BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tanda-Tanda Infeksi Saluran Kemih 1. Pengertian Infeksi Saluran Kemih Infeksi nosokomial merupakan infeksi yang didapat pasien setelah 3x24 jam setelah dilakukan perawatan di rumah sakit. Salah satu jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi adalah infeksi saluran kemih, yaitu berjumlah sekitar sepertiga dari semua komplikasi infeksi akibat rawat inap di rumah sakit (Ribeiro dalam Syella, 2012). Infeksi saluran kemih (ISK) adalah keadaan berkembangbiaknya mikroorganisme patogen didalam saluran kemih yang menyebabkan inflamasi, dimana pasien akan mengalami tanda-tanda dari infeksi saluran kemih (Soewondo dalam Sepalanita, 2012). Infeksi saluran kemih merupakan suatu keadaan patologis yang sudah sangat lama dikenal dan dapat dijumpai diberbagai pelayanan kesehatan primer sampai subspesialistik. Infeksi ini juga merupakan penyakit infeksi bakterial tersering yang didapat pada praktik umum dan bertanggung jawab terhadap morbiditas khususnya pada wanita dalam kelompok usia seksual aktif (Hooton et. al. 2010). Infeksi saluran kemih adalah infeksi mikroorganisme pada saluran kemih yang disertai adanya kolonisasi bakteri didalam urine (bakteriuria). Bakteriuria merupakan indikator utama infeksi saluran kemih. Keberadaan bakteriuria yang menjadi indikasi infeksi saluran kemih yaitu adanya pertumbuhan bakteri murni sebanyak 100.000 colony forming units (cfu/ml) atau lebih pada biakan urine. Penderita yang mengalami bekteriuriadapat terlihat dari tanda dan gejala klinis (Hooton et. al. 2010). 6 7 Infeksi saluran kemih adalah salah satu penyakit infeksi dengan angka kejadian yang cukup tinggi. Johansen dalam Rahman (2007) menyebutkan di Eropa angka kejadian ISK dirumah sakit mencapai 727 kasus setiap tahunnya. Sedangkan di Amerika angka kejadian ISK sekitar 7-8 juta setiap tahunnya (Blondeau dalam Rahman, 2007). Menurut Tucker et. al. dalam Haryono (2013), infeksi saluran kemih adalah infeksi pada bagian tertentu dari saluran perkemihan yang disebabkan oleh bakteri terutama Escherichia coli, risiko dan beratnya meningkat dengan kondisi seperti refluks vesikouretral, obstruksi saluran perkemihan, statis perkemihan, pemakaian instrumen uretral baru, dan septikemia. Infeksi saluran kemih merupakan jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi dirumah sakit, sejumlah 40% infeksi nosokomial adalah ISK dan 80% ISK terjadi setelah terpasang kateterisasi (Darmadi, 2008). Schaffer dalam Rahman (2007) menjelaskan sekitar 66% - 86% infeksi nosokomial jenis ISK terjadi setelah instrumentasi traktus urinarius, adanya kateter dowerdalam traktus urinarius dapat menimbulkan infeksi. Pemakaian kateter dapat menyebabkan infeksi saluran kemih (Weber R dalam Rahman, 2007). 2. Klasifikasi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih dapat dibagi menjadi dua kategori umum berdasarkan lokasi anatomi, yaitu : a. Infeksi saluran kemih bawah Infeksi saluran kemih bawah adalah inflamasi kandung kemih yang paling sering disebabkan oleh menyebarnya infeksi dari uretra. Hal ini dapat disebabkan oleh aliran balik urine dari uretra ke dalam kandung kemih (refluks uretrovesikal), kontaminasi fekal, pemakaian kateter atau sistoskop. Manifestasi klinis pasien sistitis mengalami urgensi, sering berkemih, rasa panas dan nyeri pada saat berkemih, nokturia, dan nyeri atau spasme pada area kandung kemih dan suprapubik. Piuria (adanya sel 8 darah putih dalam urine), bakteri, dan sel darah merah (hematuria) ditemukan pada pemeriksaan urine (Smeltzer & Bare, 2002). b. Infeksi saluran kemih atas Infeksi saluran kemih atas merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan intertisial dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui ureter dan naik ke ginjal. Infeksi saluran kemih atas sering sebagai akibat dari refluks ureterovesikal, dimana katupnya tidak kompeten menyebabkan urine mengalir balik (refluks) ke dalam ureter (Smeltzer & Bare, 2002). 3. Etiologi Infeksi Saluran Kemih Infeksi saluran kemih disebabkan oleh mikroorganisme patogen yang berkaitan dengan adanya suatu benda asing didalam saluran perkemihan. Misalnya, pengggunaan kateter melalui uretra akan menyediakan rute langsung masuknya mikroorganisme. Kateter mengganggu mekanisme berkemih normal yang bertindak sebagai pertahanan melawan organisme yang masuk ke dalam uretra. Iritasi lokal pada uretra atau kandung kemih nantinya akan menjadi faktor predisposisi masuknya bakteri kedalam jaringan (Perry & Potter, 2006). Kebersihan perineum yang buruk merupakan penyebab umum ISK pada wanita. ISK yang didapat di institusi kesehatan juga timbul akibat praktik cuci tangan yang tidak adekuat, kebiasaan mengelap perineum yang salah yaitu dari arah belakang kedepan setelah berkemih atau defekasi, cairan irigasi yang terkontaminasi, posisi kantung drainase yang lebih tinggi dari kandung kemih dan seringnya melakukan senggama seksual. Setiap gangguan yang menghalangi aliran bebas urine dapat menyebabkan infeksi. Sebuah kateter yang diklem, tertekuk, atau terhambat, dan setiap kondisi yang menyebabkan retensi urine dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi pada kandung kemih (Perry & Potter, 2006). 9 Mikroorganisme patogen yang menyebabkan infeksi saluran kemih yang berkaitan dengan buruknya perawatan kateter diantaranya E.Coliklebsiella, proteus, providensiac, citrobacter, p.aeruginosa, acinetobacter, enterococu faecali, dan staphylococcus saprophyticus namun, sekitar 90% ISK secara umum disebabkan oleh E.coli (Haryono, 2013). Pada orang dewasa, satu kateterisasi yang dipasang sebentar membawa masuk kesempatan infeksi sebesar 1%, sementara prosedur yang sama memiliki resiko infeksi 20% pada lansia (Perry & Potter, 2006). 4. Manifestasi Klinik Infeksi Saluran Kemih Tanda dan gejala yang berhubungan dengan infeksi saluran kemih bervariasi. Adapun tanda-tanda klinisnya yaitu akan mengalami nyeri atau rasa terbakar selama berkemih (disuria) terjadi ketika urine mengalir melalui jaringan yang meradang, demam lebih dari 380C, menggigil, mual, muntah, adanya rasa gatal dan kemerahan didaerah genetalia, nyeri atau spasme pada area kandung kemih dan suprapubik, malaise serta kelemahan terjadi ketika infeksi memburuk, sensasi ingin berkemih yang mendesak dan sering (peningkatan frekuensi berkemih), iritasi pada kandung kemih dan mukosa uretra menyebabkan darah bercampur dalam urine (hematuria), urine tampak pekat dan keruh karena adanya sel darah putih atau bakteri, terjadinya peningkatan sel darah putih (leukosit), nyeri panggul dan pinggang, serta nyeri tekan (Perry & Potter, 2006 ; Haryono, 2013). 5. Faktor Resiko Infeksi Saluran Kemih Beberapa faktor resiko yang dapat mempengaruhi terjadinya infeksi saluran kemih, antara lain : a. Usia Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu (Perry & Potter, 2006). Insiden infeksi meningkat seiring dengan penuaan dan ketidakmampuan. Infeksi saluran kemih merupakan kasus yang paling umum pada sepsis bakterial akut pada pasien yang berusia 10 lebih dari 65 tahun (Smeltzer & Bare, 2002). Faktor yang berperan menyebabkan insiden infeksi saluran kemih pada populasi lansia di institusi perawatan mencakup penyakit kronis, penggunaan agen antimikrobial yang sering, adanya dekubitus yang terinfeksi, imobilitas dan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, serta sering menggunakan bedpan dari pada pispot atau pergi kekamar kecil (Smeltzer & Bare, 2002). b. Jenis Kelamin Infeksi saluran kemih mayoritas didominasi oleh perempuan. Perempuan lebih berisiko terkena infeksi saluran kemih karena uretra lebih pendek dan secara anatomi dekat dengan vagina, kelenjar periuretral dan rektum. Tahap pertama patogenesis bakteriuria pada perempuan yaitu kolonisasi bakteri pada uretra distal dan vagina. Flora kemudian naik ke kandung kemih, tempat mikroorganisme melekat ke epitelium saluran kemih. Perlekatan bakteri cenderung lebih mudah terjadi pada fase estrogen dalam siklus menstruasi, setelah histerektomi total, dan seiring dengan proses penuaan. Selain itu, perempuan yang mengalami atrofi epitelium uretra akibat proses penuaan dapat beresiko terjadinya bakteriuria. Atrofi epitelium uretra dapat mengurangi kekuatan pancaran urine sehingga menurunkan efektifitas pengeluaran bakteri melalui berkemih (Smeltzer & Bare, 2002). Insiden infeksi saluran kemih sangat jarang terjadi pada laki-laki. Prevalensi pada laki-laki yang berusia lebih dari 50 tahun hampir sama dengan perempuan dalam kelompok umur yang sama. Pada laki-laki, aktivitas antibakterial yang terkandung dalam sekresi prostat melindungi laki-laki dari kolonisasi bakteri pada uretra dan kandung kemih yang menurun seiring dengan penuaan. Peningkatan bakteriuria yang drastis pada laki-laki lanjut usia sangat berkaitan dengan hyperplasia prostat atau karsinoma,striktur uretra, dan kandung kemih neuropatik (Smeltzer & 11 Bare, 2002). Penyebab paling umum kambuhnya infeksi saluran kemih pada laki-laki usia lanjut adalah prostatitis bakteri kronis. Reseksi transuretral (TUR) kelenjar prostat dapat mengurangi insiden infeksi saluran kemih. (Smeltzer & Bare, 2002). c. Gangguan Metabolisme dan Imunosupresi Gangguan metabolisme dan imunosupresi seperti diabetes mellitus dan gagal ginjal kronis dapat menggangu mekanisme normal pertahanan sterilitas kandung kemih. Kondisi lain yang rentan terjadi infeksi seperti pada pasien yang menjalani terapi kortikosteroid, kehamilan, gangguan neurologi, dan gout (Price & Wilson, 2006; Smeltzer & Bare, 2002). Pasien diabetes mellitus sangat berisiko infeksi saluran kemih karena peningkatan kadar glukosa dalam urine menyebabkan lingkungan pada saluran kemih rentan terhadap infeksi. Kehamilan dan gangguan neurologi juga meningkatkan resiko infeksi saluran kemih karena kondisi ini menyebabkan pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap dan statis urine. Abnormalitas struktur dan kandung kemih neurogenik akibat stroke atau neuropati otonom pada diabetes menyebabkan pengosongan kandung kemih tidak lengkap sehingga dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi saluran kemih (Smeltzer & Bare, 2002). d. Diuresis Insiden infeksi saluran kemih dapat dicegah dengan peningkatan jumlah pengeluaran urine (diuresis). Diuresis membantu membilas kandung kemih dan kateter dari bakteri, dan mengencerkan zat-zat dalam urine yang dapat membentuk krusta sehingga menghambat pertumbuhan koloni bakteri. Pasien dianjurkan sering berkemih setiap 2-3 jam (Smeltzer & Bare, 2002). Pada pasien yang terpasang kateter diharapkan minimum urine keluar 30 ml/jam. Normalnya output urine diharapkan 1500 ml/hari (Perry & Potter, 2006). Diuresis dapat diupayakan dengan 12 mempertahankan minum paling sedikit 2 liter perhari (Turner & Dickens dalam Sepalanita, 2012). Pasien dianjurkan minum dengan bebas (air adalah pilihan terbaik). Diuresis juga dapat dipengaruhi oleh penggunaan terapi cairan parenteral dan terapi farmakologi seperti terapi diuretik (Smeltzer & Bare, 2002). e. Penggunaan Kateter Urine Penggunaan kateter atau sistoskopi pada tindakan evaluasi atau penanganan gangguan eleminasi urine dapat menyebabkan infeksi saluran kemih. Kateter merupakan benda asing dalam uretra dan menghasilkan suatu reaksi dalam mukosa uretra dengan pengeluaran sekret uretra. Kateterisasi urine dilakukan pada pasien yang benar-benar memerlukan karena sering menyebabkan infeksi saluran kemih (Smeltzer & Bare, 2002). Penggunaan dower kateter memungkinkan terjadinya kolonisasi mikroorganisme pada kantung drainase. Perawatan kateter dengan teknik aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi saluran kemih. Sistem drainase tertutup merupakan tindakan yang esensial untuk mengurangi resiko kontaminasi bakteri (Smeltzer & Bare, 2002). 6. Patofisiologi Infeksi Saluran Kemih Normalnya saluran kemih diatas uretra adalah steril. Berbagai mekanisme pertahanan mekanik dan psikologi yang membantu menjaga sterilitas dan pencegahan terhadap infeksi saluran kemih. Dengan demikian kandung kemih mampu membersihkan dirinya dari sejumlah besar bakteri dalam dua hari sejak masuknya bakteri ke dalam kandung kemih (Price & Wilson, 2006).Namun dengan terjadinya kerusakan dalam mekanisme pertahanan akan meningkatkan resiko terkenanya infeksi saluran kemih. Kondisi inflamasi, abrasi mukosa uretral, pengosongan kandung kemih yang tidak lengkap, gangguan status metabolisme (diabetes, kehamilan, gout) dan immunosupresi akan meningkatkan resiko infeksi saluran kemih dengan cara mengganggu mekanisme normal (Smeltzer & Bare, 2002). 13 Faktor yang sering berkontribusi terhadap infeksi ascending yaitu peralatan yang dipasang pada saluran kemih salah satunya kateterisasi. Pada pasien yang menggunakan kateter, mikroorganisme dapat menjangkau saluran kemih melalui tiga lintasan utama : (a) dari uretra kedalam kandung kemih pada saat kateterisasi; (b) melalui jalur dalam lapisan tipis cairan uretra yang berada di luar kateter ketika kateter dan membran mukosa bersentuhan; dan (c) cara yang paling sering, melalui migrasi kedalam kandung kemih di sepanjang lumen internal kateter setelah kateter terkontaminasi (Smeltzer & Bare, 2002). Migrasi mikroorganisme dari kateter menuju vesika urinaria dapat terjadi selama 1-3 hari (Newman, 2010). Penggunaan kateter urine menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih inferior dengan menyumbat duktus periuretralis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemih (Smletzer & Bare, 2002). Terdapat 3 tempat utama masuknya bakteri melalui kateter urine indwelling (dower kateter) yaitu meatus uretra, sambungan pada selang penampung kateter, dan tempat drainase dari kantung penampung (Newman, 2010). Masuknya mikroorganisme ke dalam saluran kemih, akan menimbulkan tanda-tanda infeksi saluran kemih pada pasien yang terpasang dower kateter (Perry & Potter, 2006). Pada beberapa pasien tertentu invasi bakteri dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah refluks vesikoureter dan sangat jarang invasi secara hematogen (Sudoyo et. al. 2009). Ketika katup ureterovesikal rusak akibat refluks dapat menyebabkan bakteri masuk dan akhirnya menghancurkan ginjal (Smeltzer & Bare, 2002). Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemia atau endokarditis akibat Safilokokus Aureus (Sudoyo et. al. 2009). 7. Pencegahan Terjadinya Infeksi Sebagian kuman yang berbahaya hanya dapat hidup dalam tubuh manusia. Untuk melangsungkan kehidupannya, kuman tersebut harus pindah dari orang 14 yang telah terkena infeksi kepada orang sehat yang belum kebal terhadap kuman tersebut. Kuman mempunyai banyak cara atau jalan agar dapat keluar dari orang yang terkena infeksi untuk pindah dan masuk ke dalam seseorang yang sehat. Kalau kita dapat memotong atau membendung jalan ini, kita dapat mencegah suatu penyakit infeksi. Kadang kita dapat mencegah kuman itu masuk maupun keluar tubuh kita. Kadang kita dapat pula mencegah kuman tersebut pindah ke orang lain. Perry & Potter (2006), menjelaskan ada beberapa tips untuk mencegah infeksi pada klien yang menjalani kateterisasi : (a) Tindakan asepsis yang ketat di perlukan pada saat memasang kateter, (b) Lakukan teknik mencuci tangan yang benar sebelum dan sesudah tindakan, (c) Upayakan supaya klien pada sistem drainase tidak menyentuh permukaan yang terkontaminasi, (d) Jangan membuka titik-titik penghubung pada sistem drainase untuk mengambil spesimen urine, (e) Apabila sambungan selang drainase terputus, jangan menyentuh bagian ujung kateter atau selang. Bersihkan ujung selang dan kateter dengan larutan antimikroba sebelum menyambungnya kembali, (f) Pastikan bahwa setiap klien memiliki wadah terpisah untuk mengukur urine guna mencegah kontaminasi silang, (g) Irigasi kateter tidak boleh dilakukan sebagai tindakan rutin, (h) Cegah pengumpulan urine didalam selang dan refluks urine ke dalam kandung kemih. Mencegah pengumpulan urine didalam selang dan refluks urine ke dalam kandung kemih dilakukan dengan cara : 1) Hindari meninggikan kantung drainase melebihi ketinggian kandung kemih klien, 2) Apabila perlu meninggikan kantung selama memindahkan klien ketempat tidur atau kesebuah kursi roda, mula-mula klem selang atau kosongkan isi selang ke dalam kantung drainase, 3) Hindari lekukan selang yang besar, terbentang di atas tempat tidur, 4) Alirkan drainase urine dari selang ke kantung, 5) Sebelum melakukan latihan atau ambulasi, keluarkan semua urine dari selang kedalam kantung drainase, (i) Hindari menekuk atau mengklem selang dalam jangka waktu 15 lama, (j) Kosongkan kantung drainase sekurang-kurangnya setiap 8 jam. Apabila tercatat bahwa haluaran urine banyak, kosongkan kantung dengan lebih sering, (k) Kateter tidak boleh dibiarkan ditempatnya lebih lama dari pada yang diperlukan, (l) Jika kateter harus dibiarkan terpasang selama beberapa hari atau beberapa minggu, kateter tersebut harus diganti secara periodek, sekitar seminggu sekali, dan pemasangan kateter tidak boleh dihentikan tanpa latihan kandung kemih (bladder training), (m) Lepaskan kateter segera setelah kondisi medis memungkinkan (n) Plester atau fiksasi kateter dengan benar, (o) Lakukan praktik hygiene rutin berdasarkan kebijakan lembaga dan setelah atau inkontinensia urine. B. Perawatan Dower Kateter 1. Pengertian Dower Kateter Kateter urine merupakan salah satu prosedur invasi yang paling sering dilakukan oleh seorang perawat. Kata kateter diambil dari bahasa Yunani cathieri yang artinya menyalurkan. Definisi kateterisasi urine adalah memasukan sejenis tuba yang memiliki saluran ke dalam kandung kemih menurut Rothwell dalam Rizki (2009). Kateter adalah sebuah alat berbentuk pipa yang dimasukan ke dalam kandung kemih dengan tujuan untuk mengeluarkan urine. Kateterisasi urine adalah tindakan memasukan alat berupa selang karet atau plastik melalui uretra ke dalam kandung kemih untuk mengeluarkan urine (Hooton et. al. 2010). Dower kateter merupakan salah satu tipe kateter yang berupa selang yang dimasukkan kedalam uretra melalui genitalia yang bersifat menetap. Dower kateter termasuk kedalam kateter indwelling (foley kateter) atau kateter menetap, yang mana kateter ini tetap di tempat untuk periode waktu yang lebih lama sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran akurat perjam di butuhkan (Kasmad, 2007). 16 Kateter menetap atau dower kateter adalah alat medis yang biasanya disertai dengan penampungan urine yang berkelanjutan pada pasien yang mengalami disfungsi bladder. Kateter indwelling biasa juga disebut retensi kateter/ folley kateter indwelling yang dibuat sedemikian rupa sehingga tidak mudah lepas dari kandung kemih (Newman, 2010). Pada prinsipnya kateter indwelling (dower kateter) dihindari bila semuanya memungkinkan. Insiden infeksi saluran kemih dengan dower kateter sangat tinggi. Namun demikian, penggunaan jangka pendek diperlukan selama pengobatan kerusakan kulit berat akibat inkotinensia yang kontinu. Kateterisasi harus dilakukan pada seorang pasien hanya bila benar-benar diperlukan mengingat tindakan ini sering menimbulkan infeksi pada saluran kemih. Adanya kateter indwelling dalam traktus urinarius dapat menimbulkan infeksi (Smeltzer & Bare, 2002). 2. Tipe Kateterisasi Menurut Perry & Potter (2006), pemasangan kateter dapat bersifat sementara atau menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermiten catheter (straight kateter) dilakukan untuk mengeluarkan kandung kemih, jika kandung kemih kosong kateter segera ditarik untuk dilepaskan, sedangkan pemasangan kateter menetap atau indwelling kateter (folley kateter) dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus dan dalam jangka waktu yang lebih lama. a. Kateter sementara (straight kateter) Pemasangan kateter sementara dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urine. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5 sampai 10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermitten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan, tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi (Perry & Potter, 2006). 17 b. Keteter menetap (foley kateter atau dower kateter) Pemasangan kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lebih lama. Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu dan dilakukan pergantian kateter. Pemasangan kateter ini dilakukan sampai klien mampu berkemih dengan tuntas dan spontan atau selama pengukuran urine akurat dibutuhkan (Perry & Potter, 2006). Kateter menetap terdiri atas foley kateter (double lumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dan lumen yang lain berfungsi untuk mengisi balon dari luar kandung kemih. Tipe triple lumen terdiri dari tiga lumen yang digunakan untuk mengalirkan urin dari kandung kemih, satu lumen untuk memasukkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Perry & Potter, 2006). Menurut Perry & Potter (2006), ukuran pada kateter uretra menunjuk pada diameter luar, bukan lumennya, kateter tersedia dalam banyak diameter untuk menyesuaikan ukuran saluran uretra klien. Pada umumnya anakanak membutuhkan selang Prancis berukuran 8 sampai 10 Fr, wanita membutuhkan ukuran 14 sampai 16 Fr, dan pria biasanya membutuhkan ukuran 16-18 Fr. Bahan kateter dapat berasal dari logam (Stainlles), karet (Latteks), latteks dengan lapisan silicon (Siliconized). Perbedaan bahan kateter, menentukan biokompabiliti kateter didalam buli-buli sehingga akan mempengaruhi daya tahan kateter yang terpasang dibuli-buli. Dalam penggunaan kateter/kateterisasi, selain ukuran kateter dan pemilihan bahan kateter, menentukan ukuran balon yang sesuai juga merupakan aspek penting dalam kateterisasisi. Ukuran balon mempunyai rentang dari 3 ml (pediatrik) sampai volume pascaoperatif yang besar (75 ml). Ukuran paling umum adalah 5 ml dan 30 ml. Volume 5 ml cocok untuk kateterisasi standar. Volume yang kecil ini memungkinkan 18 keoptimalan drainase kandung kemih dan tidak menggangu pengosongan kandung kemih. Kateter berukuran 30 ml biasanya disimpan untuk digunakan setelah prostatektomi sebagai sebuah alat bantu dalam mencapai hemostatis jaringan pembuluh darah di prostat pascaoperatif menurut Perry & Potter (2006). 3. Indikasi Kateterisasi Perry & Potter (2006), menjelaskan kateterisasi dapat diindikasikan untuk berbagai alasan. Apabila waktu kateterisasi pendek dan upaya meminimalkan infeksi merupakan suaru prioritas, maka metode kateterisasi intermitten adalah yang terbaik. Pemasangan kateter menetap digunakan jika diperlukan pengosongan kandung kemih dalam jangka-panjang. Kateterisasi menetap ada dalam jangka pendek dan jangka panjang. Indikasi pada kateter menetap jangka pendek, yaitu : obstruksi pada aliran urine (mis, pembesaran prostat); perbaikan kandung kemih, uretra, dan struktur di sekelilingnya melalui pembedahan; mencegah obstruksi uretra akibat adanya bekuan darah; mengukur haluaran urine pada klien yang menderita penyakit kritis; irigasi kandung kemih secara intermitten atau secara berkelanjutan. Sedangkan indikasi kateter menetap jangka panjang, yaitu retensi urine yang berat disertai episode ISK yang berulang; ruam kulit, ulkus, atau luka iritasi akibat kontak dengan urine; penderita penyakit terminal yang merasa nyeri ketika linen tempat tidur diganti. Menurut Johson Ruth (2006), ada beberapa indikasi dilakukannya kateterisasi, antara lain : (a) Sebelum seksio sesaria atau bedah abdomen lainnya, (b) Sebelum dilakukan persalinan dengan bantuan alat, (c) Tidak dapat berkemih, (d) Untuk tujuan diagnostik mis, inkontinesia pascanatal, (e) Pemantauan keseimbangan cairan yang akurat pada kondisi penyakit akut, seperti preeklamsia atau perdarahan hebat, (f) Pemeriksaan urine khusus, seperti pengambilan spesimen urine yang tidak terkontaminasi untuk pengukuran kadar protein pada kasus pre-eklamsia. 19 4. Tujuan Penggunaan Dower Kateter Penggunaan kateter urine indwelling/kateter menetap dengan tujuan untuk menentukan perubahan jumlah urine sisa dalam kandung kemih setelah buang air kecil, memintas suatu obstruksi yang menyumbat aliran urine, menghasilkan drainase pasca operatif pada kandung kemih, daerah vagina atau prostat, dan memantau pengeluaran urine setiap jam pada pasien yang sakit berat (Hooton et. al. 2010). Menurut Kusyati Eni (2006), ada beberapa tujuan dari penggunaan dower kateter yaitu : menghilangkan distensi kandung kemih, menatalaksana kandung kemih inkompeten, mendapatkan spesimen urine steril, mengkaji jumlah residu urine jika kandung kemih tidak mampu sepenuhnya dikosongkan. 5. Perawatan Dower Kateter Perawatan kateter merupakan tindakan yang penting untuk mengontrol infeksi akibat dampak pemasangan kateter. Menurut Schaffer dalam Rahman (2007), perawatan dower kateter adalah tindakan membersihkan daerah perineal dengan sabun dan air dan mengoleskan salep antibiotik tiga kali dalam sehari, serta mempertahankan kepatenan kelancaran aliran urin pada sistem drainase kateter hal ini dimaksudkan untuk mencegah infeksi. Perawatan dower kateter pada prinsipnya harus sangat diperhatikan agar dapat mencegah terjadinya infeksi saluran kemih. Tindakan asepsis yang ketat diperlukan saat perawatan kateter. Asepsis adalah hilangnya mikroorganisme patogen yang membantu mengurangi resiko terkena infeksi. Tindakan mencuci tangan mutlak harus dilakukan sebelum dan setelah melakukan tindakan (Perry & Potter, 2006). Menurut Kasmad (2007), perawatan kateter merupakan pemberian pelayanan keperawatan berupa perawatan kateter sesuai standar operasional perawatan kateter dengan mengacu pada standar pelayanan profesi keperawatan. Perawatan kateter pada pasien-pasien terpasang dower kateter mutlak dilakukan untuk meminimalkan dampak yang tidak diinginkan berupa terjadinya infeksi nosokomial saluran kemih. 20 Peran perawat untuk mengurangi dampak dari pemasangan dower kateter adalah dengan memberikan perawatan kateter yang berkualitas. Tenaga perawat dianggap mampu memberikan perawatan yang profesional adalah perawat yang memiliki pendidikan minimal D-III menurut penelitian Kasmad (2007). Tenaga perawat yang memiliki pendidikan lebih tinggi biasanya mempunyai produktivitas dan partisipasi kerja yang lebih tinggi dari tenaga perawat yang pendidikannya rendah (Heather and Hannie, 2001). Selain faktor pendidikan, usia dan pengalaman kerja seorang perawat juga mempengaruhi pemberian perawatan kateter yang berkualitas. Menurut Hurlock dalam Widiarni (2013), mengatakan pada usia produktif mulai dari 20tahun tentu seorang perawat memiliki kinerja yang lebih optimal dibandingkan dengan yang telah berusia diatas, dengan alasan tenaga perawat muda umumnya mempunyai fisik yang lebih kuat, dinamis dan kreatif sehingga dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari terutama dirumah sakit maka seorang perawat akan lebih mudah untuk mencapai kinerja secara maksimal. Pengalaman kerja seorang perawat menggambarkan pengetahuan tempat dia bekerja (pengenalan lingkungan kerja). Dengan memiliki pengalaman kerja didukung tingkat pendidikan yang tinggi, maka seorang perawat akan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mendapatkan kemampuankemampuan baru dalam melakukan suatu tindakan keperawatan khususnya dalam hal tindakan perawatan dower kateter. Sehingga tindakan perawatan dower kateter pun dapat dilakukan dengan berkualitas baik (Heather and Hannie, 2001). Dengan pemberian perawatan kateter urine yang berkualitas, insiden infeksi saluran kemih dapat berkurang tingkat kejadiaannya. Seorang perawat yang melakukan perawatan kateter harus lebih dapat mempertimbangkan daerahdaerah mana saja yang memiliki resiko untuk masuknya mikroorganisme 21 sehingga tingkat kejadian masuknya mikroorganisme ke kandung kemih pun berkurang. Daerah yang memiliki resiko masuknya mikroorganisme ini adalah daerah insersi kateter, kantung drainanse, sambungan selang, klep, dan sambungan antar selang dan kantung (Perry & Potter, 2006). Seorang perawat dalam melakukan perawatan kateter urine juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan uretral terhindar dari trauma, erosi, dan peningkatan ketidaknyamanan pada uretra pasien. Perawatan perineal yang dilakukan dengan rutin menggunakan sabun dan air lebih baik dibandingkan dengan menggunakan cairan pembersih antiseptik seperti povidone iodine dan chlorhexidine pada perawatan kateter indwelling yang rutin dilakukan akan meningkatkan resiko infeksi melalui iritasi meatus uretra (Wilson et. al. 2009). Povidone iodine 10% dapat menyebabkan kulit dan mukosa iritasi dan terbakar. Chlorhexidine dapat mengakibatkan kulit dan mukosa iritasi, terbakar dan reaksi anaphylaksis. Berdasarkan rekomendasi American Association of Critical Care Nurses (AACN) (2009), bahwa bagian dari perawatan kateter urine indwelling adalah hygiene rutin dua kali sehari di daerah perineal dan kateter urine. Pembersihan dapat dilakukan pada saat pembersihan daerah perineum setelah pasien buang air besar. Bagian dari perawatan kateter urine indwelling juga termasuk pembersihan daerah meatus uretral. Pembersihan kateter urine yang rutin dapat menghilangkan krusta dari permukaan kateter sebelah luar (Makic et. al. dalam Sepalanita, 2012). Perawatan kateter urine sangat penting dilakukan pada pasien dengan tujuan untuk mengurangi dampak negatif dari pemasangan kateterisasi urine seperti infeksi dan radang pada saluran kemih, dampak lain yang mengganggu pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Menjaga kebersihan kateter dan alat kelamin merupakan pemenuhan kebutuhan dasar dalam melakukan perawatan dower kateter (Perry & Potter, 2006). 22 Penggunaan kateter urine indwelling dengan sistem drainase tertutup juga merupakan upaya untuk mencegah terjadinya kolonisasi bakteri. Untuk mencegah kontaminasi pada sistem tertutup, selang tidak boleh dilepas dari kateter. Tidak boleh ada bagian dari kantung penampung urine atau selang drainase yang terkontaminasi (Hooton et. al. 2010). Saluran konektor dan kantung penampung urine yang dikosongkan melalui katup drainase, atau kateter indwelling triple-lumen yang dihubungkan dengan sistem drainase tertutup yang steril (Smeltzer & Bare, 2002). Perawatan dower kateter pada kantung penampung urine tidak boleh ditinggikan (posisi kantung drainase) diatas kandung kemih pasien karena tindakan ini akan mengakibatkan aliran urine terkontaminasi dalam kandung kemih dari kantung penampung tersebut akibat gaya berat, hal ini bertujuanagar tidak terjadi aliran balik urine ke buli-buli dan tidak sering menimbulkan saluran penampung karena mempermudah masuknya kuman. Urine tidak boleh dibiarkan berkumpul didalam selang karena aliran urine yang bebas harus dipertahankan untuk mencegah infeksi. Kantung penampung tidak boleh menyentuh lantai. Kantung penampung harus dikosongkan setiap 8 jam sekali melalui katup drainase, agar tidak terjadi penumpukan urine yang apabila itu terjadi dapat meningkatkan mikroorganisme dan akan berpengaruh terhadap insiden infeksi saluran kemih (Perry & Potter, 2006). Kepatenan kelancaran aliran urine juga harus diperhatikan saat perawatan kateter. Hal ini untuk mencegah terkumpulnya urin di dalam selang. Untuk menjaga kepatenan sistem drainase, perawat memeriksa adanya lipatan dan lekukan pada selang, hindari memposisikan klien diatas selang drainase, dan monitor adanya bekuan darah atau sedimen yang dapat menyumbat selang penampung. Urine didalam kantung drainase merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan mikroorganisme. Bakteri dapat berjalan menaiki selang drainase untuk berkembang ditempat berkumpulnya urine. Apabila 23 urine ini kembali mengalir ke dalam kandung kemih klien, akan mengakibatkan terjadinya infeksi (Perry & Potter, 2006). Menurut Zulkarnain dalam Sudoyo (2009), pergantian kateter merupakan tindakan yang perlu dilakukan dimana pergantian kateter dianjurkan setelah 3 hari lama pemasangan dengan periode sekali dalam seminggu. Semakin jarang kateter diganti, resiko infeksi makin tinggi. Pada tahap pengangkatan kateterisasi urine perlu diperhatikan agar balon kateter urine telah kempis. Selain itu menganjurkan klien menarik napas untuk mengurangi ketegangan otot sekitar saluran kemih sehingga kateterisasi urine dapat diangkat tanpa menyebabkan trauma berlebihan (Perry dan Potter, 2006). Lamanya terpasang kateter sangat berpengaruh terhadap insiden infeksi, menurut Zulkarnaian dalam Sudoyo (2009), mengatakan bila kateter terpasang selama 2 hari, infeksi dapat terjadi 15% bila sepuluh hari menjadi 50%. Selain beberapa tindakan perawatan dower kateter diatas, peran perawat untuk mengurangi dampak dari pemasangan dower kateter adalah dengan memberikan perawatan kateter yang berkualitas, dimana ketika pasien terpasang kateter, maka tindakan keperawatan yang harus dilakukan oleh perawat pada pasien yaitu memberikan pendidikan kesehatan tentang pentingnya meminum air sebanyak 2 liter setiap hari yang bertujuan untuk mempertahankan kandung kemih terbilas dan menghilangkan sedimen yang melekat pada kateter. Menganjurkan pasien dan keluarganya agar kondisi kateter dan kandung kemih lebih rendah dari kandung kemih dan ingatkan pasien agar tidak berbaring di bawah selang kateter serta perawat melakukan higiene perineum sekurang-kurangnya 3 kali sehari (Perry & Potter, 2006). Prosedur dalam perawatan kateter menetap (dower kateter), menurut Perry & Potter (2006) : a. Persiapan Pasien Menjelaskan pada klien dan keluarga tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilaksanakan, seorang pasien atau keluarga pasien 24 harus tetap selalu diberi penjelasan tentang prosedur dan tujuan tindakan yang akan dilakukan supaya klien dapat mengerti setiap tindakan yang akan dilakukan oleh perawat, karena perawatan kateter merupakan tindakan perawat yang sangat berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran kemih. b. Persiapan Perawat Persiapan perawat, yang harus dilakukan sebelum tindakan perawatan kateter menetap yaitu mengkaji adanya episode inkontinensia usus atau laporan dari klien bahwa ia merasa tidak nyaman pada daerah yang terpasang kateter. Adanya pengeluaran kemih yang sering juga dapat dikaji berdasarkan kebijakan lembaga (akumulasi seksresi atau feses menyebabkan iritasi pada jaringan perineum dan menjadi sumber pertumbuhan bakteri). c. Persiapan Alat dan Bahan Persiapan peralatan dan perlengkapan yang diperlukan : (a) Set perawatan kateter : 1) Sarung tangan steril, 2) Bola kapas atau swab aplikasi, 3) Handuk dan lap badan yang bersih, 4) Sabun dan air hangat, 5) Salep antibiotik (periksa kebijakan lembaga); (b) Alas penyerap yang kedap air; (c) Selimut mandi; (d) Plester. d. Prosedur Pelaksanaan Prosedur perawatan kateter menetap, antara lain : (1) Jelaskan prosedur kepada klien. Tawarkan kesempatan untuk melakukan perawatan diri pada klien yang tidak mampu (mengurangi ansietas dan meningkatkan kerja sama); (2) Cuci tangan (mengurangi penularan infeksi); (3) Atur posisi klien : (a) Wanita : posisi dorsal recumben, (b) Pria : Posisi telentang (memastikan bahwa jaringan perineum mudah dijangkau); (4) Letakan selimut mandi pada linen tempat tidur sehingga hanya daerah perineum yang terlihat (mencegah pemaparan bagian tubuh yang tidak perlu); (5) 25 Tempatkan alas kedap air di bawah klien (mencegah linen tempat tidur supaya tidak kotor); (6) Kenakan sarung tangan steril; (7) Dengan tangan yang tidak dominan perhatikan keadaan perineum. Memperhatikan keadaan perineum dengan tangan yang tidak dominan dilakukan dengan cara : (a) Wanita : retraksi labia dengan perlahan untuk memperlihatkan seluruh meatusuretra dan tempat insersi kateter, pertahankan posisi tangan selama prosedur (memungkinkan visualisasi meatus uretra secara keseluruhan. Meretraksi secara keseluruhan, mencegah kontaminasi meatus pada waktu dibersihkan); (b) Pria : retraksi prepusium, jika tidak disirkumsisi dan pegang batang penis tepat dibawah glans, pertahankan posisi tersebut selama prosedur (penurunan penis secara tidak sengaja selama proses pembersihan, memerlukan pengulangan prosedur); (8) Kaji meatus uretra dan jaringan di sekelilingnya untuk melihat adanya inflamasi, pembengkakan, dan rabas. Catat jumlah, warna, bau, dan konsistensi rabas. Tanyakan mengenai rasa tidak nyaman atau sensasi terbakar yang dirasakan oleh klien (menentukan adanya infeksi setempat dan status hygiene); (9) Bersihkan jaringan perineum. Membersihkan jaringan perineum dilakukan dengan cara : (a) Wanita : gunakan lap bersih, sabun, dan air. Bersihkan ke arah anus. Ulangi proses untuk membersihkan labia minora dan kemudian bersihkan di daerah sekitar meatus uretra dengan gerakan ke arah kateter. Pastikan Anda membersihkan setiap sisi meatus. Keringkan daerah tersebut dengan baik (mengurangi jumlah mikroorganisme pada meatus uretra. Penggunaan lap bersih mencegah perpindahan mikroorganisme), (b) Pria : sambil melebarkan meatus uretra, bersihkan daerah di sekitar kateter terlebih dahulu dan kemudian bersihkan dengan gerakan sirkular disekitar meatus dan glans (tindakan pembersihan dilakukan dari daerah yang kontaminasinya paling sedikit ke daerah yang kontaminasinya banyak); (10) Mengelap kering daerah yang sudah dibersihkan pada saat perawatan. 26 Setelah mengeringkan daerah yang sudah dibersihkan, perawat : (11) Mengkaji kembali meatus uretra untuk melihat adanya rabas (menentukan lengkap atau tidaknya pembersihan); (12) Dengan menggunakan handuk, sabun, dan air, bersihkan dengan gerakan sirkular di sepanjang selang kateter, sepanjang 10 cm (mengurangi adanya seksresi atau drainase pada permukaan bagian luar kateter); (13) Oleskan salep antibiotik pada meatus uretra dan pada kateter sepanjang 2,5 cm jika diprogramkan oleh dokter atau merupakan bagian dari kebijakan lembaga (semakin mengurangi pertumbuhan mikroorganisme pada tempat insersi); (14) Tempatkan klien dalam posisi nyaman dan aman (meningkatkan rasa nyaman); (15) Buang perlengkapan dan sarung tangan yang terkontaminasi serta cuci tangan (mencegah penyebaran infeksi); (16) Periksa kateter untuk memastikannya sudah diplester dengan tepat. Plester kembali dan atur kekencangannya, bila perlu; (17) Melaksanakan dokumentasi : catat tindakan yang dilakukan dan hasil serta respon klien pada lembar catatan klien, seperti catat dan laporkan kondisi jaringan perineum, dan adanya kelainan yang terjadi. Hal-hal yang perlu diperhatikan untuk merawat kateter menetap secara rutin Perry & Potter (2006) : a. Asupan cairan Semua klien yang terpasang kateter harus mengonsumsi cairan sebanyak 2000 sampai 2500 ml per hari, jika diizinkan. Jumlah cairan ini dapat diperoleh dari asupan oral atau infus intravena. Asupan cairan dalam jumlah besar menghasilkan volume urine yang besar, yang membilas kandung kemih dan menjaga selang kateter bebas dari sedimen. b. Hygiene Perineum Pembentukan sekresi krusta pada tempat insersi kateter merupakan sumber iritasi dan potensial menyebabkan infeksi. Perawat memberikan perawatan kebersihan perineum sekurang-kurangnya dua kali sehari atau 27 sesuai dengan kebutuhan klien yang terpasang kateter akibat retensi. Sabun dan air efektif mengurangi jumlah organisme di sekitar uretra. Perawat tidak boleh memasukan kateter ke dalam kandung kemih selama membersihkan perineum walaupun tidak di sengaja karena hal ini dapat membawa resiko masuknya bakteri. c. Perawatan Kateter Selain merawat kebersihan perineum secara rutin, banyak institusi merekomendasikan supaya klien yang terpasang kateter mendapatkan perawatan khusus tiga kali sehari dan setelah defekasi atau inkontinesia usus untuk membantu meminimalkan rasa tidak nyaman dan infeksi. d. Perawatan Ostomi Untuk klien yang mendapatkan diversi urinarius, diperlukan asuhan keperawatan khusus untuk mencegah terjadinya komplikasi yang terkait dengan peralatan penampungan feses. Pemasangan peralatan yang tepat dan rapat sangat penting untuk mencegah terpajannya kulit dengan urine secara konstan. Urine yang tetap bersentuhan dengan kulit menyebabkan kerusakan dan menyebabkan terkelupasnya epitel pada permukaan kulit. Apabila hal ini terjadi, peralatan tidak akan menempel dan kebocoran menjadi masalah utama. Urine secara konstan diproduksi sehingga kantung mungkin perlu dihubungkan dengan kantung drainase yang lebih besar untuk penggunaan pada malam hari. C. Hubungan Perawatan Dower Kateter Terhadap Tanda-Tanda Infeksi Saluran Kemih Tanda-tanda infeksi saluran kemih yang sering terjadi pada pasien yang terpasang dower kateter dan dirumah sakit terutama pasien rawat inap. ISK yang terjadi akibat kateterisasi merupakan penyebab utama infeksi bakterimia nosokomial. Diketahui bahwa penggunaan dower kateter merupakan salah satu sarana masuknya agent atau mikroorganisme ke dalam tubuh. Salah satu faktor-faktor yang 28 mempengaruhi terjadinya infeksi saluran kemih dan dapat diubah untuk meminimalkannya adalah lama pemasangan dan kualitas perawatan. Sehingga peran seorang perawat untuk mengurangi infeksi saluran kemih pada pasien yang dilakukan pemasangan dower kateter sangat dibutuhkan (Schaffer dalam Rahman, 2007). Prosedur perawatan kateter perlu memperhatikan teknik aseptik dan benar sehingga tidak menimbulkan iritasi atau trauma pada saluran kemih yang dapat menjadi sumber infeksi. Lamanya waktu pemasangan kateter sebaiknya tidak terlalu lama, karena semakin lama terpasang kateter angka kejadian infeksi saluran kemih semakin tinggi. Apabila ada advis dokter untuk melepas dower kateter maka harus dilepas secepat mungkin dan bila terpasang lebih dari 3 hari maka penggantian dower kateter baru harus dilakukan. Pemberian perawatan kateter yang berkualitas tinggi akan dapat mengurangi tingkat terjadinya infeksi saluran kemih (Sudoyo, 2009). Penggunaan kateter semakin lama akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada traktus urinarius inferior, dengan menyumbat duktus periuretralis mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artifisial untuk masuknya kuman (mikroba patogen) ke dalam kandung kemih. Kemudian mikroba pathogen tersebut akan berkembang biak dan menyebar melalui darah (bakteremia) dan semakin lama mikroba patogen tersebut berkembang biak maka akan mengakibatkan kerusakan serta gangguan fungsi organ semakin luas yang akhirnya memunculkan manifestasi klinis yang signifikan untuk diagnosa infeksi saluran kemih (Darmadi, 2008). Kehadiran benda asing di saluran kemih tidak hanya menjadi faktor pendukung untuk terjadinya ISK tetapi juga mengubah kemampuan tubuh untuk membasmi bakteri dari saluran kemih. Meskipun bakteriuria hadir hanya dalam sebagian kecil wanita yang tinggal di komunitas dan laki-laki, hasil penyisipan kateter dalam kolonisasi kandung kemih dengan bakteri pada tingkat 3% sampai 10% per hari, 29 dan kejadian mendekati 100% bila kateter tetap di tempat selama 30 hari atau lebih (Gray, 2010). Fakor-faktor resiko lain timbulnya tanda-tanda infeksi saluran kemih adalah kateterisasi berkepanjangan > 3 hari, jenis kelamin perempuan, infeksi lain, diabetes, malnutrisi, azotemia, pemantauan keluaran urin, antimikroba-obat (Tambyah & Maki dan Stevens dalam Amila, 2011). Selain itu menurut penelitian oleh Furqon (2003) mengemukakan bahwa kerap kali hygiene dan sanitasi penderita dalam merawat kebersihan kateter yang buruk dapat pula meningkatkan resiko terjadinya infeksi. Pemasangan kateter dan lamanya dipasang sangat mempengaruhi kejadian : dipasang 1 kali menyebabkan infeksi 1,7%, intermitten 3,5%, sedangkan bila dipasang dower kateter sebanyak 10%. Bila kateter dipasang selama 2 hari infeksi terjadi 15%, bila 10 hari menjadi 50% (Zulkarnain dalam Sudoyo, 2009). Di RS Dr. Cito Mangunkusomo, pada kasus ginekologi yang dilakukan operasi berencana yang urinenya steril sebelum operasi, ternyata setelah 5 hari 41% menderita infeksi saluran kemih. Penelitian lainnya melaporkan bahwa bakteriuria ditemukan sebanyak 44% pada pasien setelah 72 jam pertama pemasangan dower kateter (Leaver dalam Sepalanita, 2012). Sedangkan menurut Schaeffer dalam Nurokhim (2001), menjelaskan terjadinya tanda-tanda infeksi pasca pemasangan kateter menetap secara langsung berkaitan dengan lama pemasangan kateter dan sistem penampungan secara terbuka atau tertutup serta kualitas perawatan kateter yang dilakukan. Kejadian infeksi akan meningkat 7-10% setiap harinya dan akan mencapai 50% setelah 4,5 hari. Hal tersebut kemungkinan juga dapat disebabkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kejadian infeksi saluran kemih seperti prosedur perawatan dower kateter yang tidak menjaga kebersihan kateter dan alat kelamin, tidak menggunakan kateter urine indwelling dengan sistem drainase tertutup, posisi kantung penampung urine yang lebih tinggikan (posisi kantung drainase) diatas kandung kemih pasien 30 karena tindakan ini akan mengakibatkan aliran balik urine, tidak mengosongkan kantung penampung melalui katup drainase, tidak memperhatikan kepatenan kelancaran aliran urin, pergantian kateter tidak dilakukan, tidak adanya pendidikan kesehatan tentang pentingnya meminum air sebanyak 2 liter setiap hari yang bertujuan untuk mempertahankan kandung kemih terbilas dan menghilangkan sedimen yang melekat pada kateter (Perry & Potter, 2006). Namun terbukti bahwa dilihat dari hasil penelitian masih terdapat kejadian infeksi meskipun nilainya kecil, yaitu sebesar 16,7% pada responden dengan perawatan kateter rutin setiap hari. Angka kejadian infeksi saluran kemih akibat pemakaian kateter cukup tinggi. Diperkirakan 2 juta pasien didunia setiap tahunnya mengalami infeksi saluran kemih yang berhubungan dengan penggunaan dower kateter di rumah sakit (Buchman & Stinnet dalam Sepalanita, 2012). Di negara maju pun infeksi dalam rumah sakit terjadi dengan angka yang cukup tinggi. Misalnya, di AS, ada 20.000 kematian setiap tahun. ISK diperkirakan penyebab satu kematian dalam setiap 1000 episode kateter, sehingga menambah kematian 6500 kematian di Amerika setiap tahunnya (Tambyah & Maki dan Steven dalam Amila, 2011). Diseluruh dunia, 10% pasien rawat inap dirumah sakit mengalami infeksi yang baru selama dirawat 1-1,4 juta infeksi setiap tahun (Saint et. al. 2009). Tidak mengherankan, infeksi saluran kemih terkait kateter diidentifikasi sebagai salah satu nyata dari 8 kondisi yang berpotensi untuk dicegah. Infeksi saluran kemih (ISK) menyumbang sekitar 40% dari semua infeksi yang didapat di rumah sakit di Amerika Serikat, lebih dari 80% berhubungan dengan dower kateter. Prevalensi infeksi saluran kemih terkait kateter sangat berpengaruh secara langsung terkait pengaturan perawatan dalam penggunaan dower kateter. Tingkat prevalensi di Rumah Sakit dilaporkan untuk kasus akibat dower kateter bervariasi dari 25% sampai 35% (Gray, 2010). Berdasarkan hasil penelitian Kasmad (2007) dengan judul hubungan antara kualitas perawatan kateter dengan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih di RS 31 Roemani Semarang. Metode penelitian ini adalah observasi dan menggunakan instrumen penelitian berupa lembar observasi. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kualitas perawatan kateter dan variabel terikatnya adalah kejadian infeksi nosokomial saluran kemih. Subjek penelitian adalah perawat yang memiliki pendidikan DIII dan SI keperawatan, pasien laki-laki yang dirawat di RS Roemani, terpasang dower kateter, berumur antara 18-55 tahun, diagnosa masuk bukan ISK, tidak menggunakan antibiotik dan setuju menjadi responden. Jumlah sampel 30 responden. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas perawatan kateter terbanyak adalah cukup (50%), baik (30%), dan kurang (20%). Angka kejadian infeksi nosokomial saluran kemih yang mendapatkan perawatan kateter dengan kualitas baik sebesar 22,22%, cukup 26,67% dan kurang sebesar 83,33%. Untuk menekan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih akibat pemasangan kateter perlu adanya peningkatan kualitas perawatan kateter sesuai dengan standar prosedur perawatan dan prosedur pencegahan infeksi. Uji statistik menggunakan uji Chi Square untuk menilai hubungan antara kualitas perawatan kateter dengan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih. Hasil analisis dengan Chi Square menghasilkan nilai t hitung (7,081) > dari nilai t table (5,99) dan nilai p value (0,029) < 0,05 yang menunjukan adanya hubungan antara kualitas perawatan kateter dengan kejadian infeksi nosokomial saluran kemih. Berdasarkan hasil penelitian Tri (2009), dengan judul tingkat pengetahuan perawat tentang perawatankateter urin di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Jenis penelitian ini non eksperimental dengan pendekatan Cross Sectional. Pengumpulan data menggunakan kuisioner berisi 24 pertanyaan mengenai SOP dan tujuan perawatan kateter serta tanda dan akibat ISK. Teknik pengambilan sample adalah Purposive Sampling. Jumlah sampelnya yaitu 40 orang responden, sample yang dipilih adalah sample yang memenuhi kriteria inklusi. Teknis analisis yang digunakan adalah deskriptive kuantitatif. 32 Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan perawat tentang SOP perawatan kateter dalam krieria baik 15% dan kriteria cukup 85%, pengetahuan perawat tentang tujuan perawatan kateter menunjukkan kriteria cukup 22,5% dan kriteria kurang sebanyak 77,5% dan pengetahuan perawat tentang akibat pemasangan kateter dan tanda ISK menunjukkan kriteria baik 50% dan cukup 50%. Secara keseluruhan pengetahuan perawat tentang perawatan dalam kriteria baik 20% dan dalam kriteria cukup sebanyak 80%. Saran bagi perawat agar selalu berusaha untuk mencari informasi tentang perawatan kateter. Untuk tim INOS (Infeksi nosokomial) rumah sakit agar dapat melakukan berbagai pelatihan agar dapat meningkatkan pengetahuan perawat tentang perawatan kateter. Berdasarkan hasil penelitian Rizki, 2012 dengan judul faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap usia 20 tahun ke atas dengan kateter menetap di RSUD Tugurejo Semarang. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan 40% dari seluruh infeksi nosokomial dan dilaporkan 80% ISK terjadi sesudah instrumentasi, terutama oleh kateterisasi. Desain penelitian ini adalah Cross Sectional, jumlah sampel 30 responden dengan tekhnik purposive sampling. Hasil penelitian dengan Fisher Exact Test menunjukan adanya pengaruh yang signifikan antara kejadian ISK dengan lama penggunaan kateter (p=0,0001) dan perawatan kateter (p=0,009). Hasil analisis multivariat, diketahui bahwa lama penggunaan kateter merupakan faktor resiko paling dominan yang berpengaruh terhadap kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap. Pasien dengan lama penggunaan kateter > 3 hari mempunyai resiko 56,07 kali dapat terkena ISK dibandingkan dengan pasien yang menggunakan kateter ≤ 3 hari. Uji probabilitas membu ktikan bahwa 25 % kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap disebabkan oleh penggunaan kateter > 3 hari. Rekomendasi dari penelitian ini adalah agar lebih memperhatikan faktorfaktor resiko yang dapat menyebabkan kejadian ISK pada pasien dengan kateter menetap, terutama faktor resiko yang dapat diubah seperti lama penggunaan kateter dan perawatan kateter. 33 Berdasarkan hasil penelitian Hasibuan (2007), dengan judul pola kuman pada urine penderita yang menggunakan kateter uretra di ruang perawatan intensif dan bangsal bedah di RSUP H. Adam Malik Medandengan menggunakan uji chi-square dan menggunakan desain cross sectional yang dilakukan pada 40 subjek penelitian pada kelompok bangsal bedah dan 40 subjek penelitian diruang perawatan intensif. Dengan hasil pada kelompok bangsal bedah subjek dengan kejadian ISK hari keempat paska penggunaan kateter uretra ada sebanyak 11 orang (27,5%). Sedangkan pada kelompok ruang perawatan intensif yang mengalami ISK hari keempat paska penggunaan kateter uretra ada sebanyak 6 orang (15%), tetapi berdasarkan analisa statistik tidak dijumpai perbedaan bermakna (p>0,05). D. Kerangka Konsep Variabel Independen PerawatanDower Kateter Variabel Dependen Tanda-Tanda Infeksi Saluran Kemih Skema 2.1 Kerangka Konsep Penelitian E. Hipotesa Penelitian Ha : Ada pengaruh perawatan dower kateter terhadap tanda-tanda infeksi saluran kemih pada pasien rawat inap di RSUD Pirngadi Medan tahun 2014.