BAB II KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, JAMINAN SERTA FIDUSIA A. Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian Dalam lintas hukum, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa belanda yaitu “overeenskomst”. Overeenskomst biasanya di terjemahkan dengan perjanjian atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para pihak dalam perjanjian yang akan di adakan telah sepakat tentang apa yang mereka sepakati berupa janji-janji yang di perjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama setuju tentang segala sesuatu yang di perjanjikan.1) Pengertian perjanjian atau kontrak di atur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih2)." Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:3) 1). tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian, 2). tidak tampak asas konsensualisime, dan ; 3). bersifat dualisme. Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam 1) Tim Pengajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Buku Ajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 8. 2) Merujuk Terjemahan BW dalam bahasa Indonesia Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001. 3) Salim HS, Perkembangan Teori Dalam Ilmu Hukum, Raja Grafindo Persada,Jakarta,2010,hlm.163. doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah "Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum". 4) Kata “perbuatan” yang terdapat dalam Pasal tersebut mencakup juga tanpa konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam Pasal ini juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak jelas mengikatkan diri untuk apa. R Setiawan mengusulkan untuk menambah katakata dalam perjanjian itu sebagai berikut : perbuatan itu harus diartikan sebagai perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya.5) Perumusan pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih.6) Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang diberikan Pasal 1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing. Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain : R. Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7) Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap 4) 5) Salim HS, Ibid., hlm. 164. R Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm, 4 6) R. Subekti, Hukum Perjanjian, Inter Nusa, Jakarta,1987,hlm.1. 7) Ibid. berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”8) Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”9) 2. Jenis-Jenis Perjanjian. Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok bagi kedua belah pihak misalnya :perjanjian jual-beli. 1) Perjanjian Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPerdata) Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi salah satu pihak saja Misalnya: hibah 2) Perjanjian Atas Beban Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua prestasi itu ada hubungannya menurut hukum. 3) Perjanjian Bernama (Benoemd) Perjanjian khusus adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri. Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut di atur dan diberi nama oleh pembentuk Undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak 8) Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1986, hlm, 9. Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bandung,1991,hlm.23. 9) Bakti, terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus ini terdapat dalam BabV s/d Bab XVIII KUHPerdata. 4) Perjanjian Tidak Bernama Di luar perjanjian bernama,tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu perjanjian-perjanjian yang tidak di atur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat di dalam masyarakat. Lahirnya perjanjian ini di dalam praktik adalah berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan perjanjian atau partijotonomi. 5) Perjanjian Obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat, mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain. 6) Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membeBankan kewajiban (oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain (levering,transfer). 7) Perjanjian Konsensual Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan 8) Perjanjian Riil Perjanjian riil ini adalah sisa dari hukum Romawi yang untuk perjanjianperjanjian tertentu diambil alih oleh Hukum Perdata kita. 9) Perjanjian Liberatoir Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada misalnya pembebasan utang (Pasal1438KUHPerdata) 3. Syarat Sah Perjanjian Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 10) Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).11) Pengaturan tentang Perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga mengatur perikatan yang timbul dari Undang-undang misalnya tentang perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan Undangundang. Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya perjanjian adalah asas kebebasan berkontrak. Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi perjanjian12) Namun, kebebasan 10) 11) 12) Subekti , Op.Cit, hlm.1. Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 2. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 ayat (1). tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan13) Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyiratkan adanya 3 (tiga) asas yang seyogyanya dalam perjanjian:14) a) Mengenai Terjadinya Perjanjian b) Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH Perdata perjanjian hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak (consensus, consensualisme). c) Tentang akibat perjanjian Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah. di antara para pihak, berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. d) Tentang Isi Perjanjian Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-vrijheid atau partijautonomie) yang bersangkutan. Dengan kata lain, selama perjanjian itu tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepentingan umum, dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Jadi, semua perjanjian atau seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi 13) 14) Ibid., Pasal 1337. Ibid. para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah kontrak. Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian harus berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu: 1) Kesepakatan (Toesteming/ izin) kedua belah pihak. Syarat pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki dalam hal mendapatkan hak dan kewajiban yang sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak yaitu dengan : (1) .Bahasa yang sempurna dan tertulis; (2). Bahasa yang sempurna secara lisan; (3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya; (4) .Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya; (5) .Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak lawan.15) Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun terdapat kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan, sehingga memungkinkan perjanjian tersebut dimintakan 15) Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, 2004,hlm.33. pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan penyalahgunaan keadaan.16) 2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan kecakapan merupakan kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum. Orangorang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh Undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21 Tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata, dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan sebagai orang yang belum dewasa, tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian : (1) .Orang-orang yang belum dewasa; (2) .Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan; (3) .Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah melarang membuat perjanjian tertentu. Dari sudut dan rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian dan akan terikat dengan perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk menginsafi benar-benar akan akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan 16) Pasal 1321, Pasal 1449 BW perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang membuat perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat dengan harta kekayaannya17) Berkenaan dengan huruf c dalam Pasal 1330 KUH Perdata, mengenai hak perempuan dalam hal yang ditetapkan dengan undang-undang sekarang ini, tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan laki-laki disamakan dalam hal membuat orang-orang perjanjian, sedangkan untuk yang dilarang oleh perjanjian, untuk membuat perjanjian tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi hanya berwenang membuat perjanjian tertentu.18) 3) Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenkomst) Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban debitor dan apa yang menjadi hak kreditor. Berdasarkan Pasal 1234 BW, prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, prestasi itu terdiri atas: a) Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu; b) Berbuat sesuatu; dan c) Tidak berbuat sesuatu Menurut Ahmadi Miru19) ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelasjelas adalah metode, tekhnik atau cara sehingga prestasi itu terwujud. Lebih 17) 18) 19) Subekti, Hukum perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 18. Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963. Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta,2004. hlm. 68. tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa. Sedangkan untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar rumah yang bertetangga.” d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak) Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Menurut Subekti ; Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi maka perjanjian ini batal demi hukum.20) Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram dalam Hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan nilai kepatutan. Bertentangan dengan Undang-Undang sering disamakan dengan istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan hanya yang tertulis. Berdasarkan penafsiran luas tentang Pengertian Perbuatan Melawan Hukum oleh Hoge Raad (Mahkamah Agung) Negeri Belanda terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen, maka pengertian perbuatan melawan 20) Subekti, Op.Cit,2003, hlm.21 hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi juga perbuatan : a. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum; b. Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; c. Yang bertentangan dengan kesusilaan; d. Yang bertentangan dengan sikap yang baik dalam masyarakat untuk memperhatikan kepentingan orang lain. 4. Asas-Asas Perjanjian Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian tidak bernama, Pasal 1338 KUHPerdata : a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya. b) Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang olesh undangundang dinyatakan cukup untuk itu c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik” Di dalam istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas “partij autonomie”. Pasal 1338 KUHPerdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya dengan Pasal 1319 KUHPerdata. Istilah “secara sah” pembuat undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Di sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum. 1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaumEpicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.21) Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme par l’homme. 21) Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.II, Sinar Grafika, Jakarta, 2004,hlm.9. Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah pengemban kepentingan umum sebagai menjaga keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan hukum kontrak/perjanjian. 2. Asas Konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Pada Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian. 3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja. 4. Asas Itikad Baik (good faith) Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata berbunyi:“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas yang ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi) Jerman setelah Perang Dunia I.22) 5 Asas Kepribadian (personality) Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal 1315 KUHPerdata menegaskan: Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan: 22) Ibid, hlm.11. Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu. Pasal ini mengkonstruksikan bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal 1318 KUHPerdata, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika dibandingkan kedua Pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang lingkup yang luas. 1. Asas-Asas Hukum Perikatan Nasional Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam LokakaryaHukum Perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional. 2. Asas Kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari. 3. Asas Persamaan Hukum Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. 4. Asas Kesimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. 10. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi yang membuatnya. 11. Asas Moralitas Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitor. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. 12. Asas Kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. 13. Asas Kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. 14. Asas Perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor dan kreditor harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitor karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas di atas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak. 5. Wanprestasi dan Akibatnya Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada sebuah perikatan. Apabila debitor tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).Wanprestasi seorang debitor dapat berupa 4 macam yaitu : a) Sama sekali tidak memenuhi prestasi; b) Tidak tunai memenuhi prestasi; c) Terlambat memenuhi prestasi; d) Keliru memenuhi prestasi; Dalam praktik dilapangan, untuk menentukan seorang debitor melakukan wanprestasi terkadang tidak selalu mudah, karena kapan debitor harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli suatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang harus dijualnya pada pembeli dan kapan pembeli harus membayar barang yang dibelinya itu kepada penjual. Lain halnya dalam menetapkan kapan debitor wanprestasi padaperjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya untuk tidak membangun tembok yang tinggi lebih dari 2 meter, sehingga begitu debitor membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sejak itulah ia dikatakan dalam keadaan wanprestasi. Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat sesuatu yang tidak menetapkan kapan debitor harus memenuhi prestasi itu, sehingga untuk pemenuhan prestasi tersebut debitor harus lebih dahulu diberi teguran agar ia memenuhi kewajibannya.Jika prestasi dalam perjanjian tersebut seketika dipenuhi, misalnya penyerahan sesuatu benda yang diberi dan benda yang akan diserahkan sudah ada,prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi seketika. Akan tetapi, jika prestasi dalam perjanjian itu tidak dapat dipenuhi seketika, misalnya benda yang harus diserahkan masih belum berada di tangan debitor, kepada debitor (perusahaan) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi prestasi tersebut. Tentang bagaimana caranya memberikan teguran tentang (sommatie/ ingebrekestelling) terhadap debitor agar jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, di atur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta sejenis. Apabila debitor dalam keadaan wanprestasi, kreditor dapat memilih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yaitu: a. Pemenuhan perikatan; b. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian; c. Ganti kerugian; d. Pembatalan perjanjian timbal balik; e. Pembatalan ganti kerugian; Bilamana kreditor hanya menuntut ganti kerugian, ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian. sedangkan jika kreditor hanya menuntut pemenuhan perikatan, tuntutan ini sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalain, sebab pemenuhan perikatan memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitor untuk melaksanakannya. Menurut subekti yang menjadi persoalan di sini adalah ; seandainya debitor memang telah menerima teguran agar melaksanakan perikatan, tetapi setelah waktu yang pantas diberikan keadaannya untuk memenuhi perikatan tersebut telah lewat, tetapi prestasi belum juga terpenuhi, apakah debitor setelah itu masih berhak melaksanakan perikatan.23) Para ahli hukum dalam hal ini sepakat bahwa apabila kreditor menyatakan masih bersedia menerima pelaksanaan perikatan tersebut, debitor masih dapat melaksanakan perikatan itu. Jika pernyataan kesediaan menerima pelaksanaan 23) R. Subekti, Op.Cit. perikatan itu tidak ada, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda, apakah debitor dapat melaksanakan perikatan itu dan dengan membayar ganti rugi, sebelum ada tuntutan kreditor di muka pengadilan untuk membatalkan perjanjian dengan ganti kerugian. Diephuis, Brakel Opzoormer, Asser-Losecat-Vermeer, Van dan Suyuling serta Hoge Raad di negeri Belanda menyatakan bahwa debitor tidak lagi dapat melaksanakan perikatan itu dan kreditor tidak dapat dipaksa untuk menerima pelaksanaan perikatan itu. Asser-Goudoever dan Hofman berpendapat sebaliknya yaitu dengan mendasarkan kepada kepatutan, bahwa debitor masih dapat melaksanakan perikatan tersebut dan kreditor sepatutnya menerima pula pelaksanaan perikatan itu24) Pendapat terakhir inilah yang diikuti oleh ahli-ahli hukum Indonesia seperti yangdiungkapkan Wirdjono Prodjodikoro dan Subekti, yang sama-sama pernahmenjadi Ketua Mahkamah Agung RI dan dikenal sebagai ahli hukum perdata Indonesia.25) Pendapat inilah yang lebih sesuai dengan kepatutan dan rasa keadilan yang dikehendaki Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata sebagai pedoman dalam pelaksanaan perjanjian. 6. Keadaan Memaksa (force majeure, overmacht ) a. Pengertian Keadaan Memaksa Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan ketika debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti gempa 24) 25) Ibid, Ibid, bumi, banjir, tanah longsor,dan lain-lain. Menurut Wirjono Prodjodikoro.26)keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan hukum tidak dapat dilaksanakan. b. Dasar Hukum Keadaan Memaksa Ketentuan tentang keadaan memaksa di atur dalam Pasal 1244-1245 KUH Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi: Jika ada alasan untuk itu, si berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu yang tepat dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk tidaklah ada pada pihaknya. Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi: Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang terlarang. Teori-Teori Keadaan Memaksa yaitu : 1). Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid). Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa27) adalah suatu keadaan tidak mungkin melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan. Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu: (1). Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid), ketidakmungkinan absolut yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari debitor untuk melakukan prestasinya pada kreditor. 26) 27) Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Bale Bandung,1990,hlm 4 Subekti, Op.Cit. 2003 (2). Ketidakmungkinan relative atau ketidakmungkinan subjektif (relative onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitor untuk memenuhi prestasinya. 2).Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld). Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitor atau overmacht peniadaan kesalahan. c. Macam-Macam Keadaan Memaksa 1).Keadaan Memaksa Absolut Keadaan memaksa absolut28) adalah suatu keaaan dimana debitor sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditor, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali tidak dapat membayar utangnya pada si B. Keadaan mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam memaksa perhubungan hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan bagaimanapun juga, maka keadaan memaksa itu dinamakan “absolut”.Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam). 2).Keadaan Memaksa yang Relatif Keadaan memaksa yang relatif 29) adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi 28) 29) Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa ,Jakarta ,2001,hlm.34. Ibid, pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD, dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajibankewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap keadaan memaksa yang relatif ini, sangat tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan hukum yang bersangkutan. Misalnya, seorang tukang berjanji akan membikin rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu pembikinan rumah itu sedang berjalan segenap buruh-buruhnya bersama-sama mogok. Apakah oleh karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembikinan rumah adalah lenyap. Kalau dapat dikatakan, bahwa tukang pembikin rumah harus mempekerjakan lain-lain buruh, bagaimanapun mahalnya upah buruhburuh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa. Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari persetujuan anatara kedua belah pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan yang sedemikian besarnya, tidak patut dibeBankan kepada si tukang pembikin rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa adalah keadaan memaksa. Terjadinya keadaan memaksa dapat dikira-kirakan oleh siapapun juga secara objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan usaha apapun juga, maka dapat dikatakan bahwa dari pihak yang berkewajiban itu sama sekali tidak ada kesalahan, dan seharusnya ia dibebaskan sama sekali dari pertanggung jawaban. Sebaliknya, kalau keadaan memaksa itu secara objektif dapat dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa boleh jangan sampai keadaan memaksa itu terjadi, maka dapatlah si berwajib itu dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan mengangkut barangbarang berjanji akan mengangkut barang-barang dari suatu kota ke lain kota, dan sudah diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan antar dua kota itu sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang angkutan, maka patutlah apabila si pengangkut barang itu seberapa boleh berusaha untuk menghidarkan perampokan itu misalnya mengadakan pengaawal yang bersenjata api. Kalau usaha ini sama sekali tidak dilakukan, maka kalau kemudian betul terjadi perampokan atas barang-barang yang diangkut itu, si pengangkut dapatlah dipertangunggjawabkan atas keadaan memaksa yang menyebabkan barang-barang itu tidak sampai di tempat yang dimaksudkan. 3) Akibat Keadaan Memaksa (1).Akibat Keadaan Memaksa Absolut.30) 30) Salim H.S, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU),Sinar Grafika, Jakarta,2008,hlm.34. Debitor tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata) Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata. (2). Akibat Keadaan Memaksa Relatif 31) Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara. Contoh Kontrak Keadaan Memaksa Berikut ini disajikan contoh kontrak yang memuat klausul tentang keadaan memaksa: Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) Pekerjaan Konsultan Pendamping Kabupaten (KP-Kab) Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Proyek Eknomi Pemberdayaan (PDM-DKE) Kabupaten Dompu Tahun 2000. Dalam kontrak ini telah ditentukan aturan yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Ketentuan yang mengatur tentang hal itu tertuang dalam Pasal 13 yang menyatakan : a) Jika terjadi keadaan memaksa, pihak kedua akan dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian pekerjaan. b) Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat di atas adalah keadaan atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan pihak kedua untuk dapat mengatasinya sehingga dapat dipertimbangkan kemungkinan adanya perubahan waktu pelaksanaan. c) Yang dapat dianggap force majeure adalah: 31) Ibid, kemungkinan- 1) Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, dan banjir). 2) Kebakaran. 3) Perang, huru-hara, pemberontakan, pemogokan, dan epidemi (wabah penyakit). 4) Tindakan pemerintah di bidang moneter yang langsung mengakibatkan kerugian luar biasa. d).Untuk kelancaran pekerjaan, penentuan keadaan memaksa dalam halhal dia atas dapat diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah pihak. Keadaan memaksa bencana dan peperangan, tetapi juga erat kaitannya dengan alam tidak hanya dikonstruksikan sebagai kebijakan pemerintah di bidang moneter. Bidang moneter merupakan bidang yang berkaitan dengan uang atau keuangan. Dengan adanya kebijakan ini, maka pihak kedua dapat mengelak untuk melaksanakan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati antara pihak pertama dengan pihak kedua. 7. Berakhirnya Perjanjian Berakhirnya perjanjian di atur di dalam Bab XII Buku III KUH Perdata. Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu : a. Pembayaran b. Penawaran tunai disertai dengan penitipan c. Pembaharuan utang d. Perjumpaan utang e. Percampuran utang f. Pembebasan utang g. Musnahnya benda yang terutang h. Kebatalan/pembatalan i. Berlakunya syarat batal j. Kadaluarsa atau lewat waktu Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan. Pada dasarnya pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUH Perdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi yang penting adalah utang itu harus dibayar. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitor. Dalam hal ini si kreditor menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditor menolak menerima pernbayaran, maka debitor secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang kepada Notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditor untuk melaksanakan pembayaran. Jika kreditor menolak, maka dipersilakan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditor menolak juga, rnaka hal ini dicatat dalam berita acara tersebut, hat ini merupakan bukti bahwa kreditor menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitor meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitor terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus. Pembaharuan utang (raovasi)32) adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengn perjanjian lain. Dalam hat para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru. Dalam hal terjadinya perjumpaan utang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditor dan debitor saling mempunyai utang dan piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan utang untuk uatu jumlah yang sama. Hal ini rerjadi jika antara kedua utang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika. Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditor dan debitor pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan dehitur pada satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran utang sesuai dengan Pasal 1435 KUH Perdata. Pembebasan utang terjadi apabila kreditor dengan tegas menyatakan bahwa la tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitor. Jika si debitor menerima pernyataan si kreditor maka berakhirlah perjanjian utang piutang diantara mereka. Terjadinya musnah barang-barang yang menjadi utang debitor, maka perjanjian juga dapat hapus. Dalam hal demikian debitor wajib membuktikan bahwa musnahnya barang tersebut adalah di luar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga meskipun di tangan kreditor. Jadi dalam hal ini si debitor telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada seperti semula, hal ini disebut dengan risiko. 32) Salim H.S, Hukum Kontrak & Teori Penyusunan Kontrak ,Sinar Grafika, Jakarta,2009,hlm.45. Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau,batal demi hukum. Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjia.n itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula. Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembati kepada keadaan semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi. Daluarsa adalah suatu upaya untuk rnemperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KUH Perdata). Perjanjian tersebut telah dipenuhi salah satu unsur dari hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan di atas, maka perjanjian tersebut berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian tersebut para piuak terbebas dari hak dan kewajiban masing-masing. B. Perihal Jaminan 1. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditor menjamin dipenuhinya tagihannya, di samping pertanggungan jawab umum debitor terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal juga dengan agunan. Istilah agunan dapat di lihat di dalam Pasal 1 angka (23) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu agunan adalah :“Jaminan tambahan diserahkan debitor kepada Bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkann prinsip syariah.” Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari Bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitor kepada Bank, jadi unsur-unsur dari agunan adalah : a. Jaminan tambahan; b. Diserahkan oleh debitor kepada Bank; c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan. Hasil Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Yogyakarta, dari Tanggal 20 s/d 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan, yaitu Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum, oleh karena itu hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda”.33) Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan berpendapat bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah : “Sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan” 34) Jadi komponen dari jaminan atas definisi di atas adalah : a. Pemenuhan kewajiban kepada kreditor; b. Wujud dari jaminan harus dapat dinilai dengan uang c. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara debitor dengan kreditor. 33) Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan.. Citra Aditya Bakti. Bandung , 1987, hlm. 227. 10) Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty. Yogyakarta. 2004, hlm.50. Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan adalah jaminan, ia berpendapat bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam masyarakat” 35) Alasan digunakan istilah jaminan adalah : 1). Telah lazim digunakan dalam bidang Ilmu Hukum dalam hal ini berkaitan dengan penyebutan-penyebutan seperti hukum jaminan, lembaga jaminan, jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan dan sebagainya. 2). Telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan tentang lembaga jaminan, seperti yang tercantum dalam Undang- Undang-Undang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia. Pada dasarnya, jenis jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu : a. Jaminan materiil (kebendaan), dan ; b. Jaminan inmateriil (perorangan). Jaminan materiil (kebendaan) adalah ; jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-ciri dan mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan. Jaminan inmateriil (perorangan) adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitor pada umumnya.36) Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan : 1). Gadai (pand), yang di atur di dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata; 2). Hipotek, yang di atur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata; 3). Creditverband, yang di atur dalam Stb.1908 Nomor 542 sebagaimana 35) 36) M.Bahsan, Giro dan Bilyet Giro PerBankan Indonesia. Raja Grafindo Persada,. 2005,hlm. 148. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah . Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 46-47. telah diubah dengan Stb.1937 Nomor 190; 4). Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996; 5). Jaminan Fidusia, sebagaimana yang di atur di dalam UU Nomor 42 Tahun 1999. Sedang yang termasuk jaminan perorangan adalah : 1). Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih; 2). Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; 3). Perjanjian garansi. Dari kedelapan jenis jaminan tersebut diatas yang masih berlaku adalah : 1). Gadai 2). Hak Tanggungan 3). Jaminan Fidusia 4. Borg 5). Tanggung-menanggung 6). Perjanjian garansi Hipotik dan creditverband sudah tidak berlaku lagi, karena telah dicabut dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Pada prinsipnya tidak semua benda jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan Non Bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat benda jaminan yang baik dan lazim digunakan adalah : a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya; b. Tidak melemahkan potensi (kekuasaan) si pencari kredit untuk melakukan atau meneruskan usahanya; c. Memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu dapat dengan mudah untuk diuangkan guna melunasi utangnya si penerima (pengambil) kredit.37) 2. Kedudukan dan Manfaat Jaminan Jaminan mempunyai kedudukan dan manfaat yang sangat penting dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini dapat memberikan manfaat bagi kreditor maupun debitor. Manfaat bagi kreditor ialah : a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditor “ 38) Bagi debitor fasilitas kredit dengan dari Bank adanya dan benda jaminan itu tidak khawatir dapat memperoleh dalam mengembangkan usahanya. Keamanan modal adalah dimaksudkan untuk kredit atau modal yang diserahkan oleh kreditor kepada debitor tidak merasa takut atau khawatir tidak dikembalikannya modal tersebut. Memberikan kepastian hukum dan memberikan kepastian bagi pihak kreditor maupun debitor. Kepastian bagi kreditor adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan bunga dari debitor. Bagi debitor adalah kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga yang ditentukan. Di samping itu, bagi debitor adalah adanya kepastian berusaha. Karena dengan modal yang dimilikinya dapat mengembangkan bisnisnya lebih lanjut. Apabila debitor tidak mampu dapat mengembalikan pokok kredit dan bunga, Bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda 37) Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, 1996,hlm.73. 38 ) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah . Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 14. jaminan. Nilai benda jaminan biasanya pada saat dilakukan taksiran nilainya lebih tinggi, jika dibandingkan pokok dan bunga yang tertunggak Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi dua (2) macam, yaitu : 1. Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang melahirkan utang piutang antara debitor dan kreditor, perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonBank. 2. Perjanjian accesoir, Perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan perjanjian pokok. Misal perjanjian accesoir ini, adalah perjanjian pembebanan jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan, dan fidusia. Jadi sifat perjanjian accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok. Pasal 4 Undang-Undang No 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, secara tegas dinyatakan, bahwa jaminan fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok, yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang dapat dinilai dengan uang, maka sebagai perjanjian assesoir, perjanjian jaminan fidusia memiliki sifat sebagai berikut : a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok; b. Keabsahannya semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya perjanjian pokok; c. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi. Perjanjian jaminan fidusia hanya merupakan perjanjian assesoir. Biasanya dalam memberikan pinjaman uang, kreditor mencantumkan ketentuan bahwa debitor dan kreditor secara bersama-sama, berkewajiban untuk menyerahkan barang-barang tertentu kepada kreditor (sebagai penerima fidusia), untuk menjamin pelunasan seluruh utang debitor tersebut. Hubungan hukum antara pemberi fidusia dengan penerima fidusia adalah hubungan perikatan yang sumbernya adalah perjanjian. Berdasarkan hubungan ini, kreditor berhak untuk menuntut penyerahan barang jaminan (secara constitutum possessorium), dari debitor, yang berkewajiban memenuhinya. Jadi perikatan jaminan fidusia merupakan perikatan untuk memberikan sesuatu, karena debitor menyerahkan suatu barang (secara constitutum possessorium) kepada kreditor. Perikatan penjaminan fidusia merupakan perikatan dengan syarat batal, karena kalau utangnya dilunasi maka hak jaminannya hapus. Dalam jaminan fidusia juga akan melahirkan sutu hubungan hukum kebendaan jura in re aliena, yang secara hukum juga diberikan berbagai macam sifat kebendaan yang antara lain meliputi sifat droit de preference, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditor-kreditor lainnya. Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus, karena benda yang menjadi objek jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan hak kebendaan yang jura in re aliena, jaminan fidusia tunduk pada pencatatan dan publisitas yang diwajibkan dalam hukum kebendaaan. Dengan adanya sistem pencatatan dan publisitas, maka pemegang fidusia memiliki segala macam hak yang diberikan bagi pemegang hak jaminan kebendaan, sebagaimana halnya hak-hak yang dimiliki oleh pemegang hak jaminan kebendaan dalam bentuk gadai, hipotik dan hak tanggungan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada Kantor Pendaftaran Fidusia (first registered, first secured). Perjanjian pembebanan jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk tertulis. Perjanjian jaminan dalam bentuk lisan, biasanya dilakukan dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Salah satu anggota masyarakat yang kurang mampu membutuhkan pinjaman uang kepada salah seorang masyarakat yang tingkat ekonominya lebih tinggi. Pinjaman seperti ini biasanya dilakukan cukup secara lisan. Misalnya, A ingin mendapatkan pinjaman dari B, maka A cukup menyerahkan surat tanahnya kepada B. Setelah surat tanah diserahkan, maka uang pinjaman diserahkan oleh B kepada A. Sejak terjadinya konsensus di antara kedua belah pihak itulah saat terjadinya perjanjian pembebanan jaminan. Sedangkan perjanjian pembebanan jaminan dalam bentuk tertulis, biasanya dilakukan dalam dunia perbankan, lembaga keuangan nonBank maupun oleh lembaga pegadaian. Perjanjian pembebanan ini dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan atau autentik. Biasanya perjanjian pembebanan jaminan dengan menggunakan akta di bawah tangan dilakukan pada lembaga perbankan. Bentuk, isi dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh perbankan secara sepihak, sedangkan nasabah tinggal menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Hal-hal yang kosong dalam Surat Bukti Kredit (SBK), meliputi nama, alamat, barang jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit dan tanggal jatuh tempo. Sedangkan untuk perjanjian pembebanan jaminan dengan akta autentik dilakukan di muka dan dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu. Mengenai akta autentik di atur dalam Pasal 165 HIR, yang bersamaan bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang menyatakan : Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak dari para ahli warisnya dari mereka yang mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada akta itu Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jaminan adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan biasanya membuat perjanjian pembebanan pada jaminan atas hak tanggungan. Sedangkan perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta autentik dapat dilakukan pembebanan jaminan fidusia dan jaminan hipotek atas kapal laut atau pesawat udara yang dilakukan oleh seorang Notaris. C. Fidusia 1. Pengertian Jaminan Fidusia Suatu perjanjian utang piutang pasti diikuti dengan pemberian suatu jaminan yang salah satunya adalah jaminan fidusia, fidusia sendiri mempunyai arti : pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap berada dalam penguasaan pemilik benda.39) Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia adalah : ”Hak jaminan atas benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak 39) Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000,hlm.128. khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lainnya”. Dengan adanya benda atau objek fidusia yang dijaminkan oleh debitor atau pemberi fidusia kepada kreditor atau penerima fidusia, akan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan sehingga apabila debitor wanprestasi, maka pelaksanaan eksekusinya akan lebih mudah dan pasti sehingga tidak akan ada pihak-pihak yang dirugikan. 2. Asas-Asas Jaminan Fidusia a. Asas Hak mendahului dimiliki oleh Kreditor b. Asas objek jaminan fidusia yang mengikuti bendanya c. Asas jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan d. Asas objek jaminan fidusia terhadap utang kontijen e. Asas objek jaminan fidusia pada benda yang akan ada f. Asas objek jaminan fidusia di atas tanah milik orang lain g. Asas objek jaminan fidusia diuraikan lebih terperinci h. Asas Pemberi Jaminan Fidusia harus kompeten i. Asas Jaminan Fidusia harus didaftarkan j. Asas benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh Kreditor k. Asas bahwa jaminan fidusia mempunyai hak prioritas l. Asas bahwa Pemberi Fidusia harus beritikad baik m. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi Kesemua asas-asas yang tercantum dalam jaminan fidusia mencerminkan bahwa hukum jaminan fidusia mempunyai karakter dan keunikan tersendiri yang perlu diteliti sedemikian rupa. Masih banyak kelemahan dalam pembentukan Undangundang Jaminan Fidusia dan pengaturannya serta penafsirannya. Untuk melaksanakan asas-asas tersebut di atas seharusnya dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh Notaris, antara Pemberi Fidusia atau Debitor dengan Penerima Fidusia atau Kreditor, haruslah dibuat dengan lengkap. Dimulai dengan penandatanganan perjanjian pokok, Surat Kuasa untuk mendaftarkan fidusia dari Penerima Fidusia kepada Notaris atau karyawan Notaris. Surat Kuasa pendaftaran tersebut dapat disubstitusikan kepada karyawan Notaris, apabila di dalam Surat Kuasa tersebut Penerima Fidusia hanya memberikan kuasanya kepada Notaris. Proses pembuatan akta jaminan fidusia tidak lantas berhenti sampai tahap pembuatan akta Jaminan Fidusia saja, namun proses pendaftaran jaminan fidusia sangat diperlukan untuk menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap para pihak. 3. Persyaratan Pendaftaran Jaminan Fidusia a. Akta Jaminan Fidusia; b. Fotokopi Surat Keputusan/Penunjukan/Pengangkatan Kepala Cabang dan Fotokopi KTP Kepala Cabang yang masih berlaku; c. Fotokopi KTP Pemberi Fidusia. Lebih baik dilampirkan pula Fotocopy KTP istri/suami dan Kartu Keluarga; d. Fotokopi Perjanjian Pembiayaan Konsumen; e. Asli Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia dari Konsumen (Pemberi Fidusia) ke Kepala Cabang/Perusahaan (Penerima Fidusia); f. Untuk Kendaraan bekas, dilampirkan Fotokopi BPKB dan Kwitansi dari pemilik lama/Dealer; g. Untuk Kendaraan Baru, dilampirkan Surat Pernyataan BPKB sedang dalam proses dan Berita Acara Serah Terima Kendaraan; h. Surat Kuasa Membuat dan Menandatangani Akta (untuk Perusahaan yang beralamat di luar kota Cianjur) dan Surat Kuasa Mendaftarkan Akta. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan : Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasan Pasal 11 UndangUndang Fidusia, bahwa “pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia, dan pendaftarannya mencakup benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Akan tetapi ketentuan Pasal 11 ayat (1) berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Fidusia, yang menyatakan: “pendaftaran Jaminan fidusia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia”. Dari ketentuan ini yang wajib didaftarkan adalah “jaminan fidusianya” atau “ikatan jaminannya”. Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan : (1) Dalam sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1)dicantumkan kata-kata " DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA". (2) Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. (3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyatakan : “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar”. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditor yang telah memberikan pinjaman kepada debitor dan objek jaminannya tetap dikuasai oleh debitor. Ketentuan tersebut sangat logis karena atas objek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikannya telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitor) kepada penerima fidusia (kreditor), sehingga tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 28). 4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak a. Hak 1). Penerima Fidusia mempunyai hak: (1). kepemilikan atas benda yang dijadikan objek fidusia, namun secara fisik benda tersebut tidak di bawah penguasaannya (2). dalam hal debitorwan prestasi, untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi), karena dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat adanya titel eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3). yang didahulukan terhadap kreditor lainnya untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia; (4).memperoleh penggantian benda yang setara yang menjadi objek jaminan dalam hal pengalihan jaminan fidusia oleh debitor; (5).memperoleh hak terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi; (6). tetap berhak atas utang yang belum dibayarkan oleh debitor. 2). Pemberi Fidusia mempunyai hak: (1). tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia; (2).dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur atau mengalihkan benda atau hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, atau melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas utang apabila Penerima Fidusia menyetujui. b. Kewajiban/Tanggung Jawab 1). Penerima Fidusia : (1).wajib mendaftarkan jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia; (2). wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan dalam Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia; (3). wajib mengembalikan kepada Pemberi Fidusia dalam hal hasil eksekusi melebihi nilai penjaminan; (4).wajib memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai hapusnya jaminan fidusia. Pengecualian: Penerima Fidusia tidak menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia. 2). Pemberi Fidusia : (1). dalam hal pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia, wajib menggantinya dengan objek yang setara; (2). wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi; (3). tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayarkan.