1 IMAM SYAFI`I ORANG PERTAMA SEBAGAI

advertisement
1
IMAM SYAFI’I ORANG PERTAMA SEBAGAI MUJTAHID KONTEMPORER
Oleh : Drs. Soleman Soleh, M.H.1
A. PENDAHULUAN
Agama Islam diturunkan ke dunia ini dalam keadaan sempurna, sehingga tidak
ada satu permasalahanpun yang timbul di dunia ini kecuali harus dipecahkan hukumnya.
Allah Swt. telah menurunkan syari’at-Nya kepada umat manusia melalui nabi
Muhammad Saw. yang berupa Al-Qur’an, agar manusia dapat meyakini, menghayati dan
mengamalkannya, untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat.
Perkembangan syari’at Islam setelah Nabi Muhammad Saw. hanya merupakan
perluasan dan penjabaran terhadap prinsip-prinsip yang telah ditetapkan Allah dalam alQur’an, berupa kaidah-kaidah yang universal, kemudian diterapkan kepada peristiwaperistiwa baru yang muncul dihadapan umat Islam. Hukum Islam akan selalu sesuai
dengan perkembangan jaman dan tempat, hal ini sesuai dengan kaidah Ushul yang
berbunyi “ Al-hukmu Tagayyurun Bitagayyuril-Amkan wal Azman”.
Al-Qur’an jika dilihat dari segi pemahamannya dalam kaitan dengan hukum,
ada dua kemungkinan, yaitu nash-nash yang mempunyai nilai Qath’i Ad-Dalalah dan
nilai Dzaniy Ad-Dalalah. Qath’i Ad-Dalalah adalah nash-nash yang sudah jelas dan
tegas hukumnya, sehingga tidak perlu penafsiran lagi, mengandung arti yang sarih dan
bukan
lapangan
ijtihad.
Sedangkag
dzany
Ad-Dalalah
nash-nash
yang
mempunyai nilai Dzany (umum), sehingga bisa ditafsirkan atau ditakwilkan makna lain
dari arti yang tercantum dalam lafadz itu sendiri, dan ini merupakan lapangan ijtihad.
Karena itu dalam penetapan hukum dari nash-nash yang dzany, ulama sering berbeda
pendapat dan berbeda pula dalam menjabarkan hukum kedalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi meskipun para ulama berbeda pendapat dalam menjabarkan hukum, mereka
pada dasarnya ingin mencari kemaslahatan bagi umat manusia, agar manusia beramal
sesuai dengan keadilan, rahmah dan hikmah secara keseluruhan untuk di dunia dan
akhirat. Hal inilah yang mendorong para Ulama untuk berijtihad dengan sungguhsungguh dalam menjabarkan hukum dari ayat-ayat al-Qur’an/al-Hadits yang bersifat
dzany agar sesuai dengan perkembangan jaman dan tempat, sehingga banyak
menghasilkan karya yang berupa kitab-kitab, baik berupa kitab fiqh, kitab tafsir, kitab
tasauf, kitab tauhid, kitab hadits, kitab ulumul hadits, kitab ushul fiqh, kitab ulumul
qur’an, kitab filsafat dan lain sebaganya.
Dari sekian banyak para ulama yang telah berijihad untuk menggali hukum dan
telah menghasilkan karya-karyanya yang berupa kitab-kitab fiqh, diantaranya adalah
Imam Syafi’i. Karya-karya imam Syafi’i yang monumental dalam mengistinbatkan dan
menggali hukum dari nash-nash yang bersipat dzany, banyak dipengaruhi oleh ilmu
pengetahuan yang dimilikinya, karena beliau banyak belajar dari satu guru ke guru
1
. Hakim Pengadilan Agama Tigaraksa
2
lainnya, dari satu negri ke negri lainnya. Beliau pernah belajar di Makkah kepada Muslim
bin Khalid Az-Zanji dan Saufyan bin Uyainah, di Madinah kepada Malik bin Annas dan
Ibrahim ibnu Sa’ad al-Anshari, di Irak kepada Muhammad bin Hasan Qadhi Yusuf
(murid imam Hanafi), di Yaman kepada Umar bin Abi Salamah (mazha Auza’i) dan
Yahya bin Hasan (mazhab Leits). Faktor pendukung lainnya adalah faktor geografis dan
iklim, faktor kebudayaan dan adat istiadat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu
Khaldun dalam kitabnya Muqaddimah yang berbunyi :
‫ان اـ
ال اـ وا وـ
ا ه وــ وم ـ و"ة واـة و ـج ـ‬
+‫
ن ذ‬-‫ وآ&ـ ی‬.‫ ف ای م وا زـ ن واـ ل ) ـ ل ا ـل‬$‫ـ‬%‫ا&ـه
ا‬
: ‫ــ;ر وا زـ‬2‫ـ ق وا‬6 ‫ى‬6 ‫
ن‬-‫ ی‬+ 7-6 .‫ـر‬0‫ـت واـ‬2‫ـ ص وا و‬4‫ـ‬5 ‫ ا‬6
? ‫ـ د‬A‫ ـ‬6 >‫ــ‬% ‫ـ‬2 ‫ ا< ا‬:‫وا ول ﺱ ـ‬
Artinya : Sesungguhnya keadaan alam, umat, adat istiadat
dan akidah, tidaklah
selamanya tetap (langgeng) dalam suatu keadaan atau sistem, melainkan
akan selalu berubah-ubah sepanjang jaman dan berpindah dari suatu
keadaan kepada keadaan lain. Hal tersebut sebagai mana terjadi pada
manusia, waktu dan tempat, juga terjadi pada alam, daerah, dan negara.
Demikian Sunnah Allah terhadap alam ini.
Akibat dari faktor ilmu pengetahuan, faktor geografis dan iklim, faktor
kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda, maka hasil ijtihad imam Syafi’i berbeda pula
pendapatnya ketika beliau berada di Irak dengan
Perbedaan pendapat tersebut tertuang dalam
ketika beliau berada di
qaul qadim dan qaul
Mesir.
jadid.
Kedua fatwa ini merupakan karya imam Syafi’i yang sangat besar yang kedua-duanya
didasari dengan hadits-hadits yang shahih. Imam Syafi’i telah memberikan fatwa dalam
qaul qadim dan kaul jadid adalah sebagai jawaban terhadap kondisi dan situasi yang
berbeda yang ada pada waktu itu, yang ke dua-duanya mempunyai alasan yang kuat. Oleh
karena itu antara qaul qadim dan qaul jadid sering terjadi perbedaan pendapat. Dengan
demikian apabila terjadi perbedaan diantara dua qaul yang yang sama-sama dilandasi
dengan dalil yang kuat, maka harus ada yang kalah dari salah satu diantara dua dalil
tersebut.
Menurut Ahmad Ali Al-Anshari (Jld 1:60) “ apabila hadits itu shohih, maka
itulah mazhabku. Dalam riwayat lain
pendapatku
bertentangan
dikatakan apabila engkau menemukan
dengan hadits Rasulullah Saw. maka ambilah hadits
Rasulullah Saw, dan tinggalkanlah pendapatku yang salah itu”. Perkataan Imam Syafi’i
tersebut di atas, diambil ketika terjadi dialog antara murid Imam Syafi’i dengan Imam
Syafi’i sendiri, waktu itu murid Imam Syafi’i bertanya “ manakah yang dipakai antara
qaul qadim dengan qaul jadid kalau terjadi perbedaan pendapat “?. Imam Syafi’i
menjawab “ qaul jadid sudah menghapus qaul qadim”, muridnya itu bertanya kembali “
3
Bagaimana kalau qaul qadim itu adalah hadits yang shahih” ?, Imam Syafi’i menjawab
kembali “ kalau begitu apabila hadits itu shahih, maka itulah mazhab saya.
Perubahan-perubahan hukum antara qaul qadim dengan qaul jadid Imam Syafi’i
pada intinya didorong karena adanya perubahan sosial masyarakat itu sendiri. Seperti
adat istiadat dan kebudayaan di Irak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan di
Mesir, sehingga perbedaan tersebut menyebabkan berbeda pula dalam menghasilkan
hukum. Oleh karena itu Penulis akan menggambarkan secara singkat skema tentang
perubahan qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i. Dalam skema tersebut, Penulis
juga akan menggambarkan tentang perubahan-perubahannya dari poin ke poin lainnya.
Hal ini menandakan Imam Syafi’i sangat tanggap terhadap situasi dan kondisi
yang berbeda di satu
tempat
dengan tempat lainnya, tidak terpaku kepa-
da qaul qadim yang telah beliau fatwakan ketika masih di Irak, sehingga karena di Mesir
kondisinya berbeda dengan yang ada di Irak, maka beliau mengkaji ulang fatwa tersebut
sehingga lahirlah qaul jadid sebagai mana tertera di bawah ini:
A
B
Fiqh dalam
Qaul Qadim
C
Faktor
-Geografis
-Kebudayaan
-Ilmu Pengetahuan
Lahirlah Fiqh
Dalam Qaul
Jadid
E
F
D
Qaul Qadim
Syari’at Islam
Itu sesuai dengan
tuntutan jaman,
kondisi dan
tempat
Alternatif
Penggunaanya
Qaul Jadid
Keterangan :
Pada kolom A, yaitu fatwa Imam Syafi’i dalam Qaul Qadim ketika beliau
berada di Irak, namun ketika
beliau
berada di Mesir,
Imam Syafi’i menemukan
kebudayaan (adat istiada) dan geografisnya berbeda dengan yang ada di Irak, sebagaimana tercantum dalam kolom B, akibatnya maka lahirlah fatwa Imam Syafi’i yang baru
yang disebut dengan qaul Jadid, seperti tercantum dalam kolom C. Pada kolom D, dicari
alternatif penggunaan hukum antara qaul Qadim dengan qaul Jadid, mana yang akan
dijadikan sebagai pegangan, karena itu Penulis menjadikan sejajar antara qaul Qadin
dengan qaul Jadid berada dalam kolom E, artinya menurut Penulis, bisa saja qaul Qadim
4
dijadikan sebagai sumber hukum, karena yang menentukan berlaku dan tidaknya qaul
Qadim adalah kondisi dan situasi daerah itu sendiri, mana yang lebih maslahat untuk
diberlakukan sebagaimana tertera dalam kolom F.
Dari uraian tersebut di atas, maka timbullah permasalahan pokok yang ingin
dibahas oleh Penulis
dalam tulisan ini, sehingga akan tergambar dalam sebuah
pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa yang melatar belakangi timbulnya qaul qadim dan qaul jadid Imam Syafi’i ?.
2. Apakah fatwa qaul qadim dan qaul jadid Imam Asyafi’i hingga sekarang masih
tetap relevan ?
3. Bagaimana Implikasinya qaul qadim dan qaul jadid terhadap Pembaharuan
Hukum Islam ?.
B. LATAR BELAKANG LAHIRNYA QAUL QADIM DAN JADID
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa perbedaan pendapat diantara para
Imam Mujtahid dalam mengistinbatkan hukum karena adanya ayat Al-Qur’an atau alHadits yang bersifat dzani. Dalam mazhab Syafi’i selain disebabkan karena ayat alQur’an dan al-Hadits bersifat dzani, banyak pula yang dipengaruhi oleh faktor geografi,
faktor kebudayaan dan adat istiadat dan faktor ilmu pengetahuan.
1. Faktor Geografis
Faktor geografi sangat menentukan terhadap perkembangan dan pembentukan
hukum Islam. Faktor geografis yang sangat menentukan tersebut adalah iklim dan
perkembangan daerah itu sendiri. Seperti telah diketahui iklim di Hijaz berbeda dengan
iklim di Irak dan berbeda pula dengan iklim yang ada di Mesir, sehingga melahirkan
fatwa Imam Syafi’i yang berbeda. Adanya qaul qadim dengan qaul jadid, membuktikan
adanya berbedanya iklim dan geografi.
HM.Atho Muzhar (Mimbar Hukum No 4 : 23) ulama ahlu ra’yi dan ahlu hadits
berkembang dalam dua wilayah geografis yang berbeda. Ulama ahlu rayi
dengan
pelopornya Imam Abu Hanifah berkembang di kota Kufah dan Bagdah yang
metropolitan, sehingga harus menghadapi secara rasional sejumlah persoalan baru yang
muncul akibat kompleksitas kehidupan kota, maka Imam Abu Hanifah dan para muridnya
menulis kitab-kitab fiqh yang lebih mendasarkan kepada ra’yu. Sebaliknya Imam Malik
bin Anas yang hidup di Madinah yang tingkat kompleksitas hidup masyarakatnya lebih
sederhana, ditambah kenyataan banyaknya hadits-hadits yang beredar di kota ini,
cendrung banyak menggunakan hadits ketimbang rasio atau akal”.
Pendapat Atho Mudzhar di atas, menunjukan bahwa berbeda geografis kota
akan menentukan terhadap pembentukan hukum. Kota- kota yang secara geografis
dipengaruhi
oleh ahli filsafat
akan berbeda dalam pembentukan hukum dibanding
dengan kota-kota yang secara geografis dipenuhi oleh ahli-ahli tasauf. Kota-kota yang
5
tingkat kompleksitasnya lebih tinggi akan berbeda pula pengaruh hukumnya dengan kotakota yang tidak ada kompleksitasnya. Kota-kota yang modern akan berbeda pula
pengaruh hukumnya dengan kota-kota yang sederhana dan tertutup. Artinya tingkat
urbanisasi disuatu daerah akan menentukan dalam pembentukan hukum pada daerah itu
sendir.
Mesir secara geografis lebih subur dibandingkan dengan Irak, karena adanya
sungai nil yang selalu meluap, di Mesir air lebih mudah didapatkan jika dibandingkan
dengn di Irak. Oleh karena itu dalam masalah yang ada kaitannya dengan air (iklim),
seperti thaharah, berwudlu, shalat dalam keadaan tidak ada air dan lain sebagainya, Imam
Syafi’i telah mengeluarkan fatwa yang berbeda dengan fatwa sebelumnya ketika di Irak.
Yang lebih menitikberatkan kepada penekanan harus dikerjakan, karena menganggap
tidak mungkin air tidak didapati. Dengan demikian karena di Mesir dengan gampangnya
mendapatkan air, maka dalam keadaan bagaimanapun perintah Allah yang ada kaitannya
dengan masalah thaharah harus dikerjakan, sedangkan di Irak yang kurang subur bila
dibandingkan dengan di Mesir, agak sulit mendapatkan air, maka perintah Allah bisa saja
ditunda atau tidak tikerjakan sama sekali. Salah satu contoh fatwa Imam Syafi’i adalah
sebagai berikut: “ Apabila datang waktu shalat, sedangkan air dan tanah tidak didapati,
maka menurut qaul jadid sholatlah apa adanya dan ulangi shalatnya jika telah didapati air,
sedangkan menurut qaul qadim jangan shalat jika air dan tanah tidak ada”. Ke dua
fatwa ini jelas sangat berbeda dan saling bertentangan , padahal dalam kasusnya sama,
yaitu tidak ada air.
Dengan demikian pada intinya para imam mujtahid sangat dipengaruhi oleh
keadaan iklim daerah yang ia tempati. Daerah yang panas akan berbeda dengan daerah
yang dingin, daerah yang banyak air akan berbeda dengan daerah kering. Begitu juga
akan dipengaruhi oleh kemajemukan kota dan kemajuan kota tempat imam mujtahid
tinggal. Semakin banyaknya suku bangsa yang hidup disuatu kota akan berbeda dengan
kota yang hanya dihuni oleh satu suku bangsa saja, kota yang lebih modern akan
berbeda pula dalam menentukan hukumnya bila dibandingkan dengan
kota yang
sederhana dan tertingal.
2. Faktor Kebudayaan dan Adat Istiadat
Faktor kebudayaan dan
adat istiadat sangat mempengaruhi terhadap
pertumbuhan dan perubahan hukum Islam. Setelah banyaknya negara-negara yang
dikuasai oleh Islam, padahal negara-negara yang dikuasai tersebut telah memiliki
kebudayaan-kebudayaan dan adat-istiadat masing-masing yang tidak bisa ditinggalkan
begitu saja, kebudayaan dan adat-istiadat mereka telah menyatu. Oleh karena itu asimilasi
(percampuran) antara kebudayaan (adat istiadat) setempat dengan kebudayaan Islam
sering terjadi, sehingga menimbulkan akibat lain dari hukum Islam itu sendiri.
TM.Hasbi Ash-Shiddieqy (1980: 119) Walaupun masyarakat telah mempunyai
kebudayaan-kebudayaan lain yang mempengaruhinya, namun para fuqoha dapat pula
6
menimbulkan pengaruh baru, karena adanya dua faktor yang mempengaruhi
perkembangan fiqh di daerah-daerah itu, pertama milieu (lingkungan), ke dua sistem
yang
ditempuh oleh
fuqoha dalam memberikan hukum. Menurut Harun Nasution
(1979:14)“ Penafsiran-penafsiran itu lahir sesuai dengan susunan masyarakat yang ada di
tempat dan jaman itu muncul. Jaman terus menerus membawa perubahan pada suasana
masyarakat. Oleh karena itu ajaran bukan dasar yang timbul sebagai pemikiran dijaman
tertentu belum tentu sesuai untuk jaman lain.
Begitu juga menurut Abdul Gani Abdullah (2000:22) “ Hubungan
antara
syari’ah dan peradaban manusia pada satu segi dapat dikatakan kausalistik dengan
dasar teoritis bahwa (1). Syari’ah dalam kapasitasnya sebagai respon terhadap proses
peradaban, maka antara syari’ah
respon, syari’ah
terumuskan
dan
peradaban saling membutuhkan, (2) sebagai
karena kebutuhan
peradaban
manusia,
dan arah
peradaban manusia bergantung kepada syari’ah itu sendiri.
Kebudayaan dan adat istiadat Mesir lebih maju dan lebih modern bila
dibandingkan dengan kebudayaan Irak, karena bangsa Mesir pernah dukuasai oleh bangsa
Romawi yang kebudayaan dan teknologinya lebih modern pada waktu itu, sedangkan Irak
tidak pernah dikuasai oleh bangsa Romawi. Dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan
bangsa Romawi telah tertanam pada bangsa Mesir, terutama masalah pergaulan antara
satu bangsa dengan bangsa lainnya, oleh karena itu pergaulan sehari-hari di Mesir lebih
terbuka, sedangkan di Irak karena belum pernah dikuasai oleh bangsa lain, maka
pergaulan sehari-harinya lebih tertutup.
Dengan budaya Mesir seperti itulah, maka pada waktu itu Imam Syafi’i
memberika fatwa kepada perempuan untuk bebas menuntuk ilmu sebagaimama kaum
laki-laki, sehingga pada waktu itu banyak kaum perempuan berduyun-duyun menuntut
ilmu pada Imam Syafi’i. Lain halnya ketika tinggal di Irak yang pergaulannya lebih
tertutup, sehingga kaum perempuan pada waktu itu tidak diberi kebebasan untuk menutut
ilmu, tetapi hanya diperkenankan untuk menutut ilmu sekedarnya saja, itupun kepada
muhrimnya atau suaminya. Di Mesir pula Imam Syafi’i menggabungkan dalam satu
ruangan antara pelajar laki-laki dengan pelajar perempuan, yang sebelumnya di Irak
pelajar laki dengan pelajar perepuan selalu terpisah. Dengan demikian sangat jelas bahwa
kebudayaan dan adat istiadat suatu bangsa sangat menentukan dan mempengaruhi
terhadap hasil ijtihad seorang mujtahid, hal itu telah buktikan oleh Imam Syafi’i yang
merubah hasil ijtihadnya ketika berada di Irak dengan ijtihadnya yang baru ketika berada
di Mesir.
3. Faktor Ilmu Pengetahuan
Faktor Ilmu Pengetahuan bisa mempengaruhi hasil ijtihad para imam mujtahid
dalam menggali hukum dan menentukan hukum. Sebagaimana telah dijelaskan di atas,
bahwa Imam Syafi’i seorang yang ahli hadits, karena beliau belajar hadits kepada Imam
Malik bin Anas di Madinah, Imam Syafi’i juga seorang ahli ra’yu, karena beliau belajar
7
kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Muhamamd bin Hasan murid Imam Abu Hanifah
di Irak. Dengan faktor ilmu pengetahuan Imam Syafi’i
tersebut, maka hasil
ijtihad Imam Syafi’i tidak sama dengan gurunya yang ahli hadits maupun dengan ahli
ra’yu. Karena pengetahuan Imam Syafi’i sangat berbeda dengan gurunya yang ada di
Madinah sebagai ahli hadits ataupun gurunya yang ada di Irak sebagai ahli ra’yu, tetapi
Imam Syafi’i menggabungkan kedua pendapat gurunya itu menjadi fatwanya sendiri.
Setelah Imam Syafi’i tinggal di Mesir, pengalaman Imam Syafi’i semakin
bertambah dan Imam Syafi’i tetap
bertukan fikiran
kepada ulama-ulama Mesir.
Sehingga setelah berada di Mesir Imam Syafi’i menemukan ada dalil-dalil yang lebih
kuat dan lebih shahih bila dibandingkan dengan hasil ijtihadnya ketika masih berada di
Irak. Oleh karena itu Imam Syafi’i memandang perlu untuk meluruskan dan meralat
kembali fatwa-fatwa beliau ketika masih berada di Irak, karena menganggap fatwa-fatwa
beliau yang dikeluarkan di Irak tidak didukung dengan dalil yang lebih kuat.
Noel J. Coulson menerangkan (1987:62-63) “ Imam Syafi’i merupakan
pembaharuan yang cemerlang. Kecemerlangannya tidak teletak pada pengenalan konsef
baru, melainkan pada pemberian konotasi (arti) pemahamannya yang baru bagi ide-ide
yang sudah ada, serta keberhasilannya menyatukan ide-ide itu samua dalam satu skema
sistematik. Begitu juga menurut Ma’ruf Misbah dkk.(1986:28) Menerangkan: “ Bahwa
Islam sebagai suatu sejarah yang terbentuk dari cara hidup mereka dalam mengamalkan
ajaran yang mutlak itu. Islam dalam sejarah dan budaya, pemikiran inilah yang bisa
berubah-rubah sesuai dengan kemajuan berfikir moral manusia itu sendiri.
Ilmu pengetahuan seorang imam mujtahid akan menentuka terjadinya perubahan
dalam pembentukan hukum Islam. Sebagai contoh Imam Malik bin Anas yang ahli
Hadits fatwanya berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang ahli Ra’yu, sekalipun dalam
kasus yang sama. Hal yang sama telah dipraktekan oleh Imam Syafi’i sendiri, ketika
beliau di Hijaz Imam Syafi’i memberikan fatwa yang dilandsai dengan d alil-dalil alQur’an dan As-Sunnah, tidak dilandasi dengan ra’yu, karena pada waktu itu beliau belum
mengetahui tentang ra’yu, tetapi ketika beliau sudah berada di Irak dan telah belajar
tentang ahli ra’yu, maka beliau merubah sendiri fatwanya yang dilandasi dengan pendapat
ra’yu, begitu juga setelah di Mesir beliau menemukan hadits yang lebih kuat yang
sebelumnya di Hijaz atau di Irak tidak menemukan hadits tersebut, maka beliau merubah
kembali fatwa beliau yang telah dikeluarkan di Irak.
C. KEBERADAAN FATWA-FATWA IMAM SYAFI’I DALAM QAUL QADIM DAN
QAUL JADID
Dalan catatan sejarah Imam Syafi’i telah mengeluarkan beberapa fatwa yang
berbeda, 1). Fatwa Imam Syafi’i ketika di Hijaz (Makkah dan Madinah) ketika beliau
berumur 15 tahun, fatwa ini bertentangan dengan pendapat gurunya (Imam Malik). 2).
Fatwa Imam Syafi’i kertika berada di Irak/Bagdad, yang disebut dengan Qaul Qadim.
Fatwa ini bertentangan dengan fatwa yang dikeluarkan di Hijaz. 3). Fatwa Imam Syafi’i
8
ketika berada di Mesir, yang disebut dengan Qaul Jadid. Fatwa ini bertentangan dengan
fatwa qaul qadim. Akan tetapi perlu diketahui fatwa Imam Syafi’i yang dikeluarkan di
Hijaz sudah tidak dapat ditemukan lagi dalam kitab-kitab Imam Syafi’i yang beredar
sekarang ini, oleh karena itu Penulis hanya mengemukakan fatwa qaul qadim dan qaul
jadid Imam Syafi’i yang masih terdapat dalam kitab-kitab Imam Syafi’i dan tetap hangat
dibicarakan orang. Penulis telah menemukan 33 permasalahan yang berbeda antara fatwa
qaul qadim dengan qaul jadid dari beberapa kitab Imam Syafi’i, walaupun demikian
Penulis hanya akan dikemukakan beberapa permasalahan saja diantaranya sebagai
berikut:
1. Hukum Mendatangkan Saksi Pada Waktu Ruju’
Menurut qaul qadim jika suami ingin merujuk kembali istrinya yang telah di
thalak raj’i, maka ia harus menghadirkan saksi, sedangkan menurut qaul jadid tidak perlu
mendatangkan saksi, karena rujuk adalah hak suami.
Qaul qadim beralasan sesuai dengan firman Allah dalam surat ayat 2 surat AthThalak yang berbunyi:
......... ِِ ‫ل ُِْْ َوَأُِا اَ َد َة‬
ٍ َْ ْ‫ َوَأ!ُِْوا َذوَي‬........
Artinya: Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakan kesaksian itu karena Allah.
Dari keterangan firman Allas Swt tersebut di atas, alasan kaul qadim dapat
difahami bahwa firman Allah yang terdapat pada surat Thalak berhubungan dengan
masalah thalak, oleh karena itu kesaksian disini ada hubungannya dengan akibat dari
perbuatan suami yang mentalak raj’i istrinya. Dengan demikian apabila suami yang
menghendaki rujuk kembali yang telah mentalak raj’i istrinya, harus pula mendatangkan
saksi yang adil, suami yang menghendaki rujuk dengan istrinya harus mengucapkan kata
rujuk dihadapan saksi tersebut. Alasan Qaul qadim juga diperkuat dengan hadits Nabi
Saw yang terdapat dalam hadits Abu Daud dan Baihaqi ( Ismail Al-Kahlani Juz.3:182)
yang berbunyi :
(‫ـ ی&ا)ـ‬+ ,-‫ ی‬.‫ ا&)ـ‬# .‫ـ‬/‫ـ‬0 ‫ أ ﻥ‬2‫ ا‬34‫ ر‬#67 #$ ‫ ـ&ان‬#
.‫ـ‬:‫ـ=ـ وى&)ـ;ـ‬-‫ أ!ــ ـى‬, ‫یــ‬8‫و‬
Artinya: Dari
Imran bin Husain Ra. Bahwa ia ditanya oleh seorang laki-laki yang
menthalak istrinya, kemudan laki-laki tersebut rujuk kembali
kepada istrinya
dengan tidak ada saksi, maka Imran bin Husain berkata “hadirkanlah saksi
ketika menthalaknya dan ketika merujuknya” (HR.Abu-Daud dan Baihaki).
Pada hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Baihaqi, memang
jelas
sudah
bahwa suami yang hendak melakukan thalak, ataupun rujuk kepada istrinya,
harus menghadirkan saksi. Artinya tidak syah thalak dan rujuknya jika tidak dihadapan
saksi yang adil. Menurut qaul qadim pungsi saksi disini selain sebagai saksi yang melihat
9
telah terjadi rujuk, juga berpungsi sebagai pemberitahuan, dimana saksi bisa
mengumumkan atau memberitahukan kepada orang lain bahwa antara A dengan B telah
terjadi rujuk.
Sedangkan alasan qaul jadid adalah sebagaimana tercantun dalam firman Allah
dalam surat al-Baqarah ayat 228 yang berbunyi :
........ً7َْ‫ ِإنْ َأرَادُوا ِإﺹ‬A
َ ِ‫ َذ‬BِC #
ِ‫ده‬E &َ ِ$ ,
F َ7‫ َأ‬#
ُُ:َُ;ُ$‫ و‬......
Artinya : Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika meraka
(para suami) menghendaki ishlah….
Dari keterangan firman Allah tersebut di atas, dapat difahami bahwa menurut
qaul jadid, suami berhak untuk merujuk kembali istri-istrinya yang telah dithalak dalam
masa menanti (iddah), karena pada masa menanti itu yang berhak memberikan nafkah
kepada istri adalah mantan suaminya. Pada masa menanti si istri tidak boleh menerima
pinangan dari orang lain, tetapi harus menunggu terlebih dahulu sampai masa menanti itu
habis, setelah masa menanti itu habis maka si mantan istri tersebut boleh menerima
pinangan orang lain. Karena pada masa menanti yang mempunyai kewajiban memberikan
nafkah kepada mantan istrinya adalah mantan suaminya,
maka
mantan
suami
mempunyai hak pula untuk merujuk kembali mantan istrinya, dengan demikian ketika
mantan suaminya ingin merujuk kembali mantan istrinya, tidak perlu lagi menghadirkan
saksi, tetapi cukup dengan kata-kata “aku rujuk engkau” atau dengan perbuatan.
Disamping itu pula qaul jadid beralasan, bahwa hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Daud dan Baihaqi yang dijadikan landasahn dalam qaul qadim adalah hadits Marfu’,
artinya salah satu perawi dari hadits itu terputus (tidak ada perawinya), pada hadits
tersebut tidak disebutkan siapa perawi hadits pada jaman shahabat, hadits itu langsung
saja dari Nabi Saw. Oleh karena itu hadits marfu’ tidak bisa dijadikan hujjah atau
pegangan dalam menentukan hukum. Qaul jadid juga menerangkan bahwa ada hadits
Nabi Saw. yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim (Bukhari Juz.
3: 125) yang berbunyi :
‫ ـ‬2‫ ﺹى‬3I ‫ ـل ا‬, ‫ ا ـ&أ ﺕـ‬,H ‫ ا ﻥ‬2‫ ا‬34‫ ـ& ر‬#$ ‫ ا‬#‫و‬
(‫ـ‬L ,‫ـ‬M:) ‫ـ& );ـ‬C J&‫ـ ;ـ&ـ‬0‫و‬
Artinya: Dari Ibnu ‘Umar Ra, bahwa sanya ketika Ibnu ‘Umar menthalak Istrinya, Nabi
Saw, berkata
kepada ‘Amar. ” Kembalilah
dan
rujuklah
(HR. Bukhari
dan
Muslim).
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim pada intinya tidak
ada perintah untuk menghadirkan saksi ketika ‘Amar disuruh rujuk kembali oleh
Rasulullah Saw, kepada mantan istrinya. Dengan tidak adanya perintah menghadirkan
saksi oleh Rasulullah Saw, maka terdapat isyarat bahwa ketika mantan suaminya ingin
merujuk kembali mantan istrinya, tidak perlu lagi menghadirkan saksi. Disamping itu
10
hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim ini lebi shahih bila dibandingakan dengan
hadits Abu Daud dan Baihaqi, karena qaul jadid didasari oleh hadits-hadits yang
lebih kuat dibandingkan dengan qaul qadim, maka yang perlu didahulukan adalah qaul
jadid.
2. Tentang Akhir Waktu Sholat Isya
Yusuf Fairuzi (Juz.1:52) Awal waktu Isya’ yaitu apabila telah lenyap mega
merah, sedangkan akhir waktu Isya’ ada dua pendapat, menurut qaul Jadid sepertiga
akhir malam, sedangkan menurut qalu Qadim waktunya sampai seperdua malam.
Dalam kasus akhir waktu shalat Isya’ ini, terjadi perselishan dan berbedaan
antara qaul qadim dan qaul jadid. Pada qaul qadim akhir waktu shalat Isya’ adalah
seperdua malam, sedangkan menurut qaul jadid adalah sepertiga malam.
Pada qaul qadim dilandasi dengan hadits Nabi Saw. yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari, yang berbunyi:
R‫ـ‬6‫ ﻥـ‬3‫ ة ا;ــء ا‬O‫ـ ﺹـ‬0‫ ــ و‬2‫ ﺹـى‬3‫ـ‬I‫ـ& اـ‬P‫ اﻥ ل ا‬Q‫ اﻥـ‬#‫ـ‬
..‫اـ‬
Artinya: Dari Anas, beliau telah berkata, Nabi Saw. telah mengakhirkan shalat isya’
sampai seperdua malam (HR. Buhkari).
Disamping itu qaul qadim juga didasari dengan hadits lain yang diriwayatkan
oleh Imam Bukhari, yang berbunyi :
J&‫ـ آن یــ‬0‫ ـ و‬2‫ ا‬3‫ ﺹ‬2‫ـل ا‬0‫&زة ان ر‬$ 3$‫ ا‬#‫ اـ;ـء ـ‬.‫ـ‬I‫اـم ـ‬
Artinya: Dari Abi Barzah, bahwa Rasulullah Saw. membenci kepada orang yang tidur
sebelum melaksanakan shalat isya’. (HR.Bukhari)
Pada qaul jadid dilandasi dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Ibnu Umar, yang berbunyi :
‫ ا;ـء‬W6 ‫ـ‬0‫ ـ و‬2‫ ﺹى‬2‫ل ا‬0‫&ر‬V:‫ ﻥـ‬W‫ـ ذات ـ‬Y ‫ &ل‬#$‫ ا‬#
J ‫;ـ‬$‫ او‬.‫ اـ‬Z+ [‫ ذهـ‬#7 ‫]ـ&ج ا‬C ‫&ة‬P8‫ا‬
Artinya: Dari Ibnu Umar berkata, kami berdiam pada suatu malam sambil menunggu
Rasulullah Saw, untuk melaksanakan
keluarlah
Nabi
shalat isya’ yang diakhirkan,
bersama kami untuk melaksanakan
shalat isya’
lalu
yang
menginjak sepertiga akhir dari malam atau lebih.(HR. Muslim).
Disamping itu, qaul jadid didukung oleh pendapat Syatha Dimyati yang dilandasi
dengan hadits Muslim lainnya, yang menerangkan sebagai berikut:
&‫_ـ‬C ‫ع‬-‫ ا;ــء اى‬a‫ اى وـ‬b‫ـ‬$8‫&وا‬M‫ﺹ‬8‫وال ا‬c‫ـ&ه ا‬Pd‫ ﻥـ ب ﺕ‬3^I‫وی‬
11
‫ ة‬O‫ـ‬6‫ ا‬.‫ـ‬6‫ یـ‬#‫ ـ‬3 i‫ـ&یـ‬M‫ واﻥ ﺕـ‬i‫ـ&ی‬M‫ىم ﺕ‬C Q‫ " ـ‬Z‫ی‬f ‫ﺹد ق‬
."‫ـ&ى‬P8‫ ا‬a‫ وـ‬.‫ـ‬P ‫ یـ‬3:7
Artinya: Mesti disunatkan mengakhirkan shalat isya’ sampai kelihatan bayangan kuning
dan putih. Artinya waktu isya’ itu sampai terbitnya fajar shadik. karena ada
hadits Nabi yang berbunyi “ tidak termasuk melalaikan shalat karena tidur
(belum tiba waktu sholat lainnya), tetapi yang dikatakan melalaikan sholat
ialah orang yang belum
melaksanakan
shalat
sampai tiba waktu sholat
lainnya.
Dari uraian tersebut di atas, bahwa dalam qaul qadim waktu akhir shalat isya’
sampai seperdua malam, dengan alasan karena ada hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Buhkari yang membenci tidur sebelum shalat isya’. Sedangkan dalam qaul jadid waktu
akhir shalat isya’ sampai sepertiga akhir malam, dengan alasan tidur malam untuk
mengakhirkan shalat isya’ yang dilanjutkan dengan shalat sunat malam lainnya bukan
termasuk melalaikan shalat, sebagaimana yang diterangkan oleh hadits Muslim. Ke dua
fatwa Imam Syafi’i tentang akhir waktu shalat sebagaimana tersebut di atas, baik dalam
qaul qadim maupun dalam qaul jadid telah terjadi perselisihan dan
pertentangan, yang
mana kedua-duanya dilandasi dengan hadits-hadits yang shahih. Oleh karena itu untuk
lebih jelas lagi perlu dicari dalil yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi
masyarakat yang ada, dari kedua kaul tersebut di atas.
Menurut analisa Penulis, bahwa pada qaul qadim adanya kehati-hatian (ikhtiyat),
dengan alasan bahwa dengan sebab tidur akhirnya shalat Isya’ menjadi kesiangan sampai
waktu shalat subuh tiba, sedangkan shalat isya’ belum dilaksanakan. Inilah yang
menyebabkan mengahkirkan shalat isya’ diselingi dengan tidur dibenci. Sedangkan
menurut qaul jadid, bagi orang yang sudah biasa menggabungkan shalat Isya’ dengan
shalat sunnat lainnya (Qiyamul-Lail) yang diakhirkan pada dua pertiga malam hukumnya
sunnat, dengan tidur terlebih dahulu. Dengan alasan karena mengakhirkan shalat isya’
tersebut sekaligus dengan mengerjakan shalat sunnat malam lainnya sampai tiba waktu
shalat shubuh, kebiasaan-kebiasaan seperti ini sering dilakukan oleh Rasulullah saw.
Mengakhirkan shalat isya’ adalah sunnah hukumnya, bagi orang yang ingin
mengerjakan shalat malam (tahajud), yang kemudian dilanjutkan dengan shalat shubuh.
Tetapi kita tidak tahu, apakah dalam keadaan tidur pulas akan yakin bisa terjaga dari
tidurnya ketika waktu menginjak pada sepertiga akhir malam. Inilah yang membuat kita
ragu, apakah kita bisa terjaga dari tidur dengan tepat waktu yang diinginkan, sedangkan
dalam amalan yang masih diragukan harus dihindari. Mengerjakan shalat isya’ hukumnya
wajib, oleh karena itu tidak masuk akal kalau orang ingin mengerjakan shalat sunnat
dengan mengakhirkan yang wajib, padahal masih diragukan
apakah bisa jaga dari
tidurnya dengan tepat waktu. Yang lebih baik adalah mengerjakan shalat isya’ tepat pada
waktunya, kemudian tidur dan bangun ketika waktu menginjak sepertiga akhir malam
dilanjutkan dengan sholat malam (tahajud) sampai tiba waktu shalat shubuh.
12
Dengan alasan-alasan tersebut di atas, maka Penulis mendahulukan qaul qadim
dari qaul jadid, karena sandaran hadits qaul qadim dari segi Perawi hadits lebih tinggi
nilainya dari pada hadits qaul jadid, menurut akal qaul qadim lebih diterima, sebab pada
dasarnya mengerjakan yang masih diragukan dengan menunda (meninggalkan) yang
wajib termasuk pekerjaan yang dilarang. Disamping itu Penulis juga beralasan bahwa
dalil yang digunakan oleh qaul jadid berkenaan dengan waktu shahur bulan ramadhan,
yang pada waktu itu semua orang sudah terjaga dari tidurnya, seperti hadits riwayat Imam
Bukhari di bawah ini:
.‫ـ‬0‫ ـ و‬2‫ ﺹى‬3I‫ـ&وا ـ( اـ‬f‫ـ‬j‫ـ اﻥـ ﺕـ‬+ 7 a‫ـ‬$‫ـ‬+ #$ ‫ ان زیـ‬Q‫ اﻥـ‬#
.W‫ی‬k #‫ـ‬:‫ـ‬0‫ او‬#‫ـ‬j‫ـ‬P‫ـــــ ـل ـ ر‬$ ‫ آ‬a‫ ة ــ‬O‫ـ‬6‫ا اى‬
Artinya: Dari Anas sesungguhnya Zaid bin Tsabit menceritakan, bahwa sanya orangorang sedang makan sahur bersama Nabi Saw. kemudian mereka bersamasama melaksanakan shalat, saya ( Zaid bin Tsabit) berkata berapa lama
waktu shahur dengan shalat subuh ?, Nabi menjawab selama membaca alQur’an lima puluh ayat atau enam puluh ayat.
Maksudnya bahwa, hadits yang dipakai alasan dalam kaul jadid berkenaan
dengan kegiatan bulan ramadhan, karena kebiasaan dibulan ramadhan orang-orang sudah
bangun untuk shahur sejak sepertiga akhir malam, atau sekitar pukul tiga malam
sampai imsak, sebelum datangnya waktu shalat shubuh, yang biasanya orang-orang
mengisi waktunya dengan shalat malam (sunnat) atau mengisi
dengan
tadarusan
membavaal-Qur’an yang dilanjutkan dengan shalat subuh. Jadi kegiatan tersebut sematamata pada bulan ramadhan, bukan pada malam selain di bulan Ramadhan.
3. Tentang Melakukan Shalat Dalam Keadaan Tidak Ada Air dan
Tidak Ada Tanah
‫ـ ویـ;ـ‬7 [‫ـ‬j7 3‫ ـ‬.6‫ یـ‬, ‫ ة‬O‫ـ‬6‫ـ&ﺕ ا‬l7‫ و‬$ ‫ﺕـ&ا‬8‫ ـ یـ_ـ ء و‬#‫و‬
‫ـ&اب وهـ ا=ـ ی‬:‫ یـ_ـ اـء وا‬3:‫ـ‬7 .‫ـ‬6‫ی‬8 .‫ وه اـ_ـیـ‬J‫اذا او)ـ‬
Artinya: Apabila orang tidak mendapatkan air dan tanah, kemudian datang waktu shalat,
menurut qaul Jadid shalatlah apa adanya dan mengulangi jika telah
mendapatkan air dan tanah. Sedangkan menurut qaul Qadim tidak wajib shalat,
sampai didapati air dan tanah .
Kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut di atas, terjadi perselisihan dan saling
berlawanan, menurut qaul qadim tidak perlu melakukan shalat jika dalam keadaan tidak
ada air dan tidak ada tanah, sedangkan menurut qaul jadid jika tidak ada air dan tidak ada
tanah, tetap malakukan shalat apa adanya, dan mengulangi shalatnya jika telah ditemukan
air dan tanah. Kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut di atas, baik qaul qadim maupun qaul
jadid, memang Penulis tidak menemukan hadits Nabi Saw, yang secara khusus
13
menguatkan kedua fatwa Imam Syafi’i tersebut. Oleh karena untuk memecahkan masalah
ini Penulis akan mencoba mencari analogi-analogi yang bisa diterima oleh akal. Atau
mencari pendapat para pakar yang menguatkan ke dua fatwa tersebut di atas, kemudian
mencari fatwa mana yang lebih sesuai dengan kondisi masyarakat itu sendiri.
Menurut Penulis alasan qaul qadim adalah bahwa: air dan tanah sebagai syarat
untuk berwudhu (suci dari hadats), maka tidak syah shalat kalau tidak dipenuhi syaratnya.
Dengan demikian shalat yang tidak memenuhi syaratnya hanya sia-sia saja. Sedangkan
alasan qaul jadid menurut Penulis adalah bahwa: bersuci dari hadats memang benar
sebagai salah satu syarat shalat, akan tetapi ketidak mampuan mendapatkan air dan tanah
tidak bisa menghilangkan kewajiban shalat. Syarat berwudlu itu adalah bagian dari
kebersihan jasmani, sedangkan rohani kita juga dituntut untuk dibersihkan dengan cara
melaksanakan perintah Allah berupa shalat. Oleh karena itu ketika air atau tanah telah
didapatkan, maka harus mengulangi shalatnya, untuk menyempurnakan kebersihannya,
yaitu kebersihan rohani dan jasmani.
Alasan lain yang menguatkan qaul jadid adalah bisa diqiaskan dengan perintah
shalat itu sendiri. Seperti telah diakui bahwa berdiri dalam shalat itu wajib hukumnya
secara mutlak, tetapi walau demikian Allah memberikan rukhsoh (keringanan) kepada
orang yang tidak mampu berdiri untuk melaksanakan shalat. Ketika orang itu tidak
mampu berdiri, maka shalatlah dalam keadaan berbaring, seandainya berbaringpun
tidak mampu, maka shalatlah dengan gerakan lisan (isyarat). Disini sudah jelas bahwa
tidak mampunya seseorang untuk melaksanakan salah satu rukun sholat seperti berdiri,
tidak menggugurkan kewajibannya untuk melaksanakan shalat, tetapi shalat itu tetap
saja wajib dilaksanakan sekalipun dengan isyarat. Dengan demikian ketiadaan air dan
tanah tidak menghilangkan perintah wajib shalat, seperti ketidak mampuan berdiri tidak
menghilangkan perintah wajib shalat. Disamping itu alasan lain bahwa shalat dalam
keadaan tidak mempunyai wudlu (karena tidak ada air dan tanah), bisa juga diartikan
sebagai penghormatan kepada waktu.
Ada beberapa pendapat para fakar yang menguatkan fatwa qaul jadid seperti
tersebut di bawah ini, diantaranya :
- Imam Nawawi Al-Banthani menerangkan :
‫ اــء‬#‫ری‬-‫ـ اـ‬7‫ ة و یـ_ـ أ‬O‫ـ‬6‫ ا‬a‫ وـ‬.‫ـ‬P ‫وا ذ ا د‬
+ a‫ اـ‬W&‫ـ‬f‫ ـ‬#‫ـری‬-‫ـ ـ ا‬C ‫ـ&ض‬M‫ ا‬.‫ـ&اب ﺹـ‬:‫وا‬
‫ـ هـ‬7‫اـ د هـ ـ و)ـد ا‬
Artinya: Apabila tiba waktu shalat, tetapi tidak didapatinya alat untuk bersuci, baik itu
air maupun tanah, maka shalatlah dalam keadaan tidak mempunyai wudlu,
untuk menghormati waktu dan ulangi shalatnya ketika telah mendapatkan
salah satu dari ke duanya.
- Syihabuddin Qulyuby menerangkan sebagai berikut:
14
‫ـ‬7‫ـ وا‬C Q ‫ـع‬4‫ى‬C ‫س‬If ‫ آ‬$&‫ﺕ‬8‫ ی_ـ ء و‬#‫و‬
‫ ویـ;ــ‬a‫ اـ‬W&‫ـ‬f ‫ـ&ض‬M‫ اـ‬3‫ـ‬6‫ ا_ـ ی ان ی‬3C c‫ـ‬
.‫ـ هـ‬7‫ا ذ ا او)ـ ا‬
Artinya: Barang siapa yang tidak mendapatkan air dan tanah, seumpama orang yang
terkurung dalam ruangan, yang di dalamnya tidak ada air dan tanah. Maka
menurut qaul jadid shalatlah untuk menghormati waktu dan ulangi ketika
telah mendapatkan salah satu dari keduanya.
- Yahya Zakariya juga menerangkan:
‫ـ‬7‫ــ وا‬C Q .‫ـ‬f$ ‫س‬I‫ـ‬f‫ آ‬#‫ری‬-‫ـ&ب ا‬:‫ اء وا‬C 3‫و‬
.‫ هـ‬7‫ وی;ــ ا ذ ا و)ـ ا‬a‫ اـ‬W‫&و‬f 36‫ ان یـ‬
Artinya: Dan bagi orang yang tidak mendapatkan air dan tanah, untuk berwudlu,
seperti orang yang terkurung yang di dalamnya tidak didapati salah satu alat
untuk berwudlu, maka shalatlah untuk menghormati waktu dan ulangi
apabila telah mendapatkan salah satu alat bersuci tersebut.
Dari pendapat para ulama tersebut di atas, pada intinya bahwa sebagian besar
ulama Syafi’iyah sepakat, bahwa orang yang tidak mendapatkan air dan tanah ketika
datang waktu shalat, hendaklah orang tersebut melaksanakan shalat apa adanya sebagai
penghormatan atas waktu dan ulangi shalatnya ketika telah mendapatkan air atau tanah.
Pendapat para ulama tersebut di atas, semakin memperkuat analisa Penulis, bahwa fatwa
qaul jadid Imam Syafi’i tentang melaksanakan shalat dalam keadaan tidak ada air dan
tidak ada tanah yang harus didahulukan dari pada pendapat qaul qadim, karena qaul jadid
lebih rasionil dari pada qaul qadim.
4. Tentang Taswib Pada Shalat Shubuh.
W;f‫;ـ ا‬$ ‫وهان ی=ل‬. [‫یـ‬Y:‫ـ ا‬C ‫ زاد‬p‫ـ‬I6‫ اذ ان ا‬3C ‫ـن آن‬C
.‫ى_ـ ی‬C J&‫ وآ‬.#‫ اـم " &ﺕ‬#&‫ـ‬P ‫ة‬O6‫ة " ا‬O6‫ا‬
Artinya: Dalam qaul Qadim, apabila pada azan Shubuh, maka ikuti dengan taswib, yang
diucapkan setelah kata Hayya ‘alasholah, yaitu dengan kata “Ash-Sholatu
khairun Minan-Naom“ dua kali. Sedangkan dalam qaul Jadid dilarang.
Dalam masalah taswib, terjadi perselisihan dan perbedaan antara qaul qadim
dengan qaul jadid.
Pada qaul qadim taswib disunatkan, sedangkan pada qaul jadid
dilarang melakukan taswib. Adanya perselisihan dan perbedaan tersebut perlu dicari
penyelesaiannya, mana yang harus didahulukan pengunaannya antara qaul
dengan qaul jadid.
qadim
Oleh karena itu Penulis akan mencoba untuk meneliti dan
menganalisa lebih lanjut tentang dalil-dalil yang digunakan oleh kedua fatwa tersebut.
Ismail Al-Kahlani mengatakan :
‫ذ ن‬q‫ ا ذ ا ل ا‬W‫ـ‬j‫ ا‬# ‫ ل‬2‫ ا‬B4‫ ر‬Q‫ أﻥـ‬# W‫یـ‬cP #$8‫و‬
15
#$ ‫ـ ا‬ff‫ اـم ﺹ‬#&P ‫ ة‬O6‫ح ل ا‬O‫ـ‬M‫ ا‬3;‫ـى‬7 &‫_ـ‬M‫ى‬C
‫ ة‬O6‫ اــم اـ‬#&‫ــ‬P ‫ة‬O6‫ـء اـ‬j‫ اـ‬W‫ى&ویـ‬C‫ و‬. 3I‫ـ‬j‫ا‬
.pI6‫ اـ‬# ‫ول‬8‫ذ ن ا‬8‫ى‬C ‫ اــم‬# &‫ـ‬P
Artinya: Dari Ibnu Huzaimah dari Anas RA. Ia talah berkata “termasuk sunnah yaitu
apabila seseorang Muadzin berkata pada
‘Alash Shalah, dilanjutkan dengan
adzan subuh dengan kata Hayya
kata “Ash-Shalatu khairun Minan
Naumi”.Ibnu Subky telah menshahihkan
hadits
tersebut
di atas,
dalam
riwayat Nasa’ i bahwa “Ash-Shalatu khairun minan-naumi” pada adzan subuh
yang pertama.
Muhammad Syatha Dimyati menerangkan :
‫ ة‬O6‫ ا‬,#:‫;ـ‬f‫;ـ ا‬$ ‫ وه ا ن ی=ـل‬pI‫ذ ان ﺹ‬s [‫یـ‬Y‫ ﺕ‬#‫ـ‬0‫و‬
&‫ــ‬P ‫ ة‬O6‫ ا‬pI6‫ ا ذا ن ـ‬8O$ ‫ ان‬p‫ ﺹ‬#I‫ اـم &ﺕ‬#&P
.pI6 A‫ذ یــ‬d:‫ى‬C ;)‫ـ ا‬0‫ و‬2‫=ل ﺹى‬C ,‫ اـم‬#
Artinya: Sunnat Taswib pada adzan shubuh sesudah kata “ Hayya alataini‘dengan kata “
Ash-Shalatu
Khairun
Minan
Naomi ” sebanyak dua kali sebagaimana
yang telah menjadi shahih ketika Bilal adzan pada shalat shubuh dengan
kata-kata “Ash-Shalatu Khairun Minan Naomi”. Kemudian Rasul Saw,
bersabda: lakukanlah seperti itu jika engkau adzan pada shalat shubuh.
Sedangkan Imam Syafi’i sendiri menerangkan sebagai berikut:
# A‫ـ‬f‫ـ ورة ی‬f $‫ن ا‬8 ‫ـ&ه‬L8‫ و‬pI6‫ى‬C [‫ـی‬Y:‫ـ[ ا‬7‫ا‬8‫و‬
‫ذا ن‬8‫ ا‬# ‫یـ دة‬c‫ ا‬J&‫آـ‬C [‫ـی‬Y:d$& ‫ اﻥ ا‬0‫ ـ و‬2‫ى‬6‫ى‬I‫ا‬
‫ـی[ وه‬Y:‫ اـ‬pI6‫ ا ذ ا ن ا‬# ‫یـ‬c‫ى= ی ی‬C ‫ ول‬.[‫ـی‬Y:‫ ا‬J&‫واآ‬
2‫ل ا‬0‫ذ ن ر‬q‫ ل ـ‬O$ #‫ ـ‬J‫ وروا‬,#‫ ا ـم &ﺕـ‬#&P ‫ ة‬O6‫ا‬
3‫ﻥ‬c‫ اـ‬J7 ‫ ى‬t‫ ا ا‬t‫ وهـ‬3‫=ـ‬I ‫ـ&اج ا‬j‫ ل ا‬,‫ـ‬0‫ و‬2‫ﺹى‬
.‫ـى‬:‫ـ‬M‫ واـ‬.‫ىـ;ــ‬C ‫ــ‬:‫ اـ=ـ ی وهاـ;ـ‬#‫ـ‬
Artinya: Saya tidak menyukai taswib dalam adzan shubuh dan yang lainnya, karena
Abu
Mahdurah
tidak pernah meriwayatkan dari Nabi
Saw,
diperintah untuk bertaswib. Oleh karena itu saya membenci
nambah dalam adzan subuh
bahwa ia
menambah-
dan juga membenci taswib. Menurut qaul
qadim bahwa pada adzan subuh ditambah dengan taswib yaitu:“Ash-sholatu
khairun Minan Naumi” dua kali. Diriwayatkan dari Bilal,seorang tukang adzan
pada masa Nabi Saw. berkata Sirajul Bulqiny,
sebagaimana
yang
telah
16
diriwayatkan oleh Muzani dari kaul qadim, yang menjadi pegangan dan fatwa
dalam beramal.
Dari pendapat ulama tersebut di atas, sebenarnya qaul qadim dilandasi dengan
hadits-hadits yang shahih dan masyhur, seperti pendapat Al-Kahlani mengambil hadits
dari Abu Hujaimah dan dari Anas, kedua Perawi ini termasuk orang yang tsiqoq, dlabit,
jujur dan terpercaya. Begitu juga pendapat Saththa Dimyathi yang melandasi dengan
hadits yang sama, meskipun Dia tidak menerangkan dari mana hadits tersebut serta siapa
perawi haditsnya. Walaupun demikian karena matan hadits tersebut sama dengan haditshadits lain, maka dengan sendirinya hadits tersebut termasuk hadits masyhur. Lain halnya
dengan pendapat Imam Syafi’i dalam qaul jadidnya yang menolak menggunakan
taswib pada adzan subuh, dengan alasan karena Nabi tidak memerintahkan kepada Abu
Mahdurah untuk melakukan taswib. Sebenarnya fatwa Imam Syafi’i dalam qaul qadim
telah dijelaskan oleh Muridnya yang bernama Al-Mazani, yang menerangkan bahwa
taswib pada shubuh ada dasarnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Bilal, seorang tukang
adzan pada jaman Rasulullah Saw, menurut Al-Mazani pendapat inilah yang lebih kuat.
Untuk lebih memperjelas permasalahan antara qaul qadim dengan qaul jadid dan
yang mana yang lebih sesuai dengan keadaan masyarakat itu sendiri, maka perlu juga
didengar keterangan ulama lainnya, seperti di bawah ini:
Syihabuddin Qulyuby menerangkan :
c‫ـ‬P ‫ ة‬O6‫ ا‬#‫ـ‬:;f‫ـ;ـ ا‬$ ‫ وه ان ی=ل‬pI6‫ى‬C [‫ی‬Y:‫ ا‬#‫ـ‬j‫وی‬
. ‫ـد )ـ‬0$ J&‫ـ‬L‫ى ا ؤ د و‬$‫ ا‬Z‫ ی‬f‫ى‬C J‫ رد‬#‫ ام &ﺕـ‬#
Artinya: Disunatkan Taswib pada shalat shubuh, yaitu dengan kata-kata“Ash sholatu
khairun minan naum, setelah Hayya ‘Alataini” sebanyak dua kali karena ada
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan juga riwayat lainnya dengan
sanad yang baik.
Ibnu Rusydi juga menerangkan :
‫ اـم‬# &P ‫ ة‬O6‫ ا‬pI6‫ ة ا‬O6‫ى‬C ‫ذ ن‬q‫ ـل ا‬# ‫ا‬M‫ـ‬:‫ـ‬P‫وا‬
‫ـ‬C A ‫ ا ﻥ یـ=ـ ل ذ‬3 ‫هـ[ ا_ر ا‬t‫ـ‬C ‫ ؟‬8 ‫ ا م‬C ‫ ی=ـل‬.‫ه‬
. W‫ــﻥـ‬j‫ ذا ن ا‬8‫ ا‬# Q‫ﻥ ـ‬8 ‫ ی=ـل‬8 ‫&ون ان‬P‫ول ا‬
Artinya: Para Ulama berbeda pendapat tentang perkataan adzan pada shalat shubuh,
yaitu masalah “ Asholatu Khairun Minan Naomi”, apakah itu ada dasarnya
atau tidak ada
dasarnya. ? Jumhur ulama berpendapat bahwa taswib pada
shalat subuh ada dasarnya, sedangkan pendapat yanglainnya bahwa taswib
bukan termasuk bagian adzan yang disunatkan.
Pada intinya fatwa Imam Syafi’i dalam qaul jadid membenci dan melarang untuk
mengunakan taswib, tetapi disini Penulis tidak menemukan adanya hadits yang secara
jelas melarang untuk taswib. Sedangkan menurut qaul qadim pada adzan shubuh
17
disunatkan melakukan taswib, hal ini telah banyak Hadits Nabi Saw yang menerangkan
taswib, seperti hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah, Ahmad
dan Nasa’i, semuanya meriwayatkan tentang hadits taswib.
Bahkan jumhur Ulama
sepakat menyatakan bahwa taswib itu disunatkan.
Menurut analisa Penulis, alasan (dalil) qaul qadim lebih kuat dari pada qaul
jadid, karena qaul qadim didukung oleh sebagian besar ulama. Karena didukung oleh
sebagian besar ulama, maka sesuai dengan kaidah ushul fiqh yang menerangkan “ AlMusbitu Muqaddamun ‘Alan Nafii” Artinya : yang menetapkan (orang Banyak) harus
didahulukan dari pada orang yang meniadakan (orang sedikit). Disamping itu qaul kadim
lebih sesuai dengan keadaan masyarakat Indonesia, karena diseluruh mesjid di Indonesia
selalu menggunakan taswib ketika adzan shubuh tiba. Dengan demikian qaul qadim
masih relevan dengan keadan masyarakat itu sendiri, oleh karennya tidak berlaku kata
jadid menghapus kata qadim.
Demikianlah beberapa sampel yang dapat Penulis kemukakan, tentang adanya
perbedaan dan perselisihan antara qaul qadim dan qaul jadid. Sebenarnya banyak sekali
tentang adanya perbedaan dan perselishan antara qaul qadim dengan qaul jadid, tetapi
dengan beberapa sampel tersebut di atas, kiranya bisa mewakili kepada sampel-sampel
yang lainnya. Karena pada dasarnya dalam pembahasan ini, ingin mengetahui apakah
benar bahwa qaul
qadim
telah
dihapus
oleh
qaul
jadid. Ternyata setelah
diteliti masih banyak qaul qadim yang dalilnya lebih kuat dari pada qaul jadid. Dari
empat sampel yang diteliti oleh Penulis, terdapat dua sampel yang menyatakan qaul
qadim dalilnya lebih kuat dari pada qaul jadid dan dua sampel lagi yang menyatakan dalil
qaul jadid lebih kuat. Dengan demikian berapapun sampel yang dibahas, hasilnya akan
tetap sama.
Dari empat kasus/sampel yang diteliti oleh Penulis, tidak semua dalil qaul qadim
dihapus oleh qaul jadid, karena setelah diteliti dan dianalisa melalui beberapa sampel,
ternyata masih banyak dalil qaul qadim yang masih relevan dan lebih kuat dalilnya
dibanding dengan kaul jadid. Oleh karena menurut pandangan Penulis jika ditemukan
adanya perbeda-an antara qaul qadim dengan qaul jadid, harus diadakan penelitian terlebih dahulu, kemudian dari kedua dalil itu dibandingkan mana yang lebih kuat dan lebih
maslahat bagi umat manusia. Hal ini dilakukan sebagai pengecualian terhadap
ketentuan umum tentang keshahihan qaul jadid yang telah diakui secara luas.
Menurut pandangn Penulis, teore yang paling tepat utuk meninjau kembali qaul
qadim sebagai dalil yang lebih kuat/shahih dari pada qaul jadid adalah melalui metode
Tarjih. Dengan metode ini kita tidak terpaku lagi dengan kaidah yang menerangkan “
apabila terjadi pertentangan antara qaul qadim dengan qaul jadid, maka dahulukan qaul
jadid, karena qaul qadim telah dinasakh”. Metode tarjih dilakukan jika menemukan ada
indikasi bahwa dalil qaul qadim lebih shahih/kuat dan lebih maslahat bagi umat manusia.
Dorongan untuk melakukan tarjih sebenarnya telah diucapkan oleh Imam Syafi’i sendiri
kepada murid-muridnya, seperti kata-kata beliau “ Jika hadits itu shahih, maka itulah maj
18
habku”. Sedangkan hadits yang shahih itu sendiri terdapat dalam qaul qadim dan qaul
jadid.
Seandainya Imam Syafi’i ditakdirkan dengan umur panjang dan bepindah
pindah dari satu negara ke negara lainnya, Penulis yakin akan banyak fatwa Imam Syafi’i
yang berbeda antara qaul qadim dengan qaul jadid, kemungkinan besar Imam Syafi’i
akan mengeluarkan fatwa yang lebih baru lagi dari qaul jadid, dan itu akan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan tempat dan jaman. Imam Syafi’i memberi
kebebasan kepada murid-muridnya untuk
berijtihad,
serta
tidak terikat
dengan
pendapat guru-gurunya, apalagi jika pendapat gurunya itu tidak sesuai dengan
keyakinannya. Pandangan Imam Syafi’i tersebut membuka cakrawala baru bagi
pembentukan hukum Islam yang selalu hidup dan berkembang sesuai dengan jamannya
dan sesuai pula dengan adat istiadat bangsa itu sendiri.
Dari permasalahan yang ditemukan oleh Penulis, tentang adanya perbedaan dan
perselisihan antara qaul qadim dan qaul jadid, kebanyakan menyangkut masalah ibadah,
mu’amalah dan munakahat, dari ke tiga masalah tersebut yang paling banyak adalah
menyangkut masalah ibadah. Dengan demikian rasanya tidak salah kalau Penulis
berasumsi, bahwa Imam Syafi’i begitu kreatif mengadakan perubahan-perubahan hukum
yang menyangkut masalah ibadah, padahal yang menyangkut masalah ibadah kebanyakan
ulama masih kaku dan terikat dengan dalil-dalil yang ada, sekalipun dalil-dalil itu bersifat
umum, seolah-olah mengadakan perubahan dalam masalah ibadah adalah bid’ah,
padahal itu telah dilakukan oleh Imam Syafi’i. Mungkin menurut Penulis tidak menaruh
besar terhadap perubahan-perubahan hukum yang menyangkut ibadah seperti yang
dilakukan oleh Imam Syafi’i, tetapi ada yang lebih penting dan lebih maslahat bagi
kehidupan manusia adalah mengadakan perubahan hukum dalam bidang mua’malah.
Dengan demikian pandangan Imam Syafi’i dalam qaul qadim dan qaul jadid, sebagai
wacana bagi kita untuk mengadakan perubahan-perubahan hukum, terutama hukum
mu’amalah, yang selama ini masih tetap berpegang kepada fiqh temporer, yang
kemungkinan besar sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi masyarakat sekarang.
D. IMPLIKASI QAUL QADIN DAN QAUL JADID TERHADAP PERUBAHAN
HUKUM ISLAM
Seperti telah diuraikan di atas, tampak dengan jelas bahwa hukum dalam mazhab
Imam Syafi’i bersifat dinamis, hal itu bisa dibuktikan dengan adanya beberapa fatwa
Imam Syafi’i yang dipengaruhi oleh berbagai situasi, kondisi dan keadaan. Sejak masih
berada di Hijaz (Makkah dan Madinah) ketika usia Imam Syafi’i masih muda telah
mengeluarkan beberapa fatwa tentang hukum, fatwa tersebut telah bertentangan dengan
gurunya di Hijaz (Imam Malik bin Annas) fatwa tersebut oleh Penulis disebut dengan pra
qaul qadim, kemudian setelah tinggal di Bagdad Imam Syafi’i mengeluarkan fatwa pula
yang disebut dengan qaul qadim, dan terakhir setelah tinggal di Mesir sampai wafatnya
telah banyak mengeluarkan fatwa yang disebut dengan qaul jadid. Menurut pandangan
19
Imam Syafi’i kebenaran hukum yang ditemukan hasil ijtihad itu bersifat relatif (zhanny)
bukan mutlak, maka tetap terbuka bagi pengkajian dan kemungkinan perubahan.
Kemungkinan adanya perubahan tersebut bisa dilihat dari hal-hal sebagai berikut:
1. Praktik Imam Syafi’i sendiri yang dalam waktu singkat telah mengemukakan
beberapa fatwa, tidak hanya qaul qadim dan qaul jadid, tetapi ada beberapa fatwa
yang dikeluarkan sebelum qaul qadim dan setelah qaul jadid.
2. Larangan taqlid serta anjuran ijtihad yang ditekankan oleh Imam Syafi’i
terhadap murid-muridnya, termasuk arahan dan anjuran agar memeriksa kembali
hasil fatwanya, serta meninggalkan fatwanya bila tidak sesuai dengan hadits yang
shahih.
3. Penyusunan dan penataan kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai
pedoman dalam
melakukan ijtihad, kenyataannya kaidah-kaidah tesebut mengalami perkembangan
melalui kajian lebih lanjut oleh para ulama As- Syafi’iyah.
4. Praktik para murid Imam Syafi’i yang senantiasa melakukan ijttihad, berupa
penelitian ulang terhadap fatwa Imam Syafi’i sendiri dan penerapan hukum terhadap
masalah-masalah baru.
5. Kenyataan adanya perbedaan dan saling koreksi yang berkelanjutan di kalangan
ulama Syafi’iyah dalam kegiatan ijtihad, sebagian ulama Syafi’iyah tidak
membenarkan adanya taqlid kepada mujtahid yang telah wafat.
Dari fakta-fakta tersebut di atas, dapat diratik suatu kesimpulan bahwa mazhab
Imam Syafi’i menghendaki agar hukum yang difatwakan harus selalu baru. Setiap
kejadian, situasi, kondisi memerlukan fatwa dan menuntut untuk berijtihad. Ijtihad
terdahulu yang dilakukan sehubungan dengan kasus yang pernah terjadi, pada prinsipnya
tidak berlaku untuk kasus serupa bila terjadi pada waktu atau kondisi yang berbeda,
terutama bila melihat adanya hal-hal yang mengharuskan peralihan fatwa.
Kodifikasi hukum Islam dengan alasan untuk mendapatkan kesatuan dan
kepastian hukum, sebenarnya kurang sesuai dengan prinsip mazhab Imam Syafi’i.
Prinsipnya bahwa setiap kejadian menuntut ijtihad tersendiri dan ini tidak sejalan dengan
kodifikasi hukum, bahkan mengekang kebebasan hakim untuk berijtihad. Menurut prinsip
mazhab Imam Syafi’i “seorang hakim haruslah mujtahid dan setiap mujtahid tidak boleh
bertaqlid”. Jadi hakim tidak boleh mengikuti pendapat orang lain, termasuk pendapat
yang telah dikodifikasi. Akan tetapi, karena masalah ini berada dalam lingkup AlSiyasah, maka pengaturannya jelas menjadi wewenang penguasa. Tindakan penguasa
harus ditunjukan kepada kemaslahatan umat, bila kodifikasi sudah dianggap sebagai
kemaslahatan, penguasa baleh melakukannya walaupun tidak sesuai dengan pendirian
mazhab. Kodifikasi oleh penguasa tidak dapat ditentang demi kewibawaan pemerintah,
masalah khilafiyah tidak berlaku terhadap tindakan penguasa, bahkan keputusan dan
tindakan penguasa dapat mengangkatkan khilaf yang ada.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, mazhab Imam Syafi’i, dengan
semangat ijtihad dan dinamika yang dimilikinya sebagaimana terlihat pada peralihan dari
20
satu qaul ke qaul lainnya serta perkembangan mazhab ini selanjutnya, tidak mungkin
menentang, bahkan sebaliknya sangat mendukung upaya pembaharuan hukum dengan
ijtihad secara berkelanjutan. Dengan ketentuan ijtihad dilakukan dengan benar dan tidak
meninggalkan kaidah-kaidah yang berlaku, supaya hukum yang dihasilkan dapat
dipertanggungjawabkan sebagai hukum Islam.
Kaidah-kaidah ushul fiqh yang diciptakan oleh Imam Syafi’i mempunyai
pengertian yang cukup luas, diantaranya dalam pembahasan qiyas. Sehingga berbagai
dalil yang disebut-sebut pada mazhab lainnya, semisal Istihsan, maslahat mursalah dan
lain sebagainya dalam batas-batas tertentu telah tercakup di dalamnya. Oleh karena itu
dengan
menggunakan metode istinbath As-Syafi’i, seorang mujtahid akan tetap
mempunyai kebebasan berijtihad yang cukup luas dalam merespons dan memberikan
jawaban atas setiap masalah yang terjadi dalam perkembangan jaman.
Perkembangan zaman yang semakin modern, kebudayaan manusia yang semakin
maju, akan senatiasa menuntut respons hukum terhadap berbagai perubahan sosial dan
budaya. Kebutuhan akan ijtihad akan terus berkembang, bahkan cendrung semakin
meningkat dari waktu ke waktu. Kekayaan dan perbendahraan fawa Imam Syafi’i
mungkin saja tidak cukup lagi untuk merespons perubahan-perubahan tersebut, sehingga
kebutuhan untuk ijtihad semakin meningkat. Mungkin sebelumnya ijtihad muqayyad
dan tarjih sudah memadai, akan tetapi pada gilirannya hajat masyarakat akan menuntut
ijtihad mutlak atau ijtihad mutlak mustaqil.
Dengan mengamati perkembangan kebudayaan dam kemajuan zaman, telah
nampak bahwa perubahan fatwa Imam Syafi’i dari satu qaul ke qaul lainya tidak hanya
terjadi pada fatwa-fatwa hukum sebagai hasil ijtihad, melainkan juga terjadi pada
sebagian kaidah-kaidah ijtihad itu sendiri. Koreksi dari Ashhab ( teman-teman Syafi’i)
terhadap pendapatnya tampak jelas meliputi ke dua bidang. Perbedaan pendapat dan
saling koreksi dalam kajian ushul fiqh dikalangan syafi’iyah tidak kalah ramainya dengan
yang terjadi pada kajian fatwa mazhab. Hal ini dapat dijadikan sebagai modal dasar untuk
melaukukan perubahan-perubahan hukum yang disesuaikan
dengan keadaan, situasi,
zaman dan kondisi masyarakat setempat.
Sepanjang sejaran, perkembangan ilmu pengetahuan selalu terkait dan saling
mempengaruhi dengan keadaan politik, sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Ketika
kekuatan politik umat Islam mengalami disintegrasi pada abad pertengahan, kegiatan
ilmiyah termasuk ijtihad tidak lepas dari pengaruhnya. Semangat ijthad melemah dan
sikap bertaqlid semakin meluas, bahkan termasuk dikalangan ulama sendiri. sejak abad
IV hijriyah tidak ada lagi ulama yang mengaku sebagai mujtahid mutlak mustaqil (lepas
dari keterikatan pendapat orang). Pada waktu itu kegiatan ijtihad hanya terbatas pada
dalam mazhab anutan masing-masing. Meskipun demikian banyak ulama usuhl fiqh yang
hidup pada masa itu menyatakan bahwa keberadaan mujtahid mutlak merupakan fardu
kifayah. Dengan demikian apabila suatu masa tidak ada mujtahid mutlak, berarti umat ini
telah gagal melaksanakan salah satu kewajibannya.
21
Sudah dapat dipastikan, bahwa untuk mencapai tingkat ijtihad mutlak itu
tidaklah sederhana, karena kriteria dan persyaratan yang harus dipenuhi cukup berat.
Akan tetapi itu akan terasa lebih mudah dipelajari bila dibandingkan dengan keadaankeadaan pada masa imam-imam mujtahid yang hidup pada abad ke dua dan ke tiga
hijriyah. Alasan-alasan lain yang memudahkan adalah bahwa ilmu-ilmu
mendukung
yang
untuk berijtihad telah ada, seperti tafsir, hadits, ushul fiqh dan lain
sebagainya. Dengan demikian banyaknya kemudahan yang dapat menunjang pendidikan
pada zaman modern ini, dapat diharapkan pencapaian tingkat ijtihad itu akan menjadi
lebih mudah lagi dibandingkan dengan masa-masa kemunduran Islam. Sehingga hukum
Islam tetap berkembang sesuai dengan berkembangnya, waktu, tempat dan kebudayaan
masnusia itu sendiri, dan sekaligus kemurnian Islam tetap terjaga.
E. KESIMPULAN
Metodologi istinbat hukum melalui qiyas, adalah sebagai upaya ijitihad Imam
Syafi’i dalam menghadapi peristiwa-peristiwa baru yang tidak terdapat dalam AlQur’an dan Sunnah. Peristiwa-peristiwa baru tersebut timbul karena berkembangnya
beradaban kebudayaan manusiadan, faktor perbedaan alam, sehingga hukum Islam
dituntut untuk memecahkan masalah-masalah baru yang tidak terdapat adalam AlQur’an dan As-Sunah. Sesuai dengan kaidah yang berbunyi “Hukum itu selalu berubah,
sesuai dengan perubahan tempat dan jaman”.
Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid dapat terjadi,
karena menurut Imam Syafi’i setiap kasus menuntut untuk berijtihad tersendiri, dan
fatwa harus senantiasa baru sesuai dengan hasil ijtihad terakhir serta tidak terikat dengan
fatwa terdahulu. Perubahan fatwa Imam Syafi’i dari qaul qadim ke qaul jadid, karena
dilatar belakangi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor geografis, faktor kebudayaan
dan adat istiadat, faktor ilmu pengetahuan, faktor metodologi dan faktor tuntutan dari
murid Imam Syafi’i. Pengaruh dari faktor-faktor tersebut di atas, jelas tampak pada
keragaman masalah yang dibahasnya, setiap kali menghadapi kasus-kasus
yang
aktual, Imam Syafi’i melakukan ijtihad dengan mempergunakan dalil, kaidah dan sisi
pandang yang paling tepat.
Dari beberapa sampel yang dianalisa antara fatwa qaul qadim dengan qaul
jadid, ternyata telah ditemukan ada beberapa fatwa qaul qadim yang dalilnya lebih
kuat dan lebih maslahat bila dibandingkan dengan qaul jadid.
Untuk mengetahui
adanya dalil qaul qadim yang lebih kuat/lebih shahih bila dibandingkan dengan qaul
jadid adalah melalui metode tarjih.
Gerakan pembaharuan hukum Islam pada masa modern selalu membangkitkan
semangat
ijtihad ,
undang-undang
menyerukan penataan kembali hukum Islam,
sesuai
dengan
serta
menyusun
kemajuan zaman. Mazhab Imam Syafi’i sangat
mendukung dalam pembaharuan hukum. Dalam pandangan Imam Syafi’i, kebenaran
22
fatwa diukur dengan kekuatan dalil yang mendukungnya. Pendapat terdahulu tentang
suatu kasus tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap kasus berikutnya.
Dalam menghadapi
perbendaharaan
permasalah hukum,
fatwa-fatwa
yang
ada pada
mazhab Imam Syafi’i layak ditelusiri dan diteliti ulang dengan
menggunakan kaidah-kaidah ijtihad yang telah dirumuskannya. Untuk kasus-kasus
baru yang belum terjangkau
oleh
kajian mazhab, kaidah-kaidah tesebut dapat
dipedomani dalam penanganan dalil-dalil terkait, melalui ijtihad jama’i. Dengan
demikian, dinamika hukum dalam mazhab Imam Syafi’i sangatlah relevan dengan
upaya pembaharuan hukum Islam pada masyarakat modern yang dinamis.
Dilihat dari teori hukum “ Lex Posterior Derogat Legi Priori”, artinya hukum
yang datang terakhir harus didahulukan/diberlakukan dari pada hukum yang datang
lebih dahulu. Begitu juga dengan teori nasakh mansukh yang merupakan teori yang
diakui oleh Imam Syafi’i, yang menyatakan ayat yang datang terakhir dapat menghapus
ayat yang datang lebih dahulu. Dengan demikian semakin memperkuat kesimpulan
Penulis, bahwa Imam Syafi’i selalu berubah-ubah dalam berijtihad, karena imam Syafi’i
selalu mendahulukan kemaslahatan hukum bagi masyarakat dan kondisi masyarata
setempat. Hal ini dapat dibuktikan bahwa qaul qadimnya imam Syafi’i masih ada yang
relevan dengan jaman sekarang sekalipun telah ada qaul jadidnya. Hal inilah menurut
Penulis pemikiran-pemikiran imam Syafi’i yang sangan brilian untuk menjadi penggerak
bagi kita semua dalam menggali hukum melalui ijtihad.
Download