IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG BAHASA ISYARAT DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTELEGENSI ANAK TUNA RUNGU SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Oleh Setyoko Bagus Prakoso NIM 13110244009 PROGRAM STUDI KEBIJAKAN PENDIDIKAN JURUSAN FILSAFAT DAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA JUNI 2017 ii ii iii MOTTO “Kepercayaan diri akan memberikan efek positif dalam setiap tindakan kita” (Penulis) “Berfikirlah positif dengan hasil yang akan kita dapat melalui kerja keras dan ketekunan” (Penulis) iv PERSEMBAHAN Dengan rasa syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan anugerah-Nya, karya ini aku persembahkan kepada: Kedua orang tuaku tercinta, Ayah R Indro Joko Kusuma Wardana, dan Almh Ibu Ellyana Indriati, yang telah membesarkan, mencurahkan kasih sayang, doa, serta dukungannya dalam memberi semangat dan dorongan sehingga penulis dapat berhasil menyusun skripsi ini. Kakakku tercinta Aprillia Karunia Perdana tersayang yang telah memberikan dukungan dan masukan dalam pembuatan skripsi ini. Almamater Universitas Negeri Yogyakarta v IMPLEMENTASI KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2011 TENTANG BAHASA ISYARAT DALAM MENGEMBANGKAN KECERDASAN INTELEGENSI ANAK TUNARUNGU Oleh Setyoko Bagus Prakoso 13110244009 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan melihat terlaksananya Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu di SLB Maarif Muntilan dilihat dari segi akademik dan sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan subyek penelitian yang meliputi Kepala Sekolah, guru, dan peserta didik. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan berupa wawancara, dokumentasi, observasi. Uji keabsahan data menggunakan triangulasi sumber. Analisis data menggunakan teknik interaktif model Miles dan Huberman yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Implementasi kebijakan bahasa isyarat berjalan dengan baik dengan adanya dukungan bahasa oral sebagai penunjang dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tunarungu (2) faktor pendukung meliputi :dukungan suatu komunitas di luar sekolah yaitu magelang deaf community untuk mengembangkan kecerdasan intelegensi serta dapat memberikan pengalaman kepada anak, adanya bahasa ibu yang dimiliki oleh anak tunarungu sebagai bekal untuk berkomunikasi, serta dengan dilakukannya evaluasi yang dilakukan oleh sekolah untuk melihat dan memantau keberhasilan dari implementasi kebijakan bahasa isyarat tersebut dan (3) faktor penghambat meliputi : adanya keterbatasan komunikasi yang masih menjadi hambatan untuk melakukan interaksi dengan masyarakat sekolah dan umum. Hasil dari implementasi kebijakan bahasa isyarat yaitu anak mampu mengolah dan mengembangkan pikiran mereka melalui gerak tubuh. Kata Kunci : Implementasi Kebijakan, Bahasa Isyarat, Kecerdasan Intelegensi. vi KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat serta karunia-NYA yang sangat melimpah, sehingga penulis masih diberikan kesempatan,kesabaran, dan kemampuan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu” dengan baik dan lancar. Penulis disini menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan dan bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka dari itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam mensukseskan penyusunan skripsi ini. Dengan kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Rektor Universitas Negeri Yogyakarta 2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 3. Ketua Jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan Prodi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta 4. Bapak L Hendrowibowo, selaku dosen pembimbing dalam penulisan skripsi ini, atas bimbingan, arahan, dukungan, dan kesabarannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak / Ibu seluruh dosen program studi Kebijakan Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama masa studi. vii 6. Bapak Kepala Sekolah dan segenap staf guru di Sekolah Luar Biasa Maarif Muntilan yang telah membantu proses pengambilan data secara lancar. 7. Bapak dan Ibu tercinta (R Indro Joko KW dan Almh, Ellyana Indriati), kakaku Aprillia Karunia Perdana beserta segenap keluarga, yang telah memberikan doa dan motivasi secara langsung maupun tidak langsung. 8. Kawan – kawan Kebijakan Pendidikan kelas A yang telah memberikan semangat dan ilmu selama masa perkuliahan dilaksanakan. 9. Teman seperjuangan serta sahabat yang selalu memberikan keceriaan dengan tawa dan canda. 10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak khususnya penulis dan umumnya bagi semua pembaca. Yogyakarta , 12 Juni 2017 Penulis Setyoko Bagus Prakoso NIM 13110244009 viii DAFTAR ISI hal HALAM JUDUL ..................................................................................................... i PERSETUJUAN ..................................................................................................... ii PERNYATAAN..................................................................................................... iii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iv MOTTO ...................................................................................................................v PERSEMBAHAN .................................................................................................. vi ABSTRAK ............................................................................................................ vii KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ............................................................................................................x DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...............................................................................1 B. Identifikasi Masalah .....................................................................................8 C. Pembatasan Masalah ....................................................................................8 D. Rumusan Masalah ........................................................................................9 E. Tujuan penelitian ..........................................................................................9 F. Manfaat Penelitian .......................................................................................9 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Implementasi Kebijakan.............................................................................11 ix 1. Implementasi ........................................................................................11 2. Teori Implementasi ..............................................................................12 3. Kebijakan .............................................................................................13 B. Bahasa ........................................................................................................14 1. Bahasa ..................................................................................................14 2. Fungsi ...................................................................................................14 C. Bahasa Isyarat ............................................................................................16 1. Bahasa Isyarat ......................................................................................16 2. Jenis ......................................................................................................17 D. Perkembangan ...........................................................................................18 1. Perkembangan .....................................................................................18 2. Karakteristik ........................................................................................19 3. Prinsip – Prinsip Perkembangan ..........................................................21 E. Tunarungu ..................................................................................................24 1. Tunarungu ...........................................................................................24 2. Jenis Tunarungu ...................................................................................25 3. Karakteristik Tunarungu .....................................................................26 F. Kecerdasan ................................................................................................28 1. Kecerdasan ..........................................................................................28 2. Teori Kecerdasan .................................................................................30 3. Ciri – Ciri Intelektual ...........................................................................31 4. Faktor Kecerdasan ................................................................................37 G. Penelitian Yang Relevan ............................................................................38 H. Kerangka Pikir Penelitian .........................................................................40 BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ...............................................................................42 B. Setting Penelitian........................................................................................43 C. Subyek Penelitian .......................................................................................43 D. Metode Pengumpulan Data ........................................................................43 E. Instrumen ...................................................................................................45 x F. Keabsahan Data ..........................................................................................46 G. Teknik Analisis Data ..................................................................................48 H. Pertanyaan Penelitian .................................................................................50 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data ............................................................................................52 1. Profil SLB ............................................................................................52 a. Visi dan Misi ..................................................................................52 b. Sejarah ............................................................................................52 c. Lokasi dan SLB Maarif Muntilan...................................................53 d. Sumber Daya ..................................................................................54 e. Sarana dan Prasarana ......................................................................55 f. Prestasi yang Diraih ........................................................................55 2. Proses Pembelajaran Tunarungu ..........................................................56 a. Proses Pembelajaran ......................................................................56 B. Hasil Penelitian .........................................................................................57 1. Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu ............................................57 a. Pembelajaran Bahasa Isyarat di Sekolah .......................................57 b. Pengembangan Bakat Anak Tunarungu .........................................61 c. Pengarahan Kegiatan ......................................................................63 d. Penggunaan Bahasa Isyarat di Masyarakat ....................................66 2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu................70 3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu................73 C. Pembahasan ................................................................................................74 1. Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tunarungu ............................................74 a. Pembelajaran Bahasa Isyarat di Sekolah........................................74 b. Pengembangan Bakat Anak Tunarungu .........................................75 c. Pengarahan Kegiatan ......................................................................76 d. Penggunaan Bahasa Isyarat di Masyarakat ....................................77 2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Anak Tunarungu ..................................77 3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Anak Tunarungu ..................................79 xi BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ................................................................................................81 B. Saran ...........................................................................................................83 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................84 LAMPIRAN ....................................................................................................86 xii DAFTAR TABEL hal Tabel 1. Kisi – Kisi Pedoman Wawancara.............................................................45 Tabel 2. Kisi – Kisi Pedoman Observasi ...............................................................46 Tabel 3. Prestasi Siswa ...........................................................................................54 xiii DAFTAR GAMBAR hal Gambar 1. Bagan Kerangka Berpikir .....................................................................40 Gambar 2. Analisis Data Model Miles and Hubberman ........................................47 xiv DAFTAR LAMPIRAN hal Lampiran 1. Pedoman Observasi ...........................................................................86 Lampiran 2. Catatan Lapangan ..............................................................................88 Lampiran 3. Pedoman Wawancara ........................................................................92 Lampiran 4. Transkrip Wawancara Yang Sudah Direduksi ..................................96 Lampiran 5. Dokumentasi Foto............................................................................111 Lampiran 6. Surat Keterangan Penelitian ............................................................114 xv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia tidak akan bisa lepas dari yang namanya pendidikan, dalam berbagai perkembangan zaman kata tersebut tidak akan pernah hilang dari peradaban manusia. Pendidikan merupakan suatu usaha sadar yang dilakukan oleh individu ataupun kelompok baik itu yang terjadi dalam institusi formal maupun informal yang ada pada lingkungan sekitar. Dengan adanya pendidikan seseorang akan mengalami serta menemukan tahapan dalam masa perkembangannya, apabila dilihat dari segi manfaatnya dapat diketahui bahwa pendidikan mempunyai fungsi dan tujuan yang mampu memajukan serta mengembangkan gagasan dan pola pikir untuk menjadi manusia seutuhnya atau memanusiakan manusia. Menurut undang-undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pertumbuhan dan perkembangan potensi yang ada pada setiap individu akan terus berkembang dengan adanya pendidikan. Dengan pendidikan , seorang individu selain mengembangkan potensi juga tidak akan berhenti untuk mentransfer ilmu satu sama lain, karena pendidikan 1 bermanfaat setiap waktu seiring perkembangan zaman hingga menuju akhir hayat atau disebut dengan pendidikan sepanjang hayat. Sependapat dengan Dwi Siswoyo, dkk (2008: 146) mengemukakan bahwa makna pendidikan sepanjang hayat yaitu pendidikan tidak berhenti hingga individu menjadi dewasa, tetapi tetap berlanjut sepanjang hidupnya. Serta pendidikan bisa dilakukan dimana saja dan kapan saja, dengan kata lain pendidikan berlangsung sepanjang hayat atau lebih dikenal dengan pendidikan seumur hidup. Selanjutnya apabila kita membahas mengenai pendidikan maka tidak akan jauh dengan pembentukan pola pikir manusia. Pembentukan pola pikir yang terus berkembang akan menimbulkan suatu hal baru yang memiliki banyak manfaat. Dengan adanya berbagai manfaat untuk kedepannya, membuat pendidikan semakin gencar diberikan kepada masyarakat guna membekali mereka demi meraih masa depan. Pendidikan di Indonesia umumnya diterapkan pada dua bentuk yang lebih dikenal dengan bentuk formal dan informal, keduanya memiliki tujuan yang sama untuk mencerdaskan anak, dimana dari sisi formal berhubungan dengan kegiatan pembelajaran di sekolah yang memiliki struktur terencana, sedangkan informal berada pada lingkup diluar sekolah seperti halnya dalam keluarga. Sekolah selalu memberikan berbagai materi yang berhubungan dengan kemajuan dalam mengembangkan pola pikir yang ada pada masyarakat umumnya dan anak - anak pada khususnya secara terstruktur. 2 Sekolah di dalamnya terjadi proses interaksi sosial melalui transfer wawasan dan ilmu yang melibatkan pendidik dan peserta didik. Interaksi sosial ini berguna untuk mendampingi serta mengarahkan berbagai perilaku anak untuk mencapai tujuan pengembangan kualitas diri yang lebih optimal. Pendidikan di dalam sekolah diberikan kepada anak untuk membekali mereka berupa modal yang bermanfaat di masa depan. Seorang anak di sekolah mendapatkan kegiatan pembelajaran atau transfer ilmu, ketika kegiatan pembelajaran dilaksanakan pasti di dalamnya akan muncul berbagai problematika masalah. Untuk itu dicetuskanlah suatu kebijakan yang dalam hal ini diterapkan pada sekolah luar biasa. SLB Maarif Muntilan memiliki bermacam – macam anak disabilitas dari tuna grahita, tuna rungu, tuna wicara yang menimba ilmu di sekolah yang sama yaitu SLB. Adapun jenis dari pada anak disabilitas yang dibahas dalam hal ini adalah tuna rungu. Anak tungarungu merupakan anak yang mengalami gangguan dalam pendengaran. Pada umumnya kecerdasan yang dimiliki oleh anak penyandang tuna rungu di SLB ini tidak berbeda jauh dengan apa yang dimiliki oleh anak normal pada umumnya, hanya saja dalam penerimaan kata - kata sulit dan tata bahasa kurang teratur sehingga harus diajarkan secara intensif dan mendalam karena disini segi komunikasi sangatlah berperan. Di lain hal seharusnya anak memiliki konsentrasi yang baik pada proses pembelajaran, namun disini anak - anak tuna rungu sedikit mengalami kesulitan untuk melakukan komunikasi. Sehingga pembelajaran yang 3 seharusnya berjalan dengan lancar dan baik harus difokuskan melalui beberapa tahap agar anak - anak dapat berkonsentrasi. Konsentrasi anak mulai terpecah saat menghadapi atau menerima pelajaran matematika, karena anak tuna rungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi yang menyebabkan problem belajar matematika mengalami kesulitan dalam hal simbol – simbol dan terkadang anak mengalami malas serta bosan untuk mengikuti proses pembelajaran karena mungkin dianggap terlalu monoton. Permasalahan lain muncul di luar segi kegiatan pembelajaran misalnya segi sosial, anak disabilitias cenderung mengalami rendah diri di masyarakat (mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial). Mereka terkadang minder dengan orang yang tidak sama dengan kekurangan yang dimiliki. Masalah lainnya anak yang mengalami tuna rungu terkadang hanya mau berkomunikasi dengan anak tuna rungu lainnya tanpa ingin berkomunikasi dengan anak disabilitas lainnya, mereka juga merasa terasing dan sering menyendiri di lingkungan masyarakat. Segi komunikasi masih menjadi hambatan bagi seorang penyandang tuna rungu, yang pada umumnya seharusnya bisa berbaur atau banyak berkomunikasi namun disini anak disabilitas tuna rungu mayoritas malu untuk berbicara, padahal berbicara akan membuat anak tunar rungu mendapatkan kepercayaan di dalam dirinya. Ketika muncul masalah maka untuk menangani kesulitan dalam berkomunikasi tersebut, kemudian dikembangkan suatu kebijakan bahasa 4 isyarat yang tertera pada UU No. 19 Tahun 2011 yang berkaitan dengan dunia tuli dalam pasal 2 dengan isi komunikasi mencakup bahasa, tayangan teks, braille, komunikasi tanda timbul, cetak besar, multimedia yang dapat diakses maupun bentuk – bentuk tertulis audio, termasuk informasi dan teknologi komunikasi yang dapat diakses, “bahasa” mencakup bahasa lisan dan bahasa isyarat serta bentuk – bentuk non lisan yang lain. Dengan adanya UU tersebut diharapkan nantinya mampu membantu para peserta didik tuna rungu untuk mengembangkan potensi mereka dengan pendampingan guru dan dalam pengawasan sekolah. Di sekolah luar biasa juga terdiri dari berbagai guru yang dianggap sebagai orang tua di lingkungan tersebut menggantikan orang tua mereka di rumah, disini hal yang membedakan dengan sekolah lain yaitu dengan munculnya berbagai ciri khas anak yang berbeda - beda tersebut yang harus diahadapkan dengan berjalannya suatu kebijakan bahasa isyarat, maka bisa dibayangkan bagaimana seorang guru akan berinteraksi serta membentuk kecerdasan pada anak – anak yang berbeda karakteristik satu dengan yang lainnya. Anak tuna rungu dalam sekolah luar biasa tersebut bisa diasuh dengan pendidikan yang telah terstruktur dengan pola pengasuhan yang lebih dekat dan intensif, seorang guru di sekolah tersebut haruslah memiliki ketekunan serta kesabaran dalam mendidik anak - anak luar biasa tersebut, inilah salah satu hal juga yang membedakan dengan sekolah lain pada umumnya. 5 Pada hakekatnya orang awam tidak akan mengetahui kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan anak dengan keterbatasan seperti tuna rungu yang memiliki hambatan. Bahasa isyarat tidak diketahui oleh masyarakat dikarenakan penggunaanya tidak begitu diterapkan di masyarakat. Oleh sebab itu maka implementasi kebijakan bahasa isyarat disini dikaitkan dengan kecerdasan intelegensi anak. Kecerdasan anak tuna rungu ini diberikan karena anak belum dapat berkomunikasi secara bebas dan menyatu saat berada di lingkungan masyarakat. Dikarenakan kebijakan bahasa isyarat yang digunakan anak tuna rungu belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Sehingga dengan mengaitkan serta mengembangkan bahasa isyarat dengan kecerdasan intelegensi diharapkan mampu memberikan dampak positif bagi anak tuna rungu. Kemampuan khusus disini lebih memfokuskan kepada bidang bidang tertentu saja. Adapun dari Teori Multiple Intrlligence (Gardner) kecerdasan memiliki 9 dimensi yang semiotonom, yaitu linguistik, musik, matematik logis, visual spesial, kinestetik fisik, sosial interpersonal,intrapersonal, spiritual, natural. Bahasa isyarat mendukung kecerdasan intelegensi anak di demensi kinestetik, interpersonal, serta natural. Pengembangan kecerdasan anak tuna rungu dapat ditingkatkan dengan pendidikan yang telah terencana sebelumnya agar dapat menghasilkan sebuah prestasi, di lain hal masih ada juga faktor yang mampu 6 mempengaruhi kecerdasan intelegensi dari suatu anak yaitu berasal dari keturunan maupun lingkungannya. Segi prestasi salah satunya seperti seorang siswa yang mempunyai keterbatasan mendengar ialah dengan diraihnya juara membatik tingkat provinsi, dari beberapa hal tersebut lingkungan sekolah memberikan pengarahan yang baik sehingga anak di sekolahan tersebut mampu memberikan pencapaian terbaik, disini menjadi sebuah tantangan bagi guru bagaimana anak tersebut diasuh dengan keterbatasan yang dia miliki. Beberapa keterbatasan yang dimiliki oleh anak tuna rungu, memberikan suatu gagasan untuk lebih mendekatkan serta merekatkan pendidik dan peserta didik dalam berbagai pola asuh yang diberikan di lingkungan sekolah. Demi merekatkan pendidik dan peserta didik maka muncullah dukungan dengan adanya kebijakan bahasa isyarat yang ada di SLB tersebut, serta adanya prestasi yang didapat juga diperoleh oleh anak tuna rungu dengan berbagai macam karakteristik, maka peneliti tertarik untuk meneliti implementasi kebijakan bahasa isyarat yang diterapkan untuk mendekatkan diri dan mengembangkan kecerdasan intelegensi anak dengan judul “Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu”. 7 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Implementasi kebijakan bahasa isyarat yang dikaitkan dengan kecerdasan intelegensi mengalami hambatan dalam hal penerapan di masyarakat. 2. Sulitnya anak tuna rungu untuk melakukan komunikasi dengan warga sekolah dan masyarakat. 3. Adanya kendala dalam mata pelajaran matematika karena terdiri dari simbol – simbol. 4. Anak tuna rungu cenderung rendah diri dalam berkomunikasi di masyarakat. C. Pembatasan Masalah Mengingat keterbatasan peneliti dan luasnya cakupan dalam permasalahan, maka dalam penelitian ini, permasalahan hanya dibatasi pada implementasi kebijakan bahasa isyarat berkaitan dengan kecerdasan intelegensi. D. Rumusan masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini yaitu : “Bagaimana implementasi kebijakan bahasa isyarat di sekolah dan masyarakat dilihat dari faktor pendukung dan penghambat berkaitan dengan kecerdasan intelegensi” ? 8 E. Tujuan Penelitian Mengacu pada rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan : 1. Implementasi kebijakan bahasa isyarat di SLB berkaitan dengan kecerdasan intelegensi. 2. Faktor pendukung dan penghambat komunikasi anak tuna rungu di masyarakat dan sekolah 3. Kendala saat anak menerima pelajaran matematika. 4. Sebab anak rendah diri ketika berada di masyarakat. F. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai impementasi kebijakan (bahasa isyarat) yang terlaksana dengan adanya proses pendidikan yang melibatkan anak, peserta didik, dan lingkungan. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Peneliti Mampu mengembangkan metodologi penelitian serta menerapkan berbagai teori yang didapat di bangku kuliah dan memberi informasi mengenai implementasi kebijakan bahasa isyarat serta kecerdasan. b. Bagi Guru Mampu memberikan metode bahasa isyarat yang tepat untuk mengembangkan kecerdasan pada seorang anak. 9 c. Bagi anak Mampu mengembangkan kecerdasan intelegensi yang ada pada dirinya 10 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Implementasi Kebijakan 1. Implementasi Implementasi menurut Kamus Webster diartikan sebagai to provide the means carrying out yang berarti menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu, to give practical effect to dengan arti menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu (Solichin Abdul Wahab, 2002: 64). Sedangkan menurut Grindle (Sudiyono, 2007: 77) bahwa implementasi kebijakan pendidikan sesungguhnya tidak semata - mata terbatas pada mekanisme penjabaran keputusan - keputusan politik ke dalam prosedur rutuin melalui saluran birokrasi, tetapi terkait dengan masalah konflik. Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (Solichin Abdul Wahab, 2012: 135), menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa : memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan, yakni kejadian - kejadian dan kegiatan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman - pedoman kebijaksanaan negara, yang mencakup baik usaha - usaha untuk mengadministrasikannya maupun untuk menimbulkan akibat atau dampak nyata pada masyarakat atau kejadian - kejadian. 11 2. Teori Implementasi a. Implementasi kebijakan sebagai model proses atau alur yang berarti kebijakan yang disusun oleh pemerintah diarahkan atau ditujukan untuk mengadakan perubahan, dengan kata lain kebijakan sebagai sebuah “social engineering” (rekayasa sosial), yaitu kebijakan ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka mengubah masyarakat sebagai kelompok sasaran, Smith (Sudiyono,2007: 83) b. Implementasi sebagai pendekatan “the top down Approach” bahwa untuk mewujudkan implementasi yang sempurna diperlukan persyaratan tertentu, Brian w. Hogwood dan Lewis A. Gun (Sudiyono, 2007: 85). c. Implementasi kebijakan sebagai sebuah sebuah abstraksi hubungan berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja kebijakan. Teori ini dikemukakan oleh Meter dan Horn. Menurut mereka implementasi kebijakan sebagai sebuah abstraksi yang memperhatikan hubungan antara berbagai faktor yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. d. Implementasi sebagai evolusi yang mengatakan bahwa implementasi merupakan proses redefinisi terhadap tujuan dan hasil. Ini artinya sebuah implementasi kebijakan dikatakan berhasil bilamana selalu diikuti oleh adanya perubahan secara incremental. 12 3. Kebijakan Kebijakan merupakan sebuah rekayasa sosial. Sebagai sebuah rekayasa sosial, maka kebijakan dirumuskan oleh pemerintah. Tentu saja rumusan kebijakan ini secara esensial sesuai dengan permasalahan yang ada. Persoalan yang sering terjadi adalah formulasi kebijakan sebagai sebuah bahasa buatan bukan permasalahan pokoknya, sehingga seringkali kebijakan tidak menyelesaikan permasalahan, bahkan sebuah kebijakan dapat menimbulkan permasalahan baru (Sudiyono, 2007: 1) Kebijakan harus lahir dari hakikat manusia dan hakikat dari proses pendidikan yang melibatkan anak, pendidik, dan hubungan intrapersonal di dalam suatu masyarakat yang berbudaya dan beretika. Kebijakan umumnya dimaknai sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan atau tidak dilakukan oleh perorangan atau kelompok. Pengertian ini memberikan makna bahwa kebijakan merupakan suatu rangkaian tindakan, yang berarti tindakan tersebut tidak terbatas satu tindakan melainkan beberapa tindakan. Jadi implementasi kebijakan merupakan sebuah penerapan rekayasa sosial yang disusun secara sistematis guna kemajuan pendidikan khususnya, kebijakan diambil perundingan. 13 setelah melalui berbagai proses B. Bahasa 1. Bahasa Bahasa adalah komunikasi atau ekspresif fikir dan perasaan, yang berwujud vokal, dan merupakan kombinasi dari beberapa bunyi atau simbol tertulis yang mengandung arti, Webster (Sardjono, 2005: 5). Dilain hal hakikat bahasa pada prinsipnya meliputi kemampuan pengungkapan, pemahaman, ingatan serta sikap moral dalam kaitannya dengan keterampilan berbahasa. Kemampuan berbahasa meliputi kemampuan menangkap simbol, mengungkapkan kalimat, pemahaman dan keterampilan berbahasa baik pasif maupun aktif serta penggunaan kata kata yang tepat dan terstruktur menurut tarmansyah (Sardjono, 2005:5). Maka dapat disimpulkan bahwa bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang berwujud suatu vokal ataupun tulisan yang berpadu sehingga mengandung arti satu sama lain. 2. Fungsi Bahasa Sardjono (2005: 7) wujud bahasa dapat digunakan sebagai alat komunikasi karena sifatnya yang mengandung makna. Wujud bahasa ada yang berbentuk suara yang kemudian bahasa lisan, yang berbentuk gerakan tubuh, bunyi benda - benda tertentu disebut bahasa isyarat yang berbentuk lambang - lambang bunyi disebut bahasa tulisan . a. Bahasa sebagai alat komunikasi, manusia disamping sebagai individu yang berdiri sendiri juga sebagai mahluk sosial. Dan ini dapat diartikan bahwa perhubungan antar manusia merupakan kebutuhan hidup 14 mereka. Dan perhubungan tersebut akan lebih berarti dan dapat saling mengerti bila mereka memakai alat penghubung. Fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, sebenarnya telah timbul dari adanya tanggapan seseorang terhadap ucapan anak atau reaksi anak terhadap ucapan seseorang. b. Bahasa sebagai alat penyimpanan, dalam kehidupan manusia, lahirlah kebudayaan - kebudayaan yang bersifat agresif, selalu berubah - ubah bertambah dan tumbuh sesuai dengan pertumbuhan dan kemajuan manusia, selanjutnya lama kelamaan makin banyaklah macam ragam kebudayaan yang tertumpuk mulai dari kebudayaan kuno hingga kebudayaan yang terbaru. Jadi bahasa tulis dapat berguna sebagai alat penyimpan. c. Bahasa sebagai alat penolong, bahasa juga sebagai alat penolong untuk memproduksikan apa yang telah diketahui, menolong untuk menyatakan fikiran, perasaan dan pengetahuan ilmu - ilmu yang telah dimiliki, juga menolong untuk menjelaskan hal - hal yang abstrak menjadi kongkrit. Jadi jelaslah bahwa bahasa mempunyai banyak kegunaan yang banyak. d. Fungsi bahasa juga sebagai wadah pengantar makna, maksudnya rangsangan yang diterima anak sejak lahir, mengucapkan sesuatu, menimbulkan tanggapan atau reaksi tertentu pada orang lain. Karena pengalaman ia juga mengetahui bahwa ucapan seseorang selalu dihubungkan dengan benda, atau situasi tertentu. Dengan saling 15 menanggapi ucapan, menyadarkan anak bahwa suara atau ucapan merupakan wadah pengantar makna. Dari bahasa yang dibentuk oleh suara atau ucapan dapat dijadikan alat penghubung dengan orang lain. e. Fungsi bahasa yang berhubungan dengan fakta, mula - mula pengenalan akan makna kata itu melalui penghayatan nama - nama benda kemudian dilanjutkan dengan penghayatan melalui tingkah laku, baru penghayatan melalui perasaan, fikiran, yang merupakan gabungan dari fakta - fakta. Menurut penjelasan di atas maka fungsi dari bahasa dapat diartikan menjadi alat komunikasi dalam bermasyarakat sehari – hari. Dan digunakan sebagai pengungkapan suatu makna yang akan disampaikan kepada orang lain. C. Bahasa Isyarat 1. Bahasa Isyarat Gebaren (Lani bunawan, 1997:11) bahwa isyarat telah memegang peran yang penting dalam pendidikan anak tuna rungu. Ternayata bahwa maksud dan interprestasi orang tentang istilah isyarat ini tidak selalu sama. Metode manual dapat diartikan sebagai metode yang menggunakan isyarat / bahasa isyarat (manual language) sebagai media komunikasi dengan anak tuna rungu. Apa yang dimaksud bahasa isyarat atau manual secara harfiah menurut A. Van Uden (Lani Bunawan, 1997: 11) artinya bahasa dengan menggunakan tangan, walaupun dalam kenyataan, ekspresi muka dan lengan juga digunakan atau berperan. 16 2. Jenis Isyarat Menurut Lani Bunawan jenis isyarat sebagai berikut : a. Bahasa isyarat dapat diartikan sebagai dactylology atau “bahasa jari” atau juga lebih dikenal dengan sebutan abjad jari / ejaan jari ( finger spelling ). Sistem ini masih dibedakan menjadi 2 yaitu : gerak posisi yang menggambarkan abjad atau ejaan dan gerak posisi jari yang menggambarkan bunyi bahasa. b. Istilah isyarat juga sering digunakan untuk menunjukkan bahasa tubuh atau body language. Bahasa tubuh meliputi keseluruhan ekspresi tubuh seperti sikap tubuh, ekspresi muka (mimic), pantomimic, dan gesti / gerak yang dilakukan seseorang secara wajar dan alami. c. Bahasa isyarat asli / alami adalah suatu isyarat sebagaimana digunakan anak tuna rungu (berbeda dari bahasa tubuh) merupakan suatu ungkapan manual (dengan tangan) yang disepakati bersama pemakai. d. Bahasa isyarat formal dikembangkan menjadi 1) bahasa isyarat yang dinamakan sign English atau siglish atau amelish, bahasa ini merupakan gabungan atau campuran antara bahasa isyarat asli dengan bahsa inggris dengan ciri mengikuti urutan dan tata bahasa inggris lisan, kebanyakan kosa kata isyarat sama dengan isyarat yang digunakan dalam ASL atau BSL, 2) bahasa isyarat yang memiliki struktur yang tepat sama dengan bahasa lisan masyarakat. Bahasa isyarat ini digolongkan dalam bahasa isyarat structural dan ciri - cirinya yaitu satu isyarat mewakili satu kata, 17 menggunakan ejaan jari sebagai penunjang untuk gejala bahasa yang sukar dibuatkan isyarat. D. Perkembangan 1. Perkembangan Manusia Perkembangan manusia secara psikologis merupakan suatu yang merujuk pada perubahan - perubahan tertentu yang terjadi di dalam kehidupan manusia sejak masa hidup hingga meninggal. Perubahan dalam perkembangan manusia terjadi secara berurutan dan setiap urutan perubahan mempunyai masa tertentu yang relatif panjang seperti masa usia dini, kanak - kanak, remaja, dewasa, hingga lanjut usia. Perkembangan adalah proses - proses yang dialami individu menuju tingkat kedewasaan (maturity) yang berlangsung secara sistematik dan progresif, Lefrancois dkk (Santrock, 2007: 7). Sependapat dengan Moh. Surya (Santrock, 2007: 8) perkembangan merupakan perubahan secara progresif (maju) dalam diri organisme dalam pola - pola yang memungkinkan terjadinya fungsi fungsi baru. Penjelasan perkembangan di atas dapat disimpulkan sebagai suatu perubahan yang membutuhkan waktu tidak singkat dan terjadi secara berurutan dari lahir hingga manusia tersebut meninggal. Dalam perkembangan tersebut menemukan berbagai fase - fase yang akan mengubah diri manusia menuju kearah yang lebih baik dan bersifat meningkat. 18 2. Karakteristik Perkembangan Manusia Paul Baltes (Santrock, 2007: 11-12) seorang peneliti di bidang psikologi perkembangan dan seperti yang dikutip oleh () menjelaskan bahwa perkembangan manusia memiliki tujuh karakteristik dasar yaitu : a. Perkembangan berlangsung sepanjang hidup yang adalah perkembangan manusia terjadi sangat pesat pada usia dini. Pada usia selanjutnya, perkembangan tersebut tetap berlangsung dengan pesat sampai anak mencapai usia dewasa. Setelah mencapai pada usia dewasa, perkembangan menjadi lebih stabil. Saat mencapai usia tua maka perkembangan manusia menjadi menurun. b. Perkembangan manusia bersifat multidimensional yaitu perkembangan dalam diri manusia memiliki berbagai dimensi seperti dimensi kognitif, dimensi kecerdasan, dimensi sosioemosional. c. Perkembangan manusia bersifat multidireksional adalah perkembangan manusia pada dimensi tertentu dapat berkembang dengan pesat sementara pada dimensi lainnya menurun. Misalnya seorang yang dewasa mampu bertindak bijaksana dengan menggunakan kematangan intelektual dan pengalaman yang dimilikinya dapat mengambil keputusan tepat, namun pada waktu melakukan kegiatan yang membutuhkan ingatan dalam memproses informasi, ia tidak melakukan dengan baik. d. Perkembangan manusia bersifat fleksibel yang artinya dalam perkembangan ini ditentukan oleh berbagai kondisi yang dialaminya 19 sepanjang hidupnya. Oleh sebab itu, perkembangan manusia mengikuti berbagai alur perkembangan. Misalnya, ingatan orang dewasa yang telah memasuki masa usia tua dapat ditingkatkan melalui training atau melalui berbagai kebiasaan yang membantu mempertahankan daya ingat, seperti menstimulasi otak dengan membaca serta menulis. e. Perkembangan manusia mengandung sejarah perkembangan yaitu seorang individu sangat dipengaruhi oleh sejarah perkembangan hidupnya. Misalnya, seperti orientasi wanita yang hidup di tahun 1950 akan berbeda dengan wanita yang hidup di era globalisasi. Dimana tahun 1950 diorientasikan pada fungsinya sebagai wanita pengurus rumah tangga yang lemah, lembut, dan patuh pada suami. f. Studi tentang perkembangan manusia bersifat mutlidisiplin yaitu dalam studi perkembangan manusia ini melibatkan berbagai ahli dari disiplin ilmu, sosiologis, antropologis, sosiologis, dan pendidikan. Semuanya memberikan masukan dalam membuka rahasia perkembangan manusia. g. Perkembangan manusia bersifat kontekstual yaitu manusia memberikan respon dan bertindak berdasarkan konteks yang mencakup biologis, lingkungan fisik, dan lingkungan sosial. Dapat disederhanakan sejalan dengan berubahnya waktu dan zaman maka perkembangan akan mengikutinya Dari berbagai karakteristik di atas dapat ditarik kesimpulan dimana perkembangan anak dari kecil menuju dewasa membutuhkan berbagai 20 faktor seperti daya ingat, dimensi kecerdasan serta berbagai hal yang melekat pada seorang anak demi menunjang keberhasilan dalam proses perkembangan. Semua hal tersebut saling berhubungan satu sama lain seperti contoh perkembangan berlangsung seumur hidup tapi dalam perjalanan tersebut seseorang memiliki tingkat kecerdasan untuk memberikan informasi yang ia dapat. 3. Prinsip – Prinsip Perkembangan Manusia Untuk lebih memahami perkembangan manusia secara menyeluruh perlu dilandasi dengan adanya pengetahuan mengenai fakta dasar yang berhubungan dengan perkembangan serta sering disebut dengan prinsip prinsip perkembangan, prinsip ini menunjuk adanya beberapa pemikiran yang perlu dipedomani dalam usaha memahami perkembangan. Hurlock (Endang Poerwanti dkk, 2002: 30) menjelaskan bahwa prinsip - prinsip perkembangan tersebut meliputi : a. Perkembangan melibatkan adanya perubahan yaitu dalam hal ini perkembangan selalu ditandai dengan perubahan yang bersifat progresif, bertujuan agar manusia dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan jaman. Perubahan juga meliputi hilangnya ciri lama untuk mendapatkan ciri baru. b. Perkembangan awal lebih kritis dari perkembangan selanjutnya yaitu perkembangan merupakan suatu proses kontinum, dimana perkembangan sebelumnya mempengaruhi apa yang terjadi pada hal selanjutnya. 21 c. Perkembangan merupakan hasil proses kematangan dan belajar adalah hasil keduanya sering terintegrasi satu sama lain untuk membentuk suatu perkembangan. d. Pola perkembangan dapat diramalkan : dalam pola ini mengikuti pola umum maka dengan melakukan pengamatan longitudional sejak awal perkembangan anak, maka akan dapat diramalkan pola perkembangan berikutnya baik yang menyangkut pertumbuhan fisik maupun psikis. e. Dalam perkembangan ditemui perbedaan individual. Secara garis besar, peristiwa perkembangan mempunyai atau mengikuti prinsip - prinsip perkembangan sebagai berikut Atmodiwirjo ( Endang Poerwanti dkk, 2002: 132) : a. Perkembangan tidak terbatas dalam arti ini tumbuh menjadi besar, namun mencakup rangkaian perubahan yang bersifat progresif dan teratur. Jadi semua tahap saling berhubungan satu sama lain serta tidak berdiri sendiri. b. Perkembangan selalu menuju proses diferensiasi dan integrasi. Prinsip dalam diferensiasi berarti ada prinsip totalitas pada diri anak. Dari penghayatan totalitas tersebut maka lambat laun bagian – bagiannya akan menjadi menjadi sangat nyata dan bertambah jelas dalam kerangka keseluruhan. c. Perkembangan dimulai dari respon respon - respon yang sifatnya umum menuju yang khusus. Contoh bayi yang selalu tersenyum melihat orang 22 - orang, namun lambat laun seiring berkembang dapat membedakan senyuman tersebut. d. Setiap orang akan mengalami tahapan perkembangan yang berlangsung secara berantai. e. Setiap anak memiliki tempo kecepatan perkembangan sendiri - sendiri. Pada setiap anak, terdapat impuls untuk berkembang dengan caranya sendiri, untuk melatih semua bakat serta kemampuannya. f. Di dalam perkembangan, dikenal adanya irama atau naik turunnya proses perkembangan. Artinya perkembangan manusia tidak tetap terkadang bisa baik bahkan bisa juga turun. g. Setiap anak, seperti juga orgasnisme lainnya, memiliki dorongan dan hasrat mempertahankan diri dari hal - hal yang negatif seperti rasa sakit, rasa tidak aman, dan kematian. h. Dalam perkembangan terdapat masa peka. Masa peka ini ialah suatu massa dalam perkembangan anak, saat fungsi jasmani ataupun rohani, dapat berkembang dengan cepat jika mendapat latihan yang baik dan kontinyu. i. Perkembangan tiap anak pada dasarnya tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembawaan sejak lahir, tetapi juga oleh lingkungan anak. Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa prinsip perkembangan melibatkan perubahan yang bersifat progresif dan nantinya ditemukan perbedaan individual di dalam perkembangan. Untuk 23 perkembangan sendiri setiap anak memiliki tempo kecepatan sendiri sendiri. E. Tuna Rungu 1. Tuna rungu Haenudin (2013: 53-54) tuna rungu adalah peristilahan secara umum yang diberikan kepada anak yang mengalami kehilangan atau kekurang mampuan mendengar, sehingga ia mengalami gangguan dalam melaksanakan kehidupannya sehari - hari. Secara garis besar tuna rungu dapat dibedakan menjadi dua yaitu tuli dan kurang dengar. Istilah tuna rungu berasal dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tuna rungu apabila ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tuna rungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya, tetapi ketika dia berkomunikasi barulah diketahui bahwa mereka tuna rungu. Untuk mengetahui lebih lanjut hakikat tuna rungu, dibawah ini akan dikemukakan beberapa pendapat, antara lain Van Uden (1997) dalam Murni Winarsih (2007:6) sebagai berikut : A deaf person is one whose hearing is disabled to an axtent (ussualy 70 dBISO or greater) that precludes the understanding of speech through the ear alone without our with the use of hearing aid. A hard of hearing person is one whose hearing is disabled to an extent ( ussualy 35 to 69 dB ISO) that makes difficult, but does not precludes the understanding of speech through the ear alone without or with the use of hearing aid. 24 Dari pendapat tersebut dapat diartikan bahwa seseorang dikatakan tuli jika kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 ISO dB, atau lebih, sehingga ia tidak dapat mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Sedangkan seseorang dikatakan kurang dengar apabila kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35dB sampai 69 dB ISO, sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (ABM). 2. Jenis – Jenis Ketuna runguan Ketuna runguan secara anatio fisiologis dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis (Haenudin, 2013: 62- 63) yaitu : a. Tuna rungu hantaran (Konduksi), yaitu ketuna runguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat - alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah. Ketuna runguan konduksi (A Conductive hearing loss) terjadi karena pengurangan intensitas bunyi yang mencapai telinga bagian dalam, dimana syaraf pendengaran berfungsi. b. Tuna rungu syaraf (Sensorineural), yaitu ketuna runguan yang disebabkan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya alat - alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran pada Lobus Temporalis. 25 c. Tuna rungu campuran, yaitu ketuna runguan yang disebabkan kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran. Jadi jenis dari tuna rungu tersebut dibagi menjadi tiga yaitu tuna rungu hantaran yang diakibatkan kerusakan atau tidak berfungsinya alat - alat penghantar getaran suara pada telinga bagian tengah, tuna rungu syaraf ditimbulkan karena tidak berfungsinya alat - alat pendengaran bagian dalam syaraf pendengaran yang menyalurkan getaran ke pusat pendengaran, serta tuna rungu campuran yaitu ketuna runguan yang disebabkan karena kerusakan pada penghantar suara dan kerusakan pada syaraf pendengaran. 3. Karakteristik Tuna rungu Haenudin (2013: 66-67) anak tuna rungu apabila dilihat dari segi fisiknya tidak ada perbedaan dengan anak pada umumnya, tetapi sebagai dampak dari ketuna runguan mereka memiliki karaktersitik khas. Berikut ini merupakan karakteristik anak tuna rungu dilihat dari segi intelegensi, bahasa dan bicara, serta emosi dan social. a. Karakteristik dalam Segi Intelegensi Karakteristik dalam segi intelegensi secara potensial anak tuna rungu tidak berbeda dengan intelegensi anak normal pada umumnya, ada yang pandai, sedang, dan ada yang bodoh. Namun demikian secara fungsional intelegensi mereka berada dibawah anak normal, hal ini disebabkan oleh kesulitan anak tuna rungu dalam memahami bahasa. 26 Perkembangan intelegensi anak tuna rungu tidak sama cepatnya dengan anak yang mendengar, karena anak yang mendengar belajar banyak dari apa yang mereka dengar, dan hal tersebut merupakan proses dari latihan berpikir. Keadaan tersebut tidak terjadi pada anak tuna rungu, karena anak tuna rungu memahami sesuatu lebih banyak dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang mereka dengar. Oleh sebab itu sering kali anak tuna rungu disebut sebagai “Instan Permata”. Dengan kondisi seperti itu anak tuna rungu lebih banyak memerlukan waktu dalam proses belajarnya terutama untuk mata pelajaran yang diverbalisasikan. b. Karakteristik dalam Segi Bahasa dan Bicara Anak tuna rungu dalam segi bicara dan bahasa mengalami hambatan, hal ini disebabkan adanya hubungan yang erat antara bahasa dan bicara dengan ketajaman pendengaran, mengingat bahasa dan bicara merupakan hasil proses peniruan sehingga para tuna rungu dalam segi bahasa memiliki ciri yang khas, yaitu sangat terbatas dalam pemilihan kosa kata, sulit mengartikan arti kalasan dan kata - kata yang bersifat abstrak. c. Karakteristik dalam Segi Emosional dan Sosial Keterbatasan yang terjadi dalam komunikasi pada anak tuna rungu mengakibatkan perasaan terasing dari lingkungannya. Anak tuna rungu mampu melihat semua kejadian, akan tetapi tidak mampu untuk memahami dan mengikutinya 27 secara menyeluruh sehingga menimbulkan emosi yang tidak stabil, mudah curiga, dan kurang percaya diri. Dalam pergaulan cenderung memisahkan diri terutama dengan anak normal, hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan untuk melakukan komunikasi secara lisan. F. Kecerdasan 1. Kecerdasan Apabila kita telusuri lebih asal usul kata “kecerdasan” erat sekali hubungannya dengan kata “intelek”. Hal ini bisa dimaklumi sebab keduanya berasal dari kata Latin yang sama yaitu intellegere, yang mempunyai arti memahami. Intellectus atau intelek adalah suatu bentuk participium perpectum (pasif) dari intellegere, sedangkan intellegens atau kecerdasan adalah bentuk participium praesens (aktif) dari kata yang sama. Bentuk - bentuk kata ini memberikan indikasi kepada kita bahwa intelek bersifat statis sedangkan intelegensi lebih bersifat aktif. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwasanya intelek adalah potensi untuk memahami, sedangkan intelegensi adalah aktivitas atau perilaku yang merupakan perwujudan dari daya serta poteqnsi tersebut. Sehubungan dengan definisi di atas ada yang mengartikan intelegensi sebagai “kemampuan untuk berpikir secara abstrak” (Terman), “kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya” (Colvin). Untuk memberikan gambaran secara mendetail tentang Intellegensi, ada beberapa pakar yang yang menyampaikan definisi tentang Intellegensi: 28 a. S.C. Utami Munandar secara umum intelegensi dapat dirumuskan sebagai berikut : 1) Kemampuan untuk berpikir abstrak, 2) Kemampuan untuk menangkap hubungan - hubungan dan untuk belajar, 3) Kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi baru. Perumusan - perumusan yang ada di ketiga bagian tersebut yaitu untuk melihat intelegensi sebagai kemampuan berpikir, perumusan kedua mengenai kemampuan untuk belajar, dan yang ketiga kemampuan untuk menyesuaikan. Sekalipun membahas mengenai aspek - aspek yang berbeda namun ketiganya saling berkaitan satu sama lain. b. Alfred Binet dikenal sebagai pelopor dalam menyusun tes intelegensi, mengemukakan pendapatnya mengenai intelegensi sebagai berikut (Effendi & Praja, 1993) : Intelegensi mempunyai tiga aspek kemampuan : 1) Direction yaitu kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan, 2) Adptation yaitu kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya serta fleksibel dalam menghadapi masalah, 3) Criticism yaitu kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri. c. L.L Thurstone mengatakan teori multifaktor yang meliputi 13 faktor. Diantara 13 faktor tersebut, ada 7 yang menjadi faktor dasar (primary abilities), yaitu :1) Verbal comprhension (V) : kecakapan untuk memahami pengertian yang diucapkan dengan kata - kata, 2) Word fluency (W) : kecakapan dan kefasihan menggunakan kata - kata, 3) 29 Number (N) : kecakapan untuk memecahkan masalah matematika (penggunaan angka – angka / bilangan), 4) Space (S) : kecakapan tilikan ruang, sesuai dengan bentuk hubungan formal, seperti menggambar design from memory, 5) Memory (M) : kecakapan untuk mengingat, 6) Perceptual (P) : kecakapan untuk mengamati dan menafsirkan, mengamati persamaan dan perbedaan suatu objek, tes ini kadang kadang dihilangkan dalam beberapa bentuk, 7) Reasoning (R) : kecakapan menemukan dan menggunakan prinsip - prinsip. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kecerdasan atau intelligensi merupakan suatu kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu yang berbeda. Kemampuan dari setiap anak dimiliki untuk menghadapi masalah dengan memecahkannya melalui kecakapan maupun pemahaman yang mereka miliki. Serta adanya potensi yang mampu mereka kembangkan di masa perkembangan. 2. Teori Kecerdasan a. Teori Multiple Intelligence Menurut Gardner, kecerdasan manusia memiliki sembilan dimensi yang semiotonom, yaitu lingusitik, musik, matematik logis, visual spesial, kinestetik fisik, sosial interpersonal, intrapersonal, naturalis, spiritual. Setiap dimensi tersebut, merupakan kompetensi yang eksistensinya berdiri sendiri dalam sistem neuron. Artinya, memiliki organisasi neurologis yang berdiri sendiri dan bukan hanya terbatas yang bersifat intelektual. 30 b. Incremental Theory Dalam teori ini, seseorang dapat mengembangkan kecerdasan atau kecerdasannya melalui belajar. c. Teori Uni Factor (Wilhelm Stern) Dalam teori ini, kecerdasan merupakan kapasitas atau kemampuan umum. Oleh karena itu , cara kerja kecerdasan juga bersifat umum. Reaksi atau tindakan seseorang dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungan atau dalam memecahkan masalah, bersifat umum pula. Kapasitas umum itu timbul akibat pertumbuhan fisiologis ataupun akibat belajar. 3. Ciri – Ciri Intelektual Adapun ciri – ciri menurut Howard Gardenr (Thomas Armstrong, 2013: 6-7) sebagai berikut : a. Kecerdasan Lingusitik Kemampuan untuk menggunakan kata - kata secara efektif, baik lisan maupun tulisan. Kecerdasan ini mencakup kemampuan untuk memanipulasi sintaks atau struktur bahasa, fonologi atau bunyi bahasa, semantik atau makna bahasa, dan dimensi pragmatis atau kegunaan praktis dari bahasa. Beberapa manfaatnya termasuk retorika (menggunakan bahasa untuk meyakinkan orang lain melakukan aksi tertentu), nemonik (menggunakan bahasa untuk mengingat informasi), penjelasan (menggunakan bahasa untuk mengingat informasi), dan metabahasa (menggunakan bahasa untuk membicarakan tentang bahasa itu sendiri). 31 Dari penjelasan di atas didapat kesimpulan bahwa ciri - ciri lingusitik sebagai berikut : 1) Mampu mendengar dan memberikan respons pada kata - kata yang diucapkan dalam suatu komunikasi verbal, 2) Mampu berbicara dan menulis dengan efektif, 3) Mampu mengembangkan kemampuan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari - hari. b. Kecerdasan Logika - Matematika Kemampuan untuk menggunakan angka secara efektif (misalnya, sebagai ahli matematika, akuntan pajak, atau ahli statistik) dan untuk alasan yang baik (misalnya, sebagai seorang ilmuwan, pemrograman komputer, atau ahli logika). Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap pola - pola dan hubungan - hubungan yang logis, pernyataan dan dalil (jika - maka, sebab - akibat), fungsi, dan abstraksi terkait lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Logis – matematis mempunyai ciri – ciri sebagai berikut: 1) Mampu mengamati objek yang ada di lingkungan, 2) Mampu dan menunjukkan kemampuan dalam memecahkan masalah yang menuntut pemikiran, 3) Mampu mengamati dan mengenali pola serta hubungan. c. Kecerdasan Visual – Spasial Kemampuan untuk memahami dunia visual - spasial secara akurat (misalnya sebagai pemburu, pramuka, atau pemandu) dan melakukan perubahan - perubahan pada persepsi tersebut (misalnya 32 seniman). Kecerdasan ini melibatkan kepekaan terhadap warna, garis, bentuk, ruang, dan hubungan - hubungan yang ada diantara unsur unsur ini. Hal ini mencakup kemampuan untuk memvisualisasikan, mewakili ide - ide visual atau spasial secara grafis, dan mengorientasikan diri secara tepat dalam sebuah matriks spasial. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan visual - spasial dapat diartikan sebagai kemampuan untuk melihat sekaligus mengamati dunia visual dan spasial secara akurat. Visual mempunyai arti gambar sedangkan spasial yaitu hal - hal yang berkenaan dengan tempat maupun ruang, adapun ciri - cirinya sebagai berikut :1) belajar dengan cara mengamati dan melihat, mengenali wajah, objek, bentuk dan warna, 2) mampu mengenali lokasi dan jalan keluar, 3) mempunyai kemampuan imajinasi yang baik. d. Kecerdasan Gerak Tubuh (Bodily - kinesthetic) Keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide - ide dan perasaan - perasaan dan (misalnya sebagai atlet atau penari) dan kelincahan dalam menggunakan tangan seseorang untuk menciptakan atau mengubah sesuatu. Kecerdasan ini meliputi ketrampilan fisik tertentu seperti koordinasi, keseimbangan, ketangkasan, kekuatan, fleksibilitas, dan kecepatan. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan kecerdasan gerak tubuh merupakan keahlian dimana bahwa untuk menggunakan seluruh anggota tubuh untuk mengekspresikan ide - ide 33 dan perasaan melalui beberapa kegiatan. Dengan ciri - ciri sebagai berikut : 1) menciptakan pendekatan baru dengan menggunakan keahlian fisik seperti dalam menari, olah raga, atau aktifitas lainnya, 2) mempunyai koordinasi fisik dan ketepatan waktu yang baik, 3) menyukai pengalaman belajar yang nyata seperti permainan dan membangun model. e. Kecerdasan Musikal Kemampuan untuk merasakan (misalnya sebagai penikmat musik), membedakan, menggubah, dan mengekspresikan bentuk bentuk musik. Kecerdasan ini meliputi kepekaan terhadap ritme, nada atau melodi, dan timbre atau warna nada dalam sepotong musik. Seseorang dapat memiliki pemahaman musik yang figural atau “ dari atas ke bawah”, pemahaman musik yang formal atau “dari bawah ke atas”. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan musikal lebih ke arah manusia untuk merasakan, membedakan, mengekspresikan bentuk - bentuk musik. Dengan ciri ciri sebagai berikut : 1) mendengarkan dan memberikan respon dengan minat yang besar terhadap berbahagai jenis suara, 2) menikmati dan mencari kesempatan untuk dapat mendengarkan musik atau suara alam, 3) mengumpulkan musik baik dalam bentuk rekaman maupun dalam bentuk tulisan. 34 f. Kecerdasan Interpersonal Kemampuan ini untuk memahami dan membuat perbedaan perbedaan pada suasana hati, maksud, motivasi, dan perasaan terhadap orang lain. Sebagai ciri lainnya yaitu :1) membentuk dan mempertahankan suatu hubungan sosial, 2) mampu berinteraksi dengan orang lain, 3) mengenali dan menggunakan berbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan interpersonal menekankan kepada perbedaan suasana hati yang ada pada diri seorang manusia. g. Kecerdasan Intrapersonal Pengetahuan diri dan kemampuan untuk bertindak secara adaptif berdasarkan pengetahuan. Kecerdasan ini termasuk memiliki gambaran yang akurat tentang diri sendiri (kekuatan dan keterbatasan seseorang); kesadaran terhadap suasana hati dan batin, maksud, motivasi, tempramen, dan keinginan; serta kemampuan untuk mendisiplinkan diri, pemahaman diri, dan harga diri. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan mengenai ciri – ciri sebagai berikut :1) mampu bekerja secara sendiri, 2) mampu mengembangkan kemampuan belajar yang berkelanjutan, 3) mampu menyadari dan mengerti arti emosi diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan ini meliputi pikiran dan perasaan. Kecerdasan ini terbentuk 35 dan berkembang sebagai gabungan dari unsur keturunan, lingkungan, dan pengalaman hidup. h. Kecerdasan Naturalis Kecerdasan ini dengan keahlian mengenali dan mengklasifikasikan berbagai spesies flora dan fauna, dari sebuah lingkungan individu dan mencakup kepekaan terhadap fenomena alam lainnya. Dari penjelasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan naturalis memiliki ciri - ciri lain sebagai berikut : 1) menjelajahi lingkungan alam dan lingkungan manusia dengan penuh keterkaitan dan antusias, 2) senang memelihara tanaman dan hewan, 3) suka mengamati, mengenali, berinteraksi, atau peduli dengan objek, tanaman atau hewan. i. Kecerdasan Spiritual Yuliana Nurani Sujiono (Thomas Armstrong, 2013; 12) beranggapan bahwa kecerdasan spiritual dapat diartikan sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. Kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. Adapun untuk mengembangkan kecerdasan spiritual ini melalui teladan dalam bentuk nyata yang diwujudkan perilaku baik 36 lisan, tulisan maupun perbuatan, mengenalkan dan mencontohkan kegiatan keagamaan secara nyata, membangun sikap toleransi kepada sesama sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Penjabaran di atas secara umum dapat diartikan bahwa ciri - ciri poin intelegensi sebagai berikut: 1) mudah menangkap pelajaran, 2) ingatan baik, 3) senang dan sering membaca, 4) cepat memecahkan masalah, 5) ungkapan diri lancar dan jelas, 6) penalaran tajam (berpikir logis – kritis, memahami hubungan sebab akibat), 7) menguasai banyak bahan tentang macam - macam topik, 8) cepat menemukan asas dalam suatu uraian, 9) senang mempelajari kamus, peta, ensiklopedia, 10) perbendaharaan kata luas. 4. Faktor yang mempengaruhi Kecerdasan Kecerdasan satu orang dengan orang lain cenderung berbeda - beda . hal ini dikarenakan adanya beberapa faktor yang mempengaruhiya, Ngalim Purwanto (2003: 55-56) sebagai berikut : a. Faktor Pembawaaan, pembawaan ditentukan sifat-sifat dan ciri - ciri yang dibawa sejak lahir, yakni dapat tidaknya memecahkan suatu soal, pertama-tama ditentukan oleh pembawaan kita b. Faktor pembentukan, pembentukan ialah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Dapat kita bedakan dengan sengaja dan pembentukan tidak sengaja. c. Faktor kematangan setiap organ di dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ (fisik maupun psikis) 37 dapat dikatakan telah matang jika telah mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Anak - anak tidak dapat memecahkan soal - soal tertentu, karena soal-soal itu terlampau sukar. Organ-organ tubunya masih belum matang untuk melakukan mengenai soal itu. Kematangan berhubungan erat dengan umur. d. Faktor kebebasan, kebebasan berarti bahwa manusia dapat memilih metode-metode yang tertentu dalam memecahkan masalah-masalah e. Minat dan pembawaan yang khas, minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi kegiatan itu. Dalam diri manusia berinteraksi dengan dunia luar. Motif menggunakan dan menyelidiki dunia luar (manipulate and exploring motives). Dari manipulasi dan eksplorasi yang dilakukan terhadap dunia luar, akan timbul minat terhadap sesuatu. Yang menarik minat sesorang mendorongnya untuk berbuat lebih giat dan lebih baik. Kelima faktor inilah yang saling terkait satu sama lain. Jadi untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpaku pada satu faktor saja. G. Penelitian Yang Relevan 1. Penelitian yang dilakukan oleh Hafizha Rizqa Febriana dengan judul “Penggunaan Bahasa Isyarat sebagai Komunikasi”. Pada hasil penelitian ini disimpulkan bahwa bahasa isyarat sebagai komunikasi memiliki hasil yang efektif dengan hasil skor total sebesar 75,95 . Adapun pembahasan dapat dilihat sebagai berikut : 1) dimensi perhatian, 2) dimensi 38 pemahaman, 3) efek kognitif, 4) efek afektif dan efek behavioral. Dalam dimensi tersebut mereka menggunakan gerak tubuh dan interpersonal untuk melakukan komunikasi seperti yang ada pada kecerdasan intelegensi di bidang kecerdasan gerak tubuh anak dan interpersonal. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Irma Wahyuni dengan judul “Pengaruh Permainan Gerak dan Lagu Terhadap Kecerdasan Kinestetik Anak Tk A di RA Perwanida 1 Boyolali”. Dengan hasil penelitian bahwa dengan adanya perlakuan permainan gerak dan lagu dapat berpengaruh secara signifikan terhadap kecerdasan kinestetik di TK A di RA PERWANIDA 1 Boyolali. Hal ini terbukti dari adanya peningkatan kecerdasan kinestetik anak yang signifikan antara sebelum dan setelah diberi perlakuan permainan gerak dan lagu. Dimana sebelum dilakukan permainan gerak dan lagu anak yang tergolong dalam kategori kemampuan kecerdasan kinestetik tinggi hanya sebanyak 17 anak (31,5%) namun setelah diberi perlakuan permainan gerak dan lagu ternyata kemampuan kecerdasan kinestetik yang tergolong dalam kategori tinggi meningkat dengan signifikan yaitu sebanyak 47 anak (87%). Sehingga kecerdasan gerak tubuh mempunyai peran dalam mengembangkan kecerdasan ataupun kemampuan anak untuk menyampaikan ide – ide mereka. 39 H. Kerangka Berpikir Anak tuna rungu yang mengalami hambatan untuk berkomunikasi dengan masyarakat lainnya menjadi kendala tersendiri bagi kalangan anak untuk menyatu dengan lingkungan. Karena keterbatasan untuk berkomunikasi tersebut, maka muncullah UU No 19 tahun 2011 yang diterbitkan pemerintah untuk membantu anak dalam berkomunikasi di dalam lingkungan. UU no 19 tahun 2011 di pasal 2 mengatur tentang dunia tuli dengan mengedepankan komunikasi menggunakan bahasa isyarat. Dengan uu tersebut maka mulai diterapkannya kebijakan mengenai bahasa isyarat untuk membantu anak tuna rungu agar dapat berkomunikasi. Kebijakan merupakan proses pendidikan yang melibatkan anak, pendidik, dan masyarakat. Faktor pendorong dan penghambat muncul seiring berjalannya kebijakan bahasa isyarat. Kebijakan bahasa isyarat yang menggunakan gerak tubuh dalam mengekspresikan atau menyampaikan ide anak sama dengan apa yang menjadi ciri di dalam kecerdasan intelegensi anak berkaitan dengan kecerdasan gerak tubuh. Berjalannya kebijakan bahasa isyarat saat ini berjalan dengan baik karena memudahkan anak untuk berkomunikasi di sekolah khususnya dan umumnya di lingkungan 40 Gambar. 1 Kerangka Berpikir UU NO 19 Tahun 2011 Penghambat Implementasi kebijakan bahasa isyarat Anak Disabilitas (Tuna rungu) Kecerdsasan majemuk 41 Pendorong BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif deskriptif. Dengan pendekatan ini diharapkan peneliti dapat menghasilkan data yang berkenaan melalui interpretasi dan bersifat deskriptif untuk mengungkap gejala serta proses di lapangan. Aan Komariah (2010: 25) pendekatan kualitatif yaitu suatu pendekatan penelitian yang mengungkap situasi sosial tertentu dengan mendeskripsikan kenyataan secara benar, dibentuk oleh kata - kata berdasarkan teknik pengumpulan dan analisis data yang relevan yang diperoleh dari situasi yang alamiah. Sugiyono (2007: 9) penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif / kualitatif, danhasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan maksud mendeskripsikan, menggambarkan serta menguraikan bagaimana implementasi kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu di SLB Maarif Muntilan. 42 B. Setting Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini mengambil tempat di SLB Maarif Muntilan yang beralamat di Dalitan Pucungrejo Muntilan Magelang. 2. Waktu Penelitian Persiapan untuk melakukan penelitian ini dilakukan sejak bulan November 2016. Sedangkan untuk penelitian dan pengumpulan data yang berupa wawancara, observasi, serta dokumentasi dilaksanakan pada awal februari sampai dengan awal maret 2017. C. Subjek Penelitian Subyek penelitian adalah sumber dimana data tersebut diperoleh. Suharsimi Arikunto (2005: 152) subyek penelitian pada umumnya manusia atau apa saja yang menjadi urusan manusia, dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah guru, kepala sekolah, peserta didik SLB Maarif Muntilan. Maksud dari pada pemilihan subyek penelitian ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui akan kebenarannya. Objek penelitian ini adalah implementasi kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu. D. Teknik Pengumpulan Data Menurut Burhan Bungin (2011:111) teknik pengumpulan data dilakukan dengan 3 cara yaitu wawancara, observasi, dan dokumenter yang dijabarkan dalam pengertian sebagai berikut : 43 1. Teknik Wawancara Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data - data secara langsung dilakukan oleh pewawancara kepada informan secara langsung. Dalam wawancara sendiri terdapat 2 metode yaitu wawancara secara mendalam serta wawancara secara bertahap. Tujuan dilakukan wawancara ialah untuk mendapatkan informasi secara mendalam dengan mengacu kepada tujuan - tujuan wawancara dan mengembangkan tema tema wawancara baru di lokasi tersebut. Wawancara dilakukan secara mendalam kepada subyek - subyek antara lain guru, peserta didik, dan kepala sekolah. 2. Teknik Observasi Observasi dilakukan dengan cara mengamati kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindra mata sebagai alat bantu utamanya selain pancaindra lainnya seperti telinga, penciuman, mulut, dan kulit. Dalam observasi ini dibedakan menjadi tiga yaitu observasi partisipasi, tidak terstruktur, serta kelompok. Observasi yang dilakukan dengan guru dan siswa melalui cara mengamati kegiatan - kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan aktivitas dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu. Serta mengamati fasilitas dan lingkungan yang mendukung proses terjadinya suatu kegiatan pembelajaran. 44 3. Teknik Dokumentasi Metode ini adalah salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam metodologi sosial. Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang digunakan untuk menelusuri data historis. Dokumen yang diteliti bisa dibagi menjadi dua yaitu pribadi dan resmi. Dokumentasi dalam penelitian ini yang berupa data - data dokumen penunjang akan dikumpulkan serta diklasifikasikan sebagai data pendukung, foto dan arsip yang nantinya akan mendukung dalam penelitian. Dokumen yang diperoleh antara lain foto, data jumlah anak tuna rungu, dan guru . E. Instrumen Pengumpulan Data Menurut Nasution (Sugiyono, 2007: 306-307) dalam penelitian kualitatif, tidak ada pilihan lain dari pada menjadikan manusia itu sebagai instrumen penelitian utama. Setelah fokus penelitian jelas maka dikembangkan melalui instrumen yang sederhana serta diharapkan dapat melengkapi dan mengembangkan dengan data yang telah ditemukan melalui observasi dan wawancara. Dalam penelitian ini sendiri, peneliti merupakan instrumen yang utama serta menetapkan fokus penelitian, informan, mengumpulkan data, menganalisis data, serta menarik kesimpulan. Peneliti langsung terjun di lapangan dengan dengan menggunakan pedoman wawancara, observasi, dan dokumentasi. 45 1. Pedoman wawancara Pedoman wawancara digunakan oleh peneliti yang berguna sebagai salah satu panduan untuk mengumpulkan data langsung dari narasumber . Subyek dalam penelitian ini meliputi kepala sekolah, guru (orang tua asuh), peserta didik. Adapun aspek yang ingin diketahui oleh peneliti yaitu sebagai berikut: Tabel 1. Kisi – kisi pedoman wawancara No Aspek yang dikaji Indikator yang dicari Sumber data 1 Implementasi kebijakan bahasa isyarat Implementasi kebijakan bahasa isyarat terhadap anak tuna rungu Kepala sekolah Guru Peserta Didik 2 Kecerdasan intelegensi anak Perkembangan kecerdasan intelegensi anak (tuna rungu) Guru 3 Faktor pendukung dan penghambat implementasi kebijakan bahasa isyarat dan perkembangan kecerdasan intelegensi anak Faktor internal Guru Faktor eksternal Peserta Didik 2. Pedoman observasi Lembar observasi ini digunakan oleh peneliti untuk mengamati implementasi kebijakan bahasa isyarat di SLB Maarif Muntilan. Dengan 46 menggunakan lembar ini dapat digunakan oleh peneliti sebagai pedoman dalam bentuk deskripsi data. Adapun aspek - aspek yang ingin diamati dalam observasi adalah sebagai berikut : Tabel 2 kisi – kisi pedoman observasi No Aspek yang diamati Indikator yang dicari 1 Kondisi fisik 2 Sumber Manusia 3 Lingkungan masyarakat Sumber data a. Bangunan sekolah b. sarana dan prasarana c. dan letak geografis sekolah a. Pendidik b. Siswa atau peserta didik c. Situasi interaksi Daya Pengamatan Peneliti a. Orang tua b. Masyarakat sekitar 3. Pedoman dokumentasi Analisis dokumentasi digunakan oleh peneliti untuk menggambarkan data - data dari hasil analisis terhadap dokumen - dokumen, arsip, foto yang terkait dengan implementasi kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi di SLB Maarif Muntilan F. Keabsahan Data Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi: Uji creadibility (validasi internal), transferability (validitas eksternal), dipendability (reliabilitas), dan confirmability (obyektivitas). Dalam penelitian ini digunakan uji kredibilitas data dengan cara menggunakan 47 triangulasi. Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai merecheck temuannya dengan jalan membandingkan dengan berbagai sumber, metode, atau teori (Moleong,2007: 332). Sedangkan menurut (Sugiyono, 2011:372) triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan mengacu kepada berbagai waktu dan cara. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, waktu, dan teknik. Triangulasi dengan sumber berarti mengecek data yang telah diperoleh melalui berbagai sumber yang ada. Triangulasi teknik yaitu mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik – teknik yang berbeda. Sedangkan untuk triangulasi dengan waktu dilakukan dengan cara wawancara, observasi, atau dengan teknik lain dalam waktu yang berbeda (Sugiyono, 2007: 374) G. Teknik Analisis Data Adapun teknik analisis data yang digunakan untuk penelitian ini mengacu kepada konsep Miles dan Hubberman (Sugiyono, 2017:338-345) yaitu : Gambar 2. Teknik Interaktif Pengumpul an Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan Kesimpulan 48 1. Reduksi Data ( Data Reduction) Mereduksi data memiliki arti untuk merangkum, memilih berbagai hal yang dianggap pokok, memfokuskan kepada hal - hal penting, serta membuang data yang dianggap tidak penting atau tidak dibutuhkan. (Sugiyono, 2011:338). Dengan hal tersebut maka data - data yang telah direduksi akan memberikan arahan yang jelas serta mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data di waktu yang akan datang. Dalam penelitian yang dilakukan ini, reduksi data dilakukan dengan cara melakukan analisis pada hasil catatan lapangan dan wawancara dari berbagai informan untuk nantinya dirangkum dan dikategorisasikan. 2. Penyajian Data ( Data Display) Dalam penelitian kualitatif, untuk penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, serta hubungan dari beberapa kategori. Dengan mendisplaykan data maka nantinya akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami (Sugiyono, 2011:341). Setelah data direduksi kemudian nantinya disajikan dengan uraian singkat, tabel, dan bagan sesuai dengan fokus penelitian agar mudah dipahami serta memudahkan dalam pengambilan kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah. 49 Dalam penelitian kualitatif yang paling sering digunakan ialah teks atau uraian yang bersifat naratif. 3. Penarikan Kesimpulan ( verification) Kegiatan analisis data yang terakhir ialah penarikan kesimpulan. Dimana kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan bisa berubah bila tidak ditemukakan bukti - bukti yang akurat dan kuat untuk mendukung ke tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung dengan bukti yang akurat serta valid saat peneliti kembali ke lapangan untuk mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dihasilkan merupakan kesimpulan yang kredibel (Sugiyono, 2017: 345). Penarikan kesimpulan didapat dari reduksi data dan display data. Dengan demikian kesimpulan dalam penelitian kualitatif diharapkan mampu menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena seperti telah dijabarkan bahwa masalah dan rumusan masalah dalam penelitian kualitatif masih bersifat sementara dan nantinya akan berkembang setelah adanya penelitian di lapangan. 50 H. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimanakah proses yang dialami peserta didik ketika mendapatkan kebijakan mengenai bahasa isyarat? 2. Adakah hasil yang dicapai dengan adanya implementasi kebijakan bahasa isyarat berkaitan dengan mengembangkan komunikasi anak dengan lingkungan sekitar? 3. Apakah yang mengakibatkan konsentrasi anak mudah hilang ketika menerima pelajaran selain faktor komunikasi? 4. Bagaimana upaya guru dan warga sekolah lainnya agar dapat menghadapi kendala di dalam proses belajar mengajar? 5. Bagaimanakah yang harus dilakukan oleh pendidik manakala anak sering menyendiri dalam masyarakat? 51 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Data 1. Profil SLB Maarif Muntilan a. Visi dan Misi SLB Maarif Muntilan Mengemban Visi dan Misi sebagai berikut : Visi : “Anak Berkebutuhan Khusus yang berprestasi, berbudaya dan bertaqwa pada ALLah SWT”. Misi : 1) Peserta didik dapat berperilaku akhalkul karimah di kehidupan sehari - hari. 2) Membimbing dan mengembangkan minat dan bakat siswa untuk berprestasi. 3) Melaksanakan pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, inovatif dan menyenangkan. 4) Membekali dengan ketrampilan (life skill) untuk hidup mandiri. b. Sejarah SLB Maarif Muntilan SLB Maarif Muntilan berdiri pada tahun 1984 yang dirintis oleh Bapak Sagimin Dirjosusanto yang beralamat di Pucungrejo Muntilan serta merupakan satu satunya SLB milik warga Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia. Seiring perkembangan waktu, maka sekarang SLB sudah memiliki gedung yang cukup luas di daerah Dalitan Pucungrejo Muntilan 52 dengan daya tampung siswa dari tingkat SDLB sampai dengan tingakatan SMALB sejumlah 170 siswa yang terdiri dari tuna rungu, tunanetra, dan tunagrahita dengan pendampingan guru sebanyak 25 orang. c. Lokasi SLB Maarif Muntilan SLB Maarif Muntilan mempunyai letak yang startegis. Berada di dalam kota Muntilan, letak sekolah ini berada di desa Dalitan kelurahan Pucungrejo, kecamatan Muntilan. Berikut adalah batasannya : 1) Wilayah bagian Timur berbatasan dengan SMK Muhammadiyah 2) Wilayah bagian Selatan berbatasan dengan SMP Negeri 3 Muntilan 3) Wilayah bagian Barat berbatasan dengan SMA 1 Muntilan 4) Wilayah bagian Utara berbatasan dengan SD,SMP,SMA Bentara Wacana Setelah memasuki gerbang SLB Maarif Muntilan, akan terlihat sebuah bangunan yang dijadikan ruang kelas. Dengan adanya penataan bangunan yang sangat baik membuat anak - anak dan orangtua mampu berinteraksi secara langsung tanpa ada halangan di lingkungan sekolah. Kesan pertama yang dirasakan ketika memasuki wilayah sekolah ini yaitu luas dan asri, ditambah lagi dengan cat berwarna biru dengan perpaduan hijau yang membuat mata menjadi segar ketika memandangnya. Pepohonan juga menyelimuti area sekolah yang membuat wilayah tersebut sangat sejuk dan nyaman. Di setiap sudut sekolah ada bangku yang berfungsi sebagai ruang tunggu orang tua yang menyertai anak mereka. Ketika memasuki kelas, sama seperti kelas kelas pada umumnya yang 53 terdiri dari fasilitas meja, kursi, papan tulis. Ketenangan serta kenyamanan situasi belajar membuat orang yang belajar di dalamnya menjadi fokus terhadap pelajaran yang diterima. Dengan ruangan yang dipenuhi oleh siswa sejumlah 5-10 orang membuat anak - anak menjadi lebih nyaman untuk belajar. Di lain hal ada sebuah lapangan didepan milik SLB Maarif yang biasanya digunakan untuk acara maupun kegiatan yang dilakukan oleh bagian masyarakat dari SLB tersebut. Letak dari pada SLB tersebut yang berada jauh dari jalan utama menjadikan keuntungan bagi pihak sekolah untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran tanpa ada suara lalu lalang kendaraan bermotor. Lingkungan sekolah juga dikelilingi oleh rumah - rumah warga yang sangat ramah sehingga membuat sekolah tersebut merasakan kenyamanan ketika melepas anak - anak ke lingkungan sekitar. d. Sumber Daya yang Dimilki SLB Maarif Muntilan SLB Maarif merupakan suatu sekolahan yang ada di daerah Muntilan dengan segudang prestasi dari anak - anak disabilitas baik berupa akademik maupun non akademik yang selalu mendapatkan juara di setiap tingkatannya. Dengan dukungan dari pendidik yang berkompeten di bidangnya serta ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai. Berikut ini merupakan sumber daya yang dimilki oleh SLB Maarif Muntilan yaitu : 1) Guru 54 Dewan guru di sekolahan ini terdiri dari 25 guru yang mengajar di setiap kelas dengan tingkatan kelas tuna rungu, tunagrahita, dan tunawicara. Setiap guru harus bisa memiliki keahlian untuk ditempatkan di kelas mana saja jika terjadi pergantian guru dalam mengajar dikelas. 2) Peserta didik Peserta didik merupakan obyek pembelajaran dan menjadi subyek di dalam prosesnya. Jumlah peserta didik sebanyak 170 siswa dari tingkatan SDLB sampai dengan SMALB e. Sarana dan Prasarana Pada observasi pertama dan kedua peneliti memperhatikan bangunan - bangunan ruangan di sekitar sekolah. Untuk kelas sendiri ada sekitar 23 kelas dengan rincian tingkat A ada 2 kelas, B ada 9, dan C ada 12 kelas. Masing - masing kelas memenuhi kriteria untuk belajar anak di dalam kelas. Dilain hal masih ada ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang komputer, perpustakaan, ruang speech theraphy, mushola, ruang menjahit dan asrama. f. Prestasi yang Diraih oleh SLB Tabel 3. Prestasi Siswa No. Akademik dan Non Akademik Tingkat 1 Juara 1 olimpiade Sains anak luar Kabupaten Magelang biasa tahun 2010 2 Juara 1 O2SN SDLB Bulu Tangkis Kabupaten Magelang Putra tahun 2014 55 3 Juara 1 cabang batik tahun 2016 Provinsi Jateng 4 Juara 3 Porda Soina tahun 2014 Provinsi Jateng 5 Juara 1 02SN SMPLB Lari 100 M Kabupaten Magelang Putri tahun 2014 6 Juara 2 O2SN SMPLB Lari 100 M Kabupaten Magelang Putra Tahun 2014 7 Juara 2 O2SN SDLB Bulu Tangkis Kabupaten Magelang Putra tahun 2014 Juara 1 FLS2N SDLB Menyanyi Kabupaten Magelang Solo Tahun 2014 8 2. Proses Pembelajaran Kelas Tuna rungu a. Proses Pembelajaran di Kelas Tuna rungu SLB Maarif menerapkan sistem aktif dan menyenangkan dimana interaksi pembelajaran antara guru dan murid dapat berjalan harmonis dan berkembang. Dari observasi diketahui pula aktivitas fisik peserta didik saat pembelajaran tengah berlangsung seperti berikut ini. 1) Mengajukan pertanyaan Siswa yang mengalami kesulitan dalam proses pembelajaran selalu aktif menanyakan materi yang berkaitan kepada guru dengan bahasa oral dan bahasa isyarat. Pertanyaan tidak diajukan kepada guru saja, namun juga ke sesama siswa untuk memperdalam materi pembelajaran. 2) Menjawab pertanyaan 56 Ketika berdiskusi didalam kelas, peserta didik bersama sama menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru kelas secara kompak dengan arahan seorang guru. 3) Belajar kejadian yang mudah diingat Untuk pelajaran yang diberikan terkadang mengaitkan dengan kejadian - kejadian langsung sehingga nantinya anak dalam belajar akan mudah mengingat apa saja yang mereka alami. 4) Belajar menulis Bagi sebagian guru, menulis membuat anak lebih semangat untuk belajar karena mengguakan gerakan tubuh anak tersebut. 5) Penggunaan bahasa oral dan isyarat Bagi pembelajaran di kelas kedua bahasa tersebut dominan seimbang dimana untuk menyalurkan dan menerima materi pembelajaran. Sehingga anak dan guru merasa nyaman dengan adanya kedua bahasa tersebut. B. Hasil Penelitian 1. Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu a. Pembelajaran dengan Bahasa Isyarat di Sekolah Penelitian ini melihat kebijakan bahasa isyarat yang merupakan salah satu program dari pemerintah yang mengacu pada UU No 19 Tahun 2011 tentang pengesahan konvensi mengenai hak – hak peyandang disabilitas khususnya di pasal 2 mengenai “komunikasi” yang mencakup bahasa lisan dan bahasa isyarat serta bentuk - bentuk 57 bahasa nonlisan yang lain. Sasaran yang dituju dengan adanya kebijakan ini adalah anak - anak peyandang disabilitas dengan golongan tuna rungu. Kebijakan ini dibuat demi membantu para anak tuna rungu untuk mampu berkomunikasi dengan lingkungan sekitar masyarakat umumnya serta khususnya disekolah dalam menggunakan bahasa isyarat dan bahasa oral sebagai pendampingnya. Dalam hal ini untuk menganalisis penyelenggaraan Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu di SLB Maarif, peneliti melihat dari dua aspek yaitu aspek akademik dan sosial. Bertitik tolak dari hasil pengamatan dan penelitian yang telah dilakukan melalui beberapa proses, SLB Maarif Muntilan merupakan sekolah yang dipercaya untuk mendidik anak disabilitas di daerah kabupaten Magelang. Sekolah dengan kapasitas anak sejumlah 170 anak terdiri dari anak tunanetra, tuna rungu, serta anak tunagrahita. Disini peneliti lebih cenderung mengarah kepada pengkhususan anak tuna rungu. Anak tuna rungu mempunyai berbagai kemajuan dari segi pembelajaran, proses akademik mereka tidaklah berbeda jauh dengan anak normal pada umumnya. Pembelajaran di dalam maupun diluar kelas terbilang sangat menyenangkan walaupun dengan menggunakan bahasa isyarat, akan tetapi ada juga untuk menunjang pembelajaran 58 kepada anak dapat menggunakan bahasa oral, terjun ke lapangan langsung dan lain sebagainya. Seperti yang dikatakan oleh Ibu M selaku pengampu kelas tuna rungu : “Di sekolahan ini tidak selalu mempelajari bahasa isyarat namun lebih kearah bahasa oral untuk penerapannya di dalam kelas. Bahasa isyarat digunakan ketika dalam pembelajaran mengalami kesulitan sehingga guru menuliskan dipapan tulis serta menggunakan bahasa isyarat itu sendiri. Untuk anak dewasa lebih diutamakan bahasa oral sedangkan untuk anak kecil menggunakan bahasa isyarat atau bahasa ibu. Selain itu untuk anak SMA, demi menunjang kebijakan bahasa isyarat maka saya menggunakan laptop untuk mempermudah dalam pengajaran” Hal senada juga disampaikan oleh Ibu WT “Untuk pembelajaran disini bahasa isyarat menjadi bahasa sekunder dimana bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa oral. Sedangkan bahasa isyarat digunakan untuk memperjelas apa yang kita atau anak kerjakan. Untuk pembelajaran selanjutnya ada bermacam - macam inovasi pembelajaran dari yang kejadian -kejadian nyata, disini anak langsung belajar di lapangan karena anak tuna rungu memfokuskan diri belajar dalam penglihatan dan pengamatan. Untuk penggunaan laptop sendiri mungkin hanya untuk selingan saja” Diperkuat dengan adanya pernyataan Ibu UK : “Dengan menggunakan alat yang ada disekitar, terkadang anak juga terjun langsung ke lapangan untuk melihat hal - hal yang berhubungan dengan pelajaran mereka. Untuk laptop sendiri itu biasanya diterapkan di tingkat SMA sebagai penunjang”. Dengan adanya proses pembelajaran menggunakan bahasa isyarat tersebut, anak - anak mempunyai rasa senang dikala mereka menggunakan bahasa tersebut. Dilain hal seperti yang dijelaskan di atas 59 terkadang anak menggunakan bahasa oral. Seperti yang dipaparkan oleh siswa A: “Di sekolahan sendiri mengajarkan tentang bahasa isyarat walaupun dalam penerapannya masih diselingi bahasa oral untuk menunjang pembelajaran. Bahasa isyarat sepenunya dilakukan ketika ketika pada situasi istirahat antara satu anak dengan anak lainnya” Serta paparan dari siswa B mengenai implementasi kebijakan bahasa isyarat sebagai berikut: ‘’Iya, pihak sekolah menerapkan bahasa isyarat, proses pembelajaran dilakukan melalui interaksi yang mendalam antara guru dan murid. Pelaksanaanya sangat menyenangkan dan membantu kedepannya” Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa proses pembelajaran di SLB Maarif Muntilan tidak terjadi di dalam kelas saja, akan tetapi terjadi diluar kelas . Karena anak tuna rungu mengedepankan penglihatan untuk melakukan pembelajaran sehingga yang dilihat akan langsusng di proses di pikiran anak. Dilain tingakatan anak dewasa di SLB diberikan pengembangan belajar melalui laptop guna mengenalkan teknologi. Disisi lain untuk penerapan bahasa isyarat sendiri di sekolah ini berjalan seimbang dengan bahasa oral. Dimana bahasa isyarat lebih sering digunakan ketika anak berkomunikasi langsung dengan sesama anak, sedangkan untuk pembelajaran di kelas masih didampingi dengan bahasa oral untuk menunjang pembelajaran. 60 b. Pengembangan Bakat Anak Tuna rungu Seiring pembelajaran yang dilakukan nantinya anak tuna rungu di sekolah SLB Maarif Muntilan memiliki berbagai bakat yang terpendam, bakat yang terpendam akan muncul serta bekerja bahu membahu dengan yang namanya kecerdasan intelegensi, dimana kedua hal tersebut saling berkaitan satu sama lain. Untuk mendukung bakat setiap anak sekolah memberikan berbagai fasilitas seperti ruang computer, ruang menjahit, dan ruang speech theraphy . Kekurangan dalam hal pendengaran yang mereka alami seolah tidak akan memberikan dampak negatif melainkan mereka mampu mengolah menjadi sebuah hal - hal yang positif. Selain itu di sekolah ini guru selalu memberikan cara untuk mengembangkan bakat anak tersebut melalui pengarahan yang persuasive, tidak jarang bakat mereka diawali dari sebuah hobi. Senada dengan apa yang dikatakan oleh Ibu BM : “Semua berawal dari hobi yang dimiliki oleh anak. Ketika anak sudah menyukai sesuatu hal dan hal tersebut dijadikan suatu hobi. Hobi tersebut secara perlahan dikembangkan oleh anak dengan mengacu kepada kecerdasan apa yang mereka miliki” Didukung dengan adanya pernyataan dari UK: “Disini satu anak dengan anak lainnya berbeda. Sehingga anak dengan berbagai ketrampilan mampu diliat sejak dini. Ketika guru melihat potensi anak maka upaya guru selalu mengarahkan dan memberikan pengarahan untuk mengembangkan kecerdasan dan potensi anak tersebut” Pengarahan yang diberikan oleh pihak sekolah demi mengembangkan kecerdasan anak satu dengan yang lainnya berasal dari dua aspek,sehingga pengarahan tersebut mampu diserap dan di 61 aplikasikan melalui beberapa kegiatan yang bermakna seperti di bidang ketrampilan. Seperti yang dikatakan oleh BM: “Ada, pengarahan bisa berasal dari dua aspek yaitu luar dan di dalam sekolah. Dimana di luar yaitu mendatangkan ekstra untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan anak. Sedangkan dari dalam sekolah biasanya guru mendampingi anak dengan bakat melalui sifat otodidak seorang guru dimana sifat otodidak ini didukung oleh rasa kedekatan guru dengan murid yang mendalam”. Guru yang memberikan serta mendampingi bakat anak secara otodidak bukan semata mata nantinya malah menjerumuskan anak tersebut dengan sifat otodidak guru, sebelumnya pasti guru akan mempelajari seluk beluk dari bakat anak sehingga dasar dari bakat anak tersebut mampu dipelajari sebelumnya. Pengarahan terus diberikan oleh guru kepada murid, guru kebanyakan melihat anak dengan bakat seperti ketrampilan yang sudah dibahas di atas, selain ketrampilan ada juga yang berminat dalam segi olahraga.Seperti pengakuan WT : “Ada, misalnya dengan cara memberikan pengarahan kepada anak mengenai bakat mereka yang cocok ditempatkan di bidang apa . kebanyakan bidang yang ada itu ketrampilan dan olahraga yang paling menonjol” Pernyataan di atas memberikan informasi dimana anak tuna rungu tersebut menjadikan hal yang mereka sukai ke arah hobi. Sehingga hobi tersebut akan mengembangkan bakat mereka secara perlahan dengan adanya pengarahan dari seorang guru, kemudian adanya pengarahan tersebut secara perlahan pula anak akan terbiasa untuk mengembangkan bakat - bakat mereka secara mandiri. Walaupun dengan adanya keterbatasan, anak tuna rungu dapat menggunakan 62 gerak tubuh mereka untuk mengungkapkan perasaan. Dengan adanya fasilitas yang disediakan sekolah juga akan menunjang kinerja dan bakat dari anak itu sendiri. Bakat yang berawal dari kecerdasan intelegensi setiap anak pada umumnya akan dibagi menjadi dua pilihan dalam pengelolaannya. Pilihan pertama adalah bakat yang diarahkan atau dikelola menjadi hal – hal positif dan dikelola menjadi hal negatif. Sebagian orang pasti akan menganggap anak yang memiliki kekurangan di sekolah luar biasa akan mengelola kecerdasan mereka ke arah negatif. c. Pengarahan Kegiatan Namun di sekolah luar biasa Maarif ini seorang guru akan memberikan motivasi - motivasi juga, guna mendampingi anak dalam pengelolaan ke arah positif seperti yang diungkapkan oleh Ibu BM : “Ada, disini anak - anak memiliki minat yang menjadikan mereka motivasi untuk melangkah ke depan. Motivasi tersebut diubah menjadi hal positif seperti kepintaran untuk memasak, menjahit. Dari kepintaran yang melekat pada siswa, sering sekali diikutkan lomba dan mendapatkan juara di berbagai tingakatan”. Kegiatan tersebut searah dengan tujuan sekolah yang mengarahkan anak ke dalam hal positif , hal ini didukung oleh pernyataan ibu WT : “Disini anak - anak mengarahkan kegiatan serta mengelola kecerdasan mereka ke arah positif seperti sama halnya dengan tujuan sekolah” Dari pemaparan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan interaksi di dalam kelas tersebut menghasilkan anak untuk 63 mengelola kegiatan - kegiatan menjadi hal positif. Senada dengan tujuan sekolah dimana kegiatan yang dilakukan oleh siswa haruslah menjadikan mereka insan yang bertumpu pada kegiatan yang baik dan lebih lebih kearah postif, karena kegiatan positif tersebut akan menuntun mereka ke arah yang maju. Kegiatan positif yang dikembangkan oleh setiap anak disini tidaklah sama, ada anak dengan keterbatasan intelegensi golongan menengah keatas, sehingga mereka dapat menemukan bakat yang cocok sesuai dengan apa yang mereka mau. Namun, apabila ada anak dengan keterbatasan menengah kebawah untuk segi intelegensinya dikarenakan dia memiliki fisik ganda bagi seorang guru itulah yang menjadi tantangan untuk mereka merangkul dan mengarahkan lebih dekat lagi. Seperti pernyataan yang diucapkan ibu BM : “Disini ada anak tuna rungu dengan fisik ganda. Di dalam hal ini anak tersebut juga mengalami susah dalam menerima pelajaran sehingga saya sebagai guru harus berinteraksi secara berulang - ulang untuk meyakinkan pelajaran yang diterima anak tersebut. Tidak jarang pula saya meminta bantuan anak sebangkunya untuk menjelaskan apa yang disampaikan dengan menggunakan bahasa isyarat mereka. Karena disini mereka lebih nyaman dan bebas untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat mereka sendiri”. Di kesempatan yang lain untuk mengembangkan anak dengan keterbatasan intelegensi rendah ini guru pastinya sudah memantau setiap gerak gerik kegiatan anak, sehingga guru mampu mengatasi masalah masalah yang berkaitan dengan kecerdasan anak. Dilihat dari pengakuan bu UK: 64 “Tidak mungkin anak tersebut akan tersingkir, sehingga guru beruapaya untuk selalu membimbing dan merangkul setiap anak untuk diarahkan ke bidang positif” Ibu WT: “Kita disini tetap mengarahkan anak dengan berbagai kriteria yang ada, sehingga anak - anak pun merasa nyaman dengan adanya interaksi yang dilakukan oleh guru. Guru selalu memantau kegiatan dan kemampuan apa yang anak - anak sukai dan tidak disukai” Demikian penuturan yang diberikan, untuk itu dapat disimpulkan dari penuturan di atas adalah anak dengan intelegensi rendah tidak akan tersingkir, melainkan akan diberikan suatu pendekatan agar anak tersebut tidak mengalami depresi di lingkungan kelas untuk menyeimbangkan dirinya dengan anak di kelas. Di kelas sendiri dengan adanya proses pembelajaran di setiap waktunya seorang guru pasti mampu menganalisa mengenai karakteristik anak, dimana anak yang jenuh dengan adanya pembelajaran, anak dengan karakteristik semangatnya, dan lain sebagainya. Guru dapat menangani setiap masalah yang ada , salah satu contoh yang paling menonjol adalah dari pelajaran matematika. Untuk anak yang tergolong di SMA biasa saja terkadang matematika membuat anak mengalami kebosanan atau kejenuhan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan angka. Tidak jauh beda anak SLB juga mengalami hal kejenuhan belajar. Seperti yang dikatakan ibu WT: “Untuk masalah jenuh itu berbeda beda ya tingkatan kelas, di SMA mungkin ditemukan anak yang jenuh dalam belajar seperti dalam pelajaran matematika , namun sebaliknya di tingkatan SD 65 anak jarang bahkan tidak ada yang jenuh apalagi dalam bidang matematika karena anak bermain dengan uang kertas mainan” Penuturan di atas dilihat dari dua sisi yaitu sisi SMA dan SD. Untuk anak SMA muncul kejenuhan yang ada, sedangkan untuk anak SD belum ada kejenuhan yang menonojol karena guru lebih berusaha mengcover kegiatan matematika dengan cara bermain uang kertas mainan ataupun mengajak anak untuk bermain mengenal situasi di luar ruangan. Hal senada juga dituturkan oleh ibu UK: “Pasti ada, tapi untuk mengetahui kriteria anak bosan itu diketahui oleh tiap guru yang biasanya membimbing di kelas. Sehingga kalau bosan guru sering mengajak anak keluar berinteraksi dengan lingkungan sekitar” Jadi dapat ditarik kesimpulan dari pernyataan di atas dimana kejenuhan anak untuk belajar itu masih ada, apalagi dari segi pelajaran yang membutuhkan olah pikir seperti pelajaran matematika. Karena anak tuna rungu menggunakan penglihatan saja sehingga untuk menyerap pelajaran matematika menggunakan bahasa isyarat yang diselingi dengan bahasa oral. Di masing masing tingkatan memilki masalah sehingga guru dalam mengajar matematika memiliki inovasi tersendiri untuk membangkitkan motivasi dari setiap anak. d. Penggunaan Bahasa Isyarat di Masyarakat Interaksi sosial merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh satu individu yang melibatkan individu lain, kelompok, ataupun dalam lingkungan sekitar. Interasksi sosial dalam penelitian ini melibatkan seberapa penting dan pengaplikasian implementasi kebijakan bahasa 66 isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu di lingkungan sekitar. Sekolah luar biasa Maarif Muntilan mendididk anak tuna rungu pada khususnya, dalam penelitian ini pendidik melakukan secara perlahan dan bertahap. Pendidikan yang diberikan berkaitan dengan adanya kebijakan bahasa isyarat, penerapan bahasa isyarat ini akan dijabarkan seberapa pentingnya kebijakan tersebut di masyarakat. Dan kedepanya apakah bahasa isyarat dan anak tuna rungu ini mampu diterima keberadaannya di masyarakat. Seperti penjelasan Pak KSS : “Di masyarakat belum begitu umum digunakan sehingga kebanyakan digunakan di lingkungan sekolah saja” Karena di sekolah merupakan tempat yang membuat anak merasa tenang jika menggunakan bahasa isyarat, sehingga anak bebas menggunakan bahasa tersebut di waktu istirahat. Utamanya digunakan di dalam kelas saat terjadi pembelajaran, sehingga antara anak satu dengan yang lainya dikelas sangat menggunakan bahasa isyrat ini. Namun kembali lagi ketika keluar dari lingkup sekolah bahasa isyarat belum bisa diterima di masyarakat secara umum, seperti wawancara terhadap siswi A: “Tidak saya gunakan di masyarakat, karena masyarakat tidak tahu apa yang saya bicarakan melalui bahasa isyarat”. Didukung oleh pernyataan dari siswi B: “Saya tidak menerapkan bahasa isyarat di masyrakat. Karena dismasyarakat hanya beberapa orang yang paham dengan pengertian saya” 67 Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan bahasa isyarat hanya mampu dipahami oleh beberapa kalangan saja belum merambah ke khalayak umum. Kebijakan bahasa isyarat yang hanya dipahami oleh beberapa kalangan saja membuat anak - anak dengan keterbatasan pendengaran ini membuat komunitas yang disebut dengan MDF yang memberikan dukungan agar bakat setiap anak itu berkembang, seperti penjelasan dari siswi A: “Iya mendukung, apalagi dengan adanya komunitas MDF yang berisikan anak tuna rungu. Disana saya dan teman - teman mampu berkomunikasi dengan bebas dan nyaman. MDF (magelang deaf community) adalah suatu komunitas dimana tempat berkumpulnya anak anak tuna rungu untuk menyampaikan aspirasi ataupun sekedar bertukar pikiran. Komunitas ini mengutamakan bahasa isyarat untuk melakukan komunikasi satu sama lain, sehingga anak anak merasa bebas dan tidak canggung untuk saling bertukar pikiran. Dari penjelasan di atas mampu disimpulkan bahwa untuk mengembangkan kecerdasan anak atau pun bakat mereka, dengan adanya kebijakan bahasa isyarat mereka terkadang keluar dari lingkungan sekolah, yaitu dengan adanya komunitas yang diisi oleh anak anak peyandang tuna rungu dengan sebutan magelang deaf 68 community . Komunitas ini memberikan banyak hal baru yang berkaitan dengan bakat, cerita, ataupun kegiatan kegiatan positif anak tuna rungu. Setelah adanya MDF di lingkup luar sekolah yang berhubungan dengan pengembangan bahasa isyarat, dari segi teman juga memberikan motivasi untuk berjalannya bahasa isyarat ini seperti yang diungkapkan siswi B: “Iya, di lingkungan masyarakat saya diberikan motivasi untuk mendorong bahasa isyarat saya” Didukung juga oleh siswa A : “Iya teman - teman saya saya mampu mendorong bahasa isyarat melalui perkumpulan” Jadi dapat diambil kesimpulan apabila teman teman dalam lingkup sekitarnya juga memberikan peran penting untuk mendorong bahasa isyarat yang mereka miliki dan mulai berkembang di sekitar masyarakat. Anak tuna rungu yang berada di lingkup masyarakat belum sepenuhnya berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat sekitar, ada rasa minder yang mereka alami. Tidak juga ketinggalan di lingkungan masyarakat sekolah anak dengan keterbatasan dari tunagrahita, tuna rungu, tunawicara pasti saling bertemu dan bermain bersama. Disini anak tuna rungu juga ada yang memiliki rasa minder untuk berada di lingkungan sekolah. Namun jumlahnya bisa dihitung , sehingga dengan adanya rasa minder tersebut guru jugalah yang harus 69 mendekati anak agar tidak larut dalam kesendiriannya. Seperti yang dikatakan ibu BM : “Ada, karena mungkin ketuna runguan mereka berawal dari masa kecil sehingga untuk berkumpul di dalam masyarakat masih merasa menjadi bahan pembicaraan, padahal itu berawal dari pikiran yang tidak benar dari anak. Untuk menangani hal tersebut maka saya memberikan pendekatan secara intensif” Hal di atas juga diperkuat dengan pernyataan ibu WT: “Bila dilihat dari segi tuna rungu tidak ada, namun ada beberapa yang cenderung menyendiri karena mereka tuna rungu double ada C nya” Anak tuna rungu di SLB Maarif dengan kategori anak rendah diri dapat dihitung. Karena mungkin hanya ada anak 1 sampai dengan 2 dengan sifat mereka yang menutup diri dengan lingkungan sekitar. Biasanya anak tersebut karena memiliki double dengan adanya tambahan Cnya. Sehingga anak merasa malu di lingkungan sekolah. 2. Faktor pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelgensi Anak Tuna rungu Suatu program yang telah dicetuskan tidak akan dapat berjalan atau berhasil secara maksimal jika didalamnya tidak ada indikator faktor pendukung. Begitu pula dalam pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak. Pembelajaran yang terjadi di dalam kelas maupun diluar kelas mempengaruhi setiap kecerdasan anak. Dukungan dari segi internal maupun eksternal selalu diberikan untuk mencapai suatu tujuan pendidikan pada umumnya. 70 Kebijakan bahasa isyarat muncul dari pada UU No 19 Tahun 2011. Disini pemerintah peduli dengan adanya anak disabilitas yang dikhususkan mengenai anak tuna rungu. Lebih lanjutnya di sekolah luar biasa Maarif Muntilan untuk bidang bahasa isyarat sendiri memiliki pendukung dari segi internal, seperti penjabaran dari Ibu BM: “Dari segi internal anak - anak disabilitas tuna rungu ini lebih sering mengikutkan diri mereka ke dalam sebuah perkumpulan yang dinamai MDF (Magelang Deaf Community) yaitu perkumpulan yang diikuti oleh anak penyandang tuna rungu, dengan adanya komunitas ini anak merasa bebas untuk berkomunikasi dan saling mengembangkan kemampuan mereka” Dengan hal tersebut bisa dikatakan bahwa pendukung dari pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat tersebut salah satunya yaitu didukung dengan suatu komuniats sendiri yang disana terdiri dari siswa yang aktif untuk menggunakan bahsa isyarat di antara teman teman sesama tuna rungu. Dengan bebas mereka saling bertukar pikiran, sehingga ketika kembalinya di dalam kelas, anak tidak canggung lagi untuk menggunakan bahasa isyarat di kelas. Komunitas tersebut dinamai magelang deaf community. Pendukung yang kedua yaitu bahasa isyarat yang digunakan dari kecil atau bisa disebut dengan bahasa ibu. Dengan adanya pembekalan dari kecil perlahan menuju dewasa di sekolah pastinya seorang guru akan mendampingi dan mengolah bahasa isyarat dari anak untuk dapat digunakan minimal dalam lingkup sekolahan. Sebagaimana pernyataan Ibu WT: 71 “Pendukungnya dengan dibekalinya bahasa ibu atau bahasa isyarat yang perlahan lahan anak dan guru akan terbiasa memakainya.” Untuk mendukung pernyataan di atas, seorang anak secara perlahan harus aktif dalam kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengembangkan bahasa isyarat mereka agar terlihat luwes dalam hal penerimaan maupun pemberian pelajaran. Seperti yang diungkapkan oleh ibu UK: “Pendukungnya ya dilihat dari keaktifan anak itu sendiri dalam belajar sehingga otomatis anak dalam belajar tersebut mampu mengelola bahasa isyarat seperti layaknya sibi” Pendukung di poin kedua yaitu lebih mengedepankan mengenai keaktifan siswa untuk mengembangkan kebijakan bahasa isyarat tersebut. Dengan adanya bahasa ibu sebelumnya serta ditopang dengan keaktifan anak yang akan mendorong implementasi kebijakan bahasa isyarat ini untuk terus berkembang menuju kearah kecerdasan itelegensi anak. Pendukung yang ketiga adalah dengan adanya suatu evaluasi untuk melihat seberapa jauh dan berkembangnya kecerdasan anak melalui kebijakan bahasa isyarat ini . dengan adanya evaluasi yang dilakukan maka diharapkan mampu memberikan solusi dimana nanti muncul masalah masalah yang diaggap krusial. Seperti yang dikatkan Bapak KSS: “Setiap mengevaluasi kinerja guru kami adakan evaluasi setiap minggunya untuk melihat kemajuan dan hambatan. Untuk hambatan kami menanganinya dengan adanya musyarawarah bersama sehingga semua dapat memberikan pendapat” Dengan hal tersebut maka faktor pendukung dapat dijabarkan menjadi tiga yaitu : komunitas MDF, adanya bahasa ibu, evaluasi kinerja 72 guru.ketiga faktor tersebut yang peneliti dapatkan ketika melakukan wawancara terhadap beberapa narasumber yang memang difokuskan dalam bidang kelas tuna rungu. 3. Faktor penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu Mengenai faktor penghambat pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat adalah salah satunya dari segi komunikasi. Kompetensi peserta didik mengalami suatu degradasi apabila dari segi komunikasi mereka mengalami gangguan. Hal ini dibuktikan dari wawancara terhadap bapak KSS: “Ada, kendalanya dalam transfer pembelajaran dari segi komunikasi” Dari segi komunikasi kemudian berpengaruh dalam hal atau bidang akademik contohnya yaitu dari sisi pelajaran matematika. Hal ini didukung dengan adanya pernyataan dari ibu BM: “Ada, sebagai contoh dari segi mata pelajaran matematika. Terkadang anak anak merasa bosan hal ini mungkin juga karena adanya keterbatasan untuk berkomunikasi” Berbagai pernyataan di atas merupakan faktor pengambat dari implementasi kebijakan bahasa isyarat yang dikemas menjadi satu yaitu komunikasi. Disini komunikasi menjadi masalah ketika anak tuna rungu mengimplimentasikan kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan kecerdasan intelegensi anak. Karena anak dalam pembelajaran pasti selalu menggunakan komunikasi, dari komunikasi menggunakan tangan ataupun mulut. 73 C. Pembahasan 1. Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Anak Tuna rungu. a. Penggunaan Bahasa Isyarat di Sekolah Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa isyarat digunakan dan diberikan kepada anak tuna rungu untuk membekali mereka dalam hal berkomunikasi dan upaya untuk mengembangkan kecerdasan anak di lingkungan masyarakat umumnya dan di sekolah pada khususnya. Sesuai dengan teori implementasi kebijakan oleh Smith bahwa kebijakan dibuat oleh pemerintah untuk diarahkan serta ditujukan guna mengadakan perubahan, dengan kata lain kebijakan sebagai sebuah reka sosial untuk mengubah masyarakat sebagai sasaran. Yang berarti bahwa kebijakan bahasa isyarat dikeluarkan oleh pemerintah untuk mengubah serta menyelaraskan komunikasi anak tuna rungu melalui implementasi bahasa isyarat agar anak mampu bersosialisasi di masyarakat sempit atau luas. Pemaparan di atas sesuai dengan fungsi bahasa yaitu sebagai alat komunikasi, alat penolong, serta sebagai alat penyimpanan. SLB Maarif Muntilan sendiri dalam penerapan atau implemenasi bahasa isyarat itu sendiri menjadi pilihan kedua apabila untuk melakukan komunikasi di kelas atau dalam pembelajaran. Karena guru di kelas sekarang lebih mengutamakan bahasa oral dari pada bahasa isyarat. Namun tetap bahasa isyarat itu sendiri di kelas masih sering dipakai 74 seperti halnya saat siswa dalam berkomunikasi satu sama lain, karena anak lebih nyaman dan bebas dikala menggunakan bahasa isyarat tersebut secara bebas seperti orang ketika berbicara . namun juga bahasa oral menjadi bahasa utama bagi anak tuna rungu supaya anak ketika di masyarakat mampu berkomunikasi secara lancar ketika bahasa isyarat susah dipahami oleh lingkungan sekitar. b. Pengembangan Bakat Anak Tuna rungu Adapun hal penunjang dalam penerapan bahasa isyarat bagi anak SLB Maarif Muntilan yaitu mengarahkan dan membimbing anak untuk terjun langsung ke dalam lapangan. Di lapangan sendiri memang anak tuna rungu diberikan kebebasan untuk mengenali lingkungannya. Hal ini dilakukan oleh pendidik tidak lain untuk mengembangakan wawasan anak dengan mengenal lingkungan sekitar dengan penglihatannya. Karena anak tuna rungu juga mengutamakan penglihatannya dari pada pendengarannya. Selain itu ada dukungan fasilitas yang memfasilitasi anak tuna rungu tersebut dengan adanya berbagai fasilitas seperti ruang komputer, ruang menjahit, dan ruang speech theraphy Anak tuna rungu dengan berbagai macam karakteristiknya memiliki berbagai faktor kelemahan ataupun kelebihan masing – masing. Maka diupayakan faktor kelemahan mampu diminimalkan dan kelebihan dapat dimaksimalkan dengan adanya kecerdasan intelegensi yang berhubungan dengan gerak tubuh anak. Gerak tubuh anak tersebut 75 akan mencakup penerapan bahasa isyarat dengan adanya pengarahan dari seorang guru. c. Pengarahan Kegiatan Pengarahan dari guru dapat berupa pembelajaran. Pembelajaran yang terjadi di dalam kelas maupun di luar mempunyai indikasi untuk memunculkan interaksi yang menghasilkan berbagai kegiatan menjadi hal positif. Hal - hal positif tersebut biasanya didapat dari kegiatan yang anak sukai, sehingga mudah untuk mengarahkan kegiatan anak menjadi hobi. Untuk mendampingi hobi atau kegiatan anak, seorang guru juga berperan penting didalamnya. Apalagi dengan minimalnya komunikasi yang tidak sama seperti anak pada umumnya, sehingga dalam berkomunikasi kembali lagi ke bahasa isyarat serta bahasa oral. Ketika anak kembali lagi di dalam lingkungan sekolah dan memasuki area kelas maka guru akan memberikan pembelajaran yang mampu untuk meningkatkan kecerdasan intelegensi anak seperti ketrampilan maupun kegiatan yang anak sukai. Oleh sebab itu, anak dengan kecerdasan di SLB ini dapat dilihat menjadi dua yaitu anak dengan golongan menengah kebawah serta golongan menengah keatas. Saat pihak sekolah, terutamanya guru yang menangani langsung anak, pastinya akan menemukan kriteria anak dengan kecerdasan menegah kebawah. Apabila menemukan kriteria seperti ini seorang guru tidak lantas mengesampingkan anak tersebut melainkan diberikan 76 secara mendalam agar anak tidak merasakan perbedaan ketika guru mengajar di kelas. Di kelas tuna rungu SLB ini pun dengan contoh pembagian kriteria di atas pastinya dilain hal akan menemukan anak yang cenderung jenuh ketika mengalami proses pembelajaran. Dengan proses pembelajaran yang membuat anak jenuh seperti saat menemui pelajaran matematika. Dengan keterbatasan untuk berkomunikasi membuat sebagian anak merasakan jenuh ketika bertemu dengan mata pelajaran ini. Memang benar karena matematika pada umumnya menggunakan suatu rumus serta angka pada umumnya, untuk hal tersebut anak yang mengalami tuna rungu harus mengapresiasikan dan menyampaikan angka melalui bahasa isyarat mereka yang tergolong memakan waktu yang tidak sebentar. d. Penggunaan Bahasa Isyarat di Masyarakat Sedangkan di bidang sosial untuk penerapan bahasa isyarat belum begitu dipahami oleh khalayak umum. Sebagian orang hanya dapat memahami apa yang anak bicarakan namun lebih banyak lagi masyarakat yang tidak mengerti tentang apa yang anak bicarakan dengan bahasa isyarat. Hal tersebut membuat sadar, bahwa anak - anak yang ternyata sudah mengetahui porsi dimana bahasa tersebut dipakai. Biasanya mereka memakai hanya di lingkungan sosial sekolah yang mereka anggap di lingkungan itulah bahasa isyarat mampu diterima. Sedangkan di luar sekolah hanya orang tertentulah yang paham ketika 77 siswa membicarakan menggunakan bahasa tubuh mereka . Padahal bahasa isyarat mereka berhubungan dengan teori kecerdasan gerak tubuh dimana untuk mengekspresikan perasaan ataupun ide, mereka melakukannya dengan fungsi gerak tubuh masing - masing anak. Tapi sayangnya masyarakat belum bisa menerimanya. 2. Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Anak Tuna rungu Selanjutnya mengenai faktor pendukung dari pada kebijakan bahasa isyarat tersebut untuk mengembangkan kecerdasan intelegensi anak yang pertama adalah dibentuknya suatu komunitas bernama magelang deaf community. Komunitas ini sangatlah berguna bagi anak anak peyandang tuna rungu , di sini mereka bebas untuk mengekspresikan diri mereka melalui gerakan tangan sesuai dengan teori kecerdasan gerak tubuh yaitu keahlian menggunakan seluruh tubuh untuk mengekspresikan ide - ide dan perasaan. MDF (magelang deaf community) memiliki anggota yang cukup banyak juga, dengan adanya komunitas ini anak tuna rungu tidak akan merasa canggung saat mereka akan menyampaikan aspirasi mereka dengan sesama penyandang tuna rungu. Faktor pendukung kedua yaitu lebih mengedepankan mengenai keaktifam siswa untuk mengembangkan kebijakan bahasa isyarat tersebut. Keaktifan anak akan memberikan keberanian dan kemauan untuk terus mempelajari bahasa isyarat. Dilain hal dengan adanya bahasa ibu yang menjadi tumpuan awal anak untuk berkomunikasi akan menambah 78 keaktifan anak untuk terus belajar mengenai bahasa agar berkembang menuju kearah kecerdasan intelegensi anak. Pendukung yang ketiga adalah dengan adanya suatu evaluasi untuk melihat seberapa jauh dan berkembangnya kecerdasan anak melalui kebijakan bahasa isyarat ini .evaluasi yang dilakukan setiap minggunya akan menghasilkan berbagai macam problematika yang akan dibahas serta dapat di atasi dengan solusi bersama – sama melalui evaluasi tersebut kemudian di atasi dengan cepat dan tepat sasaran. 3. Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Anak Tuna rungu Sedangkan untuk faktor penghambat implementasi kebijakan bahasa isyarat tersebut adalah dari segi komunikasi. Memang komunikasi tidak semuanya menghambat, namun ada beberapa yang mungkin memang dianggap menjadi penghambat ketika penerapan kebijakan bahasa isyarat tersebut dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan intelegensi anak. Komunikasi yang belum maksimal akan menghasilkan kecerdasan anak yang kurang maksimal pula. Berbanding apabila anak mempunyai suatu kelebihan maka disitu pula anak akan mengembangkan kecerdasan mereka. Namun antara kecerdasan anak yang menengah kebawah dan mnengah keatas tidak terpaut jauh selisihnya. Hal ini menunjukan bahwa dalam penerapan kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan anak tuna rungu ini sudah berjalan dengan baik dengan adanya testimoni dari anak dan guru yang 79 mengampu tersebut, hanya ada beberapa kendala yang memang masih bisa diupayakan untuk ditangani. 80 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Penyelenggaraan Kebijakan Bahasa Isyarat dapat dilaksanakan berkat adanya dukungan dari pemerintah, undang undang no 19 tahun 2011 yang mengatur tentang komunikasi bagi anak tuli, dan masyarakat sekitar. Kebijakan Bahasa Isyarat ini mempunyai tujuan untuk mengembangkan serta mendayagunakan keterbatasan anak tuna rungu untuk berkomunikasi dengan bantuan kecerdasan intelegensi anak berkaitan dengan gerak tubuh, interpersonal, dan natural. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1. Implementasi kebijakan program bahasa isyarat yang terbagi di dalam dua kegiatan a. Sekolah Penerapan kebijakan bahasa isyarat di kelas tuna rungu dikelola dengan baik dimana bahasa isyarat yang digunakan disini menjadi bahasa sekunder dalam proses pembelajaran, karena anak lebih mengutamakan pembelajaran menggunakan bahasa oral. Dilain hal bahasa isyarat tidak dilupakan, karena memang dalam penerapannya bahasa isyarat masih sering digunakan untuk berkomunikasi siswa satu dengan yang lainnya untuk menanyakan serta mendiskusikan materi pelajaran. Di lain hal guru di kelas memadukan bahasa isyarat dengan bahasa oral untuk mentransferkan ilmu ke peserta 81 didik. Jadi dapat diambil kesimpulan bahasa isyarat mampu memberikan kontribusi dalam dunia pendidikan bagi anak tuna rungu dengan mengaitkan dengan kecerdasan gerak tubuh, interpersonal, dan natural dari setiap anak. b. Masyarakat Pelaksanaan di masyarakat sendiri dilihat dari pelaksanaan kebijakan bahasa isyarat di lapangan maupun masyarakat sekitar kurang begitu diterima. Hal ini dikarenakan masyarakat belum begitu memahami tentang bahasa isyarat. Akan tetapi anak disabilitas tidak patah arah karena mereka mempunyai sebuah inovasi perkumpulan untuk menyalurkan berbagai wawasan atau pengalaman melalui MDF (magelang deaf community). Dengan adanya komunitas ini maka anak anak disabiitas mampu mengembangkan kecerdasan intelegensi mereka melalui sesame anak tuna rungu. 2. Faktor pendukung Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat Faktor pendukung dalam kebijakan bahasa isyarat meliputi adanya suatu komunitas yang dinamakan MDF (Magelang Deaf Community) dengan adanya komunitas ini anak lebih merasa bebas dalam mengaplikasikan bahasa isyarat berhubungan dengan kecerdasan gerak tubuh anak, adanya bahasa ibu yang menjadi sebuah topangan awal anak dalam modal berbahasa, lalu adanya evaluasi yang mengakibatkan kebijakan tersebut dapat dipantau sejauh mana keberhasilan yang telah dicapai dan adakah 82 kekurangan yang harus diperbaiki. Beberapa faktor tesebut yang dianggap mampu untuk mendukung terlaksananya kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan intelegensi anak tuna rungu di SLB Maarif Muntilan. 3. Faktor penghambat Implementasi Kebijakan Bahasa Isyarat Faktor penghambat muncul dari segi komunikasi, memang segi ini menjadi salah satu kendala yang dominan karena anak tuna rungu mengutamakan bahasa isyarat dan oral. Apabila dalam pembelajaran akan sedikit menjadi hambatan seperti penerapan dalam pelajaran matematika karena dalam pelajaran matematika terdiri dari simbol – simbol. Apabila anak berada di lingkungan sosial maka hambatan selanjutnya ketika mereka bertemu dengan masyarakat umum dikarenakan keterbatasan berkomunikasi dan adanya ketidakpahaman orang disekitar dengan bahasa yang mereka gunakan. B. Saran Berdasarkan dari penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti, maka dari hasil penelitian ini dapat diberikan beberapa saran sebagai berikut : a. Kepala Sekolah : 1. Sering diadakannya evaluasi bagi guru tuna rungu untuk lebih mengetahui seberapa jauh keberhasilan bahasa isyarat. 83 b. Guru : 1. Meningkatkan skill anak dalam menggunakan bahasa isyarat yang dikaitkan dengan kecerdasan gerak tubuh, natural, dan interpersonal agar mampu berkomunikasi dengan masyarakat sekitar. 2. Lebih sering mengikuti event – event yang berada di lingkup sekolah dengan mengenalkan anak tuna rungu bersama bahasa isyarat mereka. 3. Lebih membekali anak dengan ketrampilan – ketrampilan lainnya seperti menjahit serta menggunakan ruang speech theraphy untuk mengembangkan ketrampilan anak 4. Mengadakan atau membentuk organisasi atau komunitas seperti magelang deaf community yang berada di lingkup sekolah untuk mengembangkan kecerdasan gerak tubuh anak. 84 DAFTAR PUSTAKA Aan Komariah. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta. Burhan Bungin. (2011). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, Dan Ilmu Sosial Lainnya.Jakarta:Kencana. Dwi Siswoyo, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Endang Poerwanti, dkk (2002). Perkembangan Peserta Didik. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press. Haenudin. (2013). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tuna rungu. Jakarta. Luxima Metro Media. Howard Gardner (2003). Kecerdasan Majemuk. Batam: Interaksara. Lani Bunawan. (1997). Komunikasi Total. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Murni Winarsih (2007). Intervensi Dini Bagi Anak Tuna rungu dalam Memperoleh Bahasa. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan. Ngalim Purwanto. (2003). Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya. PLJ. (2011). Peraturan UU no. 10 mengenai Komunikasi Bagi Penyandang Tuna rungu. Diakses dari http://plj.or.id/index.php/landasan-hukum/ pada tanggal 13 Januari 2017, Jam 10.00 WIB. Santrock. (2007). Psikologi Anak Anak . Jakarta. Erlangga. Sardjono.(2005). Terapi Wicara. Jakarta. Departemen Pendidikan Nasional. Solichin Abdul Wahab (2012). Analisis Kebijaksanaan. Jakarta. PT Bumi aksara. Sudiyono. (2007). Dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan pendidikan Yogyakarta. UNY. Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan (pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,dan R&D). Bandung:Alfabeta. Suharsimi Arikunto. (2005). Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Thomas Armstrong. (2013). Kecerdasan Multipel Di Dalam Kelas. Jakarta Barat: PT Indeks. UU Sisdiknas No 20 Tahun 2003. 85 PEDOMAN OBSERVASI 1. Mengamati kondisi fisik SLB Maarif Muntilan a. Mengamati bangunan sekolah b. Mengamati kondisi sarana dan prasara c. Mengamati letak geografis sekolah. 2. Mengamati sistem SDM pengelolaan sekolah a. Mengamati pemberian wawasan (implementasi kebijakan bahasa isyarat) dari pendidik. b. Mengamati respon seorang peserta didik. c. Mengamati interkasi yang dihasilkan dari kedua subyek yaitu pendidik dan peserta didik. 3. Mengamati lingkungan masyarakat a. Mengamati respon dari orang tua yang berada di sekolahan b. Mengamati respon daripada masyarakat sekitar 86 PEDOMAN DOKUMENTASI 1. Melalui arsip tertulis a. Sejarah SLB Maarif Muntilan b. Visi dan Misi SLB Maarif Muntilan 2. Foto a. Gedung Fisik SLB Maarif Muntilan 87 CATATAN LAPANGAN OBSERVASI Hari : Senin Tanggal : 06 Februari 2017 Pada pukul 08.00 datang di SLB Maarif, peneliti menunggu bapak kepala sekolah untuk meminta izin penelitian di dalam kelas dan wawancara dengan guru. Selanjutnya bapak kepala sekolah memberikan mandat untuk datang di kelas yang diampu oleh bu maya yang kebetulan mengampu kelas tuna rungu. Disana peneliti mengamati cara belajar anak, interaksi anak dan mewawancarai guru dengan berbagai pertanyaan yang menjurus kepada implementasi kebijakan bahasa isyarat dalam mengembangkan kecerdasan majemuk tersebut. Pertanyaan yang diberikan menyangkut variable yang ada diatas , disini antara peneliti dan responden melakukan wawancara dua arah untuk mendapatkan informasi yang mendalam. 88 CATATAN LAPANGAN OBSERVASI Hari : Rabu Tanggal : 08 Februari 2017 Pukul 10.00 peneliti datang ke sekolahan lalu menuju ke ruangan kepala sekolah. Disana saya langsung mewawancarai kepala sekolah berkaitan dengan tema yang saya teliti. Setelah wawancara dirasa cukup lalu saya meminta izin kepada pihak sekolah untuk mengambil data data yang berhubungan dengan sekolahan seperti lokasi sekolah, visi misi dan prestasi yang ada. 89 CATATAN LAPANGAN OBSERVASI Hari : Jumat Tanggal : 10 Februari 2017 Peneliti datang ke sekolahan pada pukul 08.30 disana sedang berlangsung kegiatan olahraga yang rutin dilaksanakan pada hari jumat. Dengan adanya kegiatan tersebut peneliti mampu mengamati dan melihat beberpa interaksi yang dilakukan oleh beberapa siswa dan guru dalam lingkup sekolahan. Kemudian pada pukul 09.30 – 10.15 peneliti mewawancarai 2 guru secara langsung untuk menjawab pertanyaan yang telah disiapkan oleh peneliti. Berbgai pertanyaan dijawab dengan spontan sesuai dengan jawaban maupun poin yang dibutuhkan. 90 CATATAN LAPANGAN OBSERVASI Hari : Senin Tanggal : 13 Februari 2017 Hari senin pada pukul 07.00 peneliti sudah berada di lingkungan sekolah luar biasa Maarif Muntilan. Dengan kedatangan sepagi tersebut peneliti bermaksud untuk melihat secara langsung kegiatan upacara dan kegiatan sehari – hari anak atau guru dalam memberikan proses pembelajaran. Sehingga peneliti mampu menganailsa berbagai interaksi secara langsung, dengan data yang sudah ada, saya kembali mengengecek ke validan dari beberapa narasumber sehingga akan didapatkan informasi yang cocok dan mengarah kepada hal yang diteliti. Selanjutnya peneliti juga mewawancarai anak anak berhubungan dengan implementasi kebijakan bahasa isyarat. 91 PEDOMAN WAWANCARA Pedoman wawancara untuk kepala sekolah 1. Bagaimanakah bapak melihat kemajuan dari segi pembelajaran khususnya di bidang tuna rungu? 2. Adakah kuota yang diberikan oleh sekolah kepada penyandang disabilitas khususnya tuna rungu, untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah luar biasa ini? 3. Seberapa pentingkah kebijakan bahasa isyarat tersebut digunakan oleh peserta didik di lingkungan masyarakat sekolah ? 4. Adakah kendala yang dialami oleh pihak sekolah dalam memberikan pembelajaran terhadap anak tuna rungu? 5. Seberapa efektifkah UU no 19 tentang bahasa isyarat ini bagi kemajuan ataupun perkembangan kecerdasan intelegensi ? 6. Adakah rapat yang dilakukan bersama guru untuk mengevaluasi kinerja guru dalam proses pembelajaran? Jika ada bentuknya seperti apa? 92 Pedoman wawancara untuk Guru 1. Bagaimanakah pola pembelajaran / inovasi yang diterapkan bapak/ ibu ketika menghadapi peserta didik di dalam kelas berkaitan dengan kebijakan bahasa isyarat? 2. Dengan adanya keterbatasan yang dimiliki anak, bagaimanakah upaya yang dilakukan anak untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual anak? 3. Ketika mengahadapi anak dengan keterbatasan, adakah pengarahan tertentu untuk melihat ataupun mengembangkan kecerdasan anak dan bagaimana pengarahanya? 4. Dengan melihat interaksi yang terjadi di dalam kelas, adakah anak yang mampu mengelola kecerdasan intelektual mereka kearah positif? Dan bagaimana cara mengelolanya? 5. Bagaimanakah upaya yang dilakukan guru ketika menemukan anak dengan kecerdasan intelektual rendah dengan keterbatsan untuk berkomunikasi? 6. Dari segi pembelajaran yang ada, apakah bapak / ibu pernah mengalami atau menemukan anak yang jenuh belajar di dalam kelas ? 7. Adakah faktor pendukung demi terlaksananya implementasi kebijakan bahasa isyarat di kelas maupun di lingkungan masyarakat sekolah ? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? 93 8. Adakah faktor pengambat yang dialami oleh pendidik dalam mengarahkan kebijakab bahasa isyarat untuk mengembangkan kecerdasan majemuk anak? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? 9. Apakah ada anak yang cenderung menyendiri karena keterbatasan yang mereka miliki? Dan bagaimana cara bapak / ibu menanganinya? 94 Pedoman wawancara untuk siswa 1. Bagaimana menurut pendapat anda dengan adanya kebijakan bahasa isyarat yang diterapkan saat ini? 2. Untuk menerima pembelajaran menggunakan bahasa isyarat apakah anda merasakan nyaman dengan pembelajaran yang diberikan oleh pendidik? Mengapa? 3. Adakah kendala yang dialami saat menerapkan bahasa isyarat di dalam kelas maupun di lingkungan sekolah ? 4. Selain penerapan di sekolah, untuk bahasa isyarat apakah memegang peran penting di luar sekolah untuk segi penggunaanya? 5. Menurut anda adakah inovasi yang diberikan oleh sekolah ataupun guru dalam mengembangkan kecerdasan majemuk anda? 6. Kebijakan bahasa isyarat ini apakah dirasa mampu memberikan anda motivasi untuk mengembangkan kecerdasan majemuk anda ? dan bagaimana caranya anda mengolahnya? 7. Apakah dengan teman sebaya, anda dapat mengembangkan bahasa isyarat tersebut secara otodidak dan bebas? 95 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Selasa, 7 Februari 2017 Pukul : 10.00 – 10.15 Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : KSS TEMA :Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti : Bagaimanakah bapak melihat kemajuan dari segi pembelajaran khususnya di bidang tuna rungu? KSS : Disini bahasa tuna rungu berkembang dengan baik. Antara bahasa isyarat dan bahasa tuna rungu haruslah seimbang demi berkembangnya kecerdasan anak. 2. Peneliti : Adakah kuota yang diberikan oleh sekolah kepada penyandang disabilitas khususnya tuna rungu, untuk mengikuti proses pembelajaran di sekolah luar biasa ini? KSS : Tidak ada kuota yang membatasi anak tuna rungu, kami terbuka. Hanya di golongan C kami membatasinya. 3. Peneliti : Seberapa pentingkah kebijakan bahasa isyarat tersebut digunakan oleh peserta didik di lingkungan masyarakat sekolah ? 96 KSS : Di masyarakat belum begitu umum digunakan sehingga kebnyakan digunakan di lingkungan sekolah saja. 4. Peneliti : Adakah kendala yang dialami oleh pihak sekolah dalam memberikan pembelajaran terhadap anak tuna rungu? KSS 5. : Ada, kendalanya dalam transfer pembelajaran dari segi komunikasi Peneliti : Seberapa efektifkah UU no 19 tentang bahasa isyarat ini bagi kemajuan ataupun perkembangan kecerdasan intelegensi ? KSS : Sangat penting bagi peningkatan kecerdasan, di sini anak tuna rungu banyak mendapatkan prestasi yang bagus dan terus meningkat berhubungan dengan kecerdasan majemuk. 6. Peneliti : Adakah rapat yang dilakukan bersama guru untuk mengevaluasi kinerja guru dalam proses pembelajaran? Jika ada bentuknya seperti apa? KSS : Setiap mengevaluasi kinerja guru kami adakan evaluasi setiap minggunya untuk melihat kemjauan dan hambatan. Untuk hambatan kami menanganinya dengan adanya musyarawarah bersama sehingga semua dapat memberikan pendapat 97 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Senin, 6 Februari 2017 Pukul : 08.30 – 09.30 Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : BM/ guru TEMA : Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti : Bagaimanakah pola pembelajaran / inovasi yang diterapkan bapak/ ibu ketika menghadapi peserta didik di dalam kelas berkaitan dengan kebijakan bahasa isyarat? BM : Di sekolahan ini tidak selalu mempelajari bahasa isyarat namun lebih kearah bahasa oral untuk penerapannya di dalam kelas. Bahasa isyarat digunakan ketika dalam pembelajaran mengalami kesulitan sehingga guru menuliskan dipapan tulis serta menggunakan bahasa isyarat itu sendiri. Untuk anak dewasa lebih diutamakan bahasa oral sedangkan untuk anak kecil menggunakan bahasa isyarat atau bahasa ibu. Selain itu untuk anak SMA, demi menunjang kebijakan bahasa isyarat maka saya menggunakan laptop untuk mempermudah dalam pengajaran. 98 2. Peneliti : Dengan adanya keterbatasan yang dimiliki anak, bagaimanakah upaya yang dilakukan anak untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual anak? BM : Semua berawal dari hobi yang dimiliki oleh anak. Ketika anak sudah menyukai sesuatu hal dan hal tersebut dijadikan suatu hobi. Hobi tersebut secara perlahan dikembangkan oleh anak dengan mengacu kepada kecerdasan apa yang mereka miliki. 3. Peneliti : Ketika menghadapi anak dengan keterbatasan, adakah pengarahan tertentu untuk melihat ataupun mengembangkan kecerdasan anak dan bagaimana pengarahanya? BM : Ada, pengarahan bisa berasal dari dua aspek yaitu luar dan di dalam sekolah. Dimana di luar yaitu mendatangkan ekstra untuk menumbuhkan serta mengembangkan kecerdasan anak. Sedangkan dari dalam sekoilah biasanya guru mendampingi anak dengan bakat melalui sifat otodidak seorang guru dimana sifat otodidak ini didukung oleh rasa kedekatan guru dengan murid yang mendalam. 4. Peneliti : Dengan melihat interaksi yang terjadi di dalam kelas, adakah anak yang mampu mengelola kecerdasan intelektual mereka kearah positif? Dan bagaimana cara mengelolanya? BM : Ada, disini anak - anak memiliki minat yang menjadikan mereka motivasi untuk melangkah ke depan. Motivasi tersebut diubah menjadi hal positif seperti kepintaran untuk memasak, menjahit. Dari kepintaran yang 99 melekat pada siswa, sering sekali diikutkan lomba dan mendapatkan juara di berbagai tingakatan. 5. Peneliti : Bagaimanakah upaya yang dilakukan guru ketika menemukan anak dengan kecerdasan intelektual rendah dengan keterbatsan untuk berkomunikasi? BM : Disini ada anak tuna rungu dengan fisik ganda. Di dalam hal tersebut anak tersebut juga mengalami susah dalam menerima pelajaran sehingga saa sebagai guru harus berinteraksi secara berulang – ulang untuk meyakinkan pelajaran yang diterima anak tersebut. Tidak jarang pula saya meminta bantuan anak sebangkunya untuk menjelaskan apa yang disampaikan dengan menggunakan bahasa isyarat mereka. Karena disini mereka lebih nyaman dan bebas untuk berkomunikasi dengan bahasa isyarat mereka sendiri. 6. Peneliti :Dari segi pembelajaran yang ada, apakah bapak / ibu pernah mengalami atau menemukan anak yang jenuh belajar di dalam kelas ? BM : Ada, sebagai contoh dari segi mata pelajaran matematika. Terkadang anak anak merasa bosan hal ini mungkin juga karena adanya keterbatasan untuk berkomunikasi. 7. Peneliti : Adakah faktor pengambat yang dialami oleh pendidik dalam mengarahkan kebijakan bahasa isyarat untuk mengembangkan kecerdasan majemuk anak? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? 100 BM : Dari segi internal anak lebih cenderung minder ketika terjun dimasyarakat seperti perlombaan karena disini ragu dengan cara mereka untuk berkomunikasi yaitu bahasa isyarat. Jika dilihat dari segi eksternal yaitu dari sisi orangtua dan guru karena masih mengacu kepada aturan aturan dan belum bersifat luwes untuk penerapannya. 8. Peneliti :Adakah faktor pendukung demi terlaksananya implementasi kebijakan bahasa isyarat di kelas maupun di lingkungan masyarakat sekolah ? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? BM : Dari segi internal anak – anak disabilitas tuna rungu ini lebih sering mengikutkan diri mereka ke dalam sebuah perkumpulan yang dinamai MDF (Magelang Deaf Community) yaitu perkumpulan yang diikuti oleh anak penyandang tuna rungu, dengan adanya komunitas ini anak merasa bebas untuk berkomunikasi dan saling mengembangkan kemampuan mereka. 9. Peneliti : Apakah ada anak yang cenderung menyendiri karena keterbatasan yang mereka miliki? Dan bagaimana cara bapak / ibu menanganinya? BM : Ada, karena mungkin ketuna runguan mereka berawal dari masa kecil sehingga untuk berkumpul di dalam masyarakat masih merasa menjadi bahan pembicaraan, padahal itu berawal dari pikiran yang tidak benar dari anak. Untuk menangani hal tersebut maka saya memberikan pendekatan secara intensif. 101 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Jumat, 10 Februari 2017 Pukul : 09.30 – 10.15 Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : WT/ guru TEMA : Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti :Bagaimanakah pola pembelajaran / inovasi yang diterapkan bapak/ ibu ketika menghadapi peserta didik di dalam kelas berkaitan dengan kebijakan bahasa isyarat? WT : Untuk pembelajaran disini bahasa isyarat menjadi bahasa sekunder dimana bahasa yang paling sering digunakan adalah bahasa oral. Sedangkan bahasa isyarat digunakan untuk memperjelas apa yang kita atau anak kerjakan. Untuk pembelajaran selanjutnya ada bermacam – macam inovasi pembelajaran dari yang kejadian kejadian nyata, disini anak langsung belajar di lapangan karena anak tuna rungu memfokuskan diri belajar dalam penglihatan dan pengamatan. Untuk penggunaan laptop sendiri mungkin hanya untuk seilingan saja. 102 2. Peneliti : Dengan adanya keterbatasan yang dimiliki anak, bagaimanakah upaya yang dilakukan guru untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual anak? WT : karena kemampuan anak satu dengan yang lain berbeda beda dan untuk itu guru melihat potensi dan bakat mereka untuk digolongkan ke arah tata rias untuk anak dewasa serta menggambar ditujukkan kepada anak kecil. Guru selalu mendampingi ketika anak mulai menekuni minatnya. 3. Peneliti : Ketika menghadapi anak dengan keterbatasan, adakah pengarahan tertentu untuk melihat ataupun mengembangkan kecerdasan anak. WT : Ada, misalnya dengan cara memberikan pengarahan kepada anak mengenai bakat mereka yang cocok ditempatkan di bidang apa . kebanyakan bidang yang ada itu ketrampilan dan olahraga yang paling menonjol. 4. Peneliti : Dengan melihat interaksi yang terjadi di dalam kelas, adakah anak yang mampu mengelola kecerdasan intelektual mereka kearah positif? WT : Disini anak – anak mengarahkan kegiatan serta mengelola kecerdasan mereka kea rah positif seperti sama halnya dengan tujuan sekolah. 5. Peneliti : Bagaimanakah upaya yang dilakukan guru ketika menemukan anak dengan kecerdasan intelektual rendah dengan keterbatsan untuk berkomunikasi? WT : Kita disini tetap mengarahkan anak dengan berbagai kriteria yang ada, sehingga anak – anak pun merasa nyaman dengan adanya interaksi yang dilakukan oleh guru. Guru selalu memantau kegiatan dan kemampuan apa yang anak – anak sukai dan tidak disukai. 103 6. Peneliti : Dari segi pembelajaran yang ada, apakah bapak / ibu pernah mengalami atau menemukan anak yang jenuh belajar di dalam kelas ? WT : Untuk masalah jenuh itu berbeda beda ya tingkatan kelas, di SMA mungkin ditemukan anak yang jenuh dalam belajar seperti dalam pelajaran matematika , namun sebaliknya di tingkatan SD anak jarang bahkan tidak ada yang jenuh apalagi dalam bidang matematika karena anak bermain dengan uang kertas mainan. 7. Peneliti : Adakah faktor pendukung demi terlaksananya implementasi kebijakan bahasa isyarat di kelas maupun di lingkungan masyarakat sekolah ? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? WT : Pendukungnya dengan dibekalinya bahasa ibu atau bahasa isyarat yang perlahan lahan anak dan guru akan terbiasa memakainya. 8. Peneliti : Apakah ada anak yang cenderung menyendiri karena keterbatasan yang mereka miliki? WT : Bila dilihat dari segi tuna rungu tidak ada, namun ada beberapa yang cenderung menyendiri karena mereka tuna rungu double ada C nya. 104 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Jumat, 10 Februari 2017 Pukul : 09.30 – 10.15 Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : UK TEMA : Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti :Bagaimanakah pola pembelajaran / inovasi yang diterapkan bapak/ ibu ketika menghadapi peserta didik di dalam kelas berkaitan dengan kebijakan bahasa isyarat? UK : Dengan menggunakan alat yang ada disekitar, terkadang anak juga terjun langsung ke lapangan untuk melihat hal – hal yang berhubungan dengan pelajaran mereka. Untuk laptop sendiri itu biasanya diterapkan di tingkat SMA sebagai penunjang. 2. Peneliti : Dengan adanya keterbatasan yang dimiliki anak, bagaimanakah upaya yang dilakukan guru untuk mengembangkan potensi kecerdasan intelektual anak? UK : Di sini satu anak dengan anak lainnya berbeda. Sehingga anak dengan berbagai ketrampilan mampu diliat sejak dini. Ketika guru melihat 105 potensi anak maka upaya guru selalu mengarahkan dan memberikan pengarahan untuk mengembangkan kecerdasan dan potensi anak tersebut. 3. Peneliti :Anak dalam pembelajaran ini lebih diarahkan ke hal positif ? UK 4. : Jelas pembelajaran lebih diarahkan ke hal positif. Peneliti : Bagaimanakah upaya yang dilakukan guru ketika menemukan anak dengan kecerdasan intelektual rendah dengan keterbatsan untuk berkomunikasi? UK : Tidak mungkin anak tersebut akan tersingkir, sehingga guru beruapaya untuk selalu membimbing dan merangkul setiap anak untuk diarahkan ke bidang positif. 5. Peneliti : Dari segi pembelajaran yang ada, apakah bapak / ibu pernah mengalami atau menemukan anak yang jenuh belajar di dalam kelas ? UK : Pasti ada, tapi untuk mengetahui kriteria anak bosan itu diketahui oleh tiap guru yang biasanya membimbing di kelas. Sehingga kalau bosan guru sering mengajak anak keluar berinteraksi dengan lingkungan sekitar. 6. Peneliti : Adakah faktor pendukung demi terlaksananya implementasi kebijakan bahasa isyarat di kelas maupun di lingkungan masyarakat sekolah ? apabila dilihat dari faktor internal dan eksternal? UK : Pendukungnya ya dilihat dari keaktifan anak itu sendiri dalam belajar sehingga otomatis anak dalam belajar tersebut mampu mengelola bahasa isyarat seperti layaknya sibi 106 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Senin, 13 Februari 2017 Pukul : 09.00 – 11.00 WIB Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : B/ SISWA TEMA : Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti : Apakah sekolah menerapkan bahasa isyarat? Serta bagaimana pelaksanaanya? B : Iya, pihak sekolah menerapkan bahasa isyarat, proses pembelajaran dilakukan melalui interaksi yang mendalam antara guru dan murid. Pelaksanaanya sangat menyenangkan dan membantu kedepannya. 2. Peneliti : Apakah dalam belajar di kelas anda menggunakan bahasa isyarat dan adakah rasa senang saat belajar dengan bahasa isyarat? B : Di dalam kelas saya menggunakan bahasa isyarat dengan dukungan bahasa oral untuk membantu pembelajaran. Saya merasa senang dengan adanya bahasa yang saya gunakan. 107 3. Peneliti : Apakah ada hambatan / masalah ketika pelajaran menggunakan bahasa isyarat? B : Hambatannya terkadang lebih menggunakan bahasa oral daripada bahasa isyarat. Tapi keduanya saling berhubungan demi kemajuan proses pembelajaran. 4. Peneliti : Apakah bahasa isyarat juga anda gunakan saat diluar sekolah ? jelaskan B : Saya tidak menerapkan bahasa isyarat di masyrakat. Karena dismasyarakat hanya beberapa orang yang paham dengan pengertian saya. 5. Peneliti : Apakah guru memberikan arahan / menyuruh murid untuk mengembangkan bakat? B : Ada, guru mengarahkan bakat saya dari nol sampai berkembang menjadi lebih baik. 6. Peneliti : Apakah bahasa isyarat mendukung bakat kamu? B : Iya, dengan bahasa isyarat saya mampu mengelola kemampuan saya kearah yang positif. 7. Peneliti : Apakah teman kamu dapat mendorong bahasa isyarat kamu? B : Iya, di lingkungan masyarakat saya diberikan motivasi untuk mendorong bahasa isyarat saya. 108 TRANSKRIP WAWANCARA YANG SUDAH DIREDUKSI Hari / tanggal : Senin, 13 Februari 2017 Pukul : 09.00 – 11.00 WIB Tempat : SLB Maarif Muntilan Responden : A / siswa TEMA : Implementasi Kebijakan UU No 19 Tahun 2011 Tentang Bahasa Isyarat dalam Mengembangkan Kecerdasan Intelegensi Anak Tuna rungu 1. Peneliti :Apakah sekolah menerapkan bahasa isyarat? Serta bagaimana pelaksanaanya? A : Di sekolahan sendiri mengajarkan tentang bahasa isyarat walaupun dalam penerapannya masih diselingi bahasa oral untuk menunjang pembelajaran. Bahasa isyarat sepenunya dilakukan ketika ketika pada situasi istirahat antara satu anak dengan anak lainnya. 2. Peneliti : Apakah dalam belajar di kelas anda menggunakan bahasa isyarat dan adakah rasa senang saat belajar dengan bahasa isyarat? A : Iya di dalam kelas menggunakan bahasa isyarat untuk membantu menunjang pembelajran yang saya lakukan, menggunakan bahasa isyarat membuat saya senang dan mudah untuk belajar apalagi dari segi mata pelajaran matematika. 109 3. Peneliti : Apakah ada hambatan / masalah ketika pelajaran menggunakan bahasa isyarat? A : Ada, hambatan yang dialami yaitu anak belum sutuhnya mengenali dan mampu belajar mengenai bahasa isyarat. Ketika mengalami kendala bahasa isyarat. 4. Peneliti : Apakah bahasa isyarat juga anda gunakan saat diluar sekolah ? jelaskan A : Tidak saya gunakan di masyarakat, karena masyarakat tidak tahu apa yang saya bicarakan melalui bahasa isyarat. 5. Peneliti : Apakah guru memberikan arahan / menyuruh murid untuk mengembangkan bakat? A : Iya dengan adanya arahan dari guru lalu saya berusaha dengan usaha sendiri . guru hanya bersifat mendampingi saya. 6. Penelti : Apakah bahasa isyarat mendukung bakat kamu? (sosial) A : iya mendukung, apalagi dengan adanya komunitas MDF yang berisikan anak tuna rungu. Disana saya dan teman – teman mampu berkomunikasi dengan bebas dan nyaman. 7. Peneliti : Apakah teman kamu dapat mendorong bahasa isyarat kamu? A : Iya teman teman saya saya mampu mendorong bahasa isyarat melalui perkumpulan. 110 Gambar 1. Gedung Sekolah Gambar 2. Pembelajaran Bahasa Isyarat Gambar 3. Upacara Gambar 4. Pembelajaran Dengan Laptop Gambar 5. Komunikasi Bahasa Isyarat Gambar 6. Prestasi Siswa 111 Gambar 7. Lorong Kelas Gambar 8. Penanda Plang Gambar 9. Wawancara dengan Gambar 10. Kegiatan Jumat Kepala Sekolah Gambar 11. Pembelajaran Matematika Gambar 12. Komunikasi Bahasa Isyarat 112 Gambar 13. Pembelajaran Bahasa Isyarat Gambar 15. Pembelajaran Ilmu Pengetahuan 113 Gambar 14. Data Siswa 114 115 116 117 118 119 120