MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN ANNISA MAGHFIRAH I34100110 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2014 Annisa Maghfirah NIM I34100110 ABSTRAK ANNISA MAGHFIRAH. Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan memiliki 5 bentuk partisipasi politik, yaitu menggunakan hak pilih, mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Tingkat partisipasi masyarakat tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, sedangkan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk-bentuk lainnya cenderung rendah. Tidak ada perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Terdapat empat motif-motif tindakan sosial masyarakat pada partisipasi politik, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi adalah motif rasional berorientasi nilai pada masyarakat strata atas dan strata bawah serta motif tradisional pada masyarakat strata bawah, sedangkan motif-motif lainnya cenderung rendah. Motif rasional berorientasi nilai yang tinggi menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan dilandasi oleh nilai demokrasi yang melekat pada masyarakat. Motif tradisional yang tinggi pada strata bawah menunjukkan bahwa masyarakat strata bawah masih mengangkat nilai-nilai tradisional pada partisipasi politik. Kata kunci: partisipasi politik, motif tindakan sosial, stratifikasi sosial ABSTRACT ANNISA MAGHFIRAH. Social Motives on Political Participation based on Social Stratification in Rural Communities. Supervised by SOFYAN SJAF. Forms of political participation by the community in the selection has 5 forms which is participation in voting, campaign, election committee, persuading others to participate, and following the vote counting process. Participation in voting has high level, while participation in other forms tend to be low. There is not difference forms of political participation between the upper and lower stratum of community. There are four motives of social action on political participation, namely instrumental rational, value-oriented rational, affective, and traditional. The highest level motive in political participation is value-oriented rational in the upper and lower stratum of community and traditional motive on the lower stratum of community, while other motives tend to be low. Valueoriented rational motive, which is high, shows that the participation of community in the selection based on democracy-value in community. Traditional motive, which is high in the lower stratum in community, shows that community raise traditional-value in political participation. Keywords: political participation, motive of social action, social stratification MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN ANNISA MAGHFIRAH I34100110 Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2014 Judul Skripsi : Motif Tindakan Sosial terhadap Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan Nama : Annisa Maghfirah NIM : I34100110 Disetujui oleh Dr Sofyan Sjaf Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus : _______________________ PRAKATA Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang telah dilimpahkan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi yang berjudul “MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL MASYARAKAT PEDESAAN” dengan baik. Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi kewajiban dalam menempuh tugas belajar pada program Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan-bantuan moril dan material dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang terlibat. Pertama, ucapan terima kasih penulis kepada Bapak Dr. Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah memberikan waktu, tenaga, bimbingan, arahan, saran, dan kritik yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada orang tua tercinta, Bapak Khairuddin dan Ibu Iznanizmah, yang selalu melimpahkan kasih sayang, doa, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibunda tercinta almh. Meichati Syam yang selalu menjadi sosok inspirasi bagi penulis. Tidak lupa terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman SKPM angkatan 47 yang selalu memberi semangat dan masukan untuk penulis dalam penulisan proposal penelitian ini. Rasa terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pihak di Desa Pancawati Kec.Caringin Kab.Bogor yang sudah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi banyak pihak. Bogor, Januari 2014 Annisa Maghfirah DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN vii viii viii PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Penelitian Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian 1 1 3 4 4 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Partisipasi Politik Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif-Motif Tindakan Sosial Stratifikasi Sosial Masyarakat Pedesaan Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional Bentuk Partisipasi Politik Motif Tindakan Sosial Stratifikasi Sosial 5 5 5 5 7 13 14 14 16 16 16 18 22 PENDEKATAN LAPANG Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penelitian Teknik Sampling Pengumpulan Data Pengolahan dan Analisis Data 23 23 23 24 25 25 GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Ekonomi Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat 27 27 29 BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih Bentuk Partisipasi dalam Kampanye Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara 39 39 41 42 45 47 vi Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan Stratifikasi Sosial PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan Hak Pilih Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Kampanye Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses Penghitungan Suara Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk Partisipasi Politik 49 53 53 56 59 61 63 65 65 66 67 68 69 69 PENUTUP Simpulan Saran 73 73 74 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN 75 77 DAFTAR TABEL 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012 Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa Pancawati tahun 2012 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi sosial Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk partisipasi politik 27 28 39 41 43 45 47 49 53 56 59 61 63 70 DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. Kerangka pemikiran penelitian Metode pengambilan sampel Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Karakteristik responden berdasarkan pendapatan Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat tinggal Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat tinggal Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air besar Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk memasak Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan 15 24 29 30 31 31 32 33 33 34 34 35 36 36 37 38 DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. Denah lokasi penelitian Jadwal pelaksanaan penelitian Daftar nama responden penelitian Hasil uji korelasi Rank Spearman Dokumentasi 77 78 79 81 84 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang menganut paham demokrasi. Sebagai negara demokrasi, salah satu tugas pemerintahan adalah melibatkan masyarakat dalam pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik. Umumnya cara yang digunakan oleh pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam sistem politik adalah melalui pemilihan umum dalam memilih pemimpin negara atau pemimpin daerah. Pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dinyatakan bahwa pemilihan umum secara langsung oleh rakyat merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilihan umum sudah dijalankan di Indonesia sejak tahun 1955. Pesta demokrasi berupa pemilihan ini masih terus dijalankan sampai sekarang. Tidak hanya pemilihan umum, pemerintah juga melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang memberikan kesempatan kepada masyarakat masing-masing daerah untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Menurut Sastroatmodjo (1995), kegiatan pemilihan pimpinan pemerintahan adalah salah satu kegiatan partisipasi politik yang aktif. Bentuk kegiatan ini disebut aktif karena terjadi “masukan” politik. Pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah dapat dikatakan sebagai wadah yang diciptakan oleh pemerintah untuk masyarakat agar ikut berpartisipasi aktif dalam sistem pemerintahan. Sayangnya, terkadang wadah ini tidak dimanfaatkan oleh masyarakat secara baik. Akhir-akhir ini terdapat kecenderungan meningkatnya angka golput (golongan putih) dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Semakin banyak masyarakat yang bersikap apatis dan tidak mau berpartisipasi dalam sistem politik di Indonesia. Salah satu contoh rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah adalah saat pemilihan Gubernur Jawa Barat yang baru saja diadakan pada bulan Februari 2013 yang lalu. Hasil pemilihan kepala daerah tersebut menunjukkan tingginya angka golput. Pasangan Cagub-Cawagub terpilih pun memperoleh suara yang lebih rendah daripada angka golput 1. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah tidak terjadi pada seluruh wilayah Indonesia. Ada juga daerah-daerah yang menunjukkan semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah. Salah satu daerah yang menunjukkan tingginya tingkat partisipasi adalah Kabupaten Temanggung. Pemilihan kepala daerah di Temanggung pada tahun 2008 menunjukkan bahwa 81.03% pemilih ikut berpartisipasi dalam pemilihan kepala daerah. Perbedaan kecenderungan semakin tinggi dan semakin rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah menunjukkan bahwa 1 Gunernur terpilih memperoleh suara 6 515 313 (32.39%) suara, sedangkan angka golput mencapai 11 823 201 (36.3%). Sumber: Herdiana I. 2013.Golput Pilgub Jabar capai 36 persen.[Internet]. [dikutip 23 Juni 2013]. Dapat diunduh dari: http://daerah.sindonews.com/read/2013/03/03/21/723605/golput-pilgub-jabar-capai-36- persen 2 masyarakat memiliki motif yang berbeda-beda dalam berpartisipasi politik. Mengacu pada pengkategorian motif tindakan sosial menurut Max Weber (1992), maka motif-motif yang mendorong partipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 4, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Salah satu contoh kasus yang menunjukkan perbedaan motif pada individuindividu dalam masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada adalah kasus yang diteliti oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat beberapa motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu. Motif-motif tersebut antara lain adalah kesadaran masyarakat akan hak dan kewajiban masyarakat sebagai warga negara, kemauan masyarakat untuk mencari pemimpin, menyalurkan aspirasinya untuk memilih wakil rakyat yang baik, memiliki ikatan emosional dengan partai dan calon yang bersangkutan, dan menginginkan perubahan ekonomi yang lebih baik. Penelitian tersebut juga menunjukkan beberapa motif yang mendasari masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya. Motif-motif tersebut antara lain adalah tidak memahami Pemilu, kepercayaan pemilih yang sudah menurun terhadap partai dan calon, tidak ingin terlibat dalam politik, dan lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan motif yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada. Motif-motif yang dimiliki masyarakat dapat menjadi dasar untuk berbagai bentuk partisipasi politik. Tidak hanya memberikan suara, masyarakat juga dapat terlibat dalam bentuk-bentuk partisipasi lainnya dalam pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan dapat berupa pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan (Sari 2007). Hal ini menunjukkan pemilihan dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam berbagai bentuk partisipasi politik. Perbedaan motif-motif yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada dapat diidentifikasi berdasarkan stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial pada umumnya diukur berdasarkan status sosial-ekonomi masyarakat. Masyarakat yang berbeda strata atau lapisan di dalam masyarakat diasumsikan cenderung memiliki motif yang berbeda dalam melakukan tindakan sosial, termasuk dalam berpartisipasi pada Pemilu atau Pilkada. Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dipengaruhi oleh latar belakang pekerjaan dan pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan status sosial-ekonomi akan mempengaruhi individu dalam berpartisipasi. Dapat dikatakan juga bahwa perbedaan status sosial-ekonomi masyarakat berpengaruh terhadap perbedaan motif individu dalam berpartisipasi politik. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial. Salah satu kasus yang menjadi dasar pada penelitian ini adalah Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pemilihan ini dijadikan dasar oleh peneliti karena pemilihan inilah yang terakhir kali dilaksanakan di Kabupaten Bogor. Karena pemilihan ini baru saja terjadi, diharapkan masyarakat masih dapat mengingat 3 partisipasi apa saja yang dilakukan pada pemilihan dan dapat mengidentifikasi motif-motif yang mendasari partisipasi tersebut. Peneliti melakukan penelitian di lokasi yang memiliki tingkat partisipasi sedang. Motif-motif partisipasi politik masyarakat di wilayah yang memiliki tingkat partisipasi sedang dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 diharapkan dapat mewakili seluruh wilayah, baik wilayah yang memiliki partisipasi tinggi maupun wilayah yang memiliki partisipasi rendah. Pada penelitian ini, peneliti menganalisis motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor berdasarkan stratifikasi sosial pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah, khususnya pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Masalah Penelitian Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah adalah hal yang sudah tidak asing lagi di masyarakat Indonesia, begitu juga pada masyarakat Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Melalui kegiatan pemilihan ini, masyarakat melakukan partisipasi politik. Berbagai bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial. Perbedaan bentuk partisipasi politik dan motif partisipasi politik yang dimiliki masyarakat salah satunya dipengaruhi oleh stratifikasi sosial. Oleh karena itu, masalah utama yang dikaji pada penelitian ini adalah bagaimana motifmotif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat? Bentuk partisipasi politik pada pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya berupa penggunaan hak suara, tetapi juga partisipasi dalam kampanye, pelaksanaan pemilihan, persuasi kepada pihak lain untuk berpartisipasi, dan penghitungan suara. Berbagai bentuk partisipasi politik ini dilakukan oleh masyarakat dari berbagai strata. Ada kecenderungan bahwa masyarakat yang memiliki status sosial-ekonomi yang berbeda atau berasal dari strata yang berbeda akan melakukan bentuk partisipasi politik yang berbeda. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apakah bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan? Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh setiap strata pada masyarakat tidak terlepas dari motif-motif tindakan sosial yang mendasarinya. Motif-motif tindakan sosial pada masyarakatlah yang menjadi dasar dilakukannya berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apakah motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan berbeda berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan? Motif-motif tindakan sosial yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi politik memiliki perbedaan. Setiap masyarakat memiliki alasannya masing-masing dalam melakukan partisipasi politik pada pemilihan. Salah satu hal yang menyebabkan perbedaan motif partisipasi politik pada masyarakat adalah perbedaan strata pada masyarakat. Masyarakat yang berada di strata atas memiliki motif-motif partisipasi politik yang berbeda dengan motif partisipasi politik yang dimiliki oleh masyarakat pada strata bawah. Perbedaan motif ini melandasi 4 berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Oleh karena itu, perlu untuk dianalisis apa motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian umum pada penelitian ini adalah menganalisis motif-motif tindakan sosial yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik masyarakat Desa Pancawati pada pemilihan berdasarkan stratifikasi pada masyarakat. Adapun tujuan-tujuan khusus pada penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menganalisis perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati. 2. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati. 3. Menganalisis perbedaan motif-motif tindakan sosial pada berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat Desa Pancawati. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi berbagai pihak, antara lain: 1. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan atau literatur bagi akademisi yang ingin meneliti lebih jauh mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial. 2. Bagi pembuat kebijakan atau pihak pemerintahan, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan mengenai motif-motif partisipasi politik pada masyarakat pedesaan, yang selanjutnya dapat menjelaskan mengenai alasan tinggi atau rendahnya partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pilkada. Melalui hasil penelitian ini, pemerintah diharapkan dapat membuat kebijakan atau memberikan solusi untuk lebih meningkatkan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pilkada. 3. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan stratifikasi pada masyarakat. PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Partisipasi Politik Partisipasi politik diartikan dengan berbagai bentuk oleh para ahli. Dengan mengacu pendapat beberapa ahli, Soebagio (2008) menyatakan bahwa partisipasi politik memiliki substansi core political activity yang bersifat personal dari setiap warga negara secara sukarela untuk berperan serta dalam proses pemilihan umum untuk memilih para pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penetapan kebijakan publik. Tidak terlalu berbeda dengan pendapat Soebagio, dengan mengacu pada pendapat para ahli, Tarigan (2009) dalam tesisnya menyatakan bahwa partisipasi politik adalah suatu rangkaian kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, yang bertujuan untuk memengaruhi kebijakan pemerintah yang menyangkut kepentingan masyarakat. Berdasarkan kedua pendapat tersebut, maka partisipasi politik dapat dinyatakan sebagai keterlibatan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam mempengaruhi keberlangsungan sistem pemerintahan. Berdasarkan berbagai konsep partisipasi politik yang dikemukakan oleh para ahli, tidak dibedakan secara tegas apakah partisipasi politik tersebut bersifat otonom atau dimobilisasi. Definisi partisipasi politik yang dinyatakan Huntington dan Nelson (1994) pun tidak membedakan kedua sifat tersebut. Mengutip pendapat Huntington dan Nelson, Kamarudin (dalam Tarigan 2009) menyatakan bahwa sifat otonom dan mobilisasi tersebut tidak dibedakan karena beberapa alasan. Pertama, perbedaan antara keduanya lebih tajam dalam prinsip daripada di alam realitas. Kedua, dapat dikatakan semua sistem politik mencakup suatu campuran keduanya. Ketiga, hubungan keduanya bersifat dinamis, artinya bahwa partisipasi politik yang bersifat dimobilisasi karena faktor internalisasi pada akhirnya akan menjadi partisipasi yang bersifat otonom. Sebaliknya juga demikian, partisipasi politik yang bersifat otonom akan berubah menjadi dimobilisasi. Keempat, kedua bentuk partisipasi tersebut mempunyai konsekuensi penting bagi sistem politik. Partisipasi politik yang dimobilisasi atau otonom memberikan peluang-peluang kepemimpinan dan menimbulkan kekangankekangan terhadap pimpinan-pimpinan politik. Berdasarkan alasan-alasan ini, maka dapat dikatakan bahwa memang tidak perlu membedakan apakah partisipasi politik tersebut dimobilisasi atau otonom. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Partisipasi politik dapat diwujudkan dalam berbagai aktivitas. Perwujudan aktivitas yang terkait dengan partisipasi politik ini dapat dikatakan sebagai bentuk-bentuk partisipasi politik. Secara umum, bentuk-bentuk partisipasi politik di masyarakat pedesaan sama dengan bentuk partisipasi politik pada masyarakat perkotaan. Hanya saja partisipasi politik di perkotaan dapat dikatakan lebih kompleks daripada partisipasi masyarakat pedesaan. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penelitian Wahyudi (2007) di Kota Semarang yang mengelaborasikan pendapat Rush dan Althof (1995) dan Roth dan Wilson (1981) tentang bentuk- 6 bentuk partisipasi politik. Penelitiannya menghasilkan suatu hierarkhi partisipasi politik yang khusus pada elit perempuan. Pada puncak hierarkhi, terdapat kategori aktivis, yaitu orang-orang yang memegang jabatan politik atau administrasi, dalam hal ini adalah KPU dan pengurus partai. Jenjang kedua dari hierarkhi partisipasi politik disebut dengan partisipan. Kategori ini diuraikan dalam bentuk pencalonan diri sebagai anggota legislatif, mengikuti kampanye, dan aktif dalam diskusi informal tentang pemilu. Kategori ketiga adalah pengamat. Bentuk partisipasi yang tergolong kategori pengamat ini adalah pemberian suara. Berbeda dengan konteks perkotaan, bentuk-bentuk partisipasi politik pada masyarakat pedesaan cenderung lebih sederhana. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007). Berdasarkan penelitian Sari di Desa GadingsariYogyakarta, didapatkan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang mencakup beberapa kegiatan, yaitu kegiatan masyarakat dalam mengajukan usul mengenai suatu kebijakan kepada pemerintah, mengajukan kritik dan saran untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala desa. Uraian tersebut di atas menunjukkan seluruh bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi dalam konteks perkotaan dan pedesaan. Uraian tersebut menunjukkan bahwa partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah bentuk yang paling umum terjadi. Partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah aktivitas partisipasi politik yang paling dapat “dijangkau” oleh masyarakat, khususnya masyarakat pedesaan. Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah masih dapat dibagi lagi ke dalam beberapa bentuk partisipasi politik. Bawono (2008) menyatakan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu terlibat dalam kampanye, mengikuti penghitungan suara, dan menggunakan hak pilihnya. Selain Bawono, Sari (2007) juga menyatakan bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik dalam kegiatan pemilihan yang dinyatakan oleh Sari terdiri dari beberapa aktivitas, yaitu aktivitas pemberian suara, pemberian sumbangan pada kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mencari dukungan bagi seorang calon, dan setiap tindakan yang bertujuan mempengaruhi hasil proses pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik ini yang dijabarkan oleh Sari ini sesuai dengan bentuk-bentuk partisipasi politik aktif yang terjadi pada masyarakat Desa Gadingsari, Yogyakarta. Hasil penelitian Tarigan (2009) menyatakan bentuk partisipasi politik lainnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kabupaten Temanggung menunjukkan bahwa bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah adalah peran masyarakat dalam kampanye, keterlibatan dalam rapat dusun/desa/musrenbang, dan tingkat kehadiran dalam rapat-rapat tersebut. Tidak jauh berbeda dengan penelitianpenelitian yang dijabarkan sebelumnya, penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007) juga menunjukkan beberapa bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitiannya di Kudus menunjukkan bahwa bentuk partisipasi politik perempuan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah terdiri dari berbagai bentuk, mulai dari penyaluran suara (hak pilih) saja sampai ikut serta mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. 7 Beberapa kasus dan hasil penelitian yang telah dijabarkan di atas, maka bentuk partisipasi politik dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah pada masyarakat pedesaan yang paling jelas dan nyata adalah pemberian suara (penggunaan hak pilih). Selain penggunaan hak pilih, bentuk partisipasi politik lainnya yang dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah adalah keterlibatan masyarakat dalam kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, dan mengikuti proses penghitungan suara. Motif-Motif Tindakan Sosial Perbedaan kecenderungan tinggi dan rendahnya partisipasi politik menunjukkan bahwa ada dorongan atau motivasi yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Dorongan-dorongan yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat ini dapat dikatakan sebagai motif-motif tindakan sosial. Weber mengemukakan bahwa terdapat 4 motif yang dapat mempengaruhi tindakan sosial individu, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa satu individu dapat memiliki beberapa motif dalam melakukan partisipasi politik. a. Rasional Instrumental Rasional instrumental adalah salah satu motif tindakan sosial menurut Max Weber yang menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh individu didasari oleh kerasionalan dan mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi dalam mencapai tujuan tertentu. Motif ini lebih mengarah pada motif yang didasari oleh hal-hal yang berkaitan dengan ekonomi. Motif ini dapat dikaitkan dengan motifmotif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitian Soebagio (2007) menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya partisipasi politik dalam pemilihan umum adalah kenyataan Pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu motif rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik. Tidak adanya perubahan kesejahteraan yang dirasakan oleh masyarakat menyebabkan partisipasi politik masyarakat menurun. Hasil penelitian Bawono (2008) menunjukkan motif rasional instrumental yang berbeda. Penelitiannya tentang partisipasi politik di Kabupaten Nganjuk menunjukkan bahwa salah satu alasan masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum adalah karena masyarakat lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah daripada ikut berpartisipasi dalam Pemilu. Hal ini biasanya tejadi pada masyarakat yang tidak memiliki jam kerja yang pasti. Untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, masyarakat harus meluangkan waktunya untuk mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS). Waktu yang digunakan masyarakat untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya pasti mengorbankan waktunya untuk melakukan hal lain, misalnya bekerja. Walaupun pada umumnya pemilihan umum dilakukan pada hari libur atau hari yang diliburkan, namun hal tidak berpengaruh untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal. Dengan mempertimbangkan aspek 8 ekonomi, masyarakat pasti cenderung memilih bekerja daripada mengikuti kegiatan pemilihan umum. Keuntungan atau pendapatan yang akan didapatkannya dari bekerja pasti lebih menggiurkan daripada harus pergi ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Orientasi masyarakat yang lebih mengutamakan kepentingan mencari nafkah ini juga menyebabkan masyarakat tidak atau kurang terlibat dalam kampanye, menjadi panitia dalam suatu pemilihan, dan mengikuti proses penghitungan suara. Hal ini juga terkait dengan waktu dan tenaga yang lebih baik disalurkan masyarakat untuk bekerja. Fenomena ini menunjukkan bahwa aspek ekonomi akan mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi politik di Pemilu atau Pilkada. Bentuk lain yang dapat digolongkan sebagai contoh motif rasional instrumental adalah politik uang. Politik uang ini sudah merupakan hal umum dan tidak sedikit di Indonesia. Para calon-calon pemimpin yang akan dipilih masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah memberikan “serangan fajar” kepada masyarakat. Calon-calon pemimpin akan memberikan uang kepada setiap rumah di suatu wilayah atau bantuan-bantuan fisik kepada suatu daerah. Bantuan fisik dan uang ini diharapkan dapat dibalas oleh masyarakat melalui suara yang ditujukan untuk si pemberi bantuan. Hal ini dapat menjadi salah satu alasan masyarakat untuk berpartisipasi di Pemillu atau Pilkada dalam bentuk penggunaan hak pilih. Hasil-hasil penelitian dan penjelasan di atas menunjukkan bahwa partisipasi politik dipengaruhi oleh hal-hal yang berkaitan dengan aspek ekonomi. Motif yang berkaitan dengan aspek ekonomi ini disebut sebagai motif rasional instrumental. Dapat dikatakan bahwa motif rasional instrumental yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah terdiri dari tiga hal, yaitu sejauh mana hasil Pemilu atau Pilkada mampu menghasilkan perubahan pada pendapatan masyarakat, perubahan sumber penghasilan masyarakat, dan politik uang. b. Rasional Berorientasi Nilai Motif rasional berorientasi nilai masih terkait dengan kerasionalan individu dalam melakukan tindakan sosial. Motif rasional berorientasi nilai menyatakan bahwa individu melakukan tindakan sosial dengan motif yang rasional dan terkait dengan pengejaran nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai tersebut dapat berupa nilai-nilai dalam keluarga, kelompok, atau masyarakat. Motif ini dapat dikaitkan dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh Soebagio (2007) terkait dengan mengapa partisipasi politik pada pemilihan umum menurun dapat digolongkan sebagai motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah: (1) menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan kelompok atau golongannya; (2) merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan atau kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik; (3) tidak terealisasikannya janji-janji yang dikampanyekan oleh elit politik kepada publik yang 9 mendukungnnya; (4) kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan kepada kontestan tertentu, di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas. Tiga alasan tersebut menunjukkan bahwa ada nilai-nilai kejujuran yang dituntut oleh masyarakat. Ketika nilai kejujuran ini tidak dipenuhi oleh para calon pemimpin, maka masyarakat tidak lagi ingin berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada. Penelitian lain dilakukan oleh Bawono (2008) di Kabupaten Nganjuk. Hasil penelitian Bawono tersebut menghasilkan beberapa alasan yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. Di antara beberapa alasan yang dikemukakan, terdapat beberapa alasan yang dapat dihubungkan dengan motif rasional berorientasi nilai. Alasan-alasan tersebut antara lain adalah faktor kerumitan tentang sistem Pemilu, adanya sikap apatis masyarakat terhadap Pemilu, dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu. Adanya sikap apatis masyarakat jelas menunjukkan bahwa ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Dapat dikatakan bahwa sikap apatis ini timbul karena nilai-nilai yang terdapat pada masing-masing individu dalam masyarakat. Alasan yang terkait dengan kerumitan sistem Pemilu dan ketidakpahaman masyarakat terhadap Pemilu juga menunjukkan ada nilai yang dianut oleh masyarakat. Ketika ada hambatan bagi masyarakat untuk melakukan sesuatu, seperti kerumitan dan ketidakpahaman, maka masyarakat lebih memilih untuk tidak bertindak terkait dengan sesuatu tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) di Kota Semarang secara jelas menyatakan bahwa salah satu motif berpartisipasi elit politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu legislatif tahun 2004 adalah rasional bernilai. Motif rasional bernilai yang dinyatakan oleh Wahyudi dengan mengacu pada Weber adalah motif partisipasi yang didasarkan pada pertimbangan rasional. Dalam kasus ini, bentuk motif rasional bernilai tersebut terwujud dalam partisipasi politik perempuan yang telah menilai secara objektif pilihannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat dikatakan bahwa masyarakat berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada karena nilai yang dianut oleh masyarakat bahwa partisipasi tersebut adalah kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Masyarakat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu atau Pilkada karena masyarakat ingin ikut melibatkan diri dalam menentukan siapa orang atau pihak yang tepat untuk berada dalam sistem pemerintahan. Alasan partisipasi politik masyarakat yang dinyatakan oleh Wahyudi tersebut di atas dapat dikaitkan dengan beberapa hasil penelitian lainnya. Penelitian yang dilakukan oleh Fenyapwain (2013) menunjukkan bahwa iklan politik Pemilukada di Minahasa mempunyai tingkat hubungan yang cukup kuat dan memberi sumbangan (kontribusi) yang kecil terhadap partisipasi pemilih pemula. Penelitian yang dilakukan oleh Gama dan Widarwati (2008) menunjukkan isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah dapat berpengaruh cukup tinggi terhadap perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga. Penelitian yang dilakukan Tarigan (2009) menunjukkan bahwa popularitas calon kepala daerah adalah salah satu aspek yang mampu mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Ketiga penelitian tersebut menunjukkan bahwa iklan politik, isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah, dan popularitas calon kepala daerah ikut menentukan partisipasi politik masyarakat. Penulis melihat tiga hal ini sebagai alasan yang berkaitan dengan motif rasional berorientasi nilai partisipasi politik 10 masyarakat. Ketika iklan politik, isu dan kebijakan kandidat, serta popularitas kandidat diketahui oleh masyarakat, maka masyarakat menjadikan tiga hal ini untuk menentukan siapa pihak yang berhak untuk dipilih. Ketiga hal tersebut dapat menjadikan masyarakat lebih mudah memilih kandidat secara objektif. Ketiga hal tersebut juga dapat menjadi bantuan bagi masyarakat agar meyakinkan pilihannya. Ketika masyarakat sudah yakin akan memilih siapa dan sudah merasakan keobjektifan pilihannya, maka masyarakat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk menggunakan hak suaranya. Hasil penelitian lain yang terkait dengan motif rasional berorientasi nilai adalah penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008). Hasil penelitiannya di Jawa Timur menunjukkan bahwa masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan umum karena tidak ingin terlibat dalam politik. Ketidakinginan masyarakat untuk terlibat dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik menunjukkan bahwa masyarakat memiliki nilai tersendiri dalam hal-hal yang berkaitan dengan politik. Hal ini dapat terjadi karena pengalaman dan pengetahuan yang kurang baik tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang politik. Hasil-hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan beberapa motif rasional berorientasi nilai dalam partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Berdasarkan motif ini, partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat didasari oleh rasionalitas dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat ini terkait dengan kewajiban dan hak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya atau terlibat dalam Pemilu atau Pilkada. Nilai-nilai tersebut juga dapat dikaitkan dengan harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang tepat melalui suaranya dalam Pemilu atau Pilkada. Selain itu, nilai-nilai yang dimiliki oleh masyarakat yang terkait dengan bidang politik juga dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. c. Afektif Motif tindakan sosial afektif adalah motif yang berkaitan dengan aspek perasaan atau emosi. Tindakan sosial yang dikaitkan dengan motif afektif adalah tindakan sosial yang dilakukan oleh individu atau masyarakat karena pelampiasan emosi atau perasaan. Emosi atau perasaan ini juga dapat menjadi motif bagi masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Salah satu bentuk nyata bagaimana emosi atau perasaan mempengaruhi partisipasi politik adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Soebagio (2007). Hasil penelitian Soebagio menunjukkan bahwa salah satu alasan menurunnya partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum adalah kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu atau Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan bagi para elit politik. Kejenuhan masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah juga dinyatakan oleh Bawono (2008) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat partisipasi politik masyarakat. Kejenuhan di sini menunjukkan bahwa emosi atau perasaan masyarakat dapat mempengaruhi berpartisipasi atau tidaknya masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Hasil penelitian Bawono (2008) juga menunjukkan bahwa alasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu adalah ikatan emosional antara masyarakat dengan partai dan calon yang bersangkutan dan kepercayaan pemilih 11 terhadap partai dan calon. Masyarakat yang sudah memiliki ikatan emosional dan kepercayaan terhadap suatu partai atau calon pemimpin tertentu cenderung akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa emosi atau perasaan masyarakat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) tentang partisipasi elit politik perempuan di Kota Semarang dalam Pemilu Legislatif tahun 2004 secara jelas menyatakan bahwa salah satu motif partisipasi politik tersebut adalah motif yang afektual emosional. Motif ini didasari oleh bentuk kristalisasi nilai yang didapatkan dalam lingkungan politiknya. Berdasarkan motif ini, motif timbul sebagai akibat penilaian terhadap agama serta partai politik yang dipilih. Penelitian lain yang terkait dengan motif afektif partisipasi politik adalah hasil penelitian Gama dan Widarwati (2008). Penelitiannya tentang perilaku pemilih partisipasi politik wanita menunjukkan bahwa hubungan antara perasaan emosional kandidat dan perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi. Citra kandidat kepala daerah cenderung mempengaruhi perilaku pemilih. Hal ini disebabkan oleh pemilih lebih tertarik pada figur yang memiliki kecerdasan, berwibawa, kharismatik, mempunyai daya tarik fisik dan psikologis, dan sebagainya. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa aspek emosi atau perasaan yang dimiliki oleh masyarakat terhadap kandidat akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Bentuk motif afektif lainnya ditunjukkan oleh hasil penelitian Tarigan (2009). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kondisi sosial politik dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Kondisi sosial politik ini dikaitkan dengan perasaan atau emosi masyarakat. Tarigan menyatakan bahwa lingkungan sosial yang kondusif akan membuat orang dengan senang hati berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam beraktivitas politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin baik kondisi sosial politik di masyarakat, maka partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah akan semakin tinggi. Hasil-hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bentuk-bentuk motif afektif yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dapat berupa ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada, ikatan atau hubungan emosional antara masyarakat dengan kandidat, dan kondisi sosial politik masyarakat yang kondusif. Bentuk-bentuk motif ini terkait dengan aspek emosi atau perasaan masyarakat. Motif-motif afektif ini dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. d. Tradisional Motif tradisional adalah motif yang terkait dengan tradisi dan adat istiadat. Tindakan sosial yang didasari oleh motif tradisional adalah tindakan sosial yang didasari oleh kepatuhan pada tradisi dan adat-istiadat. Tradisi dan adat-istiadat ini dapat juga dikaitkan dengan agama yang dianut oleh masyarakat. Jika dikaitkan dengan partisipasi politik masyarakat pedesaan pada pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, maka partisipasi tersebut dilandasi oleh kepatuhan terhadap adat-istiadat atau tradisi masyarakat setempat. 12 Partisipasi politik yang didasari oleh motif tradisional dapat jelas terlihat pada kasus penelitian yang dilakukan oleh Zainuri (2007). Zainuri meneliti partisipasi politik perempuan di Kudus. Penelitian ini dikaitkan dengan perpsektif tradisi Islam lokal di Kudus. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa konstruksi tradisi Islam lokal Kudus menyebabkan perempuan Kudus merasa terhambat baik secara politis, sosial budaya, psikologis dan agama. Konstruksi sosial ini menyebabkan perempuan Kudus hanya berpartisipasi dalam menyalurkan suara saja selama pemilihan umum yang diselenggarakan sebelum masa reformasi. Kasus ini menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap agama (tradisi atau adat istiadat) yang dianut akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Beberapa penelitian lain juga mengaitkan antara partisipasi politik masyarakat terhadap tradisi atau adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Bawono (2008) menyatakan bahwa salah satu aspek yang mempengaruhi persepsi, perilaku, dan partisipasi politik masyarakat pemilih adalah agama. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyudi (2007) menyatakan bahwa keyakinan, kultur, dan lingkungan politik memiliki ketertarikan satu sama lain dalam menentukan bentuk partisipasi politik elit politik perempuan. Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa agama, keyakinan, dan kultur akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Sayangnya, para peneliti tersebut tidak menunjukkan secara gamblang tentang bagaimana agama, keyakinan, dan kultur mampu mempengaruhi partisipasi politik. Penulis beranggapan bahwa agama, keyakinan, dan kultur yang dianut oleh masyarakat dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui berbagai cara. Salah satu cara adalah melalui partai dan kandidat yang akan dipilih oleh masyarakat. Pada umumnya, latar belakang agama yang dimiliki oleh kandidat akan menentukan partisipasi politik masyarakat pada Pemilu atau Pilkada. Jika kandidat memiliki agama yang sama dengan masyarakat, maka masyarakat akan cenderung untuk ikut berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada untuk mendukung kandidat tersebut. Bentuk partisipasi politik yang dilakukan dapat hanya berupa pemberian suara untuk kandidat, sampai mengikuti kampanye, bahkan membantu, kampanye yang dilakukan oleh kandidat. Agama, keyakinan, dan kultur juga dapat mempengaruhi partisipasi politik masyarakat melalui orang yang berpengaruh dalam suatu budaya. Beberapa kasus menyatakan bahwa ikut serta atau tidaknya masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada dipengaruhi oleh orang yang dituakan oleh masyarakat. Hal ini biasanya terjadi pada masyarakat yang memiliki adat yang masih kental. Masyarakat adat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya mengatakan demikian. Dapat juga dikatakan bahwa masyarakat adat akan berpartisipasi dalam Pemilu atau Pilkada jika ketua adatnya juga berpartisipasi. Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa kepatuhan masyarakat terhadap tradisi, adat-isitiadat, dan agama akan mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu atau Pilkada. Tradisi, adat-isitiadat, dan agama tersebut dapat mempengaruhi masyarakat melalui berbagai cara. Ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat, latar belakang agama atau suku kandidat, dan orang yang berpengaruh dalam suatu budaya adalah jalan-jalan yang dapat menentukan bagaimana tradisi, adat-isitiadat, dan agama yang dianut oleh masyarakat dapat 13 mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa motif tradisional ikut mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah. Stratifikasi Sosial Stratifikasi sosial adalah konsep yang sudah sangat umum dalam ilmu sosiologi. Parsons (1940) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai kedudukan yang berbeda dari individu-individu manusia yang menyusun sistem sosial tertentu dan perlakuan mereka sebagai hubungan yang superior dan inferior antara individu yang satu dengan individu lainnya dalam hal-hal yang terkait dengan bidang sosial tertentu. Bungin (2006) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai struktur sosial yang berlapis-lapis di dalam masyarakat. Pengertian kedua ahli tersebut mengindikasikan bahwa stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pelapisan sosial yang terjadi pada masyarakat. Berdasarkan konsep stratifikasi sosial yang digunakan oleh Parsons (1940), maka salah satu dasar pelapisan yang terdapat pada masyarakat adalah harta. Harta yang dimaksud oleh Parsons adalah sesuatu yang dimiliki oleh individu dan dapat dipindahtangankan. Harta di sini tidak hanya terkait dengan obyek yang bersifat materi.Harta juga dapat dikatakan sebagai prestasi dan kekuasaan yang dimiliki oleh individu. Dasar pelapisan harta ini dapat dikaitkan dengan pendapatan yang diterima oleh individu. Jika dilihat dari klasifikasi pendapatannnya, maka masyarakat dapat dibagi menjadi kelompok-kelompok berdasarkan mata pencaharian atau strategi nafkah. Hal ini sesuai dengan pengklasifikasi strata oleh Bungin (2006). Mengutip pendapat Bungin, maka stratifikasi sosial dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu atas (Upper Class), menengah (Middle Class), dan bawah (Lower Class). Kelas atas mewakili kelompok elit di masyarakat yang jumlahnya sangat terbatas. Kelas menengah mewakili kelompok profesional, kelompok pekerja, wiraswastawan, pedagang, dan kelompok fungsional lainnya. Kelas bawah mewakili kelompok pekerja kasar, buruh harian, buruh lepas, dan semacamnya. Stratifikasi sosial juga dapat dikategorikan berdasarkan luasan tanah yang dimiliki oleh petani jika dikaitkan dengan kondisi pedesaan yang didominasi oleh pertanian. Penggolongan strata masyarakat berdasarkan kepemilikan lahan pertanian di pedesaan dicetuskan oleh Sajogyo (1978). Bayu (2000) menyatakan bahwa Sajogyo membagi penggolongan tersebut menjadi 3, yaitu petani gurem dengan pemilikan lahan kurang dari 0.5 hektar, petani kecil dengan pemilikan lahan dari 0.5 sampai 1 hektar, dan petani luas dengan pemilikan lahan lebih dari 1 hektar. Ukuran lainnya yang dapat digunakan untuk melihat strata pada masyarakat pedesaan adalah ukuran dari Badan Pusat Statistika (BPS). Berdasarkan BPS, ada 14 kriteria atau ciri rumah tangga miskin. Indikator kemiskinan tersebut adalah luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, sumber air minum, penggunaan fasilitas buang air besar, jenis bahan bakar untuk masak sehari-hari, sumber penerangan rumah tangga, kepemilikan aset minimal senilai Rp500 000, frekuensi makan dalam sehari, pembelian pakaian baru dalam setahun, pembelian daging/ayam/susu dalam seminggu, kemampuan berobat ke puskesmas atau poliklinik, pendidikan 14 tertinggi kepala rumah tangga, dan bidang pekerjaan utama kepala rumah tangga (Lindiasari 2008). Salah satu alat ukur strata yang juga dapat dijadikan acuan untuk mengklasifikasikan masyarakat berdasarkan strata adalah berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat. Kepemilikan barang berharga atau aset inilah yang menjadi acuan bagi peneliti dalam menggolongkan masyarakat berdasarkan strata. Hal ini sesuai dengan pembagian strata menurut ahli-ahli yang sudah disebutkan sebelumnya dimana stratifikasi sosial pada masyarakat dilihat berdasarkan aspek ekonomi. Masyarakat yang tergolong strata bawah adalah masyarakat yang tidak memiliki barang berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga. Masyarakat yang tergolong strata atas adalah masyarakat yang minimal memiliki 3 jenis barang berharga. Barang berharga yang digunakan pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Masyarakat Pedesaan Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sari (2007), Hayami dan Kikuchi mendefinisikan desa sebagai unit dasar dari kehidupan pedesaan di Asia, dimana desa mengandung arti sebagai desa alamiah atau dukuh tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi dan tidak memiliki keharusan untuk sama dengan unit administratif setempat dalam negara modern, walaupun pada kenyataanya hal tersebut sering kali terjadi. Desa yang didefinisikan oleh peneliti tersebut di atas lebih ditekankan pada adanya ikatan keluarga dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Definisi desa secara hukum dapat dilihat dari pengertian desa berdasarkan kebijakan pemerintah. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan desa sebagai kesamaan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Definisi desa ini menunjukkan bahwa desa adalah kesatuan masyarakat yang memiliki pemerintahan sendiri. Masyarakat desa atau masyarakat pedesaan dapat didefinisikasi sebagai masyarakat yang hidup di desa. Utomo dalam Sari (2007) menyatakan bahwa karakteristik yang dimiliki oleh masyarakat desa adalah masyarakat yang mengutamakan hubungan dan ikatan kekerabatan yang berasal dari suatu keluarga “pembuka desa” tertentu yang merintis terbentuknya suatu masyarakat gemeinschaft. Masyarakat desa dilingkupi oleh suasana kekeluargaan dan tolongmenolong.Masyarakat desa juga masih sangat tergantung pada tokoh-tokoh pemimpin yang ada, baik pemimpin formal maupun informal. Kerangka Pemikiran Pemilu dan Pilkada adalah wadah bagi masyarakat untuk terlibat dalam sistem politik di Indonesia. Masyarakat dapat berpartisipasi dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Bentuk-bentuk partisipasi politik 15 masyarakat pada pemilihan dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari berbagai bentuk partisipasi politik dapat dilakukan berdasarkan stratifikasi sosial (Gambar 1). Kerangka pemikiran pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1. Stratifikasi Sosial ï‚· Strata atas ï‚· Strata bawah Motif-Motif Tindakan Sosial 1. Rasional Instrumental ï‚· Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat ï‚· Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat ï‚· Tingkat penerimaan politik uang 2. Rasional Berorientasi Nilai ï‚· Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan ï‚· Tingkat pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat bagi masyarakat ï‚· Tingkat internalisasi nilai demokrasi yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di bidang politik 3. Afektif ï‚· Tingkat ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan ï‚· Tingkat kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat ï‚· Tingkat kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat 4. Tradisional ï‚· Tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat ï‚· Tingkat kesesuaian antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat ï‚· Tingkat kepatuhan masyarakat kepada tokoh atau kelembagaan yang berpengaruh dalam suatu budaya Keterangan: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik dalam Pemilihan 1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya 2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye 3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pilkada 5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara = Berpengaruh = Konteks Penelitian Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian 16 Bentuk-bentuk partisipasi politik yang dapat dilakukan oleh masyarakat pada pemilihan adalah menggunakan hak pilihnya, terlibat dalam kampanye, terlibat dalam proses pelaksanaan pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pilkada, dan terlibat pada proses penghitungan suara. Demi kebutuhan penelitian, peneliti menurunkan konsep bentuk-bentuk partisipasi politik ini ke dalam variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel-variabel dalam konsep bentuk partisipasi politik ini adalah variabel dependen atau variabel yang dipengaruhi. Bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan dipengaruhi oleh motifmotif tindakan sosial, yaitu rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Motif-motif tindakan sosial ini diturunkan oleh peneliti menjadi variabel-variabel yang dapat diukur. Variabel yang diturunkan ini dijadikan variabel independen atau variabel yang mempengaruhi bentuk-bentuk partisipasi politik. Motif-motif yang mendasari partisipasi politik pada masyarakat berbedabeda antara individu yang satu dengan yang lain. Salah satu aspek yang membedakan motif-motif partisipasi politik ini adalah status sosial ekonomi atau stratifikasi sosial. Masyarakat dengan strata yang berbeda cenderung akan memiliki motif yang berbeda dalam berbagai bentuk partisipasi politik pada pemilihan. Oleh karena itu, peneliti menganalisis pengaruh variabel independen motif tindakan sosial terhadap variabel dependen bentuk-bentuk partisipasi politik dalam konteks masyarakat pedesaan berdasarkan stratifikasi sosial. Hipotesis Penelitian Hipotesis penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut: 1. Partisipasi politik masyarakat pedesaan pada setiap strata berbeda bentuk. 2. Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial dipengaruhi oleh motif-motif tindakan sosial yang berbeda. 3. Masyarakat yang berasal dari strata yang berbeda memiliki motif -motif tindakan sosial yang berbeda dalam mempengaruhi bentuk-bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Definisi Operasional Bentuk Partisipasi Politik Konsep bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah dapat diturunkan menjadi 5 variabel, yaitu: 1. Tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya adalah: ï‚· Partisipasi masyarakat dalam mengikuti prosedur untuk menjadi pemilih pada pemilihan 17 ï‚· Partisipasi masyarakat dalam memberikan suara pada pemilihan Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 7 < x ≤ 8 Sedang : skor 6 ≤ x ≤ 7 Rendah : skor 4 ≤ x < 6 2. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam kampanye adalah: ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat untuk pelaksanaan kampanye ï‚· Sumbangan waktu masyarakat untuk pelaksanaan kampanye ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat untuk pelaksanaan kampanye Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam kampanye dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 9 < x ≤ 12 Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : skor 4 ≤ x < 7 3. Tingkat keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan pemilihan adalah: ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya ï‚· Sumbangan materi masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya ï‚· Sumbangan waktu masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat untuk mengadakan pemilihan di wilayahnya Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat dalam proses pelaksanaan pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 12 < x ≤ 16 Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12 Rendah : skor 4 ≤ x < 8 4. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam Pemilu/Pilkada. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator 18 untuk mengukur partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan adalah: ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam kampanye kandidat ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk terlibat dalam dalam proses perencanaan sampai pelaksanaan pemilihan (menjadi panitia) ï‚· Kegiatan masyarakat dalam mengajak orang lain untuk mengikuti proses penghitungan suara Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 12 < x ≤ 16 Sedang : skor 8 ≤ x ≤ 12 Rendah : skor 4 ≤ x < 8 5. Tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu partisipasi sangat tinggi (skor 4), partisipasi tinggi (skor 3), partisipasi rendah (skor 2), dan partisipasi sangat rendah (skor 1). Indikator untuk mengukur keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara adalah: ï‚· Sumbangan tenaga masyarakat dalam proses penghitungan suara di TPS ï‚· Sumbangan waktu masyarakat dalam melakukan proses penghitungan suara di TPS ï‚· Sumbangan gagasan masyarakat dalam proses penghitungan suara di TPS Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat keterlibatan masyarakat pada proses penghitungan suara dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: Tinggi : skor 9 < x ≤ 12 Sedang : skor 7 ≤ x ≤ 9 Rendah : skor 4 ≤ x < 7 Motif Tindakan Sosial Konsep motif tindakan sosial masyarakat pada pemilihan terdiri dari 4 motif, yaitu: 1. Rasional instrumental. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional instrumental adalah: a. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap pendapatan masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh hasil pemilihan terhadap pendapatan masyarakat adalah: ï‚· Penambahan pendapatan masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan 19 ï‚· Penambahan proyek pada pekerjaan masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan b. Tingkat pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat berpengaruh (skor 4), berpengaruh (skor 3), tidak berpengaruh (skor 2), dan sangat tidak berpengaruh (skor 1). Indikator untuk mengukur pengaruh pemilihan terhadap sumber penghasilan masyarakat adalah: ï‚· Penambahan sumber penghasilan masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan ï‚· Penambahan jam kerja masyarakat karena adanya pelaksanaan pemilihan c. Tingkat penerimaan politik uang. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur penerimaan masyarakat terhadap politik uang adalah: ï‚· Sikap masyarakat terhadap bantuan yang diberikan partai atau kandidat kepada masyarakat pada saat-saat menjelang pemilihan ï‚· Pengaruh bantuan yang diberikan kandidat terhadap partisipasi politik masyarakat Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka pengaruh motif rasional instrumental terhadap partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: Tinggi : skor 15 ≤ x ≤ 24 Rendah : skor 6 ≤ x < 15 2. Rasional berorientasi nilai. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif rasional berorientasi nilai adalah: a. Tingkat kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak penting (skor 1).Indikator untuk mengukur kesadaran masyarakat akan kewajibannya mengikuti pemilihan adalah: ï‚· Sikap masyarakat tentang pelaksanaan pemilihan ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya pelaksanaan pemilihan ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya suara mereka dalam pemilihan b. Tingkat pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat bagi masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting (skor 4), penting (skor 3), tidak penting (skor 2), dan sangat tidak penting (skor 1). Indikator untuk mengukur harapan masyarakat untuk mendapatkan pemimpin yang tepat adalah: ï‚· Waktu masyarakat dalam menentukan kandidat yang akan dipilih ï‚· Pencarian informasi oleh masyarakat terkait dengan kandidat-kandidat dalam Pilkada sebelum menentukan kandidat yang akan dipilih ï‚· Sikap masyarakat tentang pentingnya memilih kandidat yang tepat dalam pemilihan 20 c. Tingkat internalisasi nilai demokrasi yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di bidang politik. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur internalisasi nilai yang ada di dalam masyarakat terkait dengan hal-hal di bidang politik adalah: ï‚· Pengaruh manfaat dilaksanakannya pemilihan terhadap partisipasi politik masyarakat ï‚· Pengaruh pentingnya pelaksanaan pemilihan terhadap partisipasi politik masyarakat ï‚· Sikap masyarakat untuk terlibat lebih jauh di dalam sistem pemerintahan Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka pengaruh motif rasional berorientasi nilai terhadap partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: Tinggi : skor 23 ≤ x ≤ 36 Rendah : skor 9 ≤ x < 23 3. Afektif. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif afektif adalah: a. Tingkat ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi(skor 1). Indikator untuk mengukur ketertarikan masyarakat terhadap pemilihan adalah: ï‚· Pengaruh ketertarikanmasyarakat untuk terlibat di pemilihan terhadap kesediaan masyarakat untuk mengikuti prosedur dalam mengikuti pemilihan tersebut ï‚· Pentingnya pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat ï‚· Manfaat pelaksanaan pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat b. Tingkat kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat adalah: ï‚· Sikap masyarakat untuk mengenal pribadi kandidat lebih jauh ï‚· Pengetahuan masyarakat tentang pribadi kandidat dalam pemilihan ï‚· Kedekatan secara emosional yang dirasakan oleh masyarakat terhadap kandidat dalam pemilihan c. Tingkat kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi (skor 4), mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat adalah: ï‚· Kondisi keamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan 21 ï‚· ï‚· Kondisi kenyamanan di lingkungan masyarakat karena hasil pemilihan Besarnya potensi terjadinya konflik di lingkungan masyarakat terkait dengan hasil pemilihan Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka pengaruh motif afektif terhadap partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: Tinggi : skor 23 ≤ x ≤ 36 Rendah : skor 9 ≤ x < 23 4. Tradisional. Variabel-variabel yang digunakan dalam motif tradisional adalah: a. Tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur tingkat internalisasi ajaran yang dianut dalam suatu agama atau adat adalah: ï‚· Pentingnya ajaran agama atau adat yang diterapkan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari ï‚· Adanya kesan bagi masyarakat akan adanya kewajiban untuk terlibat dalam pemilihan berdasarkan ajaran agama atau adat yang masyarakat miliki ï‚· Adanya pengaruh ajaran agama atau adat yang masyarakat miliki dengan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan b. Tingkat kesesuaian antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat penting/mempengaruhi (skor 4), penting/mempengaruhi (skor 3), tidak penting/mempengaruhi (skor 2), dan sangat tidak penting/mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kesesuaian antara latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat adalah: ï‚· Sikap masyarakat dalam mencari tahu latar belakang agama atau suku kandidat sebelum memilih kandidat dalam pemilihan ï‚· Adanya pengaruh latar belakang agama atau suku kandidat terhadap partisipasi politik masyarakat ï‚· Pentingnya latar belakang agama atau suku kandidat dalam pemilihan c. Tingkat kepatuhan masyarakat kepada tokoh atau kelembagaan yang berpengaruh dalam suatu budaya. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu sangat mempengaruhi (skor 4), mempengaruhi (skor 3), tidak mempengaruhi (skor 2), dan sangat mempengaruhi (skor 1). Indikator untuk mengukur kepatuhan masyarakat kepada orang yang berpengaruh dalam suatu budaya adalah: ï‚· Pengaruh kelembagaan yang dianggap paling berpengaruh dalam lingkungan masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat ï‚· Pengaruh tokoh yang dianggap paling berpengaruh dalam lingkungan masyarakat terhadap partisipasi politik masyarakat ï‚· Pengaruh kedekatan emosional antara masyarakat dengan orang yang paling berpengaruh dalam lingkungannya terhadap partisipasi politik masyarakat 22 Jika diklasifikasikan secara umum berdasarkan jumlah indikator yang digunakan, maka pengaruh motif tradisional terhadap partisipasi masyarakat dapat dibagi menjadi 2 kategori, yaitu: Tinggi : skor 30 ≤ x ≤ 48 Rendah : skor 12 ≤ x < 30 Stratifikasi Sosial Stratifikasi pada masyarakat dapat diukur dari status sosial-ekonomi. Sesuai dengan konteks masyarakat pedesaan yang digunakan oleh peneliti sekaligus untuk memudahkan pendataan pelapisan di masyarakat pedesaan, maka aspek yang dapat digunakan untuk mengukur kondisi sosial-ekonomi pada masyarakat adalah kepemilikan aset atau barang berharga yang dimiliki oleh masyarakat. Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Oleh karena itu, maka sistem pelapisan yang digunakan pada penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu: ï‚· Strata atas, yaitu masyarakat yang memiliki minimal 3 jenis barang berharga ï‚· Strata bawah, yaitu masyarakat yang tidak memiliki barang berharga sampai masyarakat yang memiliki maksimal 2 jenis barang berharga PENDEKATAN LAPANG Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian mengenai motif-motif tindakan sosial terhadap partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan dilaksanakan di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pemilihan lokasi ini dilakukan secara purposive dengan mempertimbangkan hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Hasil pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 ini dapat diolah sehingga didapatkan pengklasifikasian wilayah-wilayah yang memiliki partisipasi tinggi, sedang, dan rendah. Wilayah yang diteliti pada penelitian ini adalah kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Peneliti memilih wilayah yang memiliki partisipasi sedang agar wilayah tersebut dapat mewakili wilayah lain secara umum, baik wilayah yang memiliki partisipasi tinggi maupun wilayah yang memiliki partisipasi rendah. Setelah dilakukan pengklasifikasian, didapatkan bahwa terdapat 19 kecamatan yang memiliki partisipasi sedang. Dilakukan pengambilan sampel secara acak dan Kecamatan Caringin terpilih sebagai kecamatan diadakannya penelitian. Untuk lokasi penelitian yang lebih spesifik, peneliti juga melakukan pengklasifikasian tinggi-rendahnya partisipasi masyarakat dari tiap-tiap desa di Kecamatan Caringin. Terdapat 3 dari 12 desa yang memiliki partisipasi sedang pada Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Kecamatan Caringin. Ketiga desa tersebut kemudian diacak untuk memiliki lokasi penelitian di tingkat desa. Desa Pancawati (Lampiran 1) terpilih sebagai lokasi penelitian melalui pengambilan sampel secara acak tersebut. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh peneliti meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, perbaikan proposal penelitian, pengambilan data lapangan, pengolahan dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan skripsi. Proses penelitian dimulai dari pembuatan proposal penelitian pada bulan Juni 2013. Penelitian di lapangan dilakukan selama 10 minggu, yaitu pada bulan September hingga November 2013. Pengolahan dan analisis data dilakukan selama empat minggu dari Oktober sampai November 2013. Penulisan laporan akhir skripsi, sidang penelitian, dan perbaikan skripsi dilakukan pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014 (Lampiran 2). Metode Penelitian Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif yang didukung oleh metode penelitian kualitatif. Hal ini dilakukan untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti (Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian kuantitatif adalah teknik penelitian survei. Penelitian survei adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dari sampel atas populasi untuk mewakili seluruh populasi. Informasi yang dikumpulkan dalam penelitian survei adalah informasi dari responden dengan menggunakan kuesioner. Unit analisa yang digunakan pada penelitian ini adalah individu. Penelitian survei yang digunakan pada penelitian ini digunakan untuk maksud penjelasan (explanatory). Pada 24 penelitian explanatory, peneliti menjelaskan hubungan kausal antara variabelvariabel melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi 1989). Teknik survei yang digunakan untuk penelitian kuantitatif menggunakan instrumen kuesioner. Kuesioner ini digunakan untuk mengukur konsep motif tindakan sosial yang mempengaruhi partisipasi politik masyarakat pada pemilihan serta konsep bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan. Kuesioner juga digunakan untuk melihat stratifikasi sosial pada masyarakat, tetapi kuesioner yang digunakan ini tidak digunakan untuk mengukur. Kuesioner untuk stratifikasi sosial pada masyarakat digunakan hanya untuk menentukan strata pada masyarakat yang dijadikan sebagai konteks penelitian. Penelitian kualitatif dilakukan dengan teknik penelitian wawancara tidak terstruktur, wawancara mendalam, observasi, dan analisa data sekunder yang terkait dengan topik penelitian peneliti. Penelitian kualitatif yang dilakukan berguna untuk melengkapi data terkait motif-motif partisipasi politik masyarakat pada pemilihan, bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada pemilihan, serta hubungan antara motif tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial. Teknik Sampling Populasi pada penelitian ini adalah seluruh masyarakat yang terdaftar sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) dalam Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor. Unit penelitian atau unit yang diteliti oleh peneliti adalah individu yang sudah memiliki hak suara dalam pemilihan, minimal pada saat Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Hal ini sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk mengetahui motif-motif tindakan sosial terhadap partisipasi politik. Oleh karena itu, individu yang dianalisa pada penelitian adalah individu yang sudah pernah mengikuti pemilihan. Populasi Simple random sampling Kepemilikan minimal 3 jenis barang berharga 21 orang Responden Strata Atas Kepemilikan maksimal 2 jenis barang berharga 39 orang Responden Strata Bawah 60 orang responden Gambar 2 Metode pengambilan sampel Metode penarikan sampel yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah pengambilan sampel acak sederhana (simple random sampling) (Gambar 2). Berdasarkan data DPT Desa Pancawati pada Pilbup Kab.Bogor 2013, peneliti 25 memilih 60 orang masyarakat secara acak untuk menjadi responden pada penelitian ini (Lampiran 3). Jumlah responden sebanyak 60 orang ini sesuai dengan aturan Roscoe (1975) yang menyatakan bahwa jumlah sample minimal dalam penelitian adalah 30 orang. Jika dilakukan pengkategorian, maka jumlah sample minimal pada masing-masing kategori adalah 30 orang (Hill 1998). Penelitian ini menganalisis responden dari 2 strata yang berbeda, yaitu strata atas dan strata bawah. Oleh karena itu, responden yang diambil adalah 60 orang dengan asumsi bahwa masing-masing strata diwakili oleh 30 orang. Sebanyak 60 orang responden yang terpilih kemudian diklasifikasikan berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga menjadi responden strata atas dan strata bawah. Responden strata atas adalah responden yang memiliki minimal 3 jenis barang berharga. Responden strata bawah adalah responden yang tidak memiliki barang berharga sampai memiliki maksimal 2 jenis barang berharga. Barang berharga yang dimaksud pada penelitian ini adalah televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Berdasarkan pengklasifikasian tersebut, maka didapatkan 21 orang responden strata atas dan 39 orang responden strata bawah. Walaupun responden pada masing-masing strata tidak setara 30 orang, namun demi tercapainya validitas data, hal ini tidak dipermasalahkan karena kepemilikan barang berhargalah yang menjadi acuan dalam penggolongan strata responden. Pengumpulan Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapatkan peneliti melalui observasi, kuesioner, dan wawancara mendalam kepada responden dan informan secara langsung di lokasi penelitian. Observasi dilakukan oleh peneliti dengan cara mengamati kondisi fisik dan aktivitas yang terdapat di lokasi penelitian. Kuesioner diberikan kepada 60 orang responden yang sudah ditentukan sebelumnya. Wawancara mendalam dilakukan kepada responden dan informan untuk melengkapi data yang dibutuhkan. Data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur yang berkaitan dengan penelitian ini. Data sekunder juga diperoleh dari pihak-pihak yang berkaitan dengan penelitian ini, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pusat Statistika (BPS), dan Pemerintah Desa Pancawati. Data sekunder yang diambil dari lembaga-lembaga tersebut adalah data yang berkaitan dengan tujuan penelitian, seperti profil Desa Pancawati, Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, hasil Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013 di Desa Pancawati, dan data-data lain yang terkait. Pengolahan dan Analisis Data Data kuantitatif yang didapatkan dari hasil kuesioner responden diolah dan dianalisis dengan menggunakan program software SPSS Statistics 16.0 dan Microsoft Office Excel 2007. Program SPSS Statistics 16.0 digunakan oleh peneliti untuk melakukan uji statistik. Uji statistik dilakukan dengan 26 menggunakan analisa Rank Spearman. Uji Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara dua variabel atau lebih yang berskala ordinal2. Hasil analisis ini disajikan dalam bentuk tabulasi silang, grafik, dan bagan, dengan menggunakan program Microsoft Office Excel 2007. Analisis data kualitatif dilakukan melalui empat tahap, yaitu pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan atau verifikasi kesimpulan (Miles & Hiberman dalam Sari 2007). Pengumpulan data dilakukan secara bersamaan dengan analisis data. Reduksi data dilakukan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasikan data (Sari 2007). Tahap selanjutnya adalah menyajikan data, baik dalam bentuk kutipan langsung maupun tidak. Tahap terakhir adalah melakukan verifikasi atau penarikan kesimpulan terhadap data yang telah disajikan. 2 Sarwono J. 2009. Statistik itu mudah: Panduan lengkap untuk belajar komputasi statistik menggunakan SPSS 16. Yogyakarta [ID]: Andi Offset. 344 hal. GAMBARAN LOKASI PENELITIAN Kondisi Geografis dan Ekonomi Desa Pancawati adalah salah satu dari dua belas desa yang terdapat di Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Seluruh wilayah desa ini merupakan dataran tinggi dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Curah hujan rata-rata di desa ini adalah 205 mm. Desa Pancawati terbagi menjadi 5 Dusun, 13 RW (Rukun Warga), dan 48 RT (Rukun Tetangga). Adapun batasbatas wilayah Desa Pancawati adalah sebagai berikut: - Sebelah Utara : Desa Cileungsi - Sebelah Timur : Gunung Gede Pangrango - Sebelah Selatan : Desa Cimande - Sebelah Barat : Desa Ciderum Adapun luas wilayah Desa Pancawati adalah sekitar 673 ha. Sebagian besar lahan di Desa Pancawati digunakan untuk pemukiman. Sebanyak 45.17 persen (304 ha) wilayah desa merupakan perumahan. Selain wilayah perumahan, Desa Pancawati juga memiliki persawahan yang cukup luas. Sebesar 31.05 persen (209 ha) wilayah desa merupakan daerah persawahan (Tabel 1). Tabel 1 Luas dan persentase wilayah lahan berdasarkan berbagai bentuk penggunaan lahan di Desa Pancawati tahun 2012 Luas wilayah Penggunaan lahan Luas (ha) Persentase (%) Perumahan 304 45.17 Persawahan 209 31.05 Ladang/kebun 61.5 9.14 Empang/kolam 0 0.00 Area wisata 0 0.00 Pemakaman 5 0.74 Perkantoran umum 0.5 0.07 Lapangan olahraga 0.2 0.03 Bangunan pendidikan 20.8 3.09 Bangunan peribadatan 25 3.71 Prasarana umum lainnya 47 6.98 Total 673 100 Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012 Jumlah Kepala Keluarga (KK) di Desa Pancawati adalah 5 264 KK. Total penduduk seluruhnya adalah 13 187 jiwa yang terdiri dari 6 387 jiwa penduduk perempuan dan 6 800 jiwa penduduk laki-laki. Jumlah keluarga prasejahtera di Desa Pancawati adalah sebanyak 3 685 keluarga. Jumlah ini menunjukkan bahwa sekitar 70 persen dari seluruh keluarga di Desa Pancawati adalah keluarga prasejahtera. Banyaknya keluarga prasejahtera di Desa Pancawati dapat dikaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Masyarakat yang tingkat 28 pendidikannya hanya tamat SD/sederajat sebanyak 3 812 orang. Masyarakat yang tamat SLTP/sederajat sebanyak 832 orang dan yang tamat SLTA/sederajat sebanyak 524 orang. Hanya sedikit masyarakat yang pernah duduk di bangku perguruan tinggi. Masyarakat yang tamat DI/DII/DIII sebanyak 25 orang dan yang tamat SI sebanyak 19 orang. Tabel 2 menunjukkan jumlah dan persentase angkatan kerja di Desa Pancawati berdasarkan jenis pekerjaan atau mata pencaharian. Mata pencaharian utama di Desa Pancawati adalah sebagai buruh tani. Selain sebagai petani, masyarakat di Desa Pancawati juga banyak yang bekerja sebagai wiraswasta. Masyarakat yang bekerja sebagai wiraswasta paling banyak adalah masyarakat yang membuka toko kelontong dan sebagai tukang ojeg (Tabel 2). Tabel 2 Jumlah tenaga kerja berdasarkan jenis-jenis pekerjaan masyarakat Desa Pancawati tahun 2012 Tenaga kerja Jenis pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%) Buruh tani 1 127 20.51 Petani 983 17.89 Tukang ojeg 789 14.36 Wiraswasta 712 12.96 Karyawan swasta 532 9.68 Buruh bangunan 437 7.95 Pegawai swasta 365 6.64 Pedagang 271 4.93 Pengrajin 87 1.58 Pensiunan PNS/TNI/POLRI 63 1.15 Supir angkot 53 0.96 Penjahit 35 0.64 Pegawai Negeri Sipil 30 0.55 Bengkel 4 0.07 POLRI 3 0.05 Tukang las 2 0.04 TNI 1 0.02 Total 5 494 100 Sumber: Data profil Desa Pancawati, 2012 Usaha-usaha lain yang dibuka sendiri oleh masyarakat adalah usaha peternakan, perikanan, perkebunan, dan usaha jasa keterampilan. Usaha jasa keterampilan ini meliputi usaha jahit atau bordir, pangkas atau cukur, service alatalat elektronik, dan usaha pijat atau pengobatan. Usaha jasa penginapan juga banyak digeluti oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan banyak wisatawan yang datang ke Desa Pancawati untuk menghabiskan akhir pekan. Mengingat Desa Pancawati yang terletak di dataran tinggi dan memiliki cuaca yang sejuk, maka bukanlah suatu yang aneh jika banyak wisatawan yang datang ke desa ini. 29 Karakteristik Responden dan Pelapisan pada Masyarakat Responden pada penelitian ini berjumlah 60 orang. Responden adalah masyarakat yang tercatat sebagai pemilih pada Daftar Pemilih Tetap Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013. Pembagian masyarakat ke dalam kelompokkelompok strata dilakukan dengan ukuran kepemilikan aset yang dimiliki oleh responden. Responden yang digolongkan sebagai strata bawah adalah responden yang tidak memiliki aset sampai memiliki 2 jenis aset, sedangkan reponden yang digolongkan sebagai strata atas adalah responden yang memiliki 3 jenis sampai 5 jenis aset. Pada penelitian ini jumlah responden strata atas adalah 21 orang, sedangkan responden strata bawah berjumlah 39 orang. Responden terdiri dari individu yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Mayoritas responden berjenis kelamin perempuan. Sebanyak 65 persen (39 orang) responden adalah perempuan, yang terdiri dari 21.67 persen (13 orang) perempuan strata atas dan 43.33 persen (26 orang) perempuan strata bawah (Gambar 3). Banyaknya jumlah responden perempuan pada penelitian ini dikarenakan oleh Kepala Keluarga (laki-laki) meminta perempuan pada rumah tangga tersebut untuk menjadi responden. Peneliti berasumsi bahwa hal ini terjadi karena peneliti adalah perempuan. 70,00 Persentase Responden 60,00 50,00 40,00 Laki-Laki 30,00 Perempuan 20,00 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 3 Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin Perbedaan antara responden pada strata atas dan bawah diukur dari kepemilikan aset yang dimiliki oleh responden. Resonden pada strata bawah adalah responden yang maksimal memiliki 2 jenis aset, sedangkan responden pada strata atas adalah responden yang minimal memiliki 3 jenis aset. Jenis-jenis aset yang dimaksud disini adalah barang-barang berharga, seperti televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda motor. Mayoritas responden strata bawah, yaitu sebanyak 36.67 persen (22 orang) responden memiliki 1 jenis barang berharga. Barang berharga tersebut pada umumnya adalah televisi. Berbeda dengan responden pada strata bawah, mayoritas responden pada strata atas, yaitu sebanyak 23.33 persen (14 orang) responden memiliki 3 jenis barang berharga (Gambar 4). Kepemilikan barang berharga paling banyak dimiliki oleh 1.67 persen (1 orang) responden pada strata atas, yaitu sebanyak 5 jenis barang berharga, yaitu televisi, VCD-DVD room, lemari es, mesin cuci, dan sepeda 30 motor. Kepemilikan barang berharga paling sedikit adalah sebanyak 3.33 persen (2 orang) responden pada strata bawah yang tidak memiliki barang berharga. 40,00 Persentase Responden 35,00 30,00 Tidak Ada 25,00 1 Jenis 20,00 2 Jenis 15,00 3 Jenis 4 Jenis 10,00 5 Jenis 5,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 4 Karakteristik responden berdasarkan kepemilikan aset atau barang berharga Penggolongan strata berdasarkan kepemilikan aset menunjukkan bahwa aspek ekonomi menjadi dasar dalam penggolongan strata pada penelitian ini. Berdasarkan penggolongan tersebut, informasi mengenai taraf hidup responden diklasifikasikan menurut masing-masing strata. Taraf hidup responden tersebut diukur berdasarkan kondisi rumah, sumber air bersih untuk minum, sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, bahan bakar (energi) untuk memasak, tempat mandi dan buang air besar, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, dan penanganan kesehatan. Selain itu, perbedaan strata responden dapat didukung oleh data tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran, dan pekerjaan Kepala Keluarga responden. Berdasarkan tingkat pendidikan, responden pada strata atas cenderung memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi daripada responden pada strata bawah. Responden yang tidak tamat SD dan yang tamat SD cenderung lebih banyak pada responden yang berada pada strata bawah, yaitu sebanyak 89.74 persen (35 orang) dari seluruh responden strata bawah. Hal ini berbeda dengan responden strata atas dimana responden yang tidak tamat SD dan taman SD hanya sebanyak 61,90 persen (13 orang) dari seluruh responden strata atas. Responden yang tingkat pendidikannya SMP, SMA, dan perguruan tinggi cenderung lebih banyak pada responden yang berada pada strata atas (Gambar 5). 31 70,00 Persentase Responden 60,00 50,00 Tidak Tamat SD 40,00 SD 30,00 SMP SMA 20,00 Perguruan Tinggi 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 5 Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan Karakteristik responden berdasarkan pendapatan, terdapat kecenderungan bahwa responden pada strata atas memiliki pendapatan yang lebih tinggi daripada responden pada strata bawah. Responden yang memiliki pendapatan kurang dari Rp500 000 cenderung berada pada strata bawah. Terdapat 3.33 persen (2 orang) responden pada strata atas yang memiliki pendapatan kurang dari Rp500 000, sedangkan responden pada strata bawah yang memiliki pendapatan kurang dari Rp500 000 sebanyak 15 persen (9 orang). Secara umum, mayoritas responden, yaitu sebanyak 70 persen (42 orang) responden, memiliki pendapatan sekitar Rp500 000 sampai Rp1 500 000 per bulan (Gambar 6). Tidak terdapatnya perbedaan yang terlalu signifikan antara pendapatan strata atas dan strata bawah dapat diakibatkan oleh penggolongan pendapatan yang dilakukan pada kuesioner. 80,00 Persentase Responden 70,00 Pendapatan < Rp500 000 60,00 50,00 Rp500 000 ≤ Pendapatan ≤ Rp1 500 000 40,00 Rp1 500 000 < Pendapatan ≤ Rp2 500 000 30,00 Pendapatan > Rp2 500 000 20,00 Tidak Diketahui 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 6 Karakteristik responden berdasarkan pendapatan Pengeluaran responden tidak jauh berbeda dengan pendapatan responden. Pengeluaran responden pada strata atas dan strata bawah berkisar antara 32 Rp500 000 sampai Rp1 500 000 (Gambar 7). Pada umumnya, masyarakat mengaku bahwa pengeluaran mereka lebih besar daripada pendapatan. Walaupun masih berkisar antara Rp500 000 sampai Rp1 500 000, selisih antara pendapatan dan pengeluaran mereka cukup besar. Pemenuhan kebutuhan sehari-hari biasanya tidak bisa hanya mengandalkan pekerjaan utama. Tidak terdapatnya perbedaan yang terlalu signifikan antara pengeluaran strata atas dan strata bawah dapat diakibatkan oleh penggolongan pengeluaran yang dilakukan pada kuesioner. 80,00 Persentase Responden 70,00 Pengeluaran < Rp500 000 60,00 50,00 Rp500 000 ≤ Pengeluaran ≤ Rp1 500 000 40,00 Rp1 500 000 < Pengeluaran ≤ Rp2 500 000 30,00 Pengeluaran > Rp2 500 000 20,00 Tidak Diketahui 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 7 Karakteristik responden berdasarkan pengeluaran Penggolongan pekerjaan Kepala Keluarga (KK) responden dapat dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pekerjaan buruh, petani, karyawan, wiraswasta, dan guru. Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata bawah memiliki pekerjaan sebagai buruh, yaitu sebanyak 40.00 persen (24 orang) responden. Mayoritas KK pada rumah tangga responden strata atas memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta, yaitu sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden. Walaupun responden strata atas sudah dipilih secara purposive dengan melihat KK rumah tangga yang bekerja sebagai wiraswasta atau karyawan swasta, namun di lapangan masih terdapat responden strata atas yang Kepala Keluarganya bekerja sebagai buruh. Hal ini dapat terjadi karena kurang akuratnya data desa atau data desa yang belum diperbaharui. Secara umum, mayoritas KK pada rumah tangga responden bekerja sebagai buruh, yaitu sebanyak 48.33 persen (29 orang) responden (Gambar 8). 33 60,00 Persentase Responden 50,00 40,00 Buruh Petani 30,00 Karyawan Wiraswasta 20,00 Guru 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 8 Karakteristik responden berdasarkan pekerjaan Kepala Keluarga Kondisi rumah responden digolongkan menjadi rumah permanen dan semi-permanen. Responden yang memiliki rumah permanen lebih banyak daripada responden yang memiliki rumah semi-permanen, yaitu sebanyak 85 persen (51 orang) responden. Rumah semi-permanen hanya terdapat pada responden strata bawah, yaitu sebanyak 15.00 persen (9 orang) responden strata bawah memiliki rumah semi-permanen (Gambar 9). 90,00 Persentase Responden 80,00 70,00 60,00 50,00 Permanen 40,00 Semi-Permanen 30,00 20,00 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 9 Karakteristik responden berdasarkan kondisi rumah Kondisi rumah responden, baik permanen maupun semi-permanen, terkait dengan jenis lantai dan dinding bangunan tempat tinggal responden. Sebagian besar responden strata atas memiliki lantai keramik, yaitu sebanyak 33.33 persen (20 orang) responden. Hanya terdapat 1.67 persen (1 orang) responden strata atas yang memiliki lantai semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki lantai rumah dari bambu atau tanah. Hal ini berbeda dengan responden pada strata 34 bawah. Walaupun mayoritas strata bawah juga memiliki lantai keramik, namun persentase responden strata bawah yang memiliki lantai keramik lebih sedikit daripada responden strata atas. Persentase responden strata bawah yang memiliki lantai semen pun lebih banyak daripada responden strata atas. Selain itu, terdapat 11.67 (7 orang) responden strata bawah yang memiliki lantai rumah bambu dan terdapat 3.33 persen (2 orang) responden yang memiliki lantai tanah (Gambar 10). 70,00 Persentase Responden 60,00 50,00 Keramik 40,00 Semen 30,00 Bambu 20,00 Tanah 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 10 Karakteristik responden berdasarkan jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding bangunan tempat tinggal mayoritas responden adalah semen, yaitu sebanyak 83.33 persen (50 orang) responden. Seluruh responden strata atas memiliki dinding rumah semen. Tidak ada responden strata atas yang memiliki dinding bambu atau batako. Hal ini berbeda dengan responden pada strata bawah. Pada responden strata bawah, sebanyak 15.00 persen (9 orang) memiliki dinding bambu dan sebanyak 1.67 persen (1 orang) memiliki dinding batako (Gambar 11). 90,00 Persentase Responden 80,00 70,00 60,00 50,00 Semen 40,00 Bambu 30,00 Batako 20,00 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 11 Karakteristik responden berdasarkan jenis dinding bangunan tempat tinggal 35 Informasi lainnya yang terkait dengan rumah bangunan tempat tinggal responden adalah tempat mandi dan buang air besar. Sebagian besar responden memiliki kamar mandi sendiri dengan septic tank, yaitu sebanyak 86.67 persen (52 orang) responden. Pada responden strata atas, terdapat 1.67 persen (1 orang) responden yang memiliki kamar mandi sendiri tanpa septic tank. Tidak ada responden strata atas yang menggunakan kamar mandi umum untuk mandi dan buang air besar. Pada responden strata bawah, terdapat 5 persen (3 orang) yang menggunakan kamar mandi umum dengan septic tank dan terdapat 5 persen (3 orang) yang menggunakan kamar mandi umum tanpa septic tank (Gambar 12). 100,00 90,00 Persentase Responden 80,00 Kamar Mandi Sendiri dengan Septic Tank 70,00 60,00 Kamar Mandi Sendiri Tanpa Septic Tank 50,00 40,00 Kamar Mandi Umum dengan Septic Tank 30,00 Kamar Mandi Umum Tanpa Septic Tank 20,00 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 12 Karakteristik responden berdasarkan tempat mandi dan buang air besar Informasi lainnya yang didapat oleh peneliti adalah sumber air bersih yang digunakan responden untuk minum. Secara umum, sumber air minum responden adalah air sumur. Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki sumber air minum dari sumur (Gambar 13). Mayoritas responden strata atas membeli air mineral untuk air minum, yaitu sebanyak 13.33 persen (8 orang) responden. Terdapat sebuah pabrik air minum di Desa Pancawati. Pabrik inilah sumber air minum yang dibeli dari sebagian besar responden strata atas. Mayoritas responden strata bawah memiliki sumur sebagai sumber air minum, yaitu sebanyak 30 persen (18 orang) responden. 36 45,00 Persentase Responden 40,00 35,00 PDAM 30,00 Beli 25,00 Air Gunung/Weslik 20,00 Sumur 15,00 Air Sungai 10,00 Lainnya 5,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 13 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk minum Sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari juga menjadi salah satu informasi yang terkait dengan karakteristik responden berdasarkan stratifikasi sosial. Kebutuhan sehari-hari yang dimaksud pada karakteristik responden ini adalah aktivitas sehari-hari responden yang menggunakan air, seperti mencuci. Sebagian besar responden, yaitu sebanyak 40 persen (24 orang), menggunakan air gunung sumur untuk mencuci (Gambar 14). Mayoritas responden strata atas menggunakan air gunung/weslik untuk aktivitas sehari-hari, yaitu sebanyak 15 persen (9 orang) responden. Air gunung/weslik adalah air yang mengalir langsung dari mata air di gunung terdekat di Desa Pancawati. Karena Desa Pancawati terletak di daerah dataran tinggi, maka cukup banyak wilayah yang dapat dialiri oleh air gunung tersebut. Mayoritas responden strata bawah, yaitu sebanyak 26.67 persen (16 orang) responden, menggunakan air sumur untuk aktivitas sehari-hari. 45,00 Persentase Responden 40,00 35,00 PDAM 30,00 Beli 25,00 Air Gunung/Weslik 20,00 Sumur 15,00 Air Sungai 10,00 Lainnya 5,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 14 Karakteristik responden berdasarkan sumber air bersih untuk kebutuhan sehari-hari 37 Penggolongan karakteristik responden lainnya adalah bahan bakar (energi) yang digunakan untuk memasak. Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden pada strata atas menggunakan bahan bakar gas untuk memasak dan 3.33 persen (2 orang) menggunakan gas dan arang atau kayu bakar. Tidak ada responden strata atas yang menggunakan arang atau kayu bakar saja untuk memasak. Hal ini berbeda dengan responden pada strata bawah. Sebanyak 33.33 persen (20 orang) responden pada strata bawah menggunakan bahan bakar gas untuk memasak, 18.33 persen (11 orang) menggunakan arang atau kayu bakar, dan 13.33 persen (8 orang) menggunakan keduanya (Gambar 15). 70,00 Persentase Responden 60,00 50,00 Gas 40,00 30,00 Gas dan Arang/Kayu Bakar 20,00 Arang/Kayu Bakar 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 15 Karakteristik responden berdasarkan bahan bakar (energi) untuk memasak Responden yang menggunakan gas dan arang atau kayu bakar untuk memasak menunjukkan bahwa bahan bakar yang digunakan oleh responden tidak tetap. Jika kondisi keuangannya memungkinkan, maka responden akan membeli gas. Jika kondisi keuangan responden tidak memungkinkan untuk membeli gas, maka responden menggunakan arang atau kayu bakar. Kayu bakar yang biasanya digunakan responden untuk memasak diambil dari kebun sekitar rumah responden. Kayu bakar tersebut biasanya tidak dibeli. Responden hanya mengambil kayu-kayu yang sekiranya tidak digunakan untuk dijadikan bahan bakar memasak. 38 90,00 Persentase Responden 80,00 70,00 60,00 Berobat ke Rumah Sakit 50,00 Berobat ke Puskesmas 40,00 Beli Obat di Warung 30,00 Lainnya 20,00 10,00 0,00 Strata Atas Strata Bawah Total Gambar 16 Karakteristik responden berdasarkan jenis penanganan kesehatan Karakteristik responden lainnya berdasarkan strata adalah jenis penanganan kesehatan responden. Mayoritas responden berobat ke puskesmas untuk penanganan kesehatan. Sebanyak 26.67 persen (16 orang) responden strata atas dan 56.67 persen (34 orang) responden strata bawah berobat ke Puskesmas untuk penanganan kesehatan. Sebanyak 3.33 persen (2 orang) responden strata atas berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan, sedangkan responden strata bawah yang berobat ke rumah sakit untuk penanganan kesehatan sebanyak 1.67 (1 orang) responden. Responden yang membeli obat di warung untuk penanganan kesehatan adalah 1.67 persen (1 orang) responden pada strata bawah. Responden yang termasuk ke dalam kategori lainnya adalah responden yang berobat ke klinik swasta atau mantri untuk penanganan kesehatan (Gambar 16). BENTUK-BENTUK PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat pada Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum dapat dibagi menjadi lima bentuk, yaitu penggunaan hak pilih masyarakat atau melakukan pencoblosan, keterlibatan masyarakat dalam kampanye, keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan suatu pemilihan atau menjadi panitia pemungutan suara, partisipasi masyarakat dalam mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, dan partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara. Setiap orang dapat melakukan seluruh bentuk-bentuk partisipasi politik tersebut. Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih Bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi adalalah partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam menggunakan hak pilihnya (Tabel 3). Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih ini adalah bentuk yang paling memungkinkan bagi masyarakat untuk berpartisipasi di dalamnya. Masyarakat memiliki hak sekaligus kewajiban untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Masyarakat diberikan hak untuk memilih calon pemimpinnya. Secara otomatis, pemilihan ini juga merupakan sarana partisipasi politik yang mewajibkan masyarakat untuk terlibat di dalamnya. Tabel 3 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi menggunakan hak pilih berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi Total Strata Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % Atas 20 33.33 1 1.67 0 0.00 21 35.00 Bawah 33 55.00 5 8.33 1 1.67 39 65.00 Total 53 88.33 6 10.00 1 1.67 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.224 Tabel 3 menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat sudah memiliki tingkat partisipasi yang tinggi dalam penggunaan hak pilih. Terlihat bahwa 88.33 persen (53 orang) responden, baik dari strata atas maupun strata bawah, memiliki tingkat partisipasi yang tinggi. Tingginya tingkat partisipasi pada bentuk partisipasi politik ini menunjukkan bahwa masyarakat mengikuti semua bentuk pemilihan, baik Pemilihan Kepala Daerah maupun Pemilhan Umum, yang pernah diadakan oleh pemerintah. Tidak ada pemilihan yang dilewatkan oleh masyarakat yang memiliki partisipasi tinggi ini. Berbeda dengan masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi, masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang pernah melewatkan pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi 40 sedang adalah masyarakat yang selalu mengikuti pemilihan, namun karena beberapa hal mereka melewatkan beberapa pemilihan. Sebanyak 10 persen (6 orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang dalam penggunaan hak pilih. Umumnya masyarakat yang tidak mengikuti pemilihan adalah masyarakat yang lebih memilih bekerja daripada mengikuti pemilihan. Mereka mengaku bahwa waktu diadakannya pemilihan bertepatan dengan jam kerja yang sibuk. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan atau sedang memiliki banyak tugas kerja juga menjadi alasan masyarakat tidak berpartisipasi dalam pemilihan. Terdapat pula 1.67 persen (1 orang) responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih ini. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah seorang responden yang merupakan imigran. Responden sudah menetap di Desa Pancawati sejak beberapa tahun yang lalu, namun baru terdaftar sebagai penduduk Desa Pancawati pada tahun 2013. Satu-satunya pemilihan yang pernah diikuti oleh responden adalah Pemilihan Umum tahun 2009. Ketidakjelasan identitas tempat tinggal menyebabkan responden tidak menerima undangan sebagai pemilih di Desa Pancawati. Pada saat Pilbup Kab.Bogor 2013, beliau tidak dapat mengikuti pemilihan karena sedang bekerja di luar desa. Hal inilah yang menyebabkan responden tidak pernah mengikuti pemilihan di Desa Pancawati. Partisipasi penggunaan hak pilih masyarakat antara strata atas dan stata bawah tidak berbeda jauh. Tidak ada kecenderungan tingkat partisipasi yang lebih tinggi pada masyarakat dari kedua strata tersebut. Masyarakat pada strata atas dan strata bawah memiliki tingkat partisipasi yang sama tinggi pada bentuk partisipasi politik ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada kecenderungan yang berarti antara tingkat partisipasi strata atas dan tingkat partisipasi strata bawah. Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan variabel stratifikasi sosial responden telampir pada Lampiran 4. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.224. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam penggunaan hak pilih tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh karena bentuk partisipasi politik ini memang memungkinkan bagi semua pihak untuk terlibat di dalamnya. Selain itu, tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi ini dapat disebabkan oleh senjang antara 41 masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Walaupun begitu, terdapat sedikit perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada bentuk partisipasi politik ini. Jika dibandingkan pada masing-masing strata, maka 95.24 persen responden strata atas memiliki tingkat partisipasi tinggi, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 84.62 persen. Persentase masyarakat strata atas yang memiliki tingkat partisipasi tinggi lebih banyak daripada persentase masyarakat strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi. Bentuk Partisipasi dalam Kampanye Bentuk partisipasi politik kampanye adalah bentuk partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam kampanye. Masyarakat yang berpartisipasi dalam kampanye adalah masyarakat yang pernah menghabiskan waktu, tenaga, atau pikirannya untuk terlibat dalam kampanye. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam kampanye (Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi kampanye berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi Total Strata Sedang Rendah n % n % n % Atas 1 1.67 20 33.33 21 35.00 Bawah 3 5.00 36 60.00 39 65.00 Total 4 6.67 56 93.33 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.671 Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk partisipasi politik kampanye ini. Sebagian besar masyarakat mengaku tidak pernah mengikuti kampanye. Sebanyak 93.33 persen (56 orang) responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah masyarakat yang mengaku tidak pernah terlibat atau berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk apapun, baik tenaga, gagasan, maupun waktu. Masyarakat pun mengaku bahwa tidak ada kampanye yang bisa dihadiri oleh masyarakat karena biasanya kampanye dilakukan melalui pawai. Masyarakat menyatakan bahwa sejauh ini tidak pernah ada kampanye Pemilu atau Pilkada, khususnya Pilbup, yang sampai ke tingkat desa. Biasanya kampanye yang dilakukan oleh kandidat-kandidat dalam Pilkada hanya sampai di tingkat kecamatan. Sebanyak 6.67 persen (4 orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang pada bentuk partisipasi politik kampanye. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang pernah mengikuti kampanye satu sampai dua kali. Mereka mengaku bahwa mereka terlibat dalam kampanye yang dilakukan di luar desa. Masyarakat yang pernah mengikuti kampanye ini berpartisipasi dalam kampanye dalam bentuk tenaga dan waktu. Biasanya, waktu yang dihabiskan dalam satu kali kampanye adalah sekitar 12 jam. Masyarakat yang mengikuti kampanye akan pawai mengelilingi kecamatan dengan 42 menggunakan sepeda motor atau mobil sambil membawa bendera atau simbolsimbol yang menunjukkan dukungan kepada salah satu kandidat dalam pemilihan. Masyarakat yang memiliki kesempatan untuk mengikuti kampanye biasanya adalah masyarakat yang memiliki jaringan di tingkat kecamatan. Mereka dapat mengikuti kampanye karena mendapat tawaran dari sesama rekannya di tingkat kecamatan. Hal ini terjadi karena lingkup kampanye paling kecil yang dilakukan oleh kandidat dalam pemilihan adalah di tingkat kecamatan. Kampanye tidak pernah dilakukan di tingkat desa. Bentuk sosialisasi di tingkat desa biasanya hanya melalui poster atau spanduk. Terlihat pada Tabel 4 bahwa tidak ada kecenderungan atau perbedaan yang signifikan antara tingkat partisipasi masyarakat strata atas dengan partisipasi masyarakat strata bawah pada bentuk partisipasi politik kampanye ini. Partisipasi politik masyarakat dalam kampanye adalah rendah, baik pada strata atas maupun pada strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat kecenderungan bahwa persentase masyarakat strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi sedang pada kampanye cenderung lebih besar daripada masyarakat strata atas. Sebanyak 7.69 responden strata bawah memiliki tingkat partisipasi sedang, sedangkan responden strata atas yang memiliki tingkat partisipasi sedang sebanyak 4.76 persen. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam kampanye antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.671. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam kampanye dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak berhubunganan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam kampanye. Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Bentuk partisipasi politik sebagai panitia menunjukkan peran serta masyarakat dalam menjalankan pemilihan. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah sebagai panitia pemilihan (Tabel 5). Panitia 43 pemilihan adalah pihak-pihak yang menyumbangkan gagasan, waktu, dan tenaganya untuk menjalankan pemilihan. Bentuk kepanitiaan pelaksanaan pemilihan di tingkat desa terbagi menjadi dua ketegori, yaitu Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Panitia Pemungutan Suara (PPS) adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat desa. Anggota PPS terdiri dari satu orang aparat desa dan beberapa orang masyarakat yang dipercaya oleh elit desa untuk menjadi PPS. Masyarakat yang tergabung dalam PPS adalah orang-orang yang terpilih berdasarkan hasil musyawarah antara aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK, dan elit desa lainnya. Berbeda dengan PPS, Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) adalah panitia pemilihan yang berada di tingkat Tempat Pemungutan Suara (TPS). Anggota KPPS juga merupakan orang-orang terpilih yang merupakan hasil musyawarah antara aparat desa, ketua-ketua RW, ketua-ketua RT, kader PKK, dan pihak PPS. Anggota PPS dan KPPS tidak hanya terdiri dari elit-elit dan aparat desa. Masyarakat yang tidak memiliki jabatan dalam pemerintahan desa juga berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan. Pada umumnya, masyarakat yang ikut menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan oleh elit atau aparat desa. Mekanisme pembentukan PPS dan KPPS yang dilakukan di Desa Pancawati dapat dikatakan sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu aturan yang menjelaskan mengenai pembentuk PPS dan KPPS adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. Pasal 44 ayat (2) pada UU tersebut menyebutkan bahwa anggota PPS diangkat oleh KPU Kabupaten/Kota atas usul bersama kepala desa/kelurahan dan badan permusyaratan desa/dewan kelurahan. Proses pembentukan KPPS tidak dijelaskan pada UU ini, namun dinyatakan pada Pasal 46 ayat (2) bahwa anggota KPPS diangkat dan diberhentikan oleh PPS atas nama ketua KPU Kabupaten/Kota. Tabel 5 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi Total Strata Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % Atas 1 1.67 4 6.67 16 26.67 21 35.00 Bawah 2 3.33 8 13.33 29 48.33 39 65.00 Total 3 5.00 12 20.00 45 75.00 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.879 Tingkat partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan cenderung rendah. Sebesar 75 persen (45 orang) responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah ini adalah masyarakat yang tidak penah menjadi panitia pemilihan. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan merupakan hal yang wajar karena tidak semua pihak atau masyarakat berkesempatan untuk berpartisipasi sebagai panitia pemilihan. Hanya orang-orang tertentu saja yang berkesempatan mendapat tawaran untuk menjadi panitia pemilihan. Walaupun masyarakat biasa memiliki kesempatan untuk menjadi panitia, namun kesempatan ini tidak dimiliki 44 oleh sembarang orang. Jabatan sebagai panitia yang cukup krusial mengharuskan pihak aparat dan elit desa memilih orang-orang yang bisa dipercaya dan berkualifikasi. Maka bukanlah suatu hal yang aneh jika pihak-pihak yang terpilih sebagai panitia adalah pihak-pihak yang memiliki pekerjaan yang menuntut ketelitian, seperti guru, dan pihak-pihak yang merupakan orang kepercayaan aparat dan elit desa. Masyarakat yang tidak berkesempatan menjadi panitia pemilihan tidak mempermasalahkan pihak-pihak yang biasanya dipilih sebagai panitia. Beberapa masyarakat menganggap bahwa elit desa yang dipilih sebagai panitia pemilihan adalah hal yang wajar. Masyarakat beranggapan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari tugas sebagai aparat desa. Walaupun begitu, beberapa masyarakat mengaku bahwa mereka akan bersedia jika dipilih sebagai panitia pemilihan. Terdapat pula masyarakat yang mengaku akan menolak jika ditawarkan menjadi panitia pemilihan. Masyarakat yang akan menolak jika mendapat tawaran adalah masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Mereka menyatakan bahwa mereka tidak akan sanggup menjadi panitia pemilihan karena panitia pemilihan adalah pekerjaan yang sulit. Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang sebagai panitia pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang pernah menjadi panitia pemilihan sebanyak satu sampai dua kali, baik sebagai PPS maupun KPPS. Pada kasus penelitian ini, masyarakat yang memiliki partisipasi sedang ini adalah 12 orang responden yang terlibat sebagai anggota KPPS di TPS. Sebanyak 12 orang tersebut terdiri dari 11 orang anggota KPPS dan 1 orang Ketua KPPS. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebagai panitia pemilihan adalah sebanyak 5 persen (3 orang) responden. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi ini adalah pihak yang sudah berkali-kali dipercaya untuk menjadi KPPS. Pihak-pihak tersebut adalah ketua-ketua RT dan kader Posyandu yang sudah mengabdi bertahun-tahun di Desa Pancawati. Sebagian besar elit desa berada pada strata atas. Jika dibandingkan persentase elit desa pada masing strata, maka didapatkan bahwa sebanyak 19.05 persen (4 orang) pada responden strata atas adalah elit dan sebanyak 20.51 persen (8 orang) pada responden strata bawah adalah elit. Hal ini menyebabkan sebagian besar masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi sedang dan tinggi sebagai panitia pemilihan adalah masyarakat strata bawah. Perbedaan jumlah elit dari strata atas dan bawah tidak berbeda jauh, sehingga tidak terdapat perbedaan yang berarti antara partisipasi masyarakat pada strata atas dengan partisipasi masyarakat pada strata bawah. Tidak ada kecenderungan tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi sebagai panitia pemilihan berdasarkan stratifikasi sosial pada masyarakat. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Lampiran 4 menyajikan hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak 45 terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.879. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan. Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi Keterlibatan masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi politik. Pada bentuk partisipasi ini, masyarakat diharapkan dapat terlibat dalam mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan, seperti mempersuasi masyarakat agar menggunakan hak pilihnya, mempersuasi masyarakat agar terlibat dalam kampanye, mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi sebagai panitia pemilihan, atau mempersuasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi (Tabel 6). Tabel 6 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi mempersuasi pihak lain berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi Total Strata Sedang Rendah n % n % n % Atas 8 13.33 13 21.67 21 35.00 Bawah 11 18.33 28 46.67 39 65.00 Total 19 31.67 41 68.33 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.441 Sebanyak 68.33 persen (41 orang) responden memiliki tingkat partisipasi yang rendah pada bentuk partisipasi politik ini. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi rendah adalah masyarakat yang mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak pilihnya saja. Sebagian besar masyarakat akan mengajak masyarakat lainnya untuk menggunakan hak pilihnya ketika hari pemilihan. Pada umumnya masyarakat mengaku bahwa bentuk persuasi ini dilakukan agar mereka tidak sendirian ke TPS. Masyarakat akan mengajak tetangga atau kerabat di dekat rumah untuk bersama-sama ke TPS di hari pemilihan agar ada teman berbincang ketika menuju TPS. 46 Sebanyak 31.67 persen (19 orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang. Tingkat partisipasi sedang ini menunjukkan bahwa persuasi yang dilakukan tidak hanya mengajak masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya, tetapi juga persuasi dalam bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya, seperti mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, atau mengikuti proses penghitungan suara. Pada kasus ini, pihak-pihak yang memiliki tingkat partisipasi sedang adalah masyarakat yang memiliki bentuk partisipasi lain, selain menggunakan hak pilihnya. Contohnya adalah masyarakat yang mengikuti kampanye cenderung akan mengajak rekannya untuk mengikuti kampanye juga, masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara akan cenderung mengajak pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara juga, dan masyarakat yang merupakan aparat atau elit desa akan mengajak masyarakat yang memungkinkan untuk menjadi panitia pemilihan. Tidak ada masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi yang tinggi pada bentuk partisipasi persuasi ini. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang mempersuasi pihak lain untuk terlibat dalam semua bentuk partisipasi. Tidak adanya masyarakat yang mempersuasi untuk terlibat dalam semua bentuk partisipasi menunjukkan bahwa tidak ada masyarakat yang terlibat dalam semua bentuk partisipasi politik dalam suatu waktu pemilihan yang sama. Bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini tidak memiliki kecenderungan perbedaan antar strata. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana masyarakat strata atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk partisipasi ini. Sebanyak 38.10 persen responden strata atas memiliki tingkat partisipasi yang sedang, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi sedang sebanyak 28.21 persen. Terlihat bahwa perbedaan tingkat partisipasi masyarakat pada strata atas tidak berbeda secara signifikan dengan tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang cenderung rendah dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Lampiran 4 menunjukkan hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.441. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi 47 politik dalam mempersuasi pihak lain dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam mempersuasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara Bentuk partisipasi politik lainnya dalam Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum adalah partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara. Bentuk partisipasi politik ini memungkinkan semua pihak untuk terlibat. Waktu, tenaga, atau gagasan yang diluangkan masyarakat untuk mengikuti proses penghitungan suara ini menunjukkan bahwa masyarakat berpartisipasi di dalamnya. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang rendah pada proses penghitungan suara (Tabel 7). Tabel 7 Jumlah dan persentase responden dalam tingkat partisipasi proses penghitungan suara berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi Total Strata Tinggi Sedang Rendah n % n % n % n % Atas 5 8.33 3 5.00 13 21.67 21 35.00 Bawah 6 10.00 9 15.00 24 40.00 39 65.00 Total 11 18.33 12 20.00 37 61.67 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.958 Umumnya pihak-pihak yang menjadi panitia pemilihan pasti terlibat dalam proses penghitungan suara ini dengan menyumbangkan waktu dan tenaganya. Hal ini ditunjukkan pada Tabel 7 bahwa terdapat 18.33 persen (11 orang) responden yang memiliki tingkat partisipasi tinggi dalam mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang memiliki tingkat partisipasi tinggi pada bentuk partisipasi politik ini adalah pihak-pihak yang merupakan anggota KPPS. Sebanyak 1 orang yang memiliki tingkat partisipasi tinggi adalah seorang pedagang yang biasa berjualan di sekitar wilayah TPS. Hari pemilihan dijadikan kesempatan bagi pedagang untuk menawarkan barang dagangannya. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibu ZBD sebagai berikut: “Kalau ada pemilihan, saya sering datang ke TPS sambil bawa barang dagangan. Pagi hari saya datang untuk nyoblos. Setelah nyoblos, saya langsung berjualan di sekitar TPS. Biasanya kalau ada pemilihan, TPS ramai. Jadi hasil yang didapat juga lumayan. Saya baru pulang sore hari, setelah selesai penghitungan suara.” (ZBD, masyarakat desa) Sebanyak 20 persen (12 orang) responden memiliki tingkat partisipasi sedang dalam mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang tergolong berpartisipasi sedang adalah masyarakat yang terkadang mengikuti proses 48 penghitungan suara dan terkadang tidak. Ikut atau tidaknya masyarakat untuk mengikuti proses penghitungan suara ini biasanya ditentukan oleh pekerjaan yang sedang mereka jalankan. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana mereka sedang tidak ada pekerjaan, mereka akan mengikuti proses penghitungan suara. Jika hari pemilihan bertepatan dengan hari dimana mereka sedang memiliki banyak pekerjaan, maka mereka tidak akan mengikuti proses penghitungan suara. Mayoritas masyarakat tidak terlibat dalam proses penghitungan suara ini, yaitu 61.67 persen (37 orang) responden yang memiliki tingkat partisipasi rendah. Masyarakat berpartisipasi rendah ini mengaku bahwa rendahnya partisipasi mereka dalam proses penghitungan suara dikarenakan mereka tidak memiliki kepentingan untuk mengikuti proses tersebut. Jika sekedar untuk mengetahui siapa kandidat terpilih, maka tidak perlu repot mengikuti proses penghitungan suara. Biasanya kandidat yang terpilih dapat diketahui dari desas-desus di masyarakat atau dari informasi yang diberikan Ketua RT. Alasan pekerjaan dan kegiatan di rumah tangga pun menjadi alasan mengapa banyak masyarakat yang tidak terlibat dalam proses penghitungan suara. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa masyarakat belum menganggap partisipasi dalam proses penghitungan suara sebagai bentuk kontrol sosial dalam proses pemilihan. Sejatinya, partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara dapat dianggap sebagai bentuk kontrol yang dilakukan oleh masyarakat terhadap proses pemilihan. Masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara bukan berperan sebagai penonton tetapi sebagai saksi untuk memastikan bahwa proses penghitungan suara berjalan baik. Tidak terdapat perbedaan kecenderungan tingkat partisipasi antara strata atas dan bawah pada bentuk partisipasi politik keterlibatan dalam proses penghitungan suara ini. Tingkat partisipasi masyarakat pada strata atas tidak berbeda nyata dengan tingkat partisipasi masyarakat pada strata bawah. Partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara cenderung rendah, baik masyarakat strata atas maupun masyarakat strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana masyarakat strata atas lebih banyak berpartisipasi dalam bentuk partisipasi ini. Sebanyak 23.81 persen responden strata atas memiliki tingkat partisipasi yang tinggi, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat partisipasi tinggi sebanyak 15.38 persen. Terlihat bahwa tidak terdapatnya perbedaan tingkat partisipasi masyarakat yang berarti pada bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh senjang antara masyarakat strata atas dan bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan variabel stratifikasi sosial responden dapat dilihat pada Lampiran 4. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan stratifikasi sosial. 49 Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.958. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel bentuk partisipasi politik dalam proses penghitungan suara dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya partisipasi masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan partisipasi politik masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara. Ikhtisar: Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Berdasarkan Stratifikasi Sosial Masyarakat memiliki tingkat partisipasi yang berbeda-beda dalam berbagai bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Tabel 8 menunjukkan tingkat partisipasi yang dominan pada masing-masing bentuk partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel 8 terlihat bahwa tingkat partisipasi masyarakat hanya tinggi pada bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, baik pada masyarakat strata atas maupun masyarakat strata bawah. Selain bentuk partisipasi penggunaan hak pilih, tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah pada bentuk partisipasi politik lainnya, yaitu partisipasi dalam kampanye, partisipasi sebagai panitia pemilihan, partisipasi dalam mempersuasi pihak lain, serta partisipasi dalam proses penghitungan suara cenderung rendah. Tabel 8. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk-bentuk partisipasi politik Proses Strata Penggunaan Panitia Persuasi Kampanye penghitungan hak pilih pemilihan masyarakat suara Atas Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Bawah Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi penggunaan hak pilih disebabkan oleh kesempatan yang dimiliki setiap masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Hak yang dimiliki setiap masyarakat untuk melakukan pemilihan dapat disebut juga sebagai kewajiban yang perlu dilakukan sebagai bentuk kontribusi dalam sistem pemerintahan. Hak sekaligus kewajiban yang dimiliki oleh setiap masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan ini menjadikan tingkat partisipasi dalam bentuk partisipasi politik ini cenderung tinggi. Hal ini berbeda dengan bentuk partisipasi politik lainnya. Bentuk partisipasi politik kampanye cenderung rendah pada masyarakat strata atas dan bawah karena kesempatan untuk mengikuti kampanye tidak dimiliki oleh setiap orang. Kesempatan mengikuti kampanye biasanya dimiliki oleh pihak-pihak yang memiliki jaringan dengan pihak kecamatan atau dengan 50 pihak golongan tertentu dalam suatu pemilihan. Hal ini disebabkan oleh pelaksanaan kampanye yang hanya diadakan di tingkat kecamatan. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat strata atas dan bawah dalam bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan juga disebabkan oleh rendahnya kesempatan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat sebagai panitia pemilihan. Pihak-pihak yang bisa menjadi panitia pemilihan adalah aparat desa dan elit desa serta sesama rekannya yang terkait. Peran sebagai panitia pemilihan yang cukup penting dalam pemilihan menjadikannya sulit untuk diikuti oleh masyarakat pada umumnya. Bentuk partisipasi politik dalam mempersuasi pihak lain juga memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Hal ini masih terkait dengan kesempatan serta motif yang dimiliki masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk partisipasi politik ini. Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah mempersuasi kerabat atau tetangga untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Secara umum, masyarakat hanya bisa melakukan persuasi dalam bentuk partisipasi ini. Masyarakat juga dapat melakukan persuasi kepada pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara, namun tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara itu sendiri juga rendah, sehingga hanya sedikit masyarakat yang mempersuasi pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi masyarakat dalam mengajak pihak lain untuk mengikuti kampanye serta panitia pemilihan terkait dengan partisipasi masyarakat itu sendiri dalam kampanye dan sebagai panitia pemilihan. Tingkat partisipasi untuk terlibat dalam kampanye serta partisipasi sebagai panitia pemilihan sudah rendah karena tidak semua pihak bisa terlibat, sehingga persuasi yang dilakukan masyarakat dalam mengajak pihak lain untuk mengikuti kampanye dan panitia pemilihan juga memiliki tingkat partisipasi yang rendah. Bentuk partisipasi politik sebagai panitia pemilihan adalah bentuk yang paling tidak memungkinkan bagi masyarakat untuk mempersuasi pihak lain untuk mengikutinya. Hal ini dikarenakan penentuan pihak-pihak yang menjadi panitia pemilihan ditentukan oleh diskusi yang diadakan oleh aparat desa. Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara terkait dengan alasan yang dimiliki masyarakat untuk terlibat dalam proses tersebut. Masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara bertujuan untuk mengetahui pihak atau kandidat yang terpilih atau memenangkan pemilihan. Jika informasi kandidat terpilih ini bisa didapatkan dari kerabat atau tetangga sekitar, maka masyarakat merasa tidak perlu untuk mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat juga disibukkan dengan kegiatan lain terkait pekerjaan atau aktivitas rumah tangga sehingga tidak dapat mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat masih menganggap bahwa proses penghitungan suara hanya sebagai proses untuk melihat siapa pihak yang memenangkan pemilihan. Masyarakat belum melihat bahwa partisipasi dalam proses penghitungan suara ini dapat dijadikan sebagai bentuk kontrol sosial yang perlu dilakukan oleh masyarakat terhadap pemilihan. Tingkat partisipasi masyarakat pada berbagai bentuk partisipasi politik tidak berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh bentuk partisipasi politik dalam pemilihan. Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat 51 strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Selain itu, hal ini dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Walaupun begitu, pada beberapa bentuk partisipasi politik terlihat sedikit perbedaan kecenderungan tingkat partisipasi antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Tidak adanya perbedaan tingkat partisipasi dan perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan tingkat partisipasi masyarakat dan bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan masyarakat dalam pemilihan. 52 PERBEDAAN MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL DALAM PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Motif-motif tindakan sosial menurut Weber (1992) terbagi menjadi empat jenis motif, yaitu motif rasional instrumental, rasional berorientasi nilai, afektif, dan tradisional. Motif dapat dikatakan sebagai dasar-dasarnya suatu perbuatan dilakukan. Motif-motif tindakan sosial ini juga dapat diposisikan pada motif-motif yang mendasari masyarakat dalam berpartisipasi politik. Alasan-alasan atau dasardasar partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dapat diidentifikasi berdasarkan motif-motif tindakan sosial tersebut. Pada penelitian ini diasumsikan bahwa satu individu pada masyarakat dapat memiliki beberapa motif sebagai dasar dalam berpartisipasi politik. Motif Rasional Instrumental pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif tindakan sosial rasional instrumental adalah motif tindakan sosial yang menunjukkan bahwa suatu tindakan dilandasi oleh motif yang terkait dengan kerasionalitasan yang mempertimbangkan efektivitas dan efisiensi untuk mencapai tujuan. Motif rasional instrumental ini terkait dengan pertimbangan ekonomi dalam melakukan suatu tindakan sosial. Bentuk-bentuk partisipasi politik yang didasari oleh motif rasional instrumental menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh pencapaianpencapaian ekonomi. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang rendah dalam berpartisipasi pada pemilihan (Tabel 9). Tabel 9 Jumlah dan persentase motif rasional instrumental responden berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif rasional instrumental Total Strata Tinggi Rendah n % n % n % Atas 9 15.00 12 20.00 21 35.00 Bawah 15 25.00 24 40.00 39 65.00 Total 24 40.00 36 60.00 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.745 Motif rasional instrumental yang mendasari masyarakat dalam melakukan bentuk-bentuk partisipasi politik tergolong rendah, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Sebanyak 60 persen (36 orang) responden memiliki tingkat motif rasional instrumental yang rendah. Tingkat motif rasional instrumental rendah ini menunjukkan bahwa motif partisipasi politik masyarakat pada pemilihan tidak terkait dengan pencapaian-pencapaian ekonomi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat beranggapan 54 bahwa bantuan dari kandidat pada pemilihan dianggap tidak mempengaruhi partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat. Walaupun masyarakat mengaku bahwa bantuan yang diberikan kandidat dalam pemilihan penting, namun bantuan tersebut dianggap tidak mempengaruhi keterlibatan masyarakat dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa ada atau tidaknya bantuan yang diberikan kandidat dalam pemilihan tidak akan mempengaruhi partisipasi masyarakat. Bantuan-bantuan yang biasanya diberikan kandidat kepada masyarakat bukanlah bantuan langsung ke rumah-rumah masyarakat. Bantuan yang diberikan kandidat pemilihan biasanya dalam bentuk sarana dan prasarana desa, misalnya pembangunan jalan dan bantuan yang diberikan ke musholla. Sebanyak 40 persen (24 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa bantuan yang diberikan kandidat dalam pemilihan memberikan pengaruh pada partisipasi masyarakat. Masyarakat menjadi lebih semangat dalam memilih dan lebih menaruh harapan pada kandidat yang biasanya memberikan bantuan. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa masyarakat akan memilih kandidat yang memberikan bantuan ke desa. Banyak masyarakat yang menyatakan bahwa bantuan-bantuan tersebut adalah bukti keseriusan kandidat akan janji-janjinya membangun desa. Masyarakat juga mengaku bahwa jika ada kandidat yang mau memberikan bantuan langsung ke rumah tangga di masyarakat, maka bantuan tersebut akan lebih mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Tingginya tingkat kecenderungan masyarakat pada motif rasional instrumental juga menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh bantuan-bantuan yang diberikan kandidat pemilihan, tetapi juga perubahan-perubahan ekonomi yang diterimanya sebagai akibat dari adanya pemilihan. Beberapa masyarakat yang memiliki tingkat motif rasional instrumental yang tinggi adalah masyarakat yang terlibat sebagai panitia pemilihan, yaitu anggota dan ketua KPPS. Keterlibatan masyarakat sebagai panitia pemilihan memberikan keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi mungkin bukanlah satu-satunya motif panitia pemilihan untuk terlibat dalam pemilihan, namun keuntungan ekonomi termasuk salah satu motif yang cukup berpengaruh bagi keterlibatan masyarakat untuk menjadi panitia pemilihan tersebut. Tingkat motif rasional instrumental yang tinggi juga dimiliki oleh masyarakat yang sering mengikuti kampanye-kampanye. Tenaga dan waktu yang dikeluarkan masyarakat untuk terlibat dalam kampanye akan dibayar oleh pihak penyelenggara kampanye. Hal ini juga menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat dalam kampanye juga memberikan keuntungan ekonomi. Selain itu, pihak yang memiliki tingkat motif rasional instrumental yang tinggi adalah pedagang yang biasanya berjualan di sekitar tempat pemilihan. Salah satu dari responden mengaku bahwa aktivitas pemilihan ini memberikan dampak yang baik untuk kegiatan perdagangannya. Responden yang merupakan pedagang ini akan berangkat ke tempat pemilihan pada pagi hari kemudian berdagang di sekitar tempat pemilihan setelah ia menggunakan hak pilihnya. Pemilik warung makan di sekitar tempat pemilihan juga merasakan keuntungan ekonomi ketika adanya aktivitas pemilihan. Dampak ekonomi yang dirasakan ketika ada pemilihan juga dapat mempengaruhi partisipasi politik penjual atau pedagang dalam 55 menggunakan hak pilihnya. Hal ini didukung oleh pernyataan Ibu ELW sebagai berikut: “Kalau sedang ada pemilihan, biasanya panitia pemilihan pesan makanan untuk makan siang di tempat saya. Biasanya saya menyediakan makanan untuk panitia TPS di sekitar warung. Jumlah yang dipesan cukup banyak. Satu TPS saja bisa pesan untuk 7 sampai 8 orang ...” (ELW, masyarakat desa) Tidak terlihat adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang berarti antara masyarakat strata atas dan bawah. Terlihat pada Tabel 9 bahwa tingkat motif rasional instrumental masyarakat cenderung rendah, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana persentase responden strata atas yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif rasional instrumental ini lebih banyak daripada strata bawah. Sebanyak 42.86 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang tinggi, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang tinggi sebanyak 38.46 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional instrumental yang berarti pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif rasional instrumental dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.745. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif rasional instrumental dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional instrumental tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional instrumental yang melandasi partisipasi politik masyarakat. Motif Rasional Berorientasi Nilai pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif rasional berorientasi nilai adalah motif tindakan sosial yang terkait dengan pengejaran nilai-nilai sosial tertentu dalam masyarakat tertentu. Nilai-nilai sosial tertentu pada masyarakat yang diukur pada motif ini adalah kesadaran 56 masyarakat akan kewajiban mereka mengikuti pemilihan, sikap masyarakat mengenai pentingnya mendapatkan pemimpin yang tepat, dan sejauh mana nilainilai yang terkait dengan bidang politik terinternalisasi di dalam masyarakat. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi pada partisipasi politik (Tabel 10). Tabel 10 Jumlah dan persentase motif rasional berorientasi nilai responden berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai Total Strata Tinggi Rendah n % n % n % Atas 19 31.67 2 3.33 21 35.00 Bawah 34 56.67 5 8.33 39 65.00 Total 53 88.33 7 11.67 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.710 Tabel 10 memperlihatkan bahwa sebanyak 88.33 persen (53 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat mengikuti pemilihan karena didasari oleh nilai-nilai dalam masyarakat. Nilai-nilai dalam masyarakat yang dimaksud adalah nilai-nilai demokrasi dimana partisipasi masyarakat dalam pemilihan sudah menjadi budaya dalam masyarakat. Nilai-nilai tersebut pun mengindikasikan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan didasari oleh kewajiban sekaligus hak masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh masyarakat sudah menyadari pentingnya Pemilihan Umum atau Pemilihan Kepala Daerah yang diadakan oleh pemerintah. Masyarakat beranggapan bahwa pemimpin yang dipilih oleh masyarakat melalui pemilihan akan lebih dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpinnya akan menjadikan pemimpin lebih bertanggung jawab atas jabatan yang ia miliki. Masyarakat yang memiliki tingkat motif rasional berorientasi nilai tinggi ini juga menyadari pentingnya partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Sumbangan satu suara yang diberikan kepada calon pemimpin dapat mempengaruhi hasil pemilihan. Masyarakat beranggapan bahwa satu suara tetap mampu berkontribusi menentukan siapa kandidat yang akan terpilih pada pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif berorientasi nilai ini juga menyadari pentingnya memilih pemimpin yang tepat dalam pemilihan. Partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan juga dilandasi oleh keinginan masyarakat untuk memilih pemimpin yang tepat dalam pemilihan. Hak satu suara yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat adalah kesempatan yang perlu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Masyarakat yang memiliki tingkat tinggi pada motif rasional berorientasi nilai ini mengaku bahwa mereka mencari informasi terkait kandidat-kandidat dalam pemilihan sebelum menentukan siapa yang akan dipilih. Beberapa masyarakat menyatakan bahwa pencarian informasi ini dilakukan melalui media massa, seperti televisi atau spanduk-spanduk. 57 Umumnya masyarakat melakukan pencarian informasi melalui lingkungan sosial sekitar. Hal ini dilakukan melalui konsensus tidak tertulis. Biasanya masyarakat berdiskusi dengan tetangga dan kerabat keluarga mengenai kandidatkandidat dalam pemilihan. Informasi kandidat-kandidat pemilihan yang dikumpulkan dari lingkungan sosial masyarakat ini menunjukkan bahwa ikatan sosial di dalam masyarakat masih kuat. Biasanya masyarakat memiliki “jagoan” yang sudah disepakati bersama. Pihak yang menjadi “jagoan” masyarakat adalah pihak yang pernah memberikan bantuan ke desa atau pihak yang melakukan pendekatan-pendekatan khusus ke desa. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa nama “jagoan” masyarakat didapat dari pihak elit desa yang biasanya berhubungan langsung dengan pihak-pihak luar desa. Walaupun secara umum masyarakat memiliki “jagoan”, namun masing-masing masyarakat tetap memiliki hak untuk menentukan siapa kandidat yang akan dipilihnya. Masyarakat yang sudah mencari informasi terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah melakukan persiapan sebelum memilih agar tidak salah pilih. Terkait dengan manfaat yang dirasakan dari pelaksanaan pemilihan, beberapa masyarakat mengaku bahwa mereka tidak merasakan adanya manfaat dari pelaksanaan pemilihan. Pelaksanaan serta hasil pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah tidak membawa perubahan atau manfaat kepada masyarakat. Beberapa masyarakat justru mengaku bahwa terdapat perubahan yang dirasakan dengan adanya pemilihan. Adanya pemilihan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memilih kandidat yang memiliki program-program yang baik. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat di antaranya adalah pelayanan rumah sakit dan pelayanan sekolah. Masyarakat mengaku bahwa program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang dimiliki oleh pemerintah cukup membantu masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka. Selain itu, pelayanan rumah sakit yang diberikan untuk masyarakat juga berbeda tergantung pemimpinnya. Masyarakat menyatakan bahwa manfaat-manfaat yang mereka terima dari pelayanan umum bisa berbeda-beda tergantung pada pemerintahan siapa yang sedang berjalan. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya serta manfaat pelaksanaan pemilihan benar-benar dirasakan oleh masyarakat dan mampu mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Sebanyak 11.67 persen (7 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini mengaku bahwa mereka menganggap pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah tidak penting untuk dilakukan. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Ibu MMH sebagai berikut: “Sebaiknya pemimpin itu dipilih langsung dari pemerintah saja. Masyarakat tidak perlu ikut menentukan pemimpin. Kalau dipilih oleh pemerintah, pemimpin yang dipilih pasti yang bagus. Kalau dipilih oleh masyarakat, masyarakat bisa salah pilih. Masyarakat kan tidak tahu pasti siapa calon pemimpin yang baik. Daripada salah pilih, mendingan langsung dipilih dari pemerintah saja.” (MMH, masyarakat desa) Tidak pentingnya Pemilihan Kepala Daerah atau Pemilihan Umum yang dilakukan oleh pemerintah juga terkait dengan manfaat yang tidak dirasakan oleh 58 masyarakat. Seluruh masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini menyatakan bahwa pemilihan tidak memberikan manfaat dan pengaruh apapun terhadap kehidupan mereka. Tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya pemilihan atau hasil dari pemilihan. Selain itu, masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional berorientasi nilai ini biasanya tidak berusaha mencari informasi yang terkait dengan kandidat-kandidat dalam pemilihan. Walaupun mereka mengakui pentingnya mengetahui informasi-informasi terkait kandidat dalam pemilihan, namun mereka cenderung tidak mencari informasi terkait kandidat pemilihan. Mereka biasanya langsung menentukan kandidat yang akan dipilih ketika sudah di Tempat Pemungutan Suara. Tidak terdapat perbedaan yang berarti pada tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Motif rasional berorientasi nilai yang mendasari partisipasi politik masyarakat pada pemilihan memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi, baik masyarakat pada strata atas maupun masyarakat pada strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana persentase responden strata atas yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif rasional berorientasi nilai ini lebih banyak daripada strata bawah. Sebanyak 90.48 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang tinggi sebanyak 87.18 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang berarti pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif rasional berorientasi nilai dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif rasional berorientasi nilai dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.710. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif rasional berorientasi nilai dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif rasional berorientasi nilai tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif rasional berorientasi nilai yang melandasi partisipasi politik masyarakat. 59 Motif Afektif pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif afektif yang menjadi dasar masyarakat dalam melakukan partisipasi politik pada pemilihan terkait dengan emosi atau perasaan yang dimiliki oleh masyarakat. Motif afektif yang dimiliki oleh masyarakat pada pemilihan terkait dengan ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan, kedekatan emosional antara masyarakat dengan kandidat dalam pemilihan, serta kekondusifan kondisi sosial politik masyarakat. Sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah dalam partisipasi politik (Tabel 11). Tabel 11 Jumlah dan persentase motif afektif responden berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif afektif Total Strata Tinggi Rendah n % n % n % Atas 4 6.67 17 28.33 21 35.00 Bawah 5 8.33 34 56.67 39 65.00 Total 9 15.00 51 85.00 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.527 Tabel 11 menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen (51 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah. Ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat melakukan partisipasi politik pada pemilihan tidak berdasarkan perasaan atau emosi yang besar terhadap politik. Rendahnya tingkat kecenderungan pada motif menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki ketertarikan untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Masyarakat yang tidak merasakan ketertarikan ini adalah masyarakat yang tidak merasakan manfaat dari adanya pemilihan. Masyarakat juga menyatakan bahwa pemilihan yang dilakukan pemerintah tidak dirasa penting. Hal ini juga terkait dengan tidak adanya manfaat yang masyarakat rasakan sebagai akibat diadakannya pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa tidak ada perubahan yang terjadi sebagai akibat dari adanya pemilihan yang dilakukan oleh pemerintah. Hasil pemilihan pun tidak membawa perubahan dan manfaat apapun pada masyarakat. Rendahnya motif afektif yang dimiliki oleh sebagian besar masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan ini dapat menjawab tingginya angka golput pada Pemilu/Pilkada. Dapat diasumsikan bahwa angka golput yang tinggi berkorelasi dengan rendahnya tingkat afektif masyarakat terhadap pemilihan. Masyarakat tidak merasakan pentingnya pelaksanaan pemilihan. Masyarakat pun merasa tidak mendapatkan manfaat dari pelaksanaan pemilihan yang diadakan oleh pemerintah. Sebanyak 15 persen (9 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketertarikan yang cukup besar untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Ketertarikan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan didasari oleh manfaat yang dapat diterima masyarakat. Manfaat langsung atau tidak langsung yang diterima oleh masyarakat dari pemilihan atau hasil pemilihan memberikan sikap positif masyarakat terhadap pemilihan. Hal ini juga dilandasi oleh anggapan 60 masyarakat yang menyatakan bahwa pemilihan penting untuk dilakukan. Pentingnya pemilihan yang dirasakan oleh masyarakat membuat masyarakat bersedia untuk ikut serta dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan sikap positif masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif afektif juga menunjukkan bahwa masyarakat memiliki hubungan emosional yang cukup baik dengan kandidat dalam pemilihan. Masyarakat mengaku bahwa kenal atau tidaknya masyarakat dengan kandidat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat juga mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Kenal atau tidaknya masyarakat serta kedekatan yang dirasakan oleh masyarakat terhadap kandidat biasanya berasal dari informasi yang diterima masyarakat tentang kandidat. Selain informasi tersebut, masyarakat biasanya merasakan kedekatan dengan kandidat yang sebelumnya sudah menjabat dalam pemilihan. Salah satu contohnya adalah kasus yang terjadi ketika Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor. Masyarakat mengaku bahwa masyarakat lebih merasakan kedekatan terhadap kandidat Bupati yang merupakan Bupati pada periode sebelumnya. Hal ini kemudian mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Umumnya masyarakat mengaku bahwa hasil pemilihan tidak mempengaruhi kondisi kenyamanan dan keamanan desa. Tidak pernah ada konflik yang terjadi di desa yang dikarenakan oleh hasil pemilihan. Pada umumnya hasil pemilihan hanya menyebabkan desas-desus pada masyarakat. Desas-desus tersebut pun biasanya hanya berkisar tentang siapa kandidat yang terpilih dan alasan dia terpilih. Tidak ada desas-desus yang memicu konflik. Suasana pemilihan di Desa Pancawati selalu kondusif. Suasana desa yang tidak dipengaruhi oleh hasil pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat tidak memiliki motif afektif yang besar terhadap hasil pemilihan atau terhadap pemilihan itu sendiri. Tidak ada perbedaan kecenderungan tingkatan motif afektif antara masyarakat pada strata atas dan strata bawah. Mayoritas masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang rendah, baik masyarakat pada strata atas maupun strata bawah. Walaupun begitu, jika dibandingkan pada masing-masing strata, terdapat sedikit perbedaan dimana persentase responden strata atas yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif afektif ini lebih banyak daripada strata bawah. Sebanyak 19.05 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi, sedangkan responden strata bawah yang memiliki tingkat kecenderungan motif afektif yang tinggi sebanyak 12.82 persen. Terlihat bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat kecenderungan motif afektif yang berarti pada bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Pada Lampiran 4 terdapat hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial responden. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif afektif dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif afektif dengan stratifikasi sosial. 61 Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.527. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif afektif dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif afektif tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif afektif yang melandasi partisipasi politik masyarakat. Motif Tradisional pada Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Motif tradisional pada partisipasi politik menunjukkan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dilandasi oleh kepatuhan masyarakat terhadap tradisi dan adat-istiadat. Motif tradisional ini diukur dengan melihat tingkat internalisasi masyarakat terhadap ajaran agama atau adat-istiadat yang dianut oleh masyarakat, kesesuaian latar belakang agama atau suku kandidat dengan masyarakat, dan kepatuhan masyarakat terhadap tokoh atau kelembagaan yang berpengaruh dalam suatu budaya. Secara umum, sebagian besar masyarakat memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi untuk berpartisipasi pada pemilihan (Tabel 12). Tabel 12 Jumlah dan persentase motif tradisional responden berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif tradisional Total Strata Tinggi Rendah n % n % n % Atas 10 16.67 11 18.33 21 35.00 Bawah 22 36.67 17 28.33 39 65.00 Total 32 53.33 28 46.67 60 100.00 Analisis Rank Spearman: (p value Sig.(2-tailed)) = 0.523 Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 53.33 persen (32 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat memiliki motif tradisional yang cukup besar dalam berpartisipasi pada saat pemilihan. Secara umum, masyarakat akan memperhatikan agama atau suku kandidat. Masyarakat cenderung memilih kandidat yang memiliki agama atau suku yang sama dengan dirinya. Masyarakat menganggap bahwa agama kandidat penting untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam memilih. Hal ini dipertegas oleh pernyataan Bapak SMA sebagai berikut: “Sebagai orang Islam, kita harus memilih pemimpin yang beragama Islam juga. Etikanya kan seperti itu. Agama itu penting sebagai dasar pemimpin.” (SMA, masyarakat desa) Informasi mengenai agama kandidat dapat diketahui oleh masyarakat dari media massa, seperti televisi. Pada umumnya, kandidat yang mencalonkan diri di Indonesia beragama Islam. Hal ini sejalan dengan masyarakat Desa Pancawati 62 yang mayoritas (99.88 persen) beragama Islam, sehingga terkadang masyarakat merasa tidak perlu mencari tahu informasi agama kandidat karena masyarakat sudah yakin bahwa kandidat-kandidat yang mencalonkan diri beragama Islam. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif tradisional ini mengaku bahwa tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa ikut mempengaruhi partisipasi masyarakat. Beberapa masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi adalah masyarakat yang memiliki hubungan dekat dengan kelembagaan atau tokoh berpengaruh di desa. Tokoh berpengaruh tersebut adalah pihak-pihak elit desa, seperti Kepala Desa, Ketua RW, Ketua RT, kader PKK, dan aparat desa lainnya. Kelembagaan yang berpengaruh di desa adalah pemerintahan desa dan kelembagaan-kelembagaan yang berada di bawah kontrol pemerintahan desa, seperti PKK. Oleh karena itu, masyarakat yang dipengaruhi oleh tokoh atau kelembagaan berpengaruh di desa adalah pihak-pihak yang memang bertugas di kelembagaan pemerintahan desa serta pihak-pihak yang memiliki hubungan kekerabatan dengan aparat desa. Beberapa masyarakat mengaku bahwa pengaruh yang diberikan tokoh atau kelembagaan berpengaruh tidaklah besar. Biasanya partisipasi masyarakat dalam pemilihan dipengaruhi oleh pemerintah desa dan aparatnya karena pihak-pihak tersebutlah yang memberikan undangan ke rumah-rumah masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga sedikit dipengaruhi oleh pemerintah dan aparatnya karena hal itu merupakan bentuk kepatuhan masyarakat terhadap pemerintahan desa. Sebanyak 46.67 persen (28 orang) responden memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah adalah masyarakat yang tidak mempermasalahkan agama atau suku kandidat dalam pemilihan. Kandidat beragama atau bersuku apapun bukanlah masalah. Masyarakat lebih mengutamakan nilai-nilai pribadi yang dimiliki oleh kandidat. Masyarakat juga mengaku bahwa pemerintah desa tidak mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan tidak didasari oleh motif tradisional. Masyarakat yang memiliki tingkat kecenderungan yang rendah pada motif tradisional didominasi oleh masyarakat strata atas. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional yang dimiliki oleh masyarakat strata atas sudah mulai pudar. Nilai-nilai tradisional tersebut terkait dengan sejauh mana nilai-nilai agama atau suku terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Sementara itu, tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi didominasi oleh masyarakat strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tradisional cenderung melekat pada masyarakat strata bawah daripada masyarakat strata atas. Perbedaan kecenderungan antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah tidak berbeda jauh, yaitu sebanyak 52.38 persen responden strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah dan sebanyak 56.41 persen responden strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi. Walaupun terdapat perbedaan kecenderungan tingkat motif antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah, namun hasil ini tidak menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara motif tradisional dengan stratifikasi sosial pada masyarakat. 63 Hasil pengolahan data program SPSS Rank Spearman dalam menguji hubungan antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial responden terdapat pada Lampiran 4. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2-tailed)) > 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan nyata antara motif tradisional dengan stratifikasi sosial. Jika nilai signifikansi (p value Sig.(2tailed)) ≤ 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan nyata antara motif tradisional dengan stratifikasi sosial. Hasil perhitungan dan pengujian hipotesis menunjukkan bahwa angka korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial adalah sebesar 0.523. Nilai ini menunjukkan jumlah yang lebih besar dari 0.05. Nilai p value Sig.(2-tailed) > alpha (0.05 = 5%) menunjukkan bahwa tidak terdapat korelasi antara variabel motif tradisional dengan variabel stratifikasi sosial. Tinggi atau rendahnya motif tradisional tidak memiliki hubungan dengan stratifikasi sosial masyarakat. Strata atas atau bawah pada masyarakat tidak berhubungan dengan motif tradisional yang melandasi partisipasi politik masyarakat. Ikhtisar: Motif-Motif Partisipasi Politik Masyarakat Berdasarkan Stratifikasi Sosial Tabel 13 menunjukkan tingkat kecenderungan motif yang dominan pada masing-masing motif partisipasi politik berdasarkan stratifikasi sosial. Pada tabel 13 terlihat bahwa motif partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi pada motif rasional berorientasi nilai, baik pada masyarakat strata atas maupun strata bawah. Selain itu, tingkat kecenderungan yang tinggi juga terlihat pada motif tradisional yang dimiliki oleh masyarakat strata bawah. Motif-motif partisipasi politik lainnya, yaitu motif rasional instrumental pada masyarakat strata atas dan bawah, motif afektif pada masyarakat strata atas dan bawah, serta motif tradisional pada masyarakat bawah cenderung rendah. Tidak terdapat perbedaan perbedaan motif partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Tabel 13. Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik masyarakat berdasarkan stratifikasi sosial Tingkat kecenderungan motif-motif partisipasi politik Rasional Strata Rasional berorientasi Afektif Tradisional instrumental nilai Atas Rendah Tinggi Rendah Rendah Bawah Rendah Tinggi Rendah Tinggi Tingkat kecenderungan yang rendah pada motif rasional instrumental menunjukkan bahwa masyarakat mengaku bahwa bantuan-bantuan yang diberikan kandidat tidak dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam pemilihan. Bantuan yang diberikan kandidat biasanya berupa bantuan untuk saran dan prasarana umum di desa. Bantuan untuk sarana dan prasarana umum desa yang biasanya diberikan kandidat tidak mempengaruhi partisipasi politik masyarakat. 64 Tingkat kecenderungan motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh masyarakat cenderung tinggi, baik masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah memahami pentingnya pelaksanaan pemilihan dan pentingnya partisipasi setiap masyarakat dalam pemilihan dalam memilih pemimpin yang tepat. Masyarakat mengaku bahwa sebaiknya pemilihan pemimpin memang dilakukan melalui pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah agar masyarakat mengetahui pemimpinnya. Masyarakat juga dapat memberikan kontribusi suara atau pendapatnya dalam memilih pihak yang akan memimpinnya. Motif afektif terkait dengan tindakan partisipasi politik masyarakat yang dilandasi oleh motif emosi atau perasaan. Hal ini dapat dikaitkan dengan sikap masyarakat terhadap pemilihan. Rendahnya tingkat kecenderungan motif afektif pada masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat berpartisipasi dalam pemilihan bukan dikarenakan oleh sikap positif atau emosi positif mereka terhadap pemilihan. Manfaat yang dirasakan oleh masyarakat tidak mempengaruhi partisipasi mereka dalam pemilihan. Motif tradisional adalah satu-satunya motif yang memiliki kecenderungan yang berbeda antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. Masyarakat strata atas memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang rendah. Rendahnya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat pada strata atas cenderung tidak dipengaruhi oleh agama atau suku kandidat serta tidak dipengaruhi oleh kelembagaan dan tokoh berpengaruh dalam melakukan partisipasi politik. Hal ini berbeda dengan masyarakat strata bawah. Masyarakat strata bawah memiliki tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi. Tingginya motif tradisional ini menunjukkan bahwa masyarakat cukup mempertimbangkan latar belakang agama dan suku kandidat dalam pemilihan. Masyarakat cenderung menggunakan hak pilihnya untuk kandidat yang seagama dengannya. Tingkat kecenderungan motif tradisional yang tinggi ini juga menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam pemilihan juga dipengaruhi oleh pihak-pihak yang berpengaruh. Pihak yang berpengaruh dalam hal ini adalah aparat desa yang mengundang masyarakat untuk mengikuti pemilihan. Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial yang dimiliki oleh masyarakat tidak berbeda antara strata atas dan strata bawah. Hal ini terjadi pada seluruh motif tindakan sosial, kecuali motif tradisional. Walaupun terdapat perbedaan tingkat kecenderungan motif tradisional antara masyarakat strata atas dan strata bawah, namun perbedaan ini tidak menunjukkan bahwa stratifikasi sosial berhubungan motif tradisional. Tidak adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif yang berarti antara masyarakat strata atas dan strata bawah dapat disebabkan oleh kesenjangan antara masyarakat strata atas dan strata bawah yang tidak jauh. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Tidak adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif ini juga dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Tidak adanya perbedaan tingkat kecenderungan motif partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan bawah menunjukkan bahwa stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan motif tindakan sosial masyarakat dalam berpartisipasi pada pemilihan. PENGARUH MOTIF-MOTIF TINDAKAN SOSIAL TERHADAP PERBEDAAN BENTUK PARTISIPASI POLITIK BERDASARKAN STRATIFIKASI SOSIAL Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik dilandasi oleh motif-motif tindakan sosial yang berbeda. Analisis motif-motif yang mendasari setiap bentuk partisipasi politik dilakukan oleh peneliti dari hasil wawancara yang dilakukan kepada responden dan informan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan motif-motif tindakan sosial yang melandasi bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan motif-motif ini juga dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik Penggunaan Hak Pilih Bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih adalah bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi di antara bentuk-bentuk partisipasi politik lainnya. Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Secara umum, motif yang mendominasi dalam mendorong masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya adalah motif rasional berorientasi nilai. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya didasari adanya kesadaran oleh masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan. Partisipasi ini juga terkait dengan nilai-nilai demokrasi yang dimiliki oleh masyarakat. Masyarakat menyadari bahwa hak mereka dalam menggunakan hak suaranya juga merupakan kewajiban yang harus dilakukan. Hal ini mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilihan dalam menggunakan hak pilihnya. Motif tradisional adalah motif lainnya yang mendasari partisipasi politik masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya. Motif tradisional ini tidak memiliki pengaruh sebesar motif rasional berorientasi nilai, namun motif ini cukup berkontribusi dalam menjadi dasar bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Motif tradisional yang mendasari masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya terkait dengan lembaga yang berpengaruh di masyarakat. Dalam hal ini, lembaga tersebut adalah pemerintah desa, termasuk di dalamnya aparat desa, Ketua RW, dan Ketua RT. Ketua RT dan Ketua RW yang biasanya berperan sebagai Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) bertugas untuk membagikan undangan pemilihan kepada masyarakat. Pihak yang berperan membagikan undangan ini cukup mempengaruhi masyarakat dalam berpartisipasi menggunakan hak pilihnya. Masyarakat merasa bahwa memenuhi undangan ini juga merupakan bentuk kepatuhan masyarakat kepada aturan desa. Motif tradisional juga mempengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih kandidat. Motif tradisional yang mendasari masyarakat dalam memilih ini berarti 66 masyarakat cenderung memilih kandidat yang memiliki agama atau suku yang sama dengan dirinya. Hal ini terlihat dari pernyataan responden bahwa masyarakat perlu mengetahui latar belakang kandidat, termasuk latar belakang agama atau suku kandidat. Informasi yang didapatkan oleh masyarakat terkait dengan latar belakang kandidat ini kemudian mempengaruhi masyarakat dalam memilih kandidat. Tidak hanya motif tradisional, motif rasional instrumental juga menjadi dasar bagi masyarakat dalam memilih kandidat. Masyarakat mengaku bahwa masyarakat cenderung memilih kandidat yang pernah atau sudah memberikan bantuan. Bantuan yang dimaksud di sini bukanlah bantuan yang diberikan kandidat kepada masing-masing rumah tangga masyarakat. Bantuan yang biasanya diberikan oleh kandidat adalah bantuan untuk sarana dan prasarana umum desa. Bantuan sarana dan prasarana umum ini cukup mempengaruhi siapa kandidat yang dipilih oleh masyarakat dalam pemilihan. Motif afektif juga menjadi landasan bagi masyarakat dalam memilih kandidat dalam pemilihan. Masyarakat cenderung memilih kandidat yang sudah dikenalnya. Pada kasus Pemilihan Bupati Kabupaten Bogor 2013, masyarakat cenderung memilih kandidat yang sebelumnya pernah menjadi Bupati Kabupaten Bogor. Masyarakat merasa bahwa sebaiknya memilih kandidat yang sudah dikenalnya. Selain itu, kinerja dari Bupati Kabupaten Bogor sebelumnya juga dirasakan cukup baik oleh masyarakat. Motif afektif ini juga terkait dengan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat yang merasakan manfaat dari adanya pemilihan akan cenderung berpartisipasi dalam menggunakan hak pilihnya. Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Kampanye Motif-motif yang mendasari partisipasi masyarakat dalam kampanye tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Bentuk partisipasi politik dalam kampanye cenderung didasari oleh motif rasional instrumental. Kampanye masyarakat yang dilandasi oleh motif ini menunjukkan bahwa alasan kampanye yang dilakukan oleh masyarakat terkait dengan pencapaian materi. Kampanye yang diikuti oleh masyarakat memberikan insentif bagi masyarakat. Hal inilah yang mendorong masyarakat untuk mengikuti kampanye. Pekerjaan masyarakat yang tidak tetap pun mendukung mereka untuk berpartisipasi dalam kampanye. Waktu kerja yang tidak tetap membuat mereka sangat berkesempatan untuk mengikuti kampanye. Salah satu hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk ikut melakukan kampanye adalah jaringan. Kampanye oleh kandidat tidak pernah dilakukan di tingkat desa. Kampanye biasanya dilakukan di tingkat kecamatan. Oleh karena itu, masyarakat perlu jaringan di tingkat kecamatan atau jaringan yang terkait dengan kandidat pemilihan untuk mengikuti kampanye. Beberapa masyarakat mengaku bahwa jika mereka memiliki jaringan dengan kandidat terkait dan berkesempatan untuk melakukan kampanye, mereka akan mengikuti kampanye. Hal ini dikarenakan kampanye yang dilakukan oleh masyarakat memberikan insentif bagi mereka. Masyarakat mengakui bahwa mengikuti kampanye bisa menjadi salah satu bentuk cara untuk mendapatkan pendapatan. 67 Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik sebagai Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) Masyarakat yang berkesempatan untuk menjadi panitia pemilihan, baik Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS, adalah masyarakat yang merupakan aparat desa, elit desa, atau pihak-pihak terkait. Proses memilih panitia pemilihan dilakukan melalui diskusi yang diisi oleh aparat pemerintah desa. Pihak-pihak yang dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan biasanya adalah Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Pihak-pihak tersebut dipilih langsung oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan. Oleh karena itu, motif yang dimiliki oleh pihak-pihak tersebut untuk menjadi panitia pemilihan adalah rasional berorientasi nilai. Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK, menunjukkan bahwa partisipasi sebagai panitia pemilihan yang dilakukan oleh mereka adalah sebagai bentuk kewajiban yang perlu dilakukan. Kepercayaan yang diberikan untuk menjadi panitia pemilihan ini sama seperti bentuk kepercayaan yang diberikan aparat desa kepada mereka untuk menjadi Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK. Motif rasional berorientasi nilai juga menunjukkan bahwa Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang ikut sebagai panitia pemilihan ini menganggap bahwa kesediaan untuk menjadi panitia pemilihan bertujuan untuk membantu aparat desa dalam menjalankan pemilihan di desa. Berbeda dengan Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK yang langsung dipilih oleh aparat desa untuk menjadi panitia pemilihan, masyarakat yang menjadi panitia pemilihan adalah masyarakat yang direkomendasikan oleh aparat dan elit desa. Rekomendasi tersebut biasanya dilandasi oleh pekerjaan masyarakat serta kepercayaan aparat dan elit desa terhadap masyarakat. Masyarakat yang direkomendasikan biasanya adalah masyarakat yang berprofesi sebagai guru serta orang-orang kepercayaan aparat dan elit desa. Hal ini terkait dengan pentingnya peran yang dijalankan oleh panitia pemilihan. Masyarakat yang direkomendasikan oleh masing-masing aparat desa dan elit desa tersebut kemudian didiskusikan lagi oleh aparat desa untuk dipilih menjadi panitia pemilihan. Tidak berbeda dengan motif Ketua RT, Ketua RW, serta kader PKK, masyarakat yang menjadi panitia pemilihan juga memiliki motif rasional berorientasi nilai. Motif ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Hal ini juga terkait dengan alasan kepercayaan yang sudah diberikan aparat desa untuk masyarakat. Masyarakat yang sudah dipercaya untuk menjadi panitia pemilihan merasa perlu ikut terlibat dalam menjalankan pemilihan. Selain itu, masyarakat juga berniat untuk membantu pihak aparat desa untuk menjalankan pemilihan. Kesempatan untuk menjadi panitia pemilihan ini dapat menjadi peluang bagi masyarakat untuk terlibat lebih jauh dalam pemilihan, tidak hanya berpartisipasi dalam menggunakan hak suaranya. 68 Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Mempersuasi Pihak Lain untuk Berpartisipasi Bentuk partisipasi mempersuasi pihak lain pada umumnya dilakukan oleh masyarakat dalam bentuk mempersuasi kerabat atau tetangga untuk menggunakan hak suaranya. Motif yang biasanya dimiliki oleh masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak suaranya adalah afektif. Motif afektif yang mendasari partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi ini tidak berbeda antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Masyarakat mengaku bahwa persuasi yang mereka lakukan sebelum ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dilakukan agar mereka memiliki teman diskusi sebelum memilih. Beberapa masyarakat juga mengaku bahwa mereka mengajak teman ke TPS karena mereka merasa takut kalau pergi sendirian ke TPS. Mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak suaranya dalam pemilihan juga terkait dengan tugas yang dimiliki oleh panitia pemilihan, baik Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat desa maupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tingkat TPS. Mengajak masyarakat untuk menggunakan hak suaranya adalah bagian dari kewajiban panitia pemilihan. Hal ini menunjukkan bahwa motif yang mendasari pantia pemilihan dalam mengajak masyarakat untuk menggunakan hak suaranya terkait dengan motif rasional instrumental. Motif rasional instrumental di sini berarti bahwa ajakan panitia pemilihan tersebut terkait dengan efektifitas pencapaian tujuan. Tujuan yang dimaksud di sini adalah tujuan secara umum dari pemilihan, yaitu agar partisipasi jumlah masyarakat yang menggunakan hak suaranya dapat dimaksimalkan. Persuasi ini tidak hanya dilakukan melalui surat undangan secara resmi, tetapi juga melalui persuasi-persuasi lisan. Motif afektif ini juga dilakukan oleh pihak-pihak yang mempersuasi pihak lain untuk mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat yang mengikuti proses penghitungan suara cenderung mempersuasi pihak lain untuk juga mengikuti proses penghitungan suara agar ada teman diskusi ketika menyaksikan proses penghitungan suara. Hal ini jarang dilakukan karena pada umumnya yang mengikuti proses penghitungan suara adalah pria, sedangkan masyarakat yang sering mengajak pihak lain untuk berpartisipasi dalam pemilihan adalah perempuan, terutama dalam kasus mempersuasi pihak lain untuk menggunakan hak suaranya. Mempersuasi pihak lain untuk menjadi panitia pemilihan hanya bisa dilakukan oleh pihak-pihak yang merupakan aparat atau elit desa. Pada umumnya, persuasi tersebut dilakukan untuk melengkapi jumlah panitia pemilihan yang dibutuhkan. Oleh karena itu, persuasi yang dilakukan oleh aparat desa dalam mengajak pihak lain agar menjadi panitia pemilihan termasuk ke dalam motif rasional instrumental. Hal ini dikarenakan motif persuasi tersebut terkait dengan efektifitas dan efisiensi pencapaian tujuan dalam memenuhi kebutuhan kuantitas panitia pemilihan. 69 Motif Tindakan Sosial pada Bentuk Partisipasi Politik dalam Proses Penghitungan Suara Motif yang dimiliki masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara adalah motif rasional berorientasi nilai, baik pada masyarakat strata atas maupun strata bawah. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam mengikuti proses penghitungan suara dilandasi oleh nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat. Masyarakat merasa perlu untuk mengetahui dan menyaksikan proses penghitungan suara agar mengetahui siapa kandidat yang terpilih dalam pemilihan. Walaupun informasi mengenai kandidat yang terpilih dalam pemilihan dapat diketahui dari tetangga sekitar atau dari Ketua RT secara langsung tanpa mengikuti proses penghitungan suara, namun beberapa masyarakat merasa perlu mengikuti proses penghitungan suara untuk menyaksikan proses terpilihnya kandidat. Pihak yang berpartisipasi dalam proses penghitungan suara tidak hanya dilakukan oleh masyarakat secara umum, tetapi juga dilakukan oleh pihak-pihak yang menjadi Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Panitia pemilihan secara otomatis pasti mengikuti proses penghitungan suara. Hal ini termasuk bagian dari kewajiban mereka sebagai panitia pemilihan untuk terlibat langsung dalam proses penghitungan suara. Hal ini menunjukkan bahwa motif yang dimiliki panitia pemilihan untuk mengikuti proses penghitungan suara terkait dengan motif rasional berorientasi nilai. Motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh panitia pemilihan menunjukkan bahwa partisipasi panitia pemilihan dalam proses penghitungan suara masih terkait dengan kewajibannya sebagai panitia pemilihan. Mengikuti proses penghitungan suara termasuk bagian dari tugas panitia pemilihan. Hal ini juga masih terkait dengan tujuan panitia pemilihan yang ingin membantu pihak aparat desa dalam menjalankan pemilihan. Ikhtisar: Motif-Motif Tindakan Sosial pada Berbagai Bentuk Partisipasi Politik Tingkat motif-motif tindakan sosial yang mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik pada pemilihan dapat diidentifikasi. Identifikasi ini pun dapat mengarahkan pada tinggi atau rendahnya tingkat partisipasi masyarakat pada setiap bentuk partisipasi politik (Tabel 14). Analisis motif pada bentuk-bentuk partisipasi politik ini tidak dijelaskan pada masing-masing strata karena tidak ada perbedaan motif dan bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. 70 Tabel 14 Tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada bentuk-bentuk partisipasi politik Bentuk-bentuk partisipasi politik Motif tindakan Persuasi Proses Penggunaan Panitia sosial Kampanye pihak penghitungan hak pilih pemilihan lain suara Rasional Rendah Tinggi Rendah Tinggi Rendah instrumental Rasional Tinggi Rendah Tinggi Rendah Tinggi berorientasi nilai Afektif Rendah Rendah Rendah Tinggi Rendah Tradisional Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah Kecenderungan tingkat Tinggi Rendah Rendah Rendah Rendah partisipasi Secara umum, bentuk partisipasi politik yang memiliki tingkat partisipasi paling tinggi adalah penggunaan hak pilih. Tingginya tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilih dilandasi oleh tingginya motif rasional instrumental nilai dan motif tradisional yang dimiliki masyarakat. Tingginya motif rasional instrumental terbukti dari adanya kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan. Budaya demokrasi yang diusung oleh pemerintah terlihat sudah melekat pada masyarakat. Masyarakat berpendapat bahwa menggunakan hak pilih dalam pemilihan adalah kewajiban sekaligus hak yang perlu dilakukan untuk negara. Selain motif rasional berorientasi nilai, motif tradisional pada bentuk partisipasi politik penggunaan hak pilih juga tinggi. Hal ini terkait dengan bagaimana masyarakat menentukan pilihannya dalam pemilihan. Secara umum, masyarakat cenderung memperhatikan agama atau suku kandidat dalam menentukan pilihan. Motif tradisional ini pun terkait dengan berpengaruhnya tokoh atau kelembagaan di desa dalam mendukung masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Motif yang mendominasi pada bentuk partisipasi politik kampanye adalah motif rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam kampanye terkait dengan motif ekonomi. Masyarakat yang mengikuti kampanye adalah masyarakat yang cenderung ingin mendapatkan insentif daripada mendukung kandidat. Bentuk partisipasi politik masyarakat sebagai panitia pemilihan dilandasi oleh motif rasional instrumental yang tinggi. Hal ini terkait dengan motif yang dimiliki oleh aparat desa dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan tugas sebagai KPPS dan PPS. Partisipasi sebagai panitia pemilihan dianggap sebagai salah satu kewajiban yang perlu dilakukan sebagai pihak aparat pemerintah desa. Kewajiban ini juga terkait dengan nilai yang dimiliki oleh aparat desa untuk menjalankan pesta demokrasi di Indonesia. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi adalah motif rasional instrumental dan motif afektif. Tingginya motif rasional instrumental pada bentuk partisipasi 71 politik ini terjadi pada persuasi yang dilakukan oleh panitia pemilihan kepada masyarakat untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi ini dilakukan atas dasar mengajak masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan. Hal ini terkait dengan usaha pencapaian target jumlah masyarakat yang menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan. Motif afektif pada bentuk partisipasi politik mempersuasi pihak lain terjadi pada persuasi yang dilakukan oleh masyarakat kepada kerabat atau tetangganya untuk menggunakan hak pilih dan mengikuti proses penghitungan suara. Persuasi ini dilakukan oleh masyarakat agar ada teman diskusi ketika menuju TPS atau ketika mengikuti proses penghitungan suara. Beberapa masyarakat mengaku merasa takut jika harus ke TPS sendirian. Tingkat kecenderungan motif yang tinggi pada bentuk partisipasi politik dalam mengikuti proses perhitungan suara adalah motif rasional berorientasi nilai. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi dalam mengikuti proses penghitungan suara dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi pada masyarakat untuk terlibat dalam proses pemilihan. Motif ini sama dengan motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Secara umum, tidak ada perbedaan motif-motif tindakan sosial dan perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Stratifikasi sosial tidak berhubungan dengan motif-motif tindakan sosial pada partisipasi politik, bentuk-bentuk partisipasi politik, serta pengaruh motif terhadap bentuk-bentuk partisipasi politik. Perbedaan kecenderungan motif tindakan sosial dan bentuk-bentuk partisipasi politik terlihat pada pihak-pihak yang menjadi aktor atau elit desa. Tidak adanya perbedaan antara strata atas dan strata bawah ini dapat disebabkan oleh kesenjangan yang tidak jauh antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Karakteristik antara masyarakat strata atas dan bawah tidak berbeda jauh. Selain itu, tidak adanya perbedaan ini juga dapat disebabkan oleh kurang operasionalnya instrumen kuesioner yang digunakan oleh peneliti. 72 PENUTUP Simpulan Terdapat lima bentuk-bentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat dalam pemilihan, yaitu partisipasi dalam menggunakan hak pilih, mengikuti kampanye, menjadi panitia pemilihan, mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi, serta mengikuti proses penghitungan suara. Masyarakat memiliki tingkat partisipasi paling tinggi pada bentuk partisipasi dalam menggunakan hak pilih. Tingkat partisipasi masyarakat dalam bentuk partisipasi lainnya cenderung rendah. Hal ini terjadi pada strata atas dan bawah pada masyarakat. Tidak ada perbedaan bentuk-bentuk partisipasi politik dan perbedaan tingkat partisipasi pada bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat strata atas dan strata bawah. Motif-motif tindakan sosial yang dapat mendasari bentuk-bentuk partisipasi politik adalah motif rasional instrumental, motif rasional berorientasi nilai, motif afektif, dan motif tradisional. Motif pada partisipasi politik yang memiliki tingkat kecenderungan paling tinggi adalah motif rasional berorientasi nilai. Tingginya tingkat kecenderungan pada motif rasional berorientasi nilai ini terjadi pada masyarakat strata atas dan masyarakat strata bawah. Hal ini menunjukkan nilai demokrasi yang sudah mulai melekat pada masyarakat. Selain itu, motif pada partisipasi politik yang memiliki tingkat kecenderungan yang tinggi adalah motif tradisional pada masyarakat strata bawah. Berbeda dengan masyarakat strata bawah, motif tradisional pada masyarakat strata atas memiliki tingkat kecenderungan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai tradisional yang dipatuhi oleh masyarakat dalam melakukan partisipasi politik. Motif-motif lainnya, yaitu motif rasional instrumental dan motif afektif, pada partisipasi politik masyarakat cenderung rendah, baik masyarakat strata atas maupun strata bawah. Motif rasional instrumental yang rendah menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan pencapaian nilai-nilai ekonomi. Motif afektif yang rendah menunjukkan bahwa partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat tidak terkait dengan perasaan atau emosi masyarakat. Secara umum, tidak ada perbedaan tingkat kecenderungan motif tindakan sosial pada partisipasi politik antara masyarakat strata atas dan strata bawah. Setiap bentuk-bentuk partisipasi politik memiliki kecenderungan motif yang berbeda. Partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya, menjadi panitia pemilihan, dan mengikuti proses penghitungan suara cenderung didukung oleh motif rasional berorientasi nilai. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga bentuk partisipasi politik tersebut dilakukan atas dasar nilai demokrasi yang sudah mulai melekat pada masyarakat. Masyarakat menggunakan hak pilihnya karena kewajiban sekaligus haknya sebagai warga negara. Begitu juga partisipasi masyarakat dalam proses penghitungan suara. Partisipasi masyarakat sebagai panitia pemilihan yang pada umumnya dilakukan oleh elit-elit desa pun dilakukan sebagai salah satu kewajiban yang terkait dengan peran elit desa serta niat untuk membantu pihak pemerintah desa dalam menjalankan pemilihan di desa. Bentuk partisipasi politik dalam kampanye cenderung didorong oleh motif rasional instrumental. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang mengikuti 74 kampanye cenderung dilandasi oleh motif pencapaian nilai-nilai ekonomi. Hal ini terkait dengan insentif yang didapat masyarakat jika mengikuti kampanye. Berbeda dengan bentuk partisipasi dalam kampanye, bentuk partisipasi masyarakat dalam mempersuasi pihak lain cenderung dilandasi oleh motif afektif. Persuasi yang dilakukan oleh masyarakat pada umumnya adalah persuasi untuk mengikuti pemilihan. Hal ini dilakukan karena masyarakat cenderung takut untuk pergi ke TPS sendirian. Hal inilah yang terkait dengan motif afektif masyarakat dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi. Saran Dominasi motif rasional berorientasi nilai yang dimiliki oleh masyarakat untuk terlibat dalam pemilihan menunjukkan bahwa masyarakat sudah memiliki nilai-nilai demokrasi. Pemerintah perlu memperkuat nilai-nilai ini dalam masyarakat agar tingkat partisipasi masyarakat semakin tinggi untuk terlibat dalam pemilihan. Penguatan nilai-nilai demokrasi pada masyarakat ini dapat dilakukan dengan melakukan sosialisasi pada tingkat keluarga. Sosialisasi dan penguatan nilai di tingkat keluarga ini selanjutnya dapat meminimalisasi politik transaksional yang terkait dengan motif-motif ekonomi masyarakat untuk berpartisipasi pada pemilihan sehingga tercipta Pemilu/Pilkada yang jujur dan adil. Penguatan nilai ini juga dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan dan mengurangi angka golput. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah perlu melibatkan aktor-aktor desa, seperti aktor adat dan aktor agama. Hal ini terkait dengan masih kuatnya nilai-nilai tradisional dalam mempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam pemilihan, terutama pada masyarakat strata bawah. Kuatnya pengaruh aktor-aktor desa ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustaqim (2013) mengenai kuatnya pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal pada masyarakat pedesaan. Pemimpin-pemimpin lokal perlu menjadi pihak yang ikut mengawal proses pemilihan secara independent (bebas), tanpa berpihak kepada siapapun. Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah penelitian serta dapat menambah pengetahuan masyarakat mengenai motif-motif yang mendasari partisipasi politik masyarakat pedesaan pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah berdasarkan stratifikasi sosial. Peneliti menyadari keterbatasan dan kekurangan pada penelitian ini, baik dari segi metode penelitian maupun analisis yang dilakukan terhadap fenomena yang terjadi. Oleh karena itu, diperlukan penelitian yang lebih menyeluruh dan lebih mendalam untuk meneliti bagaimana motif-motif tindakan sosial mendasari partisipasi politik masyarakat pada pemilihan. DAFTAR PUSTAKA Bawono M. 2008. Persepsi dan perilaku pemilih terhadap partisipasi politik dalam pemilihan umum legislatif 2004 di Kabupaten Nganjuk. M’Power. [Internet]. [dikutip 11 Maret 2013]. 8 (8): 1-17. Dapat diunduh dari: http://pppm.pasca.uns.ac.id/wp-content/uploads/2012/09/MuhammadBawono.pdf Bayu A. 2000. Hubungan kondisi sosial ekonomi masyarakat pemukiman dalam kawasan (enclave) dengan penggunaan lahan di Taman Nasional Gunung Halimun (Studi kasus di Kampung Ciear, Desa Cisarua, Resort Cigudeg). [skripsi]. [Internet]. [dikutip 20 Mei 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/13710/E00ABA1.pd f Bungin MB. 2006. Sosiologi komunikasi: Teori, paradigma, dan diskursus teknologi komunikasi di masyarakat. Jakarta [ID]: Kencana Prenada Media Group. 395 hal. Fenyapwain MM. 2013. Pengaruh iklan politik dalam Pemilukada Minahasa terhadap partisipasi pemilih pemula di Desa Tounelet. Acta Diurna. [Internet]. [dikutip 15 April 2013]. I (1). Dapat diunduh dari: http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/actadiurna/article/view/975/790 Gama B, Widarwati NT. 2008. Hubungan antara kampanye kandidat kepala daerah dan perilaku pemilih partisipasi politik wanita: Studi pada ibu-ibu rumah tangga dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Sukoharjo. Scriptura. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. 2 (1): 63-80. Dapat diunduh dari:http://puslit.petra.ac.id/journals/communication/ Hill R. 1998. What sample size is “enough” in internet survey research?. IPCTJournal. [Internet]. [dikutip 29 Januari 2014]. 6 (3-4). Dapat diunduh dari: http://www.reconstrue.co.nz/IPCTJ%20Vol%206%20Robin%20hill%20SampleSize.pdf Lindiasari E. 2008. Analisis kemiskinan di tingkat rumah tangga di Kabupaten Bogor. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 8 September 2013]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/1813/A08eli_abstrac t.pdf;jsessionid=75D3921A3944757726ACA97F041B0A96?sequence=1 Mustaqim MR. 2013. Pengaruh kepemimpinan ulama terhadap politik lokal berdasarkan stratifikasi sosial masyarakat pedesaan. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 68 hal. Parsons T. 1940. An analytical approach to the theory of social.The American Journal of Sociology. [Internet]. [dikutip 17 Mei 2013]. 45 (6): 841-862. Dapat diunduh dari: http://docenti.unimc.it/docenti/monicaraiteri/2009/sociologia-e-politiche-del-controllosociale-20093/stratificazione-sociale/parsons-sulla-stratificazionesociale/at_download/file Sari DM. 2007. Dinamika politik dan kepemimpinan lokal pedesaan Jawa: Studi kasus Desa Gadingsari, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul, Provinsi 76 Daerah Istimewa Yogyakarta. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. 168 hal. Sastroatmodjo S. 1995. Perilaku politik. Semarang [ID]: IKIP Semarang Press. 252 hal. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survai. Jakarta [ID]: LP3ES. 334 hal. Soebagio H. 2008. Implikasi golongan putih dalam perspektif pembangunan demokrasi di Indonesia. Makara, Sosial Humaniora. [Internet]. [dikutip 11 Maret 2013]. 12 (2): 82-86. Dapat diunduh dari: http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/2/8141c4beae79dde4e73aa111d63 fbfd369e0bc4d.pdf Tarigan M. 2009. Partisipasi politik masyarakat Kabupaten Temanggung dalam pelaksanaan Pilkada tahun 2008. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. Dapat diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/18117/1/MARLINI_TARIGAN.pdf [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 10 Januari 2014]. Dapat diunduh dari: http://datahukum.pnri.go.id/index.php?option=com_phocadownload&view= category&download=1127:uuno15th2011&id=23:tahun-2011&Itemid=27 [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum. [Internet]. [dikutip 22 April 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_No.22.pdf [UU] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. [Internet]. [dikutip 17 Juni 2013]. Dapat diunduh dari: http://www.kpu.go.id/dmdocuments/UU_32_2004_Pemerintahan%2520Dae rah.pdf Wahyudi B. 2007. Partisipasi politik elit politik perempuan Kota Semarang dalam Pemilu tahun 2004. [skripsi]. [Internet]. [dikutip 15 April 2013]. Semarang [ID]: Universitas Negeri Semarang. 90 hal. Dapat diunduh dari: http://lib.unnes.ac.id/3756/1/2054a.pdf Weber M. 1992. Etika Protestan dan spirit kapitalisme. (Alih bahasa dari bahasa Inggris oleh Utomo TW dan Sudiarja YP). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar. 418 hal. [Judul asli: The Protestant ethic spirit of capitalism]. Zainuri M. 2007. Partisipasi politik perempuan: Perspektif tradisi Islam lokal Kudus. [tesis]. [Internet]. [dikutip 19 April 2013]. Semarang [ID]: Universitas Diponegoro. 187 hal. Dapat diunduh dari: http://eprints.undip.ac.id/18065/1/M._ZAINURI.pdf LAMPIRAN Lampiran 1 Denah lokasi penelitian 78 Lampiran 2 Jadwal pelaksanaan penelitian Jadwal Pelaksanaan Penelitian Kegiatan Penyusunan proposal skripsi Kolokium Perbaikan proposal skripsi Pengambilan data lapangan Pengolahan dan analisis data Penulisan draft skripsi Sidang skripsi Perbaikan skripsi Juni September Oktober November Desember Januari 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 79 Lampiran 3 Daftar nama responden penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 Nama DDM RN UK DWP PT TTN EKL MMH YSY YT MMS YYN EK BT STM MS AR SFD ZBD UJK AP IY MSN IA AA SNH ARY ASY AMA DSA OCH DH NMI SRD RHY IMS EH Kampung Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Leuweung Larangan Lemah Neundeut Lemah Neundeut Lemah Neundeut Lemah Neundeut Pasir Kuda Pasir Kuda Pasir Kuda Pasir Kuda Pasir Kuda Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Ciherang Satim Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah Pasir Tengah RT 1 1 3 4 4 1 2 2 2 3 2 2 2 3 1 1 1 4 7 1 2 2 3 1 1 2 2 2 2 2 2 2 1 2 2 3 4 RW 1 1 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 3 4 4 4 4 4 5 5 5 5 6 6 6 6 6 7 7 7 7 8 8 8 8 8 80 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 IDP SYH APN DD SI ACN ISH PPT RST SGD DH NHN MMN YT SPR JL ASY SDN JHR UJH RSA TBY MHN Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Legok Nyenang Cipare Cipare Cipare Cipare Cipare Pancawati Pancawati Pancawati Pancawati 1 1 2 4 4 2 2 3 3 4 2 2 3 3 1 1 2 2 3 1 1 2 2 9 9 9 9 9 10 10 10 10 10 11 11 11 11 12 12 12 12 12 13 13 13 13 81 Lampiran 4 Hasil uji korelasi Rank Spearman Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk partisipasi responden dalam menggunakan hak pilih Correlations Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih Spearman's rho Bentuk Partisipasi Penggunaan Hak Pilih Correlation Coefficient 1.000 .159 . .224 60 60 Correlation Coefficient .159 1.000 Sig. (2-tailed) .224 . 60 60 Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial Stratifikasi Sosial N Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk partisipasi responden dalam kampanye Correlations Bentuk Partisipasi Mengikuti Kampanye Spearman's rho Bentuk Partisipasi Mengikuti Correlation Coefficient Kampanye Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial 1.000 -.056 . .671 60 60 -.056 1.000 .671 . 60 60 Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk partisipasi responden sebagai panitia pemilihan Correlations Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemilihan Stratifikasi Sosial Spearman's rho Bentuk Partisipasi sebagai Panitia Pemilihan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 -.020 . .879 60 60 -.020 1.000 .879 . 60 60 82 Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk partisipasi responden dalam mempersuasi pihak lain untuk berpartisipasi Correlations Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain Stratifikasi Sosial Spearman's rho Bentuk Partisipasi dalam Mempersuasi Pihak Lain Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial 1.000 .101 . .441 60 60 Correlation Coefficient .101 1.000 Sig. (2-tailed) .441 . 60 60 N Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan bentuk partispasi responden dalam proses penghitungan suara Correlations Bentuk Partisipasi dalam Proses Penghitungan Suara Stratifikasi Sosial Spearman's rho Bentuk Partisipasi dalam Correlation Coefficient Proses Penghitungan Suara Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 -.007 . .958 60 60 -.007 1.000 .958 . 60 60 Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif rasional instrumental responden Correlations Motif Rasional Instrumental Stratifikasi Sosial Spearman's rho Motif Rasional Instrumental Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial 1.000 .043 . .745 60 60 Correlation Coefficient .043 1.000 Sig. (2-tailed) .745 . 60 60 N 83 Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif rasional berorientasi nilai responden Correlations Motif Rasional Berorientasi Nilai Stratifikasi Sosial Spearman's rho Motif Rasional Berorientasi Nilai Correlation Coefficient 1.000 .049 Sig. (2-tailed) . .710 60 60 Correlation Coefficient .049 1.000 Sig. (2-tailed) .710 . 60 60 N Stratifikasi Sosial N Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif afektif responden Correlations Motif Afektif Stratifikasi Sosial Spearman's rho Motif Afektif Correlation Coefficient 1.000 .083 . .527 60 60 Correlation Coefficient .083 1.000 Sig. (2-tailed) .527 . 60 60 Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial N Hasil uji SPSS Rank Spearman hubungan antara strata sosial dengan motif tradisional responden Correlations Motif Tradisional Stratifikasi Sosial Spearman's rho Motif Tradisional Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Stratifikasi Sosial Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N 1.000 -.084 . .523 60 60 -.084 1.000 .523 . 60 60 84 Lampiran 5 Dokumentasi Kantor Desa Pancawati Kondisi Sawah Kondisi Jalan Proses Pembangunan Jembatan Kondisi Rumah Warga Kondisi Rumah Warga 85 Perkebunan Tomat Perkebunan Jagung Kerja Bakti Warga Petani sedang Bertani 86 RIWAYAT HIDUP Annisa Maghfirah dilahirkan di Tanjung Morawa pada tanggal 24 Oktober 1992. Penulis adalah anak pertama dari pasangan Bapak Khairuddin dan Ibu Meichati Syam. Penulis menempuh pendidikan formal sejak di TK Aisyiyah Medan pada tahun 1997. Pada tahun 1998 penulis menempuh pendidikan formal di SD Harapan 2 Medan sampai tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan sekolah ke SMP Negeri 6 Medan selama 3 tahun. Setelah lulus SMP pada tahun 2007, penulis melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 2 Medan sampai tahun 2010. Pada bulan Juni 2010 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Talenta Masuk (UTM). Aktivitas penulis selama di IPB tidak hanya di perkuliahan, tetapi juga di organisasi. Penulis adalah anggota dari Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Ikatan Mahasiswa Muslim Asal Medan (IMMAM) dari tahun 2010 sampai 2011. Pada tahun 2012, penulis menjabat sebagai Sekretaris Manajemen Public Relation dalam organisasi Leadership and Entrepreneurship Schools (LES) dan anggota Divisi Public Relation dalam HIMASIERA (Himpunan Mahasiswa Peminat IlmuIlmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat). Tidak hanya di organisasi, penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan. Pada tahun 2012 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi Acara International Scholarship Education Expo (ISEE), Sekretaris 2 Masa Perkenalan Fakultas (MPF) FEMA, anggota Divisi Pembimbing Anggota Kelompok (PAK) Masa Perkenalan Departemen (MPD) SKPM, anggota Divisi Acara Kemah Riset FEMA, dan anggota Divisi Dana Usaha dan Sponsorship Kunjungan HIMASIERA. Pada tahun 2011 penulis pernah menjabat sebagai anggota Divisi Humas dan Sponsorship Pelatihan Public Speaking PRIORITY (Public Speaking to Research and Broadcast Our Community) HIMASIERA, anggota Divisi Humas Gebyar Nusantara, Bendahara Divisi Acara Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) Angkatan 48 IPB, dan Sekretaris Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia Angkatan 48 FEMA.