BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Ikan Mas 2.1.1 Sejarah Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas atau ikan karper (Cyprinus carpio) adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan sudah tersebar luas di Indonesia. Ikan mas sudah dipelihara sejak tahun 475 sebelum masehi di Cina (Menegristek, 2000). Di Indonesia, ikan mas mulai dikenal pertama kali di daerah Galuh, Ciamis, Jawa Barat sekitar tahun 1810. Kemudian mulai berkembang ke daerah-daerah lain di Jawa Barat. Pada tahun 1903, ikan mas mulai berkembang ke wilayah Sumatera seperti Bukit Tinggi, Sumatera Barat, dan Medan. Sementara itu ikan mas dikenal di Sulawesi pada tahun 1895 yang diawali dari daerah Tondano, Sulawesi Utara. Pada tahun 1931 ikan mas mulai dibudidayakan di Pulau Bali dan Pulau Flores. Penyebaran ikan mas ke berbagai daerah di Indonesia relatif begitu cepat. Hal ini terjadi karena cara pemeliharaan dan pembudidayaan ikan mas tergolong mudah serta sifatnya yang tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan (Khairuman et al. 2008). 2.1.2 Klasifikasi Ikan mas dikenal dengan berbagai sebutan, dalam bahasa Inggris disebut common carp. Masyarakat di Pulau Jawa menyebut ikan mas dengan sebutan ikan masmasan atau lauk mas sedangkan di daerah Sumatera, ikan mas dikenal dengan sebutan ikan rayo atau ikan ameh (Khairuman et al. 2008). Dalam ilmu taksonomi hewan, klasifikasi ikan mas (Gambar 1) menurut Saanin (1984), adalah sebagai berikut: Filum Sub Filum Kelas Sub Kelas Ordo Sub Ordo Famili Genus Spesies : Chordata : Vertebrata : Actinopterygii : Neopterygii : Cypriniformes : Cyprinoidea : Cyprinidae : Cyprinus : Cyprinus carpio Linnaeus 7 8 Gambar 1. Ikan Mas (Cyprinus carpio) (Sumber : http://www.kkp.go.id/, 2009) 2.1.3 Habitat dan Morfologi Ikan Mas (Cyprinus carpio) Ikan mas menyukai tempat hidup (habitat) di perairan air tawar yang airnya tidak terlalu dalam dan alirannya tidak terlalu deras, seperti di pinggiran sungai atau danau. Ikan mas dapat hidup baik di daerah dengan ketinggian 150600 m (dpl) dan pada suhu 25-30°C. Meskipun tergolong ikan air tawar, ikan mas kadang-kadang ditemukan di perairan payau atau muara sungai yang bersalinitas (kadar garam) 25-30‰ (Khairuman et al. 2008). Ikan mas tergolong jenis omnivora, yakni ikan yang dapat memangsa berbagai jenis makanan, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang renik serta termasuk pemakan organisme dasar (bottom feeder) yaitu memakan tumbuhan dan binatang yang terdapat di dasar tepi perairan (Ardiwinata 1981). Ikan mas memiliki bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil) serta terdapat dua pasang sungut. Di ujung dalam mulut terdapat gigi kerongkongan (pharyngeal teeth) yang bersusun dari tiga baris gigi geraham. Hampir seluruh bagian tubuh ikan mas ditutupi sisik, kecuali beberapa varietas yang memiliki sedikit sisik. Sisik ikan mas berukuran relatif besar dan digolongkan ke dalam sisik tipe lingkaran (cycloid) (Khairuman et al. 2008). 2.2 Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) dikenal juga dengan nama penyakit bercak merah (red sore disease), hemorrahagic septicemia, dan ulcer disease (White 1991). Penyakit MAS dapat menyerang semua stadia umur ikan 9 terutama pada stadia larva dan benih ikan (Camus et al. 1998). Penyakit MAS adalah penyakit pada ikan yang disebabkan oleh infeksi bakteri dari genus Aeromonas. Spesies Aeromonas hydrophila, Aeromonas sorbia dan Aeromonas caviae merupakan spesies dari genus Aeromonas yang berhubungan dengan ikan (Camus et al. 1998). Bakteri Aeromonas hydrophila, memilki kemampuan yang lebih ganas dibandingkan dengan Aeromonas sorbia (Lallier et al. 1981 dalam Cipriano 2001). Menurut Austin dan Austin (1987) dalam Angka (2005) penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Bakteri Aeromonas hydrophila (Gambar 2) dapat menyerang berbagai jenis ikan air tawar seperti lele dumbo (Clarias gariepinus), ikan mas (Cyprinus carpio), gurami (Osphronemus gouramy) dan udang galah (Macrobrancium rusenbergil) dan dapat menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian (80-100%) dalam waktu 1-2 minggu (Rahman 2008). Menurut Minaka et al. (2012) melaporkan bahwa serangan Aeromonas hydrophila dapat menyerang ikan mas (Cyprinus caprio) dan ikan lele sedangkan Aeromonas caviae di laporkan dapat menginfeksi ikan mas koki (Carassius auratus). Gambar 2. Bakteri Aeromonas hydrophila (Sumber : http://en.wikipedia.org/wiki/Aeromonas) Klasifikasi bakteri Aeromonas hydrophila (Holt et al. 1994) : Filum Kelas Ordo Family Genus Spesies : Protophyta : Schizomycetes : Pseudanonadeles : Vibrionaceae : Aeromonas : Aeromonas hydrophila 10 2.2.1 Karakteristik Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan jenis bakteri patogen oportunistik yang dapat menyebabkan penyakit apabila ikan dalam kondisi lemah. Bakteri Aeromonas hydrophila secara normal dapat ditemukan hidup bebas di perairan bahkan ditemukan pada saluran usus ikan (White 1991). Dalam kondisi normal, bakteri ini tidak menimbulkan ancaman bagi kesehatan ikan. Infeksi bakteri Aeromonas hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, ikan stres, kualitas air yang buruk dan ketika ikan telah terinfeksi oleh virus, bakteri dan parasit lainnya (infeksi sekunder) (Camus et al. 1998). Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan bakteri gram-negatif yang berbentuk batang dengan ujung bulat dengan diameter 0,3-1,0 mm dan panjang 1,0-3,5 mm serta dapat bergerak dengan menggunakan flagel tunggal. Bakteri Aeromonas hydrophila dapat melakukan fermentasi glukosa dengan disertai maupun tidak disertai produksi gas (Cipriano 2001). 2.2.2 Patogenitas Bakteri Aeromonas hydrophila Bakteri Aeromonas hydrophila adalah bakteri yang sangat beracun bagi banyak organisme. Bakteri Aeromonas hydrophila menghasilkan toksik eksotoksin dan endotoksin yang berpengaruh terhadap patogenitas bakteri ini. Endotoksin dan eksotoksin merupakan dua jenis toksin yang dikeluarkan oleh bakteri patogen (Angka 2005). Endotoksin adalah toksin pada bakteri gram negatif berupa lipopolisakarida (LPS) pada membran luar dari dinding sel yang pada keadaan tertentu bersifat toksik pada inang tertentu. Lipopolisakarida ini disebut endotoksin karena terikat pada bakteri dan dilepaskan saat mikroorganisme mengalami lisis atau pecahnya sel (Wikipedia 2013). Eksotoksin yang di produksi bakteri Aeromonas hydrophila meliputi hemolisis α dan β, sitotoksin, enterotoksin dan protease (Kanai & Takagi 1986 dalam Angka 2005). Hemolisis merupakan enzim yang mampu melisiskan sel-sel darah merah dan membebaskan hemoglobin. Protease adalah enzim proteolitik 11 yang berfungsi untuk melawan pertahanan tubuh inang untuk berkembangnya penyakit dan mengambil persediaan nutrien inang (Angka 2005). Bakteri Aeromonas hydrophila memiliki kemampuan untuk menempel pada sel tubuh ikan melalui aktivitas adhesi dengan memanfaatkan reseptor lendir (Trush et al. 1980 dalam Cipriano 2001). Bakteri Aeromonas hydrophila memiliki perekat aglutinasi yang menghasilkan fibriae (pili) yang membantu proses adhesi bakteri (DelCorral 1990 dalam Cipriano 2001). 2.2.3 Gejala Penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) Infeksi bakteri Aeromonas hydrophila menyebabkan kondisi patologis ikan yang berbeda-beda seperti akut, kronis, dan covert infection (Cipriano 2001). Kondisi patologis ini ditandai dengan adanya dermal ulceration, ekor dan sirip membusuk, ocular ulceration, erythrodermatitis hemorrhagic septicemia, bercak merah pada bagian tubuh dan exophtalmia (Cipriano 2001). Bentuk penyakit akut ditandai dengan hemoragi di insang, anus, dan organ dalam dengan pembentukan cairan dan hemoragi di rongga perut (ascites). Bentuk kronis penyakit ini ditandai dengan perkembangan abses atau tukak (Mc Daniel 1979 dalam Angka 2005). Tingkat keganasan ikan penyakit MAS (Motile Aeromonas Septicemia) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: virulensi bakteri, jenis bakteri, kondisi fisiologis ikan dan resistensi genetik ikan terhadap serangan bakteri Aeromonas hydrophila (Cipriano 2001). 2.3 Daun Teh Tanaman teh (Gambar 3) umumnya ditanam di perkebunan dan dapat tumbuh pada ketinggian 2000-2300 m dpl. Teh berasal dari kawasan India bagian utara dan Cina Selatan. Ada dua kelompok varietas teh yang terkenal, yaitu var. assamica yang berasal dari Assam dan var. sinensis yang berasal dari Cina. Varietas assamica daunnya agak besar dengan ujung yang runcing, sedangkan varietas sinensis daunnya lebih kecil dan ujungnya agak tumpul. Daun teh hitam yang berasal dari Indonesia terbuat dari Camellia sinensis var. assamica memiliki kandungan katekin yang lebih tinggi dari sencha (teh hijau Jepang) (Bambang 2006). 12 Tanaman teh diklasifikasikan sebagai berikut (Graham H. N. 1984; Van Steenis C. G. G. J. 1987 dan Tjitrosoepomo G. 1989 dalam Tuminah 2004) : Divisi Sub divisi Kelas Sub kelas Ordo Famili Genus Spesies : Spermatophyta : Angiospermae : Dicotyledoneae : Dialypetalae : Guttiferales : Camelliaceae : Camellia : Camellia sinensis Gambar 3. Tanaman Teh (Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Teh) Senyawa utama yang terkandung dalam daun teh adalah katekin, yaitu suatu kerabat tanin terkondensasi yang juga disebut polifenol karena memiliki banyak gugus fungsi hidroksil. Kandungan katekin dalam daun teh ±20% berat kering teh dan merupakan substansi utama. Senyawa ini lebih banyak terkandung pada pucuk tanaman teh (Camellia sinensis) varietas assamica dibandingkan varietas sinensis (Yamanishi 1995). Teh hitam lebih sedikit mengandung katekin daripada teh hijau karena dalam proses pengolahan teh hitam terjdi oksidasi katekin untuk memperbaiki warna, rasa, dan aromanya. Proses pengolahan teh akan mempengaruhi kandungan katekin yang terdapat dalam teh. Proses pengolahan teh hitam terdiri 13 atas tahap pelayuan, penggulungan, dan oksidasi polifenol enzimatik, pengeringan, sortasi, dan pengepakan sehingga terjadi penurunan kadar katekin. Penurunan kadar katekin selama pengolahan teh hijau tidak sebanyak yang terjadi pada pengolahan teh hitam (Rohdiana 2009). 2.4 Senyawa Aktif dalam Daun Teh Tumbuhan umumnya mengandung senyawa aktif dalam bentuk metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, steroid, tanin, saponin, triterpenoid, dan lainlain. Senyawa metabolit sekunder merupakan senyawa kimia yang umumnya mempunyai kemampuan bioaktifitas dan berfungsi sebagai pelindung tumbuhan tersebut dari gangguan penyakit untuk tumbuhan itu sendiri atau lingkungannya (Lenny 2006 dalam Hidayati 2009). Kandungan senyawa aktif dari daun teh hijau adalah sebagai berikut (Tabel 1) : Tabel 1. Kandungan Senyawa Aktif Teh Hijau No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Senyawa Aktif Kafein (-) Epicatechin (-) Epicatechin gallat (-) Epigallocatechin (-) Epigallocatechin gallat Flavonol Theanin Asam glutamate Asam aspartat Arginin Asam amino lain Gula Bahan yang dapat mengendapkan alkohol Kalium (potassium) % Berat Kering 7,43 1,98 5,20 8.42 20,29 2,23 4,70 0,50 0,50 0,74 0,74 6,68 12,13 3,96 Sumber : Tuminah (2004) Alkaloid Alkaloid merupakan golongan senyawa aktif tumbuhan yang terbesar. Satu-satunya sifat alkaloid yang terpenting adalah kebasaanya. Alkaloid mengandung atom nitrogen yang sering kali terdapat dalam cincin heterosiklik (Gambar 4). Alkaloid lebih mudah larut dalam pelarut non-polar dalam suasana basa (Robinson 1995 dalam Hidayati 2009). Alkaloid bersifat toksik terhadap 14 mikroba, sehingga efektif membunuh bakteri dan virus sebagai anti-protozoa dan anti-diare serta bersifat detoksifikasi yang mampu menetralisir racun dalam tubuh. Mekanisme kerja dari alkaloid dihubungkan dengan kemampuan berinterkalasi dengan DNA (Naim 2004 dalam Rahman 2008). Gambar 4. Struktur alkaloid dan kafein (Sumber : Robinson 1995 dan Sastrohamidjojo 1996 dalam Hidayati, 2009) Flavonoid Flavonoid merupakan hasil metabolit sekunder tanaman yang secara luas terdistribusikan dalam tanaman. Flavonoid bekerja dengan cara merusak membran sitoplasma sehingga sel bakteri akan rusak dan mati. Flavonoid bersifat antiinflamasi sehingga dapat mengurangi peradangan serta membantu mengurangi rasa sakit bila terjadi pendarahan atau pembengkakan pada luka (Rahman 2008). Golongan flavonoid (Gambar 5) dapat digambarkan sebagai deretan senyawa C6C3-C6 artinya kerangka karbonnya terdiri atas dua gugus C6 disambungkan oleh rantai alifatik tiga karbon (Hidayati 2009). Gambar 5. Kerangka Flavonoid (Sumber : Robinson 1995 dalam Hidayati, 2009) Katekin Katekin merupakan kerabat tanin terkondensasi yang juga sering disebut polifenol karena banyaknya gugus fungsi hidroksil yang dimilikinya. Katekin teh hijau (Gambar 6) tersusun sebagian besar atas senyawa-senyawa katekin (C), epikatekin (EC), galokatekin (GC), epigalokatekin (EGC), epikatekin galat (ECG), galakatekin galat (GCG), dan epigalokatekin galat (EGCG) (Robinson 1995 dalam Rustanti 2009). Daun teh memiliki kemampuan merusak sel dari 15 sebagian mikroorganisme dan menunjukkan sifat-sifat antibakterial, melalui katekin dan theaflavin serta bentuk-bentuk galatnya. Katekin teh hijau bersifat antimikroba yang disebabkan oleh adanya gugus pyrogallol dan gugus galloil, sedangkan sifat penghambatan terhadap racun ditentukan oleh struktur tersier persenyawaan gugus catechol atau pyrogallol dan gugus galloilnya (Rustanti 2009). Gambar 6. Struktur Senyawa Katekin (Sumber : Hartoyo 2003 dalam Rustanti, 2009) Tanin Tanin (Gambar 7) adalah senyawa polifenol yang memiliki berat molekul antara 500-3000 dalton yang diduga berperan sebagai antibakteri karena dapat membentuk kompleks dengan protein dan interaksi hidrofobik (Makkar 1991 dalam Hidayati 2009). Sebagai senyawa fenol maka tanin memiliki sifat-sifat menyerupai alkohol yang salah satunya adalah bersifat antiseptik. Tanin menyebabkan kerusakan pada dinding sel bakteri. Terjadinya kerusakan pada dinding sel bakteri menyebabkan sel bakteri tanpa dinding yang disebut 16 protoplasma (Jawetz, 2001 dalam Hidayati 2009). Kerusakan pada dinding sel bakteri akan menyebabkan kerusakan membran sel yaitu hilangnya sifat permeabilitas membran sel, sehingga keluar masuknya zat-zat antara lain air, nutrisi, enzim-enzim tidak terseleksi. Apabila enzim keluar dari dalam sel, maka akan terjadi hambatan metabolisme sel dan selanjutnya akan mengakibatkan terhambatnya pembentukan ATP yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan sel. Bila hal ini terjadi, maka akan terjadi hambatan pertumbuhan bahkan kematian sel. Gambar 7. Struktur Dasar Tanin (Sumber : Harborne 1987 dalam Hidayati, 2009) Saponin Saponin berasal dari bahasa latin sapo yang berarti sabun, karena sifatnya menyerupai sabun. Saponin (Gambar 8) adalah glikosida triterpenoid dan sterol. Saponin merupakan senyawa yang memiliki rasa pahit, berbusa dalam air serta larut dalam air dan alkohol tetapi tidak larut dalam eter. Saponin paling cocok diekstraksi dengan menggunakan metanol dan etanol (Robinson 1995 dalam Hidayati 2009). Saponin bekerja sebagai antibakteri dengan mengganggu stabilitas membran sel bakteri sehingga menyebabkan sel bakteri lisis yang mengakibatkan kerusakan membran sel dan menyebabkan keluarnya berbagai komponen penting dari dalam sel bakteri yaitu protein, asam nukleat dan nukleotida (Ganiswarna, 1995). Gambar 8. Kerangka Dasar Saponin (Sumber : Robinson 1995 dalam Hidayati, 2009) 17 2.5 Senyawa Antibakteri Zat antimikroba adalah senyawa biologis atau kimia yang dapat menghambat pertumbuhan atau aktivitas mikroba. Zat mikroba khusus untuk bakteri disebut antibakteri, dapat bersifat bakterisidal (membunuh bakteri) dan bakteriostatik (menghambat pertumbuhan bakteri) (Fardiaz 1989 dalam AlFanany 2005). Antibakteri merupakan senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri (Setyaningsih 2004 dalam Akhdiya dan D. N. Susilowati 2008). Menurut Wattimera et al (1991) dalam Sulistiawati (2011) pada umumnya kerusakan bakteri akibat pengaruh senyawa antibakteri dapat dikelompokkan dalam tiga golongan, yaitu gangguan oksidasi, gangguan koagulasi serta gangguan depresi dan tegangan permukaan. Adapun mekanisme kerja penghambat pertumbuhan bakteri yang disebabkan oleh pengaruh senyawa antibakteri sebagai berikut : 1. Menghambat sintesis atau mengaktivasi enzim yang merusak dinding sel bakteri sehingga menghilangkan kemampuan berkembang biak dan menyebabkan lisis. 2. Mempengaruhi permeabilitas sel sehingga menyebabkan kebocoran dan hilangnya senyawa intraseluler. 3. Mengganggu fungsi ribosom bakteri sehingga menghambat sintesis protein. 4. Mengganggu metabolisme asam nukleat dan menyebabkan hilangnya kemampuan membentuk struktur dan fungsi pada sintesis sel.