Bab 5 Simpulan, Diskusi Dan Saran

advertisement
Bab 5
Simpulan, Diskusi Dan Saran
Bab terakhir ini, akan diuraikan tentang kesimpulan dari penelitian yang dilakukan
serta diskusi mengenai hasil-hasil yang diperoleh didalamnya. Selain itu, peneliti juga
mencantumkan saran yang sekiranya dapat membantu untuk
membangun penelitian
dikedepannya.
5.1
Simpulan
Berdasarkan hasil pengambilan dan pengolahan data didalam penelitian ini tidak ada
hubungan yang signifikan antara cognitive distortion dan PIU. Artinya, apabila cognitive
distortion yang dimiliki tinggi, maka PIU yang dimilikinya belum tentu juga tinggi.
Sebaliknya, apabila cognitive distortion yang dimiliki rendah, maka PIU yang dimilikinya
belum tentu juga rendah.
5.2
Diskusi
Dalam penelitian ini tidak terdapat hubungan antara cognitive distortion dengan PIU.
Davis (dalam Peng dan Liu, 2010) mengatakan bahwa conitive distortion memiliki
hubungan yang kuat dengan PIU karena individu yang memiliki cognitive distortion akan
memilih untuk berinteraksi secara online daripada tatap muka. Individu yang memiliki
cognitive distortion juga membangun bias bahwa dirinya diperlakukan secara lebih baik di
game online daripada di dunia nyata. Hasil kuesioner yang didapat, responden tidak
memiliki cognitive distortion yang kuat. Skor PIU yang dimiliki oleh responden juga
rendah. Rendahnya skor dari cognitive distortion dan PIU menjadi penyebab mengapa tidak
ada hubungan antara kedua variable dalam penelitian ini. Faktor yang perlu ditambahkan
dan di kontrol dalam penelitian yang selanjutnya adalah penekanan pada responden yang
memiliki cognitive distortion yang kuat. Tidak dilakukannya pengamatan/kontrol terhadap
cognitive distortion dalam penelitian merupakan kelemahan dalam penelitian ini.
Faktor lain yang perlu ditambahkan dalam penelitian untuk meyakinkan bahwa ada
hubungan antara cognitive distortion dan PIU yang tidak diukur dalam penelitian ini dan
merupakan bagian dalam keterbatasan dalam penelitian adalah self-esteem, rasa ingin
mencari reward ketika bermain game online, perselisihan dengan keluarga dan faktor yang
terakhir adalah rasa keterikatan dengan teknologi (Tam & Walter, 2013). Faktor-faktor
tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya PIU. Agar
seseorang bisa menjadi PIU, self-esteem yang dimiliki oleh responden harus rendah, rasa
ingin mencari reward tinggi, adanya perselisihan dengan keluarga dan rasa keterikatan
dengan teknologi harus tinggi. Penyebab dari tidak adanya hubungan antara PIU dengan
cognitive distortion dalam penelitian ini bisa jadi disebabkan karena self-esteem dari
responden penelitian ini tinggi, responden tidak mencari reward ketika bermain game
online, tidak ada perselisihan dengan anggota keluarga dan rasa keterikatan dengan
teknologi juga rendah.
Penyebab rendahnya nilai PIU bisa jadi disebabkan karena uang jajan responden
dibatasi oleh orang tuanya. Dari hasil wawancara, responden mengatakan bahwa ia ingin
bermain game online terus-menerus, tetapi ia terbatas oleh uang jajan yang diberikan oleh
orang tuanya. Sedangkan dari responden yang bermain game online di rumah, mereka
mendapatkan pengawasan dari orang tuanya ketika bermain game online. Sehingga rasa
keterikatan dengan teknologi yang dimiliki oleh responden tidak tinggi. Pembatasan uang
jajan untuk bermain game online dan pembatasan bermain game online di rumah membuat
individu tidak memiliki keterikatan yang kuat dengan game online. Huanhuan & Wang
(2013) mengutarakan penyebab lain tidak adanya hubungan antara cognitive distortion
dengan PIU yaitu karena konsep cognitive distortion lebih banyak dipahami oleh Western
Society atau budaya barat.
Kelemahan dari penelitian ini adalah karena penelitian ini bersifat payung yang
meneliti tentang game online dan Social Network Servie (SNS) sehingga, pada alat ukur
GPIUS item nomer 5, 10 dan 15 menggunakan kata “media online”. Penggunaan kata
“media online” diduga membuat bias pada responden dan item-item GPIUS dirasa kurang
memperjelas arah dari penelitian yang ingin diukur.
Kelebihan dalam penelitian ini adalah tidak banyaknya ditemui penelitian yang
membahas tentang cognitive distortion dengan PIU, terutama di Indonesia. Penelitian ini
diharapkan dapat membantu untuk penelitian yang serupa di kedepan hari.
5.3
Saran
Penelitian ini baru membahas mengenai ada atau tidaknya hubungan antara cognitive
distortion dengan PIU pada siswa SMP di Jakarta, disarankan agar penelitian selanjutnya
untuk melihat hubungan antara cognitive distortion dengan PIU pada siswa SMA di
Jakarta.
Penelitian ini bersifat payung, sehingga pada alat ukur GPIUS item nomer 5, 10 dan
15 menggunakan kata “media online”, ada baiknya pada penelitian selanjutnya apabila
ingin mengukur game online, maka menggunakan kata “game online” pada item-item
diatas untuk memperjelas arah dari alat ukur GPIUS apabila ingin mengukur tentang game
online.
Pada penelitian selanjutnya diharapkan untuk mengontrol cognitive distortion dari
responden, sehingga individu yang menjadi responden adalah individu yang benar-benar
mengalami cognitive distortion. Selain game online, pada penelitian selanjutnya bisa diukur
tentang penggunaan pendidikan dan bisnis di internet.
Konsep cognitive distortion lebih dipahami oleh masyarakat western society atau
budaya barat (Huanhuan & Wang, 2013), oleh karena itu perlu adanya pengkajian lebih
lanjut dalam bentuk konstruk cognitive distortion yang lebih relevan dengan remaja
Indonesia atau masyarakat Indonesia agar tepat sasaran ketika mengukur cognitive
distortion masyarakat Indonesia.
Disampaikan oleh Tam & Walter (2013) beberapa faktor yang dapat dilakukan untuk
mencegah agar individu tidak terkena PIU yaitu dengan gaya pola asuh dari orang tua yang
melindungi anaknya (protective parenting style), melakukan aktifitas yang banyak
melibatkan fisik dan memiliki komitmen yang kuat untuk menjalankan keperluan sekolah.
Perbolehkan anak untuk bermain game online di rumah dan berikan arahan kepada
anak secara langsung bahwa yang terjadi dalam game online tidak mungkin terjadi di dunia
nyata, selain itu berikan pula pengertian kepada anak bahwa game online merupakan suatu
wadah untuk rekreasi dari penat, bukan dunia nyata.
Ajak anak untuk melakukan aktifitas-aktifitas yang banyak melibatkan fisik seperti
mengikuti perlombaan, berolahraga, bermain dengan teman sebaya dan aktifitas-aktifitas
lain sehingga membuat anak tidak berpikir bahwa game online merupakan satu-satunya
pelarian ketika sedang merasa penat. Tekankan anak untuk menjalankan kewajibannya
sebagai pelajar, yaitu untuk belajar dan mengerjakan tugas-tugas sekolah. Tanamkan benih
bahwa belajar berguna bagi masa depannya dan harus menjadi prioritas utama. Perbolehkan
anak untuk tetap menjalankan kegiatan-kegitan lain seperti mengikuti ekstrakulikuler di
sekolah, bergaul dengan teman-temannya dan bermain game online, tetapi jangan sampai
porsi untuk belajar lebih kecil daripada porsi untuk bermain.
Tam & Walter (2013) menambahkan bahwa individu yang ketergantungan dengan
game online bisa diatasi dengan CBT (Cognitive Behavioral Therapy). Apabila individu
yang ketergantungan dengan game online langsung diputuskan jalurnya dengan game
online seperti dilarang untuk bermain game online maka tidak akan menyelesaikan masalah
yang ada karena pikiran dari individu masih akan terus terokupasi untuk bermain game
online dan arah pikirannya masih akan tertuju kepada game online. Maka perlu adanya
penyelesaian masalah dengan distorsinya terlebih dahulu, apabila distorsinya sudah hilang,
maka masalah
Download