Pseudo-Multikultural di Kampus Hijau karena Tuhan pun pada mulanya mengajarkan nama-nama kepada Adam di surga maka di hari ulang tahunmu yang ketiga kuberikan padamu, anakku, dengan salam dan cinta kaleidoskop nama-nama dalam beragam warna (Puisi Hartojo Andangdjaja,1 Mukadimah, 1976) Realitas sosial tak cukup diukur dengan hal ihwal ragawi. Benda-benda sekadar merekam kira-kira saja. Itu pula yang mendasari penelitian sejarah tidak pernah final, meski jelas-jelas meneliti artefak masa lalu yang “selesai”. Artefaknya memang final, tapi pemaknaan atau tafsirnya selalu dan semakin berkembang. Jangan heran, bila kita masuk ke kampus induk Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) di Kentingan lewat pintu gerbang belakang lalu belok kanan, kita bisa mengira-ngira multikulturalitas UNS. Tempat-tempat ibadah lima agama resmi2 di Indonesia berjajar rapi di sana: gereja umat Kristen dan Katolik, pura, wihara, serta masjid mewah di ujungnya. Rektor UNS dua periode, Ravik Karsidi, mengamini bahwa UNS adalah kampus multikultural. Sejak penerimaan mahasiswa baru program Diploma UNS dua tahun lalu, Ravik sudah mengklaim multikulturalitas tersebut. “Dari total 2.268 mahasiswa baru program Diploma UNS tahun akademik 2013/2014, berdasarkan data, mereka berasal dari 27 provinsi,” ujar Ravik pada Okezone.com.3 “Hal ini selaras dengan keinginan untuk membawa UNS menjadi PTN multikultural. UMBPT ini UNS menjadi terfavorit karena tzak lepas dari kredibilitas UNS yang semakin baik. Artinya UNS semakin dikenal,” tambahnya.4 Daerah asal mahasiswa baru yang beragam itulah yang selama ini dijadikan acuan UNS, diwakili rektor, untuk mendefinisikan kampus multikultural. 1 Penyair kelahiran Solo, 4 Juli 1930, tutup usia pada 30 Agustus 1990. Andangdjaja termasuk salah satu penandatangan Manifes Kebudayaan (1963) yang penuh polemik itu. 2 Sebetulnya, dan seharusnya, ada enam agama utama resmi di Indonesia. Tapi tempat ibadah untuk umat Konghucu di kampus UNS memang belum ada. 3 http://news.okezone.com/read/2013/08/27/373/856046/uns-masuk-10-besar-kampus-elite-ri/, diakses pada 5 Januari 2016, pukul 9:40. 4 http://www.solopos.com/2013/07/21/umb-pt-uns-solo-terfavorit-diminati-12-000-peserta-428854/, diakses pada 5 Januari 2016, pukul 9:45. Orang-orang lazim menggunakan term “multikultural” untuk menunjuk sejumlah kelompok sosial nonetnis yang dikucilkan dan/atau dikesampingkan dari aliran utama masyarakat, disebabkan oleh beberapa alasan. Will Kymlicka pernah menyebut bahwa di Amerika Serikat “multikulturalisme” sering mengacu pada upaya untuk membalikkan pengucilan bersejarah kelompok-kelompok seperti penyandang cacat, para homoseksual dan lesbian, perempuan, kelas pekerja, ateis, dan komunis.5 Bagi Kymlicka, sejatinya multikulturalisme adalah politik tentang hak-hak minoritas. Bhikhu Parekh menambahkan, multikulturalisme hendaknya dilihat bukan sebagai doktrin politik dengan sebuah isi programatik, bukan juga sebagai sebuah perspektif tentang kehidupan manusia.6 Multikulturalisme setidak-tidaknya memiliki tiga wawasan sentral. Pertama, setiap manusia tumbuh dan hidup dalam dunia yang terstruktur secara kultural, kehidupan dan hubungan sosialnya diorganisasi menurut sistem makna. Kedua, kebudayaan-kebudayaan yang berbeda mencerminkan sistem makna dan pandangan tentang jalan hidup yang baik. Ketiga, semua kebudayaan kecuali yang paling primitif secara internal bersifat majemuk. Sosiolog Anthony Giddens7 pun urun pendapat. Menurutnya multikulturalisme sering disalahartikan. Orang sering berpikir multikulturalisme berarti separatisme atau relativisme budaya. Orang juga sering menyalahkan multikulturalisme dalam kaitannya dengan terorisme. Giddens sendiri lantas menawarkan “sophisticated multiculturalism” yang menekankan pentingnya identitas dan hukum nasional, tetapi juga memperkuat hubungan antara kelompok-kelompok sosial dan etnis yang berbeda. Maka, Giddens lalu memandang multikulturalisme sebagai solidaritas sosial, alih-alih pemisahan. Poin utamanya adalah menemukan keseimbangan antara kewajiban-kewajiban universal dan kepekaan nilai dari kelompok yang berbeda-beda.8 UNS Kampus Multikultural(?) Masih banyak pemikir yang memberi sumbangsih dalam kajian multikulturalisme, tapi kita cukupkan Kymlicka, Parekh, dan Giddens dulu sebagai gambaran awal. Lalu, 5 Will Kymlicka, Kewargaan Multikultural, Jakarta: LP3ES, 2015, hlm. 25. Bhikhu Parekh, Rethinking Multiculturalism: Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius, 2008, hlm. 440. 7 Anthony Giddens & Philip W. Sutton, Sociology, Cambridge: Polity Press, 2013. 8 Robertus Robet & Hendrik Boli Tobi, Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan, dari Marx sampai Agamben, Tangerang: Marjin Kiri, 2014, hlm 94. 6 mari kita bergerak kembali ke UNS, yang digadang-gadang kampus multikultural itu. Bagaimana situasi multikultural di UNS? Kemungkinan besar, lima (bahkan bisa enam) agama resmi di Indonesia, masing-masing memiliki penganut di UNS. Mahasiswa UNS pun kini tak sekadar berasal dari ekskaresidenan Surakarta alias Subosukawonosraten,9 melainkan tersebar dari berbagai wilayah, termasuk dari luar Pulau Jawa. Tapi semuanya itu sekadar keragaman latar belakang masing-masing mahasiswa, di panggung depan, hanya satu ekspresi kultural yang dominan, selebihnya diabaikan. UNS adalah universitas negeri yang paling Islami. Kita kembali ke sisi agak belakang di kampus induk Kentingan. Dari tempat-tempat ibadah yang berjajar di sana, mana yang paling mewah, prestisius, sekaligus yang agak terpisah jarak di antara yang lain? Jelas, Masjid Nurul Huda UNS. Islam, UNS tampilkan sebagai narasi besar, oleh karena ia mayoritas. Islam ala UNS juga menjaraki dirinya dari agama dan kultur lain. Ukurannya lewat strategi UNS memosisikan dan mengonstruksi masjid tadi. Peran masjid jangan disepelekan, melalui risetnya yang memukau (pada zamannya), Sidi Gazalba menyebut masjid di samping pusat peribadatan, juga pusat kebudayaan.10 Kita bisa mengamati kemencolokan Islam dibanding selainnya di UNS selama ini. Prestasi-prestasi religius yang diakui oleh UNS pada galibnya sekadar dalam koridor keislaman. Misalnya, dengan hafiz Al-Qur'an bisa langsung diterima sebagai mahasiswa kampus UNS.11 Unit kegiatan mahasiswa dengan varian terbanyak, selain olahraga, pun yang keislaman: JN UKMI, SKI plus Biro AAI di tiap fakultas, dan UKM Ilmu Qur’an. Bahkan, di unit kegiatan mahasiswa yang vital seperti BEM dan DEMA pun, kalangan Islam sangat dominan, oleh karena mereka bersimpul dan bersimpuh pada organisasi eksternal kampus yang mendaulat diri sebagai kesatuan aksi mahasiwa muslim. Kultur lain, susah dapat tempat, karena memang sudah dikondisikan begitu. Pantaslah bila Amartya Sen12 berpendapat bahwa tiap dukungan terhadap multikulturalisme yang sering dikemukakan sesungguhnya tidak lebih dari pledoi terhadap “monokulturalisme majemuk”. Pernyataan sinis Sen sungguh bisa dimaklumi. Harapan kita, petinggi kampus UNS yang mulia segera meredam hegemoni yang semena-mena itu. Tonggak keadilan sosial adalah kesetaraan. Kita tak bisa memungkiri, 9 Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten. Sidi Gazalba, Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1962, hlm. 395. 11 http://sebelasmaret.com/dengan-hafizh-al-quran-bisa-masuk-kampus-uns/, diakses pada 5 Januari 2016, pukul 11:59. 12 Amartya Sen, Kekerasan dan Ilusi tentang Identitas, Tangerang: Marjin Kiri, 2007, hlm. 202-203. 10 Islam secara kuantitatif terlalu besar. Maka, kesetaraan bukan soal kuantitas, yang lebih utama, tiap kalangan (entah berlatar agama atau kultur) mesti mengalami “situasi” yang setara. Oleh karenanya, hegemoni yang digencarkan organisasi eksternal dalam rangka mengondisikan ketaksetaraan tersebut mesti dihentikan. Ada banyak cara yang dapat ditempuh, salah satunya membersihkan aktivitas Biro AAI yang mestinya sakral itu dari dominasi salah satu organisasi eksternal. Kampus UNS tentu bisa mengatasi persoalan tersebut, sebagaimana slogan yang diusung rektor kita setelah ia terpilih kembali: UNS Bisa! [] Udji Kayang Aditya Supriyanto Mahasiswa Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Asisten Penelitian Pemetaan Analisis Konflik Pesantren untuk Perdamaian (PFP): Program untuk Mendukung Peran Pesantren dalam Mempromosikan Hak Asasi Manusia dan Resolusi Konflik secara Damai yang diselenggarakan Center for the Study for Religion and Culture (CSRC) Data Diri Ringkas Nama : Udji Kayang Aditya Supriyanto Kelahiran : Wonogiri, 19 Maret 1994 Alamat : Soropadan, RT 2 RW 8, Karangasem, Laweyan, Surakarta Pendidikan : Sosiologi FISIP UNS Nomor HP : 085642393061