46 6 AKTIVITAS NANOPROPOLIS SEBAGAI

advertisement
46
6 AKTIVITAS NANOPROPOLIS SEBAGAI ANTIKANKER
PAYUDARA PADA TIKUS BETINA STRAIN SPRAGUE-DAWLEY
YANG DIINDUKSI DMBA
6.1 Pendahuluan
Kanker merupakan salah satu penyakit penyebab kematian terbesar di dunia
terutama di negara-negara maju dan pembunuh kedua di negara berkembang
(WHO 2008). Kanker dikenal sebagai penyakit yang sangat ditakuti karena sulit
penyembuhannya dan banyak menimbulkan kematian. Berdasarkan data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2010 (KEMENKES 2013), kanker payudara
menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh Rumah Sakit di
Indonesia (28.7%), disusul kanker leher rahim (12.8%). Bila dilihat dari
penyebab kematian, angka kematian yang disebabkan oleh kanker tertinggi yang
diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per
100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16 per 100.000
perempuan. Penyebab dari penyakit ini menurut Muir et al. (2003) adalah
meliputi jalur yang tergantung estrogen, sirkulasi androgen, paparan estrogen dan
bahan karsinogen seperti merokok, radiasi sinar ultra violet dan diet yang tidak
tepat serta stress. Pada stadium awal, kanker ini hanya berbentuk benjolan di
dalam jaringan mamae, tapi pada stadium lanjut kanker ini berakibat luka pada
jaringan mamae. Oleh karena itu, kanker payudara ini dapat dideteksi
keberadaannya dan relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis kanker lainnya.
Untuk menangani penyakit ini dilakukan pengambilan jaringan yang terkena
kanker, terapi radiasi dan kemoterapi. Terapi radiasi dan kemoterapi bertujuan
untuk menghancurkan sel kanker dan mengendalikan penyakit sehingga tumor
utama akan mengecil, pertumbuhan tumor akan diperlambat dan penyebaran sel
kanker ke jaringan lain tidak terjadi.
Sekarang ini telah banyak penelitian untuk memperoleh obat kanker, baik
untuk pengobatan kanker langsung maupun untuk mengurangi pengaruh buruk
dari kemoterapi yang dilakukan untuk pengobatan yang dilakukan oleh penderita..
Penggunaan obat seperti doksorubisin adalah salah satu cara menghambat
pertumbuhan kanker dan mengurangi terjadinya kanker baru. Namun dampak
negatif pengobatan dengan doksorubisin yang sukar dihindarkan adalah terjadinya
kerontokan rambut, gangguan irama jantung, dan penurunan jumlah sel darah
putih. Kondisi ini merupakan tantangan dalam pengobatan kanker yang efektif
dan minimalnya pengaruh jelek dari pengobatan utama. Salah satu upaya yang
dapat dilakukan adalah mencari dan mengembangkan sediaan obat asal herbal.
Sediaan obat asal herbal yang akan digunakan sebagai obat harus diuji terlebih
dahulu melalui serangkaian penelitian, meliputi pengujian terhadap hewan model
sebelum dilakukan uji klinis terhadap penderita kanker. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Hilakivi-Clarke et al. (1996) dan Ip et al. (1980) menunjukkan
bahwa terdapat pengaruh jelek dari konsumsi lemak pada pakan tikus yang
menimbulkan kenaikan terjadinya tumor
akibat induksi DMBA.
Abbasalipourkabir et al. (2010) dan Purushothaman et al. (2012) meneliti
kejadian kanker payudara menggunakan tikus betina strain Sprague-Dawley
sebagai hewan uji.
47
Penelitian secara in-vitro telah membuktikan bahwa propolis asal lima
lokasi di Indonesia mampu menghambat pertumbuhan sel lestari kanker MCF-7
dan nanopropolis asal Pandeglang mampu menghambat pertumbuhan sel lestari
kanker MCF-7 dengan konsentrasi yang sangat kecil dibandingkan dengan
propolis bukan nanopartikel. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji aktivitas
nanopropolis sebagai bahan antikanker payudara secara in-vivo terhadap tikus
yang diinduksi dengan DMBA.
6.2 Bahan dan Metode
6.2.1 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan adalah propolis Trigona spp yang berasal dari
Pandeglang, Banten, tikus putih betina, etanol 70%, DMBA, NaCl fisiologis,
minyak zaitun, β-siklodekstrin dan akuades. Alat-alat yang digunakan ialah alat
persiapan preparasi dan mikroskop. Bahan dan alat yang digunakan dalam
penelitian disertasi ini disajikan Subbab 2.3.2.
6.2.2 Metode
6.2.2.1 Pembuatan Nanopropolis
Pembuatan nanopropolis dilakukan sesuai modifikasi dari Aimi et al.
(2009), Bhaskar et al. (2009), Hasan et al. (2011), Chen et al. (2006), dan Kim et
al (2008). Proses pembuatan nanopropolis dilakukan dengan tiga tahap yaitu
inklusi, re-solubilisasi dan stabilisasi dengan pengadukan menggunakan
homogenizer kecepatan tinggi sesuai dengan hasil penelitian pada Bab 5 (waktu
inklusi 20 menit, waktu re-solubilisasi 20 menit dan waktu stabilisasi 30 menit
dengan bahan yang digunakan EEP sebanyak 30 mg dan β-siklodekstrin sebanyak
350 mg). Proses pembuatan nanopropolis dapat dilihat pada Subbab 5.2.2.1.
6.2.2.2 Uji In-Vivo dengan Hewan Coba
Hewan uji yang digunakan adalah tikus betina putih Sprague-Dawley, sehat
dan mempunyai aktivitas normal, umur sekitar 1-1,5 bulan dengan bobot badan
150-200 g (Abbasalipourkabir et al. 2010; Padmavathi et al. 2006). Sebelum
perlakuan induksi dengan DMBA, tikus diadaptasikan selama tiga minggu untuk
menyeragamkan cara hidup dan makanannya. Sebelum dan selama perlakuan,
tikus diberikan pakan standar dan minum akuades (ad libitum). Hewan uji dibagi
menjadi tujuh kelompok dengan tiga ekor tikus dalam setiap kelompok. Induksi
kanker payudara dilakukan pada lima kelompok dengan penyuntikan secara
intraperitoneal dengan DMBA dosis 20 mg kg-1. Setelah 90 hari induksi DMBA,
tikus disuntik secara intraperitoneal dengan bahan uji sesuai konsentrasi
perlakuan nanopropolis 8, 32 dan 56 µg ml-1/200 g bb serta propolis 233 µg ml1
/200 g bb yang dilakukan setiap 7 hari sekali selama 60 hari. Setelah 60 hari,
semua tikus dilakukan nekropsi. Jaringan yang terkena kanker dipreparasi untuk
pemeriksaan secara histopatologi. Tatacara penyiapan preparasi histopatologi
disajikan pada Lampiran 1.
48
6.3 Hasil dan Pembahasan
Hasil pengukuran bobot badan tikus setelah pengelompokkan dan
penyuntikan perlakuan disajikan pada Gambar 6.1 dan Lampiran 12. Terlihat
pada Gambar 6.1 bahwa bobot badan tikus normal terus meningkat sesuai dengan
penambahan waktu, demikian pula dengan perlakuan lainnya selain perlakuan
DMBA yang menunjukkan penurunan bobot badan. Menurut Cordeiro dan
Kaliwal (2011), pengaruh DMBA dapat menurunkan bobot badan tikus
disebabkan oleh sifat toksisitasnya walaupun terjadi peningkatan volume tumor.
Perkembangan tumor hewan uji dapat diketahui dengan mengukur
volumenya (Abbasalipourkabir et al. 2010; Purushothaman et al. 2012; dan
Martic et al. 2011). Pada penelitian Abbasalipourkabir et al. (2010) volume
tumor dihitung dengan mengukur panjang dan lebar bagian yang mengalami
pembengkakan, sedangkan Purushotaman et al. (2012) dan Martic et al. (2011)
menghitung volume tumor dengan mengukur panjang, lebar dan tinggi bagian
tumor. Hasil penghitungan volume tumor pada jaringan mamae dari data
penelitian menggunakan cara Abbasalipourkabir et al. (2010) dapat dilihat pada
Gambar 6.2 dan Lampiran 13. Terlihat pada Gambar 6.2 bahwa volume tumor
terus meningkat pada perlakuan DMBA tanpa pengobatan, tapi pada tikus yang
dilakukan pengobatan terjadi penurunan volume tumor. Bahkan pada perlakuan
nanopropolis dosis 32 dan 56 µg ml-1 dan propolis dosis 233 µg ml-1 terjadi
penurunan setelah terjadi kenaikan volume tumor pada minggu kelima setelah
diberi perlakuan. Bila dilihat dari sudut penurunan, perlakuan penyuntikan
nanopropolis konsentrasi 56 µg ml-1 mempunyai sudut yang tajam. Hal ini karena
terjadi proses pengecilan ukuran tumor yang sangat cepat. Kejadian ini mungkin
disebabkan oleh dosis yang relatif tinggi dengan kandungan bahan dalam
nanopropolis yang cukup untuk mengeliminir sel kanker. Pengaruh jumlah
komponen bahan aktif dalam nanopropolis sangat berperan dibandingkan dengan
pengaruh ukuran terhadap perbaikan jaringan akibat kanker.
Gambar 6.1 Bobot badan tikus setelah induksi DMBA dan sebelum dilakukan
nekropsi
(
=kelompok nanopropolis 8 µg ml-1,
=kelompok nanopropolis 32 µg ml-1,
=kelompok
nanopropolis 56 µg ml-1,
=kelompok propolis 233 µg ml-1,
=kelompok doksorubisin,
=kelompok DMBA dan
=kelompok normal)
49
Perlakuan nanopropolis dengan konsentrasi 8 µg ml-1 sudah terjadi
penyembuhan yaitu dengan terjadinya perbaikan sel dan jaringan, walaupun masih
terdapat sel tumor. Pada perlakuan nanopropolis dengan konsentrasi 32 µg ml-1
sudah terjadi penyembuhan dengan terbentuknya jaringan utuh dan banyak lemak
subkutis terbentuk serta adanya kelanjar epidermis yang utuh dan banyak kelanjar
epitel yang kembali utuh serta terjadi pengeringan luka bekas tumor. Demikian
pula dengan perlakuan nanopropolis pada konsentrasi 56 µg ml-1 terjadi
penyembuhan yang jauh lebih baik dibandingkan konsentrasi nanopropolis yang
lebih rendah. Gambar 6.3 menunjukkan jaringan kulit mamae tikus hasil
perlakuan pemberian nanopropolis (32 dan 56 µg ml-1) yang telah mengalami
perbaikan jaringan kulit setelah diinduksi oleh DMBA.
Gambar 6.2 Volume tumor tikus setelah induksi DMBA hingga sebelum
dilakukan nekropsi (
=kelompok nanopropolis 8 µg
-1
ml ,
=kelompok nanopropolis 32 µg ml-1,
=kelompok nanopropolis 56 µg ml-1,
=kelompok
propolis 233 µg ml-1,
=kelompok doksorubisin,
=kelompok DMBA dan
=kontrol normal)
Kondisi jaringan yang lebih baik lagi terdapat pada perlakuan
nanopropolis konsentrasi 56 µg ml-1 (Gambar 6.4), yaitu terbentuknya jaringan
baru yang lebih banyak dibandingkan dengan pemberian nanopropolis pada
konsentrasi 8 maupun 32 µg ml-1. Hal ini membuktikan bahwa pemberian
nanopropolis makin berperan dalam menyembuhkan jaringan mamae yang luka
akibat tumor hasil induksi DMBA. Makin besar konsentrasi nanopropolis yang
digunakan makin besar pula pengaruh yang diakibatkan oleh pemberian
nanopropolis dalam penyembuhan jaringan luka akibat tumor. Adanya pengaruh
yang berbeda dari konsentrasi dan waktu pemberian yang berlainan dari propolis
terhadap sel kanker telah pula diteliti oleh Bufalo et al. (2007). Adanya
penyembuhan luka akibat tumor karena pemberian propolis yaitu dengan
terbentuknya epitel jaringan telah diteliti oleh de Moura et al. (2011).
50
Gambar 6.3 Jaringan kulit mamae tikus betina setelah diinduksi oleh DMBA
dan mendapat perlakuan penyuntikkan a. nanopropolis (32 µg
ml-1) dan b. nanopropolis (56 µg ml-1) (panah biru=epitel kulit,
panah kuning=folikel rambut normal, panah putih=kapiler
epidermis) (Pewarnaan HE, 200x)
Pada konsentrasi 56 µg ml-1 terdapat alveole mamae yang sehat dan telihat
bersih serta terlihat proses penyembuhan pada jaringan ikat, walaupun masih
terdapat sel kanker. Pada Gambar 6.4a terlihat adanya alveole yang berisi plasma
darah (penunjuk panah biru) merupakan hasil perbaikan jaringan mamae akibat
pemberian nanopropolis. Pada tikus lain (kelompok 6) yang tidak dilakukan
penyuntikan nanopropolis maupun propolis, kondisi jaringan mamae-nya masih
terjadi angiogenesis dan sel kanker masuk ke dalam pembuluh darah. Pada
kondisi ini, jaringan ikat sangat banyak dan menyebar hampir merata (Gambar
6.4b) seperti yang ditunjukkan dengan sel kanker (panah warna putih) dan
jaringan ikat (panah merah).
Gambar 6.4 a) Jaringan mamae tikus SD yang diinduksi DMBA dan diberi
perlakuan nanopropolis 56 mg ml-1 setiap 7 hari sekali dalam
waktu 2 bulan, b) Jaringan mamae tikus SD yang diinduksi
DMBA tanpa diberi perlakuan nanopropolis maupun propolis
dalam waktu 2 bulan setelah induksi. (panah hitam= alveole,
panah biru=alveole terisi plasma darah, panah putih=sel kanker,
panah merah=jaringan ikat) (Pewarnaan HE, 200x)
Kondisi fisik jaringan mamae yang mengalami penyembuhan dapat dilihat
dengan terjadi pengeringan di daerah yang telah mengalami luka akibat tumor
51
(Gambar 6.5a). Sedangkan jaringan mamae yang mengalami pembengkakan
terjadinya tumor akibat tidak dilakukan pemberian bahan obat dapat dilihat pada
Gambar 6.5b, yaitu pengaruh induksi DMBA pada tikus betina yang tidak
menyalami pengobatan terdapat bengkak yang besar bahkan satu tikus dalam
kelompok ini mengalami peradangan pada jaringan mamae. Pada kondisi ini
dapat disebut sebagai kanker payudara stadium IV.
Gambar 6.5 a) Kondisi jaringan mamae yang telah mengalami penyembuhan
akibat penyuntikan nanopropolis 32 µg ml-1, b) kondisi tumor
pada tikus betina akibat induksi DMBA tapi tidak dilakukan
pengobatan baik dengan propolis maupun nanopropolis, dan c)
kondisi tumor setelah 90 hari diinduksi DMBA sebagai awal
perlakuan. (panah kuning=bekas luka yang mengering, panah
putih=mamae yang membengkak karena tumor)
Pengujian aktivitas propolis dalam menyembuhkan kanker terlihat bahwa
pada konsentrasi propolis 233 ug ml-1 dapat menyembuhkan jaringan rusak akibat
tumor dibandingkan dengan kontrol positif yaitu perlakuan induksi dengan
DMBA tanpa perlakuan penyembuhan kanker yang berkembang dan terjadi
penumpukkan sel kanker dan kerusakan jaringan (Gambar 6.6). Sedangkan
penelitian Inoue et al. (2008) menunjukkan bahwa penghambatan pertumbuhan
kanker terjadi setelah konsentrasi propolis 320 µg ml-1. Demikian pula dengan
Bermúdez et al. (2006), penyembuhan luka dengan propolis 10 % hanya terjadi
sebanyak 60 % saja yaitu dengan terjadinya reepitilasi. Pada jaringan kulit
mamae terlihat adanya perbaikan di sekitar jaringan yang rusak yaitu dengan
terjadinya reepitilasi (panah biru) dan folikel rambut (panah kuning) pada Gambar
7.6a. Sedangkan pada jaringan mamae yang hanya diinduksi DMBA dan tidak
dilakukan perlakuan propolis, terbentuk luka dan dalam jaringannya banyak
terdapat sel kanker (Gambar 6.6b).
Pada Gambar 6.6 terlihat kondisi sel kanker sudah mengalami kematian
yang ditunjukkan dengan bintik-bintik hitam pada pembuluh darah yang baru,
namun masih ada sel kanker yang diperkirakan masih aktif. Hal ini dikarenakan
waktu perlakuan yang masih kurang lama, sehingga proses penyembuhan masih
berjalan dan masih belum tuntas. Pada perlakuan dengan propolis dengan
konsentrasi 233 µg ml-1 terjadi proses penyembuhan dengan adanya pengeringan
pada jaringan terkena kanker.
52
Gambar 6.6 Jaringan kulit mamae tikus betina setelah diinduksi oleh
DMBA dan mendapat perlakuan penyuntikkan (a) propolis (233 µg.ml-1) dan (b) Tanpa pengobatan (kontrol
positif) (panah biru=epitel kulit, panah kuning=folikel
rambut normal, panah putih=peradangan) (Pewarnaan
HE, 200x)
Gambar 6.7
Jaringan mamae (a) dan jaringan kulit (b) tikus SD yang diinduksi
DMBA dan diberi perlakuan propolis 233 μg ml-1 setiap 7 hari
sekali dalam waktu 2 bulan (panah merah=pembuluh darah, panah
putih=sel kanker yang mati, panah hitam=folikel rambut)
(Pewarnaan HE, 200x)
Pada nanopropolis dengan konsentrasi 32 µg ml-1 mempunyai kemampuan
menyembuhkan kanker yang setara dengan pemberian propolis sebanyak 233 µg
ml-1. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran partikel nanopropolis yang sangat
kecil sehingga bahan aktif yang masih ada dalam nanopropolis dapat masuk
kedalam jaringan dengan mudah, sedangkan propolis dengan konsentrasi 233 μg
ml-1 sudah aktif menghambat pertumbuhan tumor disebabkan oleh adanya
komponen aktif dalam propolis yang mencegah terjadinya perkembangan tumor.
Kenyataan ini disebabkan oleh adanya senyawa asam organik seperti asam kafeat
dan asam firulat, polifenol dan flavonoid dalam propolis berperan menghambat
proliferasi sel kanker, baik dalam nanopropolis maupun propolis. Peran flavonoid
maupun asam kafeat adalah mampu menghambat terbentuknya protein kinase
yang digunakan untuk proliferasi sel, akibatnya adalah terjadi penghambatan
proses pembentukan sel dan berakibat terjadinya apoptosis (Madeo et al. 2004).
53
Sesuai dengan hasil penelitian de Moura et al. (2011), penyembuhan luka akibat
tumor dapat terjadi karena pemberian propolis. Sedangkan menurut Sun et al.
(2012) bahwa komponen krisin yang ada dalam propolis dapat mengecilkan
volume tumor yang terjadi pada jaringan mamae mencit yang diinduksi dengan
DMBA.
6.4 Kesimpulan dan Saran
6.4.1 Kesimpulan
Konsentrasi nanopropolis sebesar 32 µg ml-1 sudah menunjukkan hasil yang
baik terhadap penyembuhan luka dan mampu memperbaiki jaringan akibat
terkena tumor serta dapat mengeliminir tumor. Demikian pula pada konsentrasi
propolis bukan nanopartikel pada konsentrasi 233 µg ml-1.
6.4.2 Saran
Perlu dilakukan uji klinis dengan pemberian propolis atau nanopropolis bila
akan digunakan dalam pengobatan kanker.
Download