Yohanes 10:40-42 - GRII Kelapa Gading

advertisement
Khotbah Minggu (14 April 2013)
Ringkasan Khotbah
GRII Kelapa Gading
Pengkhotbah : Pdt. Benyamin F. Intan Tema : …....….…..……………...….........
Nas Alkitab
: .............................................................................................................
669/708
Tahun ke-14
Tergeraklah Hatinya oleh Belas Kasihan
Pdt. Billy Kristanto, Th.D.
07 April 2013
Lukas 10:25-37
Dalam ayat 25 dikatakan satu gambaran
sederhana, bahwa ada satu gambaran negatif
tentang seorang ahli Taurat, tentang seorang
yang datang kepada Yesus yang melontarkan
satu pertanyaan. Dengan jelas Lukas mencatat
motivasi, bahwa orang ini bertanya bukan
ingin mengetahui dan mengenal kebenaran,
bukan dalam satu sikap kerendahan hati,
tetapi datang untuk mencobai Yesus. Di sini
kita juga melihat, bahwa alkitab tertarik bukan
hanya melihat secara fenomena, ketika ada
orang yang bertanya lalu senang, tidak, tetapi
alkitab juga menyoroti keadaan hati manusia,
tentu saja di dalam gambaran manusia itu ada
orang-orang yang bertanya bukan untuk
mengetahui jawaban, tetapi di dalam bagian
ini dikatakan, bertanya untuk memamerkan
kebolehan mereka, mungkin kerumitan pikiran
mereka, untuk memamerkan bahwa mereka
adalah orang yang harusnya dihormati, karena
mereka lumayan tahu banyak. Tentu saja di
sini kita melihat Yesus mengehatui jenis
pertanyaan seperti ini, kalau manusia saja bisa
tahu, bisa mengenali orang yang tanya mau
show off, apalagi Yesus Kristus. Dalam bagian
ini kita melihat, Yesus tetap melayani dengan
sabar, orang ini bertanya dengan pertanyaan
yang tidak tulus, tetapi pertanyaan itu tetap
Yesus jawab dengan tulus.
Di sini dia bertanya satu pertanyaan yang
penting secara content, secara motivasi
memang tidak benar, jadi bukan pertanyaan
sembarangan. Secara content, pertanyaan ini
juga seharusnya muncul di dalam hati kita
masing-masing, “apa yang harus aku perbuat
untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Pertanyaan tentang kehidupan yang kekal, dia
tidak bertanya, apa yang harus aku lakukan
supaya memperoleh kebahagiaan pribadi atau
apa
yang
harus
kuperbuat
supaya
daganganku lancar dsb.? Tetapi memang
betul, di sini digambarkan, dia bukan bertanya
di dalam sikap hati yang tulus, tetapi Yesus
tetap menjawab. Waktu kita membaca dalam
GRII KG 669/708 (hal 4)
ayat 26, di situ Yesus mengarahkan orang ini
kepada hukum Taurat, apa yang tertulis di
dalam hukum Taurat. Nah kita punya
kebiasaan di dalam spiritualitas reformatoris,
baik Lutheran atau Calvinis, kita mengenal
konsep tentang orang yang melalui Taurat,
justru dia mengenal bahwa dia tidak mungkin
bisa mengasihi Tuhan dengan segenap
hatinya, segenap jiwanya, segenap kekuatan
dan segenap akal budinya, dan bahwa dia
adalah juga orang yang gagal mengasihi
sesama manusia seperti dirinya sendiri.
Konsep ini sangat populer di dalam Lutheran
teologi, tetapi sebenarnya bukan originaly
Luther, kita membaca tulisan atau konsep
seperti ini ditulis oleh Paulus sendiri misalnya
di dalam suratnya, bahwa fungsi Taurat itu
salah satunya adalah membawa orang ke
dalam pengenalan diri yang benar.
Ada banyak orang beragama merasa
dia mampu, ada banyak orang beragama
merasa dia baik, bahkan orang-orang yang
tidak percaya kepada Tuhan, orang-orang
yang tidak percaya kepada Yesus Kristus,
mereka punya pikiran saya tidak percaya
kepada Yesus Kristus, tetapi saya sedikitpun
hidup tidak lebih buruk dari pada mereka.
Agama, di dalam keadaan yang umum,
(kristen pun tidak terkecuali) memang bisa
membawa seseorang ke dalam pengertian self
righteousness, merasa benar sendiri seperti ini.
Di dalam cerita ini pun kita membaca agaknya
orang yang bertanya ini pun juga mempunyai
pengertian yang demikian, tetapi jawaban
Yesus
sebetulnya
tulus,
waktu
Dia
mengarahkan kepada hukum Taurat yang
dikenal oleh ahli Taurat ini, Yesus bukan
sekedar berusaha sekedar untuk membawa
orang ini sadar, bahwa sebetulnya dia tidak
mampu. Tetapi kita membaca di dalam PL ada
ayat yang mengatakan, bahwa orang yang
melakukan Taurat, itu akan hidup karenanya,
itu adalah prinsip firman Tuhan. Orang yang
melakukan perintah Tuhan dalam arti Taurat,
dia akan hidup, itu adalah ajaran di dalam PL,
jadi waktu Yesus Kristus mengatakan kalimat
GRII KG 669/708 (hal 1)
Ekspositori Lukas (8)
Ekspositori Lukas (8)
“apa yang tertulis di dalam hukum Taurat”, di
sini Dia memang secara tulus mempercayai
bahwa orang yang melakukan Taurat, itu
akan hidup karenanya.
Tapi waktu kita melihat di dalam cerita
ini, orang ini agaknya memang dipenuhi
dengan satu sikap self righteousness, merasa
benar sendiri, merasa dirinya sempurna, waktu
dia menjawab pertanyaan ini, “apa yang
tertulis di dalam Taurat”, kita mendapati
bahwa jawaban itu adalah jawaban yang
tepat. Betul-betul merangkumkan seluruh
Taurat, kalimat ini adalah kalimat yang
diucapkan oleh Yesus juga, waktu Dia
mengatakan, sesungguhnya seluruh Taurat
dan kitab nabi-nabi itu tergantung kepada
dua hukum ini yaitu yang persis seperti yang
dikatakan oleh orang ini, mengasihi Tuhan
dengan segenap hati, jiwa, kekuatan dan akal
budi, dan mengasihi sesama manusia seperti
diri sendiri. Secara teologi benar, tetapi tidak
cukup di dalam pandangan Yesus. Kita di
dalam kekristenan kalau hanya mengajar
manusia masuk ke dalam pengertian
theological correctness, ketepatan jawaban
teologis, secara katekisasi lulus, ya Yesus juga
akan mengatakan jawabanmu itu benar, tidak
perlu koresksi lagi. Tetapi apa yang menjadi
persoalan di dalam seluruh kehidupan
manusia? Yesus mengatakan kalimat yang
sederhana, setelah jawabanmu itu benar,
perbuatlah demikian, maka engkau akan
hidup. Apa maksudnya? Mengetahui jawaban
yang benar saja tidak akan membuat kita
hidup, pengetahuan alkitab mungkin lebih
baik dari ada orang lain, lebih baik dari pada
denominasi yang lain, secara jawaban teologis
benar, tetapi di sini Yesus mengatakan,
perbuatlah demikian. Ada gap dan gap itu
seringkali tidak sedikit orang-orang yang
mengetahui jawaban yang benar tetapi
hatinya tidak tertarik untuk melakukan
seperti jawaban yang dia katakan itu.
Sehingga kehidupannya tidak menghidupi apa
yang betul-betul dia percaya, apa yang dia
betul-betul ucapkan kepada orang lain, itu
bukan menjadi bagian dari pada kehidupan
sehari-hari.
Sebetulnya seluruh perikop sudah boleh
berhenti sampai di sini, karena Yesus sudah
mengarahkan kepada pengenalan diri yang
tepat. Waktu bicara tentang kelemahan orang
ini, tidak ada persoalan tentang pendidikan
teologinya, tidak ada, dia menjawab dengan
condensed crystalize, sangat tepat, Yesus
mengatakan benar, tapi persoalan di dalam
dirinya adalah dia tidak melakukan apa yang
dia katakan itu, dia tidak melakukannya,
maka Yersus mengatakan, “perbuatlah
demikian”. Nah, orang waktu mendengar
kalimat seperti ini, perbuatlah demikian, bisa
tersinggung, bisa sakit hati. Seperti di sini juga
yang dicatat di dalam firman Tuhan, dia
dikatakan, berusaha untuk membenarkan
dirinya, saya percaya, saudara dan saya tidak
kebal dengan spirit pride seperti ini. Kadangkadang waktu orang menegur kita, waktu
orang memberi kita masukan, kita cenderung
self defense, kita membela diri, kita
merasionalisasi atau kalau tidak mau
merasionalisasi, kalimat yang seringkali kita
keluarkan adalah “saya sudah tahu”, orang
berkata dengan kalimat yang panjang, kita
cuma jawab dengan kalimat, saya sudah tahu
dari dulu, mungkin saya lebih tahu dari pada
kamu loh…., kamu tahu baru sekarang, mau
ngajarin saya lagi……, lalu kita hadir di dalam
keadaan pride sepert itu, berusaha untuk
membenarkan dirinya.
Intinya adalah bahwa manusia itu tidak
senang kalau dikatakan bahwa dia itu tidak
mampu, dia itu masih ada kesalahan,
perbuatannya kurang konkrit, dia kurang
mengasihi Tuhan, kurang mengasihi sesama,
dia terganggu, dia lebih suka untuk dipuji
sebagai orang yang mengasih Tuhan,
mengasihi sesama, berbunga-bunga hatinya.
Tetapi bahayanya adalah justru di dalam
keadaan bunga-bunga seperti ini, seringkali
manusia jadi menipu dirinya, dia tidak
mengenal dirinya dengan tepat, dia bukan
hanya membohongi sesamanya, tetapi juga
membohongi dirinya sendiri, dan terutama
membohongi Tuhan. Demikian juga orang
yang dicatat di dalam bagian ini, dia berusaha
untuk membenarkan dirinya, self justification,
yang bisa membenarkan seseorang itu
adalah Tuhan, tetapi yang seringkali
dikerjakan oleh manusia, di dalam kehidupan
saudara dan saya adalah kita berusaha
membenarkan
diri
sendiri,
bukan
membiarkan Tuhan yang membenarkan kita,
bukan
membiarkan
Tuhan
yang
menyelamatkan kita, bukan membiarkan
Tuhan yang mengampuni dan menerima kita,
tetapi kita melakukan pembenaran diri sendiri,
mengampuni diri sendiri, menerima diri
sendiri, memuji-muji diri sendiri, dst. Nah ini
ada orang yang kekurangan kebenaran, belum
justified, belum dibenarkan, tetapi dia
membenarkan dirinya sendiri, padahal dia
tidak benar, tetapi dia mau membenarkan
dirinya sendiri, ini kan sesuatu yang aneh,
GRII KG 669/708 (hal 2)
sesuatu yang tidak mungkin, subyek sekaligus
menjadi obyek.
Kalau saya tidak mengerti sesuatu, saya
akan mengatakan, saya tidak mengerti, saya
tidak tahu ini. Adalah hal yang konyol kalau
saya tanya kepada diri saya sendiri yang tidak
tahu untuk memberitahu saya yang tidak tahu
kalau saya tidak tahu. Lalu saya bertanya pada
diri sendiri, hai jiwaku, katakanlah kepadaku
apakah jawaban dari pertanyaan itu, ini kan
orang gila, dia sendiri tidak tahu, tetapi dia
tanya
kepada
dirinya
sendiri
untuk
memberitahu dirinya yang tidak tahu, subyek
dan obyek, menjadi confuse. Mungkin sampai
di sini kita berkata, iya ya, bagian itu memang
iya sih, tetapi yang seringkali lebih sering
hadir di dalam kehidupan kita adalah kita
kekurangan kasih, kita kekurangan pujian,
kita kekurangan penerimaan, lalu kita yang
kekurangan, kita yang mengasihi diri sendiri,
yang puji-puji diri sendiri, yang berusaha
untuk menerima diri sendiri, padahal kita yang
kekurangan, sama anehnya kan dengan orang
yang tidak tahu, lalu dia bertanya pada dirinya
sendiri yang tidak tahu.
Termasuk dalam bagian ini, waktu kita
membaca, orang ini berusaha untuk
membenarkan dirinya sendiri, harusnya dia
membiarkan dirinya untuk dibenarkan oleh
Yesus melalui proses yang panjang, itu
termasuk melalui koreksi, teguran, itu bagian
dari
pada
pembenaran,
bagian
dari
pengudusan yang dikerjakan Kristus di dalam
kehidupan kita, tetapi dia tidak mau. Dia
maunya shortcut, maunya instant, kalau bisa
dia langsung membenarkan dirinya sendiri
dan lebih menarik lagi waktu kita membaca,
dengan cara apa dia membenarkan dirinya
sendiri? Dengan kalimat sederhana, “Siapakah
sesamaku manusia?” Dia tidak berani bilang
tentang Tuhan, nanti urusannya besar, di sini
kan ada satu hukum di dalam dua aspek,
kasihlah Tuhan Allahmu dengan segenap….,
segenap…., segenap….., yang kedua, kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri, dia
tidak berani menyentuh bagian kasihilah
Tuhan, mungkin dia sadar juga bahwa dia
tidak mengasihi Tuhan dengan segenap hati
dst., (alkitab tidak menuliskan), atau mungkin
dia merasa bagian ini dia sudah lulus, tidak
perlu ngomong lagi. Tapi yang dia utarakan
untuk membenarkan dirinya, terutama adalah
siapakah sesamaku manusia?
Kalimat ini begitu sederhana, tetapi apa
maksudnya? Maksudnya adalah bagaimana
saudara dan saya diminta untuk mengasihi
sesama kita seperti diri sendiri. Lalu orang ini
mengatakan, siapa sesama manusia itu,
maksudnya adalah sebetulnya saya sih sudah
siap untuk mengasihi sesama, tetapi tidak ada
orang yang terlalu beruntung untuk
mendapatkan cinta kasih saya. Apakah tidak
lihat bahwa saya ini orang yang penuh
dengan cinta kasih? Masalahnya bukan ada
pada saya, masalahnya adalah orang yang
membutuhkan cinta kasih saya itu tidak
muncul, tidak ada di sini, lalu siapa sesamaku
manusia? Siapa yang mau saya tolong, siapa
yang mau saya kasihi? Coba muncul saja, saya
murah hati, saya penuh dengan kebaikan,
cuma saya tidak diberikan kesempatan
pelayanan sih, di gereja itu orangnya suka
monopoli, akhirnya saya tidak kebagian!!
Siapa sesamanya, saya ini orang yang cinta
Tuhan, tetapi selalu didiskriminasi seperti ini,
tidak diberikan kesempatan pelayanan dsb.
Siapa sesama manusia itu, tidak ada sesama
yang bisa saya kasihi, maka terpaksa saya
mengasihi diri sendiri saja, jadi tidak salah
kalau saya narsisistik, karena memang tidak
ada sesama kok? Wah… waktu Yesus
mendengar jawaban seperti itu, padahal Dia
sudah mengatakan jawabannya benar, cuma
persoalannya adalah engkau tidak mau
melakukan, “perbuatlah demikian”, tetapi dia
terus berargumentasi.
Yesus akhirnya memberikan pengajaran
melalui semacam perumpamaan, cerita, story,
kadang-kadang, kalimat yang begitu jelas,
kalimat proposisional seperti ini, “perbuatlah
demikian”, langsung jelas apa yang harus
dilakukan, lakukanlah, tapi ada orang yang
tidak suka. Maka Yesus memakai pendekatan
yang lain, memakai pendekatan cerita,
seperti anak sekolah Minggu, harusnya orang
yang dewasa tidak perlu cerita yang seperti ini
kan? Kamu cuma menjawab dengan benar,
tapi kamu tidak tertarik untuk melakukan,
maka perbuatlah demikian sesuai dengan
yang kamu jawab. Tapi kalimat ini tidak cukup,
dia mau diperlakukan seperi anak sekolah
Minggu, yang mesti ada ceritanya, tapi Yesus
akomodatif, Yesus merangkul dengan sabar
kelemahan manusia termasuk saudara dan
saya. Akhirnya Dia mengajarkan melalui satu
cerita (kita sudah membacanya), dalam bagian
ini gambarannya adalah ada satu orang yang
jatuh ke tangan penyamun, turun dari
Yerusalem ke Yerikho, dari Yerusalem
kemungkinan besar dia pergi ke bait suci. Dia
mengalami perampokan, bukan hanya
dirampok habis-habisan, tapi dia juga
dipukuli, meninggalkan dia sampai sekarat,
Yesus mulai dengan satu cerita penderitaan.
GRII KG 669/708 (hal 3)
Sekali lagi, pertanyaannya tadi adalah
siapakah sesamaku manusia? Lalu Yesus
mulai satu cerita penderitaan ini.
Lalu di situ digambarkan ada tiga orang
yang lewat dan bukan kebetulan, seorang
imam, seorang Lewi dan seorang Samaria.
Iman dan Lewi itu ada kemiripan, dua-duanya
adalah orang-orang yang sangat beragama,
yang religius dan mungkin juga mereka dari
Yerusalem, dalam perjalanan yang sama
menuju Yerikho, mungkin mereka juga baru
beribadah dari Yerusalem di dalam bait suci
yang sama. Mereka tidak bisa excuse, dengan
berkata, saya masih ada pekerjaan dalam bait
suci, jadi tidak bisa menolong (memang kita
tidak tahu arahnya, bisa juga dia dari Yerikho
mau ke Yerusalem, dalam alkitab tidak terlalu
jelas), tapi mungkin juga dari Yerusalem
menuju Yerikho, jadi dalam perjalanan yang
sama. Katakanlah kalaupun dari Yerikho mau
ke Yerusalem, tetap dia tidak ada alasan untuk
mengatakan bahwa saya tidak ada waktu
untuk kamu, karena saya sudah terlalu sibuk
dalam pelayanan gerejawi. Pelayanan
gerejawi ternyata bisa membawa kita jauh dari
Tuhan, pelayanan gerejawi ternyata bisa
membawa kita jauh dari apa artinya menjadi
manusia, pelayanan gerejawi ternyata bisa
menjauhkan kita dari Tuhan. Yah… mungkin
ini adalah orang-orang yang memakai alasan
ini, saya tidak ada waktu lagi untuk kamu
mama, papa, saya harus datang ke
persekutuan doa (saya percaya ada waktunya
tempat seperti itu, keadaan seperti itu kita
harus menyangkal keluarga kita), lalu
mempersembahkan kepada Tuhan, di dalam
hal ini pelayanan gerejawi.
Tetapi coba kita perhatikan, spiritualitas
seperti ini tidak selalu betul, dimana-mana,
ada saatnya Tuhan lebih mau menggerakkan
kita untuk nungguin keluarga kita yang
terbaring di rumah sakit, penyangkalan diri
yang berat itu, dan bukannya ke luar lalu
pelayanan kemana-mana (itu menyenangkan
juga kan ya, bertemu orang banyak), kalau di
rumah sakit nungguin yang sakit itu bosan
luar biasa kan ya? Orang sakit, ya biar saja,
kita berurusan dengan orang sehat, mungkin
saja orang Lewi dan imam ini juga punya
pikiran yang seperti itu, pikiran religiusitas
yang ngawur, pikiran keagamaan yang
menjauhi tanggung jawab horizontal. Kita
tidak percaya orang yang cinta Tuhan, lalu
hubungannya dengan sesama itu jadi
berantakan, kita tidak percaya dengan orang
yang cinta Tuhan, lalu kemudian tanggung
jawabnya secara horizontal (baik keluarga,
saudara seiman yang lain atau tetangga dll.)
menjadi luar biasa rusak, hanya karena dia
mencintai Tuhan, alkitab tidak advocated, tidak
mendukung ajaran demikian. Justru alkitab
mengkritik dengan keras, inikah gambaran
orang yang beragama, seperti orang Lewi dan
imam? Katanya imam, katanya Lewi, mungkin
memikirkan Tuhan, Tuhan dan Tuhan, tetapi
dia tidak tertarik sama sekali waktu dia
berhadapan dengan penderitaan sesamanya.
Dia tidak tertarik sama sekali waktu
melihat disekelilingnya ada orang yang
sedang menanggung beban yang berat, kita
harus
hati-hati
dengan
ini,
satu
kecenderungan spiritualitas yang hanya
menuntut orang lain untuk bertumbuh,
bertumbuh, tetapi kita sendiri tidak mau
peduli dengan mereka. Itu kedengaran sangat
mendewasakan orang, tetapi sisi yang lain
juga bisa menjadi excuse dari kita. Sekali lagi,
kita harus hati-hati dengan spiritualitas yang
terus-menerus mengajak orang lain dewasadewasa, untuk struggle, berjuang sendiri dsb.,
(memang poin itu baik, tidak menjadikan
orang manja dan cengeng), tapi hati-hati,
jangan-jangan itu merupakan ekspresi
ketidakpedulian saya. Kalau saya punya anak
kecil, saya akan terganggu kalau terusmenerus harus menggantikan popoknya, jadi
bagaimana, mendidik anak itu dengan
berkata, kamu harus belajar struggle dari kecil,
silahkan bersihkan popok kamu sendiri, kamu
ngepel sendiri, ini papa sedang mendidik,
supaya kamu belajar untuk jadi dewasa. Hal
seperti ini tidak masuk akal bukan? Hati-hati
masuk dalam spiritualitas ketidakmasuk akalan
seperti ini, kelihatan seperti baik, tetapi
orang mungkin belum sampai di dalam
takaran seperti itu.
Sebetulnya yang jadi permasalahan
adalah
saya
tidak
tertarik
untuk
menanggung beban kamu, maka di dalam
Tuhan, aku ajarkan kepadamu, berusahalah,
berjuanglah, mulai dari bawah, (maksudnya:
sebetulnya adalah saya tidak tertarik untuk
menolong kamu, itu poinnya), saya tidak
tertarik menolong kamu, jadi silahkan
berjuang sendiri. Hati-hati masuk ke dalam
spiritualitas yang seperti ini. Ada banyak
orang, waktu dia struggle di dalam keadaan
masih muda, dia kecil, begitu susah
kehidupannya, tidak ada orang yang
menolong dia, tidak ada orang yang berbelas
kasihan kepada dia, waktu dia berhasil
(katakanlah berhasil berjuang sendiri), sampai
akhirnya dia betul-betul berhasil, akhirnya dia
tidak peduli siapapun. Karena dia merasa,
waktu saya susah, siapa yang hadir di dalam
kehidupan saya? Lalu sekarang, waktu saya
sukses, orang mau berbagian di dalam
kesuksesan saya, enak saja, saya dulu
berjuang sendiri, tidak ada yang menolong
saya, waktu berhasil, dia juga tidak tahu apa
GRII KG 669/708 (hal 4)
artinya belas kasihan, tidak tahu, karena waktu
di dalam susah, dia juga tidak tahu apa artinya
belas kasihan. Tidak ada orang yang berbelas
kasihan kepadanya, waktu dia berhasil, dia
juga tidak tahu apa artinya belas kasihan.
Maka banyak sekali orang yang sukses,
orang yang berhasil di dalam kehidupannya
itu, waktu dia muda, waktu dia kecil, dia susah
sendiri, tidak ada orang yang menolong, pada
waktu dia berhasil, dia juga tidak tertarik
untuk menolong orang lain, dia akan
mengatakan kalimat yang sama, “saya dulu
waktu susah, tidak ada orang yang menolong,
sekarang kamu datang dengan kesusahan
saya, saya akan mengatakan kalimat yang
sama yang saya dengar waktu dulu saya susah
yaitu berjuanglah, kenapa kamu datang minta
tolong saya? Tidak usah cengeng seperti ini,
berjuang, kamu harus bergumul sendiri
sampai berhasil, saya saja bisa, masakan kamu
tidak bisa? Lalu, dimana tempatnya belas
kasihan? Padahal menurut ajaran alkitab,
justru yang membedakan orang yang ketiga
yaitu orang Samaria ini dengan dua orang
pertama. Terutama adalah karena orang yang
ketiga ini yaitu orang Samaria tergerak
hatinya oleh belas kasihan, inilah keagamaan
yang sejati, bukan keagamaan secara status,
saya ini orang Lewi, saya ini imam, saya ini
majelis, saya ini pengurus, saya ini pendeta,
saya ini penginjil, saya ini hamba Tuhan atau
mengatakan, saya ini orang reformed……,
keagamaan bukan dinilai di situ. Keagamaan
itu dinilai dari apakah seseorang itu hatinya
bisa tergerak oleh belas kasihan.
Bahasa Indonesia bagus sekali “tergerak
oleh belas kasihan”, kita tidak bisa
menciptakan ketergerakan, tidak bisa kan?
Masakan kita bisa ketika melihat orang lain
susah, lalu berkata, hai jiwaku, tergeraklah……,
tidak bisa seperti itu kan? Masakan kita
menghipnotis diri sendiri, ayo dong, menangis
dong, ada orang yang susah kok tidak nangis,
bagaimana sih? Nanti kamu kelihatan cuek
loh… ayo menangislah…! Tidak mungkin
seperti itu walaupun kita tergerak dan tidak
tergerak, karena tergerak itu satu spontanitas,
walaupun hati kita dingin atau penuh belas
kasihan, gampang terenyuh, dan menurut
Yesus inilah esensi keagamaan yang
sesungguhnya, seorang Samaria, bukan
orang Israel, tidak comparable sama sekali
dengan orang Lewi. Ini sudah orang Yahudi,
suku Lewi pula, satu suku yang khusus, saya
ini orang Samaria, kalau orang Samaria, apa
artinya orang Samaria? Mereka kelompok
yang rendah, kelompok yang selalu dianggap
tidak tahu apa-apa tentang iman kristen, tidak
tahu apa-apa tentang bait suci, orang kelas
dua, tapi jangan-jangan orang seperti ini
justru lebih mengerti apa artinya tergerak
oleh belas kasihan.
Saya tertarik bagaimana Yesus waktu
menjawab kalimat terakhir itu pada saat Dia
menanyakan, “Siapakah diantara ketiga orang
ini menurut pendapatmu adalah sesama
manusia dari orang yang jatuh ketangan
penyamun?” Kita melihat di sini ada
perubahan paradigma tentang kata “sesama”,
tadi orang itu kan berkata, siapa sih sesamaku
manusia? Siapa sih orang yang beruntung itu?
Saya sebagai subyek, saya siap mengasihi
sesama, tetapi siapa yang mau jadi obyek
sesama yang beruntung itu, obyek dari cinta
kasih saya, siapa? Siapa sesama itu? Siapa
yang bisa menjadi obyek cinta kasih saya?
Tetapi Yesus mengatakan, siapa diantara
ketiga orang ini menurut pendapatmu adalah
sesama manusia? Yesus menempatkan role,
peran sesama itu bukan sebagai obyek yang
dikasihi, tetapi sebagai subyek yang
menderita. Waktu kita melihat keadaan
orang yang menderita, dia itu menjadi
subyek, dia bukan menjadi obyek. Subyek itu
kan lebih penting, kalau obyek itu ya cuma
obyek, ini jadi obyek saya, begitu kan ya?
Tetapi di sini, sesama itu bukan ditempatkan
sebagai obyek seperti itu, tapi dia menjadi
center, menjadi subyek.
Apa maksudnya? Kita bukan menanyakan
kalimat saya sudah siap mengasihi, saya
subyek yang mau mengasihi, siapa obyeknya,
bukan seperti itu. Tetapi pertanyaannya
adalah apakah saya menjadi sesama saya
bagi saudara saya yang menderita? Orang
yang menderita itu lebih penting, orang yang
menderita itu menjadi pusat perhatian, lebih
dari pada kita yang tergerak untuk menolong
dia. Agak lucu kalau ada orang yang
menderita kita malah self concious, hanya
perhatikan diri, tetapi inilah keadaan saudara
dan saya, keadaan saudara dan saya, waktu
orang menderita, kita tidak menjadikan dia
sebagai pusat perhatian, kita malah sibuk
memperhatikan diri kita sendiri, gila orang
seperti ini. Terlalu self concious, terlalu
perhatikan dirinya sendiri, menjadikan diri
selalu sebagai subyek, lalu memperlakukan
orang lain hanya sebagai obyek.
Tetapi di sini Yesus mengatakan,
siapakah diantara ketiga orang ini yang
menjadi sesama manusia? Adakah engkau
menjadi sesama bagi manusia yang menderita
ini? Sesama bagi orang yang menderita,
“tergerak oleh belas kasihan”, terjemahan ini
sangat tepat dan bagus sekali, tergerak oleh
belas kasihan itu tidak bisa memper-obyekkan, saya tergerak oleh belas kasihan,
berbeda dengan saya mengasihani kamu.
Waktu saya mengasihani kamu, itu kamu
GRII KG 669/708 (hal 1)
Ekspositori Lukas (8)
Ekspositori Lukas (8)
langsung
jadi
obyek,
predikatnya
mengasihani dan saya sebagai subyek,
begitu kan? Saya mengasihani kamu, tetapi ini
bukan orang yang sedang mengasihani, dia
bukan menjadi subyek, tetapi tergerak
hatinya oleh belas kasihan. Tergerak itu kan
kalimat yang agak pasif, memang sedikit
berbeda dengan digerakkan, tetapi yang pasti
dia bukan subyek. Dia tergerak oleh belas
kasihan, istilah tergerak ini adalah verb
intransitive, tidak ada obyeknya, dia tergerak
oleh belas kasihan, jadi tergerak itu tidak perlu
ada obyek artinya ini adalah satu sikap hati
yang spontan, yang tidak menjadikan sesama
sebagai obyek belaka. Sebaliknya, sesama,
yang menderita itu, menjadi satu pusat yang
menggerakkan hatinya.
Penderitaan orang lain menggerakkan
dia untuk mempunyai belas kasihan, belas
kasihan itu berbeda dengan saya mengasihani
orang lain. Orang yang mengasihani bisa
menempatkan diri tinggi sekali, lalu
mengasihani, kasihan kamu itu, ini loh… kamu
perlu uang berapa sih? Di sini ada, ini ambil,
dari atas melihat ke bawah, kasihan kamu itu,
jadi yang dimaksud dalam bagian ini bukan
seperti itu, bukan. Ini bukan orang yang
mengasihani, ini orang yang tergerak oleh
belas kasihan, jadi lain sama sekali. Orang
yang tergerak oleh belas kasihan, dia tergerak
waktu
melihat
kebutuhan
sesamanya,
penderitaan
sesamanya,
meaning,
pertanyaannya dikatakan, ini tidak jujur,
“siapakah sesamaku manusia?”, pertanyaan ini
salah, siapakah sesamaku manusia, salah,
kenapa? Karena kalau kita melihat sekeliling
kita saja, kita seharusnya tahu ada begitu
banyak orang yang menderita, persoalannya
bukan tidak ada sesama manusia yang bisa
kita kasihi atau kita kasihani, bukan? Tetapi
persoalannya adalah kita tidak tergerak oleh
belas kasihan melihat penderitaan yang terjadi
disekitar kita. Penderitaan itu ada dimanamana, penderitaan itu tidak ada habisnya,
jadi persoalannya bukan tidak ada yang
menderita yang bisa saya tolong, bukan,
tetapi persoalannya adalah apakah saudara
dan saya tergerak hatinya waktu melihat
penderitaan yang ada disekeliling kita?
Jangan disalahmengerti bagian ini, kita
bukan sedang mengajarkan bahwa kita harus
menyelesaikan seluruh penderitaan di dalam
dunia ini, bukan. Nanti kita bukan masuk ke
dalam ajaran kristen tetapi malah masuk ke
dalam ajaran humanisme, seorang filsuf besar
Emmanuel Levinas mengatakan, “untuk apa
aku hidup kalau di luar sana masih ada yang
menderita?”, luar biasa, etikanya tinggi sekali,
banyak orang kristen mengatakan, “untuk apa
saya hidup kalau saya menderita?”, waduh…
luar biasa, tidak bisa dibandingkan dengan
etika filsuf tadi, dia bukan orang kristen, dia
seorang Yudais, orang yang hanya percaya PL.
Tetapi di sisi yang lain kita harus kritis juga,
kenapa? Karena kita bukan sekedar hidup
untuk menyelesaikan seluruh penderitaan
yang ada di dalam dunia ini, bukan. Tetapi ada
takaran, ada porsi yang Tuhan percayakan di
dalam kehidupan kita, nah inilah yang
seharusnya kita tergerak. Kita tidak percaya di
dalam kehidupan kita, kita tidak ada porsi
sama sekali, oh… itu bukan bagian saya, orang
yang menderita itu harusnya dilayani orang
lain, bukan saya, karena saya sendiri sedang
menderita, mestinya orang lain yang melayani
saya.
Kalau saya sedang memerankan peran
orang yang dirampok ini, jadi bagian ini untuk
mendidik orang-orang yang kurang memiliki
belas kasihan, begitu kan ya? Kalau memakai
istilah teologisnya mudah sekali, itu namanya
membenarkan diri dengan cara yang lain,
termasuk orang-orang yang seringkali kecewa
waktu datang ke gereja. Mana nih, katanya
gereja, katanya orang kristen, katanya orang
percaya kepada Tuhan, kenapa mereka tidak
hadir waktu melihat saya sedang menderita,
ini adalah cara lain untuk membenarkan diri,
dimana mereka waktu saya menderita, kenapa
mereka tidak datang? Mana yang mengasihi
saya, ini pertanyaan lain lagi, kalau orang tadi
sudah siap, siapa sesamaku manusia, lalu
Yesus menelanjangi, bohong, kalimat itu tidak
jujur. Tapi ada penyakuit lain lagi yang
mengatakan, saya menderita, mana sesama
manusia yang mengasihi saya? Dia tidak
tertarik menjadi sesama yang mengasihi, dia
tertarik menjadi menjalankan peran orang
yang
dirampok
habis-habisan,
yang
menuntut
sesama
yang
lain
untuk
mengasihani dia ramai-ramai, another self
justification.
Tetapi Yesus juga tidak mengajarkan
bagian ini, Yesus mengatakan, siapa diantara
ketiga orang ini yang adalah sesama manusia,
lagi-lagi orang ini menjawab dengan tepat,
tetapi sayang tepat hanya di dalam jawaban
saja, “Orang yang telah menunjukkan belas
kasihan, dialah sesamanya itu”, lalu Yesus
mengatakan kalimat terakhir, “ pergilah dan
perbuatlah demikian”. Pergilah, itu adalah
satu pengutusan, maksudnya kita tidak perlu
diskusi lagi, karena secara pengertian kamu
sudah komplit, sudah cukup, paling tidak
GRII KG 669/708 (hal 2)
untuk takaran hari ini sudah cukup. Sekarang
pergi, jangan diskusi teologis terus, pergilah
dan terutama adalah perbuatlah demikian.
Ini masih kalimat yang sama, tadi mengatakan,
sebetulnya perikop ini sudah bisa berheti di
ayat 28, perbuatlah demikian, tetapi orang
ini karena membenarkan dirinya memakai ini
dan
itu,
dsb.
sampai
Yesus
harus
menggunakan cerita yang panjang tetapi
kalimat ini diakhiri dengan kalimat yang sama
“perbuatlah demikian”. Engkau bukan tidak
tahu, bukan tidak ada pengertian, tetapi
persoalan di dalam kehidupan kita, kehidupan
saudara dan saya adalah kita kurang berbuat
seperti apa yang sudah kita mengerti, kiranya
Tuhan memberkati kita semua. Amin.
Ringkasan khotbah ini belum diperiksa
oleh pengkhotbah (AS)
GRII KG 669/708 (hal 3)
Download