11 BAB II LANDASAN TEORI A. Beberapa Ketentuan dalam Hukum Ekonomi Islam 1. Pengertian Hukum Ekonomi Islam Hukum berasal dari kata hukm dalam bahasa Arab. Artinya norma atau kaidah yang menjadi ukuran, tolak ukur, patokan, pedoman yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku atau perbuatan manusia. Ekonomi Islam berpijak pada landasan hukum yang pasti mempunyai manfaat untuk mengatur masalah manusia dalam bermasyarakat, maka hukum harus mampu mengakomodasi masalah manusia, baik masalah yang sudah terjadi, sedang terjadi dan masalah yang akan di hadapi manusia, baik masalah yang besar maupun sesuatu yang belum dianggap masalah.1Hukum digunakan untuk mengelola kehidupan manusia dari berbagai sektor, ekonomi, sosial, politik, budaya yang didasarkan atas kemaslahatan.2 Manusia dalam melakukan kegiatan ekonominya memerlukan landasan hukum yang pasti guna menjaga keteraturan hidup bermasyarakat. Manusia sering meligitimasi tindakan-tindakan yang didasarkan pada hukum yang dibuatnya sendiri sehingga unsur subjektif yang merupakan personifikasi vestedinterestmampu menggiring pada penafsiran baru atas pemberlakuan 1 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar, Yogyakarta: Ekonisia, 2007, h. 25. M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia Persfektif Sosio-Yuridis, Jakarta:eLSAS, 2007, h. 69. 2 12 hukum yang ada. Dengan kenyataan ini maka diperlukan hukum yang tegas guna mengontrol kerentanan manusia untuk bersikap apologistik dalam mengambil kesimpulan.Islam mengatur masyarakat lewat hukum-hukum Allah yang menjamin manusia di dunia dan di akherat.3 Pandangan al-Zarqa mengenai ruang lingkup syariat Islam yan meliputi bidang ibadah dan muamalah, Syariat atau ketentuan hukum yang mengatur mengenai hubungan manusia dengan penciptanya (al-khaliq) bersifat vertikal merupakan bidang hukum ibadah.Sedangkan syariat atau ketentuan hukum yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya manusia dan terhadap makhluk lainnya di bumi adalah bagian dari muamalah. Hukum ekonomi Islam dengan demikian sebagai ketentuan hukum yang bersumber dari Alquran, hadis, dan sumber-sumber Islam lainnya dalam kaitannya dengan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau mengenai bagaimana manusia melakukan kegiatan ekonomi. 4 2. Sumber Hukum Ekonomi Islam Hukum ekonomi Islam sebagai ketentuan hukum yang bersumber dari Alquran, hadis, dan sumber-sumber Islam lainnya dalam kaitannya dengan manusia untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya atau mengenai bagaimana manusia melakukan kegiatan ekonomi. Sumber-sumber yang dipakai dalam acuan istinbath hukum ekonomi Islam adalah : Kitab 3 4 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar.., h. 25. Ibid.,h. 71. 13 (Alquran), hadis, ijma, qaul shahabi, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘Urf, Sya’man Qablana, dan Istishab.5 Sumber hukum Islam atau hukum ekonomi Islam sangat beragam.Menurut pandangan Abdul Wahhab Khallaf dan Mahdi Fadhlullah terdatapa 11 sumber hukum Islam.Bahkan Hasbi Ash Shiddieqy menyebutkan 46 sumber. Kesebelas dalil itu menurut Mahdi adalah sebagai berikut: Alquran, Hadis, al-Ijma, al-Qiyas, al-Ihtihsan, al-Maslahah al-Mursalah, al‘Urf, al-Istishhab, Syar’ man Qablana, Mazhab al-Shahabi, dan Saad alDzara’I wa Fath al Dhara’i.6 Sumber-sumber hukum Islam di atas tidaklah menjadi kesepakatan para ulama, masih ada yang diperdebatkan baik dalam hal pengertian ataupun dijadikan rujukan dalam sumber hukum ekonomi Islam.Selanjutnya Mahdi menjelaskan, di kalangan Ahl al-Sunnah (Sunni) empat sumber telah disepakati jumhur fuqaha yaitu Alquran, Hadis, al-Ijma, al-Qiyas. Sumber hukum yang masih diikhtilafkan yaitu al-Ihtihsan, al-Maslahah al- Mursalah, al-‘Urf, al-Istishhab, Syar’ man Qablana, Mazhab al-Shahabi, dan Saad al-Dzara’I wa Fath al Dhara’i.7 Sumber-sumber hukum ekonomi Islam di atas ada yang bersifat naqli, yaitu: Alquran, Hadis, Ijma, qaul shahabi, Urf, dan Syar’ man Qablana. 5 Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam, Surabaya: Al-Ikhlas, 1993, h. 23. Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh.., h.48-49. 7 Syarmin Syukur, Sumber-Sumber Hukum Islam., h. 23. 6 14 Selanjutya yang bersifat aqli, yaitu al-Qiyas, al-Maslahah al-Mursalah, alIstihsan, dan al-Istishhab.8 Sumber hukum untuk dalil-dalil naqli masih memerlukan kepada akal untuk memahami dan mengambil hukum daripadanya. Begitu juga halnya dalil aqli tidak diperlukan oleh syariat kecuali jika ia bersandar kepada naqli. Karena akal saja tidak mampu mengetahui hukum-hukum syari’at.9 Naqli dan aqli, dalam kenyataannya terdapat hubungan timbal balik dengan entitas kehidupan yang terikat oleh ruang dan waktu yang di dalamnya sarat dengan watak, perilaku, dan pola hubungan antar manusia.Alquran, hadis, dan ijma, diturunkan dan dirumuskan dalam kehidupan konteks kehidupan manusia.Demikian pula suatu tradisi yang dilakukan (al-‘urf), hukum yang berlaku bagi umat terdahulu (syar’ man qablana), dan pandangan sahabat dalam masalah ijitihadi (madzhab al-shahabi) muncul dalam konteks kehidupan dalam ruang dan waktu tertentu.Sementara itu, merumuskan kedudukan hukum karena kesamaan ‘illah (al-qiyas), merupakan penafsiran analogis bagi masalah hukum “baru” yang terjadi dalam kehidupan. Selain itu, mengalihkan suatu dalil kepada dalil lain untuk menghasilkan hukum yang lebih baik (al-istihsan), kesinambungan hukum (al-istishhab), kemaslahatan tanpa dasar nash (al-mashlahah al-mursalah), dan peluang tertutup dan terbuka yang berorientasi kepada tujuan (saad al- 8 9 Ibid. Ibid. 15 dzara’i’ wa fathhuha), merupakan upaya untuk menetapkan hukum bagi keteraturan dan ketentraman dalam kehidupan manusia.10 3. Tujuan dan Fungsi Hukum Ekonomi Islam Tujuan dari hukum ekonomi Islam adalah mengatur: a. Mengatur hubungan manusia dengan sesamanya manusia berupa perjanjian atau kontrak, b. Berkaitan dengan hubungan manusia dengan objek atau benda-benda ekonomi c. Berkaitan dengan ketentuan hukum terhadap benda-benda yang menjadi objek kegiatan ekonomi. 11 Adapun yang menjadi dari tujuan dari Ekonomi Islam yaitu : a. Konsumsi manusia dibatasi sampai pada tingkat yang dibutuhkan dan beramanfaat bagi kehidupan manusia; b. Alat pemuas kebutuhan manusia seimbang dengan tingkat kualitas manusia agar dia mampu meningkatkan kecerdasan dan kemampuan teknologinya guna menggali sumber-sumber alam yang masih terpendam; c. Dalam pengaturan distribusi dan sirkulasi barang dan jasa, nilai-nilai moral harus diterapkan; 10 11 Cik Hasan Bisri, Model Penelitian Fiqh.., h.50. M. Arifin Hamid, Membumikan Ekonomi Syariah ., h. 73. 16 d. Pemerataan pendapatan dilakukan dengan mengingat sumber kekayaan seseorang yang diperoleh dari usaha halal, maka zakat sebagai sarana distribusi pendapatan merupakan sarana yang ampuh.12 e. Menyediakan dan menciptakan peluang-peluang yang sama dan luas bagi semua orang untuk turut dalam berperan dalam kegiatan ekonomi. Peran serta setiap individu dalam kegiatan ekonomi merupakan tanggung jawab keagaamaan. Individu diharuskan menyediakan kebutuhan hidupnya sendiri dan orang-orang yang tergantung padanya. Pada saat yang sama seorang muslim diharuskan melaksanakan kewajiban dengan cara terbaik yang paling mungkin, bekerja dan efisien dan produktif merupakan tindakan bijak.13 f. Mempertahankan stabilitas ekonomi dan pertumbuhan, dan untuk meningkatkan dari kesejahteraan ekonomi masyarakat.14 g. Menegakkan keadilan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. kegiatan ekonomi yang berteraskan kepada keselarasan serta menghapuskan penindasan dan penipuan adalah merupakan suatu sistem yang benarbenar dapat menegakkan keadilan sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. atas dasar inilah jual beli dan mengharamkan berbagai jenis segala penipuan. 12 Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, h. 4. Eko Suprayitno, Ekonomi Islam: Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, h. 19. 14 Ibid.,h. 20. 13 17 Fungsi atau peran hukum ekonomi Islam yang bisa digunakan, terutama dalam upaya menopang, melengkapi dan mengisi kekosongan hukum ekonomi sebagaimana urgensi peran dan fungsi hukum Islam secara umum dan keseluruhan dalam menopang, melengkapi dan atau mengisi kekosongan hukum nasional. 15 4. Pengertian Ekonomi Islam Berbagai ahli ekonomi Muslim memberikan pengertian ekonomi Islam yang bervariasi, tetapi pada dasarnya mengandung makna yang sama. Pada intinya ekonomi Islam adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, menganalisis, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara Islami. Menurut pandangan Islam , ilmu pengetahuan adalah suatu cara yang sistematis untuk memecahkan masalah kehidupan manusia yang mendasarkan segala aspek tujuan (ontologis), metode penurunan kebenaran ilmiah (epistemologis), dan nilai-nilai (aksiologis) yang terkandung pada ajaran Islam. Secara singkat, ekonomi Islam dimaksudkan untuk mempelajari upaya manusia untuk mencapai falah dengan sumber daya yang ada melalui mekanisme pertukaran.Penurunan kebenaran atau hukum dalam ekonomi Islam didasarkan pada kebenaran deduktif wahyu Ilahi (ayat qauliyah) yang 15 Adiyantosw.blogspot.com/2011/12/dasar-hukum-ekonomi-islam-di-indonesia.html, online 1905-2013. 18 didukung oleh kebenaran induktif empriris (ayat kauniyah).Ekonomi Islam juga terikat oleh nilai-nilai yang diturunkan dari ajaran Islam itu sendiri. 16 Definisi dari para ahli mengenai ekonomi Islam adalah sebagai berikut: Pendekatan definisi oleh Hanazuzzaman dan Metwally yang dikutip oleh P3EI UII Yogyakartan: Ekonomi Islam merupakan ilmu ekonomi yang diturunkan dari ajaran Alquran dan Hadis.Segala bentuk pemikiran ataupun praktek ekonomi yang tidak bersumberkan dari Alquran dan Hadis tidak dapat dipandang sebagai ekonomi Islam.Untuk dapat menjelaskan masalah kekinian digunakan metode fikih untuk menjelaskan fenomena tersebut bersesuai dengan ajaran Alquran dan Hadis.17 Muhammad Abdul Mannan yang dikutip oleh Heri Sudarsono memberikan pengertian: Ekonomi Islam adalah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang memperlajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. 18 Pendekatan yang digunakan Siddiqie dan Naqvi yang dikutip dari P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam merupakan representasi perilaku ekonomi umat Muslim untuk melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh. Dalam hal ini, ekonomi Islam tidak lain merupakan penafsiran dan praktek ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam yang tidak bebas dari kesalahan dan kelemahan. Analisis ekonomi setidaknya dilakukan dalam tiga aspek, yaitu 16 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 17. Ibid.,h. 18. 18 Heri Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suau Pengantar.., h. 13. 17 19 norma dan nilai-nilai dasar Islam, batasan ekonomi dan status hukum, dan aplikasi dan analisis sejarah. Beberapa ekonom muslim mencoba mendefinisikan ekonomi lebih komprehensif ataupun menghubungkan antara definisi-definisi yang telah ada. Seperti yang diungkapkan Chapra dan Choudury bahwa berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mewujudkan ekonomi Islam, baik pendekatan historis, empiris ataupun teroritis.Pendekatan ini dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan manusia sebagaimana yang dijelaskan oleh Islam, yaitu Falah, yang bermaknakan kelangsungan hidup, kemandirian, dan kekuatan untuk hidup. Dapat disimpulkan dari beberapa paparan bahwa ekonomi Islam tidak hanya praktek kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu dan komunitas Muslim yang ada, namun juga merupakan perwujudan perilaku ekonomi yang didasarkan pada ajaran Islam.Ia mencakup cara memandang permasalahan ekonomi, menganalis, dan mengajukan alternatif solusi berbagai permasalahan ekonomi. Ekonomi Islam merupakan konsekuensi logis dari implemantasi ajaran Islam secara kaffah dalam aspek ekonomi.Oleh karena itu, perekonomian Islam merupakan suatu tatanan perekonomian yang dibangun atas nilai-nilai ajaran Islam yang diharapkan, yang belum tentu tercermin dalam perilaku masyarakat Muslim yang ada pada saat ini. 19 19 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, Jakarta: Rajawali Press, 2012, h. 20. 20 Dapat penulis tarik benang merah ekonomi Islam adalah ilmu yang mempelajari usaha manusia untuk memenuhi kehidupannya untuk mengalokasikan dan mengelola sumber daya yang ada guna mencapai kebahagiaan dunia dan akherat yang berorienatasi mencapai falah berdasarkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Alquran dan Hadis. 5. Prinsip Dasar Ekonomi Islam Prinsip ekonomi Islam atau syari’ah merupakan pengembangan nilai dasar tauhid,merupakan pondasi ajaran Islam.Dasar tauhid sebagai asas atau sendi dasar pembangunan yang bermuara pada terciptanya kondisi dan fenomena sosial yang equilibrium atau falsafah politik Indonesia disebut keadilan sosial, al adalah al ijtima’iyah.20Segala sesuatu yang kita perbuat di dunia nantinya akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT. Sehingga termasuk didalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis nantinya akan dipertanggungjawabkan, sebagaimana konsep Tauhid bukan saja hanya mengesakan Allah SWT, tetapi juga meyakini kesatuan penciptaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan tuntutan hidup dan kesatuan tujuan hidup, yang semuanya derivasi dari kesatuan ketuhanan. 21 Di samping itu, secara umum pandangan Islam tentang manusia dalam hubungan dengan dirinya sendiri dan 20 Muhammad, Geliat-geliat pemikiran ekonomi Islam, Yogyakarta: Aditya media publishing, 2010, h. 94. 21 Menurut Al-Faruqy menyimpulkan bahwa Tauhid atau keesaan merupakan sebuah pandangan umum terhadap realitas, kebenaran, dunia, tempat, masa dan sejarah manusia. Lihat Ibnu Elmi AS Pelu, Gagasan, Tatanan & Penerapan Ekonomi Syariah dalam Persfektif Politik Hukum, Setara Press: Malang, 2008, h. 87,dan Muhammad, Etika Bisnis Islam, Yogyakarta: Akademi Manajemen Perusahaan YKPN, 2004, h. 53. 21 lingkungan sosialnya, dapat direpresentasikan dengan empat prinsip menurut Syed Nawab Heidar Naqvimenyebutkan sebagai berikut: Tauhid, Keseimbangan atau kesejajaran (equilibrium), kehendak bebas, dan tanggung jawab.22Lebih lanjut tentang prinsip dasar ekonomi Islam adalah: a. Tauhid Secara umum tauhid dipahami sebagai sebuah ungkapan keyakinan (syahadat) seorang muslim atas keesaan Tuhan. Istilah tauhid dikonstruksi berarti satu (esa) yaitu dasar kepercayaan yang menjiwai manusia dan seluruh aktivitasnya.Konsep tauhid beirisikan kepasrahan manusia kepada Tuhannya, dalam persfektif yang lebih luas, konsep ini merefleksikan adanya kesatuan kesatuan, yaitu kesatuan kemanusiaan, kesatuan kemanusiaan, kesatuan penciptaan dan kesatuan tuntutan hidup serta kesatuan tujuan hidup.Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam.Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “tiada sesuatu apapun yang layak disembah selain Allah”.Karena Allah adalah pencipta alam semesta dan seisinya dan sekaligus pemiliknya, bahkan jika manusia sekalipun ada dalam genggaman kekuasaanNya. 23 Tauhid dalam bidang ekonomi mengantarkan para pelaku ekonomi untuk berkeyakinan bahwa harta benda adalah milik Allah semata, 22 Syed Nawab Haider naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam, pener: M. Saiful aAnam dan M. Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2003, h 35. Lihat juga Muhammad, Geliat-geliat pemikiran ekonomi Islam, Yogyakarta: Aditya media publishing, 2010, h. 95. 23 Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007, h. 5. 22 keuntungan yang diperoleh pengusaha adalah berkat anugerah dari Tuhan. Tauhid jgua mengantar pengusaha untuk tidak hanya mengejar keuntungan duniawi, karena hidup adalah kesatuan antara dunia dan akherat. b. ‘Adl (keadilan). Allah SWT telah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Adil yang dimaksud disini adalah tidak menzalimi dan tidak dizalimi, sehingga penerapannya dalam kegiatan ekonomi adalah manusia tidak boleh berbuat jahat kepada orang lain atau merusak alam untuk memperoleh keuntungan pribadi. Keadilan, pada tataran konsepsional-filosofis menjadi sebuah konsep universal yang ada dan dimiliki oleh semua ideologi, ajaran setiap agama dan bahkan ajaran setiap agama dan bahkan ajaran berbagai aliran filsafat moral.Dalam khazanah Islam, keadilan yang tidak terpisah dari moralitas, didasarkan pada nilai-nilai absolut yang diwahyukan tuhan dan penerimaan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merupakan suatu kewajiban. 24 Rasa keadilan dan upaya perealisasiannya bersumber dari substansi, dari mana manusia tercipta. Tidak peduli betapa ambigu atau 24 Ibid.,h. 6. 23 kaburnya makna keadilan baik ditinjau dari segi filosofis 25, teologis, ekonomi, maupun hukum di kepala kita, jiwa kita yang paling dalam memiliki rasa keadilan yang menyinari kesadaran kita, dan batin yang bergejolak di hati kita mendesak kita untuk hidup dengan adil, melaksanakan keadilan dan melindungi apa yang kita pandang adil. c. Nubuwwah (kenabian). Nabi dan Rasul diutus untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubah) ke asal muasal.Fungsi rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk umat muslim, Allah telah mengirimkan “manusia model’ yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman. 26 Setiap muslim diharuskan untuk meneladani sifat dari nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat Nabi Muhammad SAW yang patut diteladani untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari khususnya dalam bidang ekonomi yaitu :Siddiq (benar, jujur), Amanah (tanggung jawab, 25 Berdasarkan filsafat, pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebabnya, asalnya, hukumnya; teori yg mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; ilmu yg berintikan logika, (OH) estetika, metafisika, dan epistomologi; kumpulan anggapan, gagasan, dan sikap batin yang dimiliki orang atau masyarakat, falsafah; Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 410. 26 Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 5. 24 kepercayaan, kredibilitas), Fathanah (Kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualita) dantabligh (komunikasi, keterbukaan, pemasaran). d. Khila>fah (pemerintahan). Dalam Islam, peranan yang dimainkan pemerintah terbilang kecil akan tetapi sangat vital dalam perekonomian. Peranan utamanya adalah memastikan bahwa perekonomian suatu negara berjalan dengan baik tanpa distorsi dan telah sesuai dengan syariah, dan untuk memastikan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi.Semua ini dalam rangka mencapai maqa>shid asy syariah (tujuan-tujuan syariah).27 e. Ma’ad (hasil). Diartikan juga sebagai imbalan atau ganjaran.Implikasi nilai ini dalam kehidupan ekonomi dan bisnis misalnya, diformulasikan oleh Imam Ghazali menyatakan bahwa motif para pelaku ekonomi adalah untuk mendapatkan keuntungan atau profit atau laba. Dalam islam, ada laba atau keuntungan di dunia dan ada laba/keuntungan di akhirat.28 6. Karakter Ekomi Islam Sumber karakteristik ekonomi Islam itu sendiri yang meliputi tiga asas pokok.Ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi dalam Islam, yaitu asas akidah, akhlak dan asas hukum (muamalah).29 27 Ibid., h. 8. Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 8 29 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam,Jakarta: Kencana, 2007, 28 h. 17. 25 Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam Al-Mawsu>’ah Al-ilmiyah wa al-amaliyah al-isla>miyahyang dapat diringkas sebagai berikut: a. Harta Kepunyaan Allah dan Manusia Merupakan Khalifah Atas Harta Karakteristik pertama ini terdiri dari dua bagian yaitu: 1) Pertama, semua harta baik benda maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan Allah), sesuai dengan Q.S. al-Baqarah [2]: 284 dan Q.S. al-Maidah [5]: 17. 2) Kedua, manusia adalah khalifah30 atas harta miliknya31 sesuai dengan Q.S. al-Hadi>d [57]: 7. Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dia-lah yang menciptakannya.Akan tetapai, Allah memberikan hak kepada kamu (manusia) untuk menciptakannya. Dengan kata lain, sesungguhnya Islam sangat menghormati hal milik pribadi, baik itu terhadap barang-barang konsumsi ataupun barang-barang modal. Namun pemanfaaatannya tidak 30 Khalifah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah wakil (pengganti) Nabi Muhammad SAW. Seetelah Nabi wafat (di urusan negara dan agama) yang melaksanakan syariat (hukum) Islam di kehidupan Negara, manusia diciptakan Allah sebagai penguasa di muka bumi, Tim Penuyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 717. 31 Yang dimaksud dengan khalifah atas hartanya bukan secara mutlak memilikinya.Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah.Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukumhukum yang telah disyariatkan Allah.Selain itu terdapat sabda Rasullulah SAW, yang juga mengemukakan peran manusia sebagai khalifah, diantara sabdanya: “Dunia ini hijau dan manis. Allah telah menjadikan kahlifah (penguasa) di udnia. Karena itu hendaklah kamu membahasa cara berbuat mengenai harta di dunia ini”. Lihat Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam..h. 19. 26 boleh bertentangan dengan kepentingan orang lain. Jadi, kepemilikan dalam Islam tidak mutlak, karena pemilik sesungguhnya adalah Allah SWT.32 b. Ekonomi Terikat dengan Akidah, Syariah (Hukum) dan Moral. Hubungan ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang ditundukkan (disediakan) untuk kepentingan manusia.Hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan aktivitas ekonomi dalam Islam menjadi ibadah. Menurut Yafie hubungan ekonomi dan moral dalam Islam adalah: 1) Larangan terhadap pemilik dalam menggunakan hartanya yang dapat menimbulkan mudharat atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat.33 2) Larangan melakukan penipuan dalam transaksi. Nabi SAW,bersabda: “orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita”. 3) Larangan meimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan buat mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Menimbun (menyimpan) uang berarti menghambat 32 Ibid.,h. 20. Seperti yang disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad SAW, bersabda: “Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain” (H.R. Ahmad). 33 27 fungsinya dalam memperluas lapangan produksi34 dan penyiapan lapangan kerja. 4) Larangan melakukan pemborosan karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat.35 c. Keseimbangan antara Kerohanian dan Kebendaan. Beberapa ahli Barat memiliki tafsiran tersendiri terhadap Islam.Mereka menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri).Selain itu para ahli tersebut menyatakan Islam adalah yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia). Sesungguhnya Islam tidak memisahkan antara memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat. Setiap aktivitas manusia di dunia akan berdampak pada kehidupannya kelak di akhirat. Oleh karena itu, aktivitas keduniaan kita tidak boleh mengorbankan kehidupan akhirat.36 d. Ekonomi Islam Menciptakan Keseimbangan antara Kepentingan Individu dengan Kepentingan Umum. Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah, Islam tidak mengakui hak mutlak dan kebebesan mutlak, tetapi mempunyai batasanbatasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik.Hanya keadilan yang 34 Produksi adalah proses mngeluarkan hasil, lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1032. Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam..h. 23. 36 Ibid.,h. 23. 35 28 dapat melindungi keseimbagan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepentingan individu dan umum. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh dilakukan dengan mengabaikan dan mengorbankan kepentigan orang lain dan masyarakat secara umum. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh setiap individu untuk mensejahterakan dirinya, tidak boleh mengabaikan kepentingan orang banyak.Prinsip ini harus tercermin pada setiap kebijakan individu maupun lembaga, ketika melakukan kegiatan ekonomi.Ciri ini jelas berbeda degan system ekonomi kapitalis yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan sistem ekonomi sosialis yang lebih menekankan kepentingan umum. 37 e. Kebebasan Individu dijamin dalam Islam Individu-individu dalam perekonomian Islam diberikan kebebasan untuk berkativitas baik secara perorangan maupun kolektif untuk mencapai tujuan.Namun kebebasan tersebut tidak boleh melanggar aturanaturan yang telah digariskan Allah SWT. Prinsip kebebasan ini sangat berbeda dengan prinsip kebebasan sistem ekonomi kapitalis maupun sosialis.Dalam kapitalis, kebebasan individu dalam berekonomi tidak dibatasi norma-norma ukhrawi, sehingga tidak ada urusan halal atau haram. Sementara dalam sosialis justru tidak 37 Ibid.,h. 25. 29 ada kebebasan sama sekali, karena seluruh aktivitas ekonomi masyarakat diatur dan ditujukan hanya untuk negara.38 f. Negara diberi Wewenang Turut Campur dalam Perekonomian Islam memperkenankan negara untuk mengatur masalah perekonomian agar kebutuhan masyarakat baik secara individu maupun sosial dapat terpenuhi secara proporsional. Dalam Islam Negara berkewajiban melindungi kepentingan masyarakat dari ketidakadilan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang, ataupun dari negara lain. Negara juga berkewajiban memberikan jaminan social agar seluruh masyarakat daapt hidup secara layak. Peran Negara dalam perekonomian pada sistem Islam ini jelas berbeda dengan sistem kapitalis yang sangat membatasi peran Negara.Sebaliknya juga berbeda dengan sistem sosialis yang memberikan kewenangan Negara untuk mendominasi perekonomian secara mutlak.39 g. Bimbingan Konsumsi Bimbingan konsumsi40 dalam Alquran terdapat pada Q.S. al-Ara>f [7]: 31 yang berbunyi: Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih- 38 Ibid.,h.27. Ibid., h. 28. 40 Konsumsi adalah pemakaian barang-barang hasil industri (bahan pakaian, makanan, dan sebagainya);barang barang yg langsung memenuhi keperluan hidup kita, lihat Tim Penysusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 750. 39 30 lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebihan.41 Selain itu ada juga larangan suka kemewahan dan bersikap angkuh terhadap hukum karena kekayaan, sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Isra> [17]: 16 yang artinya: ..Dan jika kami hendak membinasakan suatu negeri, Maka kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya menaati Allah) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, Maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentua kami), Kemudian kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya. 42 h. Petunjuk Investasi Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, almawsu’ah Al-Ilmiyah wa al-amaliyah al-islamiyah memandang ada lima kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu: 1) Proyek yang baik menurut Islam. 2) Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat. 3) Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan. 4) Memelihara dan menumbuhkankembangkan harta. 5) Melindungi kepentingan anggota masyarakat.43 41 Q.S. al-A’ra>f [7]: 31. Q.S. al-Isra> [17]: 31. 43 Mustafa Edwin Nasution, dkk, Pengenalan eksklusif Ekonomi Islam..h. 29. 42 31 i. Zakat Zakat adalah salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak terdapat dalam perekonomian lain. Sistem perekonomian di luar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta, agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki, dan dendam. 44 j. Larangan Riba. Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal yaitu sebagai fasilitas transaksi dan alat penilaian barang.Di antara faktor yang menyelewengkan uang dari bidangnya yang normal adalah bunga (riba).45 Di dalam Alquran perlarangan riba terdapat pada wahyu yang berlain-lainan. Pertama terdapat dalam Q.S. ar-Ruum [30]: 39 di Mekkah, menekankan jika bunga dikurangi rizki yang berasal dari rahmat Allah, kedermawanan justru melipatgandakan. Kedua terdapat dalam Q.S. anNisa [4]: 161, permulaan periode Madinah, sangat mencelanya, sejalan dengan perlarangannya dalam ayat sebelumnya. Ayat ini menggolongkan mereka yang memakan riba sama dengan mereka yang mencuri harta orang lain dan Allah mengancam kedua pelaku tersebut dengan siksa yang pedih. Ketiga terdapat dalal Q.S. ali-Imran [3]: 130-132, sekitar tahun 44 45 Ibid. Ibid.,h. 29. 32 kedua-tiga hijriah, memerintahkan muslim untuk menjauhkan diri dari riba jika mereka menginginkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri. Keempat dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 275-281, menjelang berakhirnya misi kenabian Muhammad SAW, mengecam keras mereka yang melakukan riba, membuat perbedaan yang jelas antara perdagangan dan riba, dan meminta kaum muslimin untuk membatalkan semua riba, memerintahkan mereka untuk hanya mengambil uang pokok, dan meninggalkannya meskipun ini merupakan kerugian dan beban berat bagi yang meminjamkan.46 Nabi Muhammad SAW juga mengecam, dalam hadis qauli yang paling banyak mengundang perdebatan, tidak hanya mereka yang mengambil riba tetapi juga mereka yang memberi dan mereka yang mencatat atau ikut menjadi saksi atas transaksi tersebut.Pelarangan riba dalam Alquran dan hadis terhadap masalah riba, penting untuk diperjelas apa yang dimaksud dengan riba. Riba secara harfiah berarti meningkatkan, penambahan, pengembangan atau pertumbuhan. Meskipun demikian, tidak berarti semua peningkatan aau pertumbuhan yang telah dilarang oleh Islam. Secara teknis dalam syariah, riba mengacu pada premi yang harus dibayar oleh peminjam kepada pemberi pinjaman pokok sebagai syarat untuk memperoleh pinjaman lain atau untuk penangguhan. Sejalan dengan 46 M. Umer Chapra, Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil, Terjemahan Lukman Hakim, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997, h. 26. 33 ini, riba mempunyai pengertian yang sama yaitu sebagai bunga, sesuai dengan konsensus seluruh para fuqaha (ahli hukum Islam) tanpa terkecuali. Meskipun demikian, di dalam syariah istilah riba digunakan untuk dua pengertian.pertama adalah riba nasiah dan kedua adalah riba fadl.47 1) Riba al-Nasiah Istilah nasiah berasal dari asal kata nasa'a yang berarti penangguhan, penundaan, tunggu, meruiuk pada waktu yang diijinkan bagi peminjam untuk membayar kembali hutang berikut tambahan atau premi.dengan demikian riba al nasiah mengacu pada bunga atas pinjaman. istilah riba ini terdapat dalam Q.S. al-Baqarah [2] : 275 yang berbunyi : "Allah mengharamkan bunga. Hal ini termasuk riba yang dimaksud nabi Muhammad SAW ketika heliau berkata: "Tidak ada riba kecuali dalam nasiah.48 Pelarangan riba nasiah berarti mempunyai pengertian bahwa penetapan keuntungan positif atas uang yang harus dikembalikan dari suatu pinjaman sebagai imbalan karena menanti pada dasarnya tidak diijinkan oleh syariah. tidak ada perbedaan apakah uang itu dlam persentase yang pasti dari uang pokok atau tidak, atau sejumlah yang harus dibayarkan di muka atau di kemudian hari, atau diberikan dalam bentuk hadiah atau jasa sebagai syarat peminjaman. Intinya adalah 47 48 Ibid.,h. 62. Ibid. 34 keuntungan positif yang ditentukan di muka tidak diperbolehkan.meskipun demikian, jika pengembalian pinjaman pokok dapat bersifat positif atau negatif tergantungpada hasil akhir suatu bisnis, yang tidak diketahui terlebih dahulu, ini dibolehkan asalkan ditanggung bersama menurut prinsip keadilan yang ditetapkan dalam syariat.49 2) Riba al-Fadl Islam tidak hanya ingin membatasi eksploitasi yang terkandung dalam lembaga bunga, tetapi juga yang melekat di semua bentuk ketidakjujuran dan tukar menukar yang adil dalam transaksi bisnis.Semua ini dirinci dengan jelas dalam ajaran Alquran atau hadis.Ajaran-ajaran tersebut dirangkum dengan satu istilah riba al fadl yaitu pengertian kedua dari riba yang dapat dijumpai dalam pembayaran dari tangan ke tangan dan obral dagangan. Istilah ini di satu pihak mencakup semua transaksi yang menyangkut pembayaran secara tunai dan di lain pihak pengiriman barang secara langsung.50 Diskusi mengenai riba ini banyak muncul dari hadis yang mensyaratkan jika emas, perak, wheat, barley, kurma, dan garam dipertukarkan dengan cara yang sama, transaksi itu harus dilakukan secara langsung, setara dan serupa. 49 50 Ibid.,h. 28. Ibid.,h. 28-29. 35 Larangan riba al-Fadl dengan demikian dimaksudkan untuk meyakinkan adanya keadilan dan dan menghilangkan semua bentuk ekspoitasi melalui tukar menukar barang yang "tidak adil" serta menutup semua pinti belakang bagi riba karena dalam ayariat Islam, segala sesuatu yang menjadi bagi terjadinya pelanggaran juga termasuk pelanggaran itu sendiri. Nabi SAW menyamakan riba bahkan dengan menipu otak "bodoh" agar membeli barangnya dan menerapkan sistem ijon secara sia-sia dengan bantian agen. Ini mengandung arti bahwa tambahan uang yang diperoleh dengan cara eksploitasi dan penipuan seperti itu tidak lain kecuali riba al fadl. karena orang dapat dieksploitasi atau ditipu dengan berbagai cara, nabi mengingatkan bahwa muslim dapat terbuai oleh riba dalam berbagai cara. 51 Jika riba nasiah berkaitan dengan pinjaman, maka riba fadl berkaitan dengan perdagangan.Karena pada dasarnya perdagangan diperbolehkan, tidak berarti seluruh perdagangan diperbolehkan dalam perdagangan52, karena ketidakadilan yang terjadi melalui riba dapat pula terjadi melalui transaksi bisnis.Riba al-fadl menngacu kepada semua ketidakadilan atau eksploitasi. 53 51 Ibid.,h. 31. Lihat Q.S. al-Baqarah [2]: 275 “..dan Allah membolehkan jual beli dan mengharamkan riba.. 53 M. Umer Chapra, Alquran Menuju Sistem Moneter yang Adil.,, h. 32. 52 36 7. Maqa>shid Asy Syariah dalam Hukum Ekonomi Islam Secara bahasa Maqa>shid Asy Syariah terdiri dari dua kata yaitu Maqa>shid dan Syari’ah. Maqa>shid berarti kesengajaan atau tujuan, Maqa>shid merupakan bentuk jama’ dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang berarti menghendaki atau memaksudkan, Maqa>shid berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.54 Sedangkan Syariah secara bahasa berarti ﻋﻠﻰ ﻣﻮرد اﻟﻤﺎء أى ﻣﻜﺎن ورود اﻟﻨﺎس ﻟﻠﻤﺎءartinya Jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air dapat juga diartikan berjalan menuju sumber kehidupan. 55Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia istilah syariah adalah “Hukum agama yang diamalkan menjadi peraturanhidup manusia, hubungan manusiadengan AllahSWT,hubunganmanusiadengan manusiadan alamsekitar berdasarkanAlqurandanhadis. 56 Wahbah al-Zuhaili mengatakan bahwa Maqa>shid Asy Syariah adalah nilai-nilai dan sasaran syarayang tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-syari' dalam setiap ketentuan hukum. 57 Yusuf Al-Qardhawi mendefenisikan Maqa>shid Asy Syariah sebagai tujuan yang menjadi target teks dan hukum-hukum partikular untuk 54 Ahmad Qorib, Ushul Fikih 2, Jakarta: PT. Nimas Multima, 1997, h. 170. Fazlur Rahman, Islam, Terjemahan Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, 1994, h. 140. 56 Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1402. 57 Edi kurniawan, Teori Maqashid Al-Syari’ah Dalam Penalaran Hukum Islam, artikel. t.d 55 37 direalisasikan dalam kehidupan manusia. Baik berupa perintah, larangan, dan mubah.Untuk individu, keluarga, jamaah, dan umat, atau juga disebut dengan hikmat-hikmat yang menjadi tujuan ditetapkannya hukum, baik yang diharuskan ataupun tidak.Karena dalam setiap hukum yang disyari’atkan Allah kepada hambanya pasti terdapat hikmat, yaitu tujuan luhur yang ada di balik hukum. 58 Ulama Ushul Fiqih mendefinisikan Maqa>shid Asy Syariah dengan makna dan tujuan yang dikehendaki syara’ dalam mensyari’atkan suatu hukum bagi kemashlahatan umat manusia. Maqashid al-syari’ah di kalangan ulama ushul fiqih disebut juga asrar al-syari’ah, yaitu rahasia-rahasia yang terdapat di balik hukum yang ditetapkan oleh syara’, berupa kemashlahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat.Misalnya, syara’ mewajibkan berbagai macam ibadah dengan tujuan untuk menegakkan agama Allah SWT. Kemudian dalam perkembangan berikutnya, istilah maqashid asy syari’ah ini diidentik dengan filsafat hukum islam. 59 Menurut Imam al-Ghazali, “Tujuan utama syariah adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak dalam perlindungan terhadap agama mereka (li h}ifdz al din), diri (li h}ifdz an nafs), akal (li h}ifdz al ‘akl), keturunan (li h}ifdz al nasl), harta benda (li h}ifdz al ma>l).60Apa saja yang 58 Ibid. Ibid. 60 M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, Terjemahan Ikhwan Abidin B, Jakarta: Gema Insani Press, 2000, h. 7. 59 38 menjamin terlindungnya lima perkara ini berarti melindungi kepentingan umum dan dikehendaki.” Implikasi lima perkara ini dalam ilmu ekonomi perlu disadari bahwa tujuan suatu masyarakat muslim adalah untuk berjuang mencapai cita-cita ideal. Perlunya mendorong pengayaan perkara-perkara ini secara terus-menerus sehingga keadaan makin mendekat kepada kondisi ideal dan membantu umat manusia meningkatkan kesejahteraannya secara kontinu. Banyak usaha dilakukan oleh sebagian fuqaha untuk menambah lima perkara dan mengubah urutannya, namun usaha-usaha ini ini tampaknya tidak memuaskan para fuqaha lainnya. Imama asy syatibi, menulis kira-kira tiga abad setelah Imam al-Ghazali, menyetujui daftar dan urutan Imam Ghazali, yang menunjukkan bahwa gagasan itu dianggap sebagai yang paling cocok dengan esensi syariah.61 Ilmu ekonomi Islam dapat didefinsikan sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqa>shid asy syariah menurut as-Shatibi yaitu menjaga agama (li h}ifdz al din), jiwa manusia (li h}ifdz an nafs), akal (li h}ifdz al ‘akl), keturunan (li h}ifdz al nasl) dan menjaga kekayaan (li h}ifdz al ma>l) tanpa mengekang kebebasan individu. 62 61 M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam, Terjemahan Ikhwan Abidin B, Jakarta: Gema Insani Press, 2001, h. 102. 62 Muhammad, Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam., h. 2 39 Maqa>shid membahas masalah mengenai, pengayaan agama, diri, akal, keturunan, dan harta benda sebenarnya telah menjadi fokus utama usaha semua manusia.Manusia itu sendiri menjadi tujuan sekaligus alat. Tujuan dan alat dalam pandangan al-Ghazali dan juga pra fuqaha lainnya, saling berhubungan satu sama lain dan berada dalam satu proses perputaran sebabakibat. Realisasi tujuan memperkuat alat dan lebih jauh akan mengintensifkan realisasi tujuan. Imama al-Ghazali dan asy-Syatibi mengurutkan keimanan (agama), kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda secara radikal berbeda dari urutan ilmu ekonomi konvensional, di mana keimanan tidak memiliki tempat, sementara kehidupan, akal, dan keturunan, sekalipun dipandang penting, hanya dianggap variabel eksogenous (di luar sistem). Karena itu, tidak mendapatkan perhatian yang memadai. 63 a. Peran Keimanan (Agama) Keimanan ditempatkan diurutan pertama karena menyediakan pandangan dunia yang cenderung berpengaruh pada kepribadian manusia perilakunya, gaya hidupnya, cita rasa dan presentasinya, dan sikapnya terhadap orang lain, sumber-sumber daya dan lingkungan. Iman berdampak signifikan terhadap hakikat, kuantitas, dan kualitas kebutuhan materi dan psikologi dan juga cara memuaskannya. Iman menciptakan keseimbangan antara dorongan materiil dan spiritual dalam diri manusia, 63 Ibid.,h. 102. 40 membangun kedamaian pikiran individu, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial. 64 Islam mengajarkan manusia menajalani kehidupannya secara benar, sebagaimana telah diatur oleh Allah.Bahkan, usaha untuk hidup secara benar dan menjalani hidup secara benar inilah yang menjadikan hidup seseorang bernilai tinggi.Ukuran baik buruk kehidupan sesungguhnya tidak diukur dari indikator-indikator lain melainkan dari sejauh mana seseorang manusia berpegang teguh kepada kebenaran.Untuk itu, manusia membutuhkan suatu pedoman tentang kebenaran dalam hidup, yaitu agama (dien).Seorang Muslim yakin bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan diridhai Allah.Islam telah mencakup keseluruhan ajaran kehidupan secara komprehensif.Jadi, agama merupakan kebutuhan manusia yang paling penting.Islam mengajarkan bahwa agama bukanlah hanya ritualitas, namun agama berfungsi untuk menuntun keyakinan, memberikan ketentuan atau aturan berkehidupan serta membangun moralitas manusia. Oleh karena itu, agama diperlukan oleh manusia kapanpun dan di manapun ia berada 65. Ekonomi Islam membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqa>shid, tanpa mengekang kebebasan individu, 64 65 Ibid. P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam., h. 6. 41 menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat. Iman juga menyediakan filter moral yang menyuntikkan makna hidup dan tujuan dalam diri manusia ketika menggunakan sumber-sumber daya, dan memberikan mekanisme motivasi yang diperlukan bagi beroperasinya secara objektif. Filer moral bertujuan menjaga kepentingian individu (self interest) dalam batas-batas kemaslahtan social (social interest).66 b. Peran diri atau jiwa raga (an nafs) Kehidupan jiwa raga (an nafs) di dunia sangat penting, karena merupakan ladang bagi tanaman yang akan dipanen di kehidupan akhirat nanti. Apa yang akan diperoleh di akhirat tergantung pada apa yang telah dilakukan di dunia. Kehidupan sangat dijunjung tinggi oleh ajaran Islam, sebab ia merupakan anugerah yang diberikan Allah kepada hambanya untuk dapat digunakan sebaik-baiknya. Tugas manusia di bumi adalah mengisi kehidupan dengan sebaik-baiknya, untuk kemudian akan mendapat balasan pahala atau dosa dari Allah. Oleh karena itu, kehidupan merupakan sesuatu yang harus dilindungi dan dijaga sebaik- baiknya.Segala sesuatu yang dapat membantu eksistensi kehidupan otomatis merupakan kebutuhan, dan sebaliknya segala sesuatu yang mengancam kehidupan pada dasarnya harus dijauhi. 66 M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam., h. 103. 42 c. Peran Akal Untuk dapat memahami alam semesta (ayat-ayat kauniyah) dan ajaran agama dalam Alquran dan Hadis (ayat-ayat qauliyah) manusia membutuhkan ilmu pengetahuan. Tanpa ilmu pengetahuan maka manusia tidak akan dapat memahami dengan baik kehidupan ini sehingga akan mengalami kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, Islam memberikan perintah yang sangat tegas bagi seorang Mukmin untuk menuntut ilmu. d. Peran Keturunan (nasl) Untuk menjaga kontinuitas kehidupan, maka manusia harus memelihara keturunan dan keluarganya (nasl).Meskipun seorang Mukmin meyakini bahwa horison waktu kehidupan tidak hanya mencakup kehidupan dunia melainkan hingga akhirat.Oleh karena itu, kelangsungan keturunan dan keberlanjutan dari generasi ke generasi harus diperhatikan.Ini merupakan suatu kebutuhan yang amat penting bagi eksistensi manusia. 67 e. Peran Harta (ma>l) Harta material (ma>l) sangat dibutuhkan, baik untuk kehidupan duniawi maupun ibadah.Manusia membutuhkan harta untuk pemenuhan kebutuhan makanan, minuman, pakaian, rumah, kendaraan, perhiasaan sekedarnya dan berbagai kebutuhan lainnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya.Selain itu, hampir semua ibadah memelukan harta, misalnya 67 Ibid.. 43 zakat, infak, sedekah, haji, menuntut ilmu, membangun sarana-sarana peribadatan, dan lain-lain. Tanpa harta yang memadai kehidupan akan menjadi susah, termasuk menjalankan ibadah.68 Harta benda ditempatkan pada urutan terakhir. Hal ini tidak disebabkan ia adalah perkara yang tidak penting, namun karena harta itu tidak dengan sendirinya membantu perwujudan kesejahteraan bagi semua orang dalam dalam sautu pola yang adil kecuali jika faktor manusia itu sendiri telah direformasi untuk menjamin beroperasinya pasar secara fair. Jika harta benda ditempatkan pada urutan pertama dan menjadi tujuan itu sendiri, akan menimbulkan ketidakadilan yang kian buruk, ketidakseimbangan, dan eksesekses lain yang pada gilirannya akan mengurangi kesejahteraan mayoritas genarasi sekarang maupun yang akan dating. Oleh karena itu, keimanan dan harta benda, keduanya memang diperlukan bagi kehidupan manusia, tetapi imanlah yang membantu menyuntikkan suatu disiplin dan makna dalam memperoleh penghidupan dan melakukan pembelanjaan sehingga memungkinkan harta itu memenuhi tujuannya secara lebih efektif. 69 Tiga tujuan yang berada di tengah (diri manusia, akal dan keturunan) berhubungan dengan manusia itu sendiri, di mana kebahagiaannya merupakan tujuan utama syariat. Ketiga persoalan ini meliputi kebutuhan-kebutuhan intelektual dan psikologis, moral dan fisik generasi sekarang dan yang akan 68 69 P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam., h. 7. M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi Sebuah Tinjauan Islam., h. 105. 44 datang. Arah tegas yang diberikan oleh keimanan dan komitmen moral kepada pemenuhan semua kebutuhan. 70 Oleh karena itu, dengan memasukkan unsur diri manusia, akal, dan keturunan dalam model ktia ini, akan memungkinkan terciptanya suatu pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia. Ia juga dapat membantu menganalisis variable-variabel ekonomi yang penting seperti konsumsi, tabungan, investasi, kerja, produksi, alokasi dan distribusi kekayaan dalam suatu cara yang membantu mewujudkan kesejahteraan untuk semua.71 B. Ketentuan-Ketentuan BertransaksiDalam Islam 1. Gambaran Umum tentang Transaksi a. Pengertian Transaksi Menurut Sunarto Zulkifli menyatakan bahwa : "Secara umum transaksi dapat diartikan kegiatan seseorang paling tidak dua orang yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha, pinjam meminjam atas dasar sama-sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariah yang berlaku.Sistem ekonomi yang Islami, transaksi harus dilandasi oleh aturan hukum-hukum Islam karena transaksi adalah manifestasi amal manusia yang bernilai ibadah dihadapan Allah, yang dapat dikategorikan menjadi dua yaitu transaksi halal dan haram."72 Pengertian transaksi menurut Slamet Wiyono adalah sebagai berikut : “Transaksi ialah suatu kejadian ekonomi atau keuangan yang 70 Ibid.,h. 106. Ibid. 72 Sunarto Zulkifli, Dasar-dasar Akuntansi Perbankan Syariah, 2003, h.10. 71 45 melibatkan paling tidak dua pihak atau lebih yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha pinjam meminjam dan lain-lain atas dasar suka sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariat yang berlaku”.73 Pengertian transaksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sebagai berikut: “Persetujuan jual beli dalam perdagangan antara pihak pembeli dan penjual”.74 Sebagian pakar ekonomi memandang bahwa transaksi yang dikenal pertama kali yaitu barter tunai. Yaitu ketika butuh sesuatu, ia menukar barang miliknya dengan barang orang lain yang dia butuhkan. Kemudian transaksi ini mengalami perkembangan sesuai dengan konsep pemikiran dan agama yang berkembang pada suatu masyarakat, sampai Islam membawa konsep akad transaksi yang indah dan istimewa. b. Transaksi dalam Islam Akad merupakan keterkaitan atau pertemuan ijab dan kabul75 yang berakibat timbulnya akibat hukum. Akad merupakan tindakan hukum dua pihak karena akad adalah pertemuan ijab yang mempresentasikan kehendak dari satu pihak dan kabul yang menyatakan kehendak pihak lain. 73 Ibid. Tim Penyusun, Kamus Bahasa Idonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, h. 1543. 75 Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh satu pihak, dan Kabul adalah jawaban persetujuan dari mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama. 74 46 Tujuan akad itu adalah untuk melahirkan suatu akibat hukum. 76Akad atau transaksi sangat penting, sebab transaksi yang mengatur hubungan antara pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan ekonomi. Lebih lanjut transaksi mengikat hubungan yang disebabkan akibat hukum di masa sekarang dengan hubungan tersebut di masa akan datang. Pada dasar hubungan tersebut adalah penampakan sikap rida dan pelaksanaan semua yang menjadi orientasi kedua transaktor, yang dijelaskan dalam komitmen transaksionalnya, kecuali apabila menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal, atau mengandung unsur pelanggaran terhadap hukum-hukum Allah. Semakin jelas rincian dan kecermatan dalam membuat transaksi, maka peluang konflik dan pertentangan yang mungkin timbul di masa mendatang semakin kecil. Dari sini, seorang muslim mestinya tertantang untuk serius memperhatikan masalah transaksi, mulai dari menyusun konsep, manajemen77 dan mensukseskannya dalam jalur syariat. 2. Pengertian Akad Jual Beli Kata akad berasal dari al-‘aqd yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-ittifaq). Secara terminologi fikih, akad 76 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah., h. 69. Proses pemakaian sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan; penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran, KBBI, h. 910. 77 47 didefinisikandengan :“Pertalian Ijab (Pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan) penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat78 yang berpengaruh kepada objek perikatan”. 79 Secara umum, pengertian akad dalam arti luas hampir sama dengan pengertian akad dari segi bahasa menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah, yaitu: “Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keingingan dua orang seperti jual beli, perwakilan, dan gadai.”80 Hasby Ash Siddieqy, yang mengutip definisi yang dikemukakan AlSanhury, akad ialah:“Perikatan ijab dan kabul yang dibenarkan syara’ yang menetapkan kerelaan kedua belah pihak”. Sedangkan pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqih, yaitu: “Perikatan yang ditetapkan dengan ijab kabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya,” dan “Pengaitan ucapan salah seorang yang akad dengan yang lainnya secara syara’ pada segi yang tampak dan berdampak pada objeknya”. 81 78 Pencamtuman kata-kata yang “Sesuai dengan kehendak syariat” maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun pencamtuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang menyatakan kabul). 79 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, h. 50. 80 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h. 44. 81 Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah ..., h. 44. 48 Jual beli (al-ba’i), menurut etimologi berarti menjual atau mengganti, atau menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata lain dari al-ba’i adalah asy-syira’, al-mubadah, dan al-tijarah. Adapun secara terminologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain: a. Menurut ulama Hanafiyah: pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkancara khusus (yang dibolehkan). b. Menurut Imam Nawawi dalam Al-Majmu: pertukaran harta dengan harta untuk kepemilikan. c. Menurut Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mugni: Pertukaraan harta dengan harta, untuk saling menjadikan milik. 82 Secara terminologi, jual beli adalah pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan. 83Jadi akad jual beli adalah pertukaran harta dengan harta yang mencapai kata sepakat dengan melakukan ijab kabul atau serah terima untuk melakukan transaksi jual beli. 3. Dasar Hukum Akad Jual Beli Jual beli disyariatkan berdasarkan Alquran, Hadis, dan Ijma yakni: a. Alquran .... ..Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.. (Q.S. al-Baqarah [2]: 275)84 ...... 82 Ibid.,h.74. Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 90. 84 Q.S. al-Baqarah [2]: 282. 83 49 ...dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.. (QS. al-Baqarah [2]: 282) .. .. ... kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka samasuka ... (QS. an-Nisa [4]: 29)85 b. Hadis Berkaitan dengan QS an-Nisa [4]: 29 ayat ini diturunkan menurut riwayat Ibnu Jarir ayat ini turun dikarenakan masyarakat muslim Arab pada saat itu memakan harta sesamanya dengan cara yang batil, mencari keuntungan dengan cara yang tidak sah dan melakukan berbagai macam tipu daya yang seakan-akan sesuai dengan hukum syari’at. Misalnya sebagaimana digambarkan oleh Ibnu Abbas, menurut riwayat Ibnu Jarir seseorang membeli dari kawannya sehelai baju dengansyarat bila ia tidak menyukainya dapat mengembalikan dengan tambahan satu dirham di atas harga pembeliannya. Padahal seharusnya jual beli hendaklah dilakukan dengan rela dan suka sama suka tanpa harus menipu sesama muslimnya. 86 Ibnu Hibban dan Ibnu Majah: ( و َ ا ِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ضٍ ) روﻩ ا ﻟﺒﻴﺤﻘﻰ وا ﺑﻦ ﻣﺎ ﺟﻪ 85 Q.S. an-Nisa [4]: 29. Afinz, Ayat-Ayat Tentang Prinsip Berekonomi, afinz.blogspot.com/2010/05/ayat-ayat-tentangprinsip-berekonomi.html, online 11-02-2013. 86 50 Jual beli harus dipastikan harus saling meridai(HR. Baihaqi dan Ibnu Majjah). 87 ٍإِ ﳕﱠ َﺎ ا ﻟْﺒـ َ ﻴ ْﻊ ُ ﻋَﻦ ْ ﺗـَﺮ َ ا ض Sesungguhnya jual beli adalah yang dilakukan dengan suka sama suka. (HR. Abu Daud).88 Yang Artinya: “Nabi SAW, ditanya tentang mata pencaharian yang paling baik, beliau menjawab, seseorang bekerja dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur89.” (HR. Bajjar, Hakim menyahihkannya dari Rifa’ah Ibn Rafi’) c. Ijma Ulama telah sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai. 4. Tujuan Akad dalam Jual Beli Ketetapan akad dalam jual beli adalah menjadikan barang sebagai milik pembeli dan menjadikan harga atau uang sebagai milik penjual hukum atau ketetapan akad yang dimaksud pada pembahasan akad jual beli ini, yakni menetapkan uang milik penjual.Hak-hak akad adalah aktivitas yang harus dikerjakan sehingga menghasilkan hukum akad, seperti meyerahkan barang 87 Abubakar Muhammad, Terjemahan Subulussalam, Surabaya:Al-Ikhlas, 1995, h.12-13. Hadis ini diriwayatkan dari hadis Abu Sa’id dari Nabi SAW, lihat Ibnu Hajar Asqalani, Fathul Baari (Penjelasan Kitab Shahih Al Bukhari )jilid 12, pener: Amiruddin, Jakarta: Pustaka Azzam, 2005, h. 10. 89 Maksud dari mabrur dalam hadis di atas adalah jual beli yang terhindar dari usaha tipu menipu dan merugikan orang lain, lihat Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, h. 44. 88 51 yang dijual, memegang harga (uang), mengembalikan barang yang cacat, khiyar dan lain-lain. Tujuan akad itu sendiri adalah pelaksanaan suatu akad atau maksud utama dilaksanakannya suatu akad itu untuk pemindahan kepemilikan dalam jual beli yang sesuai dengan kaidah syari. 90 5. Urgensitas Akad dalam Jual beli Akad menduduki posisi yang sangat penting, karena akad itu menyangkut masalah hukum, yang jika tidak sejak dini diabaikan, akan menimbulkan masalah dikemudian hari yang akan merugikan kedua belah pihak. Selain itu, karena adanya adanya akad itulah yang membatasi hubungan antara penjual dan pembeli. 91 Pentingnya akad dalam jual beli: a. Adanya ikatan yang kuat antara dua orang atau lebih di dalam bertransaksi dalam jual beli atau memiliki sesuatu. b. Tidak dapat sembarangan dalam membatalkan suatu ikatan perjanjian jual beli, karena telah diatur secara syar’i kecuali ada unsur penipuan dan yang merugikan lainnya. c. Akad merupakan “payung hukum” di dalam kepemilikan sesuatu, sehingga pihak lain tidak dapat menggugat atau memilikinya dalam jual 90 91 h. 311. Rachmat Syafe’i, Fikih Muamalah, Bandung: Pustaka setia, h. 61. Veithazal Riva, dkk, Islamic Financila Management jilid 1,Bogor :Ghalia Indonesia, 2010, 52 beli akad berarti berpindahnya kepemilikan barang dengan jalan pertukaran.92 Jadi, akad sangat berperan dalam menentukan pentingnya transaksi jual beli, sehinga terjadi kesepakatan perjanjian yang memiliki kepastian dan kemanfaatan dalam aktivitas ekonomi. 6. Rukun-Rukun Akad Rukun-rukun akad sebagai berikut: a. ‘A<qid, adalah orang yang berakad; terkadang masing-masing pihak terdiri dari satu orang, terkadang terdiri dari beberapa orang. Misalnya, penjual dan pembeli beras di pasar biasanya masing-masing pihak satu orang; ahli waris sepakat untuk memberikan sesuatu kepada pihak yang lain yang terdiri dari beberapa orang. Seseorang yang berakad terkadang orang yang memiiki hak (‘aqid ashli) dan merupakan wakil dari yang memiliki hak. b. Ma’qu>d ‘aalah, ialah benda-benda yang dijual dalam dalam akad jual beli, atau bisa juga disebut dengan objek akad. c. Maud}u>’ al-‘aqd, yaitu tujuan atau maksud pokok mengadakan akad. Berbeda akad maka berbedalah tujuan pokok akad. Dalam akad jual beli misalnya, tujuan pokoknya yaitu memindahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan diberi ganti. Tujuan pokok akad hibah yaitu memindahkan barang dari pemberi kepada yang diberi untuk dimilikinya 92 Abdul Rahman Ghazaly, dkk, Fiqh Muamalah, Jakarta: Kencana, 2010, h. 63. 53 tanpa pengganti (‘iwadh). Tujuan pokok akad ijarah yaitu memberikan manfaat dengan adanya pengganti. Tujuan pokok akad ijarah yaitu meberikan manfaat dari seseorang kepada yanglain tanpa ada pengganti. d. S>>}ig>at al-‘aqdialah ijab kabul . ijab ialah permulaan penjelasan yang keluar dari salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun kabul ialah perkataan yang keluar dari pihak yang berakad pula yang diucapkan setelah adanya ijab. Pengertian ijab kabul dalam pengamalan dewasa ini ialah bertukarnya sesautu dengan yang lain sehiggga penjual dan pembeli dalam membeli sesuatu tekadang tidak berhadapan, misalnya yang berlangganan majalah Panjimas, pembeli mengirimkan uang melalui wesel dan pembeli menerima majalah tersebut dari petugas pos.93 Hal-hal yang harus diperhatikan dalam S>>}ig>at al-‘aqd ialah: 1) S>>}ig>at al-‘aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam ijabkabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian, misalnya seseorang berkata: “Aku serahkan barang ini”, kalimat ini masih kurang jelas sehingga masih menimbulkan pertanyaan apakah benda ini diserahkan sebagai pemberian, penjualan, atau titipan. Kalimat yang lengkapnya ialah: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai hadiah atau pemberian”. 93 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 52. 54 2) Harus bersesuaianantara ijab dankabul. Antara yang berijab dan menerima tidak boleh berbeda lafal, misalnya seseorang berkata: “Aku serahkan benda ini kepadamu sebagai titipan”, mengucapkankabul berkata: “Aku terima benda tetapi yang ini sebagai pemberian”. Adanya kesimpangsiuran dalam ijab dankabul akan menimbulkan persengketaan yang dilarang oleh Islam, karena bertentangan dengan islah di antara manusia. 3) Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa, dan tidak karena diancam atau ditakuttakuti oleh orang lain karena dalam tijarah (jual beli) harus saling merelakan. 94 Mengucapkan dengan lidah merupakan salah satu cara yang ditempuh dalam mengadakan akad, tetapi ada juga cara lain yang dapat menggambarkan kehendak untuk berakad. Para ulama fikih menerangkan beberapa cara yang ditempuh dalam akad, yaitu: 1) Dengancara tulisan (kitabah), misalnya dua ‘aqid berjauhan tempatnya, maka ijab kabul boleh dengankitabah. Atas dasar inilah para fuqaha membentuk kaidah ِﻜِ ﺘَﺎﺑ َ أَﻟْﺔُﻛَﺎﳋْ ِﻄَﺎب 94 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalat (Membahas Ekonomi Islam), Persada, 2002, h. 48. Jakarta: PT RajaGrafindo 55 “Tulisan itu sama dengan ucapan”95 Dengan ketentuan, kitabah tersebut dapat dipahami kedua belah pihak dengan jelas. 2) Isyarat. Bagi orang-orang tertentu, akad atau ijab dan kabul, tidak dapat dilaksanakan dengan ucapan dan tulisan, misalnya seseorang yang bisu tidak dapat mengadakan ijba kabul dengan bahasa, orang yang tidak pandai tulis baca tidak mampu mengadakan ijab kabul dengan tulisan. Maka orang yang bisu dan dan tidak pandai tulis baca tidak dapat melakukan ijab kabul dengan ucapan dan tulisan. Dengan demikian, kabul atau akad dilakukan dengan isyarat. 3) Ta’athi (saling memberi), seperti seseorang yang melakukan pemberian kepada seseorang dan orang tersebut memberikan imbalan kepada yang memberi tanpa ditentukan besar imbalannya. 4) Lisan al-hal. Menurut sebagian ulama, apablia seseorang meninggalkan barang-barang di hadapan orang lain, kemudian dia pergi dan orang yang ditinggali barang-barang itu berdiam diri saja, hal itu dipandang telah ada akad ida’ (titipan) antara orang yang meletakkan barang dan yang menghdadapi barang titipan ini dengan jaland}alalah al-hal.96 7. Syarat-Syarat Akad 95 H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih (Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis), Jakarta: Kencana, 2007, h.101. 96 Abdul Rahman Ghazaly, Ghufron Ihsan, Sapiudin shidiq, Fiqh Muamalah... h. 53 56 Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam berbagai macam akad sebagai berikut: a. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang berada di bawah pengampuan (mahjur), dan karena boros.97 b. Berbilang pihak (al-ta’adud). c. Persesuiaan ijab dan Kabul (kesepakatan). d. Kesatuan majelis akad. e. Objek akad dapat diserahkan. f. Objek akad tertentu atau dapat ditentukan. g. Objek akad dapat ditransaksikan (artinya berupa benda bernilai dan dimiliki atau mutaqawwim dan mamlak). h. Tujuan akad tidak bertentangan dengan syarak. 98 8. Transaksi Akad Sahih dan Batil Menurut pandangan Islam, ekonomi adalah khadim (penopang atau sarana pendukung) bagi nilai-nilai dasar seperti aqidah Islamiyah, ibadah dan Akhlaqul Karimah.Maka apabila ada pertentanganantara tujuan ekonomi bagi individu atau masyarakat dengan nilai-nilai dasar itu maka Islam tidak mau 97 Ibid..,h. 59. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 100. 98 57 peduli dengan tujuan-tujuan tersebut dan sanggup mengorbankan tujuantujuan itu dengan kerelaan hati.Hal itu dalam rangka memelihara prinsipprinsip, tujuan dan keutamaan manusia itu sendiri.Islam mengajarkan kepada umat manusia tentang tujuan ekonomi itu sendiri dengan tanpa mengdepankan tujuan individu dengan mendahulukan maslahah pada seluruh umat manusia.diantara dari teori yang di terapkan dalam islam adalah transaksi jual beli yang sering di lakukan oleh kebanyakan manusia seperti apa aplikasi yang di terapkan islam mengenai transaksi ini. 99 Jumhur ulama membagi akad menjadi dua, yaitu sebagai berikut: a. Akad yang sah (shahih), adalah akad yang memenuhi ketentuan syarat dan rukunnya. b. Akad yang tidak sah (ghairu shahih), adalah akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya, dan akad yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukun tersebut termasuk akad yang batil (batal) dan fasid (rusak).100 Batil (batal) dan fasid (rusak) memilki makna yang sama yaitu jual beli yang tidak sah. Ulama Hanafiyah membedakanantara akad yang batil (batal), dan akad yang fasid (rusak): 99 id.shvoong.com/society-and-news/opinion/2277198-bai-fasid-wal-batil/, online 02-04-2013. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 242. 100 58 a. Jual beli batil101 (batal) adalah jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan asal atau pokok dan sifatnya). Seperti jual beli yang dilakukan oleh orang yang tidak sesuai (karena tidak sesuai dengan syarat dan rukun), contohnya: akad yang dilakukananak kecil yang belum mumayiz dan orang gila atau jual beli sesuatu yang tidak berharga seperti bangkai, atau jual beli barang yang dilarang seperti khamar.Menurut Abu Hanifah, jual beli yang batal tidak menjadikan pertukaran kepemilikan karena rusak jual belinya. b. Jual beli fasid102 adalah jual beli yang sesuai ketentuan syara’ asal atau pokok (syarat dan rukun), tetapi tidak sesuai dengan ketentuan syara’ pada sifatnya. Seperti jual beli yang meragukan, contohnya jual beli sebuah rumah diantara banyak rumah, tetapi belum diketahui rumah mana atau rumahnya tidak jelas milik siapa. Hukumnya: terjadi pertukaran kepemilikan dengan izin pemilik barang secara transparan, menandakan telah terjadi penyerahan dalam majlis akad yang terjadi langsung didepan penjual tanpa menutupinya. 103 9. Prinsip-Prinsip Berakad dalam Ekonomi 101 Kata batil dalam bahasa Indonesia berasal dari kata bahasa Arab batil, yang secara leksikal berarti sia-sia, hampa, tidak ada substansi dan hakikatnya. Dalam KBBI dinyatakan batil berarti batal, sia-sia, tidak benar dan dan batal dirtikan tidak berlaku, tidak sah, sia-sia. Jadi dalam KBBI tersebut, batil dan batal sama artinya. Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 245. 102 Kata fasid berasal dari kata bahasa Arab dan merupakaan kata sifat yang berarti rusak ,. Kata bendanya adalah fasad dan mafsadah yang berarti kerusakan.Dalam KBBI dinyatakan, fasid suatu yang rusak, busuk (perbuatan, pekerjaan, isi hati). Lihat Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 248. 103 Id.shvoong.com/society-and-news/opinion/2277198-bai-fasid-wal-batil/, online 02-04-2013. 59 a. Pengertian Prinsip Akad Jual Beli Prinsip104 merupakan petunjuk arah layaknya kompas.Sebagai petunjuk arah, bisa berpegangan pada prinsip-prinsip yang telah disusun dalam menjalani hidup tanpa harus kebingungan arah karena prinsip bisa memberikan arah dan tujuan yang jelas pada setiap kehidupan. 105Prinsip jika dikaitkan dalam akad jual beli bisa diartikan sebagai asas atau pedoman petunjuk dalam melaksanakan pertukaran harta dengan harta untuk mencapai kata sepakat dengan melakukan ijab kabul atau serah terima untuk melakukan transaksi jual beli yang didasari dengan suka sama suka. b. Beberapa Prinsip Akad Jual Beli menurut Para Ahli 1) Menurut Quraish Shihab Ekonomi dan transaksi jual beli dalam Islam berkaitan sangat erat dengan akidah dan syariah Islam sehingga seseorang tidak akan memahami pandangan Islam tentang transaksi ekonomi tanpa memahami dengan baik akidah dan syariah Islam. Keterikatan dengan akidah atau kepercayaan menghasilkan perintah dan larangan Allah yang tercermin pada kegiatan halal atau haram. Ini juga mendorong penerapan akhlak pada gilirannya akan mengantar kepada lahirnya keuntungan bersama, bukan sekedar keuntungan sepihak.106 Selanjutnya bisnis atau transaksi ekonomi bahkan semua ilmu dalam pandangan Islam dalam operasionalnya berpijak pada dua area: 104 Prinsip diartikan asas, kebenaran yang jadi pokok dasar orang berfikir, bertindak, dan sebagainya.Lihat Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia., h. 1069. 105 Carapedia.com/pengertian_definisi_prinsip_info2118.html, online 1-04-2013. 106 M Quraish Shihab, Berbisnis Dengan Allah, Tangerang: Lentera Hati, 2008, h. 10 60 pertama prinsip-prinsip dasar yang ditetapkan oleh Alquran dan Hadis, dan ini perubahan.Kedua, bersifat langgeng perkembangan abadi positif tidak mengalami masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi, di mana terbuka lapangan yang luas untuk menampung yang baru lagi baik dari hasil pemikiran dan budi daya manusia, dan itu berarti dia bersifat sementara karena bila ada sesuatu yang lebih baik di mana pun ditemukan maka itu harus menggantikan tempat yang lama yang tidak sebaik itu.107 Prinsip dasar bagi kegiatan ekonomi tidak hanya terbatas pada ajaran Islam.Tetapi, setiap aliran ekonomi selalu berpijak pada prinsipprinsip dasar yang menjadi rujukan penganutnya sehingga dalam bekerja dan berproduksi.Kapitalsime, misalnya, yang menganut paham kebebasan termasuk dalam bidang ekonomi dan bisnis tentu memiliki pandangan atau kepercayaan dalam hal kebebasan yang berbeda dengan pandangan komunisme yang juga dalam bidang ekonomi diarahkan oleh pandangan mereka tentang gerak sejarah dan materialisme.Dengan demikian, terlihat bahwa upaya peningkatan ekonomi dan bisnis bukan sekedar persoalan ekonomi, tetapi juga berpijak pada prinsip-prinsip kepercayaan, politik, budaya, bahkan akhlak, dan lain-lain. 107 Ibid.., h. 11 61 Berkaitan tentang prinsip dasar menurut Quraish Shihab yang dianut oleh ajaran Islam, dapat disimpulkan bahwa inti ajaran Islam adalah tauhid.Berdasarkan hal tersebut lahir ketentuan-ketentuan yang bukan saja berkaitan dengan transaksi ekonomi, juga menyangkut segala aspek kehidupan dunia dan akherat.Tauhid melahirkan suatu keyakinan bahwa segala sesuatu bersumber dari Allah dan berkesudahan kepadanya.Allah sebagai pemilik mutlak dan tunggal segala sesuatu, termasuk kepemilikan harta dan kewenangan menetapkan aturan pengelolaan dan pengembangannya.Dan karena Allah Maha Adil dan selalu memperhatikan kemaslahatnan umat manusia, maka semua hukumnya, demikian juga produk ijtihad, manusia yang dikaitkan dengan namanya, tentulah karena bercirikan keadilan dan kemaslahatan.Bila jadi ada ketentuan hukum yang dilarang atau enggan ditetapkan pada satu masa karena ketika itu dinilai bertentangan dengan kemaslahatan, tetapi karena adanya perkembangan masyrakat, maka ketetapan tersebut dicabut atau diubah pada masa lainnya. “Di sini lahir ungkapan: “Di mana ada kemaslahatan disanalah terdapat hukum Allah.108 2) Menurut Buku Ensiklopedia Islam 108 Ibid.,h. 13. 62 Menurut BukuEnsiklopedia Islam jilid 3, dijelaskan bahwa dalam setiap transaksi ada beberapa prinsip dasar yang diterapkan dalam Syara' (hukum islam), yaitu : a) Setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang melakukan transaksi, kecuali apabila transaksi itu menyimpang dari hukum syara' misalnya adalah memperdagangkan barang haram. Pihak-pihak yang bertransaksi harus memenuhi kewajiban yang telah disepakati dan tidak boleh saling mengkhianati.(Untuk lebih jelasnya silahkananda lihat pada Q.S. al-Ma'idah [5]: 1) b) Syarat-syarat transaksi dirancang dan dilaksanakan secara bebas tetapi penuh dengan tanggung jawab, dan tidak menyimpang dari hukum syara' dan adab sopan santun. c) Setiap transaksi dilakukan dengan sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun. (Untuk lebih jelasnya silahkananda lihat Q.S. anNisa[4]: 29). d) Islam mewajibkan agar setiap transaksi, dilandasi dengan niat yang baik dan ikhlas karena Allah SWT, sehingga terhidar dari segala bentuk penipuan dan kecurangan. Nabi Muhammad SAW menyebutkan bahwa :"Aku (Rasulullah) melarang jual beli yang mengandung unsur penipuan."(H.R Muslim). 63 e) 'Urf (adat kebiasaan) yang tidak menyimpang dari hukum syara', boleh digunakan untuk menentukan batasan atau kriteria-kriteria dalam transaksi. 109 3) Menurut Syamsul Anwar Menurut Syamsul Anwar dalam bukunya Hukum Perjanjian Syariah bahwa akad (transaksi) merupakan bagian dari fikih muamalah. Jika fikih muamalah mengatur hubungan manusia dengan sesamanya secara umum, maka transaksi mengatur hubungan manusia dengan sesama menyangkut ekonominya.Pandanganfikih muamalah, pemenuhan akad kebutuhan (transaksi) yang dilakukan oleh para pihak yang melakukan akad memiliki asas-asas tertentu.Asas ini merupakan prinsip yang ada dalam akad dan menjadi landasan, apabila sebuah akad dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan. Adapun asas tersebut adalah sebagai berikut:110 a) Asas ibahah; asas ini merupakan asas umum dalam hukum Islam. Kepadanya berlaku kaidah fikih: ﲢَْﺮِ ِﻬ َ ﺎ َْنْ ﻳ َﺪُلﱠ دَ ﻟِ ﻴ ْﻞ ٌ ﻋَ ﻠَﻰ ﳝ ِت ﻼَ أ ﺻﻞﺑْ َُُ ﺎﰲ ِﻌﺣَ َﺎ ﻣﺔُ َإﻻﱠ اااﻹِﻷَﳌ “pada dasarnya dalam muamalah segala sesuatu boleh kecuali ada dalil yang mengaramkannya”111 109 Tim Penyusun¸Eksikopedi Islam, cet ke-3, Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, IV, h. 246. 110 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamaat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010, h. 83. 111 H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih..,h.130. 64 Kaidah di atas memberi ruang yang seluas-luasnya dalam fikih muamalah untuk menciptakan berbagai kreatifitas akad baru selama tidak bertentangan larangan universal dalam hukum Islam. 112 b) Asas kebebasan berakad; asas ini meniscayakan setiap orang yang memenuhi syarat tertentu, memiliki kebebasan untuk melakukan akad, sepanjang tidak melanggar ketertiban umum. Asas kebebasan dalam Islam tidak berarti bebas secara mutlak, akan tetapi bebas dengan persyaratan tertentu. Asas ini didasarkan pada firman Allah dalam Q.S an-Nisa[4]: 29 sebagaimana telah disebutkan pada pembahasan landasan akad, pada ayat tersebut terkandung dua pesan yang perlu diperhatikan, yaitu; pertama, hendaklah perdagangan dilakukan atas dasar suka-rela dan kedua, hendaklah keuntungan satu pihak tidak berdiri di atas kerugian orang lain. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap transaksi yang tidak dilandasi kerelaan dari kedua belah pihak maka transaksi yang dilakukan menjadi batal. 113 c) Asas konsensualisme; asas ini menyatakan bahwa untuk tercapainya suatu perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Artinya, bahwa dalam asas ini mengutamakan substansi dari pada format. 112 113 04-2013. Ibid., Http://Galiyao.Blogspot.Com/2012/05/Teori-Akad-Dan-Implikasinya-Dalam. Html, online 5- 65 Jadi, kerelaan kedua belah pihak yang berakad sebagai substansi dan ijab-qabul sebagai format yang memanifestasikan kerelaan. d) Asas Janji yang mengikat; dalam Alquran dan Hadis banyak perintah memenuhi janji. Dalam kaidah ushul fikih, “perintah itu pada asasnya menunjukkan wajib”. Ini berarti bahwa janji itu mengikat dan wajib dipenuhi. Di antara ayat dan hadis dimaksud adalah, a) Firman Allah, “... dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawabaannya” Q.S. [17]: 34 b) Asar dari Ibn Mas’ud, janji adalah utang. c) Q.S. al-Maidah [5]: 1 tentang pemenuhan akad.114 e) Asas keseimbangan; hukum perjanjian Islam memandang perlu adanya keseimbanganantara orang yang berakad, baik keseimbanganantara apa yang diberikannya dan apa yang diterima maupun keseimbangan dalam menanggung resiko. Artinya, bahwa seseorang yang melakukan transaksi harus menghindari adanya unsur riba dan merugikan salah satu pihak. Dengan demikian, larangan riba merupakan prinsip yang sangat penting dan mendasar. Selain itu, juga harus menghindari terjadinya mudharat pada salah satu atau kedua belah pihak. Karena setiap muamalah yang menimbulkan mudharat adalah batal.115 114 115 04-2013. Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah .., 2010, h. 83. Http://Galiyao.Blogspot.Com/2012/05/Teori-Akad-Dan-Implikasinya-Dalam.Html, online 5- 66 f) Asas kemaslahatan; artinya bahwa akad yang dibuat oleh para pihak dimaksudkan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak.Maslahah di sini berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat, berdagang atau transaksi dalam muamalah adalah maslahah karena membawa manfaat dan kebaikan. Sedangkan dalam ushul fikih bahwa maslahah adalah setiap hal yang menjamin terwujudnya dan terpeliharanya maksud tujuan syari’at (maqa>s}id asy syariah), yaitu h}ifz al-din (memelihara agama), h}ifz al-nafs (memelihara jiwa), h}ifz ’aql (memelihara akal), h}ifz nasl (memelihara keturunan), dan h}ifz al-ma>l(memelihara harta). Dengan demikian, asas ini bisa dijadikan alasan untuk melarang setiap transaksi yang mendatangkan mudharat, baik kepada kedua belah pihak yang bertransaksi atau kepada orang lain, masyarakat dan lingkungan disekitarnya. g) Asas amanah; artinya bahwa para pihak yang melakukan akad haruslah beriktikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak dibenarkan mengeksploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam hukum perjanjian Islam dikenal perjanjian amanah ialah salah satu pihak hanya bergantung informasi jujur dari pihak lainnya untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, jika suatu saat ditemukan informasi yang tidak sesuai dengan informasi awal 67 karena tidak jujur, maka ketidak jujuran tersebut bisa dijadikan dasar untuk membatalkan akad. h) Asas keadilan; keadilan merupakan sebuah sendi yang hendak diwujudkan oleh para pihak yang melakukan akad. Seringkali dalam dunia modern ditemukan sebuah keterpaksaan salah satu pihak oleh pihak lainnya yang dibakukan dalam klausul akad tanpa bisa dinegosiasi. Keterpaksaan tersebut bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainnya. Dalam hukum Islam kontemporer, telah diterima suatu asas bahwa demi keadilan memang ada alasan untuk itu. Oleh karena itu, adanya asas keadilan ini diharapakan bisa mendorong pihak yang melakukan transaksi selalu bernegosiasi sehingga muncul rasa saling rela dalam rangka untuk mencapai keadilan terhadap keduanya.116 10. Kedudukan Prinsip-Prinsip Berakad dalam Islam Kedudukan prinsip-prinsip berakad dalam Islam Ini dijelaskan dalam firman Allah dalam Q.S. al-Maidah [5]: 1 yaitu: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang 116 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah .., 2010, h. 90-92. 68 mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.117 Adapun yang dimaksud dengan “penuhilah aqad-aqad itu” adalah bahwa setiap mukmin berkewajiban menunaikanapa yang telah dia janjikan dan akadkan baik berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal, dan kalimat ini merupakan asas ‘Uqud.Dasar kedua adalah firman Allah dalam Q.San-Nisa [4]: 29 yaitu: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jangan saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka diantara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sungguh Allah Maha penyayang kepadamu”.118 Dari ayat di atas, menegaskan bahwa dalam transaksi perdagangan diharuskan adanya kerelaan kedua belah pihak, atau yang diistilahkannya dengan ‘an tara>d}in minkum.Kedudukan prinsip-prinsip berakad dalam Islam itu menduduki posisi yang sangat penting karena prinsip itu sebagai pedoman atau aturan dasar dalam melakukan suatu transaksi tidak bertentangan dengan prinsip Islam. 11. Akibat Hukum Terhadap Pengabaian Prinsip-Prinsip Berakad Berbagai hukum perjanjian, apabila suatu perjanjian (akad) telah memenuhi semua syarat-syaratnya dan menurut hukum perjanjian Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya perjanjian tersebut 117 118 Q.S. al-Maidah [5]: 1. Q.S. an-Nisa [4]: 29. 69 mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum. Dengan kata lain, perjanjian itu menimbulkan akibat hukum yang wajib dipenuhi oleh pihakpihak terkait.119Hukum perjanjian Islam, seperti halnya dalam hukum lainnya, pada asasnya, akibat yang timbul dari suatu perjanjian (akad) hanya berlaku pada para pihak yang membuatnya.Akibat hukum terhadap prinsip-prinsip berakad tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum. Akibat dari pengabaian prinsip-prinsip berakad adalah: a. Batal demi hukum setiap akad atau transaksi yang dilakukan penjual atau pembeli, dan semua perjanjiannya batal. b. Tidak sah jual belinya secara Islam. c. Pengabaikan prinsip-prinsip, berarti melestarikan sistem ekonomi konvensional yang bersifat ribawi dalam konteksnya yang sangat luas. Berdasarkan penguraian di atas tentang ketentuan-ketentuan bertransaksi dalam Islam, dapat disimpulkan bahwa tansaksi dalam Islam mempunyai aturan yang spesifik dalam transaksi jual beli untuk melindungi hak dan kewajiban antara kedua belah pihak, yang didasarkan atas keridaan. Hal tersebut meliputi gambaran umum tentang transaksi, akad jual beli, dasar hukum akad jual beli, tujuan akad dalam jual beli, urgensitas akad dalam jual beli, rukun-rukun akad, syarat-syarat akad, transaksi akad sahih dan batil, dan prinsip-prinsip berakad dalam ekonomi. 119 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah (Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007, h. 263.