M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 136 ANALISIS BENTUK-BENTUK SENGKETA HUKUM ATAS TANAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG AGRARIA Oleh : Pahlefi1 Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan menganalisis bentuk-bentuk sengketa hukum atas tanah menurut peraturan perundang-undangan di bidang agraria. Penelitian ini merupakan penelitian normatif yang menitik beratkan penelitian terhadap data kepustakaan dengan menelusuri asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum positif dan pendapat para ahli yang berkaitan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara penelusuran literatur dan peraturan perundang-undangan melalui studi kepustakaan untuk memperoleh bahan hukum, yang terdiri dari : bahan hukum primer, yakni peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek penelitian ini; bahan-bahan hukum sekunder, yakni literatur hukum, dan hasilhasil penelitian terutama yang berkaitan dengan pengadaan tanah dan investasi; dan bahan hukum tersier, antara lain index dibidang hukum kamus hukum, dan kamus bahasa Indonesia. Sesuai dengan bentuk dan sifat data, maka analisis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis kualitatif. Data disajikan dalam bentuk deskripsi. Hasil pembahasan dalam penelitian ini adalah: Pertama, terdapat beragam bentuk sengketa pertanahan yaitu: Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan sebagainya; Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Land Reform; Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; dan Masalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat; Kedua, penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur pengdilan dan penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. Kata Kunci : Sengketa Hukum Atas Tanah 1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jambi ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 137 A. Latar Belakang Kebutuhan tanah yang terus meningkat berdampak pula terjadinya sengketa di bidang pertanahan baik secara vertikal maupun horizontal, antara perseorangan (warga masyarakat atau masyarakat hukum adat) maupun badan hukum (pemerintah atau swasta). Sengketa pertanahan yang terjadi dapat disebabkan oleh permasalahan tanah murni atau permasalahan yang terkait dengan sektor pembangunan lain (tidak terkait secara langsung). Untuk itu, Pemerintah senantiasa meningkatkan upaya koordinasi dan sinkronisasi antara instansi Pemerintah/pihak lain yang terkait, misalnya dengan instansi yang menangani kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Permasalahan pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Permasalahan pertanahan dimaksud dapat berupa pengaduan masyarakat yang diajukan secara langsung, tertulis, ekspose di media cetak / elektronik dan bahkan tidak jarang dilakukan melalui aksi unjuk rasa. Di samping itu terdapat juga perkara pertanahan yang disampaikan melalui gugatan ke Pengadilan. Sengketa pertanahan sudah muncul sejak sebelum zaman kemerdekaan. Hal ini dapat terlihat antara lain dari adanya sengketa pertanahan akibat monopoli pemilikan tanah-tanah perkebunan dan tanah partikelir oleh tuan-tuan tanah pada zaman kolonial atau adanya kewajiban rakyat untuk menyerahkan tanahnya kepada tuan-tuan tanah. Pemberlakuan Agrarische Wet pada tahun 1870, telah membuka kesempatan kepada perusahaan swasta pada zaman itu untuk melakukan investasi di bidang agraris di Indonesia. Sebelum berlakunya Agrarische Wet, perusahaan swasta sama sekali tidak memiliki kesempatan untuk berusaha di Indonesia, karena bidang agraria dimonopoli oleh Pemerintah ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 138 Belanda, sehingga Agrarische Wet pada dasarnya lahir akibat desakan para pemilik modal swasta besar yang membonceng Pemerintah Belanda.2 Selain hal tersebut, pemberlakuan domein verklaring, merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda agar kepentingan kerajaan Belanda terhadap tanah-tanah yang dikuasai di negeri jajahan dapat terlindungi. Kebijakan Belanda dalam memberlakukan domein verklaring pada kenyataannya saat itu sangat merugikan rakyat Indonesia. Hal ini dikarenakan domein verklaring tersebut diberlakukan atas tanah rakyat dan memungkinkan tanah-tanah ulayat diberikan kepada orang asing dengan hak sewa (erfpacht).3 Pada masa sekarang ini, sengketa pertanahan dirasakan semakin kompleks seiring dengan perkembangan reformasi yang membawa masyarakat belajar berdemokrasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sengketa pertanahan yang semula disebabkan adanya benturan kepentingan yang berkembang antara lain berkaitan dengan: 1) nilai-nilai budaya; 2) adanya perbedaan penafsiran yang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan UUPA yang merupakan ketentuan dasar pertanahan yang berlaku di seluruh Indonesia; 3) adanya penyimpangan dalam implementasi peraturan pelaksanaan UUPA. Kondisi ini menuntut adanya kebijakan strategis pertanahan nasional yang dapat menyelesaikan sengketa pertanahan secara lebih konseptual, komprehensif, dan terpadu. Sengketa pertanahan yang saat ini masih marak muncul adalah akibat pemilikan atau penguasaan tanah yang tidak seimbang. Hal ini banyak terjadi pada tanah-tanah perkebunan. Sengketa ini banyak memicu terjadinya pendudukan tanah perkebunan dimana HGU-nya belum berakhir oleh masyarakat tanpa seijin pemegang hak atas tanah yang bersangkutan (ocupatie) dan diklaim sebagai tanah miliknya.4 Sengketa pemilikan dan penguasaan tanah terjadi sebagai 2 Josef Johannes Blitanagy, Hukum Agraria Nasional Suatu Pembaruan Sejarahdan SIstem HUkum Politik Pertanahan, Nusa Indah, Jakarta, 1984, Hal. 19. 3 Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal. 9. 4 Menurut catatan BPS tahun 2001, kurang lebih 82,87% tanah negara diberikan penguasaannya kepada perkebunan besar (BUMN/Swasta) dalam bentuk HGU. Sebagain merupakan HGU dari perusahaan perkebunan asing yang telah di nasionaisasi pada tahun 1950. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 139 akibat penguasaan tanah secara berlebihan, terutama di kota-kota besar. Sedangkan di daerah pedesaan terus terjadi pemecahan (fragmentasi) pemilikan tanah pertanian dan terjadi alih guna tanah dari tanah pertanian menjadi tanah nonpertanian. Paling tidak ada 5 (lima) macam issue pokok tentang sengketa tanah yang sempat menjadi perhatian publik. Pertama, issue pengambilan tanah untuk kepetingan proyek pembangunan pemerintah, seperti kasus Kedung Ombo di Jawa Tengah. Kedua, issue pengambilan tanah untuk eksploitasi hutan, seperti kasus Sugapa di Sumatera Utara. Ketiga, issue sengketa tanah untuk pemukiman dan garapan petani melawan penggunaan tanah untuk hutan atau Suaka Margasatwa (Taman Nasional), seperti kasus Sagara di Jawa Barat. Keempat, issue perebutan tanah antara penggarap dengan proyek-proyek wisata atau rekreasi, seperti kasus Cimacan di Jawa Barat. Kelima, issue pengambilan tanah untuk wilayah perkebunan, baik dalam bentuk perusahaan perkebunan, maupun Perusahaan Inti Rakyat-Perkebunan (PIR-Bun).5 Sampai tahun 2009, sengketa agraria masih marak terjadi, dan tidak sedikit yang berujung pada konflik terbuka disertai kekerasan. Sebut saja, penembakan 12 petani di Ogan Ilir oleh Satuan Brimob Polda Sumatera Selatan pada 4 Desember 2009. Peristiwa ini merupakan buntut dari sengketa antara petani dengan Pabrik Gula Cinta Manis yang beroperasi di wilayah PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VII. Tak berapa lama, tanggal 9 Desember 2009, konflik terbuka juga meletus di Kecamatan Lelak, Manggarai Nusa Tenggara Timur.6 Umumnya, konflik agraria yang meletus merupakan kasus lama, bersifat laten, dan sebarannya hampir merata di berbagai wilayah. Namun, eskalasi konfliknya sesuai dengan dinamika sosial ekonomi-politik di wilayah masingmasing. Sengketa yang telah menahun ini adalah warisan peristiwa masa lalu. Pada masa Orde Baru, kekuatan negara untuk mengambilalih kepemilikan tanah 5 Hariadi, Untoro, dkk, Tanah, Rakyat, dan Demokrasi, Forum LSM-LPSM, Yogyakarta, 1995, Hal. 175-177 6 Taufiqul Mujib, Membangun Pengadilan Sengketa Tanah Akibat Peristiwa Masa Lalu, www.taufiqulmujib.wordpress.com, 19 Januari 2010. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 140 masyarakat demi alasan “kepentingan umum” sangatlah dominan. Bahkan, jika dirunut jauh ke belakang, konflik agraria di Indonesia berlangsung sejak masa feodalisme, kolonialisme dan hingga masa kini. Keinginan pemerintah untuk menyelesaikan sengketa pertanahan masih selalu dalam tatanan konseptual. Sejak masuk ke dalam era reformasi, cita-cita untuk melakukan redistribusi tanah dalam rangka Reforma Agraria hanya terwujud dalam pidato-pidato kenagaraan. Jaman Pemerintahan Presiden Abdurrachman Wahid (Gus Dur) keinginan untuk melakukan Reforma Agraria dengan melakukan langkah redistribusi tanah sudah mulai dicanangkan. Pada awal tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpidato yang pada intinya adalah melakukan redistribusi Tanah Negara kepada sejumlah rumah tangga yang dikategorikan sebagai petani termiskin.7 Akan tetapi hal yang tersebut ternyata masih kalah pamor dengan kasus-kasus lain, ketimbang upaya untuk menyelesaikan banyak sengketa pertanahan yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah yang diprioritaskan. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa : “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ayat tersebut mengandung makna bahwa negara atau pemerintah merupakan penguasa, pengatur, dan pengelola, dan mampunyai kewenangan untuk mendistribusikan hak atas tanah kepada rakyat untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian sengketa pertanahan, yang sebagian besar terjadi akibat penetapan haik negara atas tanah, merupakan persoalan yang wajib dijawab oleh pemerintah. Sehingga jawabnnya juga bermanfaat bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat Indonesia. Setiap permasalahan pertanahan yang muncul harus diupayakan untuk ditangani segera agar tidak meluas menjadi masalah yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat yang berdampak sosial, ekonomi, politik dan keamanan. Dalam kerangka inilah kebijakan pertanahan dalam menangani sengketa, konflik, 7 Dianto Bachriadi, Reforma Agraria Indonesia: Pandangan Kritis Tentang Program Pembaruan Agraria Nasional atau Redistribusi Tanah Ala Pemerintahan SBY, Makalah Diskusi dalam Pertemuan Organisasi-Organisasi Rakyat Se-Jawa di Magelang, 2007, Hal. 1 ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 141 dan perkara pertanahan dilakukan secara sistematis dan terpadu, diantaranya dengan cara mengelompokkan permasalahan menurut tipologinya dan kemudian dilakukan pengkajian untuk mencari akar masalahnya. B. Permasalahan Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Apa bentuk-bentuk sengketa hukum atas tanah yang terjadi di Indonesia? 2. Bagaimana penyelesaian sengketa hukum atas tanah dalam menurut peraturan Perundang-undangan di bidang pertanahan ? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif atau penelitian hukum doktrinal, yaitu penelitian hukum yang dilakukan atau ditujukan pada peraturanperaturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum lain.8 Penelitian ini ingin mengkaji mengenai penerapan asas-asas hukum yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria dalam penyelesaian sengketa pertanahan. Penelitian ini tidak mengkaji tentang pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 maupun pelaksanaan peraturan yang ada dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Oleh karena itu penelitian ini dinamakan penelitian hukum normative atau doktrinal. Adapun pendekatan yang digunakan terhadap penelitian ini adalah pendekatan Konseptual (conceptual approach), pendekatan perundang-undangan (Statuta approach), dan pendekatan kasus hukum (case law approach). Pendekatan konseptual digunakan terhadap penelitian ini karena menimbang bahwa secara konseptual aturan yang berkenaan dengan pertanahan menginginkan adanya asas keadilan dan pemerataan dalam kepemilikan tanah, serta dalam penyelesaian sengketa pertanahan harus mengandung asas kejujuran dan keadilan. 8 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hal. 13. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 142 Sesuai dengan permasalahan tersebut di atas, maka maka pengumpulan data atau bahan hukum menggunakan alat pengumpul data berupa studi dokumen (document study). Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi studi bahanbahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.9 Analisis penelitian ini dilakukan dengan cara menginterprestasikan semua peraturan-peraturan perundangan yang sesuai, menelaah asas yang terkandung khususnya yang berhubungan dengan penenyelesaian sengketa pertanahan. Kemudian menilai bahan hukum tersebut dan mengevaluasi segala konsep dan kaedah hukum yang berhubungan dengan hal tersebut secara teoritis, filosofis dan praktis. D. Pembahasan 1. Bentuk-Bentuk Sengketa Hukum Atas Tanah Yang Terjadi Di Indonesia Sengketa pertanahan yang muncul tiap tahunnya menunjukkan bahwa penanganan tentang kebijakan pertanahan di Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Kalau nmeneliti kasus-kasus sengketa pertanahan yang ada, umumnya posisi rakyat sangat lemah dibandingkan dengan posisi negara dan pemodal yang sangat kuat dalam menentukan arah dan corak perubahan sosial di Indonesia, yang selalu dinyatakan dengan alasan untuk kepentingan umum. Lemahnya posisi rakyat juga terlihat dalam proses dinamika sengketa itu sendiri. Bentuk-bentuk sengketa pertanahn yang terjadi selama ini sangat beraneka ragam. Sehubungan dengan hal tersebut, Dadang Juliantra, membagi lima bentuk sengketa tanah :10 9 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2006, Hal. 68 10 Dadang Juliantra, Sengketa Tanah, Modal dan Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995, hal. 175. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 143 1. Pengambilan tanah untuk kepentingan proyek pembangunan pemerintah, seperti waduk, lapangan terbang, tempat latihan tempur, dan lain-lain. Contoh antara lain Waduk Kedung Ombo, Waduk Wangi (Jawa barat). 2. Pengambilan tanah untuk perkebunan, baik dalam bentuk perusahaan perkebuunan maupun perusahan inti rakyat. 3. Pengambilan tanah (terutama tanah adat) untuk mengeksploitasi hutan melalui HPH maupun HPI, seperti kasus di Maluku, Buntian di Kalimantan Timur. 4. Konflik tanah untuk pemukiman dan garapan petani versus penggunaan tanah untuk hutan atau suaka marga satwa atau taman nasional, Contohnya Sugara di Jawa Barat, Sumber Klampok di Bali, dan lain-lain. 5. Perebutan tanah antara penggarap dan proyek-proyek wisata atau rekreasi, seperti hotel, lapangan golf, dan lain-lain. Selanjutnya, menurut Maria S.W. Sumardjono, peta permasalahan tanah dapat di kelompokkan menjadi:11 1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan sebagainya; 2. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Land Reform; 3. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; 4. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; 5. Masalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. 11 Maria S.W. Sumardjono, Sengketa Pertanahan dan Penyelesaian Secara Hukum, Disampaikan pada “Seminar Penyelesaian Konflik Pertanahan” yang diselenggarakan oleh Sigma Conference, tanggal 26 Maret 1996 di Jakarta. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 144 2. PENYELESAIAN SENGKETA HUKUM ATAS TANAH DALAM MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI BIDANG PERTANAHAN 1. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Peradilan a. Gugatan Perdata Sengketa Tanah Di Pengadilan Umum Dalam perkara ini berlakulah ketentuan-ketentuan perdata seperti KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan lain seperti UUPA. Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima, memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa di antara pihak yang berperkara. Subjek sengketa di atur sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi UndangUndang No. 35 Tahun 1999; sekarang menjadi Pasal 16 ayat (1) UndangUndang No. 05 Tahun 2004. Gugatan perdata ada tiga jenis, yaitu: 1. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon atau kuasa hukumnya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri.12 Ciri khas gugatan ini adalah:13 Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for the benefit of one party only)14. Gugatan ini diajukan hanya untuk kepenting pemohon semata, tidak bersentuhan dengan hak dan kepentingan orang lain. Jadi, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain (without disputes or difference with another party). Tidak ada orang lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan. Jadi bersifat ex-parte. Cobtohnya dalah permohonan hak waris oleh 12 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1994, hal. 10. 13 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 29. 14 Henry Campbell Balck, Black Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974, hal. 517. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 145 seorang anak setelah orang tuanya meninggal dunia. Permohonan ini untuk kepentingan sepihak (on behalf of one party) 2. Gugatan Contentiosa Kewenangan badan peradilan menyelesaikan perkara di antara para pihak disebut yurisdiksi contentiosa. Gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut dengan yurisdiksi contentious. Dengan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak. Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah gugatan, yakni berupa tuntutan perdata (burgelijk vor denj) sehubungan dengan hak yang dipersengketakan dengan pihak lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa para pihak, dengan posisi para pihak sebagai berikut: 1. Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat. 2. Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian disebut dan berkedudukan sebagai tergugat. 3. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) Class Actio secara umum adalah sinonim dari kata class suit atau representative action yang berarti: a. Tuntutan melalui pengadilan yang diajukan satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative). b. Penggugat bukan cuma atas namanya saja tetapi sekaligus atas nama kelompok yang diwakili. Namun untuk itu penggugat tak memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. c. Dalam gugatan tidak perlu disebutkan satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 146 d. Yang penting asal kelompok yang diwakili dapat diidentifikasi secara spesifik. e. Di antara seluruh anggota kelompok dan wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan: 1) Kesamaan kepentingan. 2) Kesamaan penderitaan. 3) Yang dituntut memiliki kemanfaatan bagi seluruh anggota. b. Pengadilan Tata Usaha Negara Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara, yakni: 1. Melalui Upaya Administrasi.15 Cara ini merupakan prosedur yang dapat ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap suatu keputusan Tata Usaha Negara. Bentuk upaya administrasi adalah: a) Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan putusan. b) Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan putusan itu. 2. Melalui Gugatan. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua pihak, yaitu: a) Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat atau di daerah. 15 Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Fokudmedia, Bandung, 2004, hal.59. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 147 b) Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahk padanya.16 c. Kasasi Di Mahkamah Agung RI Menurut Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986, terhadap putusan tingkat akhir, yaitu putusan Pengadilan Tinggi dapat diajukan pemeriksaan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI.17 Adapun landasan hukum kewenangan kasasi adalah sebagai berikut : 1) Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang.” 2) Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai berikut: a) Pasal 11 ayat (1) mengemukakan bahwa Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan PTUN). 16 Ibid., hal. 5 Sentosa Sembiring, Himpunan Lengkap Peraturan Perundang-undangan Tentang Badan Peradilan Dan Penegakan Hukum, Nuansa Aulia, Bandung, 2006, hal. 397. 17 ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 148 b) Pasal 11 ayat (2) huruf (a) menegaskan kewenangan yang dimiliki Mahkamah Agung dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai pengadilan negara tertinggi: “Mengadili pada tingka kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung.” 3) Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Pada Pasal 28 ayat (1) huruf (a) dirumuskan tugas dan kewenangan Mahkamah Agung yakni memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Menurut Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung tugas dan kewenangan Mahkamah Agung adalah: a) Memeriksan dan memutus permohonan kasasi. b) Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili. c) Memeriksa dan memutus permohona peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung mengaitkan dan mempertautkan tugas dan kewenangan Mahkamah Agung RI mengadili permohonan kasasi dengan aspek: a) Alasan atau syarat permohonan kasasi yang dibenarkan UndangUndang yang disebut secara limitatif pada Pasal 30 ayat (1). b) Pembatalan putusan pengadilan yang dimohon kasasi apabila putusan yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah dideskripsikan pada Pasal 30 ayat (1) yang dimaksud. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 149 2. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Luar Jalur Peradilan Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah melalui Altenatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). Ada juga yang menyebutnya sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara Kooperatif (MPSSK).18 Menurut Philip D. Bostwick19 yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of practice and legal techniques that aim): a. Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak. b. Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa terjadi. c. Mencegah terjadinya sengketa hukum nyang biasanya diajukan ke pengadilan. Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan pada umumnya dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut:20 a. Negosiasi; b. Proses Mediasi; c. Proses Konsiliasi; d. Proses Fasilitasi; e. Proses Penilaian Independen; dan f. Proses Arbitrase. 18 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hal. 11. 19 Ibid., hal. 15. 20 Yudha Pandu, Klien Dan Advokat Dalam Praktek, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hal. 133-138. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 150 E. Penutup 1) Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan sebagaimana tersebut dalam Bab V, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Terdapat beragam bentuk sengketa pertanahan yaitu : a. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, proyek perumahan yang ditelantarkan, dan sebagainya; b. Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan Land Reform; c. Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; d. Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e. Masalah yang berkaitan dengan hak ulayat masyarakat hukum adat 2. Penyelesaian sengketa pertanahan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu penyelesaian sengketa melalui jalur pengdilan dan penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan. 2) Saran Telah banyak alternatif atau kemungkinan cara-cara penyelesaian sengketa pertanah. Hendaknya masyarakat, instansi pemerintah, badan hukum swasta maupun negeri dalam menyikapi sengketa pertanahan hendaknya dilakukan penyelesaian sesuai dengan cara yang telah di atur oleh undang-undang. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014 M a j a l a h H u k u m F o r u m A K a d e m i k a | 151 Daftar Pustaka Adrian Sutedi, Implementasi Prinsip Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007. Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2008. Dianto Bachriadi, Reforma Agraria Indonesia: Pandangan Kritis Tentang Program Pembaruan Agraria Nasional atau Redistribusi Tanah Ala Pemerintahan SBY, Makalah Diskusi dalam Pertemuan Organisasi-Organisasi Rakyat Se-Jawa di Magelang, 2007. Dadang Juliantra, Sengketa Tanah, Modal dan Transformasi, Forum LSM LPSM DIY, 1995. Erman Suparman, Kitab Undang-Undang PTUN (Peradilan Tata Usaha Negara), Fokudmedia, Bandung, 2004. Elza Syarief, Menuntaskan Sengketa Tanah Melalui Pengadilan Khusus Pertanahan, PT. Gramedia, Jakarta, 2012. Hendrik Budi Untung, Hukum Investasi, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2010. Henry Campbell Balck, Black Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974. Hariadi, Untoro, dkk, Tanah, Rakyat, dan Demokrasi, Forum LSM-LPSM, Yogyakarta, 1995. Josef Johannes Blitanagy, Hukum Agraria Nasional Suatu Pembaruan Sejarahdan Sistem HUkum Politik Pertanahan, Nusa Indah, Jakarta, 1984. Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaleteit dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1982. Ida Bagus Rahmadi Supancana, Kerangka Hukum Kebijakan Investasi LAngsung di Indonesia, Graha Indonesia, Jakarta, 2005. John Downes dan Jordan Elliot Goodman¸Kamus Istilah Keuangan & Investasi, Alih bahasa oleh Soesanto Budhidarmo, Elex Media Komputendo, Jakarta, 1994. ISSN: 0854 – 789 X Volume 25, Nomor 1, Maret 2014