Perencanaan lanskap permukiman untuk mitigasi Bencana

advertisement
PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI
BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN
KABUPATEN BANDUNG
CICI NURFATIMAH
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
RINGKASAN
CICI NURFATIMAH. A44062476. Perencanaan Lanskap Tata Ruang
Permukiman Untuk Mitigasi Bencana Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung. Dibimbing oleh QODARIAN
PRAMUKANTO
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa patahan
lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah utara,
lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur
kepulauan. Hal ini mengakibatkan Indonesia menjadi salah satu kawasan dengan
zona seismic tertinggi di dunia.
Pada tanggal 2 September 2009 terjadi gempa bumi berkekuatan 7,3 Skala
Richter dengan episentrum yang berada di Samudera Indonesia di sebelah selatan
Tasikmalaya. Gelombang gempa merambat hingga Bandung, Cianjur dan
Sukabumi. Salah satu kawasan yang terkena dampak paling parah akibat
gelombang gempa ini adalah Kecamatan Pangalengan di Kabupaten Bandung.
Berdasarkan data statistik Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Kecamatan
Pangalengan mengalami kerusakan paling parah dari total 29 kecamatan yang ada
di Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari 13 desa yang ada di Kecamatan
Pangalengan, hampir semua bangunan di desa-desa tersebut mengalami kerusakan
akibat gempa termasuk sarana infrastruktur penting seperti Puskesmas dan
sekolah.
Korban jiwa dan kerugian yang terjadi secara spasial diakibatkan oleh
kesalahan dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang
permukiman. Tata ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan
dapat berakibat fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi. Oleh karena itu
perlu adanya suatu perencaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspekaspek geologi kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga
ruang yang tercipta dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang
terjadi.
Kegiatan perencanaan ini memiliki tujuan untuk menyusun lanskap tata
ruang permukiman untuk mitigasi bencana gempa bumi. Mitigasi adalah suatu
tindakan untuk mengurangi kerusakan dan kehilangan nyawa dengan cara
memperkecil dampak dari bencana. Studi dilakukan di kawasan yang terkena
dampak dari gempa bumi yang terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung pada 2 September 2009.
Tahapan yang dilakukan dalam kegiatan penelitian, yaitu : (1) Persiapan,
yaitu pengumpulan berbagai data dan informasi awal yang dibutuhkan dalam
kegiatan penelitian; (2) Inventarisasi, yaitu pengumpulan data di lapang untuk
menghasilkan data aspek fisik, biofisik, dan sosial; (3) Analisis dengan
menggunakan metode analisis METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning
Model Study) (Fabos dan Caswell, 1976); (4) Sintesis; dan tahap (5) Perencanaan.
Pada kegiatan analisis digunakan metode analisis METLAND yang terdiri
atas 3 (tiga) tahap penilaian, yaitu Tahap I: Identifikasi Sumberdaya Kritis, Tahap
II : Identifikasi Zona Bahaya dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk
Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Komponen analisis yang termasuk ke
dalam Sumberdaya Kritis adalah sumberdaya tanah dan air. Hasil keluaran dari
tahap ini adalah informasi kawasan dengan sumberdaya yang tidak perlu
diproteksi dan dapat dilakukan pengembangan untuk kawasan permukiman.
Pada tahap identifikasi zona berbahaya dilakukan penilaian terhadap
kerawanan gempa bumi di kawasan perencanaan. Pada tahap ini diperoleh
informasi bahwa Kecamatan Pangalengan terbagi ke dalam empat tipologi
kerawanan gempa bumi yaitu Tipologi A, B, C, dan D. Kawasan dengan tipologi
A menempati area paling luas (88% atau 20.018 ha) di Kecamatan Pangalengan
sehingga kawasan ini menjadi area yang paling aman di wilayah rawan gempa
untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada tahap
analisis kesesuaian pengembangan digunakan klasifikasi kelas lereng untuk
mendukung pengembangan yang sesuai diterapkan pada kawasan perencanaan
dan dihasilkan informasi kawasan yang sesuai untuk permukiman seluas 41% dan
tidak sesuai untuk permukiman seluas 59%.
Permukiman eksisiting yang terkena dampak paling parah saat terjadi gempa
di Kecamatan Pangalengan adalah Desa Margamukti, Desa Margamekar, Desa
Sukamanah, Desa Pangalengan, dan Desa Margamulya. Kelima desa tersebut
termasuk ke dalam permukiman yang direncanakan dalam RDTR Kota
Pangalengan. Kelima desa tersebut berada pada kawasan yang sesuai untuk
dikembangkan berdasarkan hasil analisis. Sehingga pada tahap sintesis kelima
desa tersebut menjadi fokus dalam perencanaan lanskap permukiman di
Kecamatan Pangalengan. Untuk dapat menerapkan konsep mitigasi maka
kawasan perencanaan dibagi ke dalam zonasi ruang atau rencana blok yang terdiri
dari ruang konservasi, ruang pemanfaatan budidaya, dan ruang terbangun.
Pengembangan untuk kawasan permukiman berada pada zona ruang terbangun.
Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang
permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep
mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana
gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi,
sirkulasi, dan vegetasi.
Ruang permukiman dikelompokan berdasarkan satuan ketetanggan yang
terdiri dari Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Desa, dan Kecamatan. Pembagian seperti ini bertujuan untuk memudahkan dalam
pembentukan pola ruang permukiman, menentukan titik-titik evakuasi, dan
pergerakan menuju lokasi evakuasi. Lokasi-lokasi yang dimanfaatkan sebagai titik
evakuasi adalah ruang-ruang terbuka di dalam kawasan permukiman yang dapat
dimanfaatkan sebagai area rekreasi penduduk ketika tidak terjadi bencana. Zonazona evakuasi ini terbagi dalam tiga tingkatan berdasarkan lokasi yaitu zona
evakuasi mikro pada skala RT, zona evakuasi meso pada skala RW, dan zona
evakuasi makro pada skala desa. Luas setiap zona evakuasi disesuaikan dengan
daya dukung tenda pengungsi yang dapat menampung sebanyak jumlah penduduk
pada setiap zona evakuasi. Pergerakan menuju lokasi titik-titik evakuasi
dimudahkan dengan pembagian hierarki jalan yang terdiri atas jalan lingkungan,
jalan lokal dan jalan kolektor. Vegetasi yang diterapkan di kawasan perencanaan
dibagi berdasarkan fungsinya dalam kegiatan mitigasi yang terdiri atas vegetasi
budidaya, pengarah, konservasi dan penaung. Penyusunan perencanaan ini dapat
diperluas pada kawasan di luar 5 desa namun masih termasuk ke dalam kawasan
yang sesuai untuk pembangunan.
PERENCANAAN LANSKAP PERMUKIMAN UNTUK MITIGASI
BENCANA GEMPA BUMI KECAMATAN PANGALENGAN
KABUPATEN BANDUNG
CICI NURFATIMAH
Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Pertanian pada
Departemen Arsitektur Lanskap
DEPARTEMEN ARSITEKTUR LANSKAP
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Perencanaan Lanskap
Permukiman Untuk Mitiagsi Bencana Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan Kabupaten Bandung adalah karya saya dengan arahan dari
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi.
Bogor, 2011
Cici Nurfatimah
NRP A44062476
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau
menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagain atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
Judul Penelitian
: Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana
Gempa
Bumi
Kecamatan
Kabupaten Bandung
Nama Mahasiswa
: Cici Nurfatimah
NRP
: A44062476
Program Studi
: Arsitektur Lanskap
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si
NIP. 19620214 198703 1 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Arsitektur Lanskap
Dr. Siti Nurisjah, MSLA
NIP. 19480912 197412 2 001
Tanggal Lulus :
Pangalengan
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir pada tanggal 12 Juli 1988 dari pasangan Enok Karyati dan
Usep Warlian. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara. Pada tahun 2000
penulis mengikuti pendidikan di SMP 1 Margahayu Bandung. Pada tahun 2003,
Penulis melanjutkan studi menengah atas di SMA Al-Ma’soem, Sumedang. Pada
tahun 2006 Penulis melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu di
Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB. Pada tahun 2007
Penulis berhasil masuk Program Studi Mayor Arsitektur Lanskap dan memilih
beberapa Supporting Course sebagai penunjang.
Selama melakukan studi di Departemen Arsitektur Lanskap Penulis
berkesempatan menjadi Asisten Mahasiswa untuk Mata Kuliah Komputer Grafis
dan Mata Kuliah Proyek Studio Lanskap. Selain itu Penulis juga aktif di kegiatan
non-akademis diantaranya sebagai Pengurus Himpunan Mahasiswa Arsitektur
Lanskap Periode 2008-2009 Divisi Sosial Kemasyarakatan, Wakil Ketua Unit
Kegiatan Mahasiswa Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman Periode 2008-2009,
dan anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Paguyuban Mahasiswa Bandung.
Penulis juga pernah bergabung dalam berbagai kepanitiaan seperti Masa
Perkenalan Mahasiswa Baru Angkatan 44, Masa Perkenalan Fakultas Angkatan
44, Masa Perkenalan Departemen Angkatan 44, Savior (Save Our Earth Day), dan
Pagelaran Seni Sunda Ki Sunda Midang. Penulis pernah mengikuti beberapa
kompetisi non-akademis yaitu Juara 2 Lomba Tari Kontemporer IPB Art Contest
2009, Juara 1 Basket Putri Faperta Cup 2007 dan 2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat,
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini.
Penelitian dengan judul Perencanaan Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan Kabupaten Bandung ini
merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen
Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima
kasih Penulis ucapkan kepada :
1. Ir. Qodarian Pramukanto, M.Si yang telah sabar membimbing dan
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat selama masa penelitian tugas akhir
ini.
2. Bapak dan Ibu atas limpahan doa dan kasih sayang yang tak terhingga.
Adikku sayang yang jauh namun dekat di hati.
3. Jajaran Dosen Departemen Arsitektur Lanskap IPB atas limpahan ilmu yang
sangat berharga.
4. Jajaran staf dan pegawai Departemen Arsitektur Lanskap.
5. Tengtong Family ARL 43 (Aan, Agnes, Galih, Biji, Titis, Endy, Chan2, Dedi,
Desi, Sendy, Dian, Dicky, Joe, Budut, Pity, Agung, Hanni, Irfan, Jibril, Om
Jun, Kukuh, Ipunk, Mahmud, Kaka, Refi, Mutteb, Nining, Nita, Ami, Ika,
Ado, Perth, Titou, Presty, Pram, Ichaprita, Wanti, Putri, Ronald, Manceu, Ray,
Rido, Ichadwica, Ochie, Alan, Intan, Sisi, Sugi, Iin, Tati, Komti, Phewz, Vina,
Wemby, Wiwik, Yogi, Yudha, Yumi, Ziffy) untuk suka, duka, cerita, canda,
tawa, ria, galau, doa, dan semangat yang membuat dunia saya beraneka warna.
:’)
6. Kakak-kakak senior 39, 40, 41, 42, praktikan Prostud 44, praktikan Komgraf
45, 46 yang tidak sempat saya asisteni, dan 47 sebagai keluarga baru Dept.
ARL.
7. Keluarga besar UKM Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman yang selalu
semangat membarakan seni dan budaya tradisional Indonesia.
8. Keluarga besar Paguyuban Mahasiswa Bandung “Pamaung Nu Aing”.
9. Kawan-kawan lama Kost Putri Amazon (Dece, Ading, Dinceu, Fika, Uul,
Achi, Kunti, Pipit, Bakcoy), Kost Putri Puri Fikriyah, Kost Putri Reesya (Ika,
Tya, Zizi, Teh Evi, Nobon).
10. Terakhir kepada Anda yang sedang membaca skripsi saya ☺
Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat
bagi pembaca dan pihak-pihak yang memerlukannya.
Bogor, 2011
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL............................................................................................
i
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................
1.1. Latar Belakang...............................................................................
1.2. Tujuan.............................................................................................
1.3. Kerangka Pikir Studi......................................................................
1
1
2
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
2.1. Perencanaan Lanskap.....................................................................
2.2. Gempa Bumi...................................................................................
2.3. Mitigasi Bencana............................................................................
2.4. Tata Ruang......................................................................................
2.5. Permukiman....................................................................................
4
4
4
9
11
14
BAB III METODOLOGI ..............................................................................
3.1. Lokasi dan Waktu..........................................................................
3.2. Metode...........................................................................................
3.2.1 Persiapan…………………………………………………..
3.2.2. Inventarisasi………………………………………………
3.2.3. Analisis……………………………………………………
3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi….…
3.2.3.2. Analisis Kerawanan Gempa Bumi……………….
3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan………………
3.2.4. Sintesis…………………………………………………….
3.2.5. Perencanaan……………………………………………….
15
15
16
16
16
17
18
20
25
26
28
BAB IV DATA DAN ANALISIS...................................................................
4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi…...........................................
4.1.1. Air..........................................................................................
4.1.2. Tanah.....................................................................................
4.2. Zona Berbahaya..…………….......................................................
4.5. Kesesuaian Pengembangan............................................................
4.6. Sintesis...........................................................................................
33
35
35
42
52
62
65
BAB V KONSEP DAN PERENCANAAN....................................................
5.1. Konsep…………………………....................................................
5.1.1. Konsep Pembagian Ruang…………………………………
5.1.2. Konsep Evakuasi…………………………………………
5.1.3. Konsep Sirkulasi…………………………………………...
5.1.4. Konsep Vegetasi…………………………………………..
5.2. Perencanaan...................................................................................
5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman…………………………
5.2.2. Rencana Evakuasi……………………………………
5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi…………………………………….
5.2.4. Rencana Vegetasi………………………………………….
68
68
68
69
69
71
71
73
80
81
86
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN........................................................
6.1. Kesimpulan....................................................................................
6.2. Saran..............................................................................................
91
91
91
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................
92
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.
Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli
yang Disempurnakan)..............................................................
5
Tabel 2.
Jenis, Spesifikasi dan Bentuk Data..........................................
16
Tabel 3.
Kelas Kualitas Air Bawah Tanah.............................................
18
Tabel 4.
Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air...........
19
Tabel 5.
Klasifikasi Kelas Lereng.........................................................
19
Tabel 6.
Kriteria Kawasan Lindung......................................................
19
Tabel 7.
Klasifikasi Batuan…………………………………………..
21
Tabel 8.
Klasifikasi Kemiringan Lereng...............................................
21
Tabel 9.
Faktor Kegempaan..................................................................
21
Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar……………..
22
Tabel 11. Klasifikasi Nilai Kemampuan………………………………..
22
Tabel 12. Pembobotan…………………………………………………
23
Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap
kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan
gempa bumi dengan informasi geologi yang diperhitungkan..
23
Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi..................................
24
Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi..............................
24
Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng..........
25
Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi........................
27
Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan
Tipologi Kawasan ...................................................................
29
Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi .........
29
Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan.....................................
30
Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan
Olahraga...................................................................................
31
Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan
Lereng......................................................................................
32
Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan
Pangalengan.............................................................................
56
Tabel 24. Matriks pembobotan untuk wilayah kestabilan kawasan
rawan gempa bumi di Kecamatan Pangalengan......................
56
Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi……………………………………….
70
Tabel 26. Konsep Vegetasi......................................................................
71
Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggaan……………………………
74
Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi…………
80
Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi….
81
Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu……………….
83
Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu……………………
85
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1.
Kerangka Pikir Studi................................................................
3
Gambar 2.
Lokasi Studi.............................................................................
15
Gambar 3.
Framework
analisis lanskap untuk keperluan preservasi,
perlindungan, dan pengembangan tapak..................................
17
Gambar 4.
Komponen Analisis.................................................................
18
Gambar 5.
Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi……
20
Gambar 6.
Peta Administrasi Kecamatan Pangalengan............................
34
Gambar 7.
Situ Cileunca...........................................................................
35
Gambar 8.
Wana Wisata Air Panas Cibolang...........................................
36
Gambar 9.
Kawasan Lindung Situ dan Mata Air......................................
37
Gambar 10. Tata Guna Lahan Eksisting……..............................................
39
Gambar 11. Peta Kualitas Air Bawah Tanah..............................................
40
Gambar 12. Peta Perlindungan Sumberdaya Air Kecamatan Pangalengan
41
Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan
Pangalengan.............................................................................
44
Gambar 14. Peta Kemiringan Lereng Kecamatan Pangalengan..................
45
Gambar 15. Peta Kawasan Rawan Longsor di Kecamatan Pangalengan....
46
Gambar 16. Peta Elevasi Kecamatan Pangalengan....................................
48
Gambar 17. Peta Kawasan Lindung Kecamatan Pangalengan....................
49
Gambar 18. Peta Kawasan Perlindungan Terhadap Tanah..........................
50
Gambar 19. Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan…………...
51
Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan
Gunung Api..............................................................................
52
Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya.................................
54
Gambar 22. Peta Zonasi Jalur Sesar di Kecamatan Pangalengan……........
55
Gambar 23. Peta Zonasi Tipologi Kerawanan Gempa Kecamatan
Pangalengan…………………………………..........................
58
Gambar 24. Peta Keamanan Gempa Kecamatan Pangalengan…………....
59
Gambar 25.
Peta Sebaran Rumah Rusak Berat Akibat Gempa di
Kecamatan Pangalengan.........................................................
61
Gambar 26.
Kondisi Bangunan Pasca Gempa (a) Rumah Panggung Yang
Masih Berdiri Tegak, (b) Rumah Dengan Konstruksi Beton
Yang Rusak Berat...................................................................
62
Peta Kesesuaian Pengembangan Permukiman Kecamatan
Pangalengan…………………………………….....................
64
Peta Lokasi Kawasan Yang Fokus Untuk Direncanakan….....
66
Gambar 29. Peta Rencana Blok………………………. ……......................
67
Gambar 30.
Diagram Konsep Pembagian Ruang………………………..
68
Gambar 31.
Diagram Konsep Evakuasi…….. ..........................................
69
Gambar 32.
Diagram Konseep Sirkulasi....................................................
70
Gambar 33.
Diagram Konsep Vegetasi…………………………………..
71
Gambar 34.
Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi Bencana
Gempa Kecamatan Pangalengan……………………………
72
Gambar 35.
Pembagian Blok Kawasan Perencanaan…………………….
73
Gambar 36.
Matriks Hubungan Antar Ruang…………………………….
76
Gambar 37.
Konsep Ruang……………………………………………….
76
Gambar 38.
Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang……..
78
Gambar 39.
Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan
Pondasi Tiang………………………………………………
79
Gambar 40.
Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan
79
Gambar 41.
Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa
Pangalengan…………………………………………………
80
Gambar 42.
Detail Rencana Lanskap Permukiman Untuk Mitigasi
Bencana Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan……………
82
Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi
Evakuasi…………………………………………………….
83
Gambar 44.
Rencana Jalur Sirkulasi……………………………………..
84
Gambar 45.
Rencana Alur Sirkulasi………………………………………
85
Gambar 46.
Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan………….
87
Gambar 47.
Rencana Vegetasi…………………………………………….
88
Gambar 48.
Detail Rencana Vegetasi……………………………………..
89
Gambar 27.
Gambar 28.
Gambar 43.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara kepulauan yang terletak diantara beberapa
patahan lempeng benua yaitu lempeng Eurasia dan lempeng Filipina di sebelah
utara, lempeng Australia di bagian selatan, dan lempeng Pasifik di bagian timur
kepulauan. Dengan adanya lempeng-lempeng tersebut maka Indonesia menjadi
area dengan zona sesismik tertinggi di dunia. Hal tersebut juga menjadi faktor
yang menyebabkan terdapat banyak gunung berapi aktif dan berpotensi aktif di
Indonesia.
Pada tanggal 2 September
2009 pukul 14:55 WIB, gempa bumi
berkekuatan 7,3 SR terjadi di pantai selatan Jawa Barat. Setidaknya 80 orang
tewas dan masih banyak lagi yang terluka. Dampak dari gempa ini tersebar hingga
hampir seluruh Jawa Barat dengan intensitas maksimum MMI pada level VII di
Tasikmalaya, VI di Cianjur dan Sukabumi, V di Bandung, dan VI di Jakarta.
Berdasarkan laporan dari NEIC-USGS episentrum gempa terletak pada 7,8o LS
dan 107,25o BT dengan kedalaman 46 km. Salah satu kawasan yang terkena
dampak dari gempa bumi ini adalah Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung. Dari 13 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Pengalengan Kabupaten
Bandung, hampir seluruh rumah di wilayah tersebut mengalami kerusakan akibat
guncangan gempa (www.antaranews.com, 11 Januari 2010).
Korban jiwa dan kerugian yang terjadi dapat diakibatkan oleh kesalahan
dalam pembangunan kawasan terutama dalam penataan ruang permukiman. Tata
ruang yang tidak sesuai dengan morfologi dan geologi kawasan dapat berakibat
fatal jika terjadi bencana seperti gempa bumi.
Studi mengenai perencanaan suatu kawasan untuk kegiatan mitigasi
bencana gempa bumi perlu dilakukan agar dapat tercipta tata ruang permukiman
di wilayah Indonesia yang tahan gempa. Oleh karena itu perlu adanya suatu
perencanaan tata ruang wilayah yang memperhatikan aspek-aspek geologi
kawasan dan kebutuhan dalam hal mitigasi bencana. Sehingga ruang yang tercipta
dapat mengurangi resiko dan dampak dari bencana yang terjadi.
2 1.2.
Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah menyusun rencana lanskap permukiman
untuk mitigasi bencana gempa bumi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten
Bandung.
1.3.
Kerangka Pikir Studi
Gempa bumi adalah bencana yang tidak dapat diperkirakan waktu
kemunculannya. Ketika sebuah gempa bumi muncul, dampak yang ditimbulkan
dapat bervariasi tergantung pada kekuatan getaran yang terjadi. Dampak yang
ditimbulkan gempa dapat terlihat dari kondisi pasca gempa seperti kerusakan
struktur dan infrastruktur serta jumlah korban jiwa. Untuk dapat mencegah atau
mengurangi resiko dari dampak sebuah bencana gempa bumi maka perlu adanya
tindakan mitigasi yang tepat pasca bencana khususnya di kawasan permukiman.
Dalam merencanakan sebuah kawasan permukiman yang tahan serta
tanggap gempa perlu adanya penilaian terhadap beberapa aspek seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. Aspek-aspek tersebut menurut Fabos dan Caswell
(1976) diawali dengan menganalisis potensi sumberdaya alam kawasan yang perlu
dilindungi dari berbagai jenis kegiatan pengembangan terutama pengembangan
fisik. Selanjutnya secara sekuensis dilakukan analisis terhadap kawasan berbahaya
(hazard zone) berupa kerawanan terhadap gempa bumi dengan kriteria penilaian
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum. Pada tahap
akhir dilakukan analisis kesesuaian pengembangan untuk kawasan permukiman.
Permukiman yang baik untuk mitigasi bencana sebaiknya terletak pada
zona yang sesuai dan terhindar dari hazard serta tidak mengganggu sumberdaya
alam yang dilindungi. Selanjutnya untuk kegiatan mitigasi maka perlu adanya
suatu rancangan pola permukiman, jalur evakuasi, dan pusat-pusat evakuasi.
3 Gambar 1. Kerangka Pikir Studi BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perencanaan Lanskap
Perencanaan lanskap adalah suatu proses sintesis yang kreatif tanpa akhir
dan dapat ditambah, juga merupakan proses yang rasional dan evolusi yang
teratur. Perencanaan merupakan urutan-urutan pekerjaan yang saling berhubungan
dan berkaitan. Semua bagian tersusun sedemikian rupa sehingga apabila terjadi
perubahan pada suatu bagian, maka akan mempengaruhi bagian yang lainnya
(Simonds, 1993). Nurisjah dan Pramukanto (1995) menyatakan bahwa merencana
merupakan suatu tindakan menata dan menyatukan berbagai penggunaan lahan
berdasarkan pengetahuan teknis lahan dan kualitas estetiknya guna mendukung
fungsi yang akan dikembangkan diatas atau pada lahan tersebut.
Menurut Rachman (1984) dalam Kusuma (2001), perencanaan lanskap
adalah perencanaan yang berpijak kuat pada dasar ilmu dan lingkungan atau
ekologi dan pengetahuan alam yang bergerak dalam kegiatan penilaian atas lahan
yang luas dalam pencari ketepatan tataguna tanah di masa mendatang.
2.2. Gempa Bumi
Gempa adalah getaran yang dirasakan di permukaan bumi dalam bentuk
gelombang seismik di permukaan bumi akibat adanya sumber getaran yang
terdapat di dalam bumi. Pusat gempa bumi yaitu titik di dalam bumi di mana
gempa terjadi disebut hiposenter. Sedangkan titik pada permukaan bumi tepat di
atas pusat gempa bumi disebut episenter (Tjasyono, 2003).
Gempa bumi biasa disebabkan oleh pergerakan kerak bumi (lempeng
bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Walaupun bumi padat, selalu bergerak,
dan gempa bumi terjadi apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah
terlalu besar untuk dapat ditahan. Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari
pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh lempengan
yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai
pada keadaan dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran
5 lempengan. Pada saat itulah gempa bumi akan terjadi (www.wikipedia.com,
diunduh 11 Januari 2010)
Gempa bumi secara umum merupakan bentuk pelepasan tekanan yang
terjadi di lithosferer. Ketika benturan antara batuan pada dua sisi lempeng
mencegah batuan tersebut bergeser dengan mudah atau ketika batuan tersebut
belum siap untuk patah, akan terjadi sebuah deformasi elastis. Ketika tekanan
tinggi terakhir yang muncul memecah kekuatan dari batuan, suatu pergerakan
yang tiba-tiba akan muncul untuk melepaskan tekanan. Inilah yang disebut dengan
gempa (Montgomery, 2003).
Montgomery (2003) juga menambahkan bahwa kekuatan gempa
memiliki beragam ukuran. Mulai dari getaran sangat lemah yang sulit dideteksi
oleh instrumen yang sensitif hingga guncangan dahsyat yang dapat meratakan
sebuah kota. Santoso (2002), menyatakan bahwa skala intensitas gempa dapat
menggambarkan besarnya kerusakan yang diderita oleh suatu lokasi yang
diakibatkan oleh getaran gempa. Di Indonesia skala intensitas yang banyak
digunakan adalah MMI (Modified Mercalli Intensity) seperti yang diuraikan pada
Tabel 1.
Tabel 1. Modified Mercalli Intensity Scale (Skala Intensitas Mercalli yang
Disempurnakan)
I.
Getaran tidak dirasakan, kecuali dalam keadaan luar biasa oleh orang tertentu saja.
II
Getaran dirasakan orang tertentu. Benda ringan yang digantung bergoyang-goyang.
III.
Getaran dirasakan nyata di dalam rumah, terasa seakan-akan ada truk lewat.
IV.
Pada siang hari dirasakan oleh banyak orang di dalam rumah, di luar hanya oleh
orang tertentu saja. Barang belah-pecah, jendela, pintu gemerincing, dinding
berbunyi karena pecah-pecah.
V.
Getaran dirasakan oleh hampir semua penduduk. Barang belah-pecah,jendela dan
sebagainya pecah, barang-barang terpelanting, pohon, tiang, dan lain-lain tampak
bergoyang. Bandul lonceng dapat berhenti.
VI.
Getaran dirasakan oleh semua orang, kebanyakan terkejut dan lari keluar. Plester
dinding jatuh dan cerobong asap pabrik rusak. Kerusakan ringan.
VII.
Semua orang keluar rumah, kerusakan ringan pada rumah dan bangunan yang
konstruksinya tidak baik maupaun baik. Cerobong asap pecah atau retak-retak.
Getaran dapat dirasakan oleh orang yang naik kendaraan.
6 Lanjutan Tabel 1.
VIII.
Kerusakan ringan pada bangunan yang konstruksinya baik. Retak-retak pada
bangunan yang kuat. Dinding dapat lepas dari kerangka rumah, cerobong asap pabrik
dan monumen roboh. Air keruh.
IX.
Kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi.
Banyak retakan pada bangunan-bangunan yang konstruksinya kuat. Bangunan rumah
bergeser dari pondasinya. Pipa dalam tanah pecah.
X.
Bangunan dari kayu yang kuat rusak, rangka rumah lepas dari pondasinya, tanah
terbelah, rel melengkung, tanah longsor di tebing dan di tanah yang curam. Terjadi
gelombang pasang dan tsunami.
XI.
Hancur sama sekali. Gelombang gempa tampak pada permukaan tanah.
Pemandangan gelap. Benda-benda terlempar ke udara.
(Sumber : Santoso, 2002)
Noor (2006) menjelaskan mengenai berbagai dampak dari bencana
gempa bumi, yaitu :
1. Rekahan/Patahan di Permukaan Bumi
Pada umumnya gempa bumi seringkali berdampak pada rekah dan
patahnya permukaan bumi yang secara regional dikenal sebagai deformasi
kerak bumi. Rekahan dan patahan yang terjadi di permukaan bumi dapat
berdampak pada bangunan-bangunan, jalan dan jembatan, pipa air minum,
pipa listrik, saluran telepon, serta prasarana lainnya yang ada di daerah
tersebut.
2. Getaran/Guncangan Permuakaan Tanah
Bencana gempa yang secara langsung terasa dan berdampak sangat serius
adalah
runtuhnya
bangunan-bangunan
yang
disebabkan
oleh
getaran/guncangan gempa yang merambat pada media batuan/tanah. Pada
umumnya bangunan-bangunan yang diatas lapisan batuan yang padat
dampaknya tidak terlalu parah bila dibandingkan dengan bangunanbangunan yang berada di atas batuan sedimen jenuh.
3. Longsoran Tanah
Berbagai tipe dan jenis longsoran tanah umumnya dapat terjadi bersamaan
dengan terjadinya gempa. Hampir semua longsor tanah dapat terjadi pada
radius 40 km dari pusat gempa (episenter) dan untuk gempa yang sangat
besar dapat mencapai 160 km. Pada dasarnya getaran gempa lebih bersifat
sebagai pemicu terjadinya longsoran atau gerakan tanah. Dalam hal ini
7 gempa bersifat menginduksi gerakan tanah, sedangkan longsoran baru
akan terjadi apabila daya ikat antar butiran lemah, kejenuhan
batuan/sedimen, porositas dan permeabilitas batuan/tanah tinggi.
4. Kebakaran
Kerusakan yang utama dan sering terjadi pada saat terjadinya gempa bumi
adalah bahaya kebakaran. Pada umumnya gempa menginduksi api yang
berasal dari putusnya saluran listrik, gas, dan pembangkit listrik yang
sedang beroperasi yang pada akhirnya menyebabkan kebakaran.
5. Perubahan pengaliran
Terbentuknya danau yang cukup luas akibat amblesnya permukaan daratan
(subsidence) seperti dataran banjir (floodplain), delta, rawa, yang
diakibatkan oleh gempa bumi merupakan suatu permasalahan yang cukup
serius. Perubahan pengaliran akibat penurunan permukaan daratan yang
disebabkan oleh gempa memungkinan terbentuknya danau-danau buatan
dan reservoir baru serta rusaknya bendungan.
6. Perubahan air bawah tanah
7. Tsunami
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan tipe kawasan rawan gempa bumi ditentukan
berdasarkan tingkat risiko gempa yang didasarkan pada informasi geologi dan
penilaian kestabilan. Berdasarkan hal tersebut, maka kawasan rawan gempa bumi
dapat dibedakan menjadi (6) enam tipe kawasan yang diuraikan sebagai berikut:
a. Tipe A
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling
melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila
intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek
merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
b. Tipe B
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini
tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari
8 satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi (MMI
VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
c. Tipe C
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan
tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas
gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik
batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan
dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona
sesar.
d. Tipe D
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang
saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan
kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang
zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan
lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi
landaan tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala bangunan
dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
e. Tipe E
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang
dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa tempat
berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan dan
kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
f. Tipe F
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan di
sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah dengan
9 sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi curam
sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
2.3. Mitigasi Bencana
Mitigasi adalah suatu tindakan untuk mengurangi kerusakan dan
kehilangan nyawa dengan cara memperkecil dampak dari bencana. Hal ini
diperoleh melalui analisis resiko yang menghasilkan berbagai macam informasi
sebagai bahan acuan untuk tindakan mitigasi dalam mengurangi resiko
(www.fema.com/mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Tujuan dari mitigasi adalah untuk mencegah berkembangnya bahaya
menjadi bencana atau untuk mengurangi dampak bencana ketika terjadi. Proses
mitigasi berlangsung dalam suatu program jangka panjang untuk mengurangi atau
menghilangkan resiko. Implementasi dari strategi mitigasi dapat dianggap sebagai
bagian dari proses pemulihan pasca bencana. Mitigasi dapat berbentuk struktural
dan non struktural. Secara struktural mitigasi dapat berupa penggunaan solusi
teknologi seperti misalnya pembuatan banjir kanal. Sedangkan mitigasi secara
non-struktural dapat berupa peraturan atau undang-undang, perencanaan tata guna
lahan dan asuransi. Mitigasi merupakan metode yang paling efisien dari segi biaya
untuk mengurangi resiko yang ditimbulkan bahaya atau hazard. Yang juga dapat
dimasukan ke dalam proses mitigasi adalah regulasi mengenai tata cara evakuasi,
sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut, dan informasi serta komunikasi pada
publik
mengenai
resiko
yang
mungkin
terjadi
(www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.htm, 11 Januari 2010).
Di dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan
Bencana disebutkan bahwa terdapat dua jenis tindakan mitigasi berdasarkan
sifatnya yaitu mitigasi pasif dan mitigasi aktif.
Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain adalah:
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah.
3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
10 4. Pembuatan brosur/leaflet/poster
5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6. Pengkajian / analisis risiko bencana
7. Internalisasi Penanggulangan Bencana dalam muatan lokal pendidikan
8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10.
Pengarus-utamaan
Penanggulangan
Bencana
dalam
perencanaan
pembangunan
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif antara lain:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana.
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat.
4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat.
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi jika
terjadi bencana.
7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan
sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang bersifat nonstruktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang bersifat struktural
(berupa bangunan dan prasarana).
2.4. Tata Ruang
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa tata ruang adalah wujud
struktur dan pola ruang. Struktur ruang itu sendiri adalah susunan pusat-pusat
11 permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai
pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki
hubungan fungsional. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata
ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Selanjutnya dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa penataan
ruang sebagai suatu sistem perencanaan tata ruang, pemanfaat ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan
antar yang satu dan yang lain dan harus dilakukan sesuai dengan kaidah penataan
ruang sehingga diharapkan
1. Dapat mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya
guna serta mampu mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang
berkelanjutan
2. Tidak terjadi pemborosan pemanfaatan ruang
3. Tidak menyebabkan terjadinya penurunan kualitas ruang
Rencana umum tata ruang disusun berdasarkan pendekatan wilayah
administratif dengan muatan substansi mencakup rencana struktur ruang dan
rencana pola ruang. Peraturan zonasi merupakan ketentuan yang mengatur tentang
persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk
setiap block/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata
ruang.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa disebutkan bahwa perencanaan tata ruang kawasan rawan letusan
gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi mencakup:
1. Penetapan kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan
gempa bumi meliputi: penetapan tipologi kawasan rawan letusan gunung
berapi dan kawasan rawan gempa bumi,
2. Penentuan struktur ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi, serta
3. Penentuan pola ruang kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan
rawan gempa bumi.
12 Di dalam peraturan tersebut juga dijelaskan pendekatan penentuan pola
ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa
bumi dilakukan melalui:
1. pendekatan kajian geologi;
2. pendekatan aspek fisik dan sosial ekonomi;
3. pendekatan tingkat risiko pada kawasan rawan letusan gunung berapi dan
kawasan rawan gempa bumi; dan
4. rekomendasi penentuan pola ruang sesuai dengan tipe kawasan rawan
bencana dan rekomendasi tipologi jenis kegiatan yang diperbolehkan
berdasarkan tingkat kerentanan.
Prinsip dasar penentuan pola ruang pada kawasan rawan letusan gunung berapi
dan kawasan rawan gempa bumi adalah:
1) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang mempunyai fungsi lindung, kawasan tersebut mutlak dilindungi dan
dipertahankan sebagai kawasan lindung.
2) Kawasan rawan letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi
yang tidak mempunyai fungsi lindung dapat dibudidayakan dengan kriteria
tertentu dan memberi peluang bagi masyarakat untuk memanfaatkan
kawasan tersebut untuk kegiatan budi daya.
Arahan peraturan zonasi yang akan ditentukan diuraikan sebagai berikut :
a. Tipe A
Pada kawasan rawan gempa bumi tipe A untuk kawasan perkotaan dapat juga
dikembangkan kegiatan perdagangan dan perkantoran, permukiman, hutan
kota, pariwisata, serta industri dengan tingkat kerentanan rendah. Begitu pula
dengan kawasan rawan gempa bumi di perdesaan. Kegiatan pertanian,
perikanan, pertambangan rakyat, permukiman, perdagangan dan perkantoran,
perkebunan, dan kehutanan dapat dilakukan dengan syarat-syarat tingkat
kerentanan rendah.
b. Tipe B
Kawasan rawan gempa bumi tipologi B dapat dikembangkan untuk kegiatan
budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A namun harus
memenuhi syarat-syarat tingkat kerentanan sedang dan rendah.
13 c. Tipe C
Kawasan rawan gempa bumi tipologi C juga dapat dikembangkan untuk
kegiatan budi daya seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi A
maupun B, namun kegiatan pertambangan tidak boleh dilakukan pada kawasan
tipologi C. Syarat-syarat tingkat kerentanan yang harus dipenuhi pada kawasan
rawan gempa bumi tipologi ini adalah tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
d. Tipe D
Pada kawasan rawan gempa bumi tipologi D tidak diperbolehkan
mengembangkan kegiatan budi daya mengingat tingkat kerawanan akibat
gempa dapat membahayakan. Namun kegiatan pariwisata (wisata sosiokultural
dan agro-kultural) masih dapat dikembangkan secara terbatas dengan ketentuan
bangunan tahan gempa dengan tingkat kerentanan sedang dan tinggi.
e. Tipe E
Kawasan rawan gempa bumi tipologi E tidak dapat dikembangkan untuk
kegiatan budidaya mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi.
Kawasan ini mutlak harus dilindungi.
f. Tipe F
Seperti pada kawasan rawan gempa bumi tipologi E, kawasan rawan gempa
bumi tipologi F juga tidak dapat dikembangkan untuk kegiatan budidaya
mengingat tingkat bahaya yang diakibatkan sangat tinggi. Untuk itu
penggunaan ruang diutamakan sebagai kawasan lindung.
2.5. Permukiman
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No 4 Tahun 1992 Pasal 1
disebutkan bahwa permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Satuan lingkungan
permukiman adalah kawasan perumahan dalam berbagai bentuk dan ukuran
dengan penataan tanah dan ruang, prasarana dan sarana lingkungan yang
terstruktur.
14 Di dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia No. 4
Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman di sebutkan bahwa sarana yang
utama bagi berfungsinya suatu lingkungan permukiman adalah :
1. Jaringan jalan untuk mobilitas manusia dan angkutan barang, mencegah
perambatan kebakaran serta untuk menciptakan ruang dan bangunan yang
teratur.
2. Jaringan saluran pembuangan air limbah dan tempat pembuangan sampah
untuk
kesehatan lingkungan.
3. Jaringan saluran air hujan untuk pematusan (drainase) dan pencegahan
banjir setempat.
Ukuran permukiman terbagi menjadi enam yaitu permukiman tunggal
(satu rumah), permukiman kecil (2-20 rumah), permukiman kecil-sedang (sampai
dengan 500 penduduk), permukiman besar (2000-5000 penduduk), permukiman
sangat besar (lebih besar dari 5000 penduduk). Kerapatan permukiman diukur
berdasarkan
jarak
antar
rumah-rumah
sepanjang
jalan
sehingga
dapat
dikategorikan sangat jarang, jarang, rapat, sangat rapat, rapat-kompak. Tipe
permukiman dapat dibedakan menjadi tipe linear, tipe plaza, dan tipe permukiman
dengan pengaturan area atau streetplan (Van der Zee dalam Setiawan, 2008).
Menurut DeChiara dan Koppelman (1978), terdapat beberapa kondisi
yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu
1. Kondisi tanah dan bawah tanah.
2. Air tanah dan drainase.
3. Keterbebasan dari banjir permukaan.
4. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan.
5. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi.
6. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka.
7. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan.
8. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan.
9. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
BAB III
METODOLOGI
3.1. Lokasi dan Waktu
Studi dilakukan di kawasan yang terkena dampak dari gempa bumi yang
terjadi di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat pada 2
September 2009. Kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan mulai dari bulan
Juni 2010 hingga Januari 2011 pada lokasi seperti yang ditunjukan pada Gambar
2.
Kabupaten Bandung Jawa Barat Kecamatan Pangalengan
Gambar 2. Lokasi Studi (tanpa skala)
(Sumber : www.geospasial.bnpb.go.id)
16 3.2 Metode
Proses perencanaan pada lokasi ini terdiri dari empat tahap yaitu tahap
persiapan, tahap inventarisasi, tahap analisis, dan tahap perencanaan.
3.2.1 Persiapan
Pada tahap ini dilakukan pembuatan rincian kegiatan penelitian, pengurusan
administrasi perizinan penelitian, penelusuran sumber data yang dibutuhkan, dan
persiapan kebutuhan alat dan bahan untuk penelitian.
3.2.2 Inventarisasi
Pada tahap ini dilakukan pengambilan data dan survey tapak. Pengambilan
data meliputi aspek fisik, biofisik, dan sosial (Tabel 2.)
Tabel 2. Jenis, Spesifikasi, dan Bentuk Data
Jenis Data
Data Umum
Peta tata ruang
Letak geografis dan
administratif tapak
Bentuk Data
Spasial
Atribut
Sumber Data
√
√
BAPPEDA
Bakosurtanal
Topografi dan
kemiringan
Iklim mikro
Geologi
√
Bakosurtanal
Penutupan lahan
Biota (vegetasi)
Data Sosial
Demografi
Aktifitas ekonomi
Tingkat
kesejahteraan
masyarakat
Ketergantungan
masyarakat
terhadap tapak
√
√
√
√
√
BMG
Dit. Geologi dan Tata
Lingkungan
Bakosurtanal
Bakosurtanal
√
√
√
BPS
BPS
BPS
√
Lapangan
Interpretasi Data
Tata Ruang
Batas lokasi studi
(Kecamatan
Pangalengan)
Kelas lereng dan
lokasi
Data iklim
Peta tanah
Peta penutupan lahan
Peta vegetasi
Data Sosial digunakan
untuk membandingkan
kecenderungan
penggunaan lahan
yang nyata dengan
penggunaan ideal
Data primer diperoleh melalui survey lapangan dengan melakukan
pengukuran, pemetaan, perekaman hasil wawancara dengan instasi dan penduduk
setempat. Data sekunder diperoleh dari instansi terkait. Data spasial disajikan
dengan menggunakan program Arc View GIS, Adobe Potoshop, dan Corel Draw
Graphic.
17 3.2.3 Analisis
Analisis pada tahap ini digunakan untuk mengetahui berbagai macam potensi
pada tapak mulai dari potensi bahaya, potensi sumberdaya, hingga potensi untuk
pengembangan secara fisik. Metode analisis yang digunakan adalah metode
METLAND (The Metropolitan Lanscape Planning Model Study) (Fabos dan
Caswell, 1976). Metode analisis METLAND terdiri atas 3 (tiga) tahap penilaian
dengan memilih variabel tertentu yang digunakan untuk menganalisis nilai-nilai
intrinsik dalam karakter lingkungan yang bermanfaat atau menimbulkan bahaya
pada lingkungan alam: yaitu Tahap I : Identifikasi Sumberdaya Kritis), Tahap II
Identifikasi Zona Bahaya, dan Tahap III : Identifikasi Kesesuaian untuk
Pengembangan (Fabos dan Caswell, 1976). Gambar 3 menunjukkan tahapantahapan dalam analisis terhadap masing-masing data. Sedangkan secara lebih
rinci variabel analisis untuk setiap tahap disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Framework analisis lanskap untuk keperluan preservasi, perlindungan,
dan pengembangan tapak (Modifikasi dari Fabos, 1976)
18 Gambar 4. Komponen Analisis
3.2.3.1. Analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi
a. Analisis Air
Kriteria penilaian untuk suplai air permukaan dilihat dari jumlah dan
kualitas air yang tersedia, konfigurasi topografi, kestabilan lereng, surficial dan
material bedrock, karakter erosi, tingkat evaporasi, dan hazard seismic (Fabos dan
Caswell, 1976). Kriteria penilaian untuk suplai dan kualitas air bawah tanah
disajikan dalam table 3.
Tabel 3. Kelas Kualitas Air Bawah Tanah
Kelas
A
Keterangan
Terletak pada :
1. Lahan alami (e.g. hutan dan wetland) yang belum pernah dilakukan
penyemprotan atau kegiatan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air.
2. Penggunaan area rekreasi tertentu (e.g. lapangan tenis dan pantai) untuk
kegiatan yang tidak menimbulkan polusi pada air.
B
Terletak pada area :
1. Area terbuka yang pernah dilakukan kegiatan penyemprotan hama (e.g. lahan
bekas pertanian)
2. Area rekerasi tertentu yang hanya memiliki sedikit struktur permanen, tidak
dipupuk, dan sedikit perkerasan.
3. Area penggalian dan pembuangan sampah tertentu
C
Terletak pada area :
1. Penggunaan untuk jalan, area parkir beraspal, dan /atau septic tank
2. Area rekreasi dan lahan pertanian yang membutuhkan pemupukan berkala
dan penyemprotan hama
(Sumber : Fabos dan Caswell, 1976)
19 Dalam analisis untuk kawasan sumberdaya air permukaan yang harus
dilindungi digunakan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006
(Tabel 4).
Tabel 4. Kriteria Kawasan Lindung Waduk, Situ dan Mata Air
Kawasan Lindung
Waduk dan situ
Mata air
(Sumber : BAPPEDA, 2006)
Area Terlindung
≥ 50 m dari titik pasang tertinggi kea rah darat
Radius ≥ 200 m di sekitar mata air
b. Analisis Tanah
Penentuan kasifikasi kelas lereng dalam analisis untuk tanah di
Kecamatan Pangalengan menggunakan klasifikasi yang telah disederhanakan dari
van Zuidam dalam Noor (2006) seperti yang ditunjukan oleh Tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Kelas Lereng
Kelas lereng
0 – 20
(0-2%)
2-40
(2-7%)
4-80
(7-15%)
Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah
Datar hingga hampir datar; Tidak ada proses denudasi yang berarti
Agak miring; Gerakan tanah kecepatan rendah, erosi lembat dan erosi alur (sheet
and rill erosion). Rawan erosi.
Miring; sama dengan di atas;, tetapi dengan besaran yang lebih tinggi. Sangat
rawan erosi tanah.
8-160
Agak curam; erosi dan gerakan tanah lebih sering terjadi.
(15-30%)
16-450
Curam; proses denudasional intensif, erosi dan gerakan tanah sering terjadi.
(35-100%)
(Sumber : van Zuidam dalam Noor (2006))
Penentuan kawasan yang perlu dilindungi menggunakan Peraturan
Daerah Provinsi Jawa Barat No. 2 Tahun 2006 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Kriteria Kawasan Lindung
Kategori Kawasan
Hutan lindung
-
Kriteria
Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan
intensitas hujan setelah masing-masing dikalikan dengan angka
penimbangan mempunyai jumlah nilai (score) 175 atau lebih; dan/atau
Kawasan hutan dengan kelerengan lebih dari 40%; dan/atau
Kawasan hutan dengan ketinggian ≥ 2000 mdpl; dan /atau
Kawasan hutan yang mempunyai tanah sangat peka terhadap erosi
dengan lereng lapangan lebih dari 15 %; dan/atau
Kawasan hutan yang merupakan daerah resapan air; dan/atau
Kawasan hutan yang merupakan daerah perlindungan pantai.
20 Lanjutan Tabel 6.
Berfungsi lindung di luar hutan lindung
Kawasan berfungsi lindung di luar kawasan hutan lindung dengan
faktor-faktor kelerengan, jenis tanah dan curah hujan dengan score
antara 125 - 175;dan/atau
- Kawasan dengan curah hujan lebih dari 1000 mm/tahun; dan/atau
- Kelerengan di atas 15%; dan/atau
- Ketinggian tempat 1000 sampai dengan 2000 meter di atas permukaan
laut.
Resapan air
- Kawasan dengan curah hujan rata-rata lebih dari 1000 mm/tahun;
- Lapisan tanahnya berupa pasir halus berukuran minimal 1/16 mm;
- Mempunyai kemampuan meluluskan air dengan kecepatan lebih dari 1
meter/hari;
- Kedalaman muka air tanah lebih dari 10 meter terhadap muka tanah
setempat;
- Kelerengan kurang dari 15%;
- Kedudukan muka air tanah dangkal lebih tinggi dari kedudukan muka
air tanah dalam.
(Sumber : BAPPEDA, 2006)
3.2.3.2.
Analisis Kerawanan Gempa Bumi
Dalam melakukan penilaian terhadap kerawanan gempa bumi digunakan
standar yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007
Tahapan analisis kerawanan ini terdiri dari pengumpulan informasi-informasi
geologi, penilaian terhadap informasi tersebut, dan pemberian bobot nilai untuk
mendapatkan skor akhir. Gambar 5 menunjukkan skema alur penilaian kerawanan
gempa bumi.
Gambar 5. Skema Alur Proses Penilaian Kerawanan Gempa Bumi
21 a) Sifat fisik batuan
Sifat fisik batuan dapat menunjukan kondisi kekuatan batuan saat
menerima tekanan atau beban. Semakin kuat batuan tersebut menerima beban dan
tekanan maka kawasan tersebut dapat lebih tahan atau stabil ketika terjadi gempa
bumi. Terdapat 4 kelompok batuan dalam penilaian sifat fisik batuan seperti pada
Tabel 7.
Tabel 7. Klasifikasi Batuan
Kelompok Batuan
andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi
sedimen dan konglomerat
batupasir, tuf kasar, batulanau, arkose, greywacke dan batugamping
pasir, lanau, batulumpur, napal, tuf halus dan serpih
lempung, lumpur, lempung organik dan gambut.
(Sumber : MENPU, 2007)
b)
Sifat Fisik
Kompak
Tidak Kompak
Kemiringan lereng
Informasi kemiringan lereng yang dipakai untuk zonasi kerawanan
bencana ini, memakai klasifikasi lereng yang dibuat oleh Van Zuidam (1988)
pada Tabel 8.
Tabel 8. Klasifikasi Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng (%)
0-2
2-7
7-15
15-30
30-70
70-100
(Sumber : MENPU, 2007)
c)
Klasifikasi Lereng
Datar
Landai
Miring
Agak curam
Curam
Sangat curam
Kestabilan
Stabil
Potensi longsor
Kegempaan
Faktor Kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat
intensitas gempa, baik berdasarkan skala Mercalli, anomali gaya berat, maupun
skala Richter (Tabel 9).
Tabel 9. Faktor Kegempaan
MMI
I, II, III, IV, V
VI, VII
VIII
IX, X, XI, XII
(Sumber : MENPU, 2007)
α
< 0,05 g
0,05 – 0,15 g
0,15 – 0,30 g
> 0,30 g
Richter
<5
5–6
6 – 6,5
> 6,5
22 d) Struktur Geologi
Struktur geologi merupakan pencerminan seberapa besar suatu wilayah
mengalami “deraan” tektonik. Semakin rumit struktur geologi yang berkembang
di suatu wilayah, menunjukkan bahwa wilayah tersebut cenderung sebagai
wilayah yang tidak stabil. Beberapa struktur geologi yang dikenal adalah berupa
kekar, lipatan dan patahan/ sesar. Pada dasarnya patahan akan terbentuk dalam
suatu zona, jadi bukan sebagai satu tarikan garis saja. Pengkajian kerawanan
terhadap bencana menggunakan satuan jarak terhadap zona sesar untuk penentuan
kestabilan. Tabel 10 menjelaskan kestabilan kawasan terhadap jarak pada sesar.
Tabel 10. Kestabilan Wilayah Terhadap Jarak Pada Sesar
Jarak Sesar
<100 m
100 m – 1000 m
>1000 m
(Sumber : MENPU, 2007)
e)
Kestabilan
Tidak stabil
Kurang stabil
Stabil
Nilai Kemampuan
Nilai kemampuan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka
1 hingga 4. Nilai 1 adalah untuk wilayah yang paling stabil terhadap bencana
geologi. Nilai 4 adalah nilai untuk daerah yang tidak stabil terhadap bencana alam
geologi. Tabel 11 menjelaskan urutan nilai kemampuan yang diberikan untuk
penentuan skoring kestabilan wilayah.
Tabel 11. Klasifikasi nilai kemampuan
Nilai kemampuan
1
2
3
4
(Sumber : MENPU, 2007)
f)
Klasifikasi
Tinggi
Sedang
Rendah
Sangat rendah
Pembobotan
Pembobotan yang diberikan dalam setiap analisis adalah dari angka 1
hingga 5. Nilai 1 artinya tingkat kepentingan informasi geologi yang sangat tinggi
atau informasi geologi tersebut adalah informasi yang paling diperlukan untuk
mengetahui zonasi bencana alam. Tabel 12 menjelaskan urutan pembobotan yang
diberikan dalam zonasi kawasan rawan bencana.
23 Tabel 12. Pembobotan
Pembobotan
1
2
3
4
5
(Sumber : MENPU, 2007)
Klasifikasi
Kepentingan sangat rendah
Kepentingan rendah
Kepentingan sedang
Kepentingan tinggi
Kepentingan sangat tinggi
Setiap kelas informasi mendapat pembobotan yang berbeda-beda sesuai
keperluan pada penelitian ini. Penilaian Sifat Fisik Batuan diberi bobot 3 atau
kepentingan sedang karena. Penilaian Kemiringan Lereng diberi bobot 3 atau
kepentingan sedang karena potensi longsor dapat dihindari pada area dengan
kondisi vegetasi konservasi yang baik. Penilaian Kegempaan diberi bobot 4 atau
kepentingan tinggi karena Kecamatan Pangalengan mengalami dampak yang
cukup besar meskipun terletak jauh dari pusat gempa. Penilaian Struktur Geologi
diberi bobot 5 atau kepentingan sangat tinggi karena lokasi keberadaan patahan
gempa harus sangat dihindari dari pembangunan struktur.
g)
Skoring
Skoring merupakan perkalian antara “pembobotan” dengan “nilai
kemampuan”, dan dari hasil perkalian tersebut dibuat suatu rentang nilai kelas
yang menunjukkan nilai kemampuan lahan didalam menghadapi bencana alam
kawasan rawan gempa bumi dan kawasan rawan letusan gunung berapi. Dengan
demikian matriks pembobotan untuk kestabilan terhadap kawasan rawan gempa
bumi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 13. Rentang skor dan pembagian tipe
kerawanan gempa ditunjukkan pada Tabel 14.
Tabel 13. Matriks pembobotan untuk kestabilan wilayah terhadap kawasan rawan
letusan gunung berapi dan kawasan rawan gempa bumi dengan informasi geologi
yang diperhitungkan.
No
1
Informasi Geologi
Geologi (Sifat Fisik
dan Keteknikan
Batuan)
Kelas Informasi
1a. Andesit, granit, diorit,
metamorf, breksi volkanik,
aglomerat, breksi sedimen,
konglomerat
1b. Batupasir, tufa kasar, batulanau,
arkose, greywacke, batugamping
1c. Pasir, lanau, batulumpur, napal,
tufa halus, serpih
1d. Lempung, lumpur, lempung
organik, gambut
Nilai
Kemampuan
Bobot
1
2
3
4
3
Skor
24 Lanjutan Tabel 13.
2
3
4
Kemiringan lereng
Kegempaan
Struktur Geologi
2a. Datar - Landai (0-7 %)
2b. Miring - Agak curam (7-30 %)
2c. Curam - Sangat Curam (30 -140
%)
2d. Terjal (>140 %)
I, II, III,
IV, V
VI, VII
1
2
3
4
<0,05 g
<5
1
0,05 - 0,15 g
5-6
2
VIII
0,15 - 0,30 g
6 - 6,5
IX, X,
> 0,30 g
> 6,5
XI, XII
4a. Jauh dari zona sesar
4b. Dekat dengan zona sesar (1001000 m dari zona sesar)
4c. Pada zona sesar (<100 m dari
zona sesar)
3
4
3
4
1
2
5
3
(Sumber : MENPU, 2007)
Tabel 14. Tipologi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Skor
31-35
36-40
41-45
46-50
51-55
57-60
(Sumber : MENPU, 2007)
Tipologi
A
B
C
D
E
F
Masing-masing tipologi kerawanan memiliki pengertian. Tabel 15
menjelaskan pengertian dari setiap klasifikasi tipologi yang dihasilkan oleh
matriks pembobotan.
Tabel 15. Klasifikasi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Tipologi
Tipe A
Tipe B
Pengertian
Kawasan ini berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling
melemahkan dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila
intensitas gempa tinggi (Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek
merusaknya diredam oleh sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
1) Faktor yang menyebabkan tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini
tidak disebabkan oleh satu faktor dominan, tetapi disebabkan oleh lebih
dari satu faktor yang saling mempengaruhi, yaitu intensitas gempa tinggi
(MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
25 Lanjutan Tabel 15.
Tipe C
Tipe D
Tipe E
Tipe F
1) Terdapat paling tidak dua faktor dominan yang menyebabkan kerawanan
tinggi pada kawasan ini. Kombinasi yang ada antara lain adalah intensitas
gempa tinggi dan sifat fisik batuan lemah; atau kombinasi dari sifat fisik
batuan lemah dan berada dekat zona sesar cukup merusak.
2) Kawasan ini mengalami kerusakan cukup parah dan kerusakan bangunan
dengan konstruksi beton terutama yang berada pada jalur sepanjang zona
sesar.
1) Kerawanan gempa diakibatkan oleh akumulasi dua atau tiga faktor yang
saling melemahkan. Sebagai contoh gempa pada kawasan dengan
kemiringan lereng curam, intensitas gempa tinggi dan berada sepanjang
zona sesar merusak; atau berada pada kawasan dimana sifat fisik batuan
lemah, intensitas gempa tinggi, di beberapa tempat berada pada potensi
landaan tsunami cukup merusak.
2) Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan parah untuk segala
bangunan dan terutama yang berada pada jalur sepanjang zona sesar.
1) Kawasan ini merupakan jalur sesar yang dekat dengan episentrum yang
dicerminkan dengan intensitas gempa yang tinggi, serta di beberapa
tempat berada pada potensi landaan tsunami merusak. Sifat fisik batuan
dan kelerengan lahan juga pada kondisi yang rentan terhadap goncangan
gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
1) Kawasan ini berada pada kawasan landaan tsunami sangat merusak dan
di sepanjang zona sesar sangat merusak, serta pada daerah dekat dengan
episentrum dimana intensitas gempa tinggi. Kondisi ini diperparah
dengan sifat fisik batuan lunak yang terletak pada kawasan morfologi
curam sampai dengan sangat curam yang tidak kuat terhadap goncangan
gempa.
2) Kawasan ini mempunyai kerusakan fatal pada saat gempa.
(Sumber : MENPU, 2007)
3.2.3.3. Analisis Kesesuaian Pengembangan
Pada tahap ini diperoleh hasil keluaran berupa kawasan yang sesuai
untuk berbagai jenis pengembangan. Kelas lereng digunakan untuk mendukung
pengembangan yang sesuai pada kawasan berdasarkan karakter lahan (Tabel 16).
Tabel 16. Kesesuaian Pengembangan Berdasarkan Kelas Lereng
Kelas Lereng
0 – 5%
5 – 15%
15 – 30%
Karakter dan Kesesuaian Lahan
Lahan bertopografi datar, sangat sesuai untuk dikembangkan menjadi areal
permukiman dan pertanian. Sebagian areal berpotensi terhadap genangan banjir
dan sebagian berpotensi terhadap drainase yang buruk.
Lahan bertopografi landai; kurang sesuai untuk pembangunan lapangan terbang
atau areal industry berat; irigasi yang terbatas namun baik untuk pengembangan
pertanian keras. Lahan yang sesuai untuk dikembangan menjadi permukiman,
perkantoran, dan areal bisnis dengan drainase baik.
Lahan bertopografi bergelombang; kurang sesuai untuk areal pertanian karena
masalah erosi; namun lahan dengan kemiringan lereng diatas 20% dapat
dimanfaatkan untuk areal pertanian dengan jenis tanaman tertentu. Lahan ini juga
baik untuk pengembangan industry ringan, komplek perumahan, dan untuk
fasilitas rekreasi.
26 Lanjutan Tabel 16.
30 – 50%
Lahan bertopografi terjal; cocok untuk dikembangkan menjadi tempat tinggal
dengan cara cluster; pariwisata dengan intensitas rendah dan lahan yang cocok
untuk hutan dan padang rumput.
Lahan bertopografi sangat terjal; tempat yang sesuai untuk kehidupan satwa liar
dan tanaman hutan lindung serta padang rumput yang terbatas; tidak sesuai untuk
areal real estate karena topografi yang terlalu terjal.
>50%
(Sumber : Noor (2006))
3.2.4 Sintesis
Pada tahap ini ditentukan zonasi kawasan yang sesuai untuk
pengembangan permukiman dan dapat mengurangi resiko dampak bencana gempa
bumi yang ditimbulkan. Yang diutamakan dikembangkan dalam tapak adalah pola
tata ruang. Hasil dari tahapan ini adalah gambar alternative ruang. Dalam Chiara
dan Koppleman (1978), terdapat beberapa kondisi yang harus dipertimbangkan
dalam pemilihan tapak untuk perumahan, yaitu :
a. Kondisi tanah dan bawah tanah;
b. Air tanah dan drainase;
c. Keterbebasan dari banjir permukaan;
d. Kesesuaian penapakan bangunan yang akan direncanakan;
e. Kesesuaian untuk akses dan sirkulasi;
f. Kesesuaian untuk pembangunan ruang terbuka;
g. Keterbebasan dari bahaya kecelakaan;
h. Ketersediaan pelayanan saniter dan perlindungan;
i. Keterbebasan dari bahaya dan gangguan setempat.
Pengaturan zonasi tata ruang permukiman di kawasan rawan gempa bumi
mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa sesuai dengan tipologi kerawanan gempa bumi yang dihasilkan
proses analisis (Tabel 17).
27 Tabel 17. Aturan Zonasi Kawasan Rawan Gempa Bumi
Tipologi
Kawasan
Aturan Zonasi
9
9
9
A
9
9
9
9
9
9
9
B
9
9
9
9
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan
berbagai
infrastruktur penunjangnya.
Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan beton bertulang maupun tidak bertulang
b. Kepadatan bangunan tinggi (> 60 unit/Ha), sedang (30-60 unit/Ha), dan
rendah (<30unit/Ha)
c. Pola permukiman dapat mengelompok maupun menyebar
Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan
persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB>70;KLB>200) hingga
rendah (KDB<50;KLB <100)
Diizinkan untuk kegiatan industri ,pengawasan dan pengendalian yang
ketat, yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil
Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian lahan
kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang
sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan.
Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural
Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan
batu dan pasir
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai
infrastruktur penunjangnya.
Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan beton bertulang; kepadatan bangunan sedang
dan rendah; pola permukiman menyebar
b. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan tinggi,
sedang, dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar
c. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan tinggi, sedang,
dan rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar
Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan
persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200)
hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100)
Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan
pengendalian yang ketat yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Skala industri besar, sedang, maupun kecil
Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis
vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan.
Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural.
Diizinkan untuk kegiatan pertambangan rakyat, antara lain pertambangan
batu dan pasir.
28 Lanjutan Tabel 17.
9
9
9
C
9
9
9
9
9
9
D
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi
daya dan berbagai
infrastruktur penunjangnya.
Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan sedang dan
rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar.
b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan sedang dan
rendah; pola permukiman mengelompok dan menyebar.
Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan
persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan diperbolehkan tinggi (KDB > 70; KLB > 200)
hingga rendah (KDB < 50; KLB < 100)
Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan
pengendalian yang ketat, yaitu:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Skala industri sedang dan kecil
Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, perikanan, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis
vegetasi yang sesuai serta mendukung konsep kelestarian lingkungan.
Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural.
Dapat dikembangkan menjadi kawasan budi daya dan berbagai
infrastruktur penunjangnya
Diizinkan untuk kegiatan permukiman dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan semi permanen; kepadatan bangunan rendah;
pola
mengelompok dan menyebar
b. Konstruksi bangunan tradisional; kepadatan bangunan rendah; pola
permukiman dan menyebar
Diizinkan untuk kegiatan perdagangan dan perkantoran dengan persyaratan:
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Kepadatan bangunan sedang (KDB 50-70; KLB 100-200)
Diizinkan untuk kegiatan industri dengan persyaratan, pengawasan dan
pengendalian yang ketat, yaitu :
a. Konstruksi bangunan tahan gempa
b. Skala industri kecil
9 Diizinkan untuk kegiatan lahan usaha pertanian lahan basah, pertanian
lahan kering, perkebunan dengan syarat pemilihan jenis vegetasi yang
sesuai serta mendukung konsep pelestarian lingkungan.
9 Diizinkan untuk pariwisata dengan jenis wisata sosio kultural dan wisata
agro kultural
E
9 Ditentukan sebagai kawasan lindung
F
9 Ditentukan sebagai kawasan lindung
(Sumber : MENPU, 2007)
9
3.2.5 Perencanaan
Tahap perencanaan merupakan perwujudan dari tahapan-tahapan
sebelumnya. Konsep yang telah ditentukan dikembangkan dalam bentuk rencana
tata ruang, vegetasi, fasilitas/utilitas, program mitigasi, dan pengelolaan kawasan.
Hasil dari tahap ini berupa gambar Landscape Plan.
29 Konsep yang direncanakan adalah tata ruang permukiman yang
memudahkan dalam proses evakuasi bencana dan meminimalisir kerugian akibat
bencana. Penentuan tata ruang kawasan mengacu pada ketentuan zonasi
berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan
Letusan Gempa (Tabel 18).
Tabel 18. Peruntukan Ruang Kawasan Gempa Bumi Berdasarkan Tipologi
Kawasan.
Peruntukan
Ruang
A
Kota
B
Desa
Kota
Desa
Tipologi Kawasan
C
D
Kota Desa Kota Desa
Hutan
√
√
×
×
×
Produksi
Hutan Kota
√
√
√
×
×
Hutan Rakyat
√
√
×
×
×
Pertanian
√
√
×
×
×
Sawah
Pertanian
√
√
×
×
×
Semusim
Perkebunan
√
√
×
×
×
Peternakan
√
√
×
×
×
Perikanan
√
√
×
×
×
Pertambangan
√
√
×
×
×
Industri
√
√
√
×
×
Pariwisata
√
√
√
√
√
Permukiman
√
√
√
√
√
Perdagangan
dan
√
√
√
√
√
Perkantoran
(Sumber : MENPU, 2007)
Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangun E
F
Kota
Desa
Kota
Desa
√
×
×
×
×
×
×
×
√
√
×
×
×
√
×
×
×
√
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
√
√
√
√
×
√
√
×
×
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
√
×
×
×
×
×
×
Kota
×
Desa
×
Kota
×
Desa
×
Tabel 19. Arahan Struktur Ruang Kawasan Rawan Gempa Bumi.
Peruntukan
Ruang
Pusat Hunian
Jaringan
Air
Bersih
Drainase
Sewerage
Sistem
Pembuangan
Sampah
Jaringan
Transportasi
Lokal
A
B
Tipologi Kawasan
C
D
Kota Desa Kota Desa
√
√
×
×
E
F
Kota
√
Desa
√
Kota
√
Desa
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
30 Lanjutan Tabel 19.
Jaringan
Telekomunikasi
Jaringan Listrik
Jaringan Energi
√
√
√
√
√
√
×
×
×
×
×
×
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
×
(Sumber : MENPU, 2007)
Keterangan : √ = Dapat dibangun dengan syarat × = Tidak dapat dibangun Rencana tata ruang yang disusun berupa :
1. Rencana Permukiman (Sarana Penghunian, Sarana Pendidikan, Sarana
Kesehatan, Sarana Olahraga dan Daerah Terbuka, Sarana Peribadatan).
Permukiman dibangun dengan pola yang sesuai dalam zonasi berdasarkan
tipologi kerawanan gempa bumi. Tabel 20. Standar Kebutuhan Sarana Kesehatan
No
Jenis Sarana
Jumlah
Penduduk
Pendukun
g (jiwa)
1
Posyandu
1.250
Kebutuhan per
satuan sarana
Luas
Luas
lantai lahan
(m2)
(m2)
36
60
2
Balai
Pengobatan
Warga
2.500
150
300
0,12
1000
3
BKIA
/
Klinik
bersalin
Puskesmas
Pembantu
dan
Balai
Pengobatan
Lingkungan
Puskesmas
dan
Balai
Pengobatan
30.000
1.500
3.000
0,1
4000
30.000
150
300
0,006
1.500
120.000
420
1000
0,008
3.000
4
5
Standar
(m2/jiw
a)
Kriteria
0,048
Radius
pencapaia
n (m)
500
Lokasi dan
Penyelesaia
n
Di tengahtengah
kelompok
tetangga dan
tidak
menyebrang
jalan raya
Di
tengah
kelompok
ketetanggan
tidak
menyebrang
jalan raya
Dapat
dijangkau
dengan
kendaraan
umum
Ket
Dapat
bergabung
dengan
balai warga
atau sarana
hunian
Dapat
bergabung
dengan
balai warga
Dapat
bergabung
dengan
kantor
kelurahan
Dapat
bergabung
dengan
kantor
kecamatan
31 Lanjutan Tabel 20.
6
Tempat
praktek
dokter
5.000
18
-
-
1.500
7
Apotik/rum
ah obat
30.000
120
250
0,025
1.500
Dapat
bersatu
dengan
rumah
tinggal/temp
at
usaha/apotik
(Sumber : SNI 03-1733-2004)
Tabel 21. Standar Kebutuhan Taman, Tempat Main dan Lapangan Olahraga
No
1
Jenis
Minimum
penduduk
pendukung
250
penduduk
Lokasi
Taman,
Ditengah-tengah
tempat
kelompok perumahan
main
2
Taman,
2.500 p
Di pusat kegiatan RW
tempat
main
3
Taman,
30.000 p
Dikelompokkan
tempat
dengan sekolah
main dan
lap,
olahraga
4
Taman,
450.000 p
Dikelompokkan
tempat
dengan sekolah
main dan
lap.
Olahraga
5
Taman,
480.000 p
Dapat
di
pusat
tempat
wilayah
dan
main dan
merupakan zona yang
lap.
lain
dari
pusat
Olahraga
wilayah
6
Jalur hijau
Menyebar
(Sumber : Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah, 1983)
Luas
Tanah
Radius
pencapaian
Standar
250 m2
200 m
1 m2/p
1.250 m2
500 m
0,5 m2/p
9.000 m2
-
0,3 m2/p
24.000
-
0,2 m2/p
124.000
m2
-
0,3 m2/p
15 m2/p
2. Rencana Sirkulasi (Jaringan transportasi lokal)
Pada umumnya hierarki jalan terdiri dari jalan arteri, jalan kolektor, dan jalan
lokal. Menurut Miro (1997) dalam Sarusuk (2006), peran dan fungsi masingmasing jalan tersebut, yaitu :
a. Jalan Arteri : Jalan yang melayani rute jarak jauh dengan kecepatan ratarata tinggi dan jumlah masuk masih dibatasi secara efisien;
b. Jalan Kolektor : jalan yang melayani rute jarak sedang dengan kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah masuk masih dibatasi;
32 c. Jalan Lokal : jalan yang melayani angkutan jarak dekat dengan kecepatan
rata-rata rendah dan jumlah masuk yang tidak dibatasi.
3. Rencana Drainase. Standar perencanaan mengacu pada
Pedoman
Perencanaan Lingkungan Permukiman Kota.
Di dalam pusat hunian selain rencana permukiman akan dikembangkan
pula beberapa konsep perencanaan, yaitu :
1. Rencana Jalur Evakuasi
Jalur evakuasi yang direncanakan berupa jalur jalan yang dapat dengan
mudah membantu penduduk untuk bergerak atau menyelamatkan diri ke areaarea yang digunakan sebagai lokasi evakuasi sementara. Jalur jalan dibuat
dengan pola yang tidak rumit atau tidak berkelok-kelok. Tanda penunjuk
jalan yang digunakan harus mudah dipahami oleh penduduk.
2. Rencana Titik Evakuasi
Titik evakuasi yang direncanakan berupa ruang-ruang terbuka dan bangunan
serba guna yang tahan gempa. Titik-titik evakuasi ini harus mudah dijangkau
oleh penduduk dan dilengkapi dengan fasilitas yang bisa berfungsi dalam
kondisi darurat.
Dalam menentukan tata letak setiap elemen yang diperlukan dalam suatu
permukiman digunakan standar kesesuaian lahan berdasarkan kemiringan lereng
seperti yang ditunjukkan pada Tabel 22.
Tabel 22. Kesesuaian Penggunaan Lahan Berdasarkan Kemiringan Lereng
Peruntukkan
Lahan
Jalan Raya
Parkir
Taman Bermain
Area Perdagangan
Drainase
Permukiman
Trotar
Resapan Septik
Tangga Umum
Rekreasi
(Sumber : Marsh, 1991)
0-3
√
√
√
√
√
√
√
√
√
3-5
√
√
√
√
√
√
√
Kelas Kemiringan Lereng (%)
5-10
10-15
15-20
20-30
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
√
30-40
>40
√
√
√
√
BAB IV
DATA DAN ANALISIS
Pangalengan adalah sebuah kecamatan yang terletak di bagian selatan
kawasan Kabupaten Bandung. Kecamatan Pangalengan terletak pada koordinat
07o07’00” LS sampai 07o18’00” LS dan 107o30’00” BT sampai 107o38’00” BT.
Kecamatan ini memiki jarak sejauh 51 KM dari Kota Bandung dan 23 KM dari
Ibukota Kabupaten Bandung yaitu Soreang. Kawasan administratif Kecamatan
Pangalengan dibatasi oleh Kecamatan Cimaung di sebelah utara, Kecamatan
Talegong di sebelah selatan, Kecamatan Pasir Jambu di sebelah barat, dan
Kecamatan Kertasari di sebelah timur.
Kecamatan Pangalengan terdiri dari 13 desa atau kelurahan yaitu
Banjarsari (2.208,970 ha), Lamajang (4.016,10 ha), Margaluyu (860,200 ha),
Margamekar (817,993 ha), Margamukti (2.613,05 ha), Margamulya (1.294,14 ha),
Pangelangan (589,946 ha), Pulosari (5.118,15 ha), Sukaluyu (1.748,200 ha),
Sukamanah (668,040 ha), Tribaktimulya (449,909 ha), Wanasuka (4.555,97 ha),
dan Warnasari (2.354,12 ha). Dengan demikian total luas Kecamatan Pangalengan
adalah 27.294,77 ha. (Gambar 7)
Kecamatan Pangalengan berada di dataran tinggi dengan suhu rata-rata
harian berkisar antara 13-25oC dan curah hujan rata-rata 1.250 mm/tahun
(Sumber: Data Profil Kecamatan Pangalengan Tahun 2007)
Akses untuk menuju ke Kecamatan Pangalengan dapat melalui beberapa
jalur. Jalur pertama adalah melalui Jalan Raya Terusan Kopo-Jalan Raya Soreang
Banjarang-Jalan Raya Pangalengan. Akses kedua adalah melalui Jalan Raya
Moh.Toha-Jalan
Raya
Dayeuh
Kolot-Jalan
Raya
Banjaran-Jalan
Raya
Pangalengan.
34 35 4.1. Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi
4.1.1. Air
Kecamatan Pangalengan merupakan hulu dari Daerah Aliran Sungai
Citarum. Beberapa sumber mata air yang ada di Kecamatan Pangalengan
diantaranya adalah Datarmala, Sasakbatu, Cisalandah, Cibaruntak, Cinyiruan,
Citere, Sungapan, Cikinceuh. Di Kecamatan Pangalengan juga terdapat beberapa
danau yaitu Situ Cileunca, Situ Cipanunjang, Situ Gede, Situ Cicoledas, Talaga
Kinceuh, Situ Cisanti. Situ Cileunca adalah danau yang dibuat dengan
membendung aliran sungai kali Cileunca selama kurun waktu tujuh tahun yaitu
dari tahun 1919 sampai 1926. Warga setempat menyebut bendungan dengan nama
Dam Pulo. Pada zaman kolonial Belanda bendungan dimanfaatkan sebagai
sumber tenaga listrik bagi warga kota Bandung dan sekitarnya. Saat ini Situ
Cileunca lebih difungsikan untuk kegiatan rekreasi alam.
Gambar 7. Situ Cileunca
Sumber : Survey Juni 2010
Selain sumber-sumber mata air biasa, di Kecamatan Pangalengan juga
terdapat sumber-sumber mata air panas. Hal ini dikarenakan di Kecamatan
Pangalengan terdapat gunung vulkanik aktif yaitu Gunung Wayang. Beberapa
mata air panas dimanfaatkan warga menjadi pemandian umum. Dinas Perkebunan
PTP Nusantara VIII memanfaatkan sumber mata air panas tersebut menjadi objek
wana wisata pemandian air panas yang dikelola dengan baik.
36 Gambar 8. Wana Wisata Mata Air Panas Cibolang
Sumber : Dok. Pribadi
Dalam Herawan (1989) dijelaskan bahwa produktifitas akifer untuk
kecamatan Pangalengan memiliki selang dari sedang-tinggi. Kedalaman air tanah
tertekan lebih dari 65 meter, MAT bebas berkisar antara 3-7 meter. Debit air
sumur bisa mencapai lebih dari 5 liter/detik. Harnadi dan Iskandar (1996)
menggolongkan Kecamatan Pangalengan dan sekitar Bandung Selatan kedalam
Zona Konservasi Air Tanah V dan VI (Zona V dan Zona VI). Kedua zona tersebut
merupakan daerah resapan air utama dan daerah perlindungan kualitas air tanah
untuk kawasan di bawahnya. Penelitian hidrogeologi sangat diperlukan ketika
akan mengadakan kegiatan pembangunan di kawasan sekitar area Zona V dan
Zona VI agar neraca air tidak terganggu.
Untuk penyediaan kebutuhan air bersih di Kecamatan Pangalengan,
PDAM Kabupaten Bandung Cabang Pangalengan menjadi pengelola sistem
penyediaan air bersih perpipaan dengan debit 27 liter/detik. Sebanyak 20% warga
Pangalengan terlayani dengan sistem perpipaan air bersih ini, sementara 36%
penduduk lainnya menggunakan sistem perpipaan yang dikelola secara swadaya
leh desa masing-masing dengan memanfaatkan sumber mata air (BAPPEDA,
2004).
Agar fungsi Situ Cileunca tidak terganggu perlu adanya perlindungan
terhadap danau buatan tersebut. Berdasarkan Perda Jabar No 20 Tahun 2006,
ketentuan sempadan untuk waduk dan situ adalah minimal 50 meter dari titik
pasang tertinggi ke arah darat. Sepanjang jalur sempadan waduk ini tidak boleh
dikembangkan untuk kegiatan budidaya ataupun pembangunan infrastruktur.
Sedangkan untuk kawasan perlindungan untuk mata air sekurang-kurangnya
berada dalam radius 200 meter di sekitar mata air. Peta kawasan lindung untuk
situ dan mata air seperti yang ditunjukan oleh gambar 9.
37 38 Untuk melindungi kualitas air permukaan maka di kawasan sempadan
tidak boleh dilakukan kegiatan pembangunan fisik. Kawasan sempadan harus
dijaga kealamiannya dengan tidak menebang pepohonan atau menanam ulang
pepohonan yang dapat berfungsi sebagai penyerap air.
Tata guna lahan di Kecamatan Pangalengan didominasi oleh perkebunan
milik negara. Selain itu terdapat tanah perkebunan rakyat dan milik swasta. Tata
guna lahan eksisting di Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada Gambar 10.
Berdasarkan kriteria Fabos dan Caswell (1976), kualitas air bawah tanah yang
dapat diperkirakan di Kecamatan Pangalengan adalah masuk ke dalam Kelas A
dan C seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 11. Kelas A menunjukkan bahwa
cadangan air terletak pada kawasan yang masih alami dan belum pernah dilakukan
penyemprotan yang dapat mengganggu ambang batas kualitas air. Air tanah Kelas
A perlu dilindungi dari kegiatan yang dapat menganggu kualitas seperti
penyemprotan dan pembangunan infrastruktur. Hal ini berfungsi untuk menjaga
kualitas air tanah di kawasan ini sehingga dapat dimanfaatkan oleh pengguna di
kawasan di bawahnya.
Sedangkan Kelas C menunjukkan bahwa air bawah tanah berada pada
kawasan yang digunakan untuk jalan, tempat parkir maupun septic tank. Selain itu
kualitas Kelas C menunjukkan di kawasan itu diperlukan pemupukan secara
berkala dan penyemprotan hama.
Dengan penentuan kawasan lindung dan kualitas air bawah tanah maka
dapat ditentukan pula kawasan perlindungan terhadap sumberdaya air seperti yang
ditunjukkan oleh Gambar 12. Kawasan Perlindungan Air Utama menunjukkan
area yang harus dilindungi dari pembangunan fisik maupun kegiatan pertanian
dan perkebunan yang dapat mengganggu kualitas air. Kegiatan pengembangan
ataupun pemanfaatan lahan yang dilakukan di Kawasan Perlindungan Air
Sekunder diupayakan tidak menganggu atau memperburuk kondisi ambang batas
kualitas air.
39 40 41 13
42 4.1.2. Tanah
Kecamatan Pangalengan merupakan daerah pegunungan yang terletak
pada ketinggian 1000 – 2000 meter di atas permukaan laut. Kecamatan ini
dikelilingi oleh beberapa gunung yaitu Gunung Wayang (2182 m), Gunung
Malabar (2321 m), Gunung Windu (2054 m) , dan Gunung Tilu (2042 m).
Dalam Katharina (2007), tanah di Pangalengan memiliki kerapatan
lindak rendah, porositas tanah tinggi dan mempunyai kemampuan menahan air
yang baik. Hal ini menyebabkan pada musim kemarau kandungan air lapisan
tanah rendah tapi kelembaban tanah cukup baik pada lapisan tanah lebih dalam
(>20 cm). Menurut data Tim Survey Tanah IPB (1991) dan Pusat Penelitian
Agroklimat Bogor (2003) dalam Katharina (2007), kelas tanah di Kecamatan
Pangalengan termasuk ke dalam Andisol dan tergolong subur. Jenis tanah yang
dikandung terdiri dari dua jenis. Jenis pertama adalah hydric dystrandept
sebanyak 98,35% yang mengandung minerial liat kaolitik, memiliki drainase
sedang-baik, isohipertermik, liat halus, dan terdapat pada lereng landai-sangat
curam. Jenis kandungan kedua adalah aquic dystropept sebanyak 1,65% yang
mengandung mineral liat haloisit, drainase sedang, isohipertermik, dan terletak di
lereng agak landai hingga landai.
Dalam laporan Herawan (1989), tanah di Kecamatan Pangalengan
merupakan tanah lempung pasiran coklat hitam. Di daerah dengan tanaman
bervegetasi rapat tanah jenis ini lunak. Selain itu tanah jenis ini mudah tererosi,
keras bila kering serta kelulusan sedang. Ketebalan jenis tanah ini berkisar antara
0,5-6 meter. Tanah jenis ini sangat mudah digali menggunakan alat sederhana
seperti sekop atau pacul.
Selanjutnya Herawan (1989) juga menjelaskan, tanah jenis andisol
memiliki sifat fisik atau batuan yang kelulusan airnya kecil. Air akan bercampur
dengan tanah atau batuan saat air meresap ke dalam tanah atau batuan tersebut.
Jika jumlah air sudah mencapai titik jenuh, akan terjadi lumpur yang
mengakibatkan suatu saat terjadi longsor. Pergerakan longsor yang terjadi secara
perlahan dan dilanjutkan dengan kecepatan tinggi. Bentukan lahan atau landform
Kecamatan Pangalengan yang bervariasi menjadikan beberapa kawasan rawan
terhadap bencana gerakan tanah atau longsor. Bencana longsor akan lebih mudah
43 terjadi di kawasan pada kemiringan lereng tertentu dengan tutupan vegetasi
rendah.Untuk menghindari akibat dari bencana longsor atau gerakan tanah maka
perlu ada proteksi untuk kawasan-kawasan yang rawan khususnya pada kawasan
dengan kemiringan tertentu.
Bentukan lahan Kecamatan Pangalengan memiliki keragaman mulai dari
landai hingga sangat curam. Dengan menggunakan klasifikasi van Zuidam dalam
Noor (2006) diperoleh pembagian kelerengan yang terdapat di Kecamatan
Pangalengan. 14% lahan atau sekitar 3821,26 ha di Kecamatan Pangalengan
berada pada kelerengan 0%-2% atau dalam kategori datar. Kawasan dengan
kategori datar ini akan terhindar dari bahaya longsor. Lahan yang berada pada
kategori landai atau dengan kemiringan 2% - 7% mendominasi Kecamatan
Pangalengan yaitu seluas 33% dari total luas kawasan atau sekitar 9007,27 ha.
Kawasan ini rawan erosi dengan kecepatan gerakan tanah yang rendah sehingga
erosi yang terjadi lambat. Kawasan yang memiliki kemiringan lereng sebesar 7%15% dan dikategorikan ke dalam kawasan miring memiliki luas 31% dari total
luas kawasan atau sekitar 8461,37 ha. Pada kawasan dalam zonasi ini rawan
terjadi erosi tanah. Untuk kawasan yang memiliki besaran kemiringan 15%->30%
atau dalam klasifikasi agak curam hingga sangat curam menempati luas sebesar
22% dari total luas kawasan Kecamatan Pangalengan atau sekitar 6004,85 ha.
Kawasan dengan kelerengan lebih dari 15% akan sangat rawan dengan terjadinya
erosi atau longsor.
Ragam bentuk dan kemiringan lahan di Kecamatan
Pangalengan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 13. Gambar 14 menunjukkan
pembagian kawasan berdasarkan kemiringan. Gambar 15 menunjukkan kawasan
dengan kerawanan longsor tertentu.
Ketinggian lahan di Kecamatan Pangalengan bervariasi mulai dari 900
mdpl hingga 2100 mdpl. Peta elevasi Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada
Gambar 16. Sesuai dengan Perda Jabar No.2 Tahun 2006 kawasan Kecamatan
Pangalengan dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) kelas kawasan lindung yaitu Kawasan
Lindung, Kawasan Berfungsi Lindung di Luar Hutan Lindung, dan Kawasan
Resapan Air. Kawasan hutan lindung dan kawasan berfungsi lindung di luar hutan
lindung berfungsi untuk memberikan perlindungan bagi kawasan di bawahnya.
Perlindungan itu berupa untuk mencegah erosi, bencana banjir, sedimentasi,
44 mengatur tata air dan menjaga kualitas unsur hara tanah. Dengan upaya
perlindungan di kawasan hulu dapat mencegah timbulnya bahaya bencana
longsor. Peta kawasan
lindung Kecamatan Pangalengan dapat dilihat pada
Gambar 17.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Sumber : Survei Juni 2010
Gambar 13. Ragam Bentukan dan Kemiringan Lahan di Kecamatan Pangalengan
(a) dan (b) 2-7%, (c) dan (d) 7-15%, (e) dan (f) 0-2%.
45 46 47 Dengan mengetahui kawasan yang rawan terhadap bencana gerakan
tanah dan kawasan yang perlu dilindungi berdasarkan elevasi maka dapat
ditentukan area tanah di Kecamatan Pangalengan yang harus diproteksi dan tidak
perlu diproteksi seperti yang ditunjukan pada Gambar 18. Area yang perlu
diproteksi tidak diperuntukkan untuk pembangunan fisik karena rawan terhadap
bencana longsor, kelerengan yang kurang sesuai, dan masuk kedalam kategori
Kawasan Lindung. Sedangan di area yang tidak perlu diproteksi dapat dilakukan
pembangunan fisik karena potensi longsor rendah dan kemiringan lereng sangat
sesuai untuk pembangunan fisik.
Melalui analisis sumberdaya air dan tanah yang perlu diproteksi maka
diperoleh hasil berupa Peta Sumberdaya Kritis Kecamatan Pangalengan seperti
yang ditunjukkan oleh Gambar 19. Kawasan dengan sumberdaya kritis merupakan
area yang yang harus dilindungi dari pembangunan fisik. Pada kawasan dengan
sumberdaya tidak kritis dapat dikembangkan untuk pembangunan fisik namun
tetap harus memperhatikan kondisi lingkungan.
48 17 49 18 50 51 52 4.2. Zona Berbahaya
Untuk menentukan kestabilan suatu wilayah terhadap kawasan rawan
gempa bumi digunakan perhitungan dalam peraturan yang dikeluarkan oleh
Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai Pedoman Penataan Ruang
Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Rawan Letusan Gempa. Penilaian
tersebut meliputi Geologi (Sifat Fisik Batuan dan Keteknikan Batuan),
Kemiringan Lereng, Kegempaan, dan Struktur Geologi.
Di dalam Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Daerah Garut,
Cikajang, Pangalengan dan Sekitarnya disebutkan struktur geologi yang
berkembang di daerah pegunungan Pangalengan berupa sesar dan pelipatan
lapisan batuan. Lapisan batuan pembentuk kawasan pedataran tinggi Pangalengan
adalah hasil batuan gunung api muda dan tua yang terdiri dari breksi, lava, lahar
dan tufa, lapili, bom dan aglomerat. Selanjutnya Bronto, Koswara dan
Lumbanbatu (2006) menjelaskan bahwa Kecamatan Pangalengan terbentuk dari
beberapa satuan batuan yaitu Satuan Batuan Gunung Api Pangalengan, Satuan
Batuan Gunung Api Wayang Windu, Satuan Batuan Gunung Api Malabar, dan
Satuan Batuan Piroklastika Pangalengan.
Gambar 20. Peta Geologi Daerah Bandung Selatan dan Stratigrafi Batuan Gunung
Api (Silitonga, 1973 dalam Bronto, Koswara, dan Lumbanbatu, 2006)
53 Dalam matriks pembobotan untuk penentuan nilai kestabilan wilayah
terhadap kawasan gempa bumi, kelas informasi geologi di Kecamatan
Pangalengan memiliki nilai kemampuan 1 dan masuk ke dalam kelas informasi
1a.
Persentasi kelerengan Kecamatan Pangalengan bervariasi dari datar
hingga sangat curam. Setiap persentasi kelerangan memiliki bobot nilai yang
berbeda sehingga akan menghasilkan penilaian kestabilan wilayah yang berbeda
pula. Untuk kemiringan lereng sebesar 0-7% memiliki nilai kemampuan 1 dan
masuk ke dalam kelas informasi 2a. Untuk kemiringan lereng sebesar 7-30%
memiliki nilai kemampuan 2 dan masuk kelas informasi 2b. Sedangkan untuk
kemiringan 30-140% memiliki nilai kemampuan 3 dan masuk kelas informasi 2c.
Faktor kegempaan merupakan informasi yang menunjukkan tingkat
intensitas gempa. Pada skala MMI (Modified Mercalli System) intensitas gempa
yang dirasakan di Kecamatan Pangalengan berada pada skala IX dengan kriteria
kerusakan pada bangunan yang rangkanya kuat, rumah menjadi tidak tegak lagi,
banyak retakan pada bangunan yang konstruksinya kuat, bangunan rumah
bergeser dari pondasinya, dan pipa dalam tanah pecah. Dalam matriks
pembobotan untuk penentuan nilai kestabilan wilayah terhadap kawasan gempa
bumi, kegempaan ini di Kecamatan Pangalengan memiliki nilai 4 dan masuk ke
dalam kelas informasi adalah 3d.
Kecamatan Pangalengan terletak di Jawa Barat bagian selatan yang
memiliki kondisi sesar lemah atau rentan terhadap rambatan gempa bumi.
Brahmantyo (2005) dalam Geologi Cekungan Bandung menjelaskan perihal
seismotonik Jawa Barat dan Zonasi Percepatan Gempa Bumi Bandung. Menurut
perhitungan percepatan gempa bumi yang dilakukan oleh Puslitbang Geologi
selama kurun waktu 100 tahun terakhir, terlihat bahwa kontur gempa bumi
semakin tinggi mendekati daerah selatan Bandung. Sehingga dapat dikatakan
daerah selatan Bandung semakin rawan terkena guncangan apabila gempa bumi
terjadi. Selain itu terdapat sistem sesar arah barat laut-tenggara yang diduga
berupa sesar mendatar mengiri. Sesar-sesar tersebut meliputi Sesar Malabar, Sesar
Gunung Geulis, Sesar Cikuray, Sesar Tilu, Sesar Patuha, Sesar Galunggung dan
54 Sesar Jatiluhur. Lokasi sesar-sesar tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar
21.
Gambar 21. Sesar di daerah Bandung dan sekitarnya. (Koswara (1998) dalam
Widijono dan Subagio, 2009)
Terdapat tiga jalur sesar yang melewati Kecamatan Pangalengan yaitu
Sesar Malabar, Sesar Tilu, dan Sesar Tampomas seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 22. Dengan demikian terdapat tiga kategori penilaian untuk struktur
geologi di Kecamatan Pangalengan yaitu penilaian untuk kawasan pada jalur
sesar, kawasan yang berada sekitar 100 – 1000 meter dari jalur sesar, dan kawasan
yang jauh dari jalur sesar. Masing-masing kategori memiliki nilai kemampuan
sendiri. Kawasan yang berada jauh dari jalur sesar memiliki nilai kemampuan 1
dan masuk ke dalam kelas informasi 4a. Kawasan yang berada 100-1000 meter
dari jalur sesar memiliki nilai kemampuan 2 dan masuk ke dalam kelas informasi
4b. Kawasan yang berada <100 meter memiliki nilai kemampuan 3 dengan kelas
informasi 4c.
55 56 Pembobotan yang diberikan pada setiap informasi geologi yang diperoleh
adalah berbeda-beda tergantung kepada kepentingan informasi tersebut untuk
menentukan penilaian kestabilan. Tabel 23 menunjukan nilai bobot yang
diberikan pada setiap informasi geologi. Sedangkan Tabel 24 menunjukan matriks
penghitungan untuk mendapatkan skor akhir.
Tabel 23. Pembobotan Pada Kerawanan Gempa Bumi Kecamatan Pangalengan
Informasi Geologi
Geologi (Sifat Fisik dan Keteknikan Batuan)
Kemiringan lereng
Kegempaan
Struktur geologi
(Sumber : Analisis)
Bobot
3
3
4
5
Tabel 24. Matriks pembobotan untuk wilayah kestabilan kawasan rawan gempa
bumi di Kecamatan Pangalengan.
Kelas
Informasi
1a, 2a, 3d, 4a
Skor
Tipologi
Keterangan
27
A
1a, 2a, 3d, 4b
1a, 2a, 3d, 4c
1a, 2b, 3d, 4a
1a, 2b, 3d, 4b
1a, 2b, 3d, 4c
1a, 2c, 3d, 4a
1a, 2c, 3d, 4b
1a, 2c, 3d, 4c
32
37
30
35
40
33
38
43
A
B
A
A
B
A
B
C
1a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik,
aglomelarat, breksi sedimen, konglomerat (Nilai=1)
2a. Datar – landai (0-7%) (Nilai =1)
2b. Miring- agak curam (7-30%) (Nilai=2)
2c. Curam-sangat curam (>30%) (Nilai=3)
3d. IX, X, XI, XII (Nilai=4)
4a. Jauh dari jalur sesar (Nilai=1)
4b. 100-1000 m dari jalur sesar (Nilai=2)
4c. <100 m dari jalur sesar (Nilai=3)
Melalui penilaian kestabilan terhadap kawasan rawan gempa bumi
diperoleh 3 jenis tipologi kawasan rawan gempa untuk Kecamatan Pangalengan
yaitu tipologi A, B, dan C seperti yang ditunjukan pada Gambar 23. Kawasan
dengan tipe A berlokasi jauh dari daerah sesar yang rentan terhadap getaran
gempa. Kawasan ini juga dicirikan dengan adanya kombinasi saling melemahkan
dari faktor dominan yang berpotensi untuk merusak. Bila intensitas gempa tinggi
(Modified Mercalli Intensity / MMI VIII) maka efek merusaknya diredam oleh
sifat fisik batuan yang kompak dan kuat.
Sedangkan pada kawasan dengan tipe B faktor yang menyebabkan
tingkat kerawanan bencana gempa pada tipe ini tidak disebabkan oleh satu faktor
dominan, tetapi disebabkan oleh lebih dari satu faktor yang saling mempengaruhi,
yaitu intensitas gempa tinggi (MMI VIII) dan sifat fisik batuan menengah.
57 Kawasan ini cenderung mengalami kerusakan cukup parah terutama untuk
bangunan dengan konstruksi sederhana.
Kawasan dengan tipologi C memiliki setidaknya dua faktor dominan
yang menyebabakn kerawanan kawasan ini menjadi tinggi. Kombinasi itu dapat
terdiri dari intensitas gempa tinggi dan sifat fisik batuan yang lemah; atau
kombinasi antara sifat fisik batuan yang lemah dan lokasi yang berada dekat
dengan zona sesar yang merusak. Kerusakan yang dapat terjadi pada zona
kawasan ini cukup parah. Banguan dengan konstruksi beton akan mengalami
kerusakan parah jika berada dekat dengan jalur sesar.
Kawasan dengan Tipologi A menempati area paling luas di Kecamatan
Pangalengan yaitu sekitar 88% dari luas total kawasan atau ±24.018,72 ha. Pada
kawasan dengan Tipologi A sesuai dengan standar pada Tabel 18 dapat dibangun
beberapa ruang seperti hutan produksi, hutan rakyat, pertanian sawah, pertanian
semusim,
perkebunan,
peternakan,
perikanan,
pertambangan,
pariwisata,
permukiman, perdagangan, dan perkantoran. Dengan demikian kawasan dengan
Tipologi A menjadi kawasan paling aman pada area rawan bencana gempa.
Sedangkan kawasan dengan Tipologi B, dan C dikategorikan ke dalam kawasan
tidak aman bencana gempa. Gambar 24 menunjukkan pembagian keamanan
hazard gempa di Kecamatan Pangalengan.
58 59 60 Pada gempa yang terjadi tanggal 2 September 2009 lalu Kecamatan
Pangalengan menjadi kawasan dengan kerusakan terparah se-Kabupaten
Bandung. Badan Penanggulangan Bencana Nasional mencatat di Kecamatan
Pangalengan terdapat rumah rusak berat sebanyak 8598 unit, rumah rusak sedang
sebanyak 5802 unit, dan rumah rusak ringan sebanyak 7504 unit. Tingkat rumah
rusak berat tertinggi dengan jumlah lebih dari 1000 unit dialami masing-masing
oleh Desa Margamulya (1729 unit), Desa Sukamanah (1705 unit), Desa
Pangalengan (1540 unit) dan Desa Margamukti (1813 unit). Keempat desa
tersebut merupakan desa dengan kepadatan penduduk tertinggi se-Kecamatan
Pangalengan. Selanjutnya desa yang memiliki tingkat kerusakan rumah lebih dari
150 unit adalah Desa Margaluyu (480 unit), Desa Margamekar (316 unit), Desa
Sukaluyu (264 unit), Desa Warnasari (186 unit), dan Desa Pulosari (179 unit).
Desa yang mengalami kerusakan kurang dari 150 unit adalah Desa Tribakti Mulya
sebanyak 148 unit dan Desa Banjarsari sebanyak 117 unit. Sementara tingkat
kerusakan rumah terendah dialami oleh Desa Lamajang sebanyak 98 unit rumah
dan Desa Wanasuka sebanyak 23 unit rumah. Peta sebaran rumah rusak berat
dapat dilihat pada Gambar 25.
Desa Margamulya, Desa Sukamanah, Desa Pangalengan dan Desa
Margamukti berada pada kawasan rawan gempa bertipologi A. Meskipun jauh
dari zona sesar namun terdapat faktor-faktor lain yang menyebabkan kawasan ini
menjadi area dengan kerusakan terparah. Keempat desa tersebut merupakan desadesa dengan kepadatan penduduk tertinggi di Kecamatan Pangalengan. Jumlah
rumah yang dibangun di kawasan ini lebih banyak. Selain itu pembangunan
permukiman tidak memperhatikan bentukan lahan. Seperti misalnya rumah
didirikan pada lahan dengan kelerengan terjal atau curam yang rawan longsor.
Bangunan-bangunan
yang
mengalami
kerusakan
akibat
gempa
didominasi oleh bangunan struktur beton yang tidak tahan gempa. Sedangkan
rumah-rumah yang masih tegak berdiri atau hanya mengalami kerusakan ringan
adalah rumah tradisional dengan struktur terbuat dari kayu dan berupa rumah
panggung (Gambar 26).
61 62 (a)
(b)
(Sumber : ERRI Special Earthquake Report October 2009)
Gambar 27. Kondisi Bangunan Pasca Gempa (a) Rumah Panggung Yang Masih
Berdiri Tegak, (b) Rumah Dengan Konstruksi Beton Yang Rusak Berat
Untuk mencegah kerugian serupa jika terjadi bencana gempa bumi lagi
maka perlu dilakukan penataan ulang pola permukiman dan penentuan jenis
infrastruktur yang tahan gempa.
4.3. Kesesuaian Pengembangan
Topografi yang bervariasi di Kecamatan Pangalengan dapat digunakan
untuk menentukan kesesuaian pengembangan di kawasan tersebut. Dalam Noor
(2006) (Tabel 16), lahan yang memiliki kelas lereng 0%-5% dapat
dikembangankan menjadi kawasan permukiman dan pertanian. Lahan dengan
kelas lereng 5%-15% dapat dikembangkan menjadi permukiman, pertanian
maupun perdagangan dan perkantoran. Namun lahan pada kemiringan ini tidak
cocok untuk dibangun sebagai kawasan industry berat ataupun areal lapangan
terbang.
Pada kelas lereng 15%-30% tidak cocok untuk dijadikan areal pertanian
karena rawan erosi tanah. Namun pertanian dengan jenis tertentu masih dapat
dikembangkan pada area dengan kemiringan diatas 20%. Kawasan permukiman
masih dapat dikembangkan pada tingkat kemiringan ini. Sedangkan pada
kemiringan terjal dengan kelas lereng 30%-50% cocok dikembangkan menjadi
tempat wisata, perumahan dengan cluster, padang rumput dan hutan. Pada
kawasan dengan kemiringan lebih dari 50% sangat tidak cocok untuk
dikembangkan menjadi kawasan permukiman.
63 Pada analisis Tahap I yaitu analisis Sumberdaya Yang Perlu Diproteksi
diperoleh informasi kawasan yang tidak perlu diproteksi dan dapat dikembangkan
menjadi kawasan permukiman. Selanjutnya pada analisis Tahap II yaitu analisis
Hazard diperoleh informasi kawasan yang aman terhadap bencana gempa bumi.
Dengan mengkombinasikan standar pada Tabel 16, Peta Proteksi Sumberdaya,
dan Peta Keamanan Hazard Gempa maka diperoleh Peta Kesesuaian
Pengembangan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 27.
Area berwarna hijau pada Gambar 27 adalah kawasan yang sesuai untuk
dikembangkan sebagai kawasan permukiman penduduk. Kawasan ini memiliki
luas 41% dari total luas kawasan atau sekitar 11.200 ha. Kawasan ini jauh dari
jalur sesar gempa, memiliki kemungkinan bahaya longsor yang rendah, serta
berada pada kemiringan lahan datar hingga landai.
Sedangkan area berwarna merah adalah kawasan yang tidak sesuai untuk
dikembangkan sebagai kawasan permukiman penduduk. Kawasan ini memiliki
luas 59% dari total luas kawasan atau sekitar 16.100 ha. Pada area yang tidak
sesuai ini dapat dikembangkan sebagai area perkebunan tanaman keras dan hutan
lindung.
64 65 4.6. Sintesis
Berdasarkan kriteria zonasi kawasan rawan gempa bumi pada Tabel 17
kawasan Pangalengan terbagi kedalam tingkat kerawanan gempa bumi Tipologi
A, Tipologi B, Tipologi C dan Tipologi D. Hasil analisis menunjukkan kawasan
yang sesuai untuk dikembangkan di Kecamatan Pangalengan berada pada
kawasan bertipologi A (Gambar 24). Tata guna lahan untuk kawasan permukiman
yang saat ini berkembang di Kecamatan Pangalengan sebagian besar berada pada
kawasan bertipologi A. Kawasan yang sesuai untuk dikembangkan tersebut
meliputi Desa Pangalengan, Desa Margamukti, Desa Sukamanah, Desa
Margamekar, dan Desa Margamulya. Kelima desa ini merupakan desa yang
mengalami kerusakan paling parah saat terjadi gempa (Gambar 25). Di dalam
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Pangalengan kelima desa ini menjadi
kawasan perencanaan utama dengan tujuan mencegah perkembangan ke kawasan
konservasi di daerah selatan agar kualitas lingkungan tidak terganggu. Dengan
demikian kawasan ini menjadi fokus dalam kegiatan perencanaan ini. Lokasi
kawasan perencanaan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 28. Namun untuk
dapat menerapkan konsep mitigasi terhadap gempa bumi maka zonasi ruang di
kawasan ini harus disesuaikan dengan aturan zonasi pada Tabel 15. Dengan
demikian dihasilkan blok plan kawasan yang akan direncanakan seperti pada
Gambar 39.
Ruang pemanfaatan budidaya difokuskan untuk pengembangan dalam
bidang pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Ruang terbangun dimanfaatkan
untuk pengembangan struktur dan infrastruktur permukiman. Ruang konservasi
berfungsi sebagai sempadan pada sumberdaya air.
Perencanaan yang dikembangkan untuk mitigasi bencana gempa dalam
kawasan permukiman ini adalah tata ruang permukiman, pola permukiman, zonazona evakuasi, jalur-jalur evakuasi, serta fasilitas dan utilitas yang diperlukan
untuk penanganan pasca bencana gempa bumi.
66 67 BAB V
KONSEP DAN PERENCANAAN
5.1. Konsep
Konsep dasar dari penelitian ini adalah merencanakan suatu tata ruang
permukiman yang dapat mencegah atau mengurangi dampak yang ditimbulkan
oleh bencana gempa bumi. Konsep dasar ini dikembangkan ke dalam konsep
mitigasi yaitu memudahkan kegiatan penyelamatan diri saat terjadi bencana
gempa. Konsep mitigasi ini diterapkan pada konsep pembagian ruang, evakuasi,
sirkulasi, dan vegetasi.
5.1.1. Konsep Pembagian Ruang
Ruang permukiman dikelompokan ke dalam satuan ketetanggaan yang
terdiri atas Kepala Keluarga (KK), Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW),
Desa, dan Kecamatan. Konsep pembagian ruang ini dimaksudkan agar kegiatan
penyelamatan diri dapat lebih terarah dan terkendali. Selain itu pengelompokkan
dalam satuan ketetanggan dapat membantu menentukan titik-titik evakuasi dan
pergerakan menuju lokasi-lokasi evakuasi tersebut. Gambar 30 menunjukkan
diagram konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggaan.
Gambar 30. Diagram Konsep Pembagian Ruang
69 5.1.2. Konsep Evakuasi
Ruang-ruang yang dimanfaatkan untuk zona evakuasi adalah ruang-ruang
terbuka yang berada di dalam kawasan permukiman. Berdasarkan lokasi dan daya
tampung maka zona-zona evakuasi tersebut dibagi ke dalam 3 tingkatan yang
terdiri atas zona evakuasi makro, meso dan mikro. Gambar 31 menunjukkan
diagram konsep zona evakuasi.
Gambar 31. Diagram Konsep Evakuasi
Pada saat bencana gempa muncul maka penduduk diarahkan untuk
bergerak menyelamatkan diri menuju zona evakuasi mikro pada tingkatan RT.
Jika fasilitas dan kondisi di zona evakuasi mikro kurang mendukung maka
penduduk diarahkan menuju zona evakuasi meso yang berada pada tingkatan RW
dengan kapasitas daya tamping lebih besar. Selanjutnya jika fasilitas dan kondisi
di zona evakuasi meso kurang memadai maka penduduk diarahkan menuju zona
evakuasi makro yang berada pada tingkat desa.
5.1.3. Konsep Sirkulasi
Jalur sirkulasi pada kawasan rawan bencana gempa harus dibuat dengan
tujuan memudahkan pergerakan penduduk saat menyelamatkan diri. Jejaring jalan
yang rumit dengan lebar yang sempit berpotensi menimbulkan kebingungan atau
disorientasi arah ketika penduduk berusaha menyelamatkan diri dalam keadaan
panik.
Berdasarkan fungsinya untuk memudahkan kegiatan penyelamatan diri
maka jalur sirkulasi di wilayah perencanaan dibagi ke dalam 3 hierarki jalan yaitu
70 jalan lingkungan, jalan lokal, dan jalan kolektor. Tabel 25 menjelaskan lebar dan
fungsi dari setiap jenis jalan. Gambar 33 menunjukkan diagram konsep sirkulasi.
Tabel 25. Konsep Jalur Sirkulasi
Jenis Jalan
Jalan Lingkungan
Jalan Lokal
Jalan Kolektor
Lebar
5m
7m
14 m
Fungsi
mengarahkan massa ke zona evakuasi mikro
mengarahkan massa ke zona evakuasi meso
-mengarahkan massa ke zona evakuasi makro
-mendistribusikan bantuan ke lokasi pengungsian
-penghubung antar desa
Jalan Lingkungan
Jalan Lokal
Jalan Kolektor
Gambar 32. Diagram Konsep Sirkulasi
5.1.4. Konsep Vegetasi
Konsep vegetasi untuk mitigasi bencana direncanakan memiliki fungsifungsi untuk mendukung kegiatan penanganan saat bencana dan pasca bencana.
Dengan demikian jenis-jenis vegetasi yang diterapkan pada kawasan berdasarkan
fungsinya dapat dibedakan ke dalam empat jenis vegetasi yaitu : vegetasi
budidaya, vegetasi konservasi, vegetasi pengarah, dan vegetasi penaung. Tabel 26
menjelaskan jenis vegetasi, lokasi, dan fungsinya dalam mitigasi bencana gempa.
Sedangkan Gambar 33 menunjukan diagram konsep vegetasi yang direncanakan.
71 Tabel 26. Konsep Vegetasi
Jenis
Vegetasi
Budidaya
Lokasi
Kebun campuran
Konservasi
Pengarah
Penaung
-dekat sumber air
-pada kawasan berpotensi
longsor
Jalur sirkulasi
-pemukiman
-zona evakuasi
Fungsi
- cadangan pangan pada penanganan pasca
bencana
-menjaga keseimbangan neraca air
-mencegah bencana longsor pada kawasan
tertentu
-mengarahkan penduduk menuju area evakuasi
-menaungi kawasan terutama di zona-zona
evakuasi
- ameliorasi iklim
Vegetasi Konservasi
Vegetasi Budidaya
Vegetasi Penaung
Vegetasi Pengarah
Gambar 33. Diagram Konsep Vegetasi
5.2. Perencanaan
Rencana lanskap merupakan pengembangan dari konsep yang sudah
ditentukan sebelumnya. Konsep ruang dikembangkan ke dalam rencana tata ruang
permukiman. Konsep evakuasi dikembangkan ke dalam rencana evakuasi. Konsep
sirkulasi dikembangkan ke dalam rencana jalur sirkulasi. Konsep vegetasi
dikembangkan ke dalam rencana vegetasi. Rencana lanskap yang telah disusun
seperti yang ditunjukkan pada Gambar 34.
72 73 5.2.1. Rencana Tata Ruang Permukiman
Di dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kota Pangalengan
diperkirakan kebutuhan lahan untuk permukiman di wilayah perencanaan pada
tahun 2015 mencapai 299,22 ha dengan perkiraan jumlah penduduk akan
mencapai 88.739 jiwa. Untuk memudahkan kegiatan perencanaan maka wilayah
yang direncanakan dibagai ke dalam tiga blok sesuai dalam RDTR yaitu Blok
Utara, Blok Tengah, dan Blok Selatan (Gambar 35). Setiap blok memiliki
perkiraan jumlah penduduk masing-masing pada tahun 2015. Blok Utara
diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 38.870 jiwa dengan kebutuhan
lahan permukiman ± 115, 51 ha. Blok Tengah diperkirakan akan memiliki jumlah
penduduk 26.305 jiwa dengan kebutuhan lahan permukiman ± 78, 92 ha. Blok
Selatan diperkirakan akan memiliki jumlah penduduk 23.564 jiwa dengan
kebutuhan lahan permukiman ± 70, 59 ha.
Blok Utara
Blok Tengah
Blok Selatan
Gambar 35. Pembagian Blok Kawasan Perencanaan
Sumber : RDTR Kota Pangalengan
Mayoritas penduduk di Pangalengan memiliki mata pencaharian di
bidang pertanian dan peternakan seperti buruh tani, petani, pedagang, buruh
74 swasta, perkebunan, dan peternak. Dengan asumsi bahwa mayoritas penduduk
berpenghasilan rendah dan sedang maka disarankan rumah yang banyak dibangun
adalah jenis rumah sederhana yaitu rumah dengan luas lantai bangunan tidak lebih
dari 70 m2 yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling 54 m2 sampai 200
m2. Di dalam Perda RTRW 2008 Pasal 3 dijelaskan pengembangan permukiman
di kawasan perkotaan diarahkan untuk perumahan terorganisir dan rumah susun,
sedangkan pengembangan permukiman di luar kawasan perkotaan diarahkan
untuk permukiman yang tumbuh alami dan pengembangan perumahan dengan
kepadatan rendah (<30 unit/ha) namun dalam pengembangannya tetap dibatasi
sesuai dengan fungsi ruangnya yang ditentukan berdasarkan Koefisien Wilayah
Terbangun. Sementara di dalam RDTR Kota Pangalengan diperkirakan jumlah
bangunan yang ada pada tahun 2015 sekitar 17.748 unit meliputi tipe kecil,
sedang dan besar. Dengan demikian kawasan perumahan yang direncanakan di
Kota Pangalengan adalah dengan kepadatan rendah( <30 unit/ha).
Penerapan konsep pembagian ruang berdasarkan satuan ketetanggan
dilakukan dengan mengadaptasi Peraturan Daerah Kabupaten Bandung No.12
Tahun 2007 Tentang Lembaga Kemasyarakatan.dikombinasikan dengan SNI Tata
Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan yang dijelaskan pada
Tabel 27.
Tabel 27. Pembagian Satuan Ketetanggan
Satuan Ketetanggan
Jumlah Penduduk
1 KK
Asumsikan 4 jiwa
1 RT
150 – 250 jiwa (± 63 KK)
1 RW
8 – 10 RT ( ±2500 jiwa)
1 Desa
10- 12 RW (± 30.000 jiwa)
(Sumber : Perda Kab. Bandung No.12 Th. 2007 dan SNI 03-1733-2004)
Dengan mengacu pada pembagian Tabel 27 maka pada tahun 2015 Blok
Utara akan memiliki 9.718 KK, 154 RT, dan 15 RW. Blok Tengah akan memiliki
6576 KK, 104 RT, dan 10 RW. Blok Selatan akan memiliki 5.891 KK, 93 RT,
dan 9 RW.
Sebagai kawasan rawan gempa bumi bertipologi A maka di dalam Kota
Pangalengan terdapat ruang-ruang yang bisa dibangun dengan syarat dan terdapat
75 pula ruang yang tidak bisa dibangun (Tabel 16). Rencana ruang-ruang yang
dibutuhkan di Kota Pangalengan adalah :
1. Perumahan.
Ruang yang berfungsi sebagai tempat hunian penduduk. Ditempatkan pada
area-area yang memiliki kemudahan akses pada fasilitas penunjang
mitigasi dan jalur sirkulasi saat proses evakuasi.
2. Perkantoran
Area perkantoran memfasilitasi kebutuhan seperti : pusat pemerintahan,
kecamatan, bank, koperasi, dan lain sebagainya.
3. Perdagangan
Yang tercakup di dalam ruang ini adalah area perdagangan souvenir,
cinderamata, jasa, toko kelontong, dan pasar pelelangan sayur.
4. Rekreasi dan Olahraga
Sarana rekreasi dapat berupa taman ketetanggaan atau taman lingkungan.
Sarana olahraga dapat berupa lapangan terbuka atau bangunan gelanggang
olahraga.
5. Pendidikan
6. Kebun
Perkebunan
teh
eksisting
dipertahankan
keberadaannya
dengan
penyesuaian terhadap rencana blok.
7. Kebun Campuran
Kebun campuran eksisting untuk budidaya sayur-mayur dipertahankan
keberadannya dengan penyesuaian terhadap rencana blok.
8. Terminal
Terminal meliputi terminal utama sebagai pusat angkutan umum dan
terminal-terminal kecil (pangkalan ojek, pangkalan angkot) yang tersebar
di beberapa blok permukiman.
9. Fasilitas
Fasilitas adalah berbagai sarana publik yang menunjang untuk kawasan
permukiman dan sangat diperlukan saat terjadi bencana gempa bumi,
yaitu : fasilitas kesehatan (rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan,
76 apotik,
posyandu),
kantor
polisi,
pemadam
kebakaran,
gedung
telekomunikasi, PLN.
Gambar 36 menunjukkan matriks hubungan antar ruang yang dibutuhkan
di Kota Pangalengan. Hubungan dekat menunjukkan antar ruang tersebut
memerlukan akses yang mudah dicapai atau langsung. Hubungan tidak dekat
menunjukkan antar ruang tidak terlalu saling berhubungan. Tidak ada hubungan
atau netral menunjukkan antar ruang itu tidak saling memerlukan atau
keberadaannya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Gambar 37
menunjukkan konsep ruang sebagai penggambaran dari matriks hubungan antar
ruang.
Gambar 36. Matriks Hubungan Antar Ruang
Gambar 37. Konsep Ruang
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 (Tabel 15),
pola permukiman yang dapat dikembangkan di Kecamatan Pangalengan bisa
berbentuk mengelompok atau menyebar. Saat ini permukiman di lokasi penelitian
berkembang di sepanjang jalan raya utama Pangalengan dengan bentuk menyebar
dan tidak teratur. Mayoritas rumah-rumah dibangun dengan rapat dan hanya
77 menyisakan jalan kecil untuk sirkulasi. Pola hunian seperti ini dapat menyulitkan
pergerakan saat menyelamatkan diri. Agar konsep mitigasi dapat berfungsi
dengan baik maka pola permukiman dibuat mengelompok sesuai dengan
pembagian satuan ketetanggaan.
Menurut data monografi Kecamatan Pangalengan tahun 2007 jumlah
penduduk di Kecamatan Pangalengan berjumlah 132.555 jiwa. Untuk mendukung
kebutuhan kesehatan seluruh penduduk maka minimum fasilitas kesehatan yang
dibutuhkan adalah Puskemas dan Balai Pengobatan (Tabel 21). Puskesmas dan
Balai Pengobatan ditempatkan di pusat kota yang mudah dijangkau oleh
penduduk. Selain itu penempatan Puskesmas di pusat kota dapat memudahkan
dalam proses penanganan pasca bencana gempa bumi seperti distribusi obat,
peralatan kesehatan, dan bantuan medis lainnya. Rencana tata ruang pusat kota
berikut infrastruktur pendukung seperti yang ditunjukkan pada Gambar 40.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007
maka struktur bangunan yang didirikan di Pangalengan disarankan berupa struktur
tahan gempa. Hal ini bertujuan agar bangunan tidak mudah rusak ketika terjadi
gempa sehingga tidak membahayakan penghuninya. Menurut Frick, Ardiyanto
dan Darmawan (2008), tidak semua gedung harus memiliki ketahan serupa
terhadap gempa. Namun gedung-gedung yang memiliki fungsi vital dalam
keadaan gempa tidak boleh rusak dan harus selalu siap pakai. Misalnya, rumah
sakit, gedung telekomunikasi, PLN, pemadam kebakaran, dan lain sebagainya.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.6/PRT/M/2009 tentang
Pedoman Perencaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan Rawan
Tsunami dijelaskan mengenai fasilitas pelayanan penting yang harus siap di saat
kritis bencana alam, yaitu :
a. Kantor Polisi.
b. Kantor Pemadam Kebakaran.
c. Rumah sakit dengan ruang-ruang bedah, pemeliharaan mendadak, atau
darurat.
d. Fasilitas dan peralatan operasi darurat dan komunikasi.
e. Garasi dan tempat perlindungan untuk kendaraan dan pesawat terbang.
f. Peralatan pembangkit tenaga siap pakai untuk pelayanan penting.
78 g. Tangki atau bangunan lain yang berisi air atau bahan peredam lainnya atau
peralatan yang diperlukan untuk melindungi kawasan penting, berbahaya
atau hunian khusus.
h. Stasiun pengawal permanen.
Dalam Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa
dijelaskan taraf keamanan minimum untuk bangunan dengan konstruksi tahan
gempa, yaitu :
a. Bila terkena gempa bumi yang lemah bangunan tersebut tidak akan rusak
sama sekali.
b. Bila terjadi gempa bumi sedang maka elemen-elemen non-struktural
bangunan boleh rusak. Namun elemen struktural tidak boleh rusak sama
sekali.
c. Bila terjadi gempa bumi kuat maka : bangunan tidak boleh runtuh baik itu
sebagian maupun keseluruhan; bangunan tidak boleh mengalami
kerusakan yang tidak boleh diperbaiki; jika terjadi kerusakan maka harus
dapat cepat diperbaiki dan berfungsi seperti semula.
Bangunan yang tahan gempa memiliki struktur rangka kaku (beton
bertulang, baja, kayu) dengan perkuatan silang. Bangunan seperti ini juga
memiliki karakteristik berat bangunan yang ringan.
Gambar 38. Ilustrasi Struktur Bangunan Dengan Perkuatan Silang
(Sumber: Frick, Ardiyanto, dan Darmawan, 2008)
Pembangunan rumah hunian dari kayu berbentuk panggung lebih
disarankan. Karena pada saat terjadi gempa di Pangalengan rumah panggung
mengalami kerusakan lebih ringan dari rumah dengan rangka beton. Gambar 39
menunjukkan ilustrasi contoh rumah panggung yang tahan gempa.
79 Gambar 39. Rumah Tinggal Dengan Konstruksi Rangka Sederhana dan Pondasi
Tiang
(Sumber : Pedoman Teknis Rumah dan Bangunan Gedung Tahan Gempa Departemen Pekerjaan
Umum, 2006)
Gambar 40. Rencana Tata Ruang Pusat Kota Pangalengan
80 5.2.2. Rencana Evakuasi
Pada saat terjadi bencana gempa bumi 2 September 2010 lalu warga
masyarakat Pangalengan memanfaatkan lahan terbuka untuk lokasi pengungsian
sementara. Lahan-lahan terbuka yang digunakan adalah lapangan, kebun dan
perkebunan teh yang pada saat itu kebetulan sedang dibuka untuk proses
penanaman ulang. Kondisi lokasi-lokasi pengungsian tersebut minim fasilitas
yang dapat membantu warga bertahan hidup pasca bencana. Sekitar 15.000 warga
masyarakat terpaksa tinggal di tenda-tenda dengan kondisi yang serba kekurangan.
Gambar 41. Kondisi Pengungsian Sementara Korban Gempa Pangalengan
(Sumber : Pelbagai Sumber)
Sebagai salah satu upaya mitigasi bencana gempa bumi maka perlu
adanya penentuan lokasi pengungsian atau titik-titik evakuasi di kawasan
permukiman. Lokasi yang dimanfaatkan sebagai zona evakuasi adalah ruangruang terbuka di dalam kawasan permukiman. Ruang-ruang terbuka tersebut dapat
dimanfaatkan penduduk sebagai area rekreasi saat tidak terjadi bencana.
Kebutuhan luas setiap ruang terbuka disesuaikan dengan daya tampung
tenda pengungsian. Tenda pengungsi yang umum digunakan di Indonesia adalah
tenda-tenda tentara yang terdiri dari tenda komando berkapasitas 10 orang dengan
ukura 24 m2, tenda regu berkapasitas 20 orang dengan ukuran 36 m2, dan tenda
peleton berkapasitas 45 orang dengan ukuran 70 m2.
Tabel 28 menjelaskan
kebutuhan ruang terbuka sebagai zona evakuasi beserta kemampuan daya
tampung.
Tabel 28. Kebutuhan Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi
Zona
Mikro
Meso
Makro
Lokasi
RT
RW
Desa
Luas
350 m2
3850 m2
4,7 ha
Daya Tampung
60 KK / 250 jiwa / 5 tenda peleton
625 KK / 2500 jiwa / 55 tenda peleton
7500 KK / 30.000 jiwa / 667 tenda peleton
81 Untuk dapat menunjang kondisi para pengungsi di zona-zona evakuasi
maka lokas-lokasi tersebut harus dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang
dapat berfungsi optimal pasca bencana. Tabel 29 menjelaskan rencana fasilitas
yang dibutuhkan pada setiap zona evakuasi. Ilustrasi lokasi setiap zona evakuasi
ditunjukkan pada Gambar 42.
Tabel 29. Rencana Fasilitas Ruang Terbuka Sebagai Zona Evakuasi
Zona
Mikro
Meso
Makro
Fasilitas
Penunjuk arah, tempat duduk, tenda darurat, tempat berkumpul sementara
Penunjuk arah, tenda darurat, sarana air bersih, dapur umum, toilet darurat
Penunjuk arah, tenda darurat, dapur umum, gedung serbaguna, sarana air bersih, toilet
umum, balai pengobatan, pusat pengendalian pasca bencana, gudang (bahan pangan,
obat-obatan, selimut, dll), tenaga listrik portable
5.2.3. Rencana Jalur Sirkulasi
Desain jejaring jalur sirkulasi tidak hanya berfungsi sebagai akses
pergerakan pada kondisi normal namun juga efektif sebagai jalur evakuasi saat
terjadi bencana dan penanganan pasca bencana. Akses sirkulasi terbuka atau bebas
dari hambatan ke seluruh bagian permukiman menjadi hal yang penting untuk
upaya penyelamatan dan proses evakuasi penduduk. Jalur sirkulasi yang
diterapkan tidak hanya untuk kemudahan pergerakan manusia. Berbagai peralatan
dan kendaran untuk penanganan bencana harus dapat dengan mudah melewati
jalur-jalur sirkulasi ini.
Jejaring sirkulasi dikembangkan dengan memanfaatkan jalur sirkulasi yang
sudah ada. Perubahan lebar jalan diperlukan agar sesuai dengan konsep yang telah
ditentukan. Penambahan jalur jalan dapat dilakukan dengan menyesuaikan pada
pola permukiman. Gambar 44 menunjukkan rencana jalur sirkulasi yang
diterapkan pada kawasan. Sedangkan gambar 45 menunjukkan rencana alur
pergerakan penduduk saat proses evakuasi.
Untuk mengatur dan mengarahkan penduduk ke tempat-tempat evakuasi
maka perlu dibuat rambu-rambu penunjuk arah. Rambu-rambu ini ditempatkan
pada lokasi-lokasi yang mudah dilihat. Desain rambu tidak boleh terlalu rumit.
Penggunaan simbol-simbol sederhana dan tulisan yang jelas dibaca akan lebih
baik. Huruf atau gambar yang kontras dengan latar belakang akan lebih mudah
dibaca Karakter huruf dengan tinggi 20 cm pada sebuah rambu dapat dibaca
82 83 dengan jelas hingga jarak sekitar 123 m saat bergerak pada kecepatan 12-19
km/jam. Tabel 30 menunjukkan standar tinggi karakter huruf pada rambu-rambu.
Contoh rambu penunjuk arah seperti yang ditunjukkan pada gambar 43.
Tabel 30. Standar Tinggi Karakter Huruf Pada Rambu
Tinggi huruf (mm)
Jarak Maksimal Baca (m)
5
3
6
3,7
8
4,9
10
6,2
12
7,4
15
9,2
20
12,3
25
15,4
30
18,5
40
24,6
50
30
60
37
80
49,3
100
61,6
120
73,9
150
92,4
200
123,2
( Sumber : Time-Saver for Landscape Architecture)
Kecepatan Lalu Lintas
(km/jam)
Pejalan kaki
Kendaraan
3-6
3-6
6-9
6-9
12-19
12-19
12-19
Tabel 31. Kesesuaian Kontras Warna Pada Rambu
Latarbelakang Rambu
Papan Rambu
Bata merah atau dinding gelap Putih
Bata terang atau dinding terang Hitam atau warna gelap
Dinding putih
Hitam atau warna gelap
Vegetasi hijau
Putih
Back-lit sign
Hitam
(Sumber : Landscape Architect’s Pocket Book, 2009)
Legenda Rambu
Hitam, hijau gelap atau biru gelap
Putih atau kuning
Putih atau kuning
Hitam, hijau gelap atau biru
Putih atau kuning
Gambar 43. Contoh Rambu-Rambu Penunjuk Arah Menuju Lokasi Evakuasi
(Sumber : Standar Nasional dan ISO Rambu Evakuasi Menristek)
84 85 86 5.2.4. Rencana Vegetasi
Vegetasi memiliki beragam fungsi dalam suatu kawasan permukiman.
Beberapa manfaat dari penanaman vegetasi di kawasan permukiman diantaranya
adalah untuk esetetika, ameliorasi iklim, pembatas, pembentuk ruang dan
pengatur sirkulasi.
Kota Pangalengan berada pada daerah dengan iklim sejuk karena berada
pada ketinggian sekitar 1500 mdpl. Kota Pangalengan juga terletak pada kawasan
berfungsi lindung di luar hutan lindung. Penanaman vegetasi non-produksi
berperan penting untuk membantu penyerapan air di sekitar kawasan tersebut
sehingga neraca air tidak terganggu. Selain itu vegetasi non-produksi seperti
pepohonan besar dengan perakaran kuat dapat membantu mencegah longsor di
area-area dengan persentasi kelerengan tinggi. Vegetasi produksi atau vegetasi
budidaya (sayur-mayur, kebun teh) yang saat ini ada di Kota Pangalengan dapat
dipertahankan. Pembangunan ruang terbuka hijau di kawasan permukiman
bertujuan agar warga masyarakat tidak menggunakan kebun-kebun yang ada
sebagai tempat pengungsian.
Berdasarkan konsep yang telah ditentukan maka vegetasi di wilayah
perencanaan dibagi ke dalam 4 jenis vegetasi sesuai dengan fungsinya yang terdiri
atas vegetasi budidaya, vegetasi pengarah, vegetasi koservasi dan vegetasi
penaung. Vegetasi budidaya berupa kebun-kebun campuran eksisiting berfungsi
sebagai cadangan pangan pada saat penanganan pasca bencana. Sedangkan untuk
vegetasi pengarah, konservasi dan penaung dapat memanfaatkan vegetasi endemik
atau vegetasi lain yang sesuai dengan ekosistem kawasan perencanaan. Pemilihan
jenis vegetasi untuk pengarah dan penaung diupayakan menyesuaikan dengan
fungsi arsitektural sehingga menjadi efektif saat penerapan di kawasan. Gambar
46 menunjukkan ilustrasi fungsi vegetasi di kawasan perencanaan. Sedangkan
rencana vegetasi ditunjukkan pada Gambar 47 dan Gambar 48.
87 (a)
(b)
(c)
Gambar 46. Ilustrasi Fungsi Vegetasi di Kawasan Perencanaan.
(a). Vegetasi Konservasi; (b) Vegetasi Pengarah; (c) Vegetasi Penaung;
88 89 45
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1. Simpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap Sumberdaya Yang perlu Diproteksi,
Zona Bahaya, dan Kesesuaian Pengembangan dapat ditentukan hasil berupa luas
kawasan yang sesuai untuk dikembangkan sebagai permukiman yaitu 41% dari
total kawasan. Berdasarkan luas kawasan yang dapat dikembangkan dapat disusun
rencana lanskap permukiman di Kecamatan Pangalengan. Kegiatan perencanaan
permukiman difokuskan pada 5 desa yaitu Desa Pangalengan, Desa Margamukti,
Desa Sukamanah, Desa Margamekar, dan Desa Margamulya. Konsep yang
direncanakan meliputi konsep mitigasi, konsep pembagian ruang, konsep evakuasi,
konsep sirkulasi, dan konsep vegetasi. Selain rencana lanskap disusun pula
rencana tata ruang, rencana evakuasi, rencana sirkulasi dan rencana vegetasi.
Tata ruang yang direncanakan berupa pola permukiman yang dibagi ke
dalam satuan-satuan ketetanggan mulai dari tingkat KK, RT, RW, Desa dan
Kecamatan. Zona-zona evakuasi direncanakan terdiri dari 3 tingkatan berdasarkan
lokasi zona evakuasi tersebut yaitu zona evakuasi mikro, meso, dan
makro.
Ruang-ruang terbuka hijau dimanfaatkan sebagai zona evakuasi. Sirkulasi
direncanakan terdiri dari 3 jenis jalan berdasarkan fungsinya dalam mengarahkan
warga ke tempat-tempa evakuasi yaitu jalan kolektor, jalan lokal, dan jalan
lingkungan. Vegetasi direncanakan dibagi ke dalam 4 jenis vegetasi berdasarkan
fungsinya untuk mendukung kegiatan penanganan saat dan pasca bencana yaitu
vegetasi konservasi, penaung, pengarah, dan budidaya.
6.2. Saran
Penyusunan perencanaan ini dapat diperluas pada kawasan di luar 5 desa
namun masih termasuk ke dalam kawasan yang sesuai untuk pembangunan.
DAFTAR PUSTAKA
[BAPPEDA]. 2004. Laporan Akhir Rencana Detail Tata Ruang Kota Pangalengan.
Pemerintah Kabupaten Bandung.
[BAPPEDA]. 2006. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor: 2 Tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung.
[BAPPEDA]. 2007. Peraturan Daerah Kabupaten Bandung Nomor 12 Tentang
Lembaga Kemasyarakatan.
[BNPB]. 2008. Peraturan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nomor 4 Tentang
Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana
[DPR-RI]. 1992. Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tentang Perumahan dan
Permukiman
[DPR-RI]. 2007. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tentang Penataan
Ruang
[DPU]. 2006. Departemen Pedoman Teknis Rumah Dan Bangunan Tahan Gempa.
Departemen Pekerjaan Umum.
[DPU]. 2007. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No 21/PRT/2007 mengenai
Pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan
Rawan Letusan Gempa.
[DPU]. 2009. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.06/PRT/M/2009 mengenai
Pedoman Perencanaan Umum Pembangunan Infrastruktur di Kawasan
Tsunami.
Brahmantyo, B. 2005. Geologi Cekungan Bandung. [Tidak Dipublikasikan]. ITB
Bronto, S., Koswara, A., dan Lumbanbatu, K. 2006. Stratigrafi Gunung Api Daerah
Bandung Selatan. Jurnal Geologi Indonesia Vol. 1 No. 2 Juni 2006 [hal. 89101]
DeChiara J, Koppelman, LE. 1978. Standar Perencanaan Tapak. Hakim J,
penerjemah; Jakarta : Penerbit Erlangga. Terjemahan dari: Site Planning
Standards.
Direktorat Tata Kota dan Tata Daerah. 1983. Pedoman Perencanaan Lingkungan
Pemukiman Kota. Bandung : Yayasan Lembaga Penyelidikan Masalah
Bangunan.
93 Fabos, JG dan Stephanie, JC. 1976. Composite Landscape Assessment : Assessment
Procedures for Spacial Resources, Hazards and Development Suitability;
Part II of the Metropolitan Landscape Planning Model (METLAND).
Massachusetts : Massachusetts Agricultural Experiment Station University
of Masachusetts.
Fabos, JG. 1979. Planning The Total Landscape : A Guide To Intelligenct Land Use.
Colorado: Westview Press.
Frick, H., Ardiyanto, A., Darmawan, AMS. 2008. Ilmu Fisika Bangunan : Pengantar
Pemahaman Cahaya, Kalor, Kelembapan, Iklim, Gempa Bum, Bunyi, dan
Kebakaran. Yogyakarta : Kanisius.
Hardiyatmo, HC. 2006. Penanganan Tanah Longsor dan Erosi. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi Kesesuaian Lahan dan
Perencanaan Tata Guna Lahan. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Jakarta : Akademika Pressindo.
Harnadi, D dan Iskandar, N. 1996. Konservasi Air Tanah di Wilayah Kabupaten
Bandung dan Sekitarnya. [Tidak Dipublikasikan]. Departemen
Pertambangan dan Energi. Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya
Mineral. Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan.
Herawan, UC. 1989. Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan Daerah Garut,
Cikajang, Pangalengan dan Sekitarnya, Jawa Barat. [Tidak Dipublikasikan].
Departemen Pertambangan dan Energi Direktorat Jenderal Geologi dan
Sumberdaya Mineral Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan.
Hopper, L. 2007. Landscape Architectural Graphic Standard. New Jersey : John
Wiley and Sons, Inc.
Katharina, R. 2007. Adopsi Sistem Pertanian Konservasi Usaha Tani Kentang di
Lahan Kering Dataran Tinggi Kecamatan Pangalengan Bandung. [Disertasi].
IPB.
Kusuma, LE. 2001. Perencanaan Tapak Bumi Perkemahan Kawasan Wisata Alam
Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Kerinci, Jambi.
[Skripsi]. IPB.
Montgomery, CW. 2003. Environmental Geology Sixth Edition. New York: McGraw
Hill.
94 Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta : Graha Ilmu.
Nurisjah, S dan Pramukanto, Q. 1995. Penuntun Perencanaan Praktikum Lanskap.
[Tidak dipublikasikan]. IPB.
Santoso, D. 2002. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Penerbit ITB.
Setiawan, AN. 2008. Perencanaan Lanskap Kawasan Permukiman Bantaran Sungai
Berbasis Bioregion [Skripsi]. Bogor, Departemen Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Simonds, JO. 1983. Landscape Architecture. New York : Mc.Graw-Hill Book Co.
SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di
Perkotaan
Subagio dan Widijono BS. 2009. Struktur Geologi Bawah Permukaan Lintasa
Pangalengan-Subang, Implikasinya Terhadap Kestablian Lahan. Pusat
Survei Geologi. JSDG Vol. 19 No. 6 Desember 2009
Tjasyono, BHK. 2003. Geosains. Bandung: Penerbit ITB.
Vernon, S., Tennant, R., dan Garmory, N. 2009. Landscape Architect’s Pocket Book.
UK : Architectural Press.
www.bamuisbni.com/content/fck/Image/2009/Gempa%20Pangalengan.jpg
Februari 2010]
www.earthquake.usgs.gov/earthquakes/world/index.php?regionID=12
[11
[21
Januari
2010]
www.ekonomi.tvone.co.id [28 Oktober 2010]
www.foto.detik.com/images/content/2009/09/03/157/pangalengan5.jpg [21 Februari
2010]
www.matanews.com/wp-content/uploads/GempaPangalengan060909-3-590x432.jpg
[21 Februari 2010]
www.okezone.com [28 Oktober 2010]
www.pikiran-rakyat.com/foto/tgl_03_09_2009/0309_pangalengan.jpg [21 Februari
2010]
95 www.pirba.hrdp-network.com/e5781/.../Strategi_MitigasiGertan_PVMBG.pdf
Januari 2010]
www.portal.vsi.esdm.go.id [11 Januari 2010]
www.rol.republika.co.id [28 Oktober 2010]
www.wikipedia.com/Disaster_mitigation.html [11 Januari 2010]
www.wikipedia.com/Gempa_bumi.htm [11 Januari 2010]
[11
Download