bab i pendahuluan

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Ionosfer merupakan salah satu lapisan di atmosfer bumi yang memiliki beragam
manfaat bagi kehidupan makhluk hidup. Banyak penelitian yang telah dilakukan
terhadap ionosfer untuk menggali lebih dalam manfaatnya. Salah satunya ialah dengan
meneliti kerapatan elektron di ionosfer atau dikenal dengan istilah Total Electron
Content (TEC). TEC menyatakan jumlah elektron dalam silinder dengan penampang
seluas 1 m2 dengan panjang antara satelit Global Navigation Satellite System (GNSS)
dan receivernya (Astra dan Pudja, 2009). Penelitian terhadap TEC ionosfer memiliki
beberapa manfaat salah satunya untuk mendeteksi pertanda dan dampak bencana
gempa bumi dengan magnitude gempa lebih dari 6 SR (Subakti, dkk., 2008). Gempa
bumi dengan magnitude sebesar ini mampu menyebabkan anomali di ionosfer.
Anomali ini dideteksi dengan cara menganalisis variasi nilai TEC di lokasi terjadinya
gempa bumi tersebut (Liu, dkk., 2001).
Pada beberapa kasus gempa bumi yang ada sebelumnya, penerapan analisis TEC
ini telah banyak dilakukan dengan menggunakan analisis terhadap anomali variasi
nilai TEC harian, misalnya pada gempa bumi dengan magnitude 9,0 SR yang terjadi
di pesisir barat Sumatera Utara, Indonesia pada 26 Desember 2004. Pada kasus ini
terjadi anomali pada variasi nilai TEC harian di stasiun SAMP, stasiun IISC, dan
stasiun BAKO pada 2 s.d 7 hari gempa Aceh itu terjadi (Saroso, 2010).
Pada penelitian ini, dilakukan analisis variasi nilai TEC harian di lokasi
terjadinya gempa dengan magnitude 7,3 SR di Laut Maluku, pada 15 November 2014.
Pengamatan variasi TEC dilakukan dari lima stasiun pengamatan GNSS. Kelima
stasiun tersebut terdiri atas satu stasiun IGS di Kota Bitung (Provinsi Sulawesi Utara)
dan empat stasiun lainnya adalah CORS yang terdapat di Kota Bitung (Provinsi
Sulawesi Utara), Ternate (Provinsi Maluku Utara), Biak (Provinsi Papua Barat), dan
Sorong (Provinsi Papua Barat). Pengamatan ini dilakukan sejak 25 hari sebelum
sampai dengan 30 hari sesudah terjadinya gempa tersebut, atau lebih tepatnya sejak
tanggal 21 Oktober hingga 16 Desember 2014.
1
2
I.2. Rumusan Masalah
Gempa bumi yang terjadi di Laut Maluku pada 15 November 2014 merupakan
gempa dengan magnitude 7.3 SR. Pada kekuatan gempa di atas 6 SR ini sangat
dimungkinkan terjadi anomali TEC. Namun saat ini belum diketahui apakah terjadi
anomali ionosfer sebelum gempa bumi terjadi. Untuk itu, perlu dilakukan analisis
terhadap variasi nilai TEC harian beberapa hari sebelum terjadinya gempa tersebut.
Berdasarkan data pengamatan GNSS pada satu stasiun IGS dan empat stasiun CORS
di sekitar lokasi gempa bumi.
I.3. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah terdapat anomali nilai TEC sebelum terjadi gempa bumi di Laut
Maluku pada 15 November 2014 ?
2. Apakah anomali nilai TEC yang terjadi merupakan prekursor gempa bumi di
Laut Maluku pada 15 November 2014 ?
I.4. Cakupan Penelitian
Cakupan penelitian yang dibahas dalam penelitian ini adalah :
1. Wilayah penelitian adalah di sekitar lokasi terjadinya gempa bumi di Laut
Maluku pada 15 November 2014.
2. Data yang digunakan adalah data pengukuran GNSS pada lima stasiun
pengamatan GNSS kontinyu. Kelima stasiun tersebut terdiri atas satu stasiun
IGS di Kota Bitung (BTNG) dan empat lainnya adalah stasiun CORS yang
terdapat di Kota Bitung (CBIT), Kota Biak (CBIK), Ternate (CTER), dan
Kota Sorong (CSOR).
3. Analisis anomali nilai TEC harian dilakukan sejak 25 hari sebelum sampai
dengan 30 hari sesudah terjadinya gempa bumi tersebut.
3
I.5. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan nilai TEC di ionosfer untuk
mengetahui apakah terdapat anomali sebelum 15 November 2014 di sekitar Laut
Maluku, dan mengetahui apakah anomali yang terjadi merupakan prekursor gempa
bumi di Laut Maluku.
I.6. Manfaat Penelitian
Penelitian ini bermanfaat untuk menghasilkan informasi tentang keterkaitan
antara bencana gempa bumi dengan keadaan atmosfer sebelum gempa bumi itu terjadi.
Selanjutnya hubungan keterkaitan tersebut dapat digunakan sebagai bahan kajian
dalam penelitian di masa mendatang.
I.7. Tinjauan Pustaka
Saroso (2010) dalam makalahnya yang berjudul “Ionosfer Untuk Komunikasi
Radio, Navigasi, dan Informasi Mitigasi Gempa” menjelaskan bahwa penelitian
terhadap TEC ionosfer dapat dikaitkan dengan terjadinya gempa bumi. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh LAPAN, prekursor gempa bumi ditandai berdasarkan
anomali TEC berupa penurunan nilai TEC ionosfer. Pada gempa bumi di Sulawesi
Utara pada tanggal 4 Mei 2000 dengan kekuatan 7,6 SR dapat diketahui tiga prekursor.
Astra dan Pudja (2009) menjelaskan hal yang sama dalam makalahnya yang
berjudul “Analisa Vertical Total Electron Content di Ionosfer Daerah Jawa dan
Sekitarnya yang Berasosiasi dengan Gempa bumi Yogyakarta 26 Mei 2006 UTC”.
Dalam makalah ini dijelaskan bahwa terjadi anomali berupa penurunan jumlah
kandungan elektron di ionosfer VTEC beberapa hari sebelum gempa Yogyakarta
terjadi, yaitu pada tanggal 18, 20, dan 22 Mei 2006.
Subakti, dkk., (2008) dalam makalahnya yang berjudul “Analisis Variasi GPSTEC yang Berhubungan dengan Gempa bumi Besar di Sumatera” menjelaskan bahwa
tidak semua gempa berskala besar akan diketahui prekursornya melalui TEC ionosfer.
Dari 10 gempa bumi dengan kekuatan yang lebih besar dari 6 SR di Sumatera pada
bulan Desember 2004 hingga April 2005, terdapat sembilan gempa bumi yang dapat
diketahui prekursornya.
4
Muslim (2015) menjelaskan bahwa prekursor gempa bumi dengan kekuatan
lebih dari 8 SR akan lebih efektif dideteksi dengan metode teknik autokorelasi. Telah
dibuktikan pada penelitian yang dilakukan terhadap 17 gempa bumi yang terjadi antara
tahun 2000 sampai dengan tahun 2012 di dunia, terdapat 63% prekursor gempa bumi
yang terdeteksi.
Penelitian ini mengkaji tentang anomali ionosfer yang terjadi beberapa hari
sebelum terjadinya gempa bumi di Laut Maluku pada 15 November 2014. Anomali
tersebut diamati dengan pengukuran GNSS yang dilakukan di lima stasiun, yaitu satu
stasiun IGS di Kota Bitung dan empat stasiun lainnya adalah CORS yang terdapat di
Kota Bitung, Ternate Biak, dan Sorong. Teknik Autokorelasi digunakan untuk
mengidentifikasi apakah anomali yang terjadi disebabkan oleh gempa bumi tersebut.
I.8. Landasan Teori
I.8.1 Global Navigation Satellite System (GNSS)
GNSS merupakan teknologi yang digunakan untuk menentukan posisi atau
lokasi dalam satuan ilmiah di Bumi. Satelit akan mentransmisikan sinyal radio dengan
frekuensi tertentu yang berisi data waktu dan posisi yang dapat diambil oleh penerima.
Data ini memungkinkan pengguna untuk mengetahui lokasi mereka secara tepat
(Huda, 2013).
GNSS terdiri dari tiga segmen utama yaitu segmen angkasa, segmen kontrol,
dan segmen pemakai. Segmen angkasa terdiri atas satelit-satelit GNSS, yang
memancarkan sinyal dalam dua frekuensi. Segmen Kontrol terdiri atas Master Kontrol
Station dan beberapa Monitor Station yang tersebar di seluruh dunia, sedangkan
segmen pemakai (user segment) terdiri atas pemakai GNSS termasuk alat penerima
serta pengolah sinyal dan data GNSS (Abidin, 2000).
1.8.1.1 Perjalanan sinyal GNSS. Secara garis besar, cara kerja GNSS adalah
dikirimnya sinyal oleh satelit ke antena penerima. Setiap daerah di bumi minimal
terjangkau oleh empat buah satelit. Jumlah ini dibutuhkan untuk mendapatkan posisi
antena penerima dalam tiga dimensi. Setiap satelit akan memancarkan sinyal yang
akan diterima oleh receiver GNSS. Jarak yang ditempuh oleh sinyal tersebut
5
menyatakan jari-jari lingkaran jangkauan setiap satelit. Kemudian dengan
menggunakan prinsip triangulasi maka posisi GNSS di permukaan bumi dapat
ditentukan.
Dalam perjalanannya dari satelit hingga sampai ke pengamat di permukaan
bumi, sinyal GNSS mengalami beberapa gangguan. Abidin (2000) menjelaskan bahwa
terdapat sebelas kesalahan dan bias sinyal satelit GNSS, yaitu kesalahan ephemeris
(orbit satelit), bias ionosfer, bias troposfer, multipath, ambiguitas fase, cycle slips,
selective avaibility (SA), anti spoofing, kesalahan jam satelit dan receiver, pergerakan
dari pusat fase antena, dan imaging.
Berbagai kesalahan tersebut akan menyebabkan kesalahan pada jarak ukuran
dengan GNSS baik pseudorange maupun jarak fase. Oleh sebab itu, bias dan kesalahan
tersebut harus diperhitungkan dalam pemrosesan sinyal GNSS untuk keperluan
penentuan posisi ataupun parameter lainnya.
1.8.1.2. Sinyal Satelit GNSS. Satelit GNSS memancarkan sinyal ke receiver di bumi.
Sinyal GNSS dapat dibagi atas tiga komponen.
1. Sinyal penginformasi jarak (kode). Sinyal ini terdiri dari dua kode Pseudo
Random Noise (PRN) yang digunakan sebagai penginformasi jarak, yaitu kode-P(Y)
(P : Precise atau Private) dan kode-C/A (C/A : Coarse Acquisition atau Clear Access).
Kode-kode ini terdiri dari rangkaian bilangan biner (1 dan 0), yang mempunyai
struktur yang unik (tertentu) dan berbeda untuk satiap satelit GNSS. Dengan demikian,
receiver GNSS dapat mengamati dan membedakan sinyal-sinyal yang datang dari
satelit yang berbeda (Abidin, 2000).
Jarak dari pengamat ke satelit dapat ditentukan dengan mengamati kode-P(Y)
ataupun kode-C/A. Pengukuran jarak ini mengandung bias terutama yang berasal dari
kesalahan antara jam satelit dan receiver GNSS. Jarak yang mempunyai bias ini
dinamakan dengan jarak semu (pseudorange), sehingga prinsip dasar dari pengamatan
GNSS dapat juga dinamakan dengan pengamatan pseudorange.
Pengamatan pseudorange. Dasar
pengamatan
pseudorange
adalah
penentuan jarak dari receiver ke satelit melalui pengukuran selisih waktu (Δt),
yaitu waktu yang diperlukan oleh kode untuk menempuh jarak dari satelit ke antena
receiver. Jarak yang diukur pada pengamatan menggunakan data kode bukanlah
6
jarak yang sebenarnya, melainkan suatu jarak semu yang disebabkan antara lain
karena ketidaksinkronan antara jam di satelit dengan jam di receiver. Oleh karena
itu, untuk pengukuran yang dilakukan dengan data kode diperoleh persamaan jarak
semu (pseudorange).
Persamaan pengamatan untuk mencari jarak yang telah dilinierkan dan
memperhitungkan semua bias dan noise yang ada pada pseudorange dinyatakan
dalam Persamaan (1) berikut ini (Abidin, 2000) :
𝑃 = 𝜌 + π‘‘πœŒ + π‘‘π‘‘π‘Ÿπ‘œπ‘ + π‘‘π‘–π‘œπ‘›π‘– + (𝑑𝑑 − 𝑑𝑇) + 𝑀𝑃𝑖 + 𝑣𝑃𝑖 ...................... (1)
dengan
P
: jarak pseudorange
ρ
: jarak geometrik antara pengamat dan satelit,
dρ
: efek dari bias di ephemeris satelit,
dtrop
: bias jarak yang disebabkan oleh troposfer,
dion
: bias jarak yang disebabkan oleh ionosfer,
dt
: bias jarak karena kesalahan waktu di receiver,
dT
: bias jarak karena kesalahan waktu di satelit,
Mpi
: efek dari multipath pseudorange, dan
υPi
: noise dari pseudorange
Pengamatan Carrier Phase. Selain pseudorange, juga terdapat ukuran jarak
dengan menggunakan fase sinyal. Pengukuran jarak dengan fase dari pengamat ke
satelit bukanlah merupakan jarak absolut, tetapi merupakan jarak yang ambigu. Untuk
mengubah data fase menjadi data jarak, maka ambiguitas fase (N) harus ditentukan
terlebih dahulu nilainya.
Dalam pengamatan carrier phase, jarak antara receiver dan satelit diperoleh
dengan cara mengamati selisih fase antara fase sinyal pembawa (L1/L2) yang datang
dari satelit dan fase oleh receiver. Pada pengamatan ini, terdapat sejumlah N cycle
gelombang yang tidak teramati yang dikenal sebagai cycle ambiguity. Besaran N
yang ada akan selalu tetap jumlahnya selama sinyal yang diterima oleh receiver tidak
terhalang. Apabila sinyal terhalang maka terjadilah cycle slip dan besaran N harus
7
ditentukan lagi (Abidin, 2000).
Persamaan (2) merupakan persamaan jarak fase dengan memperhitungkan
pengaruh bias ionosfer, bias toposfer, noise (υp), dan multipath (mp) :
𝐿𝑖 = 𝜌 + π‘‘πœŒ + π‘‘π‘‘π‘Ÿπ‘œπ‘ + π‘‘π‘–π‘œπ‘›π‘– + (𝑑𝑑 − 𝑑𝑇) − πœ†π‘–. 𝑁𝑖 + 𝑀𝐢𝑖 + 𝑣𝐢𝑖 ................... (2)
dengan
Li : pengukuran fase dalam satuan jarak,
ρ
: jarak geometrik antara pengamat dan satelit,
dρ
: efek dari bias di ephemeris satelit,
dtrop
: bias jarak yang disebabkan oleh troposfer,
dion
: bias jarak yang disebabkan oleh ionosfer,
dt
: bias jarak karena kesalahan waktu di receiver,
dT
: bias jarak karena kesalahan waktu di satelit,
λi
: panjang gelombang sinyal,
Ni
: ambiguitas fase,
MCi
: efek dari multipath fase, dan
υCi
: noise dari fase
2. Sinyal penginformasi posisi satelit (navigation message). Sinyal GNSS juga
berisi pesan navigasi yang menginformasikan posisi dan kondisi satelit. Pesan navigasi
merupakan sinyal yang ditambahkan pada kode L1 yang memberikan informasi
tentang parameter orbit satelit, parameter koreksi ionosfer, UTC, almanak satelit,
koreksi jam satelit dan receiver dan status sistem lainnya. Pesan navigasi ini ditentukan
oleh segmen sistem kontrol dan dikirimkan ke pengguna menggunakan satelit GNSS
(Dana, 1997).
3. Gelombang pembawa (carrier wave). Terdapat dua gelombang pembawa
yaitu L1 dan L2. gelombang ini bertugas membawa kode dan pesan navigasi dari
satelit ke pengamat. Masing-masing gelombang tersebut memiliki nilai frekuensi
masing-masing tergantung pada satelitnya. Misalnya pada GPS, L1 berfrekuensi
1575,42 MHz dan L2 pada GPS berfrekuensi 1227,60 MHz. Gelombang L1 membawa
8
kode biner P(Y) dan C/A beserta pesan navigasi, sedangkan gelombang L2 hanya
membawa kode-C/A dan pesan navigasi (Dana, 1997).
I.8.2 International GNSS Services (IGS)
(IGS, 2015) menjelaskan bahwa International GNSS Service (IGS) merupakan
layanan GNSS internasional yang memberikan akses secara terbuka terhadap produkproduk GNSS sejak tahun 1994. Produk-produk dari layanan ini dapat dimanfaatkan
untuk aplikasi ilmiah, pendidikan, dan komersial sehingga dapat mendukung
kemajuan ilmu pengetahuan dan kepentingan publik
Produk-produk yang disediakan oleh IGS meliputi efemeris satelit GNSS,
parameter rotasi bumi, koordinat dan kecepatan stasiun pelacakan global, informasi
jam satelit dan stasiun pelacakan, perkiraan delay zenith troposfer, dan peta ionosfer
global. Selanjutnya produk-produk tersebut dapat dimanfaatkan antara lain untuk
pemantauan deformasi bumi, pemantauan rotasi bumi, pemantauan troposfer dan
ionosfer, dan penentukan orbit satelit ilmiah, dan beragam aplikasi lainnya.
1.8.2.1. Stasiun IGS. Untuk mendukung misi dan ketersediaan data yang akurat, saat
ini IGS memiliki lebih dari 452 stasiun pengamatan yang tersebar di seluruh
permukaan bumi. Stasiun- stasiun tersebut mengambil data setiap harinya, dua puluh
empat jam secara kontinyu. Gambar I.1 menunjukkan persebaran stasiun pengamatan
IGS. Titik-titik hijau menunjukkan lokasi masing-masing stasiun pengamatan IGS.
Hampir setiap negara di dunia mempunyai stasiun IGS. Stasiun IGS di Indonesia
terdapat di tiga kota, seperti tertera pada Tabel (I.1) berikut ini :
Tabel I.1. Lokasi IGS di Indonesia (IGS, 2015)
No
Nama Stasiun
Kota
Lintang
Bujur
Satelit
1
BAKO
Cibinong (Jawa Barat)
6,49 LS
106,85 BT
GPS dan GLONASS
2
BNOA
Benoa (Bali)
8,746 LS
115,21 BT
GPS
3
BTNG
Bitung (Sulawesi Utara)
1,439 LS
125,19 BT
GPS
9
Gambar I. 1 Lokasi persebaran stasiun IGS di permukaan bumi (IGS, 2015)
I.8.3 Continuously Operating Reference Station (CORS)
CORS merupakan salah satu teknologi berbasis GNSS yang dimanfaatkan
untuk berbagai aplikasi terkait penentuan posisi. CORS merupakan jaring kerangka
geodetik berupa stasiun pengamatan permanen yang dilengkapi dengan receiver yang
dapat menerima sinyal dari satelit GNSS, yang beroperasi secara kontinyu selama dua
puluh empat jam (Hutomo, 2010). CORS pertama kali dikembangkan di Amerika
Serikat sejak Oktober 2001 oleh The National Geodetic Survey (NGS) yang
merupakan bagian dari National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
dan mulai dioperasikan secara kontinyu sejak November 2005 (Snay dan Soler, 2008).
Azmi (2012) menerangkan bahwa CORS yang ada di Indonesia dibuat oleh
beberapa lembaga misalnya Badan Informasi Geospasial (BIG), Badan Pertanahan
Nasional (BPN), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). BIG mulai mengembangkan CORS
sejak tahun 1996. BIG hingga tahun 2011 telah memiliki 117 stasiun dimana 99 stasiun
CORS merupakan stasiun yang dibangun oleh BIG dan 18 stasiun merupakan stasiun
hasil kerja sama dengan pemerintah negara Jerman sebagai bagian dari pembangunan
proyek Germany Indonesia Tsunami Early Warning System (GITEWS).
10
Sementara BPN, telah memiliki 93 stasiun, dengan komposisi 70 stasiun berada
di pulau Jawa dan Bali dan 23 lainnya berada di luar Jawa dan Bali. Pada awal
perencanaan pembangunan jaringan CORS tersebut, BPN membagi dua jenis stasiun
CORS yaitu stasiun kelas A dan kelas B. Stasiun CORS kelas A milik BPN, dibuat
dengan fraksi jarak antar stasiun CORS yaitu 100 s.d. 200 km dan juga stasiun tersebut
harus didirikan di atas tanah serta dilengkapi dengan receiver GPS dual-frequency.
Untuk stasiun CORS kelas B akan dibuat sebagai perapatan dari stasiun CORS kelas
A dengan fraksi jarak 30 s.d. 50 km dan dapat didirikan di atas atap gedung dengan
konstruksi yang kuat. CORS milik BPN memiliki fungsi utama untuk mempercepat
administrasi pertanahan di Indonesia.
I.8.4 Ionosfer
1.8.4.1 Lapisan ionosfer. Janssen (2012) menerangkan ionosfer merupakan salah satu
lapisan dalam atmosfer bumi dengan ketinggian antara 50 km hingga 1000 km.
Berdasarkan perbedaan molekul-molekul dan atom-atom di dalam atmosfer dan
tingkat perbedaan mereka dalam kemampuan menyerap, maka lapisan ionosfer dapat
dibagi ke dalam beberapa lapisan. Berikut akan dijelaskan mengenai pembagian
keempat lapisan tersebut.
1. Lapisan D
Lapisan ini adalah lapisan ionosfer yang paling bawah, yang memiliki
puncak ketinggian sekitar 50 km hingga 95 km. Lapisan ini paling sedikit
menerima pancaran Extreme Ultra Violet (EUV) sehingga partikel netralnya lebih
banyak dari pada partikel yang bermuatan. Kerapatan partikel bermuatan pada
lapisan ini merupakan yang paling rendah dibandingkan lapisan lainnya.
2. Lapisan E
Lapisan ini merupakan lapisan ionosfer yang tipis dengan tingkat kerapatan
elektron yang cukup tinggi yang menempati ketinggian 90 km hingga 130 km.
Lapisan ini merupakan lapisan yang sangat bergantung pada aktivitas matahari.
Pada lapisan E ini juga terdapat sublapisan yang bernama lapisan E Sporadis.
Lapisan E sporadis merupakan lapisan terletak di ketinggian 95 hingga 130 km ini
terkadang terjadi 50 % pada siang dan malam. Lapisan ini dimanfaatkan untuk
frekuensi VHF dengan jarak jauh.
11
3. Lapisan F1
Lapisan ini merupakan lapisan ionosfer yang berada di atas lapisan E, yaitu
pada ketinggian 160 km hingga 250 km. Konsentrasi electron dan ion pada lapisan
ini sangat bergantung pada elevasi matahari.
4. Lapisan F2
Lapisan ini merupakan lapisan tertinggi dengan puncak ketinggian 250 km
hingga 400 km, lapisan ini paling banyak menerima pancaran EUV sehingga
kerapatan partikel bermuatannya juga paling tinggi. Konsentrasi elektron dan ion
pada lapisan ini bergantung pada musim dan bintik matahari. Pada waktu malam
hari, lapisan D dan E menghilang, sedangkan lapisan F1 dan F2 bergabung
membentuk lapisan F. Gambar I.2 berikut menampilkan profil lapisan ionosfer.
Gambar I. 2 Profil lapisan D, E, F1, dan F2 Ionosfer
(Anderson dan Fuller-Rowell, 1999)
1.8.4.2. Anomali lapisan ionosfer. Pada lapisan inosfer terdapat molekul-molekul dan
atom-atom yang terpecah dan membentuk sekumpulan paritikel bermuatan berupa
elektron dan ion akibat dari adanya pengaruh radiasi Extreme Ultra Violet (EUV)
matahari. Proses pembentukan ion ini dikenal dengan istilah ionisasi. Proses ionisasi
12
inilah yang menyebabkan lapisan ionosfer mengalami variasi. Variasi dapat
berlangsung secara harian maupun musiman.
Selain variasi, aktivitas matahari dapat menyebabkan adanya anomali di
ionosfer. Anomali merupakan sebagai keadaan aneh yang terjadi di ionosfer. Saat
aktivitas matahari mencapai puncak, maka kerapatan electron semua lapisan ionosfer
meningkat. Sebaliknya saat aktivitas matahari menurun, kerapatan elektron semua
lapisan ionosfer juga menurun (Rachman, 2013).
Anomali pada lapisan ionosfer dapat terjadi dalam skala global maupun lokal.
Anomali yang bersifat global merupakan anomali yang terjadi pada hampir seluruh
lapisan ionosfer di semua belahan bumi, sedangkan anomali ionosfer lokal terjadi
hanya pada lokasi dan daerah tertentu saja. Beberapa sebab anomali ionosfer global
adalah badai geomagnet dan flare sedangkan salah satu penyebab anomali ionosfer
yang bersifat lokal adalah adanya aktivitas seismik (Liperovsky, dkk., 2008).
I.8.5 Total Electron Content (TEC)
TEC adalah jumlah elektron dalam silinder yang luas penampangnya 1m2
dengan panjang silinder sejauh lintasan sinyal antara receiver dan satelit GNSS yang
berada di lapisan ionosfer. Nilai TEC biasanya dinyatakan dalam TECU, dimana 1
TECU adalah sama dengan 1016 elektron/m2. Nilai TEC ionosfer biasanya berkisar
antara 1 sampai 200 TECU (Abidin, 2000). Gambar I.3 memberikan ilustrasi
hubungan antara slant total electron content (STEC), vertical total electron content
(VTEC), dan ionospheric pierce point (IPP).
STEC menyatakan jumlah elektron bebas pada silinder khayal pada garis
pandang antara satelit dan receiver. VTEC menyatakan jumlah elektron pada silinder
yang ditarik tegak lurus dari permukaan bumi. IPP merupakan titik potong lintasan
sinyal GPS di ionosfer pada ketinggian tertentu (Ya'aqob dkk, 2008; Muslim, 2010).
13
Gambar I. 3 Ilustrasi dua dimensi STEC, VTEC dan IPP di lapisan ionosfer
(Ya'aqob dkk, 2008)
Subakti, dkk., (2008) menyatakan bahwa nilai TEC ditentukan dengan terlebih
dahulu membentuk persamaan selisih waktu perlambatan antara L1 dan L2 pada GPS
(βˆ†Tion), yaitu sebagaimana tertulis pada Persamaan (3) :
.............................................................. (3)
TEC* dipindah ke ruas kiri menjadi Persamaan (4):
..................................................................... (4)
Diketahui fL1 : 1575,42 MHz dan fL2 : 1227,6 MHz, kemudian STEC dicari
dengan Persamaan (5) berikut :
....................................................................................... (5)
dengan S(e) diketahui dari Persamaan (6) berikut :
............ (6)
14
Dalam hal ini R adalah jari-jari, h1 adalah ketinggian titik pertama, h2 adalah
ketinggian titik kedua, dan e adalah sudut elevasi. Kemudian VTEC dicari dari
persamaan (7) berikut :
...................................................... (7)
Apabila tinggi ionosfer di Indonesia ialah 350 km (h = 350 km) dan jejari rerata
bumi (R = 6378 km), dan E adalah sudut elevasi satelit GNSS, maka Persamaan (8)
untuk menghitung nilai VTEC dapat ditulis sebagai berikut .
.................................................................. (8)
Muslim, dkk., (2010) menjelaskan bahwa penghitungan IPP dilakukan untuk
mendapatkan dua komponen posisi titik potong, yaitu bujur dan lintang. Persamaan
untuk menghitung bujur IPP ditunjukkan oleh Persamaan (9).
πœ†π‘π‘ = 𝑠𝑖𝑛−1 (𝑠𝑖𝑛 πœ†π‘’ . cos πœ“π‘π‘ + π‘π‘œπ‘  πœ†π‘’ . sin πœ“π‘π‘ . cos 𝐴) ............................... (9)
dengan
πœ†π‘π‘
: bujur IPP
πœ†π‘’
: bujur stasiun pengamatan
A
: sudut azimuth satelit dari stasiun pengamatan
πœ“π‘π‘
: sudut di pusat bumi antara posisi stasiun pengamatan dengan proyeksi
IPP ke permukaan bumi. Sudut ini dihitung dengan Persamaan (10).
πœ‹
πœ“π‘π‘ = Μ… − 𝐸 − 𝑠𝑖𝑛−1 ((𝑅 . cos 𝐸) /(𝑅 + β„Ž)) ...............................................(10)
2
dengan
E
: sudut elevasi satelit dari stasiun pengamat
R
: rerata jari-jari bumi
15
h
: ketinggian lapisan ionosfer
Selain dua komponen tersebut, terdapat satu komponen lain yaitu sudut elevasi
IPP. Komponen posisi sudut elevasi titik IPP bernilai sama dengan sudut elevasi satelit
GNSS (E).
I.8.6 Badai Geomagnet
Badai geomagnet terjadi akibat fenomena yang timbul di matahari terutama pada
saat matahari aktif, yaitu berupa lontaran massa korona (Coronal Mass Ejection-CME)
yang menyebabkan gangguan terhadap angin matahari dan berakibat pada peningkatan
aktivitas medan magnet bumi yang akan memicu terjadinya badai geomagnet.
Lontaran massa korona merupakan peristiwa terlontarnya plasma dalam jumlah besar
dan membawa medan magnet dari matahari yang seringkali berasosiasi dengan flare.
Materi ini menuju medium antar planet dan bila mengarah ke bumi akan mencapai
bumi dalam waktu 1 s.d. 5 hari. CME ini dianggap sebagai salah satu penyebab
terjadinya gangguan di ruang antar planet yang akan memicu terjadinya badai
geomagnet (Webb, dkk., 2000).
Sugiura dan Chapman (1960) mendefinisikan terminologi baru terkait indikator
badai geomagnet, yaitu ’Disturbance storm time’ yang direpresentasikan sebagai
indeks Dst, yang menggambarkan gangguan pada komponen H geomagnet saat terjadi
badai. Subakti., dkk (2008) menjelaskan bahwa Disturbance Storm Time Index (Indeks
Dst) adalah indeks geomagnet yang digunakan untuk menunjukkan level badai magnet
global.
Wetterer (2011) menjeaskan bahwa indeks Dst dihitung berdasarkan nilai rerata
komponen horisontal medan magnet bumi diukur per jam pada empat magnetometer
stasiun di dekat khatulistiwa dan direferensikan ke nol pada “internationally
designated quiet days” Indeks Dst yang bernilai negatif menunjukkan adanya proses
badai magnetik. Tanda negatif pada Indeks Dst disebabkan oleh arus badai yang
melintasi bidang ekuatorial. Semakin kecil nilai indeks Dst yang ditunjukkan maka
badai magnetik yang terjadi semakin besar. Indeks Dst dinyatakan dalam satuan nano
Tesla (nT). Tingkat badai geomagnet dapat diklasifikasikan sebagai badai besar (Dst
16
< -100 nT), badai sedang (-100 nT < Dst < -50 nT) dan badai lemah (-50 nT < Dst < 30 nT).
Data indeks Dst global dapat diunduh di http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/
Dst_realtime /index.html dan diketahui grafiknya. Gambar I.4 menampilkan grafik
nilai indeks Dst selama 31 hari di bulan November 2104. Sumbu horizontal
menunjukkan tanggal dalam bulan November Tahun 2014 sedangkan sumbu vertikal
menyatakan nilai indeks badai geomagnet dengan satuan nano Tesla (nT).
Gambar I. 4 Grafik nilai indeks Dst Bulan November 2014
(Nose, 2014)
I.8.7 Seismo-Ionospheric-Coupling
Seismo-Ionospheric Coupling menjelaskan bahwa aktivitas seismik yang terjadi
di lapisan litosfer, akan membawa dampak berupa anomali di lapisan-lapisan ionosfer.
Terdapat tiga lapisan ionosfer yang terkena dampak gempa bumi, yaitu lapisan D,
lapisan E, dan lapisan F (Astra dan Pudja, 2009). Dampak yang terjadi adalah anomali
pada kandungan elektron di ionosfer. Jumlah kandungan elektron akan mengalami
kenaikan dan atau penurunan secara tidak wajar.
Fenomena tidak wajar inilah yang disebut sebagai anomali ionosfer. Liu dkk.,
(2004) Menerangkan bahwa anomali ionosfer yang berhubungan dengan gempa bumi
dapat terjadi beberapa hari sebelum maupun sesudah gempa bumi terjadi. Anomali
ionosfer yang terjadi sebelum gempa bumi termasuk sebagai salah satu prekursor
gempa bumi. Wahyu (2014) menjelaskan bahwa prekursor gempa bumi diartikan
sebagai fenomena tidak lazim yang terjadi sebelum gempa bumi. Fenomena tersebut
dapat berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan seismik, misalnya medan
gravitasi, zat radioaktif, perubahan suhu air tanah, dan kondisi ionosfer. Beberapa
fenomena ini dapat digunakan sebagai salah satu peringatan datangnya gempa bumi
17
yang kemudian dapat digunakan sebagai salah satu formula atau model untuk
memprediksi datangnya gempabumi.
Anomali ionosfer terjadi dengan interval waktu beberapa menit sampai beberapa
jam. Interval waktu tersebut menunjukkan bahwa mekanisme Seismo-Ionospheric
Coupling memiliki tingkat kompleksitas yang tinggi (Meister, dkk., 2002).
Liperovsky, dkk., (2008) menyatakan terdapat beberapa mekanisme seismoionospheric coupling, diantaranya adalah model gelombang akustik-grafitasi dan
model medan listrik atmosfer.
Model gelombang akustik-gravitasi merupakan hipotesis yang menyatakan
bahwa sebelum terjadinya gempa bumi, terdapat peningkatan gelombang akustikgravitasi di sekitar episenter gempa bumi. Peningkatan gelombang ini diakibatkan oleh
adanya panas yang disebabkan oleh adanya tekanan yang luar biasa pada lapisan
batuan disekitar episenter. Gelombang ini menyebar melalui atmosfer dan mencapai
lapisan ionosfer. Selanjutnya gelombang ini menyebabkan gangguan terhadap
partikel-partikel bermuatan yang ada di ionosfer.
Model medan listrik atmosfer merupakan model berdasarkan proses listrik yang
terjadi dalam durasi yang singkat dan di jarak yang dekat dari episenter. Hipotesis ini
mengemukakan bahwa sebelum gempa bumi terjadi, terdapat peningkatan jumlah
bahan radioaktif di atmosfer. Unsur radioaktif meliputi radon, radium, torium, dan
aktinium. Unsur radioaktif ini keluar di sekitar episenter dari bawah permukan bumi
dan bersama aliran udara dapat mencapai lapisan ionosfer. Unsur-unsur ini
mengandung partikel bermuatan yang dapat membentuk medan listrik. Medan listrik
inilah yang mengakibatkan peningkatan ionisasi di ionosfer.
Subakti., dkk (2008) menjelaskan bahwa besarnya dampak aktivitas seismik
terhadap ionosfer berbanding terbalik dengan besarnya jarak terhadap episenter.
Dengan kata lain, besarnya anomali yang terdeteksi oleh stasiun pengamatan juga
sangat dipengaruhi oleh jaraknya terhadap episenter. Semakin jauh letak lokasi
pengamatan terhadap episenter, maka dampak yang diterima semakin kecil.
Akibatnya, anomali yang terdeteksi juga bernilai semakin kecil, demikian juga
sebaliknya.
Berdasarkan beberapa penelitian yang ada, terjadinya anomali ionosfer lokal
memang belum mampu menjelaskan apakah gempa bumi pasti akan terjadi. Penelitian
18
yang dilakukan Tsolis dan Xenos (2009) dan Liu, dkk., (2013) mendapati adanya
anomali ionosfer lokal yang belum dapat dikategorikan sebagai prekursor gempa
bumi. Selain itu, meskipun anomali ionosfer yang memenuhi kriteria sebagai
prekursor dapat dideteksi, hingga saat ini belum ada penelitian yang dapat
memprediksi terjadinya gempa bumi secara akurat (Wahyu, 2014). Untuk itu, Tsolis
dan Xenos (2009) menyarankan perlu adanya penelitian lebih lanjut prekursor maupun
dampak gempa bumi.
I.8.8 Gempa Bumi di Laut Maluku pada 15 November 2014
Menurut BMKG (2014), gempa bumi ini terjadi di Laut Maluku dengan
episentrum 126,46 BT dan 1,95 LU dengan kekuatan 7,3 SR. Gempa ini terjadi pada
hari Sabtu tanggal 15 November 2014 pukul 09:31:44 WIB dengan kedalaman 48 km.
Peta lokasi dan informasi gempa bumi ditunjukkan pada Gambar 1.5 berikut. Simbol
bintang berwarna biru adalah letak episenter. Episenter berada di utara Laut Maluku
yaitu di 158 km Timur Laut Bitung atau 160 km Barat Laut Ternate.
Gambar I. 5 Lokasi dan informasi gempa bumi di Laut Maluku (BMKG, 2014)
I.8.9 Analisis Korelasi
Gangguan ionosfer oleh aktivitas seismik seperti gunung berapi, tsunami, dan
gempa bumi sudah lama diteliti bahkan sebelum tahun 1965. Hasil penelitian
menunjukkan adanya perubahan terhadap parameter total electron content (TEC) dan
frekuensi kritis lapisan F2 (foF2) di sekitar wilayah episenter sebelum maupun sesudah
aktivitas seismik terjadi (Jain dan Santosh, 2014).
19
Salah satu teknik yang digunakan dalam analisis prekursor dan efek gempa
bumi adalah analisis korelasi dengan menggunakan parameter ionosfer. Metode yang
dipakai dalam analisis seismo-ionospheric coupling ini adalah metode statistik,
dimana parameter ionosfer dievaluasi selama beberapa hari sebelum dan beberapa hari
sesudah kejadian gempa bumi. Tujuan utama dari metode tersebut adalah
menunjukkan nilai deviasi yang signifikan pada parameter ionosfer yang diuji dari
nilai median sebelum kejadian gempa (Tsolis dan Xenos, 2009).
Metode ini merupakan metode yang stabil, namun masih terdapat gangguan
geofisis dalam sinyal. Hal inilah yang mempersulit penentuan prekursor maupun efek
gempa bumi. Gangguan fisis yang dimaksud misalnya badai geomagnet dan cuaca
antariksa yang ikut mempengaruhi nilai fekuensi kritis lapisan F2 (foF2), TEC dan
DTEC (Tsolis dan Xenos, 2009). Analisis korelasi ini terbagi atas dua jenis, yaitu
korelasi silang dan autokorelasi. Sesuai dengan namanya, analisis korelasi merupakan
analisis berdasarakan nilai koefisien korelasi.
Winarsunu (2012) menjelaskan bahwa koefisien korelasi merupakan teknik
statistik yang digunakan untuk mencari hubungan antara dua variabel. Dua variabel
yang akan diteliti hubungannya tersebut adalah variabel terikat (variabel Y) dan
variabel bebas (X). Apabila nilai koefisien korelasi antara X dan Y sudah dihitung,
maka akan dapa ditentukan arah korelasinya. Arah korelasi dalam statistik ada tiga
macam, yaitu : positif, negatif, dan nihil.
Arah korelasi positif terjadi apabila kenaikan atau penurunan nilai pada varabel
bebas (X) diikuti juga dengan kenaikan atau penurunan nilai pada variabel terikat (Y).
Apabila kenaikan nilai variabel X diikuti dengan penurunan variabel Y, maka korelasi
seperti ini memiliki arah korelasi negatif. Apabila variabel X dan Y tidak memiliki
hubungan, maka korelasinya disebut nihil.
Koefisien korelasi bergerak dari nilai -1,0 s.d. +1,0. Nilai korelasi -1,0 disebut
korelasi negatif sempurna, nilai +1,0 disebut korelasi positif sempurna, sedangkan
nilai 0 menunjukkan nihil korelasi. Nilai koefisien korelasi dapat dihitung dengan
Persamaan (11) berikut.
π‘Ÿπ‘₯𝑦 =
dengan
𝑁.∑ π‘‹π‘Œ− ∑ 𝑋. ∑ π‘Œ
√[(𝑁.∑ 𝑋 2 )−(∑ 𝑋)2 ] [(𝑁.∑ π‘Œ 2 )−(∑ π‘Œ)2 ]
.................................... (11)
20
π‘Ÿπ‘₯𝑦
: nilai koefisien korelasi antara variabel X dan Y
N
: banyaknya data
∑𝑋
: jumlah data pada variabel X
∑π‘Œ
: jumlah data pada variabel Y
∑ π‘‹π‘Œ : jumlah data dari masing-masing variabel X yang dikali variabel Y
∑ 𝑋2
: jumlah data dari masing-masing variabel X yang dikuadratkan
∑ π‘Œ2
: jumlah data dari masing-masing variabel Y yang dikuadratkan
1.8.9.1 Korelasi silang. Korelasi silang merupakan teknik untuk menguji korelasi
antara dua atau lebih stasiun yang digunakan untuk mengamati prekursor maupun
dampak gempa bumi. Variasi ionosfer di dekat episenter gempa bumi yang mengalami
anomali dikorelasikan dengan variasi diurnal ionosfer di daerah lain yang jauh dari
lokasi episenter gempa bumi. Pada saat tidak terjadi prekursor gempa bumi, koefisien
korelasi daerah di dekat episenter gempa akan bernilai lebih rendah dibandingkan
dengan nilai koefisien korelasi antara keduanya (Muslim, 2015).
Pulinets dan Boyarchuk (2004) melakukan penelitian ini dengan menggunakan
dua stasiun GPS untuk mendeteksi prekursor gempa bumi di San Siemon dari data
total electron content (TEC). Satu stasiun GPS yang terletak di dekat episenter gempa
bumi digunakan sebagai sensor anomali ionosfer dan stasiun GPS yang jauh dari
episenter gempa bumi digunakan sebagai kontrol yang ionosfernya dianggap tidak
terpengaruh gempa bumi.
Melalui stasiun sensor dan kontrol, akan diketahui korelasi antara kedua
stasiun tersebut. Jika terdapat anomali di stasiun sensor dan tidak terjadi di stasiun
kontrol, maka nilai korelasinya akan rendah. Sebaliknya, jika tidak terjadi gangguan
di salah satu stasiun GPS maka nilai korelasinya tetap tinggi. Jika terjadi gangguan di
dua stasiun GPS tersebut yang disebabkan oleh badai geomagnet maka nilai korelasi
variasi TEC antara dua lokasi tersebut juga tetap tinggi.
1.8.9.2 Autokorelasi. Autokorelasi merupakan analisis korelasi antara variasi diurnal
ionosfer pada hari terjadinya prekursor gempa bumi dengan rata-rata variasi diurnal
ionosfer di suatu tempat selama sattu bulan. Jika tidak terjadi prekursor gempa bumi
21
selama satu bulan pengamatan ionosfer, nilai koefisien korelasinya juga akan lebih
rendah dibandingkan dengan nilai koefisien korelasi antara keduanya (Pulinets dan
Boyarchuk, 2004).
Muslim (2014) melakukan penelitian prekursor dan efek gempa bumi besar
dengan kekuatan lebih dari 8,0 SR dengan menggunakan analisis autokorelasi.
Penelitian tersebut dilakukan pada 17 gempa bumi besar yang terjadi di seluruh dunia
sejak 16 November 2000 sampai dengan 11 Desember 2012. Data yang digunakan
sebagai bahan penelitian adalah data TEC, indeks Dst, dan indeks Kp. Data TEC
dipakai sebagai parameter kondisi ionosfer, sedangkan indeks Dst dan indeks Kp
digunakan sebagai parameter badai geomagnet. Indeks Dst digunakan sebagai
parameter badai geomagnet di daerah yang berlokasi di bagian bumi lintang rendah,
sedangkan indeks Kp untuk lokasi lintang menengah dan tinggi.
Analisis autokorelasi tersebut dilakukan dengan menghitung 31 koefisien
korelasi autokorelasi antara variasi diurnal TEC pada hari tertentu dengan variasi
diurnal nilai rata-rata tiap jam selama 31 hari. Dengan demikian, anomali sebelum dan
sesudah gempa bumi dapat dideteksi.
Simpangan koefisien korelasi harian kemudian dihitung terhadap nilai rerata
koefisien korelasi (skk) selama 31 hari. Simpangan ini dibagi dengan standar deviasi
koefisien korelasi (dskk) untuk digunakan sebagai indikator anomali ionosfer yang
dijadikan sebagai dasar pengelompokan pengaruh gempa bumi pada ionosfer.
Indikator anomali ionosfer yang disebabkan oleh gempa bumi maupun badai
geomagnet ialah apabila nilai skk/dskk lebih kecil dari -1. Hasil tersebut kemudian
diklasifikasikan berdasarkan kriteria pada Gambar I.6.
Gambar I. 6 Kriteria anomali ionosfer (Muslim, 2015)
22
Keterangan kriteria anomali ionosfer dijelaskan pada Tabel I.2.
Tabel I.2 Keterangan kriteria anomali ionsofer (Muslim, 2015)
No
Kategori
Keterangan
1
PGT
Prekursor gempa bumi terdeteksi
2
PGT/EMT
Prekursor gempa bumi/efek badai geomagnet terdeteksi
3
PGLT
Prekursor gempa bumi lainnya
4
PGTT/EMTT
Prekursor gempa bumi/efek badai geomagnet tidak terdeteksi
5
PGTT
Prekursor gempa bumi tidak terdeteksi
6
EGT
Efek gempa bumi terdeteksi
7
EMT
Efek badai geomagnet terdeteksi
8
EGT/EMT
Efek gempa bumi/badai geomagnet terdeteksi
9
EGTT
Efek gempa bumi tidak terdeteksi
10
EMTT
Efek badai geomagnet tidak terdeteksi
Berdasarkan Gambar 1.6 dan Tabel I.2 dapat diketahui bahwa suatu anomali
sebelum gempa dapat dinyatakan sebagai prekursor gempa yang terdeteksi (PGT) jika
nilai skk dibagi dskk lebih kecil dari -1. Apabila daerah yang diteliti tersebut berada
di lintang rendah, maka syarat lain yang harus dipenuhi adalah indeks Dst lebih besar
dari -50 sebagai bukti tidak adanya badai geomagnet pada saat itu. Namun apabila
episenter berada di lintang tinggi, maka nilai indeks Kp harus lebih kecil dari 4.
Demikian juga untuk kategori lainnya, keempat syarat yang tercantum harus terpenuhi
agar dapat diklasifikasikan pada masing-masing kategori.
1.9. Hipotesis
Beberapa hari sebelum gempa bumi di laut Maluku pada 15 November 2014,
akan terjadi anomali di lapisan ionosfer. Anomali yang terjadi merupakan prekursor
gempa bumi tersebut.
Download