11_ islam dan kemasyarakatan

advertisement
1
Tb. Chaeru Nugraha
ISLAM DAN KEMASYARAKATAN
Lazimnya sebuah masyarakat, di dalamnya pasti hidup secara bersama-sama
bermacam kelompok masyarakat berbeda gender, usia, bangsa, suku bangsa,
organisasi, aliran politik, dan agama. Di samping adanya kemajemukan itu, tentu
saja masyarakat terdapat sistem yang mengatur interaksi antaranggota masyarakat,
antarmasyarakat dengan penguasanya/pemerintah, antarmasyarakat suatu negeri
dengan negeri lainnya. Pada aspek lain masyarakat memiliki corak/warna khas,
seperti masyarakat berdasarkan kapitalisme dengan individualisme, sekularisme,
liberalisme berbeda dengan masyarakat sosialis-komunis dan juga Islam. Kenyataan
itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga pluralitas masyarakat
adalah bagian dari eksistensi kehidupan masyarakat itu sendiri, bahkan bagian dari
penciptaan manusia.
! "#$ % & $ '())
.
“Wahai
manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar
kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal” (QS.Al Hujurat: 13)
Berdasarkan ayat ini, kita dapat memahami bahwa pluralitas sebuah
masyarakat merupakan fakta yang tidak dapat terelakan dalam kehidupan manusia.
Keadaan perbedaan dari jenis kelamin, usia, kelompok atau golongan, suku, bangsa,
dan bahkan agama merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal itu merupakan
gambaran dari keberadaan fitrah manusia yang memang berkecenderungan untuk
hidup dalam suatu komunitas. Berkaitan dengan pluralitas ini, ternyata Islam tidak
menolak hal itu. Bahkan Islam tidak mengenal 100% anggota masyarakatnya
menganut agama Islam, karena hal itu tidak sesuai dengan fakta kefitrahan manusia
dan tidak sesuai pula dengan firman Allah SWT., yaitu:
&6 $) "7 ' 2 3$45 0! ( 1+ , & &+ - ./ “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua manusia yang ada di muka
bumi itu seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang beriman semuanya? (QS. Yunus:99)
Sejak masa Rasulullah SAW. saat menegakkan sebuah masyarakat Islam di
madinah maka faktanya merupakan masyarakat yang di dalamnya hidup berbagai
kelompok masyarakat yang berbeda agama/keyakinan, golongan, suku bangsa/ras,
dan perbedaan lainnya. Di kota Madinah hidup orang-orang yahudi dari suku
Qainuqa, Nadhir, dan Quraidhah. Belum lagi terdapat qabilah Aus dan Khazraj,
serta kaum muhajirin dari Makkah yang berasal dari berbagai anak suku Quraisy.
Begitu pula ketika peradaban Islam masuk ke daerah-daerah Afrika Utara,
Andalusia (Portugis, Spanyol, dan sebagian Perancis), Balkan, Asia Kecil, Asia
Tengah samapi wilayah India, Pakistan, bangladesh, Burma, dan kawasan
2
Tb. Chaeru Nugraha
perbatasan dengan Xinjiang (Cina). Daerah-daerah tersebut kaya dengan ratusan
suku bangsa maupun ras, juga keyakinan/agama (Hindi, Budha, Nasrani, Yahudi,
Zoroaster, dll). Namun pluralitas tersebut dibiarkan ada dan hidup sebagai sebuah
kenyataan dan fakta yang tidak mungkin dielakkan.
Dengan demikian, pluralitas merupakan hal yang diterima, dihadapi, diatur
secara adil mekanismenya dan interaksinya agar menjadi dinamika masyakat yang
positif dan bukan potensi negatif yang melahirkan anarkhisme massal dan chaos.
Masyarakat kapitalisme (negara-negara Eropa Barat dan Amerika), masyarakat
sosialisme-komunisme ( negara-negara Blok Timur), maupun masyarakat Indonesia
atau negeri-negeri lainnya menghadapi kenyataan yang sama, yaitu pluralitas
masyarakat.
Jadi, kenyataan tentang madsyarakat itu dimanapun sama saja. Perbedaan
yang fundamental dari masing-masing tipe masyarakat tersebut terletak pada jenis
sistem mekanisme yang mengatur interaksi anggota-anggota masyarakat. Yang
paling penting adalah sistem mekanisme itu haruslah benar dan adil, sehingga
dapat dijaga dan dipelihara dengan tegas oleh negara. Oleh sebab itu, tidak
mengherankan jika sebuah negeri atau peradaban akan ditimpa malapetaka
kehancuran masyarakatnya hanya disebabkan tidak memiliki sistem yang sahoih
(benar) yang dapat mengatur interaksi anggota-anggota masyarakatnya sesuai
dengan fitrahnya sebagai manusia.
Sebuah kenyataan yang ironis di Indonesia adalah terjadinya upaya untuk
menjauhkan masyarakat dari kenyataan kemajemukkan masyarakat serta keharusan
adanya sistem yang mengatur mereka sehingga muncullah istila SARA dengan
tujuan terciptanya toleransi, kerjasama, maupun kerukunan hidup beragama
maupun masyarakat. Padahal kenyataan tentang hal itu adalah bahwa masyarakat
sendiri buta tentang-hak-hak mereka dan kewajibannya, malah justru mereka tidak
memahami bagaimana negara bersikap terhadap perselisihan yang berujung pada
masalah SARA. Pada akhirnya kerukunan dan toleransi yang terjadi hanyalah
kerukunan dan toleransi semu, disebabkan ketakutan diruduh menyulut isu SARA.
Ketika sendi-sendi masyarakat hancur, rasa takut masyarakat menjadi hilang,
potensi konflik pun berubah menjadi amuk massa dan kerusuhan tidak terelakkan.
Oleh sebab itu, sekali lagi perbedaan yang asasi sebuah masyarakat terletak
pada Sistem Nilai apa yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Jadi, pluralitas
merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Di dalam Islam keberadaan pluralitas
itu dapat melahirkan ikatan persaudaraan yang kokoh. Hal ini disebabkan Islam
memandang semua manusia sama di hadapan Allah. Tidak ada diskriminasi dalam
Islam. Islam tidak membedakan manusia dari sisi bangsa, suku bangsa, warna kulit,
dan bahasa. Perbedaan seorang manusia dalam Islam disebabkan perbedaan tingkat
ketakwaannya, ketaatannya kepada Allah, dan amal salehnya.
MASYARAKAT ISLAM
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersandar pada aqidah dan
aturan-aturan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsepsi
kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu
3
Tb. Chaeru Nugraha
arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Tidaklah mengherankan, di dalam ajaran
dan hukum-hukum Islam sarat dengan prinsip-prinsip keadilan yang pernah
ditarapkan sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak lain karena kesempurnaan
Islam yang berasal dari Dzat Yang maha Adil dan Sempurna, sebagaimana
firmannya:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu (Islam) dan telah Kucukupkan
nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu” (QS. Al Maidah:3)
Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Islam merupakan nikmat
Allah yang paling besar bagi ummat Islam dengan disempurnakannya agama mereka yang
tidak lagi membutuhkan agama (ajaran, sistem hidup, sumber hukum) yang lain. Juga tidak
lagi membutuhkan Nabi selain Nabi Muhammad saw. Hal ini pula yang menyebabkan
Rasulullah Muhammad saw menjadi nabi akhir zaman dan pamungkas yang dibangkitkan
untuk manusia dan jin, yang tidak ada hukum halal dan haram kecuali yang dihalalkan dan
diharamkan Allah dan tidsak ada agama kecuali yang disyariatkan Allah (Tafsir Ibnu
Katsir, juz II: 18).
Meskipun demikian, hal ini tidak berarti masyarakat Islam memvonis mati
setiap unsur lain di dalam masyarakatnya yang kebetulan memeluk agama selain
Islam. Perlu diketahui bahwa makna keadilan dalam ayat di atas berlaku umum
bagi siapapun dalam arti lintas warna kulit, bahasa, ras, suku, bangsa, maupun
agama. Untuk itulah Islam memberikan landasan kuat berupa sikap yang
ditegaskan dalam firman Allah SWT. :
“Allah tidak melarang kamu (kaum muslimin) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap
orang-orang yang tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil..”
Allah SWT. menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah SAW. sebagai
rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Kehadiran Rasulullah SAW. dengan
membawa wahyu Allah (Al Quran) dan perilaku beliau dibimbing wahyu tersebut
telah menjadikan perilaku beliau, tutur katanya sebagai hukum syara’ dan teladan
bagi manusia.
“Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi
semesta alam” (QS. Al Anbiya: 107).
Selain itu, kesempurnaan dan luasnya cakupan yang terdapat dalam Islam
menjadikan tidak ada satu perkarapun yang luput dari nilai dan hukumnya,
sehingga hal tersebut menunjukkan ketelitian, keagungan, kesempurnaan syariat
Islam dalam mengatur manusia dan alam semesta. Allah SWT. berfirman:
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An
Nahl: 89).
4
Tb. Chaeru Nugraha
Berdasarkan hal ini, maka seorang muslim tidak selayaknya berpaling dan
beralih kepada aturan dan nilai yang lain. Apalagi jika sistem hukum tersebut
merupakan produk manusia yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Jika
Allah SWT. telah memberikan kepada kita aturan kehidupan sempurna dan
lengkap maka tidak boleh bagi seorang muslim berpaling dari aturanNya itu. Allah
saw. berfirman:
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin,
apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi
mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan
rasulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzab:36)
Oleh sebab itulah, siapapun orangnya, apapun juga jabatannya, selama ia
seorang mukmin yang meyakini pada kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah
maka wajib baginya untuk menerapkan dan mengikuti aturan yang telah Allah
tentukan.
“Maka
putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah
kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu” (QS. Al Maa-idah: 48)
Imam Al-Qasimiy dalam kitab Mukhtashar Tafsir Al-Qur’an Al-Karim
menyatakan bahwa pengertian “fahkum bainahum bimaa anzalallahu”
tersebut
bermakna diterapkan pula di tengah ahlul kitab jika mereka merujuk kepadamu
(Muhammad). Imam Nasafiy menyatakan: “Allah SWT. mengingatkan tentang
diturunkannya Taurat kepada Musa as. kemudian diturunkannya Injil kepada Isa as., setelah
itu diturunkannya Al-Qur’an Al-Karimkepada Muhammad saw. dan hal itu bukan sekdar
untuk didengar saja, melainkan untuk diterapkan” (Perhatikan kitab Mukhtashar min
Mahaasini at Takwil karya Imam Al Qasimiy).
Demikianlah, setiap muslim berkewajiban memperlakukan seluruh manusia
dengan kebajikan dan keadilan, meski mereka tidak beragama Islam, selama mereka
tidak memerangi, membuat makar, dan memusuhi kaum muslimin.
Jaminan Islam Terhadap Nonmuslim
Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah
adanya nonmuslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua
orang harus beralih agama, hak beragama nonmuslim diabaikan. Padahal, siapa pun
yang memahami sejarah Nabi SAW. akan menolak pandangan seperti tadi.
Negara yang dimulai sejak Rasulullah SAW. di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul
atau al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama
kepada semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Orang-orang
nonmuslim yang menjadi warga negara disebut sebagai ahlu dzimmah, yakni
penduduk nonmuslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem
hukum Islam. (Lihat QS at-Taubah: 29).
Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus
baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa
5
Tb. Chaeru Nugraha
sekembalinya dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’),
baju perlengkapan perang, dan beliau menemukan baju miliknya itu di toko seorang
Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju
besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada
orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?”
Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di
tokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak
serta merta mengambil paksa harta miliknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu
menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili
perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau
mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Namun, Qadhi
Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian
Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?”
Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali
pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko
itu angkat bicara, “Wahai Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku
tentang baju besi milikmu. Namun, hakim yang engkau angkat ternyata
memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan
aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat Imam as-Suyuthi, Tarikh alKhulafa’). Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga
negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk
menerima hidayah Islam. Allahu Akbar!
Di samping persamaan dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman
yang menimpa orang-orang nonmuslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman
seorang anak penguasa di wilayah provinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn alKhaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin
‘Ash r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama
warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak
Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah
memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah
menerima bayaran ganti rugi (diat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih
qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum qishash itu,
Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu
karena dia anak Gubernur, karena itu cambuk saja Gubernur itu sekalian!”
Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan
kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum qishash.
Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak
kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam
keadaan merdeka?” (Lihat Manaqib Umar).
Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan
pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Perhatikan
isi surat Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk
Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam
agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya
membayar jizyah.” (Lihat Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah
6
Tb. Chaeru Nugraha
Islamiyyah, juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad SAW. yang
menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana
beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah
dan seorang pria muslim (Lihat Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubat).
Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul SAW. beserta para
sahabatnya. Karena itu, jelas bahwa sejak awal, Islam hidup dan berhasil memimpin
masyarakat di tengah pluralitas agama. Tampak betapa syariat Islam merupakan
pilihan syar’i sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah
kezaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan
kejahiliahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam.
Dalam ajaran Islam keberadaan warga masyarakat nonmuslim yang berada
dalam lingkungan kehidupan masyarakat Islam disebut dengan istilah ahlu
Dzimmah. Dzimmah memiliki pengertian perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka
disebut sebagai ahlu dzimmah disebabkan mereka memiliki jaminan perjanjian Allah
dan RasulNya, serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tentram
di bawah perlindungan Islam dan sistemnya. Jadi mereka berada dalam jaminan
keamanan kaum muslimin berdasarkan pada aqad dzimmah. Orang-orang
nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain yang
beragama Islam, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Aqad dzimmah ini berlaku
selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang nonmuslim tetap
memeluk agama mereka sekaligus menikmati hak-hak mereka sebagai warga
negara. Kewajiban mereka adalah hanya menunaikan jizyah (semacam pajak
pertahun bagi yang mampu), tunduk pada aturan-aturan Islam sepanjang tidak
berhubungan langsung dengan perkara-perkara agama dan ibadah mereka.
Adapun hak-hak nonmuslim yang dijamin Allah dan RasulNya, antara lain:
1. Hak (Jaminan) Perlindungan.
Hak ini meliputi perlindungan dari serangan eksternal maupun kezaliman
internal sehingga mereka merasa aman dan tentram. Berkaitan dengan hal ini
Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang bertindak dzalim terhadap seseorang
yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari
batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridlaannya, maka akulah
yang akan menjadi lawan si dzalim itu pada hari Qiamat” (HR. Abu Daud dan Baihaqi
dalam Sunan Al Kubra, juz V:205).
Imam Qarafiy Al Malikiy dalam kitab Al Furuq, juz III:14-15) menyatakan bahwa:
“...Apabila orang kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang-orang yang
berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan
memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati
untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan
dzimmah rasulNya”.
Khalifah Umar bin Khatthab sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tarikh Thabariy,
juz IV: 218, selalu bertanya kepada orang-orang yang datang dari daerah-daerah
tentang keadaan ahlu dzimmah, karena beliau khawatir ada di antara kaum
muslimin yang menimbulkan gangguan terhadap mereka. Lalu orang-orang yang
datang itu menjawab: “Tidak ada sesuatu yang kami ketahui melainkan perjanjian itu
dijalankan sebaik-baiknya oleh (penguasa daerah) kaum muslimin”
2. Perlindungan (Jaminan) nyawa dan badan. Nyawa atau darah para ahlu dzimmah
dipelihara dan dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu, pembunuhan atas
7
Tb. Chaeru Nugraha
nonmuslim diharamkan dalam Islam. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW.
bersabda:
“Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (orang yang terikat perjanjian dengan
masyarakat kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan
harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari, Ahmad,
dan Ibnu Majah).
Diriwayatkan pula bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah memerintahkan
seorang muslim untuk dihukum qishash (dihukum bunuh) karena ia membunuh
non-muslim (ahlu dzimmah). Namun sebelum hal itu terlaksana, datang keluarga
korban memaafkannya. Lalu Ali ra. bertanya: “Jangan-jangan ada orang yang
mengancam atau menakut-nakuti engkau”. Mereka menjawab, “Tidak, namun aku fikir
pembunuhan itu tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku
tebusan (diyat) dan aku rela sepenuhnya”. Ali pun lalu berkata: “Engkau lebih tahu,
barang siapa terikat dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum
muslimin) dan diyatnya seperti diyat kami”. (HR. Thabrani & Baihaqi, Sunan al Kubra,
juz VIII: 34)
3. Perlindungan (Jaminan) terhadap harta benda.
Imam Abu Yusuf dalam kitabnya Al Kharaj: 72 menukil riwayat mengenai
perjanjian Nabi saw. dengan orang-orang Nasrani Najran: “Bagi orang-orang
Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan dzimmah Muhammad,
Nabi dan RasulNya atas harta benda mereka, tempat peribadatan serta apa saja yang
berada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak”
4. Perlindungan (Jaminan) atas kehormatan
Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh
mencaci maki seorang dzimmi atau mengajukan tuduhan palsu, menjelekjelekkannya, menggunjingkan dengan ucapan yang tidak disukainya, dan lainlain. Imam Qarafiy dalam kitab Al Furuuq, juz III: 14, menyatakan: “Aqad dzimmah
mewajibkan berbagai hak untuk mereka, sebab mereka ada dalam lindungan kita,
penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan RasulNya, serta agama Islam. Maka
barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan
maka ia berarti menyia-nyiakan dzimmah Allah, RasulNya, serta dzimmah Islam”.
5. Jaminan hari tua dan terbebas kemiskinan (Jaminan Ekonomi)
Orang-orang nonmuslim dalam masyarakat Islam berhak atas jaminan hidup,
apalagi jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin. Sebab, seorang kepala
negara merupakan pemimpin atas seluruh rakyatnya dan ia kelak akan dimintai
pertanggungjawabannya atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasulullah
bersabda:
“Seorang imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Muslim). Berkenaan dengan hal ini Umar
bin Khatthab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis.
Ketika ditanyakan padanya, ternyata usia dan kebutuhan hidup mendesaknya
untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya pada bendahara Baitul maal
(kas negara) dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang tua itu dan orangorang seperti dia uang dari baitul mal (kas negara) yang mencukupi hidup mereka.
Lalu Umar berkata: “Kita telah bertindak zalim terhadapnya, menerima pembayaran
jizyah ketika ia masih muda, kemudian menelantarkannya dikala telah lanjut usia”
(Perhatikan kitab Al Kharaj: 26). Dalam aspek ekonomi (perdagangan) warga
8
Tb. Chaeru Nugraha
nonmuslim diberikan keleluasaan untuk berusaha dan beraktivitas sebagaimana
yang terdapat bagi kaum muslimin. Hanya saja, melakukan perbuatan riba, suap,
KKN, dumping, menimbun, curang dan menipu dalam transaksi yang terjadi
diharamkan untuk dilakukan bagi mereka sebagaimana hal itu juga berlaku bagi
kaum muslimin. Perkara ini dapat kita perhatikan bagaimana Rasulullah SAW.
ketika menulis surat kepada orang-orang majusi Hijr:
“... Hendaklah kalian meninggalkan riba atau jika tidak besiap-siaplah untuk menerima
pernyataan perang dari Allah dan RasulNya”.
Merekapun dapat menjadi pegawai negeri dalam jabatan-jabatan yang terkait
dengan sains-teknologi, manajemen dll.
6. Jaminan kebebasan beragama
Kebebasan beragama dan beribadah bagi orang-orang nonmuslim adalah wajib,
sebagaimana firman Allah SWT. :
“Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang
beriman semuanya ?” (QS. Yunus:99).
Pada saat Umar bin Khaththab ra. memasuki kota Al Quds (Yerusalem/Illiya),
beliau membuat perjanjian dengan orang-orang Nasrani di kota itu. Adapun
bunyi sebagian teksnya adalah: “Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan
oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi
mereka harta benda, gereja-gereja, salib-salib, serta egala kepeluan peribadatan. Bangunan
gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, ataupun dikurangi luasnya, diambil salib
salib-salibnya, atau apapun dari harta mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa
meninggalkan agama mereka ata diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan
dobolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka
(Nasrani)” (perhatikan Tarikh Thabariy, juz III: 609)
Satu-satunya yang diminta Islam adalah mereka mampu menenggang perasaan
dan ibadah kaum muslimin dan menjaga kesucian Islam.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka dalam hukum Islam terdapat
kaidah hukum yang berlaku atas seluruh warga negara, baik muslim maupun
nonmuslim, yaitu: “Atas mereka (nonmuslim) hak-hak mereka sama seperti hak-hak kita
(kaum muslim) miliki, begitu pula kewajiban-kewajiban mereka sama seperti kewajiban
yang kita miliki”
Hendaknya kita dapat membandingkan bagaimana kaum lain terhadap kaum
muslimin sejak peristiwa pengusiran kaum muslimin di Andalusia oleh orang
Eropa, disusul dengan perlakuan mereka dalam perang salib, sampai era modern di
negara-negara penyeru demokrasi dan kebebasan, apalagi jika kaum muslimin
tersebut minoritas. Belum lagi sikap Rusia, China, Serbia, Ethiopia, India, Burma,
Philipina yang teramat menyakitkan.
Oleh sebab itu, selama sebuah masyarakat tidak memiliki sistem perundangundangan yang mengatur secara adil dan benar interaksi dan mekanisme antara
anggota masyarakat, terutama yang berbeda agama/keyakinan, ras, golongan, suku,
maka selama itu pula potensi konflik akan terakumulasi menunggu kondisi matang
dan meledak. Dengan memahami gambaran Islam dan perlakuan Islam terhadap
orang yang beragama/berkeyakinan berbeda, maka paling tidak citraan negatif dan
keliru yang selama ini dipaksakan oleh orang yang tidak suka Islam dan umatnya
dapat dihilangkan. Lebih dari itu, umat Islampun mengerti bagaimana hukum
9
Tb. Chaeru Nugraha
agama mereka mengatur sebuh kehidupan masyarakat dan diharapkan tentu umat
Islam tidak menjadi Islamophobia.
MASYARAKAT SEKULER
Masyarakat sekuler memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat Islam.
Masyarakat sekuler adalah masyarakat yang memisahkan agama dari kehidupan.
Masyarakat yang menjadikan prinsip-prinsip sekuler (dibuat berdasarkan akal
manusia dan kepentingan manusia tanpa melibatkan nilai-nilai agama) sebagai
konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta
penentu arahnya dalam seluruh aspek kehidupan.
Indonesia berada dalam kondisi krisi multidimensional. Kondisi ini
merupakan produk dari sebuah sistem hidup yang digunakan dan diterapkan
dalam mengatur mekanisme sebuah masyarakat. Jika kita cermat mengamati, maka
kita akan sepakat untuk menyatakan bahwa sistem dan pandangan hidup yang
digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia adalah kapitalismesekularisme. Pandangan paham ini menyatakan bahwa kehidupan harus steril dari
agama termasuk Islam. Artinya hukum-hukum agama (Islam) tidak bisa dijadikan
sebagai patokan sebagai penyelesaian persoalan pemerintahan, negara dan masalah
publik lainnya.
Akibat sebuah sistem yang sekulatistik-kapitalistik itu nampak ketika
masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek
kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan,
ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal
dan dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari
kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta
orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan
pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin
tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban
kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis
ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan
yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak
kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan
maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak
asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa
semakin meningkat tajam. Mengapa semua ini terjadi?
Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan)
yang ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam alQur’ân surah ar-Rum ayat 41:
“Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS.
Ar Rum: 41)
Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa
yang dimaksud dengan bi maa kasabat aydinnaas dalam ayat itu adalah “oleh karena
kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi
10
Tb. Chaeru Nugraha
al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap
hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan
dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan dosa berakibat
turunnya azab Allah SWT. Selama ini, terbukti
di tengah-tengah masyarakat,
termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali
kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak
pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam
pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja.
Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan
kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan,
sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah
sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai
agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik,
budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap
beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan demi
meraih perolehan materi tanpa memandang sesuai aturan Islam atau tidak. Aturan
Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan
politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilainilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya.
Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk
ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah
mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah dalam musik, mode, makanan,
film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan
yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang
egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap
individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab
bersama seluruh komponen masyarakat. Sikap beragama sinkretistik intinya adalah
menyamadudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa,
menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut
pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama,
kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3)
oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan
aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama
yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan
sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan
memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang
Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT.
Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal
melahirkan manusia shaleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai
pengetahuan, ilmu, dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi
pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua
departamen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan
Nasional. Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan
(PITEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali
11
Tb. Chaeru Nugraha
tak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang
tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang
merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara
serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis
pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat
non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang
telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar
kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang
telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai
transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian
sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya
bernilai materi juga.
Berbagai tragedi pun telah mewarnai wajah dunia
pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru
dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan
kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu
rapuhnya.
MENEPIS KEBERATAN
Terdapat respon negatif terhadap syariat Islam. Pada dasarnya hambatan
menerapkan syariat Islam dibagi dua kelompok, yaitu:
Pertama, Problem internal umat Islam. Problem ini berkaitan dengan
ketidakfahaman umat Islam terhadap syariat Islam yang memunculkan keberatan.
Jika ditelaah hal ini merupakan cermin ketidakberhasilan umat Islam mengapresiasi
ajaran Islam.
Kedua adalah Problem Eksternal, yaitu ketidaksukaan kelompok atau negara yang
benci dengan Islam.
Berkaitan dengan itu, secara umum kendala internal umat Islam dalam
menerapkan syariat adalah masalah kekurangpahaman terhadap syariat Islam,
sehingga muncul Islamophobia. Ketakutan umat Islam terhadap aturan syariat
agama yang diyakininya. Hal ini dapat kita perhatikan pada ungkapan yang miring
di antaranya:
1. Islam itu yang penting bukan formalitasnya tapi substansinya. Pendapat ini jika
kita perhatikan sepintas seolah-olah benar. Sebab inti dari seluruh ajaran Islam
adalah mengajak manusia untuk menjadi baik, jujur, sopan, berakhlaqul karimah,
dll. Tetapi pendapat seperti ini jelas mengandung kekeliruan. Sebagai contoh,
bahwa Islam memerintahkan seorang muslim untuk melakukan syariat shalat,
shaum Ramadhan, zakat, dan hukum lainnya yang berkaitan dengan kehidupan
seperti haramnya riba, zina, dll. Secara formalitas aktivitas syariat yang seperti itu
harus dijalankan dan tidak bisa ditinggalkan; terlepas apakah ia jujur/tidak,
amanah/tidak, dll. Tidak dapat dikatakan bahwa orang jika sudah baik, jujur,
berkhlaqul karimah maka tidak perlu lagi menjalankan shalat dan aktivitas
syariat lainnya. Jadi, pendapat ini jelas bukan hanya berbahaya tapi bertentangan
dengan realitas, yaitu Pertama, di dalam Islam tidak ada aturan yang diterapkan
sekadar substansinya saja. Kedua, dengan tidak diformalkannya aturan Islam
12
Tb. Chaeru Nugraha
berarti akan menciptakan peluang (umat Islam) main hakim sendiri keluar dari
aturan Allah SWT. Padahal seorang muslim harus senantiasa terikat dengan
hukum Allah SWT. dalam setiap perilakunya, baik dalam ekonomi, sosial, politik,
budaya, termasuk pemerintahan. Berkaitan dengan nada miring di atas seharusnya
pernyataan yang sama pun ditujukan pada mereka yang rajin memperjuangkan
sekularisme, demokrasi, dan kapitalisme. Jika mereka konsisten, semestinya
cukup hanya substansi demokrasi, sekularisme, dan kapitalisme saja yang
dituntutnya. Akan tetapi kenyataan membuktikan tidak demikian, dimana faham
tersebut tadi diterapkan dalam bentuk formal mengatur aktivitas kehidupan
sebuah masyarakat.
2. Penduduk yang hidup di Indonesia bukan hanya muslim tetapi juga nonMuslim;
tidak homogen tapi heterogen. Berkaitan dengan pernyataan ini sebenarnya
menunjukkan kegagalannya dalam memahami realitas masyarakat. Pada
faktanya, hukum manapun yang diterapkan bagi sebuah masyarakat tidaklah
diperuntukkan hanya bagi satu kelompok manusia atau masyarakat yang
homogen saja. Sebagai contoh, Amerika merupakan sebuah negara yang tidak
semua penduduknya beragama Nasrani, akan tetapi aturan atau sistem yang
berlaku dalam mengatur negara tersebut adalah kapitalisme sekularisme. Begitu
pula di Cina, jutaan umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan
adalah aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional jika penolakan syariat
Islam tersebut dilandaskan pada alasan terjadinya heterogenitas penduduknya.
Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem kapitalisme meskipun
tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah pula berteriak tidak
boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua
penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Pokok persoalan yang
sebenarnya bukanlah terletak homogenitas dan heterogenitas suatu masyarakat,
tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur
penduduk (apapun agamanya) dapat memberikan jaminan terciptanya keadilan,
kesejahteraan, dan kebahagiaan suatu masyarakat apapun agama, bangsa,
sukunya.
3. Anggapan hukum Islam itu kejam, diskriminatif, dan primitif. Tudingan ini lebih
mencerminkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal jika kita mau berpikir
logis, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya apakah masyarakat yang
rata-rata kehidupan seksualitas anggota masyarakatnya bersih karena
diberlakukan hukum Islam (karena Islam melarang mendekati zina dan ada
hukum pidana yang tegas tentang pelanggaraan ini) ataukah masyarakat yang
permisif, hedonis, dan kacau; yang di dalamnya industrialisasi seks telah
dipandang biasa, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena
diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat? Tentu saja, masyarakat
kelompok pertama merupakan masyarakat yang luhur, sesuai harkat dan
martabat manusia, serta beradab. Sebaliknya kelompok kedua merupakan
masyarakat yang pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang
hidup tanpa aturan yang jelas dan pasti dapat menjamin hak-hak hidup mereka
sebagai manusia. Hanya saja, banyak masyarakat yang masih berpandangan
bahwa masyarakat sekuler dan kapitalistik yang hedonis dan permisif itulah yang
dianggap masyarakat modern, sedangkan masyarakat yang berupaya
13
Tb. Chaeru Nugraha
menerapkan syariat Islam dipandang sebagai masyarakat tradisonal, konservatif,
dan tradisonal.
4. Anggapan masyarakat kita tidak siap. Alasan ini merupakan kilah atas
keengganan, sebab ketika di Indonesia diterapkan hukum kolonial Belanda
sampai saat ini, pernahkah rakyat Indonesia ditanyai tentang kesiapan mereka
menerapkan hukum kolonial itu. Begitu pula ketika dulu rakyat Indonesia
diterapkan demokrasi terpimpin dan parlementer, apakah rakyat ditanyai tentang
kesiapannya terlebih dahulu. Jawab atas pertanyaan itu adalah tidak pernah.
Lalu, mengapa alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan pada syariat
Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah yang tidak siap itu
adalah orang-orang yang khawatir kejahatan dan kezalimannya terbongkar
bahkan diadili?
5. Anggapan adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan pemerintahan
Islam, sehingga Islam yang mana yang akan diterapkan ? Alasan ini terlalu
mengada-ada, sebab realitas menunjukkan bahwa dalam sistem manapun, sulit
hanya ada satu pendapat saja. Misalnya tentang sistem republik, apakah
presidentil ataukah parlementer. Bentuknyapun terjadi pro-kontra, apakah
kesatuan atau otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihanpun berbedabeda, apakah pemilihan langsung (lihat pendapat J.J. Rousseu), perwakilan,
distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi
mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang
kehidupan termasuk politik. Lalu mengapa adanya perbedaan pandangan
tentang beberapa hal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam dijadikan
sebagai dalih sekaligus kilah untuk tidak dilaksanakannya Islam sebagai syariat?
Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan yang
sama?
Download