toleransi spesies pohon terhadap pencemaran udara di kawasan

advertisement
TOLERANSI SPESIES POHON TERHADAP PENCEMARAN
UDARA DI KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU KOTA CILEGON
DESI ANJANA DWIPUTRI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Toleransi Spesies
Pohon terhadap Pencemaran Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2015
Desi Anjana Dwiputri
A451130081
RINGKASAN
DESI ANJANA DWIPUTRI. Toleransi Spesies Pohon terhadap Pencemaran
Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Dibimbing oleh NIZAR
NASRULLAH dan ZAINAL ALIM MAS’UD.
Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara yang dihasilkan kawasan
industri dapat diukur dari perubahan parameter fisiologis berdasarkan formula
APTI (Air Pollution Tolerance Index), yaitu asam askorbat total, klorofil total, pH,
dan kadar air. Namun, berdasarkan penelitian sebelumnya, metode APTI ini
memiliki kekurangan, yakni hasil yang diperoleh antara pengamatan secara
makroskopis dan fisiologis tidak bersesuaian. Oleh karena itu, perlu diteliti
parameter tambahan pada pengamatan fisiologis yang berpengaruh terhadap
pertumbuhan tanaman, yaitu karbohidrat total dalam tanaman.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat toleransi spesies
pohon terhadap pencemaran udara di kawasan industri yang diukur secara
makroskopis, mikroskopis serta fisiologis, mengkaji kandungan karbohidrat
sebagai parameter fisiologis yang sensitif menunjukkan tingkat toleransi tanaman
terhadap pencemaran udara, dan menyusun rekomendasi gambar penanaman pada
kawasan industri Kota Cilegon. Metode yang digunakan adalah metode survey,
dengan mengukur parameter makroskopis (luas daun, jumlah daun, dan warna
daun), parameter miskroskopis (kerapatan stomata, tebal daun dan palisade), dan
parameter fisiologis (asam askorbat, klorofil total, pH daun, kadar air, dan
karbohidrat total) dari spesies pohon yang terpapar polusi dan tidak terpolusi
(kontrol).
Hasil penelitian menunjukkan karbohidrat total sebagai parameter tambahan
mempengaruhi tingkat toleransi sebesar 34.1% dan merupakan parameter yang
paling sensitif terhadap polusi udara dibandingkan dengan parameter fisiologis
lain, sehingga memodifikasi formulasi APTI dan mengubah klasifikasi toleransi
tanaman. Rumus modifikasi APTI yang dihasilkan apabila A = asam askorbat
total (mg g-1), T = klorofil total (mg g-1), P = pH daun, R = kadar air daun (%),
dan K = karbohidrat total (%) adalah sebagai berikut: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇I =
1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅 . Berdasarkan hasil modifikasi,
maka tingkat toleransi tanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon
dibagi menjadi tiga, yaitu tanaman toleran pada Polyalthia longifolia, Polyalthia
fragrans, Erythrina crista-galli, dan Casuarina junghuhniana; toleransi sedang
pada Hibiscus tiliaceus, Samanea saman, dan Acacia auriculiformis; tidak toleran
pada Leucaena leucocephala, Pterocarpus indicus, dan Swietenia mahagoni.
Konsep penataan ruang terbuka hijau di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon
dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi polutan dan bentuk penanaman.
Tanaman dengan tingkat toleransi tinggi dipilih untuk area dengan konsentrasi
polutan tinggi sedangkan tanaman dengan tingkat toleransi sedang ditempatkan
pada area dengan konsentrasi polutan rendah. Bentuk penanaman dibagi menjadi
dua, yaitu green belt untuk mengurangi polusi industri dan jalur hijau untuk
mengurangi polusi transportasi.
Kata kunci: Air Pollution Tolerance Index (APTI), laju pertumbuhan relatif,
karbohidrat total, modifikasi APTI, tanaman industri
SUMMARY
DESI ANJANA DWIPUTRI. Tolerance of Trees Species to Air Pollution in
Krakatau Industrial Estate Cilegon City. Supervised by NIZAR NASRULLAH
dan ZAINAL ALIM MAS’UD.
Plant tolerance against air pollutants from industrial estate can be assessed
based on the change of physiological parameters calculated according to APTI
(Air Pollution Tolerance Index), there are ascorbic acid content, total chlorophyll,
leaf pH, and water content. However, based on previous research, APTI
formulation was less accurate, the results obtained between macroscopic and
physiological observations are not always match. Additional physiological
parameters, i.e. total carbohydrate as main product of photosynthesis was need to
be examined.
Purposes of this study were to analyze level of tolerance of tree species to
air pollution in industrial estate, to examine physiological parameters that indicate
the level of tolerance of plants sensitivity to air pollution, and to arrange plants
recommendation in Kakatau Industrial Estate Cilegon. The methods used were
survey method, where leaf samples were taken for observing macroscopic
parameters (leaf area, leaf number, and leaf color), microscopic parameters
(stomatal density, leaf and palisade thickness) and physiological parameters
(ascorbic acid content, total chlorophyll, leaf pH, water content, and total
carbohydrate) observation of tree species which exposed to pollution and nonpollution (kontrol).
The results showed that total carbohydrate as an additional parameter of
APTI affected the level of tolerance by 34.1% and also the most sensitive
parameter to air pollutants rather than others physiological parameters, thus
modified the APTI formulation and changed the classification of plants tolerance.
Result of modified APTI if A = ascorbic acid content, T = total chlorophyll, P =
leaf pH, R = water content, and K = total carbohydrate is: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑒𝑑 𝐴𝑃𝑇I =
1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅. Results showed that the tolerant
plants were Polyalthia longifolia, Polyalthia fragrans, Erythrina crista-galli, and
Casuarina junghuhniana; moderate tolerance were Hibiscus tiliaceus, Samanea
saman and Acacia auriculiformis; and intolerant were Leucaena leucocephala,
Pterocarpus indicus, and Swietenia mahagoni. Green open space concepts in
Krakatau Industrial Estate Cilegon were divided in to two, there were based on
pollution distribution and planting form. Plants with hight tolerance level were
choosen for high concentration of pollutants whereas plants with moderate
tolerance level were choosen for low concentration of pollutants. Planting form
were divided in to two, there were green belt for industry and green way for
transportation.
Keywords: Air Pollution Tolerance Index, modified APTI, industrial plants,
relative growth rate, total carbohydrate.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
TOLERANSI SPESIES POHON TERHADAP PENCEMARAN
UDARA DI KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU KOTA CILEGON
DESI ANJANA DWIPUTRI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
ii
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr
iv
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat
dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan April 2015 ini adalah toleransi
tanaman terhadap pencemaran udara dengan judul Toleransi Spesies Pohon
terhadap Pencemaran Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nizar Nasrullah MAgr dan Dr
Drs Zainal Alim Mas’ud, DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi
saran. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak
Rizal, Bapak Edi, Ibu Anna dan Bapak Prio dari PT KIEC yang telah membantu
dalam pengumpulan data di lapangan, Ibu Dorly dan Evi Muliyah dari
Laboratorium Anatomi Tanaman Departemen Biologi IPB yang telah membantu
dalam pengamatan anatomi tanaman, staff dari Laboratorium Kimia Departemen
Gizi Masyarakat IPB, Laboratorium Terpadu IPB, dan Balittro yang telah
membantu dalam melakukan analisis fisiologi tanaman dan kualitas udara, BMKG
Klas I Serang dan Bappeda Kota Cilegon yang membantu pengumpulan data
sekunder, serta seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan
karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu,
seluruh keluarga, dan para sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Desember 2015
Desi Anjana Dwiputri
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Ruang Lingkup Penelitian
1
1
2
3
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Industri
Jenis dan Sumber Polutan di Kawasan Industri
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
5
5
5
9
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Prosedur Analisis Data
13
13
13
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kualitas Udara
Pengamatan Makroskopis
Pengamatan Mikroskopis
Pengamatan Fisiologis
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
Analisis Karbohidrat Tanaman
Rekomendasi Penanaman di Kawasan Industri
21
21
25
29
35
36
39
41
47
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
51
51
52
DAFTAR PUSTAKA
52
RIWAYAT HIDUP
72
vi
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri
Skor, warna, dan notasi
Kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman
Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon
Hasil pengujian udara ambien
Hasil pengujian debu jatuh
Sumber pencemaran udara di kawasan industri
Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara di kawasan
industri (terpolusi) dan kawasan permukiman (kontrol)
Pertumbuhan setiap jenis tanaman dalam 30 hari
Perbandingan warna daun setiap spesies pohon di area polusi dan
kontrol
Kerapatan stomata setiap jenis tanaman
Tebal daun dan tebal palisade setiap jenis tanaman pada area terpolusi
dan kontrol
Kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air setiap jenis
tanaman di area terpolusi dan kontrol
Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan APTI
Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan RGR
Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dan APTI
Karbohidrat total setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol
Analisis korelasi karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan
fisiologis
Perbandingan RGR dan karbohidrat total setiap jenis tanaman
Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter
fisiologis
Toleransi tanaman berdasarkan RGR 1 dan modifikasi APTI
6
16
20
21
25
26
26
28
30
34
35
36
37
39
40
41
42
42
43
44
47
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
Kerangka pikir penelitian
Lokasi penelitian
Tahapan penelitian
Pengukuran luas daun
Sampling udara
Spesies pohon yang digunakan sebagai sampel penelitian
Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
akasia
Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
angsana
Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
dadap merah
Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
glodogan bulat
Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
glodogan tiang
4
13
14
15
18
24
30
31
31
32
32
vii
12 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
mahoni
13 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
trembesi
14 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
waru
32
33
33
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Data klimatologi tahun 2014
Peta lokasi sampling udara ambien
Peta lokasi sampling debu jatuh
Peta lokasi sampling tanaman
Perbandingan warna daun setiap spesies pohon
Pengamatan paradermal daun
Pengamatan transversal daun
Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari
10 jenis tanaman
Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10 jenis
tanaman
Hasil analisis ragam RGR pada lokasi pencemaran dari 8 jenis
tanaman
Hasil analisis ragam RGR antar jenis tanaman dari 8 jenis tanaman
Peta konsep penanaman
Peta rencana penanaman
Detail spot 1
Detail spot 2
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
67
68
69
70
71
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pencemaran udara di Indonesia disebabkan oleh gas buang kendaraan
bermotor (60-70%), industri (10-15%), dan sisanya berasal dari rumah tangga,
pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain (Kusnoputranto 1996).
Sebanyak 10-15% industri berperan dalam memberikan dampak pencemaran
udara, terutama di kota-kota Industri di Indonesia. Kota Cilegon merupakan salah
satu kota industri di Indonesia dan menjadi pusat industri di kawasan Banten
bagian barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pertumbuhan
indutri di kawasan Industri Cilegon sangat pesat dan berpengaruh secara
signifikan terhadap perubahan pola tata guna lahan, konversi lahan terbangun dan
dinamika sosial kemasyarakatan selama kurun waktu 1998-2007 (Fatah 2009).
Telah terjadi potensi terdegradasinya mutu lingkungan sekitar kawasan industri
Cilegon, dilihat dari adanya indikasi telah terjadinya ketidaksesuaian konversi
lahan terbangun, berkurangnya ruang terbuka hijau, serta menurunnya kualitas
lingkungan akibat adanya potensi pencemaran limbah industri yang telah
melampaui baku mutu di berbagai wilayah, khususnya di sekitar Kawasan Industri
Krakatau Kota Cilegon. Menurut Rachmat (2014) kondisi udara di kawasan Kec.
Ciwandan Kota Cilegon yang berdampingan dengan Kawasan Industri Krakatau
secara langsung menyebabkan semakin banyaknya warga yang mengalami Infeksi
Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Hal ini menunjukkan bahwa buruknya kualitas
udara yang ada di sekitar kawasan industri tersebut disebabkan oleh pencemaran
udara.
Strategi dalam mengurangi masalah pencemaran udara ini dapat dilakukan
dalam berbagai pendekatan, yaitu pendekatan teknologi, pendekatan kelembagaan
atau hukum, pendekatan ekonomi, dan pendekatan ekologi. Pendekatan teknologi
dilakukan dengan mengurangi pada sumber polutan, penggunaan mesin dan
kendaraan dengan emisi rendah, penggunaan bahan bakar beremisi rendah serta
mengendalikan difusi ke udara. Pendekatan secara kelembagaan atau hukum yaitu
dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No 41
tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Pendekatan ekonomi
dengan menetapkan insentif dan pinalti, pajak input dan output produksi, ongkos
emisi dan izin perdagangan. Pendekatan ekologi dengan memaksimumkan
peranan vegetasi dalam mengurangi polutan, yaitu dengan pengadaan ruang
terbuka hijau.
Pengadaan ruang terbuka hijau berupa taman, jalur hijau, kebun, pekarangan,
atau hutan kota merupakan alternatif untuk mengurangi pencemaran udara. Secara
ekologis unsur alam sebagai pembentuk RTH seperti vegetasi dapat meningkatkan
kualitas lingkungan, terutama dalam memperbaiki iklim mikro atau ameliorasi
iklim, penyerapan polusi udara (terutama CO2) dan produksi O2 yang sangat
diperlukan oleh manusia dalam pernapasan (Ismaun 2008). Dengan adanya ruang
terbuka hijau, udara akan dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan
(menempel pada daun) dan serapan (masuk ke dalam sel daun). Bila dalam waktu
lama tidak terjadi hujan maka kosentrasi gas pencemar udara makin meningkat.
Vegetasi akan menyerap dan menjerap polutan yang dihasilkan melalui daun.
2
Vegetasi berperan efektif dalam menyerap (absorbsi) polutan udara dan mampu
membersihkan polutan tersebut dari udara.
Tanaman yang digunakan sebagai elemen ruang terbuka hijau harus efektif
menyerap gas pencemar udara dalam jumlah relatif besar tanpa mengalami
gangguan fisiologis yang berarti pada tanaman tersebut (Udayana 2004).
Kemampuan tanaman menyerap pencemar udara bervariasi, dipengaruhi oleh
jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan
faktor pertumbuhan tanaman (Wilmer 1986). Toleransi tanaman terhadap
pencemar udara merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan
jenis tanaman sebagai elemen ruang terbuka hijau. Jika tanaman toleran terhadap
pencemar udara maka fungsi tanaman sebagai agen pereduksi pencemar udara
dapat berjalan baik dengan tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang optimum. Tingkat toleransi tanaman terhadap polusi
akibat perubahan dalam parameter, biasanya diukur dan dikorelasikan dengan
tingkat respons tanaman (Bora dan Joshi 2014). Respons stress tanaman dapat
dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu pertumbuhan, fisiologi, dan biologi molekuler
(Oguntimehin et al. 2010). Oleh karena itu perlu dikaji tingkat toleransi spesiesjenis tanaman terhadap pencemaran udara secara makroskopis, mikroskopis, dan
fisiologis.
Indeks toleransi tanaman terhadap polusi udara (APTI) dapat dipergunakan
oleh para ahli lanskap sebagai salah satu kriteria seleksi tanaman yang tahan
terhadap polusi udara (Liu dan Ding 2008, Rai et al. 2013). Namun, metode
dengan APTI ini memiliki kekurangan, yakni hasil yang diperoleh antara
pengamatan secara makroskopis dan fisiologis tidak bersesuaian (Udayana 2004,
Sulistijorini et al. 2008), maka perlu diteliti parameter tambahan pada pengamatan
fisiologis, yaitu karbohidrat total dalam tanaman. Kadar karbohidrat total ini perlu
diteliti karena merupakan hasil dari proses fotosintesis tanaman. Pencemaran
udara secara tidak langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan
perubahan terhadap hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Kovacs (1992) menyatakan bahwa tanaman-tanaman
dapat tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif,
sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan
pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada
kelompok ini akan cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari
proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti pendukung, menangkal terhadap
reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga menyebabkan pengurangan
kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya. Tanaman lebih cenderung
menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis untuk berbagai
fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak produktif sehingga
menyebabkan penurunan kecepatan tanaman dari potensi maksimumnya. Oleh
karena itu, dengan penambahan parameter karbohidrat total dalam pengamatan
fisiologis ini, maka akan didapatkan tingkat toleransi yang lebih akurat sebagai
acuan dalam menentukan jenis tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara.
Perumusan Masalah
Perkembangan industri di Indonesia mengakibatkan berbagai masalah, salah
satunya adalah pencemaran udara. Pencemaran udara ini tentunya membuat
3
kualitas udara menurun sehingga turut mendatangkan kerusakan lingkungan,
seperti hujan asam, gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta kerusakan
pada tanaman. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi untuk mengurangi masalah
polusi udara, salah satunya adalah dengan pendekatan ekologi, yaitu
memaksimumkan peran vegetasi dalam mengurangi polutan. Vegetasi
mengurangi polusi udara dengan cara absorbsi, adsorpsi, difusi, dan
deposisi. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat dijadikan sebagai pelindung
atau pereduksi polutan karena sifat genetis setiap tanaman berbeda, terutama
ketahanannya terhadap polutan. Toleransi jenis tanaman merupakan gambaran
ketahanan tanaman terhadap pencemar. Tanaman yang tidak tahan terhadap
pencemar akan menunjukkan gejala kerusakan dan dapat diamati secara
makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis. Gejala kerusakan daun timbul karena
terdapat gangguan dalam proses fisiologi tanaman. Dengan demikian, toleransi
tanaman terhadap pencemar udara dapat dinilai berdasarkan perubahan parameter
fisiologi berupa kandungan asam askorbat total, klorofil total, pH ekstrak daun,
serta kadar air daun yang dihitung menurut formulasi APTI (Singh et al. 1991).
Namun, formulasi APTI ini masih terdapat kekurangan, yaitu hasil yang diperoleh
antara pengamatan secara makroskopis dan fisiologi tidak bersesuaian, maka perlu
diteliti parameter tambahan pada pengamatan fisiologi, yaitu karbohidrat total
dalam tanaman. Karbohidrat total ini perlu diteliti karena merupakan salah satu
hasil utama dari proses fotosintesis tanaman. Oleh karena itu, untuk melihat
tingkat toleransi tanaman terhadap polusi udara akibat aktivitas industri, maka
permasalahan yang perlu dikaji adalah:
1. Bagaimana perbandingan tingkat toleransi setiap jenis tanaman yang
dihasilkan antara metode APTI (Singh et al. 1991) dan RGR (Sulistijorini et
al. 2008)?
2. Apakah karbohidrat total pada tanaman berpengaruh terhadap tingkat toleransi
tanaman, dan bagaimana perbandingannya dengan hasil pengamatan secara
makroskopis?
3. Bagaimana hasil modifikasi formulasi APTI dengan ditambahkannya
parameter karbohidrat total di dalamnya?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. menganalisis tingkat toleransi spesies pohon terhadap pencemaran udara di
kawasan industri yang diukur secara makroskopis, mikroskopis serta
fisiologis,
2. mengkaji kandungan karbohidrat sebagai parameter fisiologis yang sensitif
menunjukkan tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, dan
3. menyusun rekomendasi konsep penanaman di Kawasan Industri Krakatau
Kota Cilegon.
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan daftar nama jenis tanaman
yang toleran terhadap pencemaran udara, mengetahui tanaman yang dapat
digunakan sebagai bioindikator polusi udara, serta menghindari penggunaan
4
tanaman yang tidak toleran pada lingkungan berpolusi udara. Selain itu, hasil
penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai masukan atau rekomendasi untuk
perencanaan ruang terbuka hijau terutama di kawasan industri.
Ruang Lingkup Penelitian
Batasan penelitian meliputi lingkup kajian dan lingkup wilayah kajian.
Lingkup kajian penelitian ini dibatasi pada kajian toleransi tanaman terhadap
pencemaran udara yang diakibatkan oleh limbah gas hasil dari industri. Jenis
tanaman yang dikaji adalah spesies pohon pada tapak yang terpapar polusi dari
kawasan industri. Lingkup wilayah kajian adalah pada kawasan industri di Kota
Cilegon.
Gambar 1 Kerangka pikir penelitian
5
TINJAUAN PUSTAKA
Kawasan Industri
Industri merupakan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah
barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi.
Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur
(manufacturing), padahal pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut
semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan
komersial. Disebabkan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam
industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju
tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak
jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha
tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda.
Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu
berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi
yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara
tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi,
maka semakin beranekaragam jenis industrinya.
Kata kawasan adalah kata yang diadopsi dari bahasa lain, menurut bahasa
Inggris kata kawasan lebih tepat dipinjam dari kata “Area” yang berarti “Scope or
range of activity” yang terjemahan bebasnya adalah “daerah yang dipakai untuk
suatu kegiatan”. Kawasan menurut kamus bahasa Indonesia adalah “Daerah”
sedangkan daerah berarti wilayah. Dengan demikian kawasan menurut
pemahaman umum adalah sebuah kawasan yang diperuntukkan bagi suatu
kepentingan tertentu. Kawasan industri adalah sebuah kawasan yang
diperuntukkan bagi kemanfaatan manusia, tetapi di sisi lain, adalah adanya
persoalan mulai adanya kegiatan yang telah membuat keseimbangan
ekosistemnya menjadi terganggu yang disebabkan oleh penebangan pohon, dan
pemotongan-pemotongan wilayah dataran tinggi (Hartono 2007).
Sesuai dengan Keppres 53 tahun 1989 yang telah diperbaiki dengan
Keppres 41 tahun 1996 pengertian Kawasan Industri adalah kawasan tempat
pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana
penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri
yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Terminologi Kawasan Industri
di Indonesia sering disebut dengan istilah Industrial Estate sementara di beberapa
negara digunakan istilah Industrial Park.
Berdasarkan pengertian di atas, suatu lokasi dapat menggunakan istilah
Industrial Estate atau Industrial Park, harus memenuhi 2 ciri utama, yaitu :
1. Lahan yang disiapkan sudah dilengkapi prasarana dan sarana penunjang
2. Terhadap lahan yang dipersiapkan tersebut terdapat suatu badan/manajemen
pengelola yang telah memiliki izin usaha sebagai Kawasan Industri
Jenis dan Sumber Polutan di Kawasan Industri
Umumnya, limbah gas dari industri bersumber dari penggunaan bahan baku,
proses, dan hasil serta sisa pembakaran. Ketika pengolahan pendahuluan, limbah
6
gas maupun partikel timbul karena perlakuan bahan-bahan sebelum diproses
lanjut. Limbah yang terjadi disebabkan berbagai hal antara lain; karena reaksi
kimia, kebocoran gas, hancuran bahan-bahan dan lain-lain. Ketika proses
pengolahan, gas juga timbul sebagai akibat reaksi kimia maupun fisika. Sebagian
besar gas maupun partikel terjadi pada ruang pembakaran, sebagai sisa yang tidak
dapat dihindarkan dan karenanya harus dilepaskan melalui cerobong asap. Banyak
jenis gas dan partikel gas lepas dari pabrik melalui cerobong asap ataupun
penangkap debu harus ditekan sekecil mungkin dalam upaya mencegah kerusakan
lingkungan. Jenis industri semacam ini akumulasinya di udara dipengaruhi arah
angin, tetapi karena sumbernya bersifat stationer maka lingkungan sekitar
menerima resiko yang sangat tinggi dampak pencemaran. Oleh karena itu,
konsentrasi bahan pencemar dalam udara perlu ditetapkan sehingga tidak
menimbulkan gangguan terhadap manusia dan makhluk lain sekitarnya. Jenis
industri yang menjadi sumber pencemaran melalui udara dapat dilihat pada Tabel
1.
Tabel 1 Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri
No.
Jenis Industri
1
Pupuk
2
6
Pangan (ikan,
daging, minyak
makan, dsb)
Pertambangan
(mineral), semen,
aspal, kapur, batu
bara, karbida, serat
gelas
Metalurgi
(tembaga, bajaseng, timah hitam,
aluminium)
Kimia (sulfat, serat
rayon PVC,
ammonia, cat, dan
lain-lain)
Pulp
7
Logam dasar
8
Produk logam
fabrikasi
3
4
5
Sifat Kegiatan
Proses stripping, pembulir
dan sintesa pabrik amoniak
Penjagalan, pengasapan,
fermentasi, penggilingan,
pengalengan
Penggalian dan peleburan
mineral, besi dan bijih
logam pengilangan minyak
Proses korosi lead bearing
alloys
Pembuatan bahan kimia,
produk petrokimia, kimia
berat, serat rayon, plastik
Proses pembuatan kertas
Peleburan bijih besi, baja,
pembuatan campuran baja,
peleburan baja atau logam
lain, besi tulang
Peralatan pemanas dan
plambing, alat kerja,
penerangan, besi/baja
struktur, seng
Jenis Polutan
Uap asam, NH3, bau,
partikel
Hidrokarbon, bau,
partikel, CO, H2S,
uap asam
NOx, Sox, CO,
hidrokarbon, bau,
partikel, asap logam,
uap bahan minyak,
kabut, mercaptan
NOx, SO, CO,
hidrokarbon, H2S,
Chlor, Pb, bau,
partikel
Hidrokarbon, CO,
NH3, bau, partikel
SOx, CO, NH3, H2S,
bau
Asap oksida logam,
CO, asap, debu, abu
peleburan, SOx, Pb,
asap Ar dan Cu
Asap logam dan
debu peleburan,
solvent, uap
penyepuhan,
protective coating,
kabut
7
Tabel 1 Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri (lanjutan)
No.
Jenis Industri
9
Produk kayu
Sifat Kegiatan
Penggergajian, plywood,
kotak furniture
10
Mineral (gelas,
keramik, batu)
11
Tekstil
Pembuatan bahan galian
(gelas, keramik, semen,
asbestos) melalui proses
mekanik (Penggerusan,
pencampuran, penapisan,
pembakaran, pengeringan)
Pembuatan serat, kain,
proses pemintalan,
pencelupan, pencetakan
12
Pembangkit listrik
tenaga uap
berbahan bakar
batubara
Pengolahan limbah
B3
13
Pembakaran dan pemecahan
batubara
Jenis Polutan
Debu halus
penggergajian, cat
dam solvent, asap
Debu bahan baku
dan proses, asap
logam peleburan
Serat halus, uap
organik, kabut, asap,
pembakaran bahan
bakar
CO, NOx, Sox,
partikel
Insinerasi (pembakaran hasil Partikel, karbon
pengolahan limbah B3)
monoksida (CO),
belerang oksida
(SO2), dan uap air
Sumber: USEPA (1976), Dwiputri (2012), Irianti (2010), Susilo (2006)
Jenis gas yang bersifat racun antara lain SO2, CO, NO, timah hitam,
amoniak, asam sulfida dan hidrokarbon. Pencemaran yang terjadi dalam udara
dapat merupakan reaksi antara dua atau lebih zat pencemar. Misalnya reaksi
fotokimia, yaitu reaksi yang terjadi karena bantuan sinar ultra violet dari sinar
matahari. Kemudian reaksi oksidasi gas dengan partikel logam dengan udara
sebagai katalisator.
Pencemar udara juga dibedakan menjadi pencemar primer dan pencemar
sekunder. Pencemar primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung
dari sumber pencemaran udara. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar
yang terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer. Beberapa
macam bahan pencemar udara adalah sebagai berikut (Arief 2013):
1. Karbon monoksida (CO)
Pencemaran karbon monoksida berasal dari sumber alami seperti: kebakaran
hutan, oksidasi dari terpene yang diemisikan hutan ke atmosfer, produksi CO oleh
vegetasi dan kehidupan di laut. Sumber CO lainnya berasal dari sumber
antropogenik yaitu hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memberikan
sumbangan 78.5% dari emisi total. Pencemaran dari sumber antropogenik 55.3%
berasal dari pembakaran bensin pada otomotif.
2. Oksida Nitrogen (NOx)
Oksida nitrogen lazim dikenal dengan NO bersumber dari instalasi
pembakaran pabrik dan minyak bumi. Dalam udara, NO dioksidasi menjadi NO2
dan bila bereaksi dengan hidrokarbon yang terdapat dalam udara akan membentuk
asap. NO2 akan berpengaruh terhadap tanam-tanaman dan sekaligus menghambat
pertumbuhan. Pabrik yang menghasilkan NO di antaranya adalah pabrik pulp dan
8
rayon, almunium, turbin gas, nitrat, bahan peledak, semen, galas, batubara, timah
hitam, dan peleburan magnesium. Cemaran nitrogen oksida yang penting berasal
dari sumber antropogenik yaitu: NO dan NO2. Sumbangan sumber antropogenik
terhadap emisi total ± 10.6%.
3. Sulfur oksida (SOx)
Senyawa sulfur di atmosfer terdiri dari H2S, merkaptan, SO2, SO3, H2SO4,
garam-garam sulfit, garam-garam sulfat, dan aerosol sulfur organik. Dari cemaran
tersebut yang paling penting adalah SO2 yang memberikan sumbangan ± 50% dari
emisi total. Cemaran garam sulfat dan sulfit dalam bentuk aerosol yang berasal
dari percikan air laut memberikan sumbangan 15% dari emisi total. Dengan air,
gas SO2 membentuk asam sulfat dan dalam udara tidak stabil. Sumber gas SO2
adalah pabrik belerang, pengecoran biji logam, pabrik asam sulfat, pabrik semen,
peleburan tembaga, timah hitam dan lain-lain.
4. Amonia
Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini
didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Amonia
mendidih di suhu -33°C sehingga cairan amonia harus disimpan dalam tekanan
tinggi atau temperatur amat rendah. Walaupun begitu, kalor penguapannya amat
tinggi sehingga dapat ditangani dengan tabung reaksi biasa di dalam sungkup asap.
5. Hidrokarbon (HC)
Cemaran hidrokarbon yang paling penting adalah CH4 (metana) ± 86% dari
emisi total hidrokarbon yang berasal dari sawah 11%, dari rawa 34%, hutan tropis
36%, pertambangan dan lain-lain 5%. Cemaran hidrokarbon lain yang cukup
penting adalah emisi terpene (α-pinena β-pinena, mirsena, d-Iimonena) dari
tanaman ± 9.2 % emisi hidrokarbon total. Sumbangan emisi hidrokarbon dari
sumber antropogenik 5% lebih kecil daripada yang berasal dari pembakaran
bensin 1.8%, dari insinerasi dan penguapan solvent 1.9%.
6. Metana (CH4)
Metana merupakan cemaran gas yang bersama-sama dengan CO2, CFC, dan
N2O menyebabkan efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global.
Sumber cemaran CH4 adalah sawah (11%), rawa (34%), hutan tropis (36%),
pertambangan dan lain-lain (5%). Ketika terjadi efek rumah kaca, sinar matahari
yang masuk ke atmosfer sekitar 51% diserap oleh permukaan bumi dan sebagian
disebarkan serta dipantulkan dalam bentuk radiasi panjang gelombang pendek
(30%) dan sebagian dalam bentuk radiasi inframerah (70%). Radiasi inframerah
yang dipancarkan oleh permukaan bumi tertahan oleh awan. Gas-gas CH4, CFC,
N2O, CO2 yang berada di atmosfer mengakibatkan radiasi inframerah yang
tertahan akan meningkat yang pada gilirannya akan mengakibatkan pemanasan
global.
7. Ozon
Ozon dengan rumus molekul O3 disebut oksidan merpakan reaksi foto
kimiawi antara NO2 dengan hidrokarbon karena pengaruh ultra violet sinar
matahari. Sifat ozon merusak daun tumbuh-tanaman, tekstil dan melunturkan
warna. Reaksi pembentukan ozon sebagai berikut:
9
Ozon merupakan polutan sekunder yang terdiri dari beratus-ratus zat
kimiawi yang terdapat dalam asap kabut, terbentuk ketika hidrokarbon pekat
bereaksi dengan oksida nitrogen. Ozon terbentuk di udara pada ketinggian 30 km
dimana radiasi UV matahari dengan panjang gelombang 242 nm secara perlahan
memecah molekul oksigen (O2) menjadi atom oksigen tergantung dari jumlah
molekul O2 atom-atom oksigen secara cepat membentuk ozon. Ozon menyerap
radiasi sinar matahari dengan kuat didaerah panjang gelombang 240-320 nm.
8. Fluorida
Fluorida adalah racun bersifat kumulatif dan dapat berkembang di atmosfer
karena amat reaktif. Dalam bentuk fluorine, zat ini tidak dihisap tanah tapi
langsung masuk ke dalam daun-daun menyebabkan daun berwarna kuning
kecoklatan. Binatang yang memakan daunan tersebut bisa menderita penyakit gigi
rontok. Pabrik yang menjadi sumber fluor antara lain pabrik pengecoran
aluminium, pabrik pupuk, pembakaran batubara, pengecoran baja dan lainnya.
9. Partikulat
Cemaran partikulat meliputi partikel dari ukuran molekul s/d > 10 μm.
Partikel dengan ukuran > 10 μm akan diendapkan secara gravitasi dari atmosfer,
dan ukuran yang lebih kecil dari 0.1 μm pada umumnya tidak menyebabkan
masalah lingkungan. Oleh karena itu, cemaran partikulat yang penting adalah
dengan kisaran ukuran 0.1-10 μm. Sumber utama partikulat adalah pembakaran
bahan bakar ± 13%-59% dan insinerasi.
Partikel merupakan zat dispersi terdapat dalam atmosfer berbagai larutan,
mempunyai sifat fisis dan kimia. Partikel dalam udara terdiri dari: asap,
merupakan hasil dari suatu pembakaran; debu, partikel kecil dengan diameter 1
mikron; kabut, partikel cairan dengan garis tengah tertentu; aerosol, merupakan
inti dari kondensasi uap; fume, merupakan hasil penguapan.
10. Asap kabut fotokimia
Asap kabut merupakan cemaran hasil reaksi fotokimia antara O3,
hidrokarbon dan NOx membentuk senyawa baru aldehida (RHCO) dan Peroxy
Acil Nitrat (PAN) (RCNO5).
11. Hujan asam
Dua gas yang dihasilkan dari pembakaran mesin kendaraan serta
pembangkit listrik tenaga diesel dan batubara yang utama adalah sulfur dioksida
(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2). Gas yang dihasilkan tersebut bereaksi di udara
membentuk asam yang jatuh ke bumi bersama dengan hujan dan salju. Misalnya,
sulfur dioksida berreaksi dengan oksigen membentuk sulfur trioksida.
2 SO2 + O2 → 2 SO3
Sulfur trioksida kemudian bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat.
SO3 + H2O → H2SO4
Uap air yang telah mengandung asam ini menjadi bagian dari awan yang akhirnya
turun ke bumi sebagai hujan asam atau salju asam.
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara merupakan kemampuan
tanaman dalam merespon tekanan lingkungan yang ekstrem dari kondisi normal
dalam hal ini adalah pencemaran udara, dan mampu menghindari seluruh tekanan
tersebut serta memperbaiki kerusakan yang terjadi, sehingga paling tidak proses
10
metabolisme dapat dilindungi. Kemampuan tanaman menyerap pencemar udara
bervariasi, dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas tanaman
terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Wilmer 1986). Respons
stress tanaman dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu pertumbuhan, fisiologi,
dan biologi molekuler (Oguntimehin et al. 2010). Oleh karena itu, toleransi
tanaman terhadap pencemaran udara dapat dilihat secara makroskopis,
mikroskopis, dan fisiologis.
Makroskopis
Tinggi tanaman dapat menjadi salah satu indikator respon tanaman terhadap
bahan pencemar udara seperti yang dilaporkan Pandey dan Agrawal (1994) yang
menunjukkan terjadinya reduksi tinggi tanaman, diameter batang, biomassa
tanaman, dan jumlah daun dari tanaman-tanaman di lingkungan urban. Namun
demikian parameter pertambahan tinggi tanaman saja tidak cukup untuk menduga
respon tanaman terhadap pencemar udara. Pertumbuhan tanaman berdasarkan
pertambahan luas daun relatif merupakan indikator yang lebih baik sebagai respon
terhadap pencemar udara. Jika pada kondisi terpolusi tanaman mempunyai
pertambahan luas daun yang tinggi, maka kemampuan untuk menyerap pencemar
udara diharapkan juga lebih besar. Pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan
luas daun (RGR) yang berbeda antar jenis tanaman menunjukkan terdapat perbedaan
respon tiap jenis tanaman terhadap pencemar udara (Sulistijorini et al. 2008).
Berdasarkan Wuytack et al. (2011), luas daun spesifik atau specific leaf area
(SLA) dapat digunakan sebagai alat biologis untuk me-monitoring tingkat polusi
udara sedangkan leaf area fluctuating assymetric (FAA) tidak dapat digunakan
terutama untuk menganalisis polusi udara berkonsentrasi rendah. Namun, nilai
SLA ini pengaruhnya akan berbeda pada setiap tanaman karena bergantung
spesies dan berhubungan dengan mekanisme adaptasi dan proteksi tanaman itu
sendiri.
Mikroskopis
a. Stomata
Perubahan dalam ukuran pori stomata disebabkan oleh perubahan dalam
keseimbangan turgor antara sel-sel penutup dan sel tetangga atau sel-sel epidermis
yang berdekatan (Goldsworthy dan Fisher 1992). Suatu kenaikan turgor dalam sel
penutup atau suatu penurunan turgor dalam sel tetangga menghasilkan pembukaan
stomata melalui gerakan menjauhnya dinding-dinding antiklial sel penutup.
Pengaruh polusi udara terhadap parameter kerapatan stomata pada permukaan
abaksial daun menunjukkan respon yang bervariasi. Pembukaan stomata
berkurang bila kadar CO2 ruang-ruang antarsel bertambah. Apabila fotosintesis
bersih berkurang, kadar CO2 di ruang antar sel meningkat dan tahanan stomata
akan meningkat. Hal ini akan mengurangi transpirasi dan juga mempertahankan
kadar air. Sebaliknya, apabila fotosintesis bersih meningkat, maka terjadi
penurunan dalam CO2 di ruang antar sel akan menyebabkan terbukanya stomata.
Menurut Grey dan Deneke (1978), jenis tanaman dengan kerapatan stomata sangat
tinggi memiliki potensi sebagai agen untuk mengurangi polusi udara.
b. Jaringan
Peningkatan tebal daun dan palisade merupakan respon detoksifikasi
terhadap pencemar udara (Udayana 2004). Saat proses detoksifikasi terhadap
paparan ozon, setelah terjadi difusi melalui stomata pada permukaan abaksial
daun, ozon atau hasil reaksinya menembus ke dalam rongga udara, berpindah
11
melalui dinding sel dan membran sel yang akhirnya mencapai organel-organel sel
(kloroplas dan mitokondria). Reaktifitas terhadap ozon pada daun-daun tebal
tinggi dan mekanisme detoksifikasi diduga menekan pengaruh ozon yang
berbahaya sebelum mencapai jaringan palisade sebagai tempat berlangsungnya
fotosintesis.Selain mengalami penurunan tebal palisade, paparan lebih dari satu
jenis polutan memberikan kerusakan jaringan yang lebih berat dibandingkan
dengan satu jenis polutan (Wilmer 1983). Kerusakan yang terjadi pada jaringan
palisade dan bunga karang mengakibatkan hilangnya kloroplas pada jaringan
tersebut sehingga menghambat proses fotosintesis. Kerusakan ini terjadi diawali
oleh penyerapan polutan melalui stomata selanjutnya polutan bereaksi dengan selsel lainnya hingga terjadi kerusakan. Epidermis merupakan target pertama polutan
setelah melewati stomata, kemudian memasuki ruang interselular, bereaksi
dengan permukaan air sel daun dan mempengaruhi pH sel dan akhirnya terjadi
kerusakan pada sel.
Fisiologis
Gejala kerusakan daun timbul karena terdapat gangguan dalam proses
fisiologi tanaman. Dengan demikian, toleransi tanaman terhadap pencemar udara
dapat dinilai berdasarkan perubahan parameter fisiologi berupa kandungan asam
askorbat total, klorofil total, pH ekstrak daun, serta kadar air daun yang dihitung
menurut formulasi APTI (Singh et al. 1991).
a. Asam askorbat
L-asam askorbat (vitamin C) merupakan vitamin penting dalam diet
manusia dan tersedia melimpah dalam jaringan tanaman (Noctor dan Foyer 2005).
Daun-daun hijau mengandung askorbat sama banyaknya dengan klorofil.
Askorbat berperan penting dalam beberapa proses fisiologis tanaman diantaranya
adalah pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. Selain itu askorbat juga
berfungsi sebagai pereduktor untuk beberapa radikal bebas sehingga dapat
meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh oxidative stress (Mc Kersie dan
Leshem 1994). Askorbat dapat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan
ruang ekstra seluler sel. Sekitar 20-40 % askorbat di dalam mesofil berada dalam
kloroplas. Kloroplas mengandung banyak enzim yang dapat mereduksi askorbat
dari bentuk teroksidasi (Mc Kersie dan Leshem 1994). Tanaman yang toleran
terhadap polusi udara memiliki kandungan asam askorbat tinggi karena asam
askorbat memiliki fungsi sebagai anti oksidan atau reduktor kuat yang dapat
mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Lima et al. 2000; Rai et al. 2013). Jika
reaksi oksidasi sampai berlangsung, maka akan terbentuk senyawa yang dapat
meracuni tanaman. Asam askorbat banyak dimanfaatkan dalam metabolisme sel,
dibutuhkan untuk sintesis.
b. Klorofil
Kadar klorofil pada tanaman berpengaruh langsung terhadap aktifitas
fotosintesis dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan biomassa. Kadar klorofil dalam tanaman bervariasi dari satu
spesies dan spesies lainnya bergantung umur daun, tingkat polusi seperti halnya
kondisi biotik dan abiotik lainnya. Keberadaan polutan dapat menurunkan
kandungan klorofil karena masuknya polutan pada daun dapat mengakibatkan
rusaknya kutikula sehingga respirasi terhambat dan proses fotosintesis juga
terhambat. Jenis tanaman yang toleran, kandungan klorofil yang dimiliki tinggi
karena secara fisiologis tanaman dapat menolak atau menetralkan polutan sehngga
12
tidak merusak klorofil. Carter dan Knapp (2001) menyatakan bahwa bahan
pencemar dapat menginduksi pengurangan klorofil.
c. pH
Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi indikator toleransi tanaman
karena pH berperan penting dalam berbagai reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan
Radin (1989) menyatakan bahwa pH merupakan media respon fisiologi terhadap
kondisi stress. Tanaman yang toleran memiliki pH daun yang cukup tinggi
(sekitar 6-7) walaupun dalam kondisi terpolusi. Penyerapan gas SO2 melalui
stomata dalam konsentrasi yang tinggi diduga menyebabkan terjadinya proses
asidifikasi dalam tanaman. Proses asidifikasi menyebabkan turunnya pH dalam
sitoplasma (Marcshner 1995). Untuk menstabilkan pH dalam sitoplasma tetap
dalam kisaran yang optimum, maka terjadi pembongkaran asam organik
(dekarboksilasi). Terjadinya proses dekarboksilasi berarti mengurangi hasil
fotosintesis, yang tercermin dalam pertambahan luas daun tanaman terpolusi lebih
rendah daripada tanaman kontrol (tidak terpolusi) (Sulistijorini et al. 2008).
d. Kadar air
Konsentrasi polutan udara yang tinggi dapat mengakibatkan tanaman
mengalami defisit air sehingga tanaman tampak layu. Kandungan air relatif
berkaitan dengan permeabilitas sel (Oleinikova 1969 dalam Singh et al. 1991),
polutan udara dapat meningkatkan permeabilitas sel yang disebabkan oleh
kehilangan air dan terlarutnya bahan nutrisi, akibatnya daun cepat mengalami
senescene (Masuch et al. 1988 dalam Singh et al. 1991) sehingga dimungkinkan
tanaman yang memiliki kandungan air relatif tinggi dalam kondisi terpapar polusi
akan toleran terhadap polutan. Pembukaan stomata biasanya mengecil bila
potensial air daun menurun (menjadi lebih negatif). Perubahan pembukaan ini
biasanya dianggap disebabkan oleh kenaikan kadar asam absisat. Bila kekurangan
air secara cepat, seperti yang terjadi pada tanaman yang ditanam dalam pot-pot
kecil, stomata dapat tetap terbuka lebar sementara potensial air daun berkurang
dari tingkatnya yang lebih tinggi sebelum stomata mulai menutup, atau segera
mulai menutup begitu ada penurunan yang berarti dalam potensial air.
e. Karbohidrat
Selain keempat parameter fisiologis yang dipaparkan oleh Singh et al.
(1991), terdapat satu parameter fisiologis yang juga dapat mempengaruhi tingkat
toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, yaitu karbohidrat. karbohidrat
merupakan produk utama dari proses fotosintesis. Pencemaran udara secara tidak
langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan terhadap
hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada
konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan
menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman
kontrol. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Kovacs (1992) yang
menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada
di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan
beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut
dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan
karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti
pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga
menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya.
13
METODE
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan industri PT Krakatau Industrial Estate
Cilegon, Kota Cilegon, Banten (Gambar 2). Secara geografis, terletak pada
5°59'27.95"-6°0'33.78"LS dan 105°59'31.46"-106°2'10.36" BT. Penelitian
dilakukan mulai bulan April sampai dengan Juni 2015. Pengambilan sampel
dilakukan pada dua lokasi, yaitu pada tempat yang terpapar polusi dan tempat
yang bebas polusi (kontrol). Sampel yang terpapar polusi diambil di kawasan
industri yang memiliki tingkat polusi tertinggi, dan sebagai pembanding, sampel
yang tidak terpapar polusi diambil pada area dengan tingkat polusi rendah, yaitu
di permukiman penduduk, kawasan hotel, dan golf.
Gambar 2 Lokasi penelitian
Sumber: google earth (dengan modifikasi)
Prosedur Analisis Data
Tingkat toleransi tanaman diteliti dengan pengamatan secara makroskopis
mikroskopis, dan fisiologis. Pengamatan secara makroskopis yaitu mengamati
dampak polutan secara morfologi jenis tanaman yang terpapar polusi dengan
parameter luas daun, jumlah daun serta warna daun. Pengamatan mikroskopis
dengan parameter anatomi daun (kerapatan stomata, tebal daun, dan tebal
14
palisade). Pengamatan secara fisiologis diteliti dengan mengukur komponen APTI
(Air Pollution Tolerance Index) dengan parameter yang diamati adalah asam
askorbat, kandungan klorofil, pH daun, dan kadar air serta tambahan parameter
yaitu karbohidrat total. Selain itu, dilakukan pengukuran kualitas udara untuk
mengetahui tingkat pencemaran udara pada lokasi sampling.
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei terhadap
spesies pohon yang terdapat di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Data
yang digunakan meliputi data primer berupa jenis vegetasi yang ada pada tapak,
sumber polutan, konsentrasi polutan di tapak, luas daun, jumlah daun, warna
daun, anatomi daun, asam askorbat, kandungan klorofil, pH daun, kadar air dan
karbohidrat total, serta data sekunder konsentrasi polutan pada tapak data
klimatologi, jenis tanah dan topografi. Tahapan penelitian dapat dilihat pada
Gambar 3.
Gambar 3 Tahapan penelitian
1. Survei
Survei lapang dilakukan untuk menentukan lokasi, spesies pohon, dan letak
sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi, yaitu pada tempat yang
terpapar polusi dan bebas polusi (kontrol). Sampel yang terpapar polusi diambil di
kawasan industri yang memiliki tingkat polusi tertinggi, dan sebagai pembanding,
sampel yang tidak terpapar polusi diambil pada area dengan tingkat polusi rendah,
yaitu di permukiman penduduk, kawasan hotel, dan golf. Daun diambil di
kawasan industri, dan pohon dipilih yang mencapai ketinggian ≥ 3 meter di atas
permukaan tanah dan kedudukan daun terdapat pada kanopi terluar dengan tujuan
agar sampel yang diambil merupakan daun yang terpapar polusi dari kawasan
industri. Setiap pohon dipilih cabang atau ranting secara acak, daun yang diambil
berada ± 10-15 cm dari ujung ranting. Jumlah spesies pohon yang dipilih
15
sebanyak 10 pohon dengan pengulangan sebanyak tiga batang pohon setiap jenis
tanaman, dan setiap batang pohon diambil sebanyak tiga cabang. Sampel tanaman
yang diambil yaitu Acacia auriculiformis, Casuarina junghuhniana, Erythrina
crista-galli, Hibiscus tiliaceus, Leucaena leucocephala, Polyalthia fragrans,
Polyalthia longifolia, Pterocarpus indicus, Samanea saman, dan Swietenia
mahagoni.
2. Pengamatan makroskopis
Pengamatan yang dilakukan adalah mengukur pertumbuhan setiap jenis
tanaman dalam waktu dua bulan pengamatan, yaitu April sampai dengan Juni
2015 dengan pertimbangan kondisi iklim relatif kering pada bulan tersebut
sehingga tidak ada faktor tambahan (air relatif banyak saat musim penghujan)
yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pengamatan
dilakukan sebanyak tiga kali waktu, yaitu pada 9 April 2015, 9 Mei 2015, dan 9
Juni 2015. Parameter yang diamati sebagai berikut:
a. Pertambahan luas daun diukur setiap satu bulan hingga akhir pengamatan.
Luas daun diperoleh dengan cara menjiplak sampel daun, kecuali pada pohon
berdaun jarum tidak dilakukan pengukuran. Pengukuran selanjutnya dilakukan
pada sampel daun yang sama ditambah dengan daun yang baru terbentuk.
Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode fotografi kertas
millimeter transparan (Nugraha AN 2013). Permukaan daun ditempelkan pada
suatu alas papan, lalu kertas millimeter transparan diletakkan di atas
permukaan daun dan kemudian dipotret. Luas daun dihitung berdasarkan
jumlah kotak yang terdapat dalam pola daun, dengan perhitungan sebagai
berikut:
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑢𝑛 = 𝑛 𝑥 𝐿𝑘
keterangan :
n = jumlah kotak
Lk = luas setiap kotak
Ukuran luas kotak (Lk) yang digunakan sebagai acuan memiliki ketelitian 1
cm2 (ukuran kotak 1 cm x 1 cm). Kotak yang menutupi pola daun dimasukkan
dalam perhitungan apabila memiliki ukuran pola daun tertutupi > 0.5 ukuran
acuan, atau sama dengan 0.5 cm2.
Gambar 4 Pengukuran luas daun
b. Jumlah daun, diukur setiap satu bulan. Parameter jumlah daun diamati pada
tiap sampel tanaman utuh pada setiap waktu pengamatan. Daun yang dihitung
adalah daun telah membuka sempurna.
16
c. Warna daun
Kualitas penampakan warna dinilai dari warna daun sesuai dengan warnawarna pada Munsell Color Chart for Marketing and Merchandising dengan
berbagai tingkatan skor dan notasinya (Tabel 2). Perbandingan dilakukan antara
daun yang terpapar polusi dan kontrol pada setiap spesies.
Tabel 2 Skor, warna, dan notasi
Skor Warna
1
2
3
4
5
6
Warna
Kuning
Hijau kuning
Hijau muda
Hijau
Hijau tua
Hijau gelap
Notasi
2.5 Y L1
2.5 GY DL4
5 GY DL4
2.5 G DL1
2.5 G DL 2
2.5 G DK1
3. Pengamatan mikroskopis
Parameter yang dilihat untuk pengamatan mikroskopis adalah anatomi daun.
Pengamatan anatomi daun terdiri dari pembuatan preparat dengan irisan
paradermal untuk melihat pengaruh polusi udara terhadap kerapatan stomata dan
irisan transversal untuk melihat kerusakan pada jaringan daun (Udayana 2004).
Pengamatan anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tanaman
Departemen Biologi IPB.
Pembuatan preparat sayatan paradermal menggunakan metode whole mount
(Sass 1951). Beberapa helai daun yang telah dipetik segera difiksasi dalam
alkohol 70%. Setelah difiksasi, daun dicuci dengan akuades dan direndam dalam
asam nitrat 50-70% selama 10-30 menit. Selanjutnya daun dibilas akuades dan
dikerik menggunakan silet. Jaringan sel epidermis adaksial didapat dengan
melakukan pengerikan bagian abaksial daun, begitupun sebaliknya. Jaringan
epidermis berupa lapisan tipis yang telah diperoleh selanjutnya dicuci dengan
klorin hingga pigmen klorofilnya pudar kemudian dibilas dengan akuades hingga
bersih. Selanjutnya hasil sayatan direndam dalam pewarna safranin 1% kemudian
ditaruh di kaca preparat dengan ditambahkan sedikit gliserin kemudian ditutup
dengan cover glass. Selanjutnya dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop
Olympus CH12. Pengamatan jumlah dan ukuran stomata dilakukan dalam 3
bidang pandang berbeda dengan 3 kali ulangan. Kerapatan stomata dihitung
dengan rumus:
Kerapatan Stomata =
∑ 𝑠𝑡𝑜𝑚𝑎𝑡𝑎
𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔
Pembuatan preparat sayatan transversal menggunakan metode mikrotom
beku. Irisan melintang daun dibuat dengan bantuan mikrotom. Hasil irisan ditetesi
dengan klorin untuk menghilangkan klorofilnya kemudian dicuci dengan akuades,
lalu ditetesi dengan pewarna safranin 1%, selanjutnya dicuci lagi dengan aukades.
Setelah itu irisan diletakkan pada kaca preparat ditambah sedikit kuteks bening
sebagai perekat kemudian ditutup dengan cover glass. Selanjutnya dilakukan
pengamatan dengan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan
ukuran tebal daun, tebal palisade dilakukan sebanyak 3 kali ulangan.
17
4. Pengamatan fisiologis
Pengamatan fisiologi daun berupa analisis kandungan asam askorbat,
klorofil total, pH daun, kadar air, dan karbohidrat total. Analisis kandungan asam
askorbat dilakukan di Laboratorium Kimia Departemen Gizi Masyarakat IPB,
kandungan klorofil di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balittro),
pH daun, kadar air dan karbohidrat total dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB.
Pengambilan sampel daun segar dilakukan pada pagi hari di antara pukul
07.00-08.00 (Salama HMH et al. 2011). Pengukuran dilakukan pada pagi hari
karena laju fotosintesis hanya dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Pada
saat siang dan sore hari selain dipengaruhi oleh faktor sinar matahari juga
dipengaruhi oleh cekaman air daun dan bukaan stomata yang akan mempengaruhi
jumlah masukan gas CO2 (Kramer dan Kozlowski dalam Dahlan EN (2007)).
Sampel daun yang diambil berada pada ketinggian 1-2 m dari permukaan tanah
kemudian sampel daun langsung dibawa ke laboratorium dalam plastik, disimpan
dalam kotak es untuk analisis selanjutnya (Rai PK 2013).
Metode analisis setiap parameter fisiologis adalah sebagai berikut:
a. Asam askorbat
Kandungan asam askorbat ditentukan dengan metode yang dikembangkan
Reiss (1993) yang telah dimodifikasi. Kandungan asam askorbat diukur dengan
menggunakan metode titrasi. Sampel daun (0.5 g) digerus dengan asam
metafosforik 5% kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring Whatman
No. 1. Filtrat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan dichlorophenolindophenol (DCIP) 0.8 g/l. Larutan DCIP yang digunakan untuk titrasi
distandarisasi dengan larutan asam askorbat murni dengan cara titrasi. Sebanyak 1
ml larutan asam askorbat murni (4 mg/l) dan 9 ml asam metafosforik 5 %. Titrasi
dihentikan ketika terjadi perubahan warna menjadi merah muda.
b. Klorofil
Klorofil total daun (mg g-1) ditetapkan dengan metode spektrofotometri
sinar tampak (Arnon 1949). Sampel daun segar sebanyak 1 g dihaluskan dan
ditambah aceton 80% hingga jaringan menjadi homogen. Ekstrak dipindahkan ke
labu ukur 50 ml melalui kertas saring. Prosedur ekstrasi pada sisa jaringan
diulangi sehingga volume dalam labu ukur mencapai 50 ml. Selanjutnya 2.5 ml
larutan dimasukkan kedalam labu ukur 25 ml dan diencerkan hingga volume 25
ml hingga diperoleh supernatan. Selanjutnya supernatan diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm.
c. pH ekstrak daun
Derajat keasaman (pH) ekstrak daun diukur dengan pH meter (Singh dan
Rao 1983). Sampel daun segar yang telah dihaluskan sebanyak 5 g ditambah air
bebas ion sebanyak 50 ml dan pH suspensi diukur dengan pH meter.
d. Kadar air
Kadar air daun ditetapkan dengan metode oven (Sen dan Bhandari 1978).
Sampel daun sebanyak 5 g dioven pada suhu 80º C selama 2 x 24 jam dan bobot
keringnya konstan.
e. Karbohidrat total
Pengukuran karbohidrat total dilakukan dengan metode phenol-sulphuric
acid (Masuko et al. 2005). Sebanyak 10 ml sampel diambil kemudian
disentrifugasi 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan
10 ml buffer fosfat pH 7, disonikasi selama 4x1 menit. Kemudian sampel diambil
18
sebanyak 0.5 ml ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0.5 ml phenol dan 2.5 ml
asam sulfat, divortex agar homogen kemudian didiamkan selama 10 menit pada
suhu ruang. Tabung reaksi disimpan di waterbath pada suhu 40oC selama 20
menit. Blangko menggunakan 0.5 ml aquades ditambah phenol dan asam sulfat
dengan jumlah yang sama dengan sampel. Kandungan karbohidrat total sampel
diukur menggunakan spektofotometer pada panjang gelombang 490 nm.
5. Sampling udara dan analisis
Pengukuran konsentrasi udara ambien meliputi gas NO2, NH3, H2S, SO2,
partikel/debu, ozon, dan hidrokarbon. Pengukuran dan analisis kualitas udara
dilakukan oleh Laboratorium Terpadu IPB. Sampling dilakukan di dua titik, yaitu
area terpolusi di kawasan industri dan area tidak terpolusi (kontrol) di kawasan
permukiman penduduk pada pagi hari selama dua jam. Alat yang digunakan
untuk pengumpulan sampel udara adalah impinger untuk parameter gas (NO2,
NH3, H2S, SO2, ozon, dan hidrokarbon), dan high volume sampler (HVS) untuk
parameter partikel/debu.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 5 Sampling udara
(a) pengukuran di area terpolusi (b) pengukuran di area tidak terpolusi/kontrol (c)
impinger (d) high volume sampler (HVS)
Metode dan prinsip pengukuran ke tujuh parameter tersebut ditetapkan
sebagai berikut (Sulistijorini 2008):
a. Nitrogen dioksida (Metode Griess-saltzman).
Nitrogen dioksida di udara ambien diserap dalam larutan penyerap yang
mengandung asam sulfanilat dan N-(1-naftil)-etilen diamin dihidro klorida
membentuk senyawa berwarna merah muda. Intensitas warna yang terjadi diukur
pada panjang gelombang 550 nm.
b. Amonia (Metode Indofenol).
Amonia di udara diserap dengan larutan penyerap H2SO4 0.1 N. Amonia
akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk garan amonium. Garam amonium
yang terbentuk bereaksi dengan fenol dan hipoklorit membentuk senyawa
indofenol yang berwarna biru. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektro
fotometer pada panjang gelombang 640 nm.
c. Sulfur dioksida (Metode Pararosanilin).
Sulfur dioksida di udara diserap oleh kalium tetrakloro merkurat (TCM)
akan membentuk senyawa kompleks diklorosulfito merkurat. Selanjutnya
senyawa yang terbentuk direaksikan dengan pararosanilin dan formaldehide yang
akan membentuk senyawa kompleks pararosanilin metilsulfonat yang berwarna
19
merah ungu. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 548 nm.
d. Hidrogen sulfida (Metode Metilen blue).
Hidrogen sulfida di udara diserap oleh Zn-asetat 5%. Reaksi dengan larutan
diamin (0.15% (N,N-dimetil-1.4-fenilena diamonium diklorida) membentuk
metilen blue yang berwarna biru. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan
spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm.
e. Debu (Metode Gravimetri).
Kertas fiber filter yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu,
kemudian dalam keadaan kosong ditimbang. Selanjutnya kertas fiber diletakkan di
lapangan terbuka selama satu jam. Kertas filter dioven kembali. Selanjutnya
kertas fiber filter yang telah berisi debu ditimbang untuk mendapatkan bobot akhir
filter. Kandungan partikel debu dihitung dengan rumus:
(𝑊𝑓 − 𝑊𝑖)𝑥106
𝑃𝑎𝑟𝑡𝑖𝑘𝑒𝑙 𝑑𝑒𝑏𝑢 =
𝑉𝑡
Keterangan:
Partikel debu (μg m-3)
Wf = bobot akhir filter (g)
Wi = bobot awal filter (g)
Vt = volume udara sampel total (m3)
f. Ozon.
Contoh udara diserap larutan Neutral Buffer Potasium (NBKI) dan
absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 352 nm.
g. Hidrokarbon (Metode Gas Khromatografi)
Metode ini digunakan pada kolom dengan absorbent padat berlapis
senyawa cair pada tekanan uap rendah. Data konsentrasi HC (Hidrokarbon)
diperoleh setelah terjadi pemisahan.
6. Pengolahan dan analisis data
Seluruh hasil pengukuran parameter makroskopis dan fisiologis tanaman
akan diuji perbedaannya antara tanaman yang terpolusi dan kontrol dengan uji-T
dan jika terdapat beda nyata dilakukan uji Duncan pada taraf α = 5%.
Kemudian dilakukan analisis pertumbuhan tanaman dengan mengamati
pertambahan pertambahan luas daun total (Sulistijorini et al. 2008). Laju
pertumbuhan relatif atau Relative Growth Rate (RGR) dihitung berdasarkan
pertambahan luas daun tiap jenis tanaman dengan menggunakan rumus:
ln Ld (i)ta  ln Ld (i)to
RGR 
t
Keterangan:
Ld (i)ta = luas daun jenis ke-i pada akhir pengamatan
Ld (i)to = luas daun jenis ke-i pada awal pengamatan
t = selang waktu pengukuran (4 minggu)
Toleransi tanaman diukur berdasarkan laju pertambahan luas daun (RGR)
yang diolah dengan ANOVA, dan jika terdapat beda nyata dilakukan uji Duncan
pada taraf α = 5%. Selanjutnya dilakukan pemberian skor berdasarkan hasil uji
Duncan tersebut (modifikasi Dahlan dalam Sulistijorini et al. (2008)). Skor 1 jika
20
terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih rendah dari kontrol/tidak
terpolusi. Skor 2 diberikan jika rerata tanaman kontrol dan terpolusi tidak berbeda
nyata; skor 3 jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih tinggi
dari kontrol; Penggolongan toleransi tanaman ditentukan berdasarkan skor RGR
yaitu termasuk toleran jika skor 3; toleransi sedang jika skor = 2; tidak toleran jika
skor =1.
Selanjutnya, data kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air daun
dihitung berdasarkan formula APTI (Air Pollution Tolerance Index) (Singh et al.
1991) :
A(T  P)  R
APTI 
10
Keterangan:
A = asam askorbat total (mg g-1)
T = klorofil total (mg g-1)
P = pH daun
R = kadar air daun (%)
Nilai APTI tiap jenis tanaman dalam kondisi terpolusi dibandingkan dengan
tabel kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman (Singh et al. 1991) (Tabel 3).
Untuk memperoleh informasi mengenai mekanisme fisiologi yang mempengaruhi
toleransi tanaman, maka dilakukan pembandingan tingkat toleransi dan perubahan
kondisi fisiologi.
Tabel 3 Kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman
Kriteria
Sensitif
Sedang
Cukup toleran
Toleran
Sumber: Singh et al. (1991)
Deciduous
<14
15-19
20-24
>24
Evergreen
<12
13-16
17-20
>20
Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap satu tambahan parameter fisiologis,
yaitu karbohidrat total pada daun. Parameter fisiologis tambahan yang diduga
mempengaruhi tingkat toleransi adalah karbohidrat total pada daun, maka
dilakukan analisis korelasi antara parameter makroskopis dan fisiologis terhadap
karbohidrat total daun tanaman. Kondisi fisiologis suatu tanaman mempengaruhi
kondisi yang terlihat secara makroskopis, maka dilakukan analisis korelasi antara
parameter makroskopis dan fisiologis untuk melihat hubungan paling signifikan
diantara parameter tersebut. Hasil ini menjadi acuan dalam menentukan formula
modifikasi APTI yang baru dengan menggunakan analisis regresi linier.
7. Sintesis
Data dan informasi hasil analisis disusun berdasarkan tingkat dan aspek
toleransi tanaman, sehingga dihasilkan daftar tanaman toleran pada pencemaran
udara serta dibuat rekomendasi penanaman di kawasan industri.
21
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang dikelola oleh PT Krakatau
Industrial Estate Cilegon (KIEC) terletak di Kota Cilegon, Banten, dikelilingi
daerah perbukitan dan laut. Kontur tanah datar, dengan jenis tanah di regosol
dengan kedalaman efektif tanah <90 cm dengan tekstur halus (BAPPEDA Kota
Cilegon). Luas kawasan sebesar 550 hektar, dan sudah terpakai 245 hektar oleh 70
perusahaan baik nasional maupun multinasional. Kawasan industri didesain dan
dikembangkan dengan berdasarkan peraturan dari Master Plan Pengembangan
Daerah Industri di Banten. Kawasan KIEC memiliki kondisi tanah yang sesuai
untuk bangunan ataupun pabrik. Kawasan industri dibagi menjadi dua, yaitu
Kawasan Industri I seluas 550 hektar dan Kawasan Industri II seluas 75 hektar,
sehingga total luasan kawasan industri adalah 625 hektar. Fasilitas Industri di
kawasan terdiri atas Pelabuhan Cigading (150000 DWT), Pembangkit Listrik
(3400 MVA), Pabrik Pengolah Air Industri (2000 l/s), Jalan kelas Satu, Pemadam
kebakaran dan Keamanan, Jaringan Telekomunikasi, dan Gas alam (9 mmscfd).
Fasilitas sosial di kawasan: ruang perkantoran, hotel, ruang rapat, rumah sakit,
sarana olah raga, bank, sekolah berstandar internasional, supermarket, perumahan
club investor, kantor manajemen, padang golf, pusat rekreasi, kantor pos, real
estate dan perumahan, pemadam kebakaran, dan layanan keamanan 24 jam.
Data klimatologi pada satu tahun terakhir di kawasan (2014) dapat dilihat
pada Tabel Lampiran 1. Suhu udara rata-rata kawasan sebesar 27.1oC, dengan
suhu tertinggi rata-rata bulanan sebesar 32.4oC sedangkan suhu terendah rata-rata
bulanan sebesar 23.5oC. Dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar
34.1oC, dan suhu terendah terjadi pada bulan September sebesar 22.2oC.
Kelembaban relatif tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 87% dan
kelembaban relatif terendah pada bulan Oktober sebesar 73%. Curah hujan ratarata kawasan adalah sebesar 126.7 mm/bulan, dengan curah hujan tertinggi
sebesar 377 mm terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah sebesar 10
mm terjadi pada bulan Agustus. Kecepatan angin rata-rata kawasan adalah sebesar
1.9 knot dengan arah angin dominan utara.
Jenis tanaman yang ada di kawasan dapat dilihat pada Tabel 4. Jenis
tanaman dominan yang terdapat pada kawasan adalah glodogan tiang, angsana,
antoteka, dan mahoni. Glodogan tiang terlihat dominan menjadi pohon pengarah
jalan dengan pertumbuhan optimal. Angsana, antoteka, dan mahoni juga ditanami
di sepanjang jalan, namun ditanam dalam dua baris. Palem ekor tupai, kelapa
sawit dan palem raja ditanami di sepanjang jalan utama kawasan di bagian median
jalan. Pohon waru ditemui di setiap pinggiran sungai kecil dalam kawasan. Jenis
tanaman lainnya tersebar di seluruh kawasan, sebagian besar ditanam secara
berkelompok dalam satu area.
Tabel 4 Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon
No
1
2
Nama latin
Acacia auriculiformis
Casuarina junghuhniana
Nama Lokal
Akasia
Cemara angin
Famili
Fabaceae
Casuarinaceae
22
Tabel 4 Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon (lanjutan)
No
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
Nama latin
Elaeis guinensis
Erythrina crista-galli
Gmelina arborea
Hibiscus tiliaceus
Khaya Anthoteca
Leucaena leucocephala
Paraserianthes falcataria
Polyalthia fragrans
Polyalthia longifolia
Pterocarpus indicus
Roystonea regia
Swietenia mahagoni
Tabebuia chrysotricha
Wodyetia bifurcata
Nama Lokal
Kelapa sawit
Dadap merah
Jati putih
Waru
Antoteka
Lamtoro
Sengon
Glodogan bulat
Glodogan tiang
Angsana
Palem raja
Mahoni
Tabebuia
Palem ekor tupai
Famili
Arecaceae
Fabaceae
Verbenaceae
Malvaceae
Meliaceae
Fabaceae
Fabaceae
Annonaceae
Annonaceae
Fabaceae
Arecaceae
Meliaceae
Bignoniaceae
Arecaceae
Jenis tanaman yang dipilih untuk dijadikan sampel terdiri atas 10 spesies.
Pemilihan tanaman dilakukan berdasarkan distribusi polutan dengan tingkat
tertinggi di kawasan industri (Lampiran 4). Deskripsi masing-masing spesies
adalah sebagai berikut:
1. Akasia (Acacia auriculiformis)
Pohon berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 35 m, batang
bergaris tengah 90 cm, kulit batang berwarna coklat keabuan hingga coklat tua;
daun lurus di satu sisi dan melengkung di sisi lain (seperti bulan sabit dengan
cekungan dangkal), panjang 25 cm dan lebar 3.5-9 cm, memiliki 4 (atau 5) urat
daun utama yang memanjang; perbungaan bulir, panjang bunga 1.2-1.5 mm,
terdiri dari 5 daun bunga; buah kering lurus atau melingkar, panjang 10 cm dan
lebar 0.3-0.5 cm, berkayu.
2. Angsana (Pterocarpus indicus)
Pterocarpus indicus tergolong ke dalam Famili Fabaceae sub famili
Papilionideae. Tanaman ini berasal dari Malaysia dan digunakan sebagai tanaman
penghijauan di banyak negara. Tinggi pohon dapat mencapai 10-40 m dengan
diameter batang ±2 m. Kayu mempunyai warna dan kualitas yang cukup baik.
Daun merupakan daun majemuk dengan anak daun berjumlah 5-13 yang letaknya
berselang seling. Daun berbentuk bulat telur memanjang dengan panjang 4-10 cm
dan lebar 2.5-5 cm. Bagian ujung daun meruncing, bagian pangkal tumpul dan
permukaan daun mengkilat dan terdapat daun penumpu dengan panjang 1-2 cm.
Tandan bunga terdapat di ujung ranting, muncul di ketiak daun, sedikit atau
bercabang, berambut coklat dan berbunga banyak. Buah berbentuk polong.
3. Cemara angin (Casuarina junghuhniana)
Pohon berdaun jarum ini berasal dari Pulau Jawa memiliki tajuk berbentuk
piramida atau kerucut. Daun-daunnya halus dan berwarna hijau keabu-abuan.
Tingginya dapat mencapai 25 m. bunganya majemuk bulir berwarna keputihputihan. Buahnya termasuk buah kering sepanjang 5-6 mm, lebar 2-3 mm,
ujungnya berbentuk segitiga lancip dan bersayap.
4. Dadap merah (Erythrina crista-galli)
Erythrina crista-galli termasuk ke dalam pohon pendek, lingkaran
batangnya sekitar 50 cm. Biasanya tumbuh sampai setinggi 5–8 m, meskipun
23
secara individual dapat tumbuh hingga 10 m. Akarnya adalah akar tunggang
dengan bintil akarnya mengandung bakteri fiksasi nitrogen. Bakteri ini hidup
bersimbiosis dengan pohon, membantu penyerapan nitrogen oleh pohon serta
mendapatkan bahan organik dari akar pohon. Pohonnya berkayu dengan
percabangan yang tidak teratur dan berduri. Pohon ini berbunga pada musim
panas, Oktober hingga April di Amerika Selatan serta April hingga Oktober di
belahan bumi utara. Biasanya pohon ini mengalami pembungaan pada November
hingga Februari. Bunganya warna merah, tersusun dalam tandan bunga,
pentamerik, lengkap, dan bilateral simetri.
5. Glodogan bulat (Polyalthia fragrans)
Pohon ini memiliki tajuk yang berbentuk bulat. Daunnya berwarna hijau
mengkilap. Panjang daun 15-20 cm dengan ujung menyempit dan tepinya
berombak. Dari ketiak daun atau ranting muncul bunga majemuk yang
menghasilkan buah. Buahnya bulat sebesar 2 cm dan berwarna kuning kehijauan.
6. Glodogan tiang (Polyalthia longifolia)
Pohon ini dapat mencapai tinggi hingga 25 kaki dan membentuk bangun
kolumnar. Daunnya mengkilap berwarna hijau, panjang, dengan tepi daun
bergelombang. Glodogan tiang umumnya terlihat seperti pohon yang dipenuhi
daun sehingga sulit terlihat batangnya, tetapi kadang-kadang cabangnya tidak
terumbai ke bawah melainkan horizontal sehingga batangnya dapat terlihat
dengan jelas. Akar pada glodogan tiang cukup menembus ke dalam, tidak
dangkal, tetapi juga tidak menjalar dengan ekstensif yang bisa mengganggu
struktur seperti trotoar, jalan dan bangunan di dekatnya.
7. Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Semak atau pohon yang tingginya dapat mencapai 18 m, kulit batang
keabuan dengan lentisel yang jelas. Daun majemuk menyirip ganda dua
(bipinnate) dengan 4-9 pasang daun pada setiap ibu tangkai, panjang kelompok
daun di tiap ibu tangkai bervariasi hingga mencapai 35 cm, terdapat 11-22 pasang
anak daun di tiap tangkai anak daun, panjang anak daun 8-16 mm dan lebar 1-2
mm, ujung daun runcing. Pembungaan majemuk, terkumpul dalam kepala bunga
berbentuk bola dengan garis tengah 2-5 cm, berwarna putih, kelopak daun
berukuran sekitar 2.5 mm, sedangkan daun mahkotanya berukuran sekitar 5 mm,
benang sari 10 di setiap bunga dan panjang putik 10 mm, terdapat rambut-rambut
panjang halus pada kepala sari. Buah kering polong panjang 14-26 cm dan lebar
1.5-2 cm. Tiap buah mengandung 18-22 biji, panjang biji 6-10 mm, dan berwarna
coklat.
8. Mahoni (Swietenia mahagoni)
Mahoni adalah anggota suku Meliaceae yang mencakup 50 genera dan 550
jenis tanaman kayu. Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai
35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan
tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti
sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda,
berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru
berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning
kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning
kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat.
Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di
hutan jati dan tempat-ternpat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam di tepi
24
jalan sebagai pohon pelindung. Tanaman yang asalnya dari Hindia Barat ini, dapat
tumbuh subur bila tumbuh di pasir payau dekat dengan pantai.
Tajuk pohon mahoni berbentuk kubah, daun berwarna hijau gelap, rapat dan
menggugurkan daun. Setelah daun gugur akan segera muncul tunas-tunas muda
berwarna hijau muda. Kedudukan daun bersilangan pada ranting. Mahoni berbuah
pada umur 10-15 tahun, buah masak pada periode April-Juli. Buahnya cukup
keras dengan panjang 5-15 cm, diameter 3-6 cm, umumnya memiliki 5 ruang
berbentuk kapsul dan merekah pada saat masak. Buah merekah mulai dari pangkal
buah dan terdapat 5 kolom lancip memanjang hingga ujungnya, dimana pada
bagian ini sayap dan benih saling menempel.
9. Trembesi (Samanea saman)
Trembesi memiliki tajuk melebar (spread). Tanaman yang masuk dalam sub
famili Mimosaceae dan famili Fabaceae ini biasa ditanam sebagai peneduh. Daun
trembesi dapat mengerut di saat-saat tertentu, yaitu 1.5 jam sebelum matahari
terbenam dan akan kembali mekar saat esok paginya setelah matahari terbit. Jika
hujan datang, daun-daunnya kembali menguncup. Bentuk dahannya kecil kecil
seperti dahan putri malu. Bijinya mirip dengan biji kedelai, hanya warna
cokelatnya lebih gelap. Bunganya menyerupai bulu-bulu halus yang ujungnya
berwarna kuning, sementara pada dasar bunga berwarna merah. Buahnya
memanjang, berwarna hitam kala masak dan biasa gugur ketika sehabis matang
dalam keadaan terpecah. Setiap panjang tangkainya berukuran 7-10 sentimeter.
Tanaman ini akan tumbuh 15-25 m (50-80 ft) di tempat terbuka dengan diameter
kanopi (payung) lebih besar dari tingginya.
10. Waru (Hibiscus tiliaceus)
Waru termasuk dalam pohon kecil atau semak. Daun agak membulat, atau
bagian atas membundar telur. Bunganya tunggal, terminal, mengkilap, kelopak
menggenta, bagian luar dengan nektaria, mahkota besar, kuning dengan ungu
menghati, berubah menjadi oranye-merah. Biji 5-7 per sel, berbentuk ginjal,
berbintil-bintil kecil, hitam-coklat. Hibiscus tiliaceus ditemui di seluruh daerah
tropis terutama dekat pantai.
Gambar 6 Spesies pohon yang digunakan sebagai sampel penelitian
25
Kualitas Udara
Permasalahan utama yang terdapat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon
adalah emisi yang dikeluarkan dari kegiatan industri serta transportasi yang
mengakibatkan peningkatan polusi udara ambien. Kegiatan industri yang
berlangsung di Kawasan Industri Krakatau Cilegon didominasi oleh industri
logam yang diikuti oleh industri kimia. Kegiatan industri lainnya adalah industri
kemasan plastik, Alumunium, kapur, karbon, pembangkit listrik, jubbing dan
custing. Selain dari pabrik yang menghasilkan emisi, sumber polutan di kawasan
industri Krakatau juga berasal dari kendaraan yang berlalu lalang, baik kendaraan
bermotor yang berukuran kecil maupun kendaraan besar seperti truk.
Berdasarkan hasil pengukuran udara ambien dan debu jatuh yang dilakukan
Laboratorium Lingkungan PT Krakatau Steel (Tabel 5, Tabel 6, Lampiran 2 dan
Lampiran 3), polutan udara tertinggi adalah polutan NO2 dan amonia, namun
nilainya masih di bawah standar baku mutu yang telah ditetapkan PPRI No.41
Tahun 1999. Namun, polutan partikel yang terukur memiliki nilai di atas baku
mutu pada beberapa titik pengukuran, hal ini disebabkan oleh aktivitas kendaraan
yang tinggi pada titik tersebut. Hasil pengukuran udara ambien dan debu jatuh ini
menjadi dasar dalam pemilihan jenis tanaman yang akan dijadikan sampel
pengukuran. Oleh karena itu, untuk pemilihan tanaman di kawasan industri, jenis
tanaman yang dipilih berada di sekitar PT Cabot Indonesia, PT Bluescope Steel
Indonesia, PT Briketama, PT Siemens dan PT Oilshell/PT Comstel sedangkan
jenis tanaman yang dijadikan kontrol pengukuran dipilih pada lokasi yang
memiliki tingkat polusi rendah dan di luar kawasan industri, yaitu di Bapor PT
Krakatau Steel dan Hotel The Royale Krakatau.
Tabel 5 Hasil pengujian udara ambien
No.
1
2
3
4
5
Lokasi Pengukuran
PT Cabot Indonesia
PT Bluescope Steel Ind
PT Oilshell/PT Comstell
Bunderan PT Siemens
PT Petrojaya Boral
Plasterboard
6
Workshop PT Krakatau
Engineering
7
Jl Antartika II Kawasan
Industri Krakatau
8
Perumahan Arga Baja
Pura
9
Bapor PT Krakatau Steel
10 PT Krakatau Tirta Industri
11 Hotel The Royale
Krakatau
Sumber: KIEC (2014)
NO2
67.35
<49.67
<49.67
<49.67
<49.67
Hasil Pengukuran (µg/Nm3)
H2S
SO2
Amonia
<96.74
<4.96
25.02
<96.74
<4.96
19.76
<96.74
<4.96
14.50
<96.74
<4.96
9.25
<96.74
<4.96
9.25
<49.67
<96.74
<4.96
9.25
<49.67
<96.74
<4.96
<9.25
<49.67
<96.74
<4.96
<9.25
<49.67
<49.67
<49.67
<96.74
<96.74
<96.74
<4.96
<4.96
<4.96
<9.25
<9.25
<9.25
26
Tabel 6 Hasil pengujian debu jatuh
No.
Lokasi Pengukuran
Hasil Pengukuran (ton/km2/bulan)
November
Desember
3.99
3.31
5.48
3.31
41.01*
52.71*
13.90
8.94
22.96*
13.48
26.41*
6.57
6.08
4.31
12.51
16.60
6.79
3.87
1 PT Cabot Indonesia
2 PT Bluescope Steel Ind
3 PT Briketama
4 PT Kapurindo
5 PT Oil Shell KIEC
6 Bunderan Siemens
7 PT Siemens Kabel Optik
8 PT Jaya Board
9 Gudang CM 1
13.06
7.35
10 MolyCop
10.64
4.36
11 Arga Baja I
3.81
4.01
12 Arga Baja II
2
*nilai di atas baku mutu PPRI No. 41 Tahun 1999 (20 ton/km /bulan)
Sumber: KIEC (2014)
Berdasarkan hasil pengukuran udara, maka sumber pencemaran yang
menyebabkan tingkat polusi udara menjadi tinggi di area tersebut dapat dianalisis
berdasarkan jenis industri, sifat kegiatannya serta arah dan kecepatan angin. Oleh
kerena itu, sumber pencemaran udara di kawasan industri dapat disimpulkan pada
Tabel 7.
Tabel 7 Sumber pencemaran udara di kawasan industri
No
Nama Pabrik
Jenis Industri
1
PT Cabot
Indonesia
Karbon hitam
untuk bahan
pelentur ban
mobil (kimia)
2
PT Bluescope
Steel Indonesia
Baja lapis zinc
atau alumunium
(metalurgi)
3
PT
Commonwealth
stell
Grinding media
4
PT Siemens
Baja untuk
komponen
pembangkit
listrik
Sifat Kegiatan
Pembuatan bahan
kimia, produk
petrokimia, kimia
berat, serat rayon,
plastik dll
Proses korosi lead
bearing alloys
Pembakaran
gamping,
batu/koral, pasir,
kapur, belerang,
kaolin, pasir
kwarsa, tanah liat.
Peleburan bijih
besi, baja,
pembuatan
campuran baja,
peleburan baja atau
logam lain, besi
tulang
Jenis Polutan
yang dihasilkan
Hidrokarbon, CO,
NH3, bau, partikel
NOx, SO, CO,
hidrokarbon, H2S,
Chlor, Pb, bau,
partikel.
Partikel debu,
SOx
Asap oksida
logam, CO, asap,
debu, abu
peleburan, SOx,
Pb, asap Ar dan
Cu
27
Tabel 7 Sumber pencemaran udara di kawasan industri (lanjutan)
No
Nama Pabrik
Jenis Industri
Sifat Kegiatan
5
PT Petrojaya
Boral
Plasterboard
Papan gypsum
Penggilingan
gypsum
6
PT Krakatau
Steel
Baja (logam
dasar)
7
PT Briketama
Briket batu bara
dan kokas
8
PT Wastec
International
Pengolahan
Limbah B3
Peleburan bijih
besi, baja,
pembuatan
campuran baja,
peleburan baja atau
logam lain, besi
tulang
Pembakaran dan
pemecahan
batubara
Insinerasi
(pembakaran hasil
pengolahan limbah
B3)
9
PT Kapurindo
Sentana Baja
Kapur bakar
Pembakaran kapur
Jenis Polutan
yang dihasilkan
Partikel debu,
uranium, radium,
timbal, polonium,
actinium torium
Asap oksida
logam, CO, asap,
debu, abu
peleburan, SOx,
Pb, asap Ar dan
Cu
CO, NOx, Sox,
partikel
Partikel, CO,
NO2, SO2,
hidrokarbon
(CH4), HCl, HF,
Hg, As, Cd, Cr,
Pb, Tl
SO2, O3, NO2 dan
partikel debu.
Sumber: KIEC (2015)
Jenis polutan yang dihasilkan beberapa pabrik di kawasan industri pada
Tabel 7 menunjukkan polutan partikel selalu muncul pada setiap pabrik. Hal ini
yang menyebabkan hasil pengukuran yang dilakukan laboratorium lingkungan
KIEC (Tabel 6) menunjukkan nilai pada jenis polutan partikel berada di atas
ambang baku mutu yang telah ditetapkan oleh PP RI No. 41/1999. Partikel
merupakan produk-produk pembakaran terutama asap dari pembakaran tidak
sempurna. Lokasi tertinggi berada di PT Briketama, PT Oilshell, dan PT Siemens.
Ketiga pabrik tersebut menghasilkan partikel dari kegiatan industri terutama
pembakaran, penggilingan dan peleburan bahan baku. Selain berasal dari kegiatan
industri, konsentrasi partikel yang tinggi juga disebabkan oleh kendaraan
bermotor terutama kendaraan besar yang berlalu lalang di kawasan industri.
Sebagian besar kendaraan besar yang berlalu lalang di kawasan industri
menggunakan bahan bakar solar yang mengemisikan zat pencemaran
partikel/asap/jelaga, NO2 dan hidrokarbon. Selain partikel, hasil pengukuran juga
menunjukkan hasil yang tinggi pada NO2 dan ammonia, namun nilainya masih di
bawah baku mutu yang telah ditetapkan. Menurut Fitter dan Hay (1992), nitrogen
oksida merupakan hasil samping dari pembakaran yang timbul dari kombinasi
nitrogen dan oksigen atmosfer. Sumber utama NO2 adalah pembakaran,
pembakaran tertinggi berasal dari kendaraan bermotor. Tingginya konsentrasi
NO2 diduga terkait dengan dengan tingginya jumlah kendaraan besar yang melalui
area yang diukur serta hasil pembakaran dari beberapa pabrik.
Sebagai perbandingan, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran udara
secara langsung di lapang. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara
menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara di kawasan industri lebih tinggi
28
dibandingkan dengan di kawasan perumahan (Tabel 8). Namun, hasil pengukuran
menunjukkan kualitas udara masih di bawah batu mutu yang ditetapkan oleh PP
RI No. 40/1999. Seperti pada pengukuran yang telah dilakukan oleh laboratorium
lingkungan KIEC (Tabel 5 dan 6), polutan partikel memiliki konsentrasi tinggi
pada area terpolusi (9 µg/m3) dan nilainya jauh di atas pengukuran di area kontrol
(<0.027 µg/m3). Konsentrasi NO2, SO2, amonia, ozon, dan hidrokarbon memiliki
konsentrasi yang lebih tinggi di area terpolusi daripada kontrol, sedangkan H2S
dan CO masih memiliki konsentrasi yang sangat rendah dan nilainya sama dengan
area kontrol.
Tabel 8 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara di kawasan industri
(terpolusi) dan kawasan permukiman (kontrol)
Parameter
Kawasan
Industri
(terpolusi)
0.014
0.002
0.087
<0.01
12
<1000
Kawasan
Permukiman
(kontrol)
0.005
<0.001
0.038
<0.01
10
<1000
Nitrogen Oksida (NO2)
Sulfur Dioksida (SO2)
Amonia (NH3)
Hidrogen Sulfida (H2S)
Ozon (O3)
Karbon Monoksida
(CO)
Hidrokarbon (HC)
2.96
<0.65
Partikel
9
<0.027
*Standar baku mutu berdasarkan PP RI No. 41/1999
Baku
Mutu*
Satuan
400
900
17
14
200
30000
µg/m3
µg/m3
mg/m3
mg/m3
µg/m3
µg/m3
160
230
µg/m3
µg/m3
Hasil pengukuran juga dipengaruhi kondisi iklim mikro pada saat dilakukan
sampling udara. Pengukuran kualitas udara dilakukan pada saat kondisi iklim
mikro di kawasan industri (area terpolusi) yaitu suhu 33.8oC, kelembaban 69.5%,
dan kecepatan angin 0.53 m/s serta di kawasan permukiman (area kontrol) yaitu
suhu 31.4oC, kelembaban 66.75%, dan kecepatan angin 0.21 m/s. Kondisi iklim
mikro di area terpolusi memiliki suhu, kelembaban, dan kecepatan angin lebih
tinggi dibandingkan dengan kontrol. Suhu udara yang tinggi menyebabkan udara
makin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah.
Kelembaban yang tinggi juga mengakibatkan konsentrasi pencemar menurun
karena uap air yang tinggi berinteraksi dengan pencemar sehingga menjadi
pencemar sekunder yang tidak berbahaya. Ketika terjadinya pergerakan udara
(angin) maka akan terjadi suatu proses penyebaran yang dapat mengakibatkan
pengenceran dari bahan pencemaran udara, sehingga kadar suatu pencemar pada
jarak tertentu dari sumber akan mempunyai kadar yang berbeda. Oleh karena itu,
hasil pengukuran kualitas udara di kawasan industri diduga dapat menghasilkan
konsentrasi yang lebih tinggi jika dilakukan pada kondisi iklim mikro yang sama
dengan kontrol.
29
Pengamatan Makroskopis
Pertumbuhan Tanaman
Pertumbuhan tanaman dapat menjadi indikator kecukupan sumber daya dan
interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan. Sumber daya meliputi berbagai
macam unsur hara dan air. Faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah cahaya,
angin, suhu, kelembaban udara, dan beberapa bahan pencemar udara. Berdasarkan
hasil penelitian Salama et al. (2011), polusi udara di sekitar pabrik semen
memberikan dampak yang signifikan pada parameter morfologi jenis tanaman.
Pertambahan jumlah daun menjadi salah satu indikator respon tanaman terhadap
bahan pencemar udara seperti yang dikemukakan pada penelitian Pandey dan
Agrawal (1994) yang menunjukkan terjadinya reduksi tinggi tanaman, diameter
batang, biomassa tanaman, dan jumlah daun dari tanaman-tanaman di lingkungan
urban. Namun demikian parameter pertambahan jumlah daun tanaman tidak
cukup untuk menduga respon tanaman terhadap pencemar udara. Pertumbuhan
tanaman berdasarkan pertambahan luas daun relatif merupakan indikator yang
lebih baik sebagai respon terhadap pencemar udara. Jika pada kondisi terpolusi
tanaman mempunyai pertambahan luas daun yang tinggi, maka kemampuan untuk
menyerap pencemar udara diharapkan juga lebih besar (Sulistijorini 2008). Oleh
karena itu pada penelitian ini diamati parameter jumlah dan luas daun.
Pengamatan pertambahan jumlah dan luas daun tanaman dilakukan dari awal
pengukuran selama dua bulan. Interval waktu yang digunakan adalah satu bulan
atau 30 hari. Pengukuran pertambahan jumlah daun hanya dilakukan pada 8 jenis
tanaman; tidak dilakukan penghitungan pada C. junghuhniana dan L.
leucocephala karena kesulitan dalam menentukan luas daun.
Berdasarkan hasil pengamatan, pertambahan jumlah dan luas daun tidak
berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.624 (jumlah daun) dan p = 0.614
(luas daun), Lampiran 8), namun secara umum pertambahan jumlah daun
terpolusi lebih tinggi daripada kontrol dan pertambahan luas daun terpolusi lebih
tinggi daripada kontrol kecuali pada tanaman P. indicus dan S. mahagoni (Tabel
9). Hasil pengamatan yang menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih tinggi
dibandingkan kontrol ini tidak sesuai dengan pernyataan Kovacs (1992) bahwa
pencemaran udara mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman karena
terhambatnya asupan hasil fotosintesis kepada sel-sel apikal akan menyebabkan
terhambatnya pembelahan dan pemanjangan sel sehingga mempengaruhi
pertumbuhan luas permukaan daun. Penurunan kandungan klorofil mengakibatkan
penurunan laju fotosintesis sehingga hasil fotosintesis juga berkurang. Hal ini
dipengaruhi oleh tiga bahan pencemar udara yang diduga mempengaruhi laju
pertambahan jumlah dan luas daun tanaman di area terpolusi adalah NO2, SO2,
dan debu. Nitrogen merupakan komponen utama yang diperlukan untuk
pertumbuhan vegetatif (Marschner 1986 dan Larcher 1995 dalam Sulistijorini
2008). Nitrogen diserap akar terutama dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium
(NH4+). Selain nitrogen yang terdapat dalam media tumbuh, dua sumber nitrogen
di kawasan industri yang diduga dapat dimanfaatkan oleh tanaman adalah NO2
(0.014 µg/m3) dan NH3 (0.087 mg/m3). Nilai terpolusi yang lebih tinggi daripada
kontrol mengindikasikan bahwa jenis ini mampu menggunakan nitrogen yang
berasal dari NO2 maupun NH3 yang ada di kawasan industri. Menurut Rogers dan
Aneja (1980); Farquhar et al. (1980); Castro et al. (2006), batang dan daun dapat
30
menyerap nitrogen dalam bentuk gas NH3. Selain itu, Nishimura et al. (1986);
Rowland-Bamford dan Drew (1988); Ammann et al. (1995) memperlihatkan daun
dapat menyerap gas NO2 dari udara. Terhambatnya pertumbuhan tanaman akibat
pencemaran udara hanya berpengaruh terhadap tanaman P. indicus dan S.
mahagoni. Hal ini menunjukkan tanaman P. indicus dan S. mahagoni peka
terhadap pencemaran udara meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah.
Tabel 9 Pertumbuhan setiap jenis tanaman dalam 30 hari
Jenis tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Pertambahan luas daun (cm2)
Pertambahan jumlah daun
Terpolusi
4
3.33
6.67
2.67
5
2.83
0
2
0.5
27.75
Kontrol
7.5
2.3
5.5
1.83
1
1.33
1
1.75
1
24.5
Terpolusi
5.75
17.83
36.83
9.83
6
21.75
6
2.75
Kontrol
2.83
16.5
21.5
5.33
6.75
12.5
16
2.75
Hasil penelitian menunjukkan laju pertumbuhan relatif (RGR) berdasarkan
pertambahan luas daun bervariasi antar jenis tanaman (Tabel 9), dan hasil analisis
ragam menyatakan RGR tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.563,
Lampiran 10) namun berbeda nyata antar jenis tanaman (p = 0.001 (terpolusi) dan
p = 0.013 (kontrol), Lampiran 11). Perbandingan nilai RGR tanaman terpolusi
dan RGR tanaman kontrol dapat menggambarkan respon tanaman terhadap
pencemar udara. Nilai RGR setiap 30 hari pengamatan pada delapan jenis
tanaman di area terpolusi dan kontrol adalah sebagai berikut:
1. Akasia (Acacia auriculiformis)
RGR pada tanaman A. auriculiformis pada bulan pertama dan bulan kedua
mengalami peningkatan dengan nilai RGR di area terpolusi lebih tinggi
dibandingkan kontrol (Gambar 7).
0.25
RGR
0.2
0.15
Polusi
0.1
Kontrol
0.05
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 7 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman akasia
31
2. Angsana (Pterocarpus indicus)
RGR pada tanaman P. indicus terjadi perbedaan antara area terpolusi dan
kontrol (Gambar 8). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman yang terpolusi lebih
rendah dibandingkan dengan kontrol sedangkan pada bulan kedua sebaliknya,
Tanaman terpolusi mengalami peningkatan nilai RGR, sedangkan tanaman
kontrol mengalami penurunan nilai RGR.
0.300
RGR
0.250
0.200
0.150
Polusi
0.100
Kontrol
0.050
0.000
Bulan ke-
1
2
Gambar 8 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman angsana
3. Dadap merah (Erythrina crista-galli)
RGR pada tanaman E. crista-galli terjadi perbedaan antara area terpolusi
dan kontrol (Gambar 9). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman kontrol lebih
rendah dibandingkan dengan terpolusi sedangkan pada bulan kedua sebaliknya,
Tanaman terpolusi mengalami penurunan nilai RGR, sedangkan tanaman kontrol
mengalami peningkatan nilai RGR.
1.2
RGR
1
0.8
0.6
Polusi
0.4
Kontrol
0.2
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 9 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman dadap merah
4. Glodogan bulat (Polyalthia fragrans)
RGR pada tanaman P. fragrans pada bulan pertama dan bulan kedua
mengalami peningkatan dengan nilai RGR di area terpolusi lebih tinggi
dibandingkan kontrol (Gambar 10).
32
0.5
RGR
0.4
0.3
Polusi
0.2
Kontrol
0.1
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 10 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman
glodogan bulat
5. Glodogan tiang (Polyalthia longifolia)
RGR pada tanaman P. longifolia di area terpolusi lebih tinggi dibandingkan
dengan kontrol pada bulan pertama pengamatan, namun keduanya mengalami
penurunan RGR di bulan kedua pengamatan (Gambar 11).
1.2
RGR
1
0.8
0.6
Polusi
0.4
Kontrol
0.2
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 11 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman glodogan tiang
6. Mahoni (Swietenia mahagoni)
RGR pada tanaman S. mahagoni di area terpolusi lebih rendah dibandingkan
dengan kontrol pada bulan pertama pengamatan, namun keduanya mengalami
penurunan RGR di bulan kedua pengamatan (Gambar 12).
1
RGR
0.8
0.6
Polusi
0.4
Kontrol
0.2
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 12 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman mahoni
7. Trembesi (Samanea saman)
RGR pada tanaman S. saman terjadi perbedaan antara area terpolusi dan
kontrol (Gambar 13). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman yang kontrol lebih
rendah dibandingkan dengan terpolusi sedangkan pada bulan kedua sebaliknya.
33
Tanaman terpolusi mengalami penurunan nilai RGR, sedangkan tanaman kontrol
mengalami peningkatan nilai RGR.
RGR
0.15
0.1
Polusi
Kontrol
0.05
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 13 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman trembesi
8. Waru (Hibiscus tiliaceus)
RGR pada tanaman H. tiliaceus pada area terpolusi mengalami peningkatan
pada bulan pertama dan kedua, sedangkan tanaman waru kontrol tidak mengalami
perubahan. Nilai laju pertumbuhan relatif di area terpolusi lebih tinggi
dibandingkan kontrol (Gambar 14).
2
RGR
1.5
Polusi
1
Kontrol
0.5
0
Bulan ke-
1
2
Gambar 14 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun
tanaman waru
Laju pertumbuhan relatif yang berbeda antar jenis tanaman menunjukkan
respon setiap jenis tanaman yang berbeda. Jenis tanaman E. crista-galli, S. saman,
S. mahagoni, dan P. longifolia mengalami penurunan RGR pada kondisi terpolusi
menunjukkan pengaruh polusi udara menurunkan laju pertumbuhan tanaman
walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Namun, terjadinya penurunan RGR
pada jenis tanaman S. saman, S. mahagoni, dan P. longifolia pada kondisi kontrol
menunjukkan adanya faktor lain dalam pertumbuhan tanaman, yakni kondisi iklim
mikro pada kawasan. Menurut data BMKG (2015) curah hujan pada RGR 1 (9
April 2015-9 Mei 2015) adalah sebesar 131 mm, sedangkan curah hujan pada (9
Mei 2015-9 Juni 2015) adalah 38 mm. Penurunan curah hujan mengakibatkan
pertumbuhan tanaman menurun pada jenis tanaman tersebut.
Warna Daun
Hasil pengamatan terhadap warna daun terjadi perbedaan dampak yang
ditimbulkan dari pencemaran udara pada setiap jenis tanaman (Tabel 10 dan
Lampiran 5). Jenis tanaman L. leucocephala, P. longifolia, P. fragrans, dan A.
auriculiformis skor warna daun terpolusi lebih rendah daripada kontrol. Jenis
34
tanaman L. leucocephala, P. longifolia, dan P. fragrans memiliki skor 2.5-3.5
(hijau kuning-hijau muda-hijau) pada area terpolusi. Meitiyani (2003),
menyatakan bahwa kontak dengan SO2 dalam konsentrasi rendah dengan waktu
yang lama menyebabkan kerusakan kronis ditandai dengan menguningnya warna
daun karena terhambatnya mekanisme pembentukan klorofil. Hal tersebut juga
ditambahkan oleh Siregar (2005) bahwa pada saat terpapar gas SO2, molekul
klorofil akan terdegradasi menjadi pheophitin dan Mg2+. Saat terjadinya proses ini,
Mg2+ dalam molekul klorofil diganti oleh dua atom hydrogen yang berakibat pada
perubahan karakteristik spektrum cahaya dari molekul klorofil. Namun pada
tanaman A. auriculiformis perbedaan warna antara area terpolusi dan kontrol tidak
jauh berbeda, yaitu area terpolusi dengan skor 5 (hijau tua) sedangkan kontrol
dengan skor 6 (hijau gelap). Hal ini menunjukkan pencemaran udara tidak
berpengaruh signifikan, tidak memberikan kerusakan berat bagi tanaman A.
auriculiformis serta karena konsentrasi polutan di area terpolusi tidak terlalu
tinggi.
Hasil pengamatan menunjukkan skor warna daun tanaman terpolusi lebih
tinggi dibandingkan kontrol pada jenis tanaman H. tilliaceus, S. saman, P. indicus,
E. crista-galli, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. Jenis tanaman tersebut
memiliki skor 5-6 (hijau tua-hijau gelap) pada area terpolusi. Hal ini menunjukkan
pada daun yang terkena polutan memiliki warna yang lebih gelap. Warna yang
gelap ini menunjukkan bahwa daun tanaman dapat menjerap dan menahan polutan
padat seperti partikel debu, terutama daun yang berbulu (Grey dan Deneke 1978).
Selain itu, partikel yang mengalami kontak dengan uap air atau air hujan yang
kecil (gerimis) akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun sehingga
sulit untuk dibersihkan kecuali dengan sengaja menggosoknya. Lapisan kerak
tersebut mengganggu proses fotosintesis karena menutupi masuknya cahaya
matahari dan CO2 melalui stomata sehingga dapat menghambat pertumbuhan
tanaman. Hal ini sesuai dengan kondisi udara ambien di kawasan industri yang
memiliki konsentrasi polutan partikel yang tinggi sehingga mengakibatkan warna
daun menjadi gelap.
Tabel 10 Perbandingan warna daun setiap spesies pohon di area polusi dan kontrol
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Skor Warna Daun
Kontrol
6
3
5
3
6
6
2.5
6
5.5
5.5
Terpolusi
5
6
6
5
3
2.5
6
3.5
6
6
35
Pengamatan Mikroskopis
Kerapatan Stomata
Hasil analisis ragam menyatakan kerapatan stomata tidak berbeda nyata
akibat lokasi pencemaran (p = 0.962. Lampiran 8) namun berbeda nyata antar
jenis tanaman (p = 0.0000, Lampiran 9), Oleh karena itu, kerapatan stomata dari
10 jenis tanaman uji pada penelitian ini bervariasi antara 182.46 sampai dengan
939.47 per mm2 (Tabel 11). Tanaman P. indicus, P. longifolia, S. mahagoni, dan
C. junghuhniana memiliki kerapatan stomata lebih tinggi di area terpolusi
dibandingkan kontrol. Jenis tanaman ini memberikan respon terhadap polutan
udara dengan meningkatkan stomatanya. Menurut Grey dan Deneke (1978), jenis
tanaman dengan kerapatan stomata sangat tinggi memiliki potensi sebagai agen
untuk mengurangi polusi udara. Jenis tanaman H. tilliaceus, S. saman, P.
fragrans, A. auriculiformis, E. crista-galli, dan L. leucocephala sebaliknya.
Penyebab perbedaan ini adalah tempat tumbuh dan faktor genetis yang
berpengaruh terhadap morfogenesis stomata (Wilmer 1983).
Menurut Agustini et al, (1994) kerapatan stomata daun (per mm2) dari jenis
tanaman dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu (1) kerapatan rendah
(<300), (2) kerapatan sedang (300-500), dan (3) kerapatan tinggi (>500).
Berdasarkan Tabel 10, kerapatan stomata pada area terpolusi maupun kontrol
berada pada kategori yang sama, yaitu L. leucocephala termasuk kategori rendah,
P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan A. auriculiformis kategori sedang,
sedangkan pada H. tilliaceus, S. saman, S. mahagoni, dan C. junghuhniana
termasuk kategori tinggi. Namun, pada tanaman P. indicus terjadi perubahan
kategori kerapatan dari rendah menjadi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa
ketika diberi pencemaran udara, P. indicus secara anatomi memberikan respon
meningkatkan jumlah stomata dan menurunkan panjang stomata. Menurut Susanti
(2004), peningkatan indeks stomata terjadi pada tanaman yang terdapat di tempattempat dengan konsentrasi polutan yang cukup tinggi. Hal ini merupakan respon
tanaman terhadap kehadiran polutan dari aktivitas transportasi dan industri
sebagai upaya tanaman untuk mengurangi terdifusinya polutan udara ke dalam
jaringan daun tanaman.
Tabel 11 Kerapatan stomata setiap jenis tanaman
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Kerapatan Stomata (mm-2)
Kontrol
Terpolusi
466.15
387.03
864.54
939.47
454.94
424.49
575.15
504.57
237.21
186.88
407.67
358.22
182.46
311.12
315.94
489.84
542.67
743.16
836.57
664.95
Kategori Kerapatan
Kontrol
Terpolusi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Rendah
Rendah
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
36
Jaringan Daun
Hasil analisis ragam menyatakan tebal daun dan tebal palisade tidak berbeda
nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.853 (tebal daun) dan p = 0.475 (tebal
palisade). Lampiran 8) namun tebal daun berbeda nyata antar jenis tanaman (p =
0.000, Lampiran 9) sedangkan tebal palisade tidak berbeda nyata (p = 0.096,
Lampiran 9). Hasil pengamatan parameter tebal daun dan palisade menunjukkan
terdapat respon yang berbeda pada setiap jenis tanaman. Perbedaan respon
tersebut sebagai reaksi tanaman dalam mempertahankan keseimbangan fungsi
fisiologis tanaman terhadap tekanan yang diberikan oleh lingkungan berupa polusi
udara. Hasil pengamatan menujukkan tebal daun pada tanaman H. tilliaceus, L.
leucocephala, P. longifolia, E. crista-galli, C. junghuhniana, dan A.
auriculiformis lebih tinggi di area terpolusi (Tabel 12). Tebal palisade seluruh
tanaman terpolusi lebih tinggi daripada kontrol kecuali S. saman dan P. indicus.
Tanaman dengan tebal daun dan tebal palisade yang lebih tinggi di area terpolusi
dibandingkan dengan kontrol menunjukkan tanaman toleran terhadap pencemaran
udara. Dalam hal ini, S. saman dan P. indicus termasuk sensitif karena baik tebal
daun dan tebal palisade di area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol.
Peningkatan tebal daun dan palisade diduga sebagai respon detoksifikasi
terhadap pencemar udara. Saat proses detoksifikasi terhadap paparan ozon, setelah
terjadi difusi melalui stomata pada permukaan abaksial daun, ozon atau hasil
reaksinya menembus ke dalam rongga udara, berpindah melalui dinding sel dan
membran sel yang akhirnya mencapai organel-organel sel (kloroplas dan
mitokondria). Reaktifitas terhadap ozon tinggi pada daun-daun tebal dan
mekanisme detoksifikasi diduga menekan pengaruh ozon yang berbahaya sebelum
mencapai jaringan palisade sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis.
Tabel 12 Tebal daun dan tebal palisade setiap jenis tanaman pada area terpolusi
dan kontrol
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Tebal Daun (µm)
Kontrol
Terpolusi
152.5
189.6
656.2
725.9
267.1
290.2
139.7
188.6
145.2
180
167.3
158.7
166.2
133.6
119.8
156.7
157.5
152.5
188
126.8
Tebal Palisade (µm)
Kontrol
Terpolusi
40
46.7
71.6
95.9
70.7
92.9
46.7
60.7
42.8
67.9
47
60.2
65.9
37.4
21.6
44.3
33.1
43.5
95.6
54.4
Pengamatan Fisiologis
Toleransi tanaman terhadap bahan pencemar dapat dilihat dari beberapa
parameter fisiologi yaitu asam askorbat, kandungan klorofil total, pH ekstrak daun,
dan kadar air (Singh et al. 1991). Hasil analisis beberapa parameter fisiologi
tersebut pada area terpolusi dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 13.
37
Tabel 13 Kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air setiap jenis
tanaman di area terpolusi dan kontrol
Asam
Klorofil
Askorbat
(mg/g)
Jenis Tanaman
(mg/g)
P
K
P
K
A. auriculiformis
13.61 16.01 3.70
3.70
C. junghuhniana
6.54
6.32 4.35
2.35
E. crista-galli
5.21 10.94 6.30 15.05
H. tiliaceus
12.62
6.40 2.80 10.70
L. leucocephala
15.54 15.50 4.60
6.40
P. fragrans
4.33
6.65 3.50
7.00
P. indicus
8.30
3.37 8.90 14.05
P. longifolia
7.54
2.31 7.65
6.35
S. mahagoni
10.25 12.70 9.15 14.35
S. saman
8.08 10.51 6.15 11.10
Keterangan: P = area terpolusi, K= kontrol
Kadar air
(%)
pH
P
5.4
6.3
6.8
7.2
6.9
5.8
6.8
5.8
6.5
6.8
K
6.4
6.2
7.3
6.9
6.5
6.1
6.2
6.2
6
6.7
P
61.04
61.63
66.64
65.48
66.54
53.89
66.21
57.28
61.53
67.36
K
66.53
59.67
68.75
65.66
68.96
59.84
77.82
59.84
60.5
58.64
Asam Askorbat
Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh polusi udara terhadap kandungan
asam askorbat pada tanaman berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Tanaman yang
memiliki kandungan asam askorbat di daerah terpolusi lebih tinggi daripada
daerah kontrol, maka tanaman tersebut termasuk ke dalam tanaman yang toleran.
Hal ini sesuai dengan pernyataan Lima et al. 2000 dan Rai et al. 2013, bahwa
tanaman yang toleran terhadap polusi udara memiliki kandungan asam askorbat
tinggi karena asam askorbat memiliki fungsi sebagai anti oksidan atau reduktor
kuat yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi. Jika reaksi oksidasi sampai
berlangsung, maka akan terbentuk senyawa yang dapat meracuni tanaman.
Tripathi dan Gautam (2007) menyatakan beban polusi bergantung peningkatan
kadar asam askorbat pada seluruh jenis tanaman yang menyebabkan peningkatan
laju produksi spesies reaktif oksigen (ROS) ketika proses foto oksidasi.
Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat beda nyata antar jenis tanaman
(p = 0.022, Lampiran 9), namun tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p
= 0.946, Lampiran 8). Hasil penelitian menyatakan tanaman dengan kandungan
asam askorbat daerah terpolusi lebih tinggi daripada kontrol adalah H. tilliaceus,
L. leucocephala, P. indicus, P. longifolia, C. junghuhniana, dan A. auriculiformis.
Spesies S. saman, P. fragrans, E. crista-galli, dan S. mahagoni, daerah terpolusi
memiliki kandungan asam askorbat lebih rendah dibandingkan dengan kontrol.
Pada daerah terpolusi, tanaman dengan tingkat asam askorbat tertinggi adalah L.
leucocephala, sedangkan yang terendah adalah P. fragrans. Hal ini menyatakan
bahwa L. leucocephala memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap polutan
karena kandungan asam askorbat yang tinggi.
Klorofil
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat beda nyata antar jenis
tanaman (p = 0.232, Lampiran 9), namun berbeda nyata akibat lokasi pencemaran
38
(p = 0.05, Lampiran 8). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar kandungan
klorofil tanaman menurun di daerah terpolusi kecuali P. longifolia, P. fragrans
dan C. junghuhniana, sedangkan tanaman A. auriculiformis tidak ada perubahan.
Kadar klorofil pada tanaman berpengaruh langsung terhadap aktifitas fotosintesis
dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan
biomassa. Kadar klorofil dalam tanaman bervariasi dari satu spesies dan spesies
lainnya bergantung umur daun, tingkat polusi seperti halnya kondisi biotik dan
abiotik lainnya. Keberadaan polutan dapat menurunkan kandungan klorofil karena
masuknya polutan pada daun dapat mengakibatkan rusaknya kutikula sehingga
respirasi terhambat dan proses fotosintesis juga terhambat. Jenis tanaman yang
toleran, kandungan klorofil yang dimiliki tinggi karena secara fisiologis tanaman
dapat menolak atau menetralkan polutan sehingga tidak merusak klorofil.
Carter dan Knapp (2001) menyatakan bahwa bahan pencemar dapat
menginduksi pengurangan klorofil. Ditambahkan oleh Kozlowski dan Mudds
(1975) menyatakan bahwa adanya pencemaran udara dapat menimbulkan nekrosis
dan klorosis yang melibatkan mekanisme kerusakan klorofil. Penelitian Pandey
dan Agrawal (1994) membuktikan bahwa tanaman pada daerah urban yang relatif
tercemar mempunyai klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman
pada daerah yang tidak tercemar. Berdasarkan penelitian Rai et al. (2013), kadar
klorofil di seluruh tanaman hasilnya bervariatif sesuai dengan kondisi polusi di
kawasan. Kadar klorofil pada kondisi terpolusi rendah seperti yang diduga,
polutan menurunkan kadar klorofil total (Agrawal et al. 2003).
pH
Hasil analisis ragam menunjukkan pH ekstrak daun tidak berbeda nyata
akibat lokasi pencemaran (p = 0.931, Lampiran 8) namun terdapat beda nyata
antar jenis tanaman (p = 0.042, Lampiran 9). Berdasarkan hasil penelitian, jenis
tanaman yang berada di kawasan industri memiliki pH asam, yaitu sekitar 5-7,
sedangkan di kawasan non industri memiliki pH lebih tinggi, yaitu sebesar 6-7.
Hal ini dikarenakan paparan SOx, NOx, dan polutan penghasil asam lainnya yang
berasal dari emisi dari kawasan industri sehingga memberikan perubahan pH daun
menjadi asam, pH ekstrak daun rendah menunjukkan korelasi yang baik terhadap
polusi udara dan juga menghambat proses fotosintesis pada tanaman (Yan-Ju dan
Hui 2008; Thakar dan Mishra 2010). Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi
indikator toleransi tanaman karena pH berperan penting dalam berbagai reaksi
fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989) menyatakan bahwa pH merupakan
media respon fisiologi terhadap kondisi stress. Tanaman dengan pH tinggi pada
kawasan industri adalah H. tilliaceus, S. saman, L. leucocephala, P. indicus, E.
crista-galli, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. pH yang tinggi (sekitar 6-7)
meningkatkan toleransi tanaman terhadap polusi (Shannigrahi et al. 2011).
Kadar Air
Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat beda nyata antar jenis
tanaman (p = 0.469, Lampiran 9), dan juga tidak berbeda nyata akibat lokasi
pencemaran (p = 0.056, Lampiran 8). Berdasarkan hasil penelitian, kadar air
relatif tanaman di kawasan industri rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan
kawasan non industri. Kadar air tertinggi terlihat pada S. saman dan terendah pada
P. fragrans (area terpolusi). Di area kontrol, kadar air tertinggi adalah P. indicus
39
dan terendah adalah S. saman. Kadar air relatif yang tinggi pada tanaman akan
membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis di bawah kondisi
stress seperti paparan polusi udara ketika laju transpirasi tinggi yang dapat
mengakibatkan kekeringan. Oleh karena itu, kadar air relatif tanaman dapat
menunjukkan toleransi tanaman terhadap paparan polusi udara. Kadar air lebih
tinggi di kawasan industri memberikan respon bahwa terjadi fungsi yang normal
dalam proses biologi pada tanaman (Meerabai et al. 2012), hal tersebut terjadi
pada tanaman S. saman, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. Kandungan air relatif
berkaitan dengan permeabilitas sel (Oleinikova 1969 dalam Singh et al. 1991),
polutan udara dapat meningkatkan permeabilitas sel yang disebabkan oleh
kehilangan air dan terlarutnya bahan nutrisi, akibatnya daun cepat mengalami
senescene (Masuch et al. 1988 dalam Singh et al. 1991) sehingga dimungkinkan
tanaman yang memiliki kandungan air relatif tinggi dalam kondisi terpapar polusi
akan toleran terhadap polutan.
Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara
Menurut Singh et al. (1991) kandungan asam askorbat total, klorofil total,
pH, dan kadar air daun yang diformulasikan ke dalam nilai APTI, merupakan
parameter fisiologi tanaman yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat
toleransi tanaman terhadap pencemar udara. Perubahan nilai APTI dapat terjadi
pada perubahan komponen penyusun APTI yaitu kadar air relatif, klorofil total,
pH ekstrak daun, dan asam askorbat total. Tingkat toleransi tanaman berdasarkan
nilai APTI dapat dilihat pada Tabel 14. Hasilnya yaitu tanaman L. leucocephala
dan S. mahagoni termasuk tanaman toleran; tanaman H. tilliaceus, S. saman, P.
indicus, dan A. auriculiformis termasuk tanaman cukup toleran; tanaman P.
longifolia, E. crista-galli, dan C. junghuhniana termasuk tanaman sedang; dan
tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang sensitif.
Tabel 14 Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan APTI
Jenis Tanaman
Nilai APTI
Tingkat Toleransi
A. auriculiformis
18.48
Cukup toleran
C. junghuhniana
13.12
Sedang
E. crista-galli
13.48
Sedang
H. tiliaceus
19.16
Cukup toleran
L. leucocephala
24.53
Toleran
P. fragrans
9.42
Sensitif
P. indicus
19.65
Cukup toleran
P. longifolia
15.86
Sedang
S. mahagoni
22.19
Toleran
S. saman
17.20
Cukup toleran
Keterangan: Sensitif = <12, Sedang= 13-16, Cukup toleran= 17-20, Toleran= >20
(Singh et al. 1991)
Penentuan toleransi tanaman berdasarkan kriteria Singh et al. (1991)
mempunyai kelemahan yaitu tidak memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman,
40
Bahan pencemar yang diserap tanaman dapat menyebabkan perubahan kondisi
fisiologi tanaman yang melibatkan berbagai reaksi biokimia (Malhotra dan Khan
1984). Jika tanaman terpapar pencemar udara dalam jangka panjang maka respon
yang dapat timbul adalah terjadinya kerusakan yang dapat diamati (visible
symptom) atau terjadi perubahan laju pertumbuhan vegetatif tanpa disertai visible
symptom. Hasil anova dan Uji selang berganda Duncan menunjukkan bahwa
kondisi terpolusi mempengaruhi RGR tanaman.
Tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dapat dilihat pada Tabel 15.
Nilai rata-rata RGR pada tanaman H. tilliaceus, P. fragrans, P. longifolia dan E.
crista-galli terpolusi lebih tinggi dan berbeda nyata dari kontrol, sehingga
keempat jenis ini termasuk jenis toleran terhadap pencemar udara. Rata-rata RGR
S. saman dan A. auriculiformis terpolusi tidak berbeda dengan kontrol, sehingga
kedua jenis tersebut termasuk jenis tanaman dengan toleransi sedang. Rata-rata
RGR P. indicus dan S. mahagoni terpolusi lebih rendah dan berbeda nyata dengan
kontrol, sehingga kedua jenis tersebut termasuk jenis tidak toleran terhadap
pencemar udara.
Tabel 15 Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan RGR
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana***
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala***
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
RGR
Terpolusi
Kontrol
0.192 a
0.094 a
0.594 a
0.550 bc
1.228 b*
0.717 c
0.328 a
0.178 ab
0.200 a
0.225 ab
0.725 a
0.417 ab
0.200 a
0.533 abc
0.094 a
0.092 a
Skor**
Tingkat Toleransi
2
3
3
3
1
3
1
2
Sedang
Toleran
Toleran
Toleran
Tidak toleran
Toleran
Tidak toleran
Sedang
*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Selang berganda Duncan pada taraf α=5%
** Berdasarkan modifikasi Dahlan (1995)
*** Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas
daun
Tingkat toleransi yang dihasilkan berdasarkan nilai APTI dan RGR terjadi
perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 16). Tabel 16 memperlihatkan tingkat
toleransi berbeda paling signifikan adalah pada tanaman P. fragrans dan S.
mahagoni. Tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang toleran berdasarkan
RGR sedangkan berdasarkan nilai APTI termasuk tanaman yang sensitif.
Sebaliknya, tanaman S. mahagoni termasuk tanaman yang tidak toleran
berdasarkan RGR sedangkan berdasarkan nilai APTI termasuk tanaman yang
toleran. Penentuan toleransi tanaman berdasarkan kriteria APTI (Singh et al.
1991) sangat dipengaruhi oleh parameter asam askorbat. Jika kandungan asam
askorbat tinggi, maka berdasarkan formulasi APTI tanaman masuk ke dalam
golongan toleran seperti L. leucocephala, dan sebaliknya jika asam askorbat
41
rendah seperti P. fragrans termasuk dalam golongan sensitif. Formulasi APTI
menunjukkan perubahan asam askorbat paling berpengaruh tinggi dibandingkan
dengan perubahan parameter lain seperti klorofil total, pH ekstrak daun, dan kadar
air daun. Metode APTI juga mempunyai kelemahan yaitu menggabungkan empat
parameter fisiologi yang mempunyai satuan berbeda (Sulistijorini et al. 2008).
Tabel 16 Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dan APTI
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Tingkat Toleransi
berdasarkan APTI
Tingkat Toleransi
berdasarkan RGR
Cukup toleran
Sedang
Sedang
Cukup toleran
Toleran
Sensitif
Cukup toleran
Sedang
Toleran
Cukup toleran
Sedang
*
Toleran
Toleran
*
Toleran
Tidak toleran
Toleran
Tidak toleran
Sedang
* Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas
daun
Analisis Karbohidrat Tanaman
Selain keempat parameter fisiologis yang dipaparkan oleh Singh et al.
(1991), terdapat satu parameter fisiologis yang juga dapat mempengaruhi tingkat
toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, yaitu karbohidrat. Karbohidrat
merupakan produk utama dari proses fotosintesis. Pencemaran udara secara tidak
langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan terhadap
hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada
konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan
menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman
kontrol. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Kovacs (1992) yang
menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada
di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan
beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut
dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan
karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti
pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga
menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya.
Tanaman lebih cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses
fotosintesis untuk berbagai fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak
produktif sehingga menyebabkan penurunan kecepatan tanaman dari potensi
maksimumnya.
Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh pencemaran udara terhadap
karbohidrat total tanaman berbeda-beda setiap jenisnya. Nilai karbohidrat total
pada area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol terjadi pada tanaman H.
42
tilliaceus, S. saman, L. leucocephala, E. crista-galli, S. mahagoni, dan A.
auriculiformis, sedangkan P. indicus, P. fragrans, P. longifolia, dan C.
junghuhniana karbohidrat terpolusi lebih rendah daripada kontrol. Karbohidrat
pada tanaman terpolusi beragam mulai dari 1.09 sampai dengan 6.79, Tanaman
dengan kandungan karbohidrat tertinggi adalah P. longifolia, sedangkan tanaman
yang memiliki kandungan karbohidrat total terendah adalah A. auriculiformis.
Tabel 17 Karbohidrat total setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol
Karbohidrat (%)
Jenis Tanaman
Terpolusi
1.09
5.61
2.69
5.01
3.38
2.87
2.31
6.79
4.1
4.08
A. auriculiformis
C. junghuhniana
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
Kontrol
2.67
3.48
8.25
5.24
8.18
2.05
1.89
4.94
5.2
5.68
Analisis korelasi antara karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan
fisiologis dilakukan untuk mengetahui tingkat pengaruh karbohidrat terhadap
parameter-parameter tersebut. Hasilnya menunjukkan hubungan karbohidrat total
dengan parameter lainnya tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 18). Parameter
karbohidrat total berhubungan positif dengan parameter lainnya kecuali dengan
parameter kadar air. Menurut Sugiyono (2007), tingkat korelasi dapat
diklasifikasikan menjadi: (1) 0.00-0.199 = sangat rendah. (2) 0.20-0.399 = rendah.
(3) 0.40-0.599 = sedang. (4) 0.60-0.799 = kuat. (5) 0.80-1.000 = sangat kuat.
Korelasi tertinggi parameter makroskopis adalah RGR (korelasi = 0.492 (sedang),
p = 0.053) sedangkan parameter fisiologis adalah klorofil (korelasi = 0.436
(sedang), p = 0.091).
Tabel 18 Analisis korelasi karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan
fisiologis
Jumlah
daun
Luas
daun
RGR
Asam
Klorofil
askorbat
pH
Kadar
Air
Pearson
Correlation
0.152
0.465
0.492
0.093
0.436
0.432
-0.139
Sig.
0.575
0.070
0.053
0.732
0.091
0.095
0.607
Korelasi
sangat
rendah
sedang
sedang
sangat
rendah
sedang
sedang
sangat
rendah
Perbandingan nilai RGR dengan karbohidrat total dapat dilihat Tabel 19.
Karbohidrat total pada A. auriculiformis yang rendah (1.09%) sebanding dengan
RGR yang rendah (0.094), begitu pula dengan P. longifolia yang memiliki
43
karbohidrat total yang tinggi (6.79%) sebanding dengan RGR tinggi (0.725). Hal
ini menunjukkan hubungan linier pada kedua parameter tersebut. Hasil analisis
regresi linier juga menunjukkan korelasi positif antara RGR dan karbohidrat total
tanaman. Persamaan yang dihasilkan yaitu y = 0.065x + 0.064 dengan R2 = 0.341.
artinya sekitar 34.1% peningkatan nilai RGR dipengaruhi oleh kandungan
karbohidrat total pada daun. sisanya dipengaruhi oleh parameter lain.
Tabel 19 Perbandingan RGR dan karbohidrat total setiap jenis tanaman
Jenis Tanaman
A. auriculiformis
C. junghuhniana*
E. crista-galli
H. tiliaceus
L. leucocephala*
P. fragrans
P. indicus
P. longifolia
S. mahagoni
S. saman
RGR
0.094
0.594
1.228
0.328
0.2
0.725
0.2
0.094
Karbohidrat Total (%)
1.09
5.61
2.69
5.01
3.38
2.87
2.31
6.79
4.1
4.08
* Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas
daun
Hal ini sesuai dengan penelitian Seyyednejad et al. (2011) yang menyatakan
bahwa tanaman dengan konsentrasi gula yang tinggi merupakan spesies yang
toleran terhadap polusi udara karena polimer fruktosa dapat membantu spesies
toleran di bawah kondisi yang tidak menguntungkan. Contohnya adalah pada
tanaman rumput ryegrass terjadi peningkatan fructans pada saat terpapar polusi
udara sesaat di Sao Paolo (Brazil) (Moretto et al. 2009). Berdasarkan hasil
penelitian Sandrin et al. (2013) terjadi peningkatan fructans khususnya pada akar
tanaman Lollium multiflorum ketika siang hari pada musim semi dan gugur,
bertepatan saat suhu tinggi, intensitas cahaya rendah dan konsentrasi tertinggi
polutan udara. Pada kondisi tersebut, fotosintesis terstimulasi dengan baik
sehingga mengakumulasikan konsentrasi gula lebih tinggi. Fructans
(polyfructosylsucrose) itu sendiri merupakan penyimpanan utama karbohidrat
pada tanaman. Sintesis fructans dalam daun berhubungan dengan sintesis sukrosa
fotosintesis dan translokasi serta melanjutkan metabolisme sukrosa pada batang
dan akar. Fructans berperan dalam pertumbuhan tanaman di bawah kondisi
lingkungan yang tidak baik, salah satunya adalah pada kondisi tercemar polusi
udara karena fructans berperan sebagai pengambil oksigen reaktif atau secara
tidak langsung menstimulasi mekanisme bertahan antioksidatif. Berdasarkan
karbohidrat total pada daun, maka P. longifolia termasuk dalam tanaman yang
toleran terhadap pencemaran udara sedangkan A. auriculiformis merupakan
tanaman yang sensitif.
44
Hubungan Parameter Makroskopis dan Fisiologis
Mekanisme penyesuaian tanaman terhadap bahan pencemar udara dapat
diukur berdasarkan perubahan kondisi fisiologi. Oleh karena itu, setelah dilakukan
analisis korelasi antara karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan
fisiologis, maka dilakukan analisis korelasi antara parameter makroskopis
terhadap parameter fisiologis untuk mengetahui tingkat korelasi masing-masing
parameter agar penggolongan toleransi tanaman bersesuaian antara parameter
fisiologis dan makroskopis. Analisis korelasi dilakukan terhadap parameter
makroskopis yang terdiri atas pertambahan jumlah daun, warna daun, ketebalan
daun, RGR 1 (laju pertambahan luas daun pada selang satu bulan pengamatan
pertama), RGR 2 (laju pertambahan luas daun pada selang satu bulan pengamatan
kedua), dan RGR (laju pertambahan luas daun pada selang dua bulan pengamatan)
serta parameter fisiologis yang terdiri atas karbohidrat total, asam askorbat,
klorofil, pH, dan kadar air. Hasil analisis korelasi antara RGR dengan parameter
fisiologis dapat dilihat pada Tabel 21.
Hasil analisis korelasi menunjukkan hubungan paling signifikan terjadi
antara RGR 1 dengan karbohidrat total, yaitu korelasi sebesar 0.717 (kategori
korelasi kuat) dengan p = 0.045, namun hubungan RGR 1 dengan parameter
lainnya cenderung rendah, yaitu asam askorbat, klorofil, dan pH dengan kategori
korelasi yang rendah, sedangkan kadar air dengan kategori korelasi sangat rendah.
Hal ini sesuai dengan pendugaan dan perhitungan sebelumnya bahwa karbohidrat
total memberikan pengaruh paling tinggi terhadap RGR dibandingkan parameter
fisiologis yang dikemukakan Singh et al. (1991) pada formula APTI. RGR 1
memiliki hubungan yang signifikan karena waktu pengambilan sampel untuk
analisis fisiologis ketika dilakukan pengamatan kedua pertumbuhan tanaman.
Penggolongan toleransi tanaman berdasarkan nilai RGR mempunyai kelebihan
karena RGR dapat menggambarkan kemampuan tanaman menyesuaikan diri
terhadap kondisi terpolusi. Mekanisme penyesuaian tanaman terhadap bahan
pencemar udara dapat diukur berdasarkan perubahan kondisi fisiologi. Oleh
karena itu penentuan tingkat toleransi tanaman didasarkan pada hubungan antara
parameter fisiologis dengan RGR 1.
Tabel 20 Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter
fisiologis
Parameter
Pertambahan
jumlah daun
Pearson
Correlation
Sig.
Kategori
Warna daun
Pearson
Correlation
Sig.
Kategori
Tebal daun
Pearson
Correlation
Sig.
Karbohidrat
Asam
Askorbat
Klorofil
pH
Kadar
Air
-0.084
-0.037
-0.077
0.152
0.398
0.817
Sangat
rendah
0.920
Sangat
rendah
0.833
Sangat
rendah
0.676
Sangat
rendah
0.254
-0.135
-0.073
0.352
0.285
0.552
0.709
Sangat
rendah
.841
Sangat
rendah
.319
.424
.098
Rendah
Rendah
Sedang
0.310
-0.267
-0.267
-0.046
-0.032
0.383
0.456
0.456
0.899
0.929
Rendah
45
Tabel 20 Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter
fisiologis (lanjutan)
Parameter
Kategori
Karbohidrat
Asam
Askorbat
Klorofil
pH
Rendah
Rendah
Rendah
Sangat
rendah
Kadar
Air
Sangat
rendah
0.287
0.390
0.293
-0.046
0.491
0.339
0.481
Rendah
Rendah
Rendah
.914
Sangat
rendah
0.407
-0.601
0.422
0.120
0.317
0.115
0.298
Sedang
Kuat
Sedang
0.777
Sangat
rendah
-0.06
0.366
0.02
0.492
0.826
0.163
0.942
0.053
sangat
rendah
rendah
sangat
rendah
sedang
RGR 1 (laju Pearson
0.717*
pertambahan Correlation
luas daun
Sig.
0.045
pada bulan
Kategori
Kuat
pertama)
RGR 2 (laju Pearson
0.206
pertambahan Correlation
luas daun
Sig.
0.624
pada bulan
Kategori
Rendah
kedua)
RGR (rataPearson
0.016
rata
Correlation
pertambahan Sig.
0.952
luas daun
sangat
selama dua
Kategori
rendah
bulan)
*signifikan pada taraf kepercayaan 95%
Hasil analisis menunjukkan, asam askorbat yang menjadi parameter utama
dalam menentukan tingkat toleransi tanaman ternyata memiliki korelasi yang
rendah dengan RGR 1 tanaman (korelasi = 0.287, p = 0.491). Hal ini sesuai
dengan penelitian Sulistijorini et al. (2008) yang menunjukkan toleransi
berdasarkan RGR tidak dipengaruhi oleh kandungan asam askorbat daun.
Lagerstroemia speciosa yang termasuk jenis toleran mempunyai asam askorbat
terendah (4.59 mg/g daun) dibandingkan dengan ketujuh jenis tanaman lainnya.
Parameter klorofil (korelasi = 0.390, p = 0.339) tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap RGR 1 namun hubungannya masih lebih tinggi
dibandingkan parameter asam askorbat, pH, dan kadar air. Sesuai dengan Carter
dan Knapp (1991) yang menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi
pengurangan klorofil. Ditambahkan oleh Kozlowski dan Mudds (1975)
menyatakan bahwa adanya pencemaran udara dapat menimbulkan nekrosis dan
klorosis yang melibatkan mekanisme kerusakan klorofil. Penelitian Pandey dan
Agrawal (1994) membuktikan bahwa tanaman pada daerah urban yang relatif
tercemar mempunyai klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman
pada daerah yang tidak tercemar. Pengaruh yang tidak signifikan pada klorofil
disebabkan oleh konsentrasi pencemar udara di area terpolusi yang tidak terlalu
tinggi. Klorofil sebagai salah satu bagian dari organel kloroplas menjadi modal
dasar bagi tanaman dalam melakukan fotosintesis. Selain klorofil, tanaman juga
memerlukan karbondioksida dan air untuk menjalankan fotosintesis.
Karbondioksida diperoleh tanaman melalui proses fiksasi karbondioksida. Fiksasi
karbondioksida oleh tanaman, tidak dapat dipilih zat atau senyawa yang boleh
masuk atau tidak bersama dengan udara. Proses fiksasi karbondioksida menjadi
salah satu cara untuk mengurangi polusi udara. Fiksasi karbondioksida oleh
tanaman akan dapat menyebabkan udara yang tercemar menjadi lebih bersih
apabila polutan yang terdapat di dalamnya terikat di dalam tanaman (Kompri
2009). Karbondioksida yang difiksasi oleh tanaman akan mempengaruhi
banyaknya pati (karbohidrat) yang dihasilkan oleh tanaman, semakin banyak
46
karbondioksida yang difiksasi akan membuat tanaman menghasilkan lebih banyak
pati. Karbohidrat juga dapat membantu pembentukan klorofil dalam daun-daun
yang mengalami pertumbuhan. Tanpa adanya karbohidrat, maka daun-daun
tersebut tidak mampu menghasilkan klorofil.
Kadar air daun sebagai elemen dalam formulasi APTI juga kurang dapat
menggambarkan peranan kadar air dalam mekanisme pertahanan diri akibat
paparan bahan pencemar, dapat dilihat pada hasil analisis korelasi, kadar air hanya
memiliki tingkat korelasi sebesar -0.046, pengaruhnya paling rendah
dibandingkan asam askorbat, klorofil dan pH. Meningkatnya kadar air pada
tanaman terpolusi diduga karena pengambilan air dari dalam tanah dan transpirasi
tanaman berada dalam keseimbangan. Hal ini didukung oleh Taiz dan Zeiger
(2002) yang menyatakan ketersediaan air pada daun dipengaruhi oleh kemampuan
absorbsi akar dan transpirasi tanaman.
Parameter pH memiliki signifikan yang lebih tinggi dibandingkan asam
askorbat dan kadar air, yaitu sebesar 0.293. Derajat keasaman (pH) daun dapat
menjadi indikator toleransi tanaman karena pH berperan penting dalam berbagai
reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989) menyatakan bahwa pH
merupakan media respon fisiologi terhadap kondisi stress. Proses asidifikasi yang
dihasilkan dari industri menyebabkan turunnya pH dalam sitoplasma (Marcshner
1995). Untuk menstabilkan pH dalam sitoplasma tetap dalam kisaran yang
optimum, maka terjadi pembongkaran asam organik (dekarboksilasi). Terjadinya
proses dekarboksilasi berarti mengurangi hasil fotosintesis, yang tercermin dalam
pertambahan luas daun tanaman terpolusi lebih rendah daripada tanaman kontrol
(tidak terpolusi) (Sulistijorini et al. 2008).
Berdasarkan hasil analisis korelasi, maka penentuan tingkat toleransi
tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan hubungan antara parameter
fisiologis dengan RGR 1. Hasil analisis regresi linier berganda menghasilkan
formula APTI yang baru, yaitu:
𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇𝐼 = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅
Keterangan:
A = asam askorbat total (mg g-1)
T = klorofil total (mg g-1)
P = pH daun
R = kadar air daun (%)
K = karbohidrat total (%)
Dengan formula modifikasi APTI tersebut, maka terjadi perubahan
klasifikasi tingkat toleransi tanaman dan hasilnya menunjukkan setiap jenis
tanaman antara RGR 1 (parameter makroskopis) dan modifikasi APTI (parameter
fisiologis) memiliki tingkat toleransi yang sama (Tabel 21). Pemberian skor dan
klasifikasi tingkat toleransi mengacu pada modifikasi Dahlan (1995), yaitu skor 1
jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih rendah dari
kontrol/tidak terpolusi. Skor 2 diberikan jika rerata tanaman kontrol dan terpolusi
tidak berbeda nyata; skor 3 jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi
lebih tinggi dari kontrol; Penggolongan toleransi tanaman ditentukan berdasarkan
skor RGR yaitu termasuk toleran jika skor 3; toleransi sedang jika skor = 2; tidak
toleran jika skor =1. Pertimbangan pemberian skor dan klasifikasi berdasarkan
modifikasi Dahlan (1995) karena dilakukan perbandingan antara area terpolusi
dan kontrol terlebih dahulu kemudian dihitung skornya. Perbandingan antara nilai
47
terpolusi dan kontrol perlu dipertimbangkan untuk mengukur pengaruh polusi
udara pada tanaman. Oleh karena itu, tanaman dengan nilai modifikasi APTI lebih
tinggi di area terpolusi dibandingkan kontrol menunjukkan toleransi yang tinggi
terhadap polusi udara. Hasilnya menunjukkan nilai modifikasi APTI jenis
tanaman P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana lebih
tinggi di area terpolusi dan berbeda nyata sehingga termasuk dalam tanaman
toleran; pada jenis tanaman H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis memiliki
nilai modifikasi APTI tidak berbeda nyata antara area terpolusi dan kontrol
sehingga termasuk dalam tanaman toleransi sedang; sedangkan tanaman tidak
toleran pada jenis L. leucocephala, P. indicus, dan S. mahagoni karena memiliki
nilai modifikasi APTI di area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol dan
berbeda nyata.
Tabel 21 Toleransi tanaman berdasarkan RGR 1 dan modifikasi APTI
Jenis tanaman
RGR 1
TerpoKontrol
lusi
Skor
**
Modifikasi APTI
Terpolusi
Kontrol
Skor
**
Tingkat
Toleransi
A.
0.15 a
0a
2
2.84 a*
3.80 a
2
Sedang
auriculiformis
C.
8.82 ab
6.40 b
3
Toleran
junghuhniana***
E. crista-galli
1.02 b
0.13 ab
3
6.53 b
10.59 bc
3
Toleran
H. tiliaceus
0.99 b* 0.69 b
2
6.24 ab
8.58 ab
2
Sedang
L.
1
Tidak toleran
leucocephala***
4.18 ab
10.06 bc
P. fragrans
0.24 a
0.07 ab
3
5.68 ab
4.92 a
3
Toleran
P. indicus
0.12 a
0.28 ab
1
5.16 ab
8.82 b
1
Tidak toleran
P. longifolia
1.03 b
0.67 ab
3
9.48 b
9.10 bc
3
Toleran
S. mahagoni
0.27 a
0.87 ab
1
5.94 ab
6.70 b
1
Tidak toleran
S. saman
0.12 a
0.11 a
2
7.30 ab
6.80 ab
2
Sedang
*Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata
berdasarkan Uji Selang berganda Duncan pada taraf α=5%
** Berdasarkan modifikasi Dahlan (1995)
*** Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas
daun
Rekomendasi Penanaman di Kawasan Industri
Rekomendasi yang disarankan untuk menurunkan tingkat polusi udara dan
meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Kawasan Industri Kota Cilegon
adalah dengan upaya green belt development. Green belt development merupakan
solusi yang tepat karena secara ekonomi dan teknologi layak dikembangkan.
Upaya ini dibagi menjadi dua rekomendasi yaitu berdasarkan parameter biofisik
dan sosial ekonomi. Parameter biofisik yang dimaksud adalah pengembangan
green belt yang ideal dan bermanfaat optimum untuk suatu kota dari segi jenis
tanaman, tinggi tanaman, lebar green belt dan jarak green belt dari pusat
pencemar. Parameter sosial-ekonomi yaitu pertimbangan keefektifan biaya yang
dikeluarkan, kegunaan jangka panjang, keberlanjutan, dan kelayakan teknologi
serta interaksi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan green belt. Oleh
karena itu, green belt development berdasarkan parameter biofisik merupakan
konsep dasar dari penanaman di Kawasan Industri Kota Cilegon sehingga konsep
48
penataan ruang terbuka hijau di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi
menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi polutan dan bentuk penanaman. Peta
konsep penanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dapat dilihat pada
Lampiran 12.
Berdasarkan distribusi polutan, konsentrasi polutan menjadi faktor utama
dalam memilih jenis tanaman. Konsentrasi polutan udara yang tinggi dapat
mempengaruhi perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak pada
pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berfungsi sebagai agen yang dapat
mengurangi pencemaran udara. Jika tanaman toleran terhadap pencemar udara
maka fungsi tanaman sebagai agen yang mengurangi dampak pencemaran udara
dapat berjalan baik dengan tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman yang optimum. Oleh karena itu, selain efektif menyerap
polutan gas dan menjerap polutan partikel, pemilihan tanaman yang toleran lebih
diprioritaskan untuk mengurangi dampak pencemaran tanaman udara pada area
dengan konsentrasi polutan tinggi.
Kawasan Industri Krakatau Cilegon menghasilkan polutan jenis partikel
paling banyak dibandingkan dengan polutan gas, bahkan konsentrasinya telah
melebihi ambang baku mutu lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan tanaman
yang efektif dalam menjerap partikel dibutuhkan pada tapak. Keefektifan tanaman
dalam menjerap partikel berbeda setiap jenisnya. Dengan adanya vegetasi, partikel
padat yang dihasilkan sumber polutan seperti pabrik akan dapat dibersihkan oleh
tajuk pohon melalui proses jerapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu
yang tersebar luas dapat menurun. Partikel tersebut sebagian akan terjerap
(menempel) pada permukaan daun, lebih efektif pada daun yang berbulu dan
mempunyai permukaan yang kasar. Selain itu, terdapat partikel yang menempel
pada kulit pohon, cabang, dan ranting. Kriteria tanaman khusus untuk penjerap
debu yaitu memiliki daun yang rimbun, permukaan daun yang kasar atau berbulu,
berdaun jarum, memiliki kerapatan trikoma tinggi, serta toleran terhadap polutan.
Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun bunga matahari (Helianthus
anuus) dan kersen (Muntingia callabura) mempunyai kemampuan yang tinggi
dalam menjerap partikel daripada daun yang mempunyai permukaan yang halus
(Wedding et al. dalam Smith 1981). Daun yang berambut atau bertrikoma
mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap partikel dibandingkan daun
yang tidak bertrikoma seperti Cassia javanica (Gandasari et al. 2000).
Berdasarkan hasil penelitian, tanaman yang efektif dalam menjerap partikel dan
toleran terhadap pencemar udara dan sesuai ditanam di area dengan konsentrasi
polutan tinggi adalah P. longifolia, P. fragrans, dan C. junghuhniana.
Berdasarkan penelitian Dwiputri (2012) kapasitas jerapan debu per pohon P.
fragrans tertinggi (2 389,18 mg hari-1) dibandingkan dengan tiga jenis tanaman
lainnya (Terminalia catappa, Mangifera indica, dan Thuja orientalis). Morfologi
daun sebagai penjerap debu pada P. fragrans mirip dengan sehingga kapasitas
jerapan debu pada P. longifolia pun diduga sama efektifnya dengan P. fragrans.
Jenis tanaman C. junghuhniana juga efektif dalam menjerap polutan partikel
karena sesuai dengan kriteria tanaman penjerap partikel, berdaun jarum. Tanaman
yang dipilih pada area dengan konsentrasi polutan rendah adalah tanaman dengan
toleransi sedang dan efektif menjerap partikel, yaitu H. tiliaceus dan S. saman. H.
tiliaceus efektif menjerap partikel karena permukaan daunnya berbulu, kasar dan
49
berukuran lebar. S. saman permukaan daunnya kasar dan berbulu namun
berukuran kecil dengan jumlah jerapan debu sebesar 3.19 mg g-1 daun.
Selain polutan partikel, polutan gas dengan konsentrasi tinggi di Kawasan
Industri Krakatau Cilegon adalah NO2 dan amonia. Tanaman berfungsi dalam
mengurangi jenis polutan gas melalui penyerapan (absorbsi), yaitu melalui
stomata polutan gas masuk ke dalam jaringan daun. Faktor yang mempengaruhi
peningkatan penyerapan polutan gas khususnya NO2 yaitu ketebalan daun yang
tipis, berat jenis daun rendah, laju fotosintesis dan transpirasi tinggi, konduktans
dan kerapatan stomata tinggi, dan potensial air tinggi (Nugrahani et al. 2006, Patra
2002, Abdurahim 2010). Oleh karena itu, kriteria tanaman yang efektif dalam
menyerap gas adalah tanaman dengan daun yang tipis, mempunyai konduktans
stomata tinggi, jumlah stomata yang relatif banyak dan berukuran besar serta
toleran terhadap polutan gas. Tanaman yang memiliki pertumbuhan cepat
memiliki serapan NO2 yang tinggi (Fakuara 1987 dalam Abdurahim 2010). Jenis
tanaman yang cepat tumbuh mempunyai daya regenerasi yang cepat pula agar
dapat segera berfungsi apabila jenis tanaman tersebut sewaktu-waktu harus diganti
oleh jenis yang lain bila telah habis masanya sehingga cocok untuk dipilih
sebagai tanaman green belt, diantaranya yaitu jati putih (Gmelina arborea),
sengon (Paraserianthes falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii). Gmelina
arborea memiliki kemampuan serapan NO2 sebesar 1.95 μg 5N dm-2 daun) namun
memiliki toleransi rendah terhadap pencemaran udara sehingga disarankan
ditanam di area polusi rendah, sedangkan tanaman Lagerstroemia speciosa
memiliki serapan NO2 sebesar 2.13 μg dm-2 (per luas daun) dan memiliki toleransi
tanaman tinggi disarankan ditanam di area polusi tinggi (Sulistijorini et al. 2008).
Menurut Agustin et al. (1999) tanaman yang efektif mengurangi polutan gas
adalah Bauhinia purpurea, Bauhinia monandra, Bauhinia forficata, Bauhinia
galpinii, Cassia siamea, dan Piliostigma malabaricum. Keenam jenis pohon
tersebut mempunyai ciri bertajuk masif, berkerapatan stomata sedang sampai
tinggi, evergreen, dan mempunyai tinggi lebih dari 10 meter. Berdasarkan hasil
penelitian, tanaman toleran tinggi yang efektif menyerap gas NO2 adalah E.
crista-galli, P. fragrans dan C. junghuhniana. E. crista-galli memiliki
kemampuan serapan gas >30 μg g-1, P. fragrans memiliki nilai serapan 1.41 μg
dm-2 (per luas daun) (Nugrahani et al. 2006). C. junghuhniana memiliki kerapatan
stomata tertinggi (939.47 mm-2) dibandingkan dengan tanaman lainnya serta
memiliki kerapatan stomata lebih tinggi di area terpolusi dibandingkan dengan
kontrol. Tanaman yang dipilih pada area dengan konsentrasi polutan rendah
adalah tanaman dengan toleransi sedang dan efektif menyerap polutan gas, yaitu S.
saman karena memiliki ketebalan daun yang paling tipis (126.8 µm) dibandingkan
sembilan tanaman lainnya serta kemampuan serapan gas >30 μg g-1.
Berdasarkan bentuk penanaman, tata hijau kawasan dibagi menjadi dua
yaitu jalur hijau jalan dan green belt industri. Jalur hijau jalan merupakan
penanaman pohon di sepanjang jalan untuk mengurangi pencemaran udara yang
dihasilkan oleh transportasi, sedangkan green belt industri merupakan penanaman
di sekeliling kawasan industri untuk mengurangi dampak pencemaran udara
keluar dari kawasan industri. Peta rencana penanaman di Kawasan Industri
Krakatau Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 13.
Penataan ruang terbuka hijau di green belt industri berfungsi untuk
mengurangi tingkat pencemaran lingkungan terutama akibat kegiatan industri
50
berupa produksi, pembakaran, bengkel, pengangkutan bahan baku dari sumber
bahan baku menuju tempat penimbunan bahan baku, maupun pengangkutan bahan
baku dari penimbunan menuju area tangki serta lalu lintas kendaraan (Dwiputri
2012). Penataan tanaman sebagai green belt di kawasan industri dibagi dua, yaitu
area dengan konsentrasi polutan paling rendah ditanami oleh kelompok tanaman
dengan toleransi sedang (H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis) sedangkan
area dengan konsentrasi tertinggi dan berada di atas baku mutu lingkungan
ditanami oleh kelompok tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara (P.
longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana). Vegetasi semak juga
perlu ditanam untuk menutupi cabang pohon utama yang tidak sampai ke
permukaan tanah untuk mencegah partikel yang keluar dari kawasan. Semak yang
dipilih yaitu bougenvill (Bougainvillea spectabilis). Penanaman tegak lurus
dengan arah angin, penanaman rapat/massif, penanaman semak dan pohon yang
lebat dan beraneka ragam serta massif, serta konfigurasi tanaman dapat berbentuk
gerombol atau menumpuk atau berbentuk jalur mengikuti bentukan jalan.
Tanaman dengan toleransi tinggi dan efektif menjerap partikel (P. longifolia, P.
fragrans, dan C. junghuhniana) ditanam sebagai green belt di sekeliling industri
PT Briketama, PT Oilshell, dan PT Siemens yang memiliki konsentrasi partikel
tinggi dan di atas baku mutu lingkungan, sedangkan pada konsentrasi polutan
partikel rendah dapat ditanami H. tiliaceus dan S. saman. Jenis tanaman dengan
toleransi tinggi dan memiliki kemampuan serapan gas NO2 ditanam di sekeliling
industri PT Cabot Indonesia, PT Oilshell, PT Bluescope, PT Petrojaya, PT
Krakatau Engineering, dan PT Siemens yang menghasilkan konsentrasi NO2 dan
amonia tinggi, yaitu jenis tanaman E. crista-galli, P. fragrans, C. junghuhniana,
dan L. speciosa. Area dengan konsentrasi rendah dapat ditanami G. arborea, S.
saman, P. falcataria, M. eminii. Detail penanaman untuk green belt dapat dilihat
pada Lampiran 14.
Penataan untuk jalur hijau jalan berfungsi untuk mengurangi tingkat
pencemaran lingkungan terutama akibat transportasi dari kegiatan pengangkutan
bahan baku dari sumber bahan baku menuju tempat penimbunan bahan baku,
maupun pengangkutan bahan baku dari penimbunan menuju area tangki serta lalu
lintas kendaraan serta berfungsi sebagai pengarah jalan, pembatas jalan (median)
serta estetika. Pemilihan tanaman untuk mengurangi pencemaran polusi sama
dengan green belt, yaitu tanaman dengan toleransi terhadap pencemar dan efektif
mengurangi pencemaran udara. Detail penanaman untuk jalur hijau jalan dapat
dilihat pada Lampiran 15.
Tanaman yang digunakan sebagai pengarah terutama digunakan di seluruh
jalur sirkulasi dalam kawasan sebagai pengarah yang ditanam di di kiri dan kanan
jalan (tepi). Kriteria pemilihan tanaman antara lain tanaman berbatang tunggal
(Kementerian PU 2012), tanaman pohon dengan cabang minimal 2 meter di atas
permukaan tanah (Kementerian PU 2012), pohon dengan ketinggian lebih dari 6
meter atau perdu dengan ketinggian 3-6 meter (Carpenter et al. 1975, Departemen
PU 1996), bentuk tajuk khas (Lestari 2005), serta tajuk berbentuk kerucut,
fastigate atau kolumnar (Handayani 2010) percabangan sedikit, tinggi,
berkesinambungan, berkesan rapi dan memudahkan orientasi (Carpenter et al.
1975). Berdasarkan kriteria tersebut, maka tanaman untuk jalur hijau sebagai
pengarah yang dipilih untuk area dengan konsentrasi polutan tinggi adalah P.
longifolia dan C. junghuhniana. Pemilihan tanaman untuk area dengan
51
konsentrasi polutan rendah adalah A. auriculiformis. Penanaman dilakukan secara
massal/berbaris di tepi jalan dan jarak tanaman rapat.
Selain pada tepi jalan, penanaman jalur hijau pada median juga perlu
diperhatikan karena median berfungsi sebagai pembatas jalan. Menurut Grey dan
Deneke (1978), fungsi tanaman pembatas adalah untuk membatasi ruang,
membatasi pandangan dan menutup pemandangan buruk yang tidak diinginkan,
kontrol privasi, serta untuk keamanan. Tanaman pembatas dapat mengurangi
risiko kecelakaan dengan mekanisme sebagai pembatas jalur (boundaries),
peredam benturan (absorbtion) dan pelindung jalur (protection). Penggunaan
tanaman pembatas pada area-area tersebut dibutuhkan bila terjadi kecelakaan,
kendaraan masih dapat tertahan oleh tanaman pembatas sehingga mengurangi
risiko kecelakaan yang lebih fatal. Penggunaan tanaman pembatas pada median
juga dapat membantu mengurangi silau dari lampu sorot kendaraan ke arah
sebaliknya. Kriteria tanaman pembatas yang dianjurkan menurut Grey dan
Deneke (1978) adalah tanaman tinggi, semak atau perdu setinggi minimal 1.5
meter, bermassa daun padat, memiliki percabangan yang lentur, ditanam berbaris
atau membentuk massa dengan jarak tanam rapat kurang dari 3 meter, diutamakan
jenis tanaman semak agar tidak menghalangi pandangan. Semak yang memiliki
kapasitas cukup baik dalam menjerap dan menyerap polutan (kapasitas serapan
NO2 >30 μg g-1) diantaranya oleander (Nerium oleander), bugenvil (Bougainvillea
spectabilis), dan nusa indah (Mussaenda sp.) (Nugrahani et al. 2006) sehingga
sesuai ditanam sebagai median di area terpolusi tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan APTI (Singh et al.
1991) dan berdasarkan RGR memberikan hasil yang berbeda. Berdasarkan APTI,
tanaman L. leucocephala dan S. mahagoni termasuk tanaman toleran; tanaman H.
tilliaceus, S. saman, P. indicus, dan A. auriculiformis termasuk tanaman cukup
toleran; tanaman P. longifolia, E. crista-galli, dan C. junghuhniana termasuk
tanaman sedang; dan tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang sensitif.
Toleransi tanaman berdasarkan RGR menghasilkan data bahwa tanaman yang
toleran adalah H. tilliaceus, P. longifolia, P. fragrans, dan E. crista-galli, tanaman
dengan tolerasi sedang adalah tembesi dan A. auriculiformis, serta tanaman yang
tidak toleran adalah P. indicus dan S. mahagoni.
Penggolongan toleransi tanaman berdasarkan nilai RGR mempunyai
kelebihan karena RGR dapat menggambarkan kemampuan tanaman
menyesuaikan diri terhadap kondisi terpolusi. Mekanisme penyesuaian tanaman
terhadap bahan pencemar udara dapat diukur berdasarkan perubahan kondisi
fisiologi. Tingkat toleransi berdasarkan APTI memiliki kelemahan, penentuan
bobot parameter fisiologi dalam formula masih kurang bersesuaian dengan
pertumbuhan tanaman. Hasil yang paling signifikan, asam askorbat yang menjadi
parameter utama dalam menentukan tingkat toleransi tanaman ternyata memiliki
korelasi yang paling rendah dengan RGR tanaman. Karbohidrat total sebagai
parameter tambahan merupakan parameter fisiologis paling kuat mempengaruhi
52
pertumbuhan tanaman dibandingkan parameter fisiologis lain dari formula APTI .
Karbohidrat total mempengaruhi tingkat toleransi sebesar 34.1% sehingga
memodifikasi formulasi APTI dan mengubah klasifikasi toleransi tanaman.
Rumus modifikasi APTI yang dihasilkan apabila A = asam askorbat total (mg g-1),
T = klorofil total (mg g-1), P = pH daun, R = kadar air daun (%), dan K =
karbohidrat total (%) adalah sebagai berikut:
𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇I = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅
Berdasarkan hasil modifikasi, maka tingkat toleransi tanaman di Kawasan
Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi tiga, yaitu tanaman toleran pada P.
longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana; toleransi sedang pada
H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis; tidak toleran pada L. leucocephala,
P. indicus, dan S. mahagoni. Konsep penataan ruang terbuka hijau di Kawasan
Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi
polutan dan bentuk penanaman. Tanaman dengan tingkat toleransi tinggi dan
efektif mengurangi pencemaran udara dipilih untuk area dengan konsentrasi
polutan tinggi sedangkan tanaman dengan tingkat toleransi sedang ditempatkan
pada area dengan konsentrasi polutan rendah. Bentuk penanaman dibagi menjadi
dua, yaitu green belt untuk mengurangi polusi industri dan jalur hijau untuk
mengurangi polusi transportasi.
Saran
Penelitian selanjutnya disarankan menguji validitas formula modifikasi
APTI dengan memperbanyak jumlah sampel jenis tanaman untuk mengetahui
tingkat toleransi tanaman lainnya yang biasa digunakan di kawasan industri
sehingga rekomendasi pemilihan tanaman pun akan lebih variatif. Pengukuran
sampling udara juga disarankan diambil pada setiap kali pengamatan terhadap
tanaman sehingga kualitas udara saat pengamatan dapat diketahui sebagai
perbandingan dan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman.
Pemilihan tanaman di kawasan industri disarankan tanaman yang efektif
mengurangi (menyerap dan menjerap) polutan dan toleran terhadap paparan polusi
udara. Berdasarkan toleransi terhadap pencemar udara, jenis tanaman yang
disarankan sebagai tanaman kawasan industri adalah P. longifolia, P. fragrans, E.
crista-galli, dan C. junghuhniana. Pemilihan tanaman disarankan menghindari
tanaman sensitif pada area terpolusi tinggi. Peletakan tanaman yang toleran
disarankan di koridor jalan untuk polusi akibat transportasi dan green belt industri
untuk polusi akibat industri yang beremisi tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurahim M. 2010. Pengaruh jenis vegetasi dan suhu lingkungan terhadap
penyerapan polutan gas NO2 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Agustini MS, Nurisyah YC, Sulistyaningsih. 1999. Identifikasi ciri arsitektur dan
kerapatan stomata 25 jenis pohon suku Leguminosae untuk elemen lanskap tepi
jalan. Bul Taman dan Lanskap Indonesia. 2: 2-6.
53
Ammann MP, Von Ballmoos M, Stalder M, Suter, C Brunold. 1995. Uptake and
assimilation of atmospheric NO2-N by spruce needles (Picea abies): a field
study. Water, Air, Soil Pollut. 85: 1497-1502.
Arief M. 2013. Pengolahan Limbah Industri-Limbah Gas. Jakarta: Universitas
Esa Unggul.
Arnon. 1949. Copper enzymes in isolated chloroplast: polyphenol oxidase in Beta
vulgaris. Plant Physiol. 24: 1-15.
[Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. 2015. Buku Informasi Peta
Kekeringan dengan metode SPI (standardized precipitation index) Provinsi
Banten dan DKI Jakarta: Edisi Juli 2015. Stasiun Klimatologi Pondok Betung.
Bora M, Joshi N, 2014. A study on variation in biochemical aspect of different
tree species with tolerance and performance index. The Bioscan An Intl
Quarterly J Life Sci. 9(1): 59-63.
Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape. San
Fransisco: W.H. Freeman and Company.
Carter GA, Knapp AK. 2001. Leaf optical properties in higher plants: Linking
spectral characteristics to stress and chlorophyll concentration. American J
Botany. 84: 677-684.
Castro AI, Stulen FS, Posthumus LJ, Kok de. 2006. Changes in growth and
nutrient uptake in Brassica oleraceae exposed to atmospheric ammonia. Ann
Bot. 97: 121-131.
Dahlan EN. 1995. Effects of Air pollutants on plant leaves. Final Report for
Osaka Gas Foundation. Bogor: IPB.
Dahlan EN. 2007. Analisis kebutuhan luasan hutan kota sebagai sink gas CO2
antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan
pendekatan sistem dinamik [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[Departemen Pekerjaan Umum]. 1996. Tata Cara Perencanaan Teknik Lanskap
Jalan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Bina Marga.
Dwiputri DA. 2012. Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan pembangkit
listrik tenaga uap PT Krakatau Daya Listrik Cilegon Banten [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Fatah. 2009. Strategi pengelolaan kawasan industri menuju eco industrial park
(studi pada kawasan industri Cilegon Provinsi Banten) [disertasi]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Fitter AH, Hay RKM. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Gandasari D, Nurisyah S, Sulistyaningsih YC. 2000. Identifikasi arsitekturis dan
kerapatan trikoma pada 75 jenis pohon untuk lanskap tepi jalan. Bul Tanaman
dan Lanskap Indonesia. 3(1): 2-6.
Grey GW, Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. New York: John Willey and Sons.
Goldsworthy PR, Fisher NM. 1992. Fisiologi tanaman budidaya tropik.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press
Guderian R, Tingey DT, Rabe R. 1985. Air Pollution by Photochemical Oxidants:
Formation, Transport, Kontrol, and Effects on Plants. Berlin: Springer-Verlag.
Handayani. 2010. Lansekap dalam Arsitektur [internet]. [diunduh 2013 September
2013].
Tersedia
pada:
http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19
54
6609301997032-SRI_HANDAYANI/Bahan_Ajar_Mata_Kuliah_
ArsLansekap_2.pdf.
Hartono. 2007. Pembangunan kawasan industri menurut kajian hukum lingkungan
(Studi kasus Kawasan Industri Candi di Kota Semarang) [tesis]. Semarang
(ID): Universitas Diponegoro. 206 hlm.
Hartung WJ, Radin JW, and Hendrix DL. 1988. Absisic acid movement into the
apoplastic solution of water stressed cotton leaves. Plant Physiol. 86: 908-913.
Heggestad, Heck. 1971.
Irianti N. 2010. Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan industri PT. Pindo
Deli Pulf and Paper Mills Karawang Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor. 96 hlm.
Ismaun I. 2008. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International
Resort. J Ars Lansk (Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang
Alam). 2 (1): 2.
Keller T, Schwager H. 1977. Air pollution and ascorbic acid, Europ. J Forest
Pathol, 7: 338-350.
[Kementerian Pekerjaan Umum]. 2012. Pedoman Penanaman Pohon pada Sistem
Jaringan Jalan. Jakarta. 59 hlm.
Kovacs. 1992. Trees as biological indicators. In: Biological Indicators in
Environmental Protection. New York: Kovacs, M. (ed), Ellis Horwood
Kozlowski TT, Mudds JB. 1975. Response of plants to air pollution. New York:
Academic Press.
Kusnoputranto H. 1996. Dampak pencemaran udara dan air terhadap kesehatan
dan lingkungan. J Ling Pembangunan, 16 (3): 210-224.
Lestari G. 2005. Evaluasi kualitas estetika visual pohon pada lanskap jalan
[skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Lestari G, Kencana IP. 2008. Galeri Tanaman Lanskap. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Lima JS, Fernandes EB, Fawcett WN. 2000. Mangifera indica and Phaseolus
vulgaris in the bioindicator of air pollution in Bahia, Brazil. Ecotoxicol
Environ. Saf. 46(3): 275-278.
Liu YJ, Ding H. 2008. Variation in air pollution tolerance index of plant near a
steel factory: implications for landscape-plant species selection for industrial
area. Wseas Trans Enviro Develop. 4(1): 24-32.
Malhotra SS, Khan AA. 1984. Biochemichal and Physiological Impact of Major
Pollutants. John Wiley & Sons Ltd.
Marschner H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. 2nd ed. London:
Academic Pr.
Masuko T, Minami A, Iwasaki N, Majima T, Nishimura SI, Lee YC. 2005.
Carbohydrate analysis by a phenol-sulfuric acid method in microplate format.
Analytic Biochem. 339: 69-72.
Mc Kersie BD, Leshem YY. 1994. Stress and Stress Coping in Cultivated Plants.
Dordrecht: Kluwer Academic.
Meerabai G, Venkata Ramana C, Rasheed M. 2012. Effect of industrial pollutants
on Physiology of Cajanus cajan (L.)-Fabaceae. Int J Environ Sci. 2(4): 18891894.
Moretto R, Sandrin CZ, Itaya NM, Domingos M, Figueiredo-Ribeiro RCL. 2009.
Fructan variation in plants of Lolium multiflorum ssp. italicum ‘Lema’
55
(Poaceae) exposed to an urban environment contaminated by high ozone
concentrations. In: Benkeblia N, Shiomi N.(Eds.). Proceedings of the Sixth
International Fructan Symposium. Dynamic Biochemistry, Process
Biotechnology and Molecular Biology 3(Special Issue 1), pp.1–9.
Nishimura HT, Hayamishu Y, Yanasigawa. 1986. Reduction of NO2 to NO by
rush and other Plants. Environ Sci Technol. 20: 413-416.
Noctor G, Foyer CH. 2005. Ascorbate and gluthatione: keeping active oxygen
under kontrol. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 49: 249-279.
Nugraha, AN. 2013. Identifikasi toleransi tanaman lanskap terhadap naungan
[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 101 hlm.
Nugrahani P, Nasrullah N, Sisworo EL. 2006. Faktor fisiologi tanaman tepi jalan
yang menentukan kemampuan serapan polusi udara gas 15NO2. Risalah Seminar
Ilmiah: Aplikasi Isotop dan Radiasi.
Oguntimehin I, Kondo H, Sakugawa H. 2010. The use of sunpatiens (Impatiens
spp,) as a bioindicator of some simulated air pollutants-using an ornamental
plant as bioindicator. Chemosphere. 81: 273-281.
Pandey J, Agrawal M. 1994. Evaluation of air pollution phytotoxicity in
seasonally dry tropical urban environment using three woody perennials. New
Phytol.126: 53-64.
Patra AD. 2002. Faktor tanaman dan faktor lingkungan yang mempengaruhi
kemampuan tanaman dalam menyerap polutan gas NO2 [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rachmat RS. 2014. Protes masalah pencemaran lingkungan, warga Ciwandan
duduki pintu gerbang pemkot Cilegon [internet], [diunduh 2014 Agustus 27].
Tersedia pada: http://www,beritacilegon,com/index,php/berita-cilegon/cilegonraya/5391-perotes-masalah-pencemaran-lingkungan,-warga-ciwandan-dudukipintu-gerbang-pemkot-cilegon,html?device=xhtml.
Rai PK, Panda LLS, Chutia BM, Singh MM. 2013. Comparative assessment of air
pollution tolerance index (APTI) in the industrial (Rourkela) and non industrial
area (Aizawl) of India: An eco-management approach. African J Env Sci Tech,
7(1): 944-948.
Reiss C. 1993. Experiment in Plant Physiology: Part I, Plant Biochemistry,
Determination of Ascorbic Acid Content of Cabbage. p 1-7.
Rogers HH, Rogers VP, Aneja. 1980. Uptake of atmospheric ammonia by
selected plant species. Environ Exp Bot. 20: 251-257.
Rowland-Bamford AJ, Drew MC. 1988. The influence of plant nitrogen status on
NO2 uptake, NO2 assimilation and on the gas exchange characteristics of barley
plants exposed to atmospheric NO2. J Exp Bot. 9: 1287-1297.
Salama HMH, Al-Rumaih MM, Al-Dosary MA. 2011. Effect of Riyadh cement
industry pollutions on some physiological and morphological factors of Datura
innoxia Mill, Plant. Saudi J Bio Sci. 18: 227-237.
Sandrin CZ, Ribeiro ACF, Delitti WBC, Domingos M. 2013. Short-term changes
of fructans in ryegrass (Lolium multiflorum ‘Lema’) in response to urban air
pollutants and meteorological conditions. Ecotoxico Environ Saf. 96 (2013):
80-85.
Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State College press.
56
Sen DN, Bhandari MC. 1978. Ecological and water relation to two Citrullus spp,
In: Althawadi, A,M, (Ed,), Indian Arid Zone, Environ, Physiol, Ecol, Plants pp.
203-228.
Seyyednejad SM, Niknejad M, Koochak H. 2011. A review of some different
effect of air pollution on plants. J Environ Sci. 5: 302-309.
Singh SK, Rao DN. 1983. Evaluation of plants for their tolerance to air pollution,
In Proc symp on air pollution kontrol held at IIT Delhi pp. 218-224.
Shannigrahi AS, Fukushim T, Sharma RC. 2004. Anticipated air pollution
tolerance of some plant species considered for green belt development in and
around an industrial/urban area in India: An overview. Int J Environ Stud.
61(2): 125-137.
Singh SK, Rao DN, Agrawal M, Pandey J, Narayan D. 1991. Air Pollution
Tolerance Index of Plant. J Environ Mgmt, 32: 45-55.
Siregar. 2005. Pencemaran Udara, Respon Tanaman, dan Pengaruhnya pada
Manusia. Universitas Sumatera Utara.
Smith WH. 1981. Air Pollution and Forest: Interaction Between Air
Contaminants and Forest Ecosystems. New York: Springer-Verlag.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sulistijorini, Mas’ud ZA, Nasrullah N, Bey A, Tjitrosemito S. 2008. Tolerance
level of roadside trees to air pollutants based on relative growth rate and air
pollution tolerance index. Hayati J Biosci. 15 (3): 123-129.
Susanti E. 2004. Stomata sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Sektor
Transportasi. ITB Bandung.
Susilo CC. 2006. Studi penanganan limbah solvent sisa analisis acidity untuk
pengendalian pencemaran lingkungan di Pertamina UP IV Cilacap [Tesis].
Semarang (ID): Magister Kesehatan Lingkungan Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro Semarang.
Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd. ed. Masschusetts: Sinauer Pub.
Thakar BK, Mishra PC. 2010. Dust collection potential and air pollution tolerance
index of tree vegetation around Vedanta Aluminium Limited, Jharsuguda. Int
Q J Life Sci. 3: 603-612.
Tripathi AK, Gautam M. 2007. Biochemical parameters of plants as indicators of
air pollution. J Environ Biol. 28: 127-132.
Udayana C, 2004. Toleransi spesies pohon tepi jalan terhadap pencemaran udara
di simpang susun Jakarta (Jakarta Interchange) Cawang, Jakarta Timur [tesis].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 94 hlm.
Wilmer CM. 1986. Stomata. London: Longman. 166 hlm.
Wuytack T, Wuyts K, Dongen SV, Baeten L, Kardel F, Veryehen K, Samson R.
2011. The effect of air pollution and other environmental stressors on leaf
fluctuating asymmetry and specific leaf area of Salix alba L. Environ Pollut.
159(2011): 2405-2411.
Yan-Ju L, Hui D. 2008. Variation in air pollution tolerance index of plant near a
steel factory; implication for landscape-plant species selection for industrial
areas. Environ Dev. 1(4): 24-30.
57
LAMPIRAN
58
58
Lampiran 1 Data klimatologi tahun 2014
Suhu
RH
Suhu
Suhu
Lama
Curah
ratarataHari
Tertinggi Terendah
Penyinaran Hujan
rata
rata
Hujan
Bulan
(oC)
(oC)
(%)
(mm)
(oC)
(%)
Januari
26.4
30.6
23.7
85
29
377
25
Februari
26.4
31.8
23.7
87
43
212
24
Maret
26.8
32.6
23.6
85
52
103
19
April
27.1
31.9
24.1
80
75
72
15
Mei
27.2
32.1
23.8
82
78
113
18
Juni
26.8
31.5
23.5
84
52
65
16
Juli
26.5
31.9
23.1
82
66
232
13
Agustus
27.1
32.4
22.8
78
91
10
5
September
27.3
33.4
22.2
74
87
22
4
Oktober
28.4
34.1
23.6
73
82
21
4
November
27.6
33.3
24
80
54
155
17
Desember
27.3
33.3
24.3
82
46
139
22
Sumber: BMKG Stasiun Meteorologi Klas I Serang (2014)
Unsur
Kec,
Angin
Rata-rata
(knot)
2
2
2
2
2
1
1.4
2.2
2.1
2.2
1.6
2.3
Arah
Terbanyak
Kec,
Max
(knot)
Arah
315
360
360
270
45
45
360
360
360
360
360
270
15
10
10
12
9
11
12
14
11
14
16
12
340
10
360
240
20
60
350
50
330
40
170
270
59
Lampiran 2 Peta lokasi sampling udara ambien
59
60
60
Lampiran 3 Peta lokasi sampling debu jatuh
61
Lampiran 4 Peta lokasi sampling tanaman
61
62
Lampiran 5 Perbandingan warna daun setiap spesies pohon
63
Lampiran 6 Pengamatan paradermal daun
64
Lampiran 7 Pengamatan transversal daun
Keterangan: Ea: Epidermis atas, Eb: Epidermis bawah, P: Palisade, Bk: Bunga
karang, S: Stomata, En: Endodermis, Bp: Berkas pembuluh, M:
Mesofil
65
Lampiran 8 Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari
10 jenis tanaman
Parameter
Kerapatan
Stomata
Tebal Daun
Tebal
Palisade
Jumlah
Daun
Luas Daun
Asam
Askorbat
Klorofil
pH
Kadar Air
Sumber
Keragaman
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Sum of
Squares
799.227
1
Mean
Square
799.227
919 613.664
18
51089.648
920 412.891
1 023.881
19
1
1023.881
521 358.549
18
28964.364
522 382.430
237.361
19
1
237.361
8 039.009
18
446.612
8 276.370
14.518
19
1
14.518
1 049.828
18
58.324
1 064.346
25.493
19
1
25.493
1 745.334
18
96.963
1 770.827
34.584
19
1
34.584
132 422.493
18
7356.805
132 457.078
0.023
19
1
0.023
0.094
18
0.005
0.117
0.002
19
1
0.002
4.606
18
0.256
4.608
16.092
19
1
16.092
529.094
18
29.394
df
F
Sig.
0.016
0.902
0.035
0.853
0.531
0.475
0.249
0.624
0.263
0.614
0.005
0.946
4.418
0.050
0.008
0.931
0.547
0.469
66
Lampiran 8 Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari
10 jenis tanaman (lanjutan)
Parameter
Karbohidrat
Sumber
Keragaman
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Sum of
Squares
545.186
4.656
df
Mean
Square
19
1
4.656
72.453
18
4.025
77.109
19
F
1.157
Sig.
0.296
Lampiran 9 Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10
jenis tanaman
Parameter
Stomata
Tebal Daun
Tebal
Palisade
Jumlah
Daun
Luas Daun
Asam
askorbat
Klorofil
Sumber
keragaman
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Sum of
Squares
850 809.941
9
Mean
Square
94 534.438
69 602.950
10
6 960.295
920 412.891
514 062.865
19
9
57 118.096
8 319.565
10
831.957
522 382.430
5 645.565
19
9
627.285
2 630.805
10
263.081
8 276.370
1 041.591
19
9
115.732
22.755
10
2.276
1 064.346
1 544.987
19
9
171.665
225.840
10
22.584
1770.827
103 200.003
19
9
11 466.667
29 257.075
10
2 925.708
132 457.078
0.069
19
9
.008
0.048
10
.005
0.117
19
df
F
Sig.
13.582
0.000
68.655
0.000
2.384
0.096
50.860
0.000
7.601
0.002
3.919
0.022
1.617
0.232
67
Lampiran 9 Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10
jenis tanaman (lanjutan)
Sumber
keragaman
pH
Between
Groups
Within
Groups
Total
Air
Between
Groups
Within
Groups
Total
Karbohidrat Between
Groups
Within
Groups
Total
Sum of
Squares
3.418
Parameter
9
Mean
Square
.380
1.190
10
0.119
4.608
394.563
19
9
43.840
150.623
10
15.062
545.186
42.568
19
9
4.730
34.541
10
3.454
77.109
19
df
F
Sig.
3.191
0.042
2.911
0.056
1.369
0.315
Lampiran 10 Hasil analisis ragam RGR pada lokasi pencemaran dari 8 jenis
tanaman
Sumber
Keragaman
Between Groups
Within Groups
Total
Sum of
Squares
0.036
1.425
1.460
df
Mean Square
1
14
15
0.036
0.102
F
Sig.
0.350
0.563
Lampiran 11 Hasil analisis ragam RGR antar jenis tanaman dari 8 jenis tanaman
Parameter
RGR
(terpolusi)
RGR
(kontrol)
Sumber
Keragaman
Between
Groups
Within
Groups
Total
Between
Groups
Within
Groups
Total
Sum of Squares
df
Mean Square
6.471
7
0.924
7.672
40
0.192
14.144
47
2.177
7
0.311
4.153
40
0.104
6.330
47
F
Sig.
4.820
0.001
2.996
0.013
68
68
Lampiran 12 Peta konsep penanaman
69
Lampiran 13 Peta rencana penanaman
69
70
70
Lampiran 14 Detail spot 1
71
Lampiran 15 Detail spot 2
71
72
72
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 30 Desember 1989 sebagai anak
ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Djadja Djuhana dan Nafsiah. Penulis
menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Serang pada tahun 2008.
Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas
Pertanian IPB, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis berkesempatan
melanjutkan studi magisternya di Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah
Pascasarjana IPB dengan mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam
Negeri (BPPDN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI),
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Selama studi, penulis pernah mengikuti seminar internasional di Seoul,
Korea Selatan, dalam acara Asian Cultural Landscape Assosiation (ACLA)
Symposium pada tahun 2014 dengan judul paper: “Redesign of Colonial Style
Bridge and Waterfront Area: case study in Sempur, Bogor” serta menjadi bagian
tim penulis pada paper dengan judul “Study of Utilization Potential of Local
Vegetation for Volcano Disaster Mitigation in Java Island, Indonesia (Case
Study: Merapi Mountain, Central Java)” dalam kongres internasional yang
diselenggarakan oleh International Federation of Landscape Architects (IFLA)
Asia Pasific Region Congress pada tahun 2015.
Download