1 Tb. Chaeru Nugraha ISLAM DAN KEMASYARAKATAN Lazimnya sebuah masyarakat, di dalamnya pasti hidup secara bersama-sama bermacam kelompok masyarakat berbeda gender, usia, bangsa, suku bangsa, organisasi, aliran politik, dan agama. Di samping adanya kemajemukan itu, tentu saja masyarakat terdapat sistem yang mengatur interaksi antaranggota masyarakat, antarmasyarakat dengan penguasanya/pemerintah, antarmasyarakat suatu negeri dengan negeri lainnya. Pada aspek lain masyarakat memiliki corak/warna khas, seperti masyarakat berdasarkan kapitalisme dengan individualisme, sekularisme, liberalisme berbeda dengan masyarakat sosialis-komunis dan juga Islam. Kenyataan itu merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sehingga pluralitas masyarakat adalah bagian dari eksistensi kehidupan masyarakat itu sendiri, bahkan bagian dari penciptaan manusia. ! "#$ % & $ '()) . “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS.Al Hujurat: 13) Berdasarkan ayat ini, kita dapat memahami bahwa pluralitas sebuah masyarakat merupakan fakta yang tidak dapat terelakan dalam kehidupan manusia. Keadaan perbedaan dari jenis kelamin, usia, kelompok atau golongan, suku, bangsa, dan bahkan agama merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Hal itu merupakan gambaran dari keberadaan fitrah manusia yang memang berkecenderungan untuk hidup dalam suatu komunitas. Berkaitan dengan pluralitas ini, ternyata Islam tidak menolak hal itu. Bahkan Islam tidak mengenal 100% anggota masyarakatnya menganut agama Islam, karena hal itu tidak sesuai dengan fakta kefitrahan manusia dan tidak sesuai pula dengan firman Allah SWT., yaitu: &6 $) "7 ' 2 3$45 0! ( 1+ , & &+ - ./ “Dan jikalau Rabbmu menghendaki, tentulah beriman semua manusia yang ada di muka bumi itu seluruhnya. Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya? (QS. Yunus:99) Sejak masa Rasulullah SAW. saat menegakkan sebuah masyarakat Islam di madinah maka faktanya merupakan masyarakat yang di dalamnya hidup berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama/keyakinan, golongan, suku bangsa/ras, dan perbedaan lainnya. Di kota Madinah hidup orang-orang yahudi dari suku Qainuqa, Nadhir, dan Quraidhah. Belum lagi terdapat qabilah Aus dan Khazraj, serta kaum muhajirin dari Makkah yang berasal dari berbagai anak suku Quraisy. Begitu pula ketika peradaban Islam masuk ke daerah-daerah Afrika Utara, Andalusia (Portugis, Spanyol, dan sebagian Perancis), Balkan, Asia Kecil, Asia Tengah samapi wilayah India, Pakistan, bangladesh, Burma, dan kawasan 2 Tb. Chaeru Nugraha perbatasan dengan Xinjiang (Cina). Daerah-daerah tersebut kaya dengan ratusan suku bangsa maupun ras, juga keyakinan/agama (Hindi, Budha, Nasrani, Yahudi, Zoroaster, dll). Namun pluralitas tersebut dibiarkan ada dan hidup sebagai sebuah kenyataan dan fakta yang tidak mungkin dielakkan. Dengan demikian, pluralitas merupakan hal yang diterima, dihadapi, diatur secara adil mekanismenya dan interaksinya agar menjadi dinamika masyakat yang positif dan bukan potensi negatif yang melahirkan anarkhisme massal dan chaos. Masyarakat kapitalisme (negara-negara Eropa Barat dan Amerika), masyarakat sosialisme-komunisme ( negara-negara Blok Timur), maupun masyarakat Indonesia atau negeri-negeri lainnya menghadapi kenyataan yang sama, yaitu pluralitas masyarakat. Jadi, kenyataan tentang madsyarakat itu dimanapun sama saja. Perbedaan yang fundamental dari masing-masing tipe masyarakat tersebut terletak pada jenis sistem mekanisme yang mengatur interaksi anggota-anggota masyarakat. Yang paling penting adalah sistem mekanisme itu haruslah benar dan adil, sehingga dapat dijaga dan dipelihara dengan tegas oleh negara. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika sebuah negeri atau peradaban akan ditimpa malapetaka kehancuran masyarakatnya hanya disebabkan tidak memiliki sistem yang sahoih (benar) yang dapat mengatur interaksi anggota-anggota masyarakatnya sesuai dengan fitrahnya sebagai manusia. Sebuah kenyataan yang ironis di Indonesia adalah terjadinya upaya untuk menjauhkan masyarakat dari kenyataan kemajemukkan masyarakat serta keharusan adanya sistem yang mengatur mereka sehingga muncullah istila SARA dengan tujuan terciptanya toleransi, kerjasama, maupun kerukunan hidup beragama maupun masyarakat. Padahal kenyataan tentang hal itu adalah bahwa masyarakat sendiri buta tentang-hak-hak mereka dan kewajibannya, malah justru mereka tidak memahami bagaimana negara bersikap terhadap perselisihan yang berujung pada masalah SARA. Pada akhirnya kerukunan dan toleransi yang terjadi hanyalah kerukunan dan toleransi semu, disebabkan ketakutan diruduh menyulut isu SARA. Ketika sendi-sendi masyarakat hancur, rasa takut masyarakat menjadi hilang, potensi konflik pun berubah menjadi amuk massa dan kerusuhan tidak terelakkan. Oleh sebab itu, sekali lagi perbedaan yang asasi sebuah masyarakat terletak pada Sistem Nilai apa yang diterapkan dalam masyarakat tersebut. Jadi, pluralitas merupakan kenyataan yang harus dihadapi. Di dalam Islam keberadaan pluralitas itu dapat melahirkan ikatan persaudaraan yang kokoh. Hal ini disebabkan Islam memandang semua manusia sama di hadapan Allah. Tidak ada diskriminasi dalam Islam. Islam tidak membedakan manusia dari sisi bangsa, suku bangsa, warna kulit, dan bahasa. Perbedaan seorang manusia dalam Islam disebabkan perbedaan tingkat ketakwaannya, ketaatannya kepada Allah, dan amal salehnya. MASYARAKAT ISLAM Masyarakat Islam adalah masyarakat yang bersandar pada aqidah dan aturan-aturan Islam yang bersumber pada Al-Qur’an Al-Karimdan As Sunnah. Masyarakat Islam adalah masyarakat yang menjadikan Islam sebagai konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu 3 Tb. Chaeru Nugraha arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Tidaklah mengherankan, di dalam ajaran dan hukum-hukum Islam sarat dengan prinsip-prinsip keadilan yang pernah ditarapkan sejak masa Rasulullah SAW. Hal ini tidak lain karena kesempurnaan Islam yang berasal dari Dzat Yang maha Adil dan Sempurna, sebagaimana firmannya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu (Islam) dan telah Kucukupkan nikmatKu kepadamu, dan telah Kuridlai Islam menjadi agama bagimu” (QS. Al Maidah:3) Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa Islam merupakan nikmat Allah yang paling besar bagi ummat Islam dengan disempurnakannya agama mereka yang tidak lagi membutuhkan agama (ajaran, sistem hidup, sumber hukum) yang lain. Juga tidak lagi membutuhkan Nabi selain Nabi Muhammad saw. Hal ini pula yang menyebabkan Rasulullah Muhammad saw menjadi nabi akhir zaman dan pamungkas yang dibangkitkan untuk manusia dan jin, yang tidak ada hukum halal dan haram kecuali yang dihalalkan dan diharamkan Allah dan tidsak ada agama kecuali yang disyariatkan Allah (Tafsir Ibnu Katsir, juz II: 18). Meskipun demikian, hal ini tidak berarti masyarakat Islam memvonis mati setiap unsur lain di dalam masyarakatnya yang kebetulan memeluk agama selain Islam. Perlu diketahui bahwa makna keadilan dalam ayat di atas berlaku umum bagi siapapun dalam arti lintas warna kulit, bahasa, ras, suku, bangsa, maupun agama. Untuk itulah Islam memberikan landasan kuat berupa sikap yang ditegaskan dalam firman Allah SWT. : “Allah tidak melarang kamu (kaum muslimin) untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..” Allah SWT. menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah SAW. sebagai rahmatan lil ‘alamiin (rahmat bagi seluruh alam). Kehadiran Rasulullah SAW. dengan membawa wahyu Allah (Al Quran) dan perilaku beliau dibimbing wahyu tersebut telah menjadikan perilaku beliau, tutur katanya sebagai hukum syara’ dan teladan bagi manusia. “Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam” (QS. Al Anbiya: 107). Selain itu, kesempurnaan dan luasnya cakupan yang terdapat dalam Islam menjadikan tidak ada satu perkarapun yang luput dari nilai dan hukumnya, sehingga hal tersebut menunjukkan ketelitian, keagungan, kesempurnaan syariat Islam dalam mengatur manusia dan alam semesta. Allah SWT. berfirman: “Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (QS. An Nahl: 89). 4 Tb. Chaeru Nugraha Berdasarkan hal ini, maka seorang muslim tidak selayaknya berpaling dan beralih kepada aturan dan nilai yang lain. Apalagi jika sistem hukum tersebut merupakan produk manusia yang sarat dengan kelemahan dan keterbatasan. Jika Allah SWT. telah memberikan kepada kita aturan kehidupan sempurna dan lengkap maka tidak boleh bagi seorang muslim berpaling dari aturanNya itu. Allah saw. berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan (hukum), akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata” (QS. Al Ahzab:36) Oleh sebab itulah, siapapun orangnya, apapun juga jabatannya, selama ia seorang mukmin yang meyakini pada kebenaran dan kesempurnaan hukum Allah maka wajib baginya untuk menerapkan dan mengikuti aturan yang telah Allah tentukan. “Maka putuskanlah perkara atas mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu” (QS. Al Maa-idah: 48) Imam Al-Qasimiy dalam kitab Mukhtashar Tafsir Al-Qur’an Al-Karim menyatakan bahwa pengertian “fahkum bainahum bimaa anzalallahu” tersebut bermakna diterapkan pula di tengah ahlul kitab jika mereka merujuk kepadamu (Muhammad). Imam Nasafiy menyatakan: “Allah SWT. mengingatkan tentang diturunkannya Taurat kepada Musa as. kemudian diturunkannya Injil kepada Isa as., setelah itu diturunkannya Al-Qur’an Al-Karimkepada Muhammad saw. dan hal itu bukan sekdar untuk didengar saja, melainkan untuk diterapkan” (Perhatikan kitab Mukhtashar min Mahaasini at Takwil karya Imam Al Qasimiy). Demikianlah, setiap muslim berkewajiban memperlakukan seluruh manusia dengan kebajikan dan keadilan, meski mereka tidak beragama Islam, selama mereka tidak memerangi, membuat makar, dan memusuhi kaum muslimin. Jaminan Islam Terhadap Nonmuslim Salah satu perkara yang sering disodorkan untuk menolak syariat Islam adalah adanya nonmuslim di masyarakat. Mereka mengira bila Islam diterapkan semua orang harus beralih agama, hak beragama nonmuslim diabaikan. Padahal, siapa pun yang memahami sejarah Nabi SAW. akan menolak pandangan seperti tadi. Negara yang dimulai sejak Rasulullah SAW. di kota Yatsrib (Madînah ar-Rasul atau al-Madînah al-Munawwarah) terbukti memberlakukan hukum secara sama kepada semua warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Orang-orang nonmuslim yang menjadi warga negara disebut sebagai ahlu dzimmah, yakni penduduk nonmuslim yang menjadi warga negara yang tunduk kepada sistem hukum Islam. (Lihat QS at-Taubah: 29). Kesamaan hukum di depan pengadilan Islam ini tampak jelas dalam kasus baju besi Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Diriwayatkan bahwa 5 Tb. Chaeru Nugraha sekembalinya dari Perang Shiffin, Khalifah Ali merasa kehilangan baju besi (dzira’), baju perlengkapan perang, dan beliau menemukan baju miliknya itu di toko seorang Yahudi ahlu dzimmah. Ali mengatakan kepada pemilik toko Yahudi itu, “Ini baju besiku. Aku belum pernah menjualnya dan belum pernah memberikan kepada orang lain. Bagaimana bisa ada di tokomu?” Orang Yahudi itu membantahnya. Ia mengklaim baju itu miliknya sebab ada di tokonya. Ali, penguasa yang memiliki wilayah kekuasaan yang sangat besar, tidak serta merta mengambil paksa harta miliknya. Akan tetapi, ia mengajak Yahudi itu menyelesaikan perkara tersebut di pengadilan. Qadhi Syuraih, yang mengadili perkara itu, meminta Ali menghadirkan saksi atas kepemilikan tersebut. Beliau mengemukakan Hasan, putranya, dan Qonbar pembantunya. Namun, Qadhi Syuraih menolak saksi tersebut. Ali menegaskan, “Apakah Anda menolak kesaksian Hasan yang oleh Rasul dikatakan sebagai pemuda penghulu surga?” Meskipun demikian, Qadhi Syuraih bersikukuh dengan ketetapannya dan Ali pun menerima kalah dalam perkara tersebut. Saat itulah, orang Yahudi pemilik toko itu angkat bicara, “Wahai Ali, Amirul Mukminin, Anda berperkara denganku tentang baju besi milikmu. Namun, hakim yang engkau angkat ternyata memenangkan aku atasmu. Sungguh, aku bersaksi bahwa ini adalah kebenaran dan aku bersaksi bahwa tiada Tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah.” (Lihat Imam as-Suyuthi, Tarikh alKhulafa’). Sungguh, keadilan hukum Islam dan persamaan hukum seluruh warga negara di hadapan hukum Islam telah membuka hati orang Yahudi itu untuk menerima hidayah Islam. Allahu Akbar! Di samping persamaan dalam hukum, Khilafah tidak diam terhadap kezaliman yang menimpa orang-orang nonmuslim. Diriwayatkan bahwa ada kasus kezaliman seorang anak penguasa di wilayah provinsi Mesir di masa Khalifah Umar ibn alKhaththab r.a. Beliau segera memanggil anak Gubernur dan bapaknya (Amr bin ‘Ash r.a.). Dalam sidang yang ditegakkan keadilannya, tanpa membedakan agama warga negara, anak gubernur Mesir itu mengaku bahwa dia mencambuk anak Qibthi yang beragama Nasrani (Koptik). Sesuai hukum acara pidana Islam, Khalifah memberikan pilihan kepada korban, apakah membalas cambuk (qishash) ataukah menerima bayaran ganti rugi (diat) atas kezaliman itu. Anak Qibthi itu memilih qishash. Ia pun mencambuk anak Gubernur. Setelah pelaksanaan hukum qishash itu, Khalifah Umar mengatakan: “Hai anak Qibthi, orang itu berani mencambukmu karena dia anak Gubernur, karena itu cambuk saja Gubernur itu sekalian!” Akan tetapi, anak Qibthi Nasrani itu menolaknya dan telah menyatakan kepuasannya dengan keadilan hukum yang diperolehnya dalam hukum qishash. Umar pun berkomentar, “Hai Amr (Gubernur Mesir di masa Khalifah Umar), sejak kapan engkau memperbudak anak manusia yang dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan merdeka?” (Lihat Manaqib Umar). Fakta-fakta sejarah di atas menggambarkan kepada kita bahwa konsep dan pelaksanaan hukum Islam di masa khilafah itu penuh dengan keadilan. Perhatikan isi surat Nabi Muhammad SAW. kepada penduduk Yaman yang sebelum masuk Islam merupakan mayoritas Yahudi dan Nasrani: “Siapa saja yang masih tetap dalam agama Yahudi dan Nasrani yang dipeluknya, dia tidak akan difitnah, dan wajib baginya membayar jizyah.” (Lihat Ahkam adz-Dzimmi, An-Nabhani, As-Syakhsihiyyah 6 Tb. Chaeru Nugraha Islamiyyah, juz 2/237). Begitu pula tindakan Nabi Muhammad SAW. yang menerapkan hukum rajam kepada dua orang Yahudi yang berzina, sebagaimana beliau juga pernah menjatuhkan hukum rajam kepada seorang wanita muslimah dan seorang pria muslim (Lihat Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-Uqubat). Begitulah ajaran Islam yang telah diterapkan oleh Rasul SAW. beserta para sahabatnya. Karena itu, jelas bahwa sejak awal, Islam hidup dan berhasil memimpin masyarakat di tengah pluralitas agama. Tampak betapa syariat Islam merupakan pilihan syar’i sekaligus rasional untuk diterapkan dalam rangka mengubah kezaliman menjadi keadilan di tengah-tengah umat manusia, menyingkirkan kejahiliahan dan hewani diganti oleh cahaya Islam. Dalam ajaran Islam keberadaan warga masyarakat nonmuslim yang berada dalam lingkungan kehidupan masyarakat Islam disebut dengan istilah ahlu Dzimmah. Dzimmah memiliki pengertian perjanjian, jaminan, dan keamanan. Mereka disebut sebagai ahlu dzimmah disebabkan mereka memiliki jaminan perjanjian Allah dan RasulNya, serta jamaah kaum muslimin untuk hidup dengan aman dan tentram di bawah perlindungan Islam dan sistemnya. Jadi mereka berada dalam jaminan keamanan kaum muslimin berdasarkan pada aqad dzimmah. Orang-orang nonmuslim memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lain yang beragama Islam, tanpa ada perbedaan sedikitpun. Aqad dzimmah ini berlaku selamanya, yang mengandung arti membolehkan orang-orang nonmuslim tetap memeluk agama mereka sekaligus menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara. Kewajiban mereka adalah hanya menunaikan jizyah (semacam pajak pertahun bagi yang mampu), tunduk pada aturan-aturan Islam sepanjang tidak berhubungan langsung dengan perkara-perkara agama dan ibadah mereka. Adapun hak-hak nonmuslim yang dijamin Allah dan RasulNya, antara lain: 1. Hak (Jaminan) Perlindungan. Hak ini meliputi perlindungan dari serangan eksternal maupun kezaliman internal sehingga mereka merasa aman dan tentram. Berkaitan dengan hal ini Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa yang bertindak dzalim terhadap seseorang yang terikat perjanjian keamanan dengan kaum muslimin atau membebaninya lebih dari batas kemampuannya, atau mengambil sesuatu dengan tanpa keridlaannya, maka akulah yang akan menjadi lawan si dzalim itu pada hari Qiamat” (HR. Abu Daud dan Baihaqi dalam Sunan Al Kubra, juz V:205). Imam Qarafiy Al Malikiy dalam kitab Al Furuq, juz III:14-15) menyatakan bahwa: “...Apabila orang kafir datang ke negeri kita hendak mengganggu orang-orang yang berada dalam perlindungan aqad dzimmah maka wajib atas kita menghadang dan memerangi mereka dengan segala kekuatan dan senjata, bahkan kita harus siap mati untuk itu demi menjaga keselamatan orang yang berada dalam dzimmah Allah dan dzimmah rasulNya”. Khalifah Umar bin Khatthab sebagaimana dijelaskan dalam kitab Tarikh Thabariy, juz IV: 218, selalu bertanya kepada orang-orang yang datang dari daerah-daerah tentang keadaan ahlu dzimmah, karena beliau khawatir ada di antara kaum muslimin yang menimbulkan gangguan terhadap mereka. Lalu orang-orang yang datang itu menjawab: “Tidak ada sesuatu yang kami ketahui melainkan perjanjian itu dijalankan sebaik-baiknya oleh (penguasa daerah) kaum muslimin” 2. Perlindungan (Jaminan) nyawa dan badan. Nyawa atau darah para ahlu dzimmah dipelihara dan dijamin keselamatannya. Oleh sebab itu, pembunuhan atas 7 Tb. Chaeru Nugraha nonmuslim diharamkan dalam Islam. Berkaitan dengan ini Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa membunuh seorang mu’ahid (orang yang terikat perjanjian dengan masyarakat kaum muslimin) maka ia tidak akan mencium harumnya surga, sedangkan harum surga itu dapat tercium dari jarak perjalanan 40 tahun” (HR. Bukhari, Ahmad, dan Ibnu Majah). Diriwayatkan pula bahwa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. pernah memerintahkan seorang muslim untuk dihukum qishash (dihukum bunuh) karena ia membunuh non-muslim (ahlu dzimmah). Namun sebelum hal itu terlaksana, datang keluarga korban memaafkannya. Lalu Ali ra. bertanya: “Jangan-jangan ada orang yang mengancam atau menakut-nakuti engkau”. Mereka menjawab, “Tidak, namun aku fikir pembunuhan itu tidak akan menghidupkan kembali saudaraku, maka berilah saja aku tebusan (diyat) dan aku rela sepenuhnya”. Ali pun lalu berkata: “Engkau lebih tahu, barang siapa terikat dzimmah kami, maka darahnya sama seperti darah kami (kaum muslimin) dan diyatnya seperti diyat kami”. (HR. Thabrani & Baihaqi, Sunan al Kubra, juz VIII: 34) 3. Perlindungan (Jaminan) terhadap harta benda. Imam Abu Yusuf dalam kitabnya Al Kharaj: 72 menukil riwayat mengenai perjanjian Nabi saw. dengan orang-orang Nasrani Najran: “Bagi orang-orang Najran dan para pengikut mereka diberikan jaminan Allah dan dzimmah Muhammad, Nabi dan RasulNya atas harta benda mereka, tempat peribadatan serta apa saja yang berada di bawah kekuasaan mereka, baik sedikit maupun banyak” 4. Perlindungan (Jaminan) atas kehormatan Islam menjamin mereka atas kehormatan dan harga diri. Siapapun tidak boleh mencaci maki seorang dzimmi atau mengajukan tuduhan palsu, menjelekjelekkannya, menggunjingkan dengan ucapan yang tidak disukainya, dan lainlain. Imam Qarafiy dalam kitab Al Furuuq, juz III: 14, menyatakan: “Aqad dzimmah mewajibkan berbagai hak untuk mereka, sebab mereka ada dalam lindungan kita, penjagaan kita, dzimmah kita, dzimmah Allah dan RasulNya, serta agama Islam. Maka barang siapa melakukan pelanggaran atas mereka meski satu kata busuk atau gunjingan maka ia berarti menyia-nyiakan dzimmah Allah, RasulNya, serta dzimmah Islam”. 5. Jaminan hari tua dan terbebas kemiskinan (Jaminan Ekonomi) Orang-orang nonmuslim dalam masyarakat Islam berhak atas jaminan hidup, apalagi jika mereka dalam keadaan fakir dan miskin. Sebab, seorang kepala negara merupakan pemimpin atas seluruh rakyatnya dan ia kelak akan dimintai pertanggungjawabannya atas perbuatannya terhadap rakyatnya. Rasulullah bersabda: “Seorang imam (kepala negara) itu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya” (HR. Muslim). Berkenaan dengan hal ini Umar bin Khatthab ra. pernah menjumpai seorang Yahudi tua yang tengah mengemis. Ketika ditanyakan padanya, ternyata usia dan kebutuhan hidup mendesaknya untuk berbuat itu. Maka Umar segera membawanya pada bendahara Baitul maal (kas negara) dan memerintahkan agar ditetapkan bagi orang tua itu dan orangorang seperti dia uang dari baitul mal (kas negara) yang mencukupi hidup mereka. Lalu Umar berkata: “Kita telah bertindak zalim terhadapnya, menerima pembayaran jizyah ketika ia masih muda, kemudian menelantarkannya dikala telah lanjut usia” (Perhatikan kitab Al Kharaj: 26). Dalam aspek ekonomi (perdagangan) warga 8 Tb. Chaeru Nugraha nonmuslim diberikan keleluasaan untuk berusaha dan beraktivitas sebagaimana yang terdapat bagi kaum muslimin. Hanya saja, melakukan perbuatan riba, suap, KKN, dumping, menimbun, curang dan menipu dalam transaksi yang terjadi diharamkan untuk dilakukan bagi mereka sebagaimana hal itu juga berlaku bagi kaum muslimin. Perkara ini dapat kita perhatikan bagaimana Rasulullah SAW. ketika menulis surat kepada orang-orang majusi Hijr: “... Hendaklah kalian meninggalkan riba atau jika tidak besiap-siaplah untuk menerima pernyataan perang dari Allah dan RasulNya”. Merekapun dapat menjadi pegawai negeri dalam jabatan-jabatan yang terkait dengan sains-teknologi, manajemen dll. 6. Jaminan kebebasan beragama Kebebasan beragama dan beribadah bagi orang-orang nonmuslim adalah wajib, sebagaimana firman Allah SWT. : “Maka apakah kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang beriman semuanya ?” (QS. Yunus:99). Pada saat Umar bin Khaththab ra. memasuki kota Al Quds (Yerusalem/Illiya), beliau membuat perjanjian dengan orang-orang Nasrani di kota itu. Adapun bunyi sebagian teksnya adalah: “Inilah janji perlindungan keamanan yang diberikan oleh hamba Allah, Umar Amirul Mukminin kepada penduduk Iliya, yaitu keamanan bagi mereka harta benda, gereja-gereja, salib-salib, serta egala kepeluan peribadatan. Bangunan gereja mereka tidak akan diduduki, dirobohkan, ataupun dikurangi luasnya, diambil salib salib-salibnya, atau apapun dari harta mereka. Tidak pula mereka akan dipaksa meninggalkan agama mereka ata diganggu dengan suatu gangguan dan tidak akan dobolehkan seorangpun dari kaum Yahudi bertempat tinggal di Iliya bersama mereka (Nasrani)” (perhatikan Tarikh Thabariy, juz III: 609) Satu-satunya yang diminta Islam adalah mereka mampu menenggang perasaan dan ibadah kaum muslimin dan menjaga kesucian Islam. Berdasarkan pada prinsip-prinsip di atas, maka dalam hukum Islam terdapat kaidah hukum yang berlaku atas seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim, yaitu: “Atas mereka (nonmuslim) hak-hak mereka sama seperti hak-hak kita (kaum muslim) miliki, begitu pula kewajiban-kewajiban mereka sama seperti kewajiban yang kita miliki” Hendaknya kita dapat membandingkan bagaimana kaum lain terhadap kaum muslimin sejak peristiwa pengusiran kaum muslimin di Andalusia oleh orang Eropa, disusul dengan perlakuan mereka dalam perang salib, sampai era modern di negara-negara penyeru demokrasi dan kebebasan, apalagi jika kaum muslimin tersebut minoritas. Belum lagi sikap Rusia, China, Serbia, Ethiopia, India, Burma, Philipina yang teramat menyakitkan. Oleh sebab itu, selama sebuah masyarakat tidak memiliki sistem perundangundangan yang mengatur secara adil dan benar interaksi dan mekanisme antara anggota masyarakat, terutama yang berbeda agama/keyakinan, ras, golongan, suku, maka selama itu pula potensi konflik akan terakumulasi menunggu kondisi matang dan meledak. Dengan memahami gambaran Islam dan perlakuan Islam terhadap orang yang beragama/berkeyakinan berbeda, maka paling tidak citraan negatif dan keliru yang selama ini dipaksakan oleh orang yang tidak suka Islam dan umatnya dapat dihilangkan. Lebih dari itu, umat Islampun mengerti bagaimana hukum 9 Tb. Chaeru Nugraha agama mereka mengatur sebuh kehidupan masyarakat dan diharapkan tentu umat Islam tidak menjadi Islamophobia. MASYARAKAT SEKULER Masyarakat sekuler memiliki karakteristik berbeda dengan masyarakat Islam. Masyarakat sekuler adalah masyarakat yang memisahkan agama dari kehidupan. Masyarakat yang menjadikan prinsip-prinsip sekuler (dibuat berdasarkan akal manusia dan kepentingan manusia tanpa melibatkan nilai-nilai agama) sebagai konsepsi kehidupannya, konstitusi pemerintahannya, sumber hukumnya, serta penentu arahnya dalam seluruh aspek kehidupan. Indonesia berada dalam kondisi krisi multidimensional. Kondisi ini merupakan produk dari sebuah sistem hidup yang digunakan dan diterapkan dalam mengatur mekanisme sebuah masyarakat. Jika kita cermat mengamati, maka kita akan sepakat untuk menyatakan bahwa sistem dan pandangan hidup yang digunakan dalam mengatur kehidupan masyarakat Indonesia adalah kapitalismesekularisme. Pandangan paham ini menyatakan bahwa kehidupan harus steril dari agama termasuk Islam. Artinya hukum-hukum agama (Islam) tidak bisa dijadikan sebagai patokan sebagai penyelesaian persoalan pemerintahan, negara dan masalah publik lainnya. Akibat sebuah sistem yang sekulatistik-kapitalistik itu nampak ketika masyarakat Indonesia mengalami krisis multidimensional dalam segala aspek kehidupan. Fenomena kemiskinan, kebodohan, kedzaliman, penindasan, ketidakadilan di segala bidang, kemerosotan moral, peningkatan tindak kriminal dan dan berbagai bentuk patologi sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta orang kehilangan pekerjaan. Sementara, sekitar 4,5 juta anak harus putus sekolah. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Mengapa semua ini terjadi? Dalam keyakinan Islam, berbagai krisis tadi merupakan fasad (kerusakan) yang ditimbulkan karena perilaku manusia sendiri. Ditegaskan oleh Allah dalam alQur’ân surah ar-Rum ayat 41: “Telah nyata kerusakan di daratan dan di lautan oleh karena tangan-tangan manusia”. (QS. Ar Rum: 41) Muhammad Ali Ashabuni dalam kitab Shafwatu al-Tafasir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bi maa kasabat aydinnaas dalam ayat itu adalah “oleh karena kemaksiatan-kemaksiatan dan dosa-dosa yang dilakukan manusia (bi sababi ma’ashi 10 Tb. Chaeru Nugraha al-naas wa dzunu bihim)”. Maksiyat adalah setiap bentuk pelanggaran terhadap hukum Allah, yakni melakukan yang dilarang dan meninggalkan yang diwajibkan dan setiap bentuk kemaksiyatan pasti menimbulkan dosa dan dosa berakibat turunnya azab Allah SWT. Selama ini, terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Agama telah diamputasi dan dikebiri; dimasukkan dalam satu kotak tersendiri dan kehidupan berada pada kotak yang lain. Dalam urusan pengaturan kehidupan, sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Akibatnya, di tengah-tengah sistem sekuleristik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik. Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan demi meraih perolehan materi tanpa memandang sesuai aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat. Sementara dalam tatanan politik yang oportunistik, kegiatan politik tidak didedikasikan untuk tegaknya nilainilai (kebenaran) melainkan sekadar demi jabatan dan kepentingan sempit lainnya. Dalam tatanan budaya yang hedonistik, budaya telah berkembang sebagai bentuk ekspresi pemuas nafsu jasmani. Dalam hal ini, Barat telah menjadi kiblat ke arah mana “kemajuan” budaya harus diraih. Ke sanalah dalam musik, mode, makanan, film, bahkan gaya hidup ala Barat orang mengacu. Buah lainnya dari kehidupan yang materialistik-sekuleristik adalah makin menggejalanya kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik. Tatanan bermasyarakat yang ada telah memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemenuhan hak dan kepentingan setiap individu. Koreksi sosial hampir-hampir tidak lagi dilihat sebagai tanggung jawab bersama seluruh komponen masyarakat. Sikap beragama sinkretistik intinya adalah menyamadudukan semua agama. Paham ini bertumpu pada tiga doktrin: (1) Bahwa, menurut mereka, kebenaran agama itu bersifat subyektif sesuai dengan sudut pandang setiap pemeluknya; (2) Maka, sebagai konsekuensi dari doktrin pertama, kedudukan semua agama adalah sama sehingga tidak boleh saling mendominasi; (3) oleh karena itu, dalam masyarakat yang terdiri dari banyak agama, diperlukan aturan hidup bermasyarakat yang mampu mengadaptasi semua paham dan agama yang berkembang di dalam masyarakat. Sikap beragama seperti ini menyebabkan sebagian umat Islam telah memandang rendah, bahkan tidak suka, menjauhi dan memusuhi aturan agamanya sendiri. Sebagian umat telah lupa bahwa seorang Muslim harus meyakini hanya Islam saja yang diridhai Allah SWT. Sementara itu, sistem pendidikan yang materialistik terbukti telah gagal melahirkan manusia shaleh, berkepribadian mulia yang sekaligus menguasai pengetahuan, ilmu, dan teknologi (PITEK). Secara formal kelembagaan, sekulerisasi pendidikan ini telah dimulai sejak adanya dua kurikulum pendidikan keluaran dua departamen yang berbeda, yakni Departemen Agama dan Departemen Pendidikan Nasional. Terdapat kesan sangat kuat bahwa pengembangan ilmu-ilmu kehidupan (PITEK) adalah suatu hal yang berada di wilayah bebas nilai, sehingga sama sekali 11 Tb. Chaeru Nugraha tak tersentuh standar nilai agama. Kalaupun ada hanyalah etik-moral (ethic) yang tidak bersandar pada nilai agama. Sementara, pembentukan karakter siswa yang merupakan bagian terpenting dari proses pendidikan justru kurang tergarap secara serius. Pendidikan yang materialistik memberikan kepada siswa suatu basis pemikiran yang serba terukur secara material serta memungkiri hal-hal yang bersifat non materi. Bahwa hasil pendidikan haruslah dapat mengembalikan investasi yang telah ditanam oleh orang tua siswa. Pengembalian itu dapat berupa gelar kesarjanaan, jabatan, kekayaan atau apapun yang setara dengan nilai materi yang telah dikeluarkan. Agama ditempatkan pada posisi yang sangat individual. Nilai transendental dirasa tidak patut atau tidak perlu dijadikan sebagai standar penilaian sikap dan perbuatan. Tempatnya telah digantikan oleh etik yang pada faktanya bernilai materi juga. Berbagai tragedi pun telah mewarnai wajah dunia pendidikan kita, mulai perilaku dari siswa, mahasiswa sampai demontrasi para guru dan pendidik lainnya yang menuntut dinaikkan tunjangan mereka merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi, betapa dunia pendidikan kita begitu rapuhnya. MENEPIS KEBERATAN Terdapat respon negatif terhadap syariat Islam. Pada dasarnya hambatan menerapkan syariat Islam dibagi dua kelompok, yaitu: Pertama, Problem internal umat Islam. Problem ini berkaitan dengan ketidakfahaman umat Islam terhadap syariat Islam yang memunculkan keberatan. Jika ditelaah hal ini merupakan cermin ketidakberhasilan umat Islam mengapresiasi ajaran Islam. Kedua adalah Problem Eksternal, yaitu ketidaksukaan kelompok atau negara yang benci dengan Islam. Berkaitan dengan itu, secara umum kendala internal umat Islam dalam menerapkan syariat adalah masalah kekurangpahaman terhadap syariat Islam, sehingga muncul Islamophobia. Ketakutan umat Islam terhadap aturan syariat agama yang diyakininya. Hal ini dapat kita perhatikan pada ungkapan yang miring di antaranya: 1. Islam itu yang penting bukan formalitasnya tapi substansinya. Pendapat ini jika kita perhatikan sepintas seolah-olah benar. Sebab inti dari seluruh ajaran Islam adalah mengajak manusia untuk menjadi baik, jujur, sopan, berakhlaqul karimah, dll. Tetapi pendapat seperti ini jelas mengandung kekeliruan. Sebagai contoh, bahwa Islam memerintahkan seorang muslim untuk melakukan syariat shalat, shaum Ramadhan, zakat, dan hukum lainnya yang berkaitan dengan kehidupan seperti haramnya riba, zina, dll. Secara formalitas aktivitas syariat yang seperti itu harus dijalankan dan tidak bisa ditinggalkan; terlepas apakah ia jujur/tidak, amanah/tidak, dll. Tidak dapat dikatakan bahwa orang jika sudah baik, jujur, berkhlaqul karimah maka tidak perlu lagi menjalankan shalat dan aktivitas syariat lainnya. Jadi, pendapat ini jelas bukan hanya berbahaya tapi bertentangan dengan realitas, yaitu Pertama, di dalam Islam tidak ada aturan yang diterapkan sekadar substansinya saja. Kedua, dengan tidak diformalkannya aturan Islam 12 Tb. Chaeru Nugraha berarti akan menciptakan peluang (umat Islam) main hakim sendiri keluar dari aturan Allah SWT. Padahal seorang muslim harus senantiasa terikat dengan hukum Allah SWT. dalam setiap perilakunya, baik dalam ekonomi, sosial, politik, budaya, termasuk pemerintahan. Berkaitan dengan nada miring di atas seharusnya pernyataan yang sama pun ditujukan pada mereka yang rajin memperjuangkan sekularisme, demokrasi, dan kapitalisme. Jika mereka konsisten, semestinya cukup hanya substansi demokrasi, sekularisme, dan kapitalisme saja yang dituntutnya. Akan tetapi kenyataan membuktikan tidak demikian, dimana faham tersebut tadi diterapkan dalam bentuk formal mengatur aktivitas kehidupan sebuah masyarakat. 2. Penduduk yang hidup di Indonesia bukan hanya muslim tetapi juga nonMuslim; tidak homogen tapi heterogen. Berkaitan dengan pernyataan ini sebenarnya menunjukkan kegagalannya dalam memahami realitas masyarakat. Pada faktanya, hukum manapun yang diterapkan bagi sebuah masyarakat tidaklah diperuntukkan hanya bagi satu kelompok manusia atau masyarakat yang homogen saja. Sebagai contoh, Amerika merupakan sebuah negara yang tidak semua penduduknya beragama Nasrani, akan tetapi aturan atau sistem yang berlaku dalam mengatur negara tersebut adalah kapitalisme sekularisme. Begitu pula di Cina, jutaan umat Islam tinggal di sana, namun aturan yang diberlakukan adalah aturan sosialisme-komunisme. Jadi, tidak rasional jika penolakan syariat Islam tersebut dilandaskan pada alasan terjadinya heterogenitas penduduknya. Mereka sendiri tidak pernah melarang penerapan sistem kapitalisme meskipun tidak semua penduduk berideologi kapitalisme; tidak pernah pula berteriak tidak boleh menerapkan sosialisme-komunisme dengan alasan tidak semua penduduknya berideologi sosialisme-komunisme. Pokok persoalan yang sebenarnya bukanlah terletak homogenitas dan heterogenitas suatu masyarakat, tetapi terletak pada sistem aturan mana yang akan diterapkan untuk mengatur penduduk (apapun agamanya) dapat memberikan jaminan terciptanya keadilan, kesejahteraan, dan kebahagiaan suatu masyarakat apapun agama, bangsa, sukunya. 3. Anggapan hukum Islam itu kejam, diskriminatif, dan primitif. Tudingan ini lebih mencerminkan ketakutan terhadap syariat Islam. Padahal jika kita mau berpikir logis, manakah sesungguhnya yang lebih baik, misalnya apakah masyarakat yang rata-rata kehidupan seksualitas anggota masyarakatnya bersih karena diberlakukan hukum Islam (karena Islam melarang mendekati zina dan ada hukum pidana yang tegas tentang pelanggaraan ini) ataukah masyarakat yang permisif, hedonis, dan kacau; yang di dalamnya industrialisasi seks telah dipandang biasa, aurat tidak boleh dihalangi untuk dipamerkan karena diskriminatif, hukum ditentukan oleh yang kuat? Tentu saja, masyarakat kelompok pertama merupakan masyarakat yang luhur, sesuai harkat dan martabat manusia, serta beradab. Sebaliknya kelompok kedua merupakan masyarakat yang pada hakikatnya menjurus pada masyarakat binatang yang hidup tanpa aturan yang jelas dan pasti dapat menjamin hak-hak hidup mereka sebagai manusia. Hanya saja, banyak masyarakat yang masih berpandangan bahwa masyarakat sekuler dan kapitalistik yang hedonis dan permisif itulah yang dianggap masyarakat modern, sedangkan masyarakat yang berupaya 13 Tb. Chaeru Nugraha menerapkan syariat Islam dipandang sebagai masyarakat tradisonal, konservatif, dan tradisonal. 4. Anggapan masyarakat kita tidak siap. Alasan ini merupakan kilah atas keengganan, sebab ketika di Indonesia diterapkan hukum kolonial Belanda sampai saat ini, pernahkah rakyat Indonesia ditanyai tentang kesiapan mereka menerapkan hukum kolonial itu. Begitu pula ketika dulu rakyat Indonesia diterapkan demokrasi terpimpin dan parlementer, apakah rakyat ditanyai tentang kesiapannya terlebih dahulu. Jawab atas pertanyaan itu adalah tidak pernah. Lalu, mengapa alasan masyarakat tidak siap itu hanya ditujukan pada syariat Islam. Padahal, benarkah masyarakat tidak siap? Ataukah yang tidak siap itu adalah orang-orang yang khawatir kejahatan dan kezalimannya terbongkar bahkan diadili? 5. Anggapan adanya ragam pendapat tentang sistem politik dan pemerintahan Islam, sehingga Islam yang mana yang akan diterapkan ? Alasan ini terlalu mengada-ada, sebab realitas menunjukkan bahwa dalam sistem manapun, sulit hanya ada satu pendapat saja. Misalnya tentang sistem republik, apakah presidentil ataukah parlementer. Bentuknyapun terjadi pro-kontra, apakah kesatuan atau otonomi daerah. Pendapat dalam sistem pemilihanpun berbedabeda, apakah pemilihan langsung (lihat pendapat J.J. Rousseu), perwakilan, distrik, dan sebagainya. Realitasnya, perbedaan pendapat ini tidak menghalangi mereka menerapkan sistem demokrasi kapitalisme dalam berbagai bidang kehidupan termasuk politik. Lalu mengapa adanya perbedaan pandangan tentang beberapa hal politik dan sistem pemerintahan dalam Islam dijadikan sebagai dalih sekaligus kilah untuk tidak dilaksanakannya Islam sebagai syariat? Sebaliknya, mengapa untuk sistem selain Islam tidak diungkapkan alasan yang sama?