OASIS 13 75 Tahun Batman: Tokoh Batman dan Catwoman menghibur pengunjung di Jakarta, Jumat (27/6). Acara tersebut digelar sebagai perayaan 75 tahun kehadiran tokoh Batman sekaligus ajang hiburan dalam mengisi libur sekolah. Bisnis/Dwi Prasetya Sabtu, 28 Juni 2014 Kesehatan Masyarakat: Pada setiap Android L: Versi terbaru Android ini juga akan mendukung tidak hanya ponsel dan tablet, tetapi juga peranti wearable computer (seperti arloji cerdas), televisi, dan otomotif. Apa saja yang bisa ditemukan pada Android L? kemasan rokok, peringatan yang berbunyi "Merokok Dapat Menyebabkan Kanker, Serangan Jantung, Impotensi, dan Gangguan Kehamilan dan Janin" dapat dibaca dengan jelas bagi perokok. 14 15 I GUSTI NYOMAN LEMPAD Seniman Tradisional yang Menembus Zaman Langit pun jatuh / melekat seperti kaki-kaki gurita / dukaku memeluk lengan menjangan-menjangan / yang bernyanyi perlahan / “Kubuatkan ayunan lengkung cahaya di kaki langit. / Kami yang nampak karena lahir. / Matahari silam / topeng-topeng / buatkan kami nyanyian untuk berangkat” / Karena kata cuma milikku / kujenguk kau dengan kata: / “Selamat jalan, batu paras yang ditatah dengan kapak.” Ema Sukarelawanto & Diena Lestari [email protected] P etikan sajak penyair Frans Nadjira berjudul Selamat Jalan I Gusti Nyoman Lempad, seperti menggeremang di sela-sela gemerisik dedaunan di tengah lanskap Museum ARMA Ubud. Tempat di mana buku Lempad, A Timeless Balinese Artist, diluncurkan di Bali, pada Kamis (19/6) petang, pekan lalu. Sejenak terdengar bunyi genta berkelindan dengan asap dupa, menjadi ritual pendahulu peluncuran buku yang ditulis Jean Couteau, budayawan asal Prancis. Couteau yang selama puluhan tahun bermukim di Bali ini menilai posisi Lempad sebagai seniman sangat penting dalam khazanah seni rupa. Dia menjuluki Lempad sebagai seniman genius, dengan hasil karya yang otentik, dan boleh jadi sejajar dengan karya seniman dunia. Saat ini, masih sangat sedikit referensi yang mengulas tentang seniman multibakat ini. “Lempad memberikan napas baru pada seni rupa Bali. Garis-garis linier dalam karyanya tiada tara,” kata Couteau. Menurutnya, buku ini mempresentasikan seluruh kreativitas Lempad lengkap dengan ilustrasi dan informasi tentang biografi, sejarah, latar belakang kultural, gaya dan estetika Lempad termasuk narasi terkait gambarnya. Dia mengharapkan kiprah maestro Lempad, mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. HITAM PUTIH Sebelum menjadi pelukis, maestro yang berusia 116 tahun pada saat meninggalnya, dikenal sebagai pematung dan undagi (arsitek). Sejumlah istana dan pura yang didirikan di Ubud merupakan hasil karya Lempad. Pertemuannya dengan pelukis legendaris kelahiran Moskowa, Walter Spies di Campuhan, Ubud, membuatnya terpacu untuk terus konsisten dan memproduksi ratusan lukisan bertema mitologi cerita rakyat Bali. Spies konsisten mengajarinya tentang teknik melukis. Lempad memiliki ciri khas dalam gaya melukisnya. Meskipun bergaul dengan banyak seniman, Lempad tampil menonjol dengan bakat individu. Cara penggarapan karya yang unik dan variatif. Gaya melukisnya tidak dapat direduksi dari pengaruh siapapun. Nukilan epos Ramayana, Mahabharata, dan cerita Panji dan Tantri menjadi fokus karyanya. Lukisan Lempad sangat mudah diingat karena selalu menggunakan cat hitam, tinta China yang digoreskan di atas kertas. Jika dicermati, hasil karya lukis Lempad selalu terasa memiliki kekuatan magis. Teknik arsiran, kekuatan goresan, garis, dan minimnya warna justru memperkuat karya yang dibuat. Beberapa karyanya yang dikoleksi oleh Museum Neka antara lain The Dagger Attack On Rangda (24x33 cm) di atas media tinta dan kertas yang dibuat pada 1939. Protection Of The Barong (24x33 cm), The Children Disturb Mother Brayut (24 x 33 cm), The Brayuts Feast Together (24 x 33 cm), dan Durma Meets His Mother (40x25 cm). Semasa hidupnya, Lempad turut mendirikan asosiasi Pita Maha, organisasi seni yang dibentuk bersama Spies, pelukis Rudolf Bonnet, dan tokoh puri Ubud Tjokorde Agung Sukawati. Organisasi yang dibentuk pada 1935 ini memperkenalkan gaya lukisan barat kepada seniman muda Bali, dan sekaligus memopulerkan karya pelukis asli Bali melalui sejumlah pameran di luar negeri. Couteau menyebut Lempad melampaui klasifikasi gaya untuk mengembangkan suatu dunia, dan dunia seni yang khas padanya, meskipun tidak pernah memakai warna. Lempad memiliki akar tradisi, tetapi karyanya telah berjalan jauh menembus zaman. Karya-karya Lempad banyak dikoleksi secara pribadi maupun tersimpan di Tropen Museum Amsterdam; Museum Voor Volkenkunde di Basel, dan sejumlah museum di Bali seperti Museum Puri Lukisan Ratna Warta, Museum Neka, Museum Arma, Museum Rudana, dan Taman Budaya Denpasar. Budayawan Goenawan Mohamad menuturkan pelukis dengan karya erotika yang memukau adalah Lempad dan Picasso. Yang membedakan, Picasso menggambarkannya secara brutal dan keras, sedangkan Lempad merayakan tubuh yang seakan menari tak ada habisnya. Goenawan mengaku takjub kepada karya Lempad tentang Jayaprana-Layonsari yang menceritakan cinta dan kekuasaan ketika pertama kali berkunjung ke rumah Lempad di Ubud pada 1968. Menurutnya, karya Lempad mencerminkan suatu penghargaan terhadap tubuh manusia dan buku ini merupakan sumbangan Lempad kepada kehidupan. Selain cerita mengangkat cerita Mahabaratha da Ramayana, Lempad banyak menggambar karya imajiner yang liar tentang perubahan yang terjadi di sekitarnya, a.l. tentang hubungan asmara, berikut perangai yang mewarnainya: kekerasan, penyimpangan, dan lainnya. Sayangnya, karya erotik ini tidak disertakan dalam buku yang diterbitkan oleh kolektor benda seni Spanyol, Ana, dan Antonio Casanovas, bekerjasama dengan Pictures Publishers. Couteau menuturkan karya erotika dikhawatirkan akan berbenturan dengan Undang-Undang Pornografi. Bagian karya erotika hanya diterbitkan khusus untuk khalayak di luar negeri. Foto-foto: Repro/Lempad, A Timeless Balinese Artist, SENIMAN KETOPRAK Melawan Politik Uang dengan Seni JAKARTA—Gegap gempita jelang pemilihan presiden (Pemilu) 2014 menjadi ajang menarik untuk dicermati. Tidak dapat disangkal, semakin dekat detik-detik Pemilu banyak ditengarai munculnya politik uang. Aksi tidak terpuji ini ditentang keras oleh seniman dari Klaten, Jawa Tengah. Ketua Panitia Pagelaran Budaya Harri Pramono menuturkan Klaten akan menjadi wilayah pertama yang menggaungkan Gerakan Antiserangan Fajar. “Gerakan ini akan ditandai dengan pengumpulan tanda tangan di atas kain putih yang terbentang sepanjang 100 meter,” ujarnya seperti dikutip dari siaran pers yang diterima Bisnis. Gerakan ini, tambahnya, mengawali Pagelaran Budaya Ketoprak yang mengangkat lakon Aryo Penangsang Gugur yang dipertunjukkan pada Rabu (25/6). Pertunjukan ketoprak yang disutradarai Ki Joko Krisnanto itu menghadirkan sejumlah bintang tamu, yakni pelawak kondang Marwoto Kawer, Anang Batas, dan Rabies. Seluruh pemain ketoprak yang memeriahkan acara ini adalah anggota Padepokan Budaya Omah Wayang “Paguyuban Manunggal Cipta” Klaten yang seluruhnya berprofesi sebagai pembawa acara. PROSES BERKARYA Pertarungan Batin Melalui Tari Agnes Savithri [email protected] S Dok. Pribadi Harri menuturkan gerakan Antiserangan Fajar ini perlu diketahui khalayak agar dijadikan gerakan bersama di seluruh daerah. Sosialisasi melalui pendekatan budaya menjadi pilihan karena mudah untuk diserap masyarakat. Aksi ini, tambahnya, merupakan bentuk harapan masyarakat akan berdirinya tatanan Indonesia baru yang tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarah Indonesia. MEMILIH CERITA Dia mengatakan dipilihnya cerita Arya Penangsang Gugur, karena dianggap cocok dengan situasi Indonesia saat ini. Alur cerita dari lakon ini mencerita- kan tentang berdirinya Kerajaan Mataram di Alas Mentaok setelah Adipati Jipang yang dikenal dengan nama Arya Panangsang, gugur karena kerisnya sendiri. Dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa hutan Mentaok merupakan hadiah dari Adipati Kerajaan Pajang, Hadiwijaya, —sebelumnya dikenal dengan nama Jaka Tingkir—, kepada Ki Ageng Pemanahan. Hadiah tersebut diberikan kepada Ki Ageng Pemanahan yang dinilai berjasa dalam menumpas gerakan Arya Penangsang, yang dianggap mengancam eksistensi Kerajaan Pajang. Kelak, di atas Hutan Mentaok itu, Kerajaan Mataram didirikan dan Ki Ageng Pemanahan menjadi raja Mataram yang pertama. “Orang Jawa melihat pemilihan presiden selalu dikaitkan dengan munculnya tatatanan baru politik yang tidak bisa dilepaskan dari dua kerajaan besar yakni Mataram dan Majapahit. Mengingat Klaten berada dalam wilayah Kerajaan Mataram pada waktu itu, maka dipilihlah sejarah yang berhubungan dengan lahirnya Kerajaan Mataram yang didirikan di Alas [hutan] Mentaok, Kota Gede,” ujar Harri yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Fraksi PDI Perjuangan. (Diena Lestari) ore itu, suara musik berbahasa asing terdengar mengalun di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki. Ruangan yang tadinya terlihat lengang pun mulai dipenuhi oleh orang. Di sudut ruang, berdiri perempuan berbusana putih, dan bersepatu tinggi. Perempuan berparas elok ini bernama Rosmala Sari Dewi. Rosmala atau yang dikenal dengan nama Mala, merupakan penari tarian tradisional Jaipong. Dalam pagelaran seni Bluzzuggan Bloes Betawi di Taman Ismail Marzuki, pada Kamis (26/6) malam, dia menarikan tari hasil karyanya yang diberi judul, Tarung Batin. Tarian yang dipertunjukan kepada khalayak ini merupakan hasil penelitiannya selama kurang lebih 5 bulan di Kampung Jatinegara, Jakarta. Perempuan yang tengah menyelesaikan studinya di Strata 2, Seni Urban, Pascasarjana Institut Kesenian Jakarta, berpengalaman menarikan tari Jaipong di pentas nasional maupun internasional. Pengalaman yang begitu beragam tidak membuatnya bosan untuk menarikan tarian yang memiliki ciri khas Bisnis/ Agnes Savithri Kaleran, yakni ceria, semangat, spontan, erotis dan sederhana. Upaya untuk memperdalam pengetahuan tentang tari Jaipong, mendorong Mala untuk berguru dan meneliti kehidupan penari Jaipong, yang banyak tinggal di Jatinegara. “Saya merasakan menari di sana, bahkan menari di kios-kios Jatinegara,” tuturnya. Sehari-hari Mala mengikuti rombongan penari Jaipong Jatinegara yang mencari nafkah dari menari. Saat itu, dia menginap di rumah kontrakan seorang penari yang bernama Iin. Bersama rombongan penari Jaipong, Mala menari di pinggir jalan, di perempatan lampu merah, dan stasiun. Jika mendapatkan tawaran untuk pentas, seringkali rombongan ini hanya dibayar ala kadarnya, atau bahkan hanya mendapatkan makanan. Mala merasakan saat mendapatkan uang sawer Rp5.000, dan harus dibagi dengan penari lain. “Disini saya melihat, walaupun ada perbedaan. Kehidupan yang berbeda, namun dalam menari kami tidak boleh ada perbedaan. Seni rakyat sama saja untuk semua orang,” ujar Mala. Pengalaman hidup bersama rombongan penari Jaipong di Jatinegara itu menjadi awal kelahiran tari Tarung Batin. “Saya menggambarkan pertarungan antara batin yang lelah dan pekerjaan untuk bertahan hidup,” ujarnya. Tarian berdurasi 15 menit ini ditarikan oleh sembilan penari, dan diramaikan dengan suara merdu dari tiga sinden.