Memanusiakan Lanjut Usia Penuaan Penduduk & Pembangunan di Indonesia Kumpulan Makalah & Diskusi Lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan & Langkah Lanjut’ Yogyakarta, 19-20 November 2012. kerjasama: SurveyMETER | Yayasan Emong Lansia | Center for Ageing Studies - University of Indonesia The Asia Foundation | Knowledge Sector Program - AusAID MEMANUSIAKAN LANJUT USIA: Penuaan Penduduk & Pembangunan di Indonesia Penyunting: Roem Topatimasang © SurveyMETER Agustus 2013, cetakan pertama. SurveyMETER Jenengan Raya 109, Maguwoharjo, Depok, Sleman, Yogyakarta 55282, Indonesia Telepon: +62 274 4477464 | Fax: +62 274 4477004 | www.surveymeter.org PERPUSTAKAAN NASIONAL Katalog Dalam Terbitan (KDT) 1. Lanjut Usia 2. Perubahan Demografi 3. Jaminan Sosial 4. Kebijakan Pembangunan 5. Indonesia I JUDUL ISBN 978-602-8384-65-0 +xx, 223 halaman, 17,5 x 25,5 cm sampul kertas Pengolah naskah awal: Jejen Fauzan & Ni Wayan Suriastini Notulasi & transkripsi: Fitri Indra, Indria Pratiwi, Sri Lestari, Dwi Oktarina Dokumentasi foto lokakarya: SurveyMETER Pemeriksa bahasa: Lubabun Ni’am, Jejen Fauzan, & Markaban Anwar Rancang sampul & kompugrafi: Rumah Pakem Kalibrasi & pencetakan: INSISTPress, Yogyakarta INSISTPress: http://blog.insist.or.id/insistpress “Proses menua (degeneratif) sudah harus diantisipasi sejak dini, sebelum usia 50 tahun, dan semua harus dipahamkan kepada masyarakat....” (Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, Ph.D; Wakil Menteri Kesehatan RI) “Penuaan penduduk tidak harus diartikan sepenuhnya sebagai beban. Kelompok lanjut usia seharusnya lebih diakui dan didorong potensinya sehingga para lansia dapat sehat, aktif, dan mandiri...” (Sri Sultan Hamengkubuwono X; Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta) “Pemerintah Indonesia sudah bertindak positif dalam upaya menyusun sistem jaminan sosial melalui Undangundang Nomor 40 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2011.” (Benjamin Davis; Knowledge Sector Program, AusAID) “Sekarang ada kecenderungan orang-orang muda yang sudah bekerja pun masih tergantung sebagiannya kepada para orangtua mereka yang sudah lansia... Karena itu, konsep rasio beban ketergantungan perlu dikaji ulang, termasuk seluruh konsep-konsep turunannya seperti konsep demographic windows of opportunity dan bonus demography.” (Dr. Evi Nurvidya Arifin; Institute of South East Asian Studies, ISEAS) “Kebijakan pasar kerja fleksibel membawa dampak negatif langsung maupun tak langsung bagi para lansia...”. (Indrasari Tjandraningsih, MA; AKATIGA, Pusat Analisis Sosial) “Sistem jaminan sosial kita selama ini masih mengandung ketidakadilan. Hanya lansia pensiunan pegawai negeri dan purnawirawan TNI/POLRI yang mendapatkan jaminan pensiun. Lansia yang lain belum...”. (Prof. Bambang Purwoko, MA, Ph.D; Dewan Jaminan Sosial Nasional) “Dalam penanganan lansia... [perlu] mengubah sifat bantuan yang charity approach menjadi human rights approach sehingga masyarakatnya menjadi workfare society.” (Prof. Dr. Haryono Suyono, MA, Ph.D; Yayasan Damandiri) “Lansia Indonesia yang miskin dan telantar hanya 15%. Sisanya yang 85% adalah lansia yang justru potensial digerakkan untuk membantu yang 15%...”. (Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA; Yayasan Emong Lansia) “Dalam penanganan isu-isu lansia ini, tidak mungkin lagi kalau kita mengerjakan semuanya sendiri-sendiri... Perlu ada suatu jaringan kerja bersama segera dibentuk.” (Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo; Centre for Ageing Studies, Uninersitas Indonesia) DAFTAR SINGKATAN ASKESOS AMCDRR APBD APBN ASABRI ASKES ASLUT ATM Asuransi Kesejahteraan Sosial Asian Ministrial Conference on Disaster Risk Reduction Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Asuransi Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Asuransi Kesehatan Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar Anjungan Tunai Mandiri/Automatic Teller Machine BAPPEDA BAPPENAS BKL BLT BPJS BPS BUMN Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional Bina Keluarga Lansia Bantuan Langsung Tunai Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Badan Pusat Statistik Badan Usaha Milik Negara CAS UI CBOs CSR Centre for Ageing Studies University of Indonesia Community-based Organizations Corporate Social Responsibility DIY DJSN DKI DNIKS DPD-RI DPR-RI DRR Daerah Istimewa Yogyakarta Dewan Jaminan Sosial Nasional Daerah Khusus Ibukota Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Disaster Risk Reduction GNLP Gerakan Nasional Lansia Peduli IDI IMT IPB ISEAS Ikatan Dokter Indonesia Indeks Massa Tubuh Institut Pertanian Bogor Institute of South East Asian Studies JAMSOSTEK JSLU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Jaminan Sosial Lanjut Usia KEMENSOS KKN KOMDA KOMNAS Kementerian Sosial Kuliah Kerja Nyata Komisi Daerah Komisi Nasional v Lansia LAZISMU LKKS LKS LLI LSM LVRI Lanjut Usia Lembaga Amil Zakat, Infaq dan Shodaqoh Muhammadiyah Lembaga Koordinator Kesejahteraan Sosial Lembaga Kesejahteraan Sosial Lembaga Lansia Indonesia Lembaga Swadaya Masyarakat Legiun Veteran Republik Indonesia MDGs MDMC MER-C MIPAA Millennium Development Goals Muhammadiyah Disaster Management Center Medical Emergency Rescue Committee Madrid International Plan of Action on Ageing (2002) NGO NPWP NTA NU Non Governmental Organization Nomor Pokok Wajib Pajak National Transfers Account Nahdlatul Ulama OPAs Older People’s Associations PAUD PEMDA PEPABRI PERGERI PERMENDAGRI PERTAMINA PHBS PJTKI PKBI PKK PKPU PKS PMI PNS POLDES POLRI POSBINDU POSDAYA PP PPJP PPJTKI PPSW PU Pendididkan Anak Usia Dini Pemerintah Daerah Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Perhimpunan Gerontologi Indonesia Peraturan Menteri Dalam Negeri Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga Pos Keadilan Peduli Umat Partai Keadilan Sejahtera Palang Merah Indonesia Pegawai Negeri Sipil Polisi Desa Kepolisian Negara Republik Indonesia Pos Pembinaan Terpadu Pos Pemberdayaan Keluarga Peraturan Pemerintah Perusahaan Penyalur Jasa Pekerja Pelaksanaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita Pekerjaan Umum vi PUSAKA PUSKESMAS PWRI Pusat Santunan dalam Keluarga Pusat Kesehatan Masyarakat Persatuan Wredatama Republik Indonesia RAN RISKESDAS RS RSCM Rencana Aksi Nasional Riset Kesehatan Dasar Rumah Sakit Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta SAM SD SDM SEARO SJSN SKPD SMA SMK SMP SPK SPM STIKES SUSENAS Social Accounting Matrix Sekolah Dasar Sumber Daya Manusia South East Asia Region Sistem Jaminan Sosial Nasional Satuan Kerja Pemerintah Daerah Sekolah Menengah Atas Sekolah Menengah Kejuruan Sekolah Menengah Pertama Sekolah Perawat Kesehatan Standar Pelayanan Minimal Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Survei Sosial-Ekonomi Nasional TASPEN TBC TNI TNP2K Tabungan dan Asuransi Pensiun Tuberkulosis Tentara Nasional Indonesia Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan UEP UGM UHH UI UMR UMY UNY UU Usaha Ekonomi Produktif Universitas Gadjah Mada Usia Harapan Hidup Universitas Indonesia Upah Minimum Regional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Universitas Negeri Yogyakarta Undang-undang WHO WTP YAKKUM YEL YLKI YWS World Health Organization Wajar Tanpa Pengecualian Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum Yayasan Emong Lansia Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Yayasan Wredha Sejahtera vii DAFTAR ISI DAFTAR SINGKATAN v PENGANTAR n Ni Wayan Suriastini xiii RANGKUMAN UMUM n Aris Ananta xvii BAGIAN PERTAMA: SAMBUTAN & PIDATO PENGARAHAN SAMBUTAN 1 Penuaan Penduduk di Indonesia: Tantangan ke Depan n Bondan Sikoki 3 SAMBUTAN 2 Penduduk Lanjut Usia sebagai Aset, Bukan Beban n Sri Sultan Hamengku Buwono X 6 SAMBUTAN 3 Menemukan Landas Pijak Bersama bagi Penanganan Isu-isu Penuaan Penduduk n Benjamin Davis 8 PIDATO PENGARAHAN Strategi dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia n Ali Gufron Mukti 11 BAGIAN KEDUA: PENGALAMAN PEMERINTAH Lansia & Pembangunan: Antara Harapan dan Tantangan n Gusti Kanjeng Ratu Hemas 26 Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia n Mulyo Johni 31 National Transfer Account sebagai Pendukung Analisis Sistem Penunjang Penduduk Lanjut Usia n Maliki Ahmad 38 Upaya Pemerintah Menghadapi Tantangan Revolusi Demografis n Toni Hartono 44 Diskusi 53 n ix BAGIAN KETIGA: PENGALAMAN MASYARAKAT Pemberdayaan Menyongsong Peran Lansia dalam Pembangunan n Haryono Suyono 56 Peran Generasi Muda dalam Pembinaan Lansia n Sabrin O.Ladongi 65 Pelayanan Masyarakat Lanjut Usia oleh Perguruan Tinggi n Fajarina Lathu Asmarani 69 Sekolah untuk Lansia (Golden Geriatric Cub) n Ruliyandari Rudiyanto 74 n Diskusi 77 BAGIAN KEEMPAT: PENGALAMAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT Membina Lanjut Usia di Bali: Tua Berguna, Bahagia dan Sejahtera n Luh Ketut Suryani 80 Peranserta Organisasi Sosial Menghadapi Penuaan Penduduk n Rohadi Haryanto 87 Kesehatan Seksual di Usia Tua: Kebutuhan yang Tertunda n Budi Wahyuni 94 Pengalaman Pengembangan Program Lanjut Usia di Indonesia n Siti Hariani 97 Mempromosikan Saling Dukung Lembaga-lembaga Lansia di Indonesia n Eva A.J. Sabdono102 n Diskusi107 BAGIAN KELIMA: PENGALAMAN AKADEMISI Masalah Gizi Usia Lanjut: Upaya Penelitian & Pengembangan n Fatmah116 Pasar Kerja Fleksibel & Beban Kerja Lansia n Indrasari Tjandraningsih 121 x Peran Organisasi Filantropi Berbasis Keagamaan dalam Penanganan Lansia n Hilman Latief n Diskusi 126 131 BAGIAN KEENAM: PENGALAMAN LEMBAGA INTERNASIONAL Aspek Ekonomi Demografi Penuaan Penduduk n Evi Nurvidya Arifin 146 Kota Ramah Lansia n Hernani Djarir 151 Indikator-Indikator Merancang Kebijakan Kota Ramah Lansia: Suatu Eksplorasi Awal n Ni Wayan Suriastini 158 Diskusi 163 n BAGIAN KETUJUH: KEBIJAKAN PEMBANGUNAN & KESEJAHTERAAN LANSIA Penuaan Penduduk Indonesia Masa Depan n Nugroho Abikusno 170 Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional Berbasis Kesempatan Kerja untuk Perluasan Kepesertaan Semesta n Bambang Purwoko 175 Jalan Menuju Jaminan Sosial Pensiun di Indonesia: Kemiskinan dan Keamanan Pendapatan Lansia n Fiona Howell 183 Diskusi 191 n BAGIAN KEDELAPAN: SUARA LANSIA 201 BAGIAN KESEMBILAN: RANGKUMAN DISKUSI PESERTA LANSIA INDONESIA DI MASA DEPAN 217 INDEKS 222 xi Pengantar S ebagai bentuk keperdulian akan masalah penuaan penduduk di Indonesia, Lembaga Penelitian SurveyMETER --bekerjasama dengan Yayasan Emong Lansia, Centre for Ageing Studies University of Indonesia, dan dengan dukungan Program Knowledge Sector AusAID-menyelenggarakan Lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembagunan: Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut’, pada 19-20 November 2012 di Yogyakarta. Lokakarya ini menghadirkan lebih dari 150 peserta dengan 29 pembicara yang merupakan tokoh pemangku kepentingan terkait dengan penuaan penduduk yang mewakli unsur-unsur pemerintah, kalangan akademisi, berbagai lembaga swadaya masyarakat, beberapa lembaga internasional, serta perwakilan warga lanjut usia itu sendiri. Buku ini adalah kumpulan makalah dari para narasumber selama lokakarya tersebut. Secara keseluruhan, isi dari semua makalah tersebut sangat up to date, beragam, dan mencakup berbagai aspek kelanjutusiaan yang ada di Indonesia. Ditambah dengan berbagai tantangan yang diungkap dan tawaran akan langkah lanjutnya menjadikan buku ini secara holistik membahas tentang kelanjutusiaan di Indonesia, sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan, bahan advokasi, dan materi sosialisasi serta pembuatan kebijakan. Penerbitan buku ini sekaligus merupakan upaya menggugah segenap komponen bangsa untuk memberikan perhatian pada kelanjutusiaan. Barangkali saat ini tidak langsung menjadikannya prioritas utama, tetapi perlu mulai memadukan wawasan (perspektif) kelanjutusiaan dalam berbagai aspek pembangunanan, kegiatan, dan kebijakan pemerintah, lembaga-lembaga perwakilan rakyat, organisasi-organisasi kemasyarakatan, keluarga, perseorangan, dan juga para warga lanjut usia itu sendiri. Permasalahan kelanjutusiaan memang kompleks seperti yang diungkapkan salah satu peserta dalam lokakarya ini. Pemaparan para narasumber juga menggambarkan hal yang sama. Tetapi, masalah-masalah kelanjutusiaan tidak mustahil untuk bisa dikelola dengan baik, karena “pintu-pintu” kesempatan untuk itu sebenarnya sudah mulai terbuka. Tantangan yang xiii MEMANUSIAKAN LANJUT USIA ada bisa dilalui dengan kehendak yang kuat dan perencanaan jangka pendek, menengah, dan panjang yang terkoordinasikan dengan baik. Terpenting adalah adanya niat, komitmen dan langkah nyata, apapun peran kita saat ini, baik yang kita lakukan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, akan memberikan dampak berarti. Satu karya nyata, tindakan yang dilakukan oleh setiap perseorangan, keluarga, masyarakat, komunitas, organisasi kemasyarakatan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, dinas-dinas dan para pejabat pemerintahan, lembaga-lembaga perwakilan rakyat, semuanya akan digemakan oleh alam sehingga riaknya akan menguatkan kita semua bergerak menuju tujuan bersama: warga lanjut usia Indonesia yang sehat, mandiri, patisipatif, perduli, sejahtera, bermartabat, dan bahagia. Selain penerbitan buku ini, Lokakarya “Penuaan Penduduk dan Pembagunan: Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut” juga telah diikuti dengan didirikannya Jaringan Pemerhati Lanjut Usia Indonesia --disingkat dengan ‘JALA Indonesia’. Jaringan ini didirikan pada 15 Februari 2013 di Yogyakarta sebagai tindak lanjut rekomendasi lokakarya tersebut. Jaringan ini dimaksudkan sebagai wadah koordinasi dan berbagi informasi kegiatan-kegiatan kelanjutusiaan yang dilakukan oleh para pemerhati, praktisi, dan peneliti masalah lanjut usia. Sekretariat JALA Indonesia berkedudukan di Jalan Jenengan Raya No.109 Maguwoharjo, Depok, Sleman Yogyakarta 55282 Indonesia; Telepon: +62-274-4477-464; Fax: +62-274-4477-004; Website: www. jalaindonesia.org; dan E-mail: [email protected]. Semoga kehadiran buku ini dan JALA Indonesia --dua hasil langsung Lokakarya “Penuaan Penduduk dan Pembagunan: Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut”-- bermanfaat bagi para pemangku kepentingan untuk mewujudkan impian kita bersama tentang Lanjut Usia Indonesia di masa depan. Kami mengucapkan penghargan dan terima kasih yang dalam pada Profesor Tri Budi W. Rahardjo (Direktur Centre for Ageing Studies Universitas Indonesia), Ibu Eva A.J. Sabdono (Ketua Yayasan Emong Lansia), Bapak Aris Ananta dan Ibu Evi Nurvidya Arifin (Institute of South East Asian Studies, ISEAS), Rosaleen Cunningham (Knowledge Sector Program, AUSAID), The Asia Foundation, semua pembicara dan peserta lokakarya yang tidak bisa kami sebutkan satu per satu, Help Age International, Ibu Bondan Sikoki (Pembina SurveyMETER), serta xiv Rangkuman Umum keluarga Besar SurveyMETER, atas dukungan dan kerjasamanya sehingga kegiatan dan hasil lokakarya ini bisa terlaksana dan terwujud dengan baik. Yogyakarta, 25 Maret 2013. Dr. Ni Wayan Suriastini, M.Phil. Direktur SurveyMETER xv Rangkuman Umum A da beberapa pokok penting sepanjang lokakarya ini yang justru jarang disebutkan dalam berbagai lokakarya atau seminar tentang lanjut usia yang pernah diselenggarakan sebelumnya. Pokok penting pertama adalah bahwa kita telah membuat satu langkah penting dengan menelaah apa yang telah kita ketahui tentang isu penuaan di Indonesia. Kita juga mengevaluasi apa yang telah kita lakukan dan kemudian menyusun saran langkah lebih lanjut, khususnya yang berkaitan dengan penelitian lansia. Dengan melakukan hal ini, kita bisa menghasilkan penelitian orisinal yang berasal dari pengalamanpengalaman di Indonesia sendiri daripada sekadar melakukan penelitian pesanan dari negara lain atau pemerintah Indonesia. Untuk itu, terima kasih kepada AusAID atas dukungan pendanaan lokakarya ini. Pokok penting kedua adalah bahwa lokakarya ini dihadiri oleh para pemangku kepentingan lanjut usia dari berbagai latar belakang. Para pembicara berasal dari kalangan birokrat, LSM, akademisi, serta para lansia sendiri. Pada salah satu sesi, beberapa orang lanjut usia dihadirkan sebagai pembicara dan berdiskusi tentang diri mereka sendiri. Bahkan, beberapa narasumber adalah mereka yang sudah tua atau lanjut usia, tetapi masih sangat aktif. Namun demikian, untuk kegiatan-kegiatan selanjutnya kami menyarankan untuk mengundang anggota DPR dan wartawan (bukan sebagai peliput berita, namun sebagai pengamat isu kontemporer). Kita juga belajar tentang bagaimana isu penuaan penduduk ini ditangani di negara lain. Turut melengkapi peserta lokakarya adalah mereka yang berasal dari kalangan swasta atau pengusaha. Peran kalangan usaha penting, bukan dalam hal penyediaan dana, namun lebih pada peran serta mereka dalam menciptakan usaha yang ramah lansia serta usaha yang memproduksi produk-produk dan layanan khusus lansia. Satu hal yang sangat luar biasa dalam lokakarya ini adalah bahwa para pemangku kepentingan saling menghormati dan menghargai pekerjaan atau apa yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang berkaitan dengan isu lanjut usia ini. Tidak ada satu pun yang merasa apa yang dilakukannya lebih penting atau lebih tinggi nilainya dibandingkan upaya xvii MEMANUSIAKAN LANJUT USIA pihak lainnya. Lokakarya ini telah menjadi saksi atas interaksi yang sangat bermanfaat dari para pihak tentang penuaan penduduk. Pokok penting ketiga adalah keberagaman usia dari para narasumber dan peserta, mulai dari yang termuda berumur 17 tahun sampai yang tertua berumur 85 tahun. Keberagaman ini menunjukkan bahwa program untuk lansia tidak hanya akan bermanfaat bagi para lanjut usia saat ini, tetapi juga akan memberikan manfaat bagi yang berusia lebih muda. Dengan menyusun program lansia aktif --bagaimana membuat lansia aktif, sehat, dan mandiri-- beban yang harus ditanggung orang yang lebih muda bisa dikurangi. Untuk ke depan, program lansia aktif akan dirasakan manfaatnya oleh mereka yang berusia muda saat ini manakala mereka juga beranjak tua. Pokok penting keempat adalah tidak ada dominasi dari salah satu gender dalam hal komposisi narasumber maupun peserta. Hal ini menunjukkan bahwa isu penuaan penduduk adalah isu yang menarik bagi kedua gender. Pokok penting kelima adalah substansi dari diskusi yang berkembang. Tema lanjut usia aktif telah seringkali menjadi bahan diskusi di banyak forum tentang lansia di Indonesia. Namun, lokakarya ini juga membicarakan beberapa topik yang masih jarang dibahas dalam diskusi-diskusi sejenis. Topik-topik tersebut, antara lain: [i] aspek ketenagakerjaan dari lansia khususnya yang berkaitan dengan pasar tenaga kerja di Indonesia; [ii] sistem jaminan sosial bagi lansia dalam konteks seluruh masyarakat Indonesia; dan [iii] implikasi sosial ekonomi dari penuaan penduduk di Indonesia. Aspek sosial ekonomi ini termasuk isu sumber pendanaannya. Salah satu isu menarik dan penting yang muncul dalam sesi para akademisi adalah kritik terhadap konsep yang sudah sohor, yaitu konsep ‘rasio ketergantungan’ yang selama ini didefinisikan sebagai ketergantungan dari populasi tidak produktif terhadap populasi produktif. Pertanyaannya sekarang adalah siapa yang produktif dan siapa yang tidak produktif? Umumnya, populasi di bawah 15 tahun dianggap sebagai tidak produktif karena mereka masih tergantung pada orangtua, namun pada kenyataannya saat ini banyak populasi di bawah 25 tahun yang masih tergantung secara finansial kepada orang tuanya. Pada saat yang sama, populasi berumur 65 tahun ke atas dianggap sebagai tidak produktif. Namun definisi lanjut usia xviii Rangkuman Umum di Indonesia adalah populasi berumur 60 tahun atau lebih. Dalam kenyataannya, masih banyak ditemui lanjut usia yang masih aktif bekerja dan produktif. Bahkan banyak lanjut usia yang masih membiayai atau membantu keuangan anak-anak mereka yang sudah dewasa. Dengan fakta ini bisa dikatakan bahwa konsep rasio ketergantungan telah membingungkan para analis dan pengambil keputusan di dunia, termasuk di Indonesia. Oleh karena itu, muncul saran untuk mengaji kembali konsep rasio ketergantungan ini, termasuk konsep-konsep turunannya seperti ‘bonus demography’ dan ‘demographic window of opportunity’. Pokok penting keenam adalah terkait peranserta pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada kelompok rentan, termasuk kelompok lanjut usia. Siapa yang harus melindungi para lanjut usia jika ternyata mereka masih rentan, walaupun kita telah menjalankan program lanjut usia aktif? Keluarga, teman, dan masyarakat bisa diharapkan untuk membantu, namun bagaimana dengan pemerintah? Apakah pemerintah mendorong keluarga, teman, dan masyarakat sendiri untuk lebih berperan? Ataukah pemerintah seharusnya melakukan peranan yang lebih besar dalam melindungi lansia? Pokok penting ketujuh adalah antusiasme yang tinggi dari para narasumber dan peserta untuk melanjutkan forum ini membentuk suatu jaringan informal, di mana semua pemangku kepentingan bisa saling berbagi informasi tentang apa yang mereka ketahui dan lakukan. Salah satu rekomendasi yang disepakati adalah bahwa SurveyMETER akan melanjutkan prakarsa melakukan diskusi akademik dan penelitian tentang penuaan penduduk dengan memerhatikan pandangan dari berbagai pemangku kepentingan tersebut.v Yogyakarta, 20 November 2012. Aris Ananta, Ph.D Institute of South East Asian Studies (ISEAS) xix BAGIAN PERTAMA SAMBUTAN & PIDATO PENGARAHAN SAMBUTAN: n Bondan Sikoki, SE, MA Ketua Penyelenggara. SurveyMETER, Yogyakarta n Sri Sultan Hamengku Buwono X Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) n Benjamin Davis Knowledge Sector Program, AusAID, Jakarta PIDATO PENGARAHAN: Prof. dr. Ali Gufron Mukti, MSc, Ph.D Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia SAMBUTAN 1 Penuaan Penduduk di Indonesia: Tantangan ke Depan Bondan Sikoki Ketua Penyelenggara; Pembina SurveyMETER, Yogyakarta P enuaan penduduk kini sudah menjadi isu dunia. Di negara-negara sedang berkembang, isu ini memang belum terlalu banyak dibahas seperti di negara-negara maju. Namun, tidak berarti tidak penting untuk segera mulai diperbincangkan, karena isu ini berkaitan erat dengan berbagai isu sosial, ekonomi, dan politik yang menentukan. Apalagi jika melihat fakta bahwa proporsi penduduk yang memasuki usia lanjut semakin lama semakin signifikan jumlahnya di banyak negara. Beberapa negara di Asia bahkan kini tercatat sebagai suatu wilayah dengan penuaan penduduk yang paling cepat. Jepang, Korea Selatan, dan Singapura adalah contoh negara yang mempunyai persentase penduduk lanjut usia yang cukup tinggi. Di Jepang, penduduk lanjut usia sudah mencapai lebih 30% dari total penduduk. Di Korea Selatan, 12,7%. Di Singapura, 9%. Negara-negara ini juga sudah aktif membuat dan melaksanakan kebijakan yang berkaitan dengan penuaan penduduk. Program-program pembangunan mereka selalu dikaitkan dengan isu-isu 3 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA penuaan penduduk. Boleh dikatakan, penuaan penduduk merupakan suatu indikator dari keberhasilan pembangunan kesejahteraan sosial suatu negara. Orang hidup lebih lama karena adanya peningkatan gizi, sanitasi, kemajuan dalam bidang medis, pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan ekonomi. Bagaimana dengan Indonesia? Statistik menunjukkan bahwa kini terdapat 9,6% penduduk berusia lanjut (lebih dari 60 tahun) di negeri ini. Angka ini sama dengan proporsi penduduk lanjut usia di Singapura. Perbedaannya adalah besaran jumlahnya dan tingkat kesejahteraannya. Saat ini (2012), pendapatan per kapita Singapura telah mencapai $ 44.790, sementara Indonesia hanya $ 3.000. Dengan asumsi optimis pertumbuhan pendapatan per kapita 6% per tahun dan inflasi tahunan sebesar 5%, pendapatan per kapita Indonesia tahun 2025 akan mencapai $ 15.600 yang juga masih jauh di bawah pendapatan per kapita Singapura saat ini. Pada tahun 2025, Indonesia akan mempunyai persentase lansia yang sama dengan Singapura tahun 2010, tetapi dengan pendapatan per kapita yang amat jauh di bawah pendapatan per kapita negeri tetangga tersebut. Lalu bagaimana Indonesia akan mampu membiayai dampak penuaan penduduk ini? Dalam angka absolutnya, jumlah penduduk lansia Indonesia amat besar. Pada tahun 2010, jumlahnya adalah 18 juta jiwa. Jumlah ini akan mencapai sekiar 30 juta jiwa pada di tahun 2025, suatu kenaikan hampir 50% hanya dalam jangka waktu satu setengah dasawarsa. Bahkan, sampai tahun 2030, jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia akan menembus angka sekitar 40 juta jiwa, melampaui jumlah penduduk usia di bawah 15 tahun pada masa yang sama. Jumlah penduduk lansia yang besar ini memerlukan kebutuhan dan perlakuan yang khusus. Apakah Indonesia sudah siap untuk hal ini? Penuaan penduduk di negeri ini menjadi lebih penting bila kita melihat keadaannya pada tingkat sub nasional. Pada tahun 2010, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), misalnya, memiliki persentase penduduk lansia tertinggi di antara semua daerah lain di Indonesia, mencapai 12,9%. Di antara 4 kabupaten dan 1 kota di DIY, Kabupaten Gunung Kidul mencatat persentase penduduk lansia tertinggi, yakni 18,2%. Hal itu disebabkan bukan hanya oleh angka kelahiran yang rendah, tetapi juga oleh tingginya migrasi penduduk usia muda dari daerah 4 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan tersebut. Hal itu sekaligus memperlihatkan bahwa isu penduduk lansia berkelindan dengan berbagai isu sosial ekonomi, politik, dan budaya, seperti penyediaan lapangan kerja, pembangunan kawasan pedesaan, pelayanan sosial, bahkan juga perubahan pandangan dan gaya hidup pada penduduk kelompok usia yang lain. Sebagai lembaga penelitian independen, SurveyMETER --bekerjasama dengan Yayasan Emong Lansia, Centre for Ageing Studies University of Indonesia, dengan dukungan dari Knowledge Sector Program AusAID-menyelenggarakan lokakarya ini di mana 29 orang narasumber dan 100 orang peserta saling berbagi informasi, pengetahuan, dan pengalaman tentang berbagai isu penuaan penduduk. Mereka semua, suatu gabungan para pembuat kebijakan, pakar, dan praktisi --dari berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil, perguruan tinggi dan lembaga riset, kalangan dunia usaha, lembaga internasional, serta warga lanjut usia sendiri-- mewakili berbagai pihak pemangku kepentingan yang terkait dengan isu penuaan penduduk.v 5 SAMBUTAN 2 Penduduk Lanjut Usia sebagai Aset, Bukan Beban Sri Sultan Hamengku Buwono X Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta *) *) Disampaikan oleh dr. Sarminto, M.Kes, Kepala Dinas Kesehatan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) P enuaan merupakan suatu proses alamiah dalam hidup ini, tidak mungkin ditolak ataupun ditunda. Penuaan akan diikuti pula dengan penurunan fungsi-fungsi tubuh yang tentunya membuat penduduk usia tua berkurang produktivitasnya. Stigma yang berkembang menyebutkan bahwa lansia identik dengan sakit-sakitan, tergantung pada orang lain, serta tidak mampu lagi melakukan apa-apa. Dengan demikian, secara umum lansia dipandang sebagai beban bagi masyarakat. Di hampir setiap negara, persentase penduduk berusia 60 tahun ke atas tumbuh lebih pesat dari kelompok umur lainnya, sebagai hasil dari peningkatan usia harapan hidup dan terutama dikarenakan penurunan angka kelahiran. Hal ini tentunya akan mengerucut pada kekhawatiran terjadi ledakan penduduk usia lanjut yang harus dipikirkan bagaimana membiayai biaya kesehatan dan perawatan mereka. Persoalan biaya ini memang akan menjadi isu sentral, sebab Indonesia juga akan menghadapi ledakan pensiunan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diperkirakan terjadi pada tahun 2025. Jumlah pensiunan yang serentak pensiun pada tahun tersebut diperkirakan ada 2,5 juta orang dengan tanggungan belanja pensiun di APBN mencapai Rp 6 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan 175 triliun. Karena itu, pemerintah beserta swasta dan masyarakat perlu memberikan perhatian serius dan kemudian memberikan pemecahan terhadap masalah yang semakin menyeruak ini. Sebab tantangan yang dihadapi bersifat multi-dimensional sehingga memerlukan jawaban serta jalan keluar multi-dimensional pula. Namun demikian, penuaan penduduk tidak harus berarti diartikan sepenuhnya sebagai beban. Kelompok lanjut usia seharusnya lebih diakui dan didorong potensinya, sehingga para lansia dapat sehat, aktif, dan mandiri. Para lansia harus diberdayakan, bukan malah dibiarkan sendirian. Justru ketika para lansia tidak diberdayakan, selain berimbas pada rendahnya produktivitas, juga berimbas pada naiknya biaya kesehatan mereka. Ketika mereka masih mampu produktif, mereka akan mampu mencukupi kebutuhan sendiri sehingga tidak menjadi beban bagi orang lain. Paradigma yang mengatakan bahwa lansia itu “sudah habis dan tidak berguna” harus segera diubah. Patut diingat, bahwa jumlah lansia Indonesia yang potensial masih lebih banyak daripada jumlah lansia miskin dan telantar serta lansia setengah telantar. Untuk itulah para lansia seyogyanya dipandang sebagai aset pembangunan yang tetap dapat memberikan kontribusi kepada nusa dan bangsa melalui pemikiran dan karya-karya mereka serta menjadi pembimbing langkah generasi penerus bangsa. Lokakarya ini diharapkan dapat memetakan persoalan-persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh lansia di seluruh Indonesia, serta diperolehnya masukan dan saran mengenai kebijakan dan program untuk para lansia. v 7 SAMBUTAN 3 Menemukan Landas Pijak Bersama bagi Penanganan Isu-isu Penuaan Penduduk Benjamin Davis Knowledge Sector Program, AusAID. M enanggapi masih kurangnya perdebatan mengenai isu penuaan penduduk di Indonesia, prakarsa menyelenggarakan lokakarya ini adalah suatu tindakan strategis untuk mendorong diskusi tentang isu penting tersebut. Forum semacam ini penting sebagai ruang atau ranah interaksi antara pembuat kebijakan dengan berbagai pemangku kepentingan untuk memperdebatkan isu-isu kebijakan publik seperti penuaan penduduk yang berdampak besar pada perkembangan atau pembangunan Indonesia di masa depan. Masalah penuaan penduduk bukan masalah yang unik bagi Indonesia. Di Australia, isu ini sudah menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh pemerintah. Di Eropa dan di Jepang, isu ini sudah lama menjadi perhatian luas dari publik. Di Asia, penuaan penduduknya paling cepat laju pertumbuhannya. Jumlah seluruh penduduk lansia di Asia adalah separuh dari jumlah penduduk lansia di seluruh dunia. Pada satu sisi, Indonesia sering menekankan salah satu kekuatan daya 8 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan saingnya adalah jumlah penduduk usia muda yang besar. Tetapi, pada sisi lain, Indonesia termasuk dalam kelompok negara di mana penuaan penduduknya naik dengan cepat dan semakin cepat. Bagaimana Indonesia akan menangani gejala ini? Ini sekaligus merupakan suatu tantangan. Pemerintah Indonesia sudah melakukan beberapa langkah positif, misalnya, dalam upaya menyusun sistem jaminan sosial melalui Undangundang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 dan UU Nomor 24 Tahun 2011. Dua Undang-undang itu menunjukkan komitmen besar dari pemerintah Indonesia untuk memastikan semua orang dapat akses pada pelayanan kesehatan, akses ke dana pensiun, dan adanya sistem tabungan untuk jaminan hari tua. Namun, pemerintah masih menghadapi tantangan besar untuk membuat visi ini benar-benar menjadi kenyataan. Selain itu, undang-undang mengenai sistem pensiunan belum mencakup dukungan bagi sekitar 70 juta orang yang bekerja di sektor informal. Selanjutnya, orang-orang miskin juga belum tercakup dalam program pensiun dan sistem tabungan hari tua tadi. Memang tidak ada negara lain dengan sektor pekerja informal sebesar Indonesia yang sudah melaksanakan skema atau program jaminan sosial yang mendukung atau membantu semua pekerja, termasuk pekerja sektor informal. Namun demikian, masih banyak yang bisa kita pelajari dari negara lain. Forum ini adalah kesempatan untuk membahas isu-isu tersebut. Ada beberapa pertanyaan lainnya lagi yang juga bisa dibahas di forum ini. Misalnya, cara-cara apa yang paling efektif untuk mendukung dan membiayai penduduk yang menua, termasuk dan terutama penduduk miskin? Bagaimana sistem kesehatan nasional dapat menangani semakin banyaknya penduduk lansia? Apa sistem jaminan sosial --termasuk sistem pensiunan-- yang paling cocok untuk Indonesia? Bagaimana dengan beban pembiayaan pemerintah dengan semakin banyaknya orang lansia? Apa peran sektor swasta dalam permasalahan ini? Bagaimana aspek sosio-budaya, peran keluarga dan masyarakat dalam membantu orangorang lansia? Di negara-negara timur seperti Indonesia, peran keluarga masih sangat besar dalam merawat warga lanjut usia. Apakah aspek sosio-budaya ini memang masih berperan penting dalam kenyataannya dan bagaimana kecenderungannya sekarang dan di masa mendatang? Forum ini dihadiri oleh berbagai kalangan yang mewakili unsur pemerintah, masyarakat sipil, dan akademisi. Tantangannya adalah bagaimana berbagai kalangan yang beragam ini dapat menyepakati suatu landas 9 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA pijak yang sama (common ground) sebagai titik masuk bersama un-tuk menangani isu-isu penuaan penduduk di Indonesia. Misalnya, bagaimana antara pembuat kebijakan dan kalangan akademisi menyepakati suatu agenda riset mengenai isu-isu inti (keypoints) tentang penuaan penduduk atau penduduk lansia? Sebagai salah satu pihak yang mendukung gagasan dan penyelenggaraan forum ini, Knowledge Sector Program AusAID memang bermaksud mempertemukan berbagai kalangan untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik di Indonesia dengan berbagai cara. Dukungan AusAID kepada lembaga penelitian --seperti SurveyMETER-- adalah agar hasilhasil penelitian mereka dapat dipergunakan oleh pembuat kebijakan. Untuk itu, AusAID juga mendukung lembaga-lembaga pemerintah untuk menggunakan hasil-hasil penelitian yang telah disajikan oleh lembaga penelitian. Selain itu, ada dukungan yang bersifat memperantarai (intermediary) agar suatu jaringan kerja terbentuk yang bisa menjembatani para pembuat kebijakan dengan lembaga-lembaga kajian. Singkatnya, kami memberi kesempatan atau peluang untuk semua mitra yang kami dukung untuk menyusun agenda risetnya sendiri dan menindaklanjuti hasil-hasil riset tersebut. v 10 PIDATO PENGARAHAN Strategi & Kebijakan Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia Ali Gufron Mukti Wakil Menteri Kesehatan Republik Indonesia U ndang-undang Dasar (UUD) 1945, juga Undang-undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, sudah sangat jelas menggariskan bahwa setiap orang berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Tentu saja, setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau. Dalam hal pelayanan kesehatan bagi warga lansia, juga tidak bisa lepas dari semua ketentuan perundang-undangan tersebut. Tetapi, jika kita lihat bagaimana lingkungan hidup sekitar, di beberapa tempat memang sudah cukup baik, namun di beberapa tempat lain masih sangat memprihatinkan dan memerlukan perhatian kita bersama. Bahkan di ibukota Jakarta, satu kota metropolitan, masih tetap ada 11 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tempat-tempat yang tidak layak dihuni manusia, apalagi lanjut usia. Karena itu, perhatian kita memang harus betul-betul serius. Di dunia saat ini, jumlah penduduk lanjut usia sudah mencapai sekitar 21% dari total populasi dunia. Pada tahun 2025, diperkirakan akan mencapai jumlah sekitar 1,2 miliar jiwa. Ini jelas memerlukan satu perhatian khusus, termasuk di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena dari jumlah 1,2 milyar lanjut usia tersebut, sekitar 80% hidup di negara-negara sedang berkembang. Khusus di Indonesia, sensus penduduk tahun 2010 ini menunjukkan bahwa populasi lansia kita adalah sekitar 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari total populasi. Jumlah sebesar itu telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu dari lima negara dengan jumlah penduduk lansia terbanyak, dan makin lama makin banyak. Dari satu sisi, hal itu menandakan keadaan kesehatan warga makin bagus, tapi kompleksitas permasalahan lansia sangat banyak, sehingga ‘pekerjaan rumah’ kita pun lebih banyak lagi. Jumlah usia lansia 60 tahun ke atas diperkirakan akan meningkat menjadi 29,1 juta jiwa pada tahun 2020 dan 40 juta jiwa pada tahun 2030. Sekali lagi, memerlukan upaya-upaya yang sangat serius dalam pelayanan kesehatan bagi mereka. Tujuan Pembangunan Kesehatan Pasal 138 UU 36/2009 menyebutkan bahwa upaya pemeliharaan kesehatan bagi lansia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif. Tentu saja, mereka juga harus bahagia secara sosial maupun ekonomi sesuai dengan martabat kemanusiaan. Maka, pemerintah wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok lansia untuk bisa tetap hidup mandiri, produktif secara sosial dan ekonomi. Misi Kementerian Kesehatan adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat serta melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. Salah satu yang paling dan masih sangat sulit diwujudkan adalah misi pemerataan pelayanan. Dari sekian banyak dokter spesialis --termasuk para dokter spesialis geriatri yang mengurusi dan memiliki keahlian khusus kesehatan manusia lansia-- umumnya baru tersedia di kota-kota besar. Kota-kota kecil belum, bahkan kota-kota besar saja belum 12 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan semuanya. Apalagi di daerah-daerah terpencil. Karena itu, Kementerian Kesehatan berupaya membangun kerjasama dengan ‘pusat-pusat’ yang bisa menghasilkan tenaga-tenaga ahli geriatri. Masalahnya, jumlah mereka masih amat sangat terbatas. Misi itulah yang mendasari perumusan visi Kementerian Kesehatan, yakni menciptakan masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Warga lansia adalah bagian yang terpisahkan dari masyarakat sehat dan mandiri yang dicita-citakan itu. Mereka pun harus sehat dan mandiri. Mandiri artinya tidak tergantung lagi baik kepada pemerintah atau kepada pihak lain, benar-benar mandiri. Pernah ada acara pertemuan para lansia di mana banyak yang usianya sudah 80 tahun tetap sehat dan mandiri. Mereka sangat aktif memperjuangkan pelayanan kesehatan bagi para lansia untuk betul-betul bisa mandiri. Dan itu merupakan visi dari Kementerian Kesehatan. Dan tentunya juga berkeadilan. Berkeadilan ini tentu tidak mudah karena masyarakat Indonesia memang perkembangan pembangunannya berbeda. Nah, oleh karena itu untuk mendukung visi itu Kementerian Kesehatan berpedoman pada nilai-nilai: pro-rakyat, inklusif, responsif, efektif, dan bersih. Dulu kita sering dengar pemeo “orang miskin dilarang sakit”. Ini harus kita ubah. Sekarang, kita harus bilang “orang miskin kalau sakit dilarang bayar”. Dan, itulah program JAMKESMAS yang kita kembangkan. Untuk tercapainya tujuan-tujuan MDGs, terutama tujuan 4 dan 5, kita kembangkan JAMPERSAL. Ternyata memang masih sangat terbatas ibu-ibu yang memahami betul bahwa persalinan sekarang mendapat jaminan. Kenapa? Karena 40% persalinan itu masih dilakukan di rumah. Fakta ini memang patut disayangkan, karena pemerintah sebenarnya sudah bertekad untuk menerapkannya penuh. JAMKESMAS dan JAMPERSAL tersebut adalah contoh dari kebijakan pemerintah yang dilandasai oleh nilai pro-rakyat. Lalu ada pedoman nilai inklusif, yakni kesehatan untuk semua orang, tanpa perkecualian atau preferensi apapun. Kemudian responsif, tanggap terhadap setiap permintaan atau kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan, sesulit apapun keadaanya harus berusaha dilayani sebaik mungkin. Akhirnya, prinsip-prinsip efektif dan bersih. Dalam hal ini, bersih tidak hanya berkaitan dengan kebersihan fisik dan rohani, tetapi juga bersih secara administratif. Harus diakui bahwa memang pernah ada aparat Kementerian Kesehatan yang bermasalah secara hukum. Untuk itu, Kementerian Kesehatan sekarang berusaha membenahi diri. Hasil 13 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA audit publik terakhir menilai Kementerian Kesehatan sudah ‘wajar dengan catatan’. Pada tahun 2013 diusahakan Kementerian Kesehatan sudah bisa mencapai WTP, wajar tanpa pengecualian. Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Kementerian Kesehatan mengembangkan beberapa strategi. Pertama, meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global. Kedua, meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, terjangkau, bermutu dan berkeadilan, serta berbasis bukti; dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif. Salah satu masalah yang dihadapi dalam hal ini adalah pengaruh iklan, melalui media massa, terutama TV, yang mempengaruhi banyak orang yang percaya berbagai macam upaya-upaya kesehatan alternatif, tetapi masih dipertanyakan basis buktinya. Ketiga, meningkatkan pembiayaan pembangunan kesehatan, terutama untuk mewujudkan jaminan sosial kesehatan nasional. Meskipun pemerintah sekarang ini mengembangkan sistem jaminan sosial, termasuk jaminan sosial di bidang kesehatan, tetapi yang lebih utama sebenarnya adalah promosi pencegahan penyakit. Penyediaan jaminan sosial dan kesehatan penting, tetapi jauh lebih penting adalah upaya pencegahan. Prinsipnya, jangan sampai atau sesedikit mungkin warga masyarakat terkena penyakit. Karena itu, perubahan prilaku untuk hidup bersih dan sehat menjadi sangat substansial. Kalau kemudian terpaksa jatuh sakit, saat itulah jaminan kesehatan menjadi penting dan bermanfaat. Keempat, meningkatkan pengembangan dan pendayagunaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan yang merata dan bermutu. Ini, sekali lagi, tidak mudah. Salah satu contoh kerumitannya adalah ketidaksesuaian antara permintaan dan penyediaan. Pada suatu saat, diperlukan tenaga khusus untuk bidang tertentu, tetapi lembaga pendidikan tidak atau belum menghasilkannya. Misalnya, sekarang kita membutuhkan banya tenaga promosi kesehatan untuk mendukung visi dan misi mengutamakan upaya pencegahan, tetapi belum ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan kualifikasi tenaga tersebut. Kalau pun ada, masih sangat terbatas. Sebaliknya, 14 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan pada sisi lain, ada banyak penawaran yang sebenarnya sudah mulai melimpah. Contoh, akibat promosi pendidikan kejuruan, mulai ada yang mendirikan SMK Kesehatan. Pertanyaannya adalah mau dikemanakan lulusannya? Karena, sudah cukup banyak Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) yang lebih jelas kualifikasinya, bahkan sudah dipadukan agar mereka bisa ditingkatkan kualifikasinya sampai tingkat D3, S1, bahkan S2 dan S3. SMK Kesehatan yang baru didirikan itu pasti saja mencanangkan lulusannya akan menjadi tenaga perawat kesehatan. Ini menimbulkan persoalan baru, karena status mereka belum jelas dalam keseluruhan struktur dan sistem pendidikan kesehatan yang sudah ada. Sebagaimana gejala umum dalam dunia pendidikan kita saat ini, setiap ada satu jenis lembaga pendidikan yang mulai berkembang, segera ditiru dan menjamur, kehadiran SMK Kesehatan ini mengkhawatirkan. Sekarang saja sudah terpantau ada sekitar 400 lembaga. Dalam hal ini, masyarakat sendiri harus lebih berhati-hati. Kelima, meningkatkan ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat dan alat kesehatan serta menjamin keamanan, khasiat, kemanfaatan, dan mutu sediaan farmasi, alat kesehatan dan makanan. Keenam, meningkatkan manajemen kesehatan yang akuntabel, transparan, berdaya guna dan berhasil guna untuk memantapkan desentralisasi kesehatan yang bertanggung jawab. Sasaran Strategis Tahun 2010-2014 Sampai tahun 2014, sasaran- sasaran strategis yang ingin dicapai oleh Kementerian Kesehatan adalah pertama, yang paling penting, meningkatkan status kesehatan dan gizi masyarakat. Ditargetkan, pada tahun 2014, angka harapan hidup penduduk bisa mencapai 72 tahun. Sekarang angkanya 70,9 tahun. Daerah Istimewa Yogyakarta adalah yang tertinggi angka harapan hidupnya di seluruh Indonesia, sehingga juga tercatat sebagai salah satu daerah dengan penduduk lansia terbesar. Banyak kaum pensiunan yang memilih untuk menghabiskan sisa umur mereka di Yogyakarta. Ini membawa masalah-masalah baru seperti, yang paling tampak sekarang, harga tanah melonjak. Harga tanah jadi mahal di Yogya saat ini, sudah sama dengan Jakarta dan Bali. Memang, di Yogyakarta ini semua murah kecuali satu: akomodasi. Tanah menjadi luar biasa mahalnya. 15 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Sasaran-sasaran strategis berikutnya, yang kedua adalah menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular dan yang ketiga adalah menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi serta gender. Target yang dicanangkan adalah penurunan angka disparitas menjadi separuh dari angka disparitas pada tahun 2009. Sasaran strategis keempat adalah meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan dalam rangka mengurangi risiko finansial akibat gangguan kesehatan bagi seluruh penduduk, terutama penduduk miskin. Sudah menjadi kesepakatan nasional dalam UU 36/2009 bahwa paling tidak 5% APBN dan 10% APBD dialokasikan untuk sektor kesehatan, termasuk di dalamnya adalah pelayanan kesehatan bagi warga lansia. Namun, ini masih memerlukan perjuangan, karena belum sepenuhnya terwujud. Sasaran strategis kelima adalah meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) pada tingkat rumah tangga dari 50% menjadi 70%. Sasaran keenam adalah terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan Kepulauan (DTPK). Harus diakui, ini masih merupakan masalah serius yang tidak hanya sekedar persoalan teknis kesehatan saja. Selanjutnya, sasaran strategis ketujuh adalah seluruh provinsi melaksanakan program pengendalian penyakit tidak menular. Penyakit yang tidak menular yang ini umumnya diderita oleh para lansia. Kita sekarang menghadapi masalah ‘beban ganda’ (double burden): penyakit-penyakit infeksi dan kekurangan gizi masih diderita oleh sebagian masyarakat kita; pada saat yang sama, lebih aneh lagi, mulai banyak yang menderita ‘kelebihan gizi’ (over-nutrition). Penderita kelebihan gizi atau kegemukan berlebihan (obese) kini sudah 18 sampai 20% di masyarakat kita. Ini memerlukan perhatian. Khusus warga lansia, non-communicable diseases, umumnya penyakit lansia, juga sudah meningkat. Sekarang sudah mencapai sekitar 60% dari seluruh penyakit adalah penyakit yang tidak menular ini. Faktor penyebabnya banyak, tapi yang utama adalah umur, sehingga lebih mengarah kepada warga lansia. Ini masalah serius, oleh karena lebih 60% dari seluruh biaya kesehatan selama ini dialokasikan atau dikonsumsi oleh penyakit-penyakit yang ada kaitannya dengan non-communicable diseases --bukan menular berkaitan erat dengan proses metabolisme 16 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan seiring perkembangan umur atau usia. Tentu saja, proporsinya akan lebih banyak pada warga lansia. Akhirnya, sasaran strategis kedelapan, yakni melaksanakan standar pelayanan minimum. Ini terutama ditekankan pada tingkat daerah dalam rangka desentralisasi. Pada tahun 2004, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) khusus, PP Nomor 43/2004, upaya peningkatan kesejahteraan lansia, antara lain, menyangkut pelayanan kerohanian (spiritualitas), pelayanan kesehatan, dan pelayanan umum lainnya. Intinya adalah bagaimana para lansia mendapatkan pelayanan yang ramah, perlakuan khusus (privilege) dalam beberapa hal seperti pemberian KTP atau layanan sarana angkutan. Misalnya, di kendaraan angkutan umum, lansia harus diutamakan memperoleh tempat duduk. Dengan kata lain, sudah ada peraturannya, tinggal memerlukan kerjasama dengan semua pihak, termasuk organisasi-organisasi masyarakat sipil untuk menerapkannya. Di beberapa daerah, sudah mulai terlihat upaya penerapannya, tetapi masih memerlukan peningkatan. Masalah Jaminan Sosial & Kesehatan Lanjut Usia Masalah lansia terkait erat dengan masalah-masalah sosial, kesehatan, dan ekonomi. Ada satu contoh kasus menarik. Universitas Gajah Mada mendirikan Gadjah Mada Medical Center (GMMC). Dengan asumsi bahwa para mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa di masa depan, maka mereka perlu diberi jaminan kesehatan. Tetapi, setelah mahasiswa dijamin, beberapa pegawai honorer protes: kenapa mahasiswa yang baru masuk sudah dijamin, sementara kami yang sudah lama bekerja di sini malah belum? Akhirnya, para tenaga honorer yang ribuan jumlahnya di UGM itu pun diberi jaminan kesehatan oleh GMMC. Setelah itu, giliran para dosen tetap dan profesor-profesor yang protes: yang pegawai honorer dijamin, yang pegawai tetap malah tidak? Ketika dijawab bahwa mereka sudah dijamin oleh ASKES, mereka mengajukan alasan bahwa jaminan ASKES berlaku di PUSKESMAS, sementara mereka ingin juga dilayani di GMMC, karena pelayanannya memang jauh lebih baik. Setelah dibahas dengan Rektor, dan para profesor, akhirnya semua dosen tetap pun diberi jaminan oleh GMMC. Ternyata, belum selesai. Sekarang, giliran para pensiunan UGM, para lansia, yang protes: yang masih aktif, yang pendapatannya masih bagus, masih sehat-sehat, malah dijamin, sementara yang sudah tua dan sakit-sakitan, hanya terima gaji 17 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA pokok, itupun tidak penuh, malah tidak dijamin? Contoh kasus GMMC itu menjadi pelajaran penting bahwa sistem jaminan sosial, termasuk sistem jaminan kesehatan, sudah harus dibangun sejak awal, sejak masih usia muda, misalnya melalui sistem tabungan. Jika tabungan ini secara nasional dikelola dengan baik, tersedia cadangan dana besar yang bisa digunakan untuk melayani para lansia, termasuk mereka yang sudah menabung sejak muda. Tuntutan jaminan secara mendadak, seperti dalam contoh kasus GMMC tadi, memang bisa saja ditanggulangi sampai batas tertentu, tetapi yang dibutuhkan adalah suatu sistem yang bekerja bukan hanya untuk menanggapi kebutuhan temporal dan sporadik. Pengembangan sistem seperti itu memerlukan pemikiran sejak awal. Dan, ini adalah masalah ekonomi. Ada yang berpendapat dan mengusulkan agar dana tabungan pensiun diberikan sebagai satu paket lebih awal, beberapa saat menjelang pensiun. Ini tidak sederhana, karena perlu ada persiapan yang matang sebelum sistem tersebut diterapkan. Kalau yang akan pensiun itu memang punya ‘entrepreneurial instinct’, tidak masalah. Tapi kalau tidak, dana pensiunnya bisa habis digunakan tanpa bekas. Contoh, pensiunan PERTAMINA dapat dana pensiun lumayan besar, tapi datanya menunjukkan bahwa lebih dari 70% dari mereka menghabiskannya tanpa hasil, tidak dapat menggunakannya untuk pengembangan usaha atau sumber pendapatan baru. Masalah lansia berikutnya adalah kemunduran sel-sel tubuh. Ini masalah alami. Sel-sel tubuh, fungsi dan daya tahannya semakin menurun searah dengan perjalanan waktu. Akibatnya, risiko terhadap penyakit pun meningkat. Semua orang akan mengalaminya, hanya soal waktu saja. Karena itu, yang terpenting adalah bagaimana mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapi masa tersebut, masa di mana gangguan psikologis, gangguan kemandirian, gangguan penyakit-penyakit degeneratif, semakin meningkat. Anggapan umum selama ini bahwa penyakit degeneratif perlu diantisipasi setelah berumur 50 tahun ke atas saja, keliru sama sekali. Tindakan yang akan diambil berdasarkan asumsi itu adalah sudah terlambat. Sejak awal, jauh sebelum menjadi lansia, pola makan, pola hidup, semuanya mesti sudah dipikirkan. Hal ini memang sangat berkaitan dengan kultur, budaya. Masalah gizi tidak hanya dipengaruhi pada ketersedian nutrisinya, tapi juga oleh kulturnya. Contoh. Pada waktu saya masih anak-anak, ibu selalu 18 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan menyediakan makanan utama, yang paling enak dan paling bergizi, untuk bapak. Suatu waktu, saya pulang ke rumah dengan perut lapar. Saya ambil makanan yang ada di lemari, tumpah mengenai kepala saya. Saya dimarahi oleh ibu karena menumpahkan makanan yang disiapkan untuk bapak saya. Dua kali sial, sudah tidak dapat makanannya, kena marah lagi. Itu membuat saya membayangkan betapa enaknya sebagai bapak. Sekarang, setelah menjadi bapak, pulang dari kantor saya bayangkan ada makanan enak disiapkan untuk saya oleh isteri. Ternyata, isteri bilang tidak, karena makanan itu lebih penting untuk anak-anak. Jadi, zaman memang sudah berubah, budaya pun berubah, dan sangat mempengaruhi pandangan masayarakat tentang sesuatu. Dalam hal inilah edukasi, pendidikan menjadi sangat penting, jangan sampai setelah berusia 50 tahun ke atas baru memikirkan soal penurunan fungsi tubuh dan penyakit degeneratif yang akan diakibatkannya. Pendidikan harus menjelaskan hal ini kepada semua orang sejak awal, sejak usia muda. Data dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007 memperlihatkan bahwa jenis penyakit lansia yang paling banyak atau umum ditemui adalah penyakit sendi pada usia 55-64 tahun (56,4%). Selanjutnya adalah penyakitpenyakit hipertensi, katarak, jantung, gangguan mental emosional, dan demensia (DM). Beberapa dari penyakit tersebut bukan lagi penyakit yang sulit ditanggulangi. Katarak, misalnya, kini dengan mudah sekali dioperasi, dalam tiga hari saja sudah bisa pulih. Sehingga, kalau ada lansia yang menderita katarak, segera bawa ke rumah sakit, jangan ditunda. Stroke juga demikian, meskipun memang perlu diperhatikan bahwa gejala stroke kini semakin sering terjadi pada banyak orang usia lebih muda. Program Pelayanan Kesehatan Lansia Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan, sudah merumuskan bahwa program-program pelayanan kesehatan bagi warga lansia bertujuan agar masa tua mereka bahagia dan berdayaguna dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Secara khusus, tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran para lansia membina sendiri kesehatan mereka, meningkatkan kemampuan dan peran serta keluarga dan masyarakat dalam peningkatan kesehatan lansia, dan demikian juga meningkatkan jenis, jangkauan, dan mutu pelayanan kesehatan bagi lansia. 19 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Kegiatan yang dikembangkan: Pertama, pengembangan PUSKESMAS ‘Santun Lansia’. Ada perlakuan khusus (privilege) untuk para lansia di PUSKESMAS. Perlakuan khusus untuk warga lansia ini juga mencakup kemudahan dalam akses dan biaya. Bahkan, pelayanan khusus warga lansia dirancang untuk nantinya benar-benar menjadi satu paket khusus manfaat jaminan kesehatan. Sehingga, nantinya akan ada poliklinik khusus, loket terpisah, dan tempat duduk khusus lansia. Juga harus memberikan pelayanan meliputi pemeriksaan fisik, laboratorium, penyuluhan atau konseling, dan pengobatan. Itu semua merupakan pelayanan dalam gedung, Untuk pelayanan luar gedung, bisa merupakan pembinaan pada kelompok lansia, perawatan kesehatan masyarakat, dan pelayanan kesehatan di Panti Sosial Tresna Wredha. Kedua, pengembangan Poliklinik Geriatri di Rumah Sakit. Ruang lingkupnya; semua upaya kesehatan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif. Jenis pelayanan meliputi pelayanan primer, sekunder, tersier, dan rujukan tertinggi, rawat jalan, rawat inap, klinik asuhan siang (day hospital), penitipan lansia (respite care), perawatan rumah (home care). Bahkan, jika mungkin, ada pelayanan ‘spa’ khusus lansia. Di beberapa negara, fasilitas semacam itu sudah ada dan memang sangat dimanfaatkan dengan baik oleh warga lansia. Di sini, fasilitas semacam itu bisa dipadukan sebagai bagian khusus dari PUSKESMAS Lansia. Tidak semua pasien lanjut usia merupakan pasien geriatri. Rujukan geriatri di semua rumah sakit kabupaten dan provinsi seharus memang memiliki pelayanan/poliklinik terpadu geriatri. Penanganan pasien geriatri sangat kompleks, sehingga pelayanan kesehatan geriatri pun harus komprehensif (preventif, promotif, kuratif, rehabilitatif, dan paliatif) dengan pendekatan tim terpadu. Tetapi, pengertiannya tidak boleh terlalu disederhanakan. Contoh, masih cukup banyak dokter sering memberikan banyak jenis obat sekaligus kepada pasien geriatri. Ada kasus sampai 15 jenis obat, padahal 3 jenis saja sudah cukup sulit bagi pasien lansia menelannya. Saya pernah berdebat tentang hal ini dengan seorang rekan dokter spesialis geriatri. Tetapi, yang perlu dilakukan sebenarnya adalah penelitian lebih mendalam dan sistematis tentang cara-cara penanganan khusus penyakit dan pasien geriatri. 20 BAGIAN PERTAMA: Sambutan & Pidato Pengarahan Sampai tahun 2014, ditargetkan terdapat 60% Rumah Sakit Kelas A dan B yang mengembangkan pelayanan geriatri terpadu. Saat ini baru ada 8 dari 91 Rumah Sakit Kelas A dan B yang telah mengembangakan Poliklinik Geriatri Terpadu. Delapan rumah sakit tersebut yaitu: RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Karyadi Semarang, RSUP Sardjito Yogyakarta, RSUP Sanglah Denpasar, RSUP Hasan Sadikin Bandung, RSUP Wahidin Makassar, RSUD Soetomo Surabaya, dan RSUD Moewardi Solo. Ketiga, peningkatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi yang tepat dan berguna bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia. Ini berkaitan erat dengan program keempat. pemberdayaan masyarakat melalui Kelompok Usia Lanjut, misalnya, melalui POSYANDU/POSBINDU Lansia. Kelompok Lanjut Usia juga merupakan salah satu unsur penting dalam pengembangan program Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM). Proses pembentukan dan pelaksanaan program ini dilakukan oleh warga masyarakat sendiri bersama lembaga-lembaga swadaya, swasta, dan organisasi sosial seperti Muhammadiyah, NU, Wali Gereja, dan lain-lain. Kegiatan intinya adalah upaya promotif dan preventif. Kelima, peningkatan mutu perawatan kesehatan bagi lansia dalam keluarga (home care). Ini penting pada kebudayaan timur seperti kita di Indonesia. Keluarga masih merupakan faktor penting dalam perawatan warga lanjut usia. Memasukkan orangtua ke panti, belum menjadi suatu kebiasaan dan nilai umum. Orang lansianya sendiri bisa merasa seperti disisihkan dari keluarga. Karena itu, perlu mengembangkan terus kualitas perawatan warga lansia dalam keluarga. Selain akan banyak berkaitan dengan unsur sosial-budaya, masalah ini juga akan bersinggungan banyak dengan isu-isu ekonomi: pendapatan keluarga, lapangan kerja, pemukiman, dan sebagainya. Keenam, peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya kesehatan lanjut usia. Di PUSKESMAS ‘Santun Lansia’ ada beberapa kegiatan terkait dengan lansia, baik di dalam gedung dan di luar gedung. Di luar gedung, bisa berupa pelayanan kunjungan rumah atau membentuk komunitas atau kelompok-kelompok usia lanjut dengan berbagai kegiatannya. Semua kegiatan itu harus dilakukan secara pro-aktif, pelayanan yang baik, sopan, memberikan kemudahan dan dukungan bagi lansia. 21 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Catatan Akhir Sebagai simpulan umum, ada beberapa hal yang sangat penting dan mendasar dalam isu pelayanan kesehatan warga lansia. Pertama, adalah bahwa proses menua (degeneratif) sudah harus diantisipasi sejak dini, sebelum usia 50 tahun, dan hal ini harus kita pahamkan dengan baik kepada semua warga masyarakat. Bagi mereka yang sudah lansia, yang paling penting adalah upaya pemulihan (rehabilitatif) agar tetap mampu mengerjakan pekerjaan dan tugas sehari-hari, sehingga mereka bisa hidup secara mandiri, produktif, dan bahagia. Kedua, keluarga masih sangat penting perannya dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan lansia. Ini terutama berkaitan dengan konteks sosial-budaya lokal. Ketiga, kesadaran dari lansia sendiri sangat menentukan untuk bi-sa hidup secara mandiri, sehat, dan bahagia. Almarhum Profesor Parmono Ahmad, yang meninggal pada usia 86 tahun, sampai usia 82 tahun masih memberikan layanan di klinik, tetap segar. Ketika ditanya apa rahasianya, beliau menjawab hanya satu kalimat singkat: Keep moving (Terus bergerak)! Dengan kata lain, terus berkegiatan, aktif! Keempat, upaya peningkatan kualitas kesehatan lansia memerlukan dukungan dari organisasi profesi, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dan seluruh kalangan masyarakat. Yogyakarta Declaration on Ageing and Health telah dideklarasikan oleh Menteri Kesehatan wilayah SEARO pada 4 September 2012, belum lama berselang di Yogyakarta ini. Ada 14 butir pokok yang menjadi komitmen Menteri Kesehatan di kawasan SEARO yang harus ditindaklanjuti. Pernyataan itu amat sangat bagus untuk disebarluaskan menjadi gerakan dan juga kesadaran bagi seluruh masyarakat kita. Indonesia harus berkomitmen untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kesejahteraaan warga lansianya dengan pelayanan yang optimum dan terintergrasi lintas sektor yang didukung oleh seluruh komponen masyarakat.v 22 BAGIAN KEDUA PENGALAMAN PEMERINTAH NARASUMBER: n Kanjeng Gusti Ratu Hemas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia n Dr. Maliki Ahmad Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) n Drs. Mulyo Jhoni, MSi Kementerian Sosial Republik Indonesia n Dr. Toni Hartono Komisi Nasional Lanjut Usia (KOMNAS Lansia) MODERATOR: Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo Center for Ageing Studies, Universitas Indonesia Lansia & Pembangunan: Antara Harapan & Tantangan Gusti Kanjeng Ratu Hemas Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia *) *) Disampaikan oleh Dr. Nahiyah J.Faraz, MPd dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). P embicaraan tentang fenomena lansia atau penuaan penduduk sangat penting dalam konteks pembangunan nasional saat ini maupun masa mendatang, sayangnya fenomena itu belum mendapat perhatian serius dari pemerintah. Hal ini tidak berarti pemerintah belum melakukan apa-apa. Pemerintah, sebenarnya, sudah sangat menyadari arti penting kesejahteraan penduduk lanjut usia, hanya saja mungkin karena pertimbangan prioritas, kajian-kajian apalagi perencanaan pembangunan penduduk lansia masih tergolong langka. Secara normatif harus diakui bahwa pemerintah telah menunjukkan keseriusan dalam menangani fenomena penuaan penduduk. Pada tahun 1998, pemerintah telah melahirkan UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Penduduk Lansia. Di dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, Pemerintah juga telah menegaskan bahwa setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik, dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan dan bantuan khusus atas biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, 26 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua UU tersebut bahkan telah memiliki Peraturan Pemerintah (PP) untuk implementasinya. PP Nomor 43 Tahun 2004 menggarisbawahi bahwa ada tiga aspek penting untuk peningkatan kesejahteraan lansia. Pertama, lansia mendapatkan kemudahan dalam pelayanan keagamaan, mental, dan spiritual. Kedua, kemudahan dalam pelayanan kesehatan dan pelayanan umum. Ketiga, kemudahan dalam penggunaan fasilitas umum. Pertanyaannya kemudian: apakah ketentuan-ketentuan di dalam UU tersebut benar-benar, secara objektif, telah dirasakan warga masyarakat Indonesia yang berusia di atas 60 tahun atau penduduk lansia? Menurut data statistik tahun 2012, diperkirakan ada lebih dari 2 juta penduduk lansia yang telantar di Indonesia. Data ini belum termasuk para lansia yang tinggal bersama anaknya tetapi tidak bekerja secara produktif sesuai dengan potensinya yang ada. Menurut saya, mereka termasuk lansia yang ‘telantar’ (dalam tanda kutip) karena mereka sehari-harinya hanya mengurus kerjaan rumah tangga, seperti menyiram tanaman, memperbaiki atap rumah yang bocor, bermain dengan cucu, dan lain-lain. Potensi dan daya kreativitasnya berhenti bukan karena ketidakmampuannya, melainkan karena tuntutan budaya. Misalnya, anaknya melarang bapak/ibunya bekerja, apalagi menitipkannya di panti jompo, sementara bapak (penduduk lansia) mempunyai gengsi tersendiri sebagai orangtua sekaligus kakek yang dibebaskan dari pekerjaan dan memomong cucu dianggapnya sebagai pekerjaan penuh hormat. Komentar klasik di masyarakat kita ketika ditanya apa yang dikerjakan setelah pensiun atau tidak bekerja lagi adalah “momong cucu”. Pemandangan ‘miris’ tentang lansia yang tengah mengantri berdiri maupun duduk-duduk di lantai hanya untuk mengambil ‘dana pensiun’ dapat kita saksikan bersama hampir setiap awal bulan di kantor pos atau beberapa bank pemerintah yang ditunjuk. Pemandangan umum lainnya yang memperlihatkan masih sangat kecilnya kepedulian kita terhadap penduduk lansia adalah ketika para lansia terjepit, sesak napas, atau bahkan pingsan lantaran mengantri tiket kereta api, mengantri sembako, atau mengantri kegiatan lainnya. Pernah seorang kakek yang kebingungan gara-gara diturunkan dari bus angkutan umum yang dinaikinya dari Kampung Rambutan, di Jalan Gatot Subroto di depan gedung DPR-RI. Tujuannya adalah ke Pejompongan yang berada di seberang jalan dari gedung DPR-RI. Menyeberang melalui jembatan penyeberangan ia 27 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tidak kuat. Kalau harus berputar jalan sampai Slipi atau Jembatan Semanggi, dia juga tidak mampu. Setelah kurang lebih 4 jam dalam keadaan bingung duduk di shelter bus depan gedung DPR-RI, ada seorang pengojek motor yang menawarkan jasanya secara gratis dan mengantarkannya sampai ke Pejompongan. Kakek asal Sukabumi ini selain tidak mampu secara fisik, rupanya juga kehabisan uang. Cerita yang pernah saya dengar dari seorang anggota keamanan DPRRI itu cukup mengilhami untuk mempertanyakan apakah bangunan fisik, prasarana, atau tata ruang yang telah dirancang pemerintah selama ini telah mengindahkan keberadaan penduduk lansia? Kalau sekarang sedang gencar disosialisasikan ‘kota yang ramah bagi anak’, bagaimana dengan ‘kota yang ramah untuk lansia?’ Bagaimana pula dengan hak penduduk lansia untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai? Dari sisi normatif dan objektif, tersirat bahwa sebenarnya ada keseriusan yang cukup dari pemerintah terhadap persoalan penduduk lansia (dan ini sebagai harapan bagi para lansia). Hanya saja, pemerintah dan institusi terkait, baik milik pemerintah sendiri maupun swasta, kurang berupaya optimal untuk dapat mewujudkannya. Berbagai kendala atau hambatan yang muncul belum dilihat sebagai tantangan, sehingga banyak lansia ‘telantar’ di rumah anaknya tidak dilihat sebagai tanggungjawab pemerintah. Pemerintah kurang pro-aktif dan hanya mengatakan mayoritas masyarakat (karena alasan budaya) merasa tidak etis untuk menitipkan orangtuanya di panti. Padahal bertanggungjawab terhadap lansia yang tinggal bersama anaknya tidak harus berarti mengambil dan menitipkannya di panti jompo. Banyak program yang bisa dirancang agar lansia dapat tetap tinggal di rumah anaknya tetapi juga tetap produktif dengan keterampilan yang dimiliki atau keterampilan baru yang diajarkan melalui program pemerintah. Alasan lain selain budaya, kita seringkali mengatakan minimnya anggaran sebagai alasan utama kurang optimalnya mewujudkan hak-hak dasar para lansia. Ada kesan dari program-program lansia selama ini lebih berorientasi pada ‘dana’ yang harus dikeluarkan Pemerintah untuk makanan dan kesehatan serta usaha lansia seperti tercermin dalam Lampiran Laporan Kementerian Sosial RI sebagai bahan Pidato Kenegaraan Presiden RI di depan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI 28 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah 16 Agustus 2012.Bunyi lampiran itu antara lain: “Untuk tahun 2012, Kementerian Sosial mengalokasikan dana sebesar Rp 63.600.000.000 yang diperuntukkan membantu 26.500 orang lanjut usia di 33 provinsi yang tersebar di 381 kabupaten/kota di Indonesia. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk pelayanan sosial lanjut usia, adalah sebagai berikut: [a] Untuk lanjut usia potensial, bentuk program yang diberikan berupa Layanan Harian (Day Care) yang telah diberikan di 26 lokasi dengan jumlah yang telah dilayani sebanyak 889 orang lanjut usia dengan 233 orang pendamping. Untuk lanjut usia yang mempunyai usaha diberikan program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang telah diberikan setiap tahun di 33 provinsi dengan jumlah klien yang dibantu sebanyak 3.300 orang lanjut usia. [b] Untuk lanjut usia yang tidak potensial diberikan pelayanan sosial melalui 278 Panti Sosial Lanjut Usia milik pemerintah dan masyarakat dengan jumlah klien yang dilayani sebanyak 11.914 orang lanjut usia. Sementara untuk program perawatan lanjut usia ini di lingkungan keluarga (home care) telah diberikan di 22 lokasi dengan jumlah klien yang dilayani sebanyak 1.100 orang dengan 525 relawan atau pendamping.” Bila orientasi kita mengenai pembangunan penduduk lansia adalah bagaimana pemerintah mengalokasikan dana yang cukup untuk mereka, maka sampai kapanpun upaya kita menyejahterakan penduduk lansia tidak akan pernah tercapai. Alasannya, pertumbuhan ekonomi yang dicapai pemerintah terlihat sangat lamban dan tidak ada jaminan akan naik terus, sementara grafik pertumbuhan penduduk lanjut usia menunjukkan peningkatan yang pesat setiap tahunnya dan kecil sekali kemungkinannya turun. Oleh karena itu, sudah saatnya untuk lebih fokus dalam mewujudkan kesejahteraan penduduk lansia melalui program pelayanan publik yang sangat ramah lansia. Misal, pemerintah dan masyarakat harus memastikan tidak ada lagi pemandangan di mana para lansia harus mengantri sambil berdiri atau duduk di lantai saat mengambil uang pensiun, atau pemerintah harus memprioritas penduduk lansia yang mendaftar pergi haji atau umroh. Suksesnya menciptakan pelayanan publik yang ramah dengan lansia pada akhirnya akan menutup kelemahan program-program lansia yang lebih berorientasi materi. 29 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Bagaimana bentuk atau model peningkatan kesejahteraan penduduk lansia berbasis pelayanan publik itu? Forum ini, menurut saya, tempat yang ideal untuk merumuskannya. v 30 Program Pelayanan Sosial Lanjut Usia Mulyo Johni Sub Direktorat Advokasi & Pelayanan Sosial Lanjut Usia, Kementerian Sosial Republik Indonesia D i Kementerian Sosial, ada Direktorat Pelayanan Sosial Lanjut Usia. Tentu saja, sesuai dengan namanya, pusat perhatian kami adalah memberikan pelayanan sosial kepada warga lanjut usia. Yang kami layani adalah semua lanjut usia yang diamanatkan dalam undang-undang, baik lansia yang potensial ataupun yang tidak potensial. Namun, karena keterbatasan alokasi dana yang kami miliki, sampai saat ini kami lebih masih menekankan prioritas pada lanjut usia yang miskin. Pangkalan data Kementerian Sosial menyajikan angka 2.851.606 jiwa warga lanjut usia yang telantar. Merekalah yang menjadi fokus prioritas kami sekarang. Mengapa? Setiap tahun kami hanya memperoleh alokasi dana tidak terlalu besar untuk pelayanan sosial lanjut usia di seluruh Indonesia. Kami hanya punya dana sekitar 140 miliar. Itu untuk melayani semua lansia di seluruh Indonesia. Tentu saja, kalau di rumus pemerintah; kalau alokasi anggarannya sedikit dan masalahnya besar, maka kami tentu saja harus menggarap beberapa yang kami anggap paling penting. 31 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Prinsip Pelayanan Di Kementerian Sosial ada beberapa prinsip dasar dalam pelayanan sosial lanjut usia. Prinsip pertama, setiap orang yang telah berusia lanjut harus mendapat tempat yang dihormati dan dibahagiakan --oleh kita semua, tentu saja. Lalu prinsip yang kedua, keluarga merupakan wahana pelayanan yang terbaik bagi para lanjut usia untuk menjalani kehidupan hingga akhir hayatnya. Prinsip ketiga, pemberian perhatian dan kasih sayang, baik dari keluarga dan masyarakat lingkungannya, merupakan faktor yang sangat penting. Prinsip terakhir, pelayanan dalam panti merupakan upaya terakhir apabila upaya yang lain sudah tidak mungkin lagi. Prinsip terakhir tadi selalu kami tekankan, kecuali bagi lansia-lansia tertentu yang dengan keinginan sendiri memang ingin tinggal di panti. Kami hargai juga pilihan-pilihan itu. Kami menganggap kalau semakin banyak lansia yang masuk ke panti sosial, tentu ada nilainilai tertentu yang sudah ditinggalkan oleh masyarakat kita, antara lain, sikap menghormati dan menyayangi orang tua. Dalam beberapa pengalaman kami --yang juga membuat miris-- adalah banyak sekali lansia yang didatangkan ke panti lalu ditinggalkan begitu saja oleh keluarganya sampai yang bersangkutan meninggal dunia, ditengok sekalipun tidak. Pengalaman itulah yang membuat kami dan beberapa pengelola panti mengajukan syarat dan membuat perjanjian kepada keluarga yang membawa orangtuanya ke panti: harus ada kunjungan berapa kali dalam sebulan, kalau ada masalah harus ditengok, dan sebagainya. Jadi tidak dititipkan di panti, lalu ditinggalkan begitu saja. Program Pelayanan Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, Kementerian Sosial melaksanakan beberapa program, antara lain: Perawatan di rumah (home care). Ini adalah program perawatan lanjut usia yang dilakukan dalam keluarga dan diberi pendampingan. Dalam program ini, prinsipnya adalah mendorong memberdayakan keluarga agar bisa memberikan perawatan kepada warganya yang lanjut usia, bisa jadi orangtuanya sendiri atau keluarga dekatnya. Program-program ini sudah dilakukan di seluruh Indonesia. Untuk 32 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah target setiap setahun, hanya 1.000 orang lanjut usia. Kriteria mereka yang masuk dalam program ini adalah lansia yang tidak mampu dan mereka yang sudah tidak potensial. Kegiatannya adalah pendampingan sosial dan pemenuhan kebutuhan hidup lansia, bagaimana mereka memperoleh perawatan dan kebutuhan dasar, aksesibilitas, dan perlindungan, disertai pendampingan pada keluarga yang bersangkutan. Program lainnya adalah Pelayanan Perawatan Harian (Day Care Service). Program ini sudah ada di 33 provinsi di seluruh Indonesia. Karena keterbatasan sumberdaya, target yang dilayani setiap tahun sangat sedikit; hanya 920 lansia. Program ini lebih ditujukan pada pengisian waktu luang lansia yang masih potensial di luar panti, biasanya melalui lembaga kesejahteraan sosial atau organisasi sosial. Pemerintah memberikan dukungan dana lalu memfasilitasi lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi tersebut melakukan day care service. Mereka mengumpulkan lansia secara berkala, biasanya seminggu sekali atau dua kali. Lembaga atau organisasi tersebut harus menyediakan kegiatan bagi para lansia di sekitarnya. Biasanya, berupa ceramah-ceramah kegamaan, lalu pemeriksaan kesehatan berkala --biasanya bekerjasama dengan Dinas Kesehatan setempat. Ada juga pemberian makanan atau tambahan gizi pada saat kegiatan bersama. Atau, rekreasi atau olahraga khusus untuk lansia. Berikutnya adalah program Asistensi Sosial Lanjut Usia Telantar (ASLUT). Program ini dulu biasa disebut program Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Program ini ditujukan kepada lanjut usia yang sudah tidak potensial dengan skala prioritas pada lansia yang sudah bed ridden atau bedrest. Mereka diberi pelayanan perawatan dari pekerja sosial dari masyarakat sekitar dari lingkungan lansia itu berada, biasanya dari desa terdekat. Kementerian Sosial memfasilitasinya melakukan pelayanan tersebut. Mereka diberi dana cash transfer. Lima tahun terakhir, besarannya adalah Rp 300.000 per orang per bulan sampai lansia yang dilayaninya meninggal. Lalu, karena sedikit persoalan, nilai bantuan itu tahun ini menurun menjadi Rp 200.000. Karena di sini ada wakil dari BAPPENAS, forum ini sekaligus bisa melakukan cross-check mengapa terjadi penurunan ini. Kementerian Sosial sering mendapat pertanyaan tentang hal seperti ini. Pada saat pertemuan bilateral dengan BAPPENAS dan Kementerian Keuangan, Kementerian Sosial diminta meningkatkan jumlah penerima- 33 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA nya. Tahun-tahun sebelumnya, kami hanya memberikan kepada 13.250 orang dengan besaran Rp 300.000 per orang per bulan, seumur hidup lansia yang dilayani. Pada saat kami diminta meningkatkan jumlah penerimanya dua kali lipat menjadi 26.500 orang -- antara lain dinyatakan dalam Pidato Kenegaraan Presiden-- terjadi sedikit ‘kecelakaan’, karena dana yang mulanya diusulkan untuk menjadi Rp 300.000 per orang tidak mencukupi lagi. Akhirnya, setelah diusahakan sedemikian rupa, hanya Rp 200.000 per orang itulah yang dapat diberikan. Ini sekaligus meluruskan informasi, karena banyak pihak, terutama LSM, mengatakan bantuannya dipotong Rp 100.000. Sebetulnya tidak ada niat memotong, semata-mata hanya karena jumlah penerima tibatiba melonjak dua kali lipat. Sekarang, program ini berlangsung di 33 provinsi, tersebar di 381 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Setiap desa mendapat bantuan untuk 10 atau 15 orang lansia dengan 1 pendamping dari desa setempat. Jika tak ada lansia bedrest di satu desa, boleh diberikan pada lansia paling tua yang ada di sana. Program yang sudah berjalan selama 6 tahun ini merupakan salah satu program unggulan Kementerian Sosial. Berikutnya, program Pelayanan Sosial dalam Situasi Darurat. Program ini ditujukan kepada lanjut usia dalam situasi darurat, dalam situasi bencana, korban kekerasan atau eksploitasi. Dalam beberapa hal, Kementerian menyediakan dana on call untuk keadaan yang terjadi mendadak atau tiba-tiba. Untuk tanggap bencana, biasanya tidak ada persoalan, langsung segera bisa dberikan. Tetapi, untuk korban eksploitasi atau tindak kekerasan, masih ada beberapa kendala tersendiri. Program ini sekarang juga menjangkau 33 provinsi. Bentuk layanannya, antara lain: konseling, pemulihan trauma, penelusuran (tracking) atau reunifikasi, penyediaan tempat tinggal sementara, dan pemenuhan kebutuhan dasar. Seringkali, dalam banyak kasus, lansia terpisah dari keluarganya. Tugas Kementerian Soaial adalah melakukan reunifikasi. Kalau sudah tidak memungkinkan lagi, barulah ditampung di panti sosial. Selanjutnya adalah program Pemantapan Pra-Lanjut Usia. Ini program baru dan mungkin juga apakah bisa menjawab tantangan: sebelum menjadi lansia sudah disiapkan. Program ini lebih menekankan pada pemberian keterampilan dan modal usaha untuk mereka yang akan memasuki lanjut usia. Program ini baru tahap uji coba, baru di beberapa provinsi saja. Karena masih uji coba, penerimanya pun 34 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah masih terbatas 50 orang lanjut usia. Bergantung pada hasil uji coba nanti untuk melihat bagaimana kemungkinan penerapannya secara serentak di 33 provinsi. Yang berikutnya adalah program Usaha Ekonomi Produktif (UEP). Salah satu permasalahan yang sering dijumpai adalah banyak lansia yang masuk kategori miskin sebetulnya bisa berusaha pada skala kecil-kecilan yang mampu memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Program ini sekarang memberikan bantuan modal usaha kecil kepada 3.300 orang lanjut usia setiap tahun di 33 provinsi. Program berikutnya adalah Bantuan Sosial terhadap Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS) atau Panti Sosial. Bantuan ini diberikan kepada 12.500 lanjut usia di panti yang tersebar di 22 provinsi. Pantipanti tersebut ada yang milik pemerintah daerah dan ada yang milik masyarakat, tetapi sebagian besar milik masyarakat. Tahun ini panti yang menerima program ini ada 249 panti. Sebelumnya, tercatat 278 panti sosial di seluruh Indonesia. Penurunan jumlah panti ini menarik. Pada satu sisi, terus terang, kami di Kementerian Sosial merasa senang jika penurunan jumlah panti itu benar-benar terjadi karena semakin banyaknya jumlah lansia yang ditangani langsung oleh keluarga atau warga sekitarnya, sehingga mereka tak perlu lagi dimasukkan ke panti. Lalu, program Bedah Rumah Lansia. Ini juga bentuknya bantuan sosial terhadap lanjut usia. Tahun 2012, program ini sudah diberikan kepada 150 rumah lansia. Kegiatan ini dilaksanakan bekerjasama dengan beberapa organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat, misalnya Yayasan Emong Lansia (YEL) dan Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA). Mereka punya data di mana rumah-rumah lansia kurang layak. Kementerian menyediakan bantuan dana kecil sebesar Rp 10.000.000 untuk setiap rumah lansia. Dana ini, digabungkan dengan swadaya warga sekitar, adalah untuk memperbaiki rumah-rumah para lansia agar menjadi layak dan nyaman untuk dihuni. Refleksi Berdasar pengalaman melaksanakan semua program tersebut selama ini, ada hal-hal yang membuat kami, terus terang, sedikit terusik. Sebagai contoh, program Asistensi Sosial Lanjut Usia (ASLUT) atau dulu 35 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA disebut Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Sudah lebih 60% program ini diberikan kepada institusi yang ada di desa. Terus terang, kami agak terkesima de-ngan data tersebut yang dilaporkan oleh Dinasdinas Sosial di daerah. Kalau program itu diberikan di perkotaan, kita bisa memakluminya kare-na orang-orang di perkotaan yang semakin individualis, semakin kurang kepeduliannya, dan semakin banyak lansia yang telantar. Tetapi, seka-rang data yang ada memperlihatkan 60% pelaksanaan ASLUT adalah di wilayah pedesaan. Pertanyaannya adalah: apakah memang sedang terjadi perubahan nilai sedemikian rupa di masyarakat kita, sehingga ada kecenderungan keluarga tertentu menjadikan orang tua (lansia) semacam sumber pemasukan, sumber nafkah mereka? Pertanyaan ini muncul karena ada cukup banyak kasus di mana keluarga tertentu mempertahankan agar orang tua mereka terusmenerus mendapatkan bantuan program ini. Misalnya, ada lansia yang masuk program ini karena sakit dan potensial bedrest. Dia mendapatkan bantuan program ini selama 2-3 tahun. Tetapi, antara lain, oleh pelayanan kesehatan yang diterimanya, orangtua itu sembuh. Karena itu, Dinas Sosial setempat menggagas pengalihan dana bantuan itu ke program Usaha Ekonomi Produktif (UEP) yang lebih membutuhkan. Keluarga itu melapor ke satu LSM menyatakan keberatannya kalau bantuan itu dihentikan. Bahkan, sempat sampai masuk koran. Setelah diinvestigasi, memang ada beberapa kasus seperti itu, yakni anak-anak para lansia yang dibantu memanfaatkan orangtua mereka sebagai sumber penghasilan. Kami, terus terang saja, di Kementerian Sosial miris dan bertanya-tanya: apakah memang program kami di pemerintah yang salah, artinya terlalu jauh masuk sampai ke tingkat rumah tangga, sehingga warga masyarakat merasa kalau ada lansia, serahkan saja ke pemerintah, persoalannya jadi selesai? Pengalaman-pengalaman tersebut membuat Kementerian Sosial mulai mengubah kebijakan, akan lebih mendorong peran-peran masyarakat dengan cara-cara dan pendekatan lebih memfasilitasi. Kami akan mendorong LSM agar merekalah yang lebih berperan melakukannya. Selain itu, juga keluarga yang dibantu lebih perlu diberdayakan ekonominya. Karena, memang banyak sekali persoalan- 36 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah persoalan so-sial akar permasalahan sebenarnya adalah pada kemiskinan. Karena kemiskinan, lansia tadi gampang dieksploitasi dan dimanfaatkan se-demikian rupa oleh orang-orang yang sebetulnya tidak berhak atas bantuan itu. v 37 National Transfer Account sebagai Pendukung Analisis Sistem Penunjang Penduduk Lanjut Usia Maliki Ahmad Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Republik Indonesia B agaimana sebenarnya aspek ekonomi dari penuaan penduduk? Ada dua hal. Pertama, tentang sistem perlindungan sosial. Kedua, penggunaan national transfer account. Tentang perlindungan sosial, UU 40/2004 sudah sangat jelas menggariskan prinsip dasarnya bahwa semua unsur masyarakat itu harus terlindungi, termasuk di dalamnya adalah penduduk usia lanjut pada semua lapisan, baik itu penduduk miskin, menengah, maupun menengah ke atas. Dalam undang-undang itu juga dijelaskan bahwa penduduk miskin dapat memperoleh perlindungan sosial dalam bentuk bantuan dari pemerintah (government assistance). Bagaimana 38 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah sebenarnya pengaruh bantuan pemerintah itu terhadap kesejahteraan penduduk usia lanjut, termasuk di dalamnya adalah old-age support dan pension support. Bantuan pemerintah seperti yang dilakukan oleh Kementerian Sosial adalah satu bentuk dari social transfer. Selain bentuk pelayanan sosial seperti pelayanan kesehatan kepada para warga lansia, yang juga penting dan menarik dianalisis adalah cash transfer. Bagaimana sebenarnya peran cash transfer ini terhadap pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari penduduk usia lanjut, kemudian pada asuransi untuk warga lansia dari kalangan penduduk miskin, terutama di bidang kesehatan. Metodologi atau analisis National Transfers Account (NTA) sebenarnya sudah dikembangkan lama sekali, lima tahun, oleh Andrew Mason dan Ronald Lee di East West Center University of Hawaii dan University of Berkeley. Mereka mencoba mendokumentasikan data National Account yang dapat menggambarkan abuse pergeseran ekonomi; sumber ekonomi satu generasi ke generasi lain dalam waktu yang bersamaan. Misalnya, bagaimana sebenarnya orangtua memberikan dukungan keuangan kepada anak-anaknya; bagaimana penduduk usia produktif membayar pajak kepada pemerintah, dan bagaimana pemerintah sendiri melakukan realokasi pajak tersebut ke masing-masing generasi. Analisis ini akan memperlihatkan bagaimana sebenarnya penduduk usia lanjut mendukung dirinya sendiri untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Untuk itu, akan ada uraian tentang profil produktivitas dari warga usia lanjut, konsumsi mereka, juga aset, dan transfer dari sumber-sumber ekonomi kepada setiap generasi. Kemudian sistem realokasinya, bagaimana suatu kelompok umur dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa apabila kita melakukan konsumsi, hal itu harus dipenuhi dengan bekerja. Apabila ada pengurangan kemampuan, yakni konsumsi lebih besar dari pendapatan, maka kekurangannya harus dicari dari berbagai sumber, salah satunya adalah dengan menggunakan aset atau transfer dari keluarga atau sumber-sumber lainnya. Metodologi NTA dapat digunakan untuk mengukur pergeseran sumber ekonomi dari satu kelompok usia ke kelompok usia lainnya; untuk dokumentasi profil produktivitas, konsumsi, aset, transfer menurut umur; serta untuk sistem realokasi sumber ekonomi, yaitu bagaimana suatu kelompok umur dapat memenuhi kebutuhan konsumsinya. 39 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Lifecycle Deficits Seperti tadi sudah disampaikan bahwa pemerintah telah melakukan intervensi kepada keluarga dengan memberikan cash transfers sehingga warga lanjut usia dapat terpenuhi kebutuhannya. Keluarga juga melakukan transfer, misalnya, orang tua membantu pembiayaan anak-anaknya, atau sebaliknya anak membantu orangtuanya. Dokumentasi dari transfer-transfer itulah yang membuat kita bisa melihat secara jelas bagaimana sebenarnya penduduk usia lanjut memenuhi kebutuhannya. Untuk melihatnya, sumber data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS), National Account, Input/Output Table, Social Accounting Matrix (SAM) tahun 2005, dan Government Accounting Report. Semua data tersebut akan dipadukan, karena selama ini masih terpisah-pisah. Dengan memadukan semua data tersebut, sumber-sumber ekonomi bisa diperhitungkan secara komprehensif. Salah satu hasil analisis terhadap semua data tersebut adalah mengenai pendapatan per kapita. Hasil analisis memperlihatkan bahwa puncak dari produktivitas suatu kelompok umur di Indonesia adalah pada usia 45 tahun. Uniknya, setelah mencapai puncak usia tersebut, produktivitas turun sangat cepat. Di beberapa negara lain, seperti Jepang, biasanya terjadi landai dulu baru turun perlahan. Namun, yang menarik adalah bahwa pada usia lanjut, orang Indonesia masih banyak yang bekerja. Dengan kata lain, sumber pendapatan dari warga usia lanjut ini di Indonesia masih tergolong besar, terutama yang berusaha sendiri atau mempekerjakan dirinya sendiri (self-employed). Para warga lanjut usia itu, setelah pensiun, membuka usaha sendiri yang menghasilkan pendapatan tambahan. Sebagian juga masih bekerja di sektor informal. Ini juga menunjukkan bahwa sektor informal di Indonesia masih sangat besar sekali. Dengan demikian, yang harus diperhatikan adalah bagaimana mempersiapkan warga lanjut usia agar tetap produktif, menjadi lebih efisien, sehingga sumber yang mereka hasilkan akan menjadi lebih besar. Ini cukup unik bagi Indonesia, karena di negara maju seperti Jepang hal seperti itu cenderung sangat kecil. Hal ini tampaknya memang dipengaruhi oleh sistem perlindungan sosial atau pensiun yang ada di Indonesia. 40 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah Apabila diperbandingkan antara konsumsi dengan produktivitas, terlihat bahwa masih tetap ada konsumsi yang lebih besar dari produktivitasnya. Ini adalah konsumsi orang tua, sehingga menarik untuk melihat lebih lanjut bagaimana sebenarnya mereka memenuhi konsumsinya tersebut selain dari pendapatan yang mereka hasilkan dengan bekerja atau berusaha sendiri. Kalau melihat data government transfers, pemerintah memang masih lebih banyak memusatkan perhatian pada warga usia muda di mana banyak sekali transfer, terutama dalam bidang pendidikan para warga usia muda tersebut. Untuk warga lanjut usia, ada sedikit cash transfers dan pelayanan kesehatan. Mengenai sistem realokasi dalam keluarga, mereka yang masih dalam usia produktif mungkin memberikan cash transfers kepada orang-orang tua mereka yang sudah lanjut usia. Atau, bisa juga sebaliknya, orangorang tua itu justru yang mempunyai kelebihan dan melakukan cash transfers kepada anak-anak mereka. Jika orang tua lanjut usia tidak punya keluarga lagi, mungkin saja mereka memenuhi kebutuhannya dengan skema lain, misalnya, dari aset atau tabungan. Dalam kasus seperti itu, mereka menabung sejak masa muda atau pada usia produktifnya dulu, lalu sekarang menikmatinya di hari tua mereka, terutama untuk menopang diri mereka sendiri. Analisis lebih lanjut pada data tahun 2005 menunjukkan beberapa yang semakin menarik. Data konsumsi warga lanjut usia kemudian dipilahpilah ke dalam beberapa kelompok usia, yakni kelompok usia 55-59, lalu 60-64, 65-69, 70-74, dan 75-79 tahun. Temuan yang menarik adalah secara makro, secara agregat, penduduk usia lanjut sama sekali tidak menggambarkan bahwa mereka sepenuhnya tergantung pada keluarga. Data itu memperlihatkan bahwa para warga lanjut usia masih banyak menggunakan produktivitas mereka atau tetap bekerja untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Selanjutnya, para warga lanjut usia itu juga menggunakan aset atau tabungan mereka. Semakin lanjut usia mereka, semakin besar pula penggunaan aset tersebut. Sementara itu, transfer dari pemerintah (public transfers) sangat sedikit, hanya 2-3% dari konsumsi mereka. Yang mengejutkan adalah orang-orang tua ini masih memberikan dukungan kepada keluarganya, terutama kepada anak-anak mereka. Sehingga, menjawab kegelisahan dari pihak Kementerian Sosial tentang cash transfer dari pemerintah yang diberikan kepada warga 41 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA lanjut usia tetapi digunakan oleh anak-anak mereka, mungkin itu sebenarnya tidak negatif sama sekali, tidak secara keseluruhan negatif. Mungkin kita bisa melakukan sedikit penyesuaian dari kebijakan tersebut, sehingga cash transfer dari pemerintah kepada para warga lanjut usia pun dapat digunakan oleh anak-anak mereka, asalkan memang digunakan untuk kegiatan produktif juga. Jika itu yang terjadi, maka sebenarnya hal itu tidak sepenuhnya negatif. Bagaimana dengan keluarga miskin? Data yang ada tentang keluarga miskin menunjukkan profil agregat, gambaran secara keseluruhan. Untuk itu, perlu menelusur secara lebih fokus pada keluarga yang benar-benar miskin dengan memisahkan keluarga miskin pedesaan dengan keluarga miskin di perkotaan. Ternyata, profil mereka hampir sama. Yang paling menonjol adalah bahwa mereka semua sangat bergantung sekali pada public transfers. Jadi, cash transfers dari pemerintah yang hanya sebesar Rp 200.000 atau 300.000 itu sangat signifikan untuk mereka. Sekitar 60-80 % konsumsi mereka sangat bergantung pada cash transfers tersebut. Data yang ada juga memperlihatkan bahwa cash transfers itupun sebenarnya dipakai juga untuk melakukan transfer kepada generasi lebih muda, yakni anak cucu mereka yang belum produktif. Hal yang paling positif mereka lakukan adalah jika cash transfers tersebut dipakai untuk menyekolahkan cucu-cucunya. Hal seperti itulah yang mungkin perlu kita pertimbangkan lebih lanjut. Sebagai perbandingan, kebijakan cash transfers bagi para warga lanjut usia dan keluarga miskin di Argentina atau di Brasil memang ditujukan pada tiga generasi dalam keluarga tersebut: orang tua lanjut usia dan anak-anak serta cucu-cucu mereka yang belum produktif. Pemerintah justru sangat mengharapkan agar cash transfer kepada warga lanjut usia tersebut juga digunakan untuk mendukung anak-anak atau cucu-cucu mereka yang masih usia sekolah agar terhindar dari putus sekolah. Mengantisipasi prakiraan bahwa persentase penduduk lanjut usia akan mencapai 20% dari total penduduk, maka perlu pula dianalisis bagaimana sebenarnya kemungkinan keberlanjutan anggaran (fiscal sustainability) subsidi tersebut di masa depan? Untuk itu, akan digunakan metode generational account dengan be- 42 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah berapa asumsi --masih moderat-- di mana kita melakukan penekanan defisit fiskal maksimum 1%. Lalu, asumsi bahwa baseline transfer pada tahun 2010 adalah masih Rp 300.000. Maka, jika kita tarik semua sumber tersebut sampai tahun 2040, akan terjadi yang namanya generational imbalance. Artinya, generasi mendatang akan membayar lebih besar 16% kepada pemerintah untuk menyinambungkan program tersebut. Pada saat itu nanti, akan terjadi juga penyesuaian pajak (tax adjusment) sekitar 6,3%. Kalau kita bandingkan dengan negara-negara lain, sebenarnya tidak terlalu buruk. Kita jangan membandingkannya dengan Jepang, karena generational imbalance di Jepang sangat besar sekali, sekitar 300%. Mungkin dengan Thailand juga masih agak besar. Hal ini karena Indonesia melaksanakan program ini memang masih ‘malu-malu’. Karena itu, generational imbalance masih sekitar 16%. Kalau, misalnya, kita coba melakukan perbandingan dari sisi kesehatan saja dulu, akan menghasilkan generational imbalance sekitar 26%. Maka, apabila nanti program-program dukungan kepada penduduk lanjut usia dimasukkan ke dalam analisis ini, kita akan dapat melihat apa sebenarnya yang harus kita lakukan dalam hal penyesuaian pajak maupun dalam hal kebijakan fiskalnya. Ringkasnya, tantangan ke depan terutama adalah memiliki dan memilih dokumentasi data yang rinci dan menyeluruh, karena analisis ekonomi dalam hal ini harus dilakukan secara komprehensif. Semua data harus dipertimbangkan dan diperhitungkan, lebih besar, lebih banyak. Hal tersebut merupakan tantangan ke depan, terutama dua tahun saat ini dan ke depan, termasuk bagi BAPPENAS yang sedang menyusun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).v 43 Upaya Pemerintah Menghadapi Tantangan Revolusi Demografis Toni Hartono Komisi Nasional Lanjut Usia (KOMNAS LANSIA) A da istilah di Organisasi Kesahatan Dunia (WHO) menyebut terjadinya ‘Revolusi Demografis’ atau pergeseran demografi: penduduk lansia dunia (usia 60 tahun ke atas) tumbuh sangat cepat, bahkan lebih cepat dibanding kelompok usia lain. Tahun 2000, jumlah lansia dunia adalah sekitar 600 juta jiwa dan diperkirakan menjadi 1,2 miliar jiwa pada tahun 2025, lalu akan menjadi 2 miliar jiwa pada tahun 2050. Pada saat itu, akan terdapat lebih banyak lansia dibanding anak-anak usia 1-14 tahun. 44 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah Di negara-negara berkembang, pada tahun 2002, ada sekitar 61% (400 juta jiwa) penduduk lansia. Pada tahun 2025, diperkirakan menjadi 70% (840 juta jiwa), dan tahun 2050 akan mencapai 80% (1,6 miliar jiwa). Demikian pesat perkembangannya. Separuh jumlah penduduk lansia dunia hidup di Asia dan proporsinya cenderung terus meningkat. Indonesia berada pada posisi keempat di Asia, setelah Cina, India, dan Jepang. Penuaan Penduduk Penuaan penduduk, menurut catatan UNFPA, merupakan suatu kecenderungan perkembangan terpenting pada abad ke-21, berimplikasi luas terhadap seluruh aspek kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan, bahkan politik. Di seluruh dunia kini terdapat 2 orang yang berulang tahun ke-60 setiap detiknya; atau sekitar 58 juta --bahkan 62 juta-- peristiwa ulang tahun ke-60 per tahunnya. Saat ini, 1 dari 9 orang di seluruh dunia adalah berusia 60 tahun atau lebih; tahun 2050, diproyeksikan 1 dari 5 orang. Saat ini, Usia Harapan Hidup (UHH) 80 tahun ada di 33 negara, padahal lima tahun yang lalu hanya ada di 19 negara. Saat ini, hanya Jepang yang penduduk lansianya lebih dari 30%, pada tahun 2050 diperkirakan akan ada di 64 negara. Bagaimana di Indonesia? Pada tahun 2000, proporsi penduduk lansia Indonesia sudah 7,18%. Menurut tolok ukur yang diterima umum selama ini, negara dengan penduduk lansia lebih dari 7% pada dasarnya sudah berstruktur tua. Kita harus mengantisipasi dampaknya terhadap kehidupan sosial, ekonomi, kesehatan, dan sebagainya. Mari kita lihat proyeksinya. Menurut proyeksi tahun 2001 oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk lanjut usia pada tahun 2020 akan menjadi dua kali lipat. Persentasenya 11,34% dan kemudian penduduknya dari 14,4 juta jiwa tahun 2000 menjadi 28,8 juta jiwa pada tahun 2020. Sangat pesat pertumbuhannya. Selanjutnya, provinsi dengan jumlah lansia lebih 7% dari total penduduknya, tertinggi adalah DIY (14,02%), diikuti oleh Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,92%), Bali (10,79%), Sulawesi Selatan (9,03%), Sulawesi Utara (8,91%), Sumatera Barat (8,69%), Lampung (8,29%), Nusa Tenggara Barat (8,21%), Nusa Tenggara Timur (8,01%), Jawa Barat (7,95%), dan Maluku (7,27%). Sayangnya, beberapa pemerintah daerah di antara yang sudah mencapai di atas 7% tersebut 45 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tidak menyadari kalau penduduk lansianya sudah sebanyak itu. Keadaan Umum Lansia Jumlah penduduk lansia saat ini sudah berjumlah sekitar 23 juta (10% dari total penduduk). Keadaan sosial, ekonomi, dan kesehatan lansia di pedesaan pada umumnya masih memprihatinkan. Lansia telantar sesuai data dari Kementerian Sosial ada sekitar 2,7 juta orang. Rasio ketergantungan penduduk lansia adalah 13,52, artinya 100 orang usia produktif membantu kehidupan 13 orang lansia. Pendidikannya umumnya rendah, yaitu tidak tamat SD dan tidak sekolah, dengan angka di pedesaan 75,05% dan di perkotaan 50,28%. Sekitar 72% lansia laki-laki dan 59% lansia perempuan masih bekerja, mayoritas di sektor pertanian—yang informal karena pendidikannya rendah. Peran lansia sebagai kepala rumah tangga—masih cukup tinggi—adalah 89,42% lansia laki-laki dan 32% lansia perempuan. Bagaimana sebenarnya potensi mereka? Data statistik memperlihatkan beberapa hal penting. Usia Harapan Hidup penduduk Indonesia saat ini, menurut Kementerian Kesehatan, adalah rerata 71 tahun. Ini berarti keadaan kesehatan, kegiatan, dan kemandirian lansia terus membaik. Lansia terlantar ada sekitar 15%, rawan telantar 27%, dan tidak telantar sekitar 58%. Sehingga, yang potensial adalah kurang lebih 58%. Di antara yang tidak telantar terdapat werdhatama, akademisi, purnakaryawan BUMN/swasta, purnawirawan TNI/POLRI, dan komponen masyarakat lainnya. Kenyataannya, potensi ini tidak banyak didayagunakan untuk kepentingan masyarakat dan pembangunan. Potensi ini diharapkan akan terwadahi dalam kelembagaan masyarakat, sehingga dapat beraktivitas, berinovasi, dan kreatif untuk meningkatkan kesejahteraan lanjut usia. Komitmen Pemerintah Sesungguhnya, komitmen pemerintah dalam hal ini sudah cukup memadai. Regulasi khusus sudah diterbitkan, yakni UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia, kemudian Peraturan Pe-merintah (PP) Nomor 43 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Lansia; Keputusan Presiden (KEP-PRES) Nomor 52 Tahun 2004 tentang Komisi Nasional (KOMNAS) Lansia; Peraturan 46 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah Menteri Dalam Negeri (PERMENDAGRI) Nomor 60 Tahun 2008 tentang Pembentukan Komisi Daerah (KOMDA) Lansia dan Pemberdayaan Masyarakat dalam Penanganan Lansia di Daerah. Kita sudah memiliki juga RAN (Rencana Aksi Nasional) untuk Kesejahteraan Lansia tahun 2003 dan diperbaharui tahun 2008 oleh Kementerian Sosial dan unsurunsur lain yang terkait. Selain itu, ada UU Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial. Masih ada beberapa UU dan peraturan lainnya yang terkait dengan lansia, termasuk berbagai peraturan kementerian seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Perhubungan, Pariwisata, dan sebagainya. Identifikasi Masalah Namun, implementasi UU Nomor 13 Tahun 1998 dan UU serta peraturan lainnya masih terbatas. Sosialisasi berbagai ketentuan hukum tersebut, baik di kalangan pemerintah dan unsur masyarakat, masih belum optimal. Beberapa tim yang dikirim ke daerah-daerah menemukan bahwa UU Nomor 13 Tahun 1998 belum diketahui oleh kalangan luas. Bahkan, ada banyak aparat pemerintahan daerah tidak memahami berbagai UU maupun keputusan-keputusan pemerintah pusat mengenai lansia. Demikian pula halnya dengan Komisi Daerah Lansia yang belum sepenuhnya berfungsi efektif. Sekarang, sudah ada 31 Komisi Daerah Provinsi dan kurang lebih 100 Komisi Daerah Kabupaten/Kota yang terbentuk. Kita harapkan ke depan agar bisa berfungsi secara efektif. Koordinasi lintas sektoral dalam penanganan Lansia sesuai pedoman RAN belum optimal. Program penanganan lansia belum menjadi prioritas, dan pelibatan kalangan perguruan tinggi, LSM, swasta, dan lain sebagainya masih terbatas, serta masih berkembang stigma negatif tentang lansia. Upaya Pemerintah Di sini hanya akan disampaikan beberapa contoh. Misalnya, Kementerian Sosial melaksanakan program Pelayanan Sosial Panti/Non-Panti, Usaha Ekonomi Produktif (UEP), Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Day Care/ Home Care, ASLUT (JSLU), Pelembagaan Pelayanan Sosial, dan lain sebagainya. Kementerian Kesehatan dan PUSKESMAS Santun Lansia membina Posyandu Lansia, Program JAMKESMAS, Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM), Penyuluhan Informasi, dan lain-lain. Dalam hal ini, 47 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Kementerian Sosial dan Kementerian Kesehatan merupakan pemimpin terdepan (front leader) yang sudah cukup maju dalam penanganan lansia dan sudah terasa manfaatnya di masyarakat. Contoh lain adalah yang dilaksanakan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang melaksanakan program Bina Keluarga Lansia (BKL) di beberapa tempat dan sekarang dikembangkan terus, karena progrm ini merupakan bina keluarga lansia yang juga sangat menuntut terciptanya kesejahteraan dan kemandirian lansia dan peman-tapan fungsi keluarga untuk tiga generasi. Sementara itu, Kementerian Dalam Negeri (KEMENDAGRI) sudah membentuk KOMDA Lansia --sesuai dengan PERMENDAGRI Nomor 60 Tahun 2008-- selain melaksanakan program-program pemberdayaan masyarakat, pelayanan administrasi publik, termasuk Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU) yang sekarang mulai dibentuk. Kementerian Pekerjaan Umum mulai melaksanakan amanat UU Nomor 28 Tahun 2004 tentang Bangunan Gedung dan Aksesibilitas. Kementerian Perhubungan (KEMENHUB) melaksanakan program aksesibilitas penggunaan sarana dan prasarana serta reduksi transportasi umum untuk lansia. Meskipun demikian, tim surveyor dan tim pengkajian dari KOMNAS Lansia mendapatkan hasil bahwa aksesibilitas lansia terhadap sarana umum belum merata. Misalnya, dalam pelaksanaan aksesibilitas pada bangunan-bangunan dan gedung-gedung, aksesibilitasnya tidak dibangun. Bahkan, gedung KOMNAS Lansia sendiri yang bertingkat itu tidak ada tempat untuk pegangan tangan, dan lain sebagainya. Demikian pula pada beberapa lembaga pemerintah lainnya. Kalau kita baca Rencana Aksi Nasional (RAN), bahkan Kementerian Agama, Pariwisata, Transmigrasi, dan sebagainya, semuanya menyebut ada keterkaitan dengan penanganan lanjut usia. Namun, kalau kita buka programnya, masih banyak yang nihil dari tahun ke tahun. Upaya Berbasis Masyarakat Laporan Kementerian Sosial menyatakan ada 86 Panti Sosial Tresna Wredha (PSTW) yang dikelola masyarakat dari jumlah seluruhnya 157. Kemudian, terdapat 438 lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi sosial yang bergerak di bidang pelayanan lansia, 48 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah terdiri dari 357 LSM yang bergerak di kegiatan non-panti (home care/ day care, karang krida, karang lansia, yayasan, paguyuban, klub-klub lansia, dan lain-lain); dan 81 LSM di kegiatan panti. Semua prakarsa dan upaya swadaya masyarakat tersebut sangat baik, karena merupakan satu wadah bagi para lansia untuk melakukan interaksi sosial, sebagai wadah pembinaan kesehatan, pembinaan rohani, dan sebagainya. Selain itu, juga terdapat organisasi-organisasi seperti Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI), Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI), Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI), Lembaga Lansia Indonesia (LLI), Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA) yang sementara ini baru ada di ibukota Jakarta saja, dan lain-lain. Tugas Pokok KOMNAS Lansia KOMNAS Lansia adalah wadah koordinasi yang bersifat non struktural dan independen dalam melaksanakan tugasnya. Jadi sesungguhnya bukan organisasi kepemerintahan, ini adalah NGO (non-governmental organization). Tugas pokoknya adalah: pertama, membantu presiden dalam koordinasi pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia. Di daerah, dalam ini KOMDA Lansia, membantu gubernur, bupati, walikota melakukan koordinasi pelayanan dan peningkatan kesejahteraan warga lansia daerah yang bersangkutan. Tugas pokok kedua, memberikan saran dan pertimbangan kepada presiden, gubernur atau kepala daerah (bupati/walikota) dalam penyusunan kebijakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia. Upaya KOMNAS Lansia Secara garis besar, upaya-upaya yang sudah dilaksanakan oleh KOMNAS Lansia selama ini, antara lain, melaksanakan tugas pokok rutinnya, melakukan upaya koordinasi, melalui rapat-rapat koordinasi bulanan (paripurna), yang menghimpun informasi dari setiap anggota tentang masalah-masalah aktual untuk dibahas bersama dan kemudian disampaikan ke kementerian-kementerian terkait, termasuk koordinasi dalam penyusunan program kerja kementerian terkait. Semua kementerian tersebut sering mengundang KOMNAS Lansia dalam proses penyusunan program-program mereka agar lebih selaras satu sama lain. 49 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Kegiatan lainnya adalah koordinasi dan sosialisasi dengan unsur masyarakat, swasta, LSM, dan lain-lain, selain koordinasi dan sosialisasi ke KOMDA-KOMDA Lansia; koordinasi dan kerjasama dengan perguruan tinggi; koordinasi dan kerjasama dengan lembaga internasional. Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) KOMNAS Lansia dilaksanakan setiap menjelang akhir tahun kerja. KOMNAS Lansia juga aktif memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah. Dalam hal ini, KOMNAS Lansia sudah mengajukan saran untuk merevisi UU Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia agar lebih implementatif. Juga telah memberikan masukan untuk PP dari UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), antara lain, tentang jaminan sosial dan pensiun sosial lansia. Ini merupakan hasil lokakarya yang diadakan pada tahun 2007 lalu, sebagai tindak lanjut dari hasil pengkajian RAN 2009-2014. KOMNAS Lansia sudah melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (KEMENKOKESRA) bahwa RAN yang sudah diterbitkan itu tenyata masih banyak yang belum bisa diimplementasikan. Upaya lainnya adalah dalam hal pemberdayaan dan pendayagunaan Lansia potensial dalam dunia kerja dan pembangunan. Hal ini sudah disarankan kepada pemerintah. KOMNAS Lansia juga sudah mengajukan saran kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (MENDIKBUD) tentang pengembangan kurikulum gerontologi sebagai mata ajar multidisiplin. Hal ini dimaksudkan agar lebih banyak yang berminat dan mengetahui ilmu kelanjutusiaan dan kemudian menyebarluaskannya. Potensi perguruan tinggi kita dalam hal ini ternyata sangat besar, hanya belum dikerahkan secara optimal, termasuk mendorong dibentuknya wadah penggiat lansia di lingkungan perguruan tinggi. Misalnya, di Institut Pertanian Bogor (IPB) ada Silver College yang mengkhususkan diri pada isu-isu lansia. Untuk itu, KOMNAS Lansia sudah merencanakan mengirim tim ke 10 provinsi --sampai sekarang baru dilaksanakn ke 5 provinsi-- untuk menyadarkan bahwa sebenarnya perguruan tinggi punya potensi untuk memberdayakan mantanmantan tenaga akademisi --yang pra maupun yang sudah pensiun-yang bisa dimanfaatkan baik oleh kampus sendiri maupun untuk masyarakat sekitar kampus. Selain itu, para mahasiswa dapat dibekali wawasan dan pengetahuan masalah-masalah gerontologi, kesehatan 50 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah lansia, dan sebagainya. Banyak sekali ternyata yang bisa digali dari potensi perguruan tinggi ini. Perkembangannya cukup bagus, menurut laporan terakhir yang sudah dipresentasikan di rapat paripurna KOMNAS Lansia, tanggapan dari lima perguruan tinggi di luar Jawa ternyata sangat positif. Mereka langsung merintisnya. Di Yogyakarta sudah mulai dirintis semacam SIlver College seperti yang di IPB, sementara di Semarang juga sedang dirintis suatu wadah penggiat lansia di perguruan tinggi. Langkah ke Depan Salah satu pusat perhatian utama KOMNAS Lansia ke depan adalah meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat serta mendorong pengarusutamaan (mainstreaming) penanganan lansia dalam pembangunan. Untuk tujuan tersebut, penguatan KOMNAS Lansia dan KOMDA-KOMDA Lansia di daerah-daerah merupakan langkah strategis yang harus dilakukan. Proses-proses penguatan yang dapat dilakukan adalah melalui kegiatan-kegiatan penataran, sosialisasi, dan sebagainya. Selain itu, perlu berpartisipasi aktif dalam peningkatan implementasi kebijakan serta percepatan terwujudnya semua komitmen pemerintah dalam penanganan lansia yang selama ini sudah dituangkan dalam beberapa UU dan peraturan lainnya. Menghadapi Tantangan Revolusi Demografis Sebagai catatan akhir, dalam rangka menghadapi tantangan Revolusi Demografi yang semakin nyata, perlu pendekatan baru agar seluruh unsur dan lapisan masyarakat memiliki perspektif yang lebih memadai dan lebih tepat dalam hubungan-hubungan sosial antar-generasi. Selain itu, diperlukan dukungan atau komitmen politik yang kuat dari pemerintah dan pengarusutamaan isu-isu lansia dalam program-program pembangunan. Semua itu perlu ditunjang oleh data dan dasar ilmu pengetahuan dan teknologi yang mendalam. Dalam hal ini harus diakui bahwa kita masih sangat lemah dalam sistem pangkalan data. Harus diakui hampir tidak ada data yang akurat. Data yang ada selalu berubah-berubah, sehingga kita kadang-kadang sulit untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk untuk memastikan keterpaduan isu-isu penuaan penduduk secara lebih efektif dalam proses-proses pembangunan, yakni memastikan setiap 51 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA orang dapat menjadi tua secara bermartabat dan sejahtera, serta menikmati hidup dengan kesadaran hak asasi dan kebebasan dasarnya. v 52 BAGIAN KEDUA: Pengalaman Pemerintah DISKUSI TRI BUDI W.RAHARDJO (Moderator): K arena soal waktu, saya diingatkan oleh panitia untuk tidak membuka forum diskusi. Karena itu, saya simpulkan saja dari keempat pembicara. Mulai dari GKR Hemas sampai dengan Bapak Toni Hartono sebagai Ketua KOMNAS Lansia, sepakat bahwa lansia dan pembangunan itu mutlak sesuai perkembangan lanjut usia, dan semua itu didukung oleh Undang-undang maupun Peraturan Pemerintah. Berbicara tentang lansia, ada yang masih potensial yang bisa diberdayakan, tetapi juga ada yang rentan yang harus ditolong. Untuk itu, fasilitas pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, juga prasarana, sifatnya mutlak. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri, tidak mungkin semua dilakukan oleh pemerintah, seperti tadi disampaikan wakil dari Kementerian Sosial bahwa dari sekitar 2.800.000 lansia yang miskin ternyata yang mampu dijangkau oleh program pemerintah sekitar 80.000 saja. Artinya, peran masyarakat menjadi sangat penting. Mengenai cash transfer yang diprihatinkan oleh Kementerian Sosial, ternyata sudah dijawab sangat bagus oleh Pak Maliki dari BAPPENAS dengan analisisnya. Cash transfer tidak selalu negatif, kalau dimanfaatkan secara produktif untuk generasi muda. Itulah yang harus kita sepakati. Jadi tidak perlu khawatir. Memang harus dipersiapkan juga sejak awal bahwa lansia sebaiknya mempunyai aset yang tentunya harus dipersiapkan sejak dini, sehingga pada suatu saat bisa dimanfaatkan. Akhirnya, Bapak Toni Hartono dari KOMNAS Lansia secara jelas sekali memaparkan bahwa tugas KOMNAS Lansia adalah mengkordinir semua upaya bersama berbagai pihak. Beliau mengingatkan bahwa kalau kita bekerja sama maka upaya kita semua pada satu saat nanti akhirnya akan terealisir. v 53 BAGIAN KETIGA PENGALAMAN MASYARAKAT NARASUMBER: n Prof. Dr. Haryono Suyono n Sabrin O. Ladongi, S.Ag, MM Yayasan Damandiri, Jakarta Yayasan Al-Kautsar, Palu n Faharina Lathu Asmarani, S.Kep, MSN Universitas Respati, Yogyakarta n Ruliyandari Rudiyanto, SE, MKes Budi Mulia Dua Foundation, Yogyakarta MODERATOR: Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA Yayasan Emong Lansia, Jakarta Pemberdayaan Menyongsong Peran Lansia dalam Pembangunan Haryono Suyono Yayasan Damandiri, Jakarta S etelah didesak oleh organisasi-organisasi lansia yang melakukan gerakan baru, yakni mengubah citra --bukan lagi gerakan ‘peduli lansia’ tetapi gerakan ‘lansia peduli’-- maka pada tanggal 1 Desember 2011, Wakil Presiden Republik Indonesia mendeklarasikan lansia peduli harmonisasi dan pemberdayaan tiga generasi. Deklarasi ini penting disebarluaskan dan diketahui oleh masyarakat luas karena beberapa alasan. Warga lansia di Indonesia sekarang sudah melebihi 23-24 juta jiwa. Dibandingkan dengan tahun 1970, warga lansia Indonesia kini bertambah sepuluh kali lipat, padahal jumlah keseluruhan penduduk bertambah hanya dua kali lipat pada masa yang sama. Dengan kata lain, pertambahan jumlah penduduk lansia bertambah lima kali lebih cepat dari pertumbuhan penduduk Indonesia secara keseluruhan. Masalah Fakta terjadinya ledakan penduduk lansia, pertumbuhan penduduk yang cepat, dan berubahnya struktur penduduk Indonesia, masih kurang disadari oleh masyarakat luas. Kadang-kadang presiden sekalipun tidak sadar keadaannya sudah berubah. Banyak menteri tidak 56 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat tahu keadannya memang sudah berubah. Mereka masih berpikir seperti ta-hun 1970-1980, padahal penduduk kita strukturnya sudah berubah. Pada tahun 1970, penduduk di bawah 15 tahun hampir sama dengan penduduk usia 15-60 tahun, sementara penduduk usia di atas 60 tahun hanya 2 juta jiwa. Sekarang, penduduk di bawah 15 tahun sekitar 60 juta, 15-61 tahun sudah 170 juta, sedangkan di atas 60 tahun sudah lebih 20 juta. Jadi, sama sekali berubah, tetapi tidak disadari. Masalah ini semakin penting disadari oleh semua pihak, karena dalam kenyataannya sampai sekarang tidak cukup persiapan bagi sebagian besar penduduk untuk menjadi lansia, sementara belum terdapat jaringan kerja yang efektif untuk pemberdayaan lansia. Jaringan semacam itu baru ada dalam gagasan. Yayasan Damandiri, misalnya, baru menggagas dan segera akan merintis pembangunan 33 wadah kepedulian isu-isu lansia semacam itu di lingkungan Silver College. Kesadaran akan pentingnya jaringan tersebut juga belum terbentuk. Kurang dukungan, karena Kementerian Kesehatan saja yang mempunyai perangkat organisasi lengkap, ternyata baru mampu menangani 100.000 dari 2 juta jiwa lansia yang ada saat ini. Artinya, jumlah lansia yang belum tertangani masih jauh lebih banyak. Masalah lainnya adalah kurangnya dukungan budaya, tidak adanya fokus upaya pemberdayaan, serta perhatian yang masih sangat terbatas kepada pertolongan warga lansia yang tidak berdaya. Tiga Golongan Lansia Di Indonesia saat ini sebenarnya ada tiga golongan lansia. Golongan pertama adalah yang siap untuk tetap bekerja pada usia lanjut. Golongan kedua adalah yang masih perlu disiapkan. Golongan ketiga --sekitar 1015% dari seluruh penduduk lansia-- adalah yang perlu bantuan khusus. Dengan demikian, penduduk lansia Indonesia yang jumlahnya lebih 20 juta itu, sekitar 85% sebenarnya sama saja dengan penduduk biasa Karena itu, diperlukan suatu strategi pemberdayaan penduduk lansia yang jumlahnya semakin membesar dan sebagian besarnya memang masih potensial. Kementerian Sosial seharusnya tidak lagi hanya mengurusi penduduk lansia dengan paradigma lama --yakni mengurusi ‘sisa-sisa pembangunan’-- tetapi bagaimana menjadikan warga lansia itu menjadi satu kekuatan baru dalam pembangunan. 57 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Strategi Pemberdayaan n Persiapan (usia 50 tahun) Penanganan penduduk lansia memang harus dilakukan sejak dini, yang terbaik adalah pada saat usia 50 tahun. Karena, usia inilah sebenarnya masa puncak produktivitas seseorang, tetapi masa puncak pada tahap akhir, artinya tidak akan lama lagi akan memasuki masa mulai menurunnya tingkat produktivitas mereka. Sebagai contoh, para pejabat pemerintah dan pegawai negeri yang berusia 50 tahun adalah mereka yang menduduki posisi-posisi puncak saat ini, mulai dari menteri dan direktur jenderal sampai ke tingkat kepala biro atau kepala badan. Tetapi, sepuluh tahun lagi mereka semua akan pensiun. Biasanya, pada masa-masa puncak itu, kuasa mereka luar biasa. Padahal, dengan satu surat keputusan saja, pada umur 56 atau 60, mereka dipensiunkan dan kekuasaannya habis sama sekali. Biasanya, pada masa-masa puncak kekuasaan seperti itu, orang sering lupa diri bahwa mereka sebenarnya sudah berada di ujung masa kejayaannya, hanya persoalan waktu saja. Mereka itulah yang perlu disiapkan sejak dini, misalnya, perlu diajak masuk ke Silver College. Untuk itu, perlu dibangun Silver College sebanyak-banyaknya sampai ke tingkat kecamatan. Bahkan, pada tingkat desa, perlu dibangun apa yang dinamakan sebagai Pos Gerintologi (POSGERI). Di Silver College atau POSGERI itulah para lansia dini akan mengikuti pelatihan-pelatihan khusus mempersiapkan diri mereka menghadapi masa pensiun, masa lansia yang sesungguhnya, perlu bergabung dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan agar tetap mengenal dan berbaur dengan masyarakat di luar lingkungan atau tempat kerjanya. n Pra-Lansia (usia 50-60 tahun) Usia 50-60 tahun itu adalah usia pra-lansia. Di usia tersebut, diharapkan para calon lansia mulai masuk ke Silver College dan organisasi-organisasi sosial. Oleh karena itu, organisasi-organisasi sosial dianjurkan untuk menarik para pimpinan lembaga pemerintah atau swasta, karena mereka memang akan segera menjadi lansia. Maksudnya adalah agar mereka nanti tidak disangka begitu pensiun ingin posisi ketua organisasinya. Jadi, tidak mendadak. Pada saat masih menjabat sebagai pimpinan lembaga resmi atau perusahaan, mereka 58 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat mudah mendapatkan bantuan dan dukungan. Tetapi, setelah itu, tidak mudah lagi. Dengan kata lain, memasuki usia lansia baru adalah belajar memasuki masa bakti kedua. Wadah masa bakti kedua ini, yakni organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan, sangat berbeda dengan lembaga-lembaga resmi atau perusahaan di mana mereka sebelumnya berkuasa. Karena itu, agar tidak mengalami kejutan, sebaiknya mereka sudah mulai aktif dalam organisasi sosial kemasyarakatan justru sebelum pensiun, misalnya, ikut mendirikan dan membina Pos Pemberdayaan Keluarga (POSDAYA) di lingkungan tempat tinggalnya. Salah satu fakta yang banyak ditemui selama ini adalah banyak kaum pensiunan biasanya agak kikuk masuk ke dalam organisasi sosial justru setelah mereka pensiun. Ini adalah isu kultural yang umum dijumpai di mana-mana. Untuk mengatasinya, para lansia awal itu sudah mulai harus membiasakan diri sejak awal pula. Masuk bergabung lebih awal ke dalam berbagai kegiatan atau organisasi sosial kemasyarakatan adalah pelatihan terbaik bagi mereka untuk membiasakan atau menyesuaikan diri, sehingga ketika benar-benar bergabung di dalamnya pada masa pensiun nanti, mereka sudah terbiasa dan tidak kikuk lagi. n Lansia Muda (usia 60-70 tahun) Agak sedikit berbeda dengan definisi WHO, usia 60-70 tahun saya anggap sebagai lansia muda, bukan lansia dewasa. Lansia dewasa adalah usia 70-80 tahun. Di bawah 70 tahun adalah lansia muda. Para lansia muda ini harus sudah benar-benar bergabung dan aktif dalam organisasiorganisasi dan kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan sampai pada tingkat desa. Karena itu, pada tahun 2013, semestinya sudah terbentuk POSGERI di ribuan desa di seluruh Indonesia, sedangkan Silver College sudah terbentuk di semua provinsi dan kabupaten/kota. Sekarang, sudah ada Silver College terbentuk di Tasikmalaya, Jawa Barat, sebagai percobaan. Agar mampu aktif dan efektif dalam organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan yang dimasukinya, para lansia muda ini memerlukan berbagai pelatihan khusus, termasuk pelatihan kewirausahaan, pelatihan magang, pelatihan ekonomi, dan kredit. Bagian lain dari program untuk lansia muda adalah mendukung keluarga berencana melalui pendewasaan usia kawin, pengaturan kelahiran, pem- 59 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA binaan ketahanan keluarga, dan peningkatan kesejahteraan keluarga. Mereka pontensial untuk mensosialisasikan masalah-masalah tersebut kepada warga yang lebih muda, karena umumnya mereka memang pernah mengalaminya. Para lansia muda itu juga perlu memerhatikan gizi. Mereka perlu dilatih untuk mengatur menu makanan mereka dengan baik, misalnya, sesedikit mungkin mengonsumsi gajih, minyak, gula, dan garam. Mereka perlu dianjurkan mengonsumsi daging dan penggantinya 1-2 kali seminggu saja, tetapi makan lebih banyak sayur dan buah sampai 2-3 kali sehari. Dengan demikian, lansia muda itu memiliki kebiasaan makan sehat yang dapat mendorong mereka menganjurkan pengembangkan apa yang dinamakan ‘kebun bergizi’ di halaman rumah, terutama kaum lansia di kawasan pedesaan. Menanam tanaman bergizi di pekarangan rumah sekaligus juga memberi kegiatan baru yang bermanfaat langsung bagi diri mereka sendiri dan keluarganya. Ini adalah jenis kegiatan yang perlu diprogramkan secara besar-besaran, sehingga para lansia muda dapat menjadi pemimpin masyarakat sekitarnya mengembangkan pos-pos pemberdayaan keluarga. n Lansia Dewasa (usia 70-80 tahun) Para lansia dewasa ini umumnya adalah mereka yang biasanya sudah hidup terpisah dengan anak-anaknya. Anak-anak mereka biasanya sudah mapan dan tinggal di rumah terpisah dengan keluarga mereka sendiri. Lembaga-lembaga pemerintah, seperti dinas sosial setempat, dan organisasi-organisasi sosial dapat mengajak mereka memberikan sumbangsih aktif dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Misalnya, mereka bisa diminta kesediaannya agar pertemuan-pertemuan kemasyarakatan dapat dilakukan di rumah-rumah mereka yang sudah sepi atau kosong. Mereka juga dapat diminta mendampingi generasi muda dalam berbagai kegiatan, misalnya sebagai pembina atau penasihat. Kekayaan pengalaman kerja dan pengalaman hidup mereka selama ini bisa sangat membantu generasi muda menghadapi persoalanpersoalan yang rumit karena masih kurangnya pengalaman. Perluasan Kegiatan Progam-program atau kegiatan-kegiatan untuk para lansia juga perlu diperluas. Misalnya, para mahasiswa yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) dapat diarahkan untuk menginap di rumah-rumah 60 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat penduduk lansia di pedesaan di mana mereka melakukan KKN. Menjadi tuan rumah bagi para mahasiswa KKN dapat mendorong para warga lansia tersebut menjadi lebih aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang dilakukan oleh para mahasiswa, bahkan menjadi tempat untuk latihan care giver pada tingkat masyarakat. Rumah orang-orang tua itu jangan dibiarkan kosong melompong, lalu dipakai hanya sebagai gudang oleh anak-anaknya yang sudah punya rumah sendiri. Rumahrumah mereka justru bisa menjadi pusat-pusat kegiatan masyarakat. Program-program Kementerian Sosial dapat lebih kreatif dikembangkan bukan hanya sebagai bantuan karitatif murni. Misalnya, dana bantuan kepada para lansia dapat diarahkan sebagai ‘dana pancingan’ untuk mengerahkan dana swadaya masyarakat lokal. Dengan cara demikian, bukan hanya 80.000 warga lansia yang dapat dilayani, tetapi 8 juta jiwa, karena yang menderita ada lebih dari 8 juta dari 24 juta jiwa penduduk lansia. Program-program khusus untuk para lansia usia 70-80 dapat dikembangkan pada kegiatan-kegiatan silaturahim dengan warga masyarakat lain, misalnya dengan mengunjungi pos-pos pemberdayaan keluarga di desadesa. Secara berkelompok, 5 atau 6 orang, mereka mengunjungi satu atau beberapa desa berdekatan. Warga desa yang dikunjungi pasti akan merasa senang dikunjungi --apalagi jika para lansia yang berkunjung itu adalah para mantan pejabat yang mereka kenal-- sementara para lansia itu sendiri juga akan senang dapat bersosialisasi kembali dengan warga. Akan terjadi saling sambung rasa, kali ini dalam kedudukan yang sama sebagai sesama warga biasa, sehingga menjadi lebih manusiawi dan wajar. Bagi para lansia itu sendiri, ini akan menyegarkan suasana hidup mereka sendiri. Aksi Nyata Pengalaman kerja dan pengalaman hidup yang kaya dari para lansia itu juga dapat disalurkan ke berbagai bentuk kegiatan atau tindakan nyata pemberdayaan masyarakat, Mereka, misalnya, dapat membantu mengembangkan pola-pola bantuan yang selama ini bersifat charity approach ke arah bentuk-bentuk atau pola bantuan yang akan lebih mendorong warga masyarakat menjadi workforce society atau workfare community. Bentuk atau pola-pola semacam inilah yang sedang berkembang di negara-negara maju, karena pendekatan social state berubah 61 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA menjadi human rights approach di berbagai negara. Para lansia itu sendiri bisa saling bertukar pengalaman dan keahlian mereka untuk digabungkan menjadi satu tim yang mumpuni untuk membantu pemberdayaan masyarakat. Mereka yang pendidikannya tinggi bisa diperbantukan sebagai konsultan senior. Pengalaman profesional mereka akan sangat berguna. Sebagai contoh, di Jepang, dibentuk kelompok-kelompok lansia yang memelihara taman-taman kota. Pada waktu saya berkunjung ke beberapa kota di Jepang, saya menyangka mereka itu pegawai pemerintah daerah. Mula-mula saya merasa pemerintah tidak sopan karena orang-orang tua masih dipekerjakan. Tetapi, pada waktu saya ajak omong-omong ternyata itu adalah lansia yang mempunyai kelompok-kelompok relawan untuk merawat taman-taman umum. Rumahnya tidak punya taman sehingga oleh pemerintah kota mereka itu diberi bagian-bagian tertentu menjadi tamannya. Saya tanyakan kenapa pakai baju seragam, kata mereka supaya kelihatan keren seakan-akan masih bekerja. Jadi, sebenarnya lansia itu bisa sangat bermanfaat tetapi juga bisa sangat menikmati apa yang ada pada diri mereka. Selanjutnya, Kementerian Sosial dan BAPPENAS perlu mengadakan inventarisasi lansia-lansia profesional untuk dikembangkan menjadi dosen pada berbagai perguruan tinggi sebagai dosen tamu dan dengan sendirinya akan bermanfaat pada mereka yang menerima ilmunya. n Lansia Paripurna (di atas 80 tahun) Lansia paripurna tidak perlu bekerja. Mereka hanya perlu diberi kegiatan-kegiatan yang bersifat menyegarkan raga dan jiwa mereka saja, yang bersifat menghibur mereka. Misalnya, mereka diajari bagaimana mengantar dan menemani cucunya ke PAUD di mana mereka bisa ikut bernyanyi dengan cucu dan para guru PAUD. Lansia yang bisa bersenang-senang dan tertawa bisa bertambah awet usianya sampai 10 tahun, sedangkan lansia yang sedih dan ditempatkan di tempattempat panti asuhan setiap tahun umurnya berkurang 6 tahun. Selama di PAUD itu, mereka pun bisa berbincang-bincang dengan para guru PAUD --manusia yang paling baik di seluruh dunia, karena tidak pernah menyalahkan murid-muridnya. Dengan cara tersebut, tiga generasi bertemu sekaligus. Kepedulian terhadap tiga generasi bisa diciptakan tanpa ‘pidato’ tetapi dengan langkah nyata. 62 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat Para lansia paripurna juga dapat diminta membagi pengalaman dan pengetahuan --juga kearifan-- mereka untuk mengajarkan kepada orangorang muda tentang kesehatan reproduksi, misalnya tentang disfungsi seksual yang sering merupakan hal yang pelik dan sangat peka untuk dijelaskan tanpa kematangan pengalam dan kearifan. Ini akan menjadi sumbangsih terbaik dari para lansia paripurna bagi gerakan-gerakan mengatasi HIV/AIDS, misalnya. Khusus untuk lansia dari golongan masyarakat yang tidak mampu, kita perlu memberikan apresiasi pada apa yang mereka kerjakan untuk keluarga mereka. Saya pernah mengunjungi seorang ibu lansia paripurna ini di satu desa di Indramayu. Dia menjaga warung kecilnya yang dimodali pendiriannya oleh anaknya. Dia mengaku hasil jualan warungnya sehari rata-rata Rp 300.000 saja, tetapi ada keuntungan sekitar Rp 30.000. Dia menabung keuntungannya itu, karena kebutuhan hidupnya sendiri memang tidak banyak. Dia sangat menikmati pekerjaannya, karena hanya perlu duduk di warung saja melayani pembeli datang, cukup dengan senyum-senyum dan sesekali bercanda dengan para pembelinya. Itu memberinya hiburan segar. Tetapi, yang mengagumkan, adalah bahwa tabungannya yang tidak seberapa itu setiap bulan ia kirimkan ke cucunya yang sedang kuliah S2 di ITB. Anaknya, orangtua cucunya itu tak pernah mengetahuinya, dan dia sangat senang dan bangga bisa mengirimi uang cucunya, walaupun mungkin itu tidak seberapa jumlahnya. Saya benarbenar terkesan dan saya rangkul-rangkul ibu tua itu sebagai pernyataan hormat dan penghargaan saya kepadanya. Bayangkan, ibu tua itu benarbenar memiliki martabat lebih baik jika dibandingkan dia harus menjadi penghuni panti. Itu adalah satu contoh dimana para lansia di desa sebenarnya tidak perlu bantuan dari Kementerian Sosial, tetapi dibantu oleh keluarganya sendiri. Ini mengilhami satu pengertian baru bahwa ‘tidak mampu’ tidak selalu berarti harus disentuh dengan bantuan, tidak usah dengan ‘seminar’, tetapi dengan langkah nyata. Pemeliharaan & Dukungan Kesehatan Namun, jangan lupa, bahwa para lansia pada golongan usia berapapun tetap membutuhkan olahraga untuk menjaga kebugaran mereka. Harus bisa diadakan kegiatan-kegiatan olahraga yang sesuai dengan mereka. Untuk menyemangati, mereka bisa saja diberi seragam, sehingga mereka 63 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA merasa kegiatan olahraga bersama itu memang serius, bukan mainmain. Ukuran keberhasilan program lansia adalah bukan mewahnya program tetapi ‘partisipasi’. Di situlah rahasia dari partisipasi yang menjadi ukuran. Dukungan kesehatan bukan hanya untuk lansianya, tetapi untuk lingkungan yang sangat kondusif. Contoh sederhana saja, membangun undakan di jalan-jalan kampung jangan terlalu tinggi, jalan jangan bergeronjal-geronjal tetapi landai. Kampung kita harus kampung yang akrab terhadap lansia. Akrab terhadap lansia karena lingkungannya kita pelihara dengan baik, karena setiap lansia masa depannya adalah teramat panjang. Masa lansia pada tahun 1970 hanya kurang dari 10 tahun, sekarang sudah lebih dari 25 tahun. Jadi, masa lansia sekarang sudah hampir sama dengan masa produktif seseorang, yakni selama 30-35 tahun. Inilah masalah lansia yang perlu segera kita tanggapi dengan aksi-aksi nyata, tidak perlu terlalu banyak seminar untuk membahasnya. Fakta dan masalahnya sudah berada di depan kita sekarang. v 64 Peran Generasi Muda dalam Pembinaan Lansia Sabrin O. Ladongi Yayasan Al-Kautsar, Palu K arena menjadi lansia merupakan suatu keniscayaan, sekelompok anak muda di Kota Palu, Sulawesi Tengah, berprakarsa mendirikan suatu organisasi yang bertujuan memberikan pelayanan terhadap warga lansia yang jumlahnya terus bertambah. Maka, berdirilah Yayasan AlKautsar pada tanggal 1 Januari 2003. Yayasan seluruhnya dikelola oleh orang muda, tetapi sasaran pelayanannya adalah lintas generasi. Selain lansia, yayasan juga membina panti anak-anak. Sampai sekarang, tercatat 1.043 lansia berada dalam jangkauan pelayanan aktif kami. Program-program yang telah dilaksanakan oleh Yayasan Al-Kautsar cukup beragam. Pertama, olahraga relaksasi dalam bentuk kegiatan senam bersama. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari minggu. 65 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Kedua, penyuluhan pola hidup sehat lansia, dilaksanakan setiap awal bulan, diawali dengan senam, kemudian penyuluhan dari petugas Dinas Kesehatan yang memahami dan mempunyai disiplin ilmu tentang lansia. Ketiga, siraman rohani, dilaksanakan setiap tanggal 3 setiap bulan. Tujuannya adalah untuk memperdekat diri kepada Sang Pencipta. Para penceramahnya adalah guru-guru agama atau ustadz yang juga memahami tentang kebutuhan lansia. Keempat, pemeriksaan kesehatan, setiap minggu keempat setiap bulan. Dalam hal ini, Yayasan Al-Kautsar bekerjasama dengan PUSKESMAS Mabelopura, Palu. Kelima, menyanyi bersama, setiap hari minggu, setelah senam bersama. Kami memang sudah menyiapkan sarana ruang karaoke dan alat-alat musik lainnya. Keenam, konsultasi dan fasilitasi. Setiap manusia tidak lepas dari khilaf dan salah. Dalam kebersamaan dengan keluarga, lansia sangat sensitif dengan ketersinggungan, sehingga Yayasan Al-Kautsar turut membantu dan memfasilitasi apabila ada lansia yang butuh konseling demi ketenteraman hidupnya. Program ini sudah berjalan dua tahun. Ketujuh, pemberdayaan usaha ekonomi produktif. Umur yang senja bukan berarti lansia hanya jaga cucu dan jaga rumah. Untuk itu, Yayasan Al-Kautsar memfasilitasi mereka untuk mendapatkan bantuan kepada lansia yang masih mampu menjalankan usaha tertentu, umumnya skala kecil. Kedelapan, arisan kedukaan. Kegiatan ini dilaksanakan setiap hari minggu. Tujuannya adalah mengumpulkan dana untuk kebutuhan pemakaman bagi lansia yang meninggal dunia, karena lansia yang kami layani itu sekitar 80% berasal dari keluarga berpendapatan rendah. Awalnya, kami mendapat kritik sangat banyak dari masyarakat. Tetapi, setelah berjalan, akhirnya mereka memahami dan menerimanya. Sampai saat ini tidak ada masalah lagi apabila ada lansia meninggal. Kesembilan, pertemuan dan diskusi. Dalam penyusunan program, pihak Yayasan Al-Kautsar melibatkan para lansia untuk membahas program kegiatan sesuai kebutuhan mereka. Semua gagasan dan rencana program selalu kami diskusikan dahulu dengan mereka. Jika mereka sepakat, kami laksanakan. Jika tidak, kami tunda atau batalkan. 66 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat Kesepuluh, tadabbur alam. Tujuan utamanya adalah para lansia menikmati alam sekitar sambil memahami kebesaran Sang Penciptanya. Ini dilaksanakan setiap malam tanggal 29 Mei dalam rangka Hari Lansia Nasional dan setiap malam tahun baru. Kita ingin bukan hanya orang-orang muda yang menikmati kemeriahan tahun baru, tapi juga para lansia dengan caranya sendiri. Kesebelas, pelestarian seni dan budaya, khususnya seni dan budaya daerah Sulawesi Tengah. Kegiatan ini dilakukan sebulan dua kali, minggu pertama dan minggu keempat. Keduabelas, kegiatan cinta budaya dan cinta tanah air. Kegiatan ini dilakukan setahun sekali di museum. Ada beberapa orang lansia yang tinggal di dekat museum, tetapi belum pernah masuk museum. Biasanya, setiap tahun kegiatan ini dihadiri oleh Gubernur Sulawesi Tengah dan para orang tua kami. Direktur Center for Ageing Studies (CAS) UI, Profesor Tri Budi W. Rahardjo, yang selama ini telah banyak membina Yayasan Al-Kautsar, juga pernah menghadirinya. Ketigabelas, rekreasi ke tempat wisata. Ini juga dilaksanakan setiap tanggal 29 Mei dalam rangka memperingati Hari Lansia Nasional. Lansia yang ikut bisa sampai 1.000 orang dan tempatnya kami sesuaikan dengan kebutuhan mereka. Keempatbelas, berbagai kegiatan lomba lintas generasi, seperti lomba penghijauan, pemberdayaan UEP, dan seni budaya. Dilaksanakan setiap tahun dalam rangka memeriahkan hari ulang tahun Yayasan Al Kautsar. Kegiatan ini sekaligus sebagai ajang reuni para lansia. Tahun ini, peserta yang mendaftar sudah 2.000-an lansia untuk mengikuti berbagai lomba. Mereka berasal dari hampir semua daerah di Sulawesi Tengah. Kendala dan Harapan Kendala yang masih kami hadapi adalah penerapan Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia belum berjalan dengan baik. Masih banyak lembaga pemerintah yang belum memahami dan melaksanakan amanat undang-undang tersebut. Contoh kasus, Dinas Pariwisata belum pernah memberikan diskon kepada kegiatan rekreasi lansia yang kami selenggarakan. Demikian juga Dinas Perhubungan ketika kami meminjam mobil mereka untuk angkutan para lansia. Harapan kami adalah perlunya peningkatan sosialisasi lintas sektor 67 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA dan pengambil kebijakan sampai ke tingkat kepala desa dan kepala kelurahan tentang UU 13/1998. Kami sangat berharap KOMNAS dan KOMDA Lansia berperan aktif dalam hal ini. v 68 Pelayanan Masyarakat Lanjut Usia oleh Perguruan Tinggi Fajarina Lathu Asmarani Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Respati, Yogyakarta F akultas Ilmu Kesehatan, khususnya Jurusan Ilmu Keperawatan, Universitas Respati, Yogyakarta, selama ini telah melakukan program pelayanan masyarakat (community service) khusus untuk warga lanjut usia. Program pelayanan ini bermula dari kesadaran bahwa kami memiliki kompetensi khusus di bidang keperawatan lanjut usia (gerontic nursing) yang dalam praktiknya dilakukan bersamaan dengan keperawatan masyarakat dan keluarga (community and family nursing). Proses pelayanan keperawatan lanjut usia yang dilaksanakan dimulai dari penelusuran permasalahan dan kebutuhan keperawatan (nursing assessment) di kalangan warga lanjut usia yang akan dilayani. Hasil penelusuran tersebut kemudian dikaji (nursing diagnosis) untuk menyusun rencana-rencana pelayanan (nursing care plans) yang akan dilaksanakan. Tahap berikutnya adalah pelaksanaan rencana-rencana tersebut (nursing implementations) untuk kemudian dievaluasi (nursing evaluation) apakah pelayanan keperawatan yang diberikan itu benar-benar berhasil memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan warga lansia yang dilayani, ataukah butuh penelusuran dan pengkajian ulang (reassessment). 69 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Dengan kata lain, proses pelayanan keperawatan adalah suatu da-ur kegiatan yang terus-menerus. Selama tiga tahun, kami sudah melaksanakan daur proses pelayanan tersebut pada tiga desa di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, yakni desa-desa Patuk, Salam, dan Beji. Karena beberapa keterbatasan, kami masih membatasi diri pada tiga desa tersebut sebagai wilayah rintisan, tetapi dengan rencana seluruh desa dalam wilayah Kecamatan Patuk akan terjangkau oleh program pelayanan kami di masa depan sebagai wilayah binaan tetap Universitas Respati. Pelayanan Keperawatan Perseorangan Sasaran utama program kami adalah kelompok gerontic atau satu kelompok lansia. Sebagai sasaran perseorangan, kami melakukan pelayanan rawat rumah (home care service) kepada setiap lansia yang membutuhkan. Kami datangi rumahnya untuk menemukan permasalahan dan melayani kebutuhannya yang khas sebagai seorang lansia. Tidak hanya dosen atau staf pengajar yang terlibat, tetapi juga mahasiswa. Karena disiplin ilmu kami adalah ilmu keperawatan, maka metodologi yang kami gunakan adalah pendekatan keperawatan (nursing approach) terhadap permasalahan kesehatan orang lanjut usia (gerontological nursing). Pelayanan Keperawatan Keluarga Meskipun sasaran utamanya adalah warga lanjut usia, namun program kami juga mencakup pelayanan keperawatan kepada keluarga yang ada anggotanya lansia (family home care functions). Dalam hal ini, kami memusatkan pelayanan pada lima fungsi perawatan keluarga. Pertama, keluarga harus tahu tentang masalah kesehatan (family is able to know the health problem), dalam hal ini adalah terutama masalah-masalah kesehatan lansia. Untuk itu, kami memberikan pelatihan-pelatihan pendidikan kesehatan kepada semua anggota keluarga. Kedua, keluarga mampu membuat keputusan yang tepat terhadap masalah-masalah kesehatan (family is able to make decisions that appropriate with health measures). Jika tahu masalah kesehatan yang dihadapi, keluarga tahu apa dan bagaimana tindakan pemecahannya. 70 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat Misalnya, apakah perlu ke sarana pelayanan kesehatan yang ada ataukah cukup dirawat sendiri di rumah? Ketiga, keluarga harus tahu cara merawat kesehatan anggotanya (family is able to care family members). Jika memutuskan untuk merawat sendiri di rumah, mereka harus tahu cara melakukan perawatan yang diperlukan, misalnya, apakah akan menggunakan reramuan herbal atau lebih pada mengendalikan gizi atau menu makanan anggota keluarga (lansia) yang sakit? Keempat, keluarga tahu menjaga atau menciptakan suasana lingkungan yang sehat (family is able to maintain or create healthy home atmosphere). Semua anggota keluarga yang lain harus mengetahui cara menciptakan dan menjaga suasana yang menunjang pemulihan kesehatan warga lansia mereka. Kelima, keluarga mampu menjaga hubungan dengan sarana pelayanan kesehatan masyarakat (family is able to to maintain relations with public health facilities). Mereka harus mengetahui sarana pelayanan kesehatan apa saja (PUSKESMAS Lansia, dan sebagainya) yang tersedia di wilayah tempat tinggal mereka, tahu cara mencapainya, dan tahu jenis serta kualitas pelayanannya. Pelayanan Keperawatan Komunitas Untuk pelayanan keperawatan komunitas, kami menempuh enam strategi. Pertama, pendidikan kesehatan. Fokusnya dalah pada tindakan preventif dan promotif. Pendidikan kesehatan ini tidak hanya untuk lansia tetapi bisa juga untuk kader kesehatan desa dan perangkat pemerintahan desa, sehingga mereka akan tahu apa yang harus dilakukan pada lansia. Kedua, proses kelompok. Kami membentuk semacam grup-grup lansia, sehat lansia, dan semacamnya. Ketiga dan keempat, kerjasama lintas program dan lintas sektoral. Kerjasama dilakukan dengan berbagai kalangan pemerintah dan non-pemerintah. Kelima, pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini kami melaksanakan beberapa prakarsa pemberdayaan ekonomi dan kapasitas sumber daya manusia setempat, misalnya, peningkatan kapasitas kader-kader POSYANDU. Keenam, praktik keperawatan profesional. 71 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Tujuan utama dari pelayanan keperawatan komunitas ini adalah pemberdayaan warga setempat untuk memiliki kemampuan mengenal masalah-masalah kesehatan lansia dan cara-cara mengatasinya. Contoh Penerapan Di wilayah pelayanan kami, program dimulai dengan penelusuran keadaan kesehatan lansia dari rumah ke rumah. Penelusuran dilakukan terhadap keadaan rumah, lingkungan, gizi, dan fisik lansia. Data yang terkumpul di Desa Beji, misalnya, memperlihatkan ada 2.500 jiwa penduduk dan 21% di antaranya adalah lansia di atas 55 tahun. Dalam mencari pertolongan kesehatan, ternyata masih ada beberapa yang lansia tersebut yang kurang tahu bagaimana caranya. Contoh, ada 125 orang yang menyatakan mereka hanya tahu membeli obat sembarangan di warung-warung terdekat. Ada yang tidak melakukan apa-apa, karena “Saya sudah tua, saya mau bagiamana lagi?” Tapi, kebanyakan mereka sudah tahu bagaimana mengakses PUSKESMAS terdekat. Gejala penyakit atau keluhan yang umum dirasakan oleh para lansia di desa tersebut adalah hipertensi: nyeri pada kepala dan tengkuk, selain reumatik, asam urat, nyeri sendi, sesak napas, dan asma. Ternyata, Desa Beji --yang terdiri dari enam dusun dan enam padukuhan-- belum ada POSYANDU khusus lansia. Pada semua (tiga) desa pelayanan kami, ternyata POSYANDU lansia memang tidak aktif. Alasannya, karena tidak ada petugas kesehatan yang datang ke sana. Alasan lain, kader kesehatan yang ada terbatas pengetahuannya, umumnya hanya tahu menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan. Karena itu, salah satu program yang kami laksanakan adalah membentuk dan melatih kader POSYANDU dengan keterampilan dasar tambahan seperti mengukur tekanan darah, mengukur kandungan zat tertentu (asam urat, dan lain-lain) serta cara membaca dan menafsirkan kadar gizi, khususnya untuk kalangan lansia. Kegiatan ini sangat didukung oleh perangkat desa. Mereka melakukan semacam upacara pelantikan kader sehingga kader merasa memang dibutuhkan. Sampai sekarang, kader-kader POSYANDU lansia tersebut masih berkegiatan aktif. Contoh kegiatan lainnya adalan memberi contoh kepada para lansia tentang pembuatan reramuan obat herbal untuk nyeri sendi. Kami menggunakan daun ketela pohon yang dicampur dengan sirih. Kepa- 72 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat da para kader, kami mengajarkan cara membuat herbal dari bahanbahan lokal seperti timun, daun salam, mengkudu, dan sebagainya. Kami mengajarkan bagaimana memilih bahan-bahan herbal yang baik dan kegunaannya masing-masing. Kelompok-kelompok lansia yang sudah terbentuk sampai sekarang tetap aktif. Setiap desa punya hari sendiri untuk melakukan senam bersama. Para kader dilatih menyelenggarakan pelayanan kepada para lansia, mulai dari pendaftaran sampai ke pemeriksaan kesehatan yang mencakup pemeriksaan gula darah, asam urat, kolesterol, dan sebagainya. Semua kegiatan tersebut tidak hanya didukung oleh pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, khususnya Dinas Kesehatan, tetapi juga oleh beberapa pihak lain seperti Rotary Club. v 73 Sekolah untuk Lansia (Golden Geriatric Club) Ruliyandari Rudiyanto Budi Mulia Dua Foundation, Yogyakarta G olden Geriatric Club adalah sekolah untuk lansia. Kenapa namanya sekolah? Karena, faktanya selama ini banyak sekali para lansia aktif mengikuti pengajian-pengajian yang, antara lain, menurut mereka, adalah untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Sebagai suatu yayasan yang bergerak di bidang pendidikan, maka Budi Mulia Dua Foundation di Yogyakarta mendirikan Golden Geriatric Club khusus untuk para lansia. Singkatnya, Golden Geriatric Club bertujuan memberikan wadah bagi lansia untuk menambah wawasan, sehingga mereka mampu memotivasi dirinya sendiri, lebih bisa berdaya dan lebih bisa berkecimpung di masyarakat dengan hal-hal yang lebih baik. Pada awalnya memang hanya ditujukan kepada para lansia, tetapi setelah berjalan dua tahun, ternyata banyak juga pra-lansia menginginkan ikut bergabung, sehingga kami pun menerima mereka. Kegiatan yang dikembangkan lebih menempatkan lansia sebagai subjek, mempertimbangkan semua aspek biologis, psikologis, dan latar sosial-budaya mereka. Semuanya berpedoman pada permintaan mereka sendiri. Singkatnya, pendidikan di Golden Geriatric Club adalah menyiapkan para lansia memahami apa-apa yang terjadi pada usia mereka. Untuk itu, mereka mendapatkan layanan kuliah umum tentang berbagai topik yang berkaitan dengan kebutuhan mereka sebagai lansia. Kami menyebutnya ‘kuliah’, karena mereka 74 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat menginginkan demikian, punya kebanggaan tersendiri dan bahagia jika disebut sebagai ‘mahasiswa’. Para pengajar atau tutornya pun disebut ‘dosen’. Ibarat suatu universitas, mereka pun secara berkelakar menyebut sekolah ini sebagai S4 (Sudah Sangat Sepuh Sekali). Mata kuliah yang diberikan, antara lain, tentang kesehatan, keagamaan, melukis, dan komputer. Para ‘dosen’ mereka adalah spesialis di bidangnya masing-masing: ahli gizi, ESQ, fisioterapi, dan ilmu-ilmu agama (tafsir, fiqih). Untuk materi ilmu keagamaan (tafsir dan fiqih), pokok bahasannya meliputi praktik shalat khusuk, hafalan do’a-do’a, dan wawasan pengetahuan umum keagamaan. Materi bidang kesehatan meliputi kesehatan lansia, tes rutin (gula, darah, tulang, dan lain-lain), dan gizi. Ada materi khusus tentang gaya hidup sehat, puasa dan kesehatan, kesehatan mental lanjut usia, demensia, olahraga dan kebugaran, osteoporosis dan patah tulang, gizi lanjut usia, gangguan pencernaan, gangguan penglihatan dan pendengaran, kadar kolesterol, senam tera Indonesia, hormon (penurunan fungsi tubuh karena menopause dan andropouse), masalah kulit pada usia lanjut, ngompol, kesehatan ginjal, struk, diabetes, dan sebagainya. Materi bidang seni sebenarnya bukan terutama pada aspek artistiknya, tetapi lebih pada media seni sebagai alat terapi. Kegiatannya, antara lain, melukis dan menyanyi. Untuk itu, kami menyediakan tempat di lingkungan kami untuk digambari dan diberi warna oleh para ‘mahasiswa’ lansia tersebut. Sangat menyenangkan menyaksikan mereka berkegiatan outdoor seperti itu. Materi pengetahuan dan praktik komputer mencakup pengenalan perangkat komputer, pengenalan operasional komputer, menjalankan program aplikasi, mengenal internet, menggunakan email, dan aplikasiaplikasi yang lain. Materi komputer ini diberikan juga karena mereka memang menginginkan. Mereka, misalnya, mengatakan; “Cucu-cucu saya itu pinter komputer, waktu saya lihat kok bisa ya, tapi saya nggak bisa?” Untuk itu semua, kami pun menyediakan sarana jaringan internet, sehingga mereka sekarang mulai memanfaatkan jaringan media sosial seperti facebook. Mereka sudah memiliki komunitasnya sendiri melalui facebook yang juga dinamakan Golden Geriatric Club. Semua ‘mahasiswa’ bergabung dalam facebook ini dan sangat aktif. 75 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Secara keseluruhan, sudah dapat terlihat hasilnya. Para ‘mahasiswa’ Golden Geriatric Club ini selalu terlihat sehat, bahagia, dan sangat bersemangat. Itulah yang terpenting. v 76 BAGIAN KETIGA: Pengalaman Masyarakat DISKUSI EVA A.J. SABDONO (Moderator): K arena juga waktu yang terbatas, langsung ke kesimpulan saja. Yang pertama dari Profesor Haryono khususnya menekankan partisipasi lanjut usia. Jadi bukan lansia sebagai penerima pelayanan, tetapi turut berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Pembicara kedua tentang partisipasi generasi muda dalam penanganan lansia menyatakan bahwa mereka dibina oleh Profesor Tri Budi. Ini merupakan contoh nyata dari apa yang tadi disebutkan oleh Profesor Haryono tentang pentingnya inventarisasi tenaga-tenaga ahli yang sudah pensiun untuk turut memberdayakan organisasi-organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang menangani isu-isu lansia. Organisasi-organisasi sosial dan LSM umumnya melaksanakan pelayanan dari hati nurani, tetapi pengetahuannya dan keahliannya masih terbatas. Dalam hal inlah diperlukan tenaga-tenaga ahli yang mau mendarmabaktikan waktu, imu dan pengalamannya kepada LSM-LSM tersebut. Pembicara-pembicara berikutnya memberi kita contoh-contoh nyata bagaimana organisasi-organisasi sosial berperanserta khusus dalam pelayanan kesehatan lansia. Yang terakhir, but not least, sangat menarik adalah prakarsa pendidikan ‘IT literate’ bagi lansia. Sebab, sekarang cucu-cucu kita sudah menggunakan komputer, sementara masih ada banyak lansia sekarang yang belum bisa memakai handphone, apalagi komputer. Kenapa kita juga tidak membuat lansia ikut bergerak sesuai dengan kemajuan zaman? Kita mendapat banyak pengalaman dari para pembicara yang bisa kita contoh atau laksanakan di wilayah kita masing-masing. v 77 BAGIAN KEEMPAT PENGALAMAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT NARASUMBER: n Prof. Dr. dr. Luh Ketut Suryani Suryani Institute, Denpasar n Dr. Rohadi Haryanto, Msc Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) n Dra. Budi Wahyuni, MM, MA Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yogyakarta n Dr. Siti Hariani, MSc Yayasan Pelita Usila, Jakarta n Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA Yayasan Emong Lansia, Jakarta MODERATOR: Bondan Sikoki, SE, MA SurveyMETER, Yogyakarta Membina Lanjut Usia di Bali: Tua Berguna, Bahagia, dan Sejahtera Luh Ketut Suryani Suryani Institute, Bali G erakan lanjut usia di Bali, khususnya yang dilakukan oleh Yayasan Wredha Sejahtera (YWS), sudah berjalan sejak tahun 1988. Pa-da saat itu, pemerintah belum memikirkan soal lansia, malahan mengatakan bahwa di Indonesia belum ada masalah tentang lanjut usia. Kenapa kami memikirkan lanjut usia pada saat itu? Karena, berdasarkan penelitian yang kami lakukan, ternyata jumlah penduduk lanjut usia di seluruh dunia meningkat. Bahkan, pada tahun 1993, WHO sudah meramalkan Indonesia akan memiliki penduduk lanjut usia 440 kali melebihi Cina. Itu berarti masalah besar buat Indonesia kalau kita tidak memikirkan masalahnya sejak awal. Fakta lainnya adalah bahwa struktur sosial berubah. Semakin banyak warga lanjut usia yang ditinggalkan anaknya, ada yang tinggal sendiri tanpa suami atau istri, ada yang tidak punya anak yang harus diam menyelesaikan masalahnya sendiri. Yang paling tidak bisa dihindari, pasti terjadi, adalah fakta bahwa semua orang lanjut usia akan mengalami perubahan fisik dan mental. Gejala stress psiko-sosial akan dialami akibat sebelumnya aktif bekerja kemudian tidak bekerja sama sekali. Yang paling banyak mengalami masalah adalah mereka yang 80 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat tadinya punya jabatan seperti pegawai negeri, anggota TNI, dan lainlainnya. Mungkin hanya para petani yang tidak akan banyak mengalami perubahan dan menghadapi gejala semacam itu, meskipun mereka juga mengalami penyakit fisik dan mental, tetapi dengan intensitas yang berbeda. Yang terakhir, paling tidak pada tahun 1980-an tersebut, program pemerintah belum ada dan tidak mau tahu masalah lanjut usia. Faktor lain yang membuat kami masa itu berusaha mempercepat prakarsa ini adalah hasil penelitian tentang masyarakat Bali yang kami lakukan di Batur Utara. Yang mengejutkan adalah temuan bahwa 34% responden menyatakan beban memelihara lanjut usia (beban dalam keuangan keluarga). Padahal, budaya kami mengajarkan, orang lanjut usia adalah orang yang perlu dihargai, dihormati, dan tetap menjadi panutan. Hasil penelitian itu juga menyajikan temuan-temuan tentang anak-anak para lansia yang merasa tidak nyaman dengan orangtua mereka yang mereka anggap semakin cerewet, terlalu ikut campur dengan urusan cucu-cucu mereka, dan seterusnya. Temuan lainnya adalah masalah gangguan fisik yang semakin banyak dirasakan oleh warga lansia berusia 65-85 tahun. Pada saat itu, kami merasa mereka tidak ada yang mengalami cemas atau depresi tetapi ternyata hasil penelitian menunjukkan cukup banyak yang mengalaminya. Terakhir adalah temuan adanya demensia, walaupun ringan, tetapi ini masalah besar. Demikian pula di bagian psikiatri sebelumnya tidak pernah kedatangan tamu demensia, tetapi mulai ada sejak 1988. Itulah semua yang menggerakkan kami. Lalu, kami mencoba mengundang beberapa warga lanjut usia dan mengajak mereka membahas: maukah kita memikirkan diri kita sendiri? Pemerintah belum memikirkan kita, tetapi bisakah di usia lanjut ini kita tetap gembira: tua berguna, bahagia, dan sejahtera? Rangkaian diskusi itulah yang akhirnya melahirkan YWS. Sejak berdiri pada tahun 1988 sampai sekarang, sudah tercatat lebih dari 5.700 warga lansia di seluruh Bali yang mendaftarkan diri. YWS membuka cabang di seluruh kabupaten/kota, kemudian ranting-ranting sampai ke tingkat banjar (desa). Sekarang, sudah mulai bermunculan POSYANDU Lansia di banyak banjar. Masalah baru yang muncul adalah terjadinya diskriminasi. Para lansia yang dibantu oleh program pemerintah mendapatkan berbagai bantuan: makanan, pakaian, dan fasilitas lainnya; sementara kami yang mulai jauh lebih dahulu masih harus melongo melihat mereka mendapatkan semua bantuan tersebut. Kami memang pernah 81 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA mendapatkan penghargaan baik dari Menteri Kesehatan pada tahun 1995, kemudian dari Gubernur Bali, kemudian dari Menteri Sosial dua tahun lalu. Tetapi itu semua hanya dalam bentuk secarik kertas penghargaan saja. Tujuan Pembinaan Lanjut Usia Tujuan utama kami membina lanjut usia adalah bisakah kita membuat lanjut usia: tua berguna, bahagia, dan sejahtera? Maksudnya ada-lah agar para lansia tetap merasa berguna untuk dirinya, untuk keluarganya, dan untuk masyarakatnya. Tetapi bagaimana mendidik mereka? Kalau dibantu pemerintah, syukur. Kalau tidak? Maka, tiada jalan lain kecuali diri kita sendiri harus mampu membantu diri sendiri pula. Mandiri adalah tujuan utama, karena pada masa pemerintahan Orde Baru dulu, semua diajarkan menjadi pengemis bantuan dari pemerintah. Program YWS Bali Program inti YWS adalah mengaktifkan fisik, mental, dan semangat untuk tetap hidup berguna, bahagia, dan sejahtera. Kami anjurkan kepada para lanjut usia bahwa kalau ingin bahagia di hari tua, jangan pernah sebut diri anda tua. Setiap orang yang mengatakan dirinya tua, pasti wajahnya suram. Jadi, sebut saja umur berapa anda: apakah 70 atau 80. Kami anjurkan bahkan sampai ke hal-hal praktis tapi efektif, misalnya, ubah kebiasaan berpakaian kusam yang menambah kesan tampak semakin tua. Kami anjurkan untuk berpakaian dengan warna-warni cerah: merah, kuning, hijau, dan sebagainya. Tidak harus mewah, tapi cerah. Dan, karena orang Bali semakin banyak yang mulai tidak tertawa karena kehidupan yang sangat keras, maka kami ajarkan marilah kita tertawa. Tertawa lepas adalah obat buat diri kita. Tetapi, yang paling penting, harus tetap aktif, walaupun anak-anak mereka selalu menyuruh mereka istirahat dengan alasan sudah tua. Jadi, tidak ada kata ‘tua’ dalam kamus kami. Aktifkan fisik, mental, dan spiritual. Memang, kami terbentur dengan program pemerintah yang ingin tetap menggalakkan panti jompo. Malahan, belakangan muncul, bisakah kita membuat komunitas khusus (special community) orang lanjut usia? Kami pernah berkujung ke satu permukiman atau per- 82 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat kampungan khusus warga lanjut usia di Adelaide, Australia. Kami menyaksikan betapa sepinya kampung itu. Kami berkesimpulan bahwa jika kita mencoba meniru seperti itu, maka itu berarti sama dengan menghancurkan budaya kita sendiri. Budaya kita adalah ‘biarkan orang tua sampai mati pun tetap dengan keluarganya.’ Karena itu, dalam jangka panjang, bisakah kita membuat program preventif. Dalam bidang kesehatan, nyaris tidak pernah memikirkan usahausaha preventif ini. Demikian pula di bidang sosial, yang dibantu adalah mereka yang miskin dan telantar serta tidak mengalami kecacatan. Tetapi para lansia yang sehat tidak pernah dipikirkan, padahal justru nanti akan menjadi beban kalau kita tidak berikan tindakan preventif sejak sekarang. Itulah sebab mengapa kami berpendapat bahwa program ‘kembali ke keluarga’ itu sangat penting dan menentukan. Apa yang harus dilakukan adalah mendidik keluarga bahwa mereka harus memahami anggotanya yang lanjut usia. Orang-orang tua lanjut usia memang keadaannya sudah demikian, alam membentuknya dan tidak perlu diubah. Yang perlu diubah adalah pandangan sikap anak-anak muda tentang kehidupan dan keadaan orang-orang tua mereka yang lanjut usia. Salah satu gagasan --sekaligus harapan dan saran-- kami adalah adanya semacam ‘Balai Warga Sepuh’ (Senior Citizens Center) di mana lanjut usia bisa mengobrol di sana, tertawa-tawa dan menghibur diri antar sesama mereka. Tetapi, Balai Warga Sepuh semacam itu tidak harus eksklusif hanya untuk para lansia. Anak-anak muda dan remaja yang ingin tahu tentang lanjut usia justru perlu didorong untuk datang ke sana, bertemu dan berbincang-bincang dengan para orang tua yang bisa memberikan masukan tentang kehidupan ini kepada mereka. Di banyak negara lain di luar negeri, memang ada rumah perawatan (nursing home) untuk lanjut usia. Kami menyarankan bahwa jika Dinas Sosial ingin membangun sarana semacam itu, prinsipnya adalah bahwa sarana itu harus dipandang bersifat ‘sementara’ bagi para lansia untuk dirawat secara khusus sesuai kebutuhannya. Sesudah itu, jika mereka telah pulih kembali, harus dikembalikan ke keluarganya. Gagasan lainnya adalah bagaimana membuat ‘kampus lanjut usia’ di masyarakat. Kami sudah mulai merintis cikal-bakalnya dan, ternyata, ribuan warga lanjut usia datang menghadiri. Dalam praktiknya, kami menyediakan tempat di mana para warga lansia datang berkumpul, berbincang, atau bahkan hanya untuk duduk-duduk saja di sana, tanpa minum dan tanpa makan, dari jam sembilan pagi sampai jam dua belas 83 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA siang. Kami ajak mereka bernyanyi dan menggerakkan tubuh, dan mereka semua senang dan lebih mudah menerima berbagai informasi dan pengetahuan baru. Kami ajak mereka berbincang bukan hanya soal-soal lanjut usia, tetapi juga tentang isu-isu perempuan, pedofilia, dan lain-lainnya. Untuk menggerakkan fisik, kami terapkan senam pernapasan Indonesia, tetapi setelah kami modifikasi, karena beberapa gerakan tidak cocok untuk lanjut usia. Misalnya, ini salah satu contoh sekaligus temuan menarik, banyak warga lanjut usia di desa-desa tidak berpendidikan, tidak pernah sekolah, kalau disuruh pakai celana panjang mereka malu. Lalu, kami membuat kreasi baru: boleh --malah dianjurkan-- pakai sarung saja yang diikat sedemikian rupa sehingga tetap bisa melakukan gerakan-gerakan senam dengan nyaman dan bagus. Kegiatan lain adalah tertawa. Tertawa lepas bebas sangat penting untuk relaksasi. Selain itu, kami melatih mereka melakukan meditasi relaksasi. Selain mendidik mereka untuk memusatkan perhatian, juga menjaga supaya mereka jangan bungkuk, karena meditasi dilakukan dengan tubuh duduk tegak. Kami mengajarkan pula pada mereka cara-cara untuk bisa tidur nyenyak. Tidur nyenyak adalah salah satu fisioterapi terbaik buat mereka. Selain itu, kesenian rakyat perlu dibangkitkan. Walaupun sudah tua, ada yang berumur 85 tahun, mereka masih tetap bisa menari dengan bahagia. Bahkan, Gubernur Bali pernah ikut bergabung dan ikut bersama mereka menari (ngibing) dalam joged punggung. Ini salah satu yang mengejutkan buat kami: setelah puluhan tahun kami mengajak mereka mandiri, lanjut usia bisa membuat parade seni dua lahun yang lalu di Ubud. Mereka melakukannya secara mandiri, tidak ada yang membantu. Para warga lanjut usia itu melakukan parade dan ternyata banyak turis mengaguminya. Ini pun bisa digunakan untuk mendatangkan uang. Musik menjadi idaman mereka. Lagu-lagu yang diperkenalkan adalah lagu-lagu ‘tempo doeloe’. Kami mencoba membangkitkan semangat para lanjut usia untuk menyayikan kembali lagu-lagu perjuangan. Sebenarnya, anak-anak muda sekarang pun sangat penting untuk diajak menyanyikan kidung-kidung perjuangan tersebut. Karena, di sekolah-sekolah sekarang tidak diajarkan lagi. Anak-anak muda yang datang bergabung dengan para warga lanjut usia itupun membantu menyanyikan lagu-lagu seperti ‘Maju Tak Gentar’, ‘Halo-halo Bandung’, 84 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya --lagu-lagu yang sudah dilupakan di sekolah. Yang lainnya, kami ajak mereka: maukah menjadi kader-kader penyebar meditasi mulai dari diri dan keluarga sendiri? Ini bukan misionaris, tetapi berdasarkan pada falsafah bahwa jika kita bisa tenang, kita bisa merasakan kebahagiaan. Anak-anak akan ikut tenang pula, akan ikut membantu. Demikian pula dengan semua orang di sekitar kita. Mereka akan ikut terbawa tenang dan membantu membangun suasana yang memungkinkan kita semua merasakan ketenangan dan kebahagiaan. Yang terakhir, kami ajarkan juga kepada mereka semua bahwa semua orang sesungguhnya bisa menjadi balian (dukun, tabib), paling tidak untuk dirinya sendiri atau keluarganya. Maka, bisakah kita mulai menyembuhkan diri sendiri? Ini menjadi semakin penting saat ini, karena menjadi sehat di Indonesia sekarang sudah sangat mahal. Alternatifnya adalah bahwa diri kita sendiri bisa mengembangkan dan kemudian menggunakan kemampuan sendiri untuk melakukan penyembuhan, setidaknya untuk diri dan keluarga sendiri. Tetapi, jauh lebih penting dari penyembuhan adalah adanya kemauan dan kemampuan untuk membantu diri dan keluarga sendiri untuk tidak sakit. Dengan kata lain, pencegahan adalah jauh lebih baik dibanding pengobatan atau penyembuhan justru setelah menderita sakit. Catatan Akhir Setelah sekian lama mencoba melakukan semua itu, tiba-tiba saja ada tawaran dari Ashoka Indonesia yang meminta kami: bisakah kegiatankegiatan atau cara-cara yang dilakukan oleh YWS itu disebarkan di seluruh Indonesia. Mulanya, Ashoka meminta saya berkeliling ke berbagai daerah di Indonesia untuk menganjurkannya. Tetapi, saya mengatakan bahwa saya akan senang kalau bisa dilakukan di Bali saja. Maka, setahun yang lalu, berbagai perutusan dari berbagai daerah di Indonesia datang untuk mengikuti program kami. Hal pertama dan terpenting yang kami ajak dan tanyakan pada mereka adalah: bisakah menggunakan pendekatan bio-psiko-spirit sosio-budaya untuk melakukan kegiatan-kegiatan semacam ini di tempat mereka masing-masing? Spirit yang kami maksudkan bukan agama, tetapi roh atma atau apapun namanya. Hal kedua adalah: bisakah kita melakukannya tanpa menghapuskan keunikan budaya dari setiap suku bangsa yang ada? Kami sangat meng- 85 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA anjurkan pada mereka untuk menggunakan budaya masing-masing sebagai landasannya, sehingga para orang tua lanjut usia di tempat mereka masing-masing tidak bermasalah untuk ikut terlibat di dalamnya. Hal ketiga barulah soal pokoknya: bagaimana orang-orang lanjut usia dapat dibantu agar mereka bisa menjadi tua berguna, bahagia, dan sejahtera. Masalah lanjut usia bukanlah masalah diri sendiri dari para warga lanjut usia, tetapi juga masalah pemerintah (berkaitan dengan kebijakan publik). Untuk itu, kami berharap gagasan Balai Warga Sepuh dapat diwujudkan di semua kabupaten dan provinsi seluruh Indonesia. Terakhir, sekali lagi, kita harus kembali ke prinsip bahwa suasana keluarga akan membuat lanjut usia nyaman dibandingkan jika mereka berada di panti jompo. v 86 Peranserta Organisasi Sosial Menghadapi Penuaan Penduduk Rohadi Haryanto Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) U ndang-undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial menyebutkan bahwa untuk peran serta masyarakat perlu dilakukan koordinasi di tingkat nasional. Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS) yang dibina oleh Kementerian Sosial dimaksudkan sebagai wadah koordinasi peran serta masyarakat tersebut. Tugas utamanya adalah melakukan koordinasi dan membina organisasiorganisasi dan lembaga-lembaga sosial, menyelenggarakan forum komunikasi, dan melaksanakan advokasi. Meskipun demikian, organisasi-organisasi sosial yang dikoordinasikan oleh DNIKS tidak hanya bergerak di bidang lansia tapi juga di bidang kecacatan, anak-anak, wanita, dan sebagainya. 87 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Latar Belakang Khusus tentang lansia, kita semua sudah mengetahui bahwa penduduk dunia ini menunjukkan kecenderungan makin menua. Sebab-sebabnya mulai dikenal luas, antara lain, fertilitas yang terus menurun dan umur harapan hidup yang makin panjang. Selain itu, semakin tampak pula bahwa ada kecenderungan proporsi penduduk lanjut usia di negara-negara berkembang semakin membesar dibanding di negara-negara maju. Indonesia termasuk negara yang memiliki ciriciri demografis dengan perkembangan penduduk lansia yang cepat. Pada tahun 1980, penduduk lansia kita hanya sekitar 7,99 juta jiwa. Tahun 1990, meningkat menjadi 11,2 juta jiwa. Tahun 2000, menjadi 14,4 juta jiwa. Tahun 2010, terjadi lonjakan besar, mencapai 18 juta jiwa. Tahun 2030, diproyeksikan akan mencapai 41,1 juta jiwa atau 13,9% dari total penduduk. Itulah yang kita capai akibat tingkat fertilitas yang terus menurun, meskipun tingkat fertilitas belum sesuai dengan apa yang ditargetkan secara nasional, yakni 2,1. Sampai tahun 2007, tingkat fertilitas rerata nasional masih 2,7. Per daerah, juga belum merata. DKI Jakarta sudah mencatat 2,6, sementara NTT masih mencatat 4,2. Sampai sekarang, Daerah Istimewa Yogyakarta adalah daerah yang mencatat tingkat feritilitas terendah, sehingga daerah ini juga tercatat sebagai daerah dengan umur harapan hidup tertinggi. Demikian pula distribusi penduduk lansia. Provinsi Papua dan Papua Barat merupakan daerah dengan proporsi penduduk lansia terkecil. Konsekuensinya, program-program lansia tidak perlu harus di 33 provinsi. Dalam kasus Papua atau Papua Barat, misalnya, populasi lansia mereka yang masih kecil mungkin karena tingkat kelahiran yang masih relatif tinggi sementara tingkat kematian bayi juga masih relatif tinggi. Karena itu, perlu ada satu pendalaman lagi tentang mengapa dan apakah perlu program-program lansia harus dikembangkan di semua wilayah Indonesia? Tampaknya, jumlah penduduk lansia dan umur harapan hidup ada korelasi yang sangat erat. Makin tinggi umur harapan hidup di suatu daerah, makin besar pula proporsi jumlah lansianya. Jika diproyeksikan jumlah penduduk lansia pada tahun 2020 akan mencapai 28,8 juta, maka dapat dipradugakan bahwa umur harapan pada tahun tersebut juga meningkat sampai mencapai 71 tahun. 88 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Keadaan Kehidupan Lansia Dari beberapa survei, ternyata para warga lansia yang menerima pensiun kurang dari 20%. Para lansia laki-laki yang masih harus bekerja adalah sebesar 80%, perempuan 50%. Yang bekerja di sektor pertanian 48,51%, sementara yang tidak lulus SD atau tidak sekolah mencapai 65,7%. Dukungan keluarga juga masih sangat besar. Para lansia yang masih tinggal dengan keluarga mencapai 75,38%. Yang tinggal dengan orang lain atau tinggal sendiri juga masih cukup banyak, 24,62%. Adapun yang telantar tercatat sekitar 15% atau sekitar 2,7 juta jiwa. Masalah yang Dihadapi Penduduk Lansia Tentang permasalahan lansia, masing-masing ahli mempunyai persepsi yang berbeda. Tetapi, yang selalu diungkapkan, antara lain, perkembangan penduduk lansia yang cepat seringkali tidak memperoleh perhatian. Norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan sejak kanakkanak tidak selalu memberikan perhatian kepada lansia. Selain itu, masih sangat sedikit organisasi sosial yang menaruh minat terhadap penanganan lansia. Masih sangat sering tidak disadari bahwa lansia bisa dan perlu diberdayakan, bahkan mereka punya potensi yang bisa memberdayakan diri mereka sendiri dan orang lain. Salah satu masalah yang paling sering disorot adalah koordinasi antar berbagai pihak dan antar lembaga-lembaga masyarakat melalui mekanisme kerjasama yang baik juga masih belum terbentuk. Dukungan untuk memberikan pelayanan juga masih sangat terbatas. Dalam hal pelayanan, perhatian utama selama ini masih dipusatkan pada bantuan yang tidak diikuti pemberian dukungan sumber lainnya. Dukungan atau bantuan melalui Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU) memang cukup besar. Informasi sebelumnya dari Kementerian Sosial memperlihatkan terjadi peningkatan baik jumlah lansia yang dilayani maupun jumlah dana atau anggarannya yang disediakan oleh pemerintah. Pada tahun 2007, sekitar 3.500 lansia di 10 provinsi menerima bantuan dengan total anggaran Rp 10,5 miliar. Tahun 2011, jumlah lansia penerima sudah mencapai 13.000 orang di 30 provinsi dengan anggaran Rp 39 miliar. Sekarang, tahun 2012, disebutkan jumlah penerima sudah mencapai 26.500 orang dengan total anggaran Rp 63,6 miliar. Tetapi, seperti yang sudah dijelaskan oleh Kementerian Sosial, penambahan jumlah lansia 89 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA penerima bantuan yang berlipat ganda itu mengakibatkan nilai nominal yang diterima per orang menjadi lebih kecil dari sebelumnya, turun dari Rp 300.000 menjadi Rp 200.000 per orang per bulan. Peran Lembaga-lembaga Sosial DNIKS sebagai LKKS (Lembaga Koordinator Kesejahteraan Sosial) tingkat nasional selama ini telah bekerjasama dengan berbagai organisasi seperti Lembaga Lansia Indonesia (LLI), Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI), Persatuan Purnawirawan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (PEPABRI), Pusat Santunan dalam Keluarga (PUSAKA), Perhimpunan Gerontologi Indonesia (PERGERI), Juang Kencana, Lembaga Kesejahteraan Sosial (LKS), Silver College, dan Corps Cacat Veteran Republik Indonesia. Bentuk-bentuk program dan kegiatan yang dikembangkan, antara lain, advokasi, pengorganisasian, serta penggalangan kekuatan untuk membela kepentingan penduduk maupun organisasi sosial yang memperjuangkan lansia. Dalam hal ini, termasuk penyusunan UU, Peraturan Daerah (PERDA), membentuk kelompok kerja, dan sebagainya. Salah satu yang pernah dilaksanakan adalah Deklarasi Gerakan Nasional Lansia Peduli (GNLP) di bawah Koordinasi DNIKS yang dipimpin oleh Marsekal Muda Warsono dari PEPABRI. Gerakan ini merumuskan program ‘Peduli Tiga Generasi’ serta mendorong pembentukan gerakan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Karena itu, advokasi lahirnya PERDA-PERDA yang mendukung menjadi penting. Pengalaman dari organisasi penyandang cacat memperlihatkan bahwa ketika mereka berhasil mendesakkan lahirnya PERDA yang mendukung mereka, maka dengan sendirinya pemerintah daerah berkewajiban menyediakan dana pembinaan dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Upaya lain adalah mencari model atau strategi program pemberdayaan yang benar-benar efektif membantu kehidupan lansia. Program panti lanjut usia sudah terbukti sangat terbatas cakupannya, sehingga perlu terus diperkenalkan program non-panti dengan sasaran lansia miskin dan telantar. Penting untuk selalu menegaskan bahwa keluarga dan masyarakat tetap bertanggung jawab untuk perawatan lansia. Sudah cukup banyak contoh-contoh yang pernah dikembangkan dalam hal ini. 90 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Karena itu, perlu pengembangan lanjut cara-cara efektif menangani langsung pelayanan untuk perlindungan sosial, perawatan, dan pelayanan kesehatan berbasis keluarga dan masyarakat yang diarahkan kepada lansia miskin dan telantar, misalnya, kelompok-kelompok home care di kampung-kampung. Dalam hal ini, DNIKS beranggapan bahwa kesukarelaan tetap penting. Program home care yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial justru menyediakan honor yang menyebabkan kesukarelawanan hilang. Ini satu hal yang perlu dicatat. Bentuk-bentuk pelayanan dasar seperti pemeriksaan kesehatan berkala, pemberian bantuan makanan dan pakaian, perawatan lansia sakit, bantuan memperoleh JAMKESMAS atau JAMKESDA dan JSLU, pada dasarnya adalah kegiatan-kegiatan yang sebagian besarnya masih dapat dilakukan atas dasar kesukarelawanan. Peran lainnya dari lembaga-lembaga sosial adalah penyelenggaraan pelatihan-pelatihan bagi para lansia yang memiliki keahlian profesional --termasuk juga tenaga-tenaga muda yang berminat-- untuk menjadi konsultan bagi peningkatan kapasitas sumberdaya manusia lansia, misalnya, melalui program Silver College. Mereka yang telah pensiun atau menjelang pensiun dapat diorganisir mengikuti pelatihan-pelatihan untuk ‘karier kedua’ mereka, misalnya, menjadi wirausaha, pedagang, petani, termasuk peluang untuk menjadi tenaga pramuwerdha (care giver) yang dilakukan oleh kelompok lansia sendiri. Mereka dapat diajak menghimpun diri dalam organisasi yang bersedia membantu sebagai tenaga ahli atau konsultan dan dikirim ke daerah lain. Berkaitan dengan hal tersebut, lembaga-lembaga sosial juga dapat melakukan pengorganisasian kelompok kerja yang mendorong pengembangan home care di berbagai daerah. Kelompok-kelompok kerja ini dapat ditugaskan memberi pelatihan-pelatihan bagi para kader yang akan bekerja di lapangan. Ada informasi dari pihak Kementerian Sosial bahwa PUSAKA sudah mengembangkan pola tersebut dan cukup berhasil di wilayah Jakarta. Pola tersebut akan mulai dikembangkan ke daerah-daerah lain. Tentu saja, DNIKS akan menyambut baik usaha ini dan sangat terbuka untuk bekerjasama dengan LKS di tingkat provinsi dan kabupaten/kota untuk mengembangkannya di daerah-daerah. Forum komunikasi atau penggerak kegiatan ini ada di tingkat kelurahan, kecamatan, dan provinsi. Para penggiat (aktivis) forum dapat membantu melakukan rekrutmen tenaga-tenaga lapangan, memberikan pelatihanpelatihan kepada mereka, mengorganisir kegiatan forum, dan melakukan 91 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA pembinaan. Pendirian forum komunikasi sangat vital dan strategis sebagai wadah partisipasi masyarakat luas untuk pemberdayaan lansia. Melalui forum tersebut, kelompok penduduk lainnya dapat diajak dan dikerahkan untuk aktif membentuk lembaga-lembaga pelayanan lansia di tingkat akar rumput yang akan menangani bidang kesehatan, pendidikan, lingkungan, dan wirausaha. Salah satu yang sudah sering disebutkan adalah pembentukan dan pengembangan POSDAYA sampai ke tingkat desa-desa dan kampung-kampung. Moto ‘Peduli Tiga Generasi’ sangat luwes untuk memungkinkan pengembangan berbagai kegiatan kreatif, termasuk mengembangkan potensi para lansia, misalnya, untuk menjadi pengajar di PAUD, mengajar keterampilan untuk remaja dan generasi muda dan, pada saat bersamaan, sambil tetap membina kelompok lansia dalam berbagai kegiatan. Moto itu memungkinkan siapa pun, termasuk para lansia sendiri, untuk menjadi penghubung antar generasi. Terakhir, sudah saatnya untuk mulai serius mempersiapkan LKS terakreditasi. Artinya, mempersiapkan para pekerja sosial di lembagalembaga tersebut untuk tersertifikasi. Dalam waktu dekat, pemerintah sudah merencanakan akan melakukan sertifikasi bagi petugas kesejahteraan sosial atau pekerja sosial, kemudian mengakreditasi lembaga-lembaga kesejahteraan sosial. Untuk dapat diakreditasi, suatu lembaga kesejahteraan sosial harus memenuhi kelayakan dan standarisasi organisasi, sumberdaya manusia, manajemen, sarana, prasarana, dan hasil. Untuk sertifikasi, para pekerja sosial harus memiliki kompetensi dalam praktik-praktik pekerjaan sosial sesuai kualifikasinya. Kementerian Sosial menginformasikan bahwa untuk keperluan sertifikasi dan akreditasi tersebut, kini sedang dirumuskan SPM (standar pelayanan minimal) nya. Jika SPM tersebut sudah rampung dan siap dijalankan, DNIKS bersedia membantu lembaga-lembaga kesejahteraan sosial untuk menjalani proses sertifikasi dan akreditasi tersebut. DNIKS dapat memberikan bantuan bagi para pekerja sosial dan lembaga-lembaga kesejahteraan sosial untuk mempersiapkan diri lebih baik menjalani proses sertifikasi dan akreditasi, sehingga nantinya mereka pun dapat bekerja melayani masyarakat secara lebih baik pula. Hanya saja, Kementerian Sosial sendiri tampaknya belum memikirkan dan menyiapkan adanya sistem penghargaan (reward). Misalnya, 92 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat jika suatu lembaga dinyatakan ‘lulus’ akreditasi, selayaknya mereka dapat diberi penghargaan tertentu selain, tentu saja, dokumen tertulis pengakuan akreditasinya. Demikian juga untuk pekerja sosial yang ‘lulus’ proses sertifikasi. Dua-duanya belum disiapkan reward system nya. v 93 Kesehatan Seksual di Usia Tua: Kebutuhan yang Tertunda Budi Wahyuni Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Yogyakarta K arena Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) begerak dalam bidang pengawalan pemenuhan hak kesehatan reproduksi dan isu-isu seksualitas, maka saya akan menyajikan --secara singkat saja-- beberapa pokok penting tentang masalah tersebut dalam kaitannya dengan lansia. Saya akan bertolak dari pengalaman langsung dalam kegiatan-kegiatan pelayanan masyarakat yang kami laksanakan selama ini. Hampir pada setiap kegiatan saya ke lokasi pelayanan kami, khususnya dalam pelaksanaan metode pengujian untuk mendeteksi kanker pada mulut rahim (IVA dan Pap Smear), warga yang sudah berusia lanjut selalu menanyakan hal yang sama: “Saya sudah tidak pernah melakukan hubungak seks sekian tahun, apa saya harus periksa, atau apa?” Saya belajar dari pengalaman dan permasalahan yang sering diajukan oleh para klien tersebut, terutama klien perempuan. Ternyata, persoalan seksualitas tetap merupakan masalah penting bagi mereka yang sudah mulai lanjut usia. Masalah Ini menjadi menarik karena pada saat mereka masih remaja dulu, saat usia aktif mereka, terlalu banyak pembatasan yang membuat mereka tidak banyak mendapat 94 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat kesempatan untuk mengetahui lebih banyak dan lebih mendalam tentang masalah tersebut. Mereka harus menahan diri sedemikian rupa agar, misalnya, tidak hamil di luar nikah. Saat mereka dewasa dan menikah, juga masih tetap banyak pembatasan yang membuat mereka tidak mendapat banyak kesempatan memperdalam pengetahuan mereka tentang masalah-masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas, meskipun sudah mengalaminya sendiri langsung dengan pasangannya. Sekarang, ketika mereka sudah lansia atau menjelang lansia, barulah mereka berani mulai bertanya, itu pun masih terbata-bata dan berusaha agar tidak diketahui banyak orang. Sebagai aktivis perempuan, saya mencermati betapa banyak perempuan yang sudah dewasa dan bahkan lansia tidak mendapatkan pemenuhan kebutuhan seksual mereka selama ini berdasarkan suatu pengetahuan yang cukup. Sekarang, setelah mereka menjadi lansia, mereka cenderung menganggap masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah sesuatu yang ‘sudah lewat’, masalah duniawi yang tidak terlalu penting lagi, tinggal mempersiapkan diri saja menghadapi kematian. Mungkin pembicaraan ini memang agak aneh. Untuk apa memikirkan hak seksual kaum lansia? Tetapi, ada banyak sekali hal-hal yang tidak pernah diperhatikan serius semacam ini sebenarnya adalah masalah mendasar menyangkut hak seseorang. Karena ini menyangkut hak, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk memerhatikannya secara serius. Sekarang, pemerintah mulai memberi dukungan dalam pemeriksaan IVA dan Pap Smear. Di Yogyakarta ini, dananya disediakan langsung dari APBD --sesuatu yang berhasil didesakkan oleh organisasi-organisasi yang bergerak dalam isu kesehatan reproduksi dan seksualitas, termasuk PKBI. Tetapi, ternyata, dananya malah tidak atau kurang terserap. Setelah kami evaluasi, ternyata penyababnya adalah lagi-lagi persoalan sosiokultural. Masih kuat anggapan dan pandangan bahwa masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah masalah pribadi yang tidak perlu dibuka di depan umum. Akibatnya, banyak warga tidak memanfaatkan berbagai sarana pelayanan yang sudah disediakan. Akibatnya lebih lanjut, pelaksana pelayanan tidak bisa mampu menyerap dana yang tersedia. Harus diakui, pegiat masalah ini memang masih kurang pro-aktif mengembangkan cara untuk membuat lebih banyak warga, termasuk warga lansia, memanfaatkan sarana pelayanan yang ada. Masalah lain yang menarik adalah rentetan dari anggapan bahwa masalah kesehatan reproduksi dan seksualitas adalah sesuatu yang sangat pribadi. 95 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Ada banyak kasus mereka yang sudah berusia 55 tahun ke atas --usia pra-lansia-- mencoba memecahkan masalah mereka dengan ‘jalan pintas’ dan ‘sembunyi-sembunyi’, bukannya datang ke sarana pelayanan untuk konsultasi secara terbuka. Globalisasi pasar telah mengantarkan berbagai jenis obat-obatan bebas beredar. Mereka membeli dan menggunakan obat-obatan tersebut tanpa pengetahuan yang cukup tentang khasiat atau dampaknya. Selain lebih mudah, juga lebih menjamin ‘kerahasiaan pribadi’ mereka. Masalah ini penting dalam perspektif hak warga negara untuk memperoleh informasi yang benar dan memadai (prior informed consent) serta jaminan keamanan dan keselamatan sebagai salah satu bentuk perlindungan yang seharusnya diberikan oleh negara. Karena itu, kita tidak bisa memandangnya lagi sebagai sesuatu yang sepele atau semata-mata suatu persoalan sosio-kultural yang sering cenderung dipersalahkan (blaming on) hanya pada perilaku pribadi warga yang melakukannya. Pengalaman di pos-pos pelayanan PKBI selama ini menunjukkan bahwa semakin banyak klien yang datang dengan permasalahan tipikal yang sama, termasuk para lansia. Menjadi pertanyaan besar: mengapa sudah setua itu mereka masih saja belum memiliki pengetahuan yang cukup tentang persoalan hak-hak kesehatan reproduksi dan seksualitas? Apakah yang salah pada sistem pendidikan kita tentang hal ini? Sampai seberapa jauh anggapan pemerintah dan masyarakat umumnya melihat persoalan ini sebagai sesuatu yang ‘memalukan’ untuk dijadikan masalah terbuka bagi semua orang? Apakah kita akan mendiamkan saja terus hal-hal seperti ini? Para lansia, meskipun mungkin mereka tidak lagi melakukan kegiatan seksual aktif, namun tetap masih punya organ reproduksi yang seharusnya tetap dilindungi.v 96 Pengalaman Pengembangan Program Lanjut Usia di Indonesia Siti Hariani Yayasan Pelita Usila, Jakarta Y ayasan Pelita Usila adalah yayasan perempuan yang peduli pada kesehatan lanjut usia. Kami semuanya perempuan, mantan-mantan pegawai negeri Kementerian Kesehatan. Jadi, latar belakang keilmuan kami juga beda-beda; ada yang psikolog, dokter, ahli jiwa, ahli kesehatan masyarakat, ahli gizi, dan ahli administrasi kesehatan. Kami semua sudah purna tugas. Awalnya adalah ketika Departemen Kesehatan --waktu itu-- membentuk struktur organisasi baru, yaitu Sub Direktorat Usia Lanjut. Itu mengilhami kami --yang sebentar lagi purna tugas-- bertanya: kalau kami sendiri nanti pensiun, mau mengurus apa? Kami semua sepakat lebih baik mengurus masa tua kami. Tetapi, waktu itu belum terlalu jelas gagasannya mau bergerak ke arah mana? Waktu itu, program Departemen Kesehatan 97 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA untuk pelayanan lanjut usia belum ada dan baru saja akan dimulai. Maka, kami pun bersepakat mendirikan yayasan ini pada tanggal 29 Mei 1998, tepat pada ulang tahun pertama Hari Lanjut Usia Nasional. Masalah berikutnya muncul: dari mana mendapatkan dana? Kami pun bersepakat mengumpulkan iuran anggota, karena beberapa anggota memiliki jaringan yang luas --ada yang mantan Direktur ASKES, ada mantan Direktur Jenderal, dan lain-lain-- cukup banyak juga akhirnya yang memberi sumbangan, sehingga organisasi kami mulai berjalan. Kami juga punya visi, misi, dan strategi yang mungkin hampir sama dengan Kementerian Kesehatan, karena kami memang mantan pegawai negeri di Kementerian tersebut. Mungkin skalanya saja yang beda, karena kami lebih memusatkan perhatian pada keluarga dan lingkungan yang peduli kesehatan lanjut usia dalam lingkup terbatas berdasarkan kemampuan. Tujuan kami jelas, yakni memotivasi berbagai pihak untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas layanan kesehatan lanjut usia. Kami tahu di banyak tempat memang ada pelayanan kesehatan lansia, tapi umumnya hanya sekadarnya. Keprihatinan kami adalah bagaimana layanan yang sebenarnya harus diterima oleh para lanjut usia. Maka, kami pun menggalang kerjasama dengan organisasi-organisasi sosial yang berkaitan dengan lansia. Kami juga bekerjasama dengan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) di Jakarta mengenai kebutuhan kesehatan lanjut usia. Beberapa kegiatan yang kami sudah lakukan dari tahun 1998, antara lain, peningkatan peran lansia dalam penanggulangan HIV/ AIDS. Kemudian, kegiatan kami yang memang banyak diminati oleh masyarakat adalah kegiatan ‘Tua boleh, pikun jangan’ pada tahun 2004. Kegiatan ini bertolak dari pengandaian bahwa harus ada kegiatan yang terus-menerus untuk menghindarkan seorang lanjut usia menjadi pikun. Sejalan dengan semakin berkembangnya pengobatan tradisional, kami bekerjasama dengan Balai Pengembangan Obat Tradisional (BPOT) di Tawangmangu menyelenggarakan seminar kesehatan lanjut usia dengan obat tradisional. Hasilnya, di sana sudah dikembangkan PUSKESMAS yang melakukan pengobatan batuk, pilek, dan hipertensi dengan tanaman obat. 98 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Kami juga menyelenggarakan seminar-seminar geriatri kepada para petugas PUSKESMAS. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wakil Menteri Kesehatan, pakar geriatri masih jarang. Karena itu, para petugas PUSKESMAS perlu memahami sedikit mengenai pelayanan geriatri yang akan dikembangkan oleh Kementerian Kesehatan. Beberapa panel diskusi juga kami lakukan, seperti penatalaksanaan kesehatan lanjut usia. Sejalan dengan berdirinya KOMNAS Lansia, di daerah memang diharapkan terbentuk pula KOMDA Lansia, termasuk di Kota Bogor. Namun, mereka belum mengerti hendak melakukan apa? Kami pun memfasilitasi mereka melalui pertemuan-pertemuan konsultasi dan rapat koordinasi. Yang paling sering kami lakukan adalah bakti sosial, misalnya, operasi katarak gratis sejak tahun 2003. Kami melakukan kerjasama dengan Persatuan Dokter Ahli Mata Indonesia (PERDAMI) dari RSCM. PERDAMI di RSCM ini mempunyai banyak sekali dana coorporate social responsibility (CSR) yang mereka bingung menggunakannya, sehingga kami seolaholah jadi ‘broker’ mereka. Kami menjaring calon peserta dari masyarakat dengan memasang iklan di beberapa tempat, sehingga para calon itu datang ke Kementerian Kesehatan untuk melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dahulu. Kalau sudah siap mereka operasi, mereka akan dioperasi di RSCM secara gratis. Ini merupakan program andalan yang selalu ditunggu oleh para lansia yang memerlukan operasi katarak. Kami pernah menyusun dan menerbitkan buku pada tahun 2006 dengan judul Sehatkah Anda di Usia Senja? Buku itu menjelaskan apa yang akan terjadi secara alami apabila seseorang menjadi tua. Kemudian ada cara pencegahannya. Jadi, ini semacam buku yang memberikan pengetahuan kepada para lansia bahwa proses penuaan niscaya akan mereka alami dan bagaimana mencegah, misalnya, dampak negatif dari proses itu, sehingga meraka betul-betul siap secara fisik dan mental. Kami juga membantu KOMNAS Lansia dalam beberapa kegiatan, antara lain, dalam penelitian PUSKESMAS Santun Lansia pada tahun 2008. PUSKESMAS Santun Lansia adalah program Kementerian Kesehatan. Penelitian kami memusatkan perhatian pada sejauhmana program tersebut sudah dilaksanakan di beberapa provinsi di Indonesia. Kemudian, kami bekerjasama dengan Center for Ageing Studies (CAS) Universitas Indonesia dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita (PPSW) dalam penelitian Health & Financial Literacy Studies Among Older Women pada tahun 2011. Juga penulisan beberapa buku yang dibiayai oleh KOMNAS 99 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Lansia. Terus terang, dalam perjalanan, organisasi kami banyak sekali tantangan. Para pengurus bukanlah lansia yang duduk diam saja di kantor yayasan, tapi masih banyak yang mempunyai pekerjaan lain. Selain itu, pemahaman masyarakat tentang kelanjutusiaan masih terbatas. Ini masih merupakan ‘pekerjaan rumah’ yang besar untuk kita semua. Tantangan lainnya, jumlah dan kualitas layanan kesehatan lanjut usia juga masih terbatas. Ketersediaan tenaga keperawatan lansia pun demikian. Kita masih memerlukan banyak sekali care giver. Tantangan ini mulai coba dijawab dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan dasar sederhana, sehingga tenaga keperawatan lansia mulai tersedia dan siap melayani para lansia, terutama lansia di perkotaan. Tantangan lainnya adalah struktur organisasi Kementerian Kesehatan yang berubah saat ini. Dulu, unit lansia adalah satu sub direktorat tersendiri. Sekarang, digabungkan dengan beberapa sub direktorat lain menjadi Sub Direktorat Lansia, Indra, dan Bank Darah. Masalahnya, satu sub direktorat besar tapi dengan kapasitas pegawai yang terbatas melayani tiga macam kegiatan yang, terus terang, dananya juga tidak besar. Ini yang menyebabkan Kementerian Kesehatan juga tidak bisa mengembangkan program lansia. Secara internal, tenaga kami sendiri juga terbatas, sebagian besarnya adalah orang-orang sibuk dengan pekerjaan lain, sehingga rapat sering tidak bisa rapat paripurna. Langkah lanjut yang kami lakukan saat ini adalah review program kesehatan lanjut usia. Hasilnya akan kami advokasikan kepada Menteri Kesehatan atau menteri-menteri yang berkaitan, seperti Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Sosialisasi program kesehatan lanjut usia ke masyarakat masih kita lakukan. Biasanya banyak juga permintaan paguyuban lansia kepada kami untuk memberikan penyuluhan kepada mereka. Seminar-seminar kesehatan lansia yang kami lakukan di Kota Bogor ternyata disambut baik oleh para petugas PUSKESMAS. Tetapi, biayanya cukup mahal, bisa sampai Rp 1 - 1,5 juta setiap kali pertemuan. Padahal, kami para dokter juga masih perlu melakukan praktik, karena setiap lima tahun sekali harus mengurus surat tanda registrasi supaya tetap mendapatkan izin praktik. Dalam seminar-seminar tersebut, kami mengundang ahli farmakologi dari UI, ahli geriatri dari Bogor, dan ahli jiwa juga dari Bogor untuk memberikan masukan. Mereka juga amat 100 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat senang. Maka, kami berencana melakukan replikasi ke Kabupaten Bogor, Tangerang, dan daerah-daerah sekitarnya yang dapat kami jangkau. Demikianlah Yayasan Pelita Usila secara garis besar. Walaupun mungkin kegiatannya terbatas, tapi orang tahu bahwa ada Yayasan Pelita Usila.v 101 Mempromosikan Saling Dukung Lembaga-lembaga Lansia di Indonesia Eva A.J. Sabdono Yayasan Emong Lansia, Jakarta S eperti telah dipaparkan oleh begitu banyak narasumber, jumlah populasi lanjut usia di Indonesia sudah sangat pesat dan sangat tinggi. Tetapi kenapa belum masuk di dalam agenda pembangunan, belum merupakan prioritas di dalam agenda pembangunan pemerintah? Ini yang masih menjadi tanda tanya besar. Kebijakan atau program yang dilaksanakan oleh pemerintah kebanyakan masih menganggap bahwa masalah yang dihadapi lansia di daerah yang satu dengan daerah yang lain itu sama saja. Padahal sangat berbeda, tergantung lokasinya dan budayanya. Tidak bisa disama-ratakan semuanya. Selain itu, kita juga tidak boleh menganggap lansia hanya sebagai penerima pelayanan, penerima manfaat. Masih banyak lansia yang bisa ikut berkontribusi dalam pembangunan. Kalau dikatakan lansia yang miskin telantar jumlahnya sekitar 15% dari seluruh penduduk lansia, itu berarti bahwa masih ada 85% yang tidak miskin dan tidak telantar, yang memiliki potensi untuk didayagunakan. Kami di Yayasan Emong Lansia justru memusatkan perhatian pada mereka: bagaimana mendayagunakan yang 85% itu untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi oleh yang 15%. Kalau yang 85% tersebut --dari golongan ekonomi menengah ke atas-- mau peduli kepada yang 15%, sebetulnya 102 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat kita tidak perlu punya lansia miskin dan telantar, bahkan tidak harus tergantung pada pemerintah. Jadi, kalau kita bekerja bersama, berbuat sesuatu, mestinya tujuan-tujuan MDG’s untuk mengurangi kemiskinan sampai 50% bisa dicapai bahkan sampai 100% pada penduduk lansia yang miskin dan telantar selama ini. Tetapi, kenapa belum? Inilah masalahnya! Mari kita perhatikan peta Indonesia. Negara ini terdiri dari banyak pulau. Artinya, masalah lansia di satu provinsi, misalnya Aceh, jelas berbeda dengan masalah lansia di Papua. Karena itu, tidak bisa satu kebijakan berlaku untuk seluruh provinsi. Apalagi menangani masalah lansia bukanlah perkara mudah. Meskipun juga bekerja di akar-rumput, Yayasan Emong Lansia juga banyak melakukan advokasi pada pembuat kebijakan untuk meyakinkan mereka bahwa kebutuhan provinsi yang satu berbeda dengan provinsi yang lain. Contoh, daerah-daerah di Sumatera, Jawa, juga Papua, adalah daerah-daerah yang rawan bencana. Pengalaman kami waktu berkegiatan di daerah-daerah bencana di Aceh, Nias, Padang, dan Yogyakarta, semua NGO yang ada --CARE, Oxfam, World Vision, dan lainnya-- tidak ada yang memerhatikan lansia. Fokus mereka selalu --tidak salah-- adalah anak-anak dan perempuan. Lansia? No way! Baru saja, belum lama, dua minggu yang lalu, ada Konferensi Menterimenteri Asia tentang Pengurangan Risiko Bencana (Asian Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction, AMCDRR) di Yogyakarta. Kami pun diundang. Mereka mengirimkan rancangan-rancangan deklarasi yang akan dirangkum menjadi Yogyakarta Declarations. Di dalam rancanganrancangan tersebut, pada bagian tentang kelompok masyarakat rentan (the vulnerable people), kaum lansia (elderly) sama sekali tidak disebut. Jadi kami hadir, kami advokasi terus sampai akhirnya dalam naskah akhir deklarasi dicantumkan bahwa kaum lansia masuk dalam program Pengurangan Risiko Bencana (Disaster Risk Reduction, DRR) di Asia Pasifik. Hal semacam itulah yang biasanya dikerjakan oleh Yayasan Emong Lansia, lebih banyak advokasi yang diharapkan akan berdampak ke mana-mana. Jika ditanya tentang capaian-capaian penting (major achievement), tak berlebihan untuk mengatakan bahwa kamilah satu-satunya NGO yang hadir dalam Global Conference of Ageing di Madrid tahun 2002. Pada saat itu, ada sejumlah rekomendasi. Sayangnya, wakil-wakil pemerintah yang hadir, seperti biasa, tidak melakukan apa-apa setelah konferensi. Padahal, salah satu rekomendasi itu adalah supaya setiap negara, termasuk Indonesia yang ikut menandatangani deklarasi konferensi-- harus me- 103 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA nyusun suatu Rencana Aksi Nasional (RAN) Kelanjutusiaan. Untuk memantau pelaksanaan RAN tersebut, diamanatkan membentuk suatu Komisi Nasional Lansia. Setelah Madrid 2002, pada tahun 2003 kami mengadakan lokakarya nasional yang melahirkan RAN 2003-2008 dan Keputusan Presiden (KEPPRES) mengenai perlunya dibentuk Komisi Nasional (KOMNAS) Lansia. Itu salah satu pencapaian dari Yayasan Emong Lansia. Selama ini, program pemerintah untuk lansia dari dulu hanya meniru dari luar negeri. Contoh, membangun panti. Tidak ada inovasi, sementara jangkauannya sangat kecil, karena satu panti maksimum hanya bisa menampung seratus orang. Ada berapa di seluruh Indonesia saat ini? Kalikan dengan seratus. Berapa lansia yang yang terjangkau? Padahal, sudah sangat jelas bahwa jumlah lansia miskin dan telantar di negeri ini sudah mencapai 2,8 juta orang, sementara yang terjangkau oleh panti-panti yang ada belum sampai 100.000 orang. Kapan selesainya? Maka, pada tahun 2003, dengan bantuan dari Korea, kami menerapkan suatu proyek rintisan (pilot project): perawatan di rumah berbasis masyarakat (community-based home care). Semuanya dikerjakan oleh para relawan. Yang membanggakan adalah bahwa pada tahun 2006, pola program ini diadopsi menjadi program nasional. Sekarang, seperti yang telah disampaikan oleh Kementerian Sosial, sudah direplikasi di 19 provinsi, meskipun masih terbatas pada 22 kabupaten/kota. Bahwa ini adalah satu prakarsa dan rintisan NGO yang kemudian diadopsi oleh pemerintah menjadi proyek nasional, itu juga adalah suatu pencapaian tersendiri. Pencapaian lainnya adalah Jaminan Sosial Lanjut Usia (JSLU). Ini berawal dari hasil pengamatan dan pengalaman bekerja langsung di akar-rumput. Kami menyaksikan bahwa sektor informal tidak ada yang memerhatikan. Kami mendatangi Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan, dan beberapa kementerian lain yang berkaitan. Kami menanyakan apa yang mereka lakukan buat para nelayan atau petani yang sudah tidak bisa bekerja lagi? Apakah ada dana pensiun atau tidak untuk mereka? Tidak ada! Advokasi inilah yang mekahirkan JSLU, walaupun memang sampai sekarang jangkauannya masih kecil. Lagi-lagi ribut soal angka-angka, JSLU sekarang baru mencapai 26.000 orang, padahal 65% penduduk Indonesia bekerja di sektor informal. Betapa banyak mereka yang masih tidak memiliki jaminan sosial apapun, termasuk dana pensiun. 104 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Maka, keluarlah pemikiran mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) di mana kami ikut dalam diskusi dan pembicaraan. Rencananya, akan ada Dewan Sistem Jaminan Nasional yang --katanya-- akan mu-lai dilaksanakan pada tahun 2015. Bagi mereka yang tidak mampu membayar premium atau yang miskin --katanya lagi-- akan dibayarkan oleh pemerintah. Itu ceritanya, tetapi belum pelaksanaannya. Tujuan pokok kami memang ingin meningkatkan kualitas hidup lansia. Karena itu, banyak program yang kami lakukan, seperti program home care, adalah mendidik sebanyak mungkin relawan care giver. Setelah mereka mulai terjun bekerja langsung di lapangan sejak tahun 2004, sampai sekarang mereka masih ada, bahkan sudah berkembang terus ke banyak daerah. Tetapi, prinsip kami adalah bahwa mereka haruslah relawan. Kita sudah belajar banyak bahwa pekerja-pekerja sosial yang dibayar tidak pernah berkelanjutan (not sustainable). Para relawan adalah orang-orang yang bekerja dari dan dengan hati, dan mereka yang terbukti bisa bertahan. Kami semua di Yayasan Emong Lansia pun adalah para relawan, tidak ada yang dibayar, tidak ada yang digaji. Kami juga pernah menyelenggarakan Konferensi Internasional di Bali pada tahun 2008. Temanya adalah “Bekerja Bersama untuk Kesejahteraan Lansia” (Working Together for the Wellbeing of the Older Person). Jelas sekali, kita tidak bisa bekerja sendiri, harus bekerja dengan banyak pihak. Karena itu kami bekerja dengan banyak pihak, termasuk pemerintah, akademisi, dan masyarakat. Dalam melaksanakan programnya, Yayasan Emong Lansia berpedoman pada United Nations Principal of Ageing. Mungkin banyak yang sudah lupa. Kalau tidak salah, ada lima asas (prinsip): peranserta (participation), kemandirian (independent), kepedulian (care), pengejewantahan diri (self fulfillment). Asas yang keempat ini sering dilupakan, yakni bahwa lansia harus menentukan sendiri apa yang baik buat diri mereka: mau masuk panti atau tidak, misalnya, haruslah berdasarkan kemauan mereka sendiri. Asas yang terakhir adalah bermartabat (dignity). Program apapun yang dikerjakan, lima asas ini adalah pedoman dasarnya, sehingga kita tidak akan salah langkah dan salah arah. Kita sudah terlalu banyak mendengar, baik dari pemerintah maupun dari kalangan masyarakat, ternyata masih banyak masalah yang dihadapi oleh para lansia di negeri ini. Seperti yang sudah dijelaskan oleh Kementerian Sosial, ada 400 lebih organisasi yang menangani lansia: karang wredha banyak sekali, karang lansia, atau paguyuban, PWRI, atau apapun na- 105 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA manya. Mereka semua adalah bagian dari yang 85% yang masih perlu diberdayakan juga. Bagimana membuat mereka lebih efektif mengatasi masalah yang dihadapi oleh yang 15% tadi. Kami berencana --bekerjasama dengan CAS UI-- untuk mengadakan suatu evaluasi tingkat tinggi terhadap organisasi-organisasi berba-sis masyarakat (Community-based Organizations, CBOs) dan perkumpulan-perkumpulan lansia (Older People’s Associations, OPAs) sebagai entitas partisipasi masyarakat. Organisasi-organisasi dan perkumpulanperkumpulan tersebut sudah sangat banyak, tetapi masih tetap perlu ditingkatkan terus kemampuannya menangani isu-isu lansia. Setiap organisasi sebaiknya memang mengurusi lansia di wilayah masingmasing baik pada tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, atau desa, sehingga tidak perlu ada organisasi dari luar yang mengerjakannya. Kita juga memerlukan pengembangan bahan-bahan --semacam panduan-yang dapat diperbanyak tentang bagaimana memberdayakan CBOs dan OPAs ini. Rencana lainnya adalah advokasi, suatu lokakarya nasional tentang OPAs. Kemudian evaluasi pengaruh OPAs di tiga daerah: Jakarta, Yogyakarta, dan Aceh. Kebetulan saja Yayasan Emong Lansia ada kantor di tiga daerah tersebut. Juga karena Yogyakarta adalah daerah dengan jumlah penduduk lansia terbesar, sementara Aceh adalah karena dampak bencana besar tsunami tahun 2004 masih terasakan sampai sekarang oleh para lansia di sana. Terakhir, kami akan mendorong kegiatan-kegiatan advokasi oleh lansia sendiri untuk terlibat langsung dalam perdebatan tingkat lokal sampai nasional. Maksudnya, lansia sendiri harus berani membuka suara, jangan mengharapkan orang lain melaksanakan untuk mereka. Banyak sekali lansia yang potensial dan mampu melakukannya. Paling akhir, kami terus berupaya meningkatkan pengembangan OPAs agar meluas secara nasional. v 106 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat DISKUSI BAMBANG Nasional): PURWOKO (Dewan Jaminan Sosial S aya cuma memberikan informasi bahwa sebagian besar lansia di Indonesia sampai sekarang tidak punya jaminan pensiun. Hanya 20% yang punya. Ada kegagalan sistem. Pemerintah Orde Baru dulu dengan penekanan kebijakan stabiltas ekonomi dan stabilitas politiknya, tidak pernah memprioritaskan penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal, sehingga sampai Pak Harto lengser, komposisi sektor informal masih dominan. Kalau tidak bisa menciptakan lapangan pekerjaan, mestinya ada transformasi dari sektor informal ke formal. Padahal, BAPPENAS punya dokumen Manpower Memorandum. Kementerian Tenaga Kerja juga. Tapi, tidak pernah dilaksanakan. Orang sering langsung saja bicara soal jaminan sosial. Mestinya, sebelum bicara jaminan sosial, kita bicara dulu soal proteksi sosial. Ini yang tidak pernah dibahas. Padahal, jaminan sosial itu bukan segalanya, bukan bintang di langit, sangat tergantung dari kesempatan kerja. Karena itulah, Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) saat ini tidak menerapkan pemberian bantuan, tetapi pendekatan sistem. Masalahnya, lapangan kerja kita sampai sekarang masih rentan, 30% yang bekerja di sektor formal itu upahnya tidak lebih dari upah minimum provinsi. Contoh, keponakan saya lulusan S1 UNDIP, bekerja di Harian Kompas hanya dapat gaji 1,8 juta, beda tipis dengan upah minimum DKI yang 1,5 juta. Baru sekarang saja Menteri Perindustrian menegaskan bahwa perusahaan menengah ke atas harus memberi upah minimum 2 juta. Jadi, sangat ditentukan oleh niat pemerintah sekarang ini. Saya tidak pernah mendengar Pak SBY bicara tentang kesempatan kerja. Pemerintah-pemerintah daerah yang sudah dikasih otonomi juga tidak pernah bicara kesempatan kerja. ILO sudah menyarankan kita harus menyiapkan lebih banyak lapangan kerja dulu. Jadi, landasan dasar jaminan sosial itu adalah lapangan pekerjaan. 107 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA VITA PRIANTINA DEWI (Centre for Ageing Studies University of Indonesia): P ertanyaan saya singkat, hanya satu: kenapa dalam lokakarya ini tidak dimasukkan aspek teknologi?, karena teknologi itu juga merupakan tantangan dalam masalah penuaan peduduk dan pembangunan. SITI PARTINI SUARDIMAN (Pusat Studi Sumber Daya Lansia, Universitas Negeri Yogyakarta): P ertanyaan saya tujukan kepada Ibu Profesor Luh Suryani. Saya sangat sependapat dengan ide bahwa lansia tetap hangat di dalam keluarga, sehingga panti jompo sejauh mungkin dihindari. Saya sangat setuju itu. Tetapi di lapangan, banyak kenyataan seperti ini: lansia tinggal bersama anaknya di mana anaknya ini pasangan suami istri bekerja dari pagi sampai sore. Anak-anaknya masih kecilkecil, rumahnya sempit. Orangtua ini tinggal di rumah anaknya tentu saja kurang terlayani dengan baik karena si anak adalah suami istri yang harus mencari nafkah dari pagi sampai sore. Sementara itu, ada beberapa panti jompo, panti wredha yang memang menyediakan kamar untuk lansia, tapi membayar. Keluarga itu mampu membayarnya. Jadi memang ada semacam dilema. Sebenarnya saya sangat sependapat bahwa di tengah-tengah keluarga tentu lebih nyaman. Tapi, keadaannya seperti itu tadi: anak dan menantu bekerja sampai sore. Bahkan anak-anaknya pun kadang-kadang harus dititip-titipkan, karena memiliki pembantu juga kadang-kadang belum mampu, dan rumahnya terbatas. Itu masalah nyata di lapangan yang betul-betul terjadi. Kita sarankan lansia sebaiknya tetap tinggal bersama keluarga anaknya, tetapi ada panti wredha yang menyediakan kamar layak, meski harus bayar. Anak-anak dan cucu-cucunya hanya perlu menengok orangtua mereka di panti yang menurut saya di situ dia lebih terlayani dengan baik dan ada teman-teman sebayanya. 108 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat SUGIHARDJO (Lektor Universitas Negeri Sebelas Maret, Solo): D ari pagi sampai sekarang ini disampaikan berbagai permasalahan yang dihadapi lansia. Sebenarnya permasalahan lansia dibanding dengan warga kelompokkelompok umur yang lain, banyak sekali bedanya dan karakternya pun berbeda-beda. Contoh-contoh nyata pelayanan lansia juga sudah banyak dilakukan baik oleh LSM atau pemerintah. Saya punya gagasan yang nanti mungkin bisa diulas oleh Pak Rohadi terkait dengan lansia: apakah tidak dimungkinkan secara nasional ada semacam prioritas program yang perlu dilakukan untuk lansia? Kalau ada program nasional khusus untuk balita, misalnya, apakah juga tidak dimungkinkan program khusus untuk lansia --seperti yang sudah disampaikan oleh Pak Haryono? Kalau secara nasional ada program yang lebih menyeluruh, mungkin bisa lebih dihayati, jadi semacam pemberdayaan lansia secara lebih terpadu. Mengenai pendekatan yang perlu dilakukan, saya setuju dengan Ibu Luh Suryani yang lebih mengutamakan pendekatan keluarga, jadi bukan pendekatan kepada lansianya saja, tapi keluarganya juga. Ini seperti yang dilakukan oleh BKKBN dengan program Bina Keluarga Balita, pendekatan dilakukan kepada seluruh anggota keluarga dan itu lebih mengena. Jadi keluarganya juga tahu permasalahan lansia mereka. Ja-di bukan pendekatan individu tapi lebih pada pendekatan keluarga. Memang betul, orangtua itu memang agak lain. Misalnya, dia punya banyak anak, untuk ikut salah seorang dari anak-anaknya itu dia tidak mau. Dia inginnya di rumahnya sendiri. Semacam itu susahnya. CLARA MELIYANTI KUSHARTO (Gurubesar Institut Pertanian Bogor): K ita tahu ada dua jenis lansia, yaitu lansia potensial dan lansia yang memang terlantar, yang memerlukan bantuan. Karena saya dari perguruan tinggi, saya ingin fokus pada lansia potensial yang ada di lingkungan perguruan tinggi. Adanya batasan umur administratif untuk pensiun membuat mereka sedikit demi sedikit harus meninggalkan 109 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA aktivitasnya. Kalau tidak disiapkan, akan sayang sekali potensi tersebut yang sebenarnya ada, seperti tadi sudah diulas oleh Pak Toni Hartono. KOMNAS Lansia sudah menanggapi persoalan ini dengan baik, mengikutkan para lansia di lingkungan perguruan tinggi sebagai anggota. Juga oleh BKKBN dan Direktorat Pertahanan Keluarga. Sejak beberapa tahun lalu, antara lain oleh peran dari Yayasan Damandiri, kami di IPB memprakarsai dan aktif dalam satu wadah yang disebut Silver College. Yang ingin saya kemukakan adalah satu tantangan baru untuk membuat suatu kegiatan menyentuh mereka yang selama ini belum tercakup dalam keanggotaan KOMNAS Lansia, misalnya, mereka yang berada di lingkungan Kementerian Keuangan. Mereka ini pernah mengajak untuk memikirkan permasalahan negara yang krusial, yaitu masalah ketahanan keluarga yang utuh. Mungkin dengan banyaknya migrasi generasi muda kini yang bekerja di rantau, maka yang tinggal di rumah hanyalah para lansia bersama cucu-cucu mereka, sehingga stigma negatif tentang para lansia itu pun masih melekat. Permasalahan lain adalah mengenai ketahanan pangan. Kita lihat, penyedia pangan terutama petani atau juga nelayan itu mulai menua, sementara itu generasi muda mereka tidak tertarik sama sekali untuk bekerja sebagai para petani dan nelayan seperti orangtua mereka. Ini merupakan tantangan, terutama bagi kami dari perguruan tinggi pertanian, untuk mencoba membuat suatu kegiatan yang disebut dengan optimalisasi peran dari pada Silver College untuk melakukan kegiatan yang berkaitan dengan ketahanan keluarga dan ketahanan pangan. Maksud saya adalah: apakah kita bisa bersama-sama memikirkan satu entry point di mana para penyedia pangan tersebut bisa ki-ta angkat, karena mereka sudah mulai tua-tua, tetapi sekaligus juga bisa menggerakkan pemuda lokal untuk tetap berkiprah di bidang produksi pangan? Apa yang kami pikirkan adalah suatu konsep ‘lansia mapan.’ Lansia mapan itu dalam pengertian yang sehat, produktif, mandiri, dan mempunyai aset yang belum dioptimalkan di tempat asalnya. Mungkin harus ada satu penggerak dari kita, sehingga mereka mau kembali lagi ke tempat asal dengan persiapan yang memadai. Sehingga, mereka itu tidak hanya angan-angan jika ditanya: “Kalau sudah pensiun mau ke mana?” Kembali ke daerah atau ke tempat asal? Mereka mungkin hanya betah satu bulan atau dua bulan untuk bernostalgia. Setelah itu, karena tidak dipersiapkan --padahal punya aset di tanah kelahiran 110 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat atau di tempat tinggalnya-- mereka kembali lagi ke kota, atau kembali lagi ke tempat yang memang dihabiskan selama seperempat atau sepertiga kehidupannya. Bisakah kita membuat satu kegiatan khusus dalam hal ini? Mumpung ada tawaran dana dari LPD (Lembaga Pengelola Dana) dari Kementerian Keuangan yang sekarang sedang menawarkan satu kegiatan yang bisa memecahkan pemasalahan bangsa, yaitu mengenai ketahanan pangan, ketahanan energi, dan kemudian ketahanan keluarga. LUH KETUT SURYANI (Narasumber): T erima kasih pada Ibu Siti yang menanyakan apakah orang lanjut usia yang tidak terurus dan tidak ada yang menghiraukan itu tidak sebaiknya dibawa ke panti jompo saja, karena anak-anaknya sibuk dan cucu-cucunya juga sibuk? Dalam pengalaman kami --dari diskusi dengan orang-orang tua dan mereka yang punya masalah semacam itu-- ternyata adalah waktu mereka masih muda, lalu punya anak, mereka sibuk bekerja dengan dalih untuk mendapatkan pendidikan yang baik buat anak-anaknya. Padahal anakanak itu bukan hanya uang yang mereka perlukan, tetapi juga kasih sayang, dan inilah yang tidak mereka peroleh. Maka, setelah anak-anak itu dewasa, setelah orang tuanya menua, ikatan mereka pada orangtuanya tidak ada dan ini yang menyebabkan anak-anak itu pun melakukan hal yang sama. Pada saat itulah Dinas Sosial datang dengan tawaran jalan keluar membawa para orangtua itu ke panti jompo. Kami berpendapat sebaiknya Dinas Sosial tidak melakukan itu, tetapi melakukan pendekatan kepada masyarakat, pencerahan kepada masyarakat, seperti yang kami lakukan baik di TV, di radio, maupun di pertemuan-pertemuan. Kalau kita tidak ingin melahirkan anak-anak yang durhaka pada orangtuanya, mulailah dari diri kita sendiri. Anak-anak itu pun harusnya ada waktu untuk orangtuanya. Kemudian anaknya sendiri pun harusnya dibina agar dia peduli pada kakek atau neneknya di rumah. Tanpa upaya pendekatan seperti itu, siklus ini akan berlanjut terus dan akhirnya di Bali maupun Indonesia nanti tidak ada orang lagi peduli dengan orangtuanya. Jadi, harusnya kita tidak secara gampangan memecahkan masalah ini dengan begitu saja memilih cara healing ke panti jompo. Bayangkan kalau semua orang mengirim lansia ke panti jompo, maka Bali, misalnya, atau daerah lain, akan penuh dengan panti jompo. Padahal panti jompo 111 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tidak menyelesaikan masalah. Kami berharap masyarakat sendiri di sekitarnya juga ikut membantu. Karena, kita semua akan jadi tua. Sekarang mungkin kita tidak tua, tapi nanti kita pun akan tua, akan sama juga. Jadi, yang perlu ditanamkan adalah masyarakat kita harus peduli dengan orang lain. Yang ada sekarang adalah kecenderungan selalu meminta bantuan, tetapi tidak pernah mau peduli dengan orang lain. Sistem yang dilakukan selama ini memang demikian, kita dilatih untuk tidak peduli dengan orang lain. ROHADI HARYANTO (Narasumber): S ecara pribadi, setelah mengamati berbagai program lansia ini, saya kira masih terbuka kesempatan berbagai alternatif. Saya kira ini sangat situasional, tergantung masing-masing keluarga, tergantung kemampuan pribadi, tergantung struktur masyarakat, dan sebagainya. Saya pernah juga berkunjung ke panti jompo di Surabaya. Seperti tadi yang dikemukakan Bu Partini, memang ada lansia yang lebih suka di panti jompo, karena di situ berkumpul dengan teman-teman sebaya, bisa cerita, bisa nostalgia masa lalu, dan sebagainya. Dia cukup bahagia. Di hari-hari tertentu, dia hanya menengok saja ke rumah anaknya, tapi setelah itu kembali lagi ke panti. Kasus seperti itu memang ada, karena si lansia yang bersangkutan memang tidak dekat dengan anak-anaknya. Dengan catatan, memang dia mampu membayar sewa kamar di panti. Artinya, keadaan ekonomi si lansia itu memang cukup dan lebih baik. Secara umum, saya lihat apa yang dikembangkan melalui pendekatan home care memang sangat bagus. karena prinsip home care adalah berbasis komunitas, dikerjakan oleh masyarakat sendiri. Dalam hal ini memang perlu dibentuk pelembagaan. Pak Jhoni dari Kementerian Sosial tadi bisik-bisik pada saya bahwa pendekatan home care ini akan ditingkatkan seperti apa yang dikerjakan oleh PUSAKA. Jadi, ada organisasi berbasis komunitas yang mengelolalnya. Sebab, dengan home care yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial selama ini, yang memberi bayaran kepada keluarga yang melaksanakannya, justru menghilangkan kerelawanan. Apa yang dikembangkan oleh PUSAKA adalah ada organisasi di dukuh atau di tingkat RW yang menangani. 112 BAGIAN KEEMPAT: Pengalaman Lembaga Swadaya Masyarakat Mereka mencari relawan untuk memberikan pelayanan kepada para lansia di lingkungan mereka. Kalau ada masalah kesehatan, baru mereka bawa ke PUSKESMAS. Kalau ada dukungan JSLU (Jaminan Sosial Lanjut Usia), mereka bisa mencarikan dukungan itu ke Kementerian Sosial, dan sebagainya. Saya kira relawan yang di kampung ini yang akan membantu permasalahan yang dihadapi oleh orang tua yang ada di wilayahnya. Dengan catatan, memang keluarganya harus tetap juga bertanggungjawab, jangan sampai nanti kader atau para relawannya yang aktif, tetapi anakanak dari orang tua itu sendiri tidak peduli. Jadi, saya lihat apa yang dikembangkan oleh Pak Haryono dengan POSDAYA itu juga berbasis kegiatan masyarakat setempat memberikan dukungan kepada para lansia di sana. Saya kira itu sangat tepat, hanya namanya mungkin kadang berbeda, ada yang menyebutnya dengan home care, ada yang menyebutnya PUSAKA, dan lainnya. Tetapi yang penting di situ adalah ada organisasi di tingkat masyarakat yang menangani pelayanan khusus bagi para lansia. Kemarin, tetangga saya di Solo, ada dua orang lansia hilang. Orang tua itu hilang karena tetangganya tidak peduli. Mereka berdua keluar jalan-jalan, akhirnya tak ketahuan ke mana, hilang sampai sekarang tidak ketemu. Saya kira kasus seperti itu bisa diingatkan kepada mereka yang mengelola kegiatan pelayanan bagi para lansia yang ada di tingkat kampung atau dukuh. Harus ada kepedulian yang cukup tentang masalah-masalah kesehatan, masalah perawatan, bantuan makanan, dan sebagainya. Itu yang saya kira masih tetap ‘promising’ di Indonesia. BONDAN SIKOKI (Moderator): K arena waktunya sudah habis, maka saya akan menjawab singkat saja pertanyaan dari Vita. Memang ini satu kekurangan dari lokakarya ini. Aspek teknologi luput dari perhatian kami. Terima kasihnya atas masukannya. v 113 BAGIAN KELIMA PENGALAMAN AKADEMISI NARASUMBER: n Dr. Fatma, SKM, MSc Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia n Indrasari Tjandraningsih, MA AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung n Hilman Latief, Ph.D Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) MODERATOR: Dr. Evi Nurvidya Arifin Institute fo South East Asian Studies (ISEAS), Singapura Masalah Gizi Usia Lanjut: Upaya Penelitian & Pengembangan Fatmah Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia M anusia yang sudah menjadi usia lanjut itu mempunyai beberapa ciri khas dari sudut karakter fisik, misalnya, berat badan mulai menurun perlahan-lahan. Akibatnya mungkin akan mengalami kekurusan. Karena berat badan menurun, perasaan akan terasa lemah. Akibatnya lebih lanjut, mudah sekali merasa lelah dan semua aktivitas fisik tentu akan melambat. Kita melihat beberapa orang tua kalau berjalan harus dituntun atau harus berpegangan pada benda-benda yang bisa digunakan untuk berpegang. Masalah-masalah Gizi Lansia Masalah gizi paling utama yang ditemukan pada kelompok lansia adalah malnutrisi, baik itu kekurangan gizi atau, sebaliknya, malah gizi berlebihan. Dari mana kita tahu bahwa seorang lansia itu menderita malnutrisi? Kita bisa lihat dari dua deteksi awal. Pertama, ada tidaknya penurunan berat badan baik secara drastis maupun perlahan-lahan. Kedua, adanya penurunan selera makan. Bila dua hal ini kita temukan pada 116 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi seorang lansia, maka harus waspada. Jika dibiarkan, lambat laun akan mengalami kekurangan gizi. Kenapa hal itu terjadi? Pertama, tentu saja, karena asupan kalori yang sangat rendah. Kebutuhan kalori seorang lansia memang lebih rendah dibanding seorang dewasa muda. Hal ini dapat dilihat pada lansia yang sudah mengalami gangguan fungsi organ tubuhnya, misalnya, sering buang air kecil tanpa disadari. Komposisi tubuhnya mulai bergeser di mana terjadi penurunan massa otot tetapi malah meningkat massa lemak. Hal ini memang tidak bisa dicegah, karena regenerasi fungsi organ-organ tubuhnya sejalan dengan usia menua. Selain itu, juga adanya perubahan sosial ekonomi. Seorang lansia yang tadinya bekerja, kemudian tidak bekerja, sehingga tidak mempunyai pendapatan, akan membawa dampak psikologis bagi dirinya. Beberapa lansia juga ditemukan sering menderita diare, infeksi --seperti TBC-- yang memang masih banyak ditemukan di negara-negara berkembang, khususnya di Indonesia. Tak kalah pentingnya adalah efek samping dari konsumsi obat. Mungkin lansia itu menderita suatu penyakit tertentu di mana efek samping yang muncul adalah rasa mual sehingga mengurangi selera makannya. Tak kalah penting juga adalah peran persoalan-persoalan psikologis dalam dirinya, misalnya, setelah kehilangan pasangan hidup atau merasa dirinya dijauhkan oleh keluarganya. Hal-hal itulah semua yang bisa memengaruhi penurunan selera makan yang, pada gilirannya, menurunkan berat badan seorang lansia. Jika seorang lansia mengalami malnutrisi, maka dampak pertama yang akan segera dialaminya adalah bila dia menderita penyakit. Akibat malnutrisi, proses kesembuhannya akan lebih lama, karena asupan nutrisi memengaruhi kecepatan penyembuhan penyakit. Malnutrisi juga mengakibatkan massa otot menurun, menjadikan seorang lansia tampak mengurus dengan cepat, sehingga tubuhnya menjadi lebih rentan pada penyakit, baik penyakit infeksi maupun penyakit degeneratif. Akibat lanjutannya adalah meningkatnya angka kesakitan dan kematian. Masalah-masalah Terkait Masalah gizi lansia di Indonesia belum menjadi perhatian serius oleh para tenaga kesehatan. Seringkali masalah gizi lansia tidak menjadi prioritas untuk ditangani di rumah sakit sebagai bagian dari terapi kesehatan. Oleh karena itu, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 117 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA telah menyusun suatu pedoman konsensus tentang penatalaksanaan gizi lansia di rumak sakit. Masalah lainnya adalah belum dicakupnya pembelian obat-obatan dan suplemen gizi dalam asuransi kesehatan, sehingga semua harus dibeli sendiri oleh lansia yang menderita suatu penyakit tertentu. Sementara itu, beberapa produk nutrisi yang mendukung kesehatan lansia --seperti susu dan makanan-makanan yang bisa menggantikan fungsi nasi-- masih dianggap sebagai suplemen pelengkap. Padahal, seorang lansia kadang-kadang harus mengonsumsi susu tersebut dalam waktu lama. Juga menjadi masalah saat ini adalah keluarga maupun pengasuh kelompok lansia biasanya belum memahami aspek-aspek kesehatan, gizi, dan psikologis pada lansia. Seringkali mereka tidak menyadari bahwa dampak psikologis bisa memengaruhi peningkatan asupan kalori yang seharusnya dimiliki oleh seorang lansia. Dari semua masalah tersebut, dapat dilihat beberapa data prevalensi nasional yang terkait dengan malnutrisi, tetapi lebih mengarah kepada gizi berlebihan. Data ini diambil dari Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2010, antara lain, menampilkan prevalensi penyakit jantung sudah mencapai angka 7,2% sebagai angka rerata nasional. Khusus untuk Yogyakarta, sudah di atas angka prevalensi nasional tersebut, yakni 7,3%. Lalu prevalensi stroke nasional adalah 0,8%, Yogyakarta mencatat angka sama, hanya lebih sedikit, yakni 0,84%. Diabetes mellitus: nasional 1,1%, Yogyakarta sudah di atasnya, yakni 1,6%. Yang cukup mengagetkan adalah prevalensi tumor, nasional 4,3% dan Yogyakarta sudah mencapai dua kali lipat, yaitu 9,6%. Demikian pula dengan hipertensi: secara nasional 29,8%. Penduduk lansia Yogyakarta kini juga sudah melampauinya, yaitu 35,8%. Untuk faktor-faktor risiko yang mengarah pada penyakit degeneratif, yang memperlihatkan rendahnya aktivitas fisik pada kelompok usia lanjut, prevalensi nasional adalah 48,2%. Salah satu kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, yakni Gunung Kidul --yang proporsi penduduk lansianya tertinggi, yakni 12,96%-- malah sudah mencatat prevalensi penyakit degeneratif lansia jauh di atas prevalensi nasional, yakni 65,3%. Dengan kata lain, aktivitas fisik penduduk lansia di Gunung Kidul jauh lebih rendah atau lebih sedikit dari rerata para lansia di daerah lain. Lalu, gizi kurang atau disebut dengan IMT kurus, 118 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi prevalensi nasional adalah 14,8%, gizi berlebih 8,8%, dan gemuk 10,3%. Yogyakarta mencatat untuk gizi kurang atau Indeks Massa Tubuh (IMT) kurus 17,6% --di atas angka nasional-- gizi berlebih 8,5%, dan gemuk 10,2% --nisbi sama dengan angka nasional. Untuk obesitas, prevalensi nasional 19,1%, Yogyakarta berada di bawah tapi hampir menyamai angka nasional tersebut, yakni 18,7%. Obesitas Sentral: nasional 18,8% dan juga hampir disamai oleh Yogyakarta, yakni 18,4%. Prevalensi nasional untuk konsumsi energi yang rendah pada kelompok lansia adalah 59% dan protein yang rendah 58,5%. Yogyakarta sudah mencatat di atasnya, untuk konsumsi energi yang rendah adalah 67,1% dan protein yang rendah adalah 66,9%. Penanganan Malnutrisi Lansia Memerhatikan fakta-fakta di atas, harus segera ditetapkan beberapa upaya untuk menurunkan prevalensi penyakit-penyakit degeneratif. Pertama, perhatikan konsumsi gizi --makro maupun mikro-- yang seimbang pada makanan para lansia. Kedua, perbanyak makanan berserat. Ketiga, para lansia harus mengurangi makanan yang mempunyai rasa manis, asin, dan kandungan lemak jenuh, misalnya, goreng-gorengan dan beberapa daging merah yang mengandung kolesterol cukup tinggi. Keempat, perhatikan kondisi psikologi lansia agar mereka mau makan dalam suasana menyenangkan, tidak disertai rasa stress. Kelima, jangan lupa melakukan aktivitas fisik seperti berjalan kaki minimal 30 menit sebanyak tiga kali seminggu. Tidak perlu setiap hari, yang penting 30 menit sebanyak tiga kali seminggu. Mungkin ada yang mengambil langkah pintas, melakukannya hanya sekali seminggu, tetapi selama 1,5 jam. Cara jalan pintas semacam ini sangat tidak disarankan. Keenam, jangan lupa waktu tidur diatur, butuh kurang lebih 6 jam untuk istirahat, sisanya silakan dipakai untuk melakukan aktivitas ringan. Kebutuhan Gizi Lansia Yang disebut sebagai gizi seimbang, komposisinya adalah 60-65% karbohidrat kompleks, 20-25 % asupan protein, dan 20% lemak --sebaiknya lebih banyak mengonsumsi lemak nabati dibanding lemak hewani, karena lemak hewani mengarah pada peningkatan kolesterol. Selain itu, perbanyak makanan sumber vitamin A, D, E, B12, B1, asam folat, dan C 119 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA yang menunjang kesehatan. Perbanyak makanan sumber Fe, Zn, Ca, K, dan P. Perbanyak minum air putih, minimal 8 gelas sehari, dan serat dari sesayuran serta bebuahan. Penelitian dan Pelayanan Masyarakat Kami sudah melakukan beberapa kajian tentang gizi usia lanjut, antara lain, kajian antropometri untuk penetapan status gizi (PSG) lansia. Bagi lansia yang sudah lumpuh atau mengalami osteoporosis, sehingga tidak bisa lagi diukur tinggi badannya secara tegak, kami gunakan alat penduga (predictor) panjang depa, tinggi lutut, dan tinggi duduk. Dari kajian tersebut, kami sudah melakukan kajian validasi sehingga yang menghasilkan enam model untuk memprediksi tinggi badan lansia. Untuk menggantikan penggunaan alat antropometri yang terbuat dari kayu, kami telah mengembangkan alat IMT-meter yang menggunakan sensor elektronik. Cukup dengan duduk saja, seorang lansia yang sudah lumpuh bisa diukur tinggi dan berat badannya. Kami melakukan pengabdian masyarakat berupa sosialisasi pengukuran tinggi badan prediksi dengan alat antropometri manual. Ini dilaksanakan di Depok dan Jakarta tahun 2010 dan 2011. Kemudian pengabdian masyarakat berupa aplikasi teknologi IMT-meter bagi kader Pos Pembinaan Terpadu (POSBINDU) dan petugas PUSKESMAS di Kota Depok tahun 2012. Rencana dan Tindak Lanjut Kami telah berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk menyusun buku pedoman tatalaksana pelayanan gizi lansia bagi petugas PUSKESMAS. Kami juga akan mengsosialisasikan alat IMT-meter ke beberapa daerah sekaligus melakukan pelatihan penggunaannya. v 120 Pasar Kerja Fleksibel & Beban Kerja Lansia Indrasari Tjandraningsih AKATIGA, Pusat Analisis Sosial, Bandung A da satu kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia yang tidak berkaitan langsung dengan lansia, tapi ternyata dampaknya bisa dikatakan langsung --selain tidak langsung-- terhadap lansia. Satu kebijakan itu adalah yang disebut pasar kerja fleksibel. Pasar kerja fleksibel adalah suatu kebijakan yang intinya adalah untuk mempermudah dunia usaha atau pebisnis bergerak secara lebih pegas (fleksibel), terutama ketika guncangan-guncangan ekonomi yang sifatnya global, nasional, maupun lokal makin sering terjadi. Kebijakan pasar kerja fleksibel ini diterapkan di Indonesia dan dilegalkan melalui Undangundang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Argumen pokok yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa kebijakan pasar kerja fleksibel ini telah menurunkan kesejahteraan dan kondisi kerja buruh yang, pada gilirannya, membawa dampak ikutan yang menambah beban bagi lansia dan menurunkan kesejahteraan mereka juga. Saya ingin menggarisbawahi bahwa fokus uraian ini adalah untuk melihat dampak kebijakan tersebut secara lebih khusus pada lansia, terutama lansia di kawasan pedesaan dan lansia yang miskin. Mengapa? Karena data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 memperlihatkan bahwa sebagian besar lansia memang ada di pedesaan. Lansia di pedesaan 121 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA itu juga pendidikannya rendah. Alasan lain adalah bahwa di sektor perburuhan, para buruh yang bekerja di sektor formal atau di pabrikpabrik di perkotaan kebanyakan justru berasal atau datang dari pedesaan. Jumlah lansia sebagai angkatan kerja di pedesaan juga cukup tinggi, laki-laki 73% dan perempuan 38%. Mayoritas bekerja di sektor pertanian atau sektor informal. Dari semua lansia yang bekerja di pedesaan tersebut, 75% tidak pernah sekolah atau tidak tamat SD. Persentase lansia yang bekerja di perkotaan lebih rendah, 65% tamat SD. Tetapi, apa sebetulnya pasar kerja fleksibel itu? Yang paling mudah dikenali adalah praktik-praktik kerja kontrak dan outsourcing. Ini yang menjadi isu yang paling ‘panas’ di kalangan buruh saat ini. Baru kemarin saja, surat-surat kabar memberitakan bahwa Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi sudah menandatangani satu peraturan baru yang mengatur outsourcing, tetapi belum keluar karena masih sedang diolah di Kementerian Hukum dan HAM. Intinya adalah hubungan kerja kontrak. Hubungan kerja kontrak itu berarti seseorang dipekerjakan oleh orang lain untuk masa tertentu. Undangundang di Indonesia hanya membatasi kontrak paling lama sampai 3 tahun dan kontrak itu rentangnya bisa 3 bulan sampai 3 tahun. Yang kedua adalah hubungan kerja melalui mekanisme outsourcing, yakni seseorang direkrut oleh orang lain yang akan menggunakan tenaganya melalui perantaraan pihak ketiga --juga dikenal sebagai PPJP (Perusahaan Penyalur Jasa Pekerja)-- yang fungsinya sebetulnya tidak jauh dari fungsi Perusahaan Penyalur Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PPJTKI) yang selama ini mengirim tenaga kerja ke luar negeri. Bedanya adalah bahwa PPJP hanya menyalurkan tenaga kerja ke perusahaanperusahaan di dalam negeri. Bersama serikat buruh yang sekarang paling kuat di Indonesia --yaitu Federasi Serikat Pekerja Nasional Indonesia (FSPNI)-- pada tahun 2010, AKATIGA melakukan penelitian untuk mengetahui: apa sebetulnya pasar kerja fleksibel dan praktiknya seperti apa? Beberapa hal berikut adalah temuan penelitian tersebut. Pertama, pasar kerja fleksibel itu menciptakan pengelompokan pekerja berdasarkan status hubungan kerja dan usia. Sejak ada pasar kerja fleksibel, kita punya tiga hubungan kerja yang belum tercatat dalam data statistik. Jadi ada pekerja tetap, yaitu orang yang bekerja sampai pensiun. 122 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi Kemudian ada pekerja kontrak, yaitu mereka yang bekerja melalui kontrak langsung oleh perusahaan yang mempekerjakan. Kemudian yang ketiga adalah pekerja outsourcing, yakni mereka yang bekerja melalui pihak ketiga. Berdasarkan usia, secara langsung terjadi pengelompokan. Para pekerja tetap adalah mereka yang relatif dewasa, masih dalam kelompok usia produktif, umumnya usia 30-40 tahun. Adapun pekerja kontrak dan pekerja outsourcing umumnya adalah kelompok-kelompok usia yang lebih muda. Penerapan kebijakan pasar kerja fleksibel ternyata cenderung hanya menerima pekerja kelompok usia 18-22 tahun, kelompok usia pekerja yang sekarang paling laris dan sangat diminati oleh perusahaanperusahaan. Akibatnya, kesempatan kerja di sektor formal menjadi semakin terbatas, terutama bagi mereka yang tidak termasuk dalam kelompok usia 18-22 tahun. Implikasi lanjutan dari penerapan pasar kerja fleksibel itu adalah diskriminasi berdasarkan status hubungan kerja. Ada semacam hierarki. Paling atas --para ‘menak’-- adalah pekerja tetap, karena mereka mendapatkan berbagai fasilitas, upah, peningkatan jenjang karir, dan sebagainya. Kasta paling bawah adalah pekerja outsourcing, karena mereka hanya mendapatkan upah pokok dan ‘kadang-kadang’ tunjangan makan dan transport. Situasi ini berimplikasi menurunkan kondisi kerja dan posisi tawar. Mengapa? Karena, praktik tersebut kini berlangsung sangat masif di Indonesia. Dengan mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing, ada dua keuntungan bagi perusahaan. Pertama, menurunkan biaya tenaga kerja. Kedua, mengalihkan urusan administratif ketenagakerjaan, pengendaliannya dan segala macam urusan yang berkaitan dengannya, ke pihak ketiga. Sehingga, para pengusaha sebenarnya ‘tinggal terima jadi’. Kalau ada keluhan-keluhan terhadap pekerja tidak usah langsung ditangani, cukup menelepon perusahaan penyalurnya saja untuk segera mereka selesaikan. Implikasi berikutnya adalah terjadi informalisasi hubungan tenaga ker-ja di sektor formal. Di dalam praktik outsourcing --ini banyak sekali terjadi-- hubungan-hubungan kerja dilakukan secara informal. Berbagai macam tunjangan yang biasanya diberlakukan oleh buruh formal, tidak diberikan. Ini adalah beberapa bukti bagaimana pasar kerja fleksibel itu diterapkan. Semua itu kemudian membawa dampak bagi pekerja di sektor formal 123 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA sekarang. Kepastian kerja mereka berkurang. Karena hubungan kerja adalah kontrak untuk jangka waktu tertentu dan dengan syarat-syarat tertentu pula, maka tidak ada harapan lagi bagi mereka untuk dapat menjadi pekerja tetap --apalagi untuk mendapat dana pensiun. Tentu saja, upah dan tunjangan mereka berkurang atau lebih kecil dibanding pekerja tetap. Akibat lanjutannya, kesejahteraan menurun dan produktivitas pun ikut menurun. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa buruh di Indonesia terkenal upahnya paling rendah di seluruh Asia. Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa para buruh di sini sangat rajin berunjuk-rasa menunut kenaikan upah. Sekarang, mereka menuntut upah minimun regiobal (UMR) minimal Rp 2 juta dan itu membuat para pengusaha yang bergabung dalam Asosiasi Pengusahan Indonesia (APINDO) kebakaran jenggot. Sejak tahun 1970 --ketika Indonesia mulai mengalami industrialisasi-sampai tahun 2012 saat ini, pola hidup buruh tidak berubah. Berbagai penelitian menunjukkan keadaan pada tahun 1970, 1980, 1990, 2000, 2010 --mungkin juga nanti sampai tahun 2015 dan 2020-- polanya masih tetap. Buruh-buruh di sektor formal itu bisa bertahan hidup dengan dua cara utama. Pertama, berutang, bisa ke tetangga, teman, warung terdekat, pokoknya bisa ke mana saja, termasuk ke tukang kredit. Kedua --inilah yang berkaitan dengan kaum lansia-- menggantungkan sebagian dari beban hidup mereka kepada orang tua. Ada tesis yang mengatakan bahwa --dari tahun 1970 sampai tahun 2012-- industrialisasi Indonesia sebenarnya disumbang oleh warga desa. Artinya, sebagian besar buruh di Indonesia yang bekerja di pusat-pusat industri --terutama di Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, dan Batam-- semua datang dari pedesaan. Karena upah mereka tidak memadai, maka mereka kembali kepada orang tua di desa. Apa bentuknya? Sangat biasa, seperti kalau mahasiswa kos-kosan di kota, terus uang habis, tiada jalan lain kecuali pulang ke orangtua di kampung untuk minta tambahan uang saku! Itu mahasiswa yang masih kuliah. Tetapi, para buruh ini adalah mereka yang sudah bekerja. Biasanya, orangtua mengirim beras atau bahan makanan, paling tidak untuk mencukupi kebutuhan makannya saja dulu. Kalau mereka sudah berkeluarga dan punya anak, banyak sekali yang menitipkan anaknya di kampung, karena tidak mampu untuk menitipkan anak-anaknya di penitipan anak di kota. Demikian pula dengan tempat tinggal. Masih banyak buruh di perkotaan yang sewa 124 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi tempat tinggal atau kos-kosannya dibantu sebagian oleh orangtua mereka. Dampak Pasar Kerja Fleksibel bagi Lansia Di sinilah muncul ‘irisan’ antara kebijakan ketenagakerjaan dengan kaum lansia. Semua yang diuraikan tadi adalah dampak yang perlu lebih dicermati. Setahu saya, hal ini belum pernah diteliti, karena persinggungan keduanya ini merupakan satu hal baru. Tetapi, dari pola hidup buruh untuk bertahan selama ini, ternyata ada satu fenomena di mana terjadi satu pola ‘ketergantungan baru’ secara terbalik menurut kelompok usia. Menurut penjelasan para pakar ekonomi, selama ini ada satu konsep yang disebut ‘rasio ketergantungan’ (dependency ratio). Intinya adalah orangorang tua bergantung kepada kaum usia produktif. Gejala yang dihasilkan atau dampak dari kebijakan pasar kerja fleksibel jutsru memperlihatkan keadaan sebaliknya, usia produktif yang bergantung kepada para orangtua mereka. Ini adalah satu fenomena yang punya implikasi luas. Perlu kita berpikir ulang dan melakukan redefinisi: sebenarnya apa yang dimaksud dengan orang-orang tua yang dianggap tergantung kepada orang-orang muda usia produktif? Apa itu lansia? Apa itu ketergantungan? Implikasi lanjutannya adalah tentu saja menjadi lebih rentan kehidupan para lansia, karena diasumsikan seseorang yang berusia 60-65 tahun seharusnya sudah santai, sudah bisa menikmati hidup --ini pun sebenarnya adalah anggapan ‘bias kota’-- tetapi pada kenyataannya mereka tetap harus bekerja untuk menanggung sebagian biaya kehidupan anak-anaknya yang notabene sudah bekerja di kota. Implikasi lainnya, tentu saja, adalah meningkatnya beban sosial-ekonomi, memaksa lansia terus bekerja, dan bisa jadi masuk ke lingkaran kemiskinan. Semua hal itulah, pada akhirnya, membawa kita pada rekomendasi kebijakan. Pertama, perlu meninjau ulang kebijakan pasar kerja fleksibel, karena selain membawa dampak negatif bagi para pekerja, ternyata juga berdampak berat bagi orangtua para pekerja tersebut. Kedua, mungkin juga harus meninjau ulang konsep rasio ketergantungan dalam konsep ilmu ekonomi tentang hubungan antara penduduk lansia dengan penduduk usia produktif. Ketiga, memberikan jaminan sosial dan tentu saja membuat fasilitas publik yang memadai untuk kaum lansia. v 125 Peran Organisasi Filantropi Berbasis Keagamaan dalam Penanganan Lansia Hilman Latief Universitas Muhammadiyah Yogyakarta I stilah ‘filantropi’ kini mulai banyak digunakan di Indonesia. Biasanya, istilah itu di’Indonesia’kan menjadi ‘kedermawanan’. Dalam bahasa asalnya, Yunani, akar katanya adalah philo dan thropus, artinya: cinta manusia. Jadi, filantropi adalah sikap kedermawanan yang dimotivasi oleh rasa cinta kepada sesama manusia. Ungkapan kecintaan itu, antara lain, diwujudkan dalam tindakan memberi (giving) dan peduli (caring). Yang menarik adalah tradisi memberi itu semakin meningkat di Indonesia akhir-akhir ini dan, tentu saja, banyak faktor penyebabnya, termasuk semakin menguatnya kelompok kelas menengah --tentu saja kelas menengah ada berbagai pengertian dan tingkatan-- yang intinya adalah mereka yang sudah bisa mencukupi hidupnya sehingga dapat membagi sebagian dari miliknya kepada orang lain untuk alasan sosial atau kemanusiaan. Sudah banyak dibahas tentang bagaimana sulitnya menerapkan kebijakan pemerintah dalam bidang kesejahteraan sosial. Skema asuransi kesehatan, JAMKESOS, JAMKESMAS, dan sebagainya, meskipun itu su- 126 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi dah menjadi agenda negara tapi dalam praktiknya ‘jauh panggang dari api’. Masih banyak sekali persoalan-persoalan yang dihadapi. Jaminan kesehatan untuk warga miskin, misalnya. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak sekali warga miskin yang bahkan tidak berani pergi ke PUSKESMAS. Banyak soal, misalnya, perlakuan petugas yang sangat memengaruhi pandangan warga terhadap lembaga pelayanan publik tersebut. Saya pernah melakukan riset dan menemukan semakin banyak klinik-klinik gratis atau murah yang dibangun atas dasar keyakinan keagamaan untuk berbuat baik atau beramal pada sesama (faith-basedcharitable clinics). Salah satu yang menarik adalah satu ‘maternity clinic’, klinik persalinan gratis di Bandung. Menariknya adalah karena yang datang ke sana bukan hanya warga Kota Bandung, tetapi dari daerahdaerah lain yang jauh di pedalaman seperti Pangalengan, Cikalongwetan, dan lain-lain. Padahal, PUSKESMAS sudah ada di mana-mana, termasuk di daerah-daerah pedalaman tersebut. Tetapi, inilah jawaban jamak yang diberikan oleh para warga desa yang miskin yang datang ke klinik di Kota Bandung itu: “PUSKESMAS ada, Pak. Tapi, kalau kita datang ke sana, karena kita ini orang miskin, nanti nggak bisa bayar...” Potensi untuk memberi atau berbagi di Indonesia sebenarnya luar biasa besar. Dari kalangan Muslim saja, dana sedekah atau zakat yang terkumpul sudah mencapai sampai Rp 217 triliun. Belum lagi jimpitan beras (rice endowments), atau wakaf, di mana hampir semua lembaga pelayanan sosial --terutama di bidang pendidikan dan kesehatan--yang dikelola badan-badan sosial swasta di Indonesia sebenarnya berdiri di atas tanah wakaf. Data menunjukkan bahwa dana zakat pada tahun 2010 di seluruh Indonesia mencapai Rp 1,5 triliun, terus meningkat menjadi Rp 1,7 triliun pada tahun 2011. Secara agregat, mungkin jumlah itu tidak terlalu besar, tetapi juga bukan jumlah yang kecil untuk melakukan banyak hal. Potensi besar itulah yang melahirkan berbagai organisasi baru untuk mengelolanya. Di kalangan Muslim, ada Dompet Dhuafa, Rumah Zakat, Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Lembaga Amil Zakat, Infaq & Shodaqoh Muhammadiyah (LAZISMU). Muhammadiyah dan NU sekarang juga mulai melirik ke arah itu. Bahkan saat ini juga sudah banyak yang berskala kecil, lokal, dan tidak terkoordinir. Lebih jauh lagi, organisasiorganisasi tidak hanya bergerak di sektor tradisional mereka selama ini, tetapi juga mulai merambah ke bidang-bidsang lain, misalnya, dalam isu-isu kebencanaan. Mereka mendirikan organisasi-organisasi bantuan 127 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA kemanusiaan (relief organizations) yang bisa bergerak di lokasilokasi bencana, di daerah rakyat miskin, di pedesaan-pedesaan, dan sebagainya. Muhammadiyah, misalnya, sudah mendirikan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC). Di kalangan non-Muslim, ada Yayasan Buddha Tzu Chi atau yang sudah luas dikenal seperti Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (YAKKUM) di kalangan Kristen Protestan. Yang lebih sekuler, ada MER-C, Bulan Sabit Merah Indonesia, dan sebagainya. Bahkan yang berafiliasi dengan partai politik pun sudah ada, misalnya, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) yang berafiliasi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Terlepas dari ada atau tidaknya motif dan ideologi politik di sebaliknya, tapi yang menarik adalah bahwa kesadaran tentang bagaimana menyalurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan mulai menguat, tidak hanya ke lokasi-lokasi miskin di perkotaan, tetapi juga sampai ke pedesaan. Bicara tentang filantropi, sekarang tidak hanya terbatas pada sedekah perseorangan (individual giving). Ada ratusan perusahaan saat ini yang juga menyalurkan dana-dana bantuan sosial mereka, baik itu dalam skema coorporate social responsibility (CSR) maupun dalam pola lainnya. Dalam daftar yang ada, perusahaan-perusahaan itu adalah perusahaan-perusahaan besar, bahkan raksasa multinasional, mulai dari perusahaan komputer, telekomunikasi, sampai minyak, misalnya, TELKOMSEL, Exxon-Mobile, dan sebagainya. Dari segi jumlah, memang cukup fantastis dan, karena itu, akhirnya ini memicu organisasi-organisasi lain untuk muncul. Apa yang menarik adalah bahwa sebagian dari dana-dana sosial perusahaan-perusahaan besar tersebut justru sengaja disalurkan khusus melalui lembaga-lembaga berbasis keagamaan, terlepas dari apapun alasannya. Kembali ke contoh lembaga-lembaga pelayanan sosial semacam klinik gratis atau murah sebagai alternatif bagi warga miskin. Kesa-daran mereka bukan hanya memberikan pelayanan kepada yang membutuhkan, tetapi juga melakukan penyuluhan-penyuluhan. Menurut saya, itu satu pergeseran yang menarik, karena selain melakukan tindakan tradisional kuratif, mereka juga sudah mulai melangkah ke ranah preventif. Selain itu, mereka juga berbeda dengan lembagalembaga layanan sosial milik pemerintah dalam hal pemilihan lokasi kerja. Umumnya, mereka justru memilih tempat-tempat yang tidak terjangkau. 128 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi Catatan saya adalah bahwa ketika organisasi-organisasi filantropi semakin banyak, isu-isu penuaan penduduk atau lansia justru belum banyak mereka sentuh. Meskipun bahwa sebagian besar yang mereka layani itu adalah orang-orang tua juga, terutama yang miskin, namun belum menjadi suatu isu tersendiri yang digarap secara khusus pula. Karena itu, apakah mungkin bagi kita membangun sinergi dalam penanganan isu-isu lansia ini? Sebagai contoh, menguatnya lembaga-lembaga filantropi berbasis keagamaan Islam ternyata tidak selalu berjalan seiring dengan keberagaman program mereka. Umumnya, mereka hanya meniru apa yang sedang trendy, sehingga tidak menawarkan program-program baru yang bersifat terobosan atau alternatif. Hanya beberapa saja yang mempunyai landasan riset yang kuat, misalnya, Dompet Dhuafa, yang sudah sering bekerjasama dengan IPB dan UI untuk membuat peta kemiskinan; atau bekerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) untuk melakukan riset tematik. Padahal, organisasi-organisasi filantropi berbasis keagamaan --bukan hanya di lingkungan Islam, tapi juga agamaagama lainnya-- memiliki basis dukungan anggota dan warga yang sangat besar yang rela menyumbangkan dan menyalurkan dananya melalui organisasi-organisasi tersebut. Ini berbeda dengan NGO-NGO sekuler yang justru sering mengalami kesulitan mendapatkan dukungan dana dari warga masyarakat. Singkatnya, organisasi-organisasi filiantropi berbasis keagamaan memiliki basis legitimasi dan representasi yang jelas dan berakar. Namun harus diakui bahwa organisasi-organisasi filantropi berbasis keagamaan itu umumnya masih jauh tertinggal --dibanding NGO-NGO sekuler atau yang bergerak dalam isu-isu pembangunan dan kebijakan publik-- dalam kapasitas mereka mengembangkan program-program alternatif. Dalam hal inilah sebenarnya organisasi-organisasi filantropi bebasis keagamaan itu perlu belajar kepada NGO-NGO sekuler tersebut. Misalnya, belajar dari pengalaman kaya NGO-NGO tersebut melakukan advokasi pengarusutamaan (mainstreaming) isu-isu strategis ke dalam kebijakan publik. Salah satu contoh paling menonjol adalah pengarusutamaan isu-isu gender yang diperjuangkan oleh banyak NGO sejak tahun 1980-an. Ini adalah contoh pengarusutamaan yang sangat berhasil, sehingga isuisu gender sekarang sudah masuk ke dalam hampir semua kerangka kebijakan publik, selain sudah meluas dan menguat pada berbagai 129 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA organisasi sosial, termasuk organisasi-organisasi filantropis yang selalu harus mempertimbangkan persoalan gender dalam semua kegiatannya. Organsisasi-organisasi yang bergerak dalam isu lansia pun sudah menjadikan isu gender sebagai salah satu perspektif mereka. Maka, seharusnya terjadi suatu pertukaran dalam hal ini, bagaimana organisasi-organisasi filantropis mulai mengarusutamakan isu-isu lansia kepada NGO-NGO lain tersebut. Organisasi-organisasi filantropis --berbasis keagamaan atau bukan-- yang bergerak dalam isu-isu lansia mestinya menjadikan juga NGO-NGO yang lain sebagai ‘sasaran strategis’ (strategic targets), sekaligus sebagai ‘mitra strategis’ (stratgeic partners) untuk mengarusutamakan isu-isu lansia. v 130 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi DISKUSI DWI RETNO WILUJENG WAHYU UTAMI (Deputi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik, Jakarta) D alam dua hari ini saya sudah mendengarkan banyak paparan yang sangat menarik. Saya langsung berpikir: apa ya yang harus kami perbuat untuk menjawab tantangan penuaan penduduk? Bagi kami di BPS, masalah penuaan penduduk ini sebenarnya tidak asing lagi, karena setiap tahun kami menerbitkan buku statistik lansia dari hasil SUSENAS, kemudian dari hasil sensus penduduk 2010. Tetapi, ternyata begitu kita melihat apa yang Ibu Evi paparkan tadi, belantara lansia yang luar biasa ini, rasanya kami di BPS juga harus berbenah, tidak sekedar melakukan penyajian data rutin, tetapi juga sudah mulai bisa menangkap tantangan dalam penyediaan datanya. Misalnya saja, dalam SUSENAS yang sejak 1992 sampai sekarang kita jaga sekali kontinuitasnya, sampai perubahan kuisionernya hanya boleh sedikit-sedikit saja. Ke depan, tahun 2014, kita punya kesempatan, sudah ada lampu hijau untuk kita me-reform SUSENAS itu. Saya jadi berpikir bahwa di dalam SUSENAS mungkin kita perlu juga mencantumkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengungkap seperti apa gambaran lansia kita, kebutuhannya, dan sebagainya. Saat ini, misalnya untuk status kesehatan saja, kita punya pertanyaan standar yang sama untuk balita, remaja, dewasa, dan lansia. Untuk ke depan, kita barangkali perlu pertanyaan khusus untuk merekam keadaan lansia kita ini seperti apa. Kita tahu bahwa laju pertumbuhan lansia sangat besar, 2,5%, dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk secara umum yang hanya 1,4%. Itu saja sudah membuat kita semua berpikir bahwa beberapa puluh tahun ke depan struktur penduduk kita akan jauh berubah dan itu harus kita antisipasi sejak sekarang. Kemudian, terkait dengan isu kedua, kami sebetulnya punya data mengenai panti. Dari data POLDES yang menanyakan tentang keberadaan panti, ternyata dari 497 kabupaten, panti hanya terdapat di 170 kabupaten. Kalau kita lihat jumlahnya, juga sangat kecil, hanya sekitar 300-an. Kalau Kementerian Sosial kemarin hanya menyebut 240 sekian, data dari POLDES adalah 300 lebih, mungkin karena meliput juga yang dikelola oleh bukan pemerintah. Sebelum saya hadir ke sini, saya hanya berpikir: kenapa panti sosial, panti jompo, dan panti wredha sangat 131 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA sedikit jumlahnya? Sementara kalau kita lihat di Beijing, misalnya, jumlah panti sangat banyak. Kemarin saya mendapatkan wawasan baru dari Ibu Luh Suryani bahwa setiap lansia sebaiknya tinggal dengan keluarganya. Itu saya rasa yang terbaik. Jujur, saya sendiri kalau ditanya pasti saya akan menjawab saya akan merawat sendiri orangtua saya. Tetapi, saya berpikir, bagaimana dengan mereka yang tidak mampu? Bagaimana dengan pertumbuhan lansia yang sangat besar? Ke depan, apakah satu keluarga harus menanggung dua sampai tiga generasi dalam satu rumah? Extended family memang sudah biasa di Indonesia, tetapi ke depan, beberapa puluh tahun ke depan, ketika dalam satu keluarga harus menanggung misalnya dua generasi dari sisi orangtua dan dua generasi dari sisi mertua, bagaimana dari sisi keuangannya, bagaimana membiayai itu? Apakah itu tidak menjadi perhatian dari pemerintah? Apakah bukan panti juga yang menjadi alternatif untuk itu? Saya pikir, ketika Ibu Eva kemarin menjelaskan tentang UN Principal of Ageing, salah satu yang paling penting adalah self fulfillment. Artinya, apakah lansia ini akan memilih tinggal dengan keluarganya atau akan tinggal di panti, yang penting itu adalah keputusan si lansia sendiri. Kalau tinggal di rumah tapi tidak ada anak dan menantu, karena setiap hari pulangnya malam --dia hanya di depan TV, tidak melakukan sesuatu, kesepian, dan sebagainya-- apakah tidak boleh kalau dia menentukan dia ingin tinggal di panti bersama-sama teman sebaya yang punya kegiatan yang menyenangkan, membahagiakan, dan sebagainya? Saya pernah melihat panti yang menarik yang dikelola oleh Group Indofood. Di sana, lansia-lansia yang sudah lanjut, sudah di atas 80 tahun, mereka punya bermacam-macam kegiatan yang menyenangkan, yang membuat mereka merasa berarti daripada dia tinggal di rumah sendirian. Kemudian, yang ketiga --mungkin menyangkut juga apa yang Pak Hilman tadi cerita-- kami di BPS juga sedang membangun yang disebut dengan happiness index untuk melihat bahwa sekarang ini tidak cukup kita menggunakan indikator ekonomi saja untuk melihat kemajuan dan kesejahteraan penduduk, karena di balik pertumbuhan ekonomi ternyata menyembunyikan banyak sekali kemiskinan, pengangguran, dan sebagainya. Ketika BPS nanti sudah mengembangkan happiness index, saya juga berpikir tentu tidak lagi berbicara kekayaannya, kemiskinannya, dan sebagainya, tetapi lebih kepada wellbeing-nya: ba- 132 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi gaimana, apa, dan di mana letak kebahagiaan dia? Kalau kembali lagi ke soal nanti apakah dia harus tinggal di rumah atau apakah harus tinggal di panti, tentu yang ditanya adalah pshycological wellbeing-nya: di mana letak kebahagiaan yang dia inginkan? EVI NURVIDYA ARIFIN (Moderator): T erima kasih banyak, Bu, benar semua itu. BPS memang adalah institusi yang selama ini kita andalkan untuk menyediakan datanya. Saya senang sekali dengan semua pertanyaan Ibu tadi, karena langsung berkaitan dengan bagaimana mengimplementasikannya di BPS, dan itu akan sangat-sangat berguna sekali untuk kita semua. Terima kasih atas semua komentarnya dan nanti akan ditanggapi oleh para panelis. Saya kira lebih baik kita kumpulkan semua pertanyaan untuk ditanggapi, karena mungkin saja akan ada yang overlap, sehingga bisa dijawab sekaligus. Baik, silahkan, Profesor Sunyoto! SUNYOTO USMAN (Gurubesar Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Gajah Mada, Yogyakarta): S aya dari Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM. Tahu saya hanya sosiologi, karena itu komentar saya nanti ‘jualan’ sosiologi sebenarnya. Ketika saya ke panitia tadi, saya diberi gambar ini --gambar nenek pada sampul kalawarta WHO. Ini menarik. Kelihatannya panitia ingin supaya semua yang hadir di sini iba kepada para lansia. Saya tidak bisa membayangkan andaikata gambarnya itu Soeharto, umur 80 tahun, di pundaknya bintang lima. Mesti orang berpikir: itu orang serakah, diktator, orang tua yang tidak tahu malu, dan seterusnya. Tetapi poin saya begini: dari tiga sesi yang saya ikuti, semuanya melihat baru satu dimensi saja. Kawan-kawan saya di FISIPOL, ketika menganalisis partai politik dan kepala-kepala daerah, mereka jadi jengkel pada orang-orang tua. Mengapa? Karena partai politik itu mulai dari tingkat Jakarta sampai bawah didominasi oleh orang-orang tua. Bahkan mereka sekarang sudah membentuk dinasti. Semua partai politik jadi dinasti. Ada anak muda memang yang bisa masuk ke sana, kalau dia punya jaringan 133 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tertentu dengan orang tua-tua di sana, Kalau hanya lulusan FISIPOL UGM saja, berat! Karena itu, saya harap sesi-sesi berikutnya, hal ini perlu diperhatikan, apalagi kalau nanti akan membuat policy. Kalau policy hanya didasarkan rasa iba, saya khawatir policy itu bisa tidak relevan, tidak punya konteks. Padahal, selain harus punya konsep yang jelas, satu policy juga harus punya konteks, juga harus bisa diaktualisasikan. Kalau tidak, nanti hanya akan menjadi do’a saja. Berikutnya, saya ingin memberi catatan kepada Ibu yang bicara soal ketenagakerjaan tadi. Ini seolah-olah orang tua menjadi beban karena anaknya kerja. Tapi, nanti dulu. Dalam tradisi kehidupan masyarakat kita, ada yang disebut ‘prenia’, nanti ada sambungannya dengan soal traditional security. Jadi, ketika orang tua momong cucunya, itu tidak serta merta diartikan ini sebagai ageing subordination. Ada definisi non-verbal di sini. Ada sistem pembagian kerja yang hidup di masyarakat kita. Anda bisa bayangkan kalau ada kakek atau nenek jalan-jalan sendiri, sementara cucunya malah menangis di rumah. Itu pasti ‘kakek atau nenek durhaka’. Begitu juga kakek atau nenek yang sayang kepada cucunya, katanya, melebihi sayangnya kepada anaknya. Ini mungkin tidak ditemukan dalam tradisi kehidupan masyarakat Barat. Saya kira policy apa pun harus memperhatikan hal seperti itu. Karena itu, kata kuncinya ini bukan hanya aset dalam persoalan relasi sosial kita, tapi kapabilitas. Artinya bukan hanya materi, tapi juga ada aspek-aspek non-materi perlu diperhatikan pada isu-isu lansia. Yang terakhir, saya ingin supaya analisis semacam ini tidak hanya pada diri perseorangan lansia itu sendiri. Ada baiknya analisis ditarik ke aras yang lebih luas di mana nanti akan terlihat apa yang kita kenal dengan trans-national practices. Di Yogyakarta ini, banyak bakul gudeg, ayam goreng, itu semua orang tua, ibu-ibu. Tapi, coba lihat sekarang, di Yogyakarta ini gerai fastfood hampir setiap tahun bertambah jumlahnya. Coba periksa, Kentucky Fried Chicken itu ayamnya dipelihara di mana? Ya, di Sleman dan Kulonprogo. Dijualnya di mana? Di Mirota Kampus, Sleman juga. Oleh siapa? Oleh orang Sleman juga. Yang beli siapa? Orang Sleman juga, para mahasiswa dan dosen-dosen di kampus. Sampahnya dibuang di mana? Di Sleman juga. Jadi, Indonesia ini sudah dikepung trans-national practices seperti itu. Bukan hanya makanan saja, tapi banyak aspek, sampai kawan-kawan saya di Jurusan Teknik Arsitektur itu mengelus dada, prihatin, karena heritages, peninggalan-peninggalan kuno sudah ja- 134 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi di mall, jadi supermarket, dan sebagainya. Di tiap-tiap kecamatan di Yogyakarta ini sekarang sudah ada mini market. Nah, sekarang bagaimana dengan orang-orang tua bakul jamu, bakul sayur? Saya kira, kalau nanti akan ada usulan policy, variabel ini tolong ikut dihitung, jangan hanya menghitung persoalan perseorangan lansianya saja. Karena, policy yang akan dihasilkan nanti jadinya terlalu mikro, hanya jadi persoalan usia, persoalan tua. Persoalan lansia, menurut saya, jauh lebih kompleks dari sekedar persoalan perseorangan para lansia. Kenyataan trans-national practices tadi, misalnya, kekuatan modal-modal yang luar biasa besar kini merasuki perekonomian pedesaan, perekonomian lapisan bawah. Jika persoalan semacam itu diabaikan, pertolongan apa pun yang akan diberikan kepada para lansia --juga pada orang-orang muda di lapisan bawah-menjadi agak berat, sangat berat. Bahkan semakin berat masalahnya bagi orang-orang muda yang nantinya akan menjadi lansia juga. Terima kasih. Mohon maaf apabila ada kesalahan. RACHMA INDAH (Peneliti, SMERU, Jakarta): S aya sekadar ingin menambahkan Mbak Asih dan Profesor Sunyoto mengenai pengasuhan anak oleh orang lanjut usia. Sebenarnya fenomena tersebut; strategi bertahan dengan mengirim anak ke kampung atau menitipkan anak di orang tua oleh para pekerja, terutama para pekerja sektor industri di perkotaan, beberapa kali juga kami temukan di beberapa kajian yang pernah kami lakukan. Di satu sisi, hal tersebut memberi dampak positif, karena menjadi penolong bagi para pekerja tersebut, terutama saat mereka mengalami kesulitan atau krisis menimpa mereka di tempat kerja. Namun, sebenarnya ada hal lain yang mungkin belum disentuh, kemungkinan juga berdampak negatif, yakni kualitas pengasuhan anak oleh orang lanjut usia. Bagaimana pun juga, orang tua, kakek atau nenek, punya keterbatasan fisik, ekonomi, mungkin juga metode, cara-cara pengasuhan yang mungkin masih tradisional. Selain itu, aspek lainnya lagi adalah sustainabililtas dari sistem tersebut. Sampai kapan sistem itu akan berlangsung? Kita lihat saja, urbanisasi semakin meningkat. Kalau sekarang mungkin masih ada orang tua di kampung atau orang tua yang bisa menjadi bapak dari para pekerja itu, 135 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tapi apakah hal tersebut juga akan ada di masa depan? Kalau sekarang mungkin orang tua yang ada di kampung masih memiliki aset dan rumah tinggal sendiri, tetapi karena urbanisasi, belum tentu di masa depan para orang tua juga memiliki aset untuk bisa menunjang anakanaknya yang bekerja di rantau. HERNANI DJARIR (WHO Indonesia): S aya ingin menanyakan tentang IMT Meter. Kita tahu bahwa sekarang POSYANDU lansia itu ada di mana-mana. Apakah IMT Meter bisa diaplikasikan di sana untuk mengukur status fisik lansia? Kedua, saya setuju sekali tentang hal-hal tradisional yang harus dipertahankan, bagaimana agar orang tua mengasuh anaknya, tetapi tentu dengan beberapa tambahan ilmu agar dia bisa mengasuh anak dengan baik. Kalau kita bicara tentang penuaan, intinya adalah bagaimana agar lansia bisa menjadi aktif, sehat, dan mandiri. Saya melihat kalau di Singapura, atau di Jepang, orang-orang tua itu masih bisa dipekerjakan sebagai cleaning service di gedunggedung di sana. Apakah ini merupakan suatu tantangan juga bagi kita di Indonesia? Bagaimana kalau status kesehatan orang tua di Indonesia itu cukup baik? Kalau persoalan ketenagakerjaan, bahwa orang tua di desa bisa menopang anaknya yang menjadi tenaga kerja di kota, bukankah yang harus kita atasi itu adalah bagaimana menghilangkan outsourcing, kemudian bagaimana meningkatkan UMR? Ketiga, Pak Hilman, saya setuju sekali. Sekarang ini banyak sekali lembaga-lembaga keagamaan yang yang mengumpulkan dana dari masyarakat. Apakah ada pembagian tugas di antara mereka atau pembagian wilayah sehingga tidak terjadi tumpang tindih? Sangat menarik istilahnya Pak Hilman bahwa NGO itu canggih tapi tidak diminati masyarakat, sementara lembaga-lembaga keagamaan itu tidak canggih tapi lebih diminati masyarakat untuk menyalurkan uangnya. Bagaimana kita mensinkronkan mereka, sehingga dua-duanya bisa menjadi mitra yang saling menunjang, dengan wilayah kerja masingmasing yang jelas supaya tidak terjadi tumpang tindih. NGO yang banyak itu adanya di Jakarta saja, sementara banyak sekali lembagalembaga agama yang bergerak di wilayah bencana. 136 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi SAPARINAH SADLI (Gurubesar Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta): S ebagai lansia, mendengarkan presentasi-presentasi tadi, saya berpikir: saya berada di mana dalam semua analisis itu, dalam semua data yang begitu canggih itu? Terus terang, saya memang bukan orang kuantitatif. Saya bukannya kurang setuju, tetapi faktor manusia, “orang”-nya koq hilang dalam semua analisis dan data tersebut? Saya juga psikolog, tentu saja saya memikirkan faktor “orang”nya itu bagaimana? Karena, yang dinamakan kelompok lansia itu sebenarnya sama saja dengan berbagai kelompok usia lain, apakah itu remaja, atau bayi, atau lainnya. Semuanya adalah kelompok yang heterogen. Jadi, bagaimana semua data kuantitatif itu tadi bisa membantu kita atau mereka yang mungkin tidak tercakup atau tidak diperhitungkan di dalamnya? Umpamanya, tentang penanganan malnutrisi lansia. Selalu disarankan, misalnya, jangan makan makanan berlemak. Tetapi, budaya kita, gorengan itu makanan yang sangat-sangat membudaya, apalagi di Jakarta. Kalau saya pergi ke mana saja, orang-orang jualan gorengan itu banyak sekali, yang beli juga banyak sekali. Saya hadir rapat di mana-mana ‘pulangnya’ juga bawa gorengan. Bagaimana supaya kebiasaan itu bisa berubah? Saya setuju sekali bahwa gorengan itu jangan seperti yang sekarang, tetapi makanan itu memang enak soalnya! Di mana-mana, gorengan tempe, gorengan tahu itu selalu habis langsung. Kedua adalah tentang agar lansia itu bisa berada dalam kondisi psikologis yang nyaman. Nah, apa itu kondisi psikologis? Sebagai psikolog, kalau didatangi orang tua, saya terus ngomong kamu harus begini, harus begitu, karena menurut penelitian ilmiah itu harus demikian jika ingin senang. Dalam kenyataannya, saya lihat justru kalau seorang nenek itu merasa senang sekali kalau cucunya ada di sekitarnya, dan itu adalah kondisi psikologis yang baik bagi dia. Tetapi, tadi dikatakan itu menjadi beban. Kalau saya lihat, saya amati, jarang yang mengeluh bahwa mereka dititipi cucu, jadi repot. Tidak! Nah, ini bagaimana? Gambaran saya ini mungkin tidak benar, tapi bagaimana gambaran itu juga bisa dijadikan suatu pegangan untuk kita bisa memahami lebih baik tentang lansia. Kemudian, tentang tenaga kerja. Tadi dikatakan bahwa di pedesaan, lakilaki itu lebih tinggi dari perempuan. Saya pikir justru perempuan desa itu ‘tidak tidur’, karena dia bangun paling pagi, tidur terakhir, dan makan terakhir. Apakah ini ada kaitan dengan definisi yang dinamakan tenaga 137 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA kerja? Ini penting, terutama jika bicara soal kerja di pedesaan. Tadi disebutkan perempuan bekerja di desa 38%, sedangkan laki-laki 73%, lalu mayoritas laki-laki yang bekerja itu adalah di sektor informal, 75%. Saya rada bingung tentang angka-angka ini. Karena, di desa semua orang sebenarnya bekerja. Jadi, sebetulnya definisi kerja apa yang dipakai sehingga ada angka-angka seperti itu? Dalam pengamatan saya, perempuan --apalagi di pedesaan-- jam kerjanya justru lebih tinggi dibanding laki-lakinya! Kemudian, tentang active ageing. Sebagai manusia, saya memang ingin bisa active ageing. Untuk apa kita dikarunia panjang umur jika cuma bisa nyanyi-nyanyi saja: panjang umurnya, panjang umurnya! Jadi, active ageing memang penting. Tetapi, apa saja dari active ageing itu yang betul-betul penting untuk semua? Apa saja yang harus dilakukan agar active ageing itu bisa diterapkan untuk semua? Bahwa itu penting, tidak ada yang menyangkal. Saya lebih cocok dengan definisi WHO, bahwa ageing itu suatu proses, sudah harus dilakukan sejak seseorang masih muda, yakni membiasakan diri dan memilih gaya atau cara hidup yang memang bisa mengarah ke active ageing yang sesungguhnya nanti di masa tua. Masalahnya sekarang adalah bagaimana menerapkan pola hidup active ageing dalam keadaan kemiskinan masih terjadi dimana-mana, dalam keadaan di mana obatobatan yang tidak boleh dimakan bebas beredar, dalam keadaan di mana merokok bebas dimana-mana? Saya mau tanya soal ini berkaitan dengan presentasi mengenai friendly cities tadi, Saya mau tanya ini, karena saya ada di Depok, di kampus UI. Depok itu rumah saya juga. Kampus UI itu sendiri memang sangat-sangat friendly. Di sana, orang bisa lari-lari, bisa naik sepeda. Tetapi, kita punya Rektor sekarang tiba-tiba mau bikin boulevard dari Depok ke Istana Negara. Ini yang bikin ribut. Kenapa Center of Ageing Studies UI tidak bersuara untuk mempertahankan Depok sebagai friendly city? Terus, sebagai orang yang tinggal di Jakarta, bagaimana pula dengan usulan agar para lansia jalan-jalan kaki tiga kali seminggu selama tigapuluh menit? Saya mau tanya, di mana jalannya? Di mana jalannya itu? Sebagai lansia, saya setuju saja dengan semua usulan itu. Hanya saja, apa yang kami rasakan sebagai lansia juga harus diperhitungkan. Karena, kami juga bisa mengusulkan mana saja yang memang benar- 138 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi benar diperlukan kalau kita mau active ageing, tapi tidak bisa kami adakan atau lakukan sendiri. Terima kasih. HILMAN LATIEF (Narasumber): T erima kasih pada Ibu dari WHO yang bertanya tentang kemungkinan sinergi antara NGO dengan lembaga-lembaga filantropi berbasis keagamaan. Memang itu yang diinginkan oleh banyak lembaga charity di Indonesia yang cukup populer dan cukup dipercaya oleh masyarakat, karena akuntabilitas mereka sudah mulai terbangun, baik akuntablitas programnya maupun akuntabilitas laporannya yang juga sudah diaudit oleh akuntan publik independen. Mereka menyadari itu dan beberapa tahun belakangan mereka juga ingin membangun sinergi, karena mereka sadar bahwa ruang lingkup yang bisa dikerjakan oleh lembaga charity itu sangat terbatas dalam dampak, cakupan, dan sebagainya. Padahal, beberapa lembaga charity itu adalah lembagalembaga besar dalam ukuran sumberdaya yang mereka miliki. Beberapa lembaga itu memperkerjakan sekitar 700 sampai 800 orang di kantor pusat dan kantor-kantor cabang mereka. Mereka juga tersebar di berbagai propinsi dan kabupaten. Dari segi jaringan kerja, mereka juga sudah bagus. Karena itu, sudah sejak tiga atau empat tahun lalu ada beberapa seminar khusus tentang sinergi antara LAZ (lembaga amil zakat), misalnya, dengan NGO, karena mereka merasa bahwa mereka --sebagai lembaga charity-- berbeda dengan NGO. Mereka sendiri yang mendefinisikan seperti itu: “Kita berbeda dengan NGO.” Lalu, mereka dihadapkan pada tantangan persoalan nyata: apakah mereka tidak mungkin masuk pada ranah yang lebih berani, entah itu isu-isu pembangunan atau advokasi kebijakan? Dari awalnya, mindset mereka memang adalah lembaga charity murni. Keterkaitan atau keterlibatan mereka selama ini dengan berbagai persoalan sosial struktural, misalnya masalah kemiskinan, lebih banyak bersifat short term treatment. Tetapi, secara bertahap kemudian mereka ada yang mulai masuk ke isu-isu pembangunan, misalnya, melalui micro finance projects. Itu juga sudah banyak dilakukan. Karena itu, sekarang kita bisa lihat pertumbuhan Bait al-Maal wal Tamwil (BMT), misalnya, bertambah menjadi ribuan jumlahnya. Itu tidak terlepas juga dari inisiatif atau kesadaran yang mulai tumbuh bahwa pendekatan charity murni tidak 139 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA akan bisa melakukan pembinaan ekonomi, sehingga harus dibangun lembaga micro finance seperti BMT --a kind of Islamic cooperative in round. Di kalangan Katolik, berkembang credit unions yang sudah berjalan terutama di pedesaan-pedesaan di beberapa daerah. Kesadaran semacam itu sudah tumbuh di kalangan lembaga-lembaga charity berbasis keagamaan. Tapi, lagi-lagi mereka menyadari bahwa kerjasama dengan lembaga-lembaga lain itu sangat penting, terutama dengan lembaga-lembaga advokasi. Saya tadi sebutkan, misalnya, YLKI. YLKI itu lembaga yang sangat penting sekali, tapi masyarakat yang menyumbang selama ini lebih tahu, misalnya. Dompet Dhuafa. Kerjasama yang dilakukan oleh Dompet Dhuafa dan YLKI adalah satu contoh sinergi yang baik. YLKI memberi suntikan informasi tentang gizi, susu untuk anak, nutrisi, dan lain sebagainya, kepada Dompet Dhuafa. Sudah ada kesadaran untuk membangun sinergi semacam itu. Yang kedua, yang perlu saya komentari, adalah tentang partisipasi aktif. Lembaga-lembaga charity itu punya banyak relawan yang sangat aktif. Mereka aktif, bukan hanya dalam pengertian menyumbang secara material, tapi juga aktif menyumbangkan tenaganya, waktunya, keahliannya. Sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yayasan-yayasan yang dikelola oleh sebagian ibu-ibu di sini yang bergerak dalam isu ageing. Tetapi, untuk memperkaya itu, saya kira yayasan-yayasan sosial dengan fokus khusus ageing masih sangat mungkin untuk bisa disinergikan dengan lembaga-lembaga charity yang dalam setahun saja ada yang bisa mengumpulkan dana, misalnya, sampai 30-60 miliar. Tahun lalu saya datang ke kantor lembaga charity itu, lalu saya tanya: berapa target pengumpulan dana mereka sekarang? Mereka jawab bahwa pada tahun-tahun sebelumnya sekian miliar, sekarang mereka coba sampai angka 60 miliar. Cuma, lagi-lagi karena duit banyak, mereka perlu by design grand making akhirnya, sehingga mereka butuh sekali mitra NGO yang lebih berpengalaman. Saya kira dengan berbagai isu penuaan penduduk yang kita bahas sekarang sebagai isu strategis, termasuk untuk advokasi kebijakan, saya kira mereka akan terbuka juga menerima tawaran kerjasama. EVI NURVIDYA ARIFIN (Moderator): J 140 angan-jangan memang harus ada pertemuan tersendiri bagaimana menjalin jaringan kerja dengan BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi ratusan organisasi filantropi untuk mensinergikan persoalan kita untuk berkiprah bersama. Baik, sekarang giliran Ibu Fatmah. FATMAH (Narasumber): M enjawab pertanyaan Ibu Hernani dari WHO, alat IMT Meter ini bisa diaplikasikan di POSYANDU Lansia, tapi tentu harus melatih kadernya dulu atau petugas PUSKESMAS, atau juga penanggungjawab atau kordinator lansia untuk mengoperasikan alatnya. Prinsipnya, bisa digunakan. Kemudian, menjawab pertanyaan Profesor Saparinah untuk mengurangi konsumsi makanan gorengan. Memang itu sudah berlaku mendarah daging buat orang di Indonesia. Barangkali yang harus diperhatikan adalah kualitas dari minyak yang digunakan untuk menggoreng makanan itu. Tapi, kalau memang kita sulit untuk mengetahuinya, barangkali kita bisa batasi jumlah potongan yang dimakan, meskipun mungkin itu biasanya tetap ‘nagih’. Kalau kita sudah makan satu atau dua, kita inginnya terus aja. Yang bisa dilakukan adalah mengurangi jumlahnya. Mungkin ada beberapa pilihan makanan lain, karena biasanya bukan hanya gorengan saja yang disajikan. Tentang bagaimana menciptakan kondisi psikologis yang baik, itu biasanya kita perlu memperhatikan apa kondisinya pada saat itu, apakah sedang bersedih atau sedang marah atau, misalnya, sedang merasa terasing. Jadi kita bisa meraba dulu kira-kira kondisi psikologis lansia ketika mau diajak makan itu seperti apa. Contohnya tadi, makan bersama cucu, itu juga bisa merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kegembiraan pada lansia. Mungkin lansia akan merasa senang kalau melihat cucunya mau makan, dia juga tentu mau mempraktikkan cara makan yang baik kepada cucunya. Jadi mau tidak mau suasana psikologis lansia ikut merasa bahagia, merasa gembira. Tentu saja, keadaan fisik si lansia pada saat itu juga dalam keadaan sehat. Dalam keadaan sakit, kita juga tidak bisa memaksa dia untuk mau makan. Lalu, tentang aktivitas fisik. Aktivitas fisik itu bukan hanya olahraga, tapi juga bisa melakukan pekerjaan rutin. Jadi, konsep lansia bekerja itu sebetulnya menciptakan lansia yang aktif dan produktif. Dia bisa bekerja, bisa mendapatkan penghasilan, sehingga bisa meningkatkan 141 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA kesejahteraannya. Lansia bekerja itu juga merupakan suatu peningkatan aktivitas fisik. Jadi, kita jangan hanya diam saja kalau nanti kita sudah menjadi lansia, tapi kita juga masih bisa bekerja, tentu saja dengan mempertimbangkan beberapa jenis pekerjaan yang sesuai, misalnya, yang memerlukan ketelitian, kesabaran, dan keakuratan. Orang-orang lansia biasanya lebih teliti, sabar, dan cermat ketimbang orang-orang muda yang biasanya lebih cenderung ceroboh. Jadi, kita masih bisa memberdayakan kelompok lansia dengan menyediakan lapangan kerja yang sesuai dengan keadaan mereka. INDRASARI TJANDRANINGSIH (Narasumber): S ebenarnya, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tadi bermuara pada pertanyaan-pertanyaan lagi: sebetulnya mengasuh cucu itu berkah atau beban untuk lansia? Tapi, kata kuncinya memang adalah heterogenitas. Kita bicara lansia di kelompak mana: ada lansia di kelas atas, kelas tengah, kelas bawah, di kota, di desa, di pinggiran kota, dan seterusnya. Itu semua punya karakteristik yang berbeda. Tetapi, dalam apa yang saya sampaikan tadi adalah para orang tua di pedesaan yang ‘ketiban’ beban mengasuh cucu. Mengapa? Karena mereka sendiri hidup di dalam kekurangan. Tapi, memang harus diakui bahwa perlu penelitian yang lebih mendalam untuk melihat bagaimana kenyataan yang sesungguhnya? Misalnya, seperti yang disampaikan oleh Rachma tadi, soal kualitas anak yang dibesarkan oleh lansia atau orang tua yang miskin dan berpendidikan rendah di desa? Itu juga satu pertanyaan. Lalu, juga pertanyaan: sebetulnya bagaimana para orang tua di desa itu membagi waktu mereka dalam mengasuh cucunya? Itu semua pertanyaanpertanyaan yang sejauh yang saya tahu, belum ada penelitian khusus mengenai itu semua. Juga pernyataan Pak Sunyoto tentang hal-hal seperti traditional security dan definition of labor. Ini memang suatu pendekatan lain lagi untuk melihat pengasuhan cucu: apakah betul definition of labor juga berlaku pada hubunngan pengasuhan nenek dengan cucunya atau tidak? Ini semua memicu pertanyaan-pertanyaan lain. Kalau yang Ibu Saparinah tadi pertanyakan soal ketenagakerjaan, kemungkinan besar sekali harus juga mendiskusikannya dengan BPS: bagaimana kacamata 142 BAGIAN KELIMA: Pengalaman Akademisi BPS melihat siapa saja orang yang bekerja itu? Definisi bekerja itu menurut BPS apa? Karena, saya mengambil data BPS tahun 2007 bahwa angkatan kerja di pedesaan itu laki-laki lebih banyak dibanding perempuan. Itu berarti kita harus kembali melihat di kuesioner BPS itu yang ditanyakan apa, sehingga laki-laki persentasenya lebih tinggi daripada perempuan? Ini ada persoalan definisi dan juga kepekaan gender sekaligus. v 143 BAGIAN KEENAM PENGALAMAN LEMBAGA INTERNASIONAL NARASUMBER: n Dr. Evi Nurvidya Arifin Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura n dr. Hernani Djahir, MPH World Health Organization (WHO) Indonesia, Jakarta n Dr. Ni Wayan Suriastini, M.Phil SurveyMETER, Yogyakarta MODERATOR: Aris Ananta, Ph.D Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura Aspek Ekonomi Demografi Penuaan Penduduk Evi Nurvidya Arifin Institute of South East Asian Studies (ISEAS), Singapura P ada tahun 1950, saat Indonesia baru merdeka --baru satu tahun, jika patokannya adalah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949 setelah Konferensi Meja Bundar di Den Haag-- ekonomi negaranegara di dunia paling tinggi hanyalah AS$ 10.000 per kapita. Yang paling tinggi adalah Amerika Serikat, negara-negara lain berada di bawahnya. Pada waktu itu, proprosi penduduk berdasarkan kelompok usia di hampir semua negara masih didominasi oleh kelompok usia muda. Lalu, apa yang terjadi sesudahnya? Sejak tahun 1950 hingga sekarang, semua bergerak. Pendapatan per kapita beberapa negara terus meningkat dan semakin tinggi. Sejak tahun 1998, kemudian tahun 2005 dan 2009, semakin banyak pula negara yang masuk ke dalam kelompok negara-negara berpenghasilan tinggi atau berpenghasilan menengah ke atas. Dan, selama masa yang sama, semakin banyak pula negara yang populasi penduduk lansianya bertambah terus. Terdapat pola perkembangan yang sama, semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita suatu negara, semakin banyak pula proporsi penduduk lansianya. 146 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional Lalu, di manakah Indonesia? Tahun 2009, 2011, dan saat ini, Indonesia mulai mengalami pola perkembangan yang sama: perekonomiannya naik, tingkat pendapatan per kapitanya naik, jumlah dan proporsi penduduk lansianya juga naik terus. Jepang kini merupakan negara dengan proporsi penduduk lansia terbesar di dunia, sekitar 30% dari total penduduknya. Indonesia belum sampai pada tahap tersebut, tetapi pada akhirnya nanti akan sampai juga ke sana, diperkirakan setelah tahun 2030 atau mungkin tahun 2050. Generasi lansia Indonesia tahun 2050 sudah lahir, sudah ada, mereka yang lahir pada dasawarsa 1990-an, yang sekarang masih bersekolah. Jadi, lansia Indonesia tahun 2050 nanti --yang akan mulai mendominasi proporsi jumlah penduduk-- adalah generasi kelahiran zaman reformasi 1990-an. Apakah hidup mereka nanti setelah menjadi lansia akan jauh lebih baik atau jauh lebih jelek dibanding para lansia yang ada saat ini? Lansia saat ini jelas lebih negatif prospektifnya, karena mereka lahir pada tahun 1950-an; tahun-tahun awal kemerdekaan, zaman masih penuh kerusuhan, zaman di mana belum bisa atau masih sangat susah bersekolah sampai tingkat SMP, bahkan tamat SD saja sudah bagus. Keadaan yang sama juga dialami oleh negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara ini. Selama 60 tahun kemudian, pada tahun 2011, terjadilah pengelompokan baru negara-negara menurut tingkat pendapatan dalam hubungannya dengan struktur usia penduduknya. Maka, ada negara kaya dan tua penduduknya, ada negara tua penduduknya tapi miskin, ada negara tua yang muda penduduknya tapi miskin, ada juga negara yang muda penduduknya tapi kaya. Indonesia berada pada kelompok negara yang tua penduduknya tapi miskin. Pada negara-negara yang tua penduduknya tapi miskin, seperti Indonesia, pertanyaannya adalah: bagaimana membiayai mereka? Bagaimana membiayai peledakan lansia yang banyak dalam kondisi ekonomi yang belum baik? Kita coba dulu lihat negara-negara tetangga kita. Kita lihat tetangga terdekat, Singapura: lansianya seperti apa? Kebijakannya seperti apa? Ada yang sempat kagum melihat masih banyak lansia di Singapura yang tetap bekerja. Memang bisa disaksikan di berbagai tempat di negara tetangga itu banyak lansia bekerja sebagai tenaga pembersih (cleaners). Tetapi, yang sebenarnya adalah mereka masih tetap bekerja karena ‘terpaksa’. Uang pensiun mereka umumnya tidak cukup, rata-rata sekitar 350 dolar saja. Jadi, Proprosi penduduk lansia Singapura sekarang adalah 12%, sudah mulai besar. Singapura adalah contoh negara tua 147 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA penduduknya tapi kaya. Tetangga kita yang lain, Brunei Darussalam. Proporsi penduduk lansianya baru 6%, tetapi negara ini kaya raya, salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Dengan kata lain, Brunei adalah negara muda dan kaya. Yang lebih setara dan bisa diperbandingkan dengan Indonesia adalah Thailand. Negara ini juga sudah mulai tua penduduknya. Proporsi penduduk lansianya sudah lebih 12%, sementara kita masih sekitar 8%. Tingkat pendapatan per kapitanya memang lebih tinggi dari Indonesia, tetapi tidak terlalu jauh berbeda. Dengan kata lain, Thailand dan Indonesia adalah negara yang sudah mulai tua, tapi belum kaya. Sekarang, kita lihat jumlahnya. Memang terdapat keragaman antar berbagai daerah. Yogyakarta, misalnya, adalah daerah dengan penduduk lansia terbesar, terutama Kabupaten Gunung Kidul dan Kulonprogo yang proporsi penduduk lansianya melampaui Singapura, di atas 16%. Keadaan ini sangat berbeda dengan Papua di mana proporsi dan jumlah penduduk lansianya masih sangat kecil atau sedikit. Tetapi, secara keseluruhan, secara nasional, jumlah penduduk lansia Indonesia terbilang sangat besar, sekarang sudah mencapai sekitar 20 juta jiwa. Jumlah yang sangat besar inilah yang melahirkan pertanyaan tadi: bagaimana membiayai lansia yang jumlahnya banyak itu dengan tingkat pendapatan yang masih rendah atau sebagai negara yang belum kaya? Sebelum membahasnya lebih lanjut, perlu membahas dulu konsep ilmu ekonomi tentang hal ini. Ini penting, karena konsep ekonomi demografi selama ini digunakan untuk menyusun kebijakan kependudukan. Masalahnya adalah bahwa konsep ekonomi demografi yang digunakan selama ini mulai patut dipertanyakan. Kalau konsepnya saja sudah mulai meragukan, bagaimana akibatnya kalau digunakan sebagai dasar perumusan kebijakan? Konsep itu adalah yang selama ini dikenal sebagai konsep ‘rasio ketergantungan’. Konsep ini bertolak dari anggapan dasar bahwa penduduk usia tua yang tidak produktif lagi bergantung pada penduduk usia muda yang masih produktif. Sekarang, terjadi perubahan besar dalam struktur penduduk dari penduduk muda ke penduduk tua, sehingga anggapan dasar konsep itu juga mulai dipertanyakan: apakah memang benar masih demikian adanya bahwa penduduk usia tua bergantung kepada penduduk usia muda? Atau, sebenarnya mulai terbalik keadaannya, penduduk muda semakin banyak yang tergantung pada penduduk usia tua? 148 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional Sama halnya pada tahun 1970-an ketika ledakan penduduk usia muda terjadi, padahal waktu itu tingkat pendapatan per kapita Indonesia masih sangat rendah, masih di bawah AS$ 1.000. Sering dikeluhkan bahwa beban terlalu tinggi untuk membiayai balita-balita dan anak-anak di bawah 15 tahun yang jumlahnya semakin banyak. Investasi besar sulit dilakukan karena beban berat membiayai penduduk usia muda. Akhirnya, ditempuhlah kebijakan pengendalian penduduk yang kemudian dikenal luas sebagai program Keluarga Berencana (KB). Salah satu tujuannya adalah menekan rasio beban ketergantungan yang tinggi. Apa yang terjadi sekarang adalah kebalikannya. Kalau dulu bebannya adalah pada jumlah bayi dan anak-anak yang terus bertambah, sekarang bebannya adalah pada jumlah orang tua, lansia, yang terus bertambah. Tetapi, pembicaraannya masih tetap sama, yakni tentang ‘beban’. Sekarang, ketika jumlah bayi dan anak sudah sedikit lalu usia hidup makin panjang, jumlah lansia malah sudah mencapai angka 20 juta atau lebih. Apa jalan keluarnya? Apa kebijakan yang harus ditempuh? Apakah harus menempuh pengendalian penduduk yang lebih ketat dari KB? Tetapi, apa? Jika masih menggunakan logika rasio ketergantungan, maka memang tidak akan beranjak dari perangkap pengertian ‘beban’ tersebut. Maka, alternatifnya adalah mengajukan pertanyaan: siapa sebenarnya yang kita anggap atau dalam kenyataannya memang merupakan ‘beban’ bagi yang lain? Konsep lama rasio ketergantungan akan langsung menunjuk pada penduduk berusia di bawah 15 tahun dan yang berusia di atas 65 tahun. Karena itu, pertanyaan berikutnya: apakah ada di antara kita yang sudah tidak membiayai anak-anaknya yang berusia di bawah 16 tahun? Kenyataannya adalah hampir semua orangtua masih membiayai anakanaknya, bahkan yang sudah berusia di atas 16 tahun. Artinya, anakanak kita masih menjadi beban kita. Padahal, menurut definisi, yang namanya beban ketergantungan itu hanya mereka yang berusia di bawah 15 tahun. Dengan kata lain, definisi atau konsep beban ketergantungan itu sudah tidak berlaku lagi. Apalagi sekarang, masih banyak orangtua yang membiayai anak-anaknya sampai usia 24 tahun, karena anaknya itu masih bersekolah sampai tingkat S2. Artinya, kita masih tetap akan menjadi orangtua yang menanggung mereka sampai usia 24 tahun. Maka, definisi penduduk muda sebagai beban hanya sampai usia 14 tahun tidak tepat lagi. Lalu bagaimana dengan lansia? Kenyataan juga menunjukkan pada kita bahwa masih banyak orang yang berusia 65 tahun ke atas yang masih 149 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA aktif. Apakah mereka menjadi beban? Jelas tidak. Bahkan, sekarang ada kecenderungan orang-orang muda yang sudah bekerja pun masih tergantung sebagiannya kepada para orangtua mereka yang sudah lansia, paling tidak, pra-lansia. Karena itu, konsep rasio beban ketergantungan perlu dikaji ulang, termasuk seluruh konsep-konsep turunannya seperti konsep demographic windows of opportunity dan konsep bonus demografi. Sebenarnya, semua istilah teknis ekonomi tersebut tidak terlalu penting, karena yang paling penting sebenarnya adalah implikasi dari kenyataan yang sesungguhnya terhadap kebijakan yang ditempuh. Jika kenyataannya adalah terjadi perubahan struktur demografi dan berubahnya hubungan saling ketergantungan antar kelompok usia penduduk, maka kebijakan seperti apa yang harus ditempuh? Itu yang jauh lebih penting daripada ribut memperdebatkan peristilahan. Sebagai penutup, penting untuk melihat dan memperbandingkan pola konsumsi dan pola produksi. Di Indonesia, banyak penduduk usia 15 tahun sudah bekerja dan produktif. Begitupun, banyak penduduk usia di atas 65 tahun masih tetap bekerja dan tetap produktif. Apakah justru ini bukan merupakan salah satu jawaban terhadap masalah semakin banyaknya penduduk yang menua (ageing)? Singkatnya, jalan keluar atau pemecahan pada permasalahan perubahan struktur demografi negara kita, termasuk isu-isu penduduk lansia sebagai bagian di dalamnya, adalah justru bagaimana membuat semua penduduk dewasa kita tetap aktif dan produktif. Artinya juga mengubah pola konsumsi dan pola produksi kita. Gagasan atau konsep ‘terus menua, tetapi juga terus aktfi’ (active ageing) perlu dijadikan kebijakan. Kalau kita bisa melakukan itu dengan baik, maka investasi sumberdaya manusia kita tidak akan hilang begitu saja.v 150 Kota Ramah Lansia Hernani Djarir World Health Organization (WHO) Indonesia. T ampaknya banyak sekali tantangan yang akan kita hadapi dengan adanya ledakan jumlah penduduk lansia. Kecenderungan yang terjadi selama 50 tahun terakhir sampai 50 tahun ke depan semakin menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia akan segera melebihi jumlah penduduk anak-anak dan balita. Kecepatan penuaan penduduk dunia ini terjadi di seluruh dunia, tetapi ada perbedaan antara negaranegara Barat dengan negara-negara sedang berkembang, yakni rentang waktunya. Di Perancis, misalnya, proporsi penduduk lansianya meningkat dari 7% menjadi 14%, membutuhkan waktu 100 tahun. Sekarang, negaranegara sperti Thailand dan Cina hanya membutuhkan waktu sekitar 20 sampai 30 tahun. Yang jelas, seluruh dunia tak akan lama lagi menerima kenyataan bahwa pada tahun 2030 nanti, 3 dari setiap 5 penduduk dunia adalah lansia. Kemudian, pada tahun 2050, 20% dari seluruh penduduk dunia adalah lansia. Pola-pola Penyakit Data memperlihatkan bahwa, antara tahun 2008 sampai 2030, pola penyakit di negara-negara berpendapatan tinggi tidak banyak perubahan, 151 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA masih dominan penyakit-penyakit degeneratif yang tidak menular. Di negara-negara berpendapatan menengah, terjadi pergeseran. Penyakit-penyakit tidak menular yang sebelumnya sudah cukup banyak, akan lebih banyak lagi. Di negara-negara berpendapatan rendah juga sama, akan terjadi pergeseran ke arah semakin dominannya penyakitpenyakit tidak menular. Dengan kata lain, kecenderungan meningkatnya jenis-jenis penyakit tidak menular kini mulai menjadi isu utama di semua negara. Karena itu, pada tahun 2011, World-Health Asian Day membicarakan penyakit tidak menular itu harus menjadi isu global yang harus dibicarakan oleh setiap negara. Datanya di negara-negara maju sangat beragam. Di Indonesia, kecenderungan itu masih sangat kurang. RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007 sudah mendapatkan angkaangka tersebut, tapi arah pergerakan atau kecenderungannya belum terlihat. Hasil RISKESDAS 2007 lebih untuk melihat status kekinian dari penyakit-penyakit tidak menular di Indonesia. Penuaan dan Demensia Ini juga yang biasa terjadi pada lansia. Di negera-negara berpendapatan tinggi, proyeksi demensia diperkirakan akan semakin mengecil dibandingkan di negara-negara bependapatan menengah dan berpendapatan rendah. Karena Indonesia kini berada di antara dua kelompok negara-negara tersebut, hal ini mungkin juga akan segera menjadi tantangan. Demensia akan menjadi tantangan yang besar sekali. Hasil RISKESDAS 2007 menyebabkan bahwa penyebab utama kematian para lansia adalah stroke, kemudian chronic respiratory infection. Morbidity utamanya adalah joint disease atau osteoarthritis atau komplikasi penyakit, kemudian hipertensi. Semua itu menunjukkan bahwa pembangunan sudah harus meningkatkan mutu kehidupan dan usia harapan hidup. Dengan sendirinya, itu semua memerlukan penyesuaian pada pelayanan kesehatan maupun pendukung sosialnya (adaptations of the health care and the social support systems). Beban karena penyakit yang tidak menular juga akan menjadi salah satu konsekuensi yang terjadi dengan adanya perubahan demografis. Selanjutnya, kita memerlukan promosi kesehatan yang cukup panjang untuk mempersiapkan generasi muda kita supaya tidak terkena penyakit degeneratif dan tidak menular tersebut. 152 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional Pertanyaannya: apakah penuaan penduduk ini akan disertai dengan perbaikan keadaan kesehatan mereka, perbaikan yang bagus, status kesejahteraan, dan produktivitas yang meningkat? Atau, justru akan dibebani oleh banyaknya penyakit dan tingkat ketergantungan? Apa yang akan terjadi kalau kita tidak mengantisipasinya sejak sekarang? Bagaimana dengan aspek pembiayaannya, baik untuk pemeliharaan kesehatan maupun untuk pelayanan sosial lainnya? Apakah itu tidak bisa kita elakkan? Atau kita bisa melakukan sesuatu --membangun prasarana fisik dan sosial-- untuk mendapatkan kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik bagi para lansia? Faktor-faktor Penentu Penentu (determinant) yang memengaruhi kesehatan dan penuaan --secara makro-- adalah faktor budaya dan jenis kelamin. Secara mikro, faktor penentu kesehatan adalah faktor-faktor biologis, sosial, ekonomi, sistem kesehatan, lingkungan fisik, dan perilaku hidup. Hal-hal inilah yang akan menjadi penentu tahap kehidupan dan sejarah hidup seseorang. Adapun proses penuaan akan ditentukan oleh faktorfaktor pelayanan kesehatan dan sosial, perilaku, keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan pribadi, lingkungan fisik, sosial, dan ekonomi. Semua faktor penentu itulah yang harus dijadikan dasar perencanaan membangun kawasan permukiman atau kota-kota yang ramah terhadap kebutuhan lansia. Tetapi, pengertian ramah lansia jangan diartikan tidak mencakup juga kelompok usia yang lain. Pada dasarnya, suatu kota yang ramah lansia adalah seharusnya juga ramah bagi warga dari kelompok usia yang berbeda. Intinya adalah pada struktur dan pelayanan yang mendukung seluruh warga untuk tetap aktif, produktif, dan sejahtera. v 153 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA NARASI VIDEO: MENCIPTAKAN KOTA RAMAH LANSIA World Health Organization P erkenalkan, saya Liza Warth. Saya bekerja di bagian Ageing and Life Course di WHO Jenewa, Swiss. Berkaitan dengan pekerjaan saya di bidang penuaan penduduk, saya memfokuskan pada lingkungan yang ramah lansia. Saya berkoordinasi dengan Jaringan Global WHO untuk Kota dan Lingkungan Ramah Lansia, yang akan saya sampaikan lebih lanjut dalam presentasi saya Lingkungan dimana kita tinggal, baik lingkungan fisik atau sosial, mempengaruhi kemampuan kita untuk terus hidup aktif manakala umur kita semakin bertambah. Peran sosial kita juga berubah manakala kemampuan fisik dan mental kita juga mengalami perubahan. Semakin lingkungan kita memberikan kemudahan, saya maksudkan di sini kemudahan fisik bagi semua orang (normal atau cacat) dan terbuka secara sosial bagi orang-orang tua, maka lingkungan akan semakin membantu kita untuk tetap terikat dengan masyarakat, terus hidup aktif dan tetap sehat manakala kita beranjak tua. Lingkungan yang mendukung di sini mencakup akses terhadap layanan kesehatan yang baik ketika kita membutuhkannya. Bayangkan suatu komunitas di mana orang lanjut usia dipandang sebagai sumberdaya dan sumber kebijaksanaan, tempat di mana manusia dari berbagai generasi hidup dengan sejahtera dan saling terkait, tempat di mana kebutuhan semua orang diakomodasi dan disediakan. Kota dan berbagai komunitas di seluruh dunia saat ini tengah berusaha keras untuk mewujudkan hal tersebut. Komunitas, besar dan kecil, di kota dan di desa dari berbagai latar belakang budaya, tengah berusaha dengan cara-cara yang kreatif untuk dapat memenuhi kebutuhan penduduk mereka yang menua. Usaha-usaha inilah yang membuat tiap komunitas menjadi unik. Seperti apa komunitas yang ramah lansia? AKSES FISIK: tersedia ruang publik yang aman, bisa diakses siapa saja, baik yang normal maupun yang memiliki keterbatasan fisik, secara mandiri. Ruang publik yang ramah lansia bisa mendorong terwujudnya hidup yang sehat dan sejahtera TERBUKA: tersedia tempat yang aman bagi orang untuk bertemu dan berinteraksi, memperhatikan aspirasi lansia dalam urusan-urusan lokal dan 154 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional pemerintahan, para lansia tahu bahwa mereka diapresiasi dan dicintai, kontribusi lansia dianggap penting dan bermanfaat bagi masyarakat. Dari visi ke aksi Bagaimana kita bergerak dari visi ke aksi? Langkah pertama, bergabung bersama-sama untuk menciptakan komunitas ramah lansia. Dalam upaya ini penting untuk tetap melibatkan anggota masyarakat dan para lansia itu sendiri dan terus-menerus memperbesar aliansi untuk menyuarakan perubahan. Jika anda adalah anggota masyarakat, pastikan anda menjalin kerjasama dengan pemerintah lokal. jika anda adalah pengambil keputusan, jalin kerjasama dengan masyarakat, termasuk kalangan bisnis, penyedia layanan, dan lainnya. Bagi LSM dan keluarga, kemitraan masyarakat yang solid sama pentingnya dengan dukungan politik. Langkah kedua, bikin perencanaan. Cari tahu apa yang para lansia inginkan dan seberapa ramah lansia komunitas anda sekarang. Pelajari apa saya yang sudah ada dan dilaksanakan, lalu apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkannya. Fokuskan pada sumberdaya yang anda miliki pada rencana aksi anda. Libatkan masyarakat pada setiap keputusan yang akan berpengaruh terhadap mereka. Langkah ketiga: laksanakan. Setiap perubahan diawali dari satu langkah kecil. Satu rencana diselesaikan berarti semakin dekat kita dengan terwujudnya dunia yang ramah lansia. Catat setiap kemajuan, sebagai pengingat akan keberhasilan kita dan mengetahui seberapa dekat dengan tujuan akhir yang ingin kita capai. Bergabung dengan Pergerakan Bergabung dengan komunitas/kota lain yang terlibat dalam Jaringan Global WHO. n Jaringan Global WHO untuk Kota dan Komunitas Ramah Lansia Visi dari Jaringan Global WHO untuk Kota dan Komunitas Ramah Lansia adalah menjadi wadah dan menghubungkan tempat-tempat yang sedang berusaha mewujudkan hal ini. Jaringan ini dibentuk pada tahun 2010, dan saat ini sudah memiliki 105 anggota yang tersebar di 19 negara di dunia, mulai dari kota New York di AS sampai Kolkata (bergabung Oktober 2012), termasuk berbagai desa dan beberapa daerah terpencil di pedalaman Kanada atau Australia. 155 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA n Siklus Jaringan WHO Sekarang saya akan menerangkan secara singkat tentang siklus jaringan WHO, yang merupakan siklus perkembangan yang berkelanjutan dalam lima tahun. Tahap pertama adalah bergabung dengan jaringan dan merencanakan apa yang akan anda lakukan dalam tahun pertama. Kegiatan dalam tahap ini adalah membuat mekanisme bagaimana melibatkan lansia, melakukan survei baseline sebagai asesmen awal seberapa ramah lansia komunitas kita, kemudian membuat rencana aksi berdasar temuan dari asesmen tersebut serta mengidentifikasi berbagai indikator untuk memantau kemajuan rencana aksi dari waktu ke waktu. Tahap kedua adalah pelaksanaan, biasanya dari tahun ketiga sampai tahun kelima rencana aksi, memantau berbagai indikator pelaksanaan dan menyusun laporan paska pelaksanaan. Terakhir, tahap ketiga adalah mengevaluasi kemajuan dan pengembangan berkelanjututan, mengidentifikasi dan mengukur kemajuan, keberhasilan dan kegagalan, sekaligus menyusun rencana aksi selanjutnya. Kota Ramah Lansia Global: Satu Panduan Panduan Kota Ramah Lansia Global berisi pendekatan bagaimana mewujudkan model kota yang ramah lansia, suatu metode penelitian yang mulai dipublikasikan pada tahun 2007, tersedia di tapakmaya (website) kami dan bisa diunduh. Kami juga menyusun satu daftar periksa (checklist) berisi kriteria-kriteria kota ramah lansia yang dapat dipergunakan untuk menilai seberapa ramah lansia suatu kota tertentu. n Aspek kehidupan kota yang berbeda-beda Pendekatan dibuat berdasarkan model komprehensif yang memfokuskan pada delapan aspek kehidupan kota, mencakup askpek lingkungan fisik dan sosial: ruang terbuka dan bangunan, transportasi dan perumahan, peran serta sosial, partisipasi lansia dalam kegiatan sosial dan dunia kerja, komunikasi dan informasi bagi lansia serta dukungan komunitas dan layanan kesehatan n Keuntungan bagi anggota Kota dan komunitas yang telah bergabung menjadi anggota jaringan memiliki akses terhadap jaringan kota dan komunits di seluruh dunia yang memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas hidup komunitas lansia. Salah satu fungsi utama dari jaringan ini adalah meningkatkan saling tukar informasi 156 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional dan pengalaman, membantu kota mendapatkan inspirasi, memperoleh pemecahan inovatif dari mereka yang telah mempraktekkannya dan tentu saja berbagi metode metodologi penilaian dan pengalaman melaksanakan rencana aksi. Program terkait Saat ini jaringan telah memiliki sembilan program di Kanada, Prancis, Irlandia, Portugal, Federasi Rusia, Slovenia, Spanyol, dan Amerika Serikat. Kami mengajak semua pihak yang tertarik untuk merancang program nasional atau regional di negara atau wilayah masing-masing, jangan ragu untuk berkomunikasi dengan kami dan kita bisa mendiskusikan bagaimana mewujudkan hal tersebut. n Peranan program terkait/jaringan Program-program terkait memiliki peranan yang sangat penting dalam mempromosikan pendekatan kota ramah lansia dan mengajak kota atau komunitas untuk bergabung dalam jaringan. Program-program terse-but membantu memberikan perspektif lokal pada tiap anggota yang berkomunikasi dengan bahasa yang sama dan tinggal dalam konteks budaya dan kebijakan yang kurang lebih sama. Adanya program juga bisa membantu masing-masing anggota untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, karena anggota jaringan dalam negara/kawasan yang berdekatan bisa saling bertemu langsung. Sekarang saya akan tunjukkan secara singkat satu tapakmaya di mana kami telah membangun kemitraan dengan International Federation on Ageing. Ini adalah satu tapakmaya interaktif tentang penuaan yang juga memasukkan satu seksi tentang Jaringan Global WHO. Di sini, anda bisa melihat peta interaktif dimana anda bisa mendapatkan informasi tentang berbagai kota yang berbeda-beda. Juga menyediakan berbagai informasi tentang para anggota, bagaimana menjadi anggota, dan berbagai informasi lainnya. Anda bisa mengakses tapakmaya ini di www.agefriendlyworld. org. Informasi lebih rinci tentang jaringan dan pendekatan kota ramah lansia daoat dilihat di www.who.int/aging, di mana anda bisa mendapatkan informasi tentang kota-kota ramah lansia, panduan dan daftar periksa WHO tentang kota ramah lansia. Tentu saja, anda bisa menghubungi saya langsung di [email protected]. Terima kasih.v 157 Indikator-indikator Merancang Kebijakan Kota Ramah Lansia * Ni Wayan Suriastini SurveyMETER, Yogyakarta T ahun 2002, WHO mengeluarkan ‘Pedoman Kota Ramah Lanjut Usia’ (Old-age Friendly Cities Guideline), menanggapi dua gejala demografi: jumlah penduduk lanjut usia yang meningkat pesat dan urbanisasi yang tinggi dan mendunia. Daftar periksa (check list) pedoman WHO itu mencakup delapan dimensi: gedung dan ruang terbuka, transportasi, perumahan, partisipasi sosial, penghormatan dan keterlibatan (inklusi sosial), partisipasi warga dan pekerjaan, komunikasi dan informasi, serta dukungan masyarakat dan kesehatan. *) Eksplorasi dan pilot analisis dari kajian ini yang di presentasikan dalam lokakarya 19-20 November 2012, menggunakan data penelitian rintisan yang dikumpulkan oleh Center for Ageing Studies Universitas Indonesia dengan KOMNAS Lanjut Usia pada tahun 2011. 158 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional 1 8 Dukungan Masyarakat & Pelayanan Kesehatan 7 Komunikasi dan Informasi Gedung dan Ruang Terbuka Kota Ramah Lansia 6 Partisipasi Sipil dan Pekerjaan 2 Transportasi 3 Perumahan 4 5 Partisipasi Sosial Penghormatan dan Inklusi Sosial GAMBAR 1: Kerangka Kerja Kota Ramah Lanjut Usia WHO Daftar periksa delapan dimensi kota ramah lansia yang dibuat WHO itu sangat komprehensif memperhatikan semua aspek ligkungan yang mendukung kehidupan seseorang. Sehingga, sesunggunya, jika telah memenuhi indikator-indikator tersebut, bukan hanya menjadikan satu tempat ramah untuk lanjut usia saja, tetapi menjadi ramah untuk semua kelompok umur dan kelompok rentan lainnya, termasuk anak-anak, kaum difabel, dan juga perempuan. Misalnya, trotoar bebas hambatan meningkatkan mobilitas dan kemandirian orang cacat tua maupun muda, ibu hamil, perempuan, dan anak-anak. Penuaan merupakan suatu proses alami di mana seseorang mengalami kemunduran fisik, mental, dan sosial, secara bertahap. Namun demikian, dibandingkan kelompok usia lainnya, lanjut usia memiliki kelebihan dalam hal keahlian, pengalaman, jaringan, kearifan dan waktu yang bisa dikembangkan dan diberdayakan, sehingga tetap merupakan aset 159 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA bagi keluarga dan komunitas dalam bidang ekonomi maupun sosial. Adanya lingkungan fisik, prasarana, sosial, ekonomi dan lingkungan hidup seperti yang diisyaratkan oleh delapan dimensi kota ramah lanjut usia, akan mendukung terciptanya lanjut usia sehat, aktif dalam bidang sosial, juga ekonomi, serta sejahtera dan bahagia. Kajian yang dilakukan oleh SurveyMETER dan Center for Ageing Studies, Universitas Indonesia, pada bulan Januari-Maret 2013, dilaksanakan di 14 kota besar dan kota kecil di Indonesia: Medan, Payakumbuh, Mataram, Denpasar, Jakarta Pusat, Depok, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Makasar, Balikpapan, Semarang, dan Bandung. Dalam kajian ini, wawancara dilakukan pada 2.100 orang laki-laki dan perempuan, kelompok umur lanjut usia berpendidikan minimal SMA dan aktif yang tersebar di 14 kota tersebut. Mereka berasal dari semua penjuru kota yang dibagi ke dalam 5 wilayah (Tengah, Timur, Barat, Utara dan Selatan). Selain itu, tim juga mewawancarai Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) setempat yang terkait dengan delapan dimensi kota ramah lanjut usia dan 140 kelurahan di semua kota. Pewawancara juga melakukan pengamatan langsung di lapangan. Kajian kualitatif tentang praktik-praktik terbaik dilakukan di 6 kota (Payakumbuh, Depok, Jakarta, Yogjakarta, Surabaya dan Denpasar) ikut memperkaya kajian ini. Kajian ini menggunakan 95 daftar indikator penting kota ramah lanjut usianya WHO, selain mendokumentasikan penilaian masyarakat, SKPD, kelurahan, dan hasil pengamatan lapangan para pewawancara tentang kesuaian kota atas indikator-indikator tersebut. Praktik-praktik terbaik yang dilakukan oleh pemerintah setempat dan berbagai pemangku kebijakan lainnya juga di dokumentasikan. Hasil keluaran kajian ini adalah data dasar tentang penilaian kota ramah lansia dalam bentuk diskriptif dan indeks total setiap dimensi. Hasil kajian ini diharapkan bisa membantu memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam membuat kebijakan menciptakan kota ramah lansia tahun 2030. Oleh karena itu, dibentuk kategori pencapaian sebagai alat ukur menuju 2030, yaitu: merah untuk persentase pencapaian <25%, jingga (25-49%), kuning (50-74%), dan hijau (75-100%). Tujuan Pencapaian 2030 adalah kategori pencapaian hijau untuk semua Indikator indeks dimensi dan indeks total. 160 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional Daftar periksa kesesuaian kota dengan indikator-indikator dari dela-pan dimensi kota ramah lansia, digali dari responden dalam enam ka-tegori, yaitu: sangat tidak sesuai, tidak sesuai, agak tidak sesuai, agak sesuai, sesuai, dan sangat sesuai. Menggunakan penilaian sesuai dan sangat sesuai dari semua responden, hasil kajian ini secara umum memperlihatkan 14 kota tersebut mencapai nilai 42,9% (dari nilai total 100) dalam memenuhi kriteria kota ramah lanjut usia WHO. 100 - 80 - 60 - 42,9 61,1 52,0 40 - 23,4 20 - 0- | | Individu Kelurahan | SKPD | Pengamatan Pewawancara GAMBAR 2: Indeks Total 14 Kota Berdasarkan Penilaian Berbagai Pemangku Kepentingan Dimensi kota ramah lanjut usia yang terdepan pada 14 kota adalah partisipasi sosial (55.6%). Dimensi yang masih kurang pada umumnya adalah partisipasi sipil dan pekerjaan (16.9%). 161 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA 1. Gedung & Ruang Terbuka 100 8. Dukungan Komunitas & Pelayanan Kesehatan 80 53,8 60 40 2. Transportasi 35,2 40.1 20 7. Komunikasi & Informasi 52,2 0 3. Perumahan 31,3 16,9 55,6 6. Partisipasi Sipil & Pekerjaan 48,7 4. Partisipasi Sosial 5. Penghormatan & Inklusi Sosial GAMBAR 3: Indeks per Dimensi 14 Kota di Indonesia Srategi menuju kota ramah lanjut usia 2030 dapat dimulai dengan membenahi indikator yang pencapaiannya rendah, tidak memerlukan banyak dana, dan melibatkan semua pemangku kepentingan. Misalnya, peraturan lalu lintas ditaati dengan pengendara memprioritaskan pejalan kaki. Hasil kajian ini menyediakan penilaian, data, dan saransaran yang diperlukan untuk perencanaan. Namun, di atas segalanya, diperlukan komitmen dari pemerintahan kota dan pemangku kepentingan lainnya untuk bisa menggapai kota mereka ramah lanjut usia pada tahun 2030. v 162 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional DISKUSI ARIS ANANTA (Moderator): S aya kira, menarik sekali kita berbicara tentang age-friendly. Sebetulnya isu age-friendly ini cikal bakal untuk menggusur paradigma ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Jadi para ekonom bersiap-siap yang diajarkan itu diganti semua dan saya juga ikut advokasi untuk mengubah ajarannya; di Fakultas Ekonomi di seluruh dunia mestinya mengajarkan age-friendlycities ini. Dan saya kira ini langkah menarik antara CAS dan SurveyMETER dan ada teman dari BPS mungkin bisa bekerja sama lebih lanjut sehingga hal semacam ini bisa dilakukan di seluruh Indonesia. Baiklah, saya buka forum untuk tanya jawab ada waktu 14 menit. Silahkan Bu! Dr. EKAWATI SRI WAHYUNI (Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor): T erima kasih Pak Aris. Terima kasih atas kesempatan untuk bertanya. Pertama-tama tadi perkara beban ketergantungan, karena saya mengajar kependudukan, jadi saya tetap mengajarkan itu Pak, termasuk bonus demografi-pun saya ajarkan. Tetapi mahasiswa saya ajarkan bahwa; apa benar yang seperti itu? Jadi hal itu baik untuk diajarkan karena sangat simpel untuk menjelaskan bagaimana struktur kesejahteraan penduduk, cuma bisa menjadi indikasi kesejahteraan penduduk atau tingkat ekonomi itu kalau ‘anu, anu, anu’-nya itu. Nah ‘anu, anu, anu’-nya itu ada ndak? Jadi mohon maaf saya masih mengajarkan, Pak Aris! Kemudian untuk age-friendly cities untuk Bu Hernani ada nggak ya; contoh ideal kota yang sekarang ada di dunia itu mana? Dan seperti apa? Terus kemudian apakah tidak ada muatan budaya di situ? Karena mungkin ukuran-ukurannya itu sangat modern ya, tadi ada penyebrangan dan sebagainya—padahal di kita, listrik mati sok ribut juga gitu. Kemudian bagus juga untuk mengemukakan, misalkan, analisis kualitatifnya apa sih sebenarnya kota itu? Kalau IPB bisa pindah ke Payakumbuh mungkin saya milih pindah di sana gitu. Begitu, jadi barangkali kita perlu memperhatikan indikator itu apa yang dipakai dan apakah ‘sarumah’ itu pas sebetulnya. Karena kan, misalkan, 163 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA di Payakumbuh itu tidak ada bus kota! Betul itu, nol dapatnya. Nanti akan banyak nol-nya disana. Padahal di Payakumbuh nggak perlu bus kota; becak atau delman paling-paling. Begitu. Terima kasih. DWI RETNO WILUJENG WAHYU UTAMI (Deputi Statistik Sosial, Badan Pusat Statistik): M engenai pemilihan variabel. Kadang-kadang untuk komparasi kita juga sering mengambil variabel yang secara internasional memang ada guide-line-nya, tetapi biasanya kita mengambil variabel yang bersifat lokal; untuk Indonesia variabel yang pas itu apa? Karena kalau tidak terakses atau variabel itu tidak membumi di wilayah itu kadang-kadang juga hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Prof. SAPARINAH SADLI (Gurubesar Psikologi, Universitas Indonesia, Jakarta): S Fakultas aya juga kembali kepada age-friendly cities. Ini kan indikatornya 140 dan aspeknya ada 8. Aspek pertama adalah outdoor space and building. Yang saya ingin tanya ruang di dalam building itu. Apakah indikator itu—ini kan age-friendly, old-age-friendly atau age-friendly? Itu kan beda menurut saya. Nah karena kita membicarakan tentang usia lanjut maka saya memikirkannya itu adalah old-age-friendly. Jadi apakah di dalam 140 indikator itu dilihat perlengkapan dari buildingbulding itu, umpamanya. Karena saya—kita semua di Cengkareng, bagi saya masuk di belalainya itu sangat mengkhawatirkan karena belalainya itu kan landai dan tidak ada pegangan. Ini sebetulnya harus ada pegangan supaya kita yang tua kalau jalan di situ tidak takut jatuh. Sama seperti di hotel ini juga begitu, tangganya tidak ada pegangan. Jadi apakah itu masuk indikator old-age-friendly atau tidak, melihat apa yang tersedia kalau seorang tua itu lewat sini atau masuk sini atau something like that-lah. Karena menurut saya itu yang sebetulnya seringkali tidak tersedia, jadi ada step seperti ini tidak ada pegangannya apalagi ketika kita ke pengantin, itu kan selalu pengantinnya di atas gitu dan kita harus naik gitu. Nah ini harusnya ada aturan kalau pakai 164 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional step dan kemudian itu namanya old-age-friendly building, maka itu juga perlu dipikirkan. Terima kasih. EVI NURVIDYA ARIFIN (Narasumber): K omentar saya satu, kepada Ibu Eka, baik definisi rasio beban ketergantungan dan bonus demografi itu baik diperkenalkan kepada mahasiswa, tetapi mungkin penekanannya “kalau-kalau-kalau”. Itu ditekankan; “kalau-kalau-kalau”. Asumsinya dalam kuliah harus kita terapkan, sejauh kita paham asumsinya, oke! Masalahnya sekarang seolah-olah semua sudah latah, sampai bapak wakil presiden kita pun pakai; seolah-olah kita sekarang sudah mendapatkan bonus demografi. Apa bonusnya? Kita tidak berbuat apa-apa, kalau kita dapat bonus artinya kita sudah berusaha. Padahal kita nggak berusaha apa-apa. Semata-mata itu terjadi karena struktur penduduk kita berubah. Struktur penduduk kita berubah, lalu kita mengatakan pada saat-saat tertentu kita mendapatkan bonus demografi, itu kan seolah-olah kita berusaha padahal tidak ada. Bonus demografi itu ada kalau serangkaian program pemerintah dilakukan kepada semua penduduk di berbagai kelompok umur sehingga akhirnya pada momen tertentu khususnya pada saat ini kita mendapatkan bonus—sayang saya tidak punya gambarnya di komputer. Penduduk kita itu sekarang berubah, kalau tahun 1970, penduduk kita itu bagaikan Candi Borobudur; bagian bawahnya lebar sekali. Sekarang penduduk kita itu sudah nggak Candi Borobudur lagi, kita akan menuju Candi Mendut; gendut di atas. Tapi sebelum ke Candi Mendut kita Candi Prambanan dulu. Sekarang itu kita itu di Candi Prambanan—struktur penduduknya; gendut di tengah-tengahnya yang usia produktif itu. Di situ, bonus itu tidak akan pernah terjadi kalau kita tidak berbuat apaapa di usia reproduktif. Jadi pada akhirnya apa kebijakannya? Semua kebijakannya sama; adalah perbaiki kesehatan, perbaiki pendidikan. Nah kalau itu mah, ada atau tidak ada istilah bonus domografi juga memang kita harus begitu! Nah tapi seolah-olah itu yang benar. Monggo istilah itu dipakai—saya kira apalagi studi kasus dari Bu Indrasari makin menunjukan bukti kepada kita sebetulnya itu yang terjadi. Maka istilah itu baik untuk diajarkan sejauh persyaratan, asumsi-asumsinya, dan ‘kalau-kalau-kalau’-nya, itu sangat ditekankan. Sebab kalau tidak akan sangat membahayakan pembangunan kita. Saya kira itu saja. 165 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA HERNANI DJARIR (Narasumber): T erima kasih. Jadi sebetulnya, ideal atau tidak itu sebenarnya tergantung masyarakat setempat. Jadi WHO menyediakan satu tools-nya—kalau Prof Saparinah mungkin membacanya yang 140 itu dari guide yang asli, ini yang sudah ada tools dan checklistnya yang bisa dipakai untuk menilai. Checklist ini sebetulnya bisa disesuaikan—kalau tadi Bu Eka mengatakan apakah aspek culture itu tidak perlu dimasukkan, kalau memang kita memandang perlu, culture bisa kita tambahkan. Jadi sesuai dengan kebutuhan kota masing-masing. Kemudian apakah ada kota yang agefriendly? Tools ini sebetulnya sudah dipakai, diujicobakan di Australia. Jadi di beberapa negara bagian di Australia itu ada yang nggak mau memakai karena mereka sudah punya RAN; sudah punya action plan sendiri, kemudian ada juga yang memakai sebagian dari konsep ini karena tidak sesuai. Jadi sebetulnya adalah kita harus mengadopsi dulu mana yang akan kita pakai. Kemudian kalau di dalam website-nya age-friendly world, itu Ibu bisa mendapatkan gambaran di New York City. Jadi apa yang kemarin Ibu dari Yogyakarta (Ruliyandar Rudiyanto SE, M.Kes dari Golden Geriatric Club; ed) sampaikan bahwa lansia sudah diajarkan komputer, itu sudah dilakukan di sana. Jadi di library itu para orang tua sudah bermain dengan komputer untuk membuka website untuk mencari referensi-referensi dan sebagianya. Saya kira mungkin itu. ARIS ANANTA (Moderator): T erima kasih banyak. Sesi ini pada hakikatnya mengkritik mainstream ekonom plus. Pertama para ekonom itu percaya pertumbuhan ekonomi itu paling utama dan salah satu indikatornya adalah pertumbuhan mobil dan kendaraan bermotor. Indikator lainya adalah penjualan semen. Jadi kalau kota itu makin macet dan makin banyak bangunan itu pengukur kemajuan ekonomi. Dan teman-teman mengkritik habis paradigma itu dengan age-friendly cities. Kedua juga mengkritik, para ekonom meniru demographer. Demographer itu bicara struktur, tapi itu netral dan tidak punya arti apa-apa. Ekonom pura-puranya mau sok tahu; kasih ahli jelek dan dan 166 BAGIAN KEENAM: Pengalaman Lembaga Internasional buruk dengan angka ketergantungan dan itu ternyata tidak relevan. Dan kesalahan oleh para ekonom itu, sayangnya ditiru oleh para yang bukan ekonom. Mari jangan niru-niru ekonom yang seperti itu, saya seorang ekonom. Dan saya kira saya ucapkan terima kasih kepada para pembicara dan teman-teman semua. Kita tepuk tangan untuk kita semua. v 167 BAGIAN KETUJUH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN & KESEJAHTERAAN LANSIA NARASUMBER: n Dr. Nugroho Abikusno Universitas Trisakti, Jakarta n Prof. Bambang Purwoko, MA, Ph.D Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) n Dr. Fiona Howell Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Jakarta MODERATOR: Dr. Kharisma Priyo Nugroho The Asia Foundation (TAF), Jakarta Penuaan Penduduk Indonesia Masa Depan Nugroho Abikusno Universitas Trisakti, Jakarta D ata mutakhir yang dikeluarkan baru saja oleh HelpAge International memperlihatkan, pada tahun 2050 nanti, hampir semua negara berkembang manapun di dunia ini sudah memiliki penduduk lansia paling sedikit 10% dari total penduduk masing-masing. Bahkan, Indonesia diperkirakan sudah memiliki penduduk lansia sebesar 30%. Jadi, 1 dari setiap 3 orang Indonesia saat itu adalah seorang lansia, berusia 60 tahun ke atas. Jika tak ada hambatan, seperti bencana besar dan perang, bukan hal mustahil memang perubahan struktur demografi tersebut akan terjadi. Salah satu yang menarik adalah mengenai rasio ketergantungan. Selama ini, di berbagai forum, saya selalu menyampaikan bahwa bahwa usia harapan hidup manusia Indonesia itu hanya 5-15 tahun. Ternyata sekarang lebih tinggi, mendekati 20 tahun. Bisa dibayangkan bagaimana teknologi nantinya akan lebih mampu memfasilitasi keumurpanjangan manusia. Sekarang, rekan-rekan saya di Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mulai sering meminta saya menjelaskan kepada mereka tentang penuaan (ageing) dan keumurpanjangan (longevity). Mungkin karena banyak di antara mereka sendiri memang sudah 170 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia mendekati lansia, sehingga mereka berminat. Secara berkelakar, saya menjelaskan kepada mereka bahwa penuaan (ageing) jelas bukan melawan penuaan (anti-ageing). Kalau melawan penuaan itu larinya ke perawatan kulit, maka penuaan dan keumurpanjangan lebih pada penataan gaya-hidup yang sehat (healthy life style) secara menyeluruh. Ini jelas tidak bisa dilakukan dalam sekejap, harus sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Apa implikasinya? Sederhana saja. Kita harus investasi pada sumberdaya manusia kita tanpa perkecualian, termasuk kepada para warga lansia yang harus dipandang sebagai potensi besar. Saya ingin menekankan beberapa hal yang mungkin terkesan sepele, tapi sangat penting. Misalnya, masih banyak yang selalu menggunakan istilah ‘panti’, kalau untuk para lansia disebut ‘Panti Jompo’. Seharusnya ini sudah tidak digunakan lagi. Itu sudah bagian dari masa lalu saja. Mengapa tidak menggantinya saja menjadi, misalnya, ‘Rumah Lansia’ atau ‘Graha Lansia’. Jelas, lebih elegan. Tetapi, ini bukan sekadar soal istilah. Dengan mengganti istilah ‘panti’ menjadi ‘rumah’, sebenarnya adalah perubahan paradigma. ‘Rumah Lansia’ adalah sama seperti rumah-rumah warga lainnya, berada di tengah masyarakat, bukan disekat menjadi satu proporsi kecil yang terpisah dari bagian lain masyarakat sekitarnya. Jika kita masih menganut paradigma ‘panti’, itu menyalahi apa yang disebut ‘Menuju Suatu Masyarakat untuk Segala Usia’. Jadi, kita lepaskan semua kendala antar generasi, tetap berinteraksi satu sama lain, terutama dengan keluarga. Deklarasi Madrid 2002 Rencana Aksi Internasional Madrid tentang Penuaan (Madrid International Plan of Action on Ageing, MIPAA) adalah suatu ‘grand mark’. Deklarasi ini berpijak pada tiga pilar: partisipasi, kesejahteraan sosial dan kesehatan, lingkungan yang ramah lansia. Tiga pilar ini harus menjadi landasan untuk semua upaya yang berkaitan dengan penanganan penduduk lansia. Pilar pertama, partisipasi, harus terus diperkuat sebagai fondasi. Intinya adalah bagaimana tetap melibatkan para warga lansia dalam proses-proses pembangunan. Bisa ditempuh dengan berbagai cara dan dalam berbagai bidang. Selama ini sudah banyak yang 171 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA dipraktikkan dengan baik, misalnya, pelibatan para lansia sebagai relawan dalam kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Advokasi kebijakan, termasuk yang evidence-based hasil penelitian, harus selalu menekankan pentingnya partisipasi lansia ini. Pilar kedua, kesejahteraan. Aspek kesehatan dan sosial tidak bisa dipisah-pisahkan. Dua-duanya harus mengarah pada tujuan akhir, yakni peningkatan kualitas hidup para lansia. Pilar ketiga, lingkungan yang ramah lansia. Tetapi jangan salah kaprah. Yang dimaksud bukan hanya untuk lansia. Jika suatu lingkungan kehidupan ramah lansia, juga akan sangat ramah dan bermanfaat bagi orang-orang cacat, ibu hamil, ibu dengan anak kecil, dan semua kelompok masyarakat rentan lainnya. Program untuk lansia harus selalu didasarkan pada prinsip bahwa kemanfaatan bagi mereka adalah juga kemanfaatan atau kemaslahatan bagi semua warga atau seluruh masyarakat. Dokumen-dokumen Pokok tentang Penuaan Tiga dokumen penting dari Organisasi Kesehatan Dunia yang berkaitan dengan lansia adalah tentang Penuaan Aktif (Active Ageing), PUSKESMAS Ramah atau Santun Lansia (Age-friendly Primary Health Care), dan Kota Ramah Lansia (Age-friendly Cities). Tiga dokumen WHO sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sudah disebarkan ke semua daerah. Jika ingin mendapatkannya, hubungi KOMDA Lansia di daerah masing-masing. Kalau tidak salah, sudah ada 100 dari sekitar 400 kabupaten/kota di seluruh Indonesia yang sudah membentuk KOMDA Lansia dan aktif. Pilar-pilar dari Penuaan Aktif adalah: kesehatan, partisipasi, dan keamanan. Dua pilar pertama (kesehatan dan partisipasi) sudah sangat jelas. Pilar ketiga (keamanan) perlu sedikit penjelasan bahwa yang dimaksud adalah: keamanan dalam rumah. Jadi, rumah yang ramah lansia. Penelitian bisa banyak dilakukan berkaitan dengan masalah ini. Pengertian keamanan juga mencakup keamanan sosial (social security) seperti jaminan sosial lansia. Pilar-pilar PUSKESMAS Ramah atau Santun Lansia ada dua yang harus benar-benar diperhatikan: sumberdaya manusia dan prasarananya. Untuk sumberdaya manusianya, sebaiknya para petugas PUSKESMAS 172 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia dilatih dalam bidang gerontologi dan geriatri sesuai dengan kualifikasi atau fungsinya. Kalau dia dari bidang sosial, perlu dilatihkan gerontologi sosial (social gerontology). Kalau dia dari bidang kesehatan, perlu dilatihkan gerontologi kesehatan (medical gerontology). Sekarang, sudah mulai banyak perguruan tinggi yang berminat untuk mengembangkan bidang kajian ini, sehingga memang semakin penting untuk diajarkan juga kepada para petugas kesehatan sampai tingkat terbawah (PUSKESMAS). Dalam hal prasarana, intinya adalah bahwa suatu PUSKESMAS Ramah Lansia harus benar-benar terjangkau (affordable) secara finansial dan bisa diakses (accessible) secara spasial oleh para lansia. Contoh, dalam hal keterjangkauan finansial, ada yang mengembangkan gagasan ‘Kartu Sehat Lansia’, terutama lansia yang miskin dan lemah. Dalam hal keterjangkauan spasial, terutama adalah dari segi ketersediaan transportasi serta memiliki loket dan klinik khusus para lansia, antara lain, agar para lansia yang datang ke sana tidak perlu antri panjang. Selain itu, PUSKESMAS Ramah Lansia harus memiliki fasilitas rujukan, terutama pada fasilitas rehabilitasi. Di Cina, pusat-pusat kesehatan masyarakat punya layanan rujukan sangat sederhana, tapi efektif. Di setiap ‘Graha Lansia’ ada yang namanya ‘Mesin Chi’ (Chi Machine). Cara kerjanya adalah si lansia diminta berbaring di atas mesin tersebut yang secara otomatis menggerakkan bagian engkel lansia itu sehingga terjadi kelancaran aliran darah mulai dari tungkai bawahnya sampai ke otak. Itu dilakukan rutin oleh semua lansia yang pergi ke Graha Lansia, sehingga kita menyaksikan lansia-lansia yang bahkan umurnya 100 tahun pun masih gagah dan gesit, reflek-refleknya masih bagus, bisa menari dengan baik. Kalau malam, saya lihat mereka semua melakukan gerakan-gerakan Tai Chi di lapangan terbuka. Halhal semacam itulah yang perlu dikelola oleh PUSKESMAS Ramah Lansia, tetapi bukan hanya satu-dua kali seminggu, melainkan rutin setiap hari. Bentuk-bentuk pelayanan sederhana tapi efektif semacam itulah yang saya pikirkan sangat penting dalam promosi gaya hidup sehat dan pelayanan kesehatan yang baik. Melihat beberapa contoh seperti di Cina itu, sebenarnya tidak perlu dana besar. Kalau pemerintah memang memiliki itikad politik (political will) yang serius, sarana dan pola pelayanan semacam itu mudah dibangun, tetapi hasilnya akan luar biasa. Karena, sarana dan pola tersebut mengurangi ketergantungan para lansia pada orang lain. Mereka melakukan perawatan diri sendiri (selfcare) secara rutin setiap hari, tidak dibantu oleh siapa pun sampai mereka 173 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA sama sekali sudah tidak mampu melakukan sendiri. Prinsip inilah yang seharusnya dikembangkan juga di sini. Berikutnya adalah Kota Ramah Lansia. Ini terutama menyangkut fasilitas di rumah maupun sarana publik. Rumah di mana seorang lansia tinggal, tentu saja, harus ramah lansia, terutama kalau lansia itu cacat atau mempunyai kebutuhan yang khusus. Kelengkapan-kelengkapan yang harus ada, misalnya, pegangan di tempat-tempat yang biasa dia lalui seperti ruang keluarga, kamar tidur, dan kamar mandi. Keadaan lantai, pencahayaan, dan meubeler harus ramah lansia. Satu perangkat penting yang sering dilupakan adalah tanda bahaya (emergency alarm) yang bisa dipantau oleh para tetangga atau orang yang lewat di sana. Adapun sarana publik yang penting harus disediakan perumahan lansia yang selalu dekat dengan fasilitas-fasilitas seperti ATM, warung, dan sebagainya. Kemudian ada akses jalan landai di bangunan-bangunan publik dan fasilitas-fasilitas untuk orang-orang yang cacat. Tak kalah penting, pemberian diskon khusus untuk para lansia. Di Hawaii, misalnya, semua layanan transportasi umum, pembelian makanan dan pakaian di semua restauran dan toko, semua memberi diskon khusus kepada para lansia. v 174 Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional Berbasis Kesempatan Kerja untuk Perluasan Kepesertaan Semesta Bambang Purwoko Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) S elama ini, masih sering terjadi salah kaprah di Indonesia bahwa sistem jaminan sosial disempitkan artinya sebagai asuransi sosial saja. Padahal, selain asuransi sosial yang dipergunakan untuk melindungi masyarakat yang punya pendapatan reguler, jaminan sosial juga mencakup bantuan sosial (social assistance) khusus untuk penduduk miskin. Biasanya programnya hanya sebatas social pension, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan juga jaminan kesehatan. Karena pertumbuhan ekonomi kita selama beberapa tahun ini cukup tinggi, relatif tinggi, mestinya jumlah penduduk miskin berkurang. Kalau tidak, berarti ada sesuatu yang keliru. Bentuk berikutnya dari jaminan sosial adalah ‘demogran’. Ini mungkin masyarakat belum tahu. Ini adalah bentuk jaminan sosial yang semua warga negara, kaya ataupun miskin, berhak menerimanya. Contoh, di Australia, ada bantuan susu untuk semua balita dan pengobatan gratis kepada seluruh warga negara tanpa kecuali. Tentu saja, ada aturan mainnya. Misalnya, kalau kita mau berobat tapi tidak mau menunggu atau antri, silakan cari pelayanan pengobatan yang tidak gratis, tetapi bayar sendiri. Jaminan sosial ini adalah suatu sistem yang perlu ditopang dengan prasarana lain. Misalnya, perlu ada ‘Pasar Tenaga Kerja Aktif’ (Active Labour Market). Sampai sekarang, negara kita belum punya, meskipun sudah 67 tahun merdeka. Indonesia kelihatannya memang ‘hobi’ serba sementara (ad hoc). Semua jenis bantuan sosial yang pernah ada di negeri 175 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA ini, semuanya ad hoc: ada Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ada Asuransi Kesejahteraan Sosial (ASKESOS), semuanya ad hoc. Pernah saya tanyakan mengapa demikian? Jawabannya adalah tidak mau, karena semua yang ad hoc itu bisa jadi sumber pendapatan tambahan. Jadi, itulah tantangannya. Padahal, mestinya bisa dituntaskan semua, asal mau. Tantangan lainnya adalah perlunya pemisahan yang jelas antara regulator dengan pelaksana. Kalau di negara lain, badan penyelenggara bantuan sosial (BPJS) adalah badan tersendiri, bukan kementerian. Di sini, Kementerian Kesehatan mengelola langsung dan menyelenggarakan JAMKESMAS, padahal lembaga itu tidak dirancang sebagai pelaksana, tetapi sebagai regulator. Kalau mengacu pada UU Nomor 24 Tahun 2011, jelas dipisahkan antara Kementerian sebagai regulator dan BPJS sebagai operator. Jaminan kesehatan saat ini sifatnya parsial. Pegawai Negeri Sipil (PNS) mendapatkan jaminan pensiun dan jaminan kesehatan. Adapun para pekerja sektor swasta mendapatkan program jaminan sosial (JAMSOSTEK) yang dirancang hanya untuk mereka yang masih aktif bekerja. Begitu mereka tidak bekerja, mereka jatuh miskin lagi karena tidak mendapatkan jaminan pensiun. Itulah sebab dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) ada jaminan pensiun. Dengan sengaja dalam UU SJSN tidak digunkan istilah ‘jaminan kesehatan’. Profesor Hasbullah pernah melemparkan kelakar bahwa jaminan kesehatan itu ‘Sadikin’ (sakit sedikit jadi miskin). Dalam kenyataannya, memang demikian. Peserta ASKES sekarang tercatat 4,8 juta orang, tapi yang menggunakannya umumnya adalah PNS golongan 1 dan 2. Golongan 4 tidak menggunakan, tapi kalau sudah pensiun baru dimanfaatkan. Jadi, PNS yang pensiun walaupun golongan IV/E itu baru ingat ASKES. Waktu masih aktif, mereka tak meliriknya sama sekali. Tampaknya kelakar Profesor Hasbullah banyak benarnya. Saya tidak tahu persis, tapi kalau tidak salah Indonesia sekarang punya sekitar 12 juta jiwa lansia. Hanya 2,6 juta jiwa dari mereka yang mendapatkan pensiun, karena mereka adalah PNS atau karyawan BUMN besar. Katakanlah seluruhnya adalah 3 juta jiwa. Lalu, 9 juta sisanya dapat apa? Karena itu, jaminan pensiun harus dibangun jauh-jauh sebelumnya, pada saat kita masuk berusia 25 tahun dan masih aktif bekerja. Itu perlunya ada UU Jaminan Sosial untuk mengatur pemotongan gaji kita selama masih bekerja, sehingga --pada usia pensiun nanti, usia 55 tahun-- kita sudah bisa menerima manfaatnya. 176 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia Kelemahan JAMSOSTEK --saya adalah mantan Direktur JAMSOSTEK-adalah jaminan pensiunnya baru bisa diambil 5 tahun. Kalau anda peserta JAMSOSTEK, pindah kerja 5 kali, tariknya bisa 5 kali pula asal sudah 5 tahun. Maka, persis pada saat usia 55 tahun, pensiun, saldonya pun tinggal 5 tahun saja. Jelas, tidak cukup untuk sisa hidup hari tua. Beda dengan Singapura dan Malaysia, sama sekali tidak boleh diambil selama masih aktif bekerja. Orang Malaysia yang bekerja mulai mengangsurnya pada usia 25 tahun. Ketika mereka pensiun 30 tahun kemudian, pada usia 55, saldonya besar sekali. Mereka biasanya menggunakannya untuk membeli AMITAS dari perusahaan asuransi komersial yang menunggu mereka selama 55 tahun. Di Indonesia, tidak demikian. Jaminan sosial di Indonesia sekarang ini melanggar asas keadilan. Karena, hanya PNS yang mendapatkan jaminan pensiun. Jaminan sosial yang berlaku sekarang itu mendua, termasuk jaminan kesehatan. Jaminan kesehatan pada dasarnya adalah jaminan yang dapat digunakan kapan saja diperlukan: bisa sekarang, bisa besok; dan berlaku untuk semua: tua-muda, kaya-miskin, sehat-sakit. Kalau kita sehat, anak-anak atau istri kita yang sakit bisa menggunakannya. Makanya, jaminan kesehatan itu prioritas dan itu sudah dimasukkan dalam UU SJSN. Tetapi, program jaminan sosial harus seumur hidup. Satu-satunya program jaminan sosial seumur hidup adalah jaminan pensiun, karena akan tetap dibayarkan sampai yang bersangkutan meninggal di usia pensiun. Faktanya, banyak orang setelah pensiun pada usia 55 tahun, masih bertahan hidup bisa sampai 10 atau 15 tahun kemudian. Setelah dia meninggal, jaminan pensiunnya mestinya bisa dialihkan ke istri dan anak. Itu akan diterapkan di UU SJSN. Jadi, SJSN berdasarkan UU baru tersebut memang dirancang untuk anak cucu kita, untuk ke depan, karena kita sudah pengalaman penyelenggaraan sistem jaminan sosial yang pernah ada selama ini bersifat parsial, tidak seragam. Jaminan pensiun hanya didapat oleh para PNS, begitu juga jaminan kesehatan. Para pegawai swasta hanya mendapatkan tabungan hari tua yang sifatnya sekaligus. Ini berbahaya, karena begitu dapat tabungan sekaligus, bukannya membayari hari tua, tapi malah dipakai untuk bisnis. Kalau bisnisnya pun gagal, habislah dia. Ini yang paling banyak terjadi, karena dia selama ini bekerja sebagai ‘orang gajian’, bukan wirausaha. Itulah memang kasus terbanyak selama ini. Setelah pensiun, mendapat saldo JAMSOSTEK Rp 100 juta. Langsung digunakan membuka usaha baru, lalu gagal. Dalam hal ini kita harus arif bahwa tidak semua orang berbakat atau mampu jadi 177 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA wirausaha, dan memang tidak boleh semua orang pensiunan menjadi wirausaha. Landasan jaminan sosial adalah kesempatan kerja. Jaminan sosial ini adalah program formal, pesertanya juga harus bekerja di sektor formal. Kalau pesertanya banyak di sektor informal, negara akan kesulitan. Kecuali kalau APBN-nya benar-benar kuat dan mantap. Pendapatan negara kita pada tahun 2011 sebesar Rp 1.086 triliun, Rp 600 triliunnya berasal dari pajak --mestinya lebih. Dengan jumlah penduduk sebesar 200-an juta dan angkatan kerja 110 juta lebih, seharusnya nilai hasil pajaknya adalah ribuan triliun. Masalahnya, yang punya nomor wajib pajak, yang bayar pajak, cuma 10% penduduk, itupun 25% pemegang Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sebenarnya bernilai nihil karena merupakan dana pensiunan. Ini satu masalah besar. Oleh karena itu, ada alasan yang sangat kuat sehingga pada tanggal 18 Oktober 2004, lahirlah UU Nomor 40 Tahun 2004. Hal ini dimaksudkan agar sistem jaminan sosial kita adil, programnya berdasarkan Undangundang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) per Oktober 2004. Tetapi, proses implementasinya sekali lagi membuktikan bahwa keseriusan pemerintah memang perlu dipertanyakan. Karena, inilah satu-satunya undang-undang yang harus ditindaklanjuti dengan undang-undang juga. Pasal 5 UU Nomor 40 Tahun 2004 itu mengatakan bahwa untuk menyelenggarakan SJSN harus dengan undang-undang. Sayangnya, UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial baru lahir 7 tahun kemudian! Maka, yang dirugikan siapa? Ya, peserta lagi! Artinya, kepesertaan pensiunnya mundur lagi. Tapi, lumayanlah, daripada tidak sama sekali. Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 itu, sistem jaminan sosial dirancang bersifat universal. Karena, syarat penyelenggaraan jaminan sosial itu harus inklusif. Tidak boleh ada perbedaan antara PNS dan pegawai swasta. Programnya harus sama. PNS itu dipotong 4,75% tiap bulan untuk tabungan dana pensiun, tapi itu sesungguhnya terlalu kecil, hanya cukup untuk membiayai seorang pensiunan PNS selama 7 bulan setelah dia pensiun (lebih rinci, lihat Tabel 1). Maka, sisanya pun ditanggung oleh APBN. Kenapa? Dasarnya adalah UU Nomor 11 Tahun 1969 bahwa pembiayaan program pensiun PNS adalah dari APBN. Sama halnya dengan anggota TNI dan POLRI yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1966. Jadi, ada dua undang-undang; UU 11/1969 untuk pensiunan PNS dan UU 6/1966 untuk pensiunan TNI-POLRI, 178 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia tetapi pada dasarnya sama saja, dana pensiunan mereka hanya dipacu untuk 7 bulan, karena sifatnya memang hanya suplemen. Apakah nanti, berdasarkan UU SJSN, dana pensiunan akan dipotong juga untuk jaminan kesehatan? Kurang lebih polanya akan sama dengan jaminan pensiun. Pensiunan PNS dan pensiunan TNI-Polri akan dipotong 2% per bulan untuk ikut jaminan kesehatan dari ASKES. Jadi, per 1 Januari 2014, PT ASKES akan menjadi BPJS Kesehatan untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan secara universal. Dalam pasal 14 UU 40/2004 disebutkan bahwa pemerintah mendaftarkan penduduk miskin untuk dibayarkan iurannya oleh pemerintah. Besaran iuran mengacu ke Tim Nasinal Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), yakni sebesar Rp 22.000 per orang per bulan. Tapi, pembahasannya masih alot dengan Kementerian Keuangan. Dalam UU SJSN, tidak hanya mencakup penduduk miskin, tapi termasuk penduduk tidak mampu. Misalnya, peserta JAMSOSTEK yang mencapai usia 55 tahun dan dia karyawan biasa, dapat digolongkan sebagai warga tidak mampu. Yang menentukan dia mampu atau tidak adalah Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). ASKES Jaminan Kesehatan bagi PNS & Purnawirawan Operasional JK oleh BPJS Kesehatan per 1 Januari 2014 JAMSOSTEK Jaminan Sosial bagi Tenaga Kerja Sektor Swasta Operasional JKK-JHTJP-JKm oleh BPJS TK per 1 Juli 2015 TASPEN Pensiun dan THT bagi PNS ASABRI Transformasi tahun 2029 Pensiun dan THT bagi TNI & POLRI Proses Transformasi 4 BUMN Persero ke BPJS 179 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Implementasi UU SJSN itu bersifat wajib diselenggarakan dari Sabang sampai Merauke per 1 Januari 2014. Sejak saat itu, PT ASKES menjadi BPJS Kesehatan tanpa likuidasi. Bentuk badan hukumnya bukan lagi perseroan terbatas. Programnya bertahap. PT JAMSOSTEK akan menjadi BPJS Ketenagakerjaan, tetapi program pensiunnya berlaku per 1 Juli 2015. Jadi nanti semua karyawan swasta wajib mengikuti program pensiun. Nah, bagaimana kalau per 1 Juli tahun 2015 ini usianya sudah berusia 50 tahun? Maka dana pensiunnya hanya 5 tahun. Karena di UU SJSN, persyaratan untuk mendapatkan pensiun wajib bagi karyawan itu harus memenuhi masa angsur 15 tahun. Kalau kurang dari 15 tahun dikasih lumsum. Dengan seluruh skema itu, saya optimis tahun 2030 seluruh rakyat Indonesia akan mendapatkan jaminan pensiun. Tapi, acuannya tetap usia 55. Jadi, misalnya masa angsur saya sudah 15 tahun dan usia saya masih 50 tahun, maka belum boleh. Karena, rumus pensiun adalah makin lama masa angsur, makin aman buat penyelenggara. Karena umur orang bisa panjang. Contoh kasus, mantan Gubernur DKI, Wiyogo Atmodarminto, usianya sampai 90 tahun. Kalau saldo pensiunnya hanya mampu sampai 7 bulan, maka 35 tahun 4 bulan sisanya ditanggung dan dibayari terus oleh APBN. Kalau semuanya demikian, APBN bisa jebol. Untuk PNS dan TNI-Polri akan ditransformasi ke BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2029. Mengapa? Karena usulan iuran jaminan pensiun UU SJSN sekarang hanya 8%, sedangkan pensiunan PNS --ambil contohnya pensiunan PNS golongan IV/E-- bisa terima 4,5 juta per bulan, itu kalau diangsur harus 16%. Secara kasar perhitungan aktualnya, menerima Rp 4,5 juta dan harus diangsur 16%, kan tidak mungkin. Jadi, baru pada tahun 2020-2022 nanti, sektor swasta yang tidak 8% akan dinaikkan dulu. Kemampuan swasta sekarang baru 8%, karena mereka --sebagai pemberi kerja-- juga menanggung perintah UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Pesangon, dan ikut JAMSOSTEK juga. Jadi para pengusaha mengaku baru mampu 8%, yakni 5% dari mereka sebagai pemberi kerja dan 3% dari pekerja. Kenapa 8%? Saya mengadopsi sistem di Filipina. Di Filipina itu sebenarnya 8,4% tapi pengusaha maunya 7%. Kalau 7%, lebih baik tidak usah saja, karena tidak akan ada artinya, tidak ada manfaatnya. Karena, makin panjang masa angsur, makin baik. Iurannya tidak perlu terlalu tinggi. Idealnya 16%, tapi 8-12% boleh juga sebagai tahap awal. 180 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia Tabel 1. Total Dana Jaminan Sosial, APBN dan PDB (Triliun Rupiah) Tahun Total Dana Jaminan Sosial* Pendapatan Negara PDB Harga Berlaku % terhadap APBN (2 : 3) % terhadap PDB (2 : 4) 1 2 3 4 5 6 2005 54 495 2.774 10,9 1,9 2006 71 638 3.339 11,1 2,1 2007 87 708 3.951 12,3 2,2 2008 120 649 4.951 14,1 2,4 2009 160 982 5.613 16,3 2.8 2010 195 992 6.354 19,6 3,1 2011 232 1.086 7.020 21,4 3,3 Sumber: *Dana Akumulasi Jamsostek-Taspen-Asabri, BPS dan BI 2012 Sebagai kesimpulan, untuk mengukur jaminan sosial ini berhasil atau tidak, kita lihat pakai angka-angka. Di kolom 2 adalah total dana jaminan sosial --terdiri dari dana JAMSOSTEK, TASPEN, dan ASABRI. Yang paling besar adalah dari JAMSOSTEK (70%). Naik dari Rp 54 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 232 triliun pada tahun 2011. Kita cek dengan pendapatan negara --kita tidak bicara APBN, karena akan defisit. Pendapatan negara tahun 2011 adalah Rp 1.086 triliun. Dengan kata lain, seluruh dana jaminan sosial adalah hanya 21,4% dari seluruh pendapatan negara. Persis sama besarnya dengan anggaran pendidikan. Jumlah itu sesungguhnya sangat kecil, karena dana JAMSOSTEK adalah dana akumulasi sejak tahun 1977. Dibandingkan dengan PDB (Product Domestic Bruto) harga berlaku yang mencapai Rp 7.020 triliun --ini saya kutip dari data Bank Indonesia-- maka seluruh dana jaminan sosial itu hanyalah 3,3% nya, persis 2,2% dana kesehatan. Ini ‘memalukan’ sekali. Artinya, Indonesia tidak punya dana jangka panjang. Maka, pantas kalau berutang terus! Selanjutnya, dapat dilihat bahwa dana JAMSOSTEK sebesar Rp 232 triliun itu ada di deposito berjangka, ada di obligasi, ada di saham, ada di pendanaan langsung. Jadi ini sudah mencakup semuanya. Jelas, sangat kecil sekali! Dana jaminan sosial di Malaysia mencapai 80% dari PDB. Kita hanya 3,3%. Ternyata, Pemerintah Indonesia tidak pernah serius. Programnya dinyatakan wajib, tapi penegakan hukum (law enforcement) tidak ada, tidak jalan, terutama setelah otonomi daerah tahun 2000. 181 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Tabel 2. Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan Kepesertaan Jaminan Sosial (Juta Orang) Tahun Angkatan Kerja 1 2 Kesempatan Kerja Formal Informal 3 4 Peserta 5 % terhadap AK KKF 6 7 2005 105,86 31,76 74,10 7,84 7,4 24,68 2006 106,28 31,88 74,40 7,72 7,3 24,21 2007 108,13 32,44 75,69 7,94 7,3 24,47 2008 108,94 32,68 76,26 8,22 7,5 25,15 2009 109,76 32,93 76,83 8,49 7,7 25,78 2010 110,07 33,02 77,05 9,20 8,3 27,86 2011 111,62 33,50 78,18 11,70 10,5 34,93 Satu lagi yang penting, tentang angkatan kerja. Di masa depan, kinerja BPJS harus naik terus, karena prinsip BPJS nanti adalah bersifat nirlaba. Mari kita lihat kepesertaan JAMSOSTEK. Data dari tahun 2005 hingga 2011 menunjukkan peningkatan dari 7,84 menjadi 11,70. Kalau kita lihat kesempatan kerja di sektor formal ada 33,50, yang ikut sebagai peserta JAMSOSTEK hanya 11,70, alias hanya 34%. Hanya sepertiganya. Kalau dibandingkan dengan jumlah seluruh angkatan kerja, peserta JAMSOSTEK itu hanya 10%. Padahal, program ini dinyatakan sebagai program wajib. Mengapa pesertanya terlalu sedikit? Karena law enforcement tidak jalan. Saya tidak menyalahkan JAMSOSTEK (mentang-mentang mantan orang JAMSOSTEK)! Karena, sebagai perusahaan, tidak punya kewenangan penegakan hukum. Menurut UU Nomor 8 Tahun 1981, kewenangan penegakan hukum itu ada pada Kementerian Tenaga Kerja. Hal-hal dualistik semacam inilah yang akan dibenahi melalui UU SJSN. v 182 Jalan Menuju Jaminan Pensiun di Indonesia: Kemiskinan & Keamanan Pendapatan Lansia Fiona Howell Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Disampaikan oleh Dr. Jan Piebe. P resentasi ini lebih memusatkan pada rencana jaminan sosial dan bagaimana caranya untuk menjamin semua masyarakat agar bisa memiliki tabungan dan semacam pendapatan, sehingga bisa memenuhi kebutuhan yang sudah disebutkan pembicara sebelumnya, seperti asuransi kesehatan dan akses ke fasilitas kesehatan. Dengan memastikan bahwa kebutuhan dasar terpenuhi, bukan berarti kebutuhan-kebutuhan lainnya tidak diperhatikan, seperti masalah kesehatan. Pada dasarnya, perkiraan pendapatan diambil dari data SUSENAS terkini, yaitu bulan Maret tahun 2012. Di sini kita melihat perbedaan desile sebagai yang termiskin berumur di atas 60 tahun atau 65 tahun atau di atas 70 tahun. Kita menyadari bahwa usia tua berkaitan dengan peningkatan kemiskinan, terutama masyarakat atau rumah tangga yang tidak memiliki jaringan atau dukungan keluarga ataupun skema tabungan. Hal ini merupakan sesuatu yang umum. Kita bisa menemukan banyak kasus seperti ini di 183 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA negara-negara berkembang dan penelitian telah menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kasus yang sudah lama. Jika kita memakai garis kemiskinan 1,2 yang disebut dengan kelompok rentan di Indonesia, kita bisa dengan mudah mendapatkan gambaran yang lebih tinggi, mencapai 30%. Bahkan, jika kita memakai 1,5 kita sudah hampir mencapai 50% dari populasi ini. Banyak masyarakat, terutama para lansia, tidak dianggap sebagai masyarakat miskin, tetapi hidup pada garis yang sangat dekat dengan garis kemiskinan. Dan jika kita menaikkan lebih tinggi lagi, dengan melihat struktur keluarga, ini merupakan DESILE yang berbeda untuk mendapatkan DESILE termiskin yang kita miliki. Jadi kita bisa melihat gejala bahwa para lanjut usia menjadi pemimpin dominan dari rumah tangga tipe kedua. Kita bisa melihat gejala seperti itu pada DESILE rumah tangga miskin seperti yang bisa kita lihat pada jenis rumah tangga yang berbeda. Jadi, anak-anak pindah ke dalam rumah tangga atau orang tua yang pindah dengan anak-anaknya. Hubungan seperti inilah yang sangat membantu orang-orang pada usia tua. Akan tetapi, banyak juga masyarakat pada kelompok miskin yang --walaupun mereka hidup dengan anak-anaknya atau ada yang merawat mereka-- tetapi tidak memiliki cukup uang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka dalam konteks ini. ASLUT (JSLU) Jadi, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah dengan membuat program bantuan sosial bagi para lansia. Bantuan yang diberikan pada tahun 2012 adalah sekitar 200.000 rupiah per bulan bagi setiap lanjut usia --sebelumnya 300.000 per bulan. Jumlah tersebut diubah begitu juga dengan kriteria umur yang juga mencakup mereka yang berumur 60 tahun. Kriteria tersebut hanya berlaku jika mereka memiliki masalah kesehatan yang serius sehingga mereka ditinggalkan. Sedangkan para fasilitator memastikan bahwa para penerima bantuan tersebut benar-benar memenuhi kriteria. Bagi mereka yang berumur lebih dari 70 tahun dan yang ditinggalkan oleh keluarganya, mereka harus memiliki kartu identitas resmi atau dokumen resmi di mana biasanya orang-orang di daerah pedesaan tidak memilikinya. Tetapi hal ini tergantung dari seberapa fleksibel 184 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia pelaksanaan program pada tingkat daerah menjadi sebuah hambatan atau tidak. Latar belakang program ini dimulai sejak tahun 2006 di 6 provinsi dan masih berlanjut sampai saat ini dengan mencakup semua provinsi. Jumlah penerima manfaat program ini dalam daftar resmi sekarang mencakup 25.000 orang pada tahun 2012. Seperti yang sudah dijelaskan pada presentasi pertama, bahwa ada 3 juta lebih yang membutuhkan dan perkiraan jumlahnya lebih besar dari itu. Kajian TNP2K pada JSLU Bagaimana program ini bekerja? Bersama dengan HelpAge International dan Lembaga Demografi Universitas Indonesia, TNP2K melakukan penelitian tentang silsilah penerima manfaat JSLU di 11 provinsi. Studi dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara untuk mendapatkan akses manfaat JSLU telah mengubah hidup mereka. Pada umumnya, hasil penelitian tersebut cukup positif bahwa mereka memanfaatkannya untuk mencukupi kebutuhan dasar mereka. Dari program tersebut kita juga menemukan bahwa para fasilitator cukup bagus dalam mengidentifikasi mesyarakat yang memiliki masalah kesehatan serius. Menurut kami, para fasilitator sangat berhati-hati dalam memilih masyarakat yang berumur 70 tahun ke atas. Mereka juga dalam tekanan untuk menemukan orang-orang yang berhak menerima bantuan, karena sumber data yang tersedia sangat terbatas dan cenderung memilih berdasarkan kriteria umur. Karena memilih mereka yang berumur 70 tahun ke atas berarti memperkecil kemungkinan bagi mereka yang berumur di bawah usia itu. Di lain pihak, masih banyak orang yang memiliki masalah kesehatan pada umur tersebut. Tetapi, jumlah sumberdaya yang tersedia telah membatasi kesempatan mereka untuk menjadi calon penerima manfaat JSLU ini. Program ini tidak diterapkan di semua kabupaten dan kecamatan. Tetapi rogram ini masih terus dikembangkan, hanya cakupannya masih kecil. Banyak negara telah merencanakan untuk menyediakan jaminan sosial seperti ini. Pada umumnya, negara-negara Barat selalu memiliki jangka tahun yang panjang bagi pekerja formal dan mereka wajib membayar jaminan sosial. Jadi, seandainya kita bekerja di sektor formal selama 30 185 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA tahun, maka setiap tahun kita harus membayar sejumlah uang sebagai rencana jaminan sosial ini dan bisa menikmati keuntungan dari uang pensiun tersebut di kemudian hari. Negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tidak memiliki sistem seperti itu. Sektor formal jumlahnya sangat kecil. Bahkan di Indonesia, jika anda bekerja di sektor formal maka anda harus sudah berkontribusi dalam waku yang sangat lama sampai anda memenuhi kualifikasi. Terkecuali untuk skema pensiun khusus. Pada umumnya, Anda harus berkontribusi sama lamanya untuk pekerjaan di sektor formal. Sepuluh tahun terakhir, banyak negara-negara berkembang dan berpenghasilan menengah telah mempertimbangkan masalah lansia ini, bagaimana caranya untuk mengikutsertakan mereka yang tidak memiliki skema tabungan untuk mengakses fasilitas kesehatan atau pekerjaan di sektor formal. Berbagai pendekatan yang berbeda-beda telah dilakukan, misalnya pensiun universal. Jadi, pada dasarnya masyarakat pada golongan umur tertentu bisa mendapatkan sejumlah uang, baik yang kaya maupun yang miskin. Perbandingan dengan Amerika Latin dan Karibia Skema pensiun bertarget atau yang disebut dengan Pension Targetted Scheme yang artinya jika kita memiliki sisa uang yang cukup dan memiliki rencana pensiun formal, maka kita tidak bisa lagi ikut dalam skema pensiun universal. Sebaliknya, jika kita tidak memiliki cukup uang atau tidak memiliki cukup uang dari skema pensiun formal, maka kita bisa memiliki pensiun universal. Banyak negara yang memiliki sumber finansial terbatas menggunakan sistem teruji. Maka, jika kita tergolong dalam masyarakat miskin atau golongan masyarakat dengan masalah kesehatan atau yang ditelantarkan maka kita bisa mengakses sistem pensiun seperti ini. Seperti kasus di Brasil, yang memiliki susunan masyarakat dan permasalahan geografis yang hampir sama tapi dengan jumlah pulau yang lebih sedikit dan penduduk yang banyak, memiliki rencana pensiun teruji. Sebagian besar negara-negara Amerika Latin biasanya memiliki rencana teruji. Sebagai gambaran, negara-negara kecil yang memiliki sumber daya yang sangat banyak bagi masyarakatnya akan mendapatkan banyak sumbangan uang. Negara-negara kecil yang 186 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia anggaran umumnya mencapai 30% - 40% dari pengeluaran umum biasanya menerapkan pensiun universal. Perbandingan dengan Negara-negara Asia Dalam konteks negara-negara Asia, banyak negara memiliki perbedaan yang besar. Misalnya, Hongkong adalah negara yang sangat kaya, sebaliknya India sangat miskin. Jika kita melihat India, rencana pensiunnya mencakup jutaan orang. Hal itu berarti rencana pensiun teruji. Jika kita melihat Vietnam, paling tidak ratusan ribu tercakup dalam rencana pensiun. Sedangkan Nepal, negara yang jauh lebih miskin dari pada Indonesia, rencana pensiunnya mencakup masyarakat yang sangat banyak. Untuk Indonesia, data ini didapatkan dari database yang sangat bagus, yaitu dari HelpAge Internationa. Indonesia berada jauh dibawah negaranegara miskin seperti India dan Vietnam juga dibawah Thailand dan Malaysia yang memiliki penduduk yang lebih sedikit. Rencana pencakupan merupakan awal yang bagus untuk mengidentifikasi masyarakat walaupun jumlahnya masih sangat kecil dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia. Sebagaian besar negara yang memiliki masalah keuangan menggunakan rencana pensiun teruji. Jika kita memiliki skenario lain yang memungkinkan dengan menggunakan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang resmi dan tingkat kontribusi yang sesuai, mungkin kita bisa. Jika kita melihat tingkat kontribusi yang dimiliki setiap negara, misalnya Thailand, sekitar US $20 per bulan atau Rp.200.000 yang jumlahnya sama dengan yang dimiliki ASLUT. Banyak negara yang sebenarnya mirip India, bahkan jauh lebih kecil. Misalnya, Timor Leste juga memiliki sekitar US $ 20 tapi tergantung dari setiap negara berapa banyak anggaran yang tersedia di setiap negara untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Jika kita tetap menggunakan jumlah uang untuk penerima manfaat yang lama yaitu Rp. 300.000 atau 200.000 dan memilih umur 65 atau 70 dan memiliki pensiun universal atau pensiun teruji maupun pensiun bertarget, maka kita akan melihat dampak yang besar pada masyarakat. Berdasarkan data BPS Maret 2012, 11,96% masyarakat Indonesia adalah miskin. Dari data tersebut kita melihat penduduk kelompok 65 tahun lebih tinggi dari jumlah yang lainnya. Sama halnya dengan golongan masyarakat di atas 65 tahun. 187 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Kemungkinan Skenario Jika kita memiliki pensiun universal sekarang, kita bisa melihat bagian lanjut usia berkurang sangat banyak. Dan jika kita fokus pada benefit rumah tangga 30% kebawah maka jumlah rumah tangga miskin akan berkurang sangat banyak. Mungkin tidak sebanyak pada skenario pensiun universal tetapi merupakan kontribusi yang besar. Skema ini berlaku baik dengan jumlah 200.000 maupun 300.000 dan untuk golongan usia 70 maupun 65 tahun. Dengan ini kita bisa melihat bahwa jumlah tersebut benar-benar membantu. Jumlah ini sepertinya masih dalam batasan yang terjangkau dan akan memberikan kontribusi. Pada dasarnya tidak hanya para orang tua yang menerima uang tersebut, tapi semua anggota rumah tangga di dalamnya juga bisa menikmatinya. Jadi sebenarnya akan memiliki banyak peningkatan yang tinggal di rumah tangga seperti itu. Jumlah rumah tangga miskin akan berkurang sebanyak 60%; jumlah berkurang yang sangat banyak. Sekali lagi, jika skenario pentargetan ini berkembang maka akan banyak berkurang dari simulasi sederhana ini. Alasannya, bahwa skema pensiun universal terkadang lebih baik dari pada skema bertarget atau teruji yang mahal. Terutama jika kontribusi yang dibayarkan jumlahnya kecil. Untuk memberikan gambaran akan pentingnya skema ini bagi pembuat kebijakan, kementerian keuangan dan pemerintah sekarang memiliki skema yang berbeda, tidak masalah jika umur minimum penerima adalah 65 atau 70 tahun di dalam pensiun universal. Untuk skema ini ada sekitar 11 juta penduduk lanjut usia berdasar data sensus tahun 2010. Jika kita melihat pengeluaran pemerintah untuk program sosial yang berlangsung sekarang seperti RASKIN, JAMKESMAS, PKH, dan skema-skema sosial lainnya, maka jumlahnya sangat besar. Dan jika melaksanakan pensiun universal maka akan menjadi yang paling besar. Lebih besar dari RASKIN yaitu sekitar 20 sampai 30% lebih besar dari raskin. Jika menggunakan skema bertarget maka akan lebih kecil dari JAMKESMAS. Skema ini tentu saja besar, tapi yang jelas lebih rendah dari segi persentase pengeluaran pemerintah untuk jaminan sosial. Pada skema ini, subsidi bahan bakar yang merupakan pengeluaran besar pemerintah tidak dimasukkan. Tetapi jika dibandingkan dengan negara-negara lain maka jumlahnya masih lumayan. Dilihat dari kontribusi GDP, persentase ini relatif kecil dibandingkan 188 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia dengan negara-negara barat yang memiliki anggaran terbesar. Pembayaran pensiun merupakan kewajiban paling besar di negara-negara barat untuk saat ini dan menjadi isu utama yang harus ditentukan oleh pemerintah. Selain itu juga karena adanya faktor ketersediaan dan kesempatan. Kesimpulan Kesimpulannya, jika kita memiliki skenario target yang berdampak politis, mungkin akan jadi satu-satunya yang bisa dipertimbangkan karena murah, dibandingkan dengan skema pensiun universal. Sebaliknya, keputusan apapun yang diambil harus berdasarkan apa yang dibutuhkan oleh sektor formal. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan saham di sektor formal di Indonesia dan agar masyarakat juga ikut berkontribusi dalam rencana pensiun swasta. Hal ini merupakan tugas yang berat bagi pemerintah dan kementeriannya. Mungkin membutuhkan waktu yang lama untuk mewujudkannya, tetapi ini adalah hal yang mendesak bagi masyarakat banyak agar bisa memenuhi kebutuhannya di masa tua. Tentunya, proses ini sangat rumit sebagai desain umum dan memerlukan waktu yang sangat lama untuk mencapai dan meningkatkan program ini. Biaya program ini memang signifikan, apa pun yang dipilih dalam konteks ini. Keputusan yang penting untuk diambil, seperti yang kita lihat pada kasus Vietnam, Thailand, India, Timor Leste, dan Brasil. Negara-negara tersebut memutuskan bahwa kehidupan para lanjut usia yang mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka merupaan hal yang sangat penting di dalam masyarakat, dan pemerintah mengalokasikan anggaran yang lebih untuk program ini. Meskipun banyak yang tidak setuju, tetapi banyak negara telah melaksanaannya. Kesimpulannya adalah pemerintah Indonesia harus meningkatkan komitmennya, yaitu komitmen dengan bantuan sosial, jaminan sosial, dan pensiun. Saran Pelaksanaan program ini jelas sangat mahal. Tapi kita tidak boleh menganggapnya hanya sebuah impian. Hal ini merupakan sesuatu yang harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Masyarakat yang menerima manfaat harus yang benar-benar miskin atau memiliki masalah kesehatan yang serius. Akan tetapi daerah cakupannya belum tepat, masih banyak daerah dan masyarakat yang memenuhi syarat belum tercakup dalam program 189 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA ini. Jadi banyak program yang masih harus dilengkapi. Salah satu skenario yang memungkinkan adalah pentargetan kemiskinan yang efektif, yang sekarang belum sampai ke peningkatan. Begitu juga hal ini perlu dalam desain besar skema pensiun. Jika Indonesia menginginkan skema universal atau skema pensiun bertarget, pemerintah harus berkomitmen dengan hukum serta—dalam konteks wilayah Asia—untuk memberikan jaminan sosial kepada masyarakat yang dinikmati pada hari tua. Indonesia memiliki pilhan yang luwes seperti pilihan yang lebih komprehensif yang dilakukan pemerintah Thailand ataupun negara lain dengan jumlah penduduk yang besar agar penduduknya bisa mendapatkan akses program tersebut. Awal program ini sangat fleksibel dan bisa ditingkatkan serta bisa diintegrasikan untuk ditambah atau dikurangi. Program ini merupakan program yang lebih fleksibel jika dibandingkan dengan skema universal atau skema pensiun bertarget. Infrastruktur tertentu perlu dibangun dan tidak ada yang perlu ditingkatkan dengan segera dari level paling bawah sampai paling tinggi, kecuali sudah memiliki infrastruktur yang tepat. Yang paling penting adalah memiliki skema yang lebih komprehensif yang mencakup setiap daerah. Memiliki infrastruktur yang bisa digunakan dan berdampak positif bagi kemiskinan. v 190 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia DISKUSI ARIS ANANTA (Institute of South East Asian Studies): S aya bukan bertanya, bukan komentar, tapi permohonan maaf. Saya seorang ekonom dan mohon maaf atas kesalahan para ekonom yang membuat rumusan salah tentang konsep-konsep ekonomi kependudukan. Sejak saya belajar di Fakultas Ekonomi UI sampai saya Ph.D, saya belajar tentang angka ketergantungan (dependency ratio) yang dipakai untuk menjelaskan hubungan penduduk dan pembangunan, termasuk keluarga berencana dan lansia. Tetapi saya dan beberapa ekonom sudah menyadari bahwa konsep dependency ratio sangat kacau. Konsep itu menyatakan, antara lain, bahwa penduduk usia 60 tahun ke atas diasumsikan sebagai beban. Di ruangan ini banyak yang berusia 60 tahun ke atas dan semuanya bukan beban, justru membangun dan mendukung. Itu satu contoh ‘perkacauan’ konsep dependency ratio. Konsep ini dipakai untuk membangun konsep yang namanya bonus demografi, demographic value, dan segala macam. Ini jelas sangat berbahaya. Maka, saya mau menyarankan konsep itu dihapuskan saja. Ini permintaan saya sebagai seorang ekonom. EKAWATI SRI WAHYUNI (Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor): S aya setuju dengan Pak Aris, karena sekarang banyak orang yang seharusnya usia produktif malah tidak produktif sama sekali. Karena itu, terkait dengan SJSN yang disampaikan oleh Profesor Bambang. kalau kita mau membangun sistem jaminan sosial itu, pesertanya harus ada iuran, harus bekerja. Entah salahnya di mana, setahu saya penduduk kita yang bekerja di sektor formal itu tidak banyak. Padahal merekalah yang upahnya jelas bisa dipotong secara rutin, secara reguler, sebagai iuran. Di Indonesia banyak sektor informal yang berkembang. Di sektor pertanian juga, tergantung dari jenisnya, kerja terus cuma hasilnya tidak jelas. Jadi, nanti kalau mau dibikin sistem jaminan sosial yang tidak bersifat parsial, itu iuran pemerintah pasti besar sekali karena iuran dari pajaknya tidak banyak. Tapi, kita semua punya cita-cita ingin mengurangi kemiskinan, menambah lapangan kerja. Entah kapan itu akan terwujud, mungkin 5 191 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA atau 10 tahun mendatang. Bagi yang miskin, ini jelas terlalu lama. Berat sekali jaminan sosial ini. Sekarang ada berbagai jenis bantuan sosial. Setiap kementerian punya proyek untuk membantu masyarakat miskin. Jadi, seorang warga masyarakat yang dikelompokkan dalam golongan miskin, dengan kriteria yang sama, bisa mendapatkan bantuan dari banyak lembaga pemerintah: dari dinas pertanian, dari dinas sosial, dan lainnya. Tetapi, ada banyak juga orang miskin yang sama sekali terlewat. Teman saya, anggota DPR, mengatakan bahwa untuk mengesahkan BPJSN, mereka masih ragu-ragu, karena masih ada berbagai bantuan sosial yang sporadik dan parsial tadi. Maka, masalahnya adalah sampai kapan berbagai pola bantuan sosial semacam itu akan terus dilakukan? Berkaitan dengan JSLU, sesuai namanya, memang khusus untuk lansia. Tetapi, tadi Pak Purwoko mengatakan bahwa SJSN diperuntukkan bagi semua orang. Menurut saya, ini yang harus dibahas: kalau jaminan sosial, siapa yang harus dijamin? Seharusnya semua orang, terutama warga miskin. Universal pension itu yang kita inginkan mestinya begitu! Tapi, syaratnya semua orang harus bekerja dengan baik dan punya gaji yang bisa dipotong secara berkala tetap. JURIST TAN (AusAID): K alau boleh saya mau komentar sedikit sebelum beberapa pertanyaan. Komentarnya, dari sesisesi sebelumnya dan juga pertanyaan dari yang lain, sepertinya kita semua setuju bahwa di masa depan semua orang bekerja dalam sektor formal. Kalau semuanya sudah tergabung dalam sektor formal, maka semuanya dapat berkontribusi terhadap sistem, lalu mendapatkan pensiun yang seharusnya, sesuai dengan kontribusi mereka. Apa yang belum terlalu jelas adalah di mana posisi pemerintah untuk masa transisi menuju tujuan tersebut? Karena, sampai sekarang, belum bisa semua orang berada di sektor formal. Mungkin itu juga memang tidak realistis. Sekarang, jalan ke sana apa atau apa yang akan kita lakukan? Dari presentasinya Pak Purwoko tentang BPJSN, kelihatannya sudah ada rencananya, tapi hanya untuk sektor formal saja. Lalu, dari presentasinya Jan diberikan beberapa usulan apa yang bisa dilakukan untuk sektor informal menuju ke sektor formal. Karena itu, pertanyaan saya lebih 192 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia pada apa dan bagaimana rencana pemerintah di masa transisi saat ini? Presentasi dari Jan sepertinya hanya sebagian dari kenyataan. Jika kita melihat skema pentargetannya, kelihatannya mudah, tapi kita melewatkan beberapa hal. Ada kesalahan pentargetan dan memang tidak mudah menemukan siapa sesungguhnya warga yang dapat disebut sebagai golongan miskin. Sudah pernah dilakukan penelitian tentang betapa sulitnya menemukan warga masyarakat miskin secara akurat. Jadi ada kesalahan dalam pentargetan di mana kita hanya memberi kepada yang miskin tetapi melewatkan banyak orang lainnya. Jika kita memberikan pensiunan non-kontribusi hanya kepada sebagian penduduk, karena sebagian penduduk yang lain dianggap tidak miskin, maka itu artinya kita memberikan insentif secara cuma-cuma. Di beberapa negara di luar Indonesia, memberi jaminan pensiun gratis itu cuma untuk orang miskin. Tetapi sistem demikian membuat si penerima tidak punya insentif untuk tergabung dalam sektor formal. Kalau saya tukang ojek, misalnya, saya tak perlu risau untuk menjadi karyawan tetap di sektor formal, karena nanti pasti akan dapat pensiun juga. Kalau semua orang dapat pensiun yang basic, yang dasar, misalnya saya tukang ojek atau saya sebagai karyawan, saya tetap mau jadi karyawan, karena kalau saya jadi karyawan maka saya bisa dapat tambahan pensiun saya selain jaminan pensiun gratis dari pemerintah. Kalau kita pilih hanya memberi pensiun gratis kepada orang miskin, nanti orang miskin itu tidak ada insentif untuk jadi tidak miskin lagi. Itulah yang belum dijelaskan pada presentasinya Pak Purwoko maupun Jan, yakni tentang targeting error dan preserved insentive. Pertanyaan saya berikutnya: bukankah alokasi seperti yang ditunjukkan oleh presentasi Jan itu malah jadi mahal kalau dibandingkan dengan social assistance? Indonesia mengeluarkan sangat sedikit untuk social assistance. So, you say 0,34% of GDP that seem very high compare to the social assistance apparently, compare to other countries is very low, rght? Di negara-negara lain mungkin sampai 0,5% dari GDP untuk suatu pension system. Jadi pemerintah menganggarkan dana sangat sedikit. Bukankah itu suatu pilihan? Bukankah itu kebijakan yang dipilih pemerintah? Pertanyaan terakhir: siapa yang seharusnya mengkoordinir upaya ini? Kalau kita berpikir tentang pensiun bukankah kita mau berpikir pensiun secara sistem yang besar, dan bukankah sistem pensiun ini sekarang sudah dimandatkan kepada BPJS dan DJSN? Apakah tepat kalau, misalnya, BPJS 193 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA dan DJSN hanya melihat yang formal saja, tapi yang informal tidak termasuk dalam mandatnya? Apakah sebaiknya dipisah seperti itu atau digabung semua dalam satu badan? BAMBANG PURWOKO (Narasumber): T olong dibedakan, ada universal or social pension, itulah BLT (Bantuan Langsung Tunai). Itu dari APBN. Itu bantuan sosial untuk penduduk miskin. Lalu, ada public pension, yaitu jaminan pensiun SJSN, itu untuk pekerja yang menerima upah. Dalam UU SJSN jelas dikatakan bahwa peserta jaminan sosial adalah orang yang membayar iuran. Jadi bedakan antara universal pension --itu BLT sebenarnya, bantuan sosial-- dengan public pension. Mestinya BPJS pelaksananya, bukan kementerian. Kementerian itu regulator. Masalahnya, di Indonesia ini bantuan sosial diselenggarakan oleh kementerian, jadi tidak bisa maksimal. Lalu, yang terakhir, ada occupational pension, itu swasta. Jadi ada tiga jenis jaminan pensiun: universal pension, public pension, dan occupational pension. Jadi, tukang ojek itu, misalnya, masuknya ke universal pension. Kuncinya memang ada di BPJS. Saya optimis, pada tahun 2014, BPJS bukan perseroan terbatas lagi, melainkan badan hukum publik yang tidak terbatas, dia bisa berkelanjutan dan bertanggungjawab kepada Presiden. Direksi BPJS itu akan setingkat menteri, bukan pegawai, tapi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Memang kita perlu law enforcement. Saya menghimbau kepada kementerian-kementerian yang ada agar dinas-dinas itu melakukan law enforcement atau melakukan pendidikan law enforcement. Itu yang belum ada. Yang menciptakan lapangan pekerjaan bukanlah SJSN. Yang menciptakan lapangan pekerjaan adalah sistem. Ada sektor ekonomi yang mengintervensi bagaimana menciptakan lapangan pekerjaan. Lalu ada micro-finance dari Bank indonesia. Kalau kita bicara jaminan sosial, kebijakan Bank Indonesia terkait: ciptakan micro-finance sehingga orang dikasih modal untuk bekerja dan bertahan hidup. Ini yang 194 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia tidak terjadi di Indonesia. Sebagai contoh, dalam UU Badan Penanaman Modal, ada tax holiday, tapi di UU Pajak tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa tidak terjadi koordinasi kebijakan di Indonesia. Maka, orang asing masuk, lalu hengkang lagi. Padahal, kita punya Menteri Koordinator (MENKO), tapi tidak ada koordinasi. Padahal, kuncinya ada di situ, di koordinasi. Dinas-dinas sudah mulai harus melatih pegawainya untuk menjadi labour inspecture, karena pesertanya ada di daerah. Pada tahun 2014, JAMKESMAS nanti akan menjadi Jaminan Kesehatan SJSN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan. Karena itu, JAMKESDA harus menyesuaikan diri secara bertahap, karena jaminan sosial harus satu pintu. Jaminan sosial itu adalah upaya pooling of risk, terjadi pooled of funds untuk diredistribusi. Jadi, tidak bisa dipisah-pisah, harus satu pintu, karena jaminan sosial memang untuk redistribusi pendapatan. Tadi saya katakan ada tiga jenis pensiun yang masing-masing berbeda. Harapan saya, penduduk miskin itu mestinya berkurang kalau microfinance-nya jalan; ada transformasi dari informal ke formal. Ekonomi keseimbangan! Indonesia tidak mungkin 100% di sektor formal karena ekonomi itu sendiri adalah ilmu keseimbangan. Mungkin yang ideal untuk Indonesia adalah 40% formal, 60% informal. Proses transisinya memang bertahap. Menurut Profesor Dorodjatun Koentjorodjakti, 10% sektor informal ditransfer ke sektor formal membutuhkan waktu 400 tahun. Kita belum 100 tahun, masih kecil sektor formalnya. KHARISMA PRIYO NUGROHO (Moderator): M emang salah satu hal yang terlupakan dan perlu dilakukan terus adalah menyediakan data untuk diskusi kita ini. Data itu penting, karena keputusankeputusan kita mengenai jaminan sosial itu lebih banyak keputusan politik ekonomi: orang saling rebutan resources, kurangnya koordinasi juga, dan lain lain. Jadi saya kira, tugas kita semua di sini untuk memasok data secara terus menerus supaya debat-debat nasional tentang sistem jaminan sosial ini benar-benar bermutu, bukan hanya sekedar siapa yang pegang kendali atas jaminan sosial. Baik, kita lanjutkan ke Pak Jan untuk tanggapi pertanyaan dari Ibu Jurist. 195 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA JAN PIEBE (Narasumber): P resentasi ini hanya sebagian saja, karena jika dijelaskan sepenuhnya waktunya tidak akan cukup. Jika kita memiliki skema pensiun bertarget, maka kita seperti memiliki program insentif. Jika seseorang berumur 60 tahun yang sebenarnya masih bekerja dan kita memberikan dia uang, maka dia tidak akan bekerja lagi karena uangnya sudah cukup. Dari sudut pandang pemerintah, jika sumberdaya terbatas, maka kita tidak akan melakukannya, padahal sebenarnya kita ingin memberikan kontribusi. Oleh karena itu, uangnya dibuat untuk keperluan yang lain. Yang biasanya dilakukan oleh pemerintah ketika menerapkan skema pensiun bertarget adalah menetapkan umur calon penerima manfaat, yaitu sedikit lebih tinggi dari umur orang-orang yang masih bekerja atau memiliki kesempatan yang signifikan dalam angkatan kerja. Seandainya ditentukan umur 70 tahun, yaitu umur di mana orang tidak akan menggantungkan dirinya pada pekerjaan. Tapi kondisi ekonomi mereka tidak menjadi hal yang penting, karena hanya sebagian kecil dari angkatan kerja. Bagi mereka yang benar-benar ingin bekerja, bisa tetap bekerja, dan tidak menggantungkan pada orang lain, meskipun pemerintah telah menentukan umurnya lebih tinggi. Hal ini menjadi masalah yang rumit bagi semua negara. Kesalahan dalam pentargetan penerima manfaat merupakan suatu hal yang selalu menjadi pertanyaan. Kesalahan ini belum pernah benar-benar dipelajari secara mendalam. Jika kita memberikan bantuan suatu program kepada masyarakat, maka akan diambilkan dari golongan 5% terbawah. Jika ternyata masyarakat tersebut termasuk dalam golongan 6 persen ke atas, maka terjadi kesalahan dalam pentargetan pemberian bantuan program tersebut. Tapi, kita tidak akan melakukan kesalahan tersebut. Jika kita mentargetkan untuk kelompok 20% terbawah, maka kemungkinan dari golongan masyarakat 10% terbawah akan tercakup 98 sampai 95%. Jika kita bisa meningkatkannya, kita bisa melihat hubungannya. Mungkin belum sempurna, tetapi paling tidak kita bisa mewujudkan beberapa dari tujuan tersebut. Jadi kita bisa meminimalisir kesalahan. Selain itu kita juga memerlukan sistem pangkalan data yang bagus, dan lain-lain. Jika kita sudah memiliki sebuah program, baik itu skema pensiun 196 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia universal atau pensiun bertarget, maka akan lebih mudah untuk meningkatkan (up-scale) programnya. Akan tetapi, jika kita belum memiliki suatu program, maka akan susah untuk melaksanakan rencana program yang begitu besar. Untuk memulai sebuah program, bisa dimulai dengan beberapa fase yang berbeda, dari yang paling miskin dulu, kemudian dengan mereka yang memiliki masalah kesehatan dan meningkatkan ke tahap yang lebih tinggi, tergantung dari anggaran yang ada. Masalah inilah yang dihadapi banyak negara yang juga dihadapi oleh negara-negara Barat. Salah satu alasan yang dihadapi banyak negara menurut IMF adalah kewajiban pembayaran uang pensiun yang besar. Yang perlu dipertimbangkan dengan cermat adalah memilih pilihan yang banyak dipilih oleh negara-negara lain. Kita seharusnya gembira jika kita bisa mampu membayarnya. Meskipun membutuhkan banyak uang, tetapi program ini patut dicoba. Membantu kelompok lansia yang rentan adalah hal pertama yang harus dilakukan pada tahap pertama program. Jadi, saya mengagumi perspektif tentang itu, tapi saya setuju bahwa seseorang dapat mendebat suatu pandangan tertentu. NUGROHO ABIKUSNO (Narasumber): S aya akan menjawab pertanyaan Ibu Eka, Tadi katanya ada age-friendly cities dan ada child-friendly cities. Kalau menurut saya, saat ini kita terlalu banyak diatur oleh global society. Kalau kita lihat kenapa kelompok lansia begitu lemah di dalam percaturan global, karena kita belum punya konvensi. Coba kalau kita punya konvensi, pasti pemerintah manut-manut saja. Karena apa? Karena proyek! Banyak nanti dana-dana proyek dari luar negeri yang masuk seperti CityAge, environmental-friendly, children-friendly, dan sebagainya. Waktu Millineum Development Goals (MDGs) diperkenalkan, tiba-tiba semua struktur menjadi MDGs semua. Kenapa? Ya, karena proyek, katanya. Jadi tidak ada harga diri. Bangsa kita ini perlu pemimpin-pemimpin yang punya harga diri. Jadi kita harus mulai clean sheet dan kita serius menanganinya sampai pada social security. Semua harus dengan hati dan dengan kesungguhan, terutama untuk kembali mengutamakan mereka yang miskin dari yang paling miskin. Itulah tujuan hidup kita sebenarnya dari awal. 197 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA Sebenarnya, esensi dari age-friendly cities itu mencakup semua usia, for all ages! Jadi buat apa kita sok mau ‘spesial-spesial’ walaupun kita tidak peduli juga pada akhirnya. KHARISMA PRIYO NUGROHO (Moderator): S aya tidak akan merangkum panjang-panjang. Salah satu poin yang menarik dari diskusi ini adalah tentang sistem keadilan itu sendiri. Mengapa kita membicarakan ageing issues ini adalah karena ada perspektif keadilan di sebaliknya. Para lansia, pada masa mudanya bekerja keras dan berkontribusi untuk masyarakat. Ketika sudah usia lanjut, mereka kurang mendapatkan perhatian. Bicara tentang sistem keadilan, dengan sendirinya negara harus ikut campur, karena ini masalah harus ada keberpihakan juga. Koordinasi dan keberadaan pemimpin yang tegas menjadi sangat penting, karena presentasi dari tiga pembicara tadi menyebutkan bahwa baik sistem jaminan sosial maupun sistem pensiun memerlukan sistem pendukung (support system) yang juga harus tegas. Misalnya, sistem pangkalan data yang handal. Coba, berapa sebenarnya jumlah penduduk kita? Untuk menyusun Daftar Pemilih Tetap (DPT) setiap kali pemilihan umum saja kita bingungnya minta ampun. Sistem pendukung yang handal dan saling terkait mutlak untuk tatakelola suatu negara yang ingin mewujudkan age-friendly dalam berbagai bidang. Itu semua memerlukan koordinasi, memerlukan kepemimpinan yang kuat dan tegas. Salah satu tujuan lokakarya ini adalah untuk merumuskan masukan bagi kebijakan publik tentang masalah penuaan penduduk di masa depan. Masukan dan diskusi dari sesi ini harap bisa dijadikan bahan perbincangan pada sesi-sesi berikutnya. Pada akhir hari kedua besok, kita sebaiknya sudah bisa merumuskan beberapa pokok penting yang berkait dengan usulan kebijakan tentang penuaan penduduk. Beberapa lembaga yang terwakili dalam lokakarya ini sudah berpengalaman dalam menyusun usulan-usulan kebijakan semacam itu. Terakhir, perlu dicatat, bahwa sejauh ini kita telah menggunakan satu istilah yang bagus sekali dalam bahasa Indonesia, yakni ‘lanjut usia’, bukan ‘tua’. Karena kalau dalam bahasa Inggris, katanya, istilah 198 BAGIAN KETUJUH: Kebijakan Pembangunan & Kesejahteraan Lansia ‘elderly’ itu maknanya agak miring, bukan soal usia, tapi soal lain. Istilah ‘lanjut usia’ mengandung kata ‘lanjut’, artinya advanced. Jadi, para lansia adalah orang-orang yang advanced. v 199 BAGIAN KEDELAPAN SUARA LANSIA NARASUMBER: n Ibu Sumaryati (Purworejo, Jawa Tengah) n Ibu Suminah (Purworejo, Jawa Tengah) n Ibu Kamirah (Yogyakarta) n Bapak Sutjipto (Yogyakarta) n Prof. Dr. Saparinah (Jakarta) Sadli MODERATOR: Dr. Lies Marcoes-Natsir The Asia Foundation (TAF), Jakarta MEMANUSIAKAN LANJUT USIA LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): K arena semua pembicaraan kita kemarin dan hari ini tidak asyik dan tidak sah kalau yang paling berkepentingan tidak menjelaskan apa yang sebetulnya terjadi ‘menjadi orang tua’, ‘menjadi tua’. Kalau dalam istilah feminis, kebenaran yang disuarakan perempuan adalah sah sebagai kebenaran. Untuk sahnya pembicaraan kita dari kemarin dan sekarang, kita undang lima orang narasumber khusus: Ibu Sumaryati dan Ibu Suminah dari Purworejo, Ibu Kamirah dan Pak Sutjipto dari Yogyakarta, dan Ibu Profesor Saparinah Sadli dari Jakarta. Saya ingin mulai dengan satu cerita. Setelah tsunami melanda Aceh, saya bekerja di sana sebagi program officer untuk The Asia Foundation. Lalu suatu hari saya masuk ke hotel. Orangnya ramah sekali dan bertanya pada saya: “Waduh, Ibu, udah sepuh masih aktif, ya?” Waktu itu rambut saya belum dicat seperti sekarang. “Cucunya nggak diajak?” “Oh, saya belum punya cucu,”jawab saya. “Anak saya masih kuliah,” Waktu itu, anak sulung saya memang masih kuliah, tapi sekarang sudah selesai semua. “Oh,” lanjut orang hotel itu. “Nikahnya sudah tua, ya?” Ternyata, masih dicela juga. Jadi, saya merasa ada beban: saya ini sudah tua rupanya. Nanti pulang ke rumah, saya akan cat saja rambut saya! Soalnya aku sudah dibilang tua. Menjadi tua ternyata masalah. Dianggap tua itu menjadi beban buat saya. Saya tidak tahu bagaimana perasaan para orang tua yang lebih tua seperti para narasumber kita ini. Saya ingin mengantarkan sesi ini sebagaimana saya biasanya menjelaskan mengenai gender, bahwa setiap orang itu mempunyai jenis kelamin. Lelaki dan perempuan mempunyai jenis kelamin. Tetapi masyarakat, otak kita, kebudayaan kita, agama kita, politik kita, memberi makna atas jenis kelamin itu, dan lahirlah gender. Jadi gender adalah pemaknaan manusia atas jenis kelamin. Begitu juga umur. Semua orang punya umur, semua orang punya usia, dari bayi sampai tua. Semua orang; lintas kelas, lintas budaya, lintas warna kulit, lintas agama, semua punya umur. Tapi manusia, kebudayaan manusia, tradisi manusia, politik manusia, memberi makna atas umur itu dan 202 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia melahirkan apa yang disebut sebagai ‘umur sosial’. Masalahnya adalah: ada kelompok dominan yang memaknai umur itu sehingga yang disebut umur yang produktif dan tidak produktif itu juga dimaknai oleh orang lain. Sekarang saatnya kita mendengar umur dan maknanya itu dari yang memilikinya. Saya ingin mengundang para narasumber kita secara bergiliran, masing-masing sekitar 10 menit, menyampaikan pemaknaan umur tua, lansia, menurut mereka sendiri. Dipersilahkan. SUTJIPTO (Narasumber 1): S aya lansia yang sekarang sudah mencapai 68 tahun. Dalam usia lanjut saya ini, saya tetap aktif dalam masyarakat, terutama di desa saya sendiri, juga di kecamatan dan kabupaten. Kami punya kegiatan, sehingga masa tua kami isi dengan kegiatan-kegiatan sosial. Contohnya, di tingkat kabupaten, kami punya asosiasi petani. Kami merekrut petani-petani tembakau, petani tanaman obatobatan, petani jambu mete, untuk masuk ke dalam organisasi, sehingga setiap bulan kami pertemuan. Saya sendiri menjadi salah seorang pengurus di tingkat kabupaten, juga sebagai pengurus asosiasi petani tembakau di tingkat Provinsi DIY. Di desa, saya juga aktif di Lembaga Ketahahan Masyarakat Desa (LKMD). Di tingkat dusun pun begitu, malah saya jadi Ketua LKMD di sana. Seluruh waktu luang kami curahkan untuk kesejahteraan sesama warga, supaya umur lebih panjang dan mudahmudahan masih bisa untuk amalan-amalan yang baik, sehingga anak cucu kami nanti biar ikut mengenang hari tua kami semuanya. SUMARYATI (Narasumber 2): S aya namanya Sumaryati, dari Purworejo. Saya lahir tanggal 12 Desember 1952. Dulunya, waktu masih muda, saya jadi anggota Bhayangkari. Setelah menikah, tetap menjadi anggota Bhayangkari. Waktu menjadi anggota Bhayangkari, saya jadi pengurus. Tapi sekarang ini sudah lanjut, saya menjadi anggota Dian Kemala, cuma jadi anggota biasa. Tapi, dalam kegiatan-kegiatan masyarakat di desa, saya aktif menjadi pengurus PKK dari tingkat RT, RW, dan Kelurahan. Akhir-akhir ini, memang saya kurangi kegiatan itu satu persatu, karena 203 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA mengingat usia sudah lanjut. Sekarang, hanya aktif di pengurus PKK RT dan RW saja. Saya juga mengikuti terus setiap selapanan di desa. Di situ ingin bertemu dengan teman-teman lansia. Pada setiap pertemuan, kami diabsen, lalu periksa kesehatan oleh bidan setempat, ukur tensi, kemudian dikasih vitamin-vitamin, juga arahan-arahan dari petugas PUSKESMAS, kemudian diajak senam lansia. Kegiatan-kegiatan itu membuat kami senang, merasa diperhatikan. Teman-teman lansia saya juga mengakui mereka merasa senang, karena di dalam pertemuan tersebut pasti ada arahan-arahan dari petugas PUSKESMAS mengenai kesehatan dan lain lain. LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): M as Aris Ananta, mungkin ini menarik. Kalau di Singapura, prasarana dan sarana cukup siap, cukup friendly untuk lansia. Di sana, yang buram mata seperti saya tidak takut tergelincir dan jatuh, semua jalan rata. Tapi, dalam hal hubungan-hubungan sosial --seperti yang barusan diceritakan oleh Ibu Sumaryati-- apakah juga dinikmati oleh para lansia di Singapura? Hubungan-hubungan sosial seperti itu ternyata lebih memberi mereka makna untuk hidup sebagai orang tua di desa, diajeni, dihargai, tapi juga punya fungsi. KAMIRAH (Narasumber 3): U mur saya sudah 86. Lahir tahun 1927. Saya kalau pagi, jam 5, turut senam lansia di LPP, Lembaga Pendidikan Perkebunan, Yogyakarta. Dulu anggotanya 42, sekarang ada yang meninggal 3, jadi tinggal 39. Saya di kampung membantu Pak RT, Pak RW, POSYANDU, POSYANDU Anak-anak, dan POSYANDU Lansia. Di POSYANDU Anak-anak, saya membantu menyediakan PMT (pemberian makanan tambahan). Di arisan juga saya turut. Saya tinggal bersama anak saya. 204 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia SUMINAH (Narasumber 4): S aya lahir tahun 1943. Karena saya dulu itu takut sama orang tua, saya nikah muda. Saya 17 tahun sudah nikah. Tahun 1960, saya sudah sampai Jakarta waktu Jakarta masih alas roban. Saya punya anak dua. Setelah GESTAPU/GESTOK, saya pulang ke Purworejo karena disuruh orangtua. Suami saya seorang anggota BRIMOB. Karena pulang ke Purworejo, jadi polisi umum. Jadi, sekarang saya anggota Dian Kemala, persatuan istri-istri purnawirawan POLRI. Jadi kesibukan saya dulu memang selalu mendampingi suami. Pulang ke Purworejo, suami saya diangkat jadi Kepala Desa. Saya ikut aktif mendampingi, tapi hanya tiga tahun. Untung hanya tiga tahun, karena saya jadi lebih banyak waktu ngopeni anak-anak saya. Saya tidak ikut organisasi lagi. Anak-anak saya sudah kelar semua. Suami saya sudah pensiun selama 32 tahun. Alhamdulillah masih sehat. Alhamdulillah, saya juga masih sehat. Saya juga masih mengopeni ibu saya yang suka tinggal di tempat saya. Dia sudah tua sekali. Mohon doa supaya ibu saya diparingi sehat. bukan panjang umur, karena kalau panjang umur tapi tidak sehat, percuma! Usia saya 69 tahun, tapi saya masih sibuk ke kebun. Kalau tidak percaya, silahkan datang dan tanyakan pada orang-orang di kampung saya. Kemarin, ada yang datang ke rumah saya. “Mau kasih pekerjaan saya, ya?” Saya bilang begitu. “Tidak, Bu, mau diajak ke Jogja. Seminar.” “Seminar itu apa?, saya tidak tahu!” Karena saya tidak tahu seminar itu apa, jadi kita omong keadaan saya saja. Cucu saya sudah 12. Sudah hampir buyut. Mohon doa restu semua agar suami saya dan seluruh keluarga saya diberi sehat, panjang umur, murah rejeki, mudah-mudahan bisa untuk ibadah ke tanah suci. Sekian. Ada tutur kata yang tidak bagus, mohon maaf. LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): T adi saya mengatakan bahwa suara kita adalah sah sebagai kebenaran. Ibu-ibu ini sudah bicara. Sekarang saya ingin mengundang Ibu Saparinah Sadli, tidak mewakili orang lain, tapi mewakili pengalaman sendiri se-bagai ibu, sebagai profesor, dan juga sebagai aktivis. 205 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA SAPARINAH SADLI (Narasumber 5): S aya mau cerita apa, ya? Begini saja: sejak saya pensiun, selalu orang bertanya kepada saya, “Kamu sekarang ngapain?” Ya, ngapain, ya? Saya juga tidak tahu persis ngapain saja. Tetapi, memang saya mempunyai keuntungan bahwa saya seringkali diajak oleh teman-teman yang lebih muda, yang aktivis yang suka kemanamana itu, yang pikirannya juga kemana-mana, yang menyebabkan saya itu justru menjadi terinspirasi oleh mereka: mereka pikirannya koq begitu? Tetapi, saya senang sekali bahwa mereka itu masih suka dan mau mengajak saya. Karena saya adalah seorang psikolog, jadi saya pikir memang kemampuan kognitif kita itu terangsang oleh halhal yang menyangkut diri kita. Karena saya selalu diajak oleh yang muda-muda, itu juga menguntungkan diri saya sendiri. Jadi saya itu sebetulnya diuntungkan oleh orang lain, karena kalau mereka tidak mengajak saya, saya tidak akan berada di sini sekarang. Yang mengajak itu saya tanya: “Kenapa saya?” Saya mau saja diajak ke sini, karena ini adalah tentang lansia, dan itu adalah saya. Saya lansia, saya ingin dengar juga apa yang terjadi di dalam pemikiran orang lain tentang lansia. LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): T erima kasih. Suatu hari, ibu saya, mungkin keti-ka beliau umur 45 tahun, dan saya masih SMP, dia menangis di pojok dapur. Rupanya dia mulai menopause. Buat perempuan, menopause itu maknanya besar, karena sejak itu dia dianggap tidak produktif. Jadi, ada ideologi dominan yang mengatakan penting-tidak penting, produktif-tidak produktif, batasnya adalah masa reproduksi. Setelah itu, dunia seorang perempuan sering dianggap sudah berhenti. Ibu saya kebetulan dari kelas menengah atas dalam struktur masyarakatnya saat itu. Jadi, mungkin tidak terlalu berat bagi dia. Tapi bagi orang lain yang tidak ada apa-apanya, masa itu lewat begitu saja. Maknanya nyaris tak ada sama sekali bagi mereka kecuali bahwa mereka dianggap ‘sudah lewat’. Padahal, ada hal-hal lain yang lebih penting ketika ada cucu, ketika ada tetangga yang membutuhkan bantuannya, seperti 206 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia yang sudah dikisahkan oleh ibu-ibu dan bapak di sini. Silahkan kalau ada yang mau berkomentar atau bertanya. SABRIN O. LADONGI (Yayasan Al Kautsar, Palu): K ami punya motto di daerah kami: “Jangan memaksakan kehendak kepada lansia sebelum memahami keinginan mereka.” Saya punya pertanyaan, hanya meminta pengalaman kepada bapak dan ibu: bagaimana pengahargaan lingkungan bapak ibu yang saat ini telah menjadi lansia? Kemudian, yang kedua, ada juga lansia yang terkadang punya rasa penyesalan di masa tuanya. Penyesalannya seperti ini, misal-nya: “Aku menyesal jadi tua, karena kalau sakit aku takut ke rumah sakit, harus berurusan dengan kantor kelurahan, PUSKESMAS, semua serba susah. Mengurus KTP antriannya sampai berjam-jam.” Sehingga ada pernyataan: “Aku menyesal jadi lansia.” Sekarang saya tanyakan kepada sesepuh semua: apakah bapak ibu yang saat ini telah menjadi lansia ada rasa penyesalan seperti itu, atau bagaimana? SUTJIPTO (Narasumber 1): U ntuk saya sendiri, sebagai lansia, tidak ada rasa menyesal. Justru saya bangga karena diberi waktu melebihi umur Nabi. Sekarang sudah punya bonus lima tahun. Mudah-mudahan dari umur yang bonus itu kami gunakan sebagiannya untuk amal pada masyarakat, kepada anak-anak muda kita, sehingga bisa meniru apa yang kami lakukan. Untuk jawaban pertanyaan yang pertama, kami di masyarakat justru dijadikan tokoh masyarakat. Dari dukuh, dari RT, selalu meminta pertimbangan dari saya. Saya betul-betul dihargai di masyarakat, karena saya betul-betul melakukan pengabdian tanpa pamrih. Kalau dihitunghitung hasil, saya itu rugi, karena tidak mendapatkan apa-apa, tapi saya melakukan terus. Semuanya demi penerus kita, kita akan rela berkorban untuk mereka. Mumpung masih cukup kuat bisa lari ke sana lari ke sini, sehingga bisa kita gunakan sebaik-baiknya. 207 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA KAMIRAH (Narasumber 3): J uga seperti bapak dan ibu semua, saya menjalani masa tua saya tanpa penyesalan. Saya masih tetap aktif di PWRI (Persatuan Warakawuri Republik Indonesia), karena pensiunan itu katanya tempatnya di PWRI itu. Saya jadi Pengurus Ranting. Ada 10 pengurus dan ada 12 orang anggota. Saya juga ikut arisan di gereja. Di gereja setiap rabu ada PA, Pembacaan Alkitab. Hanya itu. Saya mohon doa supaya tetap sehat. SUMINAH (Narasumber 4): U ntuk yang bertanya tadi, ini bukan menyalahkan, tapi kalau waktunya kita tua, kita jangan menyesal. Kita sudah tua itu namanya masih dikasih sama yang Paling Besar. Jadi, ya, disyukuri. Alhamdulillah, kita masih bisa sampai menikmati masa hari tua. Dulu, ketika kita masih kecil, kalau lihat si Mbah, kita bilang: “Oh, si Mbah begitu.” Terus kita berharap bisa sampai sepuh seperti si Mbah, sampai tua tetap masih diparingi sehat. Jangan kalau sudah tua, duduk-duduk saja. Saya, karena sudah tua, kalau memang sudah mau dipundut, yang sudah. Tapi, jangan dikasih penyakit. Doanya: kita biar tua dan jadi lansia tapi tenaga, kesehatan, masih bisa menikmati. Mudah-mudahan semua, kita berdoa, bisa sampai jadi lansia lalu dikasih sehat. Jangan panjang umur tapi tidak sehat. Jadi lansia tapi kesehatannnya mencukupi. Saya menambahkan masalah lansia di kelurahan saya. Akhir-akhir ini sudah ada perhatian dari pihak kecamatan. Tapi, apa itu berlanjut, apa tidak? Itu setiap selapanan sekali. Setiap hari Jumat Kliwon kita berkumpul, sekitar 50 orang. Sudah ada bantuan dari tingkat kecamatan. Itu saja kami sudah sangat berterima kasih. Malah kita sendiri mau mengusulkan, supaya ibu-ibu ada gairah, kita mengadakan seragam. Tiap pertemuan tiap bulan selalu dipimpin Ibu Lurah sama ibu dari Dinas Kesehatan, ibu bidan, sama ibu dari PUSKESMAS juga suka ada. Ya, terima kasih ada perhatian dan perbaikan. Sekarang sebaiknya jangan hanya anak balita itu yang diperhatikan, tapi yang sepuh itu harus diperhatikan juga, karena yang balita itu tanggungan orang tuanya, masih sehat untuk mencari. Tapi kalau yang sudah tua sering tidak ada yang memerhatikan. 208 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia SUMARYATI (Narasumber 2): S aya sekarang ini jadi lansia, tapi saya ikhlas dan juga senang rasanya. Saya ikhlas menerima keadaan yang ada. Saya senang. Sepertinya lebih diajeni sekarang daripada waktu kita masih muda. Contohnya, kalau kita hadir di pertemuan, kadang-kadang untuk duduk saja diberikan tempat yang khusus. Padahal kita sendiri sebenarnya tidak meminta diperlakukan demikian. Dalam semua pertemuan di mana-mana saja selalu begitu, Jadi, kita merasa betul-betul diajeni. Selain itu, dalam setiap pertemuan para lansia itu, pengurusnya semua benar-benar para lansia sendiri. Mereka benar-benar memerhatikan anggotanya. Apalagi seperti saya yang tadinya jadi pengurus di PKK, terus sekarang sudah tidak jadi pengurus lagi, nyatanya tetap diajeni oleh Ibu Lurah, juga oleh pengurus-pengurus yang lain. Saya terima kasih untuk itu semua. Mudah-mudahan doa restu ibu-ibu semua saya diberi kesehatan dan panjang umur. SAPARINAH SADLI (Narasumber 5): K alau saya, sudah jelas sangat bersyukur bahwa saya dalam usia ke-85 ini masih bisa menghadiri pertemuan-pertemuan semacam ini. Sekarang saya belajar juga bahwa lansia itu memang heterogen, tetapi ada hal yang sama: kita mengalami berbagai kemunduran baik fisik maupun mental. Pada ibu ini tadi saya tanya: “ibu dengar persis apa ditanyakan? Saya koq nggak?” Saya bilang begitu, karena memang saya rada budeg juga. Jadi, sebagai lansia, yang kita inginkan adalah ‘Jangan sampai TOP’: jangan sampai ‘Tuli, Ompong, dan Pikun.’ Itu yang kita harapan sebagai orangtua. Bahwa kita masih diajeni, saya kira, itu penting sekali. Karena, bagaimana pun juga, sebagai orang yang sudah tua, tidak bisa lagi selincah orangorang yang masih muda usia. Kalau pengalaman saya, saya disuruh-suruh saja oleh anak-anak muda ini. Tetapi bagi saya itu bukan tidak mengajeni, tapi justru saya menganggap bahwa saya masih dianggap, bahwa saya bisa membantu di sini dan di sana, dan itu sangat saya syukuri. Artinya memang yang penting adalah sehat, sehat fisik, mental dan sosial. Sehat sosial ini sangat penting. Bersilaturahmi itu sangat-sangat penting. Karena, 209 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA di dalam bersilaturahmi kita itu juga mendapatkan sesuatu untuk diri kita sendiri; ketemu beragam orang, mendengar cerita orang yang baru, dan lain sebagainya. Itu ikut membangun juga kesehatan mental kita. TRI BUDI W.RAHARDJO (Center fot Ageing Studies, Universitas Indonesia): S aya juga lanjut usia. Saya merasa banyak belajar dari bapak dan ibu-ibu. Tadi yang disampaikan pada intinya ada kaitannya dengan peran beliau dan kepuasan beliau serta rasa syukur beliau di masyarakat. Tapi saya perlu mendengar mungkin ada sedikit rasa kekecewaan atau pernah ada suatu harapan yang tidak tercapai yang berkaitan dengan bagaimana posisi beliau di dalam keluarga? LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): D i dalam keluarga? Ya, tadi di masyarakat ki-ta sudah mendengar bahwa ada nilai, ada penghargaan, diajeni. Lalu, bagaimana di dalam keluarga? Sayangnya memang ini agak homogen, karena semua narasumber ini orang jawa semua di mana tradisi mengajeni para sepuh memang --secara antropologis-- mungkin lebih menonjol. Mungkin saya subjektif, di tempat yang lain juga mungkin seperti itu, mungkin juga berbeda. Satu pertanyaan lagi, silahkan. INDRASARI TJANDRANINGSIH (AKATIGA, Bandung): S aya hendak mendapatkan suara ibu-ibu dan bapak juga yang berkaitan dengan sesi tadi pagi. Bagaimana rasanya punya cucu, apakah memang mengurus cucu itu jauh lebih sayang daripada mengurus anak? Yang kedua, apakah memang kalau dititipi cucu dalam jangka panjang itu beban atau berkah? 210 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia SUMARYATI (Narasumber 2): S aya menanggap ibu yang pertama tadi. Saya diterima dengan lapang dada di tengah keluarga saya, karena memang sudah waktunya demikian. Diparingi sehat saja sudah sangat berterima kasih, bersyukur sama Yang di Atas. Di dalam keluarga, sejak anak-anak masih kecil, saya suka mengikuti kesibukan suami. Jadi, misalnya, saya bersiap mau berangkat di pagi hari, ya, saya sudah siapkan dulu semuanya di rumah, masak, dan lainnya. Suami saya itu, kalau saya keluar ada urusan, ada kesibukan, dia persilahkan. Kegiatan di luar itu tidak selalu ada, hanya sewaktu-waktu. Kalau persoalan rumah itu selamanya tidak pernah habis. Cucu saya sudah ada dua, tapi saya belum pernah ngrumati cucu. Memang, ngopeni cucu itu berat. Lebih berat ngopeni cucu daripada anak. Kalau anak minta, misalnya menangis, padahal kita sedang sibuk, kita bisa nyubit. Kalau cucu, bapak atau ibunya ‘kan sudah orang lain. Jadi mengurus cucu memang berat. Berat-berat benar, karena memang kita sudah tua. Kalau bapak ibunya sibuk, ya cari pembantu. Kemarin saya ada pengajian, seorang kyai ngomong; “Sekarang orangtua jadi babunya anak-anak.” Benar, nggak? Memang benar! Anak saya yang pertama itu perempuan. Dia bilang: “Nanti kalau saya punya anak, ibu jangan momong. Kalau ngawasin, boleh.” Tapi, kalau ditinggal pergi berdua bapak sama ibunya, kita yang disuruh momong. Sekali waktu, cucu saya yang pertama, ibunya ada seminar di Semarang tiga hari. Umurnya baru dua tahun. Anaknya tidak apa-apa, tetapi begitu ibunya pergi malam itu, langsung panas, langsung dibawa ke dokter. Itu semua saya lakukan sendirian, tidak mau menceritakan pada orang lain. Ngemong cucu memang berat. SUMINAH (Narasumber 4): I ni untuk pertanyaan soal di dalam keluarga. Saya sekarang serumah dengan anak saya. Yang laki-lakinya yang anak saya, terus ada cucunya satu. Bapak dan ibunya ada kegiatan setiap hari. Kerja. Terus, itu cucu jadinya dengan saya terus. Namanya cucu, kadang manut, kadang tidak. Cucu saya itu sudah Kelas 3 SD. Kalau pas 211 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA lagi manut, kita senang, tapi kalau pas anak itu ngeyel, kadang-kadang kita jadi sletup ngomongnya. Kadang-kadang juga, setelah ngomong keras itu tadi, ya gelo: “Waduh, mengko nek ngomong karo ibu’e.” (Jangan-jangan nanti dia mengadu pada ibunya). Tapi, kita ‘kan juga sayang. Sayangnya lebih daripada anak. Tapi kita harus menerima dengan lapang dada. Apa kenyataan yang ada kita harus menerima. Waktu suami saya masih hidup, kalau ada soal-soal seperti itu, biasanya saya sampaikan pada dia. Sekarang, saya tidak ada orang untuk mengadu, jadi harus tabah, harus ikhlas menerima keadaan yang ada. Tapi, tinggal bersama anak dan cucu itu juga senang, karena kita tidak sendirian. Soal kadang-kadang anak ngeyel itu, sudahlah. Anak seumur itu biasa ngeyel. Pokoknya mantap di rumah, ada anak dan cucu, tidak sendirian, walaupun sudah ditinggal bapak. Tadi pertanyaan pertama? Ya, saya merasa senang juga. Di dalam keluarga itu, memang kadang-kadang ada rasa: “Wah, gawean dikerjakan dewek (semua dikerjakan sendiri).” Perasaan seperti itu kadangkadang muncul, tapi kalau tidak saya kerjakan, siapa lagi? Anak, suami istri, jam 7.30 pagi sudah pergi kerja. Cucu juga sudah ke sekolah jam 6.30. Jadi, tinggal saya sendiri di rumah. Kalau tidak saya kerjakan, siapa lagi? Jadi, kita harus menerima dengan kenyataan yang ada. Kadang capek memang. Tetapi, di dalam persaan hati saya berkata: “Aku harus ikhlas. Menerima kenyataan yang ada ini harus ikhlas.” KAMIRAH (Narasumber 3): A nak saya lima. Yang pertama meninggal, tinggal empat. Yang nomor tiga di Banyuwangi itu punya anak tiga, cucu satu. Jadi, sekarang saya sudah punya cucu tujuh dan cicit tiga. Saya juga sering diminta mengurus cucu, tapi harus sabar. Untuk itu semua, saya selalu minta sama Gusti supaya diparingi kesehatan. SUTJIPTO (Narasumber 1): U ntuk pertanyaan yang pertama tadi soal di dalam keluarga, anak saya empat, laki-laki tiga, perempuan satu. Sebagai pensiunan PT. Perkebunan, 212 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia pensiunannya tidak seberapa. Untuk makan sehari-hari saja mungkin habis uang pensiun saya tiap bulan. Tapi, anak-anak semua betul-betul memperhatikan orangtua. Kemarin mereka berempat berembug, saya disuruh ziarah ke Mekah, ke Madinah. Mereka betul-betul membanggakan kami sebagai orang tua. Mudah-mudahan berlanjut terus. Terus untuk pertanyaan yang kedua tadi, dititipi cucu itu betul-betul lebih sayang daripada anak sendiri. Dititipi cucu itu karena bapa dan ibunya banyak kesibukan. Dititipi cucu itu membuat kita ada tambahan kesibukan. Sebagai lansia, kalau tidak punya kesibukan, justru nanti pikirannya ke mana-mana, sehingga lekas tua dan lekas mati. Kalau ada kesibukan, akan lebih diperpanjang lagi usianya. SAPARINAH SADLI (Narasumber 5): T entang keluarga, saya bisa omong begini: kegiatan saya selama ini sebetulnya adalah sesuatu yang tidak lazim dilakukan oleh orang-orang di dalam keluarga saya. Tapi kalau ada sesuatu yang berkaitan dengan apa yang saya lakukan, mereka biasanya mendukung sepenuhnya. Dengan demikian, mereka menjadi lebih mengerti apa yang saya kerjakan, yang selalu melakukan ini dan itu, yang mereka mungkin anggap; “Apa sih sebetulnya yang dilakukan? Mengapa lansia diperjuangkan?” Mungkin ini memang agak berbeda. Tetapi saya tidak merasa bahwa mereka menuduh saya ini atau itu, dan sebagainya. Tentang cucu, saya tidak punya anak, juga tidak mengadopsi anak. Tapi saya punya saudara yang sejak dia sekolah ikut saya. Anaknya juga lahir di rumah saya. Jadi mereka seperti cucu. Keuntungan saya, karena ibunya tidak bekerja dan saya yang bekerja. maka saya lebih enjoy dengan adanya cucu-cucu itu. Oleh saudara-saudaranya, mereka sering dikatakan: “Kamu enak, eyangnya tiga.” Maksudnya, dua eyang dari kedua orangtuanya ditambah saya. Jadi pengalaman saya dengan adanya cucu sebetulnya tidak menjadi sesuatu masalah, justru malah menyenangkan karena ada anak kecil di rumah. Tetapi saya juga ingin menambahkan. Cucu itu baik sekali kalau dia juga berhubungan dengan orang-orang yang berbeda-beda. Berbeda-beda usia, berbeda-beda kegiatan, dan sebagainya. itu justru memperkaya pengalamannya. Mereka jadi tahu apa yang boleh dan yang tidak boleh 213 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA dalam hubungannya dengan berbagai ragam orang. Kalau eyangnya sendiri boleh-boleh saja, ibunya bilang tidak boleh. Hal seperti Itu akan membuat cucu-cucu itu menjadi lebih mengerti. LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): B aik, tadi saya sudah mengatakan pengalamanpengalaman ini datangnya dari keluarga Jawa. Saya ingin mengundang Ibu Profesor Luh Suryani yang berasal dari Bali, mungkin ada hal yang sama atau berbeda baik dari keluarga atau pengamatan Ibu sebagai akademia. LUH KETUT SURYANI (Suryani Institute, Denpasar): S aya sudah termasuk lanjut usia, 68 tahun. Punya anak enam orang, cucu enambelas, mau yang ketujuhbelas. Kadang kami menganjurkan pada anakanak, buatlah anak sebanyak-banyaknya kalau istri atau suami anda senang dengan anak dan memang ada waktu untuk anak, dan ingin mempunyai masa depan yang nyaman. Saya sudah melayani para lansia sebelum saya punya menantu. Saya melihat, juga melalui beberapa penelitian, banyak lansia yang mengatakan seperti tadi: “Beban mengurus cucu.” Tetapi, ada juga yang mengatakan bahwa punya cucu itu adalah sebagai tempat untuk melampiaskan kerinduan. Malahan waktunya habis untuk cucu, saking senangnya. Saya justru menganjurkan kepada lanjut usia: “Usahakan kalau anda punya cucu, jangan waktu anda habis untuk mengurus cucu. Tetapi kalau untuk senang-senang sebentar, silahkan.” Namun, mereka tetap mengatakan: “Saya senang cucu karena lebih dari anak.” Setelah saya wawancarai banyak orang, saya mengatakan; “Mungkin itu untuk menebus dosa, karena waktu punya anak kecil dulu tidak punya waktu untuk anak, sehingga sekarang Tuhan memberikan waktu untuk mengurus cucu.” Malah mereka menjawab: “Nanti kalau ibu sudah punya cucu, baru tahu.” Kemudian, saya anjurkan kepada lansia yang punya menantu agar jangan menganggap menantu sebagai anak sendiri. Menantu tetap menantu. Karena menantu adalah istri atau suami yang dicintai oleh 214 BAGIAN KEDELAPAN: Menjadi Tua, Suara Lansia anak kita. Tetapi, ada seorang ibu yang mengatakan bahwa menantu adalah anugerah Tuhan. Lalu, saya sendiri kemudian punya menantu. Hampir sebagian besar wartawan menanyakan kepada menantu-menantu saya: “Apakah bisa hidup dengan mertua yang keras itu?” Jadi, mereka membayangkan di rumah tangga saya, saya itu seperti di masyarakat, suka protes ini, protes itu, menasehati orang. Tetapi hampir semua menantu mengatakan: “Tidak begitu, ibu mertua saya baik-baik saja.” Apa mungkin karena mereka mengatakan itu di hadapan saya? Saya memang punya konsep: saya tidak pernah mau menasehati orang. Demikian pula dengan anak-anak. Kenapa saya punya anak tanpa beban? Karena saya tidak mau mengajari anak, tetapi yang saya lakukan adalah belajar dari anak. Kepada menantu pun, saya katakan: “Saya tidak akan mau mengurus anak-anak anda. Kalau anda ingin sesuatu, saya mau bantu secara materi, tetapi untuk memelihara cucu, saya tidak ada waktu.” Saya sudah cukup memelihara enam anak. Itulah yang saya alami. Karena saya juga punya pengalaman mengurus lansia, yaitu mertua saya sendiri, saya ajarkan pengalaman itu kepada semua anak-anak muda yang mau menikah: “Jangan berani sama mertua. Kalau mertua memberitahu ini-itu, katakan saja ‘ya’. Apa sih repotnya bilang ‘ya’?, daripada berkelahi. Kalau anda bisa seperti itu, maka nanti pahalanya waktu anda punya menantu. Tidak akan ada yang berani dengan anda.” Dan, saya menerima pahalanya itu sekarang. LIES MARCOES-NATSIR (Moderator): T erima kasih, saya harus mengakhiri sesi ini. Intinya cuma satu; kita ingin diterima. Eksistensi kita sebagai manusia, apapun keadaannya, berapapun usianya, kita ada, kita diterima, sesuai dengan yang dikehendaki oleh masing-masing. v 215 Dokumentasi SurveyMETER, 20/112012 BAGIAN KESEMBILAN: RANGKUMAN DISKUSI PESERTA LANSIA INDONESIA DI MASA DEPAN Dokumentasi SurveyMETER, 20/11/2012 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA 218 BAGIAN KESEMBILAN: Rangkuman Diskusi Peserta Lansia Indonesia Di Masa Depan B agian terakhir lokakarya ‘Penuaan Penduduk dan Pembangunan: Dokumentasi, Tantangan, dan Tindak-lanjut’ di Yogyakarta, 19-20 November 2012, adalah diskusi tentang: (1) Gambaran ideal lansia Indonesia di masa depan; (2) Tantangan yang dihadapi untuk mewujudkan gambaran ideal tersebut; dan (3) Usulan tindakan yang perlu dilakukan dalam jangka pendek (1-2 tahun ke depan) untuk mengatasi tantangan tersebut dalam rangka mewujudkan gambaran ideal lansia Indonesia di masa depan. Seluruh peserta dibagi dalam 12 kelompok untuk membahas tiga pokok tersebut. Setelah dipresentasikan dan dibahas dalam pleno, keseluruhan hasil diskusi kelompok kemudian dirangkum, sebagai berikut: 219 MEMANUSIAKAN LANJUT USIA GAMBARAN IDEAL LANSIA INDONESIA DI MASA DEPAN n Mandiri n Kreatif, tetap produktif n Sehat (finansial, mental, spiritual) n Punya pendapatan sendiri n Hidup nyaman dan bahagia n Peduli dan aktif n Bebas penyakit degeneratif n Berguna n Punya jaminan sosial n Tidak didiskriminasikan TANTANGAN YANG DIHADAPI n UU 13/1998 belum diimplementasikan secara penuh sampai tingkat terbawah n Sosialisasi lintas sektor tentang isu-isu lansia dan proses menua n Masih kurangnya dukungan dari pemerintah, pembiayaan kesejahteraan lansia masih kurang n Advokasi kebijakan dan pendidikan masyarakat tentang pola hidup dan makan sehat n Perkembangan pola dan gaya hidup semakin tidak sehat n Advokasi kebijakan pembangunan prasarana umum (bangunan, transportasi, dll) yang ramah lansia n Pengetahuan masyarakat tentang lansia tidak memadai, kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah tidak mengajarkannya n Tafsir keagamaan yang keliru tentang usia panjang n Belum tersedia data yang memadai tentang berbagai aspek kelanjutusiaan 220 USULAN & RENCANA TINDAKAN (1-2 TAHUN KE DEPAN) n Perlu riset yang memadai tentang lansia, perlu social marketing tentang riset-riset lansia n Pengadaan sistem dan pangkalan data yang memadai tentang lansia BAGIAN KESEMBILAN: Rangkuman Diskusi Peserta Lansia Indonesia Di Masa Depan GAMBARAN IDEAL LANSIA INDONESIA DI MASA DEPAN n Dihargai, bukan dikasihani n Tidak ‘gagap teknologi’ n Jadi sumber aspirasi dan inspirasi bagi yang muda n Menikmati hasil kerja, sejahtera TANTANGAN YANG DIHADAPI n Kebijakan pemerintah dan pandangan masyarakat yang masih tidak peka gender n Lingkungan hidup yang semakin tidak mendukung pola hidup sehat n Ketersediaan sumberdaya manusia masih terbatas n Orang tua tidak dipahami, semakin kurangnya penghargaan terhadap hak-hak lansia USULAN & RENCANA TINDAKAN (1-2 TAHUN KE DEPAN) n Peningkatan kapasitas SDM dan pemberdayaan organisasiorganisasi lansia n Peningkatan kualitas sarana pelayanan lansia yang sudah ada (PUSKEMAS Ramah Lansia, dll) n Pembentukan jaringan kerja para pemangku kepentingan (stakeholders) masalah-masalah lansia n Kurangnya prasarana dan sarana yang memadai untuk lansia n Stigma di kalangan lansia sendiri tentang diri mereka 221 INDEKS Aceh 103, 106, 206 advokasi xiii, 31, 87, 90, 100, 103-4, 106,129, 140-1, 163, 176, 224, Amerika Serikat 146, 157 Asia(n) 3, 8, 15, 44, 103, 124, 195 Institute of South East Asian Studies xiv, xix, 116, 145-6, 173, 195 Tenggara 147 The Asia Foundation xv, 205-6 World Health Asian Day 191 aset 6, 7, 39, 41, 53, 110-1, 134, 136, 160 asuransi 39, 118, 127, 179, 180-1, 187 Balai Warga Sepuh 83, 86 balita 109, 131,149, 151, 179, 212 bantuan 26, 33-8, 57, 59, 61-4, 66, 82, 89, 90-2, 107, 109, 112-3, 196, 198, 200, 210, 212 beban xviii, 6-7, 9, 16,81, 83, 121, 124-5, 131, 138, 142-3, 149, 1503, 163, 166, 195, 206, 214, 218-9 bencana 34, 103, 106, 128, 174 Brunei Darussalam 148 buruh 121-5 Cina 44, 80, 151, 177 degeneratif 18-9, 22, 117-9, 152-3, 224 demensia 19, 81, 152 demografi bonus xix, 150, 163, 166-7, 195 ekonomi 146, 148 perubahan struktur 150, 174 revolusi 44, 51 Eropa 8 fertilitas 88 filantropi 126-30, 139 Filipina 184 gaya hidup 5, 75, 177, 224 gender xviii, 16, 130, 143, 206, 215 geriatri 12-3, 20-1, 74, 76, 98-9, 101, 177 gerontologi 49, 50-1, 70, 90, 177 gizi kekurangan 16, 116-17 kelebihan 16 222 Graha Lansia 175, 177 hak asasi 52 India 44, 191, 193 Institut Pertanian Bogor 50, 109, 163 itikad politik 177 Jakarta 12, 15, 21, 49, 56, 75, 79, 88, 91, 97-8, 102, 106, 120, 124, 131, 134, 135, 137, 139, 145, 160, 174, 205, 209 jaminan sosial xix, 9, 14, 17-8, 33, 36, 50, 89, 104-5, 107, 113, 125, 174, 176, 179-186, 187-194, 195-6, 198-9, 200, 202, 224 kesehatan 14, 17-18, 20, 119, 127, 179-81, 183 pensiun 180-7, 197-8 sistem xviii, 9, 14, 18, 50, 105, 107, 179-186, 195, 199, 202 jaringan kerja 10, 57, 139, 141, 225 Jepang 3, 8, 40, 43-5, 62, 136, 147 kebijakan xiii, 3, 5, 7, 8, 10, 13, 36, 42-3, 49, 51, 68, 86, 102-3, 107, 121,123, 125-6, 129-30, 140-1, 147-50, 157-58, 160, 166, 169, 173, 176, 192, 197, 199, 202-3, 224-5 kelas menengah 126, 210 keluarga xiii-v, xix, 9, 19-21, 29, 32-7, 39-42, 48, 59-63, 66, 69-71, 82-3, 85-6, 90-1, 94, 98, 108, 113, 1178, 124, 132, 149, 155, 160, 175, 178, 187-8, 195, 209, 214-17 keumurpanjangan 174-5 keperawatan masyarakat 69 kesejahteraan 4, 17, 21-2, 26-7, 29-30, 33, 35, 38, 46-50, 60, 67, 87, 90, 92, 105, 121, 124, 126, 132, 142, 153, 163, 175-6, 180, 207, 224 koordinasi xiv, 47-50, 87, 89-91, 99, 120, 154, 199, 202 lapangan kerja 5, 21, 107, 142, 196 lintas sektor 23, 47, 68, 71, 224 LSM xvii, 34, 36, 47-48, 50, 77, 109, 155 Indeks Malaysia 181, 185, 191 mandiri xiv, 7, 12-3, 18, 22, 46, 48, 57, 82, 84, 110, 136, 154, 224 miskin, kemiskinan 7, 9, 13, 16, 31, 35, 37-9, 42, 53, 83, 90-1, 102-5, 121, 125, 127-9, 133. 138, 140, 143, 147, 164, 177, 179-83, 187-94, 196-8, 202 Muhammadiyah 21, 117, 126-8 NGO 49, 103-4, 129-30, 137, 139, 141 organisasi/lembaga berbasis keagamaan 126-30, 139-40 internasional xiii, 5, 50, 105, 145 sosial 21, 33, 48, 58-60, 77, 87-89, 130 otonomi daerah 107, 185 outsourcing 122-3, 136 Papua 88, 103, 148 pajak 39, 43, 182, 195, 199 tax holiday 199 panti 20-1, 27-8, 32-5, 47-8, 63, 65, 83, 86, 90, 104-5, 108, 111-2, 131-3, 175 paradigma 6, 57, 103, 170, 175 partisipasi 27-8, 51, 64, 77, 92, 106, 140, 156, 158-9, 161-2, 175-6 pasar kerja fleksibel 121-5 pedesaan 5, 36, 42, 45-6, 60-1, 121-2, 124, 128, 135, 138, 140, 142-3 pegawai negeri 6, 56, 81, 97-8, 180 pelayanan umum, pelayanan publik 17, 27, 29-30, 127, 164 pemerintah daerah 22, 35, 45, 62, 90, 107, 160 penegakan hukum 185-6 pendapatan keluarga 21 negara 182, 185 per kapita 4, 40, 146-9 pendidikan 4, 14-5, 19, 41, 46, 50, 62, 70-1, 74, 84, 92, 96, 122, 127, 160, 185, 224 pengarusutamaan 51, 129-30 penduduk pengendalian 149 pertumbuhan 29, 56, 131 petani 81, 91, 104, 207 perkotaan 36, 42, 46, 100, 122, 125, 128, 135 perlakuan khusus 17, 20 perumahan 156, 158-9, 162, 178 prasarana 28, 48, 53, 92, 153, 160, 177, 179, 108, 224-5 proses menua 22, 224 purnawirawan 46, 49, 90, 183, 209 ramah lansia xvii, 29, 151, 153, 158-62, 175-8, 22-5 rasio ketergantungan xviii-ix, 46, 125, 148-9, 174 relawan 29, 62, 91, 104-5, 113, 140, 176 rentan xix, 103, 117, 122, 125, 151, 159, 176, 188 riset 5, 10, 19, 118, 127, 129, 152, 224 Rumah Lansia 35, 175 sektor informal 9, 40, 104-5, 107, 122, 107, 138, 195, 197, 199 Singapura 3-4, 146-8, 181 swadaya xiii-iv, 21, 35, 48-9, 61, 77 Thailand 43, 148, 151, 191, 193-4 transfer cash transfer 33, 39-42, 53 government transfer 41 national transfer 38-9 social transfer 39 telantar 7, 27-28, 31, 33, 36, 45-6, 83, 89-91, 102-104, 190 Universitas Gajah Mada 17, 133 Universitas Indonesia xiv, 99, 116, 118, 137, 158, 160, 165, 169, 189, 214 Universitas Muhammadiyah 115, 126 Universitas Negeri Yogyakarta 26, 108 Universitas Respati 55, 69-70 usia harapan hidup 6, 45-6, 152, 174 usia produktif 39, 41, 46, 123-5, 166, 195 wirausaha, kewirausahaan 59, 91-2, 182 Yogyakarta xiii-v, 4, 6, 15, 21, 26, 51, 69, 74, 88, 95, 103, 106, 108, 118-9, 126, 133-5, 158, 160, 167, 206, 208 Declaration 22 Gunung Kidul 4, 73, 118-9, 148 223