Document

advertisement
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG PERJANJIAN PADA UMUMNYA, JAMINAN SERTA
FIDUSIA
A. Perihal Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Dalam lintas hukum, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari bahasa
belanda yaitu “overeenskomst”. Overeenskomst
biasanya di terjemahkan dengan
perjanjian atau persetujuan. Kata perjanjian menunjukkan adanya makna, bahwa para
pihak dalam perjanjian yang akan di adakan telah sepakat tentang apa yang mereka
sepakati
berupa janji-janji yang di perjanjikan. Sementara itu, kata persetujuan
menunjukan makna bahwa para pihak dalam suatu perjanjian tersebut juga sama-sama
setuju tentang segala sesuatu yang di perjanjikan.1) Pengertian perjanjian atau kontrak
di atur Pasal 1313 KUHPerdata. Pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: "Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu
orang atau lebih2)." Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah:3)
1). tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian,
2). tidak tampak asas konsensualisime, dan ;
3). bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan dalam rumusan tersebut hanya
disebutkan perbuatan saja, maka yang bukan perbuatan hukum pun disebut
dengan perjanjian. Untuk memperjelas pengertian itu maka harus dicari dalam
1)
Tim Pengajar Diklat Kemahiran Hukum Kontrak, Buku Ajar Diklat Kemahiran Hukum
Kontrak, Universitas Andalas, Padang, 2005, hlm. 8.
2)
Merujuk Terjemahan BW dalam bahasa Indonesia Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab UndangUndang Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001.
3)
Salim
HS,
Perkembangan
Teori
Dalam
Ilmu
Hukum,
Raja
Grafindo
Persada,Jakarta,2010,hlm.163.
doktrin. Jadi, menurut doktrin (teori lama) yang disebut perjanjian adalah
"Perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum". 4)
Kata “perbuatan” yang terdapat dalam Pasal tersebut mencakup juga tanpa
konsesus. Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan
tugas
tanpa
kuasa
(zaakwarneming),
tindakan
melawan
hukum
(onrechtmatigedaad) yang tidak mengandung suatu konsensus. Dalam Pasal ini
juga tidak menyebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga para pihak tidak
jelas mengikatkan diri untuk apa. R Setiawan mengusulkan untuk menambah katakata dalam perjanjian itu sebagai berikut : perbuatan itu harus diartikan sebagai
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat
hukum. Menambah perkataan atau saling mengikatkan dirinya.5) Perumusan
pengertian perjanjian menurut R Setiawan menjadi, perjanjian adalah suatu
perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih saling mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih.6)
Berdasarkan kelemahan dari pengertian perjanjian yang diberikan Pasal
1313 KUHPerdata ini, maka para sarjana ahli hukum mencoba memberikan
pengertian perjanjian tersebut dari sudut pandang mereka mesing-masing.
Pengertian perjanjian menurut para sarjana tersebut antara lain : R. Subekti yang
dimaksud dengan perjanjian adalah : Suatu
perjanjian adalah suatu peristiwa
dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.7) Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud
dengan perjanjian adalah Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai
harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau di anggap
4)
5)
Salim HS, Ibid., hlm. 164.
R Setiawan, Pokok-Pokok Perikatan, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm, 4
6)
R. Subekti, Hukum Perjanjian, Inter Nusa, Jakarta,1987,hlm.1.
7)
Ibid.
berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal,
sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.”8) Abdul Kadir
Muhammad yang dimaksud dengan perjanjian adalah : Perjanjian adalah suatu
persetujuan dengan mana dua orang pihak atau lebih mengikatkan diri untuk
melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.”9)
2. Jenis-Jenis Perjanjian.
Perjanjian Timbal Balik adalah perjanjian yang menimbulkan kewajiban pokok
bagi kedua belah pihak misalnya :perjanjian jual-beli.
1)
Perjanjian Cuma-Cuma (Pasal 1314 KUHPerdata)
Perjanjian Cuma-Cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja Misalnya: hibah
2)
Perjanjian Atas Beban
Perjanjian Atas Beban adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak
yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lain, dan antara kedua
prestasi itu ada hubungannya menurut hukum.
3)
Perjanjian Bernama (Benoemd)
Perjanjian khusus adalah perjanjian
yang
mempunyai
nama sendiri.
Maksudnya ialah bahwa perjanjian-perjanjian tersebut di atur dan diberi
nama oleh pembentuk Undang-undang, berdasarkan tipe yang paling banyak
8)
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Bale, Bandung, 1986, hlm, 9.
Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya
Bandung,1991,hlm.23.
9)
Bakti,
terjadi sehari-hari. Perjanjian khusus ini terdapat dalam BabV s/d Bab XVIII
KUHPerdata.
4) Perjanjian Tidak Bernama
Di luar perjanjian bernama,tumbuh pula perjanjian tidak bernama, yaitu
perjanjian-perjanjian yang tidak di atur di dalam KUHPerdata, tetapi terdapat
di dalam masyarakat. Lahirnya
perjanjian
ini
di dalam praktik adalah
berdasarkan asas kebebasan berkontrak, mengadakan
perjanjian
atau
partijotonomi.
5) Perjanjian Obligatoir
adalah
perjanjian
dimana
pihak-pihak
sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
6)
Perjanjian Kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang menyerahkan
haknya atas sesuatu benda kepada pihak lain, yang membeBankan kewajiban
(oblige) pihak itu untuk menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering,transfer).
7) Perjanjian Konsensual
Perjanjian Konsensual adalah perjanjian dimana antara kedua belah pihak telah
tercapai persesuaian kehendak untuk mengadakan perikatan
8) Perjanjian Riil
Perjanjian riil ini adalah sisa dari hukum Romawi yang untuk perjanjianperjanjian tertentu diambil alih oleh Hukum Perdata kita.
9) Perjanjian Liberatoir
Perjanjian dimana para pihak membebaskan diri dari kewajiban yang ada
misalnya pembebasan utang (Pasal1438KUHPerdata)
3. Syarat Sah Perjanjian
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 10)
Melalui perjanjian terciptalah perikatan atau hubungan hukum yang menimbulkan
hak dan kewajiban pada masing-masing pihak yang membuat perjanjian. Dengan
kata lain, para pihak terikat untuk mematuhi perjanjian yang telah mereka buat
tersebut. Dalam hal ini fungsi perjanjian sama dengan perundang-undangan, tetapi
hanya berlaku khusus terhadap para pembuatnya saja. Secara hukum, perjanjian
dapat dipaksakan berlaku melalui pengadilan. Hukum memberikan sanksi terhadap
pelaku pelanggaran perjanjian atau ingkar janji (wanprestasi).11) Pengaturan
tentang Perjanjian terdapat terutama di dalam KUH Perdata, tepatnya dalam Buku
III, disamping mengatur mengenai perikatan yang timbul dari perjanjian, juga
mengatur
perikatan
yang
timbul
dari
Undang-undang misalnya tentang
perbuatan melawan hukum. Dalam KUH Perdata terdapat aturan umum yang
berlaku untuk semua perjanjian dan aturan khusus yang berlaku hanya untuk
perjanjian tertentu saja (perjanjian khusus) yang namanya sudah diberikan Undangundang. Suatu asas hukum penting berkaitan dengan berlakunya perjanjian adalah
asas kebebasan berkontrak. Artinya, pihak-pihak bebas untuk membuat perjanjian
apa saja, baik yang sudah ada pengaturannya maupun yang belum ada
pengaturannya dan bebas menentukan sendiri isi perjanjian12) Namun, kebebasan
10)
11)
12)
Subekti , Op.Cit, hlm.1.
Abdulkadir Muhammad, op.cit., hlm. 2.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Pasal 1338 ayat (1).
tersebut tidak mutlak karena terdapat pembatasannya, yaitu tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan13)
Aspek-aspek kebebasan berkontrak dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH
Perdata, yang menyiratkan adanya 3 (tiga) asas yang seyogyanya dalam
perjanjian:14)
a) Mengenai Terjadinya Perjanjian
b) Asas yang disebut konsensualisme, artinya menurut KUH Perdata perjanjian
hanya terjadi apabila telah adanya persetujuan kehendak antara para pihak
(consensus, consensualisme).
c) Tentang akibat perjanjian
Bahwa perjanjian mempunyai kekuatan yang mengikat antara pihak-pihak itu
sendiri. Asas ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menegaskan bahwa perjanjian dibuat secara sah. di antara para pihak, berlaku
sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
d) Tentang Isi Perjanjian
Sepenuhnya diserahkan kepada para pihak (contracts-vrijheid
atau
partijautonomie) yang bersangkutan. Dengan kata lain, selama perjanjian itu
tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku, kesusilaan, kepentingan umum,
dan ketertiban, maka perjanjian itu diperbolehkan. Jadi, semua perjanjian atau
seluruh isi perjanjian, asalkan pembuatannya memenuhi syarat, berlaku bagi
13)
14)
Ibid., Pasal 1337.
Ibid.
para pembuatnya, sama seperti perundang-undangan. Pihak-pihak bebas untuk
membuat perjanjian apa saja dan menuangkan apa saja di dalam isi sebuah
kontrak. Dari bunyi Pasal 1338 ayat (1) jelas bahwa perjanjian yang
mengikat hanyalah perjanjian yang sah. Supaya sah pembuatan perjanjian
harus berpedoman pada Pasal 1320 KUH Perdata. Pasal 1320 KUH Perdata
menentukan empat syarat sahnya perjanjian, yaitu:
1) Kesepakatan (Toesteming/ izin) kedua belah pihak.
Syarat
pertama
sahnya
kontrak
adalah
adanya
kesepakatan
atau
consensus antara pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1)
BW. Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan bahwa
kedua subjek mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju atau seiasekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa
yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang
lain. Mereka menghendaki dalam hal mendapatkan hak dan kewajiban yang
sama secara timbal balik. Ada lima cara terjadinya persesuaian kehendak
yaitu dengan :
(1) .Bahasa yang sempurna dan tertulis;
(2). Bahasa yang sempurna secara lisan;
(3) Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak
lawan. Karena dalam kenyataannya seringkali seseorang
menyampaikan dengan bahasa yang tidak sempurna tetapi
dimengerti oleh pihak lawannya;
(4) .Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
(5) .Diam atau membisu, tetapi asal dipahami atau diterima pihak
lawan.15)
Dalam perjanjian, terkadang kesepakatan telah terjadi, namun
terdapat kemungkinan kesepakatan tersebut mengalami kecacatan
atau yang biasa disebut cacat kehendak atau cacat kesepakatan,
sehingga memungkinkan perjanjian
tersebut
dimintakan
15)
Salim H.S, Hukum Kontrak, Sinar Grafika, 2004,hlm.33.
pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan oleh perjanjian
tersebut. Cacat kehendak atau cacat kesepakatan dapat terjadi
karena kekhilafan atau kesesatan, paksaan, penipuan,dan
penyalahgunaan keadaan.16)
2) Kecakapan untuk Membuat Suatu Perikatan
kecakapan merupakan
kemampuan
untuk
melakukan
perbuatan
hukum. Jika seorang sebagai subjek hukum dianggap cakap berarti ia
memilki hak dan kewajiban untuk bertindak dalam perbuatan hukum. Orangorang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap
dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana
yang ditentukan oleh Undang-undang. Seorang oleh hukum dianggap tidak
cakap melakukan perjanjian, jika orang tersebut belum berumur 21
Tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun. Sebaliknya setiap
orang yang berumur 21 tahun
ke atas, oleh hukum dianggap cakap, kecuali
karena suatu hal dia ditaruh di bawah pengampuan, seperti gelap mata,
dungu, sakit ingatan, atau pemboros. Dalam Pasal 1330 BW, ditegaskan
sebagai orang yang belum dewasa, tidak cakap untuk membuat suatu
perjanjian :
(1) .Orang-orang yang belum dewasa;
(2) .Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
(3) .Perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-undang telah
melarang membuat perjanjian tertentu.
Dari sudut dan rasa keadilan, orang yang membuat suatu perjanjian dan akan
terikat dengan perjanjian itu, mempunyai cukup kemampuan untuk
menginsafi benar-benar akan akan tanggung jawab yang dipikulnya dengan
16)
Pasal 1321, Pasal 1449 BW
perbuatan itu. Sedangkan dari sudut ketertiban hukum, karena seorang yang
membuat perjanjian berarti mempertaruhkan kekayaannya, maka orang
tersebut haruslah seorang yang sungguh-sungguh berhak bebas berbuat
dengan harta kekayaannya17) Berkenaan dengan huruf c dalam Pasal 1330
KUH Perdata, mengenai hak perempuan dalam hal yang ditetapkan dengan
undang-undang sekarang ini, tidak dipatuhi lagi karena hak perempuan dan
laki-laki disamakan dalam hal membuat
orang-orang
perjanjian,
sedangkan
untuk
yang dilarang oleh perjanjian, untuk membuat perjanjian
tertentu sebenarnya tidak tergolong sebagai orang yang tidak cakap, tetapi
hanya berwenang membuat perjanjian tertentu.18)
3) Adanya objek perjanjian (onderwerp der overeenkomst)
Objek perjanjian adalah prestasi. Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban
debitor dan apa yang menjadi hak kreditor. Berdasarkan Pasal 1234 BW,
prestasi terdiri dari perbuatan positif dan perbuatan negatif, prestasi itu
terdiri atas:
a) Menyerahkan sesuatu/ memberikan sesuatu;
b) Berbuat sesuatu; dan
c) Tidak berbuat sesuatu
Menurut Ahmadi Miru19) ketiga pembagian prestasi tersebut bukanlah
merupakan bahagian dari bentuk prestasi, melainkan cara melakukannya. Hal
tersebut jelas dan logis, karena memberikan, berbuat dan tidak berbuat jelasjelas adalah metode, tekhnik atau cara sehingga prestasi itu terwujud. Lebih
17)
18)
19)
Subekti, Hukum perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2003, hlm. 18.
Pasal 31 UU No. 1 Tahun 1974 Jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta,2004. hlm. 68.
tepatnya bentuk prestasi yakni berupa barang maupun jasa. Sedangkan
untuk suatu hal tertentu yang tidak berbuat sesuatu harus dijelaskan dalam
kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antar
rumah yang bertetangga.”
d. Adanya causa yang halal (geoorloofde oorzaak)
Dalam Pasal 1320 BW tidak dijelaskan pengertian orzaak (causa yang halal) di
dalam Pasal 1337 BW hanya ditegaskan causa yang terlarang. Suatu sebab adalah
terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban
umum.
Menurut Subekti ;
Undang-undang menghendaki untuk sahnya perjanjian harus
ada oorzaak atau causa. Secara letterlijk, oorzaak atau causa berarti
sebab, tetapi menurut riwayatnya yang dimaksudkan dengan kata
itu adalah tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak
dengan mengadakan perjanjian itu. Jika ayat 3 dan 4 tidak dipenuhi
maka perjanjian ini batal demi hukum.20)
Menurut Ahmadi Miru, istilah atau kata halal bukanlah lawan kata haram
dalam Hukum Islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi
kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Selain
kriteria yang disebutkan di atas, bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan,
ketertiban umum; oleh Satrio menambahkan satu; yakni, bertentangan dengan
nilai kepatutan. Bertentangan dengan Undang-Undang sering disamakan dengan
istilah perbuatan melawan hukum. Bertentangan dengan undang-undang bukan
hanya
yang
tertulis. Berdasarkan penafsiran luas tentang Pengertian Perbuatan
Melawan Hukum oleh
Hoge
Raad (Mahkamah
Agung)
Negeri
Belanda
terhadap kasus Lindenbaum Versus Cohen, maka pengertian perbuatan melawan
20)
Subekti, Op.Cit,2003, hlm.21
hukum bukan hanya melakukan pelanggaran undang-undang tertulis tetapi meliputi
juga perbuatan :
a. Yang melanggar hak orang lain yang dijamin hukum;
b. Yang bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku;
c. Yang bertentangan dengan kesusilaan;
d. Yang bertentangan
dengan sikap
yang baik
dalam masyarakat untuk
memperhatikan kepentingan orang lain.
4. Asas-Asas Perjanjian
Dengan istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa
perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi
juga meliputi perjanjian tidak bernama, Pasal 1338 KUHPerdata :
a) Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undangundang bagi mereka yang membuatnya.
b) Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang olesh undangundang dinyatakan cukup untuk itu
c) Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”
Di dalam istilah “semua” itu terkandung suatu asas yang dikenal dengan asas
“partij autonomie”. Pasal 1338 KUHPerdata ini harus juga dibaca dalam kaitannya
dengan Pasal 1319 KUHPerdata. Istilah “secara sah” pembuat undang-undang
menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal
1320 KUHPerdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Di
sini tersimpul realisasi asas kepastian hukum.
1. Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract)
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”Asas ini merupakan
suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
a. membuat atau tidak membuat perjanjian;
b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
c. menentukan
isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta
d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya
paham individualisme yang secara embrional lahir dalam zaman
Yunani, yang diteruskan oleh kaumEpicuristen dan berkembang
pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran
Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.21)
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa
saja yang dikehendakinya. Dalam hukum kontrak asas ini diwujudkan dalam
“kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair ini menganggap bahwa the invisible
hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena pemerintah
sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi
masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada
golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme
par l’homme.
21)
Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet.II, Sinar Grafika,
Jakarta, 2004,hlm.9.
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham
individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II.
Paham ini kemudian tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan
pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak
bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu
dengan kepentingan umum. Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata
dibiarkan kepada para pihak namun perlu juga diawasi. Pemerintah
pengemban
kepentingan
umum
sebagai
menjaga keseimbangan kepentingan individu
dan kepentingan masyarakat. Melalui penerobosan
hukum
kontrak
oleh
pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik.
Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah inilah terjadi pemasyarakatan
hukum kontrak/perjanjian.
2. Asas Konsensualisme (concensualism)
Asas
konsensualisme
dapat
disimpulkan
dalam
Pasal 1320 ayat (1)
KUHPerdata. Pada Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini
merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan
secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat
oleh kedua belah pihak.Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum
Romawi dan hukum Jerman. Di dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas
konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian
formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara
nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal
adalah
suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik
berupa akta otentik maupun akta bawah tangan). Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPerdata adalah berkaitan dengan
bentuk perjanjian.
3. Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda)
Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan
dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Asas ini pada mulanya dikenal dalam
hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan
dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang
diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan
dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas
pacta
sunt
servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu
dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4. Asas Itikad Baik (good faith)
Asas itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
berbunyi:“Perjanjian
harus
dilaksanakan
dengan
itikad
baik.”
Asas
yang
ini
merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditor dan debitor harus
melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang
teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua
macam, yakni itikad baik nisbi dan itikad baik mutlak. Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif. Berbagai putusan Hoge Raad (HR) yang erat
kaitannya dengan penerapan asas itikad baik dapat diperhatikan dalam kasus-kasus
posisi berikut ini. Kasus yang paling menonjol adalah kasus Sarong Arrest dan
Mark Arrest. Kedua arrest ini berkaitan dengan turunnya nilai uang (devaluasi)
Jerman setelah Perang Dunia I.22)
5 Asas Kepribadian (personality)
Asas kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan
melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata. Pasal
1315
KUHPerdata
menegaskan:
Pada
umumnya
seseorang tidak
dapat
mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri. Inti ketentuan
ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus
untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPerdata berbunyi: Perjanjian
hanya berlaku antara pihak yang membuatnya. Hal ini mengandung maksud bahwa
perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang
membuatnya. Namun demikian, ketentuan
itu
terdapat
pengecualiannya
sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 KUHPerdata yang menyatakan:
22)
Ibid, hlm.11.
Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu
perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain,
mengandung suatu syarat semacam itu.
Pasal
ini
mengkonstruksikan
bahwa
seseorang
dapat
mengadakan
perjanjian/kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat
yang ditentukan. Sedangkan di dalam Pasal
1318 KUHPerdata, tidak hanya
mengatur perjanjian untuk diri sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli
warisnya dan untuk orang-orang yang memperoleh hak daripadanya. Jika
dibandingkan kedua Pasal itu maka Pasal 1317 KUHPerdata mengatur tentang
perjanjian untuk pihak ketiga, sedangkan dalam Pasal 1318 KUHPerdata untuk
kepentingan dirinya sendiri, ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak
dari yang membuatnya. Dengan demikian, Pasal 1317 KUHPerdata mengatur
tentang pengecualiannya, sedangkan Pasal 1318 KUHPerdata memiliki ruang
lingkup yang luas.
1. Asas-Asas Hukum Perikatan Nasional
Disamping kelima asas yang telah diuraikan diatas, dalam LokakaryaHukum
Perikatan yang diselenggarakan oleh
Badan
Pembinaan Hukum Nasional
(BPHN), Departemen Kehakiman RI pada tanggal 17-19 Desember 1985 telah
berhasil dirumuskannya delapan asas hukum perikatan nasional.
2. Asas Kepercayaan
Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan
mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara
mereka dibelakang hari.
3. Asas Persamaan Hukum
Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya,
walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras.
4. Asas Kesimbangan
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak
memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditor mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi
melalui kekayaan debitor, namun debitor memikul pula kewajiban untuk
melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
10. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini
terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undangundang bagi
yang membuatnya.
11. Asas Moralitas
Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari
seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak
debitor. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan
perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban
hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor
yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan
hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati
nuraninya.
12. Asas Kepatutan
Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas ini berkaitan dengan
ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat
perjanjiannya.
13. Asas Kebiasaan
Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya
mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut
kebiasaan lazim diikuti.
14. Asas Perlindungan
Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitor dan kreditor
harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu
adalah pihak debitor karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas
inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat
suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa keseluruhan asas di atas merupakan hal penting dan
mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir
dari
suatu
kesepakatan
dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak.
5. Wanprestasi dan Akibatnya
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitor dalam setiap
perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada sebuah perikatan. Apabila debitor tidak
memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, ia
dikatakan wanprestasi (kelalaian).Wanprestasi seorang debitor dapat berupa 4
macam yaitu :
a) Sama sekali tidak memenuhi prestasi;
b) Tidak tunai memenuhi prestasi;
c) Terlambat memenuhi prestasi;
d) Keliru memenuhi prestasi;
Dalam praktik dilapangan, untuk menentukan seorang debitor melakukan
wanprestasi terkadang tidak selalu mudah, karena kapan debitor harus memenuhi
prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli suatu
barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang
harus dijualnya pada pembeli dan kapan pembeli harus membayar barang yang
dibelinya itu kepada penjual. Lain halnya dalam menetapkan kapan debitor
wanprestasi padaperjanjian yang prestasinya untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya
untuk tidak membangun tembok yang tinggi lebih dari 2 meter, sehingga begitu
debitor membangun tembok yang tingginya lebih dari 2 meter, sejak itulah ia
dikatakan dalam keadaan wanprestasi.
Perjanjian yang prestasinya untuk memberi sesuatu atau untuk berbuat
sesuatu yang tidak menetapkan kapan debitor harus memenuhi prestasi itu,
sehingga untuk pemenuhan prestasi tersebut debitor harus lebih dahulu diberi
teguran agar ia memenuhi kewajibannya.Jika prestasi dalam perjanjian tersebut
seketika dipenuhi, misalnya penyerahan sesuatu benda yang diberi dan benda yang
akan diserahkan sudah ada,prestasi itu dapat dituntut supaya dipenuhi
seketika. Akan tetapi, jika prestasi dalam perjanjian itu tidak dapat dipenuhi
seketika, misalnya benda yang harus diserahkan masih belum berada di tangan
debitor, kepada debitor (perusahaan) diberi waktu yang pantas untuk memenuhi
prestasi
tersebut. Tentang bagaimana caranya memberikan teguran tentang
(sommatie/ ingebrekestelling) terhadap debitor agar jika ia tidak memenuhi
teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, di atur di dalam Pasal 1238 KUHPerdata
yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau dengan akta
sejenis. Apabila debitor dalam keadaan wanprestasi, kreditor dapat memilih
diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 1267
KUHPerdata, yaitu:
a. Pemenuhan perikatan;
b. Pemenuhan perikatan dengan ganti kerugian;
c. Ganti kerugian;
d. Pembatalan perjanjian timbal balik;
e. Pembatalan ganti kerugian;
Bilamana kreditor hanya menuntut ganti kerugian, ia dianggap telah
melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan perjanjian.
sedangkan jika kreditor hanya menuntut pemenuhan perikatan, tuntutan ini
sebenarnya bukan sebagai sanksi atas kelalain, sebab pemenuhan perikatan
memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitor untuk melaksanakannya.
Menurut subekti yang menjadi persoalan di sini adalah ;
seandainya debitor memang telah
menerima teguran
agar
melaksanakan perikatan, tetapi setelah waktu yang pantas diberikan
keadaannya untuk memenuhi perikatan tersebut telah lewat, tetapi
prestasi belum juga terpenuhi, apakah debitor setelah itu masih berhak
melaksanakan perikatan.23)
Para ahli hukum dalam hal ini sepakat bahwa apabila kreditor menyatakan
masih bersedia menerima pelaksanaan perikatan tersebut, debitor masih dapat
melaksanakan perikatan itu. Jika pernyataan kesediaan menerima pelaksanaan
23)
R. Subekti, Op.Cit.
perikatan itu tidak ada, para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda,
apakah debitor dapat melaksanakan perikatan itu dan dengan membayar ganti rugi,
sebelum ada tuntutan kreditor di muka pengadilan untuk membatalkan perjanjian
dengan ganti kerugian. Diephuis,
Brakel
Opzoormer,
Asser-Losecat-Vermeer,
Van
dan Suyuling serta Hoge Raad di negeri Belanda menyatakan bahwa
debitor tidak lagi dapat melaksanakan perikatan itu dan kreditor tidak dapat
dipaksa untuk menerima pelaksanaan perikatan itu.
Asser-Goudoever dan Hofman berpendapat sebaliknya yaitu dengan
mendasarkan kepada kepatutan, bahwa debitor masih dapat melaksanakan
perikatan tersebut dan kreditor sepatutnya menerima pula pelaksanaan perikatan
itu24) Pendapat terakhir inilah yang diikuti oleh ahli-ahli hukum Indonesia seperti
yangdiungkapkan
Wirdjono
Prodjodikoro
dan
Subekti,
yang
sama-sama
pernahmenjadi Ketua Mahkamah Agung RI dan dikenal sebagai ahli
hukum
perdata Indonesia.25) Pendapat inilah yang lebih sesuai dengan kepatutan dan
rasa keadilan yang dikehendaki Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata sebagai pedoman
dalam pelaksanaan perjanjian.
6. Keadaan Memaksa (force majeure, overmacht )
a. Pengertian Keadaan Memaksa
Istilah keadaan memaksa berasal dari bahasa Inggris, yaitu force majeure,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut dengan overmacht. Keadaan memaksa
adalah suatu keadaan ketika debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada,
yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannnya, seperti
gempa
24)
25)
Ibid,
Ibid,
bumi,
banjir,
tanah
longsor,dan
lain-lain.
Menurut
Wirjono
Prodjodikoro.26)keadaan memaksa dalam hukum adalah keadaan yang
menyebabkan bahwa suatu hak atau suatu kewajiban dalam suatu perhubungan
hukum tidak dapat dilaksanakan.
b. Dasar Hukum Keadaan Memaksa
Ketentuan tentang keadaan memaksa di atur dalam Pasal 1244-1245 KUH
Perdata. Pasal 1244 KUH Perdata berbunyi: Jika ada alasan untuk itu, si
berutang harus dihukum mengganti biaya, rugi dan bunga apabila ia tak dapat
membuktikan, bahwa hal tidak atau tidak pada waktu
yang tepat
dilaksanakannya perikatan itu, disebabkan suatu hal yang tak terduga, pun tak
dapat dipertanggungjawabkan padanya, kesemaunya itu pun jika itikad buruk
tidaklah ada pada pihaknya. Selanjutnya Pasal 1245 KUH Perdata berbunyi:
Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus digantinya, apalagi lantaran keadaan
memaksa atau lantaran suatu kejadian tak disengaja si berutang beralangan
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau hal-hal yang sama telah
melakukan perbuatan yang terlarang. Teori-Teori Keadaan Memaksa yaitu :
1). Teori Ketidakmungkinan (onmogelijkeheid).
Teori ini berpendapat bahwa keadan memaksa27) adalah suatu keadaan tidak
mungkin
melakukan
pemenuhan
prestasi
yang
diperjanjikan.
Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam,yaitu:
(1). Ketidakmungkinan absolut atau objektif (absolut onmogelijkheid),
ketidakmungkinan absolut yaitu suatu ketidakmungkinan sama sekali dari
debitor untuk melakukan prestasinya pada kreditor.
26)
27)
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perdata, Bale Bandung,1990,hlm 4
Subekti, Op.Cit. 2003
(2). Ketidakmungkinan relative atau
ketidakmungkinan subjektif (relative
onmogelijkheid), yaitu suatu ketidakmungkinan relatif dari debitor
untuk memenuhi prestasinya.
2).Teori Penghapusan atau Peniadaan kesalahan (afwesigheid van schuld).
Teori ini berarti dengan adanya overmacht terhapuslah kesalahan debitor atau
overmacht peniadaan kesalahan.
c. Macam-Macam Keadaan Memaksa
1).Keadaan Memaksa Absolut
Keadaan memaksa absolut28) adalah suatu keaaan dimana debitor sama sekali
tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditor, oleh karena adanya
gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya, si A ingin
membayar utangnya pada si B. Namun tiba-tiba pada saat si A ingin
melakukan pembayaran utang, terjadi gempa bumi. Maka si A sama sekali
tidak
dapat
membayar
utangnya
pada
si
B.
Keadaan
mengakibatkan, bahwa suatu hak atau kewajiban dalam
memaksa
perhubungan
hukum sama sekali tidak dapat dilaksanakan oleh siapapun juga dan
bagaimanapun
juga,
maka
keadaan
memaksa
itu dinamakan
“absolut”.Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yaitu dalam
halnya sama sekali tidak mungkin lagi melaksanakan perjanjiannya
(misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam).
2).Keadaan Memaksa yang Relatif
Keadaan
memaksa
yang
relatif
29)
adalah
suatu
keadaan
yang
menyebabkan debitor mungkin untuk melaksanakan prestasinya. Tetapi
28)
29)
Subekti,Pokok-Pokok Hukum Perdata. Intermasa ,Jakarta ,2001,hlm.34.
Ibid,
pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang
besar yang tidak seimbang atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar
kemampuan manusia atau kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang
sangat besar. Contohnya, A telah meminjam, kredit usaha tani dari KUD,
dengan janji akan dibayar pada musim panen. Tetapi sebelum panen,
padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu
membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada
musim panen mendatang. Keadaan memaksa dinamakan “relatif”, apabila
keadaan itu pelaksanaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban pada suatu
perhubungan hukum tidak dapat dibilangkan sama sekali tidak dapat
terjadi bagaimanapun juga, akan tetapi demikian sukarnya dan dengan
pengorbanan dari yang harus melaksanakan, sedemikian rupa, sehingga
patutlah, bahwa keharusan untuk melaksanakan hak-hak dan kewajibankewajiban yang bersangkutan dianggap lenyap keadaan memaksa yang relatif
ini, sangat tergantung dari pada isi, maksud, dan tujuan dari perhubungan
hukum yang bersangkutan. Misalnya, seorang tukang berjanji akan membikin
rumah untuk orang lain, kemudian pada waktu pembikinan rumah itu sedang
berjalan segenap buruh-buruhnya bersama-sama mogok. Apakah
oleh
karena keadaan ini keharusan untuk menyelesaikan pembikinan rumah
adalah lenyap. Kalau dapat dikatakan, bahwa tukang pembikin rumah
harus mempekerjakan lain-lain buruh, bagaimanapun mahalnya upah buruhburuh itu, maka dalam hal ini boleh dikatakan tidak ada keadaan memaksa.
Akan tetapi, kalau berhubungan dengan isi, maksud, dan tujuan dari
persetujuan anatara kedua belah pihak, dapat dikatakan bahwa pengorbanan
yang sedemikian besarnya, tidak patut dibeBankan kepada si tukang
pembikin rumah, maka kini boleh dikatakan bahwa adalah keadaan
memaksa.
Terjadinya keadaan memaksa dapat dikira-kirakan oleh siapapun juga secara
objektif, dan tidak dapat dihindarkan dengan usaha apapun juga, maka dapat
dikatakan bahwa dari pihak yang berkewajiban itu sama sekali tidak ada
kesalahan, dan seharusnya ia dibebaskan sama sekali dari pertanggung
jawaban. Sebaliknya, kalau keadaan memaksa itu secara objektif dapat
dikira-kiranya lebih dulu untuk menjaga seberapa boleh jangan sampai
keadaan
memaksa
itu
terjadi,
maka
dapatlah
si
berwajib
itu
dipertanggungjawabkan. Misalnya, suatu perusahaan mengangkut barangbarang berjanji akan mengangkut barang-barang dari suatu kota ke lain kota,
dan sudah diketahui oleh umum, bahwa di perjalanan antar dua kota itu
sudah beberapa kali terjadi perampokan atas barang-barang angkutan, maka
patutlah apabila si pengangkut barang itu seberapa boleh berusaha untuk
menghidarkan perampokan itu misalnya mengadakan pengaawal yang
bersenjata api. Kalau usaha ini sama sekali tidak dilakukan, maka kalau
kemudian betul terjadi perampokan atas barang-barang yang diangkut itu, si
pengangkut dapatlah dipertangunggjawabkan atas keadaan memaksa yang
menyebabkan
barang-barang
itu
tidak
sampai
di
tempat
yang
dimaksudkan.
3) Akibat Keadaan Memaksa
(1).Akibat Keadaan Memaksa Absolut.30)
30)
Salim H.S, Perancangan Kontrak & Memorandum Of Understanding (MOU),Sinar Grafika,
Jakarta,2008,hlm.34.
Debitor tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)
Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi
hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi,
kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.
(2). Akibat Keadaan Memaksa Relatif 31)
Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.
Contoh Kontrak Keadaan Memaksa
Berikut ini disajikan contoh kontrak yang memuat klausul tentang
keadaan memaksa: Surat Perjanjian Kerja (Kontrak Kerja) Pekerjaan
Konsultan Pendamping Kabupaten (KP-Kab)
Daerah
Dalam
Mengatasi Dampak
Krisis
Proyek
Eknomi
Pemberdayaan
(PDM-DKE)
Kabupaten Dompu Tahun 2000. Dalam kontrak ini telah ditentukan
aturan yang berkaitan dengan keadaan memaksa. Ketentuan yang
mengatur tentang hal itu tertuang dalam Pasal 13 yang menyatakan :
a) Jika terjadi keadaan memaksa, pihak kedua akan dibebaskan dari
tanggung jawab atas kerugian dan keterlambatan penyelesaian
pekerjaan.
b) Yang dimaksud keadaan memaksa pada ayat di atas adalah keadaan
atau peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan pihak kedua untuk dapat
mengatasinya
sehingga
dapat
dipertimbangkan
kemungkinan adanya perubahan waktu pelaksanaan.
c) Yang dapat dianggap force majeure adalah:
31)
Ibid,
kemungkinan-
1) Bencana alam (gempa bumi, tanah longsor, dan banjir).
2) Kebakaran.
3) Perang, huru-hara, pemberontakan, pemogokan, dan epidemi
(wabah penyakit).
4) Tindakan pemerintah di bidang moneter
yang
langsung
mengakibatkan kerugian luar biasa.
d).Untuk kelancaran pekerjaan, penentuan keadaan memaksa dalam halhal dia atas dapat diselesaikan secara musyawarah antara kedua belah
pihak. Keadaan
memaksa
bencana
dan peperangan, tetapi juga erat kaitannya dengan
alam
tidak
hanya
dikonstruksikan
sebagai
kebijakan pemerintah di bidang moneter. Bidang moneter merupakan
bidang yang berkaitan dengan uang atau keuangan. Dengan adanya
kebijakan
ini,
maka
pihak
kedua
dapat
mengelak
untuk
melaksanakan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati antara
pihak pertama dengan pihak kedua.
7. Berakhirnya Perjanjian
Berakhirnya perjanjian di atur di dalam Bab XII Buku III KUH Perdata. Di dalam
Pasal 1381 KUH Perdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian
yaitu :
a. Pembayaran
b. Penawaran tunai disertai dengan penitipan
c. Pembaharuan utang
d. Perjumpaan utang
e. Percampuran utang
f. Pembebasan utang
g. Musnahnya benda yang terutang
h. Kebatalan/pembatalan
i. Berlakunya syarat batal
j. Kadaluarsa atau lewat waktu
Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara
sukarela, artinya tidak dengan paksaan. Pada dasarnya pembayaran hanya dapat
dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUH Perdata
menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan
demikian undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan
tetapi yang penting adalah utang itu harus dibayar. Penawaran pembayaran tunai
yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong
debitor. Dalam hal ini si kreditor menolak pembayaran. Penawaran pembayaran
tunai terjadi jika si kreditor menolak menerima pernbayaran, maka debitor secara
langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau barang
kepada Notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan
selanjutnya menjumpai kreditor untuk melaksanakan pembayaran.
Jika kreditor menolak, maka dipersilakan oleh notaris atau panitera untuk
menandatangani berita acara. Jika kreditor menolak juga, rnaka hal ini dicatat
dalam berita acara tersebut, hat ini merupakan bukti bahwa kreditor menolak
pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitor meminta kepada hakim
agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitor terbebas dari
kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus. Pembaharuan utang (raovasi)32)
adalah peristiwa hukum dalam suatu perjanjian yang diganti dengn perjanjian
lain. Dalam hat para pihak mengadakan suatu perjanjian dengan jalan
menghapuskan perjanjian lama dan membuat perjanjian yang baru. Dalam hal
terjadinya perjumpaan utang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu
kreditor dan debitor saling mempunyai utang dan piutang, maka mereka
mengadakan perjumpaan utang untuk uatu jumlah yang sama. Hal ini rerjadi jika
antara kedua utang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah barang yang
dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat
ditagih seketika.
Percampuran utang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditor
dan debitor pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan dehitur pada satu
orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran utang sesuai
dengan Pasal 1435 KUH Perdata. Pembebasan utang terjadi apabila kreditor
dengan tegas menyatakan bahwa la tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan
prestasi oleh si debitor. Jika si debitor menerima pernyataan si kreditor maka
berakhirlah perjanjian utang piutang diantara mereka. Terjadinya
musnah
barang-barang yang menjadi utang debitor, maka perjanjian juga dapat hapus.
Dalam hal demikian debitor wajib membuktikan bahwa musnahnya barang
tersebut adalah di luar kesalahannya dan barang itu akan musnah atau hilang juga
meskipun di tangan kreditor. Jadi dalam hal ini si debitor telah berusaha
dengan segala daya upaya untuk menjaga barang tersebut agar tetap berada
seperti semula, hal ini disebut dengan risiko.
32)
Salim H.S, Hukum Kontrak & Teori Penyusunan Kontrak ,Sinar Grafika, Jakarta,2009,hlm.45.
Suatu perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun
dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau,batal demi hukum. Karena jika
dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjia.n itu dianggap tidak pernah
ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi
karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali
kepada keadaan semula. Syarat
batal
adalah syarat yang jika dipenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembati kepada keadaan
semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan
pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa
yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi. Daluarsa adalah
suatu upaya untuk rnemperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KUH Perdata). Perjanjian tersebut
telah dipenuhi salah satu unsur dari hapusnya perjanjian sebagaimana disebutkan
di atas, maka perjanjian tersebut berakhir sehingga dengan berakhirnya perjanjian
tersebut para piuak terbebas dari hak dan kewajiban masing-masing.
B. Perihal Jaminan
1. Pengertian Jaminan
Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yaitu zekerheid
atau cautie.
Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditor
menjamin
dipenuhinya
tagihannya,
di
samping
pertanggungan
jawab umum debitor terhadap barang-barangnya. Selain istilah jaminan, dikenal
juga dengan agunan. Istilah agunan dapat di lihat di dalam Pasal 1 angka
(23)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor
7
Tahun
1992
tentang
Perbankan,
yaitu
agunan
adalah :“Jaminan tambahan diserahkan debitor kepada Bank dalam rangka
mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkann prinsip syariah.”
Tujuan agunan adalah untuk mendapatkan fasilitas dari Bank. Jaminan ini
diserahkan oleh debitor kepada Bank, jadi unsur-unsur dari agunan adalah :
a. Jaminan tambahan;
b. Diserahkan oleh debitor kepada Bank;
c. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan.
Hasil Seminar Badan Pembinaan Hukum Nasional yang diselenggarakan di
Yogyakarta, dari Tanggal 20 s/d 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan, yaitu
Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang
yang timbul dari suatu perikatan hukum, oleh karena itu hukum jaminan erat sekali
dengan hukum benda”.33)
Hartono Hadisoeprapto dan M. Bahsan berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan jaminan adalah :
“Sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa
debitor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul
dari suatu perikatan” 34)
Jadi komponen dari jaminan atas definisi di atas adalah :
a. Pemenuhan kewajiban kepada kreditor;
b. Wujud dari jaminan harus dapat dinilai dengan uang
c. Timbulnya jaminan karena adanya perikatan antara debitor dengan
kreditor.
33)
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan.. Citra Aditya Bakti. Bandung , 1987,
hlm. 227.
10)
Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty.
Yogyakarta. 2004, hlm.50.
Istilah yang digunakan oleh M. Bahsan adalah jaminan, ia berpendapat
bahwa jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditor dan diserahkan
debitor untuk menjamin suatu utang piutang dalam
masyarakat” 35)
Alasan digunakan istilah jaminan adalah :
1). Telah lazim digunakan dalam bidang Ilmu Hukum dalam hal ini berkaitan
dengan penyebutan-penyebutan seperti hukum
jaminan, lembaga jaminan,
jaminan kebendaan, jaminan perorangan, hak jaminan dan sebagainya.
2). Telah digunakan dalam beberapa peraturan perundang-undangan
tentang
lembaga
jaminan,
seperti
yang
tercantum
dalam
Undang-
Undang-Undang Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia.
Pada dasarnya, jenis jaminan dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu :
a. Jaminan materiil (kebendaan), dan ;
b. Jaminan inmateriil (perorangan).
Jaminan materiil (kebendaan) adalah ;
jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai
ciri-ciri dan mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat
dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat
dialihkan. Jaminan inmateriil (perorangan) adalah jaminan yang
menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya
dapat dipertahankan terhadap harta kekayaan debitor pada umumnya.36)
Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan :
1). Gadai (pand), yang di atur di dalam Bab 20 Buku II KUH Perdata;
2). Hipotek, yang di atur dalam Bab 21 Buku II KUH Perdata;
3). Creditverband, yang di atur dalam Stb.1908 Nomor 542 sebagaimana
35)
36)
M.Bahsan, Giro dan Bilyet Giro PerBankan Indonesia. Raja Grafindo Persada,. 2005,hlm. 148.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah . Liberty,
Yogyakarta, 1981, hlm. 46-47.
telah diubah dengan Stb.1937 Nomor 190;
4). Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 4 Tahun 1996;
5). Jaminan Fidusia, sebagaimana yang di atur di dalam UU Nomor 42 Tahun
1999.
Sedang yang termasuk jaminan perorangan adalah :
1). Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih;
2). Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng;
3). Perjanjian garansi.
Dari kedelapan jenis jaminan tersebut diatas yang masih berlaku adalah :
1). Gadai
2). Hak Tanggungan
3). Jaminan Fidusia
4. Borg
5). Tanggung-menanggung
6). Perjanjian garansi
Hipotik dan creditverband sudah tidak berlaku lagi, karena telah dicabut dengan
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta
Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Pada prinsipnya tidak semua benda
jaminan dapat dijaminkan pada lembaga perbankan ataupun lembaga keuangan
Non Bank, namun benda yang dapat dijaminkan adalah benda-benda yang harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat benda jaminan yang baik dan lazim
digunakan adalah :
a. Dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak
yang memerlukannya;
b. Tidak melemahkan potensi (kekuasaan) si pencari kredit untuk
melakukan atau meneruskan usahanya;
c. Memberikan kepastian kepada si kreditor, dalam arti bahwa
barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, bila perlu
dapat dengan mudah untuk diuangkan guna melunasi utangnya si
penerima (pengambil) kredit.37)
2. Kedudukan dan Manfaat Jaminan
Jaminan
mempunyai
kedudukan
dan
manfaat
yang
sangat
penting
dalam menunjang pembangunan ekonomi. Karena keberadaan lembaga ini
dapat memberikan manfaat bagi kreditor maupun debitor. Manfaat bagi
kreditor ialah :
a. Terwujudnya keamanan terhadap transaksi dagang yang ditutup
b. Memberikan kepastian hukum bagi kreditor “ 38)
Bagi
debitor
fasilitas kredit
dengan
dari
Bank
adanya
dan
benda
jaminan itu
tidak
khawatir
dapat
memperoleh
dalam mengembangkan
usahanya. Keamanan modal adalah dimaksudkan untuk kredit atau modal yang
diserahkan oleh kreditor kepada debitor tidak merasa takut atau khawatir tidak
dikembalikannya
modal
tersebut.
Memberikan
kepastian hukum
dan
memberikan kepastian bagi pihak kreditor maupun debitor. Kepastian bagi
kreditor adalah kepastian untuk menerima pengembalian pokok kredit dan
bunga dari debitor.
Bagi debitor adalah kepastian untuk mengembalikan pokok kredit dan bunga
yang ditentukan. Di samping itu, bagi debitor adalah adanya kepastian berusaha.
Karena dengan modal yang dimilikinya dapat mengembangkan bisnisnya lebih
lanjut. Apabila debitor tidak mampu dapat mengembalikan pokok kredit dan
bunga,
Bank atau pemilik modal dapat melakukan eksekusi terhadap benda
37)
Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya
Bakti, 1996,hlm.73.
38 )
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata, Hak Jaminan Atas Tanah . Liberty,
Yogyakarta, 1981, hlm. 14.
jaminan. Nilai benda jaminan biasanya pada saat dilakukan taksiran nilainya lebih
tinggi, jika dibandingkan pokok dan bunga yang tertunggak
Pada dasarnya perjanjian kebendaan dapat dibedakan menjadi dua (2) macam,
yaitu :
1. Perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang melahirkan utang piutang antara debitor
dan kreditor, perjanjian pokok merupakan perjanjian untuk mendapatkan
fasilitas kredit dari lembaga perbankan atau lembaga keuangan nonBank.
2. Perjanjian accesoir, Perjanjian yang bersifat tambahan dan dikaitkan dengan
perjanjian pokok. Misal perjanjian accesoir ini, adalah perjanjian pembebanan
jaminan, seperti perjanjian gadai, tanggungan, dan fidusia. Jadi sifat perjanjian
accesoir, yaitu mengikuti perjanjian pokok. Pasal 4
Undang-Undang No 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, secara tegas dinyatakan, bahwa jaminan
fidusia merupakan perjanjian assesoir dari suatu perjanjian pokok, yang
menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi yang
berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu, yang
dapat dinilai dengan uang, maka sebagai perjanjian assesoir, perjanjian jaminan
fidusia memiliki sifat sebagai berikut :
a. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;
b. Keabsahannya
semata-mata ditentukan oleh sah tidaknya
perjanjian
pokok;
c. Sebagai
perjanjian
bersyarat,
maka
hanya
dapat
dilaksanakan
jika
ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak
dipenuhi.
Perjanjian jaminan fidusia hanya merupakan perjanjian
assesoir. Biasanya
dalam memberikan pinjaman uang, kreditor mencantumkan ketentuan bahwa
debitor dan kreditor secara bersama-sama, berkewajiban
untuk menyerahkan
barang-barang tertentu kepada kreditor (sebagai penerima fidusia), untuk menjamin
pelunasan seluruh utang debitor tersebut. Hubungan hukum antara pemberi fidusia
dengan
penerima
fidusia adalah hubungan perikatan yang sumbernya adalah
perjanjian. Berdasarkan hubungan ini, kreditor berhak untuk menuntut penyerahan
barang jaminan (secara constitutum possessorium), dari debitor, yang berkewajiban
memenuhinya. Jadi perikatan jaminan fidusia merupakan perikatan untuk
memberikan
sesuatu,
karena
debitor
menyerahkan
suatu
barang
(secara
constitutum possessorium) kepada kreditor.
Perikatan penjaminan fidusia merupakan perikatan dengan syarat batal,
karena kalau utangnya dilunasi maka hak jaminannya hapus.
Dalam jaminan
fidusia juga akan melahirkan sutu hubungan hukum kebendaan jura in re aliena,
yang secara hukum juga diberikan berbagai macam sifat kebendaan yang antara
lain meliputi sifat droit de preference, yaitu hak penerima fidusia untuk mengambil
pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Hak untuk mengambil pelunasan ini mendahului kreditor-kreditor lainnya.
Bahkan sekalipun pemberi fidusia dinyatakan pailit atau dilikuidasi, hak yang
didahulukan dari penerima fidusia tidak hapus, karena benda yang menjadi objek
jaminan fidusia tidak termasuk dalam harta pailit pemberi fidusia. Dengan hak
kebendaan yang jura in re aliena, jaminan fidusia tunduk pada pencatatan dan
publisitas yang diwajibkan dalam hukum kebendaaan. Dengan adanya sistem
pencatatan dan publisitas, maka pemegang fidusia memiliki segala macam hak yang
diberikan bagi pemegang hak jaminan kebendaan, sebagaimana halnya hak-hak yang
dimiliki oleh pemegang hak jaminan kebendaan dalam bentuk gadai, hipotik dan hak
tanggungan.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia, prinsip ini berlaku sejak tanggal pendaftarannya pada
Kantor Pendaftaran Fidusia (first registered, first secured). Perjanjian pembebanan
jaminan dapat dilakukan dalam bentuk lisan maupun
dalam
bentuk
tertulis.
Perjanjian jaminan dalam bentuk lisan, biasanya dilakukan dalam kehidupan
masyarakat pedesaan. Salah satu anggota masyarakat yang kurang mampu
membutuhkan pinjaman uang kepada salah seorang masyarakat yang tingkat
ekonominya lebih tinggi. Pinjaman seperti ini biasanya dilakukan cukup secara
lisan.
Misalnya, A ingin mendapatkan pinjaman dari B, maka A cukup menyerahkan
surat tanahnya kepada B. Setelah surat tanah diserahkan, maka uang pinjaman
diserahkan oleh B kepada A. Sejak terjadinya konsensus di antara kedua belah pihak
itulah saat terjadinya perjanjian pembebanan jaminan. Sedangkan perjanjian
pembebanan jaminan dalam bentuk tertulis, biasanya dilakukan dalam dunia
perbankan, lembaga keuangan nonBank maupun oleh lembaga pegadaian.
Perjanjian pembebanan ini dilakukan dalam bentuk akta di bawah tangan dan atau
autentik. Biasanya perjanjian pembebanan jaminan dengan menggunakan akta di
bawah tangan dilakukan pada lembaga perbankan.
Bentuk, isi dan syarat-syaratnya telah ditentukan oleh perbankan
secara
sepihak, sedangkan nasabah tinggal menyetujui isi dari perjanjian tersebut. Hal-hal
yang kosong dalam Surat Bukti Kredit (SBK), meliputi nama, alamat, barang
jaminan, jumlah taksiran, jumlah pinjaman, tanggal kredit dan tanggal jatuh
tempo. Sedangkan untuk perjanjian pembebanan jaminan dengan akta autentik
dilakukan di muka dan dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu.
Mengenai akta autentik di atur dalam Pasal
165 HIR, yang bersamaan
bunyinya dengan Pasal 285 Rbg, yang menyatakan :
Akta Autentik adalah suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan
pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap
antara para pihak dari para ahli warisnya dari mereka yang
mendapat hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan
bahkan sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir
ini hanya diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal
pada akta itu
Pejabat yang berwenang untuk membuat akta jaminan adalah Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT), yang ditunjuk oleh Menteri Agraria dan biasanya
membuat
perjanjian
pembebanan
pada
jaminan atas hak tanggungan.
Sedangkan perjanjian pembebanan dengan menggunakan akta autentik dapat
dilakukan pembebanan jaminan fidusia dan jaminan hipotek atas kapal laut atau
pesawat udara yang dilakukan oleh seorang Notaris.
C. Fidusia
1. Pengertian Jaminan Fidusia
Suatu perjanjian utang piutang pasti diikuti dengan pemberian suatu jaminan
yang salah satunya adalah jaminan fidusia, fidusia sendiri mempunyai arti :
pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan
bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap berada dalam
penguasaan pemilik benda.39)
Menurut Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang
Jaminan Fidusia, yang dimaksud dengan Jaminan Fidusia adalah : ”Hak jaminan atas
benda bergerak, baik berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak
39)
Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2000,hlm.128.
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada
dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu,
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap
kreditor lainnya”. Dengan adanya benda atau objek fidusia yang dijaminkan oleh
debitor atau pemberi fidusia kepada kreditor atau penerima fidusia, akan memberikan
jaminan kepastian hukum
kepada pihak-pihak yang berkepentingan sehingga
apabila debitor wanprestasi, maka pelaksanaan eksekusinya akan lebih mudah dan
pasti sehingga tidak akan ada pihak-pihak yang dirugikan.
2. Asas-Asas Jaminan Fidusia
a. Asas Hak mendahului dimiliki oleh Kreditor
b. Asas objek jaminan fidusia yang mengikuti bendanya
c. Asas jaminan fidusia adalah perjanjian ikutan
d. Asas objek jaminan fidusia terhadap utang kontijen
e. Asas objek jaminan fidusia pada benda yang akan ada
f. Asas objek jaminan fidusia di atas tanah milik orang lain
g. Asas objek jaminan fidusia diuraikan lebih terperinci
h. Asas Pemberi Jaminan Fidusia harus kompeten
i. Asas Jaminan Fidusia harus didaftarkan
j. Asas benda yang dijadikan objek jaminan fidusia tidak dapat dimiliki oleh
Kreditor
k. Asas bahwa jaminan fidusia mempunyai hak prioritas
l. Asas bahwa Pemberi Fidusia harus beritikad baik
m. Asas bahwa jaminan fidusia mudah dieksekusi
Kesemua asas-asas yang tercantum dalam jaminan fidusia mencerminkan bahwa
hukum jaminan fidusia mempunyai karakter dan keunikan tersendiri yang perlu
diteliti sedemikian rupa. Masih banyak kelemahan dalam pembentukan Undangundang Jaminan Fidusia dan pengaturannya serta penafsirannya. Untuk melaksanakan
asas-asas tersebut di atas seharusnya dalam pembuatan akta Jaminan Fidusia yang
dibuat oleh Notaris, antara Pemberi Fidusia atau Debitor dengan Penerima Fidusia
atau Kreditor, haruslah dibuat dengan lengkap. Dimulai dengan penandatanganan
perjanjian pokok, Surat Kuasa untuk mendaftarkan fidusia dari Penerima Fidusia
kepada Notaris atau karyawan Notaris. Surat Kuasa pendaftaran tersebut dapat
disubstitusikan kepada karyawan Notaris, apabila di dalam Surat Kuasa tersebut
Penerima Fidusia hanya memberikan kuasanya kepada Notaris. Proses pembuatan
akta jaminan fidusia tidak lantas berhenti sampai tahap pembuatan akta Jaminan
Fidusia saja, namun proses pendaftaran jaminan fidusia sangat diperlukan untuk
menjamin kepastian hukum serta perlindungan hukum terhadap para pihak.
3. Persyaratan Pendaftaran Jaminan Fidusia
a. Akta Jaminan Fidusia;
b. Fotokopi Surat Keputusan/Penunjukan/Pengangkatan Kepala Cabang dan
Fotokopi KTP Kepala Cabang yang masih berlaku;
c. Fotokopi KTP Pemberi Fidusia. Lebih baik dilampirkan pula Fotocopy KTP
istri/suami dan Kartu Keluarga;
d. Fotokopi Perjanjian Pembiayaan Konsumen;
e. Asli Surat Kuasa Pembebanan Jaminan Fidusia dari Konsumen (Pemberi Fidusia)
ke Kepala Cabang/Perusahaan (Penerima Fidusia);
f. Untuk Kendaraan bekas, dilampirkan Fotokopi BPKB dan Kwitansi dari pemilik
lama/Dealer;
g. Untuk Kendaraan Baru, dilampirkan Surat Pernyataan BPKB sedang dalam proses
dan Berita Acara Serah Terima Kendaraan;
h. Surat Kuasa Membuat dan Menandatangani Akta (untuk Perusahaan yang
beralamat di luar kota Cianjur) dan Surat Kuasa Mendaftarkan Akta.
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia menyatakan : Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta
notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia
Ketentuan tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasan Pasal 11 UndangUndang Fidusia, bahwa “pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia
dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia, dan pendaftarannya mencakup
benda, baik yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara Republik Indonesia
untuk memenuhi asas publisitas, sekaligus merupakan jaminan kepastian terhadap
kreditor lainnya mengenai benda yang telah dibebani jaminan fidusia. Akan tetapi
ketentuan Pasal 11 ayat (1) berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 12 ayat (1)
Undang-Undang
Fidusia,
yang
menyatakan:
“pendaftaran
Jaminan
fidusia,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan pada Kantor Pendaftaran
Fidusia”. Dari ketentuan ini yang wajib didaftarkan adalah “jaminan fidusianya” atau
“ikatan jaminannya”.
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
menyatakan :
(1) Dalam sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam pasal
14 ayat (1)dicantumkan kata-kata " DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2) Sertifikat Jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Apabila debitor cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk
menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas
kekuasaannya sendiri.
Pasal 17 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
menyatakan : “Pemberi Fidusia dilarang melakukan fidusia ulang terhadap Benda yang
menjadi objek Jaminan Fidusia yang sudah terdaftar”. Ketentuan ini dibuat dalam
rangka untuk melindungi kepentingan pihak kreditor yang telah memberikan pinjaman
kepada debitor dan objek jaminannya tetap dikuasai oleh debitor. Ketentuan tersebut
sangat logis karena atas objek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikannya telah
“beralih” dari pemberi fidusia (debitor) kepada penerima fidusia (kreditor), sehingga
tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama
menjadi objek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia, maka hak
yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 diberikan kepada pihak yang
lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia (Pasal 28).
4. Hak Dan Kewajiban Para Pihak
a. Hak
1). Penerima Fidusia mempunyai hak:
(1). kepemilikan atas benda yang dijadikan objek fidusia, namun secara fisik
benda tersebut tidak di bawah penguasaannya
(2). dalam hal debitorwan prestasi, untuk menjual benda yang menjadi objek
jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (parate eksekusi), karena
dalam Sertifikat Jaminan Fidusia terdapat adanya titel eksekutorial,
sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
(3). yang didahulukan terhadap kreditor lainnya untuk mengambil pelunasan
piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan
fidusia;
(4).memperoleh penggantian benda yang setara yang menjadi objek jaminan
dalam hal pengalihan jaminan fidusia oleh debitor;
(5).memperoleh hak terhadap benda yang menjadi objek jaminan fidusia
dalam rangka pelaksanaan eksekusi;
(6). tetap berhak atas utang yang belum dibayarkan oleh debitor.
2). Pemberi Fidusia mempunyai hak:
(1). tetap menguasai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;
(2).dapat menggunakan, menggabungkan, mencampur atau mengalihkan
benda atau hasil dari benda yang menjadi objek jaminan fidusia, atau
melakukan penagihan atau melakukan kompromi atas utang apabila
Penerima Fidusia menyetujui.
b. Kewajiban/Tanggung Jawab
1). Penerima Fidusia :
(1).wajib mendaftarkan jaminan fidusia kepada Kantor Pendaftaran
Fidusia;
(2). wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan dalam
Sertifikat Jaminan Fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia;
(3). wajib mengembalikan kepada Pemberi Fidusia dalam hal hasil
eksekusi melebihi nilai penjaminan;
(4).wajib memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai
hapusnya jaminan fidusia. Pengecualian: Penerima Fidusia tidak
menanggung kewajiban atas akibat tindakan atau kelalaian Pemberi
Fidusia baik yang timbul dari hubungan kontraktual atau yang timbul
dari perbuatan melanggar hukum sehubungan dengan penggunaan dan
pengalihan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
2). Pemberi Fidusia :
(1). dalam hal pengalihan benda yang menjadi objek jaminan fidusia,
wajib menggantinya dengan objek yang setara;
(2). wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi;
(3). tetap bertanggung jawab atas utang yang belum terbayarkan.
Download