan Huakiao di Indonesia sangat serius. Kalau kita tidak mengubah sikap dalam hubungan kita dengan bangsa Indonesia secara cepat dan efektif, sulit dibayangkan apa yang akan terjadi dengan hari depan kita. Untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan, kita harus membuat rencana bertahap, bahkan segera melaksanakan serentetan tugas. Salah satu langkah yang sangat penting dan berarti adalah mendorong sebisanya gerakan belajar bahasa Indonesia. Kita 318 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin semua harus mengembangkan gerakan belajar bahasa Indonesia secara massal di kalangan masyarakat peranakan Tionghoa dan Huakiao.” (5/1958, Hal.1) Dari sini kita bisa lihat bahwa Mingguan Chiao Hsing adalah penggerak utama gerakan belajar bahasa Indonesia. Sejak akhir tahun 1957 Mingguan Chiao Hsing sudah mulai dengan melangsungkan seksi pelajaran bahasa Indonesia. Seksi ini dibagi dalam 3 bagian: terjemahan berita aktual, istilah dan penelitian terjemahan dan tata bahasa Indonesia. Isi pokok seksi ini dengan sendirinya sa ngat berguna dalam usaha mendorong agar peranakan Tionghoa dan Huakiao belajar menguasai bahasa Indonesia. Siauw Giok Tjhan selalu dengan teguh mendorong Tionghoa Indonesia menjadi Warganegara Indonesia dan di atas dasar persatuan Bangsa mendapatkan perlakuan adil dan sederajat. Dengan judul “Berusaha Menjadi Warganegara Indonesia yang terhormat” Editorial menulis: “... Untuk orang-orang yang tidak bisa kembali ke Tiongkok karena berbagai alasan atau yang ingin tinggal di Indonesia untuk jangka panjang, menjadi warganegara Indonesia adalah jalan yang paling sesuai dengan kepentingan jangka panjang maupun kepentingan diri sendiri. Tindakan ini juga menguntungkan persahabatan Indonesia Tiongkok.” Untuk Tionghoa yang naturalisasi menjadi Warganegara Indonesia, editorial juga tegas mengharapkan: “Huakiao yang sudah menjadi warganegara Indonesia dan juga Peranakan Tionghoa yang menetap tinggal di Indonesia, jangan memisahkan nasib hidupnya dengan rakyat luas Indonesia, … kita sudah seharusnya berjuang di atas jalan yang sama, bersama-sama dengan rakyat Indonesia menciptakan masyarakat yang membawakan kehidupan bahagia dan keindahan bagi kita semua dan diri sendiri. Sebaliknya juga tidak ada alasan untuk 319 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin menuntut “perlakuan istimewa”. Sebagai seorang warga negara Indonesia, kita tidak bisa mengulurkan tangan “meminta” pada Republik Indonesia, tapi bersikap “memberi”. Sebaliknya juga tidak bisa bersikap hanya “memberi” tapi tidak “meminta”. Dengan kata lain, kita tidak bisa semata-mata hanya menuntut Hak tapi tidak melaksanakan kewajiban, juga tidak bisa dituntut kewajibannya saja tanpa diberikan hak yang adil”. Editorial menambahkan: “Oleh karena itu untuk menjadi seorang warganegara Indonesia yang baik, disamping harus mentaati ketentuan aturan kewarganegaraan juga harus siap hidup senasib dengan Rakyat Indonesia, berat sama dipikul ringan sama dijinjing, bersama-sama berjuang mengatasi masalah yang dihadapi dan menjadikan aspirasi rakyat aspirasi kita sendiri. Kita harus melepaskan segenap kehendak diperlakukan istimewa. Kita tidak boleh menganggap naturalisasi sebagai formalitas saja. Sikap demikian adalah sebuah kesalahan besar. Hanya dengan demikian kita bisa menyesuaikan sikap dengan kepentingan pribadi, menguntungkan usaha mendorong maju persahabatan Indonesia-Tiongkok, menguntungkan Republik Indonesia.” Inilah kata-kata tulus yang tak perlu diragukan lagi berdampak positif pada naturalisasi politik dan identitas Tionghoa Indonesia. (27/1958, Hal.2) Patut diajukan bahwa Mingguan Chiao Hsing dengan tegas menyatakan prinsip Tionghoa berintegrasi dengan rakyat Indonesia. Dasar pemecahan masalah Tionghoa Indonesia adalah membasmi diskriminasi rasial dan chauvinisme/nasionalisme yang cupat. Di dalam satu tulisan yang berjudul “Resolusi Masalah Tionghoa Indonesia” di edisi 41/1958, menghadapi Sidang Pleno ke 2 Kongres Ekonomi Nasional Indonesia (KENSI) yang menyatakan kekuatan ekonomi Tionghoa Indonesia lebih kuat dari pribumi. 320 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin KENSI menyodorkan ketentuan “masa peralihan panjang” dengan meneruskan diskriminasi terhadap Tionghoa. Ia mengajukan pula pandangan absurd agar “Kelompok Tionghoa bisa secara sadar menyesuaikan kehidupan bersama Bangsa Indonesia”. Mingguan Chiao Hsing menanggapinya: “Mendasarkan definisi ekonomi kuat dan lemah atas dasar keturunan dan mengaitkannya dengan hak politik warga negara adalah sangat tidak adil dan tidak pantas.” Di samping itu, tulisan di Chiao Hsing ini menyatakan bahwa mengabaikan adanya keaneka-ragaman budaya dan tradisi suku yang berbeda dan juga kepercayaan agama yang beraneka ragam sambil menuntut “Kelompok Tionghoa bisa secara sadar menyesuaikan kehidupan bersama Bangsa Indonesia”, bertentangan dengan tradisi politik dan kebudayaan Indonesia yang berdasarkan “Bhinneka Tunggal Ika”. Tulisan lebih lanjut menyerukan: “Demi mempertahankan persatuan Bangsa Indonesia, kita semua harus belajar lebih keras, berani mengoreksi kesalahan pikiran sendiri, kesalahan langgam hidup dan berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan objektif di Indonesia; Di lain pihak harus bersatu padu, secara aktif menentang pandangan diskriminasi rasial, di dalam satu barisan menentang pikiran chauvinisme, memblejeti, menyingkap dan membasmi secara menyeluruh pandangan diskriminasi-rasial dan chauvinisme, membangun cita-cita perjuangan Revolusi Agustus 1945 dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur”. Keterlibatan Tionghoa Indonesia di bidang politik adalah langkah integrasi yang harus dilalui Tionghoa Indonesia dan Huakiao yang naturalisasi dan juga merupakan keharusan untuk melindungi hak. Editorial Mingguan Chiao Hsing No. 31/1958 yang berjudul “Pemilu dan Warga peranakan Tionghoa Indonesia” membicarakan arti 321 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin penting ikut sertanya Tionghoa Indonesia dalam pemilu, mendesak warga peranakan Tionghoa memperhatikan dan dengan aktif ikut serta dalam pemilihan umum. Editorial menyatakan: “Warga peranakan Tionghoa harus menyadari pentingnya pemilu…, hak memilih tidak hanya semata-mata merupakan hak politik, tapi juga merupakan kewajiban politik yang sakral. Hanya dengan demikian, kita baru bisa secara tepat mengikuti dinamika pemilu, dan bisa memilih pimpinan yang benar-benar mewakili kepentingan rakyat. … Warga peranakan Tionghoa harus berhati-hati, berani dan tepat menentukan pilihan, menampilkan Partai dan tokoh yang bisa mewakili dan memperjuangkan kepentingan bangsa Indonesia.” (31/1958, Hal.1) Editorial ini dengan menunjukkan bahwa ia mendorong Tionghoa Indonesia terlibat dalam politik, berusaha mengubah pandangan Tionghoa untuk menggunakan jalur hukum dan politik memperjuangkan tuntutan dan melindungi hak warga Tionghoa yang sah. Editorial Mingguan Chiao Hsing kerap menyinggung masalah ekonomi yang berkaitan dengan posisi Tionghoa. Perjalanan sejarah menunjukkan bahwa Tionghoa unggul dalam bidang perdagangan dan memainkan peran besar dalam perkembangan ekonomi. Hal ini menyebabkan sementara pejabat pemerintah kanan setelah kemerdekaan bertindak untuk mendiskriminasikan pedagang Tionghoa, demi memperkecil perannya, dengan tujuan menyisihkan pedagang Tionghoa untuk diganti dengan pedagang-pedagang pribumi. Ada dua editorial pada tahun 1958 yang khusus menyinggung masalah ekonomi berjudul: “Ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah kalau tidak ada” dan “Masalah Modal Huakiao”. Yang pertama memperingatkan warga Tionghoa untuk menyimak komentar i Kolonel Tahir, KODAM teritorial I DKI Jakarta 322 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin Raya, yang di hadapan wartawan Antara tentang tuntutan Tionghoa mencapai persamaan hak. Kolonel Taher mengkritik: “Kesamaan Hak yang dituntut warga Tionghoa hanya di bidang ekonomi, sedang di bidang lain sedikit bahkan tidak hendak disamakan. Pertama harus diingat, bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai kewajiban yang sama. Misalnya, boleh dikata sedikit atau bahkan tidak ada terdengar warga Tionghoa bersedia menyumbangkan tenaga mereka dalam Barisan Keamanan Kampung, berkecimpung dalam berbagai kegiatan ketertiban, dll.” Editorial juga menyatakan: “Golongan Tionghoa harus merenungkan perkataan Kolonel Taher itu, dan menganggapnya sebagai sebuah “obat pahit mujarab” atau “kata-kata mutiara”, … Dia tidak menentang tuntutan Tionghoa mencapai persamaan hak dengan warga Indonesia umumnya, tapi yang ia kelukan adalah tuntutan warga keturunan asing berat yang berfokus kepada kesamaan hak dalam bidang ekonomi saja, dan tidak di semua bidang lain. Oleh karena itu Kol. Taher menganggap warga keturunan asing Indonesia hanya bisa “Meminta”, tapi tidak “memberi”. Editorial ini secara positif mendukung ajakan Kol. Taher, “sebagai seruan pada warga Tionghoa Indonesia untuk lebih aktif dalam segala kegiatan politik dan kegiatan masyarakat lainnya. Dan karena ketika itu masyarakat Indonesia sedang bersiaga mengangkat senjata melindungi keamanan dan kedaulatan tanah air, dengan sendirinya warga Tionghoa seharusnya menggunakan kesempatan untuk menunjukkan loyalitas dan kesetiaan pada tanah airnya Indonesia ,….” Editorial akhirnya menandaskan: “sadarlah kalian, di masyarakat Indonesia masih ada sementara orang yang dengki dan rasis terhadap golongan Tionghoa. Oleh karenanya kita harus lebih keras menuntut pada diri sendiri dan selalu introspeksi, 323 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin jadikanlah kata-kata yang menyindir dan kritik pedas sebagai cermin cerah melihat kesalahan sendiri. Selalu bersikap positif, “ada Kesalahan dikoreksi, Waspadalah kalau tidak ada”. Sikap demikian tidak merugikan orang lain sebaliknya menguntungkan diri sendiri.” Editorial ini menunjukkan bahwa masalah paling mendasar pada waktu itu yaitu diprioritaskannya masalah ekonomi, tapi mengabaikan keterlibatan dalam politik dan kegiatan masyarakat lainnya. Ia mendorong komunitas Tionghoa untuk memperhatikan perjuangan politik Indonesia dan usaha menciptakan kesejahteraan sosial masyarakat, sehingga hari depan warga Tionghoa-pun lebih baik. Editorial ini dengan jitu menunjukkan penyakit kronis yang ada dengan kata-kata yang membangun. Editorial yang kedua: “Masalah Modal Huakiao” (48/1958) menganalisa perbedaan sikap masyarakat terhadap modal Tionghoa dan jalan keluar di Indonesia. Editorial beranggapan bahwa ada 2 pandangan yang berbeda. Pertama, “Komprador yang mewakili kepentingan kapitalisme dan imperialisme, berpandangan modal Tionghoa harus disingkirkan. Mereka berusaha keras untuk menggantikan dan mengambil alih berbagai perusahaan yang dikelola Tionghoa untuk kemudian dijadikan milik kapitalis Indonesia nasionalis. Bersamaan dengan itu berusaha keras membatasi bahkan menghilangkan jumlah pengusaha Tionghoa di Indonesia, mengurangi pesaing pengusaha Indonesia nasionalis dalam menjalankan usaha.” Editorial lebih lanjut menyatakan “sekelompok orang ini di satu pihak mewakili kepentingan imperialisme dan selalu berusaha membangkitkan gerakan kerusuhan anti-Tionghoa sebagai tujuan politiknya. Di pihak lain hendak menggunakan berbagai ketentuan pemerintah untuk mengembangkan kekuatan sendiri, meraih keuntungan ekonomi lebih besar lagi.” 324 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin Editorial juga menganalisa pandangan golongan yang mewakili kepentingan rakyat banyak dalam memandang modal Tionghoa, yang beranggapan: “Masalah pokok dan yang harus diutamakan dewasa ini adalah kontradiksi dasar antara rakyat seluruh negeri dengan modal monopoli asing. Modal peranakan Tionghoa dan modal Huakiao harus digunakan sebaik mungkin untuk membangun ekonomi Indonesia. Modal Huakiao sudah dijalankan turun menurun dengan pengalaman dagang yang kaya, dan keuntungan yang didapatkan modal Tionghoa tidak dibawa keluar, jadi merupakan bagian penting modal domestik. Pandangan golongan ini mengusulkan menggunakan modal Tionghoa sebaik mungkin untuk mendorong kemajuan ekonomi nasional sehingga bisa lebih cepat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.” Editorial mengkritik pandangan pertama: “Usaha yang dijalankan tidak membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak. Kebalikannya, hanya memelihara segelintir klas kapitalis komprador menjadi lebih gemuk. Pandangan semacam ini bukan saja membiarkan mayoritas rakyat tetap miskin, tetapi juga membuat kesenjangan sosial yang menimbulkan kerusuhan sosial dan sepenuhnya melanggar komitmen pemerintah Indonesia yang ingin melaksanakan Resolusi Konperensi Asia Afrika: menggalang persahabatan negara-negara Asia Afrika, dan sekaligus mengkhianati harapan dan kepentingan seluruh Rakyat Indonesia.” Editorial lebih lanjut menandaskan: “Pandangan kedua akan berperan mendorong kemajuan masyarakat Indonesia dan kehidupan rakyat Indonesia ke tingkat lebih tinggi. Seandainya Negara bisa dengan bijaksana menggunakan modal dan pengalaman Tionghoa, membantu mereka berkembang, Huakiao dan modal-nya akan menguntungkan usaha pembangunan 325 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Shi Xue Qin nasional dan berguna untuk kepentingan rakyat Indonesia.” Bersamaan dengan itu, editorial juga menyatakan “Pihak pedagang Huakiao harus menyadari pula bahwa mereka sedang menghadapi perubahan zaman, harus pandai menyesuaikan diri dengan perubahan ini dan tidak hanya merindukan masa lalu sambil menuntut lebih banyak demi kebaikan hari depannya. Mereka harus realistik dalam menuntut perlindungan, membantu pembangunan nasional rakyat Indonesia. Ini adalah jalan keluar bagi modal Huakiao.” Melalui Editorial-editorial Mingguan Chiao Hsing 1958 yang berkaitan dengan masalah peranakan Tionghoa, kita bisa mengenal dengan baik upaya Siauw Giok Tjhan dalam mempersatukan peranakan Tionghoa dengan Bangsa Indonesia dan konsepnya berintegrasi dengan bangsa. Pada tahun 50-60an telah berkibar tinggi panji nasionalis Indonesia, teryutama ketika perang dingin memanas. Siauw yang berpandangan jauh dengan tepat mendasarkan pandangannya atas sejarah dan menyodorkan visi politik jauh ke depan, visi yang berkaitan dengan keterlibatan Tionghoa dalam politik dan ekonomi Indonesia. Apa yang ia anjurkan memiliki dampak yang sangat berpengaruh. Layaklah ia menjadi seorang tokoh dan pemimpin yang menyadarkan komunitas Tionghoa Indonesia. Walaupun waktu sudah lewat sekian lama dan lembaran sejarah sudah membuka halaman baru, pemikiran Siauw Giok Tjhan tetap memperkuat integrasi Tionghoa Indonesia dalam bangsa Indonesia. Pikirannya masih tetap membimbing pengintegrasian Tionghoa dalam tubuh bangsa Indonesia. Dengan makalah singkat ini kita memperingati 100 Tahun Siauw Giok Tjhan! 326 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai Siauw Giok Tjhan Siap Berkorban Demi Kepentingan Negara, Pantang Mundur Menghadapi Kesulitan Dan Penderitaan Huang Shu Hai1 Judul di atas mengungkapkan dua aspek sosok Siauw Giok Tjhan. Itulah perjuangan Siauw Giok Tjhan yang bercahaya gemerlapan. Siauw Giok Tjhan mendapatkan pujian tinggi dari khalayak. Ada yang menyanjung beliau sebagai pahlawan bangsa Indonesia, pemimpin terkemuka Tionghoa Indonesia, politikus gerakan masyarakat, ahli pendidikan, akademikus dan masih banyak lagi. Namun saya berpendapat, berkaitan de ngan usaha gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia, demi kemajuan pembangunan demokrasi, perjuangan seumur hidupnya yang dilakukan demi keadilan dan kemakmuran Indonesia, akan lebih tepat dinyatakan beliau adalah “seorang pejuang setia yang mencintai Tanah air dan Rakyat Indonesia”. Pada tahun 50-an, ketika bekerja di surat kabar Medan, saya sudah mengenal dengan baik nama Siauw Giok Tjhan. Pada akhir tahun 1954, setelah saya direkrut bekerja di Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia, saya berkesempatan berhubungan dengan Siauw secara akrab. Pada musim panas tahun 1981, setelah beliau bebas dari penjara dan bisa berkunjung ke Beijing dari Belanda, saya diminta menterjemahkan 2 buku karya beliau, Bhinneka Tunggal Ika dan Lima Jaman. Dengan demikian hubungan menjadi lebih akrab dan tukar-pikiran lebih mendalam. Bahkan 1 Huang Shu Hai adalah mantan penterjemah Kedutaan Besar RRT di Indonesia dan Pem Red Penerbitan Pengetahuan Dunia 327 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai saya secara pribadi mendampingi beliau berkunjung ke mantan Konselor Politik Kedubes RRT, Zhong Qing Fa dan Li Ju Sheng. Keakraban persahabatan mereka tampak sekali dari pertemuanpertemuan ini. Pada tanggal 23 Maret 1914, Siauw Giok Tjhan lahir di Surabaya, tergolong Huakiao keturunan kesekian. Di tubuhnya mengalir 2 jenis darah, yang satu darah dari ayah Siauw Gwan Swie dan darah dari ibu Kwan Tjian Nio, mewarisi darah psikologis – jenis darah Tionghoa. Jenis darah satu lagi, adalah darah politik dari rakyat Indonesia melawan penjajahan kolonial Belanda, perjuangan mencapai kemerdekaan bangsa. Kedua jenis darah yang mengalir dalam tubuhnya inilah memancarkan cahaya gemerlapan dalam hidupnya. Di antara sekian banyak tokoh ternama Tionghoa: Liem Koen Hian, Tan Ling Djie, Tony Wen, The Ping Oen, Thio Hian Shou, Yap Tjwan Bing, Ko Kwat Tiong, Ho Tik Kong, Kwee Hing Tjiat, Kouw Bian Kie, Sie Hian Ling, Oey Tiong Ham, Tjung Tin Yan, Ang Yang Gwan,, Siauw Giok Tjhan bisa muncul ke depan dari tumpukan sekian banyaknya nama-nama tokoh ternama itu, menjadi pemimpin Tionghoa yang terpandang dan dihormati dalam kancah politik Indonesia. Ini bukan sesuatu yang kebetulan apalagi sesuatu bualan dan ilusi khayalan. Di mulai awal 30-an, Siauw Giok Tjhan sudah terjun dalam gerakan melawan koloni Belanda yang berusaha mencapai kemerdekaan bangsa, memperjuangkan hak keadilan dan melindungi kepentingan minoritas Tionghoa di bidang politik dan hukum dan melawan diskriminasi rasial. Beliau belajar dan meningkatkan kemampuan dari praktek perjuangan itu sendiri. Beliau pernah dijebloskan dalam penjara pemerintah koloni Belanda. Untuk mendorong semangat juang dan mempersatukan kawan setahanan, beliau di dalam penjara dengan tulisan 328 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai tangan sendiri membuat selebaran “Suara Tapa”, secara periodik menganjurkan para tahanan menyanyikan lagu nasional Indonesia sebagai pernyataan protes; namun beliau juga 3 kali dijebloskan dalam penjara Pemerintah reaksioner Indonesia: Pertama, pada tahun 1948 setelah peristiwa Madiun, dengan tuduhan- tuduhan palsu beliau ditahan selama beberapa bulan. Kedua, pada tahun 1951 “Razia Agustus” Sukiman, tanpa alasan juga dijebloskan dalam kamp konsentrasi. Ketiga, setelah peristiwa G30S pada tahun 1965, sekali lagi beliau ditangkap tanpa alasan, dibekuk dalam penjara selama 12 tahun tanpa melalui proses pengadilan dan menderita persekusi kejam secara fisik dan mental. Pandangan dunia dan pikiran politik Siauw adalah pluralisme. Sejak mula, beliau banyak dipengaruhi pemikiran Sun Yat Sen: San Min Zhu Yi (Trisila). Pada tahun 40-an, beliau tergabung dalam Partai Sosialis, kemudian karena pecah menjadi 2 kubu, Syahrir dan Amir Syarifudin, beliau mengundurkan diri dan banyak dipengaruhi arus sosialis-demokrat Eropa. Pada bulan Maret 1954, beliau di Jakarta membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (BAPERKI). Sebuah organisasi massa independen yang tidak berdasarkan ideologi kepartaian, tidak membedakan ras dan tidak membedakan kepercayaan agama. Tujuan visi dan misinya adalah: berdasarkan lambang negara Bhinneka Tunggal Ika, berdasarkan janji “Manifes Politik” 1 Nopember 1945 “di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan rakyat kita dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo-Asia dan Eropah menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia”; menganjurkan “Integrasi wajar” - menentang asimilasi-total; menghimbau Tionghoa menjadi Warganegara Indonesia dan mempertahankan etnisitas Tionghoa: nama, budaya dan adat- 329 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai istiadat Tionghoa; menentang pelarangan bahasa Tionghoa dan gerakan ganti-nama. Siauw secara pribadi tegak berdiri melawan tekanan kebijakan ganti nama dan dengan tegas menentang diskriminasi rasial terhadap Tionghoa diberbagai bidang. Beliau pandai menggalang kekuatan masyarakat. Dalam waktu beberapa bulan saja, Baperki berhasil mendirikan belasan cabang di Jawa, Sumatra dan Kalimantan untuk memperjuangkan kesejahteraan sosial dan menerbitkan surat kabar dan majalah. Pada tahun 1961, Baperki, di berbagai kota sudah mendirikan lebih dari 100 Sekolah Rakyat dan Sekolah Menengah. Untuk mengatasi pembatasan kuota penerimaan siswa Tionghoa di Universitas Negeri, pada bulan Oktober 1958, Yayasan Pendidikan dan Budaya Baperki mendirikan Universitas Baperki yang menampung semua Indonesia, khususnya anak Tionghoa. Pada tahun 1963, namanya diubah menjadi Universitas Res Publica. Cabang-cabang di Bandung, Surabaya, Yogya, Semarang dan Medan didirikan. Jumlah mahasiswa mencapai 20 ribu. Sumbangsih Siauw Giok Tjhan di bidang kebudayaan dan pendidikan sangat menonjol sehingga ia memperoleh pujian masyarakat luas dan memperoleh reputasi nama baik. Namun sedikit orang mengetahui bahwa Siauw telah memberikan sumbangan tidak ternilai yang tidak ada orang lain bisa menggantikannya, yaitu dalam pemecahan masalah DwiKewarganegaraan RRT-RI. Ini adakah masalah peninggalan sejarah Dwi- Kewarganegaraan yang sangat rumit dan kompleks. Pada tahun 1945 setelah Proklamasi Kemerdekaan, sedikitnya telah terjadi 3 kali perdebatan sengit tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan di dalam pemerintah: Pertama pada tahun 1946 di dalam Badan Pekerja Komite 330 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai Nasional Indonesia Pusat, pertarungan sengit antara konsep “stelsel Pasif” dan “stelsel Aktif”. Ketika itu Tan Ling Djie dan Siauw Giok Tjhan, mewakili Partai Sosialis menganjurkan kewarganegaraan yang berdasarkan prinsip tempat lahir, yaitu siapa saja yang lahir di Indonesia otomatis menjadi Warganegara Indonesia yang sah, kecuali mereka menolak warganegara Indonesia. Kebijakan ini dinamakan “Stelsel Pasif”. Sedangkan Prof. Sunaryo, wakil dari Partai Nasionalis Indonesia menganjurkan “Stelsel Aktif”, yaitu sekalipun Tionghoa lahir di Indonesia, dalam waktu ditetapkan, harus mengajukan permohonan masuk menjadi Warganegara Indonesia dengan menyatakan melepaskan Warganegara Tiongkok. Mayoritas mendukung “Stelsel Pasif”. Kedua, pada saat Konperensi Meja Bunder antara Indonesia dan Belanda di Den Haag. Ada usaha untuk mengubah Stelsel Pasif dengan Stelsel Aktif. Tapi usaha ini gagal. Ketiga, pada tahun 1953 arus rasisme berkembang di Indonesia. Para pimpinan politik anti-Tionghoa berusaha merebut posisi ekonomi Tionghoa dan menuntut Pemerintah membatalkan UU Kewarganegaraan 1946. Prof. Sunaryo yang ketika itu Menteri Luar Negeri, menggunakan taktik lihai, mengajukan kembali prinsip Stelsel Aktif. Yang ia anjurkan adalah: yang berhak memohon menjadi warganegara Indonesia hanyalah Tionghoa yang sudah hidup 3 generasi di Indonesia, dan harus mengeluarkan surat-surat bukti, membuktikan kedua orang-tua juga lahir di Indonesia dan telah tinggal menetap lebih 10 tahun di Indonesia. Syarat-syarat mempersulit Tionghoa menjadi warganegara Indonesia yang dianjurkan Sunaryo, terutama keberadaan buktibukti, sulit untuk dipenuhi sebagian besar Tionghoa di Indonesia. Oleh karenanya anjuran ini ditentang 331 keras oleh khalayak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai Tionghoa. Pada waktu bersamaan pemerintah Tiongkok dan Indonesia berkehendak menggunakan kesempatan Konperensi Asia- Afrika, untuk menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan peninggalan sejarah ini. Masalah Dwi-Kewarganegaraan ini ada karena Indonesia (termasuk masa koloni Belanda) menjalankan prinsip tempat lahir, sedang Tiongkok pada waktu itu menjalankan prinsip berdasarkan darah keturunan. Kedua pemerintah bersepakat bahwa harus dicapai penyelesaian dalam waktu sesingkat mungkin. Perjanjian Penyelesaian Dwi-Kewarganegaraan TiongkokIndonesia ditanda- tangani pada tanggal 22 April 1955, oleh PM merangkap Menlu Zhou En Lai dan Menlu Sunaryo, di celah waktu KAA-Bandung. Ini adalah perjanjian penyelesaian Dwi- Kewarganegaraan pertama yang ditandatangani sejak berdirinya Tiongkok Baru. Semula diperkirakan akan menjadi blue-print untuk memecahkan masalah sama di negara-negara Asia Tenggara. Sungguh tidak dinyana pada 26 April sekitar jam 10 malam, Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien sekonyong-konyong datang di Kedubes RRT untuk menemui Zhu Yi, saat itu menjabat Ketua Komite hubungan Luar Negeri – Urusan Hua Kiao pemerintah Tiongkok. Siauw menjelaskan maksud kedatangannya. Zhu Yi merasa apa yang disampaikan Siauw tentang masalah Dwi-Kewarganegaraan sangat positif dan sangat penting. Ia tidak memiliki kuasa untuk mengambil keputusan. Ia segera melaporkan ke atasannya, Liao Chengzhi, ketua Qiao-Wei. Setelah Kakek Liao (begitu sebutan umum pada Liao ketika itu) selesai mendengarkan laporan, ia segera melaporkannya kepada PM Zhou dan mengusulkan untuk menemui kedua kawan tersebut, Siauw dan Tjoa. Terjadilah pembicaraan yang sangat akrab antara PM Zhou 332 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai dan Siauw-Tjoa berdua, berlangsung lebih dari 5 jam, dari jam 11 malam hingga jam 4 pagi. Sekalipun PM Zhou pertama kali bertemu dengan Siauw dan Tjoa, tapi sudah seperti sahabat lama saja. PM Zhou dengan sabar dan penuh perhatian mendengarkan penjelasan Siauw bahwa Perjanjian Penyelesaian dwi-kewarganegaraan baru saja ditandatangani bertentangan dengan proses diundangkannya UU kewarganegaraan Indonesia. Dalam pertemuan itu, PM Zhou mempelajari secara mendetail posisi dan pendapat partai-partai politik tentang dwikewarganegaraan dan dampak kewarganegaraan Indonesia untuk komunitas Tionghoa di Indonesia. Pembicaraan dilakukan dengan serius dan harmonis. Secara umum, Siauw mengutarakan tiga hal utama: 1. Undang-undang Kewarganegaraan Indonesia berdasarkan prinsip tempat kelahiran, dijalankan dengan stelsel pasif. Ini lebih sesuai dengan kepentingan mayoritas Tionghoa di Indonesia, baik yang yang totok maupun peranakan. Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan yang ditanda-tangani menggunakan prinsip stelsel aktif, yang tidak bisa diterima oleh Baperki dan mayoritas Tionghoa; 2. Berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia 1946, di antara jutaan Tionghoa, sudah ada yang menjabat anggota DPR, menjadi Menteri Negara, dan pegawai negeri di berbagai tingkat. Bahkan sebagian besar hidup tersebar dikota-kota kecil, di pedesaan dan sudah turun-menurun bergenerasi hidup harmonis dengan rakyat setempat, nelayan. sebagai pedagang kecil, petani, Berdasarkan UU Kewarganegaraan Indonesia 1946, mereka sudah menjadi warganegara Indonesia. Bilamana Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan dilaksanakan, 333 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai dalam waktu sekejap kewarganegaraan mereka berubah menjadi kabur atau stateless. Ini tentu tidak bijaksana. 3. Perjanjian menetapkan masa berlaku 20 tahun, apa yang dimaksudkan juga tidak jelas, orang bisa meragukan apakah berarti setelah 20 tahun harus kembali memilih kewarganegaraan? Siauw menyatakan, sekalipun Perjanjian Dwi- Kewarganegaraan sudah ditandatangani, tapi belum disahkan badan legislatif untuk dilaksanakan. Beliau yakin, kalau Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan ini diajukan ke DPR Indonesia, tidak akan disahkan. Siauw mengajukan usul pada PM Zhou, kemungkinan wakil kedua Pemerintah kembali berembuk, kembali memasukkan sebagian prinsip Stelsel pasif dalam Perjanjian DwiKewarganegaraan itu. Apa yang diajukan Siauw sangat masuk akal dan diuraikan secara sistematis. Membuat PM Zhou tertegun dan menghormati argumentasi yang diajukan. PM Zhou sangat berterimakasih kepada Siauw dan Tjoa yang sangat bersahabat itu. PM Zhou menandaskan dan menjelaskan keharusan Pemerintah Tiongkok memperhatikan kebijakan melindungi massa luas Huakiao dan Tionghoa Indonesia. Menjelaskan betapa penandatanganan pentingnya Perjanjian menyelesaikan masalah Dwi-Kewarganegaraan, dan berjanji akan mengajukan masalah yang diajukan kedua kawan dalam perundingan kembali dengan Pemerintah Indonesia dan berusaha mencapai pemecahan yang baik. Siauw-Tjoa merasa sangat puas dengan pertemuan dan jawaban yang diberikan PM Zhou. Apa yang dikatakan PM Zhou bisa dipercaya. Kunjungan PM Ali Sastroamidjojo ke Tiongkok atas undangan PM Zhou, dan 334 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai perundingan bersahabat pada 3 Juni 1955, mencapai kesepakatan mengenai pelaksanaan kelanjutan dari Perjanjian Dwi- Kewarganegaraan. Persetujuan bersama ditetapkan berdasarkan format hubungan luar-negeri, dengan melangsungkan “pertukaran nota”. Kedua belah pihak menegaskan “Pertukaran Nota” ini adalah bagian penting dari Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan. “Pertukaran-Nota” menetapkan: pada saat melaksanakan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, pemerintah kedua negara harus mewujudkan syarat-syarat yang memudahkan orang-orang yang ber kewarganageraan ganda untuk bisa bebas menentukan pilihannya. “Pertukaran-Nota” menegaskan bahwa siapa yang dinyatakan ber-dwi-kewarganegaraan atas definisi Pemerintah Indonesia, karena posisi sosial dan politik mereka, dibebaskan dari kewajiban memilih lagi dan dianggap telah melepaskan kewarganegaraan Tiongkok dan telah memiliki kewarganegaraan tunggal. Orang-orang yang tergabung dalam kelompok ini, bebas memilih lagi kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian DwiKewarganegaraan. “Pertukaran-Nota” juga dengan tandas menyatakan, setelah Perjanjian lewat 20 tahun, orang-orang yang sudah memilih kewarganegaraan berdasarkan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan, tidak perlu memilih kewarganegaraan lagi. Pekerjaan memilih kewarganegaraan akan berlangsung selama 2 tahun dan dimulai pada bulan Mei 1961. Kecuali lebih 1 juta tergolong “Bebas Memilih” kewarganegaraan lagi, dari 1,52 juta Tionghoa yang tergolong dwi-kewarganegaraan, ada 1,08 juta memilih WNI dan 160 ribu memilih WN-Tiongkok. Masih ada 80 ribu terlambat, tidak memilih kewarganegaraan, dengan demikian mereka ditentukan berdasarkan kewarganegaraan orang tua masing-masing. Kemudian masih ada lebih 200 ribu orang yang 335 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai belum mencapai usia dewasa untuk memilih, dan bagi mereka diberi kesempatan dalam 1 tahun setelah usia dewasa untuk memilih kewarganegaraan. Begitulah masalah Dwi-Kewarganegaraan Tionghoa Indonesia pada prinsipnya mendapatkan pemecahan. Akan tetapi, pengalaman ini menunjukkan bahwa delegasi Tiongkok tidak siap dalam perundingan Dwi-Kewarganegaraan karena belum secara baik melakukan penelitian yang mendalam, belum mengetahui apa yang dihadapi Tionghoa Indonesia dan aspirasi mereka. Atau karena keterbatasan waktu dan kerahasiaan, menyebabkan mereka tidak berkonsultansi dengan pimpinan Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan dll. Ini merupakan sebuah kekurangan yang serius. Sampai sekarang hal ini tidak diperbincangkan secara terbuka oleh instansi yang bersangkutan. Untunglah ada Siauw Giok Tjhan dan Tjoa Sik Ien, dua sahabat yang patut dihormati, demi melindungi dan mendorong maju Persahabatan rakyat kedua negara RI-RRT, di saat menentukan, tampil mengajukan usul pemecahan masalah DwiKewarganegaraan dan dengan demikian berhasil mengurangi dampak yang merugikan massa luas Tionghoa dan pelaksanaan Perjanjian Dwi-Kewarganegaraan bisa berjalan lancar. Usul kedua sahabat ini kemudian sangat berfaedah dalam memperlancar dan penyelesaian masalah dwi-kewarganegaraan yang terjadi antara Tiongkok dengan Filipina, Malaysia, Thailand dan beberapa negara lainnya. PM Zhou sekalipun hanya untuk pertama kali bertemu Siauw Giok Tjhan, tapi melalui pertemuan panjang di tengah malam, telah terkesan oleh Siauw. Pada 27 April, Siauw dan Tjoa atas undangan menghadiri jamuan perpisahan dengan PM Zhou di Kedubes RRT. Saya masih ingat pada saat saya berperan sebagai penterjemah bahasa Indonesia, melaporkan situasi Indonesia, PM 336 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Huang Shu Hai Zhou setidaknya 2 kali menanyakan keadaan Siauw Giok Tjhan. Menunjukan PM Zhou senantiasa tidak melupakan sahabatsahabat yang pernah membantu Tiongkok. Siauw Giok Tjhan juga sangat menghormati PM Zhou. PM Zhou menunjukkan keluwesan dalam berdiplomasi di depan Konferensi Asia-Afrika, sehingga dikagumi para hadirin. Kemampuan Zhou yang berpengalaman luas dengan rendah hati menerima usul- usul dan kemudian dalam waktu singkat mewujudkan apa yang diusulkan, menyebabkan Siauw menghormati PM Zhou, sang diplomat besar. Kepribadian Siauw yang rendah-diri, ramah tamah dan sopan-santun, menyebabkan beliau memperoleh simpati dan menjadi sahabat yang memudahkan kerja sama dengan Presiden Soekarno, PM Ali Sastroamidjojo, Menlu Adam Malik, dan para tokoh Partai Politik dan ormas lain. Siauw Giok Tjhan sudah pergi masuk dalam sejarah. Walaupun beliau sudah wafat, pikiran dan jiwanya tetap abadi. Di dalam perjuangan sepanjang hidupnya, beliau asyik tenggelam dalam bekerja, kreatif mengejar pembaruan. Bahaya maut diterjang, kesulitan penderitaan dilaluinya demi menempa budi luhur hidupnya. Jejak langkah perjuangannya yang luar biasa, buku karya besar-nya, budi-pekerti luhur beliau akan hidup abadi dalam hati setiap suku rakyat Indonesia. 337 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana Siauw Giok Tjhan, Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah Hiski Darmayana1 Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme hingga akhir hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri orang sebagai pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Namun, namanya tak akan ditemukan dalam buku sejarah resmi versi pemerintah. Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa ini memang memiliki naluri untuk menentang penindasan sejak ia berusia remaja. Karakter yang kemudian ia bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten melawan penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan juga dari bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi rasial. Spirit Nasionalisme Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang yang telah berintegrasi dengan etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok Tjhan fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa. Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan ayahnya, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif 1 Hiski Darmayana adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) 338 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih seringkali membuat kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat perkelahian de ngan mereka. Menginjak usia remaja, Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk menghidupi dirinya dan adik-adiknya karena kedua orang tuanya wafat. Berbekal modal seadanya peninggalan dari orang tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan di Surabaya. Ketangguhan jiwa Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi kesulitan hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini. Ketangguhan jiwa itu pula yang membuat ia tak ‘lari’ dari situasi sosial kala itu, ketika rakyat banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Siauw Giok Tjhan pun bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Niem Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera kesulitan ekonomi. Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di partai ini sekaligus menjadi penanda mulai masuknya Siauw Giok Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI merupakan partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang lahir dan menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki kesadaran bahwasanya tanah air mereka adalah Indonesia. Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw Giok Tjhan menjadi anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi berhaluan nasionalis kiri yang dibentuk Amir 339 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo inilah, spirit nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara. Tak hanya di aspek politik, semangat nasionalisme juga ia ma nifestasikan di bidang olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB) ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di pasar tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI). Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw bersinggungan dengan Marxisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Perkenalannya dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw kian ‘condong’ ke kiri. Selain dalam organisasi dan partai, Siauw juga berkiprah di bidang jurnalistik. Ia mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian Matahari, sebuah koran yang bertendensi nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran ini. Pada masa pendudukan Jepang, harian Matahari mengambil tendensi anti-fasisme Jepang sehingga membuat Siauw dalam posisi yang berbahaya. Siauw pun menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar dari kejaran Jepang itu dengan mengambil posisi aman menjadi pemilik toko eceran di Malang. Di kota tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta mendirikan organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah, Siauw menetap hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 340 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana dikumandangkan. Proklamasi kemerdekaan ternyata bukanlah akhir perjuangan, melainkan jutru awal berkecamuknya revolusi kemerdekaan. Belanda tak ingin melepas bekas jajahan di zamrud katulistiwa ini begitu saja. Dengan membonceng Sekutu dan Inggris selaku pemenang Perang Dunia ke II, mereka berupaya menguasai kembali Indonesia. Siauw pun mempertahankan kembali berpartisipasi kemerdekaan dengan dalam perjuangan mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru. Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan tentara Inggris di Surabaya pada 10 November 1945. Perjuangan Siauw juga berlanjut di ‘wadah’ baru, yakni Partai Sosialis yang didirikan oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti yang disinggung sebelumnya, Amir Sjarifudin ini merupakan kawan Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo pada masa penjajahan Belanda dahulu. Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw yang menganggap seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian tak terpisahkan dari revolusi nasional telah membuat ia memperjuangkan disahkannya UU Kewarganegaraan RI di tahun 1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga keturunan Asia dan Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan turut serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri Negara urusan Minoritas ketika Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin pada tahun 1947. Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak hanya ia tunjukkaan melalui perjuangan politik atau organisasi, 341 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana melainkan juga hal-hal yang kecil seperti hidup secara sederhana. Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan anaknya yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan de ngan agresi militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok Bie, hendak menggunakan mobil organisasi Palang Biru untuk me ngantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw dengan tegas melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab mobil itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang yang terluka karena bertempur melawan agresi Belanda. Di sisi lain, perpecahan yang melanda Partai Sosialis tempat Siauw bernaung makin tak terhindarkan. Perbedaan pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu Sjahrir dengan kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948. Sedangkan kubu Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw memilih bergabung dalam kubu Amir. Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan Amir makin dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama ketika pertentangan politik menghangat pasca disepakatinya perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis dan PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap kabinet pimpinan Bung Hatta yang didukung Masyumi. FDR sangat menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin ‘membersihkan’ angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat. Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya “peristiwa Madiun”, ketika gerakan FDR dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR pun ditumpas oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution. Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap TNI. Namun, tak lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang 342 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana kedua di akhir 1948. Siauw pun lolos dari penjara Republik, namun ia kembali ditangkap Belanda. Integrasi vs Asimilasi Di akhir tahun 1949, kemerdekaan Indonesia pun diakui oleh Belanda. Perang kemerdekaan usai, namun masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga tuntas. Guna menuntaskan masalah tersebut, Siauw dan beberapa tokoh Tionghoa lain seperti Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hien dan Ang Jang Goan membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Siauw pun menjadi ketua umum organisasi ini. Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda yang muncul dari kalangan masyarakat terkait penyelesaian masalah etnis Tionghoa di Indonesia. Kedua konsep itu dipandang sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut oleh masingmasing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi dan integrasi. Untuk konsep asimilasi, definisinya adalah penyatuan antara dua etnis dengan menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks masalah Tionghoa, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat Indonesia yang dianggap kebudayaan ‘asli’ Indonesia. Sedangkan konsep integrasi mengandung arti persatuan antara etnis Tionghoa dan etnis lainnya di Indonesia tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis. Hal ini sesuai dengan moto Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu dalam naungan negara Republik Indonesia. Baperki yang dipimpin oleh Siauw menentang keras konsep 343 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana asimilasi. Menurut Baperki, asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan tidak sesuai dengan motto Bhineka Tunggal Ika yang mengakui keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala ‘pernakpernik’ kulturalnya. Karena itu tak seharusnya etnis Tionghoa menanggalkan identitas kulturalnya untuk bisa bersatu dengan unsur rakyat Indonesia yang lain. Masalah etnis Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia dapat dituntaskan dengan berintegrasi pada kehidupan dan perjuangan masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tanpa harus melupakan kebudayaan Tionghoa-nya. Maka, Baperki mendukung konsep integrasi revolusioner sebagai solusi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Dan PKI, yang bertendensi anti rasialisme, juga mendukung konsep integrasi yang diusung oleh Baperki ini. Tak heran apabila pada perkembangan politik selanjutnya, terutama di era Demokrasi Terpimpin, Baperki menjadi sangat dekat dengan PKI. Sementara, konsep asimilasi didukung juga oleh beberapa tokoh Tionghoa. Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus Sindunata, Ong Hok Ham, serta H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina Kesatuan Bangsa (LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan, terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD) yang pada umumnya rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB ini memegang peranan penting dalam perumusan berbagai kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk kebijakan pelarangan perayaan Imlek, pelarangan agama Kong Hu Chu dan pergantian nama warga Tionghoa. Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi (LPKB) berlanjut dimasa Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi politik antar berbagai kekuatan dimasa itu juga berpengaruh pada 344 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang dekat dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok nasionalis kanan. Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep integrasi yang digagas Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8 Baperki. Dalam pidato itu tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi. Berikut isi pidato beliau : “Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli ? Tidak ! Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna. Pak Ali itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit, campuran dia itu. Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk, pribadi-what is in a name ? Walau saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia, tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali namanya campuran, Arab dan Sanskrit. Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau Sukartini. Yah, tidak ? Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campurcampur.Yang saya minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita menjadi warganegara Republik Indonesia.” 345 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana Akhir Perjuangan Selain memperjuangkan integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia, Baperki dan Siauw juga memperjuangkan nation-building melalui pendidikan. Maka pada tahun 1958, Baperki mulai membuka Akademi Fisika dan Matematika yang diperuntukkan bagi pendidikan guru sekolah menengah. Pada tahun-tahun berikutnya, Baperki juga membuka beberapa fakultas baru seperti fakultas Kedokteran, Sastra dan Teknik. Pada tahun 1962, perguruan tinggi Baperki itu diberi nama Universitas Res Publica (Ureca). Dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas ini, Baperki punya motto :“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!” Untuk diketahui, pasca meletusnya tragedi Gestok 1965, Ureca ditutup oleh Soeharto karena dianggap universitas ‘komunis’. Di kemudian hari, rezim Orde Baru membentuk Universitas baru untuk menggantikan Ureca, yakni Universitas Trisakti. Sementara itu, terkait masalah yang dipandang paling krusial dari masalah-masalah lainnya yang menyangkut etnis Tionghoa di negeri ini, yakni masalah ekonomi, Siauw juga punya pandangan sendiri. Menurutnya, tak perlu ada pembedaan antara kapital milik orang Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Sepanjang modal itu dimiliki oleh rakyat Indonesia, apapun etnisnya, maka bisa diperuntukkan bagi perkuatan ekonomi nasional serta berguna juga untuk menangkal pengaruh negatif modal asing multinasional. Tampak bahwa Siauw mentolerir adanya kapitalis domestik di Indonesia, guna melawan pengaruh negatif kapital asing multinasional yang menurut Siauw sangat eksploitatif. Konsep 346 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Hiski Darmayana Siauw ini dikenal sebagai konsep Ekonomi Domestik. Sementara itu, dinamika politik berjalan cepat dan tak terduga. Tragedi Gestok yang meletus 1 Oktober 1965, merubah secara drastis konstelasi politik nasional. PKI, selaku pihak tertuduh dalam tragedi tersebut, segera dihabisi oleh tentara sayap kanan pimpinan Soeharto yang didukung imperialis Amerika Serikat (AS). Jutaan pendukung PKI dan Bung Karno dibantai serta ditangkapi tanpa proses peradilan. Sebagai seorang simpatisan kiri sekaligus pendukung Bung Karno, Siauw pun tak lepas dari ‘tsunami’ politik tersebut. 4 Nopember 1965, Siauw ditangkap dan dibui selama 13 tahun oleh Orde Baru tanpa proses pengadilan. Baperki pun dibubarkan, begitu juga dengan universitas yang dibentuknya, Ureca. Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan dari penjara. Perlakuan buruk yang diterimanya selama meringkuk di tahanan rezim Soeharto membuat kesehatan Siauw memburuk. Setelah bebas dari penjara, ia pergi berobat ke Belanda. Selain berobat, kepergian Siauw ke Belanda juga untuk menghindar dari kontrol rezim Soeharto yang dikhawatirkan makin membuat kesehatannya memburuk. Siauw menderita komplikasi beragam penyakit, mulai dari gangguan penglihatan hingga penyakit jantung. Akhirnya, pada 20 November 1981, pejuang bangsa itu meninggal dunia sebagai pelarian politik. Riwayat juang putra Surabaya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi kemaslahatan negara, bangsa dan etnisnya ini seakan hilang dalam sejarah, hanya oleh stigma yang masih ‘sakti’ hingga kini, yakni stigma ‘komunis’. 347 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak Fakta Sejarah Perjuangan Siauw Giok Tjhan Tidak Bisa Dihapus Chan Chung Tak1 Eddie Lembong, mantan ketua-umum INTI2, pendiri dan ke tua Nabil3 dengan tegas mengatakan, “Fakta Sejarah Perjuangan Siauw Giok Tjhan, tidak bisa dihapus dari sejarah untuk selamanya”. Siauw Giok Tjhan adalah seorang tokoh Tionghoa terbesar dalam sejarah Indonesia, demikian tandas Eddie Lembong di penutup Diskusi Terbuka “100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah” yang diselenggarakan oleh Gema-Inti, pada tanggal 29 Maret 2014 di Aula Sekretariat Inti, Jakarta. Sejarah ditulis oleh pemenang. Tidak aneh kalau ada tokohtokoh yang dihapus dari sejarah terutama untuk pihak yang kalah. Tidak hanya nama Siauw Giok Tjhan dihilangkan dalam buku sejarah. Ada empat anggota BPUPKI4 Tionghoa, Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Houw dan Tan Eng Hoa yang namanya juga dihilangkan sejak masa ORBA sampai sekarang. Hingga saat ini belum ada pembetulan resmi dari pemerintah. Dan seandainya 1 Chan Chung Tak turut mendirikan dan memimpin HKSIS. Kini ia mengelola beberapa milis termasuk milis Ureca dan Gelora dan kerap menulis tentang masalah Tionghoa 2 INTI singkatan dari Perhimpunan Indonesia Tionghoa, didirikan pada 5 Februari 1999 oleh 18 Warga Negara Indonesia yang peduli terhadap penyelesaian “Masalah Tionghoa”. 3 Nabil (Nation Building) Adalah yayasan yang didirikan oleh Eddie Lembong dengan tujuan untuk turut serta dalam proses Nation Building Indonesia melalui Cross Cultural Fertilization. 4 BPUPKI singkatan dari Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk untuk memperoleh dukungan bangsa Indonesia dengan janji Jepang akan membantu Indonesia mencapai kemerdekaan. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso. 348 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak hendak mengusung Siauw Giok Tjhan menjadi Pahlawan Nasional, bisa menggunakan cara yang ditempuh Nabil dalam mengajukan John Lie sebagai pahlawan Nasional, jelas Eddie Lembong lebih lanjut. Diskusi dibuka oleh MC muda, Robby Dharmawan yang berasal dari Surabaya. Ia lebih dahulu mempersilahkan para hadirin untuk berdiri menyanyikan Lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lalu mempersilahkan ketua Gema-Inti, Hardy Stefanus untuk memberikan kata sambutan pembukaan Diskusi. Bonnie Triyana sebagai pembicara pertama menegaskan Pemikiran Siauw dengan konsep Integrasi wajar yang sekarang ini lebih dikenal dengan konsep multikulturalisme lebih masuk akal ketimbang konsep asimilasi yang dijalankan masa Suharto berkuasa selama lebih 32 tahun. Kebijakan asimilasi ternyata telah membuat kelompok Tionghoa hidup tertekan, harus menghilangkan identitas ke-Tionghoa-annya, dipaksa mengganti nama bahkan dilarang merayakan Tahun Baru Imlek secara terbuka. Sabam Sirait, sesepuh PDI-P yang juga hadir dalam Diskusi, tidak melewatkan kesempatan untuk berbicara. Ia menyatakan bahwa sebagai mahsaiswa pada tahun 1960-an mengenal nama Siauw Giok Tjhan dan beberapa tokoh pimpinan Perhimi – Perhimpunan Mahasiswa Indonesia. Sekalipun belum pernah berdiskusi dengan Siauw, tetapi ia dengan tegas menegaskan bahwa konsep Siauw Giok Tjhan itulah yang benar. Kenapa orang diharuskan ganti nama, dimana salah nama-nama Tionghoa itu? Ia menegaskan: “Saya tidak akan mau disuruh ganti nama menjadi Sabamo Sirainto, misalnya. Ditembak mati juga akan tetap saya pertahankan nama Sabam Sirait, nama Batak saya”. Namun, sampai sekarang tentunya masih ada orang-orang pendukung konsep asimilasi. Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, sekalipun diakhir katanya mengakui: “Siauw adalah pemimpin yang baik 349 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlindungi haknya”, tetapi nampak masih tidak menerima Tionghoa diperlakukan sebagai suku-Tionghoa: “menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap menjadi suku merupakan kemunduran. Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. (lihat majalah TEMPO 6 April 2014, halaman 57). Presiden Sukarno pada saat menghadiri pembukaan Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada tanggal 14 Maret 1963, telah menyatakan komunitas Tionghoa di Indonesia sebagai suku Tionghoa dan menyamakannya dengan suku-suku lain dalam tubuh Bangsa Indonesia. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan: “Saya tidak akan barkata, suku itu adalah minoritas, ... suku Dajak adalah minoritas, suku Irian Barat adalah minoritas, suku yang di Sumatera Selatan itu -suku Kubu- adalah minoritas, suku Tionghoa adalah minoritas, tidak ....Saya kata Sama Paman Ho, di Indonesia itu paling-paling ada suku-suku. Suku itu apa artinya? Suku itu artinya sikil, kaki. Ja, suku artinya kaki. Jadi bangsa Indoaesia itu banyak kakinya, seperti luwing, Saudara-Saudara. Ada kaki Jawa, kaki Sumatera, kaki Dayak, kaki Bali, kaki Sumba, kaki Peranakan Tionghoa, kaki Peranakan. Kaki dari satu tubuh, tubuh bangsa Indonesia.” Demikian tegas Bung Karno pada tahun 1963, lebih dari 61 tahun yang lalu. Asvi Warman Adam mengisahkan bagaimana Komitmen Siauw yang begitu teguh menjadi Indonesia. Ia tidak patah saat dirinya ditangkap oleh Pemerintah yang penegakkannya ia ikut perjuangkan. Siauw ditahan sebagai akibat Razia Agustus Sukiman pada tahun 1951. Karena sakit mata dan perlu dioperasi oleh Dr. Sie Boen Lian, Siauw diizinkan keluar dasi penjara dan statusnya 350 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak diubah menjadi tahanan rumah setelah dua bulan di penjara. Menurut Asvi, Siauw benar-benar sakit sehingga harus dirawat di luar penjara, tidak sama dengan kebiasaan yang dilakukan para tokoh sejak zaman Suharto, yaitu menggunakan alasan sakit menuntut dirinya dibebaskan saat pemeriksaan. Asvi melanjutkan bahwa Siauw melanggar status tahanan rumahnya untuk hadir dalam sidang DPR. Di depan pintu DPR ia bertemu dengan Perdana Menteri Sukiman yang ternyata mengetahui keadaan matanya. Sukiman kemudian menyatakan kepada Siauw untuk memberi tahu jaksa agung yang memperhatikan pembicaraan kedua orang itu bahwa Siauw telah memperoleh izin Perdana Menteri untuk hadir di DPR, jadi tidak melanggar status tahanan rumah-nya. Keesokan harinya, Siauw menerima surat keputusan Jaksa Agung yang menyatakan status-nya diubah menjadi tahanan kota, berlaku sejak sehari sebelumnya. Asvi menuturkan setelah peristiwa Gerakan 30 September, di Siauw namanya dicantumkan dalam Dewan Revolusi yang beranggotakan 45 orang. Akhirnya Siauw harus meringkuk dalam tahanan selama 12 tahun. Dan Baperki termasuk organisasi yang dibubarkan. Universitas Baperki yang dikenal sebagai Universitas Res Publica dirusak dan dibakar. Siauw selama dalam penjara menjadi ilmuwan sosial, mewawancarai berbagai tahanan dan melakukan analisa sekitar peristiwa G30S. Catatan-catatan kumpulan cerita yang didapatkan pak Siauw dalam penjara Salemba, RTM dan Nirbaya dari wawancara para tahanan disitu, ternyata menjadi bahan dasar tulisan John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal, G30S dan Kudeta Suharto”. Karena catatan-catatan dan cerita-cerita dari percakapan para tahanan yang diwawancarai itu merupakan bahan lengkap dan meyakinkan, mengungkap 351 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak banyak hal, termasuk Biro Khusus dan siapa saja yang berperan disitu. Menurutnya, buku John Roosa merupakan buku versi terakhir tentang G30S yang pa ling sahih. Ternyata buku ini dilandasi oleh catatan yang ditulis oleh Siauw Giok Tjhan dari cerita-cerita hasil wawancara selama di tahanan. Asvi di akhir pembicaraan dengan tandas mengusulkan karena situasi politik Indonesia sekarang masih belum memungkinkan mengajukan Siauw Giok Tjhan sebagai Pahlawan Nasional, sebagaimana beberapa tahun yang lalu diajukan oleh Ibrahim Isa, untuk lebih dahulu mengajukan Siauw Giok Tjhan dijadikan nama satu Jalan di Jakarta atau Surabaya kota kelahirannya. Usul disambut hangat oleh para hadirin dan juga oleh pembicara berikut Stanley Adi Prasetio. Siauw Tiong Djin dalam sambutannya menyatakan, Siauw Giok Tjhan tergolong orang yang perlu dihapus dari sejarah Indonesia, hanya karena Pemerintah Suharto menuduh Siauw komunis. Tergolong komunis yang harus dibasmi. Padahal selama dipenjara 12 tahun itu, sekalipun melalui interogasi berulangkali dan penyiksaan kader-kader PKI, pemerintah tetap tidak berhasil membuktikan Siauw adalah anggota PKI. Yang patut diajukan adalah: “Ada yang mengatakan: Politik bersatu dengan rakyat yang diajukan oleh BAPERKI adalah politik PKI. ……… Kalau ada orang mengatakan bahwa Sukarno juga telah melaksanakan politik PKI, itu berarti terlalu membesarkan peranan PKI. Dulu, penjajah Belanda juga terlalu melebih-lebihkan kegiatan PKI, mereka menganggap bahwa perjuangan kemerdekaan nasional juga sebagai kegiatan PKI, sedangkan kenyataannya gerakan kemerdekaan nasional bukanlah monopoli orang-orang komunis.” (Lihat : “Bhinneka Tunggal Ika”, edisi bahasa Tionghoa hal. 161) Ada juga orang yang mengatakan Baperki sejalan dengan 352 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak PKI, karena Baperki menyetujui terlaksananya persatuan nasional “NASAKOM”: “Konsep kerjasama NASAKOM bukanlah diajukan oleh PKI, melainkan dikemukakan oleh presiden Sukarno dalam suatu sidang DPA... Jika kita mengambil sikap menentang atau tidak acuh terhadap konsep NASAKOM, justru akan menempatkan diri kita sendiri berada dalam kedudukan terpencil dan patut dikutuk sebagai golongan yang bersikap “sektaris.”…. Menghadapi situasi semacam ini, sebagai suatu organisasi massa yang tidak terlalu besar, bila BAPERKI berusaha merintangi pelaksanaan konsep NASAKOM, pasti akan digilas babak belur oleh partai-partai politik besar, sehingga tak punya tempat berdiri lagi. BAPERKI menganjurkan integrasi berarti harus mendukung “NASAKOM”, harus ada kesesuaian kata-kata dengan tindakan, tidak boleh plintat-plintut. “ Demikian sanggah Siauw. (Lihat : “Bhineka Tunggal Ika”, edisi bahasa Tionghoa hal. 159 -- 160) Siauw selanjutnya menunjukkan pengalaman sejarah bahwa Jalan paling selamat bagi Tionghoa bukan bersandar pada penguasa pemerintah, melainkan bersandar dan menjadi satu dengan rakyat banyak. Rakyatlah yang akan berfungsi sebagai pelindung ampuh. Siauw secara tegas menyatakan: “Selanjutnya juga telah cukup jelas, bahwa menggantungkan nasib golongan peranakan Tionghoa sebagai keseluruhan pada tetap berkuasanya orang atau orang-orang tertentu, tidak bisa tidak bersifat sementara saja. Orang bisa mati, atau segolongan orang bisa diganti karena prubahan perkembangan. Tetapi berhasil menyatukan diri dengan rakyat dalam rangka pelaksanaan proses integrasi wajar dengan rakyat sebagai pewujudan BHINEKA TUNGGAL IKA, merupakan jalan selamat lebih kekal.” (Lihat Siauw Giok Tjhan: “Lima Jaman”, edisi bahasa Indonesia, halaman 429) Siauw Tiong Djin dengan tandas menyatakan, sudah tiba saatnya harus mengakhiri komunis phobia, jangan sedikit-dikit dan 353 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak apa saja dikaitkan dengan paham komunis. Harus berani melihat kenyataan konsep pemikiran yang diajukan Siauw sesuai dan bermanfaat bagi perkembangan masyarakat ketika itu, bahkan tidak sedikit tetap relevan di zaman sekarang. Siauw Tiong Djin lebih lanjut menandaskan warisan yang ditinggalkan Siauw Giok Tjhan dalam sejarah Indonesia: 1. Kewarganegaraan peranakan, Indonesia: termasuk Menjadikan Tionghoa orang semua Indonesia. Bersama tokoh-tokoh PTI dan Partai Sosialis, di KNIP berhasil memenangkan UU No.3/1946 yang menetapkan seseorang yang lahir di Indonesia sebagai warganegara Indonesia secara otomatis. 2. Konsep Integrasi: Dasar perjuangan Siauw adalah pembangunan Nasion Indonesia yang bersandar atas Bhinneka Tunggal Ika. Siauw berargumentasi bahwa Nasion Indonesia bukan Indonesian Race. adalah sebuah nasion yang lahir Nasion Indonesia karena terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu Istilah Indonesia “asli” tidak memiliki dasar hukum. Konsep integrasi yang dicanangkan Baperki ternyata diterapkan oleh banyak negeri maju di zaman modern dan lebih dikenal sebagai paham multikulturalisme. Di Australia dan Canada, pelaksanaan multikulturalisme di undang-undangkan. Siauw mendorong pemerintah dan masyarakat menerima keberadaan suku Tionghoa. Sukarno dengan tegas mendukung konsep ini dalam kata sambutannya di pembukaan kongres Baperki tahun 1963. 3. Pengembangan Modal Domestik: Siauw lebih mendukung sosialisme ala Indonesia pembangunan ekonomi yang sosialis dianjurkan yang Sukarno, bersandar diatas dasar pengembangan modal domestik tanpa 354 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak mempedulikan latar belakang ras pemilik modal. Ia harapkan modal-modal dagang domestik termasuk yang dimiliki pedagang-pedagang Tionghoa dibantu dan didukung pemerintah agar terus tumbuh berkembang lebih baik dalam usaha mempercepat pembangunan negara. 4. Pendidikan untuk menjadi Indonesia: Siauw melalui BAPERKI dan URECA mendorong komunitas Tionghoa dan para mahasiswa-nya untuk menerima Indonesia sebagai tanah airnya, menjadi INDONESIA yang baik. Dengan ketegasan prinsip menjadi patriot Indonesia tidak perlu menanggalkan ciri etnis Tionghoa, boleh saja tetap mempertahankan budaya dan adat-istiadat Tionghoa. Jadi, komunitas Tionghoa dihimbau aktif meng-integrasikan dirinya ditengah-tengah rakyat, melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan masyarakat. Para siswa dan mahasiswa Baperki dianjurkan untuk belajar berorganisasi, mengikuti organisasi pelajar dan mahasiswa yang ada. Belajar memproduksi kebutuhan praktis masyarakat, bahkan melibatkan para mahasiswa dalam pembangunan gedung kuliah, bengkel dan tanur baja kampus Ureca. Dengan demikian Komunitas Tionghoa berserta para cendekiawannya diajak untuk bergotong royong mengembangkan universitas swasta yang terbesar dan berkualitas tinggi di Indonesia ketika itu. Sangat menarik kalau kita perhatikan kebijakan yang diambil Siauw/BAPERKI ketika itu. Pada saat pemerintah RI melarang anak-anak WNI masuk sekolah Tionghoa pada tahun 58, Siauw/ BAPERKI justru menetapkan kebijakan menerima anak-anak totok, berkewarganegaraan Tiongkok untuk masuk sekolah di UBA, Universitas BAPERKI yang kemudian pada tahun 1963 menjadi 355 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak URECA, Universitas Res Publica. Maksud dan tujuannya hanya satu: Melalui pendidikan berusaha merubah anak-anak Tionghoa asing itu juga menjadi INDONESIA! Baik saya kutipkan sepenggal tulisan di Majalah TEMPO, 6 April 2014, “Pergulatan Keindonesiaan Siauw”: “Yang menarik, universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu masih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi ke Indonesiaannya. Nancy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Ditemui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia lahir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung. “Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi kesana dan menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun cita-citanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya. Harta benda orang tuanya musnah. Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpulkan kembali. Dia diminta membantu berdagang batik. Namun ayahnya, yang cukup berpendidikan, tidak setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya Nancy didaftarkan ke URECA. “Di tempat lain tak mungkin diterima karena saya WNA”, dia menambah. Di Ureca, Nancy benar-benar seperti anak yang baru belajar bahasa Indonesia “Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan hanya dua kali dalam seminggu”. Tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bagi Nancy, URECA juga mengindonesiakan dirinya. “Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi 356 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak pulang ke Tiongkok, yang asing sama sekali. Saya mulai sadar bahwa saya lahir dan besar di Indonesia. Akar saya disini.” Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. “Bahkan saya akan diputuskan hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober 1965 karena diseluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang masuk URECA, jadi sangat dikenal,” kata Nancy, yang pada 2003-2013 menjadi Ketua Perempuan INTI. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sastra URECA di Kampus A Grogol. Pada 15 Oktober 1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap berkaitan dengan kaum kiri. URECA di Jakarta dan cabangcabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-sekolah yang didirikan BAPERKI ditutup.” Kutipan selesai. Siauw Tiong Djin di akhir kata sambutannya menyatakan: Seandainya Siauw masih ada di sekitar kita, ia berhak merasa gembira. Gembira karena apa yang diperjuangkan bersama rekan-rekannya sudah terwujud menjadi kenyataan. UU Kewarganegaraan yang baru seirama dengan apa yang pada tahun 50-an menjadi tuntutan Baperki. Sebagian besar komunitas Tionghoa menjadi Indonesia, Rasisme sudah resmi dinyatakan sebagai sikap yang melanggar hukum. Kebudayaan dan tradisi Tionghoa kembali diperbolehkan, bahkan tahun baru Imlek menjadi libur nasional dan dirayakan secara besar-besaran dengan mengikutsertakan semua suku Indonesia, sesuatu yang pernah menjadi harapan dan impian di masa hidupnya. Bahasa Mandarinpun tampak mulai diterima sebagai bahasa perdagangan penting. Republik Rakyat Tiongkok kembali memperoleh penghargaan tinggi, dengan keunggulan kekuatan ekonomi di dunia. Bagi yang hendak mengikuti acara diskusi terbuka “100 Tahun Siauw Giok Tjhan, Pejuang Yang Dihapus Dari Sejarah” yang 357 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak diselenggarakan oleh Gema-Inti, tgl. 29 Maret di Aula Sekretariat INTI Jakarta ini, bisa klik link dibawah ini: https://www.youtube.com/watch?v=Lhy9vYQPcaw Acara peringatan 100 tahun Siauw Giok Tjhan di Reuni Ureca ke 8 Cisarua 23 Maret 2014 - Penampilan konsep Bhinneka Tunggal Ika 358 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Chan Chung Tak Acara Seminar 100 tahun Siauw Giok Tjhan diselenggarakan oleh Gema Inti - 29 Maret 2014 di Jakarta 359 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Mengenang Seratus tahun Siauw Giok Tjhan Guru Sejati Kebangsaan Indonesiaku Tan Swie Ling1 Tulisan mengenang seratus tahun Siauw Giok Tjhan guru sejati kebangsaan Indonesiaku ini, aku buat diatas sepasang landasan sejarah. Pertama, di atas landasan sejarah peristiwa pembantaian Tionghoa tahun 1740 di Batavia. Ke dua, diatas landasan sejarah peristiwa 10 Mei 1963 dan atau landasan dokumen CIA. Dan aku akan mulai dengan tulisan berikut dibawah ini. Aku tahu sejak kapan negeriku, Republik Indonesia ini ada. Yaitu sejak dikumandangkannya proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Tapi sejak kapan isi negeriku, yaitu berbagai komunitas masyarakat manusia yang mengumandangkan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dimaksud ada dan menjadi penghuni negeri Indonesia ini , yang selanjutnya hidup bersama-sama sebagai masyarakat jajahan, selama beratus , atau bahkan mungkin beribu tahun yang lalu, kemudian hidup bersama-sama sebagai masyarakat jajahan, jauh sebelum perbendaharaan kata Indonesia ada, Aku tidak tahu. Yang aku tahu, awal proses masyarakat manusia yang kemudian disebut sebagai “bangsa Indonesia tersebut ada”, itu terjadi bersamaan dengan ditemukannya India oleh Ekspedisi kapal laut Portugis yang dippimpin oleh Vasco da Gama. Sehingga berdasarkan itu,keberadaan masyarakat Indonesia yang kemudian berkembang menjadi bangsa Indonesia, umurnya sesungguhnya masih muda. 1 Tan Swie Ling turut mendirikan dan memimpin Permusyawaratan Pemuda Indonesia – organisasi pemuda Baperki. Ia lama ditahan di zaman pemerintahan Suharto. Setelah Suharto lengser, ia mendirikan dan memimpin majalah Sinergi. Ia penulis beberapa buku yang berkaitan dengan G30S, pembangunan bangsa dan Sukarno. 360 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Masih muda, mengingat prosesnya bertalian dengan tahun 1497. Di mana pada tahun tersebut dalam rangka pencarian wilayah baru untuk memecahkan kebutuhan perluasan pasar, Raja Portugis menunjuk Vasco da Gama, bangsawan rendah yang lahir di kota Sines, Portugis sekitar 1460, untuk memimpin ekspedisi kapal menuju India. Di mana pada 8 juli 1497, Vasco da Gama mengangkat sauh empat buah kapal di bawah komandonya, berlayar menuju kepulauan Tanjung Verde. Tapi tidak seperti yang dilakukan Bartolomeu Dias yang menyusuri pantai Afrika, Vasco da Gama berlayar ke Selatan, jauh di luar Samudra Atlantik. Vasco da Gama terus bergerak jauh kearah Selatan kemudian berbelok arah ketimur mencapai Tanjung Harapan. Rute perjalanan ini lebih cepat ketimbang menyusuri pantai selatan seperti yang ditempuh Bartolomeu Dias; sekali pun dua setengah kali lebih lama dari waktu yag dicapai oleh kapal Christopher Columbus. ( Tan Swie Ling: “Masa Gelap” Pancasila Wajah Nasionalisme Indonesia). Adalah merupakan suatu keniscayaan bahwa ekspedisi pelayaran dibawah pimpinanVasco da Gama tersebut memiliki arti penting bagi proses kehidupan masyarakat manusia lebih lanjut setelah itu. Arti penting perjalanannya adalah karena ia sadar atau tidak telah membuka jalur jalan laut langsung antara Eroupa (Portugis)-India serta Timur Jauh, yang manfaatnya turut dinikmati oleh banyak negeri dan tentu saja faedah terbesar dinikmati oleh Portugis. Sehingga membuat Portugis, negeri kecil dipinggiran Eroupa yang semula melarat, mendadak semasa itu berubah menjadi negeri terkaya di Eroupa, dan selanjutnya mendirikan banyak koloni jajahan di seputar Samudra Indonesia serta membangun benteng-benteng dan pos-pos serdadu di India, Indonesia, Madagaskar, Pantai Timur Afrika, juga 361 di Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling banyak tempat lainnya. Hal yang selanjutnya membuat terjadi dan berlangsungnya penghisapan atas manusia oleh manusia serta tumbuh terjadinya penjajahan hampir di seluruh wilayah Asia, Afrika, dan Amerika latin sampai dengan berakhirnya masa dekolonisasi di pertengahan abad XX. Dan Indonesia yang merupakan salah satu dari isi samudra Indonesia dengan sendirinya tak terlepas dari segala dinamika yang berlangsung di dalamnya, sehingga jadilah ia salah satu negeri jajahan dimaksud. Artinya Indonesia sebagaimana faktanya silih berganti, dari semula di jajah Portugis berganti menjadi jajahan Belanda selanjutnya dari jajahan Belanda berganti menjadi jajahan Inggris dan tak lama lagi kembali menjadi jajahan Belanda dan berlanjut menjadi jajahan Jepang sampai akhirnya beriringan dengan berahirnya perang dunia ke II, pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir Soekarno berdua dengan Drs. Mohamad Hata, atas nama segenap rakyat Indonesia, menyatakan kemerdekaan Indonesia. Dibawah Kebijaksanaan Politik Devide Et Impera: Akan tetapi sayang sekali, kebebasan/kemerdekaan bangsa apa pun selalu saja pada awalnya tidak diiringi dengan sebuah kesempurnaan. Demikian yang terjadi dengan bangsa Indonesia. Adapun berbagai bentuk wujud ketidak-sempurnaan tersebut antara lain Belanda sebagai pertama-tama adalah ketidak relaan bangsa penjajah, untuk merelakan negeri bekas jajahannya lepas dari belenggu penjajahannya, sehingga dengan berbagai cara penjajah Belanda terus berusaha agar Indonesia tetap saja menjadi negeri jajahannya. Maka dalam rangka itu Belanda terus menjalankan politik andalannya; yaitu “devide et impera” atau politik “pecah belah dan kuasai” rakyat negeri jajahannya. 362 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Mengingat sebagai negeri kecil Belanda sepenuhnya sadar tidak mungkinlah dirinya akan mampu mengendalikan negeri sebesar Indonesia tanpa menjalankan politik “pecah belah dan kuasai”. Itulah rahasia bagaimana negeri sekecil Belanda mampu dan berhasil mengalungkan belenggu penjajahan pada negeri dan bangsa sebesar Indonesia sampai tiga ratus tahun lebih lamanya. Adapun sasaran politik “pecah belah dan kuasai” adalah para raja yang berkuasa atas kerajaan-kerajaan bumi putera, yang pada umumnya kecil-kecil disamping para pendatang yang oleh pemerintah kolonial Belanda disebut sebagai VreemdeOosterlingen atau “golongan bangsa Timur Asing”. Yang terdiri dari golongan penduduk Tionghoa, Arab dan India. Dimana dari ketiga golongan penduduk yang disebut sebagai bangsa Timur Asing, pertama, golongan penduduk Tionghoalah yang paling besar jumlahnya, kemudian golongan Penduduk Arab yang jumlahnya lebih banyak dari golongan penduduk India serta golongan penduduk India, yang jumlahnya paling kecil . Kembali berbicara Devide et Impera atau politik “Pecah belah dan kuasai”adalah bicara tentang dasar politik dari sebuah negeri yang lebih kecil agar dapat langgeng menaklukkan bangsa dan negeri lebih besar sebagai taklukannya. Maka kebijak sanaan (“pecah-belah dan kuasai”) tersebut akan secara abadi dilaksanakan oleh sebuah bangsa dan negeri kecil demi agar terus dapat berhasil menguasai bangsa dan negeri yang jauh lebih besar. Demikian halnya yang terjadi antara Belanda si negeri kecil dengan Indonesia negeri yang berlipat-lipat kali jauh lebih besar. Maka demikianlah untuk selanjutnya “devide et impera” menjadi dasar kebijaksanaan politik penjajah Belanda. Sebuah negeri kecil berhasil melakukan penaklukan atas negeri yang jauh lebih besar, serta berhasil pula melanggengkan penjajahannya. 363 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Tentu saja perjalanannya mengakibatkan penderitaan tak terperikan pada seluruh golongan penduduk Indonesia. Namun tanpa bermaksud mengecil-ngecilkan derita yang dialamami oleh semua golongan penduduk Indoneaia yang lain, sesungguhnya golongan penduduk Tionghoalah yang paling merasakan derita akibat praktek devide et impera yang berlaku di Indonesia baik semasa zaman penjajahan Belanda dahulu, maupun setelah zaman berikutnya ,yang disebut zaman merdeka. Dan dalam hampir sepanjang zaman itulah Siauw Giok Tjhan, Pejuang Besar Tionghoa Milik Bangsa Indonesia, hidup. Hidup yang penuh arti bagi nusa dan bangsa Indonesia. Hidup yang penuh arti bagi kehidupan pluralisme sejati yang kini mulai bersemi di negeri ini. Hidup yang penuh arti bagi mereka yang menganggap-nya sebagai guru perjuangan bangsa sejati. Panjang sekali kisah derita hidup dibawah kebijakan “Pecah Belah dan Kuasai” (devide et impera) yang dipraktekan oleh penguasa kolonial Belanda dan rezim orde Baru. Teristimewa yang dialami oleh komunitas Tionghoa di Indonesia. Komunitas Tionghoa Indonesia tidak saja mengalami pait getirnya akibat devide et impera sepanjang masa kekuasaan kolonialisme Belanda dimasa lalu, tapi juga sepanjang kekuasaan Orde Baru. Bahkan setelah Orde Baru tersebut tumbang. Karena tumbangnya Orde Baru tidak serta merta menghapus pengaruh buruk dari kebijaksanaan politik “devide et impera” yang diadopsi Orde Baru dari penguasa kolonial. Karena sebagaimana nyatanya kebijaksanaan devide et impera tersebut terus berberlangsung dalam wujud diskriminasi rasial (anti Tionghoa), terutama. Memang bicara soal diskriminasi, di Indonesia terutama di masa Orde Baru, boleh dikatakan tidak ada golongan penduduk apapun yang tidak mengalami diskriminasi dari penguasa Orde Baru. Akan tetapi dengan tidak melebih-lebihkan kenyataan yang 364 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling berlaku, semua golongan penduduk yang sama-sama mengalami diskriminasi dari penguasa Orde Baru, yang mengalami perlakuan diskriminasi paling berat adalah golongan penduduk Tionghoa. Di mana faktanya perlakuan diskriminasi yang dialami golongan penduduk TiongHoa sampai-sampai terbukukan ke dalam tiga jilid buku berjudul: “PEDOMAN PENYELESAIAN MASALAH CINA DI INDONESIA” Dihimpun dan disusun oleh BADAN KOORDINASI MASALAH CINA (BKMC)-BAKIN 1979-1980. Sedangkan golongan penduduk bangsa Timur asing yang lain serta golongan-golongan penduduk terdiskriminasi yang lain tidak mengalami perlakuan seperti yang dialami golongan penduduk Tionghoa. Pengalaman pahit yang bahkan berlangsung sejak zaman penjajahan sanpai dengan waktu diproklamasikannya hari kemerdekaan Indonesia. Dan bersambung ke masa Orde Baru. Sudah tentu keberlangsunganya praktek diskriminasi selama itu menanamkan akibat tidak baik pada kedua belah pihak golongan penduduk. Golongan penduduk yang biasa disebut pribumi dan golongan penduduk yang biasa disebut sebagai non-pribumi. Pada golongan penduduk yang biasa disebut sebagai nonpribumi tumbuh perasaan selalu diperlakukan tidak adil. Terutama setiap kali terjadi perubahan kekuasaan selalu dijadikan tumbal. Tidak pernah luput dari penjarahan dan berbagai tindak kekerasan sampai ke tindak kebrutalan lain, sepertti pemerkosaan dan pembunuhan sebagai mana terjadi pada peristiwa kerusuhan Mei 1998. Sebaliknya pada golongan penduduk yang sering disebut sebagai “pribumi” hampir pada umumnya berpendapat bahwa apa yang dialami golongan pendudukTionghoa sudah sepadan. Mengingat akibat kebijakan politik devide et impera oleh penguasa kolonial, mereka meyakini bahwa keberadaan golongan penduduk Tionghoa di negeri ini, sama sekali tidak ada sum- bangsihnya apa-apa. Golongan penduduk Tionghoa di 365 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling negeri ini sepenuhnya diyakini hanya sebagai golongan yang : “numpang makan, numpang tidur, numpang berak dan numpang beranak”. Sampai-sampai ada pembesar tinggi hasil pilpres tahun 2004-2009 negeri ini, seusai dilantik sesuai jenjang kepangkatannya yang tinggi, mungkin karena teringat pada peristiwa Mei 1998, melontarkan kata-kata: “ Orang Cina yang hidup di Indonesia tinggal pilih: “minta dibakar-bakari atau minta didiskriminasi”. Suatu tawaran pilihan tanpa alternatif positif! Begitulah agaknya akibat dari lamanya praktek devide et impera di suatu negeri. Golongan penduduk berbeda yang menjadi korban diskriminasi dan golongan penduduk yang mendiskriminasi samasama menangkap kesan negatif satu terhadap yang lain. Dimata golongan penduduk pribumi golongan penduduk Tionghoa di negeri ini sama sekali tidak ada peran positifnya. Hal ini bahkan tergambar nyata pada berikut ini. generasi muda Secara kebetulan suatu ketika penulis menjumpai sekelompok pemuda usia duapuluh tahunan tampak sedang panas beradu pendapat. Salah satu pihak dengan penuh keyakinan berpendapat ten- tang orang Tionghoa sebagaimana tersebut diatas. Maksudnya, orang Tionghoa tidak memiliki sumbangsih apapun terhadap negeri dimana ia bertmpat tinggal. Apa benar begitu? Mari kita tengok sejarah. Pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740. kita Sehubungan dengan permasalahan diatas, ada baiknya menengok sejarah. Dalam buku pelajaran sejarah untuk Sekolah Rakyat (SD) tahun 1950-han ditulis: Pada tahun 1740 terjadi pembantaian besar-besaran atas kurang-lebih sepuluh ribu orang Tionghoa, oleh kompeni Veerenigde Oost Indisce Compagnie (VOC) di Batavia. Oleh Menteri Pendidikan semasa 366 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling itu diperintahkan, agar Peristiwa tersebut di tulis dan di jadikan bahan pelajaran sejarah di Sekolah Rakyat, di mana penulis bersekolah waktu itu. Adapun mengapa peristiwa mengerikan itu bisa terjadi? Menurut versi VOC, karena orang Tionghoa dicurigai akan melakukan pemberontakan. Padahal menurut keyakinan penulis, kecurigaan bahwa orang-orang Tionghoa akan melakukan pemberontakan, kalau itu benar, dasarnya adalah karena orangorang Tionghoa para pemilik kapal jung yang biasa digunakan mengangkut teh yang didatangkan dari Tiongkok, teh yang didatangkannya,jumlahnya makin lama makin sedikit. sehingga tidak mencu- cukupi kebutuhan VOC. Adapun mengapa begitu, menurut para pemilik perahu jung, hubungan dagang orang Tionghoa dengan VOC dirasakannya mitra dagang, tidak seperti hubungan yang menentukan pembayaran berdasarkan kesepakatan harga jul-beli. Melainkan seperti hubungan budak dan majikan. Harga jual-beli barang sepenuhnya dibayar menurut kemauan VOC. Hal ini membuat pedagang teh malas berdagang dengan VOC. Dan keengganan para pedagang teh berdagang dengan VOC ditafsirkan sebagai pembangkangan dan niat memberontak. Dan berhubung hakekatnya VOC adalah pedagang bermeriam, maka dimeriamlah lawan dagang yang tidak mau mengikuti cara dagang pedagang bermeriam tersebut. Dan itulah latar belakang terjadiny peristiwa pembantaian orang Tionghoa di tahun 1740 oleh VOC. Sudah barang tentu orang Tionghoa yang niatnya berdagang bukan berperang, akan tetapi diperlakukan seperti musuh dalam peperangan, menjadi kucar-kacir tidak keruan. Itulah yang terjadi dalam peritiwa pembataian Tionghoa di Batavia tahun 1740. Lalu apa hubun gannya peristiwa pembantaian Tionghoa tahun 1740 367 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun dengan pada umumnya Tan Swie Ling anggapan anggapan golongan penduduk “pribumumi” yang beranggapan keberadaan orang Tiong- hoa di negeri ini hanya “ numpang makan, numpang tidur, numpang berak dan beranak saja” dan sama sekali tidak ada sumbang sihnya sama sekali terhadap negeri ini? Hubungan Tionghoa dengan Bumi Putera Bagai saudara Mari kita lihat. pembantaian semasa Sebahagian orang yang selamat dari itu, sudah tentu mencari tempat perlindungan guna menyelamatkan diri Untuk itu. kemana mereka pergi? dan Secara naluriah mereka menjauh dari tempat pembantaian datang pada sobat kenalan di kampung-kampung terdekat. Mereka menceritakan kemalangan nasib yang dialaminya. Bagaimana sikap kenalan-kenalan di kampung yang didatanginya?. Sisa orangTionghoa yang malang itu dibukakan pintu rumah. Dengan penuh empati mereka diterima dan diper- silahkan tidur di kamar-kamar tidur yang mereka miliki. Esok harinya mereka diajak sarapan makanan yang biasa mereka makan. Sehari, dua hari. Seminggu, dua minggu dan sebulan dua bulan kelompok orang Tionghoa yang malang itu diberi tempat berlindung serta dilindungi penduduk yang disebut orang kampung. Pelaku Kejahatan (VOC) Mengeluarkan Dekrit Pengampunan Kepada Korbannya Dalam pada itu gubernur Valkenir, yang berkuasa semasa itu, siang malam menc cemaskan akibat orang-orang Tionghoa malang yang selamat dan selanjutnya lama ber- lindung dan 368 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling dilindungi penduduk desa di berbagai kampung-kampung。Karena dalam naluri perhitungan kemiliteran sang Gubernur, semakin lama orang- orang Tionghoa berada dalam perlindungan penduduk desa di kampung-kam pung, itu akan berarti bahaya bagi keamanan VOC. Dan tentunya ini tidak baik bagi VOC. Oleh karena itu orang-orang Tionghoa harus segera ditarik keluar dari kampung-kampung tempatnya berlindung. Maka dibuatlah dekrit oleh Gubernur Valkenir agar para orang Tionghoa yang saat itu masih berada di dalam kampung-kampung supaya segera keluar meninggalkan tempat perlindungannya itu. Dan bagi barang siapa yang tidak mengindahkan dekrit tersebut akan dijatuhi hukum- an yang lebih berat. Sedangkan bagi mereka yang mematuhi dekrit akan diberi pengampunan. Sampai disini kepada kita dipertonton kan hati dan wajah penjajah yang sedemi- kian culas dan jahatnya. Sebagai pembantai (penjahat) Gubernur Valkenir berting kah sok suci. Memberi pengampunan kepada golongan pendudukTionghoa yang dijahati dan difitnah akan melakukan pemberontakan. Tanpa diperiksa dan di- buktikan kebenaranya, kurang lebih sepuluh ribu penduduk, langsung dibantai. Kemudian mereka, korban yang tersisa selamat dari pembantaian didekritkan harus keluar dari rumah-rumah di mana mereka dilindungi. Dalam pada itu para orang Tionghoa sisa korban pembantaian, oleh satu dan lain pertimbgan seperti salah satunya tentu perasaan rikuh berlama-lama merepotkan penduduk yang telah melindunginya, akhirnya mereka putuskan keluar dari desa/kampung tempatnya berlindung. Sedikit demi sedikit, serombongan demi serobongan mereka keluar meme nuhi seruan dekrit. Lalu perlakuan apa yang mereka terima dari pihak VOC? Mereka ditempatkan di dalam pondok-pondok peneduh dari hujan dan teriknya matahari 369 didalam lapangan terbuka Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling yang berpagarkan kawat berduri perintang orang , sisa korban pembantaian agar tidak leluasa keluar -masuk kamp alias penjara terbuka. Yang kira-kira semacam barak-barak orang buangan di pulau Buru karya Orde Baru. Yang letaknya kurang lebih dalam jarak tembak meriam dari tangsi kompeni VOC. Dengan demikian apabila orangTionghoa sisa pemban taian diketahui akan melakukan gerakan yang ditafsirkan bisa merugikan kumpe ni (VOC), akan mudah dimeriam dari tangsi kumpeni. Kesemuanya itu membuat orang-orang Tionghoa sisa korban pembantaian tidak bisa berbuat lain selain mematuhi apa mau VOC itu. Mengubah Penjara Jadi Ladang Niaga. Bagaimana selanjutnya orang Tionghoa sisa pembantaian besar-besaran itu hidup? Sudah tentu sangat sulit. Karena sekalipun di lapangan terbuka, yang memungkin kan kalau mau lari tinggal melangkahi kawat berduri. tetapi faktanya mereka adalah orang yang dihukum didalam penjara terbuka. Tegasnya, walau mungkin mereka mudah melangkahi kawat berduri toh mereka tidak bisa leluasa pergi kemana mereka mau. Karena untuk itu mereka harus mengatongi pas jalan alias surat ijin bepergian dari VOC. Jadi hidup dalam kondisi semacam itu, tanpa terja dinya suatu KEAJAIBAN, mustahil orang Tionghoa sisa korban pembantaian 1740 bisa terus berlangsung hidup. Ya, tanpa adanya sebuah keajaiban niscaya mustahil kita akan pernah mengerti belakang tempat dan jalan yang bernama latar “muara angke” dan atau nama “ jalan Tubagus Angke”. dialek Nama-nama tempat mau pun nama jalan yang dalam Hokian berarti KALI atau SUNGAI MERAH, MERAH OLEH DARAH yang tercurah dari kurang-lebih 370 10.000 penduduk Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Tionghoa di Batavia yang konon semasa itu lazim bertempat tinggal di sepanjang kali, aman, namun tiba-tiba saja kulit pembungkus tubuhnya robek oleh peluru dan tajamnya mata pedang kumpeni (VOC) serta darahnya tercurah membanjiri kali yang sampai sekarang dikenal dengan nama tempat: MUARA ANGKE dan JALAN TUBAGUS ANGKE yang lambat laun seiring pe rubahan zaman kini nama tersebut berubah menjadi “Jalan Tubagus Angke”. Di atas kita bicara tentang “keajaiban” dan berikut ini adalah proses terjadinya kea jaiban tersebut. tidak berdaya, Dalam keadaan sisa korban pembantaian Batavia th 1740, sekali lagi memperoleh bantuan dari mantan-mantan Tuan penolongnya semasa mereka berlindung menyelamatkan diri di kampungkampung. Dalam kondisi seratus persen tak berdaya, tidak leluasa bepergian, di luar dugaan dan diluar harapan orang sisa pembantaian mereka mendapat Tionghoa kunjungan dari para mantan pelindungnya yang datang sembari membawakan oleholeh 5-6 butir telur ayam peliharaanya atau seiket-dua iket kacang panjang hasil tanaman pagarnya sendiri.Yang karena seringnya ini terjadi, benar-benar membuat dalam rasa rikuhnya, orang Tionghoa yang malang itu mencoba berterima kasih dengan cara membalas oleh-oleh itu dengan memberikan balsem atau minyak kayu putih, atau apa saja yang mereka punya. Dan benar-benar ajaib. persaudaraan yang tulus serta Peristiwa barter semangat ajaib ini di samping makin mempererat hubungan persaudaraan antara Tionghoa malang dengan penduduk desa baik hati di kampung- kampung. Suatu keajaiban mereka punya kepentingan serupa melakukana aktivitas yang semula berupa barter oleh-oleh ala kadarnya namun terkandung dalam keluhuran harapan untuk dapat terus hidup bebas dari kebuasan tirani kumpeni. Tak disengaja secara 371 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling AJAIB dinamika tersebut telah mengubah penjara terbuka yang semula merupakan tempat pemukiman berupa penjara terbuka ternyata, berubah menjadi tempat mencarikehidupan yang lebih lanjut menjadi tempat berniaga yang seterusnya sampai waktu sekarang dikenal dengan sebutan sebagai PECINAN. Atau pusat kegiatam ekonomi di sebuah wilayah kota. Demikian itulah yang penulis maksud sebagai suatu keajaiban. Seandainya saja kebaikan hati penduduk desa itu hanya gincu, maka dapat dipastikan sisa korban pembantaian di Batavia tahun 1740 oleh VOC tersebut akan terpupus habis tidak akan dapat beranak-pinak sampai seperti adanya sekarang. Tapi faktanya mereka eksis sampai sekarang. Niscaya ada keajaiban yang tak akan pernah terjadi seandainya penduduk kampung beranggapan komunitas Tionghoa tidak setitik pun memiliki sisi positif dalam kehidupan bersama ini. Apakah keajaiban itu? Keajaiban itu adalah sesuatu yang dirasakan oleh penduduk anak negeri dalam hubungannya terhadap golongan penduduk Tionghoa di satu sisi, dan terhadap golongan penduduk Belanda di sisi lain. Dalam hubungannya dengan golongan pendu duk Belanda, golongan penduduk anak negeri ini merasakan kekakuan hubungan. Ini terjadi, karena bagaimana pun pihak Belanda adalah pedagang bersenjata. Pola dagang pedagang bersenjata bagaimanapun berbau mesiu.(bedil). Kalau pedagang Belanda melihat jenis rempah-rempah tertentu yang mencocoki perasaan hatinya, ujung jarinya menunjuk,memberi isyarat agar rempah-rempah itu dikumpulkan untuk ia beli. Kalau jual beli yang dibantu dengan bahasa isyarat selesai dan pedagang bermeriam tersebut di minta membayar, ternyata dibayarlah harga yang telah disepakati dengan jumlah pembayaran yang besarnya semau sendiri VOC bersedia membayarnya. Kalau rakyat menganggap 372 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling pembayaran itu kurang, pihak kompeni cuma goyang-goyang telapak tangan. Maksudnya pihak kumpeni sudah tidak bisa tawarmenawar lagi. Kalau pedagang ngotot, pedagang berbedil itu mulai mengancam. Kalau sudah diancam, masih berani ngotot, ditempelenglah ia. Dan kalau sudah ditempeleng juga masih ngotot ,..di dorlah pedagang rempah-rempah anak negeri itu. Karena memang begitulah cara kumpeni membeli barang dagangan dari rakyat. Pendeknya, pemilik barang harus menyerahkan barang dagangan yang dikehendaki kepada sang juragan bermeriam. Kalau tidak, akan mengalami nasib saperti golongan penduduk Tionghoa yang dibantai di Batavia pada tahun 1740. Atau akan mengulang mengalami nasib seperti: yang ditulis da- lam bukunya Des Alui, putera asli Bandaneira, pembantaian 1621 oleh VOC. 6000 seputar petani pala di Bandaneira pada tahun Ketika itu belum lama Saudagar bermeriam yang dikenal dengan nama lain sebagai VOC, menapakkan kedua kakinya di bumi Nusantara. Dalam pengembaraanya mencari rempah-rempah yang dibutuhkan negerinya di bu mi nusantara ini kumpeni menemukan buah pala kualitas idaman masyarakat Eropa di Bandaraneira. Dimintanya para petani Bandaraneira mengumpulkan dan memberikan buah pala yang telah dikumpulkan itu kepada kumpeni . Dibayarnya kumpulan buah pala tersebut lima sen per kilo. Para petani yang tahu pala di nege ri VOC dijual per kilo satu rupiah uang Belanda, menolak dan menunut penyesuai an pembayaran harga. Malang sekali petani pala Bandaneira semasa itu. Tak disangka dan tak diduganya sama sekali kalau tuntutan untuk mendapatkan penyesuaian harga sama sekali tidak dilayani pihak VOC. Penyesuaian pembayaran har- ga yang diminta tapi 373 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling tajamnya pedang dan ujung peluru yang diterima 6000 petani pala Bandaraneira. Begitulah tahun 1621 6000 petani pala di Bandaneira mengawali tradisi pembantaian rakyat di negeri ini oleh VOC. Rakyat Mulai Mengerti. Penguasa kolonial bukannya tidak mengerti. Bahwa rakyat yang dijajahnya lambat laun akan menyadari, dan mempertanyakan mengapa kehadiran dirinya berakibat memiskinkan segenap penduduk negeri ini. Maka untuk mengalihkan tudingan jari rakyat, bahwa bukan dirinya sebagai penjajah yang menjadi penyebab kemiskinan yang dirasakan oleh rakyat, maka dialihkanlah arah tudingan jari itu kepada golongan penduduk Tionghoa. Bukan aku kata penguasa kolonial Belanda, penyebab kemiskinanmu. Melainkan si Cina itulah penyebab dari kemiskinan penduduk negeri ini. Dan oleh kenyataan hampir semua barang yang diperdagangkan dari mulai terasi/ikan asin sampai perhiasan emas di pasar memang sebagian besar diperdagangkan oleh pedagang Tionghoa, maka percayalah penduduk, bahwa penyebab kemiskinannya memng dari si Cina. Dengan kata lain penduduk dibuat percaya bahwa penjajah negeri ini bukan Belanda, melainkan Tionghoa. Sementara itu yang dibutuhkan negeri iniadalah solusi problem yang terjadi, bukan tuduh kanan atau tuduh kiri. Dan solusi itu tidak lain adalah kebebasan, kemerdekaan. Sebagaiman sebagaimana diketengahkan, Bung Karno di dalam Pidato lahirnya Pancasila : Di dalam tahun tahun’33 saya telah menulis satu risalah. Risalah yang bernama “Mencapai Indonesia Merdeka”. Maka di dalam risalah tahun’33 itu, telah saya katakan, bahwa kemerdekaan, poitieke onafhankelijheid, 374 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling political independence, tak lain dan bukan, ialah satu jembatan, satu jembatan emas. Saya katakan didalam kitab itu, bahwa di sebrangnya jembatan emas itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat (persoalan) Tapi setelah sepuluh , dua puluh, tigapuluh, empat puluhh tahun dan setengah abad, Indonesia menyeberangi jembatan, kita telah dan berada di seberang jembatan emas, ternyata kedudukan komunitas Tionghoa di zaman merdeka masih tetap tak ada bedanya, alias sama saja. Di zaman penjajahan kolonial Belanda maupun di zaman Indonesia merdeka, tetap, diperlakukan sebagai orang asing. Kala Di zaman kolonial Belanda kedudukan hukum komunitas Tionghoa tak ubahnya seperti balon gas yang terapung-apung diudara. Dapat perlakuan hukum Belanda tidak, dapat perlakuan hukum pribumi pun tidak. Demikian pula ternyata pada zaman Indonesia merdeka, zaman yang menurut terminologi Bung Karno, zaman kemerdekaan atau zaman dimana bangsa yang berjuang melawan penjajahan kolonialisme Belanda ini sudah berada di seberang jembatan emas , namun ternyata bahkan perlakuan hukum yang memposisikan komunitas Tionghoa sebagai bangsa Timur Asing tetap berlaku. Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 , jangankan membawa serta golongan penduduk Tionghoa ke seberang jembatan emas. Nyatanya bahkan ke seberang jembatan batu pun tidak. Komunitas Tionghoa tetap hidup dengan balutan tali-tali diskriminasi. Bedanya hanya terletak kalau pada zaman penjajahan, berbagai tali diskriminasi dikendalikan oleh tangan penguasa kolonial, sedangkan di zaman merdeka tali-tali diskriminasi dipintal oleh tangan penguasa merdeka. Jadi yang ingin dikatakan disini, baik di zaman kolonial maupun zaman merdeka, belitan 375 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa senantiasa terjadi tidak oleh kehendak rakyat, melainkan mutlak oleh kehendak penguasa. Buktinya, di masa Orde Lama, diskriminasi memang terjadi. Tapi tidak sedahsyat pada masa Orde Baru. Demikian setelah Orde Baru tumbang diskriminasi terhadap komunutas Tionghoa susut secara drastis. Kena apa begitu? Sebab sebagaimana dikatakan di atas. Diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa terjadi bukan disebabkan oleh karena orang Indonesia tidak suka atau benci terhadap orang Tionghoa. Melainkan diskriminasi terjadi oleh sebab kehendak penguasa. Walau sekalipun demikian faktanya, toh sebelum ada penguasa, atau di saat-saat Indonesia baru menyiapkan diri untuk menjadi sebuah bangsa merdeka, sudah tumbuh diskriminasi yang mendasar. Seperti tampak jelas dalam risalah Sidangsidang BPUPKI. Untuk menyambut lahirnya kemerdekaan bangsa Indonesia, wakil-wakil golongan agama, dengan mengatas namakan rakyat memaksakan kemauan sendiri agar didalam UUD 1945 dicantumkan pasal yang berbunyi Presiden adalah ORANG INDONESIA ASLI BERAGAMA ISLAM. Adalah sudah barang tentu, hal ini terjadi oleh sebab banyak faktor, yang membuat terciptanya situasi dan kondisi dimana sidang-sidang BPUPKI nyaris menghadapi jalan buntu. Yang jelasnya agar para pembaca dapat membayangkan situasi sidang sebaik mungkin, dibawah ini disajikan kutipan pidato dua anggota BPUPKI . Pertama pidato anggota BPUPKI K.H.ABDUL KAHAR MOEZAKIR, kedua, Pidato anggota BPUPKI, SOEKARNO: Pidato anggota BPUPKI: K.H. ABDUL KAHAR MOEZAKIR: “Saya mau mengusulkan kompromi, Paduka Tuan Ketua, 376 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling supaya Tuan-tuan anggota Tyoosakai senang hatinya, yaitu kami sekalian yang dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya dari permulaan pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang-undang Dasar itu yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, dicoret sama sekali, jangan ada hal-hal itu. (memukul meja). Terima kasih.” Pidato anggota BPUPKI: SOEKARNO Paduka Tuan Ketua yang termulia! “Saya yakin bahwa banyak di antara anggota-anggota Dokuritu ZYunbi Tyoosakai tadi malam tidak bisa tidur, sebagaimana juga terjadi dengan diri saya. Boleh dikatakan, hampir datang waktu subuhlah saya baru bisa menutupkan mata saya, oleh karena memikirkan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di dalam rapat-rapat kita tadi malam. Makin mendalamlah di dalam keyakinan saya, apa yang saya katakana kemarin, yaitu bahwa sebelum terbentuk suatu Undak-undang Dasar dari pada sesuatu rakyat, selalu didahului oleh kesukaran-kesukaran yang amat hebat, kesukaran-kesukaran, pertikaian dan perselisihan pendapat, tetapi akhirnya jika- lau sesuatu bangsa cukup kekuatan batinnya untuk mengatasi segala kesukaran-kesukaran itu, barulah bisa disusun Undang-undang Dasar itu menjadi suatu hal yang dikeramatkan, di dalam arti yang tidak mengenai hal agama. Ini sekadar suatu peribahasa yaitu: “yang dikeramatkan oleh bangsa yang membuatnya”. Kita kemarin menghadapi satu kesukaran yang amat sulit, tetapi Allah swt. selalu memberi petunjuk kepada kita. Kepada tiap-tiap manusia yang betul-betul memohon petunjuk daripada Allah swt, dalam tiap-tiap kesukaran, maka Allah swt selalu mem beri petunjuk. Maka petunjuk bagi kita 377 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling anggota Dokuritu Zyunbi Tyoosakai tadi malam telah mulai datang “. “Sesudah ditutup rapat tadi malam itu, maka dengan segera kami, yaitu beberapa pemuka yang dinamakan pemuka kebangsaan dan pemuka yang dinamakan pihak Islam, mengadakan perundingan. dan sekarang telah sampailah saatnya saya sebagai Ketua Panitia itu, mengemukakan, apakah pendapat saya sebagai Ketua Panitia itu tentang masalah itu.” “Saya tidak akan berbicara panjang lebar. Pokoknya ialah demikian, bahwa kita se kalian hendaknya insyaf seinsyaf-insyafnya akan penting dan gentingnya keadaan; bahwa kita telah bersumpah –walaupun sumpah itu tidak kita ikrarkan- tidak akan pulang, tidak akan kembali ke tempat kediaman kita masingmasing, sebelum Undang-undang Dasar Indonesia merdeka tersusun.” “Jikalau kita sekarang mengemukakan alasan-alasan, argumen-argumen lagi, saya yakin bahwa soal yang menjadi pembicaraan kemarin itu tidak akan ada habis-habisnya. Pihak kebangsaan, jikalau diminta, bisa mengemukakan argument bergu dang-gudang; pihak Islam pun jikalau diminta, bisa mengeluarkan argument bergudang-gudang pula. Di sini 10 gudang. Di situ pun 10 gudang. Di sini 100 gudang, disitu pun 100 gudang. Tidak akan ada habis-habisnya soal ini, bila kita masih mengemukakan argument-argumen untuk memperteguh, untuk menyokong, untuk menerangkan pendirian kita masing-masing. Maka oleh karena itu, saya sebagai Ketua Panitia, menasehatkan kepada tuan-tuan sekalian, marilah kita sudahi perkara ini dengan tidak masing-masing memegang kokoh-kokoh pendirian kita 378 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling masing-masing lagi.” “Kepada kaum yang dinamakan kaum kebangsaan Indonesia, saya minta dengan tegas, supaya suka menjalankan suatu pengorbanan, menjalankan suatu offer kepada keyakinanitu. Alangkah gilang-gemilang kita kaum kebangsaan, jikalau kita bisa menunjukkan kepada dunia umum, dunia Indonesia khususnya, bahwa kita demi persatuan, demi Indonesia merdeka yang hendaknya datang selekas-lekasnya, bisa menjalankan suatu offer mengenai keyakinan kita sendiri “. “Saya berkata, bahwa adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan, “er is grootheid in Offer”. Marilah kita sekarang menjalankan pengorbanan itu, dan pengorbanan yang saya minta kepada saudara-saudara yang tidak sefaham dengan golongan-golongan yang dinamakan Islam ialah supaya saudara-saudara mufakati apa yang saya usulkan itu. “Yang saya usulkan, ialah: baiklah kita terima, bahwa didalam Undang-undang Dasar dituliskan, bahwa ”Presiden Republik Indonesia heruslah orang Indonesia asli yang Beragama Islam”. Saya mengetahui, bahwa buat sebagia pihak kaum kebangsaan ini berarti sesuatu hal yang berarti pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimana pun kita sekalian yang hadir di sini, dikatakan100% telah yakin, bahwa justru oleh karena penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdi ri dari pada 90 atau 95 % orang-orang yang beragama Islam, bagaimana pun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah orang yang beragama Islam.” “Apa boleh buat, Saya minta kepada Saudara-saudara yang berdiri atas dasar ke bangsaan itu tadi, supaya melepaskan teoritis prinsip ini, mengorbankan teoritis prinsip ini kepada persatuan yang harus lekas kita selenggarakan,agar bisa lekas tersusun Undang-undang Dasar, agar supaya bisa lekas pula tercapai Indonesia Merdeka. Inilah permintaan saya kepada 379 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling saudara-saudara yang berdiri di atas faham kebangsaan. Dengan terus terang saja, marilah kita sekalian menjalankan pengorbanan. Saya katakan kepada saudara-saudara sekalian , bahwa saya ,sejak dibuang ke Flores, saya belajar sembahyang dan dalam tiap-tiap kali saya sembahyang tidak berhenti-hentinya saya mohon kepada Allah swt, supaya Allah memberi petunjuk kepada saya, supaya saya bisa menjadi seorang pemimpin yang bisa menunjukkan jalan kepada bangsa Indonesia, jalan bagaimana kita sekalian bisa lekas mencapai Indonesia Merdeka. Inilah Tuantuan sekalian, saya anggap jalan yang harus kita tempuh. Dengan jalan demikian itulah kita bisa lekas menyusun hukum dasar kita, sehingga bisa lekas mencapai Indonesia Merdeka.” “Saya minta kepada saudara-saudara kaum kebangsaan jalankanlah offer itu. Kalau masih kita bicarakan lanjut hal itu, tidaklah ada habisnya. Marilah kita setujui usul saya itu; terimalah clausule di dalam Undang-undang dasar, bahwa Presiden Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam. Kemudian artikel 28, yang mengenai urusan agama, tetap sebagaimana yang telah kita putuskan, yaitu ayat ke-1 berbunyi: “Negara berdasar atas ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”” Ayat ke-2 “Negara menjamin kemerdekaan tiaptiap penduduk untuk memeluk agama lain dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya masinb-masing”. Saya minta supaya apa yang saya usulkan itu diterima dengan bulat-bulat oleh anggota sekalian, walaupun saya mengetahui, bahwa ini berarti pengorbanan yang sehebat hebatnya,terutama sekali dari pihak saudara-saudara kaum patriot Latuharhary dan Maramis yang tidak beragama Islam. Saya minta dengan rasa menangis supaya suka lah saudara-saudara menjalankan offer kepada tanah air dan bangsa kita, pengorbanan untuk keinginan kita, supaya kita bisa lekas menyelesaikan supaya kita bisa lekas 380 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling menyelesaikan supaya Indonesia Merdeka bisa lekas damai. Demikianlah Paduka Tuan Ketua yang mulia penjelasan saya. Saya harap, Paduka Tuan Ketua yang mulia suka mengusahakan sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi.” Dipetik dari Buku Otobiografi salah Seorang Anggota panitia persiapan Kemerdekaan Berjudul Yap Tjwan Bing: Meretas Jalan Kemerdekaan. Peristiwa 10 Mei 1963 di Bandung Pada tanggal 8 dan 9 Mei 1963 terjadi aksi massa di kota Cirebon dan Tegal. Terjadi gerakan merusak dan membakar barang-barang milik golongan masyarakat keturunan Cina. Pada tanggal 9 Mei 1963 sekitar pukul 18.00, saya dan beberapa pemuka masyarakat golongan keturunan Cina, diantaranya Siauw Giok Tjhan yang pada waktu itu sebagai Ketua Baperki, menerima telpon dari Gubernur Jawa Barat, Bapak Marshudi. Kami diminta oleh beliau untuk berkumpul di kantor Cubernur, guna mendengarkan secara langsung penjelasan tentang perusakan terhadap barang-barang milik golongan masyarakat keturunan Cina di kota Cirebon dan Tegal. Maksudnya adalah agar kami tidak terkena provokasi dan agar peristiwa tidak akan menjalar ke kota Bandung. Kami mendegar penjelasan itu dengan penuh perhatian. Namun demikian, kami tetap merasa bimbang karena menurut keterangan Bapak Marshudi, panglima Kodam Jawa Barat yaitu Brigjen Ibrahim Adji tidak berada di tempat pada saat yang genting tersebut. Selesai mendengar penjelasan Bapak Marshudi, kami 381 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling pulang kerumah masing-masing. Pada hari itu, sejak pagi saya sibuk mengikuti rapat-rapat anggota Sinode Gereja Kristen Indonesia Jawa Tengah yang diselenggarakan di kota Bandung. Saya segera menuju ke tempat rapat yang berlangsung sampai lewat pukul 14.00. Pukul 05.00 pagi harinya saya mengantar peserta rapat ke stasiun kereta api Bandung untuk kembali ke kotanya masing-masing seperti Yogyakarta, Solo, dan Semarang. Saya pulang dan tiba di rumah pukul 07.00 pagi dan segera tidur. Rupanya, mulai pukul 08.00 pagi tanggal 10 Mei 1963 tersebut para mahasiswa bersama massa mulai membakar mobil, rumah, dan merusak toko-toko kecil milik keturunan Cina yang kurang mampu di Tegallega Bandung. Istri saya pada pagi itu berbelanja di Pasar Baru. Beruntung bahwa tidak terjadi apa-apa atas dirinya. Pagi hari itu juga beberapa mahasiswa ITB ke rumah saya. Mereka mengumpulkan uang untuk kepentingan asrama mahasiswa. Padahal sebelumnya saya bersama teman-teman dari Gereja Kristen Taman Cibunut telah memberi bantuan untuk kepentingan dana asrama mahasiswa itu. Pada pagi hari tanggal 10 Mei itu saya menerima telepon dari beberapa orang sahabat yang berikhtiar untuk menolomg kehidupan kami sekeluarga. Mr.Astrawinata yang menjabat sebagai wakil Gubernur Jawa Barat (kemudian menjadi Menteri Kehakiman) menelpon saya agar saya membawa barang-barang yang penting ke rumahnya untuk mendapat perlindungan. Tetapi saya menjawab tidak perlu. Juga Tachja, Kepala Polisi Priangan, menelpon bahwa ia akan mengirimkan anggota polisinya untuk menjaga rumah saya. Saya menolak tawaran tersebut dengan halus. Mochtar dari partai Masyumi dan menjabat sebagai staf redaksi Pikiran rakyat Bandung menelpon dan menanyakan bagaimana keadaan kami sekeluarga. Saya merasa terharu atas perhatian yang diberikan oleh para sahabat orang Indonesia asli 382 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling ini. Mengingat bahwa gerakan perusakan di kota Bandung dipelopori oleh para mahasiswa, maka Dewan Kurator ITB dan universitas Pajajaran mengadakan rapat gabungan yang dipimpin oleh Ir. Ukar Brata Kusuma. Dalam rapat gabungan itu hadir juga Bapak Mashudi (gubernur Jawa Barat), Jaksa, dan beberapa orang perwira tinggi dari ABRI. Saya juga mengikuti rapat itu . Dalam rapat tersebut terjadi perdebatan perdebatan yang sengit, tetapi berkat pimpinan yang tegas dari Ir Ukar, rapat itu dapat berjalan dengan suasana persaudaraan. Bapak Gubernur adalah seorang yang adil dan tidak dipengaruhi oleh persengketaan antara pemuda atau mahasiswa pribumi dan nonpribumi. Rapat itu akhirnya berhasil merumuskan beberapa keputusan, yaitu: 1. Mencegah sedapat mungkin terulangnya peristiwa 10 Mei 1963. 2. Berusaha atau merapatkan mahasiswa hubungan pribumi dengan antara pemuda nonpribumi dan menyadarkan mereka bahwa mereka adalah satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 3. Agar mereka sebagai pemuda dan mahasiswa saling mendorong dan membantu dalam pelajarannya dan saling memaafkan kalau salah satu dari mereka berbuat kesalahan. Beberapa wktu kemudian, Gubernur Jawa Barat Mashudi menyarankan kepada saya untuk bersama-sama dengan temanteman golongan keturunan Cina untuk menulis surat kepada Bung Karno. Isi surat tersebut adalah mengaharapkan bantuan dari pemerintah pusat agar peristiwa 10 Mei ini tidak terulang lagi. Siauw Giok Tjhan dari Baperki turut bersama kami menandatangani surat tersebut. Kemudian saya menyerahkan surat itu kepada Bapak Mashudi untuk meneruskannya kepada Bung Karno. 383 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling Dalam suasana seperti ini, terlihat bahwa Bapak Mashudi sebagai Gubernusr Jawa Barat telah menjalankan tugasnya secara adil tanpa sikap diskriminasi. Tiga orang anggota DPR RI dari keturunan Cina, yaitu saya sendiri sebagai wakil dari PNI, Mr. Tjung Tin Yan wakil dari Partai Katolik, dan Siauw Giok Tjhan dari non partai sepakat agar persoalan yang berhubungan dengan golongan masyarakat keturu an Cina terutama tentang Peristiwa 10 Mei di Bandung itu dibawa dan dibicarakan di dalam fraksi partai politiknya masing-masing. Dalam fraksi PNI, saya harus membicarakan masalah tersebut. Setelah diterima oleh fraksi PNI, fraksi menunjuk seorang juru bicara bukan dari keturunan Cina untuk mengajukan persoalan itu di dalam sidang paripurna DPR. Persoalan ini mendapat tanggapan yang baik dan sungguh-sungguh dari DPR dan menjadi bahan pertanyaan DPR kepada pemerintah. Kesan yang dapat saya tangkap dari peristiwa itu adalah adanya suatu jarak sosial di dalam masyarakat. Para pemuda dan mahasiswa pribumi dan non pribumi rupanya tidak bergaul secara rapat seperti dahulu. Kenyataan ini mendorong kita untuk tidak tinggal diam, tetapi harus berbuat sesuatu. Menurut pendapat saya, pemimpin dari dari kedua belah pihak wajib berupaya untuk memberikan penerangan kepada para pemuda dan mahasiswa khususnya dan masyarakat pada umumnya. Kita harus menanamkan rasa persaudaraan diantara mereka, karena mereka merupakan warga dari negara dan bangsa yang sama, yaitu negara dan bangsaRepublik Indonesia, tanpa yang sama , melihat perbedaan berdasarkan keturunan. Jikalau saya mempelajari dan meninjau Pancasila sebagai dasar atau idiologi negara terutama pada pasal III dan IV, yaitu Persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, maka saya 384 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling berkesimpulan bahwa kedua sila itu merupakan sila yang harus diperhatikan dan dijalankan oleh pemuda pemudi Indonesia sertta seluruh bangsa Indonesia. Usaha menumbuhkan pengertian yang baik antara pemuda pemudi Indonesia dengan pemuda pemuda pemudi keturunan Cina menurut pendapat saya perlu dilaksanakan oleh semua pihak. Apabila upaya ini berhasil, maka bangsa Indonesia akan dapat memusatkan perhatiannya pada pembangunan nasional untuk menuju tercapainya masyarakat yang adil dan makmur. Musibah yang menimpa keluarga saya pada Peristiwa 10 Kei 1963 itu adalah dibakar nya sebuah mobil baru kami oleh pemuda dan perusakan bungalow kami yang terletak di Jalan Lembang, Bandung. Para pemuda yang membakar dan merusak barang itu tidakbertanya siapa pemilik barang itu, apakah barangbarang itu kepunyaan orang Cina atau bukan. Saya yakin apabila pemuda perusuh itu mengetahui bahwa barang itu adalah milik saya (YapTjwan Bing), maka mereka tidak akan membakar ataupun merusaknya, karena saya cukup dikenal oleh para pemuda di Bandung. Saat itu saya menjabat sebagai anggota DPR RI, anggota Dewan Pimpinan PNI, Dewan Kurator ITB, dan anggota panitia ujian di Fakultas Farmasi Universitas Pajajaran. Gubernur Jawa Barat, Bapak Mashudi, pada rapatdi kantor gubernur mengatakan bahwa para pemuda telah membakar mobil baru dan merusak bungalow milik Bapak Yap Tjwan Bing yang termasuk salah seorang patriot Indonesia. Beliau sangat menyesalkan peristiwa ini. Pembakaran mobil dan perusakan bungalow sangat dirasakan oleh istri saya sebagai seorang wanita. Ia terus menangis dan tidak dapat memahami atau mengerti mengapa para pemuda melakukan hal ini. Menurut pendapatnya, kami telah ikut berjuang dan membantu pemerintah Republik Indonesia sejak 385 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling awal berdirinya. Sejak peristiwa itu, Istri saya terus dibayangi oleh ketakutan yang amat mendalam. Bagaimana kalau peristiwa 10 Mei terulang kembali dan rumah kami di Jalan Cipaganti 23Bandung dibakar lagi oleh para perusuh. Kemungkinan besar Siong Hoei yang lumpuh tidak dapat lari dan turut terbakar dengan rumah kami. Oleh karena itu istri saya berpendapat bahwa kami harus secepatnya membawa Siong Hoei untuk mendapat pengobatan di Amerika Serikat. Hal ini sesuai dengan nasihat dari Dokter Suharso. Jalan pikiran istri saya ini juga dapat dimengerti oleh teman dan sahabat-sahabat kami dari orang Indonesia asli. Pada mulanya saya menolak istri saya , namun setelah istri saya bersikeras dan mengatakan bahwa mereka akan pergi sendiri ke Amerika Serikat, maka sikap saya menjadi luluh. Dengan berat hati saya mengikuti jalan pikiran istri saya. Saya sadar bahwa keluarga saya senantiasa memerlukan pimpinan dan bimbingn saya selama hidup di Amerika Serikat. Akhirnya kami sepakat untuk berangkat dan bermukim di Los Angeles. Dantulisanku berikutnya akan berangkat dari tiga point di bawah ini. 1. Bagaimana kalau Peristiwa 10 Mei terulang kembali 2. Kesan yang dapat saya tangkap dari peristiwa itu adalah adanya suatu jarak sosial di dalam masyarakat. 3. Saya yakin, apabila pemuda perusuh itu mengetahui bahwa barang itu milik saya (Yap Tjwan Bing), maka mereka tidak akan membakar atau pun merusaknya, karena saya cukup dikenal oleh para pemuda di Bandung. Kutipan berakhir. Saya ingin mengomentari bagian-bagian tertentu kutipan otobiografi Drs Yap Tjwan Bing seperti tersebut di atas dengan kutipan dari buku saya berjudul G30 1965 Perang Dingin& 386 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling kehancuran nasionalisme Pemikiran Cina Jelata Korban Orba, bagian yang berkaitan dengan DOKUMEN CIA sebagai berikut: Memorandum Dipersiapkan CIA untuk State Departmen 248 Washington, 18 September 1964 PROYEK UNTUK AKSI TERSEMBUNYI Hubungan AS/Indonesia yang menurun, dilaporkan dalam telegram baru-baru ini (khususnya Embte 1317249, 320250, dan 359251) dan menimbulkan pertanyaan bagaimana memulai program aksi tersembunyi sebagai respon perkembangan situasi ini. Dalam konteks tersebut paragraf berikut ini menerangkan beberapa kemungkinan aksi, dan sebuah analisis tentang persoalan yang terkandung dalam perencanaan tersebut dan penerapannya. Jika anda menyetujui intinya, mungkin akan tepat untuk dikirim ke State Departmen dan Markas Besar CAS dan meminta pertimbangan mereka, dan semoga mendapat persetujuan dari mereka. Situasi 1. Selama dua bulan lalu hubungn Indonesia dan AS semakin menegang.Sikap Indonesia telah mengkristal dalam menghadapi sejumlah perkembangan terakhir. Termasuk indikasi berulang mengenai penarikan mundur program bantuan yang tersisa secara unilateral oleh AS, sampai akhirnya muncul pasal-pasal amandemen Towe 252; hasil resmi pertemuan (komunike) dikeluarkan oleh Presiden Johnson dan Tunku Abdul Rahman 253 yang mengakibatkan Indonesia menafsirkannya sebagai ungkapan AS untuk membantu Malaysia; dan akhirnya 387 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling episode Teluk Tonkin. 2. Dalam pidato Soekarno 17 Agustus’64 yang mendeklarasikan AS menjadi musuh publik nomer 1 di Asia, dan mengidentifikasikan diri sendiri, secara lebih terbuka daripada sebelumnya, dengan blok komunis. Secara internal kecenderungan kekiri memang cocok dengan postur internasional Soekarno. Melalui seruan menggunakan kembali tingkat perwira sampai Menko “reaksioner”, maka Presiden dengan terang-terangan mengundang PKI untuk mengadvokasi penggunaan kembali seluruh kekuatan anti komunis di pemerintahan. Dia mengumumkan akan membubarkan setiap partai politik reaksioner, tapi pada memberikan persetujuan saat bersamaan dia secara diam-diam bagi aksi unilateral oleh PKI. Dalam pidatonya Soekarno mengesahkan secara empati program landreform dan pembentukan pengadilan landriform, yang semuanya akan dilaksanakan di bawah kontrol PKI, tapi juga mendeklarasikan bahwa setiap orang yang menentang Nasakom berarti juga menentang revolusi. Meskipun di dalam perubahan struktur kabinetnya yang terkahir (27 Agustus) Soekarno sama sekali tidak melakukan Nasakomisasi, tidak perlu dipertanyakan lagi bahwa dia melangkah lebih jauh untuk melegitimasi peran PKI di dalam jajaran eksekutif pemerinrtahannya. Perkembangan ini tentu saja serasi dengan tamparan berulang-ulang terhadap AS, termasuk pembatalan training polisi dan militer, boikot Pan Amerika. Aksi melawan UISD I Yogyakarta, dan ancaman umum terhadap properti Amerika. 388 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling 3. Sekalipun gambaran ini, nampak suram, terdapat indikasi bahwa situasi ini sama sekali tidak diluar batas, dan bisa diperbaiki lagi. Kata-kata penguatan terus diterima oleh berbagai komponen Misi AS yaitu kontakkontak dekat, sumber informasi, dan teman pada umumnya. Ada orang-orang Indonesia yang baik dalam pemerintahan, Angkatan Bersenjata dan sektor swasta yang berkeinginan untuk membela keyakinan sendiri bahkan jika harus membahayakan kehidupan mereka sekalipun, (kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasififikasikan)…terus memberi kemungkinan bekerja secara efektif dengan individu-individu semacam ini, dan motivasi mereka sama sekali tidak dilakukan demi uang. Diantara mereka beberapa telah menunjukkan kemampuan melakukan kegiatan politik yang tersembunyi meskipun terbatas namun efektif. Lenih jauh, terdapat sejumlah pendekatan ke Kedutaan dan Komponen Misi lainnya oleh individu-individu beberapa bermotivasi untuk kepentingan diri, tapi lainnya untuk kepentingan orang lain yang mencari bantuan agar mereka mampu melawan komunisme di Indonesia. 4. Tapi waktu tidak berpihak pada orang-orang ini, dan sebenarnya telah hampir habis. Mungkin tidak dapat dihentikan. Sudah pasti program tersembunyi itu sendiri tidak dapat membalikkan kecenderungan Sorkarno. Kedutaan dalam rekomendasinya untuk State Department, talah menempatkan sejumlah Pertimbangan, yang bertujuan untuk memperthankan pegangan di Indonesia dengan syarat bahwa program 389 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling tersebut dapat memampukan kita hidup lebih lama dari Soekarno. Sehubungan dengan misi dasar program dan sebagai tambahan di sana, (kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan) kami mengajukan sebuah program aksi tersembunyi yang intensif, terbatas pada tujuan awalnya, tapi dirancang untuk ekspansi jika situasi mengijinkan. 5. Kebijakan AS sekarang ini terhadap Indonesia telah benar-benar konstruktif dan bertujuan jangka panjang, didasarkan pada konsep mengkontribusi pembangunan ekonomi Indonesia, ditambah lagi dengan peningkatan suara komunis yang semakin kuat di Indonesia, kita harus mencari cara untuk mempertahankan hak keadilan kita di sini sampai datangnya waktu yang lebih baik. Didalam kerangka kerja ini (kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan) program aksi tersembunyi telah dibatasi. Usaha yang lebih sederhana telah dibuat untuk membangun poin kontak dan pengaruh (1 baris teks sumbuer tidak dideklasifikasikan). Kita telah melunakkan penekanan pada pengembangan (kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan) tipe-tipe para pemimpin potensial. Dan akhirnya, program ini mengakibatkan kekerasan terbatas terhadap PKI. Tentu saja tidak ada penugasan untuk melakukan serangan langsung ke Soekarno. Tingkat perijinan mengambil tindakan berisiko, dengan sendirinya sangat rendah dan hampir seluruhnya hanya terbatas pada bidang pengumpulan informasi intelijen. 6. MOHON PERHATIAN UNTUK 390 BARIS KALIMAT ke-15 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling dibawah nanti beberapa aktivitas tertentu seperti yang ditawarkan dalam paragraf 5-11 di atas dapat dipakai di dalam kerangka kerja kebijakan yang berlaku. Tapi jika kita harus menggunakan usahausaha tersebut, sejumlah pertanyaan penting pertamatama harus dipertimbangkan dengan sangat hati-hati. Harus dipahami sejak dari awal bahwa tujuan dari seluruh pelaksanaan ini adalah agitasi dan dorongan perselisihan internal antara elemen komunis dan non komunis. Pola aktivitas cukup sederhana cakupannya, namun ukuran keberhasilan program adalah untuk mendapatkan momentumnya. Artinya kita perlu melakukan perluasan cakupan program dan intensifikasi langkah. Bahkan usaha awal yang sederhana tersebut, dengan sendirinya akan menimbulkan pertanyaan kritis mengenai kebijakan. Seberapa jauh kita dapat melakukan usaha memecah PKI dan lebih penting lagi, untuk mengadu PKI melawan elemen nonkomunis, khususnya dengan Angkatan Darat? Sampai sejauh mana, jika ada, kita harus menyerang Soekarno? Sampai sejauh mana jika ada, kita harus menyerang Soekarno? Apakah tidak terpikirkan untuk menggerakan tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan di bawah syarat-syarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk menanggung kekuatan besar untuk memeulihkan Perintah? Kita tidak ingin nampak terlalu ambisius dalam hal ini. Tapi jika kita membangun program yang didalamnya 391 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling terdapat bentuk (kurang dari 1 baris teks sumber tidak di deklasifikasikan) sebagai tambahan di dalam perkembangan politik jangkan panjang, maka penting sekali bawa kita sudah sampai di tempat seperti sekarang ini dan mampu mempertimbangkan dampak kemungkinan dampak usaha kita. Saat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini adalah sekarang, tidak ada nanti. Kita tidak akan berhasil untuk mengambil tindakan seperti yang direncanakan di atas bahkan dalam skala yang paling sederhana sekalipun, jika tidak mempelajari pertanyaan- pertanyaan ini terlebih dahulu dan komitmen-komitmen yang mungkin diperlukan. Sangat jauh lebih baik untuk tetap bertahan, tanpa harus menanggung risiko dipermalukan atau menanggung bahaya (kurang dari 1 baris teks sumber tidak dideklasifikasikan). 7. Jika di dalam aksi merusak ini muncul elemen yang tidak sesuai dengan usaha jangka panjang memberikan kehidupan jangka panjang memberikan kehidupan pada elemen-elemen ningrat masyarakat Indonesia, kita hanya dapat membantah bahwa dalam jangka panjang hanya akan tersisa sedikit yang bisa diselamatkan. Kombinasi terakhir terakhir antara kediktatoran Soekarno dengan peningkatan pencucian otak eleman-elemen masyarakat lokal, ditambah eksploitasi PKI secara terlatih atas nasionalisme Indonesia yang disahkan, dan terakhir pembawaan tradisi Jawa yaitu menyetujui kekuasaan secara diam-diam, pasti akan menghapus sisa-sisa rintangan antara komunis dan anti komunis di negara ini. 392 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling 8. Mungkin hal yang paling penting dibanding semuanya, adalah membuat usaha-usaha untuk menghancurkan pertumbuhan dominasi PKI propaganda (pers, radio di bidang propaganda dan TV). Karena garis propaganda PKI sekarang ini dan rezim Soekarno tidak dapat dibedakan secara nyata, hal ini akan membawa risiko yang jelas. Kami percaya risiko ini harus diambil. Demikianlah semoga melalui 4 halaman kutipan dari 647 halaman buku DOKUMEN CIA Melacak Penggulingan Soekarno dan Konspirasi G 30 S 1965. Edisi Indonesia Redaksi Hasta Mitra, yang di sana-sini masih terkurangi lagi oleh tidak sedikit adanya kalimat-kalimat yang tidak dideklasifikasi yang tentunya memang sengaja dimaksudkan oleh AS selaku Panglima Komando Perang Dingin agar tidak semua kejahatan dan dosa CIA diketahui oleh umum, melainkan tetap harus ada yang dikubur untuk selamalamanya. Penutup: Dimuka aku awali tulisan ini, aku buat diatas sepasang landasan. Pertama, di atas landasan sejarah peristiwa pembantaian komunitas Tionghoa di Batavia pada tahun 1740. Kedua, diatas landasan sejara peristiwa 10 Mei 1963 (dokuem CIA) yang aku kutipkan juga dalam tulisan ini. Dengan landasan sejarah peristiwa pembantaian Tionghoa di Batavia tahun 1740, aku bermaksud mengetengahkan betapa harmonisnya hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas anak negeri. Yang tanpa itu, komunitas Tionghoa sisa pembantaian yang dilakukan oleh VOC niscaya tidak mungkin memperoleh pertolongan dan perlindungan di kampung-kampung hunian 393 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling masyarakat anak negeri.Yang lebih lanjut akan membuat seluruh penduduk negeri ini tidak akan pernah mengenal adanya kawasan penggerak kehidupan ekonomi yang disebut sebagai PECINAN. Sedangkan dengan sejarah peristiwa 10 Mei 1963, aku bermaksud menunjukkan betapa hancur rusaknya harmoni hubungan komunitas Tionghoa dengan komunitas anak negeri setelah diobok-obok kepentingan dunia Barat berulang kali. Setidaknya selain kerusuhan 10 Mei 1963, menyusul lagi kerusuhan yang meminta korban lebih heibat dari kerusuhan 10 Mei 1963, yaitu kerusuhan Mei 1998. Dikatakan memakan korban lebih heibat mengingat seperti yang dikatakan oleh mantan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan RI, Drs Yap Tjwan Bing, yang dibakar adalah mobil baru miliknya disamping perusakan rumah tinggalnya disamping banyak pula toko-toko milik para pedagang. Sementara dalam peristiwa 13-14 Mei 1998 kadar kerusakan akibat penghancuran tidak sebatas pada harta benda melainkan juga pda martabat manusia. Berapa banyak wanita Tionghoa yang diperkosa?Bukankah ribuan jiwa melayang bersama ketika para pemiliknya berhasil dipancing masuk ke dalam mal-mal dan pintu mal-malnya dikunci lalu dibakar? Siapa pemilik prakarsa serta pelaku pelaksana kejahatan itu? Diatas, salah satu dari sepasang landasan sejarah tulisan ini disebut-sebut Dokumen CIA. Bagaimana penjelasannya? Sebelum sampai pada pembahasan soal CIA, terlebih dahulu cobalah kita periksa seperi apa sesungguhnya kondisi sosial politik komunitas Tionghoa di Indonesia. Banyak orang tentu banyak pendapat berkaitan dengan seperti apa kondisi sosial politik komunitas Tionghoa di Indonesia. Diantara banyak pendapat itu berdasarkan pengamatan berpuluh tahun lamanya sejak aku menjadi aktifis Tionghoa (Baperki), aku meyakini bahwa kondisi 394 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling dan atau posisi sosial politik komunitas Tionghoa, tidak lebih dan tidak kurang laksana “seikat rumput kering” yang mudah dibakar oleh siapa pun orangnya yang berkepentingan untuk mengawali menciptakan kerusuhan di negeri ini, seperti mereka yang biasanya membakar-bakar ban bekas. Apa lagi kalau dalam kerusuhan itu ada yang mati dan yang mati itu pemimpin atau calon-calon pemimpin seperti para mahasiswa. Daya panggil politiknya untuk menciptakan kerusuhan jadi lebih kuat. Dahulu aku tidak mengerti siapa sesungguhnya dalang dari pencipta kerusuhan pilitik itu. Baru setelah aku baca ulang buku ku sendiri berjudul G30S 1965, Perang Dingin & Kehancuran Nasionalisme, halaman 190, baris 15, yang berbunyi: “Apakah tidak terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, dan dibawah syratsyarat tertentu mungkin akan memaksa Angkatan Darat untuk menanggung kekuatan besar untuk memulihkan perintah? Dan seterusnya, dan seterusnya. Memorandum Dipersiapkan CIA Tolong diperhatikan, tanggal berbunyi, Washington, 18 September 1964. sedangkan masalahnya seperti tertulis dikatakan “Apakah tidak terpikirkan untuk menggerakkan tekanan internal seperti membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu (!963?) Sedangkan dalam tahun 1963 tidak ada kerusuhan anti Cina yang lain selain kerusuhan 10 Mei 1963. Sehingga jelaslah yang dimaksudkan dengan “membangkitkan kerusuhan Cina tahun lalu, tidak lain tentulah peristiwa 10 Mei 1963. Sehingga kalau saja almarhum Drs Yap Tjwan Bing tahu hal ini, artinya tahu siapa yang membakar mobil barunya serta merusak rumahnya, belum tentu istrinya berkeras mengajak hijrah ke AS dengan alasan menunggui Siong Hoei berobat di AS. Apalagi kalau almarhum Drs Yap Tjwan Bing tahu kalau pembakar mobil baru dan perusak rumahnya adalah salah 395 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Tan Swie Ling seorang mahasiswa yang seidiologi dengan idiologi yang dianutnya sendiri. Dan apa lgi pula, kalau almarhum drs Yap Tjwan bing tahu kalau salah seorang perusak rumah dan pembakar mobil baru yang seidiologi dengan idiologinya sendiri itu pernah menulis sebuah buku yang diberinya judul “Warga Baru” Warga Baru yang dimaksudkan sebagai “Tionghoa” yang maknanya bukan orang sebangsa dan setanah air, Aku yakin Drs Yap Tjwan Bing akan lebih memilih mencari tahu dalang penghancuran rumah tangganya di tanah air ketimbang hijrah ke negerinya CIA. Sampai di sini semoga jelas, bahwa anggapan keberadaan komunitas Tionghoa di negeri ini, sepenuhnya hanya numpang makan, numpang tidur, numpang berak dan numpang beranak, sama sekali tidak ada sumbangsih apapun terhadap nusa dan bangsa, adalah anggapan yang telah teracuni oleh kepentingan dunia Barat yang berlangsung sejak paska era VOC sampai dengan era perang dingin. Masalahnya ke depan adalah bagaimana kita membersihkan racun yang telah masuk dan meresap kedalam tubuh sebagian besar bangsa kita. Semoga arwah Siauw Giok Tjhan serta arwah Yap Tjwan Bing berkenan mendukung anak dan pengikut masig-masing yang masih tertinggal di dunia fana ini memiliki kegigihan meneruskan cita-cita juang kita bersama, Amin. 396 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo 100 Tahun Siauw Giok Tjhan Pergulatan Ke-Indonesiaan Siauw Majalah TEMPO, 6 April 2014 Bagi sebagian orang Tionghoa akhir 1940-ahingga pertengahan Tjhan adalah yang tokoh mengindonesiakan orang aktif di Indonesia 1960-an, terlibat Tionghoa. Ia Siauw mulai Giok dalam gagasan percaya golongan Tionghoa yang sudah hidup bergenerasi di Indonesia berhak mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Untuk melebur ke dalam bangsa Indonesia sebagai suku, menurut Siauw, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Demi tujuan itu, ia membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 13 Maret 1954. Baperki banyak membangun sekolah. Juga mendirikan perguruan tinggi swasta pertama: Universitas Baperki, yang kemudian menjadi Universitas Res Publica (Ureca). Dalam kepemimpinan Siauw, Baperki condong mendekat kesumbu kekuasaan, yang berorientasi kiri. Akibatnya, pada 15 Oktober 1965, setelah terjadi tragedi Gerakan 30 September, kampus Ureca di Grogol dibakar massa. Tanggal 23 Maret lalu tepat 100 tahun kelahiran Siauw. Tempo ingin menyajikan kembali pergumulan hidupnya dan tulisan yang menampilkan kesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua, Bogor, Minggu dua pekan lalu. Santap malam 300-an peserta reuni itu baru saja usai. Suasana kangen-kangenan kemudian menjadi khidmat. Pembawa acara meminta hadirin yang rata-rata berusia di atas 60 tahun itu berdiri dari kursikursinya. 397 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Para opa dan oma mengambil posisi siaga. Tatkala musik dari alat pemutar terdengar, mereka pun menyanyikan lagu Indonesia Raya. Ada yang bersemangat, bernyanyi sambil menempelkan tangan kanan ke dada kirinya. Nuansa kebangsaan Indonesia memang kental terasa di acara Reuni Ke-8 Alumni Universitas Res Publica (Ureca) itu. Selain menampilkan tetarian kontemporer Sunda dan Bali, acara memperdengarkan lagu-lagu nasional oleh paduan suara Gerakan Pemuda Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Peserta temu kangen ini adalah orang-orang yang pada 1959-1965 menempuh pendidikan di universitas yang didirikan organisasi kemasyarakatan Tionghoa masa itu: Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Acara reuni kali ini menjadi lebih istimewa karena bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki yang juga penggagas berdirinya Ureca. Siauw lahir pada 23 Maret 1914 di Kapasan, Surabaya, Jawa Timur. Baperki awalnya banyak terlibat dalam dunia pendidikan. Pada November 1957, Perdana Menteri Djuanda melarang sekolah asing menerima murid warga negara Indonesia. Akibatnya, puluhan ribu anak Tionghoa yang semula belajar di sekolah milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) terkatung-katung—tidak bisa meneruskan sekolah. Siauw bersama Baperki bergerak cepat. Mereka mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan. Siauw membuka sekolahsekolah untuk menampung anak-anak Tionghoa. Baperki juga mendirikan universitas swasta pertama di Indonesia, yaitu Universitas Baperki. Pemicunya adalah banyak anak Tionghoa tak bisa melanjutkan studi lantaran kuota bagi etnis Tionghoa masuk universitas negeri hanya 2 persen. Pada 1963, Universitas Baperki berganti nama menjadi 398 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Universita Res Publica. Yang menarik, universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu masih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi keindonesiaannya. Nancy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Ditemui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia lahir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan dasar hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung. Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang ke Cina. Ia sendiri saat itu ingin melanjutkan studi ke sana dan menggapai cita-cita sebagai penyiar radio Beijing. Namun citacitanya kandas lantaran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api membakar rumahnya. Harta benda orang tuanya musnah. Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpul kembali. Dia diminta membantu berdagang batik. Namun ayahnya, yang cukup berpendidikan, tidak setuju. Sang ayah ingin Nancy terus bersekolah. Akhirnya Nancy didaftarkan ke Ureca. ”Di tempat lain tak mungkin diterima karena saya WNA,” dia menambahkan. Di Ureca, Nancy benar-benar seperti anak yang baru belajar bahasa Indonesia. “Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya bahasa Mandarin. Bahasa Indonesia itu bahasa asing yang diajarkan hanya dua kali dalam seminggu.” Tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bagi Nancy, Ureca juga mengindonesiakan dirinya. “Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi pulang ke Tiongkok, yang asing sama sekali? Saya mulai sadar bahwa saya lahir dan besar di Indonesia. Akar saya di sini.” Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. “Bahkan saya akan diputuskan hubungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober 1965 karena di seluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang 399 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo masuk Ureca, jadi sangat dikenal,” kata Nancy, yang pada 20032013 menjadi Ketua Perempuan Inti. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sastra Ureca di Kampus A Grogol. Pada 15 Oktober 1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap berkaitan dengan kaum kiri. Ureca di Jakarta dan cabang-cabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-sekolah yang didirikan Baperki ditutup. *** BETULKAH Ureca berpihak pada gagasan kiri? Apa gagasan Siauw Giok Tjhan yang membuatnya ditangkap dan dipenjara tanpa proses pengadilan selama 12 tahun? Siauw Tiong Djin mengaku tidak mengenal dekat ayahnya. Sebab, ketika sang ayah ditangkap pada 4 November 1965, ia masih berusia 9 tahun. Pertemuan dengan ayahnya hanya terjadi di ruangan besuk di Rumah Tahanan Salemba, Kamp Satuan Tugas Kebayoran Baru, Rumah Tahanan Militer Lapangan Banteng, dan Penjara Nirbaya (Interniran dalam Keadaan Bahaya) Jakarta Timur. “Awalnya saya penasaran ingin bertanya. Di sekolah, saya sering mendengar bahwa Baperki sebagai organisasi komunis harus diganyang dan orang-orang komunis pengkhianat bangsa harus dipenjara selama-lamanya,” kata Tiong Djin. Jawaban panjang-lebar yang disampaikan Siauw Giok Tjhan menambah rasa ingin tahu Tiong Djin. Sepulang dari penjara, ia membaca pidato dan tulisan Siauw yang disimpan rapi oleh ibunya, Tan Gien Hwa. Tiong Djin juga bertanya kepada temanteman seangkatan ayahnya tentang apa yang dilakukan dan tujuan perjuangan politik Siauw. Aktivitas itu terhenti saat ia harus ke Australia untuk kuliah pada 1973. Pertemuan Tiong Djin dengan Daniel S. Lev, guru besar Washington University yang tengah merampungkan biografi 400 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo pejuang hak asasi manusia Yap Thiam Hien pada 1988, menguatkan niatnya menulis riwayat hidup sang ayah. Dengan bimbingan Herbert Feith dan Barbara Hatley dari Monash University dalam melakukan penelitian obyektif dan penulisan akademis, Tiong Djin menyusun disertasi berjudul Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leaders in Emerging Indonesia, yang rampung pada 1998. Pada 1999, ia meraih gelar PhD dalam ilmu politik di Monash University. Melalui disertasi yang kemudian diterbitkan Penerbit Hasta Mitra menjadi buku berjudul Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Seorang Patriot Membangun Nasion Indonesia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika ini, Tiong Djin ingin meluruskan sejarah yang telah memojokkan sang ayah. Menurut Tiong Djin, ayahnya bukan anggota atau anggota rahasia Partai Komunis Indonesia sebagaimana dituduhkan. “Ayah saya tidak pernah masuk PKI. Dari proses pemeriksaan pun tidak didapatkan pengakuan satu tokoh PKI yang pernah menyumpah Siauw masuk menjadi anggota PKI,” kata Tiong Djin, yang datang ke Jakarta dari kediamannya di Melbourne, Australia, untuk reuni Universitas Res Publica, dua pekan lalu. “Tidak terbukti juga kalau Baperki onderbouw PKI.” Menurut Tiong Djin, berdasarkan penelusurannya terhadap beragam naskah pidato, risalah, dan tulisan Siauw, juga dokumen Baperki, komunisme tidak pernah dicanangkan sebagai obyek perjuangan politik organisasi itu. “Yang didambakan Siauw adalah perwujudan masyarakat sosialisme ala Indonesia seperti yang diformulasikan Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945,” ucap Tiong Djin. Lebih lanjut, Tiong Djin mengatakan Baperki merupakan organisasi kemasyarakatan yang terbuka. Adanya orang-orang PKI di Baperki karena organisasi itu menganut asas NasionalisAgama-Komunis (Nasakom). 401 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kebijakan Baperki, kata Majalah Tempo Tiong Djin, juga tidak 100 persen seirama dengan PKI. Konsep ekonomi yang menjadi sumbangsih Siauw, yang kemudian masuk ke Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada 1963, adalah konsep modal domestik yang bertolak belakang dengan konsep PKI bahwa semua harus diambil alih negara. ”Konsep Siauw itu mengawinkan sosialisme dan kapitalisme. Ekonomi Indo-nesia harus dibangun atas dasar pengembangan modal yang dimiliki para pedagang Indonesia, siapa pun pedagang itu, tanpa mempedulikan latar belakang rasnya,” ujar Tiong Djin. *** SALAH satu sumbangan besar Siauw Giok Tjhan adalah pemikiran dalam debat isu kewarganegaraan. Siauw adalah salah seorang pelopor konsep integrasi. Menurut keyakinan Siauw dan kelompok integrasionis, masalah diskriminasi rasial terhadap orang Tionghoa hanya bisa hilang jika terwujud Nasion Indonesia yang ber-Bhinneka Tunggal Ika. Semua suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri ke tubuh Nasion Indonesia melalui kegiatan politik, sosial, dan ekonomi. Suku Tionghoa merupakan tuntutan Baperki. Alasannya, pada 1950, golongan Tionghoa sudah hidup bergenerasi di Indonesia sehingga berhak mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Sebagai satu suku, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Untuk tujuan menjadikan sebanyak-banyaknya suku Tionghoa yang menyeberangi jembatan menjadi bangsa Indonesia yang utuh, Baperki dibentuk pada 13 Maret 1954. Konsep integrasi ini ditentang kubu pendukung konsep asimilasi. Menurut konsep ini, pembauran dalam segala lapangan secara 402 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo aktif dan bebas merupakan terapi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan yang dialami golongan Tionghoa. Sepuluh tokoh mencanangkan konsep asimilasi ini pada 26 Maret 1960. Salah satu tokoh kelompok ini adalah Junus Jahja, pentolan Chung Hua Hui, perkumpulan Tionghoa di Belanda, yang justru membubarkan perkumpulan eksklusif itu. Kelompok asimilasionis ini kemudian melahirkan Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) pada 12 Maret 1963 saat digelar Musyawarah Asimilasi di Jakarta. Dalam buku Catatan Orang Indonesia, Junus menyebutkan Sukarno membenarkan konsep asimilasi alias pembauran ini. Perkataan Bung Karno yang dikutip Junus adalah, “Saya membenarkan usaha pemudapemuda untuk memecahkan masalah minoritas dengan jalan asimilasi dan menghilangkan eksklusivisme dalam tubuh bangsa Indonesia.” Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, anggota LPKB yang masih tersisa, menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tionghoa tetap menjadi suku merupakan kemunduran. “Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta Pusat. Konflik antara pro-integrasi dan pro-asimilasi terus berlanjut. Presiden Sukarno hadir dalam Kongres Ke-8 Baperki di Istora Senayan pada 14 Maret 1963. Dalam sambutannya, Sukarno mengatakan, “Baperki itu satu perkumpulan yang baik; tegas berdiri di atas Pancasila; tegas membantu terlaksananya Amanat Penderitaan Rakyat; tegas berdiri di atas Manipol-Usdek. Baperki adalah salah satu dari Revolusi Indonesia. Oleh karena itu saya datang.” Harry mengatakan memang tidak terbukti Siauw anggota PKI. “Tapi Siauw itu pasti orang kiri, jalan pikirannya Marxisme,” ujarnya. Lagi pula, kata Harry, hanya Marxisme yang mau menerima orang Tionghoa waktu itu. Kenyataannya, Siauw masuk Partai Sosialis pada Desember 1945 dan ia berada di kelompok Amir 403 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Sjarifuddin. Sebagai pendukung Amir, otomatis Siauw termasuk kelompok sayap kiri, yang kemudian berganti nama menjadi Front Demokrasi Rakyat (FDR). Ketika PKI meleburkan Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI, Siauw termasuk yang tidak bergabung. Dalam buku yang ditulis Tiong Djin, alasan Siauw: karena fungsinya sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukan di luar PKI. Sementara Partai Sosialis dan FDR bubar, Siauw memilih tetap berada di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai wakil golongan minoritas tak berpartai. Setelah Peristiwa Madiun, Siauw ditangkap karena pernah menjadi anggota FDR. Dia ditahan di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Harry Tjan melihat kepemimpinan Siauw saat menjabat Ketua Baperki cenderung ke kiri. Apalagi ketika Baperki turun ke politik praktis dengan ikut Pemilihan Umum 1955, yang ditentang banyak pendiri Baperki yang berorientasi kanan, seperti P.K. Ojong. Menurut Harry, alasan Baperki ikut pemilu agar perwakilan golongan minoritas Tionghoa di Dewan Perwakilan Rakyat yang mendapat jatah delapan kursi dipilih, bukan ditunjuk. “Ini memang masih bisa diterima karena ada logikanya.” Namun, begitu kebijakan Baperki lebih condong ke kiri, banyak kalangan Tionghoa gelisah, takut menjadi kambing hitam. Pasalnya, ada anggapan Baperki sama dengan Tionghoa karena anggota Baperki pada 1963 mencapai lebih dari 250 ribu (sekitar 10 persen dari total jumlah orang Tionghoa), sebanyak 99 persen adalah orang Tionghoa. Harry menyebut hubungan Baperki-PKI sebagai simbiosis dalam politik. Dia memberi contoh Baperki kerap ikut acara PKI. Jumlah pelajar sekolah Baperki yang puluhan ribu menjadi andalan PKI untuk menunjukkan kekuatannya. “Kampus Baperki itu menjadi asrama CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan 404 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Perhimi (Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Tak mengherankan kalau diserbu oleh kesatuan aksi mahasiswa,” ucap Harry. Bekas Ketua Dewan Mahasiswa Ureca Sie Ban Hauw kepada Tempo mengatakan ia menolak anggapan bahwa kampusnya memobilisasi massa untuk kegiatan politik. Menurut dia, Dewan Mahasiswa merupakan organisasi intra-universitas. Kalaupun ada pengerahan massa, kata Sie, hanya untuk kegiatan budaya, seperti ketika ada Asian Games, Ganefo, atau Kongres Baperki. “Sedangkan untuk demonstrasi politik dikoordinasi mahasiswa yang menjadi anggota organisasi ekstra-universitas, seperti CGMI, Perhimi, dan PMKRI, tanpa permisi kepada pihak universitas,” ujar Sie, yang masuk Ureca pada 1959 di Fakultas Teknik karena ditolak masuk Institut Teknologi Bandung. Sahabat dekat Siauw, Go Gien Tjwan, 94 tahun, yang kini tinggal di Amsterdam, Belanda, menepis keras tuduhan orang seperti Harry Tjan, yang menganggap Siauw sebagai komunis. “Jelas tidak mungkin Siauw komunis! Mana mungkin seorang komunis bisa memimpin Baperki begitu lama, sementara isi Baperki itu sebagian besar adalah para kapitalis kecil,” katanya sambil tertawa saat ditemui Tempo di kediamannya di kawasan Max Havelaarlaan, Amstelveen. Menurut Go, Baperki bukan partai politik ataupun organisasi kemasyarakatan. “Baperki adalah sebuah badan musyawarah untuk mencapai mufakat, antara lain dengan cara groot gemengde deal, jalan tengah kebijaksanaan politik. Dan itu adalah jalan tengah yang menjadi nilai kebudayaan Tionghoa,” kata Go. Lelaki yang menjadi dosen senior sejarah Asia modern di Universiteit van Amsterdam ini menambahkan, “Anggota Baperki adalah siapa saja, tanpa memperhitungkan latar belakang ras, ideologi, dan politik. Adam Malik dari Murba, K. Woedojo anggota 405 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo PKI dan tokoh SOBSI, atau Winoto dari Partindo adalah anggota dewan penasihat Baperki. Ini jelas menggambarkan bagaimana karakter dan visi Baperki yang tidak eksklusif.” Tapi baik Go maupun Harry Tjan sepakat satu hal mengenai Siauw: kesederhanaannya. Go ingat, pada 1946, ia bersama Siauw pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Sukarno. Bung Karno melihat Siauw memakai kemeja dengan kerah yang robek di sanasini. “Sukarno bilang Siauw tidak pantas memakai baju robek demikian. Ia kemudian memberi dua bungkusan kemeja.” Harry Tjan juga mengakui kesederhanaan lelaki asal Kapasan itu. “Saya tidak mengenal Pak Siauw secara personal karena kami berbeda usia 20-an tahun.” Namun, berdasarkan observasi Harry, Siauw adalah pemimpin yang baik dan ikhlas berjuang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlindungi haknya. “Semoga dia beristirahat dengan tenang,” kata Harry. ● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM), DIAN YULIASTUTI SIAPA MEMBAKAR KAMPUS RES PUBLICA? BATU-BATU melayang menghujani kampus Universitas Res Publica yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Sin Ming Hui, Grogol. Mahasiswa di dalam kampus pun membalas lemparan itu. Perang batu antara mahasiswa Universitas Res Publica (Ureca) dan massa liar yang tak diketahui asalnya itu tak terelakkan di pagi menjelang siang pada 15 Oktober 1965. Peristiwa itu masih membekas dalam memori Khouw Thian Tong atau Benny G. Setiono, 71 tahun. Siang itu, sebagai mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica, ia turut mempertahankan kampus. Umurnya masih 22 tahun saat itu. Benny ingat ia menggenggam rantai sepeda di tangan. Sedangkan mahasiswa Ureca yang lain membawa apa pun. 406 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Seingat Benny, di antara massa yang datang, ada beberapa yang mengenakan atribut organisasi ekstrakampus, Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telanjur merangsek, melompati gerbang setinggi dada orang dewasa. Benny dan kawan-kawannya tak kuasa melawan mereka. Pintu gerbang besi itu bisa didobrak dengan ditarik truk. “Apalagi setelah terdengar tembakan oleh tentara, terpaksa kami mundur,” ujar Benny kepada Tempo. Massa penyerbu semakin beringas. Mereka membakar gedung Kampus A yang dibangun sendiri oleh tangan para mahasiswa dan dosen universitas yang semula bernama Universitas Baperki itu. Setelah puas meluluhlantahkan Kampus A, massa menjarah Kampus B, yang berada di kawasan Slipi. Perlawanan juga dikisahkan oleh Tan Ping Ien, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa saat itu. Ia mengkoordinasi puluhan mahasiswa untuk “ronda” mengamankan kampusnya. Dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, Tan bercerita mahasiswa sudah mendapat informasi tentang rencana penyerbuan kampus mereka. Beberapa aktivis mahasiswa dari PMKRI, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia datang dan meminta mahasiswa lain membubarkan diri demi keselamatan mereka. “Pada pukul 14.00, mereka datang tergopoh-gopoh menemui saya dan memberi tahu akan ada aksi besar menghancurkan Ureca,” tulis Tan Ping Ien. Informasi ini disampaikan kepada mahasiswa yang lain. Mereka pun menutup kampus. “Kami tidur bergilir dan minum banyak kopi.” Keesokan paginya, dengan mata yang masih “pedas” karena kurang tidur, Tan berkeliling memeriksa. Ternyata rombongan wartawan sudah datang lebih dulu. Mereka tiba mendahului massa yang akan segera datang. Dua aktivis mahasiswa, Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani 407 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo dari HMI, dengan berlinang air mata meminta Tan Ping Ien dan kawan-kawannya segera pergi daripada mati konyol. Tak berapa lama, beberapa jip dan truk militer datang. Tak kurang dari 20 tentara masuk ke kampus. Melihat itu, Keng Liong dan Ayub pergi. Mayor CI Santoso, yang mengomandani para tentara, meminta Tan Ping Ien mundur, tapi diabaikan. Tak berapa lama, suara gemuruh datang mengiringi bus-truk yang mengangkut massa berjaket kuning, biru, dan hijau. Dengan penuh amarah, mereka meneriakkan yel-yel untuk membakar Ureca. Saat itulah batu mulai berhamburan. Tan tetap bertahan hingga Mayor Santoso marah dan menodongkan pistolnya. “Perintahkan semua temanmu mundur. Tak ada gunanya melawan. Mereka bukan mahasiswa. Rekan-rekanmu bukan tandingan.” Laboratorium di beberapa fakultas meledak dan hangus terbakar. Menurut Tan, ada kelompok massa yang naik ke lantai 2 dan membakar secara serentak gedung yang mereka bangun. Kampus Ureca dicap sebagai kampus “kiri” yang terafiliasi dengan komunis dan Cina. Benny mengakui Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) memang berkembang pesat di kampus itu, tapi dia menampik jika Ureca disebut sarang CGMI. Kabar soal banyaknya anggota CGMI di kampus itu dibenarkan Go Gien Tjwan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Baperki, yang saat kejadian itu berada di sana. Menurut Go dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, kampus memang menjadi tempat menginap para peserta pertemuan akbar CGMI yang berasal dari luar Jawa. “Mereka terpaksa karena diusir dari stadion olahraga Senayan,” tulis Go. Harry Tjan Silalahi, yang menjadi Sekretaris Jenderal Front Pancasila waktu itu, kepada Tempo mengatakan tidak mengenal siapa yang menyerbu Ureca. Yang pasti, kata Harry, para penyerbu adalah aktivis kesatuan mahasiswa yang antikomunis. “Mereka 408 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo tersinggung oleh pernyataan Aidit, ‘Kalau CGMI tidak mau membubarkan HMI, pakai sarung saja’,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Selasa pekan lalu. ● DIAN YULIASTUTI KISAH PENDIRI HARIAN RAKYAT Siauw Giok Tjhan tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Dia menjadi wartawan sampai anggota parlemen. Ia adalah pendiri Harian Rakjat. KWA Sioe Ing, 64 tahun, menunjuk rumah berpagar besi hitam kecokelatan yang berkarat di Gang Kapasan Dalam 2 Nomor 18, Kapasan, Simokerto, Surabaya. Menurut sesepuh Kapasan itu, rumah yang tepat berada di seberang rumahnya tersebut tak berpenghuni. Rumah itu tampak tidak terawat. Permukaan jendela dan lantai terasnya dipenuhi debu. Plafonnya juga sudah jebol. Seingat Kwa Sioe Ing, rumah itu sudah berulang kali direnovasi. “Kalau tidak salah, dulu memang ditempati orang Baperki,” ujarnya. Anak keenam Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, membenarkan bahwa kakeknya pernah menempati rumah di ujung gang di Kapasan itu. Rumah itu dekat Boen Bio, klenteng terbesar di Jawa Timur. Oei Hiem Hwie, 72 tahun, yang mengaku masih kerabat Siauw, membenarkan bahwa rumah keluarga Siauw dekat dengan Boen Bio. Tapi itu bukan milik ayah Siauw, melainkan milik Kwan Sin Liep, mertuanya. Kwan adalah pengusaha totok serta ahli kungfu dan astrologi Cina. “Itu lingkungan elite di pinggiran jalan raya,” kata bekas wartawan Terompet Masyarakat yang kini menjadi Pembina Yayasan Medayu Agung itu saat ditemui di kediamannya di Jalan 409 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Medayu, Rungkut, Surabaya. Dalam memoarnya yang terbit sepekan sebelum ia wafat, Lima Zaman: Perwujudan Integrasi Wajar, Siauw bercerita tentang masa kecilnya di Kapasan. Ia lahir dalam keluarga campuran, baba-totok. Ayahnya, Gwan Swie, juga lahir di sana dan menjadi yatim-piatu pada usia 11 tahun. Sang ayah tak masuk sekolah milik Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), tapi memilih kursus bahasa Inggris karena lebih gampang mendapat pekerjaan. Selain bergaul dengan orangorang Belanda, Gwan Swie, yang mengagumi Sun Yat Sen, berkawan dengan tokoh Tionghoa peranakan yang berkiblat pada nasionalisme Cina. Salah satunya The Ping Oen, Direktur Koran Pewarta Soerabaia. Gwan Swie kerap berjumpa dengan putri pertama Kwan Sin Liep. Perempuan itu bernama Kwan Tjian Nio. Gwan Swie jatuh hati. Mulanya lamarannya ditolak mentah-mentah oleh Kwan karena latar belakang Gwan Swie yang peranakan. Tapi kekerasan hati Kwan luruh juga. Ia menerima Gwan Swie menikahi putrinya, dengan syarat anak mereka harus bersekolah di THHK. Pada 23 Maret 1914, lahirlah Siauw Giok Tjhan. *** SIAUW tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Saat usia Siauw empat tahun, sang kakek memasukkan cucu pertamanya itu ke sekolah THHK di belakang Boen Bio. Pada umur lima tahun, Siauw terserang sakit keras. Kwan pun menyerahkan cucunya kepada Toapekong di Klenteng Kampung Dukuh. Saat Kwan pulang ke Cina, Gwan Swie memindahkan Siauw ke sekolah ELS. Tatkala kembali, Kwan kaget mengetahui sang cucu tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudian mengharuskan Siauw mengurus toko sepulang sekolah di Hogere Burger School (HBS). 410 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Krisis ekonomi di Surabaya memaksa Kwan memilih menutup toko, menjual asetnya, melunasi semua utangnya, dan pulang ke Cina. Tekanan ekonomi itu membuat kesehatan Tjian Nio menurun. Ia pun wafat karena perdarahan pada 1932. Enam bulan kemudian, Gwan Swie, yang mengidap darah tinggi, menyusul istrinya. Jadilah Siauw dan adiknya, Siauw Giok Bie, yatim-piatu pada usia 18 dan 14 tahun. Agar tak menyusahkan kehidupan kerabat dan keluarganya, Siauw menjual perabot rumahnya untuk membeli dua sepeda motor roda tiga Relieg. Dari penyewaan angkutan yang dikenal sebagai Atax itu, Siauw bertahan hidup. Dalam kondisi itulah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, yang 30 tahun berselisih usia dengannya Liem Koen Hian adalah Pemimpin Redaksi Sin Tit Po. Liem pula yang memperkenalkan Siauw dengan Dr Soetomo, yang mendirikan Indonesian Study Club. Dari kedua orang inilah Siauw pertama belajar tentang nasionalisme Indonesia dan menyadari Indonesia tanah airnya. Ia juga tertarik pada program Partai Bangsa Indonesia yang dipimpin Soetomo, yang menganjurkan semua golongan minoritas menyelesaikan masalahnya. Siauw lantas bergabung dengan partai baru yang didirikan Liem, Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada 1932. Ia tercatat sebagai pendiri termuda partai itu. Masuknya Siauw ke PTI berarti ia meninggalkan sebagian besar peranakan Tionghoa yang ketika itu berkiblat ke Belanda, kelompok Chung Hua Hui, dan kelompok Sin Po, yang berkiblat ke Cina. Setamat HBS pada 1933, Siauw tidak melanjutkan sekolah. Ia menjadi wartawan Mata Hari, yang didirikan Kwee Hing Tjiat di Semarang pada 1934. Mata Hari menjadi trompet PTI. Siauw ditugasi sebagai penghubung dengan tokoh yang diasingkan Belanda, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sukarno. Siauw menghormati kedua tokoh itu dan menganggap mereka gurunya. Pada 1937 itu, 411 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo pemimpin PTI berganti. Liem, yang pindah ke Batavia, melepaskan jabatan Ketua PTI kepada Tjoa Sik Ien. Sedangkan jabatan pemimpin redaksi di Sin Tit Po diberikan kepada Tan Ling Djie. Adapun Siauw menjadi kepala cabang Mata Hari di Surabaya. Dipengaruhi Tan dan Tjoa, Siauw menjadi pendukung Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung. Kembali ke Semarang, Siauw tinggal di rumah ahli ekonomi teman baik Mohammad Hatta, Khouw Bian Tie. Di situ ia bertemu dengan Tan Gien Hwa, anak kedua Tan Peng Hoat, pedagang dari Pemalang. Siauw dan Tan, yang saat itu berumur 18 tahun, pun menjalin hubungan. Mereka menikah pada 1940, lalu pindah ke rumah yang tak jauh dari kantor Mata Hari. Ketika Kwee mendadak meninggal, jabatan pemimpin redaksi diambil alih Siauw. Di bawah Siauw, Mata Hari jadi lebih radikal. Selain mendukung nasionalis Cina, Siauw memasukkan tulisan yang mendukung Indonesia merdeka. *** SAAT Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai Sukarno terbentuk, Liem Koen Hian menjadi salah satu dari 63 anggotanya. Liem menghubungi Siauw, Tan, dan Tjoa untuk membuat formulasi yang mewakili kepentingan golongan Tionghoa. Liem menyampaikan pendapatnya dalam rapat PPKI pada 1 Juni 1945, hari yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Butir-butir yang diusulkan Liem diserap ke Undang-Undang Dasar 1945. Tatkala Proklamasi dibacakan Sukarno-Hatta, Siauw memobilisasi dukungan golongan Tionghoa bagi Negara Republik Indonesia. Pasca-kemerdekaan, mulai berlaku sistem multipartai. Siauw, yang sudah dekat dengan golongan Marxis, masuk ke Partai Sosialis. Ia pun menjadi dekat dengan Amir Sjarifuddin. Siauw diminta Amir aktif di seksi penerangan, yang sebenarnya dipenuhi 412 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo orang Sjahrir di Partai Sosialis yang beraliran kanan. Aktivitas politik Siauw makin dalam. Pada 3 Maret 1947, ia diangkat menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), sebagai satusatunya wakil Tionghoa. Ia juga menjadi delegasi Indonesia dalam Inter Asia Conference di New Delhi, India, bahkan menjabat sekretaris delegasi. Dalam konferensi itu, Indonesia dikecam delegasi Cina yang menyebut Indonesia negara kejam yang melakukan penindasan terhadap warga Cina. Siauw, yang berbicara di forum itu, membela posisi Indonesia. Ia mengatakan kekecewaannya terhadap Cina yang tidak menjalankan prinsip San Min Chu I, yang menjunjung solidaritas tinggi sesama negara baru. Pada 3 Juli 1947, terbentuk Kabinet Amir Sjarifuddin. Amir mengangkat Siauw menjadi Menteri Urusan Minoritas. Siauw ikut ditangkap setelah meletusnya pemberontakan Partai Komunis Indonesia di Madiun pada 1948. Padahal ia tidak ikut gerbong Amir, yang menyatakan diri bergabung dengan PKI. Siauw memilih menjadi anggota BP KNIP wakil nonpartai. Setelah Konferensi Meja Bundar, Siauw kembali ke Jakarta. Ia memulai lagi kegiatan jurnalistiknya. Ia bertemu dengan Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan Hong Po. Oei dendam kepada pesaingnya, Injo Beng Goat, Direktur Ken Po dan Star Weekly. Ia bersedia menjual percetakan Hong Po kepada Siauw dengan harga murah, tapi syaratnya koran Siauw harus mengalahkan Ken Po dan Star Weekly. Pada Januari 1950, Siauw menerbitkan mingguan Sunday Courier untuk menyaingi Star Weekly. Siauw dengan keluarga tinggal di percetakan itu. Ia dan istri serta lima anak-anaknya harus tidur di meja-meja kantor. Siauw May Lie, 71 tahun, anak kedua Siauw, mengenang pengalaman itu. “Adik saya yang masih kecil sering terguling jatuh 413 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo dari meja,” kata May Lie kepada Tempo. Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan mingguan Soeara Rakyat. Enam bulan kemudian, ia mengubah mingguan itu menjadi harian sehingga bernama Harian Rakjat. Kebanyakan wartawan Harian Rakjat juga bekerja untuk Sunday Courier. Salah satunya Njoto, pemimpin penting CC PKI. Usaha komersial Harian Rakjat yang ternyata kurang berhasil membuat Siauw melepaskannya. Njoto, yang terlibat dari awal, bersedia mengambil alih. Terhitung 31 Oktober 1953, Siauw tidak lagi menjadi Pemimpin Redaksi Harian Rakyat. Saat menjadi anggota parlemen, ia menyewa rumah milik B.R. Motik, pedagang kaya yang aktivis PSI, di Jalan Tosari 70, Jakarta Pusat. Keluarga ini tinggal di sana ketika Siauw ditangkap pada 4 November 1965 dan diusir Angkatan Darat pada 1966. Siauw ditahan tanpa proses pengadilan selama 12 tahun. Mulai 1966 hingga 1975, ia ditahan berpindah-pindah rumah tahanan. Pada September 1975, Siauw dipulangkan ke rumahnya dan menjadi tahanan kota. Pada Agustus 1978, Siauw resmi dibebaskan. Di kartu tanda penduduknya tercantum kode eks-tapol. Atas izin Wakil Presiden Adam Malik, yang juga temannya, Siauw berangkat ke Belanda untuk menjalani operasi mata yang terserang glaukoma. *** MAY LIE, lulusan Kedokteran Universitas Beijing yang tinggal di Belanda sejak 1978, mengingat kedatangan ayah dan ibunya di Amsterdam, Belanda. Saat itu, ia baru dua bulan datang dari Cina dan membuka klinik akupunktur di Egidius straat 121, Bos en Lommer, Amsterdam. Terletak di pinggiran Amsterdam yang dihuni imigran Turki dan Maroko, rumah sederhana ini kini ditempati Siauw Tiong Hian, anak keempat Siauw yang meneruskan praktek May 414 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Majalah Tempo Lie. May Lie ingat, di Belanda, tempat seharusnya Siauw berobat, sang ayah malah disibukkan oleh banyak acara. Ia mendatangi semua undangan dan memenuhi permintaan Amnesty International, yang ikut mendorong pembebasannya, tur keliling Eropa untuk memperkenalkan demokrasi. “Dia seperti mengejar waktu yang hilang selama di penjara,” katanya. Selain memenuhi undangan, Siauw menulis buku, yang tak bisa dilakukan di penjara. “Saya sering dibangunkan oleh suara mesin ketik. Biasanya Ayah mulai mengetik sebelum pukul 6 dan baru berhenti pada pukul 23. ” May Lie sendiri meraih gelar dokter pada 1966 di Beijing. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah spesialis akupunktur. Dia tinggal di Beijing sampai Revolusi Kebudayaan berakhir pada 1977. May ingat, di malam sebelum keberangkatannya ke Cina, sang ayah meninggalkan pesan agar May kembali lagi ke Indonesia. “Saya bertanya kepada Ayah mengapa kita harus berta han di Indonesia kalau tidak diterima di sini?” ujarnya. Seingat May, sang ayah menjawab, “Justru kita harus memperjuangkan hak yang adil untuk menjadi bagian masyarakat Indonesia ini.” Mendengar penjelasan itu, May Lie berjanji kepada ayah nya untuk pulang ke Indonesia. Janji itu ditunaikan May. Sejak November tahun lalu, ia pindah ke Indonesia. May Lie masih ingat detik kematian ayahnya. “Pada 20 November 1981 malam, saat Belanda dilanda angin topan, ayah saya memenuhi undangan makan malam di rumah guru besar politik Vrije Universitiet. Ayah juga akan memberikan ceramah di depan para mahasiswa sejarah dan ahli Indonesia di Universitas Leiden. Tapi, 30 menit sebelum ceramah tentang kegagalan pemerintah Indonesia dalam demokrasi, Ayah meninggal karena serangan jantung.” 415 Lambang Baperki Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan dalam Kenangan Tan Sien Tjhiang1 Sandal jepit yang menopang kaki Itulah keserdehanaan panutan kami Ajaran civic kebersamaan yang disampaikan Untuk mengabdi bumi persada Indonesia Wahana inspirasi yang tak lentur oleh jaman Gelombang pasang menerpa bumi kita berpijak Ibu pertiwi dalam konflik kepentingan Olengan kapal melelahkan pengemudi Karno terhempas dari singasana Trenyuh juga karena perang dingin Jalinan persatuan terpecah belah Hasutan kebencian merana tak berujung Aku putih engkau merah terpisahkan Nandung kesedihan melantunkan irama duka Derita kesunyian berpagar tembok Asa dan harapan tak pernah meluntur Lamunan sepi tentang bakti pertiwi Abadi membara dalam tubuh yang renta Menguatkan tekad persatuan dalam kebhinekaan 1 Tan Sien Tjhiang sempat berkuliah di Fakultas Sastra di Universitas Respublica. Ia aktif di berbagai organisasi sosial, termasuk INTI dan Pelangi 418 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Keberanian prinsip tetap tak berubah Ejekan,fitnahan,cercaan terpatri Nasib dipaksa berpisah meninggalkan Tanah Air Anggota keluarga porak poranda ke manca negara Niat cinta rayuan pulau kelapa tetap membahana Getaran kesetiaan tak punah dalam kematian Akhir hayat tak akan membendung semangat Namamu senantiasa terkenang dalam hati 419 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Mengenang Pendiri URECA Bapak Siauw Giok Tjhan Nancy Widjaja1 Pada seratus tahun lalu, Telah lahir Siauw Giok Tjhan, Patriot bangsa Indonesia, Penabur bunga teratai di taman sari Nusantara, Didirikannya BAPERKI, URECA dan ratusan sekolah, Untuk meng-Indonesiakan siswa-siswi Tionghoa, Dengan rajin beliau memberikan pupuk Lima Cinta, Cinta tanah air, Cinta orang tua, Cinta kawan - kawan, Cinta ilmu, Cinta kerja, 1 Nancy Widjaja pernah berkuliah di Fakultas sastra Universitas Respublica. Ia adalah salah satu pendiri INTI dan ketua PINTI - Perempuan INTI 420 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Mekarlah bunga-bunga teratai nan indah, Alangkah bahagianya sang Penabur Teratai. Pada tahun 1965, Tiba-tiba turun hujan badai, Bunga-bunga teratai URECA roboh lunglai, Ada yang hanyut lenyap seketika, Ada yang terapung-apung di empat penjuru lautan, Ada yang tetap bertahan di tanah lumpur Indonesia, Masing-masing berjuang untuk hidup aman, Dan jadilah tumbu-tumbuhan yang tak bergelar, Berdaun tapi tak bertangkai, Bertangkai tapi tak berakar, Berakar tapi tak bertanah, Mereka telah kehilangan tanah URECA, 421 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Hampir setengah abad sudah, Logo URECA terpendam sinarnya. Kini teratai-teratai URECA yang sudah lansia, Tak perlu berkeluh-kesah, Pahit dan manis adalah bumbu kehidupan. Tak perlu membandingkan siapa yang lebih bersinar, Sama-sama ditempa oleh arus jaman, Para alumni URECA yang tercinta, Umur boleh tua semangat tetap bergelora, Mari kita rapatkan barisan, Menyongsong hari depan cemerlang, Tugas integrasi Pak Siauw kita pikul, Derita dan duka jaman ini, Di pundak kita pikul, Tak seorangpun berniat mundur, 422 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Sekali jadi murid URECA tetap cinta URECA. Wahai kawan-kawan URECA, Teruskanlah ajaran Lima Cinta Pak Siauw, Cinta tanah air, Cinta orang tua (anak dan cucu), Cinta kawan - kawan, Cinta ilmu, Cinta kerja, Ikutilah jejak juang Pak Siauw, Selalu cinta tanah air Indonesia, Walaupun hati penuh luka dan kecewa, Mari singsingkan lengan baju kita, Membangun masyarakat yang Bhinneka Tunggal Ika, Membangun peradaban baru Indonesia, Indonesia yang adil, makmur dan jaya. 423 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Siauw memberi wejangan di Ureca - Jakarta - 1964 424 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Banteng dan Naga Siauw Giok Tjhan Nurdiana Di alam Utara jagat raya, Berdandan Karakorum dan Himalaya, Dihuni umat turunan Naga, Dari Qin Shi Huang sampai penerus Mao, Kini mendamba “IMPIAN RAYA” 1 Mengiringi Dong Fang Hong tengah bergelora Dan irama “Bangunlah kaum yang terhina !” Bak mercu suar di cakrawala. Di pinggang bumi khatulistiwa, Pulau pemulau belasan ribu, Bak untaian zamrud khatulistiwa, Dihuni umat ratusan suku, Bersemangat Banteng turunan Gajah Mada, 425 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Sampai Diponegoro dan Sukarno, Rukun mendamba Sumpah Palapa 2 Kini mengidam perobahan mendasar. Di Nusa Jelita khatulistiwa, Ratusan suku aneka rupa, Pemuja Banteng dan Turunan Naga, Di satu alam hidup bersama, Berkat Bhinneka Tunggal Ika. Banteng dan Naga bila seia, Walau berbeda satu jua. Persatuan bangsa bisa tercipta, Tapi tak lurus jalan ke puncak, Onak duri perintang banyak, Pahit getir mempersatukan, Umat berbeda bermacam ragam, Usaha keras pemersatu bangsa, 426 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Lawan usaha pemecah-belah, Tokoh berjasa dalam sejarah, SIAUW GIOK TJHAN bak mutiara. (Catatan) 1 Impian Tiongkok, semboyan yang dikumandangkan Presiden Xi Jinping. 2 Sumpah Palapa adalah suatu pernyataan/sumpah yang dikemukakan oleh Gajah Mada pada upacara pengangkatan menjadi Patih Amangkubhumi Majapahit, tahun 1258 Saka (1336 M).Sumpah Palapa ini berbunyi: “Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, sebelum berhasil mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik.”! 427 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Balada Juang Siauw Giok Tjhan1 Zhou Nan Jing (diterjemahkan oleh: Abdi Teratai) Kapasan Surabaya Tak jauh dari jembatan Merah 2 Lahirlah putra dari pengusaha kaya Tri budaya baur dalam kalbu suasana Kakek garis bunda pegang tradisi tionghoa Menekankan belajar di Tiong Hwa Hwee Kwan 3 Saat kakek pulang kampung halaman Sekolahpun berubah ganti arah Ayah seorang moderat rindu kebebasan 4 Junjung tinggi kiblat budaya barat Tunduk taat kehendak ayah ‘tuk pindah sekolah Selanjutnya didikan Belanda menyemai Kakek kembali dari rantau asal Nasi jadi bubur buah kenyataan Kompromi lahir antara mertua menantu Pulang sekolah jaga toko syarat diminta Kendati kejar ilmu di sekolah Belanda Sahabat karib banyak dari sekolah tionghoa Lebur aktif dalam Perhimpunan Pemuda Tionghoa 5 Bahasa harian berkomunikasi tetap melayu tionghoa Nama Freddy 6 tidak digunakan, Panggilan Giok Tjhan lazim disebut teman teman Perkelahian kelompok anak kecamuk dijalanan Jiwa penengah muncul dalam bijak Sebaliknya bila bertemu dengan musuh Belanda, Tak segan ichtiar terjun dikancah perkelahian 428 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Empat bahasa kuasai serta mahir Inggris, Belanda,Perancis dan Jerman Aneka pengetahuan gali dari buku buku, Komik, detektif tak ketinggalan Harian Sin Tit Po Surabaya tempat berkiprah 7 Penuh cita harapan pandangan baru Haribaan Hindia Belanda tanah air tercinta Ayah bunda terkasih pergi kealam baka Malapetaka silih berganti keterpurukan Kakek luar putus asa bergelut susah langkah berlayar kembali negeri asal Sisa barang berharga digadaikan Penyewaan mobil dalam usaha Sembari mengajar kungfu sampingan hasil Bersua Liem Koen Hian terinspirasi 8 Pikiran pandangan seirama bakti Mengaku ribuan pulau ibu pertiwi Jiwa raga kuserahkan padamu negeri Pertemuan Sutomo sang tokoh 9 Nasionalis terkemuka pionir bangsa Bertekun dalam mengenal sejarah Kejayaan pertiwi penuh kagum bangga Curahan tenaga demi usaha sosial Teruntuk rakyat dalam penderitaan Sekolah malam didirikan Rangkap jabatan Kepala sekolah dan guru Partai Tionghoa Indonesia bersemi 10 Gabung saat usia belia delapan belas tahun Jelang lulus sekolah HBS Terkilas benak lanjut kuliah dokter di Belanda Ekonomi keluarga tak dukung akibat miskin Kelangsungan hidup paksa kerja nyata Gaji tinggi Tawaran Perusahaan menggiur Pilih karya wartawan walau rendah upah Buku Edgar Snow diterjemahkan 429 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Dukung Mao Ze Dong lawan agresi Jepang Simpati jejak Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien 11 Wajar jelas condong paham kiri Untung berjumpa idaman hati Tan Gien Hwa 12 Jenjang kawin berpadu kasih ujud cinta Beban ekonomi keluarga mandiri Keempat adik ipar termasuk tanggungan Jadi pimpinan redaksi harian Matahari 13 Tunjangan hasil memadai kebutuhan Tentara agresi Jepang menyerang selatan Sekejap kota Semarang diduduki Tak luput grebek kantor Harian Siauw diluar lolos dari jeratan Kota Malang tujuan berlindung Toko kecil penyambung lansung hidup 14 Dirinya tiada Jiwa dagang Perpolitikann tetap menjadi gairah hidup Kekalahan Jepang sudah diramalkan Berpihak kemerdekaan jadi angka mati Perhimpunan Perantau Tionghoa Malang Ajang pengabdian penuh gagasan cerdas 15 Jalinan rahasia dengan Tan Kah Kee Saling tukar pikiran dan kagum padanya 16 Proklamasi Kemerdekaan berkumandang Perhimpunan Perantau Tionghoa Malang bubar Rumit situasi pertentangan silih berganti Angkatan muda Tionghoa ikut serta membangun 17 Tekad bulat tegak bentengi kemerdekaan Himbau masyarakat Tionghoa tak diam diri Dalam angkatan bersenjata Indonesia Praduga anti Tionghoa surut berkurang Dorong pemuda Tionghoa berbaur aktif Siap korban bela demi kemerdekaan 430 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Ajakan Tan Ling Djie dorong diri Menjadi anggota Partai sosialis 18 Kiprah dalam panggung perpolitikan Tambah sibuk penuh kegiatan Kelompok Amir Syarifuddin Berprogram politik jelas jemelas 19 Masuk Komite Nasional Indonesia pusat Terpilih jadi anggota Badan Pekerja 20 Masalah kewarganegaraan bergulir Pandai debat penuh argumentasi Ide Tan Ling Djie membahana berhasil unggul Semua yang lahir di Indonesia Sewajarnya jadi warga Negara Indonesia Duet Siauw dan Tan keliling kampanye Mengumandangkan jadi warga Indonesia Situasi memanas anti Tionghoa membara Masyarakat Tionghoa tanggap dingin tak bergeming 21 Gundah hati kecamuk pada diri Siauw Tan Pantang nyerah menebar semangat tekad Tan Po Goan jabat menteri urusan minoritas Siauw tetap menjadi anggota Badan Pekerja. Peserta misi muhibah keluar negeri Terbentur hadapi masalah sulit Anggota rombongan dimana ia berada Para sahabat menolong lepas dari kekusutan 22 Titik awal tambah teman bagai sahabat Manfaat libat ranah panggung politik Dalam kabinet Syarifuddin Menteri Negara dijabat 23 Siauw urus kaitan soal minoritas Setelah tiba di Yogjakarta, Rela tidur diatas Meja kerja Timbul rusuh amukan anti Tionghoa Peran Belanda pengadu domba Bagai api disiram minyak 431 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Membara rasialis berkobar luas Ichtiar mencari solusi ke aparat Tuntut penguasa empati lindung Masyarakat Tionghoa jadi korban hasutan Himbau korban berdikari produksi tahu Media Tionghoa sinis juluki Menteri Tahu Dilema timbul kondisi amat prihatin Jalan keluar tak kunjung datang Stelsel pasif kewarganegaraan, Dipegang teguh tak tergoyahkan Ciang Cia Tung hadir berkunjung Bawa niat konsep perubahan 24 Siauw tolak dengan argumentasi Tuan Ciang pulang tanpa hasil Teguh pendirian tak goyah Hasil nyata buat masyarakat lebih Simpati Parlementer sistim demokrasi Orang kiri dan kanan bebas bicara Kekhususan dengan ciri khas Tionghoa Tali persahabatan tetap erat diuntai Saat kabinet Hatta berdiri lepaslah jabatan semula Partai Sosialis terbelah Teguh pendirian tak goyah 25 Amir Syarifudin tetap didukung Bahu membahu libat diri berjuang Fusi tiga partai jadi PKI 26 Siauw tolak tergabung Namun tetap jalin persahabatan Peristiwa Madiun terjadi Lautan darah membasahi bumi 27 Sekejap jadi tahanan politik Tapi lolos dari maut menghadang 432 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kembali ditangkap tentara Belanda agresi Nama tercantum dalam daftar hitam Dalam penjara Wirogunan Terjalin tali senasib antar penghuni Dibalik jeruji terbit “Suara Tapa” Bangkitkan semangat kepedulian Menyebar Dekrit “Pernyataan Wirogunan” Bangun Indonesia adil dan merdeka 28 Usai Konferensi Meja Bundar 29 Siauw bebas dari belenggu penjara Partisipasi libat Badan Pekerja Kutuk pasal kompromi pro Belanda Stelsel pasif kewarganegaraan Satu ide yang dapat dilaksanakan Suruh tanggung hutang Belanda jadi beban Gejolak marah massa tak tertahan Masalah Irian Barat ditunda Negara dalam kancah bahaya Lihat Partai Politik dari Anggaran dasar Unsur etnis dipertentangkan Siauw jadi partisan non partai Timbul pedoman baru perpolitikan Majalah dan surat kabar terbit bermula Demi kelangsungan hutang pun rela Ruang kantor rangkap ruang tidur keluarga Terjadi petaka dari meja jatuh kelantai Hidup penuh keserderhanaan Celana pendek kaos oblong keseharian Tamu datang ingin berkunjung Duga pelayan padahal dia Sering tampak dikedai warung pasar Pemilik tolak waktu bayar Masuk keluar istana sederhana tampilan Sandal baju tambal variasi tontonan 433 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sukarno lihat kasat mata Masuk kamar tidur penuh haru Hadiahkan tiga helai baju baru Siauw jadi kepalang rasa malu Empat surat kabar majalah dibidani Jasa tanpa nama disandang Suara Rakyat ubah Harian Rakyat Corong resmi Partai Komunis Indonesia 30 Yayasan Kebudayaan Sadar bentuk binaan Tujuan sadar budaya idaman 31 Rela keluar dana demi penerbitan Majalah “Sadar” bahasa Tionghoa diedarkan Mendorong Perantau Tionghoa berkesadaran ‘tuk cinta Indonesia jadi kebanggaan Cepat ambil sikap mendua jangan Karya tulisan tema Tionghoa Indonesia Terpapang jual pajang di toko buku Persatuan Pemilik Surat kabar dibentuk Kiprah libat penuh tanggung jawab Bahasa lugas tegas sederhana lawan arus rasialisme prinsip pandangan Tahun 1950 titik awal masuk DPR Aktif dalam problem kenegaraan 32 Presiden ibarat kakak kandung Dialog akrab tak berjarak nuansa Ia jadi tangan kanan ketua DPR Masalah timbul tumpuan rundingan 33 Waktu Sartono keluar negeri Pendamping setia ia sandang Diluar dua tokoh idaman Tetap akrab galang persahabatan Tali pertemanan terus terbina laras Persoalan timbul ia tetap berempati Langkah kegiatan penuh toleransi Bela minoritas jadi tempat mengabdi 434 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Razia Agustus bergeming Siauw pun tak luput ditangkap 34 Penjara Cipinang dihuni Ikatan bela rasa dengan Perantau Tionghoa Saling tebar pemahaman dalam perkenalan Jeruji besi tempa kepedulian persahabatan Dampak Razia Agustus membawa petaka Tiga ratus ribu keturunan Tionghoa tolak jadi berkewarganegaraan Indonesia Gejolak emosional Liem Koen Hian Jadi asing dan menekuni dagang 35 Gara sakit mata ia bebas dulu Sukisman minta maaf padanya Di Parlemen tiga hal di ajukan Aklamasi penuh peroleh dukungan 36 Dukungan pengaruh luas meningkat Jadi panutan masyarakat Tionghoa Siauw tenar tak tertanding jua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Singkat Baperki lahir ketua disandang Gagasan ide penuh dinamika Gayung usaha kembang menebar Jelang Pemilu partisipasi dilontar Mantap maju siap medan tanding Debat sengit dengan Tjoa Sik Ien tentang paham libat Pemilu 37 Pihak Tjoa kalah dalam nyata Enam kursi hasil dapat pasti Tiga kursi tambah dari partai sahabat 38 Gelombang badai hadir rubah dunia politik Demokrasi alami mundur menurun Konperensi Ekonomi Nasional bawa batasan Keunggulan sektor ekonomi Tionghoa Cemburu timbul langkah sulit menghadang Batasi gerak lingkup utamakan pribumi 435 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Tionghoa miskin ada wujud nyata Dasar ras jangan jadi ajang perbedaan Pribumipun ada ekonomi kuat atasan Wajar status ekonomi lemah tiada guna Bela hak dan kewajiban Tionghoa Keadilan prioritas semu merana Praktek berpihak timbul nyata Lindungi “Pribumi” alasan utama Semboyan kebijakan“benteng” mengelegar dibakukan dalam hukum undang undang 39 Kaum Tionghoa dijalur niaga dihadang Siauw gigih lawan dan tentang Kalah kuat bagai telur adu batu tak daya Bidang usaha penggilingan padi Orang Tionghoa sulit berusaha Pandangan Siauw soal ekonomi 40 Tegas jelas peranan keberpihakan Modal Tionghoa jabaran modal dosmetik Melestarikan pembangunan nasional Pemerintahan Asaat besi kukuh Kebijakan ekonomi nada anti tionghoa 41 Keluar tuntutan larang tionghoa kuasai ekonomi Himbauan seruaan membahana dari Siauw Kalah hadap tantangan gelombang dahsyat Undang undang kewarganegaraan dilontar Debat sengit jadi arena pembahasan seru Tempat lahir jadi usulan dasar kokoh Siauw Kewarganegaraan stelsel pasif senjata pamungkas Dipertahankan tegas tanpa kompromi Achir ujung debat Siauw menang dukungan Keturunan tionghoa lega puas serta senang Perjanjian Dwi-kewarganegaraan Tiongkok Indonesia Lancar ditanda tangani tapi kendala timbul Dilema muncul harus pilih ulang Jadi warga Negara Indonesia kembali 436 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Kejernihan masalah perlu ditanggulangi Syarat pilih ulang jangan jadi kerancuan Kewarganegaraan Indonesia sudah jelas Debat kusir jelas tak bermanfaat Laporan masalah dilansir didengar Perdana Menteri Zhou kejut sadar Khusus undang Siauw berbincang Dengan cermat serius dengar pendapatnya Sesal dibenak hati PM Zhou Sadar kurang menguasai menyeluruh Walau sudah ditanda tangani Jalan keluar masih dapat dibatasi Lawan arus Siauw hadapi Dukungan gagasan dibela masyarakat Tanda tangan kewarganegaran ujud nyata Silih berdatangan Penuh problema Pemilu telah dilewati Suasana perpolitikan kacau balau Deklarasi maklumat dari Soekarno Tindak sederhanakan partai politik 42 Wujud gagal demokrasi parlementer Ubah sistim politik keharusan Demokrasi arah terpimpin Harap parlemen taat konstitusi Hak asasi manusia diutamakan Lestari kunci musyawarah mufakat UUD ’45 dipulih kembali 43 Kuasa presiden lebih besar Demokrasi terpimpin datang gejolak Tentang menentang tambah runcing Kekuasaan dialihkan ke MPR Presiden angkat henti oleh MPR Presiden parlemen dua institusi Kerjasama butuh saling isi Undang undang serta rancangan Negara 437 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Persetujuan parlemen mensahkan Wujud Kabinet presidensial Gondam ditangan presiden Namun pembubaran parlemen Hak tidak ditangannya Menteri harus lepas partai Pandangan jauh depan presiden Bentuk baru Dewan Pertimbangan Agung Kian besar kuasa presiden Tiap maklumat aturan penting Pidato presiden dalam lingkup Jadi pedoman kebijakan politik Tiada bursa tawar menawar Kabinet Negara Kuasa penuh dipundak presiden Dewan Perancang Nasional Tentukan pembangunan ekonomi DPR yang ada dibubarkan Bentuk baru DPR Gotong Royong MPR bentukan jadi sementara Serta DPR pilih presiden Pikiran Bung Karno Ajang program besar besaran Front Persatuan Nasional lahir Siap sedia tindakan pasti Dasar lima pokok besar Bahana dentum Manifesto Politik 44 Partai politik tunduk tanpa tawar Menentang bubar vonisnya Nasakom hadir lahir kembang Satu padu saling mengekang 45 Hak Wakil minoritas dibiri Hari esok peserta kurang semula 438 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Waspada dan cermat perlu protes Siauw sulit rasahati tak berdaya Sekeliling orang tiada prinsip hadir Cari selamat setuju tanpa resiko Puncak kediktaturan penuh onak duri Kumandang sanjung serta mulia taut irama Tampak gagah perkasa yang semu Derap arus menentang sembunyi karya Siasat CIA terjun kancah keruh-kacau Kelompok kanan hunus pedang merona Kolonel Untung dahului tindak langkah Gerakan 30 September letup menggoncang Soeharto muncul gempur balik badan Gelimpang korban rentetan tak peri Basmi akar paham komunis Indonesia Presidenpun tak luput nasib merana Militer kuasa sektor pemerintahan Panji kibaran tinggi julang angkasa raya Meski Siauw bukan komunis Pikiran kiri anutan jadi petaka Dalam ringkuk tembok penjara Derita batin dan badan bergulir Interograsi runtun tak berujung Tekanan jiwa muncul tuaian tegang Pindah pulau Buru tersebar rumor Ancaman hukum hendak diadili Rekayasa tuduh komunis Bukti mana tak temu duga Tahanan rumah putusan rumit Suasana membaik jauh didapat 46 Terima bebas pindah tuju Belanda Tekad juang kokoh teguh bagai batu karang Tinjau titian perjalanan hidup pribadi Merah putih sandar bakti setia 439 Sajak-Sajak Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Cinta tanah Indonesia haribaan diri Semangat membara ngabdi sejati Tak lunglai hadap badai topan bergulung Penuh tekad hati prinsip tak goyah Karena ikut jejak langkah Soekarno Resiko bahaya tanggung jawab insan Cinta minoritas Tionghoa terpatri Sepenuh hati rela berkorban Bentengi hak keadilan kaum Tionghoa Tak lentur juang murni tiada jemu Baperki ………………… Penuh Puncak bhakti dan ngabdi Warga Indonesia angka mati Wancana seruan ulang tak jenuh Pandangan jauh depan sangat Pendidikan budaya senjata pamungkas Pengumuman aturan pendidikan Batasan kuota bagi anak tionghoa Tinggalkan Sekolah Tionghoa bagi warga negara Penuh tak tertampung di sekolah nasional Desakan bangun sekolah sekolah baru Atasi kegamangan anak tionghoa cari sekolah Dapat dukungan Tionghoa perantau 250 ribu anak ditampung lanjut sekolah Yayasan Pendidikan Baperki berdiri tegak Tata bangun sekolah baru langsung jalan Pendidikan tinggi jadi program mendesak Lahirlah Universitas Res Publica Cakup berbagai jurusan ilmu ekonomi, hukum, teknik, sastra, dokter serta dokter gigi Pertiwi bergelut kontradiksi runcing Kudeta depan mata kasat nyata Teror berubah nan tak kendali Jeruji besi dihuni tak terelak Situasi kian rubah taktentu Samudera raya ubah jadi sawah ladang 440 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Pekat hitam awan selimuti kota Bagai laut langit menyatu balut setia Persahabatan utama tak pernah geser Beda pendapat wajar hadapi setia kawan Tjoa Sik Ien marah serapah Namun pribadi tetap jalin kokoh mantap Sejarah ibarat cermin jernih mengkilap Kebenaran tetap hadir dunia nyata Perkasa pahlawan penuh abdi Giok Tjhan sang Giok Tjhan kasih Masa silam lalu takan lenyap bak asap api Kuberdoa sembah sujud kenang balada juangmu (Catatan) 1 Siauw Giok Tjhan, 1914—1981, seorang gerakan politik Tionghoa Indonesia. Lahir di Kapasan wilayah Pecinan Surabaya. Dimasa kanak-kanan pernah masuk sekolah Tiong Hoa Hwee Kwan, kemudian pindah ke sekolah dasar Belanda. Setelah lulus meneruskan sekolah HBS. Kemudian karena kedua orang-tua meninggal, berhenti sekolah akibat kesulitan ekonomi, dan bekerja menjadi wartawan Harian Matahari di Semarang. Tahun 1934—1941 menjabat redaksi “Harian Matahari”, “Liberal”, “Pemuda” dan “Suara Rakyat”. Pada saat Jepang menguasai Indonesia, menyingkir ke kota Malang Jawa Timur. Dimasa perang ikut serta dalam gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tahun 1946 terpilih menjadi anggota Bada Pekerja, Komite Nasional Indonesia Pusat. Tahun 1947 menjabat Menteri Negara Urusan minoritas di Kabinet Amir Syarifuddin ke-1 dan ke-2. Tahun 1948 pada saat Belanda melancarkan agresi keII berusaha menjajah kembali, dan peristiwa Madiun, 2 kali ditangkap. Setelah dilepas meneruskan jabatan anggota Parlemen sementara. Rasia Sukisman, Agustus 1951 ditangkap dalam penjara. Setelah dilepas tetap melanjutkan perjuangan keadilan bagi Tionghoa, menentang politik diskriminasi rasial peninggalan kolonialisme. Maret 1954 mendiri- 441 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak kan BAPERKI, dan menjabat ketua. Kemudian menjabat anggota DPR Gotong-Royong, Anggota DPA, MPRS dll jabatan. Dengan teguh melindungi hak kepentingan Tionghoa Indonesia. Dibidang politik mengikuti jejak garis politik dan strategi yang ditetapkan Presiden RI, Soekarno. Setelah G30S 1965, kembali ditangkap, 1975 baru berubah menjadi tahanan rumah dan Agustus 1978 resmi dibebaskan. Tidak lama kemudian hijrah ke Belanda. Buku tulisan tangannya, “Bhineka Tunggal Ika”, “Lima Jaman”, dan “Hari Depan Yang Cemerlang”. Balada ini banyak mengambil bahan dari buku Siauw Tiong Djin “Biografi Siauw Giok Tjhan” yang diterjemahkan Lin Liu Shun, dan diamati oleh Zhou Nan Jing. Penerbit Nan Dao, tahun 2001. 2 Kapasan adalah jalan utama Pecinan Surabaya, berada di sebelah timur Jembatan Merah. 3 Kakek garis ibu, Kwan Sien Lip, orang Khe, majikan toko kelontong, seorang nasionalis Tiongkok. Hidupnya sederhana, sangat banyak mempengaruhi Siauw. 4 Ayah, Siauw Gwan Swie, 1880—1932, kampung leluhur Hokkian, peranakan Tionghoa yang dilahirkan dalam kemiskinan, hidup disebuah lorong wilayah kaum miskin. Awalnya hanya sebagai pelayan toko saja. Bersandar dari kerajinan belajar sendiri, akhirnya bisa mengajar bahasa Inggris di Akademi Yale. Tahun 1910 menjadi partner perusahaan Schmidt, milik Belanda, akhirnya menjadi salah seorang kaya di Kapasan. 1913 menikah dengan putrinya Kwan Sin Liep. 5 Organisasi Pemuda Pelajar Sekolah Surabaya, Siauw sekalipun bersekolah di sekolah Belanda, tapi lebih suka bersahabat dengan murid sekolah Tionghoa, bahkan tergabung dalam organisasi mereka. 442 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak 6 Freddy, adalah nama Belanda Siauw Giok Tjhan yang digunakan dimasa Sekolah Belanda. 7 “Sin Tit Po”, adalah surat kabar Pedagang peranakan Tionghoa berbahasa Melayu. Sebelumnya dinamakan “Soeara Poeblik”, ganti nama pada tahun 1929. Liem Koen Hian menjabat Redaksi Umum. Menganjurkan Tionghoa yang lahir di Indonesia menjadikan Indonesia tanahairnya, mendukung perjuangan Kemerdekaan Indonesia. 5 tahun kemudian, 1932 PTI terbentuk, menjadi corong suaranya. Dimasa penjajahan Jepang awal tahun 1942, berhenti terbit. 8 Liem Koen Hian, 1896—1952, pekerja warta Tionghoa Indonesia, pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Lahir di Keluarga pengusaha kecil di Kalimantan Timur. Di Padang menerbitkan <<Tjahaya Sumatera>>, kemudian di Surabaya menjabat Redaktur <<Harian Surabaya>>, redaktur <<Sin Tit Po>> Surabaya. Diawal mendirikan Partai Tionghoa Indonesia, dengan aktive menganjurkan Tionghoa ikut gerakan nasionalis Indonesia, ikut serta dalam Partai Gerakan Rakyat Indonesia. 1950 menjadi Warganegara Indonesia, mendirikan Aliansi Kekuatan Indonesia, menyerukan Tionghoa menjadi WNI, ikut serta dalam pembangunan Republik Indonesia. Pada saat penangkapan rasia Agustus Sukisman, Liem juga ditangkap dan membuat beliau sangat kecewa pada Pemerintah Indonesia. Segera setelah 19 Oktober 1951 dibebaskan, mengumumkan menolak Kewarganegaraan Indonesia dan kembali memilih Kewarganegaraan Tiongkok, menjadi pengusaha dagang. Karena sakit meninggal di Medan. Perilaku tidak menentu demikian, sebagai “Gejala Liem Koen Hian”, adalah bayangan watak sebagian Tionghoa Indonesia. 9 Raden Sutomo, 1888—1938, nasionalis Indonesia. Kelahiran keluarga bangsawan klas bawah Jawa Timur. Mei 1908 ikut mendirikan organisasi sosial Budi Utomo. Tahun 1911 menjadi dokter lulusan Univ. Kedokteran 443 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Jawa, lalu melangsungkan usaha dokter di Sumatera dan Jawa, dan mengikuti organisasi budaya suku setempat. Tahun 1919 melanjutkan sekolah di Belanda. Menjabat Ketua Perhimpunan Indonesia. Tahun 1923 kembali ketanah air dan menjalankan usaha dokter di Surabaya, mrangkap Profesor di Univ. Kedokteran Surabaya. Pikirannya banyak dipengaruhi Gandhi dan Tagore. Menganjurkan kerjasama dengan Pemerintah Belanda. Memusatkan tenaga memperbaiki ekonomi dan usaha pendidikan budaya, mendirikan koperasi, serikat dagang, serikat tani, serikat buruh, Bank nasional, sekolah tekstil, asrama sekolah dll. Menganjurkan boikot barang luarnegeri. Tahun 1924 mendirikan Organisasi Peneliti Indonesia, menerbitkan majalah <<Obor Indonesia>> dan <<Obor Rakyat Indonesia>>, menyerukan Persatuan Bangsa dan Kesadaran Bangsa. Desember tahun 1926, secara terbuka mengutuk Pemberontakan Bangsa yang dipimpin PKI, dan menyatakan simpatinya pada Gubernur Belanda. Akhir tahun berikut, menjabat ketua Dewan Permusyawaratan Grup Politik Bangsa Indonesia. Tahun 1930 membubarkan Organisasi Peneliti Indonsia, tahun berikut mendirikan Partai Kesatuan Indonesia. Juga menerbitkan majalah <<Suara Masyarakat>>, <<Jaman>>, <<Penyebar Rohani>>, <<SADAR>> dll., menganjurkan pengembangan budaya bangsa dan ekonomi bangsa. Tahun 1935 menggabungkan organisasi sosial dan Partai Kesatuan Indonesia menjadi Partai Indonesia Raya dan menjabat Ketua. 1936—1937 berkunjung ke Jepang dan beberapa negara. Kembali dari Jepang, mempropagandakan kemesrahaan dengan Jepang, dan berhayal kerjasama dengan Jepang mewujudkan Kemerdekaan Indonesia. 10 PTI, Partai Tionghoa Indonesia, adalah organisasi politik peranakan Tionghoa Indonesia. Didirikan pada tahun 1932 di Surabaya. Tokoh pimpinannya Liem Koen Hian, Tjoa Sik Ien dll. Mewakili lapisan dan kepentingan klas kapitalis Tionghoa dan intelektual Tionghoa berpendidikan Belanda; Berbagai lapisan masyarakat kelompok masyarakat termasuk Tionghoa 444 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak sudah seharusnya mendapatkan hak dan perlakuan yang sama; bersama-sama partai politik lainnya melancarkan perjuangan politik, untuk mewujudkan Kemerdekaan Indonesia; memperkuat hubungan dan persahabatan Tionghoa dan Rakyat Indonesia. Menjelang agresi Jepang, bekerjasama dengan Partai Gerakan Rakyat Indonesia, melawan perluasan agresi Fasis Jepang. Setelah Jepang menjajah, ditindas penguasa Jepang setempat. 11Yang dimaksudkan Tan, Tjoa adalah Tan Ling Djie dan Tjoa Sik Ien. Tan Ling Djie, 1904—1970, adalah salah seorang tokoh pimpinan Partai Komunis Indonesia. Peranakan Tionghoa yang pernah sekolah Hukum di Belanda. Di Belanda pernah ikut Chong Hua Hui, Organisasi Peranakan Tionghoa di Belanda, tapi tahun 1932 keluar. Lalu mendirikan Perhimpunan Tionghoa Indonesia dan menjabat Sekretaris. Tahun 1933 menjadi wartawan Sin Tit Po di Eropah, 1939—1942 menjabat Redaktur Umum. Tahun 1941 Tan bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia. Setelah kemerdekaan RI, tergabung di Partai Sosialis dan menjabat Sekjen, merangkap anggota politbiro “PKI Dibawah-tanah” dan anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Agustus 1948 Tan menjabat wk. Sekretaris PKI, 1949—1953 menjabat Sekjen PKI. Karena perbedaan pendapat dengan DN Aidit, dituduh Tan Ling Djie-isme dan diganyang. Oktober 1953 dipecat dari jabatan anggota CC. Pada tahun 1959, melalui Kongres ke-6 dipilih kembali menjadi anggota CC dan anggota Dewan Ferifikasi. Setelah G30S tahun 1965 beliau ditangkap dan meninggal didalam penjara. Tjoa Sik Ien, 1907—1987, aktivis gerakan politik peranakan Tionghoa Indonesia. Kampung leluhur asal Hokkian, lahir di Surabaya. Lulus jadi dokter dari Univ. Leiden Belanda. Setelah lulus, kembali di Indonesia menjalankan usaha dokter di Surabaya dan ikut kegiatan politik, tergabung di Partai Tionghoa Indonesia. Tahun 1936 menjabat Presiden Surat kabar Sin Tit Po, organ PTI. Tahun 1939 menjabat Ketua Partai Tionghoa Indonesia. Setelah Kemerdekaan RI, pindah ke Jogya usaha dokter dan tergabung 445 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak dalam Partai Sosialis. Bersama Siauw Giok Tjhan dan Tan Po Gwan berpropaganda menganjurkan Tionghoa menjadi warga Indonesia, mendukung perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia. Tahun 1948—1949 mewakili Indonesia di PBB. Tahun 1959 menjadi anggota Dewan Perancang mewakili Tionghoa. Setelah G30S 1965, seluruh keluarga hijrah ke Wina melangsungkan usaha dokter. 12 Tan Gien Hwa, 1921 – 2003, istri Siauw Giok Tjhan. Kampung leluhur Hokkian, kelahiran keluarga pengusaha Tionghoa kaya di Pemalang Jawa Tengah. Tahun 1940 menikah dengan Siauw Giok Tjhan. 13 Harian Matahari adalah surat kabar Melayu yang dimiliki Tionghoa Indonesia. 1 Agustus 1934, Grup Kongsi Oey Tiong Ham mensponsori dana menerbitan Surat Kabar Matahari di Semarang, Jawa Tengah. Redaksi, Kwee Hing Tjiat. Tahun 1940 Kwee tiba-tiba meninggal dunia, sejak itu Redaksi dipegang Siauw. Dengan teguh mempertahankan dukungan gerakan Kemerdekaan Bangsa Indonesia. Setelah terbit, membuat perhatian pemerintah koloni Belanda. Dibawah dukungan pendonor, surat kabar ini menyiarkan tulisan simpati pada Jepang, tanpa mempedulikan kritik banyak Tionghoa dan memuat iklan orang-orang Jepang. 14 Awal tahun 1942 tentara Jepang masuk mengagresi Semarang, Siauw melalui Pemalang dan Surabaya bersembunyi di kota Malang, dengan membuka toko kelontong kecil Cuan-Cuanan. Tapi beliau tidak tertarik dengan usaha dagang, selalu gairah dalam diskusi rahasia politik dengan sahabat-sahabatnya. 15 Hua Chio Chong Hui Malang, disingkat Ma Hua, adalah organisasi yang dibangun Huakiao Malang, Jawa Timur. Han Kang Hun menjabat ketua. Tetapi, karena Siauw dalam memecahkan banyak persoalan dan hubungan kemasyarakatan lebih luas dan berpengalaman, diakui oleh 446 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Tionghoa Malang secara umum kemampuannya memimpin, kekuasaan organisasi tersebut hakekatnya berada ditangan Siauw. 16 Tan Kah Kee, 1874—1961, tokoh pimpinan Huakiao Patriotik Singapore dan Asia-Tenggara. Pada saat penjajahan Jepang, dibawah perlindungan sahabat alumni Sekolah Ji Mei, bersembunyi di Batu, sekitar kota Malang, dan sampai terakhir tetap tidak diketahui penguasa Jepang setempat. Siauw Giok Tjhan pernah mengunjungi Tan, berdiskusi beberapa masalah kondisi saat itu dan dengan rendah hati mendengarkan petunjuknya. Oktober 1945 beliau kembali ke Singapore. 17 Angkatan Muda Tionghoa, Oktober 1945, Siauw di Malang mengorganisasi kekuatan non-senjata Pemuda Tionghoa. Dengan aktive ikut ambil bagian membela dan melindungi Kemerdekaan Indonesia, memperkuat hubungan komunikasi dan kerjasama dengan barisan-barisan kekuatan bersenjata Indonesia, agar mereka mengerti bahwa Tionghoa bukan musuh, sebaliknya adalah kawan. Siauw Giok Bie, adik-kandung Siauw Giok Tjhan, menjadi ketua, sedang Siauw Giok Tjhan memimpin dari belakang untuk menentukan garis dan strategi tepat organisasi. 18 Desember 1945, atas anjuran Tan Ling Djie, Siauw tergabung dalam Partai Sosialis, untuk menunjukkan Tionghoa juga terlibat dalam gerakan Kemerdekaan Indonesia. 19 Siauw tergabung dalam Partai Sosialis dan ikut faksi Amir Syarifuddin. 20 Komite Nasional Indonesia Pusat, disingkat KNIP, dibentuk 22 Agustus 1945 di Jakarta. Bulan Oktober 1945, Siauw terpilih menjadi anggota KNIP wilayah Malang. Tahun 1946 menjadi anggota KNIP; sedang tahun 1947 menjabat Badan Pekerja KNIP. 447 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak 21 10 April 1946 Komite Nasional Indonesia Pusat akhirnya berhasil mensahkan konsep Tan Ling Djie “Stelsel Pasif Kewarganegaraan” setelah berlangsung perdebatan sengit: menetapkan barang siapa lahir di Indonesia sebelum Kemerdekaan, tanpa harus mengajukan permohonan, otomatis diperlakukan sebagai warganegara Indonesia. Sekitar bulan April-Mei tahun 1946, pemerintah RI mengutus Siauw dan Mr. Tan Po Gwan, 1911—1985, sarjana hukum etnis Tionghoa, mempropagandakan UU Kewarganegaraan di berbagai daerah Jawa-timur. Tapi, karena keadaan arus anti-Tionghoa cukup keras, mendapatkan respon yang sangat dingin dikalangan Tionghoa, ... sangat menyesalkan Siauw dan Tan. 22 Maret 1947, PM Syahrir memimpin Delegasi Indonesia menghadiri Konfrensi Asia pertama di New Delhi, Siauw saat itu menjadi sekretaris Delegasi. Pada saat tiba di Singapore, kehabisan dana, (Rupiah tidak diakui diluarnegeri). Siauw berhasil mendapatkan bantuan sahabat lama Tan Kah Kee, Tan dengan gembira memberikan bantuan. Pada saat perjalanan pulang, Delegasi hendak terbang langsung ke Jogya, tidak hendak berhenti di Jakarta. Oleh karena itu, sekali lagi harus melewati Singapore, tersangkut di Singapore selama sebulan. Akibat Pihak Belanda mengancam akan menembak jatuh pesawat yang terbang langsung ke Jogya, Delegasi tidak berhasil mendapatkan pesawat yang berani membawa Delegasi terbang pulang Jogya. Sekali lagi Siauw harus mengumpulkan dana untuk memecahkan ongkos kehidupan Delegasi selama tersangkut di Singapore. Pengalaman ini sangat penting meningkatkan pamor politik Siauw. 23 3 Juli 1947 pembentukan Kabinet Amir Syarifuddin, Siauw dinobatkan menjadi Menteri Negara Urusan Minoritas. 24 Akhir tahun 1947, Tiongkok Nasionalis Kuomintang atas undangan seke- 448 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak lompok Tionghoa, mengutus Jiang Jia Dong (baca: Ciang Cia Tung) berkunjung ke Jogya, dan mengajukan tuntutan mengubah Undang-Undang Kewarganegaraan. Yaitu menghendaki merubah stelsel pasif Kewarganegaraan menjadi stelsel aktif. Setelah Siauw menemui Ciang Cia Tung, menjelaskan alasan mengapa Pemerintah menggunakan stelsel pasif Kewarganegaraan, akhirnya, Ciang harus pulang kembali dengan kegagalan. 25 13 Pebruari 1948, karena perbedaan pandangan politik, Partai Sosialis pecah. Kelompok Syahrir keluar mendirikan partai baru – Partai Sosialis Indonesia. Sebagian besar pimpinan Partai Sosialis seperti Siauw Giok Tjhan, Tan Ling Djie dll., meneruskan dukungan pada Amir Syarifuddin. 26 31 Agustus 1948, PKI mengumumkan fusi, Partai Sosialis, Partai Buruh Indonesia bergabung dalam Partai Komunis Indonesia. Siauw Giok Tjhan dan beberapa orang tersembunyi menolak tergabung dalam PKI. 27 12 September 1948, Amerika bersama Belanda dan Pemerintah RI melancarkan pembasmian komunis Indonesia. Juli 1948, Amerika dan Pemerintah Indonesia melangsungkan perundingan di Sarangan, Madiun Jawa-timur, merencanakan membasmi kekuatan bersenjata komunis Indonesia. Bulan Agustus tahun yang sama, wakil AS, H. Merle Cochran, 1892—1973 mendarat di Jogya, lebih lanjut merencakan pembasmian komunis. Bersamaan waktu, Pemerintah Indonesia melakukan perjanjian gelap dengan Belanda, menetapkan Belanda dengan pemerintah setempat bertanggungjawab membersihkan “sarang” gerakan PKI dan rakyat di sebelah barat dan timur Jogya. Mulai 1 September, Masyumi, PSI dan klik Tan Malaka di Solo, Madiun dll daerah menangkap, menyandra dan membunuh orang komunis, pimpinan Serikat Buruh dan aktivis Gerakan rakyat, menyerang kekuatan bersenjata patriotik. 18 September, pemerintah Hatta memfitnah PKI di Madiun “Menggulingkan Repub- 449 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak lik Indonesia”, “melancarkan kudeta bersenjata membentuk Pemerintah Sovyet”, mengirim tentara melakukan “pengepungan”, menangkap dan membunuhi anggota PKI. PKI melakukan perlawanan bela diri, dan membentuk Pemerintah Front Nasional di Madiun. Kekuatan bersenjata yang dipimpin PKI di Madiun, Tjepu, Kudus, Ponorogo melancarkan pertahanan serangan tentara Pemerintah. Tetapi, karena kekurangan amunisi dan kekuatan tidak seimbang, 31 Oktober, Muso dalam pertempuran di Ponorogo tewas. Perlawanan Komunis ditindas dengan bengis dan kejam. Sekitar 36 ribu orang komunis dan patriotik ditangkap, diantaranya 10 ribu dibunuh. 19 Desember Amir Syarifuddin, Surono, Maruto Darusman dll. 11 orang pimpinan PKI didesa Ngalian dekat Solo ditembak mati. 28 19 Desember 1948, Belanda melancarkan Agresi ke-II, bahkan berhasil menguasai Jogya. Soekarno, Hatta, Syahrir, Agus Salim dll pimpinan negara ditangkap dan dialihkan ke Sumatera. Pada saat Peristiwa Madiun Siauw ditangkap, menjelang Belanda menyerbu penjara Wirogunan terjadi kekacauan, Siauw berhasil lolos keluar. Tapi, setelah pulang tidak lama, ditangkap kembali oleh tentara Belanda. Didalam penjara, Siauw menulis sendiri siaran harian “Suara Tapa”, memberitakan keadan dalam dan luar negeri beserta analisa situasi. Kemudian juga mengeluarkan << Pernyataan Wirogunan >> merupakan pernyataan tahanan politik, bertekad membangun Indonesia yang sosialis dan berdaulat penuh. Menyelundupkan keluar penjara dan dikirim ke PBB. 29 Antara Belanda dan Indonesia dilangsungkan Konfernsi Meja Bunder, 23 Agustus s/d 2 Nopember 1949 di Den Haag, Belanda. Dinamakan juga “Konfrensi Den Haag”. Perjanjian yang ditandatangani 2 Nopember dinamakan <<Perjanjian KMB>> atau <<Perjanjian Den Haag>>. Isi pokoknya: 1. Republik Indonesia Serikat terdiri dari Republik Indonesia dan Federasi Indonesia, Belanda selambat-lambatnya 30 Desember 1949 450 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak menyerahkan kedaulatan pada RIS. 2. Belanda, RIS, Suriname, Curacao bergabung bersama Belanda menjadi Republik Federal, dengan Ratu Belanda sebagai pimpinan utama. 3. Hubungan luarnegeri, pertahanan negara, keuangan-ekonomi, budaya dll dari RIS harus selamanya bekerjasama dengan Belanda; pihak Indonesia diharuskan membayar hutang Pemerintah Belanda sebanyak 4,3 Milyar Rp. Indonesia harus memberikan prioritas istimewa dalam hubungan dagang dengan Belanda; Belanda bertanggungjawab “melatih, mendidik teknik dan perlengkapan” tentara Indonesia, segenap pengeluaran dibayar Indonesia. Tentara koloni Belanda dahulu (KNIL) masuk tergabung dalam TNI. 4. Belanda tetap menguasai wilayah Iran Barat (Sekarang Irian Jaya), masalah penandatangan Iran-Barat dilakukan Belanda dan Indonesia setelah terselesaikan dengan musyawarah setahun kemudian. Pada tgl. 3 Mei 1965, pihak Indonesia mengumumkan KMB tidak berlaku lagi. 30 Januari 1950 Siauw menerbitkan Majalah bulanan “Sunday Curier” dan koran “REPUBLIK”. Juga menerbitkan Majalah Mingguan “Suara Rakyat”, bulan Juli tahun yang sama, majalah mingguan berubah menjadi Koran Harian dengan nama “Harian Rakyat”. Oktober 1953, Siauw mengoper “Harian Rakyat” dan percetakan Persatuan pada PKI, sepenuhnya di manage oleh Njoto. Sejak itu “Harian Rakyat” menjadi organ PKI. 31 Setelah Oktober 1953 Siauw mengoper “Harian Rakyat” pada PKI, beralih membentuk Yayasan SADAR, mengumpulkan dana utamanya dari pengusaha Tionghoa-totok. Yayasan ini terutama berusaha mendorong Tionghoa-totok menerima Indonesia dan menjadi Indonesia. Dengan menerbitkan Majalah “SADAR” edisi bahasa Tionghoa, pada awal tahun 1960 dibredel oleh Pemerintah. Kecuali itu, beliau juga menerbitkan buku-buku berbahasa Tionghoa yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan juga sebaliknya. Juga menerbitkan Kamus bahasa TionghoaIndonesia dan Indonesia –Tionghoa. 451 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak 32 Saat tahun 1950 Republik Indonesia Serikat, Tionghoa yang mewakili RI menjadi anggota DPR ada: Siauw Giok Tjhan, Yap Tjwan Bing, Tan Boen An dan Tjoa Sie Hwie, sedang Tionghoa yang mewakili RIS Tjung Tin Jan dan Tjong Liem Sheng. Di Parlemen, Siauw mendapatkan dukungan Mohammad Yamin, melawan sistem Federasi, mengusulkan kembali memulihkan Kesatuan Indonesia. 17 Agustus 1950, RIS dibubarkan dan kembali menjadi kesatuan Republik Indonesia. Kegiatan politik Siauw sangat aktive selama Demokrasi Parlementer, 1950-1959. 33 Sartono, 1900-1968, seorang nasionalis Indonesia. Sarjana Hukum. Kelahiran keluarga bangsawan Wonogiri di Solo, Jawa-tengah. Di tahun 1922 menamatkan Sarjana Hukum di Batavia (sekarang Jakarta), kemudian melanjutkan sekolahnya di Belanda. Tahun 1925 mendapatkan Master dibidang Hukum di Univ. Leiden. Menjabat Sekretaris Perhimpunan Indonesia. Tahun 1925 kembali sarjana hukum di Salatiga, Bandung. Tahun 1926 menjabat Ketua eksekutif Dewan Persatuan Indonesia, Tahun 1927 menjabat sekretaris Perhimpunan Politik Bangsa Indonesia, Tahun 1931 menjabat Ketua Partai Indonesia, Tahun 1937 menjabat wk.Ketua Gerakan Rakyat Indonesia dan Hakim Makamah Agung Hindia-timur, Tahun 1941 menjabat Ketua Perwakilan Rakyat Indonesia didalam Federasi Politik Indonesia dll jabatan. Sartono di tahun 1930 adalah hakim yang membela Soekarno saat diadili koloni Belanda. Pada saat penjajahan Jepang, menjadi anggota komite Peneliti sistem lama, Ketua Organisasi Pusat Gerakan Massa Rakyat, Anggota Dewan Penasehat Pusat, Penasehat Kementerian Dalam Negeri dll jabatan. Sekitar revolusi Agustus Indonesia, menjabat ketua Fraksi PNI di KNIP, tahun 1949 menjabat penasehat umum Delegasi Indonesia di KMB. Sejak tahun 1950 s/d Juli 1959, berturut-turut menjabat Ketua DPR. Tahun 1959 saat Soekarno melaksanakan “Demokrasi Terpimpin”, membubarkan DPR hasil pemilu, membentuk DPR-Gotongroyong, beliau menolak menjabat Ketua DPR- 452 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Gotongroyong. Kemudian menjabat Ketua Mahkamah Agung sampai pensiun tahun 1967. Hubungan dengan Siauw sangat akrab, khususnya selama menjabat Ketua DPR. 34 Penangkapan Rasia Agustus, Pemerintah Sukisman di Agustus 1951 tibatiba melancarkan penangkapan terhadap orang komunis dan tokohtokoh progresif masyarakat. Tanggal 3 Agustus 1951, Jawa Pos Surabaya menyatakan, di Banyuwangi didapatkan “Organisasi illegal yang didukung luarnegeri”, dikatakan “Berencana” menggulingkan Pemerintah dan membentuk Pemerintah Sovyet. Lebih lanjut dikatakan, kegiatan “Berencana” tersebut adalah kerjasama antara PKI dengan Huakiao Indonesia. Tanggal 5, segerombolan perusuh dengan membawa logo Palu dan Arit, menyerang pos Polisi di Tanjung Periuk, tanggal 7, Pemerintah Sukisman dengan alasan mencegah “Kudeta”, memerintahkan menangkap tokoh-tokoh dan orang-orang komunis, Serikat Buru Progresif, Serikat Tani, Organisasi Pemuda dan Wanita. Tentu saja termasuk tokoh-tokoh demokrat dan Huakiao. Sukisman didepan DPR, 29 Oktober melaporkan bahwa penangkapan yang dilancarkan sekitar 15 ribu orang. Tahun 1952, setelah beberapa bulan Kabinet Wilopo terbentuk, semua tahanan dibebaskan. 35 Penangkapan besar-besaran Rasia Agustus Sukisman berdampak sangat jelek, akibat ditangkapnya banyak Tionghoa-totok, mengakibatkan lebih banyak Tionghoa tidak lagi percaya dan bisa mendukung Pemerintah yang berkuasa. Akhirnya, sampai Desember 1951 lebih banyak Tionghoa, mencapai lebih dari 300 ribu orang menolak Kewarganegaraan Indonesia (lebih banyak diantara Tionghoa-totok). 36 Kegiatan Siauw di DPR, memperjuangkan sekitar 3 masalah besar: masalah rasisme (termasuk Kewarganegaraan), Pembangunan Ekonomi Nasional dan UU Menjamin Demokrasi Keadilan. Dengan dukungan ber- 453 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak bagai pihak, Beberapa konsep berhasil disahkan DPR dan itu tidak terpisahkan dari hasil keuletan perjuangan Siauw. 37 Setelah BAPERKI didirikan, menghadapi problem apakah BAPERKI ikut serta dalam PEMILU 1955 yang segera akan dilangsungkan. Tidak hanya dari luar, PNI, PSI, Partai Katholik dengan terbuka menentang BAPERKI ikut serta pemilu. Tapi juga dari dalam, ada yang menentang BAPERKI terlibat Pemilu. Diantara pengurus BAPERKI, yang berkeras menentang adalah Tjoa Sik Ien. Setelah melancarkan perdebatan sengit, akhirnya pemikiran Tjoa dikalahkan total dan kebijakan Siauw untuk ikut PEMILU berhasil dimenangkan dan disahkan. 38 Hasil Pemilu 1955, 6 wakil Tionghoa untuk DPR dan Konstituante dari BAPERKI keluar terpilih adalah: Siauw Giok Tjhan, Oey Tjoe Tat, Yap Thiam Hien, Go Gien Tjwan; Liem Koen Seng dan Oen Poen Djiang, (tidak termasuk 2 wakil etnis Eropah). Sedang 3 etnis Tionghoa keluar dari Partai Politik lain: Tan Ling Djie, Oey Hay Djoen dan Tonny Wen (Wen King Tou). 39 Desember 1949, Juanda sebagai Menteri Keuangan Federasi RI, mengambil konsep melindungi dan mendahlukan pengusaha “pribumi”. April tahun 1950, Juanda sekali lagi menetapkan ketentuan melindungi importir “pribumi”. Ketentuan itu menetapkan: Jenis barang yang telah ditetapkan politik Benteng hanya bisa dilakukan oleh importir “pribumi”. Orang asing (Tionghoa) tidak lagi diperkenankan mengimport. Hanya Perusahaan dengan lebih 70% modal milik “pribumi” diperkenankan mengimport jenis barang yang ditetapkan politik Benteng. Kecuali itu, Pemerintah juga memberikan pada perusahaan “pribumi” kemudahan dan kredit bunga rendah istimewa dan lisensi usaha, sebaliknya memberi batasan lebih ketat dan melarang pengusaha Tionghoa, menjalankan politik diskriminasi rasial yang menyingkirkan. Siauw menentang keras politik Benteng ini, dan menuding politik demikian ini jelas sangat merugi- 454 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak kan dan berakibat maraknya korupsi. 40 Garis besar Konsep ekonomi Siauw Giok Tjhan adalah: 1. Perusahaan Belanda, Inggris dan Amerika telah merampas kekayaan alam, mereka mentransfer keuntungan keluarnegeri dan tidak diputar di Indonesia. Pemerintah Indonesia harus mengambil alih perusahan-perusahaan besar ini. 2. Menentang konsep “Pribumisasi”, garis pemisah ekonomi kuat atau lemah tidak berdasarkan etnis, tidak benar seluruh Tionghoa tergolong kaya. Tidak sedikit Tionghoa ekonomi-lemah. Juga tidak semua pribumi miskin. Diantaranya juga ada yang golongan ekonomi-kuat. 3. Perusahaan Tionghoa termasuk modal domestik, bukan modal asing, keuntungan yang didapatkan mereka tidak ditransfer keluar, tapi digunakan dan berputar di Indonesia; 4. Politik “Benteng” adalah kebijakan berdasarkan ras, yang harus ditentang dengan tegas. 41 Assaat Datuk Mudo, 1904 – 1976. Politikus dan Ahli Hukum Indonesia. Kelahiran keluarga bangsawan di Banuhampu, Sumatera. Tahun 1939 mendapatkan gelar Master dibidang Hukum dari Univ. Leiden Holland. Kembali ketanahair membuka biro Hukum. Saat Jepang masuk tahun 1941, menjabat Pengurus Sentral Tabungan dan kredit Mortage Bank. Tahun 1950 pernah pejabat Presiden Republik Indonesia. Tahun 19501951 menjabat Menteri Dalam Negeri. Tahun 1956 perancang Gerakan Assaat (yaitu gerakan anti-Tionghoa). Tahun 1961 menjabat “Mentgeri Dalam Negeri” dari Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia, Perusuh. Dijebloskan dalam tahanan selama 3 tahun, tahun 1966 bebas. 42 Konsep Soekarno, dinamakan juga konsep Presiden Soekarno. 21 Februari 1957 Presiden Soekarno di Istana Merdeka, dihadapan tokoh Partai politik dan masyarakat mengajukan konsep politik. Isi pokoknya: 1. Demokrasi parlementer barat tidak sesuai dengan kekhususan Indonesia, harus jalankan Demokrasi Terpimpin; 2. Untuk melaksanakan Demokrasi 455 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Terpimpin, harus membentuk Kabinet terdiri dari Partai politik dan ormas; Yaitu Kabinet yang terdiri dari PNI, Masyumi, NU dan PKI merupakan kerjasama nasional; 3. Membentuk Dewan Nasional yang terdiri golongan karya berbagai lapisan masyarakat, untuk memberi saran pada pemerintah dan survey yang diperlukan. Konsep ini menjadi perdebatan sengit didalam negeri. Beberapa daerah terjadi kerusuhan. Maret 1957 Kabinet Ali ke-2 meletakan jabatan. Tanggal 14 bulan yang sama, Presiden Soekarno mengumumkan Keadaan Darurat Perang diseluruh negeri. 43 UUD45 Indonesia, lengkapnya Undang-Undang Dasar 1945 Republik Indonesia. 18 Agustus 1945 Komite Persiapan Kemerdekaan Indonesia mensahkan UUD Republik Indonesia. Dalam Kata Pengantar UndangUndang menegaskan dasar Republik Indonesia adalah: “Ketuhanan; Keadilan, Kemanusiaan yang beradab; Persatuan Indonesia; Demokrasi Perwakilan dan berdasarkan permusyawaratan yang bijaksana; Melaksanakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Pasal Keadilan seluruhnya ada 37, diantaranya menetapkan: 1. Indonesia adalah negara yang dipersatukan berbentuk republik. 2. Kedaulatan milik Rakyat dan dilaksanakan melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat. 3. Parlemen merupakan kekuasan legislatif, namun Rencana UU berlaku sah, setelah mendapatkan persetujuan Presiden; 4. Presiden berhak menetapkan undang-undang dan peraturan pemerintah,Panglima Tertinggi Angkatan Darat, Laut, dan Udara, Mengumumkan perang dengan asing, membuat perdamaian dan perjanjian, mengumumkan keadaan darurat; menobatkan Duta Bear diluarnegeri dan menerima Dubes negara asing di Indonesia; memberi pengampunan amnesti, grasi, rehabilitasi nama dan kehormatan dll. 22 Februari 1959, atas usul kabinet Juanda, Presiden Soekarno secara resmi berlakukan kembali UUD45. Sejak itu kekuasaan Presiden menjadi lebih besar. 44 Pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali 456 Siauw Giok Tjhan 100 Tahun Sajak-Sajak Revolusi kita”. Kemudian dinamakan << Manifesto Politik Republik Indonesia >>, disingkat menjadi “MANIPOL”. Berdasarkan usul mahkamah Agung, Ketetapan Presiden No.1/1960 dan TAP-1 MPRS 1960 “MANIPOL” dijadikan Pedoman pokok Negara. Februari 1960, Presiden Soekarno di Bandung dalam pembukaan Kongres Pemuda menunjukkan, <<MANIPOL>> ada 5 makna: Kembali ke UUD45; Sosialisme Indonesia; Demokrasi Terpimpin; Ekonomi Terpimpin dan berwatak Indonesia (USDEK). 45 NASAKOM, singkatan dari Nasionalisme, Agama dan Komunisme. Soekarno menghendaki 3 aliran politikm yang ada di Indonesia ini bisa bersatu-padu, bekerja-bersama melawan musuh bersama imperialisme. Tulisan semula pada tahun 1926 << Nasionalisme, Islam dan Marxisme >>. Isi klas “NASAKOM” termasuk klas buruh, klas tani, borjuis-nasional, kapitalisbirokrat dan tuan-tanah feodal. Tahun 1965 setelah G30S, konsep NASAKOM bangkrut. 46 Siauw dipenjarakan dibeberapa tempat, Penjara Salemba, Ta-hanan Kebayoran Lama, Penjara Nirbaya, sekalipun tidak disiksa, tapi diinterogasi dalam waktu cukup panjang, membuat tekanan dan ketegangan jiwa, berbagai penyakit memberat. Masih beruntung sahabat karibnya, Adam Malik, pejabat tinggi pemerintah Orba ketika itu diam-diam memberikan bantuan, juga pelayanan pengobatan. September 1975 Siauw berubah menjadi tahanan rumah, keadaan berubah membaik. Agustus 1978 Siauw secara resmi dibebaskan. Bulan berikut, Siauw bersama istri hijrah ke Belanda. 457