TOLERANSI SPESIES POHON TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU KOTA CILEGON DESI ANJANA DWIPUTRI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Toleransi Spesies Pohon terhadap Pencemaran Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Desi Anjana Dwiputri A451130081 RINGKASAN DESI ANJANA DWIPUTRI. Toleransi Spesies Pohon terhadap Pencemaran Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Dibimbing oleh NIZAR NASRULLAH dan ZAINAL ALIM MAS’UD. Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara yang dihasilkan kawasan industri dapat diukur dari perubahan parameter fisiologis berdasarkan formula APTI (Air Pollution Tolerance Index), yaitu asam askorbat total, klorofil total, pH, dan kadar air. Namun, berdasarkan penelitian sebelumnya, metode APTI ini memiliki kekurangan, yakni hasil yang diperoleh antara pengamatan secara makroskopis dan fisiologis tidak bersesuaian. Oleh karena itu, perlu diteliti parameter tambahan pada pengamatan fisiologis yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, yaitu karbohidrat total dalam tanaman. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis tingkat toleransi spesies pohon terhadap pencemaran udara di kawasan industri yang diukur secara makroskopis, mikroskopis serta fisiologis, mengkaji kandungan karbohidrat sebagai parameter fisiologis yang sensitif menunjukkan tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, dan menyusun rekomendasi gambar penanaman pada kawasan industri Kota Cilegon. Metode yang digunakan adalah metode survey, dengan mengukur parameter makroskopis (luas daun, jumlah daun, dan warna daun), parameter miskroskopis (kerapatan stomata, tebal daun dan palisade), dan parameter fisiologis (asam askorbat, klorofil total, pH daun, kadar air, dan karbohidrat total) dari spesies pohon yang terpapar polusi dan tidak terpolusi (kontrol). Hasil penelitian menunjukkan karbohidrat total sebagai parameter tambahan mempengaruhi tingkat toleransi sebesar 34.1% dan merupakan parameter yang paling sensitif terhadap polusi udara dibandingkan dengan parameter fisiologis lain, sehingga memodifikasi formulasi APTI dan mengubah klasifikasi toleransi tanaman. Rumus modifikasi APTI yang dihasilkan apabila A = asam askorbat total (mg g-1), T = klorofil total (mg g-1), P = pH daun, R = kadar air daun (%), dan K = karbohidrat total (%) adalah sebagai berikut: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇I = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅 . Berdasarkan hasil modifikasi, maka tingkat toleransi tanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi tiga, yaitu tanaman toleran pada Polyalthia longifolia, Polyalthia fragrans, Erythrina crista-galli, dan Casuarina junghuhniana; toleransi sedang pada Hibiscus tiliaceus, Samanea saman, dan Acacia auriculiformis; tidak toleran pada Leucaena leucocephala, Pterocarpus indicus, dan Swietenia mahagoni. Konsep penataan ruang terbuka hijau di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi polutan dan bentuk penanaman. Tanaman dengan tingkat toleransi tinggi dipilih untuk area dengan konsentrasi polutan tinggi sedangkan tanaman dengan tingkat toleransi sedang ditempatkan pada area dengan konsentrasi polutan rendah. Bentuk penanaman dibagi menjadi dua, yaitu green belt untuk mengurangi polusi industri dan jalur hijau untuk mengurangi polusi transportasi. Kata kunci: Air Pollution Tolerance Index (APTI), laju pertumbuhan relatif, karbohidrat total, modifikasi APTI, tanaman industri SUMMARY DESI ANJANA DWIPUTRI. Tolerance of Trees Species to Air Pollution in Krakatau Industrial Estate Cilegon City. Supervised by NIZAR NASRULLAH dan ZAINAL ALIM MAS’UD. Plant tolerance against air pollutants from industrial estate can be assessed based on the change of physiological parameters calculated according to APTI (Air Pollution Tolerance Index), there are ascorbic acid content, total chlorophyll, leaf pH, and water content. However, based on previous research, APTI formulation was less accurate, the results obtained between macroscopic and physiological observations are not always match. Additional physiological parameters, i.e. total carbohydrate as main product of photosynthesis was need to be examined. Purposes of this study were to analyze level of tolerance of tree species to air pollution in industrial estate, to examine physiological parameters that indicate the level of tolerance of plants sensitivity to air pollution, and to arrange plants recommendation in Kakatau Industrial Estate Cilegon. The methods used were survey method, where leaf samples were taken for observing macroscopic parameters (leaf area, leaf number, and leaf color), microscopic parameters (stomatal density, leaf and palisade thickness) and physiological parameters (ascorbic acid content, total chlorophyll, leaf pH, water content, and total carbohydrate) observation of tree species which exposed to pollution and nonpollution (kontrol). The results showed that total carbohydrate as an additional parameter of APTI affected the level of tolerance by 34.1% and also the most sensitive parameter to air pollutants rather than others physiological parameters, thus modified the APTI formulation and changed the classification of plants tolerance. Result of modified APTI if A = ascorbic acid content, T = total chlorophyll, P = leaf pH, R = water content, and K = total carbohydrate is: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑒𝑑 𝐴𝑃𝑇I = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅. Results showed that the tolerant plants were Polyalthia longifolia, Polyalthia fragrans, Erythrina crista-galli, and Casuarina junghuhniana; moderate tolerance were Hibiscus tiliaceus, Samanea saman and Acacia auriculiformis; and intolerant were Leucaena leucocephala, Pterocarpus indicus, and Swietenia mahagoni. Green open space concepts in Krakatau Industrial Estate Cilegon were divided in to two, there were based on pollution distribution and planting form. Plants with hight tolerance level were choosen for high concentration of pollutants whereas plants with moderate tolerance level were choosen for low concentration of pollutants. Planting form were divided in to two, there were green belt for industry and green way for transportation. Keywords: Air Pollution Tolerance Index, modified APTI, industrial plants, relative growth rate, total carbohydrate. © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB i TOLERANSI SPESIES POHON TERHADAP PENCEMARAN UDARA DI KAWASAN INDUSTRI KRAKATAU KOTA CILEGON DESI ANJANA DWIPUTRI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Arsitektur Lanskap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 ii Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Ir Bambang Sulistyantara, MAgr iv PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai bulan April 2015 ini adalah toleransi tanaman terhadap pencemaran udara dengan judul Toleransi Spesies Pohon terhadap Pencemaran Udara di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Nizar Nasrullah MAgr dan Dr Drs Zainal Alim Mas’ud, DEA selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran. Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Bapak Rizal, Bapak Edi, Ibu Anna dan Bapak Prio dari PT KIEC yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan, Ibu Dorly dan Evi Muliyah dari Laboratorium Anatomi Tanaman Departemen Biologi IPB yang telah membantu dalam pengamatan anatomi tanaman, staff dari Laboratorium Kimia Departemen Gizi Masyarakat IPB, Laboratorium Terpadu IPB, dan Balittro yang telah membantu dalam melakukan analisis fisiologi tanaman dan kualitas udara, BMKG Klas I Serang dan Bappeda Kota Cilegon yang membantu pengumpulan data sekunder, serta seluruh pihak yang telah membantu penulis selama penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, dan para sahabat atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Desember 2015 Desi Anjana Dwiputri v DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vii PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 1 1 2 3 3 4 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Industri Jenis dan Sumber Polutan di Kawasan Industri Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara 5 5 5 9 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Prosedur Analisis Data 13 13 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kualitas Udara Pengamatan Makroskopis Pengamatan Mikroskopis Pengamatan Fisiologis Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara Analisis Karbohidrat Tanaman Rekomendasi Penanaman di Kawasan Industri 21 21 25 29 35 36 39 41 47 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran 51 51 52 DAFTAR PUSTAKA 52 RIWAYAT HIDUP 72 vi DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri Skor, warna, dan notasi Kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon Hasil pengujian udara ambien Hasil pengujian debu jatuh Sumber pencemaran udara di kawasan industri Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara di kawasan industri (terpolusi) dan kawasan permukiman (kontrol) Pertumbuhan setiap jenis tanaman dalam 30 hari Perbandingan warna daun setiap spesies pohon di area polusi dan kontrol Kerapatan stomata setiap jenis tanaman Tebal daun dan tebal palisade setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol Kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air setiap jenis tanaman di area terpolusi dan kontrol Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan APTI Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan RGR Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dan APTI Karbohidrat total setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol Analisis korelasi karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan fisiologis Perbandingan RGR dan karbohidrat total setiap jenis tanaman Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter fisiologis Toleransi tanaman berdasarkan RGR 1 dan modifikasi APTI 6 16 20 21 25 26 26 28 30 34 35 36 37 39 40 41 42 42 43 44 47 DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 Kerangka pikir penelitian Lokasi penelitian Tahapan penelitian Pengukuran luas daun Sampling udara Spesies pohon yang digunakan sebagai sampel penelitian Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman akasia Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman angsana Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman dadap merah Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman glodogan bulat Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman glodogan tiang 4 13 14 15 18 24 30 31 31 32 32 vii 12 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman mahoni 13 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman trembesi 14 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman waru 32 33 33 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Data klimatologi tahun 2014 Peta lokasi sampling udara ambien Peta lokasi sampling debu jatuh Peta lokasi sampling tanaman Perbandingan warna daun setiap spesies pohon Pengamatan paradermal daun Pengamatan transversal daun Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari 10 jenis tanaman Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10 jenis tanaman Hasil analisis ragam RGR pada lokasi pencemaran dari 8 jenis tanaman Hasil analisis ragam RGR antar jenis tanaman dari 8 jenis tanaman Peta konsep penanaman Peta rencana penanaman Detail spot 1 Detail spot 2 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 67 68 69 70 71 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pencemaran udara di Indonesia disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor (60-70%), industri (10-15%), dan sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain-lain (Kusnoputranto 1996). Sebanyak 10-15% industri berperan dalam memberikan dampak pencemaran udara, terutama di kota-kota Industri di Indonesia. Kota Cilegon merupakan salah satu kota industri di Indonesia dan menjadi pusat industri di kawasan Banten bagian barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan pertumbuhan indutri di kawasan Industri Cilegon sangat pesat dan berpengaruh secara signifikan terhadap perubahan pola tata guna lahan, konversi lahan terbangun dan dinamika sosial kemasyarakatan selama kurun waktu 1998-2007 (Fatah 2009). Telah terjadi potensi terdegradasinya mutu lingkungan sekitar kawasan industri Cilegon, dilihat dari adanya indikasi telah terjadinya ketidaksesuaian konversi lahan terbangun, berkurangnya ruang terbuka hijau, serta menurunnya kualitas lingkungan akibat adanya potensi pencemaran limbah industri yang telah melampaui baku mutu di berbagai wilayah, khususnya di sekitar Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Menurut Rachmat (2014) kondisi udara di kawasan Kec. Ciwandan Kota Cilegon yang berdampingan dengan Kawasan Industri Krakatau secara langsung menyebabkan semakin banyaknya warga yang mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Hal ini menunjukkan bahwa buruknya kualitas udara yang ada di sekitar kawasan industri tersebut disebabkan oleh pencemaran udara. Strategi dalam mengurangi masalah pencemaran udara ini dapat dilakukan dalam berbagai pendekatan, yaitu pendekatan teknologi, pendekatan kelembagaan atau hukum, pendekatan ekonomi, dan pendekatan ekologi. Pendekatan teknologi dilakukan dengan mengurangi pada sumber polutan, penggunaan mesin dan kendaraan dengan emisi rendah, penggunaan bahan bakar beremisi rendah serta mengendalikan difusi ke udara. Pendekatan secara kelembagaan atau hukum yaitu dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No 41 tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien Nasional. Pendekatan ekonomi dengan menetapkan insentif dan pinalti, pajak input dan output produksi, ongkos emisi dan izin perdagangan. Pendekatan ekologi dengan memaksimumkan peranan vegetasi dalam mengurangi polutan, yaitu dengan pengadaan ruang terbuka hijau. Pengadaan ruang terbuka hijau berupa taman, jalur hijau, kebun, pekarangan, atau hutan kota merupakan alternatif untuk mengurangi pencemaran udara. Secara ekologis unsur alam sebagai pembentuk RTH seperti vegetasi dapat meningkatkan kualitas lingkungan, terutama dalam memperbaiki iklim mikro atau ameliorasi iklim, penyerapan polusi udara (terutama CO2) dan produksi O2 yang sangat diperlukan oleh manusia dalam pernapasan (Ismaun 2008). Dengan adanya ruang terbuka hijau, udara akan dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan (menempel pada daun) dan serapan (masuk ke dalam sel daun). Bila dalam waktu lama tidak terjadi hujan maka kosentrasi gas pencemar udara makin meningkat. Vegetasi akan menyerap dan menjerap polutan yang dihasilkan melalui daun. 2 Vegetasi berperan efektif dalam menyerap (absorbsi) polutan udara dan mampu membersihkan polutan tersebut dari udara. Tanaman yang digunakan sebagai elemen ruang terbuka hijau harus efektif menyerap gas pencemar udara dalam jumlah relatif besar tanpa mengalami gangguan fisiologis yang berarti pada tanaman tersebut (Udayana 2004). Kemampuan tanaman menyerap pencemar udara bervariasi, dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Wilmer 1986). Toleransi tanaman terhadap pencemar udara merupakan faktor yang perlu diperhatikan dalam menentukan jenis tanaman sebagai elemen ruang terbuka hijau. Jika tanaman toleran terhadap pencemar udara maka fungsi tanaman sebagai agen pereduksi pencemar udara dapat berjalan baik dengan tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimum. Tingkat toleransi tanaman terhadap polusi akibat perubahan dalam parameter, biasanya diukur dan dikorelasikan dengan tingkat respons tanaman (Bora dan Joshi 2014). Respons stress tanaman dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu pertumbuhan, fisiologi, dan biologi molekuler (Oguntimehin et al. 2010). Oleh karena itu perlu dikaji tingkat toleransi spesiesjenis tanaman terhadap pencemaran udara secara makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis. Indeks toleransi tanaman terhadap polusi udara (APTI) dapat dipergunakan oleh para ahli lanskap sebagai salah satu kriteria seleksi tanaman yang tahan terhadap polusi udara (Liu dan Ding 2008, Rai et al. 2013). Namun, metode dengan APTI ini memiliki kekurangan, yakni hasil yang diperoleh antara pengamatan secara makroskopis dan fisiologis tidak bersesuaian (Udayana 2004, Sulistijorini et al. 2008), maka perlu diteliti parameter tambahan pada pengamatan fisiologis, yaitu karbohidrat total dalam tanaman. Kadar karbohidrat total ini perlu diteliti karena merupakan hasil dari proses fotosintesis tanaman. Pencemaran udara secara tidak langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan terhadap hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Kovacs (1992) menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya. Tanaman lebih cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis untuk berbagai fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak produktif sehingga menyebabkan penurunan kecepatan tanaman dari potensi maksimumnya. Oleh karena itu, dengan penambahan parameter karbohidrat total dalam pengamatan fisiologis ini, maka akan didapatkan tingkat toleransi yang lebih akurat sebagai acuan dalam menentukan jenis tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara. Perumusan Masalah Perkembangan industri di Indonesia mengakibatkan berbagai masalah, salah satunya adalah pencemaran udara. Pencemaran udara ini tentunya membuat 3 kualitas udara menurun sehingga turut mendatangkan kerusakan lingkungan, seperti hujan asam, gangguan kesehatan bagi manusia dan hewan serta kerusakan pada tanaman. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi untuk mengurangi masalah polusi udara, salah satunya adalah dengan pendekatan ekologi, yaitu memaksimumkan peran vegetasi dalam mengurangi polutan. Vegetasi mengurangi polusi udara dengan cara absorbsi, adsorpsi, difusi, dan deposisi. Namun, tidak semua jenis tanaman dapat dijadikan sebagai pelindung atau pereduksi polutan karena sifat genetis setiap tanaman berbeda, terutama ketahanannya terhadap polutan. Toleransi jenis tanaman merupakan gambaran ketahanan tanaman terhadap pencemar. Tanaman yang tidak tahan terhadap pencemar akan menunjukkan gejala kerusakan dan dapat diamati secara makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis. Gejala kerusakan daun timbul karena terdapat gangguan dalam proses fisiologi tanaman. Dengan demikian, toleransi tanaman terhadap pencemar udara dapat dinilai berdasarkan perubahan parameter fisiologi berupa kandungan asam askorbat total, klorofil total, pH ekstrak daun, serta kadar air daun yang dihitung menurut formulasi APTI (Singh et al. 1991). Namun, formulasi APTI ini masih terdapat kekurangan, yaitu hasil yang diperoleh antara pengamatan secara makroskopis dan fisiologi tidak bersesuaian, maka perlu diteliti parameter tambahan pada pengamatan fisiologi, yaitu karbohidrat total dalam tanaman. Karbohidrat total ini perlu diteliti karena merupakan salah satu hasil utama dari proses fotosintesis tanaman. Oleh karena itu, untuk melihat tingkat toleransi tanaman terhadap polusi udara akibat aktivitas industri, maka permasalahan yang perlu dikaji adalah: 1. Bagaimana perbandingan tingkat toleransi setiap jenis tanaman yang dihasilkan antara metode APTI (Singh et al. 1991) dan RGR (Sulistijorini et al. 2008)? 2. Apakah karbohidrat total pada tanaman berpengaruh terhadap tingkat toleransi tanaman, dan bagaimana perbandingannya dengan hasil pengamatan secara makroskopis? 3. Bagaimana hasil modifikasi formulasi APTI dengan ditambahkannya parameter karbohidrat total di dalamnya? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. menganalisis tingkat toleransi spesies pohon terhadap pencemaran udara di kawasan industri yang diukur secara makroskopis, mikroskopis serta fisiologis, 2. mengkaji kandungan karbohidrat sebagai parameter fisiologis yang sensitif menunjukkan tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, dan 3. menyusun rekomendasi konsep penanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah menghasilkan daftar nama jenis tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara, mengetahui tanaman yang dapat digunakan sebagai bioindikator polusi udara, serta menghindari penggunaan 4 tanaman yang tidak toleran pada lingkungan berpolusi udara. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai masukan atau rekomendasi untuk perencanaan ruang terbuka hijau terutama di kawasan industri. Ruang Lingkup Penelitian Batasan penelitian meliputi lingkup kajian dan lingkup wilayah kajian. Lingkup kajian penelitian ini dibatasi pada kajian toleransi tanaman terhadap pencemaran udara yang diakibatkan oleh limbah gas hasil dari industri. Jenis tanaman yang dikaji adalah spesies pohon pada tapak yang terpapar polusi dari kawasan industri. Lingkup wilayah kajian adalah pada kawasan industri di Kota Cilegon. Gambar 1 Kerangka pikir penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA Kawasan Industri Industri merupakan semua kegiatan ekonomi manusia yang mengolah barang mentah atau bahan baku menjadi barang setengah jadi atau barang jadi. Dari definisi tersebut, istilah industri sering disebut sebagai kegiatan manufaktur (manufacturing), padahal pengertian industri sangatlah luas, yaitu menyangkut semua kegiatan manusia dalam bidang ekonomi yang sifatnya produktif dan komersial. Disebabkan kegiatan ekonomi yang luas maka jumlah dan macam industri berbeda-beda untuk tiap negara atau daerah. Pada umumnya, makin maju tingkat perkembangan perindustrian di suatu negara atau daerah, makin banyak jumlah dan macam industri, dan makin kompleks pula sifat kegiatan dan usaha tersebut. Cara penggolongan atau pengklasifikasian industri pun berbeda-beda. Tetapi pada dasarnya, pengklasifikasian industri didasarkan pada kriteria yaitu berdasarkan bahan baku, tenaga kerja, pangsa pasar, modal, atau jenis teknologi yang digunakan. Selain faktor-faktor tersebut, perkembangan dan pertumbuhan ekonomi suatu negara juga turut menentukan keanekaragaman industri negara tersebut, semakin besar dan kompleks kebutuhan masyarakat yang harus dipenuhi, maka semakin beranekaragam jenis industrinya. Kata kawasan adalah kata yang diadopsi dari bahasa lain, menurut bahasa Inggris kata kawasan lebih tepat dipinjam dari kata “Area” yang berarti “Scope or range of activity” yang terjemahan bebasnya adalah “daerah yang dipakai untuk suatu kegiatan”. Kawasan menurut kamus bahasa Indonesia adalah “Daerah” sedangkan daerah berarti wilayah. Dengan demikian kawasan menurut pemahaman umum adalah sebuah kawasan yang diperuntukkan bagi suatu kepentingan tertentu. Kawasan industri adalah sebuah kawasan yang diperuntukkan bagi kemanfaatan manusia, tetapi di sisi lain, adalah adanya persoalan mulai adanya kegiatan yang telah membuat keseimbangan ekosistemnya menjadi terganggu yang disebabkan oleh penebangan pohon, dan pemotongan-pemotongan wilayah dataran tinggi (Hartono 2007). Sesuai dengan Keppres 53 tahun 1989 yang telah diperbaiki dengan Keppres 41 tahun 1996 pengertian Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki izin usaha kawasan industri. Terminologi Kawasan Industri di Indonesia sering disebut dengan istilah Industrial Estate sementara di beberapa negara digunakan istilah Industrial Park. Berdasarkan pengertian di atas, suatu lokasi dapat menggunakan istilah Industrial Estate atau Industrial Park, harus memenuhi 2 ciri utama, yaitu : 1. Lahan yang disiapkan sudah dilengkapi prasarana dan sarana penunjang 2. Terhadap lahan yang dipersiapkan tersebut terdapat suatu badan/manajemen pengelola yang telah memiliki izin usaha sebagai Kawasan Industri Jenis dan Sumber Polutan di Kawasan Industri Umumnya, limbah gas dari industri bersumber dari penggunaan bahan baku, proses, dan hasil serta sisa pembakaran. Ketika pengolahan pendahuluan, limbah 6 gas maupun partikel timbul karena perlakuan bahan-bahan sebelum diproses lanjut. Limbah yang terjadi disebabkan berbagai hal antara lain; karena reaksi kimia, kebocoran gas, hancuran bahan-bahan dan lain-lain. Ketika proses pengolahan, gas juga timbul sebagai akibat reaksi kimia maupun fisika. Sebagian besar gas maupun partikel terjadi pada ruang pembakaran, sebagai sisa yang tidak dapat dihindarkan dan karenanya harus dilepaskan melalui cerobong asap. Banyak jenis gas dan partikel gas lepas dari pabrik melalui cerobong asap ataupun penangkap debu harus ditekan sekecil mungkin dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan. Jenis industri semacam ini akumulasinya di udara dipengaruhi arah angin, tetapi karena sumbernya bersifat stationer maka lingkungan sekitar menerima resiko yang sangat tinggi dampak pencemaran. Oleh karena itu, konsentrasi bahan pencemar dalam udara perlu ditetapkan sehingga tidak menimbulkan gangguan terhadap manusia dan makhluk lain sekitarnya. Jenis industri yang menjadi sumber pencemaran melalui udara dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri No. Jenis Industri 1 Pupuk 2 6 Pangan (ikan, daging, minyak makan, dsb) Pertambangan (mineral), semen, aspal, kapur, batu bara, karbida, serat gelas Metalurgi (tembaga, bajaseng, timah hitam, aluminium) Kimia (sulfat, serat rayon PVC, ammonia, cat, dan lain-lain) Pulp 7 Logam dasar 8 Produk logam fabrikasi 3 4 5 Sifat Kegiatan Proses stripping, pembulir dan sintesa pabrik amoniak Penjagalan, pengasapan, fermentasi, penggilingan, pengalengan Penggalian dan peleburan mineral, besi dan bijih logam pengilangan minyak Proses korosi lead bearing alloys Pembuatan bahan kimia, produk petrokimia, kimia berat, serat rayon, plastik Proses pembuatan kertas Peleburan bijih besi, baja, pembuatan campuran baja, peleburan baja atau logam lain, besi tulang Peralatan pemanas dan plambing, alat kerja, penerangan, besi/baja struktur, seng Jenis Polutan Uap asam, NH3, bau, partikel Hidrokarbon, bau, partikel, CO, H2S, uap asam NOx, Sox, CO, hidrokarbon, bau, partikel, asap logam, uap bahan minyak, kabut, mercaptan NOx, SO, CO, hidrokarbon, H2S, Chlor, Pb, bau, partikel Hidrokarbon, CO, NH3, bau, partikel SOx, CO, NH3, H2S, bau Asap oksida logam, CO, asap, debu, abu peleburan, SOx, Pb, asap Ar dan Cu Asap logam dan debu peleburan, solvent, uap penyepuhan, protective coating, kabut 7 Tabel 1 Karakteristik emisi spesifik berdasarkan golongan industri (lanjutan) No. Jenis Industri 9 Produk kayu Sifat Kegiatan Penggergajian, plywood, kotak furniture 10 Mineral (gelas, keramik, batu) 11 Tekstil Pembuatan bahan galian (gelas, keramik, semen, asbestos) melalui proses mekanik (Penggerusan, pencampuran, penapisan, pembakaran, pengeringan) Pembuatan serat, kain, proses pemintalan, pencelupan, pencetakan 12 Pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara Pengolahan limbah B3 13 Pembakaran dan pemecahan batubara Jenis Polutan Debu halus penggergajian, cat dam solvent, asap Debu bahan baku dan proses, asap logam peleburan Serat halus, uap organik, kabut, asap, pembakaran bahan bakar CO, NOx, Sox, partikel Insinerasi (pembakaran hasil Partikel, karbon pengolahan limbah B3) monoksida (CO), belerang oksida (SO2), dan uap air Sumber: USEPA (1976), Dwiputri (2012), Irianti (2010), Susilo (2006) Jenis gas yang bersifat racun antara lain SO2, CO, NO, timah hitam, amoniak, asam sulfida dan hidrokarbon. Pencemaran yang terjadi dalam udara dapat merupakan reaksi antara dua atau lebih zat pencemar. Misalnya reaksi fotokimia, yaitu reaksi yang terjadi karena bantuan sinar ultra violet dari sinar matahari. Kemudian reaksi oksidasi gas dengan partikel logam dengan udara sebagai katalisator. Pencemar udara juga dibedakan menjadi pencemar primer dan pencemar sekunder. Pencemar primer adalah substansi pencemar yang ditimbulkan langsung dari sumber pencemaran udara. Pencemar sekunder adalah substansi pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar-pencemar primer di atmosfer. Beberapa macam bahan pencemar udara adalah sebagai berikut (Arief 2013): 1. Karbon monoksida (CO) Pencemaran karbon monoksida berasal dari sumber alami seperti: kebakaran hutan, oksidasi dari terpene yang diemisikan hutan ke atmosfer, produksi CO oleh vegetasi dan kehidupan di laut. Sumber CO lainnya berasal dari sumber antropogenik yaitu hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memberikan sumbangan 78.5% dari emisi total. Pencemaran dari sumber antropogenik 55.3% berasal dari pembakaran bensin pada otomotif. 2. Oksida Nitrogen (NOx) Oksida nitrogen lazim dikenal dengan NO bersumber dari instalasi pembakaran pabrik dan minyak bumi. Dalam udara, NO dioksidasi menjadi NO2 dan bila bereaksi dengan hidrokarbon yang terdapat dalam udara akan membentuk asap. NO2 akan berpengaruh terhadap tanam-tanaman dan sekaligus menghambat pertumbuhan. Pabrik yang menghasilkan NO di antaranya adalah pabrik pulp dan 8 rayon, almunium, turbin gas, nitrat, bahan peledak, semen, galas, batubara, timah hitam, dan peleburan magnesium. Cemaran nitrogen oksida yang penting berasal dari sumber antropogenik yaitu: NO dan NO2. Sumbangan sumber antropogenik terhadap emisi total ± 10.6%. 3. Sulfur oksida (SOx) Senyawa sulfur di atmosfer terdiri dari H2S, merkaptan, SO2, SO3, H2SO4, garam-garam sulfit, garam-garam sulfat, dan aerosol sulfur organik. Dari cemaran tersebut yang paling penting adalah SO2 yang memberikan sumbangan ± 50% dari emisi total. Cemaran garam sulfat dan sulfit dalam bentuk aerosol yang berasal dari percikan air laut memberikan sumbangan 15% dari emisi total. Dengan air, gas SO2 membentuk asam sulfat dan dalam udara tidak stabil. Sumber gas SO2 adalah pabrik belerang, pengecoran biji logam, pabrik asam sulfat, pabrik semen, peleburan tembaga, timah hitam dan lain-lain. 4. Amonia Amonia adalah senyawa kimia dengan rumus NH3. Biasanya senyawa ini didapati berupa gas dengan bau tajam yang khas (disebut bau amonia). Amonia mendidih di suhu -33°C sehingga cairan amonia harus disimpan dalam tekanan tinggi atau temperatur amat rendah. Walaupun begitu, kalor penguapannya amat tinggi sehingga dapat ditangani dengan tabung reaksi biasa di dalam sungkup asap. 5. Hidrokarbon (HC) Cemaran hidrokarbon yang paling penting adalah CH4 (metana) ± 86% dari emisi total hidrokarbon yang berasal dari sawah 11%, dari rawa 34%, hutan tropis 36%, pertambangan dan lain-lain 5%. Cemaran hidrokarbon lain yang cukup penting adalah emisi terpene (α-pinena β-pinena, mirsena, d-Iimonena) dari tanaman ± 9.2 % emisi hidrokarbon total. Sumbangan emisi hidrokarbon dari sumber antropogenik 5% lebih kecil daripada yang berasal dari pembakaran bensin 1.8%, dari insinerasi dan penguapan solvent 1.9%. 6. Metana (CH4) Metana merupakan cemaran gas yang bersama-sama dengan CO2, CFC, dan N2O menyebabkan efek rumah kaca sehingga menyebabkan pemanasan global. Sumber cemaran CH4 adalah sawah (11%), rawa (34%), hutan tropis (36%), pertambangan dan lain-lain (5%). Ketika terjadi efek rumah kaca, sinar matahari yang masuk ke atmosfer sekitar 51% diserap oleh permukaan bumi dan sebagian disebarkan serta dipantulkan dalam bentuk radiasi panjang gelombang pendek (30%) dan sebagian dalam bentuk radiasi inframerah (70%). Radiasi inframerah yang dipancarkan oleh permukaan bumi tertahan oleh awan. Gas-gas CH4, CFC, N2O, CO2 yang berada di atmosfer mengakibatkan radiasi inframerah yang tertahan akan meningkat yang pada gilirannya akan mengakibatkan pemanasan global. 7. Ozon Ozon dengan rumus molekul O3 disebut oksidan merpakan reaksi foto kimiawi antara NO2 dengan hidrokarbon karena pengaruh ultra violet sinar matahari. Sifat ozon merusak daun tumbuh-tanaman, tekstil dan melunturkan warna. Reaksi pembentukan ozon sebagai berikut: 9 Ozon merupakan polutan sekunder yang terdiri dari beratus-ratus zat kimiawi yang terdapat dalam asap kabut, terbentuk ketika hidrokarbon pekat bereaksi dengan oksida nitrogen. Ozon terbentuk di udara pada ketinggian 30 km dimana radiasi UV matahari dengan panjang gelombang 242 nm secara perlahan memecah molekul oksigen (O2) menjadi atom oksigen tergantung dari jumlah molekul O2 atom-atom oksigen secara cepat membentuk ozon. Ozon menyerap radiasi sinar matahari dengan kuat didaerah panjang gelombang 240-320 nm. 8. Fluorida Fluorida adalah racun bersifat kumulatif dan dapat berkembang di atmosfer karena amat reaktif. Dalam bentuk fluorine, zat ini tidak dihisap tanah tapi langsung masuk ke dalam daun-daun menyebabkan daun berwarna kuning kecoklatan. Binatang yang memakan daunan tersebut bisa menderita penyakit gigi rontok. Pabrik yang menjadi sumber fluor antara lain pabrik pengecoran aluminium, pabrik pupuk, pembakaran batubara, pengecoran baja dan lainnya. 9. Partikulat Cemaran partikulat meliputi partikel dari ukuran molekul s/d > 10 μm. Partikel dengan ukuran > 10 μm akan diendapkan secara gravitasi dari atmosfer, dan ukuran yang lebih kecil dari 0.1 μm pada umumnya tidak menyebabkan masalah lingkungan. Oleh karena itu, cemaran partikulat yang penting adalah dengan kisaran ukuran 0.1-10 μm. Sumber utama partikulat adalah pembakaran bahan bakar ± 13%-59% dan insinerasi. Partikel merupakan zat dispersi terdapat dalam atmosfer berbagai larutan, mempunyai sifat fisis dan kimia. Partikel dalam udara terdiri dari: asap, merupakan hasil dari suatu pembakaran; debu, partikel kecil dengan diameter 1 mikron; kabut, partikel cairan dengan garis tengah tertentu; aerosol, merupakan inti dari kondensasi uap; fume, merupakan hasil penguapan. 10. Asap kabut fotokimia Asap kabut merupakan cemaran hasil reaksi fotokimia antara O3, hidrokarbon dan NOx membentuk senyawa baru aldehida (RHCO) dan Peroxy Acil Nitrat (PAN) (RCNO5). 11. Hujan asam Dua gas yang dihasilkan dari pembakaran mesin kendaraan serta pembangkit listrik tenaga diesel dan batubara yang utama adalah sulfur dioksida (SO2) dan nitrogen dioksida (NO2). Gas yang dihasilkan tersebut bereaksi di udara membentuk asam yang jatuh ke bumi bersama dengan hujan dan salju. Misalnya, sulfur dioksida berreaksi dengan oksigen membentuk sulfur trioksida. 2 SO2 + O2 → 2 SO3 Sulfur trioksida kemudian bereaksi dengan uap air membentuk asam sulfat. SO3 + H2O → H2SO4 Uap air yang telah mengandung asam ini menjadi bagian dari awan yang akhirnya turun ke bumi sebagai hujan asam atau salju asam. Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara merupakan kemampuan tanaman dalam merespon tekanan lingkungan yang ekstrem dari kondisi normal dalam hal ini adalah pencemaran udara, dan mampu menghindari seluruh tekanan tersebut serta memperbaiki kerusakan yang terjadi, sehingga paling tidak proses 10 metabolisme dapat dilindungi. Kemampuan tanaman menyerap pencemar udara bervariasi, dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Wilmer 1986). Respons stress tanaman dapat dibagi menjadi tiga tingkat, yaitu pertumbuhan, fisiologi, dan biologi molekuler (Oguntimehin et al. 2010). Oleh karena itu, toleransi tanaman terhadap pencemaran udara dapat dilihat secara makroskopis, mikroskopis, dan fisiologis. Makroskopis Tinggi tanaman dapat menjadi salah satu indikator respon tanaman terhadap bahan pencemar udara seperti yang dilaporkan Pandey dan Agrawal (1994) yang menunjukkan terjadinya reduksi tinggi tanaman, diameter batang, biomassa tanaman, dan jumlah daun dari tanaman-tanaman di lingkungan urban. Namun demikian parameter pertambahan tinggi tanaman saja tidak cukup untuk menduga respon tanaman terhadap pencemar udara. Pertumbuhan tanaman berdasarkan pertambahan luas daun relatif merupakan indikator yang lebih baik sebagai respon terhadap pencemar udara. Jika pada kondisi terpolusi tanaman mempunyai pertambahan luas daun yang tinggi, maka kemampuan untuk menyerap pencemar udara diharapkan juga lebih besar. Pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun (RGR) yang berbeda antar jenis tanaman menunjukkan terdapat perbedaan respon tiap jenis tanaman terhadap pencemar udara (Sulistijorini et al. 2008). Berdasarkan Wuytack et al. (2011), luas daun spesifik atau specific leaf area (SLA) dapat digunakan sebagai alat biologis untuk me-monitoring tingkat polusi udara sedangkan leaf area fluctuating assymetric (FAA) tidak dapat digunakan terutama untuk menganalisis polusi udara berkonsentrasi rendah. Namun, nilai SLA ini pengaruhnya akan berbeda pada setiap tanaman karena bergantung spesies dan berhubungan dengan mekanisme adaptasi dan proteksi tanaman itu sendiri. Mikroskopis a. Stomata Perubahan dalam ukuran pori stomata disebabkan oleh perubahan dalam keseimbangan turgor antara sel-sel penutup dan sel tetangga atau sel-sel epidermis yang berdekatan (Goldsworthy dan Fisher 1992). Suatu kenaikan turgor dalam sel penutup atau suatu penurunan turgor dalam sel tetangga menghasilkan pembukaan stomata melalui gerakan menjauhnya dinding-dinding antiklial sel penutup. Pengaruh polusi udara terhadap parameter kerapatan stomata pada permukaan abaksial daun menunjukkan respon yang bervariasi. Pembukaan stomata berkurang bila kadar CO2 ruang-ruang antarsel bertambah. Apabila fotosintesis bersih berkurang, kadar CO2 di ruang antar sel meningkat dan tahanan stomata akan meningkat. Hal ini akan mengurangi transpirasi dan juga mempertahankan kadar air. Sebaliknya, apabila fotosintesis bersih meningkat, maka terjadi penurunan dalam CO2 di ruang antar sel akan menyebabkan terbukanya stomata. Menurut Grey dan Deneke (1978), jenis tanaman dengan kerapatan stomata sangat tinggi memiliki potensi sebagai agen untuk mengurangi polusi udara. b. Jaringan Peningkatan tebal daun dan palisade merupakan respon detoksifikasi terhadap pencemar udara (Udayana 2004). Saat proses detoksifikasi terhadap paparan ozon, setelah terjadi difusi melalui stomata pada permukaan abaksial daun, ozon atau hasil reaksinya menembus ke dalam rongga udara, berpindah 11 melalui dinding sel dan membran sel yang akhirnya mencapai organel-organel sel (kloroplas dan mitokondria). Reaktifitas terhadap ozon pada daun-daun tebal tinggi dan mekanisme detoksifikasi diduga menekan pengaruh ozon yang berbahaya sebelum mencapai jaringan palisade sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis.Selain mengalami penurunan tebal palisade, paparan lebih dari satu jenis polutan memberikan kerusakan jaringan yang lebih berat dibandingkan dengan satu jenis polutan (Wilmer 1983). Kerusakan yang terjadi pada jaringan palisade dan bunga karang mengakibatkan hilangnya kloroplas pada jaringan tersebut sehingga menghambat proses fotosintesis. Kerusakan ini terjadi diawali oleh penyerapan polutan melalui stomata selanjutnya polutan bereaksi dengan selsel lainnya hingga terjadi kerusakan. Epidermis merupakan target pertama polutan setelah melewati stomata, kemudian memasuki ruang interselular, bereaksi dengan permukaan air sel daun dan mempengaruhi pH sel dan akhirnya terjadi kerusakan pada sel. Fisiologis Gejala kerusakan daun timbul karena terdapat gangguan dalam proses fisiologi tanaman. Dengan demikian, toleransi tanaman terhadap pencemar udara dapat dinilai berdasarkan perubahan parameter fisiologi berupa kandungan asam askorbat total, klorofil total, pH ekstrak daun, serta kadar air daun yang dihitung menurut formulasi APTI (Singh et al. 1991). a. Asam askorbat L-asam askorbat (vitamin C) merupakan vitamin penting dalam diet manusia dan tersedia melimpah dalam jaringan tanaman (Noctor dan Foyer 2005). Daun-daun hijau mengandung askorbat sama banyaknya dengan klorofil. Askorbat berperan penting dalam beberapa proses fisiologis tanaman diantaranya adalah pertumbuhan, diferensiasi, dan metabolisme. Selain itu askorbat juga berfungsi sebagai pereduktor untuk beberapa radikal bebas sehingga dapat meminimalkan kerusakan yang disebabkan oleh oxidative stress (Mc Kersie dan Leshem 1994). Askorbat dapat ditemukan dalam kloroplas, sitosol, vakuola, dan ruang ekstra seluler sel. Sekitar 20-40 % askorbat di dalam mesofil berada dalam kloroplas. Kloroplas mengandung banyak enzim yang dapat mereduksi askorbat dari bentuk teroksidasi (Mc Kersie dan Leshem 1994). Tanaman yang toleran terhadap polusi udara memiliki kandungan asam askorbat tinggi karena asam askorbat memiliki fungsi sebagai anti oksidan atau reduktor kuat yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi (Lima et al. 2000; Rai et al. 2013). Jika reaksi oksidasi sampai berlangsung, maka akan terbentuk senyawa yang dapat meracuni tanaman. Asam askorbat banyak dimanfaatkan dalam metabolisme sel, dibutuhkan untuk sintesis. b. Klorofil Kadar klorofil pada tanaman berpengaruh langsung terhadap aktifitas fotosintesis dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biomassa. Kadar klorofil dalam tanaman bervariasi dari satu spesies dan spesies lainnya bergantung umur daun, tingkat polusi seperti halnya kondisi biotik dan abiotik lainnya. Keberadaan polutan dapat menurunkan kandungan klorofil karena masuknya polutan pada daun dapat mengakibatkan rusaknya kutikula sehingga respirasi terhambat dan proses fotosintesis juga terhambat. Jenis tanaman yang toleran, kandungan klorofil yang dimiliki tinggi karena secara fisiologis tanaman dapat menolak atau menetralkan polutan sehngga 12 tidak merusak klorofil. Carter dan Knapp (2001) menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi pengurangan klorofil. c. pH Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi indikator toleransi tanaman karena pH berperan penting dalam berbagai reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989) menyatakan bahwa pH merupakan media respon fisiologi terhadap kondisi stress. Tanaman yang toleran memiliki pH daun yang cukup tinggi (sekitar 6-7) walaupun dalam kondisi terpolusi. Penyerapan gas SO2 melalui stomata dalam konsentrasi yang tinggi diduga menyebabkan terjadinya proses asidifikasi dalam tanaman. Proses asidifikasi menyebabkan turunnya pH dalam sitoplasma (Marcshner 1995). Untuk menstabilkan pH dalam sitoplasma tetap dalam kisaran yang optimum, maka terjadi pembongkaran asam organik (dekarboksilasi). Terjadinya proses dekarboksilasi berarti mengurangi hasil fotosintesis, yang tercermin dalam pertambahan luas daun tanaman terpolusi lebih rendah daripada tanaman kontrol (tidak terpolusi) (Sulistijorini et al. 2008). d. Kadar air Konsentrasi polutan udara yang tinggi dapat mengakibatkan tanaman mengalami defisit air sehingga tanaman tampak layu. Kandungan air relatif berkaitan dengan permeabilitas sel (Oleinikova 1969 dalam Singh et al. 1991), polutan udara dapat meningkatkan permeabilitas sel yang disebabkan oleh kehilangan air dan terlarutnya bahan nutrisi, akibatnya daun cepat mengalami senescene (Masuch et al. 1988 dalam Singh et al. 1991) sehingga dimungkinkan tanaman yang memiliki kandungan air relatif tinggi dalam kondisi terpapar polusi akan toleran terhadap polutan. Pembukaan stomata biasanya mengecil bila potensial air daun menurun (menjadi lebih negatif). Perubahan pembukaan ini biasanya dianggap disebabkan oleh kenaikan kadar asam absisat. Bila kekurangan air secara cepat, seperti yang terjadi pada tanaman yang ditanam dalam pot-pot kecil, stomata dapat tetap terbuka lebar sementara potensial air daun berkurang dari tingkatnya yang lebih tinggi sebelum stomata mulai menutup, atau segera mulai menutup begitu ada penurunan yang berarti dalam potensial air. e. Karbohidrat Selain keempat parameter fisiologis yang dipaparkan oleh Singh et al. (1991), terdapat satu parameter fisiologis yang juga dapat mempengaruhi tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, yaitu karbohidrat. karbohidrat merupakan produk utama dari proses fotosintesis. Pencemaran udara secara tidak langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan terhadap hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman kontrol. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Kovacs (1992) yang menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya. 13 METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di kawasan industri PT Krakatau Industrial Estate Cilegon, Kota Cilegon, Banten (Gambar 2). Secara geografis, terletak pada 5°59'27.95"-6°0'33.78"LS dan 105°59'31.46"-106°2'10.36" BT. Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan Juni 2015. Pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi, yaitu pada tempat yang terpapar polusi dan tempat yang bebas polusi (kontrol). Sampel yang terpapar polusi diambil di kawasan industri yang memiliki tingkat polusi tertinggi, dan sebagai pembanding, sampel yang tidak terpapar polusi diambil pada area dengan tingkat polusi rendah, yaitu di permukiman penduduk, kawasan hotel, dan golf. Gambar 2 Lokasi penelitian Sumber: google earth (dengan modifikasi) Prosedur Analisis Data Tingkat toleransi tanaman diteliti dengan pengamatan secara makroskopis mikroskopis, dan fisiologis. Pengamatan secara makroskopis yaitu mengamati dampak polutan secara morfologi jenis tanaman yang terpapar polusi dengan parameter luas daun, jumlah daun serta warna daun. Pengamatan mikroskopis dengan parameter anatomi daun (kerapatan stomata, tebal daun, dan tebal 14 palisade). Pengamatan secara fisiologis diteliti dengan mengukur komponen APTI (Air Pollution Tolerance Index) dengan parameter yang diamati adalah asam askorbat, kandungan klorofil, pH daun, dan kadar air serta tambahan parameter yaitu karbohidrat total. Selain itu, dilakukan pengukuran kualitas udara untuk mengetahui tingkat pencemaran udara pada lokasi sampling. Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode survei terhadap spesies pohon yang terdapat di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon. Data yang digunakan meliputi data primer berupa jenis vegetasi yang ada pada tapak, sumber polutan, konsentrasi polutan di tapak, luas daun, jumlah daun, warna daun, anatomi daun, asam askorbat, kandungan klorofil, pH daun, kadar air dan karbohidrat total, serta data sekunder konsentrasi polutan pada tapak data klimatologi, jenis tanah dan topografi. Tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3 Tahapan penelitian 1. Survei Survei lapang dilakukan untuk menentukan lokasi, spesies pohon, dan letak sampling. Pengambilan sampel dilakukan pada dua lokasi, yaitu pada tempat yang terpapar polusi dan bebas polusi (kontrol). Sampel yang terpapar polusi diambil di kawasan industri yang memiliki tingkat polusi tertinggi, dan sebagai pembanding, sampel yang tidak terpapar polusi diambil pada area dengan tingkat polusi rendah, yaitu di permukiman penduduk, kawasan hotel, dan golf. Daun diambil di kawasan industri, dan pohon dipilih yang mencapai ketinggian ≥ 3 meter di atas permukaan tanah dan kedudukan daun terdapat pada kanopi terluar dengan tujuan agar sampel yang diambil merupakan daun yang terpapar polusi dari kawasan industri. Setiap pohon dipilih cabang atau ranting secara acak, daun yang diambil berada ± 10-15 cm dari ujung ranting. Jumlah spesies pohon yang dipilih 15 sebanyak 10 pohon dengan pengulangan sebanyak tiga batang pohon setiap jenis tanaman, dan setiap batang pohon diambil sebanyak tiga cabang. Sampel tanaman yang diambil yaitu Acacia auriculiformis, Casuarina junghuhniana, Erythrina crista-galli, Hibiscus tiliaceus, Leucaena leucocephala, Polyalthia fragrans, Polyalthia longifolia, Pterocarpus indicus, Samanea saman, dan Swietenia mahagoni. 2. Pengamatan makroskopis Pengamatan yang dilakukan adalah mengukur pertumbuhan setiap jenis tanaman dalam waktu dua bulan pengamatan, yaitu April sampai dengan Juni 2015 dengan pertimbangan kondisi iklim relatif kering pada bulan tersebut sehingga tidak ada faktor tambahan (air relatif banyak saat musim penghujan) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, pengamatan dilakukan sebanyak tiga kali waktu, yaitu pada 9 April 2015, 9 Mei 2015, dan 9 Juni 2015. Parameter yang diamati sebagai berikut: a. Pertambahan luas daun diukur setiap satu bulan hingga akhir pengamatan. Luas daun diperoleh dengan cara menjiplak sampel daun, kecuali pada pohon berdaun jarum tidak dilakukan pengukuran. Pengukuran selanjutnya dilakukan pada sampel daun yang sama ditambah dengan daun yang baru terbentuk. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode fotografi kertas millimeter transparan (Nugraha AN 2013). Permukaan daun ditempelkan pada suatu alas papan, lalu kertas millimeter transparan diletakkan di atas permukaan daun dan kemudian dipotret. Luas daun dihitung berdasarkan jumlah kotak yang terdapat dalam pola daun, dengan perhitungan sebagai berikut: 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑑𝑎𝑢𝑛 = 𝑛 𝑥 𝐿𝑘 keterangan : n = jumlah kotak Lk = luas setiap kotak Ukuran luas kotak (Lk) yang digunakan sebagai acuan memiliki ketelitian 1 cm2 (ukuran kotak 1 cm x 1 cm). Kotak yang menutupi pola daun dimasukkan dalam perhitungan apabila memiliki ukuran pola daun tertutupi > 0.5 ukuran acuan, atau sama dengan 0.5 cm2. Gambar 4 Pengukuran luas daun b. Jumlah daun, diukur setiap satu bulan. Parameter jumlah daun diamati pada tiap sampel tanaman utuh pada setiap waktu pengamatan. Daun yang dihitung adalah daun telah membuka sempurna. 16 c. Warna daun Kualitas penampakan warna dinilai dari warna daun sesuai dengan warnawarna pada Munsell Color Chart for Marketing and Merchandising dengan berbagai tingkatan skor dan notasinya (Tabel 2). Perbandingan dilakukan antara daun yang terpapar polusi dan kontrol pada setiap spesies. Tabel 2 Skor, warna, dan notasi Skor Warna 1 2 3 4 5 6 Warna Kuning Hijau kuning Hijau muda Hijau Hijau tua Hijau gelap Notasi 2.5 Y L1 2.5 GY DL4 5 GY DL4 2.5 G DL1 2.5 G DL 2 2.5 G DK1 3. Pengamatan mikroskopis Parameter yang dilihat untuk pengamatan mikroskopis adalah anatomi daun. Pengamatan anatomi daun terdiri dari pembuatan preparat dengan irisan paradermal untuk melihat pengaruh polusi udara terhadap kerapatan stomata dan irisan transversal untuk melihat kerusakan pada jaringan daun (Udayana 2004). Pengamatan anatomi daun dilakukan di Laboratorium Anatomi Tanaman Departemen Biologi IPB. Pembuatan preparat sayatan paradermal menggunakan metode whole mount (Sass 1951). Beberapa helai daun yang telah dipetik segera difiksasi dalam alkohol 70%. Setelah difiksasi, daun dicuci dengan akuades dan direndam dalam asam nitrat 50-70% selama 10-30 menit. Selanjutnya daun dibilas akuades dan dikerik menggunakan silet. Jaringan sel epidermis adaksial didapat dengan melakukan pengerikan bagian abaksial daun, begitupun sebaliknya. Jaringan epidermis berupa lapisan tipis yang telah diperoleh selanjutnya dicuci dengan klorin hingga pigmen klorofilnya pudar kemudian dibilas dengan akuades hingga bersih. Selanjutnya hasil sayatan direndam dalam pewarna safranin 1% kemudian ditaruh di kaca preparat dengan ditambahkan sedikit gliserin kemudian ditutup dengan cover glass. Selanjutnya dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan jumlah dan ukuran stomata dilakukan dalam 3 bidang pandang berbeda dengan 3 kali ulangan. Kerapatan stomata dihitung dengan rumus: Kerapatan Stomata = ∑ 𝑠𝑡𝑜𝑚𝑎𝑡𝑎 𝐿𝑢𝑎𝑠 𝑏𝑖𝑑𝑎𝑛𝑔 𝑝𝑎𝑛𝑑𝑎𝑛𝑔 Pembuatan preparat sayatan transversal menggunakan metode mikrotom beku. Irisan melintang daun dibuat dengan bantuan mikrotom. Hasil irisan ditetesi dengan klorin untuk menghilangkan klorofilnya kemudian dicuci dengan akuades, lalu ditetesi dengan pewarna safranin 1%, selanjutnya dicuci lagi dengan aukades. Setelah itu irisan diletakkan pada kaca preparat ditambah sedikit kuteks bening sebagai perekat kemudian ditutup dengan cover glass. Selanjutnya dilakukan pengamatan dengan menggunakan mikroskop Olympus CH12. Pengamatan ukuran tebal daun, tebal palisade dilakukan sebanyak 3 kali ulangan. 17 4. Pengamatan fisiologis Pengamatan fisiologi daun berupa analisis kandungan asam askorbat, klorofil total, pH daun, kadar air, dan karbohidrat total. Analisis kandungan asam askorbat dilakukan di Laboratorium Kimia Departemen Gizi Masyarakat IPB, kandungan klorofil di Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika (Balittro), pH daun, kadar air dan karbohidrat total dilakukan di Laboratorium Terpadu IPB. Pengambilan sampel daun segar dilakukan pada pagi hari di antara pukul 07.00-08.00 (Salama HMH et al. 2011). Pengukuran dilakukan pada pagi hari karena laju fotosintesis hanya dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Pada saat siang dan sore hari selain dipengaruhi oleh faktor sinar matahari juga dipengaruhi oleh cekaman air daun dan bukaan stomata yang akan mempengaruhi jumlah masukan gas CO2 (Kramer dan Kozlowski dalam Dahlan EN (2007)). Sampel daun yang diambil berada pada ketinggian 1-2 m dari permukaan tanah kemudian sampel daun langsung dibawa ke laboratorium dalam plastik, disimpan dalam kotak es untuk analisis selanjutnya (Rai PK 2013). Metode analisis setiap parameter fisiologis adalah sebagai berikut: a. Asam askorbat Kandungan asam askorbat ditentukan dengan metode yang dikembangkan Reiss (1993) yang telah dimodifikasi. Kandungan asam askorbat diukur dengan menggunakan metode titrasi. Sampel daun (0.5 g) digerus dengan asam metafosforik 5% kemudian difiltrasi dengan menggunakan kertas saring Whatman No. 1. Filtrat yang diperoleh kemudian dititrasi dengan dichlorophenolindophenol (DCIP) 0.8 g/l. Larutan DCIP yang digunakan untuk titrasi distandarisasi dengan larutan asam askorbat murni dengan cara titrasi. Sebanyak 1 ml larutan asam askorbat murni (4 mg/l) dan 9 ml asam metafosforik 5 %. Titrasi dihentikan ketika terjadi perubahan warna menjadi merah muda. b. Klorofil Klorofil total daun (mg g-1) ditetapkan dengan metode spektrofotometri sinar tampak (Arnon 1949). Sampel daun segar sebanyak 1 g dihaluskan dan ditambah aceton 80% hingga jaringan menjadi homogen. Ekstrak dipindahkan ke labu ukur 50 ml melalui kertas saring. Prosedur ekstrasi pada sisa jaringan diulangi sehingga volume dalam labu ukur mencapai 50 ml. Selanjutnya 2.5 ml larutan dimasukkan kedalam labu ukur 25 ml dan diencerkan hingga volume 25 ml hingga diperoleh supernatan. Selanjutnya supernatan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm. c. pH ekstrak daun Derajat keasaman (pH) ekstrak daun diukur dengan pH meter (Singh dan Rao 1983). Sampel daun segar yang telah dihaluskan sebanyak 5 g ditambah air bebas ion sebanyak 50 ml dan pH suspensi diukur dengan pH meter. d. Kadar air Kadar air daun ditetapkan dengan metode oven (Sen dan Bhandari 1978). Sampel daun sebanyak 5 g dioven pada suhu 80º C selama 2 x 24 jam dan bobot keringnya konstan. e. Karbohidrat total Pengukuran karbohidrat total dilakukan dengan metode phenol-sulphuric acid (Masuko et al. 2005). Sebanyak 10 ml sampel diambil kemudian disentrifugasi 6000 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan ditambahkan 10 ml buffer fosfat pH 7, disonikasi selama 4x1 menit. Kemudian sampel diambil 18 sebanyak 0.5 ml ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 0.5 ml phenol dan 2.5 ml asam sulfat, divortex agar homogen kemudian didiamkan selama 10 menit pada suhu ruang. Tabung reaksi disimpan di waterbath pada suhu 40oC selama 20 menit. Blangko menggunakan 0.5 ml aquades ditambah phenol dan asam sulfat dengan jumlah yang sama dengan sampel. Kandungan karbohidrat total sampel diukur menggunakan spektofotometer pada panjang gelombang 490 nm. 5. Sampling udara dan analisis Pengukuran konsentrasi udara ambien meliputi gas NO2, NH3, H2S, SO2, partikel/debu, ozon, dan hidrokarbon. Pengukuran dan analisis kualitas udara dilakukan oleh Laboratorium Terpadu IPB. Sampling dilakukan di dua titik, yaitu area terpolusi di kawasan industri dan area tidak terpolusi (kontrol) di kawasan permukiman penduduk pada pagi hari selama dua jam. Alat yang digunakan untuk pengumpulan sampel udara adalah impinger untuk parameter gas (NO2, NH3, H2S, SO2, ozon, dan hidrokarbon), dan high volume sampler (HVS) untuk parameter partikel/debu. (a) (b) (c) (d) Gambar 5 Sampling udara (a) pengukuran di area terpolusi (b) pengukuran di area tidak terpolusi/kontrol (c) impinger (d) high volume sampler (HVS) Metode dan prinsip pengukuran ke tujuh parameter tersebut ditetapkan sebagai berikut (Sulistijorini 2008): a. Nitrogen dioksida (Metode Griess-saltzman). Nitrogen dioksida di udara ambien diserap dalam larutan penyerap yang mengandung asam sulfanilat dan N-(1-naftil)-etilen diamin dihidro klorida membentuk senyawa berwarna merah muda. Intensitas warna yang terjadi diukur pada panjang gelombang 550 nm. b. Amonia (Metode Indofenol). Amonia di udara diserap dengan larutan penyerap H2SO4 0.1 N. Amonia akan bereaksi dengan asam sulfat membentuk garan amonium. Garam amonium yang terbentuk bereaksi dengan fenol dan hipoklorit membentuk senyawa indofenol yang berwarna biru. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektro fotometer pada panjang gelombang 640 nm. c. Sulfur dioksida (Metode Pararosanilin). Sulfur dioksida di udara diserap oleh kalium tetrakloro merkurat (TCM) akan membentuk senyawa kompleks diklorosulfito merkurat. Selanjutnya senyawa yang terbentuk direaksikan dengan pararosanilin dan formaldehide yang akan membentuk senyawa kompleks pararosanilin metilsulfonat yang berwarna 19 merah ungu. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 548 nm. d. Hidrogen sulfida (Metode Metilen blue). Hidrogen sulfida di udara diserap oleh Zn-asetat 5%. Reaksi dengan larutan diamin (0.15% (N,N-dimetil-1.4-fenilena diamonium diklorida) membentuk metilen blue yang berwarna biru. Intensitas warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 670 nm. e. Debu (Metode Gravimetri). Kertas fiber filter yang akan digunakan dikeringkan terlebih dahulu, kemudian dalam keadaan kosong ditimbang. Selanjutnya kertas fiber diletakkan di lapangan terbuka selama satu jam. Kertas filter dioven kembali. Selanjutnya kertas fiber filter yang telah berisi debu ditimbang untuk mendapatkan bobot akhir filter. Kandungan partikel debu dihitung dengan rumus: (𝑊𝑓 − 𝑊𝑖)𝑥106 𝑃𝑎𝑟𝑡𝑖𝑘𝑒𝑙 𝑑𝑒𝑏𝑢 = 𝑉𝑡 Keterangan: Partikel debu (μg m-3) Wf = bobot akhir filter (g) Wi = bobot awal filter (g) Vt = volume udara sampel total (m3) f. Ozon. Contoh udara diserap larutan Neutral Buffer Potasium (NBKI) dan absorbansi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 352 nm. g. Hidrokarbon (Metode Gas Khromatografi) Metode ini digunakan pada kolom dengan absorbent padat berlapis senyawa cair pada tekanan uap rendah. Data konsentrasi HC (Hidrokarbon) diperoleh setelah terjadi pemisahan. 6. Pengolahan dan analisis data Seluruh hasil pengukuran parameter makroskopis dan fisiologis tanaman akan diuji perbedaannya antara tanaman yang terpolusi dan kontrol dengan uji-T dan jika terdapat beda nyata dilakukan uji Duncan pada taraf α = 5%. Kemudian dilakukan analisis pertumbuhan tanaman dengan mengamati pertambahan pertambahan luas daun total (Sulistijorini et al. 2008). Laju pertumbuhan relatif atau Relative Growth Rate (RGR) dihitung berdasarkan pertambahan luas daun tiap jenis tanaman dengan menggunakan rumus: ln Ld (i)ta ln Ld (i)to RGR t Keterangan: Ld (i)ta = luas daun jenis ke-i pada akhir pengamatan Ld (i)to = luas daun jenis ke-i pada awal pengamatan t = selang waktu pengukuran (4 minggu) Toleransi tanaman diukur berdasarkan laju pertambahan luas daun (RGR) yang diolah dengan ANOVA, dan jika terdapat beda nyata dilakukan uji Duncan pada taraf α = 5%. Selanjutnya dilakukan pemberian skor berdasarkan hasil uji Duncan tersebut (modifikasi Dahlan dalam Sulistijorini et al. (2008)). Skor 1 jika 20 terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih rendah dari kontrol/tidak terpolusi. Skor 2 diberikan jika rerata tanaman kontrol dan terpolusi tidak berbeda nyata; skor 3 jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih tinggi dari kontrol; Penggolongan toleransi tanaman ditentukan berdasarkan skor RGR yaitu termasuk toleran jika skor 3; toleransi sedang jika skor = 2; tidak toleran jika skor =1. Selanjutnya, data kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air daun dihitung berdasarkan formula APTI (Air Pollution Tolerance Index) (Singh et al. 1991) : A(T P) R APTI 10 Keterangan: A = asam askorbat total (mg g-1) T = klorofil total (mg g-1) P = pH daun R = kadar air daun (%) Nilai APTI tiap jenis tanaman dalam kondisi terpolusi dibandingkan dengan tabel kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman (Singh et al. 1991) (Tabel 3). Untuk memperoleh informasi mengenai mekanisme fisiologi yang mempengaruhi toleransi tanaman, maka dilakukan pembandingan tingkat toleransi dan perubahan kondisi fisiologi. Tabel 3 Kriteria sensitivitas dan toleransi tanaman Kriteria Sensitif Sedang Cukup toleran Toleran Sumber: Singh et al. (1991) Deciduous <14 15-19 20-24 >24 Evergreen <12 13-16 17-20 >20 Selanjutnya, dilakukan analisis terhadap satu tambahan parameter fisiologis, yaitu karbohidrat total pada daun. Parameter fisiologis tambahan yang diduga mempengaruhi tingkat toleransi adalah karbohidrat total pada daun, maka dilakukan analisis korelasi antara parameter makroskopis dan fisiologis terhadap karbohidrat total daun tanaman. Kondisi fisiologis suatu tanaman mempengaruhi kondisi yang terlihat secara makroskopis, maka dilakukan analisis korelasi antara parameter makroskopis dan fisiologis untuk melihat hubungan paling signifikan diantara parameter tersebut. Hasil ini menjadi acuan dalam menentukan formula modifikasi APTI yang baru dengan menggunakan analisis regresi linier. 7. Sintesis Data dan informasi hasil analisis disusun berdasarkan tingkat dan aspek toleransi tanaman, sehingga dihasilkan daftar tanaman toleran pada pencemaran udara serta dibuat rekomendasi penanaman di kawasan industri. 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Lokasi Penelitian Kawasan Industri Krakatau Cilegon yang dikelola oleh PT Krakatau Industrial Estate Cilegon (KIEC) terletak di Kota Cilegon, Banten, dikelilingi daerah perbukitan dan laut. Kontur tanah datar, dengan jenis tanah di regosol dengan kedalaman efektif tanah <90 cm dengan tekstur halus (BAPPEDA Kota Cilegon). Luas kawasan sebesar 550 hektar, dan sudah terpakai 245 hektar oleh 70 perusahaan baik nasional maupun multinasional. Kawasan industri didesain dan dikembangkan dengan berdasarkan peraturan dari Master Plan Pengembangan Daerah Industri di Banten. Kawasan KIEC memiliki kondisi tanah yang sesuai untuk bangunan ataupun pabrik. Kawasan industri dibagi menjadi dua, yaitu Kawasan Industri I seluas 550 hektar dan Kawasan Industri II seluas 75 hektar, sehingga total luasan kawasan industri adalah 625 hektar. Fasilitas Industri di kawasan terdiri atas Pelabuhan Cigading (150000 DWT), Pembangkit Listrik (3400 MVA), Pabrik Pengolah Air Industri (2000 l/s), Jalan kelas Satu, Pemadam kebakaran dan Keamanan, Jaringan Telekomunikasi, dan Gas alam (9 mmscfd). Fasilitas sosial di kawasan: ruang perkantoran, hotel, ruang rapat, rumah sakit, sarana olah raga, bank, sekolah berstandar internasional, supermarket, perumahan club investor, kantor manajemen, padang golf, pusat rekreasi, kantor pos, real estate dan perumahan, pemadam kebakaran, dan layanan keamanan 24 jam. Data klimatologi pada satu tahun terakhir di kawasan (2014) dapat dilihat pada Tabel Lampiran 1. Suhu udara rata-rata kawasan sebesar 27.1oC, dengan suhu tertinggi rata-rata bulanan sebesar 32.4oC sedangkan suhu terendah rata-rata bulanan sebesar 23.5oC. Dengan suhu tertinggi terjadi pada bulan Oktober sebesar 34.1oC, dan suhu terendah terjadi pada bulan September sebesar 22.2oC. Kelembaban relatif tertinggi terjadi pada bulan Februari sebesar 87% dan kelembaban relatif terendah pada bulan Oktober sebesar 73%. Curah hujan ratarata kawasan adalah sebesar 126.7 mm/bulan, dengan curah hujan tertinggi sebesar 377 mm terjadi pada bulan Januari dan curah hujan terendah sebesar 10 mm terjadi pada bulan Agustus. Kecepatan angin rata-rata kawasan adalah sebesar 1.9 knot dengan arah angin dominan utara. Jenis tanaman yang ada di kawasan dapat dilihat pada Tabel 4. Jenis tanaman dominan yang terdapat pada kawasan adalah glodogan tiang, angsana, antoteka, dan mahoni. Glodogan tiang terlihat dominan menjadi pohon pengarah jalan dengan pertumbuhan optimal. Angsana, antoteka, dan mahoni juga ditanami di sepanjang jalan, namun ditanam dalam dua baris. Palem ekor tupai, kelapa sawit dan palem raja ditanami di sepanjang jalan utama kawasan di bagian median jalan. Pohon waru ditemui di setiap pinggiran sungai kecil dalam kawasan. Jenis tanaman lainnya tersebar di seluruh kawasan, sebagian besar ditanam secara berkelompok dalam satu area. Tabel 4 Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon No 1 2 Nama latin Acacia auriculiformis Casuarina junghuhniana Nama Lokal Akasia Cemara angin Famili Fabaceae Casuarinaceae 22 Tabel 4 Jenis tanaman di Kawasan Industri Krakatau Cilegon (lanjutan) No 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Nama latin Elaeis guinensis Erythrina crista-galli Gmelina arborea Hibiscus tiliaceus Khaya Anthoteca Leucaena leucocephala Paraserianthes falcataria Polyalthia fragrans Polyalthia longifolia Pterocarpus indicus Roystonea regia Swietenia mahagoni Tabebuia chrysotricha Wodyetia bifurcata Nama Lokal Kelapa sawit Dadap merah Jati putih Waru Antoteka Lamtoro Sengon Glodogan bulat Glodogan tiang Angsana Palem raja Mahoni Tabebuia Palem ekor tupai Famili Arecaceae Fabaceae Verbenaceae Malvaceae Meliaceae Fabaceae Fabaceae Annonaceae Annonaceae Fabaceae Arecaceae Meliaceae Bignoniaceae Arecaceae Jenis tanaman yang dipilih untuk dijadikan sampel terdiri atas 10 spesies. Pemilihan tanaman dilakukan berdasarkan distribusi polutan dengan tingkat tertinggi di kawasan industri (Lampiran 4). Deskripsi masing-masing spesies adalah sebagai berikut: 1. Akasia (Acacia auriculiformis) Pohon berukuran sedang hingga besar, tinggi dapat mencapai 35 m, batang bergaris tengah 90 cm, kulit batang berwarna coklat keabuan hingga coklat tua; daun lurus di satu sisi dan melengkung di sisi lain (seperti bulan sabit dengan cekungan dangkal), panjang 25 cm dan lebar 3.5-9 cm, memiliki 4 (atau 5) urat daun utama yang memanjang; perbungaan bulir, panjang bunga 1.2-1.5 mm, terdiri dari 5 daun bunga; buah kering lurus atau melingkar, panjang 10 cm dan lebar 0.3-0.5 cm, berkayu. 2. Angsana (Pterocarpus indicus) Pterocarpus indicus tergolong ke dalam Famili Fabaceae sub famili Papilionideae. Tanaman ini berasal dari Malaysia dan digunakan sebagai tanaman penghijauan di banyak negara. Tinggi pohon dapat mencapai 10-40 m dengan diameter batang ±2 m. Kayu mempunyai warna dan kualitas yang cukup baik. Daun merupakan daun majemuk dengan anak daun berjumlah 5-13 yang letaknya berselang seling. Daun berbentuk bulat telur memanjang dengan panjang 4-10 cm dan lebar 2.5-5 cm. Bagian ujung daun meruncing, bagian pangkal tumpul dan permukaan daun mengkilat dan terdapat daun penumpu dengan panjang 1-2 cm. Tandan bunga terdapat di ujung ranting, muncul di ketiak daun, sedikit atau bercabang, berambut coklat dan berbunga banyak. Buah berbentuk polong. 3. Cemara angin (Casuarina junghuhniana) Pohon berdaun jarum ini berasal dari Pulau Jawa memiliki tajuk berbentuk piramida atau kerucut. Daun-daunnya halus dan berwarna hijau keabu-abuan. Tingginya dapat mencapai 25 m. bunganya majemuk bulir berwarna keputihputihan. Buahnya termasuk buah kering sepanjang 5-6 mm, lebar 2-3 mm, ujungnya berbentuk segitiga lancip dan bersayap. 4. Dadap merah (Erythrina crista-galli) Erythrina crista-galli termasuk ke dalam pohon pendek, lingkaran batangnya sekitar 50 cm. Biasanya tumbuh sampai setinggi 5–8 m, meskipun 23 secara individual dapat tumbuh hingga 10 m. Akarnya adalah akar tunggang dengan bintil akarnya mengandung bakteri fiksasi nitrogen. Bakteri ini hidup bersimbiosis dengan pohon, membantu penyerapan nitrogen oleh pohon serta mendapatkan bahan organik dari akar pohon. Pohonnya berkayu dengan percabangan yang tidak teratur dan berduri. Pohon ini berbunga pada musim panas, Oktober hingga April di Amerika Selatan serta April hingga Oktober di belahan bumi utara. Biasanya pohon ini mengalami pembungaan pada November hingga Februari. Bunganya warna merah, tersusun dalam tandan bunga, pentamerik, lengkap, dan bilateral simetri. 5. Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) Pohon ini memiliki tajuk yang berbentuk bulat. Daunnya berwarna hijau mengkilap. Panjang daun 15-20 cm dengan ujung menyempit dan tepinya berombak. Dari ketiak daun atau ranting muncul bunga majemuk yang menghasilkan buah. Buahnya bulat sebesar 2 cm dan berwarna kuning kehijauan. 6. Glodogan tiang (Polyalthia longifolia) Pohon ini dapat mencapai tinggi hingga 25 kaki dan membentuk bangun kolumnar. Daunnya mengkilap berwarna hijau, panjang, dengan tepi daun bergelombang. Glodogan tiang umumnya terlihat seperti pohon yang dipenuhi daun sehingga sulit terlihat batangnya, tetapi kadang-kadang cabangnya tidak terumbai ke bawah melainkan horizontal sehingga batangnya dapat terlihat dengan jelas. Akar pada glodogan tiang cukup menembus ke dalam, tidak dangkal, tetapi juga tidak menjalar dengan ekstensif yang bisa mengganggu struktur seperti trotoar, jalan dan bangunan di dekatnya. 7. Lamtoro (Leucaena leucocephala) Semak atau pohon yang tingginya dapat mencapai 18 m, kulit batang keabuan dengan lentisel yang jelas. Daun majemuk menyirip ganda dua (bipinnate) dengan 4-9 pasang daun pada setiap ibu tangkai, panjang kelompok daun di tiap ibu tangkai bervariasi hingga mencapai 35 cm, terdapat 11-22 pasang anak daun di tiap tangkai anak daun, panjang anak daun 8-16 mm dan lebar 1-2 mm, ujung daun runcing. Pembungaan majemuk, terkumpul dalam kepala bunga berbentuk bola dengan garis tengah 2-5 cm, berwarna putih, kelopak daun berukuran sekitar 2.5 mm, sedangkan daun mahkotanya berukuran sekitar 5 mm, benang sari 10 di setiap bunga dan panjang putik 10 mm, terdapat rambut-rambut panjang halus pada kepala sari. Buah kering polong panjang 14-26 cm dan lebar 1.5-2 cm. Tiap buah mengandung 18-22 biji, panjang biji 6-10 mm, dan berwarna coklat. 8. Mahoni (Swietenia mahagoni) Mahoni adalah anggota suku Meliaceae yang mencakup 50 genera dan 550 jenis tanaman kayu. Mahoni termasuk pohon besar dengan tinggi pohon mencapai 35-40 m dan diameter mencapai 125 cm. Batang lurus berbentuk silindris dan tidak berbanir. Kulit luar berwarna cokelat kehitaman, beralur dangkal seperti sisik, sedangkan kulit batang berwarna abu-abu dan halus ketika masih muda, berubah menjadi cokelat tua, beralur dan mengelupas setelah tua. Mahoni baru berbunga setelah berumur 7 tahun, mahkota bunganya silindris, kuning kecoklatan, benang sari melekat pada mahkota, kepala sari putih, kuning kecoklatan. Buahnya buah kotak, bulat telur, berlekuk lima, warnanya cokelat. Biji pipih, warnanya hitam atau cokelat. Mahoni dapat ditemukan tumbuh liar di hutan jati dan tempat-ternpat lain yang dekat dengan pantai, atau ditanam di tepi 24 jalan sebagai pohon pelindung. Tanaman yang asalnya dari Hindia Barat ini, dapat tumbuh subur bila tumbuh di pasir payau dekat dengan pantai. Tajuk pohon mahoni berbentuk kubah, daun berwarna hijau gelap, rapat dan menggugurkan daun. Setelah daun gugur akan segera muncul tunas-tunas muda berwarna hijau muda. Kedudukan daun bersilangan pada ranting. Mahoni berbuah pada umur 10-15 tahun, buah masak pada periode April-Juli. Buahnya cukup keras dengan panjang 5-15 cm, diameter 3-6 cm, umumnya memiliki 5 ruang berbentuk kapsul dan merekah pada saat masak. Buah merekah mulai dari pangkal buah dan terdapat 5 kolom lancip memanjang hingga ujungnya, dimana pada bagian ini sayap dan benih saling menempel. 9. Trembesi (Samanea saman) Trembesi memiliki tajuk melebar (spread). Tanaman yang masuk dalam sub famili Mimosaceae dan famili Fabaceae ini biasa ditanam sebagai peneduh. Daun trembesi dapat mengerut di saat-saat tertentu, yaitu 1.5 jam sebelum matahari terbenam dan akan kembali mekar saat esok paginya setelah matahari terbit. Jika hujan datang, daun-daunnya kembali menguncup. Bentuk dahannya kecil kecil seperti dahan putri malu. Bijinya mirip dengan biji kedelai, hanya warna cokelatnya lebih gelap. Bunganya menyerupai bulu-bulu halus yang ujungnya berwarna kuning, sementara pada dasar bunga berwarna merah. Buahnya memanjang, berwarna hitam kala masak dan biasa gugur ketika sehabis matang dalam keadaan terpecah. Setiap panjang tangkainya berukuran 7-10 sentimeter. Tanaman ini akan tumbuh 15-25 m (50-80 ft) di tempat terbuka dengan diameter kanopi (payung) lebih besar dari tingginya. 10. Waru (Hibiscus tiliaceus) Waru termasuk dalam pohon kecil atau semak. Daun agak membulat, atau bagian atas membundar telur. Bunganya tunggal, terminal, mengkilap, kelopak menggenta, bagian luar dengan nektaria, mahkota besar, kuning dengan ungu menghati, berubah menjadi oranye-merah. Biji 5-7 per sel, berbentuk ginjal, berbintil-bintil kecil, hitam-coklat. Hibiscus tiliaceus ditemui di seluruh daerah tropis terutama dekat pantai. Gambar 6 Spesies pohon yang digunakan sebagai sampel penelitian 25 Kualitas Udara Permasalahan utama yang terdapat di Kawasan Industri Krakatau Cilegon adalah emisi yang dikeluarkan dari kegiatan industri serta transportasi yang mengakibatkan peningkatan polusi udara ambien. Kegiatan industri yang berlangsung di Kawasan Industri Krakatau Cilegon didominasi oleh industri logam yang diikuti oleh industri kimia. Kegiatan industri lainnya adalah industri kemasan plastik, Alumunium, kapur, karbon, pembangkit listrik, jubbing dan custing. Selain dari pabrik yang menghasilkan emisi, sumber polutan di kawasan industri Krakatau juga berasal dari kendaraan yang berlalu lalang, baik kendaraan bermotor yang berukuran kecil maupun kendaraan besar seperti truk. Berdasarkan hasil pengukuran udara ambien dan debu jatuh yang dilakukan Laboratorium Lingkungan PT Krakatau Steel (Tabel 5, Tabel 6, Lampiran 2 dan Lampiran 3), polutan udara tertinggi adalah polutan NO2 dan amonia, namun nilainya masih di bawah standar baku mutu yang telah ditetapkan PPRI No.41 Tahun 1999. Namun, polutan partikel yang terukur memiliki nilai di atas baku mutu pada beberapa titik pengukuran, hal ini disebabkan oleh aktivitas kendaraan yang tinggi pada titik tersebut. Hasil pengukuran udara ambien dan debu jatuh ini menjadi dasar dalam pemilihan jenis tanaman yang akan dijadikan sampel pengukuran. Oleh karena itu, untuk pemilihan tanaman di kawasan industri, jenis tanaman yang dipilih berada di sekitar PT Cabot Indonesia, PT Bluescope Steel Indonesia, PT Briketama, PT Siemens dan PT Oilshell/PT Comstel sedangkan jenis tanaman yang dijadikan kontrol pengukuran dipilih pada lokasi yang memiliki tingkat polusi rendah dan di luar kawasan industri, yaitu di Bapor PT Krakatau Steel dan Hotel The Royale Krakatau. Tabel 5 Hasil pengujian udara ambien No. 1 2 3 4 5 Lokasi Pengukuran PT Cabot Indonesia PT Bluescope Steel Ind PT Oilshell/PT Comstell Bunderan PT Siemens PT Petrojaya Boral Plasterboard 6 Workshop PT Krakatau Engineering 7 Jl Antartika II Kawasan Industri Krakatau 8 Perumahan Arga Baja Pura 9 Bapor PT Krakatau Steel 10 PT Krakatau Tirta Industri 11 Hotel The Royale Krakatau Sumber: KIEC (2014) NO2 67.35 <49.67 <49.67 <49.67 <49.67 Hasil Pengukuran (µg/Nm3) H2S SO2 Amonia <96.74 <4.96 25.02 <96.74 <4.96 19.76 <96.74 <4.96 14.50 <96.74 <4.96 9.25 <96.74 <4.96 9.25 <49.67 <96.74 <4.96 9.25 <49.67 <96.74 <4.96 <9.25 <49.67 <96.74 <4.96 <9.25 <49.67 <49.67 <49.67 <96.74 <96.74 <96.74 <4.96 <4.96 <4.96 <9.25 <9.25 <9.25 26 Tabel 6 Hasil pengujian debu jatuh No. Lokasi Pengukuran Hasil Pengukuran (ton/km2/bulan) November Desember 3.99 3.31 5.48 3.31 41.01* 52.71* 13.90 8.94 22.96* 13.48 26.41* 6.57 6.08 4.31 12.51 16.60 6.79 3.87 1 PT Cabot Indonesia 2 PT Bluescope Steel Ind 3 PT Briketama 4 PT Kapurindo 5 PT Oil Shell KIEC 6 Bunderan Siemens 7 PT Siemens Kabel Optik 8 PT Jaya Board 9 Gudang CM 1 13.06 7.35 10 MolyCop 10.64 4.36 11 Arga Baja I 3.81 4.01 12 Arga Baja II 2 *nilai di atas baku mutu PPRI No. 41 Tahun 1999 (20 ton/km /bulan) Sumber: KIEC (2014) Berdasarkan hasil pengukuran udara, maka sumber pencemaran yang menyebabkan tingkat polusi udara menjadi tinggi di area tersebut dapat dianalisis berdasarkan jenis industri, sifat kegiatannya serta arah dan kecepatan angin. Oleh kerena itu, sumber pencemaran udara di kawasan industri dapat disimpulkan pada Tabel 7. Tabel 7 Sumber pencemaran udara di kawasan industri No Nama Pabrik Jenis Industri 1 PT Cabot Indonesia Karbon hitam untuk bahan pelentur ban mobil (kimia) 2 PT Bluescope Steel Indonesia Baja lapis zinc atau alumunium (metalurgi) 3 PT Commonwealth stell Grinding media 4 PT Siemens Baja untuk komponen pembangkit listrik Sifat Kegiatan Pembuatan bahan kimia, produk petrokimia, kimia berat, serat rayon, plastik dll Proses korosi lead bearing alloys Pembakaran gamping, batu/koral, pasir, kapur, belerang, kaolin, pasir kwarsa, tanah liat. Peleburan bijih besi, baja, pembuatan campuran baja, peleburan baja atau logam lain, besi tulang Jenis Polutan yang dihasilkan Hidrokarbon, CO, NH3, bau, partikel NOx, SO, CO, hidrokarbon, H2S, Chlor, Pb, bau, partikel. Partikel debu, SOx Asap oksida logam, CO, asap, debu, abu peleburan, SOx, Pb, asap Ar dan Cu 27 Tabel 7 Sumber pencemaran udara di kawasan industri (lanjutan) No Nama Pabrik Jenis Industri Sifat Kegiatan 5 PT Petrojaya Boral Plasterboard Papan gypsum Penggilingan gypsum 6 PT Krakatau Steel Baja (logam dasar) 7 PT Briketama Briket batu bara dan kokas 8 PT Wastec International Pengolahan Limbah B3 Peleburan bijih besi, baja, pembuatan campuran baja, peleburan baja atau logam lain, besi tulang Pembakaran dan pemecahan batubara Insinerasi (pembakaran hasil pengolahan limbah B3) 9 PT Kapurindo Sentana Baja Kapur bakar Pembakaran kapur Jenis Polutan yang dihasilkan Partikel debu, uranium, radium, timbal, polonium, actinium torium Asap oksida logam, CO, asap, debu, abu peleburan, SOx, Pb, asap Ar dan Cu CO, NOx, Sox, partikel Partikel, CO, NO2, SO2, hidrokarbon (CH4), HCl, HF, Hg, As, Cd, Cr, Pb, Tl SO2, O3, NO2 dan partikel debu. Sumber: KIEC (2015) Jenis polutan yang dihasilkan beberapa pabrik di kawasan industri pada Tabel 7 menunjukkan polutan partikel selalu muncul pada setiap pabrik. Hal ini yang menyebabkan hasil pengukuran yang dilakukan laboratorium lingkungan KIEC (Tabel 6) menunjukkan nilai pada jenis polutan partikel berada di atas ambang baku mutu yang telah ditetapkan oleh PP RI No. 41/1999. Partikel merupakan produk-produk pembakaran terutama asap dari pembakaran tidak sempurna. Lokasi tertinggi berada di PT Briketama, PT Oilshell, dan PT Siemens. Ketiga pabrik tersebut menghasilkan partikel dari kegiatan industri terutama pembakaran, penggilingan dan peleburan bahan baku. Selain berasal dari kegiatan industri, konsentrasi partikel yang tinggi juga disebabkan oleh kendaraan bermotor terutama kendaraan besar yang berlalu lalang di kawasan industri. Sebagian besar kendaraan besar yang berlalu lalang di kawasan industri menggunakan bahan bakar solar yang mengemisikan zat pencemaran partikel/asap/jelaga, NO2 dan hidrokarbon. Selain partikel, hasil pengukuran juga menunjukkan hasil yang tinggi pada NO2 dan ammonia, namun nilainya masih di bawah baku mutu yang telah ditetapkan. Menurut Fitter dan Hay (1992), nitrogen oksida merupakan hasil samping dari pembakaran yang timbul dari kombinasi nitrogen dan oksigen atmosfer. Sumber utama NO2 adalah pembakaran, pembakaran tertinggi berasal dari kendaraan bermotor. Tingginya konsentrasi NO2 diduga terkait dengan dengan tingginya jumlah kendaraan besar yang melalui area yang diukur serta hasil pembakaran dari beberapa pabrik. Sebagai perbandingan, pada penelitian ini juga dilakukan pengukuran udara secara langsung di lapang. Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara menunjukkan bahwa tingkat pencemaran udara di kawasan industri lebih tinggi 28 dibandingkan dengan di kawasan perumahan (Tabel 8). Namun, hasil pengukuran menunjukkan kualitas udara masih di bawah batu mutu yang ditetapkan oleh PP RI No. 40/1999. Seperti pada pengukuran yang telah dilakukan oleh laboratorium lingkungan KIEC (Tabel 5 dan 6), polutan partikel memiliki konsentrasi tinggi pada area terpolusi (9 µg/m3) dan nilainya jauh di atas pengukuran di area kontrol (<0.027 µg/m3). Konsentrasi NO2, SO2, amonia, ozon, dan hidrokarbon memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di area terpolusi daripada kontrol, sedangkan H2S dan CO masih memiliki konsentrasi yang sangat rendah dan nilainya sama dengan area kontrol. Tabel 8 Hasil pengukuran beberapa parameter kualitas udara di kawasan industri (terpolusi) dan kawasan permukiman (kontrol) Parameter Kawasan Industri (terpolusi) 0.014 0.002 0.087 <0.01 12 <1000 Kawasan Permukiman (kontrol) 0.005 <0.001 0.038 <0.01 10 <1000 Nitrogen Oksida (NO2) Sulfur Dioksida (SO2) Amonia (NH3) Hidrogen Sulfida (H2S) Ozon (O3) Karbon Monoksida (CO) Hidrokarbon (HC) 2.96 <0.65 Partikel 9 <0.027 *Standar baku mutu berdasarkan PP RI No. 41/1999 Baku Mutu* Satuan 400 900 17 14 200 30000 µg/m3 µg/m3 mg/m3 mg/m3 µg/m3 µg/m3 160 230 µg/m3 µg/m3 Hasil pengukuran juga dipengaruhi kondisi iklim mikro pada saat dilakukan sampling udara. Pengukuran kualitas udara dilakukan pada saat kondisi iklim mikro di kawasan industri (area terpolusi) yaitu suhu 33.8oC, kelembaban 69.5%, dan kecepatan angin 0.53 m/s serta di kawasan permukiman (area kontrol) yaitu suhu 31.4oC, kelembaban 66.75%, dan kecepatan angin 0.21 m/s. Kondisi iklim mikro di area terpolusi memiliki suhu, kelembaban, dan kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Suhu udara yang tinggi menyebabkan udara makin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi makin rendah. Kelembaban yang tinggi juga mengakibatkan konsentrasi pencemar menurun karena uap air yang tinggi berinteraksi dengan pencemar sehingga menjadi pencemar sekunder yang tidak berbahaya. Ketika terjadinya pergerakan udara (angin) maka akan terjadi suatu proses penyebaran yang dapat mengakibatkan pengenceran dari bahan pencemaran udara, sehingga kadar suatu pencemar pada jarak tertentu dari sumber akan mempunyai kadar yang berbeda. Oleh karena itu, hasil pengukuran kualitas udara di kawasan industri diduga dapat menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi jika dilakukan pada kondisi iklim mikro yang sama dengan kontrol. 29 Pengamatan Makroskopis Pertumbuhan Tanaman Pertumbuhan tanaman dapat menjadi indikator kecukupan sumber daya dan interaksinya dengan faktor-faktor lingkungan. Sumber daya meliputi berbagai macam unsur hara dan air. Faktor-faktor lingkungan diantaranya adalah cahaya, angin, suhu, kelembaban udara, dan beberapa bahan pencemar udara. Berdasarkan hasil penelitian Salama et al. (2011), polusi udara di sekitar pabrik semen memberikan dampak yang signifikan pada parameter morfologi jenis tanaman. Pertambahan jumlah daun menjadi salah satu indikator respon tanaman terhadap bahan pencemar udara seperti yang dikemukakan pada penelitian Pandey dan Agrawal (1994) yang menunjukkan terjadinya reduksi tinggi tanaman, diameter batang, biomassa tanaman, dan jumlah daun dari tanaman-tanaman di lingkungan urban. Namun demikian parameter pertambahan jumlah daun tanaman tidak cukup untuk menduga respon tanaman terhadap pencemar udara. Pertumbuhan tanaman berdasarkan pertambahan luas daun relatif merupakan indikator yang lebih baik sebagai respon terhadap pencemar udara. Jika pada kondisi terpolusi tanaman mempunyai pertambahan luas daun yang tinggi, maka kemampuan untuk menyerap pencemar udara diharapkan juga lebih besar (Sulistijorini 2008). Oleh karena itu pada penelitian ini diamati parameter jumlah dan luas daun. Pengamatan pertambahan jumlah dan luas daun tanaman dilakukan dari awal pengukuran selama dua bulan. Interval waktu yang digunakan adalah satu bulan atau 30 hari. Pengukuran pertambahan jumlah daun hanya dilakukan pada 8 jenis tanaman; tidak dilakukan penghitungan pada C. junghuhniana dan L. leucocephala karena kesulitan dalam menentukan luas daun. Berdasarkan hasil pengamatan, pertambahan jumlah dan luas daun tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.624 (jumlah daun) dan p = 0.614 (luas daun), Lampiran 8), namun secara umum pertambahan jumlah daun terpolusi lebih tinggi daripada kontrol dan pertambahan luas daun terpolusi lebih tinggi daripada kontrol kecuali pada tanaman P. indicus dan S. mahagoni (Tabel 9). Hasil pengamatan yang menunjukkan pertumbuhan tanaman lebih tinggi dibandingkan kontrol ini tidak sesuai dengan pernyataan Kovacs (1992) bahwa pencemaran udara mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman karena terhambatnya asupan hasil fotosintesis kepada sel-sel apikal akan menyebabkan terhambatnya pembelahan dan pemanjangan sel sehingga mempengaruhi pertumbuhan luas permukaan daun. Penurunan kandungan klorofil mengakibatkan penurunan laju fotosintesis sehingga hasil fotosintesis juga berkurang. Hal ini dipengaruhi oleh tiga bahan pencemar udara yang diduga mempengaruhi laju pertambahan jumlah dan luas daun tanaman di area terpolusi adalah NO2, SO2, dan debu. Nitrogen merupakan komponen utama yang diperlukan untuk pertumbuhan vegetatif (Marschner 1986 dan Larcher 1995 dalam Sulistijorini 2008). Nitrogen diserap akar terutama dalam bentuk nitrat (NO3-) dan amonium (NH4+). Selain nitrogen yang terdapat dalam media tumbuh, dua sumber nitrogen di kawasan industri yang diduga dapat dimanfaatkan oleh tanaman adalah NO2 (0.014 µg/m3) dan NH3 (0.087 mg/m3). Nilai terpolusi yang lebih tinggi daripada kontrol mengindikasikan bahwa jenis ini mampu menggunakan nitrogen yang berasal dari NO2 maupun NH3 yang ada di kawasan industri. Menurut Rogers dan Aneja (1980); Farquhar et al. (1980); Castro et al. (2006), batang dan daun dapat 30 menyerap nitrogen dalam bentuk gas NH3. Selain itu, Nishimura et al. (1986); Rowland-Bamford dan Drew (1988); Ammann et al. (1995) memperlihatkan daun dapat menyerap gas NO2 dari udara. Terhambatnya pertumbuhan tanaman akibat pencemaran udara hanya berpengaruh terhadap tanaman P. indicus dan S. mahagoni. Hal ini menunjukkan tanaman P. indicus dan S. mahagoni peka terhadap pencemaran udara meskipun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Tabel 9 Pertumbuhan setiap jenis tanaman dalam 30 hari Jenis tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Pertambahan luas daun (cm2) Pertambahan jumlah daun Terpolusi 4 3.33 6.67 2.67 5 2.83 0 2 0.5 27.75 Kontrol 7.5 2.3 5.5 1.83 1 1.33 1 1.75 1 24.5 Terpolusi 5.75 17.83 36.83 9.83 6 21.75 6 2.75 Kontrol 2.83 16.5 21.5 5.33 6.75 12.5 16 2.75 Hasil penelitian menunjukkan laju pertumbuhan relatif (RGR) berdasarkan pertambahan luas daun bervariasi antar jenis tanaman (Tabel 9), dan hasil analisis ragam menyatakan RGR tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.563, Lampiran 10) namun berbeda nyata antar jenis tanaman (p = 0.001 (terpolusi) dan p = 0.013 (kontrol), Lampiran 11). Perbandingan nilai RGR tanaman terpolusi dan RGR tanaman kontrol dapat menggambarkan respon tanaman terhadap pencemar udara. Nilai RGR setiap 30 hari pengamatan pada delapan jenis tanaman di area terpolusi dan kontrol adalah sebagai berikut: 1. Akasia (Acacia auriculiformis) RGR pada tanaman A. auriculiformis pada bulan pertama dan bulan kedua mengalami peningkatan dengan nilai RGR di area terpolusi lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 7). 0.25 RGR 0.2 0.15 Polusi 0.1 Kontrol 0.05 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 7 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman akasia 31 2. Angsana (Pterocarpus indicus) RGR pada tanaman P. indicus terjadi perbedaan antara area terpolusi dan kontrol (Gambar 8). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman yang terpolusi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol sedangkan pada bulan kedua sebaliknya, Tanaman terpolusi mengalami peningkatan nilai RGR, sedangkan tanaman kontrol mengalami penurunan nilai RGR. 0.300 RGR 0.250 0.200 0.150 Polusi 0.100 Kontrol 0.050 0.000 Bulan ke- 1 2 Gambar 8 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman angsana 3. Dadap merah (Erythrina crista-galli) RGR pada tanaman E. crista-galli terjadi perbedaan antara area terpolusi dan kontrol (Gambar 9). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman kontrol lebih rendah dibandingkan dengan terpolusi sedangkan pada bulan kedua sebaliknya, Tanaman terpolusi mengalami penurunan nilai RGR, sedangkan tanaman kontrol mengalami peningkatan nilai RGR. 1.2 RGR 1 0.8 0.6 Polusi 0.4 Kontrol 0.2 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 9 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman dadap merah 4. Glodogan bulat (Polyalthia fragrans) RGR pada tanaman P. fragrans pada bulan pertama dan bulan kedua mengalami peningkatan dengan nilai RGR di area terpolusi lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 10). 32 0.5 RGR 0.4 0.3 Polusi 0.2 Kontrol 0.1 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 10 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman glodogan bulat 5. Glodogan tiang (Polyalthia longifolia) RGR pada tanaman P. longifolia di area terpolusi lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol pada bulan pertama pengamatan, namun keduanya mengalami penurunan RGR di bulan kedua pengamatan (Gambar 11). 1.2 RGR 1 0.8 0.6 Polusi 0.4 Kontrol 0.2 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 11 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman glodogan tiang 6. Mahoni (Swietenia mahagoni) RGR pada tanaman S. mahagoni di area terpolusi lebih rendah dibandingkan dengan kontrol pada bulan pertama pengamatan, namun keduanya mengalami penurunan RGR di bulan kedua pengamatan (Gambar 12). 1 RGR 0.8 0.6 Polusi 0.4 Kontrol 0.2 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 12 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman mahoni 7. Trembesi (Samanea saman) RGR pada tanaman S. saman terjadi perbedaan antara area terpolusi dan kontrol (Gambar 13). Saat bulan pertama, RGR pada tanaman yang kontrol lebih rendah dibandingkan dengan terpolusi sedangkan pada bulan kedua sebaliknya. 33 Tanaman terpolusi mengalami penurunan nilai RGR, sedangkan tanaman kontrol mengalami peningkatan nilai RGR. RGR 0.15 0.1 Polusi Kontrol 0.05 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 13 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman trembesi 8. Waru (Hibiscus tiliaceus) RGR pada tanaman H. tiliaceus pada area terpolusi mengalami peningkatan pada bulan pertama dan kedua, sedangkan tanaman waru kontrol tidak mengalami perubahan. Nilai laju pertumbuhan relatif di area terpolusi lebih tinggi dibandingkan kontrol (Gambar 14). 2 RGR 1.5 Polusi 1 Kontrol 0.5 0 Bulan ke- 1 2 Gambar 14 Laju pertumbuhan relatif berdasarkan pertambahan luas daun tanaman waru Laju pertumbuhan relatif yang berbeda antar jenis tanaman menunjukkan respon setiap jenis tanaman yang berbeda. Jenis tanaman E. crista-galli, S. saman, S. mahagoni, dan P. longifolia mengalami penurunan RGR pada kondisi terpolusi menunjukkan pengaruh polusi udara menurunkan laju pertumbuhan tanaman walaupun dalam konsentrasi yang rendah. Namun, terjadinya penurunan RGR pada jenis tanaman S. saman, S. mahagoni, dan P. longifolia pada kondisi kontrol menunjukkan adanya faktor lain dalam pertumbuhan tanaman, yakni kondisi iklim mikro pada kawasan. Menurut data BMKG (2015) curah hujan pada RGR 1 (9 April 2015-9 Mei 2015) adalah sebesar 131 mm, sedangkan curah hujan pada (9 Mei 2015-9 Juni 2015) adalah 38 mm. Penurunan curah hujan mengakibatkan pertumbuhan tanaman menurun pada jenis tanaman tersebut. Warna Daun Hasil pengamatan terhadap warna daun terjadi perbedaan dampak yang ditimbulkan dari pencemaran udara pada setiap jenis tanaman (Tabel 10 dan Lampiran 5). Jenis tanaman L. leucocephala, P. longifolia, P. fragrans, dan A. auriculiformis skor warna daun terpolusi lebih rendah daripada kontrol. Jenis 34 tanaman L. leucocephala, P. longifolia, dan P. fragrans memiliki skor 2.5-3.5 (hijau kuning-hijau muda-hijau) pada area terpolusi. Meitiyani (2003), menyatakan bahwa kontak dengan SO2 dalam konsentrasi rendah dengan waktu yang lama menyebabkan kerusakan kronis ditandai dengan menguningnya warna daun karena terhambatnya mekanisme pembentukan klorofil. Hal tersebut juga ditambahkan oleh Siregar (2005) bahwa pada saat terpapar gas SO2, molekul klorofil akan terdegradasi menjadi pheophitin dan Mg2+. Saat terjadinya proses ini, Mg2+ dalam molekul klorofil diganti oleh dua atom hydrogen yang berakibat pada perubahan karakteristik spektrum cahaya dari molekul klorofil. Namun pada tanaman A. auriculiformis perbedaan warna antara area terpolusi dan kontrol tidak jauh berbeda, yaitu area terpolusi dengan skor 5 (hijau tua) sedangkan kontrol dengan skor 6 (hijau gelap). Hal ini menunjukkan pencemaran udara tidak berpengaruh signifikan, tidak memberikan kerusakan berat bagi tanaman A. auriculiformis serta karena konsentrasi polutan di area terpolusi tidak terlalu tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan skor warna daun tanaman terpolusi lebih tinggi dibandingkan kontrol pada jenis tanaman H. tilliaceus, S. saman, P. indicus, E. crista-galli, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. Jenis tanaman tersebut memiliki skor 5-6 (hijau tua-hijau gelap) pada area terpolusi. Hal ini menunjukkan pada daun yang terkena polutan memiliki warna yang lebih gelap. Warna yang gelap ini menunjukkan bahwa daun tanaman dapat menjerap dan menahan polutan padat seperti partikel debu, terutama daun yang berbulu (Grey dan Deneke 1978). Selain itu, partikel yang mengalami kontak dengan uap air atau air hujan yang kecil (gerimis) akan membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun sehingga sulit untuk dibersihkan kecuali dengan sengaja menggosoknya. Lapisan kerak tersebut mengganggu proses fotosintesis karena menutupi masuknya cahaya matahari dan CO2 melalui stomata sehingga dapat menghambat pertumbuhan tanaman. Hal ini sesuai dengan kondisi udara ambien di kawasan industri yang memiliki konsentrasi polutan partikel yang tinggi sehingga mengakibatkan warna daun menjadi gelap. Tabel 10 Perbandingan warna daun setiap spesies pohon di area polusi dan kontrol Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Skor Warna Daun Kontrol 6 3 5 3 6 6 2.5 6 5.5 5.5 Terpolusi 5 6 6 5 3 2.5 6 3.5 6 6 35 Pengamatan Mikroskopis Kerapatan Stomata Hasil analisis ragam menyatakan kerapatan stomata tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.962. Lampiran 8) namun berbeda nyata antar jenis tanaman (p = 0.0000, Lampiran 9), Oleh karena itu, kerapatan stomata dari 10 jenis tanaman uji pada penelitian ini bervariasi antara 182.46 sampai dengan 939.47 per mm2 (Tabel 11). Tanaman P. indicus, P. longifolia, S. mahagoni, dan C. junghuhniana memiliki kerapatan stomata lebih tinggi di area terpolusi dibandingkan kontrol. Jenis tanaman ini memberikan respon terhadap polutan udara dengan meningkatkan stomatanya. Menurut Grey dan Deneke (1978), jenis tanaman dengan kerapatan stomata sangat tinggi memiliki potensi sebagai agen untuk mengurangi polusi udara. Jenis tanaman H. tilliaceus, S. saman, P. fragrans, A. auriculiformis, E. crista-galli, dan L. leucocephala sebaliknya. Penyebab perbedaan ini adalah tempat tumbuh dan faktor genetis yang berpengaruh terhadap morfogenesis stomata (Wilmer 1983). Menurut Agustini et al, (1994) kerapatan stomata daun (per mm2) dari jenis tanaman dapat diklasifikasikan dalam 3 kelompok yaitu (1) kerapatan rendah (<300), (2) kerapatan sedang (300-500), dan (3) kerapatan tinggi (>500). Berdasarkan Tabel 10, kerapatan stomata pada area terpolusi maupun kontrol berada pada kategori yang sama, yaitu L. leucocephala termasuk kategori rendah, P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan A. auriculiformis kategori sedang, sedangkan pada H. tilliaceus, S. saman, S. mahagoni, dan C. junghuhniana termasuk kategori tinggi. Namun, pada tanaman P. indicus terjadi perubahan kategori kerapatan dari rendah menjadi sedang. Hal ini menunjukkan bahwa ketika diberi pencemaran udara, P. indicus secara anatomi memberikan respon meningkatkan jumlah stomata dan menurunkan panjang stomata. Menurut Susanti (2004), peningkatan indeks stomata terjadi pada tanaman yang terdapat di tempattempat dengan konsentrasi polutan yang cukup tinggi. Hal ini merupakan respon tanaman terhadap kehadiran polutan dari aktivitas transportasi dan industri sebagai upaya tanaman untuk mengurangi terdifusinya polutan udara ke dalam jaringan daun tanaman. Tabel 11 Kerapatan stomata setiap jenis tanaman Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Kerapatan Stomata (mm-2) Kontrol Terpolusi 466.15 387.03 864.54 939.47 454.94 424.49 575.15 504.57 237.21 186.88 407.67 358.22 182.46 311.12 315.94 489.84 542.67 743.16 836.57 664.95 Kategori Kerapatan Kontrol Terpolusi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sedang Sedang Tinggi Tinggi Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Tinggi 36 Jaringan Daun Hasil analisis ragam menyatakan tebal daun dan tebal palisade tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.853 (tebal daun) dan p = 0.475 (tebal palisade). Lampiran 8) namun tebal daun berbeda nyata antar jenis tanaman (p = 0.000, Lampiran 9) sedangkan tebal palisade tidak berbeda nyata (p = 0.096, Lampiran 9). Hasil pengamatan parameter tebal daun dan palisade menunjukkan terdapat respon yang berbeda pada setiap jenis tanaman. Perbedaan respon tersebut sebagai reaksi tanaman dalam mempertahankan keseimbangan fungsi fisiologis tanaman terhadap tekanan yang diberikan oleh lingkungan berupa polusi udara. Hasil pengamatan menujukkan tebal daun pada tanaman H. tilliaceus, L. leucocephala, P. longifolia, E. crista-galli, C. junghuhniana, dan A. auriculiformis lebih tinggi di area terpolusi (Tabel 12). Tebal palisade seluruh tanaman terpolusi lebih tinggi daripada kontrol kecuali S. saman dan P. indicus. Tanaman dengan tebal daun dan tebal palisade yang lebih tinggi di area terpolusi dibandingkan dengan kontrol menunjukkan tanaman toleran terhadap pencemaran udara. Dalam hal ini, S. saman dan P. indicus termasuk sensitif karena baik tebal daun dan tebal palisade di area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol. Peningkatan tebal daun dan palisade diduga sebagai respon detoksifikasi terhadap pencemar udara. Saat proses detoksifikasi terhadap paparan ozon, setelah terjadi difusi melalui stomata pada permukaan abaksial daun, ozon atau hasil reaksinya menembus ke dalam rongga udara, berpindah melalui dinding sel dan membran sel yang akhirnya mencapai organel-organel sel (kloroplas dan mitokondria). Reaktifitas terhadap ozon tinggi pada daun-daun tebal dan mekanisme detoksifikasi diduga menekan pengaruh ozon yang berbahaya sebelum mencapai jaringan palisade sebagai tempat berlangsungnya fotosintesis. Tabel 12 Tebal daun dan tebal palisade setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Tebal Daun (µm) Kontrol Terpolusi 152.5 189.6 656.2 725.9 267.1 290.2 139.7 188.6 145.2 180 167.3 158.7 166.2 133.6 119.8 156.7 157.5 152.5 188 126.8 Tebal Palisade (µm) Kontrol Terpolusi 40 46.7 71.6 95.9 70.7 92.9 46.7 60.7 42.8 67.9 47 60.2 65.9 37.4 21.6 44.3 33.1 43.5 95.6 54.4 Pengamatan Fisiologis Toleransi tanaman terhadap bahan pencemar dapat dilihat dari beberapa parameter fisiologi yaitu asam askorbat, kandungan klorofil total, pH ekstrak daun, dan kadar air (Singh et al. 1991). Hasil analisis beberapa parameter fisiologi tersebut pada area terpolusi dan kontrol dapat dilihat pada Tabel 13. 37 Tabel 13 Kandungan asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air setiap jenis tanaman di area terpolusi dan kontrol Asam Klorofil Askorbat (mg/g) Jenis Tanaman (mg/g) P K P K A. auriculiformis 13.61 16.01 3.70 3.70 C. junghuhniana 6.54 6.32 4.35 2.35 E. crista-galli 5.21 10.94 6.30 15.05 H. tiliaceus 12.62 6.40 2.80 10.70 L. leucocephala 15.54 15.50 4.60 6.40 P. fragrans 4.33 6.65 3.50 7.00 P. indicus 8.30 3.37 8.90 14.05 P. longifolia 7.54 2.31 7.65 6.35 S. mahagoni 10.25 12.70 9.15 14.35 S. saman 8.08 10.51 6.15 11.10 Keterangan: P = area terpolusi, K= kontrol Kadar air (%) pH P 5.4 6.3 6.8 7.2 6.9 5.8 6.8 5.8 6.5 6.8 K 6.4 6.2 7.3 6.9 6.5 6.1 6.2 6.2 6 6.7 P 61.04 61.63 66.64 65.48 66.54 53.89 66.21 57.28 61.53 67.36 K 66.53 59.67 68.75 65.66 68.96 59.84 77.82 59.84 60.5 58.64 Asam Askorbat Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh polusi udara terhadap kandungan asam askorbat pada tanaman berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Tanaman yang memiliki kandungan asam askorbat di daerah terpolusi lebih tinggi daripada daerah kontrol, maka tanaman tersebut termasuk ke dalam tanaman yang toleran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Lima et al. 2000 dan Rai et al. 2013, bahwa tanaman yang toleran terhadap polusi udara memiliki kandungan asam askorbat tinggi karena asam askorbat memiliki fungsi sebagai anti oksidan atau reduktor kuat yang dapat mencegah terjadinya reaksi oksidasi. Jika reaksi oksidasi sampai berlangsung, maka akan terbentuk senyawa yang dapat meracuni tanaman. Tripathi dan Gautam (2007) menyatakan beban polusi bergantung peningkatan kadar asam askorbat pada seluruh jenis tanaman yang menyebabkan peningkatan laju produksi spesies reaktif oksigen (ROS) ketika proses foto oksidasi. Hasil analisis ragam menunjukkan terdapat beda nyata antar jenis tanaman (p = 0.022, Lampiran 9), namun tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.946, Lampiran 8). Hasil penelitian menyatakan tanaman dengan kandungan asam askorbat daerah terpolusi lebih tinggi daripada kontrol adalah H. tilliaceus, L. leucocephala, P. indicus, P. longifolia, C. junghuhniana, dan A. auriculiformis. Spesies S. saman, P. fragrans, E. crista-galli, dan S. mahagoni, daerah terpolusi memiliki kandungan asam askorbat lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pada daerah terpolusi, tanaman dengan tingkat asam askorbat tertinggi adalah L. leucocephala, sedangkan yang terendah adalah P. fragrans. Hal ini menyatakan bahwa L. leucocephala memiliki tingkat toleransi yang tinggi terhadap polutan karena kandungan asam askorbat yang tinggi. Klorofil Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat beda nyata antar jenis tanaman (p = 0.232, Lampiran 9), namun berbeda nyata akibat lokasi pencemaran 38 (p = 0.05, Lampiran 8). Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar kandungan klorofil tanaman menurun di daerah terpolusi kecuali P. longifolia, P. fragrans dan C. junghuhniana, sedangkan tanaman A. auriculiformis tidak ada perubahan. Kadar klorofil pada tanaman berpengaruh langsung terhadap aktifitas fotosintesis dan secara tidak langsung berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan biomassa. Kadar klorofil dalam tanaman bervariasi dari satu spesies dan spesies lainnya bergantung umur daun, tingkat polusi seperti halnya kondisi biotik dan abiotik lainnya. Keberadaan polutan dapat menurunkan kandungan klorofil karena masuknya polutan pada daun dapat mengakibatkan rusaknya kutikula sehingga respirasi terhambat dan proses fotosintesis juga terhambat. Jenis tanaman yang toleran, kandungan klorofil yang dimiliki tinggi karena secara fisiologis tanaman dapat menolak atau menetralkan polutan sehingga tidak merusak klorofil. Carter dan Knapp (2001) menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi pengurangan klorofil. Ditambahkan oleh Kozlowski dan Mudds (1975) menyatakan bahwa adanya pencemaran udara dapat menimbulkan nekrosis dan klorosis yang melibatkan mekanisme kerusakan klorofil. Penelitian Pandey dan Agrawal (1994) membuktikan bahwa tanaman pada daerah urban yang relatif tercemar mempunyai klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman pada daerah yang tidak tercemar. Berdasarkan penelitian Rai et al. (2013), kadar klorofil di seluruh tanaman hasilnya bervariatif sesuai dengan kondisi polusi di kawasan. Kadar klorofil pada kondisi terpolusi rendah seperti yang diduga, polutan menurunkan kadar klorofil total (Agrawal et al. 2003). pH Hasil analisis ragam menunjukkan pH ekstrak daun tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.931, Lampiran 8) namun terdapat beda nyata antar jenis tanaman (p = 0.042, Lampiran 9). Berdasarkan hasil penelitian, jenis tanaman yang berada di kawasan industri memiliki pH asam, yaitu sekitar 5-7, sedangkan di kawasan non industri memiliki pH lebih tinggi, yaitu sebesar 6-7. Hal ini dikarenakan paparan SOx, NOx, dan polutan penghasil asam lainnya yang berasal dari emisi dari kawasan industri sehingga memberikan perubahan pH daun menjadi asam, pH ekstrak daun rendah menunjukkan korelasi yang baik terhadap polusi udara dan juga menghambat proses fotosintesis pada tanaman (Yan-Ju dan Hui 2008; Thakar dan Mishra 2010). Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi indikator toleransi tanaman karena pH berperan penting dalam berbagai reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989) menyatakan bahwa pH merupakan media respon fisiologi terhadap kondisi stress. Tanaman dengan pH tinggi pada kawasan industri adalah H. tilliaceus, S. saman, L. leucocephala, P. indicus, E. crista-galli, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. pH yang tinggi (sekitar 6-7) meningkatkan toleransi tanaman terhadap polusi (Shannigrahi et al. 2011). Kadar Air Hasil analisis ragam menunjukkan tidak terdapat beda nyata antar jenis tanaman (p = 0.469, Lampiran 9), dan juga tidak berbeda nyata akibat lokasi pencemaran (p = 0.056, Lampiran 8). Berdasarkan hasil penelitian, kadar air relatif tanaman di kawasan industri rata-rata lebih rendah dibandingkan dengan kawasan non industri. Kadar air tertinggi terlihat pada S. saman dan terendah pada P. fragrans (area terpolusi). Di area kontrol, kadar air tertinggi adalah P. indicus 39 dan terendah adalah S. saman. Kadar air relatif yang tinggi pada tanaman akan membantu dalam mempertahankan keseimbangan fisiologis di bawah kondisi stress seperti paparan polusi udara ketika laju transpirasi tinggi yang dapat mengakibatkan kekeringan. Oleh karena itu, kadar air relatif tanaman dapat menunjukkan toleransi tanaman terhadap paparan polusi udara. Kadar air lebih tinggi di kawasan industri memberikan respon bahwa terjadi fungsi yang normal dalam proses biologi pada tanaman (Meerabai et al. 2012), hal tersebut terjadi pada tanaman S. saman, S. mahagoni, dan C. junghuhniana. Kandungan air relatif berkaitan dengan permeabilitas sel (Oleinikova 1969 dalam Singh et al. 1991), polutan udara dapat meningkatkan permeabilitas sel yang disebabkan oleh kehilangan air dan terlarutnya bahan nutrisi, akibatnya daun cepat mengalami senescene (Masuch et al. 1988 dalam Singh et al. 1991) sehingga dimungkinkan tanaman yang memiliki kandungan air relatif tinggi dalam kondisi terpapar polusi akan toleran terhadap polutan. Toleransi Tanaman terhadap Pencemaran Udara Menurut Singh et al. (1991) kandungan asam askorbat total, klorofil total, pH, dan kadar air daun yang diformulasikan ke dalam nilai APTI, merupakan parameter fisiologi tanaman yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat toleransi tanaman terhadap pencemar udara. Perubahan nilai APTI dapat terjadi pada perubahan komponen penyusun APTI yaitu kadar air relatif, klorofil total, pH ekstrak daun, dan asam askorbat total. Tingkat toleransi tanaman berdasarkan nilai APTI dapat dilihat pada Tabel 14. Hasilnya yaitu tanaman L. leucocephala dan S. mahagoni termasuk tanaman toleran; tanaman H. tilliaceus, S. saman, P. indicus, dan A. auriculiformis termasuk tanaman cukup toleran; tanaman P. longifolia, E. crista-galli, dan C. junghuhniana termasuk tanaman sedang; dan tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang sensitif. Tabel 14 Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan APTI Jenis Tanaman Nilai APTI Tingkat Toleransi A. auriculiformis 18.48 Cukup toleran C. junghuhniana 13.12 Sedang E. crista-galli 13.48 Sedang H. tiliaceus 19.16 Cukup toleran L. leucocephala 24.53 Toleran P. fragrans 9.42 Sensitif P. indicus 19.65 Cukup toleran P. longifolia 15.86 Sedang S. mahagoni 22.19 Toleran S. saman 17.20 Cukup toleran Keterangan: Sensitif = <12, Sedang= 13-16, Cukup toleran= 17-20, Toleran= >20 (Singh et al. 1991) Penentuan toleransi tanaman berdasarkan kriteria Singh et al. (1991) mempunyai kelemahan yaitu tidak memperhatikan kondisi pertumbuhan tanaman, 40 Bahan pencemar yang diserap tanaman dapat menyebabkan perubahan kondisi fisiologi tanaman yang melibatkan berbagai reaksi biokimia (Malhotra dan Khan 1984). Jika tanaman terpapar pencemar udara dalam jangka panjang maka respon yang dapat timbul adalah terjadinya kerusakan yang dapat diamati (visible symptom) atau terjadi perubahan laju pertumbuhan vegetatif tanpa disertai visible symptom. Hasil anova dan Uji selang berganda Duncan menunjukkan bahwa kondisi terpolusi mempengaruhi RGR tanaman. Tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dapat dilihat pada Tabel 15. Nilai rata-rata RGR pada tanaman H. tilliaceus, P. fragrans, P. longifolia dan E. crista-galli terpolusi lebih tinggi dan berbeda nyata dari kontrol, sehingga keempat jenis ini termasuk jenis toleran terhadap pencemar udara. Rata-rata RGR S. saman dan A. auriculiformis terpolusi tidak berbeda dengan kontrol, sehingga kedua jenis tersebut termasuk jenis tanaman dengan toleransi sedang. Rata-rata RGR P. indicus dan S. mahagoni terpolusi lebih rendah dan berbeda nyata dengan kontrol, sehingga kedua jenis tersebut termasuk jenis tidak toleran terhadap pencemar udara. Tabel 15 Toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan RGR Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana*** E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala*** P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman RGR Terpolusi Kontrol 0.192 a 0.094 a 0.594 a 0.550 bc 1.228 b* 0.717 c 0.328 a 0.178 ab 0.200 a 0.225 ab 0.725 a 0.417 ab 0.200 a 0.533 abc 0.094 a 0.092 a Skor** Tingkat Toleransi 2 3 3 3 1 3 1 2 Sedang Toleran Toleran Toleran Tidak toleran Toleran Tidak toleran Sedang *Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Selang berganda Duncan pada taraf α=5% ** Berdasarkan modifikasi Dahlan (1995) *** Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas daun Tingkat toleransi yang dihasilkan berdasarkan nilai APTI dan RGR terjadi perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 16). Tabel 16 memperlihatkan tingkat toleransi berbeda paling signifikan adalah pada tanaman P. fragrans dan S. mahagoni. Tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang toleran berdasarkan RGR sedangkan berdasarkan nilai APTI termasuk tanaman yang sensitif. Sebaliknya, tanaman S. mahagoni termasuk tanaman yang tidak toleran berdasarkan RGR sedangkan berdasarkan nilai APTI termasuk tanaman yang toleran. Penentuan toleransi tanaman berdasarkan kriteria APTI (Singh et al. 1991) sangat dipengaruhi oleh parameter asam askorbat. Jika kandungan asam askorbat tinggi, maka berdasarkan formulasi APTI tanaman masuk ke dalam golongan toleran seperti L. leucocephala, dan sebaliknya jika asam askorbat 41 rendah seperti P. fragrans termasuk dalam golongan sensitif. Formulasi APTI menunjukkan perubahan asam askorbat paling berpengaruh tinggi dibandingkan dengan perubahan parameter lain seperti klorofil total, pH ekstrak daun, dan kadar air daun. Metode APTI juga mempunyai kelemahan yaitu menggabungkan empat parameter fisiologi yang mempunyai satuan berbeda (Sulistijorini et al. 2008). Tabel 16 Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan RGR dan APTI Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Tingkat Toleransi berdasarkan APTI Tingkat Toleransi berdasarkan RGR Cukup toleran Sedang Sedang Cukup toleran Toleran Sensitif Cukup toleran Sedang Toleran Cukup toleran Sedang * Toleran Toleran * Toleran Tidak toleran Toleran Tidak toleran Sedang * Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas daun Analisis Karbohidrat Tanaman Selain keempat parameter fisiologis yang dipaparkan oleh Singh et al. (1991), terdapat satu parameter fisiologis yang juga dapat mempengaruhi tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara, yaitu karbohidrat. Karbohidrat merupakan produk utama dari proses fotosintesis. Pencemaran udara secara tidak langsung mempengaruhi laju fotosintesis dan mengakibatkan perubahan terhadap hasil produknya, termasuk pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat kecenderungan bahwa tanaman yang terpapar gas polutan pada konsentrasi tertentu dengan jangka waktu yang relatif lebih lama akan menghasilkan reduksi pertumbuhan yang tidak optimum dibandingkan tanaman kontrol. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari Kovacs (1992) yang menyatakan bahwa tanaman-tanaman dapat tumbuh dengan cepat apabila berada di dalam habitat yang produktif, sedangkan tempat-tempat yang tidak baik dan beracun akan menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat. Hal tersebut dikarenakan tanaman pada kelompok ini akan cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan dari proses fotosintesis untuk berbagai fungsi seperti pendukung, menangkal terhadap reduktor, reproduksi dan sebagainya sehingga menyebabkan pengurangan kecepatan pertumbuhan dari potensi maksimumnya. Tanaman lebih cenderung menggunakan karbohidrat yang dihasilkan oleh proses fotosintesis untuk berbagai fungsi pertahanan diri terhadap lingkungan yang tidak produktif sehingga menyebabkan penurunan kecepatan tanaman dari potensi maksimumnya. Berdasarkan hasil penelitian, pengaruh pencemaran udara terhadap karbohidrat total tanaman berbeda-beda setiap jenisnya. Nilai karbohidrat total pada area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol terjadi pada tanaman H. 42 tilliaceus, S. saman, L. leucocephala, E. crista-galli, S. mahagoni, dan A. auriculiformis, sedangkan P. indicus, P. fragrans, P. longifolia, dan C. junghuhniana karbohidrat terpolusi lebih rendah daripada kontrol. Karbohidrat pada tanaman terpolusi beragam mulai dari 1.09 sampai dengan 6.79, Tanaman dengan kandungan karbohidrat tertinggi adalah P. longifolia, sedangkan tanaman yang memiliki kandungan karbohidrat total terendah adalah A. auriculiformis. Tabel 17 Karbohidrat total setiap jenis tanaman pada area terpolusi dan kontrol Karbohidrat (%) Jenis Tanaman Terpolusi 1.09 5.61 2.69 5.01 3.38 2.87 2.31 6.79 4.1 4.08 A. auriculiformis C. junghuhniana E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman Kontrol 2.67 3.48 8.25 5.24 8.18 2.05 1.89 4.94 5.2 5.68 Analisis korelasi antara karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan fisiologis dilakukan untuk mengetahui tingkat pengaruh karbohidrat terhadap parameter-parameter tersebut. Hasilnya menunjukkan hubungan karbohidrat total dengan parameter lainnya tidak signifikan (p>0.05) (Tabel 18). Parameter karbohidrat total berhubungan positif dengan parameter lainnya kecuali dengan parameter kadar air. Menurut Sugiyono (2007), tingkat korelasi dapat diklasifikasikan menjadi: (1) 0.00-0.199 = sangat rendah. (2) 0.20-0.399 = rendah. (3) 0.40-0.599 = sedang. (4) 0.60-0.799 = kuat. (5) 0.80-1.000 = sangat kuat. Korelasi tertinggi parameter makroskopis adalah RGR (korelasi = 0.492 (sedang), p = 0.053) sedangkan parameter fisiologis adalah klorofil (korelasi = 0.436 (sedang), p = 0.091). Tabel 18 Analisis korelasi karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan fisiologis Jumlah daun Luas daun RGR Asam Klorofil askorbat pH Kadar Air Pearson Correlation 0.152 0.465 0.492 0.093 0.436 0.432 -0.139 Sig. 0.575 0.070 0.053 0.732 0.091 0.095 0.607 Korelasi sangat rendah sedang sedang sangat rendah sedang sedang sangat rendah Perbandingan nilai RGR dengan karbohidrat total dapat dilihat Tabel 19. Karbohidrat total pada A. auriculiformis yang rendah (1.09%) sebanding dengan RGR yang rendah (0.094), begitu pula dengan P. longifolia yang memiliki 43 karbohidrat total yang tinggi (6.79%) sebanding dengan RGR tinggi (0.725). Hal ini menunjukkan hubungan linier pada kedua parameter tersebut. Hasil analisis regresi linier juga menunjukkan korelasi positif antara RGR dan karbohidrat total tanaman. Persamaan yang dihasilkan yaitu y = 0.065x + 0.064 dengan R2 = 0.341. artinya sekitar 34.1% peningkatan nilai RGR dipengaruhi oleh kandungan karbohidrat total pada daun. sisanya dipengaruhi oleh parameter lain. Tabel 19 Perbandingan RGR dan karbohidrat total setiap jenis tanaman Jenis Tanaman A. auriculiformis C. junghuhniana* E. crista-galli H. tiliaceus L. leucocephala* P. fragrans P. indicus P. longifolia S. mahagoni S. saman RGR 0.094 0.594 1.228 0.328 0.2 0.725 0.2 0.094 Karbohidrat Total (%) 1.09 5.61 2.69 5.01 3.38 2.87 2.31 6.79 4.1 4.08 * Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas daun Hal ini sesuai dengan penelitian Seyyednejad et al. (2011) yang menyatakan bahwa tanaman dengan konsentrasi gula yang tinggi merupakan spesies yang toleran terhadap polusi udara karena polimer fruktosa dapat membantu spesies toleran di bawah kondisi yang tidak menguntungkan. Contohnya adalah pada tanaman rumput ryegrass terjadi peningkatan fructans pada saat terpapar polusi udara sesaat di Sao Paolo (Brazil) (Moretto et al. 2009). Berdasarkan hasil penelitian Sandrin et al. (2013) terjadi peningkatan fructans khususnya pada akar tanaman Lollium multiflorum ketika siang hari pada musim semi dan gugur, bertepatan saat suhu tinggi, intensitas cahaya rendah dan konsentrasi tertinggi polutan udara. Pada kondisi tersebut, fotosintesis terstimulasi dengan baik sehingga mengakumulasikan konsentrasi gula lebih tinggi. Fructans (polyfructosylsucrose) itu sendiri merupakan penyimpanan utama karbohidrat pada tanaman. Sintesis fructans dalam daun berhubungan dengan sintesis sukrosa fotosintesis dan translokasi serta melanjutkan metabolisme sukrosa pada batang dan akar. Fructans berperan dalam pertumbuhan tanaman di bawah kondisi lingkungan yang tidak baik, salah satunya adalah pada kondisi tercemar polusi udara karena fructans berperan sebagai pengambil oksigen reaktif atau secara tidak langsung menstimulasi mekanisme bertahan antioksidatif. Berdasarkan karbohidrat total pada daun, maka P. longifolia termasuk dalam tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara sedangkan A. auriculiformis merupakan tanaman yang sensitif. 44 Hubungan Parameter Makroskopis dan Fisiologis Mekanisme penyesuaian tanaman terhadap bahan pencemar udara dapat diukur berdasarkan perubahan kondisi fisiologi. Oleh karena itu, setelah dilakukan analisis korelasi antara karbohidrat total dengan parameter makroskopis dan fisiologis, maka dilakukan analisis korelasi antara parameter makroskopis terhadap parameter fisiologis untuk mengetahui tingkat korelasi masing-masing parameter agar penggolongan toleransi tanaman bersesuaian antara parameter fisiologis dan makroskopis. Analisis korelasi dilakukan terhadap parameter makroskopis yang terdiri atas pertambahan jumlah daun, warna daun, ketebalan daun, RGR 1 (laju pertambahan luas daun pada selang satu bulan pengamatan pertama), RGR 2 (laju pertambahan luas daun pada selang satu bulan pengamatan kedua), dan RGR (laju pertambahan luas daun pada selang dua bulan pengamatan) serta parameter fisiologis yang terdiri atas karbohidrat total, asam askorbat, klorofil, pH, dan kadar air. Hasil analisis korelasi antara RGR dengan parameter fisiologis dapat dilihat pada Tabel 21. Hasil analisis korelasi menunjukkan hubungan paling signifikan terjadi antara RGR 1 dengan karbohidrat total, yaitu korelasi sebesar 0.717 (kategori korelasi kuat) dengan p = 0.045, namun hubungan RGR 1 dengan parameter lainnya cenderung rendah, yaitu asam askorbat, klorofil, dan pH dengan kategori korelasi yang rendah, sedangkan kadar air dengan kategori korelasi sangat rendah. Hal ini sesuai dengan pendugaan dan perhitungan sebelumnya bahwa karbohidrat total memberikan pengaruh paling tinggi terhadap RGR dibandingkan parameter fisiologis yang dikemukakan Singh et al. (1991) pada formula APTI. RGR 1 memiliki hubungan yang signifikan karena waktu pengambilan sampel untuk analisis fisiologis ketika dilakukan pengamatan kedua pertumbuhan tanaman. Penggolongan toleransi tanaman berdasarkan nilai RGR mempunyai kelebihan karena RGR dapat menggambarkan kemampuan tanaman menyesuaikan diri terhadap kondisi terpolusi. Mekanisme penyesuaian tanaman terhadap bahan pencemar udara dapat diukur berdasarkan perubahan kondisi fisiologi. Oleh karena itu penentuan tingkat toleransi tanaman didasarkan pada hubungan antara parameter fisiologis dengan RGR 1. Tabel 20 Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter fisiologis Parameter Pertambahan jumlah daun Pearson Correlation Sig. Kategori Warna daun Pearson Correlation Sig. Kategori Tebal daun Pearson Correlation Sig. Karbohidrat Asam Askorbat Klorofil pH Kadar Air -0.084 -0.037 -0.077 0.152 0.398 0.817 Sangat rendah 0.920 Sangat rendah 0.833 Sangat rendah 0.676 Sangat rendah 0.254 -0.135 -0.073 0.352 0.285 0.552 0.709 Sangat rendah .841 Sangat rendah .319 .424 .098 Rendah Rendah Sedang 0.310 -0.267 -0.267 -0.046 -0.032 0.383 0.456 0.456 0.899 0.929 Rendah 45 Tabel 20 Analisis korelasi antara parameter makroskopis dengan parameter fisiologis (lanjutan) Parameter Kategori Karbohidrat Asam Askorbat Klorofil pH Rendah Rendah Rendah Sangat rendah Kadar Air Sangat rendah 0.287 0.390 0.293 -0.046 0.491 0.339 0.481 Rendah Rendah Rendah .914 Sangat rendah 0.407 -0.601 0.422 0.120 0.317 0.115 0.298 Sedang Kuat Sedang 0.777 Sangat rendah -0.06 0.366 0.02 0.492 0.826 0.163 0.942 0.053 sangat rendah rendah sangat rendah sedang RGR 1 (laju Pearson 0.717* pertambahan Correlation luas daun Sig. 0.045 pada bulan Kategori Kuat pertama) RGR 2 (laju Pearson 0.206 pertambahan Correlation luas daun Sig. 0.624 pada bulan Kategori Rendah kedua) RGR (rataPearson 0.016 rata Correlation pertambahan Sig. 0.952 luas daun sangat selama dua Kategori rendah bulan) *signifikan pada taraf kepercayaan 95% Hasil analisis menunjukkan, asam askorbat yang menjadi parameter utama dalam menentukan tingkat toleransi tanaman ternyata memiliki korelasi yang rendah dengan RGR 1 tanaman (korelasi = 0.287, p = 0.491). Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistijorini et al. (2008) yang menunjukkan toleransi berdasarkan RGR tidak dipengaruhi oleh kandungan asam askorbat daun. Lagerstroemia speciosa yang termasuk jenis toleran mempunyai asam askorbat terendah (4.59 mg/g daun) dibandingkan dengan ketujuh jenis tanaman lainnya. Parameter klorofil (korelasi = 0.390, p = 0.339) tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap RGR 1 namun hubungannya masih lebih tinggi dibandingkan parameter asam askorbat, pH, dan kadar air. Sesuai dengan Carter dan Knapp (1991) yang menyatakan bahwa bahan pencemar dapat menginduksi pengurangan klorofil. Ditambahkan oleh Kozlowski dan Mudds (1975) menyatakan bahwa adanya pencemaran udara dapat menimbulkan nekrosis dan klorosis yang melibatkan mekanisme kerusakan klorofil. Penelitian Pandey dan Agrawal (1994) membuktikan bahwa tanaman pada daerah urban yang relatif tercemar mempunyai klorofil lebih rendah dan berbeda nyata dengan tanaman pada daerah yang tidak tercemar. Pengaruh yang tidak signifikan pada klorofil disebabkan oleh konsentrasi pencemar udara di area terpolusi yang tidak terlalu tinggi. Klorofil sebagai salah satu bagian dari organel kloroplas menjadi modal dasar bagi tanaman dalam melakukan fotosintesis. Selain klorofil, tanaman juga memerlukan karbondioksida dan air untuk menjalankan fotosintesis. Karbondioksida diperoleh tanaman melalui proses fiksasi karbondioksida. Fiksasi karbondioksida oleh tanaman, tidak dapat dipilih zat atau senyawa yang boleh masuk atau tidak bersama dengan udara. Proses fiksasi karbondioksida menjadi salah satu cara untuk mengurangi polusi udara. Fiksasi karbondioksida oleh tanaman akan dapat menyebabkan udara yang tercemar menjadi lebih bersih apabila polutan yang terdapat di dalamnya terikat di dalam tanaman (Kompri 2009). Karbondioksida yang difiksasi oleh tanaman akan mempengaruhi banyaknya pati (karbohidrat) yang dihasilkan oleh tanaman, semakin banyak 46 karbondioksida yang difiksasi akan membuat tanaman menghasilkan lebih banyak pati. Karbohidrat juga dapat membantu pembentukan klorofil dalam daun-daun yang mengalami pertumbuhan. Tanpa adanya karbohidrat, maka daun-daun tersebut tidak mampu menghasilkan klorofil. Kadar air daun sebagai elemen dalam formulasi APTI juga kurang dapat menggambarkan peranan kadar air dalam mekanisme pertahanan diri akibat paparan bahan pencemar, dapat dilihat pada hasil analisis korelasi, kadar air hanya memiliki tingkat korelasi sebesar -0.046, pengaruhnya paling rendah dibandingkan asam askorbat, klorofil dan pH. Meningkatnya kadar air pada tanaman terpolusi diduga karena pengambilan air dari dalam tanah dan transpirasi tanaman berada dalam keseimbangan. Hal ini didukung oleh Taiz dan Zeiger (2002) yang menyatakan ketersediaan air pada daun dipengaruhi oleh kemampuan absorbsi akar dan transpirasi tanaman. Parameter pH memiliki signifikan yang lebih tinggi dibandingkan asam askorbat dan kadar air, yaitu sebesar 0.293. Derajat keasaman (pH) daun dapat menjadi indikator toleransi tanaman karena pH berperan penting dalam berbagai reaksi fisiologi tanaman. Hartung dan Radin (1989) menyatakan bahwa pH merupakan media respon fisiologi terhadap kondisi stress. Proses asidifikasi yang dihasilkan dari industri menyebabkan turunnya pH dalam sitoplasma (Marcshner 1995). Untuk menstabilkan pH dalam sitoplasma tetap dalam kisaran yang optimum, maka terjadi pembongkaran asam organik (dekarboksilasi). Terjadinya proses dekarboksilasi berarti mengurangi hasil fotosintesis, yang tercermin dalam pertambahan luas daun tanaman terpolusi lebih rendah daripada tanaman kontrol (tidak terpolusi) (Sulistijorini et al. 2008). Berdasarkan hasil analisis korelasi, maka penentuan tingkat toleransi tanaman terhadap pencemaran udara berdasarkan hubungan antara parameter fisiologis dengan RGR 1. Hasil analisis regresi linier berganda menghasilkan formula APTI yang baru, yaitu: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇𝐼 = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅 Keterangan: A = asam askorbat total (mg g-1) T = klorofil total (mg g-1) P = pH daun R = kadar air daun (%) K = karbohidrat total (%) Dengan formula modifikasi APTI tersebut, maka terjadi perubahan klasifikasi tingkat toleransi tanaman dan hasilnya menunjukkan setiap jenis tanaman antara RGR 1 (parameter makroskopis) dan modifikasi APTI (parameter fisiologis) memiliki tingkat toleransi yang sama (Tabel 21). Pemberian skor dan klasifikasi tingkat toleransi mengacu pada modifikasi Dahlan (1995), yaitu skor 1 jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih rendah dari kontrol/tidak terpolusi. Skor 2 diberikan jika rerata tanaman kontrol dan terpolusi tidak berbeda nyata; skor 3 jika terdapat beda nyata dan rerata tanaman terpolusi lebih tinggi dari kontrol; Penggolongan toleransi tanaman ditentukan berdasarkan skor RGR yaitu termasuk toleran jika skor 3; toleransi sedang jika skor = 2; tidak toleran jika skor =1. Pertimbangan pemberian skor dan klasifikasi berdasarkan modifikasi Dahlan (1995) karena dilakukan perbandingan antara area terpolusi dan kontrol terlebih dahulu kemudian dihitung skornya. Perbandingan antara nilai 47 terpolusi dan kontrol perlu dipertimbangkan untuk mengukur pengaruh polusi udara pada tanaman. Oleh karena itu, tanaman dengan nilai modifikasi APTI lebih tinggi di area terpolusi dibandingkan kontrol menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap polusi udara. Hasilnya menunjukkan nilai modifikasi APTI jenis tanaman P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana lebih tinggi di area terpolusi dan berbeda nyata sehingga termasuk dalam tanaman toleran; pada jenis tanaman H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis memiliki nilai modifikasi APTI tidak berbeda nyata antara area terpolusi dan kontrol sehingga termasuk dalam tanaman toleransi sedang; sedangkan tanaman tidak toleran pada jenis L. leucocephala, P. indicus, dan S. mahagoni karena memiliki nilai modifikasi APTI di area terpolusi lebih rendah dibandingkan kontrol dan berbeda nyata. Tabel 21 Toleransi tanaman berdasarkan RGR 1 dan modifikasi APTI Jenis tanaman RGR 1 TerpoKontrol lusi Skor ** Modifikasi APTI Terpolusi Kontrol Skor ** Tingkat Toleransi A. 0.15 a 0a 2 2.84 a* 3.80 a 2 Sedang auriculiformis C. 8.82 ab 6.40 b 3 Toleran junghuhniana*** E. crista-galli 1.02 b 0.13 ab 3 6.53 b 10.59 bc 3 Toleran H. tiliaceus 0.99 b* 0.69 b 2 6.24 ab 8.58 ab 2 Sedang L. 1 Tidak toleran leucocephala*** 4.18 ab 10.06 bc P. fragrans 0.24 a 0.07 ab 3 5.68 ab 4.92 a 3 Toleran P. indicus 0.12 a 0.28 ab 1 5.16 ab 8.82 b 1 Tidak toleran P. longifolia 1.03 b 0.67 ab 3 9.48 b 9.10 bc 3 Toleran S. mahagoni 0.27 a 0.87 ab 1 5.94 ab 6.70 b 1 Tidak toleran S. saman 0.12 a 0.11 a 2 7.30 ab 6.80 ab 2 Sedang *Angka dalam kolom yang sama diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Selang berganda Duncan pada taraf α=5% ** Berdasarkan modifikasi Dahlan (1995) *** Tidak dilakukan pengukuran RGR karena kesulitan secara teknis mengukur pertambahan luas daun Rekomendasi Penanaman di Kawasan Industri Rekomendasi yang disarankan untuk menurunkan tingkat polusi udara dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat di Kawasan Industri Kota Cilegon adalah dengan upaya green belt development. Green belt development merupakan solusi yang tepat karena secara ekonomi dan teknologi layak dikembangkan. Upaya ini dibagi menjadi dua rekomendasi yaitu berdasarkan parameter biofisik dan sosial ekonomi. Parameter biofisik yang dimaksud adalah pengembangan green belt yang ideal dan bermanfaat optimum untuk suatu kota dari segi jenis tanaman, tinggi tanaman, lebar green belt dan jarak green belt dari pusat pencemar. Parameter sosial-ekonomi yaitu pertimbangan keefektifan biaya yang dikeluarkan, kegunaan jangka panjang, keberlanjutan, dan kelayakan teknologi serta interaksi dan partisipasi masyarakat dalam pengembangan green belt. Oleh karena itu, green belt development berdasarkan parameter biofisik merupakan konsep dasar dari penanaman di Kawasan Industri Kota Cilegon sehingga konsep 48 penataan ruang terbuka hijau di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi polutan dan bentuk penanaman. Peta konsep penanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 12. Berdasarkan distribusi polutan, konsentrasi polutan menjadi faktor utama dalam memilih jenis tanaman. Konsentrasi polutan udara yang tinggi dapat mempengaruhi perubahan fisiologis pada tanaman yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang berfungsi sebagai agen yang dapat mengurangi pencemaran udara. Jika tanaman toleran terhadap pencemar udara maka fungsi tanaman sebagai agen yang mengurangi dampak pencemaran udara dapat berjalan baik dengan tetap mempertahankan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang optimum. Oleh karena itu, selain efektif menyerap polutan gas dan menjerap polutan partikel, pemilihan tanaman yang toleran lebih diprioritaskan untuk mengurangi dampak pencemaran tanaman udara pada area dengan konsentrasi polutan tinggi. Kawasan Industri Krakatau Cilegon menghasilkan polutan jenis partikel paling banyak dibandingkan dengan polutan gas, bahkan konsentrasinya telah melebihi ambang baku mutu lingkungan. Oleh karena itu, pemilihan tanaman yang efektif dalam menjerap partikel dibutuhkan pada tapak. Keefektifan tanaman dalam menjerap partikel berbeda setiap jenisnya. Dengan adanya vegetasi, partikel padat yang dihasilkan sumber polutan seperti pabrik akan dapat dibersihkan oleh tajuk pohon melalui proses jerapan. Dengan adanya mekanisme ini jumlah debu yang tersebar luas dapat menurun. Partikel tersebut sebagian akan terjerap (menempel) pada permukaan daun, lebih efektif pada daun yang berbulu dan mempunyai permukaan yang kasar. Selain itu, terdapat partikel yang menempel pada kulit pohon, cabang, dan ranting. Kriteria tanaman khusus untuk penjerap debu yaitu memiliki daun yang rimbun, permukaan daun yang kasar atau berbulu, berdaun jarum, memiliki kerapatan trikoma tinggi, serta toleran terhadap polutan. Daun yang berbulu dan berlekuk seperti halnya daun bunga matahari (Helianthus anuus) dan kersen (Muntingia callabura) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menjerap partikel daripada daun yang mempunyai permukaan yang halus (Wedding et al. dalam Smith 1981). Daun yang berambut atau bertrikoma mempunyai kemampuan yang tinggi dalam menyerap partikel dibandingkan daun yang tidak bertrikoma seperti Cassia javanica (Gandasari et al. 2000). Berdasarkan hasil penelitian, tanaman yang efektif dalam menjerap partikel dan toleran terhadap pencemar udara dan sesuai ditanam di area dengan konsentrasi polutan tinggi adalah P. longifolia, P. fragrans, dan C. junghuhniana. Berdasarkan penelitian Dwiputri (2012) kapasitas jerapan debu per pohon P. fragrans tertinggi (2 389,18 mg hari-1) dibandingkan dengan tiga jenis tanaman lainnya (Terminalia catappa, Mangifera indica, dan Thuja orientalis). Morfologi daun sebagai penjerap debu pada P. fragrans mirip dengan sehingga kapasitas jerapan debu pada P. longifolia pun diduga sama efektifnya dengan P. fragrans. Jenis tanaman C. junghuhniana juga efektif dalam menjerap polutan partikel karena sesuai dengan kriteria tanaman penjerap partikel, berdaun jarum. Tanaman yang dipilih pada area dengan konsentrasi polutan rendah adalah tanaman dengan toleransi sedang dan efektif menjerap partikel, yaitu H. tiliaceus dan S. saman. H. tiliaceus efektif menjerap partikel karena permukaan daunnya berbulu, kasar dan 49 berukuran lebar. S. saman permukaan daunnya kasar dan berbulu namun berukuran kecil dengan jumlah jerapan debu sebesar 3.19 mg g-1 daun. Selain polutan partikel, polutan gas dengan konsentrasi tinggi di Kawasan Industri Krakatau Cilegon adalah NO2 dan amonia. Tanaman berfungsi dalam mengurangi jenis polutan gas melalui penyerapan (absorbsi), yaitu melalui stomata polutan gas masuk ke dalam jaringan daun. Faktor yang mempengaruhi peningkatan penyerapan polutan gas khususnya NO2 yaitu ketebalan daun yang tipis, berat jenis daun rendah, laju fotosintesis dan transpirasi tinggi, konduktans dan kerapatan stomata tinggi, dan potensial air tinggi (Nugrahani et al. 2006, Patra 2002, Abdurahim 2010). Oleh karena itu, kriteria tanaman yang efektif dalam menyerap gas adalah tanaman dengan daun yang tipis, mempunyai konduktans stomata tinggi, jumlah stomata yang relatif banyak dan berukuran besar serta toleran terhadap polutan gas. Tanaman yang memiliki pertumbuhan cepat memiliki serapan NO2 yang tinggi (Fakuara 1987 dalam Abdurahim 2010). Jenis tanaman yang cepat tumbuh mempunyai daya regenerasi yang cepat pula agar dapat segera berfungsi apabila jenis tanaman tersebut sewaktu-waktu harus diganti oleh jenis yang lain bila telah habis masanya sehingga cocok untuk dipilih sebagai tanaman green belt, diantaranya yaitu jati putih (Gmelina arborea), sengon (Paraserianthes falcataria), kayu afrika (Maesopsis eminii). Gmelina arborea memiliki kemampuan serapan NO2 sebesar 1.95 μg 5N dm-2 daun) namun memiliki toleransi rendah terhadap pencemaran udara sehingga disarankan ditanam di area polusi rendah, sedangkan tanaman Lagerstroemia speciosa memiliki serapan NO2 sebesar 2.13 μg dm-2 (per luas daun) dan memiliki toleransi tanaman tinggi disarankan ditanam di area polusi tinggi (Sulistijorini et al. 2008). Menurut Agustin et al. (1999) tanaman yang efektif mengurangi polutan gas adalah Bauhinia purpurea, Bauhinia monandra, Bauhinia forficata, Bauhinia galpinii, Cassia siamea, dan Piliostigma malabaricum. Keenam jenis pohon tersebut mempunyai ciri bertajuk masif, berkerapatan stomata sedang sampai tinggi, evergreen, dan mempunyai tinggi lebih dari 10 meter. Berdasarkan hasil penelitian, tanaman toleran tinggi yang efektif menyerap gas NO2 adalah E. crista-galli, P. fragrans dan C. junghuhniana. E. crista-galli memiliki kemampuan serapan gas >30 μg g-1, P. fragrans memiliki nilai serapan 1.41 μg dm-2 (per luas daun) (Nugrahani et al. 2006). C. junghuhniana memiliki kerapatan stomata tertinggi (939.47 mm-2) dibandingkan dengan tanaman lainnya serta memiliki kerapatan stomata lebih tinggi di area terpolusi dibandingkan dengan kontrol. Tanaman yang dipilih pada area dengan konsentrasi polutan rendah adalah tanaman dengan toleransi sedang dan efektif menyerap polutan gas, yaitu S. saman karena memiliki ketebalan daun yang paling tipis (126.8 µm) dibandingkan sembilan tanaman lainnya serta kemampuan serapan gas >30 μg g-1. Berdasarkan bentuk penanaman, tata hijau kawasan dibagi menjadi dua yaitu jalur hijau jalan dan green belt industri. Jalur hijau jalan merupakan penanaman pohon di sepanjang jalan untuk mengurangi pencemaran udara yang dihasilkan oleh transportasi, sedangkan green belt industri merupakan penanaman di sekeliling kawasan industri untuk mengurangi dampak pencemaran udara keluar dari kawasan industri. Peta rencana penanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dapat dilihat pada Lampiran 13. Penataan ruang terbuka hijau di green belt industri berfungsi untuk mengurangi tingkat pencemaran lingkungan terutama akibat kegiatan industri 50 berupa produksi, pembakaran, bengkel, pengangkutan bahan baku dari sumber bahan baku menuju tempat penimbunan bahan baku, maupun pengangkutan bahan baku dari penimbunan menuju area tangki serta lalu lintas kendaraan (Dwiputri 2012). Penataan tanaman sebagai green belt di kawasan industri dibagi dua, yaitu area dengan konsentrasi polutan paling rendah ditanami oleh kelompok tanaman dengan toleransi sedang (H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis) sedangkan area dengan konsentrasi tertinggi dan berada di atas baku mutu lingkungan ditanami oleh kelompok tanaman yang toleran terhadap pencemaran udara (P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana). Vegetasi semak juga perlu ditanam untuk menutupi cabang pohon utama yang tidak sampai ke permukaan tanah untuk mencegah partikel yang keluar dari kawasan. Semak yang dipilih yaitu bougenvill (Bougainvillea spectabilis). Penanaman tegak lurus dengan arah angin, penanaman rapat/massif, penanaman semak dan pohon yang lebat dan beraneka ragam serta massif, serta konfigurasi tanaman dapat berbentuk gerombol atau menumpuk atau berbentuk jalur mengikuti bentukan jalan. Tanaman dengan toleransi tinggi dan efektif menjerap partikel (P. longifolia, P. fragrans, dan C. junghuhniana) ditanam sebagai green belt di sekeliling industri PT Briketama, PT Oilshell, dan PT Siemens yang memiliki konsentrasi partikel tinggi dan di atas baku mutu lingkungan, sedangkan pada konsentrasi polutan partikel rendah dapat ditanami H. tiliaceus dan S. saman. Jenis tanaman dengan toleransi tinggi dan memiliki kemampuan serapan gas NO2 ditanam di sekeliling industri PT Cabot Indonesia, PT Oilshell, PT Bluescope, PT Petrojaya, PT Krakatau Engineering, dan PT Siemens yang menghasilkan konsentrasi NO2 dan amonia tinggi, yaitu jenis tanaman E. crista-galli, P. fragrans, C. junghuhniana, dan L. speciosa. Area dengan konsentrasi rendah dapat ditanami G. arborea, S. saman, P. falcataria, M. eminii. Detail penanaman untuk green belt dapat dilihat pada Lampiran 14. Penataan untuk jalur hijau jalan berfungsi untuk mengurangi tingkat pencemaran lingkungan terutama akibat transportasi dari kegiatan pengangkutan bahan baku dari sumber bahan baku menuju tempat penimbunan bahan baku, maupun pengangkutan bahan baku dari penimbunan menuju area tangki serta lalu lintas kendaraan serta berfungsi sebagai pengarah jalan, pembatas jalan (median) serta estetika. Pemilihan tanaman untuk mengurangi pencemaran polusi sama dengan green belt, yaitu tanaman dengan toleransi terhadap pencemar dan efektif mengurangi pencemaran udara. Detail penanaman untuk jalur hijau jalan dapat dilihat pada Lampiran 15. Tanaman yang digunakan sebagai pengarah terutama digunakan di seluruh jalur sirkulasi dalam kawasan sebagai pengarah yang ditanam di di kiri dan kanan jalan (tepi). Kriteria pemilihan tanaman antara lain tanaman berbatang tunggal (Kementerian PU 2012), tanaman pohon dengan cabang minimal 2 meter di atas permukaan tanah (Kementerian PU 2012), pohon dengan ketinggian lebih dari 6 meter atau perdu dengan ketinggian 3-6 meter (Carpenter et al. 1975, Departemen PU 1996), bentuk tajuk khas (Lestari 2005), serta tajuk berbentuk kerucut, fastigate atau kolumnar (Handayani 2010) percabangan sedikit, tinggi, berkesinambungan, berkesan rapi dan memudahkan orientasi (Carpenter et al. 1975). Berdasarkan kriteria tersebut, maka tanaman untuk jalur hijau sebagai pengarah yang dipilih untuk area dengan konsentrasi polutan tinggi adalah P. longifolia dan C. junghuhniana. Pemilihan tanaman untuk area dengan 51 konsentrasi polutan rendah adalah A. auriculiformis. Penanaman dilakukan secara massal/berbaris di tepi jalan dan jarak tanaman rapat. Selain pada tepi jalan, penanaman jalur hijau pada median juga perlu diperhatikan karena median berfungsi sebagai pembatas jalan. Menurut Grey dan Deneke (1978), fungsi tanaman pembatas adalah untuk membatasi ruang, membatasi pandangan dan menutup pemandangan buruk yang tidak diinginkan, kontrol privasi, serta untuk keamanan. Tanaman pembatas dapat mengurangi risiko kecelakaan dengan mekanisme sebagai pembatas jalur (boundaries), peredam benturan (absorbtion) dan pelindung jalur (protection). Penggunaan tanaman pembatas pada area-area tersebut dibutuhkan bila terjadi kecelakaan, kendaraan masih dapat tertahan oleh tanaman pembatas sehingga mengurangi risiko kecelakaan yang lebih fatal. Penggunaan tanaman pembatas pada median juga dapat membantu mengurangi silau dari lampu sorot kendaraan ke arah sebaliknya. Kriteria tanaman pembatas yang dianjurkan menurut Grey dan Deneke (1978) adalah tanaman tinggi, semak atau perdu setinggi minimal 1.5 meter, bermassa daun padat, memiliki percabangan yang lentur, ditanam berbaris atau membentuk massa dengan jarak tanam rapat kurang dari 3 meter, diutamakan jenis tanaman semak agar tidak menghalangi pandangan. Semak yang memiliki kapasitas cukup baik dalam menjerap dan menyerap polutan (kapasitas serapan NO2 >30 μg g-1) diantaranya oleander (Nerium oleander), bugenvil (Bougainvillea spectabilis), dan nusa indah (Mussaenda sp.) (Nugrahani et al. 2006) sehingga sesuai ditanam sebagai median di area terpolusi tinggi. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Perbandingan tingkat toleransi tanaman berdasarkan APTI (Singh et al. 1991) dan berdasarkan RGR memberikan hasil yang berbeda. Berdasarkan APTI, tanaman L. leucocephala dan S. mahagoni termasuk tanaman toleran; tanaman H. tilliaceus, S. saman, P. indicus, dan A. auriculiformis termasuk tanaman cukup toleran; tanaman P. longifolia, E. crista-galli, dan C. junghuhniana termasuk tanaman sedang; dan tanaman P. fragrans termasuk tanaman yang sensitif. Toleransi tanaman berdasarkan RGR menghasilkan data bahwa tanaman yang toleran adalah H. tilliaceus, P. longifolia, P. fragrans, dan E. crista-galli, tanaman dengan tolerasi sedang adalah tembesi dan A. auriculiformis, serta tanaman yang tidak toleran adalah P. indicus dan S. mahagoni. Penggolongan toleransi tanaman berdasarkan nilai RGR mempunyai kelebihan karena RGR dapat menggambarkan kemampuan tanaman menyesuaikan diri terhadap kondisi terpolusi. Mekanisme penyesuaian tanaman terhadap bahan pencemar udara dapat diukur berdasarkan perubahan kondisi fisiologi. Tingkat toleransi berdasarkan APTI memiliki kelemahan, penentuan bobot parameter fisiologi dalam formula masih kurang bersesuaian dengan pertumbuhan tanaman. Hasil yang paling signifikan, asam askorbat yang menjadi parameter utama dalam menentukan tingkat toleransi tanaman ternyata memiliki korelasi yang paling rendah dengan RGR tanaman. Karbohidrat total sebagai parameter tambahan merupakan parameter fisiologis paling kuat mempengaruhi 52 pertumbuhan tanaman dibandingkan parameter fisiologis lain dari formula APTI . Karbohidrat total mempengaruhi tingkat toleransi sebesar 34.1% sehingga memodifikasi formulasi APTI dan mengubah klasifikasi toleransi tanaman. Rumus modifikasi APTI yang dihasilkan apabila A = asam askorbat total (mg g-1), T = klorofil total (mg g-1), P = pH daun, R = kadar air daun (%), dan K = karbohidrat total (%) adalah sebagai berikut: 𝑀𝑜𝑑𝑖𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 𝐴𝑃𝑇I = 1.05𝐾 − 0.287𝐴 − 0.002𝑇 − 0.997𝑃 + 0.18𝑅 Berdasarkan hasil modifikasi, maka tingkat toleransi tanaman di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi tiga, yaitu tanaman toleran pada P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana; toleransi sedang pada H. tiliaceus, S. saman, dan A. auriculiformis; tidak toleran pada L. leucocephala, P. indicus, dan S. mahagoni. Konsep penataan ruang terbuka hijau di Kawasan Industri Krakatau Kota Cilegon dibagi menjadi dua, yaitu berdasarkan distribusi polutan dan bentuk penanaman. Tanaman dengan tingkat toleransi tinggi dan efektif mengurangi pencemaran udara dipilih untuk area dengan konsentrasi polutan tinggi sedangkan tanaman dengan tingkat toleransi sedang ditempatkan pada area dengan konsentrasi polutan rendah. Bentuk penanaman dibagi menjadi dua, yaitu green belt untuk mengurangi polusi industri dan jalur hijau untuk mengurangi polusi transportasi. Saran Penelitian selanjutnya disarankan menguji validitas formula modifikasi APTI dengan memperbanyak jumlah sampel jenis tanaman untuk mengetahui tingkat toleransi tanaman lainnya yang biasa digunakan di kawasan industri sehingga rekomendasi pemilihan tanaman pun akan lebih variatif. Pengukuran sampling udara juga disarankan diambil pada setiap kali pengamatan terhadap tanaman sehingga kualitas udara saat pengamatan dapat diketahui sebagai perbandingan dan faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pemilihan tanaman di kawasan industri disarankan tanaman yang efektif mengurangi (menyerap dan menjerap) polutan dan toleran terhadap paparan polusi udara. Berdasarkan toleransi terhadap pencemar udara, jenis tanaman yang disarankan sebagai tanaman kawasan industri adalah P. longifolia, P. fragrans, E. crista-galli, dan C. junghuhniana. Pemilihan tanaman disarankan menghindari tanaman sensitif pada area terpolusi tinggi. Peletakan tanaman yang toleran disarankan di koridor jalan untuk polusi akibat transportasi dan green belt industri untuk polusi akibat industri yang beremisi tinggi. DAFTAR PUSTAKA Abdurahim M. 2010. Pengaruh jenis vegetasi dan suhu lingkungan terhadap penyerapan polutan gas NO2 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Agustini MS, Nurisyah YC, Sulistyaningsih. 1999. Identifikasi ciri arsitektur dan kerapatan stomata 25 jenis pohon suku Leguminosae untuk elemen lanskap tepi jalan. Bul Taman dan Lanskap Indonesia. 2: 2-6. 53 Ammann MP, Von Ballmoos M, Stalder M, Suter, C Brunold. 1995. Uptake and assimilation of atmospheric NO2-N by spruce needles (Picea abies): a field study. Water, Air, Soil Pollut. 85: 1497-1502. Arief M. 2013. Pengolahan Limbah Industri-Limbah Gas. Jakarta: Universitas Esa Unggul. Arnon. 1949. Copper enzymes in isolated chloroplast: polyphenol oxidase in Beta vulgaris. Plant Physiol. 24: 1-15. [Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika]. 2015. Buku Informasi Peta Kekeringan dengan metode SPI (standardized precipitation index) Provinsi Banten dan DKI Jakarta: Edisi Juli 2015. Stasiun Klimatologi Pondok Betung. Bora M, Joshi N, 2014. A study on variation in biochemical aspect of different tree species with tolerance and performance index. The Bioscan An Intl Quarterly J Life Sci. 9(1): 59-63. Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape. San Fransisco: W.H. Freeman and Company. Carter GA, Knapp AK. 2001. Leaf optical properties in higher plants: Linking spectral characteristics to stress and chlorophyll concentration. American J Botany. 84: 677-684. Castro AI, Stulen FS, Posthumus LJ, Kok de. 2006. Changes in growth and nutrient uptake in Brassica oleraceae exposed to atmospheric ammonia. Ann Bot. 97: 121-131. Dahlan EN. 1995. Effects of Air pollutants on plant leaves. Final Report for Osaka Gas Foundation. Bogor: IPB. Dahlan EN. 2007. Analisis kebutuhan luasan hutan kota sebagai sink gas CO2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor dengan pendekatan sistem dinamik [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Departemen Pekerjaan Umum]. 1996. Tata Cara Perencanaan Teknik Lanskap Jalan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jendral Bina Marga. Dwiputri DA. 2012. Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan pembangkit listrik tenaga uap PT Krakatau Daya Listrik Cilegon Banten [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fatah. 2009. Strategi pengelolaan kawasan industri menuju eco industrial park (studi pada kawasan industri Cilegon Provinsi Banten) [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fitter AH, Hay RKM. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Gandasari D, Nurisyah S, Sulistyaningsih YC. 2000. Identifikasi arsitekturis dan kerapatan trikoma pada 75 jenis pohon untuk lanskap tepi jalan. Bul Tanaman dan Lanskap Indonesia. 3(1): 2-6. Grey GW, Deneke FJ. 1978. Urban Forestry. New York: John Willey and Sons. Goldsworthy PR, Fisher NM. 1992. Fisiologi tanaman budidaya tropik. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press Guderian R, Tingey DT, Rabe R. 1985. Air Pollution by Photochemical Oxidants: Formation, Transport, Kontrol, and Effects on Plants. Berlin: Springer-Verlag. Handayani. 2010. Lansekap dalam Arsitektur [internet]. [diunduh 2013 September 2013]. Tersedia pada: http://file.upi.edu/Direktori/FPTK/JUR._PEND._TEKNIK_ARSITEKTUR/19 54 6609301997032-SRI_HANDAYANI/Bahan_Ajar_Mata_Kuliah_ ArsLansekap_2.pdf. Hartono. 2007. Pembangunan kawasan industri menurut kajian hukum lingkungan (Studi kasus Kawasan Industri Candi di Kota Semarang) [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro. 206 hlm. Hartung WJ, Radin JW, and Hendrix DL. 1988. Absisic acid movement into the apoplastic solution of water stressed cotton leaves. Plant Physiol. 86: 908-913. Heggestad, Heck. 1971. Irianti N. 2010. Perencanaan ruang terbuka hijau di kawasan industri PT. Pindo Deli Pulf and Paper Mills Karawang Jawa Barat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 96 hlm. Ismaun I. 2008. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Reklamasi Jakarta International Resort. J Ars Lansk (Perencanaan, Perancangan dan Pengelolaan Bentang Alam). 2 (1): 2. Keller T, Schwager H. 1977. Air pollution and ascorbic acid, Europ. J Forest Pathol, 7: 338-350. [Kementerian Pekerjaan Umum]. 2012. Pedoman Penanaman Pohon pada Sistem Jaringan Jalan. Jakarta. 59 hlm. Kovacs. 1992. Trees as biological indicators. In: Biological Indicators in Environmental Protection. New York: Kovacs, M. (ed), Ellis Horwood Kozlowski TT, Mudds JB. 1975. Response of plants to air pollution. New York: Academic Press. Kusnoputranto H. 1996. Dampak pencemaran udara dan air terhadap kesehatan dan lingkungan. J Ling Pembangunan, 16 (3): 210-224. Lestari G. 2005. Evaluasi kualitas estetika visual pohon pada lanskap jalan [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lestari G, Kencana IP. 2008. Galeri Tanaman Lanskap. Penebar Swadaya. Jakarta. Lima JS, Fernandes EB, Fawcett WN. 2000. Mangifera indica and Phaseolus vulgaris in the bioindicator of air pollution in Bahia, Brazil. Ecotoxicol Environ. Saf. 46(3): 275-278. Liu YJ, Ding H. 2008. Variation in air pollution tolerance index of plant near a steel factory: implications for landscape-plant species selection for industrial area. Wseas Trans Enviro Develop. 4(1): 24-32. Malhotra SS, Khan AA. 1984. Biochemichal and Physiological Impact of Major Pollutants. John Wiley & Sons Ltd. Marschner H. 1995. Mineral Nutrition in Higher Plants. 2nd ed. London: Academic Pr. Masuko T, Minami A, Iwasaki N, Majima T, Nishimura SI, Lee YC. 2005. Carbohydrate analysis by a phenol-sulfuric acid method in microplate format. Analytic Biochem. 339: 69-72. Mc Kersie BD, Leshem YY. 1994. Stress and Stress Coping in Cultivated Plants. Dordrecht: Kluwer Academic. Meerabai G, Venkata Ramana C, Rasheed M. 2012. Effect of industrial pollutants on Physiology of Cajanus cajan (L.)-Fabaceae. Int J Environ Sci. 2(4): 18891894. Moretto R, Sandrin CZ, Itaya NM, Domingos M, Figueiredo-Ribeiro RCL. 2009. Fructan variation in plants of Lolium multiflorum ssp. italicum ‘Lema’ 55 (Poaceae) exposed to an urban environment contaminated by high ozone concentrations. In: Benkeblia N, Shiomi N.(Eds.). Proceedings of the Sixth International Fructan Symposium. Dynamic Biochemistry, Process Biotechnology and Molecular Biology 3(Special Issue 1), pp.1–9. Nishimura HT, Hayamishu Y, Yanasigawa. 1986. Reduction of NO2 to NO by rush and other Plants. Environ Sci Technol. 20: 413-416. Noctor G, Foyer CH. 2005. Ascorbate and gluthatione: keeping active oxygen under kontrol. Annu Rev Plant Physiol Plant Mol Biol. 49: 249-279. Nugraha, AN. 2013. Identifikasi toleransi tanaman lanskap terhadap naungan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 101 hlm. Nugrahani P, Nasrullah N, Sisworo EL. 2006. Faktor fisiologi tanaman tepi jalan yang menentukan kemampuan serapan polusi udara gas 15NO2. Risalah Seminar Ilmiah: Aplikasi Isotop dan Radiasi. Oguntimehin I, Kondo H, Sakugawa H. 2010. The use of sunpatiens (Impatiens spp,) as a bioindicator of some simulated air pollutants-using an ornamental plant as bioindicator. Chemosphere. 81: 273-281. Pandey J, Agrawal M. 1994. Evaluation of air pollution phytotoxicity in seasonally dry tropical urban environment using three woody perennials. New Phytol.126: 53-64. Patra AD. 2002. Faktor tanaman dan faktor lingkungan yang mempengaruhi kemampuan tanaman dalam menyerap polutan gas NO2 [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rachmat RS. 2014. Protes masalah pencemaran lingkungan, warga Ciwandan duduki pintu gerbang pemkot Cilegon [internet], [diunduh 2014 Agustus 27]. Tersedia pada: http://www,beritacilegon,com/index,php/berita-cilegon/cilegonraya/5391-perotes-masalah-pencemaran-lingkungan,-warga-ciwandan-dudukipintu-gerbang-pemkot-cilegon,html?device=xhtml. Rai PK, Panda LLS, Chutia BM, Singh MM. 2013. Comparative assessment of air pollution tolerance index (APTI) in the industrial (Rourkela) and non industrial area (Aizawl) of India: An eco-management approach. African J Env Sci Tech, 7(1): 944-948. Reiss C. 1993. Experiment in Plant Physiology: Part I, Plant Biochemistry, Determination of Ascorbic Acid Content of Cabbage. p 1-7. Rogers HH, Rogers VP, Aneja. 1980. Uptake of atmospheric ammonia by selected plant species. Environ Exp Bot. 20: 251-257. Rowland-Bamford AJ, Drew MC. 1988. The influence of plant nitrogen status on NO2 uptake, NO2 assimilation and on the gas exchange characteristics of barley plants exposed to atmospheric NO2. J Exp Bot. 9: 1287-1297. Salama HMH, Al-Rumaih MM, Al-Dosary MA. 2011. Effect of Riyadh cement industry pollutions on some physiological and morphological factors of Datura innoxia Mill, Plant. Saudi J Bio Sci. 18: 227-237. Sandrin CZ, Ribeiro ACF, Delitti WBC, Domingos M. 2013. Short-term changes of fructans in ryegrass (Lolium multiflorum ‘Lema’) in response to urban air pollutants and meteorological conditions. Ecotoxico Environ Saf. 96 (2013): 80-85. Sass JE. 1951. Botanical Microtechnique. Iowa: The Iowa State College press. 56 Sen DN, Bhandari MC. 1978. Ecological and water relation to two Citrullus spp, In: Althawadi, A,M, (Ed,), Indian Arid Zone, Environ, Physiol, Ecol, Plants pp. 203-228. Seyyednejad SM, Niknejad M, Koochak H. 2011. A review of some different effect of air pollution on plants. J Environ Sci. 5: 302-309. Singh SK, Rao DN. 1983. Evaluation of plants for their tolerance to air pollution, In Proc symp on air pollution kontrol held at IIT Delhi pp. 218-224. Shannigrahi AS, Fukushim T, Sharma RC. 2004. Anticipated air pollution tolerance of some plant species considered for green belt development in and around an industrial/urban area in India: An overview. Int J Environ Stud. 61(2): 125-137. Singh SK, Rao DN, Agrawal M, Pandey J, Narayan D. 1991. Air Pollution Tolerance Index of Plant. J Environ Mgmt, 32: 45-55. Siregar. 2005. Pencemaran Udara, Respon Tanaman, dan Pengaruhnya pada Manusia. Universitas Sumatera Utara. Smith WH. 1981. Air Pollution and Forest: Interaction Between Air Contaminants and Forest Ecosystems. New York: Springer-Verlag. Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Sulistijorini, Mas’ud ZA, Nasrullah N, Bey A, Tjitrosemito S. 2008. Tolerance level of roadside trees to air pollutants based on relative growth rate and air pollution tolerance index. Hayati J Biosci. 15 (3): 123-129. Susanti E. 2004. Stomata sebagai Bioindikator Pencemaran Udara Sektor Transportasi. ITB Bandung. Susilo CC. 2006. Studi penanganan limbah solvent sisa analisis acidity untuk pengendalian pencemaran lingkungan di Pertamina UP IV Cilacap [Tesis]. Semarang (ID): Magister Kesehatan Lingkungan Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Taiz L, Zeiger E. 2002. Plant Physiology. 3rd. ed. Masschusetts: Sinauer Pub. Thakar BK, Mishra PC. 2010. Dust collection potential and air pollution tolerance index of tree vegetation around Vedanta Aluminium Limited, Jharsuguda. Int Q J Life Sci. 3: 603-612. Tripathi AK, Gautam M. 2007. Biochemical parameters of plants as indicators of air pollution. J Environ Biol. 28: 127-132. Udayana C, 2004. Toleransi spesies pohon tepi jalan terhadap pencemaran udara di simpang susun Jakarta (Jakarta Interchange) Cawang, Jakarta Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. 94 hlm. Wilmer CM. 1986. Stomata. London: Longman. 166 hlm. Wuytack T, Wuyts K, Dongen SV, Baeten L, Kardel F, Veryehen K, Samson R. 2011. The effect of air pollution and other environmental stressors on leaf fluctuating asymmetry and specific leaf area of Salix alba L. Environ Pollut. 159(2011): 2405-2411. Yan-Ju L, Hui D. 2008. Variation in air pollution tolerance index of plant near a steel factory; implication for landscape-plant species selection for industrial areas. Environ Dev. 1(4): 24-30. 57 LAMPIRAN 58 58 Lampiran 1 Data klimatologi tahun 2014 Suhu RH Suhu Suhu Lama Curah ratarataHari Tertinggi Terendah Penyinaran Hujan rata rata Hujan Bulan (oC) (oC) (%) (mm) (oC) (%) Januari 26.4 30.6 23.7 85 29 377 25 Februari 26.4 31.8 23.7 87 43 212 24 Maret 26.8 32.6 23.6 85 52 103 19 April 27.1 31.9 24.1 80 75 72 15 Mei 27.2 32.1 23.8 82 78 113 18 Juni 26.8 31.5 23.5 84 52 65 16 Juli 26.5 31.9 23.1 82 66 232 13 Agustus 27.1 32.4 22.8 78 91 10 5 September 27.3 33.4 22.2 74 87 22 4 Oktober 28.4 34.1 23.6 73 82 21 4 November 27.6 33.3 24 80 54 155 17 Desember 27.3 33.3 24.3 82 46 139 22 Sumber: BMKG Stasiun Meteorologi Klas I Serang (2014) Unsur Kec, Angin Rata-rata (knot) 2 2 2 2 2 1 1.4 2.2 2.1 2.2 1.6 2.3 Arah Terbanyak Kec, Max (knot) Arah 315 360 360 270 45 45 360 360 360 360 360 270 15 10 10 12 9 11 12 14 11 14 16 12 340 10 360 240 20 60 350 50 330 40 170 270 59 Lampiran 2 Peta lokasi sampling udara ambien 59 60 60 Lampiran 3 Peta lokasi sampling debu jatuh 61 Lampiran 4 Peta lokasi sampling tanaman 61 62 Lampiran 5 Perbandingan warna daun setiap spesies pohon 63 Lampiran 6 Pengamatan paradermal daun 64 Lampiran 7 Pengamatan transversal daun Keterangan: Ea: Epidermis atas, Eb: Epidermis bawah, P: Palisade, Bk: Bunga karang, S: Stomata, En: Endodermis, Bp: Berkas pembuluh, M: Mesofil 65 Lampiran 8 Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari 10 jenis tanaman Parameter Kerapatan Stomata Tebal Daun Tebal Palisade Jumlah Daun Luas Daun Asam Askorbat Klorofil pH Kadar Air Sumber Keragaman Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Sum of Squares 799.227 1 Mean Square 799.227 919 613.664 18 51089.648 920 412.891 1 023.881 19 1 1023.881 521 358.549 18 28964.364 522 382.430 237.361 19 1 237.361 8 039.009 18 446.612 8 276.370 14.518 19 1 14.518 1 049.828 18 58.324 1 064.346 25.493 19 1 25.493 1 745.334 18 96.963 1 770.827 34.584 19 1 34.584 132 422.493 18 7356.805 132 457.078 0.023 19 1 0.023 0.094 18 0.005 0.117 0.002 19 1 0.002 4.606 18 0.256 4.608 16.092 19 1 16.092 529.094 18 29.394 df F Sig. 0.016 0.902 0.035 0.853 0.531 0.475 0.249 0.624 0.263 0.614 0.005 0.946 4.418 0.050 0.008 0.931 0.547 0.469 66 Lampiran 8 Hasil analisis ragam akibat lokasi pencemaran setiap parameter dari 10 jenis tanaman (lanjutan) Parameter Karbohidrat Sumber Keragaman Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 545.186 4.656 df Mean Square 19 1 4.656 72.453 18 4.025 77.109 19 F 1.157 Sig. 0.296 Lampiran 9 Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10 jenis tanaman Parameter Stomata Tebal Daun Tebal Palisade Jumlah Daun Luas Daun Asam askorbat Klorofil Sumber keragaman Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 850 809.941 9 Mean Square 94 534.438 69 602.950 10 6 960.295 920 412.891 514 062.865 19 9 57 118.096 8 319.565 10 831.957 522 382.430 5 645.565 19 9 627.285 2 630.805 10 263.081 8 276.370 1 041.591 19 9 115.732 22.755 10 2.276 1 064.346 1 544.987 19 9 171.665 225.840 10 22.584 1770.827 103 200.003 19 9 11 466.667 29 257.075 10 2 925.708 132 457.078 0.069 19 9 .008 0.048 10 .005 0.117 19 df F Sig. 13.582 0.000 68.655 0.000 2.384 0.096 50.860 0.000 7.601 0.002 3.919 0.022 1.617 0.232 67 Lampiran 9 Hasil analisis ragam antar jenis tanaman setiap parameter dari 10 jenis tanaman (lanjutan) Sumber keragaman pH Between Groups Within Groups Total Air Between Groups Within Groups Total Karbohidrat Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 3.418 Parameter 9 Mean Square .380 1.190 10 0.119 4.608 394.563 19 9 43.840 150.623 10 15.062 545.186 42.568 19 9 4.730 34.541 10 3.454 77.109 19 df F Sig. 3.191 0.042 2.911 0.056 1.369 0.315 Lampiran 10 Hasil analisis ragam RGR pada lokasi pencemaran dari 8 jenis tanaman Sumber Keragaman Between Groups Within Groups Total Sum of Squares 0.036 1.425 1.460 df Mean Square 1 14 15 0.036 0.102 F Sig. 0.350 0.563 Lampiran 11 Hasil analisis ragam RGR antar jenis tanaman dari 8 jenis tanaman Parameter RGR (terpolusi) RGR (kontrol) Sumber Keragaman Between Groups Within Groups Total Between Groups Within Groups Total Sum of Squares df Mean Square 6.471 7 0.924 7.672 40 0.192 14.144 47 2.177 7 0.311 4.153 40 0.104 6.330 47 F Sig. 4.820 0.001 2.996 0.013 68 68 Lampiran 12 Peta konsep penanaman 69 Lampiran 13 Peta rencana penanaman 69 70 70 Lampiran 14 Detail spot 1 71 Lampiran 15 Detail spot 2 71 72 72 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 30 Desember 1989 sebagai anak ke dua dari tiga bersaudara dari pasangan Djadja Djuhana dan Nafsiah. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Serang pada tahun 2008. Pendidikan sarjana ditempuh di Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian IPB, lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2013 penulis berkesempatan melanjutkan studi magisternya di Program Studi Arsitektur Lanskap, Sekolah Pascasarjana IPB dengan mendapatkan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Selama studi, penulis pernah mengikuti seminar internasional di Seoul, Korea Selatan, dalam acara Asian Cultural Landscape Assosiation (ACLA) Symposium pada tahun 2014 dengan judul paper: “Redesign of Colonial Style Bridge and Waterfront Area: case study in Sempur, Bogor” serta menjadi bagian tim penulis pada paper dengan judul “Study of Utilization Potential of Local Vegetation for Volcano Disaster Mitigation in Java Island, Indonesia (Case Study: Merapi Mountain, Central Java)” dalam kongres internasional yang diselenggarakan oleh International Federation of Landscape Architects (IFLA) Asia Pasific Region Congress pada tahun 2015.