motif tindakan sosial terhadap partisipasi politik

advertisement
MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI
POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
MASYARAKAT PEDESAAN
ANNISA MAGHFIRAH
I34100110
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Motif Tindakan Sosial
terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan
adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2014
Annisa Maghfirah
NIM I34100110
ABSTRAK
ANNISA MAGHFIRAH. Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik
Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan. Dibimbing oleh SOFYAN
SJAF.
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam
pemilihan memiliki 5 bentuk partisipasi politik, yaitu menggunakan hak pilih,
mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Tingkat partisipasi
masyarakat tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, sedangkan
tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk-bentuk lainnya cenderung rendah.
Tidak ada perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata
atas dan strata bawah. Terdapat empat motif-motif tindakan sosial masyarakat
pada partisipasi politik, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,
afektif, dan tradisional. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi adalah motif
rasional berorientasi nilai pada masyarakat strata atas dan strata bawah serta motif
tradisional pada masyarakat strata bawah, sedangkan motif-motif lainnya
cenderung rendah. Motif rasional berorientasi nilai yang tinggi menunjukkan
bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan dilandasi oleh nilai demokrasi
yang melekat pada masyarakat. Motif tradisional yang tinggi pada strata bawah
menunjukkan bahwa masyarakat strata bawah masih mengangkat nilai-nilai
tradisional pada partisipasi politik.
Kata kunci: partisipasi politik, motif tindakan sosial, stratifikasi sosial
ABSTRACT
ANNISA MAGHFIRAH. Social Motives on Political Participation based on
Social Stratification in Rural Communities. Supervised by SOFYAN SJAF.
Forms of political participation by the community in the selection has 5
forms which is participation in voting, campaign, election committee, persuading
others to participate, and following the vote counting process. Participation in
voting has high level, while participation in other forms tend to be low. There is
not difference forms of political participation between the upper and lower
stratum of community. There are four motives of social action on political
participation, namely instrumental rational, value-oriented rational, affective, and
traditional. The highest level motive in political participation is value-oriented
rational in the upper and lower stratum of community and traditional motive on
the lower stratum of community, while other motives tend to be low. Valueoriented rational motive, which is high, shows that the participation of community
in the selection based on democracy-value in community. Traditional motive,
which is high in the lower stratum in community, shows that community raise
traditional-value in political participation.
Keywords: political participation, motive of social action, social stratification
MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI
POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
MASYARAKAT PEDESAAN
ANNISA MAGHFIRAH
I34100110
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
Judul Skripsi : Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan
Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan
Nama
: Annisa Maghfirah
NIM
: I34100110
Disetujui oleh
Dr Sofyan Sjaf
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus : _______________________
PRAKATA
Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT
atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “MOTIF TINDAKAN SOSIAL
TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI
SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN” dengan baik. Skripsi ini disusun dengan
tujuan untuk melengkapi kewajiban dalam menempuh tugas belajar pada program
Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan moril dan material
dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan terima kasih
penulis kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan
terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Khairuddin dan Ibu Iznanizmah,
yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibunda tercinta almh. Meichati
Syam yang selalu menjadi sosok inspirasi bagi penulis. Tidak lupa terima kasih
juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47 yang selalu
memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan proposal
penelitian ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak di
Desa Pancawati Kec.Caringin Kab.Bogor yang sudah banyak membantu penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak.
Bogor, Januari 2014
Annisa Maghfirah
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
vii
viii
viii
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah Penelitian
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
1
1
3
4
4
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Partisipasi Politik
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif-Motif Tindakan Sosial
Stratifikasi Sosial
Masyarakat Pedesaan
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
Bentuk Partisipasi Politik
Motif Tindakan Sosial
Stratifikasi Sosial
5
5
5
5
7
13
14
14
16
16
16
18
22
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Metode Penelitian
Teknik Sampling
Pengumpulan Data
Pengolahan dan Analisis Data
23
23
23
24
25
25
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Ekonomi
Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat
27
27
29
BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT
BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih
Bentuk Partisipasi dalam Kampanye
Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk
Berpartisipasi
Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara
39
39
41
42
45
47
vi
Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi
Sosial
PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM
PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi
Politik
Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan
Stratifikasi Sosial
PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP
PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN
STRATIFIKASI SOSIAL
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan
Hak Pilih
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam
Kampanye
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia
Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS)
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam
Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses
Penghitungan Suara
Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk
Partisipasi Politik
49
53
53
56
59
61
63
65
65
66
67
68
69
69
PENUTUP
Simpulan
Saran
73
73
74
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
75
77
DAFTAR TABEL
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk
penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012
Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa
Pancawati tahun 2012
Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan
hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye
berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai
panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi
pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses
penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik
berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan
stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden
berdasarkan stratifikasi sosial
Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi
sosial
Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan
stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat
berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk
partisipasi politik
27
28
39
41
43
45
47
49
53
56
59
61
63
70
DAFTAR GAMBAR
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
Kerangka pemikiran penelitian
Metode pengambilan sampel
Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang
berharga
Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan pendapatan
Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran
Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga
Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah
Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat tinggal
Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat
tinggal
Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air besar
Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum
Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk kebutuhan
sehari-hari
Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk
memasak
Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan
15
24
29
30
31
31
32
33
33
34
34
35
36
36
37
38
DAFTAR LAMPIRAN
1.
2.
3.
4.
5.
Denah lokasi penelitian
Jadwal pelaksanaan penelitian
Daftar nama responden penelitian
Hasil uji korelasi Rank Spearman
Dokumentasi
77
78
79
81
84
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menganut paham
demokrasi. Sebagai negara demokrasi, salah satu tugas pemerintahan adalah
melibatkan masyarakat dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan
politik. Umumnya cara yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan
masyarakat dalam sistem politik adalah melalui pemilihan umum dalam memilih
pemimpin negara atau pemimpin daerah. Pada Undang-Undang Nomor 22 tahun
2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan
umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan
rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemilihan umum sudah dijalankan di Indonesia sejak tahun 1955. Pesta
demokrasi berupa pemilihan ini masih terus dijalankan sampai sekarang. Tidak
hanya pemilihan umum, pemerintah juga melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat masing-masing
daerah untuk memilih kepala daerahnya sendiri.
Menurut Sastroatmodjo (1995), kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan
adalah salah satu kegiatan partisipasi politik yang aktif. Bentuk kegiatan ini
disebut aktif karena terjadi “masukan” politik. Pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah dapat dikatakan sebagai wadah yang diciptakan oleh pemerintah
untuk masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif dalam sistem pemerintahan.
Sayangnya, terkadang wadah ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat secara baik.
Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan meningkatnya angka golput (golongan
putih) dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Semakin banyak
masyarakat yang bersikap apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam sistem politik
di Indonesia. Salah satu contoh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan
kepala daerah adalah saat pemilihan Gubernur Jawa Barat yang baru saja diadakan
pada bulan Februari 2013 yang lalu. Hasil pemilihan kepala daerah tersebut
menunjukkan tingginya angka golput. Pasangan Cagub-Cawagub terpilih pun
memperoleh suara yang lebih rendah daripada angka golput 1.
Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tidak
terjadi pada seluruh wilayah Indonesia. Ada juga daerah-daerah yang
menunjukkan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala
daerah. Salah satu daerah yang menunjukkan tingginya tingkat partisipasi adalah
Kabupaten Temanggung. Pemilihan kepala daerah di Temanggung pada tahun
2008 menunjukkan bahwa 81.03% pemilih ikut berpartisipasi dalam pemilihan
kepala daerah.
Perbedaan kecenderungan semakin tinggi dan semakin rendahnya tingkat
partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa
1
Gunernur terpilih memperoleh suara 6 515 313 (32.39%) suara, sedangkan angka golput
mencapai 11 823 201 (36.3%). Sumber: Herdiana I. 2013.Golput Pilgub Jabar capai 36
persen.[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:
http://daerah.sindonews.com/read/2013/03/03/21/723605/golput-pilgub-jabar-capai-36-
persen
2
masyarakat memiliki motif yang berbeda-beda dalam berpartisipasi politik.
Mengacu pada pengkategorian motif tindakan sosial menurut Max Weber (1992),
maka motif-motif yang mendorong partipasi politik masyarakat dalam pemilihan
dapat dibagi menjadi 4, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,
afektif, dan tradisional.
Salah satu contoh kasus yang menunjukkan perbedaan motif pada individuindividu dalam masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada adalah
kasus yang diteliti oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa motif yang mendasari partisipasi
politik masyarakat dalam Pemilu. Motif-motif tersebut antara lain adalah
kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara,
kemauan masyarakat untuk mencari pemimpin, menyalurkan aspirasinya untuk
memilih wakil rakyat yang baik, memiliki ikatan emosional dengan partai dan
calon yang bersangkutan, dan menginginkan perubahan ekonomi yang lebih baik.
Penelitian tersebut juga menunjukkan beberapa motif yang mendasari masyarakat
yang tidak menggunakan hak pilihnya. Motif-motif tersebut antara lain adalah
tidak memahami Pemilu, kepercayaan pemilih yang sudah menurun terhadap
partai dan calon, tidak ingin terlibat dalam politik, dan lebih mengutamakan
kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini
menunjukkan terdapat perbedaan motif yang mendasari masyarakat dalam
berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada.
Motif-motif yang dimiliki masyarakat dapat menjadi dasar untuk berbagai
bentuk partisipasi politik. Tidak hanya memberikan suara, masyarakat juga dapat
terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam pemilihan. Bentuk-bentuk
partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat berupa pemberian
sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan
bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil
proses pemilihan (Sari 2007). Hal ini menunjukkan pemilihan dapat memberikan
kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai bentuk partisipasi
politik.
Perbedaan motif-motif yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik
masyarakat pada Pemilu atau Pilkada dapat diidentifikasi berdasarkan stratifikasi
sosial. Stratifikasi sosial pada umumnya diukur berdasarkan status sosial-ekonomi
masyarakat. Masyarakat yang berbeda strata atau lapisan di dalam masyarakat
diasumsikan cenderung memiliki motif yang berbeda dalam melakukan tindakan
sosial, termasuk dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada. Penelitian yang
dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk juga menunjukkan bahwa
partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaan dan pendidikan.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial-ekonomi akan mempengaruhi
individu dalam berpartisipasi. Dapat dikatakan juga bahwa perbedaan status
sosial-ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap perbedaan motif individu dalam
berpartisipasi politik. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji motif-motif yang
mendasari partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial.
Salah satu kasus yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah Pemilihan
Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pemilihan ini dijadikan dasar oleh peneliti karena
pemilihan inilah yang terakhir kali dilaksanakan di Kabupaten Bogor. Karena
pemilihan ini baru saja terjadi, diharapkan masyarakat masih dapat mengingat
3
partisipasi apa saja yang dilakukan pada pemilihan dan dapat mengidentifikasi
motif-motif yang mendasari partisipasi tersebut.
Peneliti melakukan penelitian di lokasi yang memiliki tingkat partisipasi
sedang. Motif-motif partisipasi politik masyarakat di wilayah yang memiliki
tingkat partisipasi sedang dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013
diharapkan dapat mewakili seluruh wilayah, baik wilayah yang memiliki
partisipasi tinggi maupun wilayah yang memiliki partisipasi rendah. Pada
penelitian ini, peneliti menganalisis motif-motif yang mendasari partisipasi politik
masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor berdasarkan
stratifikasi sosial pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah,
khususnya pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013.
Masalah Penelitian
Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah adalah hal yang sudah
tidak asing lagi di masyarakat Indonesia, begitu juga pada masyarakat Desa
Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Melalui kegiatan
pemilihan ini, masyarakat melakukan partisipasi politik. Berbagai bentuk
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari motif-motif
tindakan sosial. Perbedaan bentuk partisipasi politik dan motif partisipasi politik
yang dimiliki masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Oleh
karena itu, masalah utama yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana motifmotif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik
masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada
masyarakat?
Bentuk partisipasi politik pada pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat
tidak hanya berupa penggunaan hak suara, tetapi juga partisipasi dalam
kampanye, pelaksanaan pemilihan, persuasi kepada pihak lain untuk
berpartisipasi, dan penghitungan suara. Berbagai bentuk partisipasi politik ini
dilakukan oleh masyarakat dari berbagai strata. Ada kecenderungan bahwa
masyarakat yang memiliki status sosial-ekonomi yang berbeda atau berasal dari
strata yang berbeda akan melakukan bentuk partisipasi politik yang berbeda. Oleh
karena itu, perlu untuk dianalisis apakah bentuk-bentuk partisipasi politik pada
pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh setiap strata pada
masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial yang mendasarinya.
Motif-motif tindakan sosial pada masyarakatlah yang menjadi dasar dilakukannya
berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk
dianalisis apakah motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan
berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan?
Motif-motif tindakan sosial yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi
politik memiliki perbedaan. Setiap masyarakat memiliki alasannya masing-masing
dalam melakukan partisipasi politik pada pemilihan. Salah satu hal yang
menyebabkan perbedaan motif partisipasi politik pada masyarakat adalah
perbedaan strata pada masyarakat. Masyarakat yang berada di strata atas memiliki
motif-motif partisipasi politik yang berbeda dengan motif partisipasi politik yang
dimiliki oleh masyarakat pada strata bawah. Perbedaan motif ini melandasi
4
berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk
dianalisis apa motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk
partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat
pedesaan?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum
pada penelitian ini adalah menganalisis motif-motif tindakan sosial yang
mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada
pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan khusus
pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan
berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.
2. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada
pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati.
3. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial pada berbagai bentuk
partisipasi politik dalam pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial
masyarakat Desa Pancawati.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak,
antara lain:
1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah
khasanah penelitian mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi
politik masyarakat pedesaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi
acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai
motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan
berdasarkan stratifikasi sosial.
2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan
dapat menjadi salah satu rujukan mengenai motif-motif partisipasi politik
pada masyarakat pedesaan, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai
alasan tinggi atau rendahnya partisipasi politik masyarakat pedesaan pada
Pilkada. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat membuat
kebijakan atau memberikan solusi untuk lebih meningkatkan partisipasi
politik masyarakat pedesaan pada Pilkada.
3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan
mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat
pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan
stratifikasi pada masyarakat.
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Partisipasi Politik
Partisipasi politik diartikan dengan berbagai bentuk oleh para ahli. Dengan
mengacu pendapat beberapa ahli, Soebagio (2008) menyatakan bahwa partisipasi
politik memiliki substansi core political activity yang bersifat personal dari setiap
warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum
untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam proses penetapan kebijakan publik. Tidak terlalu berbeda dengan pendapat
Soebagio, dengan mengacu pada pendapat para ahli, Tarigan (2009) dalam
tesisnya menyatakan bahwa partisipasi politik adalah suatu rangkaian kegiatan
yang melibatkan peran serta masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung,
yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang menyangkut
kepentingan masyarakat. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka partisipasi
politik dapat dinyatakan sebagai keterlibatan masyarakat, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dalam mempengaruhi keberlangsungan sistem
pemerintahan.
Berdasarkan berbagai konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh
para ahli, tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik tersebut bersifat
otonom atau dimobilisasi. Definisi partisipasi politik yang dinyatakan Huntington
dan Nelson (1994) pun tidak membedakan kedua sifat tersebut. Mengutip
pendapat Huntington dan Nelson, Kamarudin (dalam Tarigan 2009) menyatakan
bahwa sifat otonom dan mobilisasi tersebut tidak dibedakan karena beberapa
alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di
alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu
campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa
partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada
akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga
demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi
dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi
penting bagi sistem politik. Partisipasi politik yang dimobilisasi atau otonom
memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangankekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik. Berdasarkan alasan-alasan ini,
maka dapat dikatakan bahwa memang tidak perlu membedakan apakah partisipasi
politik tersebut dimobilisasi atau otonom.
Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Partisipasi politik dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Perwujudan
aktivitas yang terkait dengan partisipasi politik ini dapat dikatakan sebagai
bentuk-bentuk partisipasi politik. Secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik
di masyarakat pedesaan sama dengan bentuk partisipasi politik pada masyarakat
perkotaan. Hanya saja partisipasi politik di perkotaan dapat dikatakan lebih
kompleks daripada partisipasi masyarakat pedesaan. Hal ini dapat dibuktikan dari
hasil penelitian Wahyudi (2007) di Kota Semarang yang mengelaborasikan
pendapat Rush dan Althof (1995) dan Roth dan Wilson (1981) tentang bentuk-
6
bentuk partisipasi politik. Penelitiannya menghasilkan suatu hierarkhi partisipasi
politik yang khusus pada elit perempuan. Pada puncak hierarkhi, terdapat kategori
aktivis, yaitu orang-orang yang memegang jabatan politik atau administrasi,
dalam hal ini adalah KPU dan pengurus partai. Jenjang kedua dari hierarkhi
partisipasi politik disebut dengan partisipan. Kategori ini diuraikan dalam bentuk
pencalonan diri sebagai anggota legislatif, mengikuti kampanye, dan aktif dalam
diskusi informal tentang pemilu. Kategori ketiga adalah pengamat. Bentuk
partisipasi yang tergolong kategori pengamat ini adalah pemberian suara.
Berbeda dengan konteks perkotaan, bentuk-bentuk partisipasi politik pada
masyarakat pedesaan cenderung lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Sari (2007). Berdasarkan penelitian Sari di Desa GadingsariYogyakarta, didapatkan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang mencakup
beberapa kegiatan, yaitu kegiatan masyarakat dalam mengajukan usul mengenai
suatu kebijakan kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran untuk
meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan
pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa.
Uraian tersebut di atas menunjukkan seluruh bentuk-bentuk partisipasi
politik yang terjadi dalam konteks perkotaan dan pedesaan. Uraian tersebut
menunjukkan bahwa partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah adalah bentuk yang paling umum terjadi. Partisipasi politik dalam
pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah aktivitas partisipasi politik
yang paling dapat “dijangkau” oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan.
Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah masih dapat dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk partisipasi
politik.
Bawono (2008) menyatakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik
masyarakat dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu terlibat
dalam kampanye, mengikuti penghitungan suara, dan menggunakan hak pilihnya.
Selain Bawono, Sari (2007) juga menyatakan bentuk-bentuk partisipasi politik
dalam kegiatan pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan
pemilihan yang dinyatakan oleh Sari terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu aktivitas
pemberian suara, pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu
pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang
bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik
ini yang dijabarkan oleh Sari ini sesuai dengan bentuk-bentuk partisipasi politik
aktif yang terjadi pada masyarakat Desa Gadingsari, Yogyakarta.
Hasil penelitian Tarigan (2009) menyatakan bentuk partisipasi politik
lainnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya
di Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan kepala daerah adalah peran masyarakat dalam
kampanye, keterlibatan dalam rapat dusun/desa/musrenbang, dan tingkat
kehadiran dalam rapat-rapat tersebut. Tidak jauh berbeda dengan penelitianpenelitian yang dijabarkan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Zainuri
(2007) juga menunjukkan beberapa bentuk partisipasi politik dalam pemilihan
umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kudus menunjukkan
bahwa bentuk partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari penyaluran suara
(hak pilih) saja sampai ikut serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
7
Beberapa kasus dan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka
bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah
pada masyarakat pedesaan yang paling jelas dan nyata adalah pemberian suara
(penggunaan hak pilih). Selain penggunaan hak pilih, bentuk partisipasi politik
lainnya yang dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat
pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah
keterlibatan masyarakat dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan,
mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, dan
mengikuti proses penghitungan suara.
Motif-Motif Tindakan Sosial
Perbedaan kecenderungan tinggi dan rendahnya partisipasi politik
menunjukkan bahwa ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi partisipasi
politik masyarakat. Dorongan-dorongan yang mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat ini dapat dikatakan sebagai motif-motif tindakan sosial. Weber
mengemukakan bahwa terdapat 4 motif yang dapat mempengaruhi tindakan sosial
individu, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan
tradisional. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa satu individu dapat memiliki
beberapa motif dalam melakukan partisipasi politik.
a. Rasional Instrumental
Rasional instrumental adalah salah satu motif tindakan sosial menurut Max
Weber yang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu didasari
oleh kerasionalan dan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam
mencapai tujuan tertentu. Motif ini lebih mengarah pada motif yang didasari oleh
hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Motif ini dapat dikaitkan dengan motifmotif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan
umum atau pemilihan kepala daerah.
Hasil penelitian Soebagio (2007) menunjukkan bahwa salah satu alasan
menurunnya partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah kenyataan Pemilu
dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu motif
rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik. Tidak adanya
perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat menyebabkan partisipasi
politik masyarakat menurun.
Hasil penelitian Bawono (2008) menunjukkan motif rasional instrumental
yang berbeda. Penelitiannya tentang partisipasi politik di Kabupaten Nganjuk
menunjukkan bahwa salah satu alasan masyarakat tidak menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan umum adalah karena masyarakat lebih mengutamakan
kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini
biasanya tejadi pada masyarakat yang tidak memiliki jam kerja yang pasti. Untuk
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah,
masyarakat harus meluangkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan
Suara (TPS). Waktu yang digunakan masyarakat untuk datang ke TPS dan
menggunakan hak pilihnya pasti mengorbankan waktunya untuk melakukan hal
lain, misalnya bekerja. Walaupun pada umumnya pemilihan umum dilakukan
pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun hal tidak berpengaruh untuk
masyarakat yang bekerja di sektor informal. Dengan mempertimbangkan aspek
8
ekonomi, masyarakat pasti cenderung memilih bekerja daripada mengikuti
kegiatan pemilihan umum. Keuntungan atau pendapatan yang akan didapatkannya
dari bekerja pasti lebih menggiurkan daripada harus pergi ke TPS dan
menggunakan hak pilihnya.
Orientasi masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan mencari
nafkah ini juga menyebabkan masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam
kampanye, menjadi panitia dalam suatu pemilihan, dan mengikuti proses
penghitungan suara. Hal ini juga terkait dengan waktu dan tenaga yang lebih baik
disalurkan masyarakat untuk bekerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa aspek
ekonomi akan mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi politik di Pemilu
atau Pilkada.
Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai contoh motif rasional
instrumental adalah politik uang. Politik uang ini sudah merupakan hal umum dan
tidak sedikit di Indonesia. Para calon-calon pemimpin yang akan dipilih
masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah memberikan
“serangan fajar” kepada masyarakat. Calon-calon pemimpin akan memberikan
uang kepada setiap rumah di suatu wilayah atau bantuan-bantuan fisik kepada
suatu daerah. Bantuan fisik dan uang ini diharapkan dapat dibalas oleh masyarakat
melalui suara yang ditujukan untuk si pemberi bantuan. Hal ini dapat menjadi
salah satu alasan masyarakat untuk berpartisipasi di Pemillu atau Pilkada dalam
bentuk penggunaan hak pilih.
Hasil-hasil penelitian dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa partisipasi
politik dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Motif
yang berkaitan dengan aspek ekonomi ini disebut sebagai motif rasional
instrumental. Dapat dikatakan bahwa motif rasional instrumental yang
mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah terdiri dari tiga hal, yaitu sejauh mana hasil Pemilu atau
Pilkada mampu menghasilkan perubahan pada pendapatan masyarakat, perubahan
sumber penghasilan masyarakat, dan politik uang.
b. Rasional Berorientasi Nilai
Motif rasional berorientasi nilai masih terkait dengan kerasionalan individu
dalam melakukan tindakan sosial. Motif rasional berorientasi nilai menyatakan
bahwa individu melakukan tindakan sosial dengan motif yang rasional dan terkait
dengan pengejaran nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai-nilai
dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat. Motif ini dapat dikaitkan dengan
partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah.
Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Soebagio (2007) terkait dengan
mengapa partisipasi politik pada pemilihan umum menurun dapat digolongkan
sebagai motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah:
(1) menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang
realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak
kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan
kelompok atau golongannya; (2) merosotnya integritas moral aktor-aktor politik
(elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan atau
kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik; (3) tidak terealisasikannya
janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang
9
mendukungnnya; (4) kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih
berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga
kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas. Tiga alasan
tersebut menunjukkan bahwa ada nilai-nilai kejujuran yang dituntut oleh
masyarakat. Ketika nilai kejujuran ini tidak dipenuhi oleh para calon pemimpin,
maka masyarakat tidak lagi ingin berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada.
Penelitian lain dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil
penelitian Bawono tersebut menghasilkan beberapa alasan yang mempengaruhi
tingkat partisipasi politik masyarakat. Di antara beberapa alasan yang
dikemukakan, terdapat beberapa alasan yang dapat dihubungkan dengan motif
rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah faktor
kerumitan tentang sistem Pemilu, adanya sikap apatis masyarakat terhadap
Pemilu, dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu. Adanya sikap apatis
masyarakat jelas menunjukkan bahwa ada nilai yang dianut oleh masyarakat.
Dapat dikatakan bahwa sikap apatis ini timbul karena nilai-nilai yang terdapat
pada masing-masing individu dalam masyarakat. Alasan yang terkait dengan
kerumitan sistem Pemilu dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu juga
menunjukkan ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika ada hambatan bagi
masyarakat untuk melakukan sesuatu, seperti kerumitan dan ketidakpahaman,
maka masyarakat lebih memilih untuk tidak bertindak terkait dengan sesuatu
tersebut.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) di Kota Semarang secara
jelas menyatakan bahwa salah satu motif berpartisipasi elit politik perempuan di
Kota Semarang dalam Pemilu legislatif tahun 2004 adalah rasional bernilai. Motif
rasional bernilai yang dinyatakan oleh Wahyudi dengan mengacu pada Weber
adalah motif partisipasi yang didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam
kasus ini, bentuk motif rasional bernilai tersebut terwujud dalam partisipasi politik
perempuan yang telah menilai secara objektif pilihannya. Berdasarkan pernyataan
tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu atau
Pilkada karena nilai yang dianut oleh masyarakat bahwa partisipasi tersebut
adalah kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Masyarakat
menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu atau Pilkada karena masyarakat ingin
ikut melibatkan diri dalam menentukan siapa orang atau pihak yang tepat untuk
berada dalam sistem pemerintahan.
Alasan partisipasi politik masyarakat yang dinyatakan oleh Wahyudi
tersebut di atas dapat dikaitkan dengan beberapa hasil penelitian lainnya.
Penelitian yang dilakukan oleh Fenyapwain (2013) menunjukkan bahwa iklan
politik Pemilukada di Minahasa mempunyai tingkat hubungan yang cukup kuat
dan memberi sumbangan (kontribusi) yang kecil terhadap partisipasi pemilih
pemula. Penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Widarwati (2008)
menunjukkan isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah dapat berpengaruh
cukup tinggi terhadap perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga. Penelitian yang
dilakukan Tarigan (2009) menunjukkan bahwa popularitas calon kepala daerah
adalah salah satu aspek yang mampu mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa iklan politik, isu dan
kebijakan politik kandidat kepala daerah, dan popularitas calon kepala daerah ikut
menentukan partisipasi politik masyarakat. Penulis melihat tiga hal ini sebagai
alasan yang berkaitan dengan motif rasional berorientasi nilai partisipasi politik
10
masyarakat. Ketika iklan politik, isu dan kebijakan kandidat, serta popularitas
kandidat diketahui oleh masyarakat, maka masyarakat menjadikan tiga hal ini
untuk menentukan siapa pihak yang berhak untuk dipilih. Ketiga hal tersebut
dapat menjadikan masyarakat lebih mudah memilih kandidat secara objektif.
Ketiga hal tersebut juga dapat menjadi bantuan bagi masyarakat agar meyakinkan
pilihannya. Ketika masyarakat sudah yakin akan memilih siapa dan sudah
merasakan keobjektifan pilihannya, maka masyarakat akan berpartisipasi dalam
Pemilu atau Pilkada untuk menggunakan hak suaranya.
Hasil penelitian lain yang terkait dengan motif rasional berorientasi nilai
adalah penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008). Hasil penelitiannya di
Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan
umum karena tidak ingin terlibat dalam politik. Ketidakinginan masyarakat untuk
terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik menunjukkan bahwa
masyarakat memiliki nilai tersendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik.
Hal ini dapat terjadi karena pengalaman dan pengetahuan yang kurang baik
tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang politik.
Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan beberapa motif rasional
berorientasi nilai dalam partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada.
Berdasarkan motif ini, partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat didasari
oleh rasionalitas dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai yang
dianut oleh masyarakat ini terkait dengan kewajiban dan hak masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya atau terlibat dalam Pemilu atau Pilkada. Nilai-nilai
tersebut juga dapat dikaitkan dengan harapan masyarakat untuk mendapatkan
pemimpin yang tepat melalui suaranya dalam Pemilu atau Pilkada. Selain itu,
nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang terkait dengan bidang politik juga
dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.
c. Afektif
Motif tindakan sosial afektif adalah motif yang berkaitan dengan aspek
perasaan atau emosi. Tindakan sosial yang dikaitkan dengan motif afektif adalah
tindakan sosial yang dilakukan oleh individu atau masyarakat karena pelampiasan
emosi atau perasaan. Emosi atau perasaan ini juga dapat menjadi motif bagi
masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan
kepala daerah.
Salah satu bentuk nyata bagaimana emosi atau perasaan mempengaruhi
partisipasi politik adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Soebagio (2007).
Hasil penelitian Soebagio menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya
partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum adalah kejenuhan pemilih
karena sering adanya Pemilu atau Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan
seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik.
Kejenuhan masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah juga
dinyatakan oleh Bawono (2008) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi
tingkat partisipasi politik masyarakat. Kejenuhan di sini menunjukkan bahwa
emosi atau perasaan masyarakat dapat mempengaruhi berpartisipasi atau tidaknya
masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.
Hasil penelitian Bawono (2008) juga menunjukkan bahwa alasan
masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu adalah ikatan emosional antara
masyarakat dengan partai dan calon yang bersangkutan dan kepercayaan pemilih
11
terhadap partai dan calon. Masyarakat yang sudah memiliki ikatan emosional dan
kepercayaan terhadap suatu partai atau calon pemimpin tertentu cenderung akan
berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa emosi atau
perasaan masyarakat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam
Pemilu atau Pilkada.
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) tentang partisipasi elit
politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu Legislatif tahun 2004 secara
jelas menyatakan bahwa salah satu motif partisipasi politik tersebut adalah motif
yang afektual emosional. Motif ini didasari oleh bentuk kristalisasi nilai yang
didapatkan dalam lingkungan politiknya. Berdasarkan motif ini, motif timbul
sebagai akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih.
Penelitian lain yang terkait dengan motif afektif partisipasi politik adalah
hasil penelitian Gama dan Widarwati (2008). Penelitiannya tentang perilaku
pemilih partisipasi politik wanita menunjukkan bahwa hubungan antara perasaan
emosional kandidat dan perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi.
Citra kandidat kepala daerah cenderung mempengaruhi perilaku pemilih. Hal ini
disebabkan oleh pemilih lebih tertarik pada figur yang memiliki kecerdasan,
berwibawa, kharismatik, mempunyai daya tarik fisik dan psikologis, dan
sebagainya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa aspek emosi atau perasaan
yang dimiliki oleh masyarakat terhadap kandidat akan mempengaruhi partisipasi
politik masyarakat.
Bentuk motif afektif lainnya ditunjukkan oleh hasil penelitian Tarigan
(2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi sosial politik dapat
mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Kondisi
sosial politik ini dikaitkan dengan perasaan atau emosi masyarakat. Tarigan
menyatakan bahwa lingkungan sosial yang kondusif akan membuat orang dengan
senang hati berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam
beraktivitas politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik kondisi
sosial politik di masyarakat, maka partisipasi politik masyarakat pada pemilihan
umum atau pemilihan kepala daerah akan semakin tinggi.
Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk motif
afektif yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dapat berupa
ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, ikatan
atau hubungan emosional antara masyarakat dengan kandidat, dan kondisi sosial
politik masyarakat yang kondusif. Bentuk-bentuk motif ini terkait dengan aspek
emosi atau perasaan masyarakat. Motif-motif afektif ini dapat mempengaruhi
partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala
daerah.
d. Tradisional
Motif tradisional adalah motif yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat.
Tindakan sosial yang didasari oleh motif tradisional adalah tindakan sosial yang
didasari oleh kepatuhan pada tradisi dan adat-istiadat. Tradisi dan adat-istiadat ini
dapat juga dikaitkan dengan agama yang dianut oleh masyarakat. Jika dikaitkan
dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah, maka partisipasi tersebut dilandasi oleh kepatuhan
terhadap adat-istiadat atau tradisi masyarakat setempat.
12
Partisipasi politik yang didasari oleh motif tradisional dapat jelas terlihat
pada kasus penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007). Zainuri meneliti
partisipasi politik perempuan di Kudus. Penelitian ini dikaitkan dengan perpsektif
tradisi Islam lokal di Kudus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
konstruksi tradisi Islam lokal Kudus menyebabkan perempuan Kudus merasa
terhambat baik secara politis, sosial budaya, psikologis dan agama. Konstruksi
sosial ini menyebabkan perempuan Kudus hanya berpartisipasi dalam
menyalurkan suara saja selama pemilihan umum yang diselenggarakan sebelum
masa reformasi. Kasus ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap
agama (tradisi atau adat istiadat) yang dianut akan mempengaruhi partisipasi
politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada.
Beberapa penelitian lain juga mengaitkan antara partisipasi politik
masyarakat terhadap tradisi atau adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) menyatakan bahwa salah satu
aspek yang mempengaruhi persepsi, perilaku, dan partisipasi politik masyarakat
pemilih adalah agama. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007)
menyatakan bahwa keyakinan, kultur, dan lingkungan politik
memiliki
ketertarikan satu sama lain dalam menentukan bentuk partisipasi politik elit
politik perempuan. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa agama,
keyakinan, dan kultur akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam
pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sayangnya, para peneliti tersebut
tidak menunjukkan secara gamblang tentang bagaimana agama, keyakinan, dan
kultur mampu mempengaruhi partisipasi politik.
Penulis beranggapan bahwa agama, keyakinan, dan kultur yang dianut oleh
masyarakat dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui berbagai
cara. Salah satu cara adalah melalui partai dan kandidat yang akan dipilih oleh
masyarakat. Pada umumnya, latar belakang agama yang dimiliki oleh kandidat
akan menentukan partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Jika
kandidat memiliki agama yang sama dengan masyarakat, maka masyarakat akan
cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk mendukung
kandidat tersebut. Bentuk partisipasi politik yang dilakukan dapat hanya berupa
pemberian suara untuk kandidat, sampai mengikuti kampanye, bahkan membantu,
kampanye yang dilakukan oleh kandidat.
Agama, keyakinan, dan kultur juga dapat mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat melalui orang yang berpengaruh dalam suatu budaya. Beberapa kasus
menyatakan bahwa ikut serta atau tidaknya masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada
dipengaruhi oleh orang yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini biasanya terjadi
pada masyarakat yang memiliki adat yang masih kental. Masyarakat adat akan
berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya mengatakan
demikian. Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat adat akan berpartisipasi dalam
Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya juga berpartisipasi.
Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat
terhadap tradisi, adat-isitiadat, dan agama akan mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Tradisi, adat-isitiadat, dan agama tersebut
dapat mempengaruhi masyarakat melalui berbagai cara. Ajaran yang dianut dalam
suatu agama atau adat, latar belakang agama atau suku kandidat, dan orang yang
berpengaruh dalam suatu budaya adalah jalan-jalan yang dapat menentukan
bagaimana tradisi, adat-isitiadat, dan agama yang dianut oleh masyarakat dapat
13
mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa motif
tradisional ikut mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan
umum atau pemilihan kepala daerah.
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah konsep yang sudah sangat umum dalam ilmu
sosiologi. Parsons (1940) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai kedudukan
yang berbeda dari individu-individu manusia yang menyusun sistem sosial
tertentu dan perlakuan mereka sebagai hubungan yang superior dan inferior
antara individu yang satu dengan individu lainnya dalam hal-hal yang terkait
dengan bidang sosial tertentu. Bungin (2006) mendefinisikan stratifikasi sosial
sebagai struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Pengertian kedua
ahli tersebut mengindikasikan bahwa stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai
pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat.
Berdasarkan konsep stratifikasi sosial yang digunakan oleh Parsons (1940),
maka salah satu dasar pelapisan yang terdapat pada masyarakat adalah harta.
Harta yang dimaksud oleh Parsons adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu dan
dapat dipindahtangankan. Harta di sini tidak hanya terkait dengan obyek yang
bersifat materi.Harta juga dapat dikatakan sebagai prestasi dan kekuasaan yang
dimiliki oleh individu.
Dasar pelapisan harta ini dapat dikaitkan dengan pendapatan yang diterima
oleh individu. Jika dilihat dari klasifikasi pendapatannnya, maka masyarakat dapat
dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan mata pencaharian atau strategi
nafkah. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasi strata oleh Bungin (2006). Mengutip
pendapat Bungin, maka stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dibedakan
menjadi tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class), dan
bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elit di masyarakat yang
jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional,
kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya.
Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan
semacamnya.
Stratifikasi sosial juga dapat dikategorikan berdasarkan luasan tanah yang
dimiliki oleh petani jika dikaitkan dengan kondisi pedesaan yang didominasi oleh
pertanian. Penggolongan strata masyarakat berdasarkan kepemilikan lahan
pertanian di pedesaan dicetuskan oleh Sajogyo (1978). Bayu (2000) menyatakan
bahwa Sajogyo membagi penggolongan tersebut menjadi 3, yaitu petani gurem
dengan pemilikan lahan kurang dari 0.5 hektar, petani kecil dengan pemilikan
lahan dari 0.5 sampai 1 hektar, dan petani luas dengan pemilikan lahan lebih dari
1 hektar.
Ukuran lainnya yang dapat digunakan untuk melihat strata pada masyarakat
pedesaan adalah ukuran dari Badan Pusat Statistika (BPS). Berdasarkan BPS, ada
14 kriteria atau ciri rumah tangga miskin. Indikator kemiskinan tersebut adalah
luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis
dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang
air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah
tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp500 000, frekuensi makan dalam
sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu
dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan
14
tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga
(Lindiasari 2008).
Salah satu alat ukur strata yang juga dapat dijadikan acuan untuk
mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan strata adalah berdasarkan
kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat.
Kepemilikan barang berharga atau aset inilah yang menjadi acuan bagi peneliti
dalam menggolongkan masyarakat berdasarkan strata. Hal ini sesuai dengan
pembagian strata menurut ahli-ahli yang sudah disebutkan sebelumnya dimana
stratifikasi sosial pada masyarakat dilihat berdasarkan aspek ekonomi. Masyarakat
yang tergolong strata bawah adalah masyarakat yang tidak memiliki barang
berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga. Masyarakat yang
tergolong strata atas adalah masyarakat yang minimal memiliki 3 jenis barang
berharga. Barang berharga yang digunakan pada penelitian ini adalah televisi,
VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor.
Masyarakat Pedesaan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007), Hayami dan
Kikuchi mendefinisikan desa sebagai unit dasar dari kehidupan pedesaan di Asia,
dimana desa mengandung arti sebagai desa alamiah atau dukuh tempat orang
hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling
ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi dan tidak memiliki
keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat dalam negara modern,
walaupun pada kenyataanya hal tersebut sering kali terjadi. Desa yang
didefinisikan oleh peneliti tersebut di atas lebih ditekankan pada adanya ikatan
keluarga dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi.
Definisi desa secara hukum dapat dilihat dari pengertian desa berdasarkan
kebijakan pemerintah. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah mendefinisikan desa sebagai kesamaan masyarakat hukum
yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Definisi desa ini menunjukkan bahwa desa adalah kesatuan
masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri.
Masyarakat desa atau masyarakat pedesaan dapat didefinisikasi sebagai
masyarakat yang hidup di desa. Utomo dalam Sari (2007) menyatakan bahwa
karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat desa adalah masyarakat yang
mengutamakan hubungan dan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga
“pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat
gemeinschaft. Masyarakat desa dilingkupi oleh suasana kekeluargaan dan tolongmenolong.Masyarakat desa juga masih sangat tergantung pada tokoh-tokoh
pemimpin yang ada, baik pemimpin formal maupun informal.
Kerangka Pemikiran
Pemilu dan Pilkada adalah wadah bagi masyarakat untuk terlibat dalam
sistem politik di Indonesia. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai
bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik
15
masyarakat pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang
berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik
dapat dilakukan berdasarkan stratifikasi sosial (Gambar 1). Kerangka pemikiran
pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Stratifikasi Sosial
ï‚· Strata atas
ï‚· Strata bawah
Motif-Motif Tindakan Sosial
1. Rasional Instrumental
ï‚· Tingkat pengaruh pemilihan terhadap
pendapatan masyarakat
ï‚· Tingkat pengaruh pemilihan terhadap
sumber penghasilan masyarakat
ï‚· Tingkat penerimaan politik uang
2. Rasional Berorientasi Nilai
ï‚· Tingkat kesadaran masyarakat akan
kewajibannya mengikuti pemilihan
ï‚· Tingkat pentingnya mendapatkan
pemimpin yang tepat bagi masyarakat
ï‚· Tingkat internalisasi nilai demokrasi
yang ada di dalam masyarakat terkait
dengan hal-hal di bidang politik
3. Afektif
ï‚· Tingkat ketertarikan masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pemilihan
ï‚· Tingkat kedekatan emosional antara
masyarakat dengan kandidat
ï‚· Tingkat kekondusifan kondisi sosial
politik masyarakat
4. Tradisional
ï‚· Tingkat internalisasi ajaran yang
dianut dalam suatu agama atau adat
ï‚· Tingkat kesesuaian antara latar
belakang agama atau suku kandidat
dengan masyarakat
ï‚· Tingkat
kepatuhan
masyarakat
kepada tokoh atau kelembagaan yang
berpengaruh dalam suatu budaya
Keterangan:
Bentuk-Bentuk Partisipasi
Politik dalam Pemilihan
1. Tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
menggunakan
hak
pilihnya
2. Tingkat
keterlibatan
masyarakat
dalam
kampanye
3. Tingkat
keterlibatan
masyarakat
sebagai
panitia pemilihan
4. Tingkat
partisipasi
masyarakat
dalam
mempersuasi pihak lain
untuk berpartisipasi dalam
Pilkada
5. Tingkat
keterlibatan
masyarakat pada proses
penghitungan suara
= Berpengaruh
= Konteks Penelitian
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian
16
Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh masyarakat
pada pemilihan adalah menggunakan hak pilihnya, terlibat dalam kampanye,
terlibat dalam proses pelaksanaan pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi dalam Pilkada, dan terlibat pada proses penghitungan suara. Demi
kebutuhan penelitian, peneliti menurunkan konsep bentuk-bentuk partisipasi
politik ini ke dalam variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel-variabel dalam
konsep bentuk partisipasi politik ini adalah variabel dependen atau variabel yang
dipengaruhi.
Bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan dipengaruhi oleh motifmotif tindakan sosial, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai,
afektif, dan tradisional. Motif-motif tindakan sosial ini diturunkan oleh peneliti
menjadi variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel yang diturunkan ini
dijadikan variabel independen atau variabel yang mempengaruhi bentuk-bentuk
partisipasi politik.
Motif-motif yang mendasari partisipasi politik pada masyarakat berbedabeda antara individu yang satu dengan yang lain. Salah satu aspek yang
membedakan motif-motif partisipasi politik ini adalah status sosial ekonomi atau
stratifikasi sosial. Masyarakat dengan strata yang berbeda cenderung akan
memiliki motif yang berbeda dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada
pemilihan. Oleh karena itu, peneliti menganalisis pengaruh variabel independen
motif tindakan sosial terhadap variabel dependen bentuk-bentuk partisipasi politik
dalam konteks masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:
1. Partisipasi politik masyarakat pedesaan pada setiap strata berbeda bentuk.
2. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan berdasarkan
stratifikasi sosial dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang
berbeda.
3. Masyarakat yang berasal dari strata yang berbeda memiliki motif -motif
tindakan sosial yang berbeda dalam mempengaruhi bentuk-bentuk
partisipasi politik dalam pemilihan.
Definisi Operasional
Bentuk Partisipasi Politik
Konsep bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum atau
Pemilihan Kepala Daerah dapat diturunkan menjadi 5 variabel, yaitu:
1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Variabel ini
diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor
4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat
rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam
menggunakan hak pilihnya adalah:
ï‚· Partisipasi masyarakat dalam mengikuti prosedur untuk menjadi
pemilih pada pemilihan
17
ï‚· Partisipasi masyarakat dalam memberikan suara pada pemilihan
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak
pilihnya dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 7 < x ≤ 8
Sedang
: skor 6 ≤ x ≤ 7
Rendah
: skor 4 ≤ x < 6
2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye. Variabel ini diukur dengan
menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi
tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor
1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam kampanye
adalah:
ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat untuk pelaksanaan kampanye
ï‚· Sumbangan waktu masyarakat untuk pelaksanaan kampanye
ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat untuk pelaksanaan kampanye
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye dapat
dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 9 < x ≤ 12
Sedang
: skor 7 ≤ x ≤ 9
Rendah
: skor 4 ≤ x < 7
3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan. Variabel ini diukur
dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4),
partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat
rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam
proses pelaksanaan pemilihan adalah:
ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat untuk mengadakan pemilihan di
wilayahnya
ï‚· Sumbangan materi masyarakat untuk mengadakan pemilihan di
wilayahnya
ï‚· Sumbangan waktu masyarakat untuk mengadakan pemilihan di
wilayahnya
ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat untuk mengadakan pemilihan di
wilayahnya
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan
pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 12 < x ≤ 16
Sedang
: skor 8 ≤ x ≤ 12
Rendah
: skor 4 ≤ x < 8
4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi dalam Pemilu/Pilkada. Variabel ini diukur dengan menggunakan
skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3),
partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator
18
untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi dalam pemilihan adalah:
ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk menggunakan
hak suaranya dalam pemilihan
ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam
kampanye kandidat
ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam
dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan pemilihan (menjadi
panitia)
ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk mengikuti
proses penghitungan suara
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain
untuk berpartisipasi dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 12 < x ≤ 16
Sedang
: skor 8 ≤ x ≤ 12
Rendah
: skor 4 ≤ x < 8
5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara. Variabel ini
diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor
4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat
rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat pada
proses penghitungan suara adalah:
ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat dalam proses penghitungan suara di
TPS
ï‚· Sumbangan waktu masyarakat dalam melakukan proses penghitungan
suara di TPS
ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat dalam proses penghitungan suara di
TPS
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan
suara dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 9 < x ≤ 12
Sedang
: skor 7 ≤ x ≤ 9
Rendah
: skor 4 ≤ x < 7
Motif Tindakan Sosial
Konsep motif tindakan sosial masyarakat pada pemilihan terdiri dari 4
motif, yaitu:
1. Rasional instrumental. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional
instrumental adalah:
a. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat. Variabel ini
diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor
4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak
berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh hasil pemilihan
terhadap pendapatan masyarakat adalah:
ï‚· Penambahan pendapatan masyarakat karena adanya pelaksanaan
pemilihan
19
ï‚·
Penambahan proyek pada pekerjaan masyarakat karena adanya
pelaksanaan pemilihan
b. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2),
dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur
pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat adalah:
ï‚· Penambahan sumber penghasilan masyarakat karena adanya
pelaksanaan pemilihan
ï‚· Penambahan jam kerja masyarakat karena adanya pelaksanaan
pemilihan
c. Tingkat penerimaan politik uang. Variabel ini diukur dengan
menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4),
penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan
sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur
penerimaan masyarakat terhadap politik uang adalah:
ï‚· Sikap masyarakat terhadap bantuan yang diberikan partai atau kandidat
kepada masyarakat pada saat-saat menjelang pemilihan
ï‚· Pengaruh bantuan yang diberikan kandidat terhadap partisipasi politik
masyarakat
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka pengaruh motif rasional instrumental terhadap partisipasi
masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 15 ≤ x ≤ 24
Rendah
: skor 6 ≤ x < 15
2. Rasional berorientasi nilai. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif
rasional berorientasi nilai adalah:
a. Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak
penting (skor 1).Indikator untuk mengukur kesadaran masyarakat akan
kewajibannya mengikuti pemilihan adalah:
ï‚· Sikap masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan
ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan pemilihan
ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya suara mereka dalam pemilihan
b. Tingkat pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat bagi masyarakat.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak
penting (skor 1). Indikator untuk mengukur harapan masyarakat untuk
mendapatkan pemimpin yang tepat adalah:
ï‚· Waktu masyarakat dalam menentukan kandidat yang akan dipilih
ï‚· Pencarian informasi oleh masyarakat terkait dengan kandidat-kandidat
dalam Pilkada sebelum menentukan kandidat yang akan dipilih
ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya memilih kandidat yang tepat
dalam pemilihan
20
c. Tingkat internalisasi nilai demokrasi yang ada di dalam masyarakat terkait
dengan hal-hal di bidang politik. Variabel ini diukur dengan menggunakan
skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4),
penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan
sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur
internalisasi nilai yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di
bidang politik adalah:
ï‚· Pengaruh manfaat dilaksanakannya pemilihan terhadap partisipasi
politik masyarakat
ï‚· Pengaruh pentingnya pelaksanaan pemilihan terhadap partisipasi
politik masyarakat
ï‚· Sikap masyarakat untuk terlibat lebih jauh di dalam sistem
pemerintahan
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka pengaruh motif rasional berorientasi nilai terhadap
partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 23 ≤ x ≤ 36
Rendah
: skor 9 ≤ x < 23
3. Afektif. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif afektif adalah:
a. Tingkat ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak
penting/mempengaruhi
(skor
2),
dan
sangat
tidak
penting/mempengaruhi(skor 1). Indikator untuk mengukur ketertarikan
masyarakat terhadap pemilihan adalah:
ï‚· Pengaruh ketertarikanmasyarakat untuk terlibat di pemilihan terhadap
kesediaan masyarakat untuk mengikuti prosedur dalam mengikuti
pemilihan tersebut
ï‚· Pentingnya pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat
ï‚· Manfaat pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat
b. Tingkat kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat. Variabel
ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak
penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi
(skor 1). Indikator untuk mengukur kedekatan emosional antara
masyarakat dengan kandidat adalah:
ï‚· Sikap masyarakat untuk mengenal pribadi kandidat lebih jauh
ï‚· Pengetahuan masyarakat tentang pribadi kandidat dalam pemilihan
ï‚· Kedekatan secara emosional yang dirasakan oleh masyarakat terhadap
kandidat dalam pemilihan
c. Tingkat kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Variabel ini
diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi
(skor 4), mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat
tidak mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kekondusifan
kondisi sosial politik masyarakat adalah:
ï‚· Kondisi keamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan
21
ï‚·
ï‚·
Kondisi kenyamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan
Besarnya potensi terjadinya konflik di lingkungan masyarakat terkait
dengan hasil pemilihan
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka pengaruh motif afektif terhadap partisipasi masyarakat dapat
dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 23 ≤ x ≤ 36
Rendah
: skor 9 ≤ x < 23
4. Tradisional. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif tradisional adalah:
a. Tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat
penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak
penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi
(skor 1). Indikator untuk mengukur tingkat internalisasi ajaran yang dianut
dalam suatu agama atau adat adalah:
ï‚· Pentingnya ajaran agama atau adat yang diterapkan masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari
ï‚· Adanya kesan bagi masyarakat akan adanya kewajiban untuk terlibat
dalam pemilihan berdasarkan ajaran agama atau adat yang masyarakat
miliki
ï‚· Adanya pengaruh ajaran agama atau adat yang masyarakat miliki
dengan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan
b. Tingkat kesesuaian antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan
masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu
sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3),
tidak
penting/mempengaruhi
(skor
2),
dan
sangat
tidak
penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kesesuaian
antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat adalah:
ï‚· Sikap masyarakat dalam mencari tahu latar belakang agama atau suku
kandidat sebelum memilih kandidat dalam pemilihan
ï‚· Adanya pengaruh latar belakang agama atau suku kandidat terhadap
partisipasi politik masyarakat
ï‚· Pentingnya latar belakang agama atau suku kandidat dalam pemilihan
c. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada tokoh atau kelembagaan yang
berpengaruh dalam suatu budaya. Variabel ini diukur dengan
menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi (skor 4),
mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat
mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kepatuhan masyarakat
kepada orang yang berpengaruh dalam suatu budaya adalah:
ï‚· Pengaruh kelembagaan yang dianggap paling berpengaruh dalam
lingkungan masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat
ï‚· Pengaruh tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam lingkungan
masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat
ï‚· Pengaruh kedekatan emosional antara masyarakat dengan orang yang
paling berpengaruh dalam lingkungannya terhadap partisipasi politik
masyarakat
22
Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang
digunakan, maka pengaruh motif tradisional terhadap partisipasi masyarakat
dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 30 ≤ x ≤ 48
Rendah
: skor 12 ≤ x < 30
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi pada masyarakat dapat diukur dari status sosial-ekonomi. Sesuai
dengan konteks masyarakat pedesaan yang digunakan oleh peneliti sekaligus
untuk memudahkan pendataan pelapisan di masyarakat pedesaan, maka aspek
yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi sosial-ekonomi pada masyarakat
adalah kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat.
Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD
room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Oleh karena itu, maka sistem
pelapisan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu:
ï‚· Strata atas, yaitu masyarakat yang memiliki minimal 3 jenis barang
berharga
ï‚· Strata bawah, yaitu masyarakat yang tidak memiliki barang berharga
sampai masyarakat yang memiliki maksimal 2 jenis barang berharga
PENDEKATAN LAPANG
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian mengenai motif-motif tindakan sosial terhadap partisipasi politik
berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan dilaksanakan di Desa
Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi
ini dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan hasil Pemilihan Bupati
Kabupaten Bogor 2013. Hasil pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 ini dapat
diolah sehingga didapatkan pengklasifikasian wilayah-wilayah yang memiliki
partisipasi tinggi, sedang, dan rendah. Wilayah yang diteliti pada penelitian ini
adalah kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Peneliti memilih wilayah
yang memiliki partisipasi sedang agar wilayah tersebut dapat mewakili wilayah
lain secara umum, baik wilayah yang memiliki partisipasi tinggi maupun wilayah
yang memiliki partisipasi rendah. Setelah dilakukan pengklasifikasian, didapatkan
bahwa terdapat 19 kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Dilakukan
pengambilan sampel secara acak dan Kecamatan Caringin terpilih sebagai
kecamatan diadakannya penelitian. Untuk lokasi penelitian yang lebih spesifik,
peneliti juga melakukan pengklasifikasian tinggi-rendahnya partisipasi
masyarakat dari tiap-tiap desa di Kecamatan Caringin. Terdapat 3 dari 12 desa
yang memiliki partisipasi sedang pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013
di Kecamatan Caringin. Ketiga desa tersebut kemudian diacak untuk memiliki
lokasi penelitian di tingkat desa. Desa Pancawati (Lampiran 1) terpilih sebagai
lokasi penelitian melalui pengambilan sampel secara acak tersebut.
Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan
proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data
lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan
perbaikan skripsi. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian
pada bulan Juni 2013. Penelitian di lapangan dilakukan selama 10 minggu, yaitu
pada bulan September hingga November 2013. Pengolahan dan analisis data
dilakukan selama empat minggu dari Oktober sampai November 2013. Penulisan
laporan akhir skripsi, sidang penelitian, dan perbaikan skripsi dilakukan pada
bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (Lampiran 2).
Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian
kuantitatif yang didukung oleh metode penelitian kualitatif. Hal ini dilakukan
untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti
(Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik penelitian yang digunakan dalam
penelitian kuantitatif adalah teknik penelitian survei. Penelitian survei adalah
penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili
seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei adalah
informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Unit analisa yang
digunakan pada penelitian ini adalah individu. Penelitian survei yang digunakan
pada penelitian ini digunakan untuk maksud penjelasan (explanatory). Pada
24
penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabelvariabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989).
Teknik survei yang digunakan untuk penelitian kuantitatif menggunakan
instrumen kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mengukur konsep motif
tindakan sosial yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat pada pemilihan
serta konsep bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan.
Kuesioner juga digunakan untuk melihat stratifikasi sosial pada masyarakat, tetapi
kuesioner yang digunakan ini tidak digunakan untuk mengukur. Kuesioner untuk
stratifikasi sosial pada masyarakat digunakan hanya untuk menentukan strata pada
masyarakat yang dijadikan sebagai konteks penelitian.
Penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik penelitian wawancara tidak
terstruktur, wawancara mendalam, observasi, dan analisa data sekunder yang
terkait dengan topik penelitian peneliti. Penelitian kualitatif yang dilakukan
berguna untuk melengkapi data terkait motif-motif partisipasi politik masyarakat
pada pemilihan, bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan,
serta hubungan antara motif tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik
pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial.
Teknik Sampling
Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar
sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor
2013 di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Unit penelitian
atau unit yang diteliti oleh peneliti adalah individu yang sudah memiliki hak suara
dalam pemilihan, minimal pada saat Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013.
Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui motif-motif
tindakan sosial terhadap partisipasi politik. Oleh karena itu, individu yang
dianalisa pada penelitian adalah individu yang sudah pernah mengikuti pemilihan.
Populasi
Simple
random
sampling
Kepemilikan
minimal 3
jenis barang
berharga
21 orang
Responden
Strata Atas
Kepemilikan
maksimal 2
jenis barang
berharga
39 orang
Responden
Strata
Bawah
60 orang
responden
Gambar 2 Metode pengambilan sampel
Metode penarikan sampel yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini
adalah pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) (Gambar
2). Berdasarkan data DPT Desa Pancawati pada Pilbup Kab.Bogor 2013, peneliti
25
memilih 60 orang masyarakat secara acak untuk menjadi responden pada
penelitian ini (Lampiran 3). Jumlah responden sebanyak 60 orang ini sesuai
dengan aturan Roscoe (1975) yang menyatakan bahwa jumlah sample minimal
dalam penelitian adalah 30 orang. Jika dilakukan pengkategorian, maka jumlah
sample minimal pada masing-masing kategori adalah 30 orang (Hill 1998).
Penelitian ini menganalisis responden dari 2 strata yang berbeda, yaitu strata atas
dan strata bawah. Oleh karena itu, responden yang diambil adalah 60 orang
dengan asumsi bahwa masing-masing strata diwakili oleh 30 orang.
Sebanyak 60 orang responden yang terpilih kemudian diklasifikasikan
berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga menjadi responden strata atas
dan strata bawah. Responden strata atas adalah responden yang memiliki minimal
3 jenis barang berharga. Responden strata bawah adalah responden yang tidak
memiliki barang berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga.
Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD
room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Berdasarkan pengklasifikasian
tersebut, maka didapatkan 21 orang responden strata atas dan 39 orang responden
strata bawah. Walaupun responden pada masing-masing strata tidak setara 30
orang, namun demi tercapainya validitas data, hal ini tidak dipermasalahkan
karena kepemilikan barang berhargalah yang menjadi acuan dalam penggolongan
strata responden.
Pengumpulan Data
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan peneliti melalui observasi,
kuesioner, dan wawancara mendalam kepada responden dan informan secara
langsung di lokasi penelitian. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara
mengamati kondisi fisik dan aktivitas yang terdapat di lokasi penelitian.
Kuesioner diberikan kepada 60 orang responden yang sudah ditentukan
sebelumnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden dan informan
untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Data sekunder diperoleh peneliti melalui
studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh
dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti Komisi Pemilihan
Umum (KPU), Badan Pusat Statistika (BPS), dan Pemerintah Desa Pancawati.
Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang
berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil Desa Pancawati, Daftar Pemilih
Tetap Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, hasil
Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, dan data-data lain
yang terkait.
Pengolahan dan Analisis Data
Data kuantitatif yang didapatkan dari hasil kuesioner responden diolah dan
dianalisis dengan menggunakan program software SPSS Statistics 16.0 dan
Microsoft Office Excel 2007. Program SPSS Statistics 16.0 digunakan oleh
peneliti untuk melakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan dengan
26
menggunakan analisa Rank Spearman. Uji Rank Spearman digunakan untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel atau lebih yang
berskala ordinal2. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi silang, grafik,
dan bagan, dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007.
Analisis data kualitatif dilakukan melalui empat tahap, yaitu pengumpulan
data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan atau verifikasi kesimpulan
(Miles & Hiberman dalam Sari 2007). Pengumpulan data dilakukan secara
bersamaan dengan analisis data. Reduksi data dilakukan untuk menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan
mengorganisasikan data (Sari 2007). Tahap selanjutnya adalah menyajikan data,
baik dalam bentuk kutipan langsung maupun tidak. Tahap terakhir adalah
melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan terhadap data yang telah
disajikan.
2
Sarwono J. 2009. Statistik itu mudah: Panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik
menggunakan SPSS 16. Yogyakarta [ID]: Andi Offset. 344 hal.
GAMBARAN LOKASI PENELITIAN
Kondisi Geografis dan Ekonomi
Desa Pancawati adalah salah satu dari dua belas desa yang terdapat di
Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seluruh wilayah desa ini
merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut.
Curah hujan rata-rata di desa ini adalah 205 mm. Desa Pancawati terbagi menjadi
5 Dusun, 13 RW (Rukun Warga), dan 48 RT (Rukun Tetangga). Adapun batasbatas wilayah Desa Pancawati adalah sebagai berikut:
- Sebelah Utara
: Desa Cileungsi
- Sebelah Timur
: Gunung Gede Pangrango
- Sebelah Selatan
: Desa Cimande
- Sebelah Barat
: Desa Ciderum
Adapun luas wilayah Desa Pancawati adalah sekitar 673 ha. Sebagian besar
lahan di Desa Pancawati digunakan untuk pemukiman. Sebanyak 45.17 persen
(304 ha) wilayah desa merupakan perumahan. Selain wilayah perumahan, Desa
Pancawati juga memiliki persawahan yang cukup luas. Sebesar 31.05 persen (209
ha) wilayah desa merupakan daerah persawahan (Tabel 1).
Tabel 1 Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk
penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012
Luas wilayah
Penggunaan lahan
Luas (ha)
Persentase (%)
Perumahan
304
45.17
Persawahan
209
31.05
Ladang/kebun
61.5
9.14
Empang/kolam
0
0.00
Area wisata
0
0.00
Pemakaman
5
0.74
Perkantoran umum
0.5
0.07
Lapangan olahraga
0.2
0.03
Bangunan pendidikan
20.8
3.09
Bangunan peribadatan
25
3.71
Prasarana umum lainnya
47
6.98
Total
673
100
Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012
Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Pancawati adalah 5 264 KK. Total
penduduk seluruhnya adalah 13 187 jiwa yang terdiri dari 6 387 jiwa penduduk
perempuan dan 6 800 jiwa penduduk laki-laki. Jumlah keluarga prasejahtera di
Desa Pancawati adalah sebanyak 3 685 keluarga. Jumlah ini menunjukkan bahwa
sekitar 70 persen dari seluruh keluarga di Desa Pancawati adalah keluarga
prasejahtera.
Banyaknya keluarga prasejahtera di Desa Pancawati dapat dikaitkan dengan
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Masyarakat yang tingkat
28
pendidikannya hanya tamat SD/sederajat sebanyak 3 812 orang. Masyarakat yang
tamat SLTP/sederajat sebanyak 832 orang dan yang tamat SLTA/sederajat
sebanyak 524 orang. Hanya sedikit masyarakat yang pernah duduk di bangku
perguruan tinggi. Masyarakat yang tamat DI/DII/DIII sebanyak 25 orang dan yang
tamat SI sebanyak 19 orang.
Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase angkatan kerja di Desa
Pancawati berdasarkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian. Mata pencaharian
utama di Desa Pancawati adalah sebagai buruh tani. Selain sebagai petani,
masyarakat di Desa Pancawati juga banyak yang bekerja sebagai wiraswasta.
Masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta paling banyak adalah masyarakat
yang membuka toko kelontong dan sebagai tukang ojeg (Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa
Pancawati tahun 2012
Tenaga kerja
Jenis pekerjaan
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Buruh tani
1 127
20.51
Petani
983
17.89
Tukang ojeg
789
14.36
Wiraswasta
712
12.96
Karyawan swasta
532
9.68
Buruh bangunan
437
7.95
Pegawai swasta
365
6.64
Pedagang
271
4.93
Pengrajin
87
1.58
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
63
1.15
Supir angkot
53
0.96
Penjahit
35
0.64
Pegawai Negeri Sipil
30
0.55
Bengkel
4
0.07
POLRI
3
0.05
Tukang las
2
0.04
TNI
1
0.02
Total
5 494
100
Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012
Usaha-usaha lain yang dibuka sendiri oleh masyarakat adalah usaha
peternakan, perikanan, perkebunan, dan usaha jasa keterampilan. Usaha jasa
keterampilan ini meliputi usaha jahit atau bordir, pangkas atau cukur, service alatalat elektronik, dan usaha pijat atau pengobatan. Usaha jasa penginapan juga
banyak digeluti oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan banyak wisatawan yang
datang ke Desa Pancawati untuk menghabiskan akhir pekan. Mengingat Desa
Pancawati yang terletak di dataran tinggi dan memiliki cuaca yang sejuk, maka
bukanlah suatu yang aneh jika banyak wisatawan yang datang ke desa ini.
29
Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat
Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang. Responden adalah
masyarakat yang tercatat sebagai pemilih pada Daftar Pemilih Tetap Pemilihan
Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pembagian masyarakat ke dalam kelompokkelompok strata dilakukan dengan ukuran kepemilikan aset yang dimiliki oleh
responden. Responden yang digolongkan sebagai strata bawah adalah responden
yang tidak memiliki aset sampai memiliki 2 jenis aset, sedangkan reponden yang
digolongkan sebagai strata atas adalah responden yang memiliki 3 jenis sampai 5
jenis aset. Pada penelitian ini jumlah responden strata atas adalah 21 orang,
sedangkan responden strata bawah berjumlah 39 orang.
Responden terdiri dari individu yang berjenis kelamin laki-laki dan
perempuan. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 65
persen (39 orang) responden adalah perempuan, yang terdiri dari 21.67 persen (13
orang) perempuan strata atas dan 43.33 persen (26 orang) perempuan strata bawah
(Gambar 3). Banyaknya jumlah responden perempuan pada penelitian ini
dikarenakan oleh Kepala Keluarga (laki-laki) meminta perempuan pada rumah
tangga tersebut untuk menjadi responden. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terjadi
karena peneliti adalah perempuan.
70,00
Persentase Responden
60,00
50,00
40,00
Laki-Laki
30,00
Perempuan
20,00
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin
Perbedaan antara responden pada strata atas dan bawah diukur dari
kepemilikan aset yang dimiliki oleh responden. Resonden pada strata bawah
adalah responden yang maksimal memiliki 2 jenis aset, sedangkan responden pada
strata atas adalah responden yang minimal memiliki 3 jenis aset. Jenis-jenis aset
yang dimaksud disini adalah barang-barang berharga, seperti televisi, VCD-DVD
room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Mayoritas responden strata bawah,
yaitu sebanyak 36.67 persen (22 orang) responden memiliki 1 jenis barang
berharga. Barang berharga tersebut pada umumnya adalah televisi. Berbeda
dengan responden pada strata bawah, mayoritas responden pada strata atas, yaitu
sebanyak 23.33 persen (14 orang) responden memiliki 3 jenis barang berharga
(Gambar 4). Kepemilikan barang berharga paling banyak dimiliki oleh 1.67
persen (1 orang) responden pada strata atas, yaitu sebanyak 5 jenis barang
berharga, yaitu televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda
30
motor. Kepemilikan barang berharga paling sedikit adalah sebanyak 3.33 persen
(2 orang) responden pada strata bawah yang tidak memiliki barang berharga.
40,00
Persentase Responden
35,00
30,00
Tidak Ada
25,00
1 Jenis
20,00
2 Jenis
15,00
3 Jenis
4 Jenis
10,00
5 Jenis
5,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang
berharga
Penggolongan strata berdasarkan kepemilikan aset menunjukkan bahwa
aspek ekonomi menjadi dasar dalam penggolongan strata pada penelitian ini.
Berdasarkan penggolongan tersebut, informasi mengenai taraf hidup responden
diklasifikasikan menurut masing-masing strata. Taraf hidup responden tersebut
diukur berdasarkan kondisi rumah, sumber air bersih untuk minum, sumber air
bersih untuk kebutuhan sehari-hari, bahan bakar (energi) untuk memasak, tempat
mandi dan buang air besar, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding
bangunan tempat tinggal, dan penanganan kesehatan. Selain itu, perbedaan strata
responden dapat didukung oleh data tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran,
dan pekerjaan Kepala Keluarga responden.
Berdasarkan tingkat pendidikan, responden pada strata atas cenderung
memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden pada strata
bawah. Responden yang tidak tamat SD dan yang tamat SD cenderung lebih
banyak pada responden yang berada pada strata bawah, yaitu sebanyak 89.74
persen (35 orang) dari seluruh responden strata bawah. Hal ini berbeda dengan
responden strata atas dimana responden yang tidak tamat SD dan taman SD
hanya sebanyak 61,90 persen (13 orang) dari seluruh responden strata atas.
Responden yang tingkat pendidikannya SMP, SMA, dan perguruan tinggi
cenderung lebih banyak pada responden yang berada pada strata atas (Gambar 5).
31
70,00
Persentase Responden
60,00
50,00
Tidak Tamat SD
40,00
SD
30,00
SMP
SMA
20,00
Perguruan Tinggi
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan
Karakteristik responden berdasarkan pendapatan, terdapat kecenderungan
bahwa responden pada strata atas memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada
responden pada strata bawah. Responden yang memiliki pendapatan kurang dari
Rp500 000 cenderung berada pada strata bawah. Terdapat 3.33 persen (2 orang)
responden pada strata atas yang memiliki pendapatan kurang dari Rp500 000,
sedangkan responden pada strata bawah yang memiliki pendapatan kurang dari
Rp500 000 sebanyak 15 persen (9 orang). Secara umum, mayoritas responden,
yaitu sebanyak 70 persen (42 orang) responden, memiliki pendapatan sekitar
Rp500 000 sampai Rp1 500 000 per bulan (Gambar 6). Tidak terdapatnya
perbedaan yang terlalu signifikan antara pendapatan strata atas dan strata bawah
dapat diakibatkan oleh penggolongan pendapatan yang dilakukan pada kuesioner.
80,00
Persentase Responden
70,00
Pendapatan < Rp500 000
60,00
50,00
Rp500 000 ≤ Pendapatan ≤
Rp1 500 000
40,00
Rp1 500 000 < Pendapatan
≤ Rp2 500 000
30,00
Pendapatan > Rp2 500 000
20,00
Tidak Diketahui
10,00
0,00
Strata Atas Strata Bawah
Total
Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan pendapatan
Pengeluaran responden tidak jauh berbeda dengan pendapatan responden.
Pengeluaran responden pada strata atas dan strata bawah berkisar antara
32
Rp500 000 sampai Rp1 500 000 (Gambar 7). Pada umumnya, masyarakat
mengaku bahwa pengeluaran mereka lebih besar daripada pendapatan. Walaupun
masih berkisar antara Rp500 000 sampai Rp1 500 000, selisih antara pendapatan
dan pengeluaran mereka cukup besar. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari biasanya
tidak bisa hanya mengandalkan pekerjaan utama. Tidak terdapatnya perbedaan
yang terlalu signifikan antara pengeluaran strata atas dan strata bawah dapat
diakibatkan oleh penggolongan pengeluaran yang dilakukan pada kuesioner.
80,00
Persentase Responden
70,00
Pengeluaran < Rp500 000
60,00
50,00
Rp500 000 ≤ Pengeluaran
≤ Rp1 500 000
40,00
Rp1 500 000 < Pengeluaran
≤ Rp2 500 000
30,00
Pengeluaran > Rp2 500 000
20,00
Tidak Diketahui
10,00
0,00
Strata Atas Strata Bawah
Total
Gambar 7 Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran
Penggolongan pekerjaan Kepala Keluarga (KK) responden dapat dibagi
menjadi 5 golongan, yaitu pekerjaan buruh, petani, karyawan, wiraswasta, dan
guru. Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata bawah memiliki
pekerjaan sebagai buruh, yaitu sebanyak 40.00 persen (24 orang) responden.
Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata atas memiliki pekerjaan
sebagai wiraswasta, yaitu sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden. Walaupun
responden strata atas sudah dipilih secara purposive dengan melihat KK rumah
tangga yang bekerja sebagai wiraswasta atau karyawan swasta, namun di lapangan
masih terdapat responden strata atas yang Kepala Keluarganya bekerja sebagai
buruh. Hal ini dapat terjadi karena kurang akuratnya data desa atau data desa yang
belum diperbaharui. Secara umum, mayoritas KK pada rumah tangga responden
bekerja sebagai buruh, yaitu sebanyak 48.33 persen (29 orang) responden
(Gambar 8).
33
60,00
Persentase Responden
50,00
40,00
Buruh
Petani
30,00
Karyawan
Wiraswasta
20,00
Guru
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 8 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga
Kondisi rumah responden digolongkan menjadi rumah permanen dan
semi-permanen. Responden yang memiliki rumah permanen lebih banyak
daripada responden yang memiliki rumah semi-permanen, yaitu sebanyak 85
persen (51 orang) responden. Rumah semi-permanen hanya terdapat pada
responden strata bawah, yaitu sebanyak 15.00 persen (9 orang) responden strata
bawah memiliki rumah semi-permanen (Gambar 9).
90,00
Persentase Responden
80,00
70,00
60,00
50,00
Permanen
40,00
Semi-Permanen
30,00
20,00
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 9 Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah
Kondisi rumah responden, baik permanen maupun semi-permanen, terkait
dengan jenis lantai dan dinding bangunan tempat tinggal responden. Sebagian
besar responden strata atas memiliki lantai keramik, yaitu sebanyak 33.33 persen
(20 orang) responden. Hanya terdapat 1.67 persen (1 orang) responden strata atas
yang memiliki lantai semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki lantai
rumah dari bambu atau tanah. Hal ini berbeda dengan responden pada strata
34
bawah. Walaupun mayoritas strata bawah juga memiliki lantai keramik, namun
persentase responden strata bawah yang memiliki lantai keramik lebih sedikit
daripada responden strata atas. Persentase responden strata bawah yang memiliki
lantai semen pun lebih banyak daripada responden strata atas. Selain itu, terdapat
11.67 (7 orang) responden strata bawah yang memiliki lantai rumah bambu dan
terdapat 3.33 persen (2 orang) responden yang memiliki lantai tanah (Gambar 10).
70,00
Persentase Responden
60,00
50,00
Keramik
40,00
Semen
30,00
Bambu
20,00
Tanah
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 10 Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat
tinggal
Jenis dinding bangunan tempat tinggal mayoritas responden adalah semen,
yaitu sebanyak 83.33 persen (50 orang) responden. Seluruh responden strata atas
memiliki dinding rumah semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki
dinding bambu atau batako. Hal ini berbeda dengan responden pada strata bawah.
Pada responden strata bawah, sebanyak 15.00 persen (9 orang) memiliki dinding
bambu dan sebanyak 1.67 persen (1 orang) memiliki dinding batako (Gambar 11).
90,00
Persentase Responden
80,00
70,00
60,00
50,00
Semen
40,00
Bambu
30,00
Batako
20,00
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat
tinggal
35
Informasi lainnya yang terkait dengan rumah bangunan tempat tinggal
responden adalah tempat mandi dan buang air besar. Sebagian besar responden
memiliki kamar mandi sendiri dengan septic tank, yaitu sebanyak 86.67 persen
(52 orang) responden. Pada responden strata atas, terdapat 1.67 persen (1 orang)
responden yang memiliki kamar mandi sendiri tanpa septic tank. Tidak ada
responden strata atas yang menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan
buang air besar. Pada responden strata bawah, terdapat 5 persen (3 orang) yang
menggunakan kamar mandi umum dengan septic tank dan terdapat 5 persen (3
orang) yang menggunakan kamar mandi umum tanpa septic tank (Gambar 12).
100,00
90,00
Persentase Responden
80,00
Kamar Mandi Sendiri
dengan Septic Tank
70,00
60,00
Kamar Mandi Sendiri
Tanpa Septic Tank
50,00
40,00
Kamar Mandi Umum
dengan Septic Tank
30,00
Kamar Mandi Umum
Tanpa Septic Tank
20,00
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 12 Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air
besar
Informasi lainnya yang didapat oleh peneliti adalah sumber air bersih yang
digunakan responden untuk minum. Secara umum, sumber air minum responden
adalah air sumur. Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki sumber air
minum dari sumur (Gambar 13). Mayoritas responden strata atas membeli air
mineral untuk air minum, yaitu sebanyak 13.33 persen (8 orang) responden.
Terdapat sebuah pabrik air minum di Desa Pancawati. Pabrik inilah sumber air
minum yang dibeli dari sebagian besar responden strata atas. Mayoritas responden
strata bawah memiliki sumur sebagai sumber air minum, yaitu sebanyak 30 persen
(18 orang) responden.
36
45,00
Persentase Responden
40,00
35,00
PDAM
30,00
Beli
25,00
Air Gunung/Weslik
20,00
Sumur
15,00
Air Sungai
10,00
Lainnya
5,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 13 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum
Sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga menjadi salah satu
informasi yang terkait dengan karakteristik responden berdasarkan stratifikasi
sosial. Kebutuhan sehari-hari yang dimaksud pada karakteristik responden ini
adalah aktivitas sehari-hari responden yang menggunakan air, seperti mencuci.
Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 40 persen (24 orang), menggunakan air
gunung sumur untuk mencuci (Gambar 14). Mayoritas responden strata atas
menggunakan air gunung/weslik untuk aktivitas sehari-hari, yaitu sebanyak 15
persen (9 orang) responden. Air gunung/weslik adalah air yang mengalir langsung
dari mata air di gunung terdekat di Desa Pancawati. Karena Desa Pancawati
terletak di daerah dataran tinggi, maka cukup banyak wilayah yang dapat dialiri
oleh air gunung tersebut. Mayoritas responden strata bawah, yaitu sebanyak 26.67
persen (16 orang) responden, menggunakan air sumur untuk aktivitas sehari-hari.
45,00
Persentase Responden
40,00
35,00
PDAM
30,00
Beli
25,00
Air Gunung/Weslik
20,00
Sumur
15,00
Air Sungai
10,00
Lainnya
5,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 14 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk
kebutuhan sehari-hari
37
Penggolongan karakteristik responden lainnya adalah bahan bakar (energi)
yang digunakan untuk memasak. Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden
pada strata atas menggunakan bahan bakar gas untuk memasak dan 3.33 persen (2
orang) menggunakan gas dan arang atau kayu bakar. Tidak ada responden strata
atas yang menggunakan arang atau kayu bakar saja untuk memasak. Hal ini
berbeda dengan responden pada strata bawah. Sebanyak 33.33 persen (20 orang)
responden pada strata bawah menggunakan bahan bakar gas untuk memasak,
18.33 persen (11 orang) menggunakan arang atau kayu bakar, dan 13.33 persen (8
orang) menggunakan keduanya (Gambar 15).
70,00
Persentase Responden
60,00
50,00
Gas
40,00
30,00
Gas dan Arang/Kayu
Bakar
20,00
Arang/Kayu Bakar
10,00
0,00
Strata Atas
Strata Bawah
Total
Gambar 15 Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk
memasak
Responden yang menggunakan gas dan arang atau kayu bakar untuk
memasak menunjukkan bahwa bahan bakar yang digunakan oleh responden tidak
tetap. Jika kondisi keuangannya memungkinkan, maka responden akan membeli
gas. Jika kondisi keuangan responden tidak memungkinkan untuk membeli gas,
maka responden menggunakan arang atau kayu bakar. Kayu bakar yang biasanya
digunakan responden untuk memasak diambil dari kebun sekitar rumah
responden. Kayu bakar tersebut biasanya tidak dibeli. Responden hanya
mengambil kayu-kayu yang sekiranya tidak digunakan untuk dijadikan bahan
bakar memasak.
38
90,00
Persentase Responden
80,00
70,00
60,00
Berobat ke Rumah Sakit
50,00
Berobat ke Puskesmas
40,00
Beli Obat di Warung
30,00
Lainnya
20,00
10,00
0,00
Strata Atas Strata Bawah
Total
Gambar 16 Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan
Karakteristik responden lainnya berdasarkan strata adalah jenis penanganan
kesehatan responden. Mayoritas responden berobat ke puskesmas untuk
penanganan kesehatan. Sebanyak 26.67 persen (16 orang) responden strata atas
dan 56.67 persen (34 orang) responden strata bawah berobat ke Puskesmas untuk
penanganan kesehatan. Sebanyak 3.33 persen (2 orang) responden strata atas
berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan, sedangkan responden strata
bawah yang berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan sebanyak 1.67 (1
orang) responden. Responden yang membeli obat di warung untuk penanganan
kesehatan adalah 1.67 persen (1 orang) responden pada strata bawah. Responden
yang termasuk ke dalam kategori lainnya adalah responden yang berobat ke klinik
swasta atau mantri untuk penanganan kesehatan (Gambar 16).
BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT
BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah
dan Pemilihan Umum dapat dibagi menjadi lima bentuk, yaitu penggunaan hak
pilih masyarakat atau melakukan pencoblosan, keterlibatan masyarakat dalam
kampanye, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan suatu pemilihan atau
menjadi panitia pemungutan suara, partisipasi masyarakat dalam mengajak pihak
lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, dan partisipasi masyarakat dalam
proses penghitungan suara. Setiap orang dapat melakukan seluruh bentuk-bentuk
partisipasi politik tersebut.
Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih
Bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi
adalalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sebagian besar
masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam menggunakan hak
pilihnya (Tabel 3). Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih ini adalah
bentuk yang paling memungkinkan bagi masyarakat untuk berpartisipasi di
dalamnya. Masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk menggunakan hak
pilihnya dalam pemilihan. Masyarakat diberikan hak untuk memilih calon
pemimpinnya. Secara otomatis, pemilihan ini juga merupakan sarana partisipasi
politik yang mewajibkan masyarakat untuk terlibat di dalamnya.
Tabel 3 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan
hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi
Total
Strata
Tinggi
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
n
%
Atas
20
33.33
1
1.67
0
0.00
21
35.00
Bawah
33
55.00
5
8.33
1
1.67
39
65.00
Total
53
88.33
6
10.00
1
1.67
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.224
Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi dalam penggunaan hak pilih. Terlihat bahwa 88.33
persen (53 orang) responden, baik dari strata atas maupun strata bawah, memiliki
tingkat partisipasi yang tinggi. Tingginya tingkat partisipasi pada bentuk
partisipasi politik ini menunjukkan bahwa masyarakat mengikuti semua bentuk
pemilihan, baik Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilhan Umum, yang pernah
diadakan oleh pemerintah. Tidak ada pemilihan yang dilewatkan oleh masyarakat
yang memiliki partisipasi tinggi ini.
Berbeda dengan masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi,
masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang
pernah melewatkan pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi
40
sedang adalah masyarakat yang selalu mengikuti pemilihan, namun karena
beberapa hal mereka melewatkan beberapa pemilihan. Sebanyak 10 persen (6
orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang dalam penggunaan hak pilih.
Umumnya masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan adalah masyarakat
yang lebih memilih bekerja daripada mengikuti pemilihan. Mereka mengaku
bahwa waktu diadakannya pemilihan bertepatan dengan jam kerja yang sibuk.
Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan atau sedang memiliki banyak tugas
kerja juga menjadi alasan masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan.
Terdapat pula 1.67 persen (1 orang) responden yang memiliki tingkat
partisipasi rendah pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih ini. Masyarakat
yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah seorang responden yang
merupakan imigran. Responden sudah menetap di Desa Pancawati sejak beberapa
tahun yang lalu, namun baru terdaftar sebagai penduduk Desa Pancawati pada
tahun 2013. Satu-satunya pemilihan yang pernah diikuti oleh responden adalah
Pemilihan Umum tahun 2009. Ketidakjelasan identitas tempat tinggal
menyebabkan responden tidak menerima undangan sebagai pemilih di Desa
Pancawati. Pada saat Pilbup Kab.Bogor 2013, beliau tidak dapat mengikuti
pemilihan karena sedang bekerja di luar desa. Hal inilah yang menyebabkan
responden tidak pernah mengikuti pemilihan di Desa Pancawati.
Partisipasi penggunaan hak pilih masyarakat antara strata atas dan stata
bawah tidak berbeda jauh. Tidak ada kecenderungan tingkat partisipasi yang lebih
tinggi pada masyarakat dari kedua strata tersebut. Masyarakat pada strata atas dan
strata bawah memiliki tingkat partisipasi yang sama tinggi pada bentuk partisipasi
politik ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan yang berarti
antara tingkat partisipasi strata atas dan tingkat partisipasi strata bawah.
Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji
hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan
variabel stratifikasi sosial responden telampir pada Lampiran 4. Jika nilai
signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih
dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi
politik penggunaan hak pilih dengan stratifikasi sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan
variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.224. Nilai ini menunjukkan jumlah
yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi
politik penggunaan hak pilih dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau
rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggunaan hak pilih tidak memiliki
hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada
masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam
menggunakan hak pilihnya.
Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk
partisipasi politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata
bawah dapat disebabkan oleh karena bentuk partisipasi politik ini memang
memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat di dalamnya. Selain itu, tidak
adanya perbedaan tingkat partisipasi ini dapat disebabkan oleh senjang antara
41
masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat
strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Walaupun begitu, terdapat sedikit
perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk partisipasi politik ini. Jika
dibandingkan pada masing-masing strata, maka 95.24 persen responden strata atas
memiliki tingkat partisipasi tinggi, sedangkan responden strata bawah yang
memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 84.62 persen. Persentase masyarakat
strata atas yang memiliki tingkat partisipasi tinggi lebih banyak daripada
persentase masyarakat strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi.
Bentuk Partisipasi dalam Kampanye
Bentuk partisipasi politik kampanye adalah bentuk partisipasi masyarakat
untuk terlibat dalam kampanye. Masyarakat yang berpartisipasi dalam kampanye
adalah masyarakat yang pernah menghabiskan waktu, tenaga, atau pikirannya
untuk terlibat dalam kampanye. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat
partisipasi yang rendah dalam kampanye (Tabel 4).
Tabel 4 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye
berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi
Total
Strata
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
1
1.67
20
33.33
21
35.00
Bawah
3
5.00
36
60.00
39
65.00
Total
4
6.67
56
93.33
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.671
Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk
partisipasi politik kampanye ini. Sebagian besar masyarakat mengaku tidak
pernah mengikuti kampanye. Sebanyak 93.33 persen (56 orang) responden
memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat
partisipasi rendah ini adalah masyarakat yang mengaku tidak pernah terlibat atau
berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk apapun, baik tenaga, gagasan,
maupun waktu. Masyarakat pun mengaku bahwa tidak ada kampanye yang bisa
dihadiri oleh masyarakat karena biasanya kampanye dilakukan melalui pawai.
Masyarakat menyatakan bahwa sejauh ini tidak pernah ada kampanye Pemilu atau
Pilkada, khususnya Pilbup, yang sampai ke tingkat desa. Biasanya kampanye
yang dilakukan oleh kandidat-kandidat dalam Pilkada hanya sampai di tingkat
kecamatan.
Sebanyak 6.67 persen (4 orang) responden memiliki tingkat partisipasi
sedang pada bentuk partisipasi politik kampanye. Masyarakat yang memiliki
tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang pernah mengikuti kampanye
satu sampai dua kali. Mereka mengaku bahwa mereka terlibat dalam kampanye
yang dilakukan di luar desa. Masyarakat yang pernah mengikuti kampanye ini
berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk tenaga dan waktu. Biasanya, waktu
yang dihabiskan dalam satu kali kampanye adalah sekitar 12 jam. Masyarakat
yang mengikuti kampanye akan pawai mengelilingi kecamatan dengan
42
menggunakan sepeda motor atau mobil sambil membawa bendera atau simbolsimbol yang menunjukkan dukungan kepada salah satu kandidat dalam pemilihan.
Masyarakat yang memiliki kesempatan untuk mengikuti kampanye biasanya
adalah masyarakat yang memiliki jaringan di tingkat kecamatan. Mereka dapat
mengikuti kampanye karena mendapat tawaran dari sesama rekannya di tingkat
kecamatan. Hal ini terjadi karena lingkup kampanye paling kecil yang dilakukan
oleh kandidat dalam pemilihan adalah di tingkat kecamatan. Kampanye tidak
pernah dilakukan di tingkat desa. Bentuk sosialisasi di tingkat desa biasanya
hanya melalui poster atau spanduk.
Terlihat pada Tabel 4 bahwa tidak ada kecenderungan atau perbedaan
yang signifikan antara tingkat partisipasi masyarakat strata atas dengan partisipasi
masyarakat strata bawah pada bentuk partisipasi politik kampanye ini. Partisipasi
politik masyarakat dalam kampanye adalah rendah, baik pada strata atas maupun
pada strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing
strata, terdapat kecenderungan bahwa persentase masyarakat strata bawah yang
memiliki tingkat partisipasi sedang pada kampanye cenderung lebih besar
daripada masyarakat strata atas. Sebanyak 7.69 responden strata bawah memiliki
tingkat partisipasi sedang, sedangkan responden strata atas yang memiliki tingkat
partisipasi sedang sebanyak 4.76 persen. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat
partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam
kampanye antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh
senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik
antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.
Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik
dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai
signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan
stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik
dalam kampanye dengan stratifikasi sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan
variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.671. Nilai ini menunjukkan jumlah
yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi
politik dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya
partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak berhubunganan dengan stratifikasi
sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan
dengan partisipasi politik masyarakat dalam kampanye.
Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
Bentuk partisipasi politik sebagai panitia menunjukkan peran serta
masyarakat dalam menjalankan pemilihan. Sebagian besar masyarakat memiliki
tingkat partisipasi yang rendah sebagai panitia pemilihan (Tabel 5). Panitia
43
pemilihan adalah pihak-pihak yang menyumbangkan gagasan, waktu, dan
tenaganya untuk menjalankan pemilihan. Bentuk kepanitiaan pelaksanaan
pemilihan di tingkat desa terbagi menjadi dua ketegori, yaitu Panitia Pemungutan
Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Panitia
Pemungutan Suara (PPS) adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat desa.
Anggota PPS terdiri dari satu orang aparat desa dan beberapa orang masyarakat
yang dipercaya oleh elit desa untuk menjadi PPS. Masyarakat yang tergabung
dalam PPS adalah orang-orang yang terpilih berdasarkan hasil musyawarah antara
aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK, dan elit desa lainnya.
Berbeda dengan PPS, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)
adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Anggota KPPS juga merupakan orang-orang terpilih yang merupakan hasil
musyawarah antara aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK,
dan pihak PPS. Anggota PPS dan KPPS tidak hanya terdiri dari elit-elit dan aparat
desa. Masyarakat yang tidak memiliki jabatan dalam pemerintahan desa juga
berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan. Pada umumnya, masyarakat
yang ikut menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan
oleh elit atau aparat desa.
Mekanisme pembentukan PPS dan KPPS yang dilakukan di Desa Pancawati
dapat dikatakan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu aturan
yang menjelaskan mengenai pembentuk PPS dan KPPS adalah Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum. Pasal 44 ayat (2) pada UU tersebut menyebutkan bahwa anggota PPS
diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama kepala desa/kelurahan dan
badan permusyaratan desa/dewan kelurahan. Proses pembentukan KPPS tidak
dijelaskan pada UU ini, namun dinyatakan pada Pasal 46 ayat (2) bahwa anggota
KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama ketua KPU
Kabupaten/Kota.
Tabel 5 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai panitia
pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi
Total
Strata
Tinggi
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
n
%
Atas
1
1.67
4
6.67
16
26.67
21
35.00
Bawah
2
3.33
8
13.33
29
48.33
39
65.00
Total
3
5.00
12
20.00
45
75.00
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.879
Tingkat partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan cenderung
rendah. Sebesar 75 persen (45 orang) responden memiliki tingkat partisipasi yang
rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah
masyarakat yang tidak penah menjadi panitia pemilihan. Rendahnya tingkat
partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan merupakan hal yang wajar
karena tidak semua pihak atau masyarakat berkesempatan untuk berpartisipasi
sebagai panitia pemilihan. Hanya orang-orang tertentu saja yang berkesempatan
mendapat tawaran untuk menjadi panitia pemilihan. Walaupun masyarakat biasa
memiliki kesempatan untuk menjadi panitia, namun kesempatan ini tidak dimiliki
44
oleh sembarang orang. Jabatan sebagai panitia yang cukup krusial mengharuskan
pihak aparat dan elit desa memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan
berkualifikasi. Maka bukanlah suatu hal yang aneh jika pihak-pihak yang terpilih
sebagai panitia adalah pihak-pihak yang memiliki pekerjaan yang menuntut
ketelitian, seperti guru, dan pihak-pihak yang merupakan orang kepercayaan
aparat dan elit desa.
Masyarakat yang tidak berkesempatan menjadi panitia pemilihan tidak
mempermasalahkan pihak-pihak yang biasanya dipilih sebagai panitia. Beberapa
masyarakat menganggap bahwa elit desa yang dipilih sebagai panitia pemilihan
adalah hal yang wajar. Masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan
bagian dari tugas sebagai aparat desa. Walaupun begitu, beberapa masyarakat
mengaku bahwa mereka akan bersedia jika dipilih sebagai panitia pemilihan.
Terdapat pula masyarakat yang mengaku akan menolak jika ditawarkan menjadi
panitia pemilihan. Masyarakat yang akan menolak jika mendapat tawaran adalah
masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Mereka menyatakan
bahwa mereka tidak akan sanggup menjadi panitia pemilihan karena panitia
pemilihan adalah pekerjaan yang sulit.
Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi
sedang sebagai panitia pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi
sedang adalah masyarakat yang pernah menjadi panitia pemilihan sebanyak satu
sampai dua kali, baik sebagai PPS maupun KPPS. Pada kasus penelitian ini,
masyarakat yang memiliki partisipasi sedang ini adalah 12 orang responden yang
terlibat sebagai anggota KPPS di TPS. Sebanyak 12 orang tersebut terdiri dari 11
orang anggota KPPS dan 1 orang Ketua KPPS.
Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebagai panitia
pemilihan adalah sebanyak 5 persen (3 orang) responden. Masyarakat yang
memiliki tingkat partisipasi tinggi ini adalah pihak yang sudah berkali-kali
dipercaya untuk menjadi KPPS. Pihak-pihak tersebut adalah ketua-ketua RT dan
kader Posyandu yang sudah mengabdi bertahun-tahun di Desa Pancawati.
Sebagian besar elit desa berada pada strata atas. Jika dibandingkan
persentase elit desa pada masing strata, maka didapatkan bahwa sebanyak 19.05
persen (4 orang) pada responden strata atas adalah elit dan sebanyak 20.51 persen
(8 orang) pada responden strata bawah adalah elit. Hal ini menyebabkan sebagian
besar masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tinggi sebagai
panitia pemilihan adalah masyarakat strata bawah. Perbedaan jumlah elit dari
strata atas dan bawah tidak berbeda jauh, sehingga tidak terdapat perbedaan yang
berarti antara partisipasi masyarakat pada strata atas dengan partisipasi
masyarakat pada strata bawah. Tidak ada kecenderungan tinggi atau rendahnya
tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial pada
masyarakat. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang
berarti pada bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan antara masyarakat
strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat
strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas
dan bawah tidak berbeda jauh.
Lampiran 4 menyajikan hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik
sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai
signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak
45
terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik sebagai panitia
pemilihan dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed))
≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk
partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan stratifikasi sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan
dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.879. Nilai ini menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi
politik sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau
rendahnya partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan tidak memiliki
hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada
masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat sebagai
panitia pemilihan.
Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi
Keterlibatan masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi
dalam pemilihan dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik. Pada
bentuk partisipasi ini, masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam mengajak pihak
lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, seperti mempersuasi masyarakat agar
menggunakan hak pilihnya, mempersuasi masyarakat agar terlibat dalam
kampanye, mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai panitia
pemilihan, atau mempersuasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan
suara. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam
mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi (Tabel 6).
Tabel 6 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi
pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi
Total
Strata
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
8
13.33
13
21.67
21
35.00
Bawah
11
18.33
28
46.67
39
65.00
Total
19
31.67
41
68.33
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.441
Sebanyak 68.33 persen (41 orang) responden memiliki tingkat partisipasi
yang rendah pada bentuk partisipasi politik ini. Masyarakat yang memiliki tingkat
partisipasi rendah adalah masyarakat yang mempersuasi pihak lain untuk
menggunakan hak pilihnya saja. Sebagian besar masyarakat akan mengajak
masyarakat lainnya untuk menggunakan hak pilihnya ketika hari pemilihan. Pada
umumnya masyarakat mengaku bahwa bentuk persuasi ini dilakukan agar mereka
tidak sendirian ke TPS. Masyarakat akan mengajak tetangga atau kerabat di dekat
rumah untuk bersama-sama ke TPS di hari pemilihan agar ada teman berbincang
ketika menuju TPS.
46
Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden memiliki tingkat partisipasi
sedang. Tingkat partisipasi sedang ini menunjukkan bahwa persuasi yang
dilakukan tidak hanya mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya,
tetapi juga persuasi dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya, seperti
mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, atau mengikuti proses
penghitungan suara. Pada kasus ini, pihak-pihak yang memiliki tingkat partisipasi
sedang adalah masyarakat yang memiliki bentuk partisipasi lain, selain
menggunakan hak pilihnya. Contohnya adalah masyarakat yang mengikuti
kampanye cenderung akan mengajak rekannya untuk mengikuti kampanye juga,
masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara akan cenderung mengajak
pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara juga, dan masyarakat yang
merupakan aparat atau elit desa akan mengajak masyarakat yang memungkinkan
untuk menjadi panitia pemilihan.
Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi pada
bentuk partisipasi persuasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat
yang mempersuasi pihak lain untuk terlibat dalam semua bentuk partisipasi. Tidak
adanya masyarakat yang mempersuasi untuk terlibat dalam semua bentuk
partisipasi menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang terlibat dalam semua
bentuk partisipasi politik dalam suatu waktu pemilihan yang sama.
Bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi
dalam pemilihan ini tidak memiliki kecenderungan perbedaan antar strata.
Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit
perbedaan dimana masyarakat strata atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk
partisipasi ini. Sebanyak 38.10 persen responden strata atas memiliki tingkat
partisipasi yang sedang, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat
partisipasi sedang sebanyak 28.21 persen. Terlihat bahwa perbedaan tingkat
partisipasi masyarakat pada strata atas tidak berbeda secara signifikan dengan
tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Masyarakat memiliki tingkat
partisipasi yang cenderung rendah dalam mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata
bawah. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti
pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain antara masyarakat strata
atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas
dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah
tidak berbeda jauh.
Lampiran 4 menunjukkan hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik
dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika
nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa
tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak
lain dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤
0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk
partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain dengan stratifikasi sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain
dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.441. Nilai ini menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi
47
politik dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi
atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat.
Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi
politik masyarakat dalam mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pemilihan.
Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara
Bentuk partisipasi politik lainnya dalam Pemilihan Kepala Daerah atau
Pemilihan Umum adalah partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses
penghitungan suara. Bentuk partisipasi politik ini memungkinkan semua pihak
untuk terlibat. Waktu, tenaga, atau gagasan yang diluangkan masyarakat untuk
mengikuti proses penghitungan suara ini menunjukkan bahwa masyarakat
berpartisipasi di dalamnya. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat
partisipasi yang rendah pada proses penghitungan suara (Tabel 7).
Tabel 7 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses
penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi
Total
Strata
Tinggi
Sedang
Rendah
n
%
n
%
n
%
n
%
Atas
5
8.33
3
5.00
13
21.67
21
35.00
Bawah
6
10.00
9
15.00
24
40.00
39
65.00
Total
11
18.33
12
20.00
37
61.67
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.958
Umumnya pihak-pihak yang menjadi panitia pemilihan pasti terlibat dalam
proses penghitungan suara ini dengan menyumbangkan waktu dan tenaganya. Hal
ini ditunjukkan pada Tabel 7 bahwa terdapat 18.33 persen (11 orang) responden
yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dalam mengikuti proses penghitungan
suara. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk partisipasi
politik ini adalah pihak-pihak yang merupakan anggota KPPS. Sebanyak 1 orang
yang memiliki tingkat partisipasi tinggi adalah seorang pedagang yang biasa
berjualan di sekitar wilayah TPS. Hari pemilihan dijadikan kesempatan bagi
pedagang untuk menawarkan barang dagangannya. Hal ini dipertegas oleh
pernyataan Ibu ZBD sebagai berikut:
“Kalau ada pemilihan, saya sering datang ke TPS sambil bawa barang
dagangan. Pagi hari saya datang untuk nyoblos. Setelah nyoblos, saya
langsung berjualan di sekitar TPS. Biasanya kalau ada pemilihan, TPS
ramai. Jadi hasil yang didapat juga lumayan. Saya baru pulang sore hari,
setelah selesai penghitungan suara.” (ZBD, masyarakat desa)
Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi
sedang dalam mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang tergolong
berpartisipasi sedang adalah masyarakat yang terkadang mengikuti proses
48
penghitungan suara dan terkadang tidak. Ikut atau tidaknya masyarakat untuk
mengikuti proses penghitungan suara ini biasanya ditentukan oleh pekerjaan yang
sedang mereka jalankan. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana
mereka sedang tidak ada pekerjaan, mereka akan mengikuti proses penghitungan
suara. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana mereka sedang memiliki
banyak pekerjaan, maka mereka tidak akan mengikuti proses penghitungan suara.
Mayoritas masyarakat tidak terlibat dalam proses penghitungan suara ini,
yaitu 61.67 persen (37 orang) responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah.
Masyarakat berpartisipasi rendah ini mengaku bahwa rendahnya partisipasi
mereka dalam proses penghitungan suara dikarenakan mereka tidak memiliki
kepentingan untuk mengikuti proses tersebut. Jika sekedar untuk mengetahui
siapa kandidat terpilih, maka tidak perlu repot mengikuti proses penghitungan
suara. Biasanya kandidat yang terpilih dapat diketahui dari desas-desus di
masyarakat atau dari informasi yang diberikan Ketua RT. Alasan pekerjaan dan
kegiatan di rumah tangga pun menjadi alasan mengapa banyak masyarakat yang
tidak terlibat dalam proses penghitungan suara. Hal ini sekaligus menunjukkan
bahwa masyarakat belum menganggap partisipasi dalam proses penghitungan
suara sebagai bentuk kontrol sosial dalam proses pemilihan. Sejatinya, partisipasi
masyarakat dalam proses penghitungan suara dapat dianggap sebagai bentuk
kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap proses pemilihan. Masyarakat
yang mengikuti proses penghitungan suara bukan berperan sebagai penonton
tetapi sebagai saksi untuk memastikan bahwa proses penghitungan suara berjalan
baik.
Tidak terdapat perbedaan kecenderungan tingkat partisipasi antara strata
atas dan bawah pada bentuk partisipasi politik keterlibatan dalam proses
penghitungan suara ini. Tingkat partisipasi masyarakat pada strata atas tidak
berbeda nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Partisipasi
masyarakat dalam proses penghitungan suara cenderung rendah, baik masyarakat
strata atas maupun masyarakat strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan
pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana masyarakat strata
atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk partisipasi ini. Sebanyak 23.81
persen responden strata atas memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, sedangkan
responden strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 15.38
persen. Terlihat bahwa tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat
yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara
antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh
senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik
antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.
Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji
hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan
suara dengan variabel stratifikasi sosial responden dapat dilihat pada Lampiran 4.
Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan
bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam
proses penghitungan suara dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p
value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan
nyata antara bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan
stratifikasi sosial.
49
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara
dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.958. Nilai ini menunjukkan
jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%)
menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi
politik dalam proses penghitungan suara dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi
atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan
suara tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas
atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik
masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara.
Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi
Sosial
Masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang berbeda-beda dalam berbagai
bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Tabel 8 menunjukkan tingkat
partisipasi yang dominan pada masing-masing bentuk partisipasi politik
berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel 8 terlihat bahwa tingkat partisipasi
masyarakat hanya tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, baik pada
masyarakat strata atas maupun masyarakat strata bawah. Selain bentuk partisipasi
penggunaan hak pilih, tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah pada
bentuk partisipasi politik lainnya, yaitu partisipasi dalam kampanye, partisipasi
sebagai panitia pemilihan, partisipasi dalam mempersuasi pihak lain, serta
partisipasi dalam proses penghitungan suara cenderung rendah.
Tabel 8. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik
berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik
Proses
Strata
Penggunaan
Panitia
Persuasi
Kampanye
penghitungan
hak pilih
pemilihan masyarakat
suara
Atas
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Bawah
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi
penggunaan hak pilih disebabkan oleh kesempatan yang dimiliki setiap
masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Hak yang dimiliki
setiap masyarakat untuk melakukan pemilihan dapat disebut juga sebagai
kewajiban yang perlu dilakukan sebagai bentuk kontribusi dalam sistem
pemerintahan. Hak sekaligus kewajiban yang dimiliki oleh setiap masyarakat
untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan ini menjadikan tingkat
partisipasi dalam bentuk partisipasi politik ini cenderung tinggi. Hal ini berbeda
dengan bentuk partisipasi politik lainnya.
Bentuk partisipasi politik kampanye cenderung rendah pada masyarakat
strata atas dan bawah karena kesempatan untuk mengikuti kampanye tidak
dimiliki oleh setiap orang. Kesempatan mengikuti kampanye biasanya dimiliki
oleh pihak-pihak yang memiliki jaringan dengan pihak kecamatan atau dengan
50
pihak golongan tertentu dalam suatu pemilihan. Hal ini disebabkan oleh
pelaksanaan kampanye yang hanya diadakan di tingkat kecamatan.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah dalam
bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan juga disebabkan oleh
rendahnya kesempatan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat sebagai panitia
pemilihan. Pihak-pihak yang bisa menjadi panitia pemilihan adalah aparat desa
dan elit desa serta sesama rekannya yang terkait. Peran sebagai panitia pemilihan
yang cukup penting dalam pemilihan menjadikannya sulit untuk diikuti oleh
masyarakat pada umumnya.
Bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain juga memiliki
tingkat partisipasi yang rendah. Hal ini masih terkait dengan kesempatan serta
motif yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk partisipasi
politik ini. Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya adalah mempersuasi kerabat atau tetangga untuk
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Secara umum, masyarakat hanya
bisa melakukan persuasi dalam bentuk partisipasi ini. Masyarakat juga dapat
melakukan persuasi kepada pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan
suara, namun tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara itu
sendiri juga rendah, sehingga hanya sedikit masyarakat yang mempersuasi pihak
lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi masyarakat dalam
mengajak pihak lain untuk mengikuti kampanye serta panitia pemilihan terkait
dengan partisipasi masyarakat itu sendiri dalam kampanye dan sebagai panitia
pemilihan. Tingkat partisipasi untuk terlibat dalam kampanye serta partisipasi
sebagai panitia pemilihan sudah rendah karena tidak semua pihak bisa terlibat,
sehingga persuasi yang dilakukan masyarakat dalam mengajak pihak lain untuk
mengikuti kampanye dan panitia pemilihan juga memiliki tingkat partisipasi yang
rendah. Bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan adalah bentuk yang
paling tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk mempersuasi pihak lain untuk
mengikutinya. Hal ini dikarenakan penentuan pihak-pihak yang menjadi panitia
pemilihan ditentukan oleh diskusi yang diadakan oleh aparat desa.
Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara
terkait dengan alasan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat dalam proses
tersebut. Masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara bertujuan untuk
mengetahui pihak atau kandidat yang terpilih atau memenangkan pemilihan. Jika
informasi kandidat terpilih ini bisa didapatkan dari kerabat atau tetangga sekitar,
maka masyarakat merasa tidak perlu untuk mengikuti proses penghitungan suara.
Masyarakat juga disibukkan dengan kegiatan lain terkait pekerjaan atau aktivitas
rumah tangga sehingga tidak dapat mengikuti proses penghitungan suara.
Masyarakat masih menganggap bahwa proses penghitungan suara hanya sebagai
proses untuk melihat siapa pihak yang memenangkan pemilihan. Masyarakat
belum melihat bahwa partisipasi dalam proses penghitungan suara ini dapat
dijadikan sebagai bentuk kontrol sosial yang perlu dilakukan oleh masyarakat
terhadap pemilihan.
Tingkat partisipasi masyarakat pada berbagai bentuk partisipasi politik tidak
berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh bentuk
partisipasi politik dalam pemilihan. Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi
pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata
bawah dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat
51
strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah
tidak berbeda jauh. Selain itu, hal ini dapat disebabkan oleh kurang
operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Walaupun
begitu, pada beberapa bentuk partisipasi politik terlihat sedikit perbedaan
kecenderungan tingkat partisipasi antara masyarakat strata atas dan strata bawah.
Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi dan perbedaan bentuk-bentuk
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat strata atas dan bawah
menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan tingkat
partisipasi masyarakat dan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan
masyarakat dalam pemilihan.
52
PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM
PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN
STRATIFIKASI SOSIAL
Motif-motif tindakan sosial menurut Weber (1992) terbagi menjadi empat
jenis motif, yaitu motif rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif,
dan tradisional. Motif dapat dikatakan sebagai dasar-dasarnya suatu perbuatan
dilakukan. Motif-motif tindakan sosial ini juga dapat diposisikan pada motif-motif
yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi politik. Alasan-alasan atau dasardasar partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dapat diidentifikasi
berdasarkan motif-motif tindakan sosial tersebut. Pada penelitian ini diasumsikan
bahwa satu individu pada masyarakat dapat memiliki beberapa motif sebagai
dasar dalam berpartisipasi politik.
Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif tindakan sosial rasional instrumental adalah motif tindakan sosial
yang menunjukkan bahwa suatu tindakan dilandasi oleh motif yang terkait dengan
kerasionalitasan yang mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk
mencapai tujuan. Motif rasional instrumental ini terkait dengan pertimbangan
ekonomi dalam melakukan suatu tindakan sosial. Bentuk-bentuk partisipasi
politik yang didasari oleh motif rasional instrumental menunjukkan bahwa
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh pencapaianpencapaian ekonomi. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan
motif rasional instrumental yang rendah dalam berpartisipasi pada pemilihan
(Tabel 9).
Tabel 9 Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan
stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif rasional
instrumental
Total
Strata
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
9
15.00
12
20.00
21
35.00
Bawah
15
25.00
24
40.00
39
65.00
Total
24
40.00
36
60.00
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.745
Motif rasional instrumental yang mendasari masyarakat dalam melakukan
bentuk-bentuk partisipasi politik tergolong rendah, baik masyarakat pada strata
atas maupun masyarakat pada strata bawah. Sebanyak 60 persen (36 orang)
responden memiliki tingkat motif rasional instrumental yang rendah. Tingkat
motif rasional instrumental rendah ini menunjukkan bahwa motif partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan tidak terkait dengan pencapaian-pencapaian
ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan
54
bahwa bantuan dari kandidat pada pemilihan dianggap tidak mempengaruhi
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat
mengaku bahwa bantuan yang diberikan kandidat dalam pemilihan penting,
namun bantuan tersebut dianggap tidak mempengaruhi keterlibatan masyarakat
dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa ada atau tidaknya bantuan yang
diberikan kandidat dalam pemilihan tidak akan mempengaruhi partisipasi
masyarakat. Bantuan-bantuan yang biasanya diberikan kandidat kepada
masyarakat bukanlah bantuan langsung ke rumah-rumah masyarakat. Bantuan
yang diberikan kandidat pemilihan biasanya dalam bentuk sarana dan prasarana
desa, misalnya pembangunan jalan dan bantuan yang diberikan ke musholla.
Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan
motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang
diberikan kandidat dalam pemilihan memberikan pengaruh pada partisipasi
masyarakat. Masyarakat menjadi lebih semangat dalam memilih dan lebih
menaruh harapan pada kandidat yang biasanya memberikan bantuan.
Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa masyarakat akan memilih kandidat
yang memberikan bantuan ke desa. Banyak masyarakat yang menyatakan bahwa
bantuan-bantuan tersebut adalah bukti keseriusan kandidat akan janji-janjinya
membangun desa. Masyarakat juga mengaku bahwa jika ada kandidat yang mau
memberikan bantuan langsung ke rumah tangga di masyarakat, maka bantuan
tersebut akan lebih mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
Tingginya tingkat kecenderungan masyarakat pada motif rasional
instrumental juga menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh
masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh bantuan-bantuan yang diberikan
kandidat pemilihan, tetapi juga perubahan-perubahan ekonomi yang diterimanya
sebagai akibat dari adanya pemilihan. Beberapa masyarakat yang memiliki tingkat
motif rasional instrumental yang tinggi adalah masyarakat yang terlibat sebagai
panitia pemilihan, yaitu anggota dan ketua KPPS. Keterlibatan masyarakat
sebagai panitia pemilihan memberikan keuntungan ekonomi. Keuntungan
ekonomi mungkin bukanlah satu-satunya motif panitia pemilihan untuk terlibat
dalam pemilihan, namun keuntungan ekonomi termasuk salah satu motif yang
cukup berpengaruh bagi keterlibatan masyarakat untuk menjadi panitia pemilihan
tersebut.
Tingkat motif rasional instrumental yang tinggi juga dimiliki oleh
masyarakat yang sering mengikuti kampanye-kampanye. Tenaga dan waktu yang
dikeluarkan masyarakat untuk terlibat dalam kampanye akan dibayar oleh pihak
penyelenggara kampanye. Hal ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan
masyarakat dalam kampanye juga memberikan keuntungan ekonomi. Selain itu,
pihak yang memiliki tingkat motif rasional instrumental yang tinggi adalah
pedagang yang biasanya berjualan di sekitar tempat pemilihan. Salah satu dari
responden mengaku bahwa aktivitas pemilihan ini memberikan dampak yang baik
untuk kegiatan perdagangannya. Responden yang merupakan pedagang ini akan
berangkat ke tempat pemilihan pada pagi hari kemudian berdagang di sekitar
tempat pemilihan setelah ia menggunakan hak pilihnya. Pemilik warung makan di
sekitar tempat pemilihan juga merasakan keuntungan ekonomi ketika adanya
aktivitas pemilihan. Dampak ekonomi yang dirasakan ketika ada pemilihan juga
dapat mempengaruhi partisipasi politik penjual atau pedagang dalam
55
menggunakan hak pilihnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Ibu ELW sebagai
berikut:
“Kalau sedang ada pemilihan, biasanya panitia pemilihan pesan makanan
untuk makan siang di tempat saya. Biasanya saya menyediakan makanan
untuk panitia TPS di sekitar warung. Jumlah yang dipesan cukup banyak.
Satu TPS saja bisa pesan untuk 7 sampai 8 orang ...” (ELW, masyarakat
desa)
Tidak terlihat adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional
instrumental yang berarti antara masyarakat strata atas dan bawah. Terlihat pada
Tabel 9 bahwa tingkat motif rasional instrumental masyarakat cenderung rendah,
baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah.
Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit
perbedaan dimana persentase responden strata atas yang memiliki tingkat
kecenderungan yang tinggi pada motif rasional instrumental ini lebih banyak
daripada strata bawah. Sebanyak 42.86 persen responden strata atas memiliki
tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang tinggi, sedangkan
responden strata bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional
instrumental yang tinggi sebanyak 38.46 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat
perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang berarti pada
bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah.
Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat
strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak
berbeda jauh.
Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional instrumental
dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value
Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi sosial. Jika nilai
signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi
sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel stratifikasi
sosial adalah sebesar 0.745. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari
0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak
terdapat korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel
stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional instrumental tidak
memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah
pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional instrumental yang
melandasi partisipasi politik masyarakat.
Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif rasional berorientasi nilai adalah motif tindakan sosial yang terkait
dengan pengejaran nilai-nilai sosial tertentu dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai
sosial tertentu pada masyarakat yang diukur pada motif ini adalah kesadaran
56
masyarakat akan kewajiban mereka mengikuti pemilihan, sikap masyarakat
mengenai pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat, dan sejauh mana nilainilai yang terkait dengan bidang politik terinternalisasi di dalam masyarakat.
Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif rasional
berorientasi nilai yang tinggi pada partisipasi politik (Tabel 10).
Tabel 10 Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden
berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif rasional
berorientasi nilai
Total
Strata
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
19
31.67
2
3.33
21
35.00
Bawah
34
56.67
5
8.33
39
65.00
Total
53
88.33
7
11.67
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.710
Tabel 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 88.33 persen (53 orang)
responden memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang
tinggi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengikuti pemilihan
karena didasari oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam masyarakat
yang dimaksud adalah nilai-nilai demokrasi dimana partisipasi masyarakat dalam
pemilihan sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut pun
mengindikasikan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam
pemilihan didasari oleh kewajiban sekaligus hak masyarakat untuk terlibat dalam
pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh masyarakat sudah menyadari
pentingnya Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah yang diadakan oleh
pemerintah.
Masyarakat beranggapan bahwa pemimpin yang dipilih oleh masyarakat
melalui pemilihan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat
dalam memilih pemimpinnya akan menjadikan pemimpin lebih bertanggung
jawab atas jabatan yang ia miliki. Masyarakat yang memiliki tingkat motif
rasional berorientasi nilai tinggi ini juga menyadari pentingnya partisipasi
masyarakat dalam pemilihan. Sumbangan satu suara yang diberikan kepada calon
pemimpin dapat mempengaruhi hasil pemilihan. Masyarakat beranggapan bahwa
satu suara tetap mampu berkontribusi menentukan siapa kandidat yang akan
terpilih pada pemilihan.
Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif
berorientasi nilai ini juga menyadari pentingnya memilih pemimpin yang tepat
dalam pemilihan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan
juga dilandasi oleh keinginan masyarakat untuk memilih pemimpin yang tepat
dalam pemilihan. Hak satu suara yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat
adalah kesempatan yang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Masyarakat yang
memiliki tingkat tinggi pada motif rasional berorientasi nilai ini mengaku bahwa
mereka mencari informasi terkait kandidat-kandidat dalam pemilihan sebelum
menentukan siapa yang akan dipilih. Beberapa masyarakat menyatakan bahwa
pencarian informasi ini dilakukan melalui media massa, seperti televisi atau
spanduk-spanduk.
57
Umumnya masyarakat melakukan pencarian informasi melalui lingkungan
sosial sekitar. Hal ini dilakukan melalui konsensus tidak tertulis. Biasanya
masyarakat berdiskusi dengan tetangga dan kerabat keluarga mengenai kandidatkandidat dalam pemilihan. Informasi kandidat-kandidat pemilihan yang
dikumpulkan dari lingkungan sosial masyarakat ini menunjukkan bahwa ikatan
sosial di dalam masyarakat masih kuat. Biasanya masyarakat memiliki “jagoan”
yang sudah disepakati bersama. Pihak yang menjadi “jagoan” masyarakat adalah
pihak yang pernah memberikan bantuan ke desa atau pihak yang melakukan
pendekatan-pendekatan khusus ke desa. Oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa nama “jagoan” masyarakat didapat dari pihak elit desa yang biasanya
berhubungan langsung dengan pihak-pihak luar desa. Walaupun secara umum
masyarakat memiliki “jagoan”, namun masing-masing masyarakat tetap memiliki
hak untuk menentukan siapa kandidat yang akan dipilihnya. Masyarakat yang
sudah mencari informasi terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan ini
menunjukkan bahwa masyarakat sudah melakukan persiapan sebelum memilih
agar tidak salah pilih.
Terkait dengan manfaat yang dirasakan dari pelaksanaan pemilihan,
beberapa masyarakat mengaku bahwa mereka tidak merasakan adanya manfaat
dari pelaksanaan pemilihan. Pelaksanaan serta hasil pemilihan yang dilakukan
oleh pemerintah tidak membawa perubahan atau manfaat kepada masyarakat.
Beberapa masyarakat justru mengaku bahwa terdapat perubahan yang dirasakan
dengan adanya pemilihan. Adanya pemilihan memberikan kesempatan kepada
masyarakat untuk memilih kandidat yang memiliki program-program yang baik.
Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah pelayanan rumah
sakit dan pelayanan sekolah. Masyarakat mengaku bahwa program Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) yang dimiliki oleh pemerintah cukup membantu
masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, pelayanan rumah
sakit yang diberikan untuk masyarakat juga berbeda tergantung pemimpinnya.
Masyarakat menyatakan bahwa manfaat-manfaat yang mereka terima dari
pelayanan umum bisa berbeda-beda tergantung pada pemerintahan siapa yang
sedang berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya serta manfaat
pelaksanaan pemilihan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan mampu
mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
Sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden memiliki tingkat
kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang rendah. Masyarakat yang
memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional berorientasi nilai
ini mengaku bahwa mereka menganggap pemilihan yang dilakukan oleh
pemerintah tidak penting untuk dilakukan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibu
MMH sebagai berikut:
“Sebaiknya pemimpin itu dipilih langsung dari pemerintah saja. Masyarakat
tidak perlu ikut menentukan pemimpin. Kalau dipilih oleh pemerintah,
pemimpin yang dipilih pasti yang bagus. Kalau dipilih oleh masyarakat,
masyarakat bisa salah pilih. Masyarakat kan tidak tahu pasti siapa calon
pemimpin yang baik. Daripada salah pilih, mendingan langsung dipilih dari
pemerintah saja.” (MMH, masyarakat desa)
Tidak pentingnya Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum yang
dilakukan oleh pemerintah juga terkait dengan manfaat yang tidak dirasakan oleh
58
masyarakat. Seluruh masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang
rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini menyatakan bahwa pemilihan
tidak memberikan manfaat dan pengaruh apapun terhadap kehidupan mereka.
Tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya pemilihan atau hasil
dari pemilihan. Selain itu, masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang
rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini biasanya tidak berusaha mencari
informasi yang terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan. Walaupun
mereka mengakui pentingnya mengetahui informasi-informasi terkait kandidat
dalam pemilihan, namun mereka cenderung tidak mencari informasi terkait
kandidat pemilihan. Mereka biasanya langsung menentukan kandidat yang akan
dipilih ketika sudah di Tempat Pemungutan Suara.
Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada tingkat kecenderungan motif
rasional berorientasi nilai antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Motif
rasional berorientasi nilai yang mendasari partisipasi politik masyarakat pada
pemilihan memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi, baik masyarakat pada
strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Walaupun begitu, jika
dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana
persentase responden strata atas yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi
pada motif rasional berorientasi nilai ini lebih banyak daripada strata bawah.
Sebanyak 90.48 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan
motif rasional berorientasi nilai yang tinggi, sedangkan responden strata bawah
yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi
sebanyak 87.18 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat
kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang berarti pada bentuk-bentuk
partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat
disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan
bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.
Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional berorientasi
nilai dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value
Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan
nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi sosial. Jika nilai
signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi
sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai dengan variabel
stratifikasi sosial adalah sebesar 0.710. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih
besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan
bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai
dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional
berorientasi nilai tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat.
Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional
berorientasi nilai yang melandasi partisipasi politik masyarakat.
59
Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif afektif yang menjadi dasar masyarakat dalam melakukan partisipasi
politik pada pemilihan terkait dengan emosi atau perasaan yang dimiliki oleh
masyarakat. Motif afektif yang dimiliki oleh masyarakat pada pemilihan terkait
dengan ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan, kedekatan
emosional antara masyarakat dengan kandidat dalam pemilihan, serta
kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Sebagian besar masyarakat
memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah dalam partisipasi
politik (Tabel 11).
Tabel 11 Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi
sosial
Tingkat kecenderungan motif afektif
Total
Strata
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
4
6.67
17
28.33
21
35.00
Bawah
5
8.33
34
56.67
39
65.00
Total
9
15.00
51
85.00
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.527
Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen (51 orang) responden
memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah. Ini menunjukkan
bahwa mayoritas masyarakat melakukan partisipasi politik pada pemilihan tidak
berdasarkan perasaan atau emosi yang besar terhadap politik. Rendahnya tingkat
kecenderungan pada motif menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki
ketertarikan untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Masyarakat yang tidak
merasakan ketertarikan ini adalah masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari
adanya pemilihan. Masyarakat juga menyatakan bahwa pemilihan yang dilakukan
pemerintah tidak dirasa penting. Hal ini juga terkait dengan tidak adanya manfaat
yang masyarakat rasakan sebagai akibat diadakannya pemilihan. Masyarakat
mengaku bahwa tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya
pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah. Hasil pemilihan pun tidak membawa
perubahan dan manfaat apapun pada masyarakat.
Rendahnya motif afektif yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat
untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini dapat menjawab tingginya angka golput
pada Pemilu/Pilkada. Dapat diasumsikan bahwa angka golput yang tinggi
berkorelasi dengan rendahnya tingkat afektif masyarakat terhadap pemilihan.
Masyarakat tidak merasakan pentingnya pelaksanaan pemilihan. Masyarakat pun
merasa tidak mendapatkan manfaat dari pelaksanaan pemilihan yang diadakan
oleh pemerintah.
Sebanyak 15 persen (9 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan
motif afektif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki
tingkat ketertarikan yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan didasari oleh
manfaat yang dapat diterima masyarakat. Manfaat langsung atau tidak langsung
yang diterima oleh masyarakat dari pemilihan atau hasil pemilihan memberikan
sikap positif masyarakat terhadap pemilihan. Hal ini juga dilandasi oleh anggapan
60
masyarakat yang menyatakan bahwa pemilihan penting untuk dilakukan.
Pentingnya pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat membuat masyarakat
bersedia untuk ikut serta dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan sikap positif
masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan.
Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif
afektif juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hubungan emosional yang
cukup baik dengan kandidat dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa kenal
atau tidaknya masyarakat dengan kandidat mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pemilihan. Kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat juga mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Kenal atau tidaknya masyarakat serta
kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap kandidat biasanya berasal
dari informasi yang diterima masyarakat tentang kandidat. Selain informasi
tersebut, masyarakat biasanya merasakan kedekatan dengan kandidat yang
sebelumnya sudah menjabat dalam pemilihan. Salah satu contohnya adalah kasus
yang terjadi ketika Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor. Masyarakat mengaku
bahwa masyarakat lebih merasakan kedekatan terhadap kandidat Bupati yang
merupakan Bupati pada periode sebelumnya. Hal ini kemudian mempengaruhi
partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
Umumnya masyarakat mengaku bahwa hasil pemilihan tidak mempengaruhi
kondisi kenyamanan dan keamanan desa. Tidak pernah ada konflik yang terjadi di
desa yang dikarenakan oleh hasil pemilihan. Pada umumnya hasil pemilihan
hanya menyebabkan desas-desus pada masyarakat. Desas-desus tersebut pun
biasanya hanya berkisar tentang siapa kandidat yang terpilih dan alasan dia
terpilih. Tidak ada desas-desus yang memicu konflik. Suasana pemilihan di Desa
Pancawati selalu kondusif. Suasana desa yang tidak dipengaruhi oleh hasil
pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki motif afektif yang
besar terhadap hasil pemilihan atau terhadap pemilihan itu sendiri.
Tidak ada perbedaan kecenderungan tingkatan motif afektif antara
masyarakat pada strata atas dan strata bawah. Mayoritas masyarakat memiliki
tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah, baik masyarakat pada strata atas
maupun strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing
strata, terdapat sedikit perbedaan dimana persentase responden strata atas yang
memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif afektif ini lebih banyak
daripada strata bawah. Sebanyak 19.05 persen responden strata atas memiliki
tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi, sedangkan responden strata
bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi sebanyak
12.82 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecenderungan
motif afektif yang berarti pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat
strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak
jauh antara masyarakat strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat
strata atas dan bawah tidak berbeda jauh.
Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank
Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif afektif dengan variabel
stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif afektif
dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05,
maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif afektif
dengan stratifikasi sosial.
61
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial adalah
sebesar 0.527. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p
value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat
korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi
atau rendahnya motif afektif tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial
masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan
motif afektif yang melandasi partisipasi politik masyarakat.
Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Motif tradisional pada partisipasi politik menunjukkan bahwa partisipasi
yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh kepatuhan masyarakat terhadap
tradisi dan adat-istiadat. Motif tradisional ini diukur dengan melihat tingkat
internalisasi masyarakat terhadap ajaran agama atau adat-istiadat yang dianut oleh
masyarakat, kesesuaian latar belakang agama atau suku kandidat dengan
masyarakat, dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh atau kelembagaan yang
berpengaruh dalam suatu budaya. Secara umum, sebagian besar masyarakat
memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi untuk berpartisipasi
pada pemilihan (Tabel 12).
Tabel 12 Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan
stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif tradisional
Total
Strata
Tinggi
Rendah
n
%
n
%
n
%
Atas
10
16.67
11
18.33
21
35.00
Bawah
22
36.67
17
28.33
39
65.00
Total
32
53.33
28
46.67
60
100.00
Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.523
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 53.33 persen (32 orang) responden
memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki motif tradisional yang
cukup besar dalam berpartisipasi pada saat pemilihan. Secara umum, masyarakat
akan memperhatikan agama atau suku kandidat. Masyarakat cenderung memilih
kandidat yang memiliki agama atau suku yang sama dengan dirinya. Masyarakat
menganggap bahwa agama kandidat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan
dalam memilih. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Bapak SMA sebagai berikut:
“Sebagai orang Islam, kita harus memilih pemimpin yang beragama Islam
juga. Etikanya kan seperti itu. Agama itu penting sebagai dasar pemimpin.”
(SMA, masyarakat desa)
Informasi mengenai agama kandidat dapat diketahui oleh masyarakat dari
media massa, seperti televisi. Pada umumnya, kandidat yang mencalonkan diri di
Indonesia beragama Islam. Hal ini sejalan dengan masyarakat Desa Pancawati
62
yang mayoritas (99.88 persen) beragama Islam, sehingga terkadang masyarakat
merasa tidak perlu mencari tahu informasi agama kandidat karena masyarakat
sudah yakin bahwa kandidat-kandidat yang mencalonkan diri beragama Islam.
Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif
tradisional ini mengaku bahwa tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa ikut
mempengaruhi partisipasi masyarakat. Beberapa masyarakat yang memiliki
tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi adalah masyarakat yang
memiliki hubungan dekat dengan kelembagaan atau tokoh berpengaruh di desa.
Tokoh berpengaruh tersebut adalah pihak-pihak elit desa, seperti Kepala Desa,
Ketua RW, Ketua RT, kader PKK, dan aparat desa lainnya. Kelembagaan yang
berpengaruh di desa adalah pemerintahan desa dan kelembagaan-kelembagaan
yang berada di bawah kontrol pemerintahan desa, seperti PKK. Oleh karena itu,
masyarakat yang dipengaruhi oleh tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa
adalah pihak-pihak yang memang bertugas di kelembagaan pemerintahan desa
serta pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan dengan aparat desa.
Beberapa masyarakat mengaku bahwa pengaruh yang diberikan tokoh atau
kelembagaan berpengaruh tidaklah besar. Biasanya partisipasi masyarakat dalam
pemilihan dipengaruhi oleh pemerintah desa dan aparatnya karena pihak-pihak
tersebutlah yang memberikan undangan ke rumah-rumah masyarakat. Partisipasi
masyarakat dalam pemilihan juga sedikit dipengaruhi oleh pemerintah dan
aparatnya karena hal itu merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap
pemerintahan desa.
Sebanyak 46.67 persen (28 orang) responden memiliki tingkat
kecenderungan motif tradisional yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat
kecenderungan motif tradisional yang rendah adalah masyarakat yang tidak
mempermasalahkan agama atau suku kandidat dalam pemilihan. Kandidat
beragama atau bersuku apapun bukanlah masalah. Masyarakat lebih
mengutamakan nilai-nilai pribadi yang dimiliki oleh kandidat. Masyarakat juga
mengaku bahwa pemerintah desa tidak mempengaruhi partisipasi masyarakat
dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan
oleh masyarakat dalam pemilihan tidak didasari oleh motif tradisional.
Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif
tradisional didominasi oleh masyarakat strata atas. Hal ini menunjukkan bahwa
nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat strata atas sudah mulai pudar.
Nilai-nilai tradisional tersebut terkait dengan sejauh mana nilai-nilai agama atau
suku terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sementara itu,
tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi didominasi oleh masyarakat
strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional cenderung
melekat pada masyarakat strata bawah daripada masyarakat strata atas.
Perbedaan kecenderungan antara masyarakat strata atas dan masyarakat
strata bawah tidak berbeda jauh, yaitu sebanyak 52.38 persen responden strata atas
memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah dan sebanyak
56.41 persen responden strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif
tradisional yang tinggi. Walaupun terdapat perbedaan kecenderungan tingkat
motif antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah, namun hasil ini
tidak menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motif tradisional dengan
stratifikasi sosial pada masyarakat.
63
Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji
hubungan antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial
responden terdapat pada Lampiran 4. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed))
> 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara
motif tradisional dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara
motif tradisional dengan stratifikasi sosial.
Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka
korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial adalah
sebesar 0.523. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p
value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat
korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi
atau rendahnya motif tradisional tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi
sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan
dengan motif tradisional yang melandasi partisipasi politik masyarakat.
Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan
Stratifikasi Sosial
Tabel 13 menunjukkan tingkat kecenderungan motif yang dominan pada
masing-masing motif partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel
13 terlihat bahwa motif partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan memiliki
tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif rasional berorientasi nilai, baik
pada masyarakat strata atas maupun strata bawah. Selain itu, tingkat
kecenderungan yang tinggi juga terlihat pada motif tradisional yang dimiliki oleh
masyarakat strata bawah. Motif-motif partisipasi politik lainnya, yaitu motif
rasional instrumental pada masyarakat strata atas dan bawah, motif afektif pada
masyarakat strata atas dan bawah, serta motif tradisional pada masyarakat bawah
cenderung rendah. Tidak terdapat perbedaan perbedaan motif partisipasi politik
antara masyarakat strata atas dan strata bawah.
Tabel 13. Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat
berdasarkan stratifikasi sosial
Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik
Rasional
Strata
Rasional
berorientasi
Afektif
Tradisional
instrumental
nilai
Atas
Rendah
Tinggi
Rendah
Rendah
Bawah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional instrumental
menunjukkan bahwa masyarakat mengaku bahwa bantuan-bantuan yang diberikan
kandidat tidak dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan.
Bantuan yang diberikan kandidat biasanya berupa bantuan untuk saran dan
prasarana umum di desa. Bantuan untuk sarana dan prasarana umum desa yang
biasanya diberikan kandidat tidak mempengaruhi partisipasi politik masyarakat.
64
Tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh
masyarakat cenderung tinggi, baik masyarakat strata atas dan masyarakat strata
bawah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah memahami pentingnya
pelaksanaan pemilihan dan pentingnya partisipasi setiap masyarakat dalam
pemilihan dalam memilih pemimpin yang tepat. Masyarakat mengaku bahwa
sebaiknya pemilihan pemimpin memang dilakukan melalui pemilihan umum atau
pemilihan kepala daerah agar masyarakat mengetahui pemimpinnya. Masyarakat
juga dapat memberikan kontribusi suara atau pendapatnya dalam memilih pihak
yang akan memimpinnya.
Motif afektif terkait dengan tindakan partisipasi politik masyarakat yang
dilandasi oleh motif emosi atau perasaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan sikap
masyarakat terhadap pemilihan. Rendahnya tingkat kecenderungan motif afektif
pada masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat
berpartisipasi dalam pemilihan bukan dikarenakan oleh sikap positif atau emosi
positif mereka terhadap pemilihan. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat tidak
mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan.
Motif tradisional adalah satu-satunya motif yang memiliki kecenderungan
yang berbeda antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah.
Masyarakat strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang
rendah. Rendahnya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat pada
strata atas cenderung tidak dipengaruhi oleh agama atau suku kandidat serta tidak
dipengaruhi oleh kelembagaan dan tokoh berpengaruh dalam melakukan
partisipasi politik. Hal ini berbeda dengan masyarakat strata bawah. Masyarakat
strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi.
Tingginya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup
mempertimbangkan latar belakang agama dan suku kandidat dalam pemilihan.
Masyarakat cenderung menggunakan hak pilihnya untuk kandidat yang seagama
dengannya. Tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi ini juga
menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga dipengaruhi
oleh pihak-pihak yang berpengaruh. Pihak yang berpengaruh dalam hal ini adalah
aparat desa yang mengundang masyarakat untuk mengikuti pemilihan.
Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial yang dimiliki oleh masyarakat
tidak berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh
motif tindakan sosial, kecuali motif tradisional. Walaupun terdapat perbedaan
tingkat kecenderungan motif tradisional antara masyarakat strata atas dan strata
bawah, namun perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa stratifikasi sosial
berhubungan motif tradisional. Tidak adanya perbedaan tingkat kecenderungan
motif yang berarti antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan
oleh kesenjangan antara masyarakat strata atas dan strata bawah yang tidak jauh.
Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Tidak
adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif ini juga dapat disebabkan oleh
kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Tidak
adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif partisipasi politik antara
masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak
berhubungan dengan motif tindakan sosial masyarakat dalam berpartisipasi pada
pemilihan.
PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL
TERHADAP PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK
BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL
Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik dilandasi oleh motif-motif tindakan
sosial yang berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari setiap bentuk partisipasi
politik dilakukan oleh peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan kepada
responden dan informan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan motif-motif tindakan sosial yang melandasi bentuk partisipasi
politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal
ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata
atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak
berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan motif-motif ini juga dapat
disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh
peneliti.
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan Hak Pilih
Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih adalah bentuk partisipasi
politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi di antara bentuk-bentuk
partisipasi politik lainnya. Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat
dalam menggunakan hak pilihnya tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan
strata bawah. Secara umum, motif yang mendominasi dalam mendorong
masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya adalah motif rasional berorientasi
nilai. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak
pilihnya didasari adanya kesadaran oleh masyarakat untuk terlibat dalam
pemilihan. Partisipasi ini juga terkait dengan nilai-nilai demokrasi yang dimiliki
oleh masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa hak mereka dalam menggunakan
hak suaranya juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Hal ini
mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan dalam menggunakan
hak pilihnya.
Motif tradisional adalah motif lainnya yang mendasari partisipasi politik
masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Motif tradisional ini tidak memiliki
pengaruh sebesar motif rasional berorientasi nilai, namun motif ini cukup
berkontribusi dalam menjadi dasar bagi masyarakat untuk menggunakan hak
pilihnya. Motif tradisional yang mendasari masyarakat untuk menggunakan hak
pilihnya terkait dengan lembaga yang berpengaruh di masyarakat. Dalam hal ini,
lembaga tersebut adalah pemerintah desa, termasuk di dalamnya aparat desa,
Ketua RW, dan Ketua RT. Ketua RT dan Ketua RW yang biasanya berperan
sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bertugas untuk
membagikan undangan pemilihan kepada masyarakat. Pihak yang berperan
membagikan undangan ini cukup mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi
menggunakan hak pilihnya. Masyarakat merasa bahwa memenuhi undangan ini
juga merupakan bentuk kepatuhan masyarakat kepada aturan desa.
Motif tradisional juga mempengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih
kandidat. Motif tradisional yang mendasari masyarakat dalam memilih ini berarti
66
masyarakat cenderung memilih kandidat yang memiliki agama atau suku yang
sama dengan dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan responden bahwa masyarakat
perlu mengetahui latar belakang kandidat, termasuk latar belakang agama atau
suku kandidat. Informasi yang didapatkan oleh masyarakat terkait dengan latar
belakang kandidat ini kemudian mempengaruhi masyarakat dalam memilih
kandidat.
Tidak hanya motif tradisional, motif rasional instrumental juga menjadi
dasar bagi masyarakat dalam memilih kandidat. Masyarakat mengaku bahwa
masyarakat cenderung memilih kandidat yang pernah atau sudah memberikan
bantuan. Bantuan yang dimaksud di sini bukanlah bantuan yang diberikan
kandidat kepada masing-masing rumah tangga masyarakat. Bantuan yang
biasanya diberikan oleh kandidat adalah bantuan untuk sarana dan prasarana
umum desa. Bantuan sarana dan prasarana umum ini cukup mempengaruhi siapa
kandidat yang dipilih oleh masyarakat dalam pemilihan.
Motif afektif juga menjadi landasan bagi masyarakat dalam memilih
kandidat dalam pemilihan. Masyarakat cenderung memilih kandidat yang sudah
dikenalnya. Pada kasus Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013, masyarakat
cenderung memilih kandidat yang sebelumnya pernah menjadi Bupati Kabupaten
Bogor. Masyarakat merasa bahwa sebaiknya memilih kandidat yang sudah
dikenalnya. Selain itu, kinerja dari Bupati Kabupaten Bogor sebelumnya juga
dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Motif afektif ini juga terkait dengan
manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat yang merasakan manfaat
dari adanya pemilihan akan cenderung berpartisipasi dalam menggunakan hak
pilihnya.
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Kampanye
Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak
berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Bentuk partisipasi politik
dalam kampanye cenderung didasari oleh motif rasional instrumental. Kampanye
masyarakat yang dilandasi oleh motif ini menunjukkan bahwa alasan kampanye
yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan pencapaian materi. Kampanye
yang diikuti oleh masyarakat memberikan insentif bagi masyarakat. Hal inilah
yang mendorong masyarakat untuk mengikuti kampanye. Pekerjaan masyarakat
yang tidak tetap pun mendukung mereka untuk berpartisipasi dalam kampanye.
Waktu kerja yang tidak tetap membuat mereka sangat berkesempatan untuk
mengikuti kampanye.
Salah satu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk ikut melakukan
kampanye adalah jaringan. Kampanye oleh kandidat tidak pernah dilakukan di
tingkat desa. Kampanye biasanya dilakukan di tingkat kecamatan. Oleh karena itu,
masyarakat perlu jaringan di tingkat kecamatan atau jaringan yang terkait dengan
kandidat pemilihan untuk mengikuti kampanye. Beberapa masyarakat mengaku
bahwa jika mereka memiliki jaringan dengan kandidat terkait dan berkesempatan
untuk melakukan kampanye, mereka akan mengikuti kampanye. Hal ini
dikarenakan kampanye yang dilakukan oleh masyarakat memberikan insentif bagi
mereka. Masyarakat mengakui bahwa mengikuti kampanye bisa menjadi salah
satu bentuk cara untuk mendapatkan pendapatan.
67
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia
Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara
(KPPS)
Masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan, baik
Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS, adalah masyarakat
yang merupakan aparat desa, elit desa, atau pihak-pihak terkait. Proses memilih
panitia pemilihan dilakukan melalui diskusi yang diisi oleh aparat pemerintah
desa. Pihak-pihak yang dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan
biasanya adalah Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Pihak-pihak tersebut
dipilih langsung oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan. Oleh karena
itu, motif yang dimiliki oleh pihak-pihak tersebut untuk menjadi panitia
pemilihan adalah rasional berorientasi nilai.
Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh Ketua RT, Ketua RW,
serta kader PKK, menunjukkan bahwa partisipasi sebagai panitia pemilihan yang
dilakukan oleh mereka adalah sebagai bentuk kewajiban yang perlu dilakukan.
Kepercayaan yang diberikan untuk menjadi panitia pemilihan ini sama seperti
bentuk kepercayaan yang diberikan aparat desa kepada mereka untuk menjadi
Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Motif rasional berorientasi nilai juga
menunjukkan bahwa Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang ikut sebagai
panitia pemilihan ini menganggap bahwa kesediaan untuk menjadi panitia
pemilihan bertujuan untuk membantu aparat desa dalam menjalankan pemilihan di
desa.
Berbeda dengan Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang langsung
dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan, masyarakat yang
menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan oleh aparat
dan elit desa. Rekomendasi tersebut biasanya dilandasi oleh pekerjaan masyarakat
serta kepercayaan aparat dan elit desa terhadap masyarakat. Masyarakat yang
direkomendasikan biasanya adalah masyarakat yang berprofesi sebagai guru serta
orang-orang kepercayaan aparat dan elit desa. Hal ini terkait dengan pentingnya
peran yang dijalankan oleh panitia pemilihan. Masyarakat yang direkomendasikan
oleh masing-masing aparat desa dan elit desa tersebut kemudian didiskusikan lagi
oleh aparat desa untuk dipilih menjadi panitia pemilihan.
Tidak berbeda dengan motif Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK,
masyarakat yang menjadi panitia pemilihan juga memiliki motif rasional
berorientasi nilai. Motif ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata
bawah. Hal ini juga terkait dengan alasan kepercayaan yang sudah diberikan
aparat desa untuk masyarakat. Masyarakat yang sudah dipercaya untuk menjadi
panitia pemilihan merasa perlu ikut terlibat dalam menjalankan pemilihan. Selain
itu, masyarakat juga berniat untuk membantu pihak aparat desa untuk
menjalankan pemilihan. Kesempatan untuk menjadi panitia pemilihan ini dapat
menjadi peluang bagi masyarakat untuk terlibat lebih jauh dalam pemilihan, tidak
hanya berpartisipasi dalam menggunakan hak suaranya.
68
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Mempersuasi
Pihak Lain untuk Berpartisipasi
Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain pada umumnya dilakukan oleh
masyarakat dalam bentuk mempersuasi kerabat atau tetangga untuk menggunakan
hak suaranya. Motif yang biasanya dimiliki oleh masyarakat dalam mempersuasi
pihak lain untuk menggunakan hak suaranya adalah afektif. Motif afektif yang
mendasari partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah.
Masyarakat mengaku bahwa persuasi yang mereka lakukan sebelum ke Tempat
Pemungutan Suara (TPS) dilakukan agar mereka memiliki teman diskusi sebelum
memilih. Beberapa masyarakat juga mengaku bahwa mereka mengajak teman ke
TPS karena mereka merasa takut kalau pergi sendirian ke TPS.
Mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan
juga terkait dengan tugas yang dimiliki oleh panitia pemilihan, baik Panitia
Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS. Mengajak masyarakat untuk
menggunakan hak suaranya adalah bagian dari kewajiban panitia pemilihan. Hal
ini menunjukkan bahwa motif yang mendasari pantia pemilihan dalam mengajak
masyarakat untuk menggunakan hak suaranya terkait dengan motif rasional
instrumental. Motif rasional instrumental di sini berarti bahwa ajakan panitia
pemilihan tersebut terkait dengan efektifitas pencapaian tujuan. Tujuan yang
dimaksud di sini adalah tujuan secara umum dari pemilihan, yaitu agar partisipasi
jumlah masyarakat yang menggunakan hak suaranya dapat dimaksimalkan.
Persuasi ini tidak hanya dilakukan melalui surat undangan secara resmi, tetapi
juga melalui persuasi-persuasi lisan.
Motif afektif ini juga dilakukan oleh pihak-pihak yang mempersuasi pihak
lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang mengikuti
proses penghitungan suara cenderung mempersuasi pihak lain untuk juga
mengikuti proses penghitungan suara agar ada teman diskusi ketika menyaksikan
proses penghitungan suara. Hal ini jarang dilakukan karena pada umumnya yang
mengikuti proses penghitungan suara adalah pria, sedangkan masyarakat yang
sering mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan adalah
perempuan, terutama dalam kasus mempersuasi pihak lain untuk menggunakan
hak suaranya.
Mempersuasi pihak lain untuk menjadi panitia pemilihan hanya bisa
dilakukan oleh pihak-pihak yang merupakan aparat atau elit desa. Pada umumnya,
persuasi tersebut dilakukan untuk melengkapi jumlah panitia pemilihan yang
dibutuhkan. Oleh karena itu, persuasi yang dilakukan oleh aparat desa dalam
mengajak pihak lain agar menjadi panitia pemilihan termasuk ke dalam motif
rasional instrumental. Hal ini dikarenakan motif persuasi tersebut terkait dengan
efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan dalam memenuhi kebutuhan kuantitas
panitia pemilihan.
69
Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses
Penghitungan Suara
Motif yang dimiliki masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara
adalah motif rasional berorientasi nilai, baik pada masyarakat strata atas maupun
strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh
masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara dilandasi oleh nilai-nilai
yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat merasa perlu untuk mengetahui dan
menyaksikan proses penghitungan suara agar mengetahui siapa kandidat yang
terpilih dalam pemilihan. Walaupun informasi mengenai kandidat yang terpilih
dalam pemilihan dapat diketahui dari tetangga sekitar atau dari Ketua RT secara
langsung tanpa mengikuti proses penghitungan suara, namun beberapa masyarakat
merasa perlu mengikuti proses penghitungan suara untuk menyaksikan proses
terpilihnya kandidat.
Pihak yang berpartisipasi dalam proses penghitungan suara tidak hanya
dilakukan oleh masyarakat secara umum, tetapi juga dilakukan oleh pihak-pihak
yang menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara
Pemungutan Suara (KPPS). Panitia pemilihan secara otomatis pasti mengikuti
proses penghitungan suara. Hal ini termasuk bagian dari kewajiban mereka
sebagai panitia pemilihan untuk terlibat langsung dalam proses penghitungan
suara. Hal ini menunjukkan bahwa motif yang dimiliki panitia pemilihan untuk
mengikuti proses penghitungan suara terkait dengan motif rasional berorientasi
nilai.
Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh panitia pemilihan
menunjukkan bahwa partisipasi panitia pemilihan dalam proses penghitungan
suara masih terkait dengan kewajibannya sebagai panitia pemilihan. Mengikuti
proses penghitungan suara termasuk bagian dari tugas panitia pemilihan. Hal ini
juga masih terkait dengan tujuan panitia pemilihan yang ingin membantu pihak
aparat desa dalam menjalankan pemilihan.
Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk Partisipasi
Politik
Tingkat motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk
partisipasi politik pada pemilihan dapat diidentifikasi. Identifikasi ini pun dapat
mengarahkan pada tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada
setiap bentuk partisipasi politik (Tabel 14). Analisis motif pada bentuk-bentuk
partisipasi politik ini tidak dijelaskan pada masing-masing strata karena tidak ada
perbedaan motif dan bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan
masyarakat strata bawah.
70
Tabel 14 Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk
partisipasi politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik
Motif tindakan
Persuasi
Proses
Penggunaan
Panitia
sosial
Kampanye
pihak
penghitungan
hak pilih
pemilihan
lain
suara
Rasional
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
instrumental
Rasional
Tinggi
Rendah
Tinggi
Rendah
Tinggi
berorientasi
nilai
Afektif
Rendah
Rendah
Rendah
Tinggi
Rendah
Tradisional
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
Kecenderungan
tingkat
Tinggi
Rendah
Rendah
Rendah
Rendah
partisipasi
Secara umum, bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi
paling tinggi adalah penggunaan hak pilih. Tingginya tingkat partisipasi
masyarakat dalam menggunakan hak pilih dilandasi oleh tingginya motif rasional
instrumental nilai dan motif tradisional yang dimiliki masyarakat. Tingginya motif
rasional instrumental terbukti dari adanya kesadaran masyarakat untuk terlibat
dalam pemilihan. Budaya demokrasi yang diusung oleh pemerintah terlihat sudah
melekat pada masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa menggunakan hak pilih
dalam pemilihan adalah kewajiban sekaligus hak yang perlu dilakukan untuk
negara.
Selain motif rasional berorientasi nilai, motif tradisional pada bentuk
partisipasi politik penggunaan hak pilih juga tinggi. Hal ini terkait dengan
bagaimana masyarakat menentukan pilihannya dalam pemilihan. Secara umum,
masyarakat cenderung memperhatikan agama atau suku kandidat dalam
menentukan pilihan. Motif tradisional ini pun terkait dengan berpengaruhnya
tokoh atau kelembagaan di desa dalam mendukung masyarakat untuk
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan.
Motif yang mendominasi pada bentuk partisipasi politik kampanye adalah
motif rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
dalam kampanye terkait dengan motif ekonomi. Masyarakat yang mengikuti
kampanye adalah masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan insentif
daripada mendukung kandidat.
Bentuk partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan dilandasi
oleh motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini terkait dengan motif yang
dimiliki oleh aparat desa dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan tugas sebagai
KPPS dan PPS. Partisipasi sebagai panitia pemilihan dianggap sebagai salah satu
kewajiban yang perlu dilakukan sebagai pihak aparat pemerintah desa. Kewajiban
ini juga terkait dengan nilai yang dimiliki oleh aparat desa untuk menjalankan
pesta demokrasi di Indonesia.
Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik
mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi adalah motif rasional instrumental
dan motif afektif. Tingginya motif rasional instrumental pada bentuk partisipasi
71
politik ini terjadi pada persuasi yang dilakukan oleh panitia pemilihan kepada
masyarakat untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan
suara. Persuasi ini dilakukan atas dasar mengajak masyarakat untuk terlibat dalam
pemilihan. Hal ini terkait dengan usaha pencapaian target jumlah masyarakat yang
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan.
Motif afektif pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain terjadi
pada persuasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada kerabat atau tetangganya
untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi
ini dilakukan oleh masyarakat agar ada teman diskusi ketika menuju TPS atau
ketika mengikuti proses penghitungan suara. Beberapa masyarakat mengaku
merasa takut jika harus ke TPS sendirian.
Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik
dalam mengikuti proses perhitungan suara adalah motif rasional berorientasi nilai.
Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi dalam mengikuti proses penghitungan
suara dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi pada masyarakat untuk terlibat dalam
proses pemilihan. Motif ini sama dengan motif rasional berorientasi nilai yang
dimiliki masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya.
Secara umum, tidak ada perbedaan motif-motif tindakan sosial dan
perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan
strata bawah. Stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan motif-motif tindakan
sosial pada partisipasi politik, bentuk-bentuk partisipasi politik, serta pengaruh
motif terhadap bentuk-bentuk partisipasi politik. Perbedaan kecenderungan motif
tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik terlihat pada pihak-pihak
yang menjadi aktor atau elit desa. Tidak adanya perbedaan antara strata atas dan
strata bawah ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara
masyarakat strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata
atas dan bawah tidak berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan ini juga
dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang
digunakan oleh peneliti.
72
PENUTUP
Simpulan
Terdapat lima bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh
masyarakat dalam pemilihan, yaitu partisipasi dalam menggunakan hak pilih,
mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk
berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat memiliki
tingkat partisipasi paling tinggi pada bentuk partisipasi dalam menggunakan hak
pilih. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi lainnya cenderung
rendah. Hal ini terjadi pada strata atas dan bawah pada masyarakat. Tidak ada
perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik dan perbedaan tingkat partisipasi pada
bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat strata atas dan strata bawah.
Motif-motif tindakan sosial yang dapat mendasari bentuk-bentuk partisipasi
politik adalah motif rasional instrumental, motif rasional berorientasi nilai, motif
afektif, dan motif tradisional. Motif pada partisipasi politik yang memiliki tingkat
kecenderungan paling tinggi adalah motif rasional berorientasi nilai. Tingginya
tingkat kecenderungan pada motif rasional berorientasi nilai ini terjadi pada
masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. Hal ini menunjukkan nilai
demokrasi yang sudah mulai melekat pada masyarakat. Selain itu, motif pada
partisipasi politik yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi adalah motif
tradisional pada masyarakat strata bawah. Berbeda dengan masyarakat strata
bawah, motif tradisional pada masyarakat strata atas memiliki tingkat
kecenderungan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai
tradisional yang dipatuhi oleh masyarakat dalam melakukan partisipasi politik.
Motif-motif lainnya, yaitu motif rasional instrumental dan motif afektif,
pada partisipasi politik masyarakat cenderung rendah, baik masyarakat strata atas
maupun strata bawah. Motif rasional instrumental yang rendah menunjukkan
bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan
pencapaian nilai-nilai ekonomi. Motif afektif yang rendah menunjukkan bahwa
partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan perasaan
atau emosi masyarakat. Secara umum, tidak ada perbedaan tingkat kecenderungan
motif tindakan sosial pada partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan
strata bawah.
Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik memiliki kecenderungan motif yang
berbeda. Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, menjadi
panitia pemilihan, dan mengikuti proses penghitungan suara cenderung didukung
oleh motif rasional berorientasi nilai. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk
partisipasi politik tersebut dilakukan atas dasar nilai demokrasi yang sudah mulai
melekat pada masyarakat. Masyarakat menggunakan hak pilihnya karena
kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Begitu juga partisipasi
masyarakat dalam proses penghitungan suara. Partisipasi masyarakat sebagai
panitia pemilihan yang pada umumnya dilakukan oleh elit-elit desa pun dilakukan
sebagai salah satu kewajiban yang terkait dengan peran elit desa serta niat untuk
membantu pihak pemerintah desa dalam menjalankan pemilihan di desa.
Bentuk partisipasi politik dalam kampanye cenderung didorong oleh motif
rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang mengikuti
74
kampanye cenderung dilandasi oleh motif pencapaian nilai-nilai ekonomi. Hal ini
terkait dengan insentif yang didapat masyarakat jika mengikuti kampanye.
Berbeda dengan bentuk partisipasi dalam kampanye, bentuk partisipasi
masyarakat dalam mempersuasi pihak lain cenderung dilandasi oleh motif afektif.
Persuasi yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah persuasi untuk
mengikuti pemilihan. Hal ini dilakukan karena masyarakat cenderung takut untuk
pergi ke TPS sendirian. Hal inilah yang terkait dengan motif afektif masyarakat
dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi.
Saran
Dominasi motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh masyarakat
untuk terlibat dalam pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki
nilai-nilai demokrasi. Pemerintah perlu memperkuat nilai-nilai ini dalam
masyarakat agar tingkat partisipasi masyarakat semakin tinggi untuk terlibat
dalam pemilihan. Penguatan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat ini dapat
dilakukan dengan melakukan sosialisasi pada tingkat keluarga. Sosialisasi dan
penguatan nilai di tingkat keluarga ini selanjutnya dapat meminimalisasi politik
transaksional yang terkait dengan motif-motif ekonomi masyarakat untuk
berpartisipasi pada pemilihan sehingga tercipta Pemilu/Pilkada yang jujur dan
adil. Penguatan nilai ini juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
pemilihan dan mengurangi angka golput.
Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah perlu melibatkan aktor-aktor
desa, seperti aktor adat dan aktor agama. Hal ini terkait dengan masih kuatnya
nilai-nilai tradisional dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam
pemilihan, terutama pada masyarakat strata bawah. Kuatnya pengaruh aktor-aktor
desa ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim (2013)
mengenai kuatnya pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal pada
masyarakat pedesaan. Pemimpin-pemimpin lokal perlu menjadi pihak yang ikut
mengawal proses pemilihan secara independent (bebas), tanpa berpihak kepada
siapapun.
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat
menambah pengetahuan masyarakat mengenai motif-motif yang mendasari
partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan
Kepala Daerah berdasarkan stratifikasi sosial. Peneliti menyadari keterbatasan dan
kekurangan pada penelitian ini, baik dari segi metode penelitian maupun analisis
yang dilakukan terhadap fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian yang lebih menyeluruh dan lebih mendalam untuk meneliti bagaimana
motif-motif tindakan sosial mendasari partisipasi politik masyarakat pada
pemilihan.
DAFTAR PUSTAKA
Bawono M. 2008. Persepsi dan perilaku pemilih terhadap partisipasi politik dalam
pemilihan umum legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk. M’Power.
[Internet]. [dikutip 11 Maret 2013]. 8 (8): 1-17. Dapat diunduh dari:
http://pppm.pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/MuhammadBawono.pdf
Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam
kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung
Halimun (Studi kasus di Kampung Ciear, Desa Cisarua, Resort Cigudeg).
[skripsi]. [Internet]. [dikutip 20 Mei 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor.
Dapat
diunduh
dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/E00ABA1.pd
f
Bungin MB. 2006. Sosiologi komunikasi: Teori, paradigma, dan diskursus
teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media
Group. 395 hal.
Fenyapwain MM. 2013. Pengaruh iklan politik dalam Pemilukada Minahasa
terhadap partisipasi pemilih pemula di Desa Tounelet. Acta Diurna.
[Internet]. [dikutip 15 April 2013]. I (1). Dapat diunduh dari:
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/975/790
Gama B, Widarwati NT. 2008. Hubungan antara kampanye kandidat kepala
daerah dan perilaku pemilih partisipasi politik wanita: Studi pada ibu-ibu
rumah tangga dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kabupaten
Sukoharjo. Scriptura. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. 2 (1): 63-80. Dapat
diunduh dari:http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/
Hill R. 1998. What sample size is “enough” in internet survey research?. IPCTJournal. [Internet]. [dikutip 29 Januari 2014]. 6 (3-4). Dapat diunduh dari:
http://www.reconstrue.co.nz/IPCTJ%20Vol%206%20Robin%20hill%20SampleSize.pdf
Lindiasari E. 2008. Analisis kemiskinan di tingkat rumah tangga di Kabupaten
Bogor. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 8 September 2013]. Bogor [ID]: Institut
Pertanian
Bogor.
Dapat
diunduh
dari:
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1813/A08eli_abstrac
t.pdf;jsessionid=75D3921A3944757726ACA97F041B0A96?sequence=1
Mustaqim MR. 2013. Pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal
berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan. [skripsi]. Bogor [ID]:
Institut Pertanian Bogor. 68 hal.
Parsons T. 1940. An analytical approach to the theory of social.The American
Journal of Sociology. [Internet]. [dikutip 17 Mei 2013]. 45 (6): 841-862.
Dapat
diunduh
dari:
http://docenti.unimc.it/docenti/monicaraiteri/2009/sociologia-e-politiche-del-controllosociale-20093/stratificazione-sociale/parsons-sulla-stratificazionesociale/at_download/file
Sari DM. 2007. Dinamika politik dan kepemimpinan lokal pedesaan Jawa: Studi
kasus Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi
76
Daerah Istimewa Yogyakarta. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian
Bogor. 168 hal.
Sastroatmodjo S. 1995. Perilaku politik. Semarang [ID]: IKIP Semarang Press.
252 hal.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES.
334 hal.
Soebagio H. 2008. Implikasi golongan putih dalam perspektif pembangunan
demokrasi di Indonesia. Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip 11
Maret
2013].
12
(2):
82-86.
Dapat
diunduh
dari:
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/8141c4beae79dde4e73aa111d63
fbfd369e0bc4d.pdf
Tarigan M. 2009. Partisipasi politik masyarakat Kabupaten Temanggung dalam
pelaksanaan Pilkada tahun 2008. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013].
Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. Dapat diunduh dari:
http://eprints.undip.ac.id/18117/1/MARLINI_TARIGAN.pdf
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 10 Januari 2014].
Dapat
diunduh
dari:
http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view=
category&download=1127:uuno15th2011&id=23:tahun-2011&Itemid=27
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 22 April 2013]. Dapat
diunduh dari: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_No.22.pdf
[UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah. [Internet]. [dikutip 17 Juni 2013]. Dapat diunduh dari:
http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%2520Dae
rah.pdf
Wahyudi B. 2007. Partisipasi politik elit politik perempuan Kota Semarang dalam
Pemilu tahun 2004. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 15 April 2013]. Semarang
[ID]: Universitas Negeri Semarang. 90 hal. Dapat diunduh dari:
http://lib.unnes.ac.id/3756/1/2054a.pdf
Weber M. 1992. Etika Protestan dan spirit kapitalisme. (Alih bahasa dari bahasa
Inggris oleh Utomo TW dan Sudiarja YP). Yogyakarta [ID]: Pustaka
Pelajar. 418 hal. [Judul asli: The Protestant ethic spirit of capitalism].
Zainuri M. 2007. Partisipasi politik perempuan: Perspektif tradisi Islam lokal
Kudus. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. Semarang [ID]:
Universitas
Diponegoro.
187
hal.
Dapat
diunduh
dari:
http://eprints.undip.ac.id/18065/1/M._ZAINURI.pdf
LAMPIRAN
Lampiran 1 Denah lokasi penelitian
78
Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian
Jadwal Pelaksanaan Penelitian
Kegiatan
Penyusunan
proposal
skripsi
Kolokium
Perbaikan
proposal
skripsi
Pengambilan
data
lapangan
Pengolahan
dan analisis
data
Penulisan
draft skripsi
Sidang
skripsi
Perbaikan
skripsi
Juni
September
Oktober
November Desember
Januari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
79
Lampiran 3 Daftar nama responden penelitian
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
Nama
DDM
RN
UK
DWP
PT
TTN
EKL
MMH
YSY
YT
MMS
YYN
EK
BT
STM
MS
AR
SFD
ZBD
UJK
AP
IY
MSN
IA
AA
SNH
ARY
ASY
AMA
DSA
OCH
DH
NMI
SRD
RHY
IMS
EH
Kampung
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Leuweung Larangan
Lemah Neundeut
Lemah Neundeut
Lemah Neundeut
Lemah Neundeut
Pasir Kuda
Pasir Kuda
Pasir Kuda
Pasir Kuda
Pasir Kuda
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Ciherang Satim
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
Pasir Tengah
RT
1
1
3
4
4
1
2
2
2
3
2
2
2
3
1
1
1
4
7
1
2
2
3
1
1
2
2
2
2
2
2
2
1
2
2
3
4
RW
1
1
1
1
1
2
2
2
2
2
3
3
3
3
4
4
4
4
4
5
5
5
5
6
6
6
6
6
7
7
7
7
8
8
8
8
8
80
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
IDP
SYH
APN
DD
SI
ACN
ISH
PPT
RST
SGD
DH
NHN
MMN
YT
SPR
JL
ASY
SDN
JHR
UJH
RSA
TBY
MHN
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Legok Nyenang
Cipare
Cipare
Cipare
Cipare
Cipare
Pancawati
Pancawati
Pancawati
Pancawati
1
1
2
4
4
2
2
3
3
4
2
2
3
3
1
1
2
2
3
1
1
2
2
9
9
9
9
9
10
10
10
10
10
11
11
11
11
12
12
12
12
12
13
13
13
13
81
Lampiran 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk
partisipasi responden dalam menggunakan hak pilih
Correlations
Bentuk
Partisipasi
Penggunaan
Hak Pilih
Spearman's rho
Bentuk Partisipasi
Penggunaan Hak Pilih
Correlation Coefficient
1.000
.159
.
.224
60
60
Correlation Coefficient
.159
1.000
Sig. (2-tailed)
.224
.
60
60
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial
N
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk
partisipasi responden dalam kampanye
Correlations
Bentuk
Partisipasi
Mengikuti
Kampanye
Spearman's rho
Bentuk Partisipasi Mengikuti Correlation Coefficient
Kampanye
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
1.000
-.056
.
.671
60
60
-.056
1.000
.671
.
60
60
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk
partisipasi responden sebagai panitia pemilihan
Correlations
Bentuk
Partisipasi
sebagai Panitia
Pemilihan
Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Bentuk Partisipasi sebagai
Panitia Pemilihan
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
-.020
.
.879
60
60
-.020
1.000
.879
.
60
60
82
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk
partisipasi responden dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi
Correlations
Bentuk
Partisipasi dalam
Mempersuasi
Pihak Lain
Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Bentuk Partisipasi dalam
Mempersuasi Pihak Lain
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
1.000
.101
.
.441
60
60
Correlation Coefficient
.101
1.000
Sig. (2-tailed)
.441
.
60
60
N
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk
partispasi responden dalam proses penghitungan suara
Correlations
Bentuk
Partisipasi dalam
Proses
Penghitungan
Suara
Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Bentuk Partisipasi dalam
Correlation Coefficient
Proses Penghitungan Suara
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
-.007
.
.958
60
60
-.007
1.000
.958
.
60
60
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif
rasional instrumental responden
Correlations
Motif Rasional
Instrumental Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Motif Rasional Instrumental
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
1.000
.043
.
.745
60
60
Correlation Coefficient
.043
1.000
Sig. (2-tailed)
.745
.
60
60
N
83
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif
rasional berorientasi nilai responden
Correlations
Motif Rasional
Berorientasi Nilai Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Motif Rasional Berorientasi
Nilai
Correlation Coefficient
1.000
.049
Sig. (2-tailed)
.
.710
60
60
Correlation Coefficient
.049
1.000
Sig. (2-tailed)
.710
.
60
60
N
Stratifikasi Sosial
N
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif afektif
responden
Correlations
Motif Afektif Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Motif Afektif
Correlation Coefficient
1.000
.083
.
.527
60
60
Correlation Coefficient
.083
1.000
Sig. (2-tailed)
.527
.
60
60
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
N
Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif
tradisional responden
Correlations
Motif Tradisional Stratifikasi Sosial
Spearman's rho
Motif Tradisional
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Stratifikasi Sosial
Correlation Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
1.000
-.084
.
.523
60
60
-.084
1.000
.523
.
60
60
84
Lampiran 5 Dokumentasi
Kantor Desa Pancawati
Kondisi Sawah
Kondisi Jalan
Proses Pembangunan Jembatan
Kondisi Rumah Warga
Kondisi Rumah Warga
85
Perkebunan Tomat
Perkebunan Jagung
Kerja Bakti Warga
Petani sedang Bertani
86
RIWAYAT HIDUP
Annisa Maghfirah dilahirkan di Tanjung Morawa pada tanggal 24 Oktober
1992. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Bapak Khairuddin dan Ibu
Meichati Syam. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Aisyiyah
Medan pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal
di SD Harapan 2 Medan sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan
sekolah ke SMP Negeri 6 Medan selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun
2007, penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Medan sampai tahun 2010.
Pada bulan Juni 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Masuk (UTM).
Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di
organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA)
Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (IMMAM) dari tahun 2010 sampai 2011.
Pada tahun 2012, penulis menjabat sebagai Sekretaris Manajemen Public Relation
dalam organisasi Leadership and Entrepreneurship Schools (LES) dan anggota
Divisi Public Relation dalam HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat IlmuIlmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat).
Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan. Pada
tahun 2012 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi Acara International
Scholarship Education Expo (ISEE), Sekretaris 2 Masa Perkenalan Fakultas
(MPF) FEMA, anggota Divisi Pembimbing Anggota Kelompok (PAK) Masa
Perkenalan Departemen (MPD) SKPM, anggota Divisi Acara Kemah Riset
FEMA, dan anggota Divisi Dana Usaha dan Sponsorship Kunjungan
HIMASIERA. Pada tahun 2011 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi
Humas dan Sponsorship Pelatihan Public Speaking PRIORITY (Public Speaking
to Research and Broadcast Our Community) HIMASIERA, anggota Divisi
Humas Gebyar Nusantara, Bendahara Divisi Acara Masa Perkenalan Kampus
Mahasiswa Baru (MPKMB) Angkatan 48 IPB, dan Sekretaris Masa Perkenalan
Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 48 FEMA.
Download