PDF (Bahasa Indonesia)

advertisement
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
PENETAPAN HUKUM PERANG:
Tela’ah Sosio-Historis dengan Pendekatan Tafsir Maudhu’i
Wahidul Anam 
Abstraksi
Perang adalah bentuk permusuhan bersenjata, permusuhan antara
negara-negara tentara dengan bangsa atau tentara dengan lainnya. Perang
dalam Islam harus berdasarkan membela kebenaran dan agama Allah dari
serangan dan aniaya orang-orang kafir
Para Nabi dan pengikutnya, sebagaimana direkam dalam al-Qur‟an,
diperintahkan melakukan perjuangan dalam rangka mempertahankan diri
dari serangan kedaliman orang-orang kafir. Hal seperti ini juga dialami
Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah Islam, sehingga
bertebaran ayat-ayat al-Qur‟an dalam berbagai surat menjelaskan wacana
perang yang dilakukan Nabi Muhammad SAW tersebut.
Perang pada dasarnya menjadi suatu kebutuhan daruri jika dipakai
untuk menolak kedaliman yang lebih besar. Perang dalam Islam didasari
dengan nilai fi sabil Allah yang identik dengan term al-Jihad menjadi
sarana mencapai kedamaian Islam.
Persyariatan hukum perang dalam Islam bersifat tadarruj, semenjak
periode Makkah yang masih melarang untuk berperang sampai pada
periode Madinah yang mewajibkan perang secara legal. Islam memberi
aturan rinci pelaksanaan perang yang hal itu menunjukkan bahwa dalam
berperang pun nilai-nilai moral dan kemanusiaan dijunjung tinggi.
Pensyariatan perang dalam Islam merupakan wujud “Tangkisan Allah”
atas kejahatan manusia pada yang lain dari terciptanya kehidupan yang
stabil di atas bumi.
Kata kunci : Hukum Perang dan Tafsir Maudhu‟i
Pendahuluan
Para Nabi diutus Allah SWT bertujuan untuk menyampaikan ajaran
agama atau bertujuan memeprbaiki aqidah dan moral kaumnya yang telah
rusak. Masyarakat tempat para Nabi berdakwah pada umumnya berada
dalam tradisi yang mereka warisi dari nenek moyang. 1

1
Penulis adalah Staff Pengajar Jurusan Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri (STAIN) Kediri
Muhammad Sa‟id Ramadhan al-Bitti, Fiqh al-Sirah (Beirut:Dar al-Fikr, 1986),
40.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
1
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
Dalam menerima dakwah Nabinya, mereka merespon dengan dua
sikap, pertama, mereka percaya dan mengikuti ajarannya. Mereka
dikategorikan sebagai kelompok orang yang beriman (al-mu’minun).
Kedua, mereka menolak bahkan memusuhinya. Mereka dikategorikan
sebagai kelompok penentang (al-kafirun).2
Dari kedua kelompok di atas, akan terjadi clash atau pertentanganpertentangan yang disebabkan pandangan dan kepentingan yang berbeda.
Komunitas kafir bertahan dalam tradisi ajaran agamanya secara militan
sehingga mereka melakukan perlawanan dan penolakan terhadap
komunitas mu‟min bahkan meneranginya. Sementara kelompok mu‟min
menjalankan tugas suci mereka untuk menyampaikan kebenaran. Dengan
demikian dapat dimengerti bahwa peperangan merupakan suatu bentuk
keniscayaan dalam wawancara dakwah.
Para Nabi dan pengikutnya, sebagaimana direkam dalam al-Qur‟an,
diperintahkan melakukan perjuangan dalam rangka mempertahankan diri
dari serangan kedaliman orang-orang kafir. Hal seperti ini juga dialami
Nabi Muhammad dalam menyampaikan dakwah Islam, sehingga
bertebaran ayat-ayat al-Qur‟an dalam berbagai surat menjelaskan wacana
perang yang dilakukan Nabi Muhammad SAW tersebut.
Ayat-ayat tentang perang tersebut dipahami oleh kalangan
orientalis secara terpisah-pisah dan terlepaskan dari konteks sosiologis
yang melatar belakanginya, sehingga konsep perang dalam Islam mereka
pahami secara sensasional. Misalnya3 Islam dikembangkan di atas
ketajaman pedang, perang sebagai tujuan dakwah Muhammad,
Muhammad sebagai penakluk ulung, dan lain-lain.
Klaim pesan orientalis tersebut memang tidak boleh ditanggapi
secara apologetik. Sebaiknya harus dilacak lebih jauh pola pemikiran
mereka yang membuahkan kesimpulan seperti itu. Berkenaan dengan
upaya tersebut, permasalahan yang penulis munculkan adalah bagaimana
kedudukan perang dalam Islam? Dan bagaimana sejarah tashri’nya. Untuk
membahas persoalan tersebut penulis mencoba melakukan reinterpretasi
dan reformasi terhadap ketentuan hukum peran dalam Islam dengan
melakukan telaah sosio-historis dengan pendekatan tafsir tematik.
2
3
Tentang karakteristik manusia yang menanggapi dakwa nabi, al-Qur‟an surat
2:1-16 memberikan rinciannya. Disana terdapat satu karakteristik lagi yang
paling menyulitkan perjalanan dakwah yaitu karakteristik al-Nifaq (mental
hipokrit) khususnya yang dialami Nabi Muhammad SAW dalam era Madinah.
Karen Amstrong, Muhammad a biography of the Prophet (New York, Harper
San Fransisco, 1994), 164-165. Lihat juga Sa‟id Ramadhan, al-Sirah, 171.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
2
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
Pengertian Perang
Secara leksikal, perang adalah bentuk permusuhan bersenjata,
permusuhan antara negara-negara tentara dengan bangsa atau tentara
dengan lainnya4. Ia merupakan terjemahan dari kata al-Qital dan al-Harb5.
Kedua kata tersebut dipergunakan dalam al-Qur‟an, namun kata pertama
lebih banyak dari pada kata kedua. Disamping itu, perang juga terjemahan
dari kata al-Ghazwah, yang hanya dipergunakan sekali dalam al-Qur‟an
yaitu surat „Ali Imran:156.
Secara istilah, perang menurut potret kata al-Qital, berbeda dengan
potret kata al-Harb. Perang menurut kata al-Qital merupakan bentuk
pertentangan fisik antara kelompok yang bertengkar yang lebih
menunjukkan pada sisi taktik yang berakibat melayangnya nyawa karena
pembunuhan dan timbulnya kesengsaraan.6 Sedangkan menurut kata alHarb, perang merupakan suatu bentuk penyerangan dan pertempuran yang
membabi buta, tidak menggunakan aturan serta melanggar
perikemanusiaan serta bersifat habis-habisan. 7
Oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa pensyari‟atan hukum
perang dalam Islam (al-Qur‟an) tidak menggunakan term al-harb tersebut.
Dalam kaitannya dengan hukum perang dalam Islam, al-Qur‟an
menggunakan kata al-Qital dengan diikuti frase Fi Sabil Allah. Itu
menunjukkan, bahwa perang dalam Islam harus berdasarkan membela
kebenaran dan agama Allah dari serangan dan aniaya orang-orang kafir8.
Kalau dicermati lagi bahwa kata kunci yang lebih langsung menunjukkan
pengertian perang Fi-Sabil Allah tersebut adalah term al-Jihad,9 oleh
karena itu dalam melacak ayat-ayat perang dalam Islam pra pembahasan
ini penulis berpatokan dengan kata kunci al-Jihad Fi Sabil Allah dan alQital fi sabil Allah.
4
WJS Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet 5 (Jakarta: PN
Balai Pustaka, 1976), 735.
5
Kata al-Qital dalam al-Qur‟an terdapat sekitar 20 kali, sedangkan kata al-Harb
hanya dipergunakan sebanyak 4 kali. Lihat Fu‟ad Abd al-Baqi‟, al-Mu’jam almufahras li al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), 197.
6
Said Ramadhan, Fiqih al-Sirah, hal 170.
7
Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, IV (Jakarta; PT Ikhtiar
Baru Van Have; 1996)1395
8
9
Lihat Muhammad Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafasir (Beirut:Dar al-Fikr, tt), 68.
Term tersebut dipergunakan dalam al-Qur‟an sekitar 32 kali seluruh bentuk dan
variasinya. Lihat „Abd al-Baqi‟ al-Mu’jam, 182-183.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
3
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
Jihad secara etimologis diambil dari kata al-Juhd yang berarti
mengeluarkan usaha maksimal, juga berasal dari kata al-Jahd yang berarti
kesungguhan dalam perbuatan di atas kemampuan,10 kemudian dari situ
dibentuk kata Jahada, Yujahidu kemudian didapat kata Jihad. Secara
istilah jihad adalah upaya sungguh-sungguh untuk meluhurkan agama
Allah di atas bumi dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan
dengan berbagai cara,11 termasuk perang.
Menurut al-Asfihani, term al-jihad dalam al-Qur‟an memiliki tiga
pengertian, pertama, berjuang melawan musuh nyata yang menurut Ibn alQayyim musuh nyata tersebut dapat berupa orang kafir maupun orang
yang munafik.12 Kedua berjuang melawan setan dan ketiga berjuang
melawan nafsu.13
Berdasarkan penjelasan tersebut, term al-jihad nampaknya lebih
umum dari pada al-Qital. Dalam terjemahan bebas, jihad diartikan dengan
berjuang di jalan Allah dalam berbagai bentuknya. Dan al-Qital yang
berarti perang menghadapi musuh nyata adalah merupakan salah satu dari
bentuk jihad tersebut.
Ayat-ayat al-Qur‟an tentang Perang
Untuk mengetahui sejarah sosial hukum perang, penulis melakukan
klasifikasi ayat-ayat al-Qur‟an dengan pendekatan kata kunci al-qital dan
al-jihad fi sabil Allah dengan mengklasifikasikan menjadi dua kelompok,
yaitu ayat-ayat Makiyah dan Madaniyyah.
Diantara ayat-ayat Makiyyah yang penulis kumpulkan sesuai
dengan tertib nuzulnya yaitu sebagai berikut: al-A‟raf: 150, Ghafir: 25, AlFurqan: 52, Al-Nahl:110, Al-Ankabut:6
Sedangkan kelompok ayat-ayat Mudaniyah yang penulis jadikan
sumber pembahasan adalah sebagai berikut:
Al-Baqarah : 190, 191, 193, 216, 217,218, „Ali Imran : 142, 167,
21, 169, 121, Al-Anfal: 39, 65, 74, 75, Al-Ahzab: 16, 25, 26, 61, AlMumtahanah: 1, 8, 9, Al-Nisa: 74, 75, 76, 84, 89, 91, Al-Hadid: 10,
10
Jamal al-Din b. al-Manzur, Lisan al-Lisan Tahdhib Lisan al-‘Arab, Juz I
(Beirut:Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1993), 212.
11
Shaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’wa Falsafatuha (Bairut, Dar
al-fikr al-Fikr, 1984), 330.
12
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al Ma’ad fi Hady Khair al-‘Ibad, Juz III
(Beirut: Mu‟asasah al-Risalah, 1992), 77.
13
Abu al-Qasim al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Grarib al-Quran (t.tp:
Matbaah al-Halabi, 1961), 100.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
4
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
Muhammad: 20, Al-Hasr: 14, Al-Hajj: 39, 78, Al-Hujurat: 9, Al-Tahrim:
9, Al-Saf: 4, 11, Al-Fath: 16, Al-Taubah: 12, 16, 24, 29, 36, 41, 44, 81,
123.
Dengan memperhatikan klasifikasi ayat tersebut berdasarkan urutan
turunnya dapat dipahami bahwa pada periode Makkah sudah ada ketentuan
tentang perang (jihad) namun dalam bentuk internal (konsolidatif). Ayatayat perintah perang (jihad) baru turun kemudian dalam periode Madinah,
setelah umat Islam mempunyai kekuatan yang memungkinkan untuk itu.
Sejarah Perang (Jihad)
Para fuqaha‟ khususnya kalangan klasik menempatkan perang di
jalan Allah (sebut: Jihad) sebagai sendi agama sehingga mereka memberi
tempat khusus dalam kitab-kitab klasik fiqh pada bab al-Jihad.14
Perlu ditegaskan lagi bahwa perang merupakan suatu keniscayaan
dalam konteks kehidupan sosial. Hal itu disebabkan adanya perbedaan
kepentingan satu sama lain baik yang bersifat material maupun spiritual,
termasuk persoalan keyakinan.
Perang dalam bentuk kecil berupa upaya-upaya pembunuhan telah
terjadi sejak periode manusia pertama antara Qabil dan Habil dalam
kepentingan perebutan wanita calon istri. Dalam bentuk besar berupa
pergolakan senjata juga telah terjadi pada zaman purbakala, misalnya
antara Sparta dan Atena di Yunani. Begitu juga antara para Nabi dan
pengikutnya dalam melawan serangan orang-orang kafir, seperti Nabi
Musa, Nabi Dawud, Nabi Sulaiman dan lain-lain.
Sebelum datangnya syari‟ah Islam melalui Nabi Muhammad SAW,
perang telah menjadi hobi dan profesi bangsa Arab secara mendarah
daging, sehingga faktor yang memicu terjadinya perang sangat bervariasi,
misalnya berebut makanan, berebut air dan tempat,15 atau disebabkan
terlukanya harga diri kesukuan.
Permusuhan antar suku yang terjadi selalu akan berlanjut dan
diteruskan generasi berikutnya sehingga dapat dikatakan bahwa lembaran
hari-hari mereka tidak luput dari perjalanan perang. Untuk dapat merekam
sejarah perang masyarakat jahiliyyah (pra-Islam) tersebut dapat merujuk
14
Lihat kitab Fiqh klasik seperti; Fath al-Wahab, al-Wajiz dan lain-lain, begitu
juga dapat dilihat pada Ibn Rusdy al-Hafid, Bidayah al-Mujtahid, Jilid II
(Beirut; Dar al-Fikr, tt), 86.
15
Abu al-A‟la al-Maududi, Syari’ah al-Islam fi al-Jihad, (Kairo; Dar-Sahwal
1985), 137.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
5
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
pada dua referensi besar,16 pertama, pada hikayat yang dikenal dengan
ayyam al-‘Arab. Kedua, pada sya„ir-sya„ir yang merupakan artikulasi dari
tradisi sosial budaya dan peradaban mereka.
Watak keras dan suka perang yang dimiliki masyarakat Arab
tersebut memang berkaitan dengan kondisi geografis mereka, tidak ada air
yang mengalir secara permanen, yang ada hanyalah lembah-lembah di
musim hujan yang disebut qasis.17 Penduduk di pedalaman terdiri dari
suku-suku Baduwi yang berkelompok dan nomaden. Mereka sering
berebut air minum.18 Mereka sering terjaring dalam permusuhan balas
dendam dan terjadi penindasan-penindasan yang kuat terhadap yang lemah
sehingga yang berlaku adalah hukum rimba.
Ringkasnya, perang pada masyarakat Arab jahiliyyah menjadi
hakim dalam memutuskan persoalan sehingga mati di medan laga
merupakan harga diri dan kebanggan bagi masyarakatnya. Sebaliknya
melarikan diri dan memilih mati tanpa luka perang merupakan cela yang
tiada taranya.
Setelah Islam datang dengan semboyan ingin mempersatukan umat
manusia dengan persaudaraan sejati dan hidup bermasyarakat secara
menetap dan berbudaya, perang mewakili warna baru. Perang tidak lagi
sebagai hakim dan perang bukan pula alat untuk menguasai kaum yang
lemah tetapi perang merupakan bentuk definisi dan menolak kedzaliman.19
Pada periode Makkah perang dinilai dengan sebuah bentuk
keburukan dan langkah ceroboh sebagaimana yang digambarkan ayat-ayat
Makkiyyah. Dalam melakukan dakwah Islamiyah di Makkah Nabi
diperintahkan berjuang dengan bersabar menahan caci makian orang-orang
kafir Quraish. Begitu pula para sahabatnya yang disiksa dari kalangan
budak oleh tuannya seperti bilal b. Rabbah, ‘Amr b. Yasir dan lain
sebagainya.20 Perintah jihad pada saat itu berbentuk perintah menahan diri
dan sabar menghadapi siksaan jasmani dan rohani seperti firman Allah
dalam surat al-Nahl:116
16
Ibid.
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, (Jakarta: PT, Raja Grafindo Persada,
1997), 25-26.
18
Jurji Zaidan, Histori Of Islamic Civilization (New Dehli: Kitab Blavan, 1978),
25-26.
17
19
20
al-Maududi, Syari’ah al-Islam, 41
Sayed Muhmud al-Nasir, Islam : Konsep dan Sejarahnya, terj, Adang Afandi
(Bandung, PT Remaja Rosdakarya), 126.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
6
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
‫عهَى ه‬
ِ‫اَّلل‬
ُ ‫َص‬
َ ‫ِة َْرَا َح ََل ٌل َٔ َْرَا َح َسا ٌو ِنز َ ْفز َُسٔا‬
َ ‫ف أ َ ْن ِعَُز ُ ُك ْى ْان َكر‬
ِ ‫َٔ ََل رَقُٕنُٕا ِن ًَب ر‬
‫عهَى ه‬
. ٌَٕ ُ ‫ِة ََل ٌُ ْف ِه‬
َ ‫اَّللِ ْان َكر‬
َ ٌَٔ‫ِة ِ هٌ انهرٌٍَِ ٌَ ْفز َُس‬
َ ‫ْان َكر‬
Menjalani jihad dengan penuh kesabaran dan memaafkan orang
lain tersebut secara nyata dilakukan Rasul ketika ia dilempari batu sampai
gusinya berdarah, tetapi Rasul justru mendoakan orang-orang yang
melempar itu dengan doa yang baik (positif). 21
Jihad dalam bentuk seperti itu bersifat bertahan secara internal
(konsolidasi internal), bersifat menggembleng mental keimanan para
sahabat ketika dilarang melawan secara fisik dalam bentuk perang, hal
tersebut logis, karena, pertama, jumlah personil kaum muslimin ketika itu
masih sedikit, belum memiliki kekuatan
yang layak menghadapi kaum Qurasihi. Kedua, kaum muslimin
diuji melakukan kesabaran atas kebengisan kaum kafir sampai mencapai
puncak penganiayaan yang menyebabkan pertolongan Allah datang22,
yaitu anjuran hijrah ke Madinah.23
Pada prinsipnya, periode Makkah pra-Hijrah belum terdapat
pensyariatan jihad berbentuk perang yang bersifat pembelaan external dan
melawan musuh.
Kemudian pada perkembangan berikutnya konsep jihad mengalami
perkembangan sedikit, yaitu berbentuk pertahanan eksternal dengan
kompensansi berupa aktifitas hijrah, sebagaimana dijelaskan dalam surat
al-Baqarah 218, yaitu:
َ‫اَّللِ أ ُ ْٔنَئِكَ ٌَ ْس ُجٌَٕ َزحْ ًَخ‬
‫ظجٍِ ِم ه‬
َ ًِ‫ِ هٌ انهرٌٍَِ آ َيُُٕا َٔانهرٌٍَِ َْب َج ُسٔا َٔ َجب َْدُٔا ف‬
‫اَّللِ َٔ ه‬
‫ه‬
‫ٕز َز ِحٍ ٌى‬
ٌ ُ‫اَّللُ َف‬
Ayat tersebut cukup menjadi dalil bahwa jihad pada masa pasca
makkah berbentuk anjuran hijrah. Hijrah yang diajurkan tersebut
merupakan persiapan terbinanya komunitas muslim yang kuat, terikat oleh
persaudaraan seiman dan seaqidah (al-Anfal:74).
‫ظجٍِ ِم ه‬
‫ص ُسٔا أ ُ ْٔنَئِكَ ُْ ْى‬
َ ًِ‫َٔانهرٌٍَِ آ َيُُٕا ََْٔب َج ُسٔا َٔ َجب َْدُٔا ف‬
َ َََٔ ‫اَّللِ َٔانهرٌٍَِ َآٔٔا‬
‫ْان ًُ ْ ِيٌَُُٕ َحقًّقب نَ ُٓ ْى َي ْ ِف َسح ٌ َٔ ِز ْش ٌ َ ِسٌ ٌى‬
Hijrah merupakan keniscayaan yang tidak dapat dihindarkan,
mengingat orang-orang kafir selalu berjuang dan memerangi Islam24
21
Ibid, 127.
Sudah menjadi sunatullah pertolongan Allah pasti diberikan orang-orang yang
dilecehkan dan ditindas sementara mereka tetap sabar Insa Allah mereka
termasuk manusia al-Sabirin, periksa QS, al-Qasas:5
23
Lihat Ali al-Sabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam min al-Qur’an, Juz I (Beirut: Dar alKutub al- Ilmiyah, 1993), 161.
24
Muhammad „Ali al-Sabuni, Safwah, 138.
22
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
7
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
sampai mereka kembali pada agamanya semula (QS al-Baqarah:217).
Hijrah dalam konteks waktu itu merupakan sendi agama yang wajib
dilakukan.
Dalam menafsirkan surat al-‘Anfal tersebut, al-Maraghi membagi
kaum beriman menjadi tiga, yaitu:25
a. Kaum muhajirin pertama, yaitu mereka yang berhijrah sebelum perang
Badar sampai per Hudaibiyyah.
b. Orang-orang beriman yang tidak berhijrah, mungkin karena tua,
lumpuh atau ada persoalan keluarga.
c. Orang-orang yang beriman yang berhijrah setelah perdamaian
Hudaibiyyah.
Terlepas dari nilai keutamaan dari pembabakan hijrah tersebut, wal
hasil hijrah merupakan bentuk jihad eksternal yang penuh arti dalam
mobilitas dakwah Islam. Ayat-ayat yang menyerukan banyak sekali yang
dimulai dengan surat Makkiyah yaitu al-Muzzamil: 10, dan al-Nahl: 41,
kemudian diteruskan dengan ayat-ayat Madaniyyah yaitu: al-Baqarah:
218, al-Anfal: 72, 73, 74, 75, al- Taubah: 20, al-Nisa’: 97, 100, 89, alAhzab: 6 dan al-Hasr:8.
Setelah misi hijrah tersebut berhasil, dalam periode Madinah, jihad
dalam bentuk perlawanan fisik (perang) dicetuskan secara tegas. Ayat yang
pertama kali turun tentang perang tersebut adalah surat al-Hajj: 39, yaitu:
ُ ‫أُذٌَِ ِنههرٌٍَِ ٌُقَبرَهٌَُٕ ِثأََه ُٓ ْى‬
ٌٌ‫ص ِس ِْ ْى نَقَدٌِس‬
‫ظ ِه ًُٕا َٔ ِ هٌ ه‬
ْ ََ ‫عهَى‬
َ َ‫اَّلل‬
Ayat tersebut secara legal formal mengabsahkan jihad perang
membela kebenaran agama dan menegakkan masyarakat dan syari‟at
Islam. Selanjutnya sempat terjadi perbedaan pendapat tentang ayat-ayat
yang memerintahkan perang (perang badr) pertama kali. Menurut Raf’i
bin Anas yaitu surat al-Baqarah: 190, yaitu:
‫اَّللِ انهرٌٍَِ ٌُقَبرِهََُٕ ُك ْى َٔ ََل ر َ ْعزَدُٔا ِ هٌ ه‬
‫ظجٍِ ِم ه‬
ٌٍَِ‫اَّللَ ََل ٌُ ِ تُّ ْان ًُ ْعزَد‬
َ ًِ‫َٔقَبرِهُٕا ف‬
Sedangkan menurut Ibn al-‘Arabi, ayat yang memerintahkan
perang pertama kali adalah surat al-Haji: 39. Ia beralasan adanya prinsip
tadarruj bahwa pada mulanya perang diizinkan terus kemudian
diwajibkan.26 Menurut penulis pendapat tersebut terbalik kalau dilihat
tertib nuzulnya, sehingga menurut penulis ayat pertama adalah al-Baqaroh
kemudian disusul dengan al-Hajj dan seterusnya dengan pengertian bahwa
surat al-Baqarah bersifat menyerukan dalam rangka membalas setimpal
25
Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz IV (Beirut: Dar al-Fikr,
1990), 41.
26
Lihat al-Sabuni, Tafsir ayat al-Ahkam Juz I, 162
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
8
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
sedangkan dalam surat al-Hajj tersebut bersifat memberi aturan secara
legal bahwa perang diizinkan untuk mengalahkan musuh tidak secara balas
setimpal.
Dalam sejarah dicatat bahwa perang pertama adalah perang badr
pada tahun ke 2 H yang kemenangannya berada di pihak kaum muslimin.27
Perlu diingat bahwa jihad (perang) tersebut bersifat defensif 28 sebagaimana
dijelaskan pada surat al-Hajj diatas.
Nampaknya perang tersebut tidak cukup sekali terjadi akan tetapi
terdapat keinginan balas dendam dari kalangan kafir Quraishi sehingga
perintah jihad pun terus turun berupa keetntuan-ketentuan perang, etika
perang dan motivasi-motivasi penyemangat jihad tersebut. Perang Uhud
merupakan pelampiasan balas dendam orang Quraisy dengan perbandingan
personil tentara yang tidak seimbang,29 sehingga kemenangan berada pada
kaum kafir.
Ayat-ayat al-Qur‟an yang turun dalam konteks itu adalah tentang
berapa seharusnya musuh yang harus dilawan (QS al-Anfal 65-66). Ayat
tersebut sangat menyerukan Jihad dan mewajibkannya dengan
perbandingan 1 : 10 kemudian diringankan menjadi 1 : 2 setelah kaum
muslimin mempunyai personil yang banyak.
Kekalahan di Uhud menjadi pelajaran kaum muslimin dimana
mereka harus mengikhlaskan niat untuk meluhurkan agama, jangan sampai
hanya mencari harta rampasan perang30. Oleh karena itu ayat yang turun
dalam kontes itu menyerukan agar mereka taat pada pimpinan perang agar
menjaga pos-pos pertahanan dalam perang (QS Ali Imran:200)
‫ابثِ ُسٔا َٔ َزاثِ ُٕا َٔارهقُٕا ه‬
ٌَٕ ُ ‫اَّللَ نَعَهه ُك ْى ر ُ ْف ِه‬
ْ ‫ٌَبأٌَُّ َٓب انهرٌٍَِ آ َيُُٕا ا‬
َ َٔ ‫اجِ ُسٔا‬
Al-Baqarah:177, yaitu:
‫ة َٔنَ ِك هٍ ْان ِج هس َي ٍْ آ َيٍَ ِث ه‬
ِ ‫ْط ْان ِج هس أ َ ٌْ ر ُ َٕنُّٕا ُٔ ُجٕ َْ ُك ْى قِجَ َم ْان ًَ ْش ِس ِ َٔ ْان ًَ ْ ِس‬
ِ‫بَّلل‬
َ ٍَ‫ن‬
ْ
ْ
ْ
ْ
ْ
‫عهَى ُح ِجّ ِّ ذَ ِٔي انقُ ْسثَى َٔانٍَز َب َيى‬
ِ ‫َٔ ْانٍَ ْٕ ِو ْاَ ِخ ِس َٔان ًَ ََلئِ َك ِخ َٔان ِكز َب‬
َ ‫ة َٔانُه ِج ٍٍٍَِّ َٔآر َى ان ًَب َل‬
‫ص ََلح َ َٔآر َى ه‬
ٌَُٕ‫انص َبح َ َٔ ْان ًُٕف‬
‫ع ِجٍ ِم َٔان ه‬
‫عب ٍٍَِ َٔاثٍَْ ان ه‬
‫بو ان ه‬
ّ ِ ًِ‫عبئِهٍٍَِ َٔف‬
ِ ‫انسقَب‬
َ ًَ ‫َٔ ْان‬
َ َ‫ة َٔأَق‬
27
Kaum muslimin ketika itu berjumlah 300 orang sementara orang kafir
berjumlah 1000 orang. Lihat Afdhal al-Rahman, Muhammad as Millitery
Leader (London: The Muslim Schools Trust, 1980), 120
28
Ibid, 184.
29
Ibid, 150.
30
Kekalahan tersebut lebih karena kecerobohan tentara Islam sendiri yang terdiri
dari 50 orang pemanah tergesa-gesa turun mengambil harta rampasan perang.
Lihat Muhammad Husain al-Haikal, Sejarah Hidup Muhammad (Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1993), 286-287.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
9
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
‫ادَقُٕا‬
ِ ‫بء َٔانض ههس‬
ِ ‫ظ‬
‫عب َْدُٔا َٔان ه‬
َ ‫ثِعَ ْٓ ِد ِْ ْى ِذَا‬
َ ْ ‫صبثِ ِسٌٍَ فًِ ْانجَأ‬
َ ٌٍَِ‫اء َٔ ِحٍٍَ ْانجَأ ْ ِض أ ُ ْٔنَئِكَ انهر‬
ُ
‫ه‬
ٌَٕ‫َٔأ ُ ْٔنَئِكَ ُْ ْى ْان ًُزق‬
Ayat tersebut turun berkenaan dengan munculnya rasa enggan
berjihad dan berperang dari kaum muslimin setelah diwajibkannya oleh
Allah secara tegas sebagaimana digambarkan dalam surat al-Baqarah:216,
yaitu:
‫عى‬
َ ‫ععى أ َ ٌْ ر َ ْك َس ُْٕا‬
َ َٔ ‫ش ٍْئًب َٔ ُْ َٕ َخٍ ٌْس نَ ُك ْى‬
َ َٔ ‫عهَ ٍْ ُك ْى ْان ِقز َب ُل َٔ ُْ َٕ ُ ْسٌِ نَ ُك ْى‬
َ ‫ت‬
َ ِ‫ُز‬
َ ‫ع‬
‫ش ٍْئًب َٔ ُْ َٕ ش ٌّرَس نَ ُك ْى َٔ ه‬
َ ‫أ َ ٌْ ر ُ ِ جُّٕا‬
ًٌَُٕ َ‫اَّللُ ٌَ ْعهَ ُى َٔأ َ َْز ُ ْى ََل ر َ ْعه‬
Dengan antisipasi ayat-ayat al-Qur‟an seperti itu menyebabkan
mentalitas umat Islam terbangun31, sehingga dapat membangun keluhuran
Islam walaupun musuh membangun serangan yang besar seperti dalam
perang Ahzab (Khandaq) pada tahun ke V H perang tersebut digambarkan
QS al-Ahzab: 25 sebagai perang yang paling dahsyat, namun atas
kesabaran kaum muslimin pertologan Allah datang memenangkannya.
Kemenangan pada perang ini menyebabkan harga diri kaum
muslimin semakin diakui banyak orang yang masuk Islam berbondongbondong yang pada akhirnya muncul perjanjian Hudaibiyah dua kali
dengan menuju kemenangan kaum muslimin atas Makkah yang dikenal
dengan “Fath Makah”32.
Disamping mobilisasi dakwah keluar, Nabi juga memperbaiki
kondisi internal masyarakat kota Madinah sehingga tercipta Piagam
Madinah yang menjadi dasar aturan pergaulan antara Muslim dan nonMuslim khususnya kaum Yahudi dan Nasrani.33
Ketika kaum Yahudi dan Nasrani ingkar janji dan membuat fitnah
serta melakukan ingkar dan tipu daya terhadap Rasul dan kaum Muslimin,
maka ayat al-Qur‟an memerintahkan memerangi mereka dan mengusir
mereka (QS: al Baqarah; 190, 193, al Tawbah: 12, 29, 36, 123 dan alAnfal; 39) kesimpulan ayat-ayat tersebut adalah bahwa agar umat Islam
memerangi orang Yahudi dan Nasrani yang telah membikin kacau di
masyarakat kota Madinah. Dengan memperhatikan latar belakang turunnya
ayat diatas dapat dipahami bahwa perang yang diwajibkan itu bukan
bersifat ofensif tetapi sebaliknya bersifat defensif dan antisipatif.
31
Ahmad Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam I (Jakarta: Jayamurni, 1998),
125-127
32
al-Maududi, fi al-Jihad, 213
33
Yusuf Qardhawi, al-Mujtama’ al-Islami fi Ghair al-Muslimin (Beirut: Dar alFikr, 1996), 22
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
10
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
Wal hasil perang dalam pandangan Islam tersebut berlanjut sampai
wafatnya Nabi dan sepanjang masa selama sesuai dengan situasi dan
kondisi.
Tinjauan Filosofis Tasyri’ Hukum Islam.
Dari tinjauan historis persyari‟atan hukum perang pada sub-sub
diatas, dapat penulis tegaskan bahwa perang mempunyai latar belakang
filosofis yaitu terbentuknya masyarakat yang berkeadilan dan terwujudnya
kelestarian kehidupan masyarakat Islami (al-Mujtama’ al-Islami) dibumi
atas dasar perdamaian dan kerukunan hidup diatas hak-hak dan
kewajiban.34 Pemikiran tersebut berdasar pada surat: al-Hajj‟40
‫اَّللُ َٔنَ ْٕ ََل دَ ْف ُع ه‬
‫ق ِ هَل أ َ ٌْ ٌَقُٕنُٕا َزثَُُّب ه‬
ِ‫اَّلل‬
ِ ٌَ‫انهرٌٍَِ أ ُ ْخ ِس ُجٕا ِي ٍْ ِد‬
ٍ ّ ‫بز ِْ ْى ثِ ٍَ ِْس َح‬
ْ ‫ط نَ ُٓ ِدّ َي‬
‫بجدُ ٌُ ْر َ ُس فٍِ َٓب ا ْظ ُى ه‬
ٍ ‫ض ُٓ ْى ثِجَ ْع‬
ِ‫اَّلل‬
َ ‫بض ثَ ْع‬
َ ‫اهَ َٕادٌ َٔ َي‬
ِ ‫ع‬
َ َٔ ‫ا َٕ ِاي ُع َٔثٍَِ ٌع‬
َ ‫ذ‬
َ ‫انُه‬
َ
َ
ٌ ‫ع ِص‬
‫ص ُسُِ ِ هٌ ه‬
‫ص َس هٌ ه‬
‫ٌص‬
ُ ٌَُ ٍْ ‫اَّللُ َي‬
ُ ٍَُ‫ٍسا َٔن‬
ً َِ
َ ‫ي‬
‫اَّللَ نقَ ِٕ ٌّر‬
Al-Baqarah;251;
‫اَّللِ َٔقَز َ َم دَ ُأٔدُ َجبنُٕدَ َٔآر َبُِ ه‬
‫فَ َٓصَ ُيٕ ُْ ْى ثِإ ِ ْذ ٌِ ه‬
‫عهه ًَُّ ِي هًب‬
َ َٔ َ‫اَّللُ ْان ًُ ْهكَ َٔ ْان ِ ْك ًَخ‬
ْ َ‫عد‬
‫ض َٔنَ ِك هٍ ه‬
‫ٌَشَب ُء َٔنَ ْٕ ََل دَ ْف ُع ه‬
‫عهَى‬
ْ َ‫اَّللَ ذُٔ ف‬
ٍ ‫ض ُٓ ْى ثِجَ ْع‬
ُ ‫د ْاْل َ ْز‬
َ ‫ض ٍم‬
َ ‫بض ثَ ْع‬
َ َ‫ط نَف‬
َ ‫اَّللِ انُه‬
ًٍٍَِ َ‫ْانعَبن‬
Dua ayat diatas menjelaskan dasar filosofis keharusan berjihad dan
berperang mempertahankan hak-hak asasi yang berupa hak hidup, hak
beragama, hak memiliki harga diri dan pemilikan serta hak berketuhanan
sehingga kehidupan diatas bumi bisa tegak.
Perintah berperang tersebut merupakan
manifestasi
dari
tangkisan
Allah atas kejahatan yang dilakukan manusia maupun
kelompok masyarakat kepada yang lain.35 Dengan pertahanan diri berupa
perang, maka berbagai umat termasuk umat Islam yang menegakkan
kebenaran agama Allah serta berbagai bangsa dan berbagai kelompok
dapat memperoleh kekuasaan dan dapat berkembang di muka bumi.
Perintah jihad (perang), berdasarkan tafsir maudu’i di atas, tidak
datang secara langsung, namun berdasarkan prinsip-prinsip al-Tadarruj
sehingga bermanfaat secara mental bagi umat Islam untuk menuju
kesiapan maksimal untuk berjihad.
Tahapan tashri‟ hukum perang tersebut antara lain:
a. Pada periode awal (di Makkah), belum diperkanankan perang jihad. Ia
dianjurkan sebatas bentuk dakwah bi al-lisan dengan bersabar
menanggung resiko dicemooh dan dianiaya.
34
35
Al-Jurjani, Hikmah, 331
Rahman, Muhammad as Millitary Leader, 18
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
11
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
b. Pada pra-Madinah, perang (jihad) disyari‟atkan dalam bentuk hijrah.
c. Pada awal periode Madinah, jihad diundangkan dalam bentuk
peran defensif yaitu membalas serangan secara setimpal.
d. Pada periode Madinah (mulai tahun 2 H) diperintahkan perang
melawan setiap perintang jalan menuju terbentuknya “al-Mujtama’ alIslami” dengan segala kekuatan.36
Berdasarkan pentahapan tasyri‟ hukum perang tersebut dapat
dipahami bahwa hukum perang (jihad) dalam Islam telah ditegaskan secara
legal sebagai kewajiban atas kaum Muslimin pada setiap masa, jika telah
terpenuhi piranti dan perencanaan yang mantap. Karena itulah ayat 123
surat al-Taubah turun sebagai dasar diwajibkannya perang.
Etika Perang Dalam Islam
Agama Islam diturunkan untuk mengantarkan manusia menuju
kebahagiaan dunia dan akhirat. Kaum muslimin diwajibkan
menyampaikan dakwah Islamiyah kepada manusia37. Jika ada orang atau
komunitas yang lain yang menghalangi dan memusuhi maka harus dilawan
dengan bentuk apapun supaya kebebasan memahami dan mengamalkan
agama Islam terwujud. Dengan tujuan itu, hukum perang ditegakkan dalam
Islam.
Haruslah disadari bahwa perang dalam Islam bukanlah bermakna
al-harb yang bersifat bumi hangus dan habis-habisan tanpa memperhatikan
etika kemanusiaan tetapi tata tertib dan adab berperang secara rinci
ditegaskan sehingga istilah perang yang ada dalam syari‟t Islam berbeda
dengan peristilahan di Barat.38
Diantara tata tertib yang ditetapkan Islam dalam berperang adalah:
1. Tidak boleh menyerbu mendadak sebagaimana terjadi pada era
jahiliyah. Nabi menetapkan kaedah yang pada intinya bahwa
penyerangan pada musuh tidak boleh dilakukan sebelum masuk waktu
pagi.
2. Dilarang menyiksa maupun membunuh dengan membakar
36
37
38
Lihat Sa‟id Ramadhan, Fiqh al-Sirah, 170-171
Tentang obyek dakwah memang menjadi kontroversi dikalangan Ulama‟. Ada
yang tidak mewajibkan dakwah kecuali pada masyarakat atau daerah yang
belum tersentuh dakwah. Lihat Wahbah Zuhaily, al Fiqh al-Islami wa’Adilatuh
Juz 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 415.
Istilah “the Holly war “ala barat tidak tepat dijadikan terjemah al-Jihat fi
sabilillah. Lihat al-Maududi, Syari’ah al-Jihad, 167-168.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
12
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
3. Dilarang membunuh dengan aniaya (Qatl al-Sabr)
4. Dilarang menjarah atau merampok setelah adanya perdamaian
5. Dilarang merusak, merobohkan, dan membuat bumi hangus karena
perang
6. Dilarang membunuh tawanan perang dan membunuh musuh secara
picis
7. Dilarang membunuh para duta utusan musuh
8. Dilarang melepaskan perjanjian
9. Dilarang membuat kerusakan masal
Tata tertib tersebut menjadi etika aturan pada diri pejuang Islam
berkat keteladanan Nabi dalam aktivitas jihadnya sehingga dapat dipahami
bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai moral dalam perang.
Dalam Islam tidak diperbolehkan memerangi kecuali pada orang
yang memusuhi umat Islam dan berbuat aniaya (QS al-Baqarah: 190-193).
Jika mereka mengajak damai, maka perang harus dihentikan (QS alTawbah: 4 dan 6). Orang kafir yang membatalkan perjanjian harus
diperangi karena penkhianatannya (QS al-Tawbah:8 dan 13) seperti yang
dilakukan oleh Nabi kepada kaum Yahudi Bani al-Nadir dan Bani alMustaliq di Madinah.39
Berdasarkan pemahaman terhadap konsep etika perang tersebut,
para ulama‟ klasik meletakkan perang pada status fardh kifayah. Namun
jika kondisi berubah, ketentuan tersebut bisa menajdi fardh ‘ain, misalnya:
a. Ketika musuh telah berhadap-hadapan dengan kaum Muslimin (QS alAnfal:15, 16, 45)
b. Ketika musuh telah menduduki negeri Islam
c. Ketika pemerintah menetapkan mobilitas umum bagi militer.40
Dari uraian dan tata tertib perang tersebut dapat dipahami bahwa
perang dalam Islam bukan merupakan tujuan tetapi ia lebih merupakan
bentuk pertahanan (Daf al-Dharar) untuk melindungi masyarakat Islam.
Penutup
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
39
40
Ibid, 172-178
Ibid
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
13
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
1. Perang pada dasarnya menjadi suatu kebutuhan daruri jika dipakai
untuk menolak kedaliman yang lebih besar.
2. Perang dalam Islam didasari dengan nilai fi sabil Allah yang identik
dengan term al-Jihad menjadi sarana mencapai kedamaian Islam.
3. Persyariatan hukum perang dalam Islam bersifat tadarruj, semenjak
periode Makkah yang masih melarang untuk berperang sampai pada
periode Madinah yang mewajibkan perang secara legal.
4. Islam memberi aturan rinci pelaksanaan perang yang hal itu
menunjukkan bahwa dalam berperang pun nilai-nilai moral dan
kemanusiaan dijunjung tinggi.
5. Pensyariatan perang dalam Islam merupakan wujud “Tangkisan Allah”
atas kejahatan manusia pada yang lain dari terciptanya kehidupan yang
stabil di atas bumi.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
14
Wahidul Anam, Penetapan Hukum Perang
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah al-Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, IV, Jakarta; PT
Ikhtiar Baru Van Have; 1996.
Abu al-A‟la al-Maududi, Syari’ah al-Islam fi al-Jihad, Kairo; Dar-Sahwal
1985.
Abu al-Qasim al-Raghib al-Asfahani, al-Mufradat fi Grarib al-Quran, t.tp:
Matbaah al-Halabi, 1961.
Afdhal al-Rahman, Muhammad as Millitery Leader, London: The Muslim
Schools Trust, 1980
Ahmad Mustofa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1990.
Ahmad Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, Jakarta: Jayamurni, 1998.
Ali al-Sabuni, Safwah al-Tafasir, Beirut:Dar al-Fikr, tt.
--------, Tafsir Ayat Al-Ahkam min al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub alIlmiyah, 1993.
Badri Yatim, Sejarah peradaban Islam, Jakarta: PT, Raja Grafindo
Persada, 1997.
Fu‟ad Abd al-Baqi‟, al-Mu’jam al-mufahras li al-Qur’an al-Karim, Beirut:
Dar al-Fikir, 1994.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Zad al Ma’ad fi Hady Khair al-‘Ibad, Beirut:
Mu‟asasah al-Risalah, 1992.
Ibn Rusdy al-Hafid, Bidayah al-Mujtahid, Bairut; Dar al-Fikr, tt.
Jamal al-Din b. al-Manzur, Lisan al-Lisan Tahdhib Lisan al-‘Arab,
Beirut:Dar al-Kutub al-„Ilmiyah, 1993.
Jurji Zaidan, Histori Of Islamic Civlization, New Dehli; Kitab Blavan,
1978.
Karen Amstrong, Muhammad a biography of the Prophet, New York,
Harper San Fransisco, 1994.
Muhammad Husain al-Haikal, Sejarah Hidup Muhammad, Jakarta: Litera
Antar Nusa, 1993.
Muhammad Sa‟id Ramadhan al-Bitti, Fiqh al-Sirah, Beirut:Dar al-Fikir,
1986.
Sayed Muhmud al-Nasir, Islam : Konsep dan Sejarahnya, terj, Adang
Afandi, Bandung, PT Remaja Rosdakarya.
Shaikh Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’wa Falsafatuha, Bairut,
Dar al-fikr al-Fikr, 1984.
Wahbah Zuhaily, al Fiqh al-Islami wa’Adilatuh, Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
WJS Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai
Pustaka, 1976.
Tribakti, Volume 14 No.2 Juli 2005
15
Download