UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Deteksi DNA Babi dan

advertisement
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Deteksi DNA Babi dan DNA Sapi dengan Menggunakan Metode
Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
SKRIPSI
EVIRA VIVIKANANDA
NIM. 109102000029
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JANUARI 2014
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Deteksi DNA Babi dan DNA Sapi dengan Menggunakan Metode
Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
EVIRA VIVIKANANDA
NIM. 109102000029
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
JANUARI 2014
ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip,
maupun dirujuk telah saya nyatakan benar
Nama
: Evira Vivikananda
NIM
: 109102000029
Tanda Tangan :
Tanggal
iii
: Januari 2014
iv
v
ABSTRAK
JUDUL
: DETEKSI DNA BABI DAN DNA SAPI DENGAN
MENGGUNAKAN METODE INSULATED ISOTHERMAL POLYMERASE
CHAIN REACTION (ii-PCR)
Kasus cemaran daging babi pada suatu produk makanan bertambah seiring
dengan meningkatnya persaingan pasar. Banyak metode yang telah dikembangkan
untuk mendeteksi babi dalam campuran daging. Penelitian ini dilakukan untuk
mengembangkan metode baru untuk mendeteksi babi dan sapi yaitu Insulated
Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
Primer sapi dan babi yang digunakan berasal dari daerah cytochrome b dan
masing-masing mempunyai suhu annealing 63oC dan 53oC. Kedua primer telah diuji
kespesifitasannya dengan PCR. Primer babi mampu mengamplifikasi DNA babi
sampai konsentrasi 0,2 ng / 25 µl, sedangkan primer sapi mampu mengamplifikasi
DNA sapi sampai dengan konsentrasi 2 ng / 25 µl. PCR. Amplifikasi DNA babi dan
DNA sapi dengan ii-PCR menggunakan variasi konsentrasi template, primer dan
probe spesifik, buffer menunjukkan hasil positif pada elektroforesis akan tetapi rasio
intensitas fluoresens sesudah reaksi dan sebelum reaksi di bawah 1.3 yang
memberikan hasil negatif pada mesin ii-PCR. Belum ditemukan komposisi optimal
untuk dapat mendeteksi DNA babi dan DNA sapi dan perlu dilakukan desain ulang
probe agar amplifikasi dapat terdeteksi oleh mesin ii-PCR.
Kata kunci: Halal, babi, ii-PCR, probe
vi
ABSTRACT
TITLE: DETECTION OF PORK DNA AND BEEF DNA USING INSULATED
ISOTHERMAL POLYMERASE CHAIN REACTION METHOD
The cases of pig adulteration on food increase as market competitions rise.
There are many methods that have been developed to detect pork in mixed meats.
This research was conducted to develop a new method for beef and pork detection
which is Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR).
Primers for beef and pork DNA were designed on the cytochrome b area and
each had an annealing temperature of 63oC and 53oC. Both primers had their specifity
tested by PCR. Primers for pork DNA could amplify pork DNA until the
concentration of 0,2 ng/ 25 µl, whereas primers for beef DNA could amplify beef
DNA until the concentration of 2 ng / 25 µl. Amplification of pork DNA and beef
DNA with ii-PCR using variation of template, specific primers, specific probes,
buffer concentrations showed a positive result on electrophoresis, but the ratios of
signal intensity after and before reaction were under 1.3 which gave a negative result
on the ii-PCR machine. Optimum reagents composition has yet to be found to detect
pork DNA and beef DNA, and probe has to be redesigned in order for amplification
to be detected by ii-PCR machine.
Key words: Halal, pork, ii-PCR, probe
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
ridhaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitan dan penulisan skripsi
dengan judul. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW, serta keluarga, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang
senantiasa bershalawat atas dirinya.
Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana
Farmasi (S.Far) pada Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Keberhasilan dalam penulisan ini tidak lepas dari orang-orang yang membantu
dan memberikan dukungan dan dorongan. Untuk itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada;
1. Bapak Prof. Dr. (hc) dr. M.K Tadjudin Sp.And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt, selaku Ketua Program studi Farmasi FKIK
UIN Syarif Hidayatullah yang kerap memberikan arahan dan dorongan untuk
semua mahasiswa untuk menyelesaikan tugas akhir sebagai mahasiswa Farmasi.
3. Ibu Lina Elfita, M.Si., Apt, selaku pembimbing I yang telah memberikan waktu,
semangat, dan bimbingan selama penulisan skripsi ini.
4. Bapak Dr. Wahyu Purbowasito, selaku pembimbing II yang telah sangat baik
membimbing, berbagi ilmu, dan memberikan saran-saran yang bijak kepada
penulis.
5. Kedua orang tua tersayang, Juwono Jan Hariyanto dan Alfabeti Rosita, yang
selalu memberikan kasih sayang, doa tak terputus, dan dukungan baik moril
maupun materi.
6. Untuk kakak-kakak dan kakak-kakak iparku, Kak Yudhi, Kak Yogi dan Kak Riri,
Kak Bobby dan Kak Rika, yang walaupun tidak memberikan bantuan secara
langsung dalam penyelesaian skripsi ini, namun semangat, dorongan, dan canda
yang kalian berikan memotivasi penulis untuk selalu bersemangat.
7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan ilmu pengetahuan hingga penulis
dapat menyelesaikan studi di jurusan Farmasi FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
8. Staf peniliti Bioteknologi-BPPT Serpong (Bu Rahma dan teh Leha), terima kasih
atas semua saran, ilmu, dan dukungan yang membantu dalam penelitian ini.
viii
9. Teman-teman seperjuangan di BPPT, Sonia Zulfa, Sofiana Fajriah Rahmah,
Rahmat, Angel, terima kasih atas waktu yang kita toreh bersama. Semangat,
dorongan, dan kepercayaan yang kalian berikan sangat membantu penulis untuk
teguh perjuang.
10. Kepada teman-teman angkatan Farmasi 2009 yang telah bersama-sama mengukir
garis hidup di dunia perkuliahan.
11. Teman-teman yang dengan senang hati menemani, memberi semangat,
mendengar cerita suka dan duka selama penelitian, Hani, Mila, Fandy, Bella,
Mbak Ily.
12. Segenap pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu.
Semoga apa yang kalian berikan dapat bermanfaat dan dibalas oleh Allah
SWT, aamiin. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat baik bagi
kalangan akademis, masyarakat pada umumnya, dan bagi dunia ilmu pengetahuan.
Jakarta, Januari 2014
Penulis
ix
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama
: Evira Vivikananda
NIM
: 109102000029
Program Studi
: Farmasi
Fakultas
: Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Jenis Karya
: Skripsi
Demi perkembangan ilmu pengetahuan, saya menyetujui skripsi/ karya ilmiah
saya dengan judul :
Deteksi DNA Babi dan DNA Sapi dengan Menggunakan Metode Insulated
Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
Untuk dipublikasikan atau ditampilkan di internet atau suatu media lain yaitu
Digital Library Perpustakaan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta untuk kepentingan akademik sebatas sesuai dengan Undang-Undang Hak
Cipta.
Demikian pernyataan persetujuan publikasi karya ilmiah ini saya buat dengan
sebenarnya.
Dibuat di
: Jakarta
Pada Tanggal : 29 Januari 2014
Yang Menyatakan,
( Evira Vivikananda )
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iv
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................... v
ABSTRAK………. ............................................................................................... vi
ABSTRACT ......................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ viii
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR ......................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xv
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 3
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................................................ 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4
2.1 Babi……………………………………………………………………. ......... 4
2.1.1 Hukum Babi Menurut Syariah Islam ....................................................... 4
2.2 Sel …………................................................................................................... 5
2.3 Asam Nukleat ................................................................................................. 6
2.3.1 Struktur DNA ........................................................................................... 7
2.3.2 DNA Mitokondria .................................................................................... 8
2.3.3 Isolasi DNA............................................................................................ 11
2.4 PCR………………………………………………………………………... 12
2.4.1 Komponen PCR ..................................................................................... 13
2.4.2 Tahapan PCR ......................................................................................... 15
2.5 Elektroforesis Gel............................................................................................ 17
xi
2.5 Insulated Isothermal PCR (ii-PCR) ................................................................ 19
BAB 3 METODE PENELITIAN ....................................................................... 21
3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................................... 21
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................................ 21
3.2.1 Alat ......................................................................................................... 21
3.2.2 Bahan ..................................................................................................... 21
3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................................... 22
3.4 Prosedur Kerja ................................................................................................. 22
3.4.1 Isolasi dan Purifikasi DNA pada Daging Segar .................................... 22
3.4.2 Elektroforesis ........................................................................................ 23
3.4.3 Dokumentasi Gel .................................................................................... 23
3.4.4 Optimasi Suhu Annealing dengan menggunakan metode Gradien PCR 24
3.4.5 Uji Spesifikasi Primer ............................................................................ 24
3.4.6 Uji Sensitivitas Primer DNA Babi ........................................................ 24
3.4.7 Insulated Isothermal PCR ...................................................................... 24
3.5 Alur Penelitian ................................................................................................ 25
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 26
4.1 Isolasi Genom ................................................................................................. 26
4.2 PCR………. ................................................................................................. 29
4.3 ii-PCR…… ..................................................................................................... 35
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 41
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 41
5.2 Saran…… ...................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 42
LAMPIRAN ......................................................................................................... 46
xii
DAFTAR TABEL
JUDUL
HALAMAN
Tabel 1. Perbandingan Sel Prokariotik dan Sel Eukariotik ..................................... 6
Tabel 2. Intesistas sinyal yang diemisi oleh probe sebelum reaksi dan sesudah
reaksi ....................................................................................................... 38
Tabel 3. Konsentrasi dan Kemurnian hasil isolasi genom ................................... 46
Tabel 4. Campuran reaksi master mix untuk PCR konvensional ......................... 46
Tabel 5. Variasi komposisi untuk optimasi reaksi ii-PCR ................................... 49
xiii
DAFTAR GAMBAR
JUDUL
HALAMAN
Gambar 1.
Perbedaan DNA dan RNA ................................................................ 7
Gambar 2.
Struktur DNA Mitokondria .............................................................. 10
Gambar 3.
Siklus PCR ....................................................................................... 17
Gambar 4.
Elektroforesis hasil isolasi genom daging sapi dan daging babi ...... 28
Gambar 5.
Elektroforesis produk PCR hasil optimasi suhu annealing primer
babi pada untai DNA daging babi dengan menggunakan metode
gradien PCR .................................................................................... 30
Gambar 6.
Elektroforesis produk PCR hasil optimasi suhu annealing primer
sapi pada untai DNA daging sapi dengan menggunakan metode
gradien PCR ..................................................................................... 31
Gambar 7a. Elektroforesis uji spesifitas primer babi dengan DNA daging babi
dan DNA daging sapi pada suhu annealing 51oC ............................ 32
Gambar 7b. Elektroforesis uji spesifitas primer babi dengan DNA daging babi
dan DNA daging sapi pada suhu annealling 51oC ........................... 33
Gambar 8a. Elektroforesis uji spesifitas primer sapi dengan DNA daging sapi dan
DNA daging babi pada suhu annealing 56oC ................................... 33
Gambar 8b. Elektroforesis uji spesifitas primer sapi dengan DNA daging sapi dan
DNA daging babi pada suhu annealing 61oC ................................... 33
Gambar 8c. Elektroforesis uji spesifitas primer sapi dengan DNA daging sapi dan
DNA daging babi pada suhu annealing 63oC ................................... 34
Gambar 9.
Elektroforesis produk PCR hasil uji sensitivitas menggunakan primer
babi dan primer sapi ......................................................................... 35
Gambar 10. Elektroforesis produk ii-PCR hasil optimasi reaksi ii-PCR dengan
variasi komposisi untuk deteksi DNA babi dan DNA sapi .............. 37
Gambar 11. Hasil ii-PCR DNA daging babi dan DNA daging sapi .................... 50
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
JUDUL
HALAMAN
Lampiran 1. Konsentrasi dan Kemurnian Isolasi Genom ..................................... 46
Lampiran 2. Campuran reaksi master mix untuk PCR konvensional ................... 46
Lampiran 3. Kondisi PCR untuk amplifikasi DNA daging babi dengan primer
babi dan DNA daging sapi dengan primer sapi .............................. 47
Lampiran 4. Membuat larutan induk primer dan probe ....................................... 48
Lampiran 5. Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR ...................................... 49
Lampiran 6. Hasil ii-PCR DNA daging babi dan DNA daging sapi .................... 50
xv
DAFTAR ISTILAH
Bp
: Base pairs
DNA
: Deoxyribose-Nucleic Acid
dNTP
: Deoxynucleotide Triphosphate
dATP
: Deoxyadenoise Triphosphate
dCTP
: Deoxycytidine Triphosphate
dGTP
: Deoxyguanosine Triphosphate
dTTP
: Deoxythymidine Triphosphate
EDTA
: Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid
ii-PCR
: Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
PCR
: Polymerase Chain Reaction
RFLP
: Restriction Fragment Length Polymorphism
RNA
: Ribose-Nucleic Acid
SDS
: Sodium Dodecyl Sulfate
TAE
: TrisAcetate EDTA
TE
: Tris - EDTA
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kehidupan seorang muslim berkaitan erat dengan konsep halal dan haram.
Konsep ini bersifat menyeluruh karena tidak hanya diaplikasikan pada makanan
dan minuman, namun juga untuk memperoleh nafkah, tata cara berpakaian, dan
berkomunikasi dengan makhluk hidup lainnya (Riaz dan Chaudry, 2004).
Makanan merupakan salah satu poin yang sangat diperhatikan dalam agama
Islam. Pada dasarnya segala sesuatu di dunia diperbolehkan untuk dikonsumsi
kecuali yang dilarang, dan diantara yang diharamkan adalah babi dan derivatnya
(Al Baqarah : 173, Al An’am : 145, Al Maidah : 3, dan An Nahl : 115).
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika) disembelih (disebut nama) untuk selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al
Baqoroh (2) : 173)
Menurut hasil sensus penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Stastitik,
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia.
Sekitar 85% dari jumlah penduduk beragama Islam. Jaminan atas kehalalan suatu
produk makanan atau minuman merupakan sesuatu yang harus ditegakkan untuk
memberikan rasa aman dan kepercayaan kepada konsumen. Namun, seiring
dengan berkembangnya era globalisasi, persaingan pasar semakin meningkat.
Produk-produk makanan olahan yang berasal dari luar dapat masuk dengan
mudahnya, selain itu produsen lokal juga harus bersaing dengan produsen lokal
lainnya, sehingga timbul kecurangan-kecurangan yang merugikan baik bagi pihak
1
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2
konsumen, produsen, maupun distributor. Bentuk kecurangan itu berupa
pengalihan asal hewan dari suatu produk makanan olahan seperti pencampuran
daging babi pada produk sapi olahan. Tujuan pencampuran tersebut untuk
menghasilkan produk akhir dengan harga yang relatif lebih murah dibandingkan
jika menggunakan bahan aslinya, mengingat harga daging sapi terus meningkat
(Margawati, 2010).
Dewasa ini, teknologi untuk pengujian keaslian suatu produk mengalami
kemajuan.yang pesat. Banyak metode analisa yang telah dikembangkan dan
menawarkan hasil yang cepat dan otentik, salah satunya adalah metode berbasis
DNA. Metode analisa dengan menggunakan DNA memiliki beberapa keuntungan,
yaitu DNA dapat ditemukan di semua tipe sel pada suatu individu dengan
informasi genetik yang identik, DNA merupakan molekul yang stabil dalam
proses ekstraksi, dan analisa DNA sangat mungkin dikerjakan dari beberapa tipe
sampel yang berbeda (Jain, 2004).
PCR (Polymerase Chain Reaction) merupakan metode berbasis DNA yang
paling umum digunakan untuk mengidentifikasi pemalsuan sumber hewan pada
suatu produk makanan. Margawati (2010) telah berhasil menganalisa cemaran
babi pada produk bakso dengan menggunakan PCR. Begitu juga Rohman et al.,
(2012) yang mengidentifikasi kandungan daging babi dalam produk bakso dengan
menggunakan metode PCR RLFP. Kumari (2007) telah melakukan identifikasi
spesies pada daging dengan menggunakan real-time PCR dan Jain (2004) telah
menggunakan metode multiplex assay untuk melakukan identifkasi spesies pada
daging dengan menggunakan primer cytochrome b.
Walaupun PCR memberikan hasil yang cukup sensitif dan akurat, metode
ini membutuhkan
pemisahan produk pasca PCR dengan menggunakan gel
elektroforesis yang memakan waktu dan hanya semi-kuantitaf (Kumari, 2007).
Kelemahan ini dapat diatasi dengan real-time PCR yang menggunakan sistem
fluoresensi sehingga hasil amplifikasi dapat dilihat secara langsung. Identifikasi
genom babi dalam ekstrak daging komersial dengan menggunakan metode realtime PCR telah dilakukan oleh Farrokhi dan Joozani (2011).
Pada penelitian ini metode pemeriksaan kehalalan suatu produk yang akan
dikembangkan adalah metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
3
(ii-PCR). Ii-PCR bekerja dengan menggunakan suatu tube yang dirancang khusus
untuk dapat melakukan amplikasi DNA dengan memanfaatkan fenomena
konveksi termal alami, yang lebih sederhana dan efektif daripada sistem
pemanasan dan pendinginan secara mekanik yang digunakan dalam PCR
konvensional dan real-time PCR. Alat ini mempunyai sistem operasi yang
mengumpulkan, mengkalkulasi, dan memantau proses sistem optikal sebelum dan
sesudah reaksi, mengubah fluoresens menjadi hasil “+” atau “-” yang tampil
dalam layar sehingga analisa lanjutan tidak perlu dilakukan (Anonima, 2012).
1.2
Rumusan Masalah
Apakah metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-PCR)
dapat digunakan untuk mendeteksi DNA babi dan DNA sapi?
1.3
Tujuan Penelitian
Mengetahui metode Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction (ii-
PCR) dapat digunakan untuk mendeteksi DNA babi dan DNA sapi.
1.4
Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan metode alternatif berbasis
DNA yang lebih sederhana untuk pengujian kehalalan suatu produk makanan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Babi
Babi adalah sejenis hewan ungulate yang bermancung panjang dan
berhidung ceper pemakan daging maupun tumbuhan-tumbuhan dan merupakan
hewan yang berasal dari Eurasia (Wijaya, 2009).
Menurut penelitan kesehatan, lemak hewan pada babi lebih banyak dari
lemak daging hewan lainnya dan lebih sulit untuk dicerna. Banyak penyakit yang
dibawa dari babi ke manusia, terutama infestasi parasit. Jumlah pasien yang
menderita penyakit cacing pita tertinggi ditemukan di negara yang mengkonsumsi
babi (Kazim, 1981).
2.1.1. Hukum Babi menurut Syariah Islam
Jauh sebelum penelitian mengenai babi dan penyakit yang dibawanya
dilakukan, Allah swt telah melarang manusia untuk mengkonsumsi babi. Hal ini
dijelaskan di dalam QS. Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Keharaman babi juga dijelaskan di dalam surat Al Maidah ayat 3, An Nahl
ayat 115, dan Al An’am ayat 145.
4
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
5
2.2 . Sel
Semua makhluk hidup terdiri dari satu atau lebih unit sederhana bernama
sel. Sel merupakan unit yang dibatasi membran yang mengandung DNA dan
sitoplasma. (Cain, 2002; Raven dan Johnson, 2002; Purves et al., 2003). Sel
mampu melakukan semua aktivitas kehidupan dan sebagian besar reaksi kimia
untuk mempertahankan kehidupan berlangsung di dalam sel. Sebagian besar sel
berdiameter antara 1 sampai 100 µm sehingga hanya bisa dilihat dengan
menggunakan mikroskop, ukuran sel dibatasi agar tidak tumbuh terlalu besar
karena sel harus mempertahankan suatu area permukaan (membran plasma) yang
memadai untuk menampung pergantian antar nutrisi dan sampah (Sloane, 2003).
Setiap organisme tersusun dari salah satu dari dua jenis sel yang secara
struktural berbeda: sel prokariotik atau sel eukariotik. Sel prokariotik umumnya
berukuran lebih kecil dan mempunyai struktur lebih sederhana daripada sel
eukariotik. Perbedaan utama antara kedua jenis sel itu adalah bahwa materi
genetik (DNA) sel prokariotik tidak terletak dalam suatu struktur membran ganda
yang disebut nukleus, sedangkan pada eukariotik, semua materi genetiknya
terdapat pada molekul DNA yang terdapat sebagai kromosom yang terletak di
dalam nukleus (Purves et al., 2003; Stone, 2004; Stansfield et al., 2006).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
6
Tabel 1. Perbandingan Sel Eukariotik dan Prokariotik (Koolman et al, 1994)
Prokariotik
Eukariotik
Bentuk organisasi :
Bersel satu
Bersel satu atau banyak
Organel, sitoskelet, alat pembelahan sel :
Ada
Ada namun rumit dan terspesialisasi
DNA :
Kecil, sirkular, tidak ada intron
Besar, dalam inti sel, banyak intron
RNA : sintesis dan pematangan :
Mudah, di dalam sitoplasma
Rumit, di dalam inti sel
Protein: sintesis dan pematangan :
Sederhana, terangkai dengan
Rumit, dalam sitoplasma dan
sintesis RNA
reticulum endoplasma berbintil
Metabolisme :
Anaerobik atau aerobik, sangat
Kebanyakan aerobik
mampu menyesuaikan diri
Endositosi dan eksositosis :
Tidak
2.3.
Ya
Asam Nukleat
Asam nukleat adalah suatu polimer nukleotida yang berperan dalam
penyimpanan serta pemindahan informasi genetik. Satu nukleotida terdiri dari atas
tiga bagian yaitu (Yuwono, 2009):
1.
Cincin purin atau pirimidin, yaitu basa nitrogen yang terikat pada atom C
nomor 1 suatu molekul gula (ribosa atau deoksiribosa) melalui ikatan Nglukosidik. Ada dua macam basa nitrogen yang menyusun asam nukleat,
yaitu basa purin yang terdiri atas adenin (A) dan guanin (G), serta basa
pirimidin yang terdiri atas timin (T), sitosin (C), dan urasil (U). Baik DNA
(deoxyribonucleic acid) maupun RNA (ribonucleic acid) tersusun atas A, G,
C, tetapi T hanya ada pada DNA sedangkan U hanya pada RNA.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
7
2.
Molekul gula dengan 5 atom C (pentosa). Pada RNA gulanya adalah ribosa,
sedangkan pada DNA gulanya adalah deoksiribosa. Perbedaan antara kedua
bentuk gula tersebut terletak pada atom C nomor 2. Pada RNA, atom C
nomor 2 berikatan dengan gugus hidroksil (OH) sedangkan pada DNA atom
C nomor 2 berikatan dengan atom hidrogen (H).
3.
Gugus fosfat yang terikat pada atom C nomor 5 melalui ikatan fosfoester.
Gugus fosfat inilah yang menyebabkan asam nukleat bermuatan negatif kuat.
Suatu basa yang terikat pada satu gugus gula disebut nukleosida, sedangkan
nukleotida adalah nukleosida yang berikatan dengan gugus fosfat. Di dalam
molekul DNA atau RNA, nukleotida berikatan dengan nukleotida yang lain
melalui ikatan fosfodiester.
Gambar 1. Perbedaan DNA dan RNA
2.3.1. Struktur DNA
Pada tahun 1953, Watson dan Crick mengemukakan bahwa struktur
molekul DNA merupakan rantai heliks ganda yang mempunyai diameter yang
sama dan memutar ke kanan berdasarkan atas foto difraksi sinar X yang dibuat
oleh Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins (Gaffar, 2007; Yuwono, 2009).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
8
Struktur molekul DNA terdiri atas dua rangkai nukleotida yang tersusun
secara linier. Kedua rangkaian yang saling berikatan itu terbentuk seperti tali
berpilin, sehingga molekul DNA dikatakan sebagai double helix (heliks ganda).
Pada tahun 1950, Chargaff dan koleganya mengemukakan bahwa di dalam
hampir semua DNA, terdapat aturan dimana jumlah adenin sama dengan jumlah
timin (A=T), dan jumlah sitosin sama dengan jumlah guanin (C=G). Hasilnya,
jumlah keseluruhan purin (A+G) sama dengan jumlah keseluruhan pirimidin
(T+C) (Purves et al., 2003; Raven dan Johnson, 2002). Basa A dari satu
nukleotida selalu berikatan dengan basa T dari nukleotida lainnya, sedangkan
basa G selalu berikatan dengan basa C. Pasangan A dan T terbentuk dengan dua
ikatan hidrogen, sedangkan pasangan G dan C terbentuk dengan tiga ikatan. Oleh
karena itu pasangan G dan C lebih stabil daripada pasangan A dan T (Purves et
al., 2003; Yuwono, 2009; Muladno, 2011).
Monomer nukleotida mempunyai gugus hidroksil pada posisi karbon 3’,
gugus fosfat pada posisi karbon 5’ dan basa pada posisi karbon 1’ molekul gula.
Nukleotida satu dengan lainnya berikatan melalui ikatan fosfodiester antara
gugus 5’ fosfat dengan 3’ hidroksil (Gaffar, 2007; Raven dan Johnson, 2002).
2.3.2. DNA Mitokondria
Mitokondria merupakan organel berbentuk tubular atau seperti sosis dengan
ukuran hampir sama dengan bakteri dan ditemukan di semua sel eukariotik
(Raven dan Johnson, 2002). Fungsi utama mitokondria adalah mengkonversi
suatu potensi energi kimia menjadi bentuk energi yang dapat digunakan oleh sel:
molekul berenergi tinggi ATP (Purves et al., 2003). Mitokondria merupakan
organel yang terdapat di dalam sitoplasma yang mempunyai DNA sendiri, yang
disebut DNA mitokondria atau disingkat menjadi mtDNA. Ukuran mtDNA sangat
pendek, biasanya kurang dari 17.000 bp dan tersusun atas gen yang mengontrol
metabolisme selular. Jika setengah dari DNA inti diperoleh dari garis maternal
dan setengah lagi diperoleh dari garis paternal, maka mtDNA seluruhnya berasal
dari garis maternal. Berdasarkan kandungan basa guaninnya, mtDNA dibagi
menjadi dua untai yaitu untai yang kaya G disebut untai berat (heavy strand) dan
yang mengandung sedikit G disebut untai ringan (light strand) (Reyes et al.,
1998).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
9
Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria dibagi menjadi dua bagian,
yaitu daerah penyandi (coding) dan daerah bukan penyandi (non coding region).
Daerah penyandi terdiri dari 37 gen yaitu 13 gen penyandi protein yang berperan
penting di dalam transpor elektron dan fosfolirasi oksidatif, dua gen penyandi
rRNA (ribosomal Ribonucleic Acid), dan 22 gen penyandi tRNA (transfer RNA).
Gen tersebar secara asimetris pada kedua untai DNA. Untai berat mtDNA
mengandung 28 gen yaitu dua gen penyandi rRNA (12S rRNA dan 16S rRNA),
12 gen penyandi protein yang terdiri dari enam NADH Dehidrogenase (ND1,
ND2, ND3, ND4, ND5,), Cytochrome c Oxydase (COX1, COX2, COX3), sebuah
Cytochrome b (Cyt. B), dua ATPase (ATP6, ATP8), dan 14 gen penyandi tRNA
Phe
yang terdiri dari fenilanalin (tRNA
Ile
met
isoleusin (tRNA ), metionin (tRNA
Asp
(tRNA
Leu
), leusin (tRNA
Trp
), triptofan (tRNA ), asam aspartat
Lys
), lisin (tRNA
His
Val
), valin (tRNA ),
Gly
), glisin (tRNA
Ser
Arg
), arginin (tRNA
Leu
(tRNA ), serin (tRNA ), leusin (tRNA
), histidin
Thr
), dan treonin (tRNA ). Sedangkan
untai ringan mtDNA mengandung sisanya (sembilan gen) yaitu, satu gen
penyandi protein yaitu NADH Dehidrogense 6 (ND6) dan delapan gen penyandi
Glu
tRNA yang terdiri dari asam glutamat (tRNA
Ser
Tyr
Cys
(tRNA ), tirosin (tRNA ), sistin (tRNA
Ala
(tRNA ), dan glutamin (tRNA
Pro
), prolin (tRNA ), serin
), asparagin (tRNA
Asn
), alanin
Glu
). Daerah bukan penyandi genom mitokondria
hanya terdiri dari daerah kontrol (control region) atau d-loop (displacement loop)
(Reyes et al., 1998).
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
10
Gambar 2. Struktur DNA Mitokondria (Passarge, 2007)
DNA mitokondria bersifat khusus yang diturunkan melalui induk betina
tanpa mengalami rekombinasi. Adanya sifat tersebut dapat digunakan untuk suatu
rekonstitusi historik dari genealogi matrilinier suatu spesies maupun antar
populasi yang ada. Beberapa hal yang mendukung penggunaan mtDNA sebagai
penanda dalam studi keragaman genetik dan studi biologi populasi pada hewan
yaitu (Solihin, 1994):
1.
DNA mitokondria terdapat dalam jumlah kopi yang tinggi. Jumlah kopi yang
tinggi ini menjadikannya mudah diisolasi dan dipurifikasi untuk berbagai
keperluan analisis genom.
2.
Ukuran DNA mitokondria relatif kecil (14-39 kb) sehingga dapat dipelajari
sebagai satu kesatuan yang utuh.
3.
Bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan kecepatan yang
berbeda. Tingkat evolusi dari suatu bagian DNA merupakan faktor penting
yang menentukan penggunaan penanda DNA dalam studi sistematika dan
biogeografi. Gen-gen yang terkonservasi dengan baik dapat dijadikan sebagai
dasar penulusuran kesamaan asal muasal sedangkan bagian yang berubah
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11
cepat digunakan untuk mengetahui seberapa cepat divergensi dalam spesies
tersebut terjadi.
4.
Genom mitokondria berukuran kecil karena mtDNA hewan tidak memiliki
intron ataupun spacer yang berukuran besar antar gennya.
5.
Penyusunan mtDNA sangat polimorf, baik untuk intrapopulasi maupun
interspesies.
2.3.3. Isolasi DNA
Sampai saat ini, banyak metode dan teknologi yang tersedia untuk isolasi
genom. Secara umum, semua metode mencakup penghancuran sel dan jaringan,
penghilangan protein dan RNA (purifikasi), dan presipitasi DNA (Muladno,
2010). Penghilangan protein dilakukan dengan digesti menggunakan proteinase K,
dilanjutkan dengan salting-out dan ekstraksi organik. DNA dipresipitasi dengan
menggunakan etanol atau isopropanol.
Secara umum, kualitas DNA dapat ditentukan oleh keberadaan kontaminasi
RNA, protein, lipid, dan konstituen sel lainnya yang berhubungan dengan enzim
restriksi, ligase, dan DNA termostabil. Yang lebih penting adalah preparasi harus
terbebas dari polymerase DNAse yang dapat merusak DNA (Merante et al.,
1998).
Selain analisis DNA, berkembang pesatnya kebutuhan di bidang diagnostik
molelular dan filogeni molekular yang menuntut kecepatan, prosedur yang
sederhana, hasil yang akurat dalam ekstraksi DNA dari berbagai jenis sampel,
menciptakan pengembangan teknologi baru untuk pengektraksian DNA yang
mudah dan lebih cepat dari sebelumnya.
Salah satu pengembangan teknik purifikasi DNA adalah dengan
menggunakan seperangkat mesin dengan reagen kit di dalamnya. Pemurnian DNA
dapat dilakukan secara otomatis, singkat dan efisien. Pemurnian DNA dapat
dilakukan pada sampel cair maupun padat, seperti darah, sel-sel dan sampel
jaringan. Instrumen dapat memproses sampai dengan 16 sampel dalam 30-40
menit. Mesin purifikasi DNA memurnikan sampel dengan bantuan partikel
paramagnetik (PMPs) instrumen ini dilengkapi dengan cartridge yang berisi lysis
buffer, magnesilr pmps, wash buffer dan dielusi dengan elution buffer
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
12
menggunakan bantuan magnesilr pmps (Promega 2007). Hasil DNA yang telah
dimurnikan dapat langsung diaplikasikan pada proses restriksi oleh enzim
endonuklease, PCR, dan elektroforesis gel agarosa.
2.4.
PCR
Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu teknik amplifikasi
asam nukleat in vitro yang paling banyak dipelajari dan digunakan secara luas.
Dalam waktu sembilan tahun sejak pertama kali dikemukakan oleh ilmuan dari
Cetus Corporation, PCR telah berkembang menjadi teknik utama dalam
laboratorium biologi molekuler, antara lain untuk transkripsi in vitro dari PCR
template, PCR rekombinan, DNAse I footprinting, sequencing dengan bantuan
phage promoters, dan sebagainya (Putra, 1999).
PCR digunakan untuk menggandakan jumlah molekul DNA pada target
tertentu dengan cara mensintesis molekul DNA baru yang berkomplemen dengan
molekul DNA target tersebut melalui bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai
primer dalam suatu thermocycle. Panjang target DNA berkisar antara puluhan
sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit sepasang primer. Primer yang
berada sebelum daerah target disebut primer forward dan yang berada setelah
daerah target disebut primer reverse. Enzim yang digunakan sebagai pencetak
rangkaian molekul DNA yang baru dikenal disebut enzim polimerase. Untuk
dapat mencetak rangkaian tersebut dalam teknik PCR, diperlukan juga dNTPs
yang mencakup dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP (Muladno, 2010).
PCR melibatkan banyak siklus yang masing-masing terdiri dari tiga tahap
berurutan, yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA template, penempelan
(annealing) pasangan primer pada DNA target dan pemanjangan (extension)
primer atau reaksi polimerisasi yang dikatalisis oleh DNA polimerase (Gaffar,
2007).
Pada akhir siklus pertama, suatu molekul DNA untai ganda dilipatgandakan
jumlahnya menjadi dua molekul DNA untai ganda. Dua molekul DNA untai
ganda hasil amplifikasi pada siklus pertama menjadi DNA target dan
dilipatgandakan menjadi empat molekul DNA, dan selanjutnya empat molekul
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
13
baru ini dilipatgandakan lagi jumlahnya menjadi delapan dan seterusnya
(Muladno, 2010).
2.4.1. Komponen PCR
Beberapa komponen penting yang dibutuhkan dalam reaksi PCR adalah
DNA
template,
sepasang
primer
oligonukleotida,
DNA
polymerase,
deoksinukleosida trifosfat (dNTP), dan larutan buffer (Muladno, 2010; Gaffar,
2007; Sulistyaningsih, 2007):
1.
DNA Template
DNA Template adalah molekul DNA untai ganda yang mengandung
sekuen target yang akan diamplifikasi. Ukuran DNA bukan merupakan faktor
utama keberhasilan PCR, berapapun panjangnya jika tidak mengandung sekuen
yang diinginkan maka tidak akan berhasil proses suatu PCR, namun sebaliknya
jika ukuran DNA tidak terlalu panjang tapi mengandung sekuen yang diinginkan
maka PCR akan berhasil.
Konsentrasi DNA juga dapat mempengaruhi keberhasilan PCR. Jika
konsentrasinya terlalu rendah maka primer mungkin tidak dapat menemukan
target dan jika konsentrasi terlalu tinggi akan meningkatkan kemungkinan
mispriming. Disamping itu perlu diperhatikan kemurnian template karena akan
mempengaruhi hasil reaksi.
2.
Primer
Susunan primer merupakan salah satu kunci keberhasilan PCR. Pasangan
primer terdiri dari 2 oligonukleotida yang mengandung 18- 28 nukleotida dan
mempunyai 40-60% GC content. Sekuen primer yang lebih pendek akan memicu
amplifikasi produk PCR non spesifik. Ujung 3' primer penting dalam menentukan
spesifisitas dan sensitivitas PCR. Ujung ini tidak boleh mempunyai 3 atau lebih
basa G atau C, karena dapat menstabilisasi annealing primer non spesifik.
Disamping itu ujung 3' kedua primer tidak boleh komplementer satu dengan yang
lain, karena hal ini akan mengakibatkan pembentukan primer-dimer yang akan
menurunkan hasil produk yang diinginkan. Ujung 5' primer tidak terlalu penting
untuk annealing primer, sehingga memungkinkan untuk menambahkan sekuen
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
14
tertentu misalnya sisi restriksi enzim, start codon ATG atau sekuen promoter.
Konsentrasi primer biasanya optimal pada 0,1-0,5 μM.
Konsentrasi primer yang terlalu tinggi akan menyebabkan mispriming
(penempelan pada tempat yang tidak spesifik) dan akumulasi produk non spesifik
serta meningkatkan kemungkinan terbentuk primer-dimer, sebaliknya bila
konsentrasi primer terlalu sedikit maka PCR menjadi tidak efisien sehingga
hasilnya rendah.
3.
DNA polymerase
DNA polymerase adalah enzim yang mengkatalisis polimerisasi DNA.
Dalam perkembangannya, kini banyak digunakan enzim Taq DNA polymerase
yang memiliki keaktifan pada suhu tinggi sehingga penambahan enzim tidak perlu
dilakukan disetiap siklus dan proses PCR dapat dilakukan dalam satu mesin
(Gaffar, 2007).
Enzim Taq DNA polymerase terdiri atas dua macam yaitu enzim alami
yang diisolasi dari sel bakteri Thermus aquaticus dan enzim rekombinan yang
disintesis didalam sel bakteri Escherichia coli (Muladno, 2010). Enzim ini masih
mempunyai aktivitas eksonuklease dari 5' ke 3' tetapi tidak mempunyai aktivitas
eksonuklease dari 3' ke 5'. Konsentrasi enzim yang dibutuhkan untuk PCR
biasanya 0,5-2,5 unit. Kelebihan jumlah enzim mengakibatkan akumulasi produk
non spesifik, sedangkan jika terlalu rendah maka dihasilkan sedikit produkyang
diinginkan (Sulistyaningsih, 2007).
4.
Deoxynucleotide Triphosphate (dNTP)
Deoxynucleotide Triphosphate merupakan material utama untuk sintesis
DNA dalam proses PCR yang terdiri dari dATP, dGTP, dCTP, dan dTTP.
Konsentrasi dNTP masing-masing sebesar 20-200 μM dapat menghasilkan
keseimbangan optimal antara hasil, spesifisitas dan ketepatan PCR. Konsentrasi
masing-masing
dNTP
harus
seimbang
untuk
meminimalkan
kesalahan
penggabungan.
Deoxynucleotide Triphosphate akan menurunkan Mg2+ bebas sehingga
mempengaruhi aktivitas polimerase dan menurunkan
annealing primer.
Konsentrasi dNTP yang rendah akan meminimalkan mispriming pada daerah non
target dan menurunkan kemungkinan perpanjangan nukleotida yang salah. Oleh
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
15
karena itu spesifisitas dan ketepatan PCR meningkat pada konsentrasi dNTP yang
lebih rendah (Sulistyaningsih, 2007).
5.
Larutan buffer
Larutan buffer yang biasa digunakan untuk reaksi PCR mengandung 10
mM Tris-HCl pH 8,3, 50 mM KCl, dan 1,5 mM MgCl2. Optimalisasi konsentrasi
ion Mg2+ merupakan hal yang penting (Sulistyaningsih, 2007).
6.
Kofaktor Ion Metal
Magnesium klorida merupakan kofaktor esensial untuk DNA polymerase
yang digunakan di dalam PCR dan konsentrasinya harus dioptimasi untuk setiap
sistem primer:template. Keberadaan ion magnesium yang bebas penting sebagai
kofaktor enzim dalam PCR. . Konsentrasi ion ini mempengaruhi beberapa hal
yaitu annealing primer, suhu pemisahan untai template dan produk PCR,
spesifisitas produk, pembentukan primer-dimer serta aktivitas dan ketepatan
enzim Taq Polymerase. Konsentrasi ion magnesium harus melebihi total
konsentrasi dNTP. Biasanya, untuk memulai proses optimasi, sebanyak 1.5 mM
MgCl2 ditambahkan ke dalam PCR yang didalamnya terdapat 0.8 mM dNTP,
sehingga terdapat sekitar 0.7 mM magnesium bebas untuk DNA polymerase.
Secara umum, ion magnesium harus divariasikan dalam seri konsentrasi dari 1.5 4.0 mM (Kolmodin dan Birch, 2002)
2.4.2. Tahapan PCR
Berikut ini merupakan tahapan yang terjadi pada proses PCR (Muladno,
2010; Gaffar, 2007; Sulistyaningsih, 2007):
1.
Denaturasi
Selama proses denaturasi, DNA untai ganda akan membuka menjadi dua
untai tunggal. Hal ini disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi
menyebabkan putusnya ikatan hidrogen diantara basa-basa yang komplemen.
Pada tahap ini, seluruh reaksi enzim tidak berjalan (Gaffar, 2007). Denaturasi
biasanya dilakukan antara suhu 90-95 0C selama 3 menit untuk meyakinkan
bahwa molekul DNA yang ditargetkan ingin dilipatgandakan jumlahnya benarbenar telah terdenaturasi menjadi untai tunggal. Untuk denaturasi berikutnya,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
16
waktu yang diperlukan hanya 30 detik pada suhu 95 0C atau 15 detik pada suhu 97
0
C (Muladno, 2010).
Suhu denaturasi dipengaruhi oleh sekuen target. Jika sekuen target kaya
akan G-C maka diperlukan suhu yang lebih tinggi. Suhu denaturasi yang terlalu
tinggi dan waktu denaturasi yang terlalu lama mengakibatkan hilangnya atau
berkurangnya aktivitas enzim Taq polymerase. Waktu paruh aktivitas enzim
tersebut adalah >2 jam pada suhu 92,5 0C, 40 menit pada 95 0C dan 5 menit pada
97,5 0C (Muladno, 2010 dan Sulistyaningsih, 2007).
2.
Annealing
Pada tahap penempelan primer (annealing), primer akan menuju daerah
yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Pada proses annealing ini,
ikatan hidrogen akan terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada
template. Proses ini biasanya dilakukan pada suhu 50-60 0C. Spesifisitas PCR
sangat tergantung pada suhu melting (Tm) primer, yaitu suhu dimana separuh
jumlah primer menempel pada template. Temperatur penempelan yang digunakan
biasanya 5 0C di bawah Tm, dimana formula untuk menghitung Tm = 4 0C (G+C)
+ 2 0C (A+T). Semakin panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya
(Muladno, 2010). Selanjutnya, DNA polimerase akan berikatan sehingga ikatan
hidrogen tersebut akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila
dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya (Gaffar, 2007). Suhu dan lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk annealing primer juga tergantung pada komposisi
basa, panjang, dan konsentrasi primer (Sulistyaningsih, 2007).
3.
Reaksi polimerisasi
Umumnya reaksi polimerisasi (extension) atau perpanjangan rantai, terjadi
pada suhu 72 0C karena merupakan suhu optimum Taq polymerase. Primer yang
telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada sisi 3'nya dengan
penambahan dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA polymerase
(Gaffar, 2007).
Kecepatan penyusunan nukleotida oleh enzim tersebut pada suhu 72 0C
diperkirakan antara 35 sampai 100 nukleotida per detik, bergantung pada buffer,
pH, konsentrasi garam, dan molekul DNA target. Dengan demikian, untuk produk
PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit sudah lebih dari cukup untuk
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
17
tahap pemanjangan primer ini. Biasanya di akhir siklus PCR, waktu yang
digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai 5 menit, sehingga seluruh produk
PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda (Muladno, 2010).
Gambar 3. Siklus PCR (Gaffar, 2007)
2.5.
Elektroforesis Gel
Elektroforesis gel didasarkan pada pergerakan molekul bermuatan dalam
media penyanggah matriks stabil dibawah pengaruh medan listrik. Media yang
umum digunakan adalah gel agarosa atau poliakrilamid. Elektroforesis gel agarosa
digunakan untuk memisahkan fragmen DNA yang berukuran lebih besar dari 100
bp dan dijalankan secara horizontal, sedangkan elektroforesis akrilamid dapat
memisahkan 1 bp dan dijalankan secara vertikal. Elektroforesis poliakrilamid
biasanya digunakan untuk menentukan urutan DNA atau sekuensing (Gaffar,
2007).
Sebelum proses elektroforesis, dilakukan pencampuran antara DNA dengan
loading dye. Loading dye terdiri dari glycerol, bromphenol blue, dan xylene
cyanol FF. Glycerol berfungsi sebagai pemberat sehingga DNA berada di bawah
sumuran, sedangkan bromphenol blue dan xylene cyanol FF berfungsi sebagai
visualisasi pada gel sehingga proses migrasi DNA pada saat berlangsungnya
elektroforesis tidak melebih batas gel (Carson, 2006).
Larutan DNA yang bermuatan negatif dimasukkan kedalam sumur-sumur
yang terdapat dalam gel agarosa dan diletakkan di kutub negatif, apabila dialiri
arus listrik dengan menggunkan larutan buffer yang sesuai maka DNA akan
bergerak ke kutub positif. Laju migrasi DNA dalam medan listrik berbanding
terbalik dengan massa DNA. Migrasi DNA terutama ditentukan oleh ukuran
panjang dan bentuk DNA. Fragmen DNA yang berukuran kecil akan bermigrasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
18
lebih cepat dibanding yang berukuran besar, sehingga elektroforesis mampu
memisahkan fragmen DNA berdasarkan ukuran panjangnya.
Kecepatan migrasi DNA ditentukan oleh beberapa faktor di antaranya
(Muladno, 2010):
1.
Ukuran molekul DNA
Migrasi molekul DNA berukuran besar lebih lambat daripada migrasi
molekul berukuran kecil.
2.
Konsentrasi agarosa
Migrasi molekul DNA pada gel berkonsentrasi lebih rendah lebih cepat
daripada migrasi molekul DNA yang sama pada gel berkonsentrasi tinggi. Oleh
karena itu, penentuan konsentrasi agarosa dalam membuat gel harus
memperhatikan ukuran molekul DNA yang akan dianalisis.
3.
Konformasi DNA
Konformasi atau bentuk rangkaian molekul DNA berukuran sama akan
bermigrasi dengan kecepatan yang berbeda.
4.
Voltase yang digunakan
Dalam voltase, kecepatan migrasi DNA sebanding dengan tingginya
voltase yang digunakan. Akan tetapi apabila penggunaan voltase dinaikkan,
mobilitas molekul DNA meningkat secara tajam. Ini mengakibatkan pemisahan
molekul DNA di dalam gel menurun dengan meningkatnya voltase yang
digunakan. Penggunaan voltase yang ideal untuk mendapatkan separasi molekul
DNA berukuran lebih besar 2 kb adalah tidak lebih dari 5 Volt per cm.
5.
Keberadaan etidium bromida di dalam gel
Hal ini mengakibatkan pengurangan tingkat kecepatan migrasi molekul
DNA linear sebesar 15%.
6.
`Komposisi larutan buffer
Apabila tidak ada kekuatan ion di dalam larutan, maka aliran listrik akan
sangat minimal dan migrasi DNA sangat lambat. Sementara larutan buffer
berkekuatan ion tinggi akan meningkatkan panas, sehingga aliran listrik menjadi
sangat maksimal. Ada kemungkinan gel akan meleleh dan DNA dapat mengalami
denaturasi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
19
Untuk visualisasi maka ditambahkan larutan etidium bromida yang akan
masuk di antara ikatan hidrogen pada DNA, sehingga pita fragmen DNA akan
terlihat di bawah lampu UV (Gaffar, 2007). Larutan etidium bromida sangat
berbahaya dan bersifat karsinogen. Semua larutan yang mengandung etidium
bromida harus didekontaminasi sebelum dibuang (Muladno, 2010). Untuk
menghindari bahaya yang ditimbulkan oleh etidium bromida, maka dapat
menggunakan larutan SYBR safe sebagai penggantinya. Menurut Sambrook dan
Russel (2001) pewarna SYBR safe membuat DNA berpendar di bawah sinar UV.
Pita DNA yang berpendar pada gel agarosa menunjukkan hasil positif bahwa
terdapat DNA pada setiap lajur.
2.6.
Insulated Isothermal PCR
Insulated isothermal PCR merupakan suatu teknik berbasis PCR yang
memanfaatkan fenomena konveksi termal alami untuk menggandakan jumlah
molekul DNA pada target tertentu. Reaksi ii-PCR dilakukan di dalam sebuah tube
kapiler yang telah didesain secara khusus di dalam sebuah chamber POCKIT.
Ketika pemanasan dengan suhu 95oC diaplikasikan pada bagian bawah dari Rtube, larutan yang panas menjadi ringan dan berpindah ke atas, dan larutan yang
dingin yang lebih berat dan berpindah ke bawah. Reaksi PCR dapat terjadi karena
adanya gradien temperatur di dalam tube dimana, secara teori, proses denaturasi
akan terjadi di bagian bawah, annealing di bagian atas, dan elongasi terjadi di
bagian tengah R-tube.
Karena reaksi PCR dijalankan dalam temperatur gradien dengan konveksi
termal tanpa harus menaikkan dan menurunkan suhu secara berulang, maka satu
siklus PCR hanya berlangsung selama 15-20 detik, dan lebih efektif dari PCR
konvensional.
Reagen yang digunakan di dalam alat POCKIT hampir sama dengan yang
digunakan dalam reaksi PCR, termasuk primer, dNTP, buffer, DNA polymerase,
dan template. Untuk meningkatkan spesifitas reaksi, POCKIT dilengkapi dengan
dua perekam fluorosens yang mendeteksi sinyal fluoresens dari target asam
nukleat. Jadi, seperti system real-time PCR, probe flurogenik juga dibutuhkan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
20
Beberapa komponen insulated isothermal PCR yang perlu diperhatikan
yaitu:
1.
Buffer
Insulated isothermal PCR menggunakan Buffer Uni-II yang mengandung
reagen-reagen yang berfungsi untuk mengoptimasi laju konveksi termal,
menstabilisasi gradien temperatur, mengurangi interaksi antara larutan dan Rtube, dan meningkatkan efisiensi DNA polymerase untuk keberhasilan reaksi
iiPCR.
2.
R-tube
Tube terbuat dari bahan plastik optik yang memastikan transmisi
fluoresensi yang optimal. Bahan plastik berkelas medis juga memastikan bahwa
produk bebas dari DNase dan RNase. Tube telah dipatenkan dengan rasio
diameter dan panjang tertentu yang memastikan konveksi isotermal untuk reaksi
iiPCR yang optimal.
Tutup yang didesain secara khusus menjaga keamanan
reaksi larutan dan mencegah penguapan pada saat reaksi berlangsung yang dapat
menyebabkan kontaminasi.
3.
Primer
Desain primer untuk ii-PCR harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
4.
a.
Amplikon harus kurang dari 150 bp, semakin pendek semakin baik.
b.
Tm (melting temperature) harus pada rentang 58±2oC
c.
Primer harus mempunyai kandungan GC antara 45-60%
d.
Hindari 4 atau lebih pengulangan G atau C.
e.
Hindari pengulangan (ATATATATATAT)
f.
Lima basa terakhir pada ujung 3’ harus mempunyai 1-3 G atau C.
g.
Potensi untuk membentuk primer-dimer harus seminimal mungkin.
h.
Hindari pembentukan bentuk homo-, hetero-dimer, dan hairpin
Probe
Probe POCKIT harus:
a.
Terdiri dari 40-80 % GC
b.
Mempunyai panjang 15-30 basa, lebih pendek lebih baik.
c.
Menghindari daerah target pada template yang dapat membentuk
struktur sekunder.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Gen, Balai
Pengkajian Bioteknologi-BPPT Serpong, Tangerang, dari bulan Maret 2013
hingga bulan Januari 2014.
3.2.
Alat dan Bahan
3.2.1. Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pisau steril [Vidrex], pipet
mikro 0,1-2µL, 2-20 µL, 20-200 µL, 100-1000 µL [Nichipet EX], tips 10 µL, 100
µL, 1000 µL, tabung sentrifugasi 1,5 m, tabung mikrosentrifugasi 200 µl
[Axygen], rak tabung, mesin micro sentrifuge [TOMY MX-301], timbangan
analitik [ADAM®], ice maker [HOSHIZAKI], vortex [Heidolph], magnetic
stirrer, inkubator [Memmert], spatula, kulkas [Toshiba], autoclave, freezer -20oC
[Angelantoni Scientifica], lemari pendingin 4oC [Iberma], microwave [National],
satu set elektroforesis [Mupid® -2Plus], gel documentation, Spektrofotometer
Nano Drop [ND-1000], dan Insulated Isothermal PCR. Alat gelas yang digunakan
adalah gelas ukur 100 ml, Labu Erlenmeyer 250 ml, gelas Beaker [Pyrex], kaca
arloji, dan batang pengaduk.
3.2.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging babi segar dan
daging sapi segar yang didapatkan dari pasar swalayan di Lebak Bulus. Bahan lain
seperti cell lysis buffer (Tris-EDTA pH 8 dan SDS 1% v/v), proteinase K, RNAse
A, NaCl 5M, fenol, kloroform, isoamilalkohol, etanol 70%, etanol absolut, Na
asetat, agarosa, buffer TAE, loading dye 6x , Sybr Safe, free nuclease water, Go
Taq Green Master Mix®, primer babi, primer sapi, probe babi, probe sapi, dNTP,
KAPPA 2G Robust, buffer ii-PCR.
21
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
22
3.3.
Tahapan Penelitian
1. Pengumpulan sampel daging babi dan daging sapi.
2. Isolasi DNA daging babi dan DNA daging sapi.
3. Cek keberadaan DNA babi dan DNA sapi dengan elektroforesis.
4. Optimasi suhu annealing primer dengan PCR konvensional.
5. Uji spesifitas dan sensitivitas primer dengan PCR konvensional.
6. Optimasi komposisi ii-PCR untuk amplifikasi DNA babi dan DNA sapi.
3.4.
Prosedur Kerja
3.4.1. Isolasi dan Purifikasi DNA pada Daging Sapi dan Daging Babi.
Proses isolasi DNA pada daging sapi dan daging babi adalah sebagai
berikut: ditimbang sebanyak 500 mg daging yang telah dihaluskan, kemudian
dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi 1,5 ml, ditambahkan 750 µl cell lysis
buffer (Tris-EDTA pH 8 dan SDS 1% v/v) dan ditambahkan 3µL proteinase K
lalu dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 55oC overnight (16 jam). Setelah
diinkubasi, kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm, selama 10
menit. Setelah itu supernatan yang terbentuk dipisahkan dan ditambahkan 20 µl
NaCl 5 M dan 5 µL RNAse, lalu diinkubasi selama 1 jam pada suhu 37oC
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 10 menit.
Supernatan yang terbentuk dipisahkan lalu ditambahkan fenol-kloroform (1:1)
equal volume, kemudian dihomogenkan dan disentrifugasi dengan kecepatan
14000 rpm selama 10 menit. Kemudian lapisan atas yang terbentuk dipisahkan
lalu ditambahkan kloroform-isoamilalkohol (24:1) equal volume, kemudian
dihomogenkan dan disentrifugasi pada kecepatan 14000 rpm selama 10 menit.
Setelah itu lapisan atas dipisahkan dan ditambhakan etanol absolute 2x volume
dan Na asetat 3 M pH 7 1/10 volume, kemudian dihomogenkan dan diinkubasi
selama 1 jam pada suhu -20oC. Setelah diinkubasi, campuran disentrifugasi
dengan kecepatan 14000 rpm dengan suhu 4oC selama 10 menit. Supernatan yang
terbentuk dibuang sedangkan pelet ditambahkan dengan 500 µl etanol 70%,
kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 14000 rpm selama 5 menit. Supernatan
yang terbentuk dibuang, DNA dikeringkan dengan pompa vakum selama 10 menit
kemudian ditambahkan buffer TE 100 µl. Keberadaan DNA dicek dengan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
23
menggunakan metode elektroforesis, sedangkan konsentrasi dan kemurnian DNA
dicek dengan menggunakan spektrofotometri Nano Drop 1000. DNA yang telah
dilarutkan disimpan pada suhu -20oC (Kesmen et al., 2009).
3.4.2. Elektroforesis
Gel agarosa 1% digunakan untuk elektroforesis DNA genom dan hasil
produk PCR. Untuk pembuatan gel agarosa 1%, ditimbang sebanyak 0,3 gr atau
0,6 gr agarosa dan kemudian dilarutkan dengan 30 mL atau dengan 60 mL TAE
1x, lalu dipanaskan di dalam microwave selama 1 menit sampai agarosa menjadi
larut dan larutan berwarna bening. Selanjutnya larutan agarosa didinginkan hingga
suhu 40oC, kemudian ditambahkan 0,6 µL atau dengan 1,2 µL sybr safe dan
dihomogenkan, lalu dituang ke dalam gel caster yang telah disisipkan comb.
Selanjutnya agarosa didiamkan hingga membentuk gel padat.
Setelah terbentuk gel padat, gel diletakkan pada chamber elektroforesis
dengan posisi sumur pada muatan negatif. Kemudian buffer TAE 1x dituang
hingga gel terendam dalam chamber elektroforesis namun tidak melebihi garis
batas maksimum.
Pencampuran sampel yang akan dielektroforesis dilakukan dengan
menggunakan parafilm. DNA sampel yang digunakan sebanyak 5 µL dan
ditambah 1 µL Loading dye. Kemudian marker DNA diletakkan di sumur paling
kiri, diikuti selanjutnya DNA sampel.
Chamber elektroforesis ditutup rapat. Alat elektroforesis dinyalakan (diberi
arus listrik) dengan tegangan 100 Volt selama 30 menit untuk DNA genom dan 20
menit untuk produk PCR. DNA akan bergerak dari muatan negatif menuju muatan
positif.
3.4.3 Dokumentasi Gel
Komputer dan kamera digital dinyalakan. Gel agarosa hasil elektroforesis
dimasukkan ke dalam UV transiluminator. UV transiluminator dinyalakan dan
pita DNA akan berpendar saat terkenar sinar UV. Pendaran tersebut dapat
didokumentasikan dengan software yang terhubung dengan kamera sehingga
gambar yang ditangkap oleh kamera kemudian disimpan dalam komputer.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
24
3.4.4 Optimasi Suhu Annealing dengan menggunakan Metode Gradien PCR
Uji ini dilakukan untuk mengetahui suhu optimal primer babi dan primer
sapi pada proses annealing. Pada PCR di setting pembuatan gradien suhu
annealing. Rentang suhu yang digunakan untuk pembuatan gradien suhu
annealing adalah 50-65oC.
3.4.5 Uji Spesifitas primer
Setelah didapat suhu annealing optimum dari primer babi dan primer sapi
selanjutnya diuji spesifitasnya dengan menggunakan PCR. Primer babi dapat
dikatakan spesifik jika primer babi hanya dapat mengamplifikasi sekuen DNA
babi, begitu juga pada primer sapi yang hanya dapat mengamplifikasi sekuen
DNA sapi.
3.4.6 Uji Sensitivitas primer
Primer babi dan primer sapi diuji sensitivitasnya dengan menggunakan
PCR. Pengujian ini ditujukan untuk melihat konsentrasi terendah yang masih
dapat terdeteksi dengan menggunakan primer babi dan primer sapi. Gradien
konsentrasi yang digunakan yaitu 20 ng/ 25 µl, 10 ng/ 25 µl, 2 ng/ 25 µl, 0,2 ng/
25 µl, dan 0,02 ng/ 25 µl.
3.4.7 Insulated Isothermal PCR
Optimasi alat insulated isothermal PCR dilakukan untuk mengetahui
konsentrasi Taq polymerase, dNTP, buffer, primer, DNA template optimal untuk
dapat mengamplifikasikan DNA babi dan DNA sapi. Uji ini dilakukan dengan
campuran reaksi primer-probe, uni-ii buffer, probe, dNTP, DNA template, DNA
polymerase.
Setelah campuran reaksi total PCR dibuat, campuran reaksi tersebut
dimasukkan ke dalam R-tube, disentrifugasi, kemudian diletakkan pada mesin
insulated isothermal PCR. Kemudian program amplifikasi dijalankan dan hasil
amplifikasi DNA dapat dilihat pada akhir reaksi dalam bentuk “+” atau “-”.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
25
3.5.
Alur Penelitian
Persiapan daging babi segar dan daging sapi segar
Isolasi DNA
Cek keberadaan DNA dengan elektroforesis
DNA tidak ada
DNA ada
Cek konsentrasi DNA
PCR
1. Optimasi Suhu
Annealing
2. Uji spesifitas
primer
3. Uji sensitivitas
primer
Insulated Isothemal PCR
Hasil
Kesimpulan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Isolasi Genom
Genom diisolasi dari daging babi dan daging sapi yang didapatkan dari
pasar swalayan yang berada di Lebak Bulus. Masing-masing sampel diisolasi
sebanyak 500 mg dengan menggunakan metode cell lysis buffer berupa Tris-Cl
pH 8, EDTA pH 8, dan SDS 1% w/v (Kesmen et al., 2009; Kumari, 2007;
Sambrook dan Russel, 2001) dengan beberapa modifikasi diantaranya volume
sampel dan pereaksi, kecepatan sentrifugasi, dan urutan langkah kerja.
Isolasi dimulai dengan menginkubasi sampel dalam cell lysis buffer dan
Proteinase K pada suhu 55oC selama 16 jam. Cell lysis buffer yang digunakan
mengandung SDS (Sodium Dodecyl Sulfate) yang merupakan deterjen anionik
yang dapat melarutkan komponen lipid dan merusak struktur sekunder dan tersier
protein yang terdapat pada membran. Pada proses lisis sel, EDTA mempunyai dua
fungsi. Pertama, EDTA mengikat ion logam divalen (Mn2+, Mg2+) yang dapat
membentuk garam dengan grup anionik fosfat pada DNA. Kedua, EDTA
menghambat DNAse yang membutuhkan Mg2+ atau Mn2+ (Dale dan Malcom,
2002). Tris berperan sebagai buffer selama proses isolasi yang dapat menjaga pH
7,4-9,0 karena DNA dapat mengalami denaturasi pada pH ekstrim (pH<5 atau
pH>16) (Ageno et al., 1969; Marmur dan Lane, 1958; Sambrook dan Russel,
2001).
Kontaminasi protein dikurangi dengan menggunakan Proteinase K, yang
merupakan protease endolitik golongan serin protease dengan aktivitas tinggi
(Sambrook dan Russel, 2001). Proteinase K memotong ikatan peptida yang
berdekatan dengan grup karboksil dari asam amino alifatik dan aromatik.
Proteinase K menunjukkan aktivitas optimal pada pH 7,5 – 9 (Sambrook dan
Russel, 2001; Sweeney & Walker, 1993) dan distimulasi dengan SDS pada
konsentrasi 0,1 hingga 1 % (Hilz et al., 1975). Setelah proses lisis berakhir
komponen-komponen yang ditimbulkan akibat perusakan sel dipisahkan dengan
cara sentrifugasi.
26
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
27
Supernatan yang terbentuk masih mengandung pengotor lipid, protein,
RNA, dan karbohidrat (Dale and Malcom, 2002). Supernatan diinkubasi dalam
RNAse dan natrium klorida 5 M pada suhu 37oC selama 1 jam. RNAse
merupakan endoribonuklease yang mengkatalisis degradasi untai tunggal RNA
dengan pemotongan rantai 3’, 5’-fosfodiester, dimana basa dari nukleotida pada
ikatan di posisi 3’ yang akan dipotong merupakan pirimidin (Moussaoui et al.,
2007; Raines, 1998). Penambahan natrium klorida 5 M berfungsi untuk
mengendapkan protein dan kontaminan lainnya. Konsentrasi garam yang tinggi
dapat mengendapkan protein karena adanya fenomena salting-out.
Purifikasi DNA dilakukan untuk menghilangkan kontaminan selain DNA.
Metode purifikasi DNA yang dilakukan adalah ektraksi fenol-kloroform.
Campuran fenol-kloroform mempunyai berat jenis yang berbeda dengan air
sehingga ketika dicampurkan terbentuk dua fase, dimana fase fenol-kloroform
berada di bawah karena memiliki berat jenis yang lebih besar. DNA bersifat polar
karena mengandung muatan negatif akan larut dalam fase air. Fenol dan
kloroform akan mendenaturasi protein dan kontaminan lainnya. Penggunaan
kloroform juga digunakan untuk memperkecil zona interfase sehingga terdapat
perbedaan jelas antara fase air dan fase organik. Isoamil alkohol digunakan
sebagai anti foaming agent yang dapat menjaga kestabilan interfase sehingga
memperjelas batas fase air dan fase organik. (Sambrook dan Russel, 2001).
DNA dipisahkan dari larutan dengan cara presipitasi dengan menggunakan
alkohol yang dapat berupa isopropanol atau yang lebih sering etanol (Sambrook
dan Russel, 2001; Dale dan Malcom, 2002). Proses presipitasi dibantu dengan
garam yang berfungsi untuk menetralkan muatan pada gugus fosfat DNA. Garam
yang umumnya digunakan adalah natrium asetat. Dalam larutan, natrium asetat
akan terionisasi menjadi Na+ dan CH3COO- dimana Na+ akan berinteraksi dengan
gugus fosfat (PO42-) pada DNA. Ikatan Na+ dan fosfat (PO42-) yang terbentuk akan
menyebabkan DNA menjadi kurang hidrofilik. Interaksi ion di dalam larutan
dipengaruhi oleh konstanta dielektrik pelarut. Etanol dalam hal ini berperan untuk
menurunkan konstanta dielektrik air yang mempermudah interaksi ion Na+ dan
(PO42-) sehingga membuat DNA menjadi kurang hidrofil dan dapat mengendap.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
28
Inkubasi campuran DNA dilakukan pada suhu -20oC karena suhu yang
rendah mendukung flokulasi DNA untuk membentuk kompleks presipitat yang
lebih besar, sehingga DNA dapat dengan mudah terbentuk pelet dengan
sentrifugasi. Pada langkah berikutnya, 70% etanol ditambahkan ke dalam pelet
dan divortex untuk melonggarkan pelet, sehingga etanol dapat berpenetrasi dan
membersihkan garam-garam yang terikat pada DNA. Suspensi yang terbentuk
kemudian disentrifugasi selama 5 menit dimana pelet akan terbentuk kembali.
Supernatan dibuang dan pelet dikeringkan dengan menguapkan sisa etanol dengan
menggunakan desikator. Pelet DNA yang telah kering dapat dilarutkan dengan air
(ddH2O) ataupun TE buffer (Muladno, 2010).
Gel divisualisasikan dengan menggunakan elektroforesis gel agarosa 1 %
dengan tegangan 100 volt. Loading Dye terdiri dari sebuah pewarna yaitu
bromophenol blue yang berfungsi untuk visualisasi pergerakan DNA pada saat
elektroforesis dicampurkan ke dalam genom. Adanya gliserol di dalam loading
dye memastikan bahwa DNA di dalam ladder dan sampel membentuk lapisan di
bawah sumur gel. Pada gambar 4 menunjukkan hasil isolasi genom dari daging
sapi dan daging babi.
Keterangan:
M. Marker 100bp
1.
Genom
Daging Babi
2.
Genom
Daging Sapi
Gambar 4. Elektroforesis hasi isolasi genom daging sapi dan
daging babi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
29
Gambar 4 menunjukkan pita yang smear. Hasil pita yang smear pada gel
elektroforesis dapat disebabkan tidak utuhnya DNA yang terisolasi dimana
fragmen-fragmen DNA dengan ukuran yang berbeda tertahan oleh gel sesuai
dengan ukurannya. Karena antar satu fragmen dengan fragmen lainnya memiliki
ukuran yang hampir sama maka pita tampak menyatu. Terjadinya fragmentasi
DNA pada daging segar dikarenakan genom yang terisolasi mengalami degradasi
baik pada saat penyimpanan maupun selama proses isolasi berlangsung, namun
hasil isolasi tersebut masih dapat digunakan untuk PCR selama di dalamnya
terdapat target yang diinginkan (Anonimd, 2013).
Konsentrasi
genom
hasil
isolasi
diukur
dengan
menggunakan
spektrofotometer Nano Drop ND-1000 pada panjang gelombang 260 nm dan 280
nm. Konsentrasi genom yang dihasilkan dari sampel daging babi adalah 713
ng/µl, sedangkan daging sapi adalah 746 ng/µl (Lampiran 1). Asam nukleat dan
protein mempunyai absorban maksimum pada panjang gelombang 260 nm dan
280 nm. Rasio absorban pada kedua panjang gelombang ini digunakan untuk
pengukuran kemurnian dari ekstraksi DNA dan protein, dimana rasio 1,8 – 2
secara umum diterima sebagai nilai kemurnian untuk DNA (Thermo Scientific,
2012). Nilai A260/A280 hasil isolasi genom babi adalah 1,81, sedangkan genom sapi
1,67.
Pada gambar 4 terlihat pita yang memisah pada bagian bawah dari semua
lajur yang menandakan keberadaan RNA, namun dalam jumlah sedikit sehingga
tidak perlu dilakukan pemurnian ulang.
4.2.
Polymerase Chain Reaction
Proses PCR dilakukan setelah genom telah berhasil diekstraksi. Primer
yang digunakan pada proses amplifikasi DNA spesies babi dan sapi terletak pada
daerah cytochrome b DNA mitokondria. Adanya variasi urutan pada cyt b
menyebabkan gen ini banyak digunakan sebagai penanda untuk membedakan
material yang berasal dari jenis hewan yang berbeda (Primasari, 2011), selain itu
terdapat banyak sekuens pada daerah ini yang telah terdaftar dalam database bank
DNA (Kocher et al., 1989). Produk PCR dengan primer babi pada daging babi
menghasilkan amplikon dengan ukuran 141 pasang basa, sedangkan amplifikasi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
30
primer sapi pada daging sapi menghasilkan panjang produk 128 pasang basa.
Waktu reaksi PCR berjalan selama 100 menit dan jumlah siklus yang digunakan
yaitu 35.
4.2.1. Optimasi Suhu Annealing Primer Babi dan Primer Sapi dengan PCR
Konvensional
Optimasi suhu annealing merupakan salah satu kriteria parameter yang
penting untuk keberhasilan PCR. Optimasi suhu annealing bertujuan untuk
menghindari mispriming yang terjadi bila suhu annealing terlalu rendah, tidak
teramplifikasinya DNA bila suhu annealing terlalu tinggi, dan meningkatkan
spesifitas produk PCR (Dale & Malcom, 2002; Prezioso & Jahns, 2013). Suhu
annealing dapat ditentukan dengan menghitung Tm dimana biasanya suhu
annealing 5oC di bawah Tm primer yang sebenarnya. Namun, dalam pelaksanaan
amplifikasi DNA pada PCR, terkadang suhu annealing yang digunakan
berdasarkan perhitungan tidak menunjukkan hasil yang optimal. Sehingga,
dilakukan metode gradien PCR, suatu metode yang memungkinkan untuk
melakukan PCR sampai dengan dua belas suhu denaturasi, annealing, dan
elongasi yang berbeda dalam satu kali run PCR (Prezioso & Jahns, 2013).
Gradien suhu annealing dan siklus PCR yang digunakan adalah 50-65 oC dan
35 siklus.
Gambar 5. Elektroforesis produk PCR konvensional hasil optimasi suhu
annealing primer babi pada untai DNA daging babi dengan
menggunakan metode gradien PCR
Pada gambar 5, hasil elektroforesis PCR untuk optimasi suhu annealing
primer babi menunjukkan pita yang sama tebal pada rentang suhu 50-58oC,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
31
sedangkan pada suhu diatasnya menunjukkan pita-pita yang semakin samar yang
disebabkan oleh semakin sedikitnya jumlah DNA yang teramplifikasi. Suhu
annealing primer babi yang kemudian digunakan untuk proses PCR selanjutnya
adalah 51oC.
Gambar 6. Elektroforesis produk PCR konvensional hasil optimasi suhu
annealing primer sapi pada untai DNA daging sapi dengan
menggunakan metode gradien PCR.
Gambar 6 menunjukkan pita juga yang hampir sama tebal pada rentang suhu
50-58oC, dimana pada lajur 4 dengan suhu 56oC, pita terlihat sedikit lebih tebal
dibandingkan dengan yang lainnya, sehingga suhu yang digunakan sebagai suhu
annealing primer sapi untuk pengujian selanjutnya.
4.2.2. Uji Spesifitas Primer Babi dengan DNA Daging Babi dan DNA Daging
Sapi
Setelah penentuan suhu annealing primer sapi dan babi, kedua primer ini
diuji spesifitasnya. Primer sapi dapat dikatakan primer spesifik jika hanya dapat
mengamplifikasikan DNA daging sapi saja, begitu juga dengan primer babi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
32
Gambar 7a. Elektroforesis uji spesifitas primer babi
dengan DNA daging babi dan DNA daging
sapi pada suhu annealing 51oC.
Pada gambar 7a. dapat terlihat adanya pita DNA daging sapi pada lajur dua.
Hal ini menunjukkan bahwa pada suhu annealing 51oC, primer babi dapat
mengamplifikasi DNA daging sapi. Banyaknya siklus dapat menyebabkan
amplifikasi nonspefisik (Bio-Rad, 2006). Sehingga, dilakukan pengujian spesifitas
ulang dengan menaikkan suhu annealing dan mengurangi jumlah siklus PCR yang
digunakan menjadi 25.
7a.
7b.
Gambar 7a. dan 7b. Elektroforesis produk PCR hasil uji
spesifikasi primer babi dan primer
sapi
Gambar
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
33
Gambar 7b. Elektroforesis uji spesifitas primer babi dengan DNA daging
babi dan DNA daging sapi pada suhu annealing 53oC.
Gambar 7b. menunjukkan bahwa DNA daging sapi tidak lagi teramplifikasi
dengan
primer
babi,
sehingga
dapat
dikatakan
primer
babi
spesifik
mengamplifikasi DNA daging babi pada suhu annealing 53oC dan jumlah siklus
25.
4.2.3. Uji Spesifitas Primer Sapi dengan DNA Daging Sapi dan DNA Daging
Babi
8a.
8b.
Gambar 8a. dan 8b. Elektroforesis uji spesifitas primer sapi dengan DNA
daging sapi dan DNA daging babi pada suhu annealing 56oC dan 62oC.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
34
Pada gambar 8a. dan 8 b. terdapat pita yang menunjukkan bahwa DNA
daging babi dapat teramplifikasi hingga suhu annealing 62oC oleh primer sapi.
Gambar 8c. Elektroforesis uji spesifitas primer sapi dengan DNA
daging sapi dan DNA daging babi pada suhu annealing
63oC.
Gambar 8c. menunjukkan bahwa DNA daging babi tidak lagi teramplifikasi
dengan primer sapi,
sehingga dapat dikatakan primer sapi spesifik
mengamplifikasi DNA daging sapi pada suhu annealing 63oC dan jumlah siklus
25 (Lampiran 3).
4.2.4. Uji Sensitivitas Primer Sapi dan Primer Babi.
Uji ini dilakukan dengan cara mengencerkan konsentrasi DNA daging sapi
dan DNA daging babi menjadi seri konsentrasi sebagai berikut; 0.02 ng/ 25 µl, 0,2
ng/ 25 µl, 2 ng/ 25 µl, 10 ng/ 25 µl, dan 20 ng/ 25 µl, yang kemudian
diamplifikasi dengan PCR.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
35
Gambar 9. Elektroforesis produk PCR hasil uji sensitivitas menggunakan primer
babi dan primer sapi.
Gambar 9. menunjukkan kesensitivitasan primer babi dalam mendeteksi
DNA daging babi sampai dengan konsentrasi 0,2 ng/ 25 µl, sedangkan primer sapi
hanya sensitif terhadap keberadaan DNA daging sapi sampai dengan konsentrasi 2
ng/ 25 µl. Batas kemampuan primer sapi untuk mendeteksi sampai dengan
konsentrasi 2 ng/ 25µl disebabkan oleh suhu annealing yang cukup tinggi. Suhu
annealing yang tinggi menurunkan kemampuan primer untuk menempel pada
template sehingga DNA yang teramplifikasi sedikit.
Primer yang spesifik dan sensitif sangat penting dalam pengujian makanan
halal dengan menggunakan metode yang berbasis PCR. Kehalalan suatu makanan
merupakan hal yang mutlak dan tidak dipengaruhi oleh besarnya cemaran dalam
produk makanan. Oleh karena itu diperlukan primer yang spesifik dan sensitif
yang dapat mendeteksi suatu spesies sampai dengan konsentrasi yang sangat kecil.
4.3.
Insulated Isothermal Polymerase Chain Reaction
Insulated Isothermal PCR merupakan teknik yang masih tergolong baru
yang sejauh ini digunakan untuk mendeteksi penyakit yang disebabkan oleh virus
dan bakteri. Teknik ini memanfaatkan fenomena konveksi termal untuk
menjalankan reaksi PCR di sebuah tube yang telah didesain secara khusus di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
36
dalam chamber POCKIT, yang merupakan alat PCR konvektif dengan satu
sumber panas. Ketika pemanasan pada suhu 95oC diaplikasikan pada bagian
bawah R-tube, gradien temperatur akan terbentuk, dimana reaksi PCR berjalan
mengikuti arus konveksi cairan. Teknik ini memerlukan waktu yang lebih singkat
dari reaksi PCR yang dilakukan di dalam sebuah thermocycler. Hal ini
dikarenakan, pada PCR konvensional, antara satu tahap dan tahap lainnya
diperlukan penyesuaian suhu dengan pemanasan atau pendinginan sehingga
banyak waktu yang terbuang untuk mengontrol perubahan suhu.
Reagen yang digunakan untuk iiPCR hampir sama dengan PCR
konvesional yaitu DNA polymerase, dNTP, primer forward, primer reverse,
template, dan buffer, dengan tambahan fluoresens probe. POCKIT dilengkapi oleh
dua channel panjang gelombang untuk mendeteksi sinyal fluoresens dari sinyal
target asam nukleat.
Pada penelitian ini, teknik iiPCR digunakan untuk mendeteksi DNA daging
babi dan DNA daging sapi dengan menggunakan primer yang telah diuji
spesifitasnya dan sentivitasnya dengan PCR konvensional. Probe untuk DNA
daging sapi diberi label dengan 6-carboxyfluorescein (6-FAMTM ; maksimum
panjang gelombang eksitasi dan emisi, 494 nm dan 518 nm) dan Black Hole
quencher (BHQ1, maksimum eksitasi 534 nm dan tidak mengemisi cahaya)
(Anonimb, 2011). Probe untuk DNA daging babi diberi label dengan VIC
(maksimum panjang gelombang eksitasi dan emisi, 538 nm dan 554 nm) dan
BHQ1. Penggunaan probe dengan label yang berbeda memungkinan amplifikasi
DNA daging sapi dan DNA daging babi dalam satu kali running.
Probe yang digunakan merupakan TaqMan probe yang juga disebut dengan
probe hidrolisis. Probe hidrolisis bekerja dengan memanfaatkan aktivas
eksonuklease 5’ – 3’ dari Taq polymerase untuk mendeteksi dan mengukur
produk spesifik PCR pada saat reaksi berjalan (Velden, 2003). Probe dikonjugasi
dengan reporter fluorochrome (babi; VIC, sapi; 6-FAMTM) dan quencher
fluorochrome (BHQ1) yang diposisikan pada target. Ketika proses ekstensi
berlangsung, probe akan dilepaskan dari untai DNA oleh Taq Polymerase dan
dihidrolisis oleh aktivitas eksonuklease 5’ – 3’dari Taq Polymerase yang
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
37
menyebabkan separasi antara reporter dan quencher, sehingga fluoresens yang
diemisi oleh reporter menjadi terdeteksi. Sistem optikal dari iiPCR akan
mengakumulasi fluoresensi seiring dengan meningkatnya jumlah reporter yang
bebas, yang juga menunjukkan bahwa target spesifik berhasil diamplifikasi. Hasil
‘+’ atau ‘-’ yang ditampilkan pada layar alat iiPCR bergantung pada perbandingan
intensitas sinyal fluoresensi sesudah dan sebelum reaksi yang dinyatakan dalam
rasio S/N. Bila rasio S/N mencapai lebih atau sama dengan 1,3 maka layar akan
menampilkan tanda positif (Anonimc, 2012).
Gambar 10. Elektroforesis produk ii-PCR hasil optimasi reaksi ii-PCR dengan
variasi komposisi untuk deteksi DNA daging babi dan DNA
daging sapi.
Pada gambar 10, lajur dengan no 1, 2, 3, 4, 5, 6a, dan 7a merupakan produk
ii-PCR dari amplifikasi DNA daging babi, sedangkan lajur 6b dan 7b DNA
daging sapi. Lajur 1 menunjukkan produk ii-PCR untuk amplifikasi DNA babi
dengan konsentrasi 100 ng/ 50 µl menggunakan komposisi nomor 1 (Lampiran 5).
Pada akhir amplifikasi yang berlangsung selama 58 menit, didapatkan hasil
negatif pada mesin ii-PCR, namun adanya pita yang cukup tebal dan jelas dengan
ukuran 141 bp menandakan DNA dapat teramplifikasi, tetapi tidak terdeteksi oleh
mesin ii-PCR karena rasio intensitas fluoresensi sesudah reaksi dan sebelum
reaksi yang dihasilkan adalah 1.0328 (Tabel 5). Karena rasio yang dihasilkan
belum mencapai 1,3, maka optimasi reaksi ii-PCR dilakukan.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
38
Konsentrasi DNA babi diperkecil menjadi 60 ng / 50 µl dengan asumsi
konsentrasi DNA 100 ng / 50 µl terlalu pekat sehingga meningkatkan
kemungkinan kesalahan primer dan probe menempel pada template. Selain itu,
dilakukan pengujian lain dengan konsentrasi DNA daging babi diperbesar menjadi
200 ng / 50 µl dengan asumsi konsentrasi DNA 100 ng / 50 µl terlalu kecil
sehingga primer dan probe tidak dapat menemukan target. Gambar 10
menunjukkan hasil amplifikasi DNA, lajur 2 dengan konsentrasi 60 ng / 50 µl dan
lajur 5 menggunakan konsentrasi DNA 200 ng / 50 µl. Hasil elektroforesis
menunjukkan pita DNA dengan ukuran 141 bp, lebih tipis, dan hasil negatif pada
layar mesin ii-PCR dengan rasio S/N di bawah 1,3 (Tabel 5).
Tabel 5. Intensitas sinyal yang diemisi oleh probe sebelum reaksi dan sesudah
reaksi.
Lajur/Sampel
B550
A550
Rasio S/N
1 / DNA daging babi
32,1033
33,1549
1,0328
2 / DNA daging babi
31,9109
32,7641
1,0267
3 / DNA daging babi
30,5803
30,6831
1,0034
4 / DNA daging babi
31,0074
31,8297
1,0265
5 / DNA daging babi
31,0981
31,9145
1,0263
6 a/ DNA daging babi
31,4589
29,9477
0,952
7a/ DNA daging babi
30,6696
31,0530
1,0125
B520
A520
6b / DNA daging sapi
30,461
28,6922
0,9455
7b/ DNA daging sapi
30,6012
27,5444
0,9001
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
39
Perubahan konsentrasi template tidak memberikan perubahan rasio yang
signifikan. Optimasi selanjutnya dilakukan pada primer dan probe. Konsentrasi
primer dan probe diperbesar menjadi 0,7 mM dan 0,2 mM dengan asumsi bahwa
dengan konsentrasi 0,5 µM dan 0,15 µM, primer dan probe telah habis sebelum
reaksi selesai. Pada lajur 4 dari gambar 10 dapat terlihat pita tipis yang berada
sedikit di bawah 141 bp dimana rasio S/N yang dihasilkan di bawah 1,3 (Tabel
5). Konsentrasi primer yang terlalu tinggi menyebabkan mispriming dan
akumulasi produk non spesifik, serta meningkatkan terbentuknya primer-dimer
(Sulistiyaningsih, 2007), sehingga produk ii-PCR yang dihasilkan tidak spesifik.
Buffer merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam reaksi iiPCR.
Buffer LS 2x yang digunakan diganti menjadi buffer HS 2x. Produk ii-PCR pada
lajur 3 yang dihasilkan mempunyai ketebalan pita yang sama dengan produk iiPCR pada lajur 1. Keduanya terdiri dari komposisi reagen ii-PCR yang sama
dengan tipe buffer yang membedakannya. Pada akhir reaksi, tanda (-) tertera pada
layar mesin ii-PCR dengan rasio S/N 1,0034 (Tabel 5).
Perubahan tipe buffer menunjukkan penurunan rasio S/N sehingga buffer
LS 2x kembali digunakan. Optimasi reaksi ii-PCR kemudian dilakukan dengan
meningkatkan dan menurunkan volume Buffer LS 1,5x dan 0,5 x dari volume
awal. Lajur 6a merupakan produk ii-PCR DNA daging babi dari reaksi dengan
konsentrasi buffer 37,5µl. Pita yang dihasilkan lebih tebal daripada pita pada lajur
1 dan 3, namun dengan rasio S/N lebih kecil yaitu 0,952. Konsentrasi buffer yang
pekat mengandung kandungan Mg2+ yang tinggi yang dapat meningkatkan
pembentukan produk non spesifik (Markoulatos et al., 2002). Pengujian yang
sama dilakukan pada DNA daging sapi. Pita yang terdapat pada lajur 6b
berukuran 128 bp dan tipis dengan rasio 0,9455 yang memberikan hasil (-) pada
layar mesin ii-PCR.
Pada lajur 7a dan 7b tidak adanya pita menandakan DNA daging babi
maupun sapi tidak teramplifikasi. Hal ini dikarenakan konsentrasi buffer yang
terlalu kecil sehingga tidak mendukung reaksi ii-PCR.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
40
Optimasi komposisi ii-PCR dengan memvariasikan konsentrasi buffer,
template, dan primer tidak berpengaruh terhadap perubahan nilai rasio S/N. Rasio
S/N yang berada di bawah 1,3 menunjukkan tidak adanya perubahan yang
signifikan antara jumlah fluoresens sesudah reaksi dan sebelum reaksi yang
menandakan bahwa probe tidak bekerja dengan baik.
Probe ii-PCR harus memenuhi kriteria tertentu yaitu nilai Tm yang lebih
tinggi 10oC – 15oC dari Tm primer, kisaran panjang probe antara 13 – 20
nukleotida, kandungan G/C 30-80%, dan tidak ada pengulangan 4 atau lebih basa
terutama residu G (Anonimc, 2012). Probe yang tidak memenuhi kriteria
memungkinkan kegagalan probe untuk berikatan pada target sebelum proses
ekstensi primer terjadi, sehingga amplifikasi target berjalan tanpa adanya probe
dan menampilkan tanda (-) pada layar pada akhir reaksi.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan
Optimasi reaksi ii-PCR dengan memvariasikan konsentrasi DNA template,
primer, probe, dan buffer menghasilkan tanda (-) pada layar mesin ii-PCR dengan
rasio S/N di bawah 1,3 yang menunjukkan probe tidak bekerja dengan baik.
5.2.
Saran
Perlu dilakukan optimasi lebih lanjut dan desain ulang probe untuk
mendapatkan kondisi optimal untuk mendeteksi
DNA sapi dan DNA babi,
sehingga dapat dijadikan sebagai metode untuk pengujian kehalalan suatu produk
makanan.
41
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA
Anonima.. 2012. http://www.iipcr.com/faq.php. [12 Maret 2012. Pukul 12.50]
Anonimb. 2011. Fluorescence and Fluorescence Applications. Integrated DNA
Technologies.
Anonimc. 2013. POCKIT RUO. GeneReach Corporation Taiwan.
Anonimd. 2013. http://www.viogene.com/faq
Ageno et al.,1969. The Alkaline Denaturation of DNA. Roma: Physics
Laboratory, Istituto Superiore di Sanita
Bio-Rad. 2006. Real-time PCR Application Guide. USA
Cain et al., 2002. Discover Biology 2nd Edition. Barnes & Nobles : USA
Carson, Susan., & Robertson, Dominique. 2006. Manipulation and Expression of
Recombinant DNA, 2nd Edition. Elsevier Academic Press : USA
Dale, Jeremy W. & Malcom von Schantz. 2002. From Genes to Genomics:
Concepts and Applications of DNA Technology. John Wiley & Sons, Ltd :
USA
Farrokhi, Reza dan Raziallah Joozani. 2011. Identification of pork genome in
commercial meat extracts for Halal authentication by SYBR green I realtime PCR. Int. J. Food Sci & Tec Vol. 46. (5): 951-955
Gaffar, Shabarni. 2007. Buku Ajar Bioteknologi Molekul. Bandung: Jurusan
Kimia, FMIPAUNPAD
Harisha, S. 2006. Biotechnology Procedures and Experiments Handbook. Infinity
Science Press LLC : India
Hilz. H., Wiegers, U., Adamietz, P. 1975. Stimulation of Proteinase K Action by
Denaturing Agents : Application to the Isolation of Nucleic Acids and the
Degradation of ‘Masked’ Proteins. Eur. J. Biochem 56: 103-108
Ilhak, O.I., & Arslan A., 2007, Identification of Meat Species by Polymerase
Chain Reaction (PCR) Technique. Turk. J. Vet. Anim. Sci. 31(3): 159-163
Jain, Shally. 2004, Use Of Cytochrome B Gene Variability In Detecting Meat
Species By Multiplex PCR Assay. Department Of Veterinary Public Health,
College Of Veterinary Science & Animal Husbandry, Anand Agricultural
University, Anand
42
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
43
Joker, Klass et al., 2006. Species Identification in Meat Products using Real-time
PCR Food and Consumer Product Safety Authority: Netherland
Kesmen, Z. , Yetim, H., Sahin, F. 2009. Identification of Different Meat Species
Used in Sucuk Production by PCR Assay, Research/Arastirma GD090208
Kirby. 1957. A New Method for the Isolation of Deoxyribonucleic Acids:
Evidence on the Nature of Bonds between Deoxyribonucleic Acid and
Protein. Chester Beatty Rese : London
Kocher et al. 1989. Dynamics of mitochondrial DNA evolution in animals:
amplification and sequencing with conserved primers. Proc. Natl. Acad. Sci.
U.S.A (86) : 6196-6200
Kolmodin & Birch. 2002. Polymerase Chain Reaction: Basic Principle and
Routine Practice. PCR Cloning Protocols 2nd Edition: 9-10
Koolman, Jan. 1994. Atlas Berwarna dan teks Biokimia / Jan Koolman, KlausHeinrich Rohm ; alih bahasa. Septelia Inawati Wanandai ; editor bahasa
Indonesia, Moh. Sadikin. Hipokrates, 2000 : Jakarta
Kumari, Rajni. 2007. Meat Species Identification by Real Time PCR. Anand
University: Chester Beatty Rese
Margawati, Endang Tri, Muhamad Ridwan. 2010. Pengujian Pencemaran Daging
Babi Pada Beberapa Produk Bakso Dengan Teknologi PCR: Pencarian
Sistem Pengujian Efektif. Bogor : Pusat Penelitian Bioteknologi, LIPI
Markoulatos et al., 2002. Multiplex Polymerase Chain Reaction : A Practical
Approach. J. o. Clinical Lab Analysis 16:47-51
Marmur, J & D. Lane. 1958. Strand Separation and Specific Recombination in
Deoxyribonucleic Acids: Biological Studies. Harvard University: USA
Matsunaga, T., Chikuni, K., Tanabe, R., Muroya, S., Shibata, K., Yamada, J., and
Shinmura, Y. 1999. A quick and simple method for the identifcation of meat
species and meat products by PCR assay. Meat Science (51): 143-148.
Merante, F., Raha, S., & Ling, M., 1998. Molecular Biomethods Handbook, New
Jersey; Humana Press Inc.
Moussaoui et al., 2007. A Phosphate-Binding Subsite in Bovine Pancreatic
Ribonuclease A can be converted into a very efficient Catalytic Site. Protein
Science 16:99-109
Muladno. 2010. Teknologi Rekayasa Genetika, Edisi Kedua. IPB Press: Bogor
Passarge, Eberhard. 2007. Color Atlas of Genetics. Thieme : Germany
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
44
Prezioso, Vincent & Alex Jahns. 2013. Using Gradient PCR to determine the
Optimum Annealing Temperature. Eppendorf Scientific Inc: USA
Promega. 2007. Technical Manual Maxwell® 16 DNA Purification Kits. United
States of America : www.promega.com
Purves et al,. 2003. Life: The Science of Biology. Barnes & Nobles: USA
Putra, Suhartono. 1999. Biologi Molekuler Kedokteran, editor: Suhartono Taat
Putra. Airlangga University Press: Surabaya
Raven et al,. 2002. Biology. McGraw-Hill: USA
Raines, R.T. 1998. Ribonuclease A. Chem. Rev 98: 1045-1065
Reyes A, Gissi c, Pesole G, SaLccone C. 1998. Asymmetrical directional mutation
pressure in the mitochondrial genome of mammals. Mol Biol Evol 15 (8):
957-966.
Riaz, Mian N., Muhammad Chaudry. 2004. Halal Food Production.USA: CRC
Press LLC
Rohman et al,. 2012. Pig species identification in meatballs using polymerase
chain reaction- restriction fragment length polymorphism for Halal
authentication. Int Food Research 19 (3): 901-906
Sambrook, J., & Russel, D. W. 2001. Molecular Cloning, A Laboratory Manual
3rd Edition. Cold Spring Harbor Laboratory Press: New York
Saez, R, Sanz, Y. and Toldra, F. 2004. PCR-based fingerprinting technique for
rapid detection of animal species in meat product. Meat Science (66): 659665.
Saili, Takdir., W. E. Prasetyaningtyas, M.A. Setiadi. S. Agungpriyono., A.
Boediono. 2006. Status DNA Spermatozoa Domba Setelah Proses
Pengeringbekuan. JITV 2 (3): 215-221
Saiyed. Z.M., C.N. Ramchand. 2007. Extraction of Genomic DNA Using
Magnetic Nanoparticle (Fe3O4) as Solid-Phase Support. American Journal
of Infec Dis 3 (4): 225-229, 2007
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi, untuk Pemula, alih bahasa James
Veldman. EGC: Jakarta
Solihin, Dedy Duryadi. 1994. Ulas balik Peran DNA Mitokondria (mtDNA)
dalam Studi Keragaman Genetik dan Biologi Populasi pada Hewan. FMIPA
IPB. ISSN 0854-8587 : Bogor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
45
Stansfield, William D.; Colomè, Jaime S. dan Cano, Raùl J. 2006. Biologi
Molekuler dan Sel, alih bahasa Varian Fahmi. Erlangga: Jakarta
Stone, Carol Leth. 2004. The Basics of Biology. Greenwood Press: USA
Sulistyaningsih, Erma. 2007. Polymerase Chain Reaction (PCR): Era Baru
Diagnosis dan Manajemen Penyakit Infeksi. Laboratorium Fisiologi
Fakultas Kedokteran Universitas Jember : Jember
Sweeny, P.J., J. Patricia., Walker, J.M. 1993, dalam: Micahel M. Burrell, Enzyme
of Molecular Biology. Humana Press Inc, 305-311: New Jersey
Thermo Scientific. 2012. Assessment of Nucleic Acid Purity. www.nanodrop.com
Tsai, Y-L et al., 2012. Development of TaqMan Probe Insulated Isothermal PCR
(iiPCR) for Sensitive and Spesific On-Site Pathogen Detection. PLoS ONE 7
(9): e45278.doi:10.1371/journal.pone.0045278
Utami, Annisa., Riani Meryalita., N. A Prihatin., Laksmi. A., Popi Asri., dkk.
2012. Variation Methods of DNA Isolation From Leaf Of Temulawak
(Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Prosiding Seminar Nasional Kimia Unesa,
205-214
Vaerman, J.L., P. Saussoy, I. Ingargiola. 2004. Evaluation of Real-Time PCR
Data. Belgium : Cliniques Saint Luc, Bruxelles
Velden et al., 2003. Detection of minimal residual disease in hematologic
malignancies by real-time quantitave PCR; principles, approaches, and
laboratory aspects. Nature Publishing Group, 1013-1034
Wijaya, Yoga Permana, 2009. Fakta Ilmiah tentang Keharaman Babi. Bandung.
http://yogapw.wordpress.com, diakses pada tanggal 15 Maret 2013
Yuwono, Triwibowo. 2009. Biologi Molekular. Erlangga: Jakarta
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lampiran 1
Konsentrasi dan Kemurnian hasil isolasi genom
Tabel 2. Konsentrasi dan Kemurnian hasil isolasi genom
No
Sampel
Konsentrasi
Kemurnian
(ng/µl)
(A260/A280)
1
Genom Daging Babi
713
1,81
2
Genom Daging Sapi
746
1,67
Lampiran 2
Campuran reaksi master mix untuk amplifikasi DNA untuk PCR konvensional.
Tabel 3. Campuran reaksi master mix untuk PCR konvensional
Kompisisi
Jumlah
Go Taq Green
12, 5 µl
Primer Forward
2 µl
Primer Reverse
2 µl
DNA template
2 µl
Nuclease Free Water
16,5 µl
Total
25 µl
46
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
47
Lampiran 3
Kondisi PCR untuk amplifikasi DNA daging babi dengan primer babi dan DNA
daging sapi dengan primer sapi.
Kondisi PCR untuk amplifikasi DNA daging babi dengan primer babi.
94oC
10 menit
94oC
15 detik
25 siklus
53oC
1 menit
72oC
72oC
30 detik 7 menit
4oC ~
Kondisi PCR untuk amplifikasi DNA daging sapi dengan primer sapi.
94oC
94oC
25 siklus
10 menit
15 detik
63oC
1 menit
72oC
30 detik
72oC
7 menit
4oC ~
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
48
Lampiran 4
Membuat larutan induk primer dan probe
1. Membuat larutan induk primer dan probe 100 µM
Jenis Nama oligo µg
To make 100 µM
Forward
202 Add 335 µL ddH2O
Bos Reverse
239 Add 386 µL ddH2O
Probe
525 Add 793 µL ddH2O
Jenis Nama oligo µg
To make 100 µM
Forward
304 Add 504 µL ddH2O
Sus Reverse
337 Add 549 µL ddH2O
Probe
404 Add 491 µL ddH2O
2. Membuat larutan primer 10 µM dari larutan induk
V1 . M1 = V2 . M2
X . 100 µM = 100 µL . 10 µM
X =
= 10 µL
Maka, 10 µL diambil dari masing- masing primer 100 µM dan di add 90
µL ddH2O
3. Membuat larutan probe 5 µM dari larutan induk
V1 . M1 = V2 . M2
X . 100 µM = 100 µL . 5 µM
X =
= 5 µL
Maka, 5 µL diambil dari masing-masing probe 100 µM dan di add 95 µL
ddH2O
4. Rekomendasi konsentrasi untuk primer dipilih konsentrasi akhir 0,5 µM
(Tsai, 2012) untuk tiap primer
V1 . M1 = V2 . M2
X . 10 µM
= 50 µL . 0.5 µM
X =
= 2.5 µL
Maka, diambil 2.5 µL dari larutan primer konsentrasi 10 µM
5. Rekomendasi konsentrasi untuk probe dipilih konsentrasi akhir 0,15 µM
(Tsai, 2012)
V1 . M1 = V2 . M2
X . 5 µM = 50 µL . 0.15 µM
X =
= 1.5 µL
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
49
Maka, diambil 1.5 µL dari larutan konsentrasi 5 µM
Lampiran 5
Campuran reaksi master mix untuk ii-PCR.
Tabel 4. Variasi komposisi untuk optimasi reaksi ii-PCR.
Final Concentration
KAPA2G™
1
2
3
4
5
6
7
2,5 U
2,5
2,5
2,5
2,5 U
2,5 U
2,5 U
U
U
U
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
2,5
mM
mM
mM
mM
mM
mM
mM
0,5
0,5
0,5
0,7
0,5
0,5
0,5
mM
mM
mM
mM
mM
mM
mM
0,5
0,5
0,5
0,7
0,5
0,5
0,5
mM
mM
mM
mM
mM
mM
mM
0,15
0,15
0,15
0,2
0,15
0,15
0,15
mM
mM
mM
mM
mM
mM
mM
100
60
100
100
200
100
100
ng /
ng/
ng /
ng /
ng /
ng /
ng /
50µl
50µl
50µl
50µl
50µl
50µl
50µl
1x
1x
HS
1x
1x
1.5x
0,5 x
Robust PCR Kit
dNTP
Primer Forward
Primer Reverse
Probe
Template
Buffer LS
1x
Nuclease Free
Add to 50 µl
Water
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
50
Lampiran 6
Hasil ii-PCR DNA daging babi dan DNA daging sapi.
Gambar 11. Hasil ii-PCR DNA daging babi dan DNA daging sapi
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Download