Fiqh Da`wah 1

advertisement
Kewajiban Berdakwah
Kondisi umat Islam pada saat ini, memang jauh berbeda dengan kondisi mereka pada
masa Rasulullah dan para Shahabat. Saat ini, umat Islam tengah mengalami cobaan yang
cukup berat, yakni berada pada kondisi yang sangat rendah, yang belum pernah terjadi
pada masa sebelumnya. Kemunduran umat menimpa hampir seluruh aspek kehidupan;
mulai dari aspek yang besar seperti politik, pemerintahan, ekonomi, peradaban, pertahanankeamanan, sampai pada aspek kecil/pribadi seperti akhlak, ibadah praktis, peraturan
kekeluargaan, waris, dan tata cara pergaulan di masyarakat. Dalam perkembangan terakhir,
ternyata kemunduran itupun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir.
Tetapi, bila diamati dengan jeli, sebenarnya permasalahan mendasarnya kembali
kepada ‘kemunduran tingkat berpikir umat yang sangat parah’. Rendahnya taraf berpikir
Islami inilah yang kemudian berdampak pada sikap mereka terhadap Islam itu sendiri.
Umat tidak berupaya dengan serius untuk mendalami Islam dan mengetahui tatacara
penyelesaian masalah dengan metode yang Islami, tetapi umat berupaya menyelesaikan
permasalahannya dengan nilai dan pola berpikir non-Islam. Misalnya dengan memakai
aturan Kapitalis untuk menyelesaikan problem kemasyarakatan. Atau digunakannya
tatacara nenek moyang terdahulu untuk meninggikan rasa keagamaan umat, yang akhirnya
menimbulkan bid’ah dan khurafat.
Sebagian umat Islam saat ini masih berpikir bahwa Islam memang tidak akan mampu
mengimbangi perkembangan ilmu dan teknologi, sehingga dibutuhkan aturan dari luar
Islam yang mampu memenuhi keperluan umat. Maka mulailah mereka mengadopsi
beberapa peraturan dan perundangan Barat, yang saat itu Baratpun tengah menjadi
penjajah. Sebagian lagi berpendapat bahwa rasa nasionalisme yang ada sekarang adalah
kenyataan sejarah yang sah-sah saja menurut pandangan Islam. Mereka terpecah belah
menjadi umat-umat yang kecil, dengan perbatasan sendiri, dengan bendera, bahasa, dan
lambang negara masing-masing. Tak disadari bahwa hal tersebut, selain diharamkan Islam,
juga telah menyebabkan mereka tidak memiliki kekuatan yang berarti untuk menghadapi
musuh-musuh mereka.
Pada kondisi seperti inilah terasa sekali kebutuhan umat kepada orang-orang mau
dan mampu membawa kembali umat menuju kemulyaan dan ketinggiannya sebagaimana
masa terdahulu. Dan, lebih daripada itu, sebenarnya umat Islam telah didaulat Allah SWT,
Sang Pencipta alam semesta untuk menjadi umat terbaik yang sekaligus menjadi pemimpin
dan penuntun umat lainnya. Posisi umat terbaik (khairu ummah) ini, ternyata melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar dan beriman kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
ِ ‫ُكنتم خي ر أ َُّم ٍة أُخ ِرج‬
ِ ‫َّاس ََتْمرو َن ِِبلْمعر‬
... ِ‫وف َوتَ ْن َه ْو َن َع ِن الْ ُمن َك ِر َوتُ ْؤِمنُو َن ِِب هّلل‬
ْ َ ْ
ُْ َ
ُ ُ ِ ‫ت للن‬
ََْ ُْ
“Kalian adalah umat terbaik yang sengaja Allah turunkan di kalangan manusia; Kalian
menyuruh kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar dan kalian beriman kepada
Allah...” (QS. Ali Imran: 110)
Karenanya syarat yang disebut tadi menjadi kunci penentu bagi terwujudnya khairu
ummah. Bila umat telah menyepelekan atau bahkan menjauhkan diri dari langkah amar
ma’ruf nahi mungkar (berda’wah), maka jangan berharap predikat khairu ummah akan
tercapai.
Walhasil, hanya ada satu jalan untuk mengakhiri permasalahan umat Islam yang
cukup kompleks ini, yakni melakukan aktivitas da’wah, beramar ma’ruf nahi mungkar;
yang mana hal tersebut sama artinya dengan meningkatkan taraf berpikir umat dengan
pemikiran Islami. Setelah taraf berpikir Islami ini makin tinggi, umat akan mengetahui
bahwa mereka membutuhkan suatu ‘rumah’ sebagai tempat berlindung yang permanen,
kokoh dan nyaman, sekaligus memiliki kemampuan untuk menahan segala ancaman pihak
luar yang akan menghancurkannya untuk kedua kali. Da’wah, selain sebagai jawaban, ia
sekaligus suatu kewajiban. Yang perlu kita pahami adalah da’wah seperti apa yang harus
diikuti dan diteladani untuk para pengemban da’wah.
Makna dan Tujuan Da’wah
Secara etimologi, kata da’wah merupakan bentuk nomina atau masdhar dari kata
kerja da’aa- yad’uu yang memiliki arti mengajak dan menyeru manusia dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain (perhatikan QS.2:221, 31:21). Kata da’wah berarti
juga berdo’a, yaitu mengharapkan adanya perubahan dan perubahan dari keadaan
sebelumnya. Adapun secara terminologi, kata da’wah sudah menjadi istilah khusus
bagi umat Islam baik kata itu berdiri sendiri atau dirangkaikan dengan kata Islam
dengan demikian ia memiliki makna yang positif, yaitu menyeru manusia kepada AlIslam (perhatikan QS. 3:104).
Berkaitan dengan da’wah ini pula DR. Rauf Syalabiy menyatakan bahwa da’wah
Islamiyyah merupakan sebuah gerakan (aktivitas) yang bertujuan untuk menghidupkan
sistem ilahi atau peraturan Allah SWT yang diturunkan kepada khatamun nabiyyun
Muhammad SAW. Hanya saja saat ini sering kali terjadi pengertian da’wah diciutkan
menjadi hanya sekedar ceramah atau tabligh. Kesalahan pengertian ini telah disadari
oleh banyak orang, akan tetapi pelaksanaannya masih tetap pada hal-hal yang ritual
dan keruhanian belaka. Istilah da’wah pembangunan, da’i pembangunan merupakan
gambaran bahwa seolah-olah terdapat da’i dan da’wah yang tidak membangun. Demikian
pula da’wah bil hal yang seolah-olah da’wah bil lisan sudah tidak efektif lagi. Kekeliruan
ini semua terletak pada pemahaman dan pelaksanaan da’wah bukan pada kata da’wah itu
sendiri.
DR. Muhammat Natsir dalam bukunya Fiqhu Al-Da’wah menguraikan bahwa
da’wah artinya mengajak manusia kepada Allah (Islam) dengan hikmah wal mau’idzhatil
hasanah (hikmah dan pelajaran yang baik) sehingga ingkar terhadap thagut dan beriman
kepada Allah dan keluar dari kegelapan jahiliah menuju cahaya Islam.
Dengan memperhatikan ayat-ayat Al Quran dan sunnah Rasulullah SAW, serta
berbagai pengertian yang dikemukakan dapat disimpulkan bahwa da’wah Islamiyyah
adalah sebuah aktivitas yang bersifat totalitas berupaya untuk mempengaruhi cara berpikir
manusia, cara merasa, cara bersikap, dan bertindak agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam
dalam rangka terwujudnya suatu masyarakat Islam yang kaljasadil wahid (ibarat satu
tubuh) sebagai landasan idealnya
dan suatu masyarakat Islam yang kalbunyani
yasyudhdhu ba’dhuaa ba’dhan (ibarat bangunan yang saling menguatkan satu dan yang
lain) sebagai landasan operasionalnya.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang memiliki fikrah wahidah, masya’ir
wahidah, nizamunwahidun (kesatuan konsepsi, perasaan, dan sistem) yang diterapkan
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Sehingga seluruh aspek kegiatan kehidupannya benarbenar berlandaskan ajaran Islam semata.
Dalil-Dalil Tentang Kewajiban Da’wah
Da’wah merupakan kewajiban yang sangat mendapat perhatian besar dalam Islam,
karena ada tidaknya da’wah sangat mempengaruhi lestari atau tidaknya kehidupan Islam.
Posisi Da’wah dalam Islam laksana darah dalam tubuh manusia. Ia yang menyebabkan
hidup dan terus tumbuh dan berkembang.
Secara syar’i pun kewajiban da’wah memiliki perintah dan qorinah yang sangat
tegas betapa penting dan bernilai tingginya da’wah ditengah-tengah kehidupan umat
manusia, diantaranya :
ِ
ِ ِ ْ ‫ادع إِِِل سبِ ِيل ربِك ِِب ْْلِكْم ِة والْمو ِعظَِة‬
‫َح َس ُن‬
َ ‫ْ ُ َ َه‬
ْ ‫اْلَ َسنَة َو َجاد ْْلُم ِِبلَِِّت ه َي أ‬
َْ َ َ
“Serulah manusia kejalan Rabmu dengan jalan hikmah (hujah yang benar dan Kuat) dan
pelajaran yang baik serta bantahlah mereka dengan baik.” (QS. An Nahl: 125)
ِ
ِ ‫اّللِ وع ِمل ص‬
ِ
ِِ
‫ي‬
َ َ‫اْلاا َوق‬
َ ‫ال إِن َِِّن م َن الْ ُم ْسلم‬
ْ ‫َوَم ْن أ‬
َ َ َ َ َّ ‫َح َس ُن قَ ْواًل هّمَّن َد َعا إِ َِل‬
“ Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah,
mengerjakan amal yang saleh dan berkata:”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang
yang berserah diri.”
(QS Al Fushilat : 33)
ِ
ِ ‫ض ََتافُو َن أَن ي تخطََّف ُكم النَّاس فَآوا ُكم وأَيَّ َد ُكم بِنَص ِرهِ ورزقَ ُكم ِمن الطَّيِب‬
ِ
‫ات لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكُرو َن‬
ْ َ‫يل ُّم ْست‬
َ ِ ‫ض َع ُفو َن ِِف األ َْر‬
َ‫ْ َ َ َ ه َ ه‬
َ ْ َ ُ ُ َ ََ
ٌ ‫َواذْ ُكُرواْ إ ْذ أَنتُ ْم قَل‬
“Dan ingatlah (hai para muhajirin) ketika kamu masih berjumlah sedikit, lagi tertindas di
muka bumi (Mekah), kamu takut orang-orang (Mekah) akan menculik kamu, maka Allah
memberi kamu tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kamu kuat dengan
pertolongan-Nya dan diberi-Nya kamu rezki dari yang baik-baik agar kamu bersyukur.”
(QS Al Anfal : 26)
Kewajiban da’wah ini diperkuat dengan hadits Rasulullah SAW, diantaranya :
“Sesungguhnya manusia bila melihat kemungkaran, sedangkan mereka tidak berusaha
mencegahnya maka tunggulah saat nya Allah menurunkan Azabnya secara menyeluruh.”
(H.R. Abu Dawud)
"Kalian harus mengajak mereka kepada kebaikan dan mencegah mereka dari
kemungkaran. Bila tidak demikian, tentulah Allah SWT akan menjadikan orang-orang
jahat diantaramu menguasai kalian dan bila ada orang baik yang berdo’a (untuk
keselamatan) maka do’a mereka tidak akan dikabulkan."
(H.R Al Bazzar dan Tabrani)
Dan banyak ayat-ayat dan hadits yang lainnya yang mengharuskan kaum muslimin
melakukan da’wah.
Tanggung jawab Da’wah
Pada dasarnya hukum syara’ itu dibebankan kepada laki-laki dan wanita.tidak
ditemukan perbedaan diantara keduanya dalam hal taklif (pembebanan hukum) kecuali
jika terdapat nash-nash yang membedakanya. Apabila terdapat seruan seperti: “Wahai
orang-orang yang beriman …”, maka seruan ini selain ditujukan kepada laki-laki juga
ditujukan kepada para wanita. Dalam bahasa Arab terdapat kaidah yang menyatakan bahwa
seruan bagi kaum laki-laki sekaligus mencakup pula di dalamnya seruan untuk wanita.
Sedangkan seruan bagi kaum wanita tidak mencakup bagi laki-laki dan hal itu hanya
terbatas pada wanita saja.
Begitu pula dalam hal kewajiban melakukan da’wah, bukanlah merupakan kewajiban
satu lembaga atau organisasi tertentu melainkan merupakan kewajiban bagi setiap kaum
muslimin dimanapun ia berada, apapun statusnya dan pekerjaannya, baik sebagai pedagang,
petani, buruh, karyawan, maupun direktur, pejabat pemerintah dll. Semuanya mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab yang sama dalam mengemban da’wah Islamiyyah, apalagi
tentu saja seorang kepala negara (khalifah).
Oleh sebab itulah, tanggung jawab umat Islam dalam mengemban da’wah Islamiyyah
dapat di bagi dalam dua kelompok, yaitu:
1. Da’wah merupakan tanggung jawab sekelompok umat dan dilakukan secara berjamaah
sesuai dengan firman Allah SWT. Dalam QS.3:104. Kelompok ini terdiri atas:
a) Lembaga negara di bawah pimpinan seorang kepala negara (khalifah). Khalifah
berkewajiban untuk menerapkan sistem Islam kepada seluruh anggota masyarakat,
menegakkan keadilan, menjalankan hukum syara’, menciptakan kesejahteraan dan
kemakmuran, dan mengemban da’wah Islam dengan jalan jihad ke darul musyrik,
sebagaimana yang dilakukan Rasulullah SAW dan para khalifah sesudahnya
sehingga Islam tersebar keseluruh jazirah Arabia, Afrika, Eropa, dan Asia.
b) Organisasi atau lembaga da’wah yang dikelola umat Islam secara bersama-sama
atau berkelompok yang memiliki orientasi siyasi dan berfungsi sebagai sosial
kontrol terhadap prilaku penguasa dalam rangka menjalankan amar ma’ruf nahyi
munkar. Berkaitan dengan hal ini, Rasulullah SAW bersabda :”apabila umatku
enggan berkata kepada korang-orang dzalim, wahai pendzalim! Maka ucapkanlah
selama tinggal kepadanya (karena adanya sama seperti tidak adanya)”.
Kelalaian umat Islam melakukan amar ma’ruf nahyi munkar berakibat pula doa mereka
tidak diijabah oleh Allah SWT dan akan di timpakan azab kepada mereka, serta orangorang zalim akan menguasai mereka.
2. Da’wah merupakan tanggung jawab setiap individu baik pria maupun wanita, dan
dilakukan sesuai dengan kemampuan masing-masing.Rasulullah SAW bersabda:
”Sampaikanlah dariku walaupun satu ayat”.
Rasulullah SAW bersabda:
”Barangsiapa diantara kalian melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya,
jika ia tidak mampu hendaklah ia ubah dengan lisannya, jika ia tidak mampu maka
hendaklah ia ubah dengan hatinya, namun hal itu merupakan selemah-lemahnya
iman.” (HR. Muslim)
Objek Da’wah
Secara garis besar objek da’wah dibagi dalam dua bagian, yaitu da’wah kepada
orang kafir dan kepada umat Islam. Adapun da’wah kepada orang kafir dapat dilakukan
secara individu atau secara jama’iy. Akan tetapi da’wah ini akan lebih efektif dan akan
mencapai hasil maksimal jika dilakukan oleh Khilafah Islamiyyah dengan cara:
1. Jika orang-orang kafir itu berada di bawah pemerintahan Islam maka da’wah lebih
banyak di lakukan dengan jalan memberi contoh teladan yang baik melalui penerapan
sistem Islam kepada mereka secara adil dan bijaksana. Sejarah telah membuktikan
bahwa negeri-negeri kafir akan takluk di bawah pemerintahan Islam sesudah
diberlakukan sistem Islam kepada penduduk negeri tersebut (taraf kehidupan ekonomi,
sosial, budaya, dan politiknya bertambah maju). Spanyol dengan kota-kota
bersejarahnya, seperti Cordova, Sevilla, Malaga, Barcelona merupakan bukti otentik
kejayaan Islam di Eropa. Bandingkanlah dengan negeri-negeri Islam yang kini setelah
melepaskan diri dari imperialisme dan kolonialisme Barat, mereka hidup di bawah garis
kemiskinan dan kebodohan; sementara para pemimpinnya terus bergantung hidupnya
pada kasih sayang kaum yang pernah menjajah negerinya yang mengakibatkan
penderitaan dan kemelaratan penduduknya.
2. Jika da’wah ini di tujukan kepada negeri kafir maka da’wah seperti ini dilakukan
dengan jihad fii sabilillah. Khilafah harus membangun kekuatan militer yang tangguh
untuk menghadapi musuhnya yang berusaha menghalangi jalannya da’wah. Da’wah
inilah yang dilakukan Rasulullah SAW. setelah beliau membangun masyarakat Islam di
kota Madinah. Tindakan pertama yang dilakukan adalah pengiriman surat kepada para
kepala suku dan qabilah di seluruh jazirah Arabia dan para raja di sekitarnya, seperti
Persia dan Romawi.
Adapun da’wah kepada orang Islam berbeda dengan da’wah kepada orang kafir.
Da’wah kepada orang kafir bertujuan untuk mengubah aqidah kufur menjadi aqidah Islam,
sedangkan da’wah kepada sesama muslim adalah dalam rangka meningkatkan keimanan
dan taqwa kepada Allah SWT. Akan tetapi jika kaum muslimin belum melaksanakan
hukum syara’ dan belum menerapkan Islam secara utuh dan menyeluruh karena Khilafah
Islamnya belum di tegakkan atas dasar aqidah Islam, maka kewajiban utama dalam
mengemban da’wah Islamiyyah adalah bagaimana upaya agar sistem Islam itu dapat
terwujud dalam kehidupan mereka (isti’naafu al-hayati al-Islamiyah).
Da’wah dalam rangka mencapai tujuan ini tidak mungkin dilakukan dalam bentuk
perorangan, bagaimanapun banyaknya aktivitas yang dilakukannya. Da’wah seperti ini
harus diemban dan dipikul bersama-sama dalam bentuk jamaah yang terorganisasikan dan
terencana. Jamaah da’wah semacam ini paling tidak memiliki dua syarat, yaitu:

Harus memiliki persamaan pemikiran (konsepsi) dan perasaan yang berasaskan pada
aqidah Islam, dan

Aktivitas da’wahnya harus berorientasi siyasah semata dan bukan semacan organisasi
sosial dan berupaya membangun rumah sakit, sekolah, sarana panti asuhan, atau
semacam badan wakaf yang mengelola harta wakaf, begitu pula bukan berbentuk
perkumpulan olah raga, kesenian, kepanduan, perkumpulan tarekat, zikir, dan kesufian,
dll.walaupun semua kelompok dan organisasi ini bersama-sama mengaku berda’wah
dan menyeru kepada Al-Islam hal ini berdasarkan firman Allah SWT. QS. 3:104,
yaitu:”Dan hendaklah terdapat di antara kalian sekelompok umat yang menyeru
kepada kebaikan (Al- Islam), memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar
dan merekalah orang-orang yang beruntung.”
Teladan Da’wah Rasulullah
Sifat Da’wah Rasulullah SAW (Da’wah Fikriyah, Da’wah Siyasiyah, dan Da’wah
Askariyah)
Mempelajari sejarah da’wah Rasulullah SAW berarti mempelajari seluruh perilaku
beliau. Kehidupan Rasulullah SAW adalah kehidupan da’wah, kehidupan penuh
perjuangan menghadapi berbagai pemikiran kufur dan kehidupan mengemban risalah yang
diamanahkan Allah SWT untuk disampaikan kepada manusia secara keseluruhan.
Dua puluh tiga tahun lamanya beliau bersungguh-sungguh, tanpa mengenal lelah,
berda’wah terus-menerus tanpa sekejap pun berhenti, mengajak manusia kepada Islam
dengan da’wah fikriyah, da’wah siyasiyah dan da’wah askariyah.
Disebut da’wah fikriyah karena beliau memulai da’wahnya dengan menyebarkan
aqidah Islam seraya mendobrak segala bentuk pemikiran dan pandangan hidup yang
menyesatkan dan menghancurkan segala bentuk kepercayaan dan tradisi nenek moyang
yang jahiliyah. Disebut da’wah siyasiyah karena da’wah ini mengarahkan ummat pada
suatu kekuatan sebagai pelindung da’wah agar bisa menyebar luas ke seluruh pelosok
sudut-sudut dunia. Disebut da’wah askariyah karena da’wah ini membutuhkan taktik dan
strategi dalam jihad fisabilillah.
Beliau begitu sukses dalam mengembangkan da’wah ini, membina masyarakat,
hingga mampu mendirikan daulah (negara). Beliau pun berhasil menghimpun ummat yang
terpecah belah, berqabilah-qabilah menjadi ummat yang satu di bawah panji-panji Islam.
Sukses yang beliau raih bukan melalui perubahan sosial terlebih dahulu atau
perubahan moral, walaupun hal tersebut sangat diperlukan, juga tidak melalui sloganslogan sukuisme, qoumiyah, ashobiyah (fanatisme golongan) dan lain-lain. Akan tetapi
beliau memulainya dengan konsep aqidah “laa ilaaha ilallah”. Aqidah inilah yang
merubah pemikiran, pemahaman, perasaan dan pandangan serta perilaku hidup
masyarakatnya sehingga terwujud generasi sahabat yang mampu meneruskan risalah
da’wah ini tersebar luas keseluruh pelosok dunia.
Pada dasarnya kesempurnaan da’wah Islamiyah itu telah terhenti sejak terhentinya
penaklukan Islam. Dan ummat Islam sebagai ummat wahidah sesudah itu terkoyak-koyak
menjadi berbagai suku bangsa yang lemah dan berdiri sendiri. Padahal pada mulanya
merupakan satu kekuatan yang disegani oleh musuh-musuhnya. Kini ummat sangat
membutuhan orang yang mau mengemban dan melanjutkan risalah da’wah Islamiyah untuk
membangkitkan kembali kekuatan itu, melalui suatu kebangkitan yang benar yang
berdasarkan Islam. Ummat saat ini sangat membutuhkan orang yang mau kembali
menghimpun barisan yang tercecer, shaf-shaf yang terbengkalai dan menyatukan seluruh
kekuatan yang ada agar tegak dan terbina masyarakat yang Islami serta untuk memulai
kembali misi da’wah ini keseluruh dunia untuk kedua kalinya.
Terwujudnya cita-cita ini hanya tercapai dengan jalan da’wah, sebab hanya jalan
inilah yang ditempuh oleh Rasulullah SAW sehingga meraih kesuksesan yang luar biasa.
Jejak langkah tersebut kemudian diikuti oleh generasi sahabat, jalan yang ditempuh adalah
jalan yang lurus, sedangkan metode yang dipakai adalah metode yang benar sehingga
membuahkan hasil yang luar biasa. Metode yang beliau lakukan adalah metode yang wajib
diteladani dan jalan ini wajib ditempuh oleh Ummat Islam dewasa ini dengan cermat dan
teliti agar kita tidak terperosok di jalan yang salah. Kesalahan sedikit saja dalam
menganalogikan da’wah Rasulullah atau menyimpang dari jalan yang telah digariskan oleh
beliau dapat mengakibatkan kita tersesat di tengah jalan dan sekaligus awal kegagalan
dalam meraih cita-cita.
Agar tidak menemui kesulitan dalam meniru gerak langkah da’wah Rasulullah
SAW, maka kita harus kembali kepada Al-Quran dan sunnah Rasulullah, khususnya
kembali kepada siroh Nabi SAW. Kita mesti berhenti lama untuk memandang dan
merenung dihadapan siroh Rasulullah SAW. Untuk mengetahui apa yang beliau katakan
dan yang beliau perbuat, dan untuk mengetahui jalan yang pernah beliau tempuh ketika
mengemban risalah da’wah ini sesuai dengan yang telah digariskan oleh Allah SWT
kepadanya. Kemudian kita harus berjalan bersamanya meneguhkan niat untuk mengikuti
tuntunannya, tetap berada pada jejak langkahnya sehingga kita bersama seluruh Ummat
Islam senantiasa berada dipihak yang mengikuti jejak langkahnya.
Bila kita telah mengambil risalah da’wah ini dan telah berbuat sesuai dengan garis
perjuangan beliau, berjalan di jalan yang telah beliau lalui, pasti kemenangan akan datang.
Saat itu pertolongan Allah SWT akan tiba sesuai dengan cita-cita dan harapan. Cita-cita
tersebut tiada lain adalah memulai kembali kehidupan Islam secara keseluruhan dengan
mewujudkan aturan Allah di muka bumi ini, serta mengemban da’wah Islamiyah ke
seluruh bangsa.
Oleh karena itu pemahaman tentang sejarah da’wah Rasulullah SAW atau sirah
Rasulullah secara keseluruhan mutlak diperlukan oleh seluruh ummat Islam pemegang
amanah Allah dan penerus Risalah da’wah. Dengan demikian kejayaan Islam dapat direbut
kembali dan Islam dapat tegak di muka bumi ini. Pada akhirnya ummat dapat bergerak
bebas dan merdeka dalam menyampaikan da’wah Islamiyah di bawah naungan Khilafah
Ar-Rosyidah.
Allah SWT telah menurunkan agama ini bagi seluruh ummat manusia. Dialah yang
menjadikan Islam sebagai Agama Fithrah. Dia-lah yang mengokohkannya dan dialah yang
pasti akan menolongnya serta memenangkannya terhadap agama atau ideologi lain
walaupun orang-orang kafir membencinya.
Periode Da’wah di Makah
Dengan pengamatan yang jernih, akan didapatkan bahwa Rasulullah SAW telah
menjalankan da’wah di kota Makkah melalui dua tahapan berturut-turut.
Pertama, Tahapan Pembinaan (Marhalah Tatsqiif)
Tahapan ini adalah tahap pembinaan dan pengkaderan, yakni pembinaan pemikiran
dan ruh. Da’wah Rasulullah pada tahap ini dilakukan secara sirriyah (rahasia) dalam waktu
tiga tahun. Saat itu da’wah belum dilakukan secara terbuka di depan umum, melainkan
melalui individu-individu dari rumah ke rumah. Mereka yang menerima da’wah Islam
segera dikumpulkan di rumah seorang sahabat bernama Arqom, sehingga rumah tersebut
dikenal sebagai Darul Arqom (rumah Arqom). Disanalah mereka dibina dan dikader
dengan sungguh-sungguh dan terus-menerus. Beberapa dari mereka diutus untuk
mengajarkan Islam kepada yang lain, diantaranya Khabbab bin Arts yang mengajarkan AlQuran kepada Fatimah binti Khaththab bersama suaminya. Semakin hari semakin
bertambah jumlah mereka hingga mencapai empat puluh orang dalam waktu tiga tahun.
Selama itu, Darul Arqom senantiasa menjadi pusat pembinaan dan pengkaderan para
sahabat pengemban da’wah, dimana mereka berkumpul untuk mendengarkan dan
menghayati ayat-ayat Al-Quran beserta penjelasan dari Rasulullah SAW.
Dengan demikian apabila Rasulullah SAW menyampaikan da’wah pada tahap ini
secara diam-diam, hal tersebut bukan berarti beliau takut melaksanakan secara terangterangan, melainkan itulah yang dituntut untuk dilaksanakan. Ketika turun ayat 1 dan 2
surat Al-Mudatsir:
ِ ‫) قُم فَأ‬1(‫َي أَيُّها الْم َّدثهِر‬
)2(‫َنذ ْر‬
ْ
ُ ُ َ َ
“Hai orang yang berselimut! Bangunlah, lalu berilah peringatan”
Kedua, Tahapan Interaksi (Marhalah Tafa’ul wa Kiffah)
Marhalah ini merupakan bentuk dari da’wah zhahriyah, karena Rasul dan para
sahabatnya melakukan da’wah secara terbuka kepada seluruh masyarakat jazirah Arab.
Tahapan ini penuh dengan rintangan dan perjuangan setelah Rasulullah dan para
sahabatnya mendapat perintah dari Allah SWT, sebagaimana ayat:
ِ
ِ
‫ي‬
ْ ‫اص َد ْع ِبَا تُ ْؤَمُر َوأ َْع ِر‬
َ ‫ض َع ِن الْ ُم ْش ِرك‬
ْ َ‫ف‬
“Maka sampaikanlah secara terang-terangan apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu
dan berpalinglah dari orang-orang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)
ِ ‫)و‬214(‫َنذر ع ِشريتَك ْاألَقْربِي‬
ِ
َِّ ‫فَ ََل تَ ْدع مع‬
ِِ
ِ َ ‫ك لِم ِن اتَّب ع‬
ِ
)215(‫ي‬
ْ َ
ْ ‫اخف‬
َ ‫ك م َن الْ ُم ْؤمن‬
َ َ َ َ َ ْ ‫) َوأ‬213(‫ي‬
َ ِ‫آخَر فَتَ ُكو َن م َن الْ ُم َع َّذب‬
َ ‫اّلل إِ َْلاا‬
َ َ َ َ ‫اح‬
َ َ‫ض َجن‬
ََ ُ
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkan dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu dari kalangan orang-orang yang beriman” (QS.
As-Syu’araa: 213-215)
Da’wah pada marhalah ini segera mendapatkan reaksi keras dari kaum musyrikin.
Siksaan dan penganiayaan datang bertubi-tubi. Pengikut Muhammad SAW mulai diuji
keimanannya, sampai sejauh mana kualitas iman mereka setelah tiga tahun mendapat
pembinaan di Darul Arqom.
Da’wah Rasulullah SAW pada marhalah ini merupakan suatu pertarungan
pemikiran antara alam pemikiran jahiliyah dengan alam pemikiran Islam, antara adatistiadat, budaya dan kepercayaan nenek moyang dengan Islam. Hal ini terlihat dari ayatayat Makkiyah yang pada umumnya mengajak mereka untuk meninggalkan adat istiadat,
budaya dan kepercayaan nenek moyang mereka, seperti yang tercantum dalam surat AlZukhruf 21-24.
Pada tahapan ini terjadi perjanjian Bai’atul Aqobah I dan II yang dilakukan oleh 12
dan 75 orang dari Madinah. Rasulullah SAW juga memilih 12 orang pemuka diantara
mereka untuk menyampaikan Islam kepada kabilah-kabilahnya masing-masing.
Periode Da’wah di Madinah
Hijrahnya kaum muslimin ke Madinah adalah sebagai awal mula marhalah da’wah
ketiga, yaitu tathbiq ahkamul Islam (Pelaksanaan Syari’at Islam) dengan diproklamasikan
Daulah Islamiyah sebagai pelaksana hukum Islam dan sebagai pengemban risalah da’wah
ke segenap penjuru dunia dengan jihad fi sabilillah.
Beberapa aktivitas yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah sebagai berikut:
a. Membangun Masjid
Tugas pertama yang dilakukan Rasulullah SAW di Madinah adalah membangun
masjid sebagai pusat kegiatan ummat Islam, tempat shalat tempat bermusyawarah tempat
belajar-mengajar, tempat mengatur strategi da’wah dan Jihad juga tempat menyelesaikan
segala bentuk perselisihan dan sengketa.
b. Membina Ukhuwah Islamiyah
Tugas kedua yang dilakukan Rasulullah adalah mempersaudarakan antara Anshar
dan Muhajirin. Persaudaraan ini bukan sekedar slogan kosong tanpa makna, tetapi
pesaudaraan yang digambarkan oleh Rasulullah SAW ibarat satu tubuh, bila salah satu
anggota tubuh tertimpa sakit maka seluruh tubuhnya merasakan sakit. Persaudaraan yang
mendarah daging mengalir dalam tubuh setiap ummat sehingga lenyap sama sekali segala
bentuk fanatisme, golongan, suku dan ras.
c. Menyusun Piagam Perjanjian (Watsiqoh)
Tugas ketiga yang dilakukan Rasulullah SAW adalah menyusun piagam perjanjian
(watsiqoh). Istilah sekarang disebut undang-undang dasar. Kitab sejarah Ibnu Hisyam
menyebut sebagai Undang-Undang Negara Pemerintahan Islam pertama. Watsiqoh ini
menyangkut hak dan kewajiban Muslim dan non Muslim yang tinggal di wilayah
kedaulatan Islam, hubungan Daulah dengan masyarakat atau antara masyarakat dengan
Daulah. Persatuan ummat Islam tanpa mengenal perbedaan suku, bangsa dan ras.
d. Strategi Politik dan Militer
Dalam rangka menyebarkan da’wah Islamiyah ke luar Negeri Madinah, sekaligus
memaklumatkan kepada bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain mengenai berdirinya Daulah
Islamiyah dengan kepala negaranya adalah Rasulullah SAW sendiri. Maka diambil
beberapa langkah lanjutan setelah urusan di dalam negeri terselesaikan, yaitu menyusun
strategi politik dan militer ke luar negeri.
Sikap Yang Harus Dimiliki Dalam Berdakwah
1. Da’wah Membutuhkan Keberanian
Apabila kita kembali kepada Al-Quran dan sunnah terutama sejarah kehidupan
Rasulullah SAW, maka jelaslah bahwa untuk mengemban da’wah Islamiyah dibutuhkan
adanya keterusterangan (tidak menyembunyikan atau menutup-nutupi kebenaran),
keberanian, daya usaha, dan kekuatan pemikiran. Keterusterangan itu tampak dari sikap
Rasulullah SAW. Dalam setiap kata yang diucapkan dan kejelasan setiap pemikirannya,
ketika beliau mengajak kepada manusia serta menyerukan agar berkumpul dihadapannya.
Hal itu nampak dalam ucapan beliau di hadapan kaumnya dan penduduk Makkah:
“Sesungguhnya seorang pemimpin tidak akan mendustakan kaumnya. Demi Allah, bahkan
andaikan aku berdusta kepada segenap manusia, seluruhnya, maka tidak akan berdusta
kepada kalian. Juga andaikan aku menipu manusia seluruhnya, maka tidak mungkin aku
menipu kalian. Demi Allah yang tidak mungkin aku menipu kalian. Demi Allah yang tidak
ada Tuhan kecuali Dia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah untuk kalian khususnya dan
kepada manusia seluruhnya. Demi Allah kamu akan mati sebagaimana kamu tidur dan
kamu bangun dari tidur dan dihisab atas segala apa yang kamu kerjakan sehingga kamu
akan dibalas dengan kebaikan atas amal baikmu dan dengan keburukan atas amal
buruknya. Adapun balasan itu berupa surga yang kekal atau neraka yang langgeng.”
(Sirah Al-Halabiyah)
Adapun kebenaran Rasulullah SAW. Yang paling menonjol dalam menyampaikan
da’wah secara terang-terangan, tampak sekali, antara lain pada saat beliau masih seorang
diri, tidak ada penolong (kecuali Allah SWT). Pendukung atau pembelanya dan tidak ada
harta dan senjata, melainkan hanya keimanan yang kokoh kepada Allah SWT. Juga bekal
beliau lainnya adalah keyakinan yang bulat terhadap adanya pertolongan Allah SWT.
Pernah suatu ketika Abu Jahal datang melarang beliau shalat di dekat Ka’bah, tetapi
beliau tidak memperdulikannya, bahkan kembali mengulang shalatnya. Saat itu Abu Jahal
mengancam hendak menginjak leher beliau, ketika beliau sedang sujud. Namun tidak ada
seorang pun diantara mereka, baik Abu Jahal maupun pemimpin-pemimpin Makkah
lainnya, yang dapat menghentikan perbuatan Rasulullah SAW. Untuk shalat di Ka’bah,
walaupun mereka semua mengancam dengan maksud untuk mencegah beliau shalat dan ini
mereka lakukan kapan saja mereka kehendaki. Namun, Rasulullah SAW tetap melakukan
shalat di Ka’bah.
Demikianlah, dengan keberanian yang tinggi seperti ini, Rasulullah SAW
menghadapi makar para pemimpin Quraisy yang paling terpandang sekalipun. Beliau
menghadapi mereka di berbagai kesempatan, sampai-sampai pada suatu hari beliau pernah
berkata ketika mereka berusaha mengancam, menghalangi, dan menyakiti beliau, ketika
Rasulullah SAW yang melaksanakan thawaf :
“Apakah kalian mau mendengarkan apa yang akan kusampaikan, wahai kaum Quraisy?
Demi nyawaku yang berada di tangan Allah, aku ingatkan kalian bahwa suatu ketika nanti
aku akan membunuh kalian.”
(Sirah Ibnu Hisyam)
2. Da’wah Memerlukan Keteguhan Jiwa (Kekuatan Sikap)
Adapun kekuatan Rasulullah SAW tampak pada kekuatan dari kebenaran yang
beliau serukan melalui untaian kalimat yang jelas dan tegas, penuh percaya diri. Begitu
pula tampak pada keteguhan hati beliau dalam berda’wah tidak pernah berkurang
semangatnya, walaupun menghadapi berbagai kesulitan yang menghadapi perjalanan
da’wahnya atau rintangan dan kesulitan yang dihadapi ketika melaksanakan da’wah.
Meskipun menghadapi berbagai intimidasi dan provokasi dari kaumnya agar beliau
meninggalkan da’wah meskipun ditawarkan kepada beliau kesenangan dunia berupa
kekuasaan, harta benda, wanita dan pengobatan medis gratis jika Rasulullah SAW “gila”
karena wahyu (menurut anggapan mereka), namun beliau tetap tegar secara konsisten dan
konsekuen.
Selain itu muncul ‘tekanan’ yang dilakukan oleh pamannya sendiri (Abu Thalib)
yang selama ini menjadi pelindung dan penolongnya. Menyuruh beliau meninggalkan
da’wah agar tidak menyulitkan posisi pamannya dihadapan para pemimpin Quraisy. Tetapi
dalam kenyataannya, beliau memperlihatkan kesiapannya untuk berjuang dan menanggung
resiko, walaupun berwujud kematian dalam menegakkan da’wah yang telah Allah SWT
turunkan kepadanya. Beliau tidak bergeming dari pendiriannya itu dan tidak pula mundur
walau setapak pun dari tipu daya dan makar kaum Quraisy yang dilancarkan terhadap
beliau dan para pengikutnya. Bahkan beliau sempat menyampaikan pernyataan yang
masyhur di hadapkan pamannya, yaitu:
“Demi Allah, hai pamanku. Seandainya mereka meletakkan matahari pada tangan
kananku dan bulan pada tangan kiriku supaya aku tinggalkan perkara (da’wah) ini,
tiadalah aku tinggalkan sampai Allah memenangkan da’wah atau aku binasa karenanya.”
(Tarikh Tabari, Tarikh Ibnu Atsar)
Lebih dari itu, selama Rasulullah SAW dan para shahabatnya mengemban da’wah
ini di Makkah, mereka tidak pernah berdamai apabila bekerja sama dengan seorang
pemimpin atau pembesar manapun dan tidak pula peduli terhadap perlakuan kasar dan
keras dari pembesar tersebut. Semua ini dilakukan dan dipertahankan dalam rangka
menegakkan kebenaran. Bahkan mereka menentang masyarakat, sekalipun kesulitan dan
bahaya serta segala rintangan harus dihadapi. Tidak terpetik dalam diri mereka, ketika
mengemban da’wah ini, keinginan untuk mendapatkan kedudukan, kebesaran, atau
kemaslahatan diri mereka serta keinginan-keinginan pribadi lainnya. Tidak ada perasaan
takut ditentang dalam keadaan hidup dan mati. Tidak merasa khawatir dengan kedudukan
duniawi. Tidak peduli dengan rezeki dan masa depan mereka karena Allah SWT yang telah
menentukan semua itu. Tidak pula goyah sedikit pun pendirian mereka dalam menghadapi
penghinaan, penderitaan, siksaan dan kemiskinan. Dari semua sikap yang demikian itu,
nampak sekali bagi kita betapa kuatnya pribadi-pribadi mereka itu.
3. Da’wah memerlukan Keterusterangan
Mengemban da’wah Islam mengharuskan kedaulatan secara mutlak hanya untuk
mabda’ (ideologi) Islam, tanpa mempertimbangkan apakah hal ini sesuai dengan keinginan
masyarakat pada umumnya atau justru bertentangan; apakah sesuai dengan adat istiadat
ataukah bertolak belakang; apakah mabda’ itu diterima oleh masyarakat, ditolak atau
bahkan dimusuhi. Seorang pengemban da’wah tidak akan mencari muka dan berbasa-basi
di depan masyarakat, bermuka dua atau bersikap toleran terhadap penguasa yang dzolim.
Seorang pengemban da’wah tidak akan memperdulikan kebiasaan masyarakat beserta adat
istiadatnya. Dia tidak memperhitungan apakah da’wahnya diterima oleh masyarakat atau
ditolak. Dia akan berpegang teguh pada pada prinsip mabda’ Islam saja, dan hanya
menyuarakan mabda’ itu saja, tanpa memperhitungkan nilai apapun selainnya. Tidak boleh
mengatakan kepada orang-orang yang bermabda’ lain: ‘berpegang teguhlah pada prinsip
kalian’ tetapi hendaknya mereka diajak (tanpa paksaan) untuk memeluk mabda’ Islam.
Sebab, da’wah menuntut kedaulatan hanya untuk Islam semata, bukan untuk yang lain dan
bahwasanya hanya Islamlah yang berkuasa di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana
firman Allah SWT:
‫اْلَ ِهق لِيُظْ ِهَرهُ َعلَى ال هِدي ِن ُكلهِ ِه َولَ ْو َك ِرهَ الْ ُم ْش ِرُكو َن‬
ْ ‫ُه َو الَّ ِذي أ َْر َس َل َر ُسولَهُ ِِب ْْلَُدى َوِدي ِن‬
‘Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan
agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas seluruh agama, walaupun orang-orang
musyrik tidak menyukainya.”
(QS. At Taubah: 33)
Rasulullah SAW datang ke dunia ini dengan membawa risalah Islam dan
menyampaikan secara terang-terangan dan menantang. Beliau menyakini kebenaran risalah
yang diembannya kepada masyarakat, menantang dunia secara keseluruhan,
mengumumkan perang atas seluruh manusia yang menolak Islam tanpa memperhatikan
warna kulit, memperdulikan adat istiadat, tradisi, kebiasaan-kebiasaan, agama-agama,
kepercayaan-kepercayaan, sikap penguasa atau rakyat kebanyakkan. Beliau tidak
memperhatikan sesuatu pun selain Risalah Islam.
Rasulullah SAW telah memulai da’wahnya terhadap orang-orang Quraisy dengan
menerangkan kelemahan Tuhan-tuhan mereka, menentang dan meremehkan seluruh
kepercayaan-kepercayaan mereka. Sedangkan beliau pada saat itu dalam keadaan sendirian
dan diisolasi masyarakat, tanpa pendukung dan tanpa bekal selain imannya yang amat
dalam terhadap Islam yang beliau serukan.
Demikian pula seharusnya sikap dan tindakan seorang pengemban da’wah Islam,
yaitu menyampaikan da’wah secara terang-terangan; menentang segala kebiasaan, adatistiadat, ide-ide sesat dan persepsi yang salah; bahkan akan menentang opini umum
masyarakat kalau memang keliru, sekalipun untuk ini dia harus bermusuhan. Begitu pula
dia akan menentang kepercayaan-kepercayaan dan agama-agama yang ada sekalipun harus
berhadapan dengan kefanatikan para pemeluknya atau harus menghadapi kebencian orangorang yang berada pada kesesatan.
4. Da’wah Perlu Pemikiran dan Pengetahuan
Pelaksanaan da’wah pun memerlukan pemikiran dan pengetahuan, sebagaimana
ayat pertama yang diturunkan:
‫ك الَّ ِذي َخلَ َق‬
َ ‫اقْ َرأْ ِِب ْس ِم َربِه‬
“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan (segala sesuatu)” (QS. AlAlaq: 1)
Lagi pula, Rasulullah SAW tidaklah menyeru manusia kepada sesuatu apapun,
melainkan sesudah turunnya Al-Wahyu. Sebab, seperti yang telah dimaklumi bahwa wahyu
telah diturunkan semenjak beliau masih berada di Makkah. Al-Wahyu turun pula saat
beliau senantiasa diperhatikan, dipelihara, diselamatkan, dididik, dan diarahkan oleh Allah
SWT. Juga ditentukan pula fase dan tahapan langkah da’wah untuk beliau, sebagaimana
Allah SWT juga telah menentukan sasaran yang harus beliau capai pada setiap usaha dan
kegiatan da’wah. Firman Allah SWT:
ِ
ِ َ ِ‫َّك ِِب َْعينِنَا وسبِح ِِبم ِد رب‬
‫وم‬
َ ‫اصِ ِْب ْلُ ْك ِم َربِه‬
َ ‫كح‬
ْ ‫َو‬
‫ك فَِإن َ ُ َ َ ه ْ َ ْ َه‬
ُ ‫ي تَ ُق‬
“(Dan) bersabarlah dalam menunggu ketetapan Rabbmu (berupa pertolongan Allah).
Sesungguhnya kamu berada dalam pengawasan (perlindungan) Kami” (QS. Ath-Thuur:
48)
ِ َّ ِ‫وإِ ْذ َيَْ ُكر ب‬
ِ
‫ين‬
َ ‫وك أ َْو ُيُْ ِر ُج‬
َ ُ‫وك أ َْو يَ ْقتُل‬
َ ُ‫ين َك َفُرواْ لِيُثْبِت‬
َ ُ
‫اّللُ َو ه‬
‫وك َوَيَْ ُكُرو َن َوَيَْ ُكُر ه‬
َ
َ ‫اّللُ َخْي ُر الْ َماك ِر‬
َ ‫ك الذ‬
“(Dan ingatlah) ketika orang-orang kafir (Quraisy) melakukan daya upaya terhadap
dirimu untuk menangkap dan memenjarakan atau membunuhmu, atau pula mengusirmu
(dari Makkah). Mereka melakukan tipu daya, tetapi Allah menggagalkannya. Dan Allahlah
sebaik-baiknya pembahas tipu daya.”
(QS. Al Anfal: 30)
Oleh karena itu Rasulullah SAW sangat menginginkan untuk mengajari para
shahabatnya mengenai ayat-ayat Al-Quran dan keseluruhan wahyu yang diterimanya
sebagai penjelasan, penafsiran atau perincian Al-Quran. Beliau menyuruh mereka untuk
memahami dan menghafalkannya dan membantu beliau untuk menyebarluaskan kepada
seluruh manusia, serta mengajarkan dan meneruskannya kepada yang lain, secara
jujur/amanah tanpa mengubah-ubah, baik dengan cara menambah atau menguranginya.
Para shahabat Rasulullah SAW telah menemukan nilai pemikiran dalam kehidupan mereka,
sehingga, misalnya Umar bin Khaththab ra pernah menyuruh kaum muslimin untuk
mempelajari, mendalami, dan memahami hukum-hukum agama Islam, sebelum mereka
memperoleh kekuasaan dan pemerintahan di muka bumi ini. Dalam hal ini, Umar bin
Khaththab ra berkata:
“Pahamilah hukum-hukum agama, sebelum kamu menjadi pemimpin (penguasa).” (HR
Al-Baihaqi)
Sasaran dan Tujuan Da’wah
Itulah fakta sejarah, dan sekaligus harus menjadi uswah serta menunjukan betapa
Rasulullah SAW tidak menerima keyakinan seseorang melainkan dengan aqidahnya yang
utuh sempurna, dibarengi dengan tuntutan pelaksanaan yang konsisten dan konsekuen.
Dalam kasus di atas, hanya masalah wasilah (perantara) serta teknik pelaksanaannya yang
terlihat seolah-olah beliau menerima usulan kabilah tersebut dalam bentuk ‘sinkritisme’
(kesatuan keyakinan) tetapi ternyata tetap saja dalam masalah keyakinan dituntut utuh.
Oleh karena itu da’wah Islamiyah haruslah dalam bentuk usaha mempertahankan
aqidahnya maupun fikrah Islam, serta mempertahankan aqidah maupun fikrah Islam, serta
mempertahankan pula pelaksanaannya dengan sempurna, tanpa kompromi, tanpa adanya
proses adaptasi, dan tidak membiarkan terjadinya kelalaian dalam melaksanakan Islam.
Dalam hal ini, seseorang boleh saja mempergunakan teknik dan sarana apapun, sepanjang
hal tersebut ada kaitannya antara ide dengan hukum Islam.
Pengemban da’wah Islamiyah dituntut agar setiap amal atau perbuatannya
mengarah kepada tujuan tertentu. Ini merupakan hal yang teramat penting. Selain itu, ia
dituntut pula agar selalu mencamkan tujuan tersebut ke dalam benaknya tanpa kenal
istirahat untuk mencapai tujuan tersebut. Sebab, tentu ia tidak akan rela sekedar menerima
ide (Islam) tanpa berusaha mengamalkannya, menganggap bahwa semua itu hanya sebuah
khayalan belaka.
Ia juga tidak rela terhadap pemikiran dan usaha yang tidak mengarah kepada suatu
tujuan karena hal tersebut seperti gerakan putaran ‘gasing’ yang hanya bergerak di tempat,
sehingga usaha yang seperti itu akan berakhir pada kejumudan dan keputusasaan. Bahkan,
ia tidak akan henti-hentinya berusaha mengaitkan pemikiran dan amal perbuatan, menjadi
pemikiran dan perbuatan yang mengarah pada tujuan yang dapat direalisasikan dalam
kehidupan nyata.
Rasulullah SAW mengemban qiyadah fikriyah (memimpin ummatnya atas dasar
ide-ide Islam) sejak beliau berada di Makkah. Saat itu Rasulullah SAW mengajak ummat
manusia untuk memeluk Islam, yaitu ‘Laa Ilaha Illalah Muhammad Rasulullah’. Beliau
mengarahkan pemikiran mereka menjadi aqidah Islam sebagai landasan berfikir. Beliau
juga berusaha untuk mendaulatkan Islam sebagai satu-satunya sistem yang ditetapkan
dalam masyarakat.
Rasulullah SAW mulai mendidik orang-orang yang telah beriman yang kemudian
menjadi shahabat-shahabatnya agar mereka memadukan antara pemikiran dengan
perbuatan. Beliau juga mengajarkan kepada mereka 10 ayat Al Qur’an, dan tidak
mengajarkan yang lain, sampai mereka memahami maknanya dan mengamalkan isinya,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud dan para shahabat lainnya.
(Muqaddimah Ibnu Taimiyah, dalam Kitab Ushulut-Tafsir: 44)
Rasulullah SAW menggambarkan kepada mereka bahwa Allah SWT akan
memenangkan agama-Nya di seluruh penjuru Jazirah Arab sehingga seorang yang berjalan
dan memakai kendaraan dari Shan’an (Yaman Utara) sampai Hadral Maut (Yaman Selatan)
tidak akan merasa takut, kecuali hanya kepada Allah SWT. Ia aman. (Shahih Bukhari)
Untuk tujuan itu, Rasulullah SAW telah memulai da’wahnya dari Makkah. Setelah
terjadi pergolakan yang lama serta perjuangan yang penuh dengan kesengsaraan, beliau lalu
menetapkan bahwa masyarakat Makkah tidak dapat dijadikan titik acuan (sentral) untuk
menerapkan sistem Islam. Oleh karena itu beliau berusaha mempersiapkan masyarakat
Madinah sampai beliau berhasil mendirikan masyarakat Islam, menerapkan sistem Islam,
mengembang risalah-Nya, serta mempersiapkan ummatnya untuk mengembangkan risalah
tersebut sesudahnya, sejalan dengan metode yang telah digariskan. Selain itu, beliau juga
menjelaskan kepada kaum muslimin bagaimana caranya mengatur jalannya pemerintahan,
membentuk strukturnya, dan usaha menghimpun sumber pendapatan dan belanja, serta
segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem dan mekanisme pemerintahan. Beliau
memerintahkan kaum muslimin sesudahnya untuk tidak melewatkan satu kurun waktupun
tanpa adanya Khalifah (Tartib Musnad Imam Ahmad); dan tidak membiarkan waktu
terluang tanpa adanya jihad dan futuhat daerah baru (Sunan Abu Daud; Sunan AdDailami, Firdaus Al-Akhbar)
Download