1 REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta) SELLY YUNELDA MEYRIZKI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 2 ABSTRACT SELLY YUNELDA MEYRIZKI. SOCIAL REPRESENTATIONS ABOUT THE CITY ON THE URBAN POOR COMMUNITIES. Case: Poor Community in Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, South Jakarta, DKI Jakarta Province (Supervised by NURMALA K. PANDJAITAN) Indonesia is a developing country which has focused on development. However, the development and acceleration of economic growth that occurred in Indonesia has not been evenly distributed in every province. This gives rise to a phenomenon of population movement (migration) occurring in rural communities who migrate to urban areas which eventually give rise to a phenomenon of urban poverty. The purpose of this study was to identify the characteristics of poor communities in urban areas and to identify social representations about the city on poor communities in urban areas. The study was held in RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, South Jakarta, DKI Jakarta Province. The number of respondents is 40 local poor peoples who elected by incidental sampling. Data collected through questionnaires and in-depth interviews with respondents and informants. The characteristics of poor communities are generally aged between under 25 to more than 54 years old, the majority of respondents are women, and generally work in the informal sector. The level of education of respondents are elementary school level (SD) or equivalent to high school level (high school) or equivalent. The income that can be obtained by poor communities were Rp. 100.000.00 up to Rp.1.500.000.00 per month. Overall poor communities did rural-urban migration between 1970 until 2010. The reason was to find a job, looking for experience, come to join her parents and husband, and generally they spent a time in a location was between 1 to 30 years. The frequency of returning home is zero to more than 4 times in the past year. Most of them do not choose the location as the first residence in the city. There are 4 kinds of type of social representations about the city and the poor. The dominant type of social representations about city is type a place to earn money. Beside that, the dominant type of social representations about the poor is underprivileged person. Keywords: social representations, poor communities, poverty, urban areas 3 RINGKASAN SELLY YUNELDA MEYRIZKI. REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN. Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta (Di bawah bimbingan NURMALA K. PANDJAITAN) Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang memusatkan perhatiannya pada pembangunan. Pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi ini belum merata terjadi di setiap provinsi, melainkan hanya terjadi di kota-kota besar. Hal ini menimbulkan suatu fenomena gerak penduduk (migrasi desa-kota) yang pada akhirnya menyebabkan timbulnya komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Terjadinya gerak penduduk dan timbulnya komunitas miskin di perkotaan tersebut dipengaruhi pula oleh representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik komunitas miskin di wilayah perkotaan dan untuk mengidentifikasi representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin tersebut. Jumlah responden sebanyak 40 orang warga miskin setempat yang dipilih secara incidental sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan wawancara mendalam untuk memperkaya pemahaman mengenai informasi yang diberikan responden. Anggota komunitas miskin di perkotaan berusia di bawah 25 tahun hingga di atas 54 tahun, kebanyakan dari mereka berada pada rentang usia 35 hingga 44 tahun. Jenis-jenis pekerjaan yang mereka lakukan antara lain pedagang eceran kaki lima, penyediaan makanan keliling, penyedia jasa perorangan, penyedia jasa profesional dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang nasi goreng dan sebagainya. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh kebanyakan anggota komunitas miskin di perkotaan adalah setingkat SD atau yang sederajat. Pendapatan yang diperoleh komunitas miskin berkisar antara Rp. 100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya, dengan mayoritas tingkat pendapatan sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Secara keseluruhan komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 4 hingga tahun 2010, namun mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010. Alasan yang dimiliki oleh komunitas miskin dalam melakukan migrasi desa kota antara lain: ingin mencari pekerjaan, mencari pengalaman, ikut orangtua dan ikut suami. Alasan ingin mencari pekerjaan merupakan alasan yang paling banyak dikatakan oleh anggota komunitas miskin di perkotaan. Lama waktu tinggal kebanyakan anggota komunitas miskin di lokasi adalah adalah kurang dari 8 tahun. Kebanyakan anggota komunitas miskin tidak melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir dengan alasan tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke kampung halaman. Sebagian besar dari mereka tidak memilih lokasi penelitian sebagai tempat tinggal pertama kali di kota. Representasi sosial tentang kota yang ada pada komunitas miskin di perkotaan terdiri atas empat macam tipe, yaitu: kota adalah tempat mencari uang (Tipe I), kota adalah tempat hidup susah (tipe II), kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III) dan kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Tipe I merupakan tipe yang paling banyak dianut oleh komunitas miskin di perkotaan. Pada tipe I ini, mayoritas respondennya berusia diatas 44 tahun, memiliki informasi tentang kota yang rendah, keyakinan yang positif, pendapat yang positif dan sikap yang normal namun cenderung positif. Pada tipe II, responden pemilihnya kebanyakan tidak bekerja, memiliki informasi yang tinggi mengenai kota, keyakinan yang negatif, pendapat yang positif dan sikap yang negatif terhadap kota. Responden pada tipe III umumnya berjenis kelamin laki-laki, bekerja sebagai penyedia jasa profesional, telah lama melakukan migrasi desakota dan telah lama pula bertempat tinggal di lokasi penelitian. Informasi yang dimiliki oleh responden tergolong tinggi sehingga keyakinan yang dimilikinya negatif, pendapat positif dan sikap yang netral namun cenderung negatif terhadap kota. Responden pada tipe IV berkarakteristik sama dengan responden pada tipe II, namun mayoritas dari mereka bekerja sebagai penyedia makanan keliling. Pada representasi sosial tentang miskin, terdapat pula empat macam tipe, yaitu: miskin adalah orang yang serba kekurangan (tipe I), miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (tipe II), miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif (tipe III) dan miskin adalah orang yang tidak 5 berharga (tipe IV). Tipe I merupakan tipe yang paling banyak dianut oleh komunitas miskin di perkotaan. Pemilihan tipe ini berkaitan dengan kehidupan dari masyarakat miskin sendiri yang tergolong jauh dari berkecukupan. Hanya karakteristik jenis kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi yang memiliki hubungan terhadap pembentukan reprsentasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Hal ini terkait dengan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok dan tingkat komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya dalam kelompok. Semakin lama individu tersebut bertempat tinggal di lokasi dan semakin menjauhi tahun penelitian ini berlangsung, maka akan memungkinkan terjadinya keterlibatan dan komunikasi antar anggota kelompok yang tinggi. Hal ini berhubungan dengan tingkat perolehan informasi dan tingkat keyakinan yang dimiliki oleh anggota komunitas miskin, yang akhirnya berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota (tipe III). Status pekerjaan yang menganggur menyebabkan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok dan tingkat komunikasi sehari-hari yang dilakukan oleh individu dengan individu lainnya dalam kelompok tinggi sehingga berhubungan dengan aspek-aspek representasi sosial dan representasi sosial tentang kota yang terbentuk (tipe II). Laki-laki cenderung memiliki representasi sosial yang negatif terhadap kota (tipe III). Konteks situasional yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota. Kondisi lingkungan yang kumuh membentuk representasi sosial yang cenderung negatif, seperti kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat hidup susah (tipe II). Kondisi lingkungan yang menurut responden baik membentuk representasi sosial yang cenderung positif, misalnya kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang positif membentuk representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat mencari uang (tipe I) dan keberadaan lembaga-lembaga sosial dan ketiadaan sanksi bagi warga tidak resmi di lokasi penelitian menyebabkan terbentuknya representasi sosial yang cenderung positif, misalnya kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). 6 REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta) SELLY YUNELDA MEYRIZKI I34062335 Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 7 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Selly Yunelda Meyrizki NRP : I34062335 Judul : Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta) dapat diterima sebagai bagian pengantar untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui Dosen Pembimbing Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA NIP. 19591114 198811 2 001 Mengetahui Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS NIP. 19550630 198103 1 003 Tanggal Lulus Ujian : 8 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN (KASUS: SEBUAH KOMUNITAS MISKIN DI WILAYAH KELURAHAN KEBAYORAN LAMA SELATAN, KECAMATAN KEBAYORAN LAMA, JAKARTA SELATAN, PROVINSI DKI JAKARTA)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA. Bogor, Oktober 2010 SELLY YUNELDA MEYRIZKI I34062335 9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 9 Mei 1987. Penulis adalah anak terakhir dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak H. Yoyon Toniwijaya dan Ibu Hj. Mamah Salamah. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 2000 di SDN 07 Pagi Jakarta Selatan. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2003 di SLTP Negeri 164 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2006 di SMA Negeri 47 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Ekologi Manusia, penulis aktif dalam UKM Paduan Suara Mahasiswa Institut Pertanian Bogor Agria Swara, dan Himpunan Profesi HIMASIERA, divisi Broadcast. Penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Dasar-Dasar Komunikasi pada tahun 2008 hingga tahun 2009 dan pernah bergabung dalam tim Rumah Pintar Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu di Cikeas, Bogor. 10 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Judul yang dipilih dalam skripsi ini adalah Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan (Kasus: Sebuah Komunitas Miskin di Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi karakteristik komunitas miskin di wilayah perkotaan dan untuk mengidentifikasi representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin tersebut. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Nurmala K. Pandjaitan, MS, DEA sebagai dosen pembimbing Studi Pustaka dan Skripsi. Terima kasih atas waktu, bimbingan, koreksi, pemikiran serta saran yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Heru Purwandari, SP, MSi sebagai dosen penguji utama atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini. 3. Ir. Dwi Sadono, MSi sebagai dosen penguji wakil Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat atas kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini. 4. Ayahanda, Ibunda dan kakak-kakak tercinta atas dukungan moral, materi, perhatian, semangat dan motivasi yang begitu besar kepada penulis. 5. Ir. Dadi Kusnadi dan Wiwin Wiarsih SKp.MN. Om dan tante yang selalu memberikan arahan dan dukungannya, baik dukungan moral maupun materi kepada penulis selama menempuh pendidikan di IPB, penulis mengucapkan terima kasih. 6. Rifki Ayerseptian, yang selalu memberikan dorongan, semangat, perhatian, kasih sayang dan saran yang sangat bermanfaat bagi penulis. 7. Septiani Wesman, teman satu bimbingan. Terima kasih atas semangat kerjasama, dan bantuan selama proses penyusunan skripsi ini. 11 8. Nadra, Kak Galuh, Kak Uday, Kak Rio, Kak Amay terima kasih atas diskusi, saran, bantuan dan semangat yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. 9. Sahabat-sahabat ”The Chongors”, Ninit, Asri, Maya, Dara, Pretty, Fitri, Ika, Oki, Fauzan. Terima kasih atas perhatian, semangat dan bantuannya selama ini. 10. Mama Eti, Bapak Sunarto, Bapak Asmawi, BA., kak Nona dan seluruh warga RT 004 RW 011. Terima kasih atas kesempatan dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. 11. Teman-teman dan sahabat-sahabat KPM 43, Rizman, Sita, Nadia, Prima, Vani, Irena, Tia, Dea, Demul, Wulan, Angel, Rio, Andris serta temanteman tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk kebersamaan dan kerjasamanya selama ini. 12. Esti Budiarti dan Dyah Dewi Setiyowati. Terima kasih atas bantuan yang diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 13. Semua pihak yang telah memberikan dorongan, doa, semangat, bantuan dan kerjasama kepada penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait. Bogor, Oktober 2010 Selly Yunelda Meyrizki DAFTAR ISI DAFTAR ISI...................................................................................................... x DAFTAR TABEL.............................................................................................. xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1.1 Latar Belakang................................................................................... 1.2 Perumusan Masalah........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 1.4 Kegunaan Penelitian.......................................................................... 1 1 4 4 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS.............................................................. 2.1 Tinjauan Pustaka................................................................................ 2.1.1 Representasi Sosial................................................................... 2.1.1.1 Fungsi Representasi Sosial............................................ 2.1.1.2 Struktur Representasi Sosial.......................................... 2.1.1.3 Proses Terbentuknya Representasi Sosial...................... 2.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Representasi Sosial........................................................ 2.1.1.5 Metode Pengukuran Representasi Sosial....................... 2.1.2 Urbanisasi dan Komunitas Miskin di Perkotaan...................... 2.1.2.1 Jenis Pekerjaan Komunitas Miskin di Perkotaan........... 2.1.2.2 Permasalahan Komunitas Miskin di Perkotaan............. 2.1.2.3 Ukuran Kemiskinan....................................................... 2.2 Kerangka Pemikiran........................................................................... 2.3 Hipotesis Penelitian........................................................................... 2.4 Definisi Operasional.......................................................................... 5 5 5 6 7 8 9 10 11 14 16 18 20 22 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 3.1 Metode Penelitian.............................................................................. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian............................................................. 3.3 Teknik Pengumpulan Data................................................................. 3.4 Teknik Analisis Data.......................................................................... 27 27 27 27 30 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI....................................................... 4.1 Letak dan Keadaan Fisik.................................................................... 4.2 Keadaan Penduduk............................................................................. 4.3 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk....................... 4.4 Kelembagaan Sosial Masyarakat....................................................... 31 31 33 35 35 BAB V KARAKTERISTIK KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN..... 5.1 Karakteristik Individu dalam Komunitas Miskin di Perkotaan......... 5.1.1 Usia.......................................................................................... 5.1.2 Jenis Kelamin........................................................................... 37 37 37 38 xi 5.1.3 Jenis Pekerjaan......................................................................... 5.1.4 Tingkat Pendidikan.................................................................. 5.1.5 Tingkat Pendapatan.................................................................. 5.1.6 Lama Tinggal di Lokasi........................................................... 5.1.7 Tahun Datang ke Kota............................................................. 5.1.8 Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota..................................... 5.1.9 Frekuensi Pulang Kampung..................................................... 5.1.10 Alasan Datang ke Kota........................................................... 5.2 Ikhtisar............................................................................................... 39 43 43 45 46 47 49 50 51 BAB VI KONTEKS SITUASIONAL MASYARAKAT................................ 6.1 Kondisi Lingkungan........................................................................... 6.2 Kondisi Ekonomi............................................................................... 6.3 Kondisi Sosial.................................................................................... 6.4 Ikhtisar............................................................................................... 53 53 55 57 60 BAB VII REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN.......................... 7.1 Representasi Sosial Tentang Kota..................................................... 7.1.1 Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang.......................... 7.1.2 Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah............................ 7.1.3 Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman................. 7.1.4 Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman......................... 7.2 Representasi Sosial Tentang Miskin.................................................. 7.2.1 Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan........... 7.2.2 Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak Berpendidikan/Memiliki Keterampilan Terbatas.................... 7.2.3 Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif... 7.2.4 Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga.............. 7.3 Ikhtisar............................................................................................... 63 63 64 70 75 81 88 89 91 93 95 99 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 104 8.1 Kesimpulan........................................................................................ 104 8.2 Saran.................................................................................................. 106 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 107 LAMPIRAN....................................................................................................... 109 DAFTAR TABEL Tabel 1. Jumlah Penduduk RT 004 RW 011 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, Menurut Golongan Usia............................................... 33 Tabel 2. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Usia................... 37 Tabel 3. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin.............................................................................................. 38 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan............................................................................................ 40 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja di Kota.................................................................................................... 42 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan.......................................................................................... 43 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan......................................................................................... 44 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Waktu Lama Tinggal di Lokasi............................................................................... 45 Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tahun Pertama Kali Datang ke Kota.......................................................................... 46 Tabel 10. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota.......................................................................... 47 Tabel 11. Lokasi Tempat Tinggal Pertama Responden di Kota........................ 48 Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Pulang Kampung dalam Satu Tahun Terakhir................................... 49 Tabel 13. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Datang ke Kota............................................................................................... 50 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi Sosial Tentang Kota........................................................................... 64 Tabel 15. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I ................................................................................................... 67 Tabel 4. Tabel 5. Tabel 6. Tabel 7. Tabel 8. Tabel 9. xiii Tabel 16. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II................................................................................................. 72 Tabel 17. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III............................................................................................... 77 Tabel 18. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV............................................................................................... 82 Tabel 19. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Kota Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden dan AspekAspek Pembentuk Representasi Sosial.............................................. 87 Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi Sosial Tentang Miskin....................................................................... 88 Tabel 21. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe I.................................................................................................. 90 Tabel 22. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe II................................................................................................. 92 Tabel 23. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe III............................................................................................... 95 Tabel 24. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe IV............................................................................................... 97 Tabel 25. Perbandingan Tipologi I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Miskin Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden... 98 DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Kerangka Analisis Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan................................................... 22 Gambar 2. Contoh Penggunaan Skala Semantik Diferensial........................ 28 Gambar 3. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I................................................................................... 68 Gambar 4. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I................................................................................... 68 Gambar 5. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I........ 70 Gambar 6. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II.................................................................................. 73 Gambar 7. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II.................................................................................. 74 Gambar 8. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II....... 75 Gambar 9. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III................................................................................ 78 Gambar 10. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III................................................................................ 79 Gambar 11. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III..... 80 Gambar 12. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV................................................................................ 84 Gambar 13. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV................................................................................ 84 Gambar 14. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV.... 86 Gambar 15. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe I................................................................................ 90 Gambar 16. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe II.............................................................................. 93 Gambar 17. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe III............................................................................. 95 xv Gambar 18. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe IV............................................................................. 97 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian........................................................... 110 Lampiran 2. Hasil Asosiasi Kata Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan.............................................. 115 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara berkembang yang memusatkan perhatiannya pada pembangunan, namun pembangunan dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia belum merata terjadi di setiap provinsi. Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dominan terjadi di kota-kota besar. Hal ini menimbulkan suatu fenomena gerak penduduk (migrasi) yang terjadi pada masyarakat pedesaan yang berpindah ke perkotaan dengan berbagai macam alasan, antara lain adalah untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik (Todaro dan Stilkind, 1985). Fenomena gerak penduduk (migrasi atau urbanisasi) biasanya tidak diimbangi dengan kemampuan individu pelaku migrasi dalam memperoleh pekerjaan yang layak dan tidak diimbangi pula dengan daya dukung lingkungan perkotaan yang memadai. Hal ini mengakibatkan terjadinya suatu fenomena kemiskinan kota yang cukup mengkhawatirkan meskipun jumlahnya dikabarkan semakin menurun dari tahun ke tahun. BPS dan Depsos (2002) dalam Gunawan dan Sugiyanto (2005) menyatakan bahwa persentase kemiskinan di Indonesia mengalami penurunan pada tahun 2002, namun secara absolut jumlah mereka masih tergolong tinggi, yaitu sebesar 43 persen atau sekitar 15,6 juta jiwa.1 Terjadinya gerak penduduk dan timbulnya komunitas miskin di perkotaan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh faktor-faktor penarik dan pendorong yang berasal dari kota atau desa saja, melainkan dipengaruhi pula oleh pemaknaan tentang kota oleh masyarakat pelaku migrasi itu sendiri. Pemaknaan tentang kota oleh komunitas pelaku migrasi di perkotaan itu dapat dikatakan sebagai representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Pengkajian terhadap representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan terkait dengan teori representasi sosial. Abric (1976) dalam Adriana (2009) menyebutkan bahwa representasi sosial sebagai suatu pandangan fungsional yang membiarkan individu atau kelompok memberikan makna atau 1 http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/PDF/gunawan.pdf [diakses pada 16 April 2010, pukul 17.58] 2 arti terhadap tindakan yang dilakukannya, untuk mengerti suatu realita kehidupan sesuai dengan referensi yang mereka miliki, dan untuk beradaptasi terhadap realitas tersebut. Lebih lanjut, Abric (1976) dalam Adriana (2009) juga menyebutkan bahwa representasi sosial dalam kerangka psikologi sosial merupakan suatu mekanisme yang membentuk pola berpikir dan membicarakan tentang objek maupun kejadian. Representasi sosial merupakan hasil dari interaksi individu satu sama lain dan merupakan suatu proses dalam memahami dunianya. Wilayah Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, khususnya wilayah Tanah Kusir II RT 004 RW 011 merupakan salah satu wilayah padat penduduk di kawasan Jakarta Selatan. Penduduk di wilayah ini berasal dari berbagai ras dan golongan sosial ekonomi. RT 004 RW 011 ini terdiri atas 628 jiwa penduduk yang terbagi dalam 197 Kepala Keluarga (KK), dengan jumlah warga miskinnya sebanyak 43 Kepala Keluarga (KK). Sebanyak 38 Kepala Keluarga dari 43 Kepala Keluarga yang tergolong warga miskin tersebut adalah kaum migran yang berasal dari luar Provinsi DKI Jakarta. Mereka hidup dalam sebuah komunitas yang tinggal pada sebuah tempat khusus di wilayah RT 004, yang digolongkan dalam kelompok V atau biasa disebut sebagai “orang kebon” oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena mereka bertempat tinggal pada sebuah tanah lapang yang dahulu digunakan sebagai kebun sayuran oleh penduduk asli di wilayah RT 004 tersebut. Keluarga yang tergolong miskin tersebut berprofesi sebagai pekerja sektor informal seperti buruh, pembantu rumahtangga, dan pedagang. Hal ini sesuai dengan pendapat Hugo (1985) yang mengatakan bahwa sebagian besar migran dari desa tidak mampu untuk memasuki pekerjaan di sektor modern. Dua pertiga migran tetap yang memasuki sektor formal di kota berasal dari keluarga petani di desa. Di kalangan migran sementara, kurang dari sepertiga memasuki sektor formal dan banyak diantaranya adalah buruh tani yang berpindah pekerjaan menjadi buruh harian. Hal senada dikatakan oleh Handayani (2009) yang mengemukakan bahwa komunitas miskin di perkotaan mayoritas bekerja pada sektor informal. Kemudian pendapat yang serupa juga disampaikan oleh Sethuraman (1981) dalam Ramli (1992) yang mengatakan bahwa mereka yang terlibat di sektor informal pada umumnya miskin, kebanyakan dalam usia 3 kerja utama (prime age), berpendidikan rendah, upah yang diterima di bawah upah minimun, modal usaha rendah, serta sektor ini memberikan kemungkinan untuk mobilitas vertikal. Pendapat para ahli di atas, diperkuat oleh hasil penelitian Jayanti (2007) yang mendapati bahwa di Kelurahan Lemahputro, Sidoardjo, Jawa Timur, orang miskin bekerja di sektor-sektor informal seperti pedagang, kuli panggul yang pekerjaannya tidak pasti, pedagang kecil-kecilan yang modalnya sedikit maupun sebagai asisten rumahtangga (PRT) dengan penghasilan yang berkisar antara Rp.300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan. Urbanisasi tetap terjadi setiap tahunnya meskipun para migran menghadapi keadaan yang kurang menguntungkan seperti yang telah diuraikan di atas. Sebagai contoh, pada wilayah Jakarta Timur, data statistik menunjukkan bahwa lonjakan arus urbanisasi rata-rata mencapai 200.000 hingga 250.000 jiwa per tahun.2 BPS memproyeksikan tingkat urbanisasi di Indonesia mencapai 68 persen pada tahun 2025. Untuk beberapa provinsi, terutama provinsi di Jawa dan Bali, tingkat urbanisasinya sudah lebih tinggi dari Indonesia secara total. Tingkat urbanisasi di empat provinsi di Jawa pada tahun 2025 sudah di atas 80 persen, yaitu di DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Banten.3 Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, perilaku masyarakat desa yang berpindah ke perkotaan tersebut dapat dipengaruhi oleh representasi sosial tentang kota yang ada pada diri masyarakat tersebut. Representasi sosial, sikap, dan nilai terbentuk dengan kuat melalui sejarah yang telah lalu, keanggotaan dari suatu kelompok, referensi kelompok, dan melalui konteks tidak bebas yang kita miliki yang diperoleh dari saat-saat tertentu (Bergman, 1998). Berdasarkan latar belakang tersebut, maka menarik untuk dikaji lebih dalam mengenai karakteristik komunitas miskin di perkotaan dan bagaimana representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Pengkajian tentang representasi sosial ini terkait dengan teori representasi sosial yang mengatakan bahwa representasi sosial dapat merubah perilaku seseorang, atau dengan kata lain representasi sosial dapat mempengaruhi perilaku seseorang. 2 3 http://data.infid.org/l/l1.html# [diakses pada 17 April 2010, pukul 16.38] http://demografi.bps.go.id/versi1/index.php?option=com_content&task=view&id=923 [ diakses pada 17 April 2010, pukul 16.30] 4 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan dua permasalahan yang dikaji secara lebih mendalam melalui penelitian ini. Kedua perumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah karakteristik komunitas miskin di perkotaan? 2. Bagaimanakah representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diutarakan, maka tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi karakteristik komunitas miskin di perkotaan. 2. Mengidentifikasi representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. 1.4 Kegunaan Penelitian 1. Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk memahami fenomena pertumbuhan komunitas miskin di perkotaan, juga sebagai bahan pertimbangan untuk membuat suatu kebijakan dalam mengatasi pertumbuhan komunitas miskin di perkotaan. 2. Bagi kalangan akademisi Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mengenai representasi sosial, perilaku serta pola berpikir masyarakat. 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Representasi Sosial Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) menyatakan bahwa representasi sosial adalah sebuah sistem dari nilai, gagasan, dan praktek dengan fungsi untuk membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka dan untuk menguasai lingkungannya. Bergman (1998) mengatakan bahwa representasi sosial muncul dari interaksi antara nilai, ide, dan praktek pada saat individu mencoba untuk mengerti lingkungan sosial dan fisik mereka. Representasi sosial dapat dimengerti sebagai sistem yang memproduksi nilai, ideide, dan praktek. Wagner and Kronberger dalam Jost and Ignatow (2001) menyatakan bahwa representasi adalah kehidupan masyarakat yang dikonstruksikan, secara budaya dinilai baik dalam perasaan sendiri dan bersifat fungsional dalam kehidupan sosial sehari-hari, tanpa mengakui adanya variasi pada kesepakatan dalam ketepatan yang mungkin memberikan tanda-tanda penting ke dalam fungsi yang disajikan dalam representasi sosial. Jost and Ignatow (2001) mengatakan bahwa aspek terbaik dari teori representasi sosial adalah teori tersebut berisikan catatan yang berjalan terus berdasarkan pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari manusia dan menyebar menjadi kepercayaan atau keyakinan atas alam realitas. Putra et al. (2003) mendefinisikan representasi sosial sebagai cara berpikir ‘rasional’ yang praktis melalui hubungan sosial dengan menggunakan gaya dan logikanya sendiri, yang kemudian didistribusikan kepada anggota suatu kelompok yang sama melalui komunikasi sehari-hari. Jodelet (2006) menyatakan bahwa istilah representasi sosial pada dasarnya mengacu pada produk dan proses yang menandai pemikiran praktis masyarakat awam pada umumnya (common sense) 6 yang kemudian dielaborasi secara sosial dengan gaya dan logika yang khas lalu dianut oleh para anggota kelompok sosial dan budaya tertentu.4 Berdasarkan pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa konsep dari representasi sosial adalah suatu interaksi antara nilai, ide dan praktek berdasarkan pengalaman dan sejarah dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari manusia yang disampaikan melalui komunikasi sehari-hari untuk menjelaskan sebuah pemikiran umum (common sense). 2.1.1.1 Fungsi Representasi Sosial Moscovici (1973) dalam Bergman (1998) mengatakan bahwa representasi sosial memiliki dua fungsi ganda, antara lain: 1. Untuk membangun sebuah urutan yang memungkinkan individu untuk menyesuaikan atau mengorientasikan dirinya pada dunia materi dan sosial mereka dan untuk menguasai lingkungannya. 2. Memungkinkan komunikasi berada diantara anggota-anggota dari komunitas dengan menyediakan mereka sebuah simbol untuk pertukaran sosial dan sebuah simbol untuk menamai dan mengklasifikasikan berbagai aspek yang sudah jelas dari dunia mereka dan sejarah diri mereka sendiri serta sejarah kelompok. Bergman (1998) menyatakan bahwa teori representasi sosial terlihat pada pemikiran subjektif seseorang yang menciptakan kenyataan dari realitas yang tidak dikenalnya. Sebuah representasi sosial memiliki fungsi bagi orang-orang sebagai alat untuk memberikan arti bagi istilah yang asing atau abstrak bagi mereka. Hal yang berbeda dikatakan oleh Jost and Ignatow (2001) yang mengemukakan lima fungsi dari representasi sosial, yaitu: 1. Group Coordination, yaitu representasi sosial menyajikan fungsi dari koordinasi aktifitas kelompok dan memfasilitasi kerjasama antar individu dalam kelompok. 2. Rational Argumentation. Jovchelovitch memberikan gagasannya bahwa representasi sosial mungkin menyajikan sebuah fungsi penting dalam 4 http://www.faimau.com/2008/07/konferensi-internasional-ke-9-tentang.html [diakses pada 20 Maret 2010 pukul 18.00] 7 kehidupan masyarakat yang liberal. Fungsi ini dinamakan fungsi dari fasilitas argumentasi rasional (Rational Argumentation). 3. Symbolic Coping, yaitu representasi sosial membuat sesuatu yang tidak dikenal menjadi dikenal dengan melambangkan elemen yang baru atau asing tersebut berdasarkan pengalamannya. 4. Environmental Compensation, yaitu representasi sosial muncul karena adanya unsur memasukan konsep dan pengalaman yang hilang atau yang dianggap tabu. Jost and Ignatow (2001) mengemukakan bahwa representasi sosial mungkin juga menyajikan sebuah fungsi “kompensasi” disamping fungsi “anchoring” yang telah banyak didiskusikan. 5. System Justification. Jost and Ignatow (2001) mengemukakan bahwa inti penyebab sebuah kelompok menimbulkan representasi sosial dan percobaan mempengaruhi orang lain untuk mengadopsi representasi sosial tersebut adalah untuk mencapai tujuan sosial dan politik sebagai aspek yang sangat menarik dan unik dari teori representasi sosial. 2.1.1.2 Struktur Representasi Sosial Abric (1976) dalam Deaux and Philogene (2001) menyatakan bahwa struktur representasi sosial terdiri dari central core dan peripheral core. Central core ditentukan oleh obyek yang dimunculkan sendiri, oleh jenis hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai serta norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu dalam kelompok tersebut. Fungsi utama dari central core adalah mengorganisasi fungsi menyeluruh dari seluruh elemen yang menghasilkan representasi atau mengubahnya. Fungsi kedua adalah menentukan hubungan dan menyatukan elemenelemen dari representasi sosial satu sama lain. Central core dapat menjadi elemen dari representasi yang sangat tahan terhadap perubahan karena dia juga yang berfungsi menyatukan dan menstabilkan elemen-elemen di dalamnya. Ketika terdapat suatu perubahan pada central core maka perubahan itu akan berdampak pada perubahan representasi seseorang secara keseluruhan. 8 Elemen peripheral core dapat ditemui di sekitar central core, bersifat konkret dan merupakan elemen yang paling bisa diakses secara langsung. Elemen ini berfungsi untuk menjadikan konkret sesuatu, adaptasi, dan untuk bertahan. Peripheral core merupakan hasil dari anchoring representasi ke dalam kenyataan. Elemen inilah yang menyambungkan antara central core dan situasi konkret dalam suatu konteks representasi. Adanya keterkaitan peripheral core sebagai penghubung central core dan situasi konkret membuktikan bahwa elemen ini lebih fleksibel bila dibandingkan dengan central core. Abric (1976) dalam Deaux and Philogene (2001) juga menyatakan bahwa representasi sosial terdiri atas elemen informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap tentang suatu obyek. Bagianbagian ini terorganisasi dan terstruktur sehingga kemudian menjadi sistem sosialkognitif seseorang. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat diketahui bahwa struktur representasi sosial terdiri atas elemen central core, peripheral core, informasi, keyakinan, pendapat, dan sikap. Keempat elemen terakhir yang terdiri atas elemen informasi (information), keyakinan (belief), pendapat (opinion), dan sikap diteliti secara lebih lanjut dalam penelitian ini. 2.1.1.3 Proses Terbentuknya Representasi Sosial Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) mengatakan bahwa representasi sosial terjadi dalam dua proses, yaitu: 1. Anchoring, yaitu proses yang mengacu pada pengenalan atau pengaitan suatu objek tertentu dalam pikiran individu. Pada proses pertama ini, informasi baru diintegrasikan ke dalam sistem pemikiran dan sistem makna yang telah dimiliki oleh individu. 2. Objectifications, yaitu proses yang mengacu pada penerjemahan ide yang abstrak dari suatu objek ke dalam gambaran tertentu yang lebih konkrit atau dengan mengaitkan abstraksi tersebut dengan objek-objek yang konkrit. Proses ini dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kodekode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut. 9 Representasi sosial mengalami transformasi dalam prosesnya menuju perilaku masyarakat. Guimelli (1993) mendeskripsikan proses transformasi tersebut menjadi urutan-urutan sebagai berikut: Kondisi transformasi dari representasi sosial 1) Karakteristik kejadian dari keterlibatan tingkat tinggi dalam grup. Tingkatan dari keterlibatan menjadi dasar dari segalanya. 2) Keadaan eksternal representasi yang berubah sehingga mengganggu grup, sebagai akibat dari kondisi di atas (poin 1). 3) Tantangan terhadap nilai-nilai tradisional dalam grup yang bersifat tak dapat dihindari. Proses transformasi 1) Jika ketiga kondisi tersebut menyatu, sebuah nilai akan tampak, yang mengakibatkan grup beradaptasi dengan keadaan yang baru. Hal ini akan memaksa subjek dan keinginan akan semakin sering dalam grup. 2) Jika nilai baru tersebut tidak bertentangan dengan representasi yang terdahulu, skema akan menjadi logis dan dapat digunakan dalam representasi tersebut. 3) Nilai tambah dari skema yang baru terbentuk meningkatkan peran penting dari representasi yang ada. 4) Skema yang menentukan terbentuk dalam bentuk yang berbeda dan dalam kesatuan konsep yang menjadi inti pusat dari representasi dan memastikan hubungan dari keseluruhan struktur. 2.1.1.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Representasi Sosial Para ahli merumuskan bahwa terdapat beberapa faktor yang berpengaruh pada terbentuknya representasi sosial. Moscovici (1973) dalam Putra et al. (2003) mengatakan bahwa tahap Objectifications dalam pembentukan representasi sosial dipengaruhi oleh kerangka sosial individu, misalnya norma, nilai, dan kode-kode yang merupakan bagian dari proses kognitif dan efek dari komunikasi dalam pemilihan dan penataan representasi mental atas objek tersebut. Abric (1976) dalam Deaux and Philogene (2001) menyatakan bahwa central core dalam suatu representasi sosial ditentukan oleh obyek yang dimunculkan sendiri, oleh jenis 10 hubungan antara obyek tersebut dengan suatu kelompok, dan juga oleh nilai dan norma sosial yang meliputi ideologi dari konteks yang ada di lingkungan pada saat itu dalam suatu kelompok tersebut. Guimelli (1993) mengemukakan bahwa pada kondisi transformasi dari representasi sosial, karakteristik kejadian dari keterlibatan tingkat tinggi dalam grup menjadi dasar dari segalanya. Guimelli (1993) juga mengatakan bahwa central core dari representasi dapat berubah sesuai keadaan namun tidak dapat diputuskan dengan sejarah masa lalu dari kelompok (grup) yang bersangkutan. Jost and Ignatow (2001) mengatakan bahwa aspek terbaik dari teori representasi sosial adalah teori tersebut berisikan catatan yang berjalan terus berdasarkan pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari manusia dan menyebar menjadi kepercayaan atau keyakinan atas alam realitas. Lebih lanjut, Jost and Ignatow (2001) dalam salah satu fungsi representasi sosial mengemukakan bahwa representasi sosial muncul karena adanya unsur memasukan konsep dan pengalaman yang hilang atau yang dianggap tabu. Putra et al. (2003) menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang dimiliki kelompok. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi representasi sosial antara lain berupa sejarah masa lalu kelompok (pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya), tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, komunikasi sehari-hari dalam kelompok dan kerangka sosial individu, misalnya norma dan nilai. 2.1.1.5 Metode Pengukuran Representasi Sosial Dibutuhkan suatu metode pengukuran yang sesuai dengan objek penelitian pada saat melakukan penelitian mengenai representasi sosial. Putra et al. (2003) menggunakan metode asosiasi kata dalam bentuk kuesioner, dimana partisipan diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benaknya ketika mereka membaca kata pemimpin. Partisipan diminta untuk mengurutkan lima kata tersebut berdasarkan kata yang paling merepresentasikan arti pemimpin sampai kata yang dipandang paling tidak merepresentasikan arti pemimpin. Partisipan 11 juga diminta untuk menjelaskan arti dan maksud asosiasi kata yang telah mereka tuliskan dalam kuesioner. Pada tahap awal, dicari kata-kata apa saja yang muncul untuk memaknai kata pemimpin untuk keperluan pengkodean. Pada tahap ini dicari seberapa banyak kata yang digunakan partisipan pada masing-masing kelompok dan kota untuk menggambarkan kata pemimpin untuk melihat perbedaan antar kelompok. Selanjutnya, kata-kata yang serupa dan memiliki karakteristik yang sama dikelompok-kelompokan sampai diperoleh beberapa kategori besar. Berdasarkan definisi yang diberikan partisipan, kata-kata tersebut kemudian dikode ulang ke dalam kategori besar tersebut untuk memperoleh klasifikasi yang lebih general. Data diolah lebih lanjut untuk melihat frekuensi pada masing-masing kategori besar. 2.1.2 Urbanisasi dan Komunitas Miskin di Perkotaan Urbanisasi adalah perubahan daerah pedesaan ke arah sifat kehidupan kota, pertumbuhan suatu pemukiman menjadi kota, perpindahan penduduk ke kota yang terlihat pada berbagai bentuk mobilitas penduduk, serta kenaikan proporsi penduduk yang tinggal di kota.5 Setiap tahunnya, beribu-ribu orang pindah dari desa ke kota, dengan tujuan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih layak jika dibandingkan dengan kehidupan mereka di desa. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya hasil penelitian dari Todaro dan Stilkind (1985) yang menyatakan bahwa: “orang-orang desa yang miskin ‘didorong’ untuk pindah ke kota karena kemandekan atau berkurangnya kesempatan kerja di desa, dan pada saat yang bersamaan ‘tertarik’ oleh harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi.” Urbanisasi tetap terjadi sekalipun pada kenyataannya kota-kota besar sudah tidak mampu lagi menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan, dan transportasi lebih dari yang minimal kepada penduduknya yang sangat padat itu (Todaro dan Stilkind, 1985). Urbanisasi yang terjadi di berbagai negara, khususnya di negara-negara berkembang erat kaitannya dengan pembangunan dan 5 http://pustaka.ut.ac.id/puslata/online.php?menu=bmpshort_detail2&ID=147 [diakses pada 6 September 2010, pukul 11.30] 12 industrialisasi yang terjadi di perkotaan. Todaro dan Stilkind (1985) mengatakan bahwa “modernisasi” industri dan terlalu mengutamakan sektor modern di kota mengakibatkan tidak dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar penduduk desa. Urbanisasi yang terjadi menandakan bahwa terjadi keadaan yang teramat parah di pedesaan daripada perkembangan ekonomi di kota. Tidak dapat dipungkiri bahwa hingga saat ini, telah terjadi perbedaan antara kehidupan di desa dengan kehidupan di kota, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan ataupun pelayanan sosial lainnya. Dengan kata lain, telah terjadi fenomena kemiskinan di pedesaan. Todaro dan Stilkind (1985) mengatakan bahwa kebijakan pemerintah di banyak negara, khususnya negara-negara berkembang yang cenderung mengutamakan urban bias, yaitu memusatkan fasilitas pelayanan kesehatan dan pendidikan di kota-kota besar telah menyebabkan terjadinya migrasi desa-kota. Migrasi desa-kota ini biasanya tidak dibarengi oleh kemampuan dan keterampilan yang cukup dari para pelaku migrasi untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di kota, yang biasanya berada pada pekerjaan sektor formal atau modern. Para pelaku migrasi hanya mampu berkecimpung pada sektor–sektor informal yang berpenghasilan kecil dan tidak menentu, seperti buruh bangunan, buruh cuci, dan lain sebagainya. Fenomena itu diperparah dengan adanya kenyataan bahwa sebagian besar pelaku migrasi desakota adalah orang-orang yang berusia dua puluh tahunan, yaitu kelompok umur yang paling aktif untuk membentuk rumahtangga baru (Todaro dan Stilkind, 1985). Hal ini pada akhirnya mengakibatkan munculnya komunitas-komunitas miskin di perkotaan yang hingga saat ini jumlahnya tidak dapat dikatakan sedikit. Industrialisasi di perkotaan yang tidak dibarengi oleh pertumbuhan kesempatan kerja yang sesuai dengan jumlah orang yang mencari pekerjaan mengakibatkan timbulnya fenomena kemiskinan dan tentunya timbulnya komunitas-komunitas miskin di perkotaan yang hingga saat ini belum bisa diatasi keberadaannya. Kemiskinan terjadi bukan hanya karena aspek ekonomi saja, akan tetapi berkaitan juga dengan aspek material, sosial, kultural, institusional dan struktural. Piven dan Cloward (1993) dan Swanson (2001) dalam Suharto (2009) menunjukkan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan dan adanya kebutuhan sosial. 13 Handayani (2009) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa keluarga yang tergolong dalam kelompok “miskin” adalah mereka yang memperoleh bantuan dari pemerintah, misalnya Raskin, BLT atau Askes. Komunitas miskin di perkotaan ini dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok, yaitu: (1) keluarga yang benar-benar miskin, (2) keluarga berkecukupan yang dianggap miskin, (3) keluarga miskin yang dianggap berkecukupan. Ketiga kelompok tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Keluarga yang benar-benar miskin Ciri-ciri dari keluarga yang benar-benar miskin antara lain tidak memiliki aset ekonomi (aspek ekonomi), bekerja di sektor informal yang digolongkan dalam kelas menengah ke bawah (aspek sosial), dan tidak memiliki posisi tawar (aspek politik). Pada aspek ekonomi, hal ini diketahui melalui ketidakmampuan mereka dalam memiliki tempat tinggal sendiri, ketidakmampuan memiliki tempat tinggal yang layak huni, tidak memiliki tabungan karena pendapatan hari ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hari ini, dan membutuhkan bantuan orang lain. Aspek ekonomi tersebut berkorelasi dengan aspek sosial, karena status sosial diindikasikan dengan jenis pekerjaan dan penghasilan yang diterimanya. Pekerjaan yang dimaksud antara lain adalah pekerjaan-pekerjaan marjinal seperti buruh dan tukang. Posisi tawar yang rendah muncul karena buruh menjual tenaga kerjanya dan kelas kapitalis membeli tenaga kerja. Selain itu, juga karena adanya hubungan patron-klien. 2. Keluarga berkecukupan yang dianggap miskin Penggolongan komunitas miskin yang kedua ini antara lain terkait dengan keberadaan tempat tinggal dari keluarga tipe ini. Seringkali terjadi fenomena keluarga yang mampu untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh anggota keluarganya namun dianggap miskin karena bertempat tinggal di wilayah yang telah ditetapkan sebagai daerah tempat tinggal kelompok miskin oleh pemerintah setempat. Tidak jarang terjadi fenomena bahwa keluarga-keluarga tipe ini memanfaatkan label keluarga miskin yang mereka peroleh untuk mendapatkan aliran bantuan dari pihak-pihak terkait. 14 3. Keluarga miskin yang dianggap berkecukupan. Ciri-ciri dari keluarga golongan ini adalah mereka berpenghasilan tinggi namun tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan keluarganya karena memiliki jumlah tanggungan yang besar sehingga penghasilan tersebut dibagi-bagi menjadi bagian yang banyak dan akhirnya perolehan masing-masing anggota keluarga menjadi sedikit. Proses pengambilan kebijakan di tingkat pemerintahan (RT atau RW) memperburuk situasi kemiskinan kelompok keluarga itu. Pengukuran nominal penghasilan dan jenis pekerjaan yang tetap seringkali membuat keluarga golongan ketiga ini tidak mendapatkan bantuan dari pemerintah. 2.1.2.1 Jenis Pekerjaan Komunitas Miskin di Perkotaan Hugo (1985) mengatakan bahwa sebagian besar migran dari desa tidak mampu untuk memasuki pekerjaan di sektor modern. Dua pertiga migran tetap yang memasuki sektor formal di kota berasal dari keluarga petani di desa. Kurang dari sepertiga kalangan migran sementara memasuki sektor formal dan banyak di antaranya adalah buruh tani yang berpindah pekerjaan menjadi buruh harian. Dikatakan pula, jenis pekerjaan yang diperoleh para migran ini terkait erat dengan tingkat pendidikan yang mereka tempuh. Migran tetap umumnya berpendidikan lebih tinggi dari migran sementara sehingga kesempatan bagi mereka untuk memasuki pekerjaan di sektor formal lebih terbuka lebar. Pada sektor formal, sebagian besar migran tetap bekerja dalam pekerjaan sektor upahan yang terjamin. Sementara sebagian besar migran sementara bekerja sebagai buruh harian atau dalam pekerjaan-pekerjaan sektor informal. Pekerjaan migran di sektor informal mayoritas terlibat dalam distribusi komoditi berskala kecil, diantaranya pada sektor produksi pertanian, makanan jadi, makanan hasil pabrik, barang-barang pabrik bukan makanan dan sebagai pedagang tidak terampil, atau membuka usaha sendiri yang memiliki jam kerja fleksibel, organisasi yang bersifat kekeluargaan dan kontak dengan orang kebanyakan yang bersifat pribadi dan langsung. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jayanti (2007) mendapati bahwa di Kelurahan Lemahputro, Sidoardjo, Jawa Timur, orang miskin bekerja di sektorsektor informal seperti pedagang, kuli panggul yang pekerjaannya tidak pasti, 15 pedagang kecil-kecilan yang modalnya sedikit maupun sebagai asisten rumahtangga (PRT) dengan penghasilan yang berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan. Sama halnya dengan apa yang dikatakan Hugo (1985) dan Jayanti (2007), Handayani (2009) juga mengemukakan bahwa komunitas miskin di perkotaan mayoritas bekerja pada sektor informal. Selain menggantungkan dirinya pada pekerjaan-pekerjaan di sektor informal, komunitas miskin di perkotaan juga menerapkan berbagai strategi nafkah lainnya sebagai upaya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup mereka. Musyarofah (2006) menyebutkan sembilan strategi nafkah yang dilakukan oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Strategi-strategi nafkah tersebut antara lain berupa: 1. Pola nafkah ganda, dimana dalam satu keluarga terdapat dua atau lebih pekerjaan yang dilakukan, baik oleh satu orang dalam keluarga tersebut ataupun yang terbagi pada seluruh anggota keluarga. 2. Pemanfaatan kelembagaan ekonomi, antara lain dengan memanfaatkan kelembagaan arisan, sistem kredit dan bank keliling. 3. Pemanfaatan jaringan sosial. Jaringan sosial yang dimaksud dapat berupa jejaring kemitraan bisnis atau berupa ikatan pertetanggaan dan ikatan persaudaraan. Ikatan pertetanggaan dan persaudaraan ini dimaksudkan untuk memberikan akses bagi rumahtangga miskin untuk mendapatkan bantuan ketika membutuhkan sesuatu. 4. Basis perdagangan, antara lain dengan berjualan nasi uduk guna memperoleh pendapatan yang akan digunakan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari ataupun dengan membuka warung kecil untuk memperoleh pendapatan tambahan yang akan digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak mereka. 5. Mengganti jenis makanan. Strategi nafkah ini dilakukan ketika rumahtangga miskin berada dalam kondisi sulit atau krisis. Strategi ini merupakan bagian dari proses pengetatan atau penekanan pengeluaran saat rumahtangga miskin ada dalam kondisi krisis, dimana dalam kondisi tersebut mereka mengganti jenis makanan yang biasanya mereka konsumsi dengan jenis-jenis makanan yang lebih sederhana. 16 6. Basis rumah kontrakan, yaitu dengan memanfaatkan modal finansial yang mereka miliki untuk membangun rumah kontrakan. 7. Basis peluang kerja di sektor industri. Strategi nafkah ini terkait dengan keberadaan sektor industri di lingkungan mereka yang menimbulkan strategi nafkah berupa peluang kerja di sektor industri. 8. Berhutang. Strategi nafkah ini dilakukan ketika kondisi rumahtangga komunitas miskin berada pada kondisi krisis. Pinjaman uang ataupun barang diperoleh dari para tetangga setelah terbina hubungan baik yang menimbulkan sikap saling percaya antar tetangga. 9. Mencairkan aset rumahtangga, yaitu dengan menjual aset rumahtangga yang mereka miliki berupa penjualan barang-barang elektronik seperti televisi dan lemari es. Strategi nafkah ini umumnya mereka lakukan ketika mereka berada pada kondisi krisis. 2.1.2.2 Permasalahan Komunitas Miskin di Perkotaan Permasalahan yang dihadapi oleh komunitas-komunitas miskin di perkotaan antara lain timbul akibat rendahnya kualitas sumber daya yang mereka miliki dan keterampilan yang kurang memadai dari mereka untuk mencari pekerjaan dan bersosialisasi dengan masyarakat lainnya di kota. Berdasarkan hasil penelitiannya, Jayanti (2007) merumuskan pemaknaan kemiskinan bagi komunitas miskin di perkotaan yang juga dapat dirumuskan sebagai permasalahan-permasalahan dihadapi yang oleh mereka. Permasalahan- permasalahan tersebut meliputi: (1) Rendahnya pendapatan. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan yang mereka miliki, yaitu mayoritas bekerja pada sektor informal yang hanya berpenghasilan antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan atau kurang lebih sebesar sepuluh ribu rupiah per harinya. (2) Pemenuhan kebutuhan pokok yang rendah. Banyak diantara anggota komunitas miskin di perkotaan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan pangannya dengan baik. Mayoritas dari mereka hanya mampu makan dua kali dalam satu hari bahkan kadang-kadang para orangtua harus merelakan jatah makan mereka bagi anak-anaknya. Pemenuhan kebutuhan sandang masih 17 mampu mereka lakukan, paling tidak dengan membeli pakaian satu tahun sekali dengan menggunakan kredit, atau memperolehnya dari pemberian saudara, tetangga ataupun orang lain. Sedangkan untuk rumah (papan), biasanya terbuat dari bambu (gedek) yang ruangan-ruangannya hanya dibatasi oleh sekat dan memiliki lantai yang terbuat dari tanah. (3) Akses dalam pendidikan, kesehatan, dan permodalan yang rendah. Hal ini dapat dilihat melalui rendahnya kemampuan komunitas miskin dalam menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi dari SMP, rendahnya akses kesehatan karena mahalnya biaya berobat ke lembagalembaga kesehatan dan ketiadaan modal yang dimiliki. (4) Partisipasi yang rendah dalam institusi sosial. Permasalahan ini timbul karena orang miskin cenderung menutup diri terhadap warga lain dan cenderung tidak berminat untuk ikut serta dalam kegiatan-kegiatan sosial yang diselenggarakan di lingkungannya. Hal itu mereka lakukan karena sungkan dan merasa orang lain lebih baik dan lebih pantas untuk melakukan sesuatu dalam kegiatan sosial, misalnya untuk menyampaikan pendapat dalam rapat RT. Selain itu, mereka cenderung takut harus mengeluarkan tambahan uang jika ikut melaksanakan kegiatan-kegiatan sosial yang ada. Selaras dengan Jayanti (2007) yang mengatakan bahwa salah satu permasalahan komunitas miskin di perkotaan adalah rendahnya partisipasi dalam institusi sosial, Handayani (2009) juga mengemukakan permasalahan tersebut dan menyebutnya dengan situasi tawar yang rendah dalam proses pengambilan keputusan di arena publik. Situasi tawar yang rendah ini terjadi pada golongan keluarga yang benarbenar miskin, yang diakibatkan oleh kurangnya waktu yang dimiliki oleh keluarga yang benar-benar miskin untuk turut terlibat dalam pengambilan keputusan di arena publik. Akibatnya, muncul dominasi dalam proses pengambilan keputusan yang hanya menguntungkan kelompok elite karena kelompok tersebut mampu menggunakan akses dan kekuasaan yang dimilikinya untuk terlibat di arena publik. 18 2.1.2.3 Ukuran Kemiskinan Syahyuti (2006) dalam Saripudin (2009) merumuskan ukuran-ukuran kemiskinan dari beberapa sumber, satu di antaranya adalah ukuran kemiskinan dari Sajogyo (1978), yang dirumuskan berdasarkan pendapatan per kapita per tahun yang setara dengan nilai tukar beras. Ukuran kemiskinan Sajogyo (1978) tersebut terdiri atas: (1) paling miskin, ≤ 180 Kg untuk desa, dan 270 Kg untuk kota; (2) sangat miskin, ≤ 240 Kg untuk desa, dan 360 Kg untuk kota; (3) miskin, ≤ 320 Kg untuk desa dan 480 Kg untuk kota. Marbun dan Suryahadi (2009) membedakan ukuran kemiskinan menjadi dua, yaitu: (1) ukuran kemiskinan moneter yang menggunakan tingkat pendapatan dan tingkat konsumsi sebagi tolok ukurnya dan (2) ukuran kemiskinan nonmoneter yang tidak hanya menetapkan tingkat pendapatan atau tingkat konsumsi sebagai tolok ukurnya, melainkan terkait pula dengan beberapa hal lain yang mengakibatkannya, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan tingkat partisipasi dalam kehidupan bermasyarakat. Marbun dan Suryahadi (2009) menyatakan bahwa di negara-negara berkembang, saat ini indikator tingkat konsumsi lebih banyak digunakan daripada tingkat pendapatan. Hal ini karena tingkat pendapatan masyarakat di negaranegara sedang berkembang umumnya masih cukup berfluktuasi. Misalnya yang terjadi di desa, tingkat pendapatan sangat tergantung pada waktu panen yang dapat berubah-ubah, dan dengan dominasi sektor informal di kota-kota, tingkat pendapatan masyarakat kota pun tak menentu. Tingkat konsumsi dinilai cukup mampu mencerminkan tingkat kesejahteraan seseorang dan dapat dikatakan lebih stabil dari tingkat pendapatan, mengingat konsumsi dikorelasikan dengan tingkat pendapatan permanen. Sejak tahun 1984 Indonesia telah mengadopsi pengukuran kemiskinan konsumsi, yaitu dengan menetapkan garis kemiskinan sebagai biaya yang diperlukan untuk memperoleh sekeranjang makanan dengan kandungan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan biaya untuk memperoleh hal-hal di luar bahan makanan yang dianggap penting seperti perumahan, pendidikan, kesehatan, pakaian, serta barang dan jasa lainnya. Jika dirumuskan, maka perhitungan kemiskinan konsumsi di Indonesia adalah sebagai berikut: 19 GK=GKM+GKNM Dengan keterangan: GK=Garis Kemiskinan, GKM=Garis Kemiskinan Makanan dan GKMN=Garis Kemiskinan Non Makanan. Untuk GKM, saat ini BPS menetapkan 52 jenis komoditas yang disetarakan dengan 2.100 kalori per hari. Sedangkan untuk GKNM, ditetapkan 47 komoditas di pedesaan. Penentuan jumlah dari setiap jenis makanan dan barang bukan makanan tersebut didasarkan pada konsumsi aktual sekelompok penduduk yang disebut sebagai kelompok acuan (reference population). Kelompok acuan ditentukan dengan cara mengambil sebanyak dua puluh persen penduduk yang berada di atas Garis Kemiskinan Sementara (GKS), yaitu Garis Kemiskinan periode sebelumnya yang di-inflate (digembungkan) dengan tingkat inflasi umum. Menurut Marbun dan Suryahadi (2009), penetapan ukuran kemiskinan konsumsi ini tidak terlepas dari lima catatan yang perlu diperhatikan sebagai kelemahan ukuran kemiskinan tersebut di Indonesia. Kelima catatan tersebut antara lain menyangkut: (1) Pemilihan kelompok acuan yang perlu diperhatikan kembali karena mempengaruhi tinggi-rendahnya GK yang dihasilkan. (2) Pengukuran kemiskinan tingkat konsumsi yang menggunakan satu keranjang makanan dan non-makanan yang sama untuk semua wilayah, atau keranjang yang berbeda untuk setiap wilayah yang hingga saat ini masih menjadi dilema. (3)Pengukuran tingkat kemiskinan dengan pendekatan konsumsi yang mengasumsikan kebutuhan konsumsi yang sama bagi semua anggota keluarga dinilai tidak relevan dengan kenyataan yang ada, dimana setiap orang memiliki kebutuhan konsumsi yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh gender dan usia. (4) Pengukuran tingkat kemiskinan dengan pendekatan konsumsi mengasumsikan bila pengaruh jumlah anggota rumahtangga terhadap kebutuhan konsumsi rumahtangga bersifat linier. Pada kenyataannya, terdapat skala ekonomi (economies of scale) di dalam rumahtangga tersebut. (5) Pengukuran tingkat kemiskinan dengan pendekatan konsumsi mengasumsikan bahwa setiap anggota dalam suatu rumahtangga memiliki akses yang sama 20 terhadap sumber daya yang ada dalam rumahtangga tersebut. Pada kenyataannya, tidak setiap rumahtangga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap anggota rumahtangganya untuk mengakses sumber daya yang ada. Dari beberapa pendapat mengenai ukuran kemiskinan tersebut, dapat terlihat bahwa Marbun dan Suryahadi (2009), Syahyuti (2006), dan Sajogyo (1978) cenderung menggunakan ukuran yang sama. Para ahli tersebut cenderung menggunakan ukuran tingkat konsumsi dari komunitas miskin tersebut. 2.2 Kerangka Pemikiran Disadari atau tidak, fenomena urbanisasi yang terjadi pada masyarakat pedesaan adalah karena adanya pengaruh dari cerita tentang kota yang mereka dapat secara tidak langsung melalui cerita masyarakat yang lebih dulu melakukan migrasi desa-kota (urbanisasi) ataupun melalui media elektronik seperti televisi, majalah ataupun surat kabar. Cerita sukses masyarakat desa yang telah lebih dulu melakukan migrasi desa-kota dan cerita tentang gemerlapnya kota yang didapat melalui media tersebut menyebabkan masyarakat desa lainnya berbondongbondong datang ke kota dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Urbanisasi (migrasi desa-kota) yang terjadi secara terus menerus dan tanpa didukung oleh keterampilan yang memadai dari para pelaku migrasi desa-kota itu kemudian menyebabkan timbulnya komunitas-komunitas miskin di perkotaan. Komunitas miskin di perkotaan ini timbul dengan karakteristik yang khas dari individu-individu di dalam komunitas miskin tersebut yang diduga berhubungan dengan representasi sosial tentang kota yang mereka miliki, dimana (i) usia (diduga semakin muda usia individu, maka representasi sosial yang dimilikinya cenderung positif), (ii) jenis kelamin (diduga laki-laki memiliki representasi sosial tentang kota yang lebih positif dibandingkan dengan perempuan), (iii) tingkat pendidikan (diduga semakin tinggi tingkat pendidikan individu, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung negatif), (iv) jenis pekerjaan (diduga pekerjaan informal akan menimbulkan representasi sosial yang negatif terhadap kota), (v) tingkat pendapatan (diduga semakin tinggi tingkat pendapatan, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif), (vi) 21 lama tinggal di lokasi (diduga semakin lama individu tinggal di lokasi, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung negatif), (vii) tahun datang ke kota (diduga semakin mendekati tahun penelitian berlangsung, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif), (viii) tempat tinggal pertama kali di kota (diduga komunitas miskin yang tidak langsung tinggal di lokasi penelitian memiliki representasi sosial yang negatif mengenai kota), (ix) frekuensi pulang kampung (diduga semakin tinggi jumlah kegiatan pulang kampung, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif), (x) alasan datang ke kota (diduga semakin bersifat ekonomi alasan yang dimiliki untuk datang ke kota, maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya cenderung positif) Selain karakteristik individu dalam komunitas miskin tersebut, diduga konteks situasional juga berhubungan dengan representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Konteks situasional ini meliputi: (i) kondisi lingkungan masyarakat, (ii) kondisi ekonomi masyarakat, dan (iii) kondisi sosial masyarakat. Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan sendiri adalah sejumlah pencitraan (image), opini, penilaian dan keyakinan umum komunitas miskin di perkotaan terhadap kota. Representasi sosial tentang kota terdiri atas representasi sosial tentang kota sendiri dan representasi sosial tentang miskin. Pada representasi sosial tentang kota, yang diteliti adalah tipologi representasi sosial tentang kota dan aspek-aspek representasi sosial tentang kota yang terdiri atas elemen informasi (information), keyakinan (belief), pendapat (opinion) dan sikap. Pada representasi sosial tentang miskin, hanya diteliti tipologi representasi sosial tentang miskin saja yang di dalamnya juga terdapat dimensi informasi tentang kota yang dimiliki oleh komunitas miskin di perkotaan. Secara lebih ringkas, penjelasan ini akan disajikan dalam bentuk kerangka pemikiran pada Gambar 1. 22 Urbanisasi (migrasi desa-kota) Komunitas miskin di perkotaan Karakteristik individu: Usia Jenis kelamin Jenis pekerjaan Tingkat pendidikan Tingkat pendapatan Lama tinggal di lokasi Tahun datang ke kota Tempat tinggal pertama kali di kota 9. Frekuensi pulang kampung 10. Alasan datang ke kota 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Konteks Situasional Masyarakat: 1. Kondisi lingkungan 2. Kondisi ekonomi 3. Kondisi sosial Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan Representasi sosial tentang kota: 1. Tipologi representasi sosial tentang kota 2. Aspek-aspek representasi sosial tentang kota Representasi sosial tentang miskin: 1. Tipologi representasi sosial tentang miskin Gambar 1. Kerangka Analisis Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan Keterangan gambar: = berhubungan = bukan objek penelitian = terbagi atas 2.3 Hipotesis Pengarah Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan dua buah hipotesis pengarah sebagai berikut: 1. Ada beberapa tipe representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. 23 2. Ada hubungan antara karakteristik komunitas miskin dengan representasi sosial tentang kota. 2.4 Definisi Operasional a) Karakteristik individu, adalah ciri yang melekat pada masing-masing individu dalam komunitas miskin. Variabel yang diteliti antara lain: 1. Usia, yang dibedakan dalam kategori: 1) < 25 tahun (skor=1) 2) 25-34 tahun (skor=2) 3) 35-44 tahun (skor=3) 4) 45-54 tahun (skor=4) 5) > 54 tahun (skor=5) 2. Jenis kelamin, yang dibedakan dalam kategori: 1) laki-laki (skor=1) 2) perempuan (skor=2) 3. Jenis pekerjaan, adalah aktivitas yang dilakukan individu untuk memperoleh pendapatan, yang dilihat dari jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan oleh responden saat ini. Kategorinya antara lain: 1) Pedagang eceran kaki lima (skor=1) 2) Penyediaan makanan keliling (skor=2) 3) Jasa perorangan (skor=3) 4) Jasa profesional (skor=4) 5) Lainnya (skor=5) 4. Tingkat pendidikan, adalah pendidikan terakhir yang ditempuh oleh individu komunitas miskin. Kategorinya adalah : 1) Tidak sekolah (skor=1) 2) SD atau yang sederajat (skor=2) 3) SLTP atau yang sederajat (skor=3) 4) SLTA atau yang sederajat (skor=4) 5. Tingkat pendapatan, adalah jumlah uang yang didapat responden dalam satu bulan terakhir sebelum penelitian dilakukan. Kategori dalam variabel ini adalah: 24 1) < Rp. 300.000 (skor=1) 2) Rp. 300.000-Rp. 600.000 (skor=2) 3) Rp. 600.001-Rp. 900.000 (skor=3) 4) Rp. 900.001- Rp. 1.200.000 (skor=4) 5) > Rp. 1.200.000 (skor=5) 6. Lama tinggal di lokasi, adalah lamanya responden tinggal di lokasi penelitian yang dihitung sejak tahun kedatangan di lokasi hingga saat penelitian dilakukan. Kategorinya ialah: 1) < 8 tahun (skor=1) 2) 8-15 tahun (skor=2) 3) 16-23 tahun (skor=3) 4) > 23 tahun (skor=4) 7. Tahun datang ke kota, adalah tahun pada saat pertama kali responden datang ke kota. Kategori dalam variabel ini adalah: 1) 1970-1980 (skor=1) 2) 1981-1990 (skor=2) 3) 1991-2000 (skor=3) 4) 2001-2010 (skor=4) 8. Tempat tinggal pertama kali di kota, adalah lokasi yang dipilih responden untuk tinggal ketika pertama kali datang ke kota, yang dibedakan menjadi: 1) Langsung tinggal di lokasi (skor=1) 2) Tidak langsung tinggal di lokasi (skor=2) 9. Frekuensi pulang kampung, adalah jumlah kejadian komunitas miskin untuk pulang ke daerah asalnya dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilakukan. Kategorinya adalah sebagai berikut: 1) Tidak pernah pulang kampung (skor=1) 2) 1-2 kali (skor=2) 3) 3-4 kali (skor=3) 4) > 4 kali (skor=4) 10. Alasan datang ke kota, adalah motivasi individu untuk datang ke kota pertama kali. Kategorinya adalah: 1) Ingin mencari pekerjaan (skor=1) 25 2) Mencari pengalaman (skor=2) 3) Ikut orangtua (skor=3) 4) Ikut suami (skor=4) b) Konteks situasional, adalah keadaan yang dihadapi oleh responden selama bertempat tinggal di kota. Kategori konteks situasional terdiri atas: 1) Kondisi lingkungan, adalah kondisi yang melekat pada lingkungan penelitian, yang diukur secara kualitatif. 2) Kondisi ekonomi, adalah kondisi yang melekat pada kehidupan perekonomian responden sehari-hari, yang diukur secara kualitataif 3) Kondisi sosial, adalah kondisi yang melekat pada kehidupan sosial responden, yang meliputi norma yang berlaku dalam masyarakat dan sejarah keberadaan kelompok. Kondisi sosial ini juga diukur secara kualitatif. c) Representasi sosial tentang kota, adalah sejumlah image, opini, penilaian dan keyakinan umum mengenai kota yang ada pada komunitas miskin di perkotaan. Representasi sosial terdiri atas empat elemen yaitu informasi, keyakinan, pendapat dan sikap yang dijelaskan sebagai berikut: 1. Informasi adalah segala pengetahuan mengenai kota yang dimiliki oleh komunitas miskin di perkotaan. Kategorinya adalah sebagai berikut: 1) Tingkat informasi rendah (skor=3-5) 2) Tingkat informasi tinggi (skor=6 ) 2. Keyakinan adalah suatu hal yang dipercaya mengenai kota bagi komunitas miskin di perkotaan. Kategori dalam aspek keyakinan ini adalah: 1) Keyakinan positif (skor=7-10) 2) Keyakinan negatif (skor=11-14) 3. Pendapat adalah suatu hasil pemikiran mengenai kota yang dikomunikasikan kepada anggota komunitas lainnya. 4. Sikap adalah kecenderungan respon suka atau tidak suka pada kota. Kategorinya adalah: 1) Negatif (skor=25-35) 2) Netral (skor=36-40) 3) Positif (skor=41-48) 26 d) Representasi sosial tentang miskin, adalah sejumlah image, opini, penilaian dan keyakinan umum mengenai MISKIN yang ada pada komunitas miskin di perkotaan, yang diukur dengan menggunakan teknik asosiasi kata dan diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2003 untuk mengetahui jumlah responden dalam setiap tipe representasi sosial tentang kota yang telah terbentuk. 27 BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei, yaitu penelitian dengan mengumpulkan informasi dari suatu sampel dengan menanyakannya melalui angket atau interview supaya nantinya menggambarkan berbagai aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen, 1990 dalam Wahyuni dan Muljono, 2007). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif yang didukung oleh pendekatan kualitatif. 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Tanah Kusir II, RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa lokasi tersebut memiliki karakteristik yang sesuai untuk penelitian ini, yaitu memiliki jumlah masyarakat miskin sebanyak 43 Kepala Keluarga, yang 38 diantaranya hidup berkelompok dalam satu wilayah dan membentuk komunitas. Mayoritas dari mereka adalah kaum pendatang yang bekerja di sektor informal. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Mei-Juni 2010. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Juni-September 2010. 3.3 Teknik Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengisian kuesioner dan wawancara mendalam yang dilakukan dengan responden dan informan. Data sekunder diperoleh melalui penelusuran literatur dan data-data yang terkait dengan penelitian ini. Populasi dari penelitian ini adalah komunitas miskin yang terdapat di wilayah Tanah Kusir II RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, dengan sampel yang digunakan adalah anggota komunitas miskin yang berada di RT 004 RW 011 Kelurahan 28 Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 40 orang. Pemilihan responden dilakukan dengan teknik incidental sampling dengan pertimbangan bahwa tidak adanya data kependudukan yang lengkap dan memadai mengenai komunitas tersebut di kantor pemerintahan setempat. Pemilihan responden ini dilakukan dengan membagi lokasi penelitian menjadi empat daerah, yaitu daerah I, daerah II, daerah III, dan daerah IV dengan titik pusat sebuah rumah warga yang berada tepat di tengah-tengah lokasi tersebut. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kuesioner, digunakan untuk mengumpulkan data mengenai karakteristik responden. Jenis pertanyaan yang digunakan dalam kuesioner ini adalah pertanyaan terbuka, tertutup, dan semi terbuka. Terdapat juga teknik asosiasi kata dan metode semantik diferensial di dalam kuesioner ini. a) Teknik Asosiasi Kata, digunakan untuk mengetahui representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Melalui teknik ini, responden diminta untuk menuliskan lima kata yang terlintas di benak mereka ketika mendengar kata KOTA dan MISKIN. Kata-kata yang terkumpul kemudian dimasukkan dalam kelompok kata yang lebih umum (tipe representasi sosial) untuk kemudian membentuk tipologi. b) Metode Semantik Diferensial, digunakan untuk mengetahui representasi sosial pada aspek sikap terhadap kota. Iskandar (2000) seperti dikutip oleh Riduwan dan Akdon (2006) menyatakan bahwa skala semantik diferensial berisi serangkaian karakteristik bipolar (dua kutub) yang memiliki 3 dimensi dasar sikap seseorang terhadap obyek, yaitu: potensi (kekuatan/atraksi fisik suatu obyek), evaluasi (hal yang menguntungkan atau tidak menguntungkan dari suatu obyek) dan aktifitas (tingkatan gerakan suatu objek). Pada metode ini, responden diminta untuk menjawab atau memberikan penilaian terhadap kota yang memiliki rentangan skor 1-5 dengan cara memberi tanda (x) pada angka yang sesuai, seperti yang disajikan pada Gambar 2 berikut: 5 4 3 2 1 Bersih Kotor x Gambar 2. Contoh Penggunaan Skala Semantik Diferensial 29 Kategori dalam semantik diferensial yang digunakan adalah sebagai berikut: 1) Bersih-Kotor 2) Rapih-Kumuh 3) Aman-Penuh resiko 4) Biaya murah-Biaya mahal 5) Tenang-Berisik 6) Pendapatan besar-Pendapatan kecil 7) Lahan luas-Lahan sempit 8) Pilihan pekerjaan banyak-Pilihan pekerjaan sedikit 9) Kebersamaan-Individual 10) Santai-Sibuk 11) Ramai-Sepi 12) Teratur-Berantakan 13) Bebas-Banyak aturan Jawaban dari setiap responden tersebut kemudian ditotal dan dikelompokan dalam rentang kelas sikap: 1. Negatif (skor=25-35) 2. Netral (skor=36-40) 3. Positif (skor=41-48) 2. Wawancara Mendalam, digunakan untuk mengumpulkan data mengenai konteks situasional yang ada pada komunitas miskin di perkotaan dan untuk memperkaya pemahaman atas informasi yang diberikan oleh responden melalui kuesioner. Wawancara dilakukan terhadap beberapa responden yang dinilai dapat mewakili keseluruhan responden dan juga dilakukan terhadap informan, yaitu ketua RT dan sekretaris RT setempat. Peneliti dibantu oleh panduan pertanyaan seputar konteks situasional yang ada pada komunitas miskin di perkotaan dalam melakukan proses wawancara mendalam. 3. Studi Literatur, digunakan untuk mendapatkan data-data yang diperlukan untuk melengkapi temuan dari teknik survei dan wawancara. Data yang ingin diperoleh melalui teknik ini adalah data mengenai gambaran umum lokasi penelitian, data kependudukan, dan literatur lainnya yang terkait dengan penelitian ini. 30 3.4 Teknik Analisis Data Tabel frekuensi digunakan untuk menganalisis data primer, yaitu untuk mendapatkan deskripsi tentang karakteristik individu dari komunitas miskin dan untuk memperoleh tipologi komunitas miskin berdasarkan kesamaan representasi sosial dan karakteristik individu yang dimilikinya. Data representasi sosial tentang kota dan representasi sosial tentang tentang miskin yang diperoleh melalui teknik asosiasi kata terlebih dahulu diolah dengan menggunakan Microsoft Office Excel 2003 sebelum disajikan dalam bentuk tabel. Pengolahan data mengenai elemen informasi (information), keyakinan (belief), dan sikap dibantu oleh penggunaan SPSS 16.0 for Windows untuk menentukan rentang kelas dan jumlah responden dalam tiap-tiap kategori. Data mengenai konteks situasional dan aspek representasi sosial berupa elemen pendapat (opinion) dianalisis secara kualitatif. Data yang diperoleh melalui asosiasi kata diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Kata-kata yang yang muncul dikategorikan dalam beberapa kata yang dianggap mewakili kata tersebut. Kategori kata ini untuk selanjutnya disebut sebagai tipe representasi sosial. b. Masing-masing kategori (tipe) diberi kode untuk membedakannya. c. Kata-kata yang muncul dimasukkan ke dalam kategori (tipe) yang sesuai. d. Kemudian dilakukan penghitungan jumlah responden per tipe representasi sosial. Frekuensi jumlah responden tertinggi pada sebuah tipe merupakan acuan untuk menjadikan tipe tersebut sebagai tipe dominan atau tipe yang paling banyak dianut oleh komunitas miskin, baik tipe dari representasi sosial tentang kota atau tipe dari representasi sosial tentang miskin. Selanjutnya dilakukan pengkategorian karakteristik responden berdasarkan tipe dari representasi sosial tentang kota dan representasi sosial tentang miskin yang dipilihnya. 31 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI 4.1 Letak dan Keadaan Fisik Kelurahan Kebayoran Lama Selatan merupakan salah satu kelurahan yang berada di Kecamatan Kebayoran Lama yang berbatasan dengan Kelurahan Kebayoran Lama Utara di sebelah utara, Kelurahan Pondok Pinang di sebelah selatan, Kelurahan Cipulir di sebelah barat, dan Kelurahan Kramat Pela di sebelah timur. Kelurahan Kebayoran Lama Selatan terbagi atas 12 Rukun Warga (RW) dan 132 Rukun Tetangga (RT). Salah satu Rukun Warga (RW) yang memiliki jumlah Rukun Tetangga (RT) terbanyak adalah Rukun Warga (RW) 011, dimana terdapat sejumlah 12 Rukun Tetangga (RT) di dalamnya. Wilayah Tanah Kusir II RT 004 merupakan bagian dari wilayah Rukun Warga (RW) 011 yang terbesar. Luas wilayah ini adalah 12.000 m² dengan jumlah penduduk sebanyak 628 jiwa. Sebanyak 150 jiwa penduduk diantaranya merupakan penduduk ilegal yang tidak memiliki kartu identitas yang tercatat di kantor pemerintahan setempat. Penduduk yang tergolong ilegal ini umumnya tinggal dalam satu kelompok di wilayah yang memiliki luas 3.920 m² yang oleh masyarakat sekitar dikenal dengan sebutan “kebon” atau sektor V dalam pembagian wilayah RT setempat (Lampiran 1). Jumlah penduduk yang banyak dan wilayah yang luas ini membuat pengurus RT setempat membuat sebuah kebijakan yang dapat mempermudah mereka dalam melakukan pengawasan terhadap warganya. Kebijakan tersebut adalah dengan membagi wilayah RT ini menjadi lima sektor, yang antar sektornya dipisahkan oleh batas-batas tertentu seperti gang, jalan ataupun lapangan. Gambaran umum per sektornya disajikan pada Lampiran 1. Akses jalan menuju ke wilayah ini dapat dikatakan mudah karena wilayah Rukun Tetangga ini terletak tidak jauh dari jalan raya Arteri Pondok Indah yang diketahui merupakan salah satu jalan utama di wilayah Jakarta Selatan dan dilalui oleh banyak kendaraan umum. Sebagian besar jalan masuk ke wilayah ini telah dilapisi oleh aspal, namun banyak diantaranya yang dalam kondisi rusak dan 32 masih belum diperbaiki hingga saat ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak As sebagai berikut: “Jalan di sini banyak yang rusak. Pihak RT sudah mengirim proposal untuk perbaikan jalan ke Kelurahan, tapi sampai sekarang belum ada tanggapan dari pihak Kelurahan.” Fasilitas jalan yang lebih parah kondisinya ditemukan pada jalan menuju pemukiman komunitas miskin di wilayah ini, dimana jalan yang tersedia masih berupa tanah merah yang becek jika cuaca sedang hujan. Penerangan menuju lokasi tersebut juga dapat dikatakan kurang. Hal ini berbeda dengan fasilitas jalan dan penerangan yang ada di sektor I, II, III, dan IV. Fasilitas umum lainnya yang terdapat di wilayah ini adalah pasar, dimana terdapat sebuah pasar bentukan warga setempat yang buka setiap hari mulai pukul 06.00 hingga pukul 12.00. Para penjual di pasar ini mayoritas adalah warga RT 004 sendiri, yaitu mereka yang termasuk dalam komunitas miskin di wilayah ini dan terdapat pula penjual yang berasal dari wilayah lain. Para pembeli adalah warga RT 004 dan warga dari Rukun Tetangga lainnya yang terdapat di sekitar RT 004 RW 011 ini. Fasilitas olahraga dan bermain anak yang terdapat di wilayah RT ini adalah sebuah lapangan bulutangkis dan sebuah lapangan bola voli (Lampiran 1). Kondisi dari kedua fasilitas bermain anak tersebut dapat dikatakan baik dan terawat. Anak-anak maupun orang dewasa dapat menggunakan kedua fasilitas tersebut secara cuma-cuma. Pada umumnya komunitas miskin yang berada di sektor V hanya menggunakan lapangan voli sebagai tempat mereka untuk berkumpul dan sebagai tempat bermain bagi anak-anak mereka. Hal ini mereka lakukan karena lokasi lapangan voli yang letaknya lebih dekat dengan tempat tinggal mereka. Keadaan cuaca di wilayah ini tidak jauh berbeda dengan wilayah lainnya di kotamadya Jakarta Selatan, yaitu beriklim tropis dengan temperatur udara sekitar 27,5 derajat Celcius dan kelembaban udara rata-rata 80 persen. Curah hujan mencapai ketinggian 2.394,6 mm/tahun rata-rata sekitar 199,5 mm per hari, yang terjadi selama 210 hari dalam setahun.6 6 http://www.bpndki.org [diakses pada tanggal 16 Juli 2010, pukul 08.30] 33 4.2 Keadaan Penduduk Data monografi RT 004 RW 011 mencatat jumlah penduduk RT ini adalah sebanyak 628 jiwa, yang terdiri atas 340 jiwa penduduk laki-laki (54,14 persen) dan 288 jiwa penduduk perempuan (45,86 prsen). Jumlah tersebut terbagi dalam 197 Kepala Keluarga dan 213 pintu. Jumlah anggota per keluarga antara lain terdiri atas tiga hingga lima orang. Jumlah warga asli (Betawi) di dalam Rukun Tetangga ini tercatat hanya tinggal 15 keluarga. Menurut Bapak As yang menjabat sebagai ketua RT setempat, dalam kurun waktu 4 tahun belakangan ini setiap tahunnya berdatangan migran baru yang berjumlah 5 hingga 50 orang ke wilayah ini. Jumlah tersebut dinilai cukup mengkhawatirkan sehingga pada tahun 2010 ini diberlakukan larangan untuk membawa teman atau keluarga tambahan bagi para warga setempat. Jumlah penduduk terbesar di wilayah ini terdapat pada golongan usia 31 tahun hingga 40 tahun, dan jumlah penduduk terkecil ada pada golongan usia lebih dari 75 tahun. Tabel 1 menggambarkan jumlah penduduk berdasarkan golongan usia mereka, tanpa membedakan jenis kelaminnya. Tabel 1. Jumlah Penduduk RT 004 RW 011 Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta Menurut Golongan Usia Golongan umur Jumlah (jiwa) Jumlah (%) 0 - 10 tahun 56 9,0 11 – 20 tahun 59 9,4 21 - 30 tahun 129 20,5 31 - 40 tahun 211 33,6 41 - 50 tahun 101 16,1 51 - 60 tahun 52 8,3 61-70 tahun 16 2,5 4 0,6 628 100,0 > 70 Total tahun Sumber: Data Monografi RT 004 RW 011, Kelurahan Kebayoran Lama Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, tahun 2009. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, wilayah Rukun Tetangga ini terbagi dalam lima sektor berbeda untuk mempermudah administrasi dan 34 pengawasan pengurus RT setempat terhadap warganya. Pada setiap sektornya ditunjuk salah seorang warga sebagai ketua, yang disebut dengan ketua Dasa Wisma. Tugas dari ketua tersebut adalah memantau seluruh aktivitas warga, juga melakukan penarikan uang kas setiap bulannya. Uang kas yang telah terkumpul kemudian diserahkan kepada ketua RT setempat untuk digunakan sebagai biaya penyelenggaraan acara-acara RT dan sebagai dana bantuan ketika ada warga setempat yang sedang mengalami suatu musibah. Banyaknya jumlah penduduk dan terbaginya wilayah RT ini ke dalam lima sektor mengakibatkan hubungan warga antara satu sektor dengan sektor yang lainnya tidak terlalu dekat. Pada umumnya mereka bergaul dengan warga yang berdekatan saja, meskipun dengan warga lainnya masih terbilang saling mengenal. Misalnya yang terjadi pada komunitas miskin di sektor V. Pada umumnya mereka hanya bergaul dengan sesama warga dari sektor yang sama. Demikian halnya dengan warga di sektor lainnya, misalnya warga dari sektor I yang umumnya bergaul dengan warga dari sektor II, atau warga dari sektor III yang pada umumnya bergaul dengan warga dari sektor IV. Hal tersebut diakui oleh Ibu Sal (55 tahun), namun ia beralasan bahwa hal tersebut terjadi karena faktor keberadaan lokasi yang berdekatan saja. Ibu Sal (55 tahun) mengatakan bahwa “saya dari sektor III. Memang sering bergaulnya dengan ibu-ibu dari sektor IV, tapi itu karena tempatnya yang dekat saja.” Banyaknya jumlah penduduk RT ini pernah menyebabkan terjadinya konflik internal di dalam warga. Hal ini dapat terlihat melalui adanya dua buah karang taruna yang membagi para pemuda menjadi dua kelompok. Hingga saat ini kedua karang taruna tersebut masih belum dapat disatukan karena masih terdapatnya perbedaan pendapat antar mereka mengenai kegiatan tarang taruna dan warga yang berhak terlibat di dalamnya. Mayoritas kondisi tempat tinggal dari para penduduk di wilayah Rukun Tetangga ini dapat dikatakan telah permanen, meskipun masih terdapat beberapa tempat tinggal yang belum permanen, dan bersifat sebagai tempat tinggal sewa (kontrakan). Tempat tinggal-tempat tinggal yang tidak permanen tersebut umumnya berada di lokasi penelitian dan dihuni oleh komunitas miskin yang ada di wilayah ini. Gambaran dari tempat tinggal tersebut antara lain terbuat dari 35 triplek atau seng, beratapkan genting atau seng dan hanya terdiri atas satu hingga tiga ruangan, dan tidak memiliki sarana MCK pribadi di setiap rumahnya. Penggambaran tempat tinggal komunitas miskin ini disajikan dalam Lampiran 1. 4.3 Mata Pencaharian dan Tingkat Pendidikan Penduduk Menurut Bapak Sun yang saat ini menjabat sebagai sekretaris RT setempat, umumnya penduduk di wilayah Rukun Tetangga ini berprofesi sebagai pegawai swasta, seperti office boy, cleaning service, sales promotion girl/boy, hingga pegawai pada sebuah bank. Banyak juga penduduk di wilayah ini yang berprofesi sebagai pedagang, seperti pedagang kue putu, pedagang sayuran, pedagang nasi goreng atau berdagang dengan membuka usaha warung kelontong. Pada aspek tingkat pendidikan, dapat diketahui bahwa secara umum tingkat pendidikan warga di wilayah Rukun Tetangga ini adalah setingkat SLTA atau yang sederajat, lalu setingkat gelar Diploma 3, dan hanya terdapat beberapa orang yang memiliki gelar setingkat strata 1 Perguruan Tinggi. Warga yang memiliki gelar sebagai sarjana ini pada umumnya adalah warga yang bertempat tinggal di sektor III, sedangkan yang setingkat SLTA atau yang sederajat diketahui menyebar di seluruh sektor di wilayah ini. Warga dari komunitas miskin yang ada di wilayah ini pada umumnya memiliki tingkat pendidikan setara SD atau yang sederajat hingga setingkat SLTA atau yang sederajat. Data mengenai mata pencaharian dan tingkat pendidikan penduduk di Rukun Tetangga ini tidak didapat secara lebih terperinci karena tidak adanya data yang lengkap mengenai keduanya di kantor pemerintahan setempat. 4.4 Kelembagaan Sosial Masyarakat Warga di wilayah ini memiliki beberapa aktivitas yang dilakukan untuk menjaga kekeluargaan di antara mereka. Kelompok aktivitas warga di wilayah ini antara lain berupa arisan dan pengajian bulanan untuk para ibu, karang taruna dan kelompok musik Hard Rock untuk para remaja, serta koperasi warga untuk seluruh warga setempat yang umumnya dihadiri oleh para pria yang tercatat sebagai warga RT ini. Kelompok-kelompok aktivitas warga tersebut secara rutin mengadakan kegiatannya setiap bulan dan pada saat-saat tertentu bagi para anggota serta 36 pengurus karang taruna. Kelompok-kelompok tersebut berada di bawah koordinasi pengurus RT setempat. Setiap tahunnya terjadi pergantian pengurus di dalam tubuh kelompok-kelompok kelembagaan tersebut. Hal yang sama terjadi pula pada struktur pemerintahan setempat, dimana setiap tahunnya diadakan rapat warga dan pemilihan ketua RT serta pengurus RT yang baru. Pemilihan ketua dan pengurus RT ini biasanya dilakukan secara musyawarah hingga terpilihnya ketua RT yang baru. Pada musyawarah tersebut, biasanya yang dicalonkan atau diajukan pertama kali sebagai ketua RT yang baru adalah warga yang sudah bertempat tinggal cukup lama di wilayah tersebut. Hal ini dilakukan sebagai sebuah bentuk penghormatan kepada warga tersebut yang dinilai sudah mengerti dengan keadaan masyarakat setempat. Jika warga yang diajukan tersebut bersedia, maka telah terpilihlah seorang ketua RT baru, namun jika warga tersebut tidak bersedia, maka dilakukan musyawarah lanjutan hingga terpilih seorang warga sebagai ketua RT. Pada kegiatan rapat warga yang diselenggarakan oleh pengurus RT setempat, pada umumnya warga dari komunitas miskin di wilayah ini ikut menghadirinya, namun tidak demikian dengan kegiatan RT lainnya seperti arisan atau pengajian bulanan untuk para ibu atau koperasi untuk para pria. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang warga berikut: “Di sini ada pengajian bulanan untuk ibu-ibu di pengajiannya Ibu Masrifah. Orang kebon sih ada yang datang, tapi paling cuma sedikit. Mereka jarang ikut.” (Ibu Sal, 55 tahun) Sementara itu, meskipun terbilang jarang mengikuti kegiatan rutin warga setempat, komunitas miskin ini tetap sering berkumpul karena mereka juga mengadakan kegiatan serupa di wilayah lingkungan mereka, seperti pengajian untuk kaum pria setempat yang rutin diadakan setiap Kamis malam setiap minggunya. Hal ini diketahui lewat pengakuan Bapak As berikut ini: “Di sini ada pengajian tiap malam Rabu untuk semua warga yang mau ikut, juga ada tiap malam Jumat buat bapak-bapak di wilayah ini saja.” 37 BAB V KARAKTERISTIK KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN 5.1 Karakteristik Individu dalam Komunitas Miskin di Perkotaan Karakteristik komunitas miskin di perkotaan dapat diidentifikasi melalui karakteristik tiap individu yang terdapat dalam komunitas tersebut. Karakteristik individu yang diteliti terdiri atas sepuluh elemen, yaitu usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, lama tinggal di lokasi, tahun datang ke kota, tempat tinggal pertama kali di kota, frekuensi pulang kampung dan alasan datang ke kota. 5.1.1 Usia Tabel 2 di bawah ini menggambarkan keberadaan responden berdasarkan tingkat usia yang dimilikinya. Usia responden ini terbagi atas lima kelompok usia seperti yang tercantum berikut ini. Tabel 2. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Kelompok Usia Jumlah (orang) Jumlah (%) < 25 tahun 7 17,5 25-34 tahun 4 10,0 35-44 tahun 15 37,5 45-54 tahun 8 20,0 > 54 tahun 6 15,0 40 100,0 Total Tabel 2 tersebut memperlihatkan bahwa sebagian besar responden berusia antara 35 hingga 44 tahun. Kelompok usia ini merupakan kelompok usia produktif, dimana pada masa tersebut orang-orang cenderung memiliki fisik masih sangat mendukung untuk bekerja keras dan mencari pengalamanpengalaman baru. Sebagian besar responden tersebut melakukan migrasi desa-kota pada saat berusia belasan hingga dua puluh tahunan meskipun saat ini berusia antara 35 hingga 44 tahun. Kenyataan tersebut sesuai dengan pernyataan dari Todaro dan 38 Stilkind (1985) yang mengatakan bahwa sebagian besar pelaku migrasi desa-kota adalah orang-orang yang berusia dua puluh tahunan, yaitu kelompok umur yang paling aktif untuk membentuk rumahtangga baru. Salah satu responden yang melakukan migrasi desa-kota pada saat usianya 20 tahun adalah Ibu Yat (36 tahun). Ibu Yat (36 tahun) mengatakan bahwa “waktu pindah ke kota umur saya 20 tahun. Tujuannya untuk cari kerja dan waktu itu saya langsung jadi pembantu disini.” 5.1.2 Jenis Kelamin Tabel 3 berikut ini adalah tabel yang memuat data mengenai jumlah dan karakteristik responden penelitian berdasarkan jenis kelamin. Berdasarkan Tabel 3, dapat dilihat bahwa perempuan mendominasi jumlah responden yang ada. Tabel 3. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah (orang) Jumlah (%) Laki-Laki 15 37,5 Perempuan 25 62,5 Total 40 100,0 Mendominasinya jumlah responden perempuan ini antara lain disebabkan oleh kurang beraninya kaum laki-laki dalam menjawab pertanyaan yang ada. Hal ini antara lain karena sebagian kaum laki-laki menganggap dirinya tidak berhak untuk mengisi kuesioner karena pada umumnya mereka tidak bekerja, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang warga di sana ketika ingin dimintai ijin untuk mengisi kuesioner. Bapak NN mengatakan bahwa “mintanya sama ibu saja ya, mba. Ibu yang tahu, kan ibu yang kerja. Saya mah ga bisa jawab.” Hal lain yang menyebabkan terjadinya dominasi responden perempuan terhadap responden laki-laki adalah karena pada sore hari sebagian kecil lainnya dari kaum laki-laki ini sudah bersiap untuk bekerja sehingga mereka tidak bersedia untuk mengisi kuesioner yang diberikan. Sebagian kecil dari laki-laki itu adalah para pedagang nasi goreng yang umumnya bekerja pada sore hingga malam hari dan beristirahat pada pagi hingga siang hari. Data mengenai jenis pekerjaan responden dapat dilihat pada Tabel 4 di dalam sub bab berikutnya. 39 5.1.3 Jenis Pekerjaan Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh komunitas miskin di perkotaan terbagi menjadi lima kelompok pekerjaan, yaitu pedagang eceran kaki lima, penyediaan makanan keliling, jasa perorangan, jasa profesional dan pekerjaan lainnya. Pengelompokan ini berdasar pada hasil yang didapatkan melalui pengisian kuesioner dan berdasar pada Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. 7 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia menyebutkan bahwa pedagang eceran kaki lima adalah golongan pedagang eceran dari berbagai jenis produk baru atau bekas yang biasanya kiosnya dapat dipindah-pindah sepanjang jalan umum (kaki lima) atau pada tempat pasar yang tetap.8 Penyediaan makanan keliling merupakan kelompok usaha perdagangan eceran yang menjual dan menyajikan makanan siap dikonsumsi, yang didahului dengan proses pembuatan dan biasanya dijual dengan cara berkeliling.9 Jasa perorangan adalah kegiatan yang memanfaatkan jasa perorangan dalam melayani rumahtangga, dan kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa oleh rumahtangga yang digunakan sendiri untuk memenuhi kebutuhan.10 Jasa profesional adalah berbagai kegiatan jasa yang umumnya dilakukan untuk klien komersial. Kegiatan tersebut mencakup kegiatan yang membutuhkan tingkat keahlian profesional, ilmiah dan keahlian secara teknis yang lebih, tetapi tidak termasuk yang terus menerus, bisnis rutin yang fungsi yang biasanya berjangka pendek.11 Kelompok lainnya adalah jenis-jenis pekerjaan yang dilakukan responden saat ini, yang berada di luar pekerjaan yang telah disebutkan di atas. Lima kelompok jenis pekerjaan responden tersebut beserta rincian setiap pekerjaan yang dilakukan oleh setiap responden saat ini tercantum dalam Tabel 4. 7 http://www.bps.go.id/download_file/kbli_2009.pdf [ diakses pada 23 September 2010, pukul 17.00] 8 Ibid., hal 382. 9 Ibid., hal 439 10 Ibid., hal 640 11 Ibid., hal 513 40 Tabel 4. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan Jenis Pekerjaan Jumlah (orang) Jumlah (%) 1. Pedagang sayuran 2 5,0 2. Usaha warung kelontong 1 2,5 3. Pedagang balon 1 2,5 Sub Total 4 10,0 1. Pedagang ayam matang 1 2,5 2. Pedagang bakso/mie ayam 2 5,0 3. Pedagang gorengan 1 2,5 4. Pedagang kue putu 3 7,5 5. Pedagang nasi goreng 4 10,0 6. Pedagang nasi rames 1 2,5 7. Pedagang pecel 1 2,5 13 32,5 1. Pembantu Rumah Tangga (PRT) 4 10,0 2. Buruh bangunan 2 5,0 Sub Total 6 15,0 1. Security 1 2,5 2. Sales Promotion Girl (SPG) 1 2,5 3. Penjahit 1 2,5 4. Montir 2 10,0 5. Cleaning service 2 10,0 6. Buruh pabrik 1 2,5 Sub Total 8 30,0 1. Pengamen 1 2,5 2. Menganggur 8 20,0 Sub Total 9 22,5 40 100,0 Pedagang eceran kaki lima Penyediaan makanan keliling Sub Total Jasa perorangan Jasa profesional Lainnya Total 41 Berdasarkan Tabel 4, maka dapat diketahui bahwa sebagian besar responden, yaitu sebesar 60,0 persen umumnya bekerja pada pekerjaan sektor informal dan terdapat pula 20,0 persen responden yang menganggur. Sebagian besar responden yang menganggur ini adalah ibu rumahtangga yang melakukan migrasi desa-kota dengan alasan untuk mengikuti suami. Sebagian lainnya tidak bekerja dengan alasan bahwa diri mereka tidak memiliki keterampilan bekerja sama sekali. Pada umumnya komunitas miskin ini sering berpindah-pindah pekerjaan. Hal tersebut mereka lakukan untuk memperoleh peluang pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik pada pekerjaan yang berbeda. Responden yang awalnya bekerja di sektor informal biasanya akan terus bekerja di sektor informal, meskipun jenis pekerjaannya berbeda, seperti yang dilakukan oleh Aln (16 tahun). Pada awal perpindahannya ke kota, ia bekerja sebagai pemulung, lalu berganti menjadi pedagang balon dan kemudian menjadi pedagang kue putu. Kebanyakan anggota komunitas miskin ini berpindah hingga lima kali dalam bekerja, namun terdapat pula responden yang melakukan perpindahan pekerjaan hingga delapan kali, seperti responden berikut ini. “Saya kerja di kota dari tahun 1986. Awalnya saya jualan koran, terus jualan bakso, terus ganti jual mie ayam, terus usaha saya kembangin jadi jualan bakso dan mie ayam, terus jual mie ayam lagi, setelah itu ganti jadi jual nasi goreng. Tahun 2006 saya sempat berhenti usaha karena mengalami kecelakaan. Baru tahun ini saya mulai jualan lagi, jualan bakso dan mie ayam.” (Bpk. Rst, 56 tahun) Demikian pula yang dilakukan oleh para responden yang pada awal kepindahannya ke kota bekerja pada pekerjaan sektor formal, biasanya mereka akan terus bekerja pada pekerjaan sektor formal seperti cleaning service, buruh pabrik, Sales Promotion Girl (SPG), atau pekerjaan sektor formal lainnya. Hal ini mereka lakukan karena mereka menganggap bahwa jika mereka bekerja di pekerjaan sektor formal, mereka akan mendapatkan penghasilan yang lebih pasti setiap bulannya. Selain itu, hal yang membuat mereka yakin untuk bekerja di sektor formal adalah karena tingkat pendidikan mereka yang umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan responden yang hanya mampu bekerja di sektor informal. Tingkat pendidikan yang dimiliki oleh responden yang bekerja di sektor formal adalah setingkat SLTP atau yang 42 sederajat dan setingkat SLTA atau yang sederajat. Mengenai pekerjaan sektor formal ini, Bapak Byr (40 tahun) mengungkapkan pendapatnya sebagai berikut. “Kerja di kantoran mah enak,mba. Setiap bulan gajinya pasti, ga kayak orang jualan yang kadang dapat uang, kadang ga dapat sama sekali. Tapi ya resikonya kalau kerja kantoran, kita mesti benarbenar kerjanya,mba. Kalau ga benar ya cepat kena PHKnya.” Terdapatnya 60,0 persen responden yang bekerja di sektor informal ini menunjukan bahwa sebagian besar anggota komunitas miskin tidak mampu untuk memasuki pekerjaan sektor formal. Hal ini senada dengan pernyataan Hugo (1985) yang menyatakan bahwa sebagian besar migran dari desa tidak mampu untuk memasuki pekerjaan di sektor modern. Seringnya komunitas miskin ini melakukan perpindahan kerja terkait pula dengan lamanya masa kerja mereka di kota. Berdasarkan hasil yang diperoleh, maka lamanya komunitas miskin ini bekerja di kota tercantum pada Tabel 5. Tabel 5. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Bekerja di Kota Lama bekerja (tahun) Jumlah (orang) Jumlah (%) < 12 tahun 20 50,0 12-24 tahun 13 32,5 > 24 tahun 7 17,5 40 100,0 Total Berdasarkan Tabel 5 tersebut, maka dapat diketahui bahwa mayoritas responden belum genap 12 tahun bekerja di kota. Hal tersebut mengindikasikan bahwa setiap tahunnya responden berpindah pekerjaan hingga beberapa kali. Hal ini karena pada umumnya pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan sektor informal yang berpenghasilan kecil dan tidak menentu. Responden yang umumnya masih dalam kelompok usia produktif ini masih ingin mencari pekerjaan yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan mereka, dengan cara berpindah ke pekerjaan lainnya yang mereka anggap lebih menguntungkan dari pekerjaan mereka sebelumnya. Tidak mengherankan jika pekerjaan yang dilakukan oleh mayoritas responden adalah pekerjaan sektor informal. Hal ini karena pekerjaan sektor informal biasanya tidak memerlukan keterampilan kerja yang memadai dan tidak 43 harus berpendidikan tinggi. Data mengenai tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Tabel 6. 5.1.4 Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan tertinggi yang dimiliki oleh responden adalah setingkat SLTA atau yang sederajat. Tingkat pendidikan Sekolah Dasar (SD) atau yang sederajat merupakan kelompok tingkat pendidikan yang paling banyak dimiliki oleh responden, yaitu sebanyak 21 orang responden atau 52,5 persen dari keseluruhan responden yang ada. Bahkan, dari keseluruhan responden tersebut masih terdapat responden yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan (12,5 persen). Beragam alasan muncul ketika responden ditanya mengenai tingkat pendidikannya yang masih terbilang rendah. Pada umumnya mereka mengatakan bahwa orangtua mereka tidak memiliki biaya untuk menyekolahkan mereka. Pendidikan mayoritas responden yang rendah ini sesuai dengan pernyataan Sethuraman (1981) dalam Ramli (1992) yang menyatakan bahwa salah satu ciri dari komunitas miskin yang bekerja pada sektor informal adalah berpendidikan rendah. Karakteristik individu berdasarkan tingkat pendidikan yang dimilikinya disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Tidak sekolah Jumlah (orang) Jumlah (%) 5 12,5 21 52,5 SLTP atau yang sederajat 8 20,0 SLTA atau yang sederajat 6 15,0 40 100,0 SD atau yang sederajat Total 5.1.5 Tingkat Pendapatan Terkait dengan tingkat pendidikan mayoritas responden yang tergolong rendah dan pekerjaan yang umumnya berada di sektor informal, maka tidak mengherankan jika tingkat pendapatan yang diperoleh responden dari pekerjaan 44 yang mereka lakukan pun tergolong rendah. Tabel 7 berikut menggambarkan keberadaan responden berdasarkan tingkat pendapatan yang dimilikinya. Tabel 7. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan Tingkat Pendapatan (Rp) Jumlah (orang) Jumlah (%) 6 15,0 300 000-600 000 22 55,0 600 001-900 000 5 12,5 900 001-1 200 000 3 7,5 > 1 200 000 4 10,0 40 100,0 < 300 000 Total Berdasarkan Tabel 7 tersebut, dapat terlihat bahwa mayoritas anggota komunitas miskin di wilayah ini berpenghasilan antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 dalam satu bulan sebelum penelitian ini dilakukan. Nilai nominal penghasilan responden satu bulan terakhir ini mencerminkan pula tingkat penghasilan mereka setiap bulannya. Tingkat penghasilan ini tergolong sangat rendah dan berada jauh di bawah Upah Minimum Propinsi yang berlaku di wilayah setempat, yaitu sebesar Rp. 1.118.009,00 (Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, No. 167 Tahun 2009 Tentang Upah Minimum Provinsi Tahun 2010).12 Kecilnya tingkat penghasilan yang diperoleh ini sesuai dengan hasil penelitian Jayanti (2007) yang menemukan bahwa di Kelurahan Lemahputro, Sidoardjo, Jawa Timur, orang miskin bekerja di sektor-sektor informal seperti pedagang, kuli panggul yang pekerjaannya tidak pasti, pedagang kecil-kecilan yang modalnya sedikit maupun sebagai asisten rumahtangga (PRT) dengan penghasilan yang berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 550.000,00 per bulan. Hanya terdapat 4 orang responden yang berpenghasilan di atas Rp. 1.200.000,00 pada satu bulan sebelum penelitian berlangsung. Responden yang berada pada golongan responden berpenghasilan paling tinggi ini pada umumnya 12 http://go2.wordpress.com/?id=725X1342&site=allows.wordpress.com&url=http%3A%2F%2Fal lows.files.wordpress.com%2F2009%2F12%2Fsk_ump_2010.pdf&sref=http%3A%2F%2Fallows. wordpress.com%2F2009%2F12%2F08%2Fsk-upah-minimum-propinsi-dki-jakarta-2010%2F [diakses pada 23 September 2010, pukul 08.05] 45 telah bertempat tinggal antara 1 hingga 28 tahun di lokasi penelitian dan telah berganti profesi lebih dari dua kali selama mereka tinggal di kota. Penghasilan yang tinggi ini tidak serta merta menandakan bahwa mereka adalah golongan masyarakat mampu. Hal ini karena pekerjaan yang dilakukan adalah pedagang yang pendapatannya tidak menentu setiap harinya dan penghasilan yang didapat oleh responden ini digunakan untuk membiayai kebutuhan keluarga mereka yang pada umumnya terdiri atas tiga hingga lima orang dalam satu keluarga. 5.1.6 Lama Tinggal di Lokasi Tabel 8 merupakan tabel frekuensi yang menggambarkan jumlah responden berdasarkan jangka waktu keberadaan mereka di lokasi penelitian. Lama tinggal di lokasi ini terbagi dalam empat kelompok waktu yang berbeda. Tabel 8. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Waktu Lama Tinggal di Lokasi Waktu Tinggal <8 Jumlah (orang) Jumlah (%) tahun 17 42,5 8-15 tahun 7 17,5 16-23 tahun 6 15,0 > 23 tahun 10 25,0 Total 40 100,0 Tabel 8 memperlihatkan bahwa 60,0 persen responden merupakan migran baru yang tinggal di lokasi selama 1 hingga 15 tahun terakhir. Menurut Bapak As selaku ketua RT setempat, selama 4 tahun terakhir, setiap tahunnya terjadi pertambahan penduduk hingga sebesar 8 persen per tahunnya atau hingga sebanyak 50 orang migran yang datang karena mengikuti teman atau saudaranya yang telah lebih dulu bertempat tinggal di wilayah ini. Data tersebut mengindikasikan bahwa fenomena migrasi desa-kota masih marak terjadi hingga saat ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Todaro dan Stilkind (1985) yang menyebutkan bahwa urbanisasi tetap terjadi sekalipun pada kenyataannya kota-kota besar sudah tidak mampu lagi menyediakan pelayanan sanitasi, kesehatan, perumahan dan transportasi lebih dari yang minimal kepada penduduknya yang sangat padat itu. 46 5.1.7 Tahun Datang Ke Kota Sebagian besar migran yang bertempat tinggal di wilayah ini masih berasal dari dalam Pulau Jawa, yaitu berasal dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Berdasarkan data yang telah terkumpul, dapat diketahui bahwa sebanyak 13 orang responden atau sebesar 32,5 persen datang ke kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010. Hal ini sesuai dengan hasil sebelumnya yang menyatakan bahwa sebagian besar responden di lokasi ini merupakan migran yang baru bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun dan belum genap 12 tahun bekerja di kota. Setiap periode tahunnya, jumlah migran yang datang ke lokasi ini relatif tidak jauh berbeda. Migran yang datang antara tahun 1970 hingga tahun 1980 adalah mereka yang merupakan cikal bakal terjadinya komunitas miskin saat ini. Menurut Bapak As selaku ketua RT setempat, membanjirnya jumlah migran di lokasi ini adalah pada periode tahun 1990-an. Berikut merupakan petikan wawancara dengan Bapak As mengenai hal tersebut: “Pendatang yang paling banyak datang adalah pada tahun 1990-an. Waktu itu per orang yang pulang kampung bisa bawa sampai 5 orang waktu pulang lagi ke sini. Mulai saat itu, di sini jadi ramai.” Karakteristik responden berdasarkan tahun datang ke kota disajikan dalam Tabel 9. Periode tahun kedatangan responden ke kota ini pada akhirnya berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota pada setiap responden. Tabel 9. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tahun Pertama Kali Datang ke Kota Tahun Datang ke Kota Jumlah (orang) Jumlah (%) 1970-1980 11 27,5 1981-1990 9 22,5 1991-2000 7 17,5 2001-2010 13 32,5 Total 40 100,0 47 5.1.8 Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota Saat pertama kali datang ke kota, sebagian kecil anggota komunitas miskin ini langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Hal ini mereka lakukan karena mereka mendengar kabar dari teman atau saudara mereka mengenai keadaan lokasi ini sebelum melakukan migrasi desa-kota. Berdasarkan kabar yang didengarnya, mereka dapat menyimpulkan bahwa bertempat tinggal di wilayah ini cukup nyaman untuk mereka dan dapat menguntungkan bagi mereka yang akan berdagang sebab wilayah adalah wilayah berpenduduk padat. Migran yang memutuskan untuk langsung bertempat tinggal di lokasi ini terdiri atas migran baru dan migran lama, yaitu mereka yang melakukan migrasi desa-kota antara 2 hingga 24 tahun yang lalu. Hal yang berbeda terjadi pada 72,5 persen responden lainnya. Mereka tidak langsung memilih untuk bertempat tinggal di lokasi ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota, melainkan tersebar di wilayah-wilayah lainnya, seperti di kota Cirebon, Bekasi dan di seluruh penjuru provinsi DKI Jakarta. Sebanyak 42,5 persen dari 72,5 persen responden ini merupakan migran yang awalnya bertempat tinggal di wilayah yang tidak jauh dari lokasi penelitian. Mengenai hal ini, Bapak As mengatakan bahwa: “Sebagian warga di sini adalah mereka yang tadinya tinggal di daerah sekitar sini juga, misalnya di Gandaria. Dulu ada pembongkaran rumah-rumah dan mereka ga mampu untuk bangun lagi. Karena dagangnya keliling dan sering mangkal di sini, makanya mereka mutusin untuk pindah ke sini.” (Bapak As) Tabel 10. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota Tempat Tinggal Pertama Kali di Kota Jumlah (orang) Jumlah (%) Langsung bertempat tinggal di lokasi 11 27,5 Tidak langsung bertempat tinggal di 29 72,5 40 100,0 lokasi Total Saat pertama kali datang ke kota, umumya responden tinggal dengan saudara atau teman mereka. Lokasi tempat tinggal pertama responden di kota terdapat dalam Tabel 11. 48 Tabel 11. Lokasi Tempat Tinggal Pertama Responden di Kota Nama Lokasi Jumlah (orang) Jumlah (%) Jakarta Selatan 1. Tanah Kusir II RT 004 RW 011 11 27,5 2. Tanah Kusir II RT 003 RW 011 2 5,0 3. Tanah Kusir II RT 009 RW 009 1 2,5 4. Tanah Kusir II RT 010 RW 009 1 2,5 5. Tanah Kusir II RT 011 RW 009 4 10,0 6. Tanah Kusir III 3 7,5 7. Kebayoran Lama 1 2,5 8. Kebayoran Baru 1 2,5 9.Gandaria Utara 1 2,5 10. Radio Dalam 3 7,5 11. Senayan 1 2,5 12 Tebet Timur 1 2,5 13. Cilandak 1 2,5 14. Pancoran 1 2,5 1 2,5 1 2,5 1. Cawang 1 2,5 2. Klender 1 2,5 1. Kemayoran 1 2,5 2. Lapangan Banteng 1 2,5 1. Bekasi 1 2,5 2. Kota Cirebon 1 2,5 40 100,0 Jakarta Barat 1. Cengkareng Jakarta Utara 1. Tanjung Priuk Jakarta Timur Jakarta Pusat Lainnya Total 49 5.1.9 Frekuensi Pulang Kampung Tabel 12 berikut menggambarkan kejadian pulang kampung yang dilakukan oleh responden. Kejadian pulang kampung yang dilakukan ini terbagi atas empat kelas yang dibentuk berdasarkan tingkat keseringan responden melakukan pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan. Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Frekuensi Pulang Kampung dalam Satu Tahun Terakhir Frekuensi Pulang Kampung dalam Jumlah (orang) Jumlah (%) Tidak pernah pulang kampung 16 40,0 1-2 kali 12 30,0 3-4 kali 9 22,5 > 4 kali 3 7,5 40 100,0 Satu Tahun Terakhir Total Berdasarkan Tabel 12, dapat diketahui bahwa sebagian besar responden (70,0 persen) memiliki frekuensi pulang kampung yang rendah. Sebanyak 40 persen diantaranya tidak melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan. Mereka beralasan bahwa untuk melakukan aktivitas pulang kampung ini tidak sedikit biaya yang harus mereka keluarkan, sedangkan untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka sehari-hari di kota saja mereka sering merasa kekurangan. Alasan lainnya adalah bahwa mereka sudah tidak memiliki orangtua atau keluarga di desa, sehingga mereka beranggapan bahwa aktivitas pulang kampung tidak harus mereka lakukan rutin setiap tahunnya, bahkan pada waktu hari raya keagamaan berlangsung. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Naf (54 tahun), yang mengatakan bahwa “setahun kemarin ibu ga pulang kampung. Lebaran juga ga pulang, soalnya ga punya uang.” Terdapat sebagian kecil responden (7,5 persen) yang melakukan aktivitas pulang kampung yang tinggi, yaitu lebih dari empat kali dalam satu tahun terakhir ini. Mereka yang ada dalam kelompok ini pada umumnya adalah mereka yang tinggal seorang diri di kota untuk bekerja, memiliki istri dan anak di daerah asal 50 mereka. Mereka beranggapan bahwa aktivitas pulang kampung merupakan suatu kewajiban dan tanggungjawab mereka terhadap keluarga yang masih ada di desa, sehingga pada umumnya mereka melakukan aktivitas ini setiap satu atau dua bulan sekali. Bapak Dm (46 tahun) merupakan salah satu dari responden yang frekuensi pulang kampungnya tergolong tinggi. “Satu tahun terakhir ini saya pulang kampung sudah 10 kali, mba. Setiap satu bulan atau dua bulan saya pulang kampung, soalnya istri sama anak masih pada di sana, mba. Jadi kewajiban saya untuk pulang kampung kan gede.” 5.1.10 Alasan Datang ke Kota Berbagai macam hal dijadikan sebagai alasan oleh komunitas miskin dalam melakukan migrasi desa-kota. Alasan-alasan tersebut kemudian digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu ingin mencari pekerjaan, mencari pengalaman, ikut orangtua, dan ikut suami. Frekuensi dari alasan-alasan tersebut disajikan secara lebih terperinci dalam Tabel 13. Tabel 13. Jumlah dan Karakteristik Responden Berdasarkan Alasan Datang ke Kota Alasan Datang ke Kota Ingin mencari pekerjaan Jumlah (orang) Jumlah (%) 29 72,5 Mencari pengalaman 2 5,0 Ikut orangtua 2 5,0 Ikut suami 7 17,5 40 100,0 Total Tabel 13 tersebut memperlihatkan bahwa hingga saat ini masyarakat desa masih menganggap kota sebagai tempat yang potensial untuk mencari nafkah. Pada umumnya komunitas miskin ini berharap bahwa dengan bekerja atau bertempat tinggal di kota, kehidupan mereka akan berubah menjadi lebih baik dari kehidupan mereka ketika masih bekerja dan bertempat tinggal di desa. Hal ini sesuai dengan pendapat Todaro dan Stilkind (1985) yang antara lain menyatakan bahwa orang-orang desa melakukan migrasi desa-kota karena tertarik oleh harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi. Pandangan yang positif dari masyarakat desa ketika ingin melakukan migrasi desa-kota ini antara lain disebabkan oleh gambaran positif tentang kota 51 yang mereka peroleh baik melalui media ataupun dengan melihat kehidupan sehari-hari dari orang kota. Anggapan yang positif ini tidak selamanya bertahan ketika seseorang telah benar-benar melakukan migrasi desa-kota. Banyak dari mereka yang kecewa karena kehidupan yang mereka jalani di kota tidak seperti yang mereka bayangkan sebelumnya. “Banyak orang berpendapat bahwa kota itu tempat orang-orang dengan mudah mencari kehidupan yang layak tetapi kenyataannya sebaliknya, sangat sulit.” (Byr, 40 tahun) 5.2 Ikhtisar Karakteristik anggota komunitas miskin di perkotaan antara lain berada pada rentang usia di bawah 25 tahun hingga lebih dari 54 tahun, dengan sebagian besar berada pada rentang usia 35 hingga 44 tahun dan nampaknya mayoritas dari mereka berjenis kelamin perempuan. Mengenai variabel jenis kelamin, deperlukan penelitian lebih lanjut mengingat metode penarikan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik incidental sampling, dimana tidak setiap individu memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah pekerjaan di sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling. Masa lamanya komunitas miskin bekerja di kota adalah 2 hingga 37 tahun dengan ragam jenis pekerjaan yang pernah dilakukan adalah hingga 8 jenis pekerjaan. Tingkat pendidikan anggota komunitas miskin di perkotaan adalah setingkat SD atau yang sederajat hingga setingkat SLTA atau yang sederajat, namun dominan anggota komunitas miskin berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh anggota komunitas miskin di perkotaan berkisar antara Rp. 100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya, namun kebanyakan anggota komunitas miskin memperoleh pendapatan yang terbilang rendah, yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulan. Secara keseluruhan komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 2010, namun kebanyakan dari mereka melakukan migrasi desa-kota pada rentang waktu 2001 hingga 2010. Lama waktu tinggal komunitas miskin di lokasi adalah antara 1 hingga 30 tahun, dengan mayoritas waktu adalah kurang dari 8 tahun 52 Sebagian besar responden memilih lokasi di luar lokasi penelitian yang umumnya berada tidak jauh dari lokasi penelitian sebagai tempat tinggal pertama mereka di kota. Kebanyakan anggota komunitas miskin ini tidak pernah melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilakukan (40,0 persen). Alasan yang dimiliki oleh komunitas miskin dalam melakukan migrasi desa kota antara lain ingin mencari pekerjaan, mencari pengalaman, ikut orangtua dan ikut suami. Alasan ingin mencari pekerjaan merupakan alasan yang paling banyak dikatakan oleh komunitas miskin di perkotaan (72,5 persen). 53 BAB VI KONTEKS SITUASIONAL MASYARAKAT 6.1 Kondisi Lingkungan Selama bertempat tinggal di lokasi, komunitas miskin ini tinggal di daerah padat penduduk dan tergolong kumuh. Rumah yang mereka tempati adalah rumah kontrakan yang terdiri atas satu hingga tiga ruangan, terbuat dari seng atau triplek yang pada umumnya tidak dilengkapi dengan sarana MCK. Rumah-rumah tersebut hanya memiliki peralatan standar dan sederhana seperti televisi berukuran 14 inci yang digunakan sebagai sarana hiburan di waktu senggang responden dan rice cooker yang digunakan untuk menanak nasi. Bahkan beberapa rumah yang hanya terdiri atas satu ruangan dan terbuat dari seng umumnya tidak memiliki peralatan elektronik seperti televisi di dalam rumah mereka. Lokasi dimana rumah-rumah seng yang hanya terdiri atas satu ruangan ini berada, umumnya lebih kumuh daripada lokasi dimana rumah yang terdiri atas dua hingga tiga ruangan dan terbuat dari triplek berada. Jalan yang tersedia di lokasi ini masih terbuat dari tanah merah, sementara di lokasi lainnya telah dilapisi oleh semen meskipun keadaannya rusak. Lokasi tempat tinggal yang terbuat dari seng dan hanya terdiri atas satu ruangan disebut dengan daerah II, sementara lokasi dimana rumah dengan dua atau tiga ruangan berada disebut dengan daerah IV. Rumah-rumah di lokasi ini, baik lokasi I, II, III, atau IV umumnya hanya dilengkapi oleh listrik yang berdaya kecil yang hanya mampu menyuplai beberapa peralatan elektronik saja. Penggunaan listrik ini pun harus dibagi dengan rumah-rumah lainnya di sekitarnya. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang responden berikut ini: “Listrik mah harus bagi-bagi,mba. Harus gantian. Kalau ada yang masak nasi pakai rice cooker aja, pasti konslet. Jadi harus pinterpinter pakai listriknya.” (Ibu Sun, 38 tahun) Akses jalan menuju lokasi ini dapat dikatakan masih buruk. Jalan masuk masih berupa tanah merah yang becek ketika cuaca sedang hujan dan hanya terdapat sebagian kecil jalan umum di lokasi ini yang sudah dilapisi oleh semen, namun keadaannya pun terbilang buruk (Lampiran 1). 54 Sanitasi yang terdapat di lokasi ini pun terbilang buruk. Kondisi MCK yang tersedia antara lain terbuat dari seng atau triplek yang ditutupi oleh karung beras sebagai pintunya dan terdiri atas wc jongkok yang terbuat dari semen, tanpa disediakan bak penampungan air. Jika komunitas miskin ini ingin menggunakan fasilitas MCK tersebut, maka komunitas miskin harus membawa air dalam ember yang berasal dari dua buah sumur yang tersedia ke lokasi MCK setempat. Dua buah sumur yang tersedia itu juga digunakan oleh warga setempat untuk mencuci dan menjadi sumber air minum mereka. Berdasarkan kondisi yang ada tersebut, maka tidak mengherankan jika lokasi MCK terlihat jorok dan mengeluarkan bau yang tidak sedap (Lampiran 1). Tempat pembuangan sampah yang digunakan oleh warga dari komunitas miskin ini adalah tempat pembuangan sampah umum yang disediakan oleh pengurus RT setempat. Lokasi tempat pembuangan sampah ini terletak tidak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka. Anggota komunitas miskin di wilayah ini biasanya tinggal secara berkelompok dengan anggota komunitas miskin lainnya yang berasal dari daerah yang sama atau berkumpul dengan mereka yang memiliki profesi yang sama. Sebagai contoh, pada daerah II, mayoritas warga di sana adalah para pedagang kue putu, pedagang sayur dan pedagang nasi goreng yang berasal dari daerah Tegal, Jawa Tengah. Hal ini mereka lakukan agar merasa memiliki saudara di kota dan menurut mereka tinggal berkelompok seperti itu memudahkan mereka untuk meminta bantuan jika sedang mengalami kesulitan di kota. Kenyataan yang ada ini sesuai dengan pendapat Handlin (1959) dalam Ramli (1992) yang mengatakan bahwa migran tertentu akan berhubungan dengan orang-orang yang mempunyai kesamaan etnis dengannya dan akan menjadi sarana dalam menyesuaikan dirinya dengan lingkungan baru di perkotaan. Berikut pernyataan dari salah seorang responden yang memilih untuk tinggal bersama warga lainnya yang berasal dari daerah yang sama. “Tinggal di kota (Jakarta) sama orang-orang satu kampung enak, jadi ngerasa punya saudara, ada yang bantu kalau lagi ada masalah.” (Rmn, 22 tahun) Karena pekerjaan mereka yang mayoritas berada pada sektor informal, maka waktu bekerja mereka pun berbeda dengan masyarakat lainnya yang bekerja 55 pada sektor formal. Pada umumnya warga di lokasi ini bekerja mulai dari pukul 02.00 dini hari hingga pukul 12.00 siang. Mereka ini adalah kaum perempuan yang berprofesi sebagai penjual makanan keliling dan penjual sayur. Kaum lakilaki yang kebanyakan berprofesi sebagai penjual makanan seperti nasi goreng memulai aktivitasnya pada pukul 16.00 hingga pukul 00.00. Situasi ini membuat komunitas miskin beristirahat pada siang hari dan pada sore hari mereka berkumpul dengan warga lainnya untuk sekedar berbincang-bincang atau bersiap memulai aktivitas bagi kaum laki-laki. Kondisi lingkungan yang dihadapi oleh masing-masing anggota komunitas miskin tersebut berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota yang berbeda pada diri masing-masing anggota komunitas miskin. Sebagai contoh, lokasi tempat tinggal anggota komunitas miskin di daerah II yang lebih kumuh dari daerah lainnya telah membentuk representasi sosial yang cenderung negatif pada anggota komunitas miskin di daerah tersebut, seperti kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat hidup susah (tipe II). Begitupun sebaliknya, kondisi lingkungan yang menurut responden baik juga membentuk representasi sosial yang cenderung positif pada diri masing-masing anggota komunitas miskin tersebut. 6.2 Kondisi Ekonomi Sektor informal pada masa kini merupakan manifestasi dari situasi pertumbuhan kesempatan kerja di berbagai kota di dunia, khususnya di negaranegara sedang berkembang (Ramli, 1992). Kondisi kota yang padat penduduk adalah sebuah nilai tambah bagi warga pendatang di lokasi, yang tergolong sebagai komunitas miskin ini dalam menjadikan kota sebagai lahan usaha bagi mereka. Tidak sedikit dari mereka yang menjadikan hal tersebut sebagai alasan untuk tetap bertahan hidup di kota meskipun keadaan yang mereka hadapi di kota tidak selalu baik. Mayoritas anggota komunitas miskin di perkotaan ini berpendapat bahwa kondisi peluang kerja di kota saat ini baik karena memberikan banyak tawaran pekerjaan dan peluang usaha bagi mereka. Menurut mereka, pekerjaan apapun 56 dapat dilakukan asalkan tidak ada rasa malas di dalam diri mereka masingmasing. Berikut pernyataan dari salah satu responden mengenai hal ini: “Kota itu ramai, jadi kalau untuk cari uang sebenarnya gampang, asal kitanya jangan malas. Asal kerja, hidup di kota bisa enak. Kuncinya cuma satu, jangan malas.” (Dur, 46 tahun) Peluang kerja dan usaha yang ditawarkan oleh kota tersebut tentunya tidak disia-siakan oleh komunitas miskin di lokasi ini. Mereka memanfaatkan peluang yang ada guna mencari penghasilan untuk menghidupi keluarga mereka yang umumnya terdiri atas satu hingga tujuh orang dalam satu keluarga, yaitu terdiri atas orangtua, anak, menantu dan cucu. Salah satu peluang yang dimanfatkan oleh komunitas miskin ini adalah berjualan sayur atau makanan jadi di sebuah tanah lapang yang tidak terpakai (Lampiran 1). Peluang usaha ini terbuka lebar bagi mereka karena wilayah Tanah Kusir II ini berada jauh dari fasilitas pasar yang umumnya disediakan oleh pemerintah. Pasar yang terbentuk ini buka setiap hari mulai pukul 06.00 hingga pukul 12.00. mayoritas penjual di sini adalah warga RT 004 RW 011 sendiri, namun ada pula penjual yang berasal dari RT atau wilayah lainnya, seperti Bogor. Komoditas yang dijual di pasar ini cukup beragam. Mulai dari sayuran mentah, unggas potong, hingga ke peralatan rumahtangga dan pakaian. Adanya aktivitas ini menyebabkan warga dari komunitas miskin memiliki pendapatan yang bisa digunakan untuk membiayai kehidupan mereka sehari-hari meskipun nilai pendapatan tersebut tidaklah besar, yaitu hanya berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Penghasilan mereka ini berada jauh dari upah minimun provinsi (UMP) DKI Jakarta, yaitu sebesar Rp. 1.118.009,00 per bulan. Keadaan yang demikian tersebut semakin menunjukkan bahwa komunitas di lokasi ini merupakan komunitas miskin. Pernyataan Bapak Sun berikut ini makin memperkuat fakta yang ada: “Warga miskin di RT 004 RW 011 ini terkumpul di wilayah V itu. Ada sebanyak 38 Kepala Keluarga di sana. Keseluruhan warga di lokasi itu adalah warga miskin.” 57 Sama halnya dengan kondisi lingkungan, kondisi ekonomi yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin di kota ini juga berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota yang berbeda pada setiap anggota komunitas miskin. Mayoritas dari anggota komunitas miskin ini menganggap bahwa kondisi ekonomi yang dihadapinya di kota adalah positif, yaitu dengan terbukanya peluang kerja atau usaha bagi mereka dan terdapatnya jumlah penduduk kota yang besar yang dapat menguntungkan mereka dalam berdagang. Anggapan kondisi ekonomi yang positif ini ada meskipun nilai pendapatan yang mereka peroleh dari pekerjaan yang mereka lakukan berada jauh di bawah Upah Minimun Provinsi (UMP) DKI Jakarta. Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang positif ini membentuk representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat mencari uang (tipe I). 6.3 Kondisi Sosial Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa warga dari komunitas miskin di lokasi, maka dapat diketahui bahwa secara umum tidak terdapat peraturan khusus yang mengikat komunitas ini satu sama lain. Peraturan yang berlaku di dalam lokasi ini adalah peraturan Rukun Tetangga (RT) secara umum, dimana setiap bulannya seluruh warga termasuk warga dari komunitas miskin ini wajib membayar iuran sebesar Rp. 2.000,00 sebagai uang kas yang digunakan untuk acara-acara RT dan untuk warga yang sedang mengalami musibah. Selain iuran wajib tersebut, kaum ibu di RT ini juga mengadakan sebuah arisan RT, dimana setiap bulannya peserta arisan membayarkan uang sebesar Rp. 20.000,00 pada pengurus arisan yang bersangkutan. Pada kegiatan arisan ini, mayoritas anggota komunitas miskin di lokasi ini tidak berpartisipasi di dalamnya. Hal tersebut karena bagi mereka mengeluarkan uang sebesar itu adalah hal yang sangat memberatkan. Mengenai hal ini, Ibu Naf (54 tahun) memberikan pengakuannya bahwa “ada arisan di RT sini, tapi ibu ga ikut karena bayarnya berat, ibu ga punya uang.” Meskipun tdak aktif di dalam kelembagaan yang ada di tingkat RT, komunitas miskin ini tetap berorganisasi dengan sesama warga di dalam komunitas yang sama. Hal ini terlihat melalui adanya sebuah kelompok pengajian 58 di lingkungan tersebut. Kelompok pengajian ini diadakan khusus untuk laki-laki dalam komunitas miskin di lokasi tersebut. Pengajian ini rutin diadakan setiap kamis malam di lokasi tersebut. Menurut salah seorang warga, pengajian tersebut diadakan secara berkelanjutan setiap minggunya dan warga setempat, khususnya para lelaki pun aktif dalam pengajian tersebut. Bagi para pemuda setempat, disediakan kelompok musik Hard Rock, yaitu kelompok musik rabana yang dibentuk oleh warga setempat dan anggotanya mayoritas para pemuda dari dalam komunitas miskin itu. Berdasarkan wawancara yang dilakukan juga dapat diketahui bahwa ketika mengalami suatu masalah khususnya dalam masalah keuangan, sebagian dari anggota komunitas miskin di lokasi ini jarang meminta bantuan dari tetanggatetangga mereka. Hal ini karena mereka menyadari bahwa tetangga sekitarnya juga memiliki masalah yang sama, yaitu kesulitan ekonomi. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah satu responden sebagai berikut: “Selama 40 tahun bapak di sini, bapak belum pernah pinjam uang sama tetangga karena bapak tahu kesulitan orang-orang di sini sama, jadi ga enak mau mintanya. Kalau ada kesulitan, bapak langsung aja minta tolongnya ke anak-anak bapak.” (Bapak Shd, 70 tahun) Hal yang berbeda disampaikan oleh seorang responden lainnya. Pernyataan yang disampaikannya bertolak belakang dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Shd (70 tahun). Pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: “Buat saya sih dapat bantuan dari tetangga itu gampang. Bantuan apa aja, termasuk bantuan pinjaman uang. Itu sih tergantung kelakuan kita ke tetangga juga, mba. Kalau kitanya baik sama tetangga, tetangga juga pasti baik sama kita.” (Ibu Yat, 36 tahun) Dua pernyataan responden di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pandangan dan cara berinteraksi di antara anggota komunitas miskin. Komunitas miskin itu terbagi dalam dua kelompok pandangan dalam mengatasi persoalan yang dihadapinya selama tinggal di kota. Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap pengurus RT setempat, maka diketahui bahwa tidak ada perlakuan khusus yang diberikan oleh pengurus RT setempat kepada komunitas ini. Setiap ada kegiatan atau rapat warga pihak 59 pengurus RT mengundang mereka, dan menurut Bapak Sun yang saat ini menjabat sebagai sekretaris RT setempat, mereka dinilai cukup aktif dalam menghadiri rapat-rapat yang diadakan oleh pengurus RT setempat. Akan tetapi, karena status keberadaan mereka yang tidak resmi secara administratif, maka dalam hal-hal tertentu pihak RT tidak memberikan pelayanan kepada mereka, misalnya dalam kasus pembuatan surat pengantar untuk pinjaman uang ke bank. Selebihnya, tidak ada sanksi yang dijatuhkan oleh pengurus RT setempat bagi mereka yang tidak memiliki kartu identitas yang tercatat di lungkungan tersebut. Menurut Bapak Sun, pada awalnya lokasi penelitian ini hanya dihuni oleh dua keluarga yang merupakan warga Betawi asli di sana. Kedua keluarga tersebut adalah keluarga Bapak As dan keluarga Ibu Sy. Sebagai warga asli di daerah tersebut, Bapak As dan Ibu Sy memiiliki lahan cukup luas, dan seiring dengan mulai bermunculannya warga pendatang pada tahun 1980, kedua warga asli tersebut kemudian membangun rumah-rumah kontrakan di sana. Migran yang terhitung menjadi warga pendatang pertama di lokasi ini antara lain adalah Bapak Shd, Bapak Kr, Bapak Kjn, dan Bapak Rst. Setelah itu, mulailah bermunculan migran-migran lainnya di lokasi ini. Mereka yang datang umumnya adalah kerabat atau teman dari migran yang telah lebih dulu tinggal di lokasi ini. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak As (ketua RT) berikut ini: “Bulan Juni tahun 1980 itu ada beberapa orang yang datang. Setelah itu, setiap tahunnya pasti ada tambahan orang di sini. Mereka itu biasanya teman atau saudara dari orang yang sudah duluan tinggal di sini dan ada juga warga pindahan dari tempat lain yang biasanya dagang di sini.” Saat ini, jumlah anggota dari komunitas miskin di wilayah tersebut adalah sebanyak 38 Kepala Keluarga. Warga dari komunitas miskin ini berjumlah 150 jiwa dengan rincian 90 jiwa laki-laki dan 60 jiwa perempuan. Mayoritas dari mereka adalah warga yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada umumnya mereka berprofesi sebagai pedagang sayur dan makanan bagi perempuan dan pedagang kue putu serta pedagang nasi goreng bagi laki-laki. Menurut Bapak Sun, sejak kedatangannya hingga saat ini, mayoritas dari anggota komunitas miskin di wilayah tersebut berstatus tidak resmi secara administratif. Sebagian besar dari mereka, yaitu sebanyak 28 dari 38 Kepala 60 Keluarga tidak memiliki Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tercatat di kantor pemerintahan setempat. Selama ini, mereka hanya melapor kepada ketua Rukun Tetangga setempat untuk meminta izin tinggal sementara di lokasi tersebut. Lebih lanjut Bapak Sun mengutarakan bahwa selama ini pengurus Rukun Tetangga (RT) setempat telah berulangkali melakukan himbauan kepada komunitas miskin tersebut agar segera menertibkan administrasi mereka untuk bertempat tinggal di lokasi, yaitu dengan membuat Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang tercatat di kantor pemerintahan setempat, namun himbauan tersebut tidak dihiraukan oleh mereka, dan hingga saat ini hanya 10 Kepala Keluarga yang tercatat secara resmi di kantor pemerintahan setempat. Masih menurut Bapak Sun, tidak dihiraukannya himbauan pengurus Rukun Tetangga (RT) tersebut adalah karena komunitas miskin yang berada di lokasi itu beralasan bahwa mereka hanya bertempat tinggal secara sementara di lokasi, dan karena keluarga mereka masih bertempat tinggal di daerah asalnya masing-masing. Keberadaan lembaga-lembaga masyarakat di lokasi penelitian ini serta keadaan sosial lainnya yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin di lokasi ini berhubungan dengan representasi sosial yang dimiliki oleh setiap individu dalam komunitas miskin tersebut. Keberadaan lembaga-lembaga tersebut dan ketiadaan sanksi bagi warga tidak resmi di lokasi ini menyebabkan terbentuknya representasi sosial yang cenderung positif bagi para anggota komunitas miskin yang ada, seperti kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Selanjutnya, lembaga-lembaga yang ada tersebut juga berperan dalam penyebarluasan representasi sosial yang ada di komunitas itu. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Putra et al. (2003) yang menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang dimiliki kelompok. 6.4 Ikhtisar Konteks situasional yang dihadapi oleh anggota komunitas miskin di perkotaan antara lain mereka hidup dalam kesederhanaan, yaitu tinggal di daerah padat penduduk dan tergolong kumuh. Komunitas miskin hidup dengan 61 mengontrak sebuah rumah semi permanen yang hanya terdiri atas satu hingga tiga ruangan kecil yang terbuat dari triplek atau seng, tidak memiliki sarana MCK pribadi dan tidak memiliki fasilitas yang memadai di dalam rumah tersebut. Rumah yang sangat sederhana tersebut umumnya dihuni oleh satu hingga tujuh orang yang masih tergolong dalam satu keluarga. Akses jalan menuju lokasi ini tergolong buruk karena masih terbuat dari tanah merah. Begitupun dengan akses jalan umum di lokasi yang hanya terbuat dari semen dan saat ini banyak mengalami kerusakan. Sama halnya dengan fasilitas jalan yang buruk, fasilitas MCK di lokasi ini pun terbilang sangat buruk. Sarana MCK yang tersedia hanya berjumlah enam buah dengan dua buah sumur yang harus digunakan secara bergantian oleh 150 orang warga. Sarana MCK ini tidak dilengkapi dengan bak penampungan air dan saluran pembuangan yang baik, sehingga tidak mengherankan jika MCK tersebut terlihat kotor dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Dengan alasan melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari pekerjaan, maka bagi komunitas miskin ini peluang kerja di kota saat ini adalah baik karena banyak menawarkan pekerjaan dan peluang usaha bagi mereka. Bagi mereka penghasilan akan datang asalkan mereka tidak bermalas-malasan. Kehidupan sosial komunitas miskin ini antara lain terlihat melalui kelembagaan-kelembagaan sosial yang ada, yang memungkinkan terjadinya komunikasi antar mereka. Salah satunya berupa pengajian mingguan. Terdapat pula perkumpulan arisan di wilayah Rukun Tetangga bagi kaum perempuan, yang mempersilahkan warga dari komunitas miskin untuk ikut berpartisipasi di dalamnya. Karena keterbatasan ekonomi, umumnya anggota komunitas miskin ini memutuskan untuk tidak ikut dalam arisan tersebut. Terdapat pula perkumpulan musik rabana Hard Rock yang umumnya diikuti oleh pemuda dari komunitas ini. Ketika menghadapi masalah, khususnya masalah ekonomi selama bertempat tinggal di kota, komunitas miskin ini cenderung terbagi menjadi dua golongan kecenderungan sikap. Golongan pertama memilih untuk tidak meminta bantuan kepada para tetangganya. Hal ini adalah karena mereka menyadari bahwa keadaan perekonomian dari tetangga mereka sama atau bahkan tidak lebih baik dari keadaan mereka. Golongan kedua memilih untuk meminta bantuan kepada 62 tetangganya ketika mereka mengalami masalah di kota. Mereka meyakini bahwa jika mereka berlaku baik kepada para tetangga, para tetangga itu tidak akan sungkan untuk membantu mereka, termasuk masalah ekonomi. Sejak kemunculannya hingga saat ini, keberadaan komunitas miskin ini tidak resmi secara administrasi. Hal tersebut karena pada umumnya komunitas miskin ini tidak memiliki kartu identitas, baik Kartu Keluarga (KK) ataupun Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang tercatat di lingkungan setempat. Hal ini terjadi karena mereka meyakini bahwa mereka tidak akan selamanya bertempat tinggal di lokasi tersebut. Terkait dengan hal itu, pengurus Rukun Tetangga setempat hanya memberlakukan aturan wajib lapor dan tidak menjatuhkan sanksi tertentu kepada mereka yang terhitung sebagai warga tidak resmi itu. Pengurus RT setempat memberlakukan peraturan yang sama kepada warga tidak resmi tersebut, namun tidak melayani pembuatan surat menyurat bagi mereka, khususnya surat keterangan yang berkaitan dengan pihak Bank. Konteks situasional yang terdiri atas kondisi lingkungan, kondisi ekonomi dan kondisi sosial berhubungan dengan terbentuknya representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Kondisi lingkungan yang kumuh telah membentuk representasi sosial yang cenderung negatif, seperti kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III) atau kota adalah tempat hidup susah (tipe II). Kondisi lingkungan yang menurut responden baik membentuk representasi sosial yang cenderung positif pada diri masing-masing anggota komunitas miskin tersebut, misalnya kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). Anggapan mengenai kondisi ekonomi yang positif juga membentuk representasi sosial yang positif juga, yaitu kota adalah tempat mencari uang (tipe I). Keberadaan lembaga-lembaga sosial dan ketiadaan sanksi bagi warga tidak resmi di lokasi penelitian menyebabkan terbentuknya representasi sosial yang cenderung positif bagi para anggota komunitas miskin yang ada, misalnya kota adalah tempat hidup nyaman (tipe IV). 63 BAB VII REPRESENTASI SOSIAL TENTANG KOTA PADA KOMUNITAS MISKIN DI PERKOTAAN Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan terbagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) representasi sosial tentang kota, dan (2) representasi sosial tentang miskin. Representasi sosial tentang kota terdiri atas tipologi representasi sosial tentang kota dan aspek-aspek representasi sosial tentang kota yang terdiri atas elemen informasi (information), keyakinan (belief), pendapat (opinion) dan sikap yang responden miliki tentang kota dan kehidupan kota. 7.1 Representasi Sosial Tentang Kota Pengumpulan data pada representasi sosial tentang kota ini adalah dengan menggunakan teknik asosiasi kata melalui kuesioner. Pada teknik asosiasi kata ini, setiap responden dapat mengeluarkan kata-kata yang termasuk dalam satu atau beberapa tipe representasi sosial tentang kota. Berdasarkan jawaban asosiasi kata dari responden, maka diketahui bahwa terdapat tipologi representasi sosial tentang kota yang terdiri atas empat macam tipe. Keempat tipe tersebut antara lain menyebutkan bahwa kota adalah: (1) tempat mencari uang, (2) tempat hidup susah, (3) tempat yang tidak nyaman, dan (4) tempat hidup nyaman. Penetapan tipe representasi sosial tentang kota yang dominan adalah dengan cara melihat jumlah responden yang ada pada setiap tipe representasi sosial tentang kota. Tipe dengan jumlah responden terbanyak merupakan tipe dominan dari representasi sosial tentang kota yang dianut oleh komunitas miskin di perkotaan. Berikut merupakan hasil tiap tipe representasi sosial tentang kota, yang disajikan dalam Tabel 14. 64 Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi Sosial Tentang Kota Tipe representasi sosial tentang Jumlah responden Jumlah responden kota pemilih (orang) pemilih (%) Kota adalah tempat mencari uang 33 82,5 Kota adalah tempat hidup susah 19 47,5 Kota adalah tempat yang tidak 20 50,0 31 77,5 nyaman Kota adalah tempat hidup nyaman Berdasarkan Tabel 14, maka dapat terlihat bahwa tipe dominan dari representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan adalah tipe I: kota adalah tempat mencari uang (82,5 persen). Tipe I ini terdiri atas kelompok pendapat ada uang di kota, ada pekerjaan di kota dan tidak mendapat peluang kerja di desa. Selanjutnya, setelah tipe I (kota adalah tempat mencari uang), tipe IV (kota adalah tempat hidup nyaman) juga merupakan tipe representasi sosial tentang kota yang banyak dipilih oleh responden, yaitu sebesar 77,5 persen. Pemilihan kedua tipe ini menunjukan bahwa para migran yang umumnya berasal dari daerah pedesaan memiliki pandangan yang masih sangat positif terhadap kota. Penjelasan tiap tipe dan karakteristik responden yang memilih tiap tipe representasi sosial tentang kota akan dibahas secara lebih terperinci berikut ini. 7.1.1 Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang Terpilihnya tipe I sebagai tipe dominan dari representasi sosial tentang kota menunjukkan bahwa hingga saat ini migran yang umumnya berasal dari desa masih memiliki anggapan yang positif terhadap kota. Mereka meyakini bahwa masih terdapat banyak peluang kerja di kota dan pekerjaan apapun yang dilakukan di kota dapat menghasilkan uang bagi mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut: “Di kota kita bisa mengadu nasib kita. Karena di kota banyak penduduk, usaha kita jadinya bisa lancar. Gampang dapat uangnya.” (Dm, 46 tahun) 65 Terdapat pula faktor pendorong yang menyebabkan mereka melakukan migrasi desa-kota. Faktor pendorong tersebut adalah ketiadaan peluang kerja bagi mereka di desa. Banyak dari mereka yang umumnya berusia muda tidak tertarik lagi dan tidak memiliki keterampilan dalam bertani. Hal ini membuat mereka melakukan migrasi desa-kota dengan harapan bisa mendapatkan peluang kerja di kota dan bisa mendapatkan pekerjaan lain selain bertani yang tidak mereka kuasai. Anggapan positif terhadap peluang kerja di kota dan pernyataan bahwa tidak adanya peluang kerja di desa bagi komunitas miskin ini selaras dengan hasil penelitian dari Todaro dan Stilkind (1985) yang menyatakan bahwa: “orang-orang desa yang miskin ‘didorong’ untuk pindah ke kota karena kemandekan atau berkurangnya kesempatan kerja di desa, dan pada saat yang bersamaan ‘tertarik’ oleh harapan untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik dan penghasilan yang tinggi.” Karakteristik responden pemilih tipe I ini antara lain mayoritas responden berusia di atas 44 tahun (39,3 persen). Responden pada tipe ini umumnya berjenis kelamin perempuan dan bekerja pada sektor informal, yaitu dalam hal penyediaan makanan keliling seperti pedagang nasi goreng, pedagang kue putu, pedagang pecel dan lain sebagainya. Jumlah pekerjaan yang pernah mereka lakukan adalah sebanyak satu hingga lima jenis pekerjaan yang berbeda, dengan lama masa kerja adalah umumnya kurang dari 12 tahun. Kegiatan berpindah-pindah pekerjaan ini mengindikasikan bahwa responden pada tipe ini benar-benar datang ke kota untuk mencari uang. Hal ini sesuai dengan tipe yang mereka pilih, yaitu tipe kota adalah tempat mencari uang. Ibu Rus (48 tahun) merupakan salah seorang responden yang datang ke kota untuk mencari uang. Hal ini terungkap melalui pengakuannya sebagai berikut: “Kota itu tempat yang cocok untuk memperbaiki hidup. Karena di kota pekerjaannya banyak, pengalamannya banyak. Di kota kota hidup kita bisa maju.” Mayoritas responden pada tipe I ini berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat, namun pada tipe ini terdapat pula 12,1 persen responden yang tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Hal ini mengindikasikan bahwa responden pada tipe I ini memiliki tingkat pendidikan yang sangat rendah. 66 Tingkat pendapatan yang diperoleh responden per bulannya berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Pada umumnya mereka adalah migran yang baru bertempat tinggal selama 1 hingga 15 tahun di lokasi penelitian (63,6 persen). Hal ini dapat terlihat melalui mayoritas responden yang melakukan migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga 2010. Sebanyak 51,5 persen responden melakukan migrasi desa-kota dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Sebanyak 72,7 persen responden tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mereka tersebar di lokasi-lokasi yang umumnya tidak berada jauh dari lokasi penelitian, seperti di wilayah Tanah Kusir II RT 003 RW 011, Tanah Kusir III dan lain sebagainya. Aktivitas pulang kampung yang dilakukan oleh mayoritas responden pada tipe ini tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan (66,7 persen). Mengenai aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir ini, Ibu Sur (36 tahun) memberikan pernyataannnya bahwa “setahun kemarin ga pulang kampung karena ga punya uang. Jualan di sini juga penghasilannya cuma cukup untuk makan saja.” Mencari pekerjaan atau mencari nafkah merupakan alasan utama mereka dalam melakukan migrasi desa-kota. Hal ini sesuai dengan pemilihan tipe representasi sosial tentang kota yang cenderung positif, yaitu kota adalah tempat mencari uang. Alasan ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Yat (36 tahun), yang menyatakan bahwa “Alasan ke kota untuk cari kerja dan mengadu nasib, karena di kampung tidak ada pekerjaan, di kampung saya tidak punya penghasilan.” Berdasarkan karakteristik yang telah disebutkan, maka dapat dilihat bahwa mayoritas pemilih tipe I (kota adalah tempat mencari uang) ini adalah responden yang akan memasuki usia non produktif, yaitu berada di atas usia 44 tahun. Karakteristik responden pada tipe ini ditampilkan dalam Tabel 15. 67 Tabel 15. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I Karakteristik Responden Tipe I (n=33 orang) n (orang) n (%) Usia > 44 tahun 23 39,3 Jenis kelamin Perempuan 21 63,6 Jenis pekerjaan Penyediaan makanan keliling 11 33,3 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 19 57,6 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 19 57,6 Tahun datang ke kota 1991-2010 17 51,5 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 21 63,6 Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di lokasi 24 72,7 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 22 66,7 Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan 23 69,7 kota Elemen Informasi (information) Tingkat informasi yang dimiliki oleh mayoritas responden pada tipe I ini tergolong rendah (57,6 persen). Masih terdapat responden yang menganggap bahwa keadaan lingkungan tempat tinggal di kota luas, peluang kerja di kota lebih kecil daripada di desa, tingkat pengangguran di kota sedang karena menurut mereka telah banyak masyarakat kota yang bekerja, dan mereka menganggap bahwa tidak harus memiliki keterampilan kerja jika ingin bekerja di kota atau kadang-kadang saja butuh keterampilan kerja yang cukup. Hal terakhir ini menurut mereka karena pekerjaan yang mereka cari hanyalah pekerjaan sektor informal seperti buruh kasar yang tidak selalu atau bahkan sama sekali tidak memerlukan keterampilan kerja. Selain itu, meskipun mereka mengetahui bahwa memiliki kartu identitas yang tercatat di lingkungan RT setempat adalah penting, namun masih banyak dari mereka (45,4 persen) yang belum memiliki kesadaran untuk membuatnya. Sama seperti migran sementara pada umumnya, alasan berpindah-pindah tempat tinggal merupakan alasan utama yang menyebabkan mereka tidak memiliki kesadaran untuk membuat Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk yang tercatat di lingkungan RT setempat. Tingkat perolehan informasi tentang kota yang rendah ini dapat terlihat pada Gambar 3. 68 Informasi 57,6 60 42,4 50 40 30 Jum lah (orang) 19 14 20 Jum lah (%) 10 0 Rendah Tinggi Gambar 3. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I Elemen Keyakinan (belief) Mengenai aspek keyakinan (belief), mayoritas individu dari komunitas miskin pada tipe pertama ini memiliki keyakinan yang positif terhadap bertempat tinggal dan bekerja di kota. Keyakinan yang cenderung positif ini terkait dengan tingkat perolehan informasi tentang kota yang rendah. Mayoritas dari mereka meyakini bahwa kondisi kota saat ini adalah aman untuk dijadikan tempat tinggal ataupun tempat mencari nafkah. Selain itu, mereka juga meyakini bahwa jika mengalami kesulitan di kota, maka pertolongan dari orang lain, terutama para tetangga mudah untuk didapat dan untuk mendapatkan hiburan di kota juga mudah untuk didapatkan. Demikian halnya dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan di kota. Mayoritas anggota komunitas miskin pada tipe ini meyakini bahwa untuk mendapatkan kedua fasilitas tersebut di kota adalah mudah, baik dilihat dari segi kuantitas tempat ataupun dari segi pelayanan yang diberikan. Mengenai fasilitas pendidikan ini, Bapak Sur (51 tahun) mengemukakan pendapatnya bahwa “cari sekolahan di kota gampang, karena tempatnya banyak.” Tingkat keyakinan responden yang positif ini dapat dilihat pada Gambar 4. 60,6 70 60 50 39,4 40 30 Jum lah (orang) Jum lah (%) 20 13 20 10 0 Pos itif Negatif Gambar 4. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I 69 Elemen Pendapat (opinion) Selaras dengan tingkat keyakinannya yang positif terhadap kota, pendapat responden pada tipe ini mengenai kota juga dapat dikatakan positif. Mayoritas responden dalam tipe ini berpendapat bahwa siapa saja berhak menjadi penduduk kota, baik mereka yang kaya ataupun yang termasuk sebagai warga miskin. Selain itu, mereka berpendapat bahwa kesempatan kerja di kota berlaku sama untuk semua orang yang ingin bekerja, orang yang berhasil bekerja di kota adalah seseorang yang mampu bekerja keras, pengalaman meningkat ketika seseorang tinggal dan bekerja di kota, pengaruh dari bekerja dan bertempat tinggal di kota adalah baik bagi masa depan mereka serta bantuan dari pemerintah diperuntukan bagi masyarakat yang membutuhkan saja. Terdapat sedikit pendapat yang berbeda di antara mayoritas pendapat mengenai keberhasilan seseorang yang bekerja di kota. Sebanyak 12,12 persen responden menjawab terdapat hal lain yang menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja di kota, di luar pilihan jawaban yang diajukan. Pendapat-pendapat lainnya tersebut antara lain seperti yang diungkapkan oleh Ibu Roh (38 tahun), yang mengatakan bahwa “orang yang berhasil kerja di kota itu yang sekolahnya tinggi dong. Soalnya buat kerja di kota kan butuh ijazah sekolah.” Terdapat juga pendapat dari Rn (20 tahun) yang mengatakan bahwa “orang yang berhasil kerja di kota itu yang mau mencoba ketika gagal, soalnya kerja di kota itu kan ga gampang.” Elemen Sikap Secara umum komunitas miskin pada tipe I ini memiliki sikap yang netral terhadap kota, baik dalam dimensi evaluasi, potensi ataupun dimensi aktivitas. Hal ini terlihat melalui hasil yang diperoleh, dimana terdapat sebanyak 14 orang responden yang memiliki sikap netral terhadap kota. Sikap responden yang netral tersebut akan terlihat lebih jelas pada Gambar 5. Pengungkapan sikap yang netral diutarakan oleh responden di bawah ini: “Hidup bertetangga di kota biasa saja. Tidak terlalu kebersamaan tapi tidak sendiri-sendiri juga. Sedikit banyak masih ada yang peduli sama tetangga kalau ada yang lagi susah.” (Aln, 16 tahun) 70 50 42,4 40 30,3 27,3 30 20 Jumlah (orang) 14 10 9 Jumlah (%) 10 0 Negatif Netral Positif Gambar 5. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe I Sikap netral yang ditunjukan oleh responden tersebut cenderung mengarah kepada pembentukan sikap yang positif terhadap kota, dimana terdapat 30,3 persen responden pada tipe ini yang menyatakan sikap positifnya terhadap kota, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang responden sebagai berikut: “Saya suka hidup di kota. Dapat uangnya besar, pekerjaannya banyak karena orangnya ramai. Ngeliat kota juga enak, soalnya bersih, rapih, kayak di tempat yang banyak kantor-kantor itu loh. Di sana kan rapi, indah.” (Ibu Cah, 48 tahun) 7.1.2 Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah Tipe II ini tergolong pada tipe representasi sosial tentang kota yang cenderung negatif. Responden pada tipe ini umumnya menganggap bahwa untuk dapat bertahan hidup di kota diperlukan usaha-usaha yang tidak bisa dikatakan mudah, seperti harus membayar kontrakan tepat waktu jika tidak ingin diusir, harus banting tulang dalam bekerja dan lain sebagainya. Ungkapan tentang susahnya usaha yang dilakukan untuk tetap bertahan hidup di kota tersebut diutarakan oleh seorang responden berikut ini: “Tinggal di kota itu berarti hidup tidak tenang karena harus kerja terus. Uang ga ada artinya di kota. Kebutuhan hidup mahal, jadi uang cepat sekali habisnya.” (Ibu Yy, 23 tahun) Mayoritas responden pada tipe II ini berusia antara 35 hingga 44 tahun saat penelitian ini dilangsungkan. Responden pada tipe ini umumnya adalah mereka yang berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan yang umumnya hanya setingkat SD atau yang sederajat. Pada umumnya mereka adalah ibu rumahtangga yang tidak bekerja namun menerima uang dari suami, anak atau cucu mereka yang selanjutnya mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Meskipun saat ini mayoritas responden tersebut tidak bekerja, 71 namun kebanyakan dari mereka pernah bekerja, paling tidak pada satu jenis pekerjaan di kota, dengan lama waktu bekerja adalah kurang dari 12 tahun. Saat ini, pendapatan yang mereka peroleh dari suami, anak ataupun cucu mereka adalah Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Sama halnya dengan responden pemilih tipe I, responden pemilih tipe II ini juga umumnya merupakan responden yang baru bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun terakhir ini. Periode tahun kedatangan sebagian besar responden ke kota yaitu antara tahun 1991 hingga tahun 2010. Sebagian besar responden pada tipe ini (68,4 persen) adalah responden yang tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Sama halnya dengan responden tipe I, responden pada tipe ini umumnya melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali. Ibu Syf (40 tahun) mengungkapkan bahwa “setahun kemaren ga pulang kampung. Soalnya anak sama suami kan ada di sini. Lagian ga ada biaya juga buat pulang kampungnya.” Meskipun memilih tipe yang cenderung negatif tentang kota, responden pemilih tipe ini tetap memiliki anggapan yang positif terhadap kota ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Hal ini terlihat lewat alasan mereka untuk melakukan migrasi desa-kota, yaitu karena ingin mencari pekerjaan (78,9 persen). “Waktu pindah ke kota tujuannya untuk cari kerja, untuk merubah nasib kalau kerjaannya sudah sukses. Dulu mah belum tahu kalau tenyata di kota itu susah cari kerjaan.” (Ibu Ic, 66 tahun) Adanya alasan tersebut menunjukkan bahwa representasi sosial yang telah terbentuk sebelum individu melakukan migrasi desa-kota dapat berubah ketika individu telah melakukan migrasi desa-kota dan berinteraksi, serta berkomunikasi dengan individu lain yang menjadi anggota komunitas mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Putra et al. (2003) yang menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang dimiliki kelompok. Karakteristik responden pada tipe II yang telah diutarakan di atas, diuraikan secara lebih terperinci dalam Tabel 16. 72 Tabel 16. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II Karakteristik Responden Tipe II (n=19 orang) n (orang) n (%) Usia 35-44 tahun 7 36,8 Jenis kelamin Perempuan 12 63,1 Jenis pekerjaan Lainnya: pengangguran, 8 42,1 11 57,9 9 47,4 pengamen Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 Tahun datang ke kota 1991-2010 11 57,9 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 13 68,4 Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di lokasi 13 68,4 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 14 73,7 Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan 15 78,9 kota Elemen Informasi (information) Sebagian besar responden pada tipe II ini, yaitu sebesar 57,9 persen memiliki tingkat informasi tentang kota yang tinggi. Kebanyakan dari mereka mengetahui bahwa keadaan lingkungan tempat tinggal di kota saat ini sudah sempit. Hal ini mengakibatkan sulitnya mendirikan tempat tinggal yang layak di kota. Selain itu, mereka juga mengetahui bahwa peluang kerja di kota lebih besar daripada di desa dan menganggap penting dan mengetahui pentingnya memiliki kartu identitas berupa KTP atau Kartu Keluarga (KK) yang tercatat di lingkungan RT setempat selama bertempat tinggal di kota. Seperti halnya responden pada tipe I, kebanyakan responden pada tipe II ini juga menganggap bahwa seseorang harus memiliki keterampilan kerja yang memadai jika ingin bekerja di kota, dan kebanyakan responden mengetahui bahwa tingkat pengangguran di kota saat ini tinggi. Hal ini seperti yang diutarakan oleh responden berikut ini: “Di kota itu sebenarnya susah cari nafkah karena saingannya banyak, pengangguran tinggi. Makanya kita harus punya keterampilan kerja biar bisa cari nafkah.” (Ibu Roh, 38 tahun) Tingkat informasi mayoritas responden yang tinggi ini antara lain terkait dengan jenis pekerjaan yang dilakukan oleh mayoritas responden. Meskipun kebanyakan responden pada tipe II ini merupakan migran baru, namun terkait 73 dengan status pekerjaan sebagian besar responden yang menganggur, maka tingkat keterlibatan dan komunikasi antar anggota kelompok pun dapat terjalin dengan baik, sehingga memungkinkan terjadinya penyebaran representasi sosial dan informasi yang baik pula pada sesama anggota kelompok. Keterlibatan dan komunikasi yang tinggi ini terjadi karena terdapatnya banyak waktu luang dari para responden pada tipe ini. Hal ini sesuai dengan pernyataan Putra et al. (2003) yang menyebutkan bahwa komunikasi sehari-hari antar anggota kelompok merupakan alat yang digunakan untuk mendistribusikan representasi sosial yang dimiliki kelompok. Tingkat informasi responden pada tipe II tersaji dalam bentuk grafik pada Gambar 6. 57,9 60 42,1 50 40 Jum l ah (o ran g) 30 Jum l ah (%) 20 8 11 10 0 Rendah Tinggi Gambar 6. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II Elemen Keyakinan (belief) Tingkat keyakinan mayoritas responden pemilih tipe ini cenderung negatif (Gambar 7). Tingkat keyakinan yang negatif ini khususnya terdapat pada keyakinan mengenai kemudahan untuk mendapatkan tempat tinggal di kota. Mayoritas dari responden ini meyakini bahwa untuk mendapatkan tempat tinggal di kota adalah sulit jika responden tidak memiliki uang yang cukup banyak. Hal ini karena mereka harus mengontrak rumah milik orang lain sebagai tempat tinggal mereka. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Ibu Roh (38 tahun) yang mengatakan bahwa “untuk dapat tempat tinggal mudah kalau ada uang. Kalau ga punya uang ya susah.” Ibu Sul (44 tahun) juga mengungkapkan pendapat mengenai kesulitan memperoleh tempat tinggal di kota sebagai berikut: “Dapat tempat tinggal di kota ya susah, mba. Lahannya sudah sempit, kontrakan sekarang juga mahal-mahal. Kalau ga punya uang ya susah.” 74 52,6 60 47,4 50 40 Jumlah (orang) 30 Jumlah (%) 20 9 10 10 0 Positif Negatif Gambar 7. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II Elemen Pendapat (opinion) Sama halnya dengan responden pada tipe lainnya, responden pada tipe ini cenderung memiliki jawaban yang positif atas pertanyaan-pertanyaan mengenai pendapat mereka seputar kota dan kehidupan kota. Mereka berpendapat bahwa siapa saja berhak untuk menjadi penduduk kota, kesempatan kerja di kota berlaku sama bagi semua orang yang ingin bekerja, orang bisa berhasil dalam bekerja di kota bila ia seorang pekerja keras dan pengalaman meningkat ketika orang tinggal dan bekerja di kota. Mengenai hal ini, Ibu War (56 tahun) berkata bahwa “tinggal di kota berarti pengalaman meningkat, karena sering dengar berita, jadi informasi lebih cepat sampai.” Sebanyak 78,9 persen responden mengatakan bahwa pengaruh dari tinggal dan bekerja di kota adalah baik bagi masa depan mereka dan keluarga mereka. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Naf (54 tahun), yang mengatakan bahwa “tinggal dan kerja di kota pengaruhnya baik, karena banyak saudara, cari uang jadinya gampang.” Sebanyak 68,4 persen responden berpendapat bahwa jaminan atau bantuan dari pemerintah berlaku sama bagi semua orang yang membutuhkan, baik di desa ataupun di kota. Hanya 10,0 persen responden yang berpendapat bahwa bantuan dari pemerintah lebih diutamakan bagi masyarakat yang bertempat tinggal di kota, karena lebih dekat dengan pusat informasi. 75 Elemen Sikap Berbeda dengan ketiga tipe representasi sosial tentang kota lainnya, responden dalam tipe ini memiliki sikap yang negatif terhadap kota (52,6 persen). Mereka cenderung tidak menyukai kota dan menganggap kota tidak lebih baik daripada desa (Gambar 8). Sikap tidak suka itu antara lain terlihat pada aspek keamanan kota, biaya hidup di kota, tingkat ketenangan tinggal di kota, jam kerja di kota, dan peraturan di kota. Salah seorang responden mengungkapkan ketidaksukaannnya terhadap kota sebagai berikut: “Hidup di kota itu penuh resiko. Kadang-kadang dicopet, ditipu, macam-macam. Terus kalau di kota banyak aturannya. Harus punya KTP, harus lapor RT 2x24 jam, bertamu ke rumah orang saja harus lapor.” (Ibu Sar, 42 tahun) Meskipun mereka cenderung tidak menyukai kondisi kota, namun mereka tetap memilih untuk bertahan tinggal di kota. Berbagai alasan diutarakan mengenai keputusan mereka untuk tetap bertempat tinggal dan bekerja di kota. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Bapak Shd (70 tahun) berikut ini: “Alasan saya tetap bertahan hidup di kota itu karena sudah terlanjur tinggal lama di kota. Kalau pulang ke kampung akan susah juga, karena kehidupan di kampung lebih susah.” 60 52,6 50 40 31,6 Jum lah (orang) 30 Jum lah (%) 15,8 20 10 10 6 3 0 Negatif Netral Pos itif Gambar 8. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe II 7.1.3 Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman Berbeda dengan dua tipe sebelumnya, responden pada tipe ini umumnya adalah laki-laki dan terbagi atas dua golongan usia, yaitu di bawah 35 tahun dan di atas 44 tahun. Jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan responden adalah pekerjaan sektor formal, yaitu jasa profesional seperti security dan montir. Jumlah 76 pekerjaan yang pernah dilakukan oleh responden berkisar antara satu hingga delapan buah pekerjaan dengan lama bekerja di kota yaitu kurang dari 12 tahun. Tingkat pendidikan mayoritas responden pada tipe III ini sama seperti dua tipe sebelumnya, yaitu setingkat SD atau yang sederajat. Pada tipe III ini, terdapat pula 25,0 persen responden yang berpendidikan setingkat SLTA atau yang sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh responden berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Kebanyakan responden pada tipe ini telah bertempat tinggal selama lebih dari 23 tahun di lokasi penelitian meskipun tidak langsung bertempat tinggal di lokasi tersebut ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota pada periode tahun 1970 hingga 1980. Aktivitas pulang kampung yang dilakukan oleh responden pada tipe ini tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan. Sama dengan responden pada dua tipe sebelumnya, mayoritas responden pada tipe III ini juga beralasan ingin mencari pekerjaan ketika pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Seiring dengan lamanya mereka tinggal di kota, pendapat mereka mengenai kondisi peluang kerja di kota mengalami perubahan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Bapak Shd (70 tahun), yang mengungkapkan bahwa “peluang kerja sekarang itu sulit. Dulu kerjaan yang nyari orang, sekarang orang yang nyari-nyari kerjaan.” Perubahan representasi sosial yang terjadi pada responden tersebut sesuai dengan pernyataan Jost and Ignatow (2001) yang mengatakan bahwa aspek terbaik dari teori representasi sosial adalah teori tersebut berisikan catatan yang berjalan terus berdasarkan pengalaman dari kehidupan sosial dan budaya yang dinamis dari manusia dan menyebar menjadi kepercayaan atau keyakinan atas alam realitas. Berdasarkan data yang telah diuraikan di atas, maka dapat diketahui bahwa semakin lama individu dalam komunitas miskin ini berada di kota, maka mereka semakin menyadari bahwa kota adalah tempat yang tidak nyaman. Tabel 17 berisikan karakteristik responden pada tipe III ini. 77 Tabel 17. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III Karakteristik Responden Tipe III (n=20 orang) Usia n (orang) n (%) < 35 tahun 7 35,0 > 44 tahun 7 35,0 11 55,0 Jenis kelamin Laki-laki Jenis pekerjaan Jasa profesional 7 35,0 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 9 45,0 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 11 55,0 Tahun datang ke kota 1970-1980 7 35,0 Lama tinggal di lokasi > 23 tahun 8 40,0 Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di lokasi 16 80,0 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 14 70,0 Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan 18 90,0 kota Elemen Informasi (information) Tingkat informasi yang dimiliki oleh sebagian besar responden pada tipe ini cenderung tinggi. Mayoritas dari responden ini (55,0 persen) menjawab secara benar semua pertanyaan mengenai informasi tentang kota yang diajukan. Para responden umumnya mengetahui bahwa saat ini kedaan lingkungan yang dapat dijadikan sebagai tempat tinggal di kota telah sempit, peluang kerja di kota lebih besar daripada di desa, dan jika ingin bertempat tinggal di kota maka responden harus memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan juga Kartu Keluarga yang tercatat di lingkungan RT setempat. Dengan demikian, mereka mengetahui bahwa memiliki kedua kartu identitas tersebut adalah penting. Ibu (Ic, 66 tahun) mengemukakan pendapatnya bahwa “punya Kartu Keluarga (KK) dan KTP itu penting untuk kemudahan kita selama tinggal di kota.” Selain itu, mayoritas responden pemilih tipe III ini juga mengetahui bahwa jika ingin bekerja di kota, seseorang harus memiliki keterampilan kerja yang cukup. Hal ini karena persaingan kerja di kota ketat dan angka pengangguran di kota saat ini yang tinggi. Tingkat informasi yang dimiliki responden pada tipe III ini terkait dengan tingkat keterlibatan dalam kelompok dan tingkat komunikasi sehari-hari dengan anggota kelompok lainnya, dimana responden pada tipe ini merupakan migran yang telah lama melakukan migrasi desa-kota dan telah lama 78 bertempat tinggal di lokasi penelitian. Hal ini menyebabkan mereka sering berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota komunitas lainnya sehingga mereka lebih mengetahui informasi mengenai kota dan telah terpengaruh oleh representasi sosial yang dimiliki kelompoknya. Tingkat informasi yang dimiliki responden pada tipe ini terdapat dalam Gambar 9. 55 60 45 50 40 Jumlah (orang) 30 Jumlah (%) 20 9 11 10 0 Rendah Tinggi Gambar 9. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III Elemen Keyakinan (belief) Tingkat keyakinan mayoritas responden pada tipe III ini cenderung negatif terhadap kota (65,0 persen). Tingkat keyakinan yang negatif ini terkait dengan tingginya tingkat informasi yang dimiliki oleh mayoritas responden pada tipe ini. Mereka meyakini bahwa untuk mencari tempat tinggal dan pekerjaan di kota adalah sesuatu yang sulit. Mereka juga meyakini bahwa kondisi keamanan di kota saat ini terbilang sudah tidak aman lagi. Ibu Sul (44 tahun) menguraikan keyakinannya dengan mengatakan bahwa “kota sekarang sudah tidak aman. Banyak kriminalitas, kita harus ekstra waspada.” Hal yang sama juga terjadi pada keyakinan responden mengenai kemudahan untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain ketika responden mengalami kesulitan di kota, dimana sebagian besar responden meyakini bahwa untuk mendapatkan hal tersebut adalah sesuatu yang sulit di kota. Hal ini karena faktor gaya hidup masyarakat kota yang saat ini cenderung individual dan juga karena faktor keterbatasan ekonomi yang dialami oleh masyarakat yang ada di sekitar tempat tinggal responden. Hal tersebut diungkapkan oleh Ibu Ic (66 tahun) dengan mengatakan bahwa “kalau lagi punya kesulitan, dapat bantuan dari tetangganya susah, karena tetangga juga keadaannya terbatas, sama kayak ibu.” 79 Hal yang berbeda terdapat pada keyakinan responden dalam mendapatkan fasilitas hiburan di kota. Pada umumnya responden meyakini bahwa untuk mendapatkan fasilitas hiburan di kota adalah hal yang mudah. Mengenai hal ini, Ibu Rus (48 tahun) mengatakan bahwa “dapat hiburan di kota mudah, karena banyak tukang ngamen, lumayan untuk hiburan.” Fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan diyakini sebagai sesuatu yang sulit untuk didapat oleh responden pada tipe ini. Ibu Sul (44 tahun) berkata bahwa “untuk berobat di kota susah. Harus punya uang atau paling ga harus punya gakin.” Ibu Sar (42 tahun) mengemukakan pendapatnya menganai fasilitas pendidikan yang disediakan kota dengan mengatakan bahwa “untuk nyekolahin anak di kota susah. Harus ada uang baru bisa sekolah. Soalnya biayanya mahal.” Tingkat keyakinan responden terhadap kota yang cenderung negatif tersebut tersaji dalam Gambar 10. Grafik dalam gambar tersebut memperlihatkan kecenderungan keyakinan responden yang negatif secara lebih jelas. 65 70 60 50 35 40 Jum lah (orang) Jum lah (%) 30 20 13 7 10 0 Pos itif Negatif Gambar 10. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III Elemen Pendapat (opinion) Pendapat tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe ini cenderung sama dengan responden pada tipe lainnya. Mereka berpendapat bahwa siapapun berhak menjadi penduduk kota, baik orang kaya, orang miskin, orang berpendidikan tinggi ataupun orang yang berpendidikan rendah. Tidak ada larangan bagi siapapun untuk menjadi penduduk kota. Responden pada tipe ini juga berpendapat bahwa kesempatan kerja di kota berlaku sama bagi siapa saja yang ingin bekerja dan kerja keras dapat menentukan keberhasilan seseorang dalam bekerja di kota. 80 Responden pada tipe III berpendapat bahwa bekerja dan bertempat tinggal di kota telah meningkatkan pengalaman mereka dan pengaruh dari tinggal dan bekerja di kota adalah baik bagi masa depan mereka dan keluarga mereka, namun ada pula sebagian kecil responden yang berpendapat negatif akan dampak dari tinggal dan bekerja di kota ini, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rus (48 tahun). Ia mengatakan bahwa “tinggal di kota itu pengaruhnya negatif buat anak-anak, karena banyak hal negatif di kota, misalnya soal pergaulan.” Terakhir, responden pada tipe ini juga berpendapat bahwa bantuan dari pemerintah hanya diperuntukan bagi masyarakat yang membutuhkan saja. Orang yang membutuhkan itu baik yang berada di kota maupun yang berada di desa. Elemen Sikap Sikap responden pemilih tipe III ini adalah netral yang cenderung ke arah pembentukan sikap negatif terhadap kota. Sebagian dari mereka cenderung menganggap kota tidak jauh lebih baik atau jauh lebih buruk daripada desa. Menurut sebagian responden tersebut, baik kota maupun desa memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Sebagian lainnya memunculkan sikap yang cenderung negatif terhadap kota (Gambar 11). Kecenderungan sikap responden yang negatif ini misalnya seperti yang diutarakan oleh responden berikut ini: “Kota itu kotor,kumuh, rumah-rumahnya berantakan, penduduknya ga disiplin, banyak aturannya. Peraturan banyak yang dibuat tapi banyak juga yang dilanggar.” (Sup, 42 tahun) 50 50 45 40 35 35 30 Jum lah (orang) 25 Jum lah (%) 20 15 15 10 10 7 3 5 0 Negatif Netral Pos itif Gambar 11. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe III 81 7.1.4 Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman Tipe representasi sosial tentang kota yang terakhir ini pada umumnya terkait dengan fasilitas penunjang kehidupan yang disediakan oleh kota yang tidak dimiliki oleh desa asal responden, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang lebih baik serta lebih lengkap di kota. Selain itu, pandangan positif ini tekait pula dengan gaya hidup penduduk kota dan pergaulan di kota, seperti yang diungkapkan oleh responden berikut ini: “Di kota banyak fasilitas tersedia, semua serba ada. Segala sesuatu jadinya mudah. Mau ke mana-mana gampang. Indah juga karena banyak mall, banyak gedung.” (Ibu Sum, 30 tahun) Terdapat juga pendapat lainnya, seperti yang diutarakan oleh responden berikut ini: “Di kota hidupnya enak, mba. Soalnya kerjanya ga terlalu cape. Kerjanya kan dagang, jadi bebas nentuin waktunya.” (Kar, 18 tahun) Responden pada tipe IV ini pada umumnya berusia antara 35 hingga 44 tahun dan umumnya berjenis kelamin perempuan. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh sebagian besar responden pada tipe ini adalah dalam bidang penyediaan makanan keliling. Ini berarti mayoritas responden bekerja pada pekerjaan sektor informal. Jumlah pekerjaan yang pernah dilakukan oleh mayoritas responden pada tipe ini hanyalah satu jenis pekerjaan, dengan lama bekerja di kota yaitu kurang dari 12 tahun. Sama halnya dengan responden pada tiga tipe sebelumnya, responden pada tipe ini umumnya adalah mereka yang berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh responden per bulannya yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Komunitas miskin pada tipe ini umumnya datang ke kota pada periode tahun 1991 hingga 2010 dan telah bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun. Pada saat pertama kali pindah ke kota mereka tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Pada umumnya untuk pertama kali mereka tinggal di lokasi lain yang berada tidak jauh dari lokasi penelitian untuk beberapa tahun lalu berpindah ke lokasi penelitian hingga saat penelitian dilangsungkan. Lokasi yang menjadi tempat tinggal pertama kali responden antara lain berada di Tanah Kusir 82 III, Kebayoran Baru dan Radio Dalam yang juga masih berada di kawasan Jakarta Selatan. Alasan mereka datang ke kota pada umumnya adalah karena ingin mencari pekerjaan. Kebanyakan responden pada tipe ini melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilakukan. Sama halnya dengan responden pada tipe lainnya, responden pada tipe ini juga mengaku tidak memiliki modal yang cukup untuk melakukan aktivitas pulang kampung. Rina (20 tahun) mengatakan bahwa “setahun kemarin ga pulang, soalnya keluarga kan ada di Jakarta dan ga punya uang juga buat pulang kampung.” Karakteristik responden pada tipe IV ini tersaji dalam Tabel 18. Tabel 18. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV Karakteristik Responden Tipe IV (n=31 orang) n (orang) n (%) Usia 35-44 tahun 12 38,7 Jenis kelamin Perempuan 20 64,5 Jenis pekerjaan Penyediaan makanan keliling 9 29,0 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 16 51,6 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 17 54,8 Tahun datang ke kota 1991-2010 17 54,8 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 20 64,5 Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di lokasi 20 64,5 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 23 74,2 Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan 21 67,7 kota Elemen Informasi (information) Tingkat informasi tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe IV ini tergolong rendah. Sebagian dari mereka menganggap bahwa tingkat pengangguran di kota sedang-sedang saja, tidak terlalu banyak dan tidak terlalu sedikit pula. Mereka beranggapan bahwa di kota masih banyak tersedia lapangan kerja dan pada umumnya penduduk kota bekerja meskipun hanya bekerja sebagai buruh serabutan yang tidak pasti waktu kerjanya. Pendapat seperti ini disampaikan oleh seorang responden sebagai berikut: 83 “Tingkat pengangguran di kota sedang-sedang saja. Karena kebanyakan orang pada kerja. Cuma orang yang malas saja yang ga kerja.” (Ibu Sri, 37 tahun) Selain itu, pada umumnya responden pemilih tipe ini menganggap bahwa memiliki Kartu Keluarga (KK) dan KTP yang tercatat di lingkungan RT setempat adalah penting, namun sebagian dari mereka belum memiliki kesadaran untuk membuatnya. Mereka beralasan bahwa mereka tidak akan selamanya tinggal di kota, jadi menurut mereka memiliki Kartu Keluarga di desa saja sudah cukup. Tingkat perolehan informasi yang rendah juga dapat dilihat melalui pengetahuan mereka tentang pentingnya memiliki keterampilan kerja yang memadai untuk dapat bertahan hidup di kota. Sebagian dari mereka menganggap bahwa tidak harus memiliki keterampilan kerja untuk dapat bekerja dan bertahan hidup di kota. Ibu Wr (40 tahun) mengatakan bahwa “ga harus punya keterampilan kerja untuk bisa kerja di kota. Yang penting rajin aja.” Ibu Yat (36 tahun) mengungkapkan informasi yang dimilikinya sebagai berikut: “Kerja di kota ya ga harus punya keterampilan,mba. Tergantung kerjaannya aja. Kalau kerjanya cuma jadi pembantu kan ga mesti punya keterampilan.” Tingkat perolehan informasi yang rendah ini terkait dengan lama tinggal di lokasi, tahun responden datang ke kota dan pekerjaan yang dilakukan oleh responden, dimana diketahui bahwa responden pada tipe ini merupakan migran baru yang baru bertempat tinggal di lokasi penelitian antara 1 hingga 15 tahun, belum genap 20 tahun melakukan migrasi desa-kota dan berprofrsi sebagai penyedia makanan keliling yang tidak bisa setiap saat menghabiskan waktunya bersama dengan anggota komunitas miskin lainnya. Hal ini mengakibatkan tingkat keterlibatan dalam kelompok dan komunikasi yang dilakukan dengan anggota kelompok lainnya rendah dan selanjutnya menyebabkan tingkat pengetahuan mereka tentang kota yang juga rendah. Gambar 12 menyajikan grafik yang menggambarkan tingkat informasi yang dimiliki oleh responden pada tipe IV ini. Grafik pada Gambar 12 memperlihatkan secara jelas bahwa pada umumnya responden pada tipe IV ini memiliki tingkat informasi yang rendah mengenai kota. 84 80 71 70 60 50 Jum lah (orang) 40 30 29 Jum lah (%) 22 20 9 10 0 Rendah Tinggi Gambar 12. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV Elemen Keyakinan (belief) Mengenai tingkat keyakinan responden terhadap tinggal dan bekerja di kota, mayoritas responden pada tipe ini berkeyakinan positif terhadap kedua hal tersebut. Meskipun mereka meyakini bahwa untuk mendapatkan pekerjaan dan tempat tinggal di kota adalah sulit, namun mereka berkeyakinan positif terhadap kondisi keamanan di kota, kemudahan mendapatkan pertolongan dari orang lain di kota, kemudahan mendapatkan hiburan, fasilitas kesehatan, dan kemudahan untuk mendapatkan fasilitas pendidikan di kota. Keyakinan-keyakinan positif tersebut diungkapkan oleh Ibu Sum (45 tahun) dengan mengatakan bahwa “tinggal di kota sih aman-aman aja. Itu tergantung dari perbuatan kita. Kalau kitanya baik ya kita aman.” Mengenai kemudahan dalam mendapatkan fasilitas hiburan, Ibu Sri (37 tahun) mengungkapkan bahwa “untuk dapatin hiburan di kota mudah karena banyak orang hajatan.” Tingkat keyakinan responden yang cenderung positif ini terkait dengan tingkat perolehan informasi dari mayoritas responden yang rendah. Tingkat keyakinan responden pada tipe ini tersaji dalam Gambar 13. 64,5 70 60 50 35,5 40 30 Jum lah (orang) Jum lah (%) 20 20 11 10 0 Pos itif Negatif Gambar 13. Tingkat Keyakinan Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV 85 Elemen Pendapat (opinion) Selaras dengan keyakinannya yang cenderung positif, pendapat dari responden pemilih tipe ini juga cenderung positif, dimana mereka berpendapat bahwa siapa saja berhak menjadi penduduk kota dan kesempatan kerja di kota berlaku sama bagi semua orang yang ingin bekerja. Selain itu, mayoritas responden (54,8 persen) berpendapat bahwa seseorang akan berhasil kerja di kota bila orang tersebut bekerja keras. Mengenai arti dari bekerja dan bertempat tinggal di kota, sebagian besar responden dalam tipe IV ini (80,6 persen) berpendapat bahwa pengalaman akan meningkat seiring dengan waktu yang dihabiskan untuk tinggal dan bekerja di kota. Hal tersebut seperti yang diutarakan oleh seorang responden berikut ini: “Di kota pengalaman meningkat. Banyak pengalaman kerja yang bisa didapat karena pekerjaan yang bisa dilakukan di kota ada banyak” (Tor, 24 tahun) Selanjutnya, sebanyak 90,3 persen responden mengatakan bahwa pengaruh dari tinggal dan bekerja di kota yang mereka lakukan itu membawa pengaruh yang baik bagi masa depan dirinya dan keluarganya. Seperti yang diungkapkan oleh Kar (18 tahun) yang mengatakan bahwa “kerja dan tinggal di kota pengaruhnya baik untuk masa depan, karena di kota fasilitasnya lebih lengkap.” Mengenai jaminan hidup atau bantuan dari pemerintah, 58,1 persen responden pemilih tipe IV ini berpendapat bahwa bantuan dari pemerintah hanya berlaku bagi masyarakat yang tergolong miskin saja di manapun mereka bertempat tinggal. Sebagian kecil dari mereka (12,9 persen) berpendapat bahwa bantuan dari pemerintah lebih diutamakan bagi masyarakat yang tinggal di desa karena keberadaan masyarakat miskin pada umumnya berada di desa. Elemen Sikap Sama halnya dengan tipe I (kota adalah tempat mencari uang), responden pada tipe IV ini juga cenderung memiliki sikap netral yang cenderung mengarah kepada sikap positif terhadap kota (Gambar 14). Kecenderungan sikap positif ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sur (36 tahun) sebagai berikut: 86 “ Saya suka kota. Kota itu bersih, rapih, aman, lahan untuk usaha luas, terus kota juga ramai, banyak hiburan, banyak tempat wisata. Kota itu tempat kesenangan.” 45 41,9 40 35,5 35 30 22,6 25 Jum lah (orang) 20 Jum lah (%) 13 15 10 11 7 5 0 Negatif Netral Pos itif Gambar 14. Sikap Responden Representasi Sosial Tentang Kota Tipe IV Keempat tipe representasi sosial tentang kota sudah dijelaskan secara terperinci pada setiap sub bab di atas. Terdapat beberapa karakteristik responden yang umumnya sama antara satu tipe dengan tipe lainnya. Di samping itu, terdapat pula beberapa karakteristik responden yang berbeda diantara keempat tipe tersebut. Perbedaan yang mencolok antara lain terlihat pada tipe III, yaitu kota adalah tempat yang tidak nyaman. Karakteristik responden pada tipe III ini sedikit berbeda berbeda dengan karakteristik responden pada tipe lainnya, salah satunya terletak pada jenis kelamin responden. Responden pada tipe III ini pada umumnya adalah laki-laki. Pada tipe lainnya, responden pemilihnya cenderung berjenis kelamin perempuan. Hal yang berbeda lainnya yaitu terdapat pada variabel jenis pekerjaan, tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi pada responden di tipe III. Responden pada tipe III ini umumnya bekerja pada pekerjaan sektor formal, yaitu dalam hal penyediaan jasa profesional seperti cleaning service,montir, ataupun buruh pabrik. Mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 1980 dan telah tinggal di lokasi selama lebih dari 23 tahun. Ini berarti responden pemilih tipe III merupakan responden lama yang menjadi cikal bakal terbentuknya komunitas miskin di wilayah ini. Karakteristik responen dari keempat tipe repesentasi sosial tentang kota dan data mengenai aspek-aspek representasi sosial tentang kota terdapat pada Tabel 19. 87 Tabel 19. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Kota Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden dan Aspek-Aspek Pembentuk Representasi Sosial Usia Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Kota adalah Kota adalah Kota adalah Kota adalah Tempat Mencari Tempat Hidup Tempat yang Tempat Hidup Uang Susah Tidak Nyaman Nyaman > 44 tahun 35-44 tahun < 35 tahun 35-44 tahun > 44 tahun Jenis kelamin Perempuan Perempuan Laki-laki Perempuan Jenis pekerjaan Penyediaan Lainnya: Jasa profesional Penyediaan makanan pengangguran, makanan keliling pengamen keliling Tingkat SD atau yang SD atau yang SD atau yang SD atau yang pendidikan sederajat sederajat sederajat sederajat Tingkat Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- pendapatan Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 1991-2010 1970-1980 1991-2010 ≤ 15 tahun ≤ 15 tahun > 23 tahun ≤ 15 tahun Tempat tinggal Tidak langsung Tidak langsung Tidak langsung Tidak langsung pertama kali di tinggal di lokasi tinggal di lokasi tinggal di lokasi tinggal di lokasi Frekuensi Rendah (0-2 Rendah (0-2 Rendah (0- Rendah (0-2 pulang kampung kali) kali) 2kali) kali) Alasan datang ke Ingin mencari Ingin mencari Ingin mencari Ingin mencari kota pekerjaan pekerjaan pekerjaan pekerjaan Informasi Rendah Tinggi Tinggi Rendah Keyakinan Positif Negatif Negatif Positif Pendapat Positif Positif Positif Positif Sikap Netral Negatif Netral Netral cenderung cenderung cenderung positif negatif positif Tahun datang ke 1991-2010 kota Lama tinggal di lokasi kota 88 7.2 Representasi Sosial Tentang Miskin Sama halnya seperti pada representasi sosial tentang kota, pada representasi sosial tentang miskin juga dilakukan pengumpulan kata melalui teknik asosiasi kata. Pada teknik asosiasi kata ini, setiap responden dapat mengeluarkan kata-kata yang termasuk dalam satu atau beberapa tipe representasi sosial tentang miskin. Berdasarkan jawaban asosiasi kata dari responden, dapat diketahui bahwa tipologi representasi sosial tentang miskin terdiri atas empat buah tipe yaitu,Tipe I: miskin adalah orang yang serba kekurangan, Tipe II: miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/keterampilan terbatas, Tipe III: miskin adalah orang yag memiliki sifat negatif, dan Tipe IV: miskin adalah orang yang tidak berharga. Berikut merupakan hasil pemilihan tiap tipe representasi sosial tentang miskin, yang disajikan dalam Tabel 20. Tabel 20. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tipe Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe representasi sosial Jumlah responden Jumlah responden tentang miskin pemilih tipe (orang) pemilih tipe (%) Miskin adalah orang yang serba 40 100,0 20 50,0 18 45,0 12 30,0 kekurangan Miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas Miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif Miskin adalah orang yang tidak berharga Berdasarkan Tabel 20, maka dapat diketahui bahwa tipe dominan dari representasi sosial tentang miskin adalah Tipe I (miskin adalah orang yang serba kekurangan). Tipe tersebut dipilih oleh keseluruhan responden untuk menggambarkan kata miskin yang didengarnya. Keempat tipe yang ada tersebut merupakan tipe yang cenderung negatif. 89 Pandangan komunitas miskin yang cenderung negatif terhadap kata miskin ini mengindikasikan bahwa miskin merupakan suatu keadaan ketidakberuntungan yang menyulitkan bagi komunitas miskin sendiri. Gambaran umum setiap tipe representasi sosial tentang miskin tersebut dijelaskan berikut ini. 7.2.1 Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan Pemilihan tipe ini berkaitan dengan kualitas hidup mereka yang selalu mengalami kekurangan di berbagai aspek kehidupannya. Ibu Yy (23 tahun) mengungkapkan bahwa “miskin itu hidupnya susah. Tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup karena gajinya kecil.” Karakteristik responden pada tipe I ini antara lain berusia antara 35 hingga 44 tahun, mayoritas berjenis kelamin perempuan dengan jenis pekerjaan yang dilakukan adalah pekerjaan di sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling. Lama responden bekerja di kota adalah antara 2 hingga 37 tahun dengan ragam jenis pekerjaan yang pernah dilakukan adalah mayoritas satu jenis pekerjaan. Tingkat pendidikan responden pada umumnya adalah setingkat SD atau yang sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh setiap bulannya terbilang rendah, yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Mayoritas responden melakukan migrasi desa-kota pada periode waktu 2001 hingga 2010. Lama waktu tinggal komunitas miskin di lokasi adalah antara 1 hingga 15 tahun (60,0 persen). Sebagian besar dari responden ini tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian pada saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota. Mereka tinggal di berbagai penjuru kota Jakarta dan ada pula yang bertempat tinggal di kota-kota besar lainnya, seperti Cirebon dan Bekasi. Mayoritas responden pada tipe ini memiliki frekuensi pulang kampung yang rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan. Berbagai macam alasan diutarakan mengenai hal tersebut. Alasan yang paling dominan adalah tidak memiliki uang untuk modal pulang kampung. Selain itu, tidak memiliki keluarga lagi di desa juga merupakan alasan kuat bagi responden untuk tidak melakukan aktivitas pulang kampung dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilangsungkan. 90 Alasan ingin mencari pekerjaan merupakan alasan yang paling banyak dikatakan oleh responden pada tipe ini. Dengan kata lain, mayoritas responden tersebut memiliki pandangan yang cenderung positif terhadap kota. Hal ini tidak mengherankan karena tingkat informasi tentang kota yang mereka miliki pada umumnya adalah rendah. Karakteristik responden pada I ini terdapat pada pada Tabel 21. Tabel 21. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe I Karakteristik Responden Tipe I (n=40 orang) n (orang) n (%) Usia 35-44 tahun 15 37,5 Jenis kelamin Perempuan 25 62,5 Jenis pekerjaan Penyediaan makanan keliling 24 60,0 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 21 52,5 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 22 55,0 Tahun datang ke kota 2001-2010 13 32,5 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 24 60,0 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 28 70,0 29 72,5 29 72,5 23 57,5 Tempat tinggal pertama kali Tidak langsung tinggal di kota lokasi Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan Tingkat informasi tentang Rendah di kota Seperti yang telah disebutkan di atas, mayoritas responden pada tipe I ini memiliki tingkat informasi yang rendah tentang kota. Tingkat informasi yang rendah tersebut tersaji dalam Gambar 15. 57,5 60 50 42,5 40 30 Jumlah (orang) 23 17 Jumlah (%) 20 10 0 Rendah Tinggi Gambar 15. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe I 91 7.2.2 Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak Berpendidikan/Memiliki Keterampilan Terbatas Tipe ini berkaitan dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat miskin, dimana pada umumnya mereka tidak berpendidikan atau hanya berpendidikan rendah, sehingga keterampilan kerja mereka terbatas dan hanya mampu bekerja pada sektor informal dengan tingkat penghasilan yang rendah. Bapak Sup (42 tahun) mengemukakan bahwa “miskin itu banyak anak putus sekolah, karena biaya sekolah sekarang sangat mahal.” Karakteristik responden pemilih tipe ini antara lain mayoritas berusia di atas 34 tahun, umumnya berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh setingkat SD atau yang sederajat. Jenis pekerjaan yang dilakukan responden adalah pekerjaan sektor informal dan formal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling dan jasa profesional, dengan jumlah pekerjan yang pernah dilakukan mayoritas adalah sebanyak satu hingga dua pekerjaan. Tingkat pendapatan mayoritas responden pada tipe I ini relatif rendah, yaitu berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Lamanya mereka bekerja di kota pada umumnya adalah kurang dari 12 tahun. Pada umumnya responden pemilih tipe ini melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga 1990 (60,0 persen). Lama tinggal responden di lokasi penelitian pada umumnya lebih dari 8 tahun, namun mayoritas dari mereka tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Frekuensi pulang kampung yang dilakukan mayoritas responden adalah rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan. Alasan pertama kali mereka melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari pekerjaan, sebagaimana yang diuraikan oleh seorang responden berikut ini: “Alasan ke kota waktu itu adalah untuk cari pekerjaan, cari nafkah. Ke kota karena di desa lowongan kerja sedikit, kalau di kota kan banyak, jadi cari kerjanya di kota supaya kebutuhan semua keluarga terpenuhi.” (Ibu Sar, 42 tahun) Tingkat informasi tentang kota yang dimiliki oleh responden pada tipe I ini terbagi atas dua golongan, yaitu 50,0 persen tergolong tinggi dan 50,0 persen lainnya tergolong rendah. Mereka yang memiliki tingkat informasi rendah pada 92 umumnya menganggap bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal di kota saat ini masih luas, tidak mengetahui bahwa untuk bekerja dan bertempat tinggal di kota memerlukan kartu identitas yang tercatat di lingkungan RT setempat, misalnya Kartu Keluarga (KK) dan KTP. Selain itu, umumnya responden menganggap bahwa keterampilan kerja yang memadai tidak diperlukan untuk bekerja di kota dan tidak mengetahui bahwa tingkat pengangguran di kota saat ini tergolong tinggi. Responden yang memiliki tingkat informasi tentang kota yang tinggi mengetahui bahwa kondisi lingkungan tempat tinggal di kota saat ini sudah sempit, mengetahui pentingnya memiliki Kartu Keluarga (KK) dan KTP yang tercatat di lingkungan RT setempat, dan mengetahui bahwa untuk bekerja di kota seseorang harus memiliki keterampilan kerja yang memadai karena persaingan kerja di kota ketat dan tingkat pengangguran di kota yang cenderung tinggi. Karakteristik responden pada tipe ini terdapat dalam Tabel 22. Tingkat informasi tentang kota yang dimiliki responden pada tipe ini tersaji dalam Gambar 16. Tabel 22. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe II Karakteristik Responden Tipe II (n=20 orang) n (orang) n (%) Usia > 34 tahun 14 70,0 Jenis kelamin Perempuan 11 55,0 Jenis pekerjaan Penyediaan makanan 6 30,0 6 30,0 keliling Jasa profesional Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 10 50,0 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 12 60,0 000,00 Tahun datang ke kota 1970-1990 12 60,0 Lama tinggal di lokasi > 8 tahun 14 70,0 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 13 65,0 17 85,0 Tempat tinggal pertama kali di Tidak langsung tinggal di kota lokasi Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan 15 75,0 Tingkat informasi tentang kota Rendah 10 50,0 Tinggi 10 50,0 93 50 50 50 40 30 20 Jumlah (orang) Jumlah (%) 10 10 10 0 Rendah Tinggi Gambar 16. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe II 7.2.3 Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif Tipe ini berkaitan dengan sifat-sifat negatif yang cenderung dimiliki oleh masyarakat yang tergolong miskin, yang menyebabkan mereka terus terbelit dalam permasalahan kemiskinan secara ekonomi dalam hidupnya. Sebanyak 72,2 persen responden merepresentasikan kata miskin dengan sifat pemalas. Uraian pendapat tersebut seperti yang disampaikan oleh responden di bawah ini: “Orang miskin itu malas kerja, ga ada kemauan untuk kerja, tapi senangnya foya-foya. Malas itu memang sifat dasarnya, jadi susah dirubah.” (Ibu Har, 35 tahun) Selain malas, anggota komunitas miskin merepresentasikan kata miskin pada sifat-sifat negatif lainnya, seperti pelaku kejahatan, orang yang selalu pesimis, selalu putus asa dalam hidup, banyak pikiran, masa bodoh dan tidak ingat akan keberadaan Tuhan karena sibuk mencari pekerjaan. Pendapat responden pemilih tipe ini mengenai hal tersebut diuraikan sebagai berikut: “Miskin itu kejahatan. Karena tidak mempunyai pekerjaan makanya banyak orang miskin yang melakukan kejahatan supaya bisa makan.” (Byr, 40 tahun) Responden pada tipe III ini pada umumnya adalah mereka yang berusia antara 35 hingga 44 tahun dan umumnya berjenis kelamin perempuan. Mayoritas responden bekerja pada sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling dan pernah bekerja pada satu jenis pekerjaan saja selama tinggal di kota, dengan waktu kerja kurang dari 12 tahun. Pekerjaan yang dilakukan oleh mayoritas responden tersebut dilakukan antara lain karena mereka tidak memiliki keterampilan kerja yang memadai dan tidak memiliki tingkat pendidikan yang 94 tinggi. Tingkat pendidikan yang ditempuh oleh mayoritas responden adalah setingkat SD atau yang sederajat. Pendapatan yang diperoleh mayoritas responden melalui pekerjaan tersebut berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991 hingga tahun 2010 dengan lama tinggal di lokasi pada umumnya antara 1 hingga 15 tahun terakhir. Pada umumnya responden pada tipe III ini tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian, melainkan tinggal di lokasi lainnya pada saat pertama kali mereka melakukan migrasi desa-kota. Kemudian, frekuensi pulang kampung yang mereka lakukan dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini dilangsungkan adalah antara tidak pernah pulang kampung hingga dua kali. Alasan yang menjadikan mereka berpindah ke kota adalah ingin mencari pekerjaan. Mereka menganggap bahwa peluang kerja di kota sangat besar dan terbuka bagi mereka, sehingga mereka berharap bahwa peluang kerja tersebut dapat membawa mereka ke kehidupan yang lebih sejahtera di masa yang akan datang (Tabel 23). Informasi yang mayoritas responden miliki tentang kota dan kehidupan kota mayoritas tergolong rendah (72,2 persen). Mayoritas dari mereka tidak mengetahui bagaimana keadaan dan kehidupan di kota sebenarnya. Umumnya mereka hanya mengetahui hal-hal yang positif saja dari kehidupan kota, seperti kota adalah sumber uang, sumber gaya hidup dan lain sebagainya. Responden juga menganggap bahwa hidup di kota sama mudahnya atau lebih mudah dibandingkan dengan di desa dan kehidupan mereka di kota akan lebih baik daripada kehidupan mereka di desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ibu Har (35 tahun) berikut ini: “Kota itu tempat cari nafkah karena pekerjaan banyak, di kampung mata pencaharian sedikit. Di kota apa-apa serba ada, fasilitasnya lengkap, pendidikan anak gampang karena sekolahan banyak.” 95 Tabel 23. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe III Karakteristik Responden Tipe III (n=18 orang) n (orang) n (%) Usia 35-44 tahun 7 38,8 Jenis kelamin Perempuan 10 55,5 Jenis pekerjaan Penyediaan makanan keliling 6 33,3 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 8 44,4 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 10 55,5 Tahun datang ke kota 1991-2010 9 50,0 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 11 61,1 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 11 61,1 13 72,2 14 77,8 13 72,2 Tempat tinggal pertama kali Tidak langsung tinggal di lokasi di kota Alasan datang ke kota Tingkat informasi Ingin mencari pekerjaan tentang Rendah kota Data mengenai tingkat informasi tentang kota yang responden miliki terdapat pada Gambar 17. Grafik pada Gambar 17 tersebut maka menggambarkan dengan jelas bahwa tingkat informasi yang dimiliki responden pada tipe III ini adalah rendah. 72,2 80 70 60 50 40 30 20 27,8 Jumlah (orang) Jumlah (%) 13 5 10 0 Rendah Tinggi Gambar 17. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe III 7.2.4 Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga Tipe IV ini menunjukan bahwa komunitas miskin di perkotaan merepresentasikan miskin sebagai orang yang tidak berharga, tidak berguna dan tidak memiliki kedudukan yang terhormat di dalam masyarakat, seperti tertindas, 96 terlantar, pantas dikasihani, gelandangan, pengemis dan lain sebagainya. Hal ini diungkapkan oleh seorang responden berikut: “Orang miskin itu gelandangan. Banyak anak-anak yang mengemis dan mengamen di jalanan dan di komplek-komplek untuk dapetin uang.” (Rn, 20 tahun) Berbeda dengan karakteristik responden pemilih ketiga tipe sebelumnya, responden pemilih tipe ini umumnya adalah laki-laki, berusia di bawah 25 tahun, berpendidikan setingkat SD atau yang sederajat, bekerja pada sektor informal dan sektor formal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, kue putu dan lain sebagainya, juga sebagai penyedia jasa profesional seperti buruh pabrik dan montir. Jumlah pekerjaan yang pernah mereka lakukan pada umumnya adalah dua jenis pekerjaan selama tinggal di kota, dengan lama kerja kurang dari 12 tahun. Pendapatan per bulan yang mereka peroleh melalui pekerjaan yang dilakukannya berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Responden pada tipe IV ini pada umumnya melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991 hingga 2010. Sebanyak 75,0 persen responden pemilih tipe ini tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian ketika pertama kali mereka datang ke kota, melainkan bertempat tinggal pada lokasi yang umumnya tidak terletak jauh dari lokasi tempat tinggal mereka saat ini, seperti di Gandaria Utara dan di Tanah Kusir III. Mayoritas dari responden pemilih ini merupakan orang yang baru bertempat tinggal di lokasi penelitian selama 1 hingga 15 tahun terakhir ini. Frekuensi pulang kampung yang mereka lakukan terbilang rendah, yaitu antara nol hingga dua kali dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian dilakukan. Alasan utama yang mendorong mereka melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari pekerjaan dan mayoritas responden memiliki tingkat informasi yang tinggi mengenai kota dan kehidupan kota. Pada umumnya mereka mengetahui bahwa kehidupan di kota tidak selalu sebaik seperti apa yang mereka kira ketika masih di desa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh responden berikut ini: “Cari uang di kota memang gampang, tapi menghabiskannya juga gampang. Uang itu ga ada artinya kalau di kota.” (Ibu Yy, 23 tahun) 97 Karakteristik responden pemilih tipe IV disajikan dalam Tabel 24. Tingkat informasi yang dimiliki responden tergambar pada Gambar 18. Tabel 24. Karakteristik Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe IV Karakteristik Responden Tipe IV (n=12 orang) n (orang) n (%) Usia < 25 tahun 5 41,7 Jenis kelamin Laki-laki 7 58,3 Jenis pekerjaan Penyedia makanan keliling 4 33,3 Jasa profesional 4 33,3 Tingkat pendidikan SD atau yang sederajat 6 50,0 Tingkat pendapatan Rp. 300 000,00-Rp. 600 000,00 7 58,3 Tahun datang ke kota 1991-2010 7 58,3 Lama tinggal di lokasi ≤ 15 tahun 8 66,7 Frekuensi pulang kampung Rendah (0-2 kali) 8 66,7 9 75,0 10 83,3 7 58,3 Tempat tinggal pertama Tidak langsung tinggal di lokasi kali di kota Alasan datang ke kota Ingin mencari pekerjaan Tingkat informasi tentang Tinggi kota 58,3 60 41,7 50 40 Jumlah (orang) 30 Jumlah (%) 20 5 10 7 0 Rendah Tinggi Gambar 18. Tingkat Informasi Responden Representasi Sosial Tentang Miskin Tipe IV Berdasarkan data yang tersaji di atas, dapat dilihat bahwa keempat tipe representasi sosial tentang miskin memiliki kesamaan-kesamaan dan perbedaanperbedaan pada karakteristik respondennya. Oleh karena itu, keempat tipe tersebut 98 dapat diperbandingkan untuk diambil intisari daripadanya. Perbandingan keempat tipe representasi sosial tentang miskin terdapat pada Tabel 25. Tabel 25. Perbandingan Tipe I, II, III dan IV Representasi Sosial Tentang Miskin Berdasarkan Karakteristik Mayoritas Responden Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV Usia 35-44 tahun > 34 tahun 35-44 tahun < 25 tahun Jenis kelamin Perempuan Perempuan Perempuan Laki-laki Jenis Penyediaan Penyediaan Penyediaan Penyediaan pekerjaan makanan keliling makanan keliling makanan keliling makanan keliling Jasa profesional Jasa profesional Tingkat SD atau yang SD atau yang SD atau yang SD atau yang pendidikan sederajat sederajat sederajat sederajat Tingkat Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- Rp. 300 000,00- pendapatan Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 Rp. 600 000,00 Tahun datang 2001-2010 1970-1990 1991-2010 1991-2010 ≤ 15 tahun > 8 tahun ≤ 15 tahun ≤ 15 tahun Rendah (0-2 kali) Rendah (0-2 kali) Rendah (0-2 kali) Rendah (0-2 ke kota Lama tinggal di lokasi Frekuensi kali) pulang kampung Tempat tinggal Tidak langsung Tidak langsung Tidak langsung Tidak langsung pertama kali di tinggal di lokasi tinggal di lokasi tinggal di lokasi tinggal di lokasi Alasan datang Ingin mencari Ingin mencari Ingin mencari Ingin mencari ke kota pekerjaan pekerjaan pekerjaan pekerjaan Tingkat Rendah Rendah Rendah Tinggi kota Informasi Tinggi 99 7.3 Ikhtisar Representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan terdiri atas empat macam tipe, antara lain kota adalah tempat mencari uang (I), kota adalah tempat hidup susah (II), kota adalah tempat yang tidak nyaman (III) dan kota adalah tempat hidup nyaman (IV). Tipe dominan dari representasi sosial tentang kota ini adalah tipe kota adalah tempat mencari uang (I) yang diantaranya terdiri atas pendapat ada uang di kota, ada pekerjaan di kota dan tidak mendapat peluang kerja di desa. Masing-masing tipe memiliki responden dengan karakteristik dominan yang berbeda. Pada tipe pertama, yaitu tipe kota adalah tempat mencari uang, mayoritas responden pada tipe ini adalah responden yang berusia di atas 44 tahun, berjenis kelamin perempuan, umumnya bekerja pada sektor informal dalam bidang penyediaan makanan keliling dan memiliki tingkat pendidikan yang hanya setingkat SD atau yang sederajat. Tingkat pendapatan yang diperoleh responden pada tipe ini berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Pada umumnya mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1991 hingga tahun 2010 dengan alasan ingin mencari pekerjaan dan tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Masa lama tinggal di lokasi yang umumnya kurang antara 1 hingga 15 tahun dan selama satu tahun terakhir sebelum penelitian ini berlangsung, mayoritas responden melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah, yaitu antara tidak pernah pulang kampung hingga dua kali. Pada tipe II yang tergolong pada tipe negatif, yaitu tipe kota adalah tempat hidup susah, mayoritas responden pemilihnya adalah mereka yang berusia 35 hingga 44 tahun, berjenis kelamin perempuan, tingkat pendidikannya adalah setingkat SD atau yang sederajat, dan umumnya tidak bekerja namun masih menerima uang dari suami, anak atau cucu sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Pada umumnya mereka datang ke kota antara tahun 1991 hingga 2010 dengan alasan utama untuk mencari pekerjaan. Sama seperti responden pada tipe I, mayoritas responden pada tipe II ini juga tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian pada saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota dan telah bertempat tingggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun terakhir. 100 Mayoritas responden melakukan aktivitas pulang kampung yang tergolong rendah dalam satu tahun terakhir sebelum penelitian ini berlangsung (tidak pernah pulang kampung hingga dua kali). Sedikit berbeda dengan dua tipe sebelumnya, pada tipe III (kota adalah tempat yang tidak nyaman), mayoritas respondennya adalah laki-laki yang berusia di bawah 35 tahun dan di atas 44 tahun. Jenis pekerjaan yang umumnya mereka lakukan adalah pekerjaan di sektor formal seperti montir, cleaning service dan lain sebagainya. Tingkat pendidikan responden pada tipe ini juga tergolong rendah, yaitu mayoritas hanya setingkat SD atau yang sederajat, namun terdapat pula 25,0 persen responden yang berpendidikan setara SLTA atau yang sederajat. Setiap bulannya mereka pendapatan yang mereka peroleh berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Perbedaan dengan responden pada dua tipe sebelumnya juga terdapat dalam variabel tahun datang ke kota dan masa lama tinggal di lokasi, dimana pada umumnya responden dalam tipe III ini melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 1980 dan telah bertempat tinggal di lokasi selama lebih dari 23 tahun, meskipun pada masa awal kepindahannya ke kota mereka tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Mayoritas dari mereka menjadikan alasan mencari pekerjaan sebagai alasan utama dalam berpindah ke kota dan frekuensi pulang kampung yang mereka lakukan dalam satu tahun terakhir ini adalah tidak pernah pulang kampung hingga dua kali. Pada tipe IV (kota adalah tempat hidup nyaman), karakteristik mayoritas responden pemilihnya kurang lebih sama dengan karakteristik responden pemilih tipe II, hanya hal yang membedakannya adalah pada jenis pekerjaan yang umumnya dilakukan, dimana mayoritas responden pada tipe ini bekerja pada sektor informal dalam bidang penyediaan makanan keliling. Pada representasi sosial tentang miskin, terdapat pula empat macam tipe di dalamnya, antara lain tipe miskin adalah orang yang serba kekurangan (I), tipe miskin adalah orang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (II), tipe miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif (III), dan tipe miskin adalah orang yang tidak berharga (IV). Tipe miskin adalah orang yang serba kekurangan 101 menjadi tipe dominan dari representasi sosial tentang miskin pada komunitas miskin di perkotaan. Pemilihan tipe I ini terkait dengan kehidupan dari masyarakat miskin sendiri yang tergolong jauh dari berkecukupan. Karakteristik mayoritas pemilih tipe ini antara lain berusia antara 35 hingga 44 tahun, berjenis kelamin perempuan dengan tingkat pendidikan hanya setingkat SD atau yang sederajat. Jenis pekerjaan responden pada umumnya adalah pada sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang ayam matang, pedagang pecel dan lain sebagainya. Dengan pekerjaan yang dilakukan tersebut, mayoritas responden memiliki tingkat pendapatan per bulan sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00. Pada umumnya mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010, dan telah bertempat tinggal di lokasi antara 1 hingga 15 tahun. Pada saat pertama kali melakukan migrasi desa-kota, pada umumnya mereka tidak langsung bertempat tinggal di lokasi penelitian. Frekuensi pulang kampung dari responden pemilih tipe ini cenderung rendah, yaitu tidak pernah pulang kampung hingga dua kali dalam satu tahun sebelum penelitian ini dilangsungkan. Mayoritas responden pemilih tipe ini melakukan migrasi desakota adalah karena ingin mencari pekerjaan, dan tingkat informasi yang mereka miliki tentang kota mayoritas adalah rendah. Tipe II, yaitu miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas terkait dengan tingkat pendidikan yang ditempuh oleh masyarakat miskin, dimana pada umumnya mereka tidak berpendidikan atau hanya berpendidikan rendah, sehingga keterampilan kerja mereka terbatas dan hanya mampu bekerja pada sektor informal dengan tingkat pendapatan yang rendah. Karakteristik responden pemilih tipe ini mayoritas sama dengan tipe-tipe lainnya dalam representai sosial tentang miskin ini. Karakteristik yang sedikit berbeda terletak pada usia, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota, dan lama tinggal di lokasi, dimana mayoritas responden pada tipe ini berusia di atas 34 tahun. Jenis pekerjaan yang dilakukan sebagian responden adalah di bidang jasa profesional seperti penjahit dan buruh pabrik. Pada umumnya responden pada tipe II ini 102 melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 1990. Lama tinggal responden di lokasi penelitian pada umumnya lebih dari 8 tahun Pada tipe III (miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif) karakteristik mayoritas respondennya sama dengan karakteristik responden pada tipe I. Pada tipe IV (miskin adalah orang yang tidak berharga) karakteristik responden pada variabel usia, jenis kelamin dan jenis pekerjaan tipe ini memiliki sedikit berbeda dengan tie-tipe sebelumnya. Responden pada tipe ini umumnya adalah laki-laki, berusia di bawah 25 tahun, umumnya bekerja pada sektor informal dan sektor formal, yaitu penyediaan makanan keliling dan jasa profesional dengan penghasilan sebesar Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa tidak seluruh karakteristik individu dalam komunitas miskin di perkotaan berhubungan dengan representasi sosial tentang kota yang dimiliki oleh anggota komunitas miskin tersebut. Hanya karakteristik jenis kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi yang memiliki hubungan terhadap pembentukan representasi sosial tentang kota pada komunitas miskin di perkotaan. Pada representasi sosial tentang miskin terlihat pula bahwa usia berhubungan dengan representasi sosial tentang miskin yang terbentuk. Pada representasi sosial tentang kota diketahui bahwa laki-laki cenderung merepresentasikan kota sebagai tempat yang tidak nyaman (Tipe III) dan pekerja di sektor formal, yaitu dalam bidang jasa profesional cenderung memilih tipe III untuk merepresentasikan kota dan bagi mereka yang menganggur atau bekerja sebagai pengamen jalanan, tipe II merupakan tipe yang mereka pilih untuk merepresentasikan kata kota. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun mayoritas responden pada tipe II ini tergolong migran baru, namun sejalan dengan pekerjaan mereka yang mayoritas menganggur, mereka dapat berinteraksi dan menjalin komunikasi yang lebih intensif dengan anggota komunitas miskin lainnya, sehingga mereka lebih mengetahui sisi negatif dari kota. Berdasarkan data yang disajikan, maka dapat terlihat juga bahwa lamanya anggota komunitas miskin melakukan migrasi desa-kota dan lamanya anggota komunitas miskin bertempat tinggal di kota berhubungan dengan tingkat 103 keterlibatan individu dalam kelompok dan tingkat komunikasi individu dengan anggota kelompok lainnya. Hal ini kemudian berhubungan dengan pembentukan representas sosial pada diri masing-masing individu dalam komunitas miskin. Anggota komunitas miskin yang melakukan migrasi desa-kota antara tahun 1970 hingga tahun 1980 dan telah lebih dari 23 tahun tinggal di lokasi lebih menyadari bahwa kota adalah tempat yang tidak nyaman (tipe III). Mereka lebih mengetahui sisi-sisi negatif dari kota, bukan hanya mengetahui sulitnya bertahan hidup di kota. Selanjutnya, dapat diketahui bahwa informasi, keyakinan, pendapat dan sikap berpengaruh pada proses pembentukan representasi sosial pada individu dalam komunitas miskin. Tingkat informasi yang rendah berhubungan dengan keyakinan yang positif dan sikap yang cenderung positif pada diri setiap individu dan akhirnya menimbulkan representasi sosial yang positif pada individu tersebut. Demikian juga sebaliknya, tingkat informasi yang tinggi berhubngan dengan keyakinan yang negatif dan sikap yang cenderung negatif terhadap kota. Elemen pendapat juga berhubungan dengan proses pembentukan representasi sosial. Elemen pendapat pada penelitian ini tersebar merata dan positif pada setiap tipe representasi soisal tentang kota. Keseluruhan responden berpendapat bahwa siapapun berhak tinggal dan bekerja di kota, termasuk mereka yang tergolong dalam warga miskin. Pada representasi sosial tentang miskin, diketahui bahwa semakin muda usia responden, maka representasi sosialnya semakin ke tipe miskin adalah orang yang tidak berharga (tipe IV). 104 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Anggota komunitas miskin memiliki usia yang beragam, yaitu berada di bawah usia 25 tahun hingga di atas 54 tahun. Jenis pekerjaan yang dilakukan oleh komunitas miskin antara lain pedagang eceran kaki lima, penyediaan makanan keliling, jasa perorangan, jasa profesional dan pekerjaan lainnya. Pekerjaan yang paling banyak dilakukan adalah pekerjaan di sektor informal, yaitu dalam bidang penyediaan makanan keliling seperti pedagang bakso, pedagang nasi goreng, pedagang kue putu, pedagang gorengan, pedagang nasi rames dan pedagang pecel. Tingkat pendidikan mayoritas anggota komunitas miskin adalah setingkat SD atau yang sederajat. Pendapatan yang dapat diperoleh anggota komunitas miskin berkisar antara Rp. 100.000,00 hingga Rp. 1.500.000,00 per bulannya, dengan mayoritas tingkat pendapatan berkisar antara Rp. 300.000,00 hingga Rp. 600.000,00 per bulannya. Secara keseluruhan anggota komunitas miskin melakukan migrasi desakota antara tahun 1970 hingga tahun 2010, namun mayoritas dari mereka melakukan migrasi desa-kota antara tahun 2001 hingga tahun 2010. Alasan kebanyakan anggota komunitas miskin dalam melakukan migrasi desa-kota adalah ingin mencari pekerjaan. Kebanyakan anggota komunitas miskin bertempat tinggal di lokasi selama kurang dari 8 tahun dan tidak melakukan aktivitas pulang kampung sama sekali dalam satu tahun terakhir. Mereka beralasan tidak memiliki modal yang cukup untuk pulang kampung atau sudah tidak memiliki keluarga lagi di kampung. Sebagian besar anggota komunitas miskin tidak memilih lokasi penelitian sebagai lokasi tempat tinggal pertama mereka di kota. Representasi sosial tentang kota yang ada pada komunitas miskin di perkotaan terdiri atas empat macam tipe, yaitu: tipe I (kota adalah tempat mencari uang), tipe II (kota adalah tempat hidup susah), tipe III (kota adalah tempat yang tidak nyaman) dan tipe IV (kota adalah tempat hidup nyaman). Tipe I merupakan tipe dominan yang dianut oleh anggota komunitas miskin di perkotaan. Hal ini 105 mencerminkan bahwa hingga saat ini anggota komunitas miskin yang pada dasarnya berasal dari wilayah pedesaan masih merepresentasikan kota sebagai tempat yang penuh dengan hal positif yang dapat merubah kehidupan mereka ke arah yang lebh baik. Para migran ini masih menggantungkan harapan untuk memperoleh pekerjaan, pendapatan dan kehidupan yang lebih baik di kota. Hal inilah yang menyebabkan arus migrasi desa-kota masih terus terjadi hingga saat ini, meskipun pada kenyataannya kota sudah tidak mampu lagi memberikan pelayanan yang layak kepada penduduknya. Tipologi representasi sosial tentang miskin terdiri atas: miskin adalah orang yang serba kekurangan (tipe I), miskin adalah orang yang tidak berpendidikan/memiliki keterampilan terbatas (tipe II), miskin adalah orang yang memiliki sifat negatif (tipe III) dan miskin adalah orang yang tidak berharga (tipe IV). Tipe I merupakan tipe dominan dari representasi sosial tentang miskin. Pemilihan tipe ini mencerminkan kehidupan dari masyarakat miskin sendiri yang tergolong jauh dari berkecukupan. Karakteristik komunitas miskin di perkotaan yang berhubungan dengan pembentukan representasi sosial tentang kota terdiri atas karakteristik jenis kelamin, jenis pekerjaan, tahun datang ke kota dan lama tinggal di lokasi. Hal ini terkait dengan tingkat keterlibatan individu dalam kelompok, tingkat komunikasi antar anggota kelompok dan pendistribusian representasi sosial yang dimiliki oleh kelompok kepada individu yang bersangkutan. Semakin lama individu bertempat tinggal di kota maka representasi sosial tentang kota yang dimilikinya negatif (tipe III) dan semakin mendekati pengangguran maka negatif pula representasi sosial tentang kota yang dimilikinya (tipe II). Laki-laki cenderung memiliki representasi sosial tentang kota yang negatif (tipe III). Aspek-aspek representasi sosial juga berhubungan dengan representasi sosial tentang kota yang terbentuk. Tingkat perolehan informasi yang rendah berhubungan dengan keyakinan yang positif dan kecenderungan sikap yang positif pula dan berhubungan dengan representasi sosial yang positif. Demikian sebaliknya, tingkat informasi yang tinggi berhubungan dengan keyakinan yang negatif dan kecenderungan sikap yang negatif pula sehingga menimbulkan 106 representasi sosial yang negatif. Tingkat perolehan informasi yang rendah ini pada akhirnya menyebabkan arus urbanisasi terjadi setiap tahunnya. Elemen pendapat pada penelitian ini tersebar merata dan cenderung positif pada setiap individu. Setiap individu dalam komunitas miskin berpendapat bahwa tidak ada larangan bagi siapapun untuk tinggal dan bekerja di kota, termasuk bagi mereka yang tergolong dalam warga miskin. 8.2 Saran Setelah melakukan penelitian ini dalam jangka waktu beberapa bulan, maka terdapat beberapa saran yang peneliti untuk melengkapi penelitian ini dan memperbaiki situasi yang ditemukan dalam penelitian ini. Saran-saran tersebut antara lain: 1. Perlu adanya penelitian lanjutan mengenai representasi sosial tentang kota yang lebih mendalam dengan menggunakan metode lain seperti metode central core dan peripheral core. 2. Perlu adanya sosialisasi kepada masyarakat desa mengenai kondisi peluang kerja dan tingkat pengangguran di kota yang sebenarnya, sehingga masyarakat desa dapat mengerti bahwa keadaan di kota tidak selalu baik bagi mereka dan fenomena migrasi desa-kota ini pada akhirnya dapat teratasi. Sosialisasi ini dapat melalui media masa ataupun melalui perangkat desa setempat. 107 DAFTAR PUSTAKA Adriana, Galuh. 2009. Representasi Sosial Tentang Kerja Pada Anak Jalanan (Kasus: Anak Jalanan di Kota Bogor, Jawa Barat). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bergman, Manfred Max. 1998. Social Representations As The Mother Of All Behavioral Pre-Dispotitions? The Relation Between Social Representations, Attitudes, dan Values. Faculty of Social and Political Sciences. University of Cambridge. Deaux, Kay and Gina, Philogene. 2001. Representation of The Social: Bridging Theoritical Traditions. Massachusetts: Blackwell Publisher. Fraenkel, J.R. and N. E. Wallen. 1990. How to Design dan Evaluate Research in Education. New York: McGraw-Hill. Guimelli, Christian. 1993. Concerning The Structure of Social Representation. Universite Paul Valery (Montpellier III). France. Handayani, Ninik. 2009. Menyimak Kehidupan Keluarga “Miskin”. Jurnal Analisis Sosial Vol 14 No.2 September 2009. Bandung: Yayasan Akatiga. Hugo, Graeme J. 1985. Partisipasi Kaum Migran dalam Ekonomi Kota di Jawa Barat. Dalam buku Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi). PT. Gramedia. Jayanti, Utari. 2007. Pemaknaan Masyarakat Miskin Mengenai Kemiskinan dan Keberhasilan Program Penanggulangan Kemiskinan. (Studi Kasus dua Kelompok Penerima P2KP Tahap I di Kelurahan Lemahputro, Kecamatan Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jost, John T. and Gabriel Ignatow. 2001. What We Do dan Don’t Know About The Function of Social Representations. Dalam buku Representation of The Social ( Bridging theoretical Traditions). Edited by : Kay Deaux dan Gina Philogene. Massachusetts : Blackwell Publishers Inc. Marbun, Deswanto dan Asep Suryahadi. 2009. Kriteria Kemiskinan Konsumsi: Praktik di Indonesia dan Beberapa Catatan. Jurnal Analisis Sosial Vol 14 No.2 September 2009. Bandung: Yayasan Akatiga. 108 Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Perkotaan (Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Putra, Idamsyah Eka, Citra Wardhani dan Resky Muwardhani. 2003. Representasi Sosial Tentang Pemimpin Antara Dua Kelompok Usia dan Situasi Sosial yang Berbeda di Jakarta dan Palembang. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia. Ramli, Rusli. 1992. Sektor Informal Perkotaan Pedagang Kaki Lima di Indonesia. Jakarta: Penerbit Ind-Hill-Co. Riduwan, dan Akdon. 2006. Rumus dan Data dalam Aplikasi Statistika untuk Penelitian (Administrasi Pendidikan-Bisnis-Pemerintah-Sosial-KebijakanEkonomi-Hukum-Manajemen-Kesehatan). Ed. Bukhori Alma. Jakarta: Alfabeta. Saripudin. 2009. Pengangguran dan Kemiskinan di Pedesaan (Kasus Kepala Rumahtangga Miskin di Desa Tonjong, Kecamatan Tajurhalang, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat). Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Suharto, Edi. 2009. Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas Model Jaminan Sosial Universal di bidang kesehatan. Bandung: Penerbit Alfabeta. Syahyuti. 2006. Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta Selatan: PT. Bina Rena Prawira. Todaro, Michael P. dan Jerry Stilkind. 1985. Dilema Urbanisasi. Dalam Buku Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota (Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi). PT. Gramedia. Wahyuni, Ekawati S. dan Pudji Muljono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. 109 LAMPIRAN 110 Lampiran 1. Dokumentasi Penelitian Peta Lokasi Penelitian Gambaran Umum Sektor I 111 Gambaran Umum Sektor II Gambaran Umum Sektor III ‘ Gambaran Umum Sektor IV Fasilit Fasilitas Olahraga dan Bermain Anak 112 Akses Jalan Menuju Lokasi Penelitian Akses Jalan di Dalam Lokasi Gambaran Umum Sektor V (Lokasi Penelitian) Dua Buah Sumber Air di Lokasi 113 Fasilitas MCK Umum di Lokasi 114 Warga yang Sedang Berkumpul di sore Hari Warga yang Sedang Berjualan Usaha Bengkel Seorang Warga Seorang Warga yang Sedang Bersiap untuk Berjualan 115 Lampiran 2: Hasil Asosiasi Kata Representasi Sosial Tentang Kota pada Komunitas Miskin di Perkotaan. A. Representasi Sosial Tentang Kota Kata Tipe I: Kota adalah Tempat Mencari Uang 1 tempat mencari nafkah 2 3 banyak uang tempat mencari uang 4 banyak orang jualan 5 6 peluang kerja besar sumber rezeki 7 8 lebih sering punya uang jika tinggal di kota tempat mencari kerja 9 di kampung sulit untuk mencari uang 10 mudah untuk mencari uang 11 12 13 14 15 mudah mendirikan usaha perputaran uang cepat tempat mencari rezeki banyak pekerjaan usaha lancar 16 17 18 19 20 tempat usaha lahan mencari uang luas lapangan pekerjaan luas tempat mencari makan penghasilan lancar 21 22 23 24 di desa mata pencaharian sedikit mata pencaharian ada di kota sumber uang membantu orang tua 25 26 27 28 sulit cari kerja di desa di desa tidak bisa usaha membantu keluarga yang ada di desa membantu suami 29 30 31 32 33 banyak perkantoran tempat mencukupi kebutuhan keluarga tidak ada rezeki di desa Jakarta tidak ada yang berhutang 34 pusat perekonomian Alasan Mencari nafkah lebih mudah karena peluang kerja besar Lebih sering punya uang jika tinggal di kota Pekerjaan di kota lebih banyak dibandingkan di kampung Karena kota ramai penduduknya, usaha laku setiap hari. Karena kota itu luas Karena sumber percetakan uang ada di Jakarta. Karena pekerjaan lancar Di kota jenis pekerjaannya banyak, di kampung hanya bertani. Pekerjaan sedikit, usaha tidak laku Jika di kampung jualan tidak laku, di kota karena ramai jadi bisa laku terus; karena lahan pekerjaan luas Karena ramai dan tidak ada pungutan liar Tidak ada yang berhutang Karena di kota banyak pekerjaan Karena banyak usaha yang didirikan di kota. Yang penting rajin dan kerja keras; karena banyak penduduknya; penghasilan lancar biarpun sedikit Karena kota ramai Karena kota luas Karena apa saja dapat menghasilkan Kerja apa saja bisa menghasilkan uang Tiap hari pasti dapat uang walaupun hanya sedikit Hanya di bidang pertanian Lahan pekerjaan ada di kota Karena percetakan uang ada di Jakarta Dengan cara mengirimkan uang hasil bekerja di kota Pekerjaan di desa sedikit Jualan tidak laku seperti jika tinggal di kota Mencari uang untuk keluarga Berbakti kepada suami dengan membantu suami berjualan Berarti banyak peluang kerja Karena pekerjaan ada di kota Karena lahan pekerjaan di desa sedikit Bagi orang desa kota itu hanya Jakarta Sistem hutang tidak berlaku di kota, ini membuat penghasilan datang lebih lancar. Karena Jakarta adalah ibukota negara 116 35 usaha di kampung kurang kebutuhan 36 di kampung menganggur 37 mencari tambahan penghasilan dapat memenuhi 38 usaha di kampung tidak laku 39 tempat menambah pengalaman 40 tempat merubah nasib 41 tempat menambah wawasan 42 ingin cari kerja untuk mengisi waktu 43 ingin maju 44 mengadu nasib 45 di desa hanya bisa bertani 46 sukses dalam pekerjaan Tipe II: Kota adalah Tempat Hidup Susah 47 pedih 48 susah payah dalam bekerja 49 susah mencari kerja 50 biaya hidup mahal 51 kerja keras 52 susah cari rumah 53 hidup keras 54 banting tulang 55 kurang tidur 56 hidup susah (harus punya usaha) 57 persaingan kerja ketat 58 penghasilan kecil 59 susah mencari uang 60 tidak ada yang gratis 61 biaya pendidikan mahal 62 kebutuhan hidup mahal 63 harus mengontrak rumah 64 hidup sengsara 65 harus punya uang 66 banyak aturan 67 kejam 68 disiplin 69 mandiri Tipe III: Kota adalah Tempat yang Tidak Nyaman Bila hanya bertani hasilnya kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga Tidak punya keterampilan dalam bertani Usaha di kampung (bertani) kurang mencukupi kebutuhan hidup. Banyak orang yang berhutang Karena segala jenis pekerjaan pernah dilakukan Karena banyak peluang kerja di kota (Jakarta). Jika penghasilan lancar, maka nasib juga akan berubah Karena pengalaman kerja di kota banyak Daripada menganggur Kota (Jakarta) adalah tempat yang cocok untuk memperbaiki hidup Di kampung fasilitas yang tersedia kurang sehingga untuk menjalankan usaha relatif sulit. Tidak ada jenis pekerjaan lain di desa Karena penghasilan di kota besar Harus benar-benar berjuang untuk hidup Karena harus bekerja sendirian Menyebabkan hidup susah Semua harus pakai uang Jika tidak bekerja keras, maka tidak bisa makan. Karena lahannya sempit Kontarakan harus dibayar tepat waktu, jika telat membayar maka langsung diusir Agar hidup nyaman di kota Siang-malam kerja Jika tidak memiliki usaha, maka hidupnya sengsara Akibat banyaknya orang yang ingin mencari kerja di kota Karena pekerjaan serabutan Harus memiliki keterampilan kerja yang baik Semua hal harus bayar Setap tahun harus mengganti buku pelajaran Semua harga barang lebih tinggi jika dibandingkan dengan di desa Karena tidak mampu utnuk membangun rumah sendiri Penghasilan hanya cukup untuk makan sehari-hari. Syarat untuk bertahan hidup di kota Banyak peraturan yang dibuat oleh pemerintah di kota. Sangat sulit untuk hidup layak di kota Karena di kota waktu adalah uang Karena hidup seorang diri di kota 117 70 71 72 73 bising padat penduduk panas macet 74 75 76 77 kumuh polusi kurang penghijauan (gersang) sumpek 78 lahan sempit 79 tidak nyaman untuk yang berusia lanjut 80 pemukiman tidak teratur 81 lalu lintas padat 82 rawan kejahatan 83 penduduk tidak disiplin 84 jorok/kotor 85 rawan banjir 86 banyak sampah 87 hanya untuk tempat tinggal sementara Tipe IV: Kota adalah Tempat Hidup Nyaman 88 tempat tukar pikiran dan pengalaman 89 pergaulan luas 90 91 92 93 94 95 pergaulan di kota bagus menambah teman mencari pengalaman di kota banyak orang fasilitas hidup lengkap nyaman 96 tenteram 97 pikiran selalu tenang 98 penduduk yang harmonis 99 suasana enak (adem) 100 bersih 101 tenang karena banyak orang 102 banyak bangunan sekolah 103 kehidupan yang modern 104 kehidupan yang mewah Karena banyak kendaraan Penduduk kota sudah melebihi batas Kurang ada penghijauan di kota Masyarakat kurang disiplin di jalan, terlalu banyak mobil Karena banyak perumahan padat Banyak asap kendaraan bermotor Pohon-pohon banyak yang ditebang Karena penduduknya padat dan keadaan lingkungan yang gersang Karena terlalu padat penduduk Karena kota bising dan banyak polusi Orang sembarangan dalam membangun rumah Karena terlalu banyak kendaraan Karena kondisi kota yang terlalu ramai Banyak peraturan yang dibuat tapi banyak pula yang dilanggar Banyak orang buang sampah sembarangan Banyak perumahan yang dibangun di lahan hijau, penduduk kurang disiplin dalam membuang sampah Karena penduduk yang tidak disiplin Jika sudah tua akan kembali lagi ke desa karena desa lebih baik untuk orang yang berusia lanjut Karena di kota banyak orang dengan beragam pengalaman yang dimilikinya Karena penduduk kota terdiri atas beragam suku Bergaul di kota dapat menambah wawasan Karena banyak orang di kota Karena kota luas Semua orang memilih untuk tinggal di kota Segalanya serba tersedia Karena fasilitas lengkap dan hubungan dengan tetangga harmonis Semua kebutuhan hidup tersedia di kota Karena suasana yang nyaman Penduduk kota saling menghormati karena hubungan antar tetangga harmonis Karena banyak kegiatan bersih-bersih Banyak yang membantu walaupun tidak punya saudara di kota Memudahkan dalam menyekolahkan anak Banyak tempat hiburan, gaya hidup penduduk yang tinggi. Terlihat dari banyaknya mobil mewah di jalan. 105 udara kota sejuk 106 pekerjaan tidak terlalu melelahkan Pekerjaan santai, waktu kerja fleksibel (karena berdagang) 118 107 bagus 108 kualitas pendidikan lebih baik 109 bangunan-bangunan megah 110 gengsi meningkat 111 sarana transportasi mudah didapat 112 hidup praktis 113 lingkungan yang baik 114 hidup tenang 115 Banyak mobil mewah 116 Banyak orang kaya 117 hidup enak 118 aman untuk usaha 119 hidup senang 120 fasilitas kesehatan lebih baik dan lebih lengkap 121 fasilitas pendidikan lebih baik 122 cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri 123 tidak ketinggalan jaman 124 lebih diperhatikan oleh pemerintah Karena ramai, bersih, nyaman Kualitas pendidikan lebih baik dan akses ke sekolah lebih dekat Mencerminkan kehidupan kota yang maju Karena gaya hidup di kota lebih bagus daripada di desa Mau ke mana saja mudah Segala sesuatu mudah dan cepat Para tetangga baik Jika memiliki uang dan tinggal di lingkungan yang baik, maka hidup jadi tenang. Karena banyak orang kaya Banyak bos yang tinggal di kota Asalkan bekerja, hidup menjadi enak Tidak ada pungutan liar Kalau sudah sukses di kota Banyak terdapat rumah sakit, alat-alat kesehatan lebih lengkap dan canggih. Bangunan sekolah lebih bagus dibandingkan dengan di desa Penghasilan mencukupi untuk diri sendiri Informasi mengenai gaya hidup lebih cepat sampai Karena lebih dekat dengan pusat pemerintahan B. Representasi Sosial Tentang Miskin Kata Tipe I: Miskin adalah Orang yang Serba Kekurangan 1 hidup susah 2 tidak punya uang 3 penghasilan kurang/kecil 4 harus bekerja keras 5 tidak punya biaya untuk sekolah 6 7 8 9 10 11 12 13 keadaan yang tidak memungkinkan susah cari uang sederhana (apa adanya) sengsara dalam mencari uang tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonomi sulit uang yang dipunya hanya untuk makan serba susah 14 butuh pertolongan 15 tidak punya apa-apa 16 keuangan susah 17 sering berhutang 18 makan seadanya 19 tidak punya modal usaha Alasan Karena tidak punya uang Karena pekerjaan tidak tetap Karena tidak ada pekerjaan Untuk bertahan hidup Karena orangtua juga miskin Karena ekonomi lemah, terbelit masalah keuangan yang sulit diatasi Karena susah untuk mendapatkan pekerjaan Tidak mampu hidupmewah Karena tidak punya keterampilan Karena tidak bekerja Uangnya terbatas, tidak memiliki pekerjaan. Karena penghasilan sangat kurang Karena tidak punya uang Karena tidak punya pekerjaan dan tidak punya uang Tidak mampu untuk membeli perabotan rumahtangga. Tingkat pendapatan yang pas-pasan Karena tidak punya uang, tidak dapat membeli kebutuhan hidup sehari-hari. Tergantung uang yang ada Kurang berani dalam mengeluarkan uang untuk membuka usaha, jika punya uang 119 didahulukan untuk makan karena tidak punya uang untuk makan Karena tidak punya uang Tidak mampu untuk membeli,akibatnya 22 tidak punya televisi kurang mendapat hiburan Karena keterampilan kerja tidak memadai 23 tidak punya pekerjaan Hanya bekerja sebagi buruh kasar yang 24 pekerjaan tidak tetap penghasilannya kecil Karena susah mencari pekerjaan 25 orang susah Karena keterampilan kerja kurang memadai 26 banting tulang untuk mencari uang Malas untuk bekerja karena sering ditolak 27 tidak ada kemauan untuk bekerja Karena keterampilan kerja kurang memadai 28 peluang kerja terbatas Karena penghasilan kecil, anggota keluarga 29 selalu kekurangan uang banyak Karena tidak punya uang 30 sering stress Karena tidak punya uang 31 tidak bisa hidup mewah Uang hanya cukup untuk mengontrak rumah 32 tinggal di daerah kumuh di sana Karena uang kurang 33 hanya mampu makan 1 kali dalam sehari Karena tidak punya uang untuk memperbaiki 34 tempat tinggal yang tidak layak huni rumah Karena tidak punya uang 35 tidak mampu membangun rumah Karena pekerjaan yang tidak tetap 36 penghasilan tidak menentu Habis untuk belanja keperluan berdagang 37 penghasilan tidak mencukupi saja Uang yang dimiliki selalu habis, tidak 38 tidak memiliki tabungan bersisa Karena pekerjaan tidak menentu 39 keuangan sangat kurang Karena pekerjaan tidak tetap 40 penghasilan sangat sedikit 41 susah cari uang Lelah mencari uang karena susah 42 hidup pas-pasan Kalau tidak bekerja keras, berarti tidak dapat makan. 43 tidak dapat membayar kontrakan rumah Karena penghasilan kecil 44 tidak ada biaya untuk berobat Karena obat-obatan mahal, biaya berobat mahal, uang hanya cukup untuk makan 45 kurang memperhatikan kesehatan Karena lebih penting untuk memikirkan cara memenuhi kebutuhan hidup keluarganya 46 nasibnya susah Karena susah cari kerja di kota (Jakarta) 47 tidak mampu membeli sembako Karena uang terbatas Karena tidak punya uang untuk membeli 48 gizi buruk makanan 4 sehat 5 sempurna Tipe II: Miskin adalah Orang yang Tidak Berpendidikan/ Memiliki Keterampilan Terbatas Putus sekolah karena kurangnya biaya 49 tidak berpendidikan Karena keterampilan kerja kurang memadai 50 peluang kerja terbatas Karena tidak ada biaya untuk sekolah 51 putus sekolah Karena tidak memiliki keterampilan kerja yang cukup 52 sulit cari pekerjaan Karena pendidikan rendah 53 keterampilan kerja kurang 54 tidak berpendidikan Karena tidak mampu untuk sekolah 55 kurang pengetahuan Karena pendidikannya rendah 56 pikiran tertutup Karena wawasan kurang 57 tidak bisa berpikir jernih dalam menghadapi masalah Karena tidak berpendidikan 58 keterampilan kerja kurang Karena pendidikan terbatas 59 pendidikan rendah Terkait dengan sejarah orang Indonesia yang dahulu susah untuk sekolah 20 susah makan 21 tidak mampu untuk berobat ketika sakit 120 60 tidak punya ijazah Karena tidak sekolah 61 kurang pengetahuan Karena pendidikan rendah 62 tidak berpendidikan Karena tidak mengenyam bangku sekolah 63 kepandaian terbatas Karena tidak berpendidikan Tipe III: Miskin adalah Orang yang Memiliki Sifat Negatif Malas untuk bekerja karena sering ditolak 64 tidak ada kemauan untuk bekerja 65 pemalas Sifat dasar dari masyarakat miskin yang mengakibatkan mereka tidak memiliki uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya 66 pesimis Karena terlalu sering gagal dalam mencari kerja dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya 67 sering marah-marah Karena stress akibat tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup 68 lebih mengutamakan untuk foya-foya jika memiliki Hal ini terjadi karena masyarakat miskin uang jarang menikmati hidup enak, sehingga lupa untuk lebih dahulu memenuhi kebutuhan hidupnya 69 tidak ingat Tuhan Karena sibuk mencari pekerjaan 70 mental kurang kuat Terlalu takut untuk berusaha 71 pengangguran Malas untuk mencari uang 72 putus asa dalam mencari pekerjaan Sudah malas untuk mencari kerja akibat sering gagalnya mencari pekerjaan 73 sering menegeluh Karena tidak memiliki pekerjaan 74 mental kurang kuat untuk berjuang Sering putus asa dalam mencari pekerjaan Tipe IV: Miskin adalah Orang yang Tidak Berharga Tidak mampu untuk membeli perabotan 75 tidak punya apa-apa rumahtangga. Tidak punya uang untuk mengontrak rumah 76 hidup sebagai gelandangan 77 orang kecil Orang tidak mampu yang utuh pertolongan 78 terdiskriminasi Selalu dianggap remeh oleh orang lain 79 gelandangan Karena tidak punya tempat tinggal 80 pekerjaan buruh kasar Hanya mampu untuk bekerja demikian karena kurangnya keterampilan kerja 81 pantas untuk dikasihani Karena tidak mampu 82 kaum papa Warga miskin berasal dari kaum rendahan. 83 tidak memiliki wibawa Selalu menganggap dirinya rendah dan direndahkan oleh orang lain 84 tidak ada yang mengurus Hidupnya terlantar, harus mampu hidup mandiri 85 rumah di pinggir kali Tidak mampu untuk hidup layak