1 EKOSISTEM SAWAH (diabstraksikan oleh: Prof Dr Ir Soemarno MS, pslp-ppsub-2010) Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme dan anorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada. Dalam ekosistem, organisme dalam komunitas berkembang bersama-sama dengan lingkungan fisik sebagai suatu sistem. Organisme akan beradaptasi dengan lingkungan fisik, sebaliknya organisme juga mempengaruhi lingkungan fisik untuk keperluan hidup. Pengertian ini didasarkan pada hipotesis Gaia, yaitu: "organisme, khususnya mikroorganisme, bersama-sama dengan lingkungan fisik menghasilkan sutu sistem kontrol yang menjaga keadaan di bumi cocok untuk kehidupan". Hal ini mengarah pada kenyataan bahwa kandungan kimia atmosfer dan bumi sangat terkendali dan sangat berbeda dengan planet lain di tata surya. Hukum Toleransi Hukum toleransi berbunyi: Kehadiran, kelimpahan dan penyebaran suatu spesies dalam ekosistem ditentukan oleh tingkat ketersediaan sumber daya serta kondisi faktor kimiawi dan fisis yang harus berada dalam kisaran yang dapat ditoleransi oleh spesies tersebut. Misalnya: Panda memiliki toleransi yang luas terhadap suhu, namun memiliki toleransi yang sempit terhadap makanannya (bambu). Berbeda dengan makhluk hidup yang lain, manusia dapat memperlebar kisaran toleransinya karena kemampuannya untuk berpikir, mengembangkan teknologi dan memanipulasi alam. Komponen Pembentuk Ekosistem Komponen-komponen pembentuk ekosistem adalah: Komponen tak hidup (abiotik) Komponen abiotik yaitu komponen fisik dan kimia yang merupakan medium atau substrat tempat berlangsungnya kehidupan, atau lingkungan tempat hidup. Sebagian besar komponen abiotik bervariasi dalam ruang dan waktunya. Komponen abiotik dapat berupa bahan organik, senyawa anorganik, dan faktor yang mempengaruhi distribusi organisme, yaitu: 1. Suhu. Proses biologi dipengaruhi suhu. Mamalia dan unggas membutuhkan energi untuk meregulasi temperatur dalam tubuhnya. 2 2. Air. Ketrsediaan air mempengaruhi distribusi organisme. Organisme di gurun beradaptasi terhadap ketersediaan air di gurun. 3. Garam. konsentrasi garam mempengaruhi kesetimbangan air dalam organisme melalui osmosis. Beberapa organisme terestrial beradaptasi dengan lingkungan dengan kandungan garam tinggi. 4. Cahaya matahari. Intensitas dan kualitas cahaya mempengaruhi proses fotosintesis. Air dapat menyerap cahaya sehingga pada lingkungan air, fotosintesis terjadi di sekitar permukaan yang terjangkau cahaya matahari. Di gurun, intensitas cahaya yang besar membuat peningkatan suhu sehingga hewan dan tumbuhan tertekan. 5. Tanah dan batu. Beberapa karakteristik tanah yang meliputi struktur fisik, pH, dan komposisi mineral membatasi penyebaran organisme berdasarkan pada kandungan sumber makanannya di tanah. 6. Iklim. Iklim adalah kondisi cuaca dalam jangka waktu lama dalam suatu area. Iklim makro meliputi iklim global, regional dan lokal. Iklim mikro meliputi iklim dalam suatu daerah yang dihuni komunitas tertentu. Komponen autotrof Terdiri dari organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dari bahan anorganik dengan bantuan energi seperti sinar matahari (fotoautotrof) dan bahan kimia (khemo-autotrof). Komponen autotrof berperan sebagai produsen. Organisme autotrof adalah tumbuhan berklorofil, seperti padi sawah. 3 Sumber: http://www.annualreviews.org/na101/home/literatu/ publisher/ar/ journals/content/arplant/2010/arplant.2010.61.issue-1/annurev-arplant-042809112152/production/images/medium/pp610535.f1.gif Komponen heterotrof Terdiri dari organisme yang memanfaatkan bahan-bahan organik yang disediakan oleh organisme lain sebagai makanannya. Komponen heterotrof disebut juga konsumen makro (fagotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih kecil. Yang tergolong heterotrof adalah manusia, hewan, jamur, dan mikroba. Pengurai (dekomposer) Pengurai adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal dari organisme mati.[4] Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Yang tergolong pengurai adalah bakteri dan jamur. Ada pula detritivor yaitu hewan pengurai yang memakan sisa-sisa bahan organik, contohnya adalah kutu kayu. Tipe dkomposisi ada tiga, yaitu: 1. secara aerobik : oksigen adalah penerima elektron / oksidan 2. secara anaerobik : oksigen tidak terlibat. Bahan organik sebagai penerima elektron /oksidan 4 3. Fermentasi : anaerobik namun bahan organik yang teroksidasi juga sebagai penerima elektron. Semua komponen tersebut berada pada suatu tempat dan berinteraksi membentuk suatu kesatuan ekosistem yang teratur. Misalnya, pada suatu ekosistem akuarium, ekosistem ini terdiri dari ikan sebagai komponen heterotrof, tumbuhan air sebagai komponen autotrof, plankton yang terapung di air sebagai komponen pengurai, sedangkan yang termasuk komponen abiotik adalah air, pasir, batu, mineral dan oksigen yang terlarut dalam air. Konsep Produktivitas Energi bersifat kekal, namun pada setiap pertukaran energi dari satu bentuk ke bentuk lainnya akan mengalami kehilangan energi. Produktivitas primer suatu ekosistem adalah laju penyimpanan energi melalui proses fotosintesa oleh produsen dalam bentuk senyawa organik yang dapat dipakai sebagai bahan makanan. Produktifitas sekunder adalah laju penyimpanan energi pada tingkat konsumen. Produktivitas primer kotor adalah hasil seluruh fotosintesa, termasuk yang terpakai untuk respirasi. Produktivitas primer bersih adalah hasil bersih fotosintesa. Produktivitas komunitas bersih adalah laju penyimpanan bahan organik yang tidak digunakan oleh heterotrof per satuan waktu. Produktivitas setiap jenis ekosistem berbeda-beda. Kebergantungan Kebergantungan pada ekosistem dapat terjadi antar komponen biotik atau antara komponen biotik dan abiotik. Kebergantungan antar komponen biotik dapat terjadi melalui: 1. Rantai makanan, yaitu perpindahan materi dan energi melalui proses makan dan dimakan dengan urutan tertentu. Tiap tingkat dari rantai makanan disebut tingkat trofi atau taraf trofi. Karena organisme pertama yang mampu menghasilkan zat makanan adalah tumbuhan maka tingkat trofi pertama selalu diduduki tumbuhan hijau atau produsen. Tingkat selanjutnya adalah tingkat trofi kedua, terdiri atas hewan pemakan tumbuhan yang biasa disebut konsumen primer. Hewan pemakan konsumen primer merupakan tingkat trofi ketiga, terdiri atas hewan-hewan karnivora. 2. Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya. Kebergantungan antara komponen biotik dan abiotik dapat terjadi melalui siklus materi, seperti: 1. siklus karbon 2. siklus air 5 3. 4. siklus nitrogen siklus sulfur Siklus ini berfungsi untuk mencegah suatu bentuk materi menumpuk pada suatu tempat. Kegiatan manusia telah membuat suatu sistem yang awalnya siklik menjadi nonsiklik, kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh manusia cenderung mengganggu keseimbangan lingkungan alam. Diagram of Environments and N2 Fixing Components in a rice field Ecosystem N2 fixing bacteria. 1. Asscoiated with the roots 2. In the Soil 3. Epiphytic on Rice 4. Epiphytic on weeds. Blue-gree algae 5. at soil-water interface 6. free floating 7. at air water interface 8. epihytic on rice 9. epiphytic on weeds 10 Azolla Komponen ekosistem sawah (Sumber: http://www.microbiologyprocedure.com/rhizosphere-phyllosphere/nitrogenfixation-in-the-rhizosphere.html) In low land flooded rice cultivation, two major subenvironments have come to be recognized-submerged plant parts and the rhizosphere. Epiphytic bacteria 6 and algae colonize the surface of aquatic weeds. The rhizosphere is a nonphotic environment where redox, conditions are determined by the balance of oxidizing and reducing capacities of rice roots and characterized by exuded carbon compounds from roots providing energy sources for microbial growth. Nitrogen fixing microorganisms in the waterlogged rice fields contribute about 40-50 kg N / ha. This fixation is a cumulative effect of Rhodopseudomonas, blue-gree algae, both free living as well as symbiotic (photoautotrophs) and Azotobacter, Beijerinckia, Methylomonas, Clostridium, Desulfovibrio, Klebsiella, Enterobacter, Flavobacterium, Pseudomonas, Azospirillum and Rhizobium (Heterotrophs). The bulk of symbiotic nitrogen fixation in rice rhizosphere of flooded soil comes from root and stem nodules of leguminous green manure species when they are ploughed into the soil. It is also now known that nitrogen fixing bacteria occur in the rhizosphere, stalks and phyllosphere of sugarcane plants and such bacteria have also been reported inside the root cells. Can Rice-Fish Farming Provide Food Security in Bangladesh? (http://www.thefishsite.com/articles/641/can-ricefish-farming-provide-foodsecurity-in-bangladesh) Bangladeshi people are popularly referred to as "Macche-Bhate Bangali" or "fish and rice makes a Bengali." Rice and fish have been an essential part of the life of Bangladeshi people from time immemorial. Rice farming is the single most important livelihood for a vast majority of the rural poor. The annual rice production is estimated to be 26.53 million tons1, while fish production is 2.32 million tons. The demand for rice and fish is const antly rising, with the population increasing by more than three million people each year. The total area of rice fields in Bangladesh is about 10.14 million ha and there are a further 2.83 million ha of seasonal rice fields where water remains for four to six months of the year. These inundated rice fields can play an important role in increasing fish production through integration of aquaculture. There are several positive effects of fish farming in rice yields. Integrated rice-fish production can optimise resource use through the complementary utilisation of land and water. Integration of fish with rice farming improves diversification, intensification, productivity and sustainability. Rice-fish farming is also being regarded as an important approach to integrated pest management (IPM). The adoption of rice-fish farming in Bangladesh remains rather marginal to date due to socioeconomic, environmental, technological and institutional constraints9. Traditionally wild fish have been harvested from rice fields. The green revolution of agriculture has become a constraint for the development of rice-fish farming. With the introduction of high yielding varieties (HYV) of rice, the pest control strategy has preferred chemical pesticides. Nevertheless, reducing pesticide has taken place through IP M. The introduction of IPM with fish farming in rice fields becoming popularity in many Asian countries, such as China, Philippines, Thailand and Vietnam. 7 Satuan dalam Ekosistem Antara makhluk hidup satu dengan yang lain akan selalu terjadi interaksi. Ekosistem tersusun atas komponen-komponen yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Komponenitu membentuk satuansatuan organisme kehidupan. Antara individu yang satu dengan lainnya dalam satu daerah akan membentuk populasi. Selanjutnya, antara populasi yang satu dengan yang lainnya dalam satu daerah akan terjadi interaksi membentuk komunitas. Selanjutnya, komunitas ini juga akan selalu beriteraksi dengan tempat hidupnya. Misalnya, rumput hidup di tanah, belalang hidup di rerumputan, dan ikanikan hidup di air. Hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya akan membentuk ekosistem. Kumpulan ekosistem di dunia akan membentuk biosfer. Urutan satuan-satuan makhluk hidup dalam ekosistem dari yang kecil sampai yang besar adalah sebagai berikut: Individu Populasi Komunitas Ekosistem Biosfer. 1. Individu Tanaman Padi Istilah individu berasal dari bahasa Latin individum yang berarti tidak dapat dibagi. Di dalam ekologi, individu dapat diartikan sebagai sebutan untuk makhluk tunggal. Beberapa pengertian individu antara lain: a. Suatu individu selalu menggambarkan sifat tunggal b. Dalam diri yang tunggal terjadi proses hidup sendiri c. Proses hidup yang satu dengan lainnya berbeda. Berikut ini deskripsi individu tanaman padi. Rice is a semi-aquatic plant. In true aquatic plants air spaces (aerenchyma tissue) help to support the leaves near to the surface of the water. Locate the air spaces on the picture of the pond weed below. There are many varieties of rice and they differ in height, in the amount of time they take to mature and in their water requirements. In various parts of its range, rice is grown in different ways but most of the rice in south-cast Asia is grown in unusual conditions for a cereal plant. It is grown partly submerged in water in paddy fields. The fields are flooded and then ploughed. Young rice plants are planted in the rich mud formed in these paddy fields. The oxygen concentration of this mud fails rapidly after the paddy field has been flooded. The top ten centimetres or so retains some oxygen because it is able to diffuse in but below this depth anaerobic conditions exist and there is little or no oxygen present. Rice stems contain a large number of air spaces. These spaces allow oxygen to penetrate through to the cells of roots growing in the absence of oxygen. These cells continue to get oxygen and are able to respire aerobically. Another adaptation shown by rice plants is that many of their 8 roots are very shallow. These roots are able to make use of the oxygen which diffuses into the surface layer. When fields in which a cereal such as wheat is growing are flooded for any length of time, the plants die. The oxygen concentration of the waterlogged soil falls rapidly. The root cells are unable to get the oxygen they need in order to respire. In these conditions they can carry on respiring without oxygen. This is called anaerobic respiration and results in ethanol being formed as a waste product. Unfortunately, this substance is poisonous so a plant can only respire in this way for a short time before the ethanol concentration builds up and kills it. Cells in the roots of rice plants have been shown to be extremely tolerant of ethanol, much more so than cells from the roots of other cereals. They can therefore respire anaerobically for longer periods. There are two advantages of growing rice in paddy fields. Flooding brings about chemical changes in the soil which increases the supply of soil nutrients required by the rice plants. It also reduces weeds. Rice does not grow well when it has to compete with weeds for the resources that it needs. Individu tanaman padi (Sumber: http://www.compulink.co.uk/~argus/Dreambio/fertilisers%20and%20crops/rice.htm) 2. Populasi Padi Populasi adalah semua individu sejenis yang menempati suatu daerah tertentu. Suatu organisme disebut sejenis bila memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Menempati daerah atau habitat yang sama b. Mempunyai persamaan bentuk, susunan tubuh, dan aktifitas 9 c. Mampu menghasilkan keturunan yang subur, yaitu yang mampu berkembang biak. Sebagai contoh, pada suatu lahan seluas 200 m² terdapat 500 batang tanaman padi, 100 ekor belalang, 50 ekor jangkrik, 10 batang tanaman sengon, dan 30 batang tanaman kelapa. Berdasarkan data tersebut maka di dalam lahan atau daerah tersebut terdapat beberapa populasi, yaitu populasi padi, populasi belalang, populasi jangkrik, populasi sengon dan populasi kelapa. Komunitas padi sawah agroforestry (Sumber: http://www.indonesiaseoul.org/pictures/RiceField2.jpg) 3. Komunitas Komunitas dapat diartikan sebagai seluruh populasi yang menempati daerah yang sama. Di daerah tersebut, antar jenis makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya akan terjadi interaksi. Kemudian interaksi itu membentuk suatu kumpulan, dimana di dalamnya setiap individu menemukan lingkungan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di dalam kumpulan tersebut terdapat suatu kerukunan untuk hidup bersama, toleransi kebersamaan, dan hubungan timbal balik yang menguntungkan dan ada pula yang merugikan. 10 Interaksi populasi padi dengan populasi belalang (Sumber: http://www.knowledgebank.irri.org/ricedoctor/) 4. Ekosistem Sawah Ekosistem merupakan tatanan secara utuh dari seluruh unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem juga dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang kompleks antara organisme dengan lingkungannya. Berdasarkan sejarah terbentuknya, ekosistem dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: a. Ekosistem Alami, yaitu ekosistem yang terbentuk secara alami, tanpa adanya pengaruh atau campur tangan manusia. Misalnya, ekosistem gurun pasir, ekosistem hutan tropis, dan ekosistem hutan gugur. Setiap ekosistem mempunyai ciri khas. Ciri itu sangat ditentukan oleh faktor suhu, curah hujan, iklim, dan lain-lain. b. Ekosistem Buatan, yaitu ekosistem yang sengaja dibuat oleh manusia. Misalnya, kolam, waduk, sawah, ladang, dan tanam. Pada umumnya, ekosistem buatan mempunyai komponen biotik sesuai dengan yang diinginkan pembuatnya. Pada ekosistem sawah, komponen biotik yang banyak, yaitu padi dan kacang. c. Ekosistem Suksesi, yaitu ekosistem yang merupakan hasil suksesi lingkungan yang sebelumnya didahului oleh kerusakan. Pada 11 lingkungan demikian, jenis tumbuhan yang berkembang ditentukan oleh jenis organisme yang hidup di sekitarnya. Ekosistem sawah irigasi (Sumber: http://wwwdelivery.superstock.com/WI/223/1566/200701/PreviewComp/SuperSt ock_1566-328983.jpg) An ecosystem is a biological environment consisting of all the organisms living in a particular area, as well as all the nonliving, physical components of the environment with which the organisms interact, such as air, soil, water, and sunlight. It is all the organisms in a given area, along with the nonliving (abiotic) factors with which they interact; a biological community and its physical environment. The entire array of organisms inhabiting a particular ecosystem is called a community.[1] In a typical ecosystem, plants and other photosynthetic organisms are the producers that provide the food.[1] Ecosystems can be permanent or temporary. Ecosystems usually form a number of food webs. Ecosystems are functional units consisting of living things in a given area, nonliving chemical and physical fact ors of their environment, linked together through nutrient cycle and energy flow. Jasa-jasa Ekosistem Humankind benefits from a multitude of resources and processes that are supplied by natural ecosystems. Collectively, these benefits are known as ecosystem services and include products like clean drinking water and processes such as the decomposition of wastes. While scientists and environmentalists have discussed ecosystem services for decades, these services were popularized and their definitions formalized by the United Nations 2004 Millennium Ecosystem Assessment (MA), a four-year study involving more than 1,300 scientists worldwide.[1] This grouped ecosystem services into four broad categories: provisioning, such as the production of food and water; regulating, such as the 12 cont rol of climat e and disease; supporting, such as nutrient cycles and crop pollination; and cultural, such as spiritual and recreational benefits. As human populations grow, so do the resource demands imposed on ecosystems and the impacts of our global footprint. Natural resources are not invulnerable and infinitely available. The environmental impacts of anthropogenic actions, which are processes or materials derived from human activities, are becoming more apparent air and water quality are increasingly compromised, oceans are being overfished, pests and diseases are extending beyond their historical boundaries, and deforestation is exacerbating flooding downstream. It has been reported that approximately 40-50% of Earth s ice-free land surface has been heavily transformed or degraded by anthropogenic activities, 66% of marine fisheries are either overexploited or at their limit, atmospheric CO2 has increased more than 30% since the advent of industrialization, and nearly 25% of Earth s bird species have gone extinct in the last two thousand years.[2] Society is increasingly becoming aware that ecosystem services are not only limited, but also that they are threatened by human activities. The need to better consider long-term ecosystem health and its role in enabling human habitat ion and economic activity is urgent . To help inform decision-makers, many ecosystem services are being assigned economic values, often based on the cost of replacement with anthropogenic alternatives. The ongoing challenge of prescribing economic value t o nature, for example through biodiversity banking, is prompting transdisciplinary shifts in how we recognize and manage the environment, social responsibility, business opportunities, and our future as a species. Experts currently recognize four categories of ecosystem services.[1] The following lists represent samples of each: Provisioning services food (including seafood and game), crops, wild foods, and spices water pharmaceuticals, biochemicals, and industrial products energy (hydropower, biomass fuels) Regulating services carbon sequestration and climate regulation waste decomposition and detoxification purification of water and air crop pollination pest and disease control Supporting services nutrient dispersal and cycling seed dispersal P rimary production Cultural services cultural, intellectual and spiritual inspiration recreational experiences (including ecotourism) scientific discovery 13 5. Biosfer Biosfer adalah kumpulan dari semua ekosistem yang terdapat di permukaan bumi ini. Ada pula ahli yang menyatakan bahwa biosfer adalah tempat beroperasinya ekosistem. Bagian bumi yang dihuni organisme hanya beberapa meter di bawah permukaan tanah hingga 9.000 meter di atas permukaan bumi, serta beberapa meter di bawah permukaan laut. Jadi, tidak di seluruh bagian bumi ini terdapat ekosistem sebab hanya daerah yang terdapat kehidupanlah yang dapat disebut ekosistem. Our biosphere is the global sum of all ecosystems. It can also be called the zone of life on Earth, a closed (apart from solar and cosmic radiation) and selfregulating system.[1] From the broadest biophysiological point of view, the biosphere is the global ecological system integrating all living beings and their relationships, including their interaction with the elements of the lithosphere, hydrosphere and atmosphere. The biosphere is postulated to have evolved, beginning through a process of biogenesis or biopoesis, at least some 3.5 billion years ago. In a broader sense; biospheres are any closed, self-regulating systems containing ecosystems; including artificial ones Our biosphere is divided into a number of biomes, inhabited by broadly similar flora and fauna. On land, biomes are separated primarily by latitude. Terrestrial biomes lying within the Arctic and Antarctic Circles are relatively barren of plant and animal life, while most of the more populous biomes lie near the equator. Terrestrial organisms in temperate and Arctic biomes have relatively small amounts of total biomass, smaller energy budgets, and display prominent adaptations to cold, including world-spanning migrations, social adaptations, homeothermy, estivation and multiple layers of insulation. Specific biospheres When the word is followed by a number, it is usually referring to a specific system or number. Thus: 1. Biosphere 1, the planet Earth 2. Biosphere 2, a laboratory in Arizona which contains 3.15 acres (13,000 m²) of closed ecosystem. 3. BIOS-3, a closed ecosystem at the Institute of Biophysics in Krasnoyarsk, Siberia, in what was then the Soviet Union. 4. Biosphere J (CEEF, Closed Ecology Experiment Facilities), a experiment in Japan. The economic valuation of ecosyst em services also involves social communication and information, areas that remain particularly challenging and are the focus of many researchers. In general, the idea is that although individuals make decisions for any variety of reasons, trends reveal the aggregative preferences of a society, from which the economic value of services can be inferred and assigned. 14 Biosfer lahan sawah dengan segenap kelengkapannya (Sumber: http://gurumia.com/wp-content/uploads/2010/05/paddy-in-floodBangladesh.jpg). The six major methods for valuing ecosystem services in monetary terms are: Avoided cost Services allow society to avoid costs that would have been incurred in the absence of those services (e.g. waste treatment by wetland habitats avoids health costs) Replacement cost Services could be replaced with man-made systems (e.g. restoration of the Catskill Watershed cost less than the construction of a water purification plant) Factor income Services provide for the enhancement of incomes (e.g. improved water quality increases the commercial take of a fishery and improves the income of fishers) Travel cost Service demand may require travel, whose costs can reflect the implied value of the service (e.g. value of ecotourism experience is at least what a visitor is willing to pay to get there) Hedonic pricing Service demand may be reflected in the prices people will pay for associated goods (e.g. coastal housing prices exceed that of inland homes) Contingent valuation Service demand may be elicited by posing hypothetical scenarios that involve some valuation of alternatives (e.g. visitors willing t o pay for increased access to national parks) 15 Rantai Makanan Rantai makanan adalah perjalanan makan dan dimakan dengan urutan tertentu antar makhluk hidup. Di lautan, yang menjadi produsen adalah fitoplankton, yaitu sekumpulan tumbuhan hijau yang sangat kecil ukurannya dan melayang-layang dalam air. Konsumen I adalah zooplankton (hewan pemakan fitoplankton), sedangkan konsumen II-nya adalah ikan-ikan kecil, konsumen III-nya adalah ikan-ikan sedang, konsumen IV-nya adalah ikan-ikan besar. Rantai makanan pada ekosistem sawah (Sumber: http://3.bp.blogspot.com/_ha4-W2rqPQ0/TDiTH8ix9OI/) Skema Rantai Makanan Urutan peristiwa makan dan dimakan di atas dapat berjalan seimbang dan lancar bila seluruh komponen tersebut ada. Bila salah satu komponen tidak ada, maka terjadi ketimpangan dalam urutan makan dan dimakan tersebut. Agar rantai makanan dapat terus berjalan, maka jumlah produsen harus lebih banyak daripada jumlah konsumen kesatu, konsumen kesatu lebih banyak daripada konsumen kedua, dan begitulah seterusnya. Ada satu lagi komponen yang berperan besar dalam rantai makanan, yaitu pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah mati. Hasil kerja pengurai dapat membantu proses penyuburan tanah. Contoh pengurai adalah bakteri dan jamur. Ekosistem merupakan tempat berlangsungnya hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Ekosistem dibedakan menjadi dua, yaitu : ekosistem alam dan ekosistem buatan. Contoh ekosistem alam 16 adalah hutan, danau, laut, dan padang pasir. Contoh ekosistem buatan adalah sawah, waduk, kolam, dan akuarium. Bagan Jaring-jaring Makanan pada Ekosistem Sawah Pada sebuah ekosistem terdapat banyak komponen. Komponen-komponen ekosistem, antara lain, produsen, konsumen, pengurai, dan komponen abiotik. Produsen. Semua tumbuhan hijau adalah produsen dalam sebuah ekosistem. Produsen artinya penghasil, yaitu menghasilkan bahan-bahan organik bagi makhluk hidup lainnya. Contoh produsen adalah padi, ubi, sagu, dan tomat. Konsumen. Konsumen adalah pemakai bahan organik yang dihasilkan oleh produsen. Berikut ini beberapa tingkatan konsumen menurut apa yang dimakan. 1. Konsumen Tingkat I. Konsumen tingkat I adalah makhluk hidup yang memperoleh energi langsung dari produsen. 2. Konsumen Tingkat II. Konsumen tingkat II adalah makhluk hidup yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat I. 3. Konsumen Tingkat III. Konsumen tingkat III adalah makhluk hidup yang memperoleh makanan dari konsumen tingkat II. Pengurai. Pengurai adalah makhluk hidup yang menguraikan kembali zat-zat yang semula terdapat dalam tubuh hewan dan tumbuhan yang telah mati. Pengurai membantu proses penyuburan tanah. Misalnya, bakteri dan jamur. 17 Komponen Abiotik. Komponen abiotik adalah tempat tumbuhan hijau (produsen) tumbuh. Kesuburan lingkungan abiotik ditentukan oleh kerja pengurai. Ekosistem Buatan Ekosistem buatan adalah ekosistem yang diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Ekosistem buatan mendapatkan subsidi energi dari luar, tanaman atau hewan peliharaan didominasi pengaruh manusia, dan memiliki keanekaragaman rendah. Contoh ekosistem buatan adalah: Bendungan Hutan tanaman produksi seperti jati dan pinus Agroekosistem berupa sawah tadah hujan Sawah irigasi Perkebunan sawit Ekosistem pemukiman seperti kota dan desa Ekosistem ruang angkasa. Ekosistem kota memiliki metabolisme tinggi sehingga butuh energi yang banyak. Kebutuhan materi juga tinggi dan tergantung dari luar, serta memiliki pengeluaran yang eksesif seperti polusi dan panas. Ekosistem ruang angkasa bukan merupakan suatu sistem tertutup yang dapat memenuhi sendiri kebutuhannya tanpa tergantung input dari luar. Ekosistem Sawah Sawah adalah lahan usaha pertanian yang secara fisik berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang, serta dapat ditanami padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya. Kebanyakan sawah digunakan untuk bercocok tanam padi. Untuk keperluan ini, sawah harus mampu menyangga genangan air karena padi memerlukan penggenangan pada periode tertentu dalam pertumbuhannya. Untuk mengairi sawah digunakan sistem irigasi dari mata air, sungai atau air hujan. Sawah yang terakhir dikenal sebagai sawah tadah hujan, sementara yang lainnya adalah sawah irigasi. Padi yang ditanam di sawah dikenal sebagai padi lahan basah (lowland rice). Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban. Meskipun terutama mengacu pada jenis tanaman budidaya, padi juga digunakan untuk mengacu pada beberapa jenis dari marga (genus) yang sama, yang biasa disebut sebagai padi liar. Produksi padi dunia menempati urutan ketiga dari semua serealia, setelah jagung dan gandum. Namun demikian, padi merupakan sumber karbohidrat utama bagi mayoritas penduduk dunia. Hasil dari pengolahan padi dinamakan beras. 18 Teknik budidaya padi telah dikenal oleh manusia sejak ribuan tahun yang lalu. Sejumlah sistem budidaya diterapkan untuk padi. 1. Budidaya padi sawah (Ing. paddy atau paddy field), diduga dimulai dari daerah lembah Sungai Yangtse di Tiongkok. 2. Budidaya padi lahan kering, dikenal manusia lebih dahulu daripada budidaya padi sawah. 3. Budidaya padi lahan rawa, dilakukan di beberapa tempat di Pulau Kalimantan. 4. Budidaya gogo rancah atau disingkat gora, yang merupakan modifikasi dari budidaya lahan kering. Sistem ini sukses diterapkan di Pulau Lombok, yang hanya memiliki musim hujan singkat. Setiap sistem budidaya memerlukan kultivar yang adaptif untuk masing-masing sistem. Kelompok kultivar padi yang cocok untuk lahan kering dikenal dengan nama padi gogo. Secara ringkas, bercocok tanam padi mencakup pengolahan tanah, persemaian, pemindahan atau penanaman, pemeliharaan (termasuk pengairan, penyiangan, perlindungan tanaman, serta pemupukan), dan panen. Aspek lain yang penting namun bukan termasuk dalam rangkaian bercocok tanam padi adalah pemilihan kultivar, pemrosesan biji dan penyimpanan biji. Pengolahan tanah sawah menandai dimulainya aktivitas bioekonomi pada ekosistem sawah (Sumber: http://ayobertani.files.wordpress.com/2009/04/membajak-sawah) 19 Hama dan penyakit Hama-hama penting 1. Penggerek batang padi putih ("sundep", Scirpophaga innotata) 2. Penggerek batang padi kuning (S. incertulas) 3. Wereng batang punggung putih (Sogatella furcifera) 4. Wereng coklat (Nilaparvata lugens) 5. Wereng hijau (Nephotettix impicticeps) 6. Lembing hijau (Nezara viridula) 7. Walang sangit (Leptocorisa oratorius) 8. Ganjur (Pachydiplosis oryzae) 9. Lalat bibit (Arterigona exigua) 10. Ulat tentara/Ulat grayak (Spodoptera litura dan S. exigua) 11. Tikus sawah (Rattus argentiventer) Penyakit-penyakit penting 1. blas (Pyricularia oryzae, P. grisea) 2. hawar daun bakteri ("kresek", Xanthomonas oryzae pv. oryzae) 20 Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments The term biodiversity is being used to describe the richness and variety of life on earth. It includes diversity at the genetic level, such as that between individuals in a population, diversity of species and the diversity at the habitat and ecosystem levels. The general assumption is that the biodiversity of monocultures, such as rice, is decreased and therefore unstable and prone to pest attacks and need to be protected . This thinking, not necessarily true (Way and Heong 1994), has persisted for decades and is still dominant among agricultural scientists and policy makers, has been the key driver of pesticide use in many agricultural systems. Arthropod biodiversity and abundance are fundamental components of rice ecosystems that have resistance and resilience to pest attacks. They provide farms with ecosystem services, such as resistance to pest invasions and regulation of pest populations that prevent pest species from increasing to levels that can cause economic loss to farmers. Pest species at levels below the economic threshold have no yield consequences because of plant compensation abilities of the rice crop. In fact, they contribute toward the maintenance of a stable food web structure. At least 200 species of parasitoids and 150 species of predators in and around the rice ecosystems constantly provide the services that keep pest species at low levels. In addition, the aquatic fauna, often referred to as neutrals, play a significant role as food resources for predators (Settle et al 1996). Being an island, there is great potential of discovering new species of spiders, parasitoids and less mobile predators that are inherent in Hainan. Key components, trophic levels and linkages in rice ecosystems ( Sumber: http://hainanproject.org/wp-content/uploads/2010 21 Rice production systems are ephemeral habitats in which rice is sowed and harvested over a period of 3 to 4 months. Many of the important rice pests are monophagous and r-strategists or opportunistic species and under normal circumstances cause little yield loss on rice farms with adequate biodiversity and ecosystem services. However, when r species, such as planthoppers, invade rice fields that are vulnerable with low biodiversity and ecosystem services, they tend to increase exponentially into outbreak proportions and destroy crops. In mainland China every year, planthoppers destroy at least a million hectares of rice (Cheng 2009) and, in years like 2005, when summer temperatures were elevated, 7.5 million hectares were destroyed. In Hainan Island, about 30,000 hectares are affected annually by planthoppers, but records of losses are not available. In the 1960s and 70s, when rice sufficiency was the primary national objective, policies and farmers adopted high pesticide routines. Today, such practices are still rampant in China and on Hainan Island as well. Research at IRRI and by Chinese scientists at Zhejiang University has now shown that routine insecticide sprays have very little economic gains but huge negative impacts on arthropod biodiversity, the food chain, and ecosystem services, which bring about planthopper outbreaks and rapid development of insecticide resistance. The important functions of biodiversity and ecosystem services had not been recognized or researched or taught in universities and had certainly not been factored into agricultural policies. It has been shown that when insecticide load is reduced arthropod biodiversity and ecosystem services can be restored (Heong et al. 2007). Lahan sawah = Wetlands Atmospheric methane (CH4) is an important greenhouse gas. On a scale of 100 years, it is approximately 20 times more effective than carbon dioxide (CO2). The total annual CH4 emission both from natural and anthropogenic terrestrial sources to the atmosphere is about 580 Tg (CH4) yr-1. The contribution of natural and manmade wetlands (e.g. rice paddy) to this global total varies between 20 and 40%. Thereby, natural wetlands are the major non-anthropogenic source of methane at present and rice agriculture accounts for some 17% of the anthropogenic CH4 emissions. This is because of the prevailing anaerobic conditions in these ecosystems, their high organic matter contents and their global distribution. Northern wetlands (>30° N) for example constitute about 60% of the global wetland area and emit a quarter to a third of the total CH4 originating from wet soils. In our research we focus on the understanding and quantification of key-processes involved in the formation, consumption and transport of methane in wetlands. This is crucial for reliable estimations on the impact of wetlands on the earth climate system Current and recently completed projects: 1. In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane emissions from rice paddy soils 2. Methane production and consumption in polygonal tundra environments of the Lena Delta, Siberia 3. Methane turnover and fluxes in alpine wetlands. 22 Microbial turnover of methane and transport pathways of gases in wetlands. (Sumber: http://www.ibp.ethz.ch/research/environmentalmicrobiology/research/Wetlands) In-situ quantification of soil microbial processes controlling methane emissions from rice paddy soils. Rice paddy soil is among the most important anthropogenic sources of methane. Methane is produced anaerobically after the flooding of rice fields, either from acetate or hydrogen/carbon dioxide as substrate. In contrast, methanotrophic microorganisms oxidize methane to carbon dioxide in the presence of molecular oxygen in the root zone or at the air/water interface, thus reducing the overall methane emissions to the atmosphere. Quantification of methane turnover in soil slurry incubation under laboratory conditions is potentially biased. Therefore, the main aim of this project is to design a novel tool for the quantification of methane production and consumption in the rice root zone. Specifically, we aim at the development of an in situ quantification method which allows us to assess the effect of methane turnover in the root zone on net methane emissions. The quantification concept includes the combination of push-pull tests (PPT), specific inhibitors, stable isotope fractionation and flux measurements. In a further step, we will apply this technique to assess methane turnover and emissions over a whole growth period of rice plants, and to investigate if changes are also reflected in the abundance of methanogenic/ methanotrophic organisms. 23 Ekosistem Pertanian: Sawah Musuh Alami Ekosistem pertanian adalah ekosistem yang sederhana dan monokultur jika dilihat dari komunitas, pemilihan vegetasi, diversitas spesies, serta resiko terjadi ledakan hama dan penyakit. Musuh alami berperan dalam menurunkan populasi hama sampai pada tingkat populasi yang tidak merugikan. Hal ini terbukti dari setiap pengamatan dilahan pertanian, khususnya padi, beberapa jenis musuh alami selalu hadir dipertanaman. Ekosistem persawahan secara teoritis merupakan ekosistem yang tidak stabil. Kestabilan ekosistem persawahan tidak hanya ditentukan oleh diversitas struktur komunitas, tetapi juga oleh sifat-sifat komponen, interaksi antar komponen ekosistem. Hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti mengenai kajian habitat menunjukkan bahwa tidak kurang dari 700 serangga termasuk parasitoid dan predator ditemukan di ekosistem persawahan dalam kondisi tanaman tidak ada hama khususnya wereng batang coklat (WBC). Predator WBC umumnya polifag, akan memangsa berbagai jenis serangga. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa komunitas persawahan merupakan komunitas yang beranekaragam. Tidak tertutup kemungkinan bahwa pada ekosistem pertanian dapat dijumpai keadaan yang stabil. Apabila interaksi antar komponen dapat dikelola secara tepat maka kestabilan ekosistem pertanian dapat diusahakan. Untuk mempertahankan ekosistem persawahan yang stabil maka konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dapat diterapkan. PHT mendapatkan efisiensi pengendalian yaitu mengurangi insektisida dan memanfaatkan metoda non kimia. Di persawahan, musuh alami jelas berfungsi, sehingga akan terjadi keseimbangan biologis. Keseimbangan biologis ini kadangkadang tercapai, tetapi bisa juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena faktor lain yang mempengaruhi, yaitu perlakuan agronomis dan penggunaan insektisida. Salah satu pendorong meningkatnya serangga pengganggu adalah tersedianya makanan terus menerus sepanjang waktu dan disetiap tempat. Budidaya tanaman monokultur dapat mendorong ekosistem pertanian rentan terhadap organisme pengganggu tanaman (OPT). Untuk mewujudkan pertanian berkelanjutan maka tindakan mengurangi serangan OPT melalui pemanfaatan serangga khususnya musuh alami dan meningkatkan diversitas tanaman seperti penerapan tanaman tumpang sari, rotasi tanaman dan penanaman lahan-lahan terbuka dapat dilakukan karena meningkatkan stabilitas ekosistem serta mengurangi resiko gangguan OPT. Mekanisme alami seperti predatisme, parasitisme, patogenisitas, persaingan intraspesies dan interspesies, suksesi, produktivitas, stabilitas dan keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan untuk mencapai pertanian berkelanjutan. Salah satu komponen PHT adalah pengendalian dengan menggunakan musuh alami. Teori mendasar dalam pengelolaan hama adalah mempertimbangkan komponen musuh alami dalam strategi pemanfaatan dan pengembangannya. Taktik pengelolaan hama melibatkan musuh alami untuk mendapatkan penurunan status hama disebut pengendalian hayati. Pemanfaatan musuh alami tidak menimbulkan 24 pencemaran, dari segi ekologi tetap lestari dan untuk jangka panjang relatif murah. Pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami atau secara biologis adalah kerja dari faktor biotis seperti parasitoid, predator dan patogen terhadap mangsa atau inang, sehingga menghasilkan suatu keseimbangan umum yang lebih rendah daripada keadaan yang ditunjukkan apabila faktor tersebut tidak ada atau tidak bekerja. Pengendalian HAYATI merupakan salah satu pengendalian yang dinilai cukup aman karena mempunyai beberapa keuntungan yaitu : 1) selektivitas tinggi dan tidak menimbulkan hama baru, 2) organisme yang digunakan sudah tersedia dialam, 3) organisme yang digunakan dapat mencari dan menemukan inangnya, 4) dapat berkembang biak dan menyebar, 5) hama tidak menjadi resisten atau kalau terjadi sangat lambat, dan 6) pengendalian berjalan dengan sendirinya. Pengendalian biologi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : 1) pengendalian biologi alami yaitu pengendalian hama dengan musuh alami, tanpa campur tangan manusia, 2) pengendalian biologi terapan yaitu pengendalian hayati dengan campur tangan manusia. Telah diketahui berbagai jenis musuh alami yang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu : parasitoid, predator dan patogen. Terdapat 79 jenis musuh alami WBC diantaranya adalah parasitoid, predator dan patogen. Musuh alami yang potensial untuk penggerek batang padi (PBP) adalah parasitoid. Ada 3 jenis parasitoid PBP yaitu : Tetrastichus schenobii Ferr., Telenomus rowani Gah., dan Trichogramma japonicum Ashm (Jepson, 1954; Soehardjan, 1976). Sampai saat ini telah diketahui banyak spesies jamur patogen serangga (JPS) pada tanaman padi. Di antara patogen tersebut Hirsutella citriformis, Metarrhizium anisopliae dan Beauveria bassiana mempunyai potensi untuk mengendalikan WBC. Keberadaan musuh alami hama khususnya hama padi sangat penting dalam menentukan populasi hama tersebut. Parasitoid dan predator mampu menurunkan padat populasi hama, sedangkan infeksi JPS dapat mematikan dan mempengaruhi perkembangan hama, menurunkan kemampuan reproduksi, serta menurunkan ketahanan hama terhadap predator, parasitoid dan patogen lainnya. Berbagai jenis artropoda terdapat dalam ekosistem padi sawah dan turut berperan dalam keseimbangan hayati untuk mencapai pengendalian hama yang ramah lingkungan dan menuju pertanian berkelanjutan. Potensi berbagai jenis musuh alami khususnya parasitoid dan predator hama wereng coklat dan penggerek batang padi serta pelestariannya yang dapat dijadikan agen hayati untuk pengendalian hama utama tanaman padi. Konsep PHT adalah cara pengendalian yang cocok untuk mewujudkan sistem pengendalian yang ramah lingkungan. Hal ini terbukti dari keanekaragaman hayati serangga sesudah PHT lebih komplek dibandingkan sebelum PHT. 25 Ekosistem sawah: Irigasi Irigasi merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk mengairi lahan pertaniannya. Dalam dunia modern saat ini sudah banyak model irigasi yang dapat dilakukan manusia. Pada zaman dahulu jika persediaan air melimpah karena tempat yang dekat dengan sungai atau sumber mata air, maka irigasi dilakukan dengan mangalirkan air tersebut ke lahan pertanian. Namun demikian irigasi juga biasa dilakukan dengan membawa air dengan menggunakan wadah kemudian menuangkan pada tanaman satu-persatu. Untuk irigasi dengan model seperti ini di Indonesia biasa disebut menyiram. Irigasi Permukaan Irigasi Permukaan merupakan sistem irigasi yang menyadap air langsung di sungai melalui bangunan bendung maupun melalui bangunan pengambilan bebas (free intake) kemudian air irigasi dialirkan secara gravitasi melalui saluran sampai ke lahan pertanian. Di sini dikenal saluran primer, sekunder dan tersier. Pengaturan air ini dilakukan dengan pintu air. Prosesnya adalah gravitasi, tanah yang tinggi akan mendapat air lebih dulu. Pengairan padi sawah dengan sistem penggenangan petakan lahan sawah (Sumber: http://www.mypulau.com/uploads_user/200912/13/766911.jpg) Irigasi Lokal Sistem ini air distribusikan dengan cara pipanisasi. Di sini juga berlaku gravitasi, di mana lahan yang tinggi mendapat air lebih dahulu. Namun air yang disebar hanya terbatas sekali atau secara lokal. 26 Irigasi dengan Penyemprotan Penyemprotan biasanya dipakai penyemprot air atau sprinkle. Air yang disemprot akan seperti kabut, sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun akan basah lebih dahulu, kemudian menetes ke akar. Irigasi Tradisional dengan Ember Di sini diperlukan tenaga kerja secara perorangan yang banyak sekali. Di samping itu juga pemborosan tenaga kerja yang harus menenteng ember. Irigasi Pompa Air Air diambil dari sumur dalam dan dinaikkan melalui pompa air, kemudia dialirkan dengan berbagai cara, misalnya dengan pipa atau saluran. Pada musim kemarau irigasi ini dapat terus mengairi sawah. Irigasi sistem pompa (sumber: http://atusi.edublogs.org/files/2007/11/268263346_993bd72895.jpg Irigasi Pasang-Surut di Sumatera, Kalimantan, dan Papua Dengan memanfaatkan pasang-surut air di wilayah Sumatera, Kalimantan, dan Papua dikenal apa yang dinamakan Irigasi Pasang-Surat (Tidal Irrigation). Teknologi yang diterapkan di sini adalah: pemanfaatan lahan pertanian di dataran rendah dan daerah rawa-rawa, di mana air diperoleh dari sungai pasang-surut di mana pada waktu pasang air dimanfaatkan. Di sini dalam dua minggu diperoleh 4 sampai 5 waktu pada air pasang. Teknologi ini telah dikenal sejak Abad XIX. Pada waktu itu pendatang di Pulau Sumatera memanfaatkan rawa sebagai kebun kelapa. Di Indonesia terdapat 5,6 juta Ha dari 34 Ha yang ada cocok untuk dikembangkan. Hal ini bisa dihubungkan dengan pengalaman Jepang di 27 Wilayah Sungai Chikugo untuk wilayah Kyushu, di mana di sana dikenal dengan sistem irigasi Ao-Shunsui yang mirip. Irigasi Lahan Kering dan Irigasi Tetes Di lahan kering, air sangat langka dan pemanfaatannya harus efisien. Jumlah air irigasi yang diberikan ditetapkan berdasarkan kebutuhan tanaman, kemampuan tanah memegang air, serta sarana irigasi yang tersedia. Ada beberapa sistem irigasi untuk pertanian lahan kering, yaitu: (1) irigasi tetes (drip irrigation), (2) irigasi curah (sprinkler irrigation), (3) irigasi saluran terbuka (open ditch irrigation), dan (4) irigasi bawah permukaan (subsurface irrigation). Untuk penggunaan air yang efisien, irigasi tetes merupakan salah satu alternatif. Misal sistem irigasi tetes adalah pada tanaman cabai. Ketersediaan sumber air irigasi sangat penting. Salah satu upaya mencari potensi sumber air irigasi adalah dengan melakukan deteksi air bawah permukaan (groundwater) melalui pemetaan karakteristik air bawah tanah. Cara ini dapat memberikan informasi mengenai sebaran, volume dan kedalaman sumber air untuk mengembangkan irigasi suplemen. Pengalaman Sistem Irigasi Pertanian di Niigata Jepang Sistem Irigasi Pertanian milik Mr. Nobutoshi Ikezu di Niigata Prefecture. Di sini terlihat adanya manajemen persediaan air yang cukup pada pengelolaan pertaniannya. Sekitar 3 km dari tempat tersebut tedapat sungai besar yang debit airnya cukup dan tidak berlebih. Air sungai dinaikan ke tempat penampungan air menggunakan pompa berkekuatan besar. Air dari tempat penampungan dialirkan menggunakan pipa-pipa air bawah tanah berdiameter 30 cm ke pertanian di sekitarnya. Pada setiap pemilik sawah terdapat tempat pembukaan air irigasi tersebut. Pembagian air ini bergilir berselang sehari, yang berarti sehari keluar, sehari tutup. Penggunaannya sesuai dengan kebutuhan sawah setempat yang dapat diatur menggunakan tuas yang dapat dibuka tutup secara manual. Dari pintu pengeluaran air tersebut dialirkan ke sawahnya melalui pipa yang berada di bawah permukaan sawahnya. Kalau di tanah air kita pada umumnya air dialirkan melalui permukaan sawah. Sedangkan untuk mengatur ketinggian air dilakukan dengan cara menaikan dan menurunkan penutup pintu pembuangan air secara manual. Pembuangan air dari sawah masuk saluran irigasi yang terbuat dari beton sehingga air dengan mudah kembali ke sungai kecil, tanpa merembes terbuang ke bawah tanah. Pencegahan perembesan air dilakukan dengan sangat efisien. 28 Multifungsi Lahan Sawah Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980-an telah melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, dimana aspek distribusi dan keles-tarian lingkungan maupun sosial-budaya memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993). Kaitannya dengan hal itu, berbagai klasifikasi mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah dikemukakan, di antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan Sogo Kenkyu (1998). Meski-pun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh narasumber tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Dalam Diagram 1 dijelaskan aspek-aspek yang terkait dengan kedua manfaat tersebut, yang meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya. 29 Klasifikasi manfaat lahan pertanian Selaras dengan gambaran multifungsi lahan pertanian pada Diagram 1, manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Mayrowani, dkk., 2003): (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata. Sedangkan manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Yoshida, 2001; Setiyanto dkk ., 2003; Tala ohu, dkk., 2003): (1) mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian pupuk organik pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati. Selain fungsi positif, pengelolaan lahan sawah yang kurang memperhatikan kaidah konservasi dan pelestarian ekologi lingkungan berpotensi menimbulkan dampak atau fungsi negatif (Wihardjaka dan Makarim, 2001), yaitu dapat menyebabkan: (1) pemanasan global melalui efek rumah kaca, (2) pencemaran air dan tanah melalui penggunaan bahan kimia (pupuk dan pestisida), dan (3) pendangkalan sungai dan saluran irigasi akibat pelumpuran saat aktivitas pengolahan tanah. 30 Daftar Pustaka Andrewartha, H.G. and L.C. Birch. 1984. The ecological. The University of Chicago. 505 pp. Anwar, A., and A. Pakpahan. 1990. The Problem of Sawah-Land Conversion to Non-Agricultural Uses in Indonesia. Indonesian Journal of Tropical Agriculture 1(2):101-108. Arifin, M., I.B.G. Suryawan, B.H. Priyanto dan A. Alwi. 1997. Diversitas artropoda pada berbagai teknik budidaya padi di Pemalang, Jawa Tengah. Penelitian Pertanian Puslitbangtan 15 (2): 5-12. Baehaki, S.E. 1991. Peranan musuh alami mengendalikan wereng coklat. Prosiding Seminar Sehari Tingkat Nasional. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Sudirman. hlm. 1-9. Balvanera, P. C. Kremen, and M. Martinez. 2005. Applying community structure analysis to ecosystem function: examples from pollination and carbon storage. Ecological Applications 15: 360-375. Balvanera, P., G.C. Daily, P.R. Ehrlich, T.H. Ricketts, S.Bailey, S. Kark, C. Kremen and H. Pereira. 2001. Conserving biodiversity and ecosystem services. Science 291: 2047. Berg, H. (2002). Rice monoculture and integrated rice-fish farming in the Mekong delta, Vietnam - economic and ecological considerations. Ecological Economics 41:95-107. Callaghan, J.R. 1992. Land use: The interaction of economics, ecology and hydrology. Chapman & Hall. London. Campbell, Neil A.; Brad Williamson; Robin J. Heyden (2006). Biology: Exploring Life. Boston, Massachusetts: Pearson Prentice Hall. ISBN 0-13-250882-6. http://www.phschool.com/el_marketing.html. Chan, K.M.A., M.R. Shaw, D.R. Cameron, E.C. Underwood and G.C. Daily. 2006. Conservation planning for ecosystem services. PLoS Biology 4: 2138-2152. Cheng, J.A. 2009. Rice planthopper problems and relevant causes in China. Pp 157-178. In Heong KL, Hardy B, editors. 2009. Planthoppers: new threats to the sustainability of intensive rice production systems in Asia. Los Baños (Philippines): International Rice Research Institute. Chichilnisky, G. and G. Heal. 1998. Economic returns from the biosphere. Nature 391: 629-630. Chiu, S.C. 1979. Biological control of the brown planthopper, Nilaparvata lugens Stal. In brown planthopper Threat to Rice Production in Asia. IRRI, Los Banos, Laguna, Philippines. 335-356. Cicerone, R.J. and J.D. Shetter. 1983. Sources of atmospheric methane: measurement in rice paddies and a discussion. J. Gheophys. Res.86: 7203-7209. Daily, G.C. 1997. Nature s Services: Societal Dependence on Natural Ecosystems. Island Press, Washington. 392pp. Daily, G.C. 2000. Management objectives for the protection of ecosystem services. Environmental Science & Policy 3: 333-339. Daily, G.C., T. Söderqvist, S. Aniyar, K. Arrow, P. Dasgupta, P.R. Ehrlich, C. Folke, A. Jansson, B. Jansson, N. Kautsky, S. Levin, J. Lubchenco, K. 31 Mäler, D. Simpson, D. Starrett, D. Tilman, and B. Walker. 2000. The value of nature and the nature of value. Science 289: 395-396. De Bach, Paul. 1979. Biological control by natural enemies. Cambridge University Press, London. 323 pp. DeFries, R.S., J.A. Foley, and G.P. Asner. 2004. Land-use choices: balancing human needs and ecosystem function. Frontiers in Ecology and the Environment 2: 249-257. Dewan, S. (1992). Rice-fish farming systems in Bangladesh: past, present and future. In: Rice-Fish Research and Development in Asia (eds. C.R. dela Cruz, C. Lightfoot, B.A. Costa-Pierce, V.R. Carangal and M.P. Bimbao), ICLARM Conference Proceedings 24:11-17. Ehrlich, P.R. and A. Ehrlich. 1970. Population, Resources, Environment: Issues in Human Ecology. W.H. Freeman, San Francisco. 383pp. see p.157 Elmqvist, T., C. Folke, M. Nyström, G. Peterson, J. Bengtsson, B. Walker and J. Norberg. 2003. Response diversity, ecosystem change and resilience. Frontiers in Ecology and the Environment 1: 488-494. Farber, S.C., R. Costanza and M.A. Wilson. 2002. Economic and ecological concepts for valuing ecosystem services. Ecological Economics 41: 375-392. Frei, M. and Becker, K. (2005). Integrated rice-fish culture: coupled production saves resources. Natural Resources Forum 29:135-143. Frost, T.M., S.R. Carpenter, A.R. Ives, and T.K. Kratz. 1995. Species compensation and complementarity in ecosystem function. In: C. Jones and J. Lawton, editors. Linking species and ecosystems. Chapman and Hall, London. 387pp. Grime, J.P. 1997. Biodiversity and ecosystem function: The debate deepened. Science 277 Guo, Z.W., X.M. Xio and D.M. Li. 2000. An assessment of ecosystem services: water flow regulation and hydroelectric power production. Ecological Applications 10: 925-936. Gupta, M.V., Sollows, J.D., Mazid, M.A., Rahman, A., Hussain, M.G. and Dey, M.M. (2002). Economics and adoption patterns of integrated ricefish farming in Bangladesh. In: Rural Aquaculture (eds. P. Edwards, D.C. Little and H. Demaine), CABI Publishing, Oxford, UK, pp. 41-53. Halwart, M. and Gupta, M.V. (2004). Culture of fish in rice fields. FAO and the WorldFish Center, 83 p. Hanson, C, J Ranganathan, C Iceland, and J Finisdore. (2008) The Corporate Ecosystem Services Review (Version 1.0). World Resources Institute. Harun, A.K.Y and Pittman, K.A. (1997). Rice-fish culture: feeding, growth and yield of two size classes of Puntius gonionotus Bleeker and Oreochromis spp. in Bangladesh. Aquaculture 154:261-281. Heong K.L. 2010. Biodiversity and Ecosystem Services in rice environments. Insect Ecologist. International Rice Research Institute Los Baños, Philippines. Heong, K. L. , Manza,A., Catindig, J., Villareal, S. and Jacobsen, T. 2007. Changes in pesticide use and arthropod biodiversity in the IRRI research farm. Outlooks in Pest ManagementOctober 2007. 32 Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, and W. Seiler. 1986. Effect of vegetation on the emission of methane from submerged paddy soil. Plant Soil 92: 223 -233. IPCC. 1992. Climate change. In: J.T. Houghton et al (eds). The supplementary report the IPCC scientific assessment. Cambridge University Press, U.K. 29 Irawan, Bambang. 2002. Analisis nilai ekonomi sumberdaya lahan pertanian. Laporan Hasil penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Iriadi, M. 1990. Analisis konversi lahan sawah ke indutri dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Jakobsen, P., W.H. Patrick, Jr., and B.G. Williams. 1981. Sulfide and mathane formation in soils and sediments. Soil Sci 132: 279-287. Kalshoven, L.G.E. 1981. The pest of crops in Indonesia (Revised and translated by P.A. Van der Laan). PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta 1981. Kartika, I. P. 1990. Analisis konversi lahan dari penggunaan pertanian ke penggunaan nonpertanian dengan pendekatan sewa ekonomi lahan (land rent): Studi Kasus di Desa Cimacan, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, IPB. Kartohardjono, A. 1988. Kemampuan beberapa predator (laba-laba, Paederus sp., Ophionea sp., Cyrtorhinus sp., dan Coccinella sp.) dalam mengurangi kepadatan wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) pada tanaman padi. Penelitian Pertanian 8(1): 25-31. Kilin, D., I.W. Laba dan P. Panudju. 1993. Dampak negatif penggunaan insektisida. Laporan Penelitian 1992/1993 Balittan Bogor. Kimura , M.D., H. Murakami, and H. Wada. 1991. CO2, H2, and CH4 production in rice rhizosphere. Soil Sci. Techno. 25: 979-981. Kludze, H.K., R.D. DeLaune, and W.H. Patrisc, Jr. 1993. Aerenchyma formation and methane and oxygen exchange in rice. Soil Sci. Soc. Am. J. 57: 386-391 Kremen, C. 2005. Managing ecosystem services: what do we need to know about their ecology? Ecology Letters 8: 468-479. Kunda, M., Azim, M.E., Wahab, M.A., Dewan, S., Roos, N. and Thilsted, S.H. (2008). Potential of mixed culture of freshwater prawn (Macrobrachium rosenbergii) and self recruiting small species mola (Amblypharyngodon mola) in rotational rice-fish/prawn culture systems in Bangladesh. Aquaculture Research 39:506-517. Lawton, J.H. 1994. What do species do in ecosystems? Oikos 71: 367-374. Lightfoot C., dela Cruz, C.R. and Carangal, V.R. (1990). International research collaboration in rice-fish research. NAGA, the ICLARM Quarterly 13:12-13. Lu, J. and Li, X. (2006). Review of rice-fish-farming systems in China - one of the globally important ingenious agricultural heritage systems (GIAHS). Aquaculture 260:106-113. 33 Marsudiyono. 1989. Pengaruh residu insektisida terhadap Anagrus sp. parasit telur wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.). Skripsi Fakultas Biologi, Universitas Nasional, Jakarta 56 hlm. Mayrowani, H., S.K. Dermoredjo, A.R. Nurmanaf, Y. Soeleman., dan A. Setyanto. 2003. Nilai riil dari sistem pertanian di DAS Citarum. Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Mohanty, R.K., Verma, H.N. and Brahmanand, P.S. (2004). Performance evaluation of rice-fish integration system in rainfed medium and ecosystem. Aquaculture 23:125-135. Munasinghe, M. 1993. . Environmental economics and sustainable development. World Bank Environmental Paper No. 3. Mustow, S.E. (2002). The effects of shading on phytoplankton photosynthesis in rice-fish fields in Bangladesh. Agriculture, Ecosystems and Environment 90:89-96. Nabi, R. (2008). Constraints to the adoption of rice-fish farming by smallholders in Bangladesh: a farming systems analysis. Aquaculture Economics and Management 12:145-153. Naeem S. 1998. "Species redundancy and ecosystem reliability" Conservation Biology 12: 39 45. Nakano et al.(1998)"Dynamic Simulation of Pressure Control System for the Closed Ecology Experiment Facility", Transactions of the Japan Society of Mechanical Engineers. 64:107-114. Nasoetion, L.I. 2003. Konversi lahan pertanian: Aspek hukum dan implementasinya. Dalam:Undang Kurnia, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Nasoetion, L.I. dan E. Rustiadi. 1990. Masalah konversi lahan sawah ke penggunaan non-sawah fokus Jawa dan Bali. Paper pada Pertemuan Ilmiah Pembangunan Pedesaan dan Masalah Pertanahan, 13-15 Februari 1990; PAU Studi Sosial-UGM. Nasoetion, L.I. dan Winoto, J. 1996. Masalah alih fungsi lahan pertanian dan dampaknya terhadap keberlangsungan swasembada pangan. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Nhan, D.K., Phong, L.T., Verdegem, M.J.C., Duong, L.T., Bosma, R.H. and Little, D.C. (2007). Integrated freshwater aquaculture, crop and livestock production in the Mekong delta, Vietnam: determinants and the role of the pond. Agricultural Systems 94:445-458. Nishio, M. 1999. Multifungtional character of paddy farming. Annex 7 in: Proceedings The Second Group Meeting on Inter Change of Agricultural Technology Information between Asean Member Countries and Japan. Jakarta, 16-17 February 1999. ASEAN Secretariat, Jakarta. Nurbaeti, B., E. Soenarjo dan Waluyo. 1992. Studi peranan musuh alami penggerek batang padi Scirpophaga incertulas (Walker) (Lepidoptera; 34 Pyralidae). Seminar Tahunan Balai Penelitian Tanaman Pangan. Bogor, 6 hlm. Nursyamsi, D., Sulaeman, M. E. Suryadi, dan F.G. Bereleka. 2001. Kandungan beberapa ion di dalam sumber air di Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Tanah dan Agroklimat. Oka, I.N. 1995. Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di Indonesia. Gadjah Mada University Press. 255 hlm. Pathak, M.D. 1968. Ecology of common insect pest of rice. Ann. Rev. Entomol. 13 pp. Pedigo, L.P. 1999. Entomology and pest management. Lowa University. Prentice Hall, Upper Sadlle River. NJ. 07458. Third Edition. P. 307. Perrot-Maître, D. (2006) The Vittel payments for ecosystem services: a "perfect" PES case? International Institute for Environment and Development, London , UK. Pramono, J., A. Bakri, dan I. Soelaiman. 1996. Persaingan dalam pemanfaatan lahan antara sector pertanian dan industri. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Riyani, W. 1992. Analisis konversi lahan dari pertanian ke lahan perumahan dengan metode sewa ekonomi lahan (land rent): Studi kasus di wilayah Dati II Kodya Bogor, Propinsi Jawa Barat. Schutz, H., A. Holzapfel-Pschorn, A.R., R. Conrad, H. Rennenberg, and W. Seiler. 1989. A three year continous record on influence of daytime season and fertilizer treatment on methane emission rate from an Italian rice paddy field. J. Geophysical Res. 94: 16405-16416. Sears, P.B. 1956. The processes of environmental change by man. In: W.L. Thomas, editor. Man s Role in Changing the Face of the Earth (Volume 2). University of Chicago Press, Chicago. 1193pp. Setiyanto, A., R. Nurmanaf, Y. Soeleman, H. Mayrowani, dan S.K. Dermoredjo. 2003. Nilai ekonomi fungsi lahan sawah untuk pengendalian pencemaran udara (air purification): Studi kasus DAS Citarum, Jawa Barat. Makalah Seminar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Settle,W.H., Ariawan, H., Astuti, E.T., Cahyana,W., Hakim, A.L., Hindayana, D., Lestari, A.S. & Pajarningsih (1996) Managing tropical rice pests through conservation of generalist natural enemies and alternate prey. Ecology, 77, 1975 1988. Shepard, B.M., H.R. Rapusas and D.B. Estano, 1989. Using rice straw bundles to conserve beneficial arthropod communities in rice fields. Int. Rice. Res. Newl. 14(5): 30-31. Sogo Henkyu. 1998. An economic evaluation of external economies from agriculture by replacement cost method. National Research Institute of agricultural economics, MAFF, Japan. 35 Stern, V.M., R.F. Smith, R Van den Bosch and K.S. Hagen. 1959. The integration of chemical and biological control of spotted alfalfa aphid. Hilgardia 29 (2); 81-101. Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1998. Emisi gas metan dari berbagai sistem pengaturan air pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Suharsih, P. Setyanto, A. Wihardjaka, dan A.K. Makarim. 1999. Pengaruh rejim air tanah terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Sumaryanto dan R.T. Suhaeti. 1999. Assessment of losses related to irrigated low land conversion. dalam: I.W. Rusastra, dkk (eds). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Buku I. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Sumaryanto, Hermanto, dan E. Pasandaran. 1996. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap pelestarian swasembada beras dan sosial ekonomi petani. dalam: Hermanto, dkk (eds). Prosiding Lokakarya: Persaingan Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Lahan dan Air. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian dan Ford Fondation. Supriyadi, S. Mangundihardjo dan E. Mahrub. 1992. Kajian Ekologi laba-laba srigala, Lycosa pseudoannulata Boes. et. Str. pada lahan padi. Kumpulan Abstrak Kongres Entomologi IV, Yogyakarta, 28-30 Januari. hlm 91. Sutono, S., H. Kusnadi, dan M.S. Djunaedi. 2001. Pendugaan erosi pada lahan sawah dan lahan kering Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tala ohu, S.H., F. Agus, dan G. Irianto. 2001. Hubungan perubahan penggunaan lahan dengan daya sangga air Sub DAS Citarik dan DAS Kaligarang. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tala ohu, S.H., S. Sutono, dan F. Agus. 2003. Daya sangga air lahan pertanian terhadap banjir dan nilai replacement cost di DAS Citarum. Makalah Seminar Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tarigan, S.M. dan N. Sinukaban. 2001. Peran sawah sebagai filter sedimen: studi kasus di DAS Way Besai, Lampung. Dalam: Fahmuddin Agus, dkk (eds). Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Tilman, D., C.L. Lehman, and C.E. Bristow. 1998. Diversity-stability relationships: statistical inevitability or ecological consequence? The American Naturalist 151: 277-282. Untung, K. 1992. Konsep dan strategi pengendalian hama terpadu. Makalah Simposium Penerapan PHT. PEI Cabang Bandung. Sukamandi, 3-4 September 1992. 17 hlm. Van Emden, H.P. 1976. Pest control and its ecology. Edward Arnold. 59 p. 36 Vitousek, P.M., J. Lubchenco, H.A. Mooney, J. Melillo. 1997. Human domination of Earth s ecosystems. Science 277: 494-499. Wahab, M.A., Kunda, M., Azim, M.E., Dewan, S. and Thilsted, S.H. (2008). Evaluation of freshwater prawn-small fish culture concurrently with rice in Bangladesh. Aquaculture Research 39:1524-1532. Walker, B.H. 1992. "Biodiversity and ecological redundancy." Conservation Biology 6: 18-23. Way, M.J. and Heong, K.L. 1994. The role of biodiversity in the dynamics and management of insect pests of tropical irrigated rice A review. Bulletin of Entomological Research, 84, 567-587. Wihardjaka, A., dan A.K. Makarim. 2001. Emisi gas metan melalui bebrapa varietas padi pada tanah Incepticol yang disawahkan. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 20:1. p 10-15. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997a. Pengaruh penggunaan bahan organic terhadap hasil padi dan emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1997. Pengaruh varietas padi terhadap besarnya emisi gas metan pada lahan sawah. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Wihardjaka, A., P. Setyanto, dan A.K. Makarim. 1999. Emisi gas metan dari berbagai varietas padi. Laporan Tahunan. Loka Penelitian Tanaman Pangan Jakenan. Winoto, J. 1985. Dampak ketinggian permukaan lahan terhadap proses pembentukan lahan-lahan sawah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wu, R.S., W.R. Suc, and J.S. Chang., 1997. A simulation model for investigating the effects of rice paddy fields on run off system. p.422427. In: Mc Donald et al (eds). Proceeding of MODSIM 97. MSSA Canberra, Australia. Yoshida, K., 2001. An economic evaluation of multifunctional roles of agricultural and rural areas in Japan. Ministry of Agricultural Forestry and Fisheries. Japan.