8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kawasan Karst

advertisement
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kawasan Karst
Karst berasal dari bahasa Slovenia berarti lahan gersang berbatu. Istilah
karst di gunakan untuk mendeskripsikan suatu kawasan atau bentang alam
dicirikan dengan adanya proses karstifikasi dan proses pelarutan batuan yang
diakibatkan oleh aliran permukaan. Karst memiliki karakteristik baik wilayah
permukaan (eksokarst) dan bawah permukaan (endokarst) ditandai adanya
cekungan-cekungan tertutup atau lembah kering dalam berbagai ukuran, bukitbukit kecil, langkanya atau tidak terdapatnya drainase atau sungai permukaan,
sungai-sungai yang nampak dipermukaan hilang dan terputus ke dalam tanah,
sungai-sungai di bawah permukaan tanah, terdapatnya gua dari sistem drainase
bawah tanah, lereng terjal, dan endapan sedimen lempung berwarna merah hasil
dari pelapukan batuan karst (Ford dan William, 2007).
2.2. Karstifikasi
Kawasan karst adalah kawasan yang mempunyai bentang alam, hidrologi
dengan ciri khas dibentuk dari batuan karbonat dan dolomit sebagai akibat adanya
kombinasi antara batuan yang mudah larut, porositas sekunder, dan pengaruh air
alami sebagian agen pelarutannya (Ford dan William, 2007).
Proses pembentukan karst pada Gambar 2.1 melibatkan larutnya CO2
dalam air. Proses pelarutan (dissolution) akan intensif bila kadar CO2 yang terlarut
dalam air relatif banyak, batuan karst keras dan pejal dengan intensitas rekahan
yang tinggi sehingga agresivitas air terhadap batuan karst sangat besar. Secara
garis besar proses pembentukan karst dimulai dari turunnya hujan melalui
atmosfer dengan membawa karbon dioksida terlarut dalam tetesan. Ketika hujan
sampai ditanah, air terperkolasi melalui tanah dan menggunakan lebih banyak
karbon dioksida. Infiltrasi air secara terus-menerus secara alami membentuk
retakan-retakan dan lubang pada batuan. Infiltrasi periode waktu yang lama,
9
dengan suplai air terus menerus yang kaya karbon dioksida, lapisan karbonat
mulai melarut.
Karst dengan dominasi porositas sekunder di mana air lolos melalui
rekahan-rekahan (fracture), perlapisan batuan (bedding plane) dan patahan (fault)
pada formasi karst. Porositas ruang antar butir (primer) dan permeabilitas pada
karst terumbu (non-klastik) sangat rendah sedang porositas primer dan
permeabilitas tinggi untuk karst bersifat klastik karena memiliki ruang antar
butiran. Aliran air pada aquifer karst mengalir sekaligus melarutkan bidang
perlapisan, rekahan dan patahan. Kebanyakan aliran air yang mengalir melalui
rekahan dan bidang perlapisan memiliki hydraulic conductivity yang besar. Sifat
aquifer karst tidak menerus secara lateral dan tidak seragam dikarenakan aliran air
pada aquifer karst mengalir melalui rekahan-rekahan dan bidang perlapisan.
Aliran air yang masuk akan segera lolos mengalir hingga ke aliran dasar (base
flow). Aliran tersebut terakumulasi membentuk pola aliran di bawah permukaan
tanah. Proses pelarutan memperbesar ruang rekahan-rekahan dan bidang
perlapisan membentuk sistem lorong gua. Lorong-lorong gua berfungsi sebagai
koridor menuju ke sistem sungai bawah tanah (underground river).
Karstifikasi adalah proses kerja air terutama secara kimiawi, meskipun
secara mekanik yang menghasilkan kenampakan-kenampakan topografi karst.
Karstifikasi atau proses pembentukan bentuk lahan karst didominasi oleh proses
pelarutan. Proses pelarutan karst diawali oleh larutnya CO2 di dalam air
membentuk H2CO3. Larutan H2CO3 tidak stabil terurai menjadi H− dan HCO3. Ion
H− inilah yang selanjutnya menguraikan CaCO3 menjadi Ca2+ dan HCO32-.
CaCO3 + H2O + CO2
Ca2+ + 2 HCO32-
10
Gambar 2.1. Pembentukan Karst
2.3. Batu Gamping
Batu gamping merupakan salah satu golongan batuan sedimen. Batu
gamping terdiri dari batu gamping non-klastik dan batu gamping klastik. Batu
gamping non-klastik, merupakan koloni dari binatang laut antara lain dari
koelentrata, moluska, protozoa dan foraminifera, batu gamping non-klastik sering
disebut batu gamping koral. Batu gamping klastik, merupakan hasil rombakan
jenis batu gamping non-klastik melalui proses erosi oleh air, transportasi, sortasi,
dan tersedimentasi. Proses erosi, transportasi, sortasi, dan sedimentasi banyak
mineral-mineral terikut yang merupakan pengotor yang memberi variasi warna
dari batu seperti warna putih susu, abu-abu muda, abu-abu tua, coklat, merah
bahkan hitam.
Batu gamping mengandung kalsium karbonat (CaCO3) dan bila
mengandung magnesium tinggi mengubah batu gamping menjadi dolomit
(CaCO3MgCO3). Batuan karbonat memiliki mineral aragonit (CaCO3) dengan
bentuk kristal orthorombik dan merupakan bentuk yang tidak stabil, sering
berubah menjadi kalsit. Kalsit (CaCO3) mempunyai bentuk kristal heksagonal,
lebih stabil, dan kebanyakan batu gamping terdiri dari mineral kalsit. Dolomit
dibedakan dari kalsit karena mengandung ion-ion Mg dan Fe2+. Klasifikasi batuan
11
gamping berdasarkan kandungan mineral diperlihatkan pada Tabel 2.1 (Ford dan
William, 2007).
Tabel 2.1. Sifat Mineral Batuan Karst
Type
Karbonat
Shulpat
Halide
Silika
Mineral
Kalsit
Komposisi Kimia
CaCO3
Kekerasan
3
Aragonit
CaCO3
3,5 – 4
Dolomit
CaMg(CO3)2
3,5 – 4
Magnesit
MgCO3
3,5 – 5
Anhidrit
Gypsum
Polihalit
Halit
Sylvit
Karnallit
Kuarsa
Opal
CaSO4
CaSO4-2H2O
K2Ca2Mg(SO4)4 2H2O
NaCl
KCl
KClMgCl2.6H2O
SiO2
SiO2
3 – 3,5
2
3 – 3,5
2,5
2
1
7
5,5 - 6
Deskripasi
Sub sistem Trigonal;
rhombohedral , heksagonal
Sistem Orthorhombik,
dipiramidal
Sistem Heksagonal,
rhombohedral
Sistem Heksagonal,
rhombohedral
Sistem Orthorombik
Sistem Monoklinik
Sistem Triklinik
Kristal kubik Kuhedral
Sistem Kubik
Sistem Orthorombik
Trigonal
Kristalit
Sumber : Ford dan William ( 2007)
Pada proses sedimentasi mineral lain dapat hadir sebagai pengotor. Bila
pengotor pada batu gamping banyak mengandung magnesit maka disebut dolomit
(CaMg(CO3)2, bila dikotori kuarsa disebut batu gamping kuarsa CaCO3, bila
pengotornnya lempung maka disebut batu gamping lempungan. Batu gamping
memiliki warna yang dikontrol oleh persentasi mineral penyusun yang dominan
dan pengotornya. Batu gamping yang berwarna putih susu dominan disusun oleh
mineral kalsit, berwarna abu-abu muda-tua menunjukkan kehadiran unsur
magnesium, warna kemerahan umumnya di sebabkan oleh hadirnya mangan dan
warna kehitaman disebabkan hadirnya unsur organik.
2.3.1. Susunan Batu Gamping
Berdasarkan tekstur batuan karbonat, batu gamping dibedakan atas
beberapa tipe antara lain tipe gamping kerangka, umumnya disusun oleh butiran
kerangka organik. Tipe gamping klastik, umumnya disusun oleh butiran,
bioklastik,
intraklastik
dan
kemiklastik.
Tipe
gamping
aphanitik
dan
mikrokristalin, umumnya disusun oleh mikrit. Tipe gamping kristalin, umumnya
12
sparit atau hasil rekristalisasi (Boggs, 2009). Batuan gamping memiliki komponen
penyusun yang terdiri dari :
2.3.1.1. Kerangka
Kerangka penyusun batu gamping berupa kerangka organik, bioklastik,
intraklastik dan kemiklastik. Kerangka organik (scleral atau frame builder) adalah
struktur tubuh gamping yang tersusun atas koral, bryozoa dan alga. Bioklastik
yang terdiri dari fragmen atau cangkang-cangkang binatang seperti foraminifera,
moluska, brachiopoda dan koral. Intraklastik (fragmen non-organik) yang
merupakan hasil fragmentasi dari batuan atau sedimen gamping sebelumnya.
Kemiklastik merupakan butir-butir terbentuk di tempat sedimentasi karena proses
kimiawi seperti koagulasi, akresi dan penggumpalan.
2.3.1.2. Matriks
Matriks atau mikrit merupakan butiran halus (1 µm -5 µm) yang mengisi
rongga-rongga dan terbentuk pada waktu sedimentasi (Folk, 2002). Matriks
dibawah mikroskop hampir opak. Matriks dihasilkan dari pengendapan air laut
tenang. Pengendapan langsung sebagai jarum aragonit terbentuk secara biokimia
atau kimiawi dari prespitasi air laut dengan mengisi rongga antar butir yang
kemudian berubah menjadi kalsit, ataupun dari hasil abrasi oleh pukulan-pukulan
gelombang.
2.3.1.3. Spar
Spar (sparry calcite atau semen) adalah butir-butir kalsit bersih dan
transparan berukuran (0,02 mm–1 mm) berfungsi sebagai semen. Spar terjadi
pada waktu diagenesa pengisian rongga-rongga oleh larutan yang mengendapkan
kalsit sebagai hablur yang jelas. Umumnya di bawah mikroskop tampak bersih
atau putih.
13
2.3.2. Klasifikasi Batu Gamping
Batu gamping merupakan batuan sedimen non-klastik yang terbentuk dari
hasil reaksi kimia atau hasil kegiatan organisme. Batuan yang sama diendapkan
pada waktu yang sama dikatakan berbeda fasies jika kedua batuan berbeda ciri
fisik, kimia atau biologi. Karakteristik litologi, tekstur, kandungan fosil, warna,
struktur sedimen menjadi faktor pembeda dalam melakukan identifikasi batu
gamping. Penamaan batu gamping dilakukan dengan mengacu dari beberapa
klasifikasi pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Klasifikasi Batu Gamping
Klasifikasi
Batu Gamping
Grabau
Dunham
Folk
Embry dan
Klovan
Jenis Klasifikasi
Berdasarkan Ukuran
Berdasarkan
Butir
Lumpur Karbonat
Kalsilutit
Kalkarenit
Kalsirudit
Packstone
Grainstone
Allocemical
Kerangka
Organik
Mudstone
Wackstone
Allocemical
Framestone
Bindstone
Baffestone
Floatstone
Rudstone
Batu gamping kerangka memiliki bentuk serta jaringan kerangka yang
dikontrol oleh jenis organisme yang membentuknya, secara umum terdapat dua
komponen penyusun batu gamping kerangka yaitu:
1. Komponen utama, dimana organisme pembentuk kerangka berupa koral
madrepora, bryozoa, koral stromaporoiod, radist, algae (ganggang).
2. Komponen lain, biasanya berupa bioklas seperti foraminifera terutama
foram besar dan moluska atau fragmen-fragmen lainnya yang ikut
terinkorporasi di dalamnya.
14
2.3.2.1. Klasifikasi Dunham
Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan menggunakan klasifikasi
Dunham op.cit Boggs (2009) dengan melihat secara megaskopis berdasarkan
pengendapannya yaitu derajat perubahan tekstur, komponen asli terikat atau tidak
terikat selama proses pengendapan, tingkat kelimpahan antara butiran dan lumpur
karbonat yang ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2. Klasifikasi Dunham
Klasifikasi Dunham meliputi :
1. Mudstone
Mudstone termasuk jenis batuan sedimen non-klastik berwarna segar putih
abu–abu dan warna lapuknya putih kecoklatan. Mudstone bertekstur nonklastik dengan komposisi kimia karbonat dan struktur tidak berlapis, mempunyai
butiran kurang dari 10% dan tidak ditemukan adanya fosil. Tekstur dari batuan
mudstone adalah non-kristalin terbentuk dari pelarutan terumbu karang atau dari
pengendapan secara kimia air laut yang kelewat jenuh CaCO3. Proses litifikasi
dari batuan mudstone melibatkan pelarutan mineral-mineral karbonat yang stabil
maupun yang tidak stabil, dalam pengertian luas diagnesa meliputi perubahan
mineralogi, tekstur kemas dan geokimia sedimen dan temperatur serta tekanan
yang rendah. Litifikasi sedimen karbonat dapat terjadi pada sedimen yang
tersingkap, maupun yang masih berada di dalam laut, proses terbentuknya batuan
15
berlangsung perlahan–lahan dan bertingkat dimana batas antara antara tingkatan
tidak jelas, bahkan dapat saling melingkup, tingkatan tersebut adalah
penyemenan,
pelarutan
pengendapan,
perubahan
mineralogi
butir dan
rekristalisasi. Keterdapatan mudstones dapat ditemukan disekitar pinggiran pantai,
asosiasi dari batuan mudstones adalah batu pasir karbonatan dan packtone.
Kegunaan dari batuan mudstones sebagai reservoir dalam pencarian minyak bumi.
2. Wackestone
Wackstone merupakan lumpur didukung batu kapur yang mengandung
butiran karbonat lebih dari 10% (lebih besar dari 20 mikron) "mengambang"
dalam matriks lumpur halus-halus kapur. Wackestone adalah matriks yang
didukung batuan karbonat yang mengandung lebih dari 10% allochems dalam
matriks lumpur karbonat.
3. Boundstone
Boundstone merupakan hubungan antar komponen yang tertutup dengan
rapat (oolite).
4. Grainstone
Grainstone merupakan hubungan antar komponen tanpa lumpur yang
sering disebut batuan karbonat bebas lumpur, yang didukung butir. Grainstone
terbentuk pada kondisi energi yang tinggi, butiran-produktif lingkungan di mana
lumpur tidak dapat terakumulasi. Grainstones mempunyai tekstur berpori dan
dikenal sebagai karbonat yang terdapat pada sekitar pantai.
5. Packstone
Packstone merupakan lumpur, tetapi yang banyak adalah betolit. Butirbutirnya didukung batuan karbonat berlumpur. Packstone penting dalam
memahami kualitas reservoir karena lumpur plugs ruang partikel pori.
Packstones menunjukkan berbagai sifat pengendapan. Lumpur menunjukkan
proses energi yang lebih rendah, sedangkan kelimpahan butir menunjukkan
16
proses energi yang lebih tinggi. Packstone berasal dari wackestones dipadatkan,
yaitu proses akibat dari infiltrasi lumpur awal atau akhir dari sebelum disimpan,
lumpur bebas sedimen terbentuk dalam air yang tenang, atau hasil pencampuran
dari berbagai lapisan sedimen.
2.3.2.2. Klasifikasi Embry dan Klovan
Klasifikasi Embry dan Klovan merupakan pengembangan klasifikasi
Dunham
dengan membagi batu gamping menjadi dua kelompok besar yaitu
autochtonus dan allochtonus yang komponen penyusunnya tidak terikat secara
organis selama proses sedimentasi (Gambar 2.3). Embry dan Klovan membagi
bounstone menjadi tiga kelompok yaitu frame stone, bindstone, dan bafflestone
berdasarkan atas komponen utama yang berfungsi sebagai perangkap sedimen
serta penambahan nama kelompok batuan yang mengandung komponen
berukuran lebih dari 2 mm sebanyak 10% dengan nama batuan rudstone dan
floatsone.
Gambar 2.3. Klasifikasi Embry dan Klovan
Boundstone merupakan batu gamping yang terikat oleh ganggang, karang,
atau organisme uniseluler ketika terbentuk. Boundstone ditemukan di daerah
sekitar terumbu karang, dan daerah yang terumbu karang 2,5 sampai 3 juta tahun
17
lalu. Tergantung bahan organik dalam sedimen ketika batu terbentuk dan jenis
bahan organik, boundstone diklasifikasikan sebagai framestone, bindstone, atau
bafflestone.
1. Framestone
Organisme dari organik fosil, dalam karang laut, yang terjadi berdekatan
dengan spons terikat oleh kerak mikroba dan pasir yang mengeras. Ruang antara
bertahap diisi dengan pasir, sedimen dan kristal kalsit. Kurun waktu yang lama,
air surut dan struktur terus menerus terkena udara dan penyemenan alami dari
padat sedimen diawetkan sisa-sisa bahan organik sebagai fosil.
2. Bindstone
Hasil organisme yang mengikat sedimen hingga lepas bersama-sama,
ditandai dengan adanya dispersi. Bindstone umumnya adalah ganggang yang
bersama dengan lapisan lumpur dan kalsit dengan besar pori-pori yang disebabkan
oleh gelembung gas yang menjadi terperangkap dalam sedimen selama
pembentukan. Stromatolit berupa gundukan fosil alga berlapis dan sedimen yang
bentuk paling umum dari bindstone. Bindstone kebanyakan berorientasi secara
vertikal. Bindstone merupakan jenis yang paling banyak ditemukan dari
boundstone.
3. Bafflestone
Bafflestone
terikat
sedimen
berdinding
tebal
berupa
karang
berbentuk paralel sehingga hanya sedimen halus yang melewatinya. Akibatnya,
komposisi bafflestone, selain karang fosil, sebagian besar pasir alami-semen dan
lumpur. Pasir alami-semen terdiri dari kalsit homogen dan lumpur terdiri dari
campuran residu tertinggal setelah lumpur karbonat yang disaring. Struktur unik
dari bafflestone yaitu terbentuk pada dan di sekitar koloni-vertikal tumbuh karang
dan terbatas pada individu kecil.
18
2.4. Penggunaan Batu Gamping
Batu gamping dalam penggunaannya memiliki persyaratan komposisi atau
sifat kimia sesuai dengan peruntukan seperti kadar CaO, kehadiran unsur pengotor
(Mg, Al, Fe, P, S, Na, K dan F), mineral pengotor (kuarsa, pirit, dan markasit) dan
sifat fisik (kecerahan, ukuran butir, kuat tekan, keausan,). Penggunaan batu
gamping dari sifat fisik dan mutu batu gamping sebagai bahan pengerasan jalan di
lakukan dengan membuat sampel batu gamping menjadi agregat berukuran kasar,
dan halus.
Persyaratan batu gamping dijadikan bahan baku semen dengan CaCO3
dengan kadar 50%-55%, MgO dengan kadar maksimum 2%, Fe2O3 dengan kadar
2,47 % dan Al2O3 dengan kadar 0,95 %.
Batu gamping dalam peleburan dan pemurnian logam sebagai bahan
imbuh pada tanur tinggi dan pengikat gas dibutuhan batu gamping yang keras.
Batu gamping yang dibutuhkan adalah dengan kadar CaO minimum 52%, SiO2
maksimum 4,00%, Al2O3 + Fe2O3 maksimum 3,00%, MgO maksimum 3,50%,
Fe2O5 maksimum 0,65%, P maksimum 0,10% (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara, 2011).
2.5. Metode Geolistrik
Metode geolistrik adalah metode geofisika yang didasarkan pada
penerapan konsep kelistrikan pada masalah kebumian. Tujuannya adalah untuk
memperkirakan sifat listrik medium atau formasi batuan di bawah permukaan
terutama kemampuannya untuk menghantarkan atau menghambat arus listrik.
Penginjeksikan arus listrik DC dengan tegangan tinggi ke dalam tanah dilakukan
melalui dua batang elektroda arus A dan B yang ditancapkan ke dalam tanah
dengan jarak tertentu. Aliran arus listrik akan menimbulkan beda potensial listrik
antara dua titik di permukaan tanah.
Beda potensial listrik yang terjadi antara elektroda A dan B dengan jarak
tertentu diubah menjadi lebih besar maka beda potensial listrik yang timbul pada
elektroda M dan N ikut berubah sesuai dengan informasi jenis batuan yang dialiri
arus listrik pada kedalaman yang lebih besar. Berdasarkan hukum Ohm, beda
19
potensial yang timbul berbanding lurus dengan besar arus yang diinjeksikan, dan
berbanding lurus dengan hambatan listrik medium yang dialiri oleh arus listrik.
Besar hambatan listrik medium berbanding lurus dengan resistivitas listrik
medium yang dilalui. Beda potensial yang timbul berbanding lurus dengan besar
resistivitas listrik medium yang dialiri oleh arus listrik. Asumsi yang dibuat bahwa
kedalaman lapisan batuan yang ditembus oleh arus listrik sama dengan separuh
dari jarak antara A dan B (AB/2), maka diperkirakan pengaruh dari injeksi aliran
arus listrik berbentuk setengah bola dengan jari-jari AB/2.
Metode geolistrik sering menggunakan 4 batang elektroda yang terletak
dalam satu garis lurus serta simetris terhadap titik tengah, yaitu dua batang
elektroda arus (AB) di bagian luar dan dua batang elektroda tegangan (MN) di
bagian dalam.
Pengukuran resistivitas metode geolistrik dapat dilakukan untuk tujuan
berbeda sesuai dengan metode geolistrik dan konfigurasi elektroda yang
digunakan. Metode geolistrik memiliki tiga teknik pengukuran yaitu, profiling
atau mapping, sounding, dan imaging (Telford, dkk, 1990). Model dimensi yang
ingin diperoleh dalam interpretasi bawah permukaan, dikenal ada tiga jenis teknik
pengukuran resistivitas listrik yaitu 1D, 2D dan 3D (Loke, 2000).
Pengukuran resistivitas listrik 1D diasumsikan arus listrik mengalir dalam
medium homogen isotropi di bawah permukaan bumi yang terdiri atas medium
yang berlapis-lapis secara horisontal. Pengukuran 1D dikenal dua teknik yaitu
teknik Vertical Sounding dan teknik Lateral Profiling. Teknik pengukuran
Vertical Sounding atau Vertical Electrical Sounding (VES) bertujuan untuk
memperkirakan variasi resistivitas listrik sebagai fungsi kedalaman pada suatu
titik pengukuran. Teknik pengukuran 1D titik tengah konfigurasi elektroda diatur
tetap, untuk memperoleh penetrasi lebih dalam maka jarak antara elektrodaelektroda diperlebar (Loke, 2000; Attwa, dkk, 2014). Teknik sounding
diasumsikan resistivitas listrik medium hanya berubah pada arah vertikal dan
tidak berubah pada arah lateral. Konfigurasi elektroda yang sering digunakan
dalam teknik pengukuran sounding adalah konfigurasi Schlumberger.
20
Teknik pengukuran lateral profiling dilakukan untuk mengetahui variasi
resistivitas listrik secara lateral. Pada teknik lateral biasanya menggunakan
konfigurasi Wenner, dengan jarak antara elektroda tetap. Teknik profiling dikenal
sebagai constant separation tranversing (CST) atau teknik mapping. Teknik
mapping menggunakan spasi antara elektroda-elektroda dibuat tetap, kemudian
seluruh konfigurasi elektroda dipindahkan sepanjang garis lurus untuk
memperoleh informasi perubahan resistivitas listrik secara lateral (Loke, 2000).
Interpretasi data yang diambil dengan teknik profiling, diasumsikan resistivitas
listrik medium tidak berubah dalam arah vertikal. Keadaan sebenarnya di alam,
kondisi geologi bawah permukaan sangat kompleks dimana resistivitas listrik
dapat berubah dengan cepat dalam jarak yang pendek.
Studi resistivitas listrik 2D dilakukan untuk mengidentifikasi perubahan
resistivitas listrik bawah permukaan baik ke arah lateral maupun vertikal
sepanjang lintasan survey (Metwaly dan Alfauzan , 2013). Interpretasi data hasil
pengukuran diasumsikan resistivitas listrik tidak berubah pada arah tegak lurus
lintasan
survey.
Model
interpretasi
menghasilkan
profil
dua
dimensi
(pseudosection) yang menggambarkan perubahan resistivitas listrik semu medium
di bawah permukaan ke arah lateral dan vertikal dalam bentuk kontur sepanjang
lintasan
survey.
Teknologi
peralatan
geolistrik
digital
yang
dikontrol
mikroprosesor serta dilengkapi dengan sistim multi-elektroda dan multi-core
cable, sehingga pengukuran resistivitas listrik 2D dapat dilakukan secara efektif
dan efisien. Konfigurasi elektroda pengukuran resistivitas listrik 2D dengan jarak
antara elektroda yang berbeda-beda dapat dilakukan secara cepat, sehingga
diperoleh informasi variasi resistivitas listrik secara lateral dan vertikal. Istilah
studi resistivitas listrik 2D disebut 2D Electrical Imaging Survey (Loke, 2000).
Studi 2D digunakan untuk memperoleh profil dua dimensi bawah permukaan
yang baik, pengukuran dilaksanakan secara sistimatik dan dibuat seluruh
kemungkinan pengukuran.
Aliran listrik pada suatu formasi batuan dapat terjadi terutama karena
adanya fluida elektrolit pada pori-pori atau rekahan batuan. Oleh karenanya
resistivitas listrik suatu formasi batuan bergantung pada porositas batuan serta
21
jenis fluida pengisi pori-pori batuan. Batuan berpori yang berisi air atau air asin
akan lebih konduktif (resistivitas listrik-nya rendah) dibanding batuan yang sama
dengan pori-pori yang hanya berisi udara. Resistivitas dipengaruhi temperatur
tinggi yang menurunkan resistivitas listrik batuan secara keseluruhan akibat
meningkatnya mobilitas ion-ion penghantar muatan listrik pada fluida yang
bersifat elektrolit.
Metode geolistrik untuk arus yang masuk diasumsikan melewati medium
bumi. Besar resistivitas listrik suatu batuan tergantung pada kondisi medium bumi
seperti kering, basah, retak-retak, padat, cair, dan jenis material seperti densitas,
porositas, ukuran dan bentuk pori-pori batuan, kandungan air, kualitas dan suhu.
Faktor geologi yang menentukan resistivitas listrik batuan seperti umur batuan,
tekstur batuan dan proses geologi seperti alterasi, pelapukan, pelarutan dan
metamorfisme (Loke, 2000). Nilai resistivitas listrik suatu batuan merupakan
kisaran besaran. Namun demikian metode geolistrik sudah berhasil digunakan
untuk penyelidikan hidrologi seperti penentuan akuifer, adanya kontaminasi,
penyelidikan mineral, dan studi arkeologi. Survey geolistrik untuk mengetahui
resistivitas bawah permukaan bumi dengan melakukan pengukuran di permukaan
bumi dengan menggunakan dua elektroda potensial dan dua elektroda arus untuk
setiap jarak elektroda yang berbeda dapat digunakan untuk menurunkan variasi
harga resistivitas lapisan di bawah titik ukur (sounding point) untuk kawasan karst
memiliki nilai tahanan jenis tinggi 50 Ωm –1x107 Ωm sehingga dapat dibedakan
daerah lempung dan karbonat (Farooq, dkk, 2012). Pencarian sungai bawah tanah
di daerah karst dengan indikasi resistivitas rendah untuk aliran air bawah
permukaan (Andriyani, dkk, 2010).
Asumsi dapat memberikan gambaran bahwa pada saat melakukan
pengukuran, besar resistivitas listrik yang diperoleh akan menunjukkan besar
resistivitas listrik sejati yang tidak bergantung pada jarak elektroda potensial yang
digunakan. Pengukuran tidak berlaku pada kondisi bumi yang sesungguhnya.
Pada kondisi bumi yang sesungguhnya bumi terdiri atas lapisan-lapisan dengan
resistivitas listrik yang berbeda. Perbedaan lapisan bumi menyebabkan resistivitas
listrik yang terukur bergantung pada jarak elektroda potensial, sehingga
22
potensialnya merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Besar resistivitas
listrik yang didapat pada saat pengukuran adalah resistivitas listrik semu
(apparent resistivity).
2.5.1. Konfigurasi Wenner-Schlumberger
Pengukuran sounding adalah pengukuran bawah permukaan dengan tujuan
untuk mengetahui perubahan resistivitas listrik secara vertikal ke bawah dengan
kedalaman yang cukup dalam, konfigurasi yang cocok digunakan adalah
konfigurasi Schlumberger, seperti pada Gambar 2.4. Konfigurasi Schlumberger
pemindahan elekroda tidak perlu semuanya dipindahkan, cukup elektroda arus (A
dan B) yang dipindahkan sedangkan elektroda potensial (M dan N) tetap.
Konfigurasi Schlumberger jarak ideal antara elektroda M dan N dibuat sekecil
mungkin, sehingga jarak antara elektroda M dan N secara teoritis tidak berubah,
tetapi karena keterbatasan kepekaan alat ukur, maka ketika jarak antara elektroda
A dan B sudah relatif besar maka jarak antara elektroda M dan N dirubah.
Perubahan jarak antara elektroda M dan N tidak lebih besar dari 1/5 jarak antara
elektroda A dan B (Loke, 2000). Penggunaan konfigurasi Schlumberger
pemindahan elektroda tidak terlalu sulit dan tidak terlalu jauh untuk mengetahui
sampai ke kedalaman tertentu.
Konfigurasi Schlumberger pada Gambar 2.4. memberi keunggulan
mendeteksi adanya non-homogenitas lapisan batuan pada permukaan, yaitu
dengan membandingkan nilai resistivitas listrik ketika terjadi perubahan jarak
elektroda MN/2. Agar pembacaan tegangan pada elektroda MN dapat dipercaya,
maka ketika jarak AB relatif besar maka jarak elektroda MN diperbesar.
Konfigurasi Schlumberger untuk resistivitas listrik semu medium paruh ruang
ditentukan dengan persamaan:
(2.1)
dengan:
(
)
23
dan
AB = jarak elektroda arus (m)
MN = jarak elektroda potensial (m)
K = faktor geometrik sebagai fungsi a dan b
Gambar 2.4. Konfigurasi Schlumberger
Konfigurasi Wenner menggunakan jarak antara elektroda A dan M, jarak
antara elektroda M dan N dan jarak antara elektroda N dan A dibuat sama, lalu
semua elektroda A, M, N dan A dipindahkan secara bersama sama dengan jarak
antara elektroda dibuat tetap. Dengan demikian dengan konfigurasi Wenner akan
diperoleh informasi perubahan resistivitas listrik secara horizontal, dan teknik
pengukuran ini dikenal sebagai profiling. Susunan elektroda dalam konfigurasi
Wenner dan Schlumberger diberikan pada Gambar 2.5.
24
Gambar 2.5. Susunan Elektroda pada konfigurasi Wenner dan Schlumberger
Konfigurasi Wenner–Schlumberger merupakan hybrid antara konfigurasi
Wenner dan konfigurasi Schlumberger, dan termasuk konfigurasi yang relative
baru dalam studi pencitraan. Konfigurasi Sclumberger merupakan konfigurasi
yang paling sering digunakan dalam studi sounding. Bentuk susunan elektroda
Schlumberger dapat digunakan pada system dengan jarak elektroda yang tetap.
Faktor n untuk susunan elektroda ini merupakan nilai banding antara jarak antara
elektroda A dan M (atau elektroda B dan N) dengan jarak antara elektroda
potensial M dan N. Sedangkan dalam konfigurasi Wenner nilai n merupakan
keadaan khusus dengan faktor n = 1.
Konfigurasi Wenner–Schlumberger memiliki cakupan data horizontal
yang lebih luas dibandingkan konfigurasi Wenner. Untuk konfigurasi Wenner
dalam setiap pertambahan kedalaman akan berkurang 3 titik data, sedangkan
dalam konfigurasi Wenner–Schlumberger hanya berkurang 2 titik data.
Perbandingan antara cakupan data pada konfigurasi Wenner dan konfigurasi
Wenner–Schlumberger diberikan pada Gambar 2.6.
25
Gambar 2.6. Perbandingan Cakupan Data antara Konfigurasi
Wenner dan Wenner – Schlumberger.
2.6. Resistivitas Batuan
Sifat fisika batuan dan mineral memiliki resistivitas bervariasi. Nilai
reisitivitas batuan tergantung dari macam-macam materialnya, densitas, porositas,
ukuran dan bentuk pori-pori batuan, kandungan air, kualitas dan suhu. Jenis setiap
batuan pada akuifer yang terdiri atas material lepas mempunyai harga tahanan
jenis yang berkurang apabila makin besar kandungan air atau makin besar
kandungan garamnya. Mineral lempung bersifat menghantarkan arus listrik
sehingga harga tahanan jenis akan kecil. Variasi resistivitas bahan menurut
(Milsom, 2003; Telford, dkk,1990; Raynold, 1997) ditunjukkan pada Lampiran E.
2.7. Mekanika Batuan
Mekanik batu dibutuhkan untuk mengetahui sifat-sifat mekanik batuan dan
massa batuan yang menyebabkan batuan memiliki peran yang dominan dalam
operasi penambangan seperti pekerjaan penerowongan, pemboran, penggalian,
dan peledakan. Sifat mekanik batuan dilakukan dengan uji kuat tekan uniaksial.
26
Tujuan utama uji kuat tekan unaksial adalah untuk mendapatkan nilai kuat
tekan dari batuan. Harga tegangan pada saat batuan hancur didefenisikan sebagai
kuat tekan uniaksial batuan dan diberikan oleh hubungan:
(2.2)
Dimana
σ = Kuat tekan uniaksial (MPa)
F = Gaya yang bekerja pada saat contoh batuan hancur (kN)
A = Luas penampang awal batuan yang tegak lurus arah gaya (m2)
Download