43 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DALAM BINGKAI DRAMA: Kajian Pendidikan Karakter Berbasis Karya Sastra Ahmad Yasid (Dosen Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep) Abstrak Drama merupakan bagian dari karya sastra, dan sastra adalah suatu karya yang lahir dari perasaan dan imajinasi, dan selalu bertemakan tentang manusia dan lingkungannya. Drama sebagai bagian dari karya sastra mencerminkan keadaan sosial budaya bangsa, dan sudah semestinya diwariskan kepada generasi muda. Dalam dunia pendidikan, drama menjadi materi penting sebagai salah satu upaya pembentukan karakter peserta didik, dan pemahaman serta pelestarian sosial budaya bangsa. dengan alasan itu, karya sastra tentu berpotensi besar untuk membawa manusia ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sastra khususnya drama, sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya dari keadaan yang kurang baik ke keadaan yang mandiri. Kata Kunci: pendidikan, drama, pengarang, sastra, pembentukan karakter Pendahuluan Drama merupakan karya sastra yang dapat berbentuk naskah dan juga pementasan. Dalam bentuk naskah, pihak yang terlibat adalah pengarang dan pembaca. Dalam bentuk pementasan, pihak yang terlibat sekurang-kurangnya ada pengarang naskah (jika pementasan berdasarkan naskah), kru pementasan (di antaranya; pemain, sutradara, penata musik, dan penata artistik), dan penonton. Dalam pembahasan kali ini, berkenaan dengan topik yang disajikan, akan membuktikan dapat tidaknya drama dijadikan sebagai media pembentukan karakter peserta didik. Di antara pekerja seni drama memungkinkan ada yang tidak peduli apakah naskah dan/atau pementasannya bermanfaat sebagai pembentukan karakter atau tidak, dan tidak jarang mereka lebih memilih hanya berkreasi/berekspresi. Namun, ada pula pekerja seni drama yang berpegang pada prinsip bahwa karya seninya harus bermanfaat dan tidak sekedar menghibur, tetapi juga membangun karakter atau sebagai transformasi nilai yang berdampak pada karakter diri. Perbedaan para pekerja seni itu sudah ada sejak lama dan tampaknya tidak dapat dipaksa harus memilih satu bagian saja. Drama merupakan bagian dari karya sastra, dan sastra adalah suatu karya yang terlahir dari perasaan dan imajinasi, perasaan manusia sehingga menimbulkan kesan yang menarik. Sastra sering kali tercipta dari hasil karya imajinasi pikiran manusia itu sendiri, sehingga dapat menghasilkan suatu karya sastra yang temanya selalu tentang manusia dan lingkungannya. Sastra terlahir dari dorongan manusia untuk mengungkapkan diri, hal yang berisi tentang masalah manusia, kemanusiaan, dan semesta (Semi, 1993:1). Volume 3, Nomor 1, Januari 2012 44 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK Menurut Welleck dan Warren (1993), sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan dicetak. Selain itu, sastra merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas pengertiannya daripada karya nonfiksi. Dengan ini, Karya sastra pada umumnya berisi tentang permasalahan yang meliputi kehidupan manusia. Permasalahan itu dapat berupa apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Karena itu, karya sastra memiliki dunianya sendiri yang merupakan hasil pengamatan sastrawan terhadap kehidupan yang diciptakan itu sendiri baik berupa novel, puisi maupun drama yang berguna untuk dipahami dan dimanfaatkan oleh para penikmat karya sastra sebagai media hiburan dan apresiasi. Drama dapat dibicarakan dari sisi teknikalitas, seperti mengenai teknik perwujudannya, antara format realis dengan surealis atau absurd, atau antara yang konvensional dengan eksperimental, dan seterusnya. Bisa juga pendekatan atas suasana bangunan dramatik seperti antara tragedi dengan komedi. Yang pasti, drama baik bentuk pementasan maupun naskah memiliki nilai sebagai interpretasi suatu realitas sosial budayanya. Drama merupakan karya sastra sebagai fenomena psikologis, sehingga menampilkan aspek-aspek kejiwaan melalui tokoh-tokoh dalam sebuah naskah maupun bentuk pementasan. Dengan ini, karya sastra (seperti drama) dan psikologi secara fungsional dapat dikatakan memiliki pertautan yang erat. Karya sastra dan psikologi memiliki hubungan fungsional karena sama-sama mempelajari keadaan kejiwaan orang lain, dan juga memiliki objek yang sama yaitu kehidupan manusia. Perbedaannya, psikologi lebih pada gejala riil, dan sastra bersifat imajinatif (Jatman, 1985:165). Jurnal Pelopor Pendidikan Dengan ini, drama dilihat dari pemaknaannya dalam konteks sosial dan kultural tentu hadir sebagai fungsi instrumental, dan di lain pihak sebagai sarana ritual, bersifat penataan hubungan komunitas secara vertikal dengan yang di “atas”. Dengan sendirinya drama berdasarkan fungsinya dapat dipandang dan diproses secara serius. Di sini, drama khususnya bentuk pementasan merupakan sebagai sarana bermain-main dari komunitas, berfungsi horisontal sebagai upaya memelihara hubungan di antara anggota komunitas. Dari alasan ini kemudian budaya drama dipelihara dan diperkembangkan. Sifatnya drama ketidakterpisahan dengan komunitasnya sebagai sarana memelihara nilai-nilai yang menjadi landasan dan identitas komunitas. Makna (meaning) sebagai apa yang dianggap benar dari suatu drama dimaksudkan untuk menjaga nilai dominan dalam komunitas. Drama dan Kepengarangan Drama seringkali disamakan dengan teater. Dua istilah ini memang tumpang tindih. Drama berasal dari bahasa Yunani “draomai” yang berarti berbuat, bertindak; sementara teater berasal dari kata Yunani juga “theatron” yang berarti tempat pertunjukan. Kata teater sendiri mengacu kepada sejumlah hal yaitu: drama, gedung pertunjukan, panggung pertunjukan, kelompok pemain drama, dan segala pertunjukan yang dipertontonkan. Karya sastra yang berupa dialog-dialog dan memungkinkan untuk dipertunjukan sebagai tontonan disebut dengan drama, sedangkan karya seni berupa pertunjukan yang elemen-elemennya terdiri atas seni gerak, musik, dekorasi, make up, costum, dan lainnya disebut teater. Sebagaimana yang jelaskan Jakob Soemardjo, bahwa drama dibedakan menjadi dua, yaitu drama Ahmad Yasid naskah dan drama pentas. Istilah yang kedua inilah, yakni drama pentas, seringkali disamakan dengan teater. Berdasarkan pejelasan tersebut, drama dan teater dapat dibedakan bahwa drama termasuk seni sastra, dan teater sebagai seni pertunjukan. Selain dua istilah ini, ada istilah lain yang sejenis yakni sandiwara dan tonil. Sandiwara berasal dari bahasa Jawa dan tonil berasal dari bahasa Belanda. Drama sebagai karya sastra atau seni, Kuypers (1977:251-254) menjelaskan bahwa karya seni boleh dipandang sebagai tanda, karena dibuat dengan maksud menyampaikan sesuatu. Tanda yang secara wajar yang dengan sendirinya me-nyampaikan sesuatu adalah lambang atau simbol. Yoshinobu Inoura (1971:1) menjelaskan tentang drama sebagai berikut: “be it ordinary drama, or masked drama, or puppet drama, all drama expresses man’s spiritual and cultural life directly, impressively and vividly by bodily action. It comport and delight people, stimulates them to think, and purifies their minds. And it reflects man’s life all the better for this”. Dari pengertian ini dapat diakatan bahwa drama, baik drama biasa maupun drama bertopeng dan lainya, merupakan cara pengukuran kehidupan spiritual dan kultural kehidupan manusia dengan impresif melalui gerakan tubuh. Pendapat ini lebih dekat pada drama pementasan. Pada dasarnya drama sebagai hiburan, tetapi juga merangsang manusia untuk berpikir dan menjernihkan pikirannya. Artinya, drama mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik. Drama dikatakan mencerminkan kehidupan manusia dengan cara yang lebih baik karena drama dapat melaksanakan fungsi katarsis. Aristoteles (dalam Humar Sahman, 1993) mengatakan bahwa drama harus memperlihakan kesatuan dari bentuk dan struktur karya seni. Sebagai kesatuan, drama itu akan dapat melaksanakan fungsi katarsis, yang dapat diartikan sebagai sublimasi atau pembebasan tekanan batin seperti adanya tekanan-tekanan sosial. Jika tekanan batin ini tidak dikatarsis, tentu akan bisa mengambil bentuk tindakan yang destruktif ataupun asosial. Dalam sebuah drama yang berbentuk naskah atau pemintasan yang didasarkan pada naskah diperlukan pengarang, tanpa adanya seorang pengarang drama tentu tidak akan tercipta seatu drama. Seorang pengarang menjadi komponen penting dalam drama, sebab ia merupakan orang yang pertama kali mengetahui sosial dan kultural yang kemudian diinterpretasikan dalam bentuk drama. Menjadi pengarang selalu ditantang harus kreatif menyikapi hidup dan kehidupan. Ia harus menjadi orang yang pintar dalam menyelesaikan persoalan tidak saja dalam cerita drama yang dikarangnya, tetapi juga dalam realitas kehidupan. Seorang pengarang harus tegar dan tahan banting serta percaya diri, termasuk sikap mentalnya dalam menghadapi realitas kehidupan. Pengarang ditantang harus menghadapinya secara total sehingga dapat menikmati keindahan hidup. Bagi seorang pengarang, keindahan tidak selalu berupa keadaan atau barang yang menyenangkan. Keadaan yang menyedihkan bahkan sering pula menegangkan pun ia rasakan sebagai keindahan. Itulah sebabnya pengarang ditantang harus dapat me-nyelesaikan hampir semua persoalan kehidupan dengan baik. Persoalan kehidupan harus diselesaikan tidak seperti halnya persoalan membangun suatu bangunan, seperti memabngun rumah Membangun sebuah rumah dikatakan rampung jika kriteria yang ditentukan sebelumnya telah terpenuhi. Misalnya, seseorang membangun gedung untuk kantor. Gedung itu ditanyakan selesai jika Volume 3, Nomor 1, Januari 2012 45 46 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK telah dilengkapi dengan lantai, dinding, atap, dan dicat. Setelah kriteria itu terpenuhi, berarti selesailah pembangunan gedung itu. Namun, penyelesaian persoalan hidup yang pengarang lakukan lebih dari sekedar keringan basah, ia terkadang dan tak jarang menyerahkan keputusan kepada Tuhan Mahakuasa. Pengarang mungkin sudah mengajukan berbagai alternatif pemecahan persoalan seperti halnya yang sering pengarang kembangkan dalam mengarang drama. Dalam mengakhiri cerita drama, pengarang kadang-kadang secara eksplisit mengajukan alternatif pemecahan persoalan sehingga apresiator dengan mudah dapat menangkap pesan itu. Namun, tidak tertutup kemungkinan pengarang hanya memberikan rambu-rambu alternatif, dan dapat terjadi juga pengarang menyerahkan sepenuhnya alternatif pemecahan persoalan kepada apresiator. Cara yang demikian pun pengarang tempuh ketika menyelesaikan persoalan hidup. Pengarang mengajukan berbagai alternatif pemecahan itu kepada Tuhan Mahakuasa. Dengan sikap mental yang demikian, pengarang dapat menikmati hidup ini sebagai sesuatu yang indah. Proses kreatif tidak hanya berpengaruh terhadap sikap mental pengarang dalam menyikapi hidup, tetapi juga hidup orang lain. Jika dimintai saran oleh teman, tetangga, saudara, orang tua, atau anak, dan entar siapa lagi yang sedang menghadapi persoalan hidup, pengarang berusaha secara kreatif mengajukan berbagai alternatif. Pengarang seperti sedang mengarang drama, pikiran dan imajinasinya berkembang jauh. Hasil akhirnya adalah skenario pemecahan persoalan. Kemudian, seorang pengarang sodorkan skenario itu kepada orang yang meminta saran itu. Bahkan, tidak jarang terjadi seketika dimintai saran, pengarang langsung masuk ke dalam proses kreatif. Dengan demikian, jika terjadi dialog Jurnal Pelopor Pendidikan antara pengarang dan peminta bantuan, dialog yang pengarang ucapkan itu seperti halnya dialog yang biasa pengarang tulis dalam drama. Artinya, mulai urutan materi dialog sampai pada akhir dialog, isi dialog dan gaya berdialog berkembang secara kreatif dengan arah pemecahan persoalan. Pengarang harus menjadi orang yang sangat peka. Sering terjadi tanpa diminta pengarang berperan dalam menyelesaikan persoalan orang lain Atas dasar alasan ini, seorang pengarang senantiasa melakukan interaksi dengan realitas baik secara langsung maupun tidak. Sebagaimana pendapat Welek dan Austin Warren (dalam budianto, 1989:127), bahwa situasi sosial memang menentukan kemungkinan dinyatakannya nilai-nilai estetis, tetapi tidak secara langsung menentukan nilai-nilai itu sendiri. Pendapat sama juga dilontarkan oleh Teeuw (1983:61), bahwa pengarang tidak lepas dari paham-paham, pikiran-pikiran, atau pandangan dunia pada zamannya ataupun sebelumnya. Ia tidak lepas dari kondisi sosial budayanya. Putu Wijaya, sebagai pengarang, ia pun menyadari ada keterkaitan antara proses kreatifnya dengan realitas. Dia menyatakan bahwa drama Lautan Bernyanyi (semula cerpen), Tak Sampai Tiga Bulan, Aduh, Anu, dan Dag Dig Dug, misalnya, dikarangnya berdasarkan realitas. Namun, realitas itu dikembangkannya melalui kreativitas imajinasinya (Eneste, 1982:145-168). Para pengarang lain, seperti Teguh Karya, Arifin C. Noor, atau Asrul Sani, berpendapat sama bahwa ralitas merupakan sumber inspirasi ide cerita sekaligus sumber inspirasi cara menceritakannya. Pendapat Teguh Karya, kesenian adalah abstraksi kehidupan. Inilah sebabnya dia berpendapat bahwa kita harus melengkapinya dengan filsafat dan ilmu. Prinsip itulah yang dipegang oleh Teguh Karya sehingga dia mengkritik film yang menampilkan adegan cowok Ahmad Yasid menjemput pacara dengan helikopter. Kritikannya ditujukan pula pada film yang meng-gambarkan orang miskin selalu dengan isak tangis menghiba atau orang kaya dengan mobil mewah dalam jumlah banyak. Bagi Teguh Karya, ada realitas yang lain: orang miskin tidak selalu menangis dan temannya yang kaya, tetapi mobilnya hanya satu (Suara Merdeka, 17 April 1994: X). Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa drama merupakan hasil interpretasi seorang pengarang. Dan kepengarangan sebuah drama tentu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tapi memerlukan perhatian dan keseriusan supaya tercipta suatu drama (naskah drama) yang bermakna dan benar-benar sebagai perwujudan sosial budaya dari kehidupan manusia. Drama dan Pendidikan Karakter Drama sebagai karya sastra yang mencerminkan keadaan sosial budaya bangsa haruslah diwariskan kepada generasi mudanya. Karena itu, drama menjadi materi penting dalam proses pendidikan sebagai salah satu upaya pembentukan karakter peserta didik, dan sebagai generasi muda yang sudah semestinya memahami dan melestarikan sosial budaya bangsa. Hal ini diperkuat dengan pendapat Herfanda (2008:131), bahwa sastra memiliki potensi yang besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan. Tentunya perubahan di sini termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra khususnya drama dapat menjadi spirit bagi munculnya gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya dari keadaan yang kurang baik ke keadaan yang mandiri. Dengan berbagai fungsi sastra, sekolah atau lembaga pendidikan sudah semestinya memperhatikan bahan ajar drama baik berupa naskah maupun dalam bentuk pementasan. Para pengajar yang kesulitan dalam mengajarkan karya sastra dikarenakan ketidakmampuannya sehingga hanya mengajarkan drama secara sekilas, hanya mengenai pengertian drama dan isinya. Sedangkan hal inilah yang menyebabkan siswa kurang memperhatikan nilai-nilai karya sastra dan hanya dipandang sebagai main-main. Maka, penerapan pendidikan karakter berbasis sastra tidak tercapai dengan baik Padahal, spirit-spirit dalam drama menjadi bagian terpenting dari pendidikan karakter peserta didik. Artinya, drama tidak hanya sekadar menjadi sesuatu yang mampu memberikan kemenarikan dan hiburan serta penanaman dan pemupukan rasa keindahan, tetapi juga dapat memberikan pencerahan mental dan intelektual. Dalam keadaan demikian, Ismail dan Suryaman (2006) menjelaskan bahwa karya sastra (drama) haruslah sudah diperkenalkan kepada anak sejak usia dini. Hal ini dimaksudkan agar kemampuan literasi tumbuh sehingga budaya berimajinasi dan berkreasi serta membaca dapat berkembang. Kemampuan tersebut tidak dapat tumbuh tanpa usaha sadar dan terencana. Usaha sadar dan terencana itu dapat dilakukan dengan pendidikan yang lebih memperhatikan potensi alamiah peserta didik khususnya minat dan bakat dalam bidang sastra. Selain mengandung keindahan, karya sastra juga memiliki nilai manfaat bagi pembaca. Segi kemanfaatan muncul karena penciptaan karya sastra berangkat dari kenyataan sehingga lahirlah paradigma bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, baik bobotnya maupun susunannya; menciptakan kembali Volume 3, Nomor 1, Januari 2012 47 48 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK ke-seluruhan hidup yang dihayati: kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, serta dunia yang sarat objek (Ismail dan Suryaman, 2006). Hal itu bisa dicapai dengan menghadirkan proses kreatif dari para peserta didik, sehingga ia mampu menjadi pengarang maupun komponen sastra lainnya. Abrams (1981) menjelaskan mengenai karya sastra pada empat paradigma, yaitu; pertama, paradigma karya sastra sebagai karya objektif (sesuatu yang otonom, terlepas dari unsur apa pun); kedua, Paradigma karya sastra sebagai karya mimesis (tiruan terhadap alam semesta); ketiga, Paradigma karya sastra sebagai karya pragmatis (yang memberikan manfaat bagi pembaca); keempat, paradigma karya sastra sebagai karya ekspresif (pengalaman dan pemikiran pencipta). Dengan demikian, karya sastra memang memiliki segi manfaat yang sangat besar baik bagi pembaca maupun ke-terlibatan diri di dalamnya, khususnya berkenaan dengan nilai-nilai yang ter-kandung agar diri yang terlibat dalam sastra lebih mampu menerjemahkan persoalan-persoalan hidup melalui kesalehan sosial dan kesalehan ritual. Berdasarkan paparan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa sastra dengan demikian dapat berfungsi sebagai media pemahaman budaya suatu bangsa (yang di dalamnya terkandung pula pendidikan karakter). Melalui drama, misalnya, model kehidupan dengan menampilkan tokoh-tokoh cerita sebagai pelaku kehidupan menjadi representasi dari budaya masyarakat (bangsa). Tokoh-tokoh cerita dalam drama terlihat bersifat, bersikap, dan berwatak. Kita dapat belajar dan memahami tentang berbagai aspek kehidupan melalui pemeranan oleh tokoh tersebut, termasuk berbagai motivasi yang dilatari oleh keadaan sosial budaya tokoh itu. Hubungan yang terbangun antara pembaca dengan dunia cerita dalam sastra Jurnal Pelopor Pendidikan adalah hubungan personal. Hubungan demikian akan berdampak kepada terbangunnya daya kritis, daya imajinasi, dan rasa estetis. Dengan kata lain, Melalui karya sastra seperti drama, peserta didik tidak hanya belajar budaya konseptual dan intelektualistis, melainkan dihadapkan kepada situasi atau model kehidupan konkret. Sastra dapat dipandang sebagai budaya dalam tindak (culture in action), dan membaca sastra Indonesia misalnya, berarti mempelajari kehidupan bangsa Indonesia. Sastra dalam pendidikan nasional sudah diakui untuk dikembangan melalu standar isi (SI) yang prakarsai oleh BSNP (Permendiknas No. 22 Th. 2006). Dalam setandar isi (SI) terdapat standar kompetensi (SK) mata pelajaran Bahasa Indonesia yang merupakan kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang digambarkan melalui penguasaan pengetahuan, keterampilan, dan sikap positif terhadap bahasa dan sastra Indonesia. Standar kompetensi ini merupakan dasar bagi peserta didik untuk memahami dan merespons situasi lokal, regional, nasional, dan global. Artinya, kajian sastra dalam lingkungan pendidikan memang menjadi kajian formal yang mesti diperhatikan. Dengan demikian, drama sebagai bagian dari karya sastra dapat menjadi sarana untuk tercapainya pendidikan karakter, dan dapat mengantarkan pada pembentukan karakter peserta didik dengan baik. Sebab, di dalam drama pementasan, misalnya, peserta didik akan diperkenalkan dengan banyak hal di antaranya; 1) olah vokal, 2) olah nafas, raga, dan rasa, 3) teknik berakting dan memahami sebuah naskah, dan seterusnya. Dengan itu, peserta didik akan memiliki kemampuan kepekaan terhadap sesuatu dalam kehidupan sosial budayanya, dan kemampuan lainnya yang dapat mengantarkan minat dan bakat potensi alamiahnya. Ahmad Yasid Implikasi Drama Pada Karakter Peserta Didik Dalam drama, seseorang akan dibiasakan peka terhadap lingkungan sekitarnya termasuk pada dirinya sendiri. Drama di sekolah (lembaga pendidikan) selain sebagai pembelajaran apresiasi sastra, peserta didik akan dirangsang untuk memiliki kepandaian dalam membaca naskah dan bermain peran, dimana kedua hal ini menjadi materi dalam suatu pembelajaran apresiasi drama. Salah satu manfaat dari drama, misalnya, seorang guru menugaskan peserta didik menyaksikan pementasan drama atau membuat naskah drama yang kemudian dibahas di kelas merupakan perwujudan dari pemanfaatan drama sebagai sumber belajar. Pembelajaran sastra melalui drama ini akan membuat peserta didik merasa senang dan semangat, sehingga dengan sendirinya terbangun suatu karakter dalam diri peserta didik. Drama dalam fungsinya sebagai suatu sumber belajar di sekolah dapat dipandang sebagai jenis sumber belajar yang dirancang secara sengaja dibuat atau dipergunakan untuk membantu belajar mengajar (learning resources by design). Selain itu, drama dapat dijadikan sumber belajar yang dimanfaatkan guna memberi kemudahan kepada peserta didik dalam belajar, yaitu berupa segala macam sumber belajar yang ada di sekeliling kita (learning resources by utilization). Karena itu, pelajaran drama dalam dunia pendidikan diharapkan dapat mewujudkan cita-cita pendidikan nasional yang sekarang lagi semarakkan oleh pendidikan karakter, sesuai dengan standar kompetensi dalam mata pelajaran bahasa Indonesia yaitu: 1. Peserta didik dapat mengembangkan potensinya sesuai dengan kemampuan, kebutuhan, dan minatnya, serta dapat menumbuhkan peng-hargaan terhadap hasil karya kesastraan dan hasil intelektual bangsa sendiri. 2. Pendidik dapat memusatkan perhatian kepada pengembangan kompetensi bahasa peserta didik dengan menyediakan berbagai kegiatan berbahasa, bersastra, dan sumber belajar. 3. Pendidik lebih mandiri dan leluasa dalam menentukan bahan ajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi lingkungan sekolah dan kemampuan peserta didiknya. 4. Orang tua dan masyarakat dapat secara aktif terlibat dalam pelaksanaan program kebahasaan dan kesastraan di sekolah. 5. Sekolah dapat menyusun program pendidikan tentang kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan keadaan peserta didik dan sumber belajar yang tersedia. 6. Daerah dapat menentukan bahan dan sumber belajar kebahasaan dan kesastraan sesuai dengan kondisi dan kekhasan daerah dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional. Dalam Permendiknas No. 22 Th. 2006 mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1. Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis. 2. Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara. 3. Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan. 4. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan Volume 3, Nomor 1, Januari 2012 49 50 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 5. Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa. 6. Menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia. Berdasarkan harapan dan tujuan tersebut, penekanan pembelajaran drama sebagai bagian dari karya sastra diorientasikan pada manfaatnya bagi pengembangan karakter peserta didik, di samping manfaat estetis. Penekanan ini menjadi bagian terpenting di dalam pembelajaran bersastra yang meliputi kegiatan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Oleh karena itu, materi drama diarahkan untuk meningkatkan apresiasi terhadap sastra agar peserta didik memiliki kepekaan terhadap sastra yang baik dan bermutu yang akhirnya berkeinginan membaca, menulis dan berkreatifitas lainnya. Kegiatan bersastra pada masa modern ini, sesungguhnya kurikulum telah memungkinkan peserta didik untuk mahir dan terbiasa membaca dan menulis. Akan tetapi, bagaimana dengan implementasinya di kelas maupun di rumah sehingga berimplikasi terhadap peserta didik. Selama ini, para pengajar dan peserta didik telah banyak menghabiskan waktunya untuk keterampilan seperti bahasan kosakata, hubungan huruf-bunyi, dan jawaban terhadap pertanyaan secara tertulis. Sedangkan penerapan kejiwaan secara langsung masih relatif kurang, seperti pementasan drama atau penulisan drama yang hasil refleksi langsung dari sosial budayanya. Maka, drama menjadi hal yang Jurnal Pelopor Pendidikan juga sangat penting untuk meningkatkan dan menumbukan kreativitas peserta didik. Manfaat lain dari drama, misalnmya, pementasan drama yang merupakan karya seni/sastra bersifat kolektif, sehingga akan mengajarkan bagaimana menjadi sutradara. Sedangkan sutradara merupakan otak utama dari sebuah pementasan. Biasanya sutradaralah yang memilih dan menafsirkan naskah, memilih pemain dan melatihnya, dan mengoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam pementasan. Jika dia mempunyai pegangan yang mengacu pada nilai religi, nilai estetis, nilai filosofis, dan nilai komersial (CF. Tambajong, 1981: 68). Drama akan memberikan banyak manfaat yang bukan hanya masalah membaca dan menulis, tapi juga pada kemampuan mendengarkan berbicara. Melalui pembelajaran drama, peserta didik akan mampu menjadi pendengar dan pembicara yang handal, mempunyai kemampuan lingustik. Kemampuan ini bukan semata-mata untuk kepentingan hubungan sosial dan pribadi, tetapi juga untuk kepentingan mengembangkan karakter peserta didik yang siap menghadapi masa depan. Dengan demikian, pembelajaran drama akan membangun peserta didik berkarakter, paling tidak akan memiliki kemampuan membaca, menulis, mendengarkan, dan melisankan (membahasakan) dengan baik. Penutup Bermain drama, mengarang naskah drama, dan menjadi sutradara sebuah pementasan drama sesungguhnya dapat menjadi bekal bagi pembentukan karakter. Namun, pada pengalamannya hal itu tergantung pada diri kita masing-masing. Jika menjadikan drama sebagai media berekspresi saja, kita hanya sampai pada kemampuan berekspresi. Akibatnya, ada Ahmad Yasid pemain drama, sinetron, atau film yang selalu diberi peran (dalam sinetron, drama, atau film itu) sebagai ibu yang sangat arif menyikapi hidup, baik ketika suka maupun duka, tetapi dalam kehidupan nyata dia mengakhiri hayatnya secara tragis: bunuh diri. Ada pengarang drama yang berakhlak mulia dalam naskah dramanya, tetapi kehidupan nyatanya dia berakhlak sebaliknya. Ada sutradara yang menguasai berbagai ilmu, termasuk ilmu agama, tetapi hidupnya jauh dari pengalaman agamanya. Jadi, drama dalam dunia pendidikan akan menjadi salah satu media membangun karakter baik bagi peserta didik maupun komponen lainya. Drama dapat mengantarkan kita untuk mencapai nilai-nilai kehidupan. Kecuali, jika drama hanya dipandang atau dijadikan sebagai media berekspresi, peranan drama tentu saja hanya sebatas media berekspresi yang tak bermakna pada realitas kehidupan diri yang sesungguhnya.[] Daftar Pustaka: A. Teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Pustaka Jaya, 1983. A.Y. Herfanda, “Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya” dalam Bahasa dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Aanwar Effendi, ed. Yogyakarta: FBS UNY dan Tiara Wacana, 2008. Atar Semi, Anatomi Sastra, Padang: Angkasa Raya, 1993. Humar Sahman, Mengenali Dunia Seni Rupa: Tentang Seni, Aktivitas Kreatif, Apresiasi, Kritik dan Esai, Cet. Ke-1, Semarang: IKIP Semarang, 1993. Jatman Darmanto, Sastra, Psikologi, dan Masyarakat, Bandung: Penerbit Alumni, 1985. Jabrohim, Metodologi Penelitian Sastra, Yogyakarta: Hanindita Graha Widya, 2003. K. Kuypers, Elseviers Filosofische en Psychologiche Encyclopedie, Amsterdam: Elsevier, 1977. M.H. Abrams, A Glossary of Literary Lamps, New York: Holt Rinehart & Winston, 1981. Pemusuk Eneste, Proses Kreatif: mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang, Jakarta: PT. Gramedia, 1982. Panuti Sudjiman, Kamus Istilah Sastra, Jakarta: UI Press, 1990. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi, Jakarta, 2006. Rene Wellek & Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1993. T. Ismail dan M. Suryaman, Instrumen Pemilihan Buku Sastra untuk Perpustakaan Sekolah, Jakarta: Pusat Perbukuan Depdiknas, 2006. Yoshinobu Inoura, The Traditional Theater of Japanese, Tokyo: Japanes National Commission for UNESCO, 1971. Volume 3, Nomor 1, Januari 2012 51 52 MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK Dalam drama, seseorang akan dibiasakan peka terhadap lingkungan sekitarnya termasuk pada dirinya sendiri. Jurnal Pelopor Pendidikan