11 BAB II LANDASAN TEORI A. Beberapa Ketentuan dalam Hukum

advertisement
11
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Beberapa Ketentuan dalam Hukum Ekonomi Islam
1. Pengertian Hukum Ekonomi Islam
Hukum berasal dari kata hukm dalam bahasa Arab. Artinya norma atau
kaidah yang menjadi ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang
dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia. Ekonomi
Islam berpijak pada landasan hukum yang pasti mempunyai manfaat untuk
mengatur masalah manusia dalam bermasyarakat, maka hukum harus mampu
mengakomodasi masalah manusia, baik masalah yang sudah terjadi, sedang
terjadi dan masalah yang akan di hadapi manusia, baik masalah yang besar
maupun sesuatu yang belum dianggap masalah.1Hukum digunakan untuk
mengelola kehidupan manusia dari berbagai sektor, ekonomi, sosial, politik,
budaya yang didasarkan atas kemaslahatan.2
Manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya memerlukan
landasan hukum yang pasti guna menjaga keteraturan hidup bermasyarakat.
Manusia sering meligitimasi tindakan-tindakan yang didasarkan pada hukum
yang dibuatnya sendiri sehingga unsur subjektif yang merupakan personifikasi
vestedinterestmampu menggiring pada penafsiran baru atas pemberlakuan
1
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2007, h. 25.
M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia Persfektif Sosio-Yuridis,
Jakarta:eLSAS, 2007, h. 69.
2
12
hukum yang ada. Dengan kenyataan ini maka diperlukan hukum yang tegas
guna mengontrol kerentanan manusia untuk bersikap apologistik dalam
mengambil kesimpulan.Islam mengatur masyarakat lewat hukum-hukum
Allah yang menjamin manusia di dunia dan di akherat.3
Pandangan al-Zarqa mengenai ruang lingkup syariat Islam yan
meliputi bidang ibadah dan muamalah, Syariat atau ketentuan hukum yang
mengatur mengenai hubungan manusia dengan penciptanya (al-khaliq)
bersifat vertikal merupakan bidang hukum ibadah.Sedangkan syariat atau
ketentuan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya
manusia dan terhadap makhluk lainnya di bumi adalah bagian dari muamalah.
Hukum ekonomi Islam dengan demikian sebagai ketentuan hukum
yang bersumber dari Alquran, hadis, dan sumber-sumber Islam lainnya dalam
kaitannya dengan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
atau mengenai bagaimana manusia melakukan kegiatan ekonomi. 4
2. Sumber Hukum Ekonomi Islam
Hukum ekonomi Islam sebagai ketentuan hukum yang bersumber dari
Alquran, hadis, dan sumber-sumber Islam lainnya dalam kaitannya dengan
manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau mengenai
bagaimana manusia melakukan kegiatan ekonomi. Sumber-sumber yang
dipakai dalam acuan istinbath hukum ekonomi Islam adalah : Kitab
3
4
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar.., h. 25.
Ibid.,h. 71.
13
(Alquran), hadis, ijma, qaul shahabi, qiyas, istihsan, maslahah mursalah,
‘Urf, Sya’man Qablana, dan Istishab.5
Sumber
hukum
Islam
atau
hukum
ekonomi
Islam
sangat
beragam.Menurut pandangan Abdul Wahhab Khallaf dan Mahdi Fadhlullah
terdatapa 11 sumber hukum Islam.Bahkan Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan
46 sumber. Kesebelas dalil itu menurut Mahdi adalah sebagai berikut:
Alquran, Hadis, al-Ijma, al-Qiyas, al-Ihtihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al‘Urf, al-Istishhab, Syar’ man Qablana, Mazhab al-Shahabi, dan Saad alDzara’I wa Fath al Dhara’i.6
Sumber-sumber hukum Islam di atas tidaklah menjadi kesepakatan
para ulama, masih ada yang diperdebatkan baik dalam hal pengertian ataupun
dijadikan rujukan dalam sumber hukum ekonomi Islam.Selanjutnya Mahdi
menjelaskan, di kalangan Ahl al-Sunnah (Sunni) empat sumber telah
disepakati jumhur fuqaha yaitu Alquran, Hadis, al-Ijma, al-Qiyas. Sumber
hukum
yang
masih diikhtilafkan yaitu
al-Ihtihsan, al-Maslahah al-
Mursalah, al-‘Urf, al-Istishhab, Syar’ man Qablana, Mazhab al-Shahabi, dan
Saad al-Dzara’I wa Fath al Dhara’i.7
Sumber-sumber hukum ekonomi Islam di atas ada yang bersifat naqli,
yaitu: Alquran, Hadis, Ijma, qaul shahabi, Urf, dan Syar’ man Qablana.
5
Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h. 23.
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh.., h.48-49.
7
Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam., h. 23.
6
14
Selanjutya yang bersifat aqli, yaitu al-Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, alIstihsan, dan al-Istishhab.8
Sumber hukum untuk dalil-dalil naqli masih memerlukan kepada akal
untuk memahami dan mengambil hukum daripadanya. Begitu juga halnya
dalil aqli tidak diperlukan oleh syariat kecuali jika ia bersandar kepada naqli.
Karena akal saja tidak mampu mengetahui hukum-hukum syari’at.9
Naqli dan aqli, dalam kenyataannya terdapat hubungan timbal balik
dengan entitas kehidupan yang terikat oleh ruang dan waktu yang di dalamnya
sarat dengan watak, perilaku, dan pola hubungan antar manusia.Alquran,
hadis, dan ijma, diturunkan dan dirumuskan dalam kehidupan konteks
kehidupan manusia.Demikian pula suatu tradisi yang dilakukan (al-‘urf),
hukum yang berlaku bagi umat terdahulu (syar’ man qablana), dan
pandangan sahabat dalam masalah ijitihadi (madzhab al-shahabi) muncul
dalam konteks kehidupan dalam ruang dan waktu tertentu.Sementara itu,
merumuskan kedudukan hukum karena kesamaan ‘illah (al-qiyas), merupakan
penafsiran analogis bagi masalah hukum “baru” yang terjadi dalam
kehidupan. Selain itu, mengalihkan suatu dalil kepada dalil lain untuk
menghasilkan hukum yang lebih baik (al-istihsan), kesinambungan hukum
(al-istishhab), kemaslahatan tanpa dasar nash (al-mashlahah al-mursalah),
dan peluang tertutup dan terbuka yang berorientasi kepada tujuan (saad al-
8
9
Ibid.
Ibid.
15
dzara’i’ wa fathhuha), merupakan upaya untuk menetapkan hukum bagi
keteraturan dan ketentraman dalam kehidupan manusia.10
3. Tujuan dan Fungsi Hukum Ekonomi Islam
Tujuan dari hukum ekonomi Islam adalah mengatur:
a. Mengatur hubungan manusia dengan sesamanya manusia berupa
perjanjian atau kontrak,
b. Berkaitan dengan hubungan manusia dengan objek atau benda-benda
ekonomi
c. Berkaitan dengan ketentuan hukum terhadap benda-benda yang menjadi
objek kegiatan ekonomi. 11
Adapun yang menjadi dari tujuan dari Ekonomi Islam yaitu :
a. Konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang dibutuhkan dan
beramanfaat bagi kehidupan manusia;
b. Alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas
manusia agar dia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan
teknologinya guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam;
c. Dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai
moral harus diterapkan;
10
11
Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh.., h.50.
M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah ., h. 73.
16
d. Pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan
seseorang yang diperoleh dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana
distribusi pendapatan merupakan sarana yang ampuh.12
e. Menyediakan dan menciptakan peluang-peluang yang sama dan luas bagi
semua orang untuk turut dalam berperan dalam kegiatan ekonomi. Peran
serta setiap individu dalam kegiatan ekonomi merupakan tanggung jawab
keagaamaan. Individu diharuskan menyediakan kebutuhan hidupnya
sendiri dan orang-orang yang tergantung padanya. Pada saat yang sama
seorang muslim diharuskan melaksanakan kewajiban dengan cara terbaik
yang paling mungkin, bekerja dan efisien dan produktif merupakan
tindakan bijak.13
f. Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, dan untuk
meningkatkan dari kesejahteraan ekonomi masyarakat.14
g. Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. kegiatan
ekonomi yang berteraskan kepada keselarasan serta menghapuskan
penindasan dan penipuan adalah merupakan suatu sistem yang benarbenar dapat menegakkan keadilan sosial dan ekonomi di dalam
masyarakat. atas dasar inilah jual beli dan mengharamkan berbagai jenis
segala penipuan.
12
Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 4.
Eko Suprayitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, h. 19.
14
Ibid.,h. 20.
13
17
Fungsi atau peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan,
terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan
hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara
umum dan keseluruhan dalam menopang, melengkapi dan atau mengisi
kekosongan hukum nasional. 15
4. Pengertian Ekonomi Islam
Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan pengertian ekonomi
Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama.
Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang
berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan
permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islami.
Menurut pandangan Islam , ilmu pengetahuan adalah suatu cara yang
sistematis untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang mendasarkan
segala aspek tujuan (ontologis), metode penurunan kebenaran ilmiah
(epistemologis), dan nilai-nilai (aksiologis) yang terkandung pada ajaran
Islam. Secara singkat, ekonomi Islam dimaksudkan untuk mempelajari upaya
manusia untuk mencapai falah dengan sumber daya yang ada melalui
mekanisme pertukaran.Penurunan kebenaran atau hukum dalam ekonomi
Islam didasarkan pada kebenaran deduktif wahyu Ilahi (ayat qauliyah) yang
15
Adiyantosw.blogspot.com/2011/12/dasar-hukum-ekonomi-islam-di-indonesia.html, online 1905-2013.
18
didukung oleh kebenaran induktif empriris (ayat kauniyah).Ekonomi Islam
juga terikat oleh nilai-nilai yang diturunkan dari ajaran Islam itu sendiri. 16
Definisi dari para ahli mengenai ekonomi Islam adalah sebagai
berikut:
Pendekatan definisi oleh Hanazuzzaman dan Metwally yang dikutip
oleh P3EI UII Yogyakartan:
Ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari ajaran
Alquran dan Hadis.Segala bentuk pemikiran ataupun praktek ekonomi
yang tidak bersumberkan dari Alquran dan Hadis tidak dapat
dipandang sebagai ekonomi Islam.Untuk dapat menjelaskan masalah
kekinian digunakan metode fikih untuk menjelaskan fenomena
tersebut bersesuai dengan ajaran Alquran dan Hadis.17
Muhammad Abdul Mannan yang dikutip oleh Heri Sudarsono
memberikan pengertian: Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan
sosial yang memperlajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh
nilai-nilai Islam. 18
Pendekatan yang digunakan Siddiqie dan Naqvi yang dikutip dari
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam merupakan representasi perilaku
ekonomi umat Muslim untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh.
Dalam hal ini, ekonomi Islam tidak lain merupakan penafsiran dan praktek
ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak bebas dari kesalahan dan
kelemahan. Analisis ekonomi setidaknya dilakukan dalam tiga aspek, yaitu
16
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 17.
Ibid.,h. 18.
18
Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar.., h. 13.
17
19
norma dan nilai-nilai dasar Islam, batasan ekonomi dan status hukum, dan
aplikasi dan analisis sejarah.
Beberapa ekonom muslim mencoba mendefinisikan ekonomi lebih
komprehensif ataupun menghubungkan antara definisi-definisi yang telah ada.
Seperti yang diungkapkan Chapra dan Choudury bahwa berbagai pendekatan
dapat digunakan untuk mewujudkan ekonomi Islam, baik pendekatan historis,
empiris ataupun teroritis.Pendekatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan
kesejahteraan manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Islam, yaitu Falah,
yang bermaknakan kelangsungan hidup, kemandirian, dan kekuatan untuk
hidup.
Dapat disimpulkan dari beberapa paparan bahwa ekonomi Islam tidak
hanya praktek kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas
Muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan perilaku ekonomi yang
didasarkan pada ajaran Islam.Ia mencakup cara memandang permasalahan
ekonomi,
menganalis,
dan
mengajukan
alternatif
solusi
berbagai
permasalahan ekonomi. Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari
implemantasi ajaran Islam secara kaffah dalam aspek ekonomi.Oleh karena
itu, perekonomian Islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang
dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam yang diharapkan, yang belum tentu
tercermin dalam perilaku masyarakat Muslim yang ada pada saat ini. 19
19
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 20.
20
Dapat penulis tarik benang merah ekonomi Islam adalah ilmu yang
mempelajari
usaha
manusia
untuk
memenuhi
kehidupannya
untuk
mengalokasikan dan mengelola sumber daya yang ada guna mencapai
kebahagiaan dunia dan akherat yang berorienatasi mencapai falah berdasarkan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Hadis.
5. Prinsip Dasar Ekonomi Islam
Prinsip ekonomi Islam atau syari’ah merupakan pengembangan nilai
dasar tauhid,merupakan pondasi ajaran Islam.Dasar tauhid sebagai asas atau
sendi dasar pembangunan yang bermuara pada terciptanya kondisi dan
fenomena sosial yang equilibrium atau falsafah politik Indonesia disebut
keadilan sosial, al adalah al ijtima’iyah.20Segala sesuatu yang kita perbuat di
dunia nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Sehingga
termasuk
didalamnya
aktivitas
ekonomi
dan
bisnis
nantinya
akan
dipertanggungjawabkan, sebagaimana konsep Tauhid bukan saja hanya
mengesakan Allah SWT, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan, kesatuan
kemanusiaan, kesatuan tuntutan hidup dan kesatuan tujuan hidup, yang
semuanya derivasi dari kesatuan ketuhanan. 21 Di samping itu, secara umum
pandangan Islam tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan
20
Muhammad, Geliat-geliat pemikiran ekonomi Islam, Yogyakarta: Aditya media publishing,
2010, h. 94.
21
Menurut Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid atau keesaan merupakan sebuah pandangan
umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa dan sejarah manusia. Lihat Ibnu Elmi AS
Pelu, Gagasan, Tatanan & Penerapan Ekonomi Syariah dalam Persfektif Politik Hukum, Setara Press:
Malang, 2008, h. 87,dan Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: Akademi Manajemen
Perusahaan YKPN, 2004, h. 53.
21
lingkungan sosialnya, dapat direpresentasikan dengan empat prinsip menurut
Syed
Nawab
Heidar
Naqvimenyebutkan
sebagai
berikut:
Tauhid,
Keseimbangan atau kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas, dan tanggung
jawab.22Lebih lanjut tentang prinsip dasar ekonomi Islam adalah:
a. Tauhid
Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan
keyakinan (syahadat) seorang muslim atas keesaan Tuhan. Istilah tauhid
dikonstruksi berarti satu (esa) yaitu dasar kepercayaan yang menjiwai
manusia dan seluruh aktivitasnya.Konsep tauhid beirisikan kepasrahan
manusia kepada Tuhannya, dalam persfektif yang lebih luas, konsep ini
merefleksikan adanya kesatuan kesatuan, yaitu kesatuan kemanusiaan,
kesatuan kemanusiaan, kesatuan penciptaan dan kesatuan tuntutan hidup
serta
kesatuan
tujuan
hidup.Tauhid
merupakan
fondasi
ajaran
Islam.Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatu apapun
yang layak disembah selain Allah”.Karena Allah adalah pencipta alam
semesta dan seisinya dan sekaligus pemiliknya, bahkan jika manusia
sekalipun ada dalam genggaman kekuasaanNya. 23
Tauhid dalam bidang ekonomi mengantarkan para pelaku ekonomi
untuk berkeyakinan bahwa harta benda adalah milik Allah semata,
22
Syed Nawab Haider naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, pener: M. Saiful aAnam dan M.
Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003, h 35. Lihat juga Muhammad, Geliat-geliat
pemikiran ekonomi Islam, Yogyakarta: Aditya media publishing, 2010, h. 95.
23
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, h. 5.
22
keuntungan yang diperoleh pengusaha adalah berkat anugerah dari Tuhan.
Tauhid jgua mengantar pengusaha untuk tidak hanya mengejar
keuntungan duniawi, karena hidup adalah kesatuan antara dunia dan
akherat.
b. ‘Adl (keadilan).
Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Adil
yang dimaksud disini adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi, sehingga
penerapannya dalam kegiatan ekonomi adalah manusia tidak boleh
berbuat jahat kepada orang lain atau merusak alam untuk memperoleh
keuntungan pribadi.
Keadilan, pada tataran konsepsional-filosofis menjadi sebuah
konsep universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, ajaran setiap
agama dan bahkan ajaran setiap agama dan bahkan ajaran berbagai aliran
filsafat moral.Dalam khazanah Islam, keadilan yang tidak terpisah dari
moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan
penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu
kewajiban. 24
Rasa keadilan dan upaya perealisasiannya bersumber dari
substansi, dari mana manusia tercipta. Tidak peduli betapa ambigu atau
24
Ibid.,h. 6.
23
kaburnya makna keadilan baik ditinjau dari segi filosofis 25, teologis,
ekonomi, maupun hukum di kepala kita, jiwa kita yang paling dalam
memiliki rasa keadilan yang menyinari kesadaran kita, dan batin yang
bergejolak di hati kita mendesak kita untuk hidup dengan adil,
melaksanakan keadilan dan melindungi apa yang kita pandang adil.
c. Nubuwwah (kenabian).
Nabi dan Rasul diutus untuk menyampaikan petunjuk dari Allah
kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia,
dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal muasal.Fungsi rasul
adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar
mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk umat muslim, Allah
telah mengirimkan “manusia model’ yang terakhir dan sempurna untuk
diteladani sampai akhir zaman. 26
Setiap muslim diharuskan untuk meneladani sifat dari nabi
Muhammad SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang patut
diteladani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam
bidang ekonomi yaitu :Siddiq (benar, jujur), Amanah (tanggung jawab,
25
Berdasarkan filsafat, pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat
segala yang ada, sebabnya, asalnya, hukumnya; teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan;
ilmu yg berintikan logika, (OH) estetika, metafisika, dan epistomologi; kumpulan anggapan, gagasan,
dan sikap batin yang dimiliki orang atau masyarakat, falsafah; Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, h. 410.
26
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 5.
24
kepercayaan,
kredibilitas),
Fathanah
(Kecerdikan,
kebijaksanaan,
intelektualita) dantabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran).
d. Khila>fah (pemerintahan).
Dalam Islam, peranan yang dimainkan pemerintah terbilang kecil
akan tetapi sangat vital dalam perekonomian. Peranan utamanya adalah
memastikan bahwa perekonomian suatu negara berjalan dengan baik tanpa
distorsi dan telah sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan agar tidak
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi.Semua ini dalam rangka
mencapai maqa>shid asy syariah (tujuan-tujuan syariah).27
e. Ma’ad (hasil).
Diartikan juga sebagai imbalan atau ganjaran.Implikasi nilai ini
dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh Imam
Ghazali menyatakan bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk
mendapatkan keuntungan atau profit atau laba. Dalam islam, ada laba atau
keuntungan di dunia dan ada laba/keuntungan di akhirat.28
6. Karakter Ekomi Islam
Sumber karakteristik ekonomi Islam itu sendiri yang meliputi tiga
asas pokok.Ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi
dalam Islam, yaitu asas akidah, akhlak dan asas hukum (muamalah).29
27
Ibid., h. 8.
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 8
29
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam,Jakarta: Kencana, 2007,
28
h. 17.
25
Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan
dalam Al-Mawsu>’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah al-isla>miyahyang dapat
diringkas sebagai berikut:
a. Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Merupakan Khalifah Atas Harta
Karakteristik pertama ini terdiri dari dua bagian yaitu:
1) Pertama, semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik
(kepunyaan Allah), sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2]: 284 dan Q.S.
al-Maidah [5]: 17.
2) Kedua, manusia adalah khalifah30 atas harta miliknya31 sesuai dengan
Q.S. al-Hadi>d [57]: 7.
Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di
tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dia-lah yang
menciptakannya.Akan tetapai, Allah memberikan hak kepada kamu
(manusia) untuk menciptakannya. Dengan kata lain, sesungguhnya Islam
sangat menghormati hal milik pribadi, baik itu terhadap barang-barang
konsumsi ataupun barang-barang modal. Namun pemanfaaatannya tidak
30
Khalifah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah wakil (pengganti) Nabi Muhammad
SAW. Seetelah Nabi wafat (di urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam di
kehidupan Negara, manusia diciptakan Allah sebagai penguasa di muka bumi, Tim Penuyusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia., h. 717.
31
Yang dimaksud dengan khalifah atas hartanya bukan secara mutlak memilikinya.Hak milik
pada hakikatnya adalah pada Allah.Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukumhukum yang telah disyariatkan Allah.Selain itu terdapat sabda Rasullulah SAW, yang juga
mengemukakan peran manusia sebagai khalifah, diantara sabdanya: “Dunia ini hijau dan manis. Allah
telah menjadikan kahlifah (penguasa) di udnia. Karena itu hendaklah kamu membahasa cara berbuat
mengenai harta di dunia ini”. Lihat Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi
Islam..h. 19.
26
boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan
dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah
SWT.32
b. Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syariah (Hukum) dan Moral.
Hubungan ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam
banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang
ditundukkan (disediakan) untuk kepentingan manusia.Hubungan ekonomi
Islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan aktivitas
ekonomi dalam Islam menjadi ibadah. Menurut Yafie hubungan ekonomi
dan moral dalam Islam adalah:
1) Larangan terhadap pemilik dalam menggunakan hartanya yang dapat
menimbulkan mudharat atas harta orang lain atau kepentingan
masyarakat.33
2) Larangan melakukan penipuan dalam transaksi. Nabi SAW,bersabda:
“orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”.
3) Larangan meimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana moneter
lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat
diperlukan buat mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam
masyarakat. Menimbun (menyimpan) uang berarti menghambat
32
Ibid.,h. 20.
Seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Tidak boleh
merugikan diri sendiri dan juga orang lain” (H.R. Ahmad).
33
27
fungsinya dalam memperluas lapangan produksi34 dan penyiapan
lapangan kerja.
4) Larangan melakukan pemborosan karena akan menghancurkan
individu dalam masyarakat.35
c. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan.
Beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap
Islam.Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri,
tetapi toleran (membuka diri).Selain itu para ahli tersebut menyatakan
Islam adalah yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi
akhirat) dan sekularitas (segi dunia).
Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara memisahkan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Setiap aktivitas manusia di dunia akan
berdampak pada kehidupannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, aktivitas
keduniaan kita tidak boleh mengorbankan kehidupan akhirat.36
d. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu
dengan Kepentingan Umum.
Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah, Islam tidak
mengakui hak mutlak dan kebebesan mutlak, tetapi mempunyai batasanbatasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik.Hanya keadilan yang
34
Produksi adalah proses mngeluarkan hasil, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1032.
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam..h. 23.
36
Ibid.,h. 23.
35
28
dapat melindungi keseimbagan antara batasan-batasan yang ditetapkan
dalam sistem Islam untuk kepentingan individu dan umum.
Kegiatan ekonomi
yang dilakukan oleh seseorang untuk
mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan
mengorbankan kepentigan orang lain dan masyarakat secara umum.
Kegiatan
ekonomi
yang
dilakukan
oleh
setiap
individu
untuk
mensejahterakan dirinya, tidak boleh mengabaikan kepentingan orang
banyak.Prinsip ini harus tercermin pada setiap kebijakan individu maupun
lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi.Ciri ini jelas berbeda degan
system ekonomi kapitalis yang hanya memikirkan kepentingan pribadi
dan sistem ekonomi sosialis yang lebih menekankan kepentingan umum. 37
e. Kebebasan Individu dijamin dalam Islam
Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan
untuk berkativitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk
mencapai tujuan.Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturanaturan yang telah digariskan Allah SWT.
Prinsip kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan
sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis.Dalam kapitalis, kebebasan
individu dalam berekonomi tidak dibatasi norma-norma ukhrawi, sehingga
tidak ada urusan halal atau haram. Sementara dalam sosialis justru tidak
37
Ibid.,h. 25.
29
ada kebebasan sama sekali, karena seluruh aktivitas ekonomi masyarakat
diatur dan ditujukan hanya untuk negara.38
f. Negara diberi Wewenang Turut Campur dalam Perekonomian
Islam
memperkenankan
negara
untuk
mengatur
masalah
perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun
sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam Negara
berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang
dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara
lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan social agar seluruh
masyarakat daapt hidup secara layak.
Peran Negara dalam perekonomian pada sistem Islam ini jelas
berbeda dengan sistem kapitalis
yang sangat
membatasi peran
Negara.Sebaliknya juga berbeda dengan sistem sosialis yang memberikan
kewenangan Negara untuk mendominasi perekonomian secara mutlak.39
g. Bimbingan Konsumsi
Bimbingan konsumsi40 dalam Alquran terdapat pada Q.S. al-Ara>f
[7]: 31 yang berbunyi:
Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap
(memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
38
Ibid.,h.27.
Ibid., h. 28.
40
Konsumsi adalah pemakaian barang-barang hasil industri (bahan pakaian, makanan, dan
sebagainya);barang barang yg langsung memenuhi keperluan hidup kita, lihat Tim Penysusun, Kamus
Besar Bahasa Indonesia., h. 750.
39
30
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebihan.41
Selain itu ada juga larangan suka kemewahan dan bersikap
angkuh terhadap hukum karena kekayaan, sebagaimana firman Allah
dalam Q.S. al-Isra> [17]: 16 yang artinya:
..Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka
kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di
negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan
kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya
berlaku terhadapnya perkataan (ketentua kami), Kemudian
kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. 42
h. Petunjuk Investasi
Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, almawsu’ah Al-Ilmiyah wa al-amaliyah al-islamiyah memandang ada lima
kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai
proyek investasi, yaitu:
1) Proyek yang baik menurut Islam.
2) Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat.
3) Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan.
4) Memelihara dan menumbuhkankembangkan harta.
5) Melindungi kepentingan anggota masyarakat.43
41
Q.S. al-A’ra>f [7]: 31.
Q.S. al-Isra> [17]: 31.
43
Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam..h. 29.
42
31
i.
Zakat
Zakat adalah salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai
harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian
di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar
menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat
kikir, dengki, dan dendam. 44
j.
Larangan Riba.
Islam
menekankan
pentingnya
memfungsikan
uang
pada
bidangnya yang normal yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian
barang.Di antara faktor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang
normal adalah bunga (riba).45
Di dalam Alquran perlarangan riba terdapat pada wahyu yang
berlain-lainan. Pertama terdapat dalam Q.S. ar-Ruum [30]: 39 di Mekkah,
menekankan jika bunga dikurangi rizki yang berasal dari rahmat Allah,
kedermawanan justru melipatgandakan. Kedua terdapat dalam Q.S. anNisa [4]: 161, permulaan periode Madinah, sangat mencelanya, sejalan
dengan perlarangannya dalam ayat sebelumnya. Ayat ini menggolongkan
mereka yang memakan riba sama dengan mereka yang mencuri harta
orang lain dan Allah mengancam kedua pelaku tersebut dengan siksa yang
pedih. Ketiga terdapat dalal Q.S. ali-Imran [3]: 130-132, sekitar tahun
44
45
Ibid.
Ibid.,h. 29.
32
kedua-tiga hijriah, memerintahkan muslim untuk menjauhkan diri dari
riba jika mereka menginginkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri.
Keempat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 275-281, menjelang berakhirnya misi
kenabian Muhammad SAW, mengecam keras mereka yang melakukan
riba, membuat perbedaan yang jelas antara perdagangan dan riba, dan
meminta kaum muslimin untuk membatalkan semua riba, memerintahkan
mereka untuk hanya mengambil uang pokok, dan meninggalkannya
meskipun ini merupakan kerugian dan beban berat bagi yang
meminjamkan.46
Nabi Muhammad SAW juga mengecam, dalam hadis qauli yang
paling banyak mengundang perdebatan, tidak hanya mereka yang
mengambil riba tetapi juga mereka yang memberi dan mereka yang
mencatat atau ikut menjadi saksi atas transaksi tersebut.Pelarangan riba
dalam Alquran dan hadis terhadap masalah riba, penting untuk diperjelas
apa yang dimaksud dengan riba. Riba secara harfiah berarti meningkatkan,
penambahan, pengembangan atau pertumbuhan. Meskipun demikian, tidak
berarti semua
peningkatan aau pertumbuhan yang telah dilarang oleh
Islam. Secara teknis dalam syariah, riba mengacu pada premi yang harus
dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman pokok sebagai syarat
untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan
46
M. Umer Chapra, Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terjemahan Lukman Hakim,
Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, h. 26.
33
ini, riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga, sesuai
dengan konsensus seluruh para fuqaha (ahli hukum Islam) tanpa terkecuali.
Meskipun demikian, di dalam syariah istilah riba digunakan untuk dua
pengertian.pertama adalah riba nasiah dan kedua adalah riba fadl.47
1) Riba al-Nasiah
Istilah nasiah berasal dari asal kata nasa'a yang berarti
penangguhan, penundaan, tunggu, meruiuk pada waktu yang diijinkan
bagi peminjam untuk membayar kembali hutang berikut tambahan atau
premi.dengan demikian riba al nasiah mengacu pada bunga atas
pinjaman. istilah riba ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2] : 275 yang
berbunyi : "Allah mengharamkan bunga. Hal ini termasuk riba yang
dimaksud nabi Muhammad SAW ketika heliau berkata: "Tidak ada riba
kecuali dalam nasiah.48
Pelarangan riba nasiah berarti mempunyai pengertian bahwa
penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari
suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti pada dasarnya tidak
diijinkan oleh syariah. tidak ada perbedaan apakah uang itu dlam
persentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau sejumlah yang
harus dibayarkan di muka atau di kemudian hari, atau diberikan dalam
bentuk hadiah atau jasa sebagai syarat peminjaman. Intinya adalah
47
48
Ibid.,h. 62.
Ibid.
34
keuntungan
positif
yang
ditentukan
di
muka
tidak
diperbolehkan.meskipun demikian, jika pengembalian pinjaman pokok
dapat bersifat positif atau negatif tergantungpada hasil akhir suatu
bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu, ini dibolehkan asalkan
ditanggung bersama menurut prinsip keadilan yang ditetapkan dalam
syariat.49
2) Riba al-Fadl
Islam tidak hanya ingin membatasi eksploitasi yang terkandung
dalam lembaga bunga, tetapi juga yang melekat di semua bentuk
ketidakjujuran dan tukar
menukar
yang adil dalam transaksi
bisnis.Semua ini dirinci dengan jelas dalam ajaran Alquran atau
hadis.Ajaran-ajaran tersebut dirangkum dengan satu istilah riba al fadl
yaitu pengertian kedua dari riba yang dapat dijumpai dalam pembayaran
dari tangan ke tangan dan obral dagangan. Istilah ini di satu pihak
mencakup semua transaksi yang menyangkut pembayaran secara tunai
dan di lain pihak pengiriman barang secara langsung.50
Diskusi mengenai riba ini banyak muncul dari hadis yang
mensyaratkan jika emas, perak, wheat, barley, kurma, dan garam
dipertukarkan dengan cara yang sama, transaksi itu harus dilakukan
secara langsung, setara dan serupa.
49
50
Ibid.,h. 28.
Ibid.,h. 28-29.
35
Larangan riba al-Fadl dengan demikian dimaksudkan untuk
meyakinkan adanya keadilan dan dan menghilangkan semua bentuk
ekspoitasi melalui tukar menukar barang yang "tidak adil" serta menutup
semua pinti belakang bagi riba karena dalam ayariat Islam, segala
sesuatu yang menjadi bagi terjadinya pelanggaran juga termasuk
pelanggaran itu sendiri. Nabi SAW menyamakan riba bahkan dengan
menipu otak "bodoh" agar membeli barangnya dan menerapkan sistem
ijon secara sia-sia dengan bantian agen. Ini mengandung arti bahwa
tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi dan penipuan
seperti itu tidak lain kecuali riba al fadl. karena orang dapat dieksploitasi
atau ditipu dengan berbagai cara, nabi mengingatkan bahwa muslim
dapat terbuai oleh riba dalam berbagai cara. 51
Jika riba nasiah berkaitan dengan pinjaman, maka riba fadl
berkaitan dengan perdagangan.Karena pada dasarnya perdagangan
diperbolehkan, tidak berarti seluruh perdagangan diperbolehkan dalam
perdagangan52, karena ketidakadilan yang terjadi melalui riba dapat pula
terjadi melalui transaksi bisnis.Riba al-fadl menngacu kepada semua
ketidakadilan atau eksploitasi. 53
51
Ibid.,h. 31.
Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 275 “..dan Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba..
53
M. Umer Chapra, Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil.,, h. 32.
52
36
7. Maqa>shid Asy Syariah dalam Hukum Ekonomi Islam
Secara bahasa Maqa>shid Asy Syariah terdiri dari dua kata yaitu
Maqa>shid dan Syari’ah. Maqa>shid berarti kesengajaan atau tujuan,
Maqa>shid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata
Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqa>shid berarti
hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.54 Sedangkan Syariah secara
bahasa berarti ‫ ﻋﻠﻰ ﻣﻮرد اﻟﻤﺎء أى ﻣﻜﺎن ورود اﻟﻨﺎس ﻟﻠﻤﺎء‬artinya Jalan menuju sumber
air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber
kehidupan. 55Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syariah adalah
“Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturanhidup manusia, hubungan
manusiadengan AllahSWT,hubunganmanusiadengan manusiadan alamsekitar
berdasarkanAlqurandanhadis. 56
Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa Maqa>shid Asy Syariah adalah
nilai-nilai dan sasaran syarayang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar
dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai
tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari' dalam setiap
ketentuan hukum. 57
Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan Maqa>shid Asy Syariah sebagai
tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk
54
Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, h. 170.
Fazlur Rahman, Islam, Terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994, h. 140.
56
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1402.
57
Edi kurniawan, Teori Maqashid Al-Syari’ah Dalam Penalaran Hukum Islam, artikel. t.d
55
37
direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan
mubah.Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat, atau juga disebut
dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang
diharuskan ataupun tidak.Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan
Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan luhur yang ada di
balik hukum. 58
Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan Maqa>shid Asy Syariah dengan
makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu
hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan
ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang
terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan
bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.Misalnya, syara’ mewajibkan
berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT.
Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid asy syari’ah ini
diidentik dengan filsafat hukum islam. 59
Menurut Imam al-Ghazali, “Tujuan utama syariah adalah mendorong
kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama
mereka (li h}ifdz al din), diri (li h}ifdz an nafs), akal (li h}ifdz al ‘akl),
keturunan (li h}ifdz al nasl), harta benda (li h}ifdz al ma>l).60Apa saja yang
58
Ibid.
Ibid.
60
M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Terjemahan Ikhwan Abidin B, Jakarta:
Gema Insani Press, 2000, h. 7.
59
38
menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan
umum dan dikehendaki.” Implikasi lima perkara ini dalam ilmu ekonomi
perlu disadari bahwa tujuan suatu masyarakat muslim adalah untuk berjuang
mencapai cita-cita ideal. Perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini
secara terus-menerus sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal
dan membantu umat manusia meningkatkan kesejahteraannya secara kontinu.
Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambah lima perkara
dan mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini ini tampaknya tidak
memuaskan para fuqaha lainnya. Imama asy syatibi, menulis kira-kira tiga
abad setelah Imam al-Ghazali, menyetujui daftar dan urutan Imam Ghazali,
yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling cocok
dengan esensi syariah.61
Ilmu ekonomi Islam dapat didefinsikan sebagai suatu cabang
pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui
alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan
maqa>shid asy syariah menurut as-Shatibi yaitu menjaga agama (li h}ifdz al
din), jiwa manusia (li h}ifdz an nafs), akal (li h}ifdz al ‘akl), keturunan (li
h}ifdz al nasl) dan menjaga kekayaan (li h}ifdz al ma>l) tanpa mengekang
kebebasan individu. 62
61
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan Ikhwan
Abidin B, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 102.
62
Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 2
39
Maqa>shid membahas masalah mengenai, pengayaan agama, diri,
akal, keturunan, dan harta benda sebenarnya telah menjadi fokus utama usaha
semua manusia.Manusia itu sendiri menjadi tujuan sekaligus alat. Tujuan dan
alat dalam pandangan al-Ghazali dan juga pra fuqaha lainnya, saling
berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran sebabakibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan
realisasi tujuan. Imama al-Ghazali dan asy-Syatibi mengurutkan keimanan
(agama), kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda secara radikal berbeda
dari urutan ilmu ekonomi konvensional, di mana keimanan tidak memiliki
tempat, sementara kehidupan, akal, dan keturunan, sekalipun dipandang
penting, hanya dianggap variabel eksogenous (di luar sistem). Karena itu,
tidak mendapatkan perhatian yang memadai. 63
a. Peran Keimanan (Agama)
Keimanan ditempatkan diurutan pertama karena menyediakan
pandangan dunia yang cenderung berpengaruh pada kepribadian manusia
perilakunya, gaya hidupnya, cita rasa dan presentasinya, dan sikapnya
terhadap orang lain, sumber-sumber daya dan lingkungan. Iman
berdampak signifikan terhadap hakikat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan
materi dan psikologi dan juga cara memuaskannya. Iman menciptakan
keseimbangan antara dorongan materiil dan spiritual dalam diri manusia,
63
Ibid.,h. 102.
40
membangun kedamaian pikiran individu, meningkatkan solidaritas
keluarga dan sosial. 64
Islam mengajarkan manusia menajalani kehidupannya secara
benar, sebagaimana telah diatur oleh Allah.Bahkan, usaha untuk hidup
secara benar dan menjalani hidup secara benar inilah yang menjadikan
hidup
seseorang
bernilai
tinggi.Ukuran
baik
buruk
kehidupan
sesungguhnya tidak diukur dari indikator-indikator lain melainkan dari
sejauh mana seseorang manusia berpegang teguh kepada kebenaran.Untuk
itu, manusia membutuhkan suatu pedoman tentang kebenaran dalam
hidup, yaitu agama (dien).Seorang Muslim yakin bahwa Islam adalah
satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah.Islam telah mencakup
keseluruhan
ajaran
kehidupan
secara
komprehensif.Jadi,
agama
merupakan kebutuhan manusia yang paling penting.Islam mengajarkan
bahwa agama bukanlah hanya ritualitas, namun agama berfungsi untuk
menuntun keyakinan, memberikan ketentuan atau aturan berkehidupan
serta membangun moralitas manusia. Oleh karena itu, agama diperlukan
oleh manusia kapanpun dan di manapun ia berada 65.
Ekonomi Islam membantu merealisasikan kesejahteraan manusia
melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang
seirama dengan maqa>shid, tanpa mengekang kebebasan individu,
64
65
Ibid.
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam., h. 6.
41
menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang
berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta
jaringan moral masyarakat. Iman juga menyediakan filter moral yang
menyuntikkan makna hidup dan tujuan dalam diri manusia ketika
menggunakan sumber-sumber daya, dan memberikan mekanisme motivasi
yang diperlukan bagi beroperasinya secara objektif. Filer moral bertujuan
menjaga
kepentingian
individu
(self
interest)
dalam
batas-batas
kemaslahtan social (social interest).66
b. Peran diri atau jiwa raga (an nafs)
Kehidupan jiwa raga (an nafs) di dunia sangat penting, karena
merupakan ladang bagi tanaman yang akan dipanen di kehidupan akhirat
nanti. Apa yang akan diperoleh di akhirat tergantung pada apa yang telah
dilakukan di dunia. Kehidupan sangat dijunjung tinggi oleh ajaran Islam,
sebab ia merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya
untuk dapat digunakan sebaik-baiknya. Tugas manusia di bumi adalah
mengisi kehidupan dengan sebaik-baiknya, untuk kemudian akan
mendapat balasan pahala atau dosa dari Allah. Oleh karena itu, kehidupan
merupakan
sesuatu
yang
harus
dilindungi
dan
dijaga
sebaik-
baiknya.Segala sesuatu yang dapat membantu eksistensi kehidupan
otomatis merupakan kebutuhan, dan sebaliknya segala sesuatu yang
mengancam kehidupan pada dasarnya harus dijauhi.
66
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam., h. 103.
42
c. Peran Akal
Untuk dapat memahami alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan
ajaran agama dalam Alquran dan Hadis (ayat-ayat qauliyah) manusia
membutuhkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan maka manusia
tidak akan dapat memahami dengan baik kehidupan ini sehingga akan
mengalami kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, Islam memberikan
perintah yang sangat tegas bagi seorang Mukmin untuk menuntut ilmu.
d. Peran Keturunan (nasl)
Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus
memelihara keturunan dan keluarganya (nasl).Meskipun seorang Mukmin
meyakini bahwa horison waktu kehidupan tidak hanya mencakup
kehidupan dunia melainkan hingga akhirat.Oleh karena itu, kelangsungan
keturunan
dan
keberlanjutan
dari
generasi
ke
generasi
harus
diperhatikan.Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi
eksistensi manusia. 67
e. Peran Harta (ma>l)
Harta material (ma>l) sangat dibutuhkan, baik untuk kehidupan
duniawi maupun ibadah.Manusia membutuhkan harta untuk pemenuhan
kebutuhan makanan, minuman, pakaian, rumah, kendaraan, perhiasaan
sekedarnya dan berbagai kebutuhan lainnya untuk menjaga kelangsungan
hidupnya.Selain itu, hampir semua ibadah memelukan harta, misalnya
67
Ibid..
43
zakat, infak, sedekah, haji, menuntut ilmu, membangun sarana-sarana
peribadatan, dan lain-lain. Tanpa harta yang memadai kehidupan akan
menjadi susah, termasuk menjalankan ibadah.68
Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak
disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak
dengan sendirinya membantu perwujudan kesejahteraan bagi semua orang
dalam dalam sautu pola yang adil kecuali jika faktor manusia itu sendiri telah
direformasi untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta benda
ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan itu sendiri, akan
menimbulkan ketidakadilan yang kian buruk, ketidakseimbangan, dan eksesekses lain yang pada gilirannya akan mengurangi kesejahteraan mayoritas
genarasi sekarang maupun yang akan dating. Oleh karena itu, keimanan dan
harta benda, keduanya memang diperlukan bagi kehidupan manusia, tetapi
imanlah yang membantu menyuntikkan suatu disiplin dan makna dalam
memperoleh
penghidupan
dan
melakukan
pembelanjaan
sehingga
memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya secara lebih efektif. 69
Tiga tujuan yang berada di tengah (diri manusia, akal dan keturunan)
berhubungan dengan manusia itu sendiri, di mana kebahagiaannya merupakan
tujuan utama syariat. Ketiga persoalan ini meliputi kebutuhan-kebutuhan
intelektual dan psikologis, moral dan fisik generasi sekarang dan yang akan
68
69
P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam., h. 7.
M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam., h. 105.
44
datang. Arah tegas yang diberikan oleh keimanan dan komitmen moral kepada
pemenuhan semua kebutuhan. 70
Oleh karena itu, dengan memasukkan unsur diri manusia, akal, dan
keturunan dalam model ktia ini, akan memungkinkan terciptanya suatu
pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia. Ia juga
dapat membantu menganalisis variable-variabel ekonomi yang penting seperti
konsumsi, tabungan, investasi, kerja, produksi, alokasi dan distribusi
kekayaan dalam suatu cara yang membantu mewujudkan kesejahteraan untuk
semua.71
B. Ketentuan-Ketentuan BertransaksiDalam Islam
1. Gambaran Umum tentang Transaksi
a. Pengertian Transaksi
Menurut Sunarto Zulkifli menyatakan bahwa :
"Secara umum transaksi dapat diartikan kegiatan seseorang paling
tidak dua orang yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri
dalam perserikatan usaha, pinjam meminjam atas dasar sama-sama
suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariah yang
berlaku.Sistem ekonomi yang Islami, transaksi harus dilandasi oleh
aturan hukum-hukum Islam karena transaksi adalah manifestasi
amal manusia yang bernilai ibadah dihadapan Allah, yang dapat
dikategorikan menjadi dua yaitu transaksi halal dan haram."72
Pengertian transaksi menurut Slamet Wiyono adalah sebagai
berikut : “Transaksi ialah suatu kejadian ekonomi atau keuangan yang
70
Ibid.,h. 106.
Ibid.
72
Sunarto Zulkifli, Dasar-dasar Akuntansi Perbankan Syariah, 2003, h.10.
71
45
melibatkan paling tidak dua pihak atau lebih yang saling melakukan
pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha pinjam meminjam
dan lain-lain atas dasar suka sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan
hukum atau syariat yang berlaku”.73
Pengertian transaksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adalah sebagai berikut: “Persetujuan jual beli dalam perdagangan
antara pihak pembeli dan penjual”.74
Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa transaksi yang
dikenal pertama kali yaitu barter tunai. Yaitu ketika butuh sesuatu, ia
menukar barang miliknya dengan barang orang lain yang dia butuhkan.
Kemudian transaksi ini mengalami perkembangan sesuai dengan konsep
pemikiran dan agama yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai
Islam membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa.
b. Transaksi dalam Islam
Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul75 yang
berakibat timbulnya akibat hukum. Akad merupakan tindakan hukum dua
pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan
kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain.
73
Ibid.
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Idonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 1543.
75
Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh satu pihak, dan Kabul adalah jawaban persetujuan
dari mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
74
46
Tujuan akad itu adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. 76Akad atau
transaksi sangat penting, sebab transaksi yang mengatur hubungan antara
pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Lebih lanjut transaksi
mengikat hubungan yang disebabkan akibat hukum di masa sekarang
dengan hubungan tersebut di masa akan datang. Pada dasar hubungan
tersebut adalah penampakan sikap rida dan pelaksanaan semua yang
menjadi orientasi kedua transaktor, yang dijelaskan dalam komitmen
transaksionalnya, kecuali apabila menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap
hukum-hukum Allah.
Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi,
maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa
mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang
untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun
konsep, manajemen77 dan mensukseskannya dalam jalur syariat.
2. Pengertian Akad Jual Beli
Kata akad berasal dari al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan,
perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad
76
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah., h. 69.
Proses pemakaian sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan;
penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran, KBBI, h. 910.
77
47
didefinisikandengan :“Pertalian Ijab (Pernyataan melakukan ikatan) dan kabul
(pernyataan) penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat78 yang
berpengaruh kepada objek perikatan”. 79
Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan
pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah,
Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu:
“Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan
keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu
yang pembentukannya membutuhkan keingingan dua orang seperti
jual beli, perwakilan, dan gadai.”80
Hasby Ash Siddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan AlSanhury, akad ialah:“Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang
menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Sedangkan pengertian akad dalam
arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, yaitu: “Perikatan yang ditetapkan
dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada
objeknya,” dan “Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang
lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada
objeknya”. 81
78
Pencamtuman kata-kata yang “Sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh
perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan
kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau
merampok kekayaan orang lain. Adapun pencamtuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan”
maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang menyatakan kabul).
79
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah, Jakarta:
Kencana, 2010, h. 50.
80
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 44.
81
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah ..., h. 44.
48
Jual beli (al-ba’i), menurut etimologi berarti menjual atau mengganti,
atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata lain dari al-ba’i adalah
asy-syira’, al-mubadah, dan al-tijarah. Adapun secara terminologi para ulama
berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a. Menurut ulama Hanafiyah: pertukaran harta (benda) dengan harta
berdasarkancara khusus (yang dibolehkan).
b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu: pertukaran harta dengan
harta untuk kepemilikan.
c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni: Pertukaraan harta
dengan harta, untuk saling menjadikan milik. 82
Secara terminologi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas
dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat
dibenarkan. 83Jadi akad jual beli adalah pertukaran harta dengan harta yang
mencapai kata sepakat dengan melakukan ijab kabul atau serah terima untuk
melakukan transaksi jual beli.
3. Dasar Hukum Akad Jual Beli
Jual beli disyariatkan berdasarkan Alquran, Hadis, dan Ijma yakni:
a. Alquran

....
..Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..
(Q.S. al-Baqarah [2]: 275)84
......

82
Ibid.,h.74.
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 90.
84
Q.S. al-Baqarah [2]: 282.
83
49
...dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.. (QS. al-Baqarah [2]:
282)
..
..
... kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka samasuka ... (QS. an-Nisa [4]: 29)85
b. Hadis
Berkaitan dengan QS an-Nisa [4]: 29 ayat ini diturunkan menurut
riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab
pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang batil, mencari
keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan berbagai macam
tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya
sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas, menurut riwayat Ibnu Jarir
seseorang membeli dari kawannya sehelai baju dengansyarat bila ia tidak
menyukainya dapat mengembalikan dengan tambahan satu dirham di atas
harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan
dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya. 86
Ibnu Hibban dan Ibnu Majah:
( ‫و َ ا ِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ضٍ ) روﻩ ا ﻟﺒﻴﺤﻘﻰ وا ﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ‬
85
Q.S. an-Nisa [4]: 29.
Afinz, Ayat-Ayat Tentang Prinsip Berekonomi, afinz.blogspot.com/2010/05/ayat-ayat-tentangprinsip-berekonomi.html, online 11-02-2013.
86
50
Jual beli harus dipastikan harus saling meridai(HR. Baihaqi dan Ibnu
Majjah). 87
ٍ‫إِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ض‬
Sesungguhnya jual beli adalah yang dilakukan dengan suka sama suka.
(HR. Abu Daud).88
Yang Artinya:
“Nabi SAW, ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik,
beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap
jual beli yang mabrur89.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari
Rifa’ah Ibn Rafi’)
c. Ijma
Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan
bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa
bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang
lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang
sesuai.
4. Tujuan Akad dalam Jual Beli
Ketetapan akad dalam jual beli adalah menjadikan barang sebagai
milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual hukum
atau ketetapan akad yang dimaksud pada pembahasan akad jual beli ini, yakni
menetapkan uang milik penjual.Hak-hak akad adalah aktivitas yang harus
dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad, seperti meyerahkan barang
87
Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Surabaya:Al-Ikhlas, 1995, h.12-13.
Hadis ini diriwayatkan dari hadis Abu Sa’id dari Nabi SAW, lihat Ibnu Hajar Asqalani,
Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari )jilid 12, pener: Amiruddin, Jakarta: Pustaka
Azzam, 2005, h. 10.
89
Maksud dari mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu
menipu dan merugikan orang lain, lihat Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 44.
88
51
yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang cacat,
khiyar dan lain-lain.
Tujuan akad itu sendiri adalah pelaksanaan suatu akad atau maksud
utama dilaksanakannya suatu akad itu untuk pemindahan kepemilikan dalam
jual beli yang sesuai dengan kaidah syari. 90
5. Urgensitas Akad dalam Jual beli
Akad menduduki posisi yang sangat penting, karena akad itu
menyangkut masalah hukum, yang jika tidak sejak dini diabaikan, akan
menimbulkan masalah dikemudian hari yang akan merugikan kedua belah
pihak. Selain itu, karena adanya adanya akad itulah yang membatasi
hubungan antara penjual dan pembeli. 91
Pentingnya akad dalam jual beli:
a. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi
dalam jual beli atau memiliki sesuatu.
b. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian jual
beli, karena telah diatur secara syar’i kecuali ada unsur penipuan dan yang
merugikan lainnya.
c. Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu,
sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya dalam jual
90
91
h. 311.
Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah, Bandung: Pustaka setia, h. 61.
Veithazal Riva, dkk, Islamic Financila Management jilid 1,Bogor :Ghalia Indonesia, 2010,
52
beli akad berarti berpindahnya kepemilikan barang dengan jalan
pertukaran.92
Jadi, akad sangat berperan dalam menentukan pentingnya transaksi
jual beli, sehinga terjadi kesepakatan perjanjian yang memiliki kepastian dan
kemanfaatan dalam aktivitas ekonomi.
6. Rukun-Rukun Akad
Rukun-rukun akad sebagai berikut:
a. ‘A<qid, adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak
terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya,
penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu
orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang
lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang
orang yang memiiki hak (‘aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang
memiliki hak.
b. Ma’qu>d ‘aalah, ialah benda-benda yang dijual dalam dalam akad jual
beli, atau bisa juga disebut dengan objek akad.
c. Maud}u>’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli
misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual
kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu
memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya
92
Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, h. 63.
53
tanpa pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan
manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad ijarah yaitu
meberikan manfaat dari seseorang kepada yanglain tanpa ada pengganti.
d. S>>}ig>at al-‘aqdialah ijab kabul . ijab ialah permulaan penjelasan yang
keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya
dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah perkataan yang keluar dari
pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian
ijab kabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesautu dengan
yang lain sehiggga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu tekadang
tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli
mengirimkan uang melalui wesel dan pembeli menerima majalah tersebut
dari petugas pos.93
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam S>>}ig>at al-‘aqd ialah:
1) S>>}ig>at al-‘aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam
ijabkabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya
seseorang berkata: “Aku serahkan barang ini”, kalimat ini masih
kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda
ini diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat
yang lengkapnya ialah: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai
hadiah atau pemberian”.
93
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 52.
54
2) Harus bersesuaianantara ijab dankabul. Antara yang berijab dan
menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata: “Aku
serahkan benda
ini kepadamu sebagai titipan”,
mengucapkankabul
berkata:
“Aku
terima
benda
tetapi yang
ini
sebagai
pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dankabul akan
menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh Islam, karena
bertentangan dengan islah di antara manusia.
3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang
bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakuttakuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling
merelakan. 94
Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang
ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat
menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fikih menerangkan
beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu:
1) Dengancara tulisan
(kitabah),
misalnya
dua
‘aqid
berjauhan
tempatnya, maka ijab kabul boleh dengankitabah. Atas dasar inilah
para fuqaha membentuk kaidah
ِ‫ﻜِ ﺘَﺎﺑ َ أَﻟْﺔُﻛَﺎﳋْ ِﻄَﺎب‬
94
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat (Membahas Ekonomi Islam),
Persada, 2002, h. 48.
Jakarta: PT RajaGrafindo
55
“Tulisan itu sama dengan ucapan”95
Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak
dengan jelas.
2) Isyarat. Bagi orang-orang tertentu, akad atau ijab dan kabul, tidak
dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang
yang bisu tidak dapat mengadakan ijba kabul dengan bahasa, orang
yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul
dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan dan tidak pandai tulis baca
tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan
demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat.
3) Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan
pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan
kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya.
4) Lisan
al-hal.
Menurut
sebagian
ulama,
apablia
seseorang
meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia
pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja,
hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang
meletakkan barang dan yang menghdadapi barang titipan ini dengan
jaland}alalah al-hal.96
7. Syarat-Syarat Akad
95
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan
Masalah-Masalah yang Praktis), Jakarta: Kencana, 2007, h.101.
96
Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 53
56
Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad
sebagai berikut:
a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad
orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di
bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.97
b. Berbilang pihak (al-ta’adud).
c. Persesuiaan ijab dan Kabul (kesepakatan).
d. Kesatuan majelis akad.
e. Objek akad dapat diserahkan.
f. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan.
g. Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan
dimiliki atau mutaqawwim dan mamlak).
h. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak. 98
8. Transaksi Akad Sahih dan Batil
Menurut pandangan Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau
sarana pendukung) bagi nilai-nilai dasar seperti aqidah Islamiyah, ibadah dan
Akhlaqul Karimah.Maka apabila ada pertentanganantara tujuan ekonomi bagi
individu atau masyarakat dengan nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau
97
Ibid..,h. 59.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 100.
98
57
peduli dengan tujuan-tujuan tersebut dan sanggup mengorbankan tujuantujuan itu dengan kerelaan hati.Hal itu dalam rangka memelihara prinsipprinsip, tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.Islam mengajarkan kepada
umat manusia tentang tujuan ekonomi itu sendiri dengan tanpa mengdepankan
tujuan individu dengan mendahulukan maslahah pada seluruh umat
manusia.diantara dari teori yang di terapkan dalam islam adalah transaksi jual
beli yang sering di lakukan oleh kebanyakan manusia seperti apa aplikasi
yang di terapkan islam mengenai transaksi ini. 99
Jumhur ulama membagi akad menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
a. Akad yang sah (shahih), adalah akad yang memenuhi ketentuan syarat dan
rukunnya.
b. Akad yang tidak sah (ghairu shahih), adalah akad yang tidak memenuhi
salah satu syarat dan rukunnya, dan akad yang tidak memenuhi salah satu
syarat dan rukun tersebut termasuk akad yang batil (batal) dan fasid
(rusak).100
Batil (batal) dan fasid (rusak) memilki makna yang sama yaitu jual
beli yang tidak sah. Ulama Hanafiyah membedakanantara akad yang batil
(batal), dan akad yang fasid (rusak):
99
id.shvoong.com/society-and-news/opinion/2277198-bai-fasid-wal-batil/, online 02-04-2013.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 242.
100
58
a. Jual beli batil101 (batal) adalah jual beli yang tidak sesuai dengan rukun
dan akadnya (ketentuan asal atau pokok dan sifatnya). Seperti jual beli
yang dilakukan oleh orang yang tidak sesuai (karena tidak sesuai dengan
syarat dan rukun), contohnya: akad yang dilakukananak kecil yang belum
mumayiz dan orang gila atau jual beli sesuatu yang tidak berharga seperti
bangkai, atau jual beli barang yang dilarang seperti khamar.Menurut Abu
Hanifah, jual beli yang batal tidak menjadikan pertukaran kepemilikan
karena rusak jual belinya.
b. Jual beli fasid102 adalah jual beli yang sesuai ketentuan syara’ asal atau
pokok (syarat dan rukun), tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syara’ pada
sifatnya. Seperti jual beli yang meragukan, contohnya jual beli sebuah
rumah diantara banyak rumah, tetapi belum diketahui rumah mana atau
rumahnya tidak jelas milik siapa. Hukumnya: terjadi pertukaran
kepemilikan dengan izin pemilik barang secara transparan, menandakan
telah terjadi penyerahan dalam majlis akad yang terjadi langsung didepan
penjual tanpa menutupinya. 103
9. Prinsip-Prinsip Berakad dalam Ekonomi
101
Kata batil dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab batil, yang secara leksikal
berarti sia-sia, hampa, tidak ada substansi dan hakikatnya. Dalam KBBI dinyatakan batil berarti batal,
sia-sia, tidak benar dan dan batal dirtikan tidak berlaku, tidak sah, sia-sia. Jadi dalam KBBI tersebut,
batil dan batal sama artinya. Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori
Akad dalam Fikih Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 245.
102
Kata fasid berasal dari kata bahasa Arab dan merupakaan kata sifat yang berarti rusak ,. Kata
bendanya adalah fasad dan mafsadah yang berarti kerusakan.Dalam KBBI dinyatakan, fasid suatu
yang rusak, busuk (perbuatan, pekerjaan, isi hati). Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah
(Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 248.
103
Id.shvoong.com/society-and-news/opinion/2277198-bai-fasid-wal-batil/, online 02-04-2013.
59
a. Pengertian Prinsip Akad Jual Beli
Prinsip104 merupakan petunjuk arah layaknya kompas.Sebagai
petunjuk arah, bisa berpegangan pada prinsip-prinsip yang telah disusun
dalam menjalani hidup tanpa harus kebingungan arah karena prinsip bisa
memberikan arah dan tujuan yang jelas pada setiap kehidupan. 105Prinsip
jika dikaitkan dalam akad jual beli bisa diartikan sebagai asas atau
pedoman petunjuk dalam melaksanakan pertukaran harta dengan harta
untuk mencapai kata sepakat dengan melakukan ijab kabul atau serah
terima untuk melakukan transaksi jual beli yang didasari dengan suka
sama suka.
b. Beberapa Prinsip Akad Jual Beli menurut Para Ahli
1) Menurut Quraish Shihab
Ekonomi dan transaksi jual beli dalam Islam berkaitan sangat
erat dengan akidah dan syariah Islam sehingga seseorang tidak
akan memahami pandangan Islam tentang transaksi ekonomi
tanpa memahami dengan baik akidah dan syariah Islam.
Keterikatan dengan akidah atau kepercayaan menghasilkan
perintah dan larangan Allah yang tercermin pada kegiatan halal
atau haram. Ini juga mendorong penerapan akhlak pada
gilirannya akan mengantar kepada lahirnya keuntungan
bersama, bukan sekedar keuntungan sepihak.106
Selanjutnya bisnis atau transaksi ekonomi bahkan semua ilmu
dalam pandangan Islam dalam operasionalnya berpijak pada dua area:
104
Prinsip diartikan asas, kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan
sebagainya.Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1069.
105
Carapedia.com/pengertian_definisi_prinsip_info2118.html, online 1-04-2013.
106
M Quraish Shihab, Berbisnis Dengan Allah, Tangerang: Lentera Hati, 2008, h. 10
60
pertama prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan oleh Alquran dan
Hadis,
dan
ini
perubahan.Kedua,
bersifat
langgeng
perkembangan
abadi
positif
tidak
mengalami
masyarakat,
ilmu
pengetahuan dan teknologi, di mana terbuka lapangan yang luas untuk
menampung yang baru lagi baik dari hasil pemikiran dan budi daya
manusia, dan itu berarti dia bersifat sementara karena bila ada sesuatu
yang lebih baik di mana pun ditemukan maka itu harus menggantikan
tempat yang lama yang tidak sebaik itu.107
Prinsip dasar bagi kegiatan ekonomi tidak hanya terbatas pada
ajaran Islam.Tetapi, setiap aliran ekonomi selalu berpijak pada prinsipprinsip dasar yang menjadi rujukan penganutnya sehingga dalam
bekerja dan berproduksi.Kapitalsime, misalnya, yang menganut paham
kebebasan termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis tentu memiliki
pandangan atau kepercayaan dalam hal kebebasan yang berbeda
dengan pandangan komunisme yang juga dalam bidang ekonomi
diarahkan oleh pandangan mereka tentang gerak sejarah dan
materialisme.Dengan demikian, terlihat bahwa upaya peningkatan
ekonomi dan bisnis bukan sekedar persoalan ekonomi, tetapi juga
berpijak pada prinsip-prinsip kepercayaan, politik, budaya, bahkan
akhlak, dan lain-lain.
107
Ibid.., h. 11
61
Berkaitan tentang prinsip dasar menurut Quraish Shihab yang
dianut oleh ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa inti ajaran Islam
adalah tauhid.Berdasarkan hal tersebut lahir ketentuan-ketentuan yang
bukan saja berkaitan dengan transaksi ekonomi, juga menyangkut
segala aspek kehidupan dunia dan akherat.Tauhid melahirkan suatu
keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber
dari Allah dan
berkesudahan kepadanya.Allah sebagai pemilik mutlak dan tunggal
segala sesuatu, termasuk kepemilikan harta dan kewenangan
menetapkan aturan pengelolaan dan pengembangannya.Dan karena
Allah Maha Adil dan selalu memperhatikan kemaslahatnan umat
manusia, maka semua hukumnya, demikian juga produk ijtihad,
manusia yang dikaitkan dengan namanya, tentulah karena bercirikan
keadilan dan kemaslahatan.Bila jadi ada ketentuan hukum yang
dilarang atau enggan ditetapkan pada satu masa karena ketika itu
dinilai bertentangan dengan kemaslahatan, tetapi karena adanya
perkembangan masyrakat, maka ketetapan tersebut dicabut atau
diubah pada masa lainnya. “Di sini lahir ungkapan: “Di mana ada
kemaslahatan disanalah terdapat hukum Allah.108
2) Menurut Buku Ensiklopedia Islam
108
Ibid.,h. 13.
62
Menurut BukuEnsiklopedia Islam jilid 3, dijelaskan bahwa
dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan
dalam Syara' (hukum islam), yaitu :
a) Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang
melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang
dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang
haram. Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban
yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati.(Untuk
lebih jelasnya silahkananda lihat pada Q.S. al-Ma'idah [5]: 1)
b) Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas
tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari
hukum syara' dan adab sopan santun.
c) Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari
pihak mana pun. (Untuk lebih jelasnya silahkananda lihat Q.S. anNisa[4]: 29).
d) Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang
baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhidar dari segala
bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW
menyebutkan bahwa :"Aku (Rasulullah) melarang jual beli yang
mengandung unsur penipuan."(H.R Muslim).
63
e) 'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara',
boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria
dalam transaksi. 109
3) Menurut Syamsul Anwar
Menurut Syamsul Anwar dalam bukunya Hukum Perjanjian
Syariah bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih
muamalah. Jika fikih muamalah mengatur hubungan manusia dengan
sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia
dengan
sesama
menyangkut
ekonominya.Pandanganfikih
muamalah,
pemenuhan
akad
kebutuhan
(transaksi)
yang
dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas
tertentu.Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi
landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang
berkepentingan. Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:110
a) Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam.
Kepadanya berlaku kaidah fikih:
‫ﲢَْﺮِ ِﻬ َ ﺎ‬
ْ‫َنْ ﻳ َﺪُلﱠ دَ ﻟِ ﻴ ْﻞ ٌ ﻋَ ﻠَﻰ ﳝ‬
ِ‫ت‬
‫ﻼَ أ‬
‫ﺻﻞﺑْ َُُ ﺎﰲ ِﻌﺣَ َﺎ ﻣﺔُ َإﻻﱠ‬
‫اااﻹِﻷَﳌ‬
“pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada
dalil yang mengaramkannya”111
109
Tim Penyusun¸Eksikopedi Islam, cet ke-3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, IV, h.
246.
110
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 83.
111
H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..,h.130.
64
Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fikih
muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama
tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam. 112
b) Asas kebebasan berakad; asas ini meniscayakan setiap orang yang
memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan
akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan
dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas
dengan persyaratan tertentu. Asas ini didasarkan pada firman Allah
dalam Q.S an-Nisa[4]: 29 sebagaimana telah disebutkan pada
pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua
pesan
yang
perlu
diperhatikan,
yaitu; pertama, hendaklah
perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah
keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang
tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang
dilakukan menjadi batal. 113
c) Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya
suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak
tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Artinya,
bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format.
112
113
04-2013.
Ibid.,
Http://Galiyao.Blogspot.Com/2012/05/Teori-Akad-Dan-Implikasinya-Dalam. Html, online 5-
65
Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan
ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan.
d) Asas Janji yang mengikat; dalam Alquran dan Hadis banyak
perintah memenuhi janji. Dalam kaidah ushul fikih, “perintah itu
pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu
mengikat dan wajib dipenuhi. Di antara ayat dan hadis dimaksud
adalah,
a) Firman Allah, “... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu
akan dimintakan pertanggungjawabaannya” Q.S. [17]: 34
b) Asar dari Ibn Mas’ud, janji adalah utang.
c) Q.S. al-Maidah [5]: 1 tentang pemenuhan akad.114
e) Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu
adanya
keseimbanganantara
orang
yang
berakad,
baik
keseimbanganantara apa yang diberikannya dan apa yang diterima
maupun keseimbangan dalam menanggung resiko. Artinya, bahwa
seseorang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya
unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian,
larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar.
Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah
satu atau kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang
menimbulkan mudharat adalah batal.115
114
115
04-2013.
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah .., 2010, h. 83.
Http://Galiyao.Blogspot.Com/2012/05/Teori-Akad-Dan-Implikasinya-Dalam.Html, online 5-
66
f) Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak
dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah
pihak.Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat,
berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena
membawa
manfaat
dan
kebaikan.
Sedangkan
dalam ushul
fikih bahwa maslahah adalah setiap hal yang menjamin terwujudnya
dan terpeliharanya maksud tujuan syari’at (maqa>s}id asy syariah),
yaitu h}ifz al-din (memelihara agama), h}ifz al-nafs (memelihara
jiwa),
h}ifz
’aql (memelihara
akal),
h}ifz
nasl (memelihara
keturunan), dan h}ifz al-ma>l(memelihara harta). Dengan demikian,
asas ini bisa dijadikan alasan untuk melarang setiap transaksi yang
mendatangkan mudharat, baik kepada kedua belah pihak yang
bertransaksi atau kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan
disekitarnya.
g) Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad
haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya
dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya.
Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah
salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya
untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, jika suatu saat
ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal
67
karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar
untuk membatalkan akad.
h) Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak
diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam
dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh
pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa
dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan
ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah
diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk
itu. Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa
mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi
sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai
keadilan terhadap keduanya.116
10. Kedudukan Prinsip-Prinsip Berakad dalam Islam
Kedudukan prinsip-prinsip berakad dalam Islam Ini dijelaskan dalam
firman Allah dalam Q.S. al-Maidah [5]: 1 yaitu:






“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.dihalalkan
bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
116
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah .., 2010, h. 90-92.
68
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.117
Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah
bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikanapa yang telah dia janjikan
dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat
menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal, dan kalimat ini
merupakan asas ‘Uqud.Dasar kedua adalah firman Allah dalam Q.San-Nisa
[4]: 29 yaitu:
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan saling
memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar),
kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka
diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah
Maha penyayang kepadamu”.118
Dari ayat di atas, menegaskan bahwa dalam transaksi perdagangan
diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya
dengan ‘an tara>d}in minkum.Kedudukan prinsip-prinsip berakad dalam
Islam itu menduduki posisi yang sangat penting karena prinsip itu sebagai
pedoman atau aturan dasar dalam melakukan suatu transaksi tidak
bertentangan dengan prinsip Islam.
11. Akibat Hukum Terhadap Pengabaian Prinsip-Prinsip Berakad
Berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian (akad) telah
memenuhi semua syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian Islam
apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya perjanjian tersebut
117
118
Q.S. al-Maidah [5]: 1.
Q.S. an-Nisa [4]: 29.
69
mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum. Dengan kata lain,
perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh pihakpihak terkait.119Hukum perjanjian Islam, seperti halnya dalam hukum lainnya,
pada asasnya, akibat yang timbul dari suatu perjanjian (akad) hanya berlaku
pada para pihak yang membuatnya.Akibat hukum terhadap prinsip-prinsip
berakad tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum.
Akibat dari pengabaian prinsip-prinsip berakad adalah:
a. Batal demi hukum setiap akad atau transaksi yang dilakukan penjual atau
pembeli, dan semua perjanjiannya batal.
b. Tidak sah jual belinya secara Islam.
c. Pengabaikan prinsip-prinsip,
berarti melestarikan sistem ekonomi
konvensional yang bersifat ribawi dalam konteksnya yang sangat luas.
Berdasarkan
penguraian
di
atas
tentang
ketentuan-ketentuan
bertransaksi dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa tansaksi dalam Islam
mempunyai aturan yang spesifik dalam transaksi jual beli untuk melindungi
hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang didasarkan atas keridaan.
Hal tersebut meliputi gambaran umum tentang transaksi, akad jual beli, dasar
hukum akad jual beli, tujuan akad dalam jual beli, urgensitas akad dalam jual
beli, rukun-rukun akad, syarat-syarat akad, transaksi akad sahih dan batil, dan
prinsip-prinsip berakad dalam ekonomi.
119
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 263.
Download