biosimilar dan permasalahannya - Perpustakaan BPOM

advertisement
InfoPOM
BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
Vol. 7, No. 6, November 2006
BADAN POM RI
ISSN 1829-9334
B I O S I M I L A R D A N P E R M A S A L A H A N N YA
Biofarmasetikal didefinisikan sebagai “produk
farmasi yang mengandung glikoprotein dan /
atau asam nukleat”. Kebanyakan jenis produk
ini diindikasikan untuk pengobatan atau
pencegahan kondisi klinik yang serius. Contoh
biofarmasetikal yang sering digunakan sehari –
hari ialah eritropoetin alfa, fligrastim G-CSF,
streptokinase, urokinase, somatotropin, factor
IX, infliksimab, tissue plasminogen activator
(tPA), interferon alfa, dll. Dewasa ini masa paten
dari beberapa produk biofarmasetikal ini telah
atau akan habis masa berlakunya. Dengan
demikian telah atau akan dipasarkan berbagai
produk identik yang disebut biosimilar, generik,
atau terkadang juga disebut follow – on biologics.
Produk biofarmasetikal umumnya mahal namun
sangat dibutuhkan oleh pasien. Adanya produk
biosimilar ini di satu sisi akan sangat menolong
bagi pasien dengan daya beli terbatas,
khususnya di negara sedang berkembang. Di
sisi lain, aspek kualitas produk juga perlu
mendapat perhatian karena mempengaruhi
bukan saja efikasi pengobatan tetapi juga
keamanannya.
Pemastian kualitas produk generic obat biasa
(yang berat molekulnya rendah) dapat dikerjakan
dengan relative mudah dan diperoleh hasil yang
akurat dengan melakukan studi bioavailabilitas
/ bioekivalensi (studi BA/BE). Secara sederhana
dapat dikatakan bahwa produk obat biasa
Editorial
Pembaca setia Infopom,
Tidak terasa sudah hampir 1 tahun kami mengunjungi pembaca.
Produk biofarmasetikal sangat dibutuhkan oleh pasien, dan dengan telah atau akan habisnya masa
paten dari beberapa produk biofrmasetikal, akan dipasarkan berbagai produk identik yang disebut
biosimilar, generik atau terkadang disebut juga follow -on biologistik. adanya produk biosimilar disuatu
sisi akan sangat menolong pasien dengan daya beli terbatas, terutama di negara berkembang.
Namun, disisi lain, aspek kualitas produk juga harus mendapat perhatian karena mempengaruhi
bukan saja efikasi pengobatan tetapi juga keamanannya. untuk edisi dipenghujung tahun ini kami
sajikan artikel dengan topik terkini yaitu dengan permasalahan terkait dengan Biosimilar serta
informasi terkait penurunan aktifitas antipletelet aspirin jika dibrikan bersamaan dengan ibuprofen.
selain itu baca juga artikel tentang keracunan yang dapat timbul akibat (Puffer Fish) yang tidak
disiapkan dan dimasak dengan benar serta artikel tentang pemberian imunisasi dalam rangka
pencegahan suatu penyakit.
Selamat membaca.
Edisi November 2006
Halaman 1
DAFTAR ISI
1. B i o s i m i l a r
dan
permasalahannya
2. Ikan butal (puffer fish)
ikan nikmat yang beracun
3. Pencegahan penyakit
dengan imunisasi
4. Penggunaan bersamaan
ibuprofen dengan aspirin
disintesis dengan menggunakan
sejumlah reagen dalam suatu
rangkaian reaksi kimia organic.
Untuk obat dengan molekul kecil
misalnya asetosal atau
parasetamol, tidak sulit bagi
produsen untuk secara
konsisten membuat produk
dengan kemurnian di atas 98%.
Biofarmasetikal dibuat dengan
cara yang sangat berbeda yaitu
dengan ‘memanen’ (harvesting)
produk protein tertentu yang
dihasilkan oleh sekumpulan sel
hidup. Sel hidup ini adalah
bacteria atau suatu sel eukariotik
yang ke dalam susunan DNAnya disispkan suatu sekuens
DNA yang mengkode sintesis
protein tertentu. Sel hidup yang
digunakan selama dalam proses
ini disimpan sebagai master cell
bank, yang tidak pernah
sepenuhnya sama antara
berbagai pabrik yang
memproduksi biofarmasetikal.
Halaman 2
Protein yang dipanen ini tidak
terdapat dalam bentuk murni, tapi
terkontaminasi dengan berbagai
protein dan produk – produk lain
dari sel (antara lain berbagai
gula, asam lemak, trigliserid,
asam amino, serum, dan
hormone). Untuk memperoleh
produk yang kualitasnya baik,
protein yang diinginkan harus
dibersihkan dari berbagai
kontaminannya. Metode yang
berbeda-beda dalam rangkaian
proses pembuatan dan
pemurnian biofarmasetikal yang
kompleks
ini
dapat
mempengaruhi keamanan dan
efektivitas produk protein yang
dihasilkan.
Seperti yang telah disinggung di
atas, produk biofarmasetikal
adalah protein atau glikoprotein
yang dibentuk dari asam amino
dan berbagai moekul gula.
Kedua jenis molekul ini
membentuk struktur 3 dimensi
yang berasal dari struktur
sekunder, dan tersier. Struktur 3
dimensi ini distabilkan oleh ikatan
ikatan kimia yang lemah dan
mudah rusak bila ditangani
secara tidak hati – hati atau
disimpan dalam suhu yang tidak
sesuai. Kerusakan ini terjadi
karena denaturasiprotein dan
pembentukan agregat.
Faktor lain yang perlu
diperhatikan ialah proses
pembuatan protein yang berbeda
beda dapat mengakibatkan
terjadinya proses glikosilasi yang
tidak selalu terjadi pada posisi
yang sama dan mengakibatkan
terbetuknya isoform. Aktivitas
biologik dari suatu protein
tergantung dari apakah dapat
terjadi interaksi yang baik
dengan reseptornya (misalnya
pada membran sel, binding
protein, atau asam nukleat). Hal
ini sangat tergantung dari
beberapa faktor pada protein
tersebut yaitu presisi struktur 3
dimensinya, derajat dan lokasi
glikosilasi, dan derajat
agregasinya.
Masalah
lain
yang
membedakan penggunaan
biofarmasetikal dengan obat
biasa ialah kemampuannya
untuk membangkitkan respon
imun. Untuk kebanyakan
produk biofarmasetikal,
pembentukan antibodi tidak
menimbulkan konsekuensi
klinik. Namun terkadang dapat
timbul alergi, reaksi anafilaksis,
serum sickness, dan netralisasi
protein endogen. Timbulnya
imunogenitas ini umumnya
sangat bervariasi tidak dapat
diramalkan.
Faktor dari manusia yang
diduga berperanan dalam
mempengaruhi timbulnya
imunogenitas ialah:
Ø Rute pemberian (cara
intravena dianggap terbaik)
Ø Dosis dan lama pemberian
Ø Adanya penekanan
terhadap respons imun
Ø Defisiensi kongenital suatu
protein endogen (mis.
Faktor VIII)
Faktor dari produk yang
diduga berperanan dalam
Edisi November 2006
mempengaruhi timbulnya
imunogenitas ialah :
Ø Variasi sekuens primer
produk protein (mis.
stafilokinase)
Ø Tidak terjadinya glikosilasi
pada produk protein yang
dihasilkan
Ø Hiperglikosilasi produk yang
dihasilkan sel eukariotik
Ø Kontaminan
Ø Formulasi
Ø Penanganan
dan
penyimpanan produk (dapat
terjadi denaturasi dan/atau
agregasi protein)
Untuk menilai efektivitas dan
keamanan produk biosimilar,
pa d a ta h u n 2 0 0 5 s u a t u
kelompok kerja internasional
mengusulkan agar diperhatikan
4 faktor yaitu kualitas produk,
efikasi klinik, keamanan, dan
aspek lainnya. Aspek pertama
yaitu kualitas produk mencakup
antara lain pembuatan produk
dengan standar Good
Manufacturing Practice, siapa
otoritas regulasi yang pernah
melakukan inspeksi ke pabrik
pembuatnya, berat molekul,
tingkat kemurnian, penggunaan
e k s i p i e n d a n s t a b i l i z e r,
konsistensi antar batch (dalam
hal isoform, potensi, dan
kandungan), penyimpanan dan
penanganan. Aspek kedua yaitu
efikasi klinik mencakup antara
lain adanya dukungan hasil uji
klinik, standar Good Clinical
Practice, metodologi penelitian
yang baik. Aspek ketiga yaitu
keamanan mencakup antara lain
Edisi November 2006
adanya publikasi mengenai data
keamanan, laporan serious
adverese events (SAE), laporan
imunogenitas, adanya program
manajemen risiko dan keamanan
dan pasca pemasaran, laporan
uji antibodi. Aspek keempat
mencakup pertimbangan biaya
manfaat dan adanya
penggantian
biaya
(reimbursement).
(Rianto Setiabudy)
Daftar Pustaka
1. Crommelin D, Bermejo T,
Bissig M, Damiaans J, Kramer
I, Rambourg P, et al.
Pharmaceutical evaluation of
biosimilars: important
differences from generic low
– molecular – weight
pharmaceuticals. Eur J Hosp
Pharm Sci 2005; 1: 11-7
2. Gribben JG, Devereux S,
Thomas NS. Development
of antibodies to unprotected
glycosylation sites on
recombinant human GMCSF. Lancet 1990; 335:
434-7
3. S c h e l l e k e n s
H.
Bioequivalence and the
immunogenicity
of
biopharmaceuticals. Nat Rev
Drug Discov 2002; 1: 457-62
4. Va n d e r s c h u e r e n S M ,
Stassen JM, Collen D. On
the immunogenicity of the
recombinant staphylokinase
in patients and in animal
models. Thromb haemost
1994; 72: 297-301
RA SI
NT
SE RMANAN
O
INFRACU
KE
JANGAN PANIK...
Segera Hubungi
SENTRA INFORMASI KERACUNAN (SIKer)
SIKER NASIONAL
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Jl. Percetakan Negara No. 23 Jakarta 10560
Telp.: 021-4259945; Fax.: 021-42889117
Hp.: 081310826879
e-mail: [email protected]
website: www.pom.go.id
Halaman 3
PENGKONDISIAN ROKOK SEBELUM UJI KADAR NIKOTIN DAN TAR
IKAN BUNTAL ( PUFFER FISH )
I K A N N I K M A T YA N G B E R A C U N
Salah satu kebutuhan dasar
manusia adalah pangan. Karena
menjadi suatu kebutuhan yang
harus dikonsumsi secara aman,
namun demikian beberapa
sumber bahan pangan juga
dapat menjadi sumber petaka
bagi manusia. Karena pangan
juga merupakan salah satu jalur
utama yang berpotensi
menimbulkan masalah serius
jika mengandung racun akibat
cemaran mikroba, bahan kimia,
bahan berbahaya dan racun
alami yang memang terdapat
dalam pangan tersebut.
Salah satu hewan yang diminati
karena kelezatannya dan banyak
diberitakan adalah ikan buntal.
Mungkin banyak orang
Indonesia belum akrab dengan
ikan buntal, namun ikan buntal
sangat digemari di Jepang,
dikenal sebagai ikan Fugu,
konon
kelezatannya
mengalahkan kelezatan ikan
lainnya. Tidak semua orang
dapat menyajikan ikan ini secara
aman, hanya seorang koki yang
terlatih dan “bersertifikat”lah yang
tahu bagaimana menyiapkan
dan memasak ikan ini dengan
benar. Cara penyiapan yang
salah dapat menyebabkan
keracunan yang fatal.
Puffer fish adalah anggota dari
ordo Tetraodontiformes. Ikan ini
banyak ditemukan di perairan
Indo-Pasifik.
Nama
tetraodontiformes berasal dari
morfologi gigi ikan ini, yaitu
memiliki dua gigi besar pada
rahang atas dan bawahnya yang
cukup tajam. Dalam keadaan
tenang ikan ini tampak layaknya
ikan lain. Namun dalam keadaan
terancam tubuhnya akan
mengembang hingga 3 kali lipat
normal dan diliputi oleh “duri”
yang dapat menakuti
predatornya.
A pa Ya n g Te r j a d i P a d a
Keracunan Ikan Buntal?
I k a n b u n ta l m e n g a n d u n g
neurotoksin yang poten yaitu
tetrodotoksin (TTX). Racun ini
diperkirakan disintesis oleh
bakteri atau dinoflagellata species
yang berhubungan dengan ikan
buntal. Bagian tubuh yang
dinyatakan mengandung racun
TTX ini adalah hati, ovarium, kulit,
dan usus halus. Tingkat toksisitas
dari racun ini adalah musiman,
oleh karena itu ikan ini disajikan
di Jepang hanya dari bulan
Oktober hingga Maret.
Tetradotoksin adalah racun yang
tahan panas (kecuali dalam
suasana alkali) dan merupakan
racun non-protein yang larut
dalam air. Tetradotoksin adalah
molekul organik, kecil, heterosiklik
yang bekerja langsung pada
pompa natrium aktif di jaringan
saraf. Racun ini menghambat
difusi natrium melalui pompa
natrium, sehingga mencegah
depolarisasi dan terbentuknya
aksi potensial dari sel saraf.
Racun ini bekerja pada sistem
saraf pusat dan sistem saraf tepi
(contoh saraf otonom, motorik
dan sensorik); racun ini
merangsang kemoreseptor serta
mendepresi pusat pernafasan
dan pusat vasomotor di medulla
oblongata.
Perjalanan Penyakit
M Gejala awal timbul 15 menit
hingga beberapa jam pasca
paparan dengan makanan
yang
mengandung
tetrodotoksin. Bahkan
pernah dilaporkan gejala
inisaial muncul 20 jam pasca
paparan.
M Gejala awal meliputi
parestesia bibir dan lidah,
diikuti parestesia dan baal di
daerah wajah dan tungkai.
M Kemudian dilanjutkan oleh
salviasi, mual, muntah dan
diare disertai nyeri perut.
M Disfungsi motorik disertai
kelemahan, hipoventilasi
(mungkin merupakan akibat
dari disfungsi system saraf
pusat dan tepi), kemudian
diikuti oleh kesulitan bicara.
Paralisis ascending muncul
dalam 4 hingga 24 jam
kemudian. Paralisis tungkai
timbul sebelum paralisis
bulbar, yang kemudian diikuti
oleh paralisis otot-otot
pernafasan. Refleks tendon
dalam tidak terganggu pada
tahap awal paralisis.
M Akhirnya, disfungsi jantung
dengan hipotensi dan
disritmia (bradikardia),
disfungsi SSP (koma) dan
kejang mungkin terjadi.
Korban yang mengalami
Bersambung ke halaman 10
Edisi November 2006
Halaman 5
PENCEGAHAN PENYAKIT DENGAN IMUNISASI
PENDAHULUAN
Akhir-akhir ini banyak bermunculan
virus baru seperti misalnya virus flu
burung, SARS dan sebagainya.
Adanya virus ‘baru’ maupun hasil
mutasi atau perubahan virus itu sendiri
memberikan inspirasi bahwa upaya
perlindungan terhadap umat manusia
harus terus-menerus dilakukan.
Dengan perkembangan ilmu
pengetahuan yang kini berkembang
pesat, hendaknya mampu mempelajari
sifat-sifat kuman penyebab penyakit
infeksi untuk mengembangkan ilmu
pencegahan (preventive medicine)
maupun ilmu pengobatan. Vaksin
berorientasi kepada pencegahan dan
perlindungan dari berbagai serangan
penyakit yang berasal dari lingkungan
manusia. Vaksin adalah suatu bahan
yang berasal dari kuman atau virus
yang menjadi penyebab penyakit yang
bersangkutan, yang telah dilemahkan
atau dimatikan, atau diambil sebagian,
atau mungkin tiruan dari kuman
penyebab penyakit, yang secara
sengaja dimasukkan ke dalam tubuh
seseorang atau kelompok orang, yang
bertujuan merangsang timbulnya zat
antipenyakit tertentu pada orang-orang
tersebut. Sebagai akibatnya, maka
orang yang diberi vaksin akan memiliki
kekebalan terhadap penyakit yang
bersangkutan. Imunisasi dapat diartikan
sebagai upaya memberikan vaksin ke
dalam tubuh.
Imunisasi bersamaan dengan
perbaikan sanitasi dan higiene telah
memperbaiki kesehatan penduduk di
seluruh dunia. Melalui Program
Imunisasi Nasional di seluruh dunia,
jutaan kasus kematian di seluruh dunia
dapat dicegah setiap tahun sejak WHO
Halaman 6
meluncurkan Expanded Programme
on Immunization (EPI) pada tahun
1974. Di Indonesia, dikenal sebagai
Program Pengembangan Imunisasi
(PPI).
ke dalam dua kelompok, yakni vaksin
yang tergabung dalam kelompok
vaksin virus dan kelompok vaksin
bakteri. Kelompok vaksin bakteri
misalnya Tuberkulosis, Dipteri,
VAKSIN DAN PENYAKIT YANG DAPAT Pertusis, Tetanus, Meningitis
DICEGAH DENGAN IMUNISASI meningokus, Tipus abdominalis,
Banyak penyakit menular yang bisa Kolera, Hemophilus influenza tipe B,
dicegah dengan imunisasi, oleh karena dan Pneumonia pneumokokus.
itu imunisasi sangat diperlukan. Sedangkan vaksin virus termasuk di
Berdasarkan berbagai penyakit dalamnya, penyakit Measles atau
menular yang dapat dicegah dengan Campak, Polio, Hepatitis B, Hepatitis
imunisasi, vaksin dapat dikelompokkan A, Influenza, Rabies, Japanese
Nama Vaksin
Penyakit yang dapat dicegah
Vaksin BCG
Tuberkulosis (TBC)
Toksoid Diphteri
Diphteri
Vaksin Pertussis
Pertussis (batu rejan)
Toksoid Tetanus (TT)
Tetanus
Vaksin Pneumonia
Pneumonia
Vaksin Pneumonia Konyugasi (‘Conjugate
Pneumonia Vaccine”)
Pneumonia
Vaksin Haemophillus Influenza
Penyakit saluran napas yang disebabkan
oleh kuman Haemophilus influenza tipe
B, khususnya anak - anak
Vaksin Meningitis
Meningitis
Vaksin Kolera
Kolera
Vaksin Penyakit Demam Tifus
Typhoid fever
Vaksin Polio
Polio
Vaksin Campak
Campak
Vaksin Mumps (penyakit gondongan)
Gondongan
Vaksin Rubela
Rubella
Vaksin Hepatitis A
Hepatitis A
Vaksin Hepatitis B
Hepatitis B
Vaksin Influenza
Influenza
Vaksin Rabies
Rabies
Vaksin Varicella
Chickenpox, waterpoken, atau cacar air
Vaksin “Japanese Encephalitis”
Radang otak
Vaksin Diare Rotavirus
Diare karena virus rota
Vaksin Variol atau Vaksin cacar (smallpox)
Cacar
Edisi November 2006
Encephalitis, Yellow Fever (demam
kuning), Rubella, Varicella, Parotitis
Epidemica, dan Rotavirus.
Tabel 1 memperlihatkan berbagai
macam vaksin dan penyakit yang
dapat dicegah:
IMUNISASI DI INDONESIA
Di Indonesia pelayanan imunisasi
khususnya imunisasi dasar/imunisasi
rutin dapat diperoleh pada:
1. Pusat pelayanan yang dimiliki oleh
pemerintah seperti puskesmas,
posyandu, puskesmas pembantu,
rumah sakit atau rumah bersalin
2. Pelayanan di luar gedung, namun
diselenggarakan oleh pemerintah
misalnya
pada
saat
diselenggarakan program Bulan
Imunisasi Anak Sekolah, Pekan
Imunisasi Nasional, atau melalui
kunjungan dari rumah ke rumah
3. Imunisasi rutin juga dapat
diperoleh pada bidan praktik
swasta, dokter praktik swasta,
atau rumah sakit swasta
Program imunisasi di Indonesia, dapat
dijabarkan sebagai berikut:
1. Imunisasi rutin diberikan kepada
bayi di bawah umur satu tahun,
Wanita Usia Subur (WUS), yaitu
wanita berusia 15 hingga 39 tahun
termasuk ibu hamil dan calon
pengantin. Vaksin yang diberikan
pada imunisasi rutin meliputi, pada
bayi : hepatitis B, BCG, Polio, DPT,
dan Campak. Pada usia anak
sekolah: DT (Difteri Tetanus),
campak dan Tetanus Toksoid,
sedangkan pada wanita usia
subur diberikan Tetanus Toksoid
2. I m u n i s a s i ta m b a h a n a k a n
diberikan bila diperlukan.
Imunisasi tambahan diberikan
pada bayi dan anak usia sekolah
dasar. Imunisasi tambahan sering
dilakukan misalnya ketika terjadi
suatu wabah penyakit tertentu
dalam wilayah dan waktu tertentu
misalnya, pemberian polio pada
Edisi November 2006
Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
dan pemberian imunisasi campak
pada anak sekolah
3. S e m u a o r a n g y a n g a k a n
melakukan perjalanan baik yng
berasal dari negara atau menuju
negara yang dinyatakan endemis
yellow fever oleh WHO harus
mendapatkan imunisasi. Kecuali
anak di bawah usia sembilan bulan
dan ibu hamil trimester pertama
4. S e s u a i d e n g a n p e r a t u r a n
kesehatan internasional, seluruh
jamaah haji dan petugas haji harus
mendapat vaksin meningokokus
5. Program imunisasi rabies, ditujukan
pada 100 persen kasus gigitan
yang berindikasi rabies, terutama
pada lokasi tertular
JADWAL IMUNISASI DI INDONESIA
Jadwal pemberian imunisasi pada bayi
di seluruh Indonesia, dengan
menggunakan vaksin DPT dan
Hepatitis B dalam bentuk terpisah,
menurut tempat lahir bayi:
Apabila bayi lahir di rumah, maka
jadwalnya adalah:
1. Hendaknya langsung diberikan
vaksin hepatitis B-1 (Hep-B1)
setelah bayi lahir oleh tenaga medis
yang membantu persalinan
2. Apabila bayi telah berumur satu
bulan, maka akan diberikan vaksin
BCG, dan vaksin Polio-1
3. Bayi berumur dua bulan diberikan
vaksin DPT-1, vaksin Hepatitis B2, dan vaksin Polio-2
4. Bayi berumur tiga bulan diberikan
vaksin DPT-2, vaksin Hepatitis B3, dan vaksin Polio-3
5. Bayi berumur empat bulan
diberikan vaksin DPT-3, vaksin
Polio-4
6. Bayi berumur sembilan bulan
diberikan vaksin campak No 2-4
dapat diberikan di unit pelayanan
imunisasi terdekat
Bayi lahir di rumah sakit, pondok
bersalin, bidan praktik atau tempat
pelayanan lain, maka pengaturan
imunisasi adalah:
1. Begitu lahir dapat diberikan vaksin
hepatitis B-1 (Hep-B1), Polio-1,
dan BCG pada unit pelayanan di
mana bayi tersebut lahir
2. Bayi berumur dua bulan diberikan
vaksin DPT-1, vaksin Hepatitis B2, dan vaksin Polio-2
3. Bayi berumur tiga bulan diberikan
vaksin DPT-2, vaksin Hepatitis B3, dan vaksin Polio-3
4. Bayi berumur empat bulan
diberikan vaksin DPT-3, vaksin
Polio-4
5. Bayi berumur sembilan bulan
d i b e r i k a n v a k s i n c a m pa k
No 2-6 dapat diberikan di unit
pelayanan imunisasi terdekat
Jadwal pemberian imunisasi pada
bayi di seluruh Indonesia, dengan
menggunakan vaksin DPT dan
Hepatitis B dalam bentuk kombinasi
(DPT/HB) sedikit berbeda yaitu vaksin
Hepatitis B diberikan segera kepada
bayi lahir dengan kemasan
monovalent yaitu dalam bentuk
prefilled syringe (Uniject HB TM),
kemudian dilanjutkan dengan
pemberian vaksin Hepatitis B dalam
bentuk kombinasi DPT/HB.
Jadwalnya adalah sebagai berikut:
1. Bayi baru lahir dapat diberikan
vaksin hepatitis B-1/Hep B-1
(dosis terpisah), Polio-1, dan BCG
2. Bayi berumur dua bulan diberikan
vaksin DPT/Hep B-1 dan vaksin
Polio-2
3. Bayi berumur tiga bulan diberikan
vaksin DPT/Hep B-2 dan vaksin
Polio-3
4. Bayi berumur empat bulan
diberikan vaksin DPT/Hep B-3
dan vaksin Polio-4
5. Bayi berumur sembilan bulan
d i b e r i k a n v a k s i n c a m pa k
Jadwal pemberian imunisasi pada
anak sekolah:
1. Kelas 1 diberikan Difteri, Tetanus
Halaman 7
dan Campak masing-masing 0,5
cc
2. Kelas 2 diberikan Tetanus Toksoid
0,5 cc
3. Kelas 3 diberikan Tetanus Toksoid
0,5 cc
Jadwal pemberian imunisasi Tetanus
Toksoid pada Wanita Usia Subur (atau
seringkali disingkat TT WUS):
1. T-1 diberikan dengan dosis 0,5
cc
2. T-2 diberikan selang empat
minggu setelah T-1, hal ini akan
memberikan perlindungan
selama tiga tahun, dosisnya 0,5
cc
3. T-3 diberikan selang enam
minggu setelah T-2, hal ini akan
memberikan perlindungan hingga
lima tahun, dosisnya 0,5 cc
4. T-4 diberikan selang satu tahun
setelah T-3, dengan dosis 0,5 cc
akan memberikan perlindungan
selama 10 tahun
5. T-5 diberikan selang satu tahun
setelah T-4, dengan dosis 0,5 cc
akan memberikan perlindungan
hingga 25 tahun
K E J A D I A N
I K U TA N
PA S C A I M U N I S A S I ( K I P I )
Tidak ada satu tindakan kesehatan
apapun tanpa risiko. Tidak terkecuali
vaksin. Menurut Departemen
Kesehatan (2005), Kejadian Ikutan
Pasca-Imunisasi (KIPI) adalah semua
kejadian sakit dan kematian yang
terjadi dalam masa satu bulan setelah
imunisasi, yang diduga ada
hubungannya dengan pemberian
imunisasi.
WHO membagi KIPI ke dalam tiga
kategori, yaitu:
1. Program related atau hal-hal yang
berkaitan dengan kegiatan
imunisasi, misalnya timbul
bengkak bahkan abses pada
bekas suntikan vaksin. Ini akibat
aktivitas sistem kekebalan tubuh
yang menerima vaksin tersebut.
Halaman 8
2. Reaction related to properties of
vaccines atau reaksi terhadap
sifat-sifat yang dimiliki oleh vaksin
yang bersangkutan. Misalnya saja
reaksi terhadap bahan tambahan
vaksin. Reaksi ini biasanya
berupa pembengkakan ,
kemerahan, demam.
3. Coinsidental atau Koinsidensi.
Koinsidensi adalah dua kejadian
secara bersama tanpa adanya
hubungan satu sama lain. Ketika
anak menerima imunisasi,
sebenarnya dia sudah dalam
keadaan masa perjalanan suatu
penyakit yang sama atau
penyakit lain yang tidak ada
hubungannya dengan vaksin
yang bersangkutan. Misalnya,
anak sedang dalam perjalanan
mau sakit batuk pilek, diare atau
bahkan penyakit akut yang lebih
serius yang disertai demam. Oleh
sebab itu, pastikan bahwa ketika
menerima imunisasi anak dalam
keadaan sehat. Jika anak
menunjukkan gejala awal
perjalanan penyakit lebih baik
imunisasi ditunda.
Pada tahun 2002, di Indonesia telah
dibentuk Komite Nasional Pengkajian
dan Penanggulangan KIPI (Komnas
PP KIPI) melalui Keputusan Menteri
K e s e h a t a n
n o m o r
10/Menkes/SK/I/2002. Tugas dari
Komnas PP KIPI ini adalah
melakukan evaluasi terhadap setiap
laporan dan data KIPI yang diterima
atau yang menjadi perhatian
masyarakat, membuat analisis dan
rekomendasi tindak lanjut laporan
KIPI, dan berkoordinasi dengan
Pokja/Lembaga di tingkat Pusat,
Propinsi, Kabupaten, dan Kodya yang
terkait dengan KIPI. Komnas PP KIPI
ini beranggotakan para klinisi,
profesional, dan pemerintah, dalam
hal ini Subdit Imunisasi Ditjen PP PL
Depkes dan Badan POM. Di daerahdaerah telah dibentuk pula Komite
Daerah PP KIPI (Komda PP KIPI).
Di tingkat masyarakat setiap kejadian
yang diduga adalah kasus KIPI, harus
dilaporkan kepada tenaga kesehatan
di Puskesmas atau Rumah Sakit.
Kemudian laporan ini, oleh tenaga
kesehatan harus diisi dalam Formulir
Pelaporan KIPI yang terdapat di unit
pelayanan kesehatan dan kemudian
dikirimkan ke Sekretariat Komnas
KIPI atau Dinas Kesehatan masingmasing daerah untuk selanjutnya
dikirimkan ke Komnas KIPI juga.
Tabel 2 memperlihatkan beberapa
contoh kasus KIPI yang harus
dilaporkan.
PENANGANAN VAKSIN
Sarana yang harus digunakan dalam
penyimpanan dan pendistribusian
vaksin yang baik adalah gudang
dingin 24 jam yang dilengkapi dengan
termometer yang telah dikalibrasi,
temperature chart, alarm, generator
pembangkit listrik otomatis serta
catatan monitoring harian. Kedua,
kontainer atau wadah pembawa (cool
pack) yang kedap udara. Ketiga,
fasilitas penahan atau pemasok suhu
dingin seperti es kering atau ice pack.
Keempat, alat monitor suhu selama
membawa vaksin pada pemakai,
seperti TTM (Tiny Temperatur
Control) atau sejenisnya.
Penyimpanan vaksin ini harus
dilakukan dengan hati-hati sesuai
dengan petunjuk dari leaflet, untuk
mencegah rusaknya sediaan dan
menjadi tidak efektif.
Pada umumnya, vaksin harus
disimpan pada 2-80C dan tidak boleh
dibiarkan membeku. Vaksin harus
dilindungi dari cahaya. Vial terbuka
yang belum habis digunakan
seluruhnya harus dibuang dalam 1
jam bila tidak mengandung pengawet
(kebanyakan vaksin virus hidup) atau
dalam 3 jam atau segera setelah
selesai pemberian (untuk vaksin yang
mengandung pengawet, termasuk
vaksin poliomiletis oral). Vaksin yang
Edisi November 2006
tidak terpakai harus dimusnahkan
dalam incinerator oleh badan pengolah
limbah yang resmi.
Perhatian khusus harus diberikan pada
instruksi pemakaian pelarut, dan ampul
vaksin harus dikocok dengan benar
sebelum dipakai untuk menjamin
tercampurnya materi yang akan
disuntikkan.
PENGAWASAN VAKSIN
Setiap proses produksi vaksin di dunia
selalu diawasi dengan ketat. Di
Indonesia pengawasan mutu dan
produksi vaksin dilakukan oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM). BPOM merupakan institusi
pengawasan obat dan makanan yang
diakui dunia, atau acredited oleh WHO
sehingga hasil pemeriksaan dan
pengawasannya terhadap vaksin
produksi dalam negeri diakui dunia.
Yang diawasi adalah keamanan,
kualitas, efficacy (efektifitasnya), purity
(standard kemurniannya), potency
(potensi menimbulkan kekebalan).
Vaksin yang sudah dipasarkan juga
terus diawasi dan secara periodik
dilakukan pemeriksaan. Badan POM
juga menerima dan merespons
semua permintaan informasi atau
pengaduan yang diberikan oleh
konsumen. Sebagai contoh beberapa
waktu yang lalu, pada sebagian
masyarakat tersebar informasi
tentang dugaan adanya hubungan
antara autisme dengan imunisasi
MMR (Measles, Mumps, Rubella).
KEJADIAN
PERIODA
24 jam pasca imunisasi
a
Reaksi anafilaktoid (reaksi hipersensitivitas
akut
a
Persistent inconsolable screaming
(menangis keras & tidak berhenti selama
lebih dari 3 jam)
a
anafilaksis
a
Hypotonic hyporesponsive episode (pasien
lemas, tidak bereaksi terhadap rangsangan
namun sadar dan tidak syok)
a
Toxic Shock Syndrome
Untuk menanggapi informasi tersebut,
Badan POM bersama-sama dengan
Departemen Kesehatan dan Ikatan
Dokter Anak Indonesia melakukan
pengkajian dan kesimpulannya
dituangkan dalam bentuk penjelasan
bersama dari ketiga institusi tersebut
pada tanggal 14 Februari 2001 yang
menyatakan bahwa tidak ada kaitan
antara kejadian autisme pada anak
dengan imunisasi MMR.
PENUTUP
Imunisasi merupakan salah satu
upaya manusia yang tidak akan
berkesudahan. Upaya ini, pada
dasarnya merupakan naluri bertahan
manusia dari ancaman penyakit yang
setiap hari mengancam kita. Selain
penyakit yang sudah ada sejak dulu,
penyakit baru sekarang berdatangan
seperti SARS, flu burung dan lain
sebagainya. Seperti manusia,
sebagian jasad renik terutama virus,
juga memiliki naluri untuk bertahan.
Kemampuan virus untuk merekayasa
dirinya untuk adaptasi dengan
lingkungan yang senantiasa berubah,
ternyata luar biasa. Karena itulah,
selalu dilakukan penelitian dan
pengembangan terhadap vaksin.
(Denik Prasetiawati, S.Farm., Apt.)
PUSTAKA
5 hari pasca imunisasi
15 hari pasca imunisasi
3 bulan pasca imunisasi
a
Reaksi lokal hebat
a
Sepsis
a
Abses pada bekas suntikan (infeksi / steril)
a
a
Kejang, termasuk kejang demam
a
Lumpuh layu
a
a
Neuritis brakialis
1-12 bulan pasca imunisasi a
Edisi November 2006
Enselopati
Trombositopenia
Limfadentitis
a
BCG-itis Diseminata (bakteri hidup BCG
menyebar ke seluruh tubuh)
a
Osteitis / Osteomielitis (infeksi bakteri hidup
BCG pada tulang)
1. Informatorium Obat Nasional
Indonesia, Badan POM, 2000
2. Penjelasan Bersama Departemen
Kesehatan Dan Kesejahteraan
Sosial, Badan Pengawas Obat
Dan Makanan, Dan Ikatan Dokter
Anak Indonesia Tentang Tidak
A d a n y a H u b u n g a n A n ta r a
Terjadinya Autisme Dengan
Imunisasi MMR, 14 Februari 2001
3. Umar Fahmi Achmadi, Imunisasi
Mengapa Perlu?, Penerbit Buku
Kompas, 2006
4. D i a k s e s p a d a t a n g g a l 7
September 2006
5. D i a k s e s p a d a t a n g g a l 7
September 2006
Halaman 9
Sambungan dari halaman 5
keracunan akut berat dapat
mengalami koma yang
dalam, pupil non reaktif,
apnue, dan hilangnya seluruh
refleks batang otak.
M Kematian dapat terjadi dalam
4 hingga 6 jam. Kematian
terjadi akibat paralysis otototot pernafasan dan gagal
nafas.
Dari pemeriksaan fisik dapat
ditemukan:
M Hilangnya fungsi saraf
sensorik dan motorik.
M Paralisis ascending dan
depresi pernafasan.
M Sianosis disertai gagal nafas.
M Hipotensi dan disfungsi
miokardial.
M Gangguan irama jantung,
terutama bradikardia, blok
atrioventrikular, dan bundlebranch block.
M Gangguan gastrointestinal
tidak terlalu menonjol, hanya
muntah dan nyeri abdomen.
Apa Yang Harus Dilakukan
Jika Terjadi Keracunan Ikan
Buntal ?
Jika ditemukan kasus keracunan
akibat mengkonsumsi ikan
buntal, segera bawa korban ke
rumah sakit dengan fasilitas ICU
untuk segera mendapatkan
pertolongan. Oleh karena gejala
seperti di atas akan muncul
dalam 6 jam, namun dapat saja
tertunda 12 hingga 20 jam.
Tindakan di Unit Gawat
Darurat :
M Bebaskan dan amankan
jalan nafas (cegah aspirasi)
M Berikan infuse dan buka jalur
vena untuk pemberian obatobatan
Halaman 10
B
A
Gambar 1. Dalam keadaan normal (A); dan mengembang (B)
M Keluarkan racun dari saluran
pencernaan dengan
melakukan bilas lambung
dengan arang aktif (dengan
atau tanpa katartik), hati-hati
akan kemungkinan terjadinya
aspirasi dan trauma pada
esophagus.
M Monitor tanda vital dan
berikan oksigenasi yang
adekuat.
M Fokus terapi berikutnya
adalah fungsi jantung hingga
toksin telah tereliminasi
seluruhnya dari tubuh.
M Tidak ada antidot spesifik
yang pernah dicobakan pada
manusia.
Prognosis:
M Rasio mortalitas hingga saat
ini dinyatakan (50-60)%
walau dengan perawatan
intensif yang baik.
M Gejala mungkin menetap
hingga beberapa hari,
bahkan pada kasus yang
tidak terlalu berat.
M Salah satu laporan
menyatakan bahwa jika
korban bertahan dalam 24
jam pertama maka
prognosisnya akan baik.
Pustaka:
1. Food and Drug Association,
Center for Food Safety &
Applied Nutrition, Bad Bug
Book: Tetrodotoxin. June 14th,
2006.
2. International Program on
Chemical Safety, Biotoxins,
aquatic (marine and fresh
water).
3. Summers, Adam. American
Museum of Natural History:
Biomechanics. October,
2001.
4. Isbister, Geoffrey K., Son,
Julie., Wang, Frank. The
Medical Journal of Australia,
Puffer fish poisoning: a
potentially life-threatening
condition. September, 2002.
5. Benzer, eMedicine: Toxicity,
Tetrodotoxin. February 17th,
2005.
Edisi November 2006
PENGGUNAAN BERSAMAAN
IBUPROFEN DENGAN ASPIRIN
Interaksi obat dengan obat
merupakan masalah yang harus
diwaspadai oleh tenaga kesehatan
terutama oleh apoteker dan dokter.
Guna mencapai pengobatan pasien
yang efektif, penggunaan obat-obatan
yang diberikan dalam waktu yang
bersamaan harus diperhatikan agar
tidak saling mengganggu dan obatobat tersebut dapat sama-sama
memberikan manfaat bagi terapi
pasien. Penggunaan aspirin dosis
rendah sebagai kardioproteksi
nampaknya mengalami penurunan
aktivitas jika digunakan bersamaan
dengan ibuprofen. Hal ini telah terbukti
pada penelitian yang dilakukan oleh
Catella-Lawson dengan penelitian
berjudul Cyclooxygenase inhibitors
and the Antiplatelet Effects of Aspirin
pada tahun 2001. Pasien perlu
diberikan informasi yang tepat
mengenai penggunaan ibuprofen dan
aspirin dosis rendah yang tepat agar
tujuan terapi dapat dicapai.
Mekanisme Kerja
Ibuprofen merupakan obat yang
memiliki aktivitas analgesik, anti
inflamasi, dan antipiretik. Secara
kimia, ibuprofen termasuk turunan
asam propionat dan merupakan
kelompok obat Anti Inflamasi Non
Steroid (OAINS). Kelompok ini
termasuk juga aspirin dengan cara
kerja yang mirip. Semua OAINS
bekerja dengan menghambat enzim
siklooksigenase (cyclooxygenase,
COX),
dimana
aspirin
menghambatnya secara irreversible
sedangkan
ibuprofen
menghambatnya secara reversible.
Ada dua jenis siklooksigenase, yang
dinamakan COX-1 dan COX-2. COX1 terdapat pada pembuluh darah,
lambung, dan ginjal, sedangkan COX2 keberadaannya diinduksi oleh
Edisi November 2006
terjadinya inflamasi oleh sitokin dan
merupakan mediator inflamasi.
Aktivitas antipiretik, analgesik, dan
anti inflamasi dari OAINS
berhubungan dengan kemampuan
inhibisi COX-2, dan adapun efek
samping seperti perdarahan saluran
cerna dan kerusakan ginjal adalah
disebabkan inhibisi COX-1. Dengan
menghambat COX-1, OAINS
menghalangi pembentukan
tromboksan dari asam arachdonat
dan oleh karenanya dapat
menghambat agregasi platelet yang
diinduksi oleh tromboksan. Aspirin
mempunyai aktivitas antiplatelet yang
irreversible sedangkan OAINS
lainnya, termasuk ibuprofen, aktivitas
antiplateletnya bersifat reversible.
Aspirin dosis rendah efektif sebagai
pencegahan sekunder serangan
kardiovaskuler karena aktivitas
antiplateletnya. Karena ibuprofen
dan aspirin terikat pada situs yang
sama pada COX, penggunaan
bersamaan aspirin dan ibuprofen
dapat mengganggu efek
farmakodinamik dari kedua obat
tergantung waktu dan dosis dari
masing-masing obat.
Data Interaksi
Penelitian oleh Catella-Lawson
dengan penelitian berjudul
Cyclooxygenase inhibitors and the
Antiplatelet Effects of Aspirin pada
tahun 2001 menggunakan uji fungsi
platelet menunjukkan adanya
interaksi farmakodinamik pada
pemberian ibuprofen 400 mg dengan
aspirin dosis rendah yang diberikan
bersamaan. Belum ada data apakah
pemberian ibuprofen di bawah 400
mg juga mempengaruhi aktivitas anti
platelet dari aspirin dosis rendah
yang diberikan bersamaan. Demikian
juga untuk penggunaan ibuprofen
kronik dengan dosis di atas 400 mg,
belum ada data apakah mempengaruhi
aktivitas antiplatelet aspirin yang
diberikan atau tidak.
Untuk penggunaan bersamaan
ibuprofen dengan aspirin salut enterik,
belum ada data yang dapat digunakan
untuk memberikan rekomendasi
pemakaian. Penelitian yang dilakukan
oleh Catella-Lawson tersebut
menunjukkan aktivitas antiplatelet dari
aspirin dosis rendah salut enterik juga
menurun setelah pemberian ibuprofen
400 mg pada 2, 7, dan 12 jam setelah
aspirin.
Rekomendasi Penggunaan
Bersamaan
Tenaga kesehatan perlu memberi
konsultasi kepada pasien mengenai
aturan penggunaan ibuprofen jika psien
juga diberikan aspirin sebagai
kardioproteksi. Untuk dosis tunggal
ibuprofen, interaksi farmakodinamik
dapat dikurangi dengan pemberian
ibuprofen setidaknya 8 jam sebelum
atau setidaknya 30 menit setelah
pemberian aspirin 81 mg lepas segera
(immediate release, bukan salut
enterik). OAINS non selektif lainnya
harus diwaspadai akan potensi
interaksi dengan aspirin dosis rendah
yang sama dengan ibuprofen tersebut,
kecuali ada bukti sebaliknya. Analgesik
yang tidak berinteraksi dengan aspirin
dosis rendah harus dipertimbangkan
untuk lebih dipilih untuk populasi
dengan risiko tinggi akan kejadian
kardivaskuler.
Pustaka:
·
FDA, Science Paper, Concomitant
Use of Ibuprofen and Aspirin:
Potential for Attenuation of the
Anti-Platelet Effect of Aspirin,
September 2006.
·
Catella-Lawson et al., , 2001.
Halaman 11
771829 933428
Redaksi menerima naskah yang berisi informasi yang terkait dengan obat, makanan, kosmetika, obat
tradisonal, komplemen makanan, additif dan bahan berbahaya. Kirimkan melalui alamat redaksi dengan
format MS. Word 97 spasi ganda maksimal 2 halaman kuarto. Redaksi berhak mengubah sebagian isi
naskah untuk diterbitkan.
9
Alamat Redaksi : Pusat Informasi Obat dan Makanan Badan Pengawas Obat dan Makanan,
Jl. Percetakan Negara No. 23, Jakarta Pusat, Telp. 021-4259945, Fax. 021-42889117, e-mail :
[email protected]
ISSN
Penasehat : Drs. H. Sampurno, MBA; Penanggung Jawab: Dra. Mawarwati Djamaluddin; Pimpinan
Redaksi : Dra. Aziza Nuraini MM; Sekretaris Redaksi : Dra. Reri Indriani; Tim Editor : Dra. Rosmulyati
Ilyas, Dra. Srihariyati, MSc, Dra. Dedeh Endawati, Drs. Siam Subagyo, MSi, Dra. Darmawati Malik,
Drs. Bowo Waluyo, MKes, Dra. Endang Susigandhawati, MM, Dra. Yunida Nugrahanti, Judhi Saraswati,
SP, Irhamahayati, SSi; Redaksi Pelaksana : Dra. Yuniar Marpaung, Dra. T. Asti Isnariani M.Pharm,
Wardhono Tirtosudarmo, Ssi, Yulinar, SKM, Indah Widiyaningrum, SSi; Sirkulasi : Surtiningsih, Watinah
1829-9334
INFOPOM
Download