BAB V

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan di bidang pendidikan harus terus diusahakan. Baik melalui
jalur pendidikan sekolah, jalur pendidikan luar sekolah, dan jalur pendidikan
keluarga. Jalur pendidikan sekolah yaitu jalur pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah melalui kegiatan belajar dan mengajar secara langsung berjenjang dan
berkesinambungan. Jalur pendidikan luar sekolah melalui kegiatan belajar
mengajar yang tidak berjenjang. Sedangkan jalur pendidikan keluarga merupakan
jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh keluarga yang
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.
Sistem penddidikan di Indonesia khususnya di jalur formal terbagi
menurut jenjang yang dimulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Pada
masing-masing jenjang mempunyai peranan sendiri. Pada jenjang SMA
mempunyai peranan yaitu pembinaan para siswa untuk melanjutkan belajar ke
tingkat yang lebih tinggi dan memberikan bekal kemampuan untuk terjun ke
masyarakat. Bekal kemampuan yang berupa pengetahuan (ilmu sosial, ilmu
eksata, ilmu bahasa dan sebagainya), sikap dan keterampilan, semuanya yang
diatur dan digariskan di dalam kurikulum pendidikan.
Keberhasilan kegiatan belajar mengajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor intern dan ekstern. Faktor intern adalah faktor yang berasal dari dalam
diri siswa, antara lain : sikap terhadap belajar, motivasi belajar, konsentrasi
belajar, pengolahan bahan belajar, menyimpan perolehan hasil belajar, menggali
hasil belajar yang tersimpan, kemampuan berprestasi, rasa percaya diri,
intelejensi, keberhasilan belajar, kebiasaan dan cita-cita. Sedangkan faktor ekstern
adalah faktor yang berasal dari luar diri siswa, anatra lain : guru, sarana dan
prasarana pembelajaran, kebijakan penilaian, lingkungan sosial siswa di sekolah,
kurikulum sekolah dan keluarga.
Belajar merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu daripada suatu
proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan
1
2
mengumpulkan
fakta-fakta
tetapi
suatu
perkembangan
pemikiran
yang
berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya
pengalaman
dengan
membuat
hipotesis,
prediksi,
mengetes
hipotesis,
memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
meneliti,
berdialog,
mengadakan
refleksi,
mengungkapkan
pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain- lain untuk membentuk kontruksi yang baru.
Setiap siswa mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa
setiap siswa mengerti kekhasan, keunggulan, dan kelemahannya dalam mengerti
sesuatu. Siswa perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi mereka sendiri.
Setiap
siswa
mempunyai
cara
yang
cocok
untuk
mengkonstruksikan
pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman yang lain. Dalam hal
ini sangat penting bagi siswa untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang
cocok dan juga penting bagi guru menciptakan berbagai macam situasi dan
metode yang membantu siswa.
Siswa sudah membawa konsep yang bermacam- macam dalam ruang
pelajaran sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka
untuk dapat mengembangkan pengetahuan yang baru, serta dapat membawa
perbedaan intelektual, personal, sosial, emosional, dan kultural masuk ruang
pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan
pengertian awal yang dibawa siswa sangat penting dimengerti oleh guru agar
dapat membantu memajukan dan mengembangkan sesuai dengan pengetahuan
yang lebih ilmiah.
Dari permasalahan tersebut peneliti menitik beratkan pada pendekatan
konstruksional untuk mengajar siswa pada penelitian ini karena pendekatan ini
menekankan pada keterlibatan siswa dalam proses belajar aktif, serta dalam proses
mengajar akan terjalin komunikasi dua arah sehingga dapat meningkatkan peluang
bagi guru untuk memperoleh balikan dalam rangka menilai efektifitas pengajaran.
Pendekatan konstruktivisme menekankan pada kemampuan mengkonstruk
pengetahuan dengan berdasarkan pengetahuan sebelumnya, serta guru bertindak
mengarahkan ke tujuan tersebut. Dalam pendekatan ini terdapat beberapa metode
mengajar antara lain eksperimen dan demonstrasi. Metode eksperimen
3
memungkinkan siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan
sendiri sesuatu yang dipelajari. Sedangkan Metode demonstrasi ialah cara
penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkkan kepada siswa
suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik sebenarnya
maupun tiruan.
Untuk mencapai hasil belajar yang lebih baik, guru juga perlu
memberikan tugas-tugas kepada siswa. Tugas-tugas yang diberikan guru dapat
berupa tugas kelompok atau tugas individu. Teknik pemberian tugas ini bertujuan
agar siswa memiliki hasil belajar yang optimal karena siswa melaksanakan
latihan-latihan selama melaksanakan tugas, sehingga pengalaman siswa dalam
mempelajari sesuatu pelajaran akan lebih terarah.
Untuk memahami perkembangan pengetahuan yang diterimanya siswa
secara kontinu melaksanakan aktifitas belajar agar kemampuan kognitifnya dapat
berkembang dengan baik. Namun aktifitas yang dialami siswa tidak selamanya
berjalan lancar. Untuk itu siswa memerlukan bantuan dari orang lain, baik teman
sendiri, guru ataupun orang tua mereka.
Berdasakan dari latar belakang permasalahan di atas, penulis memandang
perlu untuk mengadakan penelitian mengenai : PENERAPAN PENDEKATAN
KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN FISIKA DITINJAU DARI
PEMBERIAN TUGAS TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA PADA
POKOK BAHASAN SUHU DAN KALOR.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasikan
masalah sebagai berikut :
1. Pembangunan di bidang pendidikan harus terus diusahakan.
2. Jalur pendidikan ada tiga, yaitu; jalur pendidikan sekolah, jalur pendidikan
luar sekolah, dan jalur pendidikan keluarga.
3. Keberhasilan kegiatan belajar mengajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor
yaitu faktor intern dan ekstern.
4
4. Pendekatan yang digunakan guru untuk melibatkan keaktifan siswa dalam
proses belajar mengajar dapat berupa pendekatan konsrtruktivisme dengan
metode eksperimen dan metode demonstrasi.
5. Untuk mencapai hasil belajar yang baik, guru memberikan tugas kepada
siswa, baik tugas kelompok maupun tugas individu.
6. Kemampuan kognitif siswa merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa
dalam mempelajari fisika.
C. Pembatasan Masalah
Karena banyaknya permasalahan pada identifikasi masalah di atas, maka
dalam penelitian ini penulis membatasi masalah agar penelitian ini dapat
mencapai tujuan, ruang lingkup dan arahan yang jelas. Adapun pembatasan
masalah adalah sebagai berikut :
1. Penggunaan pendekatan kontruktrivisme pada pengajaran fisika dalam
penelitian ini melalui metode eksperimen dan metrode demonstrasi
2. Untuk mencapai hasil belajar yang baik, guru memberikan tugas kepada
siswa, baik tugas kelompok maupun tugas individu.
3. Kemampuan kognitif siswa merupakan salah satu indikator keberhasilan siswa
dalam mempelajari fisika.
4. Pokok bahasan dalam penelitian ini adalah yang merupakan salah satu pokok
bahasan di SMA kelas X semester 2, yaitu Suhu dan Kalor.
D. Perumusan Masalah
Dari identifikasi masalah dan pembatasan masalah di atas, maka dapat
dirumuskan permasalahan yaitu :
1. Apakah ada perbedaan pengaruh antara penerapan pendekatan pengajaran
konstruktivisme melalui metode eksperimen dengan metode demonstrasi
terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor?
2. Apakah ada perbedaan pengaruh antara pemberian tugas kelompok dengan
tugas individu terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu
dan Kalor?
5
3. Apakah ada interaksi antara pengaruh penerapan pendekatan pengajaran
konstruktivisme dan metode pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif
siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor ?
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka
tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh antara penerapan pendekatan
pengajaran konstruktivisme melalui metode eksperimen dengan metode
demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu
dan Kalor.
2. Mengetahui apakah ada perbedaan pengaruh antara metode pemberian tugas
kelompok dengan tugas individu terhadap kemampuan kognitif siswa pada
pokok bahasan Suhu dan Kalor.
3. Mengetahui apakah ada interaksi antara pengaruh penerapan pendekatan
pengajaran
konstruktivisme
dan
metode
pemberian
tugas
terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
F. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para guru, calon guru dan siswa
pada umumnya. Manfaat yang penulis harapkan adalah sebagai berikut :
1. Masukan bagi guru fisika dalam menentukan metode mengajar yang tepat dan
menguntungkan bagi guru maupun siswa untuk meningkatkan kemampuan
kognitif siswa.
2. Sebagai masukan bagi guru fisika tentang pentingnya melibatkan siswa dalam
proses belajar mengajar.
3. Sebagai masukan tentang pentingnya pemberian tugas terhadap kemampuan
kognitif siswa.
6
BAB II
KERANGKA TEORITIS DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori
1. Hakikat Belajar
Belajar merupakan suatu proses yang ditandai adanya perubahan pada diri
seseorang yang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti penambahan
pengetahuan, kecakapan, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya dan segala
aspek yang ada pada individu. Proses tersebut bisa dilakukan oleh setiap manusia
dimanapun berada, baik di rumah, di masyarakat, maupun di sekolah.
Belajar mempunyai makna yang sangat luas dan kompleks. Pengertian
belajar banyak dipengaruhi oleh teori-teori belajar yang dianut oleh seseorang,
menurut Hilgard dalam Ngalim Purwanto (1990: 84) mengatakan bahwa:
“Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang terhadap
suatu sistem tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulangulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat
dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan, kematangan atau
keadaan seseorang”
Menurut Lester D Crow & Alice Crow dalam Roestiyah N K (1982: 17) “Belajar
ialah perubahan individu dalam kebiasaan, pengetahuan dan sikap”. Dalam
definisi ini dikatakan bahwa seseorang belajar kalau ada perubahan dari tidak tahu
menjadi tahu, dalam menguasai ilmu pengetahuan.
Jadi belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku yang dinyatakan
dalam bentuk penguasaan, penggunaan, pengamatan dan penilaian terhadap atau
mengenai sikap dan nilai- nilai pengetahuan dan kecakapan dasar yang terdapat
dalam berbagai aspek kehidupan atau pengalaman yang terorganisasi.
2. Hakikat Mengajar
Definisi mengajar menurut Sardiman A M (2001: 45) dikemukakan sebagai
berikut : mengajar adalah suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem
lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses
belajar.
7
Definisi lain yang modern dari negara-negara yang sudah maju menurut
Roestiyah N K (1982: 2), Teaching is guidance of learning. Mengajar adalah
bimbingan kepada anak dalam proses belajar. Sedangkan guru hanya
menunjukkan jalan dengan memperhitungkan kepribadian anak.
Sedangkan menurut Alvin W. Howard dalam Roestiyah N K (1982: 2)
menegaskan bahwa mengajar adalah suatu aktifitas untuk mencoba menolong,
membimbing seseorang untuk mendapatkan, mengubah atau mengembangkan
skill, atitudes, pemikiran, penghargaan dan pengetahuan. Dalam pengertian ini
guru harus berusaha membawa perubahan tingkah laku yang baik atau
berkecenderungan langsung untuk mengubah tingkah laku murid-muridnya, yang
menjadikan guru berusaha merumuskan tujuan belajar, cara belajar dan prosesproses penyajian belajar dan berusaha untuk menciptakan kondisi sehingga
memungkinkan interaksi edukatif.
Bagi kaum konstruktivis mengajar bukanlah kegiatan memudahkan
mengarahkan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan
pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan,
bersikap kritis dan mengadakan jurifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk
belajar sendiri.
Menurut prinsip konstruktivisme, seorang guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik
yang dijabarkan sebagai berikut :
1. Menyediakan
pengalaman
belajar
yang
memungkinkan
murid
bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses dan penelitian.
2. Menyediakan atau memberikan kegiatan
yang merangsang keingintahuan
murid dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya serta
mengkomunikasikan
ide
ilmiah
mereka.
Menyediakan
sarana
yang
merangsang siswa berfikir secara produktif, menyediakan kesempatan.
3. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan
atau tidak.
8
Guru konstruktivis tidak akan pernah membenarkan ajarannya dengan
mengklaim suatu jawaban atas suatu persoalan adalah merupakan satu-satunya
jawaban yang benar. Jika jawaban siswa tidak sesuai dengan konsep maka guru
akan menanyakan bagaimana cara siswa memperoleh jawaban tersebut dan
membantu mereka memahami mengapa suatu jawaban yang tidak berlaku untuk
suatu keadaan tertentu. Jadi guru perlu belajar untuk mengerti cara berfikir
mereka dan membantu memodifikasinya. Dalam hal ini guru bertugas membantu
mengaktifkan para siswa untuk berfikir. Hal ini dilakukan dengan membiarkan
mereka berjuang dengan persoalan yang ada dan membantu mereka sejauh
mereka bertanya dan minta tolong. Guru dapat memberikan orientasi arah tetapi
tidak boleh memaksakan arah tersebut.
3. Hakikat Fisika
a.
Pengertian Fisika
Fisika merupakan salah satu cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan
metode- metode yang berdasarkan observasi dan tersusun secara sistematik yang
di dalam penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam.
Oleh karena Fisika merupakan salah satu cabang dari IPA, maka Fisika
mempunyai ciri-ciri yang tidak jauh berbeda dari IPA. Para ahli IPA memberi
batasan tentang pengertian Fisika. Menurut Brandi/Dahmen (1997) dalam Herbert
Druxes (1986: 3) menyatakan bahwa “ Fisika adalah suatu uraian tertutup tentang
semua kejadian fisikalis yang berdasarkan beberapa hukum dasar. Sejalan dengan
itu Gerthsen (1958) dalam Herbert Druxes (1986: 3) menyatakan “Fisika adalah
suatu teori yang menerangkan gejala-gejala alam sederhana mungkin dan
berusaha menemukan hubungan antar kenyataan-kenyataan. Pernyataan utama
untuk pemecahan persoalan adalah dengan mengamati gejala-gejala tersebut “.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Fisika adalah ilmu pengetahuan yang
menerangkan sifat fisis (massa, energi, gaya, kecepatan, suhu, dsb) dari suatu
benda yang diperoleh dengan melakukan penelitian-penelitian disusun secara
sistematis dan dijadikan sebagai hukum dasar.
9
b.
Tujuan Pengajaran Fisika
Tujuan pengajaran merupakan arah yang hendak dicapai oleh setiap
strategi pengajaran. Umumnya tujuan pengajaran bersumber dari tujuan lembaga
yang mengarah pada tujuan pendidikan umum. Oleh karena itu tujuan pengajaran
yang akan dicapai harus ditetapkan dan dirumuskan dengan jelas, cepat dan tidak
boleh bersifat meragukan atau mengandung beberapa arah.
Tujuan pendidikan fisika adalah sebagai berikut :
1). Mengembangkan pola pikir ilmiah.
2). Mengembangkan pengetahuan.
3). Mengembangkan
ketrampilan-ketrampilan
dasar
untuk
melancarkan
komunikasi ide-ide.
4). Mengembangkan nilai-nilai, apresiasi dan sikap ilmiah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, pengajar dalam mengajarkan Fisika
hendaknya :
1). Merangsang perhatian siswa
2). Merangsang keingintahuan siswa
3). Menimbulkan keinginan siswa untuk mengkreasikan konsep yang diterima.
4). Mengajarkan Fisika sebagai konsep.
5). Menekankan pada pemikiran dan penalaran bukan hafalan.
4. Pendekatan Pengajaran Kontruktivisme
a.
Teori Konstruktivisme
Teori konstruktivisme menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang adalah
bentukan (konstruksi) orang itu sendiri. Pengetahuan seseorang akan suatu benda
bukankah tiruan benda itu, melainkan konstruksi pemikiran seseorang akan benda
tersebut. Tanpa keaktifan seseorang mencerna dan membentuknya, seseorang
tidak akan mempunyai pengetahuan. Oleh karena itu, Piaget menyatakan secara
ekstrem bahwa pengetahuan tidak dapat ditransfer dari otak guru yang dianggap
tahu bila murid tidak mengolah dan membentuknya sendiri.
Proses pembentukan pengetahuan itu terjadi apabila seseorang mengubah
atau mengembangkan skema yang telah dimiliki dalam berhadapan dengan
10
tantangan, rangsangan atau persoalan. Dengan proses asimilasi dan akomodasi itu
pengetahuan seseorang akan dikembangkan.
Pembentukan pengetahuan itu pertama-tama ditentukan oleh kegiatan atau
keaktifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan persoalan, bahan, atau
lingkungan baru. Orang itu sendirilah yang membentuk pengetahuannya. Namun
ini tidak berarti bahwa orang lain atau lingkungan sosial lain tidak mempunyai
peranan. Orang-orang atau lingkungan sosial lain mempunyai peranan dalam
pembentukan pengetahuan tersebut sebagai yang memacu, mengkritik dan
menantang sehingga proses pembentukan pengetahuan lebih lancar.
Teori Piaget seringkali disebut konstruktivisme personal karena lebih
menekankan keaktifan pribadi seseorang dalam mengkonstruksi pengetahuannya.
b. Pengertian Pendekatan Kontruktivisme
Salah satu faktor yang menentukan bagi tercapainya tujuan pendidikan
fisika ialah pendekatan-pendekatan didalam proses belajar mengajar didasarkan
pada karakteristik bidang fisika yaitu berkembang atas dasar pengukuran dan
pengalaman siswa tentang peristiwa-peristiwa di alam ini. Salah satu pendekatan
tersebut ialah pendekatan konstruktivisme.
Bagi konstruktivisme kegiatan belajar adalah kegiatan aktif, dimana
siswa membangun sendiri pengetahuannya. Menurut Betterncourt (1989);
Shymansky (1992); Watts dan Pope (1989) dalam Paul Suparno (1996: 62),
“Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Ini merupakan proses
menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada
dalam pikiran mereka”.
Paul Suparno (1996: 62) mengungkapkan bahwa “Belajar adalah suatu
proses organik untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk
mengungkap fakta. Belajar itu suatu perkembangan pemikiran dengan membuat
kerangka pemikiran yang berbeda”. Siswa membentuk pengetahuan mereka
sendiri dan guru sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar yang
berarti terjadi melalui refleksi, pemecahan konflik dan proses memperbaiki
tingkat pemikiran yang tidak lengkap.
11
Dari berbagai pendapat yang telah dikemukakan di atas dapat dikatakan
bahwa proses belajar dengan konstruktivisme adalah suatu proses transfer ilmu
yang melibatkan keaktifan siswa dengan struktur kognitif tertentu yang telah
terbentuk
sebelumnya
dengan
membentuk
dan
mengkonstruksi
sendiri
pengetahuannya dalam situasi dan pengalaman yang baru.
c. Pola Pembelajaran Dengan Pendekatan Konstuktivisme Dalam Perencanaan
Pengajaran.
Pembelajaran fisika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme
secara garis besar terdiri dari tahapan penerimaan (reception) dan pengembangan
(extended learning), atau secara lebih terinci adanya tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1) Invitation : dimana guru memanfaatkan struktur kognitif yang telah ada pada
siswa untuk membahas konsep-konsep sehingga siswa tergugah untuk
memotivasinya untuk belajar.
2) Eksplorasi : yang menyangkut interaksi siswa dengan lingkungan alam atau
lingkungan fisik sekitarnya. Dalam tahapan ini guru bertindak sebagai
fasilitator agar siswa secara aktif menggunakan konsep-konsep baru.
3) Solusi : dimana siswa dihadapkan pada suatu masalah yang menyangkut
konsep/prinsip yang baru diterimanya untuk menyelesaikan masalah yang
diberikan atau yang dihadapi.
4) Tindak lanjut/follow up : dimana siswa mengembangkan sikap dan perilaku
untuk berkembang lebih jauh.
Dengan pola belajar melalui pendekatan konstruktivisme para siswa
diajak aktif membahas konsep-konsep dan prinsip baru yang diperkenalkan
kepada mereka sebelumnya, sehingga konsep baru akan terjalin dengan struktur
kognitif siswa.
d. Penerapan
Pendekatan
Pengajaran
Konstruktivisme
Melalui
Metode
Eksperimen.
Metode eksperimen adalah cara penyajian pelajaran dimana siswa
melakukan percobaannya sendiri daripada hanya menerima penjelasan dari guru
12
atau buku. Sehingga siswa dapat mengamati dan membuktikan sendiri hal–hal
yang dipelajari.
Penerapan pendekatan konstruktivisme melalui metode ini akan mencapai
hasil yang diharapkan bila dilengkapi dengan LKS nantinya siswa dihadapkan
pada pertanyaan dan kegiatan yang dapat memotivasi siswa untuk mempelajari
hal-hal yang baru. Selain itu dapat menggali kemampuan siswa yang sudah ada
sebelumnya. Jadi dalam hal ini siswa menjadi aktif.
Kelebihan metode eksperimen adalah :
1). Membuat peserta didik percaya pada kebenaran kesimpulanpercobaannya
sendiri dari pada hanya menerima kata guru atau buku.
2). Peserta didik aktif terlibat mengumpulkan fakta, informasi atau data yang
diperlukan melalui percobaan yang dilakukannya.
3). Dapat menggunakan dan melaksanakan prosedur metode ilmiah dan berfikir
ilmiah.
4). Memperkaya pengalaman dengan hal-hal yang bersifat objektif, realistis dan
menghilangkan verbalisme.
5). Hasil belajar menjadi kepemilikan peserta didik yang bertalian lama.
Sedangkan kekurangan metode eksperimen adalah :
1). Memerlukan peralatan percobaan yang komplit.
2). Dapat menghambat laju pembelajaran dalam penelitian yang memerlukan
waktu yang lama.
3). Menimbulkan kesulitan bagi guru dan peserta didik apabila kurang
berpengalaman dalam penelitian.
4). Kegagalan dan kesalahan dalam bereksperimen akan berakibat pada kesalahan
menyimpulkan.
e.
Penerapan
Pendekatan
Pengajaran
Konstruktivisme
Melalui
Metode
Demonstrasi
Tidak semua materi pelajaran yang dijelaskan guru dapat diterima oleh
semua siswa dengan mudah. Hal ini disebabkan karena tingkat perkembangan
berfikir yang berbeda. Materi pelajaran yang dipelajari akan lebih jelas dan mudah
13
dipahami siswa dengan melihat langsung pada benda, proses, dan hasil belajar
yang ditunjukkkan oleh guru.
Metode demonstrasi ialah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau
mempertunjukkkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang
sedang dipelajari baik sebenarnya maupun tiruan. Metode ini sering disertai
dengan penjelasan lisan. Metode ini baik ini digunakan untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas tentang hal-hal yang berhubungan dengan proses
mengatur sesuatu, proses bekerjanya sesuatu dan lain- lain.
Metode ini juga dapat mencapai hasil yang lebih baik jika dilengkapi
dengan LKS. Karena dengan LKS diharapkan dapat menggali pengetahuanpengetahuan siswa yang sudah ada sebelumnya, dan nantinya dengan demonstrasi
siswa diarahkan oleh guru untuk mempelajari materi yang baru dengan
mengamati demonstrasi yang dilakukan guru sehingga dapat melengkapi
pengetahuan yang sudah ada pada siswa sebelumnya.
Kelebihan metode demonstrasi adalah :
1). Membuat pelajaran menjadi lebih jelas dan konkret.
2). Memudahkan peserta didik memahami bahan pelajaran.
3). Proses pengajaran akan lebih menarik.
4). Merangsang peserta didik untuk lebih aktif.
5). Melalui metode ini dapat disajikan materi peelajaran yang tidak mungkin atau
kurang sesuai dengan metode lain.
Kekurangan metode demonstrasi adalah :
1). Memerlukan ketrampilan guru secara khusus.
2). Fasilitas harus memadai.
3). Memerlukan waktu yang banyak.
4). Memerlukan kesiapan dan perencenaan yang matang.
5. Metode Pemberian Tugas
Menurut Roestiyah N K (1998: 130 ) metode pemberian tugas atau
penugasan diartikan sebagai suatu cara interaksi belajar mengajar yang ditandai
dengan adanya tugas dari guru untuk dikerjakan peserta didik di sekolah ataupun
14
di rumah secara perorangan atau berkelompok. Tugas dapat diberikan dalam
bentuk pertanyaan-pertanyaan tentang mata pelajaran tertentu, atau permasalahan
yang harus dibahas dan dicari penyelesaiannya dengan diskusi. Tugas ini dapat
diberikan dalam bentuk tertulis, lisan, mengumpulkan sesuatu, ataupun
mengadakan observasi.
Teknik pemberian tugas digunakan dengan tujuan agar siswa lebih mantap.
Karena siswa melaksanakan latihan-latihan selama melaksanakan tugas, sehingga
pengalaman siswa dalam mempelajari sesuatu dapat lebih terintegrasi. Hal ini
terjadi karena siswa mendalami situasi atau pengalaman yang berbeda, waktu
menghadapi masalah-masalah baru.
Dengan kegiatan melaksanakan tugas, siswa aktif belajar dan merasa
terangsang untuk meningkatkan belajar yang baik, memupuk inisiatif dan berani
bertanggung jawab sendiri. Dan diharapkan mampu menyadarkan siswa untuk
selalu memanfaatkan waktu senggangnya untuk hal-hal yang menunjang
belajarnya, dengan mengisi kegiatan yang berguna.
Dengan demikian tugas yang diberikan guru diharapkan dapat merangsang
anak untuk aktif belajar baik secara individual maupun kelompok.
6. Evaluasi Pendidikan
Dalam memutuskan hasil pengukuran perlu adanya suatu kriteria
pembanding sehingga dapat diambil suatu keputusan yang merupakan penilaian.
Jadi penilaian dapat diartikan sebagai proses pengambilan keputusan berdasarkan
data hasil pengamatan yang dibandingkan dengan kriteria tertentu.
Menurut Ngalim Purwanto (1990: 3), evaluasi pendidikan adalah
penkasiran/penilaian terhadap pertumbuhan dan kemajuan murid-murid ke arah
tujuan atau nilai-nilai yang telah ditetapkan dalam kurikulum.
Di dalam batasan tersebut tersirat bahwa tujuan evaluasi pendidikan ialah
untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai di mana
tingkat kemampuan dan keberhasilan murid dalam pencapaian tujuan kurikuler.
Disamping itu juga dapat digunakan oleh guru atau supervisor untuk mengukur
15
atau menilai sampai di mana keefektifan pengalaman-pengalaman mengajar,
kegiatan-kegiatan belajar, dan metode-metode mengajar yang digunakan.
7. Kemampuan Kognitif
Kemampuan kognitif adalah kemampuan persepsi, ingatan, dan berfikir
yang sangat berperan dalam pendidikan. Menurut Benjamin S. Bloom dalam M.
Chabib Thoha, M.A (1989 : 28-29) kemampuan kognitif dibagi menjadi 6,
sedangkan dalam penelitian ini kemampuan kognitif yang akan di kembangkan
adalah sebagai berikut:
a.
Pengetahuan, meliputi :
Kemampuan mengingat fakta-fakta
Kemampuan menghafalkan rumus, definisi, prinsip dan prosedur
Kemampuan mendiskripsikan
b.
Pemahaman, meliputi :
Mampu menerjemahkan (pemahaman terjemahan)
Mampu menafsirkan, mendiskripsikan secara verbal
Pemahaman ekstra polusi
Mampu membuat estimasi
c.
Aplikasi, meliputi :
Kemampuan menerapkan materi palajaran dalam situasi baru
Kemampuan menerapkan prinsip atau generalisasi pada situasi baru
Dapat menyusun problem-problem sehingga dapat menerapkan generalisasi
Dapat mengenali hal-hal yang menyimpang dari prinsip dan generalisasi
Dapat mengenali fenomena baru dari prinsip dan generalisasi
Dapat meramalkan sesuatu yang akan terjadi berdasarkan prinsip dan
generalisasi
Dapat menentukan tindakan tertentu berdasarkan prinsip dan generalisasi
Dapat menjelaskan alasan penggunaan prinsip dan generalisasi
d.
Analisis, meliputi :
Dapat memisahkan suatu integritas menjadi unsur-unsur, menghubungkan
antar Unsur dan mengorganisasikan prinsip-prinsip
16
Dapat mengklasifikasikan prinsip- prinsip
Dapat meramalkan sifat-sifat khusus tertentu
Meramalkan kualitas / kondisi
Mengetengahkan pola, tata hubungan materi yang dihadapi
8. Suhu dan Kalor
A. Pengertian Suhu
Panas dingin dapat dirasakan lewat indera peraba tetapi indera peraba
tidak dapat mengukur derajat panas dinginnya suatu zat. Derajat panas dingin
suatu zat disebut suhu.
Sifat Termometrik Zat
Sebagai dasar pengukuran suhu adalah sifat termometrik suatu zat. Yaitu
kepekaan suatu zat terhadap perubahan suhu. Misalnya volume benda bertambah
jika suhunya naik, warna benda dapat berubah jika suhunya berubah dan lainliannya.
Suhu yang diukur sama besarnya dengan skala yang ditunjukkan oleh
termometer pada saat terjadinya keseimbangan termal antara zat dengan
termometer itu.
Alat pengukur suhu adalah termometer yaitu buatan Celcius, termometer
Reamur dan termometer Fahrenheit.
1. Skala Suhu
Untuk menentukan sistem skala suhu digunakan titik acuan bawah dan
titik acuan atas. Titik acuan bawah yaitu titik lebur es pada tekanan 1 atm. Titik
acuan atas adalah suhu titik didih air pada tekanan 1 atm. Pada gambar skala suhu
menunjukkan 0 C = 0 R = 32 F merupakan titik acuan bawah. Dan 100 C =
80 R = 212 F merupakan titik acuan atas. Sehingga berlaku hubungan :
17
tR = [
4
4
tC = ( t F - 32) ] 0 R
5
9
tC = [
5
5
( t F - 32) = t R ] C
9
4
tF = [
9
9
tC + 32 = t R + 32 ] 0 F
5
4
2. Suhu Kelvin
Dalam sistem internasional (SI) satuan suhu adalah kelvin (K). Hubungan
kelvin dengan derajat celcius adalah :
T = tC + 273
Dimana :
T : suhu dalam satuan kelvin (K)
tC : suhu dalam satuan derajat celcius ( C )
B. Pemuaian
Pemuaian adalah peristiwa yang terjadi pada zat jika suhunya naik. Pada
umumnya suatu zat jika suhunya naik akan memuai dan menyusut jika suhunya
turun, kecuali bahan atau zat tertentu pada daerah perubahan suhu dekat dengan
titik lebur.
1. Muai Panjang
Pertambahan panjang suatu benda jika suhunya dinaikkan. Dapat
dinyatakan dengan rumus :
l = l0  T
Dengan l = lt - l0 dan T = T - T0
Keterangan :
l0
: panjang benda mula- mula (m)
l : pertambahan panjang benda (m)
 : koefisien muai panjang ( K 1 atau C 1 )
T : kenaikkan suhu (K atau C )
lt
: panjang benda setelah kenaikkan suhu (m)
T
: suhu akhir benda (K atau C )
18
T0 : suhu awal benda (K atau C )
2. Muai Luas
Pertambahan luas bidang jika suhu dinaikkan. Dapat ditulis dengan rumus:
A =  A0 T
Dengan A = A - A0
Keterangan :
A0 : luas bidang benda mula- mula ( m 2 )
A : pertambahan luas ( m 2 )

: koefisien muai luas ( K 1 atau C 1 )
T : kenaikkan suhu (K atau C )
A : luas bidang setelah kenaikkan suhu ( m 2 )
3. Muai Ruang
Pertambahan volume suatu benda jika suhunya dinaikkan, dirumuskan :
V = V0  T
Dengan V = V - V0
Hubungan antara koefisien muai panjang (  ), koefisien muai luas (  )
dan koefisien muai volume (  ) adalah :
 = 3
 = 2
4. Muai Gas
Ada tiga kemungkinan jika sejumlah gas suhunya dinaikkan, yaitu :
1. volume tetap tekanan berubah
2. tekanan tetap volume berubah
3. tekanan dan volume berubah
C. Kalor
Salah satu bentuk energi yang dapat menyebabkan perubahan suhu suatu
benda disebut kalor.
Kalor yang diperlukan suatu zat untuk menaikkan suhunya adalah :
19
1. Sebanding dengan massa benda
2. Sebanding dengan kenaikkan suhu, dan
dapat dirumuskan :
Q = m c T
Dengan
Q : jumlah kalor yang diserap/dilepas (kalori atau joule)
m : massa benda (gram atau kilogram)
c
: kalor jenis ( kal/ g  c atau joule/ kg c)
T : perubahan suhu ( C atau K)
1 Kalori = 4,184 joule
Jika sejumlah kalor Q menghasilkan perubahan suhu suatu benda sebesar
T , kapasitas kalor C didefinisikan sebagai :
C=
Q
T
Dalam satuan SI, satuan kapasitas kalor adalah kalor/ C
Kalor jenis merupakan karakteristik termal suatu benda. Berdasarkan
persamaan di atas tampak bahwa kalor jenis sama dengan kapasitas kalor
persatuan massa, sehingga satuan SI-nya adalah JKg 1K 1 .
c=
C
m
Dari persamaan di atas dapat dinyatakan rumus umum kalor, yaitu :
Q = m c T = C T
Misalkan benda yang diukur kalor jenisnya bermassa m1 dan memiliki
suhu awal T1 . Suatu zat cair yang bermassa m2 yang suhu awalnya T2
ditempatkan dalam sebuah gelas dan ditempatkan dalam suatu sistem tertutup
yang disebut kalorimeter. Benda m1 dicelupkan ke dalam zat cair dan suhu
campuran ( Ta ) keduanya dicatat. Banyaknya kalor yang diserap oleh benda yang
dingin/suhu rendah (dalam hal ini banda m1 ) Q1 sama dengan banyaknya kalor
yang dilepas oleh benda yang panas/suhu tinggi (zat cair) Q2 . Dengan demikian
diperoleh bahwa :
20
Qterime  Qlepas atau Q1 = Q2
Persamaan ini disebut hukum kekekalan energi kalor atau Asas Black yang
menyatakan bahwa kalor yang diterima sama dengan kalor yang dilepaskan. Bila
dinyatakan dalam massa m, kalor jenis c, dan perubahan suhu T , persamaan
bisa ditulis sebagai :
m1 c1 T1 = m2 c2 T2
m1 c1 ( T1 - Ta ) = m2 c2 ( Ta - T2 )
dimana
m1 : massa benda satu
m2 : massa benda dua
c1 : kalor jenis benda satu
c1 : kalor jenis benda dua
T1 : suhu awal benda satu
T2 : suhu awal benda dua
Ta : suhu campuran
D. Perubahan Wujud Zat
Perubahan wujud dari padat menjadi cair disebut melebur. Suhu dimana
zat mengalami peleburan disebut titik lebur zat. Kejadian yang sebaliknya adalah
membeku, yaitu perubahan wujud dari cair menjadi padat. Suhu dimana zat
mengalami pembekuan disebut titik beku. Ada dua sifat dalam peristiwa melebur
dan membeku yaitu suhu ketika zat padat melebur sama dengan suhu ketika zat
cair membeku bila perubahan berlangsung pada tekanan sama dan suhu zat tidak
berubah ketika sedang melebur atau membeku.
Perubahan wujud dari cair menjadi uap (gas) disebut menguap. Pada
peristiwa penguapan dibutuhkan kalor. Penguapan hanya terjadi pada permukaan
zat cair dan dapat terjadi pada sembarang suhu, sedangkan mendidih merupakan
peristiwa penguapan yang terjadi pada seluruh bagian zat cair dan hanya terjadi
pada suhu tertentu yang disebut titik didih. Proses kebalikan dari menguap adalah
mengembun, yaitu perubahan wujud dari uap menjadi cair.
21
Ketika sedang berubah wujud, baik melebur, membeku, menguap dan
mengembun, suhu zat tetap, walaupun ada pelepasan atau penyerapan kalor.
Dengan demikian ada sejumlah kalor yang dilepaskan atau diserap pada saat
perubahan wujud zat, tetapi tidak digunakan untuk menaikkan atau menurunkan
suhu. Kalor semacam ini disebut kalor laten dan disimbolkan dengan huruf L. Jadi
kalor laten adalah kalor yang dibutuhkan oleh suatu zat untuk mengubah
wujudnya per satuan massa zat.
Dengan demikian dapat dirumuskan :
Q=mL
Ada suatu proses perubahan yang unik yaitu menyublim, yaitu peristiwa
perubahan wujud dari zat padat langsung menjadi uap tanpa melalui wujud cair.
Untuk air peristiwa menyublim terjadi bila es dipanaskan pada tekanan atmosfer
yang rendah yaitu di bawah 0,00602 atm. Peristiwa menyublim ini dimanfaatkan
dalam proses pengawetan makanan yaitu proses pengeringan beku.
E. Perpindahan kalor
1. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan kalor yang tidak diikuti perpindahan massa
atau perpindahan zat.
Atom- atom ujung A yang dipanaskan bergetar dengan hebat. Atom- atom
ini akan memberikan sebagaian energi kepada atom tetangga, hingga atom
tetangga juga bergetar. Atom tetangga ini memberikan sebagian energi kepada
atom tetangga yang lain, begitu seterusnya sehingga perpindahan kalor sampai
diujung B. Jumlah kalor yang berpindah tiap detik dirumuskan :
kAT
Q
=
d
t
Q : banyaknya kalor (J)
A : luas permukaan ( m 2 )
22
k
: konduktivitas termal zat (J/ m 2 K)
t
: waktu (s)
d
: ketebalan dinding (m)
T : perbedaan suhu antara kedua ujung keping (K)
2. Konveksi
Konveksi adalah perpindahan kalor yang mengikuti perpindahan partikelpartikel zat perantara. Perpindahan ini dapat terjadi pada benda alir. Dirumuskan :
Q
= h A T
t
Q : banyaknya kalor (J)
t
: waktu (s)
T : perbedaan suhu antara kedua ujung keping (K)
A
: luas permukaan ( m 2 )
h
: koefisien termal (J/ m 2 sK)
3. Radiasi
Radiasi adalah perpindahan kalor yang tidak memerlukan zat perantara.
Kalor dipancarkan dalam bentuk gelombang elektromagnetik. Sebenarnya tiap
benda memancarkan energi. Tetapi dalam keseimbangan benda tersebut juga
menyerap energi sebesar yang dipancarkan. Energi yang dipancarkan/diserap
benda setiap detik setiap satuan luas dirumuskan :
Q
=  A T 4 = e A T 4
t
Q : banyaknya kalor (J)
t
: waktu (s)
A : luas permukaan ( m 2 )
 : tetapan umum = 5,672. 108 W/ m 2 K 4
e
: emisivitas benda, benda hitam sempurna e = 1
T
: suhu mutlak (K)
23
B. Kerangka Berfikir
Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan di atas maka dapat
dikemukakan kerangka berfikir dalam penelitian ini yaitu kemampuan kognitif
siswa dipengaruhi oleh metode pemberian tugas dan metode pengajaran.
1. Pengaruh Pendekatan Pengajaran Terhadap Kemampuan Kognitif Siswa.
Faktor pemilihan pendekatan pengajaran melalui metode mengajar turut
menentukan keberhasilan siswa dalam belajar. Hal ini karena dengan
menggunakan pendekatan pengajaran melalui metode mengajar yang sesuai
dengan materi maka siswa akan lebih mudah memahami materi yang sedang
disampaikan. Metode mengajar yang sesuai dengan pendekatan konstruktivisme
adalah metode eksperimen dan metode demonstrasi. Pembelajaran fisika dengan
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dengan cara menyajikan
pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkkan kepada siswa suatu proses,
situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari baik sebenarnya maupun tiruan.
Sedangkan dalam pembelajaran fisika dengan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen memungkinkan siswa melakukan percobaan dengan
mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Hal ini
menyebabkan siswa lebih tertarik pada materi yang disampaikan. Dengan
demikian diharapkan siswa pada pembelajaran fisika dengan pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen mempunyai kemampuan kognitif
lebih baik daripada siswa yang dalam proses belajar menggunakan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi.
Dengan adanya perbedaan penerapan pendekatan konstruktivisme melalui
metode eksperimen dan metode demonstrasi mungkin menyebabkan adanya
perbedaan pemahaman konsep yang tertanam dalam diri pribadi siswa. Hal ini
mungkin akan menyebabkan adanya perbedaan kemampuan kognitif siswa.
2. Pengaruh Metode Pemberian Tugas Terhadap Kemampuan Kognitif Siswa.
Keberhasilan siswa dalam belajar, banyak dipengaruhi oleh faktor intern
maupun ekstern. Untuk menunjang keberhasilan siswa maka guru memberikan
tugas kepada siswa, baik tugas individu maupun kelompok. Dengan adanya tugas
tersebut siswa tidak hanya menerima suatu konsep yang diberikan oleh guru,
24
tetapi siswa juga ikut aktif dalam proses belajar, namun siswa yang mendapat
tugas kelompok cenderung lebih mengandalkan kemampuan teman yang lain
dibandingkan dengan siswa yang mendapat tugas secara individu, mereka akan
berusaha menyelesaikan tugas dengan baik.
Dengan adanya perbedaan pemberian tugas yang diberikan kepada siswa
mungkin menyebabkan adanya perbedaan pemahaman konsep yang tertanam
dalam diri pribadi siswa. Hal ini mungkin akan menyebabkan adanya perbedaan
kemampuan kognitif siswa.
3. Interaksi
Pemberian
Tugas,
Pendekatan
Konstruktivisme
Terhadap
Kemampuan Kognitif Siswa.
Interaksi adalah hubungan saling mempengaruhi antara komponen satu
dengan komponen yang lain. Bagaimanapun baiknya penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode mengajar yang digunakan oleh guru, bila tidak
didukung dengan pemberian tugas yang sesuai dengan materi yang disampaikan
maka keberhasilan belajar siswa bisa saja mengalami kegagalan.
Disisi lain bagaimanapun tingginya kemampuan awal yang dimiliki siswa
bila tidak didukung dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui
metode mengajar yang tepat oleh guru dalam menyampaikan materi pelajaran,
maka keberhasilan belajar siswa tidak optimal.
Dengan demikian pemberian tugas dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme melalui metode mengajar secara bersama-sama mempunyai
pengaruh terhadap kemampuan kognitif siswa.
Untuk memperjelas kerangka berfikir di atas berikut ini digambarkan
kerangka berfikir, sebagai berikut :
25
Tugas Individu
Kelompok
Eksperimen
Metode
Eksperimen
Tugas Kelompok
Kemampuan
awal
Kemampuan
Kognitif
Tugas Individu
Kelompok
Kontrol
Metode
Demonstrasi
Tugas Kelompok
C. Pengajuan Hipotesis
Dalam penelitian ini dapat diajukan beberapa hipotesis yaitu sebagai
berikut :
1. Ada
perbedaan
pengaruh
antara
penerapan
pendekatan
pengajaran
konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstasi terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasa Suhu dan Kalor
2. Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan metode pemberian tugas
kelompok dengan tugas individu terhadap kemampuan kognitif siswa pada
pokok bahasan Suhu dan Kalor.
3. Ada interaksi antara pengaruh penggunaan penerapan pendekatan pengajaran
konstruktivisme dan metode pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif
siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
26
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Gemolong kelas X semester
2 tahun pelajaran 2005/2006. SMA Negeri 1 Gemolong dipilih menjadi tempat
penelitian karena jumlah kelas mendukung untuk pelaksanaan penelitian, selain
itu memiliki fasilitas yang memadai untuk penelitian.
2. Waktu Penelitian
Penulis melakukan penelitian ini melalui tiga tahap. Adapun tiga tahap
tersebut sebagai berikut :
a. Tahap persiapan, meliputi : pengajuan judul, pembuatan proposal penelitian,
permohonan perizinan kepada lembaga terkait,
b. Tahap pelaksanaan, meliputi : pengarahan penelitian pada sekolah yang
bersangkutan, instrumen penelitian, pelaksanaan mengajar, pengambilan data,
c. Tahap penyelesaian, meliputi : menganalisis data, menyusun laporan
penelitian dan konsultasi pada pembimbing.
B. Metode Penelitian
1. Pelaksanaan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
eksperimen, dengan rancangan sebagai berikut :
Tabel 1.1 Rancangan Penelitian :
B
B1
B2
A1
A1B1
A1B2
A2
A2 B1
A2 B2
A
27
Keterangan:
A : Penerapan pendekatan pengajaran konstruktivisme
B : Metode pemberian tugas
A 1 : Melalui metode eksperimen
A 2 : Melalui metode demonstrasi
B 1 : Metode pemberian tugas individu
B 2 : Metode pemberian tugas kelompok
Pada penelitian ini digunakan empat kelas, kelas pertama sebagai
kelompok eksperimen dengan perlakuan metode pemberian tugas kelompok dan
diberi
pendekatan
pengajaran
konstruktivisme
dengan
melalui
metode
eksperimen, kelas kedua sebagai kelompok eksperimen dengan perlakuan metode
pemberian tugas individu dan diberi pendekatan pengajaran konstruktivisme
dengan melalui metode eksperimen, kelas ketiga sebagai kelompok kontrol
dengan perlakuan metode pemberian tugas kelompok dan diberi pendekatan
pengajaran konstruktivisme dengan melalui metode demonstrasi serta kelas
keempat sebagai kelompok kontrol dengan perlakuan metode pemberian tugas
individu dan diberi pendekatan pengajaran konstrktivisme dengan melalui metode
demonstrasi.
2. Variabel Penelitian
Penelitian ini terdiri dari dua variabel yaitu :
a. Variabel bebas: penggunaan pendekatan konstruktivisme dan pemberian
tugas.
1). Pendekatan Konstruktivisme
a). Definisi operasional : Pendekatan kontruktivisme adalah suatu kegiatan
yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya dan
guru membantu membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari
kejelasan siswa atau peran guru dalam hal ini sebagai mediator dan
fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan baik.
b). Skala Pengukuran : Nominal
28
c). Kategori : Penggunaan metode eksperimen dan metode demonstrasi.
2). Pemberian Tugas
a). Definisi Operasional : Pemberian tugas adalah suatu cara interaksi
belajar mengajar yang ditandai dengan adanya tugas dari guru untuk
dikerjakan peserta didik di sekolah maupun di rumah secara
perseorangan atau berkelompok.
b). Skala pengukuran : nominal
c). Kategori : Pemberian tugas kelompak dan individu
b. Variabel Terikat adalah kemampuan kognitif
Definisi operasional : Kemampuan kognitif adalah kemampuan persepsi,
ingatan dan berfikir yang sangat berperan dalam pendidikan yang meliputi
pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, evaluasi dan sintesis.
Skala Pengukuran : Interval
C. Penetapan Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua siswa kelas X SMA N I
Gemolong tahun pelajaran 2005/ 2006, yang terdiri dari 7 kelas yaitu kelas X A
sampai kelas X G.
2. Sampel
Dari populasi tersebut diambil empat kelas sebagai subyek penelitian,
yaitu kelas XA, XB, XC, dan XD. Siswa pada masing-masing kelas dipilih secara
acak untuk diberi perlakuan yang berbeda yaitu metode pengajaran eksperimen
dan demonstrasi serta dilengkapi dengan pemberian tugas kelompok maupun
individu.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Tes
Teknik tes menggunakan tes yang dibuat sebagai instrumen yang harus
memenuhi persyaratan. Baik dalam hal derajat kesukaran, daya pembeda,
29
reliabilitas dan validitasnya. Sebelum digunakan tes harus diujicobakan dulu pada
subyek di luar populasi.
Teknik Dokumentasi
Suharsimi Arikunto (1998: 236) menyatakan bahwa “metode dokumentasi
yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip,
buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan
sebagainya”.
Metode ini digunakan dalam penelitian untuk mengetahui kemampuan
awal kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Adapun jenis dokumentasi
yang diperlukan dalam penelitian ini adalah nilai Fisika semester 1 untuk kelas X.
E. Instrumen Penelitian
Sebelum tes digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu diadakan uji coba
soal untuk mengetahui kualitas soal yang digunakan. Untuk mendapatkan
perangkat tes yang berkualitas, syarat yang harus dipenuhi adalah tingkat
kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas.
a). Tingkat Kesulitan dan Derajat Kesulitan
Soal yang baik secara uji statistik adalah soal yang mempunyai taraf
kesukaran yang memadai, dalam arti soal tidak terlalu sukar dan tidak terlalu
mudah, dengan tujuan soal tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Untuk
mengetahui taraf kesukaran dari masing-masing item soal digunakan rumus :
P
B
JS
dimana :
P
: Derajat kesulitan
B
: jumlah siswa yang menjawab soal dengan benar
JS : jumlah seluruh siswa peserta tes
Klasifikasi derajat kesukaran soal tes adalah sebagai berikut :
-
Item dikategorikan sukar jika 0,10 < P  0,30
-
Item dikategorikan sedang jika 0,30 < P  0,70
30
-
Item dikategorikan mudah jika 0,70 < P  1,00
Tingkat kesukaran item yang dipakai dalam penelitian ini adalah 0,30 < P 
0,70, yaitu soal dengan kriteria sedang.
b). Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan masing-masing soal untuk
membedakan antara siswa yang pandai dengan siswa yang bodoh, untuk
mengetahui daya pembeda dari masing-masing item tes digunakan rumus :
D
BA BB

JA JB
dimana :
D
: daya pembeda
JA : banyak peserta kelompok atas
JB : banyak peserta kelompok bawah
BA : banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal dengan benar
BB : banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar
Penggolongan daya pembeda:
0,00 < P  0,20 = kurang
0,20 < P  0,40 = cukup
0,40 < P  0,70 = baik
0,70 < P  1,00 = baik sekali
Dalam penelitian ini, kriteria daya pembeda yang dipakai 0,20 – 0,70
yaitu soal yang cukup dan baik.
c). Validitas Tes
Perangkat tes dikatakan valid apabila tes tersebut dapat mengukur apa
yang hendak dan seharusnya diukur. Sedangkan validitas adalah suatu ukuran
yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen.
Untuk mengetahui validitas tes tersebut digunakan teknik analisis butir soal
dengan korelasi point biserial :
rpbis 
M p  Mt
S1
p
q
31
rpbis : koefisien korelasi point biserial
MP : rerata skor dari subyek yang menjawab betul item yang dicari
validitasnya.
M t : rerata skor total.
S1
: standar deviasi dari skor total
p
: proporsi siswa yang menjawab benar
q
: proporsi siswa yang menjawab salah (q =1-p)
(Suharsimi Ari Kunto, 2001: 79)
Kriteria validitas soal adalah sebagai berikut:
rpbis > rtabel : soal valid
rpbis  rtabel : soal invalid (drop)
d). Reliabilitas Test
Reliabilitas adalah keajegan suatu tes yang apabila diteskan kepada
subyek yang sama dalam waktu yang berlainan atau kepada subyek yang
tidak sama dalam waktu yang sama. Untuk menghitung reliabilitas test
digunakan rumus K–R20 dengan persamaan sebagai berikut :
2
 n  S   pq 
r11  


S2
 n  1 

Keterangan:
r11
: reliabilitas tes secara keseluruhan
n
: banyaknya item
p
: proporsi siswa yang menjawab item dengan benar
q
: proporsi siswa yang menjawab item dengan salah (q =1-p)
 pq : jumlah hasil perkalian antara p dan q
S
: standar deviasi dari tes ( standar deviasi adalah akar varians)
Untuk rumus varians total :
 x
 x  N
2
2
S2 
N
32
Dimana :
X : skor
N : banyaknya skor
(Suharsimi Ari Kunto, 2001: 101)
Kriteria reliabilitas adalah :
r11 < 0,20
: sangat rendah
0,20 < r11  0,40 : rendah
0,40 < r11  0,60 : agak rendah
0,60 < r11  0,80 : cukup
0,80 < r11  1,00 : tinggi
Kriteria reliabilitas : soal dikatakan reliabel jika r11 > rtabel
F. Teknik analisis Data
1. Uji Kesamaan Keadaan Awal
Untuk menguji kesamaan keadaan awal kedua kelompok sampel
digunakan uji t dua pihak.
Sedang hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut :
H0 : Tidak ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelompok kontrol dan
kelompok eksperimen sebelum diberi perlakuan (1= 2)
H1 : Ada perbedaan keadaan awal siswa antara kelompok kontrol dan kelompok
eksperimen sebelum diberi perlakuan (1  2).
Adapun teknik uji yang digunakan adalah uji-t dua ekor, dengan rumus :
t=
X1  X 2
(Sudjana, 2002: 239)
1
1
S

n1 n 2
dengan :
(n1  1) s1  (n2  1) s 2
n1  n2  2
2
s2 =
2
33
dimana :
X 1 : skor rata-rata keas eksperimen
X 2 : skor rata-rata kelas kontrol
n1 : jumlah sampel kelas eksperimen
n2 : jumlah sampel kelas kontrol.
S12 : varians kelas eksperimen.
S22 : varians kelas kontrol.
S
: Simpangan baku
Kriteria :
H0 diterima jika –ttabel  thitung  ttabel
H0 ditolak jika thitung > ttabel atau thitung < -ttabel
2. Uji Prasyarat Analisis
Uji Normalitas
Uji normalitas adalah uji untuk mengetahui apakah sampel penelitian
berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak.
Dengan Hipotesis :
H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal
H1 : Sampel berasal dari populasi yang tidak berdistribusi normal
Langkah-langkah :
1) Pengamatan X1, X2, X3, ……., Xn dijadikan bilangan baku Z1, Z2, Z3,
……, Zn menggunakan rumus berdasarkan ubahan x dan SD merupakan
rata-rata (x) dan simpangan (SD) maka Z dirumuskan :
Z1 
x1  x
SD
2) Data dari sampel tersebut kemudian diurutkan dari skor terendah sampai
skor tertinggi.
34
3) Untuk tiap bilangan baku dengan menggunaan daftar distribusi normal
kemudian dihitung peluang.
4) Menghitung perbandingan antara nomor subyek 1 dengan subyek n yaitu :
S( Z1 ) 
i
n
5) Mengambil selisih antara F(Z1) – S(Z1) dan ditentukan harga mutlaknya.
6) Mengambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih
tersebut sebagai Lo.
Untuk pengujian hipotesis digunakan rumus sebagai berikut :
Lo = IF (Z1) – S (Z1) Imaks
Signifikasi 5% (Ltabel) sampel berasal dari populasi yang normal atau tidak
maka menggunakan uji Barttlet.
Uji Homogenitas Variansi
Untuk pengujian homogenitas digunakan uji Barttlet.
Adapun langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
1) Menghitung
SS j  X j 
S2j 
(X j ) 2
nj
SS j
n j 1
MSer 
 SS
j
F
2) Statistik Uji
2 

2,303
F log MS er   F j log S 2j
C
C  1
1  1 1 
 
3(k  1)  Fj F 
Fj = nj – 1
Dimana :
nj
: cacah pengukuran pada sampel ke-j
F
: derajat bebas untuk MSerror = N – k

35
: 1, 2, 3, ……., k
J
Fj : nj – 1 = derajat bebas untuk S2j
k
: cacah populasi
3) Hasil  2 dibandingkan dengan  2
(1 - )( k-1 ).
Jika  2 <  2
(1 - )( k-1 ) maka
H0 diterima, berarti populasinya homogen, tetapi jika  2   2
(1 - )( k-1 )
maka Ho ditolak, berarti populasi tidak homogen.
Pengujian Hipotesis
a. Analisis Variansi Dua Jalan Dengan Frekuensi Sel Tak Sama
Anava digunakan untuk menguji signifikansi perbedaan efek dua faktor
A dan B serta interaksi terhadap variabel terikat.
1) Model
Xijk :  + I + j + ij + ijk
Xijk : pengamatan ke-k di bawah faktor A kategori i, faktor B kategori j.
i
: 1, 2, 3, …, p ; p : cacah kategori A
j
: 1, 2, 3, …, q ; p : cacah kategori A
k
: 1, 2, 3, …., n ; n : cacah kategori pengamatan setiap sel

: rerata besar
I
: efek faktor A kategori i
j
: efek faktor B kategori j
ij : interaksi antara faktor A dan B
ijk
: Galat yang terdistribusi normal
2) Hipotesis
H0A
: i = 0 untuk semua harga i
: Tidak ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan
pengajaran konstruktivisme melalui metode eksperimen dan
metode demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada
pokok bahasan Suhu dan Kalor.
H1A
: i  0 untuk paling sedikit satu harga i.
36
: Ada perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan
pengajaran konstruktivisme melalui metode eksperimen dan
metode demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada
pokok bahasan Suhu dan Kalor.
: j = 0 untuk semua harga j.
H0B
: Tidak ada perbedaan pengaruh antara pemberian tugas individu
dan kelompok terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok
bahasan Suhu dan Kalor.
: j  0 untuk paling sedikit satu harga j.
H1B
: Ada perbedaan pengaruh antara pemberian tugas Individu dan
kelompok terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok
bahasan Suhu dan Kalor.
H0AB
: ij = 0 untuk semua harga ij.
: Tidak ada interaksi antara pengaruh penggunaan penerapan
pendekatan pengajaran konstruktivisme dan pemberian tugas
terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu
dan Kalor.
H1AB
: ij  0 untuk paling sedikit satu harga ij.
: Ada interaksi antara pengaruh penggunaan penerapan pendekatan
pengajaran konstruktivisme dan pemberian tugas terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
3) Komputasi
a). Tabel data
B
B1
B2
A1
A1B1
A1B2
A2
A 2 B1
A 2 B2
A
37
Keterangan :
A
: Penerapan pendekatan pengajaran konstruktivisme
B : Metode pemberian tugas
A 1 : Melalui metode eksperimen
A 2 : Melalui metode demonstrasi
B 1 : Metode pemberian tugas individu
B 2 : Metode pemberian tugas kelompok
b). Tabel Jumlah AB
B
B1
B2
Total
A1
A1B1
A1B2
A1
A2
A2B1
A2B2
A2
Total
B1
B2
G
A
A1 = A1B1 + A1B2 dan A2 = A2B1 + A2B2
B1 = A1B1 + A2B1 dan B2 = A1B2 + A2B2
G = A1 + A2 = B1 + B2
c). Rerata Harmonik
nh 
pq
n
ij
1
n ij

pq
1
1
1

 .....
n 11 n 12
n pq
d). Komponen Jumlah Kuadrat
(1) 
G2
pq
(2) = tidak perlu
Ai' 2
(3) =
q
e). Jumlah Kuadrat
SSa = n h { (3) – (1) }
(4) 
B 'j2
p
(5)   ABij2
38
SSb = n h { (4) – (1) }
SSab = n h { (5) – (4) – (3) + (1) }
SSer =
 SS
ij
SStot = n h { (5) – (1) } +
 SS
ij
f). Derajat Kebebasan
dfa = p -1
dfb = q -1
dfab = (p –1) (q-1)
dferr = pq (n –1) = N - pq
dftot = N –1
g). Rerata Kuadrat
MSa = SSa / dfa
MSb = SSb / dfb
MSab = SSab / dfab
MSerr = SSerr / dferr
h). Statistik Uji
Fa
= MSa / MSa
Fab = MSab / MSab
Fab = MSab / MSab
i). Daerah Kritik
Fa  F  ; p –1, N-pq
Fb  F  ; q –1, N-pq
Fab  F  ; (p –1)(q –1), N-pq
j). Keputusan Uji
H01 ditolak jika Fa  F  ; p –1, N-pq
H02 ditolak jika Fb  F  ; q –1, N-pq
H03 ditolak jika Fab  F  ; (p –1)(q –1), N-pq
39
k). Rangkuman Uji
Sumber variansi
SS
df
MS
F
P
A
SSa
dfa
MSa
Fa
<  atau >
B
SSb
dfb
MSb
Fb
<  atau >
Interaksi (AB)
SSab
dfab
MSab
Fab
<  atau >
Kesalahan Total
SSerr
dferr
MSerr
Efek Utama
b. Uji Komparasi Ganda
Untuk mengetahui perbedaan rerata setiap pasang baris, setiap pasang
kolom dan setiap pasang sel diadakan komparasi ganda dengan menggunakan
metode Scheffe, karena metode tersebut akan menghasilkan cacah beda rerata
signifikan yang paling sedikit.
Komparasi rerata antar baris
FA 
X
i
 X j

2
 1
1 
MS err 


 n i n j 
Komparasi rerata antar kolom
FB 
X
i
 Xj

2
 1
1 
MS err 


 n i n  j 
Komparasi rerata antar sel
FAB 
X
ij
 X kl

2
1
1 
MS err  

 n ij n kl 
dimana:
X i
= rerata pada baris ke i
X j
= rerata pada baris ke j
X i
= rerata pada kolom ke i
40
Xj
= rerata pada kolom ke j
X ij
= rerata pada sel ke ij
X kl
= rerata pada sel ke kl
ni
= cacah observasi pada baris ke i
nj
= cacah observasi pada baris ke j
n.i
= cacah observasi pada kolom ke i
n.j
= cacah observasi pada kolom ke j
nij
= cacah observasi pada sel ke ij
nkl
= cacah observasi pada sel ke kl
Daerah Kritik
Komparasi antar baris
DKA : FA  F (p-1) F ; p-1, N-pq
Komparasi antar kolom
DKB : FB  F (q-1) F ; p-1, N-pq
Komparasi antar sel
DKAB : FAB  F (p-1)(q-1) F ; (p-1)(q-1), N-pq
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
Dalam penelitian ini terdapat tiga variabel yaitu dua variabel bebas dan
satu variabel terikat. Variabel bebas pertama adalah metode mengajar dan variabel
bebas kedua adalah pemberian tugas, sedangkan variabel terikatnya adalah
kemampuan kognitif siswa pada Pokok Bahasan Suhu dan Kalor siswa kelas X
Semester 2 SMA N 1 Gemolong Tahun Ajaran 2005/2006.
1. Data Nilai Kemampuan Awal
Kemampuan awal digunakan untuk mengetahui apakah memenuhi
prasyarat dalam analisis. Dalam penelitian ini kemampuan awal berasal dari nilai
Ulangan Umum kelas X semester I, karena penelitian dilaksanakan pada semester
II. Jumlah siswa kelompok eksperimen adalah 79 siswa terbagi dalam dua kelas
yaitu kelas XC dan kelas XA. Sedangkan untuk kelas kontrol berjumlah 80 siswa
terbagi juga dalam dua kelas, yaitu kelas XB dan kelas XD. Untuk lebih jelasnya
kemampuan awal siswa dapat dilihat pada tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1. Data Nilai Kemampuan Awal Siswa
K Eksperimen
K Kontrol
XC
XA
XB
XD
Jumlah Siswa
40
39
40
40
Mean
66.1250
66.4103
67.2500
67.8250
Nilai Tertinggi
76
76
77
78
Nilai Terendah
60
59
62
56
Standar Deviasi
3.9105
4.4940
4.2230
5.0833
Variansi
15.2917
20.1957
17.8333
25.8404
Modus
64
64
66
67
Median
65.5
65
66.5
67.5
42
2. Nilai Kemampuan Kognitif Siswa
Kemampuan kognitif siswa pada Pokok Bahasan Suhu dan Kalor untuk
kelas X Semester 2 SMAN 1 Gemolong adalah tertulis pada tabel 4.2 sebagai
berikut :
Tabel 4.2. Data Nilai Kemampuan Kognitif Siswa Pokok Bahasan Suhu dan Kalor
K Eksperimen
K Kontrol
XC
XA
XB
XD
Jumlah Siswa
40
39
40
40
Mean
74.0250
71.1026
70.0000
69.0250
Nilai Tertinggi
83
83
80
80
Nilai Terendah
60
60
57
57
Standar Deviasi
4.8436
6.1078
5.8922
5.5631
Variansi
23.4609
37.3050
34.7179
30.9481
Modus
77
70
73
70
Median
73
70
70
70
B. Hasil Pengujian Prasyarat Analisis
1. Uji Normalitas
Uji normalitas untuk mengetahui apakah sampel berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Hasil uji normalitas data penelitian dengan menggunakan
metode Lilliefors disajikan dalam tabulasi berikut :
Tabel
4.3. Harga Statistik Uji Beserta Harga Kritik Pada Uji Normalitas
Kemampuan Awal Siswa
Lobs
N
Ltabel (N,0.05)
- Kelas XC
0.1141
40
0,1401
- Kelas XA
0.1345
39
0,1419
- Kelas XB
0.1239
40
0,1401
- Kelas XD
0.0636
40
0,1401
Perlakuan
1. Kelompok Eksperimen
2. Kelompok Kontrol
43
Dari tabel 4.3 di atas harga statistik uji Lobs dari masing-masing kelompok
tidak melebihi harga kritiknya. Sehingga diperoleh keputusan bahwa Ho diterima.
Ini berarti bahwa sampel-sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Hasil selengkapnya lihat lampiran 10.
Tabel 4.4
Harga Statistik Uji Beserta Harga Kritik Pada Uji Normalitas Nilai
Kemampuan Kognitif Siswa
Lobs
N
Ltabel (N,0.05)
- Kelas XC
0.1209
40
0,1401
- Kelas XA
0.1219
39
0,1419
- Kelas XB
0.1050
40
0,1401
- Kelas XD
0.1286
40
0,1401
Perlakuan
1. Kelompok Eksperimen
2. Kelompok Kontrol
Dari tabel 4.4 di atas harga statistik uji Lobs dari masing-masing kelompok
tidak melebihi harga kritiknya. Sehingga diperoleh keputusan bahwa Ho diterima.
Ini berarti bahwa sampel-sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Hasil selengkapnya lihat lampiran 17.
2. Uji Homogenitas
Hasil uji homogenitas pada nilai
kemampuan awal diperoleh harga
2 hit = 2.89 yang tidak melebihi harga 2 pada taraf signifikansi 5 %, dk = 3 yaitu
2tab = 7.815, karena 2 hitung <  2 tabel berarti sampel berasal dari populasi yang
homogen. Hasil selengkapnya lihat lampiran 14.
Uji homogenitas pada prestasi belajar Fisika diperoleh harga 2hit= 2.29
yang tidak melebihi harga
2 pada
taraf
signifikansi
5 % dk = 3 yaitu
2tab = 7.815, berarti sampel berasal dari populasi yang homogen. Hasil
selengkapnya lihat lampiran 21.
44
3. Uji Kesamaan Kemampuan Awal Siswa
Hasil pengujian kesamaan kemampuan awal siswa dengan menggunakan
uji-t dua ekor diperoleh thitung antara kelas kontrol dan kelas eksperimen
adalah -1,81. Sedangkan t0,975;157 = 1.96. Hal ini menunjukkan bahwa hipotesis nol
(Ho) diterima. Jadi tidak ada perbedaan kemampuan awal antara siswa kelas
eksperimen dan siswa kelas kontrol.
C. Hasil Pengujian Hipotesis
1.Analisis Variansi Dua Jalan
Dari hasil uji normalitas dan uji homogenitas dapat diketahui bahwa
prasyarat uji telah terpenuhi, maka data yang diperoleh dapat dianalisis dengan
anava dua jalan.
Dari hasil uji Anava dua jalan (2x2) diperoleh harga Fa = 11.721;
Fb = 4.781; dan Fab = 1.194. Harga Ftabel pada taraf signifikansi 5% dengan dk =
1 dan jumlah kesalahan (error) 155 atau F(0,05;
1.155)
diperoleh harga 3.91. Hasil
pengujian ini terangkum dalam tabel 4.5. sebagai berikut :
Tabel 4.5. Rangkuman Hasil Analisis Variansi 2 Jalan Isi Sel Tidak Sama
Sumber
SS
df
MS
Fobs
F
P
Baris (A)
370.04083
1
370.04083
11.721
3.91
< 0.05
Kolom (B)
150.93255
1
150.93255
4.781
3.91
< 0.05
Interaksi (AB)
37.68350
1
37.68350
1.194
3.91
> 0.05
Kesalahan
4893.53974
155
31.57122
-
-
-
Total
5452.19663
158
-
-
-
-
Efek Utama
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 22.
Keputusan uji dari hasil analisis ini adalah berupa kesimpulan hasil pengujian
hipotesis, yakni :
a. Fa = 11.721 > F0.05; 1.155 = 3.91 maka Ho1 ditolak .
Keputusan uji tolak H01. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pengaruh antara penggunaan pendekatan pengajaran konstruktivisme melalui
45
metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap kemampuan kognitif
siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
b. Fb = 4.781 > F0.05; 1.155 = 3.91 maka H02 ditolak.
Keputusan uji tolak H02. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
pengaruh antara metode pemberian tugas individu dan kelompok terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
c. Fab = 1.194 < F0.05; 1.155 = 3.91 maka H03 diterima.
Keputusan uji tolak H01. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara
pengaruh penggunaan penerapan pendekatan pengajaran konstruktivisme dan
metode pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok
bahasan Suhu dan Kalor.
2. Uji Komparasi Ganda
Dari hasil analisis statistik Anava dimana Ho ditolak maka untuk
mengetahui beda reratanya digunakan uji komparasi ganda dengan menggunakan
metode Scheffe. Selanjutnya data yang telah dihitung terangkum dalam tabulasi
sebagai berikut :
Tabel 4.6. Rangkuman Uji Komparasi Ganda
Rerata
i Xj 
Fij 
1 1
MS er (  )
ni n j
Harga
X
Komparasi
Rerata
Statistik Uji
Xi
Xj
P
Kritik
A1 vs A2
72.58228 69.51250
11.864
3.91
< 0.05
B1 vs B2
72.01250 70.05063
4.846
3.91
< 0.05
Hasil selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 23.
Dari tabel 4.6. di atas dapat disimpulkan hasil uji beda rerata sebagai
berikut :
1.
FA12 = 11.864 > F0.05; 1.155 = 3.91 maka Ho DITOLAK.
46
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara
baris A1 (Pendekatan Konstruktivisme dengan metode eksperimen) dengan
baris A2 (Pendekatan Konstruktivisme dengan metode demonstrasi).
2.
FB12 = 4.846 > F0.05; 1.155 = 3.91 maka Ho DITOLAK.
Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rerata yang signifikan antara
kolom B1 (metode pemberian tugas indvidu) dan kolom B2 (metode
pemberian tugas kelompok).
D. Pembahasan Hasil Analisis
1. Fa = 11.721  F0,05;1.155 = 3.91
Hal ini berarti terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara penggunaan
pendekatan pengajaran konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode
demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan
Kalor. Dengan melihat perbedaan reratanya maka pembelajaran menggunakan
metode eksperimen dan melalui metode demonstrasi maka dapat dikemukakan
bahwa metode eksperimen ternyata memberikan hasil yang lebih baik
dibanding dengan menggunakan metode demonstrasi, hal ini dikarenakan pada
metode eksperimen siswa dapat secara langsung melakukan percobaan sendiri,
mengamati suatu obyek dan menarik kesimpulan sendiri sehingga akan
mempermudah dalam pembuktian suatu konsep fisika. Dengan cara melakukan
eksperimen ini, siswa akan lebih percaya atas kebenaran atau kesimpulan
berdasarkan percobaannya sendiri. Selain itu dengan metode ini diharapkan
siswa akan lebih memahami arti konsep fisika yang sesungguhnya sehingga
tidak dapat menimbulkan verbalisme dalam suatu konsep fisika. Sedangkan
dengan metode demonstrasi siswa hanya dapat melihat peragaan saja tanpa
mempunyai ide atau gagasan untuk menemukan suatu permasalahan yang
timbul. Maka dari itu dari kedua metode di atas, terbukti bahwa pembelajaran
dengan metode eksperimen dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa
dibanding dengan metode demonstrasi.
47
2. Fb = 4.781 > F0,05;1.155 = 3.91
Hal ini berarti terdapat perbedaan pengaruh antara metode pemberian tugas
individu dan kelompok terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok
bahasan Suhu dan Kalor. Dengan melihat perbedaan reratanya penggunaan
pembelajaran dengan pemberian tugas individu dan tugas kelompok, maka ini
menunjukkan bahwa siswa yang diberi pembelajaran dengan pemberian tugas
individu akan lebih baik prestasinya dibanding siswa yang diberi pembelajaran
dengan tugas kelompok. Karena siswa yang diberi tugas secara individu, akan
berusaha mengerjakan dengan dirinya sendiri, dan tidak ketergantungan dengan
orang lain. Disamping itu siswa yang diberikan tugas secara individu akan
terangsang untuk meningkatkan belajar yang lebih baik, memupuk inisiatif dan
berani bertanggung jawab sendiri. Sehingga dengan beban pemberian tugas
secara individu, siswa akan merasa terbebani dan lama-kelamaan akan merasa
bahwa tugas individu adalah beban dan tanggung jawab pribadi, sehingga siswa
dengan sendirinya akan tetap berusaha untuk mengerjakan tugas-tugas dengan
sebaik-baiknya, karena tugas itu merupakan tugas untuk dirinya. Berbeda
dengan siswa yang diberikan tugas secara kelompok, siswa dalam satu
kelompok akan merasakan bahwa tugas yang diberikan kepadanya adalah tugas
bukan hanya untuk dirinya, tetapi untuk seluruh siswa satu kelompok. Dengan
demikian beberapa siswa akan saling ketergantungan dan juga ada beberapa
siswa yang hanya ikut kelompok tetapi tidak mengerjakan, karena tanpa
mengerjakanpun sudah ada temannya yang mau mengerjakan tugas itu.
3. Fab = 1.194 < F0,05;1.155= 3.91
Hal ini berarti tidak terdapat interaksi antara penggunaan metode
pengajaran dan model pemberian tugas terhadap kemampuan kognitif siswa
pada Pokok Bahasan Suhu dan Kalor. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa
kemampuan
kognitf
siswa
yang
diajar
dengan
pendekatan
konstruktivisme melalui metode eksperimen selalu lebih baik dibanding
dengan metode demonstrasi baik pada siswa yang diberikan tugas secara
individu maupun tugas kelompok. Disamping Itu, kemampuan kognitif pada
48
siswa yang diberi tugas secara individu selalu lebih baik disbanding dengan
siswa yang diberi tugas kelompok, baik yang diberi pengajaran dengan metode
eksperimen maupun demonstrasi.
Penggunaan metode mengajar yang tepat yang sesuai dengan materi
yang diajarkan akan memberikan hasil kemampuan kognitif siswa yang
optimal. Selain itu pemberian tugas juga akan mempengaruhi kemampuan
kognitif siswa. Pemberian tugas secara individu pada siswa yang diberikan
metode pengajaran dengan eksperimen akan lebih baik, karena siswa akan
mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih tinggi.
Penggunaan metode yang tepat dan model pemberian tugas yang
sesuai akan mengakibatkan meningkatnya kemampuan kognitif siswa,
sebaliknya kurang tepatnya metode mengajar dan model pemberian tugas yang
tidak sesuai justru akan menurunkan kemampuan kognitif siswa.
49
BAB V
KESIMPULAN
IMPLIKASI DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data yang berhasil diperoleh dan dianalisis seperti di muka,
maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan pengaruh antara penggunaan pendekatan pengajaran
konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor. Siswa yang
mendapatkan dengan metode eksperimen menghasilkan prestasi yang lebih
baik dibandingkan siswa yang mendapatkan pengajaran Fisika dengan
menggunakan metode demonstrasi.
2. Terdapat perbedaan pengaruh antara pemberian tugas individu dan kelompok
terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor.
Siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan tugas individu mempunyai
kemampuan kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang
mendapatkan pembelajaran dengan tugas secara kelompok.
3. Tidak terdapat interaksi antara pengaruh penggunaan penerapan pendekatan
pengajaran konstruktivisme dan pemberian tugas terhadap kemampuan
kognitif siswa pada pokok bahasan Suhu dan Kalor
B. Implikasi
1. Implikasi Teoritis
Berdasarkan hasil penelitian, maka secara teoritis hasil penelitian tersebut
dapat berguna sebagai berikut :
1. Memperkuat teori belajar bahwa salah satu faktor yang sangat penting dalam
mempengaruhi prestasi belajar adalah metode belajar yang tepat.
2. Memperkuat teori belajar bahwa untuk meningkatkan prestasi belajar Fisika
adalah dengan memberikan model pemberian tugas sesuai.
3. Merupakan pijakan bagi penelitian berikunya.
50
2. Implikasi Praktis
Hasil penelitian secara praktis adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran menggunakan metode eksperimen dan demonstrasi disertai
model pemberian tugas yang sesuai dapat digunakan untuk meningkatkan
mutu pembelajaran dalam proses belajar mengajar Fisika pada Pokok Suhu
dan Kalor.
2. Penggunaan metode eksperimen dan demonstrasi disertai pemberian tugas
yang sesuai dapat digunakan sebagai variasi dan model strategi belajar
mengajar yang efektif sehingga diharapkan kualitas pembelajaran Fisika dapat
ditingkatkan.
3. Penggunaan metode eksperimen dan demonstrasi dan model pemberian tugas
dapat digunakan sebagai alternatif pilihan metode mengajar Fisika yang
efektif, sehingga meningkatkan kemampuan kognitif siswa pada konsep Suhu
dan Kalor.
C. Saran
Sehubungan dengan kesimpulan dan implikasi hasil penelitian serta dalam
usaha lebih mengembangkan dan meningkatkan proses belajar mengajar di
sekolah, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Kepada Kepala Sekolah atau lembaga penyelenggaraan pendidikan diharapkan
selalu memperhatikan beberapa sarana atau fasilitas pembelajaran yang dapat
menunjang proses belajar mengajar Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), khususnya
Fisika sehingga tujuan pembelajaran tercapai secara maksimal.
2. Kepada siswa hendaknya selalu mempersiapkan diri sebelum pelajaran
dimulai sehingga dapat tercapai proses belajar mengajar yang baik.
3. Kepada guru bidang studi IPA, khususnya Fisika agar menggunakan metode
mengajar yang tepat serta dapat memvariasikan model pemberian tugas
sehingga siswa tidak merasa bosan dan selalu termotivasi untuk belajar
51
DAFTAR PUSTAKA
Budiyono. 2004. Statistik Dasar Untuk Penelitian. Surakarta : UNS Press.
Chabib Thoha, M. 1990. Teknik Evaluasi Pendidikan. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kebijaksanaan Umum Kurikulum
Berbasis Kompetensi Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta : Depdiknas
Foster, Bob. 2004. Terpadu Fisika SMA Jilid I B Untuk Kelas X. Jakarta :
Erlangga.
Herbert Druxes, Fritz Siemsien, Dan Gernor Born. 1986. Kompendium Didaktik
Fisika. (diterjemahan oleh: Soeparmo). Bandung : Remaja Karya.
Marthen, Kanginan. 2004. Fisika Untuk SMA Kelas X Semester 2. Jakarta :
Erlangga.
Nana Sudjana. 1996. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung : Remaja
Rosdakarya
Ngalim Purwanto. 1988. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran.
Bandung : Remadja Karya.
Ngalim Purwanto. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Paul Suparno. 1996. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta :
Kanisius
Paul Suparno. 2001. Teori Perkembangan Kognitif Jean Piaget. Yogyakarta :
Kanisius
Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Bandung : Raja
Grafindo Persada.
Roestiyah. N.K. 1982. Didaktik Metodik. Jakarata : Bina Aksara.
Roestiyah. N.K. 1998. Strategi Belajar Mengajar. Jakarata : PT Rineka Cipta.
Slameto. 1991. Proses Belajar Mengajar Dalam Sistem Kredit Semester (SKS).
Jakarta : Rineka Cipta.
Sudjana. 2002. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito
Suharsimi Arikunto. 2003. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Rineka
Cipta.
Download