Memanusiakan Lanjut Usia

advertisement
Memanusiakan
Lanjut Usia
Penuaan Penduduk & Pembangunan di Indonesia
Kumpulan Makalah & Diskusi
Lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembangunan:
Dokumentasi, Tantangan & Langkah Lanjut’
Yogyakarta, 19-20 November 2012.
kerjasama:
SurveyMETER | Yayasan Emong Lansia | Center for Ageing Studies - University of Indonesia
The Asia Foundation | Knowledge Sector Program - AusAID
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA:
Penuaan Penduduk & Pembangunan di Indonesia
Penyunting: Roem Topatimasang
© SurveyMETER
Agustus 2013, cetakan pertama.
SurveyMETER
Jenengan Raya 109, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282, Indonesia
Telepon: +62 274 4477464 | Fax: +62 274 4477004 | www.surveymeter.org
PERPUSTAKAAN NASIONAL
Katalog Dalam Terbitan (KDT)
1. Lanjut Usia 2. Perubahan Demografi 3. Jaminan Sosial
4. Kebijakan Pembangunan 5. Indonesia I JUDUL
ISBN 978-602-8384-65-0
+xx, 223 halaman, 17,5 x 25,5 cm
sampul kertas
Pengolah naskah awal: Jejen Fauzan & Ni Wayan Suriastini
Notulasi & transkripsi: Fitri Indra, Indria Pratiwi, Sri Lestari, Dwi Oktarina
Dokumentasi foto lokakarya: SurveyMETER
Pemeriksa bahasa: Lubabun Ni’am, Jejen Fauzan, & Markaban Anwar
Rancang sampul & kompugrafi: Rumah Pakem
Kalibrasi & pencetakan: INSISTPress, Yogyakarta
INSISTPress: http://blog.insist.or.id/insistpress
“Proses menua (degeneratif) sudah harus diantisipasi sejak
dini, sebelum usia 50 tahun, dan semua harus dipahamkan
kepada masyarakat....”
(Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, Ph.D;
Wakil Menteri Kesehatan RI)
“Penuaan penduduk tidak harus diartikan sepenuhnya
sebagai beban. Kelompok lanjut usia seharusnya lebih
diakui dan didorong potensinya sehingga para lansia
dapat sehat, aktif, dan mandiri...”
(Sri Sultan Hamengkubuwono X;
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta)
“Pemerintah Indonesia sudah bertindak positif dalam
upaya menyusun sistem jaminan sosial melalui Undangundang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2011.”
(Benjamin Davis;
Knowledge Sector Program, AusAID)
“Sekarang ada kecenderungan orang-orang muda yang
sudah bekerja pun masih tergantung sebagiannya kepada
para orangtua mereka yang sudah lansia... Karena itu,
konsep rasio beban ketergantungan perlu dikaji ulang,
termasuk seluruh konsep-konsep turunannya seperti
konsep demographic windows of opportunity dan bonus
demography.”
(Dr. Evi Nurvidya Arifin;
Institute of South East Asian Studies, ISEAS)
“Kebijakan pasar kerja fleksibel membawa dampak
negatif langsung maupun tak langsung bagi para
lansia...”.
(Indrasari Tjandraningsih, MA;
AKATIGA, Pusat Analisis Sosial)
“Sistem jaminan sosial kita selama ini masih mengandung
ketidakadilan. Hanya lansia pensiunan pegawai negeri
dan purnawirawan TNI/POLRI yang mendapatkan jaminan
pensiun. Lansia yang lain belum...”.
(Prof. Bambang Purwoko, MA, Ph.D;
Dewan Jaminan Sosial Nasional)
“Dalam penanganan lansia... [perlu] mengubah sifat
bantuan yang charity approach menjadi human rights
approach sehingga masyarakatnya menjadi workfare
society.”
(Prof. Dr. Haryono Suyono, MA, Ph.D;
Yayasan Damandiri)
“Lansia Indonesia yang miskin dan telantar hanya 15%.
Sisanya yang 85% adalah lansia yang justru potensial
digerakkan untuk membantu yang 15%...”.
(Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA;
Yayasan Emong Lansia)
“Dalam penanganan isu-isu lansia ini, tidak mungkin lagi
kalau kita mengerjakan semuanya sendiri-sendiri... Perlu
ada suatu jaringan kerja bersama segera dibentuk.”
(Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo;
Centre for Ageing Studies, Uninersitas Indonesia)
DAFTAR SINGKATAN
ASKESOS
AMCDRR
APBD
APBN
ASABRI
ASKES
ASLUT
ATM
Asuransi Kesejahteraan Sosial
Asian Ministrial Conference on Disaster Risk Reduction
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Asuransi Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Asuransi Kesehatan
Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar
Anjungan Tunai Mandiri/Automatic Teller Machine
BAPPEDA
BAPPENAS
BKL
BLT
BPJS
BPS
BUMN
Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional
Bina Keluarga Lansia
Bantuan Langsung Tunai
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
Badan Pusat Statistik
Badan Usaha Milik Negara
CAS UI
CBOs
CSR
Centre for Ageing Studies University of Indonesia
Community-based Organizations
Corporate Social Responsibility
DIY
DJSN
DKI
DNIKS
DPD-RI
DPR-RI
DRR
Daerah Istimewa Yogyakarta
Dewan Jaminan Sosial Nasional
Daerah Khusus Ibukota
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Disaster Risk Reduction
GNLP
Gerakan Nasional Lansia Peduli
IDI
IMT
IPB
ISEAS
Ikatan Dokter Indonesia
Indeks Massa Tubuh
Institut Pertanian Bogor
Institute of South East Asian Studies
JAMSOSTEK
JSLU
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Jaminan Sosial Lanjut Usia
KEMENSOS
KKN
KOMDA
KOMNAS
Kementerian Sosial
Kuliah Kerja Nyata
Komisi Daerah
Komisi Nasional
v
Lansia
LAZISMU
LKKS
LKS
LLI
LSM
LVRI
Lanjut Usia
Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah
Lembaga Koordinator Kesejahteraan Sosial
Lembaga Kesejahteraan Sosial
Lembaga Lansia Indonesia
Lembaga Swadaya Masyarakat
Legiun Veteran Republik Indonesia
MDGs
MDMC
MER-C
MIPAA
Millennium Development Goals
Muhammadiyah Disaster Management Center
Medical Emergency Rescue Committee
Madrid International Plan of Action on Ageing (2002)
NGO
NPWP
NTA
NU
Non Governmental Organization
Nomor Pokok Wajib Pajak
National Transfers Account
Nahdlatul Ulama
OPAs
Older People’s Associations
PAUD
PEMDA
PEPABRI
PERGERI
PERMENDAGRI
PERTAMINA
PHBS
PJTKI
PKBI
PKK
PKPU
PKS
PMI
PNS
POLDES
POLRI
POSBINDU
POSDAYA
PP
PPJP
PPJTKI
PPSW
PU
Pendididkan Anak Usia Dini
Pemerintah Daerah
Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Perhimpunan Gerontologi Indonesia
Peraturan Menteri Dalam Negeri
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia
Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga
Pos Keadilan Peduli Umat
Partai Keadilan Sejahtera
Palang Merah Indonesia
Pegawai Negeri Sipil
Polisi Desa
Kepolisian Negara Republik Indonesia
Pos Pembinaan Terpadu
Pos Pemberdayaan Keluarga
Peraturan Pemerintah
Perusahaan Penyalur Jasa Pekerja
Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia
Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita
Pekerjaan Umum
vi
PUSAKA
PUSKESMAS
PWRI
Pusat Santunan dalam Keluarga
Pusat Kesehatan Masyarakat
Persatuan Wredatama Republik Indonesia
RAN
RISKESDAS
RS
RSCM
Rencana Aksi Nasional
Riset Kesehatan Dasar
Rumah Sakit
Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta
SAM
SD
SDM
SEARO
SJSN
SKPD
SMA
SMK
SMP
SPK
SPM
STIKES
SUSENAS
Social Accounting Matrix
Sekolah Dasar
Sumber Daya Manusia
South East Asia Region
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Satuan Kerja Pemerintah Daerah
Sekolah Menengah Atas
Sekolah Menengah Kejuruan
Sekolah Menengah Pertama
Sekolah Perawat Kesehatan
Standar Pelayanan Minimal
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Survei Sosial-Ekonomi Nasional
TASPEN
TBC
TNI
TNP2K
Tabungan dan Asuransi Pensiun
Tuberkulosis
Tentara Nasional Indonesia
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
UEP
UGM
UHH
UI
UMR
UMY
UNY
UU
Usaha Ekonomi Produktif
Universitas Gadjah Mada
Usia Harapan Hidup
Universitas Indonesia
Upah Minimum Regional
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Universitas Negeri Yogyakarta
Undang-undang
WHO
WTP
YAKKUM
YEL
YLKI
YWS
World Health Organization
Wajar Tanpa Pengecualian
Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum
Yayasan Emong Lansia
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
Yayasan Wredha Sejahtera
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN
v
PENGANTAR
n Ni Wayan Suriastini
xiii
RANGKUMAN UMUM
n Aris Ananta
xvii
BAGIAN PERTAMA: SAMBUTAN & PIDATO PENGARAHAN
SAMBUTAN 1
Penuaan Penduduk di Indonesia: Tantangan ke Depan
n Bondan Sikoki
3
SAMBUTAN 2
Penduduk Lanjut Usia sebagai Aset, Bukan Beban
n Sri Sultan Hamengku Buwono X
6
SAMBUTAN 3
Menemukan Landas Pijak Bersama bagi Penanganan
Isu-isu Penuaan Penduduk
n Benjamin Davis 8
PIDATO PENGARAHAN
Strategi dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia
di Indonesia
n Ali Gufron Mukti
11
BAGIAN KEDUA: PENGALAMAN PEMERINTAH
Lansia & Pembangunan: Antara Harapan dan Tantangan
n Gusti Kanjeng Ratu Hemas 26
Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia
n Mulyo Johni
31
National Transfer Account sebagai Pendukung Analisis
Sistem Penunjang Penduduk Lanjut Usia
n Maliki Ahmad
38
Upaya Pemerintah Menghadapi Tantangan Revolusi Demografis
n Toni Hartono
44
Diskusi
53
n
ix
BAGIAN KETIGA: PENGALAMAN MASYARAKAT
Pemberdayaan Menyongsong Peran Lansia
dalam Pembangunan
n Haryono Suyono 56
Peran Generasi Muda dalam Pembinaan Lansia
n Sabrin O.Ladongi 65
Pelayanan Masyarakat Lanjut Usia oleh Perguruan Tinggi
n Fajarina Lathu Asmarani 69
Sekolah untuk Lansia (Golden Geriatric Cub)
n Ruliyandari Rudiyanto
74
n
Diskusi 77
BAGIAN KEEMPAT: PENGALAMAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT
Membina Lanjut Usia di Bali:
Tua Berguna, Bahagia dan Sejahtera
n Luh Ketut Suryani 80
Peranserta Organisasi Sosial Menghadapi
Penuaan Penduduk
n Rohadi Haryanto 87
Kesehatan Seksual di Usia Tua: Kebutuhan yang Tertunda
n Budi Wahyuni 94
Pengalaman Pengembangan Program Lanjut Usia
di Indonesia
n Siti Hariani
97
Mempromosikan Saling Dukung Lembaga-lembaga Lansia
di Indonesia
n Eva A.J. Sabdono102
n
Diskusi107
BAGIAN KELIMA: PENGALAMAN AKADEMISI
Masalah Gizi Usia Lanjut: Upaya Penelitian & Pengembangan
n Fatmah116
Pasar Kerja Fleksibel & Beban Kerja Lansia
n Indrasari Tjandraningsih
121
x
Peran Organisasi Filantropi Berbasis Keagamaan
dalam Penanganan Lansia
n Hilman Latief n
Diskusi
126
131
BAGIAN KEENAM: PENGALAMAN LEMBAGA INTERNASIONAL
Aspek Ekonomi Demografi Penuaan Penduduk
n Evi Nurvidya Arifin 146
Kota Ramah Lansia
n Hernani Djarir
151
Indikator-Indikator Merancang Kebijakan Kota Ramah Lansia:
Suatu Eksplorasi Awal
n Ni Wayan Suriastini
158
Diskusi
163
n
BAGIAN KETUJUH: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN & KESEJAHTERAAN LANSIA
Penuaan Penduduk Indonesia Masa Depan
n Nugroho Abikusno
170
Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional
Berbasis Kesempatan Kerja untuk
Perluasan Kepesertaan Semesta
n Bambang Purwoko
175
Jalan Menuju Jaminan Sosial Pensiun di Indonesia:
Kemiskinan dan Keamanan Pendapatan Lansia
n Fiona Howell
183
Diskusi
191
n
BAGIAN KEDELAPAN: SUARA LANSIA
201
BAGIAN KESEMBILAN: RANGKUMAN DISKUSI PESERTA LANSIA INDONESIA
DI MASA DEPAN 217
INDEKS
222
xi
Pengantar
S
ebagai bentuk keperdulian akan masalah penuaan penduduk di
Indonesia, Lembaga Penelitian SurveyMETER --bekerjasama dengan Yayasan Emong Lansia, Centre for Ageing Studies University of
Indonesia, dan dengan dukungan Program Knowledge Sector AusAID-menyelenggarakan Lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembagunan:
Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut’, pada 19-20 November
2012 di Yogyakarta. Lokakarya ini menghadirkan lebih dari 150 peserta
dengan 29 pembicara yang merupakan tokoh pemangku kepentingan
terkait dengan penuaan penduduk yang mewakli unsur-unsur pemerintah, kalangan akademisi, berbagai lembaga swadaya masyarakat, beberapa lembaga internasional, serta perwakilan warga lanjut usia itu
sendiri. Buku ini adalah kumpulan makalah dari para narasumber selama
lokakarya tersebut.
Secara keseluruhan, isi dari semua makalah tersebut sangat up to date,
beragam, dan mencakup berbagai aspek kelanjutusiaan yang ada di
Indonesia. Ditambah dengan berbagai tantangan yang diungkap dan
tawaran akan langkah lanjutnya menjadikan buku ini secara holistik
membahas tentang kelanjutusiaan di Indonesia, sehingga dapat dijadikan
sebagai rujukan, bahan advokasi, dan materi sosialisasi serta pembuatan
kebijakan.
Penerbitan buku ini sekaligus merupakan upaya menggugah segenap
komponen bangsa untuk memberikan perhatian pada kelanjutusiaan.
Barangkali saat ini tidak langsung menjadikannya prioritas utama, tetapi perlu mulai memadukan wawasan (perspektif) kelanjutusiaan
dalam berbagai aspek pembangunanan, kegiatan, dan kebijakan pemerintah, lembaga-lembaga perwakilan rakyat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, keluarga, perseorangan, dan juga para warga lanjut usia itu
sendiri.
Permasalahan kelanjutusiaan memang kompleks seperti yang diungkapkan
salah satu peserta dalam lokakarya ini. Pemaparan para narasumber juga
menggambarkan hal yang sama. Tetapi, masalah-masalah kelanjutusiaan
tidak mustahil untuk bisa dikelola dengan baik, karena “pintu-pintu”
kesempatan untuk itu sebenarnya sudah mulai terbuka. Tantangan yang
xiii
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
ada bisa dilalui dengan kehendak yang kuat dan perencanaan jangka
pendek, menengah, dan panjang yang terkoordinasikan dengan baik.
Terpenting adalah adanya niat, komitmen dan langkah nyata, apapun
peran kita saat ini, baik yang kita lakukan sendiri-sendiri maupun
secara bersama-sama, akan memberikan dampak berarti. Satu karya
nyata, tindakan yang dilakukan oleh setiap perseorangan, keluarga,
masyarakat, komunitas, organisasi kemasyarakatan, lembaga-lembaga
swadaya masyarakat, dinas-dinas dan para pejabat pemerintahan,
lembaga-lembaga perwakilan rakyat, semuanya akan digemakan oleh
alam sehingga riaknya akan menguatkan kita semua bergerak menuju
tujuan bersama: warga lanjut usia Indonesia yang sehat, mandiri,
patisipatif, perduli, sejahtera, bermartabat, dan bahagia.
Selain penerbitan buku ini, Lokakarya “Penuaan Penduduk dan Pembagunan: Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut” juga telah
diikuti dengan didirikannya Jaringan Pemerhati Lanjut Usia Indonesia
--disingkat dengan ‘JALA Indonesia’. Jaringan ini didirikan pada
15 Februari 2013 di Yogyakarta sebagai tindak lanjut rekomendasi
lokakarya tersebut. Jaringan ini dimaksudkan sebagai wadah koordinasi
dan berbagi informasi kegiatan-kegiatan kelanjutusiaan yang dilakukan oleh para pemerhati, praktisi, dan peneliti masalah lanjut usia.
Sekretariat JALA Indonesia berkedudukan di Jalan Jenengan Raya
No.109 Maguwoharjo, Depok, Sleman Yogyakarta 55282 Indonesia;
Telepon: +62-274-4477-464; Fax: +62-274-4477-004; Website: www.
jalaindonesia.org; dan E-mail: [email protected].
Semoga kehadiran buku ini dan JALA Indonesia --dua hasil langsung
Lokakarya “Penuaan Penduduk dan Pembagunan: Dokumentasi,
Tantangan dan Langkah Lanjut”-- bermanfaat bagi para pemangku
kepentingan untuk mewujudkan impian kita bersama tentang Lanjut
Usia Indonesia di masa depan.
Kami mengucapkan penghargan dan terima kasih yang dalam pada
Profesor Tri Budi W. Rahardjo (Direktur Centre for Ageing Studies
Universitas Indonesia), Ibu Eva A.J. Sabdono (Ketua Yayasan Emong
Lansia), Bapak Aris Ananta dan Ibu Evi Nurvidya Arifin (Institute of
South East Asian Studies, ISEAS), Rosaleen Cunningham (Knowledge
Sector Program, AUSAID), The Asia Foundation, semua pembicara dan
peserta lokakarya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu, Help
Age International, Ibu Bondan Sikoki (Pembina SurveyMETER), serta
xiv
Rangkuman Umum
keluarga Besar SurveyMETER, atas dukungan dan kerjasamanya sehingga
kegiatan dan hasil lokakarya ini bisa terlaksana dan terwujud dengan
baik.
Yogyakarta, 25 Maret 2013.
Dr. Ni Wayan Suriastini, M.Phil.
Direktur SurveyMETER
xv
Rangkuman Umum
A
da beberapa pokok penting sepanjang lokakarya ini yang justru
jarang disebutkan dalam berbagai lokakarya atau seminar tentang
lanjut usia yang pernah diselenggarakan sebelumnya.
Pokok penting pertama adalah bahwa kita telah membuat satu langkah
penting dengan menelaah apa yang telah kita ketahui tentang isu penuaan di Indonesia. Kita juga mengevaluasi apa yang telah kita lakukan
dan kemudian menyusun saran langkah lebih lanjut, khususnya yang
berkaitan dengan penelitian lansia. Dengan melakukan hal ini, kita
bisa menghasilkan penelitian orisinal yang berasal dari pengalamanpengalaman di Indonesia sendiri daripada sekadar melakukan penelitian
pesanan dari negara lain atau pemerintah Indonesia. Untuk itu, terima
kasih kepada AusAID atas dukungan pendanaan lokakarya ini.
Pokok penting kedua adalah bahwa lokakarya ini dihadiri oleh para
pemangku kepentingan lanjut usia dari berbagai latar belakang. Para
pembicara berasal dari kalangan birokrat, LSM, akademisi, serta para
lansia sendiri. Pada salah satu sesi, beberapa orang lanjut usia dihadirkan
sebagai pembicara dan berdiskusi tentang diri mereka sendiri. Bahkan,
beberapa narasumber adalah mereka yang sudah tua atau lanjut usia,
tetapi masih sangat aktif. Namun demikian, untuk kegiatan-kegiatan
selanjutnya kami menyarankan untuk mengundang anggota DPR dan
wartawan (bukan sebagai peliput berita, namun sebagai pengamat isu
kontemporer).
Kita juga belajar tentang bagaimana isu penuaan penduduk ini ditangani
di negara lain. Turut melengkapi peserta lokakarya adalah mereka yang
berasal dari kalangan swasta atau pengusaha. Peran kalangan usaha
penting, bukan dalam hal penyediaan dana, namun lebih pada peran
serta mereka dalam menciptakan usaha yang ramah lansia serta usaha
yang memproduksi produk-produk dan layanan khusus lansia.
Satu hal yang sangat luar biasa dalam lokakarya ini adalah bahwa para
pemangku kepentingan saling menghormati dan menghargai pekerjaan
atau apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang berkaitan
dengan isu lanjut usia ini. Tidak ada satu pun yang merasa apa yang
dilakukannya lebih penting atau lebih tinggi nilainya dibandingkan upaya
xvii
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
pihak lainnya. Lokakarya ini telah menjadi saksi atas interaksi yang
sangat bermanfaat dari para pihak tentang penuaan penduduk.
Pokok penting ketiga adalah keberagaman usia dari para narasumber
dan peserta, mulai dari yang termuda berumur 17 tahun sampai yang
tertua berumur 85 tahun. Keberagaman ini menunjukkan bahwa
program untuk lansia tidak hanya akan bermanfaat bagi para lanjut usia
saat ini, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi yang berusia lebih
muda. Dengan menyusun program lansia aktif --bagaimana membuat
lansia aktif, sehat, dan mandiri-- beban yang harus ditanggung orang
yang lebih muda bisa dikurangi. Untuk ke depan, program lansia aktif
akan dirasakan manfaatnya oleh mereka yang berusia muda saat ini
manakala mereka juga beranjak tua. Pokok penting keempat adalah tidak ada dominasi dari salah satu
gender dalam hal komposisi narasumber maupun peserta. Hal ini
menunjukkan bahwa isu penuaan penduduk adalah isu yang menarik
bagi kedua gender.
Pokok penting kelima adalah substansi dari diskusi yang berkembang.
Tema lanjut usia aktif telah seringkali menjadi bahan diskusi di banyak forum tentang lansia di Indonesia. Namun, lokakarya ini juga
membicarakan beberapa topik yang masih jarang dibahas dalam
diskusi-diskusi sejenis. Topik-topik tersebut, antara lain: [i] aspek
ketenagakerjaan dari lansia khususnya yang berkaitan dengan pasar
tenaga kerja di Indonesia; [ii] sistem jaminan sosial bagi lansia dalam
konteks seluruh masyarakat Indonesia; dan [iii] implikasi sosial ekonomi dari penuaan penduduk di Indonesia. Aspek sosial ekonomi ini
termasuk isu sumber pendanaannya.
Salah satu isu menarik dan penting yang muncul dalam sesi para
akademisi adalah kritik terhadap konsep yang sudah sohor, yaitu
konsep ‘rasio ketergantungan’ yang selama ini didefinisikan sebagai
ketergantungan dari populasi tidak produktif terhadap populasi
produktif. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang produktif dan
siapa yang tidak produktif? Umumnya, populasi di bawah 15 tahun
dianggap sebagai tidak produktif karena mereka masih tergantung
pada orangtua, namun pada kenyataannya saat ini banyak populasi
di bawah 25 tahun yang masih tergantung secara finansial kepada
orang tuanya. Pada saat yang sama, populasi berumur 65 tahun ke
atas dianggap sebagai tidak produktif. Namun definisi lanjut usia
xviii
Rangkuman Umum
di Indonesia adalah populasi berumur 60 tahun atau lebih. Dalam kenyataannya, masih banyak ditemui lanjut usia yang masih aktif bekerja
dan produktif. Bahkan banyak lanjut usia yang masih membiayai atau
membantu keuangan anak-anak mereka yang sudah dewasa. Dengan
fakta ini bisa dikatakan bahwa konsep rasio ketergantungan telah membingungkan para analis dan pengambil keputusan di dunia, termasuk di
Indonesia. Oleh karena itu, muncul saran untuk mengaji kembali konsep
rasio ketergantungan ini, termasuk konsep-konsep turunannya seperti
‘bonus demography’ dan ‘demographic window of opportunity’.
Pokok penting keenam adalah terkait peranserta pemerintah dalam
memberikan perlindungan kepada kelompok rentan, termasuk kelompok
lanjut usia. Siapa yang harus melindungi para lanjut usia jika ternyata
mereka masih rentan, walaupun kita telah menjalankan program lanjut
usia aktif? Keluarga, teman, dan masyarakat bisa diharapkan untuk
membantu, namun bagaimana dengan pemerintah? Apakah pemerintah
mendorong keluarga, teman, dan masyarakat sendiri untuk lebih berperan? Ataukah pemerintah seharusnya melakukan peranan yang lebih
besar dalam melindungi lansia?
Pokok penting ketujuh adalah antusiasme yang tinggi dari para narasumber dan peserta untuk melanjutkan forum ini membentuk suatu
jaringan informal, di mana semua pemangku kepentingan bisa saling
berbagi informasi tentang apa yang mereka ketahui dan lakukan. Salah
satu rekomendasi yang disepakati adalah bahwa SurveyMETER akan
melanjutkan prakarsa melakukan diskusi akademik dan penelitian tentang penuaan penduduk dengan memerhatikan pandangan dari berbagai
pemangku kepentingan tersebut.v
Yogyakarta, 20 November 2012.
Aris Ananta, Ph.D
Institute of South East Asian Studies (ISEAS)
xix
BAGIAN PERTAMA
SAMBUTAN &
PIDATO PENGARAHAN
SAMBUTAN:
n
Bondan Sikoki, SE, MA
Ketua Penyelenggara. SurveyMETER, Yogyakarta
n Sri
Sultan Hamengku Buwono X
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)
n Benjamin
Davis
Knowledge Sector Program, AusAID, Jakarta
PIDATO PENGARAHAN:
Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, Ph.D
Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia
SAMBUTAN 1
Penuaan Penduduk di Indonesia:
Tantangan ke Depan
Bondan Sikoki
Ketua Penyelenggara;
Pembina SurveyMETER, Yogyakarta
P
enuaan penduduk kini sudah menjadi isu dunia. Di negara-negara
sedang berkembang, isu ini memang belum terlalu banyak dibahas
seperti di negara-negara maju. Namun, tidak berarti tidak penting untuk
segera mulai diperbincangkan, karena isu ini berkaitan erat dengan
berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang menentukan. Apalagi
jika melihat fakta bahwa proporsi penduduk yang memasuki usia
lanjut semakin lama semakin signifikan jumlahnya di banyak negara.
Beberapa negara di Asia bahkan kini tercatat sebagai suatu wilayah
dengan penuaan penduduk yang paling cepat. Jepang, Korea Selatan,
dan Singapura adalah contoh negara yang mempunyai persentase
penduduk lanjut usia yang cukup tinggi. Di Jepang, penduduk lanjut
usia sudah mencapai lebih 30% dari total penduduk. Di Korea Selatan,
12,7%. Di Singapura, 9%. Negara-negara ini juga sudah aktif membuat
dan melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan penuaan penduduk.
Program-program pembangunan mereka selalu dikaitkan dengan isu-isu
3
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
penuaan penduduk. Boleh dikatakan, penuaan penduduk merupakan
suatu indikator dari keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial
suatu negara. Orang hidup lebih lama karena adanya peningkatan
gizi, sanitasi, kemajuan dalam bidang medis, pelayanan kesehatan,
pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi.
Bagaimana dengan Indonesia?
Statistik menunjukkan bahwa kini terdapat 9,6% penduduk berusia
lanjut (lebih dari 60 tahun) di negeri ini. Angka ini sama dengan proporsi penduduk lanjut usia di Singapura. Perbedaannya adalah besaran
jumlahnya dan tingkat kesejahteraannya. Saat ini (2012), pendapatan
per kapita Singapura telah mencapai $ 44.790, sementara Indonesia
hanya $ 3.000. Dengan asumsi optimis pertumbuhan pendapatan per
kapita 6% per tahun dan inflasi tahunan sebesar 5%, pendapatan per
kapita Indonesia tahun 2025 akan mencapai $ 15.600 yang juga masih
jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura saat ini. Pada tahun
2025, Indonesia akan mempunyai persentase lansia yang sama dengan
Singapura tahun 2010, tetapi dengan pendapatan per kapita yang
amat jauh di bawah pendapatan per kapita negeri tetangga tersebut.
Lalu bagaimana Indonesia akan mampu membiayai dampak penuaan
penduduk ini?
Dalam angka absolutnya, jumlah penduduk lansia Indonesia amat besar. Pada tahun 2010, jumlahnya adalah 18 juta jiwa. Jumlah ini akan
mencapai sekiar 30 juta jiwa pada di tahun 2025, suatu kenaikan hampir
50% hanya dalam jangka waktu satu setengah dasawarsa. Bahkan,
sampai tahun 2030, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia akan
menembus angka sekitar 40 juta jiwa, melampaui jumlah penduduk
usia di bawah 15 tahun pada masa yang sama. Jumlah penduduk lansia
yang besar ini memerlukan kebutuhan dan perlakuan yang khusus.
Apakah Indonesia sudah siap untuk hal ini?
Penuaan penduduk di negeri ini menjadi lebih penting bila kita melihat
keadaannya pada tingkat sub nasional. Pada tahun 2010, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, memiliki persentase penduduk
lansia tertinggi di antara semua daerah lain di Indonesia, mencapai
12,9%. Di antara 4 kabupaten dan 1 kota di DIY, Kabupaten Gunung
Kidul mencatat persentase penduduk lansia tertinggi, yakni 18,2%.
Hal itu disebabkan bukan hanya oleh angka kelahiran yang rendah,
tetapi juga oleh tingginya migrasi penduduk usia muda dari daerah
4
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
tersebut. Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa isu penduduk lansia
berkelindan dengan berbagai isu sosial ekonomi, politik, dan budaya,
seperti penyediaan lapangan kerja, pembangunan kawasan pedesaan,
pelayanan sosial, bahkan juga perubahan pandangan dan gaya hidup
pada penduduk kelompok usia yang lain.
Sebagai lembaga penelitian independen, SurveyMETER --bekerjasama
dengan Yayasan Emong Lansia, Centre for Ageing Studies University of
Indonesia, dengan dukungan dari Knowledge Sector Program AusAID-menyelenggarakan lokakarya ini di mana 29 orang narasumber dan 100
orang peserta saling berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman
tentang berbagai isu penuaan penduduk. Mereka semua, suatu gabungan
para pembuat kebijakan, pakar, dan praktisi --dari berbagai lembaga
pemerintah, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi dan lembaga
riset, kalangan dunia usaha, lembaga internasional, serta warga lanjut
usia sendiri-- mewakili berbagai pihak pemangku kepentingan yang terkait dengan isu penuaan penduduk.v
5
SAMBUTAN 2
Penduduk Lanjut Usia
sebagai Aset, Bukan Beban
Sri Sultan Hamengku Buwono X
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta *)
*) Disampaikan oleh dr. Sarminto, M.Kes,
Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa
Yogyakarta (DIY)
P
enuaan merupakan suatu proses alamiah dalam hidup ini, tidak
mungkin ditolak ataupun ditunda. Penuaan akan diikuti pula
dengan penurunan fungsi-fungsi tubuh yang tentunya membuat penduduk usia tua berkurang produktivitasnya. Stigma yang berkembang
menyebutkan bahwa lansia identik dengan sakit-sakitan, tergantung
pada orang lain, serta tidak mampu lagi melakukan apa-apa. Dengan
demikian, secara umum lansia dipandang sebagai beban bagi masyarakat.
Di hampir setiap negara, persentase penduduk berusia 60 tahun ke
atas tumbuh lebih pesat dari kelompok umur lainnya, sebagai hasil dari
peningkatan usia harapan hidup dan terutama dikarenakan penurunan
angka kelahiran. Hal ini tentunya akan mengerucut pada kekhawatiran
terjadi ledakan penduduk usia lanjut yang harus dipikirkan bagaimana
membiayai biaya kesehatan dan perawatan mereka.
Persoalan biaya ini memang akan menjadi isu sentral, sebab Indonesia
juga akan menghadapi ledakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS)
yang diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Jumlah pensiunan yang
serentak pensiun pada tahun tersebut diperkirakan ada 2,5 juta
orang dengan tanggungan belanja pensiun di APBN mencapai Rp
6
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
175 triliun. Karena itu, pemerintah beserta swasta dan masyarakat perlu
memberikan perhatian serius dan kemudian memberikan pemecahan
terhadap masalah yang semakin menyeruak ini. Sebab tantangan yang
dihadapi bersifat multi-dimensional sehingga memerlukan jawaban serta
jalan keluar multi-dimensional pula.
Namun demikian, penuaan penduduk tidak harus berarti diartikan sepenuhnya sebagai beban. Kelompok lanjut usia seharusnya lebih diakui
dan didorong potensinya, sehingga para lansia dapat sehat, aktif, dan
mandiri. Para lansia harus diberdayakan, bukan malah dibiarkan sendirian.
Justru ketika para lansia tidak diberdayakan, selain berimbas pada rendahnya produktivitas, juga berimbas pada naiknya biaya kesehatan
mereka. Ketika mereka masih mampu produktif, mereka akan mampu
mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak menjadi beban bagi orang
lain.
Paradigma yang mengatakan bahwa lansia itu “sudah habis dan tidak
berguna” harus segera diubah. Patut diingat, bahwa jumlah lansia Indonesia yang potensial masih lebih banyak daripada jumlah lansia miskin
dan telantar serta lansia setengah telantar. Untuk itulah para lansia
seyogyanya dipandang sebagai aset pembangunan yang tetap dapat
memberikan kontribusi kepada nusa dan bangsa melalui pemikiran dan
karya-karya mereka serta menjadi pembimbing langkah generasi penerus
bangsa.
Lokakarya ini diharapkan dapat memetakan persoalan-persoalan dan
tantangan yang dihadapi oleh lansia di seluruh Indonesia, serta diperolehnya masukan dan saran mengenai kebijakan dan program untuk para lansia. v
7
SAMBUTAN 3
Menemukan Landas Pijak Bersama
bagi Penanganan Isu-isu
Penuaan Penduduk
Benjamin Davis
Knowledge Sector Program, AusAID.
M
enanggapi masih kurangnya perdebatan mengenai isu penuaan
penduduk di Indonesia, prakarsa menyelenggarakan lokakarya
ini adalah suatu tindakan strategis untuk mendorong diskusi tentang
isu penting tersebut. Forum semacam ini penting sebagai ruang atau
ranah interaksi antara pembuat kebijakan dengan berbagai pemangku
kepentingan untuk memperdebatkan isu-isu kebijakan publik seperti
penuaan penduduk yang berdampak besar pada perkembangan atau
pembangunan Indonesia di masa depan.
Masalah penuaan penduduk bukan masalah yang unik bagi Indonesia.
Di Australia, isu ini sudah menjadi salah satu masalah yang dihadapi
oleh pemerintah. Di Eropa dan di Jepang, isu ini sudah lama menjadi
perhatian luas dari publik. Di Asia, penuaan penduduknya paling
cepat laju pertumbuhannya. Jumlah seluruh penduduk lansia di Asia
adalah separuh dari jumlah penduduk lansia di seluruh dunia.
Pada satu sisi, Indonesia sering menekankan salah satu kekuatan daya
8
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
saingnya adalah jumlah penduduk usia muda yang besar. Tetapi, pada
sisi lain, Indonesia termasuk dalam kelompok negara di mana penuaan
penduduknya naik dengan cepat dan semakin cepat. Bagaimana Indonesia
akan menangani gejala ini? Ini sekaligus merupakan suatu tantangan.
Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa langkah positif, misalnya, dalam upaya menyusun sistem jaminan sosial melalui Undangundang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011.
Dua Undang-undang itu menunjukkan komitmen besar dari pemerintah
Indonesia untuk memastikan semua orang dapat akses pada pelayanan
kesehatan, akses ke dana pensiun, dan adanya sistem tabungan untuk
jaminan hari tua. Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan besar untuk membuat visi ini benar-benar menjadi kenyataan. Selain itu,
undang-undang mengenai sistem pensiunan belum mencakup dukungan
bagi sekitar 70 juta orang yang bekerja di sektor informal. Selanjutnya,
orang-orang miskin juga belum tercakup dalam program pensiun dan
sistem tabungan hari tua tadi. Memang tidak ada negara lain dengan
sektor pekerja informal sebesar Indonesia yang sudah melaksanakan
skema atau program jaminan sosial yang mendukung atau membantu
semua pekerja, termasuk pekerja sektor informal. Namun demikian,
masih banyak yang bisa kita pelajari dari negara lain. Forum ini adalah
kesempatan untuk membahas isu-isu tersebut.
Ada beberapa pertanyaan lainnya lagi yang juga bisa dibahas di forum
ini. Misalnya, cara-cara apa yang paling efektif untuk mendukung dan
membiayai penduduk yang menua, termasuk dan terutama penduduk
miskin? Bagaimana sistem kesehatan nasional dapat menangani semakin
banyaknya penduduk lansia? Apa sistem jaminan sosial --termasuk sistem
pensiunan-- yang paling cocok untuk Indonesia? Bagaimana dengan
beban pembiayaan pemerintah dengan semakin banyaknya orang lansia?
Apa peran sektor swasta dalam permasalahan ini? Bagaimana aspek
sosio-budaya, peran keluarga dan masyarakat dalam membantu orangorang lansia? Di negara-negara timur seperti Indonesia, peran keluarga
masih sangat besar dalam merawat warga lanjut usia. Apakah aspek sosio-budaya ini memang masih berperan penting dalam kenyataannya
dan bagaimana kecenderungannya sekarang dan di masa mendatang?
Forum ini dihadiri oleh berbagai kalangan yang mewakili unsur pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi. Tantangannya adalah bagaimana
berbagai kalangan yang beragam ini dapat menyepakati suatu landas
9
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
pijak yang sama (common ground) sebagai titik masuk bersama un-tuk
menangani isu-isu penuaan penduduk di Indonesia. Misalnya, bagaimana antara pembuat kebijakan dan kalangan akademisi menyepakati
suatu agenda riset mengenai isu-isu inti (keypoints) tentang penuaan
penduduk atau penduduk lansia?
Sebagai salah satu pihak yang mendukung gagasan dan penyelenggaraan
forum ini, Knowledge Sector Program AusAID memang bermaksud
mempertemukan berbagai kalangan untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia dengan berbagai cara. Dukungan AusAID
kepada lembaga penelitian --seperti SurveyMETER-- adalah agar hasilhasil penelitian mereka dapat dipergunakan oleh pembuat kebijakan.
Untuk itu, AusAID juga mendukung lembaga-lembaga pemerintah
untuk menggunakan hasil-hasil penelitian yang telah disajikan oleh
lembaga penelitian. Selain itu, ada dukungan yang bersifat memperantarai (intermediary) agar suatu jaringan kerja terbentuk yang
bisa menjembatani para pembuat kebijakan dengan lembaga-lembaga
kajian. Singkatnya, kami memberi kesempatan atau peluang untuk
semua mitra yang kami dukung untuk menyusun agenda risetnya
sendiri dan menindaklanjuti hasil-hasil riset tersebut. v
10
PIDATO PENGARAHAN
Strategi & Kebijakan Pelayanan
Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia
Ali Gufron Mukti
Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia
U
ndang-undang Dasar (UUD) 1945, juga Undang-undang (UU) Nomor
36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sudah sangat jelas menggariskan
bahwa setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Tentu saja, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Dalam hal pelayanan kesehatan bagi warga lansia, juga tidak
bisa lepas dari semua ketentuan perundang-undangan tersebut.
Tetapi, jika kita lihat bagaimana lingkungan hidup sekitar, di beberapa
tempat memang sudah cukup baik, namun di beberapa tempat lain masih sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian kita bersama.
Bahkan di ibukota Jakarta, satu kota metropolitan, masih tetap ada
11
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tempat-tempat yang tidak layak dihuni manusia, apalagi lanjut usia.
Karena itu, perhatian kita memang harus betul-betul serius.
Di dunia saat ini, jumlah penduduk lanjut usia sudah mencapai sekitar
21% dari total populasi dunia. Pada tahun 2025, diperkirakan akan
mencapai jumlah sekitar 1,2 miliar jiwa. Ini jelas memerlukan satu
perhatian khusus, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena dari jumlah 1,2 milyar lanjut usia tersebut, sekitar
80% hidup di negara-negara sedang berkembang. Khusus di Indonesia,
sensus penduduk tahun 2010 ini menunjukkan bahwa populasi lansia
kita adalah sekitar 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari total populasi. Jumlah
sebesar itu telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari lima
negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak, dan makin lama
makin banyak. Dari satu sisi, hal itu menandakan keadaan kesehatan
warga makin bagus, tapi kompleksitas permasalahan lansia sangat
banyak, sehingga ‘pekerjaan rumah’ kita pun lebih banyak lagi. Jumlah
usia lansia 60 tahun ke atas diperkirakan akan meningkat menjadi 29,1
juta jiwa pada tahun 2020 dan 40 juta jiwa pada tahun 2030. Sekali
lagi, memerlukan upaya-upaya yang sangat serius dalam pelayanan
kesehatan bagi mereka.
Tujuan Pembangunan Kesehatan
Pasal 138 UU 36/2009 menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi lansia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup
sehat dan produktif. Tentu saja, mereka juga harus bahagia secara
sosial maupun ekonomi sesuai dengan martabat kemanusiaan. Maka,
pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan
dan memfasilitasi kelompok lansia untuk bisa tetap hidup mandiri,
produktif secara sosial dan ekonomi.
Misi Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat serta melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan
yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. Salah satu yang
paling dan masih sangat sulit diwujudkan adalah misi pemerataan
pelayanan. Dari sekian banyak dokter spesialis --termasuk para dokter spesialis geriatri yang mengurusi dan memiliki keahlian khusus
kesehatan manusia lansia-- umumnya baru tersedia di kota-kota
besar. Kota-kota kecil belum, bahkan kota-kota besar saja belum
12
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
semuanya. Apalagi di daerah-daerah terpencil. Karena itu, Kementerian
Kesehatan berupaya membangun kerjasama dengan ‘pusat-pusat’ yang
bisa menghasilkan tenaga-tenaga ahli geriatri. Masalahnya, jumlah mereka masih amat sangat terbatas.
Misi itulah yang mendasari perumusan visi Kementerian Kesehatan, yakni menciptakan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Warga
lansia adalah bagian yang terpisahkan dari masyarakat sehat dan mandiri
yang dicita-citakan itu. Mereka pun harus sehat dan mandiri. Mandiri
artinya tidak tergantung lagi baik kepada pemerintah atau kepada pihak
lain, benar-benar mandiri. Pernah ada acara pertemuan para lansia di
mana banyak yang usianya sudah 80 tahun tetap sehat dan mandiri.
Mereka sangat aktif memperjuangkan pelayanan kesehatan bagi para
lansia untuk betul-betul bisa mandiri. Dan itu merupakan visi dari
Kementerian Kesehatan. Dan tentunya juga berkeadilan. Berkeadilan ini
tentu tidak mudah karena masyarakat Indonesia memang perkembangan
pembangunannya berbeda. Nah, oleh karena itu untuk mendukung visi
itu Kementerian Kesehatan berpedoman pada nilai-nilai: pro-rakyat,
inklusif, responsif, efektif, dan bersih.
Dulu kita sering dengar pemeo “orang miskin dilarang sakit”. Ini harus
kita ubah. Sekarang, kita harus bilang “orang miskin kalau sakit dilarang
bayar”. Dan, itulah program JAMKESMAS yang kita kembangkan. Untuk
tercapainya tujuan-tujuan MDGs, terutama tujuan 4 dan 5, kita kembangkan JAMPERSAL. Ternyata memang masih sangat terbatas ibu-ibu
yang memahami betul bahwa persalinan sekarang mendapat jaminan.
Kenapa? Karena 40% persalinan itu masih dilakukan di rumah. Fakta
ini memang patut disayangkan, karena pemerintah sebenarnya sudah
bertekad untuk menerapkannya penuh. JAMKESMAS dan JAMPERSAL
tersebut adalah contoh dari kebijakan pemerintah yang dilandasai oleh
nilai pro-rakyat.
Lalu ada pedoman nilai inklusif, yakni kesehatan untuk semua orang,
tanpa perkecualian atau preferensi apapun. Kemudian responsif, tanggap
terhadap setiap permintaan atau kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kesehatan, sesulit apapun keadaanya harus berusaha dilayani sebaik
mungkin. Akhirnya, prinsip-prinsip efektif dan bersih. Dalam hal ini, bersih tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik dan rohani, tetapi juga
bersih secara administratif. Harus diakui bahwa memang pernah ada
aparat Kementerian Kesehatan yang bermasalah secara hukum. Untuk
itu, Kementerian Kesehatan sekarang berusaha membenahi diri. Hasil
13
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
audit publik terakhir menilai Kementerian Kesehatan sudah ‘wajar
dengan catatan’. Pada tahun 2013 diusahakan Kementerian Kesehatan
sudah bisa mencapai WTP, wajar tanpa pengecualian.
Rencana Strategis Kementerian Kesehatan
Kementerian Kesehatan mengembangkan beberapa strategi.
Pertama, meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global.
Kedua, meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau,
bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan
pada upaya promotif dan preventif. Salah satu masalah yang dihadapi
dalam hal ini adalah pengaruh iklan, melalui media massa, terutama
TV, yang mempengaruhi banyak orang yang percaya berbagai macam
upaya-upaya kesehatan alternatif, tetapi masih dipertanyakan basis
buktinya.
Ketiga, meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama
untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. Meskipun
pemerintah sekarang ini mengembangkan sistem jaminan sosial, termasuk jaminan sosial di bidang kesehatan, tetapi yang lebih utama
sebenarnya adalah promosi pencegahan penyakit. Penyediaan jaminan
sosial dan kesehatan penting, tetapi jauh lebih penting adalah upaya
pencegahan. Prinsipnya, jangan sampai atau sesedikit mungkin warga
masyarakat terkena penyakit. Karena itu, perubahan prilaku untuk
hidup bersih dan sehat menjadi sangat substansial. Kalau kemudian
terpaksa jatuh sakit, saat itulah jaminan kesehatan menjadi penting
dan bermanfaat.
Keempat, meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata dan bermutu. Ini,
sekali lagi, tidak mudah. Salah satu contoh kerumitannya adalah
ketidaksesuaian antara permintaan dan penyediaan. Pada suatu
saat, diperlukan tenaga khusus untuk bidang tertentu, tetapi lembaga pendidikan tidak atau belum menghasilkannya. Misalnya, sekarang kita membutuhkan banya tenaga promosi kesehatan untuk
mendukung visi dan misi mengutamakan upaya pencegahan, tetapi
belum ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan kualifikasi
tenaga tersebut. Kalau pun ada, masih sangat terbatas. Sebaliknya,
14
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
pada sisi lain, ada banyak penawaran yang sebenarnya sudah mulai melimpah. Contoh, akibat promosi pendidikan kejuruan, mulai ada yang
mendirikan SMK Kesehatan. Pertanyaannya adalah mau dikemanakan lulusannya? Karena, sudah cukup banyak Sekolah Perawat Kesehatan (SPK)
yang lebih jelas kualifikasinya, bahkan sudah dipadukan agar mereka
bisa ditingkatkan kualifikasinya sampai tingkat D3, S1, bahkan S2 dan
S3. SMK Kesehatan yang baru didirikan itu pasti saja mencanangkan
lulusannya akan menjadi tenaga perawat kesehatan. Ini menimbulkan
persoalan baru, karena status mereka belum jelas dalam keseluruhan
struktur dan sistem pendidikan kesehatan yang sudah ada. Sebagaimana
gejala umum dalam dunia pendidikan kita saat ini, setiap ada satu jenis lembaga pendidikan yang mulai berkembang, segera ditiru dan
menjamur, kehadiran SMK Kesehatan ini mengkhawatirkan. Sekarang
saja sudah terpantau ada sekitar 400 lembaga. Dalam hal ini, masyarakat
sendiri harus lebih berhati-hati.
Kelima, meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan
obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan,
dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan.
Keenam, meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi
kesehatan yang bertanggung jawab.
Sasaran Strategis Tahun 2010-2014
Sampai tahun 2014, sasaran- sasaran strategis yang ingin dicapai oleh
Kementerian Kesehatan adalah pertama, yang paling penting, meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat. Ditargetkan, pada
tahun 2014, angka harapan hidup penduduk bisa mencapai 72 tahun.
Sekarang angkanya 70,9 tahun. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah yang
tertinggi angka harapan hidupnya di seluruh Indonesia, sehingga juga
tercatat sebagai salah satu daerah dengan penduduk lansia terbesar.
Banyak kaum pensiunan yang memilih untuk menghabiskan sisa umur
mereka di Yogyakarta. Ini membawa masalah-masalah baru seperti,
yang paling tampak sekarang, harga tanah melonjak. Harga tanah jadi
mahal di Yogya saat ini, sudah sama dengan Jakarta dan Bali. Memang,
di Yogyakarta ini semua murah kecuali satu: akomodasi. Tanah menjadi
luar biasa mahalnya.
15
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Sasaran-sasaran strategis berikutnya, yang kedua adalah menurunnya
angka kesakitan akibat penyakit menular dan yang ketiga adalah
menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender. Target yang dicanangkan adalah penurunan angka disparitas menjadi separuh dari
angka disparitas pada tahun 2009.
Sasaran strategis keempat adalah meningkatnya penyediaan anggaran
publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. Sudah menjadi kesepakatan nasional dalam UU 36/2009
bahwa paling tidak 5% APBN dan 10% APBD dialokasikan untuk sektor
kesehatan, termasuk di dalamnya adalah pelayanan kesehatan bagi
warga lansia. Namun, ini masih memerlukan perjuangan, karena belum sepenuhnya terwujud.
Sasaran strategis kelima adalah meningkatnya Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50% menjadi 70%.
Sasaran keenam adalah terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan
strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan
(DTPK). Harus diakui, ini masih merupakan masalah serius yang tidak
hanya sekedar persoalan teknis kesehatan saja.
Selanjutnya, sasaran strategis ketujuh adalah seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. Penyakit
yang tidak menular yang ini umumnya diderita oleh para lansia. Kita sekarang menghadapi masalah ‘beban ganda’ (double burden):
penyakit-penyakit infeksi dan kekurangan gizi masih diderita oleh
sebagian masyarakat kita; pada saat yang sama, lebih aneh lagi, mulai
banyak yang menderita ‘kelebihan gizi’ (over-nutrition). Penderita kelebihan gizi atau kegemukan berlebihan (obese) kini sudah 18 sampai
20% di masyarakat kita. Ini memerlukan perhatian. Khusus warga
lansia, non-communicable diseases, umumnya penyakit lansia, juga
sudah meningkat. Sekarang sudah mencapai sekitar 60% dari seluruh
penyakit adalah penyakit yang tidak menular ini. Faktor penyebabnya
banyak, tapi yang utama adalah umur, sehingga lebih mengarah kepada warga lansia. Ini masalah serius, oleh karena lebih 60% dari seluruh biaya kesehatan selama ini dialokasikan atau dikonsumsi oleh
penyakit-penyakit yang ada kaitannya dengan non-communicable
diseases --bukan menular berkaitan erat dengan proses metabolisme
16
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
seiring perkembangan umur atau usia. Tentu saja, proporsinya akan lebih
banyak pada warga lansia.
Akhirnya, sasaran strategis kedelapan, yakni melaksanakan standar pelayanan minimum. Ini terutama ditekankan pada tingkat daerah dalam
rangka desentralisasi. Pada tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) khusus, PP Nomor 43/2004, upaya peningkatan kesejahteraan lansia, antara lain, menyangkut pelayanan kerohanian
(spiritualitas), pelayanan kesehatan, dan pelayanan umum lainnya. Intinya
adalah bagaimana para lansia mendapatkan pelayanan yang ramah, perlakuan khusus (privilege) dalam beberapa hal seperti pemberian KTP atau
layanan sarana angkutan. Misalnya, di kendaraan angkutan umum, lansia
harus diutamakan memperoleh tempat duduk. Dengan kata lain, sudah
ada peraturannya, tinggal memerlukan kerjasama dengan semua pihak,
termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk menerapkannya.
Di beberapa daerah, sudah mulai terlihat upaya penerapannya, tetapi
masih memerlukan peningkatan.
Masalah Jaminan Sosial & Kesehatan Lanjut Usia
Masalah lansia terkait erat dengan masalah-masalah sosial, kesehatan,
dan ekonomi. Ada satu contoh kasus menarik.
Universitas Gajah Mada mendirikan Gadjah Mada Medical Center (GMMC).
Dengan asumsi bahwa para mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa
di masa depan, maka mereka perlu diberi jaminan kesehatan. Tetapi,
setelah mahasiswa dijamin, beberapa pegawai honorer protes: kenapa
mahasiswa yang baru masuk sudah dijamin, sementara kami yang sudah
lama bekerja di sini malah belum? Akhirnya, para tenaga honorer yang
ribuan jumlahnya di UGM itu pun diberi jaminan kesehatan oleh GMMC.
Setelah itu, giliran para dosen tetap dan profesor-profesor yang protes:
yang pegawai honorer dijamin, yang pegawai tetap malah tidak? Ketika
dijawab bahwa mereka sudah dijamin oleh ASKES, mereka mengajukan
alasan bahwa jaminan ASKES berlaku di PUSKESMAS, sementara mereka
ingin juga dilayani di GMMC, karena pelayanannya memang jauh lebih
baik. Setelah dibahas dengan Rektor, dan para profesor, akhirnya semua
dosen tetap pun diberi jaminan oleh GMMC. Ternyata, belum selesai.
Sekarang, giliran para pensiunan UGM, para lansia, yang protes: yang
masih aktif, yang pendapatannya masih bagus, masih sehat-sehat, malah
dijamin, sementara yang sudah tua dan sakit-sakitan, hanya terima gaji
17
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
pokok, itupun tidak penuh, malah tidak dijamin?
Contoh kasus GMMC itu menjadi pelajaran penting bahwa sistem
jaminan sosial, termasuk sistem jaminan kesehatan, sudah harus dibangun sejak awal, sejak masih usia muda, misalnya melalui sistem
tabungan. Jika tabungan ini secara nasional dikelola dengan baik, tersedia cadangan dana besar yang bisa digunakan untuk melayani para
lansia, termasuk mereka yang sudah menabung sejak muda. Tuntutan
jaminan secara mendadak, seperti dalam contoh kasus GMMC tadi,
memang bisa saja ditanggulangi sampai batas tertentu, tetapi yang
dibutuhkan adalah suatu sistem yang bekerja bukan hanya untuk
menanggapi kebutuhan temporal dan sporadik. Pengembangan sistem seperti itu memerlukan pemikiran sejak awal. Dan, ini adalah
masalah ekonomi. Ada yang berpendapat dan mengusulkan agar dana
tabungan pensiun diberikan sebagai satu paket lebih awal, beberapa
saat menjelang pensiun. Ini tidak sederhana, karena perlu ada persiapan yang matang sebelum sistem tersebut diterapkan. Kalau yang
akan pensiun itu memang punya ‘entrepreneurial instinct’, tidak masalah. Tapi kalau tidak, dana pensiunnya bisa habis digunakan tanpa
bekas. Contoh, pensiunan PERTAMINA dapat dana pensiun lumayan
besar, tapi datanya menunjukkan bahwa lebih dari 70% dari mereka
menghabiskannya tanpa hasil, tidak dapat menggunakannya untuk
pengembangan usaha atau sumber pendapatan baru.
Masalah lansia berikutnya adalah kemunduran sel-sel tubuh. Ini masalah alami. Sel-sel tubuh, fungsi dan daya tahannya semakin menurun
searah dengan perjalanan waktu. Akibatnya, risiko terhadap penyakit
pun meningkat. Semua orang akan mengalaminya, hanya soal waktu
saja. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana mempersiapkan
diri lebih baik untuk menghadapi masa tersebut, masa di mana gangguan psikologis, gangguan kemandirian, gangguan penyakit-penyakit
degeneratif, semakin meningkat. Anggapan umum selama ini bahwa
penyakit degeneratif perlu diantisipasi setelah berumur 50 tahun ke
atas saja, keliru sama sekali. Tindakan yang akan diambil berdasarkan
asumsi itu adalah sudah terlambat. Sejak awal, jauh sebelum menjadi
lansia, pola makan, pola hidup, semuanya mesti sudah dipikirkan.
Hal ini memang sangat berkaitan dengan kultur, budaya. Masalah
gizi tidak hanya dipengaruhi pada ketersedian nutrisinya, tapi juga
oleh kulturnya. Contoh. Pada waktu saya masih anak-anak, ibu selalu
18
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
menyediakan makanan utama, yang paling enak dan paling bergizi,
untuk bapak. Suatu waktu, saya pulang ke rumah dengan perut lapar.
Saya ambil makanan yang ada di lemari, tumpah mengenai kepala saya.
Saya dimarahi oleh ibu karena menumpahkan makanan yang disiapkan
untuk bapak saya. Dua kali sial, sudah tidak dapat makanannya, kena
marah lagi. Itu membuat saya membayangkan betapa enaknya sebagai
bapak. Sekarang, setelah menjadi bapak, pulang dari kantor saya bayangkan ada makanan enak disiapkan untuk saya oleh isteri. Ternyata,
isteri bilang tidak, karena makanan itu lebih penting untuk anak-anak.
Jadi, zaman memang sudah berubah, budaya pun berubah, dan sangat
mempengaruhi pandangan masayarakat tentang sesuatu. Dalam hal inilah edukasi, pendidikan menjadi sangat penting, jangan sampai setelah
berusia 50 tahun ke atas baru memikirkan soal penurunan fungsi tubuh
dan penyakit degeneratif yang akan diakibatkannya. Pendidikan harus
menjelaskan hal ini kepada semua orang sejak awal, sejak usia muda.
Data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 memperlihatkan bahwa jenis penyakit lansia yang paling banyak atau umum ditemui adalah
penyakit sendi pada usia 55-64 tahun (56,4%). Selanjutnya adalah penyakitpenyakit hipertensi, katarak, jantung, gangguan mental emosional, dan
demensia (DM). Beberapa dari penyakit tersebut bukan lagi penyakit
yang sulit ditanggulangi. Katarak, misalnya, kini dengan mudah sekali dioperasi, dalam tiga hari saja sudah bisa pulih. Sehingga, kalau ada lansia
yang menderita katarak, segera bawa ke rumah sakit, jangan ditunda.
Stroke juga demikian, meskipun memang perlu diperhatikan bahwa
gejala stroke kini semakin sering terjadi pada banyak orang usia lebih
muda.
Program Pelayanan Kesehatan Lansia
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, sudah merumuskan
bahwa program-program pelayanan kesehatan bagi warga lansia bertujuan agar masa tua mereka bahagia dan berdayaguna dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat. Secara khusus, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran para lansia membina sendiri kesehatan mereka, meningkatkan kemampuan dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam
peningkatan kesehatan lansia, dan demikian juga meningkatkan jenis,
jangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan bagi lansia.
19
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Kegiatan yang dikembangkan:
Pertama, pengembangan PUSKESMAS ‘Santun Lansia’. Ada perlakuan
khusus (privilege) untuk para lansia di PUSKESMAS. Perlakuan khusus
untuk warga lansia ini juga mencakup kemudahan dalam akses dan
biaya. Bahkan, pelayanan khusus warga lansia dirancang untuk nantinya
benar-benar menjadi satu paket khusus manfaat jaminan kesehatan.
Sehingga, nantinya akan ada poliklinik khusus, loket terpisah, dan
tempat duduk khusus lansia. Juga harus memberikan pelayanan meliputi pemeriksaan fisik, laboratorium, penyuluhan atau konseling, dan
pengobatan. Itu semua merupakan pelayanan dalam gedung, Untuk
pelayanan luar gedung, bisa merupakan pembinaan pada kelompok
lansia, perawatan kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan di
Panti Sosial Tresna Wredha.
Kedua, pengembangan Poliklinik Geriatri di Rumah Sakit. Ruang
lingkupnya; semua upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Jenis pelayanan meliputi pelayanan primer,
sekunder, tersier, dan rujukan tertinggi, rawat jalan, rawat inap, klinik
asuhan siang (day hospital), penitipan lansia (respite care), perawatan
rumah (home care). Bahkan, jika mungkin, ada pelayanan ‘spa’ khusus lansia. Di beberapa negara, fasilitas semacam itu sudah ada dan
memang sangat dimanfaatkan dengan baik oleh warga lansia. Di sini,
fasilitas semacam itu bisa dipadukan sebagai bagian khusus dari PUSKESMAS Lansia.
Tidak semua pasien lanjut usia merupakan pasien geriatri. Rujukan
geriatri di semua rumah sakit kabupaten dan provinsi seharus memang
memiliki pelayanan/poliklinik terpadu geriatri. Penanganan pasien
geriatri sangat kompleks, sehingga pelayanan kesehatan geriatri pun
harus komprehensif (preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, dan
paliatif) dengan pendekatan tim terpadu. Tetapi, pengertiannya tidak
boleh terlalu disederhanakan. Contoh, masih cukup banyak dokter sering memberikan banyak jenis obat sekaligus kepada pasien geriatri.
Ada kasus sampai 15 jenis obat, padahal 3 jenis saja sudah cukup
sulit bagi pasien lansia menelannya. Saya pernah berdebat tentang
hal ini dengan seorang rekan dokter spesialis geriatri. Tetapi, yang
perlu dilakukan sebenarnya adalah penelitian lebih mendalam dan
sistematis tentang cara-cara penanganan khusus penyakit dan pasien
geriatri.
20
BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan
Sampai tahun 2014, ditargetkan terdapat 60% Rumah Sakit Kelas A
dan B yang mengembangkan pelayanan geriatri terpadu. Saat ini baru
ada 8 dari 91 Rumah Sakit Kelas A dan B yang telah mengembangakan
Poliklinik Geriatri Terpadu. Delapan rumah sakit tersebut yaitu: RSUPN
Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Karyadi Semarang, RSUP Sardjito
Yogyakarta, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP Hasan Sadikin Bandung, RSUP
Wahidin Makassar, RSUD Soetomo Surabaya, dan RSUD Moewardi Solo.
Ketiga, peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang
tepat dan berguna bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Ini
berkaitan erat dengan program keempat. pemberdayaan masyarakat
melalui Kelompok Usia Lanjut, misalnya, melalui POSYANDU/POSBINDU
Lansia. Kelompok Lanjut Usia juga merupakan salah satu unsur penting
dalam pengembangan program Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Proses pembentukan dan pelaksanaan program ini
dilakukan oleh warga masyarakat sendiri bersama lembaga-lembaga
swadaya, swasta, dan organisasi sosial seperti Muhammadiyah, NU,
Wali Gereja, dan lain-lain. Kegiatan intinya adalah upaya promotif dan
preventif.
Kelima, peningkatan mutu perawatan kesehatan bagi lansia dalam
keluarga (home care). Ini penting pada kebudayaan timur seperti kita di
Indonesia. Keluarga masih merupakan faktor penting dalam perawatan
warga lanjut usia. Memasukkan orangtua ke panti, belum menjadi suatu
kebiasaan dan nilai umum. Orang lansianya sendiri bisa merasa seperti
disisihkan dari keluarga. Karena itu, perlu mengembangkan terus kualitas
perawatan warga lansia dalam keluarga. Selain akan banyak berkaitan
dengan unsur sosial-budaya, masalah ini juga akan bersinggungan banyak dengan isu-isu ekonomi: pendapatan keluarga, lapangan kerja, pemukiman, dan sebagainya.
Keenam, peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan
lanjut usia. Di PUSKESMAS ‘Santun Lansia’ ada beberapa kegiatan terkait
dengan lansia, baik di dalam gedung dan di luar gedung. Di luar gedung,
bisa berupa pelayanan kunjungan rumah atau membentuk komunitas
atau kelompok-kelompok usia lanjut dengan berbagai kegiatannya. Semua kegiatan itu harus dilakukan secara pro-aktif, pelayanan yang baik,
sopan, memberikan kemudahan dan dukungan bagi lansia.
21
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Catatan Akhir
Sebagai simpulan umum, ada beberapa hal yang sangat penting dan
mendasar dalam isu pelayanan kesehatan warga lansia.
Pertama, adalah bahwa proses menua (degeneratif) sudah harus diantisipasi sejak dini, sebelum usia 50 tahun, dan hal ini harus kita
pahamkan dengan baik kepada semua warga masyarakat. Bagi mereka
yang sudah lansia, yang paling penting adalah upaya pemulihan (rehabilitatif) agar tetap mampu mengerjakan pekerjaan dan tugas sehari-hari, sehingga mereka bisa hidup secara mandiri, produktif, dan
bahagia.
Kedua, keluarga masih sangat penting perannya dalam meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan lansia. Ini terutama berkaitan dengan
konteks sosial-budaya lokal.
Ketiga, kesadaran dari lansia sendiri sangat menentukan untuk bi-sa
hidup secara mandiri, sehat, dan bahagia. Almarhum Profesor Parmono Ahmad, yang meninggal pada usia 86 tahun, sampai usia 82 tahun masih memberikan layanan di klinik, tetap segar. Ketika ditanya
apa rahasianya, beliau menjawab hanya satu kalimat singkat: Keep
moving (Terus bergerak)! Dengan kata lain, terus berkegiatan, aktif!
Keempat, upaya peningkatan kualitas kesehatan lansia memerlukan
dukungan dari organisasi profesi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan seluruh kalangan masyarakat.
Yogyakarta Declaration on Ageing and Health telah dideklarasikan
oleh Menteri Kesehatan wilayah SEARO pada 4 September 2012,
belum lama berselang di Yogyakarta ini. Ada 14 butir pokok yang
menjadi komitmen Menteri Kesehatan di kawasan SEARO yang harus
ditindaklanjuti. Pernyataan itu amat sangat bagus untuk disebarluaskan
menjadi gerakan dan juga kesadaran bagi seluruh masyarakat kita.
Indonesia harus berkomitmen untuk meningkatkan derajat kesehatan
dan kesejahteraaan warga lansianya dengan pelayanan yang optimum
dan terintergrasi lintas sektor yang didukung oleh seluruh komponen
masyarakat.v
22
BAGIAN KEDUA
PENGALAMAN PEMERINTAH
NARASUMBER:
n
Kanjeng Gusti Ratu Hemas
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia
n Dr.
Maliki Ahmad
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
n Drs.
Mulyo Jhoni, MSi
Kementerian Sosial Republik Indonesia
n Dr.
Toni Hartono
Komisi Nasional Lanjut Usia (KOMNAS Lansia)
MODERATOR:
Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo
Center for Ageing Studies, Universitas Indonesia
Lansia & Pembangunan:
Antara Harapan & Tantangan
Gusti Kanjeng Ratu Hemas
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Republik Indonesia *)
*) Disampaikan oleh Dr. Nahiyah J.Faraz, MPd
dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
P
embicaraan tentang fenomena lansia atau penuaan penduduk
sangat penting dalam konteks pembangunan nasional saat ini
maupun masa mendatang, sayangnya fenomena itu belum mendapat
perhatian serius dari pemerintah. Hal ini tidak berarti pemerintah
belum melakukan apa-apa. Pemerintah, sebenarnya, sudah sangat
menyadari arti penting kesejahteraan penduduk lanjut usia, hanya
saja mungkin karena pertimbangan prioritas, kajian-kajian apalagi perencanaan pembangunan penduduk lansia masih tergolong langka.
Secara normatif harus diakui bahwa pemerintah telah menunjukkan
keseriusan dalam menangani fenomena penuaan penduduk. Pada
tahun 1998, pemerintah telah melahirkan UU Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Penduduk Lansia. Di dalam UU Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pemerintah juga telah menegaskan
bahwa setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik, dan atau
cacat mental berhak memperoleh perawatan dan bantuan khusus
atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri,
26
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua
UU tersebut bahkan telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) untuk
implementasinya. PP Nomor 43 Tahun 2004 menggarisbawahi bahwa
ada tiga aspek penting untuk peningkatan kesejahteraan lansia. Pertama,
lansia mendapatkan kemudahan dalam pelayanan keagamaan, mental,
dan spiritual. Kedua, kemudahan dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan umum. Ketiga, kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum.
Pertanyaannya kemudian: apakah ketentuan-ketentuan di dalam UU
tersebut benar-benar, secara objektif, telah dirasakan warga masyarakat
Indonesia yang berusia di atas 60 tahun atau penduduk lansia?
Menurut data statistik tahun 2012, diperkirakan ada lebih dari 2 juta
penduduk lansia yang telantar di Indonesia. Data ini belum termasuk
para lansia yang tinggal bersama anaknya tetapi tidak bekerja secara
produktif sesuai dengan potensinya yang ada. Menurut saya, mereka
termasuk lansia yang ‘telantar’ (dalam tanda kutip) karena mereka sehari-harinya hanya mengurus kerjaan rumah tangga, seperti menyiram
tanaman, memperbaiki atap rumah yang bocor, bermain dengan cucu,
dan lain-lain. Potensi dan daya kreativitasnya berhenti bukan karena
ketidakmampuannya, melainkan karena tuntutan budaya. Misalnya,
anaknya melarang bapak/ibunya bekerja, apalagi menitipkannya di panti
jompo, sementara bapak (penduduk lansia) mempunyai gengsi tersendiri
sebagai orangtua sekaligus kakek yang dibebaskan dari pekerjaan
dan memomong cucu dianggapnya sebagai pekerjaan penuh hormat.
Komentar klasik di masyarakat kita ketika ditanya apa yang dikerjakan
setelah pensiun atau tidak bekerja lagi adalah “momong cucu”.
Pemandangan ‘miris’ tentang lansia yang tengah mengantri berdiri maupun duduk-duduk di lantai hanya untuk mengambil ‘dana pensiun’ dapat kita saksikan bersama hampir setiap awal bulan di kantor pos atau
beberapa bank pemerintah yang ditunjuk. Pemandangan umum lainnya
yang memperlihatkan masih sangat kecilnya kepedulian kita terhadap
penduduk lansia adalah ketika para lansia terjepit, sesak napas, atau
bahkan pingsan lantaran mengantri tiket kereta api, mengantri sembako,
atau mengantri kegiatan lainnya. Pernah seorang kakek yang kebingungan
gara-gara diturunkan dari bus angkutan umum yang dinaikinya dari
Kampung Rambutan, di Jalan Gatot Subroto di depan gedung DPR-RI.
Tujuannya adalah ke Pejompongan yang berada di seberang jalan dari gedung DPR-RI. Menyeberang melalui jembatan penyeberangan ia
27
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tidak kuat. Kalau harus berputar jalan sampai Slipi atau Jembatan
Semanggi, dia juga tidak mampu. Setelah kurang lebih 4 jam dalam
keadaan bingung duduk di shelter bus depan gedung DPR-RI, ada seorang pengojek motor yang menawarkan jasanya secara gratis dan
mengantarkannya sampai ke Pejompongan. Kakek asal Sukabumi ini
selain tidak mampu secara fisik, rupanya juga kehabisan uang.
Cerita yang pernah saya dengar dari seorang anggota keamanan DPRRI itu cukup mengilhami untuk mempertanyakan apakah bangunan
fisik, prasarana, atau tata ruang yang telah dirancang pemerintah
selama ini telah mengindahkan keberadaan penduduk lansia? Kalau
sekarang sedang gencar disosialisasikan ‘kota yang ramah bagi anak’,
bagaimana dengan ‘kota yang ramah untuk lansia?’ Bagaimana pula
dengan hak penduduk lansia untuk berpartisipasi dalam pembangunan
dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai?
Dari sisi normatif dan objektif, tersirat bahwa sebenarnya ada keseriusan
yang cukup dari pemerintah terhadap persoalan penduduk lansia
(dan ini sebagai harapan bagi para lansia). Hanya saja, pemerintah
dan institusi terkait, baik milik pemerintah sendiri maupun swasta,
kurang berupaya optimal untuk dapat mewujudkannya. Berbagai kendala atau hambatan yang muncul belum dilihat sebagai tantangan,
sehingga banyak lansia ‘telantar’ di rumah anaknya tidak dilihat sebagai tanggungjawab pemerintah. Pemerintah kurang pro-aktif dan
hanya mengatakan mayoritas masyarakat (karena alasan budaya)
merasa tidak etis untuk menitipkan orangtuanya di panti. Padahal
bertanggungjawab terhadap lansia yang tinggal bersama anaknya
tidak harus berarti mengambil dan menitipkannya di panti jompo.
Banyak program yang bisa dirancang agar lansia dapat tetap tinggal
di rumah anaknya tetapi juga tetap produktif dengan keterampilan
yang dimiliki atau keterampilan baru yang diajarkan melalui program
pemerintah.
Alasan lain selain budaya, kita seringkali mengatakan minimnya anggaran sebagai alasan utama kurang optimalnya mewujudkan hak-hak
dasar para lansia. Ada kesan dari program-program lansia selama ini
lebih berorientasi pada ‘dana’ yang harus dikeluarkan Pemerintah
untuk makanan dan kesehatan serta usaha lansia seperti tercermin
dalam Lampiran Laporan Kementerian Sosial RI sebagai bahan Pidato
Kenegaraan Presiden RI di depan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI
28
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
16 Agustus 2012.Bunyi lampiran itu antara lain:
“Untuk tahun 2012, Kementerian Sosial mengalokasikan dana sebesar
Rp 63.600.000.000 yang diperuntukkan membantu 26.500 orang lanjut
usia di 33 provinsi yang tersebar di 381 kabupaten/kota di Indonesia.
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk pelayanan sosial lanjut usia,
adalah sebagai berikut:
[a] Untuk lanjut usia potensial, bentuk program yang diberikan berupa
Layanan Harian (Day Care) yang telah diberikan di 26 lokasi dengan
jumlah yang telah dilayani sebanyak 889 orang lanjut usia dengan 233
orang pendamping. Untuk lanjut usia yang mempunyai usaha diberikan
program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang telah diberikan setiap
tahun di 33 provinsi dengan jumlah klien yang dibantu sebanyak 3.300
orang lanjut usia.
[b] Untuk lanjut usia yang tidak potensial diberikan pelayanan sosial
melalui 278 Panti Sosial Lanjut Usia milik pemerintah dan masyarakat
dengan jumlah klien yang dilayani sebanyak 11.914 orang lanjut usia.
Sementara untuk program perawatan lanjut usia ini di lingkungan keluarga (home care) telah diberikan di 22 lokasi dengan jumlah klien yang
dilayani sebanyak 1.100 orang dengan 525 relawan atau pendamping.”
Bila orientasi kita mengenai pembangunan penduduk lansia adalah bagaimana pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk mereka,
maka sampai kapanpun upaya kita menyejahterakan penduduk lansia
tidak akan pernah tercapai. Alasannya, pertumbuhan ekonomi yang
dicapai pemerintah terlihat sangat lamban dan tidak ada jaminan akan
naik terus, sementara grafik pertumbuhan penduduk lanjut usia menunjukkan peningkatan yang pesat setiap tahunnya dan kecil sekali kemungkinannya turun.
Oleh karena itu, sudah saatnya untuk lebih fokus dalam mewujudkan
kesejahteraan penduduk lansia melalui program pelayanan publik yang
sangat ramah lansia. Misal, pemerintah dan masyarakat harus memastikan
tidak ada lagi pemandangan di mana para lansia harus mengantri sambil berdiri atau duduk di lantai saat mengambil uang pensiun, atau pemerintah harus memprioritas penduduk lansia yang mendaftar pergi
haji atau umroh. Suksesnya menciptakan pelayanan publik yang ramah
dengan lansia pada akhirnya akan menutup kelemahan program-program
lansia yang lebih berorientasi materi.
29
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Bagaimana bentuk atau model peningkatan kesejahteraan penduduk
lansia berbasis pelayanan publik itu? Forum ini, menurut saya, tempat
yang ideal untuk merumuskannya. v
30
Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Mulyo Johni
Sub Direktorat Advokasi & Pelayanan Sosial Lanjut Usia,
Kementerian Sosial Republik Indonesia
D
i Kementerian Sosial, ada Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia.
Tentu saja, sesuai dengan namanya, pusat perhatian kami adalah
memberikan pelayanan sosial kepada warga lanjut usia. Yang kami layani
adalah semua lanjut usia yang diamanatkan dalam undang-undang,
baik lansia yang potensial ataupun yang tidak potensial. Namun, karena
keterbatasan alokasi dana yang kami miliki, sampai saat ini kami lebih
masih menekankan prioritas pada lanjut usia yang miskin. Pangkalan data
Kementerian Sosial menyajikan angka 2.851.606 jiwa warga lanjut usia
yang telantar. Merekalah yang menjadi fokus prioritas kami sekarang.
Mengapa?
Setiap tahun kami hanya memperoleh alokasi dana tidak terlalu besar
untuk pelayanan sosial lanjut usia di seluruh Indonesia. Kami hanya
punya dana sekitar 140 miliar. Itu untuk melayani semua lansia di seluruh Indonesia. Tentu saja, kalau di rumus pemerintah; kalau alokasi
anggarannya sedikit dan masalahnya besar, maka kami tentu saja harus
menggarap beberapa yang kami anggap paling penting.
31
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Prinsip Pelayanan
Di Kementerian Sosial ada beberapa prinsip dasar dalam pelayanan
sosial lanjut usia.
Prinsip pertama, setiap orang yang telah berusia lanjut harus mendapat
tempat yang dihormati dan dibahagiakan --oleh kita semua, tentu saja.
Lalu prinsip yang kedua, keluarga merupakan wahana pelayanan yang
terbaik bagi para lanjut usia untuk menjalani kehidupan hingga akhir
hayatnya. Prinsip ketiga, pemberian perhatian dan kasih sayang, baik
dari keluarga dan masyarakat lingkungannya, merupakan faktor yang
sangat penting. Prinsip terakhir, pelayanan dalam panti merupakan
upaya terakhir apabila upaya yang lain sudah tidak mungkin lagi.
Prinsip terakhir tadi selalu kami tekankan, kecuali bagi lansia-lansia
tertentu yang dengan keinginan sendiri memang ingin tinggal di
panti. Kami hargai juga pilihan-pilihan itu. Kami menganggap kalau
semakin banyak lansia yang masuk ke panti sosial, tentu ada nilainilai tertentu yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat kita, antara
lain, sikap menghormati dan menyayangi orang tua. Dalam beberapa
pengalaman kami --yang juga membuat miris-- adalah banyak sekali
lansia yang didatangkan ke panti lalu ditinggalkan begitu saja oleh
keluarganya sampai yang bersangkutan meninggal dunia, ditengok
sekalipun tidak. Pengalaman itulah yang membuat kami dan beberapa
pengelola panti mengajukan syarat dan membuat perjanjian kepada
keluarga yang membawa orangtuanya ke panti: harus ada kunjungan
berapa kali dalam sebulan, kalau ada masalah harus ditengok, dan
sebagainya. Jadi tidak dititipkan di panti, lalu ditinggalkan begitu saja.
Program Pelayanan
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Kementerian Sosial melaksanakan
beberapa program, antara lain:
Perawatan di rumah (home care). Ini adalah program perawatan
lanjut usia yang dilakukan dalam keluarga dan diberi pendampingan.
Dalam program ini, prinsipnya adalah mendorong memberdayakan
keluarga agar bisa memberikan perawatan kepada warganya yang
lanjut usia, bisa jadi orangtuanya sendiri atau keluarga dekatnya.
Program-program ini sudah dilakukan di seluruh Indonesia. Untuk
32
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
target setiap setahun, hanya 1.000 orang lanjut usia. Kriteria mereka yang
masuk dalam program ini adalah lansia yang tidak mampu dan mereka
yang sudah tidak potensial. Kegiatannya adalah pendampingan sosial dan
pemenuhan kebutuhan hidup lansia, bagaimana mereka memperoleh
perawatan dan kebutuhan dasar, aksesibilitas, dan perlindungan, disertai
pendampingan pada keluarga yang bersangkutan.
Program lainnya adalah Pelayanan Perawatan Harian (Day Care
Service). Program ini sudah ada di 33 provinsi di seluruh Indonesia.
Karena keterbatasan sumberdaya, target yang dilayani setiap tahun
sangat sedikit; hanya 920 lansia. Program ini lebih ditujukan pada pengisian waktu luang lansia yang masih potensial di luar panti, biasanya
melalui lembaga kesejahteraan sosial atau organisasi sosial. Pemerintah
memberikan dukungan dana lalu memfasilitasi lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi tersebut melakukan day care service. Mereka mengumpulkan lansia secara berkala, biasanya seminggu sekali atau dua
kali. Lembaga atau organisasi tersebut harus menyediakan kegiatan bagi
para lansia di sekitarnya. Biasanya, berupa ceramah-ceramah kegamaan,
lalu pemeriksaan kesehatan berkala --biasanya bekerjasama dengan
Dinas Kesehatan setempat. Ada juga pemberian makanan atau tambahan
gizi pada saat kegiatan bersama. Atau, rekreasi atau olahraga khusus untuk lansia.
Berikutnya adalah program Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar
(ASLUT). Program ini dulu biasa disebut program Jaminan Sosial Lanjut
Usia (JSLU). Program ini ditujukan kepada lanjut usia yang sudah tidak
potensial dengan skala prioritas pada lansia yang sudah bed ridden atau
bedrest. Mereka diberi pelayanan perawatan dari pekerja sosial dari
masyarakat sekitar dari lingkungan lansia itu berada, biasanya dari desa
terdekat. Kementerian Sosial memfasilitasinya melakukan pelayanan
tersebut. Mereka diberi dana cash transfer. Lima tahun terakhir, besarannya adalah Rp 300.000 per orang per bulan sampai lansia yang dilayaninya meninggal. Lalu, karena sedikit persoalan, nilai bantuan itu
tahun ini menurun menjadi Rp 200.000. Karena di sini ada wakil dari
BAPPENAS, forum ini sekaligus bisa melakukan cross-check mengapa terjadi penurunan ini.
Kementerian Sosial sering mendapat pertanyaan tentang hal seperti
ini. Pada saat pertemuan bilateral dengan BAPPENAS dan Kementerian
Keuangan, Kementerian Sosial diminta meningkatkan jumlah penerima-
33
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
nya. Tahun-tahun sebelumnya, kami hanya memberikan kepada 13.250
orang dengan besaran Rp 300.000 per orang per bulan, seumur hidup
lansia yang dilayani. Pada saat kami diminta meningkatkan jumlah penerimanya dua kali lipat menjadi 26.500 orang -- antara lain dinyatakan
dalam Pidato Kenegaraan Presiden-- terjadi sedikit ‘kecelakaan’, karena dana yang mulanya diusulkan untuk menjadi Rp 300.000 per
orang tidak mencukupi lagi. Akhirnya, setelah diusahakan sedemikian
rupa, hanya Rp 200.000 per orang itulah yang dapat diberikan. Ini
sekaligus meluruskan informasi, karena banyak pihak, terutama LSM,
mengatakan bantuannya dipotong Rp 100.000. Sebetulnya tidak ada
niat memotong, semata-mata hanya karena jumlah penerima tibatiba melonjak dua kali lipat. Sekarang, program ini berlangsung di
33 provinsi, tersebar di 381 kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
Setiap desa mendapat bantuan untuk 10 atau 15 orang lansia dengan
1 pendamping dari desa setempat. Jika tak ada lansia bedrest di satu
desa, boleh diberikan pada lansia paling tua yang ada di sana. Program
yang sudah berjalan selama 6 tahun ini merupakan salah satu program
unggulan Kementerian Sosial.
Berikutnya, program Pelayanan Sosial dalam Situasi Darurat. Program ini ditujukan kepada lanjut usia dalam situasi darurat, dalam
situasi bencana, korban kekerasan atau eksploitasi. Dalam beberapa
hal, Kementerian menyediakan dana on call untuk keadaan yang terjadi mendadak atau tiba-tiba. Untuk tanggap bencana, biasanya tidak
ada persoalan, langsung segera bisa dberikan. Tetapi, untuk korban
eksploitasi atau tindak kekerasan, masih ada beberapa kendala tersendiri. Program ini sekarang juga menjangkau 33 provinsi. Bentuk
layanannya, antara lain: konseling, pemulihan trauma, penelusuran
(tracking) atau reunifikasi, penyediaan tempat tinggal sementara, dan
pemenuhan kebutuhan dasar. Seringkali, dalam banyak kasus, lansia
terpisah dari keluarganya. Tugas Kementerian Soaial adalah melakukan reunifikasi. Kalau sudah tidak memungkinkan lagi, barulah ditampung di panti sosial.
Selanjutnya adalah program Pemantapan Pra-Lanjut Usia. Ini program baru dan mungkin juga apakah bisa menjawab tantangan: sebelum
menjadi lansia sudah disiapkan. Program ini lebih menekankan pada pemberian keterampilan dan modal usaha untuk mereka yang
akan memasuki lanjut usia. Program ini baru tahap uji coba, baru
di beberapa provinsi saja. Karena masih uji coba, penerimanya pun
34
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
masih terbatas 50 orang lanjut usia. Bergantung pada hasil uji coba nanti
untuk melihat bagaimana kemungkinan penerapannya secara serentak
di 33 provinsi.
Yang berikutnya adalah program Usaha Ekonomi Produktif (UEP).
Salah satu permasalahan yang sering dijumpai adalah banyak lansia yang
masuk kategori miskin sebetulnya bisa berusaha pada skala kecil-kecilan
yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Program
ini sekarang memberikan bantuan modal usaha kecil kepada 3.300 orang
lanjut usia setiap tahun di 33 provinsi.
Program berikutnya adalah Bantuan Sosial terhadap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau Panti Sosial. Bantuan ini diberikan kepada 12.500 lanjut usia di panti yang tersebar di 22 provinsi. Pantipanti tersebut ada yang milik pemerintah daerah dan ada yang milik
masyarakat, tetapi sebagian besar milik masyarakat. Tahun ini panti
yang menerima program ini ada 249 panti. Sebelumnya, tercatat 278
panti sosial di seluruh Indonesia. Penurunan jumlah panti ini menarik.
Pada satu sisi, terus terang, kami di Kementerian Sosial merasa senang
jika penurunan jumlah panti itu benar-benar terjadi karena semakin
banyaknya jumlah lansia yang ditangani langsung oleh keluarga atau
warga sekitarnya, sehingga mereka tak perlu lagi dimasukkan ke panti.
Lalu, program Bedah Rumah Lansia. Ini juga bentuknya bantuan sosial terhadap lanjut usia. Tahun 2012, program ini sudah diberikan kepada 150 rumah lansia. Kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan
beberapa organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat,
misalnya Yayasan Emong Lansia (YEL) dan Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA). Mereka punya data di mana rumah-rumah lansia kurang layak. Kementerian menyediakan bantuan dana kecil sebesar Rp
10.000.000 untuk setiap rumah lansia. Dana ini, digabungkan dengan
swadaya warga sekitar, adalah untuk memperbaiki rumah-rumah para
lansia agar menjadi layak dan nyaman untuk dihuni.
Refleksi
Berdasar pengalaman melaksanakan semua program tersebut selama
ini, ada hal-hal yang membuat kami, terus terang, sedikit terusik.
Sebagai contoh, program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT) atau dulu
35
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
disebut Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Sudah lebih 60% program
ini diberikan kepada institusi yang ada di desa. Terus terang, kami
agak terkesima de-ngan data tersebut yang dilaporkan oleh Dinasdinas Sosial di daerah. Kalau program itu diberikan di perkotaan, kita
bisa memakluminya kare-na orang-orang di perkotaan yang semakin
individualis, semakin kurang kepeduliannya, dan semakin banyak
lansia yang telantar. Tetapi, seka-rang data yang ada memperlihatkan
60% pelaksanaan ASLUT adalah di wilayah pedesaan.
Pertanyaannya adalah: apakah memang sedang terjadi perubahan
nilai sedemikian rupa di masyarakat kita, sehingga ada kecenderungan
keluarga tertentu menjadikan orang tua (lansia) semacam sumber pemasukan, sumber nafkah mereka?
Pertanyaan ini muncul karena ada cukup banyak kasus di mana
keluarga tertentu mempertahankan agar orang tua mereka terusmenerus mendapatkan bantuan program ini. Misalnya, ada lansia yang
masuk program ini karena sakit dan potensial bedrest. Dia mendapatkan bantuan program ini selama 2-3 tahun. Tetapi, antara lain, oleh
pelayanan kesehatan yang diterimanya, orangtua itu sembuh. Karena
itu, Dinas Sosial setempat menggagas pengalihan dana bantuan itu ke
program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang lebih membutuhkan.
Keluarga itu melapor ke satu LSM menyatakan keberatannya kalau
bantuan itu dihentikan. Bahkan, sempat sampai masuk koran. Setelah
diinvestigasi, memang ada beberapa kasus seperti itu, yakni anak-anak
para lansia yang dibantu memanfaatkan orangtua mereka sebagai
sumber penghasilan.
Kami, terus terang saja, di Kementerian Sosial miris dan bertanya-tanya: apakah memang program kami di pemerintah yang salah, artinya
terlalu jauh masuk sampai ke tingkat rumah tangga, sehingga warga
masyarakat merasa kalau ada lansia, serahkan saja ke pemerintah,
persoalannya jadi selesai?
Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Kementerian Sosial
mulai mengubah kebijakan, akan lebih mendorong peran-peran
masyarakat dengan cara-cara dan pendekatan lebih memfasilitasi.
Kami akan mendorong LSM agar merekalah yang lebih berperan
melakukannya. Selain itu, juga keluarga yang dibantu lebih perlu
diberdayakan ekonominya. Karena, memang banyak sekali persoalan-
36
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
persoalan so-sial akar permasalahan sebenarnya adalah pada kemiskinan.
Karena kemiskinan, lansia tadi gampang dieksploitasi dan dimanfaatkan
se-demikian rupa oleh orang-orang yang sebetulnya tidak berhak atas
bantuan itu. v
37
National Transfer Account sebagai
Pendukung Analisis Sistem Penunjang
Penduduk Lanjut Usia
Maliki Ahmad
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Republik Indonesia
B
agaimana sebenarnya aspek ekonomi dari penuaan penduduk?
Ada dua hal. Pertama, tentang sistem perlindungan sosial. Kedua,
penggunaan national transfer account.
Tentang perlindungan sosial, UU 40/2004 sudah sangat jelas menggariskan prinsip dasarnya bahwa semua unsur masyarakat itu harus
terlindungi, termasuk di dalamnya adalah penduduk usia lanjut pada semua lapisan, baik itu penduduk miskin, menengah, maupun
menengah ke atas. Dalam undang-undang itu juga dijelaskan bahwa
penduduk miskin dapat memperoleh perlindungan sosial dalam bentuk bantuan dari pemerintah (government assistance). Bagaimana
38
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
sebenarnya pengaruh bantuan pemerintah itu terhadap kesejahteraan
penduduk usia lanjut, termasuk di dalamnya adalah old-age support dan
pension support.
Bantuan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Kementerian Sosial
adalah satu bentuk dari social transfer. Selain bentuk pelayanan sosial
seperti pelayanan kesehatan kepada para warga lansia, yang juga penting
dan menarik dianalisis adalah cash transfer. Bagaimana sebenarnya peran cash transfer ini terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari
penduduk usia lanjut, kemudian pada asuransi untuk warga lansia dari
kalangan penduduk miskin, terutama di bidang kesehatan.
Metodologi atau analisis National Transfers Account (NTA) sebenarnya
sudah dikembangkan lama sekali, lima tahun, oleh Andrew Mason dan
Ronald Lee di East West Center University of Hawaii dan University of
Berkeley. Mereka mencoba mendokumentasikan data National Account
yang dapat menggambarkan abuse pergeseran ekonomi; sumber ekonomi
satu generasi ke generasi lain dalam waktu yang bersamaan. Misalnya,
bagaimana sebenarnya orangtua memberikan dukungan keuangan kepada anak-anaknya; bagaimana penduduk usia produktif membayar pajak
kepada pemerintah, dan bagaimana pemerintah sendiri melakukan
realokasi pajak tersebut ke masing-masing generasi. Analisis ini akan
memperlihatkan bagaimana sebenarnya penduduk usia lanjut mendukung
dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Untuk itu,
akan ada uraian tentang profil produktivitas dari warga usia lanjut, konsumsi mereka, juga aset, dan transfer dari sumber-sumber ekonomi kepada setiap generasi. Kemudian sistem realokasinya, bagaimana suatu
kelompok umur dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa apabila kita melakukan
konsumsi, hal itu harus dipenuhi dengan bekerja. Apabila ada pengurangan
kemampuan, yakni konsumsi lebih besar dari pendapatan, maka kekurangannya harus dicari dari berbagai sumber, salah satunya adalah dengan menggunakan aset atau transfer dari keluarga atau sumber-sumber
lainnya. Metodologi NTA dapat digunakan untuk mengukur pergeseran
sumber ekonomi dari satu kelompok usia ke kelompok usia lainnya;
untuk dokumentasi profil produktivitas, konsumsi, aset, transfer menurut
umur; serta untuk sistem realokasi sumber ekonomi, yaitu bagaimana
suatu kelompok umur dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya.
39
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Lifecycle Deficits
Seperti tadi sudah disampaikan bahwa pemerintah telah melakukan
intervensi kepada keluarga dengan memberikan cash transfers sehingga warga lanjut usia dapat terpenuhi kebutuhannya. Keluarga
juga melakukan transfer, misalnya, orang tua membantu pembiayaan
anak-anaknya, atau sebaliknya anak membantu orangtuanya. Dokumentasi dari transfer-transfer itulah yang membuat kita bisa melihat
secara jelas bagaimana sebenarnya penduduk usia lanjut memenuhi
kebutuhannya.
Untuk melihatnya, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS), National Account, Input/Output
Table, Social Accounting Matrix (SAM) tahun 2005, dan Government
Accounting Report. Semua data tersebut akan dipadukan, karena
selama ini masih terpisah-pisah. Dengan memadukan semua data
tersebut, sumber-sumber ekonomi bisa diperhitungkan secara komprehensif.
Salah satu hasil analisis terhadap semua data tersebut adalah mengenai
pendapatan per kapita. Hasil analisis memperlihatkan bahwa puncak
dari produktivitas suatu kelompok umur di Indonesia adalah pada
usia 45 tahun. Uniknya, setelah mencapai puncak usia tersebut,
produktivitas turun sangat cepat. Di beberapa negara lain, seperti
Jepang, biasanya terjadi landai dulu baru turun perlahan. Namun,
yang menarik adalah bahwa pada usia lanjut, orang Indonesia masih
banyak yang bekerja. Dengan kata lain, sumber pendapatan dari warga usia lanjut ini di Indonesia masih tergolong besar, terutama yang
berusaha sendiri atau mempekerjakan dirinya sendiri (self-employed).
Para warga lanjut usia itu, setelah pensiun, membuka usaha sendiri
yang menghasilkan pendapatan tambahan. Sebagian juga masih bekerja di sektor informal. Ini juga menunjukkan bahwa sektor informal
di Indonesia masih sangat besar sekali. Dengan demikian, yang harus
diperhatikan adalah bagaimana mempersiapkan warga lanjut usia agar
tetap produktif, menjadi lebih efisien, sehingga sumber yang mereka
hasilkan akan menjadi lebih besar. Ini cukup unik bagi Indonesia,
karena di negara maju seperti Jepang hal seperti itu cenderung
sangat kecil. Hal ini tampaknya memang dipengaruhi oleh sistem
perlindungan sosial atau pensiun yang ada di Indonesia.
40
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
Apabila diperbandingkan antara konsumsi dengan produktivitas, terlihat
bahwa masih tetap ada konsumsi yang lebih besar dari produktivitasnya.
Ini adalah konsumsi orang tua, sehingga menarik untuk melihat lebih
lanjut bagaimana sebenarnya mereka memenuhi konsumsinya tersebut
selain dari pendapatan yang mereka hasilkan dengan bekerja atau berusaha sendiri.
Kalau melihat data government transfers, pemerintah memang masih
lebih banyak memusatkan perhatian pada warga usia muda di mana
banyak sekali transfer, terutama dalam bidang pendidikan para warga
usia muda tersebut. Untuk warga lanjut usia, ada sedikit cash transfers
dan pelayanan kesehatan.
Mengenai sistem realokasi dalam keluarga, mereka yang masih dalam
usia produktif mungkin memberikan cash transfers kepada orang-orang
tua mereka yang sudah lanjut usia. Atau, bisa juga sebaliknya, orangorang tua itu justru yang mempunyai kelebihan dan melakukan cash
transfers kepada anak-anak mereka. Jika orang tua lanjut usia tidak punya
keluarga lagi, mungkin saja mereka memenuhi kebutuhannya dengan
skema lain, misalnya, dari aset atau tabungan. Dalam kasus seperti
itu, mereka menabung sejak masa muda atau pada usia produktifnya
dulu, lalu sekarang menikmatinya di hari tua mereka, terutama untuk
menopang diri mereka sendiri.
Analisis lebih lanjut pada data tahun 2005 menunjukkan beberapa yang
semakin menarik. Data konsumsi warga lanjut usia kemudian dipilahpilah ke dalam beberapa kelompok usia, yakni kelompok usia 55-59,
lalu 60-64, 65-69, 70-74, dan 75-79 tahun. Temuan yang menarik adalah
secara makro, secara agregat, penduduk usia lanjut sama sekali tidak
menggambarkan bahwa mereka sepenuhnya tergantung pada keluarga.
Data itu memperlihatkan bahwa para warga lanjut usia masih banyak
menggunakan produktivitas mereka atau tetap bekerja untuk memenuhi
kebutuhan konsumsinya. Selanjutnya, para warga lanjut usia itu juga
menggunakan aset atau tabungan mereka. Semakin lanjut usia mereka,
semakin besar pula penggunaan aset tersebut. Sementara itu, transfer
dari pemerintah (public transfers) sangat sedikit, hanya 2-3% dari
konsumsi mereka. Yang mengejutkan adalah orang-orang tua ini masih
memberikan dukungan kepada keluarganya, terutama kepada anak-anak
mereka. Sehingga, menjawab kegelisahan dari pihak Kementerian Sosial
tentang cash transfer dari pemerintah yang diberikan kepada warga
41
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
lanjut usia tetapi digunakan oleh anak-anak mereka, mungkin itu
sebenarnya tidak negatif sama sekali, tidak secara keseluruhan negatif. Mungkin kita bisa melakukan sedikit penyesuaian dari kebijakan
tersebut, sehingga cash transfer dari pemerintah kepada para warga
lanjut usia pun dapat digunakan oleh anak-anak mereka, asalkan
memang digunakan untuk kegiatan produktif juga. Jika itu yang terjadi, maka sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya negatif.
Bagaimana dengan keluarga miskin? Data yang ada tentang keluarga
miskin menunjukkan profil agregat, gambaran secara keseluruhan.
Untuk itu, perlu menelusur secara lebih fokus pada keluarga yang
benar-benar miskin dengan memisahkan keluarga miskin pedesaan
dengan keluarga miskin di perkotaan. Ternyata, profil mereka
hampir sama. Yang paling menonjol adalah bahwa mereka semua
sangat bergantung sekali pada public transfers. Jadi, cash transfers
dari pemerintah yang hanya sebesar Rp 200.000 atau 300.000 itu
sangat signifikan untuk mereka. Sekitar 60-80 % konsumsi mereka
sangat bergantung pada cash transfers tersebut. Data yang ada juga
memperlihatkan bahwa cash transfers itupun sebenarnya dipakai
juga untuk melakukan transfer kepada generasi lebih muda, yakni
anak cucu mereka yang belum produktif. Hal yang paling positif
mereka lakukan adalah jika cash transfers tersebut dipakai untuk
menyekolahkan cucu-cucunya. Hal seperti itulah yang mungkin perlu
kita pertimbangkan lebih lanjut.
Sebagai perbandingan, kebijakan cash transfers bagi para warga lanjut
usia dan keluarga miskin di Argentina atau di Brasil memang ditujukan
pada tiga generasi dalam keluarga tersebut: orang tua lanjut usia dan
anak-anak serta cucu-cucu mereka yang belum produktif. Pemerintah
justru sangat mengharapkan agar cash transfer kepada warga lanjut
usia tersebut juga digunakan untuk mendukung anak-anak atau
cucu-cucu mereka yang masih usia sekolah agar terhindar dari putus
sekolah.
Mengantisipasi prakiraan bahwa persentase penduduk lanjut usia
akan mencapai 20% dari total penduduk, maka perlu pula dianalisis
bagaimana sebenarnya kemungkinan keberlanjutan anggaran (fiscal
sustainability) subsidi tersebut di masa depan?
Untuk itu, akan digunakan metode generational account dengan be-
42
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
berapa asumsi --masih moderat-- di mana kita melakukan penekanan
defisit fiskal maksimum 1%. Lalu, asumsi bahwa baseline transfer pada
tahun 2010 adalah masih Rp 300.000. Maka, jika kita tarik semua sumber
tersebut sampai tahun 2040, akan terjadi yang namanya generational
imbalance. Artinya, generasi mendatang akan membayar lebih besar
16% kepada pemerintah untuk menyinambungkan program tersebut.
Pada saat itu nanti, akan terjadi juga penyesuaian pajak (tax adjusment)
sekitar 6,3%. Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain, sebenarnya tidak terlalu buruk. Kita jangan membandingkannya dengan
Jepang, karena generational imbalance di Jepang sangat besar sekali,
sekitar 300%. Mungkin dengan Thailand juga masih agak besar. Hal ini
karena Indonesia melaksanakan program ini memang masih ‘malu-malu’.
Karena itu, generational imbalance masih sekitar 16%. Kalau, misalnya,
kita coba melakukan perbandingan dari sisi kesehatan saja dulu, akan
menghasilkan generational imbalance sekitar 26%.
Maka, apabila nanti program-program dukungan kepada penduduk
lanjut usia dimasukkan ke dalam analisis ini, kita akan dapat melihat
apa sebenarnya yang harus kita lakukan dalam hal penyesuaian pajak
maupun dalam hal kebijakan fiskalnya.
Ringkasnya, tantangan ke depan terutama adalah memiliki dan memilih
dokumentasi data yang rinci dan menyeluruh, karena analisis ekonomi
dalam hal ini harus dilakukan secara komprehensif. Semua data harus
dipertimbangkan dan diperhitungkan, lebih besar, lebih banyak. Hal
tersebut merupakan tantangan ke depan, terutama dua tahun saat ini
dan ke depan, termasuk bagi BAPPENAS yang sedang menyusun Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).v
43
Upaya Pemerintah
Menghadapi Tantangan
Revolusi Demografis
Toni Hartono
Komisi Nasional Lanjut Usia (KOMNAS LANSIA)
A
da istilah di Organisasi Kesahatan Dunia (WHO) menyebut
terjadinya ‘Revolusi Demografis’ atau pergeseran demografi:
penduduk lansia dunia (usia 60 tahun ke atas) tumbuh sangat cepat,
bahkan lebih cepat dibanding kelompok usia lain. Tahun 2000, jumlah
lansia dunia adalah sekitar 600 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 1,2
miliar jiwa pada tahun 2025, lalu akan menjadi 2 miliar jiwa pada
tahun 2050. Pada saat itu, akan terdapat lebih banyak lansia dibanding
anak-anak usia 1-14 tahun.
44
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
Di negara-negara berkembang, pada tahun 2002, ada sekitar 61% (400 juta
jiwa) penduduk lansia. Pada tahun 2025, diperkirakan menjadi 70% (840
juta jiwa), dan tahun 2050 akan mencapai 80% (1,6 miliar jiwa). Demikian
pesat perkembangannya. Separuh jumlah penduduk lansia dunia hidup
di Asia dan proporsinya cenderung terus meningkat. Indonesia berada
pada posisi keempat di Asia, setelah Cina, India, dan Jepang.
Penuaan Penduduk
Penuaan penduduk, menurut catatan UNFPA, merupakan suatu kecenderungan perkembangan terpenting pada abad ke-21, berimplikasi luas
terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan
politik. Di seluruh dunia kini terdapat 2 orang yang berulang tahun ke-60
setiap detiknya; atau sekitar 58 juta --bahkan 62 juta-- peristiwa ulang
tahun ke-60 per tahunnya. Saat ini, 1 dari 9 orang di seluruh dunia adalah
berusia 60 tahun atau lebih; tahun 2050, diproyeksikan 1 dari 5 orang.
Saat ini, Usia Harapan Hidup (UHH) 80 tahun ada di 33 negara, padahal
lima tahun yang lalu hanya ada di 19 negara. Saat ini, hanya Jepang yang
penduduk lansianya lebih dari 30%, pada tahun 2050 diperkirakan akan
ada di 64 negara.
Bagaimana di Indonesia?
Pada tahun 2000, proporsi penduduk lansia Indonesia sudah 7,18%.
Menurut tolok ukur yang diterima umum selama ini, negara dengan
penduduk lansia lebih dari 7% pada dasarnya sudah berstruktur tua. Kita
harus mengantisipasi dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi,
kesehatan, dan sebagainya.
Mari kita lihat proyeksinya. Menurut proyeksi tahun 2001 oleh Badan
Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 2020 akan
menjadi dua kali lipat. Persentasenya 11,34% dan kemudian penduduknya
dari 14,4 juta jiwa tahun 2000 menjadi 28,8 juta jiwa pada tahun 2020.
Sangat pesat pertumbuhannya. Selanjutnya, provinsi dengan jumlah
lansia lebih 7% dari total penduduknya, tertinggi adalah DIY (14,02%),
diikuti oleh Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,92%), Bali (10,79%),
Sulawesi Selatan (9,03%), Sulawesi Utara (8,91%), Sumatera Barat (8,69%),
Lampung (8,29%), Nusa Tenggara Barat (8,21%), Nusa Tenggara Timur
(8,01%), Jawa Barat (7,95%), dan Maluku (7,27%). Sayangnya, beberapa
pemerintah daerah di antara yang sudah mencapai di atas 7% tersebut
45
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tidak menyadari kalau penduduk lansianya sudah sebanyak itu.
Keadaan Umum Lansia
Jumlah penduduk lansia saat ini sudah berjumlah sekitar 23 juta (10%
dari total penduduk). Keadaan sosial, ekonomi, dan kesehatan lansia
di pedesaan pada umumnya masih memprihatinkan. Lansia telantar
sesuai data dari Kementerian Sosial ada sekitar 2,7 juta orang. Rasio
ketergantungan penduduk lansia adalah 13,52, artinya 100 orang
usia produktif membantu kehidupan 13 orang lansia. Pendidikannya
umumnya rendah, yaitu tidak tamat SD dan tidak sekolah, dengan
angka di pedesaan 75,05% dan di perkotaan 50,28%. Sekitar 72% lansia
laki-laki dan 59% lansia perempuan masih bekerja, mayoritas di sektor
pertanian—yang informal karena pendidikannya rendah. Peran lansia
sebagai kepala rumah tangga—masih cukup tinggi—adalah 89,42%
lansia laki-laki dan 32% lansia perempuan.
Bagaimana sebenarnya potensi mereka?
Data statistik memperlihatkan beberapa hal penting. Usia Harapan
Hidup penduduk Indonesia saat ini, menurut Kementerian Kesehatan,
adalah rerata 71 tahun. Ini berarti keadaan kesehatan, kegiatan, dan
kemandirian lansia terus membaik. Lansia terlantar ada sekitar 15%,
rawan telantar 27%, dan tidak telantar sekitar 58%. Sehingga, yang
potensial adalah kurang lebih 58%. Di antara yang tidak telantar terdapat
werdhatama, akademisi, purnakaryawan BUMN/swasta, purnawirawan
TNI/POLRI, dan komponen masyarakat lainnya. Kenyataannya, potensi
ini tidak banyak didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan
pembangunan. Potensi ini diharapkan akan terwadahi dalam kelembagaan masyarakat, sehingga dapat beraktivitas, berinovasi, dan
kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia.
Komitmen Pemerintah
Sesungguhnya, komitmen pemerintah dalam hal ini sudah cukup
memadai. Regulasi khusus sudah diterbitkan, yakni UU Nomor 13 Tahun
1998 tentang Kesejahteraan Lansia, kemudian Peraturan Pe-merintah
(PP) Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan
Kesejahteraan Sosial Lansia; Keputusan Presiden (KEP-PRES) Nomor
52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional (KOMNAS) Lansia; Peraturan
46
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor 60 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Komisi Daerah (KOMDA) Lansia dan Pemberdayaan
Masyarakat dalam Penanganan Lansia di Daerah. Kita sudah memiliki
juga RAN (Rencana Aksi Nasional) untuk Kesejahteraan Lansia tahun
2003 dan diperbaharui tahun 2008 oleh Kementerian Sosial dan unsurunsur lain yang terkait. Selain itu, ada UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang
Kesejahteraan Sosial. Masih ada beberapa UU dan peraturan lainnya
yang terkait dengan lansia, termasuk berbagai peraturan kementerian
seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Pariwisata, dan
sebagainya.
Identifikasi Masalah
Namun, implementasi UU Nomor 13 Tahun 1998 dan UU serta peraturan
lainnya masih terbatas. Sosialisasi berbagai ketentuan hukum tersebut,
baik di kalangan pemerintah dan unsur masyarakat, masih belum optimal.
Beberapa tim yang dikirim ke daerah-daerah menemukan bahwa UU
Nomor 13 Tahun 1998 belum diketahui oleh kalangan luas. Bahkan,
ada banyak aparat pemerintahan daerah tidak memahami berbagai UU
maupun keputusan-keputusan pemerintah pusat mengenai lansia.
Demikian pula halnya dengan Komisi Daerah Lansia yang belum sepenuhnya berfungsi efektif. Sekarang, sudah ada 31 Komisi Daerah Provinsi
dan kurang lebih 100 Komisi Daerah Kabupaten/Kota yang terbentuk.
Kita harapkan ke depan agar bisa berfungsi secara efektif. Koordinasi
lintas sektoral dalam penanganan Lansia sesuai pedoman RAN belum
optimal. Program penanganan lansia belum menjadi prioritas, dan pelibatan kalangan perguruan tinggi, LSM, swasta, dan lain sebagainya masih terbatas, serta masih berkembang stigma negatif tentang lansia.
Upaya Pemerintah
Di sini hanya akan disampaikan beberapa contoh. Misalnya, Kementerian
Sosial melaksanakan program Pelayanan Sosial Panti/Non-Panti, Usaha
Ekonomi Produktif (UEP), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Day Care/
Home Care, ASLUT (JSLU), Pelembagaan Pelayanan Sosial, dan lain sebagainya. Kementerian Kesehatan dan PUSKESMAS Santun Lansia membina
Posyandu Lansia, Program JAMKESMAS, Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), Penyuluhan Informasi, dan lain-lain. Dalam hal ini,
47
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan merupakan pemimpin
terdepan (front leader) yang sudah cukup maju dalam penanganan
lansia dan sudah terasa manfaatnya di masyarakat.
Contoh lain adalah yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) yang melaksanakan program Bina
Keluarga Lansia (BKL) di beberapa tempat dan sekarang dikembangkan
terus, karena progrm ini merupakan bina keluarga lansia yang juga
sangat menuntut terciptanya kesejahteraan dan kemandirian lansia
dan peman-tapan fungsi keluarga untuk tiga generasi.
Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) sudah
membentuk KOMDA Lansia --sesuai dengan PERMENDAGRI Nomor 60
Tahun 2008-- selain melaksanakan program-program pemberdayaan
masyarakat, pelayanan administrasi publik, termasuk Pos Pembinaan
Terpadu (POSBINDU) yang sekarang mulai dibentuk. Kementerian
Pekerjaan Umum mulai melaksanakan amanat UU Nomor 28 Tahun
2004 tentang Bangunan Gedung dan Aksesibilitas. Kementerian
Perhubungan (KEMENHUB) melaksanakan program aksesibilitas penggunaan sarana dan prasarana serta reduksi transportasi umum untuk
lansia.
Meskipun demikian, tim surveyor dan tim pengkajian dari KOMNAS
Lansia mendapatkan hasil bahwa aksesibilitas lansia terhadap sarana
umum belum merata. Misalnya, dalam pelaksanaan aksesibilitas pada bangunan-bangunan dan gedung-gedung, aksesibilitasnya tidak
dibangun. Bahkan, gedung KOMNAS Lansia sendiri yang bertingkat
itu tidak ada tempat untuk pegangan tangan, dan lain sebagainya.
Demikian pula pada beberapa lembaga pemerintah lainnya. Kalau
kita baca Rencana Aksi Nasional (RAN), bahkan Kementerian Agama,
Pariwisata, Transmigrasi, dan sebagainya, semuanya menyebut ada
keterkaitan dengan penanganan lanjut usia. Namun, kalau kita buka
programnya, masih banyak yang nihil dari tahun ke tahun.
Upaya Berbasis Masyarakat
Laporan Kementerian Sosial menyatakan ada 86 Panti Sosial Tresna
Wredha (PSTW) yang dikelola masyarakat dari jumlah seluruhnya
157. Kemudian, terdapat 438 lembaga swadaya masyarakat (LSM)
dan organisasi sosial yang bergerak di bidang pelayanan lansia,
48
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
terdiri dari 357 LSM yang bergerak di kegiatan non-panti (home care/
day care, karang krida, karang lansia, yayasan, paguyuban, klub-klub
lansia, dan lain-lain); dan 81 LSM di kegiatan panti. Semua prakarsa dan
upaya swadaya masyarakat tersebut sangat baik, karena merupakan satu
wadah bagi para lansia untuk melakukan interaksi sosial, sebagai wadah
pembinaan kesehatan, pembinaan rohani, dan sebagainya.
Selain itu, juga terdapat organisasi-organisasi seperti Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI), Legiun
Veteran Republik Indonesia (LVRI), Persatuan Wredhatama Republik
Indonesia (PWRI), Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI), Lembaga Lansia Indonesia (LLI), Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA)
yang sementara ini baru ada di ibukota Jakarta saja, dan lain-lain.
Tugas Pokok KOMNAS Lansia
KOMNAS Lansia adalah wadah koordinasi yang bersifat non struktural
dan independen dalam melaksanakan tugasnya. Jadi sesungguhnya bukan organisasi kepemerintahan, ini adalah NGO (non-governmental
organization). Tugas pokoknya adalah: pertama, membantu presiden
dalam koordinasi pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial
lansia. Di daerah, dalam ini KOMDA Lansia, membantu gubernur, bupati,
walikota melakukan koordinasi pelayanan dan peningkatan kesejahteraan
warga lansia daerah yang bersangkutan. Tugas pokok kedua, memberikan
saran dan pertimbangan kepada presiden, gubernur atau kepala daerah
(bupati/walikota) dalam penyusunan kebijakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia.
Upaya KOMNAS Lansia
Secara garis besar, upaya-upaya yang sudah dilaksanakan oleh KOMNAS Lansia selama ini, antara lain, melaksanakan tugas pokok rutinnya,
melakukan upaya koordinasi, melalui rapat-rapat koordinasi bulanan
(paripurna), yang menghimpun informasi dari setiap anggota tentang
masalah-masalah aktual untuk dibahas bersama dan kemudian disampaikan ke kementerian-kementerian terkait, termasuk koordinasi dalam
penyusunan program kerja kementerian terkait. Semua kementerian
tersebut sering mengundang KOMNAS Lansia dalam proses penyusunan
program-program mereka agar lebih selaras satu sama lain.
49
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Kegiatan lainnya adalah koordinasi dan sosialisasi dengan unsur masyarakat, swasta, LSM, dan lain-lain, selain koordinasi dan sosialisasi ke
KOMDA-KOMDA Lansia; koordinasi dan kerjasama dengan perguruan
tinggi; koordinasi dan kerjasama dengan lembaga internasional. Rapat
Koordinasi Nasional (RAKORNAS) KOMNAS Lansia dilaksanakan setiap
menjelang akhir tahun kerja.
KOMNAS Lansia juga aktif memberikan saran dan pertimbangan
kepada pemerintah. Dalam hal ini, KOMNAS Lansia sudah mengajukan
saran untuk merevisi UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia agar lebih implementatif. Juga telah memberikan masukan
untuk PP dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), antara lain, tentang jaminan sosial dan pensiun
sosial lansia. Ini merupakan hasil lokakarya yang diadakan pada tahun
2007 lalu, sebagai tindak lanjut dari hasil pengkajian RAN 2009-2014.
KOMNAS Lansia sudah melakukan koordinasi dan konsultasi dengan
Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KEMENKOKESRA)
bahwa RAN yang sudah diterbitkan itu tenyata masih banyak yang
belum bisa diimplementasikan.
Upaya lainnya adalah dalam hal pemberdayaan dan pendayagunaan
Lansia potensial dalam dunia kerja dan pembangunan. Hal ini sudah disarankan kepada pemerintah. KOMNAS Lansia juga sudah
mengajukan saran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(MENDIKBUD) tentang pengembangan kurikulum gerontologi sebagai mata ajar multidisiplin. Hal ini dimaksudkan agar lebih banyak
yang berminat dan mengetahui ilmu kelanjutusiaan dan kemudian
menyebarluaskannya.
Potensi perguruan tinggi kita dalam hal ini ternyata sangat besar,
hanya belum dikerahkan secara optimal, termasuk mendorong dibentuknya wadah penggiat lansia di lingkungan perguruan tinggi.
Misalnya, di Institut Pertanian Bogor (IPB) ada Silver College yang
mengkhususkan diri pada isu-isu lansia. Untuk itu, KOMNAS Lansia
sudah merencanakan mengirim tim ke 10 provinsi --sampai sekarang
baru dilaksanakn ke 5 provinsi-- untuk menyadarkan bahwa sebenarnya
perguruan tinggi punya potensi untuk memberdayakan mantanmantan tenaga akademisi --yang pra maupun yang sudah pensiun-yang bisa dimanfaatkan baik oleh kampus sendiri maupun untuk masyarakat sekitar kampus. Selain itu, para mahasiswa dapat dibekali
wawasan dan pengetahuan masalah-masalah gerontologi, kesehatan
50
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
lansia, dan sebagainya. Banyak sekali ternyata yang bisa digali dari
potensi perguruan tinggi ini. Perkembangannya cukup bagus, menurut
laporan terakhir yang sudah dipresentasikan di rapat paripurna KOMNAS
Lansia, tanggapan dari lima perguruan tinggi di luar Jawa ternyata sangat
positif. Mereka langsung merintisnya. Di Yogyakarta sudah mulai dirintis
semacam SIlver College seperti yang di IPB, sementara di Semarang juga
sedang dirintis suatu wadah penggiat lansia di perguruan tinggi.
Langkah ke Depan
Salah satu pusat perhatian utama KOMNAS Lansia ke depan adalah meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat serta mendorong pengarusutamaan (mainstreaming) penanganan lansia dalam pembangunan.
Untuk tujuan tersebut, penguatan KOMNAS Lansia dan KOMDA-KOMDA Lansia di daerah-daerah merupakan langkah strategis yang harus
dilakukan. Proses-proses penguatan yang dapat dilakukan adalah melalui
kegiatan-kegiatan penataran, sosialisasi, dan sebagainya. Selain itu,
perlu berpartisipasi aktif dalam peningkatan implementasi kebijakan
serta percepatan terwujudnya semua komitmen pemerintah dalam penanganan lansia yang selama ini sudah dituangkan dalam beberapa UU
dan peraturan lainnya.
Menghadapi Tantangan Revolusi Demografis
Sebagai catatan akhir, dalam rangka menghadapi tantangan Revolusi
Demografi yang semakin nyata, perlu pendekatan baru agar seluruh
unsur dan lapisan masyarakat memiliki perspektif yang lebih memadai
dan lebih tepat dalam hubungan-hubungan sosial antar-generasi. Selain itu, diperlukan dukungan atau komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan pengarusutamaan isu-isu lansia dalam program-program
pembangunan.
Semua itu perlu ditunjang oleh data dan dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi yang mendalam. Dalam hal ini harus diakui bahwa kita masih
sangat lemah dalam sistem pangkalan data. Harus diakui hampir tidak
ada data yang akurat. Data yang ada selalu berubah-berubah, sehingga
kita kadang-kadang sulit untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk
untuk memastikan keterpaduan isu-isu penuaan penduduk secara lebih
efektif dalam proses-proses pembangunan, yakni memastikan setiap
51
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
orang dapat menjadi tua secara bermartabat dan sejahtera, serta menikmati hidup dengan kesadaran hak asasi dan kebebasan dasarnya. v
52
BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah
DISKUSI
TRI BUDI W.RAHARDJO (Moderator):
K
arena soal waktu, saya diingatkan oleh panitia
untuk tidak membuka forum diskusi. Karena itu,
saya simpulkan saja dari keempat pembicara. Mulai
dari GKR Hemas sampai dengan Bapak Toni Hartono
sebagai Ketua KOMNAS Lansia, sepakat bahwa lansia
dan pembangunan itu mutlak sesuai perkembangan
lanjut usia, dan semua itu didukung oleh Undang-undang maupun
Peraturan Pemerintah. Berbicara tentang lansia, ada yang masih potensial yang bisa diberdayakan, tetapi juga ada yang rentan yang harus
ditolong. Untuk itu, fasilitas pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, juga
prasarana, sifatnya mutlak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tidak
mungkin semua dilakukan oleh pemerintah, seperti tadi disampaikan
wakil dari Kementerian Sosial bahwa dari sekitar 2.800.000 lansia yang
miskin ternyata yang mampu dijangkau oleh program pemerintah sekitar 80.000 saja. Artinya, peran masyarakat menjadi sangat penting.
Mengenai cash transfer yang diprihatinkan oleh Kementerian Sosial, ternyata sudah dijawab sangat bagus oleh Pak Maliki dari
BAPPENAS dengan analisisnya. Cash transfer tidak selalu negatif,
kalau dimanfaatkan secara produktif untuk generasi muda. Itulah
yang harus kita sepakati. Jadi tidak perlu khawatir. Memang harus
dipersiapkan juga sejak awal bahwa lansia sebaiknya mempunyai aset
yang tentunya harus dipersiapkan sejak dini, sehingga pada suatu saat
bisa dimanfaatkan.
Akhirnya, Bapak Toni Hartono dari KOMNAS Lansia secara jelas sekali
memaparkan bahwa tugas KOMNAS Lansia adalah mengkordinir semua
upaya bersama berbagai pihak. Beliau mengingatkan bahwa kalau kita
bekerja sama maka upaya kita semua pada satu saat nanti akhirnya
akan terealisir. v
53
BAGIAN KETIGA
PENGALAMAN MASYARAKAT
NARASUMBER:
n Prof. Dr.
Haryono Suyono
n Sabrin
O. Ladongi, S.Ag, MM
Yayasan Damandiri, Jakarta
Yayasan Al-Kautsar, Palu
n Faharina
Lathu Asmarani, S.Kep, MSN
Universitas Respati, Yogyakarta
n Ruliyandari
Rudiyanto, SE, MKes
Budi Mulia Dua Foundation, Yogyakarta
MODERATOR:
Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA
Yayasan Emong Lansia, Jakarta
Pemberdayaan
Menyongsong Peran Lansia
dalam Pembangunan
Haryono Suyono
Yayasan Damandiri, Jakarta
S
etelah didesak oleh organisasi-organisasi lansia yang melakukan
gerakan baru, yakni mengubah citra --bukan lagi gerakan ‘peduli
lansia’ tetapi gerakan ‘lansia peduli’-- maka pada tanggal 1 Desember
2011, Wakil Presiden Republik Indonesia mendeklarasikan lansia
peduli harmonisasi dan pemberdayaan tiga generasi.
Deklarasi ini penting disebarluaskan dan diketahui oleh masyarakat
luas karena beberapa alasan. Warga lansia di Indonesia sekarang
sudah melebihi 23-24 juta jiwa. Dibandingkan dengan tahun 1970,
warga lansia Indonesia kini bertambah sepuluh kali lipat, padahal
jumlah keseluruhan penduduk bertambah hanya dua kali lipat pada
masa yang sama. Dengan kata lain, pertambahan jumlah penduduk
lansia bertambah lima kali lebih cepat dari pertumbuhan penduduk
Indonesia secara keseluruhan.
Masalah
Fakta terjadinya ledakan penduduk lansia, pertumbuhan penduduk
yang cepat, dan berubahnya struktur penduduk Indonesia, masih
kurang disadari oleh masyarakat luas. Kadang-kadang presiden sekalipun tidak sadar keadaannya sudah berubah. Banyak menteri tidak
56
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
tahu keadannya memang sudah berubah. Mereka masih berpikir seperti
ta-hun 1970-1980, padahal penduduk kita strukturnya sudah berubah.
Pada tahun 1970, penduduk di bawah 15 tahun hampir sama dengan
penduduk usia 15-60 tahun, sementara penduduk usia di atas 60 tahun
hanya 2 juta jiwa. Sekarang, penduduk di bawah 15 tahun sekitar 60
juta, 15-61 tahun sudah 170 juta, sedangkan di atas 60 tahun sudah lebih
20 juta. Jadi, sama sekali berubah, tetapi tidak disadari.
Masalah ini semakin penting disadari oleh semua pihak, karena dalam
kenyataannya sampai sekarang tidak cukup persiapan bagi sebagian besar
penduduk untuk menjadi lansia, sementara belum terdapat jaringan
kerja yang efektif untuk pemberdayaan lansia. Jaringan semacam itu
baru ada dalam gagasan. Yayasan Damandiri, misalnya, baru menggagas
dan segera akan merintis pembangunan 33 wadah kepedulian isu-isu
lansia semacam itu di lingkungan Silver College.
Kesadaran akan pentingnya jaringan tersebut juga belum terbentuk.
Kurang dukungan, karena Kementerian Kesehatan saja yang mempunyai
perangkat organisasi lengkap, ternyata baru mampu menangani 100.000
dari 2 juta jiwa lansia yang ada saat ini. Artinya, jumlah lansia yang belum
tertangani masih jauh lebih banyak.
Masalah lainnya adalah kurangnya dukungan budaya, tidak adanya fokus
upaya pemberdayaan, serta perhatian yang masih sangat terbatas kepada
pertolongan warga lansia yang tidak berdaya.
Tiga Golongan Lansia
Di Indonesia saat ini sebenarnya ada tiga golongan lansia. Golongan pertama adalah yang siap untuk tetap bekerja pada usia lanjut. Golongan
kedua adalah yang masih perlu disiapkan. Golongan ketiga --sekitar 1015% dari seluruh penduduk lansia-- adalah yang perlu bantuan khusus.
Dengan demikian, penduduk lansia Indonesia yang jumlahnya lebih 20
juta itu, sekitar 85% sebenarnya sama saja dengan penduduk biasa
Karena itu, diperlukan suatu strategi pemberdayaan penduduk lansia yang
jumlahnya semakin membesar dan sebagian besarnya memang masih
potensial. Kementerian Sosial seharusnya tidak lagi hanya mengurusi
penduduk lansia dengan paradigma lama --yakni mengurusi ‘sisa-sisa
pembangunan’-- tetapi bagaimana menjadikan warga lansia itu menjadi
satu kekuatan baru dalam pembangunan.
57
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Strategi Pemberdayaan
n
Persiapan (usia 50 tahun)
Penanganan penduduk lansia memang harus dilakukan sejak dini,
yang terbaik adalah pada saat usia 50 tahun. Karena, usia inilah
sebenarnya masa puncak produktivitas seseorang, tetapi masa puncak
pada tahap akhir, artinya tidak akan lama lagi akan memasuki masa
mulai menurunnya tingkat produktivitas mereka.
Sebagai contoh, para pejabat pemerintah dan pegawai negeri yang
berusia 50 tahun adalah mereka yang menduduki posisi-posisi puncak
saat ini, mulai dari menteri dan direktur jenderal sampai ke tingkat
kepala biro atau kepala badan. Tetapi, sepuluh tahun lagi mereka
semua akan pensiun. Biasanya, pada masa-masa puncak itu, kuasa
mereka luar biasa. Padahal, dengan satu surat keputusan saja, pada
umur 56 atau 60, mereka dipensiunkan dan kekuasaannya habis sama
sekali. Biasanya, pada masa-masa puncak kekuasaan seperti itu, orang
sering lupa diri bahwa mereka sebenarnya sudah berada di ujung
masa kejayaannya, hanya persoalan waktu saja.
Mereka itulah yang perlu disiapkan sejak dini, misalnya, perlu diajak
masuk ke Silver College. Untuk itu, perlu dibangun Silver College
sebanyak-banyaknya sampai ke tingkat kecamatan. Bahkan, pada tingkat desa, perlu dibangun apa yang dinamakan sebagai Pos Gerintologi
(POSGERI). Di Silver College atau POSGERI itulah para lansia dini akan
mengikuti pelatihan-pelatihan khusus mempersiapkan diri mereka
menghadapi masa pensiun, masa lansia yang sesungguhnya, perlu
bergabung dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan agar
tetap mengenal dan berbaur dengan masyarakat di luar lingkungan
atau tempat kerjanya.
n
Pra-Lansia (usia 50-60 tahun)
Usia 50-60 tahun itu adalah usia pra-lansia. Di usia tersebut, diharapkan para calon lansia mulai masuk ke Silver College dan organisasi-organisasi sosial. Oleh karena itu, organisasi-organisasi sosial
dianjurkan untuk menarik para pimpinan lembaga pemerintah
atau swasta, karena mereka memang akan segera menjadi lansia.
Maksudnya adalah agar mereka nanti tidak disangka begitu pensiun
ingin posisi ketua organisasinya. Jadi, tidak mendadak. Pada saat masih
menjabat sebagai pimpinan lembaga resmi atau perusahaan, mereka
58
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
mudah mendapatkan bantuan dan dukungan. Tetapi, setelah itu, tidak
mudah lagi.
Dengan kata lain, memasuki usia lansia baru adalah belajar memasuki
masa bakti kedua. Wadah masa bakti kedua ini, yakni organisasi-organisasi
sosial kemasyarakatan, sangat berbeda dengan lembaga-lembaga resmi
atau perusahaan di mana mereka sebelumnya berkuasa. Karena itu, agar
tidak mengalami kejutan, sebaiknya mereka sudah mulai aktif dalam
organisasi sosial kemasyarakatan justru sebelum pensiun, misalnya, ikut
mendirikan dan membina Pos Pemberdayaan Keluarga (POSDAYA) di
lingkungan tempat tinggalnya.
Salah satu fakta yang banyak ditemui selama ini adalah banyak kaum
pensiunan biasanya agak kikuk masuk ke dalam organisasi sosial justru
setelah mereka pensiun. Ini adalah isu kultural yang umum dijumpai
di mana-mana. Untuk mengatasinya, para lansia awal itu sudah mulai
harus membiasakan diri sejak awal pula. Masuk bergabung lebih awal ke
dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial kemasyarakatan adalah
pelatihan terbaik bagi mereka untuk membiasakan atau menyesuaikan
diri, sehingga ketika benar-benar bergabung di dalamnya pada masa
pensiun nanti, mereka sudah terbiasa dan tidak kikuk lagi.
n
Lansia Muda (usia 60-70 tahun)
Agak sedikit berbeda dengan definisi WHO, usia 60-70 tahun saya anggap
sebagai lansia muda, bukan lansia dewasa. Lansia dewasa adalah usia
70-80 tahun. Di bawah 70 tahun adalah lansia muda. Para lansia muda
ini harus sudah benar-benar bergabung dan aktif dalam organisasiorganisasi dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan sampai pada
tingkat desa. Karena itu, pada tahun 2013, semestinya sudah terbentuk
POSGERI di ribuan desa di seluruh Indonesia, sedangkan Silver College
sudah terbentuk di semua provinsi dan kabupaten/kota. Sekarang,
sudah ada Silver College terbentuk di Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai
percobaan.
Agar mampu aktif dan efektif dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang dimasukinya, para lansia muda ini memerlukan berbagai
pelatihan khusus, termasuk pelatihan kewirausahaan, pelatihan magang,
pelatihan ekonomi, dan kredit.
Bagian lain dari program untuk lansia muda adalah mendukung keluarga
berencana melalui pendewasaan usia kawin, pengaturan kelahiran, pem-
59
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
binaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Mereka pontensial untuk mensosialisasikan masalah-masalah tersebut
kepada warga yang lebih muda, karena umumnya mereka memang
pernah mengalaminya.
Para lansia muda itu juga perlu memerhatikan gizi. Mereka perlu dilatih untuk mengatur menu makanan mereka dengan baik, misalnya,
sesedikit mungkin mengonsumsi gajih, minyak, gula, dan garam. Mereka perlu dianjurkan mengonsumsi daging dan penggantinya 1-2 kali
seminggu saja, tetapi makan lebih banyak sayur dan buah sampai 2-3
kali sehari. Dengan demikian, lansia muda itu memiliki kebiasaan makan
sehat yang dapat mendorong mereka menganjurkan pengembangkan
apa yang dinamakan ‘kebun bergizi’ di halaman rumah, terutama kaum
lansia di kawasan pedesaan. Menanam tanaman bergizi di pekarangan
rumah sekaligus juga memberi kegiatan baru yang bermanfaat
langsung bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. Ini adalah jenis
kegiatan yang perlu diprogramkan secara besar-besaran, sehingga
para lansia muda dapat menjadi pemimpin masyarakat sekitarnya
mengembangkan pos-pos pemberdayaan keluarga.
n
Lansia Dewasa (usia 70-80 tahun)
Para lansia dewasa ini umumnya adalah mereka yang biasanya sudah
hidup terpisah dengan anak-anaknya. Anak-anak mereka biasanya
sudah mapan dan tinggal di rumah terpisah dengan keluarga mereka
sendiri. Lembaga-lembaga pemerintah, seperti dinas sosial setempat,
dan organisasi-organisasi sosial dapat mengajak mereka memberikan
sumbangsih aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Misalnya,
mereka bisa diminta kesediaannya agar pertemuan-pertemuan kemasyarakatan dapat dilakukan di rumah-rumah mereka yang sudah sepi
atau kosong. Mereka juga dapat diminta mendampingi generasi muda
dalam berbagai kegiatan, misalnya sebagai pembina atau penasihat.
Kekayaan pengalaman kerja dan pengalaman hidup mereka selama
ini bisa sangat membantu generasi muda menghadapi persoalanpersoalan yang rumit karena masih kurangnya pengalaman.
Perluasan Kegiatan
Progam-program atau kegiatan-kegiatan untuk para lansia juga perlu
diperluas. Misalnya, para mahasiswa yang sedang melakukan Kuliah
Kerja Nyata (KKN) dapat diarahkan untuk menginap di rumah-rumah
60
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
penduduk lansia di pedesaan di mana mereka melakukan KKN. Menjadi
tuan rumah bagi para mahasiswa KKN dapat mendorong para warga
lansia tersebut menjadi lebih aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh para mahasiswa, bahkan menjadi tempat untuk latihan care giver pada tingkat masyarakat. Rumah orang-orang
tua itu jangan dibiarkan kosong melompong, lalu dipakai hanya sebagai
gudang oleh anak-anaknya yang sudah punya rumah sendiri. Rumahrumah mereka justru bisa menjadi pusat-pusat kegiatan masyarakat.
Program-program Kementerian Sosial dapat lebih kreatif dikembangkan
bukan hanya sebagai bantuan karitatif murni. Misalnya, dana bantuan
kepada para lansia dapat diarahkan sebagai ‘dana pancingan’ untuk
mengerahkan dana swadaya masyarakat lokal. Dengan cara demikian,
bukan hanya 80.000 warga lansia yang dapat dilayani, tetapi 8 juta jiwa,
karena yang menderita ada lebih dari 8 juta dari 24 juta jiwa penduduk
lansia.
Program-program khusus untuk para lansia usia 70-80 dapat dikembangkan
pada kegiatan-kegiatan silaturahim dengan warga masyarakat lain,
misalnya dengan mengunjungi pos-pos pemberdayaan keluarga di desadesa. Secara berkelompok, 5 atau 6 orang, mereka mengunjungi satu
atau beberapa desa berdekatan. Warga desa yang dikunjungi pasti akan
merasa senang dikunjungi --apalagi jika para lansia yang berkunjung
itu adalah para mantan pejabat yang mereka kenal-- sementara para
lansia itu sendiri juga akan senang dapat bersosialisasi kembali dengan
warga. Akan terjadi saling sambung rasa, kali ini dalam kedudukan yang
sama sebagai sesama warga biasa, sehingga menjadi lebih manusiawi dan
wajar. Bagi para lansia itu sendiri, ini akan menyegarkan suasana hidup
mereka sendiri.
Aksi Nyata
Pengalaman kerja dan pengalaman hidup yang kaya dari para lansia
itu juga dapat disalurkan ke berbagai bentuk kegiatan atau tindakan
nyata pemberdayaan masyarakat, Mereka, misalnya, dapat membantu
mengembangkan pola-pola bantuan yang selama ini bersifat charity
approach ke arah bentuk-bentuk atau pola bantuan yang akan lebih
mendorong warga masyarakat menjadi workforce society atau workfare
community. Bentuk atau pola-pola semacam inilah yang sedang berkembang di negara-negara maju, karena pendekatan social state berubah
61
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
menjadi human rights approach di berbagai negara.
Para lansia itu sendiri bisa saling bertukar pengalaman dan keahlian
mereka untuk digabungkan menjadi satu tim yang mumpuni untuk
membantu pemberdayaan masyarakat. Mereka yang pendidikannya
tinggi bisa diperbantukan sebagai konsultan senior. Pengalaman profesional mereka akan sangat berguna.
Sebagai contoh, di Jepang, dibentuk kelompok-kelompok lansia
yang memelihara taman-taman kota. Pada waktu saya berkunjung
ke beberapa kota di Jepang, saya menyangka mereka itu pegawai
pemerintah daerah. Mula-mula saya merasa pemerintah tidak sopan
karena orang-orang tua masih dipekerjakan. Tetapi, pada waktu saya ajak omong-omong ternyata itu adalah lansia yang mempunyai
kelompok-kelompok relawan untuk merawat taman-taman umum.
Rumahnya tidak punya taman sehingga oleh pemerintah kota mereka
itu diberi bagian-bagian tertentu menjadi tamannya. Saya tanyakan
kenapa pakai baju seragam, kata mereka supaya kelihatan keren
seakan-akan masih bekerja. Jadi, sebenarnya lansia itu bisa sangat
bermanfaat tetapi juga bisa sangat menikmati apa yang ada pada diri
mereka.
Selanjutnya, Kementerian Sosial dan BAPPENAS perlu mengadakan
inventarisasi lansia-lansia profesional untuk dikembangkan menjadi
dosen pada berbagai perguruan tinggi sebagai dosen tamu dan dengan
sendirinya akan bermanfaat pada mereka yang menerima ilmunya.
n
Lansia Paripurna (di atas 80 tahun)
Lansia paripurna tidak perlu bekerja. Mereka hanya perlu diberi kegiatan-kegiatan yang bersifat menyegarkan raga dan jiwa mereka saja,
yang bersifat menghibur mereka. Misalnya, mereka diajari bagaimana
mengantar dan menemani cucunya ke PAUD di mana mereka bisa
ikut bernyanyi dengan cucu dan para guru PAUD. Lansia yang bisa
bersenang-senang dan tertawa bisa bertambah awet usianya sampai
10 tahun, sedangkan lansia yang sedih dan ditempatkan di tempattempat panti asuhan setiap tahun umurnya berkurang 6 tahun. Selama di PAUD itu, mereka pun bisa berbincang-bincang dengan para
guru PAUD --manusia yang paling baik di seluruh dunia, karena tidak
pernah menyalahkan murid-muridnya. Dengan cara tersebut, tiga
generasi bertemu sekaligus. Kepedulian terhadap tiga generasi bisa
diciptakan tanpa ‘pidato’ tetapi dengan langkah nyata.
62
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
Para lansia paripurna juga dapat diminta membagi pengalaman dan
pengetahuan --juga kearifan-- mereka untuk mengajarkan kepada orangorang muda tentang kesehatan reproduksi, misalnya tentang disfungsi
seksual yang sering merupakan hal yang pelik dan sangat peka untuk
dijelaskan tanpa kematangan pengalam dan kearifan. Ini akan menjadi
sumbangsih terbaik dari para lansia paripurna bagi gerakan-gerakan
mengatasi HIV/AIDS, misalnya.
Khusus untuk lansia dari golongan masyarakat yang tidak mampu, kita
perlu memberikan apresiasi pada apa yang mereka kerjakan untuk
keluarga mereka. Saya pernah mengunjungi seorang ibu lansia paripurna
ini di satu desa di Indramayu. Dia menjaga warung kecilnya yang dimodali
pendiriannya oleh anaknya. Dia mengaku hasil jualan warungnya sehari
rata-rata Rp 300.000 saja, tetapi ada keuntungan sekitar Rp 30.000.
Dia menabung keuntungannya itu, karena kebutuhan hidupnya sendiri
memang tidak banyak. Dia sangat menikmati pekerjaannya, karena hanya
perlu duduk di warung saja melayani pembeli datang, cukup dengan
senyum-senyum dan sesekali bercanda dengan para pembelinya. Itu
memberinya hiburan segar. Tetapi, yang mengagumkan, adalah bahwa
tabungannya yang tidak seberapa itu setiap bulan ia kirimkan ke cucunya
yang sedang kuliah S2 di ITB. Anaknya, orangtua cucunya itu tak pernah
mengetahuinya, dan dia sangat senang dan bangga bisa mengirimi uang
cucunya, walaupun mungkin itu tidak seberapa jumlahnya. Saya benarbenar terkesan dan saya rangkul-rangkul ibu tua itu sebagai pernyataan
hormat dan penghargaan saya kepadanya. Bayangkan, ibu tua itu benarbenar memiliki martabat lebih baik jika dibandingkan dia harus menjadi
penghuni panti.
Itu adalah satu contoh dimana para lansia di desa sebenarnya tidak perlu
bantuan dari Kementerian Sosial, tetapi dibantu oleh keluarganya sendiri.
Ini mengilhami satu pengertian baru bahwa ‘tidak mampu’ tidak selalu
berarti harus disentuh dengan bantuan, tidak usah dengan ‘seminar’,
tetapi dengan langkah nyata.
Pemeliharaan & Dukungan Kesehatan
Namun, jangan lupa, bahwa para lansia pada golongan usia berapapun
tetap membutuhkan olahraga untuk menjaga kebugaran mereka. Harus
bisa diadakan kegiatan-kegiatan olahraga yang sesuai dengan mereka.
Untuk menyemangati, mereka bisa saja diberi seragam, sehingga mereka
63
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
merasa kegiatan olahraga bersama itu memang serius, bukan mainmain. Ukuran keberhasilan program lansia adalah bukan mewahnya
program tetapi ‘partisipasi’. Di situlah rahasia dari partisipasi yang
menjadi ukuran.
Dukungan kesehatan bukan hanya untuk lansianya, tetapi untuk
lingkungan yang sangat kondusif. Contoh sederhana saja, membangun
undakan di jalan-jalan kampung jangan terlalu tinggi, jalan jangan
bergeronjal-geronjal tetapi landai. Kampung kita harus kampung yang
akrab terhadap lansia. Akrab terhadap lansia karena lingkungannya
kita pelihara dengan baik, karena setiap lansia masa depannya adalah
teramat panjang. Masa lansia pada tahun 1970 hanya kurang dari 10
tahun, sekarang sudah lebih dari 25 tahun. Jadi, masa lansia sekarang
sudah hampir sama dengan masa produktif seseorang, yakni selama
30-35 tahun.
Inilah masalah lansia yang perlu segera kita tanggapi dengan aksi-aksi
nyata, tidak perlu terlalu banyak seminar untuk membahasnya. Fakta
dan masalahnya sudah berada di depan kita sekarang. v
64
Peran Generasi Muda
dalam Pembinaan Lansia
Sabrin O. Ladongi
Yayasan Al-Kautsar, Palu
K
arena menjadi lansia merupakan suatu keniscayaan, sekelompok
anak muda di Kota Palu, Sulawesi Tengah, berprakarsa mendirikan
suatu organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan terhadap warga
lansia yang jumlahnya terus bertambah. Maka, berdirilah Yayasan AlKautsar pada tanggal 1 Januari 2003. Yayasan seluruhnya dikelola oleh
orang muda, tetapi sasaran pelayanannya adalah lintas generasi. Selain
lansia, yayasan juga membina panti anak-anak. Sampai sekarang, tercatat
1.043 lansia berada dalam jangkauan pelayanan aktif kami.
Program-program yang telah dilaksanakan oleh Yayasan Al-Kautsar cukup beragam.
Pertama, olahraga relaksasi dalam bentuk kegiatan senam bersama. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari minggu.
65
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Kedua, penyuluhan pola hidup sehat lansia, dilaksanakan setiap awal
bulan, diawali dengan senam, kemudian penyuluhan dari petugas Dinas Kesehatan yang memahami dan mempunyai disiplin ilmu tentang
lansia.
Ketiga, siraman rohani, dilaksanakan setiap tanggal 3 setiap bulan.
Tujuannya adalah untuk memperdekat diri kepada Sang Pencipta.
Para penceramahnya adalah guru-guru agama atau ustadz yang juga
memahami tentang kebutuhan lansia.
Keempat, pemeriksaan kesehatan, setiap minggu keempat setiap bulan.
Dalam hal ini, Yayasan Al-Kautsar bekerjasama dengan PUSKESMAS
Mabelopura, Palu.
Kelima, menyanyi bersama, setiap hari minggu, setelah senam bersama. Kami memang sudah menyiapkan sarana ruang karaoke dan
alat-alat musik lainnya.
Keenam, konsultasi dan fasilitasi. Setiap manusia tidak lepas dari
khilaf dan salah. Dalam kebersamaan dengan keluarga, lansia sangat
sensitif dengan ketersinggungan, sehingga Yayasan Al-Kautsar turut
membantu dan memfasilitasi apabila ada lansia yang butuh konseling
demi ketenteraman hidupnya. Program ini sudah berjalan dua tahun.
Ketujuh, pemberdayaan usaha ekonomi produktif. Umur yang senja
bukan berarti lansia hanya jaga cucu dan jaga rumah. Untuk itu, Yayasan
Al-Kautsar memfasilitasi mereka untuk mendapatkan bantuan kepada
lansia yang masih mampu menjalankan usaha tertentu, umumnya
skala kecil.
Kedelapan, arisan kedukaan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari
minggu. Tujuannya adalah mengumpulkan dana untuk kebutuhan pemakaman bagi lansia yang meninggal dunia, karena lansia yang kami
layani itu sekitar 80% berasal dari keluarga berpendapatan rendah.
Awalnya, kami mendapat kritik sangat banyak dari masyarakat. Tetapi,
setelah berjalan, akhirnya mereka memahami dan menerimanya. Sampai saat ini tidak ada masalah lagi apabila ada lansia meninggal.
Kesembilan, pertemuan dan diskusi. Dalam penyusunan program,
pihak Yayasan Al-Kautsar melibatkan para lansia untuk membahas
program kegiatan sesuai kebutuhan mereka. Semua gagasan dan
rencana program selalu kami diskusikan dahulu dengan mereka. Jika
mereka sepakat, kami laksanakan. Jika tidak, kami tunda atau batalkan.
66
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
Kesepuluh, tadabbur alam. Tujuan utamanya adalah para lansia menikmati alam sekitar sambil memahami kebesaran Sang Penciptanya. Ini
dilaksanakan setiap malam tanggal 29 Mei dalam rangka Hari Lansia Nasional dan setiap malam tahun baru. Kita ingin bukan hanya orang-orang
muda yang menikmati kemeriahan tahun baru, tapi juga para lansia
dengan caranya sendiri.
Kesebelas, pelestarian seni dan budaya, khususnya seni dan budaya
daerah Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dilakukan sebulan dua kali, minggu
pertama dan minggu keempat.
Keduabelas, kegiatan cinta budaya dan cinta tanah air. Kegiatan ini
dilakukan setahun sekali di museum. Ada beberapa orang lansia yang
tinggal di dekat museum, tetapi belum pernah masuk museum. Biasanya,
setiap tahun kegiatan ini dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah dan
para orang tua kami. Direktur Center for Ageing Studies (CAS) UI, Profesor Tri Budi W. Rahardjo, yang selama ini telah banyak membina Yayasan Al-Kautsar, juga pernah menghadirinya.
Ketigabelas, rekreasi ke tempat wisata. Ini juga dilaksanakan setiap tanggal 29 Mei dalam rangka memperingati Hari Lansia Nasional. Lansia yang
ikut bisa sampai 1.000 orang dan tempatnya kami sesuaikan dengan
kebutuhan mereka.
Keempatbelas, berbagai kegiatan lomba lintas generasi, seperti lomba
penghijauan, pemberdayaan UEP, dan seni budaya. Dilaksanakan setiap
tahun dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Yayasan Al Kautsar.
Kegiatan ini sekaligus sebagai ajang reuni para lansia. Tahun ini, peserta
yang mendaftar sudah 2.000-an lansia untuk mengikuti berbagai lomba.
Mereka berasal dari hampir semua daerah di Sulawesi Tengah.
Kendala dan Harapan
Kendala yang masih kami hadapi adalah penerapan Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia belum berjalan dengan baik. Masih banyak lembaga pemerintah yang belum memahami
dan melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Contoh kasus, Dinas
Pariwisata belum pernah memberikan diskon kepada kegiatan rekreasi
lansia yang kami selenggarakan. Demikian juga Dinas Perhubungan ketika
kami meminjam mobil mereka untuk angkutan para lansia.
Harapan kami adalah perlunya peningkatan sosialisasi lintas sektor
67
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
dan pengambil kebijakan sampai ke tingkat kepala desa dan kepala
kelurahan tentang UU 13/1998. Kami sangat berharap KOMNAS dan
KOMDA Lansia berperan aktif dalam hal ini. v
68
Pelayanan Masyarakat Lanjut Usia
oleh Perguruan Tinggi
Fajarina Lathu Asmarani
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Respati, Yogyakarta
F
akultas Ilmu Kesehatan, khususnya Jurusan Ilmu Keperawatan, Universitas Respati, Yogyakarta, selama ini telah melakukan program
pelayanan masyarakat (community service) khusus untuk warga lanjut
usia. Program pelayanan ini bermula dari kesadaran bahwa kami memiliki
kompetensi khusus di bidang keperawatan lanjut usia (gerontic nursing)
yang dalam praktiknya dilakukan bersamaan dengan keperawatan masyarakat dan keluarga (community and family nursing).
Proses pelayanan keperawatan lanjut usia yang dilaksanakan dimulai
dari penelusuran permasalahan dan kebutuhan keperawatan (nursing
assessment) di kalangan warga lanjut usia yang akan dilayani. Hasil penelusuran tersebut kemudian dikaji (nursing diagnosis) untuk menyusun
rencana-rencana pelayanan (nursing care plans) yang akan dilaksanakan.
Tahap berikutnya adalah pelaksanaan rencana-rencana tersebut (nursing
implementations) untuk kemudian dievaluasi (nursing evaluation) apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu benar-benar berhasil
memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan warga lansia
yang dilayani, ataukah butuh penelusuran dan pengkajian ulang (reassessment).
69
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Dengan kata lain, proses pelayanan keperawatan adalah suatu da-ur
kegiatan yang terus-menerus. Selama tiga tahun, kami sudah melaksanakan daur proses pelayanan tersebut pada tiga desa di wilayah
Yogyakarta dan sekitarnya, yakni desa-desa Patuk, Salam, dan Beji.
Karena beberapa keterbatasan, kami masih membatasi diri pada tiga desa tersebut sebagai wilayah rintisan, tetapi dengan rencana
seluruh desa dalam wilayah Kecamatan Patuk akan terjangkau oleh
program pelayanan kami di masa depan sebagai wilayah binaan tetap
Universitas Respati.
Pelayanan Keperawatan Perseorangan
Sasaran utama program kami adalah kelompok gerontic atau satu
kelompok lansia. Sebagai sasaran perseorangan, kami melakukan
pelayanan rawat rumah (home care service) kepada setiap lansia
yang membutuhkan. Kami datangi rumahnya untuk menemukan permasalahan dan melayani kebutuhannya yang khas sebagai seorang
lansia. Tidak hanya dosen atau staf pengajar yang terlibat, tetapi juga
mahasiswa. Karena disiplin ilmu kami adalah ilmu keperawatan, maka
metodologi yang kami gunakan adalah pendekatan keperawatan
(nursing approach) terhadap permasalahan kesehatan orang lanjut
usia (gerontological nursing).
Pelayanan Keperawatan Keluarga
Meskipun sasaran utamanya adalah warga lanjut usia, namun program
kami juga mencakup pelayanan keperawatan kepada keluarga yang
ada anggotanya lansia (family home care functions). Dalam hal ini,
kami memusatkan pelayanan pada lima fungsi perawatan keluarga.
Pertama, keluarga harus tahu tentang masalah kesehatan (family
is able to know the health problem), dalam hal ini adalah terutama
masalah-masalah kesehatan lansia. Untuk itu, kami memberikan
pelatihan-pelatihan pendidikan kesehatan kepada semua anggota
keluarga.
Kedua, keluarga mampu membuat keputusan yang tepat terhadap
masalah-masalah kesehatan (family is able to make decisions that
appropriate with health measures). Jika tahu masalah kesehatan yang
dihadapi, keluarga tahu apa dan bagaimana tindakan pemecahannya.
70
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
Misalnya, apakah perlu ke sarana pelayanan kesehatan yang ada ataukah
cukup dirawat sendiri di rumah?
Ketiga, keluarga harus tahu cara merawat kesehatan anggotanya (family
is able to care family members). Jika memutuskan untuk merawat sendiri
di rumah, mereka harus tahu cara melakukan perawatan yang diperlukan,
misalnya, apakah akan menggunakan reramuan herbal atau lebih pada
mengendalikan gizi atau menu makanan anggota keluarga (lansia) yang
sakit?
Keempat, keluarga tahu menjaga atau menciptakan suasana lingkungan
yang sehat (family is able to maintain or create healthy home atmosphere).
Semua anggota keluarga yang lain harus mengetahui cara menciptakan
dan menjaga suasana yang menunjang pemulihan kesehatan warga lansia
mereka.
Kelima, keluarga mampu menjaga hubungan dengan sarana pelayanan
kesehatan masyarakat (family is able to to maintain relations with public
health facilities). Mereka harus mengetahui sarana pelayanan kesehatan
apa saja (PUSKESMAS Lansia, dan sebagainya) yang tersedia di wilayah
tempat tinggal mereka, tahu cara mencapainya, dan tahu jenis serta
kualitas pelayanannya.
Pelayanan Keperawatan Komunitas
Untuk pelayanan keperawatan komunitas, kami menempuh enam strategi.
Pertama, pendidikan kesehatan. Fokusnya dalah pada tindakan preventif
dan promotif. Pendidikan kesehatan ini tidak hanya untuk lansia tetapi
bisa juga untuk kader kesehatan desa dan perangkat pemerintahan desa,
sehingga mereka akan tahu apa yang harus dilakukan pada lansia.
Kedua, proses kelompok. Kami membentuk semacam grup-grup lansia,
sehat lansia, dan semacamnya. Ketiga dan keempat, kerjasama lintas
program dan lintas sektoral. Kerjasama dilakukan dengan berbagai
kalangan pemerintah dan non-pemerintah. Kelima, pemberdayaan
masyarakat. Dalam hal ini kami melaksanakan beberapa prakarsa pemberdayaan ekonomi dan kapasitas sumber daya manusia setempat, misalnya, peningkatan kapasitas kader-kader POSYANDU. Keenam, praktik
keperawatan profesional.
71
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Tujuan utama dari pelayanan keperawatan komunitas ini adalah pemberdayaan warga setempat untuk memiliki kemampuan mengenal
masalah-masalah kesehatan lansia dan cara-cara mengatasinya.
Contoh Penerapan
Di wilayah pelayanan kami, program dimulai dengan penelusuran keadaan kesehatan lansia dari rumah ke rumah. Penelusuran dilakukan
terhadap keadaan rumah, lingkungan, gizi, dan fisik lansia.
Data yang terkumpul di Desa Beji, misalnya, memperlihatkan ada 2.500
jiwa penduduk dan 21% di antaranya adalah lansia di atas 55 tahun.
Dalam mencari pertolongan kesehatan, ternyata masih ada beberapa
yang lansia tersebut yang kurang tahu bagaimana caranya. Contoh,
ada 125 orang yang menyatakan mereka hanya tahu membeli obat
sembarangan di warung-warung terdekat. Ada yang tidak melakukan
apa-apa, karena “Saya sudah tua, saya mau bagiamana lagi?” Tapi,
kebanyakan mereka sudah tahu bagaimana mengakses PUSKESMAS
terdekat. Gejala penyakit atau keluhan yang umum dirasakan oleh
para lansia di desa tersebut adalah hipertensi: nyeri pada kepala dan
tengkuk, selain reumatik, asam urat, nyeri sendi, sesak napas, dan
asma. Ternyata, Desa Beji --yang terdiri dari enam dusun dan enam
padukuhan-- belum ada POSYANDU khusus lansia.
Pada semua (tiga) desa pelayanan kami, ternyata POSYANDU lansia
memang tidak aktif. Alasannya, karena tidak ada petugas kesehatan
yang datang ke sana. Alasan lain, kader kesehatan yang ada terbatas
pengetahuannya, umumnya hanya tahu menimbang berat badan
dan mengukur tinggi badan. Karena itu, salah satu program yang
kami laksanakan adalah membentuk dan melatih kader POSYANDU
dengan keterampilan dasar tambahan seperti mengukur tekanan
darah, mengukur kandungan zat tertentu (asam urat, dan lain-lain)
serta cara membaca dan menafsirkan kadar gizi, khususnya untuk
kalangan lansia. Kegiatan ini sangat didukung oleh perangkat desa.
Mereka melakukan semacam upacara pelantikan kader sehingga
kader merasa memang dibutuhkan. Sampai sekarang, kader-kader
POSYANDU lansia tersebut masih berkegiatan aktif.
Contoh kegiatan lainnya adalan memberi contoh kepada para lansia
tentang pembuatan reramuan obat herbal untuk nyeri sendi. Kami
menggunakan daun ketela pohon yang dicampur dengan sirih. Kepa-
72
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
da para kader, kami mengajarkan cara membuat herbal dari bahanbahan lokal seperti timun, daun salam, mengkudu, dan sebagainya. Kami
mengajarkan bagaimana memilih bahan-bahan herbal yang baik dan
kegunaannya masing-masing.
Kelompok-kelompok lansia yang sudah terbentuk sampai sekarang tetap
aktif. Setiap desa punya hari sendiri untuk melakukan senam bersama.
Para kader dilatih menyelenggarakan pelayanan kepada para lansia, mulai
dari pendaftaran sampai ke pemeriksaan kesehatan yang mencakup
pemeriksaan gula darah, asam urat, kolesterol, dan sebagainya.
Semua kegiatan tersebut tidak hanya didukung oleh pemerintah
Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kesehatan, tetapi juga oleh
beberapa pihak lain seperti Rotary Club. v
73
Sekolah untuk Lansia
(Golden Geriatric Club)
Ruliyandari Rudiyanto
Budi Mulia Dua Foundation, Yogyakarta
G
olden Geriatric Club adalah sekolah untuk lansia. Kenapa namanya sekolah? Karena, faktanya selama ini banyak sekali para
lansia aktif mengikuti pengajian-pengajian yang, antara lain, menurut
mereka, adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebagai
suatu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, maka Budi Mulia
Dua Foundation di Yogyakarta mendirikan Golden Geriatric Club khusus untuk para lansia. Singkatnya, Golden Geriatric Club bertujuan
memberikan wadah bagi lansia untuk menambah wawasan, sehingga
mereka mampu memotivasi dirinya sendiri, lebih bisa berdaya dan
lebih bisa berkecimpung di masyarakat dengan hal-hal yang lebih
baik. Pada awalnya memang hanya ditujukan kepada para lansia,
tetapi setelah berjalan dua tahun, ternyata banyak juga pra-lansia
menginginkan ikut bergabung, sehingga kami pun menerima mereka.
Kegiatan yang dikembangkan lebih menempatkan lansia sebagai
subjek, mempertimbangkan semua aspek biologis, psikologis, dan
latar sosial-budaya mereka. Semuanya berpedoman pada permintaan
mereka sendiri. Singkatnya, pendidikan di Golden Geriatric Club
adalah menyiapkan para lansia memahami apa-apa yang terjadi
pada usia mereka. Untuk itu, mereka mendapatkan layanan kuliah
umum tentang berbagai topik yang berkaitan dengan kebutuhan
mereka sebagai lansia. Kami menyebutnya ‘kuliah’, karena mereka
74
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
menginginkan demikian, punya kebanggaan tersendiri dan bahagia jika
disebut sebagai ‘mahasiswa’. Para pengajar atau tutornya pun disebut
‘dosen’. Ibarat suatu universitas, mereka pun secara berkelakar menyebut
sekolah ini sebagai S4 (Sudah Sangat Sepuh Sekali).
Mata kuliah yang diberikan, antara lain, tentang kesehatan, keagamaan,
melukis, dan komputer. Para ‘dosen’ mereka adalah spesialis di bidangnya
masing-masing: ahli gizi, ESQ, fisioterapi, dan ilmu-ilmu agama (tafsir,
fiqih).
Untuk materi ilmu keagamaan (tafsir dan fiqih), pokok bahasannya meliputi praktik shalat khusuk, hafalan do’a-do’a, dan wawasan pengetahuan
umum keagamaan.
Materi bidang kesehatan meliputi kesehatan lansia, tes rutin (gula, darah,
tulang, dan lain-lain), dan gizi. Ada materi khusus tentang gaya hidup
sehat, puasa dan kesehatan, kesehatan mental lanjut usia, demensia,
olahraga dan kebugaran, osteoporosis dan patah tulang, gizi lanjut usia,
gangguan pencernaan, gangguan penglihatan dan pendengaran, kadar
kolesterol, senam tera Indonesia, hormon (penurunan fungsi tubuh
karena menopause dan andropouse), masalah kulit pada usia lanjut,
ngompol, kesehatan ginjal, struk, diabetes, dan sebagainya.
Materi bidang seni sebenarnya bukan terutama pada aspek artistiknya,
tetapi lebih pada media seni sebagai alat terapi. Kegiatannya, antara
lain, melukis dan menyanyi. Untuk itu, kami menyediakan tempat di
lingkungan kami untuk digambari dan diberi warna oleh para ‘mahasiswa’
lansia tersebut. Sangat menyenangkan menyaksikan mereka berkegiatan
outdoor seperti itu.
Materi pengetahuan dan praktik komputer mencakup pengenalan perangkat komputer, pengenalan operasional komputer, menjalankan
program aplikasi, mengenal internet, menggunakan email, dan aplikasiaplikasi yang lain. Materi komputer ini diberikan juga karena mereka
memang menginginkan. Mereka, misalnya, mengatakan; “Cucu-cucu saya itu pinter komputer, waktu saya lihat kok bisa ya, tapi saya nggak
bisa?” Untuk itu semua, kami pun menyediakan sarana jaringan internet,
sehingga mereka sekarang mulai memanfaatkan jaringan media sosial
seperti facebook. Mereka sudah memiliki komunitasnya sendiri melalui
facebook yang juga dinamakan Golden Geriatric Club. Semua ‘mahasiswa’
bergabung dalam facebook ini dan sangat aktif.
75
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Secara keseluruhan, sudah dapat terlihat hasilnya. Para ‘mahasiswa’
Golden Geriatric Club ini selalu terlihat sehat, bahagia, dan sangat
bersemangat. Itulah yang terpenting. v
76
BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat
DISKUSI
EVA A.J. SABDONO (Moderator):
K
arena juga waktu yang terbatas, langsung ke kesimpulan saja. Yang pertama dari Profesor Haryono
khususnya menekankan partisipasi lanjut usia. Jadi
bukan lansia sebagai penerima pelayanan, tetapi
turut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembicara kedua tentang partisipasi generasi muda dalam penanganan lansia menyatakan bahwa mereka dibina oleh Profesor
Tri Budi. Ini merupakan contoh nyata dari apa yang tadi disebutkan oleh
Profesor Haryono tentang pentingnya inventarisasi tenaga-tenaga ahli
yang sudah pensiun untuk turut memberdayakan organisasi-organisasi
sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang menangani isu-isu lansia. Organisasi-organisasi sosial dan LSM umumnya melaksanakan pelayanan dari hati nurani, tetapi pengetahuannya dan keahliannya masih
terbatas. Dalam hal inlah diperlukan tenaga-tenaga ahli yang mau
mendarmabaktikan waktu, imu dan pengalamannya kepada LSM-LSM
tersebut.
Pembicara-pembicara berikutnya memberi kita contoh-contoh nyata
bagaimana organisasi-organisasi sosial berperanserta khusus dalam
pelayanan kesehatan lansia. Yang terakhir, but not least, sangat menarik
adalah prakarsa pendidikan ‘IT literate’ bagi lansia. Sebab, sekarang
cucu-cucu kita sudah menggunakan komputer, sementara masih ada
banyak lansia sekarang yang belum bisa memakai handphone, apalagi
komputer. Kenapa kita juga tidak membuat lansia ikut bergerak sesuai
dengan kemajuan zaman?
Kita mendapat banyak pengalaman dari para pembicara yang bisa kita
contoh atau laksanakan di wilayah kita masing-masing. v
77
BAGIAN KEEMPAT
PENGALAMAN
LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT
NARASUMBER:
n Prof. Dr. dr.
Luh Ketut Suryani
Suryani Institute, Denpasar
n Dr. Rohadi
Haryanto, Msc
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)
n Dra.
Budi Wahyuni, MM, MA
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yogyakarta
n Dr. Siti
Hariani, MSc
Yayasan Pelita Usila, Jakarta
n Dra.
Eva A.J. Sabdono, MBA
Yayasan Emong Lansia, Jakarta
MODERATOR:
Bondan Sikoki, SE, MA
SurveyMETER, Yogyakarta
Membina Lanjut Usia di Bali:
Tua Berguna, Bahagia, dan Sejahtera
Luh Ketut Suryani
Suryani Institute, Bali
G
erakan lanjut usia di Bali, khususnya yang dilakukan oleh Yayasan
Wredha Sejahtera (YWS), sudah berjalan sejak tahun 1988. Pa-da
saat itu, pemerintah belum memikirkan soal lansia, malahan mengatakan bahwa di Indonesia belum ada masalah tentang lanjut usia.
Kenapa kami memikirkan lanjut usia pada saat itu? Karena, berdasarkan
penelitian yang kami lakukan, ternyata jumlah penduduk lanjut usia
di seluruh dunia meningkat. Bahkan, pada tahun 1993, WHO sudah
meramalkan Indonesia akan memiliki penduduk lanjut usia 440 kali
melebihi Cina. Itu berarti masalah besar buat Indonesia kalau kita
tidak memikirkan masalahnya sejak awal.
Fakta lainnya adalah bahwa struktur sosial berubah. Semakin banyak
warga lanjut usia yang ditinggalkan anaknya, ada yang tinggal sendiri
tanpa suami atau istri, ada yang tidak punya anak yang harus diam
menyelesaikan masalahnya sendiri. Yang paling tidak bisa dihindari,
pasti terjadi, adalah fakta bahwa semua orang lanjut usia akan mengalami perubahan fisik dan mental. Gejala stress psiko-sosial akan dialami akibat sebelumnya aktif bekerja kemudian tidak bekerja sama
sekali. Yang paling banyak mengalami masalah adalah mereka yang
80
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
tadinya punya jabatan seperti pegawai negeri, anggota TNI, dan lainlainnya. Mungkin hanya para petani yang tidak akan banyak mengalami
perubahan dan menghadapi gejala semacam itu, meskipun mereka juga mengalami penyakit fisik dan mental, tetapi dengan intensitas yang
berbeda. Yang terakhir, paling tidak pada tahun 1980-an tersebut, program pemerintah belum ada dan tidak mau tahu masalah lanjut usia.
Faktor lain yang membuat kami masa itu berusaha mempercepat prakarsa
ini adalah hasil penelitian tentang masyarakat Bali yang kami lakukan di
Batur Utara. Yang mengejutkan adalah temuan bahwa 34% responden
menyatakan beban memelihara lanjut usia (beban dalam keuangan keluarga). Padahal, budaya kami mengajarkan, orang lanjut usia adalah
orang yang perlu dihargai, dihormati, dan tetap menjadi panutan. Hasil
penelitian itu juga menyajikan temuan-temuan tentang anak-anak para
lansia yang merasa tidak nyaman dengan orangtua mereka yang mereka
anggap semakin cerewet, terlalu ikut campur dengan urusan cucu-cucu
mereka, dan seterusnya. Temuan lainnya adalah masalah gangguan fisik
yang semakin banyak dirasakan oleh warga lansia berusia 65-85 tahun.
Pada saat itu, kami merasa mereka tidak ada yang mengalami cemas atau
depresi tetapi ternyata hasil penelitian menunjukkan cukup banyak yang
mengalaminya. Terakhir adalah temuan adanya demensia, walaupun
ringan, tetapi ini masalah besar. Demikian pula di bagian psikiatri sebelumnya tidak pernah kedatangan tamu demensia, tetapi mulai ada sejak
1988.
Itulah semua yang menggerakkan kami. Lalu, kami mencoba mengundang
beberapa warga lanjut usia dan mengajak mereka membahas: maukah
kita memikirkan diri kita sendiri? Pemerintah belum memikirkan kita,
tetapi bisakah di usia lanjut ini kita tetap gembira: tua berguna, bahagia,
dan sejahtera?
Rangkaian diskusi itulah yang akhirnya melahirkan YWS. Sejak berdiri
pada tahun 1988 sampai sekarang, sudah tercatat lebih dari 5.700 warga
lansia di seluruh Bali yang mendaftarkan diri. YWS membuka cabang
di seluruh kabupaten/kota, kemudian ranting-ranting sampai ke tingkat
banjar (desa). Sekarang, sudah mulai bermunculan POSYANDU Lansia di
banyak banjar. Masalah baru yang muncul adalah terjadinya diskriminasi.
Para lansia yang dibantu oleh program pemerintah mendapatkan berbagai bantuan: makanan, pakaian, dan fasilitas lainnya; sementara
kami yang mulai jauh lebih dahulu masih harus melongo melihat mereka mendapatkan semua bantuan tersebut. Kami memang pernah
81
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
mendapatkan penghargaan baik dari Menteri Kesehatan pada tahun
1995, kemudian dari Gubernur Bali, kemudian dari Menteri Sosial
dua tahun lalu. Tetapi itu semua hanya dalam bentuk secarik kertas
penghargaan saja.
Tujuan Pembinaan Lanjut Usia
Tujuan utama kami membina lanjut usia adalah bisakah kita membuat
lanjut usia: tua berguna, bahagia, dan sejahtera? Maksudnya ada-lah
agar para lansia tetap merasa berguna untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk masyarakatnya.
Tetapi bagaimana mendidik mereka? Kalau dibantu pemerintah, syukur. Kalau tidak? Maka, tiada jalan lain kecuali diri kita sendiri harus
mampu membantu diri sendiri pula. Mandiri adalah tujuan utama,
karena pada masa pemerintahan Orde Baru dulu, semua diajarkan
menjadi pengemis bantuan dari pemerintah.
Program YWS Bali
Program inti YWS adalah mengaktifkan fisik, mental, dan semangat
untuk tetap hidup berguna, bahagia, dan sejahtera. Kami anjurkan
kepada para lanjut usia bahwa kalau ingin bahagia di hari tua, jangan
pernah sebut diri anda tua. Setiap orang yang mengatakan dirinya
tua, pasti wajahnya suram. Jadi, sebut saja umur berapa anda: apakah
70 atau 80. Kami anjurkan bahkan sampai ke hal-hal praktis tapi
efektif, misalnya, ubah kebiasaan berpakaian kusam yang menambah
kesan tampak semakin tua. Kami anjurkan untuk berpakaian dengan
warna-warni cerah: merah, kuning, hijau, dan sebagainya. Tidak harus
mewah, tapi cerah. Dan, karena orang Bali semakin banyak yang mulai
tidak tertawa karena kehidupan yang sangat keras, maka kami ajarkan
marilah kita tertawa. Tertawa lepas adalah obat buat diri kita. Tetapi,
yang paling penting, harus tetap aktif, walaupun anak-anak mereka
selalu menyuruh mereka istirahat dengan alasan sudah tua. Jadi, tidak
ada kata ‘tua’ dalam kamus kami. Aktifkan fisik, mental, dan spiritual.
Memang, kami terbentur dengan program pemerintah yang ingin
tetap menggalakkan panti jompo. Malahan, belakangan muncul, bisakah kita membuat komunitas khusus (special community) orang
lanjut usia? Kami pernah berkujung ke satu permukiman atau per-
82
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
kampungan khusus warga lanjut usia di Adelaide, Australia. Kami menyaksikan betapa sepinya kampung itu. Kami berkesimpulan bahwa
jika kita mencoba meniru seperti itu, maka itu berarti sama dengan
menghancurkan budaya kita sendiri. Budaya kita adalah ‘biarkan orang
tua sampai mati pun tetap dengan keluarganya.’
Karena itu, dalam jangka panjang, bisakah kita membuat program preventif. Dalam bidang kesehatan, nyaris tidak pernah memikirkan usahausaha preventif ini. Demikian pula di bidang sosial, yang dibantu adalah
mereka yang miskin dan telantar serta tidak mengalami kecacatan. Tetapi
para lansia yang sehat tidak pernah dipikirkan, padahal justru nanti akan
menjadi beban kalau kita tidak berikan tindakan preventif sejak sekarang.
Itulah sebab mengapa kami berpendapat bahwa program ‘kembali ke
keluarga’ itu sangat penting dan menentukan. Apa yang harus dilakukan
adalah mendidik keluarga bahwa mereka harus memahami anggotanya
yang lanjut usia. Orang-orang tua lanjut usia memang keadaannya sudah
demikian, alam membentuknya dan tidak perlu diubah. Yang perlu
diubah adalah pandangan sikap anak-anak muda tentang kehidupan dan
keadaan orang-orang tua mereka yang lanjut usia.
Salah satu gagasan --sekaligus harapan dan saran-- kami adalah adanya
semacam ‘Balai Warga Sepuh’ (Senior Citizens Center) di mana lanjut usia
bisa mengobrol di sana, tertawa-tawa dan menghibur diri antar sesama
mereka. Tetapi, Balai Warga Sepuh semacam itu tidak harus eksklusif
hanya untuk para lansia. Anak-anak muda dan remaja yang ingin tahu
tentang lanjut usia justru perlu didorong untuk datang ke sana, bertemu
dan berbincang-bincang dengan para orang tua yang bisa memberikan
masukan tentang kehidupan ini kepada mereka. Di banyak negara lain
di luar negeri, memang ada rumah perawatan (nursing home) untuk lanjut usia. Kami menyarankan bahwa jika Dinas Sosial ingin membangun
sarana semacam itu, prinsipnya adalah bahwa sarana itu harus dipandang
bersifat ‘sementara’ bagi para lansia untuk dirawat secara khusus sesuai
kebutuhannya. Sesudah itu, jika mereka telah pulih kembali, harus dikembalikan ke keluarganya.
Gagasan lainnya adalah bagaimana membuat ‘kampus lanjut usia’ di
masyarakat. Kami sudah mulai merintis cikal-bakalnya dan, ternyata,
ribuan warga lanjut usia datang menghadiri. Dalam praktiknya, kami
menyediakan tempat di mana para warga lansia datang berkumpul,
berbincang, atau bahkan hanya untuk duduk-duduk saja di sana, tanpa
minum dan tanpa makan, dari jam sembilan pagi sampai jam dua belas
83
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
siang. Kami ajak mereka bernyanyi dan menggerakkan tubuh, dan
mereka semua senang dan lebih mudah menerima berbagai informasi
dan pengetahuan baru. Kami ajak mereka berbincang bukan hanya
soal-soal lanjut usia, tetapi juga tentang isu-isu perempuan, pedofilia,
dan lain-lainnya. Untuk menggerakkan fisik, kami terapkan senam pernapasan Indonesia, tetapi setelah kami modifikasi, karena beberapa
gerakan tidak cocok untuk lanjut usia. Misalnya, ini salah satu contoh
sekaligus temuan menarik, banyak warga lanjut usia di desa-desa
tidak berpendidikan, tidak pernah sekolah, kalau disuruh pakai celana
panjang mereka malu. Lalu, kami membuat kreasi baru: boleh --malah
dianjurkan-- pakai sarung saja yang diikat sedemikian rupa sehingga
tetap bisa melakukan gerakan-gerakan senam dengan nyaman dan
bagus.
Kegiatan lain adalah tertawa. Tertawa lepas bebas sangat penting
untuk relaksasi. Selain itu, kami melatih mereka melakukan meditasi
relaksasi. Selain mendidik mereka untuk memusatkan perhatian, juga
menjaga supaya mereka jangan bungkuk, karena meditasi dilakukan
dengan tubuh duduk tegak. Kami mengajarkan pula pada mereka
cara-cara untuk bisa tidur nyenyak. Tidur nyenyak adalah salah satu
fisioterapi terbaik buat mereka. Selain itu, kesenian rakyat perlu dibangkitkan. Walaupun sudah tua, ada yang berumur 85 tahun, mereka
masih tetap bisa menari dengan bahagia. Bahkan, Gubernur Bali pernah ikut bergabung dan ikut bersama mereka menari (ngibing) dalam
joged punggung.
Ini salah satu yang mengejutkan buat kami: setelah puluhan tahun kami
mengajak mereka mandiri, lanjut usia bisa membuat parade seni dua
lahun yang lalu di Ubud. Mereka melakukannya secara mandiri, tidak
ada yang membantu. Para warga lanjut usia itu melakukan parade dan
ternyata banyak turis mengaguminya. Ini pun bisa digunakan untuk
mendatangkan uang.
Musik menjadi idaman mereka. Lagu-lagu yang diperkenalkan adalah
lagu-lagu ‘tempo doeloe’. Kami mencoba membangkitkan semangat
para lanjut usia untuk menyayikan kembali lagu-lagu perjuangan.
Sebenarnya, anak-anak muda sekarang pun sangat penting untuk
diajak menyanyikan kidung-kidung perjuangan tersebut. Karena, di
sekolah-sekolah sekarang tidak diajarkan lagi. Anak-anak muda yang
datang bergabung dengan para warga lanjut usia itupun membantu
menyanyikan lagu-lagu seperti ‘Maju Tak Gentar’, ‘Halo-halo Bandung’,
84
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
dan sebagainya --lagu-lagu yang sudah dilupakan di sekolah.
Yang lainnya, kami ajak mereka: maukah menjadi kader-kader penyebar
meditasi mulai dari diri dan keluarga sendiri? Ini bukan misionaris, tetapi berdasarkan pada falsafah bahwa jika kita bisa tenang, kita bisa
merasakan kebahagiaan. Anak-anak akan ikut tenang pula, akan ikut
membantu. Demikian pula dengan semua orang di sekitar kita. Mereka
akan ikut terbawa tenang dan membantu membangun suasana yang
memungkinkan kita semua merasakan ketenangan dan kebahagiaan.
Yang terakhir, kami ajarkan juga kepada mereka semua bahwa semua
orang sesungguhnya bisa menjadi balian (dukun, tabib), paling tidak
untuk dirinya sendiri atau keluarganya. Maka, bisakah kita mulai menyembuhkan diri sendiri? Ini menjadi semakin penting saat ini, karena
menjadi sehat di Indonesia sekarang sudah sangat mahal. Alternatifnya
adalah bahwa diri kita sendiri bisa mengembangkan dan kemudian
menggunakan kemampuan sendiri untuk melakukan penyembuhan, setidaknya untuk diri dan keluarga sendiri. Tetapi, jauh lebih penting dari
penyembuhan adalah adanya kemauan dan kemampuan untuk membantu
diri dan keluarga sendiri untuk tidak sakit. Dengan kata lain, pencegahan
adalah jauh lebih baik dibanding pengobatan atau penyembuhan justru
setelah menderita sakit.
Catatan Akhir
Setelah sekian lama mencoba melakukan semua itu, tiba-tiba saja ada
tawaran dari Ashoka Indonesia yang meminta kami: bisakah kegiatankegiatan atau cara-cara yang dilakukan oleh YWS itu disebarkan di
seluruh Indonesia. Mulanya, Ashoka meminta saya berkeliling ke berbagai
daerah di Indonesia untuk menganjurkannya. Tetapi, saya mengatakan
bahwa saya akan senang kalau bisa dilakukan di Bali saja. Maka, setahun
yang lalu, berbagai perutusan dari berbagai daerah di Indonesia datang
untuk mengikuti program kami.
Hal pertama dan terpenting yang kami ajak dan tanyakan pada mereka
adalah: bisakah menggunakan pendekatan bio-psiko-spirit sosio-budaya
untuk melakukan kegiatan-kegiatan semacam ini di tempat mereka masing-masing? Spirit yang kami maksudkan bukan agama, tetapi roh atma
atau apapun namanya.
Hal kedua adalah: bisakah kita melakukannya tanpa menghapuskan
keunikan budaya dari setiap suku bangsa yang ada? Kami sangat meng-
85
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
anjurkan pada mereka untuk menggunakan budaya masing-masing
sebagai landasannya, sehingga para orang tua lanjut usia di tempat
mereka masing-masing tidak bermasalah untuk ikut terlibat di dalamnya.
Hal ketiga barulah soal pokoknya: bagaimana orang-orang lanjut usia
dapat dibantu agar mereka bisa menjadi tua berguna, bahagia, dan
sejahtera. Masalah lanjut usia bukanlah masalah diri sendiri dari para
warga lanjut usia, tetapi juga masalah pemerintah (berkaitan dengan
kebijakan publik). Untuk itu, kami berharap gagasan Balai Warga
Sepuh dapat diwujudkan di semua kabupaten dan provinsi seluruh
Indonesia.
Terakhir, sekali lagi, kita harus kembali ke prinsip bahwa suasana
keluarga akan membuat lanjut usia nyaman dibandingkan jika mereka
berada di panti jompo. v
86
Peranserta Organisasi Sosial
Menghadapi Penuaan Penduduk
Rohadi Haryanto
Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial
(DNIKS)
U
ndang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa untuk peran serta masyarakat perlu dilakukan koordinasi di tingkat nasional. Dewan Nasional Indonesia untuk
Kesejahteraan Sosial (DNIKS) yang dibina oleh Kementerian Sosial dimaksudkan sebagai wadah koordinasi peran serta masyarakat tersebut.
Tugas utamanya adalah melakukan koordinasi dan membina organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga sosial, menyelenggarakan forum komunikasi, dan melaksanakan advokasi. Meskipun demikian, organisasi-organisasi sosial yang dikoordinasikan oleh DNIKS tidak hanya bergerak di
bidang lansia tapi juga di bidang kecacatan, anak-anak, wanita, dan sebagainya.
87
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Latar Belakang
Khusus tentang lansia, kita semua sudah mengetahui bahwa penduduk
dunia ini menunjukkan kecenderungan makin menua. Sebab-sebabnya mulai dikenal luas, antara lain, fertilitas yang terus menurun
dan umur harapan hidup yang makin panjang. Selain itu, semakin
tampak pula bahwa ada kecenderungan proporsi penduduk lanjut
usia di negara-negara berkembang semakin membesar dibanding di
negara-negara maju. Indonesia termasuk negara yang memiliki ciriciri demografis dengan perkembangan penduduk lansia yang cepat.
Pada tahun 1980, penduduk lansia kita hanya sekitar 7,99 juta jiwa.
Tahun 1990, meningkat menjadi 11,2 juta jiwa. Tahun 2000, menjadi
14,4 juta jiwa. Tahun 2010, terjadi lonjakan besar, mencapai 18 juta
jiwa. Tahun 2030, diproyeksikan akan mencapai 41,1 juta jiwa atau
13,9% dari total penduduk.
Itulah yang kita capai akibat tingkat fertilitas yang terus menurun,
meskipun tingkat fertilitas belum sesuai dengan apa yang ditargetkan
secara nasional, yakni 2,1. Sampai tahun 2007, tingkat fertilitas rerata
nasional masih 2,7. Per daerah, juga belum merata. DKI Jakarta sudah
mencatat 2,6, sementara NTT masih mencatat 4,2. Sampai sekarang,
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah yang mencatat tingkat
feritilitas terendah, sehingga daerah ini juga tercatat sebagai daerah
dengan umur harapan hidup tertinggi.
Demikian pula distribusi penduduk lansia. Provinsi Papua dan Papua
Barat merupakan daerah dengan proporsi penduduk lansia terkecil.
Konsekuensinya, program-program lansia tidak perlu harus di 33
provinsi. Dalam kasus Papua atau Papua Barat, misalnya, populasi
lansia mereka yang masih kecil mungkin karena tingkat kelahiran yang
masih relatif tinggi sementara tingkat kematian bayi juga masih relatif
tinggi. Karena itu, perlu ada satu pendalaman lagi tentang mengapa
dan apakah perlu program-program lansia harus dikembangkan di
semua wilayah Indonesia?
Tampaknya, jumlah penduduk lansia dan umur harapan hidup ada
korelasi yang sangat erat. Makin tinggi umur harapan hidup di suatu
daerah, makin besar pula proporsi jumlah lansianya. Jika diproyeksikan
jumlah penduduk lansia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta,
maka dapat dipradugakan bahwa umur harapan pada tahun tersebut
juga meningkat sampai mencapai 71 tahun.
88
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
Keadaan Kehidupan Lansia
Dari beberapa survei, ternyata para warga lansia yang menerima pensiun
kurang dari 20%. Para lansia laki-laki yang masih harus bekerja adalah
sebesar 80%, perempuan 50%. Yang bekerja di sektor pertanian 48,51%,
sementara yang tidak lulus SD atau tidak sekolah mencapai 65,7%.
Dukungan keluarga juga masih sangat besar. Para lansia yang masih
tinggal dengan keluarga mencapai 75,38%. Yang tinggal dengan orang
lain atau tinggal sendiri juga masih cukup banyak, 24,62%. Adapun yang
telantar tercatat sekitar 15% atau sekitar 2,7 juta jiwa.
Masalah yang Dihadapi Penduduk Lansia
Tentang permasalahan lansia, masing-masing ahli mempunyai persepsi
yang berbeda. Tetapi, yang selalu diungkapkan, antara lain, perkembangan
penduduk lansia yang cepat seringkali tidak memperoleh perhatian.
Norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan sejak kanakkanak tidak selalu memberikan perhatian kepada lansia. Selain itu, masih
sangat sedikit organisasi sosial yang menaruh minat terhadap penanganan
lansia. Masih sangat sering tidak disadari bahwa lansia bisa dan perlu
diberdayakan, bahkan mereka punya potensi yang bisa memberdayakan
diri mereka sendiri dan orang lain. Salah satu masalah yang paling sering
disorot adalah koordinasi antar berbagai pihak dan antar lembaga-lembaga masyarakat melalui mekanisme kerjasama yang baik juga masih
belum terbentuk. Dukungan untuk memberikan pelayanan juga masih
sangat terbatas.
Dalam hal pelayanan, perhatian utama selama ini masih dipusatkan pada
bantuan yang tidak diikuti pemberian dukungan sumber lainnya. Dukungan
atau bantuan melalui Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) memang cukup
besar. Informasi sebelumnya dari Kementerian Sosial memperlihatkan
terjadi peningkatan baik jumlah lansia yang dilayani maupun jumlah
dana atau anggarannya yang disediakan oleh pemerintah. Pada tahun
2007, sekitar 3.500 lansia di 10 provinsi menerima bantuan dengan total
anggaran Rp 10,5 miliar. Tahun 2011, jumlah lansia penerima sudah
mencapai 13.000 orang di 30 provinsi dengan anggaran Rp 39 miliar.
Sekarang, tahun 2012, disebutkan jumlah penerima sudah mencapai
26.500 orang dengan total anggaran Rp 63,6 miliar. Tetapi, seperti yang
sudah dijelaskan oleh Kementerian Sosial, penambahan jumlah lansia
89
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
penerima bantuan yang berlipat ganda itu mengakibatkan nilai nominal yang diterima per orang menjadi lebih kecil dari sebelumnya,
turun dari Rp 300.000 menjadi Rp 200.000 per orang per bulan.
Peran Lembaga-lembaga Sosial
DNIKS sebagai LKKS (Lembaga Koordinator Kesejahteraan Sosial)
tingkat nasional selama ini telah bekerjasama dengan berbagai organisasi seperti Lembaga Lansia Indonesia (LLI), Persatuan Wredhatama
Republik Indonesia (PWRI), Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI), Pusat Santunan dalam Keluarga
(PUSAKA), Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI), Juang
Kencana, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Silver College, dan
Corps Cacat Veteran Republik Indonesia. Bentuk-bentuk program dan
kegiatan yang dikembangkan, antara lain, advokasi, pengorganisasian,
serta penggalangan kekuatan untuk membela kepentingan penduduk
maupun organisasi sosial yang memperjuangkan lansia. Dalam hal ini,
termasuk penyusunan UU, Peraturan Daerah (PERDA), membentuk
kelompok kerja, dan sebagainya.
Salah satu yang pernah dilaksanakan adalah Deklarasi Gerakan Nasional
Lansia Peduli (GNLP) di bawah Koordinasi DNIKS yang dipimpin oleh
Marsekal Muda Warsono dari PEPABRI. Gerakan ini merumuskan
program ‘Peduli Tiga Generasi’ serta mendorong pembentukan gerakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Karena itu, advokasi
lahirnya PERDA-PERDA yang mendukung menjadi penting. Pengalaman
dari organisasi penyandang cacat memperlihatkan bahwa ketika
mereka berhasil mendesakkan lahirnya PERDA yang mendukung
mereka, maka dengan sendirinya pemerintah daerah berkewajiban
menyediakan dana pembinaan dari anggaran pendapatan dan belanja
daerah (APBD).
Upaya lain adalah mencari model atau strategi program pemberdayaan
yang benar-benar efektif membantu kehidupan lansia. Program panti
lanjut usia sudah terbukti sangat terbatas cakupannya, sehingga perlu
terus diperkenalkan program non-panti dengan sasaran lansia miskin
dan telantar. Penting untuk selalu menegaskan bahwa keluarga dan
masyarakat tetap bertanggung jawab untuk perawatan lansia. Sudah
cukup banyak contoh-contoh yang pernah dikembangkan dalam hal
ini.
90
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
Karena itu, perlu pengembangan lanjut cara-cara efektif menangani
langsung pelayanan untuk perlindungan sosial, perawatan, dan pelayanan kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat yang diarahkan
kepada lansia miskin dan telantar, misalnya, kelompok-kelompok home
care di kampung-kampung. Dalam hal ini, DNIKS beranggapan bahwa
kesukarelaan tetap penting. Program home care yang dikembangkan
oleh Kementerian Sosial justru menyediakan honor yang menyebabkan
kesukarelawanan hilang. Ini satu hal yang perlu dicatat. Bentuk-bentuk
pelayanan dasar seperti pemeriksaan kesehatan berkala, pemberian
bantuan makanan dan pakaian, perawatan lansia sakit, bantuan memperoleh JAMKESMAS atau JAMKESDA dan JSLU, pada dasarnya adalah
kegiatan-kegiatan yang sebagian besarnya masih dapat dilakukan atas
dasar kesukarelawanan.
Peran lainnya dari lembaga-lembaga sosial adalah penyelenggaraan
pelatihan-pelatihan bagi para lansia yang memiliki keahlian profesional
--termasuk juga tenaga-tenaga muda yang berminat-- untuk menjadi
konsultan bagi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia lansia, misalnya, melalui program Silver College. Mereka yang telah pensiun atau
menjelang pensiun dapat diorganisir mengikuti pelatihan-pelatihan
untuk ‘karier kedua’ mereka, misalnya, menjadi wirausaha, pedagang,
petani, termasuk peluang untuk menjadi tenaga pramuwerdha (care
giver) yang dilakukan oleh kelompok lansia sendiri. Mereka dapat diajak
menghimpun diri dalam organisasi yang bersedia membantu sebagai
tenaga ahli atau konsultan dan dikirim ke daerah lain.
Berkaitan dengan hal tersebut, lembaga-lembaga sosial juga dapat
melakukan pengorganisasian kelompok kerja yang mendorong pengembangan home care di berbagai daerah. Kelompok-kelompok kerja ini
dapat ditugaskan memberi pelatihan-pelatihan bagi para kader yang
akan bekerja di lapangan. Ada informasi dari pihak Kementerian Sosial
bahwa PUSAKA sudah mengembangkan pola tersebut dan cukup berhasil di wilayah Jakarta. Pola tersebut akan mulai dikembangkan ke daerah-daerah lain. Tentu saja, DNIKS akan menyambut baik usaha ini dan
sangat terbuka untuk bekerjasama dengan LKS di tingkat provinsi dan
kabupaten/kota untuk mengembangkannya di daerah-daerah. Forum
komunikasi atau penggerak kegiatan ini ada di tingkat kelurahan, kecamatan, dan provinsi. Para penggiat (aktivis) forum dapat membantu
melakukan rekrutmen tenaga-tenaga lapangan, memberikan pelatihanpelatihan kepada mereka, mengorganisir kegiatan forum, dan melakukan
91
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
pembinaan.
Pendirian forum komunikasi sangat vital dan strategis sebagai wadah
partisipasi masyarakat luas untuk pemberdayaan lansia. Melalui forum
tersebut, kelompok penduduk lainnya dapat diajak dan dikerahkan
untuk aktif membentuk lembaga-lembaga pelayanan lansia di tingkat
akar rumput yang akan menangani bidang kesehatan, pendidikan,
lingkungan, dan wirausaha. Salah satu yang sudah sering disebutkan
adalah pembentukan dan pengembangan POSDAYA sampai ke tingkat
desa-desa dan kampung-kampung. Moto ‘Peduli Tiga Generasi’ sangat
luwes untuk memungkinkan pengembangan berbagai kegiatan kreatif,
termasuk mengembangkan potensi para lansia, misalnya, untuk
menjadi pengajar di PAUD, mengajar keterampilan untuk remaja dan
generasi muda dan, pada saat bersamaan, sambil tetap membina
kelompok lansia dalam berbagai kegiatan. Moto itu memungkinkan
siapa pun, termasuk para lansia sendiri, untuk menjadi penghubung
antar generasi.
Terakhir, sudah saatnya untuk mulai serius mempersiapkan LKS terakreditasi. Artinya, mempersiapkan para pekerja sosial di lembagalembaga tersebut untuk tersertifikasi. Dalam waktu dekat, pemerintah
sudah merencanakan akan melakukan sertifikasi bagi petugas kesejahteraan sosial atau pekerja sosial, kemudian mengakreditasi lembaga-lembaga kesejahteraan sosial. Untuk dapat diakreditasi, suatu
lembaga kesejahteraan sosial harus memenuhi kelayakan dan
standarisasi organisasi, sumberdaya manusia, manajemen, sarana,
prasarana, dan hasil. Untuk sertifikasi, para pekerja sosial harus
memiliki kompetensi dalam praktik-praktik pekerjaan sosial sesuai
kualifikasinya. Kementerian Sosial menginformasikan bahwa untuk
keperluan sertifikasi dan akreditasi tersebut, kini sedang dirumuskan
SPM (standar pelayanan minimal) nya. Jika SPM tersebut sudah rampung
dan siap dijalankan, DNIKS bersedia membantu lembaga-lembaga
kesejahteraan sosial untuk menjalani proses sertifikasi dan akreditasi
tersebut. DNIKS dapat memberikan bantuan bagi para pekerja sosial
dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial untuk mempersiapkan
diri lebih baik menjalani proses sertifikasi dan akreditasi, sehingga
nantinya mereka pun dapat bekerja melayani masyarakat secara lebih
baik pula.
Hanya saja, Kementerian Sosial sendiri tampaknya belum memikirkan
dan menyiapkan adanya sistem penghargaan (reward). Misalnya,
92
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
jika suatu lembaga dinyatakan ‘lulus’ akreditasi, selayaknya mereka
dapat diberi penghargaan tertentu selain, tentu saja, dokumen tertulis
pengakuan akreditasinya. Demikian juga untuk pekerja sosial yang ‘lulus’
proses sertifikasi. Dua-duanya belum disiapkan reward system nya. v
93
Kesehatan Seksual di Usia Tua:
Kebutuhan yang Tertunda
Budi Wahyuni
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI)
Yogyakarta
K
arena Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) begerak
dalam bidang pengawalan pemenuhan hak kesehatan reproduksi
dan isu-isu seksualitas, maka saya akan menyajikan --secara singkat
saja-- beberapa pokok penting tentang masalah tersebut dalam kaitannya dengan lansia.
Saya akan bertolak dari pengalaman langsung dalam kegiatan-kegiatan
pelayanan masyarakat yang kami laksanakan selama ini. Hampir pada
setiap kegiatan saya ke lokasi pelayanan kami, khususnya dalam
pelaksanaan metode pengujian untuk mendeteksi kanker pada mulut
rahim (IVA dan Pap Smear), warga yang sudah berusia lanjut selalu
menanyakan hal yang sama: “Saya sudah tidak pernah melakukan
hubungak seks sekian tahun, apa saya harus periksa, atau apa?”
Saya belajar dari pengalaman dan permasalahan yang sering diajukan
oleh para klien tersebut, terutama klien perempuan. Ternyata, persoalan seksualitas tetap merupakan masalah penting bagi mereka
yang sudah mulai lanjut usia. Masalah Ini menjadi menarik karena
pada saat mereka masih remaja dulu, saat usia aktif mereka, terlalu
banyak pembatasan yang membuat mereka tidak banyak mendapat
94
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
kesempatan untuk mengetahui lebih banyak dan lebih mendalam tentang masalah tersebut. Mereka harus menahan diri sedemikian rupa agar,
misalnya, tidak hamil di luar nikah. Saat mereka dewasa dan menikah, juga
masih tetap banyak pembatasan yang membuat mereka tidak mendapat
banyak kesempatan memperdalam pengetahuan mereka tentang
masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas, meskipun sudah
mengalaminya sendiri langsung dengan pasangannya. Sekarang, ketika
mereka sudah lansia atau menjelang lansia, barulah mereka berani mulai
bertanya, itu pun masih terbata-bata dan berusaha agar tidak diketahui
banyak orang.
Sebagai aktivis perempuan, saya mencermati betapa banyak perempuan
yang sudah dewasa dan bahkan lansia tidak mendapatkan pemenuhan
kebutuhan seksual mereka selama ini berdasarkan suatu pengetahuan
yang cukup. Sekarang, setelah mereka menjadi lansia, mereka cenderung
menganggap masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah
sesuatu yang ‘sudah lewat’, masalah duniawi yang tidak terlalu penting
lagi, tinggal mempersiapkan diri saja menghadapi kematian.
Mungkin pembicaraan ini memang agak aneh. Untuk apa memikirkan
hak seksual kaum lansia? Tetapi, ada banyak sekali hal-hal yang tidak
pernah diperhatikan serius semacam ini sebenarnya adalah masalah
mendasar menyangkut hak seseorang. Karena ini menyangkut hak, maka
menjadi kewajiban pemerintah untuk memerhatikannya secara serius.
Sekarang, pemerintah mulai memberi dukungan dalam pemeriksaan
IVA dan Pap Smear. Di Yogyakarta ini, dananya disediakan langsung dari APBD --sesuatu yang berhasil didesakkan oleh organisasi-organisasi
yang bergerak dalam isu kesehatan reproduksi dan seksualitas, termasuk
PKBI. Tetapi, ternyata, dananya malah tidak atau kurang terserap. Setelah
kami evaluasi, ternyata penyababnya adalah lagi-lagi persoalan sosiokultural. Masih kuat anggapan dan pandangan bahwa masalah kesehatan
reproduksi dan seksualitas adalah masalah pribadi yang tidak perlu
dibuka di depan umum. Akibatnya, banyak warga tidak memanfaatkan
berbagai sarana pelayanan yang sudah disediakan. Akibatnya lebih
lanjut, pelaksana pelayanan tidak bisa mampu menyerap dana yang
tersedia. Harus diakui, pegiat masalah ini memang masih kurang pro-aktif
mengembangkan cara untuk membuat lebih banyak warga, termasuk
warga lansia, memanfaatkan sarana pelayanan yang ada.
Masalah lain yang menarik adalah rentetan dari anggapan bahwa masalah
kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah sesuatu yang sangat pribadi.
95
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Ada banyak kasus mereka yang sudah berusia 55 tahun ke atas
--usia pra-lansia-- mencoba memecahkan masalah mereka dengan
‘jalan pintas’ dan ‘sembunyi-sembunyi’, bukannya datang ke sarana
pelayanan untuk konsultasi secara terbuka. Globalisasi pasar telah
mengantarkan berbagai jenis obat-obatan bebas beredar. Mereka
membeli dan menggunakan obat-obatan tersebut tanpa pengetahuan
yang cukup tentang khasiat atau dampaknya. Selain lebih mudah, juga
lebih menjamin ‘kerahasiaan pribadi’ mereka. Masalah ini penting
dalam perspektif hak warga negara untuk memperoleh informasi
yang benar dan memadai (prior informed consent) serta jaminan keamanan dan keselamatan sebagai salah satu bentuk perlindungan
yang seharusnya diberikan oleh negara. Karena itu, kita tidak bisa
memandangnya lagi sebagai sesuatu yang sepele atau semata-mata
suatu persoalan sosio-kultural yang sering cenderung dipersalahkan
(blaming on) hanya pada perilaku pribadi warga yang melakukannya.
Pengalaman di pos-pos pelayanan PKBI selama ini menunjukkan
bahwa semakin banyak klien yang datang dengan permasalahan tipikal
yang sama, termasuk para lansia. Menjadi pertanyaan besar: mengapa
sudah setua itu mereka masih saja belum memiliki pengetahuan
yang cukup tentang persoalan hak-hak kesehatan reproduksi dan
seksualitas? Apakah yang salah pada sistem pendidikan kita tentang
hal ini? Sampai seberapa jauh anggapan pemerintah dan masyarakat
umumnya melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang ‘memalukan’
untuk dijadikan masalah terbuka bagi semua orang? Apakah kita
akan mendiamkan saja terus hal-hal seperti ini? Para lansia, meskipun
mungkin mereka tidak lagi melakukan kegiatan seksual aktif, namun tetap masih punya organ reproduksi yang seharusnya tetap dilindungi.v
96
Pengalaman Pengembangan
Program Lanjut Usia di Indonesia
Siti Hariani
Yayasan Pelita Usila, Jakarta
Y
ayasan Pelita Usila adalah yayasan perempuan yang peduli pada
kesehatan lanjut usia. Kami semuanya perempuan, mantan-mantan
pegawai negeri Kementerian Kesehatan. Jadi, latar belakang keilmuan
kami juga beda-beda; ada yang psikolog, dokter, ahli jiwa, ahli kesehatan
masyarakat, ahli gizi, dan ahli administrasi kesehatan. Kami semua sudah
purna tugas.
Awalnya adalah ketika Departemen Kesehatan --waktu itu-- membentuk
struktur organisasi baru, yaitu Sub Direktorat Usia Lanjut. Itu mengilhami
kami --yang sebentar lagi purna tugas-- bertanya: kalau kami sendiri nanti
pensiun, mau mengurus apa? Kami semua sepakat lebih baik mengurus
masa tua kami. Tetapi, waktu itu belum terlalu jelas gagasannya mau
bergerak ke arah mana? Waktu itu, program Departemen Kesehatan
97
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
untuk pelayanan lanjut usia belum ada dan baru saja akan dimulai.
Maka, kami pun bersepakat mendirikan yayasan ini pada tanggal 29
Mei 1998, tepat pada ulang tahun pertama Hari Lanjut Usia Nasional.
Masalah berikutnya muncul: dari mana mendapatkan dana? Kami pun
bersepakat mengumpulkan iuran anggota, karena beberapa anggota
memiliki jaringan yang luas --ada yang mantan Direktur ASKES, ada
mantan Direktur Jenderal, dan lain-lain-- cukup banyak juga akhirnya
yang memberi sumbangan, sehingga organisasi kami mulai berjalan.
Kami juga punya visi, misi, dan strategi yang mungkin hampir sama
dengan Kementerian Kesehatan, karena kami memang mantan pegawai negeri di Kementerian tersebut. Mungkin skalanya saja yang
beda, karena kami lebih memusatkan perhatian pada keluarga dan
lingkungan yang peduli kesehatan lanjut usia dalam lingkup terbatas
berdasarkan kemampuan.
Tujuan kami jelas, yakni memotivasi berbagai pihak untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas layanan kesehatan lanjut usia. Kami
tahu di banyak tempat memang ada pelayanan kesehatan lansia, tapi
umumnya hanya sekadarnya. Keprihatinan kami adalah bagaimana layanan yang sebenarnya harus diterima oleh para lanjut usia. Maka,
kami pun menggalang kerjasama dengan organisasi-organisasi sosial
yang berkaitan dengan lansia. Kami juga bekerjasama dengan RS Cipto
Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta mengenai kebutuhan kesehatan
lanjut usia.
Beberapa kegiatan yang kami sudah lakukan dari tahun 1998, antara lain, peningkatan peran lansia dalam penanggulangan HIV/
AIDS. Kemudian, kegiatan kami yang memang banyak diminati oleh
masyarakat adalah kegiatan ‘Tua boleh, pikun jangan’ pada tahun
2004. Kegiatan ini bertolak dari pengandaian bahwa harus ada kegiatan yang terus-menerus untuk menghindarkan seorang lanjut usia
menjadi pikun.
Sejalan dengan semakin berkembangnya pengobatan tradisional,
kami bekerjasama dengan Balai Pengembangan Obat Tradisional
(BPOT) di Tawangmangu menyelenggarakan seminar kesehatan lanjut
usia dengan obat tradisional. Hasilnya, di sana sudah dikembangkan
PUSKESMAS yang melakukan pengobatan batuk, pilek, dan hipertensi
dengan tanaman obat.
98
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
Kami juga menyelenggarakan seminar-seminar geriatri kepada para petugas PUSKESMAS. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Menteri
Kesehatan, pakar geriatri masih jarang. Karena itu, para petugas PUSKESMAS perlu memahami sedikit mengenai pelayanan geriatri yang akan
dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa panel diskusi juga kami lakukan, seperti penatalaksanaan kesehatan lanjut usia.
Sejalan dengan berdirinya KOMNAS Lansia, di daerah memang diharapkan
terbentuk pula KOMDA Lansia, termasuk di Kota Bogor. Namun, mereka
belum mengerti hendak melakukan apa? Kami pun memfasilitasi mereka
melalui pertemuan-pertemuan konsultasi dan rapat koordinasi.
Yang paling sering kami lakukan adalah bakti sosial, misalnya, operasi
katarak gratis sejak tahun 2003. Kami melakukan kerjasama dengan Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (PERDAMI) dari RSCM. PERDAMI di
RSCM ini mempunyai banyak sekali dana coorporate social responsibility
(CSR) yang mereka bingung menggunakannya, sehingga kami seolaholah jadi ‘broker’ mereka. Kami menjaring calon peserta dari masyarakat
dengan memasang iklan di beberapa tempat, sehingga para calon itu
datang ke Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Kalau sudah siap mereka operasi, mereka akan
dioperasi di RSCM secara gratis. Ini merupakan program andalan yang
selalu ditunggu oleh para lansia yang memerlukan operasi katarak.
Kami pernah menyusun dan menerbitkan buku pada tahun 2006 dengan
judul Sehatkah Anda di Usia Senja? Buku itu menjelaskan apa yang akan
terjadi secara alami apabila seseorang menjadi tua. Kemudian ada cara
pencegahannya. Jadi, ini semacam buku yang memberikan pengetahuan
kepada para lansia bahwa proses penuaan niscaya akan mereka alami
dan bagaimana mencegah, misalnya, dampak negatif dari proses itu,
sehingga meraka betul-betul siap secara fisik dan mental.
Kami juga membantu KOMNAS Lansia dalam beberapa kegiatan, antara
lain, dalam penelitian PUSKESMAS Santun Lansia pada tahun 2008.
PUSKESMAS Santun Lansia adalah program Kementerian Kesehatan. Penelitian kami memusatkan perhatian pada sejauhmana program tersebut
sudah dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia. Kemudian, kami bekerjasama dengan Center for Ageing Studies (CAS) Universitas Indonesia dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) dalam
penelitian Health & Financial Literacy Studies Among Older Women pada
tahun 2011. Juga penulisan beberapa buku yang dibiayai oleh KOMNAS
99
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Lansia.
Terus terang, dalam perjalanan, organisasi kami banyak sekali tantangan. Para pengurus bukanlah lansia yang duduk diam saja di kantor
yayasan, tapi masih banyak yang mempunyai pekerjaan lain. Selain
itu, pemahaman masyarakat tentang kelanjutusiaan masih terbatas.
Ini masih merupakan ‘pekerjaan rumah’ yang besar untuk kita semua.
Tantangan lainnya, jumlah dan kualitas layanan kesehatan lanjut usia
juga masih terbatas. Ketersediaan tenaga keperawatan lansia pun demikian. Kita masih memerlukan banyak sekali care giver. Tantangan
ini mulai coba dijawab dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan
dasar sederhana, sehingga tenaga keperawatan lansia mulai tersedia
dan siap melayani para lansia, terutama lansia di perkotaan.
Tantangan lainnya adalah struktur organisasi Kementerian Kesehatan
yang berubah saat ini. Dulu, unit lansia adalah satu sub direktorat
tersendiri. Sekarang, digabungkan dengan beberapa sub direktorat
lain menjadi Sub Direktorat Lansia, Indra, dan Bank Darah. Masalahnya,
satu sub direktorat besar tapi dengan kapasitas pegawai yang terbatas
melayani tiga macam kegiatan yang, terus terang, dananya juga tidak
besar. Ini yang menyebabkan Kementerian Kesehatan juga tidak bisa
mengembangkan program lansia. Secara internal, tenaga kami sendiri
juga terbatas, sebagian besarnya adalah orang-orang sibuk dengan
pekerjaan lain, sehingga rapat sering tidak bisa rapat paripurna.
Langkah lanjut yang kami lakukan saat ini adalah review program kesehatan lanjut usia. Hasilnya akan kami advokasikan kepada Menteri
Kesehatan atau menteri-menteri yang berkaitan, seperti Kementerian
Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program kesehatan lanjut usia ke masyarakat masih kita lakukan. Biasanya
banyak juga permintaan paguyuban lansia kepada kami untuk memberikan penyuluhan kepada mereka.
Seminar-seminar kesehatan lansia yang kami lakukan di Kota Bogor
ternyata disambut baik oleh para petugas PUSKESMAS. Tetapi, biayanya
cukup mahal, bisa sampai Rp 1 - 1,5 juta setiap kali pertemuan. Padahal,
kami para dokter juga masih perlu melakukan praktik, karena setiap
lima tahun sekali harus mengurus surat tanda registrasi supaya tetap
mendapatkan izin praktik. Dalam seminar-seminar tersebut, kami
mengundang ahli farmakologi dari UI, ahli geriatri dari Bogor, dan ahli
jiwa juga dari Bogor untuk memberikan masukan. Mereka juga amat
100
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
senang. Maka, kami berencana melakukan replikasi ke Kabupaten Bogor,
Tangerang, dan daerah-daerah sekitarnya yang dapat kami jangkau.
Demikianlah Yayasan Pelita Usila secara garis besar. Walaupun mungkin
kegiatannya terbatas, tapi orang tahu bahwa ada Yayasan Pelita Usila.v
101
Mempromosikan Saling Dukung
Lembaga-lembaga Lansia
di Indonesia
Eva A.J. Sabdono
Yayasan Emong Lansia, Jakarta
S
eperti telah dipaparkan oleh begitu banyak narasumber, jumlah
populasi lanjut usia di Indonesia sudah sangat pesat dan sangat
tinggi. Tetapi kenapa belum masuk di dalam agenda pembangunan,
belum merupakan prioritas di dalam agenda pembangunan pemerintah?
Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Kebijakan atau program
yang dilaksanakan oleh pemerintah kebanyakan masih menganggap
bahwa masalah yang dihadapi lansia di daerah yang satu dengan
daerah yang lain itu sama saja. Padahal sangat berbeda, tergantung
lokasinya dan budayanya. Tidak bisa disama-ratakan semuanya.
Selain itu, kita juga tidak boleh menganggap lansia hanya sebagai
penerima pelayanan, penerima manfaat. Masih banyak lansia yang
bisa ikut berkontribusi dalam pembangunan. Kalau dikatakan lansia
yang miskin telantar jumlahnya sekitar 15% dari seluruh penduduk
lansia, itu berarti bahwa masih ada 85% yang tidak miskin dan tidak
telantar, yang memiliki potensi untuk didayagunakan. Kami di Yayasan
Emong Lansia justru memusatkan perhatian pada mereka: bagaimana
mendayagunakan yang 85% itu untuk mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi oleh yang 15%. Kalau yang 85% tersebut --dari golongan
ekonomi menengah ke atas-- mau peduli kepada yang 15%, sebetulnya
102
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
kita tidak perlu punya lansia miskin dan telantar, bahkan tidak harus
tergantung pada pemerintah. Jadi, kalau kita bekerja bersama, berbuat
sesuatu, mestinya tujuan-tujuan MDG’s untuk mengurangi kemiskinan
sampai 50% bisa dicapai bahkan sampai 100% pada penduduk lansia yang
miskin dan telantar selama ini. Tetapi, kenapa belum? Inilah masalahnya!
Mari kita perhatikan peta Indonesia. Negara ini terdiri dari banyak
pulau. Artinya, masalah lansia di satu provinsi, misalnya Aceh, jelas
berbeda dengan masalah lansia di Papua. Karena itu, tidak bisa satu
kebijakan berlaku untuk seluruh provinsi. Apalagi menangani masalah
lansia bukanlah perkara mudah. Meskipun juga bekerja di akar-rumput,
Yayasan Emong Lansia juga banyak melakukan advokasi pada pembuat
kebijakan untuk meyakinkan mereka bahwa kebutuhan provinsi yang
satu berbeda dengan provinsi yang lain. Contoh, daerah-daerah di
Sumatera, Jawa, juga Papua, adalah daerah-daerah yang rawan bencana.
Pengalaman kami waktu berkegiatan di daerah-daerah bencana di Aceh,
Nias, Padang, dan Yogyakarta, semua NGO yang ada --CARE, Oxfam,
World Vision, dan lainnya-- tidak ada yang memerhatikan lansia. Fokus
mereka selalu --tidak salah-- adalah anak-anak dan perempuan. Lansia?
No way!
Baru saja, belum lama, dua minggu yang lalu, ada Konferensi Menterimenteri Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana (Asian Ministerial
Conference on Disaster Risk Reduction, AMCDRR) di Yogyakarta. Kami
pun diundang. Mereka mengirimkan rancangan-rancangan deklarasi yang
akan dirangkum menjadi Yogyakarta Declarations. Di dalam rancanganrancangan tersebut, pada bagian tentang kelompok masyarakat rentan
(the vulnerable people), kaum lansia (elderly) sama sekali tidak disebut.
Jadi kami hadir, kami advokasi terus sampai akhirnya dalam naskah
akhir deklarasi dicantumkan bahwa kaum lansia masuk dalam program
Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction, DRR) di Asia Pasifik.
Hal semacam itulah yang biasanya dikerjakan oleh Yayasan Emong Lansia,
lebih banyak advokasi yang diharapkan akan berdampak ke mana-mana.
Jika ditanya tentang capaian-capaian penting (major achievement), tak
berlebihan untuk mengatakan bahwa kamilah satu-satunya NGO yang
hadir dalam Global Conference of Ageing di Madrid tahun 2002. Pada
saat itu, ada sejumlah rekomendasi. Sayangnya, wakil-wakil pemerintah
yang hadir, seperti biasa, tidak melakukan apa-apa setelah konferensi.
Padahal, salah satu rekomendasi itu adalah supaya setiap negara, termasuk
Indonesia yang ikut menandatangani deklarasi konferensi-- harus me-
103
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
nyusun suatu Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelanjutusiaan. Untuk
memantau pelaksanaan RAN tersebut, diamanatkan membentuk suatu
Komisi Nasional Lansia. Setelah Madrid 2002, pada tahun 2003 kami
mengadakan lokakarya nasional yang melahirkan RAN 2003-2008 dan
Keputusan Presiden (KEPPRES) mengenai perlunya dibentuk Komisi
Nasional (KOMNAS) Lansia. Itu salah satu pencapaian dari Yayasan
Emong Lansia.
Selama ini, program pemerintah untuk lansia dari dulu hanya meniru
dari luar negeri. Contoh, membangun panti. Tidak ada inovasi, sementara jangkauannya sangat kecil, karena satu panti maksimum hanya bisa
menampung seratus orang. Ada berapa di seluruh Indonesia saat ini?
Kalikan dengan seratus. Berapa lansia yang yang terjangkau? Padahal,
sudah sangat jelas bahwa jumlah lansia miskin dan telantar di negeri
ini sudah mencapai 2,8 juta orang, sementara yang terjangkau oleh
panti-panti yang ada belum sampai 100.000 orang. Kapan selesainya?
Maka, pada tahun 2003, dengan bantuan dari Korea, kami menerapkan
suatu proyek rintisan (pilot project): perawatan di rumah berbasis
masyarakat (community-based home care). Semuanya dikerjakan oleh
para relawan. Yang membanggakan adalah bahwa pada tahun 2006,
pola program ini diadopsi menjadi program nasional. Sekarang, seperti
yang telah disampaikan oleh Kementerian Sosial, sudah direplikasi di
19 provinsi, meskipun masih terbatas pada 22 kabupaten/kota. Bahwa
ini adalah satu prakarsa dan rintisan NGO yang kemudian diadopsi
oleh pemerintah menjadi proyek nasional, itu juga adalah suatu pencapaian tersendiri.
Pencapaian lainnya adalah Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Ini
berawal dari hasil pengamatan dan pengalaman bekerja langsung
di akar-rumput. Kami menyaksikan bahwa sektor informal tidak ada
yang memerhatikan. Kami mendatangi Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, dan beberapa kementerian lain yang berkaitan.
Kami menanyakan apa yang mereka lakukan buat para nelayan atau
petani yang sudah tidak bisa bekerja lagi? Apakah ada dana pensiun
atau tidak untuk mereka? Tidak ada! Advokasi inilah yang mekahirkan
JSLU, walaupun memang sampai sekarang jangkauannya masih kecil.
Lagi-lagi ribut soal angka-angka, JSLU sekarang baru mencapai 26.000
orang, padahal 65% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal.
Betapa banyak mereka yang masih tidak memiliki jaminan sosial apapun, termasuk dana pensiun.
104
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
Maka, keluarlah pemikiran mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN) di mana kami ikut dalam diskusi dan pembicaraan. Rencananya,
akan ada Dewan Sistem Jaminan Nasional yang --katanya-- akan mu-lai
dilaksanakan pada tahun 2015. Bagi mereka yang tidak mampu membayar premium atau yang miskin --katanya lagi-- akan dibayarkan oleh
pemerintah. Itu ceritanya, tetapi belum pelaksanaannya.
Tujuan pokok kami memang ingin meningkatkan kualitas hidup lansia.
Karena itu, banyak program yang kami lakukan, seperti program home
care, adalah mendidik sebanyak mungkin relawan care giver. Setelah
mereka mulai terjun bekerja langsung di lapangan sejak tahun 2004,
sampai sekarang mereka masih ada, bahkan sudah berkembang terus
ke banyak daerah. Tetapi, prinsip kami adalah bahwa mereka haruslah
relawan. Kita sudah belajar banyak bahwa pekerja-pekerja sosial yang
dibayar tidak pernah berkelanjutan (not sustainable). Para relawan adalah orang-orang yang bekerja dari dan dengan hati, dan mereka yang
terbukti bisa bertahan. Kami semua di Yayasan Emong Lansia pun adalah
para relawan, tidak ada yang dibayar, tidak ada yang digaji.
Kami juga pernah menyelenggarakan Konferensi Internasional di Bali
pada tahun 2008. Temanya adalah “Bekerja Bersama untuk Kesejahteraan
Lansia” (Working Together for the Wellbeing of the Older Person). Jelas
sekali, kita tidak bisa bekerja sendiri, harus bekerja dengan banyak pihak.
Karena itu kami bekerja dengan banyak pihak, termasuk pemerintah,
akademisi, dan masyarakat. Dalam melaksanakan programnya, Yayasan Emong Lansia berpedoman pada United Nations Principal of Ageing. Mungkin banyak yang sudah lupa. Kalau tidak salah, ada lima
asas (prinsip): peranserta (participation), kemandirian (independent),
kepedulian (care), pengejewantahan diri (self fulfillment). Asas yang
keempat ini sering dilupakan, yakni bahwa lansia harus menentukan
sendiri apa yang baik buat diri mereka: mau masuk panti atau tidak,
misalnya, haruslah berdasarkan kemauan mereka sendiri. Asas yang
terakhir adalah bermartabat (dignity). Program apapun yang dikerjakan,
lima asas ini adalah pedoman dasarnya, sehingga kita tidak akan salah
langkah dan salah arah.
Kita sudah terlalu banyak mendengar, baik dari pemerintah maupun dari
kalangan masyarakat, ternyata masih banyak masalah yang dihadapi oleh
para lansia di negeri ini. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Kementerian
Sosial, ada 400 lebih organisasi yang menangani lansia: karang wredha
banyak sekali, karang lansia, atau paguyuban, PWRI, atau apapun na-
105
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
manya. Mereka semua adalah bagian dari yang 85% yang masih perlu
diberdayakan juga. Bagimana membuat mereka lebih efektif mengatasi masalah yang dihadapi oleh yang 15% tadi.
Kami berencana --bekerjasama dengan CAS UI-- untuk mengadakan
suatu evaluasi tingkat tinggi terhadap organisasi-organisasi berba-sis
masyarakat (Community-based Organizations, CBOs) dan perkumpulan-perkumpulan lansia (Older People’s Associations, OPAs) sebagai
entitas partisipasi masyarakat. Organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan tersebut sudah sangat banyak, tetapi masih tetap perlu
ditingkatkan terus kemampuannya menangani isu-isu lansia. Setiap
organisasi sebaiknya memang mengurusi lansia di wilayah masingmasing baik pada tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, atau desa,
sehingga tidak perlu ada organisasi dari luar yang mengerjakannya. Kita
juga memerlukan pengembangan bahan-bahan --semacam panduan-yang dapat diperbanyak tentang bagaimana memberdayakan CBOs
dan OPAs ini.
Rencana lainnya adalah advokasi, suatu lokakarya nasional tentang
OPAs. Kemudian evaluasi pengaruh OPAs di tiga daerah: Jakarta,
Yogyakarta, dan Aceh. Kebetulan saja Yayasan Emong Lansia ada
kantor di tiga daerah tersebut. Juga karena Yogyakarta adalah daerah
dengan jumlah penduduk lansia terbesar, sementara Aceh adalah karena dampak bencana besar tsunami tahun 2004 masih terasakan
sampai sekarang oleh para lansia di sana.
Terakhir, kami akan mendorong kegiatan-kegiatan advokasi oleh
lansia sendiri untuk terlibat langsung dalam perdebatan tingkat lokal
sampai nasional. Maksudnya, lansia sendiri harus berani membuka
suara, jangan mengharapkan orang lain melaksanakan untuk mereka.
Banyak sekali lansia yang potensial dan mampu melakukannya.
Paling akhir, kami terus berupaya meningkatkan pengembangan OPAs
agar meluas secara nasional. v
106
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
DISKUSI
BAMBANG
Nasional):
PURWOKO
(Dewan
Jaminan
Sosial
S
aya cuma memberikan informasi bahwa sebagian
besar lansia di Indonesia sampai sekarang tidak
punya jaminan pensiun. Hanya 20% yang punya. Ada
kegagalan sistem. Pemerintah Orde Baru dulu dengan
penekanan kebijakan stabiltas ekonomi dan stabilitas politiknya, tidak
pernah memprioritaskan penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal,
sehingga sampai Pak Harto lengser, komposisi sektor informal masih
dominan. Kalau tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mestinya
ada transformasi dari sektor informal ke formal. Padahal, BAPPENAS
punya dokumen Manpower Memorandum. Kementerian Tenaga Kerja
juga. Tapi, tidak pernah dilaksanakan. Orang sering langsung saja bicara
soal jaminan sosial. Mestinya, sebelum bicara jaminan sosial, kita bicara
dulu soal proteksi sosial. Ini yang tidak pernah dibahas.
Padahal, jaminan sosial itu bukan segalanya, bukan bintang di langit, sangat
tergantung dari kesempatan kerja. Karena itulah, Undang-undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) saat ini tidak menerapkan pemberian
bantuan, tetapi pendekatan sistem. Masalahnya, lapangan kerja kita
sampai sekarang masih rentan, 30% yang bekerja di sektor formal itu
upahnya tidak lebih dari upah minimum provinsi. Contoh, keponakan
saya lulusan S1 UNDIP, bekerja di Harian Kompas hanya dapat gaji 1,8
juta, beda tipis dengan upah minimum DKI yang 1,5 juta. Baru sekarang
saja Menteri Perindustrian menegaskan bahwa perusahaan menengah ke
atas harus memberi upah minimum 2 juta. Jadi, sangat ditentukan oleh
niat pemerintah sekarang ini. Saya tidak pernah mendengar Pak SBY
bicara tentang kesempatan kerja. Pemerintah-pemerintah daerah yang
sudah dikasih otonomi juga tidak pernah bicara kesempatan kerja. ILO
sudah menyarankan kita harus menyiapkan lebih banyak lapangan kerja
dulu. Jadi, landasan dasar jaminan sosial itu adalah lapangan pekerjaan.
107
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
VITA PRIANTINA DEWI (Centre for Ageing Studies
University of Indonesia):
P
ertanyaan saya singkat, hanya satu: kenapa
dalam lokakarya ini tidak dimasukkan aspek
teknologi?, karena teknologi itu juga merupakan
tantangan dalam masalah penuaan peduduk dan
pembangunan.
SITI PARTINI SUARDIMAN (Pusat Studi Sumber
Daya Lansia, Universitas Negeri Yogyakarta):
P
ertanyaan saya tujukan kepada Ibu Profesor
Luh Suryani. Saya sangat sependapat dengan
ide bahwa lansia tetap hangat di dalam keluarga,
sehingga panti jompo sejauh mungkin dihindari. Saya sangat setuju itu. Tetapi di lapangan, banyak kenyataan seperti
ini: lansia tinggal bersama anaknya di mana anaknya ini pasangan
suami istri bekerja dari pagi sampai sore. Anak-anaknya masih kecilkecil, rumahnya sempit. Orangtua ini tinggal di rumah anaknya tentu
saja kurang terlayani dengan baik karena si anak adalah suami istri
yang harus mencari nafkah dari pagi sampai sore. Sementara itu, ada
beberapa panti jompo, panti wredha yang memang menyediakan kamar
untuk lansia, tapi membayar. Keluarga itu mampu membayarnya.
Jadi memang ada semacam dilema. Sebenarnya saya sangat sependapat bahwa di tengah-tengah keluarga tentu lebih nyaman. Tapi, keadaannya seperti itu tadi: anak dan menantu bekerja sampai sore. Bahkan anak-anaknya pun kadang-kadang harus dititip-titipkan, karena
memiliki pembantu juga kadang-kadang belum mampu, dan rumahnya
terbatas. Itu masalah nyata di lapangan yang betul-betul terjadi. Kita
sarankan lansia sebaiknya tetap tinggal bersama keluarga anaknya,
tetapi ada panti wredha yang menyediakan kamar layak, meski harus
bayar. Anak-anak dan cucu-cucunya hanya perlu menengok orangtua
mereka di panti yang menurut saya di situ dia lebih terlayani dengan
baik dan ada teman-teman sebayanya.
108
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
SUGIHARDJO (Lektor Universitas Negeri Sebelas Maret,
Solo):
D
ari pagi sampai sekarang ini disampaikan berbagai
permasalahan yang dihadapi lansia. Sebenarnya
permasalahan lansia dibanding dengan warga kelompokkelompok umur yang lain, banyak sekali bedanya dan
karakternya pun berbeda-beda. Contoh-contoh nyata
pelayanan lansia juga sudah banyak dilakukan baik oleh LSM atau
pemerintah. Saya punya gagasan yang nanti mungkin bisa diulas oleh Pak
Rohadi terkait dengan lansia: apakah tidak dimungkinkan secara nasional
ada semacam prioritas program yang perlu dilakukan untuk lansia? Kalau ada program nasional khusus untuk balita, misalnya, apakah juga
tidak dimungkinkan program khusus untuk lansia --seperti yang sudah
disampaikan oleh Pak Haryono? Kalau secara nasional ada program
yang lebih menyeluruh, mungkin bisa lebih dihayati, jadi semacam pemberdayaan lansia secara lebih terpadu.
Mengenai pendekatan yang perlu dilakukan, saya setuju dengan Ibu
Luh Suryani yang lebih mengutamakan pendekatan keluarga, jadi bukan
pendekatan kepada lansianya saja, tapi keluarganya juga. Ini seperti
yang dilakukan oleh BKKBN dengan program Bina Keluarga Balita,
pendekatan dilakukan kepada seluruh anggota keluarga dan itu lebih
mengena. Jadi keluarganya juga tahu permasalahan lansia mereka. Ja-di
bukan pendekatan individu tapi lebih pada pendekatan keluarga. Memang betul, orangtua itu memang agak lain. Misalnya, dia punya banyak
anak, untuk ikut salah seorang dari anak-anaknya itu dia tidak mau. Dia
inginnya di rumahnya sendiri. Semacam itu susahnya.
CLARA MELIYANTI KUSHARTO (Gurubesar Institut
Pertanian Bogor):
K
ita tahu ada dua jenis lansia, yaitu lansia potensial
dan lansia yang memang terlantar, yang memerlukan
bantuan. Karena saya dari perguruan tinggi, saya ingin
fokus pada lansia potensial yang ada di lingkungan
perguruan tinggi. Adanya batasan umur administratif untuk pensiun membuat mereka sedikit demi sedikit harus meninggalkan
109
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
aktivitasnya. Kalau tidak disiapkan, akan sayang sekali potensi tersebut yang sebenarnya ada, seperti tadi sudah diulas oleh Pak Toni
Hartono. KOMNAS Lansia sudah menanggapi persoalan ini dengan
baik, mengikutkan para lansia di lingkungan perguruan tinggi sebagai
anggota. Juga oleh BKKBN dan Direktorat Pertahanan Keluarga. Sejak
beberapa tahun lalu, antara lain oleh peran dari Yayasan Damandiri,
kami di IPB memprakarsai dan aktif dalam satu wadah yang disebut
Silver College. Yang ingin saya kemukakan adalah satu tantangan baru
untuk membuat suatu kegiatan menyentuh mereka yang selama ini
belum tercakup dalam keanggotaan KOMNAS Lansia, misalnya, mereka
yang berada di lingkungan Kementerian Keuangan. Mereka ini pernah
mengajak untuk memikirkan permasalahan negara yang krusial, yaitu
masalah ketahanan keluarga yang utuh. Mungkin dengan banyaknya
migrasi generasi muda kini yang bekerja di rantau, maka yang tinggal
di rumah hanyalah para lansia bersama cucu-cucu mereka, sehingga
stigma negatif tentang para lansia itu pun masih melekat.
Permasalahan lain adalah mengenai ketahanan pangan. Kita lihat,
penyedia pangan terutama petani atau juga nelayan itu mulai menua,
sementara itu generasi muda mereka tidak tertarik sama sekali untuk
bekerja sebagai para petani dan nelayan seperti orangtua mereka.
Ini merupakan tantangan, terutama bagi kami dari perguruan tinggi
pertanian, untuk mencoba membuat suatu kegiatan yang disebut
dengan optimalisasi peran dari pada Silver College untuk melakukan
kegiatan yang berkaitan dengan ketahanan keluarga dan ketahanan
pangan. Maksud saya adalah: apakah kita bisa bersama-sama memikirkan satu entry point di mana para penyedia pangan tersebut bisa ki-ta
angkat, karena mereka sudah mulai tua-tua, tetapi sekaligus juga bisa
menggerakkan pemuda lokal untuk tetap berkiprah di bidang produksi pangan?
Apa yang kami pikirkan adalah suatu konsep ‘lansia mapan.’ Lansia
mapan itu dalam pengertian yang sehat, produktif, mandiri, dan mempunyai aset yang belum dioptimalkan di tempat asalnya. Mungkin
harus ada satu penggerak dari kita, sehingga mereka mau kembali lagi
ke tempat asal dengan persiapan yang memadai. Sehingga, mereka
itu tidak hanya angan-angan jika ditanya: “Kalau sudah pensiun mau
ke mana?” Kembali ke daerah atau ke tempat asal? Mereka mungkin
hanya betah satu bulan atau dua bulan untuk bernostalgia. Setelah
itu, karena tidak dipersiapkan --padahal punya aset di tanah kelahiran
110
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
atau di tempat tinggalnya-- mereka kembali lagi ke kota, atau kembali lagi
ke tempat yang memang dihabiskan selama seperempat atau sepertiga
kehidupannya. Bisakah kita membuat satu kegiatan khusus dalam hal
ini? Mumpung ada tawaran dana dari LPD (Lembaga Pengelola Dana)
dari Kementerian Keuangan yang sekarang sedang menawarkan satu
kegiatan yang bisa memecahkan pemasalahan bangsa, yaitu mengenai
ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemudian ketahanan keluarga.
LUH KETUT SURYANI (Narasumber):
T
erima kasih pada Ibu Siti yang menanyakan apakah
orang lanjut usia yang tidak terurus dan tidak ada
yang menghiraukan itu tidak sebaiknya dibawa ke panti jompo saja, karena anak-anaknya sibuk dan cucu-cucunya juga sibuk?
Dalam pengalaman kami --dari diskusi dengan orang-orang tua dan mereka yang punya masalah semacam itu-- ternyata adalah waktu mereka
masih muda, lalu punya anak, mereka sibuk bekerja dengan dalih untuk
mendapatkan pendidikan yang baik buat anak-anaknya. Padahal anakanak itu bukan hanya uang yang mereka perlukan, tetapi juga kasih sayang, dan inilah yang tidak mereka peroleh. Maka, setelah anak-anak itu
dewasa, setelah orang tuanya menua, ikatan mereka pada orangtuanya
tidak ada dan ini yang menyebabkan anak-anak itu pun melakukan hal
yang sama. Pada saat itulah Dinas Sosial datang dengan tawaran jalan
keluar membawa para orangtua itu ke panti jompo. Kami berpendapat
sebaiknya Dinas Sosial tidak melakukan itu, tetapi melakukan pendekatan
kepada masyarakat, pencerahan kepada masyarakat, seperti yang kami
lakukan baik di TV, di radio, maupun di pertemuan-pertemuan.
Kalau kita tidak ingin melahirkan anak-anak yang durhaka pada orangtuanya, mulailah dari diri kita sendiri. Anak-anak itu pun harusnya ada
waktu untuk orangtuanya. Kemudian anaknya sendiri pun harusnya dibina agar dia peduli pada kakek atau neneknya di rumah. Tanpa upaya
pendekatan seperti itu, siklus ini akan berlanjut terus dan akhirnya di
Bali maupun Indonesia nanti tidak ada orang lagi peduli dengan orangtuanya. Jadi, harusnya kita tidak secara gampangan memecahkan masalah
ini dengan begitu saja memilih cara healing ke panti jompo. Bayangkan
kalau semua orang mengirim lansia ke panti jompo, maka Bali, misalnya,
atau daerah lain, akan penuh dengan panti jompo. Padahal panti jompo
111
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tidak menyelesaikan masalah.
Kami berharap masyarakat sendiri di sekitarnya juga ikut membantu.
Karena, kita semua akan jadi tua. Sekarang mungkin kita tidak tua, tapi
nanti kita pun akan tua, akan sama juga. Jadi, yang perlu ditanamkan
adalah masyarakat kita harus peduli dengan orang lain. Yang ada
sekarang adalah kecenderungan selalu meminta bantuan, tetapi tidak
pernah mau peduli dengan orang lain. Sistem yang dilakukan selama
ini memang demikian, kita dilatih untuk tidak peduli dengan orang
lain.
ROHADI HARYANTO (Narasumber):
S
ecara pribadi, setelah mengamati berbagai
program lansia ini, saya kira masih terbuka kesempatan berbagai alternatif. Saya kira ini sangat
situasional, tergantung masing-masing keluarga, tergantung kemampuan pribadi, tergantung struktur
masyarakat, dan sebagainya. Saya pernah juga berkunjung ke panti
jompo di Surabaya. Seperti tadi yang dikemukakan Bu Partini, memang ada lansia yang lebih suka di panti jompo, karena di situ berkumpul dengan teman-teman sebaya, bisa cerita, bisa nostalgia masa
lalu, dan sebagainya. Dia cukup bahagia. Di hari-hari tertentu, dia
hanya menengok saja ke rumah anaknya, tapi setelah itu kembali
lagi ke panti. Kasus seperti itu memang ada, karena si lansia yang
bersangkutan memang tidak dekat dengan anak-anaknya. Dengan
catatan, memang dia mampu membayar sewa kamar di panti. Artinya,
keadaan ekonomi si lansia itu memang cukup dan lebih baik.
Secara umum, saya lihat apa yang dikembangkan melalui pendekatan
home care memang sangat bagus. karena prinsip home care adalah
berbasis komunitas, dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Dalam hal ini
memang perlu dibentuk pelembagaan. Pak Jhoni dari Kementerian
Sosial tadi bisik-bisik pada saya bahwa pendekatan home care ini
akan ditingkatkan seperti apa yang dikerjakan oleh PUSAKA. Jadi, ada
organisasi berbasis komunitas yang mengelolalnya. Sebab, dengan
home care yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial selama ini,
yang memberi bayaran kepada keluarga yang melaksanakannya, justru
menghilangkan kerelawanan. Apa yang dikembangkan oleh PUSAKA
adalah ada organisasi di dukuh atau di tingkat RW yang menangani.
112
BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat
Mereka mencari relawan untuk memberikan pelayanan kepada para
lansia di lingkungan mereka. Kalau ada masalah kesehatan, baru mereka
bawa ke PUSKESMAS. Kalau ada dukungan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut
Usia), mereka bisa mencarikan dukungan itu ke Kementerian Sosial, dan
sebagainya. Saya kira relawan yang di kampung ini yang akan membantu
permasalahan yang dihadapi oleh orang tua yang ada di wilayahnya.
Dengan catatan, memang keluarganya harus tetap juga bertanggungjawab,
jangan sampai nanti kader atau para relawannya yang aktif, tetapi anakanak dari orang tua itu sendiri tidak peduli.
Jadi, saya lihat apa yang dikembangkan oleh Pak Haryono dengan POSDAYA itu juga berbasis kegiatan masyarakat setempat memberikan dukungan kepada para lansia di sana. Saya kira itu sangat tepat, hanya
namanya mungkin kadang berbeda, ada yang menyebutnya dengan home
care, ada yang menyebutnya PUSAKA, dan lainnya. Tetapi yang penting
di situ adalah ada organisasi di tingkat masyarakat yang menangani pelayanan khusus bagi para lansia. Kemarin, tetangga saya di Solo, ada dua
orang lansia hilang. Orang tua itu hilang karena tetangganya tidak peduli.
Mereka berdua keluar jalan-jalan, akhirnya tak ketahuan ke mana, hilang
sampai sekarang tidak ketemu. Saya kira kasus seperti itu bisa diingatkan
kepada mereka yang mengelola kegiatan pelayanan bagi para lansia
yang ada di tingkat kampung atau dukuh. Harus ada kepedulian yang
cukup tentang masalah-masalah kesehatan, masalah perawatan, bantuan
makanan, dan sebagainya. Itu yang saya kira masih tetap ‘promising’ di
Indonesia.
BONDAN SIKOKI (Moderator):
K
arena waktunya sudah habis, maka saya akan menjawab singkat saja pertanyaan dari Vita. Memang
ini satu kekurangan dari lokakarya ini. Aspek teknologi
luput dari perhatian kami. Terima kasihnya atas masukannya. v
113
BAGIAN KELIMA
PENGALAMAN AKADEMISI
NARASUMBER:
n Dr. Fatma, SKM, MSc
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
n Indrasari
Tjandraningsih, MA
AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung
n Hilman
Latief, Ph.D
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
MODERATOR:
Dr. Evi Nurvidya Arifin
Institute fo South East Asian Studies (ISEAS), Singapura
Masalah Gizi Usia Lanjut:
Upaya Penelitian & Pengembangan
Fatmah
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia
M
anusia yang sudah menjadi usia lanjut itu mempunyai beberapa
ciri khas dari sudut karakter fisik, misalnya, berat badan mulai
menurun perlahan-lahan. Akibatnya mungkin akan mengalami kekurusan. Karena berat badan menurun, perasaan akan terasa lemah.
Akibatnya lebih lanjut, mudah sekali merasa lelah dan semua aktivitas
fisik tentu akan melambat. Kita melihat beberapa orang tua kalau
berjalan harus dituntun atau harus berpegangan pada benda-benda
yang bisa digunakan untuk berpegang.
Masalah-masalah Gizi Lansia
Masalah gizi paling utama yang ditemukan pada kelompok lansia
adalah malnutrisi, baik itu kekurangan gizi atau, sebaliknya, malah
gizi berlebihan.
Dari mana kita tahu bahwa seorang lansia itu menderita malnutrisi?
Kita bisa lihat dari dua deteksi awal. Pertama, ada tidaknya penurunan
berat badan baik secara drastis maupun perlahan-lahan. Kedua, adanya penurunan selera makan. Bila dua hal ini kita temukan pada
116
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
seorang lansia, maka harus waspada. Jika dibiarkan, lambat laun akan
mengalami kekurangan gizi.
Kenapa hal itu terjadi? Pertama, tentu saja, karena asupan kalori yang
sangat rendah. Kebutuhan kalori seorang lansia memang lebih rendah
dibanding seorang dewasa muda. Hal ini dapat dilihat pada lansia yang
sudah mengalami gangguan fungsi organ tubuhnya, misalnya, sering
buang air kecil tanpa disadari. Komposisi tubuhnya mulai bergeser di
mana terjadi penurunan massa otot tetapi malah meningkat massa lemak.
Hal ini memang tidak bisa dicegah, karena regenerasi fungsi organ-organ
tubuhnya sejalan dengan usia menua. Selain itu, juga adanya perubahan
sosial ekonomi. Seorang lansia yang tadinya bekerja, kemudian tidak
bekerja, sehingga tidak mempunyai pendapatan, akan membawa dampak
psikologis bagi dirinya. Beberapa lansia juga ditemukan sering menderita
diare, infeksi --seperti TBC-- yang memang masih banyak ditemukan di
negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia. Tak kalah pentingnya
adalah efek samping dari konsumsi obat. Mungkin lansia itu menderita
suatu penyakit tertentu di mana efek samping yang muncul adalah rasa
mual sehingga mengurangi selera makannya. Tak kalah penting juga
adalah peran persoalan-persoalan psikologis dalam dirinya, misalnya,
setelah kehilangan pasangan hidup atau merasa dirinya dijauhkan oleh
keluarganya. Hal-hal itulah semua yang bisa memengaruhi penurunan
selera makan yang, pada gilirannya, menurunkan berat badan seorang
lansia.
Jika seorang lansia mengalami malnutrisi, maka dampak pertama yang
akan segera dialaminya adalah bila dia menderita penyakit. Akibat
malnutrisi, proses kesembuhannya akan lebih lama, karena asupan nutrisi memengaruhi kecepatan penyembuhan penyakit. Malnutrisi juga
mengakibatkan massa otot menurun, menjadikan seorang lansia tampak
mengurus dengan cepat, sehingga tubuhnya menjadi lebih rentan pada
penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit degeneratif. Akibat
lanjutannya adalah meningkatnya angka kesakitan dan kematian.
Masalah-masalah Terkait
Masalah gizi lansia di Indonesia belum menjadi perhatian serius oleh
para tenaga kesehatan. Seringkali masalah gizi lansia tidak menjadi
prioritas untuk ditangani di rumah sakit sebagai bagian dari terapi
kesehatan. Oleh karena itu, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
117
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
telah menyusun suatu pedoman konsensus tentang penatalaksanaan
gizi lansia di rumak sakit.
Masalah lainnya adalah belum dicakupnya pembelian obat-obatan
dan suplemen gizi dalam asuransi kesehatan, sehingga semua harus
dibeli sendiri oleh lansia yang menderita suatu penyakit tertentu.
Sementara itu, beberapa produk nutrisi yang mendukung kesehatan
lansia --seperti susu dan makanan-makanan yang bisa menggantikan
fungsi nasi-- masih dianggap sebagai suplemen pelengkap. Padahal,
seorang lansia kadang-kadang harus mengonsumsi susu tersebut
dalam waktu lama.
Juga menjadi masalah saat ini adalah keluarga maupun pengasuh kelompok lansia biasanya belum memahami aspek-aspek kesehatan, gizi,
dan psikologis pada lansia. Seringkali mereka tidak menyadari bahwa
dampak psikologis bisa memengaruhi peningkatan asupan kalori yang
seharusnya dimiliki oleh seorang lansia.
Dari semua masalah tersebut, dapat dilihat beberapa data prevalensi
nasional yang terkait dengan malnutrisi, tetapi lebih mengarah kepada gizi berlebihan. Data ini diambil dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, antara lain, menampilkan prevalensi penyakit jantung
sudah mencapai angka 7,2% sebagai angka rerata nasional. Khusus
untuk Yogyakarta, sudah di atas angka prevalensi nasional tersebut,
yakni 7,3%. Lalu prevalensi stroke nasional adalah 0,8%, Yogyakarta
mencatat angka sama, hanya lebih sedikit, yakni 0,84%. Diabetes
mellitus: nasional 1,1%, Yogyakarta sudah di atasnya, yakni 1,6%.
Yang cukup mengagetkan adalah prevalensi tumor, nasional 4,3% dan
Yogyakarta sudah mencapai dua kali lipat, yaitu 9,6%. Demikian pula
dengan hipertensi: secara nasional 29,8%. Penduduk lansia Yogyakarta
kini juga sudah melampauinya, yaitu 35,8%.
Untuk faktor-faktor risiko yang mengarah pada penyakit degeneratif,
yang memperlihatkan rendahnya aktivitas fisik pada kelompok usia
lanjut, prevalensi nasional adalah 48,2%. Salah satu kabupaten di
Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Gunung Kidul --yang proporsi
penduduk lansianya tertinggi, yakni 12,96%-- malah sudah mencatat
prevalensi penyakit degeneratif lansia jauh di atas prevalensi nasional,
yakni 65,3%. Dengan kata lain, aktivitas fisik penduduk lansia di
Gunung Kidul jauh lebih rendah atau lebih sedikit dari rerata para
lansia di daerah lain. Lalu, gizi kurang atau disebut dengan IMT kurus,
118
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
prevalensi nasional adalah 14,8%, gizi berlebih 8,8%, dan gemuk 10,3%.
Yogyakarta mencatat untuk gizi kurang atau Indeks Massa Tubuh (IMT)
kurus 17,6% --di atas angka nasional-- gizi berlebih 8,5%, dan gemuk
10,2% --nisbi sama dengan angka nasional. Untuk obesitas, prevalensi
nasional 19,1%, Yogyakarta berada di bawah tapi hampir menyamai angka
nasional tersebut, yakni 18,7%. Obesitas Sentral: nasional 18,8% dan juga
hampir disamai oleh Yogyakarta, yakni 18,4%. Prevalensi nasional untuk
konsumsi energi yang rendah pada kelompok lansia adalah 59% dan
protein yang rendah 58,5%. Yogyakarta sudah mencatat di atasnya, untuk
konsumsi energi yang rendah adalah 67,1% dan protein yang rendah
adalah 66,9%.
Penanganan Malnutrisi Lansia
Memerhatikan fakta-fakta di atas, harus segera ditetapkan beberapa
upaya untuk menurunkan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif. Pertama, perhatikan konsumsi gizi --makro maupun mikro-- yang seimbang
pada makanan para lansia. Kedua, perbanyak makanan berserat. Ketiga,
para lansia harus mengurangi makanan yang mempunyai rasa manis,
asin, dan kandungan lemak jenuh, misalnya, goreng-gorengan dan
beberapa daging merah yang mengandung kolesterol cukup tinggi.
Keempat, perhatikan kondisi psikologi lansia agar mereka mau makan
dalam suasana menyenangkan, tidak disertai rasa stress. Kelima, jangan
lupa melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki minimal 30 menit
sebanyak tiga kali seminggu. Tidak perlu setiap hari, yang penting
30 menit sebanyak tiga kali seminggu. Mungkin ada yang mengambil
langkah pintas, melakukannya hanya sekali seminggu, tetapi selama 1,5
jam. Cara jalan pintas semacam ini sangat tidak disarankan. Keenam,
jangan lupa waktu tidur diatur, butuh kurang lebih 6 jam untuk istirahat,
sisanya silakan dipakai untuk melakukan aktivitas ringan.
Kebutuhan Gizi Lansia
Yang disebut sebagai gizi seimbang, komposisinya adalah 60-65% karbohidrat kompleks, 20-25 % asupan protein, dan 20% lemak --sebaiknya
lebih banyak mengonsumsi lemak nabati dibanding lemak hewani, karena lemak hewani mengarah pada peningkatan kolesterol. Selain itu,
perbanyak makanan sumber vitamin A, D, E, B12, B1, asam folat, dan C
119
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
yang menunjang kesehatan. Perbanyak makanan sumber Fe, Zn, Ca, K,
dan P. Perbanyak minum air putih, minimal 8 gelas sehari, dan serat
dari sesayuran serta bebuahan.
Penelitian dan Pelayanan Masyarakat
Kami sudah melakukan beberapa kajian tentang gizi usia lanjut, antara lain, kajian antropometri untuk penetapan status gizi (PSG) lansia.
Bagi lansia yang sudah lumpuh atau mengalami osteoporosis, sehingga
tidak bisa lagi diukur tinggi badannya secara tegak, kami gunakan alat
penduga (predictor) panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk.
Dari kajian tersebut, kami sudah melakukan kajian validasi sehingga
yang menghasilkan enam model untuk memprediksi tinggi badan
lansia. Untuk menggantikan penggunaan alat antropometri yang
terbuat dari kayu, kami telah mengembangkan alat IMT-meter yang
menggunakan sensor elektronik. Cukup dengan duduk saja, seorang
lansia yang sudah lumpuh bisa diukur tinggi dan berat badannya.
Kami melakukan pengabdian masyarakat berupa sosialisasi pengukuran tinggi badan prediksi dengan alat antropometri manual. Ini dilaksanakan di Depok dan Jakarta tahun 2010 dan 2011. Kemudian
pengabdian masyarakat berupa aplikasi teknologi IMT-meter bagi
kader Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU) dan petugas PUSKESMAS
di Kota Depok tahun 2012.
Rencana dan Tindak Lanjut
Kami telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk menyusun buku pedoman tatalaksana pelayanan gizi lansia bagi petugas
PUSKESMAS. Kami juga akan mengsosialisasikan alat IMT-meter ke
beberapa daerah sekaligus melakukan pelatihan penggunaannya. v
120
Pasar Kerja Fleksibel &
Beban Kerja Lansia
Indrasari Tjandraningsih
AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung
A
da satu kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia yang tidak berkaitan
langsung dengan lansia, tapi ternyata dampaknya bisa dikatakan
langsung --selain tidak langsung-- terhadap lansia. Satu kebijakan itu
adalah yang disebut pasar kerja fleksibel.
Pasar kerja fleksibel adalah suatu kebijakan yang intinya adalah untuk
mempermudah dunia usaha atau pebisnis bergerak secara lebih pegas
(fleksibel), terutama ketika guncangan-guncangan ekonomi yang sifatnya
global, nasional, maupun lokal makin sering terjadi. Kebijakan pasar kerja
fleksibel ini diterapkan di Indonesia dan dilegalkan melalui Undangundang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Argumen pokok yang
ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa kebijakan pasar kerja fleksibel
ini telah menurunkan kesejahteraan dan kondisi kerja buruh yang, pada
gilirannya, membawa dampak ikutan yang menambah beban bagi lansia
dan menurunkan kesejahteraan mereka juga.
Saya ingin menggarisbawahi bahwa fokus uraian ini adalah untuk melihat
dampak kebijakan tersebut secara lebih khusus pada lansia, terutama
lansia di kawasan pedesaan dan lansia yang miskin. Mengapa? Karena
data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 memperlihatkan bahwa
sebagian besar lansia memang ada di pedesaan. Lansia di pedesaan
121
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
itu juga pendidikannya rendah. Alasan lain adalah bahwa di sektor
perburuhan, para buruh yang bekerja di sektor formal atau di pabrikpabrik di perkotaan kebanyakan justru berasal atau datang dari
pedesaan. Jumlah lansia sebagai angkatan kerja di pedesaan juga
cukup tinggi, laki-laki 73% dan perempuan 38%. Mayoritas bekerja di
sektor pertanian atau sektor informal. Dari semua lansia yang bekerja
di pedesaan tersebut, 75% tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD.
Persentase lansia yang bekerja di perkotaan lebih rendah, 65% tamat
SD.
Tetapi, apa sebetulnya pasar kerja fleksibel itu?
Yang paling mudah dikenali adalah praktik-praktik kerja kontrak dan
outsourcing. Ini yang menjadi isu yang paling ‘panas’ di kalangan
buruh saat ini. Baru kemarin saja, surat-surat kabar memberitakan
bahwa Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah menandatangani
satu peraturan baru yang mengatur outsourcing, tetapi belum keluar
karena masih sedang diolah di Kementerian Hukum dan HAM. Intinya
adalah hubungan kerja kontrak. Hubungan kerja kontrak itu berarti
seseorang dipekerjakan oleh orang lain untuk masa tertentu. Undangundang di Indonesia hanya membatasi kontrak paling lama sampai
3 tahun dan kontrak itu rentangnya bisa 3 bulan sampai 3 tahun.
Yang kedua adalah hubungan kerja melalui mekanisme outsourcing,
yakni seseorang direkrut oleh orang lain yang akan menggunakan
tenaganya melalui perantaraan pihak ketiga --juga dikenal sebagai
PPJP (Perusahaan Penyalur Jasa Pekerja)-- yang fungsinya sebetulnya
tidak jauh dari fungsi Perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia
(PPJTKI) yang selama ini mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Bedanya
adalah bahwa PPJP hanya menyalurkan tenaga kerja ke perusahaanperusahaan di dalam negeri.
Bersama serikat buruh yang sekarang paling kuat di Indonesia --yaitu
Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI)-- pada tahun 2010,
AKATIGA melakukan penelitian untuk mengetahui: apa sebetulnya
pasar kerja fleksibel dan praktiknya seperti apa?
Beberapa hal berikut adalah temuan penelitian tersebut. Pertama,
pasar kerja fleksibel itu menciptakan pengelompokan pekerja berdasarkan status hubungan kerja dan usia. Sejak ada pasar kerja fleksibel,
kita punya tiga hubungan kerja yang belum tercatat dalam data statistik. Jadi ada pekerja tetap, yaitu orang yang bekerja sampai pensiun.
122
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
Kemudian ada pekerja kontrak, yaitu mereka yang bekerja melalui
kontrak langsung oleh perusahaan yang mempekerjakan. Kemudian yang
ketiga adalah pekerja outsourcing, yakni mereka yang bekerja melalui
pihak ketiga.
Berdasarkan usia, secara langsung terjadi pengelompokan. Para pekerja
tetap adalah mereka yang relatif dewasa, masih dalam kelompok usia
produktif, umumnya usia 30-40 tahun. Adapun pekerja kontrak dan
pekerja outsourcing umumnya adalah kelompok-kelompok usia yang
lebih muda. Penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel ternyata cenderung
hanya menerima pekerja kelompok usia 18-22 tahun, kelompok usia
pekerja yang sekarang paling laris dan sangat diminati oleh perusahaanperusahaan. Akibatnya, kesempatan kerja di sektor formal menjadi
semakin terbatas, terutama bagi mereka yang tidak termasuk dalam
kelompok usia 18-22 tahun.
Implikasi lanjutan dari penerapan pasar kerja fleksibel itu adalah diskriminasi berdasarkan status hubungan kerja. Ada semacam hierarki. Paling
atas --para ‘menak’-- adalah pekerja tetap, karena mereka mendapatkan
berbagai fasilitas, upah, peningkatan jenjang karir, dan sebagainya.
Kasta paling bawah adalah pekerja outsourcing, karena mereka hanya
mendapatkan upah pokok dan ‘kadang-kadang’ tunjangan makan dan
transport. Situasi ini berimplikasi menurunkan kondisi kerja dan posisi
tawar. Mengapa? Karena, praktik tersebut kini berlangsung sangat masif
di Indonesia. Dengan mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing,
ada dua keuntungan bagi perusahaan. Pertama, menurunkan biaya tenaga kerja. Kedua, mengalihkan urusan administratif ketenagakerjaan,
pengendaliannya dan segala macam urusan yang berkaitan dengannya,
ke pihak ketiga. Sehingga, para pengusaha sebenarnya ‘tinggal terima
jadi’. Kalau ada keluhan-keluhan terhadap pekerja tidak usah langsung
ditangani, cukup menelepon perusahaan penyalurnya saja untuk segera
mereka selesaikan.
Implikasi berikutnya adalah terjadi informalisasi hubungan tenaga ker-ja
di sektor formal. Di dalam praktik outsourcing --ini banyak sekali terjadi-- hubungan-hubungan kerja dilakukan secara informal. Berbagai
macam tunjangan yang biasanya diberlakukan oleh buruh formal, tidak
diberikan. Ini adalah beberapa bukti bagaimana pasar kerja fleksibel itu
diterapkan.
Semua itu kemudian membawa dampak bagi pekerja di sektor formal
123
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
sekarang. Kepastian kerja mereka berkurang. Karena hubungan kerja
adalah kontrak untuk jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat
tertentu pula, maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat
menjadi pekerja tetap --apalagi untuk mendapat dana pensiun. Tentu
saja, upah dan tunjangan mereka berkurang atau lebih kecil dibanding
pekerja tetap. Akibat lanjutannya, kesejahteraan menurun dan produktivitas pun ikut menurun. Sudah menjadi pengetahuan umum
bahwa buruh di Indonesia terkenal upahnya paling rendah di seluruh
Asia. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa para buruh di sini
sangat rajin berunjuk-rasa menunut kenaikan upah. Sekarang, mereka
menuntut upah minimun regiobal (UMR) minimal Rp 2 juta dan itu
membuat para pengusaha yang bergabung dalam Asosiasi Pengusahan
Indonesia (APINDO) kebakaran jenggot.
Sejak tahun 1970 --ketika Indonesia mulai mengalami industrialisasi-sampai tahun 2012 saat ini, pola hidup buruh tidak berubah. Berbagai
penelitian menunjukkan keadaan pada tahun 1970, 1980, 1990, 2000,
2010 --mungkin juga nanti sampai tahun 2015 dan 2020-- polanya masih
tetap. Buruh-buruh di sektor formal itu bisa bertahan hidup dengan
dua cara utama. Pertama, berutang, bisa ke tetangga, teman, warung
terdekat, pokoknya bisa ke mana saja, termasuk ke tukang kredit.
Kedua --inilah yang berkaitan dengan kaum lansia-- menggantungkan
sebagian dari beban hidup mereka kepada orang tua.
Ada tesis yang mengatakan bahwa --dari tahun 1970 sampai tahun
2012-- industrialisasi Indonesia sebenarnya disumbang oleh warga
desa. Artinya, sebagian besar buruh di Indonesia yang bekerja di
pusat-pusat industri --terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, dan Batam-- semua datang dari pedesaan. Karena
upah mereka tidak memadai, maka mereka kembali kepada orang
tua di desa. Apa bentuknya? Sangat biasa, seperti kalau mahasiswa
kos-kosan di kota, terus uang habis, tiada jalan lain kecuali pulang
ke orangtua di kampung untuk minta tambahan uang saku! Itu mahasiswa yang masih kuliah. Tetapi, para buruh ini adalah mereka
yang sudah bekerja. Biasanya, orangtua mengirim beras atau bahan
makanan, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan makannya saja
dulu. Kalau mereka sudah berkeluarga dan punya anak, banyak sekali
yang menitipkan anaknya di kampung, karena tidak mampu untuk
menitipkan anak-anaknya di penitipan anak di kota. Demikian pula
dengan tempat tinggal. Masih banyak buruh di perkotaan yang sewa
124
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
tempat tinggal atau kos-kosannya dibantu sebagian oleh orangtua mereka.
Dampak Pasar Kerja Fleksibel bagi Lansia
Di sinilah muncul ‘irisan’ antara kebijakan ketenagakerjaan dengan kaum lansia. Semua yang diuraikan tadi adalah dampak yang perlu lebih dicermati. Setahu saya, hal ini belum pernah diteliti, karena persinggungan
keduanya ini merupakan satu hal baru. Tetapi, dari pola hidup buruh untuk
bertahan selama ini, ternyata ada satu fenomena di mana terjadi satu pola
‘ketergantungan baru’ secara terbalik menurut kelompok usia.
Menurut penjelasan para pakar ekonomi, selama ini ada satu konsep yang
disebut ‘rasio ketergantungan’ (dependency ratio). Intinya adalah orangorang tua bergantung kepada kaum usia produktif. Gejala yang dihasilkan
atau dampak dari kebijakan pasar kerja fleksibel jutsru memperlihatkan
keadaan sebaliknya, usia produktif yang bergantung kepada para orangtua
mereka. Ini adalah satu fenomena yang punya implikasi luas. Perlu kita
berpikir ulang dan melakukan redefinisi: sebenarnya apa yang dimaksud
dengan orang-orang tua yang dianggap tergantung kepada orang-orang
muda usia produktif? Apa itu lansia? Apa itu ketergantungan?
Implikasi lanjutannya adalah tentu saja menjadi lebih rentan kehidupan para
lansia, karena diasumsikan seseorang yang berusia 60-65 tahun seharusnya
sudah santai, sudah bisa menikmati hidup --ini pun sebenarnya adalah
anggapan ‘bias kota’-- tetapi pada kenyataannya mereka tetap harus bekerja
untuk menanggung sebagian biaya kehidupan anak-anaknya yang notabene
sudah bekerja di kota. Implikasi lainnya, tentu saja, adalah meningkatnya
beban sosial-ekonomi, memaksa lansia terus bekerja, dan bisa jadi masuk
ke lingkaran kemiskinan.
Semua hal itulah, pada akhirnya, membawa kita pada rekomendasi kebijakan.
Pertama, perlu meninjau ulang kebijakan pasar kerja fleksibel, karena selain
membawa dampak negatif bagi para pekerja, ternyata juga berdampak berat
bagi orangtua para pekerja tersebut. Kedua, mungkin juga harus meninjau
ulang konsep rasio ketergantungan dalam konsep ilmu ekonomi tentang
hubungan antara penduduk lansia dengan penduduk usia produktif. Ketiga,
memberikan jaminan sosial dan tentu saja membuat fasilitas publik yang
memadai untuk kaum lansia. v
125
Peran Organisasi Filantropi
Berbasis Keagamaan dalam
Penanganan Lansia
Hilman Latief
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
I
stilah ‘filantropi’ kini mulai banyak digunakan di Indonesia. Biasanya,
istilah itu di’Indonesia’kan menjadi ‘kedermawanan’. Dalam bahasa
asalnya, Yunani, akar katanya adalah philo dan thropus, artinya: cinta
manusia. Jadi, filantropi adalah sikap kedermawanan yang dimotivasi
oleh rasa cinta kepada sesama manusia. Ungkapan kecintaan itu, antara lain, diwujudkan dalam tindakan memberi (giving) dan peduli
(caring). Yang menarik adalah tradisi memberi itu semakin meningkat
di Indonesia akhir-akhir ini dan, tentu saja, banyak faktor penyebabnya,
termasuk semakin menguatnya kelompok kelas menengah --tentu saja
kelas menengah ada berbagai pengertian dan tingkatan-- yang intinya
adalah mereka yang sudah bisa mencukupi hidupnya sehingga dapat
membagi sebagian dari miliknya kepada orang lain untuk alasan sosial
atau kemanusiaan.
Sudah banyak dibahas tentang bagaimana sulitnya menerapkan kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan sosial. Skema asuransi
kesehatan, JAMKESOS, JAMKESMAS, dan sebagainya, meskipun itu su-
126
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
dah menjadi agenda negara tapi dalam praktiknya ‘jauh panggang dari
api’. Masih banyak sekali persoalan-persoalan yang dihadapi. Jaminan
kesehatan untuk warga miskin, misalnya. Fakta di lapangan menunjukkan
masih banyak sekali warga miskin yang bahkan tidak berani pergi ke
PUSKESMAS. Banyak soal, misalnya, perlakuan petugas yang sangat
memengaruhi pandangan warga terhadap lembaga pelayanan publik
tersebut. Saya pernah melakukan riset dan menemukan semakin banyak
klinik-klinik gratis atau murah yang dibangun atas dasar keyakinan keagamaan untuk berbuat baik atau beramal pada sesama (faith-basedcharitable clinics). Salah satu yang menarik adalah satu ‘maternity clinic’,
klinik persalinan gratis di Bandung. Menariknya adalah karena yang
datang ke sana bukan hanya warga Kota Bandung, tetapi dari daerahdaerah lain yang jauh di pedalaman seperti Pangalengan, Cikalongwetan,
dan lain-lain. Padahal, PUSKESMAS sudah ada di mana-mana, termasuk
di daerah-daerah pedalaman tersebut. Tetapi, inilah jawaban jamak yang
diberikan oleh para warga desa yang miskin yang datang ke klinik di
Kota Bandung itu: “PUSKESMAS ada, Pak. Tapi, kalau kita datang ke sana,
karena kita ini orang miskin, nanti nggak bisa bayar...”
Potensi untuk memberi atau berbagi di Indonesia sebenarnya luar biasa besar. Dari kalangan Muslim saja, dana sedekah atau zakat yang terkumpul sudah mencapai sampai Rp 217 triliun. Belum lagi jimpitan
beras (rice endowments), atau wakaf, di mana hampir semua lembaga
pelayanan sosial --terutama di bidang pendidikan dan kesehatan--yang
dikelola badan-badan sosial swasta di Indonesia sebenarnya berdiri di
atas tanah wakaf. Data menunjukkan bahwa dana zakat pada tahun 2010
di seluruh Indonesia mencapai Rp 1,5 triliun, terus meningkat menjadi
Rp 1,7 triliun pada tahun 2011. Secara agregat, mungkin jumlah itu tidak
terlalu besar, tetapi juga bukan jumlah yang kecil untuk melakukan
banyak hal.
Potensi besar itulah yang melahirkan berbagai organisasi baru untuk
mengelolanya. Di kalangan Muslim, ada Dompet Dhuafa, Rumah Zakat,
Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Lembaga Amil Zakat, Infaq &
Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU). Muhammadiyah dan NU sekarang
juga mulai melirik ke arah itu. Bahkan saat ini juga sudah banyak yang
berskala kecil, lokal, dan tidak terkoordinir. Lebih jauh lagi, organisasiorganisasi tidak hanya bergerak di sektor tradisional mereka selama ini,
tetapi juga mulai merambah ke bidang-bidsang lain, misalnya, dalam
isu-isu kebencanaan. Mereka mendirikan organisasi-organisasi bantuan
127
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
kemanusiaan (relief organizations) yang bisa bergerak di lokasilokasi bencana, di daerah rakyat miskin, di pedesaan-pedesaan, dan
sebagainya. Muhammadiyah, misalnya, sudah mendirikan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Di kalangan non-Muslim,
ada Yayasan Buddha Tzu Chi atau yang sudah luas dikenal seperti
Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) di kalangan Kristen Protestan. Yang lebih sekuler, ada MER-C, Bulan Sabit Merah
Indonesia, dan sebagainya. Bahkan yang berafiliasi dengan partai
politik pun sudah ada, misalnya, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU)
yang berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Terlepas dari
ada atau tidaknya motif dan ideologi politik di sebaliknya, tapi yang
menarik adalah bahwa kesadaran tentang bagaimana menyalurkan
bantuan kepada mereka yang membutuhkan mulai menguat, tidak
hanya ke lokasi-lokasi miskin di perkotaan, tetapi juga sampai ke
pedesaan.
Bicara tentang filantropi, sekarang tidak hanya terbatas pada sedekah
perseorangan (individual giving). Ada ratusan perusahaan saat ini
yang juga menyalurkan dana-dana bantuan sosial mereka, baik itu
dalam skema coorporate social responsibility (CSR) maupun dalam
pola lainnya. Dalam daftar yang ada, perusahaan-perusahaan itu
adalah perusahaan-perusahaan besar, bahkan raksasa multinasional,
mulai dari perusahaan komputer, telekomunikasi, sampai minyak,
misalnya, TELKOMSEL, Exxon-Mobile, dan sebagainya. Dari segi jumlah, memang cukup fantastis dan, karena itu, akhirnya ini memicu
organisasi-organisasi lain untuk muncul. Apa yang menarik adalah
bahwa sebagian dari dana-dana sosial perusahaan-perusahaan besar
tersebut justru sengaja disalurkan khusus melalui lembaga-lembaga
berbasis keagamaan, terlepas dari apapun alasannya.
Kembali ke contoh lembaga-lembaga pelayanan sosial semacam klinik
gratis atau murah sebagai alternatif bagi warga miskin. Kesa-daran
mereka bukan hanya memberikan pelayanan kepada yang membutuhkan, tetapi juga melakukan penyuluhan-penyuluhan. Menurut
saya, itu satu pergeseran yang menarik, karena selain melakukan tindakan tradisional kuratif, mereka juga sudah mulai melangkah ke
ranah preventif. Selain itu, mereka juga berbeda dengan lembagalembaga layanan sosial milik pemerintah dalam hal pemilihan lokasi
kerja. Umumnya, mereka justru memilih tempat-tempat yang tidak
terjangkau.
128
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
Catatan saya adalah bahwa ketika organisasi-organisasi filantropi semakin
banyak, isu-isu penuaan penduduk atau lansia justru belum banyak
mereka sentuh. Meskipun bahwa sebagian besar yang mereka layani
itu adalah orang-orang tua juga, terutama yang miskin, namun belum
menjadi suatu isu tersendiri yang digarap secara khusus pula. Karena itu,
apakah mungkin bagi kita membangun sinergi dalam penanganan isu-isu
lansia ini?
Sebagai contoh, menguatnya lembaga-lembaga filantropi berbasis keagamaan Islam ternyata tidak selalu berjalan seiring dengan keberagaman
program mereka. Umumnya, mereka hanya meniru apa yang sedang
trendy, sehingga tidak menawarkan program-program baru yang bersifat terobosan atau alternatif. Hanya beberapa saja yang mempunyai
landasan riset yang kuat, misalnya, Dompet Dhuafa, yang sudah sering
bekerjasama dengan IPB dan UI untuk membuat peta kemiskinan; atau
bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI)
untuk melakukan riset tematik. Padahal, organisasi-organisasi filantropi
berbasis keagamaan --bukan hanya di lingkungan Islam, tapi juga agamaagama lainnya-- memiliki basis dukungan anggota dan warga yang sangat
besar yang rela menyumbangkan dan menyalurkan dananya melalui
organisasi-organisasi tersebut. Ini berbeda dengan NGO-NGO sekuler
yang justru sering mengalami kesulitan mendapatkan dukungan dana
dari warga masyarakat. Singkatnya, organisasi-organisasi filiantropi berbasis keagamaan memiliki basis legitimasi dan representasi yang jelas
dan berakar.
Namun harus diakui bahwa organisasi-organisasi filantropi berbasis
keagamaan itu umumnya masih jauh tertinggal --dibanding NGO-NGO
sekuler atau yang bergerak dalam isu-isu pembangunan dan kebijakan
publik-- dalam kapasitas mereka mengembangkan program-program
alternatif. Dalam hal inilah sebenarnya organisasi-organisasi filantropi
bebasis keagamaan itu perlu belajar kepada NGO-NGO sekuler tersebut.
Misalnya, belajar dari pengalaman kaya NGO-NGO tersebut melakukan
advokasi pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu strategis ke dalam
kebijakan publik.
Salah satu contoh paling menonjol adalah pengarusutamaan isu-isu
gender yang diperjuangkan oleh banyak NGO sejak tahun 1980-an. Ini
adalah contoh pengarusutamaan yang sangat berhasil, sehingga isuisu gender sekarang sudah masuk ke dalam hampir semua kerangka
kebijakan publik, selain sudah meluas dan menguat pada berbagai
129
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
organisasi sosial, termasuk organisasi-organisasi filantropis yang
selalu harus mempertimbangkan persoalan gender dalam semua
kegiatannya. Organsisasi-organisasi yang bergerak dalam isu lansia
pun sudah menjadikan isu gender sebagai salah satu perspektif
mereka. Maka, seharusnya terjadi suatu pertukaran dalam hal ini, bagaimana organisasi-organisasi filantropis mulai mengarusutamakan
isu-isu lansia kepada NGO-NGO lain tersebut. Organisasi-organisasi
filantropis --berbasis keagamaan atau bukan-- yang bergerak dalam
isu-isu lansia mestinya menjadikan juga NGO-NGO yang lain sebagai
‘sasaran strategis’ (strategic targets), sekaligus sebagai ‘mitra strategis’
(stratgeic partners) untuk mengarusutamakan isu-isu lansia. v
130
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
DISKUSI
DWI RETNO WILUJENG WAHYU UTAMI (Deputi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik, Jakarta)
D
alam dua hari ini saya sudah mendengarkan banyak
paparan yang sangat menarik. Saya langsung berpikir: apa ya yang harus kami perbuat untuk menjawab
tantangan penuaan penduduk? Bagi kami di BPS, masalah penuaan penduduk ini sebenarnya tidak asing lagi,
karena setiap tahun kami menerbitkan buku statistik lansia dari hasil
SUSENAS, kemudian dari hasil sensus penduduk 2010. Tetapi, ternyata
begitu kita melihat apa yang Ibu Evi paparkan tadi, belantara lansia yang
luar biasa ini, rasanya kami di BPS juga harus berbenah, tidak sekedar
melakukan penyajian data rutin, tetapi juga sudah mulai bisa menangkap
tantangan dalam penyediaan datanya. Misalnya saja, dalam SUSENAS
yang sejak 1992 sampai sekarang kita jaga sekali kontinuitasnya, sampai
perubahan kuisionernya hanya boleh sedikit-sedikit saja. Ke depan, tahun 2014, kita punya kesempatan, sudah ada lampu hijau untuk kita
me-reform SUSENAS itu. Saya jadi berpikir bahwa di dalam SUSENAS
mungkin kita perlu juga mencantumkan pertanyaan-pertanyaan yang
bisa mengungkap seperti apa gambaran lansia kita, kebutuhannya,
dan sebagainya. Saat ini, misalnya untuk status kesehatan saja, kita
punya pertanyaan standar yang sama untuk balita, remaja, dewasa,
dan lansia. Untuk ke depan, kita barangkali perlu pertanyaan khusus
untuk merekam keadaan lansia kita ini seperti apa. Kita tahu bahwa
laju pertumbuhan lansia sangat besar, 2,5%, dibandingkan dengan laju
pertumbuhan penduduk secara umum yang hanya 1,4%. Itu saja sudah
membuat kita semua berpikir bahwa beberapa puluh tahun ke depan
struktur penduduk kita akan jauh berubah dan itu harus kita antisipasi
sejak sekarang.
Kemudian, terkait dengan isu kedua, kami sebetulnya punya data
mengenai panti. Dari data POLDES yang menanyakan tentang keberadaan
panti, ternyata dari 497 kabupaten, panti hanya terdapat di 170 kabupaten. Kalau kita lihat jumlahnya, juga sangat kecil, hanya sekitar
300-an. Kalau Kementerian Sosial kemarin hanya menyebut 240 sekian,
data dari POLDES adalah 300 lebih, mungkin karena meliput juga yang
dikelola oleh bukan pemerintah. Sebelum saya hadir ke sini, saya hanya
berpikir: kenapa panti sosial, panti jompo, dan panti wredha sangat
131
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
sedikit jumlahnya? Sementara kalau kita lihat di Beijing, misalnya,
jumlah panti sangat banyak.
Kemarin saya mendapatkan wawasan baru dari Ibu Luh Suryani bahwa
setiap lansia sebaiknya tinggal dengan keluarganya. Itu saya rasa yang
terbaik. Jujur, saya sendiri kalau ditanya pasti saya akan menjawab saya
akan merawat sendiri orangtua saya. Tetapi, saya berpikir, bagaimana
dengan mereka yang tidak mampu? Bagaimana dengan pertumbuhan
lansia yang sangat besar? Ke depan, apakah satu keluarga harus menanggung dua sampai tiga generasi dalam satu rumah? Extended
family memang sudah biasa di Indonesia, tetapi ke depan, beberapa
puluh tahun ke depan, ketika dalam satu keluarga harus menanggung
misalnya dua generasi dari sisi orangtua dan dua generasi dari sisi
mertua, bagaimana dari sisi keuangannya, bagaimana membiayai itu?
Apakah itu tidak menjadi perhatian dari pemerintah? Apakah bukan
panti juga yang menjadi alternatif untuk itu?
Saya pikir, ketika Ibu Eva kemarin menjelaskan tentang UN Principal
of Ageing, salah satu yang paling penting adalah self fulfillment.
Artinya, apakah lansia ini akan memilih tinggal dengan keluarganya
atau akan tinggal di panti, yang penting itu adalah keputusan si lansia
sendiri. Kalau tinggal di rumah tapi tidak ada anak dan menantu,
karena setiap hari pulangnya malam --dia hanya di depan TV, tidak
melakukan sesuatu, kesepian, dan sebagainya-- apakah tidak boleh
kalau dia menentukan dia ingin tinggal di panti bersama-sama teman
sebaya yang punya kegiatan yang menyenangkan, membahagiakan,
dan sebagainya? Saya pernah melihat panti yang menarik yang dikelola
oleh Group Indofood. Di sana, lansia-lansia yang sudah lanjut, sudah
di atas 80 tahun, mereka punya bermacam-macam kegiatan yang
menyenangkan, yang membuat mereka merasa berarti daripada dia
tinggal di rumah sendirian.
Kemudian, yang ketiga --mungkin menyangkut juga apa yang Pak
Hilman tadi cerita-- kami di BPS juga sedang membangun yang disebut
dengan happiness index untuk melihat bahwa sekarang ini tidak cukup
kita menggunakan indikator ekonomi saja untuk melihat kemajuan
dan kesejahteraan penduduk, karena di balik pertumbuhan ekonomi
ternyata menyembunyikan banyak sekali kemiskinan, pengangguran,
dan sebagainya. Ketika BPS nanti sudah mengembangkan happiness
index, saya juga berpikir tentu tidak lagi berbicara kekayaannya, kemiskinannya, dan sebagainya, tetapi lebih kepada wellbeing-nya: ba-
132
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
gaimana, apa, dan di mana letak kebahagiaan dia? Kalau kembali lagi ke
soal nanti apakah dia harus tinggal di rumah atau apakah harus tinggal
di panti, tentu yang ditanya adalah pshycological wellbeing-nya: di mana
letak kebahagiaan yang dia inginkan?
EVI NURVIDYA ARIFIN (Moderator):
T
erima kasih banyak, Bu, benar semua itu. BPS memang
adalah institusi yang selama ini kita andalkan untuk
menyediakan datanya. Saya senang sekali dengan semua pertanyaan Ibu tadi, karena langsung berkaitan
dengan bagaimana mengimplementasikannya di BPS,
dan itu akan sangat-sangat berguna sekali untuk kita semua. Terima
kasih atas semua komentarnya dan nanti akan ditanggapi oleh para
panelis. Saya kira lebih baik kita kumpulkan semua pertanyaan untuk
ditanggapi, karena mungkin saja akan ada yang overlap, sehingga bisa
dijawab sekaligus. Baik, silahkan, Profesor Sunyoto!
SUNYOTO USMAN (Gurubesar Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta):
S
aya dari Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
UGM. Tahu saya hanya sosiologi, karena itu komentar
saya nanti ‘jualan’ sosiologi sebenarnya. Ketika saya ke
panitia tadi, saya diberi gambar ini --gambar nenek
pada sampul kalawarta WHO. Ini menarik. Kelihatannya panitia ingin
supaya semua yang hadir di sini iba kepada para lansia. Saya tidak bisa
membayangkan andaikata gambarnya itu Soeharto, umur 80 tahun,
di pundaknya bintang lima. Mesti orang berpikir: itu orang serakah,
diktator, orang tua yang tidak tahu malu, dan seterusnya.
Tetapi poin saya begini: dari tiga sesi yang saya ikuti, semuanya melihat
baru satu dimensi saja. Kawan-kawan saya di FISIPOL, ketika menganalisis
partai politik dan kepala-kepala daerah, mereka jadi jengkel pada
orang-orang tua. Mengapa? Karena partai politik itu mulai dari tingkat
Jakarta sampai bawah didominasi oleh orang-orang tua. Bahkan mereka
sekarang sudah membentuk dinasti. Semua partai politik jadi dinasti. Ada
anak muda memang yang bisa masuk ke sana, kalau dia punya jaringan
133
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tertentu dengan orang tua-tua di sana, Kalau hanya lulusan FISIPOL
UGM saja, berat! Karena itu, saya harap sesi-sesi berikutnya, hal ini
perlu diperhatikan, apalagi kalau nanti akan membuat policy. Kalau
policy hanya didasarkan rasa iba, saya khawatir policy itu bisa tidak
relevan, tidak punya konteks. Padahal, selain harus punya konsep
yang jelas, satu policy juga harus punya konteks, juga harus bisa
diaktualisasikan. Kalau tidak, nanti hanya akan menjadi do’a saja.
Berikutnya, saya ingin memberi catatan kepada Ibu yang bicara soal
ketenagakerjaan tadi. Ini seolah-olah orang tua menjadi beban karena
anaknya kerja. Tapi, nanti dulu. Dalam tradisi kehidupan masyarakat
kita, ada yang disebut ‘prenia’, nanti ada sambungannya dengan soal traditional security. Jadi, ketika orang tua momong cucunya, itu
tidak serta merta diartikan ini sebagai ageing subordination. Ada
definisi non-verbal di sini. Ada sistem pembagian kerja yang hidup
di masyarakat kita. Anda bisa bayangkan kalau ada kakek atau nenek
jalan-jalan sendiri, sementara cucunya malah menangis di rumah. Itu
pasti ‘kakek atau nenek durhaka’. Begitu juga kakek atau nenek yang
sayang kepada cucunya, katanya, melebihi sayangnya kepada anaknya.
Ini mungkin tidak ditemukan dalam tradisi kehidupan masyarakat
Barat. Saya kira policy apa pun harus memperhatikan hal seperti itu.
Karena itu, kata kuncinya ini bukan hanya aset dalam persoalan relasi
sosial kita, tapi kapabilitas. Artinya bukan hanya materi, tapi juga ada
aspek-aspek non-materi perlu diperhatikan pada isu-isu lansia.
Yang terakhir, saya ingin supaya analisis semacam ini tidak hanya
pada diri perseorangan lansia itu sendiri. Ada baiknya analisis ditarik
ke aras yang lebih luas di mana nanti akan terlihat apa yang kita
kenal dengan trans-national practices. Di Yogyakarta ini, banyak
bakul gudeg, ayam goreng, itu semua orang tua, ibu-ibu. Tapi, coba
lihat sekarang, di Yogyakarta ini gerai fastfood hampir setiap tahun
bertambah jumlahnya. Coba periksa, Kentucky Fried Chicken itu
ayamnya dipelihara di mana? Ya, di Sleman dan Kulonprogo. Dijualnya
di mana? Di Mirota Kampus, Sleman juga. Oleh siapa? Oleh orang
Sleman juga. Yang beli siapa? Orang Sleman juga, para mahasiswa
dan dosen-dosen di kampus. Sampahnya dibuang di mana? Di Sleman
juga. Jadi, Indonesia ini sudah dikepung trans-national practices
seperti itu. Bukan hanya makanan saja, tapi banyak aspek, sampai
kawan-kawan saya di Jurusan Teknik Arsitektur itu mengelus dada,
prihatin, karena heritages, peninggalan-peninggalan kuno sudah ja-
134
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
di mall, jadi supermarket, dan sebagainya. Di tiap-tiap kecamatan di
Yogyakarta ini sekarang sudah ada mini market. Nah, sekarang bagaimana
dengan orang-orang tua bakul jamu, bakul sayur? Saya kira, kalau nanti
akan ada usulan policy, variabel ini tolong ikut dihitung, jangan hanya
menghitung persoalan perseorangan lansianya saja. Karena, policy yang
akan dihasilkan nanti jadinya terlalu mikro, hanya jadi persoalan usia,
persoalan tua.
Persoalan lansia, menurut saya, jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan perseorangan para lansia. Kenyataan trans-national practices tadi,
misalnya, kekuatan modal-modal yang luar biasa besar kini merasuki
perekonomian pedesaan, perekonomian lapisan bawah. Jika persoalan
semacam itu diabaikan, pertolongan apa pun yang akan diberikan kepada para lansia --juga pada orang-orang muda di lapisan bawah-menjadi agak berat, sangat berat. Bahkan semakin berat masalahnya
bagi orang-orang muda yang nantinya akan menjadi lansia juga. Terima
kasih. Mohon maaf apabila ada kesalahan.
RACHMA INDAH (Peneliti, SMERU, Jakarta):
S
aya sekadar ingin menambahkan Mbak Asih dan
Profesor Sunyoto mengenai pengasuhan anak oleh
orang lanjut usia. Sebenarnya fenomena tersebut;
strategi bertahan dengan mengirim anak ke kampung
atau menitipkan anak di orang tua oleh para pekerja,
terutama para pekerja sektor industri di perkotaan, beberapa kali juga
kami temukan di beberapa kajian yang pernah kami lakukan. Di satu sisi,
hal tersebut memberi dampak positif, karena menjadi penolong bagi
para pekerja tersebut, terutama saat mereka mengalami kesulitan atau
krisis menimpa mereka di tempat kerja. Namun, sebenarnya ada hal lain
yang mungkin belum disentuh, kemungkinan juga berdampak negatif,
yakni kualitas pengasuhan anak oleh orang lanjut usia. Bagaimana pun
juga, orang tua, kakek atau nenek, punya keterbatasan fisik, ekonomi,
mungkin juga metode, cara-cara pengasuhan yang mungkin masih tradisional.
Selain itu, aspek lainnya lagi adalah sustainabililtas dari sistem tersebut.
Sampai kapan sistem itu akan berlangsung? Kita lihat saja, urbanisasi
semakin meningkat. Kalau sekarang mungkin masih ada orang tua di
kampung atau orang tua yang bisa menjadi bapak dari para pekerja itu,
135
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tapi apakah hal tersebut juga akan ada di masa depan? Kalau sekarang
mungkin orang tua yang ada di kampung masih memiliki aset dan
rumah tinggal sendiri, tetapi karena urbanisasi, belum tentu di masa
depan para orang tua juga memiliki aset untuk bisa menunjang anakanaknya yang bekerja di rantau.
HERNANI DJARIR (WHO Indonesia):
S
aya ingin menanyakan tentang IMT Meter. Kita
tahu bahwa sekarang POSYANDU lansia itu ada
di mana-mana. Apakah IMT Meter bisa diaplikasikan
di sana untuk mengukur status fisik lansia?
Kedua, saya setuju sekali tentang hal-hal tradisional
yang harus dipertahankan, bagaimana agar orang tua mengasuh
anaknya, tetapi tentu dengan beberapa tambahan ilmu agar dia bisa
mengasuh anak dengan baik. Kalau kita bicara tentang penuaan, intinya adalah bagaimana agar lansia bisa menjadi aktif, sehat, dan
mandiri. Saya melihat kalau di Singapura, atau di Jepang, orang-orang
tua itu masih bisa dipekerjakan sebagai cleaning service di gedunggedung di sana. Apakah ini merupakan suatu tantangan juga bagi kita
di Indonesia? Bagaimana kalau status kesehatan orang tua di Indonesia
itu cukup baik? Kalau persoalan ketenagakerjaan, bahwa orang tua
di desa bisa menopang anaknya yang menjadi tenaga kerja di kota,
bukankah yang harus kita atasi itu adalah bagaimana menghilangkan
outsourcing, kemudian bagaimana meningkatkan UMR?
Ketiga, Pak Hilman, saya setuju sekali. Sekarang ini banyak sekali
lembaga-lembaga keagamaan yang yang mengumpulkan dana dari
masyarakat. Apakah ada pembagian tugas di antara mereka atau
pembagian wilayah sehingga tidak terjadi tumpang tindih? Sangat
menarik istilahnya Pak Hilman bahwa NGO itu canggih tapi tidak diminati masyarakat, sementara lembaga-lembaga keagamaan itu tidak
canggih tapi lebih diminati masyarakat untuk menyalurkan uangnya.
Bagaimana kita mensinkronkan mereka, sehingga dua-duanya bisa
menjadi mitra yang saling menunjang, dengan wilayah kerja masingmasing yang jelas supaya tidak terjadi tumpang tindih. NGO yang
banyak itu adanya di Jakarta saja, sementara banyak sekali lembagalembaga agama yang bergerak di wilayah bencana.
136
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
SAPARINAH SADLI (Gurubesar Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta):
S
ebagai lansia, mendengarkan presentasi-presentasi
tadi, saya berpikir: saya berada di mana dalam semua
analisis itu, dalam semua data yang begitu canggih itu?
Terus terang, saya memang bukan orang kuantitatif.
Saya bukannya kurang setuju, tetapi faktor manusia, “orang”-nya koq
hilang dalam semua analisis dan data tersebut? Saya juga psikolog,
tentu saja saya memikirkan faktor “orang”nya itu bagaimana? Karena,
yang dinamakan kelompok lansia itu sebenarnya sama saja dengan
berbagai kelompok usia lain, apakah itu remaja, atau bayi, atau lainnya.
Semuanya adalah kelompok yang heterogen. Jadi, bagaimana semua data
kuantitatif itu tadi bisa membantu kita atau mereka yang mungkin tidak
tercakup atau tidak diperhitungkan di dalamnya? Umpamanya, tentang
penanganan malnutrisi lansia. Selalu disarankan, misalnya, jangan makan
makanan berlemak. Tetapi, budaya kita, gorengan itu makanan yang
sangat-sangat membudaya, apalagi di Jakarta. Kalau saya pergi ke mana
saja, orang-orang jualan gorengan itu banyak sekali, yang beli juga banyak
sekali. Saya hadir rapat di mana-mana ‘pulangnya’ juga bawa gorengan.
Bagaimana supaya kebiasaan itu bisa berubah? Saya setuju sekali bahwa
gorengan itu jangan seperti yang sekarang, tetapi makanan itu memang
enak soalnya! Di mana-mana, gorengan tempe, gorengan tahu itu selalu
habis langsung.
Kedua adalah tentang agar lansia itu bisa berada dalam kondisi psikologis
yang nyaman. Nah, apa itu kondisi psikologis? Sebagai psikolog, kalau
didatangi orang tua, saya terus ngomong kamu harus begini, harus begitu, karena menurut penelitian ilmiah itu harus demikian jika ingin
senang. Dalam kenyataannya, saya lihat justru kalau seorang nenek itu
merasa senang sekali kalau cucunya ada di sekitarnya, dan itu adalah
kondisi psikologis yang baik bagi dia. Tetapi, tadi dikatakan itu menjadi
beban. Kalau saya lihat, saya amati, jarang yang mengeluh bahwa mereka
dititipi cucu, jadi repot. Tidak! Nah, ini bagaimana? Gambaran saya ini
mungkin tidak benar, tapi bagaimana gambaran itu juga bisa dijadikan
suatu pegangan untuk kita bisa memahami lebih baik tentang lansia.
Kemudian, tentang tenaga kerja. Tadi dikatakan bahwa di pedesaan, lakilaki itu lebih tinggi dari perempuan. Saya pikir justru perempuan desa
itu ‘tidak tidur’, karena dia bangun paling pagi, tidur terakhir, dan makan
terakhir. Apakah ini ada kaitan dengan definisi yang dinamakan tenaga
137
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
kerja? Ini penting, terutama jika bicara soal kerja di pedesaan. Tadi
disebutkan perempuan bekerja di desa 38%, sedangkan laki-laki 73%,
lalu mayoritas laki-laki yang bekerja itu adalah di sektor informal, 75%.
Saya rada bingung tentang angka-angka ini. Karena, di desa semua
orang sebenarnya bekerja. Jadi, sebetulnya definisi kerja apa yang
dipakai sehingga ada angka-angka seperti itu? Dalam pengamatan saya, perempuan --apalagi di pedesaan-- jam kerjanya justru lebih tinggi
dibanding laki-lakinya!
Kemudian, tentang active ageing. Sebagai manusia, saya memang
ingin bisa active ageing. Untuk apa kita dikarunia panjang umur jika
cuma bisa nyanyi-nyanyi saja: panjang umurnya, panjang umurnya!
Jadi, active ageing memang penting. Tetapi, apa saja dari active
ageing itu yang betul-betul penting untuk semua? Apa saja yang harus
dilakukan agar active ageing itu bisa diterapkan untuk semua? Bahwa
itu penting, tidak ada yang menyangkal. Saya lebih cocok dengan
definisi WHO, bahwa ageing itu suatu proses, sudah harus dilakukan
sejak seseorang masih muda, yakni membiasakan diri dan memilih
gaya atau cara hidup yang memang bisa mengarah ke active ageing
yang sesungguhnya nanti di masa tua. Masalahnya sekarang adalah
bagaimana menerapkan pola hidup active ageing dalam keadaan
kemiskinan masih terjadi dimana-mana, dalam keadaan di mana obatobatan yang tidak boleh dimakan bebas beredar, dalam keadaan di
mana merokok bebas dimana-mana?
Saya mau tanya soal ini berkaitan dengan presentasi mengenai
friendly cities tadi, Saya mau tanya ini, karena saya ada di Depok, di
kampus UI. Depok itu rumah saya juga. Kampus UI itu sendiri memang
sangat-sangat friendly. Di sana, orang bisa lari-lari, bisa naik sepeda.
Tetapi, kita punya Rektor sekarang tiba-tiba mau bikin boulevard dari
Depok ke Istana Negara. Ini yang bikin ribut. Kenapa Center of Ageing
Studies UI tidak bersuara untuk mempertahankan Depok sebagai
friendly city? Terus, sebagai orang yang tinggal di Jakarta, bagaimana
pula dengan usulan agar para lansia jalan-jalan kaki tiga kali seminggu
selama tigapuluh menit? Saya mau tanya, di mana jalannya? Di mana
jalannya itu?
Sebagai lansia, saya setuju saja dengan semua usulan itu. Hanya saja,
apa yang kami rasakan sebagai lansia juga harus diperhitungkan. Karena, kami juga bisa mengusulkan mana saja yang memang benar-
138
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
benar diperlukan kalau kita mau active ageing, tapi tidak bisa kami
adakan atau lakukan sendiri. Terima kasih.
HILMAN LATIEF (Narasumber):
T
erima kasih pada Ibu dari WHO yang bertanya
tentang kemungkinan sinergi antara NGO dengan
lembaga-lembaga filantropi berbasis keagamaan. Memang itu yang diinginkan oleh banyak lembaga charity
di Indonesia yang cukup populer dan cukup dipercaya
oleh masyarakat, karena akuntabilitas mereka sudah mulai terbangun,
baik akuntablitas programnya maupun akuntabilitas laporannya yang
juga sudah diaudit oleh akuntan publik independen. Mereka menyadari
itu dan beberapa tahun belakangan mereka juga ingin membangun
sinergi, karena mereka sadar bahwa ruang lingkup yang bisa dikerjakan
oleh lembaga charity itu sangat terbatas dalam dampak, cakupan, dan
sebagainya. Padahal, beberapa lembaga charity itu adalah lembagalembaga besar dalam ukuran sumberdaya yang mereka miliki. Beberapa
lembaga itu memperkerjakan sekitar 700 sampai 800 orang di kantor
pusat dan kantor-kantor cabang mereka. Mereka juga tersebar di berbagai propinsi dan kabupaten. Dari segi jaringan kerja, mereka juga sudah
bagus. Karena itu, sudah sejak tiga atau empat tahun lalu ada beberapa
seminar khusus tentang sinergi antara LAZ (lembaga amil zakat), misalnya,
dengan NGO, karena mereka merasa bahwa mereka --sebagai lembaga
charity-- berbeda dengan NGO. Mereka sendiri yang mendefinisikan
seperti itu: “Kita berbeda dengan NGO.” Lalu, mereka dihadapkan pada
tantangan persoalan nyata: apakah mereka tidak mungkin masuk pada
ranah yang lebih berani, entah itu isu-isu pembangunan atau advokasi
kebijakan?
Dari awalnya, mindset mereka memang adalah lembaga charity murni.
Keterkaitan atau keterlibatan mereka selama ini dengan berbagai persoalan sosial struktural, misalnya masalah kemiskinan, lebih banyak
bersifat short term treatment. Tetapi, secara bertahap kemudian mereka
ada yang mulai masuk ke isu-isu pembangunan, misalnya, melalui micro
finance projects. Itu juga sudah banyak dilakukan. Karena itu, sekarang
kita bisa lihat pertumbuhan Bait al-Maal wal Tamwil (BMT), misalnya,
bertambah menjadi ribuan jumlahnya. Itu tidak terlepas juga dari inisiatif
atau kesadaran yang mulai tumbuh bahwa pendekatan charity murni tidak
139
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
akan bisa melakukan pembinaan ekonomi, sehingga harus dibangun
lembaga micro finance seperti BMT --a kind of Islamic cooperative
in round. Di kalangan Katolik, berkembang credit unions yang sudah
berjalan terutama di pedesaan-pedesaan di beberapa daerah.
Kesadaran semacam itu sudah tumbuh di kalangan lembaga-lembaga
charity berbasis keagamaan. Tapi, lagi-lagi mereka menyadari bahwa
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain itu sangat penting, terutama
dengan lembaga-lembaga advokasi. Saya tadi sebutkan, misalnya,
YLKI. YLKI itu lembaga yang sangat penting sekali, tapi masyarakat
yang menyumbang selama ini lebih tahu, misalnya. Dompet Dhuafa.
Kerjasama yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan YLKI adalah satu
contoh sinergi yang baik. YLKI memberi suntikan informasi tentang
gizi, susu untuk anak, nutrisi, dan lain sebagainya, kepada Dompet
Dhuafa. Sudah ada kesadaran untuk membangun sinergi semacam itu.
Yang kedua, yang perlu saya komentari, adalah tentang partisipasi
aktif. Lembaga-lembaga charity itu punya banyak relawan yang sangat
aktif. Mereka aktif, bukan hanya dalam pengertian menyumbang
secara material, tapi juga aktif menyumbangkan tenaganya, waktunya,
keahliannya. Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yayasan-yayasan
yang dikelola oleh sebagian ibu-ibu di sini yang bergerak dalam isu
ageing. Tetapi, untuk memperkaya itu, saya kira yayasan-yayasan
sosial dengan fokus khusus ageing masih sangat mungkin untuk bisa
disinergikan dengan lembaga-lembaga charity yang dalam setahun
saja ada yang bisa mengumpulkan dana, misalnya, sampai 30-60 miliar.
Tahun lalu saya datang ke kantor lembaga charity itu, lalu saya tanya:
berapa target pengumpulan dana mereka sekarang? Mereka jawab
bahwa pada tahun-tahun sebelumnya sekian miliar, sekarang mereka
coba sampai angka 60 miliar. Cuma, lagi-lagi karena duit banyak,
mereka perlu by design grand making akhirnya, sehingga mereka
butuh sekali mitra NGO yang lebih berpengalaman. Saya kira dengan
berbagai isu penuaan penduduk yang kita bahas sekarang sebagai isu
strategis, termasuk untuk advokasi kebijakan, saya kira mereka akan
terbuka juga menerima tawaran kerjasama.
EVI NURVIDYA ARIFIN (Moderator):
J
140
angan-jangan memang harus ada pertemuan tersendiri bagaimana menjalin jaringan kerja dengan
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
ratusan organisasi filantropi untuk mensinergikan persoalan kita untuk
berkiprah bersama. Baik, sekarang giliran Ibu Fatmah.
FATMAH (Narasumber):
M
enjawab pertanyaan Ibu Hernani dari WHO, alat
IMT Meter ini bisa diaplikasikan di POSYANDU
Lansia, tapi tentu harus melatih kadernya dulu atau
petugas PUSKESMAS, atau juga penanggungjawab
atau kordinator lansia untuk mengoperasikan alatnya.
Prinsipnya, bisa digunakan.
Kemudian, menjawab pertanyaan Profesor Saparinah untuk mengurangi
konsumsi makanan gorengan. Memang itu sudah berlaku mendarah
daging buat orang di Indonesia. Barangkali yang harus diperhatikan adalah
kualitas dari minyak yang digunakan untuk menggoreng makanan itu.
Tapi, kalau memang kita sulit untuk mengetahuinya, barangkali kita bisa
batasi jumlah potongan yang dimakan, meskipun mungkin itu biasanya
tetap ‘nagih’. Kalau kita sudah makan satu atau dua, kita inginnya terus
aja. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi jumlahnya. Mungkin ada
beberapa pilihan makanan lain, karena biasanya bukan hanya gorengan
saja yang disajikan.
Tentang bagaimana menciptakan kondisi psikologis yang baik, itu biasanya
kita perlu memperhatikan apa kondisinya pada saat itu, apakah sedang
bersedih atau sedang marah atau, misalnya, sedang merasa terasing.
Jadi kita bisa meraba dulu kira-kira kondisi psikologis lansia ketika mau
diajak makan itu seperti apa. Contohnya tadi, makan bersama cucu, itu
juga bisa merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kegembiraan
pada lansia. Mungkin lansia akan merasa senang kalau melihat cucunya
mau makan, dia juga tentu mau mempraktikkan cara makan yang baik
kepada cucunya. Jadi mau tidak mau suasana psikologis lansia ikut
merasa bahagia, merasa gembira. Tentu saja, keadaan fisik si lansia pada
saat itu juga dalam keadaan sehat. Dalam keadaan sakit, kita juga tidak
bisa memaksa dia untuk mau makan.
Lalu, tentang aktivitas fisik. Aktivitas fisik itu bukan hanya olahraga,
tapi juga bisa melakukan pekerjaan rutin. Jadi, konsep lansia bekerja
itu sebetulnya menciptakan lansia yang aktif dan produktif. Dia bisa
bekerja, bisa mendapatkan penghasilan, sehingga bisa meningkatkan
141
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
kesejahteraannya. Lansia bekerja itu juga merupakan suatu peningkatan
aktivitas fisik. Jadi, kita jangan hanya diam saja kalau nanti kita sudah
menjadi lansia, tapi kita juga masih bisa bekerja, tentu saja dengan
mempertimbangkan beberapa jenis pekerjaan yang sesuai, misalnya,
yang memerlukan ketelitian, kesabaran, dan keakuratan. Orang-orang
lansia biasanya lebih teliti, sabar, dan cermat ketimbang orang-orang
muda yang biasanya lebih cenderung ceroboh. Jadi, kita masih bisa
memberdayakan kelompok lansia dengan menyediakan lapangan
kerja yang sesuai dengan keadaan mereka.
INDRASARI TJANDRANINGSIH (Narasumber):
S
ebenarnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
tadi bermuara pada pertanyaan-pertanyaan lagi:
sebetulnya mengasuh cucu itu berkah atau beban
untuk lansia? Tapi, kata kuncinya memang adalah
heterogenitas. Kita bicara lansia di kelompak mana:
ada lansia di kelas atas, kelas tengah, kelas bawah, di kota, di desa,
di pinggiran kota, dan seterusnya. Itu semua punya karakteristik
yang berbeda. Tetapi, dalam apa yang saya sampaikan tadi adalah
para orang tua di pedesaan yang ‘ketiban’ beban mengasuh cucu.
Mengapa? Karena mereka sendiri hidup di dalam kekurangan. Tapi,
memang harus diakui bahwa perlu penelitian yang lebih mendalam
untuk melihat bagaimana kenyataan yang sesungguhnya?
Misalnya, seperti yang disampaikan oleh Rachma tadi, soal kualitas
anak yang dibesarkan oleh lansia atau orang tua yang miskin dan
berpendidikan rendah di desa? Itu juga satu pertanyaan. Lalu, juga pertanyaan: sebetulnya bagaimana para orang tua di desa itu membagi
waktu mereka dalam mengasuh cucunya? Itu semua pertanyaanpertanyaan yang sejauh yang saya tahu, belum ada penelitian khusus
mengenai itu semua.
Juga pernyataan Pak Sunyoto tentang hal-hal seperti traditional
security dan definition of labor. Ini memang suatu pendekatan lain lagi
untuk melihat pengasuhan cucu: apakah betul definition of labor juga
berlaku pada hubunngan pengasuhan nenek dengan cucunya atau
tidak? Ini semua memicu pertanyaan-pertanyaan lain. Kalau yang Ibu
Saparinah tadi pertanyakan soal ketenagakerjaan, kemungkinan besar
sekali harus juga mendiskusikannya dengan BPS: bagaimana kacamata
142
BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi
BPS melihat siapa saja orang yang bekerja itu? Definisi bekerja itu menurut
BPS apa? Karena, saya mengambil data BPS tahun 2007 bahwa angkatan
kerja di pedesaan itu laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Itu
berarti kita harus kembali melihat di kuesioner BPS itu yang ditanyakan
apa, sehingga laki-laki persentasenya lebih tinggi daripada perempuan?
Ini ada persoalan definisi dan juga kepekaan gender sekaligus. v
143
BAGIAN KEENAM
PENGALAMAN
LEMBAGA INTERNASIONAL
NARASUMBER:
n Dr. Evi
Nurvidya Arifin
Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura
n dr. Hernani
Djahir, MPH
World Health Organization (WHO) Indonesia, Jakarta
n Dr.
Ni Wayan Suriastini, M.Phil
SurveyMETER, Yogyakarta
MODERATOR:
Aris Ananta, Ph.D
Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura
Aspek Ekonomi Demografi
Penuaan Penduduk
Evi Nurvidya Arifin
Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura
P
ada tahun 1950, saat Indonesia baru merdeka --baru satu tahun,
jika patokannya adalah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949
setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag-- ekonomi negaranegara di dunia paling tinggi hanyalah AS$ 10.000 per kapita. Yang
paling tinggi adalah Amerika Serikat, negara-negara lain berada di
bawahnya. Pada waktu itu, proprosi penduduk berdasarkan kelompok
usia di hampir semua negara masih didominasi oleh kelompok usia
muda.
Lalu, apa yang terjadi sesudahnya?
Sejak tahun 1950 hingga sekarang, semua bergerak. Pendapatan per
kapita beberapa negara terus meningkat dan semakin tinggi. Sejak
tahun 1998, kemudian tahun 2005 dan 2009, semakin banyak pula
negara yang masuk ke dalam kelompok negara-negara berpenghasilan
tinggi atau berpenghasilan menengah ke atas. Dan, selama masa yang
sama, semakin banyak pula negara yang populasi penduduk lansianya
bertambah terus. Terdapat pola perkembangan yang sama, semakin
tinggi tingkat pendapatan per kapita suatu negara, semakin banyak
pula proporsi penduduk lansianya.
146
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
Lalu, di manakah Indonesia?
Tahun 2009, 2011, dan saat ini, Indonesia mulai mengalami pola perkembangan yang sama: perekonomiannya naik, tingkat pendapatan
per kapitanya naik, jumlah dan proporsi penduduk lansianya juga naik
terus. Jepang kini merupakan negara dengan proporsi penduduk lansia
terbesar di dunia, sekitar 30% dari total penduduknya. Indonesia belum
sampai pada tahap tersebut, tetapi pada akhirnya nanti akan sampai
juga ke sana, diperkirakan setelah tahun 2030 atau mungkin tahun 2050.
Generasi lansia Indonesia tahun 2050 sudah lahir, sudah ada, mereka
yang lahir pada dasawarsa 1990-an, yang sekarang masih bersekolah.
Jadi, lansia Indonesia tahun 2050 nanti --yang akan mulai mendominasi
proporsi jumlah penduduk-- adalah generasi kelahiran zaman reformasi
1990-an. Apakah hidup mereka nanti setelah menjadi lansia akan jauh
lebih baik atau jauh lebih jelek dibanding para lansia yang ada saat ini?
Lansia saat ini jelas lebih negatif prospektifnya, karena mereka lahir
pada tahun 1950-an; tahun-tahun awal kemerdekaan, zaman masih penuh kerusuhan, zaman di mana belum bisa atau masih sangat susah
bersekolah sampai tingkat SMP, bahkan tamat SD saja sudah bagus.
Keadaan yang sama juga dialami oleh negara-negara lain di kawasan Asia
Tenggara ini. Selama 60 tahun kemudian, pada tahun 2011, terjadilah
pengelompokan baru negara-negara menurut tingkat pendapatan dalam
hubungannya dengan struktur usia penduduknya. Maka, ada negara
kaya dan tua penduduknya, ada negara tua penduduknya tapi miskin,
ada negara tua yang muda penduduknya tapi miskin, ada juga negara
yang muda penduduknya tapi kaya. Indonesia berada pada kelompok
negara yang tua penduduknya tapi miskin. Pada negara-negara yang
tua penduduknya tapi miskin, seperti Indonesia, pertanyaannya adalah:
bagaimana membiayai mereka? Bagaimana membiayai peledakan lansia
yang banyak dalam kondisi ekonomi yang belum baik?
Kita coba dulu lihat negara-negara tetangga kita. Kita lihat tetangga
terdekat, Singapura: lansianya seperti apa? Kebijakannya seperti apa?
Ada yang sempat kagum melihat masih banyak lansia di Singapura yang
tetap bekerja. Memang bisa disaksikan di berbagai tempat di negara
tetangga itu banyak lansia bekerja sebagai tenaga pembersih (cleaners).
Tetapi, yang sebenarnya adalah mereka masih tetap bekerja karena
‘terpaksa’. Uang pensiun mereka umumnya tidak cukup, rata-rata sekitar
350 dolar saja. Jadi, Proprosi penduduk lansia Singapura sekarang
adalah 12%, sudah mulai besar. Singapura adalah contoh negara tua
147
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
penduduknya tapi kaya. Tetangga kita yang lain, Brunei Darussalam.
Proporsi penduduk lansianya baru 6%, tetapi negara ini kaya raya,
salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia.
Dengan kata lain, Brunei adalah negara muda dan kaya. Yang lebih
setara dan bisa diperbandingkan dengan Indonesia adalah Thailand.
Negara ini juga sudah mulai tua penduduknya. Proporsi penduduk
lansianya sudah lebih 12%, sementara kita masih sekitar 8%. Tingkat
pendapatan per kapitanya memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi
tidak terlalu jauh berbeda. Dengan kata lain, Thailand dan Indonesia
adalah negara yang sudah mulai tua, tapi belum kaya.
Sekarang, kita lihat jumlahnya. Memang terdapat keragaman antar
berbagai daerah. Yogyakarta, misalnya, adalah daerah dengan penduduk lansia terbesar, terutama Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo yang proporsi penduduk lansianya melampaui Singapura, di
atas 16%. Keadaan ini sangat berbeda dengan Papua di mana proporsi
dan jumlah penduduk lansianya masih sangat kecil atau sedikit. Tetapi, secara keseluruhan, secara nasional, jumlah penduduk lansia Indonesia terbilang sangat besar, sekarang sudah mencapai sekitar 20
juta jiwa. Jumlah yang sangat besar inilah yang melahirkan pertanyaan
tadi: bagaimana membiayai lansia yang jumlahnya banyak itu dengan
tingkat pendapatan yang masih rendah atau sebagai negara yang
belum kaya?
Sebelum membahasnya lebih lanjut, perlu membahas dulu konsep
ilmu ekonomi tentang hal ini. Ini penting, karena konsep ekonomi
demografi selama ini digunakan untuk menyusun kebijakan kependudukan. Masalahnya adalah bahwa konsep ekonomi demografi yang
digunakan selama ini mulai patut dipertanyakan. Kalau konsepnya
saja sudah mulai meragukan, bagaimana akibatnya kalau digunakan
sebagai dasar perumusan kebijakan? Konsep itu adalah yang selama
ini dikenal sebagai konsep ‘rasio ketergantungan’. Konsep ini bertolak
dari anggapan dasar bahwa penduduk usia tua yang tidak produktif
lagi bergantung pada penduduk usia muda yang masih produktif.
Sekarang, terjadi perubahan besar dalam struktur penduduk dari
penduduk muda ke penduduk tua, sehingga anggapan dasar konsep
itu juga mulai dipertanyakan: apakah memang benar masih demikian
adanya bahwa penduduk usia tua bergantung kepada penduduk usia
muda? Atau, sebenarnya mulai terbalik keadaannya, penduduk muda
semakin banyak yang tergantung pada penduduk usia tua?
148
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
Sama halnya pada tahun 1970-an ketika ledakan penduduk usia muda
terjadi, padahal waktu itu tingkat pendapatan per kapita Indonesia masih sangat rendah, masih di bawah AS$ 1.000. Sering dikeluhkan bahwa
beban terlalu tinggi untuk membiayai balita-balita dan anak-anak di
bawah 15 tahun yang jumlahnya semakin banyak. Investasi besar sulit
dilakukan karena beban berat membiayai penduduk usia muda. Akhirnya,
ditempuhlah kebijakan pengendalian penduduk yang kemudian dikenal
luas sebagai program Keluarga Berencana (KB). Salah satu tujuannya
adalah menekan rasio beban ketergantungan yang tinggi. Apa yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Kalau dulu bebannya adalah pada
jumlah bayi dan anak-anak yang terus bertambah, sekarang bebannya
adalah pada jumlah orang tua, lansia, yang terus bertambah. Tetapi,
pembicaraannya masih tetap sama, yakni tentang ‘beban’.
Sekarang, ketika jumlah bayi dan anak sudah sedikit lalu usia hidup makin
panjang, jumlah lansia malah sudah mencapai angka 20 juta atau lebih.
Apa jalan keluarnya? Apa kebijakan yang harus ditempuh? Apakah harus
menempuh pengendalian penduduk yang lebih ketat dari KB? Tetapi,
apa? Jika masih menggunakan logika rasio ketergantungan, maka memang
tidak akan beranjak dari perangkap pengertian ‘beban’ tersebut. Maka,
alternatifnya adalah mengajukan pertanyaan: siapa sebenarnya yang kita
anggap atau dalam kenyataannya memang merupakan ‘beban’ bagi yang
lain? Konsep lama rasio ketergantungan akan langsung menunjuk pada
penduduk berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 65 tahun.
Karena itu, pertanyaan berikutnya: apakah ada di antara kita yang sudah
tidak membiayai anak-anaknya yang berusia di bawah 16 tahun?
Kenyataannya adalah hampir semua orangtua masih membiayai anakanaknya, bahkan yang sudah berusia di atas 16 tahun. Artinya, anakanak kita masih menjadi beban kita. Padahal, menurut definisi, yang namanya beban ketergantungan itu hanya mereka yang berusia di bawah
15 tahun. Dengan kata lain, definisi atau konsep beban ketergantungan
itu sudah tidak berlaku lagi. Apalagi sekarang, masih banyak orangtua
yang membiayai anak-anaknya sampai usia 24 tahun, karena anaknya
itu masih bersekolah sampai tingkat S2. Artinya, kita masih tetap akan
menjadi orangtua yang menanggung mereka sampai usia 24 tahun. Maka,
definisi penduduk muda sebagai beban hanya sampai usia 14 tahun tidak
tepat lagi.
Lalu bagaimana dengan lansia? Kenyataan juga menunjukkan pada kita
bahwa masih banyak orang yang berusia 65 tahun ke atas yang masih
149
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
aktif. Apakah mereka menjadi beban? Jelas tidak. Bahkan, sekarang
ada kecenderungan orang-orang muda yang sudah bekerja pun
masih tergantung sebagiannya kepada para orangtua mereka yang
sudah lansia, paling tidak, pra-lansia. Karena itu, konsep rasio beban
ketergantungan perlu dikaji ulang, termasuk seluruh konsep-konsep
turunannya seperti konsep demographic windows of opportunity dan
konsep bonus demografi. Sebenarnya, semua istilah teknis ekonomi
tersebut tidak terlalu penting, karena yang paling penting sebenarnya
adalah implikasi dari kenyataan yang sesungguhnya terhadap kebijakan
yang ditempuh. Jika kenyataannya adalah terjadi perubahan struktur
demografi dan berubahnya hubungan saling ketergantungan antar
kelompok usia penduduk, maka kebijakan seperti apa yang harus
ditempuh? Itu yang jauh lebih penting daripada ribut memperdebatkan
peristilahan.
Sebagai penutup, penting untuk melihat dan memperbandingkan pola
konsumsi dan pola produksi. Di Indonesia, banyak penduduk usia 15
tahun sudah bekerja dan produktif. Begitupun, banyak penduduk usia
di atas 65 tahun masih tetap bekerja dan tetap produktif. Apakah justru
ini bukan merupakan salah satu jawaban terhadap masalah semakin
banyaknya penduduk yang menua (ageing)? Singkatnya, jalan keluar
atau pemecahan pada permasalahan perubahan struktur demografi
negara kita, termasuk isu-isu penduduk lansia sebagai bagian di dalamnya, adalah justru bagaimana membuat semua penduduk dewasa
kita tetap aktif dan produktif. Artinya juga mengubah pola konsumsi
dan pola produksi kita. Gagasan atau konsep ‘terus menua, tetapi juga
terus aktfi’ (active ageing) perlu dijadikan kebijakan. Kalau kita bisa
melakukan itu dengan baik, maka investasi sumberdaya manusia kita
tidak akan hilang begitu saja.v
150
Kota Ramah Lansia
Hernani Djarir
World Health Organization (WHO) Indonesia.
T
ampaknya banyak sekali tantangan yang akan kita hadapi dengan
adanya ledakan jumlah penduduk lansia. Kecenderungan yang
terjadi selama 50 tahun terakhir sampai 50 tahun ke depan semakin
menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia akan segera melebihi
jumlah penduduk anak-anak dan balita. Kecepatan penuaan penduduk
dunia ini terjadi di seluruh dunia, tetapi ada perbedaan antara negaranegara Barat dengan negara-negara sedang berkembang, yakni rentang
waktunya. Di Perancis, misalnya, proporsi penduduk lansianya meningkat
dari 7% menjadi 14%, membutuhkan waktu 100 tahun. Sekarang, negaranegara sperti Thailand dan Cina hanya membutuhkan waktu sekitar 20
sampai 30 tahun. Yang jelas, seluruh dunia tak akan lama lagi menerima
kenyataan bahwa pada tahun 2030 nanti, 3 dari setiap 5 penduduk dunia
adalah lansia. Kemudian, pada tahun 2050, 20% dari seluruh penduduk
dunia adalah lansia.
Pola-pola Penyakit
Data memperlihatkan bahwa, antara tahun 2008 sampai 2030, pola
penyakit di negara-negara berpendapatan tinggi tidak banyak perubahan,
151
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
masih dominan penyakit-penyakit degeneratif yang tidak menular.
Di negara-negara berpendapatan menengah, terjadi pergeseran. Penyakit-penyakit tidak menular yang sebelumnya sudah cukup banyak,
akan lebih banyak lagi. Di negara-negara berpendapatan rendah juga
sama, akan terjadi pergeseran ke arah semakin dominannya penyakitpenyakit tidak menular.
Dengan kata lain, kecenderungan meningkatnya jenis-jenis penyakit
tidak menular kini mulai menjadi isu utama di semua negara. Karena
itu, pada tahun 2011, World-Health Asian Day membicarakan penyakit
tidak menular itu harus menjadi isu global yang harus dibicarakan
oleh setiap negara. Datanya di negara-negara maju sangat beragam.
Di Indonesia, kecenderungan itu masih sangat kurang. RISKESDAS
(Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 sudah mendapatkan angkaangka tersebut, tapi arah pergerakan atau kecenderungannya belum
terlihat. Hasil RISKESDAS 2007 lebih untuk melihat status kekinian
dari penyakit-penyakit tidak menular di Indonesia.
Penuaan dan Demensia
Ini juga yang biasa terjadi pada lansia. Di negera-negara berpendapatan
tinggi, proyeksi demensia diperkirakan akan semakin mengecil
dibandingkan di negara-negara bependapatan menengah dan berpendapatan rendah. Karena Indonesia kini berada di antara dua
kelompok negara-negara tersebut, hal ini mungkin juga akan segera
menjadi tantangan. Demensia akan menjadi tantangan yang besar
sekali. Hasil RISKESDAS 2007 menyebabkan bahwa penyebab utama
kematian para lansia adalah stroke, kemudian chronic respiratory
infection. Morbidity utamanya adalah joint disease atau osteoarthritis
atau komplikasi penyakit, kemudian hipertensi.
Semua itu menunjukkan bahwa pembangunan sudah harus meningkatkan mutu kehidupan dan usia harapan hidup. Dengan sendirinya,
itu semua memerlukan penyesuaian pada pelayanan kesehatan maupun pendukung sosialnya (adaptations of the health care and the
social support systems). Beban karena penyakit yang tidak menular
juga akan menjadi salah satu konsekuensi yang terjadi dengan adanya
perubahan demografis. Selanjutnya, kita memerlukan promosi kesehatan yang cukup panjang untuk mempersiapkan generasi muda kita
supaya tidak terkena penyakit degeneratif dan tidak menular tersebut.
152
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
Pertanyaannya: apakah penuaan penduduk ini akan disertai dengan
perbaikan keadaan kesehatan mereka, perbaikan yang bagus, status
kesejahteraan, dan produktivitas yang meningkat? Atau, justru akan
dibebani oleh banyaknya penyakit dan tingkat ketergantungan? Apa
yang akan terjadi kalau kita tidak mengantisipasinya sejak sekarang?
Bagaimana dengan aspek pembiayaannya, baik untuk pemeliharaan kesehatan maupun untuk pelayanan sosial lainnya? Apakah itu tidak bisa
kita elakkan? Atau kita bisa melakukan sesuatu --membangun prasarana
fisik dan sosial-- untuk mendapatkan kesehatan dan kesejahteraan yang
lebih baik bagi para lansia?
Faktor-faktor Penentu
Penentu (determinant) yang memengaruhi kesehatan dan penuaan
--secara makro-- adalah faktor budaya dan jenis kelamin.
Secara mikro, faktor penentu kesehatan adalah faktor-faktor biologis,
sosial, ekonomi, sistem kesehatan, lingkungan fisik, dan perilaku hidup.
Hal-hal inilah yang akan menjadi penentu tahap kehidupan dan sejarah
hidup seseorang. Adapun proses penuaan akan ditentukan oleh faktorfaktor pelayanan kesehatan dan sosial, perilaku, keputusan-keputusan
atau pilihan-pilihan pribadi, lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi.
Semua faktor penentu itulah yang harus dijadikan dasar perencanaan
membangun kawasan permukiman atau kota-kota yang ramah terhadap
kebutuhan lansia. Tetapi, pengertian ramah lansia jangan diartikan tidak
mencakup juga kelompok usia yang lain. Pada dasarnya, suatu kota yang
ramah lansia adalah seharusnya juga ramah bagi warga dari kelompok
usia yang berbeda. Intinya adalah pada struktur dan pelayanan yang
mendukung seluruh warga untuk tetap aktif, produktif, dan sejahtera. v
153
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
NARASI VIDEO:
MENCIPTAKAN KOTA RAMAH LANSIA
World Health Organization
P
erkenalkan, saya Liza Warth. Saya bekerja di bagian Ageing and Life
Course di WHO Jenewa, Swiss. Berkaitan dengan pekerjaan saya di bidang
penuaan penduduk, saya memfokuskan pada lingkungan yang ramah lansia.
Saya berkoordinasi dengan Jaringan Global WHO untuk Kota dan Lingkungan
Ramah Lansia, yang akan saya sampaikan lebih lanjut dalam presentasi saya
Lingkungan dimana kita tinggal, baik lingkungan fisik atau sosial, mempengaruhi kemampuan kita untuk terus hidup aktif manakala umur kita semakin
bertambah. Peran sosial kita juga berubah manakala kemampuan fisik dan
mental kita juga mengalami perubahan. Semakin lingkungan kita memberikan kemudahan, saya maksudkan di sini kemudahan fisik bagi semua
orang (normal atau cacat) dan terbuka secara sosial bagi orang-orang tua,
maka lingkungan akan semakin membantu kita untuk tetap terikat dengan
masyarakat, terus hidup aktif dan tetap sehat manakala kita beranjak tua.
Lingkungan yang mendukung di sini mencakup akses terhadap layanan kesehatan yang baik ketika kita membutuhkannya.
Bayangkan suatu komunitas di mana orang lanjut usia dipandang sebagai
sumberdaya dan sumber kebijaksanaan, tempat di mana manusia dari berbagai generasi hidup dengan sejahtera dan saling terkait, tempat di mana
kebutuhan semua orang diakomodasi dan disediakan.
Kota dan berbagai komunitas di seluruh dunia saat ini tengah berusaha keras
untuk mewujudkan hal tersebut. Komunitas, besar dan kecil, di kota dan di
desa dari berbagai latar belakang budaya, tengah berusaha dengan cara-cara yang kreatif untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang
menua. Usaha-usaha inilah yang membuat tiap komunitas menjadi unik.
Seperti apa komunitas yang ramah lansia?
AKSES FISIK: tersedia ruang publik yang aman, bisa diakses siapa saja, baik
yang normal maupun yang memiliki keterbatasan fisik, secara mandiri. Ruang
publik yang ramah lansia bisa mendorong terwujudnya hidup yang sehat dan
sejahtera
TERBUKA: tersedia tempat yang aman bagi orang untuk bertemu dan berinteraksi, memperhatikan aspirasi lansia dalam urusan-urusan lokal dan
154
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
pemerintahan, para lansia tahu bahwa mereka diapresiasi dan dicintai,
kontribusi lansia dianggap penting dan bermanfaat bagi masyarakat.
Dari visi ke aksi
Bagaimana kita bergerak dari visi ke aksi? Langkah pertama, bergabung
bersama-sama untuk menciptakan komunitas ramah lansia. Dalam upaya
ini penting untuk tetap melibatkan anggota masyarakat dan para lansia
itu sendiri dan terus-menerus memperbesar aliansi untuk menyuarakan
perubahan. Jika anda adalah anggota masyarakat, pastikan anda menjalin
kerjasama dengan pemerintah lokal. jika anda adalah pengambil keputusan,
jalin kerjasama dengan masyarakat, termasuk kalangan bisnis, penyedia
layanan, dan lainnya. Bagi LSM dan keluarga, kemitraan masyarakat yang
solid sama pentingnya dengan dukungan politik.
Langkah kedua, bikin perencanaan. Cari tahu apa yang para lansia inginkan dan seberapa ramah lansia komunitas anda sekarang. Pelajari apa
saya yang sudah ada dan dilaksanakan, lalu apa yang bisa dilakukan untuk
meningkatkannya. Fokuskan pada sumberdaya yang anda miliki pada rencana aksi anda. Libatkan masyarakat pada setiap keputusan yang akan
berpengaruh terhadap mereka.
Langkah ketiga: laksanakan. Setiap perubahan diawali dari satu langkah
kecil. Satu rencana diselesaikan berarti semakin dekat kita dengan terwujudnya dunia yang ramah lansia. Catat setiap kemajuan, sebagai pengingat akan keberhasilan kita dan mengetahui seberapa dekat dengan tujuan akhir yang ingin kita capai.
Bergabung dengan Pergerakan
Bergabung dengan komunitas/kota lain yang terlibat dalam Jaringan
Global WHO.
n
Jaringan Global WHO untuk Kota dan Komunitas Ramah Lansia
Visi dari Jaringan Global WHO untuk Kota dan Komunitas Ramah Lansia
adalah menjadi wadah dan menghubungkan tempat-tempat yang sedang
berusaha mewujudkan hal ini. Jaringan ini dibentuk pada tahun 2010,
dan saat ini sudah memiliki 105 anggota yang tersebar di 19 negara
di dunia, mulai dari kota New York di AS sampai Kolkata (bergabung
Oktober 2012), termasuk berbagai desa dan beberapa daerah terpencil di
pedalaman Kanada atau Australia.
155
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
n
Siklus Jaringan WHO
Sekarang saya akan menerangkan secara singkat tentang siklus jaringan
WHO, yang merupakan siklus perkembangan yang berkelanjutan dalam lima
tahun. Tahap pertama adalah bergabung dengan jaringan dan merencanakan
apa yang akan anda lakukan dalam tahun pertama. Kegiatan dalam tahap
ini adalah membuat mekanisme bagaimana melibatkan lansia, melakukan
survei baseline sebagai asesmen awal seberapa ramah lansia komunitas kita,
kemudian membuat rencana aksi berdasar temuan dari asesmen tersebut
serta mengidentifikasi berbagai indikator untuk memantau kemajuan rencana aksi dari waktu ke waktu.
Tahap kedua adalah pelaksanaan, biasanya dari tahun ketiga sampai tahun kelima rencana aksi, memantau berbagai indikator pelaksanaan dan
menyusun laporan paska pelaksanaan.
Terakhir, tahap ketiga adalah mengevaluasi kemajuan dan pengembangan
berkelanjututan, mengidentifikasi dan mengukur kemajuan, keberhasilan
dan kegagalan, sekaligus menyusun rencana aksi selanjutnya.
Kota Ramah Lansia Global: Satu Panduan
Panduan Kota Ramah Lansia Global berisi pendekatan bagaimana mewujudkan model kota yang ramah lansia, suatu metode penelitian yang mulai
dipublikasikan pada tahun 2007, tersedia di tapakmaya (website) kami dan
bisa diunduh. Kami juga menyusun satu daftar periksa (checklist) berisi
kriteria-kriteria kota ramah lansia yang dapat dipergunakan untuk menilai
seberapa ramah lansia suatu kota tertentu.
n
Aspek kehidupan kota yang berbeda-beda
Pendekatan dibuat berdasarkan model komprehensif yang memfokuskan
pada delapan aspek kehidupan kota, mencakup askpek lingkungan fisik dan
sosial: ruang terbuka dan bangunan, transportasi dan perumahan, peran serta
sosial, partisipasi lansia dalam kegiatan sosial dan dunia kerja, komunikasi
dan informasi bagi lansia serta dukungan komunitas dan layanan kesehatan
n
Keuntungan bagi anggota
Kota dan komunitas yang telah bergabung menjadi anggota jaringan memiliki
akses terhadap jaringan kota dan komunits di seluruh dunia yang memiliki
komitmen untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas lansia. Salah satu
fungsi utama dari jaringan ini adalah meningkatkan saling tukar informasi
156
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
dan pengalaman, membantu kota mendapatkan inspirasi, memperoleh pemecahan inovatif dari mereka yang telah mempraktekkannya dan tentu
saja berbagi metode metodologi penilaian dan pengalaman melaksanakan
rencana aksi.
Program terkait
Saat ini jaringan telah memiliki sembilan program di Kanada, Prancis, Irlandia, Portugal, Federasi Rusia, Slovenia, Spanyol, dan Amerika Serikat.
Kami mengajak semua pihak yang tertarik untuk merancang program nasional atau regional di negara atau wilayah masing-masing, jangan ragu
untuk berkomunikasi dengan kami dan kita bisa mendiskusikan bagaimana
mewujudkan hal tersebut.
n
Peranan program terkait/jaringan
Program-program terkait memiliki peranan yang sangat penting dalam
mempromosikan pendekatan kota ramah lansia dan mengajak kota atau
komunitas untuk bergabung dalam jaringan. Program-program terse-but
membantu memberikan perspektif lokal pada tiap anggota yang berkomunikasi dengan bahasa yang sama dan tinggal dalam konteks budaya
dan kebijakan yang kurang lebih sama. Adanya program juga bisa membantu
masing-masing anggota untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, karena anggota jaringan dalam negara/kawasan yang berdekatan bisa saling
bertemu langsung.
Sekarang saya akan tunjukkan secara singkat satu tapakmaya di mana
kami telah membangun kemitraan dengan International Federation on
Ageing. Ini adalah satu tapakmaya interaktif tentang penuaan yang juga
memasukkan satu seksi tentang Jaringan Global WHO. Di sini, anda bisa
melihat peta interaktif dimana anda bisa mendapatkan informasi tentang
berbagai kota yang berbeda-beda. Juga menyediakan berbagai informasi
tentang para anggota, bagaimana menjadi anggota, dan berbagai informasi
lainnya. Anda bisa mengakses tapakmaya ini di www.agefriendlyworld.
org. Informasi lebih rinci tentang jaringan dan pendekatan kota ramah
lansia daoat dilihat di www.who.int/aging, di mana anda bisa mendapatkan
informasi tentang kota-kota ramah lansia, panduan dan daftar periksa
WHO tentang kota ramah lansia. Tentu saja, anda bisa menghubungi saya
langsung di [email protected]. Terima kasih.v
157
Indikator-indikator Merancang
Kebijakan Kota Ramah Lansia *
Ni Wayan Suriastini
SurveyMETER, Yogyakarta
T
ahun 2002, WHO mengeluarkan ‘Pedoman Kota Ramah Lanjut
Usia’ (Old-age Friendly Cities Guideline), menanggapi dua gejala
demografi: jumlah penduduk lanjut usia yang meningkat pesat dan
urbanisasi yang tinggi dan mendunia. Daftar periksa (check list) pedoman WHO itu mencakup delapan dimensi: gedung dan ruang
terbuka, transportasi, perumahan, partisipasi sosial, penghormatan
dan keterlibatan (inklusi sosial), partisipasi warga dan pekerjaan, komunikasi dan informasi, serta dukungan masyarakat dan kesehatan.
*) Eksplorasi dan pilot analisis dari kajian ini yang di presentasikan dalam
lokakarya 19-20 November 2012, menggunakan data penelitian rintisan
yang dikumpulkan oleh Center for Ageing Studies Universitas Indonesia
dengan KOMNAS Lanjut Usia pada tahun 2011.
158
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
1
8
Dukungan
Masyarakat
& Pelayanan
Kesehatan
7
Komunikasi
dan Informasi
Gedung
dan Ruang
Terbuka
Kota
Ramah
Lansia
6
Partisipasi
Sipil dan
Pekerjaan
2
Transportasi
3
Perumahan
4
5
Partisipasi
Sosial
Penghormatan
dan Inklusi
Sosial
GAMBAR 1: Kerangka Kerja Kota Ramah Lanjut Usia WHO
Daftar periksa delapan dimensi kota ramah lansia yang dibuat WHO
itu sangat komprehensif memperhatikan semua aspek ligkungan yang
mendukung kehidupan seseorang. Sehingga, sesunggunya, jika telah
memenuhi indikator-indikator tersebut, bukan hanya menjadikan satu
tempat ramah untuk lanjut usia saja, tetapi menjadi ramah untuk semua
kelompok umur dan kelompok rentan lainnya, termasuk anak-anak,
kaum difabel, dan juga perempuan. Misalnya, trotoar bebas hambatan
meningkatkan mobilitas dan kemandirian orang cacat tua maupun muda,
ibu hamil, perempuan, dan anak-anak.
Penuaan merupakan suatu proses alami di mana seseorang mengalami
kemunduran fisik, mental, dan sosial, secara bertahap. Namun demikian,
dibandingkan kelompok usia lainnya, lanjut usia memiliki kelebihan
dalam hal keahlian, pengalaman, jaringan, kearifan dan waktu yang bisa dikembangkan dan diberdayakan, sehingga tetap merupakan aset
159
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
bagi keluarga dan komunitas dalam bidang ekonomi maupun sosial.
Adanya lingkungan fisik, prasarana, sosial, ekonomi dan lingkungan
hidup seperti yang diisyaratkan oleh delapan dimensi kota ramah
lanjut usia, akan mendukung terciptanya lanjut usia sehat, aktif dalam
bidang sosial, juga ekonomi, serta sejahtera dan bahagia.
Kajian yang dilakukan oleh SurveyMETER dan Center for Ageing Studies,
Universitas Indonesia, pada bulan Januari-Maret 2013, dilaksanakan
di 14 kota besar dan kota kecil di Indonesia: Medan, Payakumbuh,
Mataram, Denpasar, Jakarta Pusat, Depok, Yogyakarta, Solo, Surabaya,
Malang, Makasar, Balikpapan, Semarang, dan Bandung.
Dalam kajian ini, wawancara dilakukan pada 2.100 orang laki-laki dan
perempuan, kelompok umur lanjut usia berpendidikan minimal SMA
dan aktif yang tersebar di 14 kota tersebut. Mereka berasal dari semua
penjuru kota yang dibagi ke dalam 5 wilayah (Tengah, Timur, Barat,
Utara dan Selatan). Selain itu, tim juga mewawancarai Satuan Kerja
Pemerintah Daerah (SKPD) setempat yang terkait dengan delapan
dimensi kota ramah lanjut usia dan 140 kelurahan di semua kota.
Pewawancara juga melakukan pengamatan langsung di lapangan.
Kajian kualitatif tentang praktik-praktik terbaik dilakukan di 6 kota
(Payakumbuh, Depok, Jakarta, Yogjakarta, Surabaya dan Denpasar)
ikut memperkaya kajian ini.
Kajian ini menggunakan 95 daftar indikator penting kota ramah lanjut
usianya WHO, selain mendokumentasikan penilaian masyarakat, SKPD,
kelurahan, dan hasil pengamatan lapangan para pewawancara tentang
kesuaian kota atas indikator-indikator tersebut. Praktik-praktik terbaik
yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan berbagai pemangku
kebijakan lainnya juga di dokumentasikan.
Hasil keluaran kajian ini adalah data dasar tentang penilaian kota
ramah lansia dalam bentuk diskriptif dan indeks total setiap dimensi.
Hasil kajian ini diharapkan bisa membantu memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam membuat kebijakan menciptakan
kota ramah lansia tahun 2030. Oleh karena itu, dibentuk kategori
pencapaian sebagai alat ukur menuju 2030, yaitu: merah untuk
persentase pencapaian <25%, jingga (25-49%), kuning (50-74%), dan
hijau (75-100%). Tujuan Pencapaian 2030 adalah kategori pencapaian
hijau untuk semua Indikator indeks dimensi dan indeks total.
160
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
Daftar periksa kesesuaian kota dengan indikator-indikator dari dela-pan
dimensi kota ramah lansia, digali dari responden dalam enam ka-tegori,
yaitu: sangat tidak sesuai, tidak sesuai, agak tidak sesuai, agak sesuai,
sesuai, dan sangat sesuai. Menggunakan penilaian sesuai dan sangat sesuai
dari semua responden, hasil kajian ini secara umum memperlihatkan 14
kota tersebut mencapai nilai 42,9% (dari nilai total 100) dalam memenuhi
kriteria kota ramah lanjut usia WHO.
100 -
80 -
60 -
42,9
61,1
52,0
40 -
23,4
20 -
0-
|
|
Individu
Kelurahan |
SKPD
|
Pengamatan
Pewawancara
GAMBAR 2: Indeks Total 14 Kota Berdasarkan Penilaian Berbagai
Pemangku Kepentingan
Dimensi kota ramah lanjut usia yang terdepan pada 14 kota adalah
partisipasi sosial (55.6%). Dimensi yang masih kurang pada umumnya
adalah partisipasi sipil dan pekerjaan (16.9%).
161
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
1. Gedung &
Ruang Terbuka
100
8. Dukungan
Komunitas
& Pelayanan
Kesehatan
80
53,8
60
40
2. Transportasi
35,2
40.1
20
7. Komunikasi
& Informasi
52,2
0
3. Perumahan
31,3
16,9
55,6
6. Partisipasi Sipil
& Pekerjaan
48,7
4. Partisipasi
Sosial
5. Penghormatan &
Inklusi Sosial
GAMBAR 3: Indeks per Dimensi 14 Kota di Indonesia
Srategi menuju kota ramah lanjut usia 2030 dapat dimulai dengan
membenahi indikator yang pencapaiannya rendah, tidak memerlukan
banyak dana, dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Misalnya,
peraturan lalu lintas ditaati dengan pengendara memprioritaskan
pejalan kaki. Hasil kajian ini menyediakan penilaian, data, dan saransaran yang diperlukan untuk perencanaan. Namun, di atas segalanya,
diperlukan komitmen dari pemerintahan kota dan pemangku kepentingan lainnya untuk bisa menggapai kota mereka ramah lanjut usia
pada tahun 2030. v
162
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
DISKUSI
ARIS ANANTA (Moderator):
S
aya kira, menarik sekali kita berbicara tentang
age-friendly. Sebetulnya isu age-friendly ini cikal
bakal untuk menggusur paradigma ekonomi yang
berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jadi para
ekonom bersiap-siap yang diajarkan itu diganti semua
dan saya juga ikut advokasi untuk mengubah ajarannya; di Fakultas
Ekonomi di seluruh dunia mestinya mengajarkan age-friendlycities ini.
Dan saya kira ini langkah menarik antara CAS dan SurveyMETER dan
ada teman dari BPS mungkin bisa bekerja sama lebih lanjut sehingga
hal semacam ini bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Baiklah, saya buka
forum untuk tanya jawab ada waktu 14 menit. Silahkan Bu!
Dr. EKAWATI SRI WAHYUNI (Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor):
T
erima kasih Pak Aris. Terima kasih atas kesempatan
untuk bertanya. Pertama-tama tadi perkara beban
ketergantungan, karena saya mengajar kependudukan,
jadi saya tetap mengajarkan itu Pak, termasuk bonus
demografi-pun saya ajarkan. Tetapi mahasiswa saya
ajarkan bahwa; apa benar yang seperti itu? Jadi hal itu baik untuk
diajarkan karena sangat simpel untuk menjelaskan bagaimana struktur
kesejahteraan penduduk, cuma bisa menjadi indikasi kesejahteraan
penduduk atau tingkat ekonomi itu kalau ‘anu, anu, anu’-nya itu.
Nah ‘anu, anu, anu’-nya itu ada ndak? Jadi mohon maaf saya masih
mengajarkan, Pak Aris! Kemudian untuk age-friendly cities untuk Bu
Hernani ada nggak ya; contoh ideal kota yang sekarang ada di dunia
itu mana? Dan seperti apa? Terus kemudian apakah tidak ada muatan
budaya di situ? Karena mungkin ukuran-ukurannya itu sangat modern
ya, tadi ada penyebrangan dan sebagainya—padahal di kita, listrik
mati sok ribut juga gitu. Kemudian bagus juga untuk mengemukakan,
misalkan, analisis kualitatifnya apa sih sebenarnya kota itu? Kalau IPB
bisa pindah ke Payakumbuh mungkin saya milih pindah di sana gitu.
Begitu, jadi barangkali kita perlu memperhatikan indikator itu apa yang
dipakai dan apakah ‘sarumah’ itu pas sebetulnya. Karena kan, misalkan,
163
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
di Payakumbuh itu tidak ada bus kota! Betul itu, nol dapatnya. Nanti
akan banyak nol-nya disana. Padahal di Payakumbuh nggak perlu bus
kota; becak atau delman paling-paling. Begitu. Terima kasih.
DWI RETNO WILUJENG WAHYU UTAMI (Deputi
Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik):
M
engenai pemilihan variabel. Kadang-kadang
untuk komparasi kita juga sering mengambil
variabel yang secara internasional memang ada
guide-line-nya, tetapi biasanya kita mengambil
variabel yang bersifat lokal; untuk Indonesia variabel yang pas itu
apa? Karena kalau tidak terakses atau variabel itu tidak membumi
di wilayah itu kadang-kadang juga hasilnya tidak sesuai dengan yang
diharapkan.
Prof. SAPARINAH SADLI (Gurubesar
Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta):
S
Fakultas
aya juga kembali kepada age-friendly cities. Ini
kan indikatornya 140 dan aspeknya ada 8. Aspek
pertama adalah outdoor space and building. Yang
saya ingin tanya ruang di dalam building itu. Apakah
indikator itu—ini kan age-friendly, old-age-friendly atau age-friendly?
Itu kan beda menurut saya. Nah karena kita membicarakan tentang
usia lanjut maka saya memikirkannya itu adalah old-age-friendly. Jadi
apakah di dalam 140 indikator itu dilihat perlengkapan dari buildingbulding itu, umpamanya. Karena saya—kita semua di Cengkareng,
bagi saya masuk di belalainya itu sangat mengkhawatirkan karena
belalainya itu kan landai dan tidak ada pegangan. Ini sebetulnya harus
ada pegangan supaya kita yang tua kalau jalan di situ tidak takut jatuh.
Sama seperti di hotel ini juga begitu, tangganya tidak ada pegangan.
Jadi apakah itu masuk indikator old-age-friendly atau tidak, melihat
apa yang tersedia kalau seorang tua itu lewat sini atau masuk sini
atau something like that-lah. Karena menurut saya itu yang sebetulnya
seringkali tidak tersedia, jadi ada step seperti ini tidak ada pegangannya
apalagi ketika kita ke pengantin, itu kan selalu pengantinnya di atas
gitu dan kita harus naik gitu. Nah ini harusnya ada aturan kalau pakai
164
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
step dan kemudian itu namanya old-age-friendly building, maka itu juga
perlu dipikirkan. Terima kasih.
EVI NURVIDYA ARIFIN (Narasumber):
K
omentar saya satu, kepada Ibu Eka, baik definisi rasio
beban ketergantungan dan bonus demografi itu
baik diperkenalkan kepada mahasiswa, tetapi mungkin
penekanannya “kalau-kalau-kalau”. Itu ditekankan;
“kalau-kalau-kalau”. Asumsinya dalam kuliah harus
kita terapkan, sejauh kita paham asumsinya, oke! Masalahnya sekarang
seolah-olah semua sudah latah, sampai bapak wakil presiden kita pun
pakai; seolah-olah kita sekarang sudah mendapatkan bonus demografi.
Apa bonusnya? Kita tidak berbuat apa-apa, kalau kita dapat bonus
artinya kita sudah berusaha. Padahal kita nggak berusaha apa-apa.
Semata-mata itu terjadi karena struktur penduduk kita berubah. Struktur
penduduk kita berubah, lalu kita mengatakan pada saat-saat tertentu
kita mendapatkan bonus demografi, itu kan seolah-olah kita berusaha
padahal tidak ada. Bonus demografi itu ada kalau serangkaian program
pemerintah dilakukan kepada semua penduduk di berbagai kelompok
umur sehingga akhirnya pada momen tertentu khususnya pada saat ini kita
mendapatkan bonus—sayang saya tidak punya gambarnya di komputer.
Penduduk kita itu sekarang berubah, kalau tahun 1970, penduduk kita
itu bagaikan Candi Borobudur; bagian bawahnya lebar sekali. Sekarang
penduduk kita itu sudah nggak Candi Borobudur lagi, kita akan menuju
Candi Mendut; gendut di atas. Tapi sebelum ke Candi Mendut kita Candi
Prambanan dulu. Sekarang itu kita itu di Candi Prambanan—struktur
penduduknya; gendut di tengah-tengahnya yang usia produktif itu. Di
situ, bonus itu tidak akan pernah terjadi kalau kita tidak berbuat apaapa di usia reproduktif. Jadi pada akhirnya apa kebijakannya? Semua
kebijakannya sama; adalah perbaiki kesehatan, perbaiki pendidikan.
Nah kalau itu mah, ada atau tidak ada istilah bonus domografi juga
memang kita harus begitu! Nah tapi seolah-olah itu yang benar. Monggo
istilah itu dipakai—saya kira apalagi studi kasus dari Bu Indrasari makin
menunjukan bukti kepada kita sebetulnya itu yang terjadi. Maka istilah
itu baik untuk diajarkan sejauh persyaratan, asumsi-asumsinya, dan
‘kalau-kalau-kalau’-nya, itu sangat ditekankan. Sebab kalau tidak akan
sangat membahayakan pembangunan kita. Saya kira itu saja.
165
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
HERNANI DJARIR (Narasumber):
T
erima kasih. Jadi sebetulnya, ideal atau tidak itu
sebenarnya tergantung masyarakat setempat.
Jadi WHO menyediakan satu tools-nya—kalau Prof
Saparinah mungkin membacanya yang 140 itu dari
guide yang asli, ini yang sudah ada tools dan checklistnya yang bisa dipakai untuk menilai. Checklist ini
sebetulnya bisa disesuaikan—kalau tadi Bu Eka mengatakan apakah
aspek culture itu tidak perlu dimasukkan, kalau memang kita
memandang perlu, culture bisa kita tambahkan. Jadi sesuai dengan
kebutuhan kota masing-masing. Kemudian apakah ada kota yang agefriendly? Tools ini sebetulnya sudah dipakai, diujicobakan di Australia.
Jadi di beberapa negara bagian di Australia itu ada yang nggak mau
memakai karena mereka sudah punya RAN; sudah punya action plan
sendiri, kemudian ada juga yang memakai sebagian dari konsep ini
karena tidak sesuai. Jadi sebetulnya adalah kita harus mengadopsi
dulu mana yang akan kita pakai. Kemudian kalau di dalam website-nya
age-friendly world, itu Ibu bisa mendapatkan gambaran di New York
City. Jadi apa yang kemarin Ibu dari Yogyakarta (Ruliyandar Rudiyanto
SE, M.Kes dari Golden Geriatric Club; ed) sampaikan bahwa lansia
sudah diajarkan komputer, itu sudah dilakukan di sana. Jadi di library
itu para orang tua sudah bermain dengan komputer untuk membuka
website untuk mencari referensi-referensi dan sebagianya. Saya kira
mungkin itu.
ARIS ANANTA (Moderator):
T
erima kasih banyak. Sesi ini pada hakikatnya
mengkritik mainstream ekonom plus. Pertama
para ekonom itu percaya pertumbuhan ekonomi
itu paling utama dan salah satu indikatornya adalah
pertumbuhan mobil dan kendaraan bermotor.
Indikator lainya adalah penjualan semen. Jadi kalau kota itu makin
macet dan makin banyak bangunan itu pengukur kemajuan ekonomi.
Dan teman-teman mengkritik habis paradigma itu dengan age-friendly
cities. Kedua juga mengkritik, para ekonom meniru demographer.
Demographer itu bicara struktur, tapi itu netral dan tidak punya arti
apa-apa. Ekonom pura-puranya mau sok tahu; kasih ahli jelek dan dan
166
BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional
buruk dengan angka ketergantungan dan itu ternyata tidak relevan. Dan
kesalahan oleh para ekonom itu, sayangnya ditiru oleh para yang bukan
ekonom. Mari jangan niru-niru ekonom yang seperti itu, saya seorang
ekonom. Dan saya kira saya ucapkan terima kasih kepada para pembicara
dan teman-teman semua. Kita tepuk tangan untuk kita semua. v
167
BAGIAN KETUJUH
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN &
KESEJAHTERAAN LANSIA
NARASUMBER:
n Dr. Nugroho
Abikusno
Universitas Trisakti, Jakarta
n Prof. Bambang
Purwoko, MA, Ph.D
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
n Dr.
Fiona Howell
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K),
Jakarta
MODERATOR:
Dr. Kharisma Priyo Nugroho
The Asia Foundation (TAF), Jakarta
Penuaan Penduduk Indonesia
Masa Depan
Nugroho Abikusno
Universitas Trisakti, Jakarta
D
ata mutakhir yang dikeluarkan baru saja oleh HelpAge International
memperlihatkan, pada tahun 2050 nanti, hampir semua negara
berkembang manapun di dunia ini sudah memiliki penduduk lansia
paling sedikit 10% dari total penduduk masing-masing. Bahkan, Indonesia diperkirakan sudah memiliki penduduk lansia sebesar 30%.
Jadi, 1 dari setiap 3 orang Indonesia saat itu adalah seorang lansia,
berusia 60 tahun ke atas. Jika tak ada hambatan, seperti bencana
besar dan perang, bukan hal mustahil memang perubahan struktur
demografi tersebut akan terjadi.
Salah satu yang menarik adalah mengenai rasio ketergantungan.
Selama ini, di berbagai forum, saya selalu menyampaikan bahwa
bahwa usia harapan hidup manusia Indonesia itu hanya 5-15 tahun.
Ternyata sekarang lebih tinggi, mendekati 20 tahun. Bisa dibayangkan
bagaimana teknologi nantinya akan lebih mampu memfasilitasi keumurpanjangan manusia. Sekarang, rekan-rekan saya di Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) mulai sering meminta saya menjelaskan kepada mereka tentang penuaan (ageing) dan keumurpanjangan (longevity).
Mungkin karena banyak di antara mereka sendiri memang sudah
170
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
mendekati lansia, sehingga mereka berminat. Secara berkelakar,
saya menjelaskan kepada mereka bahwa penuaan (ageing) jelas
bukan melawan penuaan (anti-ageing). Kalau melawan penuaan itu
larinya ke perawatan kulit, maka penuaan dan keumurpanjangan
lebih pada penataan gaya-hidup yang sehat (healthy life style)
secara menyeluruh. Ini jelas tidak bisa dilakukan dalam sekejap,
harus sejak dalam kandungan sampai usia lanjut.
Apa implikasinya? Sederhana saja. Kita harus investasi pada sumberdaya manusia kita tanpa perkecualian, termasuk kepada para
warga lansia yang harus dipandang sebagai potensi besar.
Saya ingin menekankan beberapa hal yang mungkin terkesan
sepele, tapi sangat penting. Misalnya, masih banyak yang selalu
menggunakan istilah ‘panti’, kalau untuk para lansia disebut ‘Panti
Jompo’. Seharusnya ini sudah tidak digunakan lagi. Itu sudah bagian
dari masa lalu saja. Mengapa tidak menggantinya saja menjadi,
misalnya, ‘Rumah Lansia’ atau ‘Graha Lansia’. Jelas, lebih elegan.
Tetapi, ini bukan sekadar soal istilah. Dengan mengganti istilah
‘panti’ menjadi ‘rumah’, sebenarnya adalah perubahan paradigma.
‘Rumah Lansia’ adalah sama seperti rumah-rumah warga lainnya,
berada di tengah masyarakat, bukan disekat menjadi satu proporsi
kecil yang terpisah dari bagian lain masyarakat sekitarnya. Jika kita
masih menganut paradigma ‘panti’, itu menyalahi apa yang disebut
‘Menuju Suatu Masyarakat untuk Segala Usia’. Jadi, kita lepaskan
semua kendala antar generasi, tetap berinteraksi satu sama lain,
terutama dengan keluarga.
Deklarasi Madrid 2002 Rencana Aksi Internasional Madrid tentang Penuaan (Madrid
International Plan of Action on Ageing, MIPAA) adalah suatu
‘grand mark’. Deklarasi ini berpijak pada tiga pilar: partisipasi, kesejahteraan sosial dan kesehatan, lingkungan yang ramah lansia.
Tiga pilar ini harus menjadi landasan untuk semua upaya yang berkaitan dengan penanganan penduduk lansia.
Pilar pertama, partisipasi, harus terus diperkuat sebagai fondasi.
Intinya adalah bagaimana tetap melibatkan para warga lansia dalam proses-proses pembangunan. Bisa ditempuh dengan berbagai
cara dan dalam berbagai bidang. Selama ini sudah banyak yang
171
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
dipraktikkan dengan baik, misalnya, pelibatan para lansia sebagai
relawan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Advokasi kebijakan, termasuk yang evidence-based hasil penelitian, harus selalu menekankan pentingnya partisipasi lansia ini.
Pilar kedua, kesejahteraan. Aspek kesehatan dan sosial tidak bisa
dipisah-pisahkan. Dua-duanya harus mengarah pada tujuan akhir,
yakni peningkatan kualitas hidup para lansia.
Pilar ketiga, lingkungan yang ramah lansia. Tetapi jangan salah kaprah.
Yang dimaksud bukan hanya untuk lansia. Jika suatu lingkungan kehidupan ramah lansia, juga akan sangat ramah dan bermanfaat bagi
orang-orang cacat, ibu hamil, ibu dengan anak kecil, dan semua kelompok masyarakat rentan lainnya. Program untuk lansia harus selalu
didasarkan pada prinsip bahwa kemanfaatan bagi mereka adalah
juga kemanfaatan atau kemaslahatan bagi semua warga atau seluruh
masyarakat.
Dokumen-dokumen Pokok tentang Penuaan
Tiga dokumen penting dari Organisasi Kesehatan Dunia yang berkaitan dengan lansia adalah tentang Penuaan Aktif (Active Ageing),
PUSKESMAS Ramah atau Santun Lansia (Age-friendly Primary Health
Care), dan Kota Ramah Lansia (Age-friendly Cities).
Tiga dokumen WHO sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dan sudah disebarkan ke semua daerah. Jika ingin mendapatkannya,
hubungi KOMDA Lansia di daerah masing-masing. Kalau tidak salah,
sudah ada 100 dari sekitar 400 kabupaten/kota di seluruh Indonesia
yang sudah membentuk KOMDA Lansia dan aktif.
Pilar-pilar dari Penuaan Aktif adalah: kesehatan, partisipasi, dan keamanan. Dua pilar pertama (kesehatan dan partisipasi) sudah sangat
jelas. Pilar ketiga (keamanan) perlu sedikit penjelasan bahwa yang
dimaksud adalah: keamanan dalam rumah. Jadi, rumah yang ramah
lansia. Penelitian bisa banyak dilakukan berkaitan dengan masalah
ini. Pengertian keamanan juga mencakup keamanan sosial (social
security) seperti jaminan sosial lansia.
Pilar-pilar PUSKESMAS Ramah atau Santun Lansia ada dua yang harus
benar-benar diperhatikan: sumberdaya manusia dan prasarananya.
Untuk sumberdaya manusianya, sebaiknya para petugas PUSKESMAS
172
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
dilatih dalam bidang gerontologi dan geriatri sesuai dengan kualifikasi
atau fungsinya. Kalau dia dari bidang sosial, perlu dilatihkan gerontologi
sosial (social gerontology). Kalau dia dari bidang kesehatan, perlu
dilatihkan gerontologi kesehatan (medical gerontology). Sekarang, sudah
mulai banyak perguruan tinggi yang berminat untuk mengembangkan
bidang kajian ini, sehingga memang semakin penting untuk diajarkan juga
kepada para petugas kesehatan sampai tingkat terbawah (PUSKESMAS).
Dalam hal prasarana, intinya adalah bahwa suatu PUSKESMAS Ramah
Lansia harus benar-benar terjangkau (affordable) secara finansial dan
bisa diakses (accessible) secara spasial oleh para lansia. Contoh, dalam
hal keterjangkauan finansial, ada yang mengembangkan gagasan
‘Kartu Sehat Lansia’, terutama lansia yang miskin dan lemah. Dalam
hal keterjangkauan spasial, terutama adalah dari segi ketersediaan
transportasi serta memiliki loket dan klinik khusus para lansia, antara
lain, agar para lansia yang datang ke sana tidak perlu antri panjang.
Selain itu, PUSKESMAS Ramah Lansia harus memiliki fasilitas rujukan,
terutama pada fasilitas rehabilitasi.
Di Cina, pusat-pusat kesehatan masyarakat punya layanan rujukan sangat
sederhana, tapi efektif. Di setiap ‘Graha Lansia’ ada yang namanya ‘Mesin
Chi’ (Chi Machine). Cara kerjanya adalah si lansia diminta berbaring di
atas mesin tersebut yang secara otomatis menggerakkan bagian engkel
lansia itu sehingga terjadi kelancaran aliran darah mulai dari tungkai
bawahnya sampai ke otak. Itu dilakukan rutin oleh semua lansia yang
pergi ke Graha Lansia, sehingga kita menyaksikan lansia-lansia yang
bahkan umurnya 100 tahun pun masih gagah dan gesit, reflek-refleknya
masih bagus, bisa menari dengan baik. Kalau malam, saya lihat mereka
semua melakukan gerakan-gerakan Tai Chi di lapangan terbuka. Halhal semacam itulah yang perlu dikelola oleh PUSKESMAS Ramah Lansia,
tetapi bukan hanya satu-dua kali seminggu, melainkan rutin setiap hari.
Bentuk-bentuk pelayanan sederhana tapi efektif semacam itulah yang
saya pikirkan sangat penting dalam promosi gaya hidup sehat dan
pelayanan kesehatan yang baik. Melihat beberapa contoh seperti di
Cina itu, sebenarnya tidak perlu dana besar. Kalau pemerintah memang
memiliki itikad politik (political will) yang serius, sarana dan pola pelayanan semacam itu mudah dibangun, tetapi hasilnya akan luar biasa.
Karena, sarana dan pola tersebut mengurangi ketergantungan para lansia
pada orang lain. Mereka melakukan perawatan diri sendiri (selfcare)
secara rutin setiap hari, tidak dibantu oleh siapa pun sampai mereka
173
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
sama sekali sudah tidak mampu melakukan sendiri. Prinsip inilah yang
seharusnya dikembangkan juga di sini.
Berikutnya adalah Kota Ramah Lansia. Ini terutama menyangkut fasilitas di rumah maupun sarana publik. Rumah di mana seorang lansia
tinggal, tentu saja, harus ramah lansia, terutama kalau lansia itu cacat
atau mempunyai kebutuhan yang khusus. Kelengkapan-kelengkapan
yang harus ada, misalnya, pegangan di tempat-tempat yang biasa dia
lalui seperti ruang keluarga, kamar tidur, dan kamar mandi. Keadaan
lantai, pencahayaan, dan meubeler harus ramah lansia. Satu perangkat
penting yang sering dilupakan adalah tanda bahaya (emergency alarm)
yang bisa dipantau oleh para tetangga atau orang yang lewat di sana.
Adapun sarana publik yang penting harus disediakan perumahan lansia
yang selalu dekat dengan fasilitas-fasilitas seperti ATM, warung, dan
sebagainya. Kemudian ada akses jalan landai di bangunan-bangunan
publik dan fasilitas-fasilitas untuk orang-orang yang cacat. Tak kalah
penting, pemberian diskon khusus untuk para lansia. Di Hawaii, misalnya, semua layanan transportasi umum, pembelian makanan dan
pakaian di semua restauran dan toko, semua memberi diskon khusus
kepada para lansia. v
174
Implementasi
Sistem Jaminan Sosial Nasional
Berbasis Kesempatan Kerja untuk
Perluasan Kepesertaan Semesta
Bambang Purwoko
Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)
S
elama ini, masih sering terjadi salah kaprah di Indonesia bahwa sistem
jaminan sosial disempitkan artinya sebagai asuransi sosial saja. Padahal,
selain asuransi sosial yang dipergunakan untuk melindungi masyarakat
yang punya pendapatan reguler, jaminan sosial juga mencakup bantuan
sosial (social assistance) khusus untuk penduduk miskin. Biasanya programnya hanya sebatas social pension, yaitu Bantuan Langsung Tunai
(BLT) dan juga jaminan kesehatan. Karena pertumbuhan ekonomi kita
selama beberapa tahun ini cukup tinggi, relatif tinggi, mestinya jumlah
penduduk miskin berkurang. Kalau tidak, berarti ada sesuatu yang keliru.
Bentuk berikutnya dari jaminan sosial adalah ‘demogran’. Ini mungkin
masyarakat belum tahu. Ini adalah bentuk jaminan sosial yang semua
warga negara, kaya ataupun miskin, berhak menerimanya. Contoh, di
Australia, ada bantuan susu untuk semua balita dan pengobatan gratis
kepada seluruh warga negara tanpa kecuali. Tentu saja, ada aturan mainnya. Misalnya, kalau kita mau berobat tapi tidak mau menunggu atau
antri, silakan cari pelayanan pengobatan yang tidak gratis, tetapi bayar
sendiri.
Jaminan sosial ini adalah suatu sistem yang perlu ditopang dengan
prasarana lain. Misalnya, perlu ada ‘Pasar Tenaga Kerja Aktif’ (Active
Labour Market). Sampai sekarang, negara kita belum punya, meskipun
sudah 67 tahun merdeka. Indonesia kelihatannya memang ‘hobi’ serba
sementara (ad hoc). Semua jenis bantuan sosial yang pernah ada di negeri
175
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
ini, semuanya ad hoc: ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ada
Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS), semuanya ad hoc. Pernah
saya tanyakan mengapa demikian? Jawabannya adalah tidak mau,
karena semua yang ad hoc itu bisa jadi sumber pendapatan tambahan.
Jadi, itulah tantangannya. Padahal, mestinya bisa dituntaskan semua,
asal mau. Tantangan lainnya adalah perlunya pemisahan yang jelas
antara regulator dengan pelaksana. Kalau di negara lain, badan penyelenggara bantuan sosial (BPJS) adalah badan tersendiri, bukan kementerian. Di sini, Kementerian Kesehatan mengelola langsung dan
menyelenggarakan JAMKESMAS, padahal lembaga itu tidak dirancang
sebagai pelaksana, tetapi sebagai regulator. Kalau mengacu pada UU
Nomor 24 Tahun 2011, jelas dipisahkan antara Kementerian sebagai
regulator dan BPJS sebagai operator.
Jaminan kesehatan saat ini sifatnya parsial. Pegawai Negeri Sipil
(PNS) mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Adapun
para pekerja sektor swasta mendapatkan program jaminan sosial
(JAMSOSTEK) yang dirancang hanya untuk mereka yang masih aktif
bekerja. Begitu mereka tidak bekerja, mereka jatuh miskin lagi karena
tidak mendapatkan jaminan pensiun. Itulah sebab dalam UU Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ada jaminan pensiun. Dengan sengaja
dalam UU SJSN tidak digunkan istilah ‘jaminan kesehatan’. Profesor
Hasbullah pernah melemparkan kelakar bahwa jaminan kesehatan
itu ‘Sadikin’ (sakit sedikit jadi miskin). Dalam kenyataannya, memang
demikian. Peserta ASKES sekarang tercatat 4,8 juta orang, tapi yang
menggunakannya umumnya adalah PNS golongan 1 dan 2. Golongan
4 tidak menggunakan, tapi kalau sudah pensiun baru dimanfaatkan.
Jadi, PNS yang pensiun walaupun golongan IV/E itu baru ingat ASKES.
Waktu masih aktif, mereka tak meliriknya sama sekali.
Tampaknya kelakar Profesor Hasbullah banyak benarnya. Saya tidak
tahu persis, tapi kalau tidak salah Indonesia sekarang punya sekitar
12 juta jiwa lansia. Hanya 2,6 juta jiwa dari mereka yang mendapatkan
pensiun, karena mereka adalah PNS atau karyawan BUMN besar.
Katakanlah seluruhnya adalah 3 juta jiwa. Lalu, 9 juta sisanya dapat apa?
Karena itu, jaminan pensiun harus dibangun jauh-jauh sebelumnya,
pada saat kita masuk berusia 25 tahun dan masih aktif bekerja. Itu
perlunya ada UU Jaminan Sosial untuk mengatur pemotongan gaji kita selama masih bekerja, sehingga --pada usia pensiun nanti, usia 55
tahun-- kita sudah bisa menerima manfaatnya.
176
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
Kelemahan JAMSOSTEK --saya adalah mantan Direktur JAMSOSTEK-adalah jaminan pensiunnya baru bisa diambil 5 tahun. Kalau anda peserta
JAMSOSTEK, pindah kerja 5 kali, tariknya bisa 5 kali pula asal sudah 5
tahun. Maka, persis pada saat usia 55 tahun, pensiun, saldonya pun tinggal 5 tahun saja. Jelas, tidak cukup untuk sisa hidup hari tua. Beda dengan
Singapura dan Malaysia, sama sekali tidak boleh diambil selama masih
aktif bekerja. Orang Malaysia yang bekerja mulai mengangsurnya pada
usia 25 tahun. Ketika mereka pensiun 30 tahun kemudian, pada usia 55,
saldonya besar sekali. Mereka biasanya menggunakannya untuk membeli
AMITAS dari perusahaan asuransi komersial yang menunggu mereka
selama 55 tahun. Di Indonesia, tidak demikian.
Jaminan sosial di Indonesia sekarang ini melanggar asas keadilan. Karena,
hanya PNS yang mendapatkan jaminan pensiun. Jaminan sosial yang
berlaku sekarang itu mendua, termasuk jaminan kesehatan. Jaminan
kesehatan pada dasarnya adalah jaminan yang dapat digunakan kapan
saja diperlukan: bisa sekarang, bisa besok; dan berlaku untuk semua:
tua-muda, kaya-miskin, sehat-sakit. Kalau kita sehat, anak-anak atau istri
kita yang sakit bisa menggunakannya. Makanya, jaminan kesehatan itu
prioritas dan itu sudah dimasukkan dalam UU SJSN.
Tetapi, program jaminan sosial harus seumur hidup. Satu-satunya program jaminan sosial seumur hidup adalah jaminan pensiun, karena akan
tetap dibayarkan sampai yang bersangkutan meninggal di usia pensiun.
Faktanya, banyak orang setelah pensiun pada usia 55 tahun, masih
bertahan hidup bisa sampai 10 atau 15 tahun kemudian. Setelah dia meninggal, jaminan pensiunnya mestinya bisa dialihkan ke istri dan anak.
Itu akan diterapkan di UU SJSN. Jadi, SJSN berdasarkan UU baru tersebut
memang dirancang untuk anak cucu kita, untuk ke depan, karena kita
sudah pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang pernah
ada selama ini bersifat parsial, tidak seragam. Jaminan pensiun hanya
didapat oleh para PNS, begitu juga jaminan kesehatan. Para pegawai
swasta hanya mendapatkan tabungan hari tua yang sifatnya sekaligus.
Ini berbahaya, karena begitu dapat tabungan sekaligus, bukannya membayari hari tua, tapi malah dipakai untuk bisnis. Kalau bisnisnya pun
gagal, habislah dia. Ini yang paling banyak terjadi, karena dia selama ini
bekerja sebagai ‘orang gajian’, bukan wirausaha. Itulah memang kasus
terbanyak selama ini. Setelah pensiun, mendapat saldo JAMSOSTEK Rp
100 juta. Langsung digunakan membuka usaha baru, lalu gagal. Dalam hal
ini kita harus arif bahwa tidak semua orang berbakat atau mampu jadi
177
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
wirausaha, dan memang tidak boleh semua orang pensiunan menjadi
wirausaha.
Landasan jaminan sosial adalah kesempatan kerja. Jaminan sosial ini
adalah program formal, pesertanya juga harus bekerja di sektor formal.
Kalau pesertanya banyak di sektor informal, negara akan kesulitan.
Kecuali kalau APBN-nya benar-benar kuat dan mantap. Pendapatan
negara kita pada tahun 2011 sebesar Rp 1.086 triliun, Rp 600 triliunnya
berasal dari pajak --mestinya lebih. Dengan jumlah penduduk sebesar
200-an juta dan angkatan kerja 110 juta lebih, seharusnya nilai hasil
pajaknya adalah ribuan triliun. Masalahnya, yang punya nomor wajib
pajak, yang bayar pajak, cuma 10% penduduk, itupun 25% pemegang
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebenarnya bernilai nihil karena
merupakan dana pensiunan. Ini satu masalah besar.
Oleh karena itu, ada alasan yang sangat kuat sehingga pada tanggal 18
Oktober 2004, lahirlah UU Nomor 40 Tahun 2004. Hal ini dimaksudkan
agar sistem jaminan sosial kita adil, programnya berdasarkan Undangundang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) per Oktober 2004. Tetapi,
proses implementasinya sekali lagi membuktikan bahwa keseriusan
pemerintah memang perlu dipertanyakan. Karena, inilah satu-satunya
undang-undang yang harus ditindaklanjuti dengan undang-undang
juga. Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 2004 itu mengatakan bahwa untuk
menyelenggarakan SJSN harus dengan undang-undang. Sayangnya, UU
Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
baru lahir 7 tahun kemudian! Maka, yang dirugikan siapa? Ya, peserta
lagi! Artinya, kepesertaan pensiunnya mundur lagi. Tapi, lumayanlah,
daripada tidak sama sekali.
Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 itu, sistem jaminan sosial dirancang
bersifat universal. Karena, syarat penyelenggaraan jaminan sosial itu
harus inklusif. Tidak boleh ada perbedaan antara PNS dan pegawai
swasta. Programnya harus sama. PNS itu dipotong 4,75% tiap bulan
untuk tabungan dana pensiun, tapi itu sesungguhnya terlalu kecil,
hanya cukup untuk membiayai seorang pensiunan PNS selama 7
bulan setelah dia pensiun (lebih rinci, lihat Tabel 1). Maka, sisanya
pun ditanggung oleh APBN. Kenapa? Dasarnya adalah UU Nomor 11
Tahun 1969 bahwa pembiayaan program pensiun PNS adalah dari
APBN. Sama halnya dengan anggota TNI dan POLRI yang diatur dalam
UU Nomor 6 Tahun 1966. Jadi, ada dua undang-undang; UU 11/1969
untuk pensiunan PNS dan UU 6/1966 untuk pensiunan TNI-POLRI,
178
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
tetapi pada dasarnya sama saja, dana pensiunan mereka hanya dipacu
untuk 7 bulan, karena sifatnya memang hanya suplemen.
Apakah nanti, berdasarkan UU SJSN, dana pensiunan akan dipotong
juga untuk jaminan kesehatan? Kurang lebih polanya akan sama dengan
jaminan pensiun. Pensiunan PNS dan pensiunan TNI-Polri akan dipotong
2% per bulan untuk ikut jaminan kesehatan dari ASKES. Jadi, per 1 Januari
2014, PT ASKES akan menjadi BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan
program jaminan kesehatan secara universal. Dalam pasal 14 UU
40/2004 disebutkan bahwa pemerintah mendaftarkan penduduk miskin
untuk dibayarkan iurannya oleh pemerintah. Besaran iuran mengacu
ke Tim Nasinal Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yakni
sebesar Rp 22.000 per orang per bulan. Tapi, pembahasannya masih alot
dengan Kementerian Keuangan. Dalam UU SJSN, tidak hanya mencakup
penduduk miskin, tapi termasuk penduduk tidak mampu. Misalnya,
peserta JAMSOSTEK yang mencapai usia 55 tahun dan dia karyawan
biasa, dapat digolongkan sebagai warga tidak mampu. Yang menentukan
dia mampu atau tidak adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
ASKES
Jaminan Kesehatan
bagi PNS &
Purnawirawan
Operasional JK oleh
BPJS Kesehatan per
1 Januari 2014
JAMSOSTEK
Jaminan Sosial bagi
Tenaga Kerja Sektor
Swasta
Operasional JKK-JHTJP-JKm oleh BPJS TK
per 1 Juli 2015
TASPEN
Pensiun dan THT
bagi PNS
ASABRI
Transformasi
tahun 2029
Pensiun dan THT
bagi TNI & POLRI
Proses Transformasi 4 BUMN Persero ke BPJS
179
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Implementasi UU SJSN itu bersifat wajib diselenggarakan dari Sabang
sampai Merauke per 1 Januari 2014. Sejak saat itu, PT ASKES menjadi
BPJS Kesehatan tanpa likuidasi. Bentuk badan hukumnya bukan
lagi perseroan terbatas. Programnya bertahap. PT JAMSOSTEK akan
menjadi BPJS Ketenagakerjaan, tetapi program pensiunnya berlaku
per 1 Juli 2015. Jadi nanti semua karyawan swasta wajib mengikuti
program pensiun. Nah, bagaimana kalau per 1 Juli tahun 2015 ini
usianya sudah berusia 50 tahun? Maka dana pensiunnya hanya 5
tahun. Karena di UU SJSN, persyaratan untuk mendapatkan pensiun
wajib bagi karyawan itu harus memenuhi masa angsur 15 tahun. Kalau
kurang dari 15 tahun dikasih lumsum. Dengan seluruh skema itu,
saya optimis tahun 2030 seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan
jaminan pensiun. Tapi, acuannya tetap usia 55. Jadi, misalnya masa
angsur saya sudah 15 tahun dan usia saya masih 50 tahun, maka
belum boleh. Karena, rumus pensiun adalah makin lama masa angsur,
makin aman buat penyelenggara. Karena umur orang bisa panjang.
Contoh kasus, mantan Gubernur DKI, Wiyogo Atmodarminto, usianya
sampai 90 tahun. Kalau saldo pensiunnya hanya mampu sampai 7
bulan, maka 35 tahun 4 bulan sisanya ditanggung dan dibayari terus
oleh APBN. Kalau semuanya demikian, APBN bisa jebol.
Untuk PNS dan TNI-Polri akan ditransformasi ke BPJS Ketenagakerjaan
pada tahun 2029. Mengapa? Karena usulan iuran jaminan pensiun
UU SJSN sekarang hanya 8%, sedangkan pensiunan PNS --ambil contohnya pensiunan PNS golongan IV/E-- bisa terima 4,5 juta per bulan,
itu kalau diangsur harus 16%. Secara kasar perhitungan aktualnya,
menerima Rp 4,5 juta dan harus diangsur 16%, kan tidak mungkin.
Jadi, baru pada tahun 2020-2022 nanti, sektor swasta yang tidak 8%
akan dinaikkan dulu. Kemampuan swasta sekarang baru 8%, karena
mereka --sebagai pemberi kerja-- juga menanggung perintah UU
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pesangon, dan ikut JAMSOSTEK
juga. Jadi para pengusaha mengaku baru mampu 8%, yakni 5% dari
mereka sebagai pemberi kerja dan 3% dari pekerja. Kenapa 8%? Saya
mengadopsi sistem di Filipina. Di Filipina itu sebenarnya 8,4% tapi
pengusaha maunya 7%. Kalau 7%, lebih baik tidak usah saja, karena
tidak akan ada artinya, tidak ada manfaatnya. Karena, makin panjang
masa angsur, makin baik. Iurannya tidak perlu terlalu tinggi. Idealnya
16%, tapi 8-12% boleh juga sebagai tahap awal.
180
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
Tabel 1. Total Dana Jaminan Sosial, APBN dan PDB (Triliun Rupiah)
Tahun
Total Dana
Jaminan
Sosial*
Pendapatan
Negara
PDB Harga
Berlaku
% terhadap
APBN
(2 : 3)
% terhadap
PDB
(2 : 4)
1
2
3
4
5
6
2005
54
495
2.774
10,9
1,9
2006
71
638
3.339
11,1
2,1
2007
87
708
3.951
12,3
2,2
2008
120
649
4.951
14,1
2,4
2009
160
982
5.613
16,3
2.8
2010
195
992
6.354
19,6
3,1
2011
232
1.086
7.020
21,4
3,3
Sumber: *Dana Akumulasi Jamsostek-Taspen-Asabri, BPS dan BI 2012
Sebagai kesimpulan, untuk mengukur jaminan sosial ini berhasil atau tidak,
kita lihat pakai angka-angka. Di kolom 2 adalah total dana jaminan sosial
--terdiri dari dana JAMSOSTEK, TASPEN, dan ASABRI. Yang paling besar
adalah dari JAMSOSTEK (70%). Naik dari Rp 54 triliun pada tahun 2005
menjadi Rp 232 triliun pada tahun 2011. Kita cek dengan pendapatan negara
--kita tidak bicara APBN, karena akan defisit. Pendapatan negara tahun 2011
adalah Rp 1.086 triliun. Dengan kata lain, seluruh dana jaminan sosial adalah
hanya 21,4% dari seluruh pendapatan negara. Persis sama besarnya dengan
anggaran pendidikan. Jumlah itu sesungguhnya sangat kecil, karena dana
JAMSOSTEK adalah dana akumulasi sejak tahun 1977. Dibandingkan dengan
PDB (Product Domestic Bruto) harga berlaku yang mencapai Rp 7.020 triliun
--ini saya kutip dari data Bank Indonesia-- maka seluruh dana jaminan
sosial itu hanyalah 3,3% nya, persis 2,2% dana kesehatan. Ini ‘memalukan’
sekali. Artinya, Indonesia tidak punya dana jangka panjang. Maka, pantas
kalau berutang terus! Selanjutnya, dapat dilihat bahwa dana JAMSOSTEK
sebesar Rp 232 triliun itu ada di deposito berjangka, ada di obligasi, ada
di saham, ada di pendanaan langsung. Jadi ini sudah mencakup semuanya.
Jelas, sangat kecil sekali! Dana jaminan sosial di Malaysia mencapai 80% dari
PDB. Kita hanya 3,3%. Ternyata, Pemerintah Indonesia tidak pernah serius.
Programnya dinyatakan wajib, tapi penegakan hukum (law enforcement)
tidak ada, tidak jalan, terutama setelah otonomi daerah tahun 2000.
181
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Tabel 2. Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan Kepesertaan Jaminan Sosial (Juta Orang)
Tahun
Angkatan
Kerja
1
2
Kesempatan Kerja
Formal
Informal
3
4
Peserta
5
% terhadap
AK
KKF
6
7
2005
105,86
31,76
74,10
7,84
7,4
24,68
2006
106,28
31,88
74,40
7,72
7,3
24,21
2007
108,13
32,44
75,69
7,94
7,3
24,47
2008
108,94
32,68
76,26
8,22
7,5
25,15
2009
109,76
32,93
76,83
8,49
7,7
25,78
2010
110,07
33,02
77,05
9,20
8,3
27,86
2011
111,62
33,50
78,18
11,70
10,5
34,93
Satu lagi yang penting, tentang angkatan kerja. Di masa depan, kinerja BPJS harus naik terus, karena prinsip BPJS nanti adalah bersifat
nirlaba. Mari kita lihat kepesertaan JAMSOSTEK. Data dari tahun
2005 hingga 2011 menunjukkan peningkatan dari 7,84 menjadi
11,70. Kalau kita lihat kesempatan kerja di sektor formal ada 33,50,
yang ikut sebagai peserta JAMSOSTEK hanya 11,70, alias hanya 34%.
Hanya sepertiganya. Kalau dibandingkan dengan jumlah seluruh
angkatan kerja, peserta JAMSOSTEK itu hanya 10%. Padahal, program
ini dinyatakan sebagai program wajib. Mengapa pesertanya terlalu
sedikit? Karena law enforcement tidak jalan. Saya tidak menyalahkan
JAMSOSTEK (mentang-mentang mantan orang JAMSOSTEK)! Karena,
sebagai perusahaan, tidak punya kewenangan penegakan hukum.
Menurut UU Nomor 8 Tahun 1981, kewenangan penegakan hukum
itu ada pada Kementerian Tenaga Kerja. Hal-hal dualistik semacam
inilah yang akan dibenahi melalui UU SJSN. v
182
Jalan Menuju
Jaminan Pensiun di Indonesia:
Kemiskinan & Keamanan Pendapatan Lansia
Fiona Howell
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K)
Disampaikan oleh Dr. Jan Piebe.
P
resentasi ini lebih memusatkan pada rencana jaminan sosial dan
bagaimana caranya untuk menjamin semua masyarakat agar bisa
memiliki tabungan dan semacam pendapatan, sehingga bisa memenuhi
kebutuhan yang sudah disebutkan pembicara sebelumnya, seperti asuransi kesehatan dan akses ke fasilitas kesehatan.
Dengan memastikan bahwa kebutuhan dasar terpenuhi, bukan berarti
kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak diperhatikan, seperti masalah kesehatan. Pada dasarnya, perkiraan pendapatan diambil dari data SUSENAS
terkini, yaitu bulan Maret tahun 2012. Di sini kita melihat perbedaan
desile sebagai yang termiskin berumur di atas 60 tahun atau 65 tahun
atau di atas 70 tahun.
Kita menyadari bahwa usia tua berkaitan dengan peningkatan kemiskinan,
terutama masyarakat atau rumah tangga yang tidak memiliki jaringan
atau dukungan keluarga ataupun skema tabungan. Hal ini merupakan
sesuatu yang umum. Kita bisa menemukan banyak kasus seperti ini di
183
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
negara-negara berkembang dan penelitian telah menunjukkan bahwa
Indonesia memiliki kasus yang sudah lama.
Jika kita memakai garis kemiskinan 1,2 yang disebut dengan kelompok
rentan di Indonesia, kita bisa dengan mudah mendapatkan gambaran
yang lebih tinggi, mencapai 30%. Bahkan, jika kita memakai 1,5 kita
sudah hampir mencapai 50% dari populasi ini. Banyak masyarakat,
terutama para lansia, tidak dianggap sebagai masyarakat miskin, tetapi hidup pada garis yang sangat dekat dengan garis kemiskinan.
Dan jika kita menaikkan lebih tinggi lagi, dengan melihat struktur
keluarga, ini merupakan DESILE yang berbeda untuk mendapatkan
DESILE termiskin yang kita miliki. Jadi kita bisa melihat gejala bahwa
para lanjut usia menjadi pemimpin dominan dari rumah tangga tipe
kedua.
Kita bisa melihat gejala seperti itu pada DESILE rumah tangga miskin
seperti yang bisa kita lihat pada jenis rumah tangga yang berbeda.
Jadi, anak-anak pindah ke dalam rumah tangga atau orang tua yang
pindah dengan anak-anaknya. Hubungan seperti inilah yang sangat
membantu orang-orang pada usia tua. Akan tetapi, banyak juga masyarakat pada kelompok miskin yang --walaupun mereka hidup dengan
anak-anaknya atau ada yang merawat mereka-- tetapi tidak memiliki
cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam konteks
ini.
ASLUT (JSLU)
Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah
dengan membuat program bantuan sosial bagi para lansia. Bantuan
yang diberikan pada tahun 2012 adalah sekitar 200.000 rupiah
per bulan bagi setiap lanjut usia --sebelumnya 300.000 per bulan.
Jumlah tersebut diubah begitu juga dengan kriteria umur yang juga
mencakup mereka yang berumur 60 tahun. Kriteria tersebut hanya
berlaku jika mereka memiliki masalah kesehatan yang serius sehingga
mereka ditinggalkan. Sedangkan para fasilitator memastikan bahwa
para penerima bantuan tersebut benar-benar memenuhi kriteria.
Bagi mereka yang berumur lebih dari 70 tahun dan yang ditinggalkan
oleh keluarganya, mereka harus memiliki kartu identitas resmi atau
dokumen resmi di mana biasanya orang-orang di daerah pedesaan
tidak memilikinya. Tetapi hal ini tergantung dari seberapa fleksibel
184
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
pelaksanaan program pada tingkat daerah menjadi sebuah hambatan atau
tidak.
Latar belakang program ini dimulai sejak tahun 2006 di 6 provinsi dan
masih berlanjut sampai saat ini dengan mencakup semua provinsi. Jumlah
penerima manfaat program ini dalam daftar resmi sekarang mencakup
25.000 orang pada tahun 2012. Seperti yang sudah dijelaskan pada
presentasi pertama, bahwa ada 3 juta lebih yang membutuhkan dan
perkiraan jumlahnya lebih besar dari itu.
Kajian TNP2K pada JSLU
Bagaimana program ini bekerja?
Bersama dengan HelpAge International dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, TNP2K melakukan penelitian tentang silsilah penerima
manfaat JSLU di 11 provinsi. Studi dilakukan untuk mengetahui bagaimana
cara untuk mendapatkan akses manfaat JSLU telah mengubah hidup
mereka. Pada umumnya, hasil penelitian tersebut cukup positif bahwa
mereka memanfaatkannya untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka.
Dari program tersebut kita juga menemukan bahwa para fasilitator cukup bagus dalam mengidentifikasi mesyarakat yang memiliki masalah
kesehatan serius.
Menurut kami, para fasilitator sangat berhati-hati dalam memilih masyarakat yang berumur 70 tahun ke atas. Mereka juga dalam tekanan
untuk menemukan orang-orang yang berhak menerima bantuan, karena
sumber data yang tersedia sangat terbatas dan cenderung memilih berdasarkan kriteria umur. Karena memilih mereka yang berumur 70 tahun
ke atas berarti memperkecil kemungkinan bagi mereka yang berumur di
bawah usia itu. Di lain pihak, masih banyak orang yang memiliki masalah
kesehatan pada umur tersebut. Tetapi, jumlah sumberdaya yang tersedia
telah membatasi kesempatan mereka untuk menjadi calon penerima
manfaat JSLU ini. Program ini tidak diterapkan di semua kabupaten dan
kecamatan. Tetapi rogram ini masih terus dikembangkan, hanya cakupannya masih kecil.
Banyak negara telah merencanakan untuk menyediakan jaminan sosial
seperti ini. Pada umumnya, negara-negara Barat selalu memiliki jangka
tahun yang panjang bagi pekerja formal dan mereka wajib membayar
jaminan sosial. Jadi, seandainya kita bekerja di sektor formal selama 30
185
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
tahun, maka setiap tahun kita harus membayar sejumlah uang sebagai
rencana jaminan sosial ini dan bisa menikmati keuntungan dari uang
pensiun tersebut di kemudian hari. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tidak memiliki sistem seperti itu.
Sektor formal jumlahnya sangat kecil. Bahkan di Indonesia, jika anda bekerja di sektor formal maka anda harus sudah berkontribusi
dalam waku yang sangat lama sampai anda memenuhi kualifikasi.
Terkecuali untuk skema pensiun khusus. Pada umumnya, Anda harus
berkontribusi sama lamanya untuk pekerjaan di sektor formal.
Sepuluh tahun terakhir, banyak negara-negara berkembang dan berpenghasilan menengah telah mempertimbangkan masalah lansia
ini, bagaimana caranya untuk mengikutsertakan mereka yang tidak
memiliki skema tabungan untuk mengakses fasilitas kesehatan atau
pekerjaan di sektor formal. Berbagai pendekatan yang berbeda-beda telah dilakukan, misalnya pensiun universal. Jadi, pada dasarnya
masyarakat pada golongan umur tertentu bisa mendapatkan sejumlah
uang, baik yang kaya maupun yang miskin.
Perbandingan dengan Amerika Latin dan Karibia
Skema pensiun bertarget atau yang disebut dengan Pension Targetted
Scheme yang artinya jika kita memiliki sisa uang yang cukup dan
memiliki rencana pensiun formal, maka kita tidak bisa lagi ikut dalam
skema pensiun universal. Sebaliknya, jika kita tidak memiliki cukup
uang atau tidak memiliki cukup uang dari skema pensiun formal, maka
kita bisa memiliki pensiun universal. Banyak negara yang memiliki
sumber finansial terbatas menggunakan sistem teruji. Maka, jika kita
tergolong dalam masyarakat miskin atau golongan masyarakat dengan
masalah kesehatan atau yang ditelantarkan maka kita bisa mengakses
sistem pensiun seperti ini.
Seperti kasus di Brasil, yang memiliki susunan masyarakat dan permasalahan geografis yang hampir sama tapi dengan jumlah pulau
yang lebih sedikit dan penduduk yang banyak, memiliki rencana
pensiun teruji. Sebagian besar negara-negara Amerika Latin biasanya
memiliki rencana teruji. Sebagai gambaran, negara-negara kecil yang
memiliki sumber daya yang sangat banyak bagi masyarakatnya akan
mendapatkan banyak sumbangan uang. Negara-negara kecil yang
186
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
anggaran umumnya mencapai 30% - 40% dari pengeluaran umum biasanya menerapkan pensiun universal.
Perbandingan dengan Negara-negara Asia
Dalam konteks negara-negara Asia, banyak negara memiliki perbedaan
yang besar. Misalnya, Hongkong adalah negara yang sangat kaya, sebaliknya India sangat miskin. Jika kita melihat India, rencana pensiunnya
mencakup jutaan orang. Hal itu berarti rencana pensiun teruji. Jika kita
melihat Vietnam, paling tidak ratusan ribu tercakup dalam rencana
pensiun. Sedangkan Nepal, negara yang jauh lebih miskin dari pada Indonesia, rencana pensiunnya mencakup masyarakat yang sangat banyak.
Untuk Indonesia, data ini didapatkan dari database yang sangat bagus,
yaitu dari HelpAge Internationa. Indonesia berada jauh dibawah negaranegara miskin seperti India dan Vietnam juga dibawah Thailand dan Malaysia yang memiliki penduduk yang lebih sedikit.
Rencana pencakupan merupakan awal yang bagus untuk mengidentifikasi
masyarakat walaupun jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan dengan
negara-negara lain di kawasan Asia. Sebagaian besar negara yang memiliki masalah keuangan menggunakan rencana pensiun teruji. Jika kita
memiliki skenario lain yang memungkinkan dengan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang resmi dan tingkat kontribusi
yang sesuai, mungkin kita bisa. Jika kita melihat tingkat kontribusi yang
dimiliki setiap negara, misalnya Thailand, sekitar US $20 per bulan atau
Rp.200.000 yang jumlahnya sama dengan yang dimiliki ASLUT.
Banyak negara yang sebenarnya mirip India, bahkan jauh lebih kecil.
Misalnya, Timor Leste juga memiliki sekitar US $ 20 tapi tergantung dari
setiap negara berapa banyak anggaran yang tersedia di setiap negara
untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika kita tetap menggunakan
jumlah uang untuk penerima manfaat yang lama yaitu Rp. 300.000 atau
200.000 dan memilih umur 65 atau 70 dan memiliki pensiun universal
atau pensiun teruji maupun pensiun bertarget, maka kita akan melihat
dampak yang besar pada masyarakat. Berdasarkan data BPS Maret
2012, 11,96% masyarakat Indonesia adalah miskin. Dari data tersebut
kita melihat penduduk kelompok 65 tahun lebih tinggi dari jumlah yang
lainnya. Sama halnya dengan golongan masyarakat di atas 65 tahun.
187
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Kemungkinan Skenario
Jika kita memiliki pensiun universal sekarang, kita bisa melihat bagian
lanjut usia berkurang sangat banyak. Dan jika kita fokus pada benefit
rumah tangga 30% kebawah maka jumlah rumah tangga miskin akan
berkurang sangat banyak. Mungkin tidak sebanyak pada skenario
pensiun universal tetapi merupakan kontribusi yang besar. Skema
ini berlaku baik dengan jumlah 200.000 maupun 300.000 dan untuk
golongan usia 70 maupun 65 tahun. Dengan ini kita bisa melihat bahwa
jumlah tersebut benar-benar membantu. Jumlah ini sepertinya masih
dalam batasan yang terjangkau dan akan memberikan kontribusi.
Pada dasarnya tidak hanya para orang tua yang menerima uang
tersebut, tapi semua anggota rumah tangga di dalamnya juga bisa
menikmatinya. Jadi sebenarnya akan memiliki banyak peningkatan
yang tinggal di rumah tangga seperti itu. Jumlah rumah tangga miskin
akan berkurang sebanyak 60%; jumlah berkurang yang sangat banyak.
Sekali lagi, jika skenario pentargetan ini berkembang maka akan
banyak berkurang dari simulasi sederhana ini.
Alasannya, bahwa skema pensiun universal terkadang lebih baik dari
pada skema bertarget atau teruji yang mahal. Terutama jika kontribusi
yang dibayarkan jumlahnya kecil. Untuk memberikan gambaran akan
pentingnya skema ini bagi pembuat kebijakan, kementerian keuangan
dan pemerintah sekarang memiliki skema yang berbeda, tidak masalah jika umur minimum penerima adalah 65 atau 70 tahun di dalam
pensiun universal. Untuk skema ini ada sekitar 11 juta penduduk
lanjut usia berdasar data sensus tahun 2010.
Jika kita melihat pengeluaran pemerintah untuk program sosial
yang berlangsung sekarang seperti RASKIN, JAMKESMAS, PKH, dan
skema-skema sosial lainnya, maka jumlahnya sangat besar. Dan jika
melaksanakan pensiun universal maka akan menjadi yang paling besar.
Lebih besar dari RASKIN yaitu sekitar 20 sampai 30% lebih besar dari
raskin. Jika menggunakan skema bertarget maka akan lebih kecil dari
JAMKESMAS. Skema ini tentu saja besar, tapi yang jelas lebih rendah
dari segi persentase pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial.
Pada skema ini, subsidi bahan bakar yang merupakan pengeluaran
besar pemerintah tidak dimasukkan. Tetapi jika dibandingkan dengan
negara-negara lain maka jumlahnya masih lumayan.
Dilihat dari kontribusi GDP, persentase ini relatif kecil dibandingkan
188
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
dengan negara-negara barat yang memiliki anggaran terbesar. Pembayaran
pensiun merupakan kewajiban paling besar di negara-negara barat untuk
saat ini dan menjadi isu utama yang harus ditentukan oleh pemerintah.
Selain itu juga karena adanya faktor ketersediaan dan kesempatan.
Kesimpulan
Kesimpulannya, jika kita memiliki skenario target yang berdampak politis,
mungkin akan jadi satu-satunya yang bisa dipertimbangkan karena murah,
dibandingkan dengan skema pensiun universal. Sebaliknya, keputusan
apapun yang diambil harus berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh sektor
formal. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan saham di sektor formal
di Indonesia dan agar masyarakat juga ikut berkontribusi dalam rencana
pensiun swasta. Hal ini merupakan tugas yang berat bagi pemerintah
dan kementeriannya. Mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk
mewujudkannya, tetapi ini adalah hal yang mendesak bagi masyarakat
banyak agar bisa memenuhi kebutuhannya di masa tua.
Tentunya, proses ini sangat rumit sebagai desain umum dan memerlukan
waktu yang sangat lama untuk mencapai dan meningkatkan program ini.
Biaya program ini memang signifikan, apa pun yang dipilih dalam konteks
ini. Keputusan yang penting untuk diambil, seperti yang kita lihat pada
kasus Vietnam, Thailand, India, Timor Leste, dan Brasil. Negara-negara
tersebut memutuskan bahwa kehidupan para lanjut usia yang mampu
mencukupi kebutuhan hidup mereka merupaan hal yang sangat penting
di dalam masyarakat, dan pemerintah mengalokasikan anggaran yang
lebih untuk program ini. Meskipun banyak yang tidak setuju, tetapi banyak negara telah melaksanaannya. Kesimpulannya adalah pemerintah
Indonesia harus meningkatkan komitmennya, yaitu komitmen dengan
bantuan sosial, jaminan sosial, dan pensiun.
Saran
Pelaksanaan program ini jelas sangat mahal. Tapi kita tidak boleh menganggapnya hanya sebuah impian. Hal ini merupakan sesuatu yang harus
dipertimbangkan oleh pemerintah. Masyarakat yang menerima manfaat
harus yang benar-benar miskin atau memiliki masalah kesehatan yang
serius. Akan tetapi daerah cakupannya belum tepat, masih banyak daerah
dan masyarakat yang memenuhi syarat belum tercakup dalam program
189
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
ini. Jadi banyak program yang masih harus dilengkapi.
Salah satu skenario yang memungkinkan adalah pentargetan kemiskinan yang efektif, yang sekarang belum sampai ke peningkatan. Begitu
juga hal ini perlu dalam desain besar skema pensiun. Jika Indonesia
menginginkan skema universal atau skema pensiun bertarget, pemerintah harus berkomitmen dengan hukum serta—dalam konteks wilayah Asia—untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat yang
dinikmati pada hari tua.
Indonesia memiliki pilhan yang luwes seperti pilihan yang lebih komprehensif yang dilakukan pemerintah Thailand ataupun negara lain
dengan jumlah penduduk yang besar agar penduduknya bisa mendapatkan akses program tersebut. Awal program ini sangat fleksibel
dan bisa ditingkatkan serta bisa diintegrasikan untuk ditambah atau
dikurangi. Program ini merupakan program yang lebih fleksibel jika
dibandingkan dengan skema universal atau skema pensiun bertarget.
Infrastruktur tertentu perlu dibangun dan tidak ada yang perlu ditingkatkan dengan segera dari level paling bawah sampai paling tinggi,
kecuali sudah memiliki infrastruktur yang tepat.
Yang paling penting adalah memiliki skema yang lebih komprehensif
yang mencakup setiap daerah. Memiliki infrastruktur yang bisa digunakan dan berdampak positif bagi kemiskinan. v
190
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
DISKUSI
ARIS ANANTA (Institute of South East Asian Studies):
S
aya bukan bertanya, bukan komentar, tapi permohonan maaf. Saya seorang ekonom dan mohon maaf
atas kesalahan para ekonom yang membuat rumusan
salah tentang konsep-konsep ekonomi kependudukan.
Sejak saya belajar di Fakultas Ekonomi UI sampai saya
Ph.D, saya belajar tentang angka ketergantungan (dependency ratio)
yang dipakai untuk menjelaskan hubungan penduduk dan pembangunan,
termasuk keluarga berencana dan lansia. Tetapi saya dan beberapa ekonom sudah menyadari bahwa konsep dependency ratio sangat kacau.
Konsep itu menyatakan, antara lain, bahwa penduduk usia 60 tahun ke
atas diasumsikan sebagai beban. Di ruangan ini banyak yang berusia
60 tahun ke atas dan semuanya bukan beban, justru membangun dan
mendukung. Itu satu contoh ‘perkacauan’ konsep dependency ratio.
Konsep ini dipakai untuk membangun konsep yang namanya bonus demografi, demographic value, dan segala macam. Ini jelas sangat berbahaya. Maka, saya mau menyarankan konsep itu dihapuskan saja. Ini
permintaan saya sebagai seorang ekonom.
EKAWATI SRI WAHYUNI (Fakultas Ekologi Manusia,
Institut Pertanian Bogor):
S
aya setuju dengan Pak Aris, karena sekarang banyak
orang yang seharusnya usia produktif malah tidak
produktif sama sekali. Karena itu, terkait dengan SJSN
yang disampaikan oleh Profesor Bambang. kalau kita
mau membangun sistem jaminan sosial itu, pesertanya harus ada iuran,
harus bekerja. Entah salahnya di mana, setahu saya penduduk kita yang
bekerja di sektor formal itu tidak banyak. Padahal merekalah yang upahnya jelas bisa dipotong secara rutin, secara reguler, sebagai iuran. Di
Indonesia banyak sektor informal yang berkembang. Di sektor pertanian
juga, tergantung dari jenisnya, kerja terus cuma hasilnya tidak jelas. Jadi,
nanti kalau mau dibikin sistem jaminan sosial yang tidak bersifat parsial,
itu iuran pemerintah pasti besar sekali karena iuran dari pajaknya tidak
banyak. Tapi, kita semua punya cita-cita ingin mengurangi kemiskinan,
menambah lapangan kerja. Entah kapan itu akan terwujud, mungkin 5
191
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
atau 10 tahun mendatang. Bagi yang miskin, ini jelas terlalu lama. Berat sekali jaminan sosial ini.
Sekarang ada berbagai jenis bantuan sosial. Setiap kementerian punya
proyek untuk membantu masyarakat miskin. Jadi, seorang warga
masyarakat yang dikelompokkan dalam golongan miskin, dengan
kriteria yang sama, bisa mendapatkan bantuan dari banyak lembaga
pemerintah: dari dinas pertanian, dari dinas sosial, dan lainnya. Tetapi,
ada banyak juga orang miskin yang sama sekali terlewat. Teman saya,
anggota DPR, mengatakan bahwa untuk mengesahkan BPJSN, mereka
masih ragu-ragu, karena masih ada berbagai bantuan sosial yang
sporadik dan parsial tadi. Maka, masalahnya adalah sampai kapan
berbagai pola bantuan sosial semacam itu akan terus dilakukan?
Berkaitan dengan JSLU, sesuai namanya, memang khusus untuk lansia.
Tetapi, tadi Pak Purwoko mengatakan bahwa SJSN diperuntukkan bagi
semua orang. Menurut saya, ini yang harus dibahas: kalau jaminan
sosial, siapa yang harus dijamin? Seharusnya semua orang, terutama
warga miskin. Universal pension itu yang kita inginkan mestinya
begitu! Tapi, syaratnya semua orang harus bekerja dengan baik dan
punya gaji yang bisa dipotong secara berkala tetap.
JURIST TAN (AusAID):
K
alau boleh saya mau komentar sedikit sebelum
beberapa pertanyaan. Komentarnya, dari sesisesi sebelumnya dan juga pertanyaan dari yang lain,
sepertinya kita semua setuju bahwa di masa depan
semua orang bekerja dalam sektor formal. Kalau
semuanya sudah tergabung dalam sektor formal, maka semuanya
dapat berkontribusi terhadap sistem, lalu mendapatkan pensiun yang
seharusnya, sesuai dengan kontribusi mereka. Apa yang belum terlalu
jelas adalah di mana posisi pemerintah untuk masa transisi menuju
tujuan tersebut? Karena, sampai sekarang, belum bisa semua orang
berada di sektor formal. Mungkin itu juga memang tidak realistis.
Sekarang, jalan ke sana apa atau apa yang akan kita lakukan? Dari
presentasinya Pak Purwoko tentang BPJSN, kelihatannya sudah ada
rencananya, tapi hanya untuk sektor formal saja. Lalu, dari presentasinya
Jan diberikan beberapa usulan apa yang bisa dilakukan untuk sektor
informal menuju ke sektor formal. Karena itu, pertanyaan saya lebih
192
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
pada apa dan bagaimana rencana pemerintah di masa transisi saat ini?
Presentasi dari Jan sepertinya hanya sebagian dari kenyataan. Jika kita
melihat skema pentargetannya, kelihatannya mudah, tapi kita melewatkan
beberapa hal. Ada kesalahan pentargetan dan memang tidak mudah
menemukan siapa sesungguhnya warga yang dapat disebut sebagai
golongan miskin. Sudah pernah dilakukan penelitian tentang betapa
sulitnya menemukan warga masyarakat miskin secara akurat. Jadi ada
kesalahan dalam pentargetan di mana kita hanya memberi kepada yang
miskin tetapi melewatkan banyak orang lainnya. Jika kita memberikan
pensiunan non-kontribusi hanya kepada sebagian penduduk, karena
sebagian penduduk yang lain dianggap tidak miskin, maka itu artinya
kita memberikan insentif secara cuma-cuma.
Di beberapa negara di luar Indonesia, memberi jaminan pensiun gratis itu
cuma untuk orang miskin. Tetapi sistem demikian membuat si penerima
tidak punya insentif untuk tergabung dalam sektor formal. Kalau saya
tukang ojek, misalnya, saya tak perlu risau untuk menjadi karyawan tetap
di sektor formal, karena nanti pasti akan dapat pensiun juga. Kalau semua
orang dapat pensiun yang basic, yang dasar, misalnya saya tukang ojek
atau saya sebagai karyawan, saya tetap mau jadi karyawan, karena kalau
saya jadi karyawan maka saya bisa dapat tambahan pensiun saya selain
jaminan pensiun gratis dari pemerintah. Kalau kita pilih hanya memberi
pensiun gratis kepada orang miskin, nanti orang miskin itu tidak ada
insentif untuk jadi tidak miskin lagi. Itulah yang belum dijelaskan pada
presentasinya Pak Purwoko maupun Jan, yakni tentang targeting error
dan preserved insentive.
Pertanyaan saya berikutnya: bukankah alokasi seperti yang ditunjukkan
oleh presentasi Jan itu malah jadi mahal kalau dibandingkan dengan
social assistance? Indonesia mengeluarkan sangat sedikit untuk social
assistance. So, you say 0,34% of GDP that seem very high compare to the
social assistance apparently, compare to other countries is very low, rght?
Di negara-negara lain mungkin sampai 0,5% dari GDP untuk suatu pension
system. Jadi pemerintah menganggarkan dana sangat sedikit. Bukankah
itu suatu pilihan? Bukankah itu kebijakan yang dipilih pemerintah?
Pertanyaan terakhir: siapa yang seharusnya mengkoordinir upaya ini?
Kalau kita berpikir tentang pensiun bukankah kita mau berpikir pensiun
secara sistem yang besar, dan bukankah sistem pensiun ini sekarang sudah
dimandatkan kepada BPJS dan DJSN? Apakah tepat kalau, misalnya, BPJS
193
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
dan DJSN hanya melihat yang formal saja, tapi yang informal tidak
termasuk dalam mandatnya? Apakah sebaiknya dipisah seperti itu
atau digabung semua dalam satu badan?
BAMBANG PURWOKO (Narasumber):
T
olong dibedakan, ada universal or social pension,
itulah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Itu dari
APBN. Itu bantuan sosial untuk penduduk miskin.
Lalu, ada public pension, yaitu jaminan pensiun
SJSN, itu untuk pekerja yang menerima upah. Dalam
UU SJSN jelas dikatakan bahwa peserta jaminan sosial adalah orang
yang membayar iuran. Jadi bedakan antara universal pension --itu
BLT sebenarnya, bantuan sosial-- dengan public pension. Mestinya
BPJS pelaksananya, bukan kementerian. Kementerian itu regulator.
Masalahnya, di Indonesia ini bantuan sosial diselenggarakan oleh
kementerian, jadi tidak bisa maksimal. Lalu, yang terakhir, ada
occupational pension, itu swasta. Jadi ada tiga jenis jaminan pensiun:
universal pension, public pension, dan occupational pension. Jadi,
tukang ojek itu, misalnya, masuknya ke universal pension.
Kuncinya memang ada di BPJS. Saya optimis, pada tahun 2014, BPJS
bukan perseroan terbatas lagi, melainkan badan hukum publik yang
tidak terbatas, dia bisa berkelanjutan dan bertanggungjawab kepada
Presiden. Direksi BPJS itu akan setingkat menteri, bukan pegawai,
tapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, bertanggungjawab
langsung kepada Presiden.
Memang kita perlu law enforcement. Saya menghimbau kepada
kementerian-kementerian yang ada agar dinas-dinas itu melakukan
law enforcement atau melakukan pendidikan law enforcement. Itu
yang belum ada.
Yang menciptakan lapangan pekerjaan bukanlah SJSN. Yang menciptakan lapangan pekerjaan adalah sistem. Ada sektor ekonomi yang
mengintervensi bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Lalu ada
micro-finance dari Bank indonesia. Kalau kita bicara jaminan sosial,
kebijakan Bank Indonesia terkait: ciptakan micro-finance sehingga
orang dikasih modal untuk bekerja dan bertahan hidup. Ini yang
194
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
tidak terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, dalam UU Badan Penanaman
Modal, ada tax holiday, tapi di UU Pajak tidak ada. Hal ini menunjukkan
bahwa tidak terjadi koordinasi kebijakan di Indonesia. Maka, orang asing
masuk, lalu hengkang lagi. Padahal, kita punya Menteri Koordinator
(MENKO), tapi tidak ada koordinasi. Padahal, kuncinya ada di situ, di
koordinasi. Dinas-dinas sudah mulai harus melatih pegawainya untuk
menjadi labour inspecture, karena pesertanya ada di daerah. Pada tahun 2014, JAMKESMAS nanti akan menjadi Jaminan Kesehatan SJSN
yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Karena itu, JAMKESDA harus
menyesuaikan diri secara bertahap, karena jaminan sosial harus satu
pintu. Jaminan sosial itu adalah upaya pooling of risk, terjadi pooled of
funds untuk diredistribusi. Jadi, tidak bisa dipisah-pisah, harus satu pintu,
karena jaminan sosial memang untuk redistribusi pendapatan.
Tadi saya katakan ada tiga jenis pensiun yang masing-masing berbeda.
Harapan saya, penduduk miskin itu mestinya berkurang kalau microfinance-nya jalan; ada transformasi dari informal ke formal. Ekonomi
keseimbangan! Indonesia tidak mungkin 100% di sektor formal karena
ekonomi itu sendiri adalah ilmu keseimbangan. Mungkin yang ideal
untuk Indonesia adalah 40% formal, 60% informal. Proses transisinya
memang bertahap. Menurut Profesor Dorodjatun Koentjorodjakti, 10%
sektor informal ditransfer ke sektor formal membutuhkan waktu 400
tahun. Kita belum 100 tahun, masih kecil sektor formalnya.
KHARISMA PRIYO NUGROHO (Moderator):
M
emang salah satu hal yang terlupakan dan perlu
dilakukan terus adalah menyediakan data untuk
diskusi kita ini. Data itu penting, karena keputusankeputusan kita mengenai jaminan sosial itu lebih banyak keputusan politik ekonomi: orang saling rebutan
resources, kurangnya koordinasi juga, dan lain lain. Jadi saya kira, tugas
kita semua di sini untuk memasok data secara terus menerus supaya
debat-debat nasional tentang sistem jaminan sosial ini benar-benar
bermutu, bukan hanya sekedar siapa yang pegang kendali atas jaminan
sosial. Baik, kita lanjutkan ke Pak Jan untuk tanggapi pertanyaan dari Ibu
Jurist.
195
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
JAN PIEBE (Narasumber):
P
resentasi ini hanya sebagian saja, karena jika dijelaskan sepenuhnya waktunya tidak akan cukup.
Jika kita memiliki skema pensiun bertarget, maka
kita seperti memiliki program insentif. Jika seseorang
berumur 60 tahun yang sebenarnya masih bekerja
dan kita memberikan dia uang, maka dia tidak akan bekerja lagi karena uangnya sudah cukup.
Dari sudut pandang pemerintah, jika sumberdaya terbatas, maka kita
tidak akan melakukannya, padahal sebenarnya kita ingin memberikan
kontribusi. Oleh karena itu, uangnya dibuat untuk keperluan yang lain.
Yang biasanya dilakukan oleh pemerintah ketika menerapkan skema
pensiun bertarget adalah menetapkan umur calon penerima manfaat,
yaitu sedikit lebih tinggi dari umur orang-orang yang masih bekerja
atau memiliki kesempatan yang signifikan dalam angkatan kerja.
Seandainya ditentukan umur 70 tahun, yaitu umur di mana orang tidak
akan menggantungkan dirinya pada pekerjaan. Tapi kondisi ekonomi
mereka tidak menjadi hal yang penting, karena hanya sebagian kecil
dari angkatan kerja. Bagi mereka yang benar-benar ingin bekerja, bisa
tetap bekerja, dan tidak menggantungkan pada orang lain, meskipun
pemerintah telah menentukan umurnya lebih tinggi. Hal ini menjadi
masalah yang rumit bagi semua negara.
Kesalahan dalam pentargetan penerima manfaat merupakan suatu
hal yang selalu menjadi pertanyaan. Kesalahan ini belum pernah
benar-benar dipelajari secara mendalam. Jika kita memberikan bantuan suatu program kepada masyarakat, maka akan diambilkan dari
golongan 5% terbawah. Jika ternyata masyarakat tersebut termasuk dalam golongan 6 persen ke atas, maka terjadi kesalahan dalam pentargetan pemberian bantuan program tersebut. Tapi, kita
tidak akan melakukan kesalahan tersebut. Jika kita mentargetkan
untuk kelompok 20% terbawah, maka kemungkinan dari golongan
masyarakat 10% terbawah akan tercakup 98 sampai 95%. Jika kita bisa
meningkatkannya, kita bisa melihat hubungannya. Mungkin belum
sempurna, tetapi paling tidak kita bisa mewujudkan beberapa dari
tujuan tersebut. Jadi kita bisa meminimalisir kesalahan. Selain itu kita
juga memerlukan sistem pangkalan data yang bagus, dan lain-lain.
Jika kita sudah memiliki sebuah program, baik itu skema pensiun
196
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
universal atau pensiun bertarget, maka akan lebih mudah untuk meningkatkan (up-scale) programnya. Akan tetapi, jika kita belum memiliki
suatu program, maka akan susah untuk melaksanakan rencana program
yang begitu besar. Untuk memulai sebuah program, bisa dimulai dengan
beberapa fase yang berbeda, dari yang paling miskin dulu, kemudian
dengan mereka yang memiliki masalah kesehatan dan meningkatkan ke
tahap yang lebih tinggi, tergantung dari anggaran yang ada.
Masalah inilah yang dihadapi banyak negara yang juga dihadapi oleh
negara-negara Barat. Salah satu alasan yang dihadapi banyak negara
menurut IMF adalah kewajiban pembayaran uang pensiun yang besar.
Yang perlu dipertimbangkan dengan cermat adalah memilih pilihan
yang banyak dipilih oleh negara-negara lain. Kita seharusnya gembira
jika kita bisa mampu membayarnya. Meskipun membutuhkan banyak
uang, tetapi program ini patut dicoba. Membantu kelompok lansia yang
rentan adalah hal pertama yang harus dilakukan pada tahap pertama
program. Jadi, saya mengagumi perspektif tentang itu, tapi saya setuju
bahwa seseorang dapat mendebat suatu pandangan tertentu.
NUGROHO ABIKUSNO (Narasumber):
S
aya akan menjawab pertanyaan Ibu Eka, Tadi katanya
ada age-friendly cities dan ada child-friendly cities.
Kalau menurut saya, saat ini kita terlalu banyak diatur
oleh global society. Kalau kita lihat kenapa kelompok
lansia begitu lemah di dalam percaturan global, karena
kita belum punya konvensi. Coba kalau kita punya konvensi, pasti
pemerintah manut-manut saja. Karena apa? Karena proyek! Banyak
nanti dana-dana proyek dari luar negeri yang masuk seperti CityAge, environmental-friendly, children-friendly, dan sebagainya. Waktu
Millineum Development Goals (MDGs) diperkenalkan, tiba-tiba semua
struktur menjadi MDGs semua. Kenapa? Ya, karena proyek, katanya.
Jadi tidak ada harga diri. Bangsa kita ini perlu pemimpin-pemimpin
yang punya harga diri. Jadi kita harus mulai clean sheet dan kita serius
menanganinya sampai pada social security. Semua harus dengan hati dan
dengan kesungguhan, terutama untuk kembali mengutamakan mereka
yang miskin dari yang paling miskin. Itulah tujuan hidup kita sebenarnya
dari awal.
197
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
Sebenarnya, esensi dari age-friendly cities itu mencakup semua usia,
for all ages! Jadi buat apa kita sok mau ‘spesial-spesial’ walaupun kita
tidak peduli juga pada akhirnya.
KHARISMA PRIYO NUGROHO (Moderator):
S
aya tidak akan merangkum panjang-panjang. Salah satu poin yang menarik dari diskusi ini adalah
tentang sistem keadilan itu sendiri. Mengapa kita
membicarakan ageing issues ini adalah karena ada
perspektif keadilan di sebaliknya. Para lansia, pada
masa mudanya bekerja keras dan berkontribusi untuk masyarakat.
Ketika sudah usia lanjut, mereka kurang mendapatkan perhatian.
Bicara tentang sistem keadilan, dengan sendirinya negara harus ikut
campur, karena ini masalah harus ada keberpihakan juga.
Koordinasi dan keberadaan pemimpin yang tegas menjadi sangat
penting, karena presentasi dari tiga pembicara tadi menyebutkan
bahwa baik sistem jaminan sosial maupun sistem pensiun memerlukan
sistem pendukung (support system) yang juga harus tegas. Misalnya,
sistem pangkalan data yang handal. Coba, berapa sebenarnya jumlah
penduduk kita? Untuk menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) setiap
kali pemilihan umum saja kita bingungnya minta ampun. Sistem pendukung yang handal dan saling terkait mutlak untuk tatakelola suatu
negara yang ingin mewujudkan age-friendly dalam berbagai bidang.
Itu semua memerlukan koordinasi, memerlukan kepemimpinan yang
kuat dan tegas.
Salah satu tujuan lokakarya ini adalah untuk merumuskan masukan
bagi kebijakan publik tentang masalah penuaan penduduk di masa
depan. Masukan dan diskusi dari sesi ini harap bisa dijadikan bahan
perbincangan pada sesi-sesi berikutnya. Pada akhir hari kedua besok,
kita sebaiknya sudah bisa merumuskan beberapa pokok penting yang
berkait dengan usulan kebijakan tentang penuaan penduduk. Beberapa
lembaga yang terwakili dalam lokakarya ini sudah berpengalaman
dalam menyusun usulan-usulan kebijakan semacam itu.
Terakhir, perlu dicatat, bahwa sejauh ini kita telah menggunakan
satu istilah yang bagus sekali dalam bahasa Indonesia, yakni ‘lanjut
usia’, bukan ‘tua’. Karena kalau dalam bahasa Inggris, katanya, istilah
198
BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia
‘elderly’ itu maknanya agak miring, bukan soal usia, tapi soal lain. Istilah
‘lanjut usia’ mengandung kata ‘lanjut’, artinya advanced. Jadi, para lansia
adalah orang-orang yang advanced. v
199
BAGIAN KEDELAPAN
SUARA LANSIA
NARASUMBER:
n Ibu Sumaryati
(Purworejo, Jawa Tengah)
n Ibu Suminah
(Purworejo, Jawa Tengah)
n Ibu Kamirah
(Yogyakarta)
n Bapak Sutjipto
(Yogyakarta)
n Prof. Dr. Saparinah
(Jakarta)
Sadli
MODERATOR:
Dr. Lies Marcoes-Natsir
The Asia Foundation (TAF), Jakarta
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
K
arena semua pembicaraan kita kemarin dan
hari ini tidak asyik dan tidak sah kalau yang paling berkepentingan tidak menjelaskan apa yang
sebetulnya terjadi ‘menjadi orang tua’, ‘menjadi
tua’. Kalau dalam istilah feminis, kebenaran yang
disuarakan perempuan adalah sah sebagai kebenaran.
Untuk sahnya pembicaraan kita dari kemarin dan sekarang, kita undang
lima orang narasumber khusus: Ibu Sumaryati dan Ibu Suminah dari
Purworejo, Ibu Kamirah dan Pak Sutjipto dari Yogyakarta, dan Ibu
Profesor Saparinah Sadli dari Jakarta.
Saya ingin mulai dengan satu cerita. Setelah tsunami melanda
Aceh, saya bekerja di sana sebagi program officer untuk The Asia
Foundation. Lalu suatu hari saya masuk ke hotel. Orangnya ramah
sekali dan bertanya pada saya: “Waduh, Ibu, udah sepuh masih aktif,
ya?” Waktu itu rambut saya belum dicat seperti sekarang. “Cucunya
nggak diajak?”
“Oh, saya belum punya cucu,”jawab saya. “Anak saya masih kuliah,”
Waktu itu, anak sulung saya memang masih kuliah, tapi sekarang
sudah selesai semua. “Oh,” lanjut orang hotel itu. “Nikahnya sudah
tua, ya?”
Ternyata, masih dicela juga. Jadi, saya merasa ada beban: saya ini
sudah tua rupanya. Nanti pulang ke rumah, saya akan cat saja rambut
saya! Soalnya aku sudah dibilang tua. Menjadi tua ternyata masalah.
Dianggap tua itu menjadi beban buat saya. Saya tidak tahu bagaimana
perasaan para orang tua yang lebih tua seperti para narasumber kita
ini.
Saya ingin mengantarkan sesi ini sebagaimana saya biasanya menjelaskan mengenai gender, bahwa setiap orang itu mempunyai jenis
kelamin. Lelaki dan perempuan mempunyai jenis kelamin. Tetapi masyarakat, otak kita, kebudayaan kita, agama kita, politik kita, memberi
makna atas jenis kelamin itu, dan lahirlah gender. Jadi gender adalah
pemaknaan manusia atas jenis kelamin. Begitu juga umur. Semua
orang punya umur, semua orang punya usia, dari bayi sampai tua.
Semua orang; lintas kelas, lintas budaya, lintas warna kulit, lintas
agama, semua punya umur. Tapi manusia, kebudayaan manusia, tradisi manusia, politik manusia, memberi makna atas umur itu dan
202
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
melahirkan apa yang disebut sebagai ‘umur sosial’. Masalahnya adalah:
ada kelompok dominan yang memaknai umur itu sehingga yang disebut
umur yang produktif dan tidak produktif itu juga dimaknai oleh orang
lain. Sekarang saatnya kita mendengar umur dan maknanya itu dari
yang memilikinya. Saya ingin mengundang para narasumber kita secara
bergiliran, masing-masing sekitar 10 menit, menyampaikan pemaknaan
umur tua, lansia, menurut mereka sendiri. Dipersilahkan.
SUTJIPTO (Narasumber 1):
S
aya lansia yang sekarang sudah mencapai 68 tahun.
Dalam usia lanjut saya ini, saya tetap aktif dalam
masyarakat, terutama di desa saya sendiri, juga di kecamatan dan kabupaten. Kami punya kegiatan, sehingga
masa tua kami isi dengan kegiatan-kegiatan sosial.
Contohnya, di tingkat kabupaten, kami punya asosiasi
petani. Kami merekrut petani-petani tembakau, petani tanaman obatobatan, petani jambu mete, untuk masuk ke dalam organisasi, sehingga
setiap bulan kami pertemuan. Saya sendiri menjadi salah seorang
pengurus di tingkat kabupaten, juga sebagai pengurus asosiasi petani
tembakau di tingkat Provinsi DIY. Di desa, saya juga aktif di Lembaga
Ketahahan Masyarakat Desa (LKMD). Di tingkat dusun pun begitu, malah
saya jadi Ketua LKMD di sana. Seluruh waktu luang kami curahkan untuk
kesejahteraan sesama warga, supaya umur lebih panjang dan mudahmudahan masih bisa untuk amalan-amalan yang baik, sehingga anak
cucu kami nanti biar ikut mengenang hari tua kami semuanya.
SUMARYATI (Narasumber 2):
S
aya namanya Sumaryati, dari Purworejo. Saya lahir
tanggal 12 Desember 1952. Dulunya, waktu masih
muda, saya jadi anggota Bhayangkari. Setelah menikah,
tetap menjadi anggota Bhayangkari. Waktu menjadi
anggota Bhayangkari, saya jadi pengurus. Tapi sekarang
ini sudah lanjut, saya menjadi anggota Dian Kemala,
cuma jadi anggota biasa. Tapi, dalam kegiatan-kegiatan masyarakat di
desa, saya aktif menjadi pengurus PKK dari tingkat RT, RW, dan Kelurahan.
Akhir-akhir ini, memang saya kurangi kegiatan itu satu persatu, karena
203
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
mengingat usia sudah lanjut. Sekarang, hanya aktif di pengurus PKK
RT dan RW saja.
Saya juga mengikuti terus setiap selapanan di desa. Di situ ingin
bertemu dengan teman-teman lansia. Pada setiap pertemuan, kami
diabsen, lalu periksa kesehatan oleh bidan setempat, ukur tensi,
kemudian dikasih vitamin-vitamin, juga arahan-arahan dari petugas
PUSKESMAS, kemudian diajak senam lansia. Kegiatan-kegiatan itu
membuat kami senang, merasa diperhatikan. Teman-teman lansia saya
juga mengakui mereka merasa senang, karena di dalam pertemuan
tersebut pasti ada arahan-arahan dari petugas PUSKESMAS mengenai
kesehatan dan lain lain.
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
M
as Aris Ananta, mungkin ini menarik. Kalau di
Singapura, prasarana dan sarana cukup siap,
cukup friendly untuk lansia. Di sana, yang buram mata
seperti saya tidak takut tergelincir dan jatuh, semua
jalan rata. Tapi, dalam hal hubungan-hubungan sosial --seperti yang barusan diceritakan oleh Ibu Sumaryati-- apakah
juga dinikmati oleh para lansia di Singapura? Hubungan-hubungan
sosial seperti itu ternyata lebih memberi mereka makna untuk hidup
sebagai orang tua di desa, diajeni, dihargai, tapi juga punya fungsi.
KAMIRAH (Narasumber 3):
U
mur saya sudah 86. Lahir tahun 1927. Saya
kalau pagi, jam 5, turut senam lansia di LPP,
Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta. Dulu
anggotanya 42, sekarang ada yang meninggal 3,
jadi tinggal 39. Saya di kampung membantu Pak
RT, Pak RW, POSYANDU, POSYANDU Anak-anak,
dan POSYANDU Lansia. Di POSYANDU Anak-anak, saya membantu
menyediakan PMT (pemberian makanan tambahan). Di arisan juga
saya turut. Saya tinggal bersama anak saya.
204
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
SUMINAH (Narasumber 4):
S
aya lahir tahun 1943. Karena saya dulu itu takut
sama orang tua, saya nikah muda. Saya 17 tahun
sudah nikah. Tahun 1960, saya sudah sampai Jakarta
waktu Jakarta masih alas roban. Saya punya anak dua.
Setelah GESTAPU/GESTOK, saya pulang ke Purworejo
karena disuruh orangtua. Suami saya seorang anggota BRIMOB. Karena
pulang ke Purworejo, jadi polisi umum. Jadi, sekarang saya anggota Dian
Kemala, persatuan istri-istri purnawirawan POLRI. Jadi kesibukan saya
dulu memang selalu mendampingi suami. Pulang ke Purworejo, suami
saya diangkat jadi Kepala Desa. Saya ikut aktif mendampingi, tapi hanya
tiga tahun. Untung hanya tiga tahun, karena saya jadi lebih banyak waktu
ngopeni anak-anak saya. Saya tidak ikut organisasi lagi.
Anak-anak saya sudah kelar semua. Suami saya sudah pensiun selama 32
tahun. Alhamdulillah masih sehat. Alhamdulillah, saya juga masih sehat.
Saya juga masih mengopeni ibu saya yang suka tinggal di tempat saya.
Dia sudah tua sekali. Mohon doa supaya ibu saya diparingi sehat. bukan
panjang umur, karena kalau panjang umur tapi tidak sehat, percuma!
Usia saya 69 tahun, tapi saya masih sibuk ke kebun. Kalau tidak percaya,
silahkan datang dan tanyakan pada orang-orang di kampung saya.
Kemarin, ada yang datang ke rumah saya. “Mau kasih pekerjaan saya, ya?”
Saya bilang begitu. “Tidak, Bu, mau diajak ke Jogja. Seminar.” “Seminar
itu apa?, saya tidak tahu!” Karena saya tidak tahu seminar itu apa, jadi
kita omong keadaan saya saja.
Cucu saya sudah 12. Sudah hampir buyut. Mohon doa restu semua agar
suami saya dan seluruh keluarga saya diberi sehat, panjang umur, murah
rejeki, mudah-mudahan bisa untuk ibadah ke tanah suci. Sekian. Ada
tutur kata yang tidak bagus, mohon maaf.
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
T
adi saya mengatakan bahwa suara kita adalah
sah sebagai kebenaran. Ibu-ibu ini sudah bicara.
Sekarang saya ingin mengundang Ibu Saparinah Sadli,
tidak mewakili orang lain, tapi mewakili pengalaman
sendiri se-bagai ibu, sebagai profesor, dan juga sebagai
aktivis.
205
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
SAPARINAH SADLI (Narasumber 5):
S
aya mau cerita apa, ya? Begini saja: sejak saya
pensiun, selalu orang bertanya kepada saya,
“Kamu sekarang ngapain?” Ya, ngapain, ya? Saya juga
tidak tahu persis ngapain saja. Tetapi, memang saya
mempunyai keuntungan bahwa saya seringkali diajak
oleh teman-teman yang lebih muda, yang aktivis yang suka kemanamana itu, yang pikirannya juga kemana-mana, yang menyebabkan
saya itu justru menjadi terinspirasi oleh mereka: mereka pikirannya
koq begitu? Tetapi, saya senang sekali bahwa mereka itu masih suka
dan mau mengajak saya. Karena saya adalah seorang psikolog, jadi
saya pikir memang kemampuan kognitif kita itu terangsang oleh halhal yang menyangkut diri kita. Karena saya selalu diajak oleh yang
muda-muda, itu juga menguntungkan diri saya sendiri. Jadi saya itu
sebetulnya diuntungkan oleh orang lain, karena kalau mereka tidak
mengajak saya, saya tidak akan berada di sini sekarang. Yang mengajak
itu saya tanya: “Kenapa saya?” Saya mau saja diajak ke sini, karena
ini adalah tentang lansia, dan itu adalah saya. Saya lansia, saya ingin
dengar juga apa yang terjadi di dalam pemikiran orang lain tentang
lansia.
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
T
erima kasih. Suatu hari, ibu saya, mungkin keti-ka
beliau umur 45 tahun, dan saya masih SMP, dia
menangis di pojok dapur. Rupanya dia mulai menopause. Buat perempuan, menopause itu maknanya
besar, karena sejak itu dia dianggap tidak produktif.
Jadi, ada ideologi dominan yang mengatakan penting-tidak penting,
produktif-tidak produktif, batasnya adalah masa reproduksi. Setelah
itu, dunia seorang perempuan sering dianggap sudah berhenti. Ibu saya
kebetulan dari kelas menengah atas dalam struktur masyarakatnya
saat itu. Jadi, mungkin tidak terlalu berat bagi dia. Tapi bagi orang
lain yang tidak ada apa-apanya, masa itu lewat begitu saja. Maknanya
nyaris tak ada sama sekali bagi mereka kecuali bahwa mereka dianggap
‘sudah lewat’. Padahal, ada hal-hal lain yang lebih penting ketika ada
cucu, ketika ada tetangga yang membutuhkan bantuannya, seperti
206
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
yang sudah dikisahkan oleh ibu-ibu dan bapak di sini. Silahkan kalau ada
yang mau berkomentar atau bertanya.
SABRIN O. LADONGI (Yayasan Al Kautsar, Palu):
K
ami punya motto di daerah kami: “Jangan memaksakan kehendak kepada lansia sebelum memahami
keinginan mereka.” Saya punya pertanyaan, hanya meminta pengalaman kepada bapak dan ibu: bagaimana
pengahargaan lingkungan bapak ibu yang saat ini telah
menjadi lansia? Kemudian, yang kedua, ada juga lansia
yang terkadang punya rasa penyesalan di masa tuanya. Penyesalannya
seperti ini, misal-nya: “Aku menyesal jadi tua, karena kalau sakit aku takut
ke rumah sakit, harus berurusan dengan kantor kelurahan, PUSKESMAS,
semua serba susah. Mengurus KTP antriannya sampai berjam-jam.”
Sehingga ada pernyataan: “Aku menyesal jadi lansia.” Sekarang saya
tanyakan kepada sesepuh semua: apakah bapak ibu yang saat ini telah
menjadi lansia ada rasa penyesalan seperti itu, atau bagaimana?
SUTJIPTO (Narasumber 1):
U
ntuk saya sendiri, sebagai lansia, tidak ada rasa
menyesal. Justru saya bangga karena diberi waktu
melebihi umur Nabi. Sekarang sudah punya bonus lima
tahun. Mudah-mudahan dari umur yang bonus itu kami
gunakan sebagiannya untuk amal pada masyarakat, kepada anak-anak muda kita, sehingga bisa meniru apa yang kami lakukan.
Untuk jawaban pertanyaan yang pertama, kami di masyarakat justru
dijadikan tokoh masyarakat. Dari dukuh, dari RT, selalu meminta pertimbangan dari saya. Saya betul-betul dihargai di masyarakat, karena
saya betul-betul melakukan pengabdian tanpa pamrih. Kalau dihitunghitung hasil, saya itu rugi, karena tidak mendapatkan apa-apa, tapi saya
melakukan terus. Semuanya demi penerus kita, kita akan rela berkorban
untuk mereka. Mumpung masih cukup kuat bisa lari ke sana lari ke sini,
sehingga bisa kita gunakan sebaik-baiknya.
207
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
KAMIRAH (Narasumber 3):
J
uga seperti bapak dan ibu semua, saya menjalani
masa tua saya tanpa penyesalan. Saya masih tetap
aktif di PWRI (Persatuan Warakawuri Republik Indonesia), karena pensiunan itu katanya tempatnya di
PWRI itu. Saya jadi Pengurus Ranting. Ada 10 pengurus dan ada 12 orang anggota. Saya juga ikut arisan
di gereja. Di gereja setiap rabu ada PA, Pembacaan Alkitab. Hanya itu.
Saya mohon doa supaya tetap sehat.
SUMINAH (Narasumber 4):
U
ntuk yang bertanya tadi, ini bukan menyalahkan,
tapi kalau waktunya kita tua, kita jangan menyesal. Kita sudah tua itu namanya masih dikasih sama
yang Paling Besar. Jadi, ya, disyukuri. Alhamdulillah,
kita masih bisa sampai menikmati masa hari tua.
Dulu, ketika kita masih kecil, kalau lihat si Mbah, kita
bilang: “Oh, si Mbah begitu.” Terus kita berharap bisa sampai sepuh
seperti si Mbah, sampai tua tetap masih diparingi sehat. Jangan kalau
sudah tua, duduk-duduk saja. Saya, karena sudah tua, kalau memang
sudah mau dipundut, yang sudah. Tapi, jangan dikasih penyakit.
Doanya: kita biar tua dan jadi lansia tapi tenaga, kesehatan, masih
bisa menikmati. Mudah-mudahan semua, kita berdoa, bisa sampai jadi
lansia lalu dikasih sehat. Jangan panjang umur tapi tidak sehat. Jadi
lansia tapi kesehatannnya mencukupi.
Saya menambahkan masalah lansia di kelurahan saya. Akhir-akhir ini
sudah ada perhatian dari pihak kecamatan. Tapi, apa itu berlanjut,
apa tidak? Itu setiap selapanan sekali. Setiap hari Jumat Kliwon kita berkumpul, sekitar 50 orang. Sudah ada bantuan dari tingkat
kecamatan. Itu saja kami sudah sangat berterima kasih. Malah kita
sendiri mau mengusulkan, supaya ibu-ibu ada gairah, kita mengadakan
seragam. Tiap pertemuan tiap bulan selalu dipimpin Ibu Lurah sama
ibu dari Dinas Kesehatan, ibu bidan, sama ibu dari PUSKESMAS juga
suka ada. Ya, terima kasih ada perhatian dan perbaikan. Sekarang
sebaiknya jangan hanya anak balita itu yang diperhatikan, tapi yang
sepuh itu harus diperhatikan juga, karena yang balita itu tanggungan
orang tuanya, masih sehat untuk mencari. Tapi kalau yang sudah tua
sering tidak ada yang memerhatikan.
208
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
SUMARYATI (Narasumber 2):
S
aya sekarang ini jadi lansia, tapi saya ikhlas dan juga
senang rasanya. Saya ikhlas menerima keadaan yang
ada. Saya senang. Sepertinya lebih diajeni sekarang
daripada waktu kita masih muda. Contohnya, kalau
kita hadir di pertemuan, kadang-kadang untuk duduk
saja diberikan tempat yang khusus. Padahal kita sendiri sebenarnya tidak meminta diperlakukan demikian. Dalam semua
pertemuan di mana-mana saja selalu begitu, Jadi, kita merasa betul-betul
diajeni.
Selain itu, dalam setiap pertemuan para lansia itu, pengurusnya semua
benar-benar para lansia sendiri. Mereka benar-benar memerhatikan
anggotanya. Apalagi seperti saya yang tadinya jadi pengurus di PKK,
terus sekarang sudah tidak jadi pengurus lagi, nyatanya tetap diajeni
oleh Ibu Lurah, juga oleh pengurus-pengurus yang lain. Saya terima kasih
untuk itu semua. Mudah-mudahan doa restu ibu-ibu semua saya diberi
kesehatan dan panjang umur.
SAPARINAH SADLI (Narasumber 5):
K
alau saya, sudah jelas sangat bersyukur bahwa
saya dalam usia ke-85 ini masih bisa menghadiri
pertemuan-pertemuan semacam ini. Sekarang saya belajar juga bahwa lansia itu memang heterogen, tetapi ada
hal yang sama: kita mengalami berbagai kemunduran
baik fisik maupun mental. Pada ibu ini tadi saya tanya: “ibu dengar persis
apa ditanyakan? Saya koq nggak?” Saya bilang begitu, karena memang
saya rada budeg juga. Jadi, sebagai lansia, yang kita inginkan adalah
‘Jangan sampai TOP’: jangan sampai ‘Tuli, Ompong, dan Pikun.’ Itu yang
kita harapan sebagai orangtua.
Bahwa kita masih diajeni, saya kira, itu penting sekali. Karena, bagaimana
pun juga, sebagai orang yang sudah tua, tidak bisa lagi selincah orangorang yang masih muda usia. Kalau pengalaman saya, saya disuruh-suruh
saja oleh anak-anak muda ini. Tetapi bagi saya itu bukan tidak mengajeni,
tapi justru saya menganggap bahwa saya masih dianggap, bahwa saya
bisa membantu di sini dan di sana, dan itu sangat saya syukuri. Artinya
memang yang penting adalah sehat, sehat fisik, mental dan sosial. Sehat
sosial ini sangat penting. Bersilaturahmi itu sangat-sangat penting. Karena,
209
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
di dalam bersilaturahmi kita itu juga mendapatkan sesuatu untuk diri
kita sendiri; ketemu beragam orang, mendengar cerita orang yang
baru, dan lain sebagainya. Itu ikut membangun juga kesehatan mental
kita.
TRI BUDI W.RAHARDJO (Center fot Ageing Studies,
Universitas Indonesia):
S
aya juga lanjut usia. Saya merasa banyak belajar
dari bapak dan ibu-ibu. Tadi yang disampaikan
pada intinya ada kaitannya dengan peran beliau dan
kepuasan beliau serta rasa syukur beliau di masyarakat. Tapi saya perlu mendengar mungkin ada sedikit rasa kekecewaan
atau pernah ada suatu harapan yang tidak tercapai yang berkaitan
dengan bagaimana posisi beliau di dalam keluarga?
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
D
i dalam keluarga? Ya, tadi di masyarakat ki-ta
sudah mendengar bahwa ada nilai, ada penghargaan, diajeni. Lalu, bagaimana di dalam keluarga?
Sayangnya memang ini agak homogen, karena semua
narasumber ini orang jawa semua di mana tradisi
mengajeni para sepuh memang --secara antropologis-- mungkin lebih
menonjol. Mungkin saya subjektif, di tempat yang lain juga mungkin
seperti itu, mungkin juga berbeda. Satu pertanyaan lagi, silahkan.
INDRASARI TJANDRANINGSIH (AKATIGA, Bandung):
S
aya hendak mendapatkan suara ibu-ibu dan bapak juga yang berkaitan dengan sesi tadi pagi.
Bagaimana rasanya punya cucu, apakah memang
mengurus cucu itu jauh lebih sayang daripada mengurus anak? Yang kedua, apakah memang kalau dititipi
cucu dalam jangka panjang itu beban atau berkah?
210
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
SUMARYATI (Narasumber 2):
S
aya menanggap ibu yang pertama tadi. Saya diterima
dengan lapang dada di tengah keluarga saya, karena
memang sudah waktunya demikian. Diparingi sehat saja
sudah sangat berterima kasih, bersyukur sama Yang di
Atas. Di dalam keluarga, sejak anak-anak masih kecil,
saya suka mengikuti kesibukan suami. Jadi, misalnya,
saya bersiap mau berangkat di pagi hari, ya, saya sudah siapkan dulu
semuanya di rumah, masak, dan lainnya. Suami saya itu, kalau saya keluar
ada urusan, ada kesibukan, dia persilahkan. Kegiatan di luar itu tidak
selalu ada, hanya sewaktu-waktu. Kalau persoalan rumah itu selamanya
tidak pernah habis.
Cucu saya sudah ada dua, tapi saya belum pernah ngrumati cucu.
Memang, ngopeni cucu itu berat. Lebih berat ngopeni cucu daripada
anak. Kalau anak minta, misalnya menangis, padahal kita sedang sibuk,
kita bisa nyubit. Kalau cucu, bapak atau ibunya ‘kan sudah orang lain. Jadi
mengurus cucu memang berat. Berat-berat benar, karena memang kita
sudah tua. Kalau bapak ibunya sibuk, ya cari pembantu. Kemarin saya
ada pengajian, seorang kyai ngomong; “Sekarang orangtua jadi babunya
anak-anak.” Benar, nggak? Memang benar! Anak saya yang pertama
itu perempuan. Dia bilang: “Nanti kalau saya punya anak, ibu jangan
momong. Kalau ngawasin, boleh.” Tapi, kalau ditinggal pergi berdua
bapak sama ibunya, kita yang disuruh momong. Sekali waktu, cucu saya
yang pertama, ibunya ada seminar di Semarang tiga hari. Umurnya baru
dua tahun. Anaknya tidak apa-apa, tetapi begitu ibunya pergi malam
itu, langsung panas, langsung dibawa ke dokter. Itu semua saya lakukan
sendirian, tidak mau menceritakan pada orang lain. Ngemong cucu
memang berat.
SUMINAH (Narasumber 4):
I
ni untuk pertanyaan soal di dalam keluarga. Saya
sekarang serumah dengan anak saya. Yang laki-lakinya
yang anak saya, terus ada cucunya satu. Bapak dan ibunya
ada kegiatan setiap hari. Kerja. Terus, itu cucu jadinya
dengan saya terus. Namanya cucu, kadang manut, kadang tidak. Cucu saya itu sudah Kelas 3 SD. Kalau pas
211
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
lagi manut, kita senang, tapi kalau pas anak itu ngeyel, kadang-kadang
kita jadi sletup ngomongnya. Kadang-kadang juga, setelah ngomong
keras itu tadi, ya gelo: “Waduh, mengko nek ngomong karo ibu’e.”
(Jangan-jangan nanti dia mengadu pada ibunya). Tapi, kita ‘kan juga
sayang. Sayangnya lebih daripada anak. Tapi kita harus menerima dengan lapang dada. Apa kenyataan yang ada kita harus menerima.
Waktu suami saya masih hidup, kalau ada soal-soal seperti itu, biasanya saya sampaikan pada dia. Sekarang, saya tidak ada orang untuk
mengadu, jadi harus tabah, harus ikhlas menerima keadaan yang ada.
Tapi, tinggal bersama anak dan cucu itu juga senang, karena kita tidak
sendirian. Soal kadang-kadang anak ngeyel itu, sudahlah. Anak seumur
itu biasa ngeyel. Pokoknya mantap di rumah, ada anak dan cucu, tidak
sendirian, walaupun sudah ditinggal bapak.
Tadi pertanyaan pertama? Ya, saya merasa senang juga. Di dalam
keluarga itu, memang kadang-kadang ada rasa: “Wah, gawean dikerjakan dewek (semua dikerjakan sendiri).” Perasaan seperti itu kadangkadang muncul, tapi kalau tidak saya kerjakan, siapa lagi? Anak, suami
istri, jam 7.30 pagi sudah pergi kerja. Cucu juga sudah ke sekolah jam
6.30. Jadi, tinggal saya sendiri di rumah. Kalau tidak saya kerjakan,
siapa lagi? Jadi, kita harus menerima dengan kenyataan yang ada. Kadang capek memang. Tetapi, di dalam persaan hati saya berkata: “Aku
harus ikhlas. Menerima kenyataan yang ada ini harus ikhlas.”
KAMIRAH (Narasumber 3):
A
nak saya lima. Yang pertama meninggal, tinggal
empat. Yang nomor tiga di Banyuwangi itu punya
anak tiga, cucu satu. Jadi, sekarang saya sudah punya
cucu tujuh dan cicit tiga. Saya juga sering diminta
mengurus cucu, tapi harus sabar. Untuk itu semua,
saya selalu minta sama Gusti supaya diparingi
kesehatan.
SUTJIPTO (Narasumber 1):
U
ntuk pertanyaan yang pertama tadi soal di dalam keluarga, anak saya empat, laki-laki tiga,
perempuan satu. Sebagai pensiunan PT. Perkebunan,
212
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
pensiunannya tidak seberapa. Untuk makan sehari-hari saja mungkin
habis uang pensiun saya tiap bulan. Tapi, anak-anak semua betul-betul
memperhatikan orangtua. Kemarin mereka berempat berembug, saya
disuruh ziarah ke Mekah, ke Madinah. Mereka betul-betul membanggakan
kami sebagai orang tua. Mudah-mudahan berlanjut terus.
Terus untuk pertanyaan yang kedua tadi, dititipi cucu itu betul-betul
lebih sayang daripada anak sendiri. Dititipi cucu itu karena bapa dan
ibunya banyak kesibukan. Dititipi cucu itu membuat kita ada tambahan
kesibukan. Sebagai lansia, kalau tidak punya kesibukan, justru nanti
pikirannya ke mana-mana, sehingga lekas tua dan lekas mati. Kalau ada
kesibukan, akan lebih diperpanjang lagi usianya.
SAPARINAH SADLI (Narasumber 5):
T
entang keluarga, saya bisa omong begini: kegiatan
saya selama ini sebetulnya adalah sesuatu yang tidak
lazim dilakukan oleh orang-orang di dalam keluarga
saya. Tapi kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan
apa yang saya lakukan, mereka biasanya mendukung
sepenuhnya. Dengan demikian, mereka menjadi lebih mengerti apa
yang saya kerjakan, yang selalu melakukan ini dan itu, yang mereka
mungkin anggap; “Apa sih sebetulnya yang dilakukan? Mengapa lansia
diperjuangkan?” Mungkin ini memang agak berbeda. Tetapi saya tidak
merasa bahwa mereka menuduh saya ini atau itu, dan sebagainya.
Tentang cucu, saya tidak punya anak, juga tidak mengadopsi anak.
Tapi saya punya saudara yang sejak dia sekolah ikut saya. Anaknya juga lahir di rumah saya. Jadi mereka seperti cucu. Keuntungan saya,
karena ibunya tidak bekerja dan saya yang bekerja. maka saya lebih
enjoy dengan adanya cucu-cucu itu. Oleh saudara-saudaranya, mereka
sering dikatakan: “Kamu enak, eyangnya tiga.” Maksudnya, dua eyang
dari kedua orangtuanya ditambah saya. Jadi pengalaman saya dengan
adanya cucu sebetulnya tidak menjadi sesuatu masalah, justru malah
menyenangkan karena ada anak kecil di rumah.
Tetapi saya juga ingin menambahkan. Cucu itu baik sekali kalau dia juga
berhubungan dengan orang-orang yang berbeda-beda. Berbeda-beda
usia, berbeda-beda kegiatan, dan sebagainya. itu justru memperkaya
pengalamannya. Mereka jadi tahu apa yang boleh dan yang tidak boleh
213
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
dalam hubungannya dengan berbagai ragam orang. Kalau eyangnya
sendiri boleh-boleh saja, ibunya bilang tidak boleh. Hal seperti Itu
akan membuat cucu-cucu itu menjadi lebih mengerti.
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
B
aik, tadi saya sudah mengatakan pengalamanpengalaman ini datangnya dari keluarga Jawa.
Saya ingin mengundang Ibu Profesor Luh Suryani
yang berasal dari Bali, mungkin ada hal yang sama
atau berbeda baik dari keluarga atau pengamatan
Ibu sebagai akademia.
LUH KETUT SURYANI (Suryani Institute, Denpasar):
S
aya sudah termasuk lanjut usia, 68 tahun. Punya
anak enam orang, cucu enambelas, mau yang
ketujuhbelas. Kadang kami menganjurkan pada anakanak, buatlah anak sebanyak-banyaknya kalau istri
atau suami anda senang dengan anak dan memang
ada waktu untuk anak, dan ingin mempunyai masa depan yang nyaman.
Saya sudah melayani para lansia sebelum saya punya menantu. Saya melihat, juga melalui beberapa penelitian, banyak lansia yang
mengatakan seperti tadi: “Beban mengurus cucu.” Tetapi, ada juga
yang mengatakan bahwa punya cucu itu adalah sebagai tempat untuk
melampiaskan kerinduan. Malahan waktunya habis untuk cucu, saking
senangnya. Saya justru menganjurkan kepada lanjut usia: “Usahakan
kalau anda punya cucu, jangan waktu anda habis untuk mengurus
cucu. Tetapi kalau untuk senang-senang sebentar, silahkan.” Namun,
mereka tetap mengatakan: “Saya senang cucu karena lebih dari anak.”
Setelah saya wawancarai banyak orang, saya mengatakan; “Mungkin
itu untuk menebus dosa, karena waktu punya anak kecil dulu tidak
punya waktu untuk anak, sehingga sekarang Tuhan memberikan waktu
untuk mengurus cucu.” Malah mereka menjawab: “Nanti kalau ibu
sudah punya cucu, baru tahu.”
Kemudian, saya anjurkan kepada lansia yang punya menantu agar
jangan menganggap menantu sebagai anak sendiri. Menantu tetap
menantu. Karena menantu adalah istri atau suami yang dicintai oleh
214
BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia
anak kita. Tetapi, ada seorang ibu yang mengatakan bahwa menantu
adalah anugerah Tuhan. Lalu, saya sendiri kemudian punya menantu.
Hampir sebagian besar wartawan menanyakan kepada menantu-menantu
saya: “Apakah bisa hidup dengan mertua yang keras itu?” Jadi, mereka
membayangkan di rumah tangga saya, saya itu seperti di masyarakat, suka
protes ini, protes itu, menasehati orang. Tetapi hampir semua menantu
mengatakan: “Tidak begitu, ibu mertua saya baik-baik saja.” Apa mungkin
karena mereka mengatakan itu di hadapan saya? Saya memang punya
konsep: saya tidak pernah mau menasehati orang. Demikian pula dengan
anak-anak. Kenapa saya punya anak tanpa beban? Karena saya tidak
mau mengajari anak, tetapi yang saya lakukan adalah belajar dari anak.
Kepada menantu pun, saya katakan: “Saya tidak akan mau mengurus
anak-anak anda. Kalau anda ingin sesuatu, saya mau bantu secara materi,
tetapi untuk memelihara cucu, saya tidak ada waktu.” Saya sudah cukup
memelihara enam anak. Itulah yang saya alami.
Karena saya juga punya pengalaman mengurus lansia, yaitu mertua
saya sendiri, saya ajarkan pengalaman itu kepada semua anak-anak
muda yang mau menikah: “Jangan berani sama mertua. Kalau mertua
memberitahu ini-itu, katakan saja ‘ya’. Apa sih repotnya bilang ‘ya’?,
daripada berkelahi. Kalau anda bisa seperti itu, maka nanti pahalanya
waktu anda punya menantu. Tidak akan ada yang berani dengan anda.”
Dan, saya menerima pahalanya itu sekarang.
LIES MARCOES-NATSIR (Moderator):
T
erima kasih, saya harus mengakhiri sesi ini. Intinya
cuma satu; kita ingin diterima. Eksistensi kita sebagai
manusia, apapun keadaannya, berapapun usianya, kita
ada, kita diterima, sesuai dengan yang dikehendaki oleh
masing-masing. v
215
Dokumentasi SurveyMETER, 20/112012
BAGIAN KESEMBILAN: RANGKUMAN
DISKUSI PESERTA LANSIA INDONESIA
DI MASA DEPAN
Dokumentasi SurveyMETER, 20/11/2012
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
218
BAGIAN KESEMBILAN: Rangkuman Diskusi Peserta Lansia Indonesia Di Masa Depan
B
agian terakhir lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembangunan:
Dokumentasi, Tantangan, dan Tindak-lanjut’ di Yogyakarta, 19-20
November 2012, adalah diskusi tentang:
(1) Gambaran ideal lansia Indonesia di masa depan;
(2) Tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan gambaran
ideal tersebut; dan
(3) Usulan tindakan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek
(1-2 tahun ke depan) untuk mengatasi tantangan tersebut
dalam rangka mewujudkan gambaran ideal lansia Indonesia
di masa depan.
Seluruh peserta dibagi dalam 12 kelompok untuk membahas tiga
pokok tersebut. Setelah dipresentasikan dan dibahas dalam pleno,
keseluruhan hasil diskusi kelompok kemudian dirangkum, sebagai
berikut:
219
MEMANUSIAKAN LANJUT USIA
GAMBARAN
IDEAL LANSIA
INDONESIA DI
MASA DEPAN
n Mandiri
n Kreatif, tetap
produktif
n Sehat (finansial,
mental, spiritual)
n Punya
pendapatan
sendiri
n Hidup nyaman
dan bahagia
n Peduli dan aktif
n Bebas penyakit
degeneratif
n Berguna
n Punya jaminan
sosial
n Tidak
didiskriminasikan
TANTANGAN
YANG
DIHADAPI
n UU 13/1998 belum
diimplementasikan
secara penuh sampai
tingkat terbawah
n Sosialisasi lintas
sektor tentang
isu-isu lansia dan
proses menua
n Masih kurangnya
dukungan dari
pemerintah,
pembiayaan
kesejahteraan lansia
masih kurang
n Advokasi
kebijakan dan
pendidikan
masyarakat tentang
pola hidup dan
makan sehat
n Perkembangan
pola dan gaya hidup
semakin tidak sehat
n Advokasi
kebijakan
pembangunan
prasarana umum
(bangunan,
transportasi, dll)
yang ramah lansia
n Pengetahuan
masyarakat tentang
lansia tidak memadai,
kurikulum pendidikan
di sekolah-sekolah
tidak mengajarkannya
n Tafsir keagamaan
yang keliru tentang
usia panjang
n Belum tersedia
data yang memadai
tentang berbagai
aspek kelanjutusiaan
220
USULAN &
RENCANA
TINDAKAN (1-2
TAHUN KE DEPAN)
n Perlu riset yang
memadai tentang
lansia, perlu social
marketing tentang
riset-riset lansia
n Pengadaan sistem
dan pangkalan
data yang memadai
tentang lansia
BAGIAN KESEMBILAN: Rangkuman Diskusi Peserta Lansia Indonesia Di Masa Depan
GAMBARAN
IDEAL LANSIA
INDONESIA DI
MASA DEPAN
n Dihargai, bukan
dikasihani
n Tidak ‘gagap
teknologi’
n Jadi sumber
aspirasi dan
inspirasi bagi yang
muda
n Menikmati hasil
kerja, sejahtera
TANTANGAN
YANG
DIHADAPI
n Kebijakan
pemerintah
dan pandangan
masyarakat yang
masih tidak peka
gender
n Lingkungan hidup
yang semakin tidak
mendukung pola
hidup sehat
n Ketersediaan
sumberdaya manusia
masih terbatas
n Orang tua
tidak dipahami,
semakin kurangnya
penghargaan
terhadap hak-hak
lansia
USULAN &
RENCANA
TINDAKAN (1-2
TAHUN KE DEPAN)
n Peningkatan
kapasitas SDM dan
pemberdayaan
organisasiorganisasi lansia
n Peningkatan
kualitas sarana
pelayanan lansia
yang sudah ada
(PUSKEMAS Ramah
Lansia, dll)
n Pembentukan
jaringan kerja
para pemangku
kepentingan
(stakeholders)
masalah-masalah
lansia
n Kurangnya
prasarana dan sarana
yang memadai untuk
lansia
n Stigma di kalangan
lansia sendiri tentang
diri mereka
221
INDEKS
Aceh 103, 106, 206
advokasi xiii, 31, 87, 90, 100, 103-4,
106,129, 140-1, 163, 176, 224,
Amerika Serikat 146, 157
Asia(n) 3, 8, 15, 44, 103, 124, 195
Institute of South East Asian Studies
xiv, xix, 116, 145-6, 173, 195
Tenggara 147
The Asia Foundation xv, 205-6
World Health Asian Day 191
aset 6, 7, 39, 41, 53, 110-1, 134,
136, 160
asuransi 39, 118, 127, 179, 180-1, 187
Balai Warga Sepuh 83, 86
balita 109, 131,149, 151, 179, 212
bantuan 26, 33-8, 57, 59, 61-4, 66,
82, 89, 90-2, 107, 109, 112-3, 196,
198, 200, 210, 212
beban xviii, 6-7, 9, 16,81, 83, 121,
124-5, 131, 138, 142-3, 149, 1503, 163, 166, 195, 206, 214, 218-9
bencana 34, 103, 106, 128, 174
Brunei Darussalam 148
buruh 121-5
Cina 44, 80, 151, 177
degeneratif 18-9, 22, 117-9, 152-3, 224
demensia 19, 81, 152
demografi
bonus xix, 150, 163, 166-7, 195
ekonomi 146, 148
perubahan struktur 150, 174
revolusi 44, 51
Eropa 8
fertilitas 88
filantropi 126-30, 139
Filipina 184
gaya hidup 5, 75, 177, 224
gender xviii, 16, 130, 143, 206, 215
geriatri 12-3, 20-1, 74, 76, 98-9,
101, 177
gerontologi 49, 50-1, 70, 90, 177
gizi
kekurangan 16, 116-17
kelebihan 16
222
Graha Lansia 175, 177
hak asasi 52
India 44, 191, 193
Institut Pertanian Bogor 50, 109, 163
itikad politik 177
Jakarta 12, 15, 21, 49, 56, 75, 79, 88,
91, 97-8, 102, 106, 120, 124, 131,
134, 135, 137, 139, 145, 160,
174, 205, 209
jaminan sosial xix, 9, 14, 17-8, 33, 36,
50, 89, 104-5, 107, 113, 125, 174,
176, 179-186, 187-194, 195-6,
198-9, 200, 202, 224
kesehatan 14, 17-18, 20, 119,
127, 179-81, 183
pensiun 180-7, 197-8
sistem xviii, 9, 14, 18, 50, 105,
107, 179-186, 195, 199, 202
jaringan kerja 10, 57, 139, 141, 225
Jepang 3, 8, 40, 43-5, 62, 136, 147
kebijakan xiii, 3, 5, 7, 8, 10, 13, 36,
42-3, 49, 51, 68, 86, 102-3, 107,
121,123, 125-6, 129-30, 140-1,
147-50, 157-58, 160, 166, 169,
173, 176, 192, 197, 199, 202-3,
224-5
kelas menengah 126, 210
keluarga xiii-v, xix, 9, 19-21, 29, 32-7,
39-42, 48, 59-63, 66, 69-71, 82-3,
85-6, 90-1, 94, 98, 108, 113, 1178, 124, 132, 149, 155, 160, 175,
178, 187-8, 195, 209, 214-17
keumurpanjangan 174-5
keperawatan masyarakat 69
kesejahteraan 4, 17, 21-2, 26-7, 29-30,
33, 35, 38, 46-50, 60, 67, 87, 90,
92, 105, 121, 124, 126, 132, 142,
153, 163, 175-6, 180, 207, 224
koordinasi xiv, 47-50, 87, 89-91, 99,
120, 154, 199, 202
lapangan kerja 5, 21, 107, 142, 196
lintas sektor 23, 47, 68, 71, 224
LSM xvii, 34, 36, 47-48, 50, 77, 109,
155
Indeks
Malaysia 181, 185, 191
mandiri xiv, 7, 12-3, 18, 22, 46, 48, 57,
82, 84, 110, 136, 154, 224
miskin, kemiskinan 7, 9, 13, 16, 31, 35,
37-9, 42, 53, 83, 90-1, 102-5, 121,
125, 127-9, 133. 138, 140, 143, 147,
164, 177, 179-83, 187-94, 196-8,
202
Muhammadiyah 21, 117, 126-8
NGO 49, 103-4, 129-30, 137, 139, 141
organisasi/lembaga
berbasis keagamaan 126-30, 139-40
internasional xiii, 5, 50, 105, 145
sosial 21, 33, 48, 58-60, 77, 87-89,
130
otonomi daerah 107, 185
outsourcing 122-3, 136
Papua 88, 103, 148
pajak 39, 43, 182, 195, 199
tax holiday 199
panti 20-1, 27-8, 32-5, 47-8, 63, 65, 83,
86, 90, 104-5, 108, 111-2, 131-3,
175
paradigma 6, 57, 103, 170, 175
partisipasi 27-8, 51, 64, 77, 92, 106, 140,
156, 158-9, 161-2, 175-6
pasar kerja fleksibel 121-5
pedesaan 5, 36, 42, 45-6, 60-1, 121-2,
124, 128, 135, 138, 140, 142-3
pegawai negeri 6, 56, 81, 97-8, 180
pelayanan umum, pelayanan publik 17,
27, 29-30, 127, 164
pemerintah daerah 22, 35, 45, 62, 90,
107, 160
penegakan hukum 185-6
pendapatan
keluarga 21
negara 182, 185
per kapita 4, 40, 146-9
pendidikan 4, 14-5, 19, 41, 46, 50, 62,
70-1, 74, 84, 92, 96, 122, 127, 160,
185, 224
pengarusutamaan 51, 129-30
penduduk
pengendalian 149
pertumbuhan 29, 56, 131
petani 81, 91, 104, 207
perkotaan 36, 42, 46, 100, 122, 125,
128, 135
perlakuan khusus 17, 20
perumahan 156, 158-9, 162, 178
prasarana 28, 48, 53, 92, 153, 160,
177, 179, 108, 224-5
proses menua 22, 224
purnawirawan 46, 49, 90, 183, 209
ramah lansia xvii, 29, 151, 153,
158-62, 175-8, 22-5
rasio ketergantungan xviii-ix, 46,
125, 148-9, 174
relawan 29, 62, 91, 104-5, 113, 140, 176
rentan xix, 103, 117, 122, 125, 151,
159, 176, 188
riset 5, 10, 19, 118, 127, 129, 152, 224
Rumah Lansia 35, 175
sektor informal 9, 40, 104-5, 107, 122,
107, 138, 195, 197, 199
Singapura 3-4, 146-8, 181
swadaya xiii-iv, 21, 35, 48-9, 61, 77
Thailand 43, 148, 151, 191, 193-4
transfer
cash transfer 33, 39-42, 53
government transfer 41
national transfer 38-9
social transfer 39
telantar 7, 27-28, 31, 33, 36, 45-6, 83,
89-91, 102-104, 190
Universitas Gajah Mada 17, 133
Universitas Indonesia xiv, 99, 116, 118,
137, 158, 160, 165, 169, 189, 214
Universitas Muhammadiyah 115, 126
Universitas Negeri Yogyakarta 26, 108
Universitas Respati 55, 69-70
usia harapan hidup 6, 45-6, 152, 174
usia produktif 39, 41, 46, 123-5, 166, 195
wirausaha, kewirausahaan 59, 91-2, 182
Yogyakarta xiii-v, 4, 6, 15, 21, 26, 51, 69,
74, 88, 95, 103, 106, 108, 118-9,
126, 133-5, 158, 160, 167, 206, 208
Declaration 22
Gunung Kidul 4, 73, 118-9, 148
223
Download