18 orientasi politik yang mempengaruhi pemilih

advertisement
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
ORIENTASI POLITIK YANG MEMPENGARUHI PEMILIH PEMULA
DALAM MENGGUNAKAN HAK PILIHNYA PADA PEMILIHAN
WALIKOTA SEMARANG TAHUN 2010
(Studi Kasus Pemilih Pemula Di Kota Semarang)
Setiajid1
Abstrak: Pemilih pemula dalam kategori politik adalah kelompok yang baru pertama
kali menggunakan hak pilihnya. Orientasi politik pemilih pemula ini selalu dinamis
dan akan berubah-ubah mengikuti kondisi yang ada dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Termasuk juga yang terjadi dengan orientasi politik pemilih
pemula dalam pemilihan Walikota Semarang tahun 2010. Penelitian ini bertujuan
mendiskripsikan orientasi politik pemilih pemula dalam pemilihan walikota semarang
tahun 2010, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta faktor dominan yang
mempengaruhi pemilih pemula menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan walikota
semarang tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang didukung
dengan data kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak pilihnya pada pemilihan
Walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh orang tua, faktor pilihan sendiri,
faktor media massa, partai politik dan iklan politik, dan faktor teman sepergaulan.
Faktor yang dominan yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak
pilihnya pada pemilihan walikota Semarang 2010 adalah faktor pengaruh dari pilihan
sendiri (40%) dan orang tua (32%). Orientasi politik pemilih pemula dalam
menggunakan hak pilihnya pada pemilihan Walikota Semarang 2010 baik itu meliputi
orientasi kognitif, afektif maupun evaluatif sudah mengarah pada tataran orientasi
positif dimana yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan
frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik.
Kata Kunci : Orientasi Politik, Partisipasi Politik dan Budaya Politik.
menyatakan bahwa partainya telah
memiliki pemilih dengan jumlah total
tertentu dalam pemilu adalah tidak
tepat. Untuk menjalankan mandat
tersebut partai politik atau eksekutif
partai
politik
harus
melakukan
komunikasi politik dalam menentukan
kebijakan-kebijakan untuk kepentingan
rakyat dengan persetujuan warga.
Pemilihan Walikota Semarang yang
rencananya akan dilaksanakan tanggal
18 April 2010 adalah manifestasi dari
PENDAHULUAN
Pemilu adalah bagian penting
dalam demokrasi. Pemilu jika diartikan
secara sederhana adalah cara individu
warga negara melakukan aktivitas
politik ataupun kontrak politik dengan
orang lain atau partai politik yang
diberikan mandat atau wewenang untuk
melaksanakan sebagian kekuasaan
rakyat/pemilih.
Pemilu
bukanlah
pemberian mandat kekuasaan secara
total. Klaim partai politik
yang
1
Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewaganegaraan, Fakultas Ilmu Sosial,
Universitas Negeri Semarang
18
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
kekuasaan rakyat. Pada pemilihan ini
rakyatlah yang mempunyai kekuasaan
untuk menentukan siapa yang akan
menjadi walikota.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik jumlah penduduk Jawa Tengah
tahun 2000 adalah 31,228,940 jiwa,
sedangkan jumlah penduduk Kota
Semarang
berdasarkan
registrasi
penduduk tahun 2002, tercatat sebesar
1.350.005 jiwa. Dari jumlah tersebut
yang mempunyai hak untuk memeilih
adalah sejumlah 1.100.078 pemilih
dengan rinciannya 536.086 pemilih
laki-laki
dan
563.992
pemilih
perempuan dengan 20%nya adalah
pemilih yang termasuk dalam kategori
pemilih pemula. (Suara Merdeka, 9
Pebruari 2010).
Sedang berdasarkan studi lima
tahunan yang dilaksanakan Tim Litbang
Bali (Bali Post, 4 april 2004) didapatkan
temuan bahwa sebagian besar (64%)
pemilih pemula akan menggunakan
haknya dalam pemilihan umum,
sebagian lagi 26,4% masih ragu-ragu
dan
tidak
tahu
apakah
akan
menggunakan haknya atau tidak, dan
7,6% secara tegas menyatakan tidak
akan menggunakan hak pilihnya. Studi
tersebut jika kita kaitkan dengan kondisi
Pemilihan Walikota Semarang ini masih
sangat relevan. Kecenderungan orientasi
politik seperti itu merupakan peringatan
bagi partai politik untuk melaksanakan
berbagai macam fungsinya yang selama
ini diabaikan dan baru dilaksanakan
menjelang pemilihan.
Pemilih pemula dalam kategori
politik adalah kelompok yang baru
pertama kali menggunakan hak
pilihnya. Dalam menggunakan hak pilih
politiknya itu, mengikuti tipologi model
Almond dan Verba (1990: 16 ) maka
orientasi
politik
pemula
ini
dikategorikan menjadi, (1) orientasi
kognitif, yaitu pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada kandidat, (2) orientasi
politik afektif, yaitu perasaan terhadap
pemilu, pengaruh teman terhadap
penentuan pilihan, dan (3) orientasi
politik evaluatif, yaitu keputusan dan
pendapat pemilih pemula terhadap
parpol/kandidat pilihannya. Orientasi
politik pemilih pemula ini selalu
dinamis dan akan berubah-ubah
mengikuti kondisi yang ada dan faktorfaktor yang mempengaruhinya.
Orientasi politik sebenarnya
merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu
struktur
masyarakat.
Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang
kemudian membentuk sikap dan
menjadi pola mereka untuk memandang
suatu obyek politik. Orientasi politik
itulah yang kemudian membentuk
tatanan dimana interaksi-interaksi yang
muncul
tersebut
akhirnya
mempengaruhi perilaku politik yang
dilakukan seseorang. Orientasi politik
tersebut dapat dipengaruhi oleh
orientasi individu dalam memandang
obyek-obyek politik. Objek orientasi
politik meliputi keterlibatan seseorang
terhadap: (1) sistem yaitu sebagai suatu
keseluruhan dan termasuk berbagai
perasaan tertentu seperti patriotisme dan
alienansi, kognisi dan evaluasi suatu
bangsa, dan (2) pribadi sebagai aktor
19
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
politik, isi dan kualitas, norma-norma
kewajiban politik seseorang. Orientasi
politik yang dimiliki seseorang akan
mendorong
terjadinya
partisipasi
politik. Termasuk juga yang terjadi
dengan orientasi politik pemilih pemula
dalam pemilihan Walikota Semarang
tahun 2010.
Dalam penulisan artikel ini,
penulis bermaksud menguraikan faktorfaktor apakah yang mempegaruhi
pemilih pemula menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Walikota
Semarang tahun 2010?, faktor apakah
yang
paling
dominan
dalam
mempegaruhi
pemilih
pemula
menggunakan hak pilihnya Pemilihan
Walikota Semarang tahun 2010?, dan
apakah orientasi politik pemilih pemula
dalam menggunakan hak pilihnya
Pemilihan
Pemilihan
Walikota
Semarang tahun 2010?.
pernah memilih atau melakukan
penentuan suara di dalam TPS, (2)
belum memiliki pengalaman memilih,
(3) memiliki antusias yang tinggi, (4)
kurang rasional, (5) pemilih muda yang
masih penuh gejolak dan semangat,
yang apabila tidak dikendalikan akan
memiliki efek terhadap konflik-konflik
sosial di dalam pemilu, (6) menjadi
sasaran
peserta
pemilu
karena
jumlahnya yang cukup besar, (7)
memiliki rasa ingin tahu, mencoba, dan
berpartisispasi dalam pemilu, meskipun
kadang dengan bebagai latar belakang
yang berbeda.
Empat alasan mendasar yang
menyebabkan
pemilih
pemula
mempunyai kedudukan dan makna
strategis dalam Pemilihan Umum
adalah, (1) alasan kuantitatif yaitu
bahwa pemilih pemula ini merupakan
kelompok pemilih yang mempunyai
jumlah secara kuantitatif relatif banyak
dari setiap pemilihan umum, (2) pemilih
pemula adalah merupakan satu segmen
pemilih yang mempunyai pola perilaku
sendiri dan sulit untuk diatur atau
diprediksi, (3) kekhawatiran bahwa
pemilih pemula akan lebih condong
menjadi
golput
dikarenakan
kebingungan karena banyaknya pilihan
partai politik yang muncul yang
akhirnya menjadikan mereka tidak
memilih sama sekali, dan (4) masingmasing organisasi sosial politik
mengklaim sebagai organisasi yang
sangat cocok menjadi penyalur aspirasi
bagi pemilih pemula yang akhirnya
muncul strategi dari setiap partai politik
untuk mempengaruhi pemilih pemula.
Pemilih Pemula dan Perilaku Politik
UU No. 10 tahun 2008 dalam
Bab IV pasal 19 ayat 1 dan 2 serta pasal
20 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan pemilih pemula adalah warga
Indonesia yang pada hari pemilihan atau
pemungutan suara adalah Warga Negara
Indonesia yang sudah genap berusia 17
tahun dan atau lebih atau sudah/pernah
kawin yang mempunyai hak pilih, dan
sebelumnya belum termasuk pemilih
karena
ketentuan
Undang-Undang
Pemilu.
Berdasarkan
pengertian
tersebut, maka karakteristik yang
dimiliki oleh pemilih pemula dilihat
dari karakter yang berbeda dengan
pemilih yang sudah terlibat pemilu
periode sebelumya, yaitu: (1) belum
20
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Secara
kuantitatif
pemilih
pemula merupakan peluang politik yang
dapat diraih oleh partai politik untuk
mendapatkan dukungan. Perkembangan
yang meningkat secara jumlah yang
terus berubah dari tiap pemilihan umum
menunjukkan bahwa pemilih pemula
sebagai aset politik yang berharga,
sentral dan strategis. Sebagai gambaran
Pemilu 1999 prosentase pemilih pemula
adalah 14,56 % atau sekeitar 17.500.000
orang, sedangkan pada Pemilu 2009
menjadi 14,59 % atau sebesar
20.674.000. Jumlah tersebut sangatlah
berarti bagi partai politik. Marketing
politik dan strategi politik mulai gencar
dilakukan untuk menanamkan image
kepada pemilih pemula yang pada
akhirnya akan berpengaruh pada
perilaku politik pemilih pemula untuk
mendukung partai politik.
Pemahaman perilaku politik
(political behavior) yaitu perilaku
politik dapat dinyatakan sebagai
keseluruan tingkah laku aktor poltik dan
warga negara yang telah saling
memiliki hubungan antara pemerintah
dan masyarakat, antara lembagalembaga pemerintah, dan antara
kelompok masyarakat dalam rangka
proses pembuatan, pelaksanaan, dan
penegakan
keputusan
politik.
Sedangkan menurut Almond dan Verba
yang dimaksud budaya politik (political
culture) merupakan suatu sikap
orientasi yang khas warga negara
terhadap sitem politik dan aneka ragam
bagiannya, dan sikap terhadap peranan
warga negara yang ada di dalam sistem
itu.
Warga
negara
senantiasa
mengidentifikasi diri mereka dengan
simbol-simbol dan lembaga kenegaraan
berdasarkan orientasi yang mereka
miliki (dalam Budiyanto, 2004: 103).
Perilaku politik pada umumnya
ditentukan oleh faktor internal dari
individu sendiri seperti idealisme,
tingkat kecerdasan, kehendak hati dan
oleh
faktor
eksternal
(kondisi
lingkungan)
seperti
kehidupan
beragama, sosial, politik, ekonomi dan
sebagainya
yang
mengelilinginya.
Melihat perilaku politik sebagai fungsi
dari kondisi sosial dan ekonomi serta
kepentingan, maka perilaku politik
sebagian diantaranya adalah produk dari
perilaku
sosial
ekonomi
dan
kepentingan suatu masyarakat atau
golongan dalam masyarakat tersebut.
Perilaku politik adalah: “Pikiran dan
tindakan manusia yang berkaitan
dengan proses memerintah. Yang
termasuk perilaku politik adalah
tanggapan-tanggapan internal (pikiran,
persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga
tindakan-tindakan
yang
nampak
(pemungutan suara, gerak protes,
lobying, kaukus, kampanye dan
demonstrasi)”.
Perilaku
politik
dapat
dirumuskan sebagai kegiatan yang
berkenaan dengan proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan politik
(Surbakti. 1992: 131). Interaksi antar
pemerintah dan masyarakat, antar
lembaga pemerintah dan individu dalam
masyarakat dalam rangka proses
pembuatan,
pelaksanaan,
dan
penegakan keputusan politik pada
dasarnya merupakan perilaku politik.
Perilaku politik tidaklah merupakan
sesuatu yang berdiri sendiri, tetapi
21
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
terkait dengan hal-hal yang lainnya.
Perilaku politik ini yang ditunjukkan
oleh individu merupakan hasil pengaruh
dari beberapa faktor, baik faktor internal
maupun
faktor
eksternal,
yang
menyangkut lingkungan alam maupun
sosial budaya.
Menurut
Sastroatmodjo
(1995:14-15)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku
politik
seseoarang pemilih adalah sebagai
berikut.
a. Faktor lingkungan sosial politik tak
langsung seperti sistem politik,
sistem ekonomi, sistem budaya dan
sistem media masa.
b. Faktor lingkungan sosial politik
langsung yang mempengaruhi dan
membentuk kepribadian aktor politik
seperti keluarga, agama, sekolah dan
kelompok pergailan. Lingkungan
sosial
politik
langsung
ini
memberikan
bentuk-bentuk
sosialisasi dan internalisasi nilai dan
norma masyarakat pada aktor politik
serta memberikan
pengalamanpengalaman hidup.
c. Faktor struktur kepribadian yang
tercermin dalam sukap individu.
Pada faktor ini ada tiga basis
fungsional
sikap
untum
memahamninya.
Basis
pertama
adalah yang didasarkan pada
kepentingan
yaitu
penilaian
seseorang
terhadapsuatu
objek
didasarkan
pada
minat
dan
kebutuhan seseorang terhadap objek
tersebut. Basis yang kedua atas
dasar
penyesuaian
diri
yaitu
penilaian yang dipengaruhi oleh
keinginan
untuk
menjaga
keharmonisan dengan subyek itu.
Basis yang ketiga adalah sikap
didasarkan pada fungsi ekternalisasi
diri dan pertahanan.
d. Faktor sosial politik langsung yang
berupa situasi yaitu, keadaan yang
mempengaruhi aktor secara langsung
ketika akan melakukan sesuatu
kegiatan.
Keempat faktor tersebut saling
mempengaruhi perilaku politik aktor
politik baik secara langsung maupun
tidak langsung. Perilaku politik
seseorang tidak hanya didasarkan pada
pertimbangan politik saja tetapi juga
dipengaruhi oleh pertimbangan non
politik. Hal ini dipertegas lagi oleh
Alfian. Menurut Alfian (1990:285)
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perilaku politik seseorang adalah, (1)
latar belakang historis , (2) kondisi
geografis (geo politik), (3) budaya
politik, (4) agama dan keyakinan, dan
(5) sistim kultural yang melekat dan
berlaku dalam masyarakat. Selain
lingkungan sosial politik tersebut,
beberapa lingkungan sosial politik yang
mempengaruhi perilaku politik adalah
keluarga, lingkungan sekolah, agama
dan kelompok permainan.
Lingkungan
sosial
politik
tersebut saling mempengaruhi dan
berhubungan antara satu dengan lainnya
dan bukannya sebagai faktor yang
berdiri
sendiri.
Melalui
proses,
pengalaman, sosialisasi, dan sebagainya
terbentuklah sikap dan perilaku politik
seseorang.
Terkait dengan hal tersebut,
Nursal
(2006:72)
menyimpulkan
22
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
beberapa faktor yang mempengaruhi
perilaku pemilih.
a. Social Imagery atau Citra Sosial
(Pengelompokan Sosial)
Social imagery adalah citra
kandidat atau partai dalam pikiran
pemilih mengenai “berada” di dalam
kelompok
sosial
mana
atau
tergolong sebagai apa sebuah partai
atau kandidat politik.
b. Identifikasi Partai
Identifikasi partai yakni proses
panjang
sosialisasi
kemudian
membentuk ikatan yang kuat dengan
partai politik atau organisasi
kemasyarakatan
yang
lainnya.
Dengan identifikasi partai, seolaholah
semua
pemilih
relatif
mempunyai pilihan yang tetap. Dari
Pemilu ke Pemilu, seseorang selalu
memilih partai atau kandidat yang
sama.
c. Emotional Feeling (Perasaan
Emosional)
Emotional
feeling adalah
dimensi emosional yang terpancar
dari sebuah kontestan atau kandidat
yang ditunjukkan oleh policy politik
yang ditawarkan.
d. Candidate Personality (Citra
Kandidat)
Candidat personality mengacu
pada sifat-sifat pribadi yang penting
yang dianggap sebagai karakter
kandidat. Beberapa sifat yang
merupakan candidate personality
adalah artikulatif, welas asih, stabil,
energik,
jujur,
tegar,
dan
sebagainya.
e. Issues and Policies (Isu dan
Kebijakan Politik)
Komponen issues and policies
mempresentasikan kebijakan atau
program yang di janjikan oleh partai
atau kandidat politik jika menang
Pemilu. Platform dasar yang sering
ditawarkan oleh kontestan Pemilu
kepada
para
pemilih
adalah
kebijakan ekonomi, kebijakan luar
negeri, kebijakan dalam negeri,
kebijakan sosial, kebijakan politik
dan keamanan, kebijakan hukum,
dan karakteristik kepemimpinan.
f. Current Events (Peristiwa Mutakhir)
Current events mengacu pada
himpunan peristiwa, isu, dan
kebijakan
yang
berkembang
menjelang dan selama kampanye.
Current events meliputi masalah
domestik dan masalah luar negeri.
Masalah domestik misalnya tingkat
inflasi, prediksi ekonomi, gerakan
separatis,
ancaman
keamanan,
merajalelanya
korupsi,
dan
sebagainya. Masalah luar negeri
misalnya perang antar negaranegara tetangga, invasi ke sebuah
negara, dan sebagainya yang
mempunyai pengaruh baik langsung
maupun tidak langsung kepada para
pemilih.
g. Personal Events (Peristiwa Personal)
Personal events mengacu pada
kehidupan pribadi dan peristiwa
yang pernah dialami secara pribadi
oleh seorang kandidat, misalnya
skandal seksual, skandal bisnis,
menjadi korban rezim tertentu,
23
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
menjadi tokoh pada perjuangan
tertentu,
ikut
berperang
mempertahankan tanah air, dan
sebagainya.
h. Epistemic Issues (Faktor-faktor
Epistemik)
Epistemic issues adalah isu-isu
pemilihan yang spesifik yang dapat
memicu keinginan para pemilih
mengenai hal-hal baru. Epistemic
issues sangat mungkin muncul di
tengah-tengah
ketidakpercayaan
publik kepada institusi-institusi
politik yang menjadi bagian dari
sistem yang berjalan.
(yang tidak mempunyai kewenangan)
dalam mempengaruhi proses pembuatan
dan pelaksanaan keputusan politik.
Rush dan Althoff (2000: 124)
menguraikan bentuk-bentuk partisipasi
politik sebagai berikut. (1) menduduki
jabatan politik atau administratif, (2)
mencari
jabatan
politik
atau
administratif, (3) keanggotaan aktif
dalam suatu organisasi politik, (4)
keanggotaan
pasif
dalam
suatu
organisasi politik, (5) keanggotaan aktif
dalam suatu organisasi semu politik, (6)
keanggotaan
pasif
dalam
suatu
organisasi semu politik, (7) partisipasi
dalam rapat umum, demonstrasi, dan
sebagainya, (8) partisipasi dalam
diskusi politik informal, minat umum
dalam politik, dan (9) pemberian suara.
Seluruh tingkatan partisipasi
politik ini, secara praktis mungkin
sekali memiliki perbedaan dalam setiap
sistem politik, terutama bila terdapat
perbedaan ideologi dominan dalam
sistem politik, antara demokratis dengan
non demokratis, karena akan memiliki
implikasi yang besar pada pembatasanpembatasan partisipasi politik rakyat
atau perluasan-perluasan partisipasi
politik.
Gabriel A. Almond (1990:14)
mengaitkan budaya politik dengan
orientasi dan sikap politik seseorang
terhadap sistem politik dan bagianbagiannya yang lain serta sikap
terhadap peranan kita sendiri dalam
sistem politik. Budaya politik adalah
berisikan sikap, keyakinan, nilai dan
ketrampilan yang berlaku bagi seluruh
populasi, juga kecenderungan dan polapola khusus yang terdapat pada bagian-
Orientasi Politik, Partisipasi Politik,
dan Budaya Politik
Orientasi politik sebenarnya
merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu
struktur
masyarakat.
Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang
kemudian membentuk sikap dan
menjadi pola mereka untuk memandang
suatu obyek politik. Orientasi politik
itulah yang kemudian membentuk
tatanan dimana interaksi-interaksi yang
muncul
tersebut
akhirnya
mempengaruhi perilaku politik yang
dilakukan seseorang.
Menurut Surbakti (1992: 140)
yang dimaksud partisipasi politik adalah
keikutsertaan warga negara biasa dalam
menentukan segala keputusan yang
menyangkut
atau
mempengaruhi
hidupnya. Sesuai dengan istilah
partisipasi, maka partisipasi (politik)
berarti keikutsertaan warga negara biasa
24
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
bagian tertentu pada populasi. Dari
pengertian tersebut, substansi dari
budaya politik meliputi, pertama,
konsep
budaya
politik
lebih
mengedepankan berbagai perilaku non
aktual daripada perilaku aktual. Kedua,
hal-hal yang diorientasikan dalam
budaya politik adalah sistem politik
yang artinya bahwa membicarakan
budaya politik tidak akan lepas dari
membicarakan sistem politik. Ketiga
budaya politik merupakan deskripsi
konseptual
yang
mendeskripsikan
masyarakat di suatu negara (Gatara,
2007:237).
Pye (dalam Ruslan, 2000:79)
berpandangan bahwa budaya politik
merupakan
sejumlah
orientasi,
keyakinan,
dan
perasaan,
yang
memberikan sistem dan makna bagi
proses
kegiatan
politik,
juga
memberikan kaidah-kaidah baku yang
mengatur tindakan-tindakan individu di
dalam sistem politik. Orientasi terhadap
tema-tema
politik
menurutnya
menyangkut tiga aspek yakni: (1) aspek
kognitif, sekitar akurat atau tidaknya
pengetahuan individu tentang sistem
politik. Ia mencakup beberapa unsur,
seperti kesadaran politik; (2) aspek
afektif,
yaitu
orientasi-orientasi
perasaan terhadap politik, atau dengan
kata lain, perasaan menerima atau
menolak hal-hal yang yang bersifat
politik; dan (3) aspek evaluatif, yaitu
meliputi apresiasi dan pandangan
seputar persoalan-persoalan politik, dan
penilaian terhadap sistem politik (trias
politika, pressure group, partai-partai
politik)
Almond dan Verba (dalam
Sastroatmodjo,
1995:
48-50)
mengklasifikasikan budaya politik
tebagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Budaya Politik Parokial.
Budaya politik parokial
biasanya terdapat dalam sistem
politik tradisional dan sederhana
dengan ciri khas spesialisasi masih
sangat kecil sehingga pelaku-pelaku
politik
belum
memiliki
pengkhususan tugas tetapi peran
yang satu dilakukan dengan peran
yang lain baik di bidang sosial,
ekonomi maupun keagamaan.
b. Budaya Politik Subjek.
Dalam budaya politik subjek
masyarakat
menyadari
adanya
otoritas pemerintah, keputusan
pejabat bersifat mutlak, tidak dapat
diubah, dikoreksi, apalagi ditentang.
Bagi mereka yang prinsip adalah
mematuhi, menerima, setia, dan
loyal kepada pemimpin.
c. Budaya Politik Partisipan.
Masyarakat dalam budaya
politik
partisipan
memiliki
oorientasi politik yang secara
eksplisit ditujuka untuk sistem
secara keselutuhan, bahkan terhadap
struktur,
proses
politik,
dan
administratif.
Dengan demikian bahwa budaya
politik dapatlah dipandang sebagai
kondisi yang mewarnai corak kehidupan
masyarakat. Budaya politik adalah pola
tingkah laku individu yang berkaitan
dengan kehidupan yang dihayati oleh
para anggota sistem politik.
25
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
pengetahuan
dan
frekuensi
kesadaran yang tinggi, perasaan dan
evaluasi positif terhadap obyek
politik.
2. Orientasi Negatif, yaitu orientasi
yang ditunjukkan dengan tingkat
pengetahuan
dan
frekuensi
kesadaran yang rendah, evaluasi
dan perasaan negatif yang tinggi
terhadap obyek politik.
3. Orientasi Netral, yaitu orientasi
yang ditunjukkan oleh frekuensi
ketidakpedulian yang tinggi atau
memiliki tingkat orientasi yang
sangat terbatas bahkan tidak
memiliki orientasi sama sekali
terhadap obyek-obyek politik.
Orientasi politik sebenarnya
merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu
struktur
masyarakat.
Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang
kemudian membentuk sikap dan
menjadi pola mereka untuk memandang
suatu obyek politik.
Dalam
model
pendekatan
perilaku tersebut dijelaskan bahwa awal
munculnya orientasi politik yang
kemudian memunculkan tmbulnya
perilaku politik adalah keinginan
masyarakat/kelompok
dalam
mewujudkan kepentingannya dengan
menggunakan
organisasi-organisasi
politik yang oleh penguasa dijadikan
sarana untuk memenangkan dukungan
sehingga kemudian penguasa dapat
mewujudkan tujuan untuk memberikan
kemanfaatan
bagi
kelompok
pemilihnya. Kembali ke awal, tujuan
HUBUNGAN ORIENTASI POLITIK
DALAM
MEMPENGARUHI
PERILAKU
POLITIK
DAN
PARTISIPASI POLITIK
Dalam pendekatan perilaku,
terdapat interaksi antara manusia satu
dengan lainnya dan akan selalu terkait
dengan pengetahuan, sikap dan nilai
seseorang
yang
kemudian
memunculkan orientasi sehingga timbul
perilaku itu. Orientasi politik itulah
yang kemudian membentuk tatanan
dimana interaksi-interaksi yang muncul
tersebut
akhirnya
mempengaruhi
perilaku politik
yang dilakukan
seseorang. Orientasi politik tersebut
dapat dipengaruhi oleh orientasi
individu dalam memandang obyekobyek politik. Almond dan Verba
(1990: 231) mengajukan klasifikasi
tipe- tipe orientasi politik, yaitu:
1. Orientasi
Kognitif,
yakni
pengetahuan
tentang
dan
kepercayaan pada politik, peranan
dan segala kewajibannya serta input
dan outputnya.
2. Orientasi Afektif, yakni perasaan
terhadap sistem politik, peranan,
keberadaan
aktor
dan
penampilannya.
3. Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan
dan pendapat tentang obyek-obyek
politik
yang
secara
tipikal
melibatkan kombinasi standar nilai
dan kriteria dengan informasi dan
perasaan.
Sementara dalam menjelaskan
orientasi seseorang terhadap obyekobyek politik, pada bagian lain Almond
mengklasifikasikan sebagai berikut:
1. Orientasi Positif, yaitu orientasi
yang ditunjukkan dengan tingkat
26
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
kemanfaatan bagi kelompok inilah yang
menjadi keinginan dan kepentingan
rakyat
ketika
ia
mengharapkan
organisasi politik yang dipilih mampu
mewujudkannya.
Dalam
konteks
hubungan antara pemilih pemula
dengan penguasa terdapat suatu
hubungan saling mempengaruhi dan
saling menguntungkan yang muncul
dari keduanya. Orientasi politik secara
jelas berpengaruh terhadap munculnya
perilaku politik, baik itu oleh
penguasa/elit
politik
maupun
masyarakat/non elit/pemilih.
menyebutkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi
partisipasi
politik
pemilih pemula antara lain: (1) faktor
sosial ekonomi, meliputi tingkat
pendapatan, tingkat pendidikan, dan
jumlah pemilih pemula, (2) Faktor
politik meliputi, komunikasi politik,
kesadaran politik, pengetahuan pemilih
tentang proses politik, (3) faktor fisik
individual dan lingkungan, dan (4)
faktor nilai budaya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif yang didukung
dengan data kuantitatif. Penelitian yang
menghasilkan data deskriptif yang
berupa kata-kata tertulis atau lisan dan
perilaku dari orang-orang yang dapat
diamati (Moleong, 1990: 3).
Lokasi penelitian ini adalah
Kota Semarang. Peneliti memilih Kota
Semarang sebagai lokasi penelitian
dengan alasan karena di Kota Semarang
ini tempat dilaksanakannya Pemilihan
Walikota Semarang tahun 2010 dengan
jumlah pemilih pemula yang cukup
besar
dengan
kemajemukan/
heterogenitas yang tinggi dan orientasi
yang kompleks.
Fokus penelitian ini adalah
meneliti variabel tentang (1) faktorfaktor yang mempegaruhi pemilih
pemula menggunakan hak pilihnya
dalam Pemilihan Walikota Semarang
tahun 2010, (2) faktor-faktor yang
dominan dalam mempegaruhi pemilih
pemula menggunakan hak pilihnya
dalam Pemilihan Walikota Semarang
tahun 2010, dan (3) Orientasi politik
pemilih pemula dalam menggunakan
FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI ORIENTASI
POLITIK PEMILIH PEMULA
Tinggi rendahnya partisipasi
warga dalam proses politik suatu negara
setidaknya dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain adalah kesadaran
politik dan kepercayaan terhadap
pemerintah (sistem politik). Kesadaran
politik ialah kesadaran akan hak dan
kewajiban sebagai warga negara. Hal ini
menyangkut pengetahuan seseorang
tentang lingkungan masyarakat dan
politik, dan menyangkut minat dan
perhatian
seseorang
terhadap
lingkungan masyarakat dan politik
tempat dia hidup.
Menurut Ruslan ( 2000:101-102)
partisipasi politik warga negara sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
(1) Keyakinan agama yang diimani oleh
individu, (2) Jenis kultur politik, atau
bentuk nilai dan keyakinan tentang
kegiatan
politik
yang
mempengaruhinya, dan (3) Karakter
lingkungan politik. Ada juga yang
27
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
hak pilihnya dalam Pemilihan Walikota
Semarang tahun 2010.
responden yang terdiri dari siswa kelas
III dan mahasiswa yang merupakan
pemilih
pemula,
maka
peneliti
menemukan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pemilih pemula dalam
menggunakan hak pilihnya pada
pemilihan Walikota Semarang 2010
adalah sebagai berikut.
HASIL PENELITIAN
Faktor yang mempengaruhi pemilih
pemula menggunakan hak pilihnya
Berdasarkan pengumpulan data
di lapangan hasil wawancara dengan 50
Tabel:
No
1
2
3
4
Faktor yang mempengaruhi pemilih pemula dalam menggunakan hak
pilihnya
Faktor yaang mempengaruhi
Banyaknya
Prosentase
Orang Tua
16
32
Pilihan Sendiri
20
40
Partai Politik, Media Massa dan
9
18
Iklan Politik
Teman sepergaulan
5
10
JUMLAH
50
100
hak pilihnya pada pemilihan Walikota
Semarang 2010 adalah sebagai berikut.
1. Orientasi
Kognitif,
yakni
pengetahuan
tentang
dan
kepercayaan calon walikota.
Pada tataran orientasi kognitif ini
diketemukan bahwa.
a. Sebelas (11) orang
(22%)
menyatakan bahwa mereka tidak
mengenal
pasangan
calon
walikota dan wakilnya dalam
Pemilihan Walikota Semarang
2010 dan visi misinya. Mereka
mengetahui
nama-nama
pasangan calon walikota dan
wakilnya adalah saat berada di
Tempat Pemungutan Suara
(TPS) pada hari H ataupun
ketika akan mencontreng pada
kartu suara.
b. Duapuluh (20) orang (40%)
menyatakan bahwa mereka
Dari tabel di atas, maka faktorfaktor dominan yang mempegaruhi
pemilih pemula menggunakan hak
pilihnya dalam Pemilihan Walikota
Semarang tahun 2010 adalah faktor
pilihan sendiri 40 %, kemudian faktor
orang tua 32%.
Orientasi Politik Pemilih Pemula
Orientasi politik sebenarnya
merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu
struktur
masyarakat.
Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang
kemudian membentuk sikap dan
menjadi pola mereka untuk memandang
suatu obyek politik.
Berdasarkan pengumpulan data
dilapangan, maka dalam penelitian ini
ditemukan bahwa orientasi politik
pemilih pemula dalam menggunakan
28
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
mengenal
pasangan
calon
walikota dan wakilnya dalam
Pemilihan Walikota Semarang
2010 tetapi tidak mengetahui
visi dan misinya. Mereka
mengetahui
nama-nama
pasangan calon walikota dan
wakilnya melalui spanduk dan
baliho, iklan politik di TV, dan
perbincangan dengan teman atau
orang tua.
c. Sembilabbelas (19) orang (38%)
menyatakan bahwa mereka
mengenal calon walikota dan
wakilnya
dalam
Pemilihan
Walikota Semarang 2010 dan
visi-misinya.
Mereka
mengetahui
nama-nama
pasangan calon walikota dan
wakilnya dan visi misinya dari
melalui media massa, kampanye
kandidat, iklan politik di partai,
dan leaflet
Berdasarkan gambaran di
atas, orientasi ini sudah mengarah
pada orientasi positif dimana
tingkat
pengetahuan
pemilih
pemula sudah cukup tinggi
terhadap nama dan visi misi
kandidat dalam pemilihan Walikota
Semarang 2010.
2. Orientasi Afektif, yakni perasaan
terhadap pelaksanaan Pemilihan
Walikota Semarang 2010.
Pada tataran orientasi ini,
berdasarkan
hasil
wawancara
diketemukan fakta bahwa dalam
pemilih
pemula
menentukan
pilihannya terhadap kandidat dalam
pemilihan Walikota Semarang
2010, dipengaruhi oleh faktor-
3.
29
faktor antara lain, faktor orang tua
32%, faktor pilihan sendiri 40%,
Partai Politik, Media Massa dan
Iklan Politik
18%, teman
sepergaulan 10%. Keadaan ini
menunjukkan
orientasi positif,
yaitu orientasi yang ditunjukkan
dengan
tingkat
penentuan
keputusan memilih yang cukup
tinggi 40% berdasarkan pada
pilihan dari dalam diri pemilih
pemula dalam pemilihan Walikota
Semarang 2010.
Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan
dan pendapat pemilih pemula
terhadap calon pasangan Walikota
dan Wakil Walikota Semarang
2010.
Pada tataran ini berdasatkan
pada hasil wawancara diketemukan
bahwa pilihan pemilih pemula
terhadap calon pasangan Walikota
dan Wakil Walikota Semarang
2010 adalah sebagai berikut.
a. Delapanbelas (18) orang atau
sekitar 36% dari 50 responden
menyatakan memilih pasangan
H. Mahfudz Ali, SH, Msi.dan
Anis Nugroho Widharto, SE.
b. Tiga (3) orang atau sekitar 6%
dari 50 responden menyatakan
memilih pasangan Dra. Hj.
Harini Krisniati, MM dan Ari
Purbono.
c. Dua (2) orang atau sekitar 4%
dari 50 responden menyatakan
memilih pasangan Bambang
Raya Saputra danKristanto.
d. Lima (5) orang atau sekitar 10%
dari 50 responden menyatakan
memilih pasangan Muhammad
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
organisasi kemasyarakatan atau partai
politik yang berupa simpati.
Orientasi politik sebenarnya
merupakan suatu cara pandang dari
suatu golongan masyarakat dalam suatu
struktur
masyarakat.
Timbulnya
orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilainilai yang ada dalam masyarakat
maupun dari luar masyarakat yang
kemudi an membentuk sikap dan
menjadi
pola
mereka
untuk
memandang suatu obyek politik.
Hasil penelitian tentang faktorfaktor
yang
menentukan
atau
mempengaruhi
partisipasi
politik
dalam menggunakan hak pilihnya
antara lain. Perama, faktor orang tua.
Faktor ini mempunyai pengaruh yang
cukup besar mempengaruhi pemilih
pemula dalam menggunakan hak
pilihnya. Berdasarkan wawancara ini
diketahui bahwa 16 responden dari 50
responden (32%) menyatakan mereka
menggunakan hak pilihnya mengikuti
orang tua. Kedua, faktor pilihan sendiri
. Faktor ini mempunyai pengaruh yang
besar terhadap pemilih pemula dalam
menggunakan
hak
pilihnya.
Berdasarkan hasil pengumpulan data
dilapangan 20 responden dari 50 (40%)
responden menyatakan bahwa mereka
memilih karena pilihannya sendiri tanpa
terpengaruh oleh orang lain. Ketiga,
faktor partai politik, iklan politik dan
media massa. Faktor ini mempunyai
pengaruh yang tidak terlalu besar dalam
mempengaruhi pemilih menggunakan
haknya, dan Keempat, faktor teman
sepergaulan. Faktor ini mempunyai
tingkat mempengaruhi pemilih pemula
Farchan, ST, MT dan Hj. Dasih
Ardiyantari, SE.
e. Duapuluh satu (21) orang atau
sekitar 42% dari 50 responden
menyatakan memilih pasangan
Drs. H. Sumarmo HS, M.Si. dan
Hendar Prihadi SE, MM.
PEMBAHASAN
Perilaku politik pada umumnya
ditentukan oleh faktor internal dari
individu sendiri seperti idealisme,
tingkat kecerdasan, kehendak hati dan
oleh
faktor
eksternal
(kondisi
lingkungan)
seperti
kehidupan
beragama, sosial, politik, ekonomi dan
sebagainya yang mengelilinginya.
perilaku politik merupakan perilaku yang
menyangkut persoalan politotoritas
untuk mengatur kehidupan masyarakat
ke arah pencapaian tersebut. Perilaku
politik merupakan tindakan yang
dilakukan oleh suatu subyek yang dapat
berupa pemerintah juga masyarakat.
Dalam konteks perilaku politik,
hal yang dipikirkan dan diinginkan
tersebut berkaitan erat dengan orientasi
politik yakni kekuasaan dimana
kekuasaan itu diperolehnya dengan
suatu proses pemilihan. Walaupun
secara teoritis, penjelasan tentang
perilaku yang muncul dari perbedaan
sikap sudah terlihat jelas, mamun sikap
bukan sesuatu yang bisa begitu saja
terjadi. Sikap terbentuk dari proses
sosialisasi yang panjang, mulai
manusia baru lahir sampai dewasa.
Melalui proses sosialisasi inilah
kemudian berkembang ikatan psikologis
yang kuat antara seseorang dengan
30
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
dalam menggunakan hak pilihnya
paling rendah. Hasil ini kalau kita
kaitkan dengan teori- teori yang
mempengaruhi partisipasi politik siswa
sebagai pemilih pemula adalah tidak
bertolak belakang.
Faktor-faktor
yang
mempengaruhi partisipasi politik siswa
sebagai pemilih pemula adalah sebagai
berikut antara lain adalah (1) faktor
sosial ekonomi, meliputi tingkat
pendapatan, tingkat pendidikan dan
jumlah siswa. Hal ini menjadi salah
satu faktor dalam mempengaruhi siswa
sebagai
pemilih
pemula
untuk
berpartisipasi aktif dalam politik; (2)
faktor politik, meliputi: (a) komunikasi
politik yaitu suatu komunikasi yang
mempunyai konsekuensi politik baik
secara aktual maupun potensial, yang
mengatur kelakuan manusia dalam
keberadaan suatu kon flik, (b)
kesadaran politik, yaitu menyangkut
pengetahuan, minat dan perhatian
seseorang
terhadap
lingkungan
masyarakat dan politik pengetahuan
siswa sebagai pemilih pemula terhadap
proses pengambilan keputusan, dan (c)
pengetahuan siswa sebagai pemilih
pemula terhadap proses pengambilan
keputusan akan menentukan corak dan
arah suatu keputusan yang akan
diambil; (3) faktor fisik individu dan
lingkungan, sebagai sumber kehidupan
termasuk fasilitas serta ketersediaan
pelayanan umum; dan (4) faktor nilai
budaya yang merupakan basis yang
membentuk demokrasi, menyangkut
persepsi, pengetahuan, sikap, dan
kepercayaan politik.
Dalam pendekatan perilaku,
terdapat interaksi antara manusia satu
dengan lainnya dan akan selalu terkait
dengan pengetahuan, sikap dan nilai
seseorang
yang
kemudian
memunculkan orientasi sehingga timbul
perilaku itu. Orientasi politik itulah
yang kemudian membentuk tatanan
dimana interaksi-interaksi yang muncul
tersebut
akhirnya
mempengaruhi
perilaku politik
yang dilakukan
seseorang. Klasifikasi tipe- tipe
orientasi politik, adalah (1) orientasi
kognitif, yakni pengetahuan tentang dan
kepercayaan pada politik, peranan dan
segala kewajibannya serta input dan
outputnya, (2) orientasi afektif, yakni
perasaan terhadap sistem politik,
peranan,
keberadaan
aktor
dan
penampilannya, (3) orientasi evaluatif,
yaitu keputusan dan pendapat tentang
obyek-obyek politik yang secara tipikal
melibatkan kombinasi standar nilai dan
kriteria dengan informasi dan perasaan.
Orientasi seseorang terhadap
obyek-obyek
politik,
dapat
diklasifikasikan sebagai berikut. (1)
Orientasi Positif, yaitu orientasi yang
ditunjukkan
dengan
tingkat
pengetahuan dan frekuensi kesadaran
yang tinggi, perasaan dan evaluasi
positif terhadap obyek politik, (2)
Orientasi Negatif, yaitu orientasi yang
ditunjukkan
dengan
tingkat
pengetahuan dan frekuensi kesadaran
yang rendah, evaluasi dan perasaan
negatif yang tinggi terhadap obyek
politik, dan (3) Orientasi Netral, yaitu
orientasi yang ditunjukkan oleh
frekuensi ketidakpedulian yang tinggi
31
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
atau memiliki tingkat orientasi yang
sangat terbatas bahkan tidak memiliki
orientasi sama sekali terhadap obyekobyek politik. Orientasi politik pemilih
pemula berdasarkan penelitian ini
menunjukkan ke arah orientasi positif
baik dalam orientasi kognitif, afektif
maupun evaluatif. Hal ini menujukkan
orientasi yang ditunjukkan dengan
tingkat pengetahuan dan frekuensi
kesadaran yang tinggi, perasaan dan
evaluasi positif terhadap obyek politik.
Berdasarkan hasil simpulan
tersebut maka peneliti menyarankan, (1)
Untuk meningkatkan orientasi politik
pemilih pemula perlu dilakukan
pendidikan politik bagi pemilih pemula
melalui kegiatan formal, informal
maupun non formal, (2) Komisi
Pemilihan Umum Kota Semarang dalam
melaksanakan sosialisasi pemilihan
kepala daerah lebih intensif dalam
melakukan
sosialisasi
dengan
mengadakan penyuluhan, simulasi
mencontreng,
pengenalan
profil
kandidat terutama pada pemilih pemula.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengumpulan
data di lapangan dan hasil penelitian
pada bab terdahulu, maka peneliti
menyimpulkan: (1) faktor-faktor yang
mempengaruhi pemilih pemula dalam
menggunakan hak pilihnya pada
pemilihan Walikota Semarang 2010
adalah faktor pengaruh orang tua, faktor
pilihan sendiri, faktor media massa,
partai politik dan iklan politik, dan
faktor teman sepergaulan, (2) faktor
yang dominan yang mempengaruhi
pemilih pemula dalam menggunakan
hak pilihnya pada pemilihan Walikota
Semarang 2010 adalah faktor pengaruh
dari pilihan sendiri (40%) dan orang tua
(32%), dan (3) orientasi politik pemilih
pemula dalam menggunakan hak
pilihnya pada pemilihan Walikota
Semarang 2010 baik itu meliputi
orientasi kognitif, afektif maupun
evaluatif sudah mengarah pada tataran
orientasi positif dimana orientasi yang
ditunjukkan
dengan
tingkat
pengetahuan dan frekuensi kesadaran
yang tinggi, perasaan dan evaluasi
positif terhadap obyek politik.
DAFTAR RUJUKAN
Almond. A Gabrriel dan Verba. 1990.
Budaya Politik Tingkah laku
Politik dan Demokrasi di Lima
Negara. Jakarta: Bumi Aksara.
Budiyanto. 2000. Dasar-Dasar Ilmu
Tata
Negara.
Jakarta:
Erlangga.
Budiarjo, Miriam. 2003. Dasar-Dasar
Ilmu politik. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Gatara, Said. 2007. Sosiologi Politik,
Konsep
dan
Dinamika
Perkembangan
Kajian.
Bandung: CV Pustaka Setia.
Moleong, Lexy j. 1997. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Jakarta:
Roesdakarya.
Ruslan, Ustman Abdul Muiz. 2000.
Pendidikan Politik Ikhwanul
Muslimin.
Solo:
Era
Intermedia.
32
INTEGRALISTIK
No.1/Th. XXII/2011, Januari-Juni 2011
Sastroatmodjo,
Sudijono.
1995.
Perilaku Politik. Semarang:
IKIP Semarang Press.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan
Langkah-langkah
Penelitian.
Semarang:
IKIPSemarang Press.
Suara Merdeka, 9 Pebruari 2010
Surbakti, Ramlan. 1999. Memahami
Ilmu Politik. Jakarta: PT.
Grasindo.
UU No. 10 tahun 2008 Tentang
Pemiliha Umum.
33
Download