BAB I

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian
Sebagai negara berkembang, Indonesia melakukan pembangunan di
segala aspek kehidupan. Baik dari aspek perekonomian, sosial, budaya,
teknologi, politik, dan pendidikan. Setiap aspek memiliki peranan yang sangat
penting bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia.
Salah satu aspek yang berperan dalam kehidupan bangsa Indonesia
adalah pendidikan. Menurut Ihsan (2005) pendidikan bagi kehidupan umat
manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat.
Tanpa pendidikan sama sekali mustahil suatu kelompok manusia dapat
berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera, dan bahagia menurut
konsep pandangan hidup mereka.
Berbagai sumber informasi seperti media cetak, media elektronik,
maupun sumber informasi lainnya terus menyoroti perkembangan pendidikan di
Indonesia dari waktu ke waktu. Salah satu referensi mengenai perkembangan
pendidikan Indonesia adalah sebagai berikut:
Dalam harian Kompas, 5 September 2001, diberitakan bahwa
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Abdul Malik Fajar
mengakui kebenaran penilaian sistem pendidikan di Indonesia
adalah yang terburuk di kawasan Asia. Penilaian tersebut
merupakan hasil survey Political and Economic Risk
Consultancy (PERC). Dari 12 negara yang disurvey oleh
lembaga yang berkantor pusat di Hongkong itu, disebutkan
bahwa Korea Selatan dinilai memiliki sistem pendidikan
terbaik, disusul Singapura, Jepang, Taiwan, India, Cina, dan
Malaysia. Sedangkan Indonesia menduduki urutan ke-12
1
dibawah Vietnam (Suparno, Rohandi, Sukadi, dan Kartono,
2009:9).
Suyanto (2003) menyatakan bahwa kondisi pendidikan di Indonesia
dewasa ini dalam posisi lemah, antara lain ditandai oleh banyaknya jumlah anak
putus sekolah, besarnya jumlah penduduk buta huruf, serta rendahnya aspirasi
dan partisipasi pendidikan bagi masyarakat. Yuwanto (2010) menjelaskan
mengenai peningkatan mutu pendidikan di Indonesia memang menjadi
tantangan bagi pemerintah dan masyarakat pada umumnya. Menurutnya salah
satu tantangan yang terberat adalah masalah pendidik atau guru, mulai dari
kualitas, kompetensi, sertifikasi, sampai pada masalah tunjangan guru.
Undang-undang No.14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 4
menyiratkan bahwa guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Kedudukan guru sebagai tenaga
pengajar profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan dan
mewujudkan tujuan pendidikan, yakni berkembangnya potensi peserta didik.
Delors dkk. (1996) dalam laporannya untuk UNESCO menyatakan peningkatan
pendidikan sangat ditentukan oleh guru. Menurutnya rekruitmen guru,
pendidikan dan pelatihan yang diterima guru, status sosial, serta kondisi kerja
guru memberikan kontribusi terhadap peningkatan kualitas pendidikan itu
sendiri.
Menurut Djiwandono (2002), peran guru tidak hanya sebatas sebagai
orang yang membantu orang lain belajar, tetapi juga sebagai ahli konstruksional,
sebagai motivator, sebagai manager, sebagai konselor, dan juga sebagai model
bagi siswa-siswinya. Guru diharapkan memiliki tiga kemampuan dasar (Dakir
dalam Supeno, 1997). Tiga kemampuan dasar itu adalah kemampuan pribadi,
2
kemampuan sosial, kemampuan profesional. Kemampuan pribadi meliputi halhal yang bersifat fisik (misalnya: penampilan, suara, dan kesehatan) serta hal-hal
yang bersifat psikis (misalnya: ramah, intelektual, sabar dan sopan).
Kemampuan sosial yaitu kemampuan guru dalam berhubungan dengan orang
lain, seperti sifat terbuka, disiplin, memiliki dedikasi dan tanggung jawab.
Kemampuan dasar yang ketiga adalah kemampuan profesional, yaitu menguasai
materi bidang studi dari kurikulum sekolah dan menguasai aplikasi bidang studi
sera menguasai teknik-teknik mengajar.
Menurut Kirk (dikutip dalam Efendi, 2003) guru sekolah luar biasa
adalah salah satu profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya
penanganan peserta didik penyandang cacat/ketunaan , baik secara fisik dan atau
mental. Guru sekolah luar biasa bertugas dalam mendidik anak berkebutuhan
khusus. Anak berkebutuhan khusus memiliki arti tersendiri. Menurut
Muhammad ( dalam Purnama, 2010:130) :
Anak berkebutuhan khusus (special needs) berbeda dari anakanak biasa dalam hal ciri-ciri mental, kemampuan sensorik,
kemampuan komunikasi, tingkah laku sosial, ataupun ciri-ciri
fisik. Anak-anak dalam kategori ini misalnya adalah anak dengan
masalah pendengaran (tunarungu), penglihatan (tunanetra),
masalah dalam pembelajaran meliputi cacat mental, autisme,
cerebral palsy; masalah dalam komunikasi, penuturan bahasa;
down syndrome, hiperaktif atau gangguan konsentrasi (attention
defisit disorder); gangguan emosi; diskalkulia, disgrafia,
disleksia, serta berbagai kemampuan lainnya.
Guru sekolah luar biasa memiliki peranan kerja, yang tidak hanya
dituntut untuk mengajarkan sejumlah pengetahuan dan keterampilan yang
selaras dengan potensi dan karakteristik peserta didiknya, melainkan juga harus
mampu bertindak seperti paramedis, terapis, social worker, konselor, dan
administrator (Efendi, 2003). Menurut Lerner (dalam Abdurrahman, 2003) ada
3
sembilan peranan guru di dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
yaitu guru bertugas menyusun rancangan program identifikasi, asesmen, dan
pembelajaran anak berkesulitan belajar; guru berpartisipasi dalam penjaringan,
asesmen, dan evaluasi anak berkesulitan belajar; guru berkonsultasi dengan para
ahli yang terkait dan menginterpretasikan laporan mereka; guru melaksanakan
tes, baik dengan tes formal maupun informal; guru berpartisipasi dalam
menyusun program pendidikan yang individual (individualized education
programs);
guru
mengimplementasikan
program
pendidikan
yang
diindividualkan; guru menyelenggarakan pertemuan dan wawancara dengan
orangtua; guru bekerjasama dengan guru reguler atau guru kelas untuk
memahami anak dan menyediakan pembelajaran yang efektif; dan guru
membantu anak dalam mengembangkan pemahaman diri dan memperoleh
harapan untuk berhasil serta keyakinan kesanggupan mengatasi kesulitan belajar.
Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa guru sekolah luar biasa memiliki
multiperan, tidak hanya bertugas mengajar, namun guru juga bertanggung jawab
atas perkembangan dan kondisi kesehatan murid-muridnya.
Peran guru sekolah luar biasa yang multiperan dapat memberikan
dampak yang besar bagi diri guru sendiri baik dampak positif maupun negatif.
Salah satu dampak negatif yang dapat terjadi adalah stres dengan pekerjaannya.
Menurut Bernardin (dikutip dalam Rosyid, 1996) stres kerja didefinisikan
sebagai suatu situasi yang tercipta dimana faktor terkait pekerjaan (work related
factors ) berinteraksi dengan faktor di dalam diri karyawan, dan merubah
kondisi fisiologis dan/atau psikologis sedemikian rupa sehingga memaksa
seseorang menyimpang dari fungsi normalnya. Kondisi ini menyebabkan yang
4
bersangkutan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya sewaktu orang
tersebut berada pada keadaan normal. Prawasti & Napitupulu (2002)
mengemukakan bahwa banyak penelitian membuktikan guru merupakan profesi
yang beresiko tinggi untuk terkena stres kerja yang bersifat kronis yang sangat
memungkinkannya untuk dapat menimbulkan burnout. Menurut Parkay,
Standford,Vaillancourt, dan Stephens (2009) waktu kerja yang panjang, peran
guru yang kompleks, faktor-faktor pengaruh yang berasal dari murid, konflik
dengan pengurus sekolah, kritik dari masyarakat, faktor dari keadaan kelas,
kurangnya sumber referensi pelajaran, dan isolasi dari orang dewasa lainnya
dapat menyebabkan guru mengalami level stres yang tinggi. Stres level tinggi
yang akut akan mengarah pada ketidakmampuan menyelesaikan masalah
dengan efektif dan menimbulkan gejala-gejala burnout.
Berdasarkan teori Maslach dan Jackson (dalam Sulsky dan Smith, 2005)
burnout merupakan sindrom psikologis yang terdiri dari tiga dimensi yaitu
kelelahan (exhaustion), depersonalisasi (depersonalization), rendahnya perasaan
mampu mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup (decreased personal
accomplishement), sindrom ini biasanya ditemukan pada individu yang bekerja
intensif dengan masyarakat. Bernardin (dikutip dalam Rosyid, 1996)
menggambarkan burnout sebagai suatu keadaan yang mencerminkan reaksi
emosional pada orang yang bekerja pada pelayanan kemanusiaan (human
services), dan bekerja erat dengan masyarakat. Jenis pekerjaan yang rentan
mengalami burnout adalah para anggota polisi, guru, pekerja sosial, dan perawat
di rumah sakit. Dalam penelitian Jackson, Schawb, dan Schuler (dikutip dalam
Rosyid 1996), akibat yang muncul dari burnout adalah orang berusaha mencari
5
pekerjaan atau karir baru. Dalam penelitian tersebut, mereka meminta beberapa
ratus guru untuk mengisi kuesioner yang dirancang untuk mengukur burnout
dan melaporkan apakah mereka akan lebih senang pada pekerjaan lain. Hasil
penelitian ini menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat burnout
yang
dirasakan para guru, semakin besar keinginannya untuk pindah kerja atau
berganti profesi.
Baron dan Greenberg (dalam Rosyid 1996) mengemukakan bahwa
penyebab burnout dapat berasal dari organisasi. Disebutkan antara lain: kondisi
jabatan yang menyiratkan usaha-usaha seseorang dalam bekerja sia-sia, tidak
berguna, tidak efektif, dan tidak dihargai. Kurangnya kesempatan untuk promosi
dan adanya prosedur dan aturan-aturan yang kaku, tidak fleksibel membuat
orang merasa di dalam sistem yang tidak adil. Hal ini mendorong tumbuhnya
pandangan negatif terhadap pekerjaan yang dipegang seseorang. Menurutnya di
bawah kondisi yang demikian, seseorang akan mengembangkan perasaan
rendahnya penghargaan diri (self-esteem).
Definisi self-esteem menurut Tafarodi dan Swann (2001) adalah dua
aspek yang saling terkait dimana individu dapat merasa nyaman dengan dirinya
(self-liking) dan menghargai kompetensi dirinya (self-competence). Menurut
Tafarodi dan Swann (1995,2001), dua aspek self-esteem adalah self-liking dan
self-competence. Self-liking adalah sebuah perasaan berharga individu akan
dirinya sendiri dalam lingkungan sosial dan hal ini bergantung dari nilai sosial
yang individu berikan pada dirinya. Individu dengan self-liking yang tinggi
mampu menerima keadaan dirinya yang berdampak pada munculnya perasaan
nyaman saat berada di lingkungan dan situasi sosial. Individu yang memiliki
6
tingkat self-liking tinggi biasanya merupakan orang yang pandai menjalin
hubungan sosial dan mudah beradaptasi. Sebaliknya individu yang memiliki
tingkat self-liking yang rendah akan menunjukkan afek negatif, merendahkan
diri, dan mengalami disfungsi sosial. Self-competence memiliki peran pada
individu dalam memotivasi dirinya bersikap serta berperan dalam menyesuaikan
diri pada penganggulangan stres. Secara kognitif, self-competence ditandai
dengan adanya ekspektasi individu untuk sukses. Berdasarkan penelitian Taylor
dan Brown (dikutip dalam Tsai, Chi, & Hu,2009) menyatakan bahwa individu
dengan tingkat self-esteem tinggi dapat lebih mudah mengakses pikiran-pikiran
positif setelah mereka mengalami kegagalan dan lebih mampu menguasai stres
sehingga lingkungan kerja mereka menjadi lebih terkontrol.
Salah satu sekolah luar biasa yang ada di Indonesia adalah Sekolah Luar
Biasa X Sekolah ini mengkhususkan pendidikan bagi anak tuna grahita dan
terdiri dari tingkat TK-LB/C (Taman Kanak-kanak Luar Biasa untuk tunagrahita)
sampai dengan SMK-LB/C (Sekolah Menengah Kejuruan Luar Biasa untuk
tunagrahita). Sekolah tersebut merupakan sekolah luar biasa yang berada
dibawah yayasan. Yayasan ini merupakan lembaga swasta katolik yang bergiat
dalam karya habilitasi dan rehabilitasi bagi penyandang tunagrahita. Para
pendiri, pengurus, dan karyawan-karyawatinya meyakini bahwa karya mereka di
yayasan ini adalah karya sosial yang merupakan tugas dari Tuhan dan harus
diniati secara total.
Sesuai dengan pendapat Bernardin (dikutip dalam Rosyid, 1996) yang
menyatakan bahwa jenis pekerjaan yang rentan mengalami burnout adalah
orang yang bekerja pada pelayanan kemanusiaan (human services), dan bekerja
7
erat dengan masyarakat seperti para anggota polisi, guru, pekerja sosial, dan
perawat di rumah sakit. Guru-guru yang bekerja di Sekolah Luar Biasa X rentan
mengalami burnout karena guru-guru yang bekerja di sekolah tersebut memiliki
peran ganda. Hal ini diketahui dari wawancara peneliti dengan kepala sekolah.
Menurut beliau, para guru yang bekerja di sekolah tersebut tidak hanya bekerja
sebagai guru, namun juga sebagai pekerja sosial yang mengabdikan diri kepada
masyarakat dan didasari oleh panggilan hati nurani mereka masing-masing.
Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan penulis, para guru
yang mengajar di Sekolah Luar Biasa X pada umumnya seringkali kewalahan
dalam menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus di sekolah tersebut. Tugas
mereka sebagai guru bagi anak-anak berkebutuhan khusus nampak jauh berbeda
dengan guru pada sekolah biasa.
Guru-guru di sekolah luar biasa tersebut
dituntut untuk lebih bersabar dalam membimbing murid-muridnya. Tidak jarang
guru-guru di sekolah tersebut merasakan kelelahan fisik dan emosional ketika
berhadapan dengan murid-muridnya yang merupakan anak berkebutuhan khusus.
Berdasarkan fenomena dan penjelasan yang telah dijabarkan, peneliti
menganggap penting untuk meneliti hubungan antara self-esteem dan burnout
pada guru Sekolah Luar Biasa X.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara self esteem dengan burnout pada guru
Sekolah Luar Biasa X ?
8
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara self-esteem dengan burnout pada
guru Sekolah Luar Biasa X.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terdiri dari 2 hal yaitu:
1) Manfaat teoretis
Penelitian ini dapat menjadi bahan masukan teoritis untuk memperkaya
wacana dan kajian penelitian mengenai ilmu Psikologi Industri dan Organisasi
dalam hal burnout ,di dalam ilmu Psikologi Kepribadian khususnya dalam hal
self-esteem, dan di dalam perkembangan Psikologi Pendidikan khususnya
mengenai pembahasan guru sekolah luar biasa yang menjadi subyek penelitian.
2) Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai informasi serta
masukan untuk Sekolah Luar Biasa X agar dapat menyadari pentingnya kondisi
internal guru (dalam hal ini adalah self-esteem) dan hubungannya dengan
burnout. Serta memberikan kemungkinan alternatif solusi yang dapat
diaplikasikan apabila tingkat burnout yang dialami para guru terbukti tinggi.
1.5 Hipotesis
-Ho: Tidak terdapat hubungan antara self-esteem dengan burnout pada guru
Sekolah Luar Biasa X.
-H1 : Terdapat hubungan antara self esteem dengan burnout pada guru Sekolah
Luar Biasa X.
9
1.6 Definisi Terminologi
Pengertian burnout berdasarkan teori Maslach dan Jackson (dalam
Sulsky dan Smith, 2005) adalah sindrom psikologis yang terdiri dari tiga
dimensi yaitu kelelahan (exhaustion), depersonalisasi (depersonalization),
rendahnya perasaan mampu mencapai sesuatu yang berarti dalam hidup
(decreased personal accomplishement), sindrom ini biasanya ditemukan pada
individu yang bekerja intensif dengan masyarakat. Sedangkan definisi selfesteem menurut Tafarodi dan Swann (2001) adalah dua aspek yang saling terkait
dimana individu dapat merasa nyaman dengan dirinya (self-liking) dan
menghargai kompetensi dirinya (self-competence).
1.7 Cakupan dan Batasan
Cakupan dan batasan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Variabel yang digunakan dalam penelitian ini self-esteem dan burnout.
2) Responden dari penelitian ini hanyalah guru sekolah luar biasa yang
bekerja di Sekolah Luar Biasa X.
3) Teori self-esteem dalam penelitian ini bersumber dari teori Tafarodi dan
Swann, sedangkan teori burnout di dalam penelitian ini bersumber pada
teori Maslach dan Jackson.
10
Download